Life is journey not a destinantion ...

Tragedi Berdarah Di Ponorogo

INDEX PENDEKAR GILA
Murka Sang Iblis --oo0oo-- Kitab Ajian Dewa

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


֍::::::֍| 1 |֎::::::֎

Pertunjukan Reog Ponorogo itu nampak meriah sekali. Sore itu, Desa Ponorogo kelihatan temaram indah. Mentari telah menyusup di balik rimbun pepohonan, dan tak lama lagi akan segera tenggelam di ufuk barat. Di depan rumah Warok Gandu Pala, suasana nampak ramai. Hal itu karena di pelataran luas rumah besar itu tengah berlangsung pagelaran reog, di bawah asuhan Warok Gandu Pala sendiri.
Warok Gandu Pala sengaja menggelar hiburan, dengan maksud menarik perhatian seluruh warga, berhubungan dengan pencalonan dirinya sebagai kepala desa. Sejak tiga bulan yang lalu Desa Ponorogo memang kosong kekuasaan, setelah kepala desa yang lama diketemukan mati terbunuh.
Penonton berjubel-jubel menyaksikan pagelaran itu. Macan Barong, yang menjadi tokoh utama dalam reog, tampak meliuk-liuk mengepakkan bulu-bulu merak yang lebar dan indah. Anak-anak kecil berlari menyingkir karena ketakutan, ketika Macan Barong menggerakkan kepalanya ke bawah. Diiringi suara gemelan yang menghentak-hentak dan bersemangat mengiringi para pemain reog terus menari, bagaikan tak menghiraukan senja yang semakin merayap.
Seorang lelaki berbadan tinggi tegap dengan wajah ditumbuhi kumis tebal, melangkah ke tengah arena mendekati Macan Barong yang tengah meliukliuk. Di tangan lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun itu, tergenggam sebuah cambuk besar berwarna hitam. Cletar! Tiba-tiba suara lecutan cambuk terdengar keras menggelegar dan memekakkan telinga, ketika lelaki berpakaian serba hitam itu melecutkan cambuknya.
Sebuah lecutan yang luar biasa. Tampaknya lelaki berikat kepala kain hitam itu begitu mahir memainkan cambuk yang digenggamnya.
"Ayo Macan Barong, tunjukkan kebolehan mu!" seru lelaki bermuka garang itu sambil melecutkan kembali cambuk di dekat kaki-kaki penari yang mengenakan topeng.
Cletar! Cletar...! Macan Barong kembali meliukkan kepala dengan kuat dan berirama. Sehingga bulu-bulu merah di atas kepala meriap memantulkan cahaya matahari senja. Begitu indah gemulai tarian Macan Barong yang disertai jurus-jurus silat.
Penari Macan Barong yang memikul topeng kepala macan dan rangkaian bulu-bulu merak itu seakan-akan tak merasakan beban sedikit pun.
"Bagus! Tunjukkan lagi kebolehan mu!" lelaki berkumis yang memegang cambuk hitam kembali memerintahkan Macan Barong agar terus menari. Cambuk hitam besar dan panjang di tangannya, sesekali dilecutkan ke sekitar kaki penari Macan Barong.
Cletar! Lecutan keras itu seakan-akan membelah alunan gamelan. Tiupan terompet dan pukulan gendang yang menghentak-hentak penuh semangat terus terdengar, mengiringi tarian Macan Barong.
Sementara itu di antara para penonton, nampak seorang pemuda berambut gondrong dengan pakaian rompi kulit ular, turut menyaksikan reog itu.
Pemuda tampan itu tak lain Sena Manggala atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Sena nampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Sesekali tangan dan kakinya turut bergerak, mengikuti alunan gamelan yang menghentak dan bersemangat.
Sesaat kemudian terdengar suara tawa cekikikan dari mulutnya yang mengundang perhatian penonton lain.
"Hi hi hi...! Lucu...! Ha ha ha...!" Sena tertawa-tawa sambil tangan dan kakinya terus bergerak-gerak, mengikuti gerakan Macan Barong.
Cletar! Cletarrr...! Terdengar kembali suara lecutan cambuk, seakan memecah suasana senja temaram, di antara alunan gamelan. Namun, perhatian para penonton, kini tidak semua tertuju pada pagelaran reog. Mereka tiba-tiba saja beralih pada Pendekar Gila yang bertingkah laku seperti orang gila, tertawa-tawa sendiri sambil mengikuti gerak-gerik silat Macan Barong.
"Aha, ternyata kau menggerakkan jurus silat!" gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan, lalu tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Tingkah lakunya yang konyol itu menyebabkan perhatian sebagian besar penonton dan kebanyakan anak kecil tertuju pada dirinya.
"Hai, orang gila! Sana pergi...!" bentak lelaki pemegang cambuk besar hitam dengan mata melotot menatap Pendekar Gila. Lelaki yang ternyata Warok Gandu Pala merasa jengkel atas tingkah laku Pendekar Gila, karena menyebabkan perhatian sebagian penonton beralih dari pertunjukan reog.
"Hi hi hi...! Kenapa kau marah, Ki" Apakah tak boleh aku menonton...?" tanya Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Kukatakan pergi! Cepat..!" bentak Warok Gandu Pala semakin garang dengan mata melotot "Hi hi hi...! Ah ah ah, galak sekali kau, Ki! Bukankah kau mengadakan pertunjukan untuk ditonton?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan.
"Kurang ajar! Sudah kukatakan, cepat pergi! Hiburan ini bukan untuk orang gila sepertimu!" bentak Warok Gandu Pala semakin marah, karena Pendekar Gila tak segera beranjak dari tempat itu. Malah kini tertawa terbahak-bahak.
"Ah ah ah, galak sekali kau, Ki! Aneh..., kau menggelar hiburan tapi tak boleh ditonton," gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Sinting...! Hi hi hi...! Gila kau, Ki."
"Bedebah! Masih juga kau membandel, Pemuda Gila! Cepat pergi, sebelum hilang kesabaranku!" bentak Warok Gandu Pala sengit.
"Aha, baiklah. Kurasa, kau menyimpan sesuatu, Ki...," tukas Pendekar Gila seraya mengeloyor meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba terdengar sua-ra seorang wanita memanggilnya.
"Hai, tunggu...!" Karena merasa ada yang memanggil, Pendekar Gila seketika menghentikan langkah. Sambil menggaruk-garuk kepala, dibalikkan tubuhnya. Mulutnya tersenyum dengan cengengesan, ketika dilihatnya seorang gadis cantik berambut terurai panjang dengan ikat kepala kain merah melangkah menghampiri.
"Aha, kau memanggilku, Ni Sanak?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan dan tangan ka- nannya menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap tajam wajah gadis dua puluh dua tahunan itu. Kemudian Sena mengerutkan kening, ketika melihat cara jalan gadis itu. Kaki agak terbuka, sehingga langkahnya agak menegang.
"Ya," jawab gadis cantik bermuka bulat telur dan berhidung mancung. Mata gadis berpakaian kuning itu menatap wajah Pendekar Gila, kemudian merayap turun sampai ke kaki. Gadis itu sepertinya hendak menilai Pendekar Gila.
Melihat sikap gadis di hadapannya, Sena nyengir. Keningnya semakin berkerut, tak mengerti apa yang dicari gadis itu pada dirinya.
"Aha, ada apa kau memandangi ku begitu, Ni Sanak?" tanya Sena seolah merasa risi. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Dengan kening berkerut karena heran, Pendekar Gila menatap wajah gadis cantik itu yang juga tengah menatap dirinya.
Gadis cantik berambut panjang itu tersenyum manis, membuat Pendekar Gila semakin tak mengerti apa arti senyum sang Gadis. Senyum itu seperti menyimpan misteri, yang terasa sulit untuk dibuka.
"Tak ada apa-apa," sahut gadis cantik itu, yang membuat Sena bertambah heran, tak mengerti maksud sebenarnya gadis itu.
"Aku hanya ingin tahu, benarkah kau yang bernama Sena Manggala atau Pendekar Gila?" Pendekar Gila tersenyum cengengesan sambil kembali menggaruk-garuk kepala, semakin heran dengan tingkah laku gadis itu.
"Aha, memang namaku Sena Manggala. Ada apa gerangan?" tanya Sena ingin tahu.
"Ah, tidak. Terima kasih," usai berkata begitu gadis cantik berpakaian kuning muda itu melangkah meninggalkan Pendekar Gila yang semakin bertambah heran. Dirinya benar-benar tak tahu, mengapa gadis cantik itu hanya ingin tahu namanya, lalu pergi lagi.
"Ah ah ah, dunia ini semakin aneh...!" gumam Pendekar Gila sambil masih cengengesan. Kemudian digeleng-gelengkan kepalanya, merasa heran melihat tingkah laku gadis tadi. Dengan masih cengengesan, Sena kembali melanjutkan langkahnya.
Mentari semakin condong ke barat, tapi pagelaran Reog Ponorogo masih berlanjut Penonton bahkan bertambah banyak berdatangan memadati pelataran depan rumah Warok Gandu Pala. Pagelaran reog tampak semakin bertambah seru. Warok Gandu Pala berteriak-teriak, memerintahkan Macan Barong untuk menari dan meliuk-liukkan bulu merah yang dipanggulnya. Seirama dengan suara gamelan yang terus mengalun. Para penabuh gamelan pun nampak begitu bersemangat sambil bertepuk tangan menimbulkan irama khas reog ditingkahi teriakan-teriakan mulut mereka. Cletar! "Oe...a! Oe...a! Oe...a! Cambuk hitam besar di tangan Warok Gandu Pala terus menggelegar, memecahkan suasana senja.
Diikuti liukan-liukan tubuh Macan Barong dan teriakan-teriakan para penabuh gamelan yang disebut panjak "Ayo, Barong! Tunjukkan kebolehan mu!" seru Warok Gandu Pala sambil memutar cambuk dan menghentak-hentakkan kaki ikut menari. Sementara itu terdengar pula sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton memberi semangat para pemain reog. Suasana senja benar-benar hanyut dalam kegembiraan.
Sementara itu pula, gadis berpakaian kuning yang tadi memanggil Pendekar Gila, tampak menghampiri Warok Gandu Pala. Kemudian dengan perlahan gadis itu membisikkan sesuatu pada Warok Gandu Pala.
"Jadi dia Pendekar Gila...?" tanya Warok Gandu Pala dengan suara setengah berbisik. Di wajahnya ada gambaran rasa terkejut "Benar, Paman," sahut gadis cantik itu.
"Hm, celaka! Bisa berantakan rencana kita, Sekati."
"Apa yang harus kita lakukan, Paman?" tanya gadis yang ternyata bernama Sekati. Matanya menatap tajam pada Warok Gandu Pala yang dipanggilnya dengan sebutan paman.
Warok Gandu Pala terdiam sejenak, seolah-olah tengah memikirkan, apa yang hendak dilakukan agar bisa berhasil rencananya.
"Kita singkirkan Pendekar Gila itu," ujar Warok Gandu Pala setengah mendengus.
"Dia akan mempersulit kita."
"Tapi dia bukan orang sembarangan, Paman," tukas Sekati "Aku tahu. Maksudku, kita tidak menghadapinya secara terang-terangan, Kati."
"Lalu...?" tanya Sekati ingin tahu.
"Lihat saja, nanti malam!" sahut Warok Gandu Pala. Sekati hanya diam, ketika pamannya kembali masuk ke arena untuk melanjutkan pagelaran itu. Gadis cantik itu menghela napas panjang-panjang. Kemudian berlalu meninggalkan tempat itu.

***

Malam telah datang, membawa kegelapan yang mencekam. Suasana Desa Ponorogo dan sekitarnya nampak sunyi dan sepi. Rumah-rumah penduduk telah tertutup rapat, mungkin penghuninya telah terlelap dalam tidurnya.
Dari arah selatan Desa Ponorogo, muncul sepuluh sosok lelaki yang semuanya bertubuh tinggi tegap dan berwajah garang. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan berikat kepala kain hitam pula. Mata mereka menatap garang dan begitu liar mengawasi ke sekeliling desa yang sunyi dan sepi.
"Kita harus hati-hati. Ingat baik-baik, jika kepergok tak ada pilihan lain kecuali membunuh!" ujar seorang lelaki bermuka persegi dengan rambut gondrong, memperingatkan rekan-rekannya.
"Baik!"
"Kita juga harus ingat apa yang diperintahkan kepada kita. Juga tentang tulisan itu!" tambah lelaki berkumis tebal bernama Sumogiri. Dialah pimpinan kesembilan lelaki berpakaian serba hitam itu.
Kesembilan anak buahnya menanggapi dengan anggukan kepala. Mereka terus melangkah menembus gelap malam.
"Kita harus tetap pada kesepakatan bersama.
Bahwa kita harus memilih orang itu sebagai pimpinan di Ponorogo ini. Jika dia berhasil menjadi lurah, kita akan jaya," sambung Sumogiri sambil mengurai senyum.
"Benar! Kalau dia berhasil menjadi lurah, kita akan bebas berkeliaran. Kita akan jaya dan disegani seluruh warga Desa Ponorogo," tambah Sumogara, adik dari Sumogiri. Keduanya menamakan diri dengan julukan 'Sepasang Walet Merah'.
"Ayo kita mulai! Ingat, malam ini kita menyatroni Ki Renu Jalna!" ujar Sumogiri sambil menggerakkan tangan, memerintahkan rekan-rekannya agar segera bergerak. Kesepuluh lelaki berpakaian hitam terus melangkah memasuki Desa Ponorogo. Mata mereka yang tajam, memandang ke sekelilingnya. Tak lama kemudian kawanan berpakaian hitam itu telah sampai di depan rumah Ki Renu Jalna.
"Mungkin ini rumahnya," ujar Sumogiri seraya memperhatikan sebuah rumah besar menghadap selatan. Sumogara dan rekan-rekannya mengangguk. Kemudian melangkah mendekati pintu depan rumah Ki Renu Jalna, salah seorang yang juga mencalonkan diri sebagai Lurah Desa Ponorogo. Sumogiri berdiri paling depan. Matanya mengawasi ke sekeliling rumah yang nampak sepi itu.
Sudah merupakan kebiasaan orang-orang zaman dulu, kalau mau menjadi lurah pasti akan membawa jawara atau centeng untuk menjaga rumahnya.
Namun, Ki Renu Jalna nampaknya tak melakukan hal itu. Rumah besar itu tampak sepi tanpa penjagaan.
Sepertinya Ki Renu Jalna merasa tenang-tenang saja, tak takut terhadap bahaya yang setiap saat dapat mengancam jiwa atau kedudukannya sebagai seorang calon lurah. Mungkin karena Ki Renu Jalna menganggap pemilihan lurah masih cukup lama. Sehingga baginya terlalu dini untuk mengadakan penjagaan di rumah.
Apalagi dirinya sangat disenangi warga Desa Ponorogo.
Tak ada masalah baginya. Bahkan mungkin Ki Renu Jalna merasa yakin, dialah yang bakal memenangkan pemilihan lurah. Hal itu karena hampir semua warga mendukung dirinya sebagai calon lurah. Sementara para saingannya, seperti Ki Randu Paksa, Ki Banjar Guling, dan Warok Gandu Pala hanya mendapat pendukung sedikit. Nampaknya mereka tak banyak memiliki harapan untuk menang dalam pemilihan lurah kali ini.
Di samping mendapat dukungan yang besar dari warga Desa Ponorogo, Ki Renu Jalna juga didorong terus oleh para sesepuh Desa Ponorogo. Di antara sesepuh desa, terdapat tiga warok sakti, yang cukup ditakuti dan disegani penduduk Ponorogo. Ketiga warok itu adalah Warok Singa Lodra, Warok Sura Pati, dan Warok Sito Kuta.
Tok, tok, tok! Sumogiri mengetuk pintu rumah Ki Renu Jalna. Kemudian memerintahkan rekan-rekannya agar segera menutupi wajah mereka dengan kain hitam yang telah disiapkan.
"Siapa"!" dari dalam terdengar suara Ki Renu Jalna. Kemudian disusul suara langkah-langkah kaki mendekati pintu depan.
"Aku, Ki," sahut Sumogiri.
"Aku siapa?" tanya Ki Renu Jalna.
"Aku warga Desa Ponorogo."
"Ada apa, malam-malam begini datang?" tanya Ki Renu Jalna masih di dalam, belum membukakan pintu. Tampaknya lelaki tua itu sudah agak curiga, sehingga merasa bimbang untuk membuka pintu rumahnya.
"Perlu penting, Ki. Bukalah pintunya...!" pinta Sumogiri, berusaha mempengaruhi Ki Renu Jalna agar membukakan pintu.
Kreeek! Pintu terbuka. Saat itu juga, muncul lelaki setengah baya bertubuh kurus dengan wajah menggambarkan kesabaran dan ketenangan. Dialah Ki Renu Jalna, calon Lurah Desa Ponorogo.
"Siapa kalian"!" bentak Ki Renu Jalna dengan mata membelalak, ketika melihat sosok-sosok berpakaian hitam dengan wajah setengah tertutup. Dilihat dari sorot mata, kesepuluh lelaki itu jelas tidak bermaksud baik. Hal itu terbaca jelas dalam batin Ki Renu Jalna.
"Siapa pun kami, yang jelas harus menyingkirkan mu," dengus Sumogiri sambil mencabut golok lalu mengarahkannya ke depan Ki Renu Jalna.
"He, apa alasannya"!" sentak Ki Renu Jalna sambil mundur dua langkah. Matanya menatap tajam pada sepuluh lelaki bermata garang yang kini telah masuk ke rumahnya dengan tangan memegang golok "Kau tak pantas menjadi lurah di Ponorogo," sahut Sumogiri.
Terbelalak mata Ki Renu Jalna, mendengar ucapan Sumogiri. Sambil menatap tajam wajah lelaki bersenjata golok di depannya Ki Renu Jalna mendengus, karena tiba-tiba menyadari, bahwa ada di antara para saingan yang tidak senang kalau dirinya menjadi lurah.
"Cuih! Lancang sekali mulut kalian! Semua warga Desa Ponorogo menghendaki aku menjadi lurah!" bentak Ki Renu Jalna sengit dengan mata semakin tajam, menatap penuh kemarahan kepada kesepuluh lelaki berpakaian hitam yang telah berada di rumahnya.
"Hua ha ha...! Mereka boleh saja mempercayaimu untuk menjadi Kepala Desa Ponorogo. Tapi bagi kami, kau tak ada artinya dan harus disingkirkan," sahut Sumogiri dengan suara tawanya yang sinis. Matanya semakin tajam, menatap wajah Ki Renu Jalna. Dari dalam muncul Nyi Tumirah, istri Ki Renu Jalna. Wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun itu kaget mendengar suara ribut di ruang depan.
Nyi Tumirah membeliak, melihat suaminya dalam ancaman orang-orang bercadar hitam. Apalagi ketika melihat golok-golok tajam di tangan mereka.
"Ki, siapa mereka...?" tanya Nyi Tumirah dengan kening mengerut karena rasa takut, melihat para lelaki berwajah garang itu. Dihampirinya sang Suami yang tengah menyurut mundur dengan mata menatap tajam pada kesepuluh lelaki bersenjata golok yang juga menatapnya.
"Entah, Nyi. Mereka bermaksud jahat terhadap kita," bisik Ki Renu Jalna.
"Jangan banyak omong, Ki! Tangkap dia...!" perintah Sumogiri sambil memberi isyarat dengan tangan. Kesepuluh anak buahnya langsung melangkah maju, bermaksud menangkap.
"Cuh! Jangan seenaknya kalian bertingkah di rumahku, Bajingan!" bentak Ki Renu Jalna geram. Dicabutnya keris yang terselip di pinggang belakang, kemudian dengan mata garang menghadang kesepuluh lelaki garang yang hendak menangkapnya.
"Ki Renu, Jangan ladeni mereka! Biar kita mengalah, daripada mati, Ki!" saran Nyi Tumirah yang semakin ketakutan, menyaksikan suaminya dalam ancaman maut "Hm, begitu memang baik, Ki. Turutilah apa kata istrimu! Menyerahlah, jangan sampai kami menurunkan tangan jahat padamu!" dengus Sumogiri setengah mengancam. Tangan kirinya diangkat, memberi isyarat pada rekan-rekannya agar berhenti.
Sumogiri kemudian melangkah maju, mendekati Ki Renu Jalna yang masih menatap tajam wajahnya.
Mata lelaki garang itu pun menghujam ke wajah Ki Renu Jalna.
"Kuharap kau menurut, Ki! Di belakang kami, Pendekar Gila. Siapa yang berani dengannya"!" ancam Sumogiri.
Mendengar ucapan Sumogiri Ki Renu Jalna tersentak kaget. Hatinya hampir tak percaya nama Pendekar Gila disebut sebagai dalang dari tindakan sekawanan berpakaian hitam itu.
"Bohong! Aku tahu siapa Pendekar Gila. Dia tak mungkin berteman dengan kalian, Bangsa Bajingan!" dengus Ki Renu Jalna seraya membelalakkan mata garang. Keris di tangannya ditudingkan ke muka Sumogiri, yang semakin dekat.
"Terserah padamu! Mau percaya atau tidak, yang pasti kami diperintah Pendekar Gila untuk menangkapmu," tegas Sumogiri.
Ki Renu Jalna tercengang. Hatinya benar-benar tak percaya, kalau semua ini tindakan yang dilakukan Pendekar Gila. Baginya tak masuk akal kalau pendekar yang namanya begitu tersohor dan sangat disegani itu akan berbuat sekeji ini.
"Kuharap kau jangan melawan, Ki! Kalau kau melawan kematianlah yang akan kau dapatkan," ancam Sumogiri.
"Ya! Ikutlah kami!" sambung Sumogara.
Ki Renu Jalna nampak masih bimbang. Hatinya antara percaya dan tidak. Bagaimanapun, setahunya Pendekar Gila tak pernah melakukan hal-hal yang keji.
Jangankan menangkap orang semena-mena, berlaku tak senonoh terhadap orang yang tak salah pun, Pendekar Gila tak pernah. Namun kini, tiba-tiba ada orang yang mengaku utusan Pendekar Gila untuk meringkus dirinya.
"Benarkah pendekar yang berbudi luhur dan pembela kebenaran serta keadilan memerintah mereka?" tanya Ki Renu Jalna dalam hati.
"Apa salahku" Hm, kurasa aku tak melakukan kesalahan. Atau mungkin ini gurauan pendekar itu. Biasanya dia memang suka bercanda."
"Bagaimana, Ki" Apakah kau akan menuruti kata-kata kami?" tanya Sumogiri mendesak. Ki Renu Jalna tersentak bimbang.
Dirinya belum mengerti, mengapa Pendekar Gila berbuat aneh-aneh, tidak sesuai dengan kebiasaannya.
"Jangan terlalu lama berpikir, Ki! Pendekar Gila sudah tak sabar menunggumu!" sentak Sumagara.
"Kang, ikuti saja!" saran istrinya.
"Baiklah, aku ikut kalian," akhirnya Ki Renu Jalna menurut. Dirinya ingin tahu, apakah benar Pendekar Gila yang memerintahkan mereka untuk menangkapnya"
"Lalu kalau memang benar, ada maksud apa Pendekar Gila berbuat begitu?" pikir Ki Renu Jalna masih diliputi kebimbangan.
"Hua ha ha...! Bagus! Memang itulah yang baik.
Bawa dia...!" perintah Sumogiri pada rekan-rekannya yang segera maju menangkap Ki Renu Jalna.
"Aku ikut!" Nyi Tumirah memegangi tangan Ki Renu Jalna.
"Tak perlu, Nyi! Tak lama aku akan kembali," ujar Ki Renu Jalna.
"Tidak, Ki. Aku ikut!" ujar Nyi Tumirah memaksa.
"Bawa dia sekalian!" perintah Sumogiri. Para anak buah menurut dan langsung menarik kedua suami-istri itu. Setelah mengikat tangan serta menutup mata dan mulut Ki Renu Jalna dan istrinya, mereka segera membawa suami-istri itu meninggalkan rumah.

