Life is journey not a destinantion ...

Dendam Mahesa Lanang

INDEX PENDEKAR GILA
Pengkhianatan Joko Galing --oo0oo-- Murka Sang Iblis

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit


::↨┌ 1 ┘↨::

Malam baru saja tiba. Bulan purnama bersinar terang di langit yang biru tanpa awan. Bocah-bocah kecil masih tampak bermain petak umpet. Suara tawa ceria menyemarakkan suasana malam itu. Mereka berlarian ke sana kemari, saling kejar dan bersembunyi di pelataran rumah.
Sementara itu, di rumah Tarbiun nampak banyak orang berkunjung. Sepertinya ada hiburan ronggeng di rumah juragan itu. Sudah menjadi kebiasaan, jika besok akan diadakan karapan sapi, pemilik sapi pasti akan mengadakan suatu kenduri yang bertujuan untuk memanjatkan doa kemenangan bagi pertandingan besok. Hal itu juga dilakukan Tarbiun.
"Silakan, Cak. Jangan malu-malu!" kata Tarbiun mempersilakan teman-temannya yang datang untuk turut berpesta.
"Terima kasih," sahut para tamu yang rata-rata dari kalangan persilatan. Mereka segera menempatkan diri di kursi-kursi panjang yang telah disediakan.
Ronggeng belum dimulai, masih terlalu sore.
"Bagaimana pertandingan besok" Apa sapimu telah siap, Biun...?" tanya Ki Jenar, tokoh tua di Desa Cadas Putih. Hampir setiap akan diadakan karapan sapi, Ki Jenar selalu diundang. Lelaki tua itu diminta untuk memberi doa dan memimpin upacara sakral, tu-juannya memohon kemenangan bagi sapi yang akan dipertandingkan.
"Sudah, Ki. Namun begitu, saya pikir kurang sempurna jika belum diberi jejampi," jawab Tarbiun dengan tubuh membungkuk hormat. Meski Tarbiun seorang saudagar kaya di Desa Cadas Putih, sikapnya sangat hormat terhadap Ki Jenar. Hal itu bukan saja karena Ki Jenar dianggap sesepuh di desa itu, melainkan bantuan yang sering diberikan pada dirinya. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun yang selalu membawa tongkat bergagang kepala ular itu telah banyak memberikan bantuan kepada Tarbiun. Warga Desa Cadas Putih mengenal Ki Jenar sebagai dukun.
Kemenangan demi kemenangan diperoleh Tarbiun atas bantuan jejampi yang diberikan Ki Jenar.
Tarbiun pun percaya, kalau lelaki tua yang selalu berpakaian coklat muda dengan ikatan kain membentuk sorban di kepala itu memiliki ilmu yang tinggi.
"He he he...! Bisa saja kau, Biun! Sebenarnya aku ini bukan apa-apa. Aku manusia biasa sepertimu.
Atas kehendak Hyang Widi saja, sapimu menang. Di samping itu, tahun kemarin sapimu memang hebat," gumam Ki Jenar sambil terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang kurus dan agak bungkuk itu, terguncangguncang oleh tawanya. Matanya pun semakin menyipit, urat pipinya tertarik karena suara tawanya.
Tarbiun turut tertawa mendengar suara tawa Ki Jenar yang lucu sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sedangkan kedua centeng Tarbiun, hanya nyengir.
"Apa bisa kita lakukan sekarang, Ki?" tanya Tarbiun.
"Heh, bisa juga," jawab Ki Jenar.
"Kalau begitu, biarlah kami siapkan semuanya, Ki."
"Ya ya...! Siapkan saja semua seperti biasanya," tutur Ki Jenar.
"Kau tentu masih ingat apa yang harus disiapkan untuk pemberian jampi."
"Ingat, Ki." Tarbiun segera melangkah meninggalkan tempat itu. Namun Ki Jenar kembali memanggilnya. Tarbiun langsung menghentikan langkahnya, dan berbalik ke arah Ki Jenar.
"Ada apa lagi, Ki?"
"Ke sini sebentar!" perintah Ki Jenar.
Tarbiun menurut, mendekati Ki Jenar, meski tak tahu apa yang sebenarnya hendak dikatakan orang tua itu.
"Biun, apa penari ronggengnya cantik-cantik?" bisik Ki Jenar.
"Oh, jelas, Ki!" jawab Tarbiun seraya berseru.
Mata Ki Jenar melotot, memandang tajam Tarbiun yang tersentak kaget. Dia tak mengerti, mengapa orang tua itu seakan marah kepadanya.
"Ada apa, Ki?" tanya Tarbiun masih belum mengerti.
"Jangan berisik!" bentak Ki Jenar masih berbisik.
"Ooo...," gumam Tarbiun sambil tersenyum-senyum.
"Bawa ke kamar satu, ya?" pinta Ki Jenar.
"Beres, Ki."
"Nah, sekarang kau siapkan semuanya!" perintah Ki Jenar.
Tarbiun tersenyum, lalu segera beranjak dari tempat itu, meninggalkan Ki Jenar.
"Dasar orang tua genit! Sudah tua masih saja minta yang aneh-aneh," gumam Tarbiun setengah menggerutu.
"Terlalu juga Ki Jenar itu, sudah punya anak istri masih mau melalap daun muda." Tarbiun melangkah sambil menggelenggelengkan kepala, masuk ke rumah diikuti kedua centengnya. Dia akan mempersiapkan sesaji yang digunakan untuk mengadakan upacara sakral, pemberian jampi-jampi kepada sapinya.
Tak lama kemudian, Tarbiun dengan kedua orang centengnya telah kembali dengan membawa sesaji di atas tiga nampan besar. Dua nampan itu berisi nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya. Sedang yang satu berupa sepotong kepala kerbau yang tak dimasak.
"Sudah, Ki. Semua sudah siap," ujar Tarbiun setelah sampai di depan Ki Jenar.
"Ayo, bawa ke kandang!" perintah Ki Jenar pada Tarbiun dan kedua centengnya agar membawa sesaji ke kandang sapi yang akan diperlombakan besok Tarbiun dan kedua centengnya segera membawa sesaji ke kandang sapi, diikuti para undangan yang hendak menyaksikan jalannya upacara.
Setelah sampai di kandang sapi, Ki Jenar segera mengambil tempat untuk memimpin upacara sakral itu. Ketiga sesaji itu diletakkan sekitar dua tombak di depan sapi yang akan diperlombakan. Semua yang turut hadir di sekitar kandang sapi diam tanpa suara. Mereka dalam keadaan khidmat.
Sementara, Ki Jenar telah duduk bersila dengan mata terpejam rapat. Mulutnya komat-kamit, mengucapkan mantera yang sulit diikuti.
"Golapa golani gahgong.... Kias-kias sapi ge-long.... Karap kamenangana sakarap sapikalasa... Tarbiun...." Sesudah mengucapkan kata-kata aneh dan sulit dimengerti sebanyak tujuh kali, Ki Jenar meniupkan mulutnya sebanyak tiga kali ke sapi itu. Aneh sekali! Setelah tertiup, sapi itu menggeram. Seolah-olah merasakan ada sesuatu yang berpengaruh di dalam tubuh dan nalurinya. Mata binatang itu ter-belalak menatap tajam pada Ki Jenar. Kemudian terdengar dengusan beberapa kali disertai gerakan kaki yang liar dan aneh.
Orang-orang tersentak kaget, menyaksikan dengan rasa tegang keanehan itu. Mereka heran mengapa sapi itu mendadak berubah ganas dan beringas.
"Ki...!" desis Tarbiun dengan mata membelalak, menyaksikan keanehan yang dialami sapinya. Matanya sesaat memandang ke arah Ki Jenar yang telah bangkit dari duduk silanya. Lelaki tua berpakaian coklat itu tersenyum dingin membalas tatapan Tarbiun yang keheranan.
"He he he..., tenang! Tak ada apa-apa," ujar Ki Jenar sambil terkekeh. Kemudian kakinya melangkah mendekati sapi yang masih beringas. Seperti ada sesuatu yang tengah dirasakan binatang itu.
Orang-orang semakin tegang, takut kalau sapi itu mengamuk dan menerjang lelaki tua bertubuh bungkuk itu. Namun sambil terkekeh-kekeh, Ki Jenar dengan tenang melangkah menghampiri binatang yang masih mendengus-dengus itu.
"Tenang..., tenanglah, Manis! Jangan takut!" ujar Ki Jenar dengan tangan membelai-belai kepala sapi itu. Kejadian aneh kembali terjadi. Sapi yang tadi kelihatan beringas dan liar itu mendadak menurut.
Malah melenguh lirih, seakan-akan mengerti dan takut kepada Ki Jenar. Matanya yang garang, berubah redup. Bahkan kini sapi itu menundukkan kepalanya, takluk pada belaian tangan lelaki tua bertongkat kepa-la ular itu.
"Besok kau harus menang, Lanang!" gumam Ki Jenar berbisik di telinga sapi milik Tarbiun yang bernama Lanang.
"Kau harus menunjukkan pada semua orang, bahwa kaulah yang paling gagah dan kuat!"
"Hmmm... oaaa...!" Sapi itu melenguh, seolah-olah mengucapkan sesuatu yang membuat Ki Jenar terkekeh sambil mengangguk-angguk. Tangannya masih mengelus-elus kepala binatang bertubuh kekar dan besar itu.
"Semua sudah beres," ujar Ki Jenar sambil melangkah diikuti orang-orang meninggalkan kandang sapi. Setelah selesai acara pemberian jampi-jampi, acara hiburan ronggeng pun dimulai. Para tamu yang sejak tadi menunggu, langsung turun, menari dengan para ronggeng sesuai dengan pilihan. Mereka menari dengan gembira. Sesekali istirahat sambil menenggak tuak. Suasana yang semula dingin, seketika berubah hangat. Beberapa tamu telah mabuk karena tuak dan kecantikan penari-penari ronggeng.
Sedangkan Ki Jenar telah menghilang dari keramaian. Lelaki tua itu masuk ke kamar, tempat seorang penari ronggeng telah dipersiapkan untuk melayani permintaannya.
Semua orang yang ada di rumah Tarbiun bagaikan tak peduli pada apa yang diperbuat Ki Jenar dengan wanita penari ronggeng dalam kamar di rumah Tarbiun. Mereka tak berani mengganggunya. Di samping Ki Jenar memang memiliki ilmu yang tinggi, lelaki tua itu juga disegani masyarakat Desa Cadas Putih.
"Ayo, Cak. Jangan malu-malu! Minum tuaknya...!" seru Tarbiun mempersilakan pada para tamu.
Sementara malam kian larut, bulan pun semakin terang. Hiburan Ronggeng pun kian semarak. Banyak di antara para tamu yang terkapar di tempat pesta karena mabuk. Tinggal beberapa orang jawara yang masih bertahan. Mereka terus berjoget, mengiringi lenggok-lenggok para penari ronggeng yang membangkitkan gairah. Sesekali tangan para jawara yang berjoget bergerak nakal, menepak pantat penari ronggeng yang bahenol. Di sebuah kamar, Ki Jenar nampak masih asyik bersenda gurau dengan seorang penari ronggeng.
Wanita cantik itu tersenyum manja, sambil menggoda Ki Jenar yang berusaha memeluk tubuhnya.
"Ayo, Manis...! He he he...! Jangan menggodaku," gumam Ki Jenar sambil kembali menggerakkan tangannya, berusaha menangkap tubuh wanita itu.
"Auw! Kau nakal, Ki," jerit wanita itu sambil berlari ke sudut kamar lain.
Senyumnya mengembang di bibir, seakan menggoda. Hal itu membuat Ki Jenar semakin bernafsu. Lelaki tua itu kembali bergerak, berusaha menangkap tubuh wanita bahenol di hadapannya.
"Kena kau! He he he..., ayolah, Manis! Jangan terus menggodaku," seru Ki Jenar sambil menggandeng tangan wanita itu.
Sementara wanita cantik yang tubuhnya tertutup kain kebaya kuning itu mengeluh manja. Ki Jenar yang sudah tak kuat menahan ledakan nafsunya, terus menggandeng tangannya ke tempat tidur.
Tak lama kemudian, kamar itu kembali sunyi.
Hanya sesekali terdengar suara kekehan Ki Jenar dan keluhan-keluhan manja dari penari ronggeng.

***

Malam terus merangkak di bawah cahaya purnama. Ronggeng di rumah Tarbiun masih berlangsung, walau telah banyak yang mabuk dan tertidur. Kini tinggal lima orang jawara yang masih menari, mengikuti goyang pinggul para penari ronggeng yang seakanakan tak membuat mereka ngantuk. Terlebih-lebih melihat pantat para penari yang bahenol, selalu membangkitkan gairah dan nafsu di dada para jawara itu.
Di kejauhan tampak seorang pemuda bertubuh tegap dengan rambut gondrong melangkah mendekati rumah Tarbiun yang masih ramai. Meskipun gamelan yang mengiringi tarian kelima Jawara Desa Cadas Putih tidak sekencang tadi. Mungkin penabuh gamelan juga sudah lelah, setelah sekian lama mengiringi para penari ronggeng. Namun suasana semarak masih me-warnai halaman rumah besar Tarbiun.
"Hm, ternyata di sini tempatnya," gumam pemuda yang kepalanya terikat kain batik itu. Matanya menatap tajam ke tempat para penari ronggeng. Seakan memperlihatkan kekuatan yang dimiliki. Wajah pemuda itu tampan, tapi sorot matanya sangat tajam dan garang. Sorot mata itu seolah memancarkan sesuatu yang terpendam dalam batinnya.
Pemuda itu terus melangkah mendekat. Matanya masih menatap tajam pada kelima jawara yang tampak tak peduli dengan kedatangannya, dan terus menari. Pemuda tampan itu melangkah, lalu berdiri di salah satu sudut tiang atap tempat pergelaran ronggeng itu. Matanya memperhatikan kelima jawara yang menari.
"Siapa kau, Kisanak" Mau menari" Ayolah...!" ajak salah seorang jawara yang berkumis melintang.
Badannya yang tinggi besar terbungkus pakaian hitam dengan kaos dalam loreng merah putih.
"Inikah rumah Ki Tarbiun" Juragan keparat itu"!" tanya pemuda itu dingin, seakan mengandung hawa kebencian.
Pertanyaan itu membuat kelima jawara yang masih menari tersentak kaget, dan menghentikan tariannya. Mata kelima jawara itu menatap tajam pada pemuda itu.
"Jaga mulutmu, Anak Muda! Jangan sembarangan kau berkoar di sini!" bentak Jaroi sengit.
Pemuda bertelanjang dada dengan tubuh kekar itu tersenyum sinis, sepertinya tak peduli dengan bentakan Jaroi. Dengan sikap tenang, kakinya melangkah mendekat.
"Kenapa..." Tarbiun memang juragan keparat!" dengus pemuda itu dengan senyum sinis masih melekat di bibirnya.
"Bocah kurang ajar! Jaga mulutmu! Apa kau sudah bosan hidup, berani menghina teman kami"!" bentak Satori sengit dengan mata melotot penuh amarah. Pemuda itu semakin melebarkan senyum sinisnya. Jaroi dan teman-temannya kian marah. Mata mereka melotot dengan napas mendengus geram.
"Kurang ajar! Siapa namamu"!" bentak Kampani.
"Hm, rupanya kalian cecunguk Tarbiun. Huh, aku Banteng Sumenep," jawab pemuda itu dengan dengusan penuh kebencian.
"Aku datang untuk menagih nyawa juragan kalian!"
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu!" dengus Jumeri seraya melangkah maju dengan tangan siap mencengkeram pundak pemuda itu.
Pemuda yang mengaku bernama Banteng Sumenep itu tetap tenang, tak ada gelagat untuk menghindar. Bibirnya masih mengurai senyum sinis, dengan tatapan tajam ke wajah Jumeri yang semakin mendekat Trep! Kedua tangan Jumeri yang membentuk cakar mencengkeram kedua pundak pemuda bertubuh kekar itu. Namun pemuda yang mengaku sebagai Banteng Sumenep itu masih tenang. Malah semakin lebar tersenyum.
"Kubunuh kau, Bocah!" dengus Jumeri, marah.
"Hm, mampukah"!" tanya Banteng Sumenep, seakan sengaja menantang Jawara Desa Cadas Putih Itu.
"Kurang ajar! Heaaa...!" Tangan kanan Jumeri terangkat, lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, ditamparnya kepala pemuda itu. Prak! "Ha ha ha...!"
"Akh!" Jumeri meringis kesakitan sambil melangkah ke belakang. matanya terbelalak tegang. Dirasakan tangannya seperti remuk akibat memukul kepala lawan. Sedangkan Banteng Sumenep yang dipukul malah tertawa terbahak-bahak.
"Heh"!"
"Hah..."!" Kelima Jawara Desa Cadas Putih benar-benar dibuat kaget, menyaksikan kejadian itu. Mereka tahu pukulan Jumeri bukanlah sembarangan. Jangankan kepala manusia, kepala kerbau pun akan hancur terhantam pukulannya. Namun, pukulan 'Geledek Sewu' yang dimiliki Jumeri, bagaikan tak berarti sama sekali bagi pemuda itu.
"Begitukah kehebatan seorang jawara"!" tanya Banteng Sumenep sambil mencibir penuh ejekan. Matanya menatap tajam lima jawara yang masih diliputi keheranan. Mendadak mereka bertambah marah mendengar ejekan pemuda itu.
"Keparat! Siapa kau sebenarnya, Bocah!" bentak Jaroi dengan kumis turun naik, menahan kemarahan.
"Siapa" Tuli kau! Sudah kukatakan, aku Banteng Sumenep. Aku datang untuk menagih hutang nyawa majikanmu!" sahut Banteng Sumenep semakin keras. Sementara para penari ronggeng dan penabuh gamelan sudah menyingkir. Mereka pun takut setelah menyaksikan bagaimana keampuhan pemuda, yang tak mempan pukulan Jumeri.
Sedangkan Tarbiun dan orang-orang yang sudah tidur, seketika terbangun mendengar suara ributribut di halaman rumahnya. Mereka kini membuat lingkaran, mengepung Banteng Sumenep.

***



::↨┌ 2 ┘↨::

