Istana Berdarah
tanztj
March 15, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
Durjana Berparas Dewa --oo0oo-- Pengkhianatan Joko Galing |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
≡≡≡¦ 1 ¦≡≡≡
Malam terus merangkak, gelap menyelubungi bumi. Keadaan itu membuat Istana Telaga Mas yang terletak di tengah-tengah dan dikelilingi hutan serta pegunungan, tampak sepi bagaikan mati. Semua penghuni istana itu telah terlelap dalam tidur. Hanya sepuluh orang pranjurit jaga yang masih membuka mata. Mereka tengah berjaga-jaga di sekitar istana dengan bersenjata tombak.
Meskipun rasa kantuk yang berat menyergap mata, mereka tetap berusaha bertahan. Kesetiaan dan rasa tanggung jawab terhadap amanat yang di-bebankan membuat kesepuluh prajurit itu tetap menjalani tugas.
Kesepuluh prajurit yang mengenakan pakaian rompi hitam dengan hiasan keemasan di depan dada, berjalan-jalan memeriksa keadaan di sekeliling istana. Mata mereka yang tajam laksana mata burung hantu terus mengawasi segenapa penjuru istana.
Mereka dibagi menjadi empat kelompok. Tiga di depan, tiga di belakang, dua di samping kanan, dan dua lagi di samping kiri. Hal itu dimaksudkan, jika terjadi sesuatu dari semua penjuru, mereka akan segera mengetahui. Kesepuluh prajurit itu terus men- jaga keamanan lingkungan istana. Sesekali antar pemimpin kelompok saling bertemu, untuk melaporkan keadaan di tempat jaga masing-masing.
"Bagaimana keadaan di belakang?" tanya prajurit bertubuh tinggi besar dengan kumis melintang.
Matanya tajam dan lebar, beralis lebat. Lelaki itu bernama Kaung.
"Aman," sahut lelaki bertubuh tinggi kekar. Hidungnya besar dan bermulut agak lebar. Kumis tipis menghias di atas bibirnya. Dia bernama Kebir, pimpinan jaga di belakang istana.
"Samping juga aman," tambah kedua prajurit yang berjaga di samping. Yang satu bernama Udel, seorang lagi bernama Jirin. Keduanya sama-sama bertubuh tinggi.
Kaung mengangguk-anggukkan kepala, mendengar laporan ketiga temannya.
"Bagaimana depan?" tanya Kabir pada Kaung.
"Beres."
"Kurasa keadaan memang aman," tukas Udel.
"Tapi bagaimanapun, kita harus tetap waspada," ujar Kaung.
"Benar! Karena bahaya bisa saja datang setiap saat," sambung Kebir.
"Ya, ya," gumam Udel.
"Baiklah, kita kembali ke tempat kita masing-masing!" kata Kaung mengakhiri pertemuan, yang senantiasa dilakukan dalam selang waktu yang tidak lama, untuk mengetahui keamanan rekan-rekan yang lain.
Mereka pun segera kembali ke tempat tugas, berbaur dengan teman-teman yang masih berjaga di pos masing-masing.
Sementara itu dari sebelah barat telaga yang mengelilingi Istana Telaga Mas, sesosok tubuh yang terbalut pakaian serba hitam dengan muka ditutup topeng kain hitam berkelebat menuju tepian telaga itu.
Gulungan tali besar tersangkut di pundak orang itu.
Dari kedua lubang yang memperlihatkan mukanya, tampak kalau sosok itu ternyata seorang lelaki. Matanya yang tajam mengawasi istana yang terletak di tengahtengah telaga itu. Sebentar kemudian menatap air telaga yang tampak kekuningan.
"Hm, mampukah aku menyeberangi telaga seluas ini?" gumam lelaki bertubuh tinggi tegap berpakaian lengan panjang dan bertopeng selubung hitam.
Sebentar kemudian sepasang matanya yang tampak dari lubang jelalatan memandang ke sana kemari.
Mata lelaki itu kembali memandang istana. Jika dilihat dari belakang dan samping, Istana Telaga Mas seolah-olah berada di tengah telaga. Namun dari depan, akan tampak terletak di tanah biasa. Hal itu karena di depan Istana Telaga Mas memang tanah biasa. Bahkan luas tanahnya bisa digunakan sebagai alunalun.
"Pantas kalau telaga ini dinamakan Telaga Mas.
Airnya kekuning-kuningan dan berkilauan seperti emas," gumam lelaki itu sambil menyapukan pandangan ke depan. Benaknya berputar mencari jalan, bagaimana caranya untuk dapat menyeberangi telaga yang luas itu.
Lelaki berpakaian serba hitam itu menghela napas panjang. Dia masih bingung untuk menyeberangi telaga itu.
"Hm, kalaupun bisa menyeberangi, mampukah aku menjalankan tugasku?" dari suaranya tercermin keraguan. Seakan ada sesuatu yang membuatnya bimbang.
"Menurut Rama Mangunda, prajurit di Istana Telaga Mas bukan prajurit sembarangan. Mereka para prajurit pilihan yang gagah berani...." Lelaki itu nampak masih mematung termangumangu memandangi tembok istana yang tinggi.
Keraguan akan kamampuan dirinya terus bergayut dalam hati. Orang-orang kalangan rimba persilatan menjuluki dia sebagai Kalong Maut. Namun, entah mengapa, kini hatinya bimbang. Padahal selama ini sepak terjangnya sebagai pembunuh bayaran, tak pernah gagal.
Kini, untuk melaksanakan perintah dari Rama Mangunda, Kalong Maut tiba-tiba kebingungan. Apalagi ketika ingat kata-kata Rama Mangunda, bahwa prajurit di Istana Telaga Mas bukanlah prajurit biasa.
"Ah, bukan Kalong Maut kalau gagal melakukan pekerjaan ini," gumamnya berusaha menepis perasaan gelisah dan kebimbangan.
Kalong Maut terdiam sesaat. Sejurus kemudian matanya kembali menatap sekitar Hutan Wiring tempat dia kini berada. Lelaki itu kemudian melangkah perlahan, seperti mencari-cari sesuatu.
Tak lama kemudian, di tangannya telah tergenggam sebatang cabang pohon.
Crakkk! Dengan golok panjangnya, batang kayu itu dipotong menjadi sepanjang lengan.
Crakkk! Satu lagi Kalong Maut memotong kayu sepanjang lengannya. Setelah selesai membuat dua kayu pendek, Kalong Maut melangkah ke tepi telaga.
"Hm, dengan kayu ini, mungkin aku bisa mengarungi telaga luas ini," gumam Kalong Maut. Kemudian dilemparkan kedua kayu itu ke air telaga.
"Hih...!" Pluk! Pluk! Kayu itu sesaat tenggelam. Namun, tak lama kemudian telah muncul kembali ke permukaan air. Sejurus kemudian, Kalong Maut terdiam sambil menyatukan kedua telapak tangan di dada. Lalu ditariknya napas dalam-dalam. Dan...
"Hoppp...!" Tubuh Kalong Maut melenting ke atas dan bersalto dua kali di udara. Kemudian dengan ringan kedua kaki Kalong Maut hinggap di atas kedua kayu yang mengambang di permukaan air.
"Ups! Akhirnya bisa juga," gumam Kalong Maut.
Kedua kayu itu bagaikan tak tertekan beban barang sedikit pun, tetap mengapung di atas air. Dilihat dari caranya, jelas Kalong Maut memiliki ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna.
Dengan ilmu 'Kalong Mengayuh' Kalong Maut menjalankan kedua kayu itu. Seketika tubuhnya yang berpijak di kedua kayu melesat menuju Istana Telaga Mas. Bagaikan sebuah kendaraan yang sangat cepat benda itu membawanya menyeberangi air.
"Heaaa...!" Srrrts! Kedua kayu terus meluncur dengan cepat. Tubuh Kalong Maut bagaikan tak memiliki beban barang sedikit pun berdiri memijak di atasnya.
"Hm, akhirnya aku berhasil. Kini yang harus ku-pikirkan, bagaimana caranya agar bisa masuk istana?" tanya Kalong Maut pada diri sendiri. Dari suaranya menunjukkan keraguan kembali menggayut di lubuk hatinya.
"Ah, itu urusan nanti." Kalong Maut berusaha menepiskan kebimbangan sambil berusaha meyakinkan diri, kalau selama ini usahanya selalu berhasil.
Belum pernah sekali pun mengalami kegagalan.
***
"Aku harus bersembunyi. Hooop...!" lelaki gagah berselubung hitam itu melompat lalu menyelinap di antara tembok tinggi yang mengelilingi istana.
"Hm, para prajurit itu tengah berjaga-jaga." Mata Kalong Maut sejenak menatap ke atas, seakan hendak mengukur ketinggian tembok itu.
"Akan kucoba melewatinya. Hooop...!" Kalong Maut melompat bagaikan terbang. Lalu dengan ringan hinggap di atas tembok. Sejenak matanya yang tampak dari dua lubang selubung hitam, mengawasi ke bawah.
"Hooop...!" Seketika lelaki berpakaian serba hitam melompat turun, kembali keluar tembok.
Hal itu karena tiba-tiba dilihatnya dua orang prajurit jaga berjalan.
"Untung mereka tak melihatku. Kalau keduanya tahu, huhhh..., bagaimana jadinya aku!" rungutnya dalam hati.
"Kakang, aku rasa keadaan aman. Apa tak sebaiknya kita ke depan saja?" terdengar suara prajurit berkata.
"Ya. Ke depan saja kalian!" ujar Kalong Maut dalam hati.
"Ah, bukankah di depan sudah ada prajurit jaga" Biarlah kita di belakang saja. Toh kita berdua di sini," jawab prajurit lainnya.
"Sial...," sungut Kalong Maut dalam hati.
"Prajurit ini minta dihajar!" Sesaat kemudian tak terdengar lagi pembicaraan mereka. Hal itu sempat membuat Kalong Maut mengernyitkan keningnya. Sejenak lelaki berselubung kepala hitam itu menarik napas sambil mengandalkan ilmu menangkap suara, untuk coba mendengarkan desah napas para prajurit tadi.
"Hm, mereka ada di sebelah kiriku," gumam Kalong Maut.
"Akan kulumpuhkan mereka.
Hooop...!" Kalong Maut kembali melompat ke atas tembok, dengan ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Dengan tajam matanya mengawasi kedua prajurit yang sedang duduk-duduk sambil menghisap rokok kawungnya.
"Aku harus menenangkan mereka. Yeaaa...!" Kalong Maut segera melompat menuju dua prajurit itu untuk menotok tubuh mereka agar tak ribut.
Namun tampaknya kedua prajurit itu merasa ada seseorang melompat. Seketika mereka memalingkan wajah ke belakang.
"Siapa kau"!" bentak salah seorang dari kedua prajurit dengan keras.
"Setan! Harus cepat dibereskan!" gerutu Kalong Maut dalam hati. Dengan cepat tangannya bergerak, menotok ke arah kedua prajurit itu.
"Hih...!" Tuk! Tuk! "Ukh!"
"Ekh!" Seketika tubuh mereka terkulai lemas, tak mampu bergerak sedikit pun. Kemudian terjatuh ke tanah.
Bentakan keras tadi tampaknya sempat didengar prajurit lain. Seketika mereka berhamburan menuju belakang istana, tempat kedua rekannya berada.
"Penjahat! Tangkaaap...!"
"Jangan biarkan dia lolos...!"
"Maliiing...! Maliiing...!" Seruan-seruan para prajurit, menyentakkan Kalong Maut yang sedang menyeret tubuh kedua prajurit yang telah ditotoknya.
"Celaka!" gumam Kalong Kalong lirih. Matanya terbelalak, menatap delapan prajurit yang kini berhamburan memburu dia dengan senjata siap menyerang. Mereka langsung mengepung Kalong Maut, yang beringas, nekat karena telah terjepit.
"Seraaang...!"
"Tangkap dia...!"
"Hea!" Wuttt! Kalong Maut tersentak kaget, ketika tombak salah seorang prajurit melesat begitu cepat ke tubuhnya.
Dengan cepat pula lelaki berpakaian serba hitam itu memiringkan tubuhnya untuk mengelakkan serangan itu.
"Uts! Hih...!" Tombak yang dilemparkan prajurit, melesat beberapa jengkal di sampingnya. Namun dengan cepat para prajurit lain melakukan serangan gencar.
"Celaka! Tak ada pilihan lagi, kecuali harus membereskan mereka semua," gumam Kalong Maut dalam hati. Kemudian dengan cepat dan lincah tubuhnya bergerak mengelak dari serangan tombak para prajurit. Kakinya menjejak dan melompat ke sana kemari, mengelitkan tusukan dan sabetan senjata lawan. Wrrrt! "Hahhh...!" Kalong Maut kembali tersentak kaget, ketika sebilah pedang hendak menyambar lehernya. Dengan cepat tubuhnya merunduk. Pedang pun melesat di atas kepalanya.
"Edan! Aku benar-benar akan dibikin perkedel!" Wrrrt! Bugkh! Prajurit yang menyerangnya tak mampu mengelakkan tendangan lawan yang datang begitu cepat. Tak ampun lagi kaki Kalong Maut mendarat telak di dadanya.
"Aaakh...!" Prajurit itu terpekik keras. Tubunya terdorong ke belakang dan jatuh duduk di tanah. Mulutnya meringis karena dada dan tulang pantatnya dirasakan nyeri.
"Bedebah kubunuh kau...!" dengan sisa tenaga yang ada, prajurit itu kembali bangkit dan kembali menyerang.
"Heaaa...!"
"Menyerahlah, Maling!" bentak salah seorang prajurit "Huh...!" hanya suara itu yang keluar dari mulut Kalong Maut. Tampaknya dia benar-benar tak mau menyerah. Dia tahu menyerah berarti mati di tiang gantungan.
Meski tak menyerah, mungkin kematian pun dapat merenggutnya. Sebab para prajurit Istana Telaga Mas tampak kian bertambah jumlahnya.
"Bangsat! Kau tak mau menyerah" Seraaang...!" Wuttt! Wuttt! Beberapa batang tombak dan pedang terus memburu dan berkelebat ke tubuh Kalong Maut.
"Mampus kau, Bangsaaat...!"
"Cincang tubuhnya...!" teriak prajurit yang memegang tombak. Senjatanya menusuk ke perut lawan. Namun, dengan cepat dan ringan Kalong Maut mengelak dari tusukan itu. Bahkan tangannya yang terbungkus pakaian hitam sempat melancarkan satu pukulan keras.
"Ini untuk kalian. Hiaaat...!" Wrrrt! Wrrrt! Tangan kanan dan kiri Kalong Maut menderu-deru begitu cepatnya menyerang. Hal itu begitu mengejutkan para prajurit yang tak menyangka akan mendapat balasan pukulan cepat dan keras. Mereka melompat mundur. Namun ada juga yang dengan gagah berani memapaki serangan itu dengan sabetan golok besar yang berada di tangannya.
"Buntung lenganmu, Iblis!" Wrrrt! Kalong Maut tersentak ketika golok besar di tangan prajurit itu membabat tangannya. Dengan cepat ditarik kembali serangannya. Namun tiba-tiba prajurit yang memegang golok besar kembali merengsek dengan tebasan-tebasan goloknya mengarah ke tubuh Kalong Maut.
Wuttt! Wuttt! Bertubi-tubi golok besar itu menderu menyerang ke tubuh lelaki berpakaian serba hitam. Namun dengan gerakan yang tak kalah cepatnya, Kalong Maut terus mengelakkan serangan itu. Matanya mengawasi gerakan golok lawan sambil mencari kesempatan untuk melakukan serangan balik.
Wuttt...! "Eittt...!" Kalong Maut melompat ke samping. Kaki kirinya berjinjit dengan kaki kanan masih terangkat. Dan ketika tubuh prajurit bersenjata golok merangsek, segera kaki kanannya melesat ke perut lawan.
"Ini untukmu! Hih...!" Wuttt! Prajurit bergolok tersentak, dia bermaksud menangkis tendangan Kalong Maut dengan goloknya.
Namun, ternyata tendangan lawan datang lebih cepat dari apa yang dibayangkan.
Sehingga.... Bugkh! "Aaakh...!" Prajurit bergolok itu terpekik pendek. Perutnya dirasakan nyeri dan mual.
Tubuhnya terhuyung ke belakang, menjadikan dia kini bagaikan seekor babi terlempar. Blukkk! Lelaki itu terbanting di tanah. Dan...
"Hoaaakh...! Hoaaakh...!" Tampak cairan merah mengalir dari mulutnya.
Tendangan keras Kalong Maut terasa membuat perutnya bagai diaduk-aduk. Mual dan rasa nyeri bercampur jadi satu.
Melihat hal itu, para prajurit lainnya segera menyerbu. Namun, Kalong Maut nampak tak gentar sedikit pun. Dia kembali melakukan serangan cepat dan menangkis setiap serangan yang datang.
***
Seakan-akan tak bakal selesai dalam malam itu. Para prajurit semakin bertambah banyak. Mereka berdatangan setelah mendengar suara ribut pertarungan di belakang istana itu.
Kalong Maut yang menghadapi keroyokan, semakin tegang. Pengeroyoknya bukan hanya sepuluh orang, melainkan telah puluhan jumlahnya.
Dan tampaknya mereka adalah para prajurit pilihan.
"Tangkap maling itu...!" teriak Patih Arya Denta memerintah pada prajuritnya.
Sementara Kalong Maut terus berusaha melawan prajurit yang berusaha mendesaknya.
"Celaka! Prajurit semakin banyak," gumam Kalong Maut dalam hati, sambil berusaha mengelakkan tusukan dan babatan senjata lawan. Tubuhnya melompat ke sana kemari, menghindari serangan-serangan cepat yang dilancarkan lawan.
"Yeaaa...!"
"Mampus kau!" Teriakan-teriakan keras mengiringi setiap serangan yang dilancarkan para prajurit.
Wuttt! Sebuah tombak melesat terarah ke perut Kalong Maut Hampir menusuk perutnya, kalau saja lelaki berpakaian hitam itu tak secepat kilat berkelit ke samping dan melompat ke belakang.
"Uts! Celaka...! Tak ada kesempatan bagiku melakukan serangan balas...," gumam Kalong Maut sambil terus berusaha mencari celah untuk me-loloskan diri. Dia merasa tak ada kesempatan lagi.
Bahkan kini nyawanya dalam ancaman karena terus-menerus menghadapi kepungan para prajurit Istana Telaga Mas yang semakin bertambah jumlahnya.
"Tangkap dia...!" kembali Patih Arya Denta berseru, memerintah pada prajuritnya.
"Tak ada jalan lain," desis Kalong Maut, "Hanya dengan jalan ini. Hih...!" Kalong Maut dengan cepat melemparkan sesuatu yang diambilnya dari balik bajunya, mendahului serangan gencar para prajurit.
Dummm! Duarrr! Ledakan-ledakan yang disertai gulungan asap tebal terdengar. Para prajurit tersentak lalu ber-lompatan mundur, mengelakkan asap hitam itu.
Seketika itu pula, dengan cepat Kalong Maut melesat meninggalkan tempat pertarungan. Tubuhnya melenting ke atas pagar istana, lalu melompat ke air telaga yang tampak begitu tenang.
Byurrr! Tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu langsung tenggelam, bagai ditelan air telaga yang dalam.
"Cari dia...!" Terdengar suara Patih Arya Denta, memerintah pada prajuritnya untuk mencari orang yang telah membuat onar. Sepertinya lelaki bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan yang dihiasi kumis tipis itu sangat marah karena Istana Telaga Mas hampir saja kemasukan penjahat.
Para prajurit serentak berhamburan keluar untuk mengejar Kalong Maut. Namun, mereka tak menemu-kannya. Para prajurit terus menunggu sampai Kalong Maut muncul ke permukaan air. Namun sampai menjelang pagi, lelaki berselubung kepala dan berpakaian serba hitam itu belum juga muncul ke permukaan air telaga.
