Life is journey not a destinantion ...

Dewa Lautan Timur

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Pedang Buntung --oo0oo-- Tabir Pulau Hitam



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: DEWA LAUTAN TIMUR

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«¤:¤| [ 1 ] |¤:¤»

Di salah satu ruangan Pesanggrahan Bayu Api, suasana makin menyepi. Tak seorang pun yang membuka suara. Masing-masing orang dicekam pikiran dan kebingungan.
Keheningan itu dipecahkan oleh suara orang yang baru datang, "Orang tua... mengapa kau berpakaian seperti yang kukenakan" Dan wajahmu... mengapa begitu mirip sekali denganku?" Orang yang duduk bersila di hadapan Pendekar Slebor dan Gadis Kayangan, rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Laki berucap sopan pula, "Sobat... justru aku yang tak mengerti... mengapa pakaian yang kita kenakan dan wajah kita mirip satu sama lain" Siapakah kau sebenarnya?" Orang yang baru datang menyahut tak kalah sopannya, "Namaku Purwacaraka dan orang-orang menjuluki ku Panembahan Agung! Siapakah kau adanya?"
"Begitu pula denganku. Nama dan julukanku adalah yang barusan kau sebutkan tadi."
Selagi kedua orang yang satu sama lain berwajah mirip dan masing-masing mengaku bernama Purwacaraka dan berjuluk Panembahan Agung, Andika yang sudah berdiri menggaruk-garuk kepalanya tidak mengerti.
"Kutu monyet! Apa-apaan ini" Mengapa ada dua orang yang mengaku berjuluk Panembahan Agung" Yang manakah Panembahan Agung yang sesungguhnya" Apakah yang sejak semula berbicara denganku dan Gadis Kayangan, ataukah orang yang baru datang" Kampret mati! Sudah tentu tak mungkin kedua-duanya adalah Panembahan Agung! Tetapi yang mana yang asli" Dan siapa yang palsu?" Sementara itu Winarsih atau yang dijuluki Andika Gadis Kayangan, hanya memperhatikan kedua orang tua itu secara bergantian. Satu sama lain berwajah dan bersikap mirip. Bahkan tatkala Panembahan Agung yang sejak Semula berbicara dengan mereka berdiri, tinggi mereka pun sama.
"Oh, Mengapa jadi begini?" desisnya galau. Dan hatinya mendadak tidak enak.
Terlebih lagi tatkala menyadari kalau potongan pedang masih dipegang oleh Panembahan Agung yang sejak semula berbicara dengannya. Dia yakin salah satu dari kedua Panembahan Agung itu palsu. Tetapi menentukan yang mana yang asli dan yang mana yang palsu, bukanlah sesuatu yang mudah.
Sebelumnya, Winarsih memang terlebih dulu datang ke Pesanggrahan Bayu Api ketimbang Andika. Padahal seharusnya Andika yang datang terlebih dahulu. Karena dia harus menakut-nakuti tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang diupah oleh seseorang bersorban kuning untuk menjarah harta Panembahan Agung, terpaksa dia tak segera ke Pesanggrahan Bayu Api.
Sebelumnya Andika memang sudah memperkirakan ke mana perginya Winarsih atau Gadis Kayangan tatkala tak dijumpai di tempatnya semula.
Makanya, dia tak terlalu merasa heran ketika bertemu dengan Gadis Kayangan di Pesanggrahan Bayu Api ini. Tetapi Gadis Kayangan yang memang belum dapat memutuskan apakah pemuda berpakaian hijau pupus itu kawan atau lawan, terpaksa mengusir Andika. Setelah itu dia segera mendatangi Pesanggrahan Bayu Api.
Kedatangannya disambut oleh Panembahan Agung dan di saat percakapan terjadi, mendadak saja Panembahan Agung mengangkat tangan ke atas. Saat itu pula satu sosok tubuh yang ternyata Pendekar Slebor, meluncur jatuh. Pendekar Slebor yang selain penasaran ingin mengetahui lebih lanjut tentang urusan dua potongan pedang, menceritakan tentang tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang diperintahkan oleh orang bersorban kuning untuk menjarah harta milik Panembahan Agung. Dan selagi percakapan itu terjadi, semua dikejutkan dengan satu sapaan halus. Lebih terkejut lagi tatkala yang menyapa itu adalah sosok orang yang sangat mirip dengan Panembahan Agung yang duduk bersila di hadapan sepasang remaja itu (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Pedang Buntung").
Saat ini Panembahan Agung yang baru datang, sedang berkata sopan setelah memandang Panembahan Agung yang satunya lagi, "Kawan... mengapa kau harus menyamar sebagai diriku" Apakah kau lupa, kalau tindakanmu itu sangat tidak menyenangkan."
Panembahan Agung yang di tangan kanannya tergenggam potongan pedang yang dibalut kain pulih berkata, tak kalah sopannya.
"Maaf... justru aku hendak bertanya... "Mengapa kau melakukan hal seperti ini?"
"Bagaimana mungkin aku menyamar sebagai diriku sendiri kalau memang akulah Panembahan Agung."
"Begitu pula denganku. Kawan... tidak baik melakukan tindakan seperti ini. Tetapi. kau boleh mengatakan, keuntungan apa yang hendak kau raih dengan menyamar sebagai diriku?"
"Maafkan aku.... Justru aku hendak menanyakan hal itu padamu...."
Di lain pihak, Pendekar Slebor sedang menggaruk-garuk kepalanya. Anak muda urakan dari Lembah Kutukan ini, diam-diam bersiaga penuh. Karena dia yakin, salah seorang dari mereka adalah palsu dan tentunya menghendaki sesuatu.
Namun, siapa yang asli dan siapa yang palsu" Bahkan suara satu sama lain begitu mirip terdengar.
Jangankan Andika yang baru kali ini mengenal wujud dan sosok Panembahan Agung, orang yang telah mengenal sebelumnya pun tak akan mampu membedakan satu sama lain.
"Monyet pitak! Urusan lebih melebar lagi! Ah, potongan pedang yang merupakan pangkal dari semua itu berada di tangan Panembahan Agung yang sejak tadi berbicara denganku. Bisa jadi dia yang palsu, dan sebenarnya menyamar sebagai Panembahan Agung karena tahu kalau Gadis Kayangan akan menyerahkan potongan pedang itu padanya. Tetapi bisa juga aku salah, karena sesungguhnya memang dialah Panembahan Agung.
Kadal buntung! Harimau bangkai! Bagaimana caranya aku membedakan mereka?" Garuk-garuk kepala sendiri anak muda ini.
Winarsih sendiri masih memperhatikan kedua orang tua yang satu sama lain tak ada bedanya, dengan kening yang semakin dikernyitkan.
Sementara itu Panembahan Agung yang baru datang berkata lagi, tetap sopan kendati dibaluri sedikit kemarahan, "Kawan...
aku tak mau memperuncing urusan. Lebih baik kau katakan siapa dirimu sebenarnya...."
Panembahan Agung yang satunya lagi berkata, "Maafkan aku.... Aku tak ingin bertindak tidak sopan. Tetapi nampaknya, apa yang kau lakukan sudah tentu tak akan mungkin kumaafkan.
Menyamar menyerupai seseorang sudah tentu bermaksud buruk. Lebih baik katakan yang sebenarnya, biar urusan tak berlarut-larut."
"Kawan... sungguh semua ini sangat mengejutkan ku. Seperti biasa, aku selalu berjalan-jalan di padang rumput di belakang Pesanggrahan Bayu Api ini. Dan selalu kembali bila matahari sudah sepenggalah. Apakah kau tidak berpikir, kalau aku sangat terkejut karena ada tamu yang datang. Lebih terkejut lagi tatkala ada orang yang menyerupaiku."
Panembahan Agung yang memegang potongan pedang dibalut kain putih menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibirnya tersenyum saat berkata, "Kebetulan... malam tadi keadaan tak begitu baik, hingga aku tak menjalankan kebiasaanku seperti biasa."
"Kawan... kesabaran seseorang ada batasnya."
Kembali Panembahan Agung yang sebelumnya berbicara panjang lebar dengan Andika dan Winarsih mengangguk-anggukkan kepala.
Andika yang masih berusaha untuk menentukan yang mana sesungguhnya Panembahan Agung membatin lagi, "Aku baru ingat sekarang. Bukankah tiga lelaki berpakaian hitam gombrang itu mengatakan, kalau Panembahan Agung memiliki kebiasaan berjalan-jalan pada malam Kamis Legi di padang rumput di belakang pesanggrahan ini. Dan rasanya... orang tua yang sekarang telah diserahkan potongan pedang oleh Gadis Kayangan, sejak semula gadis ini datang, dia sudah berada di sini. Tetapi tadi dia mengatakan sedang tidak enak badan.
Sebaiknya...."
Memutus kata batinnya sendiri, Andika berkata sambil nyengir, "Busyet! Baru aku tahu kalau kalian ini manusia kembar! Tetapi setahuku, kalau orang kembar itu tentunya memiliki sedikit perbedaan yang dapat diketahui oleh orang yang telah mengenal lama. Sayangnya, aku dan Gadis Kayangan baru mengenal kalian. Di samping itu, aku yakin, orang yang telah mengenal kalian lebih lama juga akan merasa kebingungan, karena bukan hanya sosok dan wajah kalian yang serupa, suara kalian pun tak jauh berbeda. Nah! Yang merasa palsu tunjuk tangan deh!" Usul konyol yang dilontarkan Pendekar Slebor sudah tentu tak akan dilakukan oleh kedua orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung. Bahkan bila diminta yang asli tunjuk tangan pun, rasanya terlalu riskan dilakukan oleh orang tua sebijaksana keduanya.
Andika tertawa sendiri setelah menyadari kekonyolannya. Lalu kalanya, "Kalau begini caranya, bagaimana kami bisa tahu siapa Panembahan Agung yang sesungguhnya" Mengaku anak kembar kalian tidak! Mengaku yang palsu juga tidak! Atau... begini saja deh! Orang tua, aku minta maaf sebelumnya.
Kuharap kau mau menyerahkan potongan pedang itu kepadaku...."
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri yang memegang kain putih berisi potongan pedang itu terdiam sejenak. Setelah memperhatikan benda yang dipegangnya, dia segera menyerahkan pada Andika.
"Anak muda... apa yang hendak kau lakukan?" Andika nyengir sebelum menjawab, "Jangan salah sangka nih ya" Juga jangan tersinggung! Mungkin ini jalan satu-satunya yang terbaik agar urusan dapat diselesaikan secepatnya, kendati sebenarnya aku tidak sabar ingin menjitak siapa orang yang berani lakukan tindakan brengsek seperti ini! Nah! Siapa yang dapat mengatakan isi potongan pedang ini kepadaku?"
"Sudah tentu aku dapat mengalakannya," kata Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri.
"Begitu pula denganku. Bukankah potongan pedang itu telah lama berada di tanganku" Sudah tentu aku sangat mengenalnya. Dan sedikit banyaknya, aku juga mengetahui isi potongan pedang yang berada di tangan adik seperguruanku yang berjuluk Pemimpin Agung," kata Panembahan Agung yang berada di sebelah kanan. Kemudian lanjutnya pada Winarsih, "Anak gadis... aku tahu kalau potongan pedang itu sebelumnya berada di tanganmu. Sekarang... ceritakan padaku apa yang telah terjadi pada gurumu?" Winarsih yang masih terheran-heran dengan pemandangan yang ada di hadapannya seperti tergugu, seolah dia tak bisa membuka mulut lagi.
Andika yang segera berkata, "Pemimpin Agung telah tewas di tangan Sangga Rantek.
Dan potongan pedang yang sebuah lagi, yang merupakan Pedang Buntung, berada di tangan manusia itu."
Panembahan Agung yang baru datang itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tak kusangka kalau dia akan bernasib sial seperti itu. Ah... padahal aku belum menceritakan apa yang selama ini kurahasiakan. Ah, dia tentunya tak pernah mendengar tentang Laksmi Harum."
Mendengar ucapan Panembahan Agung ini, anak muda urakan yang berotak encer itu langsung berpikir, "Laksmi Harum. Menurut Panembahan Agung yang sejak tadi bercakap-cakap denganku, tak seorang pun yang mengetahui cerita tentang Laksmi Harum karena selama ini dipendamnya.
Tetapi, Panembahan Agung yang baru datang telah mengetahuinya. Menilik keadaan sudah tentu keduanya memang Panembahan Agung, hanya tak mungkin keduanya benar-benar Panembahan Agung. Berarti... oh! Tak salah! Sudah pasti yang seorang lagi adalah Dewa Lautan Timur. Tetapi yang mana" Celaka! Bila ternyata dugaanku benar, urusan akan semakin repot! Tetapi sungguh hebat Dewa Lautan Timur yang mempunyai dendam setinggi langit pada Panembahan Agung ternyata masih dapat menahan dendamnya. Aku yakin, itu dilakukan karena dia sedang menikmati permainan yang diciptakannya."
Cukup lama tak ada yang membuka mulut sebelum Panembahan Agung yang baru datang berkata, "Anak muda... mengapa kau tak melanjutkan ucapanmu" Bila menuruti kata hatiku, aku tak bisa menahan diri lebih lama untuk mencari tahu siapa lelaki tua di hadapanku yang menyamar sebagai diriku?" Sebelum Andika menyahut, Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri berkata setelah menghela napas masygul, "Urusan ini memang harus dituntaskan. Karena aku tak ingin ada orang yang menyamar sebagai diriku yang justru akan bertindak sembrono dengan membawa namaku dalam perbuatannya. Anak muda... lakukanlah apa yang hendak kau kerjakan."
Pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini pandangi dulu masing-masing orang sebelum mendekati Gadis Kayangan. Lalu sambil nyengir dia berkata, "Maaf nih, ah! Aku mau berbisik dulu!" Gadis Kayangan yang masih keheranan nampak menurut saja tatkala Andika membisiki sesuatu.
Lalu terlihat kepalanya berpaling dengan pandangan terbuka.
"Kau...."
"Itu hanya dugaanku. Nah, sekarang kau lakukan apa yang kuminta tadi."
Gadis jelita berkepang dua ini masih pandangi Andika beberapa saat, sebelum akhirnya berkata sopan pada dua orang Panembahan Agung yang masih berdiri di hadapannya, "Kakek... maafkan sikapku ini. Terus terang, aku bingung menentukan siapakah di antara kakek yang benar-benar kakak seperguruan guruku. Aku harus menjalankan apa yang diminta oleh Pendekar Slebor."
Habis kala-katanya, gadis ini segera berkelebat keluar dari Pesanggrahan Bayu Api. Wajahnya masih diliputi tanya yang ingin segera didapatkan jawabannya.
Setelah itu Andika berkata, "Nah! Sekarang tinggal kita bertiga! Sekarang... kita sama-sama tahu kalau titik gambar yang tergambar pada dua potong pedang bila disatukan akan menuju ke Pulau Hitam.
Kupikir kalian juga mengetahuinya. Yang ingin kuketahui, dapatkah kalian menuju ke Pulau Hitam tanpa bantuan titik-titik gambar yang tergambar pada dua potongan pedang bila disatukan?" Dua orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung sama-sama tak buka mulut. Sikap mereka tak menunjukkan rasa terkejut, khawatir atau marah diperlakukan seperti itu oleh Pendekar Slebor. Tetap tenang dengan wajah dan sorot mata yang menyiratkan kebijaksanaan tulus.
Dan serempak masing-masing orang menganggukkan kepala.
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri berkata, "Bagiku... tak jadi masalah. Karena semua untuk kedamaian di antara kita."
Yang di sebelah kanan menyusulkan kata, "Begitu pula denganku. Bila menuruti keadaan, aku sudah tak kuasa menahan diri. Tetapi, aku telah jenuh dengan segala pertikaian yang terjadi di antara sesama. Biarlah urusan ini kau yang menyelesaikannya, Anak Muda."
"Kalau kalian tidak tersinggung dan memang bersedia... tunggu sebentar!!" Mendadak saja Andika menggerakkan tangan kanannya ke atas. Tahu-tahu sebuah genting telah pecah dan menjadi delapan bagian. Yang enam buah dibiarkan jatuh ke lantai yang menimbulkan suara cukup keras, sementara yang dua lagi ditangkap dengan hanya pergunakan tangan kanannya saja.
Sebelum dia berkata, diselipkan potongan pedang yang terbalut kain putih ke balik pakaiannya, "Dan tentunya, bila kalian berhasil tiba di Pulau Hitam, sulit bagiku mengenali kalian! Maksudku, yang mana yang lebih dulu berada di sini, dan yang mana yang datang belakangan! Jadi, kalian kuhadiahkan tanda mata!" Dan dasar urakan, dia menyambung konyol, "Ingat Iho, dijual tidak laku! Tetapi kalau masih nekat mau menukarkan dengan sebungkus nasi uduk, ya terserah!" Kemudian dengan pergunakan jari telunjuknya, diukir dua pecahan genting itu dengan huruf 'PS'.
Yang satu diberi penekanan hingga agak menghitam.
"Nah! Sekali lagi maaf nih! Bukannya merasa ngetop makanya kuukir dua huruf awal dari julukanku! Tetapi ya... ini hanya sebagai tanda pengenal saja! Biar aku tidak semakin bingung bila berjumpa dengan kalian!" Dan mendadak saja Andika melempar dua pecahan genting itu sekaligus.
Wiiingg!! Wiiinggg!! Tap! Tap! Tanpa bergeser dari tempatnya, masing-masing orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung telah menyambar pecahan-pecahan genting yang telah terukir huruf PS".
"Ayo, anak-anak! Perlihatkan pada Bapak!!" Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri tersenyum geli melihat tingkah Pendekar Slebor.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala dia menunjukkan pecahan genting itu. Huruf 'PS' yang tertera tak begitu menghitam.
Sementara Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kanan mendapatkan pecahan genting bertuliskan huruf 'PS' yang agak menghitam.
"Sekarang... kalian sudah mendapatkan tanda masing-masing! Nah! Segera cabut deh menuju ke Pulau Hitam!! Ingat, waktunya hanya dua minggu!" Makin lebar senyuman geli Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri. Sementara Panembahan Agung yang mendapatkan pecahan genting bertuliskan huruf 'PS' agak menghitam, sudah melesat keluar. Gerakannya sangat cepat.
"Kek! Mengapa kau tak segera pergi?" usik Andika sambil perlihatkan cengirannya.
Panembahan Agung yang berdiri di hadapannya tersenyum.
"Aku akan pergi sekarang!" Lalu dengan langkah ringan dia segera keluar dari tempat itu. Diam-diam orang tua ini membatin, "Aku tahu siapa orang yang menyamar sebagai diriku.
Memang dia orangnya. Apa yang diceritakan pemuda dari Lembah Kutukan itu memang benar. Tetapi, aku ingin melihat kecerdikannya. Lagi pula... orang yang menyamar seperti diriku tak lakukan tindakan apa-apa. Entah apa yang direncanakannya."
Sepeninggal dua orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung, anak muda dari Lembah Kutukan ini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Busyet! Edan juga pikiranku! Bagaimana kalau keduanya berhasil mencapai Pulau Hitam sementara aku sendiri masih belum tahu di mana tempat itu" Monyet pitak! Kenapa aku tidak mikir-mikir dulu sih!!" Selagi Andika membatin gemas begitu, satu sosok tubuh berpakaian biru muda yang tak lain Winarsih alias Gadis Kayangan, berkelebat masuk dan langsung bertanya, "Bagaimana, Andika?" Andika yang sebenarnya bingung akan usulnya sendiri mengacungkan jempolnya, "Beres!"
"Apa yang kau lakukan?"
"Kuminta agar mereka menuju ke Pulau Hitam."
"Pulau Hitam" Oh! Bagaimana kalau keduanya tiba di Pulau Hitam sementara kau sendiri tidak tahu di mana pulau itu berada?" seru Gadis Kayangan.
"Itulah! Itulah yang kupikirkan!!"
"Huh! Dasar gemblung!!" Dimaki seperti itu anak muda ini cuma nyengir saja. Lalu katanya, "Kita harus mencari Sangga Rantek untuk mendapatkan potongan pedang satunya lagi."
Winarsih cuma mendengus.
"Berikan potongan pedang itu padaku!" Masih nyengir Andika memberikannya seraya berseloroh konyol, "Wah! Cantik-cantik kok cemberut"! Nanti tidak ada yang mau lagi!!"
"Biarin!!" seru Winarsih seraya berkelebat keluar dari tempat itu.
Andika mengangkat kedua bahunya. Bila saja dia tahu kalau hati gadis itu berbunga-bunga karena dibilang cantik, sudah pasti dia akan meledeknya terus menerus, "Huh! Urusan jadi panjang!" Lalu dia segera menyusul Winarsih.

