Life is journey not a destinantion ...

Misteri Gadis Bisu

INDEX PENDEKAR GILA
Kalung Keramat Warisan Iblis --oo0oo-- Durjana Berparas Dewa

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit


«¤¤¦ 1 ¦¤¤»

Pagi telah hadir bersama munculnya sang Mentari dari peraduannya, menyinari jagat raya. Angin pagi bertiup dengan lembut, menambah suasana pagi terasa sejuk. Burung-burung berkicau riang, turut menikmati kehangatan mentari.
Desa Kembang Tebu yang terletak di sebelah utara Gunung Kapuran telah ramai. Terlebih di Pasar Gembreng, para pedagang telah memenuhi lingkungan pasar yang hanya dibatasi pagar bambu. Riuh suasana pasar dari suara tawar-menawar antara para pembeli dan penjual. Di tengah keramaian orang di Pasar Gembreng, nampak seorang gadis berusia sekitar lima belas tahun melangkah agak sempoyongan. Badannya sedikit membungkuk. Tubuhnya kotor berdebu. Pakaian biru kehitaman yang melekat di tubuhnya kumal dan compang-camping. Begitu pula dengan rambutnya yang kemerahan tampak kusut masai.
"Uhk uhk uhk...!" gadis itu mengeluarkan suara seperti batuk.
Orang-orang di pasar seketika menepi, saat gadis berbadan bungkuk dengan keadaan menyedihkan itu lewat. Bau tubuhnya yang menyengat itu membuat orang-orang langsung menepi. Mereka seolah tak ingin tersentuh tubuh gadis itu.
"Uhk uhk uhk...!" Gadis yang tampak seperti gelandangan itu ternyata bisu. Barulangkali mulutnya mengeluarkan suara batuk yang terdengar kering. Tangannya dijulurkan meminta belas kasihan. Ada juga orang yang memberi, tapi kebanyakan mendengus penuh kebencian. Bahkan terkadang ada yang mencaci-maki.
Gadis itu tak menghiraukan semua cacimaki dan kebencian orang. Kakinya terus melangkah tersaruk-saruk. Setiap bertemu dengan orang, tangannya dijulurkan meminta belas kasihan.
"Uhk uhk uhk...!"
"Kasihan," gumam seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular berambut gondrong yang tingkah lakunya seperti orang gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Wajahnya tampak muram, merasa iba menyaksikan gadis seusia itu telah menjadi gelandangan.
Pemuda tampan bertingkah laku seperti orang tolol yang ternyata Pendekar Gila itu menghampiri gadis bi-su yang tengah menjulurkan tangan pada seorang wanita yang dilihat dari dandanannya tentu orang kaya.
"Uhk uhk uhk...!" gadis itu mengeluarkan batuk sambil mengulurkan tangannya di depan wanita berusia sekitar empat puluh tahun dengan dandanan yang penuh gemerlapan permata.
"Apa..."!" bentak wanita itu melotot.
"Muak sekali aku melihatmu!" Wanita setengah baya yang rambutnya disasak konde dan mengenakan baju hijau itu hendak melangkah pergi. Namun gadis bisu itu seketika menghadang di hadapannya.
"Uhk uhk uhk...!" Gadis bisu itu kembali mengulurkan tangan, mengharap wanita setengah baya yang berwajah garang itu mau memberinya sedikit uang.
"Bocah tak tahu diri! Cuh...!" wanita setengah baya yang wajahnya nampak judes itu menyemburkan ludah ke wajah si gadis.
"Uhhh...!" gadis bisu itu mengeluh panjang.
Pendekar Gila yang melihatnya merasa iba. Sementara gadis itu segera menyeka ludah bekas semburan wanita setengah baya yang telah berlalu pergi meninggalkannya.
"Dik, sudahlah. Jangan kau terus memaksa orang yang tak mau memberi padamu. Ini untukmu," Sena segera mengeluarkan tiga keping uang emas pada gadis bisu itu.
"Uhk uhk uhk...!" gadis bisu itu menatap Pendekar Gila sambil menggerak-gerakkan tangannya ke kiri dan kanan. Sepertinya berusaha menolak uang pemberian Sena. Kemudian kepalanya menganggukangguk, seakan mengucapkan terima kasih. Lalu gadis itu dengan tak acuh berlalu meninggalkan Pendekar Gila dan pemberiannya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali gadis kecil itu," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Wajahnya nyengir dengan tangan kiri menimang-nimang uang yang ditolak gadis bisu itu.
Pendekar Gila benar-benar tak mengerti melihat tingkah laku gadis bisu itu. Dia meminta-minta pada semua orang yang berpapasan dengannya. Bahkan sampai diludahi, tapi setelah diberi malah menolak.
"Hm! Aneh...!" kembali Sena menggumam.
"Aneh sekali gadis itu. Hei, tunggu...!" Kini Sena benar-benar seperti orang gila. Sambil tertawa cekikikan kakinya melompat-lompat mengejar gadis bisu yang ber- lalu dari hadapannya. Namun, dalam sekejap saja, gadis bisu itu telah menghilang di tengah-tengah keramaian orang.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Benar-benar bocah edan. Eh! Hi hi hi.... Bukankah aku juga gila" Hua ha ha...!" Sena tertawa-tawa membuat semua orang di pasar itu memperhatikannya. Sena segera meninggalkan pasar. Tubuhnya melesat melompat-lompat dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Bocah edan...!" gumam salah seorang yang melihatnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tumben, hari ini di pasar ada dua bocah aneh.
Yang satu bisu, yang lain gila..,!" sambut lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun. Tubuhnya pendek kurus dengan kumis panjang menghias atas bibirnya.
Namun wajahnya menggambarkan ketenangan dan kesabaran.
"Pertanda apakah kemunculan bocah-bocah aneh itu?" Usai bergumam lirih sambil menggelenggelengkan kepala, lelaki bertubuh pendek yang bernama Ki Wulung itu menghela napas panjang. Lelaki tua itu termasuk orang bijak dan adil di Desa Kembang Tebu. Namun Ki Wulung tampaknya tidak dihiraukan orang-orang di desanya. Semua orang menjauhi dirinya, menganggap bahwa Ki Wulung orang tak waras.
Dahulu Ki Wulung datang bersama istrinya, ketika akan terjadi pembakaran terhadap keluarga Gagar Blarak. Sebetulnya dia orang suruhan seseorang untuk mengawasi Desa Kembang Tebu. Tingkah lakunya yang seperti orang aneh itu, membuat penduduk Desa Kembang Tebu menjauhi dan mengasingkan mereka.
Meski belum tahu siapa kedua bocah aneh itu, Ki Wulung merasakan ada sesuatu di dalam diri kedua bocah aneh itu.
"Pemuda gila itu, kurasa bukan orang sembarangan. Tubuhnya kekar berisi. Jelas dia pernah menjalani gemblengan berat dan latihan-latihan yang cukup lama. Kurasa dia bukan pemuda gila biasa," gumam Ki Wulung sambil melangkah meninggalkan pasar. Ki Wulung yang telah banyak makan asam garam kehidupan, nampaknya tak mau begitu saja membuang pikiran mengenai kedua bocah yang baru saja dilihatnya. Bocah yang aneh, dengan tingkah laku yang aneh pula. Satu bertingkah laku seperti orang gila sedangkan satunya lagi bertingkah laku seperti gembel. Gadis itu..., mungkinkah dia benar-benar bisu.
Tapi. Tanyanya dalam hati. Mungkin dia memang bisu.
Tapi, tampaknya dia bukan gadis sembarangan pula.
Buktinya dalam sekejap saja, telah menghilang. Ah, pertanda apakah kemunculan kedua bocah aneh itu" Tiada henti Ki Wulung bertanya-tanya dalam hati. Kakinya melangkah semakin cepat menuju rumahnya yang berada di sebelah timur Pasar Gembreng.
Meski tubuhnya kurus dan pendek, dibebani belanjaan yang banyak, Ki Wulung melangkah begitu ringan. Hal itu menunjukkan kalau lelaki berusia lima puluh lima tahun itu bukan orang biasa. Setidaknya dia memiliki ilmu silat yang tidak bisa dianggap remeh. Itu jelas terlihat dari gerakan langkahnya, tampak ringan meskipun beban berat belanjaan bergayut di tubuhnya.
"Coba nanti aku lihat di kitab primbon. Siapa tahu primbonku ada terdapat dua bocah aneh itu!" Gumam Ki Wulung dalam hati sambil terus melangkah menuju rumahnya. Pikirannya terus membayangkan kedua bocah aneh yang sempat dilihatnya di pasar.
Ki Wulung semakin mempercepat langkahnya.
Hatinya berharap ingin cepat sampai di rumah dan segera melihat kitab primbon untuk mengetahui siapa kedua bocah itu dan pertanda apa kedatangan keduanya di Desa Kembang Tebu.

***

Sebuah rumah kecil dari bilik bambu yang terlihat di tengah kebun jagung dan singkong itulah rumah Ki Wulung. Kebun jagung itu berada di sebelah timur Desa Kembang Tebu. Di situ tidak ada rumah lain kecuali rumah Ki Wulung.
Di tengah-tengah kebun singkong dan jagung, terbentang jalan menuju pintu rumah bilik milik Ki Wulung.
"Nyi! Nyi...!" seru Ki Wulung ketika sampai di depan pintu rumahnya. Belanjaan yang sejak tadi membebani pundaknya diturunkannya.
Dari dalam rumah kecil itu, muncul seorang wanita berusia sebaya dengan Ki Wulung. Pakaiannya abu-abu dengan rambut digelung kecil ke atas. Wanita tua itu tak lain istri Ki Wulung. Sosoknya lebih tinggi dibandingkan dengan suaminya.
"Ada apa sih, Ki" Teriak-teriak kayak anak kecil saja?" sungut Nyi Wulung yang merasa terganggu dengan seruan suaminya.
"Sampai-sampai aku kaget!"
"Lho, lho...! Suami capek, bukannya mengambil minum malah ngedumel. Tak baik lho, Nyi...," canda Ki Wulung.
"Iya iya, aku tahu. Mau teh atau kopi...?" tanya Nyi Wulung.
Ki Wulung tersenyum menggoda.
"Kalau boleh, kopi dengan jagung bakar," pinta Ki Wulung.
"Huh, enaknya," wajah Nyi Wulung cemberut.
Ki Wulung nyengir.
Nyi Wulung berlalu meninggalkan suaminya yang kini duduk di dipan bambu di emperan rumah bilik itu sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan kain ikat mirip blangkon yang tadi menutupi kepalanya.
"Huh, capek sekali," gumam Ki Wulung masih mengipasi tubuhnya. Matanya memandangi pohon jagung dan singkong yang memenuhi sekeliling rumahnya. Pohon-pohon jagung telah berbuah. Dan tampaknya tak lama lagi sudah dapat dipetik. Begitu juga pohon singkong. Sebentar lagi dapat dicabut untuk diambil hasilnya.
"Ah, lumayan juga hasilnya," gumam Ki Wulung, berbicara pada diri sendiri.
Dari dalam muncul Nyi Wulung membawa secangkir kopi dan piring yang berisi lima bonggol jagung bakar.
"Hm, sedap...!" gumam Ki Wulung menggoda sambil mengendus-endus, mencium aroma jagung bakar dan kopi pahit yang disuguhkan istrinya.
"Huh, tua bangka masih kayak anak kecil! Sudah, aku sedang memasak. Apa saja yang kau beli, Ki?" tanya Nyi Wulung sambil membuka bungkusan daun pisang yang tadi dibawa suaminya.
"Lihat saja sendiri!" jawab Ki Wulung sambil menyeruput kopi pahitnya. Kemudian diambilnya se-bonggol jagung bakar yang masih panas, lalu ditiupnya.
"Aku masak dulu, Ki."
"Eh, tunggu, Nyi."
"Ada apa lagi?" tanya Nyi Wulung dengan kening berkerut, sambil menghentikan langkahnya dan memandang suaminya.
"Tolong ambilkan primbon."
"Untuk apa, Ki" Tidak bosan-bosannya kau dengan primbon kuno itu. Apa kau tak jemu dianggap orang tak waras" Yang kerjanya hanya membuka-buka primbon, kemudian bertutur yang bukan-bukan...!" omel Nyi Wulung.
Kedua orang tua itu memang dikucilkan dari pergaulan, karena keduanya dianggap sudah tak waras lagi. Hal itu disebabkan Ki Wulung senantiasa berpedoman dan percaya pada kitab primbonnya.
"Alaaah...! Bukankah ramalan primbonku banyak yang benar" Kau ingat akan apa yang terjadi lima tahun lalu, ketika Gagar Blarak dan anak-istrinya dibakar?" tanya Ki Wulung.
"Ya!" sahut Nyi Wulung masih! kurang senang.
"Nah, siapa yang pertama kali tahu" Bukankah aku" Dulu kau tak percaya dan mengatakan kalau Gagar Blarak orang baik-baik. Kau baru percaya setelah pembakaran hidup-hidup itu, bukan?"
"Iya, iya...," sungut Nyi Wulung.
"Ambilkan ya, Nyi!"
"Untuk apa lagi...?" tanya Nyi Wulung masih merungut tak senang.
"Apakah kau tak bosan-bosannya dikucilkan orang banyak?"
"Pokoknya ada. Persetan dengan mereka yang mengucilkan aku. Yang pasti, aku tak pernah berbuat jahat pada mereka. Aku hanya ingin membantu mereka. Mengenai bagaimana tanggapan mereka terhadap diriku, itu urusan mereka," kilah Ki Wulung.
Nyi Wulung dengan merengut berlalu meninggalkan suaminya yang tengah menikmati kopi pahit dan jagung bakar sambil memandangi kebun jagung dan singkongnya yang nampak subur. Dan kelihatannya akan menghasilkan buah yang banyak.
Tidak lama berselang, Nyi Wulung telah kembali muncul membawa kitab primbon yang diminta suaminya.
"Nih...!" Nyi Wulung hendak berlalu pergi, namun suaminya dengan cepat menahannya.
"Tunggu, Nyi!"
"Apa lagi...?"
"Duduklah dulu!" ajak Ki Wulung sambil menggeser duduknya ke samping kiri.
Dengan wajah merengut tak senang, karena suaminya selalu mengotak-atik dan membuka lembar demi lembar kitab primbon, akhirnya Nyi Wulung pun menurut duduk. Sedangkan suaminya kini membuka lembar demi lembar kitab tebal terbuat dari daun lontar. Kitab itu berisi coretan-coretan mengenai berbagai macam ramalam.
"Tadi di pasar aku melihat dua anak muda aneh, Nyi," tutur Ki Wulung.
Nyi Wulung tak menyahut "Kau tahu, mengapa aku mengatakan keduanya aneh?" tanya Ki Wulung melanjutkan ceritanya.
"Mana aku tahu?" sahut Nyi Wulung sengit, merasa ucapannya tak pernah digubris suaminya. Duduknya pun kini tak menghadap ke arah suaminya, melainkan memandang lepas ke depan tanpa tujuan.
"Nah, dengar ceritaku!" ujar Ki Wulung berusaha membuat istrinya tersenyum.
Namun Nyi Wulung tak juga tersenyum, malah mencibirkan bibir. Hal itu membuat Ki Wulung cengengesan, lalu melanjutkan ceritanya.
"Kedua bocah itu aneh. Satu seperti pemuda gila, tapi pakaiannya terbuat dari kulit ular tanpa lengan. Wajahnya tampan, dan bersih. Rambutnya gondrong bergelombang diikat kulit ular...." Ki Wulung membuka lagi lembaran buku primbonnya. Diminumnya kopi, kemudian dia meneruskan ucapannya.
"Di primbon ini, dikatakan kalau pemuda seperti itu adalah pemuda digdaya. Tentunya dia seorang pendekar. Lalu, satu lagi seorang gadis berusia sekitar lima belas tahun. Tubuhnya agak bungkuk, pakaiannya compang-camping berwarna biru kehitamanhitaman. Dia bisu, namun dari tindak-tanduknya, dia bukan gadis biasa. Nah, bagaimana pendapatmu, Nyi...?" tanya Ki Wulung meminta pendapat istrinya.
"Huh, untuk apa aku berpendapat?" balik Nyi Wulung.
"Lho, siapa tahu pendapatmu benar, Nyi?"
"Kurasa mereka akan membuat bencana saja.
Huh!"
"Kurasa tidak, Nyi," bantah Ki Wulung seraya menggerak-gerakkan tangan kanannya.
"Alaaah, sok tahu! Jelas mereka pura-pura gila dan tak saling kenal. Pasti ada maksud-maksud tertentu yang hendak membuat onar desa ini," dengus Nyi Wulung.
Ki Wulung sesaat terdiam. Sepertinya dia berpikir dengan pendapat yang dikatakan istrinya.
"Ah, tidak! Dalam kitab primbon ini dikatakan kalau keduanya hendak bertujuan baik," tukas Ki Wulung berapi-api, menentang pendapat istrinya yang berlawanan dengan pendapatnya.
"Dari mana kau tahu mereka baik?"
"Dari primbon."
"Huh! Mana buktinya...?" Nyi Wulung merebut kitab primbon yang ada di tangan suaminya dan berusaha melihat tulisan atau gambaran pada primbon itu mengenai kedua anak muda aneh yang dikatakan suaminya.
"Mana...!" Nyi Wulung melemparkan kitab primbon itu ke arah suaminya.
"Lho, kamu tak melihat, Nyi?"
"Melihat apa" Hanya tulisan dan gambargambar begini?" rungut Nyi Wulung.
"Nah, itu buktinya."
"Bukti apa?"
"Bukti mereka bertujuan baik. Mereka akan menolong kita, Nyi."
"Sontoloyo! Mana ada orang asing menolong kita, Aki Peot"! Aku pikir mereka malah bertujuan menyengsarakan kita!" bantah Nyi Wulung tak mau kalah.
"Tidak juga, Nyi. Jelas mereka orang baik-baik.
Sayang, istri Soma menanggapinya kurang enak...," gumam Ki Wulung dengan wajah tiba-tiba berubah murung, menjadikan Nyi Wulung mengerutkan keningnya.
"Memangnya kenapa dengan istri Soma, Ki?" tanya Nyi Wulung tak mengerti.
"Hhh.... Dia meludahi si gadis," gumam Ki Wulung setengah mendesah.
"Lho, bukankah Nyi Writampi orang baik" Bagaimana mungkin dia berbuat kasar begitu...?" bantah Nyi Wulung.
"Itu yang tak ku mengerti," gumam Ki Wulung dengan wajah masih menggambarkan kemurungan. Lelaki tua itu merasa sedih ketika melihat gadis bisu itu diludahi Nyi Writampi yang dianggapnya baik dan memang sehari-hari selalu baik terhadap siapa pun.
"Atau mungkin kebaikan Nyi Writampi kalau berada di depan kakaknya saja, Ki?" tanya Nyi Wulung.
Yang dimaksud olehnya tiada lain Ki Legok Menggo, Kepala Desa Kembang Tebu.
"Entahlah, Nyi. Sungguh tak kusangka, kalau Nyi Writampi tega melakukan hal itu. Mungkin dia sedang marah," gumam Ki Wulung disertai helaan napas panjang.
"Ah, sudahlah! Perutku lapar sekali. Lagi pu-la, masih banyak yang harus kukerjakan. Sebentar la- gi, jagung dan singkong itu panen, Nyi."
"Ya! Tentunya kita akan mendapat uang yang cukup lumayan, Ki."
"Ya ya ya.... Sayang, kita belum punya anak," keluh Ki Wulung membuat istrinya merengut dan berlalu meninggalkan suaminya.
Ki Wulung hanya menggeleng-gelengkan kepala perlahan, dengan mata masih menyapu ke kebunnya.
Dilihatnya singkong dan jagung yang tumbuh subur mengelilingi pekarangan rumah gubuknya.