***



֍::::::֍| 2 |֎::::::֎

Kawanan berpakaian serba hitam di bawah pimpinan Sumogiri terus membawa Ki Renu Jalna dari istrinya. Mulut kedua suami-istri itu masih disumbat.
Tampak kedua suami-istri itu terus berusaha berontak, karena merasa diperlakukan sewenang-wenang.
Namun mereka tak dapat berbuat banyak, karena di samping tangan terikat, mata, dan mulut keduanya ditutup rapat Entah akan dibawa ke mana, Ki Renu Jalna dan istrinya tak tahu jalan yang ditempuh. Yang jelas kawanan yang mengaku diutus Pendekar Gila berjalan ke selatan, menjauh dari Desa Ponorogo. Setelah cukup lama berjalan mereka sampai di tengah Hutan Palapiring. Kemudian, tampak gerombolan berpakaian serba hitam itu berjalan menuju sebuah rumah di tengah hutan. Rumah itu terbuat dari bilik. Letaknya yang sangat tersembunyi mempersulit orang biasa menemukan rumah tersebut.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam rumah.
Orang yang berada di dalam rumah bilik itu sepertinya tahu kalau di luar ada orang. Gret! Pintu terbuka. Ki Renu Jalna dan istrinya belum sempat melihat orang yang berada di dalam, ketika tubuh mereka telah didorong dari belakang. Keduanya jatuh terjerembab di lantai tanah. Di hadapan mereka tampak berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi dan tegap. Pakaiannya serba hitam, dengan ikat kepala mirip blangkon dari kain hitam. Tampak bibirnya tersenyum sambil mencibir penuh kebencian.
"Buka tutup mata mereka!" perintah lelaki itu pada Sumogiri. Pimpinan gerombolan itu pun segera membuka dengan kasar penyumbat mulut dan mata Ki Renu Jalna.
"Hah...! Kau"!" desis Ki Renu Jalna, begitu terkejut ketika melihat lelaki yang di depannya ternyata Warok Gandu Pala.
"Hua ha ha...! Ya, aku. Selamat datang di tempatku, Renu Jalna...!" sapa Warok Gandu Pala sambil tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan. Senyum sinis di bibir menyempurnakan gambaran keangkuhan di wajahnya.
"Kau...!" Apa maksudmu..."!" tanya Ki Renu Jalna dengan mata terbelalak marah dan heran. Dirinya merasa telah dibohongi dan diperdaya kesepuluh lelaki yang ternyata utusan Warok Gandu Pala. Menyaksikan kebingungan Ki Renu Jalna, kesepuluh le- laki itu tertawa terbahak-bahak.
"Hua ha ha...! Mengapa kau tanyakan hal itu, Ki?" Warok Gandu Pala balik bertanya dengan senyum sinis.
"Seharusnya tak perlu kau tanyakan hal itu, karena kau tahu siapa aku bukan"!"
"Cuih! Iblis keparat! Licik...!" maki Ki Renu Jalna dengan sengit, menyadari kenapa dirinya diculik.
"Hua ha ha...! Memakilah sepuasmu, Ki! Kau boleh mengutukku dengan sesuka hatimu, sebelum masuk ke penjara bawah tanah. Dengan hilangnya kau dari Ponorogo, maka tak akan ada lagi yang bisa menghalangiku menjadi lurah. Hua ha ha...!" Warok Gandu Pala tertawa terbahakbahak bagaikan telah memenangkan pertandingan yang menggembirakan.
Satu saingan berat telah dapat disingkirkan. Dirinya menganggap Ki Renu Jalna sebagai saingan terberat dan selalu menjadi penghalang untuk menduduki kur si lurah.
"Iblis pengecut! Terkutuklah kau!" dengus Ki Renu Jalna sambil mencabut kerisnya. Karena telah terbebas dari ikatan tangan dan mulut serta mata, dirinya berusaha melawan.
Namun belum sempat tubuhnya bangun, Sumogara telah menendangnya, Duggg...! "Ukh!" Ki Renu Jalna memekik, tubuhnya kembali jatuh tersungkur mencium tanah.
"Iblis! Jangan siksa suamiku!" bentak Nyi Tumirah. Wanita setengah baya itu menatap penuh kebencian pada Sumogara.
"Kau tak perlu galak seperti itu, Nyai! Jangan sampai tanganku menampar mulutmu!" bentak Sumogara.
"Huh, apa dikira aku takut, Bajingan!" bentak Nyi Tumirah kesal dan marah.
Matanya terbelalak menatap tajam wajah Sumogara.
"Wanita lancang! Kurobek mulutmu!" Sumogara hendak memukul mulut Nyi Tumirah ketika Warok Gandu Pala mencegah dengan mengangkat tangan kanannya, yang membuat Sumogara menghentikan niatnya. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun, bermuka garang itu menyurut mundur.
Lalu Warok Gandu Pala melangkah mendekati Ki Renu Jalna dan istrinya.
"Kini kalian ada dalam kekuasaanku. Sekali kuperintahkan, anak buahku akan menghabisi nyawa kalian!" tutur Warok Gandu Pala sambil mencibirkan bibir mengejek Ki Renu Jalna.
"Pikirkan baik-baik! Kalian kuberi kesempatan hidup, asal bersedia mendukungku menjadi lurah."
"Cuih! Lebih baik bunuh saja aku, Warok Keparat!" bentak Ki Renu Jalna bagaikan tak takut sedikit pun menghadapi ancaman Warok Gandu Pala.
"Hm, begitu...?" tanya Warok Gandu Pala.
"Huh! Jangan kira kami takut mati, Warok Sesat! Kalau sampai Paman Warok Singo Lodra tahu, kau tak akan mendapat ampun!" dengus Nyi Tumirah sengit. Matanya menatap tajam dan garang pada wajah Warok Gandu Pala yang tertawa terbahak-bahak "Hua ha ha...! Ki Singo Lodra, tak akan pernah menyangka akulah pelakunya, Nyai. Ki Singo Lodra, akan menuduh Pendekar Gila pelaku semua ini...," ujar Warok Gandu Pala sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Pengecut! Fitnah keji...!" dengus Ki Renu Jalna. Matanya kian membara, menatap tajam. Warok Gandu Pala yang tengah terbahak-bahak "Hua ha ha...! Memakilah sesukamu, karena sebentar lagi kau tak akan dapat memaki lagi!" ejek Warok Gandu Pala. Lelaki gagah itu kemudian menggerakkan kepala memberi perintah kepada anak buahnya, membawa Ki Renu Jalna pergi dari tempat itu.
"Lepaskan...!" sentak Ki Renu Jalna sengit sambil memberontak. Namun kesepuluh anak buah Warok Gandu Pala tak peduli. Mereka semakin kencang men-cengkeram kedua suami-istri itu, meskipun terus meronta-ronta.
"Lepaskan aku...!"
"Jangan melawan!" bentak Sumogiri dengan mendengus. Sikutnya dihentakkan ke tubuh Ki Renu Jalna, yang membuat lelaki setengah baya itu tersentak lalu sempoyongan dan jatuh berlutut di tanah.
"Bangsat! Mengapa kau menyiksa suamiku!" dengus Nyi Tumirah dengan mata melotot sengit. Wanita setengah baya ini pun nampaknya tak merasa takut.
"Bunuhlah kami sekalian!"
"He he he...! Sabar, Nyai! Sabar sedikit! Kalian memang akan mati," sahut Warok Gandu Pala dengan senyum mencibir sinis.
Mendengar ucapan Warok Gandu Pala, mata Ki Renu Jalna memerah karena marah. Nafasnya tersengal-sengal menahan perasaan yang menggelegak di rongga dada.
"Pengecut! Kita bertarung satu lawan satu!" tantang Ki Renu Jalna dengan garang. Dicabutnya keris yang terselip di pinggang belakang. Matanya garang menatap tajam wajah Warok Gandu Pala. Kesepuluh anak buah hendak meringkus Ki Renu Jalna, tapi Warok Gandu Pala mengisyaratkan agar mereka membiarkan saja.
"Tampaknya kau tak sabar untuk mati, Ki!" ujar Warok Gandu Pala dengan senyum mengejek.
Dengan tenang, kakinya melangkah mendekati Ki Renu Jalna. Matanya yang lebar dan merah menatap tajam wajah Ki Renu Jalna yang juga membalasnya dengan tajam pula.
"Huh! Kau kira aku takut padamu, Warok Keparat!" bentak Ki Renu Jalna geram. Keris di tangannya telah diacungkan ke muka Warok Gandu Pala. Matanya semakin garang, menatap penuh kebengisan dan marah terhadap Warok Gandu Pala.
"Hm, begitu" Lakukanlah jika kau berani!" tantang Warok Gandu Pala.
"Kurang ajar! Hea...!" Ki Renu Jalna langsung menyerang Warok Gandu Pala dengan tusukan kerisnya ke dada lawan. Namun hanya dengan menggeser kaki kiri sambil menarik tubuh, Warok Gandu Pala berhasil mengelakkan serangan.
Sementara itu pula dengan cepat tangannya menghantam punggung Ki Renu Jalna.
"Hih!" Degk! "Ukh!" Ki Renu Jalna terpekik. Tubuhnya sempoyongan, kemudian ambruk mencium tanah. Hal itu membuat Nyi Tumirah menggeram marah. Dicabut tusuk kondenya, kemudian sambil mendengus wanita itu bergerak menyerang.
"Hea!" Nyi Tumirah menyambar dengan tusuk konde ke tubuh lawan, tetapi dengan cepat Warok Gandu Pala berkelit. Lalu dengan cepat tangannya menampar wajah wanita itu.
Plak! "Akh...!" pekik Nyi Tumirah dengan tubuh sempoyongan. Tangannya memegangi pipi yang terkena tamparan. Wanita itu terjatuh ke samping, "Ki..., kenapa kita harus begini?" Ki Renu Jalna mendengus marah. Matanya semakin garang menatap tajam wajah Warok Gandu Pala yang masih tertawa penuh ejekan.
"Bagaimana, Ki" Kau masih ingin meneruskan?" tanya Warok Gandu Pala sambil mencibir penuh kesombongan. Matanya tak memandang sebelah mata pun kepada Ki Renu Jalna.
"Cuh! Aku belum kalah!" bentak Ki Renu Jalna.
"Hea...!" Bagaikan macan marah kelaparan, Ki Renu Jalna langsung bangkit berdiri. Tangannya yang menggenggam keris, digerakkan menyabet dan menusuk ke tubuh Warok Gandu Pala. Namun Warok Gandu Pala dengan tenang sambil tertawa-tawa bergerak mengelakkan serangan itu. Kemudian tangannya bergerak menangkap tangan Ki Renu Jalna. Lalu dengan cepat pula ditekuknya ke arah perut lawan.
"Hih!" Trep! Crab! "Akh...!" jerit kematian terdengar, ketika keris Ki Renu Jalna menghujam ke perutnya sendiri. Mata lelaki setengah baya berpakaian adat Jawa warna putih itu membelalak. Tampak darah segar menyembur.
"Ki...!" pekik Nyi Tumirah sambil memburu tubuh suaminya yang sekarat. Kemudian tangannya ber- gerak menusukkan tusuk konde ke tubuh Warok Gandu Pala.
"Iblis! Kubunuh kau...!" Wrt! "Eit!" Warok Gandu Pala berkelit Kemudian dengan cepat kaki kanannya menendang ke punggung Nyi Tumirah. Degk! "Ukh!" Nyi Tumirah terpekik. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, kemudian ambruk mencium tanah. Namun wanita separo baya itu bagaikan seekor macan betina, dengan cepat bangun dari jatuhnya. Lalu dengan menggeram marah, tubuhnya melesat bergerak menyerang.
"Kubunuh kau, Warok Iblis! Hea...!" Wrt! Wrt! Tusuk konde di tangan Nyi Tumirah bergerak cepat menusuk dan menyabet ke tubuh Warok Gandu Pala. Namun dengan cepat dan enteng lelaki berpakaian serba hitam itu berkelit sambil melancarkan pukulan keras ke tubuh wanita itu.
"Hih!" Prak! "Akh,..!" Nyi Tumirah menjerit keras. Tulang punggungnya dirasakan remuk terhantam pukulan Warok Gandu Pala.
"Kau..."! Kau..., Akh...!" Nyi Tumirah pun tergeletak mati dengan mulut melelehkan darah. Matanya melotot.
"Seret mayat mereka! Kembalikan ke rumahnya lagi. Ingat, beri tulisan kalau yang melakukan Pendekar Gila!" perintah Warok Gandu Pala.
"Baik, Ki," sahut Sumogiri.
Dengan menggerakkan tangan, Sumogiri memerintahkan pada rekan-rekannya agar menyeret tubuh Ki Renu Jalna dan istrinya menuju Desa Ponorogo.

***

Keesokan harinya, semua warga Desa Ponorogo gempar. Ki Renu Jalna dan istrinya ditemukan tewas di rumahnya dalam keadaan mengenaskan. Namun yang lebih membuat semua warga terkejut, adanya tulisan di samping kedua mayat yang berbunyi: Siapa pun yang berani ikut campur dengan kematian kedua orang ini. Maka akan berurusan dengan Pendekar Gila.
Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Jelas, ini penghinaan bagi kita!" dengus Warok Sura Pati geram. Nafasnya turun naik, karena didesak kemarahan yang menggelegak. Matanya yang tajam menatap nanar pada kedua mayat Ki Renu Jalna dan istrinya.
"Jelas, ini sebuah tantangan bagi kita, Ki." Ki Warok Singo Lodra dan Ki Warok Sito Kuta menarik napas dalam-dalam. Sesaat keduanya saling pandang, kemudian menatap kembali ke wajah Warok Sura Pati. Sepertinya kedua warok itu belum yakin, kalau kejahatan itu dilakukan Pendekar Gila.
"Kita tak boleh gegabah, Sura. Aku tahu, siapa Pendekar Gila. Mungkin ini bukan perbuatannya. Ada orang yang hendak mengadu domba kita dengan Pendekar Gila," tutur Warok Singo Lodra.
"Benar. Kita harus menyelidiki lebih dahulu," sambung Warok Sito Kuta. Kedua orang tua berwajah tenang dengan cambang bawuk menghias pipi itu dengan sabar berusaha menyabarkan Warok Sura Pati.
"Tapi, Ki...," ujar Warok Sura Pati terputus.
"Aku tahu maksudmu. Tapi kau tentu melihat tulisan itu, bukan?" sela Warok Singo Lodra.
"Benar, Ki," sahut Warok Sura Pati. Lelaki kurus, berpakaian abu-abu ini mengangguk-angguk. Matanya yang cekung menatap Warok Singo Lodra.
Warok Singo Lodra tersenyum menggelenggelengkan kepala, seakan-akan hendak berusaha menyadarkan rekannya agar tidak sembarangan berprasangka buruk.
"Kau harus ingat, Sura! Sebagai warok, kita merupakan orang-orang yang terhormat. Kita telah dikenal sebagai orang bijak. Janganlah sembarangan menuduh," tuturnya dengan penuh wibawa.
"Maafkan aku! Bukan aku bermaksud menuduh. Tetapi kejadian ini sungguh di luar pikiran kita," gumam Warok Sura Pati sambil membelai-belai jenggot. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun ini, memang masih ada hubungan kerabat dengan Nyi Tumirah. Sudah sepantasnya kalau dirinya begitu marah, mengetahui saudaranya terbunuh.
"Apa tidak mungkin ada orang telah memperalat Pendekar Gila?" tanya Warok Sura Pati kembali. Pikirannya masih diliputi kegelisahan dan berprasangka terhadap Pendekar Gila.
Warok Singo Lodra dan Warok Sito Kuta mengerutkan kening, mendengar pertanyaan itu. Keduanya seakan berusaha memikirkan hal itu. Sambil mengelus-elus jenggot, keduanya memandang ke arah lain.
"Mungkin juga," gumam Warok Sito Kuta dengan kepala manggut-manggut. Matanya yang bulat dan lebar itu memperhatikan kedua mayat yang di sampingnya tergeletak selembar daun lontar tertera nama Pendekar Gila.
"Kurasa, kita tidak boleh asal menuduh," tukas Warok Singo Lodra sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tahu persis siapa Pendekar Gila. Dia akan bertindak, jika orang sudah tak dapat disadarkan dari perbuatan dosanya."
"Tapi dia juga manusia, Ki," sela Warok Sura Pati.
"Ya," sambung Warok Sito Kuto. Warok Singo Lodra tersenyum.
"Memang, dia manusia seperti kita. Namun selama ini, kita belum pernah mendengar kalau Pendekar Gila melakukan perbuatan keji seperti sekarang ini," ujar Warok Singo Lodra tenang.
"Bukannya kita takut menghadapinya. Tetapi yang perlu kita pikirkan, benarkah dia pelakunya?" Kedua warok rekannya terdiam. Hati mereka pun sebenarnya masih ragu menjatuhkan tuduhan bahwa Pendekar Gila adalah pelaku kejahatan ini. Hati mereka masih bertanyatanya. Untuk apa Pendekar Gi-la membunuh Renu Jalna dan istrinya" Mungkinkah Ki Renu Jalna mempunyai kesalahan yang tak dapat diampuni, sehingga Pendekar Gila membunuhnya" Sulit bagi ketiga warok menjawab pertanyaan itu. Mereka tahu siapa sebenarnya Pendekar Gila Semua orang pun tahu Pendekar Gila berhaluan lurus.
Bah-kan telah mendapat sebutan Pendekar Penegak Kebenaran dan Keadilan. Namun di lain sisi, kenyataan membukakan siapa pelaku pembantaian calon lurah itu. Di samping mayat Ki Renu Jalna dan istrinya, ter-dapat tulisan yang tertera nama Pendekar Gila. Hal itu sebagai bukti, kalau Pendekar Gila pelaku atau yang mengutus orang membunuh Ki Renu Jalna.
"Kurasa tak mungkin Pendekar Gila berbuat sepengecut itu. Menyuruh orang untuk membunuh," gumam Warok Singo Lodra dalam hati, merasa tak yakin kalau Pendekar Gila pelaku pembunuhan keji yang menimpa Ki Renu Jalna.
"Aku tak percaya, kalau pendekar yang berbudi luhur itu melakukan kekejian ini!" gumam hati Warok Sito Kuta dengan kepala mengangguk-angguk.
"Mungkin ada orang yang hendak menghancurkan nama baik Pendekar Gila."
"Kalau benar Pendekar Gila yang melakukannya, untuk apa" Kurasa Ki Renu Jalna tak pernah bersengketa dengan Pendekar Gila," gumam Warok Sura Pati dalam hati. Tampaknya lelaki tua ini mulai menyadari. Matanya masih memperhatikan dengan teliti kedua mayat kemenakannya. Keris Ki Renu Jalna, menghujam di perutnya sendiri. Sedangkan Nyi Tumirah tulang punggungnya remuk, seperti bekas terkena hantaman.
"Jelas Ki Renu Jalna dan Nyi Tumirah menghadapi lawan yang bukan orang sembarangan. Hm...! Siapa sebenarnya dalang kejahatan ini?" Ketiga warok ini masih terdiam membisu belum mengerti apa penyebab malapetaka yang menimpa Ki Renu Jalna. Calon kepala desa yang sudah dipastikan akan menduduki jabatan lurah Ponorogo itu diketemukan mati persis sepekan menjelang pemilihan lurah.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki?" tanya Warok Sito Kuta pada Warok Singo Lodra, yang dianggap tertua dan sangat dihormati penduduk dan warok-warok di Desa Ponorogo.
Warok Singo Lodra menghela napas dalamdalam, merasa bimbang dengan apa yang mesti dilakukan. Dirinya belum tahu cara apa yang harus diperbuat untuk menanggulangi agar kejadian ini tak terulang pada calon lurah yang lain.
"Sebaiknya kita selidiki, apakah benar semua ini dilakukan Pendekar Gila...?" usul Warok Singo Lodra dengan diikuti desahan nafasnya yang gelisah. Dirinya tak habis pikir, mengapa calon kepala desa yang menurutnya baik, diketemukan mati. Sepertinya ada semacam tindakan yang sengaja merintangi cita-cita Ki Renu Jalna menjadi kepala desa di Desa Ponorogo.
"Baiklah kalau itu cara yang baik, Ki. Tetapi ki-ta mesti ingat, kalau pemilihan kepala desa hanya ada waktu tujuh hari lagi," sambut Warok Sura Pati.
"Benar. Kurasa, kita mulai dari sini," tukas Warok Sito Kuta menambahkan, "Jago kita telah mati.
Sebaiknya, untuk mengetahui pelaku yang membunuh Ki Renu Jalna, kita harus menjagokan satu orang lagi." Warok Singo Lodra sesaat terdiam. Kemudian diangguk-anggukkan kepalanya, tanda menyetujui apa yang direncanakan kedua rekannya.
"Bagaimana, Ki...?" tanya Warok Sito Kuta.
"Pendapat yang bagus," gumam Warok Singo Lodra seraya membelai-belai jenggotnya yang panjang.
Kepalanya diangguk-anggukkan dengan bibir mengurai senyum.
"Kita akan menjebak pelaku dengan cara mengangkat calon yang bakal menang. Aku yakin, tentunya si pelaku akan menyingkirkan jago kita." Kedua warok lainnya manggut-manggut dengan senyum mengembang di, bibir mereka.

