Sengketa Guci Pusaka
tanztj
January 27, 2013
INDEX AJI SAKA | |
76.Penjara Langit --oo0oo-- 78.Pembalasan Dari Liang Lahat |
AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cetakan pertama. Penerbit Cintamedia, Jakarta. Penyunting : Tuti S. Hak cipta pada Penerbit.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Seorang kakek berpakaian longgar kuning membuka sepasang matanya yang semula terpejam. Kemudian, tubuhnya yang kecil kurus bangkit berdiri dari sikapnya yang tadi bersemadi. Kakek yang wajahnya dipenuhi bulu-bulu kumis, jenggot, dan cambang putih lebat itu berusia tak kurang dari seratus tahun. Ketika berdiri tegak, tampak kalau tangan kirinya buntung. Sehingga lengan baju yang kosong tersampir lemas di sisi pinggang.
"Aneh...!" gumam kakek berbaju kuning heran dengan berkerut.
Sambil berjalan mondar-mandir di dalam sebuah ruangan gua tempatnya berlindung, dia menggumamkan kata-kata bernada heran. Ruangan yang tidak terlalu luas, membuat kakinya ti-dak sampai melangkah banyak ketika sampai di bagian sisi salah satu dinding gua.
"Mengapa batin ku tak tenang?! Mengapa aku sulit memusatkan pikiran untuk bersemadi?! Ada firasat apa, ya?!"
Dahi kakek berpakaian kuning ini berkernyit Ditatapnya langit-langit ruangan beberapa saat.
Perasaannya saat ini benar-benar gelisah.
Karena tidak mampu mengusir rasa gelisah di hatinya, kakek itu pun mengayunkan kakinya ke mulut lorong yang hanya satusatunya. Setelah melalui lorong yang berliku-liku dia tiba di luar gua.
Setelah matanya beredar ke sekeliling, kakek kecil kurus ini menghembuskan napas panjang-panjang. Seakan-akan dia hendak membuang kegelisahan yang menjumpai di dalam dada. Angin sejuk silir-silir membuat dahinya nyaman. Tapi kegalauan hatinya tak juga lenyap.
Disertai tanda tanya dalam hati kakek itu mengarahkan pandangan ke depan. Yang terlihat hanya pepohonan dan sedikit tanah yang ditum-buhi rumput hijau menghampar di kejauhan. Tapi tak lama dia menikmati pemandangan itu di ke-jauhan mulai tampak satu sosok berlari secepat kilat ke arahnya.
Kakek berpakaian kuning menyipitkan matanya untuk lebih memperjelas pandangan. Sepasang matanya tampak mencorong laksana mata kucing di kegelapan. Ketika jarak sosok itu tinggal belasan tombak, dia tersenyum lebar. Memang, dia kenal dengan sosok yang tak lain wanita muda berpakaian merah yang tengah menuju ke arah-nya.
Tapi ketika wanita muda berusia lebih dari dua puluh tahun itu tiba, senyum kakek kecil kurus itu lenyap.
"Aku datang untuk pamit padamu, Eyang Sangga Langit," ujar gadis berpakaian merah dengan suara manja. Kepalanya menunduk menunggu jawaban. Padahal laki-laki tua yang dipanggil Eyang Sangga Langit sebenarnya hendak menga-jukan pertanyaan lebih dulu.
"Kau..., ingin pergi sekarang, Witari?!" tanya kakek berpakaian kuning. Seketika, entah bagaimana perasaannya jadi berguncang. Sebuah perasaan aneh yang membuat suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Buru-buru dia menekan perasaannya.
Witari agaknya tidak tahu kegalauan hati gurunya. Gadis ini lebih banyak menundukkan kepala, sehingga tak tahu kalau mata kakek di hadapannya mulai berubah. Bahkan kini merayapi sekujur tubuh Witari yang montok penuh minat.
Eyang Sangga Langit sebenarnya tahu tentang ketidakberesan sikapnya. Bahkan samar-samar tahu kalau ada sebuah keanehan yang melingkupi. Dia telah sering melihat muridnya itu yang bukan saja bertubuh montok menggiurkan, tapi juga berwajah cantik. Dan selama ini sedikit pun tidak pernah timbul perasaan aneh di hatinya.