***
≡≡≡¦ 2 ¦≡≡≡
Semilir angin yang bertiup mengusir embun, terasa sejuk di badan.
Mentari baru terbit, ketika seorang pemuda berambut gondrong dengan pakaian terbuat dari kulit ular tanpa lengan membuka matanya, setelah semalaman tidur pulas. Pemuda yang tak lain Pendekar Gila, kini menye-ngirkan mulutnya. Matanya agak menyipit karena diterpa cahaya matahari pagi yang telah sepenggalah tingginya.
Ditutupinya mulut yang terbuka karena menguap.
"Huaaahhh..., enak sekali aku tidur," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan.
Dipicingkan matanya, mengintip matahari yang muncul ke permukaan bumi dengan perlahan. Pendekar Gila bangun dari tidurnya lalu duduk di cabang pohon, tempat semalam dia tertidur. Sena termenung menikmati keindahan pagi di Hutan Selendang Manyar, yang terletak tak jauh dari Istana Telaga Mas yang luas itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala, dengan mulut masih nyengir kuda.
"Hop! Yeaaa...!" Tubuh Pendekar Gila melompat dan bersalto beberapa kali di udara, sebelum mendarat begitu ringan di bawah pohon itu.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan. Kemudian kakinya melangkah menuju telaga yang tak jauh dari Hutan Selendang Manyar.
Diraupnya air telaga yang bening dan bersih itu.
Dicucinya wajah dengan air telaga itu. Kemudian, mulutnya berkumur-kumur untuk menghilangkan rasa tak enak yang ada di mulutnya.
"Wuah, segar sekali!" gumam Pendekar Gila.
Pemuda tampan itu kemudian bangkit berdiri. Matanya manatap hamparan telaga luas itu. Namun mendadak keningnya berkerut. Matanya melihat sesosok tubuh terapung di permukaan air yang tampak keemasan dan berkilauan diterpa cahaya matahari.
Mata Sena terbelalak menatap sesosok tubuh terapung di permukaan air. Tangannya menggaruk-garuk kepala, dengan mulut nyengir.
"Aha, mayat siapa itu?" gumam Pendekar Gila masih terus memperhatikan sosok tubuh terbungkus pakaian hitam mengapung di air. Tampaknya lelaki itu telah menjadi mayat. Sosok tubuhnya terapung dan terus terbawa riak air menepi mendekati Pendekar Gila.
Ketika sosok berpakaian hitam kian dekat, Pendekar Gila menjejakkan kaki dan melenting ke udara. Setelah bersalto beberapa kali, dengan jurus 'Gila Menyambar' Sena menukik sambil menyambar tubuh yang terapung itu.
"Hih!" Direnggutnya tubuh itu dengan tangan kanannya.
Kemudian Pendekar Gila kembali melenting ke udara.
Setelah berjumpalitan dua kali di udara, kakinya menjejak di atas tanah tepian telaga sambil mem-bopong tubuh terbungkus kain hitam.
"Aha, rupanya masih hidup," gumam Pendekar Gila setelah memeriksa denyut nadinya. Matanya me-natapi sosok tubuh yang pingsan tertutup kain hitam.
Tangannya perlahan-lahan membuka selubung kepala orang itu. Seketika tampaklah wajah lelaki garang dengan codet menghiasi pipi sebelah kirinya.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, matanya masih menatap wajah lelaki bercodet yang tak lain Kalong Maut.
"Hm, kurasa lelaki ini bukan orang baik-baik," gumam Pendekar Gila dalam hati. Keningnya semakin berkerut dengan hati penuh rasa heran melihat seorang lelaki pingsan di telaga itu.
"Bukankah di tengah telaga ini Istana Telaga Mas berdiri" Hm, apa yang sebenarnya dilakukan orang ini?" Sebagai seorang pendekar, Sena tak memandang siapa pun yang perlu pertolongannya. Meski lelaki itu orang jahat, Pendekar Gila tetap menolongnya.
Dibantunya Kalong Maut untuk mengeluarkan air yang telah masuk ke perutnya.
"Hoakkk!"
"Teruskan, Kisanak! Kau harus mengeluarkan air yang telah masuk ke perutmu," ujar Sena sambil terus menekan perut Kalong Maut. Ditelungkupkan tubuh lelaki berpakaian serba hitam, lalu diangkat perutnya berulang-ulang. Sehingga...
"Hoakkk!" Air keluar dari mulut Kalong Maut yang semakin bertambah banyak, setelah Pendekar Gila turut menopangnya. Perlahan-lahan lelaki berpakaian hitam itu mulai siuman dari pingsannya. Matanya membuka, memandang ke sekeliling, kemudian tertuju ke wajah Pendekar Gila yang tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
Keningnya yang masih basah berkerut seperti belum yakin kalau dia masih dalam keadaan hidup.
"Di mana aku...?" desisnya.
"Aha, jelas kau masih hidup, Kisanak," jawab Pendekar Gila masih dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kalong Maut mengerutkan kening, merasa heran dengan tingkah laku pemuda yang menolongnya.
"Siapa pemuda ini" Tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi dilihat dari pakaian dan tubuhnya yang bersih, jelas dia bukan orang gila biasa. Hm....
Siapakah pemuda bertingkah laku gila ini?" tanya Kalong Maut dalam hati. Matanya tak berkedip menatap wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Anak muda, terima kasih atas pertolonganmu," ujar Kalong Maut seraya berusaha bangkit.
"Aha, sudah sewajarnya semua orang tolong-menolong dengan sesamanya," tukas Pendekar Gila masih cengengesan, gerak-geriknya kian membuat Kalong Maut semakin mengerutkan kening.
"Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila" Ah, bahaya sekali jika dia tahu siapa aku?" gumam Kalong Maut dalam hati, merasa was-was takut kalau pemuda yang diduganya Pendekar Gila sampai tahu siapa dirinya.
Hati Kalong Maut benar-benar gelisah, setelah yakin siapa pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila itu. Rasa takut kalau pendekar itu meng-hukumnya, membuatnya kelabakan bingung sendiri.
"Kisanak, kenapa kau sampai pingsan di telaga ini?" tanya Pendekar Gila setelah lama terdiam dan menatap Kalong Maut yang tampak membisu.
Kalong Maut semakin was-was mendengar pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Gila. Rasa takut kalau Pendekar Gila akan mengetahui siapa dirinya, semakin membuat lelaki berpakaian serba hitam bertambah takut. Matanya menatap tak berkedip ke wajah Pendekar Gila yang masih berdiri. Degup jantungnya semakin memburu kencang.
"Aha, kau tampak gelisah, Kisanak" Kenapa...?" tanya Pendekar Gila seraya menatap tajam wajah lelaki yang wajahnya berubah pucat. Kalong Maut bagai dihadapkan pada Dewa Pengadilan. Keringat dingin pun mengalir di keningnya, meskipun dingin masih menyelimuti tubuhnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin mengerutkan kening, memandang heran melihat perubahan wajah Kalong Maut yang pucat pasi.
"Ampunilah aku, Pendekar! Memang aku bersalah," ujar Kalong Maut merasa takut sendiri. Sehingga dia tiba-tiba mengakui kesalahannya. Hal itu tentu saja membuat Pendekar Gila semakin heran, dengan mata menyipit Sena menatap tajam wajah Kalong Maut.
"Aha, kenapa kau berkata begitu, Kisanak" Kurasa, tadi aku tak bertanya tentang kesalahanmu.
Aku hanya bertanya, mengapa kau sampai pingsan di telaga ini?" tanya Pendekar Gila dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya tetap cengengesan.
"Ya, semua hendak kukatakan padamu. Meskipun aku belum tahu siapa kau sebenarnya, tapi aku yakin kalau kaulah yang sering disebut sebagai Pendekar Gila. Bukan begitu...?" sahut Kalong Maut mencoba menduga-duga siapa sebenarnya pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu.
"Aha, terlalu tinggi sebutan itu untukku, Kisanak.
Ah, sudahlah, tak perlu kau pikirkan nama itu. Kini, aku ingin tahu, mengapa kau sampai pingsan di telaga ini?" desak Pendekar Gila penasaran.
Dengan takut-takut Kalong Maut akhirnya menuturkan siapa dirinya. Dan mengapa dia sampai pingsan di dalam telaga itu.
"Saya diperintah seseorang untuk membunuh anak dan keluarga Baginda Aji Wardana," tutur Kalong Maut mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, mendengar penuturan Kalong Maut.
"Aha, mengapa anak Baginda Aji Wardana harus kau bunuh" Dan siapa sebenarnya yang menyuruh membunuh...?" tanya Pendekar Gila semakin tertarik.
"Aku sendiri tak tahu. Aku hanya diperintah seseorang untuk membunuhnya dengan imbalan cukup besar," jawab Kalong Maut.
"Aha, rupanya kau pembunuh bayaran. Siapa yang menyuruhmu, Kisanak...?" tanya Pendekar Gila berusaha membongkar siapa sebenarnya orang yang bermaksud membuat pertumpahan darah di Istana Telaga Mas.
"Yang menyuruhku, Rama...." Belum juga selesai ucapan Kalong Maut tiba-tiba....
Swing, swing! Jrep, jrep! "Aaakh...!" Kalong Maut memekik tertahan dengan mata terbelalak ketika dua bilah senjata rahasia menghujam tenggorokan dan dadanya.
Sesaat tubuhnya mengejang, kemudian ambruk tanpa nyawa. Hal itu membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan cepat segera mendekati tubuh Kalong Maut Dibalik-kan tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu, tampaklah dua bilah senjata berupa bintang kecil terbuat dari logam.
"Ah, siapa pula yang telah membunuhnya?" gumam Pendekar Gila sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu.
Kresek! Terdengar dari dalam hutan suara langkah kaki berlari. Pendekar Gila menoleh lalu cepat melompat, berusaha mengejar orang itu.
"Hai, jangan lari!" seru Pendekar Gila sambil terus melesat mengejar orang yang diduganya telah membunuh Kalong Maut.
"Aha, rupanya kau mau main kucing-kucingan denganku. Baik...!" Pendekar Gila terus melesat dengan cepat, memburu suara orang berlari di dalam hutan itu.
Pendekar Gila terus mengejar orang yang telah membunuh Kalong Maut dengan senjata rahasianya yang berupa bintang. Namun sampai di tengah hutan, dirinya hanya mendapati kesunyian, tak ada siapa pun. Seperti tak ada seorang manusia pun di dalam hutan itu.
"Ah, aneh sekali," gumam Pendekar Gila dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Keningnya mengerut berlipat-lipat, merasa aneh dengan apa yang dilihat.
"Ah, siapa yang telah menyerang Kalong Maut" Tapi yang jelas, pasti orang-suruhan." Pendekar Gila masih mengawasi sekeliling hutan itu dengan segenap kemampuan penglihatan dan pendengaran. Dia berusaha mencari orang yang telah menyerang Kalong Maut secara gelap. Namun tetap tak berhasil menemukan orang dalam hutan ini.
"Aha, kenapa menghilang?" gumam Pendekar Gila dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...
lucu sekali! Orang itu bisa menghilang seperti tuyul." Pendekar Gila cengengesan sendiri sambil menggaruk-garuk kepalanya. Matanya masih merayapi sekelilingnya, berusaha mencari-cari orang yang dia yakini ada dalam hutan ini. Tetap saja tak juga dilihatnya siapa pun di dalam hutan ini.
Tangan kirinya menepuk-nepuk kening. Matanya masih memandang ke sekeliling yang sunyi dan sepi, tak dilihat adanya tanda-tanda bekas orang lewat di hutan ini.
Pendekar Gila nyengir kuda, tangannya kembali menggaruk-garuk kepalanya.
"Hua ha ha...! Lucu sekali.... Hoi, di mana kau"!" serunya berteriak-teriak memanggil. Tapi tak ada sahutan.
"Hi hi hi...! Tolol sekali aku! Bagaimana mungkin orang akan menyahuti teriakanku?" Dengan menggeleng-geleng kepala sambil cengengesan, Pendekar Gila melangkah keluar hutan.
Dia bermaksud kembali ke tempat mayat Kalong Maut berada. Namun, tiba-tiba terdengar suara orang-orang berteriak....
"Itu dia orangnya!"
"Tangkap dia...!" Mata Pendekar Gila terbelalak, ketika melihat siapa yang berteriak-teriak itu.
Ternyata para prajurit dari Istana Telaga Mas. Keningnya berkerut ketika hatinya menyadari bahwa orang-orang itu semua menudingkan tangan padanya.
"Aha, ada apa sebenarnya?" gumam Pendekar Gila tak mengerti.
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos...!" seru lelaki bertelanjang dada dengan hiasan kalung akar bahar yang terjuntai di perutnya. Rambutnya digelung ke atas, dengan wajah dihiasi kumis tebal. Dilihat dari sosok tubuhnya yang tinggi besar dan pakaian bawah yang dipakainya, lelaki berbadan kekar itu tentu senopati perang kerajaan.
Pendekar Gila tersentak kaget. Benaknya semakin tak mengerti, mengapa kini dia diburu pihak kerajaan.
Padahal dia sama sekali tidak tahu apa-apa.
"Menyerahlah kau, Anak Muda"!" bentak Senapati Awong Purbo yang membuat Pendekar Gila semakin mengerutkan kening, karena tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Aha, ada apa pihak kerajaan memburuku?" tanya Pendekar Gila penasaran.
"Kaulah yang semalam membuat kerusuhan di istana! Kau harus ditangkap!" bentak Senapati Awong Purbo dengan wajah menggambarkan kemarahan.
Pendekar Gila tersentak mendengar bentakan Senapati Kerajaan Telaga Mas yang menuduhnya sebagai perusuh. Namun, Pendekar Gila hanya cengengesan, seakan tak menghiraukan ucapan Senapati Awong Purbo yang sudah marah.
"Aha, lucu sekali kau, Senapati" Kenapa kau menuduhku sembarangan tanpa bukti?"
"Cuih! Masih juga kau menyangkal, Bocah Edan! Di sini tak ada orang lain, hanya kau! Dan kami tahu, perusuh itu lari ke tempat ini setelah menceburkan diri ke telaga!" tukas Senapati Awong Purbo semakin marah, melihat tingkat laku pemuda yang seperti orang gila itu.
"Aha, apa kalian tak melihat ada sesosok tubuh di tepi telaga itu"!" seru Pendekar Gila berusaha membela diri.
"Bedebah! Kau pikir kami dapat dikibuli, Bocah Edan! Di sini tak ada siapasiapa! Keluarlah kau dan menyerahlah!" seru Senapati Awong Purbo sengit, karena Pendekar Gila belum juga mau menyerah.
Pendekar Gila mengerutkan kening, merasa aneh dengan apa yang terjadi.
"Ke mana mayat Kalong Maut?" tanya dalam hati. Tangannya menggaruk-garuk kepala, sepertinya merasa tak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Ah, ke mana mayat lelaki bermuka codet tadi?" gumam Sena semakin bingung dan heran mendengar penuturan senapati yang mengatakan kalau di tepi telaga tak ada siapa-siapa dan tak ada mayat.
"Bocah, keluarlah!" seru Senapati Awong Purbo.
"Jangan kau di dalam terus dengan tingkah lakumu yang memuakkan!"
"Aha, baiklah, aku akan keluar. Tapi kurasa kalian telah salah sangka," tukas Pendekar Gila sambil melangkah keluar dari Hutan Selendang Manyar.
Mata Pendekar Gila terbelalak ketika tak melihat lagi sosok mayat lelaki bermuka codet yang tadi ditolongnya.
"Lihat! Kau tak melihat apa-apa, bukan" Masihkah kau membantah tuduhan. Kaulah pelaku kekacauan yang semalam terjadi di belakang istana?" bentak Senapati Awong Purbo dengan mata melotot, semakin bertambah galak. Namun Pendekar Gila justru cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi.... Lucu sekali! Bukankah tadi di sini ada mayat lelaki bermuka codet?" tanya Pendekar Gila pada senapati dan para prajurit yang telah berada tak jauh di depannya.
"Banyak omong! Tangkap diaaa...!" perintah Senapati Awong Purbo pada para prajuritnya. Para prajurit Istana Telaga Mas pun segera bergerak mengepung Pendekar Gila dengan senjata lengkap.
Pendekar Gila tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Lucu sekali kalian" Mau berburu apa kalian dengan senjata itu?" tanya Sena berkelakar, membuat mata semua prajurit mendelik. Tapi Sena yang memang konyol malah cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Jangan banyak omong, Bocah Edan! Ikut kami ke Istana Telaga Mas!" perintah Senapati Awong Purbo sambil menggerakkan tangan kanannya, memerintah para prajuritnya untuk menggiring Pendekar Gila ke istana.
"Aha, baiklah, aku menurut. Tapi perlu kalian ketahui, aku tak tahu-menahu dengan masalah kalian," ujar Pendekar Gila sambil melangkah mengikuti perintah senapati. Sepeninggal Pendekar Gila yang digiring para prajurit kerajaan, tampak sesosok tubuh berpakaian merah tersenyum sinis memandangi mereka. Dilihat dari bentuknya sosok berpakaian merah itu seorang wanita. Senyum bibirnya menggambarkan rasa puas atas tertangkapnya Pendekar Gila di tangan prajurit Istana Telaga Mas.
***
≡≡≡¦ 3 ¦≡≡≡
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Ki Gede Mundu membuka pertanyaan dalam sidang.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian orang-orang tua" Tapi baiklah, namaku Sena Manggala," jawab Pendekar Gila memperkenalkan nama dirinya.
Ki Gede Mundu mengangguk-anggukkan kepala.
Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun berpakaian resi dan berjenggut panjang itu menatap wajah Pendekar Gila.
Wajahnya yang tenang menggambarkan kesabaran jiwanya. Tatapan matanya seakan tengah menyelami jiwa Sena.
"Sena, benarkah kau telah membuat kerusuhan semalam di istana ini?" tanya Ki Gede Semperan. Lelaki berusia enam puluh delapan tahun yang wajahnya terhias kumis putih lebat.
Tatapan matanya yang lebar, juga menyiratkan rasa ingin mendalami sifat pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila.
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Kepalanya mendongak ke atas seakan ada sesuatu yang dilihatnya di atas genting.
Kemudian....
"Aha, kenapa kau mengintip, Sobat! Hih...!" Semua orang yang ada di ruang sidang tersentak kaget, ketika tanpa diduga sebelumnya Pendekar Gila menghantamkan sebuah pukulan ke atas.
Wrttt! Brak! "Wuaaa...!" Dari atas genting, sesosok tubuh meluncur dan terbanting ke lantai seketika.
Blukkk...! Keempat pemuka istana yang menyidang Pendekar Gila terbelalak kaget. Mereka tegang bercampur rasa kagum melihat ketajaman naluri pemuda gila itu.
Lelaki yang terbanting di lantai akibat pukulan jarak jauh yang dilakukan Pendekar Gila ternyata seorang prajurit.
Mata Baginda Aji Wardana terbelalak, ketika tahu siapa yang telah mengintai jalannya persidangan itu.
Baginda Aji Wardana segera bangkit dari duduknya.
Dengan mata beringas, dihampirinya prajurit yang terkapar di lantai. Kemudian dengan geram dicing-keramnya pundak sang Prajurit.
"Siapa yang menyuruhmu?" dengus Baginda Aji Wardana marah.
"Aaa.... Ampun, Baginda..., saya..., saya.... Aaakh!" Belum sempat prajurit itu menjawab tiba-tiba sebilah senjata rahasia berbentuk bintang menghujam tenggorokannya. Tak seorang pun tahu dari mana datangnya senjata rahasia itu.