***



֍::::::֍| 3 |֎::::::֎

Pagi itu Pendekar Gila tengah menyelusuri pesisir pantai, sekaligus menikmati udara pagi yang terasa sangat sejuk. Sejak kemarin, ketika bertemu dengan gadis cantik di tempat pagelaran Reog Ponorogo, dirinya masih diliputi rasa ketidak mengertian. Pertanyaan gadis itu sangat aneh. Karena tampaknya hanya ingin meyakinkan kalau dialah Pendekar Gila.
"Ah, aneh! Dunia semakin lama menjadi semakin aneh...," gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala, merasa tak mengerti dengan semua yang dialami kemarin. Bukan gadis cantik bergaun kuning saja yang aneh. Baginya Pimpinan Reog Ponorogo pun aneh. Sang Pimpinan Reog tampak tak suka akan kehadirannya menonton.
Pendekar Gila terus melangkah sambil cengengesan. Matanya memandang ke langit, seakan ada sesuatu yang dicari di atas sana. Dia terus melangkah, menyelusuri tepian pesisir selatan.
Saat itu Pendekar Gila tengah berada di Desa Wanacaya, berjalan menuju Desa Ngadireja dalam usahanya menuju tempat Mei Lie berada. Hatinya sudah kangen, ingin bertemu dengan gadis itu, setelah sekian lama mereka berpisah.
"Ah, Mei Lie. Sedang apa kau di sana?" gumam Pendekar Gila dengan menghela napas dalam-dalam, ketika kembali teringat Mei Lie. Gadis yang senantiasa berada di dalam hati, meski kini jauh di mata.
Sebuah pohon kelapa yang telah tumbang, melintang di hadapan Pendekar Gila. Nampaknya pohon itu rapuh dimakan usia, atau mungkin karena dihempaskan angin kencang. Tampak akar-akarnya turut ter-cabut ke atas.
Sena seketika berkeinginan untuk duduk di atas pohon yang tumbang itu. Kakinya segera mempercepat langkah kemudian duduk di batang pohon itu. Kemudian diambilnya Suling Naga Sakti dan ditiupnya dengan lembut, mengalunkan suara yang merdu. Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya, seolah-olah hendak mencurahkan perasaan rindu pada sang Gadis yang jauh di mata. Suara suling yang mendayu, seakan-akan membuat alam sekelilingnya seketika berubah sendu. Burung-burung yang semula bernyanyi riang, tiba-tiba diam. Seakan-akan turut merasakan kerinduan yang dialami Pendekar Gila. Angin pagi bertiap lembut, turut mengiringi alunan suling. Debur ombak laut selatan yang biasanya besar, seketika mereda. Yang ada hanya riakriak kecil, menghempaskan busa putih ke tepi pantai.
Pendekar Gila masih menikmati tiupan sulingnya, ketika matanya melihat dua sosok bayangan berkelebat melintas di hadapannya. Kedua sosok bayangan itu ternyata sepasang muda-mudi yang tengah bercanda ria sambil berkejaran. Sebenarnya bukan karena keduanya tengah asyik memadu kasih yang membuat mata Pendekar Gila terbelalak, melainkan karena melihat gadis itu. Dirinya hampir tak percaya dengan yang dilihat.
Seketika dihentikan tiupan sulingnya.
"Hai, bukankah itu gadis yang kemarin mene-gurku?" gumam Sena dengan kening berkerut, berusaha mengingat-ingat gadis cantik berpakaian kuning itu. Gadis cantik bertubuh semampai yang tiada lain Sekati tampak semakin menunjukkan kemesraannya ketika melihat Pendekar Gila memandang mereka.
Sekati seakan-akan bermaksud menggoda, agar pemuda tampan bertingkah laku seperti orang gila itu memperhatikan dirinya yang sedang bermesraan dengan pemudanya.
"Hi hi hi...! Ah ah ah, mengapa kalian berpacaran di tempat seperti ini?" tanya Pendekar Gila sambil memain-mainkan sulingnya sebelum dimasukkan ke balik ikat pinggang. Kemudian dengan menggelenggelengkan kepala, dirinya turun dari batang kelapa.
"Hi hi hi...! Kau ingin, Pendekar Gila?" tanya Sekati sambil mempererat pelukannya di pinggang pemuda berkumis tipis di hadapannya. Wajah pemuda bertubuh tegap itu tersenyum memandang wajah Pendekar Gila, seakan hendak mengejek.
Melihat tingkah kedua sejoli itu Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian digeleng-gelengkan kepala, seolah-olah merasa lucu dengan apa yang dilihatnya.
"Ah ah ah, mengapa aku harus ingin" Hi hi hi...! Lucu sekali kalian!" gumam Pendekar Gila seraya melangkah, hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi Sekati segera mengejarnya.
"Pendekar Gila, tunggu...!"
"Ahe, mengapa kau memanggilku, Nisanak" Bukankah kau akan bermesraan" Ah ah ah, kurasa tak enak orang berpacaran harus diganggu, bukan...?" tanya Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol. Mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Kau tak ingin berduaan denganku...?" rayu Sekati sambil melangkah mendekati Pendekar Gila. Kemudian dengan nakal tangannya membelai janggut Pendekar Gila. Matanya yang lentik, menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kurasa kau salah, Nisanak. Aku tak seperti pemudamu itu," tukas Pendekar Gila sambil menepis tangan Sekati yang hendak menggayut di lehernya.
"Aha, aku pamit, karena harus pergi. Kurasa kalau aku di sini terus, kenikmatan kalian akan tergang-gu." Dengan cengengesan sambil menggelenggelengkan kepala Pendekar Gila melangkah meninggalkan tempat itu. Namun, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat menghadang langkahnya. Ternyata pemuda tampan berkumis tipis kekasih Sekati. Pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu, tersenyum sinis. Dan matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila.
"Jangan seenaknya saja kau pergi, Pendekar Gila...!" bentak Caraka Wanda dengan tatapan tajam, sepertinya hendak menghunjam dada Pendekar Gila.
"Aha, bukankah tadi aku pamit?" Sena balik bertanya. Tingkah lakunya masih seperti orang gila.
Mulutnya cengengesan, tapi matanya memandang ke langit yang biru. Seakan-akan tak peduli dengan pemuda di hadapannya.
"Aku tak peduli dengan pamitmu. Kalau aku tak mengizinkan yang jelas kau tak akan bisa pergi!" ancam Caraka Wanda tegas.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Ki Sanak! Kau bukan penguasa di sini. Mengapa kau berlagak seperti penguasa" Ah ah ah, tingkahmu malah seperti seekor tikus sawah, Ki Sanak. Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan tangan kanan menutupi mulutnya yang tertawa-tawa. Hal itu membuat Caraka Wanda mendengus sengit. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila penuh api amarah.
"Pendekar Gila, rupanya kau belum tahu siapa aku"!" bentak Caraka Wanda sengit.
"Hi hi hi...! Bukankah kau tikus sawah itu, Ki Sanak" Masih kau bertanya. Hi hi hi...! Lucu sekali kau," ejek Pendekar Gila dengan cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, kemudian mulutnya dimonyongkan mengejek Caraka Wanda.
"Kurang ajar! Sombong kau, Pendekar Gila!" bentak Caraka Wanda sengit. Matanya semakin tajam menatap penuh kebencian pada Pendekar Gila yang masih cengar-cengir seperti kera.
"Meski namamu tersohor. Tetapi Caraka Wanda, anak Warok Sito Kuta tak akan takut padamu!" Mendengar nama Warok Sito Kuta disebut, Pendekar Gila bukannya takut. Tetapi justru terbahak-bahak tawanya sambil berjingkrakan seperti kera.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir, matanya memandang ke atas. Seolah ada yang menarik perhatian di atas sana.
"Hua ha ha...! Sungguh tak pantas. Tak pantas sekali. Anak seorang warok, bertingkah seperti cecurut bau. Ah..., bahkan seperti tikus sawah!" ujar Pendekar Gila dengan kepala menggeleng-geleng.
Semakin geram Caraka Wanda mendengar ucapan Pendekar Gila. Nafasnya mendengus keras. Matanya memandang tajam tak berkedip, seakan hendak menusuk jantung Pendekar Gila. Sementara itu Sekati hanya tersenyum-senyum, menyaksikan dua pemuda tampan saling bertengkar. Gadis cantik itu merasa senang menyaksikan pertengkaran keduanya. Dirinya merasa jadi rebutan kedua pemuda itu.
"Kurang ajar! Kau berani menghina ayahku, Pendekar Gila!" dengus Caraka Wanda.
Pendekar Gila semakin tertawa terbahak-bahak dengan kepala menggeleng-geleng mendengar ucapan Caraka Wanda. Sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk kepala. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan-akan berusaha menenangkan perasaan.
"Ah ah ah...! Pintar sekali kau berkata, Ki Sanak. Kaulah yang menghina persatuan warok, karena kau anak warok, tetapi tingkah lakumu tak mencerminkan sifat ksatria...," tutur Pendekar Gila masih dengan cengengesan dan kepala menggeleng-geleng.
Sepertinya dirinya tak habis pikir, kenapa anak seorang warok yang disegani dan dihormati bertingkah la-ku seperti Caraka Wanda.
"Cuih! Jangan banyak omong, Pendekar Gila!" bentak Caraka Wanda sambil membuang ludah ke tanah. Matanya masih menatap garang ke wajah Pendekar Gila.
"Jangan bawa-bawa ayahku!" Pendekar Gila kembali tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala, mendengar ucapan Caraka Wanda.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Ki Sanak! Bukankah yang membawa-bawa ayahmu kau sendiri" Ah, dasar tikus pikun," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Mendengar ucapan itu tentu saja Caraka Wanda bertambah marah.
"Kurang ajar! Kau harus dihajar, Pendekar Gi la!"
"Sudahlah, mengapa kalian mesti bertengkar...?" Sekati dengan bibir mengurai senyum, berusaha mencegah keduanya agar tidak bertengkar.
"Tapi dia perlu dihajar, Sekati," sahut Caraka Wanda. Matanya masih menatap garang pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil mendongak ke atas. Tingkahnya sangat konyol dan lucu. Namun, bagi Caraka Wanda yang sudah marah, tingkah laku Pendekar Gila justru membuatnya bertambah marah.
"Sudahlah, Caraka! Toh dia tak bermaksud jahat terhadap kita," ujar Sekati dengan bibir mengurai senyum pada Pendekar Gila yang masih cengengesan.
Namun pandangan Pendekar Gila tetap mengarah ke langit, dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Caraka Wanda hanya mendengus, kemudian dengan sinis meninggalkan tempat itu diikuti Sekati.
Pendekar Gila hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala, merasa heran melihat tingkah laku Caraka Wanda yang aneh. Tak ada angin dan tak ada hujan, pemuda berkumis tipis itu tiba-tiba memusuhinya.
"Ah ah ah... dunia ini semakin lucu! Manusia kian aneh. Tak ada sebab pasti tiba-tiba memusuhi orang lain. Hanya masalah cemburu. Hi hi hi...!" Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala sambil cengengesan. Kemudian dilangkahkan kakinya, berlalu meninggalkan pesisir itu ke arah timur.
Sepeninggal Pendekar Gila, Sekati nampak masih memperhatikan ke mana pendekar itu pergi.
"Ingat, kita harus terus mengikutinya," ujar Sekati pada Caraka Wanda.
"Ya! Kita memang harus mengikutinya," sahut Caraka Wanda.
"Ayo!" ajak Sekati.
Keduanya segera berlalu meninggalkan pesisir, untuk mengikuti Pendekar Gila. Tujuan mereka hendak membuktikan kalau Pendekar Gila benar-benar tidak ke Ponorogo lagi.

***

Pendekar Gila masih melangkah, menyusuri jalanan di Desa Gemeng, yang terletak di sebelah utara Desa Ngadirejo. Siang yang panas, cahaya matahari memanggang bumi, sehingga beberapa kali Pendekar Gila harus meniup nafasnya untuk menghilangkan rasa panasnya. Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan mengorek kuping yang sebelah kanan.
"Ah, panas sekali siang ini!" gumam Pendekar Gila sambil mengorek telinga dengan bulu burung yang memang senantiasa dia selipkan di ikat pinggang sebelah kanan.
Karena di ikat pinggang sebelah kiri, terselip Suling Naga Sakti.
Pendekar Gila terus melangkah, untuk mencari sebuah kedai. Siang itu perutnya terasa sangat lapar, minta diisi. Akhirnya sampai di sebuah kedai yang saat itu nampak masih sepi. Padahal biasanya di siang hari kedai banyak pengunjungnya. Seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk sedang menata meja dan kursikursinya. Nampak susah-payah sekali orang tua itu menata meja kursinya. Hal itu membuat Pendekar Gila merasa iba melihatnya.
"Aha, bolehkah saya bantu, Pak?" tanya Pendekar Gila menawarkan jasa. Suara itu mengejutkan lelaki tua itu, sehingga segera berhenti dari pekerjaannya. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila.
Perlahan mata tua itu menyipit seakan hendak mempertegas pandangannya yang sudah agak kabur.
"Siapakah engkau, Anak Muda?" tanya Pak Tua itu dengan suaranya yang berat.
Lelaki berusia tujuh puluh tahunan itu, nampak masih memperhatikan Pendekar Gila dengan seksama.
"Aha, siapa diriku, itu tak penting, Ki. Yang jelas aku ingin sekali menolongmu, kalau boleh," kata Pendekar Gila sambil mengorek telinganya dengan bulu burung. Mulutnya masih cengengesan, dengan mata memandang ke langit "Benarkah kau mau menolongku, Anak Muda?"
"Aha, kau nampak masih ragu, Ki. Lucu sekali...! Tapi, aku memang ingin menolongmu," ujar Pendekar Gila sambil menyelipkan bulu burung ke ikat pinggangnya. Kemudian dengan cengengesan, kakinya melangkah masuk, mendekati orang tua pemilik kedai.
"Kau ingin kubayar, Anak Muda?"
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Ah ah ah, mana mungkin aku tega meminta bayaran padamu" Kedaimu saja masih sepi. Sudahlah, aku ingin menata kursi-kursi ini. Setelah itu, tolong ambilkan sapu." Tanpa menunggu Pak Tua itu berkata, Pendekar Gila langsung bekerja dengan cepat. Tubuhnya berkelebat dengan tangan bergerak cepat bekerja. Dalam beberapa saat saja semua kursi panjang dan mejameja telah tertata rapi.
Pak Tua pemilik kedai membeliakkan mata, menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu bekerja. Hatinya hampir tak percaya, menyaksikan Pendekar Gila bekerja dengan cepat. Seakan tubuhnya terdiri dari puluhan orang, yang seketika bergerak bersama menata ruangan kedai. Sehingga dalam sekejap saja ruangan kedai sudah rapi.
"Ck ck ck...! Benarkah apa yang kulihat?" terdengar decak kagum dari mulut pemilik kedai, menyaksikan cara kerja Pendekar Gila yang sangat cepat itu.
"Siapa sebenarnya pemuda ini" Silumankah...?"
"Aha, mengapa masih diam, Ki" Cepat ambilkan sapu, biar kusapu tempat ini. Ah, pantas kalau kedai ini tak ada yang mengunjungi. Hi hi hi... kotor sekali! Seperti pasar saja, Ki," gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir tersenyumsenyum, menyaksikan keadaan kedai yang kotor sekali. Sampah berserakan di sana-sini.
"Eh, tunggu sebentar!" dengan tertatih-tatih dan terbungkuk-bungkuk Pak Tua segera meninggalkan ruangan kedai, untuk mencari sapu lidi. Tidak begitu lama kemudian, Pak Tua telah kembali membawa sapu lidi yang diminta Pendekar Gila.
"Aha, terima kasih, Ki." Sena kembali tak banyak kata. Sambil bernyanyi-nyanyi sesuka hati, tangannya langsung bekerja membersihkan seluruh ruangan kedai. Bahkan sampai ke balai-balai dan sisi kanan kiri kedai yang juga kotor. Dikumpulkan sampah itu di belakang kedai, kemudian dibakarnya.
"Ck ck ck...! Kalau begitu, dia bukan pemuda gila sembarangan. Sayang sekali dia gila!" gumam Pak Tua itu sambil menggelenggelengkan kepala, menyaksikan cara kerja Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Bagaimana, Ki! Bukankah kalau bersih seperti ini sangat enak dipandang" Aha, kurasa nanti banyak orang yang datang," ujar Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Ditaruhnya sapu di sudut ruangan kedai, kemudian dengan masih cengengesan segera duduk di sebuah bangku. Tingkah lakunya yang persis orang gila, membuat Pak Tua pemilik kedai menggeleng-gelengkan kepala merasa heran. Pak Tua pemilik kedai melangkah menghampiri Sena. Matanya yang tertutup alis mata putih panjang, memperhatikan Pendekar Gila yang cengengesan duduk tenang sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kau tentu lapar, Anak Muda?" tanya Pak Tua.
"Aha, kau benar, Ki. Apakah kau sudah memasak..?" tanya Pendekar Gila.
Wajah Pak Tua itu seketika berubah sedih, mendengar pertanyaan tamunya. Ada penderitaan yang menggurat di wajah tuanya. Hal itu membuat Pendekar Gila mengerutkan kening. Lalu, tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, maafkan kelancanganku, Ki! Tak kusangka, kalau pertanyaanku akan membuatmu sedih," ujar Pendekar Gila sambil menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap tajam wajah Pak Tua yang kini nampak mengibakan.
"Oh, tidak apa-apa. Hanya...," Pak Tua pemilik kedai tak meneruskan ucapannya.
Sepertinya ada ke-raguan yang menekan jiwanya. Wajahnya pun tampak bertambah muram, dan semakin menunjukkan kesedihan. Pendekar Gila merasa tambah heran, menyaksikan wajah Pak Tua yang semakin murung. Diperhatikannya dengan seksama wajah pemilik kedai seakan ingin menyelami jiwanya. Ingin tahu, apa yang menyebabkan lelaki tua itu ragu untuk menuturkan sesuatu padanya.
"Aha, kau sepertinya menyimpan sesuatu, Ki" Katakanlah, tak usah kau ragu! Mungkin aku bisa menolongmu," pinta Sena sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan mulut nyengir kuda.
Pak Tua itu terdiam. Dihelanya napas dalamdalam. Sepertinya ada yang masih mengganjal dalam batin. Matanya menatap ke sekeliling kedai. Seakanakan ada yang dikhawatirkan kalau ada yang mendengarnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin mengerutkan kening, tak tahu apa yang membuat Pak Tua itu ketakutan.
"Hi hi hi...! Kau seperti ketakutan, Ki. Ah ah ah, ada apa gerangan, Ki?" tanya Sena semakin penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga, pemilik kedai itu tampak begitu ketakutan untuk menceritakan. Diam-diam Pendekar Gila mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Namun tak dilihatnya seorang manusia pun yang patut dicurigai.
Memang banyak orang yang lalu-lalang di depan kedai, tetapi tak ada orang yang perlu dicurigai.
"Aneh Pak Tua ini. Dia seperti ketakutan. Siapa yang ditakutkan olehnya?" tanya Pendekar Gila dalam hati. Dirinya belum mengerti mengapa pemilik kedai itu tampak ketakutan. Kembali matanya mengawasi ke sekeliling kedai, tapi tetap tak melihat hal yang mencurigakan.
"Aha, tak ada yang perlu kau takutkan. Mengapa kau mesti cemas, Ki...?" tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bukan hanya aku yang takut, Anak Muda.
Hampir semua penduduk Desa Ngadireja ini, setiap purnama dicekam rasa takut. Itu pula yang membuatku tak memasak untuk jualan," tutur pemilik kedai.
Mendengar penuturan itu Pendekar Gila mengerutkan kening.
"Kenapa begitu, Ki?" tanya Pendekar Gila.
"Panggil saja namaku yang tua renta ini, Lampit," sela lelaki tua yang ternyata bernama Lampit dengan menghela napas dalamdalam. Matanya masih mengawasi dengan cemas ke sekelilingnya. Seolah-olah masih ada yang ditakutkan.
Entah apa yang membuat Ki Lampit ketakutan, bagaikan ada mata-mata yang mengintainya.
"Ah, baiklah Ki Lampit. Sebenarnya ada apa di desa ini?" tanya Sena semakin ingin tahu.
Ki Lampit tak langsung menjawab. Kembali dia menghela napas dalam-dalam. Seakan orang tua itu tengah memikul beban penderitaan yang sangat berat.
Kemudian dengan lirih dan suara berat, Ki Lampit menceritakan apa yang sebenarnya menimpa Desa Ngadireja ini.
"Kejadian ini, terjadi tiga purnama yang lalu...," tutur Ki Lampit membuka cerita. Sementara Sena mendengarkan dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bermula dengan gegernya kabar akan diadakan pemilihan Kepala Desa Ponorogo." Pendekar Gila mengerutkan kening menggarukgaruk kepala. Namun pikirannya nampak mulai memperhatikan dengan seksama apa yang bakal diceritakan Ki Lampit.
"Ki Lurah Ponorogo suatu hari diketemukan mati. Di dadanya, tertembus sebatang tombak. Entah siapa yang membunuh Ki Lurah Pandarsuna. Menurut kabar, Pendekar Gila yang membunuhnya. Hal itu membuat warok di Desa Ponorogo berusaha menyelidikinya. Antara para warok itu terjadi pertengkaran sengit. Sebagian berpendapat kalau Pendekar Gila yang melakukannya. Sebagian lagi menentangnya." Pendekar Gila tersentak kaget mendengar cerita Ki Lampit.
"Aneh... lucu sekali! Semua orang sudah gila.
Mengapa aku menjadi sasaran fitnah keji itu?" gumam Pendekar Gila dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Lalu apa yang kemudian terjadi, Ki?" tanya Pendekar Gila semakin ingin tahu.
"Akhirnya berkat kecerdikan Warok Singo Lodra, pelaku dapat ditangkap. Tetapi pelaku mengaku kalau dia diutus Pendekar Gila untuk membunuh Ki Lurah."
"Atas dasar apa...?" tanya Pendekar Gila dengan kening berkerut.
"Entahlah. Yang jelas, masalahnya kabur lalu tak terdengar lagi. Tetapi akhir-akhir ini, gerombolan anak buah Pendekar Gila menjarah di desa ini," tutur Ki Lampit.
"Gerombolan Pendekar Gila"!" tanya Pendekar Gila kaget dengan mata membeliak.
"Ya!" sahut Ki Lampit, "Kau kenal, Anak Muda?" Dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila menggelengkan kepala. Hatinya benar-benar marah, merasa nama baiknya telah dicemar.
"Kurang ajar! Hm, siapakah yang telah berani memfitnahku?" gumam Pendekar Gila dalam hati. Dirinya tak habis pikir, mengapa julukannya dijadikan alat penakut bagi warga desa.
"Hi hi hi...! Dunia ini semakin gila. Nama gelar seseorang dijadikan alat penakut. Lucu sekali...!" Lelaki tua pemilik kedai diam. Matanya menatap tajam Pendekar Gila yang tampak cengengesan dan cekikikan sendiri.
"Aha, jadi kau takut dengan gerombolan tengik yang mengaku anak buah Pendekar Gila, Ki?" tanya Pendekar Gila. Hatinya masih penasaran ingin tahu apa alasan warga Desa Ngadireja menakuti gerombolan itu.
"Anak Muda, sebenarnya kami tak takut terhadap gerombolan itu. Yang kami takutkan, kalau-kalau pemimpin mereka, Pendekar Gila datang. Tentunya kau pun yang sama-sama gila tahu, siapa Pendekar Gila sebenarnya. Pendekar yang cukup disegani kawan maupun lawan." Pendekar Gila tertawa cekikikan, mendengar penuturan Ki Lampit. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, aku semakin tertarik, ingin tahu seperti apa tampang anak buah Pendekar Gila," gumam Pendekar Gila sambil masih menunjukkan tingkahnya yang seperti orang gila, "Bolehkah aku ikut menginap di kedaimu, Ki?"
"Kau seperti bukan pemuda sembarangan. Dan kau seperti orang gila yang juga bukan sembarangan.
Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" tanya Ki Lampit dengan kening berkerut, serta mata menyipit memandang wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan.
"Hi hi hi...! Bukankah sudah kukatakan, siapa diriku tidak penting. Yang jelas, aku ingin melihat seperti apa kecoa-kecoa busuk yang mengaku anak buah Pendekar Gila," kata Pendekar Gila dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala.
"Baiklah, Anak Muda. Aku pun tak menolak.
Kau boleh istirahat di kedaiku," jawab Ki Lampit "Aha, terima kasih, Ki! Berapa satu malam harus kubayar?"
"Tidak usah, Anak Muda. Aku senang, kalau kau mau menginap di kedai buruk ini," kata Ki Lampit "Aha, terima kasih! Kalau begitu, biarlah aku akan memasak nasi untuk kau jual. Kebetulan sekali, aku pun bisa memasak." Ki Lampit tersenyum senang, mendengar ucapan pemuda yang mirip orang gila itu. Pendekar Gila, langsung memasak nasi dan lauk-pauknya! Begitu cepat tangannya bekerja. Dalam sekejap saja, semua telah selesai.