Sekarang, begitu melihat Witari, kenapa perasaan aneh yang menjerat kelaki-lakiannya timbul? Witari saat ini terlihat demikian menarik. Bentuk tubuh, wajah, rambut, pakaian, bahkan suaranya membuat hasrat kejantanan Eyang Sangga Langit tergoda. Bahkan sampai-sampai melenyapkan akal sehatnya. Yang dipikirkan hanya satu, bagaimana caranya agar dapat melampiaskan hasrat yang mendadak berkobar-kobar pada Witari.
..... "Benar, Eyang," jawab Witari sambil mengangkat kepala. Dan, segera kepalanya ditundukkan kembali ketika beradu pandang dengan mata gurunya yang juga tengah menatap dengan sinar mata mengundang. Seakan-akan Witari hendak ditelanjangi bulat-bulat
Witari sendiri adalah gadis hijau. Tapi, nalurinya membisikkan adanya keganjilan dalam sikap Eyang Sangga
Langit.
Perasaan aneh ini membuat Witari kelimpungan sendiri. Gadis ini hendak meninggalkan tempat ini secepatnya. Namun sebelum niatnya terlaksana, tiba-tiba jantungnya berdetak jauh lebih kencang. Malah tanpa sadar, matanya balas menatap Eyang Sangga Langit dengan sorot me-nantang! "Kurasa...!"
Suara Eyang Sangga Langit bergetar hebat karena cekaman perasaan aneh yang semakin menguat. Napasnya memburu hebat seperti habis berlari jauh.
"Tundalah dulu kepergianmu, Witari. Ada sesuatu yang ingin kuwariskan padamu. Aku yakin kau..., pantas memiliki ilmu 'Urai Raga' milik-ku....
Maka lebih baik masuklah dulu ke dalam gua. Aku ingin mewariskannya padamu.... Bagaimana?!" lanjut Eyang Sangga Langit.
Witari semakin dirasuki perasaan aneh dalam dirinya. Bahkan tiba-tiba di hatinya timbul gejolak ingin bercinta. Begitu kuat perasaan itu menjeratnya, sehingga akal sehatnya pun sirna. Dia berusaha menepis, tapi tak kuasa. Dalam benaknya hanya ada satu pikiran bagaimana menyalurkan hasrat aneh yang melonjaklonjak tanpa ken-dali.
Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi Witari mengangguk.
***
"Ah...!"
Terdengar seruan kaget hampir berbareng dari mulut Witari dan Eyang Sangga Langit. Masih dengan raut wajah kaget dan tidak percaya, mereka bagai saling berlomba menyambar pakaian masing-masing dan beringsut ke sisi dinding yang berlainan.
"Oh.... A... apa yang telah terjadi pada-ku...?!" rintih Witari.
Gadis itu mendekap mulutnya sendiri sambil memandang
Eyang Sangga Langit, kemudian beralih ke tubuhnya sendiri.
Seperti hampir tak percaya, dia mendapati dirinya dalam keadaan tidak tertutup sehelai benang pun bersama gurunya yang seharusnya sangat pantas bila menjadi kakek buyutnya. Tersirat nada kengerian dan kehancu-ran hati dalam gadis itu. Apalagi ketika melihat cairan merah di tempat tubuhnya tadi tergolek. Witari tahu, apa artinya ini. Darah keperawanan!
Pikiran Witari mulai jernih. Samar-samar baru disadari, kalau dirinya telah melakukan perbuatan terkutuk tanpa disadarinya. Saat itu juga, hancur luluhlah hatinya. Tanpa dapat dicegah lagi, air matanya bergulir deras di pipinya. Tubuhnya sampai terguncang-guncang karena isak tangis. Kesedihan yang mendalam membuat Witari tidak ingat lagi untuk berpakaian.
Sementara itu, Eyang Sangga Langit hanya terpaku memandangi Witari. Dia juga seperti tak percaya dengan apa yang telah diperbuatnya. Setelah gejolak perasaan aneh itu terlampiaskan, akal sehatnya baru timbul secara penuh! Bahwa dia sesungguhnya telah melakukan perbuatan hina bersama muridnya. Dan yang merayapi pikiran dan hatinya kini hanyalah penyesalan seumur hidup!
"Witari...! Mengapa kita sampai berbuat seperti ini?! Ah...! Betapa terkutuknya aku!" sesal Eyang Sangga Langit, memakimaki dirinya sendi-ri. Nada suaranya sarat penyesalan yang meng-gumpal.
