Life is journey not a destinantion ...

Murka Sang Iblis

INDEX PENDEKAR GILA
Dendam Mahesa Lanang --oo0oo-- Tragedi Berdarah Di Ponorogo

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


֍::::::֍| 1 |֎::::::֎

Senja itu di Desa Pakis tengah terjadi pertarungan seru antara Ki Angkara, seorang bekas penduduk desa itu, melawan Kepala Desa Pakis, Ki Lurah Padri. Ki Angkara yang juga dikenal sebagai seorang lintah darat itu melampiaskan dendam pada Ki Lurah Padri, karena kepala desa itu memberikan anak gadisnya kepada Kandanu.
Kejadian itu dirasa memang aneh, karena ketika Ki Angkara datang ke Desa Pakis, warga desa menyambut dengan gembira. Lelaki tua itu dianggap orang baik, karena banyak membantu mereka yang lemah, dengan memberi pinjaman.
Namun, lama kelamaan warga banyak yang merasa keberatan. Jika dalam kurun waktu yang telah ditentukan, mereka tak mampu mengembalikan pinjaman, maka dikenakan bunga yang tinggi Kian hari warga yang berhutang pada Ki Angkara kian menderita dan sengsara. Bukan saja karena perekonomian warga semakin tertekan. Jika warga tak mampu membayar utang, Ki Angkara pun tak segan- segan menyiksa.
Apalagi ketika pembelian hasil panen dilakukan secara ijon, penderitaan warga Desa Pakis semakin hebat. Sampai ketika seorang pemuda bemama Kandanu kembali ke Desa Pakis.
Kandanu yang tahu orang tuanya juga korban Ki Angkara, dengan gigih berusaha menumpas kekejaman Ki Angkara.
Kemarahan Kandanu semakin memuncak, setelah tahu bahwa Ki Angkara yang menyebabkan kematian orang tuanya Apalagi ketika mendengar Ki Angkara hendak memperistri Murti Dewi, kekasihnya. Mengetahui Kandanu membenci lelaki tua yang Juga berjuluk Iblis Berkedok Dewa itu, warga menjadi berani. Mereka segera angkat senjata berusaha mengusir Ki Angkara.
Sore itu Ki Angkara tsngah membabi buta, melabrak serta membunuh setiap orang yang berani melawan dan menghalanginya.
'Heaaa..!" Bukkk! Plak! Pukulan dan tsndangan keras Ki Angkara terus menghajar orang-orang yang berani melawan dan menghalangi.
"Aaakh...!" Pekikan keras terdengar menyayat, disusul tubuh- tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Di Sana sini yang dilewati Ki Angkara tampak mayatmayat terkapar mengenaskan. Ki Lurah Padri yang juga memiliki llmu silat cukup lumayan pun tak mampu menghalangi tindakan Ki Angkara yang penuh dendam itu.
Lima orang keamanan desa yang memiliki ilmu silat tinggi, dengan sekali gebrak saja tak berdaya menghadapi keganasan Iblis Berkedok Dewa itu.
Darah berceceran di mana-mana, menimbulkan bau anyir. Korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbabat lehemya sampei putus, ada yang kepalanya terbelah, dan ada pula yang dadanya hangus terbakar surtn berbakas telapak tangan Ki Angkara. Karena lelaki bengis itu menggunakan ilmu 'Pukulan Iblis Berbisa'.
Ki Lurah Padri hampir saja menjadi korban, kalau tak segera melompat mundur.
"'Pukula Iblis Berbisa'," desah Ki Lurah Padri dengan mata menatap nanar pada Ki Angkara.
Ki Lurah Padri lalu mengambil tindakan untuk mengamankan diri Hal itu dilakukan bukan karena takut mati, tapi karena merasa harus segera memberi kabar pada Kandanu, menantunya yang saat itu berada di istana kerajaan.
"Karto...!" seru Ki Lurah Padri memanggil seorang pemuda yang hendak turut mengeroyok Ki Angkara. Pemuda itu segera menghampiri Ki Lurah Padri yang berada di belakang sebuah rumah penduduk. Kau segera ke istana dan beri tahu Kandanu..., cepat'" Karto segera berlari menjalankan perintah kepala desanya. Ki Lurah Padri agak lega, pemuda itu telah melesat pergi dari Desa Pakis, menuju istana untuk memberi tahu Kandanu tentang kejadian itu. Mendung yang sejak tadi bergayut di langit kian menebal, membuat suasana Desa Pakis semakin tercekam. Apalagi sebentar-sebentar suara petir terdengar seakan hendak memecahkan bumi.
Pembantaian masih terus berlangsung. Iblis Berkedok Dewa semakin merajalela membunuh orang- orang desa.
"Mampus kalian...! Heaaa...!" geram Ki Angkara dengan mata melotot memancarkan sinar kebencian.
"Kemana lurahmu yang tukang bohong itu..."!" Sambil berkata begitu, Ki Angkara terus menghajar dan menghantam orang-orang yang mengeroyoknya. Golok dan senjata lain dengan mudah dipatahkan, lalu dihantamkan ke pemiliknya.
"Aaakh...!"
"Wuaaa...!" Sementara itu, Ki Lurah Padri tengah berusaha mcnyelamatkan putrinya, Murti Dewi, yang sedang hamil muda.
"Cepat, Murti.... Kita harus segera pergi.
Cepat...! Sebelum iblis itu menangkap kita. Ayo, cepat..!" perintah Ki Lurah Padri cemas pada anaknya. Murti Dewi dengan perasaan tegang terus berlari mengikuti ayahnya. Ki Lurah Padri cepat memegang lengan Murti Dewi yang nampak ketakutan. Mereka terus berlari menembus hujan lebat, berusaha menjauhi rumah yang akan disatroni Ki Angkara. Hujan pun turun semakin deras, bagai disiram dari atas. Pembantaian masih berlangsung. Teriakan dan jeritan panjang tiada henti, terdengar di sana sini. Dan kini Ki Angkara telah sampai dekat rumah Ki Lurah Padri yang telah sepi. Beberapa wanita tua muda berlarian sambil menangis dan menjerit mencari suami atau anak mereka yang mungkin tewas dalam pertempuran menghadapi keberingasan Iblis Berkedok Dewa.
Iblis Berkedok Dewa memasuki rumah Ki Lurah Padri dengan cara menghancurkan pintu rumah itu. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba dari arah timur nampak beberapa lelaki penunggang kuda memasuki Desa Pakis. Derap kaki-kaki kuda bergemuruh, seakan bersaing dengan suara hujan lebat. Sepuluh prajurit dengan seragam kerajaan berwama kuning menggebah terus kuda mereka.
Seolah-olah mereka tak sabar untuk segera sampai di Desa Pakis. Kuda putih yang berada paling depan ditunggangi seorang lelaki gagah perkasa. Dilihat dari pakaiannya, lelaki itu adalah seorang senapati atau panglima perang kerajaan. Dialah Senapati Kandanu yang juga berjuluk Macan Kaligis.
Ki Angkara yang mengetahui kedatangan pasukan prajurit kerajaan, segera melesat pergi dengan hati geram dan marah. Lelaki tua beijubah merah darah itu terus melesat menembus lebatnya hujan. Senapati Kandanu memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa rumah Ki Lurah Padri.
Ternyata rumah besar itu telah kosong. Beberapa peralatan rumah tampak hancur berantakan.
Mengetahui keadaan sepi di rumah mertuanya, Senapati Kandanu melompat dari punggung kuda. Kemudian mencoba masuk ke rumah.
"Kau temukan istriku dan Ki Lurah...?" tanya Senapati Kandanu pada anak buahnya yang telah memeriksa dalam rumah.
"Tidak seorang pun di dalam rumah ini, Senapati," jawab prajurit itu.
Mendengar jawaban itu, Senapati Kandanu tersentak kaget dan cemas. Sejenak dia berpikir, lalu segera memerintahkan anak buahnya untuk mencari ke seluruh penjuru desa.
"Kau beri tahu yang lain, cari sampai ketemu...!" perintah Senapati Kandanu kepada anak buahnya agar memberi tahu prajurit lain yang tidak ikut ke rumah Ki lurah Padri.
"Baik, Senapati!" Setelah prajurit itu pergi, Senapati Kandanu masih memutar pikiran, ke mana istri dan mertuanya pergi. Hatinya semakin diliputi kecemasan, karena sang Istri tengah hamil.
"Keparat tua bangka itu! Kubunuh kau, Iblis...!" Kemudian dengan hati diliputi amarah dan kecemasan, Senapati Kandanu menggebah kuda, meninggalkan rumah Ki Lurah Padri, untuk menyusul para anak buahnya yang telah menyebar mengejar Iblis Berkedok Dewa.
Iblis Berkedok Dewa ternyata memang sengaja membuat keonaran di Desa Pakis. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk membuat malu Senapati Kandanu yang telah mempersunting Murti Dewi.
Lelaki tua itu pun telah lama menyimpan dendam dan amarah pada Kepala Desa Pakis. Ki Lurah Padri dianggapnya telah berkhianat dan berbohong padanya. Dahulu, sebelum Murti Dewi yang menjadi Kembang Desa Pakis dipinang Senapati Kandanu, Iblis Berkedok Dewa yang juga lintah darat itu telah beberapa kali mempengaruh] Ki Lurah Padri agar menyerahkan putrinya untuk dijadikan istri.
Berulang kali bujukan dilakukan, tapi Ki Lurah Padri selalu menolak dengan halus. Alasannya, putrinya belum berminat menikah atau berumah tangga. Ki Angkara rupanya mengerti dan tetap bersedia menunggu. Namun manakala mendengar bahwa orang yang diharapkan ternyata dipersunting Senapati Kandanu, Ki Angkara marah bukan kepalang. Dendamnya semakin membara setelah Murti Dewi dinikahi Senapati Kandanu. Itulah sebabnya setelah menghilang dari Desa Pakis, Iblis Berkedok Dewa selalu membuat keonaran di desa yang dipimpin Ki Lurah Padri itu Berulangkali lelaki tua itu selalu lolos dari kejaran Senapati Kandanu dan prajurit kerajaan.
Belakangan diketahui kalau Ki Angkara menjadi mata-mata Kerajaan Kelabang Sewu, sebuah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mandra Kulawa. Kerajaan Kelabang Sewu ingin memisahkan diri dari kekuasaan Kerajaan Mandra Kulawa. Namun cita-cita itu selalu terkubur, apalagi setelah panglima perang Kerajaan Mandra Kulawa dipegang Senapati Kandanu, si Macan Kaligis! Malam telah tiba, tapi hujan belum reda.
Seakan- akan hendak turut menyembunyikan jejak Iblis Berkedok Dewa. Sementara itu, Senapati Kandanu atau Macan Kaligis hampir putus asa. Di wajahnya nampak kecemasan bercampur amarah terhadap tindakan Iblis Berkedok Dewa.
Namun, ketika Senapati Kandanu baru saja memerintahkan para anak buahnya untuk kembali berkumpul, tiba-tiba dari arah selatan tampak dua orang berlarian menembus hujan. Keduanya menuju para prajurit kerajaan yang dipimpin Senapati Kandanu. Kedua orang itu ternyata Ki Lurah Padri dan Murti Dewi, yang tampak pucat dan basah kuyup. Melihat siapa yang datang, Senapati Kandanu segera menghambur menyambut istrinya. Dipeluknya wanlta yang tengah hamil muda itu dengan kelegaan hati dan rasa kasih sayang.
Sementara, dua orang prajurit membimbing Ki Lurah Padri membawa ke rumahnya. Senapati Kandanu pun segera menuntun istrinya, masuk ke rumah.
"Maafkan Kakang, Murti...," bisik Senapati Kandanu pada Murti Dewi. Lalu direbahkannya sang istri di ranjang. Dikeringkan sekujur tubuh istrinya yang masih pucat dan lemas. Tak lama kemudian wanita cantik itu tertidur kelelahan.
Malam terus merangkak. Di luar hujan mulai reda. Murti Dewi pun mulai kembali sehat setelah tertidur pulas cukup lama. Senapati Kandanu yang menunggui selama sang Istri tidur, segera mendekat dan duduk di tepi ranjang.
"Kakang...! Kakang...!" suara Murti Dewi terdengar lirih dan lembut memanggil suaminya.
"Ya, Diajeng. Ini Kakang," sahut Senapati Kandanu sambil mengusap lembut kepala Murti Dewi dengan penuh kasih sayang. Bibirnya tersenyum gembira melihat istrinya tampak mulai segar.
"Aku takut, Kakang...," desah Murti Dewi sambil meremas tangan Senapati Kandanu.
"Tenang, Diajeng! Yang penting kau selamat.
Kakang yang salah. Maafkan Kakang...! Sekarang tak perlu kau takut dan khawatir. Kakang akan selalu bersamamu, Diajeng...," Senapati Kandanu mencoba menenangkan istrinya yang tampak masih diliputi kecemasan.
Murti Dewi tersenyum manis seraya memegangi pipi sang Suami dengan jari tangannya yang halus. Senapati Kandanu lalu mencium lembut kening Murti Dewi. Wanita cantik itu tersenyum bahagia.
"Kakang, mudah-mudahan bayi dalam perut ini lahir dengan selamat..! Aku khawatir nanti...," Murti Dewi tak meneruskan ucapannya karena Senapati Kandanu menutup bibirnya dengan jari telunjuk sambil tersenyum serta menggelengkan kepala. Kemudian dipeluknya erat-erat tubuh sang Istri dengan penuh kasih sayang.
"Jangan kau mempunyai perasaan begitu, Diajeng. Percayalah pada Hyang Widhi, bayi itu akan lahir dengan sehat, tanpa kekurangan apa pun...!" Senapati Kandanu menghibur istrinya.
Murti Dewi takut akan keselamatan bayinya, karena dirinya mengalami jatuh dua kali sewaktu tadi berlari untuk bersembunyi di luar desa. Itulah yang kecemasan dan ketakutan di hatinya, jika sang Bayi kelak lahir.
Senapati Kandanu memeluk dan menciumi sang Istri dengan penuh kasih, terus berusaha menenangkan hati Murti Dewi. Sementara, di luar malam semakin larut. Kegelapan menyelimuti Desa Pakis. Hujan rintik-rintik menambah suasana mencekam di desa yang baru saja mengalami pembantaian oleh seorang tokoh sakti durjana.
Di tengah kegelapan malam dan rinai gerimis, tampak para warga desa dibantu para prajurit kerajaan inulai mengumpulkan mayat-mayat yang tewas oleh nmukan Iblis Berkedok Dewa.
Malam itu juga mereka menguburkan para korban diiringi derai tangis dan air mata seluruh warga Desa Pakis. Obor-obor bambu terpancang di sekitar pemakaman, seakan turut menyaksikan duka cita warga Desa Pakis.

***

Semenjak peristiwa mengenaskan itu, Senapati Kandanu memutuskan untuk lebih sering mengunjungi Desa Pakis, menjenguk istrinya yang tengah hamil. Atau kadang kadang, kalau terpaksa dirinya tak bisa datang karena urusan di istana kerajaan, terpaksa mengutus beberapa prajurit untuk mengawasi Ki Lurah Padri dan Murti Dewi, istrinya. Tak terasa beberapa purnama telah berlalu.
Kini kandungan Murti Dewi telah sampai waktunya untuk melahirkan. Sore itu, Senapati Kandanu pun datang ke rumah mertuanya, Ki Lurah Padri.
Setelah menemui Istrinya yang berada di kamar ditemani Nyi Ipah, seorang dukun bayi, Senapati Kandanu berbincang- bincang dengan Ki Lurah Padri di serambi depan rumah.
"Aku ikut bersalah, Nak Senapati. Aku tak berte rus terang pada Ki Angkara waktu itu. Tapi apa aku juga bersalah kalau menolak permintaan lelaki tua itu meminang Murti...?" ujar Ki Lurah Padri membuka permasalahan yang telah lama terpendam di hati. Wajahnya nampak muram, cemas.
"Tidak, Rama. Menolak atau menerima adalah hak Rama. Ki Angkara memang manusia berhati iblis yang periu ditumpas Aku telah berjanji dan bersumpah untuk membunuhnya, bila tertangkap nanti. Dia telah berani membuat onar di desa ini dengan ilmu hitamnya. Aku harus menangkapnya, cepat atau lambat..!" ujar Senapati Kandanu sungguh-sungguh.
Ki Lurah Padri diam. Dihisapnya rokok kawungnya, kemudian perlahan-lahan dihembuskan asapnya. Senapati Kandanu pun diam. Keadaan sejenak hening.
Waktu berputar begjtu cepat, malam pun datang menyelimuti bumi. Awan hitam menutupi bulan yang bersinar terang. Bumi berubah redup, menambah sua- sana mencekam.
Malam itu Senapati Kandanu dan Ki Lurah Padri kembali meneruskan pembicaraan mereka. Nyi Ipah yang memang masih kerabat dekat dengan Ki Lurah Padri malam itu tetap menjaga Murti Dewi.
Perempuan tua itu mengeluarkan minuman dan makanan untuk Ki Lurah Padri dan menantunya, Senapati Kandanu.
"Sampai di mana obrolan kita tadl..?" tanya Ki Lurah Padri pada Senapati Kandanu.
"Ng..., soal ilmu yang dimiliki Ki Angkara, Rama," jawab Senapati Kandanu.
"Hm..., ya. Aku tak habis pikir, dari mana dia mendapatkan ilmu aneh itu."
"Ya, begitulah, Rama. Yang jelas Ki Angkara telah menguasai ilmu sesat itu Namun sedikit pun aku tak takut. Apalagi kini pihak Kerajaan Mandra Kulawa telah mendengar bahwa si Iblis Berkedok Dewa itu merupakan mata-mata dari Kerajaan Kelabang Sewu. Berarti Ki Angkara, jelas musuh Kerajaan Mandra Kulawa. Dan sebagai senapati yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman rakyat, aku harus menangkap hidup atau mati Ki Angkara!" Ki Lurah Padri manggut-manggut, tanda mengerti clan membenarkan ucapan menantunya.
"Ya, ya. Tapi Nak Senapati tetap harus waspada dan hati-hati, menghadapi manusia licik seperti Ki Angkara itu. Manusia seperti dia itu pandai mengutamakan berbagai tipu muslihat.
Apalagi kudengar dia juga pandai menyamar," ujar Ki Lurah Padri, tampak mencemaskan menantunya.
Senapati Kandanu nampak tak langsung menjawab, la sedikit kaget mendengar penjelasan Ki Lurah Padri. Dia tampak berpikir sejenak.
"Hmm... , aku justru belum tahu tentang itu, Rama. Namum plhak kerajaan telah memutuskan untuk membinasakan Iblis itu. Aku sendiri turut merasa berdosa terhadap penduduk Desa Pakis yang telah banyak menjadi korban kebiadabannya.
Untuk itu, aku pertaruhkan nynwa demi menangkap Ki Angkara...!" ujar Senapati Kandanu yang telah diliputi amarah, dan malu, akibat ulah Iblis Berkedok Dewa. Ya.. ya.. Aku memaklumi perasaanmu, sebagai seorang abdi Kerajaan Mandra Kulawa. Tapi sekati lagi, aku berpesan agar kau lebih tenang menghadapi masalah iril. Dengan ketenangan jiwa kau akan lebih inampu mencari siasat untuk menaklukkan manusia iluijana seperti Ki Angkara.
Semoga Hyang Widhi berpihak pada kita....!"
"Terima kasih, Rama! Aku akan mencoba melaksanakan nasihat Rama...," jawab Senapati Kandanu sambil mengangguk penuh rasa hormat terhadap mertuanya.
Sejenak keduanya kembali diam. Suasana hening menyelimuti malam. Hanya bunyi jangkrik dan sesekali celetukan burung hantu terdengar memecah keheningan. Ki Lurah Padri meneguk kopinya. Sementara Senapati Kandanu nampak tengah memikirkan sesuatu.