"Aha, kau ada di sini rupanya!" seru Pendekar Gila seraya melesat mengejar ke tempat datangnya senjata rahasia itu. Hal itu membuat para sesepuh yang ada di tempat itu terkejut. Namun, mereka tak dapat berbuat apa-apa, melihat Pendekar Gila melesat keluar.
Mulanya senapati hendak mengejar Pendekar Gila yang lari dari tempat sidang.
Namun Baginda Aji Wardana segera mencegahnya.
"Senapati, tunggu! Biarkan dia mengejar orang yang telah membunuh prajurit ini!"
"Daulat, Baginda," sahut Senapati Awong Purbo seraya mengurungkan niatnya.
Tak berapa lama kemudian Pendekar Gila telah kembali masuk dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Di pundaknya terdapat seorang prajurit yang telah ditotoknya.
"Wredamukta...!" sentak semua orang di ruang idang, setelah tahu siapa yang dipanggul Pendekar Gila. Mata mereka terbelalak, seperti tak percaya kalau pembunuh prajurit yang mengintai itu, pimpinan prajurit Istana Telaga Emas.
Betapa marahnya Baginda Aji Wardana, menyaksikan orang yang telah mengganggu acara sidang, ternyata pimpinan prajuritnya.
"Aha, bagaimana mungkin kalian menyidangku" Kalau kalian kini telah tahu sendiri, sesungguhnya di istana ini telah menyusup para pemberontak...?" tanya Pendekar Gila sambil melemparkan tubuh Wredamukta ke depan tempat sidang.
Semua orang di ruang sidang saling pandang.
Mata mereka membuka lebar, merasa malu dengan apa yang telah terjadi.
Baginda Aji Wardana semakin murka ketika mengetahui bahwa dalam istananya ada prajurit yang bersekongkol dengan pemberontak. Dada sang Raja bergerak turun naik. Hatinya diliputi amarah yang meluap-luap.
"Hukuman gantung buat dia!" perintah Baginda Aji Wardana dengan penuh amarah.
"Ampun.... Ampunilah hamba, Baginda," ratap Wredamukta.
"Bawa dia pergi!" perintah Baginda Raja Wardana pada Senapati Awong Purbo.
"Daulat, Baginda," jawab Senapati Awong Purbo.
Kemudian setelah menyembah, Senapati Awong Purbo segera menyeret Wredamukta.
"Ampunkanlah nyawa hamba, Baginda," ratap Wredamukta berusaha memohon ampunan dari Baginda Aji Wardana. Namun Senapati Awong Purbo telah menyeretnya, bagaikan tak menghiraukan ratapan Wredamukta.
Baginda Aji Wardana menghela napas panjang, lalu kembali duduk. Matanya kini menatap sosok pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila, cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Bocah edan! Bisakah kau membuktikan kalau di Istana ini telah dimasuki kaum pemberontak"!" bentak Baginda Aji Wardana.
"Aha, kurasa Baginda yang bijaksana nanti akan mengetahui sendiri. Untuk apa prajurit itu mengintai jalannya sidang, kemudian untuk apa pula pimpinan prajurit ini membunuh anak buahnya?" kilah Pendekar Gila mengajukan pendapat.
Semua kepala mengangguk-angguk, tampaknya memahami apa yang dikemukan Pendekar Giia.
Namun mereka tak mau percaya begitu saja.
Bagaimana pun, Pendekar Gila orang asing dan baru di tempat ini. Wajar kalau mereka mencurigai setiap orang baru.
"Baiklah, Kisanak! Kali ini kau kubebaskan. Tapi dengan satu sarat," ujar Baginda Aji Wardana.
"Aha, apakah saratnya, Baginda?" tanya Sena ingin tahu.
"Jangan sesekali kau berkeliaran di sekitar wilayah kerajaan ini," jawab Baginda Aji Wardana tegas.
"Aha, bagaimana kalau kebetulan aku lewat di wilayah ini, Baginda...?" tanya Sena yang merasa keputusan Baginda Aji Wardana kurang adil.
"Kau akan kami tangkap," sahut Baginda Aji Wardana tegas.
"Hm, baiklah. Tapi perlu kuingatkan pada kalian.
Sesungguhnya banyak pemberontak yang menyusup di kerajaan ini. Hati-hatilah!" ujar Sena memperingat-kan Baginda Aji Wardana.
"Tutup mulutmu! Pergi cepat dari sini, jangan sampai pikiranku jadi berubah!" bentak Baginda Aji Wardana sengit. Bagaimanapun dia merasa malu karena pemuda itu seakan-akan memberi petuah padanya. Padahal sebenarnya Pendekar Gila bermaksud baik. Dia tak ingin raja yang sudah tua usianya itu menghadapi perebutan kekuasaan dengan pertumpahan darah.
"Baiklah, hamba mohon pamit," kata Sena sambil berkelebat meninggalkan ruang sidang. Namun hatinya tetap merasa tak bisa meninggalkan wilayah Istana Telaga Emas begitu saja. Dia merasa Baginda Aji Wardana kini dalam ancaman pemberontak yang siap menggulingkan kekuasaannya.
"Hm, siapakah pimpinan pemberontak itu" Rama..." Ah..., sayang lelaki bermuka codet itu hanya menyebut nama Rama. Rama siapa...?" tanya Sena sambil terus melangkah meninggalkan Istana Telaga Emas. Pikirannya masih diliputi ketidakmengertian akan semua yang terjadi di istana itu. Kelihatannya ada penjahat yang berusaha menggulingkan tahta Baginda Aji Wardana.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, seperti kegirangan. Kakinya terus melangkah, semakin jauh dari istana. Namun, hatinya tetap berjanji akan terus berusaha mengawasi Istana Telaga Emas. Dia merasa yakin, kalau ada orang-orang yang bertujuan hendak menggulingkan tahta Baginda Aji Wardana.
"Ah, bagaimana aku harus menyelidiki semuanya?" pikir Sena kebingungan.
"Aku tak ingin bentrok dengan pihak kerajaan. Tapi, aku juga tak boleh tinggal diam. Bagaimanapun kerajaan itu harus bisa diselamatkan dari ancaman penggulingan kekuasaan." Dengan masih berpikir-pikir, bagaimana cara terbaik agar bisa menyelamatkan keluarga Baginda Aji Wardana, Pendekar Gila terus melangkah.
Benaknya masih ingat kata-kata Kalong Maut yang mengatakan hendak membunuh keturunan dan keluarga Baginda Aji Wardana.
"Aha, aku ada akal...! Baiklah, aku akan menyelidiki dari kejauhan secara sembunyi-sembunyi," gumam Sena sambil terus melangkah meninggalkan Istana Telaga Emas yang semakin jauh.
***
Lingkungan istana kerajaan memang dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama istana, diapit dua bangunan. Sebelah kiri bangunan tempat tidur bagi anak-anak sang Raja, serta para emban. Sebelah kanan, untuk tidur sang Raja dan permaisuri serta selirnya.
Di belakang istana, ada dua bangunan yang disediakan bagi para sesepuh dan pembesar istana.
Malam itu, Baginda Aji Wardana tengah berada di kamar permaisuri yang bernama Dewi Ayu Tunjung Sari. Sehingga dengan leluasa, Nyi Mas Lindri keluar meninggalkan kamarnya.
"Hm, rupanya semua telah tidur. Para prajurit itu kurasa tak menjadi masalah.
Mereka merupakan orang-orang yang telah memihak padaku," gumam orang itu.
Dilihat dari nada suara dan bentuk tubuhnya jelas sosok itu seorang wanita muda.
Pakaian yang dikenakannya merah jambu.
Wanita itu terus mengendap-endap, mendekat ke bangunan tempat anak-anak Baginda Aji Wardana malam itu telah terlelap dalam tidurnya.
"Hm, dengan matinya Sulara, baginda akan menjadi lemah jiwanya. Bukankah dengan begitu, aku akan bisa mempengaruhinya?" gumam wanita berpakaian serba merah jambu sambil terus mengendap-endap semakin mendekat ke bangunan itu.
Sesaat matanya mengawasi ke sekeliling tempat itu. Kemudian, setelah merasa tak seorang pun yang melihatnya, wanita berwajah terselubung kain merah jambu itu perlahan-lahan membuka jendela salah satu kamar pada bangunan besar itu.
Kreeettt...! Meski jendela itu dibuka dengan pelan sekali, suara terbukanya daun jendela masih terdengar. Hal itu membuat wanita itu sesaat menghentikan gerakannya.
Matanya mengawasi sekeliling tempat itu. Kemudian dengan perlahan-lahan, kembali dibukanya jendela kamar tempat Sulara.
"Hm, aman...," gumam wanita itu. Kemudian degan ringannya tubuh wanita itu melompat masuk lalu dengan hati-hati ditutupnya kembali jendela kamar itu.
Pemuda berwajah tampan dengan rambut terurai yang masih teradur pulas itu, nampaknya tidak terjaga oleh kedatangan seseorang yang tak diundang ke dalam kamarnya. Wanita berpakaian merah jambu menyunggingkan senyum di bibir. Tangan kanannya mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Dan kini tergenggam di tangannya sebilah pisau tajam dan runcing, berkilat putih.
"Mampuslah kau, Sulara!" dengus wanita berpakaian merah jambu itu sambil melangkah, mendekati tubuh Sulara, yang tersentak kaget dan bangun.
"Siapa kau..."!" Wrrrt! Wanita itu menghujamkan pisau di tangannya ke dada Sulara.
Jrebbb! "Aaakh...!" Malam yang semula sepi, seketika dipecahkan suara jeritan kematian dari mulut Sulara. Bersamaan dengan itu, sosok bayangan merah jambu berkelebat meninggalkan kamar Sulara. Begitu cepat bayangan itu melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan itu telah menghilang di kegelapan malam.
Para prajurit yang mendengar teriakan, serentak berhamburan menuju kamar tempat Sulara. Mereka berteriak-teriak.
"Pembunuhan...! Pembunuhaaan...!" Dalam sekejap saja, seluruh penghuni istana berhamburan keluar. Mereka semua terkejut bukan kepalang. Baginda Raja Wardana tergesa-gesa berlari ke kamar putranya. Seketika mata sang Raja terbelalak lebar, ketika melihat apa yang terjadi.
"Sulara...!" pekik Baginda Aji Wardana, setelah melihat tubuh putranya telah terkapar berlumur darah. Dadanya terhujam belati yang mengandung racun.
Sedangkan permaisuri Dewi Ayu Bitari, seketika pingsan. Wanita itu tampaknya tak kuat menahan kesedihan atas kematian putra sulung, yang diharapkan bakal menggantikan suaminya sebagai raja.
Baginda Aji Wardana benar-benar murka atas kematian anaknya. Matanya menatap tajam ke seluruh prajurit yang jaga malam itu. Napasnya tersengal-sengal, diliputi amarah yang meluap-luap.
"Prajurit-prajurit bodoh! Tak ada gunanya kalian berjaga!" bentak Baginda Aji Wardana murka. Dicabutnya keris pusaka yang ada di pinggang.
Sret! "Kalian harus mati, sebagai pengganti anakku!" Bagaikan banteng terluka sang Raja hendak mengamuk dan bermaksud menyerang sepuluh prajurit jaga malam itu. Beruntung Ki Gede Mundu segera datang menyabarkanya.
"Sabar, Anak Agung. Tak baik kau menuruti nafsu amarah. Mereka memang salah.
Tapi sebagai seorang raja, kau tak boleh berlaku menuruti nafsu angkara murkamu. Mereka hanya lalai dalam menjalankan tugas," tutur Ki Gede Mundu terus berusaha menyabarkan Baginda Aji Wardana.
"Tapi putra mahkota telah mati, Ki Gede. Dan semua ini karena kelalaiannya mereka," kilah Baginda Aji Wardana masih kelihatan marah. Keris pusaka yang mengeluarkan sinar kuning bernama Kyai Peget, masih tergenggam di tangannya.
"Aku tahu, Anak Agung. Kami pun turut berduka cita atas kematian putra mahkota.
Kini, cari pembunuh itu...!" kata Ki Gede Mundu setengah memerintah para prajurit untuk mencari pelaku pembunuhan terhadap putra mahkota.
Prajurit yang dari tadi diam, serentak beranjak untuk mencari pelaku pembunuh Sulara. Seluruh lingkungan istana mereka lacak, tapi mereka tak menemukan tandatanda kalau pembunuh masih berada di dalam lingkungan istana.
"Lingkungan istana telah kami lacak, tetapi kami tak menemukan tanda-tanda kalau pembunuh masih berada di lingkungan istana," lapor senapati kerajaan yang memimpin langsung pelacakan terhadap pelaku pembunuhan.
"Bodoh! Cari di luar...!" bentak sang Raja gusar.
Matanya terbelalak marah, menerima laporan senapatinya. Sedangkan permaisuri masih pingsan.
Memang masih ada tiga anak lagi. Tetapi permaisuri merasa sedih, karena anak sulungnya harus mati.
"Daulat, Baginda," Senapati Awong Purba menyembah, kemudian bersama puluhan prajurit segera melanjutkan tugas pelacakan di luar istana.
Mereka kembali menelusuri tepian Telaga Mas, tempat mereka menemukan Pendekar Gila siang tadi.
Hingga menjelang pagi mereka terus menyelidiki Telaga Mas dalam usahanya mencari orang yang patut dicurigai sebagai pelaku pembunuhan. Namun, mereka tak dapat menemukan jejak pembunuh.
Meski begitu mereka tak mau putus asa. Mereka terus menelusuri tepian Telaga Mas, dengan mata mengawasi telaga.
Kalau-kalau pelaku yang kabur tercebur di air telaga dan akan muncul.
***
Sena yang sudah menaruh curiga kalau akan terjadi sesuatu di Istana Telaga Mas, sengaja tak mau meninggalkan wilayah sekitar telaga itu. Dengan sembunyisembunyi, Sena berusaha mengawasi apa yang bakal terjadi di stana itu.
"Hm, rupanya telah terjadi sesuatu di istana.
Mungkinkah apa yang dikatakan Kalong Maut benar?" jumam Sena lirih.
"Tampaknya pembunuhan terhadap keluarga Baginda Aji Wardana telah terjadi."
***
"Kita harus segera nenangkap pembunuh itu!"
"Tapi, Kanjeng Senapati, nampaknya tak ada tanda-tanda kalau pelaku itu mencebur ke telaga ini," salah seorang prajurit menjawab.
"Aha, rupanya benar apa yang kuduga. Di istana telah terjadi sesuatu," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurasa di dalam istana telah dimasuki para pemberontak." Pendekar Gila terus memperhatikan gerak-gerik para prajurit yang dipimpin Senapati Awong Purbo.
Mereka masih mencari pelaku pembunuhan di sekeliling Telaga Mas. Sesekali wajahnya tampak termenung, seperti sedang berusaha memikirkan siapa sebenarnya yang dimaksud Kalong Maut.
"Rama.... Ah, Rama siapakah" Lelaki bercodet itu seakan hendak mengatakan nama seseorang. Sayang, dia telah terbunuh," gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Aku harus menolong keluarga istana dari ancaman maut. Hm. Jelas sekali, kalau pelaku pembunuhan berada dalam istana. Sudah dari tadi aku di sini mengawasi Istana Telaga Mas, tapi belum kulihat ada orang yang mencurigakan." Sementara dari kejauhan, masih terlihat Senapati Awong Purbo dan para prajuritnya terus berusaha mencari orang yang dicurigai di sekitar Telaga Mas.
Tapi sampai pagi mereka tak juga menemukan tanda-tanda kalau orang yang dicari akan muncul.
"Tak ada, Kanjeng Senapati...!" seru salah seorang prajurit.
"Ya! Nampaknya pembunuh itu tak keluar," gumam Senapati Awong Purbo sambil mengangguk-angguk kepala.
"Jelas pelakunya berada di dalam istana." Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala, mendengar ucapan Senapati Awong Purbo. Mulutnya tersenyum-senyum, dengan tangan menggaruk-garuk kepalanya.
"Aha, apa yang kau katakan benar, Senapati. Ah, sayang sekarang kalian tak mengizinkan aku ke istana. Kalau saja aku diperbolehkan ke istana, ingin rasanya aku menangkap pengkhianat itu," geram Sena. Kemudian dengan cepat tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu, ketika Senapati Awong Purbo dan para prajuritnya juga meninggalkan tepian Telaga Mas.
Di ufuk timur, mentari merangkak naik perlahan.
Diikuti kicau burung, berdendang riang.
***
≡≡≡¦ 4 ¦≡≡≡
Pagi itu, Pendekar Gila telah sampai di Desa Kembang Puan, yang terletak di sebelah selatan Istana Telaga Mas. Saat itu, di sebuah kedai yang terletak di persimpangan jalan di Desa Kembang Puan, ramai pengunjung berdatangan. Nampaknya kedai itu sangat disukai orang-orang yang kebetulan lewat. Di antara mereka juga ada yang sengaja datang ke kedai itu.
Tampaknya ada sesuatu yang menarik di kedai itu, hingga mampu mengundang kehadiran banyak orang, terutama kaum lelaki. Baik dari kalangan persilatan, maupun orang-orang biasa.
Ketika Pendekar Gila masuk, keningnya berkerut menyaksikan banyaknya orang yang mengunjungi kedai itu. Sehingga ruangan kedai penuh sesak.
Kehadiran Sena yang tingkah lakunya seperti orang gila, membuat orang-orang menoleh padanya.
Ada yang mengerutkan kening, ada yang tersenyum-senyum. Bahkan ada yang menggerutu seakan tak suka melihat kehadiran Pendekar Gila di kedai ini.
"Bocah edan, mau apa dia masuk kedai ini"!" dengus lelaki berhidung mancung dan bermata sipit dengan alis melengkung ke atas.
Tampaknya lelaki dari Jepang yang bernama Takakira itu tak suka atas kehadiran Pendekar Gila di kedai itu. Mata lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu, menatap tajam wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi.... ha ha ha! Banyak sekali orang di sini! Sepertinya ada pesta," gumam Sena cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang seperti orang gila, membuat pengunjung kedai yang tak suka padanya bertambah kesal dan benci.
"Bocah edan, mau apa kau kemari"!" sentak seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian abu-abu. Tangannya memegang sebuah payung yang gagangnya terbuat dari kayu. Dilihat dari payung yang dipegangnya wanita tua itu tak lain Nyi Pinggi Weni atau si Payung Sakti dari Walaparu.
"Aha, yang jelas aku pun ingin ikut berpesta dengan kalian semua," sahut Pendekar Gila sambil berusaha mencari tempat duduk di antara padatnya pengunjung kedai itu. Gerak-geriknya masih seperti orang gila. Orang-orang pun muak melihat tingkah lakunya.
"Huh! Bocah edan sepertimu, tahu apa dengan urusan kita. Cepat pergi dari kedai ini!" bentak seorang lelaki tua dengan pakaian seperti resi berwarna ungu.
Rambut digelung ke atas, tangan memegang sebuah senjata berbentuk tasbih ungu.
Matanya yang tajam, menatap penuh selidik terhadap pendekar gila.
"Hi hi hi.... Kenapa kau galak sekali, Ki" Bukankah aku kemari untuk ikut berpesta dengan kalian" Ha ha ha, kupikir di sini akan ada pesta besar. Rasanya, tak ada salahnya aku turut serta untuk menghabiskan sisa makanan yang tak habis kalian santap," ujar Sena sambil duduk di bangku yang masih kosong.
"Bocah edan! Aku tak mengundangmu. Enyahlah dari sini!" bentak lelaki tua berusia enam puluh tahun itu bengis. Sepotong paha ayam dilemparkan ke arah pendekar gila. Swit! Paha ayam itu melesat cepat, seperti mengandung kekuatan tenaga dalam. Menderu keras dekat muka Pendekar Gila.