Kata-kata kakek itu membuat tangis Witari berhenti. Sepasang matanya memancarkan kebencian, ketika menatap wajah gurunya. "Manusia terkutuk! Sampai hati kau nodai muridmu sendiri! Aku yakin kau menggunakan ilmu siluman untuk memperdaya diriku, tubuhku dapat kau nikmati! Manusia biadab! Terkutuk! Jahanam!" maki Witari. Suaranya serak karena isak tangis.
Entah mendapat keberanian dari mana, ga-dis itu menatap penuh kebencian pada Eyang Sangga Langit Lalu dia segera mengenakan pa-kaian.
"Aku tidak akan melupakan peristiwa ini!" ancam Witari.
Tanpa memberi kesempatan pada Eyang Sangga Langit untuk menjelaskan, gadis itu mele-sat cepat keluar gua.
"Witari...! Tunggu...!" seru Eyang Sangga Langit, berusaha mencegah.
Tetapi Witari tidak mempedulikan seruan gurunya lagi. Bahkan larinya dipercepat.
Kakek kurus bertangan buntung ini sama sekali tidak berusaha mengejar. Meskipun dengan kepandaian amat mudah menyusul Witari, namun apa gunanya? Toh, gadis itu tengah terguncang batinnya. Dia tidak akan bisa dibujuk. Mungkin dengan membiarkannya dulu, gadis itu punya ke-sempatan untuk berpikir dan mengerti kalau per-buatan terkutuk tadi terjadi tanpa disadari.
Eyang Sangga Langit menghela napas berat.
Batinnya terpukul atas kejadian yang di-alami tadi. Wajahnya terlihat layu tidak berseri! Hanya sepasang matanya yang mencorong tajam, menerawang ke dinding gua.
Peristiwa tadi memang membuat hati Eyang Sangga Langit terguncang. Dan ini juga membuat nya termenung. Ketermenungan lelaki tua bertangan buntung itu baru lenyap ketika terdengar bunyi langkah kaki dari mulut lorong ruangan. Dia berharap, sosok yang datang itu Witari. Siapa tahu gadis itu mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.
"Eyang...," panggil orang yang baru datang.
Harapan Eyang Sangga Langit terkabul. Di mulut lorong ruangan berdiri tubuh ramping ber-pakaian merah, berwajah cantik manis. Hanya sa-ja wajahnya muram. Sedangkan sepasang ma-tanya sembab karena tangis.
"Witari...," sambut Eyang Sangga Langit, serak penuh rasa iba dan ham mengingat nasib yang menimpa gadis muridnya.
Witari menghambur. Langsung dia berlutut di bawah kaki kakek berpakaian kuning itu. Tangisnya kontan bagai bendungan jebol.
Sementara itu, Eyang Sangga Langit segera mengulurkan tangan, membelai rambut Witari penuh rasa haru dan sayang.
Tangis Witari semakin menjadi-jadi. Tubuhnya yang berlutut tampak terguncang-guncang ke-ras.
"Semua ini salahku, Witari! Aku pasrah dan rela atas keputusanmu. Aku maklum bila kau membenci ku. Bahkan bila kau ingin membunuhku pun, aku siap," tandas Eyang Sangga Langit bergetar.
"Tidak, Eyang. Semua ini bukan salahmu. Aku yakin ada pihak ketiga yang sengaja mendalangi terjadinya peristiwa ini. Dan kita tidak tahu, dengan cara apa dia melakukannya. Hhh...! Aku akan cari orang itu, Eyang. Aku ingin membalas tindakannya, sehingga membuat kita terperosok ke dalam jurang kehinaan. Sekarang juga, aku ingin mohon diri, Eyang," ujar Witari terbata-bata.
Eyang Sangga Langit tersenyum, walau seperti dipaksakan. Hatinya memang lega melihat Witari menyadari kekeliruannya. Tapi perasaan sedih dan terguncang akibat perbuatan itu, membuat senyumnya tampak yang keluar dari hati luka. "Syukurlah kalau kau menyadarinya, Witari. Kalau saja tubuhku tidak sereot ini, aku pun akan ikut mencari pelakunya. Sayang, tubuh renta ini tidak bisa lagi diajak bepergian jauh," keluh Eyang Sangga Langit.