***



֍::::::֍| 2 |֎::::::֎

Air hujan yang mengguyur Desa Pakis sejak sore, membuat desa yang indah itu seketika bagaikan mati. Kesunyian terus mencekam bersama datangnya hawa dingin yang menusuk tulang sumsum. Sesekali hujan berhenti, tapi kemudian tercurah kembali.
Sementara itu di dalam kamamya, Murti Dewi tengah berjuang mati-matian menghadapi kelahiran anaknya.
"Aduh, Nyi! Oh, sakit sekali...!" keluh Murti Dewi. Wanita cantik itu terus mengeluh dan mengaduh kvwkltan. Napasnya tersengal-sengal.
Keringat membanjiri sekujur tubuhnya, meskipun hawa dingin menyelimuti malam itu. Namun perasaan dan upayanya untuk mampu mengeluarkan jabang bayi di dalam perut telah membuat tubuh wanita cantik itu basah kuyup.
"Sabar, Murti...! Sabar...!" bisik Nyi Nipah, sang dukun bayi, sambi terus berusaha membantu Murti Dewi mengeluarkan bayi dalam kandungannya.
"Ayo, Murti...! Cepat sedikit..., ayo...!" Nyi terus memberi semangat, agar Murti Dewi menghempaskan napasnya karena kepala bayi itu telah mulai keluar.
"Hmh , ahhh! Ohhh...!" Murti Dewi menurut, segera dikerahkan seluruh tenaganya untuk dapat mengeluarkan sang bayi yanq sudah mulai keluar kepalanya.
"Terus, Mur! Ayo, terus!" seru Nyi Nipah memberi semanyat, supaya Murti Dewi tak menghentikan hempasan tenaganya.
Wajah wanita muda itu kini nampak tegang dan pucat. Keringat terus membanjiri selurah tubuhnya. Meskipun tubuhnya tampak letih, Murti Dewi terus berusaha mengeluarkan jabang bayinya.
Dihempaskan tenaganya dan....
"Oaaa...! Oaaa...!" Terdengar suara bayi memecah keheningan malam, seakan hendak membelah kegelapan malam dan suara hujan.
Seketika Senapati Kandanu berucap syukur kepada Sang Hyang Widhi. Hatinya diliputi perasaan bahagia yang tak terkira. Wajah Senapati Kerajaan Mandra Kulawa itu tampak ceria, karena sang Anak yang ditunggunya telah lahir dengan selamat.
"Nak Senapati, ke sini! Lihat anakmul Besar dan tampan, bukan?" tanya Nyi Nipah sambil menimang bayi yang masih dengan ari-arinya.
"Aku melihat ada kelebihan pada bayi ini."
"Ah, Nyi Nipah ada-ada saja...," sahut Senapati Kandanu seraya tersenyum.
"Nak Senapati ini dikasih tahu orang tua tidak percaya. Cobalah perhatikan anakmu...."
"Benar kata Nyi Nipah, Nak Kandanu," Ki Lurah Padri menimpali.
Senapati Kandanu hanya menyunggingkan senyum. Bagi dirinya, mempunyai keistimewaan atau tidak, yang jelas anaknya kelak harus dapat mewarisi watak yang baik Dalam hatinya, Senapati Kandanu berharap anaknya kelak akan menjadi orang yang dapat diandalkan. Anak yang berbakti kepada orang tua, negara, dan Hyang Widhi.
"Semuanya saya serahkan pada Hyang Widhi, Rama," ujar Senapati Kandanu menanggapi ucapan mertuanya. Ki Lurah Padri dan Nyi Nipah menganggukanggukkan kepala. Dalam hati, mereka merasa bangga akan kerendahan hati Senapati Kandanu.
Meskipun seorang pendekar dan punya kedudukan tinggi di kerajaan, lelaki muda itu tak pemah angkuh dan tinggi hati.
Senapati Kandanu memang sangat dihormati dan dihargai penduduk Desa Pakis. Maklum, karena dialah satu-satunya orang Desa Pakis yang mampu membuat harum nama desanya. Dan pembangunan Desa Pakis ini kian maju semenjak Kandanu menjadi pembesar diKerajaan Mandra Kulawa.
Kini Desa Pakis bukan desa yang terbelakang seperti satu atau dua dasawarsa silam. Desa Pakis kini merupakan desa yang ramai, tidak sedikit saudagar kaya bertempat tinggal di desa yang aman dan tentram itu. Ketenteraman dan keamanan Desa Pakis . dan sekitarnya itu tak dapat dilepaskan dari jasa Senapati Kandanu yang mengirim pasukan prajurit ke desa itu empat kali dalam satu purnama.
Senapati Kandanu menikah dengan Murti Dewi dua tahun yang silam, tepatnya ketika Senapati Kandanu kembali ke Desa Pakis. Mulai saat itu pula Desa pakis mengalami banyak perubahan. Ketenangan dan ketenteraman warga Desa Pakis kian bertambah pula semenjak menghilangnya Ki Angkara. Lintah darat yang kejam itu kini tak hanya dimusuhi warga desa Pakis, tapi merupakan musuh Kerajaan Mandra Kulawa. Iblis Berkedok Dewa itu kini menjadi buronan para prajurit kerajaan. Betapa bangga dan bahagia seluruh warga Desa Pakis. Mereka semakin bangga dan kagum terhadap Senapati Kandanu.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan warga Desa Pakis yang sedang dilanda kebahagiaan dan baru menyambut kelahiran bayi pertama dari pasangan yang sangat dipuja-puja, Iblis Berkedok Dewa masih berupaya terus mencari cara membalas dendam pada Ki Lurah Padri.
Iblis Berkedok Dewa belum puas sebelum mampu membalas dendam terhadap Ki Lurah Padri dan Senapati Kandanu. Lelaki tua itu terus berupaya mencari cara membuat malu Senapati Kandanu di mata rakyat Kerajaan Mandra Kulawa.
Meskipun untuk melaksanakan maksud itu Ki Angkara harus menghadapi rintangan berat, menghadapi para prajurit kerajaan di bawah pimpinan Senapati Kandanu.
Kemarahan Iblis Berkedok Dewa semakin menjadi-jadi setelah salah seorang anak buahnya memberi kabar bahwa Murti Dewi telah melahirkan anak Kandanu. Mendengar berita tidak menyenangkan itu, Ki Angkara segera memeras otak, mencari jalan untuk membuat keonaran.
Sementara Ki Angkara sendiri mulai kesal setelah menyadari bahwa dirinya menjadi buronan Kerajaan Mandra Kulawa.
"Mungkinkah ini tanda-tanda kelak ia akan menjadi orang besar seperti ayahnya?" ujar Nyi Nipah. Pertanyaan itu seperti ditujukan pada diri sendiri.
"Cobalah Kakang Padri pegang tulang belakang anak ini yang tampak begitu kokoh." Sebagai seorang kakek, Ki Lurah Padri pun menu rut memegang tubuh cucunya. Dielusnya perlahan bagian belakang tubuh bayi itu.
"Benar apa katamu, Nyi!" seru Ki Lurah Padri girang.
"Sudah kuduga, bahwa bayi ini kelak akan menjadi seorang pemuda yang bakal menyamai ayahnya." Senapati Kandanu hanya tersenyum-senyum mendengar ucapan kedua orang tua itu. Walau begitu dalam hatinya memang mengharapkan bahwa anaknya kelak akan menjadi orang yang baik, paling tidak akan dapat mampu menggantikan dirinya.
"Oh, Hyang Widhi, puji syukur hamba panjatkan ke hadiratMu," bisik Senapati Kandanu berdoa dalam hati. Senapati Kandanu sebenarnya ingin sekali menimang bayinya, tapi merasa belum mampu, karena terlalu kasar dirinya untuk ukuran tubuh seorang bayi. 'Nyi Nipah, apa boleh aku menengok istriku?" tanya Senapati Kandanu.
"Ya, boleh. Memangnya kenapa?" Nyi Nipah balik bertanya.
"Ah, tldak apa-apa. Aku hanya takut kalaukalau nanti akan membuat istriku lemah saja." Kau ini ada-ada saja, Nak Kandanu. Justru istrimu akan bertambah semangat bila didampingimu," tukas Nyi Nipah.
Senapatl Kandanu tersipu-sipu melihat Nyi Nipah menyunggingkan senyum menggoda. Kemudian dia segera meninggalkan ruangan tengah dan masuk ke kamar Muill Dewi.
Breeet Pintu kamar terbuka.
"Kakang.." desis Murti Dewi lirih.
Senapati Kandanu tersenyum, lalu melangkahkan kakinya perlahan menghampiri istrinya yang masih berbaring. Wajah Murti Dewi tampak letih, setelah susah payah berjuang melahirkan sang Bayi. Menurut orang tua, melahirkan sama saja dengan berjuang menentukan hidup atau mati. Nyawa sebagai taruhan dalam melahirkan. Hal itu juga dialami Murti Dewi, yang saat itu baru pertama kali melahirkan.
Senapati Kandanu mendekat, lalu perlahan duduk di tepi ranjang tempat istrinya terbaring.
Murti Dewi menatapnya dengan pandangan sayu.
"Hm, kau sudah melihat anak kita, Kakang?"
"Sudah."
"Bagaimana, Kakang?" Senapati Kandanu tidak menjawab, hanya tersenyum. Perlahan dengan lembut diciuminya kening Murti Dewi. Matanya menatap penuh pancaran kasih sayang pada istrinya.
"Anak kita laki-laki, mirip denganku," jawab Kandanu dengan bangga, membuat Murti Dewi mencibir.
"Hm, kau tak percaya, Diajeng?"
"Bukan tak percaya, Kakang. Aku percaya, kok." Senapati Kandanu tersenyum, begitu juga Murti Dew. Keduanya nampak sangat bahagia.
Kemudian keduanya terdiam, seakan hanya dengan tatapan mata sudah cukup bagi suami istri itu untuk menyatakan apa yang ada dalam hati masing- masing.
"Oaaa...! Oaaa...!"
"Dengarlah tangisnya, Diajeng."
"Ya. Tangisnya keras. Dia ingin .menunjukkan bahwa dirinya mampu," jawab Murti Dewi.
"Kelak, mungkin dia akan melebihiku, Diajeng," ujar Senapati Kandanu seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya. Semoga saja, Kakang...." Untuk kedua kalinya suami istri itu terdiam tanpa kata, dan hanya napas mereka saja yang terdengar mendesah berat.
Sementara itu di luar tamu-tamu tampak berda- tangan walau hujan masih belum reda.
Kedatangan para tamu membuat pembantupembantu Ki Lurah Padri bertambah repot. Namun begitu, di wajah para pelayan nampak keceriaan .
Karena dengan begitu mereka akan turut menikmati segala macam makanan yang belum tentu tiap hari mereka rasakan.
"Wah, kini kau telah dlpanggil kakek, Adi Padri," ujar Ki Purba, seorang sesepuh desa, yan masih saudara seperguruan dengan Ki Lurah Padri.
"Usiamu kini makin bertambah, tapi telah ada calon penerusmu."
"Ah, Kakang Purba bisa saja," gumam Ki Lurah Padri mencoba berkelakar.
"Bukankah memang seharusnya begitu, Kakang?" 'Tepat. Sebagai orang tua, kita memang harus menyadari bahwa sudah dekat dengan masa istirahat kita. Jangan seperti Ki Angkara yang kini entah di mana rimbanya."
"Maksudmu, Kakang?" tanya Ki Lurah Padri.
"Kau toh mengerti, Adi Padri. Ki Angkara dulu pemah tergila-gila pada putrimu. Bayangkan saja, kalau hal itu terjadi...." Ki Lurah Padri menarik napas dalam-dalam.
"Memang, Ki Angkara sepertinya tak menyadari usia. Seharusnya di usia yang setua itu, Ki Angkara sadar, bahwa dirinya tak akan lama lagi hidup di dunia." , Percakapan dua orang seperguruan itu terhenti, ketika nampak rombongan dari kelurahan lain datang. Di antara mereka tampak Ki Lurah Rejo Sari, Muntilan, Ki Serono, serta lurah-lurah lainnya yang semua merupakan kawan-kawan Ki Lurah Padri. Namun kedatangan mereka bukan sematamata karena Ki Lurah Padri, melainkan karena Macan Kaligis. Sebagai lurah yang desanya termasuk dalam wilayah Kerajaan Mandra Kulawa, sudah sepantasnya mereka datang menjenguk, dan turut menyatakan rasa bahagia atas kelahiran putra Senapati Kandanu.
"Eh, ada tamu jauh..." Apa kabar semuanya?" tanya Ki Lurah Padri menyambut para tamu.
"Bagaimana keadaan rakyat di desa kalian. Mudahmudahan selalu dalam kemuliaan."
"Regitulah seperti apa yang kau lihat, Ki Padri," jawab Lurah Muntilan.
"Kami datang sebagai pernyataan rasa suka cita atas kelahiran cucumu, Ki."
"Terima kasih. Sungguh kalian merupakan kawan- kawan yang selalu memberikan bantuan dan memberikan kebahagiaan." Ki Lurah Padri segera mempersilakan kelima lurah agar duduk di kursi yang telah disediakan.
Sementara dirinya pun harus segera menemui para tamu yang lainnya. Kelima lurah itu pun dijamu dengan ditemani sesepuh Desa Pakis, Ki Purba.
Namun kedatangan para tamu itu tampaknya cukup mengherankan tuan rumah. Entah siapa yang telah memberitahukan pada mereka, bahwa Maean Kaligis telah mempunyai putra. Memang rasarasanya tidak masuk akal kalau mereka tahu sendiri, karena kebanyakan para tamu datang dari jauh.
Dari tempat yang harus menempuh peijalanan mungkin sehari penuh. Kabar itu layaknya disampaikan sehari atau dua hari yang lalu.
"Kalau boleh aku bertanya, kapankah Ki Lurah sekalian mendengar kabar suka cita ini?" Ki Purba yang cerdik, mencoba mencari keterangan dari kelima lurah yang kini ditemaninya. Lelaki tua itu berharap akan mampu menjawab dugaan hatinya. Karena dia telah menduga adanya sesuatu yang kurang berkenan di hatinya.
Kelima lurah itu saling pandang, sepertinya kaget mendengar pertanyaan itu.
"Kami diberi tahu seorang lelaki tua yang mengaku mempunyai hubungan dekat dengan Ki Padri," jawab Ki Lurah Sura Gading.
Mendengar jawaban itu, Ki Purba tercengang.
Seketika keningnya berkerut karena heran.
"Lelaki tua...?" desis Ki Purba kaget.
"Benar," sahut Ki Lurah Muntilan.
"Dia mengatakan bahwa dirinya masih ada hubungan saudara dengan Ki Padri."
"Ah...!" pekik Ki Purba lirih.
"Kenapa, Ki" tanya Ki Reja Sanga, melihat keterkejutan Ki Purba.
"Apa ada yang tidak beres, Ki?" Ki Purba menganggukkan kepala membuat kelima lurah itu seketika membeliakkan mata.
"Jadi semua omongan orang itu dusta?" tanya kelimanya serentak.
"Tidak semuanya," jawab Ki Purba.
Kelima lurah itu makin tak mengerti. Ki Purba yang tahu gelagat, saat melihat kelimanya terkejut segera menerangkan maksudnya.
"Memang benar apa yang dikatakan orang itu.
Akan tetapi orang itu bukanlah sanak saudara kami."
"Heh"! Mengapa Ki Purba berkata begitu?" tanya Ki Lurah Reja Sanga tak yakin.
"Sedangkan orang itu mengatakan bahwa dirinya adalah sanak saudara Ki Padri." Ki Purba terdiam, sulit untuk menerka siapa sebenarnya orang itu. Bersamaan dengan ketidakmampuan Ki Purba menjawab segala pertanyaan kelima lurah itu, dari dalam tampak Macan Kaligis keluar. Serta merta para tamu bangkit dari tempat duduk Tanpa diperintah, mereka menjura hormat.
"Salam sejahtera dan suka cita kami ucapkan, Kanjeng Senapati!"
"Oh, selamat datang Ki Lurah sekalian! Terima kasih atas segalanya!" sambut Senapati Kandanu sadar bahwa dirinya jauh lebih muda bila dibandingkan kelima lurah itu. Sepantasnya dirinya menaruh hormat pada mereka.
"Silakan duduk!" Kelima lurah itu pun kembali duduk. Kali ini kelimanya ditemani langsung orang yang mereka hormati, Senapati Kandanu. Mereka kini diam.
Tiada seorang pun di antara mereka yang berani membuka kata terlebih dulu untuk mengawali pembicaraan. Di mata kelima lurah itu, Senapati Kandanu merupakan orang yang amat disegani.
Padahal bagi Senapati Kandanu sendiri merekalah yang sepantasnya dihormati. Pertama mereka sebagai tamu, kedua mereka orang-orang tua yang mempunyai pengalaman serta wawasan yang jauh lebih banyak djbanding dengan dirinya. Hanya karena soal nasib yang membedakan dirinya dengan kelima lurah tersebut.
"Ki Lurah sekalian, kalau ini tidak menyinggung hati Ki Lurah, saya ingin bertanya," akhirnya Senapati Kandanu membuka keheningan yang menyelimuti mereka.
"Tentang apakah, Kanjeng Senapati?" Ki Lurah Purwa Jati yang menimpali balik bertanya. Ki Purwa Jati memang orang yang paling tua di antara kelimanya.
"Katakanlah kalau memang itu sangat penting bagi Kanjeng Senapati." Senapati Kandanu terdiam sejenak, mengerutkan kening.
"Maaf! Kalau boleh aku tahu, dari siapa Ki Lurah sekalian tahu, istriku hari ini melahirkan?" tanya Senapati Kandanu setelah memandang kelimanya satu persatu.
Kelima lurah itu tak segera menjawab.
Mereka menghela napas dalam-dalam lalu saling pandang sejenak.
"Kami diberi tahu seorang lelaki tua," jawab Ki Purwa Jati.
"Orang tua?" Senapati Kandanu balik bertanya dengan kening berkerut.
"Ya!" jawab Ki Purwa Jati.
"Orang tua berjubah merah!" Senapati Kandanu dan Ki Purba tersentak mendengar penuturan Ki Purwa Jati. Mata keduanya terbelalak. Mereka nampak seperti tak percaya pada ucapan Ki Purwa Jati.
"Bagaimana mungkin Ki Angkara berani lancang menampilkan diri?" tanya Senapati Kandanu dalam hati.
"Mungkinkah ia menyamar" Ah, tak mungkin!"
"Kapan berita itu sampai Ki Lurah?" tanya Ki Purba kemudian.
"Dua malam yang lalu," jawab Ki Purwa Jati.
Senapati Kandanu terdiam. Pandangan matanya dllemparkan pada Ki Purba. Ki Purba yang menangkap tatapan itu, sepertinya juga tidak tahu harus berbuat apa. Lelaki tua itu tak mengerti apa yang harus dilakukan. Untuk menangkap Ki Angkara, jelas dia tak tahu keberadaannya.
"Ki Lurah sekalian! Kalau kalian tahu orang itu, harap tangkap. Bukankah Ki Lurah telah mendengar pengumuman dari kerajaan?" tanya Senapati Kandanu.
Kelima lurah dan beberapa tamu yang mendengar ucapan Maean Kaligis, tersentak kaget.
"Jadi...?" Ki Purwa Jati hendak bertanya ketika dengan cepat Senapati Kandanu menyahut.
"Ya! Dialah Ki Angkara, orang yang kini tengah diburu pihak kerajaan setelah berbuat onar di sini dan terbuka kedoknya sebagai mata-mata.
Dia juga sering disebut Iblis Berkedok Dewa," papar Senapati Kandanu.
Kelima lurah itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Bila Ki Lurah sekalian mampu menangkapnya hidup atau mati, akan mendapatkan imbalan dari Kanjeng Gusti Galih Waskita." Kelima lurah itu nampak gembira mendengar imbalan yang dijanjikan raja bila mampu menangkap Ki Angkara. Mereka telah membayangkan bagaimana mereka akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi bila dapat melaksanakan tugas itu "Baiklah, akan kami perhatikan apa yang Kanjeng Senapati katakan," jawab Ki Purwa Jati yang diikuti keempat lurah lain.
"Kami juga tak dapat lama-lama di sini!" tambah Ki Sura Gendring.
"Oh, mengapa mesti buru-buru?" Senapati Kandanu mencoba mencegah.
"Maafkan kami! Kami harus mengurus apa yang kami lakukan menjelang kunjungan Kanjeng Gusti Galih Waskita untuk memeriksa desa kami!" Ki Purwa Jati kembali menjawab.
"Baiklah! Hati-hatilah, dan ingat Ki Lurah, bahwa sudah menjadi tugas kita menangkap penjahat kerajaan!" tegas Senapati Kandanu.
"Akan kami perhatikan, Kanjeng Senapati," jawab kelimanya serempak.
Kelima lurah itu segera mohon pamit, pada Ki Padri dan Ki Purba. Setelah menimang sang Bayi yang nampak tenang, mereka menjura hormat pada Senapati Kandanu, lalu meninggalkan rumah Kepala Desa Pakis.