***



֍::::::֍| 4 |֎::::::֎

Malam datang menggantikan siang. Sinar matahari yang semula menyinari bumi, telah menghilang di ufuk barat Kegelapan pun datang menyelimuti bumi, membuat suasana Desa Ponorogo nampak sepi.
Namun di antara kesepian itu. Ada empat rumah yang masih nampak ramai dan terang-benderang.
Mereka masih banyak menerima tamu sehubungan dengan pemilihan lurah pekan depan. Keempat rumah itu tak lain rumah Warok Gandu Pala, Ki Renda Paksa, Ki Banjar Guling, dan Ki Jali. Nama terakhir ini yang menggantikan Ki Renu Jalna sebagai calon lurah.
Dirinya merupakan calon yang dijagokan oleh Tiga Warok Bercambuk Sakti, sesepuh Desa Ponorogo. Hal itu dilakukan, untuk menjebak pelaku pembunuhan terhadap Ki Renu Jalna.
Rumah Ki Jali dijaga ketat beberapa jawara, hal itu dimaksudkan agar kejadian yang dialami Ki Renu Jalna tidak terulang lagi. Para tamu yang berkunjung ke rumah calon kepala desa ini pun nampak banyak, melebihi calon lurah lain.
Sementara itu di rumah Warok Gandu Pala, juga diselenggarakan suatu jamuan untuk mengundang orang-orang yang mendukung dirinya. Banyak juga orang yang datang. Namun kebanyakan hanya berpura-pura, karena sebenarnya mereka sebenarnya para kepeng, dari Ki Jali.
Warok Gandu Pala malam itu kedatangan Tiga Warok Bercambuk Sakti. Mereka tak lain Warok Singo Lodra, Warok Sura Pati, dan Warok Sito Kuta. Sebagai sesama warok, mereka memang masih ada ikatan. Sehingga tak akan berusaha memecahkan satu sama lain. Juga tak mau saling menyingkirkan, walaupun sebenarnya mereka bertiga tak suka dengan Warok Gandu Pala.
"O, sungguh suatu penghormatan besar, kalian sudi datang ke rumahku!" ujar Warok Gandu Pala, ketika menyambut ketiga rekannya sesama warok. Di bibirnya mengurai senyum, meski di dalam hati terpendam kebencian.
"Ah, rupanya Kakang Warok yang datang," Nyai Rukimah, istri Warok Gandu Pala turut menyambut kedatangan ketiga tamu, yang dianggap sebagai saudara tua dari suaminya. Di situlah letak ikatan para warok. Mereka menganggap satu sama lain masih ada ikatan kekerabatan.
"Ah, bisa saja Dimas dan Diajeng. Bukankah setiap saat kita sering bertemu?" sela Warok Singo Lodra dengan bibir tersenyum ramah, setelah memberi penghormatan pada tuan rumah.
"Benar apa dikatakan Ki Singo. Bukankah setiap saat kita memang sering bertemu?" sambung Warok Sura Pati juga dengan tersenyum, berusaha menunjukkan rasa gembira, karena bisa memberikan sedikit arti bagi sesama warok.
Semua tertawa lepas, seperti tak memikul beban pikiran. Keakraban tergambar saat itu, meski dalam hati Warok Gandu Pala, warok yang paling muda di antara mereka, tersimpan dendam dan perasaan benci terhadap ketiga warok lainnya.
Warok Gandu Pala tahu kalau, ketiga warok itu sebenarnya tidak menjagokan diri. Bahkan mereka berusaha menghalangi niatnya untuk menjadi Kepala Desa Ponorogo. Padahal mereka bertiga merupakan tokoh yang banyak pengikutnya. Mereka dihormati dan disegani sebagai sesepuh Desa Ponorogo. Berbeda dengannya yang hanya pimpinan perkumpulan Reog Ponorogo. Perasaan rendah diri itulah yang membuat Warok Gandu Pala semakin berambisi menjadi kepala desa. Padahal ketiga warok yang juga dianggap sesepuh desa itu tidak pernah menaruh curiga seperti itu. Ketiganya menganggap Warok Gandu Pala sama dengan mereka. Tak ada rasa saling merendahkan satu sama lain.
"Silakan duduk, Kakang Warok!" ajak Warok Gandu Pala mempersilakan ketiga tamunya untuk mengambil tempat duduk yang telah disiapkan.
"Ah, terima kasih," sahut ketiganya. Kemudian mereka duduk, ditemani tuan rumah, Warok Gandu Pala.
"Sungguhkah engkau ingin menjadi kepala de-sa, Adi Gandu Pala?" tanya Warok Singo Lodra setelah duduk. Matanya menatap dengan tersenyum pada Warok Gandu Pala, yang juga tersenyum-senyum.
"Begitulah, Kakang Singo."
"Hm," gumam Warok Singo Lodra tak jelas. Kemudian dihelanya napas dalam-dalam, seakan hendak membuang kegelisahan.
"Apakah ini menyalahi aturan, Kakang?" tanya Warok Gandu Pala dengan mata menatap tajam pada Warok Singo Lodra yang tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak, Adi Gandu. Tetapi, apakah tidak ada niat yang lain" Misalnya mendirikan padepokan...?" tanya Warok Singo Lodra.
"Benar, Adi Gandu. Mungkin dengan mendirikan padepokan, bisa membuatmu akan merasa tenang," tambah Warok Sito Kuta.
"Apakah Kakang-Kakang Warok melihat, selama ini aku tak tenang...?" tanya Warok Gandu Pala dengan kening mengerut, mendengar ucapan Warok Sito Kuta.
"Kurasa selama ini aku pun tenang, Kakang Sito. Hanya saja, ingin sekali aku bisa memberikan arti bagi Desa Ponorogo. Aku ingin Ponorogo yang kita cin-tai ini, maju dan bisa terpandang. Bahkan kalau mungkin, bisa menjadi sebuah ketemanggungan" Ketiga warok itu saling pandang, mendengar cita-cita Warok Gandu Pala yang terlalu tinggi bagi mereka. Belum juga dirinya jadi kepala desa di Ponorogo, sudah berkhayal setinggi langit "Gandu Pala, janganlah suka menjadi pungguk yang merindukan bulan! Kalau memang tercapai citacitamu, kami akan merasa senang. Tetapi jika gagal, kami takut kau akan kecewa," tutur Warok Singo Lodra dengan bijaksana.
"Kalau hanya kecewa dan dapat kau kendalikan, itu tak menjadi masalah. Yang kuta-kutkan, kau akan melampiaskan kekecewaanmu dalam kesesatan. Itu yang tidak kami harapkan. Kau tahu kita sebagai warok. Orang yang menjadi panutan bagi warga. Kau harus ingat itu, Gandu Pala."
"Aku akan selalu ingat, Kakang Singo. Tadi aku hanya berkhayal," ujar Warok Gandu Pala disertai senyum.
"Ah, silakan dicicipi makanannya."
"Terima kasih." Ketiga warok itu pun segera mencicipi makanan yang dihidangkan Nyi Rakimah.
"Hm, lezat sekali, Gandu. Siapa yang membuat..?" tanya Warok Singo Lodra sambil mengangguk-anggukkan kepala, merasa nikmatnya makanan yang dihidangkan Warok Gandu Pala.
"Adikmu Rakimah, Kakang," jawab Warok Gandu Pala.
"Diajeng Rakimah pintar juga memasak," selo-roh Warok Sito Kuta yang membuat Nyi Rakimah ter- senyum-senyum. Matanya memandang wajah suaminya yang juga tersenyum.
"Bukan aku saja yang membuat, Kakang Sito.
Tetapi anak Kakang Singo Lodra pun turut serta," kata Nyi Rakimah.
"Sekati di sini...?" tanya Warok Singo Lodra dengan kening mengerut.
"Benar, Kakang," jawab Warok Gandu Pala, "Juga Caraka Wanda, dan Surotama, turut membantu di sini." Ketiga warok itu saling pandang mendengar anak-anak mereka berada di rumah Warok Gandu Pala. Kening ketiganya mengerut, sepertinya merasa heran kalau anak-anak mereka justru mendukung Warok Gandu Pala untuk menjadi kepala desa.
"Syukurlah kalau memang mereka turut membantu. Ah, semoga jalinan antar warok semakin erat.
Sehingga Ponorogo tak akan dapat diremehkan!" ujar Warok Singo Lodra sambil tersenyum.
"Kami titip anak-anak kami padamu, Gandu."
"Akan kami perhatikan, Kakang," jawab Warok Gandu Pala.
"Oh ya, Kakang Singo.
Saya mengharap dukunganmu, agar saya bisa menjadi kepala desa di Ponorogo ini."
"Aku dan kedua saudara warok mendukungmu, Adi Gandu. Tetapi, jadi atau tidaknya seseorang menjadi kepala desa, semua terserah warga desa. Merekalah yang memilihnya, Gandu," jawab Warok Singo Lodra berpura-pura mendukung Warok Gandu Pala, meskipun dirinya telah memiliki jago sendiri, Ki Jali.
Karena menurut pandangan ketiga warok itu Ki Jali lebih pantas menjadi kepala desa. Hal itu didasar-kan pada tindak-tanduknya yang ramah, baik, dan mudah bergaul dengan siapa saja! "Aku tahu, Kang. Tetapi paling tidak, jika Kakang Warok bertiga mendukungku, niscaya aku akan menang. Karena hampir semua penduduk Desa Ponorogo menghormati kalian," ujar Warok Gandu Pala.
Ketiga warok itu sesaat terdiam. Mereka saling menarik napas dalam-dalam mendengar ucapan Warok Gandu Pala. Bagaimanapun, apa yang baru saja dikatakan Warok Gandu Pala merupakan suatu beban. Ketiganya tak mau menekan warga, agar mau memilih Warok Gandu Pala. Mereka bukan raja yang dalam setiap sabdanya akan ditaati warga, melainkan warga biasa. Hanya saja, warga Ponorogo, menaruh hormat dan segan terhadap mereka, terutama Warok Singo Lodra.
"Maafkan aku! Kalau aku disuruh memaksakan kehendak, aku tak bisa Gandu. Hak seseorang, tak mungkin dapat ditekan. Karena itu hak mendasar manusia, yang diberikan Hyang Widhi," kata Warok Singo Lodra berusaha memberi pengertian pada Warok Gandu Pala.
"Dengan kata lain, Kakang Warok tak mau mendukungku?" tanya Warok Gandu Pala.
"Jangan salah sangka, Adi Gandu Pala!" Warok Sura Pati yang dari tadi diam angkat bicara, melihat Warok Gandu Pala nampak agak kecewa.
"Kami mendukungmu.
Tetapi, apa yang dikatakan Warok Singo Lodra benar. Hak hidup manusia, tak mungkin kita paksa. Karena, itu menyalahi aturan Hyang Widhi. Biarlah para warga memilih dengan kemauan mereka.
Jika kau dipercaya warga tentu mereka akan memilihmu sebagai kepala desa!" Warok Gandu Pala terdiam. Begitu pula dengan istrinya. Dalam hatinya memaki sengit pada ketiga warok tamunya. Tampaknya Warok Gandu Pala tahu kalau mereka bertiga tidak menghendaki dirinya menjabat kepala desa. Padahal dirinya telah berusaha menarik perhatian warga, dengan cara membuat nama Pendekar Gila sebagai pelaku pembunuhan terhadap calon lurah yang dijagokan warga Desa Ponorogo.
Hal itu dilakukan, karena semua warga Ponorogo tahu, kalau Pendekar Gila penegak kebenaran dan keadilan. Dengan membunuh Ki Renu Jalna, Warok Gandu Pala berharap warga akan berbalik mendukungnya. Karena warga menyangka Ki Renu Jalna orang tak baik, hingga Pendekar Gila membunuhnya.
"Gandu Pala, jangan kau berkecil hati! Kami akan mendukungmu. Kuharap, kau akan senantiasa tenang dalam menghadapi hal ini," ujar Warok Singo Lodra berusaha menasihati.
"Benar, Dimas. Dalam keadaan seperti ini, banyak orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan...," sambut Warok Sura Pati.
"Pandai-pandailah menjaga diri dan waspada! Jangan sampai seperti Ki Renu Jalna."
"Ya. Ki Renu Jalna kurang waspada, sehingga orang yang tak suka padanya, dapat dengan mudah membunuhnya," tambah Warok Sito Kuta.
"Bukankah Pendekar Gila yang melakukannya?" tanya Warok Gandu Pala pura-pura kaget. Keningnya mengerut dengan mata menyipit. Sepertinya dia merasa kaget, mendengar kabar akan kematian Ki Renu Jalna.
"Entahlah. Memang kami menemukan surat yang tertera Pendekar Gila. Tetapi kami belum yakin.
Tentunya kau masih ingat dengan kejadian yang menimpa Ki Lurah Pandarsuna. Ternyata yang membunuh bukan Pendekar Gila, tetapi Maling Kalabendana," desah Warok Sito Kuta seraya menarik napas dalamdalam. Seakan ingin membuang perasaan pahit, yang terjadi tiga purnama silam, ketika Ki Lurah Pandarsu-na ditemukan mati di dalam kamarnya bersama sang Istri. Juga kedua pengawalnya.
Warok Gandu Pala terdiam dengan wajah nampak sedih mendengar berita yang telah lama terjadi.
Seakan dirinya merasa berduka, atas kematian Ki Lurah Pandarsuna.
"Baiklah, Gandu Pala. Kami mohon pamit, karena malam sudah larut," ujar Warok Singo Lodra me-wakili kedua rekannya minta diri. Dengan diantar Warok Gandu Pala dan istrinya ketiga warok meninggalkan rumah besar itu. Warok Gandu Pala tersenyum sambil menarik napas dalamdalam. Kemudian dengan menggeleng-gelengkan kepala, kakinya melangkah masuk bersama istrinya.

***

Malam semakin gelap, seakan hendak menaburkan mimpi-mimpi bagi mereka yang telah tidur.
Dari arah selatan tampak segerombolan lelaki berpakaian serba hitam bergerak memasuki Desa Ponorogo. Mereka tampak tergesa-gesa melangkah, sepertinya tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan. Sesekali gerombolan serba hitam itu bergerak cepat menyelinap di balik pepohonan ketika terlihat dua orang petugas ronda malam melangkah mendekat ke arah mereka.
"Pala Ageng dan kau, Asta Dawa, bereskan petugas ronda itu!" perintah pimpinan, yang ternyata Sumogiri pada kedua rekannya.
"Baik," sahut kedua lelaki bertubuh tegap dan tinggi. Keduanya langsung melesat menuju ke tempat ke dua peronda yang masih melangkah semakin dekat.
"Kau yang gemuk, Pala Ageng."
"Beres. Kau yang ceking. Ingat, jangan sampai mengeluarkan suara!" ujar Pala Ageng mengingatkan Asta Dawa.
"Beres."
"Mereka semakin dekat."
"Ya."
"Kita mulai!" Pala Ageng dan Asta Dawa berkelebat bagaikan seekor burung hantu menyambar mangsa. Kedua petugas ronda tersentak kaget. Mereka bermaksud menjerit, tetapi dengan cepat mulut keduanya telah dis-ekap. Belum sempat peronda itu menyadari apa yang terjadi tiba-tiba...
Jlep! Jlep! Dua bilah belati telah menghunjam dada keduanya tepat di hati dan jantung.
"Ukh!"
"Akh!" Kedua petugas ronda yang malang itu, dalam sekejap menggeliat sekarat. Mereka tak dapat berteriak atau berontak. Hanya mata mereka yang melotot, untuk selanjutnya terkulai tewas.
"Bagus! Kalian telah menjalankan tugas dengan baik," ujar Sumogiri tersenyum.
"Kita harus berpencar! Ingat, kita harus bisa menyingkirkan Ki Renda Peksa tanpa mengeluarkan suara!"
"Baik," sahut para anak buah.
"Ayo kita jalan!" perintah Sumogiri.
Kesepuluh lelaki bertampang garang yang mengenakan pakaian rompi hitam dan rata-rata tubuh kekar itu kembali meneruskan perjalanan. Tujuan mereka hanya satu, menyingkirkan Ki Renda Peksa.
Gerombolan itu kini berpencar menjadi dua bagian. Satu dari arah barat, sedangkan yang lain dari arah timur. Mereka samasama menuju rumah Ki Renda Peksa. Rumah Ki Renda Peksa ternyata tidak seperti rumah Ki Renu Jalna. Setelah kematian Ki Renu Jalna, Ki Renda Peksa pun membayar jawara untuk berjaga-jaga di rumahnya. Hal itu karena untuk menjaga kemungkinan bakal terjadinya petaka seperti yang dialami Ki Renu Jalna.
Empat orang lelaki berbadan tegar dengan kumis melintang berusia tiga puluh tahunan nampak mondar-mandir di sekitar rumah Ki Renda Peksa.
Keempat lelaki berpakaian hijau lengan panjang dengan ikat kepala terbuat dari kain batik membentuk blangkon itu, di pinggangnya terselip golok. Tangan mereka memakai gelang terbuat dari akar bahar.
Bagai burung hantu, para jawara itu mengawasi dengan waspada penuh, ke sekelilingnya. Mereka memeriksa sekeliling rumah secara bergantian. Dua orang bertugas di depan. Sedangkan yang lain di belakang rumah.
Tanpa sepengetahuan mereka, sepuluh pasang mata tengah mengawasi mereka dari balik semaksemak. Gerombolan serba hitam itu menatap garang dan penuh nafsu membunuh.
"Cakala dan Cikili, bereskan dua orang di depan! Sedangkan Julaga dan Juligi, bereskan yang di belakang!" perintah Sumogiri sambil menggerakkan tangan kanannya, memberi isyarat keempat anak buah segera bertindak.
"Baik!" sahut mereka. Kemudian dengan cepat, keempatnya meraba sesuatu dari balik rompi. Empat buah pisau kecil, kini telah berada di tangan mereka.
Dan..., Swing! Swing...! Empat pisau maut itu melesat begitu cepat, laksana anak panah yang dilepas dari busurnya.
"Heh"!"
"Hah"!" Kedua orang yang berjaga di depan rumah tersentak kaget. Mereka hendak berkelit, tetapi pisaupisau beracun itu lebih cepat. Sehingga....
Jlep! Jlep! "Hekkk...!"
"Ukh...!" Kedua orang jawara memekik tertahan. Tenggorokan mereka terhunjam pisau-pisau kecil. Dengan mata melotot, tubuh keduanya mengejang, kemudian ambruk dan tewas.
Mendengar suara berisik. Kedua jawara yang sedang memeriksa ke belakang rumah tersentak kaget.
Keduanya hendak membalikkan tubuh bermaksud lari ke depan. Tetapi..., Swing! Swing! Jlep! Crab! "Ukh!"
"Akh!" Kedua jawara itu memekik tertahan, karena tenggorokan mereka terhunjam pisau. Dengan mata mendelik, mereka menatap penuh amarah pada dua orang yang menyerangnya.
Srt! Srt! Kedua jawara itu mencabut golok mereka. Namun dengan cepat Julaga dan Juligi telah mendahului.
Dengan pedang tajam, keduanya membabat kedua jawara yang telah dalam keadaan sekarat itu.
Wrt! Bret! Cras! "Ukh! Keduanya kembali memekik tertahan dengan perut koyak akibat babatan pedang. Kemudian ambruk bergelimpangan berlumuran darah.
Melihat keempat jawara itu ambruk, Sumogiri segera memerintahkan semua anak buah agar keluar dari persembunyian. Mereka langsung mendekat ke pintu rumah Ki Renda Peksa.
Tok! Tok! Tok! Sumogiri mengetuk pintu rumah Ki Renda Peksa. Matanya mengawasi ke sekelilingnya, berusaha meyakinkan kalau keadaan memang telah sepi. Kemudian Sumogiri mengisyaratkan pada semua anak buah agar segera menutup wajah mereka.
"Siapa...?" dari dalam terdengar suara berat orang lelaki.
"Saya, Ki," sahut Sumogiri.
"Ada apa, Gunta" Mengganggu orang tidur saja!" omel Ki Renda Peksa. Lelaki itu menyangka kalau yang mengetuk pintu Gunta, salah seorang jawara yang disewanya.
"Ada tamu, Ki," sahut Sumogiri.
"Sebentar." Terdengar suara kaki melangkah menuju pintunya rumah. Sumogiri segera memberi isyarat pada para anak buah agar siap.
Grrrettt..! Pintu terbuka, seketika itu dari dalam muncul seraut wajah lelaki berusia lima puluh tahunan. Mata lelaki setengah baya itu membelalak, ketika melihat orang-orang bercadar kain hitam telah mengepung di depan pintu.
"Siapa kalian"!"
"Kami anak buah Pendekar Gila! Kami diutus untuk membunuhmu!" sahut Sumogiri.
"Bersiaplah!" Crab! "Akh...!" Ki Renda Peksa memekik keras, ketika pedang Sumogiri membabat dadanya.
Lelaki setengah baya itu terhuyung ke belakang dengan darah berhamburan. Secepat itu pula, Sumogiri melemparkan selembar daun lontar ke samping kiri tubuh Ki Renda Peksa yang masih sekarat.
"Kita pergi!" ajak Sumogiri pada anak buahnya.
Kesepuluh lelaki bermuka garang itu pun berlalu meninggalkan rumah Ki Renda Peksa, menembus kegelapan malam. Sedangkan Ki Renda Peksa nampak masih sekarat Tangannya berusaha mengapai-gapai mencari pegangan, hingga akhirnya mampu meraih kaki kursi. Brak! Kursi itu jatuh terguling. Suara itu membuat istri Ki Renda Peksa terbangun. Wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang masih kelihatan cantik itu, bergegas lari menuju ruang depan. Seketika Nyi Selasih menjerit, saat melihat tubuh suaminya tergeletak berlumuran darah.
"Kakang...!" Nyi Selasih langsung memeluk tubuh Ki Renda Peksa yang sudah tak bernyawa. Wanita itu menangis sejadi-jadinya, seakan tak rela sang Suami harus mati.
Mendengar jeritan Nyi Selasih, para tetangga yang tengah tidur langsung terbangun. Mereka serentak berdatangan ingin tahu, apa yang terjadi. Mata mereka membelalak, setelah tahu kejadian yang menimpa Ki Renda Peksa.

***



֍::::::֍| 5 |֎::::::֎

"Ini tidak bisa dibiarkan, Kakang!" dengus Warok Sito Kuta yang ditujukan pada kedua warok lainnya, yang saat itu telah berada di rumah Ki Renda Peksa, calon lurah yang juga menjadi korban pembunuhan. Sama dengan yang terjadi pada Ki Renu Jalna, Ki Renda Peksa pun di sampingnya terdapat tulisan selarik kalimat yang cukup membuat ketiga warok itu menarik napas dalam-dalam. Tulisan setengah mengancam itu atas nama Pendekar Gila. Tokoh muda yang akhir-akhir ini namanya sangat kesohor dan menjadi buah bibir setiap orang. Pendekar yang disegani dan ditakuti lawan maupun kawan.
Tulisan itu berbunyi : Jangan sekali-kali berani menentangku! Pendekar Gila. Warok Singo Lodra dan Warok Sura Pati menarik napas dalam-dalam. Tampaknya kedua warok itu, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dua calon lurah telah jadi korban. Keduanya mati di tangan Pendekar Gila.
"Benarkah semua ini Pendekar Gila yang melakukan?" desis Warok Singo Lodra dalam hati. Dirinya tetap merasa belum yakin kalau semua kejadian itu Pendekar Gila yang melakukan.
"Kita harus mencari dia, Kakang," kembali Warok Sito Kuta berkata. Dari suaranya, hatinya nampak tak sabar untuk mencari Pendekar Gila. Ingin rasanya dia bisa bertarung dengan Pendekar Gila yang kini tidak mencerminkan sikap kependekarannya. Pendekar yang telah membuat keonaran, dengan membunuh para calon kepala desa.
"Sabar dulu, Adi Sito! Bagaimanapun, kita belum ada bukti untuk menangkapnya," ujar Warok Singo Lodra berusaha menyabarkan rekannya. Kembali dihelanya napas dalam-dalam. Lalu tangannya memungut daun lontar yang tergeletak di tanah. Kembali dibacanya. Tulisan itu setengah menantang pada semua warga Ponorogo dan mengancam, agar warga Desa Ponorogo tidak ikut campur dalam urusan ini.
"Bukankah surat itu buktinya, Kakang?" tanya Warok Sura Pati dengan kening berkerut. Hatinya pun sudah tak sabar. Ingin secepatnya dapat menghajar Pendekar Gila yang lancang dan telah menyimpang dari alirannya yang lurus.
"Kalian jangan terpengaruh dengan surat ini, Adi Sura. Kita mesti ingat kejadian tiga bulan lalu, ketika Ki Lurah Pandarsuna mati. Di samping tubuh Ki Lurah, juga terdapat tulisan yang mengatakan Pendekar Gila pelakunya. Tetapi kenyataannya, bukan Pendekar Gila," ujar Warok Singo Lodra, berusaha menyabarkan kedua rekannya agar tidak diburu nafsu. Karena, jika asal bertindak tanpa disadari bukti nyata, bi-sa-bisa mereka sendiri yang akan disalahkan kaum rimba persilatan. Karena Pendekar Gila merupakan tokoh yang sangat dihormati dan disegani siapa pun.
"Tapi kalau kita biarkan terus menerus, si pelaku akan semakin menginjak kita, Kang," kata Warok Sito Kuta tak sabar melihat kematian demi kematian dilakukan orang yang sama. Sebagai seorang warok di Ponorogo, dirinya merasa telah ditantang.
"Kau benar," ujar Warok Singo Lodra, "Tetapi kita tak boleh asal menuduh. Harus mampu membuktikan dengan mata kepala kita, kalau pelakunya benar Pendekar Gila." Mendengar penjelasan Warok Singo Lodra, kedua rekannya terdiam. Bagaimanapun, mereka menghargai semua yang menjadi buah pikir orang tua berusia tujuh puluh tahun yang memang pimpinan para warok di Ponorogo.
Mereka masih bercakap-cakap, ketika dari arah timur nampak seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dengan cambang bawuk lebat. Lelaki itu memegang cambuk hitam besar di tangannya. Lelaki itu tak lain Warok Gandu Pala.
"Ada apa, Kakang Warok?" tanya Warok Gandu Pala, melihat ketiganya berkumpul di rumah Ki Renda Peksa. Matanya menyipit, ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan di rumah Ki Renda Peksa.
"Sepertinya telah terjadi sesuatu di sini, Kakang Warok?"
"Benar. Ki Renda Peksa dan empat jawaranya mati," jawab Warok Singo Lodra.
"Siapa pelakunya, Kakang?" tanya Warok Gandu Pala ingin tahu.
Warok Singo Lodra menyodorkan selembar daun lontar yang tergeletak di samping mayat Ki Renda Peksa. Warok Gandu Pala segera membacanya.
"Kurang ajar! Berani benar dia mengancam kita, Kakang!" dengus Warok Gandu Pala marah. Matanya menatap tajam mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Jelas ini tak bisa dibiarkan, Kakang. Aku akan mencari dia."
"Tunggu Gandu! Jangan gegabah terhadapnya!" cegah Warok Singo Lodra. Warok Gandu Pala yang hendak pergi meninggalkan rumah Ki Renda Peksa segera menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Kakang Warok?"
"Sabar dulu, Gandu Pala! Kita tak boleh bertindak sembarangan. Kita sebagai warok, harus dapat menunjukkan jiwa kewarokan kita yang menjadi panutan warga," tutur Warok Singo Lodra.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang" Jelas sudah Pendekar Gila yang melakukan semuanya.
Hm, rupanya seminggu yang lalu dia di sini, ada maksud tertentu...," gumam Warok Gandu Pala.
Warok Singo Lodra mengeleng-gelengkan kepala, sepertinya tidak setuju dengan tuduhan yang dilontarkan Warok Gandu Pala.
Bibirnya menyungging senyum. Kemudian dihelanya napas dalam-dalam, seakan hendak membuang perasaan gundahnya yang bergayut di dalam hati. Pikirannya masih diliputi keti-dakmengertian, siapa sebenarnya pelaku pembunuhan dua calon lurah itu.
"Nanti malam kita bagi tugas. Kau, Gandu Pala, berjaga di sebelah timur Ponorogo. Sito, berjaga dan awasi di sebelah selatan.
Suro, awasi daerah barat de-sa. Sedangkan aku, akan mengawasi di sebelah utara desa," kata Warok Singo Lodra membagi tugas pada ketiga warok lainnya.
"Baik!" sahut ketiganya bersamaan.
"Tangkap orang yang mencurigakan."
"Baik, Kakang!" sahut ketiganya.
"Kakang, apakah tidak sebaiknya kita juga menanyakan pada Pendekar Gila...?" tanya Warok Sito Kuta. Dirinya tetap belum yakin kalau Pendekar Gila tidak melakukan semuanya. Bagaimanapun pendekar itu gila. Dan orang gila biasanya bertingkah yang sulit diterima akal sehat "Benar, Kakang. Kita harus ingat, kalau pendekar muda itu orang gila. Dan biasanya, orang gila akan berbuat di luar perhitungan manusia waras," sambung Warok Gandu Pala.
"Kita tunggu saja! Jika nanti malam tidak terja-di apa-apa, kita akan mencari Pendekar Gila. Aku akan mengutus Bari dan Sentir untuk mencari pendekar itu," ujar Warok Singo Lodra, yang membuat mata Warok Gandu Pala membelalak kaget. Sungguh tak menyangka kalau Warok Singo Lodra hanya mengutus dua orang tangan kanannya. Sekaligus di dalam benak Warok Gandu Pala bersyukur, karena dengan mudah dia akan dapat menyingkirkan kedua utusan itu.
Warok Singo Lodra yang melihat perubahan roman muka Warok Gandu Pala mengerutkan kening.
Diperhatikan dengan seksama wajah Warok Gandu Pala seakan ingin mengorek isi hatinya.
"Ada apa, Gandu Pala?" tanyanya kemudian.
"Ah, tidak apa-apa, Kakang. Tetapi, mengapa hanya mengutus dua orang" Bukankah dengan begitu Pendekar Gila akan mudah membunuh mereka?" tanya Warok Gandu Pala sepertinya tak setuju dengan rencana yang akan dilakukan Warok Singo Lodra.
Warok Singo Lodra tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tangan kanannya membelaibelai jenggot yang panjang sudah memutih. Kemudian dihelanya napas dalam-dalam, seakan hendak menenangkan jiwanya.
"Kalau hal itu memang terjadi, aku dan kedua dimas warok akan mencarinya. Karena jika kedua utusanku dibunuhnya juga, berarti dia benar-benar menantangku. Walau dirinya seorang pendekar yang telah kesohor kedigdayaannya, Warok Singo Lodra tak akan gentar!" ujar Warok Singo Lodra setengah bergumam.
Matanya yang tua, memandang ke atas, seakan mengharapkan kesaksian langit biru pada janji dan tekadnya. Ketiga warok lainnya terdiam mendengar ucapan Warok Singo Lodra. Bagaimanapun ilmu mereka masih di bawah Warok Singo Lodra. Mereka juga menganggap kalau pimpinan para warok itu yang harus dituakan karena memang dirinya orang pertama dan paling tua di kalangan warok Ponorogo.
"Kini tak ada persoalan lagi. Kita harus menguburkan mayat-mayat itu!" ujar Warok Singo Lodra.
"Ki-ta sebagai orang-orang tua dan dihormati yang menjadi panutan harus memberi contoh baik. Ayo bantu warga!" Tanpa membantah, ketiga warok lain segera mengikuti Warok Singo Lodra mengurusi mayat-mayat di rumah Ki Renda Peksa.

