Durjana Berparas Dewa
tanztj
March 15, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
Misteri Gadis Bisu --oo0oo-- Istana Berdarah |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
←≡₪| 1 |₪≡→
Sungai kecil nampak meliuk-liuk seperti ular raksasa, menghiasi Desa Swargadana. Membuat keadaan desa itu bertambah indah laksana surga bagi penduduknya. Penduduk Desa Swargadana sebagian besar mencari nafkah dengan berdagang dan bertani. Wajar kalau desa itu cukup ramai dikunjungi para pelancong. Di samping ingin melihat keadaan pemandangan desa, biasanya mereka juga berdagang di desa itu.
Desa Swargadana dipimpin seorang kepala desa yang cukup disegani. Berbudi pekerti luhur, adil dalam memutuskan segala perkara, juga tidak tamak.
Bahkan sikap rela berkorban bagi kepentingan desa melekat erat dalam jiwanya.
Ki Baya Kitri, nama kepala desa itu. Seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun. Bertubuh tinggi tegap dengan wajah yang selalu mencerminkan kesabaran dan ketenangan jiwanya. Matanya tajam, setajam mata burung elang. Penampilannya sederhana.
Ki Baya Kitri memiliki seorang anak gadis cantik bernama Arum Sari. Kecantikan gadis itu sangat terkenal di seluruh Desa Swargadana. Bukan hanya di desa itu saja kecantikan Arum Sari terkenal, tapi bahkan sampai ke seluruh Kadipaten Blambangkara yang dipimpin Adipati Sepa Waroagung.
Pagi itu langit tampak cerah. Seorang pemuda tampan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun berpakaian ungu, melangkah menyelusuri jalanan di Desa Swargadana. Saat itu telah ramai orang berjalan menuju Desa Swargadana.
Hampir semua orang yang berpapasan dengan pemuda tampan berpakaian ungu itu menghentikan langkah. Mulut mereka berdecak kagum, melihat ketampanannya. Namun, pemuda yang bernama Galapati itu terus melangkah, seolah tak menghiraukan kekaguman semua orang yang melihatnya.
"Ck ck ck...! Tampan sekali pemuda itu," gumam seorang wanita setengah baya berbaju kuning dengan mulut berdecak kagum.
"Kalau aku masih muda, ingin rasanya aku menjadi kekasihnya."
"Iya, ya. Pemuda kok tampan begitu," sambung temannya, wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan kening lebar dan berpakaian merah muda. Galapati tak menghiraukan suara orang-orang yang membicarakan dirinya. Kakinya terus saja melangkah, menyelusuri jalan ranah di Desa Swargadana yang indah dan berudara sejuk. Kini kakinya melangkah ke selatan, menuju rumah Kepala Desa Swargadana. Tak lama kemudian, Galapati telah sampai di depan halaman rumah Ki Baya Kitri. Tampak dua orang berpakaian biru tua dengan wajah garang tengah bercakap-cakap. Rambut mereka yang lebat ditutup kain biru mirip blangkon.
Yang seorang berbadan besar, mukanya dihiasi cambang bauk lebat. Sedangkan yang seorang lagi hanya dihiasi kumis tebal melintang.
"Selamat pagi...!" sapa Galapati.
Kedua orang berbadan tinggi besar yang tentunya pengawal Ki Baya Kitri seketika menghentikan percakapan mereka. Keduanya langsung memandang orang yang menyapa mereka. Kemudian dengan kening berkerut dan menatap tajam wajah Galapati, mereka mendekat "Selamat pagi...!" sahut keduanya hampir bersa-maan.
"Ada apa, Kisanak?" tanya lelaki bercambang bauk. Matanya masih menatap tajam Galapati yang tampak tenang menghadapi kedua orang berwajah garang itu.
"Saya mau bertemu kepala desa," sahut Galapati.
"Kisanak siapa" Dari mana dan ada urusan apa ingin bertemu dengan kepala desa?" tanya Raparata, orang yang berkumis melintang. Galapati tersenyum, masih menunjukkan ketenangan. Meski dua orang yang sedang dihadapi bertampang sangar, nampaknya Galapati tak merasa takut sedikit pun. Sikapnya tenang, bahkan tetap tersenyum. Beruntung wajahnya sangat tampan, sehingga tak segera membuat kedua pengawal Ki Baya Kitri marah. Keduanya seakan terpesona melihat ketampanan Galapati.
"Aku ingin melamar kerja," jawab Galapati.
"Apa kepandaianmu, Kisanak?" tanya Rarapita, lelaki bercambang bauk.
"Tak pantas orang setampan dirimu melamar kerja kasar. Sedangkan di sini tak ada kerjaan yang ringan."
"Apa pun pekerjaannya, aku sanggup. Meski mencari rumput sekalipun, aku sanggup. Karena aku memang sudah terbiasa melakukannya," jawab Galapati berusaha meyakinkan keduanya. Dua orang pengawal Ki Baya Kitri mengerutkan kening. Mata mereka memperhatikan dengan seksama wajah Galapati, seperti tak percaya mendengar jawaban Galapati. Bagaimana mungkin pemuda tampan dengan tubuh yang tak begitu berotot mampu melakukan pekerjaan kasar" Pikir keduanya, masih belum yakin dengan apa yang dikatakan Galapati.
Galapati tersenyum, seperti mengerti apa yang sedang dipikirkan kedua pengawal kepala desa itu.
"Kalian sepertinya menyangsikan tubuhku," gu-mamnya menyentakkan kedua pengawal Ki Baya Kitri.
"Ya. Kami tak yakin, kau akan sanggup bekerja keras," tukas Raparata.
Galapati kembali tersenyum. Kepalanya digelenggelengkan. Lalu setelah menghela napas panjang, dengan bibir masih mengurai senyum dia berkata, "Kurasa, kalian memandang orang hanya dari luar saja."
"Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Rarapita.
"Ya, kalian menganggap hanya kalian yang mampu melakukan pekerjaan berat. Sedangkan orang-orang sepertiku, kalian anggap lemah dan tiada daya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat," sahut Galapati dengan tenang. Bahkan senyumnya semakin mengembang di bibirnya.
"Ada apa, Rarapita?" Tiba-tiba dari dalam terdengar suara berat yang sepertinya keluar dari mulut seorang lelaki tua. Tak lama kemudian, muncul seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap, dan bermata tajam. Namun raut wajahnya menggambarkan ketenangan dan kesabaran. Tentunya lelaki berusia sekitar lima puluh tahun ini tak lain Ki Baya Kitri, Kepala Desa Swargadana.
"Maaf, Ki. Ada seorang pemuda yang hendak melamar pekerjaan di sini," sahut lelaki bercambang bauk yang bernama Rarapita.
"Hm, mana...?" tanya Ki Baya Kitri.
"Itu, Ki," sahut Rarapita sambil menunjuk Galapati yang masih berhadapan dengan rekannya. Galapati tersenyum, kemudian membungkukkan badannya ketika Ki Baya Kitri memandang dirinya. Hal itu membuat kepala desa itu membalas tersenyum, kemudian melangkah mendekati Galapati.
"Kau mau melamar kerja di sini, Bocah?" tanya Ki Baya Kitri.
"Benar, Ki."
"Apa kebisaanmu?"
"Saya tak bisa apa-apa, Ki. Maka itu, menjadi tukang arit rumput pun mau," sahut Galapati. Tindak tanduknya yang penuh rasa hormat, membuat Ki Baya Kitri semakin mengerutkan kening. Lelaki muda itu tampak heran melihat sikap yang ditunjukkan pemuda tampan itu. Tindak-tanduknya mencerminkan kalau dirinya bukan orang bodoh, melainkan cermin jiwa seseorang yang memiliki ilmu serta budi pekerti.
Hm, kurasa dia bukan pemuda sembarangan.
Dari sikap dan tindak tanduknya, jelas dia orang yang berpendidikan serta berbudi pekerti baik. Gumam Ki Baya Kitri dalam hati. Matanya masih memperhatikan secara seksama pemuda tampan di hadapannya. Kepalanya manggut-manggut, seakan sedang mendalami siapa sebenarnya pemuda itu.
"Benarkah kau mau menjadi tukang rumput?" tanya Ki Baya Kitri belum percaya dengan kesanggupan pemuda tampan yang berdiri dengan sikap hormat di hadapannya. Mata lelaki tua itu masih memandang penuh selidik terhadap pemuda itu. Tatapannya seakan hendak memastikan siapa sesungguhnya pemuda tampan itu.
"Benar, Ki. Saya memang ingin bekerja demi mendapatkan sesuap nasi guna melangsungkan kehidupanku," jawab Galapati sambil membungkukkan badan, berusaha meyakinkan Ki Baya Kitri.
Ki Baya Kitri masih memandangi dengan penuh seksama, seperti masih berpikir siapa sebenarnya pemuda itu.
"Hm, baiklah kalau itu yang kau inginkan. Siapa namamu, Anak Muda...?" tanya Ki Baya Kitri.
"Nama saya Galapati," jawab Galapati masih menunjukkan sikap hormat.
"Dari manakah asalmu, Anak Muda...?"
"Saya dari Parang Gumilar, Ki," jawab Galapati.
"Hm.... Baiklah, mulai saat ini kuterima kau menjadi tukang rumput di sini."
"Terima kasih, Ki." Tiga kali Galapati membungkukkan badan, menjura hormat dan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Baya Kitri menerimanya sebagai tukang rumput di rumahnya.
"Raparata dan Rarapita akan menunjukkan tempat tinggalmu. Mereka juga akan memberitahukan padamu aturan-aturan di sini," tutur Ki Baya Kitri.
"Baik, Ki," sahut Rarapita dan Raparata.
"Antar dia ke tempatnya!" perintah Ki Baya Kitri.
"Baik, Ki."
"Galapati, ikut kami!" ajak Rarapita.
Galapati pun menurut, mengikuti kedua pengawal Ki Baya Kitri. Mereka akan menunjukkan di mana pemuda itu harus tinggal dan segala macam kebiasaan, aturan, dan larangan yang berlaku. Pemuda tampan itu tersenyum. Entah apa arti senyumnya.
Kakinya terus melangkah, mengikuti kedua pengawal Ki Baya Kitri menuju belakang rumah.
"Kita tinggal di sini, Gala," ujar Rarapati sambil membuka pintu rumah yang ada di belakang rumah Ki Baya Kitri. Sebuah rumah yang cukup besar. Di samping itu, terdapat sebuah kandang kuda. Di dalamnya ada tiga ekor kuda besar dan kekar.
"Hm...," gumam Galapati tak jelas. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, seperti ada sesuatu yang tengah dicarinya.
"Hal-hal yang tak boleh kau langgar antara lain, kau tak boleh masuk ke rumah induk. Kedua, jangan sekali-kali kau berusaha membuat keributan di sini.
Karena, jika hal itu terjadi, kau akan berhadapan dengan kami," sambung Raparata.
"Hm, baik," sahut Galapati.
"Mari masuk!" ajak Rarapita.
Mereka segera masuk ke rumah itu. Kemudian membereskan barang-barang di rumah yang bakal ditempati Galapati dan kedua pengawal Ki Baya Kitri.
***
"Siapa pemuda itu?" tanya gadis cantik yang tak lain Arum Sari. Dengan wajah tertegun, Arum Sari melangkah mendekati kandang kuda, berusaha melihat dari dekat siapa pemuda tampan itu.
Mara Arum Sari menyipit ketika semakin dekat dengan pemuda tampan itu. Wajah pemuda tampan itu bagaikan wajah Dewa Kamajaya. Elok, bersih, dan bercahaya terang. Seketika hati Arum Sari tergoda ingin berkenalan dengan pemuda itu.
"Hm...," gumam Arum Sari berusaha menarik perhatian, dengan harapan pemuda itu akan menghentikan pekerjaannya dan menoleh padanya. Namun ternyata harapannya sia-sia. Pemuda berpakaian serba ungu yang di kepalanya tertutup kain ungu membentuk sudut ke atas itu, tetap melakukan pekerjaannya tanpa menghiraukan orang yang menggumam.
Bahkan pemuda itu kini bekerja semakin giat.
Gerakan tangannya yang menyikat tubuh kuda, terlihat lincah. Hal itu membuat putri Ki Baya Kitri semakin terpesona melihat ketampanan dan cara kerja pemuda itu. Hasrat hatinya ingin berkenalan dengan pemuda itu kian menggebu. Namun Galapati masih tetap tak acuh. Seakan-akan tak melihat kehadiran Arum Sari.
"Ehem...!" Arum Sari mendehem lebih keras.
Galapati tersentak, seketika dia menghentikan kerjanya. Lalu dengan tersipu-sipu sambil menunduk, Galapati membungkukkan badannya menghormat "Maaf, Den Putri! Hamba tidak tahu," ujar Galapati masih menunjukkan hormatnya.
Tangannya dis- atukan di dada. Kepalanya menunduk, seperti tak berani beradu pandang dengan gadis berpakaian hijau di hadapannya.
"Ah, tak apa...," sahut Arum Sari sambil tersenyum.
"Kau orang baru di sini?"
"Benar, Den Putri."
"Ah, mengapa kau memanggilku begitu" Panggil saja namaku, Arum Sari!" ujar Arum Sari mulai mem-perkenalkan dirinya.
"Rasanya tidak pantas, Den Putri Arum Sari. Bagaimanapun juga, Den Putri anak majikan saya. Manalah mungkin sebagai hamba saya berlaku tak sopan?" tutur Galapati, semakin membuat Arum Sari bertambah mengerutkan kening.
Mata lembut gadis itu memandang tak berkedip pada Galapati. Seakan tak percaya mendengar penuturan pemuda tampan itu. Hm.... Dilihat dari rata caranya dalam berbicara dan bertindak-tanduk, jelas dia bukan pemuda keba-nyakan. Tapi, mengapa dia mau menjadi tukang rumput" Gumam Arum Sari dalam hati dengan mata masih memperhatikan Galapati yang menundukkan kepala.
"Siapa namamu...?" tanya Arum Sari.
"Nama hamba yang bodoh ini Galapati, Den Putri."
"Galapati, jangan kau panggil aku dengan sebutan Den Putri! Aku bukan anak raja. Panggil saja namaku!" pinta Arum Sari dengan bibir masih mengurai senyum.
Ada sesuatu perasaan yang tiba-tiba muncul di hati gadis itu, setelah melihat ketampanan pemuda itu, serta tindak-tanduknya yang sopan dan santun.
Mata Arum Sari lebih jelas menatap penuh rasa kagum pada Galapati. Tatapannya tidak sekadar tatapan seorang majikan pada kacungnya. Tak jemu-jemunya Arum Sari memandang penuh perhatian pada wajah pemuda tampan di hadapannya. Sementara itu Galapati pun tampak mulai mencuri-curi pandang.
"Galapati," desis Arum Sari memanggil nama pemuda tampan yang tanpa disadari telah menyentuh jiwanya.
"Hamba, Den Putri."
"Galapati...," kembali Arum Sari memanggil.
"Hamba, Den Putri," sahut Galapati masih menundukkan kepala, menjadikan Arum Sari gemas. Dia ingin Galapati menatap wajahnya, tanpa membungkuk-bungkuk seperti itu.
"Galapati...," desis Arum Sari lebih keras.
"Hamba, Den Putri," jawab Galapati. Kali ini matanya memandang Arum Sari, sehingga mata keduanya saling bertatapan. Darah Arum Sari berdesir halus, ketika matanya bertatapan dengan mata Galapati.
Mulutnya terperangah, menyaksikan ketampanan wajah pemuda berpakaian ungu itu.
Arum Sari terpaku, mematung dengan mata berkedip, memandang Galapati yang berusaha tersenyum. Perlahan-lahan Arum Sari membuka mulutnya tersenyum malu-malu. Malah kini kepalanya ditolehkan, berusaha tidak melihat tatapan mata pemuda itu.
Ah! Tampan sekali! Bagaikan dewa yang baru turun dari kahyangan! Desis hati Arum Sari dengan masih tersipu malu, membuang muka ke bawah.
Ketika kedua muda-mudi itu tengah terlibat dalam getaran aneh di hati mereka, tiba-tiba terdengar suara Ki Baya Kitri berseru.
"Galapati, siapkan kereta dan kudanya...!"
"Baik, Ki!" sahut Galapati tersentak.
"Arum, kenapa kau di situ" Ayo masuk...!" perintah Ki Baya Kitri memanggil putrinya agar meninggalkan kandang kuda.
"Baik, Rama," sahut Arum Sari.
"Galapati, ku-tunggu kau." Usai berkata begitu, Arum Sari pun segera meninggalkan kandang kuda.
Sementara Galapati hanya terbengong mendengar kata-kata Arum Sari. Kutunggu" Apa maksudnya" Tanya Galapati dalam hati, berusaha memahami maksud ucapan Galapati. Mungkinkah dia.... Ah, kurasa begitu. Galapati tersenyum. Tangannya bergerak cepat, melepaskan ikatan tali kuda yang diminta Ki Baya Kitri. Pikirannya masih terus diliputi bayangan gadis cantik anak Ki Baya Kitri yang baru saja mengatakan hendak menunggu. Meskipun kata-kata itu tak jelas maksudnya, Galapati sudah menduga-duga apa yang sebenarnya dikehendaki gadis itu. Dan hal itulah sebenarnya yang ditujunya. Kedatangannya ke Desa Swargadana dan melamar kerja di rumah Ki Baya Kitri pun sebetulnya hanya kedok belaka. Tujuannya hanya satu, mengambil hati gadis cantik anak Ki Baya Kitri! Setelah melepaskan tali-temali pengikat kereta kuda, Galapati pun segera menuntun kereta kuda itu menuju tempat Ki Baya Kitri berada.
"Ini, Ki."
"Hm, bagus. Tak percuma kau kuterima kerja di sini, Galapati. Tapi perlu kau ketahui, jangan sesekali menggoda anakku. Karena Arum tak pantas bersand-ing denganmu." Ki Baya Kitri segera menggandeng istrinya, membawa naik ke kereta. Tak lama kemudian kuda-kuda itu telah berjalan menghela kereta yang dinaiki tuannya.
"Ck ck ck...! Heaaa...!" Galapati hanya tersenyum kecut mendengar ancaman Ki Baya Kitri, kemudian dia melangkah kembali ke rumah di belakang, tempat dirinya berteduh.
←≡₪| 2 |₪≡→
Dan apa yang diharapkannya, kini terpenuhi. Meski belum sepenuhnya. Namun tanda-tanda keberhasilan telah mulai nampak.
Berawal dari pertemuan di kandang kuda, keduanya merasakan getaran jiwa yang lain. Setiap kali mereka berusaha mengadakan pertemuan dengan secara sembunyi-sembunyi, agar tidak diketahui Ki Baya Kitri dan kedua pengawalnya yang selalu menjaga ke-tat Arum Sari jika Ki Baya Kitri pergi.
Benih-benih asmara terus tumbuh. Di hati Arum Sari benih-benih itu tulus dan agung. Sedangkan di hati Galapati, hanyalah sebagai sandaran sementara.
Malam telah larut dengan kegelapan yang menyelimuti bumi. Angin malam bertiup lembut, membisikkan kesyahduan. Bulan purnama bersinar terang, menampakkan keindahan di langit biru yang cerah.
Sesosok tubuh mengendap-endap, keluar dari rumah belakang. Matanya memandang liar ke sekelilingnya yang sepi. Samar-samar terdengar suara orang bercakap-cakap di depan rumah induk, tempat Arum Sari tidur. Suara itu tentu berasal dari pengawal Ki Baya Kitri yang tengah berjaga-jaga, karena kepala de-sa itu sedang pergi menghadiri perkawinan salah seo- rang warga desa.
Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara gamelan mengalun merdu, berasal dari pesta perkawinan berlangsung. Dan ke tempat itulah Ki Baya Kitri pergi untuk menghadiri dan memberi restu atas perkawinan salah seorang anak warga desanya.
Sosok bayangan ungu terus mengendap-endap, memperhatikan ke tempat pengawal Ki Baya Kitri berada. Kemudian setelah merasa aman, bayangan ungu itu berlari dengan ringan menuju kamar tempat Arum Sari berada.
"Hm, kurasa mereka sedang asyik ngobrol," gumam bayangan ungu yang tak lain Galapati. Matanya diarahkan sesaat ke tempat kedua pengawal Ki Baya Kitri tengah berjaga. Kemudian setelah yakin keduanya tak melihat, Galapati mulai mendekat ke jendela kamar Arum Sari.