"Eyang tidak perlu turun tangan! Cukup aku sendiri yang akan mencari penjahat keji itu dan akan menghukumnya!" tandas Witari.
"Itu bagus!" puji Eyang Sangga Langit. "Kau berhak dan wajib untuk melakukannya!"
"Tapi, Eyang...," tukas Witari ragu-ragu. "Aku merasa kepandaian yang kumiliki masih rendah. Tenaga dalamku juga tak begitu kuat Aku yakin, akan dapat mengalahkan penjahat cabul itu bila berhasil kutemukan! Dan dia tentu memiliki kemampuan tinggi, karena telah berhasil memper-daya kita!"
"Kau terlalu merendahkan kepandaian yang telah kau miliki, Witari," tegur Eyang Sangga Lan-git. "Jangan dikira kepandaianmu rendah. Perlu diketahui, kau adalah murid terpandai di antara murid-muridku pendahulu. Kaulah satusatunya yang mewarisi sebagian besar ilmuku. Karena, aku tidak ingin malu terhadap ayahmu yang telah menitipkan mu untuk ku didik. Bukannya sombong, hanya bisa dihitung dengan jari tokoh persilatan yang mampu bertahan lima puluh jurus bila bertarung denganku! Oleh karena itu, kepandaian yang kau miliki tak akan kalah dengan pendekar mana pun, Witari! Namun, biarlah. Agar kau lebih percaya diri, ilmu 'Urai Raga' ku yang semula tak akan kuturunkan pada orang lain, akan kuberikan padamu. Bahkan aku berkenan untuk menambah tenaga dalammu! Sekarang duduklah bersila di hadapanku pada jarak tiga tombak!"
Witari cepat melaksanakan perintah gu-runya.
"Ingat, Witari. Apa pun yang kau rasakan, jangan melakukan tindakan apa pun! Mengerti?!" Witari mengangguk.
Eyang Sangga Langit duduk bersila. Sepa-sang matanya dipejamkan. Jari-jari tangannya yang terbuka lurus, dirangkapkan di depan dada. Sesaat kemudian sekujur tubuhnya menggigil seperti terkena demam tinggi. Dan perlahan-lahan, sinar kebiruan melingkupi tubuhnya.
Getaran di tubuh Eyang Sangga Langit semakin menghebat membuat tubuhnya terlonjak-lonjak ke atas seperti hendak melayang ke udara. Kemudian dengan gerak menghentak, kedua jarinya yang masih dirangkapkan ditusukkan ke depan.
Saat itu juga, selarik sinar kebiruan meluncur ke arah tubuh Witari. Ketika mengenai tubuhnya, gadis itu merasakan bagian pusarnya bergolak. Terasa ada sesuatu yang berputar keras di bawah pusarnya! Sehingga membuat tubuh Witari terguncangguncang.
Di lain pihak, Eyang Sangga Langit dengan gerakan cepat menarik kembali kedua tangannya ke depan dada. Berbareng dengan itu, kakek ini segera meniup!
Untuk kedua kalinya Witari terperanjat Semua bulu tubuhnya mendadak meremang, ketika gurunya meniupkan angin dari mulutnya. Anehnya, guncangan pada tubuhnya segera terhenti. Namun, putaran keras di bawah pusarnya tetap berlanjut.
"Sekarang kau telah memiliki ilmu 'Urai Ra-ga', Witari. Dengan demikian aku tidak memiliki ilmu itu lagi, setelah kuberikan padamu. Sebenarnya, ilmu itu harus kau dapatkan sendiri melalui perjuangan panjang. Bertahun-tahun, bahkan mungkin belasan tahun! Itu pun belum tentu berhasil! Namun karena kau membutuhkannya secara mendesak, tak ada jalan lain kecuali memberikan ilmu itu dengan jalan singkat. Dan untuk memilikinya lagi, aku harus belajar dari awal," jelas Eyang Sangga Langit sambil mengusap peluh yang membasahi dahinya dengan punggung tan-gan.
Witari tidak menanggapi. Dia masih takjub merasakan pergolakan aneh di bawah pusar bagian dalam.
"Sekarang, aku akan mengoperkan tenaga dalam yang kumiliki agar tenaga dalammu bertambah tinggi!"
Tanpa banyak cakap, Witari mendekati gurunya, duduk bersila membelakangi.