«¤¤¦ 2 ¦¤¤»

Waktu bergulir cepat, seirama dengan perputaran bumi. Tak terasa, pagi terus merayap, lalu menghilang dan berganti malam.
Terik mentari yang siang tadi begitu menyengat, berganti tiupan-angin malam yang sejuk dan menyentuh perasaan syahdu.
"Kuk, kuk, kuuuk...!" Suara burung hantu terdengar pilu, seakan meratapi kegelapan malam yang semakin sepi dan mencekam. Gesekan daun bambu yang tertiup angin terasa mengiris hati. Tepat tengah malam, terlihat sesosok tubuh berkelebat cepat dari satu rumah ke rumah lain. Gerakannya begitu cepat dan ringan, hingga tak menimbulkan suara sedikit pun. Sosok tubuh itu berhenti. Kemudian cepat menyelinap ke balik sebatang pohon besar di pinggir jalan, ketika terlihat dua orang lelaki bertubuh tinggi tegap berjalan ke arahnya sambil bercakap-cakap. Mereka adalah dua orang pengawal Ki Legok Menggo, Kepala Desa Kembang Tebu.
"Panas sekali malam ini, Kakang Badri," ujar salah seorang.
"Benar! Tidak seperti biasanya," sahut orang yang bernama Badri.
"Sebaiknya kita beristirahat saja dulu di bawah pohon itu, Adi Sardi!" Orang yang dipanggil Sardi melirik pohon di pinggir jalan yang ditunjuk Badri. Kemudian, kepalanya terangguk. Tampaknya, dia menyetujui ajakan itu. Mereka terus melangkah mendekati pohon yang cukup besar, berdaun lebat dan rimbun sekali. Tapi sedikit pun tak terlihat adanya gerakan pada daundaun pohon itu. Memang, angin pun rasanya tak berhembus malam itu.
"Uh...!" Sardi mengeluh pendek begitu duduk di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah.
"Ada apa kau ini, Sardi?" tegur Badri.
"Aku merasa tak enak malam ini, Kang," sahut Sardi seraya mendesah pendek.
"Ada yang kau pikirkan?"
"Entahlah...," desah Sardi.
Kening Badri berkerut melihat Sardi tampak begitu gelisah. Duduknya pun tak tenang, seperti berada di atas bara api yang setiap saat bisa membakar sampai jadi arang. Mereka terdiam, tak bicara lagi sedikit pun. Perlahan Sardi bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Badri ikut berdiri, dan terus memandanginya dengan kelopak mata agak menyipit.
"Ayo, kita pulang saja, Kakang! Perasaanku semakin tak karuan malam ini," ajak Sardi.
"Baiklah," sahut Badri.
Tapi baru saja mereka akan melangkah meninggalkan pohon di pinggir jalan itu, mendadak....
Slap! "Heh"!"
"Hah..."!" Kedua orang pengawal kepala desa itu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan dari balik pohon. Begitu cepatnya kelebatan itu sehingga tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seseorang yang membuat mata keduanya terbelalak kaget.
"Kau..."!" tersekat suara Bardi.
Bet! Belum juga mereka bisa berbuat sesuatu, tibatiba saja orang itu sudah bergerak begitu cepat. Namun, kedua pengawal kepala desa itu cepat menyadari. Mereka langsung berlompatan memisah diri menghindari serangan cepat itu.
"Hiyaaa...!" Baru saja Sardi menjejakkan kakinya di tanah, orang aneh itu sudah kembali bergerak begitu cepat bagai kilat. Pada saat itu, terlihat kilatan cahaya keperakan berkelebatan begitu cepat menuju leher lelaki bertubuh tegap dan berotot ini. Karena begitu cepat, Sardi tidak sempat menghindar. Ditambah lagi rasa keterkejutan dan keseimbangan tubuhnya belum sempat terkuasai. Sehingga....
Crasss! "Aaakh...!" Sardi menjerit melengking.
Seketika tubuhnya jatuh menggelepar dengan leher hampir putus. Hanya sebentar Sardi mampu menggelepar seperti ayam disembelih, sesaat kemudian sudah mengejang kaku. Lalu, diam tak bergerak-gerak lagi. Mati.
"Sardi...!" pekik Badri tertahan.
Pada saat yang sama, orang aneh itu sudah bergerak cepat memutar tubuhnya. Dan kembali kilatan cahaya keperakan terlihat berkelebat begitu cepat "Heh..."! Hups!" Cepat-cepat Badri melompat ke belakang, menghindari tebasan senjata yang secepat kilat itu.
Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu mendarat manis sekali di tanah.
Karena begitu ringan hingga tak menimbulkan suara. Namun, baru saja bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, satu serangan secepat kilat kembali meluruk ke tubuhnya.
"Hup! Hiyaaa...!" Badri kembali melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang aneh itu melesat cepat mengejarnya. Seketika itu pula tangan kanannya kembali dikibaskan, kemudian disusul cahaya kilat keperakan berkelebat begitu cepat mengarah ke dada lelaki bertubuh tinggi tegap itu.
Begitu cepat serangan orang aneh ini, sehingga membuat Badri yang berada di udara tak sempat melakukan gerakan untuk menghindar. Dan...
Bret! "Akh...!" Begkh! Satu tendangan yang begitu keras mendarat membuat tubuh Badri terbanting ke tanah. Darah muncrat dari dadanya yang terbelah, seperti tersabet pedang. Namun, Badri masih bisa bangkit berdiri, meskipun terhuyung. Darah semakin banyak mengucur dari dadanya yang terbelah cukup lebar itu.
"Yeaaah...!" Sebelum, Badri mampu menguasai keseimbangan tubuhnya, orang aneh itu sudah meluruk lagi dengan kecepatan luar biasa. Sementara, Badri hanya terbelalak kaget dengan mulut ternganga. Bet! Cras! Senjata berupa pisau mirip badik di tangan orang aneh yang ternyata gadis bisu itu menebas ke leher Badri.
"Aaakh...!" Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Sesaat kemudian tubuh Badri limbung. Tubuhnya yang berlumuran darah ambruk ke tanah dengan luka menganga lebar di lehernya. Seketika itu juga, darah menyembur deras sekali dari lehernya. Sementara, si gadis bisu berdiri tegak memandangi. Sebentar kemudian, tubuhnya melesat secepat kilat, hingga dalam sekejap mata saja tubuhnya telah lenyap. Pada saat itu pula rumah-rumah di sekitar pertarungan tampak terbuka pintunya. Lampu-lampu yang tak begitu terang pun terlihat sinarnya menyeruak lewat pintu-pintu yang terbuka. Sesaat kemudian bermunculan para penduduk Desa Kembang Tebu.
Suara pertempuran yang hanya sebentar itu membuat para penduduk terbangun dari tidur. Mereka bermunculan hendak mengetahui keributan yang terjadi hanya beberapa saat itu. Namun, begitu mengetahui ada dua orang yang tergeletak di tengah jalan, tak seorang pun yang menghampiri.
Terlebih lagi setelah tahu, siapa yang tergeletak berlumuran darah di tengah jalan. Sementara tak jauh dari jalan itu, terlihat Nyi Wulung dan suaminya keluar dari rumah. Tempat pertarungan itu memang tak jauh dari rumah mereka.
Sehingga mereka melihat jelas dua orang pengawal kepala desa yang terkapar tak bernyawa dengan keadaan mengerikan.
"Malapetaka apa lagi ini...?" desah Ki Wulung, bertanya pada diri sendiri.
"Rupanya sang Hyang Widhi sudah memperlihatkan kebesarannya," gumam Nyi Wulung pelan, seakan berkata pada diri sendiri.
Suami istri berusia lima puluh lima tahun itu segera masuk kembali ke rumahnya. Tak seorang pun berani mendekati mayat kedua pengawal kepala desa itu. Mereka takut kalau-kalau dituduh sebagai pembunuh, atau akan dianggap mengetahui kejadian itu. Dengan begitu mereka akan mengalami kesulitan.
Paling tidak akan menghadapi pertanyaan yang justru dapat memojokkan mereka.
Malam semakin sepi. Angin menghembuskan hawa dingin dan basah yang menyelimuti Desa Kembang Tebu.

***

Kematian dua orang pengawal Ki Legok Menggo yang belum diketahui pelakunya, membuat suasana Desa Kembang Tebu jadi gempar. Semua orang berbicara masalah kematian keduanya. Namun sejauh itu mereka belum dapat mengetahui siapa pelakunya.
"Bagaimana pendapatmu, Ki" Apakah kau masih tetap yakin kalau kehadiran dua anak muda itu membawa berkah...?" Nyi Wulung bertanya sinis pada suaminya.
Ki Wulung terdiam sambil menghela napas dalam-dalam. Matanya menatap lepas ke depan.
"Kok diam" Mana bukti primbonmu...?" sinis Nyi Wulung, semakin membuat Ki Wulung bertambah membisu.
"Makanya, jangan percaya dengan primbon!"
"Lalu apa menurutmu kejadian ini, Nyi?" tanya Ki Wulung tiba-tiba. Matanya menatap sang istri yang kini duduk di dipan panjang dalam rumahnya.
Nyi Wulung menarik napas dalam-dalam. Sepertinya wanita berusia lima puluh lima tahun itu tengah memikirkan tentang kejadian-kejadian yang menurutnya berhubungan dengan peristiwa yang menimpa keluarga Gagar Blarak.
"Kurasa kejadian ini ada hubungannya dengan pembakaran keluarga Gagar Blarak, Ki."
"Maksudmu, Ki Gagar Blarak hidup lagi?" tanya Ki Wulung dengan kening berkerut.
"Mungkin."
"Akh!" pekik Ki Wulung tertahan. Matanya memandang lekat wajah istrinya.
"Kau tak percaya, Ki?" tanya Nyi Wulung dengan pandangan kurang senang.
"Bukan itu maksudku, Nyi..., Tapi, jelas sekali kita melihat kejadian itu.
Keluarga Gagar Blarak mati terbakar," gumam Ki Wulung.
"Apa tidak mungkin arwahnya, Ki?"
"Ah! Kau jangan mengada-ada, Nyi."
"Lho, siapa tahu, Ki." Ki Wulung tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng mendengar perkataan istrinya. Bagaimanapun juga, rasanya tak masuk akal kalau manusia sudah terbakar kini hidup dengan utuh membunuh dua orang pengawal Ki Legok Menggo.
"Rasanya tidak mungkin, Nyi." Nyi Wulung menarik napas dalam-dalam. Dia pun tak tahu siapa yang telah membunuh kedua pengawal kepala desa itu. Dulu, ketika seluruh keluarga Gagar Blarak mendapat hukuman, hatinya mengatakan kalau sebenarnya keluarga itu tidak bersalah. Tapi dia tak dapat berbuat apa-apa. Dia hanyalah seorang wanita tua yang terkucil dari semua orang. Para penduduk menganggap dia dan suaminya orang-orang sinting, tak patut untuk didekati.
"Tapi menurutku, ada sangkut paut antara kejadian semalam dengan peristiwa beberapa tahun yang lalu, Ki." Kini gantian Ki Wulung yang terdiam. Dihelanya napas dalam-dalam, seperti ada sesuatu yang membebani pikirannya. Ki Wulung bangkit dari duduknya, melangkah ke kebun yang ada di sekeliling rumahnya.
"Tangkap dia...!" Ki Wulung tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara perintah menangkap dirinya. Lelaki tua itu melihat ke asal suara itu. Seketika matanya terbelalak, ketika melihat beberapa orang warga desa yang dipimpin jawara Desa Kembang Tebu ini.
Lelaki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan wajah garang itulah yang tadi meneriakkan perintah penangkapan. Kumisnya melintang menghias bibirnya. Dan rambutnya yang terurai, berikat kepala kain coklat.
"Ki Wulung, kami diperintahkan untuk menangkapmu!" seru jawara desa itu lantang.
"Menangkapku...?" tanya Ki Wulung dengan mata menyipit dan kening berkerut.
"Ya!"
"Apa salahku, Ki Majal...?" tanya Ki Wulung.
"Kami tak tahu. Kami hanya menjalankan perintah menangkapmu!" sahut jawara Desa Kembang Tebu yang ternyata bernama Ki Majal itu.
"Hm, enak sekali kau berkata! Kalau aku bersalah, aku menuruti kata-katamu. Tapi kalau tidak, jelas aku menolak! Walaupun Ki Legok Menggo sendiri yang datang kemari!" dengus Ki Wulung.
"Orang gila! Kami datang dengan menghargaimu. Kalau kau tetap bersikeras begitu, jangan salahkan jika kami menangkapmu dengan kekerasan!" bentak Ki Majal sengit.
"Hm, kalian orang-orang yang tak tahu adat! Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba hendak menangkap orang!" dengus Ki Wulung tak mau kalah.
"Kurang ajar...! Tutup mulutmu, Orang Sinting! Tangkap dia!" perintah Ki Majal sambil menggerakkan tangan kanannya, memberi isyarat pada warga desa yang patuh padanya, untuk menangkap Ki Wulung.
Serentak lima orang warga desa yang menjadi anak buah Ki Majal memburu Ki Wulung. Kelimanya dengan tangan kosong berusaha menangkap lelaki tua yang mereka anggap orang sinting.
"Kalian benar-benar iblis!" dengus Ki Wulung geram. Tubuhnya segera melompat ke samping. Gusrak! Kelima warga desa yang memburu Ki Wulung, seketika tersuruk mencium dipan, ketika mereka melompat hendak menangkap Ki Wulung.
"He he he...! Kuwalat kalian...!" seru Ki Wulung terkekeh-kekeh, menyaksikan kelima anak buah Ki Majal harus tumpang tindih karena menubruk angin.
"Orang tua gila! Rupanya kau benar-benar mencari penyakit! Tangkap dia...! Masa' kalian berlima harus kalah dengan orang tua peot"!" dengus Ki Majal marah, menyaksikan kelima anak buahnya diperma-inkan Ki Wulung. Kelima warga desa itu segera bangun, meskipun merasakan sakit di wajahnya karena mencium dipan. Kelimanya kembali merangsek Ki Wulung. Kali ini mereka bergerak menyebar, mengepung dari lima arah.
"Kuwalat! Kalian akan kuwalat, berani sama orang tua!" bentak Nyi Wulung yang baru keluar dari dalam rumahnya. Wanita tua itu nampak sengit, menyaksikan suaminya dikeroyok lima lelaki muda warga desa.
"Diam kau! Jangan turut campur!" bentak Ki Majal sambil bergerak cepat mendekati Nyi Wulung.
Kemudian dengan gerakan cepat lelaki berbadan kekar dan berwajah garang itu menangkap kedua tangan Nyi Wulung.
"Setan! Lepaskan aku...!" maki Nyi Wulung sambil berusaha berontak dari pegangan tangan Ki Majal. Matanya melotot sengit, memandang penuh kebencian. Ki Majal tak peduli dengan pelototan mata wanita tua itu. Lelaki kekar itu tenis memegangi tangan Nyi Wulung, malah memelintirnya ke belakang ketika wanita tua itu berontak. Nyi Wulung pun meringis kesakitan.
"Kurang ajar! Kuwalat kau, Majal!"
"Aku tak peduli! Kau pun harus ditangkap!"
"Cuh! Enak sekali kau berkata, Setan!" maki Nyi Wulung sambil terus berusaha berontak. Namun gerakannya lemah karena cengkeraman tangan Ki Majal begitu kuat "Ki Wulung! Menyerahlah! Jangan sampai aku berbuat keji terhadap istrimu!" ancam Ki Majal sambil mencabut golok dari pinggangnya. Sret! Golok tajam itu ditempelkan di leher Nyi Wulung, untuk mengancam Ki Wulung agar menghentikan pertarungannya dengan kelima anak buahnya.
Namun Ki Wulung seperti tak peduli melihat istrinya dalam ancaman Ki Majal. Dia terus menggebrak lima orang lawannya yang menyerang.
"Kalian memang iblis! Sepantasnya kalian di neraka!" dengus Ki Wulung sambil menggerakkan tangannya, memukul lawan.
Pletak! "Aduh!"
"Nih bagianmu! Hia...!" Pletak! "Aaakh...!" Pekik kesakitan terdengar ketika sekali gebrakan saja Ki Wulung mampu memukul kelima lawannya. Kelima lelaki warga Desa Kembang Tebu itu memegangi kepala dan wajah yang terkena pukulan Ki Wulung.
"Kurang ajar! Kau benar-benar menginginkan istrimu mati, Orang Tua Gila!" maki Ki Majal sambil mengayunkan goloknya hendak menghunjamkan ke perut Nyi Wulung.
"Mampuslah istrimu, Orang Tua Gi-la! Hih...!" Golok Ki Majal melesat cepat ke dada wanita tua itu. Hampir saja ujung golok menghunjam dada Nyi Wulung, ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat mendahului gerakan golok jawara desa itu.
Bret! "Aaakh...!" Ki Majal terpekik ketika sebuah benda tajam menyerupai badik menghujam lehernya.
Seketika lehernya yang terkoyak lebar memuncratkan darah segar. Sesaat kemudian, tubuh jawara Desa Kembang Tebu itu mengejang lalu roboh tak bernyawa.
Semua mata terbelalak, menyaksikan kejadian yang begitu cepat. Mereka tak tahu siapa yang telah melontarkan senjata itu. Hanya bayangan biru kehitaman yang melesat meninggalkan tempat kejadian itu.
Tak satu pun yang melihat dengan jelas, karena orang itu cepat gerakannya.
Sementara kelima orang anak buah Ki Majal kini lari tunggang langgang, menyaksikan pimpinan mereka telah mati dibunuh seseorang yang belum diketahui.

***



«¤¤¦ 3 ¦¤¤»

Kematian Ki Majal yang tanpa diketahui pelakunya, semakin membuat penduduk Desa Kembang Tebu bingung dan tak mengerti tentang apa sebenarnya yang terjadi di desa itu. Orang-orang yang dianggap baik, telah ditemukan tewas. Pertama kedua pengawal kepala desa. Lalu menyusul jawara desa. Kematian mereka sama, tergores sebuah benda tajam. Tidak diketahui siapa pelakunya.
Warga Desa Kembang Tebu kini dilanda keresahan dengan adanya peristiwa-peristiwa pembunuhan itu. Sejauh ini, para pendekar Desa Kembang Tebu belum mendapatkan jawaban, siapa pelaku pembunuhan terhadap kedua pengawal kepala desa itu.
Ki Legok Menggo benar-benar dibuat bingung dengan kejadian-kejadian yang menimpa desanya. Lelaki tua yang pribadi dan sikapnya selalu tenang itu tak dapat berbuat apa-apa.
Dia memang agak lemah dalam menghadapi permasalahan di desanya. Hampir semua tugas lebih banyak dipegang adik sepupunya yang bernama Ki Soma. Bahkan masalah hukuman pada Gagar Blarak pun Ki Soma yang memutuskan, bukan dirinya. Sore itu, nampak seorang gadis berusia sekitar lima belas tahun dengan keadaan memelas melangkah menyelusuri jalanan di Desa Kembang Tebu. Gadis itu berhenti di depan rumah seorang penduduk yang pintunya terbuka.
"Uhk uhk uhk...!" suara gadis cantik berpakaian biru kehitaman itu, seakan bermaksud mengatakan sesuatu. Matanya memandang ke sekelilingnya, seperti ada sesuatu yang sedang dicari.
Dari dalam rumah keluar seorang wanita muda.
Kening wanita berpakaian merah jambu dengan rambut digelung ke atas itu mengerut. Matanya memandang ke sekelilingnya, seakan ada sesuatu yang dikhawatirkan.
"Masuk," ajaknya setelah melihat sekelilingnya sepi. Gadis bisu itu kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Dan ketika tahu di sekelilingnya tak ada orang yang melihat, gadis bisu itu pun melangkah masuk.
Wanita cantik berpakaian merah jambu segera menutup pintu rumahnya setelah gadis bisu itu masuk. Kemudian, diajaknya menuju ke sebuah kamar yang ada di rumah itu.
"Hati-hatilah, jangan sampai orang-orang mencurigaimu, Murni! Dengan terbunuhnya dua orang pengawal Ki Legok Menggo dan Ki Majal, kini semua orang waspada. Warga desa kini menuduh Ki Wulung dan istrinya," ujar wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
"Uhk uhk...!" gadis bisu yang ternyata bernama Murni menganggukkan kepalanya, pertanda mengerti.
"Kau harus mendapatkan dalang dari semua kejadian ini. Aku yakin, pasti ada hubungannya dengan pembakaran kedua orang tuamu," kembali wanita cantik yang bernama Suriwarni menegaskan.
"Uhk uhk uhk...!" jawab Murni seraya mengangguk-anggukkan kepala. Tangannya digerakgerakkan, seakan hendak memberitahukan sesuatu.
Tangannya bergerak dan menempel di keningnya menyilang. Kemudian digerakkan menggaruk-garuk kepalanya dengan mulut nyengir.
"Hm, pemuda gila...," gumam Suriwarni.
"Siapakah pemuda gila itu?"
"Uhk uhk uhk...!" Kembali Murni menggerakkan tangan kanannya, mengatakan kalau dia tidak tahu. Namun dia berpikir, kalau pemuda gila itu tampaknya bukan pemuda sembarangan. Gadis itu menyimpulkan dari pakaian yang dikenakan serta gerakannya yang cepat dan gesit.
"Hm, aku mengerti. Tak perlu takut, karena kau bertujuan baik. Kau hendak membuka kedok siapa sebenarnya orang yang telah melakukan semuanya di desa ini. Biar aku yang akan memberitahukan pemuda gila itu jika aku bertemu," kata Suriwarni.
Murni mengangguk-anggukkan kepala dengan mulut tersenyum. Sepertinya gadis itu merasa senang atas bantuan Suriwarni selama ini. Telah lima tahun lebih dirinya dibantu dan diasuh Suriwarni. Bahkan nyawanya pun diselamatkan Suriwarni yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Bayangan Bidadari.
"Uhk uhk uhk...!"
"Ya, ya.... Tak usah kau pikirkan. Aku menolongmu dengan tulus. Kau harus bisa menunjukkan kebenaran yang ada. Aku yakin, ada sesuatu yang tak beres di desa ini." Selesai menjura, gadis bisu itu pun melangkah meninggalkan rumah Suriwarni untuk meneruskan penyelidikannya guna membuka tabir yang menyelimuti Desa Kembang Tebu.