Tarbiun yang tak mengenal siapa sebenarnya pemuda itu nampak mengerutkan kening. Kakinya kini melangkah mendekati kelima Jawara Desa Cadas Putih, yang masih menghadapi si Banteng Sumenep. Mereka nampak siap mengeroyok pemuda bertelanjang dada itu. Tarbiun mengangkat tangan kanannya ke atas, yang membuat kelima jawara menyurut mundur. Kemudian dengan senyum mengembang di bibir, lelaki gemuk berwajah bulat berusia sekitar lima puluh tahun itu mendekati sang Pemuda.
"Kisanak, siapakah kau sebenarnya" Dan dari mana, serta punya urusan apa kemari...?" tanya Tarbiun dengan suara tenang dan berusaha ramah.
Pemuda yang mengaku bernama Banteng Sumenep itu tersenyum. Wajahnya masih menunjukkan ketenangan. Dihelanya napas dalam-dalam dengan mata menatap lekat ke arah Tarbiun.
"Kaukah yang bernama Tarbiun?"
"Ya, ada apa?"
"Aku datang untuk menagih nyawamu," sahut Banteng Sumenep.
Terbelalak mata Tarbiun mendengar ucapan pemuda itu. Begitu pula dengan kelima jawaranya, mereka bertambah geram pada pemuda itu. Hampir saja kelimanya maju untuk menghajar pemuda yang kurang ajar itu, namun Tarbiun dengan cepat melarangnya dengan mengangkat tangan kanannya.
"Kisanak, apa salahku sehingga kau hendak menuntut nyawaku?" tanya Tarbiun masih dengan suara tenang.
"Masihkah kau belum mengaku salah, Tarbiun!" Bukankah kau yang telah membunuh ayahku"!" bentak Banteng Sumenep.
Tarbiun terbelalak kaget mendengar tuduhan pemuda itu.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Mahesa Lanang, anak Ki Simbar Kanginan," jawab pemuda itu.
"Rasanya, aku tak kenal dengan ayahmu, Kisanak," jawab Tarbiun dengan suara masih tenang. Matanya memandang tajam dengan tatapan penuh selidik. Hatinya merasa heran, karena selama ini tak pernah berhubungan dengan orang yang bernama Simbar Kanginan. Siapa Simbar Kanginan itu" Tanya Tarbiun dalam hati. Selama ini aku tak pernah punya urusan dan sangkut-paut dengan orang itu. Angin apa yang membuat pemuda ini datang mau menuntut kematianku"
"Huh, kau masih saja mau mungkir, Tarbiun!" bentak Mahesa Lanang.
"Tidak ingatkah kau dengan kejadian dua puluh tahun silam" Ketika terjadi pembunuhan di arena karapan?" Tarbiun yang merasa tak pernah mengalami, atau lupa dengan kejadian dua puluh tahun silam mengerutkan keningnya. Matanya memandang penuh tanda tanya pada pemuda gagah bertelanjang dada yang ada di hadapannya.
"Dua dasa warsa silam...?" gumam Tarbiun perlahan.
"Ya. Ketika kau dan teman-temanmu membunuh seorang lelaki yang menjadi musuh bebuyutanmu, karena sapi miliknya tak pernah terkalahkan. Lelaki itu dibunuh bersama istrinya saat menonton karapan sapi. Beruntung seseorang berhasil menyelamatkan putranya yang masih berusia lima tahun," tutur Mahesa Lanang.
Tarbiun masih mengerutkan kening. Dia berusaha mengingat-ingat peristiwa yang pernah terjadi dua puluh tahun silam. Namun, pikirannya tetap tak ingat akan kejadian itu. Hatinya tak merasa pernah melakukan pembunuhan terhadap orang yang bernama Simbar Kanginan. Lagi pula, dua puluh tahun yang silam dia belum mengikuti kegiatan karapan sapi, karena memang belum kaya seperti sekarang ini.
"Aku tak pernah berurusan dengan ayahmu, Bocah. Lagi pula, dua puluh tahun silam aku belum ikut kegiatan karapan sapi," tutur Tarbiun.
"Hm, rupanya kau mau lari dari hutang nyawa, Tarbiun. Bukankah di Desa Cadas Putih ini, hanya ada satu nama Tarbiun?" tanya Mahesa Lanang.
"Ya, memang. Tetapi aku tak tahu siapa sebenarnya kau dan ayahmu," sahut Tarbiun.
Jengkel juga orang tua gemuk itu, karena Mahesa Lanang tetap menuduhnya melakukan semua tindakan sampai ayahnya tewas. Padahal dua puluh tahun yang silam, dia tak tahu apa-apa tentang karapan, selain hanya sebagai penonton biasa.
"Jadi kau tak mau mengaku, Tarbiun?"
"Tidak! Jangan kau paksa aku, Bocah! Atau kau akan menghadapi jawara-jawaraku dan orang Desa Cadas Putih ini"!" gertak Tarbiun sengit.
Mahesa Lanang tersenyum, sepertinya tak takut mendengar ancaman Tarbiun. Matanya memandang tajam pada kelima jawara yang tadi hendak mengeroyoknya. Seakan ingin melihat sampai di mana kehebatan kelima jawara itu.
"Juragan, bocah sombong ini memang patut dihajar. Serahkan saja bocah ini pada kami," ujar Jaroi.
"Benar, Juragan. Bocah sombong ini telah menghina Juragan. Dia harus dihajar...!" sambut Jumeri yang penasaran setelah dipecundangi pemuda itu.
Pukulannya yang dahsyat tak berarti apa-apa bagi pemuda itu. Banteng Sumenep tersenyum mendengar ucapan para jawaranya. Seakan dirinya tak memandang sebelah mata pun pada kelima jawara itu.
"Baiklah, Tarbiun. Kau telah menolak semua yang kutuduhkan. Bagaimanapun juga, di Desa Cadas Putih ini, hanya ada satu Tarbiun. Kau harus mati di tanganku," ancam Mahesa Lanang dengan suara dingin dan datar. Tarbiun dan kelima jawaranya membelalakkan mata marah. Begitu juga dengan orang-orang yang berada di tempat itu, kaget bercampur heran mendengar ucapan Mahesa Lanang.
Mereka merasa pemuda itu terlalu sombong, karena di samping Tarbiun masih ada lima jawara yang memiliki kepandaian dan kemampuan teruji.
Meski sehebat apa pun, melawan kelima jawara Tarbiun bukan hal yang gampang dan mudah. Bahkan mungkin pemuda itulah yang bakal tewas.
"Pemuda kurang ajar! Rupanya kau mencari masalah!" bentak Tarbiun yang kini marah, setelah berusaha sabar tetapi Mahesa Lanang tetap saja tak mau mengerti.
"Kuperintahkan, segera pergi dari sini, sebelum habis kesabaranku!"
"Hm, kau tak bisa mengusirku begitu saja, Tarbiun. Sebelum kau mampus di tanganku," dengus Ma-laga Lanang dengan mata menatap garang pada Tarbiun. Matanya nampak memerah. Dari hidung dan telinganya, keluar angin deras sebagaimana layaknya seekor banteng yang marah.
"Kurang ajar! Tangkap dia...!" seru Tarbiun pa-da kelima centengnya.
"Memang pemuda itu patut dihajar, Juragan!" dingus Jaroi.
"Serahkan pada kami!" kata Ropii. Kelima jawara itu segera merangsek maju, berusaha menangkap Banteng Sumenep. Namun belum pula mereka sampai, pemuda itu telah mendahului menyerang. Tangannya bergerak cepat, memukul dan mancengkeram ke tubuh lima jawara itu yang dengan cepat bergerak mengelak.
"Hiaaa...!"
"Heaaa...!" Orang-orang yang ada di tempat itu seketika mundur beberapa langkah, untuk memberi ruang gerak bagi mereka yang bertarung. Mereka pun sepertinya tak mau terkena sasaran pukulan dari pertarungan itu.
"Kubunuh kau, Bocah!" bentak Jaroi sambil menyerang maju dengan pukulan tangan kanannya.
Namun, Banteng Sumenep tak menunjukkan gerakan untuk mengelak. Mulutnya malah menyeringai, dan membiarkan lawan menghantam pukulannya.
Degk! "Ukh!" Jaroi terpekik, tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang dengan mulut meringis.
Tangannya dirasakan panas bagai terbakar, akibat memukul dada lawan. Mata Jaroi terbelalak, tak percaya dengan apa yang dirasakannya. Begitu pun dengan empat temannya serta Tarbiun. Mereka benarbenar dibuat kaget, menyaksikan bagaimana Mahesa Lanang tak mengalami apa-apa setelah menerima pukulan maut Jaroi. Pemuda itu hanya tersenyum mengejek.
"Hanya sebegitu kehebatanmu, Centeng Tolol"!" dengus Mahesa Lanang. Nada suaranya sangat dingin, sepertinya mengejek Jaroi.
"Cuih! Sombong kau, Bocah!" dengus Jaroi marah, merasa malu karena di hadapan majikannya dia tak mampu menunjukkan sesuatu yang berarti.
"Hm, tunjukkan kalau kau masih memiliki yang lebih dari itu, ayo!" tantang Mahesa Lanang seraya senyum.
"Kurang ajar! Terimalah pukulan 'Jalaprage-ni'ku. Heaaa...!" Jaroi yang sudah marah, segera mengeluarkan pukulan saktinya. Tangannya kini berubah merah membara. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Jaroi menghantamkan pukulan dahsyat ke dada Mahesa Lanang.
"Heaaa...!" Wrt! Degk! "Aaakh...!" Jaroi kembali terpekik keras. Tangannya dirasakan bagai menghantam batu karang yang sangat kuat. Tubuhnya kembali terhuyunghuyung ke belakang dengan mata terbelalak kaget, menatap tegang Banteng Sumenep yang masih tersenyum. Sedikit pun tubuhnya tak bergeming mendapat pukulan dahsyat lawan.
"Hm, hanya sebegitukah kekuatanmu, Centeng" Kini terimalah balasanku!" ujar Mahesa Lanang seraya melangkah mendekati tubuh Jaroi. Senyum masih mengembang di bibirnya, seolah-olah tak tergambar ke-marahan sedikit pun di wajahnya.
"Aku sudah siap!" jawab Jaroi menantang. Dianggapnya pemuda itu hanya mengandalkan kebesaran tenaga, sedangkan ilmu silat dan tenaga dalamnya kosong. Sehingga, Jaroi masih diam, menunggu serangan lawan.
"Benarkah kau sudah siap?" Mahesa Lanang kembali bertanya.
"Huh, apa kau kira akan mampu mengalahkanku"!" dengus Jaroi sengit Mahesa Lanang tersenyum sinis, kedua kakinya melangkah mendekati Jaroi. Sementara, keempat teman Jaroi dan Tarbiun menatap penuh ketegangan pada Jaroi. Meski tahu siapa Jaroi sebenarnya, tapi entah mengapa mereka merasa tegang menyaksikan penampilan pemuda itu.
"Bersiaplah, Centeng! Heaaa...!" Tangan pemuda itu mencengkeram pundak Jaroi, kemudian dengan cepat kepalanya diadukan dengan kepala Jaroi.
"Heaaa...!" Jaroi menyangka Mahesa Lanang akan mati menghadapi tenaga dalamnya. Maka segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk menahan benturan kepala lawan.
"Heaaa...!" Brakkk! "Akh...!" Mata semua orang yang ada di tempat itu terbeliak menyaksikan kepala Jaroi hancur berantakan akibat berbenturan dengan kepala Mahesa Lanang. Seketika berhambur ke luar otak dan darah dari kepala Jaroi. Tubuh Jaroi terpental ke belakang, menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam, mati dalam keadaan yang mengerikan. Kenyataan itu semakin membuat berang semua orang yang menyaksikan. Keempat Jawara lainnya marah, melihat tindakan pemuda itu.
Mahesa Lanang tersenyum kecut, menatap mayat Jaroi yang tak karuan dengan kepala pecah. Sedangkan keempat Jawara temannya semakin marah, setelah kematian Jaroi. Dengan mulut mendengus geram, mereka serentak maju menyerang Mahesa Lanang.
"Kubunuh kau, Bocah! Yeaaa...!" Jumeri melesat dengan serangan dahsyat ke tubuh Mahesa Lanang. Disusul ketiga kawannya merangsek sambil menyerang.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
"Kubunuh kau, Bocah! Yeaaa...!" Jumeri melesat dengan serangan dahsyatnya ke tubuh Mahesa Lanang. Disusul ketiga kawannya bergerak merangsek.
"Heaaa...! Yeaaat..!" Melihat keempat jawara itu menyerang, Mahesa Lanang tidak berusaha mengelak. Dia hanya tersenyum dan tetap berdiri di tempatnya! Melihat keempat jawara itu menyerang, Mahesa Lanang tidak berusaha mengelak. Sambil tersenyum tetap berdiri di tempatnya, seakan siap untuk menerima hantaman tangan keempat jawara itu.
Degk! Degk...! "Ukh!"
"Akh...!" Keempat lelaki bertubuh besar yang menyerang itu mengeluh, tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang dengan mata terbelalak. Mereka tak percaya, kalau pukulan-pukulan mereka yang sudah terbukti kehebatannya, tak mempan bagi Mahesa Lanang.
Bahkan mulut pemuda itu menyeringai, mengejek keempat lawannya.
"Hanya sebegitukah kemampuan kalian"!" tanya Mahesa Lanang dengan tersenyum. Matanya yang merah, menatap tajam keempat jawara yang terpaku, penuh rasa heran bercampur geram menyaksikan senyum pemuda itu.
"Bedebah! Kubunuh kau, Bocah Sombong!" geram Jumeri marah. Tubuh lelaki itu melesat maju dengan tangan siap menyerang. Namun, dengan cepat Mahesa Lanang menangkapnya.
Trap! "Heaaa...!" Mahesa Lanang dengan cepat menyentakkan tangan Jumeri. Kemudian lelaki berpakaian hitam itu diangkatnya. Dan....
"Heaaa...!" Wrrrt! Brak! "Aaakh...!" Jumeri terpekik, ketika tubuhnya dengan keras dibanting ke tanah. Tulang-belulangnya bagaikan remuk, akibat bantingan yang sangat keras itu. Sesaat Jumeri meregang, kemudian diam tanpa nyawa.
Suasana bertambah riuh. Jeritan-jeritan ketakutan dari para penari ronggeng dan penabuh gamelan terdengar memecah suasana malam. Tarub atau atap tempat pergelaran ronggeng ambruk dan hancur. Seketika itu pula orang-orang yang mabuk, terperanjat dan bangun karena dikagetkan suara jeritan itu.
Menyaksikan mayat Jaroi dan Jumeri, orangorang yang baru bangun itu marah. Mereka tak menghiraukan siapa pemuda itu, dan bagaikan tak melihat bagaimana Jumeri dibanting sampai mati dengan tulang remuk. Mereka langsung menghunus senjata mengepung Mahesa Lanang.
"Tangkap pemuda itu, jangan sampai lolos...!" teriak Tarbiun pada orang-orang yang ada di rumahnya untuk menangkap Mahesa Lanang.
"Aku tak akan lari, sebelum mencabut nyawamu!" sahut Mahesa Lanang seraya maju menghadang orang-orang yang hendak menangkap dan menyerangnya. Pemuda bertelanjang dada dengan tubuh kekar itu bagaikan tak takut meskipun menghadapi lawan bersenjata. Dengan langkah tegap Mahesa Lanang terus menghadang mereka.
"Heaaa...!" Trak! Begk! Bacokan dan tusukan senjata yang dilakukan para pengeroyoknya tak berarti sama sekali. Tubuh Banteng Sumenep tak mempan apalagi tergores senjata lawan. Bahkan beberapa senjata tajam itu patah, bagai menghantam benda keras yang kuat.
Prak! "Heh..."!" Semua mata yang menyerang terbelalak, seolah-olah tak percaya pada apa yang terjadi. Mereka segera melompat mundur dengan mata masih menatap tegang pada Mahesa Lanang yang masih tersenyum mengejek.
"He he he...! Apa ada senjata lain yang lebih hebat dari itu?" tantang Mahesa Lanang dengan sombong. Kakinya terus melangkah mendekat ke arah Tarbiun yang kian tegang, menyaksikan pemuda itu menghampirinya.
"Jangan hanya diam! Serang dia...!" perintah Tarbiun. Hatinya semakin tegang setelah menyadari kalau pemuda itu tak mempan senjata.
Orang-orang yang melihat Banteng Sumenep hendak mendekati segera berusaha menghadang. Namun dengan sekali menghentakkan tangan, pemuda itu mampu membuat lawan yang menghadang langsung berhamburan terpental ke mana-mana.
"Kau harus mampus, Tarbiun!" dengus Mahesa Lanang setelah menyingkirkan orang-orang yang menghadangnya. Matanya yang merah, menatap tajam wajah Tarbiun yang mundur ketakutan. Tarbiun bagaikan dihadapkan pada malaikat maut yang siap merenggut nyawanya.
"Oh! Apa salahku, Anak Muda" Mengapa kau hendak membunuhku...?" ratap Tarbiun dengan perasaan tegang, menyaksikan pemuda bertubuh kekar itu semakin dekat dengannya. Mahesa Lanang tersenyum dingin, seakan-akan tak mau memberi ampun sedikit pun pada Tarbiun.
"Kau harus mampus, Tarbiun!" dengus Mahesa Lanang. Giginya bergemeretuk keras menahan amarah.
"Ki Jenar, tolong...!" jerit Tarbiun berusaha memanggil orang tua sakti yang diharapkan mampu menolongnya. Namun, lelaki tua itu sepertinya terlelap dalam tidurnya, bersama wanita penari ronggeng.
Sementara itu, Banteng Sumenep telah berada di depan Tarbiun dan siap mencengkeram pundak lelaki setengah baya itu.
Trep! "Tidak! Ampun!" Tarbiun menjerit dan meratap pada pemuda bertubuh kekar itu.
Namun Banteng Sumenep tak mempedulikan ratapan Tarbiun. Direnggutnya kepala lelaki bertubuh gemuk itu, lalu dibenturkan dengan kepalanya sendiri.
Prak! "Akh...!" Tarbiun terpekik keras. Kepalanya hancur dengan otak dan darah berhamburan. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar setelah Mahesa Lanang melepaskan cengkeramannya, tapi kemudian diam tak berkutik se-lamanya.
Orang-orang yang menyaksikan kematian Tarbiun seketika menjerit-jerit ketakutan. Mereka berhamburan, meninggalkan rumah saudagar kaya itu.
Banteng Sumenep tersenyum. Kemudian dengan tenang meninggalkan rumah Tarbiun, menembus malam yang menjelang pagi.

***



::↨┌ 2 ┘↨::

Pagi-pagi penduduk Desa Cadas Putih berdatangan ke rumah Tarbiun untuk membuktikan kabar yang ramai tersiar di desa itu. Mereka mendengar dari beberapa orang yang semalam begadang di rumah saudagar itu, bahwa ada banteng mengamuk.
"Apa"! Banteng..." Banteng mengamuk"!" tanya salah seorang warga desa, ketika mendengar berita bahwa Juragan Tarbiun dan kelima jawaranya mati diamuk banteng.
"Ah! Masa dengan seekor banteng kelima jawara itu kalah" Rasanya tak mungkin!" sambung yang lainnya, tak percaya pada berita kematian Tarbiun dan kelima jawaranya.
"Dasar tolol! Bukan banteng sembarangan yang menyerang mereka di rumah Juragan Tarbiun," sahut orang yang menceritakan masalah itu pada kedua rekannya.
"Lalu banteng apa?" tanya lelaki kurus itu tak mengerti maksud kawannya.
"Iya, banteng mana lagi?" sambung yang bertubuh gendut "Yang ku maksud, julukan orang! Pemuda berbadan kekar dan tak mempan dengan senjata. Kepalanya pun sangat kuat," tutur Sabian.
"Pemuda itu mengaku bernama Mahesa Lanang.
Ng..., dia juga berjuluk Banteng Sumenep." Berbondong-bondong mereka berdatangan ke rumah Juragan Tarbiun untuk melayat dan menyaksikan, apa yang sebenarnya terjadi di rumah Juragan Tarbiun. Di antara kerumunan orang yang hendak melihat mayat di rumah Juragan Tarbiun ada seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular. Tingkah laku pemuda itu mengundang perhatian orang-orang yang datang ke rumah Tarbiun.
"Ah ah ah..., rupanya di sini ada banteng mengamuk," gumam pemuda berpakaian rompi kulit ular, yang ternyata Sena Manggala, atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Mulutnya yang tampak cengengesan, membuat semua orang yang ada di rumah Tarbiun seketika mengalihkan pandangan pada pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila itu.
Sena menggaruk-garuk kepalanya. Dengan masih cengengesan, diperhatikan mayat-mayat yang pecah kepalanya. Kepala mereka seperti habis diadu dengan batu karang yang besar dan kuat "Hi hi hi...! Di sini tak ada karang, tetapi kepala mereka pecah seperti membentur karang. Ah, aneh sekali...," kembali Sena bergumam sambil menggelenggelengkan kepala, menyaksikan kejadian itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala, dengan mulut masih cengengesan. Setelah memperhatikan dengan seksama keadaan tubuh mayat-mayat di rumah Juragan Tarbiun, dengan cengengesan Sena meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti, ketika dilihatnya seorang wanita cantik berpakaian merah tua berlari tergesa-gesa menuju rumah Tarbiun. Sepertinya ada sesuatu yang hendak dilakukan wanita cantik itu.
"Ah, mengapa harus kupikirkan" Siapa pun dia, kurasa orang biasa," gumam Sena sambil melanjutkan langkah kakinya, meninggalkan tempat itu. Baru saja kakinya berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seorang wanita memanggilnya.
"Tuan, tunggu...!" Suara yang merdu itu cukup membuat Sena menghentikan langkahnya. Tubuhnya langsung berbalik, dan memandang ke asal suara tadi. Pemilik suara itu ternyata gadis cantik berpakaian merah tua yang tadi dilihatnya. Gadis itu berlari-lari menghampiri Pendekar Gila.
Sena cengengesan dengan mata memandang gadis cantik itu. Lalu tangannya kembali menggarukgaruk kepala. Gadis cantik berusia sekitar dua puluh empat tahun itu mengerutkan keningnya, melihat tingkah pemuda tampan di depannya. Mata gadis itu menatap tajam wajah Sena. Gadis itu seperti hendak memastikan siapa lelaki muda berusia sebaya dengan dirinya itu.
"Aha, ada gerangan apa kau memanggilku, Nisanak?" tanya Sena, masih dengan cengengesan. Kepalanya kini mendongak ke atas, menatap langit biru.
Tampak sekawanan burung terbang ke utara menimbulkan suara yang ramai.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya gadis itu agak ragu-ragu.
Sena mengerutkan kening. Kemudian tertawa terbahak-bahak, hingga tubuhnya ikut terguncangguncang. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, terlalu tinggi julukan itu bagiku, Nisanak.
Namaku Sena. Hanya orang-orang saja yang memberiku julukan Pendekar Gila. Padahal julukan itu terlalu tinggi bagi orang setolol dan sebodoh diriku," gumam Sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Jadi benar kau Pendekar Gila?" tanya gadis cantik itu memastikan.
"Aha, terserah kau saja, Nisanak," jawab Sena seenaknya. Sikapnya yang persis orang tolol, membuat gadis cantik itu menarik napas keheranan. Ada perasaan gemas terlintas di wajahnya, melihat tingkah laku dan ucapan Pendekar Gila yang konyol.
"Namaku Kinanti," ujar gadis itu memperkenalkan dirinya. Kemudian setelah memperhatikan Sena dengan seksama, Kinanti melanjutkan kata-katanya.
"Aku mendapat pesan dari guruku, jika menjumpaimu agar mengajak ke padepokannya."
"Hi hi hi..., siapa gurumu, Nisanak?" tanya Se-na sambil cengengesan.
"Guruku Ki Windu Ajar," jawab Kinanti.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya. Dia belum pernah bertemu orang yang dimaksud Kinanti. Hal itu membuat Sena nyengir, dan tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Lalu kepalanya digelenggelengkan sambil tertawa cekikikan.
"Ah ah ah...! Ada apa gerangan hingga gurumu memanggilku, Nisanak?"
"Entahlah.... Yang pasti, guru mengundangmu," jawab Kinanti agak ketus. Gadis itu tampak gemas mendengar pertanyaan dan tingkah laku Pendekar Gila.
"Aha, kau nampak cemberut, Nisanak" Hi hi hi..., tak baik cemberut! Nanti kecantikanmu hilang," goda Sena sambil masih cengengesan.
Kinanti semakin merengut, matanya melotot lebar. Hal itu membuat Sena tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Dasar gila!" maki Kinanti.
"Guru menunggu kedatanganmu. Ayo ikut aku!"
"Hi hi hi...! Ke mana, Ni?" goda Sena semakin membuat Kinanti jengkel dan kesal.
Namun, Pendekar Gila malah tertawa terbahak-bahak, merasa senang menggoda gadis cantik itu. Saat itu pula ingatannya kembali melayang pada Mei Lie yang ditinggalkan di rumah Ki Gede Mantingan.
Gadis itu hampir mirip dengan Mei Lie. Hanya hidungnya yang lebih mancung. Rambutnya pun berombak panjang, mirip dengan rambut Mei Lie. Hal itu pula yang membuat Sena tertarik untuk menggoda Kinanti.
"Sinting! Ayo cepat ikut aku!" sentak Kinanti yang kian kesal melihat tingkah laku dan ucapan Pendekar Gila. Hati gadis itu agak berdebar, ketika matanya beradu pandang dengan Pendekar Gila. Meski bertingkah laku seperti orang gila, tapi ketampanannya cukup membuat hati wanita itu berdebar-debar.
"Aha, kenapa kau terlalu memaksa, Nisanak" Tapi baiklah," ujar Sena.
Tanpa banyak berkata lagi, Kinanti segera mengajak Pendekar Gila menuju kediaman gurunya. Keduanya lalu berlari meninggalkan Desa Cadas Putih menuju Pegunungan Blige, tempat kediaman Ki Windu Ajar. Meski belum mengerti apa yang hendak dilakukan Ki Windu Ajar pada dirinya, Pendekar Gila menuruti, karena dilihatnya ada tanda-tanda baik. Kakinya terus berlari mengikuti ke mana Kinanti pergi.