Tok, tok, tok...! Pelan sekali suara ketukan jari tangan Galapati ke daun jendela di kamar Arum Sari. Dengan harapan tak terdengar telinga kedua pengawal Ki Baya Kitri.
Jendela terbuka pelan. Lalu nampaklah seraut wajah cantik yang tak lain Arum Sari.
"Ayo masuk!" ajak Arum Sari sambil membentangkan daun jendela lebar-lebar.
"Kau belum tidur?" tanya Galapati.
"Belum. Aku menunggumu, Gala," desis Arum Sari lirih, kemudian membantu Galapati naik ke jendela. Lalu setelah Galapati masuk, pelan-pelan Arum Sari menutup jendela kamarnya.
"Bagaimana kalau ayahmu tahu, Arum?" tanya Galapati.
"Ayah biasanya pulang pagi kalau ada acara begitu. Ayolah, jangan lama-lama!" ajak Arum Sari.
Gadis yang hatinya sudah dilanda gejolak itu tampak tak sabar. Tangannya yang lembut segera membuka pakaiannya. Hal itu membuat Galapati terbelalak, memandangi tubuh Arum Sari yang kini polos tanpa tertutup sehelai benang pun.
Galapati pun segera mendekap tubuh Arum Sari, kemudian dibimbingnya ke tempat tidur. Lalu dengan penuh birahi, digelutinya tubuh Arum Sari.
Keduanya terus bergumul dengan napas memburu dan tersengal-sengal. Desahan-desahan birahi pun mulai terdengar dari kedua mulut mereka yang tubuhnya terus dibasahi peluh.
Sementara di luar, kedua orang penjaga rumah Ki Baya Kitri nampak masih bercakap-cakap. Keduanya masih belum menyadari apa yang sebenarnya kini tengah terjadi di dalam kamar Arum Sari.
"Kalau saja tak ada bocah itu, tentunya kita bisa ikut dengan Ki Baya Kitri, nonton hiburan," gumam Raparata.
"Iya. Padahal Tandak Ki Begol terkenal cantikcantik dan bahenol," sambung Rarapita.
"Ah, udara malam semakin dingin lagi," keluh Raparata.
"Ya, namanya tugas. Kita harus menjalankan dengan sebaik mungkin. Eh, ngomong-ngomong, di mana anak muda itu" Bukankah lebih baik kita ajak ngobrol-ngobrol?"
"Ayo, kita ajak dia!" ajak Raparata.
Keduanya beranjak meninggalkan halaman depan rumah Ki Baya Kitri untuk memanggil Galapati.
Namun, ketika keduanya melintas di samping kamar Arum Sari, seketika keduanya menghentikan langkah.
Mata mereka terbelalak, ketika mendengar suara desah napas dan rintihan-rintihan kenikmatan di dalam kamar itu.
"Hei, suara siapa itu?" gumam Raparata.
"Kurang ajar! Pasti pemuda itu," dengus Rarapita geram.
"Kau periksa rumah belakang! Biar aku menunggu di sini." Raparata segera melesat cepat menuju rumah belakang untuk memeriksa apakah Galapati masih ada atau tidak. Seketika matanya membelalak bercampur marah, setelah tak mendapatkan Galapati di sana.
"Kurang ajar! Ditolong malah lancang memasuki kamar Arum Sari," dengus Raparata. Raparata kembali berlari menghampiri Rarapita yang menjaga di samping jendela kamar Arum Sari.
"Bagaimana?" tanya Rarapita.
"Dia tak ada."
"Kurang ajar! Galapati, keluar kau...!" bentak Rarapita gusar, setelah yakin kalau yang ada di dalam kamar Arum Sari tiada lain pemuda tampan yang bernama Galapati. Dengan geram didobraknya jendela kamar itu. Mata keduanya membelalak, menyaksikan dua sosok tubuh telanjang bulat tengah bergumul di tempat tidur. Seketika mendidih darah kedua pengawal Ki Baya Kitri yang sudah ditugasi untuk menjaga rumah dan melindungi Arum Sari.
"Kurang ajar! Lancang sekali kau, Galapati!" bentak Rarapita marah.
"Kubunuh kau, Pemuda Keparat!" dengus Raparata. Galapati dan Arum Sari tersentak kaget. Kedua- nya buru-buru mengenakan pakaian. Kemudian Galapati berusaha lari melalui jendela dengan melompati kedua orang penjaga rumah Ki Baya Kitri. Wsss! "Bangsat! Kubunuh kau...!" maki Rarapita sambil merundukkan kepala agar tak tersambar tendangan kaki Galapati, yang melesat cepat. Dengan cepat Rarapita mencabut golok di pinggangnya. Srt! Wrt! Rarapita membabatkan goloknya ke arah Galapati yang melesat di atas tubuhnya. Tapi gerakan pemuda itu sangat gesit dan cepat, sehingga luput dari babatan golok lawan.
"Hih!" Galapati bersalto beberapa kali di atas kedua penjaga rumah Ki Baya Kitri. Kemudian dengan tersenyum-senyum tenang, kakinya mendarat di tanah berjarak lima tombak dari kedua pengawal Ki Baya Kitri.
"Ha ha ha...! Kalian rupanya ngiri, ya?" ejek Galapati sambil tertawa bergelakgelak, semakin membuat Rarapita dan Raparata mendengus marah.
"Bedebah! Rupanya dugaanku selama ini benar.
Katakan, siapa kau sebenarnya, Bocah Keparat!" bentak Raparata.
Galapati hanya tersenyum sinis, lalu mencibir bibir, mengejek kedua lelaki bertubuh tinggi besar pengawal kepala desa itu.
"Ha ha ha...! Dasar orang-orang berotak kerbau! Kini aku puas, kalianlah yang menanggung semuanya.
Nah, selamat tinggal," usai berkata begitu, Galapati bermaksud pergi meninggalkan tempat itu, namun dengan cepat kedua pengawal Ki Baya Kitri melesat mengejar.
"Hei, Keparat! Jangan harap kau bisa lari dari si-ni! Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Dengan marah kedua pengawal Ki Baya Kitri melesat mengejar Galapati yang masih tampak tenang. Di tangan keduanya golok terhunus siap dibabatkan ke tubuh pemuda tampan itu. Kini Raparata dan Rarapita telah menghadang, lalu dengan cepat pula keduanya membabatkan golok ke tubuh Galapati.
Wrt! Wrt...! "Eits!" Dengan gesit Galapati mengelak. Tubuhnya dirundukkan, lalu dengan cepat pula diegoskan ke samping. Dan golok kedua lawan pun hanya menderu di sampingnya.
"Hih!" Galapati yang sudah terlepas dari babatan golok lawan, dengan cepat melancarkan tendangan keras disertai membalik tubuh dengan cepat "Heaaa...!" Wrt! Rarapita dan Raparata tersentak menyaksikan tendangan lawan yang sangat cepat. Mata mereka membelalak lebar, dengan cepat mereka melompat mundur mengelakkan tendangan lawan yang keras dan cepat "Eits!"
"Kurang ajar! Rupanya kau memang bukan pemuda sembarangan, Bocah! Tapi jangan harap kau bisa lolos dari Sepasang Golok Gerhana. Yeaaa...!"
"Yeaaa...!"
***
"Buntung lehermu, Keparat!"
"Hih!" Wut! Golok Rarapita menderu. Dengan cepat Galapati mengelak ke samping, kemudian melancarkan satu tendangan kaki kanannya ke lambung lawan.
"Hih!"
"Haits!" Rarapita tersentak kaget, ketika merasakan angin tendangan yang menderu keras ke arahnya. Dari deru angin tendangannya, jelas kalau lawan bukan pemuda berilmu rendah. Paling tidak lawan memiliki tenaga dalam yang sempurna, setaraf dengannya.
Melihat Rarapita terdesak, Raparata pun tak tinggal diam. Dirinya yang menyerang dari belakang segera bergerak dengan tebasan goloknya ke kepala lawan.
"Pecah kepalamu, Bocah Iblis! Hiaaa...!" Wrt! Galapati menarik mundur serangan terhadap Rarapita. Kemudian dengan memutar cepat tubuhnya, tendangan kaki kanan yang cepat dan keras berbalik menyerang lawan di belakangnya. Tubuhnya dimiringkan ke samping kiri sambil menunduk, mengelakkan babatan golok lawan.
Wut! Serangan golok luput, tak mengenai sasaran di tubuhnya. Galapati cepat membalas dengan tendangan keras, menggunakan jurus 'Jangka Maut'. Kakinya menderu begitu cepat, memburu tubuh lawan.
Ke mana lawan lari, kakinya terus mengejar tiada hen-ti.
"Hiaaa...!" Wrt! Raparata terkejut mendapatkan serangan begitu gencar. Kaki lawan yang bergerak bagaikan tak mengenal lelah, terus berkelebat begitu cepat dan keras memburu tubuhnya. Ke mana tubuh Raparata mengelak, kaki Galapati terus memburu.
"Celaka! Ilmu setan...!" maki Raparata kaget sambil terus bergerak mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Galapati yang terus memburu diri-nya. Rarapita yang melihat saudara seperguruannya terdesak, segera melesat menyerang. Golok di tangannya digerakkan bagaikan baling-baling yang berputar cepat, dengan jurus 'Golok Gerhana Mengebut Kabut'.
"Heaaa...!" Wut! Wut! "Hancur tubuhmu, Bocah! Yeaaa...!" Golok di tangan Rarapita berkelebat begitu cepat, membabat dan menusuk ke tubuh lawan. Angin kebutannya terasa menyentak dan menderu keras di atas kepala Galapati.
"Hats! Hih...!" Galapati merundukkan tubuhnya ke bawah, bergerak membalik untuk mengelakkan serangan. Kemudian dengan cepat pula Galapati balas menyerang dengan pukulan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya, kini bergerak memapak serangan yang datang dari belakang. Itulah jurus 'Tarian Jigor Maut'. Sebuah jurus yang menyerupai tarian jaipong. Namun, dari pukulan tangan Galapati, menderu angin yang sangat keras.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
"Hih!" Kedua pengawal Ki Baya Kitri kini mengeluarkan segenap kemampuan mereka untuk dapat mengalahkan pemuda tampan yang kini telah berlaku kurang ajar terhadap tuannya. Golok di tangan mereka menderu keras. Silih berganti menyerang begitu cepat ke tubuh lawan yang terus mengelak, memapak, dan sesekali balas menyerang.
Pertarungan terus berlangsung semakin seru.
Kedua orang pengawal kepala desa itu terus menyerang dengan sabetan-sabetan golok mereka yang cepat dan mengarah pada bagian-bagian mematikan tubuh lawan.
"Heaaa!"
"Yeaaa...!" Wrt! Wrt! "Aits! Hih...!" Dengan cepat Galapati berkelit. Tubuhnya merunduk, lalu dengan meliuk cepat Galapati mengibaskan tangannya ke tubuh lawan. Serangkum angin pukulan pun menderu, menyentakkan kedua lawannya.
"Hih!"
"Haits....!" Keduanya melompat ke belakang, mengelakkan pukulan Galapati. Kemudian kembali menyerang dengan gerakan yang lebih cepat dan keras dalam jurusjurus pamungkas andalan mereka.
"'Cinde Buana Purnama'. Heaaa....!"
"Yeaaa....!" Dengan jurus 'Cinde Buana Purnama' keduanya melesat cepat, membabatkan golok ke tubuh lawan disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Menyaksikan kedua lawannya telah mengeluarkan jurus pamungkas, Galapati segera bergerak mencabut sesuatu dari batik bajunya.
Wrt! Sebuah kipas lebar berwarna ungu kini tergenggam di tangan Galapati. Kemudian dengan jurus 'Kipasan Sayap Kumbang' Galapati memapaki serangan kedua lawannya. Kipas mautnya yang bernama Kipas Iblis Racun Kelabang Ungu digerakkan membentuk putaran cepat.
Wrt! Prak, prak! "Akh...!"
"Heh"!" Rarapita dan Raparata tersentak kaget, lalu melompat mundur. Mata mereka terbelalak kaget, ketika melihat golok di tangan mereka telah patah menjadi dua. Keduanya menatap bengis pada lawan yang tampak tersenyum dan mencibirkan bibir.
"Kini terimalah kematian kalian! Heaaa...!" Wrt! Sring, sring! Kedua pengawal Ki Baya Kitri itu tersentak ketika melihat dari kebutan kipas Galapati, melesat beberapa bilah pisau kecil berkilatan putih memburu mereka. Pisau-pisau itu menyebarkan hawa beracun yang sangat menyesakkan dada.
"Awas!"
"Celaka!" Keduanya melenting dan berjumpalitan di udara, mengelakkan serangan-serangan pisau kecil yang mengandung racun ganas. Mata Rarapita dan Raparata terbelalak lebar, ngeri menyaksikan pisau-pisau kecil yang terus memburu tubuh mereka. Sampai akhirnya.... Jlep, jlep! "Akh...!"
"Aaa...!" Keduanya menjerit. Tubuh mereka terhuyunghuyung ke belakang dengan mata semakin terbelalak lebar. Dua bilah pisau kecil menghunjam di paha dan perut kedua pengawal kepala desa itu.
"Ha ha ha...! Mampuslah kalian!" Galapati tertawa terbahak-bahak. Kemudian tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun, pemuda tampan itu kembali mengibaskan kipas mautnya ke arah kedua lawannya yang sudah tak berdaya.
Wrt! "Kau! Akh...!" keduanya terpekik, lalu ambruk dengan leher tergores hampir putus. Darah mengucur deras, dari goresan di leher mereka.
Galapati tertawa terbahak-bahak, lalu dengan tenang berlalu meninggalkan tempat itu.
"Kakang, tunggu...!" seru Arum Sari mengejar.
"Cuh! Pergi! Aku tak butuh kau lagi. Ha ha ha...!"
"Kakang...!" Arum Sari berusaha memeluk kaki Galapati.
Namun, dengan kasar pemuda itu mendorong tubuh Arum Sari hingga terjengkang dan menangis, meratapi nasibnya yang malang. Kegadisannya telah diserahkan pada Galapati, tapi dirinya kini dicampakkan begitu saja.
←≡₪| 3 |₪≡→
Batinnya seketika gelisah. Pikiran lelaki berusia lima puluh tahun itu, tibatiba tertuju ke rumahnya. Firasat hatinya mengatakan ada sesuatu kejadian buruk di rumahnya.
"Ada apa, Kakang?" tanya Sariti, istri Ki Baya Kitri, melihat kegelisahan suaminya. Perhatian Sariti kini tertuju ke arah suaminya yang semakin kelihatan gelisah. Padahal di tempat itu tandak masih terus main.
Goyangan pinggul para pe-nari tandak yang melenggak-lenggok, cukup menggiurkan. Namun, suaminya seperti tak bergairah sedikit pun untuk turun, menari dengan tandak-tandak yang bahenol.
"Entahlah, Diajeng. Tiba-tiba pikiranku teringat di rumah. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang terjadi di rumah," gumam Ki Baya Kitri.
"Apakah mau pulang, Kakang?" tanya Sariti.
"Ya. Pikiranku tak tenang. Tentu ada kejadian yang tak menyenangkan di rumah."
"Kalau begitu, ayolah kita pulang!" ajak Sariti.
Keduanya segera berpamitan pada tuan rumah.
Keduanya bergegas menuju ke kereta. Tak lama kemudian, keduanya telah meninggalkan tempat perkawinan. Dengan kereta kuda, Ki Baya Kitri dan istrinya menembus keremangan malam menjelang pagi menuju rumahnya.
"Hatiku benar-benar gelisah, Diajeng," kata Ki Baya Kitri sambil menghela tali kuda-kudanya yang terus melaju menembus kegelapan malam.
"Tenanglah, Kakang! Semoga tak terjadi apa-apa di rumah!" kata istrinya berusaha menenangkan sang Suami.
Kuda-kuda itu terus berjalan menarik kereta, menembus malam di bawah keremangan cahaya bulan. Tiba-tiba kuda mereka meringkik, seperti melihat sesuatu di hadapannya. Hal itu membuat Ki Baya Kitri mengerutkan kening. Kemudian dengan mata memandang ke depan. Tampak sesosok tubuh mengenakan pakaian ungu melangkah tenang. Mata Ki Baya Kitri semakin terbelalak, ketika tahu siapa pemuda yang tengah melangkah menyelusuri kegelapan malam.
"Galapati...! Hei, mau ke mana kau?" tanya Ki Baya Kitri dengan mata terbelalak.
"Ha ha ha.... Apa yang kau tanyakan, Ki" Jelas aku akan pergi sesuai kemauan langkah kakiku!" sahut Galapati tanpa rasa hormat sedikit pun. Bahkan kini sikapnya tampak angkuh. Bibirnya mencibir sinis, membuat Ki Baya Kitri mendengus marah.
"Bocah tak tahu diuntung! Ditanya baik-baik, malah menjawab dengan pongah. Minggat kau...!" bentak Ki Baya Kitri marah.
"Ha ha ha...! Itu memang yang kuinginkan, Orang Tua Tolol! Aku memang ingin pergi. Muak aku bersama kalian!"
"Bangsat! Lancang sekali mulutmu! Kau perlu dihajar, Bocah! Yeaaa...!" Ki Baya Kitri yang muak melihat sikap dan mendengar ucapan Galapati melompat menyerang. Hal itu rupanya sudah diduga Galapati, yang dengan cepat dan ringan bergerak mengelitkan serangan.
"Hih! Uts!"
"Kuhancurkan kepalamu yang keras kepala, Bocah! Heaaa...!" Ki Baya Kitri kembali bergerak menyerang. Tangannya menyambar-nyambar dengan cepat ke arah kepala Galapati. Sambaran tangannya mengeluarkan angin pukulan yang keras. Dengan jurus 'Camar Laut Memburu Ikan', Ki Baya Kitri terus menyerang. Lelaki tua itu berusaha tak memberi kesempatan sekali pun pada lawan untuk dapat membalas serangan.
"Yeaaa...!"
"Haits! Hih...!" Setelah dapat melepaskan diri dari serangan Ki Baya Kitri, dengan cepat Galapati balas menyerang.
Tangan dan kakinya bergerak cepat susul-menyusul, menyerang Ki Baya Kitri. Lelaki tua itu tersentak.
"Eits! Celaka...!" pekik Ki Baya Kitri kaget dengan mata melotot, melihat serangan yang dilancarkan pemuda tampan berpakaian ungu itu. Selama ini memang telah diduganya kalau Galapati bukan pemuda biasa. Namun kini Ki Baya Kitri harus membuka mata.
Dugaannya yang mengatakan Galapati bukan pemuda sembarangan, terbukti sudah. Bahkan dirinya dibuat kaget melihat serangan gencar pemuda itu. Gerakangerakan menyerang yang dilancarkan Galapati ternyata dengan jurus-jurus yang tak sembarangan.
"Heaaa...!"
"Haits! Bocah iblis! Siapa kau sebenarnya"!" bentak Ki Baya Kitri setelah berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Galapati.
"Ha ha ha...! Kini rupanya kau baru membuka mata, Orang Tua Dungu! Siapa sebenarnya aku. Yang jelas kau harus mampus di tanganku. Heaaa...!" Dengan jurus 'Tarian Jigor Maut', Galapati bergerak menyerang. Kedua tangannya bergerak laksana menari, memapak sambil memukul dengan cepat ke tubuh Ki Baya Kitri yang bergerak mengelakkan serangan-serangan gencar itu.
Orang tua itu benar-benar tak mengira kalau pemuda tampan berpakaian ungu itu memiliki jurusjurus yang membahayakan. Beruntung gerakannya masih gesit, sehingga serangan lawan yang mematikan dapat dielakkan. Nyawanya yang hampir terancam, kini terlepas dari maut. Tapi bukan berarti jiwanya terus terbebas dari maut yang kini memburunya. Serangan Galapati tak berhenti, terus mendesak dan memburu tubuhnya.
"Heaaa...!"
"Haps!" Pertarungan keduanya semakin seru. Malam yang semula tenang, seketika berubah riuh karena suara-suara jeritan mereka dalam menyerang.
Melihat suaminya kini tampak kewalahan menghadapi lawan, Sariti berteriak-teriak memanggil penduduk desa. Seketika warga desa berdatangan ke tempat pertarungan.