*****

«¤:¤| [ 2 ] |¤:¤»

Setelah tiga kali penanakan nasi berlalu, dua sosok tubuh tiba di Pesanggrahan Bayu Api. Masing-masing orang segera berhenti berlari. Pandangan keduanya tertuju pada Pesanggrahan Bayu Api.
"Sangga Rantek...," berkata perempuan yang mengenakan jubah dan kerudung merah, "Sejak kita bertemu dengan manusia celaka bernama Kasma Matur yang akhirnya mampus kubunuh, tak kita jumpai bangunan lain kecuali bangunan yang ada di hadapan kita. Apakah kau berpikir kalau bangunan itulah yang disebut Pesanggrahan Bayu Api?" Lelaki setengah baya berpakaian serba hitam hanya mengangguk, tanpa palingkan kepalanya dari bangunan besar sejarak sepuluh tombak dari tempat mereka berdiri.
Setelah terdiam beberapa saat, barulah dia buka mulut, "Jelas kalau memang tempat itulah yang disebut Pesanggrahan Bayu Api.
Tempat tinggal Panembahan Agung, kakak seperguruan dari Pemimpin Agung."
"Apakah kau berpikir kalau Pendekar Slebor berada di Sana?" tanya si perempuan lagi.
"Kuharapkan demikian biar urusan cepat selesai."
Perempuan berjubah dan berkerudung merah yang rambutnya berwarna keemasan katupkan mulut. Tetapi diam-diam dia berkata dalam hati, "Bagus bila memang demikian adanya. Setelah kubunuh pemuda dari Lembah Kutukan itu dan kudapatkan potongan pedang padanya, akan kubunuh juga lelaki sialan ini. Dengan begitu secara tak langsung aku telah mendapatkan jejak menuju ke Pulau Hitam."
Si perempuan yang nampaknya memiliki niat busuk pada teman seperjalanannya ini tak lain adalah Iblis Rambut Emas, sementara lelaki yang di kedua pergelangan tangannya melingkar gelang-gelang duri adalah Sangga Rantek.
Saat ini Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu kalau sebuah potongan pedang yang bila disatukan dengan yang dimiliki oleh Gadis Kayangan akan tergambar titik-titik yang jelas menuju ke Pulau Hitam, ada pada Sangga Rantek. Setelah bertarung singkat dengan Pendekar Slebor yang saat itu menyelamatkan Gadis Kayangan dari maut, Iblis Rambut Emas memainkan peranannya dengan mengatakan kalau Pendekar Slebor telah membunuh kekasihnya, padahal selama ini, tak seorang lelaki pun yang berniat menjadi kekasih perempuan kejam itu.
Bahkan Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu, kalau Pemimpin Agung tewas di tangan Sangga Rantek. Sementara itu, Sangga Rantek yang merasa Iblis Rambut Emas tidak mengetahui apa yang telah dimiliki dan dilakukannya, merasa mendapatkan kesempatan untuk membunuh Pendekar Slebor.
Karena sebelumnya, dia pun telah merasakan kesaktian anak muda dari Lembah Kutukan itu.
Masing-masing orang pun berkeyakinan kalau Pendekar Slebor dan Winarsih menuju ke Pesanggrahan Bayu Api. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan Kasma Matur, salah seorang yang telah diberi upah oleh Dewa Lautan Timur untuk menjarah harta milik Panembahan Agung (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Pedang Buntung").
Sangga Rantek berkata, "Kita segera ke sana! Kepung tempat itu! Dan ingat... bukan hanya Pendekar Slebor yang akan kita hadapi! Tetapi juga Panembahan Agung!" Iblis Rambut Emas melirik lelaki berhidung bengkok dan bermata bergelambir itu, "Huh! Tak perlu aku bersusah payah mencari kedua manusia itu! Tujuanku adalah dua bilah potongan pedang.
Biar kunyuk ini yang mencarinya."
Habis membatin begitu, perempuan kejam berpakaian putih ini menganggukkan kepala.
"Kau ke sebelah kanan, aku ke sebelah kiri!" Lalu tanpa menunggu sahutan orang, Iblis Rambut Emas sudah berkelebat ke arah kiri Pesanggrahan Bayu Api. Sangga Rantek mendengus dulu sebelum bergerak ke arah kanan.
Apa yang dilakukan kemudian oleh Iblis Rambut Emas memang sangat menyakitkan bila diketahui Sangga Rantek, apalagi saat ini sebenarnya dia tengah diperalat. Karena begitu sosok Sangga Rantek tak nampak, dia justru bersembunyi di balik sebuah pohon.
"Hhh! Tak perlu bersusah payah. Kukhawatirkan kalau Pendekar Slebor telah mengetahui kedatangan kami. Lebih baik menunggu apa yang akan dilakukan oleh Sangga Rantek."
Sementara itu lelaki berpakaian serba hitam mulai menyelinap masuk ke dalam Pesanggrahan Bayu Api. Dia tak meninjau bagian kiri karena dipikirnya itu akan dilakukan oleh Iblis Rambut Emas. Setelah menjelajahi segenap tempat dengan kesiagaan penuh, Sangga Rantek akhirnya memutuskan kalau tempat itu tak berpenghuni.
"Aneh! Apakah berita tentang Panembahan Agung yang berdiam di Pesanggrahan Bayu Api hanya berita angin belaka" Tak ada tanda-tanda di mana dia berada! Juga tak ada tandatanda kalau Pendekar Slebor ataupun Winarsih berada di sini! Jahanam keparat! Berarti pengejaranku sia-sia belaka! Huh! Dengan hanya pergunakan sebuah potongan pedang, sangat sulit kulakukan untuk menuju ke Pulau Hitam! Tetapi... aku yakin, titik-titik yang tergambar pada dua potongan pedang, berawal dari pedang yang kupegang! Karena pedang ini adalah hulunya! Berarti... lebih baik kupergunakan kesempatan ini untuk mempelajarinya sejenak! Paling tidak, aku akan menuju ke Pulau Hitam!" Memutuskan demikian, di samping juga merasa Iblis Rambut Emas masih sibuk menjelajahi tempat di bagian kiri, Sangga Rantek segera keluar dari tempat itu.
Setelah meyakinkan diri kalau Iblis Rambut Emas tidak mengintai perbuatannya, di balik ranggasan semak belukar, dengan hati-hati Sangga Rantek mengeluarkan kain hitam pembungkus Pedang Buntung bagian hulu.
Hati-hati pula ditelusurinya titik-titik yang ada pada Pedang Buntung itu. Cukup lama dilakukan sebelum akhirnya dia menganguk-anggukkan kepala.
"Dari titik-titik yang jelas ini, nampaknya aku harus menuju ke arah barat. Tiba pada sebuah air terjun, aku harus mengarah sedikit ke barat daya.
Ada dua buah bukit yang menjadi patokan.
Sayang... hanya sampai di sana saja yang kuketahui. Tetapi paling tidak, aku sudah mendapatkan arah menuju ke Pulau Hitam."
Kembali lelaki berhidung bengkok ini membungkus kembali potongan pedang itu. Lalu diselipkannya ke pinggangnya. Setelah itu dia keluar lagi dari balik ranggasan semak menuju ke halaman depan Pesanggrahan Bayu Api.
Tak lama dia tiba, Iblis Rambut Emas pun muncul.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Gagal!"
"Begitu pula denganku!" sahut Iblis Rambut Emas.
"Jahanam keparat! Biar bagaimanapun juga, aku harus mendapatkan Pendekar Slebor! Pemuda celaka itu harus mampus di tanganku!!" Sangga Rantek yang tetap menyangka kalau tujuan yang dilakukan perempuan jelita bermata kejam ini untuk membunuh Pendekar Slebor segera berkata, "Sangat sulit menentukan di mana dia berada. Bahkan Panembahan Agung pun tak kuketahui berada di mana. Tetapi, aku akan tetap memburunya!!" Seperti orang kebingungan Iblis Rambut Emas ajukan tanya, "Lalu, apa yang akan kita lakukan?" Sangga Rantek menatap lekat-lekat perempuan di hadapannya sambil membatin.
"Perempuan keparat ini semakin membuatku yakin kalau dia memang tidak tahu tentang Pedang Buntung yang berada di tanganku! Bagus! Dengan kata lain, aku akan tetap dapat mempergunakan kepandaiannya! Tak ada salahnya bila dia kuajak mengikuti arah dari titik-titik yang tergambar pada Pedang Buntung ini! Toh dia tidak tahu ke mana arah yang akan kutuju!" Berpikir demikian, Sangga Rantek berkata, "Kita tetap berkeinginan membunuh Pendekar Slebor! Kalau begitu... kita coba melacak jejaknya!" Habis kata-katanya, Sangga Rantek segera berkelebat ke arah barat. Di lain pihak, Iblis Rambut Emas terdiam dengan kening berkerut.
"Aneh, nampaknya dia begitu yakin dengan arah yang ditujunya.
Padahal, bila memang Pendekar Slebor sebelumnya berada di tempat ini, belum tentu arah barat yang dituju. Kemungkinan lain... hmm... jangan-jangan... dia telah mempelajari titik-titik yang terdapat pada Pedang Buntung yang dimilikinya. Bagus! Aku akan berlaku bodoh dengan tidak mengetahui ke mana arah yang dituju! Luar biasa! Kau memang sangat cerdik, Iblis Rambut Emas!" Sambil tersenyum puas memuji kecerdikannya sendiri, perempuan berkerudung merah ini segera menyusul Sangga Rantek ke arah barat.

*****

Lelaki tinggi kurus berpakaian kuning-kuning itu hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya yang menjorok agak ke dalam menangkap dua kelebatan tubuh tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dia beruntung karena saat ini dirinya agak tertutup oleh ranggasan semak belukar setinggi dada. Sejenak lelaki ini tak berkedip memperhatikan sebelum mendesis kaget, "Gila! Apakah aku tak salah lihat" Bukankah kedua orang itu Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas" Luar biasa! Sejak kapan dua manusia celaka itu bersahabat"!" Sejenak lelaki berpakaian kuning-kuning yang tak lain Ki Pasu Suruan terdiam. Otaknya nampak berkerut memikirkan pemandangan yang dilihatnya.
Setahunya, kendati satu golongan, Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas bukanlah orang yang satu sama lain mempunyai hubungan baik. Kalaupun sekarang dilihatnya keduanya bersama-sama, tentunya sesuatu yang luar biasa.
"Iblis Rambut Emas memiliki hati busuk dan otak licik! Tak mustahil sebenarnya kalau dia sedang memperalat atau memainkan satu sandiwara sehingga Sangga Rantek mau berjalan bersamanya! Sementara Sangga Rantek, walau terkadang masih memiliki otak yang cemerlang, dia juga dapat bertindak tolol! Terutama bila ada orang yang memujinya! Dan tentunya ada sesuatu yang terjadi di antara mereka hingga masing-masing orang dapat berjalan bersama! Hmmm...
hendak ke mana kedua orang itu"!" Kembali salah seorang dari Dua Manusia Goa Se tan yang sedang menuju ke Pesanggrahan Bayu Api ini terdiam. Kejap berikutnya dia mendesis lagi, "Aku menjadi ragu untuk menuju ke Pesanggrahan Bayu Api. Dua orang yang kubunuh itu memang menunjukkan arah ini menuju ke Pesanggrahan Bayu Api. Huhh! Apakah aku harus mengikuti keduanya untuk mengetahui apa yang dia lakukan?" Lagi-lagi orang ini terdiam sebelum berkata dengan kedua tinju mengepal, "Huh!! Pendekar Slebor telah membunuh adik seperguruanku! Dialah orang yang memiliki dua potongan pedang yang selama bertahun-tahun hendak dimiliki oleh Guru! Bahkan Guru harus mengorbankan nyawanya di tangan Pemimpin Agung!! Tidak! Tak perlu aku mengikuti keduanya! Tujuanku tetap Pendekar Slebor!! Akan kucabik-cabik tubuh pemuda itu sebelum mampus kubunuh!" (Untuk mengetahui urusannya dengan Pendekar Slebor dan dua lelaki berpakaian hitam gombrang yang lak lain Dirgo Kantas dan Suronto Kakak yang dibunuhnya, baca: "Pedang Buntung").
Habis ucapannya, lelaki berpakaian kuningkuning ini segera berkelebat melanjutkan langkah.
Namun baru dua tombak dia bergerak, mendadak dihentikan kelebatannya.
Serta-merta diarahkan pandangannya pada bayangan hitam dan merah yang semakin menjauh.
"Ihhhh! Naluriku mengatakan kalau keduanya baru saja meninggalkan Pesanggrahan Bayu Api! Dan sepertinya tak mendapatkan hasil apa-apa! Jangan-jangan... masing-masing orang mempunyai niatan untuk mendapatkan potongan pedang" Oh! Sebaiknya kuikuti saja ke mana kedua orang itu pergi! Barangkali saja akan membawaku pada tujuan yang kuinginkan."
Memutuskan demikian, Ki Pasu Suruan segera hempos tubuh mengikuti perginya dua orang itu.

*****

«¤:¤| [ 3 ] |¤:¤»