***

Malam kembali bergayut menyelimuti bumi.
Desa Ngadireja pun sepi, bagaikan desa yang mati.
Warga Desa Ngadireja tengah dilanda perasaan berkabung, duka yang dalam. Selama tiga purnama belakangan ini, desa mereka dijarah gerombolan pengacau yang mengaku diperintah Pendekar Gila.
Sementara itu, Pendekar Gila nampak sedang terbaring di atas dipan. Matanya belum terpejam. Sejak kemarin dirinya berada di Desa Ngadireja, menginap di kedai Ki Lampit. Malam kemarin dilalui dengan tenang, tak ada tanda-tanda kemunculan gerombolan yang mengaku anak buahnya. Seakan mereka tahu, kalau Pendekar Gila berada di desa itu.
Di samping Pendekar Gila di sebuah dipan lain tampak Ki Lampit tengah berbaring pula. Orang tua itu pun belum tidur. Malam itu Ki Lampit masih bertanya-tanya dalam hati. Siapa sebenarnya pemuda bertingkah laku gila yang kerjanya cepat dan tengah membantunya dalam pekerjaan di kedainya. Semua pekerjaan diambil alih pemuda bertingkah laku gila itu.
Kadang kala Ki Lampit ingin tertawa, jika melihat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu.
Namun dirinya selalu menahannya, takut kalau-kalau pemuda bertingkah laku gila itu akan tersinggung. Ji-ka hal itu terjadi, dia akan kerepotan seperti kemarin lusa. Padahal semenjak Pendekar Gila bersamanya, pekerjaan menjadi ringan.
"Dua hari kita bersama, tetapi selama ini aku belum tahu siapa kau sebenarnya," gumam Ki Lampit dengan tarikan nafasnya yang berat.
"Semenjak kau berada di sini, aku merasa aneh."
"Aha, apa yang kau anggap aneh, Ki?" tanya Sena seraya bangun dari pembaringan.
Mulutnya cengengesan. Lalu tangannya mengambil bulu burung di ikat pinggangnya. Kemudian dikorek telinga kanannya dengan bulu burung itu. Mulut nyengir merasa kenikmatan.
"Gerombolan itu, biasanya datang tujuh hari sekali. Tetapi semenjak kau datang, mereka tidak datang. Sepertinya, kehadiranmu membuat mereka takut" Pendekar Gila tertawa mendengar penuturan Ki Lampit yang dianggapnya terlalu mengada-ada. Bagaimana mungkin orang tahu dirinya di Desa Ngadireja. Lagi pula, mengapa gerombolan itu harus takut terhadapnya. Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala, dengan tangan kiri menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Bagaimana mungkin mereka takut pada orang gila sepertiku" Ah ah ah, aneh sekali! Lagi pula, apa yang harus ditakutkan atas diriku?" tanya Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ki Lampit terdiam. Mata tuanya yang tertutup alis mata panjang, menatap dalam keremangan cahaya lampu pelita ke arah Pendekar Gila yang kembali mengorek telinga dengan bulu burung.
"Mungkinkah kau Pendekar Gila itu, Anak Muda?" tanya Ki Lampit setengah menerka. Dari suara tampak keragu-raguan pertanyaan itu diucapkan. Matanya tetap memperhatikan pemuda di sampingnya yang tengah cengengesan.
"Aha, terlalu tinggi sebutan itu untukku, Ki.
Aku hanyalah pemuda gila yang hidup sebatang kara.
Kerjaku mengembara tak tentu arah. Hanya orangorang saja yang menganggapku begitu," sahut Pendekar Gila. Mendengar jawaban itu Ki Lampit tersentak kaget. Matanya terbelalak, menggambarkan rasa takut yang mendadak muncul.
"Jadi"!"
"Kau tak perlu takut, Ki! Memang orang menyebutku Pendekar Gila. Tetapi aku bukanlah pimpinan kecoa-kecoa busuk yang kau ceritakan," tutur Sena berusaha meyakinkan Ki Lampit "Jadi benar kau yang bergelar Pendekar Gila, Anak Muda?"
"Aha, begitulah. Sekali lagi, kau tak usah takut Ki! Aku memang sengaja menginap di tempatmu, karena ingin tahu macam apa kecoa-kecoa yang telah membuat namaku cemar," ujar Pendekar Gila dengan setengah mendengus. Dirinya merasa marah atas tindakan para begundal yang telah mengaku-aku sebagai anak buahnya.
"Jadi kau tak punya anak buah, Pendekar?"
"Aha, Untuk apa, Ki" Aku bukanlah pimpinan.
Dan kurasa, aku tak pantas jadi seorang pemimpin.
Lucu sekali..., dunia ini semakin lucu dan aneh," gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala. Di bibirnya terurai senyum dan cengengesan. Sedangkan tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.
Ki Lampit turut menghela napas, mendengar penuturan Pendekar Gila. Hatinya merasa kagum atas budi pekerti luhur Pendekar Gila.
"Benar juga apa yang dikatakan. Aneh! Tingkah lakunya seperti orang gila, tetapi tutur katanya seperti orang yang berpendidikan," gumam Ki Lampit dalam hati. Diperhatikan lagi dengan seksama pemuda bertingkah laku aneh di hadapannya. Tetap saja tak terlihat adanya kekejaman di wajah pemuda gila itu.
"Pendekar Gila, apa kau belum mendengar kabar tadi pagi?"
"Aha, tentang apa gerangan, Ki?"
"Desa Ponorogo, kini dilanda bencana," tutur Ki Lampit.
"Bencana" Ah ah ah...! Bencana macam apa, Ki?" tanya Pendekar Gila ingin tahu. Wajahnya yang semula cengengesan nampak berubah serius memperhatikan wajah Ki Lampit.
Ki Lampit menarik napas dalam-dalam, sebelum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Ponorogo. Matanya masih menatap ke wajah Pendekar Gila, yang kini nampak bersungguh-sungguh memperhatikannya. Sepertinya Pendekar Gila ingin tahu, apa yang akan diceritakan.
"Calon-calon kepala desa, satu persatu diketemukan mati. Dan yang membuat semua warga desa Ponorogo membuka mata, karena di samping mayat terdapat tulisan pada selembar daun lontar yang mengatasnamakan Pendekar Gila," tutur Ki Lampit Pendekar Gila tersentak mendengar cerita Ki Lampit Bahwa namanya dijadikan sebagai biang keladi pembunuhan itu. Kemudian sambil cengengesan, ditariknya napas dalam-dalam. Ada perasaan marah dan jengkel dalam hatinya.
"Hi hi hi..., lucu sekali! Mengapa orang-orang semakin suka melakukan hal-hal aneh" Lucu sekali...!" gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dirinya merasa tak habis pikir mengapa penjahat lebih suka menggunakan gelarnya untuk melakukan aksi kejahatannya.
"Kau tak takut, Pendekar?" tanya Ki Lampit.
"Hi hi hi..., takut" Mengapa harus takut" Hyang Widhi akan senantiasa melindungi orang yang benar, Ki. Kalau kita tak salah, mengapa harus takut?" Sena balik bertanya dengan masih cengengesan.
"Ah, kau memang sangat bijaksana, Pendekar.
Sungguh jahat orang-orang yang telah mencemarkan nama baikmu. Mereka tidak ubahnya iblis!" dengus Ki Lampit, sepertinya turut jengkel mendengar berita Pendekar Gila dijadikan kedok kejahatan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala, seakan-akan melihat kelucuan. Namun dilihat dari sinar matanya, jelas hatinya benar-benar marah. Merasa telah dipermainkan seenaknya oleh para durjana.
"Ini tidak bisa didiamkan. Para warok pun tentu menuduh aku pelakunya," gumam Pendekar Gila dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, sudahlah, Ki! Malam telah larut. Tidurlah dahulu, nanti kau sakit!" ujar Sena kepada Ki Lampit agar segera tidur. Dirinya tak ingin orang tua sebatang kara itu akan mengalami sakit.
"Kau...?"
"Hi hi hi..., nanti aku pun tidur," sahut Pendekar Gila.
Ki Lampit pun segera merebahkan tubuh. Perlahan-lahan dipejamkan matanya. Dan tidak lama kemudian, lelaki tua itu telah pulas dalam tertidur. Sedangkan Pendekar Gila nampak masih duduk sambil menyandarkan tubuh pada dinding. Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Benaknya masih memikirkan tentang semua kejadian yang mengaitkan julukannya.
Pendekar Gila menengadahkan wajah ke atas, seakan hendak mencari sesuatu. Dihelanya napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya.
"Hyang Jagat Dewa Batara, semoga Engkau memberi kekuatan pada hambamu ini!" desahnya lirih, sambil memejamkan mata perlahan. Malam semakin larut suasana pun bertambah sepi. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara jeritan memecah keheningan malam. Disusul suara gelak ta-wa.
"Tolong...! Rampok...!"
"Hua ha ha...! Jangan melawan! Kami anak buah Pendekar Gila. Percuma kalian melawan...!" Sena yang mendengar gelarnya disebut tersentak kaget. Dengan bibir tersenyum, tubuhnya melesat cepat meninggalkan kamar bilik di kedai Ki Lampit "Hi hi hi...! Pucuk dicinta ulam tiba. Rupanya apa yang dikatakan Ki Lampit benar. Aha, malam ini aku akan berburu kecoa-kecoa busuk!" dengus Pendekar Gila sambil terus melesat menuju tempat asal jeritan.

***



֍::::::֍| 6 |֎::::::֎

Segerombolan lelaki dengan wajah separo tertutup kain merah nampak sedang melakukan gerakannya, membuat keonaran di rumah penduduk Desa Ngadireja. Hiruk-pikuk memecah kesunyian malam.
Jeritan ketakutan terus terdengar kian jelas, disusul pekik kematian yang menyayat hati.
"Aaakh...!"
"Tolong...! Tolong...!" Seorang wanita muda dengan hanya memakai angkin penutup dada nampak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan dua lelaki berpakaian serba hitam. Wanita muda dan cantik itu, terus berusaha meronta-ronta. Namun, kedua lelaki bermata garang itu tak menghiraukannya. Keduanya terus menyeret wanita berusia sekitar dua puluh dua tahun itu.
"Lepaskan! Tolong...!"
"Percuma saja kau menjerit, Ayu Wuni! Ayahmu yang lurah pun takkan mampu menolongmu. Salah seorang dari keduanya yang berambut pendek dengan ikat kepala warna jingga membentak. Matanya yang tajam dan beringas, menatap penuh nafsu pada gadis cantik yang memakai angkin hijau pupus itu.
"Lepaskan, Bajingan! Lepaskan aku...!" gadis cantik yang ternyata bernama Ayu Wuni itu terus berteriak dan memberontak. Kedua lelaki itu terus membawanya ke tempat semak-semak di bawah pohon bambu yang sepi.
"He he he...! Di sini kita akan berpesta, Manis.
Ayolah! Jabil, pegangi dia!" perintah lelaki berambut panjang terurai. Kepalanya diikat dengan kain batik yang membentuk segi tiga ke bawah di kening.
"Beres. He he he...!" Jabil segera memegangi tangan gadis cantik yang terus meronta-ronta dari pegangan keduanya.
Lelaki berpakaian hitam dan berambut panjang terurai itu segera membuka kain yang menutup wajahnya. Kini nampaklah seraut wajah tampan dengan kumis tipis menghias di wajahnya. Namun, matanya yang menyimpan bara nafsu, menatap beringas gadis cantik itu.
"Lepaskan! Tidak...! Tolong...!"
"He he he...! Jangan harap ada yang berani menghalangi anak buah Pendekar Gila, Anak Manis! Ayolah...!" pemuda tampan berkumis tipis yang ternyata Caraka Wanda terus mendekatkan tubuhnya. Kemudian dengan disertai nafsu birahi yang menggebugebu, direnggutnya pakaian yang menutupi tubuh gadis malang itu.
Bret! "Auh! Tidak...! Tolong...!" anak Kepala Desa Ngadireja itu terus berteriakteriak. Sementara di per-kampungan, terdengar hiruk-pikuk orang-orang berlarian ketakutan. Sementara gerombolan manusia durjana yang mengaku anak buah Pendekar Gila, dengan ganas terus membantai penduduk desa yang melawan.
Crab! "Akh...!"
"Jangan kalian berani menentang kami! Kalian tak akan mampu menghadapi Pendekar Gila!" terdengar ancaman seseorang dari anggota-gerombolan.
Nampaknya masih ada warga desa yang berani menentang, sehingga kembali terdengar suara tebasan pedang yang disusul dengan jerit kematian.
"Heaaa!" Crab! "Akh...!" Sementara warga desa masih hiruk-pikuk ketakutan ditingkahi dengan suara jerit kematian, di tempat yang sepi Caraka Wanda nampak semakin beringas. Matanya menyala-nyala menatap tubuh gadis cantik yang kini setengah telanjang.
"Lepaskan aku! Tolooong...!"
"He he he...! Jangan takut, Manis! Kita akan menikmati indahnya malam ini," ujar Caraka Wanda sambil berusaha menggeluti tubuh gadis cantik kem-bang Desa Ngadireja. Namun tiba-tiba..., "Hua ha ha...! Begitukah tingkah anak buah Pendekar Gila" Ah ah ah, lucu sekali. Kecoa-kecoa busuk mengaku anak buah Pendekar Gila...!" dari kegelapan, terdengar suara tawa susul menyusul, Pendekar Gila. Caraka Wanda dan Jabil tersentak kaget. Keduanya langsung menoleh ke tempat datangnya suara pemuda itu. Mata mereka membelalak tegang. Apalagi Caraka Wanda yang telah kenal siapa pemilik suara itu.
"Pendekar Gila..."!" desis Caraka Wanda dengan mata membelalak tegang.
"Dia ada di sini"!" tanya Jabil tak kalah kaget dan tegang, setelah tahu siapa yang tertawa itu.
"Aha, apa kabar, Ki Sanak...?" tahu-tahu Pendekar Gila telah berdiri berjarak satu tombak di samping mereka. Hal itu semakin membuat keduanya terlonjak kaget karena tak tahu kapan dan dari mana datangnya. Gadis yang hendak diperkosa bangkit dan langsung berlari ke belakang Pendekar Gila. Tetapi Ayu Wuni pun kelihatannya masih takut, setelah tahu siapa pemuda bertingkah laku gila itu.
"Kau..." Kau Pendekar Gila..."!" tanyanya dengan mata terbelalak ketakutan.
"Hua ha ha...! Jangan takut, Ni Sanak! Aku memang Pendekar Gila, tetapi bukan pimpinan para kecoa busuk itu! Hi hi hi...! Lucu sekali. Rupanya kecoa-kecoa busuk kini pada bertingkah," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Ditatapnya kedua lelaki bermata jalang itu dengan tajam. Kemudian dengan cengengesan, tangannya menggaruk-garuk kepala. Lalu dipandangi gadis cantik yang berpakaian telah compang-camping akibat reng-gutan tangan Caraka Wanda.
"Aha, tak kusangka, kalau anak seorang warok berbuat sekeji ini. Hi hi hi... lucu sekali. Dunia ini memang semakin lama semakin bertambah gila," gumam Pendekar Gila dengan mulut masih cengengesan.
Sedangkan tangannya tetap menggaruk-garuk kepala.
Lalu diambil Suling Naga Sakti. Ditiupkan dengan merdu, mendendangkan nyanyian tentang seekor anak domba yang berusaha menjadi serigala. Anak domba itu terus berusaha agar bisa jadi serigala. Sampai akhirnya, anak si domba membabi buta.
"Cuih! Lancang sekali kau, Pendekar Gila!" bentak Cakra Wanda dengan napas mendengus, "Jangan kira aku tak mengerti nyanyian sulingmu!"
"Hi hi hi...! Ah, baguslah kalau kau mengerti.
Rupanya kau anak warok yang pintar. Sayang..., sayang sekali perbuatanmu tak sesuai dengan pribadi orang-tuamu," ujar Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dengan kepala menggeleng-geleng, seakan sangat menyesalkan atas perbuatan Caraka Wanda.
"Cuih!" Caraka Wanda membuang ludah jengkel. Kemudian matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Sesekali Pendekar Gila menengok ke belakang, tempat gadis cantik itu berada.
"Jangan kau gurui aku, Pendekar Gila! Ayahku adalah ayahku, sedangkan aku tetap saja aku!" Pendekar Gila kembali tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Ditimang-timangnya Suling Naga Sakti lalu dipukul-pukulkan ke telapak tangan kirinya. Kemudian masih dengan cengengesan, diselipkan kembali Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
"Ah ah ah, hebat! Hebat sekali...!" gumamnya lirih dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala.
"Sayang, kepribadianmu tak lebih dari seekor domba buta. Sehingga membuat dirimu melangkah di jalan yang salah."
"Bedebah! Sudah kukatakan, jangan menggurui aku!" bentak Caraka Wanda semakin marah dan sengit, merasa Pendekar Gila telah banyak berbicara hing-ga membuatnya marah. Matanya yang tajam dan marah menatap wajah Pendekar Gila yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, aku tidak mengguruimu, Domba Malang.
Aku hanya ingin mengingatkanmu, kalau kau telah salah jalan," sahut Pendekar Gila diikuti suara tawanya, yang membuat Caraka Wanda semakin marah.
"Kurang ajar...! Kubunuh kau Pendekar Gila! Serang dia...!" perintah Caraka Wanda dengan sengit.
Dengan cepat tangannya mencabut pedang di punggungnya. Srt! "Hea...!" disertai pekikan menggelegar, Caraka Wanda dan Jabil melesat menyerang Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, membabat dan menusuk ke tubuh Pendekar Gila.
Wrt! "Yea...!"
"Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila segera bergerak cepat menarik tubuh untuk mengelakkan serangan kedua lawannya yang gencar dengan babatan pedang. Kemudian dengan memonyongkan mulut, dirinya mengejek setelah berhasil mengelakkan serangan kedua lawan.
"He he he...! We...!"
"Kurang ajar! Kubunuh kau..., Gila! Serang...!" Caraka Wanda kembali berteriak memerintah temannya untuk terus menyerang. Kemudian dengan jurus 'Satuan Pedang Memanggang' mereka bergerak cepat menyerang dari dua arah. Caraka Wanda menyerang dari kanan, sedangkan Jabil dari kiri.
"Hea!"
"Yea!"
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila masih cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala, seakan tak takut menghadapi serangan yang gencar dan cepat itu. Dengan membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' tubuhnya meliuk-liuk laksana penari, dengan sesekali menepuk ke arah lawan. Setelah mengetahui gerakan yang dilakukan Pendekar Gila, Ayu Wuni sedikit merasa agak tenang.
Hatinya mengatakan kalau pemuda bertingkah gila itu ternyata bukan pemuda jahat dan sembarangan. Hatinya mengharap, semoga Pendekar Gila dapat memenangkan pertarungan itu. Bahkan Ayu Wuni mengharap, Pendekar Gila mau menumpas para penjahat itu, agar Desa Ngadireja aman.
Mata Ayu Wuni terus memperhatikan pertarungan itu dengan harap-harap cemas. Takut kalau-kalau pemuda tampan bertingkah gila kalah.
"Heaaa...!" Wret! Wret! Pedang di tangan Caraka Wanda dan Jabil menderu dengan cepat ke tubuh Pendekar Gila. Tetapi dengan cepat pula, Pendekar Gila mundurkan kaki kanan. Kemudian menggeser kaki kiri agak merentang sambil meliukkan tubuh.
"Celaka...!" pekik kedua lawannya kaget, karena pedang mereka tetap belum berhasil bersarang di tubuh lawan. Bahkan pedang itu kini melesat ke tubuh temannya. Mata keduanya terbelalak tegang, menyadari gerakan masing-masing yang kacau.
Melihat kedua lawannya dalam keadaan mati langkah, sambil menggaruk-garuk kepala Pendekar Gila menendangkan kaki kanan ke tubuh Jabil. Sementara tangan kiri, menghantam tubuh Caraka Wanda.
"Hi hi hi...! Hea...!" Caraka Wanda dan Jabil yang mati langkah, tersentak kaget. Keduanya kebingungan. Kalau meneruskan membabatkan pedang dapat membahayakan kawannya. Sedang kalau berhenti jelas gerakan Pendekar Gila akan lebih leluasa menyerang.
"Hea!" Dalam kebingungan dan kagetnya, Caraka Wanda melentingkan tubuh ke belakang untuk mengelak. Sehingga Jabil yang terlambat, tak ampun lagi menjadi sasaran tendangan kaki Pendekar Gila.
Begk! "Akh...!" Jabil memekik keras. Tubuhnya terlon-tar deras ke belakang, bagaikan didorong sebuah kekuatan yang dahsyat. Tubuh itu baru berhenti, ketika menghantam pepohonan bambu.
Gosrak! "Akh!" Tanpa ampun lagi, Jabil terjepit batang-batang bambu. Sesaat Jabil meregang, kemudian terkulai ma ti. Menyaksikan temannya tewas, Caraka Wanda bertambah beringas. Dengan napas mendengus keras, lelaki muda itu kembali bergerak menyerang. Jurus, 'Semilir Angin Meniup Daun Kering' segera dikeluarkan. Nampaknya Caraka Wanda sudah tak sabar lagi untuk membinasakan Pendekar Gila.
"Heaaa...!" Wrt! Wrt...! Pedang di tangan Caraka Wanda bergerak laksana angin yang bertiup semilir. Kelebatannya sangat halus dan pelan. Hal itu karena Caraka Wanda menggunakan tenaga dalam yang cukup tinggi, juga pengerahan batin yang sempurna. Kakinya melangkah secara beraturan, seperti memakai hitungan-hitungan tertentu. Melihat jurus yang dilakukan Caraka Wanda, seketika Pendekar Gila mengerutkan kening. Dengan memandang lewat sudut mata sambil nyengir, pikirannya berusaha mengingat-ingat gerakan yang dilakukan Caraka Wanda.
"Hm, bukankah itu gerakan Macan Barong yang kulihat di Ponorogo?" tanya Pendekar Gila dalam hati berusaha mengingatingat gerakan-gerakan yang dilakukan Caraka Wanda.
"Aha, benar! Itu gerakan yang dilakukan Macan Barong.
Hm, kalau begitu yang menjadi Macan Barong tentunya pemuda ini."
"Pendekar Gila, kau harus mampus! Bersiaplah!" dengus Caraka Wanda.
"Hua ha ha...! Hi hi hi...! Lucu sekali. Bukankah itu tarian Macan Barong! Lucu sekali...!" ejek Pendekar Gila dengan tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kurang ajar! Hea...! Kau harus mati dengan jurus 'Semilir Angin Meniup Daun Kering'.
Tubuh Caraka Wanda bergerak cepat. Pedang di tangannya pun semakin lama bergerak semakin cepat. Sehingga pedang di tangan Caraka Wanda lenyap bentuk aslinya. Kini yang tampak hanya sebuah bayangan putih, berkelebat begitu cepat memburu tubuh Pendekar Gila.
Melihat lawan telah mengeluarkan jurus pemungkas yang sangat berbahaya jika dihadapi dengan tangan kosong, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Saktinya. Srttt! "Heaaa!"