"Tolong...! Tolooong...!" Orang-orang desa yang tengah menonton tandak pun seketika berlarian menuju tempat itu setelah mendengar suara teriakan Sariti. Dengan membawa senjata berupa golok, warga Desa Swargadana memburu ke arah mereka.
"Ada apa, Nyi Lurah?"
"Tolong, Ki Lurah sedang berkelahi," jawab Sariti sambil menunjuk ke arah tempat pertarungan. Seketika warga Desa Swargadana memburu ke asal suara pertarungan itu.
"Tangkap pemuda itu!" seru Ki Baya Kitri setelah melihat warga desanya berdatangan.
"Heaaa...!"
"Cincang...!"
"Tangkap!" Warga desa yang patuh dan sangat menghormati kepala desanya segera menyerbu Galapati. Hal itu membuat Galapati kini harus menghadapi keroyokan warga Desa Swargadana.
Pertarungan semakin seru. Penduduk Desa Swargadana terus merangsek, berusaha menangkap Galapati. Ketika pertarungan tengah berlangsung seru, tiba-tiba dari arah timur tampak seorang gadis berpakaian hijau berlari-lari sambil menangis.
"Arum...! Ada apa...?" tanya Ki Baya Kitri.
"Rama....! Oh, Rama. Arum kini tak ada artinya lagi, Rama...," keluh gadis itu masih menangis.
"Ibu, maafkan Arum...."
"Ada apa, Anakku?" tanya Sariti sambil memeluk tubuh anaknya penuh kasih sayang.
Dibelai-belainya rambut putri satu-satunya itu dengan lembut "Arum telah ternoda, Bu."
"Apa?" terbelalak mata Ki Baya Kitri dan Sariti mendengar pengakuan Arum Sari.
"Siapa yang telah lancang berani menodaimu, Arum?" tanya Ki Baya Kitri dengan amarah yang bera-pi-api. Matanya membelalak lebar penuh amarah. Giginya saling beradu, mengeluarkan suara gemerutuk "Dia..., Galapati...."
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Galapati! Heaaa....!" Ki Baya Kitri yang semakin kalap, melesat dengan keris terhunus. Keris yang mengeluarkan sinar jingga bernama Ki Kebo Werda, berkelebat cepat dan menderu memburu Galapati yang tengah sibuk menghadapi keroyokan warga Desa Swargadana.
"Yeaaa....!"
"Bunuh bajingan itu!" teriak Ki Baya Kitri sambil melesat menyerang Galapati dengan keris pusakanya.
"Heaaa...!"
"Hm...," Galapati yang sudah menduga lawan akan mengeluarkan senjata pusakanya, tanpa sungkan-sungkan lagi segera mencabut kipas mautnya.
Wrt! Sing! Sing...! Jlep! Jlep! "Wuaaa...!"
"Aaa...!" Pekikan kematian seketika terdengar. Lima orang warga desa tersungkur dengan dada tertancap pisaupisau maut itu. Tubuh mereka sesaat mengejang, kemudian ambruk tanpa nyawa dengan mata melotot mengerikan.
"Bedebah! Kubunuh kau, Keparat!" maki Ki Baya Kitri semakin bertambah kalap, menyaksikan bagaimana pemuda itu dengan seenaknya membunuh lima warga desanya.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Trang! "Ukh!" Ki Baya Kitri terpekik kesakitan. Tubuhnya terdorong ke belakang dengan mata melotot tegang. Tangannya tergetar hebat ketika kerisnya berbenturan dengan senjata Galapati. Keris sakti yang bernama Ki Kebo Werda tak berarti menghadapi kipas maut berwarna ungu di tangan pemuda tampan itu.
"Ha ha ha...! Percuma kalian menghadapiku!" teriak Galapati sombong.
Semuanya kini hanya terpaku diam, ketika menyaksikan bagaimana Ki Baya Kitri hampir tergetar menghadapi pemuda tampan itu. Nyali mereka seketika menciut, apalagi setelah melihat lima orang warganya mati mengerikan.
***
Suara tawa itu bagaikan berada di sekitar tempat itu. Pemilik suara seolah-olah ada di mana-mana. Sehingga suara tawa itu terdengar bersahut-sahutan.
"Hua ha ha...! Kasihan sekali, ada tikus tertangkap basah. Hi hi hi...!" suara itu mirip ucapan orang gila, menyindir Galapati.
"Bedebah! Siapa kau"! Keluarlah, tunjukkan mukamu!" bentak Galapati marah, merasa ucapan itu tertuju padanya. Matanya memandang liar ke sekeliling tempat itu. Kipas maut masih tergenggam di tangannya, siap untuk dikibaskan jika ada orang yang berani menyerang.
"Hua ha ha...! Rupanya seperti itu mukamu" Hi hi hi...!"
"Setan! Keluar kau"! Tunjukkan mukamu, Pengecut! Hih...!" Wrt! Swing, swing...! Puluhan pisau-pisau kecil meluncur ke pepohonan di sekitar tempat itu, ketika kipas di tangan Galapati dikibaskan.
"Aha, percuma saja kau membuang-buang mainanmu, Tikus Busuk! Aku ada di belakangmu." Bukan hanya Galapati yang tersentak kaget dengan mata terbelalak, melainkan semua yang ada di tempat itu merasa heran. Mereka benar-benar kaget, karena tak melihat berkelebatnya tubuh pemuda berpakaian rompi kulit ular yang bertingkah laku seperti orang gila.
"Pemuda gila! Siapa kau"!" bentak Galapati sengit, karena merasa pemuda bertingkah gila itu telah turut campur urusannya.
"Hi hi hi...!" Pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila itu tertawa cekikikan sambil menggarukgaruk kepala. Lalu dengan mulut cengengesan, matanya membeliak.
"Aha, siapa diriku, kurasa tak jadi masalah. Yang pasti, penduduk desa ini benar-benar muak dengan tampangmu." Terbelalak mata Galapati mendengar ucapan Sena. Nafasnya mendengus dengan gigi bergemerutuk keras.
"Jangan ikut campur urusanku, Pemuda Gila!" dengus Galapati sengit.
"Aha, aku tak akan ikut campur, kalau tindakanmu tak sewenang-wenang," sahut Sena sambil cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Kemudian diambilnya bulu burung, lalu digunakan untuk mengilik telinganya. Mulutnya semakin nyengir, dengan mata terpejam.
"Benar! Dia harus dihukum...!" seru seorang penduduk desa.
"Dia telah membuat onar di desa ini...!" sambung yang lainnya.
Semakin marah Galapati mendengar penuturan Pendekar Gila. Mulutnya mendengus geram. Dengan mata terbelalak, pemuda tampan itu menatap liar penuh kebencian. Sementara itu Sena masih cengengesan sambil mengorek telinga dengan bulu burung.
"Kurang ajar! Kau mencari mampus, Pemuda Gila! Heaaa...!" Merasa lawan bukanlah orang sembarangan, Galapati kini tak tanggung-tanggung menyerang Pendekar Gila. Kipas mautnya dikibaskan-kibaskan menderu keras, mengeluarkan racun yang sangat ganas.
Wrt! "Haits! He he he...!" Pendekar Gila dengan cengengesan bergerak cepat mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya meliukliuk cepat seperti menari, sesekali tangannya menepuk ke dada lawan. Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Sebuah jurus 'Ilmu Silat Si Gila' yang amat dahsyat. Gerakannya yang seperti orang menari, nampaknya lamban dan lemah. Namun ternyata cukup mengejutkan lawan, maupun orang-orang desa.
"Gila! Jurus apa yang dilakukan pemuda itu?" gumam Ki Baya Kitri dengan mata terbelalak, menyaksikan jurus silat aneh yang dilakukan Pendekar Gila.
"Gerakannya sangat lamban dan lemah. Tapi mampu mengejar gerakan lawan. Benarbenar jurus hebat."
"Heaaa...!" Wrt! Galapati kembali berusaha merangsek dengan kibasan kipas mautnya yang mengandung racun kelabang ungu. Dari kibasan kipas itu, keluar gulungan asap ungu yang memburu Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sena masih cengengesan sambil bergerak meliukkan tubuh. Tangannya sesekali menepuk ke dada lawan. Dia seperti tak terpengaruh sedikit pun oleh asap racun kelabang ungu yang keluar dari kipas maut Galapati. Hal itu membuat Galapati mengerutkan kening, merasa heran menyaksikan lawannya tak terpengaruh asap beracun itu. Padahal kalau orang lain, tentu sudah mati berdiri.
Hei, dia sepertinya tak mempan terhadap racun kelabang ungu yang keluar dari kipas ku! Desis Galapati dalam hati dengan mata melotot, tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Mungkin kurang banyak. Akan ku coba mengerahkan tenaga dalam.
"Heaaa...!" Wrt, wrt...! Kipas maut itu kembali dikibaskan ke arah Pendekar Gila. Kali ini semakin cepat. Asap ungu beracun pun semakin bertambah banyak keluar.
"Haits! He he he...!" Pendekar Gila bergerak meliuk ke samping kanan, dengan tubuh miring. Kemudian dengan cepat tangannya menepuk ke arah dada lawan.
"Hih!"
"Edan!" maki Galapati kaget sambil melompat mundur, ketika angin tepukan tangan lawan begitu keras menderu. Baru angin pukulan saja, Galapati telah merasakan hentakan yang sangat keras dan terasa panas.
"Hi hi hi...! Kenapa diam, Tikus Busuk" Hi hi hi..!" Sena tertawa cekikikan dengan mulut cengengesan.
"Cuih! Jangan kira aku akan kalah olehmu, Pemuda Gila! Heaaa...!" Wrt, wrt! Galapati kembali mengebutkan kipas mautnya ke arah Pendekar Gila. Membelalak mata warga desa melihat kibasan kipas pemuda berparas seperti Dewa Kamajaya itu.
"Hei, dari kipasnya keluar pisau...!"
"Lihat, ada kabutnya...!"
"Awas serangan...!" Warga Desa Swargadana tersentak kaget, mereka berusaha mengelakkan serangan pisau-pisau kecil yang keluar dari kipas maut di tangan Galapati.
Swing, swing...! "Setan! Pengecut..!" maki Sena sambil bersalto mengelakkan puluhan pisau yang meluncur ke tubuhnya. Pisau-pisau itu meleset, tak menerjang dirinya. Tapi, senjata-senjata tajam itu meluncur ke arah warga desa yang tak sempat bergerak menghindar. Hingga....
Jlep, jlep! "Wuaaa...!"
"Akh...!" Jeritan-jeritan kematian seketika terdengar dari sepuluh warga desa. Di dada dan leher mereka tertancap pisau-pisau kecil beracun. Saat itu juga, pemuda berpakaian ungu melesat cepat meninggalkan tempat pertarungan, ketika warga desa sibuk mengelakkan pisau-pisau beracunnya.
"Pemuda gila, tunggulah balasan ku!"
"Kurang ajar! Mau lari ke mana kau, Tikus Busuk!" maki Sena sambil melesat mengejar. Namun mendadak puluhan pisau berkelebatan dan menderu ke arahnya. Swing, swing...! "Hop! Setan...! Dengan berjumpalitan ke atas, tangan Pendekar Gila bergerak cepat, menangkapi pisau-pisau belati yang meluruk cepat di depannya.
Tap, tap...! "Kurang ajar! Hi hi hi...! Mainan anak-anak," Se-na tertawa sambil menggelenggelengkan kepala.
"Ke mana kau pergi, Tikus"!" Pendekar Gila pun segera berkelebat, memburu Galapati. Tak lama kemudian seorang gadis berbaju hijau yang tak lain Arum Sari melesat dengan isak tangis.
"Galapati, tunggulah pembalasanku!" Malam semakin gelap, ketika Ki Baya Kitri dan istrinya serta warga Desa Swargadana mengejar Arum Sari.
"Arum, Anakku! Tunggu...!" seru Sariti.
←≡₪| 4 |₪≡→
"Hoa...!" seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular menggeliat dari tidurnya di atas sebuah cabang pohon.
"Huh, ke mana perginya tikus itu" Cepat sekali." Pendekar Gila menggeliat, bangun dari tidurnya.
Lalu duduk di cabang pohon. Mulutnya nyengir, kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala. Dibenarkan ikat kepalanya yang juga terbuat dari kulit ular.
"Wua! Pulas sekali aku tidur," gumam Sena.
Baru saja hendak turun dari cabang pohon, ketika dilihatnya dari kejauhan lima orang lelaki tua berpakaian jubah warna-warni melangkah ke arahnya.
Wajah mereka menggambarkan ketegangan. Tampaknya ada sesuatu yang tengah mereka masalahkan.
"Aha, ada apa orang-orang tua itu?" tanya Sena pada diri sendiri sambil cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang ke arah lima lelaki tua yang membisu dengan wajah menggambarkan ketegangan.
"Kita tentukan di sini!" lelaki berpakaian merah tua membuka suara. Lelaki ini berusia sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah memutih dengan ikat di atas kepala. Jenggotnya yang panjang telah putih.
"Heh! Kau kira gampang mengatur pertarungan, Gondra!" dengus lelaki berjubah biru yang bernama Ki Gendala. Lelaki ini juga berusia sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya terurai lurus. Dan hidungnya yang mancung berhias kumis putih. Matanya hampir tertutup alis panjang dan lebat "Benar! Menurut perjanjian, kita tak boleh menentukan sendiri-sendiri. Kita harus mencari orang lain untuk dijadikan penilai," sambut lelaki berjubah coklat. Lelaki ini berusia sekitar enam puluh delapan tahun. Rambutnya masih banyak yang hitam.
"Hm.... Bagaimana mungkin di hutan sepi seperti ini kita bisa mencari manusia?" gumam lelaki tua bernama Gondra, yang di tangannya tergenggam senjata berupa sapu lidi bertangkai kayu cendana hijau. Dia lebih dikenal dengan julukan Sapu Buana.
"Hm.... Benar juga. Mana ada manusia di Hutan Jalarak ini?" sambung lelaki berjubah abu-abu yang menggenggam senjata berupa cambuk berekor lima.
Itu sebabnya dia lebih terkenal dengan julukan Cambuk Panca Geni. Kelima ekor cambuknya dapat mengeluarkan api jika dilecut dengan kekuatan tenaga dalam yang sempurna.
"Hm.... Lalu bagaimana kalau tak ada orang yang dijadikan penilai?" tanya lelaki berusia sekitar enam puluh enam tahun yang berpakaian jubah warna loan-ing keemasan. Di tangan lelaki ini tergenggam sebilah pedang yang memiliki tiga lekukan. Pedang itu bernama Pedang Weling Giling.
Melihat kelima lelaki tua itu kebingungan mencari penilai, Pendekar Gila yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku mereka segera melompat turun dari atas pohon.
"Hop! Hi hi hi...!" Kelima lelaki tua itu tersentak ketika tiba-tiba seorang pemuda bertampang gila dengan baju rompi kulit ular telah berada di antara mereka.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya lelaki berjubah merah.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian. Kalian sudah tua seharusnya tinggal memikirkan akherat. Mengapa masih memikirkan hal-hal duniawi" Hi hi hi... Lucu seka-li," gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Lalu dengan seenaknya kepalanya digeleng-gelengkan dengan mulut masih cengengesan.
"Bocah, apa urusanmu" Kami memang sedang mencari penilai. Kalau kau mau, kami akan mengangkatmu menjadi penilai," ujar lelaki tua berjubah coklat. Kening lelaki ini berkerut, begitu juga kawankawan-nya. Mereka heran melihat tingkah laku pemuda di hadapannya yang seperti orang gila.
"Penilai..." Hi hi hi.... Penilai apa?" tanya Sena masih konyol. Matanya dipelototkan. Kemudian nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, Bocah Edan! Jelas pengawas pertarungan yang akan kami lakukan, Tolol!" sentak lelaki berjubah abu-abu.
"Tolol" Hi hi hi..." Kalian rupanya tolol" Ah, kurasa kalian bukan tolol, tapi pikun. Hua ha ha...!" Se-na makin menjadi-jadi konyolnya. Sambil berjingkrakan yang membuat mata kelima lelaki tua itu melotot dengan kening berkerut, Sena menggaruk-garuk kepala.
"Bocah gendeng!" maki lelaki berjubah biru.
"Kalau kau tak mau, pergilah!"
"Pergi" Aha, enak sekali kau mengusirku, Ki. Hi hi hi...! Sejak kapan kau menyewa hutan ini" Hi hi hi...!" Kelima lelaki tua itu kembali mengerutkan kening, menyaksikan kekonyolan pemuda di hadapannya.
Mereka semakin bertambah heran, dan berusaha menduga-duga siapa sebenarnya pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu "Bocah sinting, kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" akhirnya lelaki tua berjubah biru tua bertanya, ketika pikirannya teringat ciri-ciri Pendekar Gila.
"Hi hi hi..! Gila" Ah, rupanya kalian gila. Kasihan, pantas sekali sudah tua kalian mau berkelahi.
Padahal kalian tinggal menunggu ajal. Seharusnya kalian mengabdi pada Hyang Widhi."
"Dasar bocah sinting!" dengus lelaki tua berjubah merah, jengkel.
"Pendekar Gila, bagaimanapun juga kami telah tahu siapa kau sebenarnya. Nah, maukah kau menjadi penilai?" Pendekar Gila nyengir, kemudian dengan tangan menggaruk-garuk kepala mulutnya cengengesan. Kepalanya digeleng-gelengkan, seakan-akan tak percaya kalau orang-orang tua yang seharusnya sudah tak memikirkan keduniawian, masih saja bertingkah seperti orang muda.
"Bagaimana, Pendekar Gila?" tanya lelaki berjubah coklat.
"Aha, baiklah. Tapi, aku mau bertanya dulu pada kalian."
"Tentang apa?" tanya lelaki berjubah biru.
"Apakah kalian melihat pemuda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun mengenakan pakaian serba ungu" Kepalanya terikat kain ungu pula?" tanya Sena.
Kelima lelaki tua itu mengerutkan kening. Mulut mereka seperti terbungkam mendengar pertanyaan Pendekar Gila. Mata mereka menatap wajah Pendekar Gila. Hal itu menjadikan Pendekar Gila turut mengerutkan kening. Kemudian cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kenapa kalian diam?"
"Maksudmu, Galapati?" tanya lelaki berjubah abu-abu.
"Aha, aku tak tahu siapa namanya. Tapi mungkin dia," sahut Sena.
"Kalau Galapati yang kau cari, kami pun sedang mencarinya. Justru karena anak itu kami hendak saling bertarung," tutur Ki Gondra.
"Aha, kenapa kalian hendak saling bertarung?" tanya Sena seraya membelalakkan mata.
"Di antara kami berlima saling menyalahkan."
"Saling menyalahkan" Hi hi hi...! Lucu sekali!"
"Ya. Kami merasa murid kami salah," tutur Ki Gondra yang berjubah merah"
"Kami senantiasa merasa, kalau semua tindakan Galapati disebabkan ketidakbecusan kami mendidiknya."
"Benar. Kami selalu salah-menyalahkan, karena merasa di antara kami berlima ada yang bersalah dalam mendidiknya," sambung Ki Gendala.
Pendekar Gila bengong, mendengar penuturan orang tua itu. Kemudian mulutnya kembali cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hi hi hi.... Lucu sekali kalian. Mengapa hanya karena tikus busuk itu kalian hendak saling bunuh?" tanya Sena, tertarik ingin tahu.
"Karena kami tak mau dituduh sembarangan," sahut lelaki berjubah abu-abu yang terkenal dengan julukan Cambuk Panca Geni.
"Aha, kalau boleh ku tahu, siapa sesungguhnya kalian ini" Dan ada hubungan apa dengan tikus busuk itu?" tanya Sena.
"Aku Gendala," lelaki tua berjubah biru memper-kenalkan diri.
"Aku Gondra," kata lelaki berjubah merah.
"Aku Sandika," tambah lelaki berjubah abu-abu.
"Aku Wilakupa," sambung yang berjubah coklat "Dan aku Karadena," terakhir lelaki berjubah kuning emas.
"Baiklah, tentunya kalian telah mengenal namaku," kata Sena.
"Kini aku ingin tahu, ada hubungan apa kalian dengan Galapati?"
"Kami adalah gurunya," sahut Gendala.