***

Kematian kedua pengawalnya dan seorang jawaranya, menyebabkan Ki Legok Menggo sedih. Lelaki berusia lima puluh tahunan itu termenung memikirkan kejadian-kejadian yang terjadi di desanya. Orang yang dianggap sebagai momok kejahatan di Desa Kembang Tebu telah disingkirkannya. Namun kini muncul lagi orang lain yang sepak terjangnya melebih Ki Gagar Blarak.
"Hhh...!" desah Ki Legok Menggo yang duduk di kursinya seorang diri. Pikirannya tak lepas dari peristiwa yang baru saja terjadi, kematian Ki Majal.
"Kalau begitu, kurasa bukan Ki Wulung dan istrinya. Lalu siapa...?" Ki Legok Menggo masih termangu di kursinya, mencoba menerka-nerka siapa pelaku dari pembunuhan-pembunuhan yang dalam sehari telah memakan tiga korban. Tengah Ki Legok Menggo termangu di atas kursinya, dari luar nampak seorang lelaki masuk.
"Ada apa, Soma?" tanya Ki Legok Menggo, menoleh ke adik sepupunya yang bernama Ki Soma.
Lelaki berwajah agak pucat dengan kumis tipis, berpakaian kuning lengan panjang itu menghela napas, lalu duduk di hadapan Ki Legok Menggo. Wajahnya yang pucat dengan mata agak sipit menggambarkan kemurungan. Sepertinya merasakan duka atas kematian tiga orang tangan kanan Ki Legok Menggo.
"Kulihat wajahmu murung, ada apa...?" kembali Ki Legok Menggo bertanya. Matanya menatap lekat wajah adik sepupunya yang tampak gelisah, hingga berulangkali membetulkan duduknya.
"Aku khawatir dengan keselamatanmu, Kakang," sahut Ki Soma.
Ki Legok Menggo tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa yang kau khawatirkan, Soma?" tanya Ki Legok Menggo penuh kesabaran.
Senyumnya masih mengembang di bibir, seakan pasrah dengan apa yang terjadi.
"Kau mengkhawatirkan aku dibunuh orang aneh itu?"
"Benar, Kakang. Dan kurasa orang itu telah kita kenali."
"Siapa...?"
"Ki Wulung."
"Ah! Jangan asal menuduh, Soma! Apakah kau melihat buktinya...?" tanya Ki Legok Menggo berusaha mengingatkan adik sepupunya. Lelaki tua itu bangkit berdiri dari duduknya, lalu melangkah menuju jendela.
"Rasanya sulit kalau kita menuduh orang aneh itu. La-gi pula, bukankah kau begitu akrab dengannya" Mengapa kini malah menuduh dia?" Ki Soma terdiam, tapi wajahnya masih menggambarkan kegelisahan. Tampaknya ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.
"Tapi dilihat dari gerak-geriknya yang aneh, kurasa dialah orangnya, Kakang. Atau setidaknya dia mengenai orang yang telah menolong dirinya tadi pagi," tukas Ki Soma berusaha meyakinkan kakak sepupunya. Ki Legok Menggo menghela napas dalam-dalam.
Tubuhnya berbalik, kembali menatap wajah Ki Soma.
"Kau yakin itu, Soma?" tanya Ki Legok Menggo menegaskan.
"Ya! Mana ada orang yang menolong tanpa pamrih dan tidak saling kenal?" Ki Soma balik bertanya.
"Hanya pendekar saja yang berbuat begitu."
"Mungkin pembunuh yang belum kita ketahui itu pendekar, Soma." Ki Soma tersenyum sinis, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Sementara Ki Legok Menggo terdiam. Pikirannya kembali dilanda seribu macam pertanyaan mengenai ucapan adik sepupunya itu.
"Benar juga katamu, Soma. Hm, tapi apakah mungkin Ki Wulung mempunyai niat buruk seperti itu...?" tanya Ki Legok Menggo.
"Mengapa tidak" Dalamnya laut bisa diduga, Kang. Tapi dalamnya hati, kita tak tahu." Ki Legok Menggo termangu-mangu mendengar ucapan adik sepupunya. Seakan apa yang dikatakan adik sepupunya disetujuinya.
"Lalu apa rencanamu, Soma?"
"Hm...," gumam Ki Soma tak jelas. Matanya memandang lepas ke pintu, seakan tengah memikirkan jalan apa yang sepantasnya dia lakukan untuk langkah selanjutnya.
"Kalau Kakang memberi izin, bagaimana jika para pendekar di desa ini mencari Ki Wulung dan istrinya, yang tiba-tiba menghilang semenjak terbunuh-nya Ki Majal?" Sejenak Ki Legok Menggo terdiam. Tangannya menopang dagu. Kakinya melangkah menuju meja tempat adik sepupunya masih duduk sambil tersenyum. Sepertinya merasa yakin kalau apa yang direncanakan akan terlaksana.
"Hhh...!" Ki Legok Menggo menarik kursinya, duduk di hadapan Ki Soma yang masih sabar menunggu keputusan kakak sepupunya.
"Kalau memang itu yang kau anggap baik untuk mengatasi semuanya, aku setuju saja."
"Beres, Kakang. Di tanganku, semua akan beres. Kakang tinggal menunggu hasilnya," kata Ki Soma berusaha meyakinkan hati kakak sepupunya.
"Ya, ya.,.. Aku percaya dengan gagasanmu, Soma...," sambut Ki Legok Menggo sambil tersenyum. Lelaki tua itu merasa, setiap urusan yang ditangani Ki Soma selalu cepat beres. Hal itu telah dibuktikan dengan tertangkapnya Gagar Blarak, karena dianggap sebagai biang keladi dari kejadian yang banyak membawa korban.
"Hua ha ha...! Selama aku berada di sampingmu, tak akan ada orang yang berani usil mengganggumu, Kakang! Bukan begitu...?" tanya Ki Soma sambil tertawa tergelak-gelak. Ki Legok Menggo pun turut tertawa senang mendengar ucapan adik sepupunya itu.
"Ya ya...! Kau memang benar, Soma. Selama kau ada di sampingku, kedudukanku tak akan mungkin tergeser oleh orang-orang yang bermaksud jahat.
Tak percuma sejak kecil kau ku asuh," tukas Ki Legok Menggo turut senang.
"Baiklah, Kakang. Aku permisi dulu untuk mengundang mereka." Setelah menjura hormat pada Ki Legok Menggo, Ki Soma pun melangkah meninggalkan tempat itu.
Namun, baru saja beberapa tindak Ki Soma melangkah, tiba-tiba....
Swing! Swing! "Awas, Kakang!" pekik Ki Soma sambil melenting dan bersalto, mengelakkan serangan-serangan gelap yang melesat ke tubuhnya.
Jlep, jlep! "Aaakh...! "Wuaaa...!" Dua orang penjaga rumah Ki Legok Menggo terpekik keras ketika senjata-senjata rahasia itu menerjang tubuh mereka.
Ki Soma dan Ki Legok Menggo dengan gesit mengelak. Sehingga senjata-senjata rahasia itu melesat di atas kepala dan bawah kaki mereka lalu menghunjam di dinding rumah Ki Legok Menggo.
Jlep, jlep...! "Kurang ajar!" maki Ki Soma gusar. Dengan cepat lelaki itu memburu keluar mencari asal datangnya senjata-senjata rahasia itu. Namun sesampainya di luar, dia tidak menemukan siapa-siapa. Yang dapat dilihatnya hanya dua orang penjaga rumah Ki Legok Menggo yang tergeletak mati dengan leher terhunjam senjata-senjata berbentuk pisau kecil berwarna putih.
Dengan wajah merengut, Ki Soma kembali masuk menemui kakak sepupunya.
"Kau temui?" tanya Ki Legok Menggo.
"Setan! Dia begitu cepat berlalu," dengus Ki Soma. Matanya menatap tajam dua pisau kecil yang menancap di dinding. Di gagang pisau kecil itu terdapat lipatan surat.
Ki Soma menggeram sengit. Dengan penuh kebencian, dihampirinya pisau-pisau kecil itu. Kemudian dicobanya untuk mencabut pisau kecil yang terdapat surat di gagangnya.
"Hih!" Mata Ki Soma terbelalak, ketika mencabut pisau-pisau kecil itu. Ternyata pisau itu cukup kuat dan menancap dalam. Sehingga Ki Soma harus mengerahkan tenaganya untuk dapat mencabut pisau itu.
"Setan alas! Keras sekali pisau ini!" dengus Ki Soma sambil kembali berusaha mencabut pisau kecil yang menancap di dinding rumah.
"Hhh...!" Prut! Hampir saja tubuh Ki Soma terjengkang, ketika pisau dapat dicabutnya dari dinding. Diamatinya pisau kecil itu, kemudian dibukanya lipatan surat yang ada di gagang pisau.
"Kau kenal siapa pemilik pisau-pisau ini, Kakang?" tanya Ki Soma sambil menyerahkan pisau kecil dan surat yang telah dibuka dari gagang pisau.
"Entahlah," sahut Ki Legok Menggo.
Dibukanya lipatan surat, kemudian dengan hati-hati dibacanya isi surat itu. Seketika mata Ki Legok Menggo membelalak, ketika membaca tulisan di daun lontar itu. Ki Legok Menggo, kalau kau memang tak becus memimpin, kuharap kau pergi saja dari Desa Kembang Tebu. Biar aku yang menggantikan mu. Kau tak ada ar-tinya sama sekali di desa ini! Ki Wulung.
"Kurang ajar! Rupanya tua bangka itu benarbenar ingin membuat keonaran di desa ini, Kakang!" geram Ki Soma. Ki Legok Menggo terdiam. Tatapan matanya kosong. Meskipun surat itu ditujukan pada dirinya, dan jelas merupakan hinaan yang menyakitkan, tapi dia tak dapat berbuat apa-apa. Dia belum bisa menentukan jalan apa yang harus dilakukan untuk menanggapi isi surat itu.
"Kakang, kita tak boleh diam saja! Jelas dia benar-benar menantangmu. Sebagai seorang adik, aku tak bisa membiarkan hinaan yang pahit ini," Ki Soma masih terus menggeram sengit. Tangannya mengepal dengan gigi-gigi bergemerutuk menahan amarah.
"Hhh...," desah Ki Legok Menggo lirih. Diku-lumnya bibir dalam-dalam. Kakinya melangkah menuju pintu rumahnya. Dilihatnya dua sosok penjaga rumahnya tewas dengan keadaan yang mengenaskan. Di leher mereka, terhunjam pisau-pisau kecil berwarna keperakan.
"Jelas yang dimaksud adalah Kakang. Mengapa Kakang masih diam?" desak Ki Soma, mengharap Ki Legok Menggo segera memutuskan untuk menghadapi hinaan itu.
"Kalau Kakang tak ambil tindakan, berarti tak khawatir kedudukan Kakang akan tergoyah olehnya. Kakang harus ingat, bagaimana susahnya dulu Kakang mendapatkan kedudukan ini!" Ki Soma terus mendesak kakak sepupunya agar segera mengambil keputusan untuk melakukan tindakan.
"Kini semua sudah jelas, pasti Ki Wulung orangnya. Mengapa mesti bingung" Kita harus secepatnya menangkap Ki Wulung!" tegas Ki Soma berapi-api. Matanya berkilat, karena terbakar amarah yang me-luap-luap.
"Baiklah, Soma. Kini kuserahkan semua padamu," akhirnya Ki Legok Menggo membuat keputusan.
"Perintahkan pada para pendekar Kembang Tebu untuk menangkap Ki Wulung. Cari dia sampai dapat!"
"Baik, Kakang." Ki Soma pun segera beranjak meninggalkan rumah Ki Legok Menggo.
Tidak lama kemudian, terdengar suara kentongan memberi isyarat agar warga Desa Kembang Tebu berkumpul.
"Ada apa, ya?" tanya seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh gemuk pada rekannya.
"Mana aku tahu. Yang jelas kita harus segera berkumpul di rumah Ki Legok Menggo," sahut lelaki bertubuh kurus dan berkumis lebat. Berbondong-bondong warga Desa Kembang Tebu menuju rumah Ki Legok Menggo. Di wajah mereka tergurat ketidak mengertian akan apa yang terjadi. Sudah tiga kali ini mereka diperintahkan kumpul di rumah Ki Legok Menggo.
"Mungkin ada yang menjadi korban lagi," gumam seorang lelaki berkepala botak.
"Iya! Kemarin juga begitu," sambung lelaki bertubuh pendek.
"Kematian kok seperti pisang goreng saja," gumam lelaki bertubuh tinggi dan berwajah garang.
"Kalau memang tak becus memimpin, bukankah lebih baik menyerahkan saja kekuasaannya." Dari langkah para warga Desa Kembang Tebu terdengar gerutuan beberapa orang. Tampaknya mereka merasa terganggu. Ketenangan yang selama ini dirasakan, tiba-tiba harus mendengar ribut-ribut tentang pembunuhan. Meskipun begitu akhirnya mereka berkumpul di halaman luas depan rumah Ki Legok Menggo. Tidak begitu lama, Ki Legok Menggo keluar menyambut warga desa yang berdatangan ke rumahnya, setelah mendengar suara kentongan dipukul. Wajah mereka menggambarkan ketidakmengertian serta ketidaksenangan atas undangan yang beruntun selama beberapa hari ini.
"Ada apa lagi, Ki Legok Menggo?" tanya lelaki bertubuh tinggi tegap dengan suara lantang.
"Hampir setiap hari kami diundang. Dan hampir setiap hari kami dengar kematian. Sampai kapan keributan ini akan terjadi"!"
"Tenang, Saudara! Aku tahu perasaan kalian.
Aku pun sebenarnya tak menghendaki lagi ada pembunuhan. Tapi, semua terjadi begitu mendadak, tanpa seorang pun yang tahu. Dan sore ini pun kembali dua orangku mati. Namun, kini aku telah mengetahui siapa sebenarnya pelaku dari bencana ini..."
"Siapa..."!"
"Katakan saja, Ki!"
"Biar kami cari!"
"Hukum gantung...!" Teriakan warga desa yang memang sudah jemu dan marah dengan kejadian-kejadian itu semakin ramai dan keras. Halaman rumah Ki Legok Menggo berubah hiruk-pikuk. Para warga Desa Kembang Tebu semakin tidak sabar untuk mengetahui pelaku tindak kekejian itu.
"Dengar semua! Orang yang telah berusaha merongrong kedudukan Kakang Legok tak lain Ki Wulung...!" seru Ki Soma, dari arah belakang penduduk.
"Dia malah telah berani mengirim surat hinaan pada Kakang Legok! Ini suratnya...!" Serentak warga desa membalikkan tubuh menatap Ki Soma yang menunjukkan surat itu. Seketika itu, para warga yang marah berteriak-teriak semakin garang.
"Cari dia!"
"Pancung kepalanya!"

***



«¤¤¦ 4 ¦¤¤»

Malam datang menyelimuti bumi, membawa suasana berbeda dari biasanya. Suasana yang penuh misteri di tengah kegelapan yang menyelubungi bumi.
Suasana yang terasa lebih mencekam dan menyeramkan. Suara angin yang menerpa dedaunan, serta suara binatang malam, seperti mengalunkan tembangtembang aneh yang membuat tubuh merinding. Membawakan syair-syair yang mengiris jiwa. Bulan sabit pun mengintip di balik awan, sepertinya enggan menampakkan wujudnya.
Malam itu Desa Kembang Tebu bagaikan mati.
Tak seorang manusia pun yang masih berada di luar rumah dalam malam gelap dan sunyi itu. Sepertinya penduduk Desa Kembang Tebu telah terlelap dalam tidur. Begitu pula yang dirasakan Ki Rumbayung, salah seorang pendekar Desa Kembang Tebu yang malam itu tak mampu memejamkan matanya.
Ki Rumbayung merasakan kegelisahan yang mencekam, setelah tadi sore dia mendapatkan sebuah tanda yang aneh. Ketika dia sedang duduk-duduk di serambi depan rumahnya, tiba-tiba sebilah pisau belati kecil melesat ke arahnya.
Hampir saja pisau belati itu mengenai lehernya, kalau saja Ki Rumbayung tak segera berkelit ke samping dengan cepat.
Ki Rumbayung pun melompat bangun dan berusaha mengejar pelaku yang telah melemparkan pisau kecil itu. Namun dalam sekejap saja, pelaku telah menghilang entah ke mana.
Tinggal Ki Rumbayung seorang diri yang menggerutu marah.
Dengan masih bersungut-sungut, lelaki berusia empat puluh tahun dan bertubuh gemuk itu melangkah ke serambi rumahnya di mana pisau kecil itu berada. Lelaki gemuk berambut bergelombang sebatas bahu itu segera mencabut pisau kecil yang menghunjam di dinding papan rumahnya.
Ketika Ki Rumbayung membuka lipatan kertas di gagang pisau, matanya membelalak. Di lipatan itu, tertera gambar silang merah. Ki Rumbayung benar-benar tak mengerti, siapa sebenarnya pelempar pisau kecil itu. Dia juga tak mengerti apa maksud dari tanda silang merah itu.
Ki Rumbayung masih nampak gelisah. Hatinya tak tenang setelah mendapatkan isyarat silang merah.
Lelaki berusia hampir setengah baya itu berjalan mondar-mandir di kamarnya.
Sesekali terdengar tarikan nafasnya panjang-panjang, dengan hembusannya yang terasa berat. Ketika kegelisahan masih mendera jiwanya, tiba-tiba....
Brak! "Hei"!" Ki Rumbayung tersentak kaget, ketika terdengar sesuatu jatuh. Mata Ki Rumbayung menyapu ke sekelilingnya dengan pandangan tajam. Tangannya siap untuk menyerang jika terjadi sesuatu yang tak terduga. Wrrr...! Sebuah senjata melesat cepat ke arah Ki Rumbayung. Cepat-cepat lelaki gemuk berpakaian ungu itu melompat ke samping, mengelakkan serangan gelap itu.
"Uts!" Wrrr! Jlep! "Kurang ajar! Siapa kau..."!" bentak Ki Rumbayung geram. Cepat-cepat dia melompat ke jendela, berusaha melihat siapa yang tadi menyerangnya. Namun belum juga sampai, tiba-tiba sebuah bayangan biru kehitam-hitaman telah mendahului masuk ke kamar dengan cepat dan langsung menyerang Ki Rumbayung. Wuttt! "Uts! Setan alas! Siapa kau..."!" bentak Ki Rumbayung sambil mengelakkan serangan yang datangnya secara mendadak dan cepat itu. Tubuhnya dimiringkan ke samping, kemudian dengan tubuh agak rendah Ki Rumbayung berusaha membalas serangan lawan. Srt! Tangan Ki Rumbayung menarik pedang yang tersampir di pundaknya, setelah serangan balasannya dapat dielakkan lawan. Dengan jurus 'Sempalan Karang', Ki Rumbayung bergerak menyerang lawan. Pukulan tangannya menimbulkan suara menderu dari angin yang menyertainya.
"Heaaa...!"
"Uhk uhk uhk!" Wanita berpakaian biru kehitam-hitaman itu tampaknya masih muda, tapi tak bisa berbicara.
Hanya gerakan-gerakan anggota tubuhnya memberi isyarat yang mengatakan kalau Ki Rumbayung harus bersiap untuk mati.
Ki Rumbayung tersentak kaget, lalu menyurut mundur ke samping dengan mata tajam menatap gadis bertubuh agak bungkuk. Kini gadis itu berada di depannya dan berkata dengan bahasa isyarat kalau lelaki di depannya harus mati.
"Siapa kau"! Rupanya kau bisu, Bocah. Apa maksudmu mengatakan aku harus mati"!" bentak Ki Rumbayung bersikap waspada.
Pedang telah siap di tangan kanannya.
"Uuuhk...!" Gadis bisu berusia sekitar lima belas tahun berpakaian kumal dan tubuh agak bungkuk itu melolong panjang. Kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak menyerang Ki Rumbayung. Gadis itu menggenggam sebilah pisau yang menyerupai badik panjang dan tajam. Pisau itu dibabatkan ke leher Ki Rumbayung dengan cepat. Wut..! "Hiaaa...!" Ki Rumbayung tersentak kaget menyaksikan kecepatan serangan gadis bisu itu. Dengan cepat Ki Rumbayung melompat ke samping, kemudian dengan cepat pula melancarkan serangan.
"Hop! Yeaaa...!" Ki Rumbayung terus bergerak meliukkan tubuh dengan sesekali balas menyerang. Pedangnya bergerak cepat, membabat ke tubuh lawan yang gencar melakukan serangan. Namun lawan yang bertubuh bungkuk itu sangat gesit. Sehingga sulit bagi Ki Rumbayung untuk dapat menempatkan serangannya pada sasaran yang tepat. Dengan jurus 'Buaya Memburu Lawan' gadis bisu itu terus merangsek Ki Rumbayung. Seranganserangannya datang begitu cepat. Sehingga Ki Rumbayung pun kewalahan.
"Heaaa...!"
"Ukh!" Gadis bisu dan bungkuk yang mengenakan pakaian biru kehitam-hitaman itu semakin mengganas.
Dia melompat cepat. menerjang ke arah Ki Rumbayung. Begitu cepat gerakannya, hingga membuat Ki Rumbayung tersentak kaget.
Edan! Bocah semuda ini memiliki ilmu yang tinggi. Hm, siapa sebenarnya bocah bisu ini" Dan mengapa dia menyerangku" Tanya Ki Rumbayung dalam hati sambil bergerak ke samping dengan disertai liukan tubuhnya, mengelakkan sabetan pisau dan hantaman tangan kiri gadis bisu itu.
"Uts! Hih...!" Begitu lepas dari serangan, Ki Rumbayung segera melepaskan satu jotosan keras ke tubuh lawan.
Disusul dengan tebasan pedangnya yang tak kalah cepat, memburu gadis bisu yang dengan ringan bergerak ke samping dan melompat ke belakang.
"Uhk uhk...!" Gadis bisu itu bersalto dua kali di udara. Kemudian dengan enteng, tubuhnya melayang di udara.
Bersamaan dengan itu tangannya menghantam ke arah Ki Rumbayung. Hal itu membuat Ki Rumbayung tersentak kaget. Cepat-cepat lelaki tua itu memapaki pukulan lawan dengan tangan kirinya. Plak! "Uhk!"
"Hup! Uts...!" Ki Rumbayung membelalakkan mata, memandang tajam gadis bisu di hadapannya dengan kening berkerut. Tubuhnya terhuyung ke belakang, setelah berbenturan dengan tangan gadis itu. Dia tak menyangka kalau gadis semuda itu ternyata mampu mengimbangi tenaga dalam yang dimilikinya.
"Uuu...!" gadis itu melolong panjang. Matanya menatap tajam Ki Rumbayung.
Seolah-olah ada sesuatu yang tersimpan pada sorot matanya.
"Siapa kau sebenarnya, Bocah"! Mengapa datang-datang menyerangku...?" tanya Ki Rumbayung.
"Uuu...!" Gadis bisu bertubuh bungkuk itu menggerakkan tangannya, seperti hendak memberitahukan siapa dirinya. Ditunjuk dengan telunjuk tangannya, kalau dirinya semata-mata untuk mencari pembunuh orangtuanya dan membalas dendam atas kematian kedua orangtuanya.
"Siapa nama orangtuamu, Bocah"!" bentak Ki Rumbayung.
"Uuu...!" gadis bisu itu kembali menggerak-gerakkan tangannya, mengatakan bahwa kedua orang- tuanya tak lain yang dulu dibakar Ki Rumbayung bersama para pendekar Desa Kembang Tebu lainnya.
"Heh..."! Kau anak Gagar Blarak...?"
"Uuu...!" seru gadis bisu itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan cepat gadis itu kembali menyerang Ki Rumbayung. Gerakan yang dilakukan begitu cepat. Sabetan dan pukulannya mengandung tenaga dalam tinggi, membuat Ki Rumbayung terpaksa berjumpalitan untuk dapat mengelakkan serangan gencar itu.
"Hups! Heaaa...!"
"Uhk...!" Wut! Pertarungan di dalam kamar yang cukup luas itu tak terelakkan lagi. Keduanya saling serang dengan jurus-jurus andalan mereka. Gerakan gadis bisu itu sangat cepat, menyerang ke seluruh bagian tubuh Ki Rumbayung. Tangan ka nannya yang memegang pisau mirip badik, bergerak ke leher lelaki setengah baya itu.
Wut! Trang! "Hih!" Begitu mendapat kesempatan, dengan jurus 'Gelombang Pasang' Ki Rumbayung segera menyerang lawan. Tubuhnya melenting ke udara laksana gelombang, kemudian menukik ke bawah dengan pedang siap menusuk kepala lawan.
"Yeaaa...!" Wuttt! "Uuu...!" Gadis bisu yang melihat serangan lawan segera menggeser kakinya dua tindak ke belakang. Lalu dengan cepat senjatanya yang mirip badik dibabatkan, memapak serangan Ki Rumbayung.
"Uuu...!"
"Heaaa...!" Trang! Ki Rumbayung dengan cepat menarik pedangnya. Lalu dengan cepat pula dia bergerak ke belakang tubuh lawan. Kakinya digerakkan menendang ke arah punggung lawan.
"Heaaa!" Gadis bisu itu tersentak kaget, dia berusaha berbalik dan memapaki serangan lawannya. Namun ternyata tendangan Ki Rumbayung lebih cepat, hingga... Degk! "Uuukh...!" Gadis bisu itu terpekik keras, tubuhnya terhuyung ke depan hampir mencium tanah. Untung saja, keseimbangannya dapat dikuasai, hingga tidak terus meluncur. Tubuhnya berbalik, menatap bengis pada Ki Rumbayung.
"Uuu...!" Setelah melolong panjang, gadis bertubuh bungkuk itu dengan cepat kembali menyerang. Pisau yang menyerupai badik di tangannya bergerak cepat, membabat ke leher lelaki setengah baya itu.
Ki Rumbayung tersentak kaget. Pedangnya segera digerakkan untuk mengimbangi serangan yang dilancarkan gadis itu. Sesekali tangan dan kakinya bergerak memukul dan menendang ke dada dan perut lawan.
"Yeaaa...!"
"Uuu...!" Trang! Tangan Ki Rumbayung bergetar hebat, ketika beradu dengan senjata di tangan si gadis bisu. Mata Ki Rumbayung membelalak lebar, memandang dengan tegang ke arah gadis bisu yang juga menatap wajahnya penuh kebencian.
"Uuu...!" Gadis bisu itu melolong panjang, kemudian kembali menyerang Ki Rumbayung. Tangan kanannya yang memegang senjata mirip badik bergerak ke leher Ki Rumbayung. Sedangkan tangan kirinya kini melancarkan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga dalam begitu kuat.
"Uuu...!" Wut! "Heit! Edan...!" maki Ki Rumbayung, sambil bergerak mengelak ke samping.
Sehingga pukulan lawan yang mengandung tenaga dalam tinggi lewat beberapa jari di samping tubuhnya.
Gadis bisu yang merasa serangannya dapat dielakkan lawan nampak semakin beringas. Serangan yang dilakukannya semakin cepat dan menggunakan tenaga dalam tinggi. Sedangkan tangan kanannya bergerak menyabetkan senjata ke leher lawan Wut! "Ikh!" Ki Rumbayung tersentak kaget, tak menyangka kalau serangan lawan begitu cepat. Dengan cepat Ki Rumbayung melompat ke belakang, mengelakkan sabetan senjata lawan. Namun, rupanya gadis bisu itu bagaikan tak mau memberikan harapan dan kesempatan pada lelaki setengah baya itu. Dia kembali memburu ke arah Ki Rumbayung dengan cepat.
"Uuu...!" Wut! Wut! Gadis bisu bertubuh bungkuk yang mengaku anak Gagar Blarak itu semakin beringas menyerang.
Gerakannya liar, sulit untuk diterka ke arah mana dia menyerang. Hal itu cukup membuat Ki Rumbayung kewalahan. Lelaki berusia setengah baya itu harus berjumpalitan ke sana kemari untuk dapat menghindari sabetan dan pukulan lawan.
"Eits! Heaaa...!" Baru saja Ki Rumbayung mengelakkan serangan, tiba-tiba tangan gadis itu merogoh sesuatu dari balik pakaiannya. Kemudian dengan cepat tangan kirinya dikibaskan. Saat itu juga....
Swing! Swing! Lima bilah pisau kecil berwarna perak melesat dari tangannya. Ki Rumbayung kaget melihat bendabenda meluncur ke tubuhnya.
"Hup!" Dengan cepat Ki Rumbayung bergerak. Tubuhnya melenting, mengelakkan pisau-pisau kecil itu.
Tangannya mengebutkan pedangnya.
Trang! Trang! Jlep! "Akh...!" Ki Rumbayung terpekik ketika pahanya terhunjam sebilah pisau kecil yang dilemparkan gadis bisu itu. Mulutnya meringis menahan rasa sakit.
"Uuu...!" Gadis bisu itu melolong panjang. Kemudian tanpa menghiraukan Ki Rumbayung yang menahan rasa sakit, tangannya berkelebat menyerang dengan sabetan senjata berupa pisau mirip badik ke leher Ki Rumbayung.
Wret! Cras! "Aaa...!" Ki Rumbayung menjerit dengan leher hampir putus. Darah langsung muncrat. Sesaat Ki Rumbayung meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
"Uuu...!" gadis bisu itu melolong panjang. Sesaat kemudian tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu, menembus kegelapan malam yang sunyi mencekam.

