Pengkhianatan Joko Galing
tanztj
March 15, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
Istana Berdarah --oo0oo-- Dendam Mahesa Lanang |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
::₪ǂǂ 1 ǂǂ₪::
"Segala ilmu yang aku miliki telah kuturunkan pada dirimu, Joko," lelaki berjenggot serta berambut putih terurai itu berkata kepada muridnyaKini wak-tumu untuk mengamalkan segala ilmu yang kau miliki." Lelaki muda yang dipanggil Joko Galing hanya diam saja, menundukkan kepala mendengarkan penuh perhatian ucapan sang Guru. Lima tahun sudah Joko Galing menjadi murid Ki Mandra. Selama itu pula dia dididik dan digembleng dalam asuhan orang tua sakti itu, hingga kini menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu dan kemampuan tinggi.
Ki Mandra memandangi Joko Galing, lalu berkata, "Berjalanlah sesuai dengan apa yang selama ini aku ajarkan pada dirimu!" Joko Galing menengadahkan kepala sambil berkata, "Baik, Guru. Akan kulaksanakan semua yang Guru petuahkan dan ajarkan kepadaku." Ki Mandra mengangguk-anggukkan kepala, dengan bibir menyunggingkan senyum. Tampaknya lelaki tua berambut putih itu mengerti apa yang diucapkan sang Murid.
"Guru.... Kalau boleh aku ingin bertanya," ujar Joko Galing kemudian.
"Tentang apa, Joko?" Joko Galing terdiam sesaat, lalu menarik napas dalam-dalamGuru, apakah benar orangtua ku mati dibunuh Panca Iblis?" Ki Mandra tak menyahuti, tapi dari anggukan kepalanya bisa diartikan kalau sang Guru menjawab pertanyaan sang Murid. Kemudian ditatapnya wajah Joko GalingBolehkan aku menuntut balas, Guru?" Ki Mandra tersenyum, menggelengkan kepala.
"Sebagai seorang pendekar, kau tak boleh menyimpan dendam, sekecil apa pun, Joko. Melangkahlah di jalan lurus. Kalau ingin menumpas Panca Iblis, kau harus mendasarkan tindakanmu pada kepentin-gan umum, dengan tujuan menegakkan kebenaran dan keadilan. Bukan karena dendam kesumatmu.
Memang kebiadaban Panca Iblis telah banyak merugikan orang. Tumpaslah keangka-ramurkaan yang mereka lakukan. Itulah sebenarnya jalan yang lurus bagi seorang pendekar. Kau mengerti, Joko?" Joko Galing tidak segera menjawab. Ditariknya napas panjang, lalu menganggukkan kepala perlahan.
"Bagus." Ki Mandra bangkit dari duduknya, lalu melangkah meninggalkan sang Murid seorang diri, menuju kamarnya. Tak lama kemudian lelaki tua itu kembali keluar dan mendekati Joko Galing. Tangannya menggenggam sebilah pedang. Ditatapnya wajah Joko Galing yang duduk bersila di hadapannya.
"Joko, pedang pusaka ini sengaja kusimpan baik-baik," ujar Ki Mandra setelah menatap wajah muridnyaDulu Pedang Lembayung Merah ini sempat menggegerkan dunia persilatan. Barang siapa mempergunakan pedang ini, dan memiliki ilmu pukulan 'Lembayung Merah', dia akan menjadi pendekar yang sulit dikalahkan. Kau memang tak memiliki pukulan 'Lembayung Merah' tapi kau menguasai ilmu 'Serat Kendali', yang berguna sebagai pengendali nafsu angkara murka. Pakailah pedang ini untuk kebaikan. Jangan kau gunakan dalam tindak kejahatan," saran Ki Mandra.
Joko Galing terdiam menundukkan kepala, berusaha meresapi apa yang dikatakan gurunya.
Hatinya merasa bangga, karena yakin kalau pedang sakti ini akan menjadi miliknya. Dan setelah memiliki Pedang Lembayung Merah, dia akan menjadi pendekar yang sakti.
"Terimalah pedang ini, Joko." Ki Mandra mengulurkan tangannya, menyerahkan Pedang Lembayung Merah pada Joko Galing. Pemuda itu segera menyambut dengan mengulurkan kedua telapak tangannya ke atas. Setelah sampai di tangan, segera diciumnya pedang pusaka itu. Kemudian dililitkan tali pedang ke tubuhnya, hingga senjata itu tersandang di punggung Joko GalingIngat, Joko! Pedang itu hanya untuk membela kebenaran dan keadilan. Jangan kau gunakan dalam tindak kejahatan! Jika kau lakukan hal itu, celakalah dirimu. Kau akan menerima siksa dari pedang itu," tutur Ki Mandra memperingatkan Joko Galing yang telah menyandang senjata pusaka itu.
"Baik, Guru! Selalu kuingat segala pesanmu," sahut Joko Galing sambil menundukkan kepala.
"Joko, jika kau sudah turun gunung, carilah seorang pendekar yang bisa membantumu. Mintalah petunjuk, dan bila perlu mengabdilah padanya!" saran Ki Mandra lagi.
"Siapakah dia, Guru?" tanya Joko Galing ingin tahuAku sendiri kurang tahu namanya. Tapi di kalangan dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Tingkah lakunya memang seperti orang gila," jawab Ki Mandra.
Sesaat Joko Galing terdiam, dengan kening mengerut. Hatinya bertanya-tanya siapa sebenarnya Pendekar Gila. Dihelanya napas dalam-dalam, seakanakan berusaha menenangkan perasaannya. Ingin sekali dia seperti Pendekar Gila, yang sangat kesohor dan disegani di kalangan dunia persilatanSiapakah Pendekar Gila itu, Guru" Dan mengapa dia disegani tokoh-tokoh persilatan?" dengan agak ragu, akhirnya Joko Galing bertanya.
"Hm..., dia seorang pendekar berbudi luhur. Ilmunya sangat tinggi, tetapi tidak sombong dan merasa besar. Bahkan, sering merendahkan diri," jawab Ki Mandra.
Joko Galing terdiam. Kepalanya menganggukangguk, seakan mengerti. Namun perasaan hatinya yang iri pada Pendekar Gila, tak dapat ditepiskan. Dia ingin seperti pendekar itu yang tersohor bahkan sangat ditakuti.
"Ada apa lagi, Joko" Tampaknya kau bimbang," tukas Ki Mandra dengan mata menatap tajam ke wajah Joko Galing. Tatapan lelaki tua itu seperti tengah menyelidik apa yang dipikirkan sang Murid.
"Ah! Tidak, Guru! Aku mengerti."
"Bagus kalau begitu." Ki Mandra sesaat menghela napas pelan. Matanya masih menatap wajah sang Murid. Kepala lelaki tua itu mengangguk-angguk. Tangan kirinya membelai-belai jenggotnya yang panjang dan putih.
"Berangkatlah! Amalkan semua ilmu yang telah kau peroleh, untuk membela kebenaran dan keadilan!" perintah Ki Mandra, setelah sesaat terdiam menatapi wajah muridnya.
"Baik, Guru! Aku mohon pamit," pinta Joko Galing sambil menyembah. Kemudian dengan diikuti tatapan mata sang Guru, Joko Galing melangkah meninggalkan rumah gurunya.
Lima tahun terasa begitu cepat berlalu. Joko Galing tak pernah lupa pada peristiwa mengenaskan, yang menimpa keluarganya. Kedua orang tuanya dibantai Panca Iblis.
Joko Galing menengadahkan wajah memandang ke langit biru. Dihelanya napas panjang-panjang, menghirup udara pagi yang sejuk. Hm, kini aku telah punya kemampuan. Akan kubalas kematian keluargaku. Tunggulah pembalasanku, Panca Iblis! Hutang nyawa harus dibayar nyawa pula, batin Joko Galing penuh dendam. Tangannya memegang gagang Pedang Lembayung Merah yang tersampir di punggung.
Srt! Dicabutnya Pedang Lembayung Merah dari warangka. Seketika tubuhnya tergetar hebat. Seakan pedang itu mengandung kekuatan sangat dahsyat yang disertai keluarnya cahaya merah menyilaukan mata.
"Ukh! Akh...!" Joko Galing mendesah. Tubuhnya mengucurkan keringat dingin, ketika mengerahkan tenaga dalam untuk dapat menguasai kekuatan pedang itu.
"Ukh! Akh...! Pedang ini seperti menyedot seluruh kekuatanku," keluh Joko Galing merasakan getaran yang teramat kuat. Sehingga dirasakan tenaganya terkuras habis.
Pedang itu terus tergetar dengan hebat. Semakin keras getaran yang ditimbulkan, semakin terang sinar merah yang keluar.
"Ukh! Akh...!" Joko Galing terus melenguh. Tenaganya semakin lama terkuras. Wajahnya memucat, bagaikan tak berdarah. Rasa gentar seketika menjalar di hatinya, menyaksikan kedahsyatan Pedang Lembayung Merah di tangannya. Dia menyangka, kalau kekuatan pedang itu hebat sekali.
"Oh, tenagaku hampir habis!" keluh Joko Galing dengan wajah kian memucat dan tegang, merasakan getaran pedang masih tetap kuat.
"Joko, Anakku. Kau tak akan mampu mengendalikan kekuatan pedang itu, jika batinmu belum tenang. Hatimu diliputi rasa dendam. Dendam adalah setan. Gunakanlah ilmu 'Serat Kendali' yang kau mili-ki. Dengan ilmu itu kau akan mampu memegang Pedang Lembayung Merah'," terdengar suara gurunya memberi tahu.
"O, ampunkanlah aku, Guru. Aku telah terlena melupakan petuahmu," keluh Joko Galing.
Kemudian dengan memejamkan mata, Joko Galing mengerahkan ilmu 'Serat Kendali'. Dibuangnya perasaan marah. Dan segera disatukan segenap rasa dan indra pada ketenangan jiwanya. Saat itu pula, Pedang Lembayung Merah mulai melemah. Getaran dan sinar merah yang menyilaukan mata tampak mereda.
Napas Joko Galing tersengal-sengal, seperti habis berlari kencang ribuan tombak. Keringat masih mengucur, membasahi sekujur tubuhnya. Perlahanlahan ditariknya napas panjang mencoba mengatur perasaanO, betapa hebat pedang ini!" gumam Joko Galing lirih.
"Hati-hatilah, Anakku. Berangkatlah dengan ketenangan jiwamu! Jiwa seorang pendekar," suara Ki Mandra gurunya kembali terdengar.
"Baik, Guru. Terima kasih atas jasamu selama ini!" sahut Joko Galing.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, pemuda itu melesat meninggalkan tempat itu.
Tubuhnya dalam sekejap saja sudah menghilang di balik pepohonan hutan yang dilaluinya.
Kini tujuan Joko Galing hanya satu, mencari Panca Iblis yang telah membantai keluarganya. Juga telah membuat kesengsaraan penduduk Desa Kalasan.
Kemudian yang kedua, mencari Pendekar Gila seperti yang disarankan sang Guru.
"Hea! Heaaa...!" Tubuh Joko Galing terus melesat menggunakan ilmu lari yang bernama 'Gerak Sewu". Sebuah ilmu lari yang mengandalkan kecepatan gerakan kaki. Sehingga kaki Joko Galing seperti ada seribu, karena begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap saja pemuda itu telah sampai di bawah Gunung Panalu.
"Hih...!" Joko Galing menghela napas. Matanya memandang lepas ke atas, seolah-olah hendak melihat sang Guru yang berada di lereng gunung itu. Teringat kembali lima tahun yang lalu dia ditolong lelaki tua itu dari kematian yang telah merenggut keluarganya.
"Guru, sungguh besar jasamu padaku," desah Joko Galing ketika teringat kebaikan Ki Mandra yang telah mengasuhnya selama ini. Tanpa adanya lelaki tua itu, mungkin dia sudah mati pula di tangan Panca Iblis. Baiklah, untuk mengetahui siapa sebenarnya Joko Galing kita kembali ke lima tahun yang silam. Ki-ta akan mengikuti sejenak bagaimana sampai Joko Galing menjadi murid Ki Mandra.
***
Warga Desa Kalasan yang ketakutan melihat sepak terjang Panca Iblis tak satu pun yang berani melawan. Semua diam membisu, meski dari pancaran mata mereka tergambar kebencian yang mendalam.
"Katakan pada Ki Santanu, agar disiapkan pesta meriah! Kami akan datang ke rumahnya!" seru Gaja PoloHai, jawab...! Kalian seperti orang bisu!" bentak Ranguwalang, lelaki bertubuh tinggi dan kurus, mengenakan pakaian biru kehitaman. Lelaki berambut kaku dan hidung pesek itu, orang ketiga dari Panca Iblis. Namun para warga desa yang ketakutan itu tak mampu menjawab bentakan keras itu.
"Kurang ajar! Kalian rupanya mencari mampus!" maki Sartakulir, orang kedua dari Panca Iblis.
Rambutnya yang panjang terurai, dengan ikat kepala kain coklat. Crang! Sartakulir mencabut pedangnya. Kemudian dijalankan kudanya mendekat ke kerumunan penduduk yang tak berani pergi dari tempat itu. Karena jika pergi, melayanglah nyawa merekaAyo, jawab! Apa kalian ingin pedang ini yang bicara"!" bentak Sartakulir sambil mengancungacungkan pedang di depan warga desa yang semakin ketakutan. Namun tiba-tiba...
"Pengecut! Kalian hanya berani dengan orangorang lemah!" terdengar bentakan keras dari belakang.
Ketika Sartakulir menolehkan kepala, dilihatnya dua orang berbadan tegap dengan muka tak kalah garang, telah berdiri sekitar sepuluh tombak di belakangnya. Kedua lelaki berpakaian sama hitam dengan loreng-loreng merah itu, tak lain tangan kanan Ki SantanuHeh...! Siapa kalian"!" bentak Gaja PoloBerani benar menantang Panca Iblis!"
"Hm, apa yang mesti kami takutkan"! Sepasang Clurit dari Simolawang, tak pernah gentar!" sahut Kerto Badru. Lelaki berbadan tinggi tegap dengan kumis melintang tebal.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari mampus, Centeng Tolol!" bentak Gaja Polo. Matanya membelalak lebar diliputi amarah.
"Hm, kuharap kalian jangan sesekali berani menginjakkan kaki di desa ini!" kata Kerto Wala. Wajahnya pun menunjukkan keangkeran, seolah ingin menunjukkan pada kelima Panca Iblis kalau mereka bukan orang-orang sembarangan.
"Kurang ajar! Singkirkan mereka!" perintah Ga-ja Polo pada keempat rekannya.
"Biar aku saja yang menyingkirkan centeng tolol itu!" sahut Barda sambil melompat dari punggung kudanya. Dengan langkah tegap sambil membusung-kan dada, Barda berjalan perlahan mendekati kedua tangan kanan Ki Santanu. Tangannya memegang golok besar yang tersandang di punggungnya.
Kedua tangan kanan Ki Santanu segera mencabut senjata masing-masing yang berbentuk clurit. Mata keduanya menatap tajam lelaki berpakaian kuning gading yang melangkah semakin dekat.
"Bersiaplah kalian untuk mampus!" dengus Barda sambil menarik goloknya dari warangka.
Srt! "Hea!"
"Yea!" Barda segera merangsek dengan kibasan golok besarnya. Kerto Badru dan Kerto Wala seketika berlompatan mundur mengelakkan babatan golok lawan.
Kemudian dengan cepat keduanya balas menyerang dengan sambaran cluritnya.
"Hea!"
"Yea!" Wuttt! Dalam sekejap, pertarungan telah berjalan dengan seru. Namun tampaknya kemampuan Kerto Badru dan Kerto Wala berada setingkat di bawah lawannya.
Dalam beberapa gebrakan saja, Barda mampu menguasai keadaan. Golok besarnya terus berkelebat cepat memburu kedua lawannya.
"Mampuslah kalian!" bentak Badra.
Wrt! Golok besar itu berkelebat cepat Jreb! Jreb! "Wuaaa...!" Kedua lawan Badra menjerit kesakitan ketika golok besarnya membabat tubuh Kerto Badru dan Kerto Wala. Kedua ambruk dengan mata terbelalak. Sesaat keduanya mengejang kesakitan, kemudian tewas.
Badra tersenyum mencibirkan bibirnya. Kemudian dengan angkuh didepaknya kedua tubuh tangan kanan Ki Santanu yang sudah menjadi mayat.
"Lihat! Apakah kalian ingin seperti mereka"!" seru Badra pada warga Desa Kalasan yang semakin ketakutan setelah menyaksikan kedua tangan kanan Ki Santanu dalam beberapa gebrakan saja telah tewas.
"Cepat katakan pada Ki Santanu, siapkan penyambutan kami!" perintah Gaja Polo.
Warga desa yang sudah ketakutan itu pun menurut. Mereka segera meninggalkan tempat itu, untuk memberi tahu Ki Santanu tentang kedatangan Panca Iblis. Ki Santanu yang tak suka kalau orang-orang jahat menginjakkan kaki di desanya, dengan tegas menolak kedatangan Panca Iblis. Mendengar penolakan kepala desa itu. Panca Iblis itu mengamuk, mereka membakari rumah-rumah penduduk dan membantai orang-orang Desa Kalasan. Bahkan keluarga Ki Santanu dibantai habis. Namun tanpa diduga, ketika pembantaian keji itu tengah berlangsung, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat cepat dan merenggut tubuh Joko Galing dari amukan Panca Iblis.
Sosok itu ternyata Ki Mandra. Sejak saat itu, Joko Galing diangkat sebagai murid orang tua sakti itu. Joko Galing menarik napas panjang-panjang, setelah membayangkan kembali kejadian yang mengenaskan lima tahun silam. Entah bagaimana keadaannya Desa Kalasan saat ini, pikir pemuda itu.
"Hm," Joko Galing menggumam tak jelas, kemudian melesat menuruni lereng gunung. Tujuannya hanya satu, ke Desa Kalasan.
***
::₪ǂǂ 2 ǂǂ₪::
Namun akhir-akhir ini warga bertambah resah dengan kedatangan seorang wanita muda dan cantik yang telah mampu mengalahkan Panca Iblis. Wanita itu menghendaki agar para pemuda tampan harus merelakan dirinya sebagai kekasihnya. Mereka dijadikan pemuas nafsu wanita cantik ituKabarkan kepada semua penduduk, agar setiap malam menyerahkan anak lelaki mereka kepadaku. Kalian mengerti..."!"
"Daulat, Nyi Mas," jawab kelima orang yang menamakan dirinya Panca Iblis yang telah takluk pada wanita cantik itu.