***



֍::::::֍| 3 |֎::::::֎

Kelima lurah yang pulang dari rumah Ki Lurah Padri tampak beijalan diiringi para pengawal mereka masing masing. Rombongan itu baru saja melewati ta- pal batas Desa Pakis.
"Bagaimana menurutmu, Kakang Purwa Jati?" tanya Ki Reja Sanga.
"Apa maksudmu, Adi Sanga?"
"Itu, mengenai Ki Angkara yang menjadi buronan kerajaan. Apakah kita tak ikut mencari" Siapa tahu kita yang beruntung mendapatkan imbalan Itu, Kakang." Ki Purwa Jati terdiam memikirkan pendapat Ki Reja Sanga. Sebenarnya dalam hati Ki Purwa Jati tak punya keinginan untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, seperti yang diharapkan keempat lurah lainnya. Memang bagi Ki Purwa Jati yang sudah tua, apalah arti jabatan tinggi. Bahkan dirinya merasa sudah pantas melepaskan segala urusan duniawi.
"Sebenarnya aku juga tertarik, tapi usiaku tidaklah memungkinkan untuk terus memegang Jabatan yang lebih tinggi. Untuk jabatan lurah saja, kurasa sudah terlalu berat bagiku," jawab Ki Purwa Jati polos.
"Tapi, aku akan berusaha membantu kalian."
"Kalau begitu, Kakang Purwa bersedia membantu kami," kata Ki Sura Gandring.
"Aku akan berusaha," jawab Ki Purwa Jati.
"Karena ini menyangkut urusan kerajaan. Sekalian membantu jika kalian benar-benar berminat dengan tugas Int."
"Ah, terima kasih sebelumnya, Kakang Purwa!" ujar Ki Kuncara, yang paling muda di antara kelima lurah itu. Kelimanya terus melangkah menyusuri jalan becek, hingga alas kaki mereka kotor oleh lumpur.
Kelima lurah itu terdiam. Tak satu pun yang berbicara. Begitu juga kesepuluh orang pengawal mereka. Semua membisu, seakan-akan tengah hanyut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah kegelapan malam yang dingin.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat di hadupan mereka. Kelima belas orang itu tampak tersentak kaget, ketika mendadak sesosok tubuh telah menghadang langkah mereka.
"Hah! Siapa kau..."!" bentak Ki Sura Gandring seraya menghentikan langkah.
"Ha ha ha...! Ternyata kalian orang-orang yang sangat menghormati senapati kerajaan itu. Ha ha ha...l Tentunya kalian telah membuktikan bahwa Senapati Kandanu benar telah mendapat keturunan, bukan?" terdengar suara keras dari sosok yang berdiri di depan kelima lurah itu.
Tampak di depan mata kelima lurah itu, seorang lelaki tua berjubah merah darah. Pancatan sinar matanya menunjukkan bahwa lelaki tua itu memiliki ilmu tinggi.
"Tentunya kalian mendapat petuah-petuah dari Senapati Kandanu, bukan?"
"Hm! Kau...! Kau Iblis Berkedok Dewa!" Ki Reja Sanga tersentak.
"Kebetulan! Kebetulan sekali kau muncul, Iblis!" lambah Ki Kuncara.
"Haaa...! Apa maksudmu, Ki Lurah"!" tanya lelaki berjubah merah yang temyata Iblis Berkedok Dewa. Matanya melotot tajam pada Ki Kuncara.
"Kami hendak mencarimu untuk ditangkap...!" jawab Ki Purwa Jati.
"Menangkapku"! Hua ha ha...! Kalian ini lucu dan aneh," sahut Iblis Berkedok Dewa dengan menyipitkan mata seraya tertawa seenaknya.
"Apa aku tak salah dengar?"
"Tidak! Kau tak salah dengar! Kami memang akan meringkusmu untuk diserahkan pada kerajaan!" jawab IS Purwa Jati tenang.
"Kau merupakan musuh keraaan!"
"Ha ha ha...! Gila..., gila! Kalian temyata benarbenar orang lucu dan aneh. Kalian anjing penjilat raja...!" dengus Ki Angkara dengan membelalakkan mata menatap tajam kelima lurah itu.
"Bangsat! Lancang kau, Iblis!" maki Ki Kuncara geram.
"Manusia busuk! Lintah darat! Seraaang...!" Ki Kuncara tampaknya tak sabar untuk bertele-tele mengadu mulut. Tangannya dikibaskan, memberikan isyarat pada kesepuluh pengawalnya agar menyerang, Melihat perintah itu, kesepuluh pengawal melesat maju mengepung si Iblis Berkedok Dewa.
"He he he...! Mengapa meski cecungukcecunguk ini yang maju"! Bukankah lebih baik kalian?" Ki Angkara terkekeh, seolah-olah tak memandang sebelah mata pun pada kesepuluh pengawal lima lurah itu. Bahkan ucapan Ki Angkara itu seakan engejek pada kelima lurah itu.
"Dasar manusia iblis! Belum sepantasnya kami maju..!" gertak Ki Kuncara marah. Sementara keempat lurah lain masih tampak tenang tanpa tanggapan. Mereka hanya mengawasi gerak-gerik Iblis Berkedok Dewa.
"Pintar...! Pintar sekali kalian. He he he...! Baik, kalau itu yang kalian inginkan! Hiaaa...!" Tanpa banyak kata lagi, Ki Angkara melesat menyerang kesepuluh pengawal itu. Kaki dan tangannya bergerak begitu cepat, sepertinya ingin segera menjatuhkan kesepuluh pengawal lurah.
Namun kesepuluh pengawal lurah itu tampaknya bukan orang-orang sembarangan. Gerakan mereka tampak lincah dan gesit Tangan Iblis Berkedok Dewa menyodok ke depan, bergerak ke kanan dan kiri. Itulah jurus 'Sapuan Iblis'. Dari pukulan dan tendangan yang cepat menimbulkan deru angin keras. Bersamaan dengan serangan-serangan yang keras dan cepat tubuh lelaki berjubah merah itu tampak bergerak ke sana kemari menghindari para pengawal lurah itu.
"Mampus kau...!" seru Ki Angkara.
Wut...!"
"Belum, Iblis Laknat!" sahut Sawar seraya tangannya bergerak mencengkeram ke tubuh lawan.
Wret! Iblis Berkedok Dewa rupanya tahu gerakan lawan. Sehingga dengan cepat tangannya ditarik sambi! menyikut musuh di belakangnya yang hendak menyerang. Sementara kaki kanannya mengayun ke depan, menggantikan tangan yang ditatik ke belakang. Gerakan Iblis Berkedok Dewa ini begitu cepat, sehingga kedua orang yang diserangnya tak sempat bergerak menghindar. Keduanya nampak mati langkah, sehingga gerakan mereka nampak kaku dan lambat. Hal Itu membuat kedua pengawal itu tak mampu mengelak. Dan....
Wuttt! Bukkk! Bukkk...!"
"Aaa...!"
"Wuaaa...!" Sawar dan Parmin terpekik keras, ketika tangan dan kaki lawan mendarat telak di wajah dan bawah perut mereka. Kedua pengawal lurah itu terhuyung-huyung dengan mulut meringis kesakitan.
Melihat kedua kawan mereka mendapat serangan lawan, kedelapan pengawal lain segera melompat me- nyerang secara serempak. Dengan kemampuan yang ada, mereka melakukan serangan.
Empat orang menyerang dari depan, sedangkan empat orang lain siap menggempur Iblis Berkedok Dewa dari belakang.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Empat pasang tangan dari keempat pengawal lurah bergerak menyerang. Meskipun serangan yang dilancarkan tampak cepat dan ganas, tapi Iblis Berkedok Dewa dengan enak berkelebat ke sana kemari mengelakkan pukulan-pukulan gencar itu.
"Yeaaa...!" Wut! Kembali empat orang lainnya menyerang dengan cakaran tangan. Namun seperti empat rekannya yang mendahului menyerang, mereka tak mampu mendaratkan serangan ke tubuh lawan.
Bahkan kini Iblis Berkedok Dewa mampu melancarkan serangan balasan dengan tendangan dan pukulan secara cepat dan beruntun.
Jurus yang digunakan Iblis Berkedok Dewa sungguh aneh, tampak kaku dan tak beraturan.
Namun dalam setiap gerakan mampu menimbulkan desir nngin keras. Hal itu menandakan kekuatan tenaga dalam yang dikerahkan dalam setiap serangan.
"Heaaa...!" Wut! Tangan Iblis Berkedok Dewa menjulur ke depan. ltulah jurus 'Cakar Iblis', sebuah jurus yang sukar untuk diikuti karena kecepatan gerakannya.
Tidak ketinggalan, kedua kakinya nampak menekuk agak rendah, membuat tubuh lelaki beijubah merah itu selalu lepas dari serangan lawan.
"Mampus kau...!" bentak Ki Angkara seraya menjulurkan tangan kanannya agak panjang ke depan. Wret! Flak! Plak! "Akh...!" Pekikan tertahan terdengar dari dua pengawal lurah yang terhantam serangan tangan Iblis Berkedok Dewa. Dirasakan hawa panas menjalar ke tubuh mereka yang seketika membeliak.
Bahkan kemudian dirasakan tulangnya bagaikan remuk.
"Heaaa...!" Ki Angkara kembali melancarkan serangan keras dengan pukulan tangan. Dengan cepat kedua orang yang terluka itu melompat ke belakang mengelakkan serangan. Kemudian dua pengawal lain telah melesat menggantikan serangan kedua teman mereka yang terluka.
Kelima lurah yang menyaksikan pertarungan para pengawal mereka melawan Iblis Berkedok Dewa tampaknya merasa khawatir. Mereka mulai menyadari bahwa lelaki berjubah merah itu bukan lawan sembarangan.
"Rasanya kita harus turun tangan, Kakang!" ujar Ki Reja Sanga pada Ki Purwa Jati.
"Hm...! Kau benar. Kalau kita tak segera turun tangan, aku yakin mereka tak mampu mengalahkan manusia iblis itu...," sahut Ki Purwa Jati.
"Tapi, apa tak sebaiknya kita serang sekarang?" tanya Ki Kuncara, menimpali.
"Kurasa dalam keadaan seperti sekarang ini kita sangat tepat untuk menyerangnya."
"Nanti kita akan dibilang pengecut," sahut Ki Sura Gandring.
"Alaaah...! Mengapa Kakang Sura berpikir sampai sejauh itu" Dalam menghadapi musuh seperti itu, kita tak perlu banyak memikirkan pengecut atau tidak," Ki Serana yang dari tadi diam kini ikut menimpali. Hatinya sudah tak sabar untuk segera membekuk Ki Angkara.
"Ayo kita serang! Hiaaat...!" Keempat lurah tersentak melihat Ki Serana telah mendahului menyerang.
"Ha ha ha...! Hebat! Kalau begini aku suka.
Ayo yang lain, maju agar aku kirim kalian ke neraka...!" Sambil berteriak begitu, tangan Iblis Berkedok Dewa bergerak menyambar. Sementara kaki kanannya menendang ke belakang.
Dukkk! Bukkk! "Aaah...!" Pekikan keras kembali memecahkan keheningan malam ketika dua orang pengawal terhantam serangan Iblis Berkedok Dewa.
Keduanya mengerang kesakitan, lalu jatuh ke tanah. Melihat hal itu, kelima lurah segera melancarkan serangan. Kini Iblis Berkedok Dewa harus menghadapi orang-orang yang mungkin ilmunya lebih tinggi dibanding kesepuluh pengawal mereka. Kelima lurah secara serentak melakukan serangan gencar. Hal itu membuat Iblis Berkedok Dewa terkesiap kaget.
"Heaaa...!" Wut! Ki Purwa Jati mengibaskan tangan ke depan, mencoba membabat wajah lawan. Namun gerakan cepat itu tampak tak lepas dari perhatian Iblis Berkedok Dewa. Lelaki tua berjubah merah itu segera melompat ke belakang mengelakkan pukulan Ki Purwa Jati. Melihat lawan bergerak mundur, para pengawal lurah segera merangsek dari belakang.
Namun Iblis Berkedok Dewa begitu awas matanya.
Dengan cepat kedua tangannya dikibaskan untuk memapak serangan dari para pengawal.
Wut! Plak! Plak...! "Akh...!"
"Wuaaa...!" Enam orang pengawal lurah terpekik keras.
Tangan mereka melepuh seperti terbakar. Hawa panas seketika menjalar ke seluruh tubuh. Entah ilmu macam apa yang dikeluarkan Ki Angkara.
Keenam pengawal lurah itu mengerang menahan sakit sambil melangkah mundur. Sementara itu kelima lurah langsung menggebrak dengan serangan gencar.
"Heaaa...!" Teriakan,keras mengiringi serangan gencar kelima lurah. Wret! Bukkk! "Aaah...!" Ki Reja Sanga teipekik keras. Tubuhnya sempoyongan ke belakang ketika tangan Iblis Berkedok Dewa menghantam telak dadanya.
Seketika dadanya dirasakan panas dan perih. Dia semakin tersentak kaget dengan mata terbelalak ketika di dadanya menggurat hitam bekas tangan Iblis Berkedok Dewa.
'"Pukulan Iblis Berbisa'...," desis Ki Reja Sanga pelan.
"He he he...! Kau tahu juga, Ki Lurah! Sebaiknya kalian segera minggat dari sini!" Ki Angkara tertawa mengejek sambil tangannya terus bergerak memapak dan menyerang.
Sementara keempat lurah lain tampak lebih berhatihati meng-hadapi lelaki berjubah merah itu. Iblis Berkedok Dewa ternyata bukan lawan sembarangan, melainkan seorang yang sangat berbahaya dengan ilmu 'Pukulan Iblis Berbisa'nya.
Wut! "Awas...!" Ki Purwa Jati memperingatkan pada ketiga rekannya untuk hati-hati.
Keempat lurah dengan cepat melompat mundur. Namun ternyata serangan Iblis Berkedok Dewa hanya tipuan belaka. Serangan itu sebenarnya ditujukan kepada keenam pengawal yang telah kembali menyerang. Sungguh suatu gerakan yang sukar diduga. Begitu cepat lelaki betjubah merah itu memutar tubuh sambil memapak serangan lawan. Keenam pengawal lurah tersentak kaget mendapati serangan cepat dan tiba-tiba itu.
Mereka berusaha mengelak, tapi gerakan tangan Iblis Berkedok Dewa ternyata datang lebih cepat.
Sehingga....
"Heaaa...!" Buk! Buk! "Aaa...!"
"Wuaaa...!" Jeritan kematian terdengar susul-menyusul, ketika dada keenam pengawal terhantam tangan Iblis Berkedok Dewa. Tubuh mereka terlontar beberapa langkah ke belakang, dengan dada hangus bagai terbakar. Lalu terbanBng beberapa tombak di depan Ki Angkara. Mulut keenam lelaki muda itu mengerang-erang. Sejenak mereka berkelojotan, tapi kemudian diam dan mati.
Kini tinggal kelima lurah yang masih mampu bertahan. Mata mereka menatap nanar pada keenam pengawal yang terkapar tak bemyawa lagi.
Belum sempat rasa kaget mereka lenyap, tiba-tiba Iblis Berkedok Dewa telah melesat melakukan serangan.
"Terimalah 'Pukulan Iblis Berbisa'ku. Hiaaa...!"
"Bedebah! Kubunuh kau, Keparat!" geram Ki Purwa Jati.
"Seraaang...!" Keempat lurah segera menyerbu melakukan serangan. Sementara itu Ki Reja Sanga yang terluka dadanya tidak ikut melakukan serangan.
"Hiaaat..!" Wuttt" Wret! Tangan dan kaki keempat lurah secara serentak melakukan serangan. Sementara Iblis Berkedok Dewa tampak lebih berwaspada menghadapi keempat lawannya. Tubuhnya berkelebat ke kanan dan kin berusaha mengelakkan serangan gencar yang terus mencecar ke tubuhnya.
"Hiaa...."
"Plak! "Buk! Ki Purwa Jati dan Ki Kuncara berhasil mendaratkan dua pukulan telak ke tubuh Iblis Berkedok Dewa. Seketika tubuh lelaki berjubah merah itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping, lalu terjatuh ke tanah. Dua pukulan lawan mendarat telak di dada dan IhVlian rusuknya.
Namun dengan cepat tubuhnya telah kembali bangkit berdiri. Tampak tangannya meraba dada dan tulang rusuk yang dirasakan amat nyeri "Kurang ajar! Kalian berani menentangku, Cecunguk!" geram Iblis Berkedok Dewa. Lalu tubuhnya melesat berusaha membalas serangan keempat lurah. Melihat kegeraman Iblis Berkedok Dewa, keempat lurah tampak tenang. Dengan mengandalkan jurus- jurus ringan, mereka bergerak untuk mengelakkan serangan membabi-buta lawan.
Namun sesekali mereka masih mampu melakukan serangan ke tubuh lelaki berjubah merah itu.
"Hiaaa...! Kubunuh kalian...!" Wret! Dengan kedua tangan membentuk cakar, Iblis Berkedok Dewa melesat melakukan serangan dahsyat Yang dituju Ki Purwa Jati. Lelaki berjubah merah itu tampaknya mampu membaca bahwa kekuatan lawan berada pada Ki Purwa Jati.
Sementara itu, Ki Purwa Jati pun mengetahui gelagat lawan. Maka dengan cepat dia melakukan gerakan untuk mengatasi serangan Iblis Berkedok Dewa.
"'Laksa Genta'...! Hiaaa...!" Dengan jurus 'Laksa Genta' Ki Purwa Jati melen ting ke udara untuk melakukan serangan dahsyat Ketiga lurah yang lain segera menyusul. Kini keempat sekawan itu melayang di udara.
"Hiaaa...!"
"Yeaaah...!" Iblis Berkedok Dewa yang segera mengetahui bahaya bakal mengancam dirinya, dengan cepat mencelat untuk mengatasi serangan lawan.
Tampaklah lima sosok tubuh melesat begitu cepat dan melayang di udara. Seketika lima kekuatan tenaga dalam bertemu dan saling beradu.
Glarrr...! Seketika itu pula sebuah ledakan keras mengge- legar terdengar memekakkan telinga, ketika keempat kekuatan beradu dengan kekuatan Iblis Berkedok Dewa. Keempat tubuh lurah melayang tak tentu arah, lalu terjatuh sekitar delapan tombak dari tempat pertarungan.
Keempatnya tak mampu lagi bangkit, karena seketika itu pula nyawa mereka telah melayang dari raga. Di dada masing-masing tergambar tanda telapak tangan Iblis Berkedok Dewa.
"Huk...l Huaaak..., akhhh...!" Iblis Berkedok Dewa memuntahkan darah, seolah-olah hendak membuang rasa sakit yang mendera sekujur tubuh.
Setelah muntah, lelaki berjubah merah itu segera bangkit berdiri lalu melesat meninggalkan kelima belas mayat yang terkapar di tanah basah.
Angin malam menderu, hujan makin deras, seakan-akan turut menyaksikan kejadian mengenaskan yang dialami lima lurah dan kesepuluh pengawal mereka.

***



֍::::::֍| 4 |֎::::::֎

Pagi terasa sangat sejuk. Angin yang bertiup lembut, membelai dedaunan. Di antara kicauan burung- burung di pepohonan terdengar suara suling mengalun merdu menyeruak memecahkan suasana pagi itu. Alunan itu seakan-akan ditiup seseorang yang hatinya tengah hanyut dalam penghayatan terhadap keindah- an atam.
Di sebelah barat, tampak seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular tengah duduk di bawah sebuah pohon rindang, pada sebatang akar yang mencuat di atas tanah. Pemuda yang tak lain Sena Manggala, atau lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila itu nampak begitu asyik meniup Suling Naga Saktinya. Melantunkan lagu merdu, lagu pujaan terhadap indahnya alam.
Akar pohon tempat duduk Pendekar Gila berada di tepi sebuah telaga, di sekitar Hutan Randu Kembar. Karena begitu jerruh air telaga yang tak seberapa luas itu tampak berkilauan ditimpa sinar matahari pagj. Menciptakan sebuah panorama indah laksana pelangi, menghiasi sekitar hutan itu. Mei Lie Andai kau ada di sampingku Ingin aku bercerita Tentang indahnya dunia ini Tentang sepinya hatiku ini Itulah bait-bait syair yang tengah didendangkan Pendekar Gila, sebagai pelipur sepi hatinya. Kemudian ditiupnya kembali Suling Naga Sakti, mengalunkan irama lembut mendayu sukma.
Seakan burung pun turut terharu, mendengar nyanyian yang dialunkan suling itu. Alam hening, angin semilir lembut, seakan turut merasakan pilu hati Pendekar Gila.
Namun tiba-tiba dari kejauhan tampak lima orang penunggang kuda berlari menuju telaga tempat Pendekar Gila berada. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, kelima orang itu adalah para prajurit Mereka terburu-buru, menggebah kuda tunggangan agar terus berlari. Wajah para prajurit itu lampak diliputi kecemasan, seakan ada sesuatu yang terjadi.
"Hai, sepertinya mereka prajurit Kerajaan Mandra Kulawa. Ada apa mereka nampak terburuburu...?" gumam Sena seraya menghentikan tiupan sulingnya. Matanya memperhatikan lima prajurit Kerajaan Mandra Kuwala yang semakin dekat dengan telaga tempat dirinya berada.
"Hop! Kita istirahat di sini dulu..!" seru salah seorang prajurit yang bertubuh tinggi tegap dengan kumis tebal. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya, lelaki ini tentu sebagai pimpinan dari keempat prajurit lainnya.
Kelima prajurit itu pun menghentikan kuda mereka. Kemudian segera turun dari punggung kuda, lalu melangkah mendekat ke arah Pendekar Gila yang masih duduk sambil meniup Suling Naga Sakti.
"Kisanak, suara sulingmu merdu sekali. Terasa sejuk dan menyentuh jiwa," ujar pimpinan prajurit dengan bibir tersenyum. Pimpinan prajurit itu melangkah, lalu duduk di samping Pendekar Gila yang segera menghentikan tiupan sulingnya.
"Aha, terima kasih! Hanya begitulah yang dapat kulakukan," sahut Sena sambil menggarukgaruk kepala, sedangkan mulutnya nyengir. Hal itu membuat pimpinan prajurit mengerutkan kening, sepertinya kaget melihat tingkah laku pemuda yang persis orang gila itu.
"Hai, kaukah yang sering disebut sebagai Pendekar Gila, Kisanak...?" tanya pimpinan prajurit Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila, seakan hendak meyakinkan kalau pemuda di hadapannya memang Pendekar Gila.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggarukgaruk kepala. Dimasukkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya. Lalu dengan tersenyum-senyum lucu mi rip orang gila, Sena bangkit dari duduknya.
"Ah ah ah, terlalu tinggi, Tuan Senapati! Namaku Sena. Hanya orang-orang sering menyebutkan Pendekar Gila. Hi hi hi...! Mungkin karena aku gila," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"O, sungguh tak kusangka! Terimalah salam kami, Pendekar Gila! Maaf jika kami mengganggumu!" ujar pimpinan prajurit itu sambil menjura hormat Tindakan itu membuat keempat prajurit lain turut melakukan hai yang sama.
"Janganlah Tuan Pendekar sebut diriku sebagai Tuan Senapati! Karena sesungguhnya aku ini sebagai senapati rendah. Masih ada seorang senapati di atasku. Namaku Braja."
"Ah ah ah, sudahlaK Tak perlu kalian berlaku begitu!" ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Seharusnya akulah yang memberi hormat pada kalian. Bukan malah sebaliknya." Melihat sikap ramah yang ditunjukkan Pendekar Gila, kelima prajurit itu langsung berubah sikap. Lalu mereka duduk di samping Pendekar Gila, sambil menikmati keindahan pagi yang sejuk.
"Pagi ini sangat indah," gumam Senapati Braja sambil melepaskan pandang ke telaga yang aimya jemih.
"Sungguh, pagi akan semakin bertambah in?dah, jika kau mau mendendangkan irama sulingmu, Tuan Pendekar. Kudengar suara sulingmu sangat merdu. Cocok sekali dengan suasana pagi ini." Pendekar Gila hanya cengengesan dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala. Matanya turut memandang ke telaga yang tampak tenang.
Lalu tangannya memungut sebuah kerikil dan langsung dilemparkan ke telaga. Seketika, gelombang air melingkar- lingkar di tepinya.
"Aha, kurasa tiupan sulingku sangat sumbang, Tuan Senapati. Apalah artinya aku yang bodoh ini," jawab Sena berusaha merendahkan diri.
"Ah, kau terlalu merendahkan diri, Sena," tukas Senapati Braja.
"Apa salahnya, jika sekali lagi kami mendengamya?" Pendekar Gila tertawa sambil menggarukgaruk kepala mendengar ucapan Senapati Braja.
Lalu kaki nya melangkah menuju akar pohon yang menonjol tempat duduknya tadi. Diambilnya Suling Naga Sakti, lalu kembali ditiupnya, mengalunkan irama merdu mendayu-dayu.
Senapati Braja dan keempat prajuritnya mengangguk-anggukkan kepala menikmati irama merdu yang ditiupkan Pendekar Gila. Mereka bagaikan diajak untuk menghayati indahnya alam, sampai-sampai ini mereka lupa akan tujuan yang sebenarnya. Sukma mereka bagai hanyut, bersama alunan irama suling Pendekar Gila.
"Aha, kiranya Tuan Senapati ada kepentingan.
Mengapa harus bersantai-santai di sini?" tanya Sena mencoba mengingatkan Senapati Braja.
"O, benar. Aha, mendengar irama sulingmu, membuatku terhanyut dan lupa akan tugas yang tengah kuemban," gumam Senapati Braja sambil tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng. Kalau saja Pendekar Gila tidak segera menyadarkan, sudah pasti dirinya dan keempat prajurit lain akan tetap berada di tepi telaga itu.
"Hi hi hi...! Tuan Senapati, kalau boleh aku tahu, hendak ke mana tujuan Tuan?" tanya Sena, tanpa mengurangi rasa hormatnya.
"Aku hendak mengunjungi Desa Pakis, terutama ke rumah Ki Lurah Padri. Ini merupakan tugas semenjak istri Senapati Kandanu melahirkan," jawab Senapati Braja.
"Aha, jadi Kanjeng Senapati Kandanu telah dikaruniai putra...?" tanya Sena, agak terkejut.
"Begitulah, Tuan Pendekar."
"O..., aku turut bersuka cita kalau begitu.
Kuharap putranya kelak akan jadi anak yang baik.
Anak yang menuruni sifat ksatria ayahnya," ujar Sena setengah bergumam.
"Terima kasih, semoga begitulah anak itu kelak!" sahut Senapati Braja.
"Apakah Tuan Pendekar berkenan berangkat ke sana bersama kami?" Sena masih cengengesan sambil menggarukgaruk kepala. Matanya memandang ke langit yang bening, biru menghampar luas.
"Ah ah ah, terima kasih! Gampang, nanti aku menyusul," jawab Sena, menolak secara halus.
"Baiklah kalau begitu, kami berangkat sekarang! Semoga Hyang Widhi mempertemukan kita kembali," kata Senapati Braja sambil menjura hormat, diikuti keempat prajurit lainnya. Lalu setelah Pendekar Gila membalas menjura, kelima prajurit Kerajaan Mandra Kulawa itu melangkah menuju ke kuda mereka yang sedang merumput di tepi telaga. Pendekar Gila berdiri mematung, memandangi kelima prajurit itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala, dengan mulut cengengesan. Suling Naga Saktinya dimasukkan ke ikat pinggangnya kembali.
"Hati-hati, Senapati!" seru Sena mengingatkan.
"Terima kasih!" sahut Senapati Braja sambil naik ke kudanya. Kemudian dengan melambaikan tangan, kelima prajurit itu menggebah kuda mereka meninggalkan tepi telaga, menuju ke barat.
Pendekar Gila tersenyum sambil menganggukanggukkan kepala melepas kepergian kelima prajurit Kerajaan Mandra Kulawa.
Pendekar Gila kembali duduk sambil memandang ke telaga. Sesaat dirinya termenung.
Ingatannya melayang pada Mei Lie, gadis Cina yang sangat dicintainya, tapi kini jauh di mata.
"Ah, Mei Lie.... Mungkinkah kau rindu padaku?" gumam Sena dengan masih termenung, membayangkan saat-saat indah bersama gadis Cina itu. Entah mengapa kini tiba-tiba ingatannya pada Mei Lie meng- gugah persaannya, membangkitkan kerinduan yang sangat dalam.
Belum lenyap ketermenungan Pendekar Gila, tiba-tiba telinganya mendengar derap langkah kaki kuda dari arah barat. Sena tersentak, ketika melihat seorang prajurit datang dengan wajah diliputi rasa takut "Aha, ada apa, Kisanak" Di mana Senapati Braja ?" tanya Pendekar Gila dengan kening berkerut, merasa rasa heran karena kedatangan prajurit yang tidak bersama temannya.
"Tuan Pendekar, tolong! Tolong..., Senapati Braja ..."
"Aha, kau begitu gugup. Ada apa...?" Prajurit berusia sekitar empat puluh tahun itu menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya. Beberapa kali hal itu dilakukan, tapi jantungnya tetap berdegup keras dengan napas tersengal-sengaL "Kami dihadang seorang lelaki tua yang mengaku bemama Iblis Berkedok Dewa. Dia..., dia menyerang kami. Kini, dia masih bertarung dengan Senapati Braja dan teman-taman," tutur prajurit itu dengan suara terbata-bata, dan napas tersengalsengal.
"Aha, yang menurut cerita Senapati Kandanu, si lintah sawah itu" Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan sambil menutupi mulutnya.
"Lintah darat, Tuan Pendekar!" sahut prajurit itu, akan-akan ingin membenarkan ucapan Pendekar Cilia "Aha, benar! Lintah darat. Ah ah ah! Rupanya dia masih suka menghisap darah. Hi hi hi...!" kembali IVndekar Gila tertawa cekikikan sambil menutupi mulut dengan telapak tangannya.
"Cepatlah, Tuan Pendekar! Aku khawatir teman- teman dan Panglima tak mampu menghadapinya!" desak prajurit itu tak sabar.
Wajahnya tampak semakin tcgang mencemaskan keempat kawannya.
"Aha, ayolah!"
"Naik kudaku, Tuan!"
"Aha, terima kasih." Pendekar Gila langsung melompat. Dan setelah bersalto beberapa kali, dengan ringan hinggap di punggung kuda yang tinggi besar warna coklat tua itu.
"Hap!" Trep! "Heaaa...!" Kuda itu melesat, membawa Pendekar Gila dan prajurit kerajaan, menuju ke tempat Senapati Braja dan ketiga prajuritnya sedang bertarung melawan Iblis Berkedok Dewa.
"Hea...! Cepat lari, Puyuh! Hea...!" prajurit itu terus menggebah kudanya, dengan harapan segera sampai di tempat tujuan.
"Hua ha ha...! Mana bisa kuda ini lari kencang, Prajurit" Dia keberatan," ujar Sena.
"Kasihan dia! Dia pun punya perasaan." 'Tapi kita harus segera sampai, Tuan Pendekar."
"Aha, terserah kau saja, Prajurit."
"Hayo, Puyuh. Cepat sedikit! Hea he...!" Kuda bernama Puyuh itu bagaikan memahami perintah tuannya. Seketika larinya bertambah kencang, terus melesat ke arah barat.
Sementara itu di tengah Hutan Randu Kembar nampak sebuah pertarungan sengit tengah berlangsung seru. Seorang lelaki tua berjubah merah tengah menghadapi empat orang prajurit Kerajaan Mandra Kulawa.
"Kalian harus mampus, Cecunguk!" bentak Ki Angkara sambil bergerak mencakar Senapati Braja.
Wrt! "Hits!" Senapati Braja segera menarik tubuh ke belakang, lalu dengan cepat kerisnya dibabatkan, untuk memapak tangan lawan yang berkelebat di depan wajah. Lalu diteruskan dengan tusukan ke dada lawan.
"Heaaa...!" Wrt! "Eits! Kuhancurkan kepalamu, Senapati Keparat! Hih...!" Iblis Berkedok Dewa kembali bergerak menghindar, sambil melancarkan tendangan keras ke depan. Kemudian dengan cepat, disambung sebuah hantaman tangan kanan ke dada Senapati Braja.
"Celaka!" pekik Senapati Braja, karena tersentak kaget mendapatkan serangan yang begitu cepat Dia berusaha mengelakkan serangan dengan membabatkan kerisnya. Namun serangan lawan datang terlalu cepat untuk dielakkan.
Wrt! "Heaaa...!" Tangan Ki Angkara hampir saja mencengkeram dada Senapati Braja. Namun dengan cepat para prajuritnya yang telah terluka dalam akibat hantaman Iblis Berkedok Dewa bangkit dan dengan tombak menyerang lelaki tua beijubah merah itu.
"Heaaa...!" Wrt! "Haps! Kurang ajar! Rupanya kalian cari mampus! Hih...!" Karena serangannya pada Senapati Braja gagal, Iblis Berkedok Dewa langsung menghantamkan pukul-an jarak jauh kepada tiga prajurit Kerajaan Mandra Kulawa.
Srtt Bruk! "Aaa...!"
"Wuaaa...!" Ketiga prajurit itu terpekik keras, ketika tubuh mereka hangus terhantam pukulan jarak jauh Iblis Berkedok Dewa. Kenyataan itu membuat Senapati Braja bertambah marah. Matanya membelalak penuh amarah, dengan napas mendengus.
"Bedebah! Kupertaruhkan nyawaku untuk membunuhmu, Iblis! Heaaa...!" Dengan amarah yang meluap-luap, Senapati Braja kembali melesat menyerang. Keris di tangannya ditusukkan ke dada lawan, kemudian disabetkan ke samping kiri dan kanan. Hal itu membuat Ki Angkara harus melompat ke sana kemari, guna mengelitkan serangan cepat itu.
Senapati Braja terus mencecar lawan dengan tusukan dan sabetan keris. Namun kemarahan yang tak terkendali, membuat serangan-serangannya tak tera- rah. Sabetan dan tusukan keras senjatanya tak menemukan sasaran. Bahkan Ki Angkara kini tampak semakin berada di atas angin karena mampu membaca serangan lawan.
"Heaaa...!" Wut..! Senapati Braja benar-benar tak mampu menguasai keadaan. Dia terus menyerang dengan membabi-buta, bagaikan tak memperhitungkan tenaganya. Walau uslanya masih lebih muda dibandingkan dengan Kl Angkara, ilmu silat dan tenaga dalam yang dimiliki belumlah sebanding dengan Iblis Berkedok Dewa. Hal ini nampaknya tak diperhatikan, sehingga Senapati Braja semakin ganas melakukan serangan dengan mengerahkan tenaga dalam. Melihat kemampuan lawan yang semakingoyah, Iblis Berkedok Dewa tampak begitu mudah bergerak kesana - kemari mengelakkan serangan.
Selain itu, dalam beberapa kesempatan lelaki tua itu mampu melancarkan serangan balasan dengan jurus 'Pukulan Cakar Iblis'.
"Heaaa...!" Wret! Alts!" Senapati Braja berusaha mengelitkan serangan lawan. Kakinya melompat ke samping kanan, lalu dengan repat tangan kin memapaki cakaran tangan lawan Wrt! Trak! Akh...!" Senapati Braja menjerit, ketika pergelangan tangan klrlnya terasa patah akibat berbenturan dengan tangan lawan. Senapati Braja melompat ke belakang dengan mata mendelik kaget. Seakan-akan dirinya tak percaya, tangannya yang kokoh dan besar dapat patah akibat henturan dengan lelaki tua itu.
"Klnl saatnya kau mampus, Senapati Busuk!" dengus Iblis Berkedok Dewa sambil melesat, siap melakukan serangan pamungkas untuk mengakhiri pertarungan itu.
"Heaaa ..!" Tubuh Iblis Berkedok Dewa berkelebat, lalu dengan cepat melakukan serangan dahsyat ke tubuh Senapati Braja. Jurus 'Pukulan Arang Neraka' yang dikerahkan Ki Angkara mampu membuat tangan lelaki tua itu tampak hitam bagaikan arang. Lalu tiba-tiba dari telapak tangannya keluar asap seperti bekas pembakaran.
"Heaaa...!" Wrt! "Celaka! mati aku...!" pekik Senapati Braja dengan mata terbelalak nanar, menyaksikan lawan telah dekat dengan tubuhnya. Kerongkongannya bagaikan kering, tak setetes ludah pun yang membasahi.
"Heaaa...! Mampuslah kau, Senapati Keparat! Hih!" Degk! "Aaakh...!" Senapati Braja menjerit keras.
Tubuhnya terpental deras ke belakang, melayang bagaikan terbang. Saat itu pula, sesosok bayangan berkelebat menangkap tubuh Senapati Braja.
Trep! "Pendekar Gila! Kubunuh kau! Hih...!" Iblis Berkedok Dewa melihat Pendekar Gila yang menolong Senapati Braja, segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang bernama 'Kelabang Iblis'. Wrets! "Haits! Hi hi hi...!" Sambil memondong tubuh Senapati Braja, Pendekar Gila beijumpalitan mengelakkan serangan yang dilancarkan Iblis Berkedok Dewa. Sehingga pukulan jarak jauh itu melesat lewat bawah kakinya.
Dan.... Brak! Suara berderak keras terdengar ketika pukulan itu menghantam sebatang pohon.
Belum sempat mendaratkan kakinya di tanah, Pendekar Gila sempat melancarkan sebuah serangan dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'.
Wret! "Celaka! Aku harus pergi! Hih..!" Ki Angkara melesat ke samping, mengelakkan hantaman angin yang dilancarkan Pendekar Gila.
Kemudian balas menyerang sambil melompat mening galkan tempat itu.
"Hih!"
"Aha, mau lari ke mana kau, Lintah Sawah! Hi hi hi...!" Pendekar Gila beijumpalitan, kemudian dengan cepat mengelakkan serangan lawan. Sinar biru melesat beberapa jengkal di bawahnya. Dan ...
Glarrr...! Suara menggelegar keras terdengar, ketika sinar biru dari tangan Iblis Berkedok Dewa menghantam sebatang pohon randu besar hingga tumbang. Pendekar Gila terus melesat berusaha mengejar, tapi lelaki tua beijubah merah itu telah menghilang dari Hutan Ran?du Kembar.
"Bukan main! Cepat sekali lintah itu pergi!" maki Sena sambil melangkah ke tempat semula.
"Aha, kenapa kau diam saja, Prajurit" Turunlah dari kuda- mu!" Prajurit itu pun menurut turun, lalu membantu Sena mengurusi Senapati Braja yang terluka parah. Pendekar Gila segera membuka pakaian Senapati Kerajaan Mandra Kulawa itu, setelah memeriksa detak jantungnya, ternyata masih ada.
"Aha, pukulan iblis!" gumam Sena setelah melihat bekas pukulan yang membekas di dada Senapati Braja. Sebuah gambar telapak tangan berwarna hitam legam bagaikan terbakar.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggarukgaruk kepala. Sedangkan prajurit itu tampak masih cemas. Matanya menatap ke sekeliling Hutan Randu Kembar. Seakan-akan merasa takut kalaukalau Iblis Berkedok Dewa akan muncul lagi dan menyerang mereka.
"Aha, kenapa kau masih bengong, Prajurit" Cepat carikan daun randu kuning. Hanya dengan daun itu nyawa Senapati Braja dapat diselamatkan," kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Prajurit itu masih bingung dan takut, sehingga hanya bisa diam dan bengong. Di wajahnya tergurat kecemasan dan rasa takut kalau-kalau Iblis Berkedok Dewa akan muncul dan menyerang.
"Aha, mengapa kau seperti kerbau dungu, Prajurit! Cepatlah kau cari daun randu itu. Atau kau jagalah Senapati, blar aku yang mencarinya," ujar Sena agak jengkel, melihat prajurit itu hanya diam.
"Ba..., baik! Aku akan mencarinya," sahut prajurit itu menggeragap. Kemudian segera melangkah meninggalkan Pendekar Gila dan Senapati Braja untuk mencari daun randu kuning.