"Aha, jadi kalian gurunya" Kebetulan sekali, aku harus menangkap kalian," kata Sena.
"Sabar, Pendekar Gila. Memang kami gurunya.
Tapi justru kamilah yang kini tengah disibukkan oleh tingkah lakunya. Kami mendidik Galapati dengan il-mu-ilmu yang baik," tutur Sandika.
"Tapi, rupanya watak anak itu sangat buruk. Dia telah membuat semua pendekar menganggap kami tak ada artinya.
Bahkan melebihi sampah!"
"Ya! Semua pendekar menuduh kami yang salah.
Mereka meminta kami agar menyerahkan bocah keparat itu," sambung Karadena.
"Aha, lalu apa maksud kalian hendak saling bunuh?" tanya Sena.
Sesaat kelima lelaki tua itu diam dan saling berpandangan. Napas mereka terasa sangat berat. Wajah mereka seketika berubah muram, seakan merasakan beban dalam batin. Beban jiwa sebagai guru, yang telah membuahkan murid laknat. Mereka sebenarnya sebagai tokoh tua sakti berhaluan lurus. Tapi murid mereka justru bertindak durjana dan menimbulkan petaka.
***
"Aha, kalau kau memang berkenan, ceritakanlah," pinta Sena.
Sesaat orang tua itu terdiam sambil menghela napas panjang-panjang. Kemudian dengan menundukkan kepala sebentar, lalu mendongakkannya ke atas, Ki Gendala mulai menceritakan siapa Galapati sebenarnya.
"Lima belas tahun yang lalu, kami menemukan seorang anak berusia sekitar dua belas tahun. Bocah itu ditemukan ketika kami sedang melakukan perjalanan melintas Bukit Kapuran Kuning. Bocah itu kami temukan bersama seorang mayat wanita yang keadaannya mengenaskan. Nampaknya wanita itu habis diperkosa. Di tempat itu juga kami menemukan kereta dengan dua ekor kuda yang sudah mati. Kami tak tahu, siapa ayah bocah itu. Namun, akhirnya kami ketahui kalau bocah itu tiada lain bocah hasil hubungan gelap. Dan yang telah membunuh ibunya ternyata si bocah itu sendiri yang tak ingin masalahnya terbongkar...."
"Hm, menarik sekali. Lalu, mengapa Galapati bertabiat buruk seperti itu?" tanya Sena.
"Itu yang tidak kami mengerti," sahut Ki Gendala dengan menarik napas panjang.
"Mungkin Galapati dendam" Kami tak tahu. Tapi kalau dendam, sekarang ayahnyalah yang dijadikan pelampiasan dendam.
Hm..., kini dia justru menjadi durjana pemetik bunga," desah Ki Gendala, setengah mengeluh.
"Mulanya Galapati hanya mengatakan ingin kerja. Secara diam-diam dia mencuri sebuah kipas besar, sebuah senjata sakti," tutur Ki Gandra menambahkan.
"Benar. Sungguh kami tak menyangka kalau ilmu yang kami berikan, digunakan untuk kejahatan," sambung Ki Wilakupa.
Pendekar Gila terdiam. Hanya mulutnya yang cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Kemudian kepalanya didongakkan ke atas, menatap langit pagi yang bening.
"Pendekar Gila, kalau boleh kami tahu, mengapa kau mencari murid durjana itu?" tanya Ki Karadena.
"Aha, seperti apa yang kalian katakan. Dia telah membuat petaka di Desa Swargadana. Galapati telah menghancurkan masa depan putri Kepala Desa Swargadana...," tutur Sena.
"Kurang ajar! Jelas bocah itu tak boleh dibiarkan. Celakalah kalau Galapati masih gentayangan!" dengus Ki Sandika. Wajahnya nampak memerah karena marah. Nafasnya tersengal-sengal.
"Jelas, ini salah kalian!"
"Enak saja kau ngomong!" dengus Ki Wilakupa.
"Kaulah yang tidak becus mendidiknya."
"Huh, kau yang memanjakannya!" bantah Ki Sandika.
"Hi hi hi...! Lucu kalian ini. Bagaimana kalian akan menyelesaikan masalah ini, kalau malah saling bertengkar?" tanya Sena.
"Karena dia yang telah memanjakan bocah laknat itu!" dengus Ki Sandika sambil menuding Ki Wilakupa.
"Kurang ajar! Bukankah kau yang selalu membelanya, sehingga anak itu keras kepala!" dengus Ki Wilakupa tak mau kalah.
"Aha, kalian benar-benar seperti anak kecil. Hi hi hi...! Lucu sekali dunia ini.
Semakin tua, kalian malah semakin lucu. Kalian persis anak-anak kecil. Saling menyalahkan," gumam Sena dengan masih cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kurasa, ini bukan cara yang baik menyelesaikan masalah." Kedua lelaki tua yang semula bersitegang dan bahkan telah siap untuk melakukan pertempuran, seketika menghentikan perselisihan itu.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Ki Karadena.
"Aha, kenapa kalian seperti orang bodoh" Jelas kita harus mencarinya," sahut Sena.
"Ya ya ya.... Kau benar, Pendekar Gila. Kita harus segera mencarinya," sambut Ki Wilakupa.
"Memang benar. Bagaimanapun juga, bocah itu harus mendapat hukuman yang setimpal," dengus Ki Sandika.
"Baiklah, Kisanak sekalian. Kini tak ada waktu lagi Kita harus secepatnya mencari Galapati. Kuharap kalian mau membuang perselisihan itu. Carilah murid kalian! Aku pun akan mencarinya. Nah, sampai ketemu lagi." Usai berkata begitu, Pendekar Gila segera melesat meninggalkan kelima lelaki tua berjubah itu untuk melanjutkan perburuannya mencari Galapati.
"Bagaimana dengan kita?" tanya Ki Gendala ingin tahu.
"Kita pun harus mencarinya," sahut Ki Wilakupa "Ayo!" ajak Ki Gendala.
Kelima lelaki tua itu pun segera meninggalkan Hutan Jalarak guna mencari murid mereka yang telah murtad.
***
←≡₪| 5 |₪≡→
Keempat penjaga pintu gerbang itu memegang senjata berupa tombak. Sore itu, Adipati Sepa Woroagung sedang menerima seorang tamu. Tamunya tak lain mertua dan istri keduanya yang bernama Getri Anitia. Di sebuah ruangan besar tempat yang biasa digunakan Adipati Sepa Woroagung untuk menjamu tamu, nampak seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian jingga. Lelaki tua berwajah tenang dan sabar itu tak lain Ki Kayaputaka, mertua Adipati Sepa Woroagung. Wajah lelaki tua itu terhias kumis dan jenggot putih yang tak terlalu tebal. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, Kayaputaka tentunya orang dari rimba persilatan.
Duduk di hadapan Ki Kayaputaka, seorang lelaki bertubuh gemuk dengan kepala agak botak di atasnya.
Hidungnya besar dan bercambang bauk lebat. Dialah Adipati Sepa Woroagung Sang Adipati berusia sekitar lima puluh tahun. Sorot mata yang tajam, mencerminkan kewibawaannya.
Di samping kiri sang Adipati, duduk seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun.
Wajah wanita itu cantik. Matanya yang bening terhias bulu-bulu mata lentik dan alis tipis. Wanita berkulit mulus yang mengenakan kain setinggi dada atau angkin berwarna hijau tua berhias kuning emas itu, tak lain Getri Anitia. Istri kedua sang Adipati, putri Ki Kayaputaka.
"Bagaimana keadaan di perguruan, Rama?" tanya Adipati Sepa Woroagung penuh rasa hormat "Baik Atas doa restu Kanjeng Adipati, kami selalu dalam keadaan sehat, tak kurang satu apa pun...," sahut Ki Kayaputaka.
"Syukurlah kalau begitu, Rama! Kami merasa senang, jika Perguruan Lembah Barada tenang dan maju," ujar Adipati Sepa Woroagung.
"Tentunya Rama datang kemari karena ada keperluan, Kakang," selak Getri Anitia.
"Benarkah begitu, Rama?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
Ki Kayaputaka tersenyum mendengar ucapan anaknya. Sebentar letak duduknya dibetulkan, kemudian setelah menghela napas dalam-dalam, Ki Kayaputaka berkata.
"Apa yang dikatakan istrimu benar, Kanjeng."
"Kalau boleh aku tahu, apakah yang menjadi keperluan Rama?" Kembali Ki Kayaputaka terdiam. Sepertinya ada keraguan di hati lelaki tua itu untuk mengutarakan maksud kedatangannya ke kadipaten. Melihat keraguan mertuanya, Adipati Sepa Woroagung kembali berkata, "Katakanlah, Rama! Dalam keadaan ini, aku adalah menantumu, bukan Kanjeng Adipati," ujar Adipati Sepa Woroagung berusaha meyakinkan sang Mertua.
"Maaf sebelumnya, kalau nanti ucapanku salah," pinta Ki Kayaputaka.
"Tidak apa, Rama. Katakanlah!"
"Baiklah. Sebenarnya aku hanya ingin memohon kesediaan Kanjeng Adipati untuk menerima murid saya bekerja di kadipaten ini saja," kata Ki Kayaputaka seraya menundukkan kepala.
"O, hanya itu. Kukira apa. Baiklah, Rama. Aku akan menerimanya. Kapan murid Rama akan datang?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
"Mungkin lusa," jawab Ki Kayaputaka.
"Baiklah, aku akan menyambut dan menerimanya."
"Terima kasih, Kanjeng. Kalau begitu, aku permi-si."
"Apa tak sebaiknya Rama menginap barang satu malam" Sekalian lusa menyambut kedatangan murid Rama?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
"O, terima kasih. Tentunya dia tak akan datang, kalau belum kuberi kabar. Rama permisi pulang."
"Hati-hati, Rama!" pesan Getri Anitia, "Apakah perlu prajurit, Rama" Untuk mengawal Rama," kata Adipati Sepa Woroagung menawarkan.
"Ah, tidak usah. Terima kasih." Orang tua itu pun berlalu, meninggalkan bangsal kadipaten diiringi anak dan menantunya.
Tak berapa lama setelah keberangkatan Ki Kayaputaka, nampak seorang pemuda berpakaian serba ungu dengan kepala diikat kain membentuk sudut ke atas segitiga berwarna ungu pula melangkah menuju Kadipaten Blambangkara.
Wajah pemuda itu sangat tampan, elok bagaikan wajah seorang dewa yang baru turun dari kahyangan.
Matanya yang bening menambah ketampanan pemuda itu. Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Galapati, semakin dekat dengan pintu gerbang Kadipaten Blambangkara. Di bibir Galapati tersungging senyuman.
Dengan mantap dan tenang kakinya terus melangkah.
"Siapa kau" Dan ada keperluan apa datang kemari"!!" bentak salah seorang dari prajurit jaga di pintu gerbang kadipaten.
"Namaku Galapati. Aku murid Ki Kayaputaka," jawab Galapati.
"Apa maksud kedatanganmu?" tanya prajurit yang lain. Suaranya tak setajam prajurit pertama, karena mendengar jawaban bahwa pemuda tampan itu murid Ki Kayaputaka.
"Aku hendak menyusul guru." Keempat prajurit jaga itu saling pandang, mendengar jawaban pemuda tampan di hadapan mereka. Mereka tak habis pikir.
Bukankah Ki Kayaputaka baru saja berlalu" Bagaimana mungkin pemuda tampan ini tidak bertemu dengan gurunya"
"Anak muda, Ki Kayaputaka baru saja pulang.
Apakah kau tak bertemu di jalan?" tanya prajurit yang berkumis lebat "Ah, benarkah?" tanya Galapati pura-pura kaget.
"Ya!",sahut prajurit berkumis lebat.
"O, rupanya aku berselisih jalan dengan guruku," keluh Galapati.
"Ada apa, Raka?" Tiba-tiba dari dalam terdengar suara Adipati Sepa Woroagung.
"Ampun, Kanjeng! Ada seorang anak muda mengaku murid Ki Kayaputaka!" sahut prajurit berkumis lebat yang dipanggil Raka.
"Apa"! Murid Rama"!"
"Benar, Kanjeng."
"Suruh dia masuk!" Kembali terdengar suara Adipati Sepa Woroagung memerintah prajuritnya agar memberi jalan pada Galapati.
"Silakan masuk!" kata Raka.
"Terima kasih." Dengan bibir mengurai senyum, Galapati melangkah masuk. Seketika matanya tertumbuk pada sepasang mata lembut milik seorang wanita berparas cantik. Wanita itu tak lain Getri Anitia.
Hm.... Inikah yang bernama Getri Anitia" Tanya Galapati dalam hati. Sungguh cantik wajahnya. Tak kusangka, akhirnya kutemukan juga wanita secantik ini.
"Anak muda, apakah benar kau murid Rama Kayaputaka?" tanya Adipati Sepa Woroagung, menyentakkan Galapati dari lamunannya. Sesaat Galapati terdiam. Matanya mencuri pandang ke wajah Getri Anitia yang juga tengah memandang dirinya dengan kening berkerut. Sepertinya wani-ta cantik itu tengah berpikir, mencoba mengingatingat para murid ayahnya.
Dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui Adipati Sepa Woroagung, Galapati berusaha memberi isyarat agar wanita cantik itu menganggukkan kepala jika nanti ditanya suaminya.
"Benar, Kanjeng."
"Siapa namamu, Anak Muda?"
"Galapati, Kanjeng."
"Hm...," gumam Adipati Sepa Woroagung sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian wajahnya menoleh dan memandang istrinya.
"Diajeng, apa benar murid Rama ada yang bernama Galapati?" Getri Anitia terdiam sesaat. Matanya melirik Galapati yang mengedipkan mata. Hal itu membuat Getri Anitia nampak bingung. Darahnya berdesir halus, ketika beradu pandang dengan pemuda itu.
Getri Anitia masih terdiam bimbang. Dia ingin mengatakan tidak. Tapi entah mengapa, setelah menatap wajah pemuda tampan itu, tiba-tiba hatinya terlekat rasa belas kasihan.
Bahkan Getri Anitia merasa takut kalau pemuda itu akan mendapat hukuman.
Bahkan mungkin dihukum gantung.
Kembali Getri Anitia mencuri pandang ke arah Galapati yang menganggukkan kepala.
"Bagaimana, Diajeng" Apakah kau ingat kalau di perguruan Rama ada nama Galapati?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
"Ya. Hamba ingat Kangmas."
"Jadi ada?"
"Benar, Kangmas."
"Hm...," kembali Adipati Sepa Woroagung bergumam tak jelas. Lalu pandangannya kembali tertuju pada Galapati yang masih berdiri menunggu keputusannya.
"Galapati, Rama baru saja pulang. Kedatangannya ke sini, semata-mata untuk meminta padaku agar kau diterima bekerja di sini. Tapi aku belum ta-hu, jabatan apa yang sekiranya cocok untukmu."
"Ampun, Kanjeng Adipati...! Kalau memang diperkenankan, hamba ingin menjadi ketua prajurit di kadipaten ini," kata Galapati, menyentakkan Adipati Sepa Woroagung. Sungguh di luar dugaannya kalau pemuda tampan yang kelihatannya pemuda biasa dan berilmu tidak begitu tinggi, meminta jabatan begitu tinggi. Sedangkan Ki Kayaputaka saja belum tentu sanggup menjabat pimpinan prajurit kadipaten.
"Apakah kau tidak bergurau, Galapati?" tanya Adipati Sepa Woroagung dengan kening berkerut dan mata menyipit. Hatinya sungguh bingung dan tak mengerti mendengar permintaan pemuda tampan itu.
"Tidak, Kanjeng."
"Kau tahu, bagaimana beratnya tugas pimpinan prajurit?"
"Sendika, Kanjeng," jawab Galapati seraya menganggukkan kepala.
"Hm...." Adipati Sepa Woroagung kembali bergumam tak jelas mendengar ucapan Galapati. Matanya masih menatap tajam wajah Galapati, seperti berusaha meyakinkan hatinya akan kemampuan pemuda tampan di hadapannya.
"Galapati...."
"Daulat, Kanjeng."
"Sesungguhnya di sini telah ada pimpinan prajurit. Namun, jika kau mampu mengalahkannya, aku akan menerima permintaanmu," ujar Adipati Sepa Woroagung.
Sebenarnya maksud Adipati Sepa Woroagung hanyalah mau menyingkirkan pemuda ini. Hatinya tak suka dengan apa yang ditunjukkan pemuda itu.
Hanya saja karena Adipati Sepa Woroagung memandang pada mertuanya, maka hanya dengan cara halus bisa menyingkirkan pemuda tampan ini.
Kalau Adipati Sepa Woroagung menyingkirkan Galapati dengan kekerasan, jelas dia tak ingin mertuanya marah. Tapi jika dengan adu tanding melawan Kebo Wulung, bukankah dia bisa bertanggung jawab pada mertuanya" Adipati Sepa Woroagung akan mengatakan kalau Galapati mati dalam ujian. Itu sebabnya dia bermaksud mengadu Galapati dengan Kebo Wulung.
"Bagaimana, Galapati?"
"Hamba sanggup, Kanjeng."
"Hm, begitu...?"
"Daulat, Kanjeng,"
"Baik Bersiaplah di pelajaran!" perintah Adipati Sepa Woroagung.
"Sendika...!" Galapati sekali lagi mencuri pandang ke wajah Getri Anitia yang menjadikan wanita cantik istri Adipati Sepa Woroagung kembali berdesir dadanya. Sesaat kemudian pemuda itu melangkah dengan mantap menuju pelataran. Tenang sekali pemuda itu melangkah.
Sementara itu, hati Getri Anitia semakin bergetar hebat. Wanita itu bingung dan tak mengerti mengapa getaran itu terus melanda hatinya. Tiba-tiba pula ada rasa takut, kalau-kalau pemuda tampan itu akan mengalami kekalahan.
Getri Anitia tahu persis siapa Kebo Wulung. Seorang tokoh persilatan yang sakti dan kejam. Kebo Wulung tak pernah melepaskan lawannya dalam keadaan hidup. Itu sebabnya selama puluhan tahun, Kebo Wulung masih memegang pimpinan prajurit dan belum terkalahkan. Di samping itu, Kebo Wulung juga teman dekat Adipati Sepa Woroagung. Tentunya sang Adipati akan membelanya, jika keadaan memang mendesak.
Kini, seorang pemuda yang kelihatannya tak memiliki kepandaian tinggi dan mengaku murid Ki Kayaputaka telah dengan berani menantang Kebo Wulung. Bukankah pemuda itu hanya mencari mati saja" Pikir Getri Anitia, antara cemas dan berharap pemuda itu segera membatalkan kesanggupannya.
Galapati tak mencabut ucapannya. Bahkan semakin bertambah mantap melangkah ke pelataran Hal itu membuat hati Getri Anitia bertambah was-was. Entah mengapa, sejak pandangan pertama, hatinya merasakan sesuatu keanehan. Getri Anitia begitu terpesona melihat ketampanan pemuda itu.
Adipati Sepa Woroagung dan Getri Anitia serta dua dayang melangkah menuju tempat duduk yang disediakan khusus untuk menyaksikan pertarungan.
"Prajurit...!" seru Adipati Sepa Woroagung memanggil para prajuritnya yang tengah berkumpul di bangsal prajurit Seketika dari bangsal sisi kanan bangunan utama kadipaten, bermunculan puluhan prajurit lengkap dengan senjata. Mereka langsung menghadap Adipati Sepa Woroagung dan menyembah.
"Buat lingkaran!"
"Daulat, Kanjeng!" Tanpa diperintah dua kali, puluhan prajurit itu langsung membuat lingkaran. Sedangkan Kebo Wulung kini berdiri di samping tempat duduk Adipati Se-pa Woroagung. Lelaki bertubuh tinggi tegap dan bermata tajam itu bersidekap. Wajahnya yang garang dengan cambang bauk dan hidung besar menatap penuh kebencian pada Galapati. Napas Kebo Wulung mendengus keras. Mulutnya menyeringai sinis.
"Kuremukkan batok kepalamu, Bocah Sombong!" dengus Kebo Wulung sambil memukul-mukulkan kepalan tangannya ke telapak tangan yang lainnya.
"Kau rupanya mencari mampus!"