"Eit!" Trep! Dengan sedikit merundukkan kepala serta tangan kanan bergerak cepat, Pendekar Gila menyambar paha ayam itu. Hal itu membuat lelaki tua berkumis putih serta semua orang di kedai itu terbelalak.
"Hi hi hi...! Terima kasih, Ki! Kau baik sekali," dengan tak acuh Sena segera menyantap paha ayam itu hingga habis. Lelaki tua itu semakin geram, setelah tahu kalau pemuda yang bertingkah laku gila mampu menangkap lemparan yang disertai tenaga dalam.
"Hm, bocah itu bukan orang sembarangan. Tapi aku ingin tahu, sampai seberapa kehebatan tenaga dalamnya," gumam lelaki tua itu dalam hati.
Tangannya segera mengambil guci arak yang ada di hadapannya.
"Minum ini! Hik...!" Wusss! Guci arak itu melesat berputar-putar dengan cepat ke arah Pendekar Gila yang masih menggerogoti sisa-sisa daging paha ayam. Sementara tangan kanan memegang tulang paha ayam di mulutnya, sedangkan tangan kirinya diangkat...
Trap! Dengan ringan dan mudah sekali Pendekar Gila menangkap guci yang melesat begitu cepat, karena dilemparkan dengan kekuatan tenaga dalam.
"Ha ha ha! Kau ternyata baik sekali, Ki," Sena langsung menuang arak dari guci.
Hal itu membuat mata semua orang yang ada di kedai semakin terbelalak. Semua orang yang tahu siapa lelaki tua yang melemparkan guci arak, hanya melongo bengong melihat Pendekar Gila dengan mudah menangkap lemparannya.
Lelaki tua berpakaian ungu itu menelan ludah.
Matanya terbelalak, menyaksikan barang yang dilemparkannya, dengan mudah ditangkap pemuda bertingkah laku gila itu.
"Hm, benar apa yang kuduga. Ternyata pemuda itu bukan orang sembarangan," desis hati lelaki tua ang tiada lain Rama Mangunda.
"Bahaya, kalau bocah itu tahu siapa aku dan hendak apa kami berkumpul di kedai ini."
"Aha, terima kasih atas jamuanmu, Ki! Kukembali-kan guci arakmu." Pendekar Gila segera mendorong guci arak dengan sentilan jari tangannya ke arah Ki Rama Mangunda.
Wrrr! Guci arak itu berputar keras seperti gasing, melesat menuju Ki Rama Mangunda.
Mata lelaki tua itu terbelalak. Ki Rama Mangunda tak menyangka, kalau telaga dalam pemuda itu sangat hebat.
Buktinya, hanya dengan menyentilkan jari tangannya, dia mampu membuat guci arak yang berat itu melesat dan berputar cepat seperti gasing, menderu ke tubuhnya.
Wrrr! Guci arak masih berputar dengan cepat, menderu dekat Ki Rama Mangunda. Lelaki tua itu tersentak kaget, merasakan hawa panas yang menderu. Dia tak berani menangkap guci itu. Segera dimiringkan tubuhnya ke samping agak merendah, mengelakkan terjangan guci arak itu.
"Celaka! Bocah ini bukan orang gila biasa!" pekik Ki Rama Mangunda sambil mengelakkan sambaran guci arah yang terus menderu ke arahnya.
Wrrr! Guci arak itu melesat beberapa jari di atas kepalanya, terus menderu dengan putaran cepat seperti gasing. Akhirnya guci itu pun menghantam kayu penyangga kedai. Brakkk! Duarrr...! Ledakan menggeiegar terdengar bersamaan dengan getaran dahsyat yang terasa mengguncangkan kedai. Guci pecah berantakan, araknya muncrat dan langsung menyiram orang-orang yang berada dekat tiang penyangga kedai.
Crattt! "Aduh...!" Mereka yang terkena percikan arak itu terpekik kesakitan. Pakaian yang terkena arak, seketika mengeluarkan asap bagai terbakar. Hal itu membuat Ki Rama Mangunda terbelalak heran. Begitu juga dengan lelaki berhidung seperti betet dan si Payung Sakti.
"Bocah edan! Berani lancang kau bertingkah di sini!" bentak si Hidung Betet geram. Lelaki bersenjata sepasang pedang itu langsung bangkit dari tempat duduknya, melangkah mendekati Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berompi dari kulit ular itu masih tenang-tenang saja, padahal si Hidung Betet telah menunjukkan kemerahannya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki" Mukamu pucat seperti tikus. Ha ha ha...!" dengan suara lepas, Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mengejek Rama Mangunda yang kian bertambah marah mendengar ejekan Sena.
"Bocah edan! Siapa kau"!" bentak Rama Mangunda marah. Wajahnya yang pucat, kini merah bagai terbakar api amarahnya yang meluap-luap. Dia merasa telah dipermainkan Pendekar Gila di depan para pengikutnya.
"Kurang ajar! Kupecahkan batok kepalamu!" bentak si Hidung Betet. Tangannya dengan kekuatan tenaga dalam penuh, menyambar cepat kepada Sena.
Wuttt Dengan masih cengengesan sambil menggarukgaruk kepala, Sena bagaikan tak melihat serangan lawan, begitu cepat merundukkan tubuh. Hal itu mengakibatkan serangan si Hidung Betet meleset di atas kepala.
"Wua kau galak sekali, Betet Jelek!" Setelah berkata begitu, Pendekar Gila mendorongkan kedua telapak tangannya ke dada lelaki berhidung seperti paruh betet yang rambutnya diikat ekor kuda.
Bukkk! "Ukh!" Si Hidung Betet yang tak menyangka kalau bocah gila itu menyerangnya, tak mampu mengelak. Tak ampun lagi, tubuhnya terdorong kuat ke belakang, dan baru berhenti, setelah menghantam salah satu meja di kedai itu.
Brakkk...! "Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrakkan seperto monyet "Lucu..., hi hi hi...! Lucu sekali kau, Betet! Kenapa kau seperti mabuk"! Hua ha ha...!"
"Ukh..., Setan! Kubunuh kau, Bocah Gila!" maki si Hidung Betet sengit, merasa telah dipermainkan.
Dengan cepat tubuhnya bangun. Tangannya menarik dua pedang yang berada di punggung. Srekkk! Sena semakin tertawa terbahak-bahak, melihat si Hidung Betet telah mengeluarkan kedua pedang kembarnya. Tangannya masih menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya berjingkrakan tak ubahnya seperti monyet.
"Hi hi hi...! Kau benar-benar seperti burung betet marah," gumam Sena yang membuat si Hidung Betet bertambah marah.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan!" Si Hidung Betet segera bergerak menyerang dengan kedua senjatanya, memburu Sena yang tetap tenang sambil cengengesan.
"Putus lehermu! Hih...!" Lelaki berpakaian seperti pesilat Jepang yang bernama Takakira membabatkan pedangnya ke tubuh lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila merunduk, hingga pedang Takakira melesat di atas tubuhnya. Kemudian dengan cepat pula, melancarkan dengan pukulan telapak tangan kirinya ke dada lawan.
"Hih!"
"Uts!" lelaki Jepang itu tersentak melihat serangan yang datang secara tibatiba. Dengan cepat dia membabatkan pedang di tangan kirinya ke bawah, berusaha melindungi dadanya dari serangan lawan.
***
"Celaka! Bocah itu bukan bocah gila sembarangan." desis Rama Mangunda dalam hati, merasa tegang menyaksikan bagaimana Takakira yang menjadi salah satu andalannya terdesak terus menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Bahkan kalau Pendekar Gila mau, sudah sejak tadi Takakira dapat dikalahkan.
Rama Mangunda tak ingin berlarut-larut. Melihat pertarungan Takakira dengan bocah gila itu segera melesat mendekati keduanya.
"Hentikan!" bentaknya keras.
Takakira dan Pendekar Gila segera melompat ke belakang, menghentikan pertarungan itu.
"Aha, mengapa kau menyuruh berhenti, Ki" Bukankah di sini memang akan ada pesta" Apakah tak sebaiknya pesta itu didahului oleh arak" Hi hi hi...! Seperti pesta yang lainnya?" ujar Sena sambil cekikikan dengan tangan menggarukgaruk kepala. Rama Mangunda benar-benar marah dan tersinggung dengan sikap Pendekar Gila. Namun ketajaman pikiran dan perasaannya dapat membaca siapa sesungguhnya pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila itu. Menghadapi pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu berarti mencari penyakit Rama Mangunda bermaksud melerai bahkan ingin membujuknya agar dapat diajak bekerja sama.
"Kisanak, di sini tak ada pesta. Kalau kau mau makan, mintalah! Biar nanti aku yang membayarnya," ujar Rama Mangunda berusaha membujuk Sena.
"Aha, ternyata kau tak seburuk temanmu, Orang Tua. Ha ha ha perutku memang lapar sekali. Paha ayam yang kau berikan, rasanya kurang mengganjal perutku. Begitu juga dengan arak yang kau beri, belum cukup menghilangkan rasa hausku," jawab Sena dengan cengengesan.
Rama Mangunda tersenyum-senyum, lalu mengedipkan mata pada Takakira dan si Payung Sakti. Tangannya menepuk-nepuk pundak Pendekar Gila.
"Kisanak, kau boleh minta sesuka hatimu. Setelah itu, kau boleh pergi dari sini! Pak Tua, beri dia makanan yang enak-enak!" perintah Rama Mangunda sambil mengedipkan mata, memberi isyarat pada pemilik kedai agar makanan yang akan disajikan pada Pendekar Gila dibubuhi racun.
Pemilik kedai ternyata tersenyum dan menganggukkan kepala. Hal itu tertangkap Pendekar Gila yang hanya cengengesan sambil terus menggaruk-garuk kepala. Sepertinya Sena tak tahu, niat buruk Rama Mangunda itu.
"Kisanak, duduklah di kursiku. Sebentar lagi kau akan menikmati makanan enak," ujar Rama Mangunda sambil mengiringi Sena yang masih bertingkah laku seperti orang gila menuju ke bangkunya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali jenggotmu, Ki! Seperti jenggot kambing...," celoteh Sena sambil menunjuk jenggot Rama Mangunda, "Aha, ada kutunya, Ki!" Pret! "Aaakh...!" Tangan Sena mencabut jenggot Rama Mangunda dengan keras, membuat lelaki tua itu terpekik kesakitan dengan mata terbelalak marah. Hampir saja Takakira dan si Payung Sakti melabrak pemuda bertingkah laku konyol dan seperti orang gila itu, kalau saja Rama Mangunda tak segera melarangnya.
Lelaki tua itu mengedipkan mata, memberi isyarat agar tak usah melawan bocah gila itu, karena menurutnya Sena tentu akan mati oleh racun yang ditaburkan di makanan.
"Hi hi hi...! Sakit, Ki..." Ah, maaf! Aku hanya ingin mengambil kutunya," kata Sena dengan seenaknya, bagaikan tak bersalah.
Rama Mangunda tersenyum terpaksa sambil menganggukkan kepalanya, meski dalam hatinya memaki sengit dan merutuki perbuatan Pendekar Gila yang dianggapnya terlalu kurang ajar.
"Bocah edan! Sebentar lagi kau akan mampus, masih bisa bertingkah!" geram Rama Mangunda dalam hati.
"Ah, rupanya makanan sudah siap, Kisanak.
Kuharap kau dapat menyantapnya dengan sepuas hatimu!" ujar Rama Mangunda berusaha menunjukkan keramahan, agar pemuda itu tak curiga, kalau makanan yang dihidangkan padanya mengandung racun ganas. Racun yang bagi manusia biasa tak mungkin mampu bertahan hidup seketika.
"Aha, kelihatannya sangat enak, Ki! Apakah kau tak ikut bersantap denganku" Ayolah!" ajak Sena, yang membuat mata Rama Mangunda terbelalak, dengan wajah pucat pasi. Bagaimanapun dirinya tahu racun apa yang ditaburkan pada makanan itu. Rama Mangunda kelabakan, bingung mendengar ajakan Sena. Ditelan ludahnya beberapa kali, berusaha membasahi kerengkongannya yang kering.
"Aha ayolah, Ki!" ajak Sena sambil menarik tangan Rama Mangunda untuk makan bersama.
"Kurasa antara kita telah terjalin rasa kesetiakawanan. Kau telah memberiku makanan yang enak-enak. Bukankah sebaiknya kita makan bersama?"
"Ah, tidak..., terima kasih! Kami sudah makan tadi.
Bagaimana kami bisa makan lagi" Nanti aku tak kuat jalan," jawab Rama Mangunda berusaha menolak.
"Benar, Sobat. Kami tadi habis makan," sambung Takakira berusaha meyakinkan Pendekar Gila.
"Aha, jadi kalian tak makan?" tanya Sena sambil cengengesan.
"Baiklah, kumakan sendiri." Dengan lahap Sena menyantap makanan itu. Dia yang kebal segala macam racun dan tahu kalau makanan itu beracun, pura-pura merasakan pening.
Kemudian tergeletak tidur. Hal itu dilakukan karena ingin tahu, apa yang sebenarnya hendak direncana-kan mereka selanjutnya.
"Mampuslah kau, Bocah!" dengus Rama Mangunda sambil tersenyum kecut, "Buang Dia...!" perintahnya pada anak buahnya.
Empat lelaki berbadan kekar dengan kepala botak melangkah menghampiri tubuh Pendekar Gila kemudian bagaikan menenteng bangkai, keempatnya membawa tubuh Pendekar Gila yang dianggap mereka orang gila.
***
≡≡≡¦ 5 ¦≡≡≡
"Kita buang saja ke sungai ini," usul salah seorang dari mereka.
"Aha, enak sekali kalian ngomong," tiba-tiba Sena bangun.
Keempat lelaki yang memegangi tangan dan kaki Pendekar Gila tercekat kaget bukan kepalang. Mereka mengira pemuda yang dibawanya benar-benar telah mati oleh racun. Apalagi ketika tiba-tiba tubuh Pendekar Gita melenting ke atas dan berputar cepat sekali. Krakkk! Kretek! Suara gemeretak seperti tulang patah terdengar bersama berputarnya tubuh Pendekar Gila.
"Aduh!"
"Aaakh...!" Keempat lelaki berbadan tegap dengan kepala botak itu terpekik keras, ketika tulang tangannya bagaikan patah akibat hentakan tubuh Pendekar Gila.
Tangan mereka yang memegang tangan dan kaki Sena, seketika lepas. Bahkan kini keempat lelaki berkepala botak itu meringis-ringis kesakitan.
"Hua ha ha...! Kalian kena tipu! Hi hi hi...!" Sena tertawa-tawa sambil berjingkrakkan seperti seekor monyet. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat geram keempat lelaki berkepala botak.
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu, Bocah edan!" dengus lelaki berkepala botak dengan hidung besar sambil meluruk ke tubuh Pendekar Gila dengan kepalan tangannya yang besar.
Wuttt! "Eit! Ada kebo ngamuk! Ha ha ha...!" Sambil tertawa-tawa dan menggaruk-garuk kepala, Sena menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian menekuknya ke bawah. Dan ketika lelaki berkepala botak itu menyerang, dengan cepat Sena memiringkan tubuhnya ke samping sambil mengangkat kaki kirinya ke atas.
Deggg! Serangan lawan luput, malah lutut Pendekar Gila menghantam keras ke dada lawan.
Tak ampun lagi, tubuh besar itu terjungkal ke tanah dan langsung terpelanting ke sungai yang deras airnya.
Byurrr! "Happp! Tolooong...!" lelaki berhidung besar itu berteriak. Tangannya berusaha menggapai-gapai, mencari pegangan. Namun, arus sungai yang deras, terus menyeret tubuhnya yang besar.
Ketiga temannya yang menyaksikan kejadian itu, seketika marah. Mata mereka menatap penuh kebengisan pada Pendekar Gila yang masih cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya, bagaikan tak menghiraukan kemarahan ketiga lawannya.
"Bocah edan. Kubunuh kauuu...!" lelaki beralis lebat dan mata lebar membentak.
Kemudian ketiganya serentak menyerang Pendekar Gila dengan pukulan dan sambaran tangan mereka yang besar dan kekar.
Wrrrt! "Hait! Hi hi hi...! Kalian tak ubahnya seperti tiga kerbo dungu. Tenaga saja yang besar, tapi otak kalian di dengkul," sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila terus berkelit. Sementara mulutnya terus mengejek ketiga lawannya yang semakin bertambah sengit.
Ketiga lelaki berbadan tinggi tegap dan berpakaian hijau lumut itu kembali menghantamkan tangannya berbarengan ke kepala lawan.
"Remuk kepalamu, Bocah Edan!" Wrrrt! "Aha! Belum, Sobat.... Hi hi hi!" Sena mengegoskan tubuhnya, ke samping sambil mengangkat kaki kanannya. Saat itu pula, salah seorang dari ketiganya yang menyerang tak mampu menarik serangannya.
Tanpa ampun lagi....
Degkh! "Ukh...!" lelaki itu terpekik. Tubuhnya terhuyung huyung ke belakang, mendekat ke tepi sungai yang cukup dalam itu. Beruntung salah seorang dengan cepat mencekal tangannya. Kalau tidak, tubuh lelaki itu tentu tercebur dan terbawa arus, seperti temannya yang pertama.
"Bedebah! Rupanya kau harus dihajar, Bocah Edan!" geram lelaki bercambang bauk lebat. Tangannya yang mengepal terangkat ke atas. Kemudian bagaikan banteng, lelaki bercambang bauk itu menyeruduk. Tangannya bergantian menyerang tubuh Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Gayamu persis kerbo, Sobat! Ah, lucu sekali!" dengan melompat ke sana kemari mengelakkan serangan lawan yang menyeruduk, Pendekar Gila terus menggoda dan berusaha membuat lawannya marah.
"Hea!" Lelaki bercambang bauk lebat itu terus mencecar dengan hantaman-hantaman keras.
Rerumputan dan tanah di tepi sungai berhamburan terkena hantaman-hantaman tangannya. Dahsyat sekali jurus 'Banteng Menyelak' yang dilancarkan lelaki itu.
Sehingga tepian sungai bagaikan diguncang gempa bumi. Pendekar Gila tak merasa gentar, bahkan dari mulutnya terus terdengar ejekan. Hal itu membuat lawan bertambah geram. Kedua temannya kini turut menggempur lawan dengan jurus yang tak kalah dahsyat.
"Heaaa...!" Wrrrt! "Hi hi hi...! Bagus! Rupanya ada tiga kerbo yang ngamuk. Aha, kebetulan sekali," Sena segera melentingkan tubuhnya ke atas, lalu dengan cepat menjejakkan kakinya di salah seorang. Dengan enaknya Sena berpijak di pundak lelaki berhidung besar dengan mulut lebar. Pijakan itu disertai tekanan yang kuat. Akibatnya kaki lawan amblas ke tanah sampai sebatas lutut.
Menyaksikan tingkah laku pemuda gila yang menari-nari di atas pundak, kedua temannya bertambah marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!" Kedua lelaki bertubuh besar menyerang dari samping kanan dan kiri secara bersamaan, dengan pukulan keras.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Ketika tangan keduanya melesat dan hampir sampai, dengan cepat. Pendekar Gila melompat ke atas. Dan...
Jrot! "Wuaaa...!" Orang yang tadi dijadikan pijakan kedua kaki Sena, menjerit keras. Kepalanya terkena pukulan kedua temannya. Sampai-sampai kepalanya hancur berantakan, memuncratkan darah dan otak.
Terbelalak mata kedua temannya yang menyerang, ketika menyadari apa yang terjadi. Sedangkan Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil duduk di atas cabang pohon di tepi sungai. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Lucu sekali kalian ini. Mengapa kepala teman kalian pukul?" ejek Sena sambil tertawa.