***



֍::::::֍| 5 |֎::::::֎

Pendekar Gila menoleh ke sana kemari sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, karena prajurit yang disuruh mencari daun randu kuning belum juga datang.
"Ah, ke mana prajurit itu?" gumam Sena merasa heran dengan prajurit yang disuruh mencari daun randu kuning. Padahal keadaan Senapati Braja sudah sangat mengkhawatirkan Lelaki berusia hampir setengah baya itu hanya mampu merintih lirih, merasakan sakit hebat. Tubuhnya pun sangat panas, bagaikan dipanggang di atas perapian.
Pendekar Gila benar-benar merasa gelisah, menyaksikan keadaan Senapati Braja. Keringat terus membanjir, membasahi keningnya.
Hal itu menandakan betapa panas tubuh Senapati Braja.
Namun prajurit yang mencari daun randu kuning belum juga muncul. Padahal sudah lama Pendekar Gila menunggunya.
"Aha, ke mana dia pergi...?" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Sesekali dilihatnya Senapati Braja yang masih mengerang-erang kesakitan. Untung Pendekar Gila telah menotok tubuh senapati itu. Sehingga rasa sakit pun agak berkurang. Kalau saja tubuh Senapati Brzga masih dalam keadaan terbebas, tak akan mampu menahan rasa sakit yang tiada taranya itu.
Sena kembali mengawasi ke sekelilingnya, berusaha mencari prajurit itu. Namun belum ada tanda- tanda akan muncul. Hal itu membuatnya semakin kebingungan, merasa heran dengan apa yang terjadi. Kalau tetjadi sesuatu, prajurit itu tentu menjerit, meminta tolong. Namun dari tadi tidak didengamya suara apa pun. Lagi pula menurut dugaannya Iblis Berkedok Dewa pasti telah meninggalkan Hutan Randu Kembar itu.
"Serahkan senapati itu pada kami!" Pendekar Gila tersentak kaget, ketika tibatiba terdengar suara seseorang membentak dari belakangnya. Dengan cepat, sambil menggendong tubuh Senapati Braja, tubuhnya cepat dibalikkan ke belakang. Matanya membelalak kaget ketika melihat dua orang berkepala botak dengan tubuh gemuk dan bersenjatakan kapak besar telah menyandera sang Prajurit "Hua ha ha.... Rupanya ada dua ekor babi yang datang tanpa diundang," seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Hal itu tentu saja membuat mata kedua lelaki berkepala botak itu mendadak marah.
Dua lelaki berusia empat puluh lima tahunan itu mendengus geram. Mata mereka melotot penuh kemarahan. Sambil menekan gigi karena geram, hingga terdengar suara bergemeretuk keras.
"Kurang ajar! Jangan main-main dengan Sepasang Jalak Neraka, Bocah Edan!" bentak Jalak Kuning, yang di lehernya terikat kain kuning keemasan. Matanya semakin melotot lebar, dengan tangan kanan memegang senjata kapak besar. Hal itu membuat prajurit yang ditahannya semakin ketakutan. Mendengar bentakan itu, Pendekar Gila justru tertawa kian keras. Masih memondong tubuh Senapati Braja, Sena menggaruk-garu kepala denga tangan kiri dan mulutnya cengengesa "Aha rupanya aku sedang berhadapan dengan dua jalak botak! Hi hi hi...!"
"Kurang ajar!" dengus Jalak Biru geram.
"Rupanya kau ngin kami menggorok leher prajurit ini, Bocah!"
"Wawww, jangan ..! Lebih baik, kalian gorok leher kalian sendiri. Hi hi hi...!" Sea kembali tertawa meledek. Tentu saja Sepasang Jalak Neraka bertambah marah.
"Kurang ajar! Kau berani menghina Sepasang Jalak Neraka, Bocah Edan! Apa kau sudah memiliki nyawa rangkap, heh"!" bentak Jalak Kuning dengan napas mendengus keras. Gigi-giginya saling beradu, menimbulkan suara bergemerutuk keras. Tangan kirinya yang menjepit leher prajurit, semakin ditekankan.
"Aduh sakit! Oh, Tuan Pendekar. Tolonglah saya!" ratap prajurit itu, dengan wajah pucat ketakutan.
"Kau dengar, Bocah Edan! Temanmu ini meminta tolong padamu! Cepat, serahkan senapati itu pada kami. Atau nyawa prajurit ini akan melayang!" bentak Jalak Biru mengancam. Mata kapak besar yang tajam itu ditempelkan ke leher sang Prajurit yang semakin ketakutan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala, melihat ketakutan sang Prajurit. Seakan tak peduli dengan perasaan yang dialami prajurit itu.
"Aha, silakan kalian berbuat sesuka hati terhadap prajurit itu Hi hi hi...! Bukankah memang prajurit itu tak ada artinya?" tanya Sena yang membuat prajurit llu bertambah membelalakkan matanya. Wajahnya memucat bagaikan tak berdarah, mendengar ucapan Pendekar Gila.
Sepasang Jalak Neraka tersentak kaget, merasa telah dipecundangi pemuda gila di hadapan mereka. Memang benar, prajurit itu tak berarti sama sekali bagi mrreka.
"Pintar juga bocah edan ini!" gumam Jalak Kuning dalam hati. Bukankah Senapati Braja yang dibutuhkan mereka" Untuk apa seorang prajurit yang tak ada artinya. Namun Sepasang Jalak Neraka tak mau kalah gertak. Mereka menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih tertawa cengengesan sambil menggaruk garuk kepala dengan tangan kirinya.
"Hua ha ha...! Ambillah nyawanya untuk kalian!" seru Sena sambil masih tertawa terbahakbahak, kemudian memonyongkan mulutnya ke depan. Brut! Pendekar GBa kembali tertawa keras. Melihat ledekan itu, Sepasang Jalak Neraka bertambah marah. Gigi-glgi mereka beradu, mengeluarkan suara gemenitukan menahan geram.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!" dengus Jalak Biru seraya maju menyerang. Kapak besar yang bergagang panjang dibabatkan ke tubuh Pendekar Gila. Wrets...! "Aha, aku bukan pohon, Jalak Botak! Hi hi hi...!" sambil menggoda, Pendekar Gila melompat ke atas dengan tetap memondong tubuh Senapati Braja.
"Eittss..." Jalak biru yang sudah marah segera memburu ke mana Pendekar Gila melesat. Kemudian kembali kapak besarnya dibabatkan menyerang Pendekar Gila. Wret! "Putus lehermu, Bocah Edan!"
"Eits! Aha, tak segampang itu, Jalak Botak! Hi hi hi...!" Pendekar Gila kembali melompat ke atas, sehingga kapak besar itu menderu di bawahnya.
Tubuhnya lalu hinggap pada sebuah cabang pohon randu. Mulutnya tetap tertawa-tawa sambil menggoda dengan menjulur-julurkan lidah.
"Setan!" Melihat Pendekar Gila berada di atas, Jalak Kuning mendorong tubuh prajurit ke depan sampai tersuru'k dan jatuh mencium tanah. Lalu dengan penuh amarah, lelaki berpakaian kuning itu melompat ke atas.
"Heaaa! Kucincang tubuhmu, Bocah Edan!" Tubuh Jalak Kuning melesat ke atas, tetapi dengan cepat Sena melompat ke cabang pohon randu yang lain sambil menunggingkan pantatnya, disertal suara kentut yang keluar dari mulutnya.
Lalu kembali tertawa terbahak-bahak, yang membuat Sepasang Jalak Neraka semakin marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!" Jalak Kuning kembali melesat sambil mengayungkan kapak besarnya, membabat tubuh Pendekar Gila. Namun lagi-lagi dengan cepat Pendekar Gila telah melesat pergi dari cabang pohon itu. Sehingga yang menjadi sasaran kapak Jalak Kuning cabang pohon itu.
Wrt! Crak! "Akh...!" Jalak Kuning terpekik, karena keseimbangan tubuhnya seketika hilang Tubuhnya meluncur dengan kepala di bawah. Hal itu membuat Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, menyaksikan kejadian lucu itu. Beruntung Jalak Kuning segera dapat menguasai diri. Tubuhnya bersalto tiga kali di udara, lalu dengan ringan menapakkan kedua kakinya di atas tanah.
Jleg! "Hua ha ha...! Makanya, punya badan jangan seperti kerbau...!" ujar Sena berolok-olok.
"Cuih! Kurang ajar! Turun kau, Bocah Edan!" dengUus Jalak Biru sengit.
"Aha, naiklah! Bukankah kalian tak bisa naik" Hi hi hi...! Tubuh kalian yang gembrot itu, tak akan dapat naik," goda Sena sambil tertawa terbahakbahak. Kemudian mulutnya dimonyongkan, sedangkan ta?ngan kirinya melambai-lambai "Wek...!"
"Kurang ajar! Kuhancurkan kepalamu, Bocah Edan! Heaaa...!" Jalak Biru meiesat ke atas, memburu Pendekar Gila. Kapak besar di tangannya, menderu membabat ke tubuh Pendekar Gila.
Wrt! "Eits!" Pendekar Gila melompat meninggalkan cabang pohon itu dan betjumpalitan sambil memanggul tubuh Senapati Braja. Tangannya memberi isyarat pada prajurit agar segera berlalu pergi.
"Mau lari ke mana, Prajurit Tolol! Hih...!" bentak Jalak Kuning sambil mencengkeram leher prajurit itu. Lalu...
Tuk! Tuk! Tuk! Tiga kali jari telunjuk Jalak Kuning menoto'k punggung sang Prajurit. Seketika membuat tubuh prajurit Itu tak mampu bergerak. Pendekar Gila kini merasa harus berjuang untuk dapat membebaskan prajurit itu dari totokan.
"Hm, sulit juga. Prajurit itu tertotok.
Sedangkan Senapati Braja dalam keadaan luka," gumam Pendekar Gila dalam hati sambil terus mengawasi kedua lawannya yang semakin bernafsu ingin cepat membunuhnya. Tak ada jalan lain, aku harus menggunakan barang ini.
Srt! Pendekar Gila segera meloloskan Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian dilemparkan ke bawah, dekat Sepasang Jalak Neraka.
Glarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, disertai asap kuning tebal. Sekelika Sepasang Jalak Neraka melangkah mundur. Dari gumpalan asap kuning Itu, samar-samar tampak sesosok ular besar berwarna kuning keemasan.
"Szzz...!"
"Wuaaa! Tolooong...!" Sepasang Jalak Neraka serta-merta lari terbirit- birit, ketika tiba-tiba di hadapan mereka telah muncul seekor ular naga besar berwarna kuning keemasan yang mulutnya membuka lebar seakan hendak mene lan keduanya.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, kemudian dengan tenaga dalam tangannya menarik Suling Naga Sakti yang berubah kembali menjadi suling. Setelah itu sambil tertawa, Pendekar Gila melayang turun.
Tuk! Tuk! Tuk! Tiga kali Pendekar Gila membuka totokan di tubuh sang Prajurit, sehingga prajurit itu bisa bergerak seperti sedia kala. Tetapi baru saja sadar, prajurit itu terkulai kembali, pingsan dengan wajah pucat. Rupanya kehadiran Naga Sakti, menjadikan jiwanya terguncang.
Pendekar Gila hanya menggeleng-gelengkan kepala, kemudian direnggutnya tubuh sang Prajurit dan dibawanya pergi meninggalkan Hutan Randu Kembar yang rusak akibat pertarungan tadi.

***

Sena terus berlari membawa dua sosok tubuh di pundaknya. Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap saja dia telah berada jauh. Kini dia telah sampai di depan pintu gerbang Kerajaan Mandra Kulawa.
"Berhenti! Siapa kau" Dan ada keperluan apa kau ke istana?" tanya prajurit jaga sambil menyilangkan tombaknya, menghalangi langkah Sena.
"Hi hi hi...! Aha, apakah kalian tak melihat kedua teman kalian dalam keadaan luka dalam?" tanya Sena sambil cengengesan.
Keempat prajurit jaga pintu gerbang mengerutkan kening, lalu memeriksa dua tubuh yang berada di atas pundak Sena.
"Senapati Braja dan Tamtama Galatra...!" pekik keempat prajurit jaga dengan mata membelalak kaget.
"Apa yang terjadi pada mereka" Di mana yang lainnya?" tanya prajurit yang bertubuh gemuk dan berwajah bulat.
"Aaakh...! Aduh, panaaas...!"
"Aaakh...!" Senapati Braja menjerit, ketika daun randu kuning dioleskan di lukanya. Asap mengepul, keluar dari luka di dada sebelah kiri itu Tubuh Senapati Braja menggeliat-geliat kesakitan.
Namun Pendekar Gila tak menghiraukannya. Kini telapak tangannya disatukan di dada Senapati Braja yang terluka. Getaran kuat terjadi, ketika Pendekar Gila menarik racun yang melekat di luka itu Sedangkan Senapati Braja menjerit melengking dan keras, bagaikan tengah meregang nyawa. Tubuhnya menggeliat-geliat liar. Keringat sebesar biji biji jagung, deras keluar dari seluruh pori-pori tubuhnya.
"Hm... ng.... Hops...!" Pendekar Gila terus mengerahkan tenaga dalam nya, untuk menarik racun yang melekat di tubuh Senapati Braja. Tangannya yang disaluri tenaga dalam, tergetar dengan hebat. Dari kepalanya, keluar asap ungu bergulung-gulung.
Lama sekali Pendekar Gila melakukan hal itu, sampai akhirnya tubuh Senapati Braja turut membara dan terkulai pingsan, ketika kedua tangannya dilepas dari dada senapati itu.
"Bukan manusia sembarangan," gumam Senapati Kandanu, menyaksikan apa yang diperbuat Pendekar Gila. Dia tahu sangat berat untuk melakukan pekerjaan yang seperti itu. Namun Pendekar Gila tak kelihatan letih sedikit pun. Lebih mengejutkan, ketika asap ungu keluar dari ubunubunnya yang tidak lain Racun Kabut Ungu.
Sebuah racun dahsyat, tapi Pendekar Gila dapat menguasai dan menjinakkannya. Padahal, selama seratus tahun, tak seorang pun yang tahan terhadap Racun Kabut Ungu.
Pendekar Gila tampak masih duduk bersila sambil mengatur pernapasan yang sudah tersengalsengal, setelah melakukan pekerjaan yang sangat melelahkan itu. Kini dengan sikap duduk seperti bersemadi Pendekar Gila mengheningkan cipta.
Senapati Kandanu kembali membelalakkan mata, ketika melihat tubuh Pendekar Gila membara merah bagaikan diselimuti api. Ruangan di sekitar tempat itu, seketika bertambah terang oleh cahaya merah yang keluar dari tubuh Pendekar Gila.
"Hei, apa lagi yang dilakukannya?" gumam Senapati Kandanu dalam hati dengan kedua mata terbelalak kaget, hampir tak percaya dengan apa yang kini dilihatnya.
Setelah kejadian itu berlangsung agak lama, Pendekar Gila akhimya membuka mata perlahan.
Dihelanya napas panjang, berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya guna menggantikan yang di paru- parunya. Dan sesaat kembali mulutnya cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Sena, Baginda telah menunggu," ujar Senapati Kandanu.
"Aha, ayolah!" ajak Sena seraya bangkit dari duduknya. Lalu bersama Senapati Kandanu melangkah meninggalkan barak menuju bangunan utama istana. Keduanya langsung menyembah, ketika sampai di hadapan Prabu Galih Waskita "Silakan duduk, Pendekar Gila!"
"Terima kasih, Baginda!" Sena pun.duduk bersila di hadapan Prabu Galih Waskita. Kepalanya ditundukkan, berusaha bertingkah laku sopan.
"Ada apa gerangan Baginda mengundangku?"