"Bila ada warga atau pemuda yang membantah, tumpas! Jangan beri ampun!" kembali wanita cantik berpakaian merah jambu itu berkataDaulat, Nyi Mas!" jawab orang-orang Panca Iblis serempak.
"Barda, coba kau cari anak Ki Santanu!" Barda mengerutkan kening mendengar perintah wanita yang dipanggil Nyi Mas itu.
"Untuk apa, Nyi Mas" Bukankah anak itu nanti akan merepotkan kita"!"
"Jangan membantah, Barda!" bentak wanita cantik itu yang ternyata Nyi Mas Lindri.
Barda terdiam. Segala perintah pimpinannya memang harus dilaksanakan dan tak seorang pun yang berani membantah.
"Daulat, Nyi Mas. Saya akan mencarinya," jawab Barda setelah terdiam beberapa saatNamun, apabila kelak anak itu membahayakan kita, Nyi Mas jangan menyesali dan menyalahkanku!"
"Semua tanggung jawabku, Barda!" suara Nyi Mas Lindri meninggi, pertanda marah.
Kelima lelaki yang duduk di hadapannya menundukkan kepala, tak berani bertatap pandang.
Nyi Mas Lindri memang seorang wanita cantik, tapi ilmunya di atas kelima Panca Iblis.
Barda yang tahu gelagat, segera minta pamit.
Lelaki berpakaian kuning gading itu beranjak pergi untuk mencari Joko Galing.
Walau tak tahu apa sebenarnya maksud sang Ketua, Barda tak berani membantah apalagi menentangnya. Dengan perasaan kurang enak, Barda melangkah pergi.
"Aneh! Bukankah dulu dia yang menyuruh agar dibunuh semua keturunan Ki Santanu"! Kenapa sekarang malah menyuruhku mencari anaknya yang hilang?" Barda bertanya-tanya sendiriHm.... Untuk apa anak itu" Ah, memang susah bekerja sama dengan wanita!" Barda telah melangkah jauh meninggalkan Hutan Gendis tempat Panca Iblis berada. Namun pikirannya masih bingung harus menuju arah mana untuk mencari anak Ki Santanu, yang entah berada di mana.
Tapi ketika Barda tengah berjalan memasuki sebuah hutan, tiba-tiba....
"Manusia keparat..! Tungguuu...!" Barda tersentak, lalu memalingkan wajah ke arah suara itu. Dilihatnya segerombolan orang berlarian mengejar Barda. Dua puluh lima orang yang mengenakan ikat kepala bergambar tanduk merah itu ternyata anak buah Begal Setan Tanduk Merah. Sebuah perkumpulan begal yang akhirnya terdesak kedudukannya di Hutan Gendis setelah kedatangan Panca Iblis, apalagi semenjak Panca Iblis dipimpin Nyi Mas Lindri.
Siapa mereka..." Tanya Barda dalam hati. Apa urusan mereka denganku" Barda yang belum yakin apa maksud gerombolan itu nampak terdiam menunggu kedatangan mereka. Namun Barda tersentak kaget, ketika melihat tangan orang-orang itu menggenggam senjata terhunus, seperti tengah memburu musuh.
"Siapa kalian?" tanya Barda belum mengerti.
Ketua Begal Setan Tanduk Merah tersenyum sinis mendengar pertanyaan Barda. Bagi dia ucapan Barda adalah ucapan seorang pengecut. Pertanyaan seseorang yang tengah ketakutan.
"Ha ha ha...! Kenapa harus berpura-pura, Barda" Apa kau tak ingat dengan kami yang telah kau hina dulu" Setahun yang lalu. Kau dan teman-temanmu telah memaksa kami harus menyingkir dari Hutan Gendis," ujar Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah yang bernama Mangala.
Barda kembali mengerutkan kening. Dia benarbenar tak mengerti siapa sebenarnya mereka. Bertemu saja baru kali ini.
"Kedatangan Panca Iblis, telah menyebabkan kami sengsara. Kekuasaan kami di wilayah Desa Kalasan lenyap. Maka itu, kami akan menuntut balas! Nah, kini kematianmu menandai awal perjuangan kami! Anak buah, seraaang...!" perintah Mangala.
Mendengar perintah pimpinannya, seketika kedua puluh orang anggota Begal Setan Tanduk Merah segera mengepung Barda yang masih berusaha tenang.
Semua anggota Begal Setan Tanduk Merah telah siaga tanpa menyerang, semua menunggu perintah dari pimpinan mereka. Mata mereka terus menatap tajam pada wajah Barda.
Barda menyunggingkan senyum.
Kesempatan, akan aku dului mereka, gumam Barda membatin.
Srt! "Yeaaa...!" Secepat kilat Barda mencabut golok besarnya, lalu secepat kilat dibabatkan ke tubuh musuh-musuh yang merangsek dirinya.
"Awaaas...!" pekik Mangala mengingatkan pada anak buahnya. Namun serangan Barda ternyata datang begitu cepat. Sehingga....
Bret! Bret! Bret...! "Aaakh...!"
"Wuaaa...!" Tiga orang anak buah Begal Setan Tanduk Merah terpekik, ketika perut mereka terbabat golok besar Barda. Mereka tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengerang kesakitan. Sesaat ketiganya kelojotan lalu akhirnya roboh dengan tubuh berlumuran darah.
"Bangsat! Kau telah membunuh anak buahku.
Kau harus mampus di tangan kami. Seraaang...!" perintah Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah. Gerombolan itu langsung menyerang dengan senjata mereka.
Wrt! "Yeaaa...!" Pedang dan golok di tangan anggota Begal Setan Tanduk Merah berkelebat memburu tubuh Barda.
Dengan cepat Barda mengelak sambil memapakai serangan dengan kibasan golok besarnya.
Wrt! Trang! Trang...! Prak! Terdengar beberapa kali benturan keras. Pedang dan golok kedua lawan yang menyerang patah.
Kedua anak buah Begal Setan Tanduk Merah tersentak dan melompat mundur menghindari babatan golok Barda. Wrt! "Hap...!" Dua orang yang lain merangsek maju.
"Hiyaaat...!"
"Heaaa...!" Teriakan-teriakan keras mengiringi serangan yang dilakukan anak buah Mangala.
Wrt! Srap! Pedang dan tombak berkelebat mengarah ke tubuh Barda. Segera Barda kembali mengibaskan goloknyaHeaaa...!" Wuttt! "Mampus kau Barda...!" pekik orang memegang tombak seraya menyodokkan ujung tombak yang runc-ing dan beracun ke tubuh Barda.
"Uts!" Barda tersentak, lalu melompat mundur mengelakkan serangan lawan.
Wrt! "Ihhh...!" Tombak lawan terus mencecar tubuh Barda.
Namun dengan cepat Barda bergerak ke samping dan melompat mundur mengelakkan serangan itu.
Aku harus menghalau serangannya, pikir Barda. Golok besar itu dikibaskan ketika tombak lawan kembali melesat ke perutnya.
Wrt! Trang! Dentangan keras pun terdengar ketika golok besar di tangan Barda berhasil membabat tombak lawan. Prak! "Hah..."!" Terbelalak mata orang yang menyerang Barda, ketika ujung tombaknya patah tersambar golok besar Barda. Belum sempat hilang rasa kagetnya, Barda telah kembali merangsek sambil membabatkan golok.
Wrt! "Ahhh...! Bangsat!" Orang itu tersentak kaget karena merasa mati langkah. Golok di tangan Barda berkelebat cepat ke tubuhnya. Hampir saja nyawanya melayang, kalau kawan yang lain tak segera membantu.
"Minggir...! Heaaa...!" Wuttt! Serangan cepat pedang lawan sempat membuat tersentak Barda. Namun kemudian-dengan cepat pula golok besarnya dikibaskan. Dan....
Trang! "Mampus kau!" bentak Badra. Golok besarnya terus berkelebat memapak dan melancarkan serangan ke tubuh lawan. Namun belum sempat golok itu mengenai sasaran, tiga orang melesat cepat memapak serangan Barda dengan trisula. Mereka dikenal dengan julukan Trisula Setan.
"Hea!"
"Yea!" Teriakan-teriakan terdengar, mengiringi serangan ganas mereka.
Trang, trang! Badra tersentak kaget lalu segera menarik serangan ke belakang dengan mata terbelalak kaget. Sedangkan tiga orang bersenjata trisula itu tersenyum, mengejek Barda yang sejenak tampak kewalahan.
Ketiga Trisula Setan itu, merupakan penjajakkan terakhir bagi Gerombolan Begal Setan Tanduk Merah. Jika ketiganya terdesak, maka Gerombolan Begal Setan Tanduk Merah akan menyerang secara serentak.
"Kami lawanmu, Barda," ujar lelaki berkepala botak dan bertubuh besar. Matanya menatap tajam wajah BardaNah, kini hadapilah Trisula Setan!"
"Hea...!"
"Yea...!"
"Hea...!" Tanpa menunggu jawaban dari Barda. Trisula Setan segera menggebrak dengan serangan. Trisula di tangan mereka langsung mencecar secara bergantian ke tubuh Barda dengan jurus 'Kembang Mayang Kara'.
Melihat serangan beruntun yang dilakukan ketiga lawannya. Barda segera melompat menghindar sambil membabatkan golok besarnya untuk menangkis serangan. Wuttt! Srt! "Hah...!" Barda tersentak kaget, ketika goloknya terjepit di ujung trisula lawan. Tangan Barda menarik dengan kuat, berusaha melepaskan golok besar itu. Namun trisula yang lain langsung merangsek dan ikut menjepit senjata Barda.
Krek! Trang! Mata Barda membeliak kaget. Keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya. Seluruh tenaga dalam yang ada telah dikerahkan untuk membebaskan goloknya dari jepitan trisula lawan "Matilah kau, Barda...!" satu lagi Trisula Setan melesat, tapi tak seperti kedua rekannya. Lawan yang ketiga kini mengarahkan trisulanya ke mata Barda.
Srt! "Ahhh...!" sentak Barda sambil mengerakkan kepala, mengelakkan serangan yang hampir menusuk matanya. Lalu dengan cepat Barda bergerak melompat ke belakang dan melepaskan goloknya. Nyawanya terlepas dari maut, namun senjata andalannya kini berpindah ke tangan lawan.
"Hah...!" Mata Barda membelalak. Tubuhnya semakin terdesak serangan lawan yang terus memburu. Dengan hati diliputi rasa cemas. Barda terus melompat ke sana kemari, mengelakkan serangan lawan. Dia tak mau mati begitu saja di tangan anak buah Begal Setan Tanduk Merah.
Sementara trisula di tangan lelaki bertubuh kurus terus memburu Barda.
"Ha ha ha...! Kini mampuslah kau, Barda!" seru Mangala, pimpinan Begal Setan Tanduk Merah sambil tertawa terbahak-bahakKau harus memberitahukan di mana kelemahan Panca Iblis pada kami!"
"Bedebah! Sampai mati pun tak akan kuberitahu, Kunyuk!" dengus Barda sengit.
Mangala mencibirkan bibir mengejek Barda. Lalu sambil mengibaskan tangan sebagai isyarat kepada Trisula Setan agar segera membereskan lawannya, pimpinan Begal Setan Tanduk Merah melangkah mundur dengan masih tertawa terbahak-bahak.
"Selamat berpisah, Barda! Hua ha ha...! Mampuslah kau...!" Tanpa senjata Barda terpaksa harus menghadapi Trisula Setan yang terus menyerang dengan ganas. Meskipun gerakannya untuk mengelak terus dipercepat. Namun Barda tetap semakin terdesak dan tampak kewalahan. Dia tak mampu lagi melakukan serangan, kecuali hanya bergerak menjauh dari ketiga lawan tangguhnya itu.
"Hea...!"
"Yea...!" Teriakan-teriakan keras terus terdengar, mengiringi serangan yang kian ganas dari Trisula Setan.
Wrt! Srt! Ketiga trisula itu terus membabat dan menusuk ke tubuh Barda yang kian mengendur pertahanannya.
Hingga.... Wuttt! Bret! "Aaakh...!" Barda terpekik ketika perutnya tersambar trisula di tangan salah seorang lawan.
Trisula Setan terus mengejar tubuh Barda yang kian melemah tubuhnya. Namun tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat cepat Dan....
Wrt! Trang, trang, trang...! "Aaa...!" Ketiga Trisula Setan itu terpekik. Ketiganya merasakan ada hawa panas menjalar lewat tangannya, ketika senjata mereka berbenturan keras dengan sebuah suling yang tiba-tiba memapaki serangan ke tubuh BardaAha...! Rasanya tak adil, Kisanak! Satu orang harus menghadapi keroyokan...," ujar pemuda berompi kulit ular yang telah menangkis serangan Trisula Setan. Mulutnya cengengesan sambil menyelipkan suling ke pinggangSetan...! Berani benar kau ikut campur"!" maki Mangala. Matanya seketika menatap seorang pemuda bertingkah laku seperti orang gila yang berdiri di samping BardaBedebah! Kau rupanya mencari mampus, Anak Muda! Kau berani menolong penjahat!" Pemuda yang tak lain Sena atau yang berjuluk Pendekar Gila itu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan pimpinan Begal Setan Tanduk Merah.
"Apakah kalian bukan penjahat" Hi hi hi...!"
"Bangsat! Siapa kau, Bocah Gila!" dengus Mangala marahKatakan, sebelum anak buahku ini men-cincang tubuhmu!"
"Hi hi hi.... Lucu! Aku katakan juga percuma, Kisanak! Nah, kalau kalian manusia, hendaknya memelihara rasa kemanusiaan. Mengapa kalian mau membunuh orang yang sudah tak berdaya" Hi hi hi..!" sahut SenaBocah edan! Jangan menggurui kami! Anak buah, serang keduanya jangan beri ampun...!"
"Hiaaat..!" Gerombolan Begal Setan Tanduk Merah segera melaksanakan perintah pimpinannya. Mereka serentak mengepung dan menyerang Pendekar Gila yang berusaha melindungi Barda.
"Sobat, apa kau bisa menjaga diri?" tanya Sena sambil cengengesan, tangannya menggaruk-garuk kepala. Padahal lawan-lawannya siap untuk melakukan serangan. Hal itu membuat Barda terheran-heran melihat tingkah laku pemuda yang menolongnya. Seakan pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu, belum siap untuk melakukan pertarunganAku akan berusaha," sahut Barda.
"Aha, bagus! Kita akan main-main dengan mereka, Kisanak!" ujar Sena sambil cengengesan.
"Bocah edan! Rupanya kau mencari mampus!" dengus lelaki berkepala botak, salah seorang dari Trisula Setan.
"Hi hi hi...! Mampus..." Aha, rupanya kau sudah tak betah hidup, Botak..!" ujar Sena, semakin membuat orang-orang Begal Setan Tanduk Merah bertambah marah.
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu...!" dengus Mangala.
"Hiaaa...!"
"Heit! He he he...!" Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan lawan, sekaligus melindungi Barda.
"Hea...!"
"Yea...!" Menyaksikan jurus yang dilancarkan Pendekar Gila, anak buah Begal Setan Tanduk Merah bertambah marah dan beringas. Jurus yang sepintas kelihatan lemah dan pelan itu, mengundang mereka untuk terus melakukan serangan-serangan gencar. Mereka menganggap pemuda bertingkah laku gila itu tak memiliki kemampuan ilmu silat.
"Kucincang tubuhmu, Bocah Edan!" maki Mangala seraya mengayunkan pedang membabat Pendekar Gila. Namun, dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', tubuh Sena meliuk. Kemudian sambil cengengesan, tangannya bergerak menepuk ke dada lawan.
"Hi hi hi...! Kurang tepat, Kisanak! Hih...!" Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah tersentak kaget, ketika tangan Pendekar Gila tiba-tiba hampir menghantam dadanya. Padahal gerakan Pendekar Gila tampak pelan dan lemah.
"Edan! Jurus edan...!" maki Mangala sambil melompat mundur, mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Matanya terbelalak, seperti tak percaya dengan apa yang terjadi. Tubuhnya hampir sa-ja terhantam telapak tangan Pendekar Gila, kalau saja tak segera mencelat ke belakang.
"Hi hi hi...!" Dengan cengengesan, Pendekar Gila kembali bergerak. Tubuhnya diputar ke arah kiri. Kemudian dengan tangan diangkat ke atas, tubuhnya mengitari Barda. Sedangkan tangannya yang telah memegang Suling Naga Sakti, kini bergerak memukul lawanlawannya yang hendak menyerang.
"Tenang, Kisanak! Kau harus memusatkan jiwamu agar tidak pusing," saran Sena, mengingatkan pada Barda agar tidak terpengaruh gerakan dari jurus 'Gila Melepas Lilitan Benang'. Sebuah jurus yang membuat lawan terbelalak keheranan.
"Jurus edan!" maki Mangala, pimpinan Begal Setan Tanduk Merah, merasa sangat sulit baginya dan anak buahnya untuk dapat menembus pertahanan Pendekar GilaCuih! Anak-anak, pergi...!" Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah segera menggerakkan tangan kanan, memerintah anak buahnya agar cepat meninggalkan tempat itu. Seketika itu pula, anak buah Begal Setan Tanduk Merah berlarian meninggalkan Hutan Galadema, tempat pertarungan mereka berada.
***
::₪ǂǂ 3 ǂǂ₪::
"Aha, biarkan saja gerombolan itu pergi, Kisanak! Tak usah kau kejar. Sia-sia saja kau mengejar mereka," ujar Pendekar Gila sambil melangkah mendekati Barda yang segera menghentikan langkahnya.
"Tapi mereka sangat berbahaya, Kisanak," ujar Barda cemas.
"Hi hi hi...! Kecemasan hanya ada di hati orang yang berbuat dosa dan salah...," tutur Pendekar Gila dengan cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.
Seakan-akan berbicara pada diri sendiri.
Mendengar ucapan Pendekar Gila, Barda tersentak. Dia tidak menyangka, kalau pemuda tampan yang bertingkah laku seperti orang gila itu mampu berbicara seperti layaknya seorang guru besar.
Pendekar Gila melangkah sambil menengadahkan wajah ke langit. Dilihatnya mendung berarak-arak berkumpul jadi satu.
Seakan-akan mendung itu memberi suatu petunjuk kepada dirinya.
"Ah, mendung berkumpul. Langit tampak semakin gelap. Mungkin akan turun hujan," gumam Se-na.
Barda turut mendongak ke atas, memandang mendung yang kian menebal itu. Hatinya tersentuh juga mendengar penuturan Pendekar Gila. Dia turut membenarkan ucapan pemuda aneh di hadapannya.
Dihelanya napas dalam-dalam, seolah ingin menenangkan perasaan hatinya.