***



«¤¤¦ 5 ¦¤¤»

Ki Soma dan para pengikutnya yang tengah mengejar Ki Wulung bersama istrinya, kini telah sampai di Hutan Waradas. Hutan ini terletak di sebelah barat Desa Kembang Tebu. Sejauh itu, mereka belum menemukan jejak lelaki tua yang dianggap sebagai orang tak waras. Juga dianggap teman dari orang yang telah membunuh dua orang pengawal Ki Legok Menggo dan seorang jawara Desa Kembang Tebu.
"Hm.... Menurut petunjuk warga, Ki Wulung dan istrinya lari ke hutan ini," gumam Ki Soma.
"Benar, Ki," sahut Ki Kalawuku, seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun bertubuh kekar dengan sorot mata tajam. Rambutnya terurai lepas, dengan ikat kepala kain merah. Lelaki ini juga jawara Desa Kembang Tebu "Sebaiknya kita bagi dua saja! Sebagian ikut aku, dan sebagian lagi ikut kau," usul Ki Soma.
"Baiklah," sahut Ki Kalawuku.
Setelah dibagi, kedua kelompok yang masingmasing dipimpin Ki Soma dan Ki Kalawuku menyebar.
Satu ke arah selatan sedangkan yang satunya lagi ke arah utara. Dengan diikuti sepuluh orang. Ki Kalawuku menerobos hutan. Namun tiba-tiba langkah kakinya terhenti, ketika telinganya mendengar suara gelak tawa dari dalam hutan. Kening Ki Kalawuku berkerut dalam "Hi hi hi...! Lucu sekali kalian. Mengapa kalian harus lari-lari seperti dikejar setan" Hua ha ha...!"
"Hei, sepertinya ada orang di dalam hutan ini, selain Ki Wulung dan istrinya," gumam Ki Kalawuku.
"Didengar dari suaranya, tentunya orang yang tertawa itu masih muda. Suaranya aneh, seperti orang gila saja." Ki Kalawuku menggerakkan tangan kanannya memberi perintah pada sepuluh anak buahnya untuk menerobos masuk dan melihat siapa pemuda yang seperti orang gila itu.
Mata Ki Kalawuku dan kesepuluh pengikutnya terbelalak, ketika melihat seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular tengah tertawa tergelak gelak. Di hadapannya duduk dengan kaki ditekuk Ki Wulung bersama istrinya.
"Hua ha ha...! Orang-orang aneh," gumam pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalau kalian tak salah, mengapa mesti lari?"
"Sungguh. Tuan. Kami tak salah.... Kami tak tahu apa-apa dengan kejadian di desa kami," jawab Ki Wulung dengan kepala menengadah, menatap wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan.
"Bagus! Rupanya kalian ada di sini! Kami caricari, akhirnya kami temukan juga...!" Tiba-tiba Sena dikejutkan oleh suara bentakan dari utara. Cepat Sena memandang ke asal suara itu.
Nampaklah seorang lelaki tinggi tegap berkumis melintang diikuti sepuluh orang penduduk desa.
"Aha, siapa lagi kalian?" tanya Sena masih dengan gerik-geriknya yang seperti orang gila. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir kuda.
"Bocah edan! Seharusnya kami yang bertanya, bukan kau"!" bentak Ki Kalawuku.
"Siapa kau dan dari mana kau serta hendak apa kau ke desa kami?"
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki" Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrakan seperti kera. Sementara Ki Wulung dan istrinya bertambah tegang, menyaksikan kedatangan Ki Kalawuku dan kesepuluh pengikutnya. Mereka menyadari, kalau Ki Kalawuku dan kesepuluh orang itu tentu akan menangkapnya. Menghadapi sepuluh orang warga Desa Kembang Tebu dan Ki Kalawuku, mungkin Ki Wulung masih sanggup. Tapi jika pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu ikut membantu, mungkin Ki Wulung akan kelabakan juga.
"Tuan, sungguh kami tak tahu masalahnya." ujar Ki Wulung mengharap pengertian Pendekar Gila.
Sena tertawa terbahak-bahak.
"Aha, aku tak tahu apa yang tengah terjadi dengan kalian. Tapi baiklah, kurasa ada baiknya kita ngobrol. Hi hi hi...," Sena tertawa cekikikan.
"Namaku Sena, aku hanya ingin lewat di desa kalian."
"Aku tak peduli siapa dirimu. Aku hanya ingin menangkap kedua orang itu!" bentak Ki Kalawuku.
"Serahkan kedua orang tua itu, kemudian kuharap kau cepat pergi dari tempat ini!" Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar ucapan Ki Kalawuku. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Dengan mulut nyengir, matanya memandang ke langit.
"Aha, sungguh berartikah kedua orang tua ini bagi kalian?" tanya Sena.
"Ya! Keduanya harus kami tangkap!"
"Hi hi hi...! Enak sekali kalian hendak menangkap orang! Ah ah ah.... Apakah kalian punya bukti yang memberatkan mereka bersalah?" tanya Sena.
"Ya! Keduanya bersekutu dengan orang yang telah membuat keonaran di desa kami," tukas Ki Kalawuku. Pendekar Gila menatap wajah Ki Wulung yang masih terdiam di belakangnya.
"Aha, benarkah itu, Ki?" tanya Sena.
"Tidak! Kami tak tahu apa-apa dengan masalah itu," jawab Ki Wulung.
"Aha, lalu apa yang sebenarnya terjadi?"
"Desa kami akhir-akhir ini diteror seseorang yang telah membunuh beberapa orang," tutur Ki Kalawuku menjelaskan.
"Hi hi.hi..! Apakah kedua orang tua ini orang baru di desa kalian...?" tanya Sena.
"Kami lama di desa itu, Tuan. Malah sebelum mereka datang, kami telah lebih dulu tinggal di Desa Kembang Tebu," selak Nyi Wulung.
"Hm, aneh...! Kurasa keduanya tak salah, Ki.
Mengapa kalian memburu mereka?" tanya Sena.
"Huh, bagaimanapun juga, kami tak mungkin dibohongi olehmu, Orang Tua Gila! Bukankah pembunuh gelap itu selalu menolongmu"!" dengus Ki Kalawuku gusar.
"Dan kuminta padamu, Bocah. Jangan ikut campur urusan kami!" Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar ancaman Ki Kalawuku. Tingkah lakunya yang seperti orang gila, semakin menjadi-jadi. Ki Kalawuku yang tak sabar kian bertambah jengkel.
"Tangkap kedua orang tua itu...!" perintah Ki Kalawuku pada kesepuluh anak buahnya yang serentak maju hendak menangkap Ki Wulung dan istrinya.
Melihat kesepuluh anak buah Ki Kalawuku maju hendak menangkap Ki Wulung, Pendekar Gila yang melihat kalau kedua orang tua itu tampaknya tak bersalah, segera menghadang mereka.
"Aha, mengapa kalian berbuat seenaknya sendiri" Kurasa kalian telah salah sangka...."
"Tutup mulutmu, Bocah Edan!" bentak Ki Kalawuku. Kemudian pandangannya beralih pada anak buahnya.
"Dialah yang telah membuat desa kita terce-kam ketakutan. Mungkin pemuda itulah pelaku pembunuhan itu! Serang dia...!"
"Yeaaa...!"
"Hiaaa...!" Dengan golok-golok terhunus, sepuluh pengikut Ki Kalawuku segera merangsek maju, bermaksud menangkap Pendekar Gila dan kedua suami istri itu.
"Aha, rupanya kalian benar-benar berkepala batu! Baik.... Mari kita main-main. Yeaaa...!" Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Sena segera memapaki serangan sepuluh anak buah Ki Kalawuku. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, dengan sesekali disertai tepukan tangan ke dada lawan. Merasa ada yang membela, Ki Wulung pun tak mau tinggal diam. Lelaki tua itu segera bergerak guna menghadapi sepuluh anak buah Ki Kalawuku.
"Yeaaa...!"
"Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mampus!" dengus Ki Kalawuku gusar. Dengan pedang siap di tangan, Ki Kalawuku melesat menyerang Ki Wulung.
"Terimalah kematianmu, Tua Bangka!" Wut! "Uts! Hup...!".
Ki Wulung memiringkan tubuhnya ke kanan, mengelakkan serangan yang dilancarkan Ki Kalawuku.
Kakinya diangkat dengan lutut menekuk. Kemudian dengan keras dihantamkan ke pinggang lawan.
"Hih!" Ki Kalawuku segera menarik serangannya dan melompat ke belakang dengan cepat. Kemudian dengan cepat pula dia kembali menyerang. Pedang di tangannya bergerak cepat menggunakan jurus 'Walang Jaga Turi' membabat dan menusuk tubuh lawan Wut! "Heaaa...!" Melihat serangan lawan disertai tenaga dalam yang cukup tinggi, Ki Wulung pun lebih berwaspada.
Kakinya segera menjejak ke samping, berlompatan sebentar kemudian kembali menyerang dengan jurus 'Lurung Merangsek Mencakar Lawan'. Gerakannya seperti seekor lutung. Tangannya membuat cengkeraman kuat dan memburu Ki Kalawuku.
"Hiaaa...!" Tangan kanan Ki Wulung maju mencengkeram ke wajah lawannya dengan cepat, disusul dengan sapuan kaki kanannya yang menendang ke kaki lawan.
Wrrrt! Di pihak lain, Pendekar Gila yang menghadapi keroyokan sepuluh anak buah Ki Kalawuku nampak tenang. Gerakan Sena tampak baru sekadar untuk memapak dan bertahan, belum mulai melancarkan serangan. Tepukan-tepukan tangannya tidak sekuat seperti biasanya.
"Hi hi hi...! Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa-tawa sambil tubuhnya meliuk-liuk. Sesekali tangannya merenggut pakaian lawan, kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Setelah itu tubuhnya melenting dan berjumpalitan seraya menggaruk-garuk pantat Suasana Hutan Waradas seketika menjadi riuh oleh jeritan dan pekikan dari mulut mereka yang melakukan serangan. Banyak pepohonan kecil tumbang terinjak dan terbabat senjata tajam.