***

Malam kembali bergayut menyelimuti bumi.
Desa Ngadireja pun sepi, bagaikan desa yang mati.
Warga Desa Ngadireja tengah dilanda perasaan berkabung, duka yang dalam. Selama tiga pumama belakangan ini, desa mereka dijarah gerombolan pengacau yang mengaku diperintah Pendekar Gila.
Sementara itu, Pendekar Gila nampak sedang terbaring di atas dipan. Matanya belum t"rpejam.
Sejak kemarin dirinya berada di Desa Ngadireja, menginap di kedai Ki Lampit. Malam kemarin dilalui dengan tenang, tak ada tanda-tanda kemunculan gerombolan yang mengaku anak buahnya. Seakan mereka tahu, kalau Pendekar Gila berada di desa itu. Di samping Pendekar Gila di sebuah dipan lain tampak Ki Lampit tengah berbaring pula. Orang tua ltu pun belum tidur. Malam itu Ki Lampit masih bertanya tanya dalam hati. Siapa sebenarnya pemuda bertingkah laku gila yang kerjanya cepat dan tengah membantunya dalam pekeijaan di kedainya. Semua pekerjaan diambil alih pemuda bertingkah laku gila itu.
Kadang kala Ki Lampit ingin tertawa, jika melihat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu. Namun dirinya selalu menahannya, takut kalau-kalau pemuda bertingkah laku gila itu akan tersinggung. Jika hal itu terjadi, dia akan kerepotan seperti kemarin lusa. Padahal semenjak Pendekar Gila bersamanya, pekerjaan menjadi ringan.
"Dua hari kita bersama, tetapi selama ini aku belum tahu siapa kau sebenarnya," gumam Ki Lampit dengan tarikan napasnya yang berat.
"Semenjak kau berada di sini, aku merasa aneh."
"Aha, apa yang kau anggap aneh, Ki?" tanya Sena seraya bangun dari pembaringan. Mulutnya cengengesan. Lalu tangannya mengambil bulu burung di ikat pinggangnya. Kemudian dikorek telinga kanannya dengan bulu burung itu. Mulut nyengir merasa kenik- matan.
"Gerombolan itu, biasanya datang tujuh hari sekali. Tetapi semenjak kau datang, mereka tidak datang. Sepertinya, kehadiranmu membuat mereka takut." Pendekar Gila tertawa mendengar penuturan Ki Lampit, yang dianggapnya terlalu mengada ada.
Bagaimana mungkin orang tahu dirinya di Desa Ngadireja. Lagi pula, mengapa gerombolan itu harus takut terhadapnya. Pendekar Gila menggelenggelengkan kepala, dengan tangan kiri menggarukgaruk kepala.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Bagaimana mungkin mereka takut pada orang gila sepertiku" mengatas namakan Pendekar Gila," tutur Ki Lampit Pendekar Gila tersentak mendengar cerita Ki Lampit. Bahwa namanya dijadikan sebagai biang keladi pembunuhan itu. Kemudian sambil cengengesan, ditariknya napas dalam dalam. Ada perasaan marah dan jengkel dalam hatinya.
"Hi hi hi..., lucu sekali! Mengapa orang-orang semakin suka melakukan hal-hal aneh" Lucu sekali...!" gumam Pendekar Gila sambil menggeleng gelengkan kepala. Dirinya merasa tak habis pikir mengapa penjahat lebih suka menggunakan gelarnya untuk melakukan aksi kejahatannya.
"Kau tak takut, Pendekar?" tanya Ki Lampit "Hi hi hi..., takut" Mengapa harus takut" Hyang Widhi akan senantiasa melindungi orang yang benar, Ki. Kalau kita tak salah, mengapa harus takut?" Sena balik bertanya dengan masih cengengesan.
"Ah, kau memang sangat bijaksana, Pendekar.
Sungguh jahat orang-orang yang telah mencemarkan nama baikmu. Mereka tidak ubahnya iblis!" dengus Ki Lampit, sepertinya turut jengkel mendengar berita Pendekar Gila dijadikan kedok kejahatan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala, seakan-akan melihat kelucuan. Namun dilihat dari sinar matanya, jelas hatinya benar-benar marah. Merasa telah dipermainkan seenak nya oleh para durjana.
"Ini tidak bisa didiamkan. Para warok pun tentu menuduh aku pelakunya," gumam Pendekar Gila dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, sudahlah, Ki! Malam telah larut.
Tidurlah dahulu, nanti kau sakit!" ujar Sena kepada Ki Lampit nqar segera tidur. Dirinya tak ingin orang tua sebatang kara itu akan mengalami sakit.
"Kau...?"
"Hi hi hi..., nanti aku pun tidur," sahut Pendekar Gila Ki Lampit pun segera merebahkan tubuh.
Perlahan lahan dipejamkan matanya. Dan tidak lama kemudian, lelaki tua itu telah pulas dalam tempat tidur. Sedangkan Pendekar Gila nampak masih duduk sambil menyandarkan tubuh pada dinding.
Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Benaknya masih memikirkan tentang semua kejadian yang mengaitkan julukannya.
Pendekar Gila menengadahkan wajah ke atas, seakan hendak mencari sesuatu. Dihelanya napas dalam- dalam, berusaha menenangkan perasaannya.
"Hyang Jagat Dewa Batara, semoga Engkau inemberi kekuatan pada hambamu ini!" desahnya lirih, sambil memejamkan mata perlahan.
Malam semakin larut suasana pun bertambah sepi. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara jeritan memecah keheningan malam. D'isusul suara gelak tawa.
"Tolong...! Rampok...!"
"Hua ha ha...! Jangan melawan! Kami anak buah Pendekar Gila. Percuma kalian melawan...!" Sena yang mendengar gelarnya disebut, tersentak kaget. Dengan bibir tersenyum, tubuhnya melesat cepat meninggalkan kamar bilik di kedai Ki Lampit.
"Hi hi hi...! Pucuk dicinta ulam tiba. Rupanya apa yang dikatakan Ki Lampit benar. Aha, malam ini aku lkan berburu kecoa-kecoa busuk!" dengus Pendekar Gila sambil terus melesat menuju tempat asal jeritan. Sementara warga desa masih hiruk-pikuk ketakutan ditingkahi dengan suara jerit kematian, di tempat yang sepi Caraka Wanda nampak semakin beringas. Matanya menyala-nyala menatap tubuh gadis cantik yang kini setengah telanjang.
"Lepaskan aku! Tolooong...!"
"He he he...! Jangan takut, Manis! Kita akan menikmati indahnya malam ini," ujar Caraka Wanda sambil berusaha menggeluti tubuh gadis cantik kembang Desa Ngadireja. Namun tiba-tiba..., "Hua ha ha...! Begitukah tingkah anak buah Pendekar Gila" Ah ah ah, lucu sekali. Kecoa-kecoa busuk mengaku anak buah Pendekar Gila...!" dari kegelapan, terdengar suara tawa susul-menyusul, Pendekar Gila. Caraka Wanda dan Jabil tersentak kaget.
Keduanya langsung menoleh ke tempat datangnya suara pemuda itu. Mata mereka membelalak tegang Apalagi Caraka Wanda yang telah kenal siapa pemilik suara itu "Pendekar Gila..."!" desis Caraka Wanda dengan mata membelalak tegang.
"Dia ada di sini"!" tanya Jabil tak kalah kaget dan tegang, setelah tahu siapa yang tertawa itu.
"Aha, apa kabar, Ki Sanak...?" tahu-tahu Pendekar Gila telah berdiri beijarak satu tombak di samping mereka. Hal itu semakin membuat keduanya terlonjak kaget karena tak tahu kapan dan dari mana datangnya. Gadis yang hendak diperkosa bangkit dan langsung berlari ke belakang Pendekar Gila. Tetapi Ayu Wuni pun kelihatannya masih takut, setelah tahu siapa pemuda bertingkah laku gila itu.
"Kau..." Kau Pendekar Gila..."!" tanyanya dengan mata terbelalak ketakutan.
"Hua ha ha...! Jangan takut, Ni Sanak! Aku memang Pendekar Gila, tetapi bukan pimpinan para kecoa busuk itu! Hi hi hi...! Lucu sekali. Rupanya kecoa-kecoa busuk kini pada bertingkah," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Ditatapnya kedua lelaki bermata jalang itu dengan tajam. Kemudian dengan cengengesan, tangannya menggaruk-garuk kepala. Lalu dipandangi gadis cantik yang berpakaian telah compangakibat reng gutan tangan Caraka Wanda.
"Aha, tak kusangka, kalau anak seorang warok berbuat sekeji ini. Hi hi hi... lucu sekali. Dunia ini memang semakin lama semakin bertambah gila," gumam Pendekar Gila dengan mulut masih cengengesan. Sedangkan tangannya tetap menggaruk-garuk kepala. Lalu diambil Suling Naga Sakti. Ditiupkan dengan merdu, mendendangkan nyanyian tentang seekor anak domba yang berusaha menjadi serigala. Anak domba itu terus berusaha agar bisa jadi serigala. Sampai akhimya, anak si domba membabi buta.
"Cuih! Lancang sekali kau, Pendekar Gila!" bentak Cakra Wanda dengan napas mendengus, "Jangan kira aku tak mengerti nyanyian sulingmu!"
"Hi hi hi..! Ah, baguslah kalau kau mengerti.
Rupanya kau anak warok yang pintar. Sayang..., sayang sekali perbuatanmu tak sesuai dengan pribadi orang tuamu," ujar Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dengan kepala menggelenggeleng, seakan sangat menyesalkan atas perbuatan Caraka Wanda.
"Cuih!" Caraka Wanda membuang ludah jengkel. Mata Ayu Wuni terus memperhatikan pertarungan itu dengan harap-harap cemas. Takut kalau kalau pemuda tampan bertingkah gila kalah.
"Heaaa...!" Wret! Wret! Pedang di tangan Caraka Wanda dan Jabil menderu dengan cepat ke tubuh Pendekar Gila.
Tetapi dengan cepat pula, Pendekar Gila mundurkan kaki kanan. Kemudian menggeser kaki kiri agak merentang sambil meliukkan tubuh.
"Celaka...!" pekik kedua lawannya kaget, karena pedang mereka tetap belum berhasil bersarang di tubuh lawan. Bahkan pedang itu kini melesat ke tubuh temannya. Mata keduanya terbelalak tegang, menyadari gerakan masing-masing yang kacau. Melihat kedua lawannya dalam keadaan mati langkah, sambil menggaruk garuk kepala Pendekar Gila menendangkan kaki kanan ke tubuh Jabil.
Sementara tangan kiri, menghantam tubuh Caiaka Wanda.
"Hi hi hi ..! Hea...!" Caraka Wanda dan Jabil yang mati langkah, tersentak kaget. Keduanya kebingungan. Kalau meneruskan membabatkan pedang dapat membahayakan kawannya. Sedang kalau berhenti jelas gerakan Pendekar Gila akan lebih leluasa menyerang.
"Hea!" Dalam kebingungan dan kagetnya, Caraka Wanda melentingkan tubuh ke belakang untuk mengelak. Sehingga Jabil yang teriambat, tak ampun lag! menjadi sasaran tendangan kaki Pendekar Gila.
Begk! "Akh...!" Jabil memekik keras. Tubuhnya terlontar deras ke belakang, bagaikan didorong sebuah kekuatan yang dahsyat Tubuh itu baru berhenti, ketika menghantam pepohonan bambu.
Gosrak! "Akh!" Tanpa ampun lagi, Jabil terjepit batang batang bambu. Sesaat Jabil meregang, kemudian terkulai mati. Menyaksikan temannya tewas, Caraka Wanda bertambah beringas. Dengan napas mendengus keras, lelaki muda itu kembali bergerak menyerang.
Jurus, 'Semilir Angin Meniup Daun Kering' segera dikeluarkan. Nampaknya Caraka Wanda sudah tak sabar lagi untuk membinasakan Pendekar Gila.
"Heaaa...!" Wrt! Wrt...! Pedang di tangan Caraka Wanda bergerak laksana angin yang bertiup semilir. Kelebatannya sangat halus dan pelan. Hal itu karena Caraka Wanda menggunakan tenaga dalam yang cukup tinggi, juga pengerahan batin yang sempurna.
Kakinya melangkah secara beraturan, seperti memakai hitungan-hitungan tertentu.
Melihat jurus yang dilakukan Caraka Wanda, seketika Pendekar Gila mengerutkan kening.
Dengan memandang lewat sudut mata sambil nyengir, pikirannya berusaha mengingat-ingat gerakan yang dilakukan Caraka Wanda.
"Hm, bukankah itu gerakan Macan Barong yang kulihat di Ponorogo?" tanya Pendekar Gila dalam hati brrusaha mengingat-ingat gerakangerakan yang dilakukan Caraka Wanda.
"Aha, benar! Itu gerakan yang dilakukan Macan Barong Hm, kalau begitu yang menjadi Maean Barong tentunya pemuda ini."
"Pendekar Gila, kau harus mampus! Bersiaplah!" dengus Caraka Wanda.
"Bocah Edan! Kubunuh kau! Hea...!" seorang anak buah Surotama membabatkan golok ke tubuh lawan yang sedang menungging. Namun dengan jurus "Gila Mabuk Mencabut Rumput" Pendekar Gila segera bergerak mengelit. Tubuhnya seperti orang gila yang sedang mabuk. Jumpalitan ke sana kemari, dengan tangan bergerak mencengkeram dan memukul Sedangkan kedua kakinya bergerak melakukan serangan dengan lutut dan tendangan "Hi hi hi! Heaaa...!" Dugk! "Ukh...!" orang yang berada di belakang terjengkang, karena terkena tendangan kaki kiri Pendekar Gila. Mulutnya meringis kesakitan dan tampak darah mengalir dari sela bibir. Tangannya memegangi dada yang terasa nyeri hebat. Bahkan dirasakan pukulan keras tadi meremukkan tulang rusuknya. Pertarungan semakin seru. Gerombolan itu langsung mengeroyok Pendekar Gila.
"Hea!" Wuttt! "Uts! He he he...!" Pendekar Gila tertawa terkekeh sambil terus bergerak dengan jurus 'Gila Mabuk Mencabut Rumput' digabung dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'. Suling Naga Sakti di tangannya, bergerak dengan cepat menangkis serangan lawan. Dilanjutkan dengan memukul ke dada, dan punggung lawan yang terdekat "Mampus kau, Pendekar Gila! Hea...!" Wuttt! "Uts! He he he...! Ini bagianmu, Kecoa Tolol!" Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan dengan meliuk ke samping. Kemudian bergerak ke belakang tubuh lawan dengan cepat, sambil memukulkan Suling Naga Sakti ke punggung lawan.
Begk! "Akh..." pekikan tertahan terdengar ketika seorang lawan terpukul Suling Naga Sakti. Tulang punggungnya dirasakan remuk. Mulutnya meringis.
Dari sela bibimya meleleh darah. Kemudian tubuh orang itu ambruk ke tanah.
Pertarungan semakin seru. Sepertinya gerombolan Caraka Wanda dan Surotama tak takut sedikit pun. Mereka terus menyerang dengan sabetan dan tusukan pedang serta gdok, "Heat" Wuttt! Wuttt! "Haiiit..!" Dengan cepat Pendekar Gila mengelit dengan merundukkan tubuh. Kemudian dengan cepat pula dipukulkan Suling Naga Saktinya ke tubuh lawan.
Wuttt! "Heh"!" orang itu tersentak kaget dengan mata membeliak. Dirinya berusaha menghindar tetapi gerak yang dilancarkan Pendekar Gila sangat cepat. Sehingga..., Begk! "Wua...!" Korban kembali jatuh dengan tulang iga remuk akibat gebukan Suling Naga Sakti.
Kenyataan itu membuat Caraka Wanda dan Surotama bertambah marah dan beringas.
"Kubunuh kau, Pendekar Gila...!" Surotama melompat ke depan. Dengan jurus 'Serimpi Kipasan Maut' Surotama membabatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila. Warga Desa Ngadireja yang semula merasa takut, akhimya mendatangi tempat pertarungan menyertai kepala desa. Mereka angsung membantu Pendekar Gila yang dianggap telah menyelamatkan desa mereka. Gerombolan penjahat yang menjarah Desa Ngadireja akhimya terjepit. Bahkan kini, Pendekar Gila dengan cepat menggebukkan Suling Naga Sakti ke punggung Surotama.
Bukkk! "Akh...! Ukh...! Tubuh Surotama menggeliat-geliat karena punggungnya remuk terhantam Suling Naga Sakti.
Dari mulutnya muncrat darah segar. Selamanya mulut lelaki muda itu mengerang-erang sebelum akhirnya mati. Melihat pimpinan mereka mati, keenam anggota gerombolan yang masih hidup, semakin panik. Dalam sekejap mata, mereka dapat didesak para warga Desa Ngadireja.
"Mampuslah kalian! Hea...!" Jrab! Jrabs! "Akh...!" lengkingan kematian, seketika terdengar susul-menyusu! Dengan ganas karena marah para warga Desa Ngadireja membantai habis anggota gerombolan yang mengatasnamakan Pendeka Gila sebagai pimpinan.
Ki Lampit tertatih-tatih mendekati Pendekar Gila. Di bibirnya tersungging senyuman. Orang tua yang sebenarnya Kepala Desa Ngadireja itu merasa senang atas kemenangan mereka.
"Kau, Ki?" Pendekar Gila terkejut melihat Ki Lampit yang semula tua renta kini tampak wajah aslinya, setelah membuka kedok. Ki Lampit ternyata seorang lelaki bertubuh tegap, berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya cukup tampan terhias jenggot dan kumis tipis.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan Pendekar!"
"Aku tak mengerti, siapa kau sebenarnya, Ki?" tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir serta ta?ngan menggaruk-garuk kepala.
Ki Lampit memegang pundak Pendekar Gila, lalu sambil melangkah lelaki setengah baya itu menceritakan siapa dirinya. Diceritakan, mengapa harus menyamar, karena dirinya takut kepergok Pendekar Gila yang kabarnya menjadi pimpinan gerombolan itu. Ki Lampit merasa tak akan mampu menghadapi Pendekar Gila yang kesohor dengan kesaktiannya. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi tiba-tiba tawanya terhenti, ketika matanya melihat sesosok bayangan kuning berkelebat mencurigakan. Mata yang lain mungkin tak melihat karena suasana gelap.
"Hai, tunggu...!" teriak Pendekar Gila.
Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya segera mengejar sosok bayangan kuning itu. Dalam sekejap saja Pendekar Gila telah berhasil menghadang orang itu.
"Aha, mau lari ke mana kau" Hi hi hi...!"
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki muda berpakaian kuning sambil bersujud di depan Pendekar Gila.
"Saya hanya diperintah tiga warok Ponorogo."
"Kau juga anggota mereka?" tanya Pendekar Gila.
"Be... benar."
"Jadi kalian diperintah tiga warok Ponorogo untuk membuat keonaran di desa ini?" tanya Pendekar Gila tegas, walau mulutnya masih cengengesan. Pendekar Gila melesat cepat. Sehingga ketika keduanya melihat ke depan lagi, pemuda yang diikuti telah menghilang entah ke mana.
"Heh"!"
"Lho..."l" Kastro dan Jawir tersentak kaget. Mata keduanya terbelalak dengan mulut terlongong bengong, kehe ranan.
"Dia hilang!" gumam Jawir.
"Mungkin dia dedemit," tukas Kastro.
"Aha, mana ada dedemit pagi-pagi begini?" ban- tah Jawir tak percaya.
"Buktinya dia hilang," sahut Kastro sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Namun, Pendekar Gila telah benar-benar hilang.
"Kalau dia lari, mana ada yang bisa lari secepat angin?" 'lya, ya" Kok aneh..."!" kini Jawir menganggukanggukkan kepala dengan mulut masih bengong.
"Vvah, untung dia tak jahat! Coba kalau jahat, kita sudah dlcekik," ujar Kastro bergidik.
"Hih..., benar! Kalau dia jahat, kita pasti dicekiknya," sahut Jawir seraya mengedarkan pandangannya dengan rasa takut "Ayo, kita pergi! Siapa tahu siluman itu masih di sini," ajak Kastro.
Keduanya pun segera lari tunggang langgang, meninggalkan perbatasan Desa Babareja.