Hari kembali lagi menjelmakan diri menjadi pagi.
lautan sinar surya begitu indah ditemani langit yang membiru cemerlang. Burungburung beterbangan kian kemari disertai kicaunnnya yang merdu.
Sebuah ranggasan semak menyeruak, menyusul munculnya sosok Pendekar Slebor dan Gadis Kayangan. Dan masing-masing orang perhatikan sekelilingnya yang sepi, yang dihiasi beberapa buah pohon besar serta ranggasan semak belukar. Sejarak lima puluh tombak ke muka, terlihat hamparan rumput yang indah.
Lalu terdengar suara Gadis Kayangan, "Andika! Rasanya tak mungkin kita segera menuju ke Pulau Hitam, karena kita tak memiliki titik-titik pertama yang terdapat pada Pedang Buntung yang berada di tangan Sangga Rantek!" Sejenak Andika melirik gadis di samping kirinya sebelum berkata, "Kau betul! Tetapi ya... aku sudah telanjur yakin sih dengan meminta dua Panembahan Agung itu untuk menuju ke Pulau Hitam. Jadi...
mau tak mau kita harus berusaha untuk mencapai Pulau Hitam."
Terdengar dengusan Gadis Kayangan. Lalu katanya, "Salahmu sendiri! Tetapi terpaksa kuakui kalau usulmu itu memang usul yang terbaik!" Kontan Andika palingkan kepala. Senyum konyolnya mengembang.
"Wah! Bagus deh kalau kau setuju dengan gagasan ku itu! Yah... maklumlah... otakku lagi encer. Tapi... kadang-kadang saja, kok."
Gadis Kayangan tak hiraukan si pemuda yang memuji dirinya sendiri. Dia teringat saat Andika berbisik mengatakan kalau dia harus menunggu di luar Pesanggrahan Bayu Api selagi anak muda itu menyelesaikan urusan dengan dua Panembahan Agung. Makanya dia berkata, "Andika... apakah kau tidak salah mengatakan, salah seorang dari Kakek Panembahan Agung adalah Dewa Lautan Timur?" Anak muda urakan itu menganggukkan kepala.
"Tidak! Aku tidak asal ngomong. Ingatkah kau apa yang diceritakan Panembahan Agung yang pertama kali berbicara dengan kita tentang masa lalunya" Dia mengatakan, tak seorang pun yang mengetahui masa lalunya itu. Bahkan gurumu sendiri tidak.
Hanya kita yang tahu karena dia telah menceritakannya. Akan tetapi... seseorang mengetahui persoalan itu."
"Dewa Lautan Timur maksudmu?"
"Tidak salah!" sahut Andika serius. Lalu nyengir.
"Tak kusangka kalau kau pandai juga ya?" Winarsih keluarkan dengusan keras.
"Brengsek!" makinya dalam hati. Lalu berkata, "Karena Dewa Lautan Timur adalah orang yang terlihat dalam urusan asmara masa lalu Panembahan Agung, jadi kau menduga salah seorang dari kedua orang itu adalah Dewa Lautan Timur?"
"Pintar lagi!" Winarsih lak menghiraukan godaan Andika. Dia ajukan tanya, "Tetapi... yang mana di antara mereka adalah Dewa Lautan Timur?"
"Itulah yang sulit! Soalnya, masing-masing orang tahu persis urusan masa lalu yang terjadi! Dewa Lautan Timur mencintai Laksmi Harum! Tetapi dia gagal mendapatkannya karena dulu dikenal sebagai pemuda berotak jahat! Panembahan Agung lebih beruntung lagi kendati sebelumnya dia mencoba menolak untuk memperistri Laksmi Harum! Nah! Hanya kedua orang itu saja yang tahu urusan masing-masing! Dugaanku, salah seorang dari mereka adalah Dewa Lautan Timur! Jangan tanyakan yang mana Panembahan Agung sesungguhnya dan yang mana Dewa Lautan Timur?"
"Bukankah kita tahu, kalau Dewa Lautan Timur masih memiliki dendam pada Panembahan Agung" Bahkan dia yang telah menyuruh tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang kau ceritakan, untuk menjarah harta milik Panembahan Agung" Kalau begitu... mengapa Panembahan Agung palsu itu tidak menyerang Panembahan Agung yang asli?"
"Itu tak bisa kutebak mengapa. Hanya saja...
kemungkinannya seperti ini. Panembahan Agung palsu atau yang kemungkinan besar adalah Dewa Lautan Timur, memang sengaja mencoba untuk mengacaukan pikiran di antara kita. Paling tidak, dia berharap kita akan bersimpati padanya sementara kita akan menyerang Panembahan Agung yang palsu. Lainnya aku tidak tahu."
"Bila memang demikian adanya, mengapa Dewa Lautan Timur datang paling akhir?"
"Hei!! Jadi kau menyangka Panembahan Agung yang asli yang pertama kali bicara dengan kita?" Gadis Kayangan meragu, lalu perlahan-lahan gelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu. Kau sendiri?"
"Wah! Kok tanya aku, sih" Aku sendiri bingung! Bila memang kau mengatakan Panembahan Agung yang asli adalah orang yang pertama bicara dengan kita, aku punya sedikit alasan untuk membantahnya. Karena, sebelumnya aku mengetahui kebiasaan Panembahan Agung dari tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang diberi upah oleh Dewa Lautan Timur untuk menjarah harta milik Panembahan Agung, kalau Panembahan Agung suka berjalan-jalan di padang rumput di belakang rumahnya setiap Kamis malam. Terus terang, semula aku tak ingat akan hal itu, karena tak kupikirkan akan muncul seorang Panembahan Agung lainnya."
Andika menarik napas dulu sebelum melanjutkan, "Kendati Panembahan Agung yang bercakap-cakap pertama dengan kita mengatakan alasan saat itu keadaannya kurang enak, aku tak bisa mempercayainya begitu saja. Dan bila memang Panembahan Agung yang datang belakangan adalah yang palsu tentunya dia memang telah menyelidiki kebiasaan Panembahan Agung yang asli. Tetapi, aku tak bisa memutuskan siapa yang palsu dan siapa yang asli."
"Lantas... bagaimana bila keduanya berhasil mencapai Pulau Hitam sementara kita tak akan pernah sampai ke sana?"
"Jangan bersikap meragu. Kita pasti akan sampai ke sana. Bukankah bila kita memiliki keyakinan, maka itu sudah menjadi modal utama dalam setiap langkah?"
"Huh! Bicaramu sok seperti seorang guru!" Andika nyengir sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu katanya, "Bila yang kau khawatirkan terjadi... kupikir antara Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur akan terjadi pertarungan yang sangat dahsyat di Pulau Hitam."
"Huh! Kau sendiri sih yang sok yakin!!"
"Habis... aku harus bagaimana lagi" Yang kukemukakan itu adalah gagasanku yang terbaik, Iho"!" Winarsih cemberut. Namun dalam hati diam-diam dikaguminya juga kecerdikan pemuda tampan berambut gondrong acak-acakan ini. Memang, yang terjadi itu begitu membingungkan. Tak terkecuali Pendekar Slebor yang berotak seencer bubur pun akan kebingungan (Yeee... kan ceritanya Pendekar Slebor memang lagi kebingungan").
Sesaat tak ada yang buka suara. Angin pagi berhembus sejuk. Kemudian terdengar suara anak muda konyol dari Lembah Kutukan ini, "Gadis Kayangan...."
"Namaku Winarsih!"
"Bodo, ah! Kau lebih pantas kusebut Gadis Kayangan!" sahut Andika cuwek. Lalu melanjutkan, "Bolehkah kulihat potongan pedang itu?"
"Kau sudah melihatnya saat Panembahan Agung yang berbicara pertama dengan kita membukanya."
"Maksudku... aku ingin melihat titik-titik gambar yang tergambar pada potongan pedang itu."
"Untuk apa?"
"Ya... barangkali saja akan membawa kita ke Pulau Hitam."
"Percuma! Karena awal perjalanan menuju ke Pulau Hitam, tergambar pada Pedang Buntung yang sekarang berada pada Sangga Rantek!"
"Tetapi kan... bisa kulihat dulu" Boleh, nggak" Boleh, nggak?" kata Andika dengan kata-kata yang terakhir diayunkan, Tertawa sendiri Winarsih melihat sikap konyol Pendekar Slebor. Lalu diserahkannya potongan pedang yang dibungkus kain putih itu.
Setelah menarik napas, perlahan-lahan Andika membukanya. Diperhatikan dengan seksama titiktitik gambar yang tertera pada potongan pedang itu.
Titik-titik jelas yang membujur ke atas. Sementara Winarsih sendiri ikut memperhatikan. Cukup lama kedua remaja itu mempelajari titiktitik gambar yang tertera pada potongan pedang yang dipegang Andika.
Lalu terdengar kata-kata Andika, "Memang sulit menduga secara rinci arah yang kita tuju karena kita tidak memiliki petunjuk pada potongan pedang satunya lagi. Tetapi menurutlku... titik-titik gambar di potongan pedang ini berada di arah selatan.
Bila kita telusuri ke belakang, nampaknya kita harus menemukan sebuah lembah yang cukup curam, entah lembah apa namanya. Ada dua ukiran pohon di sini. Dan kita harus masuk dari arah kiri. Berarti agak ke barat. Hmmm... tak bisa lagi kita tebak arah sebelumnya. Tetapi... yang pasti, kita harus datang dari arah barat lalu menuju ke arah selatan."
"Arah barat yang kita tempuh tentunya akan memberikan berbagai petunjuk, Andika. Dan sulit bagi kita menentukan arah bagian barat yang mana yang harus kita tuju. Maksudku, jalan yang benarbenar menuju ke Pulau Hitam."
"Kau betul."
"Berarti... kita tak bisa menelusuri arah barat untuk tiba di Pulau Hitam."
"Kau betul lagi."
"Dan yang paling pokok... kita akan tersesat sebelum menuju ke Pulau Hitam."
"Betul lagi."
"Apakah... kau ini! Kok sejak tadi betul-betul terus"!" pelotot Gadis Kayangan gemas, "Pikir dong yang benar?"
"Lho" Memang begitu adanya, kok. Apa yang kau kemukakan tidak salah."
"Lantas bagaimana?"
"Bukankah kita bisa mencoba, langsung mengarah ke selatan?" aju Andika tersenyum.
Gadis Kayangan mengerutkan keningnya.
"Maksudmu?"
"Dari arah yang tergambar di potongan pedang ini, Pulau Hitam berada di bagian selatan. Berarti...
kita coba langsung menuju ke selatan."
"Andika... bukankah arah selatan juga masih banyak yang harus kita pertimbangkan?" Sebelum Andika buka mulut, Gadis Kayangan sudah berseru, "Jangan bilang betul lagi!" Ngakak gede-gede anak muda urakan ini. Gadis Kayangan yang semula sudah gemas man tak mau tertawa juga. Diam-diam, dia merasakan ketentraman bersama pemuda konyol urakan ini.
Dan entah mengapa pula, kecemasan serta kebingungan yang melingkupinya selama ini, lamatlamat sirna. Sambil menikmati perasaan gembiranya, murid mendiang Pemimpin Agung ini bertanya, "Bagaimana dengan penjelasanmu?"
"Kita memang akan menuju ke selatan. Paling tidak, kita akan mendapatkan tanda dua buah pohon berdekatan sebelum menemukan lembah yang curam. Setelah itu...."
"Kita terus menuju ke selatan sampai bertemu tempat yang bernama Pulau Hitam."
"Pintar!"
"Kalau begitu... kita berangkat sekarang?" Andika membungkus kembali potongan pedang itu dengan kain putih. Lalu menyerahkannya lagi pada Gadis Kayangan.
"Kita isi perut dulu sebelum berangkat."
Habis kata-katanya, anak muda urakan ini segera berkelebat meninggalkan Gadis Kayangan. Perasaan tenang di hati gadis berkepang dua ini semakin menjadi-jadi. Dia tersenyum tatkala melihat bayangan hijau pemuda tampan itu menghilang dari pandangan. Lalu berhati-hati dia berjalan mendekati sebuah pohon rindang dan duduk bersandar di bawahnya.
Angin semilir membelai wajah jelitanya.
Dikenangnya lagi perjumpaannya dengan anak muda berpakaian hijau pupus itu. Dan disesalinya mengapa dia mencurigai anak muda itu sebelumnya.
Tetapi sekarang, perasaan tenteram kian menyelimuti hatinya. Paling tidak, dia sudah mengutarakan maafnya di depan Panembahan Agung. Ternyata dalam kesendirian yang cukup membingungkannya, masih ada orang lain yang akan mengisi hatinya. Bahkan mulai mengusapngusap relung hatinya yang terdalam, hingga perasaannya seperti berada di awang-awang.
"Aneh! Apakah ini pertanda aku jatuh cinta?" desisnya bingung dan senang.
Lalu dibayangkannya kembali wajah, sikap dan perbuatan Pendekar Slebor. Apalagi begitu teringat kekonyolan yang dilakukan anak muda itu di saat berkata-kata. Makin dibayangkan, makin terkembang senyuman di bibir gadis jelita berkepang dua itu.
Dan dia tak sadar tatkala seorang lelaki tua mengenakan pakaian kuning gombrang dengan sorban kuning menghiasi kepalanya yang lonjong, telah berdiri sejarak lima langkah dari hadapannya.
Pandangan lelaki tua bermata kelabu ini memandang tak berkedip pada gadis yang masih bersandar di bawah pohon.
Tahu-tahu dia keluarkan dengusan.
Melengak gadis jelita ini mendengar dengusan orang. Seketika dia angkat kepala dan kejap berikutnya kontan dia berdiri. Menyusul dia membentak, "Siapa kau"!"

*****

«¤:¤| [ 4 ] |¤:¤»

Orang bersorban kuning itu perlihatkan seringaiannya. Entah kenapa Gadis Kayangan merasa hatinya seperti diremas kuat. Rasa ngeri sedikit membalurinya melihat wajah yang tak ubahnya setan belaka.
Perlahan dan sambil tindih kengeriannya, gadis jelita berkepang dua ini menyingkir agak kiri. Bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya, sungguh berbahaya karena di belakangnya berdiri tegak sebatang pohon.
Kejap kemudian didengarnya suara lelaki tua itu, dingin dan menusuk, "Gadis Kayangan! Sebuah julukan yang patut kau sandang mengingat kecantikan wajah mu! Julukan itu akan kubiarkan melekat pada dirimu tanpa merusak segala keindahan yang ada padamu! Tetapi... kau harus menyerahkan potongan pedang kepadaku sebagai gantinya!!" Seketika lenyap rasa ngeri yang timbul begitu saja melihat wajah setan di hadapannya. Gadis yang memang agak panasan ini, langsung dapat menduga kalau lelaki tua bersorban kuning di hadapannya mempunyai maksud tidak baik.
Namun mendadak saja dia urungkan niat untuk keluarkan suara. Mulutnya mengatup rapat.
Pandangannya agak menyipit, tak berkedip. Ada sesuatu yang melintas di benaknya.
Sambil pandangi kakek tinggi kurus bersorban kuning di hadapannya, diam-diam gadis ini membatin, "Orang tua ini bersorban kuning. Apakah bukan dia orangnya yang diceritakan Andika" Atau yang dikenal dengan julukan Dewa Lautan Timur.
Oh! Kalau memang begini adanya, mungkinkah dia yang menyamar sebagai Panembahan Agung" Aku harus berhati-hati."
.
Di depan, orang yang memang tak lain Dewa Lautan Timur, orang yang mempunyai dendam setinggi langit pada Panembahan Agung, mendengus.
"Anak gadis! Terlalu sayang untuk merusak wajah jelitamu itu! Tetapi tak pernah kulontarkan perintah sebanyak dua kali! Berikan potongan pedang itu!!" Winarsih masih terdiam dengan pikiran berjalan, "Bila kuhadapi... sudah tentu aku tak akan menang.
Tetapi, aku juga tak mau menyerahkan potongan pedang ini padanya. Oh! Mengapa Andika lama sekali?" Tatkala dilihatnya Dewa Lautan Timur yang telah meradang hendak buka mulut, buru-buru Winarsih berkata, "Orang tua... kau salah menduga kalau mengatakan aku memiliki potongan pedang itu!" Bukannya gusar mendengar jawaban orang, Dewa Lautan Timur terbahak-bahak keras hingga kedua bahu kurusnya agak berguncang.
"Luar biasa! Baru kali ini ada yang berani berdusta di hadapanku! Anak gadis! Katakan sekali lagi! Kau seperti mengusapusap kedua telingaku ini!!" Wajah Winarsih agak memucat sekarang. Tetapi sudah telanjur basah, bila dia berdiam justru akan semakin memancing kemarahan lelaki di hadapannya ini. Berarti dia memang harus melanjutkan kebohongannya. Paling tidak, menunggu sampai Andika muncul.
"Mana mungkin aku berani berdusta di hadapan lelaki agung seperti kau ini! Bila aku berbuat demikian, berarti aku menggali lubang kuburku sendiri!" Tawa keras Dewa Lautan Timur mendadak terputus. Sepasang mata kelabunya seperti memancarkan cahaya yang lebih pekat saat memandang tak berkedip pada Winarsih.
"Katakan!!"
"Gila! Mengapa tadi kukatakan seperti itu" Ah, urusan jadi membuatku serba salah! Padahal saat ini seluruh rencana telah matang untuk menuju ke Pulau Hitam! Telah kusampaikan amanat Guru untuk menjumpai Panembahan Agung! Namun tanpa disangka, ada seorang lagi yang berlaku dan berwajah mirip dengan Panembahan Agung sehingga sulit dibedakan! Dan sekarang... aku harus berhadapan dengan lelaki tua keparat yang menurut Andika adalah orang yang menyamar sebagai Panembahan Agung! Brengsek betul!!" Habis membatin demikian, harga diri Winarsih yang sudah tersinggung terangkat naik. Tanpa hiraukan bahaya telah membentang di hadapannya, gadis ini berseru keras, "Apa yang akan kau lakukan bila aku tidak mau mengalakannya, hah"! Apa pula yang akan kau lakukan bila memang ternyata potongan pedang itu ada padaku"!"
"Berarti... kau akan menemui kematian!!" Kejap itu pula tangan kanan lelaki bersorban kuning sudah terangkat. Bersamaan tangan yang diangkat itu, mendadak saja menggebrak gelombang angin berkekuatan tinggi. Menyeret tanah saat menggempur ke arah Gadis Kayangan.
Kendati Winarsih sudah bersiaga penuh, namun dia dibuat terkejut pula. Karena gempuran gelombang angin itu sangat cepat. Terburu-buru dia membuang tubuh ke samping kanan. Blaaammm!! Pohon besar yang berdiri tegak di belakangnya, terhajar gelombang angin itu. Daun-daunnya seketika berguguran. Beberapa dahan dan ranting patah berhamburan. Menyusul pohon itu bergetar kuat, lalu tumbang menimbulkan suara menggemuruh. Di tempatnya, Winarsih terkesiap dengan dada naik turun.
"Gila! Gelombang angin itu seperti mempermainkan apa yang dihajarnya! Seperti lakukan sebuah siksaan sebelum memukul roboh! Aku harus berhati-hati!!" Di seberang, Dewa Lautan Timur putar tubuh menghadapi Winarsih kembali. Pandangannya menusuk tajam. Kedua tangannya mengepal kuat.
"Kau akan menyesali kekurangajaranmu ini, Anak Gadis!!" Menyusul kembali diangkat tangan kanannya ke atas. Lagi-lagi bersamaan tangannya diangkat, satu hamparan angin mengerikan melabrak. Disusul dengan hamparan angin lainnya.
"Ohhh!!" terdengar pekikan tertahan Gadis Kayangan. Dia mencoba untuk memapakinya. Namun begitu disadari kalau dia tak akan mampu papaki gelombang angin yang kedua, diputuskan untuk membuang tubuh kembali secara bergulingan. Blaaarr! Blaaarrr!!! Beruntung terdengar dua letupan keras menghantam dua bagian tanah yang berbeda. Dan langsung muncrat ke udara menghalangi pandangan. Tatkala semuanya luruh kembali, nampaklah dua buah lubang yang cukup besar serta keluarkan asap. Sementara itu, Winarsih yang telah kembali berdiri tanpa disadarinya tubuhnya bergetar. Wajah pucatnya dihiasi keringat dingin yang mengalir Kedua bola matanya mengerjap-ngerjap tak ubahnya seekor kelinci yang masuk perangkap seekor serigala.
"Celaka! Mengapa aku tadi sempat mengkhayal yang bukan-bukan hingga tak mengetahui kehadirannya" Bila saja aku...."
Terdengar bentakan Dewa Lautan Timur memutus kata batin si gadis, "Kau akan menyesali semua tindakanmu ini, Anak Gadis! Tetapi... masih kupertimbangkan untuk tidak mencabut nyawamu bila menyerahkan potongan pedang itu! Hanya saja, tanpa kau serahkan pun aku akan dapat merebutnya! Dan satu permainan yang menarik telah ada di benakku!!" Lalu dia terbahak-bahak.
Di depan, Winarsih yang agak terengah-engah terkejut. Dia sadar arti 'permainan' yang diucapkan Dewa Lautan Timur.
"Jahanam keparat! Tak akan pernah kubiarkan lelaki tua itu menjamah tubuhku!!" Habis memaki dalam hati, Winarsih membentak, "Kau terlalu banyak bermimpi! Mengapa tidak segera kau buktikan untuk mendapatkan potongan pedang itu" Tetapi sudah kukatakan, kau akan membawa kekecewaan yang dalam karena benda yang kau cari tidak berada padaku!!" Terbahak-bahak Dewa Lautan Timur. Lalu merandek dingin, "Kau hendak mengatakan kalau potongan pedang itu berada di tangan pemuda berjuluk Pendekar Slebor" Ha ha ha... sangat menyenangkan sekali permainan yang kau berikan! Anak gadis... sejak tadi aku sudah melihat kalian berdua di sini! Dan pemuda itu telah menyerahkan kembali potongan pedang ke tanganmu, bukan" Atau... kau masih mau mungkir lagi?"
"Oh!" terkesiap Winarsih hingga tanpa sadar dia surut satu tindak ke belakang.
"Gila! Jadi sejak aku masih bersama Andika di sini, dia sudah mengintip" Jahanam keparat!"
"Mengapa kau membisu seribu bahasa"! Beruntung nasib Pendekar Slebor karena dia memutuskan untuk mencari makanan! Padahal, aku sudah siap untuk menghancurkan kalian berdua! Anak gadis... tentunya kau tak menyangsikan kepandaian anak muda dari Lembah Kutukan itu, bukan" Dan aku yakin, kalau anak muda itu sebenarnya telah tahu kedatanganku! Karena takut menghadapiku, dia sengaja memberikan kembali potongan pedang kepadamu! Bahkan berlagak untuk mencari pengisi perut! Padahal... dia mencoba menghindarkan kematian yang aku turunkan! Sayang sekali! Kau berwajah cantik tetapi mudah dipermainkan orang seperti itu!"
"Tidak! Tak mungkin Andika melakukan hal itu! Jelas kalau dia memang tidak tahu menahu kehadiran manusia sesat ini!" yakin Winarsih dalam hati.
Dewa Lautan Timur yang sengaja mengacaukan perasaan si gadis berkata lagi, "Dan herannya, kau masih menunggu serta berharap kehadirannya" Bodoh! Sungguh bodoh! Lebih baik kau tinggalkan pemuda seperti itu! Kita bersama-sama menuju ke Pulau Hitam dan memecahkan segala rahasia yang ada di sana!!"
"Terkutuk! Tutup mulutmu!!" geram gadis berkepang dua ini dan langsung mendorong kedua tangannya ke depan. Dia tak mau lagi mendengar kata-kata berbisa Dewa Lautan Timur. Jurus 'Matahari Tebar Sinar' telah dilepaskannya. Serta-merta udara di sekitar sana berubah menjadi panas.
Namun lelaki berkepala lonjong itu hanya terbahak-bahak saja. Tanpa menggeser kedudukannya, dia hanya mengangkat tangan kanannya saja. Blaaammm!! Gelombang angin panas yang dilepaskan Winarsih langsung pecah bermuncratan terhantam gelombang angin yang keluar dari gerakan tangan kanan Dewa Lautan Timur. Bahkan disusul dengan gemuruh angin laksana topan menghantam pesisir.
"Heiiii!!" Memucat wajah Winarsih. Selain mendapati serangannya terhantam putus, dia juga terkejut melihat gebrakan berikutnya yang dilakukan Dewa Lautan Timur. Sebisanya dia membuang tubuh. Sementara tanah di mana si gadis berdiri tadi, langsung membentuk sebuah lubang sedalam satu tombak dan keluarkan asap begitu terhantam gelombang angin pukulan Dewa Lautan Timur, yang sejak tadi lancarkan atau memapaki serangan Winarsih tetapi tak bergeser dari tempatnya.
Sejarak sepuluh langkah di muka, Gadis Kayangan berdiri sempoyongan seraya membatin resah, "Tak mungkin aku menghadapinya... tak mungkin aku menjauhinya.... Oh! Mengapa Andika belum muncul juga" Jangan-jangan... yang dikatakan lelaki tua celaka itu benar adanya" Dia memang sengaja... tidak! Tidak mungkin Andika melakukan tindakan keji seperti itu! Dia memang tidak tahu kalau Dewa Lautan Timur akan muncul! Tetapi... mengapa sampai saat ini dia belum hadir juga" Tak mungkin dia belum mendapatkan makanan sebagai pengisi perut...."
Sementara itu Dewa Lautan Timur tersenyum aneh.
"Hmmm... bila aku berhasil mengacaukan perasaan gadis ini, semuanya akan berhasil. Menilik sampai sekarang Pendekar Slebor belum muncul juga, sudah tentu nenek celaka itu berhasil menghadangnya. Mudah-mudahan dia dapat membunuhnya...," katanya dalam hati. Lalu menyambung, "Untuk apa kau harapkan kedatangan Pendekar Slebor" Lebih baik ikut denganku! Kita bunuh Panembahan Agung bersama-sama!" Teringat akan Panembahan Agung, Gadis Kayangan berseru, "Manusia terkutuk! Beraniberaninya kau menyamar sebagai kakekku!!" Mendengar ucapan si gadis, nampak Dewa Lautan Timur melengak kaget. Seketika keningnya nampak berkerut.
"Menyamar sebagai Panembahan Agung" Huh! Pantang bagiku untuk melakukannya! Manusia keparat itu akan mampus di tanganku! Dia beruntung ketika tadi aku tiba di Pesanggrahan Bayu Api, manusia itu tak ada di sana! Tetapi...
justru nasibku yang beruntung karena melihat kau dan Pendekar Slebor berada di sini! Dan aku yakin...
bila saja aku mau lebih bersabar menunggu, akan terjadi pemandangan asyik masyuk di hadapanku!!" Winarsih terdiam dengan napas turun naik. Dia membatin, "Aneh! Mendengar ucapannya, jelas dia memang baru berada di sini.
Kalau begitu... apakah yang dipikirkan Andika salah" Kalau bukan manusia ini yang menyamar sebagai Panembahan Agung" Tetapi alasan yang diberikan Andika dapat diterima dan masuk akal. Huh! Tidak! Dia hanya mencoba untuk mengacaukan keadaan! Lebih baik bertarung sampai darah penghabisan ketimbang menyerah begitu saja!" Memutuskan demikian dan himpun segenap kekuatannya, mendadak saja Gadis Kayangan melesat ke depan seraya keluarkan jurus 'Matahari Tebar Sinar'.
Namun seperti tadi, Dewa Lautan Timur hanya mengangkat tangan kanannya saja. Begitu serangan Gadis Kayangan putus di tengah jalan, tangan kirinya langsung diangkat.
Memekik tertahan gadis berbaju biru muda ini.
Tak mungkin dia dapat memapaki serangan itu, juga untuk menghindarinya. Maka tanpa ampun lagi, dadanya telak terhantam gelombang angin yang dilepaskan Dewa Lautan Timur.
"Aaaakhhhh!!" Kontan gadis ini terseret dua tombak ke belakang.
Begitu ambruk di atas tanah, dia langsung jatuh pingsan. Terbahak-bahak Dewa Lautan Timur melihatnya.
"Semuanya akan berhasil seperti yang kurencanakan...."
Lalu dengan langkah perlahan, dihampirinya sosok gadis jelita yang pingsan itu. Sejenak dipandanginya sekujur tubuh Gadis Kayangan.
Saat itu pula sepasang matanya berbinar-binar penuh kilatan birahi. Sambil menjilat bibirnya sendiri, lelaki tua berkepala lonjong ini meraba sekujur tubuh Winarsih. Lalu dimasukkan tangan kanannya di bagian pinggang sebelah kiri si gadis.
Diambilnya potongan pedang yang dibungkus kain putih. Dibukanya sejenak untuk melihat isinya sebelum dimasukkan ke balik pinggangnya sendiri.
Kembali diperhatikan sekujur tubuh gadis jelita ini.
"Hmmm... Pendekar Slebor belum muncul juga.
Berarti nenek itu memang berhasil. Bagus... akan kulewati waktu untuk menikmati kehangatan tubuh gadis ini...."
Sambil menyeringai lebar, tangan kurus Dewa Lautan Timur bersiap untuk membuka pakaian Winarsih satu persatu. Namun baru saja tangan itu bergerak, mendadak saja dirasakan satu hamparan angin dingin menggebrak dari arah kanan.
"Heiii!!" mendongak Dewa Lautan Timur seraya melompat ke belakang.
Belum lagi disadarinya apa yang terjadi, mendadak saja satu sosok tubuh berpakaian hitam compang-camping telah berkelebat dan menyambar sosok Winarsih.
Keterkejutan Dewa Lautan Timur cuma sesaat.
Karena di saat lain dia sudah mendorong tangan kanannya disertai makian, "Berhenttiiii!!" Wuuuttt! Namun bayangan hitam compang-camping itu, hanya menggerakkan tangan kirinya ke belakang.
Wuss!! Blaaammm!! Kalau tadi gelombang angin yang dilepaskannya tak bisa dipatahkan Winarsih, kali ini serangannya dapat diputuskan oleh si bayangan hitam. Bahkan mendadak saja terlihat Dewa Lautan Timur melompat ke samping kanan. Menyusul terdengar suara letupan yang menghantam tanah di mana tadi dia berpijak. Sementara itu, si bayangan hitam telah lenyap dari pandangan.
"Jahanam terkutuk!" maki kakek bersorban kuning ini geram. Kedua tangannya dikepal erat-erat dengan tubuh bergetar tanda kemarahan menjalari seluruh aliran darahnya.
"Siapa orang itu" Wajahnya sulit sekali kulihat! Gerakannya laksana dedemit belaka! Keparat sial!" Lalu dihentakkan kaki kanannya ke tanah untuk lampiaskan kesalnya. Kontan tanah itu langsung amblas hingga ke dengkul. Saat ditarik kembali, tanah itu membuyar ke udara dan segera terbentuk lubang yang cukup lebar.
"Setan alas! Ada manusia yang berani lancang bermain-main denganku! Huh! Untuk saat ini, kulupakan siapa dia! Urusanku tetap dengan Panembahan Agung! Dengan potongan pedang ini, akan kucapai Pulau Hitam! Ingin kuketahui ada rahasia apa di pulau itu!" Mendadak kepalanya diarahkan ke kiri dari mana dia datang tadi.
"Kupikir... tak perlu lagi kutunggu nenek celaka itu! Biarlah dia berurusan dengan Pendekar Slebor! Mampus pun aku tak peduli!" Habis kata-katanya, dibukanya kain putih pembungkus potongan pedang. Diperhatikan dengan seksama, sampai kemudian terlihat kepalanya mengangguk-angguk.
"Hmmm... ke arah barat! Tetapi sebaiknya, kubunuh Sangga Rantek yang memiliki Pedang Buntung, yang merupakan hulu dari potongan pedang yang sekarang berada di tanganku ini!" desisnya sambil membungkus dan memasukkan kembali benda itu.
Kejap kemudian, dia sudah berkelebat ke arah barat.