"Bedebah! Turun kau, Bocah Edan!" bentak lelaki bercambang bauk lebat seraya menghantamkan pukulan jarak jauhnya yang disertai tenaga dalam yang kuat.
"Heaaa...!" Wrrrt! "Hi hi hi...!" Sena segera melompat, berjumpalitan di udara mengelakkan serangan. Pukulan lelaki bercambang bauk menerjang pohon.
Jlegar! Brakkk! Cabang pohon itu hancur, dan jatuh ke sungai.
Sedangkan Pendekar Gila kini dengan tingkah laku seperti orang tolol telah berada di belakang mereka.
"He he ha, apa yang kalian cari?" tanya Sena menyentakkan keduanya.
Kedua lelaki tinggi besar berkepala botak itu membalikkan tubuh. Secepat itu pula Sena mendorong tubuh keduanya ke belakang.
"Hea!"
"Wua...!" Kedua lelaki berkepala botak itu terpekik ketakutan, karena tubuh mereka kini terdorong keras ke sungai. Keduanya berusaha menghentikan kaki agar tak tercebur. Namun dorongan tangan Sena sangat kuat, sehingga mereka tak mampu menahan kedua kaki mereka. Dan....
"Wuaaa!" Byurrr! Keduanya tercebur ke sungai yang sangat deras.
Tangan keduanya berusaha menggapai-gapai, meminta tolong. Pendekar Gila hanya tertawa-tawa sambil berjingkrakan.
"Ha ha ha...! Mandilah, biar badan kalian tak bau!" seru Sena. Kemudian dengan cepat Sena melesat meninggalkan tepian sungai, kembali masuk ke Desa Kembang Puan.
***
"Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang saja, Rama?" terdengar suara si Payung Sakti berkata. Si Payung Sakti ternyata istri Rama Mangunda.
Pendekar Gila berkerut keningnya, mendengar nama Rama disebut-sebut si Payung Sakti.
"Hm, tentunya Rama itulah yang dimaksud lelaki bermuka codetan," gumam Sena sambil terus memasang pendengarannya untuk dapat mengikuti pembicaraan orang-orang di dalam kedai.
"Kurasa kita harus sabar, tunggu perkembangan selanjutnya. Kita juga harus menunggu kabar dari Nyi Mas Lindri, bagaimana perkembangan di istana," kini terdengar suara lelaki tua yang dipanggil Rama.
"Aha, ternyata lelaki tua berpakaian resi itulah yang bernama Rama," gumam Sena dalah hati, "Hm, siapakah Nyi Mas Lindri itu" Kudengar dia berada di dalam istana. Ah, celaka dua belas! Rupanya benar dugaanku, istana dalam kekuasaan para pemberontak. Tinggal menunggu saatnya, pemberontakan akan terjadi."
"Hampir separo lebih prajurit kerajaan telah memihak pada kita. Kita tinggal bergerak saja, maka kekuasaan Aji Wardana dungu itu akan hancur. Ha ha ha...!" Rama Mangunda terdengar tertawa senang.
Sepertinya dia merasa apa yang dicita-citakan akan terlaksana.
Pendekar Gila semakin mengerutkan keningnya mendengar penuturan Rama Mangunda.
Hatinya kian yakin, kalau kehancuran kekuasaan Baginda Aji Wardana kini berada di ambang pintu.
"Aku harus menolong Baginda," bisik Sena lirih.
"Anakku memang hebat, dia mampu menarik hati Aji Wardana, sampai-sampai raja tolol itu tidak tahu, siapa sesungguhnya Nyi Mas Lindri," kembali terdengar suara Rama Mangunda berkata bangga, merasa anaknya telah mampu menyusup ke Istana Telaga Mas bersama beberapa pengawalnya. Bahkan, mereka telah mampu mengajak para prajurit-prajurit Istana Telaga Mas, untuk ikut bersama mereka.
Mereka kini siap untuk merebut kekuasaan Baginda Aji Wardana.
Saat itu, dari arah timur nampak seorang wanita cantik berpakaian merah jambu melesat di atas kudanya yang putih polos.
"Tentunya wanita ini yang bernama Nyi Mas Lindri.
Kelihatannya wanita cantik ini hendak menuju ke kedai," gumam Sena dalam hati sambil terus memperhatikan kuda putih yang ditunggangi wanita itu. Langkah kuda semakin perlahan ketika mendekati kedai.
"Hop!" Nyi Mas Lindri menghentikan lari kudanya, ketika matanya melihat seseorang berpakaian rompi kulit ular bertengger di atas pohon akasia.
"Bocah edan! Rupanya kau dari tadi memata-matai kami!" Orang-orang yang ada di kedai berhamburan keluar ketika mendengar suara bentakan Nyi Mas Lindri. Mereka semakin bertambah marah, setelah melihat Pendekar Gila ternyata masih hidup. Bahkan kini tertawa terbahak-bahak di atas cabang pohon akasia.
"Bocah setan! Kubunuh kau!" dengus si Payung Sakti sambil membuka payungnya yang terbuat dari kulit, kemudian melesat bermaksud menyerang Pendekar Gila.
Brat! "Hea!" Payung itu diputar dengan cepat, menimbulkan angin yang keras, menderu ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Genit sekali kau, Nyi! Sudah tua masih main payung. Bukankah tak ada hujan?" ejek Sena sambil melompat, mengelak dari hantaman Payung Sakti itu.
Brak! Krak! Cabang pohon itu, hancur berantakan diterjang angin dahsyat dari payung. Kalau saja Sena masih berada di situ, mungkin tubuhnya ikut hancur terhantam payung di tangan si Payung Sakti.
"Aha, payungmu seperti kapak saja, Nyi! Ah, kurasa kau juga termasuk penebang kayu yang hebat," ejek Sena cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Hal itu membuat si Payung Sakti bertambah marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!" Wrrrt! Payungnya kembali dibuka lalu diputar, menimbulkan angin yang menderu keras menerpa ke sekelilingnya. Tapi Pendekar Gila malah tertawa terbahak-bahak. Tingkah lakunya masih konyol. Bahkan dalam keadaan kosong diserang begitu, mulutnya sempat mengejek.
"Hi hi hi...! Kau mau main tari payung, Nyi?" Sena langsung membuang tubuh ke samping, mengelakkan serangan payung lawan yang menderu keras.
Kemudian dengan cepat, tubuhnya bersalto di udara.
Menyaksikan lawan dapat mengelakkan serangannya, si Payung Sakti semakin beringas. Semakin kencang perempuan tua itu memutar payungnya, berusaha mengeluarkan angin lebih besar agar mampu menghantam Sena.
Wrrr! Angin membadai keluar dari putaran payung di tangan si Payung Sakti. Daun-daun kering beterbang-an. Pohon-pohon kecil bertumbangan, terhempas dah-yatnya angin dari Payung Sakti.
"Ha ha ha, kau perusak lingkungan, Nyi! Payung bubutmu itu bagaikan hama saja," ejek Sena sambil berkelit cepat, ketika si Payung Sakti menyerang tubuhnya.
Seketika itu pula, kakinya menendang ke punggung si Payung Sakti yang masih melesat maju. Perempuan tua itu tak mampu lagi mengelakkan tendangan. Tanpa ampun lagi....
Degkh! "Ukh!" Tubuh si Payung Sakti terhuyung-huyung ke depan, malah hampir tersungkur mencium tanah. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak lan menggarukgaruk kepala. Melihat hal itu, Nyi Mas Lindri yang sudah jengkel ejak pertama kali melihat Pendekar Gila di istana, segera memerintahkan anak buahnya untuk menyerang.
"Serang dan tangkap hidup atau mati...!" Serentak semua orang yang ada di situ bergerak maju, berusaha menangkap Pendekar Gila. Pendekar Gila tersentak kaget, tapi dengan cepat segera melesat meninggalkan tempat itu. Hal itu membuat Nyi Mas Lindri dan anak buahnya semakin geram, mereka langsung mengejarnya.
"Tangkap jangan sampai kabur!" perintah wanita cantik itu kepada anak buahnya agar mengejar Pendekar Gila. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah menghilang.
Nyi Mas Lindri semakin marah karena gagal menangkap Pendekar Gila. Matanya yang indah, mengawasi ke sekelilingnya, berusaha mencari Pendekar Gila. Namun tak juga menemukan pemuda berambut gondrong dengan pakaian rompi dari kulit ular itu.
"Dia Pendekar Gila, Rama," sahut Nyi Mas Lindri.
"Apa"!" Mata Rama Mangunda terbelalak kaget, ketika tahu siapa sebenarnya pemuda itu.
Dia sering mendengar nama itu, tetapi tak pernah menyangka kalau Pendekar Gila ternyata masih sangat muda.
"Sudah kuduga, kalau pemuda itu si Pendekar Gila.
Tapi aku masih ragu," gumam Rama Mangunda sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Tapi, benarkah dia Pendekar Gila, Anakku"!"
"Benar, Rama. Dialah Pendekar Gila," tutur Nyi Mas Lindri.
"Pendekar Gila dari Goa Setan?" menegaskan Rama Mangunda.
"Ya."
"Hm, pantas. Pantas kalau begitu," gumam Rama Mangunda sambil menggaruk-garuk kepala. Tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya yang putih.
"Bagaimana, Ki" Apakah dengan adanya Pendekar Gila kita akan menghentikan semuanya...?" tanya si Payung Sakti. Didengar dari nada suaranya, wanita tua itu merasa gentar mendengar nama Pendekar Gila. Dia pun telah sering mendengar sepak terjang pemuda itu. Namun baru kali ini melihat orangnya.
"Tidak! Kita harus meneruskan rencana untuk mencapai cita-cita. Kita harus bisa mempengaruhi semua prajurit, agar dapat berpihak pada kita. Dan yang penting, kau harus bisa mempengaruhi senapati, Anakku," tutur Rama Mangunda.
"Baik, Rama. Aku akan tetap menjalankan tugasku dengan baik," sahut Nyi Mas Lindri, "Aku harus segera ke istana, untuk memberitahukan bahwa Pendekar Gila masih ada di wilayah ini. Kalian bersiap-siaplah! Lusa malam, kita akan melaksanakan semuanya."
"Siap!" sahut anak buahnya serempak.
Setelah menjura hormat kepada ayah dan ibunya Nyi Mas Lindri segera melompat ke punggung kuda lalu menggebahnya. Kuda putih polos itu pun seketika berlari kencang meninggalkan Desa Kembang Puan, untuk kembali ke Istana Telaga Mas.
Dia harus mendahului Pendekar Gila, agar raja tak manaruh curiga padanya.
***
≡≡≡¦ 6 ¦≡≡≡
"He he he...! Selamat pagi!" sapa Sena masih cengengesan.
Senapati Awong Purbo tersentak ketika melihat siapa yang menyapanya. Matanya terbelalak, dan jengkel dan kagum akan keberanian Pendekar Gila.
Meski telah diancam, pemuda gila itu nekat datang.
"Bocah edan! Mau apa lagi kau datang ke istana"!" bentak Senapati Awong Purbo dengan kepala menggeleng-geleng, melihat Pendekar Gila datang lagi ke istana. Padahal Baginda Aji Wardana telah meng-ancamnya.
"Aha, aku ingin bertemu dengan baginda," sahut Sena.
"Bukankah kau sudah diancam akan dihukum jika berani datang kemari"!" dengus Senapati Awong Purbo semakin jengkel, soalnya saat itu istana tengah dalam suasana duka cita atas kematian putra mahkota. Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, mendengar bentakan Senapati Awong Purbo. Sepertinya pemuda itu tak takut sama sekali akan ancaman yang bakal membuatnya masuk ke penjara bawah tanah. Niatnya telah bulat. Dia harus memberitahukan pada Baginda Aji Wardana, kalau akan terjadi pemberontakan di istana.
"Aha, apa pun yang akan kuterima, aku telah siap.
Aku hanya ingin memberitahukan pada baginda tentang sesuatu yang sangat berbahaya," tutur Sena dengan cengengesan.
"Katakan padaku, kemudian cepat pergi!" perintah Senapati Awong Purbo tegas.
"Aku tak ingin melihatmu masuk ke penjara bawah tanah."
"Ha ha ha, sudah kukatakan. Aku tak takut dihukum, asalkan aku telah berjasa pada kerajaan, menyelamatkan baginda dan rakyat kerajaan yang tak berdosa."
"Jadi kau memaksa ingin bertemu baginda, Bocah Edan"!"
"Ya," jawab Sena tegas.
"Hm, mencari penyakit!" dengus Senapati Awong Purbo.
"Prajurit, jaga dia!"
"Hi hi hi, aku tak akan lari, Senapati!" seru Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Senapati Awong Purbo, meninggalkan Pendekar Gila untuk melaporkan pada baginda.
Tak lama kemudian, Senapati Awong Purbo telah kembali dengan muka kelihatan suram. Nampaknya lelaki bertubuh besar itu mendapatkan amarah dari Baginda Aji Wardana.
"Tangkap dia!" perintah Senapati Awong Purbo pada prajurit-prajurit yang langsung bergerak menangkap Sena.
"Aha, beginikah caranya orang-orang kerajaan memperlakukan seorang tamu...?" sindir Sena dengan mulut masih cengengesan, tanpa rasa takut sedikit pun. Bahkan ketika diseret para prajurit menghadap baginda, tingkahnya tetap konyol seperti orang gila.
"Jangan bawanyak omong! Nanti bicara saja dengan baginda!" bentak Senapati Awong Purbo terus mengiringi kedua prajurit yang membawa Pendekar Gila masuk ke istana. Setelah berada di hadapan Baginda Aji Wardana, Senapati Awong Purbo menyembah.
Kemudian menyurut mundur beberapa langkah, lalu duduk bersila.
"Ampun Baginda Yang Mulia, pemuda inilah yang hamba maksud." Baginda Aji Wardana sesaat terdiam. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan, tanpa menunjukkan rasa takut sedikit pun.
"Anak muda, masihkah kau ingat apa yang kukatakan beberapa hari lalu?" tanya Baginda Aji Wardana seraya menggerakkan tangan kanan memerintah prajurit melepaskan pegangan pada Pendekar Gila.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan, kemudian menyembah sebagaimana layaknya menghadap seorang raja. Lalu dengan tindak-tanduk sopan.
Sena duduk dengan rapi.
Baginda Aji Wardana berkerut keningnya melihat sikap pemuda di hadapannya.
"Ampun, Baginda! Apa yang Baginda sabdakan, hamba masih ingat," jawab Sena sambil menyembah.
"Lalu, mengapa kau datang lagi?"
"Ampun, Baginda! Kedatangan hamba, semata-mata hendak memberitahukan pada Baginda, kalau pemberontakan akan segera terjadi. Dan kalau hamba diperkenankan memberitahukan siapa dalang dari semuanya, hamba bersedia menunjukkan." Baginda Aji Wardana semakin mengerutkan kening mendengar penuturan Pendekar Gila. Sepertinya dia tengah menimbang apa yang dikatakan pemuda gila itu.
"Anak muda, jangan kau berkata sembarangan! Atau mungkin justru kaulah yang hendak membuat keonaran!" bentak Baginda Aji Wardana gusar.
"Ampun, Baginda Yang Mulia! Kalau memang hamba pembuat keonaran, manalah sudi hamba menghadap Baginda?" kilah Sena masih menujukkan sikapnya yang sopan seperti orang sehat dan waras.
Hal itu membuat Baginda Aji Wardana semakin heran menyaksikan tindak-tanduk pemuda itu yang telah dianggap gila.
"Hm, kalau benar apa katamu, katakan siapa dalang pemberontakan yang akan terjadi?" tanya Baginda Aji Wardana tertarik ingin tahu.
"Nyi Mas Lindri, Baginda," jawab Sena.
"Apa"!" bentak Baginda Aji Wardana dengan mata terbelalak, karena merasa ucapan Sena hanyalah mengada-ada.
"Prajurit, tangkap dan masukkan ke penjara! Jelas, dialah yang telah membunuh anakku!"
"Tapi, Baginda...," Sena berusaha membela diri, tetapi kedua pranjurit telah menangkap dan menyeret tubuhnya meninggalkan ruangan itu.
"Baginda, berhatihatilah, karena pemberontakan akan terjadi!"
"Phuih! Rupanya kaulah dalang dari semua kejadian ini, Bocah Edan! Pantas tingkah lakumu pura-pura gila!" dengus Baginda Aji Wardana marah.
"Seret dia dan jebloskan ke penjara bawah tanah!" Kedua prajurit terus menyeret tubuh Sena dari hadapan baginda. Kemudian membawanya menuju penjara bawah tanah, tempat bagi orang-orang yang hendak berkhianat pada kerajaan.
"Ini tempatmu, Bocah Edan!" bentak salah seorang prajurit sambil mendorong masuk tubuh Sena. Kemudian mengunci pintu yang terbuat dari besi.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-geleng kepala.
Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun.
"Prajurit pengkhianat! Kalian pantas dijuluki Tikus-tikus Busuk! Hua ha ha...!" Kedua prajurit seketika marah, mendengar ejekan Pendekar Gila. Namun, belum sempat mereka berbuat sesuatu, tiba-tiba muncul sesosok wanita berpakaian merah jambu.
"Percuma kalian mengurusi bocah edan itu," ujar wanita cantik yang tak lain Nyi Mas Lindri.
"O, Gusti Ayu! Apakah pertemuan sudah selesai?" tanya kedua prajurit hampir bersamaan.
"Gara-gara bocah edan itu, semuanya berantakan.
Tapi bersiaplah! Lusa malam, kita akan segera mulai.
Beri tahu yang lain!" ujar wanita itu setengah berbisik, dengan mata melirik pada Pendekar Gila yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sendika, Gusti Ayu," sahut kedua prajurit hampir bersamaan.
"Pergilah!"
"Daulat, Gusti Ayu." Keduanya segera menyembah, kemudian beranjak meninggalkan ruangan bawah tanah tempat menyekap Sena. Sepeninggal kedua prajurit, Nyi Mas Lindri mendekat ke pintu penjara tempat Sena berada. Bibir Nyi Mas Lindri mengurai senyuman menggoda.
"Anak bagus, kalau kau mau jadi kekasihku, kau akan enak. Maukah kau mendampingiku, jika kelak aku duduk sebagai ratu...?" tanya Nyi Mas Lindri dengan bibir masih mengurai senyum.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, mendengar ucapan Nyi Mas Lindri. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat wanita cantik itu semakin merekahkan senyum, menyangka kalau Pendekar Gila itu bersedia menerima tawarannya.
"Ha ha ha, kau memang cantik, Nyi! Sayang, kau akan menjadi ratu maksiat. Hi hi hi...!" Terbelalak mata Nyi Mas Lindri, mendengar ejekan Pendekar Gila. Napasnya memburu, dilanda kemarahan. Seketika wajah wanita berpakaian merah jambu itu memerah. Gigigiginya saling beradu, menahan geram yang meluap-luap.
"Pemuda dungu! Dikasih hati, malah minta rempela! Huh, tunggu saja saatnya nanti! Kalau semua rencana berjalan lancar, kau akan mendapatkan ini...!" Nyi Mas Lindri menggorokkan tangannya ke lehernya.
"Hua ha ha...! Kau mau pesta kambing guling, Nyi?" ejek Sena sambil tertawa cekikikan dengan kepala tergeleng-geleng.
Mata wanita cantik itu semakin melotot garang.
Namun melihat mata Nyi Mas Lindri yang melotot, Sena semakin mengeraskan suara tawanya.
"Bocah edan! Tunggu saja saatnya nanti!" bentak Nyi Mas Lindri geram.
"Ha ha ha...! Nyi Ayu, tunggu saja saatnya nanti! Tubuhmu yang elok, akan dijadikan santapan warga kerajaan!" balas Sena sambil tertawa berbahakbahak. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya, sedangkan tubuhnya berjingkrakan seperti monyet.