***

Warok Gandu Pala tertawa terkekeh-kekeh, merasa senang setelah mendengar ketiga warok tua yang juga sesepuh di Desa Ponorogo itu akhirnya dapat juga diadu domba.
Semua anak buahnya mengerutkan kening, tak mengerti mengapa Warok Gandu Pala tertawatawa. Padahal banyak anak buahnya yang mati di tangan Pendekar Gila. Nampaknya para pengikutnya tidak memahami jalan pikiran yang telah direncanakan sang Ketua.
"Nanti malam, kita kembali mengadakan gerakan. Bunuh kedua calon lurah yang masih ada!" perintah Warok Gandu Pala sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kalau mereka sudah lenyap semua, bukankah aku yang akan menduduki kursi kepala desa?" Semua anak buahnya yang tersisa Ema belas orang itu tertawa mengikuti pimpinannya yang juga tertawa terbahak-bahak "Benar, Ketua! Kalau Ketua menjadi Kepala Desa Ponorogo, kita akan enak...," ujar Sumogiri, "Bukan begitu teman-teman?"
"Benar!" sahut keempat belas rekannya, termasuk Sekati yang juga berada di tempat itu.
Gadis itu nampak lebih banyak diam, semenjak hamil. Hal itu mungkin karena hatinya merasa berdosa, telah membohongi sang Ayah. Juga terhadap Pendekar Gila yang telah difitnahnya.
Hati nurani Sekati mulai tergugah. Batinnya yang semula tertutup, kini terbuka. Dirinya merasa, semua tindakannya selama ini suatu perbuatan yang salah. Begitu berani menentang sang Ayah. Juga Paman Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta.
"O, mengapa aku seperti ini" Mengapa harus menuruti setiap ucapan Paman Warok Gandu Pala?" keluh Sekati dalam hati, merasakan kesalahannya selama ini. Kini dirinya bagaikan baru terbuka mata hatinya yang selama ini tertutup kabut gelap.
Selama ini, Sekati terpengaruh janji-janji muluk dan rayuan gombal Warok Gandu Pala. Sampai akhimya, peristiwa itu terjadi. Ketika semua anak buah tengah menjalankan perintah tinggallah mereka berdua. Warok Gandu Pala menggagahinya.
Mulanya Sekati berusaha melawan, tetapi ketika matanya beradu dengan mata Warok Gandu Pala, tiba-tiba hatinya luluh. Dibiarkan tubuhnya digeluti orang yang mengaku sebagai pamannya sendiri.
Semenjak itu, Warok Gandu Pala selalu berusaha mendapatkan kepuasan dari Sekati. Dan anehnya, gadis itu bagaikan tak mampu melawan.
Sekati pasrah, membiarkan kehormatannya direnggut. Membiarkan tubuhnya dijadikan pelampiasan nafsu lelaki yang dianggap sebagai paman sendiri, karena sesama warok seperti ayahnya. Sampai akhirnya, Sekati hamil. Semula hatinya sangat takut, lalu mengadukan kehamilannya pada Warok Gandu Pala. Namun tanggapan Warok Gandu Pala justru membuat hatinya sakit. Warok Gandu Pala menyuruhnya untuk memfitnah Pendekar Gila dan mengadukan pada ayahnya, kalau kehamilan itu perbuatan Pendekar Gila. Bukankah dengan begitu, ketiga warok tua bangka itu akan memusuhi bahkan membunuh Pendekar Gila?"
"O, kasihan Pendekar Gila. Dia tak tahu apaapa, terlalu polos, dan tak mengerti apa yang terijadi," keluh Sekati dalam hati. Lamunannya terus mengalir, teringat akan Pendekar Gila yang bertingkah laku konyol dan persis orang gila.
"Mengapa harus dia yang menjadi korban fitnah" Tentunya ayah tak akan membiarkannya begitu saja.
Entah kenapa Sekati mau mengaku Pendekar Gila yang melakukannya. Perlahan-lahan, bayangan kejadian kemarin tergambar kembali dalam benak Warok Singo Lodra.
Dirinya baru saja pulang dari kebun, ketika langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya mendengar suara Sekati muntah-muntah. Dengan kening mengerut, Warok Singo Lodra melangkah mendekati anaknya yang sedang muntah di samping rumah.
"Sekati, kenapa kau?" Sekati tersentak kaget. Dengan mata memandang takut, gadis itu bangun dari jongkoknya. Lalu kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat karena takut.
"Anakku, kau tak perlu takut pada ayah.
Katakan, apa yang sebenarnya terjadi...?" tanya Warok Singo Lodra dengan suara pelan, berusaha menenangkan sang Anak.
Sekati langsung menangis. Dipeluknya eraterat tubuh sang Ayah. Hal itu membuat hati Warok Singo Lodra ierenyuh da luluh. Dengan lembut, dibelai-be- lainya rambut Sekati.
"Anakku, ceritakanlah apa yang telah terjadi!" pinta Warok Singo Lodra dengan tangan masih membelai-belai rambut anaknya.
Perlahan-lahan Sekati mendongak. Ditatapnya dalam-dalam wajah sang Ayah. Tangisnya masih berderai, bahkan semakin sesenggukan. Hati Warok Singo Lodra pun luluh-lantak dan merasa kasihan.
Dibimbingnya sang Anak masuk ke rumah.
Kemudian diajaknya duduk.
"Ceritakanlah, Anakku!"
"Apakah Ayah tak akan marah?" tanya Sekati takut. Warok Singo Lodra berusaha tersenyum.
Digeleng-gelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan sang Anak agar mau menceritakan apa sebenarnya yang terjadi.
"Sekati hamil, Ayah."
"Apa"!" bagaikan disengat kalajengking Warok Singo Lodra terbelalak kaget. Lelaki tua itu tersentak bangkit dari duduknya. Dengan napas tersengal karena perasaan marah dan terkejut mata Warok Singo Lodra menatap tajam anaknya.
Sementara Sekati hanya mampu menangis dengan menundukkan kepala dalam-dalam.
"Siapa yang menghamilimu, Sekati" Akan kulabrak dia!" ."Pendekar Gila, Ayah!"
"Hah"!" semakin membelalak mata Warok Singo Lodra, mendengar jawaban anaknya. Dihelanya napas dalam-dalam lalu dihembuskan dengan kuat.
Kedua tangannya mengepal keras sambil menggemeretakkan gigi menahan geram.
Warok Singo Lodra melangkah bimbang dengan hati dilanda amarah. Tangan kanannya masih mengepal. Matanya memandang tajam pada anaknya yang masih menangis sambil menundukkan kepala.
"Kapan hai itu terjadi?" tanya Warok Singo Lodra.
"Tiga bulan yang lalu, Ayah," jawab Sekati dengan masih menangis sambil menundukkan kepala.
"Kurang ajar! Pendekar Gila keparat!" maki Warok Singo Lodra geram. Napas tuanya kian memburu, bagaikan harimau marah. Matanya semakin memerah karena marah, "Sekati, kau tidak berbohong"!"
"Sungguh, Ayah. Sekati rela mati, jika berdusta," jawab gadis cantik berbaju kuning muda itu sambil terisak-isak.
"Pendekar Gila, telah cukup aku menahan amarah. Ternyata kau menggunakan nama besarmu untuk perbuatan terkutuk! Tak akan kubiarkan kau mempermainkan anakku seakan mengharapkan kesaksian langit biru pada janji dan tekadnya.
Ketiga warok lainnya terdiam mendengar ucapan Warok Singo Lodra. Bagaimanapun ilmu mereka masih di bawah Warok Singo Lodra. Mereka juga menganggap kalau pimpinan para warok itu yang harus dituakan karena memang dirinya orang pertama dan paling tua di kalangan warok Ponorogo.
"Kini tak ada persoalan lagi. Kita harus menguburkan mayat-mayat itu!" ujar Warok Singo Lodra.
"Kita sebagai orang-orang tua dan dihormati yang menjadi panutan harus memberi contoh baik.
Ayo bantu warga!" Tanpa membantah, ketiga warok lain segera mengikuti Warok Singo Lodra mengurusi mayatmayat di rumah Ki Renda Peksa.

֍::::::֍| 6 |֎::::::֎

Semenjak kelahiran putra Senapati Kandanu, Desa Pakis bertambah ramai. Prajurit kerajaan bergantian menjaga desa itu, apalagi kini Prabu Galih Waskita sendiri yang memerintahkan penjagaan terhadap Desa Pakis. Prabu Galih Waskita telah tahu kalau Ki Angkara mendendam pada panglima utama kerajaan, karena cintanya yang gagal untuk mendapatkan Murti Dewi. Siapa tahu setelah anak Senapati Kandanu lahir, Ki Angkara akan membuat kerusuhan lagi. Atau menculik bayi itu. ltulah yang dikhawatirkan pihak kerajaan. Malam menyelimuti Desa Pakis, menghamparkan kegelapan yang sepi. Rumah-rumah penduduk sudah tertutup rapat, hanya di rumah Ki Lurah Padri yang masih ramai Masih banyak orang serta beberapa prajurit yang sedang berjaga-jaga.
Malam terus merangkak dengan kegelapan serta kesepian yang menyelimutinya. Angin yang berhembus pelan, meniup dedaunan, menimbulkan suara gemerisik, Hal itu membuat suasana malam bertambah mencekam.
Malam telah agak larut, ketika dari arah selatan Desa Pakis nampak berkelebat sesosok bayangan merah menuju rumah keluarga Ki Lurah Padri. Bayangan merah itu terus melesat dengan cepat, lalu menyelinap di balik pepohonan, ketika nampak dua orang prajurit tengah memeriksa ke sekeliling rumah Ki Lurah Padri diikuti dua orang jawara kepala desa itu.
Hmm, semakin banyak juga prajurit kerajaan," gumam bayangan merah yang ternyata Ki Angkara.
Matanya mengawasi dua orang prajurit yang masih berjalan, memeriksa sekeliling.
"Aku harus membungkam mereka." Empat orang itu terus melangkah, memeriksa sekelilingnya. Mata mereka dipasang terus dengan kewaspadaan, seakan tak ingin kecolongan.
"Ini yang terakhir," desis Ki Angkara perlahan.
Kemudian dengan ringan tubuhnya bergerak, mencengkeram prajurit yang melangkah paling depan.
"Hop!" Trep! "Hih!" Prajurit itu berusaha meronta, tetapi dengan cepat KI Angkara telah mendahului membungkam mulutnya dengan tiga totokan.
Tuk! Tuk! Tuk! Seketika prajurit itu terkulai. Ki Angkara segera menyeret ke semak-semak. Kemudian kembali melesat cepat, memburu ketiga orang yang masih melangkah.
Srt! "Hai! Siapa itu"!" Rupanya salah seorang dari mereka melihat bayangan Ki Angkara berkelebat, sehingga berteriak membentak. Hal itu membuat kedua temannya langsung menghentikan langkah. Mereka langsung mengawasi pepohonan yang tumbuh di sekitar tempat itu.
"Ada apa, Kapin?"
"Kulihat ada orang mengikuti kita," sahut lelaki yang disusul dengan jerit kematian.
"Heaaa!" Crab! "Akh...!"
"Lancang sekali kau, Ki Angkara!" bentak Ki Purba sengit seraya merentangkan tangannya, menghalangl langkah Ki Angkara yang hendak masuk.
Na?mun, lelaki tua berjubah merah itu tak peduli.
Malah dengan enaknya, ditepiskannya tangan Ki Purba.
"Minggir! Jangan halangi aku!" Hal itu tentu membuat Ki Lurah Padri dan Ki Purba marah.
"Kurang ajar! Lancang sekali kau, Angkara! Hih.. !" Lurah Padri bergerak cepat, tangannya mendorong dada Ki Angkara disertai tenaga dalam yang cukup kuat, sehingga menyebabkan lelaki tua berjubah merah itu tersentak Cepat-cepat dia mundur, mengelakkan dorongan itu.
Wsss! "Ukh! Hebat juga tenaga dalammu, Ki," ejek Ki Angkara sambil mengelak.
Ki Lurah Padri agak terhuyung ke depan.
Beruntung dengan cepat lelaki tua berbaju coklat itu segera mampu menguasai diri. Sehingga luput dari jatuh.
"Kurang ajar! Kau benar-benar iblis. Pergi dari sini, sebelum kupanggilkan para prajurit!" bentak Ki Lurah Padri sengit "Panggil prajurit yang sudah pada mampus!" ejek Ki Angkara, yang seketika membuat kedua orang tua itu bertambah marah.
Sementara orang-orang yang di dalam kini keluar, setelah mendengar suara ribut-ribut.
Melihat Ki Angkara ada di tempat itu, lima warga desa yang masih berada di rumah Ki Lurah Padri seketika berhamburan menyerang Ki Angkara.
"Tangkap iblis itu...!" perintah Ki Purba seraya merangsek turut menyerang dengan sengit.
"Jangan biarkan lolos! Jika kalian bisa menangkap nya, maka kalian akan mendapatkan pahala dari baginda raja!" seru Ki Lurah Padri memberi semangat pada kelima warga desanya yang serentak mencabut golok dan menyerang Iblis Berkedok Dewa itu.
"He he he...! Bagus! Sebelum baginda raja kalian memberi hadiah pada kalian, maka aku lebih dahulu memberikan. Heaaa...!" Dengan jurus 'Iblis Merenda Api' Ki Angkara berlelebat menyerang lima warga desa yang dibantu Ki Lurah Padri dan Ki Purba.
"Heaaa...!"
"Jangan beri dia kesempatan!" teriak Ki Purba mengingatkan pada kelima warga, sedangkan dirinya langsung menyerang Ki Angkara dengan jurus 'Belahan Jagat'. Sebuah jurus yang cukup berbahaya bagi lawan. Tangan Ki Purba bergerak bagaikan hendak membelah dada Ki Angkara.
Sesekali disertai dengan hentakan-hentakan pukulan dan tendangan.
"Heaaa!"
"Hih! Ini untukmu...!" Dengus Ki Angkara sambil menghantamkan tangan kanannya ke arah lima warga desa yang menyerang, setelah merundukkan tubuh incngelakkan babatan golok lawan. Wrt! Plak! "Wuaaa...!" Salah seorang warga desa itu menjerit, terkena hantaman tangan Ki Angkara. Tubuhnya terpental ke belakang, lalu ambruk dalam keadaan telah tewas.
"Bedebah! Kubunuh kau, Iblis!" dengus Ki Lurah Padri marah Ki Lurah Padri dan Ki Angkara kini samasama melenting ke atas. Dalam keadaan tubuh melayang di udara, keduanya saling melancarkan pukulan dengan jurus andalan masing-masing. Ki Lurah Padri dengan jurus 'Bayu Menyibak Mega', sedangkan Ki Angkara tetap dengan jurus 'Seribu Tangan Iblis'.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!" Keduanya mengawali serangan dahsyat dengan teriakan keras membahana, memecahkan kesunyian malam. Prat! Glarrr...! "Aaakh...!" Ki Lurah Padri menjerit keras. Darah muncrat dari mulutnya. Lalu tubuhnya terlontar deras ke belakang tak ada keseimbangan, hingga akhimya terbanting di atap rumahnya sampai jebol.
Brak! "Ayah...!" jerit Murti Dewi, ketika melihat tubuh ayahnya jatuh di rumah dalam keadaan mengenaskan. Wanita cantik yang baru saja melahirkan itu langsung menubruk tubuh ayahnya, menangisi kematian sang Ayah.
Nyi Nipah yang mendengar tangisan Murti Dewi segera masuk.
"Kakang...!" Nyi Nipah pun mendekat, lalu menangisi kematian Ki Lurah Padri yang mengerikan. Kepala lelaki setengah baya itu pecah dengan dada hancur!

***

Sementara itu di luar pertarungan masih betjalan dengan seru, walaupun kini Ki Angkara lebih menguasai jalannya pertarungan. Hal itu karena Ki Purba dalam keadaan luka parah. Namun sesepuh Desa Pakis itu benar-benar tahan. Dengan sisa-sisa tenaganya dia terus bergerak menyerang.
"Kau pun harus mati, Purba! Hiaaa...!" tangan Ki Angkara bergerak, menghantam ke dada Ki Purba. Ki Purba berusaha menghindar, tetapi luka dalamnya menyebabkan gerakannya lambat Sehingga.... Jret! Degk! "Aaakh...!" Ki Purba terpekik keras seraya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sebuah pukulan keras ber- hasil menghantam dadanya. Tubuhnya terpental deras ke belakang, lalu terbanting ke tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.
"He he he...! Kini tak ada lagi penghalang bagiku untuk memiliki Murti Dewi," gumam Ki Angkara sambil melangkah mendekat ke pintu rumah, melangkahi majat-mayat bergelimpangan mengerikan.
"Lelaki busuk! Keparat! Kau bunuh ayahku! Kau bunuh pamanku!" maki Murti Dewi, ketika melihat Iblis Berkedok Dewa mendekat ke rumah.
"He he he...!" Ki Angkara terkekeh. Matanya menatap penuh nafsu pada Murti Dewi. Terlebih, setelah melahirkan wajah putri Ki Lurah Padri itu tampak cantik. Hal itu menambah nafsu Ki Angkara.
"He he he.... Kau semakin menggairahkan saja, Manis!"
"Cuih! Kubunuh kau!" dengus Murti Dewi sambil melesat melakukan serangan dengan sebilah pisau. Namun, dengan cepat Ki Angkara menangkap tangan menyerang Murti Dewi.
Aku tak layak bagimu, Kakang," rintih Murti Dewi sambil berusaha bangkit, lalu melangkah meninggalkan tempat tidur. Kakinya terus melangkah ke belakang, menuju dapur. Diambilnya sebilah pisau, lalu menangis lagi.
Murti Dewi terus menangis. Dia merasa harga dirinya tak ada lagi di mata Senapati Kandanu, suaminya. Ditatapnya pisau tajam di genggaman tangannya.
"Kakang Kandanu, maafkan aku. Sungguh, aku tak kuasa melawannya. Selamat tinggal, Kakang...!" Pisau dapur itu kini diangkatnya tlnggi-tinggi.
Kemudian dengan sekuat tenaga, dihunjamkan ke dadanya....
"Murti, jangan...!" Nyi Nipah yang sudah siuman, dengan tertatih-tatih berusaha mencegah tindakan Murti Dewi. Namun pisau itu begitu cepat. Sehingga....
Crab! "Aaakh...! Nyi...!" Murti Dewi mengerang panjang, ketika pisau di tangannya telah menusuk dadanya.
"Murti...!" Nyi Nipah menjerit keras, lalu memeluk tubuh Murti Dewi yang limbung ke samping. Wanita tua itu menangis sesenggukan, mendekap tubuh Murti Dewi yang sekarat.
"Nyi..., katakana pada Kakang Kandanu.
Dia..., dia telah memperkosaku. Selamat tinggal, Nyi.... Akh...!"
"Murti! Tidaaak...!" Nyi Nipah terus menjeritjerit.
"Malam itu, para tetangga yang semula tak berani mendekat, berdatangan ke rumah Ki Lurah Padri. Mereka pun tiba-tiba merasa marah dan kasihan melihat mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Cari iblis itu! Kita harus berani menghadapinya!" perintah salah seorang warga desa dengan geram setelah mendengar cerita Nyi Nipah.
"Hubungi Kanjeng Senapati Kandanu!" perintah yang lain.
Malam itu semua sibuk. Ada yang mencari Ki Angkara, ada yang menolong Nyi Nipah, dan mengurusi para korban yang tewas. Sementara beberapa orang berangkat ke Kerajaan Mandra Kulawa untuk menga- barkan pada Senapati Kandanu. Senapati Kandanu benar-benar terguncang jiwanya, setelah melihat keadaan mayat istrinya.
Murti Dewi mati bunuh diri setelah diperkosa Ki Angkara, sedangkan bayinya kini hilang entah ke mana. Menurut Nyi Nipah, bayinya dibawa kabur Ki Angkara.
"Ki Angkara keparat! Belum tenang batinku sebelum mencungkil kedua mata dan mencabut jantungnya...!" teriak Senapati Kandanu bersumpah.
Dengan membawa kemarahan dan dendam kesumat pada Ki Angkara, si Macan Kaligis itu menggebah kudanya. Dia benar-benar bertekad mencari Iblis Berkedok Dewa yang telah menghancurkan kehidupan rumah tangganya.
"Hea! Heaaa...!" Senapati Kandanu terus menggebah kudanya dengan cepat, melesat ke selatan menuju Gunung Paparan. Kini dia telah sampai di perbatasan Desa Babareja. Matahari merangkak semakin tinggi. Kedai yang berada di sebelah barat Desa Babareja siang itu nampak tamai dikunjungi orang. Di depan kedai, seekor kuda putih besar dan kekar tertambat di bawah pohon mangga besar. Kuda itu tengah merumput, Sedangkan pemiliknya, yang tak lain Senapati Kandanu berada di dalam kedai Saat itu, si Macan Kaligis tengah kalut setelah kematian istrinya dan sang Bayi yang hilang entah ke mana. Senapati Kerajaan Mandra Kulawa itu tampak tengah menenggak arak, seakan-akan berusaha menenangkan pikirannya. Sudah tiga guci arak diminumnya, tapi kekalutan pikiran bukan kian berkurang, bahkan terasa semakin membuatnya pusing tak karuan.
Brak! Macan Kaligis menggebrak meja di depannya.
Seketika meja kayu itu terpecah jadi dua. Tiga guci arak terjatuh dan pecah, berhamburan di lantai.
Orang-orang yang tengah menikmati santapan di kedai itu tersentak kaget. Namun, mereka langsung diam. Tak satu pun yang berani berucap kata, ketika mengetahui orang itu senapati yang paling dihormati di Kerajaan Mandra Kulawa.
"Siapa di antara kalian yang tahu persembunyian Ki Angkara"!" tanya Senapati Kandanu dengan mata merah, menatap tajam pada semua orang dalam kedai.
Semua terdiam, tak satu pun yang berani membuka mulut Hal itu membuat Senapati Kandanu semakin marah. Tangannya kembali menggebrak meja yang ada di sampingnya.
"Jawab...!" Brak! Pukulan keras yang kedua menghancurkan meja kayu jati itu. Mata Macan Kaligis yang merah menatap semua yang ada di kedai itu.
"Siapa yang berani mencari Ki Angkara, keluar lah!" Dari luar terdengar suara lantang seseorang.
Mendengar seruan itu, semua pengunjung kedai berhamburan ke luar untuk membuktikan siapa orang yang telah lancang dan berani menantang mereka. Senapati Kandanu yang melihat kudanya mati tertusuk sebilah pisau, turut keluar bersama Pendekar Gila, untuk melihat siapa yang telah membunuh kudanya.