*****

«¤:¤| [ 5 ] |¤:¤»

Sebenarnya apa yang alami Pendekar Slebor sehingga dia belum kembali juga ke tempat Gadis Kayangan" Setelah meninggalkan Gadis Kayangan untuk mencari makanan pengisi perut, anak muda urakan ini gagal menemukan pohon yang buahnya dapat dimakan. Yang tumbuh di tempat itu, ratarata pohon trembesi.
"Busyet! Kenapa tidak ada pohon buahnya" Apa dulu tidak ada orang yang iseng sehabis memakan buah bijinya dibuang sembarangan dan akhirnya tumbuh" Monyet Udik!!" Selagi Andika memaki-maki sendiri sambil garukgaruk kepalanya yang tidak gatal, dilihatnya dua ekor kelinci bergerak cepat dari satu gerumbulan semak ke semak yang lainnya. Berbinar Andika dengan senyuman mengembang, Segera saja anak muda ini mengejar kelinci-kelinci itu, Namun rupanya kelinci-kelinci itu paham kalau mereka sedang diburu, Mereka langsung masuk ke dalam lubang yang tak diketahui di mana tempatnya, Tinggal Andika yang cuma nyengir bercampur gemas, "Busyet! Aku dipermainkan kelinci! Awas! Kalau kutangkap, akan kupanggang kalian!! Tapi... he he he... seharusnya kalian mengerti dong, aku kan lagi lapar nih! Bukannya bermaksud menghentikan umur kalian, tapi kan aku lapar! Ayo dong...
keluar... keluar...."
(Ealah, Bor, Bor, kok kagak tau malu sih") Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya, mencoba mencari buruan lain. Tetapi sejauh itu, jangan kelinci-kelinci tadi yang tak juga keluar, burung-burung yang biasanya banyak beterbangan pun seolah tak diketahui di mana mereka saat ini.
"Monyet pitak! Kalau begini caranya, bakalan keroncongan nih!!" sungutnya agak jengkel. Tatkala disadarinya kalau dia cukup lama telah meninggalkan Gadis Kayangan, Andika memutuskan untuk menemuinya kembali. Dia berharap agar gadis itu belum membayangkan makanan enak yang akan mengisi perutnya.
Baru saja dia berbalik, mendadak saja kepalanya menegak. Di hadapannya telah berdiri seorang perempuan tua berusia sekitar enam puluh tahun.
Wajah perempuan itu bulat telur dan dihiasi rangkaian kulit keriput. Rambutnya panjang tak beraturan, Mengenakan pakaian batik kusam, Di tangannya terdapat cambuk berlidah tiga, "Eh, busyet! Dari mana munculnya perempuan tua ini" Iih! Tampangnya kok seram amat?" desis Andika dalam hati.
Di depan, si nenek buka mulut dengan pandangan tak berkedip, suaranya nyaring dan tak enak didengar, "Hhh! Jadi kau rupanya pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor! Kupikir, sekali melihatmu saja orang akan ngeri! Tidak tahunya, kau hanya sebangsa keroco belaka!" Mendengar ucapan orang, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini cuma mengangkat sepasang alis hitam legamnya. Tukikan sepasang alis laksana kepakan sayap elang itu, semakin menukik tajam saat di gerakkannya.
Terdengar lagi suara si nenek, "Begitu bodoh kalau kakek celaka itu menyuruhku menghadapi pemuda seperti kau ini! Padahal, anak yang baru bisa buang ingus dapat mengalahkanmu hanya dalam tiga jurus!!"
"Ah, masa?" sahut Andika sambil tersenyum dan diam-diam membatin, "Datangnya perempuan ini tak kuketahui sama sekali. Bertanda kalau dia memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi.
Dari ucapannya, jelas kalau dia memiliki maksud tidak baik. Hmmm... siapa dia sebenarnya?" Si nenek maju dua tindak ke muka. Tangan kanannya yang memegang cambuk berlidah tiga, menuding ke muka, "Berlutut di hadapanku, maka yang kuminta hanya kedua tanganmu!!"
"Nah, nah! Berlutut saja kau masih menginginkan kedua tanganku! Kalau aku masih berdiri... kau menginginkan apa?" Mengkelap wajah si nenek mendengar selorohan Pendekar Slebor. Bibir peotnya berkomat-kamit tanpa keluarkan suara. Kejap kemudian, baru dia membentak, "Terlalu banyak omong! Kau tak akan dapat kembali pada temanmu yang berjuluk Gadis Kayangan!" Terkesiap Andika mendengar ucapan orang.
Tetapi hanya sebentar karena kemudian dia sudah tersenyum-senyum. Kendati demikian, dia berkata cemas dalam hati, "Mendengar ucapannya, jelas sekali kalau nenek ini mengetahui aku bersama Gadis Kayangan. Bisa jadi kalau dia sebelumnya memang membuntutiku. Tetapi, mengapa justru aku yang dikejar" Mengapa dia tidak muncul di saat aku masih bersama dengan Gadis Kayangan" Dan lagi...
jangan-jangan... ada sesuatu yang telah terjadi pada Gadis Kayangan?" Berpikir demikian pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini berkata, "Wah! Kau kok bisa tahu semuanya. Nek" Apakah kau seorang peramal" Kalau memang iya, tolong dong ramalin aku, nih" Umur berapa aku akan kawin"!" Si nenek mendengus gusar. Tetapi sejurus kemudian mulutnya pentangkan senyum aneh.
"Kakek celaka itu tentunya sudah menikmati tubuh si gadis sekarang! Benar-benar busuk! Dia menyuruhku untuk membunuh pemuda ini sementara dia asyik bersenang-senang! Huh! Bila aku tidak mencintainya, tak akan mau aku diperintah seperti ini! Seharusnya, dia langsung mencari dan membunuh Panembahan Agung! Tetapi justru banyak...."
Memutus kata batinnya sendiri, si nenek sudah keluarkan bentakan, "Tak ada waktu lagi untuk saling buka diri! Bersiaplah untuk mampus!!"
"Eit, eit! Tunggu dulu, ah! Aku kan belum tahu namamu! Sebutkan dong!!" Di seberang bibir keriput si nenek membentuk seringaian. Wajahnya bertambah mengerikan. Dia berpikir, pemuda berbaju hijau pupus bertanya seperti itu, karena jeri menghadapinya. Karena diingatnya betul, didaerah utara siapa pun yang mendengar julukannya, langsung berpikir sepuluh kali untuk menghadapinya. Lalu dengan suara pongah dia berucap, "Kenang aku dengan julukan Setan Cambuk Api!"
"Nah! Begitu, dong! Kan aku bisa mengukir nama mu di batu nisanmu!!" Belum habis ucapan Andika terdengar, si nenek yang mengaku berjuluk Setan Cambuk Api ini sudah menerjang ganas diiringi teriakan keras.
"Kucabik-cabik tubuhmu!!" Cltaaarr!! Cambuk berlidah tiganya langsung keluarkan suara yang mengerikan begitu digerakkan. Menyusul keluar tiga lesatan angin laksana anak panah.
Di tempatnya, sejenak Pendekar Slebor melengak dan kejap itu pula dia melompat ke samping kanan.
Saat kembali berdiri tegak, dilihatnya tanah yang tadi dipijaknya telah bergaris tiga buah sedalam satu jengkal. Sementara itu, pada pohon trembesi yang ada di belakangnya, segera terbentuk tiga buah bolongan sebesar ibu jari! Melengak anak muda urakan ini sambil gelenggeleng kepala. Lalu diarahkan pandangannya pada Setan Cambuk Api yang tengah menyeringai.
"Jadi benaran nih kau mau membunuhku. Nek" Bilang dong kalau mau membunuhku! Kan aku tadi tidak perlu menghindar! Kau juga sih yang salah tidak bilang-bilang!" Putus senyuman di bibir Setan Cambuk Api.
Tubuh nya yang agak membungkuk mendadak terlihat menegak.
"Pemuda keparat! Kusesali hidupku selama ini bila tak dapat membunuhmu!!" Kembali digerakkannya cambuk berlidah tiga dengan kerahkan setengah tenaga dalamnya.
Cltaaarrr!! Suara yang terdengar begitu mengerikan sekali, disusul dengan lesatan tiga angin laksana anak panah saat cambuk itu digerakkan.
"Ah, Nek! Jangan begitu yakin! Kau sepertinya bersumpah tuh! Dan kau akan menyesali hidupmu selama ini!" sahut Andika sambil membuang tubuh.
Dia memang belum mau lakukan serangan balasan.
Ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut siapakah Setan Cambuk Api. Di samping itu, dia juga hendak mengukur kepandaian yang dimiliki si nenek. Tetapi yang mengejutkan, kalau tadi dia dapat menghindar dengan mudah, kali ini dia justru seperti monyet kebakar ekornya. Karena lidah-lidah cambuk si nenek tidak bergerak secara bersamaan seperti yang pertama.
Kali ini, lidah cambuk di bagian tengah melesat lebih dulu siap bantam kepala Andika. Dan begitu si anak muda bergerak ke kanan, lidah cambuk bagian kanan sudah mencecar ke arahnya.
Cltaaarr!! "Lho, lho" Kok begini nih"!" dengusnya dan dengan pencalan satu kaki dia melompat ke belakang. Bersamaan dengan itu, Setan Cambuk Api kembali menggerakkan cambuknya disertai ucapan, "Tubuhmu akan tercabik-cabik, Pendekar Slebor!!" Dasar konyol, anak muda itu masih sempat berucap, "Ah, masa"! Yang benar" Kan jadi malu kalau ternyata tidak jadi tercabik-cabik!" Ucapannya itu semakin membuat Setan Cambuk Api bertambah bernafsu. Beruntun perempuan tua ini menggerakkan cambuknya. Hingga saat itu pula banyak ranggasan semak yang terpapas dan beterbangan, disusul muncratnya tanah ke udara.
Bahkan lima buah pohon sudah bolong tiga buah terkena sambaran angin laksana lesatan anak panah. Tidak hanya sampai di sana saja yang dilakukannya. Karena mendadak saja si nenek angkat tangan kanannya yang memegang cambuk.
Kejap kemudian diputar-putarnya ke udara, hingga saat itu pula terdengar suara 'cltar' berulangkali.
Keras dan memekakkan telinga.
Andika sendiri harus berhati-hati dan menghindar kesana kemari karena lesatan angin laksana anak panah berulangkali terjadi.
Menyusul sesuatu yang membuat sepasang mata anak muda urakan ini membuka lebih lebar. Karena perlahan-lahan dilihatnya kobaran api pada tiga lidah cambuk yang dipegang si nenek.
Melihat perubahan wajah Pendekar Slebor, Setan Cambuk Api terkikik dengan senyuman aneh.
"Sekarang... ajal sudah ada di depan matamu, Pendekar Slebor"!" Lagi-lagi Pendekar Slebor menyahut konyol, "Ah, masa"!" (Busyet! Senang banget lo Bor, bilang begituan! Lagi mode kali ya").
Tak mau membuang waktu lagi, Setan Cambuk Api sudah menggebrak ke depan seraya kibaskan cambuk berlidah tiganya. Saat itu pula melesat tiga buah api sebesar kepalan orang dewasa ke arah Pendekar Slebor.
Siingg! Siiingg! Siiinnngg!!! Kalau tadi Pendekar Slebor hanya menghindar, kali ini dia langsung menerjang ke depan. Tenaga 'Inti Petir' tingkat ke sembilan telah dipergunakan.
Saat digerakkan kedua tangannya guna papaki tiga bungkahan api, terdengar salakan petir yang cukup keras.
Pyaar!! Pyaarr! Pyaarr!! Kontan tiga bungkahan api sebesar kepalan tangan itu punah. Namun itu bukanlah akhir dari gebrakan yang dilakukan Setan Cambuk Api. Karena lidah-lidah cambuknya telah mengancam Pendekar Slebor. Terkesiap anak muda ini sambil buang tubuh ke belakang. Cltaarr!! Citaarr! Cltaarr!! Tiga kali suara keras itu terdengar dan terlihat tanah kembali membentuk garis lurus sedalam pergelangan tangan.
Mendapati gebrakan yang dilakukannya gagal, Setan Cambuk Api bertambah beringas. Kali ini dia langsung gerakkan cambuknya lebih cepat. Kejap itu pula beruntun menderu bongkahan-bongkahan api sebesar kepalan tangan.
Menghadapi hujan bola-bola api itu, mau tak mau Andika kewalahan juga. Pukulan yang mengandung tenaga 'Inti Petir' pun harus ditambah kecepatannya.
Bahkan tatkala dipergunakan ilmu peringan tubuhnya, dia juga harus dibuat tunggang langgang.
"Kutu monyet!!" maki anak muda ini melihat si nenek terkikik-kikik dan menggerakkan cambuknya laksana anak kecil bermain yoyo.
"Ternyata kau tak memiliki kemampuan yang berarti!!" Eh, lagi-lagi dia nyahut, "Ah, masa?" Keberingasan Setan Cambuk Api semakin menjadi-jadi. Sementara di tempat itu, api-api yang gagal ditahan oleh Andika, telah membakari ranggasan semak belukar dan rerumputan. Hingga udara di sekitar tempat itu kontan memanas dengan asap mcngepul yang dapat halangi pandangan.
"Monyet burik! Kalau begini keadaannya, bisa mampus juga nih! Sia-ul betul!!" Sambil menambah kecepatannya untuk hindari hujan bola-bola api dan sambaran cambuk berlidah tiga, Andika sudah menyambar kain bercorak catur yang melilit manja di lehernya.
Begitu dikibaskan, kontan menderu gelombang angin dahsyat diiringi suara dengungan laksana ribuan lebah yang menyerang sebuah desa.
Kontan bola-bola api yang keluar dari ujungujung lidah cambuk si nenek, putus di tengah jalan.
Bahkan terlontar ke belakang sebelum akhirnya padam. Bersamaan dengan itu, Pendekar Slebor mengibas-kan kembali kain bercorak catur. Kali ini bukan ke arah Setan Cambuk Api. Melainkan ke belakang. Seketika api-api yang telah membakari sekitar tempat itu padam. Bahkan ranggasan semak dan tanah tercabut dan beterbangan. Menyusul dua buah pohon langsung tumbang terkena sambaran gelombang angin dahsyat yang keluar dari kain bercorak catur.
Di lain pihak si nenek sendiri harus terhuyung tiga tindak tatkala tersambar gelombang angin raksasa yang keluar dari kain bercorak catur.
"Nek! Sebenarnya aku tak ingin lakukan tindakan seperti ini! Tetapi kau terlalu memaksa!!"
"Tutup mulutmu!!" bentak Setan Cambuk Api.
Dan tanpa pedulikan betapa mengerikannya gelombang angin yang keluar dari kain bercorak catur yang dipegang Pendekar Slebor, dia sudah melesat ke depan seraya gerakkan cambuk berlidah tiganya berulang kali.
Melihat tindakan si nenek yang bertambah beringas, Andika cuma menggeleng-geleng.
"Keras kepala betul nih nenek!! Huh! Urusan nenek ini memang tidak terlalu merepotkan! Tetapi aku ingin tahu mengapa dia menyerangku" Dan aku yakin, kalau dia diperintah seseorang melakukan tindakan ini! Lagi pula... oh! Aku harus melihat keadaan Gadis Kayangan!" Berpikir demikian, serentak pemuda berambut gondrong acak-acakan ini melompat ke depan seraya mengibaskan kain bercorak catur. Kontan puluhan bola-bola api yang keluar dari cambuk si nenek dilahap padam oleh gelombang angin kain bercorak catur. Andika yang memang ingin melihat keadaan Gadis Kayangan, langsung melompat ke depan begitu dilihatnya Setan Cambuk Api terhuyung ke belakang.
Tangan kirinya digerakkan. Deess!! Jotosannya telak bersarang di dada Setan Cambuk Api. Kalau sebelumnya perempuan tua itu hanya terhuyung, kali ini tubuhnya langsung tersuruk ke belakang dan baru berhenti setelah menabrak sebuah pohon.
Bila saja pendekar kita ini mau bertindak telengas, sudah tentu dengan mudah dia akan mengirim nyawa si nenek ke neraka. Tetapi, pemuda kita ini berhati mulia kendati sifat konyolnya nggak ketulungan lagi.
Dia cuma berseru sebelum berkelebat kembali menemui Gadis Kayangan di tempat semula, "Nek! Lain kali kita ketemu lagi ya" Siapa tahu wajahmu sudah mulus!!" Setan Cambuk Api menggeram setinggi langit. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi langsung tersuruk kembali ke belakang dengan dada terasa sakit.
"Jahanam keparat!! Tak kusangka kalau Pendekar Slebor memiliki kesaktian yang begitu tinggi! Tadi kupikir, dia hanyalah sebangsa keroco belaka! Huuh! Mau-maunya aku diperintah kakekcelaka itu untuk menghadapinya, sementara dia sendiri tentunya sedang asyik menggarap Gadis Kayangan!!" Habis memaki-maki geram seperti itu, dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, Setan Cambuk Api rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Dua kejap kemudian, tempat itu sudah dilanda sepi.