"Kisanak, tutur ucapanmu sangat menyentuh hatiku. Kalau boleh ku tahu, siapakah Kisanak sebenarnya?" tanya Barda dengan bola mata menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Barda bertambah mengerutkan kening. Mata Barda semakin tak berkedip menatap pemuda itu.
"Ha ha ha, siapa pun diriku, kurasa tak penting. Aku manusia biasa sepertimu. Hanya saja, mungkin keadaan kita yang berbeda," tutur Sena dengan cengengesan persis orang tolol. Barda menghela napas panjang-panjang. Entah mengapa, kini dia merasakan kebenaran ucapan pemuda di hadapannya. Dan tanpa sadar, hatinya yang selama ini gelap, tiba-tiba bagaikan diterangi cahaya.
Kesadaran Barda mulai timbul, bahwa segala yang pernah dilakukan selama ini salah.
"Mungkinkah pemuda ini tokoh yang dijuluki sebagai Pendekar Gila?" tanya Barda dalam hati, berusaha menduga-dugaDilihat dari tindak tanduk dan ilmunya, jelas merupakan ciri-ciri Pendekar Gila. Hm, Mungkin dialah orangnya."
"Aha, apa yang kau pikirkan, Kisanak?" tiba-tiba Sena bertanya, menyentakkan Barda dari lamunannyaDan mengapa gerombolan tadi mengatakan kau orang jahat?" Barda kembali menghela napas. Kini Barda merasa seperti tengah dihadapkan pada dewa yang sedang mengadilinya. Tak bisa lagi berdusta di hadapan pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu. Seakan ada sesuatu yang mendorong untuk menceritakan semua tingkah laku hidupnya selama ini; "Apa yang mereka katakan memang benar, Kisanak. Aku salah seorang anggota Panca Iblis. Tapi sejak Panca Iblis dikalahkan Nyi Mas Lindri, hatiku selalu ingin meninggalkan mereka...," desah Barda seakan berusaha menghilangkan beban yang mengganjal jiwanyaAha, lalu mengapa kau tak meninggalkan mereka?" tanya Sena.
"Aku tak mampu," sahut Barda setengah mengeluh, "Nyi Mas Lindri bukan orang sembarangan. Dia memiliki ilmu tinggi, hingga kami tak mampu mengalahkan. Panca Iblis harus tunduk dan patuh pada setiap perintahnya.."
"Hm...," gumam Sena tak jelas. Mulutnya nyengir, lalu tangannya menggaruk-garuk kepalaTadi pun, aku harus menuruti perintahnya untuk mencari anak Ki Santanu. Nyi Mas Lindri bukan hanya kejam, dia semakin menambah penderitaan warga Desa Kalasan...," lanjut Barda menceritakan.
"Maksudmu...?" tanya Sena.
Barda menarik napas dalam-dalam. Ditatapnya mendung yang semakin menebal di langit.
"Nyi Mas Lindri tak hanya menuntut upeti dari warga Desa Kalasan. Tapi lebih dari itu, dia juga seorang wanita cabul yang doyan anak muda. Dengan ilmunya yang tinggi, dia memaksakan kehendak untuk memuaskan nafsu. Warga yang memiliki anak lelaki muda diharuskan menyerahkannya pada Nyi Mas Lindri sebagai pemuas nafsu birahinya."
"Ha ha ha, tak boleh dibiarkan!" gumam Sena.
"Apa selama ini tak ada yang menentang?"
"Siapa yang berani Kisanak?" sahut Barda balik bertanya.
Pendekar Gila nyengir sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya tetap seperti orang gila. Hal itu membuat Barda mengerutkan kening keheranan.
"Aha, lalu apa Kisanak tetap mau mencari anak Ki Santanu itu?" tanya Sena.
"Entahlah. Kejadian ini membuat jalan pikiranku mulai terbuka. Aku ingin kembali hidup di jalan yang benar, meninggalkan duniaku yang gelap," jawab Barda sepertinya benar-benar hendak meninggalkan dunia hitamnya. Dunia yang selalu membuat dirinya bagai dikejar-kejar rasa takut dan cemas. Perasaan do-sa dan musuh yang banyak.
"Benarkah kau ingin meninggalkan dunia hitammu?" tanya Pendekar Gila berusaha meyakinkan.
"Ya," tegas BardaMulai saat ini aku bertekad untuk kembali ke jalan lurus."
"Aha, bagus! Kurasa memang secepatnya kau harus menyadari semuanya, Kisanak."
"Terima kasih! Kini bolehkah aku bertanya, siapa kau sebenarnya Anak Muda?"
"Namaku Sena. Tetapi orang biasa memanggilku dengan sebutan Pendekar Gila," jawab Sena yang membuat mata Barda terbelalak semakin lebarSudah kuduga," desis Barda dalam hatiKalau memang Pendekar Gila. Ah, beruntung sekali aku bisa bertemu dengannya. Pantas, tutur katanya begitu arif dan bijaksana."
"Aha, kau kembali termenung, Kisanak. Lalu siapa kau sebenarnya" Aku memang telah mendengar Panca Iblis. Tapi aku belum pernah bertemu dengan kalian," ujar Sena.
"Namaku, Barda," sahut Barda memperkenalkan diri, "Kalau Kisanak tak keberatan, ingin rasanya aku menyertaimu. Aku ingin jauh dari mereka." Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar permintaan dan ucapan Barda. Mulutnya cengengesan sambil menggeleng-geleng kepala, seakanakan hendak mengatakan sesuatu.
"Ha ha ha, mengapa kau takut, Kisanak! Kebenaran akan senantiasa dilindungi Hyang Widhi. Tak perlu Kisanak takut pada mereka!" ujar Sena. Namun, Barda nampaknya belum yakin pada dirinya sendiri.
Hatinya masih dilanda rasa takut menghadapi Nyi Mas LindriTapi, Nyi Mas Lindri sangat kejam, Kisanak.
Dia tak akan membiarkanku begitu saja," ujar Barda cemasIzinkanlah aku mengikutimu! Bukan hanya Nyi Mas Lindri yang akan menghukumku, tapi mungkin anak Ki Santanu yang masih hidup. Anak itu pasti akan membalas dendam atas kematian keluarganya." Mendengar penuturan Barda, Pendekar Gila hanya berdiam. Dihelanya napas dalam-dalam. Dia memahami kekhawatiran yang melanda hati lelaki di hadapannya. Apalagi setelah mengetahui tekad Barda untuk meninggalkan dunia hitamnya.
"Aha, baiklah! Kalau begitu kita berangkat ke tempat tinggal Panca Iblis!" ajak Sena dengan cengengesan.
Terbelalak mata Barda mendengar ajakan Pendekar Gila. Keningnya berkerut merasa heran dan tak mengerti mengapa Pendekar Gila justru mengajaknya ke tempat tinggal Panca Iblis.
"Untuk apa...?" tanya Barda.
"Aha, bukankah mereka orang-orang yang harus ditumpas?" tanya Sena yang membuat Barda semakin tersentak.
"Jadi...?" Belum sempat Barda selesai berkata, Pendekar Gila dengan masih cengengesan menyahut cepat.
"Kurasa warga Desa Kalasan harus segera dibebaskan dari penderitaan yang mereka timbulkan.
"Kau akan menyerang mereka?"
"Aha, kurasa tidak, selama mereka bersedia secara baik-baik meninggalkan Desa Kalasan," jawab Se-na, sambil menatap wajah Barda dengan mulut cengengesanKenapa" Bukankah kau sendiri ingin bebas dari mereka?"
"Benar."
"Aha, kita harus segera ke sana, Barda!" sentak Sena."
"Aku tak yakin, apa kita mampu menghadapi mereka," gumam Barda lirih, tampaknya dia meragu-kan kemampuan Pendekar Gila yang masih muda itu.
"Aha, apa yang membuatmu ragu, Kisanak?" tanya Sena sambil menatap wajah Barda. Barda terdiam, lalu menghela napas dalam-dalam. Sepertinya ada sesuatu kebimbangan yang bergayut di hatinya.
"Aku masih ragu, apakah kau mampu mengalahkan Nyi Mas Lindri" Karena ilmunya jauh di atas ilmuku," ujar Barda setengah mendesah lirih.
Pendekar Gila tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dihelanya napas panjang-panjang.
Matanya memandang lepas ke langit yang tertutup mendung. Barda turut terdiam, dengan perasaan yang masih diliputi kebimbangan.
Mungkinkah pemuda yang bergelar Pendekar Gila ini mampu menghadapi Nyi Mas Lindri yang sakti itu" Tanya Barda dalam hati. Telah banyak tokoh persilatan tua dan berpengalaman menghadapi Nyi Mas Lindri. Namun, belum ada yang mampu mengalahkannya. Barda memperhatikan Pendekar Gila dengan seksama, seakan masih berusaha meyakinkan dirinya akan kemampuan pemuda yang bertingkah laku gila ituAha, keraguan akan membuat langkah terhambat. Mengapa kau masih ragu, Barda" Bukankah mati untuk membela kebenaran dan keadilan itu tekad orang ksatria?" tanya Sena, berusaha mendorong semangat Barda yang masih diliputi rasa takut dan tak percaya diriBaiklah, aku mengikutimu."
"Aha, bagus! Kita harus segera ke sana. Ayo!" ajak Sena. Keduanya segera melesat meninggalkan Hutan Galadema. Tak lama kemudian hujah lebat pun mengguyur hutan ini.
***
"Hm, permainan apa lagi yang hendak dipertunjukkan orang-orang itu...?" dengus Joko Galing sambil menghentikan langkah, dan menatap tajam ke lima lelaki yang menyeret lelaki tua itu.
"Aduh... ampun!" ratap lelaki tua kurus yang bertelanjang dada itu.
"Kalau kau minta ampun, katakan di mana anak lelakimu kau sembunyikan!" bentak lelaki berwajah garang yang duduk di punggung kudaSungguh, Tuan! Hamba tak menyembunyikan.
Anak hamba telah pergi sebelum Tuan datang," jawab lelaki tua itu.
"Setan! Kau kira kami bisa dibohongi, heh"!" bentak lelaki berkuda itu sambil mempercepat langkah kudanya.
Lelaki tua itu menjerit kesakitan. Tubuhnya luka-luka tergores tanah jalanan.
"Aduh...! Ampuuun...!" teriak lelaki tua itu. Tubuhnya yang terkapar di tanah kelojotan kesakitan.
Joko Galing yang menyaksikan kejadian itu, merasa trenyuh. Tubuhnya segera melesat. Kemudian dengan gerakan yang sangat cepat, Joko Galing mencabut pedangnya. Lalu dalam sekejap saja, Pedang Lembayung Merah di tangannya telah membabat tali yang mengikat tangan orang tua itu.
Srt! Bret! Tali itu putus. Sementara, kuda penarik lelaki tua itu tiba-tiba menjadi liar. Tampaknya kuda coklat itu ketakutan, melihat Pedang Lembayung Merah yang mengeluarkan sinar merah.
Belum sempat lenyap rasa kaget mereka, Joko Galing dengan cepat mengelebatkan pedangnya menyerang keempat lelaki yang terperangah menyaksikan gerakannyaKalian harus mampus! Hih...!" Wrt! Dengan mata terbelalak, keempat lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun itu melompat mundur. Mereka semakin terperanjat menyaksikan gerakan cepat Joko Galing. Namun....
Wuttt! Jrab! Jrab! Pedang Lembayung Merah di tangan Joko Galing berhasil membabat lawan.
"Akh...!"
"Wua...!" Dua orang terpekik keras, ketika Pedang Lembayung Merah membabat perut mereka. Mata kedua orang itu terbelalak tegang. Seketika darah menyembur keluar dari luka yang menganga. Sesaat tubuh keduanya mengejang, kemudian ambruk dan tewas.
"Bangsat! Siapa kau"! Berani sekali melawan Panca Iblis!" Lelaki berkuda itu marah ketika menyaksikan dua orang temannya dalam sekali gebrakan saja telah tewas di tangan pemuda itu.
"Aku Joko Galing. Aku datang untuk menumpas kalian, para begundal yang telah membuat warga menderita. Heaaa...!" Joko Galing yang diliputi dendam kesumat tanpa banyak kata segera mengamuk bagaikan banteng terluka. Pedang Lembayung Merah di tangannya bergerak cepat, menyerang kedua orang lawannya.
Wrt! Cras! "Wua...!" Kedua orang itu terpekik ketika Pedang Lembayung Merah membabat perut mereka. Sesaat tubuh keduanya mengejang kemudian ambruk dan tewas.
Terbelalak mata lelaki yang duduk di atas punggung kuda, menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan. Hanya dengan dua kali gebrakan saja, keempat kawannya telah tewas. Merasa dia pun tak bakal sanggup menghadapi pemuda itu, lelaki penunggang kuda yang ternyata anak buah Panca Iblis segera menggebah kudanyaMau lari ke mana kau"!" bentak Joko Galing.
Kemudian dengan cepat pemuda itu melesat, memburu lelaki berkuda itu.
Dengan menggunakan ilmu 'Gerak Sewu', dalam sekejap saja Joko Galing mampu menghadang lelaki berkuda itu.
"Ah!" Lelaki bermuka garang itu tersentak kaget melihat Joko Galing telah berdiri menghadang di hadapannya "Mau lari ke mana, Bajingan"!" bentak Joko Galing geram. Matanya melotot, menatap tajam wajah lelaki yang masih duduk di punggung kuda itu.
"Minggir! Jangan halangi aku!" sentak lelaki berpakaian biru tua, yang ternyata bernama Rawanda.
Joko Galing tersenyum sinis. Dengan pedang di tangan kanannya. Pemuda itu melangkah mendekati Rawanda yang masih duduk di atas punggung kuda.
Menyaksikan Joko Galing melangkah mendekat, Rawanda mengerutkan kening. Perasaan cemas dan takut seketika menyelimuti jiwanya. Dia tahu bagaimana kehebatan pedang di tangan pemuda itu, ketika membantai keempat kawannya.
"Kau pun harus mampus, Bajingan! Tapi untuk kali ini, aku mengampunimu. Biar salah satu kupingmu kupenggal. Katakan pada Panca Iblis, Joko Galing anak Ki Santanu akan menuntut balas," suara Joko Galing terasa tenang dan dingin sekali. Matanya yang membuka lebar, menatap tajam wajah Rawanda yang kini pucat pasi mendengar ucapan Joko Galing.
"Tidak! Jangaaan...! Ampunilah nyawaku," ratap Rawanda ketakutan.
"Aku tak akan membunuhmu. Aku hanya ingin minta kenang-kenangan darimu. Setelah itu, cepatlah minggat dari hadapanku," usai berkata demikian, Joko Galing melompat. Tubuhnya bersalto beberapa kali di udara, kemudian dengan cepat membabatkan Pedang Lembayung Merah ke telinga Rawanda.
"Jangaaan...!" pekik Rawanda ketakutan.
Wrt! "Akh...!" Lelaki berkuda itu terpekik keras, memegangi kuping sebelah kirinya yang putus. Darah bercucuran membasahi pakaiannya. Sementara kuping yang putus itu telah berada di tangan Joko Galing.
"Enyahlah dari sini! Katakan pada pimpinanmu, Joko Galing akan datang! Siapkan nyawa mereka! Hea...!" Joko Galing memukul pantat kuda itu, yang seketika lari dengan tunggang-langgang.
Joko Galing tertawa melihat kejadian lucu tadi.
Sebentar kemudian pemuda itu segera melesat, menyusul lari kuda yang ditunggangi Rawanda.
***
::₪ǂǂ 4 ǂǂ₪::
Wanita cantik bertubuh sintal itu berbaring di dipan dari kayu jati berukir. Di belakangnya, empat pemuda tampan bertelanjang dada tampak memijati tubuhnya yang mulus. Sesekali mereka men-ciumi tubuh Nyi Mas Lindri yang hanya tertutup pakaian tipis dan tembus pandang berwarna merah jambu. Matanya yang lembut tapi tajam menatap keempat lelaki tangan kanannya.
"Barda belum juga pulang. Mungkinkah dia mendapat kesulitan di jalan...?" gumam Nyi Mas Lindri. Tubuhnya menggeliat kenikmatan ketika keempat pemuda tampan itu membelai dan menciumi sekujur tubuhnyaKurasa Barda tak mungkin menemukan anak Ki Santanu, Nyi Mas. Lagi pula untuk apa bocah itu dicari" Bukankah hanya akan membuat repot kita?" tanya Gaja Polo, yang tampaknya tak setuju dengan rencana Nyi Mas Lindri.
"Huh! Kau tahu apa, Gaja Dungu! Menurut petunjuk yang kuperoleh, justru anak Ki Santanu yang bakal membantuku mencapai cita-cita menundukkan dunia persilatan," tegas Nyi Mas Lindri.
Gaja Polo terdiam. Dia tak berani lagi membantah ucapan sang Pimpinan. Bagaimanapun, kemampuannya tak sanggup menghadapi Nyi Mas Lindri yang berilmu tinggi. Ilmu wanita cantik itu, jauh berada di atasnya.
"Kalian tahu, jika aku bisa menjadikan anak Ki Santanu sebagai kekasihku, maka cita-citaku menjadi ratu persilatan akan terlaksana. Itu kata petunjuk yang kuterima," tutur Nyi Mas Lindri sambil terus me-nikmati rabaan dan ciuman keempat pemuda tampan yang telah menjadi budak nafsunya.
"Apakah tak akan sebaliknya, Nyi Mas?" tanya Saratakulir.
"Kalian takut anak itu balas dendam atas kematian kelurganya?"
"Ya," sahut SartakulirItu yang selalu kuce-maskan." Nyi Mas Lindri tertawa terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Wanita cantik itu bangkit dari pembaringan, lalu duduk di dipan berukir itu dengan senyum mengembang di bibirnya. Seakan hendak menunjukkan kecantikannya.
"Selama masih ada aku, tak mungkin dia berbuat begitu," katanya sombong, menjadikan keempat lelaki dari Panca Iblis mengerutkan kening. Mereka seperti belum yakin dengan apa yang diucapkan Nyi Mas LindriSungguhkah itu, Nyi Mas?" tanya Gaja Polo ingin tahu. Nyi Mas Lindri kembali tersenyum, lalu bangkit dari duduknya, melangkah mendekati Gaja Polo dan ketiga kawannya. Matanya yang lentik, menatap tajam pada keempat tangan kanannya itu.
"Kita buktikan saja nanti! Selama Nyi Mas Lindri ada bersama kalian, tak mungkin dia berkutik," ujar Nyi Mas Lindri meyakinkan. Kemudian matanya memandang lepas keluar, Hutan Gendis tampak terhampar dengan pepohonan besar mengelilingi tempat tinggal mereka.