***

Pendekar Gila terus mengikuti Kinanti yang mengajak ke tempat kediaman gurunya. Keduanya seakan tak merasa lelah, terus berlari. Hal itu karena Kinanti ingin segera sampai ke tempat gurunya.
Begitu juga dengan Pendekar Gila yang masih penasaran dan ingin tahu siapa guru gadis cantik itu, berusaha ingin cepat sampai. Meski keduanya baru bertemu, tapi Pendekar Gila melihat gadis itu bermaksud baik. Itu pula yang membuatnya tak merasa sungkan.
"Aha, masih jauhkah tempat gurumu, Ni?" tanya Sena sambil terus menggoda. Sesekali larinya diperlambat, sehingga gadis itu harus memperlambat larinya. Namun tiba-tiba melesat cepat, sampai Kinanti tak mampu mengejarnya.
"Dasar gila!" gerutu Kinanti.
"Hei, tunggu...!" Kinanti berseru sambil mengejar Pendekar Gila yang tertawa terbahak-bahak dengan menggarukgaruk kepala.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Ni! Mengapa kau seperti burung pipit yang patah sayapnya"!"
"Dasar gila, sebel!" maki Kinanti yang terpaksa tersenyum juga melihat tingkah laku pemuda konyol itu.
"Hi hi hi.... Sebel" Ah ah ah, bahaya kalau begi-tu!" gumam Sena yang membuat Kinanti mengerutkan kening, tak mengerti maksud ucapan Pendekar Gila.
"Bahaya..." Bahaya kenapa, Sena?" tanya Kinanti.
"Aha, bukankah sebel artinya senang betul" Hi hi hi...!" Kinanti agak tersentak mendengar ucapan Sena barusan. Wajahnya yang tampak memerah tampak tersipu malu. Matanya membelalak, tapi bukan karena marah.
"Kinanti, ada apa..."!" Kinanti dan Sena tersentak kaget ketika tibatiba terdengar suara orang menyapa. Keduanya segera menoleh ke asal suara itu. Tampaklah seorang pemuda tampan bertelanjang dada, berusia sekitar dua puluh lima tahun melangkah mendekat ke arah mereka berdua.
"Eh, Kakang Mahesa! Kau di sini, Kakang?" sa-pa Kinanti sambil tersenyum manis melihat pemuda bertelanjang dada yang dipanggilnya Mahesa.
"Sena, ini kakak seperguruanku.
Namanya Mahesa Lanang.
Tapi sering disebut Banteng Sumenep."
"Aha, sungguh sebuah keberuntungan bagiku, bisa berkenalan denganmu, Kakang Mahesa," sahut Sena dengan tingkah laku yang masih konyol. Mulutnya cengengesan, dengan sesekali nyengir kuda. Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti kebanyakan kutu.
"O, inikah yang biasa disebut Pendekar Gila, Kinanti?" tanya Mahesa Lanang tersenyum-senyum, melihat tingkah laku Sena yang aneh, seperti orang gi-la.
"Benar, Kakang. Dialah yang dimaksud guru," jawab Kinanti menjelaskan.
"Apakah guru ada, Kakang?"
"Oh, ada. Guru tengah menunggu kalian," sahut Mahesa Lanang. Matanya yang tajam, sejenak menatap lekat pada Pendekar Gila. Seakan-akan ada sesuatu yang menarik perhatian Mahesa Lanang pada diri Pendekar Gila.
"Terima kasih, Kakang! Ayo, Sena!" ajak Kinanti pada Pendekar Gila.
"Kau mau ke mana, Kakang?" ta-nyanya kemudian pada Mahesa Lanang.
"Aku ingin jalan-jalan, cari angin," jawab Mahesa Lanang. Matanya masih menatap lekat Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
Bahkan tingkahnya semakin bertambah konyol, membuat Mahesa Lanang tersenyum kecut sambil berlalu meninggalkan mereka.
Pegunungan Blige yang terletak di sebelah utara Desa Karang Tengah membentang dari barat ke timur. Pegunungan itu tampak seperti mengurungi Desa Karang Tengah. Di lereng Pegunungan Blige, tepatnya di Desa Karang Tengah, ada sebuah padepokan yang bernama Padepokan Gedangan Lor. Di padepokan itulah Ki Windu Ajar tinggal bersama murid-muridnya, yang tengah menuntut ilmu.
Lereng Pegunungan Blige tampak sangat indah.
Di sekelilingnya tumbuh pepohonan menghijau. Saat itu memang sedang musim semi, di mana daun-daun mulai bersemi, yang membuat suasana di lereng Pegunungan Blige bertambah indah.
Kinanti dan Pendekar Gila segera menaiki lereng pegunungan itu, tempat kediaman Ki Windu Ajar.
Keduanya berlari-lari kecil, sambil tertawa-tawa seperti dua orang bocah yang sedang bercengkerama.
Tak lama kemudian, keduanya sampai di Padepokan Gedangan Lor.
"Ayo Sena," ajak Kinanti ketika Pendekar Gila masih memandangi puluhan murid Ki Windu Ajar yang sedang berlatih ilmu silat. Pendekar Gila menggarukgaruk kepala sambil cengengesan. Hal itu membuat Kinanti tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Keduanya segera masuk ke padepokan. Di dalam tampak seorang lelaki tua berambut putih dengan jenggot serta kumis putih duduk bersila. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan pakaian seperti resi itu tersenyum ketika melihat kedatangan Pendekar Gi-la. Kemudian lelaki berpakaian resi warna hijau itu bangun dari duduknya.
"O, selamat datang di Pulau Madura, Pendekar Gila! Lama sekali aku ingin bertemu denganmu. Silakan...!" ajak Ki Windu Ajar mempersilakan tamunya duduk. Pendekar Gila pun menurut duduk. Kemudian dengan cengengesan sambil garuk-garuk kepala, matanya memandang ke sekeliling tempat itu. Tampak senjata-senjata pusaka bergelantungan di sekitar ruangan itu. Di belakang tubuh Ki Windu Ajar,, berdiri dua batang tombak. Di samping kanan dan kiri, tergantung sepasang pedang.
"Aha, terima kasih atas sambutanmu yang ramah dan baik ini, Ki. Terlebih dengan Ni Kinanti. Hi hi hi...!" ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan, membuat Kinanti merengut dengan pipi merona merah. Ki Windu Ajar yang melihat muridnya tersipu malu, turut tersenyum-senyum. Sepertinya lelaki tua berpakaian jubah hijau tua itu senang, melihat muridnya akrab dengan Pendekar Gila.
"Aha, kalau boleh kutahu, ada apa gerangan Ki Ajar memanggilku...?" tanya Sena berusaha sungguh-sungguh, setelah tersenyumsenyum dan cengengesan.
Ki Windu Ajar sesaat terdiam. Dihelanya napas dalam-dalam, seolah-olah hendak menenangkan perasaan. Sejenak matanya memandang lepas ke sekitar padepokannya.
"Pendekar Gila, sudah lama aku mengharapkan kau datang ke Pulau Madura ini. Sebenarnya aku ingin sekali minta padamu agar bersedia memberikan bimbingan pada muridku Kinanti," tutur Ki Windu Ajar, seraya menoleh ke arah Kinanti Gadis cantik berpakaian merah tua itu menundukkan kepala, dengan rona merah menghias di wajahnya. Matanya berbinar-binar, seperti ada sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Dengan malu-malu Kinanti mengangkat kepalanya, lalu melirik Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, lucu sekali kau, Ki! Mengapa harus aku yang kau percaya" Bukankah kau memiliki murid yang telah berpengalaman?" kilah Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala dan cengengesan. Kinanti menundukkan kepala, merasa berdebar hatinya. Dia khawatir kalau pendekar muda itu akan menolak untuk diikuti olehnya. Di sisi lain hatinya, Kinanti juga merasa ada sesuatu yang aneh. Perasaan yang sulit diucapkan dengan kata-kata. Hanya dirinya sendiri yang dapat mengerti, apa sebenarnya yang terkandung di dalam batinnya.
"Maksudmu Mahesa Lanang, Pendekar Gila?" balik Ki Windu Ajar bertanya.
"Aha, benar. Muridmu yang bernama Mahesa Lanang," jawab Sena dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir kuda. Melihat itu Ki Windu Ajar tersenyum-senyum, seraya menghela napas dalam-dalam.
"Rasanya aku tak tega kalau Kinanti harus bersamanya," gumam Ki Windu Ajar. Raut wajahnya seketika berubah muram, seperti ada sesuatu yang terpendam dalam batinnya.
"Aha, mengapa begitu, Ki" Bukankah Mahesa Lanang kakak seperguruan Kinanti sendiri...?" tanya Sena sambil mengernyitkan kening dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala.
Ki Windu Ajar terdiam sepertinya sangat sulit untuk menjawab pertanyaan yang baru dilontarkan Pendekar Gila. Ada sesuatu yang seakan disembunyikan di dalam perasaan lelaki tua itu.
"Entahlah. Aku tak sehati dengan Mahesa. Aku tak tega, kalau Kinanti berada dengan Mahesa Lanang," ujar Ki Windu Lanang.
"Bagaimana, Pendekar Gila" Apakah kau bersedia membimbing dan membagi pengalaman pada muridku?" Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan, mendengar permintaan Ki Windu Ajar. Dia seakan-akan merasa jengah, kalau harus berjalan dengan seorang gadis. Apalagi belum begitu lama dia mengenalnya. Sedangkan dengan Mei Lie saja dia sering merasa tak enak.
Ah, aneh sekali orang tua ini! Bagaimana mungkin aku harus berjalan dengan seorang gadis" Gumam Sena dalam hati, merasa heran dengan permintaan Ki Windu Ajar yang begitu percaya kalau dia pemuda baik-baik. Ah! Haruskah aku menerimanya..."
"Bagaimana, Pendekar Gila" Maukah kau berjalan bersama muridku?" desak Ki Windu Ajar, dengan mata menatap wajah Pendekar Gila. Ki Windu Ajar benar-benar mengharap dengan sepenuh hati, akan kesediaan Pendekar Gila untuk menuntun muridnya mencari pengalaman di dunia persilatan.
"Ah ah ah, kau percaya padaku, Ki?" tanya Se-na dengan tangan kembali menggarukgaruk kepala. Kemudian melirik Kinanti, yang tersipu malu.
"Ya, aku merasa tenang jika muridku bersamamu, Pendekar Gila."
"Aha, namaku Sena, Ki," tukas Sena cepat, memperkenalkan namanya.
"Begitulah, Sena. Aku rasa, lebih aman jika Kinanti bersamamu."
"Aha, kalau memang begitu, baiklah. Sekarang aku mohon pamit, Ki. Karena aku harus segera meneruskan perjalanan," ujar Sena sambil berdiri.
"Guru, aku mohon doamu!" pinta Kinanti.
"Hati-hatilah! Doaku menyertai kalian." Setelah menjura, Sena dan Kinanti segera keluar dari Padepokan Gedangan Lor tempat kediaman Ki Windu Ajar. Dan terus meninggalkan Pegunungan Blige.

***



::↨┌ 4 ┘↨::

Pendekar Gila dan Kinanti telah sampai di perbatasan Desa Karang Tengah. Keduanya tengah melintasi Bukit Sandang Batari, ketika tiba-tiba dari balik rerimbunan pohon berlompatan empat sosok tubuh berselubung kain hitam di kepala. Di tangan keempat orang berpakaian coklat itu tergenggam clurit tajam yang berkilat putih keperakan.
"Berhenti...!" Salah seorang dari keempat orang berselubung hitam membentak. Tubuh keempatnya sama tinggi dan tegap. Mata mereka yang tampak beringas menatap tajam pada Pendekar Gila.
"Hi hi hi..! Ada kelelawar-kelelawar jelek yang menghadang kita, Kinanti. Lihat muka mereka lucu sekali, bukan?" Sena tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang seperti orang gila, membuat orang-orang berselubung hitam itu mendengus sengit "Kaukah yang bernama Pendekar Gila"!" bentak lelaki yang mungkin pimpinan atau orang yang paling tua dari keempatnya. Matanya menatap tajam, seakan penuh amarah terhadap Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha...! Siapa yang gila" Kalian yang gila?" sahut Sena dengan cengengesan.
"Aha, pantas sekali kalau kalian gila.
Rupanya kalian malu, sehingga menutupi muka. Hi hi hi...!" Mata keempat lelaki berselubung kain hitam itu membelalak mendengar ucapan Pendekar Gila. Mereka mendengus, semakin sengit menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila yang dianggap sebagai hinaan.
"Kurang ajar! Kau terlalu berani dengan Catur Demit, Pendekar Gila!" bentak Ranjani yang ternyata pimpinan Catur Demit.
Matanya tambah garang menatap wajah Pendekar Gila.
Pendekar Gila kembali tertawa terkekeh, tangannya menggaruk-garuk kepala. Lalu mulutnya cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ditatapnya sejenak wajah Kinanti, seakan-akan berusaha memberi tahu pada gadis itu. Kinanti hanya tersenyum-senyum melihat tingkah lakunya yang konyol, sambil memegang pedang yang telah tercabut dari warangkanya.
"Kinanti, mereka itulah yang dinamakan kelelawar. Hi hi hi...! Lucu bukan?" Sena mengejek sambil memonyongkan mulutnya.
Kemudian kembali tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak-jingkrak seperti seekor kera.
"Bocah edan! Rupanya kau perlu berkenalan dengan Catur Demit!" bentak Ranjani semakin marah mendengar ucapan dan tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan menjengkelkan.
Mendengar bentakan keras Ranjani, Pendekar Gila malah tertawa semakin keras sambil menggarukgaruk kepala, lalu berjingkrakan. Hal itu membuat Kinanti yang sudah tak sabar, segera hendak maju.
"Sena, biar kubereskan mereka!"
"Aha, mereka memang perlu diusir. Karena mereka sering menakut-nakuti bayi. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil tertawa cekikikan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!" bentak Ranjani. Kemudian tangan kanannya bergerak, memberi perintah pada ketiga temannya agar segera menyerang Pendekar Gila.
"Aha, rupanya kalian mencari mati, Kelelawar Jelek! Hi hi hi...!"
"Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa...!" Keempat Catur Demit langsung menyerang Pendekar Gila. Wrt! "Aha, galak sekali kalian! Wuah, bahaya kalian main-main clurit," ejek Sena sambil menggeser kaki ki-ri ke samping, lalu membungkukkan tubuh untuk mengelakkan serangan. Clurit lawan menderu di atas tubuhnya.
"Sena, kita tak boleh main-main. Mereka harus segera disingkirkan!" seru Kinanti sambil bergerak memapaki serangan dua lawannya.
"Heaaa...!" Wrt! Pedang di tangan Kinanti bergerak cepat, membabat dan menusuk ke tubuh lawannya. Hal itu sempat membuat kedua lawannya tersentak kaget. Keduanya segera melompat mundur, kemudian dengan cepat pula memutar golok untuk menangkis serangan pedang gadis itu.
"Haits! Heaaa...!" Trang! Trang! "Yeaaa...!" Dua dentangan keras terdengar secara beruntun ketika pedang Kinanti membentur dua clurit yang berkelebat di depannya. Bagaikan macan betina, tubuh Kinanti terus bergerak cepat dan lincah dengan pedang berkelebat menyerang dua orang lawannya. Pedangnya berputar bagaikan baling-baling yang bergerak cepat, menyerang dengan sabetan-sabetan dan tusukan keras mengarah ke tempat-tempat yang mematikan.
"Heaaa!" Wrt! Pedang di tangan gadis cantik bergaun merah tua itu tak pernah berhenti. Tangannya terus bergerak memutar pedang, membabat, dan menusuk ke dada dan pinggang kedua lawannya.
Keganasan Kinanti dalam melakukan seranganserangannya, membuat kedua lawan harus terbelalak kaget. Mereka tak menyangka, kalau gadis itu akan lebih garang daripada Pendekar Gila.
"Celaka, Gento! Ternyata kita salah serang," se-ru Sampian pada temannya, karena merasa serangan Kinanti lebih berbahaya dibandingkan dengan pemuda bertingkah laku seperti orang gila, yang kini menghadapi kedua orang temannya.
Serangan-serangan Pendekar Gila memang nampaknya lemah dan pelan. Namun, kalau saja mereka merasakan sendiri, akan mengalami kesulitan untuk dapat menerobos pertahanan dan membuyar-kan serangan Pendekar Gila. Hal itu dapat diketahui, dari kedua orang teman mereka yang tersentak kaget dengan mata membelalak. Kedua lawan Pendekar Gila sepertinya tak percaya kalau gerakan yang seperti menari dan lemah ternyata sangat kuat dan cepat "Hi hi hi...!" Sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila terus melancarkan serangannya dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Sebuah jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila' yang sangat dahsyat, meskipun kelihatan lemah dan lamban. Gerakan Pendekar Gila yang seperti tak mengandung kekuatan membuat kedua lawan merasa penasaran. Mereka segera menggebrak dengan sabetan clurit dan tendangan kaki ke tubuh lawan yang masih bertangan kosong. Tubuh Pendekar Gila masih meliukliuk seperti menari.
"Hancur kepalamu, Pendekar Gila!"
"Buntung lehermu!" Wrt! Srt! Pendekar Gila menarik tubuh ke belakang, lalu meliuk dan merendah mengelak dari serangan senjata lawan. Dan ketika mendapat kesempatan agak luang, segera tangannya ditepukkan ke dada lawan.
"Heaaa! Hi hi hi...! Hih...!" Wsss! "Eit! Jurus edan!" maki salah seorang dari lawannya dengan mata terbelalak kaget, ketika merasakan tepukan tangan Pendekar Gila. Meski gerakan tangan itu tampak pelan, tetapi angin yang ditimbulkan terasa kuat dan menyentak. Cepat-cepat kedua lawannya melompat ke belakang, saling pandang dengan mata membelalak kaget "Ilmu siluman!" maki temannya.
"Ya. Aneh sekali! Padahal gerakannya sangat pelan dan lemah," gumam Kadri.
"Apa kita akan membiarkannya, Kadri?" Kadri menghela napas berat. Lelaki itu seolaholah tengah berusaha mendalami apa sebenarnya yang dilakukan pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu. Sementara Pendekar Gila malah tertawa terbahakbahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Mata Kadri menatap tajam wajah Pendekar Gila. Dia merasa heran dan marah melihat gerak-gerik dan jurus pemuda itu.
"Hi hi hi...! Kalian nampaknya seperti kelelawar yang ketakutan. Lucu sekali, mengapa kalian menangis. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan. Sesekali pandangan matanya ke atas, seakan memandang langit yang biru.
"Bocah edan! Jangan kira kami kalah olehmu!" dengus Kadri semakin penasaran dan sengit, menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila yang konyol, dan menjengkelkan.
"Hi hi hi! Aha, kurasa aku tak menyuruh kalian mengalah. Ah, kalian lucu sekali...!" ejek Sena sambil cekikikan.
"Kurang ajar! Mulutmu harus dibeset, Pendekar Gila!" bentak Ranjani sengit.
"Hi hi hi, kalian minta kubeset mulutnya" Aha, baiklah kalau itu yang kalian minta. Ayo...!" sahut Se-na.
"Kurang ajar! Heaaa...!" Wut! "Yeaaa...!" Kadri dan Ranjani yang sudah tak sabar melihat tingkah laku Pendekar Gila, segera kembali melesat dengan serangan yang lebih dahsyat. Kali ini keduanya mulai mengerahkan jurus pamungkas yang dinamakan jurus 'Sepasang Demit Menculik Perawan'.
Wrt! "Hi hi hi...!" Sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila segera menarik tubuh ke belakang. lalu meliuk ke samping dengan tubuh agak merunduk, serta menarik kedua tangan dengan telapak tangan membuka. Telapak tangannya diletakkan ke sisi pinggang, lalu dengan cepat dan bergantian dihentakkan ke arah kedua lawan. Itulah jurus 'Si Gila Melempar Batu'.
Wrt! "Akh!"
"Ukh! Ilmu setan...!" maki Ranjani, ketika tiba-tiba tubuhnya tak mampu bergerak maju. Karena dari kedua telapak tangan Pendekar Gila yang bergerak seperti melempar, keluar angin kencang yang menghantam tubuh mereka.
Bugk, bugk...! "Aduh! Ilmu setan!" maki Kadri.
"Akh...!" Kedua lawannya terdesak oleh lemparanlemparan aneh yang dilakukan Pendekar Gila. Hal itu membuat Sena tertawa terbahak-bahak kegelian. Kepalanya yang tergeleng-geleng digaruk-garuk dengan tangan kirinya.
Sementara itu, kedua orang yang menyerang Kinanti turut terbelalak kaget, menyaksikan jurus aneh yang dilakukan Pendekar Gila.
Dalam keadaan kedua lawannya lengah, Kinanti bergerak cepat melakukan serangan. Dengan ganas pedangnya dibabatkan ke tubuh lawan.
"Heaaa...!" Wrt! "Hait! Awaaas...!" seru Gento mengingatkan Sampian yang segera berkelit kemudian dengan cepat pula Gento balas menyerang dengan sabetan senjata cluritnya.
"Heaaa...!" Wrt! Trang! Dua senjata yang beradu, menimbulkan dentang nyaring yang diiringi percikan api. Kedua lelaki berselubung melompat ke belakang. Kinanti merasakan tangannya agak gemetar. Hal itu membuat kedua lawannya segera tahu sampai di mana kekuatan tenaga dalam gadis itu.
"Serang lagi, Gento!" ajak Sampian.
"Ayo! Rupanya gadis ini tak seberapa ilmunya dibandingkan pemuda gila itu," sahut Gento.
"Heaaa!"
"Yeaaat..!" Kedua lelaki berselubung hitam itu kembali melesat menyerang Kinanti. Clurit di tangan mereka bergerak cepat siap membabat Kinanti.