*****

«¤:¤| [ 6 ] |¤:¤»

Di tempat semula, rasa khawatir Andika semakin menjadi-jadi tatkala dari jarak lima tombak melihat tempat itu telah porak poranda. Ditambah kecepatannya berlari. Dan semakin dekat, hatinya semakin tak menentu.
Saat hentikan larinya di dekat sebuah lubang yang masih keluarkan asap, hanya sekali lihat saja pemuda tampan ini tahu kalau Gadis Kayangan sudah tak berada di tempatnya.
"Oh! Apa yang terjadi" Di mana Gadis Kayangan sekarang?" desisnya dengan hati tak menentu. Lalu perlahan-lahan dia melangkah mengitari tempat itu.
"Ah, tentunya telah terjadi satu pertarungan yang sengit. Melihat keadaan tak menentu ini, nampaknya Gadis Kayangan tak berdaya! Monyet gundul! Aku yakin kehadiran Setan Cambuk Api memang hanya sengaja untuk menahanku, sementara orang yang entah siapa, telah mendapatkan Gadis Kayangan! Celaka! Apa yang dialami oleh gadis itu sekarang?" Kembali Pendekar Slebor terdiam sambil memperkirakan siapa gerangan orang yang telah muncul di hadapan Gadis Kayangan. Lalu nampak kepalanya digeleng-gelengkan pertanda dia tak dapat menduga lebih jauh.
"Ah... tak akan pernah kumaafkan diriku bila terjadi sesuatu padanya. Paling tidak, hidupnya saat ini adalah tanggung jawabku. Cacing pita! Masih banyak urusan-urusan lain. Dan sekarang, gadis itu telah bilang!!" Terdiam Pendekar Slebor dengan perasaan kian tak menentu. Tetapi menyesali semua yang terjadi, bukanlah satu jalan keluar.
Mencoba mengubah apa yang telah terjadi ke arah yang lebih baik, itulah yang harus dilakukan.
"Urusan dua Panembahan Agung harus ku selesaikan. Pulau Hitam harus kudapatkan. Mudahmudahan Gadis Kayangan tak mengalami satu masalah apa pun. Sebaiknya, kucoba menuju ke Pulau Hitam. Untung masih kuingat titik-titik yang tergambar pada potongan pedang di tangan Gadis Kayangan. Potongan pedang" Oh! Jangan-jangan...
orang yang datang berkeinginan mendapatkan potongan pedang itu. Sangga Rantek-kah orangnya?" Diperas segala pikiran yang ada di benaknya.
Tetapi semuanya buntu.
"Tak ada jalan lain, aku harus menelusuri jejak menuju ke Pulau Hitam. Mudahmudahan aku tak keliru melangkah karena Pedang Buntung yang merupakan titik awal dari langkah, berada di tangan Sangga Rantek."
Memutuskan demikian, pemuda yang sedang mencemaskan keadaan Gadis Kayangan, segera bergerak ke arah barat.

*****

Hamparan langit saat ini seperti memantulkan seluruh sinar matahari, hingga bumi laksana disengat dalam-dalam. Saat ini raja siang telah tiba di puncak kepala. Angin yang berhembus begitu panas hingga membuat orang ingin minum banyakbanyak. Namun dua sosok tubuh yang terus berlari melalui padang rumput yang luas, tak hiraukan keadaan itu. Perempuan berjubah dan berkerudung merah yang berlari di sebelah kiri, membatin setelah perhatikan lelaki berpakaian serba hitam yang berlari di sebelah kanannya, "Aku semakin yakin...
kalau manusia keparat ini memang sedang membawaku menuju ke Pulau Hitam. Berarti... dia telah pergunakan kesempatan untuk melihat potongan pedang tatkala masih berada di Pesanggrahan Bayu Api. Hmmm... aku akan tetap berlaku tidak tahu apa yang diinginkannya."
Si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas terus percepat larinya, mengikuti lari Sangga Rantek. Sekujur tubuh perempuan berambut keemasan ini dihiasi oleh butiran keringat. Yang dialami Sangga Rantek pun tak jauh berbeda.
Lelaki berhidung bengkok dan bermata bergelambir ini terus berlari.
"Pulau Hitam... biar bagaimanapun susahnya aku akan tetap menuju ke sana dan berharap, dapat bertemu dengan Pendekar Slebor di jalan. Tak seharusnya aku mengajak perempuan celaka ini, tetapi tenaganya dapat kubutuhkan. Kendati aku tak percaya ketika dia mengatakan menginginkan nyawa Pendekar Slebor yang telah membunuh kekasihnya, tetapi paling tidak, dia akan membantuku untuk membunuh Pendekar Slebor."
Sejarak tiga puluh tombak di belakang mereka, satu sosok tubuh berpakaian kuning-kuning terus berlari sambil menjaga jarak. Sepasang matanya tajam tak berkedip ke depan. Sekujur tubuhnya juga sudah dipenuhi keringat.
Orang yang tak lain Ki Pasu Suruan ini berkata dalam hati, "Aku semakin yakin, kalau mereka menghendaki sesuatu. Keherananku mengapa dua manusia itu dapat bersatu, kini tak terlalu mengikat. Bisa jadi mereka bergabung untuk mendapatkan dua potongan pedang. Huh! Pendekar Slebor... ya, pemuda celaka itu harus mampus di tanganku! Mudah-mudahan orang-orang celaka itu dapat membawaku pada Pendekar Slebor!" Dan dia harus berhati-hati jangan sampai kedua orang itu tahu kalau sedang dibuntuti.
Sementara itu di depan, Iblis Rambut Emas sedang berkata, "Sangga Rantek! Apakah kau yakin Pendekar Slebor menuju ke tempat ini?" Mendengar pertanyaan orang, Sangga Rantek mendengus dalam hati.
"Keparat! Dari nada pertanyaannya dia memang tidak tahu ke mana tujuanku! Tetapi aku menangkap, kalau dia sedang mengejekku!" Kemudian katanya, "Keyakinanku kuat! Dan aku merasa pasti kalau Pendekar Slebor menuju ke tempat ini!" Iblis Rambut Emas tertawa dalam hati.
"Sungguh bodoh! Dia memang tidak tahu apa yang kuketahui!" desisnya lalu berkata, "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Perempuan celaka! Lebih baik tutup mulutmu ketimbang kubeset sekarang juga!" Mengkelap wajah Iblis Rambut Emas mendengar ucapan orang. Tetapi dia masih dapat menahan diri untuk tidak segera turunkan tangan.
"Jahanam sial! Kau akan terkejut dengan apa yang akan kulakukan, lelaki keparat!" Kejap kemudian tak ada lagi yang keluarkan suara. Sangga Rantek terus kerahkan ilmu larinya.
Sampai matahari telah lalui tiga perempat perjalanannya, mendadak masing-masing orang mendengar suara menggemuruh.
Sangga Rantek lebih dulu hentikan larinya dan membuka alat pendengarannya lebar-lebar.
Sementara itu, Iblis Rambut Emas celingukan ke kanan kiri.
"Aneh! Kudengar suara air bergemuruh yang begitu mengerikan. Tetapi tak kulihat ada sungai di sini. Gila! Jangan-jangan hanya suara angin yang terdengar dan kusangka...."
Mendadak perempuan berkerudung merah ini menghentikan kata batinnya.
Keningnya nampak berkerut. Diperhatikannya sekilas, betapa wajah Sangga Rantek sangat serius sekali. Lalu dilanjutkan kata batinnya, "Tak ada sungai di sini... tetapi jelas kudengar suara bergemuruh mengerikan. Bisa jadi... air terjun! Ya, suara gemuruh itu berasal dari air terjun! Gila! Tetapi... mengapa lelaki keparat ini justru menghentikan langkahnya di sekitar sini?" Sangga Rantek yang memang mencoba menemukan air terjun sebagai patokan pertama untuk menuju ke Pulau Hitam, tetap membisu seribu bahasa. Lalu lamat-lamat dia melangkah ke depan diantar tatapan Iblis Rambut Emas yang mencoba menduga-duga apa yang diinginkan Sangga Rantek. Bahkan dia tak mengikuti Sangga Rantek yang berjalan ke muka sekitar tiga puluh tombak. Tetapi tatkala didengarnya teriakan senang Sangga Rantek, secepat kilat perempuan setengah baya berjubah merah ini mendekatinya.
Dan di hadapannya, telah membentang sebuah tanah curam yang cukup dalam. Di hadapan tanah itu, terlihat air terjun yang keluarkan suara menggemuruh ganas. Di bawah, terlihat deburan air yang jatuh dari atas menghantam batu-batu cadas tajam. Diliriknya Sangga Rantek yang sedang mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ada sesuatu yang membuatnya senang.
Pancaran senang dari kedua matanya tak dapat disembunyikan. Hmmm... bila memang dugaanku benar kalau dia sedang membawaku menuju ke Pulau Hitam, berarti air terjun ini adalah patokan pertama sebagai petunjuk menuju ke Pulau Hitam.
Hebat! Tak kusangka dia pandai membaca titik-titik yang tergambar pada Pedang Buntung! Tetapi rasanya... akan percuma saja dia berusaha menemukan Pulau Hitam, karena petunjuk yang satunya lagi terdapat pada potongan pedang di tangan Pendekar Slebor."
Tak ada yang keluarkan suara.
Di balik ranggasan semak sejarak lima belas tombak di belakang Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek, Ki Pasu Suruan yang sudah mendekat dan mengintip mendesis pelan, "Aneh! Nampaknya air terjun itu sangat menarik perhatian keduanya.
Apakah ada sesuatu yang mereka cari di sana?" Suara gemuruh air terjun terus terdengar begitu mengerikan. Dan tak kunjung putus suara menggelegar di bawahnya begitu curahan air yang terus menerus tumpah menerpa.
Sangga Rantek mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Petunjuk pertama telah kudapatkan. Hmm... aku harus mengarah ke barat daya untuk menemukan dua bukit. Peduli setan apakah aku dapat melanjutkan menuju ke Pulau Hitam atau tidak.
Pokoknya, aku tetap berharap dapat berjumpa dengan Pendekar Slebor."
Habis membatin demikian, lelaki berpakaian serba hitam arahkan pandangannya pada Iblis Rambut Emas. Sejenak ada kebencian yang dalam begitu matanya berbenturan dengan mata si perempuan. Setelah mendengus, Sangga Rantek berkata, "Sampai saat ini belum juga kita temukan jejak Pendekar Slebor. Bagaimana pendapatmu?" Iblis Rambut Emas yang tahu kalau Sangga Rantek hanya mencoba alihkan perhatiannya dari air terjun itu mengangkat kedua bahunya.
"Sulit untuk memberikan pendapat seperti yang kau minta. Terus terang, aku hanya berpijak pada tempat yang kau pijak."
"Perempuan celaka ini memang pandai bermulut manis," dengus Sangga Rantek dalam hati.
"Sebelum malam tiba, kita harus keluar dari daerah ini."
"Sangga Rantek! Mengapa kau nampak begitu tertarik dengan air terjun ini" Adakah yang kau cari?" pancing Iblis Rambut Emas untuk buktikan dugaannya.
Dan dilihatnya bagaimana kepala Sangga Rantek mendadak menegak. Kejap kemudian lelaki ini terbahak-bahak keras. Ki Pasu Suruan yang masih mengintip, kerutkan keningnya.
"Ha ha ha... tak kusangka kau begitu bodoh! Tak ada yang menarik dari air terjun itu! Kalaupun aku sengaja berhenti di sini, karena aku membutuhkan istirahat! Bila kau tak membutuhkannya, silakan berlalu dari sini!" Iblis Rambut Emas kembangkan senyum.
"Sudah tentu aku tak akan meninggalkanmu. Kita mempunyai keinginan yang sama untuk membunuh Pendekar Slebor, bukan" Itu pun bila kau...."
"Dan jangan banyak tanya apa yang akan kulakukan!!" dengus Sangga Rantek keras.
Untuk kesekian kalinya perempuan berjubah merah ini menindih segala kemarahannya. Dan di hadapan Sangga Rantek dia tetap kembangkan senyum.
"Karena aku mengharapkan bantuanmu untuk membunuh Pendekar Slebor, kuturuti apa yang kau katakan," katanya menahan geram.
Sangga Rantek tak segera menjawab. Saat dia hendak buka mulut, mendadak saja kepalanya dipalingkan ke arah kanan.
"Heiii!!" desisnya kaget.
Dan bukan hanya Sangga Rantek yang terkejut.
Iblis Rambut Emas juga melihat apa yang membuat lelaki berpakaian hitam-hitam itu terkejut.
Satu bayangan hitam telah berkelebat begitu cepat. Dan yang membuat masing-masing orang tertarik, karena melihat satu sosok tubuh berpakaian biru muda dalam bopongan si bayangan hitam. Sangga Rantek sejenak terdiam sebelum membuka mulut, "Winarsih! Atau yang dijuluki Pendekar Slebor si Gadis Kayangan!!"
"Sangga Rantek! Kenalkah kau dengan si nenek berpakaian hitam compang-camping itu?" tanya Iblis Rambut Emas segera.
Sangga Rantek menggelengkan kepalanya. Lalu berucap seperti ditujukan pada dirinya sendiri, "Pendekar Slebor telah menyelamatkan Gadis Kayangan. Dan sekarang, gadis itu berada di tangan perempuan tua berpakaian hitam compang-camping... hmm...."
Lalu kepalanya dipalingkan pada Iblis Rambut Emas, "Apa yang dapat kau pikirkan?" Lagi-lagi perempuan berambut keemasan itu berlagak bodoh. Dia berkata, "Kau lebih cerdik dariku."
Pujian itu disambut dengan dengusan oleh Sangga Rantek. Lalu katanya mereka-reka, "Kita tidak tahu siapa perempuan tua berpakaian hitam compang-camping itu. Ada dua kemungkinan yang bisa kukemukakan. Pertama, perempuan itu adalah orang golongan lurus yang telah menyelamatkan Gadis Kayangan dari seseorang.
Kedua, perempuan itu adalah orang-orang satu golongan dengan kita, yang menyangka Gadis Kayangan memiliki potongan pedang yang tergambar titik-titik yang jelas menuju ke Pulau Hitam."
"Bagaimana dengan pendapatmu sendiri?" Sangga Rantek hanya mendengus.
Iblis Rambut Emas berkata lagi, "Taruhlah dia memang orang golongan lurus yang telah menyelamatkan gadis itu, ini menilik si gadis yang nampaknya pingsan. Kalau begitu, siapakah orang yang mencelakakannya?"
"Tak perlu diperhitungkan soal itu! Mampus pun aku tak peduli!" sahut Sangga Rantek dingin.
"Baik! Bila ternyata dia orang yang menginginkan potongan pedang pada si gadis..."
"Orang itu akan menyesal! Karena bukan pada gadis itulah potongan pedang itu berada!!" potong Sangga Rantek.
"Bagaimana bila ternyata Pendekar Slebor telah memberikannya pada gadis itu?" Seketika Sangga Rantek palingkan kepala dengan pandangan melebar.
Iblis Rambut Emas melanjutkan, "Dan bagaimana bila sebenarnya, sejak pertama kali kau memutuskan untuk mendapatkan potongan pedang pada Pendekar Slebor, ternyata memang tidak berada padanya. Melainkan pada si gadis yang telah menipumu. Termasuk...
menipuku...."
Kali ini pandangan mata Sangga Rantek benarbenar membuka lebar. Sesaat nampak lelaki berhidung bengkok ini terdiam menahan napas.
Kejap kemudian terdengar makiannya keras, "Jahanam! Aku lebih tertarik pada kemungkinan kedua!"
"Kalau memang begitu, ayo kita kejar!!" Sangga Rantek sudah mulai berlari dan mendadak hentikan larinya. Pandangannya kali ini menyipit tajam pada Iblis Rambut Emas.
"Mengapa kau begitu bernafsu sekali?" sentaknya dingin.
Iblis Rambut Emas yang tadi kelepasan bicara dan secara tidak langsung hampir membuka kedoknya sendiri, buru-buru menenangkan diri sebelum membentak, "Bodoh! Bukankah setahu kita Pendekar Slebor dan Gadis Kayangan selalu bersama-sama" Bisa jadi perempuan tua berpakaian hitam compang-camping itu telah menyerang keduanya atau entahlah apa yang terjadi, lalu Pendekar Slebor akan mengejarnya" Bebal betul otakmu ini!!" Sejenak Sangga Rantek masih arahkan pandangannya pada Iblis Rambut Emas. Sebelum akhirnya dia mengangguk-anggukkan kepala tanda dapat menerima alasan itu.
"Alasan yang tepat. Dan sungguh kebetulan sekali perempuan tua yang membawa tubuh Gadis Kayangan berlari menuju ke arah barat daya.
Dengan kata lain, secara tak langsung keinginanku untuk melacak jejak Pulau Hitam akan tersamar.
Karena tentunya, perempuan celaka ini menyangka aku mengejar perempuan tua itu. Tetapi biar bagaimanapun juga, ucapannya sungguh-sungguh masuk akal. Dan benar-benar keparat kalau memang potongan pedang satunya lagi benar berada pada Gadis Kayangan."
Sementara itu, diam-diam Iblis Rambut Emas menarik napas lega.
Kemudian katanya, "Keputusan ada di tanganmu! Ingat, aku hanya mencoba membantumu untuk mendapatkan potongan pedang! Sementara aku menginginkan nyawa Pendekar Slebor!" Mendadak Sangga Rantek keluarkan dengusan.
Di Iain kejap dia sudah berkelebat tanpa buka mulut. Iblis Rambut Emas menarik napas lega dulu sebelum menyusul.
"Hampir saja...."