***

Dengan memegang Suling Naga Sakti, Pendekar Gila melesat memapaki serangan lawan. Jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' segera dikeluarkan, untuk mengelakkan serangan lawan. Sedangkan tepukan tangannya, diganti dengan Suling Naga Saktinya.
"Yea!"
"Heaaa...!" Keduanya berkelebat laksana terbang. Caraka Wanda membabatkan pedangnya ke leher lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila merundukkan tubuh diikuti dengan sabetan Suling Naga Saktinya ke atas.
Trang! Auh...!" Caraka Wanda tersentak kaget, pedangnya beradu dengan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila. Tangannya terasa gemetar kesemutan.
Tubuhnya melayang dan bersalto di udara, kemudian meluncur ke bawah. Bibirnya tampak menyungging senyum sinis. Dari arah perumahan penduduk segerombolan lelaki berpakaian merah seperti yang dipakai Caraka Wanda memburu-tempat pertempuran itu.
"Caraka, kau terluka...?" tanya seorang pemuda berwajah agak pucat dan berambut panjang terurai diikat kain batik "Dia Pendekar Gila, Dimas Surotama," tutur Caraka Wanda sambil meringis menahan sakit di tangan. Sementara Pendekar Gila tampak tengah cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Suling Naga Sakti dipukul-pukulkan ke telapak tangan kiri, lalu mulutnya menyeringai seperti seekor kera.
"Jadi pemuda edan ini yang dijuluki Pendekar Gila?" tanya pemuda yang dipanggil Surotama. Matanya menatap tajam pada Pendekar Gila yang masih bertingkah laku persis orang gila. Wajahnya menggambar-kan kesadisan.
"Benar, Dimas. Hati-hati...!"
"Hm, bunuh dia...!" perintah Surotama tiba-tiba, dengan menggerakkan tangan kanan. Seketika itu pula, gerombolan berpakaian rompi merah menyerang Pendekar Gib. Pedang dan golok tampak berkilatan diacungkan ke atas siap merejam lawan.
"Hea!"
"Hi he he...! Rupanya kalian kecoa-kecoa busuk yang bodoh! Lucu sekali...!" gumam Pendekar Gib. Kemudian dengan masih cengengesan, ditunggingkan pantatnya ke arah kesembilan lawannya yang menyerang.
"Bocah Edan! Kubunuh kau! Hea...!" seorang anak buah Surotama membabatkan golok ke tubuh lawan yang sedang menungging. Namun dengan jurus 'Gila Mabuk Mencabut Rumput' Pendekar Gila segera bergerak mengelit. Tubuhnya seperti orang gila yang sedang mabuk. Jempalitan ke sana kemari, dengan tangan bergerak mencengkeram dan memukul. Sedangkan kedua kakinya bergerak melakukan serangan dengan lutut dan tendangan.
"Hi hi hi! Heaaa...!" Dugk! "Ukh...!" orang yang berada di belakang ter-jengkang, karena terkena tendangan kaki kiri Pendekar Gila. Mulutnya meringis kesakitan dan tampak darah mengalir dari sela bibir. Tangannya memegangi dada yang terasa nyeri hebat. Bahkan dirasakan pukulan keras tadi meremukkan tulang rusuknya.
Pertarungan semakin seru. Gerombolan itu langsung mengeroyok Pendekar Gila.
"Hea!" Wuttt! "Uts! He he he...!" Pendekar Gila tertawa terkekeh sambil terus bergerak dengan jurus 'Gila Mabuk Mencabut Rumput' digabung dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'. Suling Naga Sakti di tangannya, bergerak dengan cepat menangkis serangan lawan. Dilanjutkan dengan memukul ke dada, dan punggung lawan yang terdekat.
"Mampus kau, Pendekar Gila! Hea...!" Wuttt! "Uts! He he he...! Ini bagianmu, Kecoa Tolol!" Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan dengan meliuk ke samping. Kemudian bergerak ke belakang tubuh lawan dengan cepat sambil memukulkan Suling Naga Sakti ke punggung lawan.
Begk! "Akh...!" pekikan tertahan terdengar ketika seorang lawan terpukul Suling Naga Sakti. Tulang punggungnya dirasakan remuk. Mulutnya meringis. Dari sela bibirnya meleleh darah. Kemudian tubuh orang itu ambruk ke tanah.
Pertarungan semakin seru. Sepertinya gerombolan Caraka Wanda dan Surotama tak takut sedikit pun. Mereka terus menyerang dengan sabetan dan tusukan pedang serta golok "Hea!" Wuttt! Wuttt! "Haiiit..!" Dengan cepat Pendekar Gila mengelit dengan merundukkan tubuh. Kemudian dengan cepat pula dipukulkan Suling Naga Saktinya ke tubuh lawan.
Wuttt! "Heh"!" orang itu tersentak kaget dengan mata membeliak. Dirinya berusaha menghindar tetapi gerak yang dilancarkan Pendekar Gila sangat cepat. Sehing-ga, Begk! "Wua...!" Korban kembali jatuh dengan tulang iga remuk akibat gebukan Suling Naga Sakti. Kenyataan itu membuat Caraka Wanda dan Surotama bertambah marah dan beringas.
"Kubunuh kau, Pendekar Gila...!" Surotama melompat ke depan. Dengan jurus 'Serimpi Kipasan Maut' Surotama membabatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila. Wuttt! Wuttt! "Uts! He he he...!" sambil tertawa, Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan.
Tubuhnya meliuk ke samping dengan gemulai. Kemudian tangan kirinya dengan jari-jari terbuka menyambar rusuk kanan lawan. Sedangkan Suling Naga Sakti di tangan kanannya, memukul ke punggung Surotama.
"Heh"!" Surotama tersentak kaget Lalu segera bergerak membalikkan tubuh disertai tendangan ke tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila menarik pukulan tangan kirinya, sedangkan Suling Naga Sakti terus disabetkan ke tubuh lawan.
Wrt! Trakkk! Krakkk! "Ukh...!" Surotama terpekik. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Tangan dan kakinya yang terpukul Suling Naga Sakti dirasakan remuk. Di pergelangan tangan dan di tulang kering ka-ki kanannya, melembung dan terasa berdenyut-denyut "Dimas Surotama!" seru Caraka Wanda dengan mata terbelalak, menyaksikan Surotama nampak kesakitan dengan wajah yang semakin pucat.
"Pendekar Gila Keparat! Kubunuh kau! Hea...!" Caraka Wanda yang sudah marah, dengan beringas kembali mengeluarkan jurus pemungkasnya 'Semilir Angin Meniup Daun Kering'. Bagaikan tak meng-hiraukan kalau dirinya dalam keadaan terluka, Caraka Wanda menyerang membabi buta. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin enak saja bergerak dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk lemah gemulai, kemudian dengan cepat ditepukkan tangan kiri ke dada lawan "Hih!" Degk! "Akh...!" tubuh Caraka Wanda terpental deras ke belakang, ketika pukulan telapak tangan kiri Pendekar Gila mendarat di dadanya. Tubuhnya terus melayang, dan baru berhenti ketika menghantam sebatang pohon. Brak! "Akh!" Caraka Wanda terbanting ke tanah dengan kepala hancur terbentur pohon.
Dari mulutnya menyembur darah segar. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar lalu diam tak berkutik.
"Kurang ajar! Kupertaruhkan nyawaku untuk membunuhmu, Gila! Hea...!" Dengan kemarahan yang memuncak, Surotama melakukan serangan. Hatinya yang telah terbakar kini kalap. Menyaksikan Caraka Wanda tewas. Pedangnya diayun-ayunkan cepat membabat ke tubuh lawan.
Tampak keenam kawannya turut membantu mengeroyok Pendekar Gila.
Wrt! "Hea!"
"Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan lawan-lawannya. Sedangkan tangan kanan yang memegang Suling Naga Sakti berkelebat menangkis senjata lawan yang menyerang.
Trang! "Hih!"
"Ukh...!" Pertarungan semakin seru. Semak belukar di sebelah barat Desa Ngadireja tampak hancur berantakan. Beberapa batang pohon bambu pun tumbang terhantam oleh babatan pedang. Malam yang dingin dan sepi, terpecah hiruk-pikuk pertarungan dan jeritanjeritan kematian.
Warga Desa Ngadireja yang semula merasa takut, akhirnya mendatangi tempat pertarungan menyertai kepala desa. Mereka langsung membantu Pendekar Gila yang dianggap telah menyelamatkan desa mereka.
Gerombolan penjahat yang menjarah Desa Ngadireja akhirnya terjepit. Bahkan kini, Pendekar Gila dengan cepat menggebukkan Suling Naga Sakti ke punggung Surotama.
Bukkk! "Akh...! Ukh...!" Tubuh Surotama menggeliat-geliat karena punggungnya remuk terhantam Suling Naga Sakti. Dari mulutnya muncrat darah segar. Sesaat lamanya mulut lelaki muda itu mengerang-erang sebelum akhirnya mati. Melihat pimpinan mereka mati, keenam anggota gerombolan yang masih hidup, semakin panik. Dalam sekejap mata, mereka dapat didesak para warga Desa Ngadireja.
"Mampuslah kalian! Hea...!" Jrab! Jrabs! "Akh...!" lengkingan kematian, seketika terdengar susul-menyusul. Dengan ganas karena marah para warga Desa Ngadireja membantai habis anggota gerombolan yang mengatasnamakan Pendekar Gila sebagai pimpinan. Ki Lampit tertatih-tatih mendekati Pendekar Gila. Di bibirnya tersungging senyuman. Orang tua yang sebenarnya Kepala Desa Ngadireja itu merasa senang atas kemenangan mereka.
"Kau, Ki?" Pendekar Gila terkejut melihat Ki Lampit yang semula tua renta kini tampak wajah aslinya, setelah membuka kedok. Ki Lampit ternyata seorang lelaki bertubuh tegap, berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya cukup tampan terhias jenggot dan kumis tipis.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan Pendekar!"
"Aku tak mengerti, siapa kau sebenarnya, Ki?" tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir serta tangan menggaruk-garuk kepala.
Ki Lampit memegang pundak Pendekar Gila, lalu sambil melangkah lelaki setengah baya itu menceritakan siapa dirinya.
Diceritakan, mengapa harus menyamar, karena dirinya takut kepergok Pendekar Gila yang kabarnya menjadi pimpinan gerombolan itu. Ki Lampit merasa tak akan mampu menghadapi Pendekar Gila yang kesohor dengan kesaktiannya.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi tiba-tiba tawanya terhenti, ketika matanya melihat sesosok bayangan kuning berkelebat mencurigakan. Mata yang lain mungkin tak melihat karena suasana gelap.
"Hai, tunggu...!" teriak Pendekar Gila. Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya segera menge- jar sosok bayangan kuning itu. Dalam sekejap saja Pendekar Gila telah berhasil menghadang orang itu.
"Aha, mau lari ke mana kau" Hi hi hi...!"
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki mu-da berpakaian kuning sambil bersujud di depan Pen- dekar Gila.
"Saya hanya diperintah tiga warok Ponorogo."
"Kau juga anggota mereka?" tanya Pendekar Gi-la.
"Be... benar."
"Jadi kalian diperintah tiga warok Ponorogo untuk membuat keonaran di desa ini?" tanya Pendekar Gila tegas, walau mulutnya masih cengengesan.
"Be..., benar."
"Katakan pada ketiga warok yang mengutus mu! Aku, Sena Manggala akan menemui mereka," ujar Pendekar Gila tegas.
"Tak kusangka, ketiga warok Ponorogo yang seharusnya menjadi panutan malah berbuat kejam!"
"Ba... baik, Tuan Pendekar. Akan saya sampaikan pada Warok Singo Lodra dan kedua rekannya," sahut pemuda bertubuh agak pendek itu.
"Pergilah sekarang! Katakan, aku akan menemui mereka," perintah Pendekar Gila. Seketika itu pu-la, lelaki muda berpakaian rompi kuning melesat meninggalkan Desa Ngadireja.
Pendekar Gila menghela napas, sementara itu tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya merasa tak habis pikir mengapa Warok Singo Lodra, Warok Sura Pati, dan Warok Sito Kuta berbuat kejam. Kemudian sambil cengengesan kakinya melangkah mendekati Ki Lampit dan para warga Desa Ngadireja.

***



֍::::::֍| 7 |֎::::::֎

Betapa gusar dan marah ketiga warok sesepuh Ngadireja, setelah mendengar kabar tentang dua orang anak mereka yang mati di tangan Pendekar Gila. Bahkan Ranukoya, lelaki muda berpakaian rompi kuning yang menjadi utusan Warok Gandu Pala melebihlebihkan ceritanya. Dikatakan, kalau Pendekar Gila menantang mereka untuk bertarung.
"Apakah kau tak berdusta, Ranukoya"!" bentak Warok Singo Lodra geram. Matanya menatap tajam Ranukoya yang duduk bersila dengan menundukkan kepala.
"Ampun Ki Warok. Mana berani saya berdusta?" kata Ranukoya dengan kepala masih menunduk.
"Bahkan, Pendekar Gila mengatakan jangankan hanya tiga warok Ponorogo. Seluruh warga Desa Ponorogo pun dia tak akan gentar."
"Cuh! Setan Laknat!" dengus Warok Sura Pati sengit sambil meludah ke tanah.
"Kurang ajar! Pendekar Gila keparat! Dia telah berani membunuh anakku.
Bahkan lancang menantangku!"
"Hhh! Akan kuremukkan batok kepalanya, sebagai balasan atas tindakannya!" Warok Sito Kuta pun tak kalah sengitnya menggeram. Tangan kanannya mengepal. Dan matanya memandang lepas ke depan.
Warok Singo Lodra tercenung diam. Pikirannya kira benar-benar kacau. Baru kemarin putrinya, Sekati kedapatan hamil, Sekati muntah-muntah ngidam. Ketika ditanya siapa yang telah menghamili, Sekati mengaku Pendekar Gila yang melakukannya.
Perlahan-lahan, bayangan kejadian kemarin tergambar kembali dalam benak Warok Singo Lodra.
Dirinya baru saja pulang dari kebun, ketika langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya mendengar suara Sekati muntahmuntah. Dengan kening mengerut, Warok Singo Lodra melangkah mendekati anaknya yang sedang muntah di samping rumah.
"Sekati, kenapa kau?" Sekati tersentak kaget. Dengan mata memandang takut, gadis itu bangun dari jongkoknya. Lalu kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat karena takut.
"Anakku, kau tak perlu takut pada ayah. Katakan, apa yang sebenarnya terjadi...?" tanya Warok Singo Lodra dengan suara pelan, berusaha menenangkan sang Anak. Sekati langsung menangis. Dipeluknya erat-erat tubuh sang Ayah. Hal itu membuat hati Warok Singo Lodra terenyuh dan luluh. Dengan lembut, dibelaibelainya rambut Sekati.
"Anakku, ceritakanlah apa yang telah terjadi!" pinta Warok Singo Lodra dengan tangan masih membelai-belai rambut anaknya.
Perlahan-lahan Sekati mendongak. Ditatapnya dalam-dalam wajah sang Ayah. Tangisnya masih berderai, bahkan semakin sesenggukan. Hati Warok Singo Lodra pun luluh-lantak dan merasa kasihan. Dibimbingnya sang Anak masuk ke rumah. Kemudian diajaknya duduk.
"Ceritakanlah, Anakku!"
"Apakah Ayah tak akan marah?" tanya Sekati takut. Warok Singo Lodra berusaha tersenyum. Digeleng-gelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan sang Anak agar mau menceritakan apa sebenarnya yang terjadi.
"Sekati hamil, Ayah."
"Apa"!" bagaikan disengat kalajengking Warok Singo Lodra terbelalak kaget.
Lelaki tua itu tersentak bangkit dari duduknya. Dengan napas tersengal menahan perasaan marah dan terkejut mata Warok Singo Lodra menatap tajam anaknya. Sementara Sekati hanya mampu menangis dengan menundukkan kepala dalam-dalam.
"Siapa yang menghamili mu, Sekati" Akan kulabrak dia!"
"Pendekar Gila, Ayah!"
"Hah"!" semakin membelalak mata Warok Singo Lodra, mendengar jawaban anaknya.
Dihelanya napas dalam-dalam lalu dihembuskan dengan kuat. Kedua tangannya mengepal keras sambil menggemeretakkan gigi menahan geram.
Warok Singo Lodra melangkah bimbang dengan hati dilanda amarah. Tangan kanannya masih mengepal. Matanya memandang tajam pada anaknya yang masih menangis sambil menundukkan kepala.
"Kapan hal itu terjadi?" tanya Warok Singo Lodra.
"Tiga bulan yang lalu, Ayah," jawab Sekati dengan masih menangis sambil menundukkan kepala.
"Kurang ajar! Pendekar Gila keparat!" maid Warok Singo Lodra geram. Napas tuanya kian memburu, bagaikan harimau marah. Matanya semakin memerah karena marah, "Sekati, kau tidak berbohong"!"
"Sungguh, Ayah. Sekati rela mati, jika berdusta," jawab gadis cantik berbaju kuning muda itu sambil terisak-isak.
"Pendekar Gila, telah cukup aku menahan amarah. Ternyata kau menggunakan nama besarmu untuk perbuatan terkutuk! Tak akan kubiarkan kau mempermainkan wanita! Kau harus bertanggung jawab atas semuanya!" dengus Warok Singo Lodra geram. Warok Singo Lodra menarik napas dalam- dalam. Bayangan tentang anaknya yang dihamili Pendekar Gila, bagaikan mencambuk amarahnya. Matanya memerah bagaikan mengandung api. Helaan nafasnya sangat keras, menandakan hatinya tengah dilanda amarah yang meluap-luap.
"Ki Singo, apa kita akan tinggal diam terusmenerus?" tanya Warok Sura Pati geram.
"Anakku dibunuhnya. Bukan itu saja, Pendekar Gila kini mengacau Desa Ngadireja. Warga desa kini dilanda ketakutan. Dan menurut kabar, Pendekar Gila telah mencoreng nama baik warok."
"Hm, benar! Kita harus segera mencarinya!" sahut Warok Singo Lodra.
"Kita harus memberi pelajaran padanya, Ki!" ujar Warok Sito Kuta.
"Ya! Jangan kira hanya dia yang sakti! Meskipun dia sakti setinggi langit. Warok Singo Lodra tak akan gentar menghadapinya.
Dia harus diberi pelajaran!" dengus Warok Singo Lodra. Matanya yang membara penuh amarah, memandang lepas ke depan.
Warok Singo Lodra menarik napas dalamdalam, berusaha menenangkan perasaan yang gundah dilanda amarah. Jika ingat semua yang terjadi, hatinya semakin geram saja.
Selama ini dirinya berusaha menahan sabar, tetapi Pendekar Gila semakin melunjak dan bertambah nekat. Rasa percayanya pada Pendekar Gila sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan, pudar sudah. Kini yang tumbuh dalam jiwanya, sebuah kemarahan dan dendam kesumat. Apalagi kini mendengar anak-anak rekannya terbunuh di tangan Pendekar Gila. Semakin bertambah menggelegak kemarahannya.
"Kita cari Pendekar Gila sampai ketemu!" dengus Warok Singo Lodra semakin marah dan sengit.
"Kapan kita berangkat, Ki?" tanya Warok Sito Kuta.
"Secepatnya," sahut Warok Singo Lodra.
"Baik, Ki. Kami akan mempersiapkan segalanya," ujar kedua warok lainnya.
"Ranukoya, kau boleh pergi!" perintah Warok Singo Lodra.
Ranukoya yang dengan segera menjura hormat, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Sedangkan Warok Singo Lodra nampak masih mengulum bibir, berusaha menenangkan pikirannya yang tengah diliputi kemarahan.