***

"Hi hi hi...! Kalian memang lucu dan aneh.
Mengapa kalian kebingungan" Nih untuk kalian...!" se-ru Sena sambil menunggingkan pantatnya ke arah lawan-lawannya. Lalu dari mulutnya terdengar suara seperti kentut Brut...! "Hi hi hi! Enak bukan"!"
"Setan alas! Jangan biarkan pemuda gila itu lolos! Serang dia...!" seru Ki Kalawuku sambil melesat menyerang Ki Wulung dengan babatan pedangnya yang cepat. Serentak sepuluh orang anak buah Ki Kalawuku merangsek maju, membabat Pendekar Gila dengan golok terhunus. Serangan datang dari segenap penjuru dan secara bersamaan.
"Ku rencah tubuhmu, Bocah!"
"Kubikin sate tubuhmu. Hih...!" Pendekar Gila dengan tertawa-tawa segera melentingkan tubuh ke udara, lalu dengan cepat tangannya menjitak kepala orang-orang yang menyerangnya.
Pletak! "Aduh!"
"Hi hi hi...! Enak bukan?" Sena terus bergerak, menjitaki kepala mereka.
Tubuhnya berkelebat melenting ke atas, bersalto, dan kembali menjitaki kepala lawan. Pletak! "Akh!" Jeritan kesakitan seketika terdengar susulmenyusul dari mulut kesepuluh orang yang menyerang Pendekar Gila. Bagaikan ayam terkena penyakit, mereka berputar-putar dengan tangan memegangi kepala yang terasa sakit dan benjol akibat jitakan tangan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kalian. Dunia seperti berputar, bukan"! Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala, menyaksikan kesepuluh pengeroyoknya memegangi kepala seperti orang ayan.
"Waduh! Tolong...!" Sementara itu, Ki Wulung melakukan serangan gencar. Jurus-jurus lutungnya sangat cepat. Kini dengan jurus 'Lutung Berayun Menendang Lawan', Ki Wulung melenting ke atas, kedua kakinya bergerak menendang.
"Heaaa...!" Wrt! "Ups! Hup! Hih...!" Ki Kalawuku segera berkelit dengan membuang tubuh ke samping kiri. Kemudian dengan cepat pula pedangnya dibabatkan ke atas, terarah ke tubuh Ki Wulung yang berada di atasnya.
Wut! Pedang Ki Kalawuku begitu cepat membabat ke arah Ki Wulung. Rasanya sulit bagi laki-laki tua itu untuk dapat mengelakkan babatan pedang Ki Kalawuku.
"Mampuslah kau, Ki!" Ki Wulung berusaha mempercepat lentingan tubuhnya agar dapat lepas dari sabetan pedang lawan.
Namun gerakannya terasa sulit, karena pedang di tangan Ki Kalawuku lebih cepat membabat ke segala arah.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba....
Trang! "Ukh!" Ki Kalawuku mengeluh. Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan mulut meringis menahan sakit.
Matanya terbelalak, menatap penuh kemarahan pada Pendekar Gila yang tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala. Di tangan Pendekar Gila telah tergenggam Suling Naga Sakti. Suling itulah yang tadi digunakan untuk menangkis pedang Ki Kalawuku yang hampir saja membunuh Ki Wulung.
"Aha, kau kira dirimu tak lebih keji dari si pembunuh itu, Ki"! Kurasa tak seimbang jika kau menggunakan pedang, sedangkan lawanmu tangan kosong," kata Sena.
"Cuih! Jangan banyak omong! Kalau kau memang ingin membelanya, kau pun boleh menghadapiku!" dengus Ki Kalawuku dengan gusar. Matanya melotot penuh amarah. Nafasnya memburu, bagaikan banteng terluka.
"Hi hi hi...! Lucu sekali ucapanmu, Ki. Aha, kau terlalu sombong karena kehebatanmu. Sayang, aku tak ada waktu untuk menerima tantanganmu. Mari Ki, Nyi...!" ajak Sena pada Ki Wulung dan istrinya.
"Kurang ajar! Berani kau menghinaku, Bocah Edan! Anak-anak. serang dia dan jangan biarkan hidup...!" perintah Ki Kalawuku yang sudah marah.
Kesepuluh anak buahnya serentak menyerang kembali, walau hati mereka telah ciut setelah mendapat jitakan Pendekar Gila.
"Heaaat...!" Merasa tak sempat memberi nasihat pada orang-orang Desa Kembang Tebu, Pendekar Gila segera memerintah Ki Wulung dan istrinya pergi dari tempat itu.
"Kalian pergilah dulu, nanti aku menyusul! Kerbau-kerbau dungu itu memang harus dibereskan.
Hua ha ha...!" sambil tertawa tergelak-gelak, Pendekar Gila melesat cepat, memapaki sepuluh anak buah Ki Kalawuku yang menyerangnya.
Namun, belum sampai Pendekar Gila menghadang mereka, tiba-tiba....
Swing! Swing...! Jlep! Jlep...! Puluhan pisau kecil tiba-tiba melesat cepat menghunjam di tubuh sepuluh pengikut Ki Kalawuku.
Hal itu membuat Pendekar Gila dan Ki Kalawuku tersentak kaget. Keduanya dengan cepat melompat mengelakkan serangan gelap itu.
Kesepuluh anak buah Ki Kalawuku menggelepar bagaikan ayam disembelih. Pisau-pisau kecil tajam itu menghajar leher dan dada mereka. Sesaat tubuh mereka meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
"Hups! Setan alas!" maki Ki Kalawuku sambil berjumpalitan menghindari seranganserangan gelap yang entah dari mana asalnya.
Pisau-pisau kecil itu melesat di bawah kaki Ki Kalawuku, lalu menghunjam di pepohonan.
Jlep, jlep...! "Huh! Aneh sekali. Sepertinya ada seseorang yang berusaha membungkam mereka," gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang Ki Wulung dan istrinya yang tiba-tiba telah lenyap.
"Hei, mereka menghilang!"
"Kini kau telah jelas, bukan"! Masihkah kau tak percaya dengan kata-kataku, Bocah Edan!" bentak Ki Kalawuku jengkel, merasa Pendekar Gila penyebab da-ri kegagalannya menangkap Ki Wulung dan istrinya.
"Aha, jangan cepat marah, Ki. Kurasa ada sesuatu yang menjadi teka-teki. Lihat, ada surat yang menempel di gagang belati," tunjuk Sena.
Ki Kalawuku menghampiri pisau-pisau kecil yang tertancap pada batang pohon. Dia segera berusaha mencabut salah satu pisau yang di gagangnya terdapat surat "Wih!" Ki Kalawuku harus mengerahkan tenaga untuk bisa mencabut pisau itu, karena pisau itu menancap dalam di pohon. Namun yang dapat diambilnya hanya gulungan daun lontar berisikan surat Ki Kalawuku segera membukanya, kemudian dengan mata membelalak dibacanya isi surat itu.
Hati-hatilah! Kalian dalam ancaman bahaya.
Ki Kalawuku mengerutkan kening ketika membaca baris pertama, begitu pula dengan Pendekar Gila.
Keduanya saling pandang, tak mengerti maksud sesungguhnya pengirim surat itu.
"Hei, apa maksudnya?" tanya Ki Kalawuku seperti ditujukan pada diri sendiri.
"Hm...," Sena menggumam tak jelas.
"Aha, kurasa dia bermaksud baik. Bacalah lagi yang lainnya." Ki Kalawuku yang semula benci pada Pendekar Gila segera menurut membaca tulisan di surat itu. Mata Ki Kalawuku semakin membelalak, ketika kembali membaca isi surat itu.
Jika kalian ingin tahu siapa aku, teruslah berjalan ke barat. Hati-hati, karena bahaya tengah mengintai kalian. Khususnya para pendekar di Desa Kembang Tebu. Ki Kalawuku benar-benar heran membaca tulisan itu. Ditatapnya Pendekar Gila yang masih cengengesan, sepertinya mengerti semua yang terjadi. Dan ketika lebih dalam lagi Ki Kalawuku mengamati pemuda gila itu, seketika tuduhannya hilang.
Pemuda gila! Gumam Ki Kalawuku dalam hati.
Hm, siapakah pemuda ini" Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila"
"Hi hi hi...! Aneh sekali! Masih ada juga orang yang baik hati pada para pendekar, khususnya pendekar di Desa Kembang Tebu," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Anak muda, kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya Ki Kalawuku.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa dengan mulut nyengir.
"Namaku Sena, Ki. Hi hi hi...! Hanya orang-orang saja yang menyebutku gila. Ah, memang aku gila." Terbelalak mata Ki Kalawuku mendengar pemuda bertingkah laku gila itu. Kini hatinya yakin, kalau Sena memang orang yang dijuluki Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, kurasa kau mengerti apa maksud tulisan ini. Bagaimana pendapatmu...?" tanya Ki Kalawuku.
"Hi hi hi...! Aha, mudah saja. Mengapa tak kita ikuti sarannya" Bukankah dengan begitu kita akan ta-hu siapa orang yang telah mengirim surat itu?" Sesaat Ki Kalawuku terdiam. Sepertinya dia tengah memahami kata-kata dalam tulisan itu. Kalau memang benar bahwa para pendekar Desa Kembang Tebu dalam ancaman, berarti ada orang-orang yang sengaja hendak menghancurkan Desa Kembang Tebu.
Gumam Ki Kalawuku dalam hati. Siapakah, dan apa tujuan orang itu membuat keonaran di Desa Kembang Tebu"
"Baiklah, Pendekar Gila. Mari kita ikuti apa kemauannya!" ajak Ki Kalawuku kemudian.
"Aha, kurasa ada baiknya begitu," sahut Sena dengan mulut cengengesan dan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ayolah! Kita harus segera tahu siapa sebenarnya orang yang mengirim berita ini!" ajak Ki Kalawuku.
"Aha, bagaimana dengan mayat-mayat itu?" tanya Sena, seraya menunjuk sepuluh anak buah Ki Kalawuku.
"Biarkan saja," sahut Ki Kalawuku.
Keduanya segera melesat cepat meninggalkan Hutan Waradas menuju arah barat, sesuai petunjuk yang diberikan pembunuh gelap itu.

***



«¤¤¦ 6 ¦¤¤»

Setelah tidak mendapatkan orang yang dicarinya, Ki Soma dan orang-orangnya kembali ke desa.
Mereka nampaknya tak berminat untuk meneruskan pencariannya. Apalagi setelah mereka menemukan kesepuluh mayat anak buah Ki Kalawuku di tengah hutan. Ditambah lagi hilangnya Ki Kalawuku yang entah ke mana, semakin membuat warga desa pengikut Ki Soma ciut nyalinya.
Ki Soma akhirnya memutuskan kembali ke Desa Kembang Tebu yang letaknya tak jauh dengan Hutan Waradas. Bahkan tepi hutan itu berdekatan dengan batas Desa Karang Tebu.
"Setan alas! Rupanya ada yang bermaksud menggagalkan rencana kita, Diajeng...," dengus Ki So-ma sambil melangkah mondarmandir di depan istrinya yang masih duduk di atas pembaringan. Mata Nyi Writampi tak lepas menatap suaminya yang tampak gelisah serta marah.
Malam itu Ki Soma benar-benar marah, karena akhir-akhir ini terdengar kabar ada dua orang anak muda aneh. Yang satu seorang pemuda dengan tingkah laku gila, sedangkan lainnya seorang gadis bisu dengan tingkah laku seperti gembel serta berbadan bungkuk "Siapakah, Kakang?" tanya wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun dengan rambut sasak lebar.
"Entahlah. Ada orang yang selalu mendahului setiap maksud kita. Dia seorang gadis muda bertubuh bungkuk," jawab Ki Soma masih menunjukkan wajah penuh amarah.
"Sepertinya dia selalu tahu apa yang bakal kita rencanakan." Nyi Writampi terdiam, hanya matanya saja yang masih memandang lekat ke arah suaminya. Wajah wanita itu pun melukiskan ketegangan, mendengar penuturan suaminya. Bibirnya digigit, seakan turut merasakan kejengkelan suaminya.
"Kalau begini terus-menerus, bisa-bisa rencana kita terbongkar, Diajeng," tukas Ki Soma cemas.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang?" Ki Soma terdiam, melangkah ke jendela kamarnya. Perlahan dibukanya jendela kamar, lalu ditatapnya rembulan yang tergantung di langit. Bulan itu membentuk sabit, dengan cahaya redup.
"Malam ini mungkin akan leluasa kita bergerak, Diajeng. Kita harus segera menyelesaikan semuanya dengan cepat, sebelum orang-orang mengetahui," gumam Ki Soma sambil menoleh dan menatap istrinya yang masih duduk di atas tempat tidur.
"Kita harus secepatnya menyingkirkan Kakang Legok Menggo yang dungu dan tak bisa apa-apa."
"Tapi, Kakang...."
"Ada apa, Diajeng" Kau sepertinya merasa ragu...?"
"Benar, Kakang. Apakah jika kita terburu-buru tak akan membuat orang curiga" Bukankah lebih baik kita menggunakan Srindi lebih dahulu" Dengan begitu, orang tentu tak akan menyangka kalau kitalah pelaku semuanya," saran Nyi Writampi.
Ki Soma tersenyum mendengar saran istrinya.
Kemudian dengan mengangguk-anggukkan kepala, istrinya dihampiri.
"Kau benar, Diajeng. Srindi memang telah banyak membantu kita. Dan orang-orang menyangka kalau pelaku semuanya adalah orang lain. Hm, benar! Sekarang ini, memang dialah yang pantas untuk menyingkirkan satu persatu para pendekar di Desa Kembang Tebu ini. Dengan begitu, orang akan menyangka ini pembalasan arwah keluarga Gagar Blarak," ujar Ki Soma dengan bibir semakin tersenyum lebar.
"Apakah malam ini pun dia akan kita utus, Kakang?"
"Ya! Malam ini giliran Anggastra. Bukankah ta-di sore telah diberikan tanda silang merah?" tanya Ki Soma.
"Benar, Kakang."
"Hm, semua orang akan semakin kebingungan.
Dan jika semua warga telah tak percaya lagi pada Kakang Lenggok Menggo, maka akulah yang akan menggantikan kedudukannya," gumam Ki Soma senang.
"Kalau begitu, kita harus menghubunginya," ujar Nyi Writampi.
"Ya. Cepatlah!" Nyi Writampi mengendap-endap meninggalkan rumahnya lewat pintu belakang untuk menghubungi Srindi.

***

Malam sudah jatuh menyelimuti Desa Kembang Tebu. Kesunyian begitu terasa di desa ini. Tak seorang pun yang terlihat di luar. Dan rumah-rumah tampak tertutup rapat pintu dan jendelanya. Hanya cahaya redup dari pelita kecil yang terlihat dari kisi-kisi pintu dan jendela setiap rumah. Namun, keadaan terangbenderang terlihat di rumah Ki Anggastra. Bahkan beberapa obor terpancang di setiap sudut halaman rumahnya. Suasana rumah Ki Anggastra seperti tengah mengadakan suatu pesta, tapi hanya para pendekar yang tampak di sana.
Sementara di dalam salah satu kamar, Ki Anggastra belum juga bisa merebahkan tubuhnya. Hatinya gelisah, setelah menerima tanda silang merah sore ta-di. Ketika dia tengah duduk-duduk di serambi, tibatiba melesat ke arahnya sebilah pisau kecil dengan gagang terdapat ikatan daun lontar. Hampir saja pisau itu membunuhnya, kalau Ki Anggastra tak cepat bergerak mengelak. Ki Anggastra membuka lipatan daun lontar yang ada di gagang pisau. Ternyata daun lontar itu bergambar tanda silang merah! Ki Anggastra tak tahu isyarat apa tanda silang merah itu. Tapi malam ini dia benar-benar gelisah, berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Beberapa kali terdengar tarikan nafasnya yang panjang, disertai hembusan napas yang terasa begitu berat.
"Hhh...!" Bruk! "Heh..."!" Tiba-tiba saja Ki Anggastra tersentak kaget, ketika mendengar suara seperti orang terjatuh. Cepatcepat lelaki berusia empat puluh tahun dan bercambang le-bat itu melompat ke jendela kamarnya. Tapi belum juga sampai, mendadak sesosok bayangan biru berkelebat cepat memasuki kamar melalui jendela yang terbuka lebar.
"Heii...!" Hampir saja Ki Anggastra terlanda bayangan biru itu, kalau saja tak cepat-cepat melompat ke belakang. Dua kali lelaki itu berputar di udara. Lalu dengan manis sekali mendarat di lantai yang keras dan li-cin. Saat itu, seorang bertubuh ramping sudah berdiri membelakangi jendela. Seluruh tubuhnya tertutup ba-ju biru yang ketat.
Sementara seluruh kepalanya juga terselubung kain biru pekat. Hanya dua lubang kecil pada matanya yang terlihat.
"Siapa kau...?" bentak Ki Anggastra. Tangan kanan Ki Anggastra cepat menyambar pedang yang tergeletak di atas meja, tak jauh di sebelah kanan. Begitu teraih, pedang itu cepat dipindahkannya ke tangan kiri. Sedangkan orang bertubuh ramping yang mengenakan pakaian biru tetap berdiri tegap, tak bergeming sedikit pun. Dari dua lubang di bagian mata, terlihat sorot matanya yang begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pendekar Desa Kembang Tebu ini. Dari bentuk tubuhnya sudah dapat dipastikan kalau dia seorang wanita.
"Uuu...!" wanita itu berseru. Tiba-tiba saja wanita berbaju biru yang ternyata bisu itu melompat secepat kilat, menerjang Ki Anggastra. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Ki Anggastra terhenyak sesaat. Namun, dengan cepat pula lelaki setengah baya itu melompat ke samping, sambil meliukkan tubuhnya, menghindari pukulan yang melayang cepat itu.
"Hup! Yeaaah...!" Begitu lepas dari serangan, Ki Anggastra cepat melepaskan satu tendangan keras menggeledek, dengan tubuh agak miring ke kiri. Tendangannya yang begitu cepat, mengarah langsung ke dada wanita ini.
"Uuu...!" Tanpa diduga sama sekali, wanita bisu berbaju biru itu malah menghentakkan tangan kirinya, memapak tendangan Ki Anggastra. Hingga tak pelak lagi, tangan dan kaki itu beradu keras.
Plak! "Uuu...!"
"Hup!" Ki Anggastra terpekik kecil. Lalu dengan cepat dia melompat beberapa langkah ke belakang. Sedangkan wanita bisu itu juga cepat melompat beberapa kali ke belakang. Mereka kini kembali berdiri saling berha-dapan, berjarak beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
"Uuu...!" Wanita berpakaian biru kembali melompat menyerang dengan kecepatan luar biasa. Beberapa pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, dilepaskan secara beruntun. Akibatnya, Ki Anggastra terpaksa berjumpalitan menghindarinya. Maka pertarungan di dalam kamar yang cukup luas ini pun tak terelakkan lagi.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Uuu...!" Begitu memiliki kesempatan, Ki Anggastra cepat melenting ke udara. Lalu, cepat sekali tangannya mengibas ke kepala wanita yang terselubung kain biru dengan jurus 'Tepisan Dewa Mengebut Angin'. Dengan gerakan kepala yang begitu manis, wanita bisu itu mampu mengelakkan sambaran tangan lawan.
"Yeaaa...!"
"Uuu...!" Dengan gerakan yang tak terduga dan cepat, Ki Anggastra memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek dengan tubuh berputar cepat. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Kembang Tebu ini, sehingga.... Begk! "Uuukh...!" Wanita bisu itu terpekik keras agak tertahan.
Tendangan yang mendarat tepat di dadanya begitu keras, membuatnya terpental deras ke belakang. Lontaran tubuhnya baru berhenti ketika menghantam dinding kamar, hingga bergetar hendak roboh.
Brak! Wanita bisu itu cepat menguasai diri dan kembali berdiri tegak, sambil memegangi dada yang terke-na tendangan keras lawan.
Matanya menyorot tajam ke arah Ki Anggastra.

***

"Hiyaaa...!" Ki Anggastra langsung melompat menyerang, sambil mengayunkan pedangnya dengan jurus 'Gelar Babat Yudha'.
"Hih! Yeaaah...!" Wanita bisu itu segera mencabut senjata badiknya. Kemudian secepat kilat dikebutkannya untuk menangkis sabetan pedang lawan.
Trang! Terdengar dua senjata berbenturan.
"Hiyaaa...!"
"Uuu...!" Ki Anggastra langsung melompat menyerang, sambil mengayunkan pedangnya yang tergenggam di tangan kanan. Dan secepat itu pula pedangnya dikebutkan ke arah kepala wanita aneh berbaju biru itu dengan jurus 'Gelar Babat Yudha'.
"Hih! Yeaaah...!"
"Uuu...!" Wanita bisu itu segera mencabut senjatanya yang berupa pisau menyerupai badik dari pinggangnya. Kemudian secepat kilat dikebutkannya untuk menangkis sabetan pedang lawan.
Trang! "Akh!" Ki Anggastra tersentak kaget setengah mati.
Cepat-cepat pedangnya ditarik, lalu melompat ke belakang beberapa langkah.
Hampir dia tak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Senjata menyerupai badik kecil di tangan gadis itu ternyata mampu menahan pedangnya yang besar dan kuat. Bahkan tangannya tadi sampai tergetar hebat.
"Hap!"
"Uuu...!" Ki Anggastra cepat menyilangkan pedangnya di depan dada. Perlahan kakinya bergeser beberapa langkah ke samping. Kemudian cepat sekali tangan kirinya bergerak mengebut ke depan. Saat itu juga, terlihat beberapa benda bulat berwarna putih melesat cepat dari tangan kiri Ki Anggastra.
"Hup!"
"Uuu...!" Bersamaan dengan lompatan wanita berpakaian biru dalam menghindari senjata-senjata rahasia itu, Ki Anggastra sudah lebih cepat lagi melesat ke udara. Dan secepat kilat pula pedangnya dibabatkan ke lambung lawan. Tapi, wanita bungkuk itu cepat menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga tubuhnya agak ter-bungkuk. Dan pada saat itu, Ki Anggastra mengibaskan tangan kirinya menyambar kepala lawan.
Bret! "Ukh...!" Wanita bungkuk itu terpekik, ketika kain biru penyelubung kepalanya terampas tangan kiri Ki Anggastra. Cepat-cepat tubuhnya meluruk ke bawah sambil berputaran beberapa kali. Tampak di balik selubung, seraut wajah yang sangat menyeramkan. Tepat pada saat kaki wanita itu menjejak lantai, Ki Anggastra juga mendarat manis sekali. Namun saat itu juga matanya terbelalak tegang.
"Kau..."!"
"Uuu!" Bet! Begitu cepat dan tiba-tiba wanita itu membabatkan senjatanya yang berupa pisau menyerupai badik ke leher Ki Anggastra. Sehingga....
Cras! "Aaakh...!" Ki Anggastra terpekik keras. Darah langsung muncrat dari lehernya. Hanya sebentar Ki Anggastra masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk menggelepar di lantai kamarnya. Lalu tak berkutik. Mati! "Uuu...!" Slap! Sambil meninggalkan suara lengkingan yang mengerikan, wanita berpakaian biru itu melesat cepat meninggalkan kamar melalui jendela yang masih terbuka. Begitu cepat kelebatannya, hingga dalam sekejap tubuhnya telah menghilang ditelan kegelapan malam.

***



«¤¤¦ 7 ¦¤¤»