*****

«¤:¤| [ 7 ] |¤:¤»

Sosok bayangan hitam yang menyelamatkan Gadis Kayangan dari tindakan memalukan yang akan dilakukan Dewa Lautan Timur, mendengus begitu menyadari satu sosok tubuh mengikutinya di belakang.
Si bayangan hitam yang memang seorang perempuan tua ini membatin, "Hebat! Gerakannya sangat cepat! Jelas kalau dia bukan orang sembarangan!" Orang yang mengikuti si nenek tak lain adalah Ki Pasu Suruan. Salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan ini, sebelumnya juga melihat kelebatan orang yang membopong sosok berpakaian biru muda. Lain halnya dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, Ki Pasu Suruan langsung mengenali siapa yang berkelebat.
Dan mendadak dia menjadi sangat geram. Kejap itu pula dengan cara memutar langkah, dia akhirnya memutuskan untuk menyusul si nenek.
"Huh! Lama tak pernah bertemu, sekarang tahu-tahu muncul! Siapa gadis yang berada dalam bopongan Nyi Genggong?" desis Ki Pasu Suruan sambil terus kerahkan ilmu larinya.
Si nenek yang terus berlari di depan, mendadak saja menyeringai.
"Pasu Suruan! Gila! Mengapa dia hanya sendiri" Tak biasanya dia berpisah dari Pancen Dadap" Hmmm... lebih baik menjumpainya dulu. Barangkali dia punya urusan yang sama denganku. Tetapi bila dia mengacaukan seluruh rencanaku, tak perlu berpikir dua kali untuk mencabut nyawanya!!" Di sebuah persimpangan agak berbelok ke kiri, si nenek mendadak mencelat ke depan. Dan saat hinggap di atas tanah, sosoknya sudah menghadap ke arah datangnya Ki Pasu Suruan.
Paras si nenek sungguh mengerikan sekali.
Hidungnya melesak ke dalam dengan kedua mata agak menyipit. Bibir bagian bawah agak tebal ketimbang bagian atas. Wajahnya dihiasi kulit tipis agak hitam. Pakaiannya yang dikenakan berwarna hitam gelap, dan terdapat compang-camping di sana-sini. Ki Pasu Suruan yang mengejar, menarik napas begitu melihat sosok si nenek yang berdiri menunggunya. Dari kejauhan dia sudah tertawa senang, "Nyi Genggong!!" Si nenek terkikik, terlihat gigi bagian depan tanggal tiga buah.
"Pasu Suruan! Kupikir setan kuburan yang mengikutiku! Sungguh tak disangka pertemuan ini akan kembali terjadi! Hanya saja... ke mana Pancen Dadap"!" Ki Pasu Suruan yang telah berdiri sejarak lima langkah dari hadapan si nenek yang bernama Nyi Genggong, mengatur napas dulu sebelum berkata, "Urungkan pertanyaanmu itu. Sekarang jawab pertanyaanku, siapa gadis itu, hah"!" Nyi Genggong terkikik kembali.
"Kau memang tak pernah ingin urusanmu dicampuri orang! Apakah sekian tahun kita bersahabat kau masih memegang prinsip busuk itu, hah"! Padahal yang bertanya adalah seorang sahabat yang sangat baik kepadamu!!" Ki Pasu Suruan mendengus. Lalu dengan wajah yang lamat-lamat nampak geram, diceritakan tentang kematian Ki Pancen Dadap (Bagi temanteman yang ingin tahu matinya salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan, silakan baca: "Pedang Buntung").
Bukannya turut prihatin atas kematian Ki Pancen Dadap, Nyi Genggong justru terkikik keras.
"Kau tentunya sangat kesepian. Tetapi tak usah murung, karena ada aku yang akan menemanimu."
Diam-diam Ki Pasu Suruan menggeram dalam hati, "Perempuan tua ini sudah dua puluh tahun bersahabat denganku dan Pancen Dadap. Sikapnya masih terkesan ugal-ugalan dan mau memang sendiri. Tetapi sungguh mengherankan kalau dia justru membawa seorang gadis dalam bopongannya.
Biasanya, dia tak pernah hentikan mengumbar nafsu celakanya pada pemuda-pemuda gagah."
Kemudian katanya, "Jawab pertanyaanku tadi.
Siapa gadis itu"!"
"Hik hik hik... aku tak mengenalnya. Dia kuselamatkan dari kematian yang akan diturunkan Dewa Lautan Timur. Dan seharusnya, gadis ini telah siuman setelah dihajar Dewa Lautan Timur."
Sampai surut satu tindak Ki Pasu Suruan mendengar julukan itu disebutkan.
"Dewa Lautan Timur" Setahuku, dia mempunyai dendam setinggi langit pada Panembahan Agung?"
"Betul! Dan akuilah... kalau kau juga tidak tahu apa penyebab kedua manusia itu bertikai. Tetapi kupikir... aku telah lakukan tindakan yang sangat mulia sekali. Karena gadis ini kubuat lebih lama beristirahat."
"Lantas... apa hubungannya dengan gadis itu?" Ki Pasu Suruan ajukan tanya, lalu melanjutkan dalam hati, "Rupanya gadis itu telah ditotok hingga pingsan lebih lama."
"Bodoh! Apakah kau masih mendendam pada Pemimpin Agung yang telah membunuh gurumu?" Mendengar julukan itu disebutkan, wajah Ki Pasu Suruan memerah.
"Sampai kapan pun dendamku padanya tak akan putus! Tetapi manusia itu telah tewas! Dan Pendekar Slebor-lah yang membunuhnya!!"
"Aiiihhh!! Pendekar Slebor! Pemuda gagah yang sejak dulu kuimpikan dapat tidur dengannya! Di mana dia sekarang" Di mana?" seru Nyi Genggong bernafsu.
"Rupanya kau masih tak henti-hentinya mengumbar nafsu! Tetapi untuk apa kau bawa gadis itu, hah"!"
"Benar-benar bodoh! Kau berkeinginan untuk membunuh Pemimpin Agung, tetapi kau tidak tahu siapa gadis ini"!" Sejenak Ki Pasu Suruan terdiam sebelum buka mulut, "Apakah... gadis itu muridnya?"
"Tak salah! Dia memang murid Pemimpin Agung!"
"Terkutuk! Serahkan padaku cepat!!" Nyi Genggong cuma terkikik sambil menggerakgerakkan tangan tangannya tanda menolak.
"Tak semudah itu, Kawan...."
Menyipit sepasang mata Ki Pasu Suruan dengan rahang mengembung. Lalu desisnya dingin, "Apa maksudmu dengan tak semudah itu?"
"Kau benar-benar bodoh! Berkeinginan membalas kematian gurumu pada Pemimpin Agung, kau pun tak menyelidiki lebih dulu keadaan manusia itu! Pasu Suruan! Apakah kau pikir aku bodoh, kalau gadis ini tentunya mewarisi dua potongan pedang perak milik Pemimpin Agung?" Sejenak Ki Pasu Suruan terdiam sebelum meledak tawanya.
"Luar biasa! Sungguh luar biasa! Kau yang mengaku dirimu pintar ternyata tak lebih dari otak kerbau! Nyi...."
"Tutup mulutmu! Sekali lagi kau menghinaku, kurobek mulut keparatmu itu!!" putus Nyi Genggong dengan wajah mengkelap.
Tetapi Ki Pasu Suruan justru lebih keraskan tawanya tetapi diam-diam dia membatin geram dalam hati, "Terkutuk! Aku pun tak akan memandang arti persahabatan bagi siapa saja yang menghalangi keinginanku untuk membunuh Pemimpin Agung beserta para pengikutnya!" Kemudian katanya dengan tatapan mengejek, "Nyi! Orang yang telah membunuh Pemimpin Agung adalah Pendekar Slebor! Dan kusirap kabar kalau pemuda dari Lembah Kutukan itulah yang telah memiliki dua potongan pedang sekarang! Apakah...."
"Tutup mulutmu! Kau hanya mencoba memutar balikkan kenyataan! Padahal aku tahu, kau sangat menghendaki dua benda itu!"
"Terserah bagaimana penilaianmu! Tetapi untuk membuktikan apa yang kukatakan ini, periksa tubuh gadis itu!! Dan kuharap... kau tidak terlalu terkejut melihat kenyataan!" Sejenak terlihat si nenek berpakaian hitam compang-camping ini agak meragu. Pandangannya masih diarahkan pada Ki Pasu Suruan dengan kilatan penuh bara amarah. Lalu katanya setelah mendengus dingin, "Bila ternyata kutemukan dua potongan pedang itu pada gadis ini, jangan salahkan aku bila kukirim nyawamu hari ini ke neraka!!" Ki Pasu Suruan hanya tertawa saja.
Di lain pihak, dengan wajah nampak mendongkol Nyi Genggong berucap, "Aku tak segan-segan membunuhmu bila ternyata ucapanmu dipenuhi bisa!" Lalu dengan geram diperiksanya tubuh Gadis Kayangan yang masih pingsan. Tangannya merabaraba sekujur tubuh si gadis. Dan nampak kegeraman yang tersirat pada wajahnya sejenak lenyap. Tetapi di lain saat dia sudah menggeram keras.
"Keparat terkutuk!!" Ki Pasu Suruan terbahak-bahak melihatnya.
"Apakah kau masih menganggap kalau aku tidak menjunjung tinggi persahabatan di antara kita?" serunya dengan suara melecehkan. Lalu melanjutkan dengan ucapan bercabang, "Yang seharusnya kau jadikan sasaran... adalah Pendekar Slebor! Pemuda keparat itulah yang telah membunuh Pemimpin Agung sekaligus mendapatkan dua potongan pedang!!" Sementara itu Nyi Genggong yang merasa semuanya sia-sia belaka, dengan geram membanting tubuh Gadis Kayangan. Dalam pingsannya, tanpa sadar si gadis keluarkan seruan tertahan.
"Terkutuk! Ternyata aku hanya membuang-buang waktu belaka! Jahanam sial! Dia seharusnya...."
Memutus kata-katanya sendiri, Nyi Genggong mengangkat kepalanya ke arah Ki Pasu Suruan yang membatin, "Apa lagi yang dipikirkan nenek keparat ini?"
"Pasu Suruan! Memang terbukti kalau dua potongan pedang itu tidak berada pada gadis ini! Tetapi... sebelumnya Dewa Lautan Timur telah mencelakakan gadis ini! Bagaimana bila sebelumnya potongan pedang itu memang berada pada gadis ini kemudian direbut oleh Dewa Lautan Timur?" Terdiam Ki Pasu Suruan mendengar dugaan si nenek. Tetapi karena dia berkeyakinan kalau Pendekar Slebor-lah yang telah memiliki dua potongan pedang itu, makanya dia berkata, "Aku yakin... Dewa Lautan Timur tak mendapatkan benda itu padanya. Tetapi bila memang lelaki celaka itu menginginkan dua potongan pedang, dapat ditebak kalau urusannya dengan Panembahan Agung adalah berkisar masalah itu. Tetapi yang mengherankan, mengapa tak pernah terdengar kabar kalau dia memburu Pemimpin Agung?"
"Bukannya tidak mungkin itu terjadi! Dua potongan pedang berarti berada di tangan Dewa Lautan Timur!!" Ki Pasu Suruan menggelengkan kepala.
"Tidak! Dua potongan pedang itu ada pada Pendekar Slebor! Karena berita yang kudengar pertama kali, tertuju padanya!" Nampak Nyi Genggong terdiam. Pandangannya diarahkan kembali pada Gadis Kayangan yang terlentang di atas tanah. Terlihat sepasang matanya yang sipit kian menyipit.
Sepasang pelipisnya bergerak-gerak. Dan nampak mulutnya mengembung. Mendadak sambil keluarkan udara dari mulutnya dengan cara menyentak, dia menggeram keras, "Kalau begitu... lebih baik dia mampus saja sekarang!!"
"Tunggu!!" desis Ki Pasu Suruan yang melihat sosok Gadis Kayangan telentang dengan kedua tangan dan kaki membuka. Dilihatnya bagaimana dada yang busung itu seperti melambai-lambaikan undangan yang tentunya tak dapat dielakkan. Dan satu pikiran yang menyenangkan telah singgah di otak kotornya.
"Jangan membuatku bertambah gusar!!" sentak Nyi Genggong dengan pandangan bertambah menyipit.
"Tak perlu umbar kemarahan pada gadis itu! Yang harus dijadikan tujuan adalah Pendekar Slebor! Karena dialah pangkal dari semua...."
"Huh! Kau memang pandai menjilat, Pasu Suruan! Dengan kata lain, kau menghendaki aku bergabung denganmu untuk membunuh Pendekar Slebor"! Paling tidak, sekali kayuh dua pulau kau lampaui!" Menggeram Ki Pasu Suruan yang maksudnya terbaca oleh si nenek berpakaian hitam compangcamping ini. Lalu katanya, "Tak perlu meminta bantuanmu, Pendekar Slebor akan tetap mampus di tanganku! Tetapi... bagaimana bila kita sama-sama menuju ke Pulau Hitam untuk mengetahui ada rahasia apa di sana?"
"Usulmu sangat menarik! Tetapi... kita samasama tidak mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam! Bagaimana bila ternyata ada harta karun atau benda pusaka di sana"! Apakah kau akan melangkahiku"!"
"Tidak! Kau boleh mendapatkan semuanya! Pemimpin Agung telah tewas! Terus terang, seharusnya seluruh keinginan yang terpendam di hatiku telah tuntas! Tetapi saat itu, aku menginginkan dua potongan pedang untuk mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam! Hanya saja... sekarang semuanya tak lagi jadi keinginan nomor satu! Keinginanku hanyalah untuk membunuh Pendekar Slebor yang telah membunuh Pancen Dadap!! Dia harus mati! Kau dengar itu"! Dia harus mati!! Dengan cara... yang sangat menyedihkan!!" Sepasang mata Nyi Genggong menyipit. Kemudian katanya dengan bibir yang hanya membuka sedikit, "Apakah kau pikir aku akan mempercayai ucapanmu itu?" Di seberang, Ki Pasu Suruan memandang tak berkedip. Lalu desisnya, "Terserah apa yang akan kau lakukan! Tetapi kau akan melihat kenyataannya nanti!"
"Lantas... mengapa kau menahanku untuk membunuh gadis ini, hah"!" Ki Pasu Suruan mendadak saja tersenyum.
Bukannya menjawab pertanyaan orang pandangannya justru di arahkan pada dada membusung milik si gadis.
Hanya sekali lihat, Nyi Genggong paham apa yang dimaui lelaki berpakaian kuning-kuning ini. Dia mendengus sebelum berkata, "Lakukan apa yang kau hendaki! Aku menunggu di ujung sana!"
"Kau benar-benar seorang; sahabat yang penuh pengertian!! Dan tak akan bisa kulupakan budi baikmu ini, Nyi!" sahut Ki Pasu Suruan sambil tertawa.
"Setan keparat! Ucapan demi ucapannya lama kelamaan membakar hatiku juga! Tetapi bila tak berjumpa dengannya, sudah tentu sebelum sampai ke Lembah Gaung, aku tak akan pernah tahu kalau dua potongan pedang itu tidak berada padanya!" maki Nyi Genggong dalam hati dengan pandangan tajam. Tanpa keluarkan kata-kata, si nenek berpakaian hitam compang-camping ini sudah berlari ke arah yang dituju. Namun baru lima langkah dia berlari, mendadak saja satu gelombang angin telah menderu ke arahnya.
"Heeeiiii!!" Serentak si nenek buang tubuh ke samping kanan. Blaaammrrr! Tanah yang tadi dipijaknya seketika muncrat ke udara terhantam gelombang angin yang mendadak muncul. Ki Pasu Suruan yang tadi tersenyum, langsung bersiaga penuh dengan pandangan lebih terbuka.
Tatkala muncratan tanah tadi kembali luruh, masing-masing orang melihat dua sosok tubuh telah berdiri tegak sejarak delapan langkah. Ki Pasu Suruan mendesis, "Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas!"