Keempat lelaki di hadapannya hanya mampu diam. Meski mereka belum yakin dengan apa yang dikatakan sang Pimpinan, mereka tak berani untuk menentang. Mereka tak ingin mati sia-sia di tangan wani-ta cantik berhati iblis yang sadis itu. Tak peduli siapa pun jika tak disukai, Nyi Mas Lindri akan membunuh dengan pukulan mautnya yang bernama 'Gelap Ngampar'. Ketika mereka tengah membicarakan masalah Barda yang belum juga datang. Tiba-tiba....
"Nyi Mas Lindri, aku datang...!" Dari luar terdengar suara teriakan seseorang yang sangat dikenalnya. Suara Barda yang sepertinya mengandung permusuhan itu, membuat Nyi Mas Lindri dan keempat Panca Iblis membelalak kaget "Barda!" seru Nyi Mas LindriSejak kapan dia berteriak seperti itu"!"
"Nyi Mas Lindri, keluar kau!" kembali terdengar suara Barda berteriak menantang.
Baik Nyi Mas Lindri maupun keempat anak buahnya belum percaya teriakan Barda.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutnya!" dengus Nyi Mas Lindri sengit. Kemudian dengan penuh amarah wanita cantik itu melesat keluar diikuti keempat Panca Iblis.
Seketika mata mereka terbelalak, melihat Barda yang didampingi pemuda bertingkah laku seperti orang gila, berdiri menantang.
Hal itu membuat Nyi Mas Lindri semakin bertambah marah, merasa telah ditantang anak buahnyaBarda keparat! Rupanya kau sudah bosan hidup!" dengus Nyi Mas Lindri geram.
"Hm, hidup matiku bukan di tanganmu, Wanita Iblis!" balas Barda tak mau kalah, "Aku datang untuk menghentikan sepak terjangmu yang kelewat biadab!"
"Hi hi hi...! Cantik sekali kau, Nyi. Sayang, di hatimu bersarang iblis...," gumam Sena sambil cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Barda keparat! Rupanya Bocah Edan itu yang membuatmu berani menantangku!" dengus Nyi Mas Lindri dengan mata melotot garang menatap Pendekar GilaHua ha ha...! Nyi Mas Lindri, kucari-cari akhirnya kutemui kau di sini," gumam Sena dengan cengengesan sambil tangan menggaruk-garuk kepalaSetelah gagal menyingkirkan keluarga Baginda Aji Wardana, tak bosan-bosannya kau berbuat kejahatan, Nyi!"
"Cuih! Rupanya kau memang mencari mampus, Pendekar Gila! Kau selalu saja mencampuri urusanku!" dengus Nyi Mas Lindri sengit, karena selama ini Pendekar Gila senantiasa menghalangi maksudnya.
Rencananya menggulingkan Baginda Aji Wardana gagal juga karena campur tangan Pendekar Gila (Untuk mengetahui lebih jelas siapa sebenarnya Nyi Mas Lindri, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Istana Berdarah").
"Aha, kurasa kaulah yang mencari penyakit. Perempuan Busuk!" balas SenaKucari kau ke manamana untuk mempertanggungjawabkan pemberontakanmu yang gagal. Ternyata kau ada di sini, Nyi!"
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" perintah Nyi Mas Lindri sambil menggerakkan tangan kanan pada keempat anak buahnya yang sejak tadi hanya mampu diam. Mereka tak tahu harus berbuat apa.
Mendengar perintah Nyi Mas Lindri, keempat lelaki yang tergabung dalam Panca Iblis, seketika mencabut senjata mereka dan langsung menggebrak Pendekar GilaYea...!"
"Hi hi hi...! Mengapa tikus-tikus ini yang kau ajukan, Nyi...?" ejek Sena sambil tertawa cengengesan dengan tangan menggarukgaruk kepala. Pendekar Gila masih tenang. Bahkan tingkah lakunya semakin gila. Dengan melompat-lompat sambil menggaruk-garuk kepala seperti seekor monyet, Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan.
"Hea!"
"Heit! Barda, bersiaplah! Kita akan main-main dengan tikus-tikus ini," ujar Sena sambil bergerak meliuk-liukkan tubuhnya, mengelakkan seranganserangan yang dilancarkan empat orang dari Panca Iblis. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan-serangan lawan. Barda yang telah bertekad kembali ke jalan lurus, tak mau tinggal diam. Dia segera membantu Pendekar Gila, menghadapi serangan yang dilancarkan keempat bekas kawannya. Dengan golok besar di tangan, Barda yang semakin yakin pada kebenaran dan keadilan, bagaikan macan lapar. Tangannya dengan cepat membabatkan golok besarnya.
"Hiaaa...!" Wrt! Trang! Benturan keras senjata terdengar memecahkan suasana sepi Hutan Gendis.
"Yea!"
"Barda! Keparat, kubunuh kau!" geram Gaja Po-lo, melihat temannya kini berpihak pada Pendekar Gila yang seharusnya dimusuhi. Pedang di tangannya berkelebat menyerang Barda. Namun, dengan cepat Barda bergerak mengelak, seraya membabatkan golok besarnyaYea!" Wrt! Trang! Gaja Polo semakin marah menyaksikan bekas kawannya tak gentar sedikit pun menghadapinya.
Dengan jurus 'Kalamandaka' Gaja Polo berusaha menekan pertahanan Barda. Pedangnya menderu deras menusuk dan membabat ke tubuh Barda.
"Yea!"
"Haits!" Melihat Gaja Polo menyerang dengan jurus andalannya, Barda pun tak mau tinggal diam. Kakinya melompat dua tombak ke belakang. Kemudian dengan jurus 'Genta Caragata', Barda membabatkan golok besarnyaHea!" Wrt! Angin menderu keras, ketika golok di tangan Barda membabat ke tubuh Gaja Polo. Golok itu mampu mengeluarkan angin yang sangat keras. Gerakannya sangat cepat, melebihi serangan yang dilancarkan lawanHea!" Teriakan keras terus terdengar mengiringi serangan yang kian ganas dan cepat.
Wrt! Trang! "Ukh...!" Mata Gaja Polo terbelalak kaget, ketika pedangnya berbenturan dengan golok besar Barda.
Tangannya dirasakan bergetar dan kesemutan. Namun kakinya segera melompat ke belakang, berusaha menjauhi serangan lawan.
***
Pendekar Gila yang menghadapi keroyokan tiga orang lawan, masih tampak tenang. Dengan jurus 'Gila Melempar Batu', Pendekar Gila berusaha menggempur pertahanan ketiga lawannya.
"Hea!"
"Hi hi hi...! Kalian benar-benar seperti tikus sawah," ejek Sena sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Kemudian tangannya kembali bergerak, seperti melemparkan batu menyerang lawan-lawannya. Ketiga lawannya tersentak kaget, ketika dari gerakan melempar yang dilakukan Pendekar Gila melesat gumpalan angin menderu keras ke tubuh mereka. Angin kencang itu, seketika menahan serangan ketiga lawannya.
"Ilmu edan!" maki Sartakulir. Dia berusaha me-nerobos serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun, angin yang menderu ke tubuhnya dirasakan begitu kuat. Sulit bagi Sartakulir untuk menembus pertahanan Pendekar GilaBenar-benar ilmu edan!"
"Hi hi hi...! Kalian persis tikus sawah. Hua ha ha!"
"Bocah edan, kubunuh kau!" maki Wadas Kapul. Lelaki bertubuh gemuk dengan alis tebal dan hidung mancung itu tampak marah karena tak mampu berkutik, terkurung angin topan dari tangan Pendekar GilaHua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak.
Tubuhnya melompat ke sana kemari seperti monyet, sambil menggaruk-garuk kepalaLucu sekali ..! Kalian seperti tikus sawah dikejar kucing. Hi hi hi...!"
"Bedebah! Bocah edan itu harus segera kusingkirkan!" maki Nyi Mas Lindri, melihat ketiga tangan kanannya terdesak, dan tak mampu berbuat apa-apa.
Wanita itu segera melesat memburu Pendekar Gila, Kemudian dengan jurus 'Sapuan Topan'nya, dia menghalau pukulan yang dilemparkan Pendekar Gila.
"Hancur tubuhmu, Bocah Edan! Hih...!"
"Aha, kebetulan sekali kau ikut campur, Nyi! Hi hi hi...!" Dengan melompat seperti monyet, Pendekar Gi-la mengelakkan pukulan yang dilontarkan Nyi Mas Lindri Wrt! Jlegarrr...! Ledakan dahsyat terdengar, mengakibatkan tanah yang terkena hantaman pukulan Nyi Mas Lindri hancur dan berhamburan. Hawa panas seketika menyelimuti suasana di hutan ini. Beberapa pohon besar ikut hancur dan tumbang terkena pukulan dahsyat ituHi hi hi...! Kurang tepat, Nyi," ejek Sena meng-goda. Hal itu membuat Nyi Mas Lindri semakin marah.
Mata wanita cantik itu melotot sengit. Nafasnya mengendus lalu kedua telapak tangannya disatukan di dada, sepertinya hendak memusatkan kekuatan tenaga dalamnyaBocah edan! Kini terimalah pukulan 'Gelap Ngampar'ku! Heaaa...!"
"Aha, ku tahu pukulanmu bernama Gelap Gulita, Nyi. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil melompat ke samping ketika tangan Nyi Mas Lindri menghantam ke tubuhnya. Wuttt! Jlegar...! "Hi hi hi...! Masih kurang tepat, Nyi," goda Sena sambil melompat-lompat kegirangan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya yang cengengesan membuat Nyi Mas Lindri semakin geram dan marah.
"Kurang ajar! Kau benar-benar harus mampus, Bocah Edan! Yea...!" Nyi Mas Lindri yang merasa telah dua kali terganggu rencananya karena campur tangan Pendekar Gila, semakin geram dan marah. Tangannya yang berkuku panjang, bergerak menyambar dan mencengkeram pemuda itu.
Mendapat serangan begitu cepat, tidak membuat Pendekar Gila kalang kabut. Tingkahnya justru semakin konyol. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila balas menyerang. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali telapak tangannya menepuk ke dada lawanHi hi hi...! Hiaaa...!"
"Hah...!" Nyi Mas Lindri tersentak kaget melihat serangan lawan, tiba-tiba telah berada dekat dadanya.
Padahal gerakan Pendekar Gila nampak sangat lambat, tapi entah bagaimana tiba-tiba telah memburu tubuhnya dengan tepukan yang mengeluarkan desiran angin panas yang keras.
"Hi hi hi...!"
"Jurus edan!" maki Nyi Mas Lindri sambil melompat mengelakkan serangan. Kalau kurang cepat melompat mundur, niscaya dadanya terkena pukulan Pendekar Gila. Setelah mengegoskan kaki ke samping, Nyi Mas Lindri bergerak mencakarkan tangannya ke muka lawan. Namun, dengan cepat pula, Pendekar Gila menarik kepalanya ke belakang mengelakkan cakaran lawan. Kemudian dengan kepala menunduk, kembali menepukkan tangannya ke dada lawan.
"Hiaaa...!"
"Hait! Edan! Jurus edan...!" maki Nyi Mas Lindri sambil melompat ke samping kiri. Serangan Pendekar Gila meleset. Sementara itu anak buahnya yang tadi bertarung, kini terhenti. Mereka terlongong bengong melihat gerakan-gerakan ilmu silat yang dilancarkan keduanyaCk ck ck..! Pemuda itu ternyata berilmu tinggi," terdengar decak kagum Gaja Polo, menyaksikan jurus-jurus aneh yang dilancarkan Pendekar Gila. Baru kali ini, dia melihat seorang pemuda memiliki ilmu yang sangat tinggi.
"Untuk itu, kukatakan pada kalian. Kini bukan saatnya untuk tetap bertahan pada apa yang selama ini kita lakukan," ujar BardaNyi Mas Lindri saja belum tentu akan mampu mengalahkan Pendekar Gila."
"Apa"! Diakah yang bernama Pendekar Gila"!" keempat orang dari Panca Iblis tersentak, setelah mendengar penuturan Barda.
Mata mereka terbelalak "Ya, dialah Pendekar Gila," sambung Barda me-negaskan.
Semakin bertambah kaget mereka ketika melihat apa yang kini terjadi. Nyi Mas Lindri tampak terdesak dan harus berjuang mati-matian untuk dapat melepaskan diri dari buruan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Bocah ini terlalu berbahaya bagiku," maki Nyi Mas Lindri dalam hati. Tak ada kesempatan bagiku kalau terus begini. Aku harus pergi dari siniHi hi hi...! Apa yang kau pikirkan, Nyi" Kau harus segera dikirim ke akherat sana. Hea...!" Pendekar Gila mempercepat jurusnya. Kali ini kedua tangannya ditarik ke belakang. Lalu diletakkan di pinggang dengan jarijari terbuka. Itulah awal dari jurus yang dahsyat 'Gila Melebur Gunung Karang'.
Belum sempat Pendekar Gila melakukan serangan, Nyi Mas Lindri telah mendahului dengan melemparkan suatu benda ke Pendekar Gila.
Jlegar! Asap hitam membubung menutupi pandangan mata Pendekar Gila dan kelima Panca Iblis. Saat itu juga, Nyi Mas Lindri melesat meninggalkan tempat itu.
"Kurang ajar! Dia pergi...!" seru Barda sengit "Aha, Iblis Betina itu benar-benar licik," dengus Sena, "Kini terserah, apakah kalian masih akan tetap pada pendirian kalian. Aku akan mengejar dia."
"Aku ikut, Sena!" kata Barda.
"Hm, terserahmu."
"Kami ikut!" sambung keempat orang dari Pan-ca Iblis. Keenam lelaki itu segera melesat memburu ke arah Nyi Mas Lindri pergi.
***
::₪ǂǂ 5 ǂǂ₪::
Di kejauhan, nampak seorang pemuda berpakaian merah tanpa lengan melangkah. Kepalanya tertutup tudung caping lebar. Pemuda itu tak lain Joko Galing. Kakinya melangkah menuju Desa Kalasan, tempat tanah kelahirannya.
Joko Galing terus melangkah, tanpa menengok ke kanan dan kiri. Dia masih ingat benar jalan-jalan yang menuju desanya.
"Hm, desa ini sekarang sepi sekali," gumam Jo-ko Galing lirih. Matanya memandang ke sekeliling. Rumah-rumah penduduk tampak tertutup. Sepertinya penduduk sangat takut menampakkan mukanya.
Joko Galing menarik napas dalam-dalam. Dia merasa sedih menyaksikan penderitaan warga desanya. Dendam pada Panca Iblis yang dianggap telah merubah suasana kehidupan desanya, kian membakar hatinyaPanca Iblis keparat! Tunggulah pembalasanku!" dengus Joko Galing sengit. Tangannya terkepal seperti menahan kemarahan.
Matanya yang tajam, memandang ke sekeliling, bagaikan seekor elang yang mencari mangsa.
Dengan langkah mantap, Joko Galing terus melangkah menelusuri jalan Desa Kalasan yang lengang dan sepi. Di kanan dan kiri jalan memang berdiri rumah-rumah penduduk. Tetapi semua pintu dan jendelanya tertutup rapat. Tak seorang pun yang tampak berada di luar rumah. Sehingga desa itu tampak seper-ti mati dan tak berpenghuniKe mana mereka semua" Apa mereka telah pindah, mengungsi ke desa lain?" tanya Joko Galing dengan mata memandangi ke rumah-rumah penduduk yang masih sangat dikenalnya dengan baik.
Joko Galing kembali menarik napas, dan meneruskan langkah kakinya. Kini dia hendak sekali melihat keadaan rumahnya. Dibelokkan langkah kakinya ke barat. Sampai di rumahnya Joko Galing pun hanya mendapati keadaan sunyi. Rumah kosong tak berpenghuni. Dia langsung melangkah menuju belakang rumah. Dilihatnya tiga buah kuburan berjajar jadi sa-tu. Itulah kuburan ayah, ibu, dan adiknya.
Dendam kesumat Joko Galing semakin memuncak, setelah menyaksikan kuburan keluarganya. Gemuruh halilintar pun bersahutsahutan bagai menyambut sumpah Joko Galing.
"Panca Iblis keparat! Akan kuminum darah kalian! Ayah, Ibu, adikku, tenanglah kalian di alam sana.
Akan kubalaskan sakit hati ini!" sumpahnya tegas.
"Ayah, Ibu, Adikku...! O, sungguh malang nasib kalian! Aku bersumpah, akan meminum darah mereka!" teriak Joko Galing dengan suara keras menggelegar. Bersamaan dengan itu, langit yang mendung menghantarkan gemuruh halilintar bagaikan menyambut sumpah Joko Galing. Dewa-dewa yang di kayangan seolah-olah turut memberi kesaksian.
Dendam kesumat Joko Galing semakin bergelora. Kesedihan pun kembali terkuak, setelah menyaksikan kuburan keluarganya.
"Panca Iblis keparat! Kuminum darah kalian! Ayah, Ibu, Adikku, semoga tenang kalian di alam sana!" dengan menundukkan kepala, Joko Galing mencium nisan kedua orangtua dan adiknya. Kemudian segera bangkit berdiri. Namun....
"Wua! Hi hi hi...! Ha ha ha...! La la la...!" Joko Galing tersentak kaget, ketika tiba-tiba seorang lelaki berpakaian compang-camping hendak menyerangnya.
Joko Galing mengelit ke samping, kemudian dengan cepat tangannya menang-kap kaki lelaki gila berpakaian compang-camping.
Gusrak! Lelaki gila itu langsung terjerembab, karena kedua kakinya tertangkap Joko Galing.
"Hu hu hu...! Jahat! Kau jahat..!" maki lelaki gi-la sambil menangis tersedusedu. Joko Galing mengerutkan kening, memandangi lelaki gila yang usianya tidak begitu jauh dengannya.
Lelaki itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Namun karena keadaannya, tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Mata Joko Galing membeliak, ketika mengenali siapa lelaki gila itu.
"Kang Kasmin..." O, kaukah Kang Kasmin?" desis Joko Galing dengan mata masih menatap lelaki yang dipanggil Kang Kasmin.
Orang gila itu seketika menghentikan tangisnya. Matanya menyipit dengan kening mengerut, menatap wajah Joko Galing. Mulutnya komat-kamit, seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Kang.... Kang Kasmin, apakah kau lupa den ganku," tanya Joko Galing berusaha mengingatkan pada Kasmin, siapa dirinya.
"Hi hi hi.... Siapa kau"!" bentak Kasmin sambil cengengesan. Matanya tajam, menatap wajah Joko Galing yang mendekat lalu jongkok di hadapannya.