Pendekar Gila dan Ki Kalawuku yang mengikuti petunjuk dari seseorang penyerang gelap, akhirnya menemui tempat yang mereka tuju. Sebuah gubuk besar yang terletak di balik Bukit Candra Buana. Jarak antara bukit itu dengan Desa Kembang Tebu sebenarnya tak terlalu jauh. Namun karena keadaannya sulit untuk dicapai, menjadikan gubuk itu seperti tak pernah dikunjungi orang.
"Hm.... Nampaknya gubuk itulah tempatnya," gumam Ki Kalawuku.
"Aha, benar katamu, Ki. Aneh sekali, ada gubuk di balik bukit. Hi hi hi...!" tawa Sena memecah kesunyian pagi itu.
"Ayo kita ke sana!" ajak Ki Kalawuku.
Keduanya dengan berlari-lari kecil menuju gubuk besar itu. Mereka harus menaiki bukit itu, agar dapat leluasa melihat ke sekeliling kaki bukit, tempat gubuk besar itu berada.
"Aha, indah sekali suasana di sini!" gumam Se-na sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ya! Bukit ini indah, tapi tak seorang pun yang datang ke tempat ini," gumam Ki Kalawuku.
"Sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi di balik keindahan bukit ini." Pendekar Gila cengengesan sambil masih menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu pandang ke bawah bukit, ke sekitar tempat gubuk itu berada.
Dari dalam gubuk besar itu tiba-tiba muncul Ki Wulung dan istrinya yang langsung memandang ke atas bukit di mana Pendekar Gila dan Ki Kalawuku berada.
"Aha, mereka ada di sini!" seru Sena.
"Hm, rupanya benar dugaanku, kalau Ki Wulung dan istrinya mengenal pembunuh gelap itu," gumam Ki Kalawuku.
"Tapi apa maksud orang itu memanggil kita ke tempat ini?"
"Hi hi hi...! Apakah tak sebaiknya kita turun?" ajak Sena.
"Ya ya, mari!" Keduanya segera melompat ke bawah dan tahutahu telah berdiri di hadapan Ki Wulung dan istrinya yang tersenyum. Suami istri itu sepertinya tak takut lagi menghadapi Ki Kalawuku.
"Selamat datang di tempat ini!" sapa Ki Wulung dengan bibir tersenyum dan menjura hormat.
"Aha, di manakah orang yang mengundang kami, Ki?" tanya Sena dengan tingkah lakunya yang konyol persis orang gila.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya masih cengengesan.
Dari dalam gubuk itu seketika keluar seorang wanita cantik diikuti gadis berusia sekitar lima belas tahun. Pendekar Gila mengerutkan kening melihat gadis berpakaian kumal dan bertubuh bungkuk itu.
"Aha, kita bertemu lagi!" seru Sena.
"Tak kusangka, kalau akhirnya kita bertemu di sini."
"Selamat datang di gubuk kami, Pendekar Gila!" sapa wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun perpakaian kuning yang tak lain Suriwarni.
"Uuu uuu...!" Gadis bisu yang bertubuh bungkuk dan berpakaian biru kehitaman itu menggerak-gerakkan tangannya, seperti hendak menyapa Pendekar Gila dan Ki Kalawuku.
"Terima kasih, Nini. Ada apa sebenarnya kami dipanggil ke tempatmu?" tanya Ki Kalawuku.
"Masuklah dahulu! Kita bicara di dalam saja," ajak Suriwarni sambil merentangkan tangan kanannya mempersilakan kedua tamunya masuk.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa tergelak-gelak. Kemudian diikuti Ki Kalawuku dia melangkah masuk ke rumah gubuk besar tempat tinggal gadis bungkuk dan Suriwarni. Mereka duduk di atas tikar dari daun pandan yang cukup lebar.
"Aha, seperti ada pertemuan penting," gumam Sena. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut masih cengengesan.
"Nini, ada perlu apa sebenarnya?" tanya Ki Kalawuku tak sabar.
"Sabarlah, Ki! Kita belum saling kenal satu sama lainnya. Apakah tak sebaiknya kita saling mengenai" Baru setelah itu kita menuju ke pokok masalahnya," sahut Suriwarni dengan bibir mengurai senyum.
Semakin menambah kecantikan wanita muda itu.
"Aha, memang benar apa yang kau katakan, Nini. Baiklah, kami terima usulmu," kata Sena dengan cengengesan sambil tangannya masih menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih atas kesabaran serta kedatangan kalian! Baiklah, aku sebagai tuan rumah akan memperkenalkan diri. Namaku Suriwarni, atau orang biasa memanggilku si Bayangan Bidadari," kata Suriwarni memperkenalkan dirinya.
"Aha, sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Bayangan Bidadari," gumam Sena.
"Tak kusangka, kalau Bayangan Bidadari masih muda dan cantik." Suriwarni tersipu-sipu mendengar kata-kata Pendekar Gila. Sampai-sampai kedua pipinya bersemu merah! Perlahan kepalanya menunduk, dengan bibir tersenyum malu-malu.
"Uh uh uh...!" Gadis bisu terdengar berkata, tangannya bergerak memperagakan gerakan. Sepertinya dia ingin menjelaskan siapa dirinya.
"Oh, rupanya kau hendak memperkenalkan diri, Dik," sahut Sena.
"Katakanlah, aku mungkin bisa membantumu."
"Uh uh uh," gadis bisu dengan keadaan memelas itu kembali menggerak-gerakkan tangannya, mengatakan dengan bahasa isyarat siapa dirinya.
"Aha, kau sebenarnya warga Desa Kembang Tebu. Kau anak dari salah seorang yang menjadi korban kebiadaban seseorang yang kini tengah kau cari," Sena menterjemahkan setiap gerakan yang dilakukan gadis bisu itu.
"Hm, jadi ayahmu tak salah" Ah, siapakah yang dimaksudkannya?"
"Itulah yang hendak kami bahas, Pendekar Gila," sahut Suriwarni.
"Maksud dia, Ki Gagar Blarak?" tanya Ki Kalawuku.
"Benar, Ki. Dia memang putri Ki Gagar Blarak.
Sejak melihat kematian ayah, ibu serta kakaknya, Murni langsung menjadi bisu," tutur Suriwarni.
"Jadi anak Ki Gagar Blarak masih ada yang hidup?" tanya Ki Kalawuku dengan mata membelalak, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Bukankah dulu seluruh keluarga Ki Gagar Blarak ma-ti terbakar?"
"Tidak, Ki. Hanya Ki Gagar Blarak dan istri ser-ta kakak Murni yang terbakar, sedangkan Murni sengaja kuselamatkan untuk menjadi saksi hidup," tutur Suriwarni.
"Saksi hidup...?" tanya Ki Kalawuku semakin berlipat keningnya.
"Ya, saksi hidup," jawab Suriwarni.
"Apa maksudmu...?" tanya Ki Kalawuku.
"Nanti akan kujelaskan, Ki. Kini, sepantasnyalah kita saling berkenalan lebih dahulu. Kalau Pendekar Gila, aku sudah kenal.
Siapakah kisanak sebenarnya...?" tanya Suriwarni pada Ki Kalawuku.
"Namaku Kalawuku, dan selama ini menjadi jawara Ki Legok Menggo," jelas Ki Kalawuku memperkenalkan dirinya.
Bayangan Bidadari mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan Ki Kalawuku. Dihelanya napas dalam-dalam. Matanya memandang lepas ke atas.
"Kita semua menjadi korban dari kebiadaban seseorang. Kita juga hendak diadu domba olehnya," desah Suriwarni lirih dengan wajah masih menengadah. Kening Ki Kalawuku mengerut, mendengar penuturan Suriwarni. Matanya membelalak, menatap tajam wajah Bayangan Bidadari. Sepertinya, dia hendak menegaskan betul tidaknya kata-kata itu.
"Maksudmu, Nini...?"
"Ya, tanpa kita sadari, selama ini kita telah diadu domba orang yang memiliki hasrat besar menggulingkan Ki Legok Menggo," desah Suriwarni.
"Aku semakin tak mengerti," tukas Ki Kalawu-ku.
"Aha, aku juga, Ki. Hi hi hi.... Kalau boleh ku tahu, bisakah Nini menjelaskan apa yang sebenarnya telah menimpa Desa Kembang Tebu?" pinta Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Bayangan Bidadari menghela napas dalamdalam. Pandangannya kini beralih ke wajah Murni yang hanya diam tenang duduk di sampingnya.
"Bocah malang inilah sebagai saksi utama. Tapi baiklah, agar kalian tak bingung, aku akan menceritakan semua yang sebenarnya terjadi...." Semua terdiam menarik napas dalam-dalam.
Lalu Suriwarni pun membuka ceritanya.
Lima tahun yang silam, hiduplah keluarga yang tenang dan damai. Keluarga Gagar Blarak dan istrinya yang bernama Dewi Gendri Meni itu memiliki dua orang anak. Yang satu lelaki bernama Trajusati dan seorang lagi, gadis yang waktu itu berusia sekitar sepuluh tahun, bernama Murni.
Kebahagiaan keluarga Gagar Blarak, rupanya membuat orang yang dengki berusaha menghancurkannya. Gagar Blarak tiba-tiba difitnah sebagai anggo-ta Gerombolan Bajul Ireng.
Padahal dia sebenarnya pendekar yang gigih dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Hanya saja Gagar Blarak tidak sombong, sehingga dalam bergerak selalu sembunyi-sembunyi, dengan harapan tak seorang pun tahu kalau dirinya seorang pendekar.
Pada mulanya tak seorang pun tahu kalau Gagar Blarak seorang pendekar. Hanya Bayangan Bidadari yang memang sebagai kerabat dekat mengetahuinya. Namun lama kelamaan, ternyata kependekarannya tercium seorang yang sebenarnya anggota Gerombolan Bajul Ireng.
Seorang anggota Gerombolan Bajul Ireng yang perkumpulannya dibubarkan dan diobrak-abrik Gagar Blarak, berusaha membalas dendam. Dengan usahanya yang licik, Gagar Blarak akhirnya dapat difitnah. Semua orang menuduh Gagar Blarak anggota Ge rombolan Bajul Ireng. Keluarga Gagar Blarak dihukum bakar. Beruntung Murni yang bersembunyi dapat diselamatkan Bayangan Bidadari.
"Begitulah ceritanya," ujar Suriwarni mengenai Gagar Blarak dan gadis bisu bertubuh bungkuk.
"Apakah kalian sudah jelas?"
"Kurang ajar sekali," gumam Ki Kalawuku.
"Siapakah yang telah melakukan semuanya?"
"Itu yang sedang kami selidiki," sahut Suriwarni.

***

Keheningan melintas di antara mereka ketika pembicaraan dihentikan sesaat. Hanya tingkah laku Pendekar Gila yang menjadi perhatian kelima orang di ruangan gubuk itu. Tingkah laku Pendekar Gila memang mengundang hati mereka tersenyum, karena lucu dan konyol.
"Aha, aku ada akal!" seru Sena tiba-tiba, menyentakkan semua yang ada di tempat itu. Seketika mata mereka kembali menatap Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kita harus memancing orang laknat itu keluar dari Desa Kembang Tebu."
"Hm, usul yang bagus," sambung Ki Wulung.
"Ya, hanya dengan cara itu kita bisa tahu siapa sebenarnya biang dari semua kejahatan di Desa Kembang Tebu," sambung Ki Kalawuku.
"Aku akan membantu.
"
"Ya. Kau memang sangat diperlukan, Ki. Karena menurut pengamatanku, kini jahanam itu hendak bertujuan menggulingkan Ki Legok Menggo," tutur Suriwarni. Mata Ki Kalawuku terbelalak, mendengar penuturan Bayangan Bidadari. Sama sekali tidak disangkanya kalau Ki Legok Menggo menjadi sasaran utama pembunuhan di desanya.
"Benarkah apa yang kau katakan, Nini?" tanya Ki Kalawuku memastikan.
"Tak ada gunanya aku berdusta, Ki."
"Hm, kurang ajar sekali. Jelas ini tak boleh di-biarkan!" geram Ki Kalawuku sambil mengepalkan tangan kanannya.
"Kalau saja aku tahu siapa orangnya, ingin rasanya lehernya kupuntir!" Bayangan Bidadari tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, mendengar ucapan Ki Kalawuku.
"Tak mungkin, Ki. Aku tahu bagaimana saktinya Ketua Gerombolan Bajul Ireng. Sulit bagi orang seperti kita menghadapinya.
Entah jika Pendekar Gila turut serta," desis Suriwarni.
"Jadi, dia Ketua Gerombolan Bajul Ireng...?" Ki Kalawuku terkejut. Matanya membelalak, memandang wajah Suriwarni yang menganggukkan kepala.
"Itu sebabnya aku selalu berusaha mencari Pendekar Gila. Bukannya aku merendahkan kepandaianmu, Ki. Tapi menurut kata-kata guruku; orang yang sebanding dengan Ketua Gerombolan Bajul Ireng hanyalah Pendekar Gila," tutur Suriwarni.
"Hi hi hi.... Kau terlalu menyanjung nama Pendekar Gila, Nini Ah ah ah.... Kurasa tak sepantasnya aku menerima sanjungan yang terlalu berlebihan itu.
Aku belum seberapa dibandingkan dengan kalian yang namanya cukup kondang," kata Sena merendah.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Pendekar Gila!" desah Suriwarni.
"Namun aku berkata sejujurnya, sesuai dengan pesan mendiang guruku yang mengatakan, bahwa satu-satunya orang yang mampu menandingi ilmu Bajul Ireng hanyalah Pendekar Gila, yang tentunya Kakang." Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan, kemudian kepalanya menggeleng-geleng "Baiklah, kini kita teruskan pembicaraan kita!" ajak Sena mengalihkan pembicaraan ke pokok masalah semula. Bayangan Bidadari menghela napas panjang.
Kemudian pandangan matanya diarahkan pada Ki Wulung dan istrinya, membuat lelaki tua dan istrinya ter-tunduk.
"Perlu juga kuperkenalkan pada kalian, sebenarnya Ki Wulung dan Nyi Wulung ini teman-temanku.
Keduanya memang sengaja tinggal di Desa Kembang Tebu untuk menyelidiki masalah Gerombolan Bajul Ireng. Ki Wulung sebenarnya berjuluk Pendekar Lutung Sakti. Sedangkan Nyi Wulung tiada lain Dewi Teratai Ungu." Pendekar Gila tersentak, apalagi Ki Kalawuku, setelah mendengar siapa sebenarnya dua orang tua yang tampaknya lemah dan tak berdaya itu. Mereka ternyata dua orang tokoh persilatan yang cukup terkenal dan disegani.
"Aha, sungguh mataku yang masih muda rupanya telah lamur," gumam Sena.
"Ada gunung menju-lang tinggi di hadapanku, sampai aku tak tahu. Terimalah hormatku, Pendekar Lutung Sakti."
"Ah, tak apa. Aku lebih suka dipanggil Ki Wulung," sahut Ki Wulung dengan bibir mengurai senyum.
"Maafkan segala kesalahanku, Pendekar Lutung Sakti," ujar Ki Kalawuku.
"Ah, semua telah ku maafkan. Semua memang bukan salah kita. Seandainya tak ada si Bajul Ireng, tak mungkin kita akan dalam keadaan seperti ini. Tapi selama ini, belum juga aku dapat menemukannya," gumam Ki Wulung.
"Ya, mereka memang sengaja berpura-pura seperti orang tak waras dan lemah. Hal itu untuk menarik perhatian Bajul Ireng, sehingga tak merasa dimata-matai. Namun rupanya Bajul Ireng sangat cerdik dan licik, dia mampu melihat keadaan...," gumam Suriwarni.
"Aha, aku ada pendapat. Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan.
"Apakah itu?" serentak mereka bertanya.
"Hi hi hi.... Lucu sekali! Mengapa kita tiba-tiba menjadi orang bodoh...?" tanya Sena, membuat semua mata kembali memperhatikannya.
"Kita benar-benar bodoh, melebihi kerbau! Hua ha ha...!" Kening kelima orang yang berada di tempat itu berkerut mendengar kata-kata Pendekar Gila. Mata mereka menyipit, tak mengerti maksud ucapan Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, katakanlah apa maksudmu?" selak Suriwarni, mengharap Pendekar Gila mau menjelaskan maksud ucapannya.
Pendekar Gila tertawa cekikikan. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Selama ini kalian memang telah di-perdaya dan hendak diadu domba Bajul Buntung. Eh, Bajul Ireng. Hi hi hi.... Lucu sekali." Kelima orang yang hadir di tempat itu semakin mengerutkan kening. Mereka belum juga memahami apa maksud Pendekar Gila sebenarnya.
"Apakah kalian tak ingat, kejadian yang telah melanda Desa Kembang Tebu akhir-akhir ini...?" tanya Sena sungguh-sungguh.
"Hei, benar...!" seru Ki Wulung.
"Ya ya, aku ingat," sambut Ki Kalawuku.
"Aha, syukurlah! Nah, kematian demi kematian terus melanda Desa Kembang Tebu. Dan selalu saja kalian tak dapat menangkap pelakunya, bukan?"
"Benar," jawab Ki Kalawuku.
"Bukankah pelakunya yang selalu menolong Ki Wulung?"
"Aha kurasa tidak. Kupikir ada orang yang memperalat seseorang untuk melakukan semuanya...," tutur Sena.
"Ah, benar!" seru Nyi Wulung atau Dewi Teratai Ungu.
"Kudengar pelaku pembunuhan itu gadis bungkuk dan bisu yang mengenakan pakaian sama dengan yang dipakai Murni. Aku pun sempat bingung juga dengan apa yang kudengar, karena kukira Murni pelakunya."
"Hi hi hi..... Lucu...!" gumam Sena.
"Aha, kita kini telah menemukan jalannya. Kita tinggal memancing gadis bisu yang kurasa diperalat seseorang.
Kalau kita bisa menangkapnya, kurasa rahasia gadis bisu akan tersingkap." Semua mengangguk-anggukkan kepala, seperti membenarkan gagasan Pendekar Gila. Memang mereka pun mendengar kalau pelaku dari semuanya tak lain seorang gadis bisu bertubuh bungkuk.
"Bagaimana kalau nanti malam kita mengadakan penyelidikan?" tanya Ki Kalawuku.
"Tepat!" sambut Suriwarni.
"Ki Kalawuku sebi-sanya menjaga Ki Legok Menggo dari ancaman maut Bajul Ireng. Aku dan Murni akan berusaha menghadang gadis bisu. Sedangkan Pendekar Gila dan Ki Wulung serta Nyi Wulung, kami harap kalian bersiapsiap!"
"Aha! Tanpa diminta, aku telah siap. Hi hi hi...! Nanti malam kita akan pesta memburu Bajul Buntung.
Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ya! Kita harus cepat, agar jangan sampai Bajul Ireng mendahului kita. Korban kekejiannya sudah cukup banyak," gumam Ki Wulung.
"Aku tak habis pikir, mengapa masih saja ada orang yang bermaksud buruk pada Ki Legok Menggo.
Padahal Ki Legok Menggo baik dan bijaksana. Hanya sayang, dia dapat dipengaruhi adik sepupunya." Tersentak semuanya mendengar penuturan Ki Kalawuku. Lebih-lebih Pendekar Gila.
"Aha, kini sudah jelas!"
"Apa maksudmu, Pendekar Gila?" tanya Suriwarni.
"Tentunya Bajul Buntung itu tak lain adik sepupu Ki Legok Menggo."
"Maksudmu Soma...?" hampir serentak mereka menegaskan.
"Hi hi hi.... Ternyata otak kalian masih encer, tidak seperti kerbau. Hua ha ha...!" Semua mata terbelalak, kemudian saling pandang mendengar penuturan Pendekar Gila. Lalu mereka turut tertawa, setelah membenarkan apa yang dikatakan Pendekar Gila.
"Hm, kita harus hati-hati menghadapi Soma," ujar Ki Kalawuku.
"Pantas.... pantas kalau dia selalu berusaha mengatur semuanya."
"Nanti malam, kita harus bergerak. Ingat apa yang telah kukatakan," tegas Suriwarni.
"Ya!" sahut semuanya, hampir bersamaan.

***



«¤¤¦ 8 ¦¤¤»

"Celaka, Diajeng. Kita tak mungkin terusmenerus menahan sabar...," ujar Ki Soma dengan langkah cepat masuk ke rumahnya. Wajahnya diliputi amarah. Nafasnya mendengus bagaikan banteng terluka.
"Ada apa lagi, Kakang?" tanya Nyi Writampi yang baru keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara suaminya.
"Kudengar kabar, kalau Ki Kalawuku hilang.
Hm, ini sangat berbahaya, Diajeng. Rencana kita bisa gagal," desis Ki Soma masih kelihatan gelisah.
"Terpaksa kita harus melakukannya sekarang."
"Sabar, Kakang! Memang tak ada orang yang bisa mengalahkan kita. Namun apakah tindakan kita tak membuat orang tahu kalau kita yang telah merencanakan semua ini?" tanya Nyi Writampi berusaha menyabarkan suaminya.
Wanita berusia empat puluh tahun yang masih tampak cantik itu mencoba tersenyum. Dia berusaha menenangkan kegelisahan dan kemarahan suaminya.
Hatinya memang membenarkan apa yang dikatakan Ki Soma. Dengan lenyapnya Ki Kalawuku, bukan tak mungkin rahasia mereka dapat terbongkar. Hal itu jika Ki Kalawuku memang masih hidup dalam sandera pihak yang tak menyukai mereka.
"Apakah kau sudah yakin kalau Ki Kalawuku masih hidup?" tanya Nyi Writampi dengan tangan ber-gelayut di pundak suaminya.
Matanya yang lentik, memandang penuh arti ke wajah Ki Soma.
"Ya."
"Kau sudah menyelidikinya?"
"Ya. Di hutan tak kutemukan mayatnya. Yang ada hanya sepuluh pengikutnya," jawab Ki Soma.
Nyi Writampi terdiam, dengan mata masih menatap tajam wajah suaminya. Kemudian dihelanya napas panjang. Kakinya melangkah meninggalkan suaminya, lalu duduk di kursi ruang tamu. Matanya kembali menatap pada Ki Soma.
"Kurasa dia tak akan sepintar itu, Kakang," ka-tanya setengah bergumam.
"Maksudmu...?" tanya Ki Soma seraya membalikkan tubuh dan melangkah mendekati kursi tempat istrinya duduk dan tersenyum manis. Senyum yang membuat Ki Soma mabuk kepayang. Lelaki berusia setengah baya itu pun segera menarik kursi di depan istrinya, lalu duduk. Wajahnya tampak masih belum tenang. Nyi Writampi tersenyum lebar. Kepalanya digeleng-gelengkan, seakan mengatakan kalau dirinya tak yakin Ki Kalawuku mengetahui rahasia mereka. Sebab Ki Kalawuku merupakan orang baru di Desa Kembang Tebu.
"Kau harus ingat, Kakang. Dia orang baru di Desa Kembang Tebu ini.
Bagaimana mungkin Ki Kalawuku tahu semuanya?" ungkap Nyi Writampi dengan bibir tersenyum dan kepala menggeleng-geleng, tak yakin dengan pendapat suaminya.
Ki Soma terdiam, dia pun berpikiran begitu.
Namun entah mengapa dari pagi hatinya gelisah. Sepertinya ada sesuatu yang ditakutkan.
"Yang perlu kita pikirkan sekarang, Ki Anom Purbo. Dialah yang telah mengetahui siapa kita, Kakang."
"Hm...," gumam Ki Soma tak jelas. Kepalanya manggut-manggut, seperti memahami ucapan istrinya.
"Memang benar, dialah yang tahu semuanya. Aku pun mengkhawatirkan Ki Anom Purbo akan membuka rahasia kita."
"Bukankah dia telah kita ancam" Lagi pula, antara kita dengannya masih ada sangkut paut yang tak mungkin dilepaskan begitu saja. Kau ingat, Ki Anom Purbo bersumpah pada leluhur kita untuk tak saling menjatuhkan...?" ujar Nyi Writampi berusaha menenangkan hati suaminya.
"Hhh...! Namanya manusia, Diajeng. Manusia tak bisa dipercaya," dengus Ki Soma.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
"Kita singkirkan Ki Anom Purbo, sebelum rahasia kita terbongkar!"
"Kau takut rahasia kita terbongkar?"
"Takut..." Hua ha ha...! Bajul Ireng tak pernah takut pada siapa pun, Diajeng."
"Kalau memang tak takut, mengapa kau gelisah" Empat orang pendekar yang memihak pada Legok Menggo telah kita singkirkan. Kini tinggal bagaimana kita menyusun rencana selanjutnya," tutur Nyi Writampi.
"Hm, benar apa yang kau katakan, Diajeng. Ki ta tinggal menyusun rencana selanjutnya. Dan satu orang lagi yang harus kita singkirkan, tinggal Ki Anom Purbo," dengus Ki Soma.
"Bagaimana kalau secepatnya saja, Kakang?" saran Nyi Writampi.
"Maksudmu?"
"Kita bagi kerja kita. Kau bereskan Ki Legok Menggo, dan aku bersama Srindi menyingkirkan Ki Anom Purbo! Bagaimana, Kakang?" tanya Nyi Writampi masih dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Benar juga pendapatmu, Diajeng. Itu memang cara yang paling baik. Kita memang harus segera menyingkirkan mereka. Aku setuju dengan pendapatmu," sahut Ki Soma tersenyum bangga, merasa istrinya memiliki pikiran yang pintar.
"Kalau begitu, sebaiknya kita persiapkan semuanya, Kakang!"
"Ya! Panggil Srindi," perintah Ki Soma. Nyi Writampi segera berlalu meninggalkan ruang tamu, melangkah masuk ke sebuah kamar yang pintunya tertutup rapat. Perlahan-lahan dibukanya pintu kamar. Seketika bau kemenyan dan aroma kayu cendana menyengat hidungnya...
Kamar itu gelap, sehingga sulit untuk melihat apa yang di dalam. Namun Nyi Writampi tampaknya sudah terbiasa masuk ke dalam kamar itu. Perempuan berusia hampir setengah baya ini tahu persis letak setiap benda yang ada di kamar itu. Itu sebabnya Nyi Writampi tak menabrak sesuatu apa pun, walau melangkah dalam keadaan gelap gulita, tanpa setitik cahaya.
"Srindi...!" desis Nyi Writampi memanggil seseorang.
"Uuu...!" Terdengar suara keluhan panjang dari dalam kamar itu, yang tampaknya berasal dari tempat tidur.
Kemudian nampak kilatan sepasang mata menatap wajah Nyi Writampi.
"Srindi, kau bersiaplah! Nanti malam kita akan melakukan semua rencana kita. Kau dan aku menyingkirkan Ki Anom Purbo. Sedangkan Kakang Soma akan menyingkirkan Legok Menggo tolol itu. Dan sebentar lagi kita pun akan menjadi orang yang bebas.
Kita akan dapat berbuat sesuka hati...."
"Uuu...!" Belum habis ucapan Nyi Writampi, tiba-tiba Srindi melolong.
"Ada apa, Srindi?" tanya Nyi Writampi.
"Uuu! Ha ha...! Uuu...!" Blug, blug, blug! Sosok yang dipanggil Srindi menepuk dadanya, seolah-olah bermaksud mengatakan sesuatu.
"Oh, maaf. Aku lupa, Srindi! Aku tak ingat kalau kau bukan manusia," pinta Nyi Writampi.
"Uh uh uh...!" Kembali terdengar suara makhluk yang dipanggil Srindi. Matanya yang berkilatan bagaikan menyimpan api dari neraka, kini berbinar-binar.
"Ya ya ya...! Meskipun kau bukan manusia, kami menganggapmu sebagai kerabat, Srindi. Kaulah yang telah banyak membantu kami. Maka itu, kami begitu menyayangimu. Kau bersiaplah, nanti sore kita harus siap!"
"Uuu...!" Setelah memberitahukan pada makhluk yang dipanggil Srindi, Nyi Writampi ke luar. Ditutupnya pintu kamar itu rapat-rapat, lalu melangkah ke ruang depan, menemui suaminya.
"Bagaimana, Diajeng?" tanya Ki Soma.
"Dia siap, Kakang."
"Bagus! Kita memang harus secepatnya menyelesaikan tugas kita." Suami istri itu tertawa-tawa senang, membayangkan apa yang kelak akan terjadi. Membayangkan bagaimana mereka akan menjadi Kepala Desa Kembang Tebu yang ditakuti dan disegani penduduk.
"Tercapailah cita-cita kita. Dengan begitu, bukankah kita akan terlepas dari pengejaran pihak kerajaan?" gumam Ki Soma dengan wajah ceria.
"Benar, Kakang. Akhirnya kita dapat terbebas dari kejaran pihak kerajaan. Legok Menggo tolol, sejak kapan kita jadi adik sepupunya" Hi hi hi...!" tawa Nyi Writampi mengikik menyeramkan.