"Kebo Wulung, seperti apa yang tadi kukatakan, jika pemuda itu mampu mengalahkanmu, maka dialah pengganti mu. Kau mengerti, Kebo Wulung?" tanya Adipati Sepa Woroagung sambil mengedipkan mata pada Kebo Wulung memberi isyarat Getri Anitia yang mengerti isyarat suaminya, semakin berdebar jantungnya. Rasa cemas dan takut kalau Galapati tewas di tangan Kebo Wulung, membuatnya gelisah. Bahkan keringat dingin kini telah membasahi keningnya.
"Daulat, Kanjeng. Akan kuremukkan batok kepalanya yang sombong itu!" dengus Kebo Wulung murka.
"Kau telah siap, Galapati?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
"Hamba telah siap sejak tadi, Kanjeng. Ingin sekali hamba melabrak kerbau dungu itu," ujar Galapati sinis dengan suara sombong.
Kebo Wulung tentu saja bertambah geram. Tak sabar menunggu pertarungan dimulai.
"Sombong kau, Bocah! Bersiaplah untuk mampus!" geram Kebo Wulung. Matanya semakin tajam, penuh bara api amarah terhadap Galapati.
"Kalian tak perlu sesumbar yang tidak-tidak.
Yang penting, kalian harus bisa mengalahkan lawan.
Karena siapa yang menang, dialah yang akan menjadi pimpinan prajurit," ujar Adipati Sepa Woroagung.
"Nah, mulailah!" Mendengar perintah itu, Kebo Wulung yang sudah marah sejak mendengar ejekan dan tingkah laku Galapati langsung melesat, menggebrak dengan serangan dahsyat "Jaga kepalamu, Bocah! Heaaa...!" Dengan jurus 'Tanduk Kerbau Menjegal Nyawa', Kebo Wulung bergerak menyerang. Kedua tangannya mengepal, bagaikan sepasang tanduk Kemudian silih berganti menyerang dengan pukulan-pukulan keras disertai tenaga dalam. Deru angin pukulannya saja mampu menyentakkan lawan.
"Haits! Hih...!"
"Yeaaa!" Melihat lawan menyerang dengan jurus andalan, tanpa sungkan-sungkan Galapati pun langsung memapaki serangan lawan dengan jurus andalan yang bernama 'Tan Jidor Maut'.
"Yeaaa...!" Kedua tangannya bergerak laksana menari. Satu di belakang, satunya menyerang ke depan begitu cepat dan beruntun. Tubuhnya agak merendah dengan salah satu kaki setengah ditekuk. Gerakannya mirip tarian jaipongan. Namun hentakan-hentakan tangannya yang menyerang ke depan diikuti tenaga dalam yang sempurna, hingga menimbulkan angin pukulan menderu keras.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Kebo Wulung memajukan tangan kanannya, menyeruduk dengan pukulan keras. Namun, dengan cepat Galapati berkelit ke samping. Tubuhnya agak merunduk. Kemudian dengan cepat pula, pemuda tampan itu balas menyerang dengan hentakan punggung tangan kanan ke dada lawan.
Wrt! "Heits! Hih...!"
"Heaaa...!" Dengan gerakan memutar, Kebo Wulung melancarkan sapuan kaki kanannya mengarah ke kaki Galapati.
"Haits! Hap!" Galapati segera melompat ke atas menghindari sapuan kaki lawannya.
Kebo Wulung cepat menarik tangan kanannya.
Lalu segera memiringkan tubuh ke samping, membentuk setengah lingkaran. Tangan kirinya dihentakkan, membentuk siku dari bawah ke atas, menangkis hentakan tangan kanan lawan. Kemudian dengan gerak memutar, Kebo Wulung melancarkan sapuan kaki kanannya mengarah ke kaki Galapati.
"Heaaa...!"
"Haits! Hap!" Bergantian keduanya saling menyerang dengan pukulan dan tendangan yang disertai tenaga dalam.
Gerakan tubuh mereka begitu cepat. Sehingga tubuh keduanya tampak tak jelas. Kini yang tampak hanya bayangan warna pakaian mereka. Bayangan ungu dan biru tua berkelebat saling serang. Kedua bayangan itu berusaha mendesak lawan dengan serangan-serangan dahsyat dan mematikan.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!" Wut! Semua mata yang menonton, melotot tak berkedip menyaksikan pertarungan seru itu. Pelataran kadipaten yang semula rapi dan bersih, kini berantakan.
Rerumputan berserakan terinjak-injak kaki mereka.
Suasana yang tenang pun terpecah oleh pekikanpekikan dari keduanya yang bertarung, maupun dari para prajurit yang menyaksikan
***
←≡₪| 6 |₪≡→
Meski begitu, tak menghambat keduanya untuk tetap bertarung.
"Heaaa...!"
"Yeaaa....'" Galapati kini bergerak dengan jurus 'Tari Tipak Tilu'. Sebuah gerak gabungan antara tangan dan kaki.
Tangan Galapati menyilang membentuk gunting. Kakinya pun melakukan hal yang sama, saling menyilang. Kemudian dengan tangan dibuka mengembang ke samping, kaki kiri pun ditarik ke samping membentuk siku.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Melihat lawan membuka serangan dengan jurus baru, Kebo Wulung pun segera mengeluarkan jurus yang tak kalah hebatnya. Jurus 'Kerbau Menanduk Gunung' yang merupakan jurus pamungkas mulai digerakkan! Kedua tangannya menggenggam, kemudian digerakkan dari bawah ke atas laksana menanduk. Disusul dengan pukulan keras kedua tangan lurus ke depan. Kedua kakinya pun bergerak, merentang lebar, lalu ditarik dan diletakkan ke depan.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Keduanya kembali bergerak, berusaha saling mengalahkan. Dengan jurus-jurus andalan, tangan mereka bergerak cepat melakukan serangan. Galapati menepiskan tangan kanan dengan tepukan pertama.
Disusul dengan gerakan tangan kiri menepuk, begitu seterusnya secara beruntun.
Kebo Wulung pun tak kalah diam. Tangan kanannya dihentakkan dari arah bawah, membentuk siku mengarah ke wajah lawan. Lalu disusul dengan tangan kirinya, memukul lurus ke dada lawan.
Plak! "Hih!"
"Ahhh...!" Secara bergantian menyerang dan menangkis keduanya terus bergerak menyerang. Hal itu membuat para prajurit yang menyaksikan semakin tercengang.
Adipati Sepa Woroagung berdecak kagum. Tak menyangka kalau Galapati yang masih muda dan kelihatannya belum berpengalaman ternyata mampu mengimbangi setiap serangan yang dilancarkan Kebo Wulung. Apalagi selama ini mereka mengenal Kebo Wulung sebagai kepala prajurit yang ganas dan tak pernah terkalahkan.
"Ck ck ck...! Sungguh pertarungan yang hebat.
Pantas Galapati berani sesumbar. Ternyata pemuda itu patut diperhitungkan," gumam Adipati Sepa Woroagung sambil menganggukanggukkan kepala.
Sementara Getri Anitia yang hatinya telah terpaut pada ketampanan Galapati, kini berharap pemuda itu dapat mengalahkan Kebo Wulung. Entah mengapa, hatinya bersorak girang melihat Galapati mampu mengimbangi serangan-serangan yang dilancarkan Kebo Wulung. Rasa cemas akan kekalahan pemuda itu, seketika lenyap, berganti dengan rasa kagum. Bibirnya mengurai senyum.
Senyum yang penuh arti.
Sementara, Kebo Wulung terbelalak kaget ketika mengetahui tenaga dalam lawan ternyata mampu mengimbangi tenaga dalamnya. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan, untuk menarik tangannya yang dalam cengkeraman tangan Galapati.
"Hih...!" Bret! Akibat tarikan disertai tenaga dalam yang kuat, seketika itu juga daging tangan Kebo Wulung terkelupas. Darah mengucur keluar dari luka besetan itu.
Semua mata terbelalak, tak percaya menyaksikan kejadian di hadapan mereka. Baru kali ini mereka menyaksikan kulit terbeset oleh cengkeraman tangan.
Tentunya cengkeraman tangan itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang lebih kuat, sehingga mampu membeset kulit tangan lawan.
"Akh...!" Kebo Wulung memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Matanya yang tajam terbelalak, menatap tegang tangannya yang mengucurkan darah.
"Bagaimana, Kebo Wulung" Apakah kau belum mengakui kekalahanmu?" tanya Galapati bertambah congkak. Bibirnya tersenyum sinis, mengejek Kebo Wulung.
"Kurang ajar! Cuih! Jangan harap Kebo Wulung menyerah begitu saja! Mari kita teruskan!" tantang Kebo Wulung. Kemudian tangannya bergerak cepat, menyambar senjata yang tersandar di tembok. Sebuah senjata berbentuk kapak dengan gagang panjang. Kapak besar bermata dua itu telah banyak merenggut korban. Tak ada lawan yang dapat selamat dari kapak itu. Menyaksikan lawan telah mengeluarkan senjata, dengan bibir masih mengurai senyum Galapati pun mulai menarik senjata dari balik bajunya.
Srt! Sebuah kipas besar berwarna ungu kini telah terbuka lebar di tangan Galapati. Dengan senyum sinis, pemuda tampan itu mengipas-ngipaskan senjatanya ke tubuh. Hal itu menjadikan Kebo Wulung bertambah marah, merasa diejek dan diremehkan.
"Cuih! Kau kira kipas butut macam itu akan mampu menghadapi Kapak Mata Malaikat ku," dengus Kebo Wulung.
"Hm, kita buktikan, Kebo Wulung!"
"Cuh! Kubelah kepalamu, Bocah Sombong! Yeaaa...!"
"Yeaaa...!" Dengan kapak besar bermata dua Kebo Wulung kini melesat. Kapaknya diangkat ke atas, kemudian dengan cepat diayunkan ke tubuh Galapati. Namun belum juga kapak besar itu menurun, Galapati telah lebih dahulu menggerakkan kipas mautnya.
Wrt! Swing, swing...! Kebo Wulung tersentak mendapat serangan cepat dan begitu tiba-tiba. Dengan cepat lelaki bertubuh besar itu menarik serangannya. Diputarnya kapak bermata dua membentuk baling-baling untuk melindungi tubuhnya dari ancaman pisau-pisau kecil yang melesat ke tubuhnya.
Trak, trak! Wrt! Trak! "Heaaa...!" Setelah pisau-pisau kecil itu berguguran tersapu kapaknya, Kebo Wulung yang semakin bernafsu, dengan cepat mengayunkan kapaknya.
Wrt! "Haits!" Galapati membuang tubuh ke samping dengan melompat. Kemudian dengan tubuh masih agak miring Galapati balas menyerang dengan kibasan kipasnya. Wrt! Asap ungu bergulung-gulung keluar dari kipas maut. Asap itu bergerak mengejar tubuh Kebo Wulung, membuat lelaki bertubuh tinggi besar dan berwajah garang itu berubah pucat. Matanya terbelalak, setelah tahu asap apa yang keluar dari kipas maut itu.
"Racun Kelabang Ungu...!" Ketika lawan dalam keadaan terkejut menyaksikan racun yang berbentuk asap ungu yang keluar dari kipas mautnya, dengan cepat Galapati melesat. Kemudian dengan cepat pula kipasnya dikebutkan ke leher lawan. Bret! Cras! "Wuaaa...!" lolongan kesakitan seketika terdengar dari mulut Kebo Wulung. Sesaat tubuh lelaki bertubuh besar itu bergetar hebat. Lalu ambruk dengan tubuh membiru. Lehernya terkoyak hampir putus! Tepuk sorak terdengar dari para penonton. Namun, ada di antara mereka yang terdiam, tak senang menyaksikan kejadian itu. Seperti halnya Adipati Sepa Woroagung yang terbungkam dengan mengulum bibir.
Dia mengira Kebo Wulung akan mampu mengalahkan Galapati, ternyata justru keadaannya terbalik. Kebo Wulung harus menerima kematian.
Saat itu juga, pengangkatan pimpinan prajurit dilangsungkan. Senyum mengembang di bibir Galapati, begitu pula dengan Getri Anitia. Keduanya dengan mencuri pandang, berusaha saling mengisyaratkan sesuatu yang ada dalam hati mereka.
***
Kelima lelaki tua sakti yang juga guru Galapati, pagi itu tengah melintasi persawahan di sebelah utara Desa Kembar Pacung, ketika terdengar suara isak tangis seorang wanita.
"Hei, kudengar ada seorang wanita menangis," seru Ki Gendala.
"Hm, benar. Pagi-pagi begini ada suara tangis," ujar Ki Wilatika.
"Bagaimana kalau kita cari?" ajak Ki Gondra.
Kelima lelaki tua itu pun segera menuju asal suara tangis itu. Tak lama kemudian, mereka menemukan seorang gadis berpakaian hijau sedang menangis sesenggukan seorang din di tepi sungai, di sebuah dangau yang ada di persawahan itu.
"Kenapa kau menangis seorang diri di sini, Nak?" tanya Ki Gendala sambil mendekati gadis cantik berpakaian hijau yang ternyata Arum Sari.
Arum Sari menyeka air matanya. Kemudian, dipandanginya kelima orang tua di hadapannya.
"Aku..., aku.... Oh, aku sudah tak ada artinya, Ki!" keluh Arum Sari.
"Heh, apa maksudmu?" tanya Ki Wilakupa dengan kening berkerut "Aku..., aku benci pada pemuda itu. Dialah yang telah menghancurkan masa depanku. Aku ingin mencari seorang guru, agar dapat membalas sakit hatiku," ujar Arum Sari sambil terus terisak-isak "Siapa pemuda yang kau maksud, Nak?" tanya Ki Sandika.
"Galapati, Ki. Dia telah menghancurkan masa depanku. Hu hu hu...!"
"Hhh...! Bocah keparat itu lagi! Ng.... Siapa namamu" Dan dari mana asalmu, Nak?" tanya Ki Karadena.
"Namaku Arum Sari, Ki. Aku berasal dari Desa Swargadana." Terbeliak mata kelima lelaki tua berjubah itu mendengar ucapan Arum Sari. Seketika mereka teringat akan ucapan Pendekar Gila, yang menceritakan kalau putri Kepala Desa Swargadana pun telah menjadi korban Galapati.
"Heh, apa kau putri Kepala Desa Swargadana?" tanya Ki Gendala.
"Benar, Ki. Dari mana kau tahu?" Arum Sari balik bertanya.
"Kami tahu dari Pendekar Gila, bahwa putri Kepala Desa Swargadana telah menjadi korban bocah keparat itu," jawab Ki Wilakupa.
"Ki, tolonglah aku! Tunjukkan padaku, di mana aku dapat menemukan guru yang sakti. Aku ingin membalas dendam pada pemuda biadab itu," pinta Arum Sari.
"Benarkah kau mau berguru?" tanya Ki Gendala.
"Benar, Ki."
"Hm..,," Ki Gendala menggumam tak jelas. Matanya menoleh dan menatap keempat rekannya, sepertinya Ki Gendala bermaksud minta pendapat temantemannya. Mereka mengangguk, menyetujui apa yang direncanakan Ki Gendala.
"Baiklah, Nak. Kami akan mengangkatmu sebagai murid. Kami akan mengajarkan semua ilmu yang kami miliki padamu. Kelak setelah selesai mempelajari semua, kami mengharap kau mau mencari Galapati.
Bocah laknat itu harus ditangkap," ujar Ki Wilakupa.
"Ah..., benarkah?" Arum Sari tersentak gembira mendengar ucapan Ki Wilakupa.
"Ya. Kami terima kau sebagai murid," tegas Ki Gondra.
"Oh, terimalah hormatku, Guru! Akan kulaksanakan perintah Guru." Arum Sari segera bersujud di hadapan kelima lelaki tua berjubah di depannya.
"Bagaimana kalau kita langsung menggembleng bocah ini?" usul Ki Wilakupa.
"Setuju...!" sahut yang lainnya.
"Nah, apakah kau sanggup berlatih sekarang?" tanya Ki Wilakupa.
"Sanggup, Guru," jawab Arum Sari penuh semangat "Baiklah. Kita berlatih sekarang. Nah, ikut aku!" ajak Ki Wilakupa.
Ki Wilakupa mengajak Arum Sari ke tanah lapang yang ada di tempat itu. Sementara yang lain membuat rumah dari kayu dan jerami. Mereka ingin membuat tempat itu sebagai pesanggrahan sementara, selama mencari Galapati sekaligus mendidik Arum Sari. Karena untuk kembali ke perguruan mereka, terlalu jauh bagi Arum Sari.
Mulai saat itu Arum Sari berlatih. Ki Wilakupa memperagakan jurus-jurus ilmu silatnya, sedangkan Arum Sari mengikutinya. Didorong semangat dan dendam dalam jiwanya, Arum Sari dapat mengikuti gerakan ilmu silat yang diperagakan Ki Wilakupa.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Tubuh keduanya bergerak cepat, dalam jurusjurus ilmu silat. Bahkan ketika Ki Wilakupa berhenti, Arum Sari masih terus melakukan gerakan, mempelajari jurus-jurus yang tadi diberikan Ki Wilakupa.
Secara bergantian kelima lelaki tua itu memberikan jurus-jurus ilmu silatnya. Tak jemu-jemunya Arum Sari menerimanya. Semakin lama bahkan gadis itu tampak semakin memperlihatkan semangatnya.
Terus-menerus berusaha keras mempelajari jurusjurus silat dari kelima lelaki tua berpakaian jubah yang telah mengangkat Arum Sari sebagai murid.
***
Dilihat dari pedang dan pakaian yang dikenakan, pemuda itu tentunya orang persilatan.
Pemuda itu bernama Sunatra, murid Ki Kayaputaka yang hendak menuju Kadipaten Blambangkara.
Dia pergi ke sana atas perintah gurunya, yang kemarin lusa datang ke Kadipaten Blambangkara. Sunatra tengah melangkah melintasi Bukit Semut Abang, ketika tiba-tiba dari arah samping kanan berdesing puluhan anak panah.
Swing, swing...! "Hop! Heaaa...!" Sunatra cepat melompat dan bersalto, mengelakkan serangan tak terduga yang meluncur ke arahnya.
Tubuhnya berjumpalitan di udara beberapa kali, sebelum kemudian mendarat dengan mulus di tanah. Tangannya dengan cekatan berhasil menangkap beberapa anak panah. Matanya yang tajam, mengawasi sekelilingnya, berusaha mencari asal serangan itu.
"Pengecut! Keluarlah kalian!" bentak Sunatra sengit Swing, swing...! Jawaban dari seruan Sunatra, berupa puluhan anak panah melesat memburu tubuhnya. Melihat serangan itu, Sunatra kembali melompat dan berjumpalitan untuk mengelak.
"Hop! Kurang ajar! Hih...!" Dengan tubuh masih berjumpalitan di udara, tangannya dengan cepat melolos pedang yang tersandang di punggung.
Srt! "Heaaa...!" Wrt! Trak, trak...! Dalam sekali kebut, puluhan anak panah terbabat pedang dan berpentalan di tanah.
"Pengecut! Keluarlah kalian!" seru Sunatra sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu! Seketika, dari balik semak-semak tak jauh dari Sunatra berada, bermunculan puluhan prajurit Kadipaten Blambangkara yang dipimpin seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian ungu.
"Apa maksud kalian menyerangku"!" tanya Sunatra.
"Kau harus dibunuh!" dengus pemuda berpakaian ungu yang tak lain Galapati.
"Hm.... Antara kita tak pernah terjadi sengketa.
Guru malah menyuruhku untuk menemui Kanjeng Adipati," ujar Sunatra merasa heran dan tak mengerti.
"Untuk apa" Dan siapa gurumu?" tanya Galapati.
"Guruku Ki Kayaputaka."
"Bohong! Rupanya kau hendak menipu kami! Prajurit bunuh dia! Dialah si hidung belang itu...!" se-ru Galapati.
Sunatra tersentak kaget mendengar perintah dan tuduhan padanya sebagai si durjana. Sunatra hendak membantah, tapi puluhan prajurit telah menyerang, hingga dia tak sempat berkata lagi. Hanya ada satu jalan, menghadapi mereka.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Sunatra segera menggerakkan pedangnya dengan jurus 'Badai Mendera Buana'. Pedangnya bergerak laksana badai yang kencang, memapaki serangan golok dan tombak yang dilancarkan para prajurit Kadipaten Blambangkara.