***

Kinanti yang tak menyangka kalau akan diserang begitu cepat dan dahsyat secara bersamaan, tersentak kaget. Matanya terbelalak, ketika clurit lawan berkelebat dengan cepat dan mengarah ke bagian tubuh yang mematikan.
"Heaaa...!" Wrt! "Celaka!" pekik Kinanti dengan mata terbelalak.
Hatinya mulai merasa tak bakal dapat bergerak leluasa mengelakkan serangan kedua lawan. Dalam keadaan yang membahayakan dan mengancam nyawa Kinanti, tiba-tiba....
"Heaaa...!" Sesosok bayangan berkelebat cepat, berjumpalitan di udara beberapa kali. Kemudian dengan ringan, sosok bertelanjang dada itu menggerakkan tangan ke clurit yang mengancam nyawa Kinanti.
Tep, tep! Begitu cepat tangan orang itu merenggut kedua gagang clurit kedua lawan Kinanti.
Des! Ukh! "Akh!" Dua orang yang menyerang Kinanti terpekik lirih. Tubuh mereka terhuyung beberapa langkah ke belakang. Clurit mereka kini telah beralih ke tangan seorang pemuda bertelanjang dada. Pemuda itu tersenyum, lalu dengan enaknya mematahkan kedua clurit di tangannya bagaikan mematahkan sepotong kayu.
Trak! Trak! Semakin terbelalak saja mata kedua orang lawan Kinanti, saat menyaksikan pemuda bertubuh tinggi tegap itu dengan mudah mampu mematahkan clurit mereka.
"Kakang Mahesa...!" seru Kinanti, setelah tahu siapa lelaki yang menolongnya.
"Minggat kalian dari sini, atau Mahesa Lanang akan membunuh kalian!" bentak Mahesa Lanang dengan mata menatap tajam dua orang lawan Kinanti yang dengan takut-takut bangun, lalu lari tunggang langgang. Melihat kedua temannya lari, dua orang yang mengeroyok Pendekar Gila seketika turut kabur ketakutan.
"Husy..., husy...! Hua ha ha...! Lucu sekali kalian...!" seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Dengan cengengesan tubuhnya berbalik, lalu memandang Kinanti dan Mahesa Lanang. Lelaki bertubuh tegap itu memandang dengan tersenyum-senyum pada Pendekar Gila. Pendekar Gila melangkah mendekati Kinanti yang masih berdiri di samping Mahesa Lanang. Mulutnya cengengesan, seperti orang tak waras. Hal itu membuat Kinanti tersenyum-senyum kegelian.
"Aha, selamat berjumpa lagi, Mahesa Lanang! O, terima kasih atas bantuanmu!" ujar Sena sambil membungkukkan tubuh, memberi hormat. Sedangkan tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. Sehingga nampak lucu gerakan menjura hormatnya di depan Mahesa Lanang. Kinanti tersenyum, bahkan tertawa tawa cekikikan menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala dengan mata berbinar-binar.
"Hm, kurasa guru memberi tanggung jawab pada orang yang salah," gumam Mahesa Lanang.
"Untuk melindungi diri sendiri saja tak becus, apalagi melindungi adik seperguruanku?" Pendekar Gila dan Kinanti tersentak mendengar ucapan Mahesa Lanang. Mata mereka terbelalak, tak percaya kalau Mahesa Lanang akan berkata begitu.
Meski ucapan Mahesa Lanang terasa menyakitkan, Pendekar Gila malah tertawa terbahak-bahak.
"Ah ah ah, memang aku ini tolol! Melindungi diri sendiri saja belum becus. Ah, dasar tolol...!" gumam Sena sambil cengengesan.
Kepalanya didongakkan ke langit, sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi..., ah, kurasa kesombongan sangat buruk akibatnya. Kesombongan seseorang akan membuat mata hati tak mampu melihat kelemahannya." Mahesa Lanang menarik napas dalam-dalam, merasa ucapan Pendekar Gila telah menyindirnya.
Namun, pemuda bertelanjang dada itu nampak berusaha menahan amarahnya. Dia berusaha tersenyum, meski senyumnya terasa datar dan terpaksa.
"Hm, kurasa aku tak angkuh dan merasa besar, Pendekar Gila. Aku bicara atas dasar kenyataan," jawab Mahesa Lanang tegas.
"Aha, kurasa aku tak mengatakan kau angkuh atau sombong. Tetapi, bagaimanapun juga, tak baik orang terlalu merendahkan orang lain, yang akan menimbulkan sikap sombong tadi...," sahut Pendekar Gila dengan cengengesan.
"Jika orang telah terkena pengaruh iblis, dia akan lupa segalanya. Lupa pada diri sendiri, juga pada Hyang Widi."
"Hm, kau memang pintar bertutur kata, Pendekar Gila. Pantas, kalau adik seperguruanku dalam sekejap saja sudah jatuh cinta padamu," cibir Mahesa Lanang, yang membuat Kinanti mendelik marah.
"Kakang Mahesa, jangan asal ngomong!" dengus Kinanti.
"Kau kini berani padaku, Kinanti?"
"Ah ah ah, sudahlah...! Kenapa kalian mesti ribut-ribut! Kurasa tak baik seorang kakak beradik seperguruan bertengkar," ujar Sena berusaha melerai keduanya.
"Mahesa, kurasa kami harus melanjutkan perjalanan."
"Hendak kau ajak ke mana Kinanti?" tanya Mahesa Lanang. Nada suaranya menunjukkan rasa tak senang. Matanya menatap wajah Kinanti yang cemberut diam.
"Aha, seperti yang guru kalian katakan, Kinanti akan ikut bertualang bersamaku," jawab Sena dengan cengengesan.
"Hm, begitu?" tanya Mahesa Lanang.
"Ya," tegas Kinanti.
"Aku ingin mencari pengalaman hidup di rimba persilatan."
"Baiklah. Hati-hatilah kalian!" pesan Mahesa Lanang sambil melesat pergi, membuat Kinanti dan Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudahlah, Sena. Tak usah kau pikirkan! Memang begitu sifatnya," ujar Kinanti sambil melangkah mendekati Sena yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Keduanya pun segera melanjutkan perjalanan.

***

Mahesa Lanang terus berlari menuju Hutan Pengantin, tempat Catur Demit berada. Sampai di tempat tujuan, dilihatnya hutan itu sangat sepi. Seakan keempat Catur Demit telah pergi dari hutan itu.
Mereka merasa takut, kalau-kalau Mahesa Lanang akan memburu mereka.
"Kurang ajar! Catur Demit, keluar kalian!" teriak Mahesa Lanang dengan geram.
Kakinya melangkah dengan tenang, memasuki Hutan Pengantin.
Tak ada jawaban yang terdengar. Mahesa Lanang mendengus sengit, dengan mata merah memandang penuh beringas ke sekeliling hutan itu. Dia benar-benar marah, merasa dipermainkan Catur Demit.
"Catur Demit, keluar kalian! Atau kuobrakabrik tempat kalian"!" seru Mahesa Lanang sambil terus melangkah masuk ke Hutan Pengantin. Srak! Terdengar suara kaki menginjak daun kering di samping kanan dan kiri Mahesa Lanang. Seketika wajahnya menoleh ke asal suara itu. Nafasnya mendengus laksana banteng terluka dan marah.
"Kurang ajar! Keluar kalian, cepat...!" bentak Mahesa Lanang. Suaranya menggelegar, memecahkan kesunyian Hutan Pengantin. Burung-burung yang ada di hutan itu, seketika beterbangan.
"Ada apa kau berteriak-teriak begitu, Mahesa?" tanya Ranjani, pimpinan Catur Demit.
Mahesa Lanang menoleh ke asal suara. Dilihatnya telah berdiri empat lelaki berwajah garang. Empat lelaki yang telah diperintahnya agar membunuh Pendekar Gila, tetapi gagal.
"Cuih! Menghadapi pemuda edan saja kalian tak becus! Kalian malah berani berlagak di hadapanku!" dengus Mahesa Lanang sengit. Matanya menatap tajam keempat Catur Demit.
"Dia berilmu tinggi, Mahesa," sahut Ranjani.
"Cuih!" Mahesa Lanang kembali meludah. Matanya garang menatap keempat lelaki di depannya.
"Kalian lebih takut Pendekar Gila daripada padaku, heh"!" Keempat Catur Demit menghela napas dalam-dalam, berusaha tenang dan menahan sabar.
"Kalian tak ubahnya kecoa busuk yang tak ada gunanya!" ejek Mahesa Lanang sambil mencibir.
Mendengar ejekan itu, Catur Demit marah. Gigi-gigi mereka bergemerutuk keras menahan geram.
Keempatnya merasa harga diri mereka telah dilecehkan, bahkan diinjak-injak Mahesa Lanang. Mereka memang telah gagal menunaikan tugas, tapi mereka tak rela kalau Mahesa Lanang terus menghina seperti itu.
"Mahesa Lanang, kami sudah sabar. Selama ini, kami selalu menurut. Tetapi rupanya kau semakin menginjak-injak harga diri kami," dengus Gento sengit.
Matanya tak kalah tajam menatap wajah Mahesa Lanang. Mahesa Lanang mencibirkan bibirnya, mengejek mereka.
"Masih juga kalian punya harga diri. Hm, harga diri kalian sama dengan bangkai busuk bagiku! Dan kalian tentunya sudah tahu, apa yang harus kalian lakukan, bukan?" dengus Mahesa Lanang masih menunjukkan kebengisannya.
"Tidak! Kami tak mau bunuh diri," sahut Gento, lelaki bertubuh gemuk dan berwajah bulat ditumbuhi cambang bauk lebat.
"Hm, jadi kalian menantangku"!"
"Terserah. Yang jelas, kami tak mau diperbudak lagi, Mahesa!" sahut Kadri.
"Kurang ajar! Heaaa...!" Dengan penuh amarah, Mahesa Lanang melesat menyerang Catur Demit. Kedua tangannya melayang, kemudian berusaha mencengkeram pundak salah seorang Catur Demit itu.
"Heaaa...!"
"Awas!" seru Ranjani mengingatkan ketiga rekannya agar segera mengelakkan serangan Mahesa Lanang. Namun ternyata salah seorang di antara mereka kurang cepat dalam bergerak. Sehingga....
Trep! Tangan Mahesa Lanang mencengkeram pundak Sampian. Kemudian dengan sekuat tenaga, mengadukan kepalanya dengan kepala Sampian. Maka....
Prak! "Akh...!" Sampian menjerit keras. Dia tak mampu melakukan perlawanan, karena gerakan Mahesa Lanang begitu cepat. Tubuhnya terpental ke belakang dengan kepala pecah berantakan. Sesaat tubuhnya mengejang sekarat, kemudian ambruk dan tewas.
Menyaksikan temannya tewas, tiga orang dari Catur Demit segera menyerang Mahesa Lanang dengan pukulan-pukulan sakti mereka yang dinamakan 'Sambar Warang Demit'. Tangan mereka merah membara seperti mengandung api.
"Heaaa!"
"Yeaaat..!"
"Mampus kau, Mahesa! Heaaa...!" Tubuh mereka melesat dari tiga arah. Setelah berjumpalitan, ketiganya menukik dan menghantamkan pukulan maut ke tubuh Mahesa Lanang.
"Hm...," Mahesa Lanang bergumam sambil mencibir. Dia tak berusaha berkelit bahkan dadanya dibusungkan, agar dihantam ketiga lawannya.
Bugk! Bugk...! Tiga pukulan sakti bergantian memukul tubuh dan kepala Mahesa Lanang. Namun pemuda itu malah tertawa terbahak-bahak. Sementara ketiga lawan terpental ke belakang dengan darah meleleh dari mulut mereka.
"Ukh!"
"Benar-benar ilmu iblis!" dengus Gento.
"Apa usaha kita, Kakang Ranjani?" tanya Kadri putus asa.
"Kita serang lagi dengan aji 'Lebur Geni'," ajak Ranjani.
"Ayo! Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
"He he he...! Keluarkan seluruh kesaktian kalian. Sebelum kalian mampus...!" seru Mahesa Lanang sambil tertawa terkekeh dengan membusungkan dadanya. Degk! Degk! Bugk! Tiga pukulan kembali mendarat telak di tiga bagian tubuh Mahesa Lanang.
"Hah..."!" Ketiga orang Catur Demit kembali terpental deras ke belakang dengan menyemburkan darah dari mulut. Mereka tak mampu menghancurkan tubuh Mahesa Lanang dengan ajian 'Lebur Geni'. Malah kini mereka terkena serangan balik dari ajian itu.
"Hoak...!"
"Ha ha ha...!" Ketiga orang dari Catur Demit muntah darah dengan wajah pucat pasi. Mereka belum percaya dengan apa yang baru saja dialami. Pukulan maut yang mereka hantamkan ke tubuh Mahesa Lanang, bukanlah pukulan sembarangan. Pukulan itu mampu meleburkan gunung. Namun, Mahesa Lanang tak mempan.
Bahkan kini tertawa terbahak-bahak sambil melangkahkan kaki menghampiri Kadri yang semakin tegang.
"Jangan..., ampuni selembar nyawaku," ratap Kadri mengharap Mahesa Lanang mau mengampuni.
"Hm, kuberi kau ampun." Trep! Mahesa Lanang mencengkeram pundak Kadri, kemudian membangunkannya dari duduk. Hal ini membuat lelaki itu semakin ketakutan.
"Jangan.... Ampun...." Belum selesai ucapan Kadri, Mahesa Lanang telah mendahului mengadukan kepala Kadri dengan kepalanya. Prak! "Aaakh...!" Pekikan kematian melengking terdengar dari mulut Kadri. Kepalanya pecah. Tubuhnya terpental ke belakang dengan darah berhamburan dari mulut hidung, dan telinga. Otaknya keluar, bersama dengan darah. Sesaat tubuhnya mengejang sekarat, kemudian mati. Melihat dua orang temannya telah tewas, tumbuh semangat dalam jiwa Ranjani dan Gento. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, keduanya bangun dan menyerang. Mungkin mereka berpikir lebih baik melawan, ketimbang merengek minta ampun yang pada akhirnya juga mati di tangan Mahesa Lanang.
"Mahesa Lanang, kupertaruhkan nyawaku untuk melawanmu. Heaaa...!" Ranjani melesat, diikuti Gento dengan pukulan 'Sambar Warang Demit'nya.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Mahesa Lanang menggeram. Kedua tangannya digerakkan ke atas dengan jari-jari terbuka.
Kemudian dengan erangan keras, disertai dengusan yang mengeluarkan angin dari hidung dan telinga, Mahesa Lanang melesat memapaki serangan lawan.
"Heaaa!" Wrt! Prak! Prak! "Aaa...!"
"Aaakh!" Ranjani dan Gento menjerit, ketika tangan Mahesa Lanang menghantam dada mereka sampai jebol.
Tubuh keduanya terpental deras ke belakang dengan darah muncrat dari mulut. Tubuh mereka membentur pohon, lalu ambruk dan tewas dalam keadaan mengerikan. Mahesa Lanang mencibir, lalu dengan senyum dingin kakinya melangkah meninggalkan keempat mayat Catur Demit yang terkapar dalam keadaan tubuh mengenaskan. Hutan Pengantin kembali sepi, seakan turut berbelasungkawa atas kematian penghuninya.

***



::↨┌ 5 ┘↨::

Malam menyelimuti Desa Bangkalan yang terletak di sebelah utara Desa Cadas Putih. Dengan adanya kematian Tarbiun, maka karapan sapi yang rencananya dilakukan tadi pagi, terpaksa diundur. Hal itu karena para pemilik sapi peserta karapan turut berbelasungkawa atas kematian Tarbiun. Padahal Tarbiun merupakan juara bertahan, yang harus mempertahankan sapinya agar dapat memenangkan pertandingan.
Namun karena Tarbiun meninggal, kini pertandingan karapan harus dimulai dengan perebutan juara lagi. Hal itu juga harus dibicarakan para peserta yang akan mengikutsertakan sapinya dalam karapan nanti.
Malam itu, Ki Jenar nampak gelisah. Lelaki tua ini tak habis pikir, mengapa Tarbiun dan kelima jawaranya dapat dibunuh dengan mudah. Padahal kelima jawara Tarbiun bukan orang-orang sembarangan. Mereka merupakan jawara-jawara pilihan yang dibayar cukup mahal. Bahkan pemilihannya pun tak tanggung-tanggung harus melalui persambungan nyawa.
Jadi kelima jawara itu merupakan para tokoh yang telah mampu menghabisi nyawa para tokoh saingan mereka. Namun, centeng-centeng itu tak dapat berbuat banyak menghadapi seorang pemuda yang mengaku berjuluk Banteng Sumenep.
"Hm, siapa sebenar Banteng Sumenep itu?" gumam Ki Jenar lirih.
"Betapa hebat pemuda itu, hingga mampu mengalahkan lima orang jawara Tarbiun." Ki Jenar masih termangu dengan pikirannya.
Entah mengapa, semenjak kejadian yang menyangkut masalah Tarbiun, hati dan pikirannya tak dapat tenang. Batinnya selalu disergap gelisah dan merasa bersalah, karena pada waktu kejadian itu, dirinya enak-enakan tidur bersama seorang wanita. Padahal malam itu suasana pasti sangat ribut. Mungkin tubuhnya terlalu penat setelah bercumbu dengan seorang penari ronggeng.
Malam terus merangkak. Meskipun cahaya bulan masih terang, suasana mencekam seakan hendak membinasakan kehidupan di Desa Bangkalan. Suara binatang malam, seperti turut menyemarakkan malam di bawah temaram cahaya bulan. Angin malam juga berhembus seakan-akan membisikkan suatu cerita kehidupan. Ki Jenar masih gelisah. Nyi Awing, istrinya bukan tak memperhatikan sikap suaminya. Kini matanya menatap tajam wajah Ki Jenar. Rasa cemburu pun menggeluti hati Nyi Awing. Dia sudah menduga apa sebenarnya yang dipikirkan suaminya. Wanita itu juga tahu benar bahwa suaminya seorang tua-tua keladi.
"Mikir perempuan lain ya, Kang...?" tanya Nyi Awing dengan tatapan mata penuh curiga. Wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu bangun dari tidurnya, lalu duduk dengan mata masih memandangi sang Suami. Ki Jenar mendesah lirih, lalu menatap wajah, sang Istri dengan pandangan jengkel.
"Kamu itu, Nyi! Jangan suka berprasangka buruk!" bentaknya tak senang dituduh memikirkan gadis lain.
"Aku berpikir, siapa sebenarnya orang yang telah mengalahkan kelima jawara Tarbiun" Padahal, kelimanya bukan orang sembarangan."
"Lho, bukankah Kakang di sana waktu kejadian itu?" tanya Nyi Awing dengan kening berkerut, mendengar ucapan suaminya yang semakin membuatnya curiga. Hatinya semakin curiga, kalau-kalau suaminya kemarin malam bukan mencari nafkah, melainkan hanya bersenang-senang dengan perempuan.
Ki Jenar tersentak kaget, mendengar pertanyaan istrinya. Dia tak menduga, kalau istrinya akan bertanya seperti itu. Hampir saja terbongkar belangnya, kalau saja Ki Jenar tak segera memperbaiki ucapannya.
"Maksudku, aku juga melihat kejadian itu.
Wuah, tak kusangka kalau masih muda begitu mampu mengalahkan lima jawara sekaligus. Padahal kelima jawara itu orang-orang pilihan," ujar Ki Jenar sambil menggeleng-gelengkan kepala, sepertinya merasa kagum akan kehebatan pemuda itu.
Nyi Awing mengerutkan kening, matanya masih menatap tajam Ki Jenar yang terduduk dengan helaan napas panjang. Seakan-akan berusaha hendak menunjukkan bagaimana perasaannya menyaksikan kejadian kemarin malam itu, agar istrinya tak lagi menaruh perasaan curiga.
"Lalu mengapa kau gelisah?" tanya Nyi Awing masih belum juga percaya pada suaminya. Seakan ra-sa curiga masih tetap membelit di hati wanita berpakaian kebaya kuning itu.
"Gelisah" Ah, kurasa aku tak gelisah," kilah Ki Jenar berusaha menutupi perasaannya. Dicobanya untuk tersenyum, walau sangat terpaksa. Pikirannya masih berkecamuk tentang pemuda yang mengaku berjuluk Banteng Sumenep.
Nyi Awing menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir tersenyum tipis, menyaksikan tingkah laku suaminya.
"Kalau tak memikirkan apa-apa, tidurlah! Sudah malam. Udara tak baik untuk kesehatanmu, Kang," ujar Nyi Awing, berusaha menasihati suaminya yang tampak masih gelisah.
Ki Jenar menghela napas, berusaha perlahanlahan hendak merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
Namun, tiba-tiba....
Brak! Terdengar suara pintu rumah Ki Jenar didobrak dari luar. Suami istri itu tersentak kaget. Ki Jenar yang semula hendak membaringkan tubuh untuk tidur, terlonjak kaget. Begitu juga dengan Nyi Awing.
"Hei, siapa itu"!" teriak Ki Jenar seraya bangun dari tempat tidur. Disambarnya tongkat bergagang ular, kemudian diikuti istrinya Ki Jenar melangkah keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Mata Ki Jenar terbelalak, ketika seorang pemuda bertelanjang dada telah berdiri di dalam rumahnya.
"Selamat malam, Ki Jenar...!" sapa pemuda itu dengan senyum mengembang, seakan menunjukkan keramahan. Namun, dilihat dari matanya yang merah membara, jelas pemuda itu tengah diliputi perasaan marah. Hal itu yang membuat Ki Jenar dan Nyi Awing mengerutkan kening, memandang tajam pemuda yang berdiri sekitar tiga tombak di hadapan mereka.
"Siapa kau, Anak Muda" Mengapa malammalam begini datang, dengan cara yang aneh?" tanya Ki Jenar agak marah. Anak muda itu dianggapnya terlalu berani dan kurang ajar.
"Aku...?" pemuda bertubuh tegap dan bertelanjang dada itu balik bertanya, seakan tak mendengar jelas apa yang ditanyakan Ki Jenar.
"Aku Banteng Sumenep." Terbelalak mata Ki Jenar dan Nyi Awing, setelah tahu siapa pemuda yang berdiri di hadapan mereka. Sedangkan Banteng Sumenep malah tersenyumsenyum, seakan menghina dan mengejek lelaki tua itu.
"Jadi, kau...?" Belum juga Ki Jenar habis berkata, pemuda bertubuh tegap itu telah mendahului.
"Ya! Akulah Banteng Sumenep, yang akan mencabut nyawa busukmu!" bentak pemuda yang bernama asli Mahesa Lanang itu.
Semakin membelalak mata Ki Jenar, mendengar ucapan Mahesa Lanang. Apalagi Nyi Awing. Wanita tua itu semakin pucat pasi wajahnya. Meskipun saat itu sedang benci pada suaminya yang tua-tua keladi, tapi mendengar ancaman pemuda itu, rasa kesetiaan sebagai seorang istri tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Bagaimanapun juga, hatinya merasa takut kalau harus ditinggal mati Ki Jenar.
"Lancang sekali mulutmu, Bocah! Ada urusan apa denganku"!" bentak Ki Jenar antara kaget dan marah. Mata lelaki tua yang menjadi seorang dukun itu melotot garang. Sepertinya tak merasa takut sedikit pun pada Mahesa Lanang.
Mahesa Lanang atau Banteng Sumenep mencibir. Matanya yang merah, menatap tajam wajah Ki Jenar. Seolah-olah dengan tatapan itu Mahesa Lanang ingin menusuk dada lelaki tua bertubuh bungkuk itu.
"Sudah kukatakan, aku datang untuk mencabut nyawa busukmu, Orang Tua!"
"Apa urusan kita"!" bentak Ki Jenar masih belum mengerti alasan Mahesa Lanang hendak membu- nuhnya. Padahal dia dan pemuda itu belum pernah ada sangkut paut apa pun.
"Hm, masih saja kau tak ingat, Tua Bangka! Tidak ingatkah kau dengan peristiwa dua puluh tahun yang silam" Ketika terjadi pembunuhan terhadap seorang lelaki di arena pertandingan karapan" Kejadian itu telah menyebabkan seorang anak berusia lima tahun hidup terlunta-lunta!" tutur Mahesa Lanang menjelaskan.
Ki Jenar dan Nyi Awing terdiam, tak berkata sepatah kata pun. Tampaknya lelaki tua itu tengah berusaha mengingat-ingat kejadian dua puluh tahun yang silam. Namun Ki Jenar tak juga dapat mengingat peristiwa yang dimaksud Mahesa Lanang. Dia merasa tak pernah melakukan kekejian itu.
"Aku tak ingat. Siapa nama lelaki yang terbunuh itu?" tanya Ki Jenar masih diliputi ketidakmengertian, serta rasa jengkel pada pemuda yang mengaku Banteng Sumenep.
"Simbar Kanginan.... Kau ingat dengan nama itu, Orang Tua Keparat"!" dengus Mahesa Lanang. Matanya semakin tajam, menatap lekat Ki Jenar. Sedangkan lelaki tua itu masih terpaku dengan kening berkerut, tengah berusaha mengingat-ingat apa yang dikatakan Mahesa Lanang.
"Simbar Kanginan...?" desis Ki Jenar, berusaha mengingat-ingat nama itu.
"Ya! Simbar Kanginan, seorang juragan di Sumenep yang kalian bantai pada saat pertandingan karapan sapi, dua puluh tahun silam," dengus Mahesa Lanang, berusaha mengingatkan kejadian-kejadian yang pernah terjadi dua puluh tahun silam, yang juga mengakibatkan dirinya terkatung-katung hidup tanpa orang tua. Semakin mengerut kening Ki Jenar, mendengar penuturan Mahesa Lanang. Dia merasa tak pernah melakukan semua itu, atau barangkali tidak ingat sama sekali. Namun Ki Jenar merasa tak pernah melakukan tindakan biadab itu. Tak ada tindakan pembantaian yang melibatkan dirinya, pada dua puluh tahun yang silam. Mengapa bocah ini datang-datang menuntut balas" Hm, kurasa ada yang tak beres. Mungkin ada yang bermaksud mengadu domba antara bocah ini denganku, juga dengan Tarbiun! Gumam Ki Jenar dalam hati. Matanya masih menatap tajam pada Mahesa Lanang.
"Bagaimana, Ki" Apakah kau telah siap untuk mati..." tanya Mahesa Lanang dengan suara penuh kebencian pada lelaki tua di depannya. Matanya semakin tajam, menatap bengis wajah Ki Jenar.
"Cuih, sombong! Jangan kira aku takut menghadapimu, Anak Muda!" dengus Ki Jenar sengit, sementara istrinya masih diam. Ada perasaan takut menyelinap di benak Nyi Awing. Melihat tatapan mata Mahesa Lanang, Nyi Awing sudah menduga kalau pemuda itu bukan pemuda sembarangan.
"Bagus kalau memang begitu," ujar Mahesa Lanang dengan suara sinis.
"Bersiaplah! Apakah kau akan menyerangku dulu, Ki" Silakan...."
"Sombong!" dengus Ki Jenar.
"Kau kira dirimu dewa, terlalu besar kepala kau, Anak Muda!"
"Aku tidak besar kepala, Ki. Jika aku yang menyerang lebih dahulu, takkan ada kesempatan bagimu membalas seranganku," ujar Banteng Sumenep dengan senyum sinis masih mengembang di bibir-nya.
"Huh, baik kalau itu maumu, Bocah! Bersiaplah!"