***

Waktu bergulir dengan cepat. Tanpa terasa, malam telah menggantikan siang. Suasananya pun berubah, terik mentari yang terang-benderang berganti dengan kegelapan yang disertai hawa dingin.
Di tengah kegelapan, melesat cepat tiga sosok tubuh. Satu menuju selatan, sedangkan dua lainnya melesat ke timur Desa Kembang Tebu. Ketiga bayangan yang tak lain Ki Soma dan istrinya serta Srindi itu bermaksud menjalankan rencana mereka.
Ki Soma kini melesat ke rumah Ki Legok Menggo. Sedangkan Nyi Writampi dan Srindi berlari ke rumah Ki Anom Purbo.
Sementara itu, Pendekar Gila dan rekanrekannya pun telah mempersiapkan diri. Pendekar Gila telah siap dengan Ki Wulung berjaga di sekitar rumah Ki Legok Menggo. Sebelumnya Ki Kalawuku telah kembali dan memberitahukan pada Ki Legok Menggo agar waspada. Malam ini udara terasa sangat dingin. Dan penjaga rumah Ki Legok Menggo menggigil, merasakan hawa dingin yang terasa menusuk tulang sumsum.
Di dalam rumah, Ki Legok Menggo dan Ki Kalawuku belum tidur. Keduanya kini tengah berbincangbincang di ruang depan.
"Tak kusangka, kalau Soma akan berbuat keji," gumam Ki Legok Menggo setelah mendengar penuturan Ki Kalawuku. Matanya memandang dengan tatapan sendu.
"Jadi Soma itu Ketua Gerombolan Bajul Ireng?"
"Benar, Ki," sahut Ki Kalawuku.
"Dari mana kau tahu, Kalawuku?"
"Pendekar Gila yang memberitahukan padaku."
"Pendekar Gila?" pekik Ki Legok Menggo kaget.
"Benar, Ki."
"Jadi Pendekar Gila ada di sini...?" tanya Ki Legok Menggo dengan kening berkerut.
"Benar, Ki."
"Untuk apa...?" tanya Ki Legok Menggo belum mengerti.
"Mulanya hanya lewat. Tapi setelah mengetahui di desa ini ada sesuatu yang tak beres, Pendekar Gila pun menyelidiki dan berusaha mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sampai akhirnya dia melihat sebuah bayangan gadis bungkuk yang habis membunuh Ki Prastabu," tutur Ki Kalawuku.
"Bukankah pelakunya orang yang menjadi sahabat Ki Wulung?"
"Bukan, Ki. Ki Wulung dan Nyi Wulung ternyata Pendekar Lutung Sakti dan Dewi Teratai Ungu."
"Apa"! Mereka ada di sini"! Jadi mereka tokohtokoh persilatan?" gumam Ki Legok Menggo dengan mata semakin membelalak, setelah mendengar penuturan Ki Kalawuku.
"Tak kusangka kalau Bajul Ireng berada di desa ini. Pantaslah kalau tokoh-tokoh persilatan banyak yang datang ke desa ini."
"Begitulah keadaannya, Ki."
"Di mana mereka?" tanya Ki Legok Menggo.
"Mereka sedang berjaga di sekitar rumah ini, Ki."
"Hm...," gumam Ki Legok Menggo seraya menganggukkan kepala.
Tiba-tiba keduanya tersentak ketika terdengar suara jeritan menyayat dari dua orang penjaga.
"Aaakh...!"
"Wuaaa...!" Mata Ki Legok Menggo membelalak tegang, mendengar jeritan kematian dari dua penjaga rumahnya.
"Dia datang, Ki!"
"Siapa...?" tanya Ki Legok Menggo dengan mata masih membelalak.
"Soma," jawab Ki Kalawuku.
"Bangsat! Rupanya dia mencari mati!" dengus Ki Legok Menggo sambil melesat keluar hendak menemui Ki Soma, diikuti sang Jawara.
"Ha ha ha...! Akhirnya semuanya akan berakhir, Legok Menggo! Malam ini, kau harus kusingkirkan ke akherat!" kata Ki Soma dengan pongah dan sombong. Matanya memandang tajam wajah Ki Legok Menggo dan Ki Kalawuku yang mendengus sengit.
"Keparat! Rupanya kaulah iblis busuk itu!" dengus Ki Legok Menggo marah.
"Jangan kira semudah itu kau menyingkirkanku, Siluman Busuk!"
"Ha ha ha...! Apa susahnya menyingkirkanmu, Orang Tua Tolol! Seperti membalikkan telapak tangan saja, bukan"!" seru Ki Soma dengan suara angkuh.
"Hua ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara tawa menggema, mengiringi habisnya perkataan Ki Soma, membuat Ki Soma tersentak kaget.
Kemudian terdengar lagi ucapan mengejek.
"Jadi, inikah orangnya yang berjuluk Bajul Buntung itu" Hua ha ha...!" Ki Soma tersentak kaget, lalu membalikkan tubuh menatap ke asal suara itu. Dari pepohonan yang tumbuh di sekeliling rumah Ki Legok Menggo, melompat dua sosok bayangan yang dalam sekejap telah berdiri di hadapan Ki Soma.
"Selamat datang, Pendekar Gila," sapa Ki Kalawuku setelah melihat Sena dan Ki Wulung yang sejak tadi sore telah berjaga-jaga dan mengawasi sekeliling rumah Ki Legok Menggo.
"Kau..."!" membelalak mata Ki Soma mendengar sapaan Ki Kalawuku, karena tahu kalau Pendekar Gila ada di tempat itu. Matanya menatap dua orang yang telah berada di hadapannya. Seorang lelaki tua bertubuh kecil pendek dengan kumis lebat. Sedangkan yang satu seorang pemuda tampan dengan pakaian rompi kulit ular, yang bertingkah laku seperti orang gi-la.
"Hi hi hi...! Lucu sekali wujudmu, Bajul Buntung! Mengapa tidak berekor" Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan badan terbungkukbungkuk. Tangannya menunjuk wajah Ki Soma yang kian me-merah.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah!" bentak Ki Soma marah. Matanya semakin lebar melotot sengit menatap Pendekar Gila yang masih tertawatawa dengan suara yang menggema di sekeliling tempat itu.
"Hua ha ha...! Aneh..., aneh sekali! Ada bajul buntung yang berbentuk manusia. Padahal dari dulu, yang namanya bajul bentuknya seperti buaya! Hi hi hi...!" Sena berusaha memancing amarah Ki Soma agar benar-benar marah. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil berjingkrakan seperti seekor kera kegirangan.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Kubunuh kalian! Heaaa...!" Sambil menggemerutukkan gigi karena marah, Ki Soma merangsek Pendekar Gila. Kedua tangannya terangkat dengan kuku membentuk cakar yang kuat.
"Hi hi hi...! Minggir, Ki!" Sambil cekikikan, Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan yang dilancarkan Bajul Ireng. Tubuhnya melenting ke udara, berjumpalitan sebentar, kemudian mendarat ringan di tanah.
Ki Wulung pun melakukan hal yang sama, berjumpalitan seperti seekor lutung, kemudian dengan enak dan ringan mendarat di tanah.
"Hi hi hi..!" Sena tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hati-hati, Ki."
"Oho, izinkan aku main-main sebentar dengan Bajul Ireng ini, Pendekar Gila!" pinta Ki Wulung.
"Aha! Silakan, Ki!" sahut Sena.
"Bajul Ireng, akulah lawanmu!" seru Ki Wulung seraya melompat menghadang di depan Ki Soma.

***

Merasa diremehkan Ki Wulung dan Pendekar Gila, Ki Soma semakin bertambah marah. Dengan mendengus marah, Ki Soma pun melesat menyerang Ki Wulung.
"Orang tua edan! Kau harus kubunuh! Heaaa...!" Dengan jurus 'Bajul Membuka Mulut Menerkam Lawan' Ki Soma melesat menyerang Ki Wulung.
Kedua tangannya yang membentuk cakar, bergerak susul-menyusul, berusaha mencakar dan mengoyakngoyak tubuh Ki Wulung.
Wut! "Ets!" Dengan cepat Ki Wulung melompat ke samping kiri, kemudian dengan mengegoskan tubuh, kaki kanannya diangkat dan menendang dada lawan. Gerakan kaki Ki Wulung sangat cepat, menimbulkan desisan angin yang terasa menyentak.
Wrt! "Hups!" Ki Soma tersentak kaget. Dengan cepat dia melompat mundur, lalu segera memburu Ki Wulung. Tangan kanannya kini membentuk pukulan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari menyatu membentuk tusukan yang keras. Itulah jurus 'Grah Brada', sebuah jurus yang mengandalkan kekuatan pukulan dan tusukan jari-jari tangan.
"Heaaa...!" Susul-menyusul gerakan tangan Ki Soma menyerang ke bagian tubuh Ki Wulung. Pukulan dan tusukan tangannya begitu cepat dan beruntun. Hal itu membuat Ki Wulung harus melompat dan berjumpalitan di udara untuk mengelakkan serangan-serangan yang dilakukan Ki Soma. Dengan menggunakan jurus 'Lutung Mabuk' Ki Wulung terus bergerak mengelakkan serangan-serangan gencar yang dilancarkan Ki Soma.
"Hancur tubuhmu, Tua Bangka Edan! Hih...!" Ki Soma semakin bernafsu untuk segera membunuh Ki Wulung. Pukulan-pukulan serta tusukan jari tangannya deras menghunjam ke tubuh lawan dengan tenaga dalam yang tinggi. Angin pukulan dan tusukan tangannya terdengar menderu, menyentakkan Ki Wulung yang seketika membelalakkan mata.
Wrt! "Edan!" maki Ki Wulung sambil melompat ke belakang. Namun Ki Soma yang sudah gelap mata dan marah tak mau melepaskan lawannya begitu saja. Serangannya terus memburu Ki Wulung yang tampak semakin kewalahan.
Baru angin pukulannya saja, Ki Wulung merasakan hawa panas yang menyengat. Apalagi jika terkena pukulan atau tusukan tangan Ki Soma. Tentunya tubuh Ki Wulung yang kecil dan kurus itu dapat remuk tulang-belulangnya.
"Heaaa...!"
"Heits!"

«¤¤¦ 9 ¦¤¤»

Ki Wulung semakin terdesak hebat menghadapi gempuran-gempuran beruntun yang dilancarkan Ki Soma. Orang tua itu kini hanya bisa berkelit ke samping atau bersalto ke belakang. Tidak ada kesempatan baginya untuk dapat membalas serangan-serangan yang dilancarkan Ki Soma.
"Tamatlah riwayatmu, Orang Tua Gila!" dengus Ki Soma sambil memburu tubuh Ki Wulung yang kian bertambah terdesak. Tangan kanannya memukul dengan kekuatan tenaga dalam penuh ke tubuh Ki Wulung.
"Celaka!" pekik Ki Wulung dengan mata melotot, menyaksikan pukulan lawan yang deras dan cepat.
"Mati aku...!" Wrt! Ki Wulung benar-benar dalam ancaman maut.
Keadaannya semakin tak menguntungkan lagi untuk mengelak. Serangan Ki Soma begitu gencar dan susulmenyusul, tak memberi kesempatan sedikit pun kepada Ki Wulung. Jangankan untuk membalas serangan, mengelak pun kini rasanya semakin sulit bagi Ki Wulung.
"Heaaa...!"
"Mati aku!" Pukulan yang dilancarkan Ki Soma menderu keras ke arah Ki Wulung. Ketika pukulan itu hampir saja menghantam dada Ki Wulung. Tiba-tiba....
"Heaaa...!" Pendekar Gila melesat cepat memapak serangan tangan Ki Soma.
Wut! Plak...! Benturan keras terjadi, ketika tangan Ki Soma yang hampir mendarat di dada Ki Wulung dipapak tangan Pendekar Gila. Tubuh Ki Soma seketika terdorong beberapa langkah ke belakang. Nafasnya mendengus geram menyaksikan serangannya yang hampir saja menewaskan Ki Wulung digagalkan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Kau benar-benar mencari mampus, Bocah Gila!" dengus Ki Soma sengit.
"Hua ha ha...! Begitu marahnya kau, Bajul Buntung!" ejek Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bedebah! Kau memang harus secepatnya kuki-rim ke akherat, Bocah Edan! Yeaaa...!"
"Hi hi hi...!" sambil tertawa-tawa Pendekar Gila berkelit ke samping, tubuhnya meliuk laksana menari.
Kemudian tangannya bergerak menepuk ke dada lawan.
"Hih...!"
"Eits! Yeaaa...!" Ki Soma semakin beringas. Gempurannya semakin cepat dengan disertai tenaga dalam yang kuat, menimbulkan angin menderu dan menyentak keras.
Melihat serangan maut itu, Pendekar Gila bergerak cepat mengelak.
"Hea!"
"Hits! Hi hi hi...! Tidak kena, Bajul Buntung!" ledek Sena sambil terus bergerak mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Ki Soma.
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila bergerak mengelakkan seranganserangan gencar dan cepat yang dilancarkan Ki Soma.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali kedua tangannya bergantian menepuk ke dada Ki So-ma.
"Yeaaa...!" Wrt! "Heits!" Ki Soma mengegos ke samping, kemudian kaki kiri diangkat dan ditendangkan ke tubuh Pendekar Gila disertai tenaga dalam penuh.
"Eits! Hi hi hi...!" Pendekar Gila meliuk-liukkan tubuhnya, mengelakkan serangan-serangan Ki Soma yang cepat. Telapak tangannya menepuk ke dada lawan, sedangkan kakinya menyapu dengan cepat ke kaki Ki Soma.
"Yeaaa...!"
"Eits!" Ki Soma melompat ke atas, kemudian dengan agak menunduk tangannya mencakar ke wajah Pendekar Gila. Gerakan yang tak terduga itu, membuat Pendekar Gila tersentak kaget "Edan!" maki Sena dengan mata membelalak.
Segera dia melompat mundur, lalu dengan berputar cepat kaki kirinya menendang ke arah lawan. Kemudian disusul dengan tepukan keras ke dada lawan.
Plak! Degk! Pendekar Gila tersentak kaget. Kakinya menyurut dua tindak ke belakang dengan mata membeliak.
Hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu.
"Hah"!" Mulut Sena melongo bengong. Kepalanya digeleng-gelengkan, tak percaya dengan pandangannya.
Tepukan tangannya yang mampu memecahkan kepala banteng, kini bagaikan tak berarti sama sekali. Ki So-ma masih berdiri tegak, bahkan kini tersenyum menyeringai menunjukkan kesombongannya.
Bukan hanya Pendekar Gila yang kaget menyaksikan pukulannya tak mempan, tapi semua yang melihat pun turut terperangah dengan mata membeliak. Pukulan Pendekar Gila yang terkenal sakti dan mampu menerbangkan orang, kini bagaikan tak berarti apa-apa bagi Ki Soma.
"Ha ha ha...! Masih adakah ilmumu yang lebih hebat Bocah Gila...?" tanya Ki Soma sombong.
"Huh! Hua ha ha...!" Sena ikut tertawa dengan tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Hebat! Hebat kau, Bajul Buntung! Kurasa kau melebihi seekor kerbau. Hi hi hi..!"
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu, Bocah Edan!" dengus Ki Soma marah. Nafasnya mendengus marah. Kemudian dengan cepat kembali menyerang.
"Hi hi hi...!" Sambil tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila bergerak cepat mengelakkan serangan yang dilancarkan lawan. Tubuhnya berputar ke kiri. Kedua tangannya bergerak mencakar ke tubuh lawan. Gerakannya yang cepat, disertai angin pukulan keras. Itulah jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'.
"Yeaaa...!" Wrrr! "Haps!" Ki Soma langsung merundukkan kepala, ketika kedua tangan Pendekar Gila berkelebat cepat mendekat. Kemudian dengan cepat pula dia balas menyerang. Tangannya digerakkan memukul ke dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya kini mencengkeram ke wajah Pendekar Gila.
Dengan jurus 'Amukan Bajul Melanda Bumi', Ki Soma terus menyerang gencar Pendekar Gila. Tubuhnya agak merunduk, memukul serta mencengkeram dengan cepat dan susul-menyusul. Kakinya pun bergerak liar, menendang dan menyapu ke kaki Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
"Yeaaa....!" Ki Soma melontarkan pukulan keras ke dada Pendekar Gila, disusul dengan cakaran tangan kirinya.
Dengan cepat Pendekar Gila bergerak memutar bagaikan melepaskan lilitan tambang. Tangannya bergerak menyambar kepala dan dada lawan.
Trap! "Uts!"
"Hih!" Tangan mereka saling berpegangan, bergerak cepat ke samping kiri dan saling menyerang. Tapi tetap saja tangan lawan mampu menangkap. Ki Soma tiba-tiba melakukan cakaran ke wajah Pendekar Gila. Namun dengan cepat pula Pendekar Gila menangkapnya.
Bergantian keduanya saling serang dan tangkis dengan tangan bergenggaman.
"Heaaa!"
"Hih!" Trap! Bukan hanya tangan yang saling serang dalam jarak dekat. Tapi kedua kaki mereka pun bergerak cepat, berusaha menyapu kaki lawan.
"Hea!" Prak! "Hih!" Trap! Tiga lelaki yang menyaksikan jalannya pertarungan antara Pendekar Gila dan Ki Soma hanya dapat melongo bengong. Mata mereka membelalak lebar. Ketiganya berusaha ingin membuktikan dan meyakinkan dengan apa yang mereka lihat. Selama ini belum pernah mereka menyaksikan pertarungan dalam jarak rapat dan cepat "Benar-benar bukan pendekar sembarangan," gumam Ki Legok Menggo dengan mata melotot menyaksikan bagaimana Pendekar Gila dengan lincah bergerak mengimbangi serangan yang dilakukan Ki Soma. Keduanya kini tampak bukan manusia, melainkan seperti seekor buaya dan monyet yang bertarung! Tubuh keduanya terus bergerak semakin cepat ke kiri, dengan tangan dan kaki saling bergantian menyerang dan mengait kaki lawan. Sedangkan tangan mereka yang berpegangan dan saling kait, kini bergerak menyikut dan menangkis setiap serangan. Sebuah gerakan ilmu silat tingkat tinggi kini mereka tunjukkan di hadapan Ki Legok Menggo, Ki Kalawuku, dan Ki Wulung, yang hanya mampu bengong menyaksikan pertarungan kedua orang itu.
"Wah, bukan main! Baru kali ini kulihat jurusjurus silat yang hebat dengan gerakan-gerakan yang lincah dan cepat," gumam Ki Wulung sambil menggeleng-gelengkan kepala, merasa kagum. Kedua orang yang bertarung kini bergulingan di tanah dengan tangan masih saling kait. Hanya kedua kaki mereka yang bergerak saling tendang dan tangkis.
Tanah di halaman rumah Ki Legok Menggo seketika beterbangan tersapu kaki Ki Soma dan Pendekar Gila. Pepohonan banyak yang tumbang. Malam yang semula sepi, kini riuh oleh pekikan dan teriakan-teriakan membelah kesunyian.