Wrt! Trang! Prak! "Ihhh...!" Dalam sekali sabetan, beberapa senjata di tangan para prajurit itu patah menjadi dua. Kenyataan itu membuat para prajurit terbelalak dan melompat mundur.
"Kurang ajar! Akulah lawanmu! Yeaaa...!" Galapati yang melihat anak buahnya tak mampu mengalahkan Sunatra, segera melesat menyerang pemuda murid Ki Kayaputaka itu. Serangannya tak tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkannya jurus andalannya yang bernama jurus 'Tari Ronggeng Menjerat'. Tangannya bergerak menari, dengan kipas maut berwarna ungunya.
Wrt! Dari gerakan kipas itu, keluar gulungan asap ungu yang melesat mengejar Sunatra. Sunatra tersentak kaget, ketika tahu asap yang keluar dari kipas maut itu.
"Racun Kelabang Ungu..."!" pekiknya sambil melompat mundur, kemudian dengan cepat pedangnya diputar dengan jurus 'Kincir Menyapu Kabut'. Pedang di tangan kanan Sunatra bergerak cepat, berputar laksana kincir.
Wrt! Asap ungu beracun seketika tersapu. Cahaya gemerlap terbias ketika pedang Sunatra berputar begi-tu cepat dan keras.
"Heaaa...!"
"Yeaaa....!" Galapati melesat memburu lawan. Kipas mautnya dikibaskan dengan tenaga dalam penuh. Kemudian dengan secepat kilat dihentakkan.
Wrt! Swing, swing...! Puluhan pisau-pisau kecil terlontar dan melesat.
Sunatra tersentak kaget. Belum sempat dirinya terbebas dari serangan Racun Kelabang Ungu, mendadak harus menghadapi serangan pisau-pisau kecil yang keluar dari kipas besar di tangan lawan.
"Hais! Hih...!" Tubuh Sunatra melompat dengan berjumpalitan di udara, mengelakkan serangan pisau-pisau kecil itu! Pedangnya terus berkelebat cepat, berputar laksana kincir untuk menangkis serangan pisau-pisau kecil, sekaligus menepiskan asap beracun yang juga terus memburu dirinya.
Wut! Wut! "Heaaa...!" Sunatra terus mengelakkan pedangnya sambil berjumpalitan mengelakkan serangan lawan. Dia kini benar-benar kewalahan menghadapi gempuran lawan yang tak henti-hentinya. Serangan lawan begitu terpa-du, antara racun dan asap, pisau-pisau, dan kibasankibasan kipasnya yang begitu cepat dan keras.
"Heaaa...!" Wrt! Wrt! Galapati terus memburu lawan dengan kipas mautnya yang mengeluarkan asap beracun ganas.
Keadaan ini semakin membuat Sunatra bertambah kelabakan. Sampai pada suatu ketika....
Wrt! Swing! Jlep! "Akh...!" Tubuh Sunatra terhuyung-huyung, ketika pahanya tertancap pisau maut Wajahnya memucat dengan mata terbelalak tegang. Tubuh pemuda itu terus limbung ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa tergetar hebat akibat hunjaman pisau beracun itu.
"Ha ha ha...! Mampuslah kau....' Hiaaa....!" Galapati melesat hendak menghabisi nyawa Sunatra. Tubuhnya berkelebat cepat memburu Sunatra.
Kipas maut di tangannya bergerak cepat dan melebar, membentuk mata kapak besar yang siap memenggal leher lawan.
"Hiaaa...!"
"Oh, matilah aku!" keluh Sunatra dengan wajah semakin bertambah pucat Kipas maut itu semakin mendekat ke tubuh Sunatra yang sudah dalam keadaan terdesak hebat. Sesaat lagi, tentunya nyawa Sunatra akan melayang. Tapi....
"Hi hi hi....! Orang jahat! Heaaa....!" Ketika nyawa Sunatra dalam keadaan terancam, tiba-tiba tampak sesosok bayangan pemuda berambut panjang dengan pakaian rompi kulit ular berkelebat dan menghantamkan suling berkepala naga ke kipas maut Galapati.
Wut! Bret! "Akh!" Galapati tersentak. Tubuhnya terdorong beberapa tindak ke belakang. Matanya membelalak, karena pinggir kipasnya rusak akibat berbenturan dengan Suling Naga Sakti di tangan pemuda bertingkah laku seperti orang gila yang tak lain Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Tikus busuk! Rupanya tindakanmu benar-benar busuk! Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kau"!" mata Galapati terbelalak setelah tahu siapa yang telah merusakkan kipas mautnya.
"Hi hi hi.... Mau lari ke mana kau, Tikus Busuk"!" dengus Sena dengan gerak-gerik yang masih seperti orang gila.
"Kurang ajar! Kau harus mampus, Pendekar Gila! Serang dia!" perintah Galapati pada prajurit-prajurit kadipaten, yang seketika itu bergerak menyerang Pendekar Gila.
"Ukh...!" Sunatra mengeluh, merasakan dadanya sakit. Hal itu membuat Pendekar Gila yang hendak memapaki serangan lawan segera mengurungkan niatnya. Dengan bertingkah laku seperti kera, Pendekar Gila melesat ke arah tubuh Sunatra, lalu dibopongnya tubuh murid Ki Kayaputaka itu.
"Hi hi hi...! Kurasa belum saatnya kau ku jitak, Tikus Busuk! Aku harus menolong dia dulu," Sena pun dengan cepat melesat meninggalkan tempat itu sambil memondong tubuh Sunatra.
"Bedebah! Jangan lari...!" bentak Galapati sambil memburu Sena. Namun, Pendekar Gila yang menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu' dalam sekejap telah lenyap dari pandangan. Kini tinggal Galapati yang mencaci-maki seorang diri.
"Kita pulang...!" Prajurit-prajurit Kadipaten Blambangkara menurut, kembali ke kadipaten meninggalkan Bukit Semut Abang.
←≡₪| 7 |₪≡→
"Hi hi hi...! Tahanlah sedikit, Sobat! Kerahkan tenaga murnimu agar kau bisa bertahan sampai di tempat yang aman," pinta Sena sambil terus mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu', yang membuat tubuhnya bagaikan angin melesat kencang.
"Kisanak, kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya Sunatra sambil berusaha menahan jalan darahnya. Tangannya bergerak menotok urat di pahanya yang terkena pisau beracun.
"Hua ha ha...! Terlalu tinggi sebutan itu untuk-ku, Sobat. Ah, hanya orang-orang saja yang menyebutku begitu," sahut Sena masih terus berlari.
"Oh, beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu, Pendekar Gila. Selama ini, aku membayangkan kalau kau sudah tua dengan rambut putih panjang dan jenggot putih." Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Sunatra yang membayangkan kalau dirinya telah tua. Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.
"Tak kusangka, kalau pendekar yang namanya tersohor di tanah Jawa Dwipa ini masih begitu muda.
Seusia denganku," lanjut Sunatra.
Pendekar Gila kembali tertawa sambil terus melesat membawa tubuh Sunatra semakin jauh dari kaki Bukit Semut Abang.
Tak begitu lama kemudian, Pendekar Gila yang masih membopong tubuh Sunatra tiba di sebuah pegunungan. Mereka kini berada di dekat sebuah sungai membentang lebar yang membagi dua wilayah. Itulah Sungai Cipakuyu. Di sebelah timur, tempat kini Pendekar Gila berada merupakan Desa Cipatukan. Sedangkan di sebelah barat, di seberang sungai adalah batas Desa Cibalawa. Sungai itu sangat lebar, tapi tak ada satu pun rakit.
Hm.... Tak ada jalan lain, kecuali dengan ilmu lari di atas air! Gumam Sena dalam hati.
"Hop! Heaaa...!" Enak sekali Pendekar Gila menerjunkan tubuh ke sungai. Mata Sunatra terbelalak, ketika melihat ka-ki Pendekar Gila menapak di atas permukaan air, tak terendam apalagi tenggelam bersama tubuhnya. Itulah kelebihan Pendekar Gila dengan ilmunya yang bernama 'Peringan Raga'. Ilmu yang dapat membuat tubuhnya seringan kapas itu diperoleh dari gurunya, Singo Edan, ketika Sena digembleng di Goa Setan.
Ck ck ck..! Benar-benar pendekar sejati. Segala jenis ilmu dimilikinya. Gumam Sunatra berdecak kagum dalam hati, menyaksikan betapa ringannya tubuh Pendekar Gila melangkah di atas air sungai. Padahal pundaknya memanggul tubuh Sunatra, yang berbadan kekar, sama seperti badan Pendekar Gila. Namun bagaikan tanpa beban barang sedikit pun.
Pendekar Gila melangkah sambil tertawa-tawa.
Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. Sesekali kakinya melompat-lompat, kemudian melejit bagaikan terbang dan hinggap di tepian sungai sebelah barat "Hop!"
"Wuah, baru kali ini mataku terbuka, Pendekar Gila. Sungguh selama ini aku tak tahu tingginya gunung dan dalamnya laut. Rupanya kau benar-benar pendekar sejati," gumam Sunatra memuji.
"Aha, jangan terlalu memujiku, Sobat! Tingginya gunung, tentu masih ada yang lebih tinggi, Dalamnya laut, tentu masih ada yang lebih dalam. Begitu juga dengan ilmu yang dimiliki manusia. Setinggi-tingginya ilmu manusia, tentu ada lagi yang lebih tinggi.
Hanya Hyang Widhi yang berada di atas segalanya," tutur Pendekar Gila, semakin membuat Sunatra bertambah kagum mendengarnya. Tak pernah dia sangka, Pendekar Gila yang ilmunya bagaikan setinggi langit masih tetap merendah. Padahal kalau pendekar lainnya, tentu akan merasa sombong.
"Sungguh baru kali ini kutemui seorang pendekar yang berhati mulia sepertimu, Pendekar Gila."
"Aha, panggil saja aku Sena, Sobat," ujar Sena.
"Ya. Baru kali ini kutemui orang sepertimu, Sena. Meskipun ilmumu bagaikan setinggi langit, tapi kau tetap berbudi luhur."
"Hi hi hi..! Ilmu tinggi bisa menyesatkan, Sobat."
"Namaku Sunatra."
"Ya, ilmu tinggi dapat menyesatkan pemiliknya, Sunatra. Sedangkan budi pekerti yang tinggi, akan senantiasa mengingatkan kita pada Hyang Widhi, yang telah mencipta alam semesta ini. Sehingga kita akan selalu merasa kecil, jika dibandingkan dengan kekuasaan-Nya." Sunatra semakin bertambah kagum mendengar tutur kata Pendekar Gila.
"Aha, kita sudah sampai. Kurasa tempat ini aman untuk mengobati lukamu, Sunatra," ujar Sena ketika keduanya sampai di Hutan Waru Kerap. Pendekar Gila meletakkan tubuh Sunatra di sebatang pohon dan beralaskan rerumputan. Kemudian tubuhnya melesat ke dalam hutan untuk mencari daun waru ungu, yang bisa menyembuhkan Racun Kelabang Ungu.
"Aha, kita sudah sampai. Kurasa tempat ini aman untuk mengobati lukamu, Sunatra," ujar Sena ketika keduanya sampai di Hutan Waru Kerap Pendekar Gila meletakkan tubuh Sunatra dengan sangat hati-hati di bawah sebatang pohon yang beralaskan rerumputan.
Tak lama kemudian, Pendekar Gila telah kembali membawa beberapa helai daun waru ungu. Daun waru berwarna ungu itu digilasnya dengan telapak tangan sampai hancur dan berair. Segera Sena meneteskan air dari remasan daun waru ungu di paha Sunatra yang masih tertancap pisau beracun.
"Akh...!" Sunatra terpekik. Pahanya yang terkena tetesan air daun waru ungu dirasakan bagai terbakar. Tubuhnya menggelepar-gelepar menahan rasa sakit yang tiada tara. Sena cengengesan. Kemudian disobeknya celana Sunatra di sekitar bagian paha sebelah kiri.
Bret! "Hm...," gumam Sena. Tangannya dengan cepat mencabut pisau kecil beracun. Dan setelah pisau ter-cabut, daun waru yang sudah hancur kembali diusapkan ke sekeliling bekas pisau beracun itu menancap.
"Akh...!" Sunatra kembali memekik keras, merasakan rasa sakit yang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar, lalu diam pingsan.
"He he he...!" Sena tertawa, kemudian dihelanya napas panjang-panjang. Setelah itu segera pergi menjauh dari tempat itu. Duduk di bawah sebatang pohon waru yang rindang sambil meniup Suling Naga Sakti dengan merdu. Suara itu mendendangkan lagu penghayatan pada alam yang diteruskan dengan lagu kerinduan akan pertemuan.
Aku ibarat sebuah perahu Yang tengah mengarungi samudera luas Terombang-ambing ombak dan gelombang Tapi perahu kecil Hu terus berlabuh....
Saat itu Sunatra tampak menggeliat, sadar dari pingsannya. Murid Ki Kayaputaka itu tersenyum ceria.
Nampaknya luka beracun yang tadi dirasakan, kini telah hilang. Bahkan bekas biru racun telah lenyap sama sekali. Sunatra bangun dengan tertatih-tatih, melangkah mendekati Pendekar Gila yang masih hanyut dengan tiupan Suling Naga Saktinya.
"Merdu sekali suara yang kau dendangkan, Sena."
"Aha, rupanya kau telah pulih, Sunatra. Syukurlah kalau begitu!"
"Apakah kita akan meneruskan perjalanan, Sena?" tanya Sunatra.
"Hm, kurasa tidak. Kau harus memulihkan tenaga dahulu," jawab Sena dengan tangan menggarukgaruk kepala. Matanya menatap ke timur, tampak mentari merangkak naik.
"Mungkin lusa kita baru berangkat"
"Tapi, aku telah pulih, Sena."
"Ah, sabarlah! Kita dalam kedudukan yang sulit.
Bisa saja tikus busuk itu akan mengerahkan seluruh prajurit untuk memusuhi kita. Aha, sejak tadi kita tak tahu dari mana asal kita," tukas Sena mengalihkan pembicaraan.
Sunatra tersenyum, senang hatinya melihat tingkah laku Pendekar Gila. Kemudian setelah duduk di sampingnya, Sunatra pun menceritakan siapa dirinya dan asalnya. Juga diceritakan tempat yang hendak dituju hingga bertemu dengan Galapati.
"Guru mengutus ku pergi ke Kadipaten Blambangkara, karena guru ingin aku bisa menjaga putrinya Getri Anitia yang menjadi istri Kanjeng Adipati Blambangkara. Namun rupanya guru tak tahu, kalau ada seorang lelaki durjana yang telah mengaku sebagai muridnya, hingga Kanjeng Adipati menerimanya."
"Kau yakin Galapati mengaku sebagai murid Ki Kayaputaka?" tanya Sena.
"Ya, karena guru mengatakan bahwa hanya muridnyalah yang akan diterima di Kadipaten Blambangkara."
"Hm, kurasa ada maksud lain, mengapa tikus busuk itu mengaku murid gurumu," gumam Sena dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala.
"Ya! Mungkinkah...."
"Tepat!" sentak Sena seraya bangun dari duduknya.
"Tentu tikus itu mengincar istri Kanjeng Adipati.
Keparat! Ini tak boleh dibiarkan!"
"Ya. Maka itu, kita lanjutkan saja perjalanan ki-ta!" ajak Sunatra.
"Hm, baiklah. Ayo!" ajak Sena.
Keduanya pun segera melangkah, meninggalkan Hutan Waru Kerap untuk menuju Kadipaten Blambangkara.
"Apakah Kanjeng Adipati akan percaya?" tiba-tiba Sena menghentikan langkah.
"Kurasa jika hanya kita, Kanjeng Adipati tak akan percaya. Bisa-bisa malah kita yang dituduh hendak membuat keonaran." Sunatra tercenung dengan kepala menganggukangguk. Apa yang dikatakan Pendekar Gila memang ada benarnya. Adipati Sepa Woroagung belum mengenalnya. Begitu juga Getri Anitia, tentunya tak yakin bahwa dirinya murid Ki Kayaputaka, ayahnya.
"Kau benar, Sena. Tentu kalau kita yang ke sana, sulit sekali untuk dipercaya," kata Sunatra.
"Lalu bagaimana?"
"Bagaimana kalau kita menemui guruku?"
"Aha, usul yang bagus!" sahut Sena.
"Ayo, jangan buang-buang waktu!" Keduanya yang tadi berhenti melangkah, kini meneruskan langkah kakinya. Tapi mereka kini tak bermaksud ke Kadipaten Blambangkara, melainkan hendak menemui guru Sunatra, Ki Kayaputaka.
***
"Heaaa...!" Tubuh gadis itu melompat ke sana kemari, menggerakkan jurus-jurus ilmu silat yang diajarkan kelima lelaki tua yang mengangkatnya sebagai murid.
Bahkan kelima lelaki tua berjubah itu kini mengawasi Arum Sari dalam berlatih.
Kelimanya mengangguk-anggukkan kepala, melihat perkembangan ilmu silat yang dipelajari sang Murid.
"Hm, tak kusangka dia akan begitu cepat menyerap ilmu-ilmu silat kita " gumam Ki Karadena yang pedangnya tengah digunakan untuk latihan Arum Sari.
Pedang berlekuk tiga yang bernama Ki Weling Giling itu semakin bertambah hebat dalam genggaman tangan Arum Sari.
"Ya. Tak kita sangka kalau gadis itu begitu bersemangat. Ilmu silat yang seharusnya dipelajari dalam satu purnama, dia mampu menguasai dalam beberapa hari saja...," tambah Ki Wilakupa.
"Mungkin karena dendamnya pada Galapati, yang membuatnya begitu bersemangat dalam mempelajari ilmu-ilmu silat yang kita berikan. Bagaikan tak mengenal lelah," gumam Ki Gendala. Gadis itu berkelebat cepat, menggerakkan jurusjurus yang dipelajari dari kelima lelaki tua berilmu tinggi. Arum Sari bagaikan tak mengenal lelah sedikit pun. Dia terus berlatih tiada henti. Hal itu menambah senang dan kagum kelima gurunya.
"Heaaa...!" Dengan jurus 'Tarian Ronggeng Melempar Bunga' Arum Sari kembali bergerak. Kedua tangannya menari-nari dengan lincah, seperti seorang ronggeng yang sedang menari. Pedang berkeluk tiga bergerak menusuk dan membabat ke depan, seperti sedang menyerang ke arah lawan.
"Hup! Heaaa....!" Wrt! Arum Sari terus menekuni jurus-jurus 'Tarian Ronggeng Melempar Bunga'. Tangannya terus bergerak menari-nari, diikuti liukan tubuhnya yang lemah gemulai. Tapi dari gerakan-gerakan kedua tangan dan tubuhnya, mengeluarkan angin kencang yang menderu dan menerpa keras. Sampai-sampai rerumputan yang ada di sekelilingnya bergoyang keras.
"Yeaaa....!" Wut! Wut...! Tubuh Arum Sari terus meliuk-liuk dengan indah, menari-nari disertai sabetan-sabetan pedangnya yang menderu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah menghilang, terbungkus gerakan tarian yang gemulai dan cepat "Hm, tinggal memperdalam tenaga dalamnya.
Bocah itu benar-benar akan menjadi seorang pendekar yang tak dapat diremehkan," gumam Ki Wilakupa sambil mengangguk-anggukkan kepala. Hatinya merasa kagum menyaksikan kelincahan gerakan silat yang sedang diperagakan muridnya.
"Ya. Jika dia benar-benar telah memperdalam tenaga dalamnya, kurasa akan menjadi gadis berilmu tinggi. Ah, rupanya jurus-jurus yang kita ciptakan, memang cocok untuk seorang wanita, bukan seorang lelaki," sambung Ki Gondra.
"Ya ya. Jurus-jurus itu memang cocok untuk seorang wanita. Dan rupanya kita telah menemukannya," gumam Ki Sandika.
Begitulah, setiap hari Arum Sari berlatih dengan tekun tanpa mengenal lelah. Bahkan hari ini, dia bagaikan tak merasakan lelah sedikit pun. Gadis itu terus memperdalam semua ilmu yang diajarkan kelima gurunya, dengan harapan secepat mungkin akan dapat mengalahkan Galapati, membalas sakit hatinya atas tindakan Galapati yang telah menghancurkan masa depannya. Mentari pagi telah mulai tinggi pertanda hari telah siang. Tapi Arum Sari bagaikan tak mau berhenti.