***

Ki Jenar menyurut mundur tiga langkah, diikuti istrinya yang khawatir terhadap nasib suaminya.
Meski dia tahu suaminya bukan orang sembarangan, tetapi dibandingkan dengan usia lawannya, jelas tenaga suaminya berada jauh di bawah pemuda itu.
"Hati-hati, Kang! Kulihat hawa membunuh terpancar dari matanya," bisik Nyi Awing, berusaha mengingatkan suaminya agar tidak gegabah menghadapi pemuda itu.
"Hm, jangan khawatir, Nyi! Akan kurobek mulut besarnya," dengus Ki Jenar sengit "Hm, kenapa kau masih diam, Ki" Apa akan kau biarkan nyawamu melayang...?" tanya Mahesa Lanang masih dengan senyum sinis menghias di bibirnya.
"Cuih! Kurang ajar! Bersiaplah! Heaaa...!" Ki Jenar kemudian melesat menyerang Mahesa Lanang dengan memutar tongkat berkepala ularnya.
Tongkat itu bergerak cepat, hingga mengeluarkan angin yang menderu-deru dan terasa panas. Namun Mahesa Lanang masih tetap tenang, dengan bibir masih mengulas senyum. Pemuda itu sama sekali tak takut menghadapi gebukan tongkat Ki Jenar.
"Heaaa...!" Wrt! Tongkat di tangan Ki Jenar terus berputar, kemudian dengan keras menghantam ke tubuh Mahesa Lanang. Begk! Begk! "Ukh...!" Ki Jenar tersentak kaget, dan segera melompat ke belakang, ketika melihat apa yang terjadi. Mahesa Lanang hanya tersenyum, seakan tak merasakan apaapa. Meskipun lelaki tua itu menghantamkan tongkatnya dengan tenaga dalam penuh. Padahal, dulu pernah sebuah batu karang sebesar kerbau dapat dihancurkan dengan tongkat kayu bergagang ular itu. Tapi kini, Ki Jenar harus membuka mata lebar-lebar. Istrinya juga terperangah menyaksikan apa yang terjadi.
Dia seakan berada di alam mimpi, menyaksikan kejadian itu. Bocah itu tak mempan digebuk tongkat saktinya! Nyi Awing tahu kehebatan tongkat suaminya, namun kini tongkat itu tak berarti sama sekali. Tubuh pemuda itu seperti baja yang sangat kuat tak mempan dipukul tongkat kayu berwarna hitam itu.
"Kang...!" desis Nyi Awing menyaksikan suaminya limbung beberapa langkah ke belakang dengan wajah pucat. Wanita tua itu segera menubruk tubuh suaminya, takut kalau Ki Jenar mengalami hal-hal yang tak diinginkan.
"Kau tak apa-apa, Kang?"
"Tidak, Nyi. Hm, dia bukan pemuda sembarangan, Nyi. Tubuhnya seperti kebal terhadap segala macam senjata," desis Ki Jenar dengan napas terengah, bagaikan habis berlari kencang.
"Bagaimana, Ki" Apakah kau masih ingin menyerang lagi" Karena kuberi kau kesempatan tiga kali," ujar Mahesa Lanang dengan keangkuhannya.
"Cuih! Jangan dikira kau sudah menang, Bocah! Bersiaplah menghadapi seranganku yang kedua.
'Wilang Waling'. Heaaa...!" Tubuh Ki Jenar kembali melesat dengan tangan bergerak cepat bagaikan berputar. Telapak tangannya mendadak berubah hijau kekuningan.
"Hm, ilmu kuno kau gunakan, Ki," ujar Mahesa Lanang. Kemudian tenaga dalamnya disalurkan ke seluruh tubuh.
"Heaaa...!" Tubuh Ki Jenar semakin melesat dengan cepat, memburu tubuh Mahesa Lanang. Tangannya yang menyala dan berwarna hijau kekuningan telah terbuka, lalu bergerak memutar begitu cepat laksana balingbaling.
"Heaaa...!" Degk! Degk! "Ukh!" Ki Jenar kembali terpekik pendek, tubuhnya terlontar ke belakang. Meleleh darah segar dari mulutnya. Matanya membelalak tegang, tak percaya pada apa yang tengah dialami.
"Kakang...!" Nyi Awing berseru kaget, menyaksikan tubuh suaminya terpelanting ke belakang. Beruntung Ki Jenar masih bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya, sehingga tak menghantam dinding rumahnya.
Dengan berjumpalitan beberapa kali, Ki Jenar mendarat di lantai. Sesaat tubuhnya terhuyung tiga langkah ke belakang.
"Kau...!" Mahesa Lanang tersenyum kecut. Matanya masih menatap tajam wajah Ki Jenar. Wajah lelaki tua itu semakin pucat pasi, seperti tanpa dialiri darah. Pukulan 'Wilang Waling'nya yang terkenal mampu melebur- kan dan memporak-porandakan hutan, tak berarti sama sekali bagi tubuh Mahesa Lanang.
"Bagaimana, Ki" Kau masih ada satu kesempatan lagi untuk menyerangku," kata Mahesa Lanang dengan senyum datar, menunjukkan kesombongannya. Dadanya semakin dibusungkan, seakan hendak menunjukkan kekokohan tubuhnya.
"Cuih! Kini giliranmu, Bocah! Aku telah siap!" kata Ki Jenar marah, merasa direndahkan.
"Hm, begitu...?"
"Ya! Aku siap!"
"Bagus! Bersiaplah untuk mati, Ki." Mahesa Lanang menarik napas dalam-dalam, kemudian dengan tenang kakinya melangkah mendekati Ki Jenar yang tegang. Begitu pula Nyi Awing, dicekam ketegangan menyaksikan apa yang bakal terjadi pada suaminya. Mahesa Lanang terus melangkah, kemudian kedua tangannya direntangkan. Telapak tangannya dibuka saling berhadapan. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, Mahesa Lanang menghentakkan kedua telapak tangannya.
"Heaaa!" Prak! "Akh...!"
"Kakang...!" Nyi Awing menjerit, ketika menyaksikan kepala suaminya hancur berantakan terhantam telapak tangan pemuda itu.
"Bajingan! Kubunuh kau, Bocah Edan!" Mahesa Lanang tersenyum, lalu melesat pergi tanpa menghiraukan kemarahan Nyi Awing yang sesenggukan menangisi kematian suaminya.

***



::↨┌ 6 ┘↨::

Tak lama setelah kepergian Mahesa Lanang dari rumah Ki Jenar, tampak dua orang muda berjalan menyelusuri keremangan malam. Kedua orang muda itu tak lain Pendekar Gila dan Kinanti yang sejak kemarin mengikutinya. Malam itu mereka masih berjalan dalam usaha mencari tempat penginapan. Tiba-tiba keduanya tersentak kaget, ketika mendengar suara isak tangis seorang wanita di tengah malam.
"Sena, suara apa itu?" keluh Kinanti seraya me-rapatkan diri ke tubuh Pendekar Gila. Seakan-akan gadis cantik itu merasa takut, mendengar suara rintihan tangis seorang wanita tua.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah ah ah, kenapa kau takut, Kinanti" Kurasa wanita itu sedang sedih. Ayo, kita cari dari arah mana suara itu!"
"Tidak, Sena! Aku takut"
"Takut.." Aha, takut kenapa" Bukankah seharusnya yang kau takuti justru seorang lelaki sepertiku.
Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan, membuat Kinanti cemberut. Lalu dengan gemas dicubitnya pinggang Pendekar Gila hingga bertambah cekikikan.
"Ah ah ah, sudahlah! Kita harus segera melihat, apa yang terjadi pada wanita tua itu," ajak Sena sambil menggandeng tangan Kinanti menuju ke tempat asal suara tangisan.
Suara isak tangis Nyi Awing masih terdengar, menunjukkan kesedihan. Namun tangisnya terhenti, ketika terdengar suara Pendekar Gila menyapa.
"Selamat malam, Nyai. Kenapa Nyai menangis di tengah malam begini?" tanya Sena.
Nyi Awing menatap tajam wajah Pendekar Gila.
Sepertinya hendak menyelidiki siapa pula pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu.
"Aha, kau tak perlu cemas, Nyai. Aku bukan pemuda jahat..," ujar Sena ketika menyaksikan sorot mata ketakutan Nyi Awing.
"Siapa kalian?" tanya Nyi Awing masih memperhatikan kedua muda-muda itu.
"Apakah kalian teman pemuda yang telah membunuh suamiku?" Pendekar Gila dan Kinanti mengerutkan kening, kemudian saling pandang. Mereka tampaknya berusaha ingin tahu, siapa pemuda yang dimaksudkan Nyi Awing.
"Aha, apakah tadi memang ada seorang pemuda datang ke rumahmu, Nyai?" tanya Sena masih cengengesan. Tiba-tiba Pendekar Gila membelalakkan mata, ketika melihat sesosok tubuh lelaki tua tergeletak di depan wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu.
Kepala lelaki tua itu pecah, sampai keluar otaknya bercampur dengan darah.
"Ya, tadi seorang pemuda bertelanjang dada datang. Dia mengaku berjuluk Banteng Sumenep. Dan..., dia membunuh suamiku...! Hu hu hu...!" Nyi Awing menceritakan apa yang telah terjadi dan menimpa suaminya. Pendekar Gila dan Kinanti kembali mengerutkan kening saling pandang.
"Banteng Sumenep...?" gumam Kinanti.
"Benar, Nini," tegas Nyi Awing.
"Aha, kau kenal nama itu, Kinanti?" tanya Se-na.
Kinanti mengulum bibir dalam-dalam, sepertinya hendak menahan perasaannya yang dalam. Dia kenal betul siapa sebenarnya Banteng Sumenep, yang tiada lain Mahesa Lanang. Kinanti tak habis pikir, mengapa Mahesa Lanang harus membunuh orang" Padahal setahunya, Mahesa Lanang bukan seorang pembunuh. Dahulu kakak seperguruannya itu sangat pengalah.
"Ya," jawab Kinanti sambil menganggukkan kepala.
"Siapa, Kinanti?" tanya Sena penasaran.
"Kakang Mahesa Lanang," jawab Kinanti. Pendekar Gila tersentak kaget mendengar jawaban Kinanti.
"Aha, benarkah Banteng Sumenep itu kakak seperguruanmu...?" tanya Sena belum yakin dengan yang dikatakan Kinanti. Matanya memandang gadis itu, dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya cengengesan, seakan merasa lucu. Itulah tanda kalau Pendekar Gila tengah merasakan kebingungan.
"Ya. Kakang Mahesa Lanang memang mendapat julukan Banteng Sumenep, karena dia berasal dari Desa Sumenep," tutur Kinanti berusaha meyakinkan Pendekar Gila. Sena semakin nyengir dan menggaruk-garuk kepala, mendengar keterangan Kinanti. Pikirannya bertambah tak mengerti, mengapa murid Ki Windu Ajar melakukan perbuatan sekeji itu" Apa alasan Mahesa Lanang membunuh orang" Itu yang menjadi pertanyaan Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali dunia ini," gumam Pendekar Gila sambil menggelenggelengkan kepala. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Malah kini garukannya semakin cepat.
"Lucu, bagaimana mungkin Mahesa Lanang berbuat sekeji itu?"
"Itulah yang sedang kupikirkan, Sena," sahut Kinanti setengah bergumam.
"Selama ini, aku tak pernah melihat keganjilan-keganjilan Kakang Mahesa. Tapi kini, sepertinya aku bagaikan mimpi." Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia merasa dihadapkan pada masalah yang aneh dan sulit untuk diselesaikan. Sehingga teringat kembali kejadian yang dialami di Kerajaan Telaga Emas. Di mana Joko Galing pun mengalami kesesatan. Padahal guru Joko Galing beraliran lurus (Untuk lebih jelasnya, silakan ikuti serial Pendekar Gila dalam episode "Pengkhianatan Joko Galing").
Ah ah ah, mungkinkah masalahnya sama dengan yang dialami Joko Galing" Gumam Sena dalam hati. Pendekar Gila belum mengerti, kenapa Ki Windu Ajar yang terkenal bijaksana dan merupakan tokoh tua yang disegani di Pulau Madura, mempunyai murid durjana seperti Mahesa Lanang.
"Nyai, bisakah kau menunjukkan ciri-ciri pemuda itu yang lain?" tanya Kinanti, ingin meyakinkan dugaannya. Hal itu dikarenakan banyak pemuda di Pulau Madura yang bertubuh tegap dan bertelanjang dada. Siapa tahu ada pemuda lain yang mengaku-aku sebagai Mahesa Lanang.
"Ciri-cirinya, dia memakai kalung berbandul bulat terbuat dari kayu," kata Nyi Awing menjelaskan apa yang sempat dilihatnya pada pemuda itu.
"Apakah bandulnya ada gambar timbulnya, Nyai?" tanya Kinanti lagi.
"Be..., benar. Kau begitu tahu, Nisanak. Hm, kau temannya, ya?" tanya Nyi Awing kembali merasa takut kalau-kalau kedua anak muda itu teman pemuda yang telah membunuh suaminya.
"Aha, jangan takut, Nyai. Bagaimanapun juga, orang yang telah membunuh suamimu harus ditangkap," tukas Sena berusaha menenangkan hati wanita setengah baya itu.
"Benar, Nyai. Meski teman kami, tetapi dia bersalah. Kami harus menangkapnya," sambung Kinanti, membuat Nyi Awing nampak agak tenang.
"Aha! Kami rasa, kami harus segera mengejarnya, Nyai. Ah, maafkan kami kalau tak bisa membantu untuk mengubur mayat suamimu," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Nyai. Kami harus cepat mengejarnya," sambung Kinanti.
"Tapi, apa alasan Banteng Sumenep membunuh suamimu, Nyai?" Nyi Awing tidak menyahut, kepalanya menggeleng karena tak tahu mengapa Banteng Sumenep memusuhi suaminya.
"Jadi Nyai tak tahu?" desak Kinanti.
"Tidak. Aku hanya mendengar, Banteng Sumenep mengatakan tentang kejadian dua puluh tahun yang silam di pertandingan karapan sapi. Menurutnya Ki Jenar terlibat," tutur Nyi Awing.
"Apa" Ki Jenar"!" tanya Kinanti kaget "Jadi suami Nyai ini bernama Ki Jenar...?"
"Benar, Nini. Kau seperti kaget, kenapa?" tanya Nyi Awing ingin tahu, ketika mendengar suara Kinanti yang nampaknya kaget mendengar nama suaminya.
"Hm, Ki Jenar yang menjadi dukun itu?" tegas Kinanti.
"Ya, lihatlah sendiri, Nisanak!" Kinanti mendekati mayat lelaki tua yang tergeletak dengan kepala pecah. Matanya terbeliak, setelah tahu kalau lelaki tua agak bungkuk itu benar Ki Jenar.
"Heran, mengapa Kakang Mahesa membunuh Ki Jenar?" gumam Kinanti.
Seakan pertanyaan itu ditujukan pada diri sendiri.
Sementara Pendekar Gila hanya cengengesan mendengar gumaman Kinanti. Dia pun tak habis pikir mengapa Mahesa Lanang yang dididik Ki Windu Ajati melakukan perbuatan keji. Padahal gurunya bukan orang bodoh dan sesat.
Ah! Manusia memang aneh! Gumam Sena dalam hati. Jadi semua tergantung dari jiwanya. Sehebat apa pun guru mendidik, kalau orang itu memang ber-jiwa sesat tak akan mungkin bisa dirubah! Pendekar Gila cengengesan sambil menggelenggelengkan kepala. Dia masih tak habis pikir. Mahesa Lanang pernah menunjukkan keangkuhannya. Namun tak tampak di wajahnya gambaran seseorang yang membunuh secara keji.
"Mungkin Juragan Tarbiun dan kelima jawaranya juga dibantai Mahesa Lanang, Kinanti," tukas Sena.
"Tentunya begitu, karena kudengar pelakunya juga Banteng Sumenep. Sayang, aku belum melihat dengan mata kepalaku sendiri," gumam Kinanti.
"Kalau saja melihat secara langsung, aku tak akan tinggal diam." Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang ke atas rumah. Genteng rumah tampak samar-samar dalam kegelapan. Kemudian tatapan matanya dialihkan pada sosok Ki Jenar.
"Aha, kalau benar semua ini perbuatan Mahesa Lanang, kita harus segera ke padepokanmu, Kinanti," usul Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
"Untuk apa, Sena?"
"Hi hi hi...! Kau ini lucu sekali, Kinanti. Jelas kita harus segera memberi tahu Ki Windu Ajar tentang kejadian ini. Bukan begitu, Anak Manis?" seloroh Pendekar Gila yang membuat Kinanti cemberut. Mulutnya bersungut-sungut. Melihat hal itu Pendekar Gila semakin menjadi-jadi menggodanya.
"Ayo Sena, kita harus segera ke padepokan!" ajak Kinanti sambil menggandeng tangan Sena.
"Nyai, kami permisi." Kedua muda-mudi itu pun melesat, meninggalkan rumah Ki Jenar. Tak lama kemudian warga Desa Bangkalan berdatangan ke rumah Ki Jenar.