"Buka semua jalan darahmu. Jangan mengadakan perlawanan," tambah kakek kecil kurus itu, sebelum menempelkan kedua telapak tangannya pada punggung Witari.
Mula-mula, Witari merasakan hawa hangat mengalir dari kedua telapak tangan gurunya. Te-tapi semakin lama, semakin panas. Sehingga, membuat keringat sebesar butir-butir jagung menghias wajah dan sekujur tubuhnya.
Setelah cukup lama, akhirnya Eyang Sang-ga Langit melepaskan tangannya dari punggung Witari. Dan, dia langsung duduk bersemadi untuk memulihkan tenaganya yang terkuras. Namun, baru beberapa kali Eyang Sangga Langit memulihkan pernapasannya, mendadak terdengar gelak tawa yang keras di dekatnya. Tawa gembira bernada penuh kepuasan.
Seketika, Eyang Sangga Langit membuka matanya.
Wajahnya langsung pias ketika melihat sosok di depannya. Kini, Witari telah berdiri berkacak pinggang sambil tertawa! Sikapnya sungguh mengejutkan! Dan lebih terkejut lagi ketika men-dengar jenis suara itu. Karena suara itu bukan da-ri mulut wanita. Tapi dari seorang lelaki!
"Siapa kau...?! Jangan katakan kalau kau Witari!" seru Eyang Sangga Langit, terkejut. Na-mun sebagai tokoh dunia persilatan yang sudah banyak pengalaman, dia langsung tahu kalau sosok yang berdiri di hadapannya pasti bukan Witari.
"Kau cukup cerdik, Tua Bangka Bau Tanah!" maki Witari palsu dengan sombong. Sikapnya terlihat memandang rendah sekali. "Aku memang bukan Witari! Tapi, kecerdikan mu terlambat! Bersiaplah untuk mati, Tua Bangka! Ingin ku-lihat, pentolan-pentolan dunia persilatan memandang Eyang Sangga Langit yang terkenal sakti tanpa tanding, akhirnya tewas secara menyedihkan! Tewas karena tertipu! Apalagi bila mereka tahu ka-lau sebelumnya Eyang Sangga Langit telah berzi-nah dengan muridnya sendiri! Ha ha ha...!"
"Keparat!" umpat Eyang Sangga Langit pe-nuh kegeraman.
Kini lelaki tua berbaju kuning ini menyadari, pasti Witari palsu inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan perzinahan itu.
"Kau boleh mati penasaran, Kakek Peot! Karena sekarang juga, kau akan mati di tanganku!"
Eyang Sangga Langit bukan orang bodoh! Dia tahu, saat ini keadaannya tidak menguntungkan. Ilmu andalannya kini telah dimiliki Witari palsu. Bahkan, sebagian besar tenaga dalamnya telah terkuras! Sehingga, sekarang tenaganya jauh berkurang! Di lain pihak, Witari palsu telah memi-liki tenaga dalam sangat tinggi. Apabila melakukan perlawanan, tentu akan membuang nyawa sia-sia. Dan, Eyang Sangga Langit tidak ingin hal itu terjadi.
Maka sebelum orang yang menyamar sebagai Witari itu membunuhnya, Eyang Sangga Langit lebih dulu melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan mendekati dinding ruangan.
Sementara Witari palsu yang melihat gelagat tidak sewajarnya, segera mengejar. Langsung di siapkan serangannya.
Tetapi, tindakan Witari palsu terlambat. Ke-tika tangan Eyang Sangga Langit menyentuh salah satu tonjolan batu, dinding itu terkuak sedikit, membelah celah. Dan itu cukup untuk tubuh Eyang Sangga Langit masuk ke dalam ruangan di sebelahnya.
Ketika Witari palsu hendak menyusul masuk, dinding itu segera tertutup kembali.
Lelaki yang menyamar sebagai Witari ini mencoba mendorong tonjolan batu yang tadi digerakkan Eyang Sangga Langit. Namun dinding itu tidak bergeming sedikit pun.
Witari palsu tahu, tidak ada gunanya lagi berusaha. Pasti Eyang Sangga Langit telah menutup dinding gua dengan alat rahasia dari ruangan sebelah. Kalau menuruti perasaan, lelaki yang menyamar sebagai Witari ini dapat memukul hancur dinding itu. Tetapi karena khawatir atap gua akan runtuh dan dapat menyebabkan tubuhnya terku-bur hidup-hidup, maka maksudnya diurungkan. Dan dengan perasaan dongkol, dia segera melesat keluar gua.