***



֍::::::֍| 7 |֎::::::֎

Lima lelaki berwajah garang berdiri di sebelah se latan kedai. Dua orang lelaki bertubuh besar dengan kepala botak, Mereka sudah dikenal Pendekar Gila, bahkan pernah bentrok di Hutan Randu Kembar. Keduanya tidak lain Sepasang Jalak Neraka. Satu Jalak Kuning, yang memakai kain selempang kuning keemasan terikat di leher. Sedang yang lain Jalak Biru, dengan kain pengikat leher berwarna biru. Sedang tiga lelaki lainnya, sama-sama berambut kasar dan kotor. Wajah mereka yang garang, ditumbuhi cambang bauk tebal. Yang pertama tangan ki- rinya terbuat dari baja. Karena itu, dia dikenal sebagai si Tangan Baja. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini masih tampak gagah, dengan pakaian lengan panjang berwarna merah. Orang kedua bertubuh gemuk, dengan kaki sebelah pincang dan terbuat dari baja. Lelaki ini terkenal dengan sebutan si Kaki Baja.
Orang ketlga, nampaknya Iain dari keduanya.
Dia tidak cacat tangan atau kaki. Namun, lehernya bengkok ke kiri. Senjata yang digunakan si Leher Patah ini berupa tombak bergerigi. Mereka dikenal dengan julukan Tiga Demit Cacat.
Pisau yang menancap di leher kuda milik Senapati Kandanu merupakan senjata si Kaki Baja.
Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pisau yang melekat di tubuhnya, menyilang di depan dada sampai ke bawah.
"Aha, rupanya mereka lagi! Hi hi hi...! Apa kabar kalian, Jalak Botak?" sapa Sena dengan tertawa ce- kikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
Jalak Kuning menoleh pada Jalak Biru, seperti hendak mengatakan sesuatu. Begitu halnya dengan Jalak Biru. Keduanya merasa kaget melihat pemuda gila itu.
"Kita jangan menghadapi dia! Biar Tiga Demit Cacat saja yang menghadapinya," bisik Jalak Kuning.
"Ya. Percuma saja kita menghadapinya," sahut Jalak Biru dengan berbisik pula. Kemudian keduanya kembali mengawasi orang-orang yang keluar dari kedai, lalu mengalihkan pandangan mereka pada Senapati Kandanu yang menggendong bayi.
"Kurasa senapati itu bagian kita, Jalak Biru," bisik Jalak Kuning.
"Ya. Lebih baik menghadapi dia, kelirnbang menghadapi pemuda gila itu," sahut Jalak Biru, juga dengan berbisik.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar bisik bisik Sepasang Jalak Neraka.
Sementara para penduduk yang ikut bersama Senapati Kandanu, tampak sudah tak sabar. Mata mereka menatap tajam pada Sepasang Jalak Neraka dan Tiga Demit Cacat.
"Kanjeng Senapati, biar kami ringkus mereka!" pinta warga desa penuh semangat.
"Izinkan kami menangkap iblis-iblis itu, Kanjeng Senapati!" sambung yang lain.
"Hm...," gumam Senapati Kandanu dengan mata masih menatap tajam pada lima orang di depannya.
"Siapa kalian"!"
"Itu tak penting Kanjeng Senapati. Yang jelas kami akan menghalangi usaha kalian menangkap Ki Angkara," sahut si Tangan Baja.
"Aha, rupanya kalian antek lintah sawah itu.
Hi Hi hi...! Kebetulan sekali. Kalau begitu kalian tak ubahnya cecurut busukl Hi hi hi...!" sergah Sena sambil tertawa cekikikan. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Bocah edan, tutup mulutmu! Jangan sampai kusobek mulutmu!" bentak si Kaki Baja dengan mata membelalak marah, napasnya mendengus keras.
"Hi hi hi...! Ah ah ah, seharusnya mulut kalian yang disobek. Agar tak lancang seperti itu. Hi hi hi...!" Sena masih menunjukkan kekonyolan.
Mulutnya di- monyongkan ke depan.
"Bocah edan! Kubunuh kau!" dengus si Leher Patah tak kalah sengit, sambil menggerak-gerakkan lehemya yang bengkok, sehingga nampak lucu. Hal itu pula yang membuat Pendekar Gila semakin memperkeras tawanya.
"Hua ha ha...! Rupanya ada juga lintah yang kena penyakit ayan...!" ujar Sena sambil menggelenggelengkan kepala. Lalu menirukan gerakan seperti orang terkena penyakit ayan. Sudah barang tentu Tiga Demit Cacat marah melihat sikap konyol itu.
"Bocah edan! Kubunuh kau...!" dengus si Kaki Baja.
"Hi hi hi...!" Sena masih saja bertingkah konyol.
Kakinya dijalankan pincang, meniru si Kaki Baja.
Tangannya dipengkorkan meniru si Tangan Baja, sedangkan lehemya dibengkokkan. Sehingga keadaannya semakin lucu dan konyol. Apalagi ditambah dengan mulutnya yang sesekali monyong, sesekali nyengir. Tiga Demit Cacat semakin marah Sementara itu, Sepasang Jalak Neraka tak dapat berbuat banyak. Keduanya telah tahu keberadaan Pendekar Gila. Itu sebabnya mereka lebih baik menghadapi Senapati Kandanu dan warga desa.
"Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa..!" si Tangan Baja melesat maju, berusaha menyerang Pendekar Gila. Melihat lawan telah memulai, si Macan Kaligis yang memang sudah marah, tak tinggal diam.
"Serang...!" Warga desa yang mendengar seruan Senapati Kandanu, seketika bergerak dengan senjata masingmasing. Mereka tidak merasa dihantui perasaan takut sedikit pun, terus merangsek kelima lelaki berwajah bengis itu.
"Heaaa...!"
"Serbu...!"
"Cincang...!"
"Jangan biarkan mereka hidup...!" seru warga desa yang penuh amarah itu sambil bergerak maju melancarkan serangaa Dalam sekejap saja, halaman kedai yang semula tenang, berubah menjadi ajang per-tarungan yang sengit. Debu beterbangan, tanah ha?laman kedai berhamburan. Suara dentang senjata dan pekikan-pekikan keras seakan memecahkan suasana siang di Desa Babareja.
Pendekar Gila kini bergerak mengelit dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, dengan sesekali tangannya menepuk ke dada lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!" Si Tangan Baja yang sudah sengit pada Pendekar Gila, terus menyerang dengan sabetan tangannya yang terbuat dari baja. Dengan menggunakan jurus 'Garukan Cakar Maut', si Tangan Baja terus bergerak menyerang. Tangan kirinya yang cacat, bergerak menggaruk dan mencakar ke tubuh Pendekar Gila. Sedangkan tangan kanannya memukul.
"Yeaaat!"
"Hih!" Si Tangan Baja menyambarkan cakarnya ke wajah lawan. Tetapi dengan cepat Pendekar Gila meliukkan tubuh ke bawah untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian disusul serangan dengan sebuah tepukan ke- dada lawan.
"Hih!"
"Eits!" Dengan cepat si Tangan Baja melompat ke samping. Matanya membelalak kaget, karena tak menyangka gerak lawan yang kelihatannya lambat tahu- tahu mampu mengejarnya.
Pendekar Gila cengengesan, kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah! Kenapa kau, Lintah Sawah..." Hi hi hi...!" seru Sena sambil tertawa cekikikan Mulutnya monyong, kemudian kakinya kembali digerakkan pincang. Tangannya agak ditekuk menyerupai tangan pengkor. Sedangkan lehernya dibengkokkan ke kiri.
Kemudian kakinya melangkah, menimbulkan tingkah laku lucu dan konyol.
"Cuih!" si Tangan Baja meludah. Matanya memandang penuh amarah kepada Pendekar Gila yang meledeknya.
"Jangan harap aku takut menghadapimu, Bocah Edan!"
"Hi hi hi...! Kurasa aku tak perlu kau takuti, Lintah Busuk! Aku manusia, bukan pemakan lintah...!" tukas Sena sambil memonyongkan mulut dengan tingkah konyol, seperti orang cacat kaki, tangan, dan leher.
"Setan gila! Heaaa...!" Si Tangan Baja kembali berkelebat menyerang ke tubuh Pendekar Gila. Kali ini si Kaki Baja dan si Leher Patah pun membantu. Sepertinya kedua orang cacat lainnya lebih suka menyerang Pendekar Gila. Walau mereka sedang menghadapi serangan warga desa yang-dibantu Senapati Kandanu.
"Kubantu kau, Tangan Baja!" seru si Kaki Baja sambil menendang ke tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat bergerak menghindar. Kemudian dengan cepat pula balas menyerang ke arah si Kaki Baja.
"Hi hi hi...! Kakimu kaku sekali, Lintah Sawah! Ah, biar kulemaskan. Hih...!" Pendekar Gila bergerak, tangannya menangkap kaki milik si Kaki Baja. Namun, si Leher Patah telah menyerangnya dengan senjata tombak cakranya. Wrt! "Haps!" Pendekar Gila cepat menarik serangan ke belakang, kemudian mengalihkan serangan pada si Leher Patah yang tadi menyerangnya. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, menjadikan serangan lawan selalu gagal dan melesat di samping atau di atas tubuhnya. Lalu dengan gerakan aneh, tangannya menepuk ke dada lawan.
"Hah..."!"
"Aits!" Si Leher Patah tersentak kaget dengan mata terbelalak, ketika secara tiba-tiba dan aneh tepukan tangan Pendekar Gila hampir menjangkau dadanya. Si Leher Patah melompat ke belakang, mengelak. Disusul si Tangan Baja yang ganti menyerang dengan sabetan tangannya yang terbuat dari baja.
"Heaaa...!" Wrt! "Ats!" Pendekar Gila segera menggeser kakinya ke samping, dan meliukkan tubuhnya ke bawah. Lalu sambil berbalik, kakinya menendang lawan yang me?nyerang. Disusul dengan hentakan telapak tangan kanan ke dada lawan yang lain. Sebuah serangan balik yang cepat dan mengejutkan.
"Heh"!" Si Tangan Baja tersentak kaget dengan mata melotot. Dia berusaha berkelit, tetapi karena kaget membuatnya mati langkah. Tanpa ampun lagi, tendangan kaki kiri Pendekar Gila menghantam di perutnya. Begk! "Ukh!" tubuh si Tangan Baja terlontar ke belakang, lalu jatuh terduduk dengan mulut meringis kesakitan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!" dengus si Kaki Baja sambil menyerang dengan tendangan-tendangan kilatnya. Kakinya yang terbuat dari baja, bergerak menendang dengan cepat secara beruntun. Hal itu membuat Pendekar Gila agak kerepotan, bergerak meliuk dan melompat ke sana kemari menghindari tendangan cepat itu.
"HihI Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Belum sempat dapat menguasai keadaan dari serangan yang dilakukan si Kaki Baja, si Leher Patah telah bergerak membantu dengan tusukan tombak cakranya. Hal itu semakin membuat Pendekar Gila harus menghadapi dua lawan sekaligus. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, diserang secara bersamaan seperti itu Dia bukannya takut, justru tingkahnya yang gila semakin menjadijadi. Dengan meniru gaya ketiga orang lawannya, Sena terus bergerak menyerang dan mengelakkan serangan lawan.

***

Sementara itu di sisi lain, pertarungan pun masih berjalan seru. Senapati Kandanu meski dengan mendekap sang Bayi, masih mampu memimpin pertarungan. Bahkan Jalak Biru dibuat kaget, karena tak menyangka ilmu Maean Kaligis begitu hebat. Gerakan- gerakan senapati itu masih gesit dan lincah meskipun sambil menggendong bayi.
"Yeaaa...!" Senapati Kandanu dengan jurus cakarnya yang dinamakan 'Kumbang Mencakar Mendung' bergerak menyerang Jalak Biru. Tangan kirinya masih menggendong bayi, hanya dengan tangan kanan dan kakinya Senapati Kandanu menyerang.
Namun julukan yang disandangnya sebagai Maean Kaligis, benar- benar bukan julukan kosong.
Senapati muda itu bagaikan seekor harirnau yang garang, menyerang ke sana kemari tak mau memberikan kesempatan lawan.
"Hm, rupanya nama Macan Kaligis bukan nama kosong," gumam Jalak Biru sambil berkelit ke samping, mengelakkan serangan yang dilancarkan Sena pati Kandanu. Kemudian dengan cepat, kapak besarnya diayunkan ke tubuh lawan.
Wrt! Melihat lawan mengayunkan kapak, Senapati Kandanu segera bergerak mengelak ke samping.
Merundukkan tubuhnya, lalu dengan cepat lompat ke belakang. Jreb! Senjata besar itu menghunjam di tanah, menye- babkan tanah yang terkena hancur dan berhamburan. Senapati Kandanu segera menarik pedangnya yang sejak tadi melekat di punggung.
Sring! "Yeaaa...!"
"Heaaat...!" Kembali keduanya melesat, hendak melakukan serangan lagi. Dengan pedang, Senapati Kandanu bergerak tak kalah cepat jika dibandingkan ketika tangan kosong. Pedangnya bergerak sangat cepat, hingga mengeluarkan angin menderu. Pedang itu pun bagaikan menghilang, tinggal bayangan putih berkelebatan saja yang kelihatan.
"Heh"!" Jalak Biru tersentak kaget dengan mata melotot, menyaksikan serangan yang dilancarkan Senapati Kandanu. Dia tak menyangka kalau lawannya yang membawa bayi mampu melakukan gerakan silat begitu sempurna dan cepat, tanpa terganggu sedikit pun.
"Yeaaa...!"
"Ukh! Hiaaa...!" Trang! Dua senjata beradu, disertai lompatan keduanya mengelitkan serangan selanjutnya.
Kemudian disertai pekikan menggelegar, keduanya kembali bergerak.
Senapati Kandanu memutar pedangnya dengan cepat, lalu bergerak menusuk dan membabat. Sedang kan Jalak Biru kini tak mau diam. Lelaki gagah itu bergerak menyerang dengan kapak besarnya, membabat dan mengayun ke tubuh lawan. 'Yeaaa...!"
"Heaaa t...!" Trang! "Ukh!" Jalak Biru terpekik pelan, ketika tangannya terasa kesemutan setelah senjatanya beradu dengan pedang Senapati Kandanu. Meski tubuhnya lebih besar daripada Senapati Kandanu, tetapi ternyata tenaga dalamnya berada setingkat di bawah Senapati Kandanu. Hal itu dirasakannya, setelah saling beradu kekuatan dalam benturan.
Mata Jalak Biru membelalak, hampir tak percaya dengan apa yang terjadi.
Senapati Kandanu mendengus sengit, kembali memutar pedangnya dengan jurus pamungkas 'Rayuan Angin Gunung'. Pedang di tangannya bagaikan mengalun, laksana angin yang tertiup ke pegunungan, lalu turun dengan desingan yang menggiris hati.
Jalak Biru tersentak. Hatinya merasa tergetar melihat jurus yang kini dilakukan si Maean Kaligis.
Sungguh tak menyangka kalau Senapati Kandanu telah menguasai jurus yang hebat itu. Perpaduan antara jurus angin bergerak dengan langkah harimau.
"Hm, rupanya dia memang bukan sembarangan senapati!" gumam Jalak Biru dalam hati, dengan mata menatap tak berkedip pada lawannya yang bergerak dalam jurus 'Rayuan Angin Gunung'nya.
"Bersiaplah, Jalak Biru!" dengus Senapati Kandanu.
"Aku telah siap!" sahut Jalak Biru.
"Bagus! Yeaaa...!"
"Heaaa...!" Keduanya kembali bergerak, melakukan serangan. Bayi yang berada di gendongan Senapati Kandanu seakan mengerti kalau ayahnya sedang bertarung. Bayi itu tak menangis, malah tersenyum.
Seakan-akan ingin memberi semangat pada ayahnya untuk menumpas lawan. Hal itu juga yang membuat Senapati Kandanu semakin bersemangat. Dia bergerak laksana seekor harimau marah, disertai dengan babatan pedangnya yang semakin cepat.
"Yeaaa...!" Wut! Wut! Pedang di tangan Senapati Kandanu terus berputar cepat, kemudian dilanjutkan dengan tusukan dan babatan.
Melihat serangan lawan yang sangat cepat, Jalak Biru segera mengubah jurusnya. Dengan jurus 'Jalak Merentang Sayap Mematuk' dia melesat cepat. Kapak besar di tangannya diangkat tinggitinggi, siap untuk membelah tubuh lawannya.
"Yeaaa...!" Wrt! Trang! Benturan dua senjata terjadi, tapi serangan tetap berlangsung terus.
Trak! Wrt! "Ih! Celaka...!" pekik Jalak Biru, ketika senjatanya terpenggal pedang Senapati Kandanu.
Senapati Kandanu semakin buas, menyaksikan lawan sudah tak bersenjata lagi. Pedang di tangannya terus memburu, membabat, dan menusuk dengan cepat. Hal itu membuat Jalak Biru semakin kewalahan. Dia hanya mampu mengelak dan melompat ke sana kemari.
"Heaaa...!" Wrt! Bret! "Aaakh...!" Jalak Biru menjerit panjang, ketika perutnya yang gendut terbabat pedang Senapati Kandanu. Darah muncrat keluar, tubuh Jalak biru terhuyung ke belakang dengan mata membelalak.
"Kau..."! Akh...!" Tubuh Jalak Biru akhirnya ambruk lalu tewas.
Darah bersimbah, keluar dari perutnya yang luka lebar.

***

Sementara itu, warga desa yang menghadapi Jalak Kuning kini semakin berkurang jumlahnya.
Warga yang semula ada dua puluh lima orang, kini tinggal sepuluh. Mayat-mayat warga desa telah bergelimpangan, menemui ajal tersambar kapak besar di tangan Jalak Kuning.
Jalak Kuning yang semakin bertambah beringas terus menyerang. Kapak besarnya terus terayun dan membelah tubuh lawan.
"Heaaa...!" Crak! "Aaa...!" Kembali terdengar jeritan kematian dari warga desa yang tersambar kapak besar Jalak Kuning. Darah semakin membanjiri tempat pertarungan. Namun, warga desa bagaikan tak takut sedikit pun. Mereka terus bergerak menyerang, seakan telah siap untuk mati.
"Serang terus...!" Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara perintah. Diikuti suara derap kaki kuda dan derap lari orang menuju ke tempat itu Seketika mereka memandang ke asal suara itu. Nampak prajurit kerajaan yang dipimpin Senapati Braja datang.
Mereka dalam jumlah yang cukup besar.
Tergetar hati keempat orang lawan, melihat prajurit-prajurit Kerajaan Mandra Kulawa berdatangan. Mereka hendak lari, tapi dari arah selatan terdengar suara perintah untuk menyerang.
"Jangan takut! Kami datang...!" teriak seseorang yang tiada lain Adipati Branjang memerintah pada keempatnya agar tidak lari.
Nampaknya Adipati Branjang yang sudah terpengaruh Ki Angkara, kembali bermaksud melakukan pemberontakan.
"Serang...!"
"Hadang mereka...!" teriak Senapati Braja.
Tak terelakkan lagi, pertarungan sengit antara dua kekuatan besar itu pun terjadi. Kini halaman kedai dan sekelilingnya semakin riuh. Suara gaduh pertarungan dua prajurit yang berusaha saling bantai satu sama lain.
Pendekar Gila yang melihat akan terjadi banyak korban, segera mempercepat serangannya pada tiap lawan. Dengan menggunakan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa' Pendekar Gila kini melabrak tiga orang law&nnya.
"Heaaa...!"
"Eits! Heaaa...!" Pertarungan semakin seru, karena Tiga Demit Cacat merasa diberi semangat dengan kehadiran prajurit Kadipaten Branjang. Ketiganya tak kalah cepat, menyerang ke arah Pendekar Gila.
Wrt! Si Tangan Baja menyerang dengan menghantamkan tangan bajanya ke tubuh Sena.
Namun, dengan cepat Pendekar Gila berkelit ke samping, lalu melesat ke atas laksana terbang, kemudian kembali menukik dengan kedua kaki langsung menginjak pundak si Tangan Baja.
Trep! "Hi hi hi..! Enak sekafi berdiri di pundakmu, Lintah Sawah!" kata Sena sambil menari-nari di atas pundak si Tangan Baja yang terus berusaha menyerang ke atas. Namun, dengan enaknya Pendekar Gila menangkis dan memukul "Heaaa...!" Trep! "Hih! Pertarungan keduanya terus terjadi. Setiap kali si Tangan Baja menyerang, dengan cepat Pendekar Gila menangkap dan menangkisnya.
Melihat temannya dalam kesulitan, si Kaki Baja dan si Leher Patah menggeram marah.
Kemudian keduanya melesat menyerang Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Si Kaki Baja dengan tendangannya yang secepat kilat, sedangkan si Leher Patah menyerang dengan tombak cakranya.
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa terbahak- bahak sambil menggaruk-garuk kepala, kemudian menari-nari, membuat kedua penyerangnya semakin geram. Namun, ketika keduanya semakin dekat, dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Sehingga....
Degk! Crak! "Aaakh...!" Si Tangan Baja terpekik keras ketika kepala dan dadanya terkena serangan kedua temannya.
Kepalanya tertusuk tombak cakra di tangan si Leher Patah. Sedangkan dadanya terkena tendangan si Kaki Baja. Dari mulut si Tangan Baja, muncrat darah segar. Matanya mendelik.
"Kalian..."! Ukh!"
"Heh"!"
"Hah"!" Kedua temannya terbelalak kaget, menyaksikan si Tangan Baja sekarat. Keduanya tak menyangka, kalau serangan mereka mengenai temannya. Sedangkan Pendekar Gila kini tertawa terbahak-bahak di atas po?hon.
"Hua ha ha...! Kenapa kalian membunuh teman" All ah ah, jahat sekali kalian...!" seru Sena sambil memonyongkan mulut, mengejek si Kaki Baja dan si I rlier Patah yang semakin beringas.
"Bocah edan! Turun kau...!" seru si Leher Patah sengit.
"Aha, naiklah kalau mau!" jawab Sena dengan tertawawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar. Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Si Kaki Baja dan si Leher Patah melesat menyerang dari dua arah ke atas. Tubuh mereka melesat, kemudian menghantam Pendekar Gila bersamaan. Saat itu pula, ketika jarak mereka semakin dekat, Pendekar Gila meneelat ke atas dan turun. Maka....
"Heaaa...!" Brak! Glarrr! "Aaa...!"
"Wuaaa...!" Si Kaki Baja dan si Leher Patah menjerit keras. Tubuhnya keduanya terlontar ke belakang dengan mulut memuncratkan darah akibat serangan mereka sendiri. Wajah si Kaki Baja morat-marit terkena sabetan senjata si Leher Patah. Sedangkan si Leher Patah dadanya jebol, terkena tendangan si Kaki Baja. Keduanya ambruk ke tanah dengan keadaan sekarat, lalu diam tak berkutik. Mati! Melihat teman-temannya tewas, Jalak Kuning dan para prajurit Kadipaten Branjang hendak kabur. Tetapi Pendekar Gila dengan cepa menangkap salah seorang prajurit Kadipaten Branjang.
"Aha, katakan di mana Ki Angkara berada"!" bentak Sena dengan geram.
"Ampun, jangan bunuh aku!" ratap prajuri Kadi?paten Branjang itu dengar wajah pucat.
"Cepat katakan! Di mana Ki Angkara bersembunyi!" bentak Senapati Kandanu sambil menempelkan pedangnya di leher prajurit itu.
"Ba..., baik. Akan aku katakan. Tetapi ampunilah aku," ratap prajurit itu.
Baik. Ayo katakan!" dengus Senapati Braja tak sabar.
"Dia...." Belum juga prajurit itu selesai berbicara, tibatiba brhuapa buah senjata rahasia menderu dan menghunjam di dadanya.
"Akh...!"
"Kurang ajar. Lintah darat keparat ! Jangan lari...!" seru Sena yang melihat bayangan merah berkelebat. Kita ikuti!" ajak Senapati Kandanu.
Para prajurit Kerajaan Mandra Kulawa pun segera bergerak untuk mengikuti Pendekar Gila yang melesat mengejar Ki Angkara.
Suasana di depan kedai kembali sepi. Hanya mayat-mayat bergelimpangan tampak berlumuran darah lalam keadaan mengenaskan.
Matahari telah condong ke arah barat, dengan membawa semilirnya angin sore.

***

Sesosok bayangan melesat tepat ketika kaki Iblis Berkedok Dewa hendak menglnjak bayi itu.
Wusss...! Crap! "Kurang ajar! Siapa yang berani mengambil bayi itu"!" dengus Ki Angkara, ketika bayi merah yang hendak diinjaknya telah lenyap, bersamaan berkelebatnya sesosok bayangan yang melesat begjtu cepat "Hua ha ha...! Rupanya kau benar-benar lintah keparat! Terhadap bayi saja, kau masih tega!" seru Pendekar Gila yang telah bertengger pada cabang sebuah pohon sangat besar sambil menggendong bayi itu.
"Cup, Sayang. Diam...! Tenang, akan kujinakkan lintah keparat itu."
"Cuih! Jangan banyak bicara kau, Bocah Edan! Heaaa...!" Iblis Berkedok Dewa langsung menghantamkan sebuah pukulan jarak jauh yang bernama 'Gandra Iblis', terarah ke tubuh Pendekar Gila yang bertengger di atas cabang pohon.
Slats! Selark sinar merah kekuningan melesat cepat memburu Pendekar Gila. Melihat serangan dahsyat itu, Sena segera melompat dari cabang pohon tempatnya bertengger Glarrr! Brak! Sebuah ledakan menggelegar, diiringi hancurnya cabang pohon besar itu, terhantam sinar merah dari tangan Iblis Berkedok Dewa. Sementara Pendekar Gila telah bertengger di atas sebuah batu besar.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil memonyongkan mulutnya.
"Aha, hebat juga kau, Lintah Sawah! Hi hi hi...!"
"Setan gila, kubunuh kau! Heaaa...!" Ki Angkara kembali melontarkan pukulan jarak jauh menyerang Pendekar Gila. Serangkum sinar biru berkilauan melesat begitu cepat. Itulah pukulan 'Kelabang Maut Seribu', yang mengandung racun ganas.
"Aha, rupanya kau mengajak main-main, Ki. Ba ik...! Hi hi hi...!" ujar Pendekar Gila seraya menghentakkan telapak tangan kanan, setelah menariknya ke belakang terlebih dahulu. Dan...
Wusss...! Dari telapak tangan Pendekar Gila, keluar serangkum angin kencang yang melesat begitu cepat. Angin itu bergulung-gulung bagaikan badai, hingga menerbangkan dedaunan. Bahkan beberapa batang pohon besar tumbang, terhempas pukulan 'lnti Bayu' itu. Angin membadai itu terus melesat dan bergulung-gulung menangkis sinar biru.
Werrrs...! Brats! "Hah"!" Iblis Berkedok Dewa tersentak kaget, ketika sinar biru yang terhantam pukulan 'lnti Bayu' berbalik melesat ke tubuhnya. Dengan cepat lelaki tua berjubah merah itu melesat, lalu lenyap di antara pepohonan Hutan Welir.
Slats! Glarrr...! Brak! Suara menggelegar terdengar, lalu beberapa batang pohon besar bertumbangan. Sekejap pohon itu mengepulkan asap, bagaikan terbakar.
Kemudian kering kerontang menghitam. Sungguh dahsyat pukulan yang dilontarkan Ki Angkara, itu sebabnya dirinya lebih mengutamakan keselamatan bayi dalam gendongannya.