***

Pagi yang sejuk dihembus angin semilir basah.
Desa Wetan Progo yang berada di sebelah timur Desa Bangkalan nampak ramai. Sudah banyak orang yang berlalu lalang untuk melakukan tugas mereka seharihari. Sebuah kedai yang terletak di sebelah selatan Desa Wetan Progo dibuka dan nampak telah ada satu dua pengunjungnya. Tak lama kemudian, kedai itu ramai dikunjungi para pengunjung yang mungkin bermaksud sarapan pagi.
Pendekar Gila dan Kinanti yang dalam perjalanan ke Pegunungan Blige kini nampak melangkah dari arah barat. Keduanya baru saja keluar dari perbatasan antara Desa Wetan Progo dan Desa Bangkalan.
"Wuah, kurasa kita harus istirahat dulu, Kinanti. Perutku lapar sekali," usul Sena sambil menepuk-nepuk perutnya yang terasa lapar. Semua mata orang yang lewat di jalanan Desa Wetan Progo, segera tertuju pada Pendekar Gila dan Kinanti. Mereka sepertinya heran, melihat seorang wanita muda dan cantik berjalan dengan seorang pemuda gila. Bahkan hampir semua orang yang berpapasan dengan Pendekar Gila tersenyum-senyum melihat tingkah laku Sena yang persis orang gila.
"Kok mau-maunya ya, gadis cantik jalan sama pemuda tak waras," celoteh seorang lelaki muda berpakaian kuning loreng hijau.
"Iya, ya" Seperti tak ada pemuda lain. Yang waras dan gagahkan banyak," sahut temannya yang mengenakan baju rompi coklat kehitaman.
"Atau dengan aku...." Mereka tertawa-tawa, membuat Kinanti tersinggung dan hampir marah. Beruntung Pendekar Gila segera menasihati agar Kinanti menahan diri.
"Aha, biarkan apa kata mereka! Hi hi hi..., memang dunia ini gila," ujar Sena dengan tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi mereka kurang ajar, Sena."
"Aha, sudahlah! Perutku sudah sangat lapar," ajak Sena sambil menggandeng tangan Kinanti. Gadis itu hanya menggerendeng. Masalahnya, Kinanti masih jengkel mendengar ucapan orang-orang tadi.
"Kau terlalu halus, Sena!" rungut Kinanti.
"Orang-orang seperti itu harus dihajar."
"Aha, mengapa kau yang marah, Kinanti" Ah, sudahlah...! Yang penting mereka tak menginjak-injak harga diri, bukan?" tukas Sena sambil terus menggandeng tangan gadis itu, menjauhi orang-orang yang masih tertawa-tawa memperhatikan tingkah lakunya.
Dengan masih bersungut-sungut, Kinanti menuruti Pendekar Gila. Keduanya menuju ke kedai.
Kinanti dan Sena sampai di kedai. Keduanya lalu masuk dan mencari tempat duduk. Seperti di luar tadi, semua mata orang di dalam kedai pun kini tertuju pada Sena dan Kinanti. Mereka juga bergumam ketika melihat wanita cantik yang bergandeng tangan dengan orang gila. Namun berbeda dengan orangorang di luar, mereka hanya berani menggerendeng pelan, khawatir kedua muda-muda itu tersinggung lalu menimbulkan keributan di dalam kedai.
Seorang pelayan mendatangi tempat duduk Pendekar Gila dan Kinanti. Pelayan itu pun menge rutkan kening, melihat tingkah laku pemuda yang persis orang gila.
"Aha, kenapa kau diam, Ki?" tanya Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Kemudian diliriknya Kinanti yang hanya terdiam menundukkan kepala. Mungkin hatinya tak enak melihat orang-orang di kedai itu memperhatikan dirinya.
"Pesan apa Tuan?"
"Aha, kami pesan makanan apa saja yang ada di sini," jawab Sena.
Pelayan kedai mengerutkan kening, mendengar permintaan Pendekar Gila. Begitu pula dengan Kinanti, hatinya terkejut mendengar permintaan itu.
"Aha, mengapa masih diam, Ki" Cepatlah sedikit! Aku sudah lapar sekali," ujar Sena dengan suara agak membentak, membuat pelayan kedai bertambah mengkerut. Cepat-cepat lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu langsung bergegas pergi untuk mengambilkan pesanan tamunya yang seperti orang gila itu. Tidak lama kemudian, pelayan kedai telah muncul dengan membawa senampan besar makanan yang dipesan. Kinanti terbelalak melihat makanan itu.
"Hei, siapa yang mau makan sebanyak itu"!" tanya Kinanti kaget seraya menoleh ke wajah Pendekar Gila yang tertawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, tak apa. Bukankah hari ini kita mau pesta" Hua ha ha.... Aha, ayo kita makan!" ajak Sena.
"Taruh di meja, Ki!" Pelayan kedai yang masih heran melihat tingkah laku Pendekar Gila, hanya mampu bengong dan menuruti apa yang diperintahkan.
Setelah meletakkan semua makanan pesanan, pelayan kedai pun berlalu meninggalkan kedua tamunya sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum.
"Dasar bocah edan," gumam pelayan kedai itu seraya melangkah meninggalkan Pendekar Gila dan Kinanti yang mulai menyantap makanan. Semua yang ada di kedai kini memperhatikan Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menyantap makanan.
"Hi hi hi...! Aha, nikmat sekali. Hm, kenyang perutku!" gumam Sena seraya mengusap-usap perutnya. Sementara Kinanti semakin melotot, gemas melihatnya. Tiba-tiba dari pintu luar, masuk lima sosok lelaki berwajah garang.
Kelima lelaki berusia sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun itu mengenakan pakaian merah saga. Wajah mereka dihiasi dengan cambang bauk, dan rata-rata hampir sama garang serta jeleknya. Mereka terkenal dengan sebutan Lima Iblis dari Gempolan. Semua orang yang ada di kedai seketika membelalakkan mata tegang, melihat kehadiran mereka.
Hanya Sena dan Kinanti yang kelihatan tenang, seakan-akan tak peduli dengan kehadiran kelima lelaki berwajah garang itu.
"Lima Iblis dari Gempolan...!" desis orang-orang di kedai dengan mata melotot tegang.

***



::↨┌ 7 ┘↨::

Orang-orang di dalam kedai seperti dihantui perasaan takut, melihat Lima Iblis dari Gempolan. Semua telah kenal benar siapa kelima lelaki itu. Kelimanya terkenal sangat garang dan bengis. Lima Iblis dari Gempolan juga sering melakukan pemerasan terhadap siapa saja, tak pandang bulu.
"Jangan pergi! Kami tak akan membiarkan seorang pun pergi dari kedai ini!" seru Sarpajani, atau lebih dikenal dengan sebutan Iblis Bersenjatakan Cakar.
Karena dia memang menggunakan senjata berbentuk cakar terbuat dari baja murni.
Beberapa orang yang semula hendak angkat kaki dari kedai itu seketika kembali duduk. Tak seorang pun yang berani bangun dari bangkunya.
Lima Iblis dari Gempolan melangkah masuk, mata mereka menatap garang ke sekeliling ruangan kedai. Sepertinya ada seseorang yang sedang dicari.
"Siapa di antara kalian yang dikenal dengan sebutan Pendekar Gila"!" tanya Sarpajani dengan suara ditekan berat.
"Hua ha ha...! Lucu sekali, pagi-pagi begini ada kecoa berkoar. Ah ah ah, membuat perutku yang kenyang jadi mual," gumam Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Kemudian tubuhnya berbalik dan tetap duduk sambil menatap Lima Iblis dari Gempolan.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila"!" bentak Sarpajani.
"Hi hi hi..." Kau gila! Ah ah ah, mengapa kau gila masuk-masuk ke kedai?" sahut Sena sambil tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu dengan cengengesan, kepalanya digeleng-gelengkan.
Matanya masih menatap tajam lima lelaki berwajah garang yang kini melangkah mendekat ke tempat duduknya.
"Rupanya pemuda sinting ini yang kita cari," tukas Sarpajani pada keempat rekannya.
"Benar, tak salah lagi," sahut Kurutuma.
"Ciri-ciri yang dikatakan pimpinan kita memang sama."
"Ya. Tak salah lagi," sambung Karasenta.
"Hm, Bocah Sinting. Bersiaplah untuk mampus!" dengus Sarpajani, membuat Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-menggeleng kepala. Lalu dengan cengengesan, rambut di belakang telinganya digaruk-garuk.
"Ah, mengapa kalian minta mampus cepatcepat...?" tanya Sena, membalikkan kata-kata mereka.
Lima Iblis dari Gempolan membelalakkan mata, mendengar jawaban konyol Pendekar Gila. Napas mereka mendengus, menahan geram.
"Bocah edan! Rupanya kau belum kenal siapa Lima Iblis dari Gempolan. Sehingga mulutmu lancang sekali!" dengus Karasenta dengan mata memerah karena marah.
"Hi hi...! Bukankah kalian kecoa-kecoa busuk yang suka mengganggu ketenangan orang. Hi hi...!" Sena tertawa cekikikan, sementara Kinanti telah bangun dari duduknya. Matanya menatap marah pada Lima Iblis dari Gempolan yang menunjukkan kebengisan.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila"!" bentak Sarpajani, salah seorang anggota Lima Iblis dari Gempolan.
"Hi hi..." Kau gila" Ah ah ah, mengapa orang gila masuk-masuk ke kedai"!" sahut Sena cekikikan. Sambil berkata demikian, matanya terus menatapi lima lelaki berwajah garang yang melangkah mendekatinya.
"Hei, Bajingan! Jangan sembarangan bicara!" bentak Kinanti tak kalah garang.
"Siapa yang menyuruh kalian" Katakan cepat, sebelum pedangku berbicara!" Lima Iblis dari Gempolan tertawa terbahakbahak mendengar bentakan Kinanti. Kinanti tentu saja bertambah sengit melihat sikap kelima lelaki di hadapannya.
"Kurang ajar! Kubunuh kalian!" dengus Kinanti semakin marah, merasa diremehkan.
Tangannya bergerak, meraba ke gagang pedang.
Cring! "Aha, tenang dulu, Kinanti! Biarkan kecoakecoa busuk itu pergi dulu!" kata Sena, menyabarkan Kinanti.
"Hi hi hi...! Kuperintahkan pada kalian, pergi-lah! Wuah, mual perutku melihat tampang kalian."
"Cuih! Jangan kira kami akan pergi sebelum membawa kepalamu, Bocah Edan!" dengus Sarpajani sengit.
"Hm, atau kau berikan saja gadis itu pada ka-mi! Maka nyawa busukmu yang tak ada artinya akan kami lepaskan," sambung Kumara Gupa.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar permintaan Kumara Gupa. Kemudian sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, diliriknya Kinanti yang melotot marah.
"Aha, mereka menginginkanmu, Kinanti."
"Cuih! Jangan bermimpi di siang bolong, Kunyuk! Cepat angkat kaki dari sini, atau terpaksa pedangku membabat leher kalian!" bentak Kinanti garang.
"Ah, galak sekali kau, Nisanak. Semakin membuatku penasaran. Apa di atas tempat tidur kau juga galak begitu?" sahut Kumara Gupa. Matanya nakal, memandang tubuh Kinanti yang memang sintal.
"Kurang ajar! Rupanya bukan leher, melainkan mulutmu yang harus kurobek dengan pedangku!" dengus Kinanti. Kemudian dengan didahului pekikan keras, gadis cantik itu melesat menyerang Kumara Gupa.
"Kubunuh kau, Iblis! Heaaa...!" Wrt! Dengan jurus 'Kembang Mayang' Kinanti membabat dan menusukkan pedang ke tubuh lawan. Kumara Gupa yang tidak menyangka kalau gadis cantik itu memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi tersentak.
Dengan cepat tubuhnya berkelit ke samping kiri, sambil melancarkan pukulan tangan kosong ke dada Kinanti.
"Yeaaat! Galak juga kau, Ni."
"Jangan banyak mulut! Kurobek mulutmu, Iblis! Hih...!" Kinanti menusukkan pedang ke wajah Kumara Gupa, lalu dengan cepat dihentakkan ke samping. Dilanjutkan dengan sabetan ke kanan, kemudian diarahkan dari atas ke bawah. Sebuah gerak ilmu silat yang lincah dan begitu cepat. Melihat gerakan pedang yang berkelebat di depannya, Kumara Gupa kembali tersentak. Wrt! "Haits! Boleh juga permainan pedangmu, Nisanak...!" gumam Kumara Gupa sambil mengegoskan kaki kanan ke samping, lalu menggerakkan kaki kiri ke belakang. Sedangkan tangannya kini diletakkan menyilang dengan telapak tangan terbuka lalu memukul ke dada Kinanti. Inilah jurus 'Seling Belikat Iblis'.
"Yeaaa...!" Wrt! Kinanti yang sudah marah terus berusaha menyerang dengan gencar, bagaikan seekor macan betina mengamuk. Pedang di tangannya terus berkelebat menusuk dan membabat dengan keras dan mengarah pada bagian-bagian yang mematikan.
Hm, ilmu pedang gadis ini bukan sembarangan.
Untung dia belum berpengalaman! Kalau saja dia sudah berpengalaman, celakalah aku! Gumam Kumara Gupa dalam hati sambil terus berkelit mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Kinanti.
"Heaaa...!" Wrt! Kinanti terus bergerak, menyerang dengan sabetan dan babatan pedangnya. Namun karena terlalu bernafsu, mengakibatkan serangannya tak terarah.
Kumara Gupa jelas melihat kelemahan itu. Sehingga tanpa menyia-nyiakan kesempatan, dia bergerak menyerang ke dada Kinanti.
"Hih!" Degk! "Akh!" Kinanti memekik tertahan. Tubuhnya terpental deras ke belakang.
Melihat tubuh Kinanti melayang, Pendekar Gila melompat. Lalu dengan cepat ditangkapnya tubuh gadis itu.
"Aha, kalian hanya berani dengan seorang wanita, Kecoa-kecoa Busuk!" dengus Sena marah.
"Pergi-lah kalian dari sini!"
"Cuih! Jangan kira kami takut denganmu, Bocah Edan!" dengus Sarpajani sengit "Hua ha ha...! Rupanya kalian kecoa-kecoa yang sudah bosan hidup! Enyahlah kalian dari hadapanku! Muak sekali aku melihat tampang kalian!" bentak Sena benar-benar marah, ketika tahu kalau Kinanti ternyata terluka dalam. Wajahnya tampak merah dan bersinar-sinar, bagaikan diliputi api membara.
"Hah"!" Semua yang ada di kedai tersentak kaget. Mata mereka terbelalak heran melihat perubahan wajah Pendekar Gila. Orang-orang tak mengira, kalau pemuda bertingkah laku gila itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Wajahnya bisa berubah diselimuti bara api. Sebuah pemandangan yang aneh dan mengerikan.
Namun Lima Iblis dari Gempolan bagaikan tak peduli pada perubahan wajah Pendekar Gila yang bersinar merah membara. Bahkan kini dari ubun-ubun pemuda bertingkah laku gila itu mengeluarkan asap ungu.
"Hua ha ha...! Rupanya kalian memang kecoa-kecoa busuk yang bandel! Cepat minggat dari sini, sebelum kesabaranku hilang!" bentak Sena masih memondong tubuh Kinanti yang pingsan akibat terhantam pukulan Kumara Gupa.
"Sudah kukatakan, kami tak akan pergi sebelum membawa kepalamu, Pendekar Gila!" bentak Sarpajani.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kalian, Kecoa-kecoa Busuk! Aneh. Rupanya kalian mencari penyakit," ujar Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya semakin membara merah. Kini dengan tenang kakinya melangkah mendekati kelima lawannya. Matanya yang menyala merah, menyorot tajam Lima Iblis dari Gempolan.
"Huh, jangan kira kami takut dengan ilmu sihirmu, Bocah Edan!" dengus Kurutuma. Srt! Kurutuma mencabut cluritnya, lalu nekat melesat dan menyerang Pendekar Gila. Cluritnya disabetkan ke tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Clurit Sambar Nyawa'. Wrt! Jleg! "Hei, dia menghilang!" seru Kurutuma, ketika tiba-tiba Pendekar Gila raib dari pandangannya. Hal itu membuatnya kebingungan. Begitu juga keempat temannya, mereka kelabakan mencari Pendekar Gila.
"Dia bisa menghilang?" gumam Sarpajani keheranan.
"Hua ha ha...! Aku ada di sini! Lucu sekali kalian, mengapa kebingungan...?" ejek Sena sambil tertawatawa. Di tangannya tak ada lagi tubuh Kinanti, entah ditaruh di mana gadis itu. Hal itu membuat Lima Iblis dari Gempolan semakin kebingungan.
Bukan hanya Lima Iblis dari Gempolan yang tersentak kaget menyaksikan kejadian aneh itu. Semua yang ada di kedai membelalak keheranan dan seakan tak percaya pada apa yang baru dilihat. Pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu menghilang, dan tiba-tiba muncul lagi tanpa tubuh Kinanti.
"Ck ck ck...! Siapa sebenarnya bocah edan itu?" tanya seorang pengunjung kedai berdecak kagum, menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila.

***

"Huh, ilmu sihir! Jangan kira kami seperti anak kecil, Bocah Edan. Kami tak bisa ditakut-takuti ilmu sihirmu!" dengus Sarpajani sengit "Hi hi hi..., sihir" Ah, kalau kalian punya ilmu sihir, ingin sekali aku menontonnya," ejek Sena seenaknya, yang membuat Lima Iblis dari Gempolan bertambah marah.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah! Serang dia...!" perintah Kurutuma.
Srt! Srt..! Lima Iblis dari Gempolan mencabut senjata masing-masing. Sarpajani dengan senjata berupa cakar. Kurutuma dengan cluritnya. Kumara Gupa dengan tongkat peraknya. Sedangkan kedua orang lainnya menggunakan pedang dan golok.
"Aha, bahaya kalian bermain-main dengan senjata. Bukankah sebaiknya kalian simpan...?" ujar Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Cuih! Jangan banyak omong! Serang...!" perintah Sarpajani seraya melesat menyerang Pendekar Gila, diikuti keempat temannya.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
"Putus lehermu, Bocah Edan! Heaaa...!" Kelima lelaki beringas itu serentak menyerang dengan gerakan memutar cepat membentuk lingkaran.
Mereka mengitari tubuh Pendekar Gila yang masih tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Heaaa...!" Kurutuma membabatkan cluritnya ke tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Pendekar Gila berkelit ke samping. Kemudian berputar dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' sambil tangannya bergerak cepat menyerang dengan tamparan dan hantaman.
"Yeaaa...!" Wrt! "Hi hi hi...!" Dengan masih cekikikan, Pendekar Gila terus bergerak mengelitkan serangan kelima lawannya. Tubuhnya berputar bagai gasing ke arah kiri. Tangan dan kakinya tak diam, bergerak menyerang lawan.
Wrt! Plak! "Aduh!" Sarpajani terpekik ketika pipinya merasakan hawa panas akibat tamparan tangan Pendekar Gila. Tubuh lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke belakang dengan tangan kiri memegangi pipi yang merah berbekas telapak tangan Pendekar Gila.
Keempat rekannya berusaha menyerang, tapi Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' telah mendahului. Sambil meliuk-liuk tubuhnya bergerak merangsek lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Wrt! "Haits! Hi hi hi.,..!" Sena meliukkan tubuh, untuk mengelakkan serangan. Kemudian dengan cepat tangannya bergerak menepuk dada Kurutuma.
"Celaka! Jurus siluman!" maki Kurutuma tersentak kaget. Dia tak menyangka kalau jurus silat yang dilakukan lawan ternyata sangat berbahaya. Karena gerakan yang dilakukan Pendekar Gila kelihatannya pelan dan lemah, tapi nyatanya mampu mengejar tubuhnya.
"Heaaa!" Degk! "Wuaaa...!" Kurutuma terpekik, ketika telapak tangan Pendekar Gila mendarat di dadanya. Gerakan menepuk yang tampaknya pelan itu, seketika mampu mendorong tubuh Kurutuma sampai terpental jauh.
Tubuh lelaki gagah itu terus melayang. Dan....
Brak! "Akh...!" Tubuh Kurutuma menjebol dinding kedai. Jeritan kematian menandai kematiannya. Tubuhnya remuk setelah menghantam pohon besar di belakang kedai. Melihat Kurutuma tewas di tangan Pendekar Gila, semakin memuncak kemarahan keempat orang dari Lima Iblis dari Gempolan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa...!" Sarpajani yang sudah merasakan tamparan Pendekar Gila, kini nekat melakukan serangan. Ketiga temannya pun tak tinggal diam, segera membantu.
Keempatnya serentak merangsek dengan ganas. Senjata di tangan mereka berkelebatan cepat membabat dan menusuk ke sekujur tubuh Pendekar Gila.
Mendapat serangan begitu cepat dan secara serentak, tidak membuat Pendekar Gila merasa kewalahan. Bahkan mulutnya terus tertawa mengejek lawan.
Tentu saja orang-orang yang ada di kedai terbengongbengong menyaksikan tingkah laku konyol itu. Menghadapi keroyokan empat orang yang terkenal buas, pemuda bertingkah laku gila itu masih sempat tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan tak menghiraukan serangan lawan mengancam nyawanya.
"Hi hi hi...! Heit! Galak sekali kalian. Hi hi hi...!" Pendekar Gila terus berkelebat, mengelakkan serangan dengan jurus 'Kera Berayun Menyerang Mangsa'. Tubuhnya melompat ke sana kemari bagaikan berayun, lalu disusul cengkeraman tangannya.
Gerakan itu dilakukan dengan tertawa-tawa, sambil sesekali kakinya menendang ke belakang.
Dugk! "Ukh! Setan...!" maki Jalaparang, ketika bagian belakang kepalanya terkena tendangan Pendekar Gila.
Tubuhnya tersuruk ke arah pengunjung kedai yang segera berhamburan menghindar.
Brak! Akhirnya, tubuh Jalaparang menghantam meja.
Mulutnya berdarah setelah membentur tepi meja yang terbuat dari kayu jati itu.
"Hi hi hi...! Kenapa kau makan meja, Kecoa! Hua ha ha...!" Sena tertawa cekikikan sambil terus melompat, lalu mencengkeram jenggot lawan di hadapannya. Bret! "Wadauw...!" Kumara Gupa menjerit keras, ketika jenggotnya dihentakkan tangan Pendekar Gila hingga tercabut. Darah mengucur keluar dari dagunya.
Kumara Gupa berputar-putar, sambil memegangi dagunya yang berdarah.
Membelalak mata Sarpajani dan Jarapala, menyaksikan kedua temannya kini terluka parah hanya karena tendangan dan cakaran pemuda bertingkah laku gila. Seketika nyali keduanya ciut. Tanpa berkata lagi mereka pun melesat meninggalkan kedai, tanpa menghiraukan bagaimana nasib kedua temannya.
Pendekar Gila tertawa terkekeh-kekeh sambil melangkah mendekati kedua musuhnya yang masih mengerang-erang kesakitan. Sambil menggaruk-garuk kepala, dipegangnya pundak Jalaparang.
"Aha, katakan siapa yang menyuruh kalian membunuhku?" Melihat Pendekar Gila hendak memaksa Jalaparang agar menjawab, Kumara Gupa yang marah karena jenggotnya tercabut, segera melesat menyerang Pendekar Gila dengan senjata terhunus.
"Mampus kau, Bocah Setan! Heaaa...!" Pendekar Gila menggeser kakinya ke samping, sambil menarik tubuh Jalaparang. Tak pelak lagi, tubuh Kumara Gupa menghantam meja. Dagunya yang berdarah, membentur tepian meja.
Dugk! "Wadauw...!" Kumara Gupa menjerit keras, merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya menggelepar- gelapar, lalu pingsan.
"Aha, lihat hasil ulah temanmu! Katakan, siapa yang menyuruhmu"!" bentak Sena dengan wajah beringas, memancarkan sinar merah membara.
"Banteng..., Sumenep," jawab Jalaparang. Matanya memandang ke sekeliling dengan perasaan ta- kut, kalau orang yang menyuruhnya ada di tempat itu.
"Aha, sudah kuduga. Nah, kau boleh pergi. Cepat bawa temanmu pergi dari hadapanku!" bentak Se-na garang, membuat mereka semakin ketakutan. Tanpa dibentak dua kali, lelaki bertubuh besar itu segera memanggul tubuh temannya.
Lalu melesat meninggalkan kedai, diikuti gelak tawa Pendekar Gila.
Semua orang yang ada di kedai, kini menundukkan kepala. Mereka sepertinya takut, setelah tahu bagaimana pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu dapat mengalahkan Lima Iblis dari Gempolan.
"Aha, maafkan atas semuanya, Ki! Kalau boleh kuganti, berapa semuanya?" tanya Sena, hendak membayar semua kerusakan di kedai itu.
"O, tak usah, Tuan. Tak apa-apa. Biarlah semua nanti saya yang menanggungnya. Tetapi, saya mengharap cepatlah Tuan pergi. karena, kami takut teman-teman mereka datang," ujar lelaki pemilik kedai.
"Aha, kenapa takut, Ki" Kalau kau benar, tak perlu takut. Tapi baiklah, aku akan segera pergi. Izinkan aku mengambil teman wanitaku yang kusembunyikan di kamarmu," ujar Sena.
Pemilik kedai membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang dikatakan Pendekar Gila barusan. Hei, bagaimana mungkin pemuda ini menaruh temannya di kamar" Tak kulihat tadi dia masuk! Gumam pemilik kedai, dalam hati. Hatinya heran dengan apa yang dilakukan Pendekar Gila.
"Jadi...?"
"Ya. Terpaksa aku memasukkan temanku di kamarmu, Ki. Aha, maafkan atas kelancanganku!"
"Tak apa. Ambillah!" sahut pemilik kedai.
"Aha, terima kasih, Ki." Pendekar Gila segera melesat mengambil Kinanti yang disembunyikan di kamar pemilik kedai. Sesaat kemudian dia telah kembali keluar dengan memondong tubuh Kinanti.
"Terima kasih, Ki!" Pendekar Gila menjura, kemudian melesat meninggalkan kedai itu. Semua mata yang ada di kedai, menatap penuh kekaguman pada pemuda bertingkah laku gila itu.