"Aku Joko, Kang. Aku Joko Galing, yang dulu kau ajak main-main," ujar Joko Galing berusaha mengingatkan Kasmin.
Kasmin berusaha mengingat-ingat nama Joko Galing. Seketika tangisnya meraung. Seakan lelaki gila itu telah sembuh dari ingatannyaWua! Joko...! O, dari mana saja, kau Joko. Hu hu hu...!" Joko Galing semakin trenyuh mendengar tangisan Kasmin, yang kini memeluk tubuhnya. Seketika dendamnya pada Panca Iblis bertambah membara.
"Kang, apa sebenarnya yang terjadi di desa ini, sejak kematian keluargaku...?" tanya Joko Galing penasaran.
Dengan masih menangis tersedu-sedu, Kasmin pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Semenjak kematian Ki Santanu, Panca Iblis semakin merajalela. Panca Iblis terus memaksakan kehendak, agar penduduk menyetor hasil bumi pada mereka.
Merasa tak kuat lagi dalam tekanan Panca Iblis, secara diam-diam penduduk berusaha pergi dari Desa Kalasan. Namun, penduduk yang mencoba kabur, dibunuh. Hal itu semakin membuat para penduduk ketakutan. Akhirnya mereka pun hanya pasrah, menerima nasibnya. Sampai akhirnya di Istana Telaga Mas terjadi pemberontakan. Tetapi pemberontakan itu dapat digagalkan, atas bantuan seorang pendekar yang sering disebut Pendekar Gila. Pendekar Gila yang telah menggagalkan pemberontak, akhirnya datang ke Desa Kalasan. Kabarnya, tengah mengejar seseorang yang diduga dalang dari pemberontakan di Istana Telaga Mas.
Sejak kedatangan Pendekar Gila ke Desa Kalasan, perubahan terjadi. Panca Iblis akhirnya bersekutu dengan Pendekar Gila, memburu Nyi Mas Lindri. Wanita itu sebenarnya istri selir Baginda Aji Wardana yang dituduh Pendekar Gila sebagai pemberontak dan hendak ditangkap.
"Begitulah ceritanya, Joko. Semenjak keluarga Ki Lurah dibantai, penduduk semakin dicekam rasa takut. Beberapa hari sejak kedatangan Pendekar Gila warga desa agak tenang. Tetapi mereka juga masih was-was, karena Pendekar Gila kini bersekutu dengan Panca Iblis," tutur Kasmin mengakhiri ceritanya.
Joko Galing tersentak kaget mendengar penuturan Kasmin, bahwa Pendekar Gila yang menurut gurunya sebagai tokoh yang patut dipanuti, kini malah bersekutu dengan Panca Iblis tokoh sesat yang telah membantai keluarganya.
"Tidakkah kau salah dengar, Kang?" tanya Joko Galing masih belum percaya.
"Tentang apa?" Kasmin malah balik bertanya.
"Tentang Pendekar Gila. Mana mungkin Pendekar Gila bersekutu dengan Panca Iblis...?" tanya Joko Galing masih belum yakin dengan cerita Kamsin.
"Terserah, mau percaya atau tidak. Yang penting, Pendekar Gila telah bersekutu dengan Panca Iblis.
Malah mereka masih memburu Nyi Mas Lindri, yang dianggapnya pemberontak kerajaan," tutur Kasmin berusaha meyakinkan Joko Galing, akan kebenaran ceritanya. Joko Galing tercenung, dia merasa tak habis pikir dengan cerita yang dituturkan Kasmin. Ingatannya kembali melayang pada gurunya, Ki Mandra yang menganjurkan agar dia mencari Pendekar Gila untuk meminta petunjuk dan pengalaman guna melengkapi segala ilmunya.
Aneh, bagaimana mungkin Pendekar Gila bisa bersekutu dengan penjahat" Tanya Joko Galing dalam hati dengan kening mengerut, belum juga bisa menyerap kenyataan yang diceritakan Kasmin. Bukankah guru mengatakan kalau Pendekar Gila penegak kebenaran dan keadilan" Mengapa harus menjalin hubungan dengan para penjahat" Joko Galing benar-benar tak mengerti dengan cerita Kasmin. Antara percaya dan tidak, Joko Galing terus merenung. Sekilas petuah gurunya kembali teringat dan terngiang di telinganya.
Joko Galing mengulum bibirnya dalam-dalam, merasakan kebimbangan yang mendera di hatinya.
Kemudian kata-kata Kasmin yang baru saja diucapkan terngiangSiapakah yang benar" Gurukah" Atau Kang Kasmin?" batin Joko Galing berusaha memastikan mana yang benar antara ucapan gurunya dengan ucapan Kasmin. Dihelanya napas dalam-dalam, seperti berusaha meredakan pikirannya.
"Apa yang kau pikirkan, Joko?" tanya Kasmin, "Sudah jelas Panca Iblis telah membinasakan keluargamu. Kau harus menuntut balas atas kematian keluargamu!" Joko Galing hanya terdiam membisu. Ucapan Kasmin terasa sebuah cambuk yang menyakitkan. Seperti mendera jiwanya, agar mau menuntut balas kematian yang menimpa keluarganya.
Haruskah aku menuruti hawa nafsuku" Tanya Joko Galing dalam hati. Kemudian kembali teringat petuah gurunya, sebelum dia turun gunung. Joko Galing menarik napas dalam, merasakan kebimbangan di hati. Satu sisi dia telah bersumpah di depan makam kedua orang tuanya, bahwa dia akan meminum darah Panca Iblis. Di lain sisi, dia teringat petuah yang dikatakan sang GuruKang Kasmin, aku pergi dulu," akhirnya Joko Galing yang masih bimbang segera pamit. Dia tak ingin berlama-lama di Desa Kalasan.
"Hati-hatilah, Joko!" ujar Kasmin melepas ke-pergian Joko Galing dengan pandangan mata bangga dan sedih, karena harus kembali berpisah. Bangga karena merasa temannya kini telah menjadi se-orang pendekar, yang akan menumpas sepak terjang Panca Iblis. Dengan langkah lesu, Joko Galing meninggalkan Kasmin yang masih mengikuti langkahnya dengan tatapan mata penuh kekaguman dan kesedihan.
***
Kini dia tak peduli lagi dengan Pendekar Gila. Bagaimanapun, Pendekar Gila tak ada urusan dengannya. Tetapi jika memang turut campur dan membela Panca Iblis, maka tak ada pilihan lain kecuali bertarung dengan Pendekar Gila.
Tak lama kemudian, Joko Galing sampai di Hutan Gendis tempat Panca Iblis berada. Mata Joko Galing menatap dengan tajam ke sekeliling tepian hutan yang sepi. Hm, hutan ini nampak sepi. Apakah mungkin Panca Iblis telah pergi dari sini, seperti apa yang dikatakan Kang Kasmin" Tanya Joko Galing dalam hati.
Joko Galing terus melangkah, dengan hati-hati kakinya menapaki hutan itu. Matanya yang tajam, memandang ke sekeliling hutan. Diangkatnya caping penutup kepalanya.
Setapak demi setapak kaki Joko Galing melangkah. Hati-hati sekali, karena tak ingin Panca Iblis mendengar kedatangannya.
"Hm, mungkinkah ini sebuah jebakan?" gumam Joko Galing.
Srt! Dicabutnya Pedang Lembayung Merah dari warangka. Pedang itu seketika mengeluarkan sinar merah membara. Seketika suasana di Hutan Gendis yang semula agak gelap, tiba-tiba terang benderang karena sinar pedang itu. Dengan tangan memegang Pedang Lembayung Merah dan mata mengawasi sekeliling. Joko Galing terus melangkah masuk ke Hutan Gendis. Kini langkahnya semakin dekat ke tempat yang dituju. Meski Panca Lima hanya terdiri dari lima orang, tapi mereka berilmu tinggi. Itulah sebabnya dia langsung mengeluarkan pedang pusaka itu.
"Sepi. Mungkinkah mereka sengaja bersembunyi?" tanya Joko Galing sambil terus melangkah pelan, setapak demi setapak dan sangat hati-hati. Matanya masih mengawasi sekeliling tempat itu. Dikerahkan pendengarannya, sehingga jika ada suara sekecil apa pun akan cepat terdengar.
Joko Galing terus melangkah, semakin masuk ke dalam hutan. Tetapi keadaannya sangat sepi, bagaikan tak berpenghuni lagi. Hal itu membuat Joko Galing kian merasa heran.
"Aneh, benar-benar sepi," gumam Joko Galing semakin penasaran. Kakinya terus melangkah, berusaha mendekat tempat tinggal Panca Iblis.
Karena kehilangan kesabarannya, Joko Galing segera melesat berusaha secepat mungkin sampai ke tempat Panca Iblis berada. Dengan Pedang Lembayung Merah di tangan, dia yakin akan mampu mengalahkan Panca Iblis. Iblis benar-benar telah menguasai jiwa yang dipenuhi dendam dan nafsu. Tubuhnya terus melesat cepat, mendekat ke tempat tinggal Panca Iblis yang masih sepi. Setelah berada sekitar sepuluh tombak di depan rumah tempat berkumpulnya Panca Iblis, Joko Galing menghentikan langkah.
"Panca Iblis keparat, keluar kalian!" serunya menantang.
Tak ada sahutan. Suasana di hutan itu sepi.
Yang terdengar hanya gema suaranya sendiri.
"Kurang ajar! Pengecut! Keluarlah kalian! Hadapilah Joko Galing, anak Ki Santanu! Keluarlah kalian...!" seru Joko Galing berkali-kali.
Kembali tak ada jawaban. Hanya suaranya saja yang bergemaPengecut! Kalian benar-benar pengecut!" maki Joko Galing semakin sengit, karena seruan tantangan-nya tak mendapat sahutan.
Mata Joko Galing menatap tajam pada bangunan menyerupai candi itu, seakan belum percaya dengan penglihatannya. Dia merasa kalau Panca Iblis masih bersembunyi, dan bermaksud menjebaknya.
"Huh, Pengecut! Rupanya hanya kecoa busuk macam kalian yang telah berani membunuh keluargaku! Keluarlah kalian, hadapi aku! Hadapi anak Ki Santanu!" kembali Joko Galing berseru, menantang kelima Panca Iblis. Nafasnya memburu, dibakar amarah yang meluap-luap. Bara dendam bagaikan membakar seluruh jiwanya. Sepi suasana di hutan itu, bagaikan tak ada penghuninya. Hal itu membuat Joko Galing bertambah marah dan tak sabar. Nafansya mendengus keras. Matanya semakin tajam memandang bangunan di hadapannyaKurang ajar! Kalian benar-benar pengecut! Baik, aku yang akan membunuh kalian! Heaaa...!" bagaikan kesetanan, dengan Pedang Lembayung Merah Joko Galing melesat. Pedang di tangannya digerakkan dengan cepat, membabat ke depan sambil melesat masuk. Wrt! "Hea!" Brakkk! Trakkk! Dengan pedang itu Joko Galing memporakporandakan bangunan tempat tinggal Panca Iblis. Namun, setelah ke sana kemari tak diketemukan seorang pun lawan yang dicarinya. Yang dilihatnya hanya beberapa mayat lelaki muda yang telah membusuk di sebuah ruangan tertutup. Mayat-mayat itu tergeletak dalam keadaan telanjang bulat.
Tampaknya mereka adalah para pemuda yang telah menjadi pemuas nafsu birahi Nyi Mas Lindri.
"Bedebah! Mereka benar-benar telah pergi!" dengus Joko Galing sengitKe mana kalian lari, takkan kubiarkan hidup! Akan ku hisap darah kalian!" Dengan berteriak marah, Joko Galing kembali melesat meninggalkan Hutan Gendis.
***
::₪ǂǂ 6 ǂǂ₪::
Tampaknya mereka terkejut ketika mendadak berkelebat cepat sesosok bayangan merah yang melesat ke hutan itu. Sosok bayangan itu ternyata seorang wanita berpakaian merah jambu yang tak lain Nyi Mas Lindri.
Napas Nyi Mas Lindri terengah-engah setelah berlari sekuat tenaga, menghindari kejaran Pendekar Gila. Matanya tampak jelalatan melihat keadaan di sekitar tempat itu. Seakanakan hatinya khawatir dan takut kalau Pendekar Gila dapat menemukan dirinya.
"O, Pendekar Gila keparat! Kau selalu saja menjadi perintang semua cita-citaku," dengus Nyi Mas Lindri dengan napas memburu.
"Sayang aku tak mampu menandinginya. Kalau saja ilmuku setarap dengan il-mu Pendekar Gila, kupertaruhkan nyawaku menghadapi keparat itu." Ketika Nyi Mas Lindri masih dalam keadaan menoleh ke belakang, dan saat tubuhnya hendak melangkah balik ke depan, tubuh Nyi Mas Lindri menabrak sesosok tubuh seorang lelaki.
Brukkk! "Akh...!" Nyi Mas Lindri tersentak kaget. Tubuhnya ditarik mundur beberapa langkah dengan mata terbelalak menatap lelaki muda yang memakai tudung caping di kepala.
"Siapa kau?" tanya Nyi Mas Lindri dengan mata menatap tajam pemuda berpakaian rompi merah yang tersenyum padanya.
"Kaukah Nyi Mas Lindri?" tanya lelaki muda berkumis tipis dengan tubuh tegap.
Bibirnya kembali tersenyumBe..., benar. Siapa kau sebenarnya, Kisanak" Dan dari mana kau tahu namaku...?" tanya Nyi Mas Lindri agak menggeragap.
Lelaki muda itu membuka capingnya, dan nampaklah seraut wajah tampan.
"Aku Joko Galing, anak Ki Santanu. Tahukah kau, di mana Panca Iblis sekarang berada?" tanya Joko Galing. Matanya yang tajam bagai sepasang mata elang, tak berkedip memandang wanita cantik jelita ituKau anak Ki Santanu?" tanya Nyi Mas Lindri seakan-akan tak percaya.
"Iya," sahut Joko Galing.
Mata Joko Galing menatap wajah cantik Nyi Mas Lindri yang juga tengah menatapinya. Keduanya beradu pandang dengan senyum tersungging di bibir.
Mata lembut wanita itu seakan memiliki daya tarik kuat, yang mampu meluluhkan hati siapa saja yang menatapnya. Apalagi ditambah dengan senyuman manisnya, semakin membuat hati lelaki akan tergetar.
Begitu juga dengan Joko Galing yang masih terlalu hi-jau pengalamannya di dunia persilatan. Hatinya tibatiba tergetar hebat mendapat tatapan tajam mata milik Nyi Mas Lindri.
Sungguh cantik, Wanita ini! Gumam Joko Galing dalam hati.
Hm, kebetulan! Pucuk dicinta ulam tiba. Lelaki yang kuharapkan akan mampu membantu dalam mencapai cita-citaku sekarang berada di depan mataku, desis Nyi Mas Lindri. Aku harus merayunya, agar pemuda ini memihak padaku.
Keduanya masih saling pandang, seakan berusaha merajut benang-benang yang ada di hati masingmasing. Senyuman manis pun belum lenyap di bibir mereka. Joko Galing kian terpana melihat kecantikan wanita di depannya. Semenjak kecil dia telah sering mendengar nama Nyi Mas Lindri yang konon kecantikannya bagai bidadari. Pemuda itu pun tahu kalau Nyi Mas Lindri adalah selir Baginda Aji Wardana. Namun, sungguh tak menduga sebelumnya, kalau dirinya akan berjumpa seperti sekarang ini.
Sebenarnya usia Joko Galing terpaut jauh dengan Nyi Mas Lindri. Namun anak muda yang belum memiliki pengalaman hidup di dunia persilatan ini, seakan-akan tak peduli. Apalagi, ketika hatinya merasakan getaran aneh. Getaran yang belum pernah dialaminya selama ini.
Sebaliknya, Nyi Mas Lindri yang memang mendambakan kehadiran pemuda ini, merasakan seperti mendapat anugerah. Menurut wangsit atau petunjuk gaib yang pernah diterima, Joko Galinglah orang yang akan membantu dirinya. Kini tanpa bersusah-payah mencari, akhirnya Nyi Mas Lindri menemukan tokoh muda itu. Nyi Mas Lindri segera merajut tali, memasang jerat bagi hati Joko.
"Joko...," desis Nyi Mas Lindri dengan gerakan kepala manja. Matanya memejam, kemudian perlahan-lahan bibirnya merekah. Tangan kanannya meremas rambut yang terurai panjang bergelombang, sedangkan tangan kiri mengelus-elus paha yang tampak tersingkir dari pakaiannya.
Joko terperanjat, seketika darah nya berdesir cepat. Ditelan ludahnya beberapa kali. Matanya tak berkedip menatap Nyi Mas Lindri yang menggeliatgeliat sambil mendesis, mengundang birahi.
Suasana redup senja di sekitar Hutan Palawera menambah gejolak di hati Joko. Pemuda itu bagaikan orang lapar dihadapkan makanan lezat yang belum pernah dirasakannya.
"Ng... ah.... Joko...," kembali Nyi Mas Lindri mendesis. Gerakan tangannya yang mengusap-usap paha kirinya, semakin membuat mata Joko melotot, "Dekatlah, Anak Manis...!" Joko kembali menelan ludah. Matanya menatap paha Nyi Mas Lindri yang putih mulus. Kakinya mulai melangkah, mendekati tubuh Nyi Mas Lindri yang telah rebah di atas rerumputan. Tubuh sintal yang terbungkus pakaian tipis tembus pandang itu menggeliatgeliat mengundang birahi.
"Joko.... Akh..., akh...!" Joko mulai lupa daratan. Lupalah segala ingatannya tentang Panca Iblis tentang dendamnya, dan tentang penderitaan warga Desa Kalasan. Hatinya tertutup nafsu birahi pada tubuh Nyi Mas Lindri yang semakin menggeliat-geliat Gelora membara di dadanya, menimbulkan keberanian Joko. Pemuda itu jongkok, lalu rebah di samping tubuh Nyi Mas Lindri. Dengan agak gemetar tangannya mulai membelai paha mulus Nyi Mas Lindri.
Matanya menatap wajah cantik jelita itu yang terus mendesis-desis kenikmatan.
"Kau cantik sekali, Nyi! Waktu kecil, aku sering membayangkan. Ah, ternyata kini kita bertemu," gumam Joko setengah berbisik.
"Kau ingin memiliki diriku, Joko?" desis Nyi Mas LindriYah...," jawab Joko dengan suara bergetar.
"Aku ingin memiliki semua yang ada padamu."
"Benarkah itu, Bocah Bagus"!" tanya Nyi Mas Lindri manja.