Nyi Mas Lindri menggeram sengit. Ingin rasanya menghajar mulut pemuda tampan itu. Namun niatnya diurungkan. Dia takut kalau membuka pintu itu, Sena akan keluar. Dan dapat membuat repot. Apalagi telah diketahui Pendekar Gila berilmu tinggi. Sulit baginya meladeni ilmunya. Meski selama ini keduanya belum pernah saling bentrok.
"Hua ha ha...! Kalau marah, makin cantik saja kau, Nyi?" ejek Sena.
"Sayang sekali, kau terlalu angkuh dan serakah!"
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Kau benar-benar cari penyakit! Kalau saja kau jadi kekasihku, aku yakin kau akan hidup bahagia!" ujar Nyi Mas Lindri masih berusaha merayu Pendekar Gila.
"Aha, menyenangkan sekali tawaranmu, Nyi! Siapa yang tak tergiur mendengar tawaran dari wanita secantik kau" Sayang, kau melangkah di jalan yang kurang menyenangkan. Terlalu besar hasratmu, membuat gelap mata dan melawan arus yang telah digariskan Hyang Widhi," tukas Sena dengan cengengesan.
"Huh, dasar bocah edan! Tak tahu barang enak...!" dengus Nyi Mas Lindri seraya melangkah meninggalkan Sena yang masih tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala.
***
Bayangan itu ternyata sesosok tubuh berpakaian merah jambu. Langkahnya tampak tenang, bagaikan tak merasa takut sedikit pun. Para prajurit yang tengah jaga malam seperti tak mempedulikan kejadian yang bakal terjadi.
Sosok berpakaian merah jambu yang tak lain Nyi Mas Lindri terus melangkah, mengendap-endap menuju kamar anak-anak Baginda Aji Wardana yang tinggal dua orang lagi. Jika dua anak baginda Aji Wardana semuanya telah binasa, maka jalan untuk mendapatkan tahta kerajaan telah berada di ambang pintu.
Nyi Mas Lindri terus mengendap-endap, semakin mendekat ke sebuah jendela kamar anak kedua Baginda Aji Wardana yang bernama Kindra Wasa.
Setelah membuka jendela dengan pelan, wanita itu segera melompat masuk. Namun, tiba-tiba sesosok bayangan bergerak cepat dan menyergap tubuhnya.
"Siapa kau"! Mau apa kau masuk ke kamar Raden Kindra Wasa?" Nyi Mas Lindri bukan takut, malah tersenyum manis ketika tahu orang yang menangkapnya. Dengan manja, wanita itu malah merapatkan tubuhnya ke tubuh Senapati Awong Purbo.
"Kakangmas Senapati, tentunya kau kedinginan malam ini, bukan" Ikutlah denganku, aku bersedia jadi istrimu, Kakang," bisik Nyi Mas Lindri merayu sambil tangannya mengusap-usap dada Senapati Awong Purbo dengan lembut. Didongakkan kepalanya, dengan mata perlahan-lahan memejam.
Senapati Awong Purbo kelabakan mendapat rayuan Nyi Mas Lindri. Darah kejantanannya menggelegak, seakan mendidih dibakar gejolak nafsu birahi. Apalagi tangan lembut wanita cantik dan mempesona itu, kini merayap perlahan di dadanya, menambah deburan jantungnya semakin kencang.
"Berjanjilah, Kakang! Berjanjilah, Kakang mau memihak padaku! Kalau Kakang mau, aku bersedia jadi istrimu, jika semua rencana ini telah selesai." Setelah berkata begitu, Nyi Mas Lindri mengajak Senapati Awong Purbo pergi dari tempat itu, menuju bangunan keputren yang terletak di sebelah kiri istana, tempat kamarnya berada.
Senapati Awong Purbo bagai kerbau dicocok hidung, mengikuti langkah Nyi Mas Lindri. Pikirannya kini sudah tak terkendali lagi. Bagaimanapun dirinya tak dapat menolak tawaran wanita cantik selir sang Raja ini. Baginya ini satu kesempatan untuk dapat menikmati tubuh Nyi Mas Lindri yang montok dan bahenol itu.
Keduanya masuk ke sebuah kamar yang ada di keputren. Nyi Mas Lindri segera mengunci pintu kamar, agar tak diketahui yang lainnya.
Dengan langkah melenggok bak macan lapar, istri selir raja itu melangkah ke tempat tidur. Matanya yang bening dengan nakal menatap wajah Senapati Awong Purbo. Lelaki gagah itu tak berkedip memandang lenggak-lenggok tubuh Nyi Mas Lindri. Nyi Mas Lindri semakin menjadi-jadi setelah merasa Senapati Awong Purbo kini berada dalam perangkapnya. Satu persatu pakaiannya dibuka. Hal itu membuat mata lelaki itu semakin terbelalak lebar.
Senapati Awong Purbo tak berkedip menatap tubuh yang mulus dan indah itu.
"Ayolah, Kakang!" ajak Nyi Mas Lindri sambil merebahkan tubuhnya yang sudah telanjang, ke atas pembaringan. Mulutnya mendesah-desah. Matanya mengerjap-ngerjap, semakin mengundang birahi Senapati Awong Purbo.
Sekuat apa pun iman Senapati Awong Purbo, digoda begitu rupa, akhirnya jatuh juga. Matanya tak berkedip, seakan takut kalau-kalau pemandangan menarik di depannya hilang. Kemudian kakinya melangkah mendekat ke ranjang tempat di mana tubuh Nyi Mas Lindri terbaring dengan keadaan telentang dan sangat menantang itu.
"Gusti Asyu, mengapa kau lakukan ini?" desah Senapati Awong Purbo berusaha menyadarkan selir rajanya.
Wanita itu tersenyum, mengulurkan kedua tangannya untuk memeluk leher Senapati Awong Purbo. Melihat hal itu, senapati muda itu merundukkan kepala. Sehingga tangan Nyi Mas Lindri kini memeluk dan mulai membawa turun leher lelaki bertubuh gagah itu.
"Kau mau membantuku, Kakang Senapati?" tanya Nyi Mas Lindri.
"Apa rencanamu, Gusti Ayu?"
"Berjanjilah dulu, Kakang! Jika kau telah berjanji, maka kelak aku bersedia jadi istrimu," bisik Nyi Mas Lindri sambil merapatkan tubuhnya. Ditekannya leher Senapati Awong Purbo, yang semakin bertambah dekat dengan wajahnya.
"Baiklah, aku berjanji. Tapi aku harus jadi suami-mu, jika semua yang kau citacitakan terlaksana," jawab Senapati Awong Purbo.
"Terima kasih, Kakang! Aku akan menjadi ratu, dan kelak kau menjadi raja di kerajaan ini. Bagaimana...?" Senapati Awong Purbo tersentak kaget mendengar penuturan Nyi Mas Lindri. Hampir saja lelaki itu terlonjak kalau saja tangan wanita itu tak menekan lehernya semakin mendekat ke wajahnya.
"Bagaimana, Kakang?"
"Kau tak main-main, Gusti Ayu?"
"Tidak," sahut Nyi Mas Lindri dengan senyum semakin menawan, yang membuat hati Senapati Awong Purbo bertambah gemas ingin segera melumat bibirnya.
"Apa telah kau pikirkan masak-masak?"
"Sudah. Lusa, semuanya akan beres," sahut Nyi Mas Lindri sambil mendekap tubuh Senapati Awong Purbo yang seketika lekat dengan tubuh halus mulus itu.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila itu?" tanya Senapati Awong Purbo.
"Dia sangat berbahaya."
"Itu urusan gampang, Kakang. Jika semuanya sudah beres, kita singkirkan dia.
Kita akan menjadi raja dan ratu, bukan?" Nyi Mas Lindri terus menciumi wajah Senapati Awong Purbo yang membuat lelaki bertubuh kekar itu bertambah nafsu.
"Baiklah, aku berpihak padamu," jawab Senapati Awong Purbo membalas ciuman Nyi Mas Lindri. Kemudian tak begitu lama, keduanya telah membisu.
Hanya rintihan dan lenguhan kenikmatan yang terdengar dari mulut Nyi Mas Lindri.
Keduanya terus berpacu, berusaha menumpahkan nafsu yang telah menggelegak.
Beberapa saat lamanya mereka bergelut, sampai akhirnya kedua tubuh tergeletak kelelahan. Di luar, ketika hawa malam semakin tak nyaman, sesosok bayangan berkelebat menuju bangunan sebelah kiri istana. Sosok bayangan itu terus melangkah menuju kamar anak Baginda Aji Wardana.
Setelah mengawasi sekitarnya, sosok itu perlahan-lahan membuka jendela kamar yang ditempati putra Baginda Aji Wardana.
"Tentunya bocah ini masih tidur," gumam sosok yang dari suaranya ternyata seorang lelaki. Dengan cepat, lelaki itu bergerak menusukkan sebuah benda tajam berkilat ke tubuh yang masih terlelap di tempat tidurnya.
Crab! "Aaakh...!" Pekikan tertahan terdengar dari mulut orang terbaring di tempat tidur. Sesaat tubuhnya mengejang, kemudian diam tanpa nyawa. Darah membasahi tempat tidur.
Sosok pembunuh itu langsung melesat cepat meninggalkan kamar, lalu menghilang di kegelapan malam.
Istana Telaga Mas geger oleh teriakan para prajurit jaga yang berlarian menuju kamar putra raja, setelah mendengar teriakan.
***
≡≡≡¦ 7 ¦≡≡≡
Matanya memejam rapat, memusatkan batinnya.
Saat itu, tampaknya Pendekar Gila tengah mengerahkan telepati untuk menghubungi gurunya.
Dia ingin meminta petunjuk sang Guru, bagaimana untuk dapat menebus dinding bawah tanah. Telah beberapa ilmu yang dimiliki dikerahkan, tapi tak mampu menghancurkan dinding penjara itu.
"Ada apa kau memanggilku, Sena?" terdengar gema suara Singo Edan bertanya.
"Guru, kau menerima panggilanku?"
"Ya, ada apa?"
"Aku mengalami kesulitan, Guru."
"Jangan suka mengeluh, Sena! Bagi seorang pendekar, pantang untuk mengeluh.
Nyawa seorang pendekar, merupakan taruhan bakti bagi kebenaran dari keadilan!" seru Singo Edan.
"Ampun, Guru! Bukan aku mengeluh, tapi aku kini benar-benar dalam kesulitan," ujar Sena berusaha meyakinkan gurunya, kalau dirinya tengah dalam keadaan sulit.
"Katakan, apa yang membuatmu begitu"!"
"Kini aku dihadapkan pada sebuah masalah. Aku harus menolong keluarga Baginda Aji Wardana, yang dalam ancaman pemberontakan. Tapi kini aku dalam tahanan bawah tanah," tutur Sena.
"Gunakan pukulan 'Gila Melebur Gunung Karangmu'."
"Sudah, tak bisa."
"Ajianmu 'Inti Api'?"
"Sudah, Guru. Tetap tak bisa?" sahut Sena.
"Inti Bayu'?"
"Semua ajian telah kukerahkan. Tetapi dinding ini terlalu kuat untuk diruntuhkan," sahut Sena.
"Hm," hanya suara gumam lirih yang terdengar.
Sepertinya Singo Edan maupun Pendekar Gila tengah berpikir mencari jalan yang baik guna mengeluarkan Sena dari tahanan bawah tanah.
"Apakah kau tak bermaksud menjebol pintu besinya?" tanya Singo Edan.
"Percuma, Guru. Semua prajurit akan mendengar," jawab Sena. Suasana kembali hening. Singo Edan seakan tengah berpikir-pikir mencari jalan keluar guna membebaskan muridnya. Sedangkan Pendekar Gila masih melakukan semadi, menyatukan batinnya dengan sang Guru.
"Apa kau sudah coba memanggil Naga Sakti?" tanya suara Singo Edan.
"Belum, Guru. Tapi..., aha, aku ada akal! Aku akan memanggil Bocah Sakti itu," ujar Sena sambil tertawa cengengesan.
"Bocah gila! Dalam kesulitan masih tertawa-tawa!" maki Singo Edan, "Siapa yang kau maksud Bocah Sakti itu?"
"Anak angkat dan murid Paman Naga Brahma," jawab Sena.
"Naga Brahma...?" terdengar suara Singo Edan bertanya setengah bergumam, "Hm, adik seperguruan Naga Sakti?"
"Benar, Guru."
"Kapan kau bertemu?"
"Sudan agak lama, Guru. Sejak kejadian di Lembah Akherat," jawab Sena menuturkan (Untuk mengetahui kisah Bocah Sakti, ikuti serial Pendekar Gila dalam episode "Perjalanan ke Akherat").
"Hm, cobalah! Mumpung masih malam," seru Singo Edan.
"Terima kasih, Guru!" Pendekar Gila segera memusatkan batinnya untuk memanggil adik seperguruannya, Supit Songong, yang ada di Pulau Karang Api di Danau Sambak Neraka.
Srt! Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya.
Kemudian dihujamkan ujung suling itu ke tanah.
Crab! Setelah menghujamkan suling itu sampai berdiri di tanah, Sena pun segera kembali duduk bersila. Matanya kini menatap lekat ke kepala Naga Sakti.
"Supit.., Supit.., datanglah!" bisik Sena, "Aku butuh bantuanmu!" Saat itu nun jauh di sebelah barat Gunung Kapur, terlihat air Danau Sambak Neraka bergejolak hebat.
Dua Naga Api yang menghuni danau itu, muncul dari dalam air dengan suaranya yang menggelegar. Gerrr! Supit Songong dan Naga Brahma yang sedang melakukan semadi tersentak bangun, ketika tiba-tiba di hadapan mereka muncul seorang Naga Sakti. Naga yang berwarna emas dengan mahkota di kepalanya juga berwarna emas.
"Kakang Naga Sakti, ada apa kau datang?" tanya Naga Brahma kaget "Aku memerlukan anak angkatmu, untuk membongkar penjara bawah tanah tempat Pendekar Gila disekap," jawab Naga Sakti.
"Ah, bagaimana mungkin Pendekar Gila bisa berada di penjara bawah tanah, Kakang" Bukankah dia memiliki beribu macam akal dan kepandaian?" tanya Naga Brahma sepertinya tak yakin dengan apa yang disampaikan Naga Sakti.
"Memang Pendekar Gila bisa saja menghancurkan penjara bawah tanah itu. Tetapi dia tak ingin kebebasannya mengundang perhatian orang banyak," ujar Naga Sakti.
"Lalu apa yang harus kami perbuat, Kakang?"
"Buatlah terowongan di malam ini, dari sini sampai Istana Telaga Mas yang ada di sebelah timur Gunung Kapur."
"Akan kulakukan, Kakang."
"Cepatlah, jangan sampai terlambat!" ujar Naga Sakti.
"Baik, Kakang." Setelah Naga Sakti raib, menghilang dari pandangan mata Naga Sakti, ular naga besar itu dengan dibantu Supit Songong, segera melakukan perintah Naga Sakti. Membuat lubang yang akan tembus sampai penjara bawah tanah di Istana Telaga Mas.
Suling Naga Sakti yang ditancapkan di tanah oleh Pendekar Gila kini nampak bergetar. Hal itu menandakan kalau sukma Naga Sakti telah kembali menyatu dalam suling mas itu. Dengan cepat Sena mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian menyelipkan ke pinggang, ketika nampak dua orang prajurit datang memeriksa tempat itu.
"Masih ada, Kakang," terdengar suara seorang prajurit berkata pada kawannya.
"Beres. Bocah itu sangat berbahaya," sahut yang lain.
"Ayo kita pergi!" ajak prajurit pertama. Sepertinya mereka takut kalau-kalau Pendekar Gila keluar dan menyerang mereka. Kedua prajurit jaga itu pun kembali meninggalkan penjara bawah tanah.
Sementara itu, Naga Brahma dan Supit Songong masih terus membuat lorong panjang, yang meng-hubungkan penjara bawah tanah di Istana Telaga Mas dengan Pulau Karang Api.
"Ayo Supit! Kita harus menyelesaikan pekerjaan malam ini juga," ujar Naga Brahma memberi semangat pada anak angkatnya, sekaligus muridnya.
"Baik, Rama." Bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik itu terus menggali lubang, dibantu Naga Brahma. Supit Songong tak ubahnya seperti seekor tikus yang menggali lubang.
Begitu cepat hingga dalam sebentar saja, lorong itu telah sampai di pertengahan jalan. Supit Songong yang merasa sudah sampai, segera merangkak naik untuk melihat sudah sampai di mana dia menggali lubang. Kini kepala bocah bersisik itu muncul di permukaan tanah, menimbulkan sebuah lubang di kaki Gunung Kapur.
"Ah, belum sampai," gumamnya seraya turun lagi.
"Bagaimana, Supit?"
"Belum, Rama. Kita baru sampai di Gunung Kapur," jawab bocah kecil itu.
"Berarti tinggal sedikit lagi. Ayo, kita harus cepat!" ajak Naga Brahma sambil terus bekerja membuat lubang besar dan panjang itu.
Dos! Tanah yang menjadi dinding panjang bawah tanah, seketika jebol. Hal itu membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Namun ketika tahu siapa yang datang, dengan senang disambutnya mereka.
"Aha, Paman rupanya yang datang. Terimalah sembahku, Paman."
"Ah, sudahlah, jangan buang-buang waktu! Kau harus segera keluar dari sini," sahut Naga Brahma.
"Ikutiah aku!"
"Baik, Paman."
"Supit, tutup lagi terowongan ini dengan rapi, agar tak diketahui orang lain," perintah Naga Brahma pada anak angkatnya, si bocah bersisik dan berlidah ular.
"Baik, Rama." Supit Songong segera bekerja dengan giat, menutupi kembali lubang yang telah dibuatnya.
Dalam sekejap saja, dinding penjara bawah tanah itu kembali seperti semula bagaikan tak pernah terjadi apa-apa.
***
"Wuah, segar sekali! Tiga hari aku terkurung di bawah tanah," gumam Sena sambil merentangkan kedua tangan menghirup udara terbuka yang terasa sangat segar.
Mulutnya kembali cengengesan, dengan tangan tak luput menggaruk-garuk kepala.
"Apa yang sebenarnya terjadi di Istana Telaga Mas, Sena?" tanya Naga Brahma ingin tahu.
"Rumit, Paman," jawab Sena seenaknya sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Apanya yang rumit?"
"Mungkin lusa, Istana Telaga Mas akan berdarah," desah Sena.
"Pertumpahan darah tak akan bisa dihindarkan. Kasihan Baginda Aji Wardana." Naga Brahma dan Supit Songong terdiam, mendengar penuturan Pendekar Gila.
Sedangkan Pendekar Gila, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian terdengar suara lenguhannya.
"Ah, kasihan raja tua itu. Dia tak sadar, kalau musuh telah menyusup ke dalam istana," kembali Sena bergumam.
"Bisakah kau menjelaskan, apa yang sebenarnya tengah berkemelut di Istana Telaga Mas, Sena?" pinta Naga Brahma.
"Aha, dengan senang hati," jawab Sena.
Pendekar Gila kemudian menuturkan apa yang telah terjadi di Istana Telaga Mas.
Tentang selir raja yang berambisi merebut kekuasaan suaminya. Nyi Mas Lindri berhasrat dan begitu bersemangat untuk menjadi ratu. Hal itu karena wanita cantik itu seorang wanita cabul. Bila dirinya menjadi ratu, sudah dapat dipastikan, tak akan ada pemuda tampan yang berkeliaran. Para pemuda akan menjadi pemuas nafsunya.
Nyi Mas Lindri dengan ayahnya, kini menghimpun kekuatan untuk menyerbu ke istana. Bahkan diduga pelaku pembunuhan terhadap dua orang anak Baginda Aji Wardana, tak lain orang-orang dalam istana sendiri.