***



::↨┌ 8 ┘↨::

Sambil membawa tubuh Kinanti, Pendekar Gila terus berlari dengan mengerahkan ajian 'Sapta Bayu'.
Hal itu dilakukan, karena harus secepatnya sampai di Padepokan Gedangan Lor, yang terletak di Desa Karang Tengah di lereng Pegunungan Blige. Sena harus menjumpai Ki Windu Ajar untuk memberitahukan apa yang kini terjadi di Pulau Madura. Pendekar Gila ingin menaruh Kinanti. Hatinya merasa rikuh dan jengah, kalau harus terus berjalan didampingi seorang gadis.
'"Sapta Bayu'. Heaaa...!" Wsss! Pendekar Gila melesat melebihi kecepatan angin, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya telah melesat jauh meninggalkan Desa Wetan Progo. Kini jarak Pegunungan Blige, tinggal beberapa ratus pal lagi.
"Hm, sebentar lagi sampai," gumam Sena. Lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, melesat naik ke lereng Pegunungan Blige.
Ki Windu Ajar tersentak kaget ketika melihat Pendekar Gila kembali dengan membawa Kinanti yang terluka dalam.
"Oh, apa yang terjadi, Sena?" tanya Ki Windu Ajar.
"Maafkan aku, Ki! Ternyata aku telah menunjukkan ketidakmampuanku menjaga Kinanti," sahut Sena.
"Ayo masuk," ajak Ki Windu Ajar. Dengan masih membopong tubuh Kinanti, Pendekar Gila melangkah masuk mengikuti Ki Windu Ajar. Kemudian tubuh Kinanti dibaringkan di atas sebuah tempat tidur.
Ki Windu Ajar segera memeriksa pukulan yang mengena di dada muridnya. Sedangkan Pendekar Gila, kini duduk di ruang depan menunggu sampai selesainya pengobatan yang dilakukan Ki Windu Ajar.
Tidak lama kemudian, Ki Windu Ajar telah kembali keluar dengan wajah kelihatan letih. Nampaknya orang tua itu telah mengerahkan tenaga dalam, untuk menyembuhkan luka dalam muridnya. Ki Windu Ajar duduk di depan Pendekar Gila yang bersila.
"Apa yang telah terjadi dengan Kinanti, Sena?" tanya Ki Windu Ajar pada Pendekar Gila yang menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Kemudian dengan masih menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila menceritakan apa yang terjadi pada Kinanti.
Diceritakan pada Ki Windu Ajar, kalau mereka telah bentrok dengan Lima Iblis dari Gempolan yang diperintah seseorang untuk membunuhnya. Kinanti bertarung, sampai akhirnya terkena pukulan.
"Kau tahu, siapa yang telah memerintah kelima iblis itu, Sena?"
"Aha, entahlah. Aku tak berani menduga," sahut Sena. Kemudian terdiam dengan wajah memen- dam sesuatu yang sepertinya hendak disampaikan. Hal itu membuat Ki Windu Ajar mengerutkan keningnya.
"Sepertinya ada yang hendak kau tuturkan, Sena. Katakanlah!" pinta Ki Windu Ajar, setelah memperhatikan wajah Pendekar Gila yang seakan memendam sesuatu.
"Aha, memang benar apa yang kau katakan, Ki.
Sebenarnya aku hendak menunggu sampai Kinanti sadar. Biar dialah yang menceritakan semuanya," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tetapi, tak apalah aku yang menceritakan semuanya." Sena menggaruk-garuk kepalanya, kemudian diambilnya Suling Naga Sakti. Dipandanginya suling itu dengan pandangan mata seperti sendu.
"Suling ini sebagai tanda jiwaku. Apabila aku salah, maka suling inilah yang akan menghukumku," ujar Sena sambil meletakkan Suling Naga Sakti di dipan. Hal itu membuat Ki Windu Ajar mengerutkan kening, tak mengerti mengapa Pendekar Gila melakukan sumpah di depan senjata pusakanya.
"Aha, mengapa kau bersumpah, Sena" Aku percaya pada apa yang akan kau katakan. Simpanlah suling saktimu itu," perintah Ki Windu Ajar.
"Aha, tidak mengapa, Ki. Soalnya hal ini menyangkut kebenaran dan kejujuran. Juga menyangkut masalah muridmu," kata Sena.
"Masalah muridku...?" tanya Ki Windu Ajar setengah bergumam dengan kening berkerut "Katakanlah, apa yang sebenarnya terjadi, Sena?" Pendekar Gila terdiam sesaat. Wajahnya kelihatan gelisah, seperti ada sesuatu yang sedang berkecamuk dalam dadanya.
"Sebenarnya ini masalahmu, Ki. Salah seorang muridmu, yang bernama Mahesa Lanang."
"Mahesa Lanang" Apa yang telah terjadi dengan Mahesa Lanang?" tanya Ki Windu Ajar. Matanya semakin tajam menatap wajah Pendekar Gila. Seakan ingin tahu, apa yang sedang dipikirkannya.
"Aha, itulah yang sedang kupikirkan, Ki. Aku tak habis pikir, mengapa Mahesa Lanang berlaku keji," tukas Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Keji" Keji bagaimana?"
"Mahesa Lanang telah membunuh, Ki." Seketika Ki Windu Ajar tersentak kaget mendengar ucapan Pendekar Gila. Bagaikan disengat kalajengking, tubuhnya terlonjak dengan mata menatap tajam Pendekar Gila.
"Dia telah membunuh...?" gumam Ki Windu Ajar seperti tak percaya.
"Benar, Guru. Kakang Mahesa telah membunuh Ki Jenar dan Ki Tarbiun serta lima jawaranya," sahut Kinanti yang telah keluar dan langsung angkat bicara. Hal itu membuat Ki Windu Ajar kembali tersentak. Sedangkan gadis itu kini duduk di samping Pendekar Gila yang masih tersenyum-senyum.
"Oh, celakalah dia!" desah Ki Windu Ajar marah, setelah mendengar kalau muridnya telah melaku- kan sebuah kekejian. Mata lelaki tua itu memandang ke atas. Dihelanya napas panjang-panjang, seakan berusaha menyabarkan hatinya.
"Hhh...! Aku tak pernah menduga, kalau dia akan terpengaruh pamannya."
"Maksud, Guru...?" tanya Kinanti.
"Mahesa Lanang datang ke padepokan ini diantar seorang bernama Supramarta. Dia pimpinan Bajak Laut Selat Madura. Orang itu memang punya hubungan kekerabatan dengan ayah Mahesa Lanang. Supramarta dan ayah Mahesa Lanang memang bersikap baik terhadapku. Mereka senantiasa berusaha menghormati. Itu sebabnya Supramarta datang ke Padepokan Gedangan Lor mengharapkan agar Mahesa Lanang dapat dididik di sini." Ki Windu Ajar menceritakan riwayat Ki Windu Ajar.
"Sebelumnya, antara Supramarta denganku telah terjadi kesepakatan perjanjian. Perjanjian itu berisi bahwa Supramarta tak boleh mengganggu-gugat Mahesa Lanang. Dia juga tak boleh memberi tahu siapa sebenarnya orangtua anak itu...."
"Aha, apakah benar ayah Mahesa Lanang dibantai ketika pertandingan karapan sapi itu, Ki?" selak Sena ingin tahu.
"Sebenarnya itu salah, Sena. Ayah Mahesalah yang mendahului membuat keributan. Entah mengapa, tiba-tiba dia mengamuk, setelah sapinya kalah. Dia membunuh banyak orang.
Karapatra, Tarbiun, Ki Jenar yang juga berada di tempat itu akhirnya berusaha menenangkan Ki Simbar Kanginan, ayah Mahesa," tutur Ki Windu Ajar. Dihelanya napas panjang-panjang, seakan hendak menenangkan perasaan.
"Ah ah ah....! Kalau begitu, tentunya ada hal lain tentang Kakang Mahesa, Ki?" Sena semakin ingin tahu banyak tentang siapa sebenarnya Mahesa Lanang dan mengapa pemuda itu membunuh Tarbiun dan Ki Jenar.
Ki Windu Ajar akhirnya menuturkan semua yang pernah terjadi sekitar dua puluh tahun silam.
Simbar Kanginan yang tak dapat ditenangkan, akhirnya mati di tangan Tarbiun, Ki Jenar, dan Karapatra.
Mungkin itulah yang menjadi alasan Mahesa membunuh mereka. Dendam. Ya, dendam kesumat atas kematian orangtuanya.
"Hm.... Tapi, kurasa ada yang tak beres. Mungkin Supramarta bermaksud mempengaruhi kemenakannya...," ujar Ki Windu Ajar mengakhiri ceritanya.
"Ini tak bisa dibiarkan, Sena!"
"Siapakah yang telah memberi tahu Mahesa tentang kematian ayahnya...?" tanya Sena setelah terdiam mendengar cerita Ki Windu Ajar. Ki Windu Ajar sesaat terdiam. Dihelanya napas dalam-dalam. kemudian pandangannya dilayangkan ke halaman padepokan.
"Memang dulu aku pernah memberitahukan padanya, tentang kejadian yang dialami keluarganya.
Tetapi aku pun menegaskan, bahwa semua adalah salah orangtuanya. Aku juga menekankan, agar dia tidak menyimpan dendam," kata Ki Windu Ajar.
"Aha, apakah Mahesa menurut?" tanya Sena semakin ingin tahu.
"Ya. Mahesa sangat penurut padaku. Itu pula yang membuatku sayang padanya. Sehingga tanpa ragu-ragu aku menurunkan aji 'Kepala Baja' pada-nya," tutur Ki Windu Ajar.
Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam, setelah mendengar semuanya.
Mungkinkah pamannya yang mempengaruhi" Menurut Ki Windu Ajar, pamannya seorang bajak laut.
Hm, bisa jadi. Tetapi, mungkin ada yang lainnya yang mempengaruhi dia" Tanya Sena dalam hati, bimbang untuk menuduh siapa yang berhak disalahkan dalam hal ini.
"Aha, kalau begitu, mungkinkah pamannya yang mempengaruhi, Ki?" tanya Sena.
"Mungkin juga," gumam Ki Windu Ajar.
"Tetapi kini yang lebih penting, kita harus segera menyadar-kan Mahesa. Kalau dia menuruti kata-kata pamannya, tentunya semua orang di Madura ini menjadi musuhnya. Karena saat itu, hampir semua orang menonton karapan sapi. Dan pada waktu itu, memang semua turut serta menyerang Simbar Kanginan yang mengamuk membabi-buta." Sena nyengir dengan tangan menggaruk-garuk kepala, mendengar penuturan Ki Windu Ajar. Sepertinya Pendekar Gila merasa bingung dengan semua yang terjadi. Jelas kalau masalah dendam, siapa pun akan senantiasa terbakar hatinya. Sulit bagi orang yang mendendam melupakan dendamnya. Malah ter kadang dendam akan terbawa sampai mati.
"Kita harus segera mencegahnya, Sena," usul Ki Windu Ajar.
"Aha, memang itu yang sedang kupikirkan, Ki.
Bagaimanapun juga dia muridmu. Kaulah yang lebih bertanggung jawab akan semuanya," ujar Pendekar Gi-la. Mulutnya masih nyengir dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Ki Windu Ajar mengangguk-anggukkan kepala, membenarkan apa yang dikatakan Pendekar Gila; Bagaimanapun juga, dialah yang paling bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan muridnya.
"Ya ya, aku mengerti maksudmu, Sena. Memang akulah yang harus bertanggung jawab atas semua perbuatan muridku. Marilah kita cari Mahesa! Sudah tiga hari dia tak pulang," ajak Ki Windu Ajar seraya bangkit dari duduknya. Kemudian mereka bertiga pun melangkah meninggalkan padepokan.

***

Sementara itu, di Hutan Ganggang Palang nampak Mahesa Lanang tengah mendamprat keempat orang suruhannya yang tergolong dalam kelompok Lima Iblis dari Gempolan. Lima Iblis dari Gempolan tak mampu membunuh Pendekar Gila. Bahkan salah seorang di antara mereka tewas di tangan Pendekar Gila.
"Bodoh! Menghadapi seorang pemuda gila saja kalian tak becus...!" maki Mahesa Lanang marah.
"Mengapa kalian tidak ikut mampus saja bersama Kurutuma"!" Keempat lelaki bertampang garang dengan cambang bauk tebal, terdiam menundukkan kepala.
Mereka tak berani menjawab bentakan Mahesa Lanang. Bahkan beradu pandang pun mereka tak berani.
Mahesa Lanang menarik napas dalam-dalam.
Kakinya melangkah memutari keempatnya yang tertunduk diam. Matanya menatap tajam keempat orang anggota Lima Iblis dari Gempolan yang diam membisu.
"Kenapa kalian hanya diam"! Kenapa kalian lari" Tidak ikut saja mampus bersama Kurutuma"!" bentak Mahesa Lanang sengit, dengan mata melotot penuh kebencian.
"Percuma kalian hidup, karena kalian sudah tahu apa hukuman bagi kalian." Keempat lelaki berwajah garang itu tersentak kaget. Mata mereka terbelalak ketakutan, mendengar ancaman Mahesa Lanang. Mereka tahu siapa Mahesa Lanang. Setiap ucapannya tak pernah main-main. Jika Mahesa Lanang mengatakan hukuman, sudah barang tentu mereka akan menerima hukuman yang sangat berat. Tak ada pilihan bagi mereka, kecuali kematian yang mengerikan. Percuma saja mereka melawan, karena Mahesa Lanang tak mempan pukulan atau senjata apa pun.
"Ampunilah kami, Mahesa. Biarkan kami berusaha sekali lagi," ratap Sarpajani mencoba mengharap ampunan dari Mahesa Lanang.
Dia berpikir, lebih baik mati bertarung melawan pemuda bertingkah laku gila, daripada harus mati dihukum Mahesa Lanang.
Mahesa Lanang mencibir, mendengar ratapan Sarpajani. Matanya menatap tajam wajah Sarpajani, yang seketika kembali menundukkan kepala, tak berani beradu pandang dengannya.
"Siapa lagi yang mau meminta ampunan?" tanya Mahesa Lanang dengan suara pelan. Seakanakan ampunan itu akan diberikan pada mereka berempat.
"Kami, Mahesa...!" sahut ketiga teman Sarpajani bersamaan.
"Hm, bagus!" kata Mahesa Lanang dengan bibir menyunggingkan senyum sinis.
Kakinya melangkah mendekati keempat anggota Lima Iblis dari Gempolan itu. Lalu....
"Ini ampunan untukmu, Sarpa!" Trep! Mahesa Lanang merenggut pundak Sarpajani, lalu dengan segenap kekuatan, kepalanya diadu dengan kepala Sarpajani. Maka....
Prak! "Aaa...!" Sarpajani memekik keras, ketika kepalanya diadu dengan kepala Mahesa Lanang. Dalam sekali adu saja, kepalanya hancur berantakan. Dan ketika tangan Mahesa Lanang melepas cengkeraman-nya, tubuh Sarpajani terhuyung dengan kepala hancur. Darah dan otak berhamburan keluar.
Bruk! Tubuh Sarpajani jatuh, kemudian mengejang sesaat sebelum diam dan mati. Hal itu membuat ketiga temannya terbelalak semakin ketakutan.
"Ampunilah kami!" ratap mereka seraya bersu-jud dan menyembah di kaki Mahesa Lanang. Ketiganya menangis, mengharap ampunan.
Mahesa Lanang tersenyum sinis, menunjukkan keangkuhan dan kesombongannya. Matanya masih menatap tajam tiga lelaki bercambang bauk yang masih meratap tangis sambil mencium kakinya. Tangan Mahesa Lanang kini menangkap pundak Kumara Gupa. Trep! "Ampun..., ampunilah nyawaku!" ratap Kumara Gupa dengan tangis ketakutan.
Matanya menatap penuh ketakutan ke wajah Mahesa Lanang yang masih tersenyum sinis.
"Aku ampuni kau, Kumara Gupa. Ini ampunan dariku...!" Wrt! Prak! "Aaakh...!" jerit Kumara Gupa melengking tinggi, ketika kepalanya dibenturkan ke kepala Mahesa Lanang. Darah muncrat bersamaan dengan otaknya.
Tubuhnya terhuyung mundur jatuh ke tanah, berkelojotan sesaat sebelum sampai ajalnya.
Kedua orang rekannya yang menyaksikan hal itu, tak kuasa lagi melihatnya. Keduanya segera lari untuk menyelamatkan diri.
"Mau lari ke mana kalian, Bangsat"!" dengus Mahesa Lanang seraya melesat mengejar keduanya.
Mahesa Lanang semakin marah melihat kedua orang itu lari. Dengan segenap tenaga, terus dikejarnya kedua lelaki yang ketakutan setengah mati itu.
Bruk! Kedua orang anggota Lima Iblis dari Gempolan itu tersentak kaget, ketika tubuh mereka menabrak sesosok tubuh yang sedang melangkah dan hendak menuju ke arah yang berlawanan dengan mereka.
"Aduh! Kau..."!" Membelalak mata Karasenta ketika melihat siapa yang ditabraknya. Seorang pemuda bertingkah laku seperti orang gila yang tak lain Pendekar Gila. Di sam-pingnya, seorang lelaki tua berusia tujuh puluh tahun dengan jubah seperti resi yang tiada lain Ki Windu Ajar. Satu lagi gadis cantik yang tak lain Kinanti, tengah melotot sengit menatap keduanya. Dan yang terakhir dan berdiri di belakang adalah seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dengan wajah bengis.
Namun, matanya menggambarkan ketenangan dan kesabaran. Lelaki berpakaian rompi biru laut ini tak lain paman Mahesa Lanang. Dialah pimpinan Bajak Laut Selat madura, yang bernama Supramarta.
"Hi hi hi.... Mengapa kalian seperti cecurut dikejar kucing" Sampai tak melihat ada orang...?" tanya Sena sambil tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Di mana Mahesa"!" bentak Supramarta, paman Mahesa Lanang.
Rupanya sebelum menuju ke Hutan Ganggang Palang, Pendekar Gila dan Ki Windu Ajar serta Kinanti menuju kediaman Supramarta. Supramarta yang merasa tidak mempengaruhi Mahesa Lanang dan merasa malu, langsung marah mendengar cerita dari Ki Windu Ajar. Pemimpin Bajak Laut Selat Madura itu sengaja datang hendak menghajar kemenakannya.
"Dia sedang mengejar kami," jawab Karasenta dengan wajah masih ketakutan.
"Aha, mengapa kalian dikejarnya" Ah ah ah...! Mungkin kalian mencuri. Hi hi hi...!" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tidak. Kami tak mencuri apa-apa. Dia marah, setelah kami tak berhasil membunuh Tuan," jawab Karasenta sambil memandang wajah Pendekar Gila, yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hm, jadi selama ini kau diburu kecoa-kecoa ini, Sena?" tanya Supramarta dengan mata membelalak marah. Merasa malu atas tindakan kemenakannya, Supramarta hendak menghajar kedua orang itu. Namun dengan cepat Pendekar Gila mencegahnya.
"Aha, sudahlah! Kurasa mereka pun tak akan melakukannya jika tak ada yang menyuruh."
"Ampunilah kami! Kami benar-benar takut, karena Mahesa hendak membunuh kami," kata Karasenta.
"Dua orang teman kami telah dibunuhnya."
"Hm...," gumam Supramarta tak jelas. Dihelanya napas dalam-dalam.
"Apa yang sebenarnya dike-hendaki Mahesa?"
"Dia bermaksud mendirikan kerajaan, untuk memberontak pada Kerajaan Banyuwangi," tutur Karasenta.
"Dia merasa tahu kalau masih ada Pendekar Gi-la, usahanya akan terhalang. Untuk itu, dia selalu berusaha menyingkirkan Pendekar Gila."
"Kurang ajar! Dasar anak setan! Di mana dia sekarang"!" bentak Supramarta. Dia hendak berlari memburu ke Hutan Ganggang Palang, ketika Ki Windu Ajar mencegahnya.
"Sabar, Supramarta. Menghadapi Mahesa, kita tak boleh gegabah. Apalagi kini dia memiliki aji 'Banteng Kranda' yang membuat tubuhnya kebal dari senjata dan pukulan sakti," tutur Ki Windu Ajar.
Semua mata membelalak, mendengar penuturan Ki Windu Ajar. Hanya Pendekar Gila yang tampak tenang. Bahkan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Walau Sena tahu kehebatan ajian yang dimiliki Mahesa Lanang, tapi sehebat apa pun manusia, tentu ada kelemahannya.
"Lalu apa yang harus diperbuat, Guru?" tanya Kinanti. Ki Windu Ajar menghela napas panjang, sepertinya dia pun dalam kebimbangan.
"Memang aku yang salah, memberinya ajian itu. Tetapi, bagaimanapun juga kita harus bisa menjinakkan Mahesa. Sangat berbahaya jika dia dibiarkan dengan cita-citanya itu," gumam Ki Windu Ajar setengah mengeluh, merasa berdosa atas tindakan muridnya.
"Apakah tidak ada kelemahannya, Ki?" tanya Supramarta.
"Aha, Hyang Widi menciptakan manusia atas kelebihan dan kekurangannya, Ki Supra," sahut Sena.
"Bagaimanapun juga, semua manusia memiliki kekurangan."
"Benar apa yang kau katakan, Sena. Tetapi, dia hanya bisa dikalahkan dengan ajian yang aneh saja.
Sebuah jurus yang mungkin tidak masuk di akal," kata Ki Windu Ajar setengah bergumam, sepertinya dirinya tak yakin kalau ajian itu masih ada di dunia ini.
"Aha, ajian apa itu, Ki?" tanya Sena.
"Ajian itu dimiliki bangsa kera. Sedangkan kera yang memiliki pukulan itu, sering disebut Kera Sakti...."
"Kera Sakti..,?" tanya Sena dengan kening berkerut "Ya," sahut Ki Windu Ajar.
"Aha, apakah nama ajian itu, Ki?" '"Tamparan Sukma'," sahut Ki Windu Ajar.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat semua yang ada di tempat itu memandang dengan penuh ketidakme-ngertian.
"Ada apa, Sena" Apakah kau tahu pukulan itu?" tanya Ki Windu Ajar.
"Aha, sedikit, Ki. Ah, tapi akan kucoba dengan cara yang baik. Bagaimanapun juga, kita sama-sama manusia. Kita harus saling sayang-menyayangi," ujar Sena yang membuat semuanya mengerutkan kening, tak percaya kalau pemuda gila itu bisa bertutur kata bagus. Ada rasa kagum tergambar di wajah mereka pada Pendekar Gila.
"Kau benar, Sena. Hyang Widi mencipta kita, memang untuk mengasihi satu sama lain. Tetapi jika orang yang hendak dikasihi tak mau dan malah melawan, apa salahnya kita bertindak?" tanya Ki Windu Ajar.
"Ayo, kita ke tempatnya!" ajak Ki Supramarta.
Belum juga mereka melangkah, terdengar suara Mahesa Lanang berseru menyuruh mereka jangan ikut campur urusannya.
"Jangan bergerak! Kuharap kalian tak perlu turut campur urusanku, kalau tak ingin mampus!" ancam Mahesa Lanang, yang menjadikan semuanya tersentak kaget. Hanya Sena yang tertawa terbahakbahak sambil menggeleng-gelengkan kepala.