***

Sementara di Hutan Palapiring, tempat Warok Gandu Pala dan para pengikutnya berada, siang itu nampak semua berkumpul. Di rumah bilik yang berada di dalam Hutan Palapiring, Warok Gandu Pala nampak gelisah dan marah. Kakinya melangkah mondar-mandir dengan tangan mengepal seperti menahan geram. Para anak buahnya duduk dengan kepala menunduk, tak seorang pun berani membuka mulut. Semuanya terdiam tanpa kata, membiarkan Warok Gandu Pala yang tengah dilanda perasaan gelisah.
"Kurang ajar! Pendekar Gila telah membuat anggota kita semakin berkurang!" dengus Warok Gandu Pala sengit. Kemudian kakinya melangkah menuju kursi rotan yang ada di ruangan itu.
"Ah, tapi biarlah! Bukankah dengan begitu, ketiga warok tua bangka itu akan memusuhi bahkan membunuh Pendekar Gila?" Warok Gandu Pala tertawa terkekeh-kekeh, merasa senang setelah mendengar ketiga warok tua yang juga sesepuh di Desa Ponorogo itu akhirnya dapat juga diadu domba.
Semua anak buahnya mengerutkan kening, tak mengerti mengapa Warok Gandu Pala tertawa-tawa.
Padahal banyak anak buahnya yang mati di tangan Pendekar Gila. Nampaknya para pengikutnya tidak memahami jalan pikiran yang telah direncanakan sang Ketua.
"Nanti malam, kita kembali mengadakan gerakan. Bunuh kedua calon lurah yang masih ada!" perintah Warok Gandu Pala sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kalau mereka sudah lenyap semua, bukankah aku yang akan menduduki kursi kepala desa?" Semua anak buahnya yang tersisa lima belas orang itu tertawa mengikuti pimpinannya yang juga tertawa terbahak-bahak.
"Benar, Ketua! Kalau Ketua menjadi Kepala Desa Ponorogo, kita akan enak...," ujar Sumogiri, "Bukan begitu teman-teman?"
"Benar!" sahut keempat belas rekannya, terma-suk Sekati yang juga berada di tempat itu. Gadis itu nampak lebih banyak diam, semenjak hamil. Hal itu mungkin karena hatinya merasa berdosa, telah membohongi sang Ayah. Juga terhadap Pendekar Gila yang telah difitnahnya.
Hati nurani Sekati mulai tergugah. Batinnya yang semula tertutup, kini terbuka. Dirinya merasa, semua tindakannya selama ini suatu perbuatan yang salah. Begitu berani menentang sang Ayah. Juga Paman Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta.
"O, mengapa aku seperti ini" Mengapa harus menuruti setiap ucapan Paman Warok Gandu Pala?" keluh Sekati dalam hati, merasakan kesalahannya selama ini. Kini dirinya bagaikan baru terbuka mata hatinya yang selama ini tertutup kabut gelap. Selama ini, Sekati terpengaruh janji-janji muluk dan rayuan gom-bal Warok Gandu Pala. Sampai akhirnya, peristiwa itu terjadi. Ketika semua anak buah tengah menjalankan perintah tinggallah mereka berdua. Warok Gandu Pala menggagahinya. Mulanya Sekati berusaha melawan, tetapi ketika matanya beradu dengan mata Warok Gandu Pala, tiba-tiba hatinya luluh. Dibiarkan tubuhnya digeluti orang yang mengaku sebagai pamannya sendiri. Semenjak itu, Warok Gandu Pala selalu berusaha mendapatkan kepuasan dari Sekati. Dan anehnya, gadis itu bagaikan tak mampu melawan. Sekati pasrah, membiarkan kehormatannya direnggut. Membiarkan tubuhnya dijadikan pelampiasan nafsu lelaki yang dianggap sebagai paman sendiri, karena sesama warok seperti ayahnya.
Sampai akhirnya, Sekati hamil. Semula hatinya sangat takut, lalu mengadukan kehamilannya pada Warok Gandu Pala. Namun tanggapan Warok Gandu Pala justru membuat hatinya sakit Warok Gandu Pala menyuruhnya untuk memfitnah Pendekar Gila dan mengadukan pada ayahnya, kalau kehamilan itu perbuatan Pendekar Gila.
"O, kasihan Pendekar Gila. Dia tak tahu apaapa, terlalu polos, dan tak mengerti apa yang terjadi," keluh Sekati dalam hati. Lamunannya terus mengalir, teringat akan Pendekar Gila yang bertingkah laku konyol dan persis orang gila.
"Mengapa harus dia yang menjadi korban fitnah" Tentunya ayah tak akan membiarkan pemuda itu. Ayah pasti akan melabrak Pendekar Gila." Sekati tak mempedulikan pertemuan yang tengah berlangsung. Benaknya terus hanyut dalam lamunan, memikirkan apa yang bakal terjadi terhadap Pendekar Gila. Sementara, di sini, Warok Gandu Pala tertawa dengan kemenangannya.
Sudah dapat dibayangkan, kalau Pendekar Gila akan bertarung dengan ketiga warok itu. Mereka sama-sama sakti. Mereka samasama disegani. Tiga warok itu bersenjata cambuk yang sakti.
Cambuk mereka mampu mengeluarkan api, halilintar, dan angin yang membadai.
Mustahil kalau Pendekar Gila akan mampu menandingi ketiga warok sakti itu.
Pikiran Sekati terus bergejolak, seakan tak dapat melupakan apa yang bakal terjadi. Pertarungan antara Pendekar Gila melawan ayah serta kedua pamannya, tentu akan berakhir dengan kematian. Mungkin mereka mati semua, atau mungkin ayah dan pamannya yang mati. Atau juga Pendekar Gila yang akan mati. Sekati merasakan kepalanya sakit sekali. Otaknya berdenyut-denyut memikirkan apa yang bakal menimpa Pendekar Gila atau ayah dan kedua pamannya.
Mereka orang-orang sakti. Jika mereka bertempur, ten-tu harus ada yang mati.
"Tidaaakkk...!" tiba-tiba Sekati memekik keras dengan tangan memegangi kepalanya yang terasa pening. Tubuhnya limbung, kemudian ambruk. Hal itu membuat semua mata langsung menoleh pada Sekati.
Warok Gandu Pala segera membopong tubuh Sekati, membawanya masuk ke sebuah kamar. Sementara para anak buahnya, hanya mampu terbengong-bengong tak mengerti apa yang dialami Sekati.
Warok Gandu Pala pun nampak kebingungan, tak mengerti apa yang dialami Sekati. Dirinya berusa-ha menyadarkan Sekati dari pingsannya, tetapi tak mampu. Gadis itu masih saja pingsan. Keringat mengalir deras dari tubuh Sekati, sehingga pakaian gadis itu basah kuyup. Hal itu menyebabkan lekuk tubuh gadis itu nampak jelas menantang.
Warok Gandu Pala menelan ludah berkali-kali, melihat pemandangan menggiurkan dan membuat nafsunya terbangkit. Nafasnya memburu liar, bagaikan habis berlari menempuh jarak yang sangat jauh.
"Hm, semakin menggiurkan saja kau, Manis," gumam Warok Gandu Pala. Matanya tak berkedip, menatap lekat tubuh Sekati yang masih terkulai pingsan.
Warok Gandu Pala benar-benar tak tahan melihat tubuh Sekati. Tubuh yang hamil muda itu, semakin menggiurkan. Lekuk tubuhnya begitu jelas, semakin menambah gairah kelelakiannya.
Tangan Warok Gandu Pala perlahan-lahan mulai merayap meraba-raba sekujur tubuh Sekati. Namun tiba-tiba gadis itu tersentak bangun. Matanya menatap tajam wajah Warok Gandu Pala, seakan memendam kebencian yang dalam.
"He he he...! Mari kita nikmati sore yang indah ini, Manis! Bukankah sebentar lagi kau akan menjadi istri Lurah Gandu Pala. He he he...!" Warok Gandu Pa-la terkekeh-kekeh, sambil tangannya terus merayapi sekujur tubuh Sekati.
"Huh!" Sekati menepiskan tangan Warok Gandu Pala dengan kasar. Matanya semakin tajam menatap wajah Warok Gandu Pala. Lelaki setengah baya itu tersentak kaget, tak menyangka kalau Sekati akan berani berbuat kasar padanya.
"Kenapa kau, Manis" Mengapa kau galak..?" tanya Warok Gandu Pala masih berusaha tersenyum.
Tangannya hendak kembali membelai tubuh Sekati, tetapi lagi-lagi gadis itu menyentakkan tangan dengan kasar.
"Kau..."! Kau benar-benar lelaki tak tahu diri!" dengus Sekati geram. Kemudian gadis itu bangkit dari pembaringan. Matanya masih menatap kian garang wajah Warok Gandu Pala. Lelaki bertubuh gagah itu mengernyitkan kening, tak mengerti mengapa tiba-tiba Sekati berubah garang.
Padahal ketika pertama kali mereka melakukan persetubuhan, gadis itu sangat binal dan sepertinya menerima dengan senang hati.
Bahkan perbuatan-perbuatan selanjutnya, Sekatilah yang memintanya.
"Sekati, kenapa kau"!" bentak Warok Gandu Pala seraya menatap tajam wajah Sekati.
"Huh, Lelaki bejat! Lelaki tak tahu diri! Kau adu ayahku dengan Pendekar Gila! Pengkhianat! Licik..!" maki Sekati sengit. Mendengar makian Sekati, Warok Gandu Pala tentu saja tak dapat menahan amarahnya.
"Kurang ajar! Lancang sekali kau berkata begitu, Sekati!" bentak Warok Gandu Pala sengit. Tangannya diangkat tinggi-tinggi, siap menampar pipi Sekati.
"Lakukan! Ayo lakukan...!" tantang Sekati bagaikan tak takut sedikit pun. Bahkan kini diajukan mukanya dan menyuruh agar Warok Gandu Pala menamparnya. Matanya yang semakin garang menatap penuh kebencian ke wajah Warok Gandu Pala yang tertegun, tak menyangka kalau Sekati akan berani begitu.
"Hhh, kalau saja aku tak ingat siapa kau. Kurobek mulutmu!" dengus Warok Gandu Pala geram. Di-tariknya napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak amarahnya yang meluap-luap dalam dada. Selama ini, belum pernah ada seorang wanita pun yang begitu berani menantangnya.
"Robek! Ayo lakukan...!" tantang Sekati semakin garang, dengan mata tajam menatap wajah Warok Gandu Pala. Warok Gandu Pala mendengus, kemudian tanpa menghiraukan Sekati, segera melangkah ke luar meninggalkan gadis itu yang seketika menangis. Sekati sepertinya menyesali semua yang telah terjadi atas dirinya. Malam datang dengan kegelapan yang menyelimuti Desa Ponorogo. Suasana sunyi dan sepi terasa mencekam. Apalagi kini ketiga warok yang ditakuti dan disegani di Desa Ponorogo pergi mencari Pendekar Gi-la.
Rumah Ki Banjar Guling dan Ki Jali, nampak sepi. Mereka sepertinya tak berani mengadakan keramaian di malam hari, setelah mengetahui kalau ketiga warok sedang mencari Pendekar Gila. Mereka tak mau menanggung beban, kalau-kalau Pendekar Gila akan datang dan membuat keonaran.
Sementara itu segerombolan lelaki berpakaian serba hitam tampak bergerak dari arah selatan. Mereka terdiri dari tiga belas orang. Tujuh membelok ke arah barat, sedangkan enam orang lagi membelok ke arah timur. Nampaknya mereka hendak menuju rumah Ki Banjar Guling dan Ki Jali.
Tujuh orang dipimpin Sumogara sedangkan enam orang dipimpin Sumogiri. Mereka seperti biasanya, mendapatkan tugas dari Warok Gandu Pala, untuk menyingkirkan calon kepala desa yang kini tinggal dua orang lagi.
Pemilihan kepala desa tinggal dua hari lagi, sangat mendesak Kalau kedua orang itu tidak segera dihabisi dan disingkirkan, tentunya akan merepotkan Warok Gandu Pala dan akan mempersulitnya untuk menjadi kepala desa.
Enam orang yang dipimpin Sumogiri telah mendekat ke rumah Ki Jali. Begitu sampai mereka segera mengepung rumah itu. Sementara itu Sumogiri telah berdiri di depan pintu.
Tok! Tok! Tok! "Ki Jali...! Buka pintu...!" seru Sumogiri berusaha membangunkan Ki Jali dari tidurnya. Tak ada jawaban. Rupanya penghuni rumah itu telah terlelap dalam tidur. Bahkan lampu di dalam rumah tak menyala, mungkin sengaja dimatikan.
"Ki Jali, buka pintu!" kembali Sumogiri berusaha membangunkan penghuni rumah.
Namun ternyata tak juga ada sahutan dari dalam rumah. Keadaan di rumah itu masih tetap sepi, tak ada suara jawaban da-ri dalam.
Sumogiri mendengus geram, karena belum juga ada jawaban dari dalam rumah.
"Kurang ajar! Rupanya kau minta dikasari, Ki!" dengan geram didobraknya pintu rumah Ki Jali.
Brak! Sumogiri segera masuk. Tetapi baru saja dia melangkah tiga langkah, sebuah pukulan keras menghantam dadanya. Seketika tubuh Sumogiri terpental deras ke belakang hingga keluar rumah.
"Hukkk!" Tubuh Sumogiri terbanting ke tanah, menjadikan kelima rekannya seketika berlarian ke arah Sumogiri. Mereka membelalak kaget, melihat pimpinannya terjatuh bagaikan dilemparkan dari dalam rumah.
"Kenapa, Giri?" tanya salah seorang rekannya dengan kening mengerut, menyaksikan pimpinannya terjatuh.
"Kurang ajar! Rupanya di dalam ada orang yang mau menjual lagak di depan anak buah Pendekar Gila!" dengus Sumogiri seraya bangun dari jatuhnya.
"Hua ha ha...! Lucu... lucu sekali. Ada juga kecoa busuk yang mengaku-aku sebagai anak buah Pendekar Gila. Aha, hebat sekali ucapanmu, Kecoa Busuk!" bentak seorang pemuda dari dalam rumah Ki Jali sambil tertawa terbahakbahak. Kemudian dari dalam, nampak sesosok tubuh pemuda berpakaian rompi kulit ular dengan mulut cengengesan. Tangan pemuda tampan berambut gondrong agak ikal itu menggarukgaruk kepala.
"Pendekar Gila...!" pekik keenam orang anak buah Warok Gandu Pala dengan mata membelalak kaget, setelah melihat siapa pemuda itu.

***



֍::::::֍| 8 |֎::::::֎

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak dengan tingkah lakunya yang masih seperti orang gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala, dengan mulut cengengesan. Hal itu membuat keenam orang anak buah Warok Gandu Pala semakin membelalakkan mata, tak percaya kalau Pendekar Gila yang sedang dicari-cari Warok Singo Lodra dan kedua warok lainnya berada di rumah Ki Jali.
"Hi hi hi...! Lucu sekali, ada kecoa-kecoa busuk macam kalian yang mengaku anak buah Pendekar Gi-la," gumam Pendekar Gila sambil melangkah mendekati keenam kawanan berpakaian hitam yang telah mencabut pedang. Mereka kini siaga, sepertinya siap untuk melakukan penyerangan.
"Pendekar Gila, kuharap kau jangan ikut campur dengan urusan kami!" bentak Sumogiri dengan mata garang, menatap tajam pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Aha, sayang sekali! Sayang sekali kalau itu permintaan kalian.
Bagaimanapun, kalian telah mencemarkan nama baikku. Ah ah ah, siapa sebenarnya yang memerintah kalian berbuat seperti itu?" tanya Pendekar Gila dengan masih cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Cuih! Jangan bertingkah di Ponorogo, Pendekar Gila! Apa kau tak tahu, kalau kau akan menghadapi Tiga Warok Sakti dari Ponorogo jika berani turut campur dengan urusan kami!" sentak Sumogiri. Dirinya pun telah siap dengan pedang di tangan, untuk menyerang Pendekar Gila.
"Aha, benarkah tiga warok yang mengutus kalian?" tanya Pendekar Gila sepertinya belum yakin.
"Ya! Maka itu, kuharap kau jangan jual lagak di sini!" dengus Sumogiri sengit.
Matanya menatap semakin tajam pada Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Hi hi hi...! Tadi kalian mengaku anak buahku. Mengapa sekarang kalian mengaku sebagai anak buah Tiga Warok Sakti dari Ponorogo?" gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya masih cengengesan kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya semakin konyol dan gila.
"Jangan banyak omong! Serang dia...!" perintah Sumogiri sambil menggerakkan tangannya, memerintah pada kelima temannya untuk menyerang.
"Yea!"
"Hea!" Tanpa diperintah kedua kalinya, kelima anak buah Sumogiri langsung merangsek dan menyerang Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka, bergerak cepat. Mereka langsung mengepung Pendekar Gila, dengan serangan-serangan tusukan dan tebasan pedang mereka. Wrt! Wrt! "Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan, Pendekar Gila segera merundukkan tubuh untuk mengelak. Kemudian bergerak meliuk-liuk seperti penari. Lalu disusul dengan tepukan telapak tangan kiri ke dada lawan, dibarengi kaki kanannya menendang ke belakang dan samping. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila bergerak laksana menari. Tubuhnya meliukliuk, diikuti dengan tendangan kaki dan tepukan tangannya lurus ke dada lawan. Hal itu membuat keenam lawannya tersentak kaget, karena tak menyangka kalau gerakan lemah lembut dan gemulai yang dilakukan Pendekar Gila mampu mengelitkan serangan mereka.
Bahkan tepukan tangan yang kelihatan main-main cukup menyentakkan keenam lawannya.
"Heh"! Ilmu siluman...!" pekik Sumogiri dengan mata membelalak kaget, menyaksikan bagaimana Pendekar Gila bergerak seperti orang menari. Dirinya berusaha merangsek dengan tebasan pedangnya. Namun, dengan enaknya Pendekar Gila bergerak menghindar. Kemudian tangannya menepuk ke salah seorang anak buahnya yang ada di depan. Sedangkan kaki kirinya, menendang ke belakang.
Plak! "Akh...!" lawan yang terkena pukulan telapak tangan Pendekar Gila, seketika mencelat ke belakang.
Tubuhnya bagaikan didorong dengan keras, hingga melesat cepat Brak! "Akh...!" tubuh orang itu membentur gapura di depan rumah Ki Jali. Gapura itu roboh, bersamaan dengan remuknya kepala orang tersebut "Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila! Kau berani menantang pimpinan-pimpinan kami, Tiga Warok dari Ponorogo!" dengus Sumogiri sambil meng-gebrak serangan dengan babatan pedang ke arah kepala. Namun dengan cepat Pendekar Gila meliukkan tubuh mengelak. Sedangkan kakinya menjejak ke arah dada lawan yang ada di sampingnya sambil melakukan serangan ke tubuh lawan.
"Hi hi hi...! Ini bagianmu, Kecoa Busuk! Hea...!" Gerakan yang dilakukan Pendekar Gila membuat lawan yang diserang tersentak kaget. Lelaki berpakaian hitam itu berusaha membabatkan pedang guna menangkis tendangan lawan, tetapi ternyata kaki Pendekar Gila lebih dulu menghantam dadanya.
Degk! "Wua...!" pekikan keras terdengar ketika lelaki berpakaian hitam itu terhantam tendangan Pendekar Gila. Tubuhnya terpental deras ke belakang. Dari mulutnya menyemburkan darah segar hingga penutup kepalanya lepas. Tubuh itu menghantam jendela rumah Ki Jati hingga menerobos masuk, lalu terbanting di tanah dan tewas. Kemudian ambruk tanpa nyawa.
Menyaksikan dua orang kawannya mati dalam keadaan mengerikan Sumogiri bertambah marah. Padahal Pendekar Gila bam mengeluarkan satu jurus, belum jurus-jurus gila lainnya yang lebih dahsyat "Bunuh dia...!" teriak Sumogiri, sepertinya tak peduli lagi kalau keadaan seperti itu akan dapat mengundang warga Desa Ponorogo jika mendengar se ruannya.
"Hea!" ketiga anak buah Sumogiri bergerak terus menyerang Pendekar Gila dengan tebasan-tebasan pedangnya, dibantu Sumogiri sendiri yang semakin beringas melakukan serangan dengan tusukan dan babatan pedang.
"Hi hi hi...!" Dengan masih tertawa tawa, Pendekar Gila kembali berkelebat mengelakkan serangan-serangan keempat lawannya yang ganas. Kini tubuhnya berputar cepat ke arah kiri. Dengan menggunakan jurus 'Gila Melepas Lilitan Benang' Pendekar Gila bergerak menyerang keempat lawannya.
"Hi hi hi...! Kenapa kalian bengong" Ini hadiah untuk kalian!" Wrt! Plak! Plak! "Akh!" Dua kali tamparan keras mendarat di wajah dua orang yang seketika mental ke belakang. Kepala mereka bagaikan dipelintir. Dari mulut keduanya menyemburkan darah segar. Sesaat kedua tubuh berputar cepat, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Sumogiri semakin geram. Dirinya dan seorang temannya terus membabatkan pedangnya itu ke tubuh Pendekar Gila yang masih berputar cepat laksana gasing, dengan tangannya turut bergerak menampar dan menghantam. Sulit bagi Sumogiri dan seorang rekannya untuk dapat menyerang, karena tubuh lawan bagai menghilang. Keduanya hanya terbengong-bengong, menyaksikan gerakan lawan yang aneh. Sehingga ketika Pendekar Gila kembali menampar, Sumogiri dan rekannya tak dapat mengelakkan serangannya.
Plak! Plak! "Akh...!"
"Wua...!" Sumogiri dan rekannya memekik, ketika tamparan keras menghantam wajah mereka. Tubuh keduanya berputar cepat dengan mulut menyemburkan darah. Mata mereka melotot, kemudian ambruk dan mati. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, menyaksikan keenam lawannya telah mati. Tingkah lakunya yang seperti gila, semakin menjadi-jadi. Diambilnya bulu burung yang diselipkan di ikat pinggang, kemudian dengan tenang mengorek telinga. Mulutnya cengengesan, merasa geli.
"Hi hi hi...! Ha ha ha...!" Lalu sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila meninggalkan rumah Ki Jali. Dari dalam rumah, Ki Jali dan istri muncul. Keduanya hanya terperangah, tak tahu apa yang telah terjadi. Keduanya tak menyangka, kalau ucapan pemuda gila itu benar. Bahwa rumahnya akan didatangi para begundal.
"Nyi, lihat! Bukankah itu mayat warga Desa Ponorogo?" tanya Ki Jali seakan belum percaya dengan penglihatannya.
"Benar, Ki. O, rupanya ada orang yang sengaja memerintah mereka membunuh calon kepala desa, Ki.
Beruntung pemuda gila itu memberi tahu pada kita, " gumam istri Ki Jali.
"Siapa pemuda gila itu ya, Nyi?" tanya Ki Jali berusaha mereka-reka, "Mungkinkah dia yang disebut Pendekar Gila?"
"Mungkin, Ki."
"Kalau begitu, orang-orang ini tentu bukan utusannya. O, tak kusangka, ada orang yang tega menyebar fitnah padanya. Padahal dia pemuda baik.
Sayang dia gila...!" gumam Ki Jali sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan ingin membuang beban jiwanya.
"Kalau saja tak ada Pendekar Gila, tentunya kita sudah mati seperti calon kepala desa lainnya, Nyi."
"Benar, Ki. O, kasihan sekali Pendekar Gila.
Tentunya dia akan berhadapan dengan Ketiga Warok Sakti, " keluh Nyi Jali seakan menyesali kejadian yang telah membuat nama Pendekar Gila tercemar. Sehingga Tiga Warok Sati itu kini mencarinya.
"Kita ikuti dia, Nyai...," ajak Ki Jali, "Bagaimanapun, kita harus mencegah terjadinya pertarungan antara ketiga warok itu dengan Pendekar Gila."
"Tapi ke mana kita harus mencarinya, Ki?" Ki Jali hanya mampu mematung diam, tanpa tahu harus berbuat apa. Di wajahnya, tergambar bagaimana nantinya kalau Pendekar Gila sampai bertemu dengan Tiga Warok Sakti dari Ponorogo yang sedang mencarinya.
"Semoga saja orang yang telah menyebar fitnah cepat tertangkap! Sehingga Tiga Warok Sakti tak jadi bertarung dengan Pendekar Gila," gumam Ki Jali.
"Aku pun berharap begitu, Ki. Kasihan Pendekar Gila! Dia sangat baik. Kalau dia jahat, mana mau menasihati kita agar bersembunyi?" gumam Nyi Jali sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kedua suami istri calon lurah itu, hanya mampu memandang ke timur, arah yang dituju Pendekar Gila. Ada perasaan kasihan dan iba membayang di wajah keduanya, jika teringat bagaimana kalau sampai antara ketiga warok itu bertemu dengan Pendekar Gila.
Mereka tak habis pikir dan bertanya-tanya dalam hati. Apa mungkin, pendekar yang baik hati dan suka menolong itu menghamili anak Warok Singo Lodra" Rasanya tak masuk akal. Namun, keduanya tak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya rakyat biasa, yang tak mampu mencegah pertarungan orang-orang sakti itu.

***

Pendekar Gila masih menyelusuri jalanan yang membelah Desa Ponorogo, ketika dari arah timur nampak tiga orang warok melangkah dengan tergesa-gesa.
Di wajah mereka, tergambar kemarahan. Rupanya ketiganya pun baru saja membantai tujuh orang anak buah Warok Gandu Pala yang telah membunuh Ki Banjar Guling. Tiga lelaki tua sakti dengan senjata cambuk yang kini masih di tangannya, melangkah semakin cepat. Sepertinya mereka tak sabar lagi, untuk segera bertemu dengan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Aha, kalian nampaknya tergesagesa. Seakan ada sesuatu yang ingin kalian lakukan...!" seru Pendekar Gila sambil tertawa terbahak-bahak. Dengan jari kelingking, mengorek telinga sebelah kiri, seraya menggetar-getarkan kepalanya karena geli. Ketiga Warok Sakti tersentak, mendengar se-ruan itu. Mata mereka membelalak lebar, antara kaget dan marah setelah tahu siapa yang telah menghadang mereka.
"Kebetulan sekali. Akhirnya kau yang kami tunggu muncul juga, Pendekar Gila!" dengus Warok Singo Lodra dengan muka mencerminkan kemarahan.
Matanya yang tua dan tertutup alis putih, menatap tajam ke wajah Pendekar Gila.
"Aha, begitu pula denganku. Kebetulan sekali, akhirnya aku dapat bertemu dengan kalian!" balas Pendekar Gila masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Ketiga Warok Sakti itu mengerutkan kening, mendengar ucapan Pendekar Gila. Sepertinya Pendekar Gila juga tengah mencari mereka.
"Pendekar Gila, kau harus bertanggung jawab atas hamilnya anakku!" seru Warok Singo Lodra dengan geram. Cambuk di tangan kanannya, dimainmainkan ke telapak tangan kirinya. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba Pendekar Gila terdiam dengan mata mendelik kaget, mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan Warok Singo Lodra.
"Kau benar-benar terkutuk, Pendekar Gila! Kau bunuh anakku. Kau kotori nama baik warok!" dengus Warok Sura Pati tak kalah marahnya.
"Ya! Kau bunuh calon kepala desa. Kau benarbenar laknat! Telah lancang dan berani memakai nama warok untuk perbuatan-perbuatan burukmu!" sambut Warok Sito Kuta.
"Mungkin kalau hanya hamilnya anakku dan kematian kedua anak rekanku, belum seberapa. Tetapi pembunuhan terhadap calon kepala desa dan merampok di Desa Ngadireja, sungguh perbuatan yang memalukan! Begitukah perbuatan seorang pendekar yang dikenal sebagai penegak kebenaran dan keadilan"!" bentak Warok Singo Lodra. Pendekar Gila semakin mengerutkan kening. Dirinya baru saja hendak menuduh ketiga warok itu dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan ketiganya.
"Hi hi hi...! Kalian lucu sekali. Mengapa kalian orang-orang tua bertingkah aneh" Seharusnya akulah yang menuduh kalian telah melakukan kekejian itu"!" ujar Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala dengan tertawa cekikikan.
"Cuih! Jangan berlagak bodoh, Pendekar Gila!" dengus Warok Singo Lodra geram, semakin bertambah marah mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Telah banyak bukti, yang menunjukkan kalau semua perbuatan terkutuk itu kau pelakunya!"
"Hua ha ha... hi hi hi...! Lucu sekali. Kalian menuduhku begitu. Apakah kalian kira aku pun tak punya bukti, yang memberatkan kalian?" tanya Pendekar Gila dengan tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Kau kira mudah untuk lari dari tanggung jawabmu, Pendekar Gila!" bentak Warok Su-ra Pati semakin marah, mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Aha, kalian pun jangan kira akan mudah melempar batu sembunyi tangan.
Baru saja di rumah Ki Jali gerombolan kalian hampir membunuh Ki Jali.
Apakah kalian mau mungkir...?" tanya Pendekar Gila sambil cengengesan. Ucapan itu membuat mata ketiga warok semakin membelalak kaget. Ketiganya saling pandang dengan kening mengerut, sepertinya tak percaya kalau di rumah Ki Jali pun terjadi hal yang seru-pa dengan kejadian di rumah Ki Banjar Guling.
"Rupanya di rumah Ki Jali pun habis terjadi pembunuhan, Sura," bisik Warok Singo Lodra.
"Hm, apakah tidak mungkin memang dia pelakunya?" tanya Warok Sura Pati berbisik "Mungkin juga. Hm, kita tak boleh lengah. Dia bukan pemuda gila sembarangan," gumam Warok Sin-go Lodra mengingatkan kedua temannya.
"Pendekar Gila, kami kira tak ada lagi ampunan bagimu. Kau telah banyak berbuat dosa," kata Warok Sito Kuta sambil melepas 'Cambuk Braja Indra' di tangan kirinya. Begitu juga dengan kedua rekannya. Ketiga Warok Sakti itu, tak ingin gegabah menghadapi Pendekar Gila.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Gila!" dengus Warok Sura Pati.
"Hi hi hi...! Rupanya kalian memang pelakupelaku utama dari semuanya. Aha, kukira dengan begini, kalian ingin lepas dari tanggung jawab! Baik, untuk kebenaran dan keadilan, aku layani tantangan kalian," sambut Pendekar Gila sambil melolos Suling Na-ga Saktinya dari ikat pinggang. Wuttt! Wuttt! Tiga Warok Bercambuk Sakti kini memutar cambuk mereka ke atas, siap melakukan serangan.
Sedangkan Pendekar Gila, kini dengan tenang meniup Suling Naga Saktinya. Suara Suling Naga Sakti, mengalun merdu. Namun sebenarnya alunan suara suling itu hanya ditujukan untuk menangkal suara putaran cambuk yang sangat memekakkan telinga.
"Hea!"
"Remuk tubuhmu, Pendekar Gila!" seru Warok Singo Lodra sambil melecutkan 'Cambuk Braja Ge-ni'nya yang seketika berubah menjadi api.
Cletar! "Uts! He he he...!" Pendekar Gila segera melompat ke samping, mengelakkan cambuk Warok Singo Lodra dengan jurus 'Dewa Mabuk Membelenggu Sukma'. Gerakannya yang seperti orang mabuk, membuat ketiga lawannya merasa yakin akan dapat mencambuk tubuhnya. Dari arah kiri, Warok Sura Pati menyabetkan cambuknya yang bernama 'Cambuk Braja Bayu'. Wsss! Cletar! Angin menderu kencang laksana membadai, menyerang ke tubuh lawan. Dengan cepat, Pendekar Gila bersalto. Kemudian segera berputar sambil memusatkan 'Inti Bayu'-nya ke kedua telapak tangan. La-lu dengan tenaga dalam kuat, dihempaskan kedua telapak tangan ke arah angin yang menderu.
"Hea!" Wsss! Jlegar! Ledakan dahsyat terdengar, membuat suasana di tempat itu bagaikan diguncang gempa. Pepohonan bertumbangan terhempas angin kencang. Tanah berhamburan dan beterbangan terhantam dua kekuatan angin yang dahsyat. Baik Pendekar Gila maupun Warok Sura Pati, melompat dua tombak ke belakang. Mata mereka saling pandang dengan tajam. Lalu Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, sedangkan Warok Sura Pati menggumam sengit! "Kini giliranku, Pendekar Gila! Hea...!" Warok Sura Pati memutar 'Cambuk Braja Indra'-nya. Seketika suara menggelegar laksana petir disertai kilatan-kilatan keluar dari cambuk itu.
Melihat serangan lawan, dengan cepat Pendekar Gila kembali meniup Suling Naga Saktinya. Kini suara suling itu bukan lagi mengalun merdu, melainkan melengking keras. Sepasang mata Suling Naga Sakti, di arahkan ke ujung cambuk Warok Sito Kuta.
Dari sepasang mata Naga Sakti, melesat sepasang sinar merah memapaki kilatan petir dari ujung cambuk Slats! Srt! Crak! Jlegar...! Ledakan kembali terdengar, diikuti suasana malam yang berubah menjadi panas membara. Dedaunan layu. Angin malam laksana terhenti. Warok Sito Kuta terdorong mundur dengan mata membelalak tegang, menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Kau memang hebat, Pendekar Gila! Tetapi kau tak akan kami biarkan. Hadapi kami sekaligus!" dengus Warok Singo Lodra geram sambil memutar cambuknya.
Hampir saja pertarungan itu terjadi, tetapi dari arah selatan Desa Ponorogo terdengar teriakan seorang wanita yang membuat ketiga warok itu menghentikan putaran cambuk mereka.
"Hentikan...! Jangan teruskan...!" Baik Pendekar Gila dan Ketiga Warok Sakti, seketika menoleh ke arah datangnya suara wanita itu.
Mata mereka membelalak, setelah tahu siapa yang datang. Terlebih-lebih Ketiga Warok Sakti.
"Sekati...! Dari mana kau"!" tanya Warok Singo Lodra kaget, setelah melihat anaknya yang datang sambil menangis.
"Jangan teruskan, Ayah. Maafkan Sekati. Sebenarnya bukan Pendekar Gila yang melakukan semuanya, " ujar Sekati sambil menangis. Mendengar ucapan Sekati itu, Tiga Warok Sakti semakin membelalakan mata. Mereka semakin bingung, apa sebenarnya yang telah terjadi pada Sekati.
"Apa maksudmu, Sekati?" bentak Warok Singo Lodra.
"Jangan kau membuatku marah!"
"Maafkan Sekati, Ayah. Selama ini, Sekati telah gelap mata. Selama ini, Sekati telah terpengaruh Paman Gandu Pala," desah Sekati di sela isak tangisnya.
Ketiga Warok Sakti itu kembali saling pandang tak mengerti. Kemudian ketiganya menatap wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Katakan apa yang terjadi, Sekati!" bentak Warok Singo Lodra geram, tak sabar lagi untuk segera mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Ponorogo.
Dengan masih menangis, akhirnya Sekati menceritakan semuanya. Tentang kehamilannya yang sesungguhnya atas perbuatan Warok Gandu Pala. Juga tentang rencana Warok Gandu Pala mengadu domba antara Pendekar Gila dengan Tiga Warok Sakti itu, ser-ta pembunuhan-pembunuhan terhadap calon kepala desa "Semua, Paman Gandu Pala yang merencanakan, Ayah. Oh, Sekati tak tahu, mengapa Sekati begitu terpengaruh. Aku pasrah, waktu Paman Gandu Pala merenggut semua milikku," tangis gadis itu semakin mengisak sedih.
"Bunuhlah aku, Ayah! Bunuhlah anakmu yang tiada arti lagi ini!" Warok Singo Lodra dan kedua rekannya hanya mampu menggeram sengit, setelah tahu siapa sebenarnya dalang malapetaka ini. Ketiganya benar-benar merasa malu pada Pendekar Gila, yang telah mereka tuduh dengan keji.
"Gandu Pala, Keparat! Kuhancurkan kepalamu!" dengus Warok Singo Lodra seraya mengepalkan tangan kirinya ke atas.
Kemudian tanpa menghiraukan semuanya, Warok Singo Lodra melangkah ke selatan ke tempat yang ditunjukkan anaknya.
Melihat Warok Singo Lodra melangkah pergi, kedua warok lainnya dan Pendekar Gila serta Sekati mengikutinya.