***

Sementara itu, di rumah Ki Anom Purbo pun tengah berlangsung pertarungan seru antara Ki Anom Purbo yang dikeroyok dua wanita. Yang satu wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun, sedangkan satunya lagi makhluk mengerikan berwajah buaya dan bertubuh agak bungkuk.
"Uuu...!"
"Yeaaa...!" Dua makhluk itu melesat cepat, bergerak menyerang Ki Anom Purbo dengan sengit. Sementara Ki Anom Purbo yang tak mau mati sia-sia, dengan cepat berkelit. Lalu dengan cepat pula lelaki tua itu balas menyerang dengan pukulan dan babatan pedangnya dalam jurus 'Menyapu Gelombang'.
"Yeaaa...!" Wrt! Pedang di tangan Ki Anom Purbo bergerak cepat, membabat dan menusuk dua lawannya. Tapi gerakan kedua lawannya sangat cepat, sehingga serangan yang dilancarkan Ki Anom Purbo hanya membabat tempat kosong. Malah ketika keduanya balas menyerang, Ki Anom Purbo tampak kelabakan.
"Yeaaa!"
"Uuu...!" Wrt! "Hih!" Ki Anom Purbo berusaha mengelakkan serangan-serangan kedua lawannya. Tubuhnya yang agak gemuk bergerak melompat sambil merunduk, kemudian balas menyerang dengan pukulan tangan kiri yang disusul dengan sabetan pedangnya.
"Hih!" Wrt! Meski Ki Anom Purbo telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tapi menghadapi dua orang lawan yang ilmunya setingkat di atasnya membuat lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu kewalahan. Bahkan serangan-serangannya tak satu pun yang menemui sasaran, semua dengan mudah dielakkan kedua lawannya.
"Heaaa...!"
"Uuu...!" Wrt, wrt...! Kedua lawan Ki Anom Purbo semakin beringas menyerang. Keduanya bergerak serentak, dengan tangan membentuk cakar menyerang dari depan dan belakang. Hal itu membuat Ki Anom Purbo semakin kewalahan menghadapinya. Dan....
Wrt! Dugk! "Ukh...!" Ki Anom Purbo mengeluh pendek ketika dadanya terkena pukulan telak tangan Nyi Writampi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan bibir meleleh-kan darah. Matanya membeliak, nafasnya tersengal-sengal.
"Terimalah kematianmu, Orang Tua Tolol! Heaaa...!" Nyi Writampi dan Srindi bergerak bersamaan hendak mencengkeram Ki Anom Purbo yang masih terhuyung-huyung merasakan sakit di dadanya.
"Hyang Widhi, mungkinkah malam ini kematianku...?" desis Ki Anom Purbo setengah mengeluh.
Dadanya masih terasa sakit, sehingga sulit baginya untuk bergerak selincah tadi.
"Heaaa!"
"Uuu...!" Dua lawannya terus melesat cepat dengan jurus 'Bajul Ireng Menghantam Karang' Sebuah pukulan maut yang siap merenggut nyawa Ki Anom Purbo. Tangan keduanya bergerak semakin cepat. Sesaat lagi nyawa Ki Anom Purbo tentunya melayang terkena pukulan-pukulan maut yang dilancarkan kedua lawannya. Tapi.... Sesosok bayangan melesat cepat memapaki serangan yang dilancarkan kedua anggota Gerombolan Bajul Ireng itu.
"Heaaa...!" Prak, prak! "Uuu...!"
"Aaakh...!" Nyi Writampi dan Srindi terpekik seraya melompat mundur menarik serangannya, ketika tiba-tiba sesosok bayangan memapaki serangan mereka. Mata keduanya terbelalak, menatap penuh kebencian pada sesosok wanita cantik yang ternyata Suriwarni alias Bayangan Bidadari. Sosok wanita itu berdiri di samping Ki Anom Purbo.
"Menyingkirlah, Ki! Biar aku yang menghajar kedua makhluk iblis itu," kata Suriwarni sambil menarik pedang dari warangkanya.
Srrrk! "Akulah lawan kalian!" dengus Suriwarni.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus!" dengus Nyi Writampi dengan penuh amarah. Matanya melotot merah, seperti diliputi api membara.
"Uuu...!" Srindi yang makhluk buaya pun nampaknya marah, merasa ditantang perempuan cantik yang telah menggagalkan serangan mereka. Matanya memerah, menyorotkan sinar api yang menyilaukan.
"Heaaa...!"
"Uuu...!"
"Yeaaat...!" Menyaksikan kedua lawannya menyerang, Suriwarni tak tinggal diam. Dengan cepat, tangannya bergerak menyerang dan memapaki serangan kedua lawannya. Pedang di tangan kanannya digerakkan dengan cepat, membabat dan menusuk ke tubuh kedua lawannya. Wuttt! Glarrr! "Heaaa.,.!" Ledakan-ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika jurus-jurus sakti mereka keluarkan. Diikuti suara yang membisingkan telinga. Malam itu di halaman rumah Ki Anom Purbo bagaikan membara karena hawa panas yang mengurung.

***

Sementara itu, di halaman rumah Ki Legok Menggo pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ki Soma semakin seru. Tampak tubuh keduanya melenting ke udara, melayang bagai terbang. Jurus-jurus tingkat tinggi telah mereka keluarkan untuk menjatuhkan lawannya.
"Heaaa...!"
"Hih! Yeaaah...!" Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Ayam' menukik. Kedua tangannya membuat cengkeraman sekuat baja. Tubuhnya melayang dari atas dengan kepala di bawah, menukik memburu lawan.
"Yeaaa...!" Menyaksikan lawan menyerang dari atas, Ki Soma pun tak tinggal diam. Dia segera melesat ke atas menggunakan ilmu meringankan tubuh. Tangannya membentuk sebuah cakaran yang tak kalah kerasnya.
Bergerak saling bergantian menyerang, mencakar ke arah Pendekar Gila.
Dengan jurus 'Bajul Sakti Meremukkan Tulang' Ki Soma berusaha mendahului menyerang. Kedua tangannya direntang lebar-lebar, kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, jari-jarinya menghentak ke tubuh Pendekar Gila.
"Yeaaa...!" Wut! "Ikh! Setan!" maki Sena sambil menarik tubuhnya ke belakang. Serangan Ki Soma pun hanya men- genai angin kosong.
Glarrr! Ledakan yang disertai kilatan cahaya merah keluar dari kedua telapak tangan Ki Soma. Bergidik semua orang yang menyaksikan kejadian itu. Mata ketiga lelaki yang menonton, terbelalak tegang dan ngeri. Mereka tak dapat membayangkan, bagaimana jika tubuh manusia yang terkena sasarannya. Pasti tubuh manusia akan hancur menjadi debu. Mengerikan sekali! "Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Bajul Buntung! Kenapa nyamuk kau tepuk...?" ejek Sena, membuat Ki Soma bertambah marah.
"Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu menjadi debu, Bocah Gila! Yeaaa...!" Dengan amarah meluap-luap, Ki Soma kembali melesat menyerang Pendekar Gila dengan jurus yang sama. Jurus yang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi, sehingga mampu mengeluarkan ledakan dahsyat dan kilatan api.
"Yeaaa...!"
"Hi hi hi...!" Dengan masih tertawa sambil menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila pun bergerak memapaki serangan lawan. Kali ini dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang', Pendekar Gila menyerang.
"Hiaaa...!" Tubuh keduanya melesat cepat, semakin lama semakin dekat. Pendekar Gila merentangkan kedua tangannya ke atas, kemudian menariknya ke dalam dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.
Ki Soma pun tak tinggal diam. Tangannya digerakkan membentuk lingkaran di atas kepalanya. Kemudian dengan jari-jari terbuka, kedua tangannya diletakkan di pinggang.
"Yeaaa...!"
"Hiaaa...!" Tubuh keduanya bergerak semakin cepat dan bertambah dekat. Kemudian setelah dekat, dengan mengerahkan tenaga dalam mereka menghentakkan kedua tangannya.
"Yeaaa...!"
"Heaaa!" Wusss...! Kedua tangan mereka yang mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi kini melesat maju, berusaha saling dorong dengan kekuatan tenaga yang mereka miliki. Prak! Glarrr! "Ukh...!"
"Akh!" Baik Pendekar Gila maupun Ki Soma kini terlempar ke belakang. Lalu keduanya bersalto di udara beberapa kali sebelum mendarat dengan tubuh agak terhuyung ke belakang. Mata mereka saling pandang, seperti berusaha mengukur kekuatan lawan masingmasing.
"Ukh!" Ki Soma mengeluh lirih, dadanya terasa sakit akibat benturan tenaga dalam tadi. Sementara Pendekar Gila tergetar sesaat.
"Pendekar Gila, kini ajalmu akan tiba! Bersiaplah...!" seru Ki Soma.
"Hua ha ha...! Enak sekali kau bicara, Bajul Buntung! Hi hi hi...! Kau kira mudah mencabut nyawa orang?" ejek Sena.
"Bersiaplah untuk mampus, Pendekar Gila! Ghrrr...!" Ki Soma terdiam dengan telapak tangan diletakkan menyatu di depan dada. Matanya terpejam, dengan mulut komat-kamit membaca sesuatu mantera. Wusss! Perlahan-lahan tubuh Ki Soma berubah wujud.
Mulanya dari pantatnya keluar ekor yang pendek. Kemudian semakin lama bertambah panjang. Ekornya berduri-duri. Lalu kedua kakinya perlahan-lahan dipenuhi sisik-sisik tebal dan keras. Kini wujud Ki Soma benar-benar telah berubah menjadi Bajul Ireng. Wujud buaya menyeramkan! "Heh"!"
"Ah! Ilmu siluman!" pekik Ki Wulung.
"Iblis! Rupanya dia iblis!" seru Ki Legok Menggo dengan mata terbelalak, menyaksikan Ki Soma kini telah berbentuk seekor buaya.
"Uaaa...!" Dengan mengeluarkan suara yang menyeramkan, Bajul Ireng kini melesat menyerang Pendekar Gila. Tangannya yang berkuku runcing mencakar. Mulutnya membuka lebar, menunjukkan gigi-giginya yang runcing dan tajam. Ekornya bergerak, menyabet ke sana kemari, menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat.
Wuttt! Glarrr! Suasana di halaman rumah Ki Legok Menggo seketika berubah panas. Dari lecutan-lecutan ekor Bajul Ireng, mengeluarkan hawa panas yang menyengat "Ilmu iblis!" rutuk Ki Kalawuku.
"Kita harus menjauh!" ajak Ki Wulung.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila...?" tanya Ki Kalawuku cemas.
"Jangan khawatirkan dia! Yang penting kita harus segera menjauh dari sini," ajak Ki Wulung sambil melompat menjauh dari halaman rumah Ki Legok Menggo.
"Hm, ilmu iblis!" gumam Sena masih berusaha tenang menghadapi makhluk jejadian itu. Sudah berapa kali Pendekar Gila menghadapi lawan seperti itu.
Kelelawar Iblis Merah juga merupakan lawannya yang memiliki ilmu siluman. Kini dia tak gentar sama sekali menghadapi hal semacam itu.
"Hi hi hi...! Lucu sekali wujudmu, Bajul Buntung! Hua ha ha..!"
"Ghrrr! Ku makan tubuhmu, Pendekar Gila! Ghrrr...!" Bajul Ireng menyerang dengan sabetan ekor dan cakaran tangannya ke tubuh Pendekar Gila. Namun, dengan cepat Pendekar Gila melesat, mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat balas menyerang dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' "Heaaa...!" Glarrr! Ledakan dahsyat menggelegar, menghantam tubuh makhluk jejadian yang menyeramkan itu. Tubuh Bajul Ireng terpental ke belakang, namun tak mengalami luka-luka. Bahkan kini semakin garang menyerang.
"Ghrrr...!"
"Setan! Ilmu setan...!" maki Sena.
Sret! Pendekar Gila mengeluarkan Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya, setelah merasa ilmu-ilmunya tak mempan sama sekali menghadapi Bajul Ireng.
Dengan melompat laksana terbang, Pendekar Gila menyerang Bajul Ireng. Suling Naga Saktinya bergerak memukul ke arah lawan.
"Heaaa...!"
"Ghrrr...!" Pletak! Bajul Ireng semakin marah, merasakan sakit akibat gebukan Suling Naga Sakti. Geramannya semakin keras. Cakaran dan sabetan ekornya pun kian mengganas.
"Ghrrr...!" Bajul Ireng kini kian membabi-buta menyerang.
Halaman rumah Ki Legok Menggo seketika porakporanda. Ekor Bajul Ireng menghantam ke sana kemari, menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat menggelegar. Glarrr...! Brak! Bummm...! "Heit! Setan...!" maki Pendekar Gila sambil mengelakkan serangan ekor Bajul Ireng. Glarrr...! Brak! Bummm...! Halaman rumah Ki Legok Menggo seketika porak-poranda. Ekor Bajul Ireng menghantam ke sana kemari, menimbulkan suara menggelegar! Pepohonan banyak yang roboh terkena sabetan ekor Bajul Ireng. Sedangkan Pendekar Gila terus melompat ke sana kemari, mengelakkan sabetan-sabetan ekor lawan. Namun ekor Bajul Ireng bagaikan memiliki mata. Ke mana Pendekar Gila melesat, ke situ pula ekor Bajul Ireng memburu.
Celaka aku kalau begini terus! Keluh Sena dalam hati. Tak ada jalan lain. Hanya Suling Naga Saktilah lawannya. Ilmuku tak mampu menghadapi Bajul Ireng itu. Pendekar Gila kembali melompat mengelakkan serangan ekor Bajul Ireng yang menghantam ke tubuhnya.
"Heit! Setan....!" maki Sena.
Pletak! Brak! Bummm...! Rumah Ki Legok Menggo hancur, terkena hantaman ekor Bajul Ireng.
"Bajul Buntung! Aku di sini!" tantang Pendekar Gila sambil melompat ke depan, agar dapat berhada-pan dengan Bajul Ireng yang semakin garang menyerang.
"Ghrrr...!" Ketika Bajul Ireng hendak kembali melompat, Pendekar Gila segera meniup Suling Naga Sakti dan mengarahkan mata kepala naganya ke mata lawan.
Suara Suling Naga Sakti melengking. Dan saat itu pula dari kedua mata Naga Sakti keluar dua larik sinar merah dan melesat ke mata Bajul Ireng.
Slarts! Crot! "Wuaaa...!" Lolongan kematian seketika terdengar dari mulut Bajul Ireng. Tubuh makhluk jejadian itu menggelepar-gelepar dengan asap hitam mengepul keluar dari tubuhnya. Kemudian tubuh Bajul Ireng diam tanpa nyawa. Perlahan-lahan berubah menjadi onggokan debu yang membentuk sosok manusia!

***

Bertepatan dengan musnahnya Bajul Ireng, di halaman rumah Ki Anom Purbo tampak Nyi Writampi dan Srindi mengalami kejadian yang aneh. Tiba-tiba tubuh mereka lemah. Gerakan silat mereka kacau. Hal itu cukup menguntungkan bagi Suriwami, yang tak menyia-nyiakan keadaan.
"Heaaa...!" Wrt! Cras! Cras! "Aaakh...!"
"Uuukh...!" Jeritan-jeritan kematian melolong dari mulut Nyi Writampi dan Srindi, ketika pedang Suriwarni membabat leher mereka.
Sesaat keduanya terhuyung meregang nyawa, lalu ambruk dengan darah hitam membanjir keluar dari goresan di leher mereka.
Tidak terasa pagi telah datang kembali menjemput alam persada. Pendekar Gila, Ki Legok Menggo, Ki Wulung dan Ki Kalawuku segera berangkat ke rumah Ki Anom Purbo. Mereka khawatir dengan keselamatan Suriwami. Namun seketika wajah mereka kembali cerah, ketika melihat Suriwarni dan Nyi Wulung serta Murni yang bisa kembali berbicara masih dalam keadaan selamat.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Gila, " kata Murni yang telah kembali bisa berbicara.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha...! Lucu sekali! Hua ha ha...!" Pagi yang masih buta, seketika terpecahkan oleh suara gelak tawa Pendekar Gila. Sedangkan Murni hanya tersipu-sipu malu.
Tubuh gadis itu tak bungkuk lagi, bahkan kecantikannya semakin jelas.
"Sebenarnya Murni memang dalam pengaruhku. Sengaja dia kubuat bisu, agar orang tak curiga padanya," tutur Suriwami menjelaskan pada Pendekar Gila dan lainnya.
"Aha, pintar sekali!" gumam Sena.
"Nisanak, tentunya kau tahu siapa sebenarnya Ki Soma" Dan dari mana asalnya?" tanya Ki Legok Menggo.
"Masalah itu, Ki Anom yang tahu," Suriwarni melemparkan pertanyaan itu pada Ki Anom Purbo.
"Baiklah, akan kuceritakan siapa mereka sebenarnya, termasuk gadis bisu dan bungkuk itu," ujar Ki Anom Purbo. Kemudian, setelah terbatuk-batuk kecil, Ki Anom Purbo pun menceritakan siapa sebenarnya Ki Soma dan istrinya.
"Ki Soma dan istrinya tak lain Siluman Bajul Ireng. Sebetulnya adik sepupu Ki Legok Menggo telah tewas di tangan Ki Soma dan istrinya. Keduanya juga yang memimpin Gerombolan Bajul Ireng, yang diburu pihak Kerajaan Sempangga. Untuk menghindari kejaran pihak kerajaan, keduanya menjelma menjadi Soma dan Writampi yang telah hilang dibantai mereka." Ki Anom Purbo menghentikan ceritanya sesaat untuk menghela napas. Keningnya berkerut, seolaholah tengah mengingat kejadian yang cukup lama itu.
"Kedua anggota Gerombolan Bajul Ireng itu menggunakan ilmu 'Pangling Rupa' yang mereka peroleh dari seorang lelaki tua renta bernama Angkara Se-ta. Mereka mendapat ilmu itu ketika menuntut ilmu di Goa Lawa di Pantai Selatan. Sedangkan gadis bungkuk dan bisu berwajah buaya itu masih tetap seperti wujudnya. Dia tak bisa mengubah wujudnya menjadi manusia, karena ilmunya belum setinggi ilmu 'Pangling Rupa' yang dimiliki Soma dan Writampi." Kembali Ki Anom Purbo menghentikan ceritanya. Ditatapnya wajah-wajah yang ada di depannya untuk, mengetahui tanggapan mereka.
"Karena Soma tahu kalau Ki Gagar Blarak orang kerajaan dan banyak membunuh anggota gerombolannya, dia memfitnah dan menuduh Ki Gagar Blarak sebagai pimpinan Gerombolan Bajul Ireng. Sedangkan aku diancam. Karena aku memang pernah berhutang budi pada Bajul Biru, orangtua Soma dan Raja Bajul. Itu sebabnya aku tak dapat menolong ayah Murni. Begitulah ceritanya," desah Ki Anom Purbo dengan mata berkaca-kaca, mengingat penderitaan yang dialami Murni. Kalau kau mau, biarlah kau kuangkat menjadi anakku, Murni!"
"Terima kasih, Paman," jawab Murni.
"Aku sudah bersama Bibi Suriwarni."
"Ah, syukurlah kalau begitu! Yang penting, semuanya kini telah berlalu," gumam Ki Legok Menggo.
"Aku sangat berterima kasih pada kalian. Entah dengan apa aku kelak dapat membalas. Tanpa bantuan kalian, mungkin desa ini akan menjadi desa yang dihuni iblis-iblis."
"Aha! Bagiku bukan masalah, Ki. Semua yang kulakukan untuk membela kebenaran dan keadilan.
Kini, yang paling utama bagaimana membangun desa ini kembali."
"Pintar juga pikiranmu, Pendekar Gila," sahut Ki Kalawuku.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak menyaksikan keceriaan di wajah mereka. Terlebih-lebih Murni, gadis cantik berusia lima belas tahun itu tersipu malu, ketika Pendekar Gila memandang wajahnya. Begitu pun Suriwarni alias si Bayangan Bidadari.
Samar-samar dari arah timur nampak cahaya kuning kemerahan membias, pertanda pagi telah datang.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Kalung Keramat Warisan Iblis --oo0oo-- Durjana Berparas Dewa


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.