Joko tak menyahut tapi menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kemudian perlahan-lahan wajahnya mendekat ke wajah Nyi Mas Lindri. Bibirnya hampir melumat bibir merah wanita cantik itu.
"Kau benar-benar ingin memiliki diriku, Joko?" tanya Nyi Mas Lindri ingin meyakinkan.
"Masihkah kau tak percaya, Nyi Ayu?"
"Oh, Joko...! Bagaimana kalau kini aku jadi buronan Pendekar Gila" Apakah kau akan tetap ingin memiliki diriku?" tanya Nyi Mas Lindri mengeluh.
Joko yang tengah mabuk kepayang hanya tersenyum. Diajaknya Nyi Mas Lindri duduk. Kemudian tangannya dengan lembut membelai-belai rambut wanita cantik itu.
"Tak akan kubiarkan orang menyakitimu, Nyi Ayu. Aku akan selalu di sisimu," jawab Joko tegas, berusaha membesarkan hati wanita cantik itu. Nyi Mas Lindri tersenyum manja, lalu menyandarkan kepala di pundak Joko. Hal itu membuat jantung pemuda itu berdegup semakin keras.
"Oh, Joko.... Lindungilah aku dari kejaran Pendekar Gila dan Panca Iblis...," ratap Nyi Mas Lindri manja. Rambutnya diusapusapkan ke wajah Joko, seakan-akan hendak membangkitkan gairah pemuda itu. Dan benar, Joko pun segera merebahkan tubuhnya, lalu dengan buas menciumi tubuh wanita itu.
"Aku akan melindungimu, Nyi Ayu. Asalkan kau bersedia jadi milikku," bisik Joko sambil terus menggeluti tubuh Nyi Mas Lindri di atas rerumputan.
"Aku akan menjadi milikmu, Joko. Apalagi setelah semuanya kudapatkan. Kau bakal menjadi raja, Joko, mendampingiku," desis Nyi Mas Lindri di tengah desahan nafsunya yang menggebu. Tak lama kemudian keduanya telah saling bergelut memacu nafsu yang semakin menggelegak. Desahan dan rintihan kenikmatan keluar dari Joko. Begi-tupun Nyi Mas Lindri yang telah berpengalaman dengan banyak perjaka. Dan akhirnya desahan panjang mengiringi puncak kenikmatan terlepas dari mulut mereka. Kemudian tubuh keduanya terkapar lemas.
Angin sore berhembus menepiskan rambut mereka. Sesuatu telah terjadi. Joko kini telah mengecap kenikmatan yang belum pernah dialaminya. Godaan itu datang secara mendadak, di saat dirinya harus mengawali perjuangan di tengah rimba persilatan
***
Panca Iblis saling pandang mendengar saran Pendekar Gila. Meskipun berlima, mereka tampak khawatir jika harus menghadapi Nyi Mas Lindri.
"Aha, mengapa kalian masih bimbang" Tetap yakinlah terhadap tekad kalian. Kebenaran, akan senantiasa dalam lindungan Hyang Widhi. Lagi pula, kalian lima orang. Kenapa mesti takut" Ah, sebagai pendekar, tunjukkanlah jiwa besar kalian," tutur Sena memberi semangat pada kelima teman barunya.
"Tapi, kami belum mampu menghadapi Nyi Mas Lindri," sahut Gaja Polo cemas. Hatinya cemas dan takut kalau mereka akan bertemu Nyi Mas Lindri.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Gaja Polo. Kepalanya menggelenggeleng, kemudian tangannya bergerak menggarukgarukHa ha ha, mengapa kalian jadi pengecut begitu" Bukankah sudah kukatakan, bahwa kebenaran akan senantiasa dalam kemenangan. Meski kita kalah dan mati, tetapi di swargaloka akan mendapat kemenangan," tutur Sena sambil menggeleng-geleng kepala dan tersenyum.
Kelima Panca Iblis terdiam. Mereka tampak masih bimbang untuk menentukan pendirian. Namun, setelah dipikir-pikir, memang benar apa yang dikatakan Pendekar Gila. Lagi pula, bukankah mereka ada lima orang" Mengapa mesti takut dengan Nyi Mas Lindri yang hanya seorang wanita" Dulu mereka kalah bukan karena ilmu kesakitan Panca Iblis berada di bawah Nyi Mas Lindri, melainkan karena terpengaruh kecantikannya yang sangat menggiurkan.
"Baiklah, Sena. Kita memang tak mungkin bersama-sama begini terus," ujar Barda.
"Ya, lagi pula sangat sulit mencari lawan dengan cara bergerombol seperti ini," sambung Gaja Polo.
"Aha, rupanya pikiran kalian telah terbuka. Kusarankan pada kalian, mengabdilah pada Istana Telaga Mas. Katakan pada Baginda Aji Wardana, kalau aku yang menyuruh kalian. Semoga kalian diterima!"
"Mungkinkah itu, Sena?" tanya mereka bersamaan, seakan-akan tak percaya pada apa yang dikata- kan Pendekar Gila.
"Bagaimana mungkin kami yang bekas orang jahat menjadi prajurit kerajaan?" tanya Gaja Polo.
"Aha, jika kalian memang benar-benar ingin mengabdi pada kerajaan, tentunya baginda akan menerimanya. Apalagi kini mata Baginda Aji Wardana telah terbuka, sejak peristiwa pemberontakan yang gagal itu," tutur Sena sambil cengengesan. Kelima Panca Iblis saling pandang, seakanakan berusaha meyakinkan satu sama lainnya.
"Baiklah, Sena. Kami akan mengikuti saranmu.
Kami hendak mengabdikan hidup, untuk Istana Telaga Mas. Sekaligus menebus dosa-dosa yang telah kami lakukan selama ini," ujar Gaja Polo mantap.
"Ya, itu bagus. Nah, sampai jumpa lagi!" ujar Sena sambil melesat meninggalkan Panca Iblis Dalam sekejap saja, tubuhnya telah lenyap dari pandangan mereka yang terkagum-kagum melihat kehebatan ilmu Pendekar GilaMungkinkah kita diterima di kerajaan?" tanya Sartakulir yang dari tadi hanya diamSemoga benar, apa yang dikatakan Sena. Ayo kita segera berangkat ke istana," ajak Gaja Polo.
Panca Iblis segera meninggalkan Hutan Palung, tempat mereka berhenti, setelah dua hari dua malam mengikuti Pendekar Gila memburu Nyi Mas Lindri.
***
::₪ǂǂ 7 ǂǂ₪::
Malam itu, ketika bulan purnama bersinar terang. Serikat Iblis melakukan gerakannya di Desa Kedaungan, merampok serta menculik gadis dan perjaka desaAmbil semua barang serta anak gadisnya...!" perintah Joko Galing kepada anak buahnyaSekaligus bawa perjakanya...!" Tanpa diperintah dua kali anak buahnya segera mengerjakan perintah Joko Galing.
Seluruh rumah penduduk digeledah. Para warga yang membangkang atau melawan disiksa secara kejamTolong...!" teriak penduduk.
Wrt! Cras! "Aaa...!" pekikan kematian merupakan jawaban dari mereka yang berusaha melawan.
Tak seorang pun yang mampu menghadapi kebengisan orang-orang Serikat IblisCepat...!" seru Joko Galing.
Gerombolan yang dipimpin Joko Galing bekerja dengan cepat dan sempurna. Semua anak buahnya tak ada yang berani membangkang dan menolak perintah pimpinan mereka yang berilmu tinggi.
Penduduk yang menjadi korban kian banyak.
Golok dan pedang di tangan para perampok itu terus membabat dengan ganas. Jeritan kematian terus terdengar diikuti tubuh-tubuh bergelimpangan tanpa nyawaLepaskan gadis itu, Bangsat!" Salah seorang penduduk ada yang berani menggertak marah, mungkin dia memiliki sedikit ilmu. Dan dengan sengit diba-lasnya setiap serangan yang dilakukan anggota Serikat IblisOrang tua tak tahu diri, mampus kau!" bentak salah seorang anggota Serikat Iblis.
Lelaki tua berwajah keriput itu ternyata Senapati Istana Telaga Mas yang bernama Sedayu sedang menyamar. Tubuhnya berkelit dari babatan golok perampok yang menyerangnya. Kemudian dengan cepat pula, kaki Senapati Sedayu menendang dada lawan.
Tak ampun lagi....
Bugkh! Ngek! "Aaa...!" Perampok itu menjerit, dari mulutnya meleleh darah segar. Matanya melotot, lalu ambruk tanpa nyawa lagi. Melihat kejadian itu, kawan-kawannya segera maju menyerang Senapati Sedayu. Wrt! "Mampus kau, Tua Bangka...!" bentak seorang garongEit...! Tidak kena, Iblis!" sahut Senapati Sedayu seraya melompat ke sana kemari menghindari setiap babatan dan tusukan senjata lawan. Walau usianya telah lanjut, gerakan lelaki berpakaian biru itu begitu gesit dan lincah. Bahkan dengan cepat dan keras ia balik menyerang musuhYang jelas kalian harus ada yang mati. Hiaaat...!" Setelah mengelit Senapati Sedayu melancarkan tinju ke muka penyerangnya. Tangan tua itu melesat cepat, dan dengan telak mendarat di wajah lawan.
Bletak! "Akh!" Orang itu terpekik ketika pukulan Senapati Sedayu mendarat. Tubuhnya bergulingan beberapa kali ke tanah, lalu bangkit berdiri.
"Bedebah! Kubunuh kau, Kunyuk!" bentak garong yang lain marah. Kemudian dengan cepat merangsek tubuh Senapati Sedayu. Namun kini mereka benar-benar kena batunya, karena lelaki tua itu bu kanlah lawan sembarangan. Serangan yang dilancarkan ketiga garong, seperti tak berarti sama sekali.
Wuttt! Seorang garong menyerang dengan goloknya, tapi Senapati Sedayu segera melompat mengelakkan serangan. Kemudian mengirimkan tendangan, menghantam wajah lawan.
"Ini untuk kalian! Heaaa...!" kaki Senapati Sedayu melayang dan secepat kilat menghantam wajah lawan. Beg, beg, beg...! "Akh!" Tiga kali kaki Senapati Sedayu mendarat telak di pipi lawan. Pekikan keras terdengar mengiringi tubuh seorang perampok terhuyung-huyung ke belakang. Betapa marah Joko Galing melihat beberapa anak buahnya mati di tangan Senapati Sedayu. Dengan geram, Joko Galing melompat maju, menghadang serangan lelaki tua yang sedang mengamuk dan banyak memakan korban di pihaknya.
"Bodoh! Melawan orang tua saja kalian tak becus!" bentak Joko GalingMinggir kalian. Biar aku yang menghadapi orang tua kudisan ini!" Orang-orang Serikat Iblis yang hendak menyerang kembali Senapati Sedayu, seketika melompat mundur. Kini dua orang yang memiliki ilmu cukup tinggi itu saling berhadapan. Mata keduanya saling beradu pandang, berusaha menjajaki kekuatan lawan masingmasingOrang tua kudisan! Katakan, siapa kau sebenarnya?" bentak Joko Galing.
"Siapa pun diriku, bukan masalah. Yang jelas, kau harus disingkirkan dari muka bumi ini!" dengus lelaki berpakaian lengan panjang tak kalah geram. Matanya yang agak sipit, menatap tajam wajah Joko GalingHuh, rupanya kau mencari mampus, Orang Tua Busuk!" geram Joko Galing. Nafasnya mendengus, bagaikan seekor banteng yang marah. Matanya masih menatap tajam lelaki berwajah tua yang masih tenang, berdiri tiga tombak di hadapannya dengan kedudukan siap menyerang.
"Dari suaranya, jelas dia bukan orang tua.
Mungkin usianya seusia denganku," gumam Joko Galing setelah menyelidik dengan pandangan tajam lelaki di hadapannyaKau bisa kelabui orang lain. Tapi Joko Galing tidak!"
"Hm, kurasa kaulah yang mencari mampus, Murid Murtad!" balas Senapati Sedayu tak kalah sengit. Joko Galing tersentak kaget. Sungguh tak menduga, kalau lawannya tahu siapa dirinya.
"Bedebah! Siapa kau sebenarnya"!" bentak Joko Galing semakin marah, merasa kedok dirinya telah diketahui orang berwajah tua itu.
"Sudah kukatakan, siapa aku sebenarnya, bukan masalah bagimu. Yang pasti, aku datang untuk menghentikan sepak terjangmu!" jawab lelaki bermuka tua itu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bangsat!" Dengan geram penuh kemarahan, Joko Galing bergerak menyerang lawan. Tangan kanannya menghantam ke wajah lawan, dengan disertai tenaga dalam.
Namun dengan cepat Senapati Sedayu melompat ke samping mengelakkan serangan sambil melancarkan serangan tendangan keras ke wajah Joko Galing yang tubuhnya masih condong ke depan.
"Yea!"
"Hea!" Joko Galing membuang tubuhnya ke kiri, mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan cepat tangannya bergerak menyambar kaki Senapati Sedayu, disusul sebuah pukulan tangan kiri ke lambung lawan.
"Hea!"
"Uts! Hea...!" Dengan cepat Senapati Sedayu melompat ke belakang, mengelakkan pukulan yang disertai tenaga dalam tinggi. Sehingga deru angin keras terasa menghentakkan tubuhnya.
"Bedebah! Siapa kau sebenarnya?" bentak Joko Galing marah merasa kedok dirinya terbukaSudah kukatakan, siapa aku sebenarnya, buka masalah bagimu!" jawab Senapati SedayuKurang ajar! Kubunuh kau, Bangsat!" geram Joko Galing. Tangan kanannya menghantam wajah lelaki tua itu. Tapi, Senapati Sedayu cepat menghinda-rinya! Mendapat serangan berbahaya itu Senapati Sedayu tersentak. Matanya terbelalak kaget. Namun segera dibuang perasaan gentar yang tiba-tiba melandanya. Lalu segera bergerak membalas serangan dengan jurus 'Gerak Harimau Mengintai Mangsa'. Tubuhnya melangkah dengan gerakan pelan, seirama langkah kaki yang tertata rapi.
"Yea!" Tangan Senapati Sedayu berkelebat cepat mencakar ke wajah lawan. Joko Galing segera mengelit ke samping, hingga serangan lawan melesat beberapa jengkal di samping wajahnya. Kemudian pemuda berompi merah itu balas menyerang dengan jurus 'Ayam Jantan Mematuk Cacing'. Tangannya bergerak mematuk ke tubuh lawan, diikuti kibasan tangan kirinya yang disertai tenaga dalam kuat.
"Hea!"
"Yea!" Dalam jurus 'Ayam Jantan Mematuk Cacing', Joko Galing terus memburu lawannya dengan serangan-serangan mematikan. Tangan kanannya bagaikan patuk ayam, mematuk-matuk ke wajah dan dada lawan. Sedangkan tangan kirinya, tak ubahnya sayap ayam, mengepak dan menghantam ke dada dan pinggang lawan dengan disertai tenaga dalam kuat. Hal itu membuat Senapati Sedayu terdesakHea!"
"Yea!"
"Celaka! Benar-benar bukan pemuda sembarangan," desis Senapati Sedayu dalam hati. Dia terkejut menyaksikan seranganserangan yang dilancarkan Joko Galing. Namun begitu, lelaki berwajah tua itu tak mau mengalah begitu saja.
Tubuhnya terus bergerak mengelakkan serangan-serangan sambil sesekali melancarkan serangan balasan ke tubuh Joko Galing.
"Yea!" Wrt! Tangan Joko Galing terus menderu cepat, mematuk dan menghantam lawan yang semakin terdesak hebat. Bahkan Senapati Sedayu tak mampu melancarkan serangan, kecuali hanya bergerak mengelakkan serangan Tenaga dalamnya luar biasa," gumam Senapati Sedayu yang tampak semakin kewalahan menghadapi Joko Galing. Pemuda berompi merah itu terus melabrak dan tak memberikan kesempatan sedikit pun kepada Senapati Sedayu untuk membalas serangan.
***
"Celaka! Mati aku...!" keluh Senapati Sedayu yang semakin tegang, menghadapi gempuran Joko Galing. Lelaki berwajah tua itu terus menghindar dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.
Joko Galing yang semakin geram terus memburu lawannya dengan jurus-jurus maut "Mau lari ke mana kau, Orang Tua Kudisan"!" dengus Joko Galing sambil terus mencecar lawan dengan serangan-serangan yang cepat Senapati, Sedayu masih mampu mengerahkan kewaspadaannya untuk menghindari serangan.
Celaka! Benar-benar bukan lawanku, gumam Senapati Sedayu dalam hati, semakin tegang menghadapi serangan-serangan dahsyat itu.
"Hea!"
"Uts! Hih...!" Senapati Sedayu mencoba memapak serangan lawan, dia berusaha mengukur kekuatan tenaga lawan. Duar! Ledakan dahsyat menggelegar, ketika dua tangan mereka saling beradu.
"Akh...!" Senapati Sedayu memekik tertahan.
Tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Kemudian jatuh terduduk dengan darah meleleh di sela-sela bibirnyaUkh! Hoakkk...!"
"Hua ha ha! Akhirnya kau harus mampus juga, Lelaki Kudisan! Bunuh dia...!" perintah Joko Galing pada anak buahnya sambil menggerakkan tangan kanannya.
Seketika gerombolan dari Serikat Iblis menyerbu Senapati Sedayu.
"Hea!"
"Tamatlah riwayatku," desis Senapati Sedayu pasrah, karena tak mampu lagi mengelakkan serangan yang dilakukan anak buah Joko Galing. Pedang dan golok di tangan para perampok itu, siap membabat tubuhnya. Namun tiba-tiba....
"Hea!" Dukh! Tran, trang...! "Akh..."!" Kelima perampok yang hendak membabatkan senjata mereka ke tubuh lelaki berwajah tua itu terpekik kaget sambil melompat ke belakang. Mereka merasakan hawa panas menyengat, manakala senjata mereka tersambar senjata seorang anak muda yang telah berdiri dekat lelaki berwajah tua itu.
"Hi hi hi...! Lucu sekali! Tak kusangka, orangorang seperti kalian hanya berani pada orang yang telah lemah," ujar pemuda bertampang gila cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Bocah edan! Jangan ikut campur urusanku!" bentak Joko Galing sengit. Matanya terbelalak, menatap tajam wajah pemuda berompi kulit ular. Pemuda yang ternyata Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha, rupanya kau pimpinan tikus-tikus busuk itu"!. Hi hi hi kau pun seperti tikus-tikus busuk itu!" kata Sena sambil memonyongkan mulutnya, mengejek Joko Galing yang semakin marah.