Dia terus berlatih dan berlatih. Keringat telah bercu-curan membasahi tubuh dan tenaganya pun telah terkuras. Namun, tampaknya gadis itu tak menghiraukannya. Kelima gurunya semakin mengerutkan kening, menyaksikan latihan murid mereka yang tak hendak berhenti. Meski mentari terik memanggang tubuh, Arum Sari tetap saja berlatih.
Baru ketika hari menjelang sore, Arum Sari nampak menghentikan latihannya. Tubuhnya terlihat sangat letih, membuat kelima gurunya merasa iba.
"Arum, jangan kau paksa tenagamu, Nak! Berlatihlah yang wajar saja!" tutur Ki Gendala.
"Benar, Nak. Tanpa memaksa tenagamu, asalkan giat berlatih, dalam waktu singkat kau akan mampu menguasai semua ilmu yang kami ajarkan," sambung Ki Wilakupa.
"Tapi, Guru. Saya ingin segera mencari pemuda laknat itu. Rasanya hati saya tak tenteram jika belum membuat perhitungan dengannya," sahut Arum Sari.
Kelima gurunya menggeleng-gelengkan kepala. Di bibir mereka tersungging senyuman. Mereka bangga bercampur tak suka jika ilmu yang mereka turunkan hanya untuk melampiaskan dendam.
"Arum, ilmu bukanlah untuk balas dendam. Jika kau ingin menjadi pendekar seperti Pendekar Gila, il-mu hanyalah untuk menolong yang lemah," kembali Ki Gendala bertutur.
"Tak ada artinya ilmu manusia jika dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi, Nak" Arum Sari menundukkan kepala mendengar penuturan Ki Gendala. Hatinya diliputi dendam yang dalam. Dendam terhadap pemuda laknat yang telah merenggut keperawanannya dengan seenaknya. Dia telah menyerahkan hatinya, juga segenap jiwa raga, bahkan kehormatannya, tapi pemuda itu malah mencampakkan begitu saja, seperti sampah tak berguna.
"Apakah tak boleh membalas dendam, Guru?" tanya Arum Sari.
"Boleh, tapi harus ada batasnya, Nak," sahut Ki Wilakupa.
"Baiklah, Guru. Saya akan selalu mengingat hal itu."
"Kita istirahat Ayo!" ajak Ki Gendala.
Mereka berlalu meninggalkan tempat itu, ketika matahari tampak telah tergelincir di balik bumi sebelah barat.
←≡₪| 8 |₪≡→
Pagi bertemu, malam mereka selalu dilanda kerinduan yang hebat. Selama itu, Getri Anitia selalu menolak setiap kali Galapati mengajaknya berhubungan sebadan. Hal itu karena Getri Anitia takut kalau suaminya mengetahui perbuatan mereka.
Keduanya tak tahu, kalau sebenarnya hubungan mereka telah diketahui secara diam-diam oleh Adipati Sepa Woroagung. Tapi sejauh itu, Adipati Sepa Woroagung berusaha menyembunyikannya. Hal itu dikarenakan belum ada tanda-tanda kalau keduanya menjurus pada perbuatan yang jauh.
Suatu hari, Adipati Sepa Woroagung yang ingin menjebak keduanya, memanggil Galapati dan para prajurit Kadipaten Blambangkara. Mereka dikumpulkan di bangsal kadipaten.
"Para prajurit sekalian, Baginda Raja Arwa Muda memanggilku untuk membicarakan sesuatu hal. Untuk itu, aku diharapkan datang ke istana kerajaan.
Jadi selama aku di kerajaan, tampuk pimpinan kadipaten kuserahkan pada Panglima Galapati," kata Adipati Sepa Woroagung.
"Bagaimana, Galapati?"
"Sendika mengemban tugas, Kanjeng," sahut Galapati.
"Yang kedua, aku diundang hanya seorang diri, karena mungkin masalah ini sangat rahasia sekali.
Jadi istriku tak boleh ikut bersamaku. Kembali aku berikan tanggung jawab sepenuhnya pada Galapati.
Bagaimana, Galapati" Kau sanggup...?" tanya Adipati Sepa Woroagung dengan mata menatap tajam Galapati yang menundukkan kepala.
"Sanggup, Kanjeng."
"Bagus. Dengan kekuasaan di tanganmu, kupercaya kau akan menjalankan semua tugas dengan baik.
Nah, Diajeng. Aku mohon pamit. Mungkin dua atau tiga hari aku berada di kerajaan," ujar Adipati Sepa Woroagung pada istrinya.
"Baik, Kangmas."
"Galapati, kupercayakan semuanya padamu. Jaga kadipaten dan isinya dengan sebaik mungkin."
"Sendika, Kanjeng." Dengan diantar lima orang prajurit pilihan yang memang tak suka pada Galapati, Adipati Sepa Woroagung pun meninggalkan kadipaten. Sebenarnya dia bukan mau ke kerajaan, melainkan ingin menyelidiki desas-desus mengenai hubungan pimpinan prajuritnya dengan sang Istri.
Selama ditinggal Adipati Sepa Woroagung, untuk sementara tampuk pimpinan di Kadipaten Blambangkara berada di tangan Galapati.
Saat itu, ketika hari menjelang sore, Galapati yang menjadi pimpinan di Kadipaten Blambangkara menggantikan Adipati Sepa Woroagung memanggil para prajuritnya yang berjumlah dua puluh orang. Mereka berkumpul di bangsal, di tempat Adipati Sepa Woroagung tadi mengundang mereka berkumpul.
"Prajurit, kuperintahkan pada kalian untuk mengadakan penyerangan ke Desa Swargadana. Cari orang yang bernama Ki Baya Kitri. Sebagian lagi, cari Pendekar Gila. Bunuh dia kalau melawan," katanya memerintahkan pada kedua puluh prajuritnya.
Para prajurit kadipaten tersentak kaget mendengar perintah itu. Mereka tahu, Ki Baya Kitri adalah Kepala Desa Swargadana. Hanya mereka tak mau berurusan dengan Pendekar Gila, yang sudah sering didengar kehebatannya. Tapi untuk membantah, mereka juga tak berani.
"Panglima, kalau boleh hamba tahu, untuk apa kita menangkap Ki Baya Kitri?" tanya salah seorang prajurit "Jangan banyak tanya!" bentak Galapati marah.
"Di sini akulah yang menjadi pimpinan kalian. Maka itu, kuharap kalian jangan membantah!"
"Ampun, Panglima. Bukannya hamba bermaksud membantah, tapi apa yang Panglima katakan dan perintahkan, tak pernah kami dengar dari Kanjeng Adipati, " prajurit bertubuh tegap dengan kumis tebal kembali berbicara. Sepertinya dia tak takut sedikit pun pada panglimanya.
"Cuih! Berani benar kau, Wangga! Sekali lagi kau berani menentangku, tak akan kuampuni! Cepat ker-jakan perintahku, jangan sampai aku marah!" dengus Galapati mengancam. Para prajurit yang memang sudah tahu bagaimana kehebatan ilmu Galapati ketika menghadapi Kebo Wungu, akhirnya mereka takut juga. Mereka tak ingin nyawanya menjadi seperti Kebo Wungu.
Dengan menggerutu dalam hati, kedua puluh prajurit itu pun menurut Mereka segera meninggalkan kadipaten untuk menjalankan perintah yang dikatakan Galapati, selaku pemegang tampuk pimpinan Kadipaten Blambangkara.
Sepeninggal kedua puluh prajuritnya, Galapati segera mengunci pintu gerbang kadipaten. Di bibirnya tersungging senyuman, karena sudah terbayang bagaimana di akan puas bergelut dengan Getri Anitia yang cantik itu. Berulang kali dia telah mencoba, tapi selama ini Getri Anitia berusaha menolaknya. Dan selama ini Galapati hanya mampu mengkhayal, membayangkan kemesraan bersama wanita cantik itu.
"Akhirnya kudapatkan juga tubuhmu, Getri. Ah, telah lama aku mengkhayalkan saat-saat seperti ini.
Akhirnya tercapai juga cita-citaku," gumam Galapati sambil melangkah masuk ke kadipaten yang kini sepi.
Tak ada siapa-siapa di kadipaten, kecuali dirinya dan Getri Anitia beserta dayang-dayang yang berjumlah empat orang. Urusan para dayang itu gampang. Mereka dibentak saja pasti takut. Atau diberi sedikit imbalan mereka akan menurut tutup mulut. Apalagi, nampaknya para dayang juga memberi angin pada Galapati yang tampan. Asal mereka diberi bagian, sudah barang tentu mereka akan senang.
Galapati kini melangkah menuju kamar Getri Anitia. Sejak kepergian suaminya, Getri Anitia belum muncul juga. Sepertinya wanita cantik itu, berusaha menunjukkan pengabdian dan kesetiaan pada sang Suami. Tanpa permisi lebih dahulu, Galapati yang sudah bernafsu sekali ingin bisa secepatnya merenggut kepuasan dari istri adipati itu mendorong pintu kamar.
Hal itu menjadikan keempat dayang yang sedang membantu Getri Anitia berdandan tersentak kaget "Kau, Galapati. Ada apa...?" tanya Getri Anitia dengan mata membelalak. Dia tak menduga kalau Galapati akan berani masuk ke kamarnya. Mulutnya ternganga, dengan kepala menggeleng-geleng.
"Hm...," Galapati menggumam tak jelas. Di bibirnya mengurai senyum, yang semakin menambah ke- tampanan wajahnya. Kakinya melangkah masuk, mendekati Getri Anitia yang semakin terperanjat menyaksikan perbuatan Galapati.
"Galapati, jangan sembrono! Ini kamar Kanjeng Adipati," ujar Getri Anitia berusaha menyadarkan Galapati dari segala tindakannya yang telah lancang, masuk ke kamar Adipati Sepa Woroagung.
Galapati bagaikan tak mendengar peringatan Getri Anitia. Ditutupnya pintu kamar itu, lalu dikuncinya. Kemudian dibuangnya anak kunci itu keluar lewat kisi-kisi jendela. Hal itu semakin membuat Getri Anitia mengerutkan kening, tak mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki Galapati. Sedangkan keempat dayang kini hanya mampu terdiam, menyudutkan tubuh ke sudut kamar itu.
"Galapati, apa-apaan kau"!" bentak Getri Anitia, berusaha menyadarkan pemuda itu. Dia memang me-naruh hati pada pemuda itu, namun untuk melakukan perbuatan yang melanggar susila, Getri Anitia masih berpikir. Namun kini, Galapati mendatangi kamarnya, dengan tatapan mata penuh birahi. Menjadikan Getri Anitia kaget, tak menyangka kalau semua akan berjalan begitu rupa. Dia tak menyangka kalau tanggapan Galapati lebih dari sekadar main mata, tersenyum, berbincang-bincang.
Galapati tak berkata. Kakinya semakin mendekat ke tubuh Getri Anitia. Sorot matanya tajam, mengandung nafsu yang membara. Kemudian tangannya bergerak, menotok keempat dayang.
Tuk, tuk, tuk...! "Ukh!"
"Akh...!" Keempat dayang itu mengeluh lirih, seketika tubuh mereka mematung dengan mulut tak mampu digerakkan. Hanya mata mereka saja yang masih membuka, memandang tegang ke arah Galapati yang menyeringai dan semakin dekat dengan Getri Anitia.
"He he he...! Kalian menontonlah dulu. Hm, Getri. Ku tahu selama ini kau menginginkan saat-saat seperti ini, bukan" Mengapa kau sepertinya tak butuh" Ku tahu, suamimu tak mampu memberimu kepuasan...," kata Galapati sambil membuka bajunya.
"Tidak, Gala. Jangan kau lakukan ini!" keluh Getri Anitia berusaha mundur.
Namun, ruangan kamar itu terasa sempit, membuat gerakan tubuh Getri Anitia terbentur di tempat tidur.
Galapati tersenyum menyeringai. Kakinya semakin melangkah maju, mendekati Getri Anitia yang membelalakkan mata. Wanita itu memang mencintai Galapati, tapi tak mengharapkan hal seperti ini. Hatinya masih sadar, bahwa dia bersuami. Tak pantas seorang wanita bersuami melakukan hubungan badan, bukan dengan suaminya sendiri.
"Jangan, Gala! Ku mohon, jangan lakukan itu! Aku memang mencintaimu, tapi janganlah kau melakukannya," ratap Getri Anitia sambil naik ke tempat tidur.
"He he he...! Mengapa ada kesempatan hendak kita sia-siakan, Getri" Kau dan aku saling mencintai, bukan" Ayolah, Manis! Kita nikmati kesempatan ini" Galapati segera menerkam tubuh Getri Anitia.
Wanita itu menjerit, berguling ke samping untuk mengelitkan terkaman itu.
"Auw, tidak...! Gala, ku mohon jangan lakukan itu! Aku takut, Kanjeng Adipati datang," ratap Getri Anitia berusaha menyadarkan Galapati yang sudah bernafsu dan kerasukan setan.
"Tak peduli. Aku tak takut dengan lelaki tua itu.
Aku harus mendapatkanmu, Getri," gumam Galapati sambil mengulurkan tangannya menangkap tangan Getri Anitia. Ditariknya tangan lembut itu, kemudian direnggutnya tubuh wanita istri Adipati Sepa Woroagung ke atas tempat tidur.
"Gala, jangan! Nanti Kanjeng Adipati datang," keluh Getri Anitia berusaha menyadarkan Galapati. Namun pemuda itu tetap tak peduli. Dia telah diburu nafsu birahi yang menggebu-gebu. Bahkan dengan beringas dan kelihatan tak sabar, ditariknya pakaian Getri Anitia. Bret! "Awu! Nakal kau, Gala!"
"Aku tak sabar, Manis." Bret! "Uh, jangan kasar begitu, Gala!" Melihat Getri Anitia kini nampak menurut, Galapati semakin bertambah nafsu. Matanya menatap tajam ke mata Getri Anitia yang redup, membalas tatapan mata pemuda itu. Bahkan kini Getri Anitia mulai mendekatkan wajahnya ke wajah pemuda itu. Getri Anitia seakan-akan pasrah. Apalagi dalam hatinya juga tersimpan kerinduan akan kejantanan seperti yang kini ditunjukkan Galapati.
***
"Kau nekat, Gala...," desis Getri Anitia.
"Hm, karena dirimu, Sayang. Kaulah yang membuatku nekat. Sejak pertama kali bertemu, setiap malam aku tak dapat tidur, Getri," tutur Galapati merayu. Tangannya membelai-belai rambut Getri Anitia yang panjang terurai bergelombang. Matanya yang tajam menatap penuh nafsu ke mata Getri Anitia yang redup.
"Aku pun begitu, Gala. Oh, kalau saja kita bertemu dulu, sebelum aku dilamar Kanjeng Adipati, tentunya kita tak main kucing-kucingan seperti ini, Gala." Galapati tersenyum sambil tangannya bergerak liar, membelai-belai dan meremas dua buah bukit montok di dada Galapati, yang menjadikan wanita cantik istri Adipati Sepa Woroagung mendesis kenikmatan.
"Kini pun, kita akan menikmatinya, Sayang," rayu Galapati dengan tangan masih terus bergerak liar, merambah ke sekujur tubuh wanita cantik itu.
Mulutnya pun dengan lincah terus mencium dan menjilati tubuh mulus Getri Anitia.
"Tapi, bagaimana dengan keempat dayang itu, Gala" Aku takut, mereka akan menuturkan pada Kanjeng Adipati," desak Getri Anitia merasa was-was, karena di kamar itu ada empat saksi mata. Meskipun dalam keadaan tertotok, jelas mereka melihat apa yang dilakukannya bersama Galapati.
"Mereka masalah gampang, Getri," gumam Galapati. Kemudian wajahnya didekatkan.
Keduanya saling kulum. Lalu dilanjutkan dengan gelutan-gelutan yang mengundang birahi.
"Jangan, Gala...!" desis Getri Anitia, ketika Gala-pari hendak melangkah lebih jauh. Sementara itu, di luar kamar Pendekar Gila dan Sunatra serta gurunya yang bernama Ki Kayaputaka melesat ke kadipaten. Ketiganya datang dari arah barat. Dari arah utara, muncul Arum Sari dan kelima lelaki tua gurunya. Sedangkan dari arah timur muncul Adipati Sepa Woroagung bersama para prajuritnya.
Rupanya mereka tidak pergi ke Desa Swargadana, melainkan menyusul sang Adipati yang bersembunyi di Desa Karajenar.
"Kanjeng Adipati...!" seru para pendekar melihat Adipati Sepa Woroagung berada di luar.
"Ssst...! Jangan ribut," desis Adipati Sepa Woroagung mengingatkan mereka.
"Tentunya durjana itu tengah berbuat tidak senonoh. Aku harus segera masuk."
"Baiklah, Kanjeng. Kami akan berjaga-jaga di luar kadipaten." Adipati Sepa Woroagung pun segera melesat masuk, diikuti para prajuritnya. Seketika nafasnya memburu dengan jantung berdebar, tak mampu menahan amarah mendengar desah dan rintihan dari kamarnya.
Kedua manusia yang diburu nafsu iblis itu terus menggebu-gebu. Sampai akhirnya, keduanya mengeluh panjang dengan tubuh meregang. Sesaat kemudian, keduanya terkulai dengan keringat membanjir.
Tiba-tiba....
"Bedebah! Rupanya kau benar-benar iblis! Tangkap durjana itu...!" Dari luar terdengar suara teriakan Adipati Sepa Woroagung memerintahkan para prajuritnya.
Galapati dan Getri Anitia tersentak mendengar seruan itu. Wajah Getri Anitia pucat pasi ketakutan.
Namun Galapati bagaikan tak menghiraukannya. Malah dengan tenang pakaiannya dikenakan, lalu tanpa mempedulikan Getri Anitia, Galapati segera pergi lewat jendela kamar.
"Selamat tinggal, Getri! Ha ha ha...! Akhirnya aku puas. Terima kasih atas pelayananmu!"
"Bajingan! Hu hu hu...! Durjana!" maki Getri Anitia sambil menangisi semua yang telah terjadi. Dia hendak memburu Galapati, tapi tiba-tiba....
Swing, swing...! Jlep! "Aaakh...!" Getri Anitia terpekik keras, ketika dua pisau kecil yang keluar dari kipas maut Galapati menghunjam tubuhnya yang masih telanjang. Sesaat tubuh Getri Anitia mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.
Adipati Sepa Woroagung yang mendengar jeritan istrinya langsung mendobrak pintu kamar. Matanya terbelalak ketika menyaksikan istrinya tewas dengan tubuh tertancap dua bilah pisau beracun.
"Kurang ajar! Prajurit..!"
"Daulat Kanjeng!"
"Cari bajingan itu dan bunuh!" perintah Adipati Sepa Woroagung.
"Daulat, Kanjeng!" Prajurit-prajurit itu pun segera berlompatan keluar mengejar Galapati. Mereka segera menyebar ke segenap arah di sekitar kadipaten. Namun mereka tak menemukan adanya Galapati di sekitar kadipaten. Sepertinya pemuda itu telah pergi jauh, meninggalkan Kadipaten Blambangkara.
"Kejar keluar...!" perintah salah seorang prajurit pada teman-temannya. Mereka segera memburu keluar lingkungan kadipaten.
"Itu dia! Tangkap durjana itu...!" teriak para prajurit ketika melihat Galapati melompat keluar melalui pagar tembok yang mengelilingi lingkungan kadipaten.
"Heaaa...!" Para prajurit yang sudah marah terhadap Galapati dan terlebih dengan kejadian itu, langsung memburu Galapati. Tapi belum juga sampai, Galapati dengan cepat mengibaskan kipasnya ke arah mereka.
"Heaaa...!" Wrt! Swing, swing...! Jlep, jlep...! "Aaakh...!"
"Wuaaa...!" Pekikan-pekikan kematian seketika terdengar ketika puluhan pisau maut menghujani tubuh para prajurit Galapati hendak melesat pergi, ketika tiba-tiba....
"Mau lari ke mana kau, Iblis"!"