*****

«¤:¤| [ 8 ] |¤:¤»

Senja semakin mengambang dalam dan nampak sebentar lagi akan dijemput malam. Udara terus berhembus, semakin lama menusuk tulang. Helaihelai daun beterbangan dan akan jatuh entah di mana. Pendekar Slebor tiba di sebuah jalan yang dipenuhi ranggasan semak belukar. Di hadapannya membentang sebuah padang rumput yang luas.
Sejenak anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini memandang tak berkedip ke depan.
Lalu dipalingkan kepala ke arah dari mana dia datang.
"Setan Cambuk Api tak mengejarku. Hmmm...
menilik keadaan yang terjadi, memang jelas kalau ada orang lain yang telah memerintahkan perempuan tua itu untuk menghadangku.
Sementara orang yang entah siapa adanya, telah membawa Gadis Kayangan."
Anak muda ini menarik napas pendek.
"Siapa orang itu" Dan tentunya, tujuan yang diinginkan orang itu adalah potongan pedang yang berada di tangan Gadis Kayangan. Kadal buntung! Makin sulit kutemukan jejak yang pasti! Apakah...."
Memutus kata-katanya sendiri, Andika segera palingkan kepalanya ke kanan begitu pendengarannya yang terlatih menangkap derap langkah kuda mendekat.
Seketika dilihatnya tiga orang gagah menunggang kuda hitam dan mengarah padanya.
Tak mau mendapatkan urusan lain yang tak mengenakkan, di samping ingin mengetahui siapa orang-orang itu adanya, cepat anak muda ini berkelebat dan tahu-tahu dia sudah menyelinap di balik ranggasan semak belukar.
Tak lama kemudian tiga ekor kuda itu tiba di tempat Andika berdiri sebelumnya. Saat tali kekang ditarik, kuda-kuda itu meringkik dengan kedua kaki depan terangkat. Dan masing-masing penunggangnya, memperhatikan sekeliling mereka dengan seksama. Di pinggang masing-masing terdapat sebilah parang besar yang sedikit berkilat terkena sisa-sisa sinar matahari Orang yang mengenakan pakaian abu-abu dengan ikat kepala warna putih langsung keluarkan suara, "Gila! Ke mana orang berpakaian hijau pupus itu menghilang"!" Sepasang mata tajam orang berwajah tirus dengan kedua pipi cekung ini memandang sekitarnya. Begitu pula dengan kedua temannya yang mengenakan pakaian berwarna sama namun berikat kepala berlainan.
Lelaki bertubuh agak gemuk dan kenakan ikat kepala warna hijau merandek dingin, "Tak mungkin ada manusia yang dapat menghilang secepat itu! Laksana ditelan hidup-hidup oleh bumi! Sudah tentu dia, bersembunyi di sekitar sini! Kita berpencar! Barangkali saja orang itu dapat kita jadikan sebagai petunjuk menuju ke Pulau Hitam!!" Habis kata-katanya, lelaki bertubuh agak gemuk ini sudah menggebrak kudanya ke sebelah kanan.
Sementara yang berbicara pertama tadi, menggebrak kudanya ke depan. Dan lelaki kurus kering yang berikat kepala warna jingga sudah melarikan kudanya ke kiri.
Andika yang telah bersembunyi di balik ranggasan semak sejarak sepuluh tombak dari tempat orang-orang itu membatin, "Hmmm... mereka juga sedang menuju ke Pulau Hitam. Dan jelas kalau sebelumnya melihatku. Menilik sikap masingmasing orang, jelas kalau mereka bukanlah orang baik-baik. Tetapi dikepung dari tiga penjuru seperti itu, jelas persembunyian ku akan diketahui.
Apakah...."
Diputuskan kata hatinya sendiri tatkala didengarnya derap langkah kuda dari sebelah kanan. Bukannya terkejut, anak muda ini justru mendesis seraya berdiri, "Ya... ketahuan deh! Kalau begitu, aku yang jaga sekarang!" (Edan! Emangnya main petak umpet").
Lelaki agak gemuk berikat kepala warna hijau ini berseru keras, "Hooiiiii!! Di sini rupanya manusia celaka yang kita lihat tadi!!" Dua orang temannya segera menggebrak kuda masing-masing mendekati si gemuk yang sudah turun dari kudanya.
Melihat ketiga orang itu dari dekat, Andika cuma mengangkat sepasang alisnya saja.
"Wah! Tampang kalian seram-seram amat, ya" Itu parang buat membelah kelapa"!" Seketika masing-masing orang meradang. Tetapi si gemuk sudah berkata, "Anak muda! Jangan berlaku bodoh di hadapan Tiga Iblis Penunggang Kuda! Bila kau dapat jawab pertanyaan, maka kau akan dapat melihat matahari besok! Bila tidak..."
"Ya tidak melihat dong?" sambar Andika konyol.
Begitu melihat sepasang mata si gemuk melotot, dia buru-buru berkata, "Betul, kan" Betul, kan?"
"Keparat!! Hampar Gandeng! Bunuh pemuda itu!!" seru si wajah tirus pada si gemuk.
Bukannya si gemuk yang menyahut, Andika yang berkata, "Busyet! Kok namamu jelek amat sih" Bagaimana bila kuganti... Hamparan Padi Yang Dirusak Tikus dan... apa lagi ya?" Meradang sudah Hampar Gandeng mendengar ejekan si pemuda. Julukan Tiga Iblis Penunggang Kuda sangat dikenal di daerah utara. Mereka adalah manusia-manusia kejam yang tak pernah mengasihani lawan atau orang yang hendak dibunuh. Jangankan orang yang berani bersikap seperti pemuda urakan itu. Orang yang tak dapat menjawab setiap pertanyaan mereka, harus merelakan kepalanya pisah dari lehernya.
"Pemuda keparat! Kau rupanya memang benarbenar ingin mampus"!!" maki Hampar Gandeng sambil bergerak dengan jotosan lurus ke wajah Andika. Dalam pikirnya, sekali jotos saja anak muda di hadapannya itu akan langsung ambruk dengan mulut dan hidung berdarah. Namun yang mengejutkannya, jotosan itu hanya mengenai angin.
Lebih terkejut lagi lelaki gemuk ini karena tak dilihatnya bagaimana anak muda itu menghindari jotosannya. Seketika dia putar tubuh.
"Keparat!!" makinya keras.
Bukan hanya Hampar Gandeng yang terkejut dua kawannya yang bernama Ringkih Gandeng dan Rimbun Gandeng pun tersentak. Apalagi tatkala terdengar suara, "Wah! Kuda ini bagus sekali" Bagaimana kalau buatku saja"!" Serentak masing-masing orang arahkan pandangan pada kuda hitam gagah yang tadi dinaiki oleh Hampar Gandeng. Mereka melihat pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur itu sudah berada di atas kuda Hampar Gandeng. Rimbun Gandeng yang berikat kepala warna putih dengan wajah tirus dan dihiasi dengan brewok yang cukup lebat, sudah menyentakkan tangan kanannya seraya melompat.
Namun Andika dengan enaknya mengibaskan tangan kanannya pula, bahkan sambil berseru, "Bagaimana kalau kuda ini buatku saja"!" Bukkk!! Tangan kanan Rimbun Gandeng langsung berbenturan dengan pergelangan tangan Andika.
Terkejut lelaki berbrewok ini sampai keluarkan pekikan tertahan, "Heeeiii!!" Begitu dilihat, tangan kanannya agak membiru.
Lelaki bertubuh ringkih sesuatu dengan namanya Ringkih Gandeng, tak mau berdiam diri. Dia langsung loloskan parangnya dan sekuat tenaga disabetkan ke tubuh Andika.
Kali ini Andika palingkan kepala dan mendengus.
"Busyet! Kalian ini cukup aneh! Kenapa jadi sewot dan menyerangku kalap kayak begini"!" Bersamaan dengan itu, anak muda urakan ini buat gerakan yang menakjubkan. Dia melompat dari punggung kuda itu, tetapi bukan untuk hinggap di atas tanah, melainkan hinggap kembali di punggung kuda dengan kedua tangan menahan tubuh dan kaki tegak lurus dengan langit! Sabetan parang Ringkih Gandeng lolos dari sasarannya. Dan mendadak saja terdengar suara 'srak' dua kali. Rupanya Hampar Gandeng dan Rimbun Gandeng sudah tak kuasa menahan diri.
Sesungguhnya, bila ketiga orang ini maju sendirisendiri mereka bukanlah satu kekuatan yang dahsyat. Tetapi bila sudah maju bersama, mendadak mereka akan membentuk kekuatan yang mengerikan. Dan masing-masing orang mendadak merapatkan kedua kaki dengan tubuh menegak. Tangan kanan yang memegang parang besar disatukan dengan dada sementara tangan kiri mengembang ke depan.
Dari atas punggung kuda, Andika memandang tak berkedip.
"Gerakan yang mereka perlihatkan nampaknya bukan gerakan kosong belaka. Dan tentunya bila mereka bersatu, akan terbentuk satu kekuatan yang hebat. Hmmm... aku tak punya urusan dengan mereka. Lebih baik kutinggalkan saja, ah!" Habis membatin demikian, pelan-pelan anak muda ini melepaskan totokan pada punggung kuda yang ditungganginya. Rupanya kuda itu telah ditotok sebelumnya hingga di saat dia hindari sabetan parang Ringkih Gandeng kuda itu tidak terjingkat lari.
Namun kesempatan untuk berlalu dari sana jelas tidak mudah. Karena serempak Tiga Iblis Penunggang Kuda sudah menyerang ke depan.
Kelebatan tubuh masing-masing orang begitu cepat sekali. Saat parang diayunkan terdengar suara angin membelah udara.
Mau tak mau Andika harus melompat dari punggung kuda seraya menggerakkan tangannya tiga kali. Tiga ekor kuda yang hendak berlari dari sana, mendadak terdiam karena terkena totokan jarak jauhnya. Dan yang terjadi kemudian, belum lagi kedua kaki nya menginjak tanah, Ringkih Gandeng sudah menyusur dengan parang yang siap memutus kedua kakinya. Di lain pihak, Rimbun Gandeng sudah mencelat dengan parang yang akan membelah kepalanya. Sementara dari sisi kiri, Hampar Gandeng menderu dengan parang dihunus tanda tak sabar untuk merobek isi perut lawan.
"Monyet-monyet buduk! Kok jadi serius nih"!" desis Pendekar Slebor sambil melompat. Tangan kanannya segera digerakkan untuk memukul tangan kanan Rimbun Gandeng. Namun lelaki berbrewok ini dengan cekatan memindahkan parang ke tangan kirinya dan langsung disabetkan.
Tak tanggung lagi terkejutnya Andika. Karena dia juga harus hindari hunusan parang Hampar Gandeng. Belum lagi Ringkih Gandeng yang tebasan pada kaki lawan gagal, langsung cuatkan parangnya ke atas.
Jalan satu-satunya untuk hindari rangkaian serangan yang susul menyusul itu memang harus menjauh dan menjaga jarak. Akan tetapi itu pun tak mudah dilakukan. Karena begitu Andika berhasil menjauh, masing-masing orang menderu merapat, mencoba mematikan gerak langkahnya.
"Gundul-gundul pacul!!" makinya asal-asal.
Seraya memiringkan tubuh untuk hindari bacokan Rimbun Gandeng. Andika membuat gerakan agak doyong ke depan dengan kaki kanan menjadi tumpuan. Tangan kanannya bergerak cepat.
Terdengar salakan petir saat dijotoskan ke arah Hampar Gandeng.
Tetapi Hampar Gandeng justru tarik pulang tubuhnya, sementara dengan cara memutar parangnya dibacokkan lagi.
Namun yang membuatnya terkejut, karena mendadak saja pemuda berpakaian hijau pupus itu telah menepak pundaknya dengan tangan kiri.
Menjerit serta terhuyung Hampar Gandeng karena tubuhnya seakan ditempelak tangan raksasa. Saat berdiri tegak kembali, tubuhnya agak goyah. Namun kemarahannya semakin menjadi-jadi.
Dia segera bergerak kembali untuk lancarkan serangan lagi. Namun mendadak saja tubuhnya limbung karena dirasakan pundak kirinya seperti mau patah. Melihat kawannya menderita seperti itu, Ringkih Gandeng dan Rimbun Gandeng sudah menggebrak dengan kemarahan tinggi. Setiap kali parang dikibaskan, angin menderu keluar mengerikan.
Akan tetapi, Andika yang telah berhasil mematahkan susunan serangan lawan, dengan mudah dapat membaca serangan yang dilakukan kedua orang itu.
Tenaga Inti Petir' tingkat kesebelas yang dialirkan pada kedua tangannya, telah bersarang di dada masing-masing orang yang tersuruk ke belakang.
Lalu jatuh berlutut sambil pegang dadanya.
Nyengir anak muda ini melihat masing-masing orang meringis. Lalu dia melompat kembali ke kuda milik Hampar Gandeng. Sambil tertawa dia berkata, "Kudamu kupinjam dulu, ah! Tak tahu deh kapan akan kukembalikan!" Setelah membuka totokan pada kuda itu, Andika segera menggebraknya terus ke arah barat.
Tinggal Tiga Iblis Penunggang Kuda yang meradang murka sekaligus terheran-heran. Mereka yang malang melintang dan disegani di daerah utara, hari ini harus mengalami nasib sial.
Dikalahkan secara mudah oleh seorang pemuda yang usianya paling banter tujuh belas tahun.
"Keparat!! Siapa pemuda itu sebenarnya"!" dengus Hampar Gandeng jengkel.
"Gerakannya sangat cepat dan memiliki kesaktian yang tinggi! Kita yang selama ini ditakuti oleh siapa pun juga, tak berkutik hanya beberapa gebrakan saja! Jahanam sial!!" sambung Rimbun Gandeng menahan sakit.
"Akan kubunuh pemuda itu bila suatu saat bertemu lagi!!" lanjut Ringkih Gandeng. Lalu terhuyung-huyung dia berdiri.
Setelah menatap kedua temannya secara bergantian, lelaki kurus kering ini berucap, "Kita urungkan niat menuju ke Pulau Hitam! Lebih baik kembali ke utara! Kita himpun kekuatan utuh untuk membalas kekalahan kita!"
"Tidak!" sentak Rimbun Gandeng.
"Mengapa kau mendadak menjadi pengecut seperti itu, hah"! Apa pun yang terjadi, kita tetap menuju ke sana!"
"Jangan berlaku bodoh! Menghadapi anak muda itu saja kita sudah tak berdaya! Apakah kau pikir akan dapat mengatasi rintangan lain di Pulau Hitam" Paling tidak, bagaimana bila pemuda itu datang ke sana"!"
"Itu kesempatan kita untuk membalas!"
"Kita sudah dibuat tak berkutik! Masih untung kita dibiarkan hidup! Lebih baik kembali ke utara untuk menghimpun kekuatan! Bila sudah tiba saatnya, baru kita cari pemuda itu untuk membalas perbuatannya hari ini!!" Kendati tak suka mendengar usul itu, Rimbun Gandeng nampak mengangguk-anggukkan kepala.
Karena sedikit banyaknya, dia membenarkan juga apa yang dikatakan Ringkih Gandeng.
Di lain pihak, Hampar Gandeng yang diam saja di saat kedua sahabatnya berbeda pendapat, mendadak mendesis, "Aku baru ingat! Ya, ya... aku baru ingat!!"
"Apa yang kau ingat, hah"!" sentak Rimbun Gandeng pertanda dia masih jengkel dan coba alihkan kejengkelannya pada Hampar Gandeng.
Hampar Gandeng melotot sebelum berkata, "Pemuda itu... mengenakan pakaian hijau pupus dan... di lehernya melilit kain bercorak catur.
Sungguh bodoh! Dia adalah Pendekar Slebor!!" Melengak kepala Rimbun Gandeng dan Ringkih Gandeng. Untuk sesaat tak ada yang keluarkan suara. Nampak kalau masing-masing orang memaklumi kekalahan mereka. Akan tetapi, Ringkih Gandeng sudah bersuara, "Kini kita tahu siapa sasaran kita! Pendekar Slebor! Baik! Kita urungkan niat menuju ke Pulau Hitam! Kelak, kita akan muncul lagi untuk menuntut balas!!" Tiga kejapan mata berikutnya, dua ekor kuda itu sudah membawa para penunggangnya. Hampar Gandeng yang bertubuh gemuk, menunggang kuda Ringkih Gandeng. Sementara si pemiliknya, harus rela membonceng di kuda Rimbun Gandeng.
Mereka masih beruntung, karena totokan yang dilakukan Andika adalah totokan yang akan terbuka dengan sendirinya bila melewati waktu yang ditentukan. Kalau tidak, ya terpaksa deh mereka jalan kaki ke utara (Nyaho, nyaho lo!)

*****

«¤:¤| [ 9 ] |¤:¤»