"Bocah edan! Kuhajar mulutmu yang lancang itu!" bentak Joko Galing sengit "Aha, kurasa mulutmu yang pantas untuk dihajar, Tikus Busuk! Sayang, aku tak ada waktu." Usai berkata begitu, Sena segera membopong tubuh Senapati Sedayu. Kemudian tanpa menghiraukan caci maki Joko Galing, Pendekar Gila langsung melesat meninggalkan tempat itu. Meski memanggul beban, dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', Sena mampu melesat dengan cepat "Kurang ajar! Kejar dia...!" perintah Joko Galing.
Joko Galing dan kelima anak buah yang masih hidup, segera melesat mengejar Pendekar Gila.
***
::₪ǂǂ 8 ǂǂ₪::
"Aku yang harus bertanggung jawab. Hm..., bagaimanapun, akulah gurunya," gumam Ki Mandra setelah menghela napas dalam-dalam.
Lelaki tua itu seakan-akan berusaha menahan amarah.
Ki Mandra bangkit dari duduknya, melangkah masuk ke kamar tengah. Kemudian keluar lagi dengan raut wajah telah berubah. Lelaki tua itu mengenakan wajah samaran. Hal itu dilakukan agar tak terlalu menjadi perhatian tokoh-tokoh kalangan persilatan.
Sebuah pedang bertengger di punggungnya. Setelah merasa yakin penyamarannya tak akan diketahui, Ki Mandra segera meninggalkan gubuk bilik di tengah hutan yang letaknya di Gunung Panalu.
Pagi terus merangkak dengan cepat, berubah siang yang panas. Saat itu, Ki Mandra telah sampai di Desa Sigaran Jati. Ketika Ki Mandra sampai di perba-tasan Hutan Seweru, tiba-tiba langkahnya terhenti.
Dilihatnya beberapa sosok tubuh berhamburan menghadang langkahnya. Sosok-sosok berpakaian merah dan bersenjata golok serta pedang yang ternyata para begal Hutan Seweru. Mereka langsung mengurung Ki Mandra yang wajahnya tertutup topeng kulit.
"Serahkan apa yang kau bawa pada kami"!" perintah Pimpinan Begal Hutan Seweru.
Para begal itu, mengenakan topi bertanduk merah. Mereka tentunya Gerombolan Begal Setan Tanduk Merah, yang kini dalam kekuasaan Joko Galing dan Nyi Mas Lindri.
"Aku tak membawa apa-apa, Kisanak. Hanya selembar nyawaku yang masih melekat di tubuh. Apakah kau juga memintanya?" tanya Ki Mandra dengan tenang. Matanya menatap tajam ke seluruh begal yang mengelilingnya.
"Cuih! Apa kau kira kami dapat kau bohongi" Serahkan bungkusan yang kau bawa itu pada kami!" bentak Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah sengit.
"Bungkusan ini bukan sembarangan. Isinya akan kuserahkan pada sahabatku, Joko Galing. Sangat menyesal sekali, kalau kuberikan pada kalian. Tentunya Joko Galing akan marah padaku," jawab Ki Mandra. Mendengar jawaban lelaki berwajah buruk itu, Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah tersentak kaget.
Apalagi ketika mendengar nama Joko Galing disebut "Siapa kau" Dari mana kau mengenal pimpinan kami"!" bantah Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah.
Lelaki bernama Mangala itu terbelalak, matanya menatap tajam penuh selidik pada lelaki buruk muka di depannya.
"Aha, kami sangat akrab, Kisanak. Aku dan Joko Galing dua sahabat yang selalu bersama-sama. Ke mana pun kami pergi selalu berdua. Sayang, semenjak jadi pimpinan orang-orang seperti kalian, dia begitu saja melupakan ku," tutur Ki Mandra dengan tarikan napas yang menyiratkan kesedihan atas perpisahan-nya dengan Joko Galing.
"Bohong! Pimpinan kami masih muda, sedangkan kau telah tua dan buruk rupa!" bentak Mangala karena tak percaya, kalau lelaki bermuka buruk itu teman pimpinannya.
"Kalau kau tak percaya, kau boleh tanya pada pimpinanmu, apakah benar Mandra itu temannya"!" ujar Ki Mandra dengan suara masih tenang. Bahkan bibirnya tersenyum, meskipun senyum itu tipis dan tersembunyi. Mangala dan kesepuluh anak buahnya terdiam dan saling pandang. Mereka tampaknya tengah berusaha meyakinkan ucapan Ki Mandra. Belum juga mereka sempat berkata, Ki Mandra yang ingin meyakinkan Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah berkata lagi, "Katakan juga, aku akan berkunjung padanya.
Di manakah tempatnya"!" tanya Ki Mandra kemudian.
"Kalau kau memang temannya, ikut kami," ajak Mangala.
"Terima kasih," jawab Ki Mandra.
Dengan dikawal anak buah Begal Setan Tanduk Merah, Ki Mandra dibawa menuju Hutan Mentaok di dekat Bukit Jalmus. Di tempat itu markas Serikat Iblis berada. Hm, penjagaan di sini sangat ketat, gumam Ki Mandra dalam hati, menyaksikan banyak prajurit dari aliran sesat berjaga-jaga di hutan itu. Mata mereka tajam, dengan muka garang mengawasi Ki Mandra yang dikawal Gerombolan Begal Setan Tanduk Merah.
"Tunggu di sini, aku akan melaporkan pada pimpinan," perintah Mangala ketika mereka telah sampai di depan tempat kediaman Joko Galing dan Nyi Mas Lindri. Anak buah Begal Setan Tanduk Merah menurut, menahan Ki Mandra di luar. Sedangkan Mangala segera melangkah masuk. Tiba-tiba dari dalam terdengar suara Nyi Mas Lindri.
"Ada apa, Mangala?"
"Ampun, Nyi Ayu! Hamba mau menghadap.
Apakah tidak mengganggu?" tanya Mangala yang belum sempat masuk.
"Masuklah!" perintah Nyi Mas Lindri. Saat Menggali berada di dalam, seketika terlihat pemandangan yang tidak senonoh.
"Ada apa, Mangala?" tanya Joko Galing tersenyumAmpun, Ketua! Ada seorang lelaki bermuka buruk yang mengaku bernama Mandra hendak menemui Ketua. Katanya dia sahabat Ketua," lapor Mangala sambil menundukkan kepala ketika melihat peman-dangan di depannya.
Joko Galing tersentak kaget mendengar laporan Mangala. Joko Galing segera memerintah Nyi Mas Lindri untuk merapikan pakaiannya untuk menyabut kedatangan gurunya.
"Cepat pakai bajumu, Lindri! Guruku datang," perintah Joko Galing dengan wajah tampak tegang.
"Gurumu?" tanya Nyi Mas Lindri tersentakYa, guruku," sahut Joko Galing, "Cepatlah kenakan pa-kaianmu!" Nyi Mas Lindri segera menurut mengenakan pakaiannya dengan rapi. Bagaimanapun yang datang ke tempat mereka adalah guru dari calon suaminya.
Dia merasa harus menghormati dan menyambutnya.
Dengan wajah tegang, Joko Galing melangkah keluar diikuti Nyi Mas Lindri dan Mangala. Mata Joko Galing menatap tajam lelaki bermuka buruk di depan rumah. Dia tahu persis wajah lelaki itu tertutup kedok kulit. Gurunya sengaja menyamar agar tidak diketahui "Guru, selamat datang!" sapa Joko Galing sambil melangkah mendekat Ki Mandra.
Lelaki muda itu hendak bersujud menyembah. Namun, tiba-tiba Ki Mandra membuka kedoknya sambil membentak keras.
"Murid murtad! Rupanya sumpah dan janjimu hanyalah sumpah iblis! Kau harus ku hukum!" Joko Galing tersentak kaget, segera diurungkan niatnya menyembah. Matanya menatap nanar pada wajah sang Guru yang telah menunjukkan wajah aslinya. Wajah tua yang dingin tapi diliputi amarah.
"Guru! Apa salahku, Gum?" tanya Joko Galing belum menyadari mengapa tiba-tiba Ki Mandra sangat marah terhadapnya.
"Pengkhianat...!" maki Ki MandraTak kusangka, kau akhirnya menjadi budak iblis, Joko!" Joko Galing semakin tersentak kaget mendengar makian gurunya. Hatinya seakan tertutup, hingga tak menyadari apa yang telah dilakukan selama ini.
Jiwanya yang telah terpaut Nyi Mas Lindri, bagaikan tak menghiraukan apa yang dikatakan sang Guru.
Bahkan kalau Ki Mandra terus mendesak, dia pun takkan tinggal diam begitu saja.
"Guru, jangan asal menuduh! Apa salahku...?" tanya Joko Galing berusaha menyembunyikan keburukannyaMasih kau tak mau mengakui kesalahanmu, Murid Laknat! Kau telah menjalankan ilmu yang kuturunkan untuk kejahatan, untuk memuaskan nafsu iblismu. Hanya seorang wanita iblis licik yang menjadi buronan Istana Telaga Mas, kau rela mengorbankan sumpahmu, Joko!" kecam Ki Mandra masih dengan suara tertahan.
Menggelegak amarah Joko Galing, mendengar kecaman begitu rupa di depan kekasih dan anak buahnya. Harga dirinya tersinggung. Pikirannya seketika jadi gelap. Dia tak sadar siapa yang kini berada di hadapannya.
"Tutup mulutmu, Keparat!" dengus Joko Galing sengit Sreng! Dicabutnya Pedang Lembayung Merah dari warangka yang tersampir di punggung. Joko Galing yang telah gelap mata karena pengaruh iblis, mendengus dan maju, mendekati Ki Mandra.
"Enyah kau dari sini, sebelum pedang ini memenggal kepalamu!" bentak Joko Galing dengan wajah merah membara bagaikan terbakarJangan sembarangan dengan pedang pusaka itu, Bocah Laknat!" bentak Ki Mandra berusaha me-nyadarkan muridnya yang telah gelap mataJangan banyak omong! Cepat pergi dari tempat ini, atau pedang pusaka ini akan memenggalmu, Keparat!" bentak Joko Galing sambil melangkah mendekat Para anak buahnya melompat mundur. Mereka tidak berani mendekat takut kalau-kalau menjadi sasaran pedang pusaka sakti di tangan Joko Galing.
"Celakalah kau, Joko! Celakalah kau, Murid Keparat!" maki Ki Mandra sambil menyurut mundur.
Kemudian tangannya memegang gagang Pedang Lembayung Putih yang tersampir di pinggang.
Sreng! Cahaya terang berwarna putih, keluar dari pedang di tangan Ki Mandra. Cahaya berkilauan itu beradu dengan cahaya merah yang keluar dari pedang di tangan Joko Galing.
***
"Hm, bagus! Memang itulah yang kuharapkan.
Aku ingin tahu, seberapa hebat ilmumu, Tua Bangka!" dengus Joko Galing dengan angkuh.
"Murid celaka! Kau akan celaka!" bentak Ki Mandra tak sabar menahan amarah yang telah lama tertahan di dalam dada. Nafasnya mendengus penuh amarah. Matanya menatap tajam wajah Joko Galing yang tersenyum mencibirkan bibirnya.
"Kaulah yang akan celaka, Orang Tua Tolol! Kau telah berani masuk ke kandang macan. Berarti kau mencari celaka. Mencari mampus!" geram Joko Galing sengit Digerakkan Pedang Lembayung Merah ke samping menyilang. Matanya tajam menatap gurunya.
"Cuih! Hyang Widhi akan melaknatmu!"
"Bersumpah serapahlah, Ki! Sepuasmu, sebelum nyawamu kukirim ke akherat!" dengus Joko Galing. Dikibaskan pedangnya ke depan, kemudian ditarik ke belakang dan digerakkan ke samping.
Semua yang menyaksikan kejadian itu, merasakan ketegangan. Mereka semua tahu, kehebatan Pedang Lembayung Merah di tangan Joko Galing. Namun, mereka pun menduga kalau Pedang Lembayung Putih di tangan Ki Mandra, guru Joko Galing bukanlah pedang sembarangan. Apalagi pedang pusaka itu berada di tangan pemiliknya yang pasti, yang menciptakan kedua pedang serta jurus-jurus ilmu pedang itu. Bukan tak mungkin kalau gerakan Ki Mandra akan lebih gesit dibandingkan Joko Galing.
Namun, tak ada yang berani menduga, siapa yang bakal menang dalam pertarungan antara guru dan murid yang sama-sama memegang pedang pusaka itu. Joko Galing masih muda dan kelihatan gesit serta lincah, sedangkan Ki Mandra sebagai pencipta kedua pedang dan jurus-jurusnya. Sudah tentu, lelaki tua itu tahu kelemahan dan kehebatan jurusnya sendiri.
"Bersiaplah, Tua Bangka! Sebentar lagi, kukirim kau ke neraka!" dengus Joko Galing.
"Huh, kaulah yang harus kukirim ke neraka! Heaaa...!"
"Yea...!" Jeritan menggelegar mengiringi kedua murid dan guru itu melesat saling serang dengan pedang pusaka di tangan masing-masing. Keduanya menggunakan jurus yang sama, 'Sapuan Lembayung'. Pedang mereka bergerak ke samping kiri, menyilang di depan.
Kemudian, dengan cepat bergerak ke depan menebas, dilanjutkan dengan menusuk "Hea!" Trang! "Yea!" Trang! Joko Galing dan Ki Mandra terus berkelebat, saling serang dan tangkis dengan pedang.
Mereka membabat dan mengelak mundur, kemudian melakukan serangan lagi.
"Hea!" Wrt! Trang! Seketika dentang dari pedang yang saling beradu terdengar keras.
"Hih!" Wrt! Trang! Guru dan murid itu terus saling babat dan tusuk. Namun, dengan cepat mereka mengelak dan menangkis serangan lawan. Jurus-jurus yang sama, terus dikeluarkan. Sehingga, gerakan keduanya bagai sedang berlatih ilmu pedang. Tubuh mereka berkelebat cepat dan memutar pedang dengan cepat pula. Dari gerakan pedang yang begitu cepat, keluar sinar putih dan merah bergulung-gulung, menutup tubuh mereka.
Sehingga yang tampak kini hanya kelebatan dua pedang di antara cahaya merah dan putih.
"Yea!" Wuttt! Tiba-tiba Ki Mandra mengeluarkan jurus simpanan yang baru diciptakan beberapa purnama yang lalu. Jurus 'Paduan Lembayung Menyapu Buana', yang dikeluarkan membuat Joko Galing tersentak kaget. Baru kali ini dilihatnya jurus yang dikeluarkan sang Guru. Sebuah jurus perpaduan dari semua jurus 'Lembayung' yang ditambah dengan gerakan lincah dan gesit, membuat Joko Galing kewalahan menghadapinyaCelaka! Orang tua itu ternyata memiliki jurus andalannya," gumam Joko Galing seraya berusaha mengelak dari babatan pedang Ki Mandra, yang sangat cepat dan mematikan.
"Mampuslah kau, Murid Murtad! Heaaa...!" Wrt! Ki Mandra membabatkan pedangnya dengan cepat ke tubuh muridnya. Nampaknya lelaki tua berjubah resi berwarna merah ini tak sabar lagi. Dia ingin segera menghabisi nyawa muridnya yang telah membuat malu dan mencoreng mukanya dengan perbuatan sesatCelaka! Tak ada pilihan lain. Aku harus meminta bantuan anak buahku," desis Joko Galing dalam hati, sambil bergerak mengelakkan serangan yang dilancarkan Ki Mandra.
Trang! "Hih! Serang dia...!" seru Joko Galing pada anak buahnya.
Mendengar teriakan perintah sang Ketua semua anggota Serikat Iblis menyerbu Ki Mandra.
"Hea...!"
"Yea...!"
"Pengecut! Jangan harap aku akan membiarkan kau begitu saja, Murid Murtad! Yeaaa...!" Kini bagai banteng terluka Ki Mandra mengamuk dengan membabatkan pedangnya menggempur para pengeroyoknya.
"Hea...!" Wrt! Pedang Lembayung Putih di tangan Ki Mandra berkelebat memburu mangsa.
Jrab, jrab! "Akh...!"
"Aaakh...!" Jeritan-jeritan kematian melengking susulmenyusul, ketika Pedang Lembayung Putih di tangan Ki Mandra, membabat cepat ke arah mereka. Tanpa ampun lagi, dalam satu gebrakan saja, lima orang anak buah Joko Galing menemui ajalnya. Mereka tewas dengan perut dan dada sobek. Melihat kejadian yang hanya sekejap mata itu, Joko Galing semakin geramKurang ajar! Kubunuh kau, Keparat! Heaaa...!"
"Kubantu kau, Joko!" seru Nyi Mas Lindri sambil melesat ikut mengeroyok Ki Mandra. Sehingga Ki Mandra kini harus menghadapi keroyokan Joko Galing dan Nyi Mas Lindri serta dua puluh anak buahnya.
Meski dikeroyok orang banyak Ki Mandra tak merasa gentar sedikit pun. Lelaki tua itu bagai banteng terluka, begitu ganas mengamuk dengan membabatkan pedangnya. Namun, Ki Mandra tak menyadari, kalau usianya telah tua. Tenaganya akan terkuras habis karena harus mengerahkan gerakan cepat serta kewaspadaan tinggi.
"Jangan harap aku takut menghadapi keroyokan kalian, Pengecut!" maki Ki Mandra sambil terus bergerak, menyerang dan mengelakkan serangan-serangan lawan. Pedang Lembayung Putih di tangannya menderu-deru, mencari sasaran.
Wrt! Bret! "Akh....!" Dua orang lagi terpekik keras, terkena babatan pedang di tangan Ki Mandra. Tubuh mereka terlontar ke belakang, kelojotan sebentar, kemudian diam tanpa nyawa.
***
::₪ǂǂ 9 ǂǂ₪::
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Keparat! Ayo, Lindri kita habisi orang tua keparat itu!" ajak Joko Galing sambil melesat menyerang Ki Mandra yang tengah menghadapi keroyokan anggota Serikat Iblis.
Kedatangan Joko Galing dan Nyi Mas Lindri yang menyerang dari dua arah secara bersamaan, membuat Ki Mandra kewalahan.
"Celaka!" pekik Ki Mandra kaget, melihat serangan kedua Pimpinan Serikat Iblis itu. Mata orang tua itu membelalak tegang, melihat dua serangan yang melesat ke tubuhnya. Hampir saja nyawa Ki Mandra termangsa Pedang Lembayung Merah di tangan Joko Galing serta pukulan yang dilancarkan Nyi Mas Lindri. Namun, dengan sekuat tenaga Ki Mandra bergerak menghindari serangan itu.