֍::::::֍| 8 |֎::::::֎

Cahaya bulan purnama menerangi sekitar Lembah Tengkorak. Sebuah lembah yang tak pemah diinjak manusia, karena dikenal angker. Menurut cerita, Lembah Tengkorak didiami makhluk halus yang jahat. Namun di tengah cahaya temaram bulan, nampak se- sosok bayangan merah berkelebat menuju lembah itu Sosok bayangan merah yang tak lain Iblis Berkedok Dewa itu berhenti di dekat sebuah jurang. Entah mengapa Ki Angkara memilih Lembah Tengkorak, dan berhenti di pinggir jurang.
Kemudian matanya menatap jauh ke utara, tempat dia tadi berasal.
"Garpala...! Garpala...! Apakah kau mendengar panggilanku"!" seru Ki Angkara berteriak-teriak ke bawah jurang.
"Ha ha ha...! Aku mendengar! Ada apa, Angkara"!" terdengar suara berat dan menggema dari dalam jurang. Itu mungkin suara Garpala. Dari suaranya yang terdengar begitu keras dan menggema, jelas- dia bukan tokoh sembarangan.
"Keluarlah, Garpala! Aku membutuhkan bantuan mu," seru Ki Angkara.
"Hm, kau mengganggu tidurku saja, Angkara.
Ada apa...?" bersamaan dengan pertanyaan itu, sesosok tubuh tinggi besar melesat ke atas dan berdiri di hadapan Ki Angkara. Tinggi makhluk yang dipanggil Garpala ini dua kali lipat dibandlngkan Ki Angkara. Mata makhluk raksasa yang hanya mengenakan celana cawat itu besar berwarna merah dengan alis tebal. Mulutnya menyeringai, dengan hiasan taring yang panjang dan runcing.
Rambutnya kotor dan berantakan. Di tangannya yang besar dan kekar, tergenggam sebuah senjata gada sebesar paha manusia dewasa, penuh dengan duri-duri tajam.
"Ada apa kau memanggilku, Angkara"!" tanya Garpala dengan napas yang terdengar keras.
"Aku butuh bantuanmu."
"Katakan, apa yang harus kulakukan."
"Pendekar Gila mengejarku."
"Hua ha ha...! Dengan bocah edan saja kau takut, Angkara! Hm, mana bocah murid Singo Edan itu"!" tanya Garpala.
"Mungkin sebentar lagi dia sampai, Garpala."
"Bagus! Akan kuremukkan tulang tubuhnya.
Ha ha ha...!" Garpala tertawa terbahak-bahak membuat taringnya yang runcing mencuat ke luar.
"Hua ha ha...! Aha, ada raksasa di sini. Lucu sekali," tiba-tiba dari arah utara terdengar suara Pendekar Gila. Iblis Berkedok Dewa dan Garpala seketika tersentak kaget.
"Dia datang, Garpala."
"Huah, bagus! Bocah edan, keluar kau!" seru Garpala menantang.
"Hadapi aku!"
"Hua ha ha...! Rupanya raksasa dungu!" Bersamaan dengan ucapan itu, sesosok bayangan berkelebat. Tiba-tiba Pendekar Gila telah berdiri sekitar llina tombak di depan Garpala dengan mulut cengengesan.
"Hm, rupanya ini yang bernama Pendekar Gila"!" dengus Garpala dengan mata melotot garang, berwarna merah membara. Napasnya yang mendengus besar, menyentakkan Pendekar Gila.
"Hi hi hi..! Dasar raksasa dungu! Mau saja kau diperalat lintah sawah itu. Ah ah ah, memang kalian sama-sama jahat!" ujar Sena yang membuat Garpala menggeram marah.
"Kurang ajar! Kuhancurkan kepalamu, Bocah Edan!" Wut! Dengan agak membungkuk, Garpala mengayunkan gadanya ke arah Pendekar Gila.
Namun dengan cepat, Sena mencelat ke samping mengelakkan serangan itu.
Bruk! Tanah yang terkena hantaman gada Garpala berhamburan. Kalau saja Pendekar Gila tidak segera berkelit, sudah pasti tubuhnya akan remuk terhantam gada berduri di tangan raksasa itu.
"Hi hi hi...! Dasar raksasa dungu! Aku di sini...!" seru Sena sambil mencibir. Kemudian pantatnya ditunggingkan, meledek Garpala. Hal itu membuat Garpala bertambah marah.
"Ghrrr...! Kuhancurkan tubuhmu, Bocah Edan!" Wut! Garpala kembali menghantamkan gadanya yang besar ke tubuh Pendekar Gila. Namun lagi-lagi dengan cepat Pendekar Gila melesat mengelakkan serangan senjata besar itu. Sehingga tanah yang dipijaknya yang menjadi sasaran.
Bruk! "Ghrrr...! Kau benar-benar membuatku marah, Bocah Edan!" Tangan Garpala bergerak hendak mencengkeram pundak Pendekar Gila. Namun secepat kilat Pendekar Gila mencelat mengelak.
Lalu tertawa terbahak-bahak sambil menghantamkan pukulan ke perut raksasa itu.
Bugk! "He he he...!" Garpala terkekeh, merasa seperti dipijit.
Pukulan yang mampu meremukkan batu sebesar badan kerbau itu tak berarti sama sekali bagi Garpala. Bahkan sambil tertawa terbahak bahak raksasa itu kembali menyerang. Tangannya bergerak menceng-keram ke tubuh Pendekar Gila.
Sementara dari arah utara, bermunculan Senapati Kandanu dan Senapati Braja serta para prajuritnya ke tempat itu. Mereka langsung membantu Pendekar Gila, menyerang Garpala.
Sedangkan si Macan Kaligis dan Senapati Braja langsung menyerang Ki Angkara, dibantu beberapa orang prajurit.
Lembah Tengkorak berubah riuh karena pertarungan itu. Debu-debu dan batu kecil, beterbangan terkena sapuan dan tendangan mereka yang bertarung.
"Ghrrr...! Bagus! Dengan majunya kalian, maka aku akan semakin banyak makan daging manusia!" seru Garpala sambil bergerak menyerang para prajurit yang membantu Pendekar Gila. Gada di tangannya diayunkan, memukul ke arah lawan.
Wrt! Jrt! "Tobaaat...!"
"Wuaaa...!" Dua orang prajurit terkena hantaman gada Garpala Tubuh mereka hancur seketika, terhunjam duri- duri tajam di gada itu. Darah muncrat dari tubuh yang hancur berantakan.
"Ghrrr...!" Garpala kembali mengayunkan gadanya menyam bar para prajurit yang menyerang. Kembali jeritan kematian terdengar dari tiga orang prajurit.
Tubuh mereka terbanting beberapa tombak ke belakang, terhantam pukulan gada Garpala.
"Aha, celaka kalau begini!" gumam Sena dengan kening berkerut, menyaksikan banyaknya korban di pihak prajurit kerajaan.
"Ah, kalau begini terus pasti akan celaka. Prajurit kerajaan tak mampu menghadapi raksasa itu." Pendekar Gila terus berkelebat sambil melontar- kan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' ke arah raksasa Garpala, yang sedang sibuk menghadapi keroyokan para prajurit.
Duk...! Tubuh Garpala tergontai ke belakang, terkena hantaman Pendekar Gila. Mulutnya menyeringai, menunjukkan taringnya yang tajam dan runcing.
Namun, tubuhnya tak mengalami luka sedikit pun.
"Celaka...! Dia kebal terhadap pukulan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan Garpala yang terkena pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' kini semakin marah. Dia langsung mengamuk membabi-buta. Gada berduri di tangannya, menghantam para prajurit yang berada di dekatnya. Wrt! Bug! "Aaakh...!" Jeritan kematian seketika menggema, keluar dari mulut para prajurit yang terhantam gada Garpala yang terus mengamuk.
Pendekar Gila, kuremukkan tubuhmu!" maki Garpala semakin buas. Dia berusaha menyerang kea rah Sena. Tangannya bergerak, berusaha mencengkeram tubuh Pendekar Gila.
Wiit! 'Eits... Hih...!" Sambil melompat, Pendekar Gila melontarkan pukulan 'lnti Bayu'. Seketika angin kencang menderu menyerbu tubuh Garpala. Tubuh besar raksasa itu terdorong kuat ke belakang.
"Ghrrr...! Kubunuh kau, Bocah Edan!" Wusss! Garpala menghantamkan gadanya ke tubuh Sena, tetapi dengan cepat dapat dielakkan.
Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya, lalu dihantamkan untuk memapak gada besar itu.
Bletak...! Glarrr...! Suara gemeretak keras terdengar dari benturan dua senjata. Menyaksikan kejadian itu, Garpala tersentak kaget.
"Hah"! "Hancur..."!" gumam Garpala bengong, melihat gadanya hancur berantakan setelah beradu dengan suling kecil di tangan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Raksasa dungu! Tolol! Pergi dari sini, sebelum kami membuat tubuhmu menjadi sate!" ancam Sena dengan terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ghrrr...! Mulutmu lancang sekali, Bocah Edan! Hmh...!" Dengan mendengus sengit, Garpala kembali melancarkan serangan ke arah Pendekar Gila dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya, memu kul ke arah prajurit yang menyerang. Wrt! "Eits!" Pendekar Gila melompat dan mengelitkan serangan, kemudian balas menyerang dengan ajian 'Inti Api' ke wajah raksasa itu. Para prajurit yang tak dapat menghindar, terhantam sambaran tangan Garpala. Tiga orang prajurit mati dalam keadaan tubuh remuk, sedangkan lima orang lainnya terpental lalu jatuh, tapi hanya pingsan.
Wusss! Gulungan api mendera ke wajah Garpala, membuat raksasa itu tersentak kaget. Matanya membelalak merah, melihat gulungan api menderu ke wajahnya. Cepat-cepat Garpala menghempaskan napasnya, meniup gulungan api itu.
Wusss...! Serangkum angin menderu, membuat gulungan api itu berbalik melesat ke arah Pendekar Gila.
Beruntung Pendekar Gila cepat berkelit.
"Eits! Raksasa sialan! Ini untukmu! Heaaa...!" Pendekar Gila segera mengarahkan kepala Naga Sakti ke wajah Garpala Kemudian ditiupnya dengan suara keras dan melengking.
Slats! Sepasang sinar merah melesat keluar dari mata kepala Naga Sakti, dan terus meluncur cepat memburu Garpala. Raksasa itu tersentak dengan mata membelalak lebar.
"Hah..."!" Jret! "Tobaaat...!" Garpala menjerit keias, ketika matanya terkena sepasang sinar mata Naga Sakti.
Tubuhnya langsung terpental ke jurang dengan jeritan menggelegar.
Brukkk...! Suara keras jatuhnya tubuh Garpala, mampu mengguncang Lembah Tengkorak. Tubuh raksasa itu terkapar di dasar jurang dengan kepala hancur setelah terhempas di batu cadas besar.

***



֍::::::֍| 9 |֎::::::֎

Sementara itu, pertarungan antara Ki Angkara melawan dua senapati dibantu lima prajurit kerajaan, masih berlangsung seru.
Nampaknya, meski dikeroyok tujuh orang, Ki Angkara sulit untuk dikalahkan. Seranganserangannya malah membuat Senapati Kandanu dan Senapati Braja terkejut Malah kedua panglima itu dibuat kalang-kabut dengan serangan-serangan dahsyat Iblis Berkedok Dewa. Sebenarnya Macan Kaligis pun memiliki jurus yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan jurus 'Cakar Iblis Beracun' yang tengah digunakan lawannya. Namun 'Cakar Ib6s Beracun' yang dilontarkan Ki Angkara mengandung racun ganas, membuat Senapati Kandanu dan Senapati Braja tak mampu berbuat banyak Tubuh mereka belum sempat menghindar, hawa racun yang menyesakkan dada telah menyengat. Hal itu mengakibatkan keduanya mengurungkan serangan yang hendak dilancarkan.
"Mampuslah kalian. Heaaa...!" Ki Angkara yang melihat kedua lawannya nampak tidak berani melakukan serangan dengan jarak dekat, kini semakin berada di atas angin.
Tubuhnya berke?lebat cepat, menyerang dengan cakaran-cakaran yang mengandung racun ganas.
Wrt! "Celaka, Kakang Kandanu! Kita tak bisa begini terus-menerus. Dia mengeluarkan racun ganas!" gumam Senapati Braja dengan mata membelalak, menyaksikan serangan lawan yang sangat membahayakan.
Senapati Kandanu bagaikan tak peduli dengan ucapan Senapati Braja. Dan dengan nekat pedangnya dicabut, lalu bergerak menyerang memapaki serangan Ki Angkara.
Hawa racun yang keluar dari serangan tangan Ki Angkara, menyentakkan Senapati Kandanu.
Namun hatinya yang telah terbakar dendam itu bagaikan tak menghiraukan keadaan. Dengan masih menggendong anaknya, Maean Kaligis terus melakukan pedawanan dengan serangan cepat "Heaaa...!"
"Celaka! Kakang Kandanu...!" Senapati Braja berusaha menghalangi, tetapi Senapati Kandanu telah melesat dengan pedangnya.
Pendekar Gila yang menyaksikan hai yang membahayakan itu, dengan cepat melesat.
Tubuhnya bersalto sambil menghantamkan pukulannya ke tubuh Ki Angkara.
"Heaaa...!" Glarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika dua telapak tangan mereka saling beradu. Ki Angkara terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang dengan mata terbelalak.
"Kau..."!"
"Aku lawanmu, Ki Angkara!" dengus Sena yang masih berdiri tegak dengan senyum menyeringai.
"Kanjeng Senapati, kurasa iblis ini tak bisa dibiarkan lama-lama." Senapati Kandanu hanya mampu mengangguk.
Dia dan Senapati Braja memang merasa kewalahan menghadapi Iblis Berkedok Dewa, yang memiliki beberapa pukulan andalan berbahaya. Dalam beberapa jurus saja lelaki tua berjubah merah itu telah berhasil menggempur beberapa prajurit.
"Aha, kau memang iblis, Ki Angkara.
Perbuatanmu sangat biadab. Dengan bayi saja, kau akan tega membunuhnya," kata Sena dengan mata tajam, me?natap lekat ke wajah Ki Angkara. Lelaki tua itu masih mematung dengan mata tajam membalas tatapan Pendekar Gila.
"Cuih! Jangan kira kau akan kebal terhadap racunku, Pendekar Gila! Heaaa...!" Ki Angkara yang merasa racunnya mampu membinasakan Pendekar Gila, langsung melesat menyerang dengan jurus andalannya, 'Cakar Iblis Beracun'. Tangannya bergerak dengan cepat, mencakar ke tu buh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena meliukkan tubuhnya bagaikan menari, mengelakkan serangan yang dilancarkan Iblis Berkedok Dewa itu.
"Hi hi hi...! Rupanya kau gesit juga di darat.
Aha, padahal biasanya hidup di sawah," ejek Sena, memancing amarah lawan "Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa...!" Seketika tangan Ki Angkara mengeluarkan asap biru, bergulung-gulung menyelimuti tempat pertarungan. Namun, asap beracun itu bagaikan tak berarti sama sekali bagi Pendekar Gila yang memang kebal terhadap semua jenis racun.
Ditembusnya asap beracun itu, kemudian dengan cepat menyerang dengan tepukan ke dada lelaki tua itu.
"Heaaa...!" Wrt! "Heh..."!" Ki Angkara tersentak. Kaki kirinya segera ditarik ke samping. Lalu tubuhnya didoyongkan ke kanan, mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat kaki kanannya menendang ke dada Pendekar Gila.
"Yeaaa...!" Wrt! Melihat Ki Angkara menendang, Pendekar Gila langsurg melompat ke atas. Kemudian dengan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa' Sena menyerang. Kedua tangannya bagaikan cengkeraman yang kuat, mengarah ke wajah Ki Angkara.
"Eits!" Ki Angkara menyambarkan cakaran ke atas, ketika tangan Pendekar Gila hendak menceng?keram wajahnya.
Plak! Dua telapak tangan saling beradu, membuat kaki Ki Angkara tergetar. Sedangkan Pendekar Gila terpental, berjumpalitan tiga kali di udara, lalu dengan ringannya mendarat. Tawanya kembali menggelegar keras, diikuti gerak-gerik konyolnya.
"Cuih! Bedebah! Heaaa...!" Ki Angkara yang semakin murka, kembali melesat dengan jurs 'Pukulan Iblis Berbisa'.
Tangannya menghitam legam, bagaikan sebuah arang. Hawa panas menyengat, bagaikan hendak memanggang sekeliling tempat itu.
"Pukulan 'lnti Salju'. Heaaa...!" Pendekar Gila mengangkat kedua tangan ke atas, lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, ditariknya ke bawah dan ditaruh di pinggang.
Kemudian dengan didahului pekik menggelegar, tubuhnya melesat menyerang.
"Heaaa...!" Dua orang dengan jurus-jurus pamungkas andalan masing-masing, saling menyerang. Hawa panas dan dingin yang dikeluarkan keduanya beradu menjadi satu. Seakan kedua hawa murni itu hendak saling mengalahkan.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!" Tubuh orang-orang yang berada di Lembah Tengkorak tergetar merasakan pengaruh dari pertarungan dua tenaga dalam yang sama-sama mengeluarkan hawa mumi.
Rintik hujan salju yang turun dan langit, terus berjatuhan berusaha mengurung tubuh Ki Angkara.
Namun, orang tua itu dengan cepat menggerakkan tangannya yang sudah disaluri ajian 'Pukulan Iblis Ber?bisa'. Salju-salju itu meleleh, tersapu kibasan tangan Ki Angkara.
"Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa...!" Tubuh Ki Angkara yang sudah terbebas dari salju, melesat menerjang Pendekar Gila dengan pukulan maut. Melihat hal itu, Sena segera mencabut Suling Naga Sakti. Kemudian dengan meniup suling, tubuhnya melesat sambil mengarahkan mata Naga Sakti ke kaki Ki Angkara.
Slats! Jret! Jret! "Akh!" Ki Angkara memekik tertahan, ketika kakinya terkena hantaman sinar merah yang keluar dari sepasang mata Naga Sakti. Lututnya seketika le mas, membuat Ki Angkara terjatuh berlutut, Ki Angkara mengerang, berusaha bangkit Namun kedua lututnya yang terkena hantaman sepasang sinar merah itu, bagaikan membatu dan tak dapat digerakkan.
"Bocah edan, lepaskan totokanmu! Kita bertarung sampai mati!" dengus Ki Angkara penuh amarah, dengan mata membara merah. Dia berusaha menghantamkan pukulan, tetapi kekuatannya bagaikan hilang. Tak ada tenaga sama sekali.
"Hi hi hi...! Lintah darat keparat, aku bukan berurusan denganmu. Masih ada yang hendak berurusan denganmu!" seru Sena.
"Kanjeng Senapati, si lakan..!" Senapati Kandanu mendengus sengit Dengan pedang terhunus, kakinya melangkah mendekati Ki Angkara yang bertambah ketakutan.
"Tidak! Jangan...! Ampuuun...!" ratap Ki Angkara dengan wajah pucat pasi, membiaskan rasa takut yang tiada terkira.
"Ki Angkara! Aku bersumpah, akan mencungkil kedua biji matamu. Akan mengambil jantungmu yang busuk! Heaaa...!" Senapati Kandanu mengangkat pedang ke atas, lalu....
Crat! Crat! "Aaa...!" Ki Angkara melolong setinggi langit, ketika ujung pedang Senapati Kandanu mencungkil kedua biji matanya. Darah keluar dari kelopak mata yang sudah berlubang. Tubuh berjubah merah itu menggelepar-gelapar menahan sakit yang tak terkira, dengan kedua tangan memegangi matanya yang telah keluar.
"Kini jantungmu, Ki!"
"Tidaaak...! Jangan...!" Ki Angkara meratap, me- mohon ampun. Namun Senapati Kandanu tak peduli. Kembali pedangnya diangkat Lalu....
Wrt! Crab! Bret! "Aaa...!" Ki Angkara kembali melolong selinggi langit.
Dan lolongan kali ini, merupakan yang terakhir.
Dadanya terbelah lebar. Saat itu pula, Senapati Kandanu mencengkeramkan tangannya ke jantung Ki Angkara. Ditariknya jantung lelaki tua berhati iblis itu sampai putus.
Bret! "Istriku...! Semoga kau dan orang-orang yang menjadi korban iblis ini tenang di alam sana...!" teriak Senapati Kandanu sambil mengangkat jantung Ki Angkara ke atas tinggi-tinggi.
Semua terdiam. Tak ada yang berkata sepatah kata pun.

***

Malam menjelang pagi dengan hawa dingin, menjadi saksi akhir dari kehidupan Iblis Berkedok Dewa. Satu persatu, mereka meninggalkan Lembah Tengkorak yang akhirnya sepi. Tinggal Senapati Kandanu, Senapati Braja, dan Sena yang masih berdiri mematung.
"Kita pulang, Kakang Senapati," ajak Senapati Braja, menyentakkan Senapati Kandanu dari lamunan.
"Oh...!" desah Senapati Kandanu setengah mengeluh.
"Sena, Baginda tentunya akan memberimu hadiah. Man...!" ajak Senapati Kandanu.
"Aha, terima kasih. Sampaikan saja salamku pada Baginda," jawab Pendekar Gila.
"Aku akan meneruskan pengembaraanku."
"Tidakkah kau ingin menetap di istana, Sena?" tanya Senapati Braja.
"Aha, kurasa tidak. Atau mungkin belum saatnya. Tugasku masih banyak. Nah, selamat tinggal...!" Usai berkata begitu, Pendekar Gila melesat meninggalkan kedua senapati yang hanya mampu berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh pendekar yang arif dan bijaksana...!" gumam Senapati Braja sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya. Belum pernah kutemui pendekar yang tanpa pamrih seperti dia," sambung Senapati Kandanu dengan mata masih menatap kepergian Pendekar Gila dari hadapan mereka.
Di ufuk timur, tampak bias merah di kaki langit. Pertanda pagi hampir menjelang. Kedua senapati itu menghela napas panjang, kemudian melangkah meninggalkan Lembah Tengkorak.
Meninggalkan mayat- mayat yang bergelimpangan.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Dendam Mahesa Lanang --oo0oo-- Tragedi Berdarah Di Ponorogo


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.