Malam pun akhirnya datang dengan rangkaikan kegelapan. Udara yang sejak pagi tadi cerah dihiasi awan putih, kali ini kepekatan malam ditingkahi dengan gumpalan awan hitam yang berusaha halangi sinar rembulan.
Di tempat yang agak lapang itu, masing-masing orang tak ada yang buka suara. Sepasang mata Ki Pasu Suruan memandang tak berkedip pada Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, yang membalas tajam. Sementara itu, Nyi Genggong yang keinginannya untuk meninggalkan tempat itu terhalang, langsung keluarkan bentakan, "Sungguh sangat memiliki nyali orang yang berani menyerangku barusan! Katakan, siapa orang yang bertingkah bodoh dan bersiap untuk kubuntungi kedua tangannya!!" Sangga Rantek yang tadi lepaskan serangan menahan perginya Nyi Genggong mendengus dingin.
Dia menatap tajam tanpa kedip. Kemudian katanya setelah mengenali siapa adanya orang, "Nyi Genggong!! Tak kusangka kau akan muncul kembali di dunia ramai! Apakah kau sudah bosan mengasingkan diri"! Atau... kau terlalu dibuai oleh keinginan untuk menggapai sang rembulan" Terlalu bodoh bila kau melakukannya!!"
"Tutup mulutmu!!" hardik Nyi Genggong dengan telunjuk menuding.
"Aku hanya mengatakan sekali lagi, siapa orangnya yang tadi menyerangku!!" Iblis Rambut Emas yang telah lama mengenal nama Nyi Genggong namun baru kali ini bertemu dengan nenek itu, diam-diam berpikir, "Hmmm...
bila Nyi Genggong membunuh Sangga Rantek, urusanku dengan Pendekar Slebor bisa jadi berantakan. Paling tidak, Sangga Rantek tak boleh mati dulu, kecuali di tanganku!!" Kemudian katanya, "Aku yang tadi lakukan serangan! Sekarang katakan, apa yang akan kau lakukan, hah"!!" Seketika Nyi Genggong arahkan pandangannya pada perempuan kerudung merah. Begitu dilihatnya rambut si perempuan berwarna keemasan, terlihat bibir Nyi Genggong pentangkan seringaian, "Iblis Rambut Emas! Lama telah kudengar julukan busukmu itu! Dan sungguh kau memiliki nyali tinggi berani menyerangku!!" Sementara itu Sangga Rantek berkata dalam hati, "Apa yang diinginkan perempuan berkerudung merah ini dengan mengatakan dialah yang lakukan serangan?" Mendengar ucapan Nyi Genggong, Iblis Rambut Emas menyeringai. Seraya maju satu tindak ke muka dia berucap mengejek, "Tadi kukatakan, apa maumu, hah"!"
"Jahanam! Kurobek mulutmu, Keparaattt!!"
"Tunggu!!" seru Ki Pasu Suruan menahan Nyi Genggong.
Seketika si nenek berpakaian hitam compangcamping ini palingkan kepala disertai makian, "Apa maksud mu dengan 'tunggu', hah"!" Ki Pasu Suruan tak hiraukan makian si nenek.
Dia justru berkata pada Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, "Kita dikenal sebagai orang-orang golongan hitam! Itu pun yang mengatakan orang-orang yang merasa sok suci, orang-orang munafik yang iri dengan sepak terjang yang kita lakukan! Tak seharusnya kita saling bertikai sekarang! Mengapa kita tidak bergabung untuk mewujudkan keinginan"!"
"Mulutmu penuh bisa, Pasu Suruan!" sentak Sangga Rantek menyeringai lebar.
"Sungguh mengherankan melihatmu tak bersama Pancen Dadap!"
"Dia telah tewas di tangan Pendekar Slebor!!" Mendengar julukan itu disebutkan, Sangga Rantek berpandangan dengan Iblis Rambut Emas. Ki Pasu Suruan sendiri diam-diam membatin, "Hmmm... mereka nampak terkejut tetapi pancaran mata masing-masing orang penuh dendam. Aku yakin, kalau mereka punya urusan dengan Pendekar Slebor."
Selagi tak ada yang buka mulut, Ki Pasu Suruan yang memikirkan satu jalan terbaik sudah berkata, "Aku memiliki dendam setinggi langit pada pendekar yang banyak dipuji orang! Ingin kulihat pemuda itu berkalang tanah setelah mengalami siksaan yang sangat pedih! Kuakui, semula urusanku untuk mendapatkan dua potongan pedang untuk memecahkan rahasia apa yang ada di Pulau hitam! Namun... Pendekar Slebor telah membunuh Ki Pancen Dadap! Dan dia harus mati di tanganku!! Peduli setan apakah kalian mau bergabung atau tidak denganku untuk membunuh Pendekar Slebor! Peduli setan pula bila kalian menganggap kami sebagai lawan. karena... sudah tentu aku dan Nyi Genggong tak akan pernah tinggal diam!!" Kata-kata Ki Pasu Suruan yang diberikan penekanan cukup keras, membuat Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas terdiam. Masing-masing orang merasakan ada satu masukan lain yang dapat mereka pergunakan.
Sangga Rantek berpikir, "Setelah Pendekar Slebor terbunuh, berarti potongan pedang itu akan diperebutkan. Tetapi Iblis Rambut Emas dan Ki Pasu Suruan sudah berjanji tidak menginginkan benda itu. Kendati aku tak dapat mempercayainya, tetapi boleh dicoba. Hanya saja yang masih menjadi pikiranku, adalah rahasia di Pulau Hitam. Bisa jadi mereka memaksa untuk tetap menuju ke Pulau Hitam."
Iblis Rambut Emas berpikir, "Membunuh Pendekar Slebor juga keinginanku. Dia telah mempermalukanku. Tetapi mendapatkan potongan pedang itu pun kuinginkan. Sampai saat ini Sangga Rantek tidak tahu kalau aku mengetahui potongan Pedang Buntung yang merupakan pedang bagian hulu ada padanya. Dan aku yakin, Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong tak mengetahui hal itu. Bagus! Dengan cara bergabung, kekuatan akan bertambah.
Membunuh Pendekar Slebor akan lebih mudah. Bila Pendekar Slebor telah mampus, berarti aku tinggal membunuh Sangga Rantek.
Mengenai Pasu Suruan, sama sekali tak kupercayai ucapannya. Karena orang itu dikenal berotak licik. Tetapi aku yakin, dapat menaklukkannya...."
Karena tak ada yang membuka mulut, Ki Pasu Suruan menganggap tak ada yang menyetujui usulnya. Dia berkata pada Nyi Genggong, "Kita berangkat sekarang!"
"Tunggu! Perempuan berkerudung merah itu harus membayar perbuatannya!!"
"Tak usah kau pikirkan soal itu! Mereka orang-orang yang telah menganggap diri masing-masing memiliki kesaktian tak terkalahkan! Padahal kosong sama sekali! Dan tak sulit membunuh keduanya!!" Sementara wajah Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas mengkelap mendengar ucapan Ki Pasu Suruan, Nyi Genggong berkata, "Bagaimana dengan gadis itu?" Sejenak Ki Pasu Suruan menatap Gadis Kayangan yang masih pingsan. Ada rasa jengkel karena dia gagal untuk mempermalukan si gadis.
Lalu katanya yakin, "Kita tinggal saja!"
"Tunggu!!" terdengar suara Iblis Rambut Emas.
Perempuan yang merasa akan mendapatkan keuntungan bila Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan bergabung dengannya, sudah tentu tak akan melewatkan kesempatan di depan mala.
Ki Pasu Suruan hentikan gerakannya dan putar tubuh.
"Kau tetap ingin bertarung dengan kami, hah"!" sengalnya keras. Padahal dia tahu, kalau Iblis Rambut Emas telah tertarik dengan usulnya.
Terlihat jelas dari pancaran kedua mata perempuan itu.
Iblis Rambut Emas mendengus gusar.
"Lama kelamaan aku tak bisa menahan diri lagi untuk membunuh manusia celaka ini!" katanya dalam hati.
Lalu berujar, "Usul yang kau berikan memang sangat menarik. Terus terang, tanpa bergabung dengan kalian berdua, Pendekar Slebor akan tetap mampus di tangan kami!" Saat berkata 'kami', Iblis Rambut Emas melirik Sangga Rantek, sementara yang dilirik cuma mendengus. Kemudian lanjutnya, "Tetapi masing-masing orang di antara kita memiliki dendam pada Pendekar Slebor dan berkeinginan melihat pemuda itu mam...."
"Siapa bilang aku mendendam pada Pendekar Slebor?" putus Nyi Genggong. Dari wajahnya yang menekuk, jelas dia masih gusar dengan Iblis Rambut Emas yang disangkanya telah menyerang-nya tadi.
"Jangan mencoba memancing...."
"Itu bukan urusanku!" putus Iblis Rambut Emas membalas memotong kata-kata Nyi Genggong.
"Yang pasti, semua di antara kita menginginkan tiba di Pulau Hitam untuk mengetahui rahasia apa yang terpendam di sana. Dengan bersama-sama, kekuatan kita memang akan bertambah. Hingga paling tidak, kita dapat menguasai Pulau Hitam.
Yang menjadi masalah adalah, Pendekar Slebor.
Tetapi sekarang, pemuda itu bukanlah masalah yang harus dipikirkan lebih jauh. Aku setuju dengan usul Ki Pasu Suruan untuk bergabung! Sangga Rantek apa pendapatmu?" Lelaki berhidung bengkok itu terdiam. Nampak sekali kalau dia sedang mempertimbangkan segala sesuatu. Kejap kemudian terlihat kepalanya mengangguk-angguk.
"Memang tak ada salahnya kita mencoba! Dengan kata lain, kita jangan lagi dihina dan dianggap remeh oleh orang-orang munafik yang mengaku berada di jalan lurus! Sudah tiba saatnya kita unjuk gigi untuk menghadapi masalah ini!" Mengembang senyum Ki Pasu Suruan melihat kedua orang itu menyetujui usulnya.
"Kata sepakat sudah dicapai! Nyi Genggong... apakah kau menyetujui juga usul ini?" Nyi Genggong tak segera menjawab. Pandangannya masih tajam pada Iblis Rambut Emas, "Jahanam keparat! Senyuman di bibir perempuan celaka itu membuatku tak sabar untuk segera mengepruk kepalanya! Tetapi... apa boleh buat, untuk saat ini kubiarkan dia lakukan sikap seperti itu! Ingin kulihat apa yang bisa dilakukannya bersama Sangga Rantek bila bertemu dengan Pendekar Slebor!!" Habis membatin begitu, si nenek berpakaian hitam compang-camping ini menganggukkan kepala.
"Aku menyetujui usul itu!" Meledak tawa Ki Pasu Suruan mengetahui semua yang direncanakannya mencapai kata sepakat. Terbayang sudah kematian Pendekar Slebor di benaknya. Dan dia sungguhsungguh tidak sabar untuk melihat pemuda itu berkalang tanah.
"Pancen Dadap... tak lama lagi seluruh dendammu akan terbalaskan..."
desisnya dalam hati.
Kemudian katanya, "Bila memang kesepakatan sudah dicapai, sebaiknya kita berangkat melacak pemuda keparat itu!!"
"Tunggu!" desis Sangga Rantek.
"Kita tetap seperti semula! Aku dengan Iblis Rambut Emas, kau dengan perempuan tua bau tanah itu! Sehingga...."
"Tutup mulutmu!!" menghardik Nyi Genggong mendengar ucapan orang. Tangan kanannya mengepal dan agak bergetar tanda dia murka sekali.
Ki Pasu Suruan segera menenangkannya sementara di depan Sangga Rantek menyeringai lebar dan melanjutkan kata, "Kesepakatan yang telah kita capai, hanyalah untuk membunuh Pendekar Slebor! Sementara urusan lain tetap kita pegang masing-masing! Iblis Rambut Emas... kita berangkat sekarang!!" Habis kata-katanya, lelaki berpakaian serba hitam itu sudah berlari melalui jalan semula menuju ke barat daya. Dia tetap berusaha untuk melacak Pulau Hitam. Iblis Rambut Emas hanya menyeringai pada Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan, sebelum menyusul perginya Sangga Rantek. Perempuan berambut keemasan yang ditutupi kerudung merah ini tetap berkeyakinan, kalau Sangga Rantek sedang mencoba menuju ke Pulau Hitam. Sepeninggal kedua orang itu, Nyi Genggong menggeram dingin, "Jahanam keparat! Kelak kalian akan mendapatkan ganjaran dari sikap kalian saat ini!!" Ki Pasu Suruan yang tak ingin menambah kemarahan Nyi Genggong, cuma tersenyum. Lalu berkata, "Lupakan segala urusan amarah! Tujuan kita tetap membunuh Pendekar Slebor! Nyi Genggong... kita berangkat sekarang! Menyusul mereka...."
Nyi Genggong hanya mendengus dan mengikuti langkah Ki Pasu Suruan yang bergerak ke arah barat daya.

*****

Lima tarikan napas sepeninggal orang-orang itu, muncul seorang lelaki tua agak membungkuk. Lelaki berwajah arif ini menggelenggelengkan kepala begitu melihat sosok Gadis Kayangan yang masih pingsan.
"Hmmm... dari kejauhan sudah kudengar rencana busuk manusia-manusia durjana itu.
Sasaran mereka adalah Pendekar Slebor. Ah, sungguh malang nasib pemuda yang kudengar julukannya akhir-akhir ini bertambah santer. Pulau Hitam... ya, ya... Pulau Hitam. Rupanya masih ada orang-orang yang ingin mengetahui rahasia apa yang tersimpan di Pulau Hitam...."
Lelaki berpakaian panjang warna jingga ini mengasap jenggotnya yang memutih. Saat mengusap jenggotnya, terlihat di pergelangan tangan kanannya terdapat gelang-gelang baja hingga siku. Begitu pula dengan di tangan kirinya.
Hati-hati didekatinya Gadis Kayangan. Hanya sekali melihat, si kakek berwajah arif ini tahu kalau gadis itu dalam keadaan tertotok.
"Malang nasib gadis ini...," desisnya teduh. Lalu nampak dia meniup tiga kali.
Dan terlihat tiga kali tubuh Gadis Kayangan terjingkat.
Luar biasa! Rupanya si kakek melepaskan totokan yang dilakukan Nyi Genggong pada Gadis Kayangan hanya dengan cara meniup.
Bahkan lebih mengagumkan lagi, karena begitu tangan kanannya digerakkan ke atas, tubuh Gadis Kayangan perlahan-lahan terangkat naik yang segera ditangkap dan dibopongnya.
"Pulau Hitam... mereka termasuk orang-orang yang masih menginginkan untuk mengetahui rahasia Pulau Hitam...."
Habis desisannya, si kakek berwajah arif ini segera melangkah meninggalkan tempat itu ke arah timur laut. Baru lima tindak orang tua ini melangkah, mendadak saja sosoknya telah lenyap dari pandangan!

*****

«¤:¤| [ 10 ] |¤:¤»

Pagi kembali datang dan tebarkan udara sejuk ke segenap persada. Sang surya perlahan-lahan mulai muncul kepermukaan seraya lepaskan panah merahnya yang masih terasa suam-suam kuku.
Hamparan langit cukup cerah. Sisa-sisa burung yang masih mengangkasa, seolah lukisan yang hiasi persada langit.
Belum lagi butiran embun mengering, belum lagi burung-burung beterbangan, mendadak saja jalan setapak yang dipenuhi ranggasan semak belukar itu dipecahkan oleh suara kuda dipacu cepat. Dari kejauhan nampak seekor kuda hitam gagah berlari kencang. Dari setiap jalan yang dilaluinya, nampak kepulan debu mengudara. Penunggangnya yang mengenakan pakaian hijau pupus terlihat terus berucap, agak konyol, "Ayo, kuda! Jangan mau enaknya saja! Kita terus cabut lebih jauh dari tempat ini!!" Melewati jalan setapak itu, si penunggang kuda yang tak lain Pendekar Slebor, terus memacu kuda milik Hampar Gandeng yang diambilnya. Dengan cara menunggang kuda, tenaganya lebih banyak tersimpan ketimbang harus berlari.
Di sebuah sungai yang mengalirkan air jernih, anak muda urakan itu hentikan lari kuda tunggangannya, yang seketika meringkik dengan kedua kaki terangkat.
Bersamaan dengan itu, anak muda ini telah melompat dan hinggap di atas tanah. Pandangannya diperhatikan ke sekelilingnya yang sepi. Beberapa ekor kelinci langsung masuk kembali ke sarangnya begitu mendengar derap langkah kuda. Beberapa helai daun berguguran dan jatuh ke sungai yang secara perlahan namun pasti mau tak mau mengikuti aliran sungai itu.
"Hmmm... belum juga kutemukan lembah yang tertera pada potongan pedang milik Gadis Kayangan.
Memang tak mudah menuju ke Pulau Hitam hanya dengan pedoman sepihak. Jalan satu-satunya memang harus mendapatkan potongan Pedang Buntung yang dipegang Sangga Rantek. Tetapi, manusia itu pun tak kuketahui berada di mana. Ih! Sebenarnya ada apa sih di Pulau Hitam" Semakin dipikirkan, semakin butek otakku ini!!" Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sembari berpikir, dituntunnya kuda hitam itu untuk menikmati rerumputan yang berada di sana.
Kembali diedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Tetap sunyi dan tak ada tanda-tanda orang lain di sekitar sana kecuali dirinya dan... ya, bersama si kuda tuh! "Pulau Hitam.... Dari namanya saja sudah menampakkan kengerian yang dalam. Dan tempatnya hingga saat ini tak juga kuketahui.
Benar-benar kutu monyet! Apa yang sebenarnya menjadi rahasia Pulau Hitam" Huh! Nasib Gadis Kayangan hingga saat ini masih membingungkanku! Siapa orang yang telah mencelakakannya"! Dan hal lain yang masih harus kupikirkan, bagai mana bila dua orang yang mengaku Panembahan Agung berada di sana" Sudah pasti sih mereka akan berlangsung. Tetapi kan aku ingin tahu siapa yang asli dan siapa yang palsu?" Kembali anak muda ini garuk-garuk kepalanya.
"Menurut dugaanku, yang palsu adalah Dewa Lautan Timur. Tetapi yang mana orangnya" Apakah yang mendapatkan pecahan genting bertuliskan huruf 'PS' agak kehitaman atau yang satunya lagi" Mati kutu aku kali ini!!" Mendumal tak karuan si anak muda. Otaknya terus diperas untuk memikirkan masalah demi masalah yang terjadi. Bahkan tak dihiraukannya perutnya yang sudah keroncongan dan tubuh yang agak lengket. Karena kalau dia mencari makanan atau mandi dulu, akan banyak waktu yang terbuang. Padahal dia harus memburu waktu untuk menuntaskan semua persoalan yang ada.
"Lembah... ya, lembah itulah yang harus kucari.
Tetapi sudah tentu sangat sulit bila tak kudapatkan Pedang Buntung pada Sangga Rantek. Tetapi... apa yang tertera dalam potongan pedang di tangan Gadis Kayangan, memang menuju ke arah barat. Tengah malam tadi, yang kujumpai hanyalah sebuah air terjun belaka. Kupikir sebuah lembah! Kampret mati!!" Memang, pada tengah malam tadi, Andika telah tiba di air terjun yang merupakan patokan pertama menuju ke Pulau Hitam. Dan anak muda ini sekarang sudah berada pada arah barat daya dari air terjun itu. Bila saja dia tahu kalau air terjun yang ditemuinya adalah tanda pertama menuju ke Pulau Hitam, sudah tentu dia tak akan sebingung ini. Kemudian katanya lagi, "Sudah, ah! Kalau kupikir kan terus menerus di tempat ini, semakin banyak waktu ku yang terbuang! Lebih baik kulanjutkan perjalanan."
Lalu dihampirinya kuda hitam yang lagi asyik merumput. Ditepuknya punggung kuda itu dengan lembut.
"Sudah kenyang belum. Da" Kalau sudah, kita cabut! Kalau belum, maaf banget nih, kita juga harus cabut sekarang!!" Ya sudah tentu si kuda tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Andika. Dia tetap saja asyik merumput.
"E, busyet! Perutmu ternyata perut karung juga, ya" Sudahlah! Nanti kau boleh makan sepuas-puasmu! Kita teruskan perjalanan sekarang!!" Lalu dengan enaknya dia nyemplak kembali di punggung kuda hitam itu. Setelah diarahkan ke tujuan yang diinginkannya, anak muda ini segera menggebrak kudanya.
Tepat matahari di atas kepala, anak muda ini melihat dua buah bukit dari kejauhan. Dan saat ini dia sedang menjajaki hamparan padang rumput yang luas.
"Kutu monyet! Kenapa bukan lembah yang kuharapkan yang dapat kutemui! Semalam air terjun, sekarang dua buah bukit! Busyet! Kok berlawanan banget ya?" desisnya seraya menggebrak terus kudanya menuju ke bukit itu. Sejarak lima puluh tombak, Andika dapat melihat keangkeran kedua bukit itu. Saat ini matahari sedang galak-galaknya bersinar. Dari kedua bukit itu, seolah terlihat cahaya yang sangat terang, rupanya bukit itu memantulkan sinar matahari.
Sejarak sepuluh tombak, barulah Andika melihat lebih jelas keadaan bukit itu. Ternyata bukit kapur yang dipenuhi dengan batu-batu terjal.
"Pantas... seperti menyala," desisnya seraya hentikan lari kudanya.
Diperhatikan dengan seksama apa yang ada di hadapannya. Cukup lama pandangannya tetap mengarah pada bukit itu sebelum terlihat mengangguk-anggukkan kepala.
"Pertama air terjun... kedua dua buah bukit kapur.... Ih! Kok tempat-tempat semacam ini yang kutemui ya" Apa tidak ada tempat yang banyak ditumbuhi pohon buah biar perutku agak keganjal sedikit?" Lalu perlahan-lahan si Urakan ini turun dari kuda tunggangannya. Sambil melangkah ke depan, diperhatikan kedua bukit itu lekat-lekat.
"Dari kejauhan... nampak seperti bukit kembar.
Tetapi setelah dekat, wah! Apanya yang kembar?" Untuk beberapa saat anak muda ini masih berdiam di atas tanah berkapur yang dipijaknya.
Dan semakin lama nampak keningnya berkerut.
"Hmmm... apakah ini memang sebuah kebetulan" Air terjun... dua bukit kapur... atau...."
Sengaja memutus kata hatinya sendiri, Andika terdiam lagi. Nampak kalau dia berpikir keras.
"Bila memang ini hanya kebetulan tak jadi masalah. Tetapi bagaimana bila tidak" Anggaplah air terjun dan dua buah bukit kapur ini sebagai petunjuk menuju ke Pulau Hitam. Dan... ah, menganggap seperti itu tidak enak, ah. Mungkin ini hanya kebetulan saja.
Sebaiknya aku berangkat saja sekarang."
Berbalik pemuda tampan berambut gondrong acak-acakan ini. Namun baru tiga langkah, mendadak kembali diputar tubuhnya menghadap ke arah dua bukit kapur itu.
"Bagaimana bila ini memang sebuah petunjuk" Petunjuk menuju ke Pulau Hitam. Hmmm...
sebaiknya ku anggap saja begitu."
Karena menganggap seperti itu, diingat-ingatnya kembali apa yang tertera pada potongan pedang yang dimiliki oleh Gadis Kayangan. Dan Andika tidak dapat memastikan apakah potongan pedang itu masih berada di tangan si gadis atau tidak.
"Dari apa yang kuketahui... pada pokoknya harus menuju ke arah barat sebelum akhirnya ke selatan.
Pada potongan pedang di tangan Gadis Kayangan, patokan yang pertama kali diketahui adalah sebuah lembah. Tetapi ku yakini harus menuju ke barat sebelum... ah! Tak salah! Air terjun dan dua bukit kapur ini bukankah sebuah kebetulan. Ini memang menjadi patokan. Tetapi, arah mana yang sekarang harus kutempuh?" Kembali Pendekar Slebor terdiam memikirkan segala sesuatunya. Cukup lama dia terdiam sebelum akhirnya mendesah, "Sulit kuketahui secara pasti.
Tetapi paling tidak, aku telah mendapatkan sedikit petunjuk yang berarti. Hanya saja... masih kupikirkan nasib Gadis Kayangan. Di manakah dia sekarang" Apa yang dialaminya" Lagi pula, siapa orang di belakang Setan Cambuk Api yang sengaja menahan langkahku?" Garuk-garuk kepala sendiri si Urakan ini sebelum melanjutkan, "Persoalan masa lalu Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur masih belum terjawab. Sekarang aku bertambah yakin, kalau Dewa Lautan Timur menyuruh tiga orang berpakaian hitam gombrang untuk menjarah harta milik Panembahan Agung, hanyalah pancingan belaka. Mungkin untuk meyakinkan kalau Panembahan Agung memang tinggal di Pesanggrahan Bayu Api. Sementara dia sengaja melakukan sesuatu yang dapat kupastikan, kalau dia tengah mempersiapkan diri untuk menyamar sebagai Panembahan Agung. Tetapi, yang manakah Dewa Lautan Timur" Huh! Ingin sekali kulihat seperti apa wajah aslinya!!" Baru saja habis terdengar kata-kata Pendekar Slebor, mendadak saja tawa keras menggema ke seantero tempat. Beberapa bongkah batu kapur bergulingan berdebam.
Menyusul suara dingin, "Tak perlu bersusah payah untuk mengenali adanya orang! Dengan senang hati ku perlihatkan diriku padamu, Pendekar Slebor!!" Belum habis seruan itu terdengar, mendadak telah berdiri satu sosok tubuh tinggi bersorban kuning....

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Segera menyusul:
TABIR PULAU HITAM


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Pedang Buntung --oo0oo-- Tabir Pulau Hitam


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.