"Aha, ada pesta, Senapati! Bukankah lebih baik lata ikut berpesta membasmi tikus-tikus itu" Heaaa...!" Pendekar Gila melesat cepat, bersalto di udara dan dengan cepat membabatkan Suling Naga Saktinya memapak tusukan pedang Joko Galing yang mengancam jiwa Ki Mandra.
Trang! "Ukh! Setan! Siapa kau..."!" bentak Joko Galing dengan tubuh melompat mundur.
Dirasakan tangannya seperti kesemutan akibat benturan senjatanya dengan suling di tangan pemuda yang kini cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Lucu...! Kenapa kau seperti tikus sawah yang ketemu ular" Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Melihat kedatangan Senapati Sedayu semua mata terbelalak kaget. Apalagi Nyi Mas Lindri, ketika melihat kehadiran Pendekar Gila di tempat itu. Mereka tahu siapa adanya Senapati Sedayu yang gagah berani.
Kedudukannya sebagai senapati menggantikan Awong Purbo yang binasa setelah gagalnya pemberontakan.
Senapati Sedayu semenjak berusaha menggagalkan perampokan di Desa Kedaungan, sekarang hendak menangkap Serikat Iblis. Selain itu dia memang utusan dari Istana Telaga Mas untuk menangkap Nyi Mas Lindri yang telah mendalangi pemberontakan.
"Pendekar Gila, kau memang harus mampus! Kau selalu ikut campur urusanku!" bentak Nyi Mas Lindri sengit, yang sekaligus membuat Ki Mandra terbelalak ketika tahu pemuda berpakaian rompi kulit ular itu ternyata Pendekar Gila.
"Aha, rupanya kau harus kutangkap, Tikus Betina. Hi hi hi...! Kebetulan sekali. Kucari ke manamana, akhirnya kudapatkan kau di sini. Senapati, dialah pengkhianat kerajaan yang harus kau tangkap," ujar Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan.
"Cuih! Jangan kira semudah itu kalian menangkapku!" dengus Nyi Mas Lindri.
"Hua ha ha...! Rupanya tikus betina itu mau main petak umpet lagi, Senapati," sahut Sena sambil tertawa terbahak-bahak, sampai tubuhnya turut ter-guncang. Kemudian digeleng-gelengkan kepalanya.
"Tuan Pendekar, Terimalah salamku!" sela Ki Mandra mengambil kesempatan luang ituAha, seharusnya akulah yang menghaturkan salam padamu, Ki. Tapi sudahlah! Kita tak punya waktu lagi. Aku harus menangkap tikus betina ini," kata Sena sambil menunjuk Nyi Mas LindriCuih! Jangan asal ngomong, Bocah Edan! Kalau kau mau menangkapnya, langkahi dulu mayatku!" bentak Joko Galing sengit, merasa kekasihnya hendak ditangkap Pendekar Gila. Bagaimanapun dia tak membiarkan Nyi Mas Lindri yang telah memikat hati dan telah memberi kepuasaan jiwa selama ini ditangkap Pendekar GilaAha, begitukah" Hi hi hi...! Bagaimana, Ki?" tanya Sena meminta izin pada Ki Mandra.
"Kuserahkan padamu, Pendekar," jawab Ki MandraAha, terimakasih. Hi hi hi...! Kisanak, rupanya kau pun harus ditangkap, karena kau telah melakukan kejahatan yang merongrong kewibawaan kerajaan!"
"Cuih! Banyak omong! Heaaa...!" Joko Galing yang memang ingin menjajaki sampai seberapa ilmu Pendekar Gila tak mau banyak kata. Segera dengan Pedang Lembayung Merah melesat menyerang Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" dengan tertawa cekikikan, Pendekar Gila segera mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari dengan sesekali menepukkan tangannya ke dada lawan.
Tersentak kaget semua yang ada di tempat itu, menyaksikan jurus aneh yang dikeluarkan Pendekar Gila. Jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', gerakannya seperti orang menari, lemah gemulai dan meliuk-liuk.
Tepukan tangannya pun nampak lemah, tapi ternyata mampu mengejar gerakan Joko Galing yang cepat "Kurang ajar! Pecah kepalamu, Gila! Hih...!" Joko Galing mengibaskan Pedang Lembayung Merah ke kepala Pendekar Gila dengan jurus 'Sapuan Lembayung'. Namun dengan mudah bagaikan menari, Pendekar Gila mengelitkan serangan lawan. Kepalanya dirundukkan sambil meliuk, lalu dengan cepat pula tangannya menepuk ke dada Joko Galing.
"Hih!"
"Uts!" Joko Galing tersentak kaget. Sungguh tak disangka tepukan tangan Pendekar Gila begitu cepat.
Padahal gerakan yang dilancarkan tampak lambat dan lemah. Tetapi deru angin yang keluar dari tepukan tangan Pendekar Gila, cukup keras dan menyentakkan Joko Galing. Di tempat lain, Senapati Sedayu dan Ki Mandra tak tinggal diam. Ki Mandra menghadapi para pengikut Serikat Iblis. Sedangkan Senapati Sedayu menghadapi Nyi Mas Lindri.
"Yea!"
"Hea!" Ki Mandra dengan pedang pusakanya, bagai banteng terluka, sangat sulit untuk ditahan. Babatan-babatan pedangnya, membuat anak buah Joko Galing kewalahanHea!" Wrt! Cras! "Akh!" Dua orang terpekik, ketika terbabat Pedang Lembayung Putih di tangan Ki Mandra. Tubuh mereka terpental ke belakang dengan usus terburai. Kemudian jatuh ke tanah, sesaat kejang dan akhirnya terkapar berlumuran darah.
Pendekar Gila dengan cengengesan terus mengelitkan serangan pedang yang dilancarkan Joko Galing. Tubuhnya meliuk-liuk sambil sesekali menari.
"Hea!" Wrt! Joko Galing yang kian marah, mempercepat gerakannya dengan jurus yang lain. Kini dengan jurus 'Lembayung Kembar' pemuda itu berusaha menekan Pendekar Gila. Pedang Lembayung Merah di tangan Joko Galing bergerak cepat, membabat dan menusuk ke bagian tubuh Pendekar Gila. Gerakan membabat dan menusuk itu begitu cepat seakan tak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Gila untuk membalas seranganAha, hebat juga pedangmu, Tikus Busuk! Hi hi hi...! Wauw, hampir saja kepalaku terpenggal," gumam Sena sambil merunduk, lalu dengan cepat menggerakkan tangan kanannya menghantam ke dada lawan.
"Hih...!"
"Hea! Pecah kepalamu, Gila! Hih...!" Joko Galing membabatkan pedang dari atas ke bawah, seperti hendak membelah kepala lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila menggulingkan tubuh ke bawah. Kaki kanannya menyambar kaki Joko Galing.
Wut! Brat! Bukkk! Tubuh Joko Galing terjatuh, karena tak menyangka kakinya akan terkena sambaran kaki Pendekar Gila. Saat itu juga, Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggarukgaruk kepala. Dia seakan-akan membiarkan Joko Galing bangun lagi.
"Hi hi hi...! Tikus sawah jatuh. Ha ha ha...!"
"Cuih! Kau benar-benar mempermainkanku, Gila! Jangan salahkan aku kalau kupenggal lehermu! Heaaa...!"
"Hi hi hi...! Mengapa menyesal, Tikus Busuk! Hua ha ha!" Joko Galing yang sudah marah segera melakukan serangan dengan membabatkan pedang. Namun dengan tubuh meliuk, kemudian melompat ke sana kemari Pendekar Gila menghindari serangan Joko Galing, sesekali tubuh Pendekar Gila melenting ke udara.
"Yea!" Melihat Pendekar Gila menukik ke bawah. Joko Galing dengan cepat membabatkan pedangnya ke atas.
Disangkanya tubuh Pendekar Gila akan terus meluruk turun, namun ternyata Pendekar Gila cepat membuang tubuh sambil bersalto ke depan. Lalu dengan cepat pu-la, menjejakkan kaki kanannya ke punggung Joko Galing. Deg! "Ukh! Keparat.,.!" maki Joko Galing dengan tubuh terhuyung ke depan karena tendangan kaki Pendekar Gila yang keras telah menghantam punggungnyaHi hi hi...! Di situ tak ada kodok," ledek Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Kupertaruhkan nyawaku untuk melawanmu, Gila! Yeaaa...!" Dengan amarah meluap-luap, Joko Galing kembali menyerang Pendekar Gila. Pedang Lembayung Merah semakin menyala terang. Sepertinya pedang itu turut merasakan kemarahan pemegangnya.
"Hea!"
"Aha, nyawa siapa yang diadu, Tikus Busuk! Hi hi hi...! Hia!" Sret! Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian dengan tingkah lakunya yang konyol dikibaskan suling itu tepat ketika Pedang Lembayung Merah membabat ke tubuh Sena.
Trang! "Ukh...!" Joko Galing terpekik merasakan tangannya sangat panas setelah beradu dengan suling berkepala naga di tangan Pendekar Gila. Matanya terbelalak tak percaya, menyaksikan suling kecil itu mampu menandingi Pedang Lembayung Merah di tangannyaHi hi hi...! Kenapa, Tikus Busuk" Hi hi hi...! Mukamu pucat, seperti menghadapi malaikat maut," ejek Sena sambil tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Cuih! Kita tentukan, siapa yang hams pergi ke akherat, Pendekar Gila!"
"Aha, kenapa buru-buru ingin ke akherat" Hi hi hi...!"
"Kurang ajar! Hea...!"
***
Nyi Mas Lindri kian ketakutan ketika para prajurit Istana Telaga Mas mengepung wilayah itu. Sepertinya mereka membuat pagar betis yang kuat.
"Aha, kalian datang tepat pada waktunya.
Tangkap saja tikus betina itu...," ujar Sena sambil terus bergerak mengelakkan dan menangkis serangan Joko Galing. Joko Galing yang melihat prajurit-prajurit Istana Telaga Mas telah mengepung wilayah itu, semakin nekat. Pedang di tangannya membabat dan menusuk dengan deras ke tubuh Pendekar Gila. Namun, dengan masih cengengesan sambil bertingkah laku konyol Sena terus mengelak.
Kemarahan Joko Galing kian marah ketika dia melihat kedatangan Panca Iblis yang sudah menjadi prajurit-prajurit kerajaan. Dendamnya pada mereka semakin berkobar-kobar, bagaikan membakar dadanyaBajingan! Kalian datang juga! Kubunuh kalian! Heaaa...!" Joko Galing kini melesat memburu Panca Iblis dengan Pedang Lembayung Merah terayun siap membinasakan mereka. Namun dengan cepat, Pendekar Gila berkelebat memapakinya.
"Hea!" Trang! "Ukh!" Joko Galing menyurut mundur beberapa tindak ke belakang. Tangannya terasa bergetar hebat akibat pedangnya berbenturan dengan Suling Naga SaktiBedebah! Kau benar-benar mencari mampus, Pendekar Gila!" Dengan marah, Joko Galing yang semakin dikuasai iblis terus berusaha melabrak Pendekar Gila dengan babatan dan tusukan pedangnya. Jurus-jurus andalan dan sangat berbahaya, dikerahkan untuk dapat membinasakan Pendekar Gila.
Wrt! "Hea!" Sedikit pun tak tampak kegugupan Pendekar Gila, meski serangan tampak semakin gencar dan ganas. Dengan tingkah lakunya yang konyol tubuh Sena meliuk, bergerak bagai menari melompat ke sana kemari mengelakkan serangan lawan.
"Hi hi hi...! Hati-hati, Kisanak! Bertarung jangan terlalu nafsu!" goda Sena semakin membuat Joko Galing marah.
"Terimalah jurus pamungkas ku, Pendekar Gila! 'Lembayung Melepas Sukma'! Heaaa...!" Pedang di tangan Joko Galing bergerak begitu cepat, memburu lawan. Namun, Pendekar Gila cepat menggunakan jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', Sena melesat bagaikan terbang, kemudian menukik dan menyerang lawan.
"Aha, ada tikus mengamuk! Hi hi hi...!"
"Cuih! Tembus dadamu, Pendekar Gila!" maki Joko Galing sambil menusukkan pedangnya ke dada Pendekar Gila yang telah turun ke tanah lagi, setelah melesat ke udara.
Wrt! "Hi hi hi...! Aha, jurusmu masih kaku, Kisanak!" Pendekar Gila melentingkan tubuhnya ke atas, kemudian dengan cepat ditotokkan kepala Suling Naga Saktinya ke kepala Joko Galing.
"Ini untukmu, Kisanak! Kau belum merasakan jitakanku, bukan"! Nih kuberi!" Bletak! "Aduhhh...!" Joko Galing menjerit sambil memegangi kepala yang tersambar kepala Naga Sakti. Tubuhnya memutar-mutar menahan rasa sakit yang berdeyut-denyut di kepala.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau! Seperti tikus mabuk racun. Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrakan melihat Joko Galing berputar sambil mengaduh kesakitan. Tangan Joko Galing masih memegangi kepala yang terasa sakit "Bangsat! Kubunuh kau, Pendekar Gila!" maki Joko Galing semakin sengit.
Tawa Pendekar Gila semakin keras dan terbahak-bahak. Kemudian tubuhnya kembali melompat ke atas. Dipukulkan lagi Suling Naga Saktinya ke kepala Joko GalingRupanya kau mau nambah jitakanku, Kisanak. Hih...!" Bletakkk! "Wadaw...! Sakit...!" Joko Galing menjerit-jerit kesakitan dengan tubuh berputar-putar. Tangannya kini melepaskan Pedang Lembayung Merah dan mendekap kepala yang berdenyut-denyut sakit Semua prajurit yang ada di situ, tertawa melihat kelucuan yang terjadi. Joko Galing yang marah, tak mampu berbuat apa-apa. Kepalanya terasa berdenyut sakit disertai pandangan mata yang berkunangkunangTobat! Sakit..! Aduh...!" Joko Galing terus menjerit-jerit merasakan kesakitan yang tak terkira, akibat totokan kepala Suling Naga Sakti.
Melihat orang yang diandalkan kini dijadikan permainan Pendekar Gila, Nyi Mas Lindri bermaksud kabur. Namun, sebelum wanita itu sempat mengeluarkan senjata rahasia, Pendekar Gila telah melenting ke atas dan bersalto beberapa kali di udara. Kemudian tubuhnya menunduk, menubruk Nyi Mas Lindri.
"Aha, mau lari ke mana kau, Nyi" Hi hi hi...!"
"Lepaskan aku!" pekik Nyi Mas Lindri berusaha melepaskan diri dari pelukan Pendekar Gila. Wanita cantik berhati iblis itu meronta-ronta, berusaha melepaskan pelukan kuat Pendekar Gila. Namun dengan cepat sekali Pendekar Gila menotok tubuh Nyi Mas Lindri. Seketika tubuhnya terkulai lemas dan tak mampu digerakkan. Hanya matanya saja yang masih terbuka bisa digerakkan.
"Aduh, tobat..!" Joko Galing masih meraung-raung, merasakan sakit akibat totokan Naga Sakti. Ki Mandra segera menghampiri. Dipungutnya Pedang Lembayung Merah yang terpental di tanah. Mata lelaki tua itu memandang dengan tatapan dingin pada muridnya yang murtad itu.
"Bersiaplah kau untuk menerima hukumannya, Murid Murtad!" dengus Ki Mandra.
"Ampun! Jangan...! Aku tobat. Jangan bunuh aku...!" Joko Galing segera berusaha bangun. Dipeluk-nya kedua kaki Ki Mandra sambil meratap, memohon ampunan dari sang GuruAmpunilah muridmu, Guru! Ampunilah selembar nyawaku!"
"Sebagai seorang pendekar, patutkah kau merengek begitu, Joko" Kau telah melanggar sumpahmu.
Maka kau pun harus mendapatkan hukumannya," jawab Ki Mandra dengan suara datar. Wajahnya nampak dingin dan seolah tak menghiraukan tatapan Joko GalingAmpunilah nyawaku, Gum!"
"Bersiaplah, Joko!" kata Ki Mandra.
Tangan Ki Mandra kini terangkat tinggi, mengayunkan Pedang Lembayung Merah.
Semua yang ada di situ tersentak diam. Mata mereka memandang ngeri, menyaksikan apa yang akan dilakukan Ki Mandra terhadap muridnya yang murtad. Pendekar Gila juga terkesima, hanya mampu bengong. Dia berusaha mencegah, tapi terlambat.
"Ki, jangaaan...!" Wrt! Cras! "Akh...!" Lolongan kematian seketika keluar dari mulut Joko Galing, ketika Pedang Lembayung Merah di tangan Ki Mandra menghujam di punggung pemuda itu.
Darah menyembur keluar membasahi sekujur tubuh."
"Ahhh...," Sena mengeluh lirih, merasa bersalah tak dapat mencegah tindakan Ki Mandra yang menurutnya tak manusiawi dan kurang mencerminkan kependekarannyaGuru...! Kau..., kau...!" terbata-bata Joko Galing sambil berusaha memeluk kaki Ki Mandra. Namun, tubuhnya tak mampu menahan, ambruk mencium tanah. Kematian yang mengenaskan. Seakan tak ada ampunan baginya. Ki Mandra yang tahu kalau Pendekar Gila agak kecewa dengan perbuatannya segera melangkah menghampiri pemuda berompi kulit ular itu.
"Maafkan aku, Pendekar! Sungguh hanya jalan itulah satu-satunya yang dapat kulakukan. Kalau tidak, maka dunia ini akan hancur karenanya. Dia tak akan mampu berubah. Iblis telah menguasai hati dan jiwanya," ujar Ki Mandra.
"Apakah tak ada jalan lain" Bukankah Hyang Widhi mengampuni umatnya?" tanya Sena dengan mulut meringis sambil menggelenggeleng kepala. Ki Mandra terdiam membisu.
Semua terdiam, tak ada yang berkata. Pendekar Gila menghela napas panjang.
"Ah, sudahlah, semua sudah terjadi. Kini bagaimana nasib Nyi Mas Lindri juga terserah pihak kerajaan. Terserah pada keputusan baginda," gumam Sena. Mentari berarak merambat ke arah barat, lalu perlahan-lahan turun. Bias merah nampak menggambar di langit belahan barat, ketika mereka meninggalkan Hutan Mentaok, tempat mayat Joko Galing dikuburkan. Esok harinya, Nyi Mas Lindri sebagai terpidana pelaku pemberontakan akan mengalami hal yang sa-ma. Wanita cantik berhati iblis itu harus menjalani hukuman yang setimpal, digantung! Pendekar Gila hanya mampu menghela napas, sambil beranjak meninggalkan Istana Telaga Mas dan melanjutkan pengembaraannya.
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
Istana Berdarah --oo0oo-- Dendam Mahesa Lanang |