"Nah, begitulah kisahnya. Kini Istana Telaga Mas dalam bahaya, tinggal menunggu saatnya, istana itu akan berdarah. Pertumpahan darah akan terjadi di Sana," tutur Sena mengakhiri ceritanya.
"Walah..., pertanda bahaya...!" gumam Naga Brahma turut merasa sedih mendengar apa yang bakal terjadi di Istana Telaga Mas.
"Begitulah, Paman. Aku sendiri sedang bingung, harus bagaimana menolong Baginda Aji Wardana. Di pihak lain, tentunya aku harus menghadapi para pemberontak, yang nampaknya berjumlah besar," tukas Sena seperti ingin meminta pendapat Naga Brama "Selamatkan saja Baginda Aji Wardana! Mengenai pemberontak, biar Supit yang menghadapinya. Setelah menyelamatkan baginda, barulah kau membantu Supit. Bagaimana dengan cara itu, apa kau setuju dengan cara yang kukatakan?" tanya Naga Brahma.
"Hm, betul juga. Baiklah kalau begitu, Paman.
Memang jalan satu-satunya harus menyelamatkan Baginda Aji Wardana dan sisa kelurganya yang hidup, jika pemberontakan itu meletus," gumam Sena.
"Bagaimana Supit, apakah kau siap?" tanya Naga Brahma.
"Saya siap, Rama," jawab Supit Songong yang sedari tadi diam.
"Bagus kalau memang begitu. Bantulah kakakmu, Supit!"
"Baik, Rama. Bahkan jika Rama mengizinkan, ingin sekali aku ikut terus dengan Kakang Sena," kata bocah bersisik ular itu dengan senyum mengembang di bibirnya.
Matanya memandang Pendekar Gila yang cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
"Aha, kalau aku tak keberatan, Supit. Tetapi, kau tentunya harus menyelesaikan dulu semua ilmu yang Paman turunkan! Bukan begitu, Paman?"
"Ya, benar. Kau harus menyelesaikan semua ilmu yang Rama berikan, Supit."
"Baik, Paman."
"Kembali pada masalah yang tadi kau ceritakan, hanya menyelematkan Baginda Aji Wardana, jalan terbaik. Ajaklah Baginda Aji Wardana ke lorong itu.
Lewat lorong itu, tak ada yang mengetahui. Para pemberontak pun tak mungkin dapat mengejar," saran Naga Brahma.
"Wah, betul pendapatmu, Paman. Ah, ternyata aku semakin tolol saja," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ah, kau terlalu merendah, Pendekar Gila. Mana mungkin Dewata memilihmu sebagai penegak kebenaran dan keadilan, jika kau tolol?" tanya Naga Brahma.
"Hyang Widhi telah menggariskan, dirimu sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Kurasa, Hyang Widhi tak seenaknya menurunkan seseorang untuk menjadi pendekar. Hyang Widhi telah memilih janin bayi yang akan keluar dari rahim manusia."
"Aha, sungguh berharga sekali apa yang kau tuturkan, Paman. Ah, aku semakin bertambah kerdil dan bodoh di hadapanmu," gumam Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Jangan berkecil hati begitu, Sena! Jiwamu agung.
Bayangkan abdimu adalah Kakang Naga Sakti, yang jika murka tak dapat seorang manusia atau dewa pun mampu menanggulanginya. Tapi di tanganmu, Kakang Naga Sakti begitu patuh dan setia. Bukankah itu pertanda kebesaranmu..."!" ujar Naga Brahma berusaha meyakinkan Pendekar Gila.
"Benar, Kakang. Sungguh kau sangat beruntung, menjadi tuan dari Paman Naga Sakti," sambung Supit Songong.
Pendekar Gila mengerutkan kening, mendengar penuturan Naga Brahma. Naga Sakti yang menjelma suling dan menjadi senjatanya memang sangat sakti.
Tapi menurutnya, bukan karena dirinya yang sakti.
Dibandingkan dengan Hyang Widhi, ilmunya belum seberapa. Itu pula yang menjadikan Pendekar Gila senantiasa sadar, bahwa apa yang semuanya terjadi tak luput dari pengamatan mata Hyang Widhi yang maha mengetahui.
Keakraban telah terjalin antara mereka berdua.
Meski Pendekar Gila manusia, sedangkan Naga Brahma seekor ular naga. Hal itu karena antara mereka ada hubungan kuat saling menghargai satu sama lain. Sifat saling hormat dan mencintai antar sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi, membuat mereka bisa melakukan hubungan baik.
Setelah bertukar pikiran sampai larut, Sena akhirnya meminta diri untuk tidur di dalam goa. Waktu itu Supit Songong telah tidur. Namun, cara tidur bocah bersisik itu aneh.
Bukan merebah, melainkan berdiri dengan salah satu kakinya diangkat, bertengger di kaki yang lainnya.
"Hai, sedang apa pula Adik Supit, Paman?" tanya Sena ketika melihat cara tidur Supit Songong.
"Itulah cara tapa yang Paman ajarkan padanya. Dia bisa tidur sambil berdiri, dengan salah satu kakinya terangkat."
"Aha, lucu sekali! Untuk apa hal itu dilakukan, Paman?" tanya Sena semakin ingin tahu, apa gunanya cara tidur sambil berdiri itu.
"Dengan membiasakan tidur berdiri seperti itu, batinnya akan senantiasa mampu mengendalikan hawa nafsu. Selain itu dapat membedakan gerak benda sekecil apa pun dengan mata terpejam. Dia tahu, kau kini sedang berada di hadapannya, meski pun tertidur," tutur Naga Brahma menjelaskan.
Pendekar Gila semakin terkagum-kagum mendengar penuturan Naga Brahma. Dia baru melihat, cara tidur yang aneh. Dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, kakinya melangkah mendekat ke Supit Songong. Kemudian berusaha ikut melakukan hal seperti yang dilakukan Supit Songong.
"Aha, enak juga, Paman!" ujar Sena dengan kekonyolannya.
Naga Brahma tertawa terbahak-bahak menimbulkan suaranya yang menggelegar.
Malam pun semakin jauh, membawa mereka ke dalam kegelapan bersama hawa dingin yang perlahan-lahan menyelimuti tubuh. Namun, karena telah terbiasa dalam keadaan begitu, mereka pun tak merasakan. Mereka segera tertidur nyenyak.
Sementara itu, jauh di Istana Telaga Mas, malam itu kembali di istana gempar karena terbunuhnya anak bungsu Baginda Aji Wardana. Semua peristiwa itu sama.
Korban ditusuk sebilah senjata yang menghujam dada, dalam keadaan tidur pulas.
Hal itu membuat Baginda Aji Wardana bertambah marah dan putus asa. Bagaimanapun, kini ketiga anaknya telah tiada. Semua tewas terbunuh. Namun, sampai sejauh itu, belum juga diketemukan siapa pelaku dari semua peristiwa itu.
"Geledah istana! Siapa pun pelakunya, harus dihukum mati!" seru Baginda Aji Wardana pada para prajurit.
"Paman Path Arya Denta, kau kutugaskan membersihkan istana ini dari para pemberontak.
Rupanya apa yang dikatakan pemuda gila itu benar adanya. Di sini telah kemasukan para pemberontak."
"Daulat, Baginda. Segala titah yang Baginda sabdakan, akan hamba lakukan," jawab patih Arda Denta.
"Prajurit, ikut aku!" Malam itu juga, Patih Arya Denta beserta para prajurit melaksanakan apa yang dititahkan Baginda Aji Wardana. Mereka langsung melakukan peng-geledahan terhadap semua yang ada di Istana Telaga Mas dan sekitarnya. Namun mereka tak juga dapat menemukan tanda-tanda adanya pemberontakan yang menyusup di istana.
"Penjagaan harus dilipatgandakan!" perintah Patih Arda Denta menegaskan.
"Jelas pemberontak telah menyusup ke dalam istana. Siapa pun yang dicurigai, harus ditangkap untuk ketertiban dan keamanan!" Kini Istana Telaga Mas benar-benar berdarah, meski belum banjir. Tiga nyawa putra Baginda Aji Wardana, menjadi korban. Namun sejauh itu, belum juga didapat tanda-tanda akan terjadi pemberontakan.
***
≡≡≡¦ 8 ¦≡≡≡
Karena bagaimanapun, pembunuh biadab yang diduga orang dalam istana itu tentu ingin menyingkir-kan raja dan permaisuri.
Suasana ruang pertemuan yang dinamakan ruang Inggil Kepanggihan nampak hening.
Tak ada seorang pun yang berani membuka mulut, seperti tercekam perasaan mereka sendiri, setelah kejadian pembunuhan demi pembunuhan melanda putra-putra Baginda Aji Wardana. Apalagi kini baginda nampak bermu-am durja. Kilatan matanya, menggambarkan kemarahan yang terpendam.
Lama suasana ruang Inggil Kepanggilan hening.
Hanya desah napas yang terdengar.
"Istana kini sudah tak aman lagi," kata Baginda Aji Wardana setengah mengeluh.
"Sampai saat ini, belum juga diketemukan tanda-tanda dan jejak si pembunuh biadab itu!" Semua yang hadir pada persidangan itu tak ada yang menyahut. Mereka diam membisu, tak ada yang hendak membuka suara. Baik para sesepuh maupun para pembesar istana, seperti Patih Arya Denta, Senapati Awong Purbo, dan para hulubalang. Mereka yang sebenarnya tahu, pelaku dari pembunuhan-pembunuhan keji itu, membungkam mulut.
"Mungkin benar apa kata Pendekar Gila, kalau Nyi Mas Lindri terlibat di dalamnya," tutur Baginda Aji Wardana kemudian, setelah lama tak ada yang menyahut. Kembali baginda memandangkan matanya ke seluruh dewan sidang yang hadir. Tetapi semuanya kembali hanya diam, malah menundukkan kepala, ketika baginda menatap pada mereka.
"Kenapa diam" Kalian sudah seperti kerbau dicocok hidungnya" Kalian sebagai prajurit, tak ubahnya seperti kerbau-kerbau dungu!" dengus Baginda Aji Wardana antara marah dan panik.
Para prajurit tetap diam dan hanya tertunduk mendengar kemarahan sang Baginda.
"Bawa pemuda gila itu ke tempat sidang!" perintah Baginda Aji Wardana pada prajurit pengawal.
"Daulat, Baginda," kedua prajurit pengawal menyembah, kemudian melangkah meninggalkan ruang sidang.
Wajah Baginda Aji Wardana kini benar-benar diliputi ketakutan dan rasa cemas.
Dia bagaikan menerima siksaan batin yang sangat kuat. Namun, Baginda Aji Wardana sadar, kalau sampai dia jatuh sakit, tentunya para pemberontak akan dengan mudah merebut singgasana kerajaan. Pemberontak mungkin akan mengumumkan pada rakyat, bahwa raja mereka dalam keadaan tak berdaya dan anak-anaknya terbunuh.
Baginda Aji Wardana tak ingin kejadian itu berlangsung di kerajaannya. Hatinya tak ingin Istana Telaga Mas dikuasai orang-orang yang tak ber-tanggung jawab. Orang-orang yang akan menyalah-gunakan tanggung jawab dan wewenang.
Sebenarnya Baginda Aji Wardana juga mau turun tahta. Namun karena dipandangnya belum ada yang pantas untuk menggantikan dirinya, maka tetap dipegangnya tampak pimpinan kerajaan.
Dua orang prajurit yang diperintah untuk mengambil Pendekar Gila dari tahanan bawah tanah, telah kembali dengan wajah nampak tegang. Hal itu membuat Baginda Aji Wardana mengerutkan kening.
"Mana bocah itu?" tanya Baginda Aji Wardana.
"Pendekar itu menghilang, Gusti."
"Apa"! Apakah kau tak berdusta, Prajurit" Mana mungkin di penjara bawah tanah dapat lepas!" bentak Baginda Aji Wardana semakin marah, "Apakah telah kalian periksa, mungkin pemuda itu merusak sesuatu?"
"Ampun, Baginda! Tak ada kerusakan sekecil apa pun. Anak muda itu benar-benar menghilang," jawab kedua prajurit itu setelah menyembah lagi.
Terbelalak semua mata yang ada di tempat sidang mendengar laporan kedua prajurit. Baginda Aji Wardana semakin tegang, Pikirannya kini ber-kecamuk dengan rasa takut yang mendera jiwanya.
"Mungkinkah pendekar itu juga pemberontak?" tanya Baginda Aji Wardana dalam hati bimbang.
"Ampun, Baginda Yang Mulia! Hamba rasa, pelaku pembunuhan itu Pendekar Gila." Senapati Awong Purbo, berusaha mengambil kesempatan baik itu untuk mengecohkan pikiran Baginda Raja Aji Wardana yang semakin kacau dan bimbang.
"Hm, kalau memang benar dia bisa menghilang, kurasa benar apa katamu, Senapati.
Cari pendekar itu, tangkap hidup atau mati!" perintah Baginda Aji Wardana.
"Daulat, Baginda Yang Mulia. Hamba pamit mundur," pinta Senapati Awong Purbo sambil menyembah. Kemudian segera meninggalkan ruangan sidang. Sang Baginda yang duduk di atas singgasananya tampak hanya mengangguk. Sedangkan para sesepuh duduk diam di samping kanan dan kirinya.
Patih Arya Denta duduk di sisi para sesepuh istana. Sedangkan para hulubalang dan petinggi istana, duduk bersila di bawah.
"Paman Patih, Bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Baginda Aji Wardana menatap wajah patihnya.
"Ampun, Baginda! Hamba rasa Baginda harus berhati-hati. Jelas sekali, kalau para pemberontak telah menyusup dalam istana. Bahkan mungkin, para prajurit sebagian besar telah ditutup mulutnya agar tak memberitahukan pada kita," tutur Patih Arya Denta. Baginda Aji Wardana mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui ucapan patihnya.
"Ki Gede Mundu, bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Baginda Aji Wardana kepada penasihat-nya.
"Ampun, Baginda! Menurut hamba, apa yang dikatakan Paman Path benar adanya.
Baginda harus hati-hati, jangan terlalu sering mengadakan pertemuan seperti ini! Karena mata-mata musuh, mungkin akan mendengar dan melaporkan pada pimpinan pemberontak."
"Baiklah, sidang kububarkan," Baginda Aji Wardana pun menutup pertemuan itu, setelah merasa ucapan Patih Aya Denta dan Ki Gede Mundu dianggapnya benar.
Mereka pun segera meninggalkan ruang sidang untuk kembali bekerja pada tempatnya masing-masing.
***
Bulan sabit tampak berada di langit sebelah barat.
Angin malam bertiup semilir basah, membawa rasa dingin. Para prajurit tampak masih berjaga-jaga di sekitar Istana Telaga Mas. Mereka kini dilipatgandakan jumlahnya, agar sewaktu-waktu terjadi pemberontakan mereka telah siap.
Di kejauhan lolongan anjing hutan terdengar menyayat, terasa kian mencekam.
Angin terus menghembuskan hawa dingin yang menusuk tulang sum-sum. Juga membawa rasa kantuk. Para penjaga masih berusaha menahan rasa kantuk yang menyerang mata, ketika tiba-tiba terdengar suara pekikan dari luar benteng istana.
"Serbuuu...!"
"Seraaang...!"
"Singkirkan raja tua tak berarti ituuu...!" Para prajurit segera bersiap. Mereka langsung menabuh kentongan untuk membangunkan prajurit lain. Namun para prajurit yang bermunculan dari belakang istana tiba-tiba menyerang dan membunuh prajurit jaga. Hal itu mengakibatkan suasana makin kacau. Banyak prajurit istana yang masih setia pada Baginda Aji Wardana tersentak kaget, melihat teman-teman mereka banyak yang memihak kepada pemberontak.
"Bedebah! Rupanya kalian pemberontak yang telah menyusup ke istana!" dengus para prajurit yang setia pada Baginda Aji Wardana. Kemudian dengan gagah berani tanpa merasa takut sedikit pun, prajurit pengikut Baginda Aji Wardana menghadang serangan dari luar dan dalam.
"Hea!"
"Tumpas pemberontak...!" teriak Patih Arya Denta yang baru bangun dari tidur, karena kaget mendengar teriakan para prajuritnya.
"Patih keparat! Aku lawanmu!" tiba-tiba Senapati Awong Purbo menghadang. Hal itu membuat Patih Arya Denta membelalakkan mata.
"Keparat! Rupanya kau pun biang pemberontak, Senapati! Kubunuh kau! Heaaa...!"
"Hea!" Dengan senjata berupa keris di tangan mereka, kini patih dan senapati saling serang. Pertarungan antara pemberontak dengan pihak kerajaan pun semakin seru.
"Hea!" Trang!' Pekikan-pekikan keras yang ditingkahi dentang senjata berbenturan kian memecah suasana malam. Crab! "Wua!" Pekikan-pekikan pun tak luput mulai terdengar dari prajurit yang gugur. Suasana di alun-alun Istana Telaga Mas yang semula sepi kini hiruk-pikuk dari suarasuara jeritan prajurit dan beradunya senjata.
Pertarungan antara Patih Arya Denta melawan Senapati Awong Purbo berjalan dengan seru. Dengan senjata berupa keris, mereka terus berkelebat saling serang.
"Hea!"
"Yea!" Trang! "Mampuslah, Senapati Keparat!" dengus Patih Arya Denta seraya terus mendesak Senapati Awong Purbo dengan sabetan dan tusukan kerisnya. Senapati muda itu tampak kewalahan dan hanya bisa mengelak.
"Celaka! Matilah aku...!" Pekik Senapati Awong Purbo dalam hati, agak ciut nyalinya menyaksikan serangan-serangan gencar yang dilakukan Patih Arya Denta.
"Tamatlah riwayatmu, Pengkhianat! Heaaa...!" Patih Arya Denta beringas melakukan serangan.
Keris di tangannya berkelebat cepat, menusuk ke dada lawan yang telah terdesak hebat "Mati aku...!" keluh Senapati Awong Purbo dengan mata terbelalak, ketika keris di tangan Patih Arya Denta semakin cepat menusuk ke dadanya. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk dapat mengelakkan serangan lawan yang sangat cepat dan mematikan itu. Sesaat lagi, nyawa senapati pengkhianat itu hampir mati di tangan Patih Arya Denta. Namun, tiba-tiba....
Trang! "Ukh!" Patih Arya Denta terpekik sambil melompat mundur, ketika senjatanya beradu dengan senjata berupa dua bilah pedang kembar di tangan orang asing berhidung betet "Siapa kau"! Kenapa kau ikut campur dalam pemberontakan ini, Orang Asing!" bentak Patih Arya Denta.
"He he he...! Siapa aku sebenarnya, tak jadi masalah. Yang pasti, kau dan rajamu harus disingkirkan!" jawab lelaki berhidung betet yang bernama Takakira dengan mencibirkan bibirnya.
"Keparat, kubunuh kau!" dengus Patih Arya Denta sengit sambil bergerak hendak menyerang. Namun mendadak terdengar teriakan seorang pemuda didahului gelak tawa membahana.
"Hua ha ha...! Paman Patih, biarkan mereka! Adikku yang menghadapi! Kau bantulah baginda menyelamatkan diri!" seru Sena.
Patih Arya Denta dan prajurit yang masih setia pada Baginda Aji Wardana, juga para pemberontak tersentak kaget, mendengar seruan Pendekar Gila.
Apalagi Rama Mangunda serta si Payung Sakti dan Takakira yang telah tahu siapa pemuda itu. Mereka kaget melihat kehadiran Pendekar Gila yang secara tiba-tiba.