←≡₪| 9 |₪≡→
Sedangkan di samping kanan sebelah gadis berbaju hijau itu, berdiri seorang pemu-da bertingkah laku seperti orang gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Di samping Pendekar Gila, berdiri dengan sorot mata tajam lelaki muda berusia sebaya dengan Galapati. Lelaki berpakaian rompi kuning keemasan itu tak lain Sunatra, murid Ki Kayaputaka. Berdiri di samping kiri Arum Sari, seorang lelaki tua berjubah kuning keemasan. Lelaki tua itu ternyata Ki Kayaputaka, ayah Getri Anitia, istri Adipati Sepa Woroagung.
"Hm..., bagus! Rupanya kalian telah kumpul menjadi satu. Itu memang yang kuinginkan. Dengan begitu, aku tak susah-susah membinasakan kalian!" dengus Galapati, sepertinya tidak merasa takut sedikit pun terhadap mereka, yang terdiri dari para pendekar rimba persilatan dan berilmu tinggi.
"Hi hi hi.... Hebat! Hebat sekali keberanianmu, Kisanak. Padahal kau seperti tikus yang sedang dike-pung kucing. Ah ah ah.... Ternyata tikus itu sangat berani. Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Matanya memandang tajam ke arah Galapati yang balas memandang ke arahnya.
"Pendekar Gila, kuharap kau jangan ikut campur dengan urusanku!" bentak Galapati.
"Aha, kurasa jika kau mau menyerah dan menerima hukuman apa yang kau jalani, aku tak akan turut campur, Tikus Busuk! Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrakan seperti seekor monyet "Kurang ajar! Kau yang pertama harus kubunuh, Pendekar Gila! Heaaa...!" Amarah Galapati yang terdesak oleh keadaan meledak seketika. Dengan kipas maut, segera diserangnya Pendekar Gila.
Wrt! "Hi hi hi...! Kurasa malam ini tidak panas, Tikus Busuk. Untuk apa kau main-main dengan kipas bututmu?" ejek Sena sambil berkelit ke samping, mengelakkan serangan yang dilancarkan Galapati. Tubuhnya meliuk cepat, melompat ke sana kemari bagaikan menari. Melihat Pendekar Gila membiarkan Galapati menyerang, Arum Sari yang dendamnya pada pemuda itu tak tertahankan lagi kini melompat maju. Pedang berkeluk tiga yang ada di tangannya bergerak menyerang Galapati.
"Pendekar Gila, biar iblis ini bagianku!" dengus Arum Sari sambil membabatkan pedangnya menyerang Galapati.
Wrt! Trang! "Hih!"
"Aits...!" Galapati terdorong dua langkah ke belakang. Begitu juga dengan Arum Sari. Matanya terbelalak, merasakan hawa panas ketika berbenturan dengan kipas maut di tangan Galapati. Namun dendamnya yang membara, tak membuatnya takut. Bahkan semakin bertambah nafsu, Arum Sari berusaha membunuh lawan secepat mungkin.
"Keparat! Kubunuh kau! Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Dengan jurus 'Tarian Sinden Maut' Arum Sari langsung menggebrak Galapati. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, diikuti gerakan kedua tangannya yang lembut dan lemah gemulai. Kemudian pedang di tangannya mulai berkelebat menusuk dan membabat ke tubuh lawan.
"Hih!"
"Yeaaa...!" Melihat Arum Sari mengeluarkan jurus-jurus yang telah dikenalnya, seketika Galapati tersenyum mengejek. Dia menganggap jurus-jurus itu tiada artinya sama sekali dibandingkan dengan jurus-jurus miliknya. Meskipun sama-sama dari didikan kelima orang tua sakti. Apalagi dengan kipas beracun di tangannya, tak perlu dia takut Kipas itu telah terbukti kehebatannya.
"Percuma kau mengeluarkan jurus bututmu, Arum! Ha ha ha...!" ejek Galapati sambil balas menyerang. Kipas di tangannya dikebutkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Bersamaan dengan itu, dari kebutan kipas itu melesat asap ungu bergulung dan memburu Arum Sari.
"Awas, Arum! Racun itu sangat berbahaya!" seru Ki Gendala mengingatkan muridnya.
"Ha ha ha...! Orang tua tolol! Kenapa tak sekalian maju, biar aku lebih cepat mengirim kalian ke akherat!" teriak Galapati sombong. Kipas maut di tangannya dikebutkan semakin cepat, membuat asap ungu semakin banyak keluar dari kebutan kipas itu.
"Keparat! Kubunuh kau...!" Adipati Sepa Woroagung yang begitu marah akibat nasib yang diterima istrinya, segera melesat menyerang Galapati. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senjata berupa gada berduri yang langsung dihantamkan ke arah Galapati dari belakang.
Wrt! "Remuk kepalamu, Keparat! Hih...!"
"Haits!" Galapati segera memiringkan tubuh ke samping. Gada itu meleset di sisi kanannya. Kemudian dengan cepat, kipas mautnya dikebutkan ke tubuh Adipati Sepa Woroagung.
Wrt! Swing! Tiga pisau kecil beracun melesat ke arah lawan.
Adipati Sepa Woroagung yang tersentak kaget berusaha mengelakkan serangan, tapi tubuhnya yang terlalu gemuk membuat gerakannya agak lamban.
"Celaka!" pekik Adipati Sepa Woroagung dengan mata terbelalak tegang, menyaksikan dua bilah pisau melesat ke tubuhnya. Namun, ketika nyawa Adipati Sepa Woroagung terancam, Pendekar Gila yang sigap segera melentingkan tubuh ke atas. Bersalto beberapa kali di udara, lalu dengan cepat tubuhnya menukik ke bawah sambil memukulkan Suling Naga Sakti.
Wut! Trang! Pluk, pluk! Dua bilah pisau beracun itu terpental, karena tersambar Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
"Oh, terima kasih, Tuan Pendekar. Pemuda durjana itu harus segera kubunuh! Dia telah membunuh istriku, setelah merayu dan menyetubuhinya!" seru Adipati Sepa Woroagung hendak kembali menyerang.
Tapi Pendekar Gila segera mencegahnya.
"Kanjeng Adipati tak usah turun tangan. Biarkan kami yang mencoba mengatasi," ujar Sena.
"Tapi dia telah menghancurkan semuanya, Tuan Pendekar."
"Hi hi hi...! Ah ah ah.... Aku pun tahu itu, Kanjeng. Tenanglah! Hanya ketenangan yang akan menyelesaikan masalah ini tanpa harus merenggut banyak korban," tutur Sena. Kemudian tubuhnya kembali melesat ke arah para pendekar yang tengah menyaksikan pertarungan antara kakak beradik seperguruan karena dendam. Mendengar putrinya tewas di tangan Galapati, Ki Kayaputaka mendengus marah. Tanpa menghiraukan kalau Galapati kini tengah bertarung melawan Arum Sari, Ki Kayaputaka langsung melesat menyerang dengan senjatanya yang berupa tombak bermata dua.
"Kubunuh kau, Iblis Laknat! Heaaa...!" Kini pertarungan semakin bertambah seru, dengan masuknya Ki Kayaputaka ke arena. Arum Sari yang tadi terdesak gempuran-gempuran Galapati, kini agak terbebas karena serangan Galapati tertuju pada Ki Kayaputaka.
"Hm, kau pun harus mampus, Orang Tua! Hih...!" Wrt! Galapati mengibaskan kipas mautnya. Dan saat itu juga, gumpalan asap ungu mengandung racun semakin bertambah banyak. Asap ungu itu terus meluruk ke tubuh Ki Kayaputaka. Orang tua berjubah kuning keemasan itu tersentak kaget. Nafasnya terasa agak sesak, akibat racun yang keluar dari kipas maut di tangan lawan.
Ki Kayaputaka berusaha menyerang dengan menyodokkan mata tombak ke tubuh lawan. Tapi dengan cepat Galapati membabatkan kipasnya memapak tombak lawan. Wrt! Trak! "Akh...!" Ki Kayaputaka tersentak kaget dengan mata terbelalak, menyaksikan senjata andalannya terbabat kipas besar berwarna ungu di tangan lawan.
Belum juga Ki Kayaputaka hilang kagetnya, Galapati telah kembali mengebutkan kipas besarnya ke tubuh orang tua berjubah kuning keemasan itu.
Wrt! "Celaka!" pekik Ki Kayaputaka dengan mata terbelalak, ketika ujung kipas yang tajam berkelebat ke lehernya. Orang tua itu telah pasrah ketika tiba-tiba Arum Sari membabatkan pedang lekuk tiganya memapaki kipas yang mengancam nyawa Ki Kayaputaka.
"Heaaa...!" Wrt! Trang! "Akh...!" Arum Sari terpekik, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan dada terasa sakit. Matanya membelalak tegang, menatap tajam pada Galapati yang hanya tergontai dua langkah. Tampak di mulut gadis itu meleleh darah merah, yang menandakan kalau gadis itu terluka dalam.
Melihat muridnya terluka, kelima orang tua sakti berjubah itu segera memburu Arum Sari. Kelimanya segera membawa gadis itu agar menjauh dari pertempuran.
"Pendekar Gila, tak ada waktu lagi. Hanya kaulah yang kami harapkan bisa meringkus bocah keparat itu!" seru Ki Gendala sambil membawa tubuh muridnya menjauh.
"Hi hi hi...! Apakah tidak sebaiknya kalian?" tanya Sena dengan tingkah lakunya yang konyol.
"Bukankah kalian guru-gurunya?"
"Kami tak ada waktu lagi! Kupasrahkan keparat itu padamu," sahut Ki Wilakupa.
"Hi hi hi.... Lucu sekali kalian ini! Aha, tapi baiklah. Bagaimanapun juga, aku berkewajiban mengamankan tikus busuk ini," ujar Sena, yang membuat Galapati mendengus marah.
"Jangan banyak omong, Pendekar Gila! Mari kita buktikan! Yeaaa...!" Galapati langsung menggebrak dengan jurus andalannya 'Tari Tipak Tilu'. Tangannya bergerak cepat, menepak bergantian dengan tenaga dalam penuh ke arah Pendekar Gila.
***
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Kini semuanya tak ada yang berani ikut campur.
Semua hanya bisa menyaksikan bagaimana Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan-serangan gencar yang dilancarkan Galapati.
Sekeliling Kadipaten Blambangkara yang semula hening dan sepi, seketika berubah menjadi riuh. Banyak pepohonan yang gugur daunnya akibat kibasankibasan maut di tangan Galapati.
Serangan Galapati semakin bertambah keras dan garang, setelah beberapa kali serangannya tak mampu bersarang di tubuh lawan. Serangannya yang ganas, bagaikan tak berarti sama sekali bagi Pendekar Gila, hal itu membuat Galapati kian penasaran, apalagi melihat gerakan ilmu silat Pendekar Gila yang aneh.
Gerakan ilmu silat Pendekar Gila sepertinya lemah, tapi ketika menyerang sentakannya terasa sangat kuat.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Wrt! Galapati terus mengibaskan kipas mautnya dengan cepat. Kebutannya mengeluarkan angin panas, menderu keras ke tubuh Pendekar Gila. Tapi dengan cepat Pendekar Gila berkelit, meliukkan tubuhnya ke bawah. Kemudian disusul dengan tepukan yang menyentakkan lawan.
"Kurang ajar! Aku akan bertaruh nyawa denganmu, Pendekar Gila! Heaaa...!" Wrt! "Uts! Hi hi hi...! Apa maumu, kuterima, Tikus Busuk. Hi hi hi...!" Dengan masih bertingkah laku seperti orang gila, Sena terus berkelit mengelakkan kibasan kipas maut lawan yang dia tahu cukup berbahaya. Kemudian setelah terbebas dari kipas lawan, dengan cepat Pendekar Gila balas menyerang dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Tangan Pendekar Gila bergerak bagaikan melempar dengan cepat dan susul-menyusul. Galapati tersentak kaget. Dari gerakan tangan lawan, angin menderu susul-menyusul, menghujani tubuhnya.
Mendapatkan serangan aneh itu, Galapati tak tinggal diam. Kipasnya semakin dibuka lebar-lebar.
Lalu dengan mengerahkan tenaga, kipasnya dikibaskan dengan jurus 'Ekor Merak Merintang Angin'.
"Yeaaa...!" Wrt! Glarrr...! Dua kekuatan bertemu, menimbulkan suara menggelegar. Tanah di atas pertemuan dua kekuatan itu hancur bagai terkena ledakan. Baik Pendekar Gila maupun Galapati melompat lima langkah ke belakang.
Sesaat keduanya saling bertatapan dengan pandangan mata tajam.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya semakin membuat Galapati bertambah marah. Tubuhnya berjingkrakan seperti seekor kera kegirangan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila! Heaaa...!" Tubuh Galapati melesat memburu Pendekar Gila.
Kipas mautnya kini siap untuk dikibaskan. Dengan jurus 'Braga Wreda' yang mengandalkan kipas mautnya, Galapati menerjang Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
"Hi hi hi...! Ada juga tikus bisa loncat," ejek Pendekar Gila. Lalu dengan cepat tubuhnya digerakkan memutar ke kiri dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'.
"Yeaaa...!" Wrrrs...! "Yeaaa...!" Wrt! Kipas maut dikibaskan cepat dan menghentak ke tubuh Pendekar Gila yang berputar dengan cepat. Melihat lawan mengibaskan kipasnya, Pendekar Gila yang tak mau mati percuma, segera mencabut Suling Naga Sakti. Kemudian dengan cepat kipas lawan dipapakinya.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Wrt! Prak! "Akh...!" Galapati tersentak. Tubuhnya terlontar ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara, kemudian dengan agak terhuyung mendarat di tanah. Matanya terbelalak, menyaksikan ujung kipasnya hancur akibat berbenturan dengan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
"He he he...! Kenapa kau masih memegangi kipas bututmu, Tikus?" ejek Sena sambil cengengesan.
"Cuh! Jangan kira aku dapat kau kalahkan, Pendekar Gila! Mari kita tentukan, siapa yang melayang ke akherat!" dengus Galapati marah.
"Hi hi hi...! Rupanya kau tak betah hidup di dunia ini, Tikus Busuk?" sahut Sena, yang membuat Galapati kian bertambah marah. Napas Galapati mendengus keras. Gigi-giginya beradu, menimbulkan suara gemerutuk keras. Wajahnya memerah, terbakar api amarahnya.
"Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Gila! Yeaaa...!" Wrt! Swing, swing...! Puluhan pisau kecil beracun, seketika melesat dari kipas maut beracun yang ujungnya telah hancur.
Pisau-pisau kecil itu meluncur dan memburu Pendekar Gila.
"Edan! Permainanmu rupanya masih ada, Tikus Busuk! Hi hi hi...!" Sambil melompat ke atas mengelakkan seranganserangan pisau-pisau maut itu, Pendekar Gila mengirimkan pukulan saktinya ke arah lawan.
'"Inti Api'. Heaaa...!" Wsss...! Segulungan api membara melesat ke tubuh Galapati. Pemuda berpakaian ungu itu tersentak, lalu dengan cepat menggerakkan kipasnya ke atas untuk menangkis serangan itu.
Wrt! Protsss! 'Inti Api' yang dilancarkan Pendekar Gila tak bermanfaat sama sekali. Pukulan sakti itu musnah, tersapu kibasan kipas Galapati. Bahkan kini deru kipas itu kembali memburu Pendekar Gila.
"Yeaaa...!" Wrt, wrt...! Galapati melesat cepat dengan kipas maut di tangannya, membabat Pendekar Gila yang masih melayang di udara. Kipas yang mengeluarkan angin pukulan panas, terus memburu leher Pendekar Gila.
Melihat Galapati menyerang dengan cepat dan ganas Sena segera memapaki serangan lawan. Suling Naga Sakti yang sejak tadi telah tergenggam di tangannya, segera ditempelkan di bibir. Kepala Naga Sakti diarahkan ke tubuh lawan.
Kemudian ditiupnya dengan suara melengking tinggi.
Slarts...! Dua larik sinar merah kecil keluar dari kedua mata kepala Naga Sakti. Kedua sinar merah itu terus melesat memburu Galapati.
Melihat dua larik sinar merah memburu dirinya, dengan cepat Galapati merundukkan tubuh. Kemudian dengan cepat pula kipasnya dikibaskan, berusaha menghalau kedua sinar merah itu.
"Yeaaa...!" Slarts! Glarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika sepasang sinar merah menghantam kipas maut di tangan Galapati. Tubuh Galapati terlempar ke belakang tiga tombak. Matanya terbelalak, menyaksikan kipas mautnya hancur berantakan, bahkan hangus terbakar sinar merah yang keluar dari kepala Naga Sakti. Bukan hanya Galapati yang membelalakkan mata, tapi semua orang yang menyaksikan kehebatan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila, turut tak-jub dan kagum dengan mulut melongo. Merasakan kipas mautnya tak ada manfaatnya lagi, seketika ciutlah nyali Galapati. Pemuda itu berusaha lari meninggalkan arena pertarungan, namun Arum Sari yang sudah pulih dari luka dalamnya segera mengejar.
"Mau lari ke mana, Bajingan"!" Kejar-mengejar antara Arum Sari dengan Galapati pun terjadi. Diikuti para pendekar yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu. Bahkan Adipati Sepa Woroagung turut berlari mengikuti mereka.
***
"Jangan lari, Pengecut!" seru Arum Sari sambil terus mengejar Galapati yang terus berlari. Pendekar Gila terus mengikuti mereka yang memburu Galapati. Sebenarnya Galapati bisa saja dikejarnya, namun Pendekar Gila menyadari kalau kini yang berurusan dengan Galapati tak lain Arum Sari dan kelima gurunya serta Adipati Sepa Woroagung, dan juga Ki Kayaputaka. Sehingga Pendekar Gila hanya mengikuti gerakan mereka mengejar Galapati.
Arum Sari yang sudah marah terus mempercepat larinya, disusul kelima gurunya dan Adipati Sepa Woroagung serta Ki Kayaputaka. Sedangkan Pendekar Gila dan Sunatra nampak berada di belakang mereka.
Galapati yang ketakutan terus berlari, sampai akhirnya dia kini tiba di tepi laut Kecemasan semakin membayang di wajahnya, karena kini tak ada lagi ba-ginya untuk kabur. Di hadapannya terbentang lautan luas.
"Tak ada tempat bagimu, Biadab!" bentak Arum Sari dengan sengit.
Merasa tak ada lagi jalan untuk meloloskan diri, Galapati dengan nekat menyerang Arum Sari.
"Kalian harus mampus! Heaaa....!"
"Yeaaa....!" Wrt! Arum Sari yang sudah kalap, dengan cepat memapaki serangan Galapati dengan babatan pedangnya.
Hingga Galapati yang menyerang disertai rasa cemas, tak mampu mengelak dari tebasan pedang Arum Sari.
Cras! "Aaakh...!" Galapati terpekik, ketika tangan kanannya terbabat pedang berlekuk tiga di tangan Arum Sari. Tidak hanya sampai di situ, dengan geram Arum Sari kembali membabatkan pedangnya ke leher Galapati.
"Kubunuh kau, Bajingan! Heaaa...!" Wrt! Crak! "Aaa...!" Lolongan kematian terdengar dari mulut Galapati, ketika pedang berlekuk tiga menebas lehernya. Seketika kepala Galapati menggelinding. Tubuhnya yang berlumur darah sesaat meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
"Ha ha ha...! Kini aku puas! Puas...!" teriak Arum Sari bagaikan orang gila sambil mencengkeram kepala Galapati. Lalu dibawanya kepala pemuda itu berlari meninggalkan para pendekar yang terlongong bengong. Semua menghela napas, merasa iba menyaksikan beban batin yang diderita Arum Sari. Bahkan Pendekar Gila nampak sedih menyaksikan penderitaan Arum Sari. Gadis cantik itu akhirnya harus mengalami guncangan jiwa yang berat.
"Hyang Jagat Dewa Batara, semoga Kau memberi ketabahan padanya," gumam Sena masih terpaku di tempat itu bersama Adipati Sepa Woroagung, Ki Kayaputaka dan muridnya serta para prajurit Kadipaten Blambangkara. Sementara, kelima orang tua sakti kini mengejar Arum Sari.
Gelombang laut terdengar pilu, ketika dari ufuk timur lamat-lamat terlihat sinar kuning kemerahan muncul di atas permukaan laut.
Pendekar Gila, Adipati Sepa Woroagung, dan Ki Kayaputaka serta Sunatra melangkah perlahan meninggalkan pesisir laut pasir putih.
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
← Misteri Gadis Bisu --oo0oo-- Istana Berdarah → |