***



::↨┌ 9 ┘↨::

"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Mahesa. Kami masih hidup, bagaimana mungkin tak bergerak"!" seru Sena sambil menggelenggelengkan kepala dengan mulut masih cengengesan.
Mahesa Lanang yang memang sudah tak suka pada Pendekar Gila mendengus sengit Matanya menatap tajam penuh kebencian.
"Huh, rupanya kau hanya seorang pengecut, Pendekar Gila! Apa kau kira aku takut dengan kau panggil mereka" Hm, jangan harap aku akan takut!" dengus Mahesa Lanang dengan mata semakin tajam, diliputi hawa permusuhan dan kebencian yang mendalam. Seakan-akan dirinya tak senang melihat kehadiran Pendekar Gila di Pulau Madura.
Ki Windu Ajar, Kinanti, dan Ki Supramarta mendengus marah mendengar ucapan Mahesa Lanang.
Bagaimanapun juga, ucapan pemuda itu pada Pendekar Gila sangat keterlaluan. Mahesa Lanang seakan tidak memandang sebelah mata pun pada Sena, yang namanya sangat disegani di rimba persilatan.
"Lancang sekali mulutmu, Mahesa!" bentak Ki Supramarta marah.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Seakan-akan dirinya tak tersinggung atau marah dihina seperti itu.
Bahkan tingkah lakunya yang konyol, semakin menjadi-jadi. Kini tubuhnya bagaikan seekor kera, berjingkrak-jingkrak sambil menggaruk kepala dan tubuh.
Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat.
"Ah ah ah...! Kurasa bukanlah aku yang pengecut. Aha, mungkin kau yang pengecut, Mahesa.
Sayang sekali kau berilmu tinggi, kalau besar kepala seperti itu," ujar Sena yang membuat Mahesa Lanang semakin bertambah marah.
"Cuih! Kuperingatkan padamu, cepat pergi dari sini, sebelum hilang kesabaranku!" bentak Mahesa Lanang dengan wajah membara.
Dari hidung dan telinganya, keluar angin, layaknya seekor banteng marah.
"Aha, rupanya kaulah Banteng Sumenep itu, Mahesa! Ah ah ah...! Sepantasnya kau bukan banteng, tetapi seekor kerbau sombong," ejek Sena sambil tersenyum-senyum dengan tangan masih menggarukgaruk kepala. Hal itu membuat Mahesa Lanang semakin marah, mendengus dengan mengeluarkan angin semakin keras dari hidung dan telinganya.
"Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!" Mahesa Lanang segera bergerak menyerang ke arah mereka. Sambil menyeruduk dengan kepala, tangannya bergerak memukul.
"Aha, kau mirip seekor kerbau! Hi hi hi...!"
"Awas...!" seru Kinanti mengingatkan pada semuanya untuk mengelak. Seketika semuanya berlompatan, mengelitkan serangan Mahesa Lanang dengan jurus 'Banteng Ketaton Menanduk'.
Wrt! Brak! Kepala Mahesa Lanang membentur sebatang pohon. Pohon itu ambruk terseruduk kepala Mahesa Lanang. Sedangkan kepalanya bagaikan tak mengalami apa-apa. Sesaat kemudian pemuda berjuluk Banteng Sumenep itu kembali mendengus dan menatap penuh kebencian pada Pendekar Gila.
"Kuhancurkan tubuhmu, Pendekar Gila! Heaaa...!"
"Aha, lucu sekali kau, Mahesa! Ah ah ah, pantas namamu Kerbau Dungu. Tak tahunya kau memang dungu...!" ejek Sena sambil bergerak mengelitkan serangan yang dilancarkan Mahesa Lanang. Tubuhnya melompat ke atas dengan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa'.
Wsss! Tubuh Mahesa Lanang yang menyerang, menyuruk maju ke depan. Dengan cepat Pendekar Gila mengelak dengan lompatan ke atas. Kemudian secara cepat pula, ditendangnya pantat lawan.
Begk! "Heaaa...!" Tangan Pendekar Gila mendorong tubuh lawan, yang membuat Mahesa Lanang terus melaju dan tak mampu berhenti. Dan....
Brak! Suasana Hutan Ganggang Palang seketika riuh.
Banyak pohon hancur terkena serangan-serangan Mahesa Lanang. Namun kepala pemuda itu bagaikan tak mengalami sakit atau luka. Padahal pohon-pohon besar itu bertumbangan terseruduk kepalanya.
"Kurang ajar! Heaaa...!"
"Aha, kau seperti kerbau dungu yang kian tolol Mahesa!" seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Tingkah lakunya kian konyol, membuat kemarahan lawan semakin memuncak. Banteng Sumenep menyerang dengan membabi-buta. Tangannya bergerak cepat, menghantam ke sana kemari.
"Awas! Mundur...!" seru Ki Windu Ajar, mengingatkan pada Kinanti dan Ki Supramarta agar mundur.
Lelaki tua itu tahu kehebatan serangan Mahesa Lanang. Hal itu dapat dilihat dari pohon-pohon yang hancur dan tumbang.
Mereka benar-benar mengkhawatirkan Pendekar Gila yang kelihatannya masih tenang-tenang saja.
Padahal serangan yang dilancarkan Mahesa Lanang sudah mencapai puncaknya.
"Heaaa...!" Mahesa Lanang kembali menyerang dengan pukulan-pukulan mautnya yang mampu menghancurkan pohon besar. Namun, dengan cepat Pendekar Gila bergerak mengelit ke samping. Sehingga serangan lawan kembali lolos. Hampir saja tubuh Mahesa Lanang kembali menubruk pohon, kalau saja tak segera membalik.
"Bedebah! Jangan hanya bisa mengelak saja, Kunyuk!" maki Mahesa Lanang dengan geram, karena sejak tadi Pendekar Gila hanya bergerak menghindar.
Seakan-akan tak berani beradu dengannya secara ksatria.
"Aha, jadi apa maumu, Kerbau Dungu" Hi hi hi...!"
"Pengecut! Ternyata namamu hanya kecoa busuk!" dengus Mahesa Lanang.
"Hi hi hi...! Kau ingin aku menyerangmu, Mahesa"!"
"Ya! Kita buktikan, siapa yang kuat!" tantang Mahesa Lanang dengan mata membelalak tajam, menatap penuh kebengisan pada Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Mahesa! Ah ah ah, kesombongan itu yang akan mencelakakanmu."
"Cuih! Jangan banyak omong. Mari kita bertarung secara ksatria!" bentak Mahesa Lanang menantang.
"Aha, boleh." Pendekar Gila melangkah mendekati Mahesa Lanang dengan masih cengengesan. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala, seperti tak merasa takut sama sekali. Hal itu membuat Ki Windu Ajar dan Ki Supramarta serta yang lainnya terbelalak kaget. Mereka benar-benar tak mengerti, mengapa Pendekar Gila malah menerima tantangan Mahesa Lanang.
"Celaka Sena!" desis Kinanti dengan wajah cemas. Matanya tak berkedip memandang Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil melangkah mendekati Mahesa Lanang.
"Guru, kita harus membantu Sena!"
"Tenanglah, Kinanti! Kita lihat saja apa yang akan dilakukan Sena...," ujar Ki Windu Ajar berusaha menenangkan muridnya yang kelihatan sangat gelisah, takut kalau-kalau Pendekar Gila mendapat celaka.
"Apakah itu tak membahayakan dirinya, Ki?" tanya Ki Supramarta.
"Aku khawatir akan keselamatan Pendekar Gila."
"Tenanglah, Ki! Kalaupun Pendekar Gila kalah, itu berarti kita pun akan mengalami nasib yang sama," tutur Ki Windu Ajar dengan mencoba tersenyum, berusaha menenangkan keadaan orang-orang di sekelilingnya. Semua menarik napas panjang-panjang, kemudian menghentikannya ketika melihat Pendekar Gila semakin bertambah dekat dengan Mahesa Lanang.
Pendekar Gila masih saja cengengesan sambil bertingkah laku konyol, seakan tak takut sama sekali. Hal itu membuat Mahesa Lanang bertambah geram.
"Hi hi hi...! Apa yang kau inginkan, Mahesa?" tanya Sena.
"Kita tentukan dengan cara ksatria."
"Maksudmu...?"
"Jangan pura-pura bodoh! Kita tentukan dengan sepuluh kali pukulan. Jika dalam sepuluh kali pukulan kau bisa menahannya, maka aku kalah," ujar Mahesa Lanang menunjukkan kejantanannya. Matanya menatap tajam penuh kebencian pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, baiklah. Siapa yang akan memulai, Mahesa?" tanya Sena dengan tingkah laku konyol. Mulutnya masih cengengesan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan kirinya mengorek telinga.
"Kita bergantian," sahut Mahesa Lanang tegas.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa.
"Aha, baiklah. Lalu siapa yang akan mendahului?"
"Kau!"
"Aku" Aha, baiklah. Kuharap kau siap, Mahesa."
"Huh, sombong! Lakukanlah...!" tantang Mahesa Lanang.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Kakinya bergerak mundur selangkah. Matanya masih menatap tajam Mahesa Lanang.
Aku tahu, dia kebal terhadap pukulan. Tapi akan kucoba dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Gumam Sena dalam hati dengan mata masih menatap lekat wajah Mahesa Lanang.
"Lakukanlah, Pendekar Gila! Aku ingin tahu, seberapa hebat pukulanmu!" tantang Mahesa Lanang.
"Baik. Bersiaplah! Heaaa...!" Wrt! Degk! Sena membelalakkan mata, menyaksikan apa yang terjadi. Pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' yang dahsyat tak berarti sama sekali bagi lawan. Tubuh Mahesa Lanang jangankan hancur lebur, luka pun tidak. Mahesa Lanang hanya tergontai tiga langkah ke belakang dengan mulut menyungging senyum.
"Ha ha ha...! Ternyata hanya segitu kemampuanmu, Pendekar Gila! Hua ha ha...!" Mahesa Lanang tertawa mengejek.
"Hua ha ha...!" Sena turut tertawa sambil berjingkrakan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat semua yang ada di tempat itu bengong keheranan, tak mengerti dengan tingkah lakunya yang konyol. Mahesa Lanang pun seketika terdiam. Sejenak memeriksa tubuhnya. Sepertinya takut kalau-kalau ada yang luka.
"Diam!" bentak Mahesa Lanang marah, setelah melihat tubuhnya tak mengalami apaapa.
"Kini gili-ranku, Pendekar Gila!"
"Hi hi hi...! Aha, kurasa pukulanmu pun seringan kapas!" ejek Sena sambil tertawa cekikikan.
"Kurang ajar! Terimalah 'Laksa Gempa'ku.
Heaaa...!" Wrt! Degk! "Ukh...!" Sena mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Darah meleleh di bibirnya. Ma- tanya terasa berkunang-kunang. Namun meski dalam keadaan luka, mulutnya masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Celaka, Guru! Kita harus mencegahnya!" sentak Kinanti tak sabar. Gadis itu hendak melompat, tapi dengan cepat Ki Windu Ajar mencegahnya.
"Jangan, Kinanti! Ku yakin Sena tak apa-apa."
"Tapi dia kelihatannya luka dalam, Guru," bantah Kinanti.
"Tenanglah, Kinanti! Kita lihat saja. Kau lihat, Sena masih cengengesan. Itu tandanya dia belum parah."
"Apakah harus menunggu parah?" tanya Kinanti cemas.
"Kita harus menolongnya, Guru!"
"Sudah kukatakan, percuma kau menolongnya.
Mahesa bukan lawan kita. Kalau sampai Sena tewas, akulah yang akan menyerang Mahesa lebih dahulu, untuk menebus dosa-dosaku," sahut Ki Windu Ajar berusaha menenangkan muridnya.
Kinanti menurut diam, memperhatikan apa yang bakal terjadi dengan hati gelisah dan berdebardebar.

***

Sementara Sena kini dengan masih cengengesan berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya.
Sedangkan Mahesa Lanang semakin tergelak tawanya, merasa telah menang dan mampu membuat Pendekar Gila luka dalam.
"Ha ha ha...! Itu belum seberapa, Pendekar Gila!" seru Mahesa Lanang.
"Hua ha ha...! Aku juga belum merasakan seberapa, Mahesa," balas Sena tertawa terbahak-bahak tak kalah keras. Lalu melangkah mendekati Mahesa Lanang yang mendengus marah.
"Kini giliranmu!" dengus Mahesa Lanang.
"Aha, menyenangkan sekali! Bersiaplah...!" Sena melangkah setindak ke belakang. Ditariknya kedua tangan ke belakang, kemudian digerakkan ke atas. Itulah jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Mulutnya dimonyongkan, seirama dengan gerakan kedua tangan. Kemudian kembali kedua tangannya ditarik dan diletakkan di pinggang "Heaaa...!" Bleg! Pukulan Pendekar Gila tak berarti sama sekali.
Mahesa Lanang tertawa terbahak-bahak, seperti kegelian. Hal itu membuat semua yang melihat membelalakkan mata kian lebar. Namun Pendekar Gila malah ikut-ikutan tertawa keras.
"Bersiaplah, Pendekar Gila! Kini kau harus mampus di tanganku!" Usai berkata begitu, Mahesa Lanang segera mencengkeram pundak Sena. Hal itu membuat semua yang melihat tersentak kaget. Mahesa Lanang kini telah mempersiapkan serangan mautnya dengan ajian 'Kepala Baja'nya yang mampu menghancurkan batu karang.
"Celaka, Guru!" pekik Kinanti tegang, menyaksikan Mahesa Lanang telah mengeluarkan ajian pamungkasnya yang sangat berbahaya.
Sena yang telah melindungi seluruh bagian tubuhnya dengan tenaga inti gabungan, 'Inti Salju', 'Inti Api', dan 'Inti Bayu' nampak melangkah tenang. Sepertinya Pendekar Gila kini merasa percaya diri akan ke- mampuannya. Matanya memandang dengan tajam ke arah Mahesa Lanang, yang mendengus laksana banteng terluka. Ki Windu Ajar dan Ki Supramarta hanya mampu menggigit bibir. Mereka pun merasakan ketegangan yang mendera jiwa, takut kalau kepala Pendekar Gila akan pecah. Namun Pendekar Gila malah kelihatan masih tenang, bahkan tertawa-tawa.
"Heaaa!"
"Heaaa...!" Brak! Dua kepala itu saling berbenturan dengan keras, menjadikan keduanya terlontar beberapa tombak ke belakang, dan membentur pohon. Beberapa batang pohon besar bertumbangan terhantam tubuh Mahesa Lanang dan Pendekar Gila.
Glarrr! Brakkk! Terdengar ledakan keras diiringi tumbangnya beberapa pohon besar. Semua mata membelalak, tak percaya kalau Pendekar Gila mampu menahan diri.
Kepalanya tak pecah, seperti apa yang mereka takutkan. Bahkan Mahesa Lanang yang kini nampak meringis-ringis, menahan sakit.
"Hua ha ha...! Bagaimana, Mahesa" Masihkah kau akan meneruskan sampai sepuluh kali"!" tanya Sena sambil tertawa terbahakbahak, dengan tangan menggaruk-garuk kepala yang agak pusing akibat benturan dengan kepala Mahesa Lanang.
"Huh! Kau pun tak akan mampu membunuhku, Pendekar Gila!" dengus Mahesa Lanang sengit.
"Aha, kau terlalu sombong, Mahesa! Kusarankan, lebih baik kau menyerah pada gurumu untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"
"Cuih! Jangan mengguruiku, Pendekar Gila! Ayo, kita tentukan siapa yang harus melayang ke akhirat!" tantang Mahesa Lanang dengan sengit.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar tantangan Mahesa Lanang yang sombong itu.
Lalu kepalanya digeleng-gelengkan dengan mulut cengengesan.
"Aha, kau terlalu sombong dan takabur, Mahesa. Baiklah kalau itu yang kau inginkan." Setelah berkata begitu, Pendekar Gila pun melangkah beberapa tindak ke belakang. Matanya terpejam, dicabutnya Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang. Ditiupnya suling itu, mengalunkan suara yang mendayu-dayu. Sedangkan kakinya bergerak dengan langkah-langkah yang teratur. Itulah jurus 'Tamparan Sukma'.
Semua mata terbelalak, menyaksikan apa yang dilakukan Pendekar Gila.
"Jurus 'Tamparan Sukma'!" seru Ki Windu Ajar kaget.
"Dia menguasai jurus itu...!"
"Heaaa...!" Dengan mengandalkan sukmanya, Pendekar Gila bergerak menyerang tubuh Mahesa Lanang. Tangan kanannya menampar pelan, sementara tangan kirinya masih memegang Suling Naga Sakti yang ditiup dengan suara melengking tinggi.
Mahesa Lanang tersentak. Tubuhnya hendak mengelit, namun terlambat. Tanpa ampun lagi....
Glarrr...! "Wuaaa...! Tobaaat...!" Glarrr! Tubuh Mahesa Lanang meledak dan hancurlebur. Orang-orang terbelalak kaget bukan kepalang Pendekar Gila terdiam sesaat, kemudian kembali bertingkah konyol dengan kepala menggelenggeleng. Lalu dengan pelan, duduk bersila, meniup Suling Naga Sakti dengan irama yang sedih, menuturkan betapa malangnya kehidupan manusia.
"Sena...!" seru Kinanti sambil berlari mendekati Pendekar Gila yang duduk sambil meniup Suling Naga Sakti yang berirama duka. Seakan dirinya merasa sedih, atas kemungkaran Mahesa Lanang.
Mentari perlahan-lahan merangkak semakin tinggi, menandakan hari telah siang. Ketika terik mentari memanggang bumi, Pendekar Gila dengan diiringi tatapan sendu Kinanti berlalu meninggalkan Hutan Ganggang Palang.
"Sena...!" seru Kinanti.
Sesaat Sena menghentikan langkahnya, tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian melambaikan tangan dan meneruskan langkah untuk mengembara.
"Semoga dia senantiasa dalam lindungan Hyang Widi!" gumam Ki Windu Ajar.
"Sudahlah, Kinanti! Dia memang bukan milikmu. Kau harus rela berpisah dengannya." Kinanti hanya mengangguk dan menurut, ketika gurunya mengajak meninggalkan tempat itu. Kaki gadis cantik itu melangkah lesu meninggalkan Hutan Ganggang Palang dengan perasaan haru.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Pengkhianatan Joko Galing --oo0oo-- Murka Sang Iblis


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.