"Bukankah dia berada dalam penjara?" tanya Rama Mangunda seperti bertanya pada diri sendiri.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian! Tikus-tikus Busuk! Rupanya kalian mencari mati! Hua ha ha...! Supit, hadapi mereka!" seru Sena sambil terus tertawa terbahak-bahak dengart tangan menggaruk-garuk kepala.
"Baik, Kakang," jawab bocah bersisik ular yang tak lain Supit Songong. Semua orang yang ada di alun-alun istana terbelalak melihat keanehan bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun itu.
"Hadang mereka, jangan sampai mengejar kami, Supit," seru Sena lagi.
"Baik, Kakang. Pergilah bersama Paman Patih! Biar kulabrak orang-orang itu," jawab Supit Songon sambil menyeringai geram menunjukkan lidahnya yang merah dan bercabang. Matanya yang merah membara, menatap tajam para pemberontak di bawah pimpinan Rama Mangunda.
"Ayo Paman Patih, kita tak punya waktu!" ajak Sena. Dengan cepat Pendekar Gila melesat ke istana diikuti Patih Arya Denta.
Takakira dan Senapati Awong Purbo hendak mengejar, tetapi bocah ular Supit Songong telah menghadangnya. Hal itu membuat keduanya tersentak dan mengurungkan niat mengejar Pendekar Gila dan Patih Arya Denta.
"Grrr! Hoarrr...!" Supit Songong mengeluarkan suaranya yang menggelegar, dan memekakkan telinga. Hal itu semakin membuat Senapati Awong Purbo dan Takakira tersentak. Mereka belum sempat melakukan serangan, bocah ular itu telah menyerangnya dengan cengkeraman tangan yang berkuku panjang dan tajam.
"Grrr! Hoarrr!"
"Awaaas...!" Wrt Tangan kecil berkuku runcing berkelebat ke muka kedua lawannya. Mereka tersentak kaget. Cepat-cepat keduanya mengelit ke samping. Kemudian melepaskan pukulan ke tubuh Supit Songong. Namun dengan cepat, bocah sakti itu melentingkan tubuh ke atas. Dan dengan cepat pula, menukik menyerang dengan cengkeraman mautnya.
"Grrr! Hoarrr...!" Kedua lawannya dibuat kalang kabut menghadang serangan-serangan bocah bersisik ular itu. Bocah yang matanya membara seperti api itu terus bergerak cepat menyerang kedua lawannya.
***
Brakkk! Pendekar Gila mendobrak pintu kamar. Saat itu pula Nyi Mas Lindri yang sedang menyerang Baginda Aji Wardana dan istrinya tersentak kaget. Matanya terbelalak, ketika melihat kehadiran Pendekar Gila.
Bukan hanya Nyi Mas Lindri yang kaget atas kehadiran Pendekar Gila. Baginda dan permaisuri pun kaget.
"Pendekar Gila...!" desis mereka barbarengan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan cengengesan dan menggeleng-gelengkan kepala melangkah mendekati Nyi Mas Lindri.
"Pemberontak busuk! Ha ha ha, wajahmu cantik sekali, Nyi! Sayang, hatimu iblis! Kau harus ditangkap! Hi hi hi!" Sena bergerak hendak menangkap Nyi Mas Lindri, tetapi dengan cepat wanita cantik itu mengelak. Kemudian dengan menabrak jendela kamar serta melompati Baginda Aji Wardana, Nyi Mas Lindri melesat keluar.
"Aha, mau lari ke mana kau, Iblis Betina! Hua ha ha...! Maaf, Baginda!" Pendekar Gila melesat mengejar Nyi Mas Lindri.
Seperti tak ingin kehilangan buruannya yang cantik tetapi berhati iblis.
Nyi Mas Lindri ternyata berlari ke alun-alun, bergabung dengan para pemberontak yang dipimpin ayahnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin tertawa terbahakbahak, karena memang itulah yang diharapkan. Dengan begitu, dia dapat leluasa meng- gempur para pemberontak.
"Paman Patih, selamatkan baginda! Biar aku dan Supit Songong yang menghadang mereka!" seru Sena, lalu melesat menuju alun-alun istana. Para prajurit yang masih setia dengan Baginda Aji Wardana serta para sesepuh istana menghadapi para pemberontak yang dipimpin Rama Mangunda.
Pendekar Gila terus melesat dengan cepat, menuju alun-alun yang terletak di depan Istana Telaga Mas. Sementara Patih Arya Denta menyelamatkan baginda dan permaisurinya meninggalkan istana.
"Hua ha ha...! Prajurit yang setia, serang terus! Tikus-tikus busuk itu memang harus dibasmi. Hi hi hi..!" dengan tingkah lakunya yang konyol, Pendekar Gila berjingkrakan sambil menggaruk-garuk kepala.
Dia segera membantu para prajurit dan sesepuh istana yang masih terus berusaha menghadang serangan lawan.
Dengan kehadiran Pendekar Gila dan bocah sakti membuat semangat para prajurit istana yang masih setia pada Baginda Aji Wardana kembali pulih.
Mereka dengan gagah berani, terus berusaha menghadapi lawan.
"Tumpas pemberontak...!"seru Ki Gede Mundu.
"Aha, benar katamu, Ki. Tikus-tikus itu memang harus ditumpas dari muka bumi! Hi hi hi...!" dengan cengengesan, Pendekar Gila bergerak menghadang si Payung Sakti yang sedang mengamuk. Sedangkan Ki Gede Mundu dan keempat sesepuh istana lainnya menghadapi Nyi Mas Lindri dan Rama Mangunda.
Sementara, Supit Songon semakin mendesak kedua lawannya.
"Seraaang...!" perintah Ki Gede Mundu.
Prajurit istana yang semula ciut nyalinya, kini makin bersemangat. Apalagi kini telah hadir dua orang sakti yang patut diandalkan. Seorang pemuda gila dan seorang bocah ular yang sakti. Dalam beberapa gebrakan saja mereka mampu mendesak lawan.
"He he he! Supit, bereskan kedua tikus itu! Hua ha ha...!" seru Sena pada Supit Songong. Sedangkan dia kini bergerak menggempur si Payung Sakti. Tubuhnya meliuk-liuk, bagaikan menari-nari. Sesekali tangannya menepuk ke tubuh lawan.
"Pendekar Gila! Kini akhir hidupmu! Heaaa...!" Si Payung Sakti memutar payungnya dengan cepat, menimbulkan angin yang menderu ke tubuh lawan.
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke atas. Lalu menukik sambil menghantamkan pukulan tenaga dalamnya dengan jurus 'Gila Terbang Mencengkeram' "Hih!"
"Akh!" si Payung Sakti tersentak kaget, mendapatkan serangan yang cepat dan tiba-tiba itu. Tubuhnya bergerak mengelak, tetapi payungnya terhantam pukulan dahsyat Pendekar Gila. Jlegar! "Hi hi hi...! Payung bututmu kini seperti tubuhmu, Nyi!" ejek Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepalanya.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila! Terimalah ajian 'Garang Gati'ku. Heaaa...!"
"Aha, mengapa gergaji kau bawa, Nyi" Hi hi hi...!" Wrt! Angin menderu kencang dari tangan si Payung Sakti. Pendekar Gila tetap diam, kedua tangannya disatukan. Kemudian dengan cepat dihempaskan kedua telapak tangannya ke arah muka.
"Ini untukmu, Nyi! 'Inti Bayu', heaaa...!" Wesss! Segumpal angin kencang menderu keras ke tubuh lawan.
Srt! Jret! "Akh...!" si Payung Sakti terpekik, ketika tubuhnya tersapu angin topan yang keluar dari tangan Pendekar Gila. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala dengan tubuh berjingkrak-jingkrak, menyaksikan tubuh si Payung Sakti terlempar sapuan angin pukulannya.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Nyi! Kenapa kau main burung-burungan"!" ejek Sena terpingkal-pingkal, dengan telunjuk menuding tubuh si Payung Sakti yang terus melayang ke belakang. Tubuh perempuan tua itu baru berhenti, setelah menerjang pepohonan di luar istana.
Brakkk! "Akh...!" Lolongan kematian terdengar memecah malam, ketika kepala si Payung Sakti pecah membentur batang pohon besar.
"Pendekar Gila, aku lawanmu! Heaaa...!" Nyi Lindri melihat ibunya mati, semakin marah. Tangannya kini menyerang Sena dengan pukulan 'Gelap Ngampar'nya. Perempuan cantik berpakaian merah jambu itu penuh nafsu menyerang Pendekar Gila. Wrt! "Uts! Hi hi hi...!"
"Gelap gulitamu masih mentah, Nyi!" ejek Sena sambil meliukkan tubuhnya mengelakkan hantaman ajian 'Gelap Ngampar'.
Kekuatan ajian 'Gelap Ngampar' Nyi Mas Lindri mampu membuat suasana malam bertambah gelap Mendung di langit tiba-tiba menebal.
Awan berarak-arak menutupi langit di atas Istana Telaga Mas.
"Kubunuh kau, Pendekar Gila! 'Gelap Ngampar', yeaaa...!" Wrrr! Pendekar Gila yang diserang dengan ajian sakti 'Gelap Ngampar' malah tertawa terbahak-bahak.
Sepertinya sedikit pun tak terpengaruh pukulan-pukulan yang mendatangkan kegelapan. Malah dengan berjingkrak-jingkraan, Pendekar Gila balas menyerang dengan jurus-jurus gilanya yang aneh dan mengandung kekuatan dahsyat.
Pertarungan keduanya semakin seru. Sementara, para prajurit dan pemberontak yang tengah bertempur merasa keder melihat suasana yang tiba-tiba berubah gelap gulita. Hanya Supit Songong yang masih terus menggempur kedua lawannya.
"Grrr! Hoarrr...!" Wrt! Cakar-cakar tangan bocah bersisik ular itu melesat begitu cepat ke tubuh lawan.
Dan.... Crab, crab! "Wuaaa...!" Senapati Awong Purbo dan Takakira yang tak dapat mengelakkan cengkeraman kukukuku tajam Supit Songong, terpekik keras. Tubuh mereka menggelepar-gelepar dengan leher terkoyak berantakan terkena kuku-kuku tajam Supit Songong.
Kemudian ambruk dengan nyawa melayang.
Melihat kedua lawannya binasa, Supit Songo kini beralih menyerang Rama Mangunda.
Pimpinan pemberontakan itu masih bertarung melawan kelima sesepuh istana yang nampak kewalahan dengan serangan-serangan lelaki tua itu.
Apalagi dengan ajian 'Gelap Ngampar' yang dilancarkan Nyi Mas Lindri, membuat kelima sesepuh istana itu bertambah kalang kabut.
"Grrr! Oarrr...! Aku lawanmu, Pemberontak!" maki Supit Songong seraya bergerak menyerang Rama Mangunda yang tersentak kaget, melihat bocah ular itu tiba-tiba menyerang dirinya dengan cakaran-cakaran mautnya.
"Uts! Celaka...!" pekik Rama Mangunda kaget.
Cepat-cepat tubuhnya dilempar, berusaha menghindar. Namun, Supit Songong kembali memburunya. Hal itu membuat Rama Mangunda kian tersentak kaget, dan terus berusaha mengelak sambil melancarkan serangan-serangan balasan.
"Heaaa...!"
"Grrr! Goarrr!" Supit Songong mengelit, kemudian dengan cepat kembali menyerang.
Di tempat lain, Nyi Mas Lindri semakin ciut nyalinya, melihat banyak korban di pihaknya. Apalagi Pendekar Gila kini bagaikan tak mempan terhadap seranganserangan yang dilancarkannya.
"Celaka! Rama sepertinya juga terdesak. Ah, tak ada pilihan lain, aku harus kabur dari tempat ini," desis Nyi Mas Lindri dalam hati.
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku! Heaaa...!" tangan Nyi Mas Lindri mengambil sesuatu dari balik bajunya. Kemudian dengan cepat melemparkannya ke depan Pendekar Gila, yang tersentak kaget.
Jlegar! Jlegarrr...! Dua kali ledakan dahsyat menggelegar, menyentakkan Pendekar Gila yang langsung melompat ke belakang. Asap tebal mengepul menutupi pandangannya.
"Aha, rupanya kau mau main-main petasan, Nyi!" ujar Sena. Kemudian dengan ajian 'Inti Bayu'nya, disapunya asap tebal itu sampai hilang. Seketika matanya terbelalak, melihat Nyi Mas Lindri telah menghilang dari pandangannya.
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggeleng-geleng kepala. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha, licik sekali kau, Nyi! Hm, ke mana pun kau pergi, akan kukejar. Tapi biarlah, aku harus membantu para prajurit menyelamatkan pemberontak itu," kata Sena sambil melangkah ke tempat para prajurit yang tengah bertempur, Dengan masuknya Pendekar Gila membantu para prajurit yang masih setia pada Baginda Aji Wardana, para pemberontak yang sudah ciut nyalinya karena pimpinanpimpinan mereka kabur dan mati dan dapat didesak.
Sementara itu pula Supit Songong yang meng-gunakan jurus 'Cakar Naga Sakti'nya terus memburu Rama Mangunda. Tangannya bergerak cepat, men-cakar ke muka dan dada lelaki tua itu.
"Grrr! Heaaa...!" Wrt! "Uts! Anak setan!" maki Rama Mangunda sambil bergerak mengelak. Kemudian dengan cepat membalas serangan dengan jurus 'Sapu Buana'.
Tangannya menghentak keras, mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat. Namun Supit Songong bagaikan tak takut. Dengan cepat tubuhnya yang kecil melompat dan terbang, lalu menukik melakukan serangan balasan.
"Grrr! Kau harus mati, Orang Tua! Heaaa...!" Supit Songong melesat cepat ke belakang tubuh Rama Mangunda. Kemudian dengan cepat kedua kakinya hinggap di pundak lelaki tua itu. Lalu secepat kilat, sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu kedua tangan Supit Songong mencengkeram leher Rama Mangunda. Digigit leher itu dengan giginya yang tajam bertaring.
Crab! "Aaakh...!" Rama Mangunda terpekik, dia berusaha menyingkirkan Supit Songong dari pundaknya.
Namun, bocah itu bagaikan tak peduli, terus mencengkeram dan menggigit leher Rama Mangunda. Hal itu membua orang tua itu kelojotan dengan mata melotot. Lalu tubuhnya menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih, sebelum akhirnya ambruk dan mati. Melihat para pimpinannya mati, prajurit pemberontak pun segera menyerah. Mereka segera dilucuti senjatanya, lalu diperintahkan berkumpul di alun-alun istana.
***
Pagi yang cerah, ketika mentari bersinar terang di ufuk timur, di alun-alun istana rakyat berbondong-bondong. Mereka datang setelah mendengar kabar tentang pemberontakan yang dapat digagalkan.
"Hukum gantung saja para pemberontak itu!"
"Penggal saja kepala mereka...!"
"Jangan dikasih ampun...!" Teriakan-teriakan rakyat Kerajaan Telaga Mas yang marah, memecah pagi. Baginda Aji Wardana yang duduk di singgasananya, menitikkan air mata. Sedih, bahagia, serta bermacam perasaan beraduk jadi satu di dadanya. Begitu pula dengan permaisuri tampak bersedih.
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Telaga Mas...!"
"Gantung para pemberontak...!" Rakyat terus berteriak karena marah yang meluap-luap. Bahkan ada beberapa warga yang berusaha memukul prajurit-prajurit pemberontak. Beruntung sesepuh kerajaan dan Patih Arya Denta segera melerainya.
"Mana Nyi Mas Lindri! Gantung saja dia...!"
"Ya, gantung saja!"
"Gantung iblis jahanam ituuu...!" Baginda Aji Wardana masih mengurai air mata.
Berdiri di samping kiri dan kanannya, Pendekar Gila dan Patih Arya Denta. Di samping Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, berdiri bocah kecil yang tubuhnya dipenuhi sisi ular.
"Tenang..., tenanglah, Rakyatku," kata Baginda Aji Wardana setelah lama terdiam.
Rakyat kerajaan pun seketika menurut, tenang dan diam.
"Kita harus bersyukur, karena Hyang Widhi masih mempercaya-kan tampuk kerajaan ini padaku...!"
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Telaga Mas,..!" Teriak rakyat penuh bersemangat, memecahkan Kesunyian yang sekejap terjadi.
"Rakyatku yang kucintai, kita harus berterima kaah pula atas pertolongan Hyang Widhi yang mengutus dua orang pendekar guna menumpas keangkara-murkaan yang melanda kerajaan ini. Dialah Sena Menggala dan Supit Songong. Jika kalian rakyatku tak keberatan, aku bermaksud mengangkat Sena sebagai Senapati di Istana Telaga Mas ini," ujar Baginda Aji Wardana.
"Setujuuu...!" sahut rakyat penuh semangat.
"Hidup senapati baru...!"
"Bagaimana, Sena" Rakyat Telaga Mas, meng-harapkan kau bersedia jadi senapati di Istana Telaga ini," kata Baginda Aji Wardana seraya menoleh pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Baginda! Sungguh suatu kehormatan yang sangat tinggi bagi hamba, mendapat kepercayaan menjadi senapati. Namun, hamba rasa masih banyak yang lainnya.
Apalah artinya hamba yang bodoh dan liar ini. Seorang pengembara yang tak pernah punya arah tujuan. Sekali lagi, hamba mohon ampun, dengan menyesal hamba menolak. Biarkanlah hamba mengabdi pada kehidupan ini. Lagi pula, hamba masih harus menyelesaikan tugas hamba, menangkap Nyi Lindri," ujar Sena dengan rendah hati.
"Ya, kalau memang begitu, kami tak bisa memaksamu, Sena. Yang kuharapkan, bantuanmu, menangkap Nyi Mas Lindri hidup atau mati. Rasanya belum tenang kerajaan ini, jika wanita iblis itu masih berkeliaran," tutur Baginda Aji Wardana.
"Akan hamba usahakan, Baginda. Sekarang juga, hamba mohon pamit!" pinta Sena.
"Doaku dan seluruh rakyat Istana Telaga Mas, menyertaimu, Sena. Bagaimana dengan Anak Supit?" tanya Baginda Aji Wardana.
"Adi Supit, akan kembali ke Pulau Karang Api lewat lorong di penjara bawah tanah," tutur Sena yang membuat baginda tersentak kaget.
"Ampun, Baginda! Sebenarnya dulu bukanlah hamba menghilang. Tetapi Paman Naga Brahma dan Adi Supit-lah yang telah menolong hamba, membuat terowongan yang meng-hubungkan kerajaan ini dengan Danau Sambak Neraka."
"O, begitu...?" ujar Baginda Aji Wardana.
"Bolehkah aku melihatnya?"
"Dengan senang hati, Baginda," jawab Supit.
Mereka pun mengantar Supit Songong ke penjara bawah tanah. Kemudian dengan disaksikan baginda serta yang lainnya, Supit Songong masuk ke penjara bawah tanah. Di situ, Supit Songong membuka terowongan yang tertutup. Lalu masuk ke lubang besar itu. Baginda Aji Wardana melongong bengong melihatnya.
"Wahai rakyatku sekalian! Sejak saat ini, Ki Naga Brahma dan Anakmas Supit Songong, menjadi saudara kita!" sabda Baginda Aji Wardana, "Terowongan ini, sebagai lambang persaudaraan kita."
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Ki Naga Brahma...!" Sejak saat itu, antara Baginda Aji Wardana dan Naga Brahma serta Supit Songong resmi terjalin hubungan persaudaraan. Terowongan bawah tanah yang ada di kerajaan, tetap dipelihara. Bahkan Baginda Aji Wardana memerintah tenaga-tenaga ahli untuk memperbaiki penjara bawah tanah itu sebagai tempat yang indah. Tempat yang akan digunakannya untuk mengadakan pertemuan dengan Naga Brahma atau pendekar golongan putih yang lain.
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
Durjana Berparas Dewa --oo0oo-- Pengkhianatan Joko Galing |