***



֍::::::֍| 9 |֎::::::֎

Saat menjelang pagi suasana di Hutan Palapiring masih remang-remang. Dari kejauhan suara kokok ayam jantan terdengar. Angin malam menjelang pagi, menghembuskan hawa dingin sekali, hingga terasa menusuk tulang sumsum. Di sebuah rumah terbuat dari bilik, nampak Warok Gandu Pala dengan ditemani seorang pengawal tengah kebingungan. Hal itu karena sampai menjelang pagi, Sumogiri dan Sumogara serta rekan-rekannya belum ada yang pulang. Ditambah lagi, dengan lolosnya Sekati dari tempat itu, semakin membuat hatinya cemas.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Ranukoya! Apa Pendekar Gila dapat mengalahkan ketiga warok itu?" tanya Warok Gandu Pala pada Ranukoya yang masih duduk bersila, menunggu perintah dari pimpinannya.
"Kurasa, mereka akan mati, Ketua," jawab Ranukoya.
"Hua ha ha...! Bagus! Itu yang kuharapkan! Kalau mereka mati, bukankah kita akan...," belum juga habis ucapan Warok Gandu Pala, tiba-tiba dari luar terdengar suara gelak tawa menggelegar yang sangat dikenali Warok Gandu Pala.
"Hua ha ha...! Sayang sekali, keinginanmu tak tercapai, Warok Keparat!" seru Pendekar Gila dari luar.
Warok Gandu Pala tersentak kaget dengan mata terbelalak. Sedang Ranukoya terjingkat dari duduknya dengan mata membeliak pula.
"Pendekar Gila...!" pekik keduanya hampir bersamaan.
"Dia masih hidup," desis Warok Gandu Pala.
"Hi hi hi., ha ha ha...! Bukan hanya aku yang masih hidup, Gandu Pala. Warok Singo Lodra, Warok Sura Pati, dan Warok Sito Kuta, semua dalam keadaan selamat. Aha, keluarlah! Kedokmu telah terbongkar...!" seru Pendekar Gila. Suaranya menggema seperti berputar-putar di sekitarnya.
"Gandu Pala Keparat! Keluar kau...!" teriak Warok Singo Lodra geram tak sabar lagi ingin melabrak Warok Gandu Pala yang telah mengotori nama warok.
Apalagi jika ingat kehamilan anaknya yang karena perbuatan Warok Gandu Pala, semakin marah Warok Singo Lodra.
"Gandu Pala, keluar kau, Bajingan! Atau 'Cambuk Braja Bayu'-ku akan menyapu hutan ini!" ancam Warok Sura Pati. Cambuk di tangan kanannya diputar dengan cepat ke udara, menimbulkan angin puting beliung membadai yang menjadikan dedaunan beterbangan.
"Kau telah terkepung, Gandu Pala! Kami harap kau menyerah!" seru Warok Sito Kuta. Tangannya pun telah memutar 'Cambuk Braja India'-nya, yang menjadikan petir menggelegar disertai kilatan-kilatan cahaya perak.
"Aha, apakah kau ingin dipanggang hidup-hidup di dalam gubuk itu, Warok Murtad!" seru Pendekar Gila. Tangannya memegang Suling Naga Sakti.
Suling itu dimain-mainkan di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya, menggaruk-garuk kepala.
Rumah gubuk dari bilik, tempat Warok Gandu Pala berada memang telah terkepung dari empat penjuru. Pendekar Gila berada di belakang rumah dengan jarak sepuluh tombak Warok Singo Lodra di depan, sedangkan Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta masing-masing di samping rumah.
Nampaknya tak ada lagi jalan bagi Warok Gandu Pala untuk dapat lari dari rumah itu. Semua arah telah dikepung keempat orang sakti yang telah siap dengan senjata masing-masing.
"Gandu Pala, keluar kau!" Warok Sito Kuta kembali berseru. Namun nampaknya Warok Gandu Pala tak menggubrisnya. Dirinya masih berada di dalam gubuk.
"Gandu Pala, kalau kau tak segera keluar. Jangan salahkan kalau kami menghancurkan gubuk bersama tubuhmu!" Tak ada sahutan. Sehingga Ketiga Warok Sakti menjadi geram. Dengan cepat, mereka menghantamkan cambuk saktinya ke gubuk.
Cletar! Cletar! "Akh...!" dari dalam gubuk terdengar jeritan seseorang. Gubuk pun seketika terbakar, kemudian tersapu angin puting beliung setelah hancur menjadi debu akibat hantaman 'Cambuk Braja Indra'.
"Hua ha ha...! Apakah kalian kira mudah membunuhku"!" ejek suara Warok Gandu Pala yang belum tampak sosoknya. Hal itu membuat keempat orang yang mengepungnya tersentak. Mereka mengira kalau suara kematian tadi, terdengar dari mulut Warok Gandu Pala. Tetapi kini nampaknya Warok Gandu Pala masih hidup.
"Dia masih hidup. Hm, di mana dia...?" gumam Warok Singo Lodra agak kaget, karena tak menyangka Warok Gandu Pala akan kebal terhadap hantaman ketiga cambuk sakti mereka.
"Hi hi hi...! Ilmu iblis" Aha, kiranya kau bukan manusia, Gandu Pala," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Meski yang ada di hadapannya hanya asap hitam bergulung, tetapi melalui bisikan batin yang diterima dari Naga Sakti, dirinya tahu kalau asap hitam itu merupakan wujud Warok Gandu Pala.
Ketiga Warok Sakti dengan cambuk saktinya, tersentak kaget mendengar ucapan Pendekar Gila. Mereka sama sekali tak tahu, kalau Warok Gandu Pala masih ada di tempat itu. Karena yang mereka lihat, hanyalah asap hitam bergulung bekas bakaran gubuk.
"Aha, meski kau rubah wujudmu menjadi asap sekalipun, tetap saja percuma, Gandu Pala. Hi hi hi:..!" Pendekar Gila kembali tertawa cekikikan.
"Kau memang harus dimusnahkan, Gandu Pala. Hi hi hi...!"
"Pendekar Gila, kuharap kau jangan ikut campur urusan ini, kalau kau tak ingin nyawamu kucabut!" bentak Warok Gandu Pala mengancam, yang menjadikan Pendekar Gila semakin tertawa terbahakbahak. Menganggap ucapan Warok Gandu Pala sangat lucu.
"Hua ha ha...! Lucu sekali ucapanmu, Gandu Pala! Kau bukanlah Hyang Widhi yang bisa menentu-kan hidup dan matinya seseorang. Ah ah ah, lucu sekali...!" gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Ketiga Warok Sakti hanya mampu bengong. Mereka benar-benar kaget, menyaksikan Warok Gandu Pala telah menghilang dan kini berubah menjadi asap hitam.
"Bedebah! Kalian memang harus mati! Hea...!" Wsss! Asap hitam jelmaan Warok Gandu Pala bergulung cepat laksana gasing, serta menebarkan bau busuk bangkai yang menyengat. Asap itu semakin membesar. Makin lama, semakin besar. Dari dalam asap hitam itu, keluar ribuan tangan-tangan menyeramkan yang menyerang keempat lawannya.
Prak! "Akh...!" Warok Singo Lodra dan kedua orang rekannya tersentak kaget. Tubuh mereka terhuyung-huyung, terkena tamparan tangan-tangan menyeramkan yang keluar dari asap hitam itu. Mata mereka membelalak lebar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dari se-la bibir mereka, meleleh darah.
"Hi hi hi...! Kau semakin bertambah lucu, Gandu Pala! Hanya bocah cilik saja yang takut pada permainan sihirmu! Hea...!" dengan jurus 'Gila Terbang Me-nyambar Mangsa' Pendekar Gila melesat mengelakkan serangan lawan. Kemudian sambil menukik tangannya menyodokkan Suling Naga Sakti ke bawah.
Wrt! Wsss! Warok Gandu Pala segera mempercepat putaran tubuhnya yang masih berbentuk asap hitam, berusaha mengelakkan sodokan Suling Naga Sakti. Tetapi suling itu tiba-tiba bagaikan hidup. Suling Naga Sakti memanjang lalu meliuk-liuk dengan kepala naga besar yang terus memburu lawan.
Crak! Bret! Suara keras disertai percikan cahaya terdengar, ketika kepala Naga Sakti menghantam sesuatu dalam gulungan asap hitam. Saat itu pula, sesosok tubuh mencelat keluar dari gulungan asap hitam. Tubuh itu langsung menempel di pohon, lalu bergerak naik dengan punggungnya. Melihat kejadian itu ketiga warok terbelalak keheranan bercampur kagum.
"Pendekar Gila, kau memang hebat! Tapi aku belum kalah! Tunggulah pembalasanku!" ancam Warok Gandu Pala sambil terus merayap naik ke atas dengan punggungnya. Kemudian sampai di atas, Warok Gandu Pala hendak melesat pergi, tapi Warok Singo Lodra secepat kilat bersama kedua rekannya melecutkan cambuk mereka ke tubuh Warok Gandu Pala yang melayang. Jlegar! Jlegar! "Akh...!" Warok Gandu Pala terpekik keras ketika tiga cambuk sakti menghantam tubuhnya yang tengah melayang. Sekejap saja tubuh Warok Gandu Pala terbanting di tanah dan hancur berantakan. Ketiga Warok Bercambuk Sakti tersenyum, melihat tubuh Warok Gandu Pala hancur berantakan. Namun tibatiba mereka tersentak dengan mata terbelalak, ketika tubuh Warok Gandu Pala yang hancur tiba-tiba bergerak berkumpul satu sama lainnya. Lalu sempalansempal-an tubuh itu, kembali membentuk wujud Warok Gandu Pala.
"Hua ha ha...! Warok Gandu Pala tak akan mati! Hua ha ha...!" seru Warok Gandu Pala sambil melompat bangun. Kemudian bergerak menyerang dengan pukulan ke arah tiga warok yang tadi menyerangnya.
"Hea...!" Wusss! Ketiga Warok Bercambuk Sakti yang tak menduga akan mendapat serangan begitu cepat, tersentak kaget. Selarik sinar ungu yang keluar dari telapak tangan Warok Gandu Pala, melesat begitu cepat, "Celaka!" pekik Warok Singo Lodra dengan mata membelalak tegang, menyaksikan sinar ungu meluncur cepat memburu mereka.
"Awas...! Hea...!" Ketiganya segera bersalto ke samping, sedangkan Warok Singo Lodra melompat ke atas.
Jlegar! Tanah yang terhantam sinar ungu, hancur dan berhamburan ke atas. Pepohonan tumbang, bahkan hampir saja menjatuhi tubuh ketiga warok itu.
Melihat ketiga lawannya dapat lolos dari serangannya, Warok Gandu Pala semakin beringas. Dirinya kembali menyerang dengan ajian 'Seketi Iblis Neraka'.
Sinar ungu terus melesat menggempur Tiga Warok Bercambuk Sakti, yang kewalahan menghindar ke sana kemari.
"Mampus kalian! Hea...!" Wusss! Jlegar! "Hua ha ha...! Lucu sekali...! Ah ah ah, permainan anak-anak kau tunjukan, Gandu Pala! Hi hi hi...! Permainan kentut busuk!" ejek Pendekar Gila sambil menunggingkan pantatnya, menggoda Warok Gandu Pala. Kemudian dari mulutnya terdengar suara kentut, "Brut..! Hua ha ha!" Melihat tingkah laku konyol Pendekar Gila, hilanglah kesabaran Warok Gandu Pala. Meskipun dirinya tahu siapa sebenarnya tokoh muda yang gila itu.
Namun kemarahan yang memuncak telah membuatnya mata gelap. Dengan menggeram keras, Warok Gandu Pala menghantamkan ajiannya menyerang Pendekar Gila yang masih nungging meledeknya.
"Mampuslah kau, Pendekar Gila! Hea...!" Wusss! "He he he...!" sambil terkekeh, Pendekar Gila segera berdiri dan langsung mengerahkan pukulan tenaga dalamnya dengan ajian 'Inti Bayu'. Seketika selarik sinar ungu, yang melesat memburunya, dihadang angin kencang membadai dari pukulan 'Inti Bayu'.
Namun Pendekar Gila tersentak kaget, ketika pukulan 'Inti Bayu'-nya ternyata tak mampu mengatasi sinar biru dari Warok Gandu Pala.
"Eit! Celaka...!" dengan cepat Pendekar Gila bersalto ke samping kanan mengelakkan serangan itu.
Sehingga... Glarrr...! Brakkk...! Ledakan keras menggelegar terdengar memekakkan telinga, ketika beberapa batang pohon besar terhantam sinar biru itu. Pohon-pohon itu tumbang dan hangus bagai terbakar.
Suasana Hutan Palapiring di pagi buta itu menjadi riuh. Keadaan morat-marit karena beberapa pohon hancur dan bertumbangan.
Binatang-binatang liar penghuni hutan itu berlarian karena ketakutan.
"Hi hi hi...! Belum, Gandu Pala. Aku belum mati," ledek Pendekar Gila dengan cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Tentu saja Warok Gandu Pala bertambah marah bukan kepalang.
"Cuih! Kali ini kau harus mati! Hea...!"
"Hi hi hi!" sambil tertawa cekikikan, Pendekar Gila segera memasang kuda-kuda yang kokoh. Kemudian dengan cepat ditiupnya Suling Naga Sakti, lalu dihadapkan kepala Naga Sakti dengan sinar ungu yang melesat ke tubuhnya. Dari tiupan yang melengking itu, keluarlah sinar merah membara yang besar dari mulut Naga Sakti. Sinar merah itu langsung menerjang sinar ungu yang dilancarkan Warok Gandu Pala. Wusss! Srt! Sinar merah yang keluar dari mulut Naga Sakti, terus mendorong sinar ungu. Menggiring sinar ungu balik ke asalnya. Hal itu membuat Warok Gandu Pala terbelalak kaget.
"Celaka!" pekik Warok Gandu Pala. Kemudian dengan cepat tubuhnya melompat ke samping mengelakkan serangan balik itu. Namun bersamaan dengan itu, Tiga Warok Bercambuk Sakti menghantamkan cambuk secara bergantian.
Jlegar! Jlegarrr...! "Akh...!" Warok Gandu Pala memekik. Tubuhnya hancur lebur menjadi debu. Namun keanehan kembali terjadi. Debu itu tiba-tiba menyatu, lalu membentuk sosok tubuh manusia.
"Heh"!" sentak Warok Singo Lodra dengan mata terbelalak "Hah"!"
"Ilmu Iblis! Kita hajar lagi!" ajak Warok Sito Ku-ta sambil menghantamkan cambuknya ke tubuh Warok Gandu Pala yang hendak membentuk lagi, diikuti oleh kedua rekannya.
Wrt! Wrertt! Jlegar! Berkali-kali Tiga Warok Bercambuk Sakti menghantamkan cambuk. Beberapa kali pula tubuh Warok Gandu Pala hancur menjadi debu. Namun kembali utuh seperti sedia kala. Sampai akhirnya, Ketiga Warok Sakti itu kelelahan karena tenaga dalam mereka terkuras habis.
"Hua ha ha...! Tak akan mungkin kalian mampu membunuhku! Hua ha ha...!" ujar Warok Gandu Pala sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hi hi hi...! Ha ha ha...!" Pendekar Gila turut tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala, "Lucu sekali...! Kau memang pintar melucu, Gandu Pala.
Hi hi hi...!"
"Kurang ajar...! Kubunuh kau, Pendekar Gila! Hea...!" dengan penuh amarah, Warok Gandu Pala menyerang Pendekar Gila.
Dibiarkannya Tiga Warok Bercambuk Sakti yang kehabisan tenaga setelah berkalikali menyerangnya. Tujuannya kini menghabisi Pendekar Gila, karena jika tokoh ini masih hidup, dirinya akan sulit untuk membunuh Tiga Warok Bercambuk Sakti. Tetapi jika Pendekar Gila sudah dapat dibinasakan, maka untuk membunuh ketiga warok tua itu bagaikan membalik telapak tangan belaka.
Dengan ajian 'Kapila Putung' tubuh Warok Gandu Pala melesat laksana terbang. Tangannya sebatas siku, membara merah. Wajahnya pun memerah bagaikan terbakar api. Sehingga di tengah gelapnya malam menjelang subuh itu tubuh Warok Gandu Pala tampak seperti gumpalan bara api melayang di udara.
Melihat lawan telah mengeluarkan ajian pemungkasnya, Pendekar Gila tak tinggal diam. Menggunakan Suling Naga Sakti yang dipadukan dengan jurus pamungkas 'Tamparan Sukma'. Tubuhnya melesat ke atas memapaki serangan lawan. Ditiupnya Suling Naga Sakti dengan suara melengking. Kemudian ketika tubuhnya telah berada dekat dengan Warok Gandu Pala, dengan cepat Pendekar Gila melakukan sebuah tamparan pelan.
"Hea!"
"Yea!"
"Jlegar!"
"Akh...!" lolongan panjang terdengar dari mulut Warok Gandu Pala. Tubuhnya terpecah menjadi dua, bagaikan dibelah golok tajam.
Melihat tubuh Warok Gandu Pala melayang ke bawah, dengan cepat Pendekar Gila melesat mengejar.
Tangannya segera menangkap belahan tubuh Warok Gandu Pala yang sebelah kiri, sedangkan yang sebelah kanan dibiarkan jatuh ke tanah.
"Ki Singo, cepat kalian kubur belahan itu! Yang ini biar kubawa!" seru Pendekar Gila sambil menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
Tiga Warok Bercambuk Sakti yang belum pulih benar kekuatan tubuh mereka, tidak segera beranjak melakukan perintah itu. Mereka seperti belum mengerti maksud Pendekar Gila.
"Aha, masihkah kalian belum sadar, kalau dia memiliki ajian 'Panca Sena'" Ajian yang dimiliki Rah-wana, jika tubuhnya menyentuh tanah, akan hidup lagi," ujar Pendekar Gila yang memahami kebingungan mereka bertiga. Tangan terus memegangi bagian tubuh Warok Gandu Pala sebelah kiri.
Ketiga Warok Bercambuk Sakti membelalakkan mata. Kemudian tanpa diperintah lagi, Warok Sito Kuta melecutkan cambuknya ke tanah. Seketika itu, lubang besar terbentuk dari hantaman cambuk itu. Kemudian ketiga warok itu dengan cepat memendam bagian tubuh Warok Gandu Pala.
"Aha, kurasa aku pun harus segera membuang bangkai ini ke laut, Ki. Semoga Desa Ponorogo menjadi tenang dan damai. Pilihlah kepala desa yang baik!" usai berkata begitu Pendekar Gila melesat meninggalkan Ketiga Warok Bercambuk Sakti. Ketiganya diam mematung menyaksikan kepergian Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, tunggu...!" Sekati yang sejak tadi bersembunyi, berusaha mengejar. Namun Pendekar Gila telah melesat cepat meninggalkannya.
"Sebenarnya, aku ingin minta maaf padanya, Ayah,"
"Sudahlah, Anakku. Bagaimanapun kita memang harus bersyukur karena semuanya telah berakhir. Biarlah bayi yang kau kandung itu tumbuh. Kelak dia jika lahir, didiklah dengan baik! Kalau mungkin, biarlah Pendekar Gila yang mendidiknya," tutur Warok Singo Lodra.
"Ayah...!" Sekati menangis sambil memeluk tubuh ayahnya.
Pagi telah datang. Sinar matahari menerobos di balik rimbun pepohonan. Tiga Warok Bercambuk Sakti dan Sekati melangkah meninggalkan Hutan Palapiring.
Mereka menuju utara, kembali ke Desa Ponorogo.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Murka Sang Iblis --oo0oo-- Kitab Ajian Dewa


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.