–––––––– 2
Seorang lelaki tinggi besar, berotot dan ber-wajah kasar tengah melangkah lebar melintasi hamparan tanah yang penuh daun kering dan ranting kering bertebaran. Demikian banyaknya, sehingga permukaan tanah hampir tidak terlihat Setiap kaki besar dan kokoh itu menjejak, selalu menginjak daun serta ranting kering. Anehnya se-dikit pun tidak terdengar bunyi yang ditimbulkan-nya. Ini pertanda kalau lelaki ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat.
Lelaki itu berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya hanya tertutup selembar celana sebatas lutut. Bulu-bulu hitam dan lebat menghiasi bagian dadanya yang telanjang. Di bahunya, terpanggul sebatang kapak bermata tumpul dan bertangkai panjang.
Dengan langkah-langkah agak bergegas, le-laki tinggi besar ini seperti tak mempedulikan medan yang ditempuhnya. Ayunan kakinya baru berhenti, ketika sampai di hadapan sebatang pohon besar berukuran empat kali pelukan orang dewa-sa! Ditatapnya pohon itu sejenak. Lalu, kapaknya segera diayunkan. Cras!
Hanya sekali tebas, pohon itu terpapas! Ba-gian yang terkena babatan kapak tumpul seperti tertebas senjata amat tajam.
Sebelum pohon yang tumbang menghantam tanah, lelaki tinggi besar itu kembali mengayunkan kapaknya.
Cras! Cras! Cras!
Tidak hanya sekali. Hampir bersamaan terdengar bunyi menderu disusul bunyi riuh.
Ketika lelaki ini meletakkan kapaknya kem-bali di tempat semula, di depannya telah tertum-puk. potongan kayu sebesar lengan sepanjang tiga kaki. Beberapa kayu itu pun licin, seakan telah diserut lebih dulu oleh mata ketam.
Ada beberapa tumpukan kayu di sebelah kanan. Sementara agak jauh di sebelah kiri, berse-rakan daun-daun ranting yang berkelompok, bagai ditata tangan terlatih yang tidak tampak.
"Tidak jelek..., tidak jelek...!"
Mendadak terdengar suara lantang dan nyaring begitu lelaki tinggi besar itu menyelesaikan pekerjaannya. Tapi dia tetap diam di tempatnya. Tidak merasa terkejut, bahkan tak menoleh ke arah asal suara.
"Seperti lima tahun yang lalu, permainan kapak pemenggal ayam masih tetap lumayan! Tidak percuma kau berjuluk Raksasa Kapak Maut!" lanjut seorang lelaki tua bertubuh kecil kurus, yang tahu-tahu sudah berada di depan lelaki tinggi besar yang ternyata berjuluk Raksasa Kapak Maut.
"Tidak usah banyak bicara, Manusia Kerdil! Sejak dulu mulutmu selalu usil! Dasar bawel!" sa-hut Raksasa Kapak Maut dengan suara menggun-tur sambil berbalik.
"Ha ha ha...! Kau makin jadi pemarah saja, Manusia Kerbau!" ledek kakek kecil kurus. Demikian kecil dan kurus tubuhnya, lebih mirip bocah berusia sembilan tahun yang kelaparan. "Kau ta-hu, orang pemarah cepat tua. Sebaliknya jika kita sering tertawa, akan awet muda. Apalagi bila ser-ing bermain tebak-tebakan! Kau tahu, tebak-tebakan itu menunjukkan kepintaran seseorang! Biar kecil begini, aku yakin lebih pandai dibanding otakmu, Manusia Kerbau! Kalau kau ingin bukti, mari kita bermain tebak-tebakan! Tapi, tentu saja kalau kau berani...."
"Mengapa tidak, Tuyul Bertenaga Raksasa?!" sahut Raksasa Kapak Maut cepat, terbakar amarahnya karena tantangan kakek kecil kurus yang telah meremehkannya. "Ayo, keluarkan teba-kan mu!"
Kakek kecil kurus berjuluk Tuyul Bertenaga Raksasa tersenyum. Sikapnya kelihatan meremehkan sekali. Dia yakin akan kemampuannya.
"Ada seorang ibu, memiliki tubuh yang besar dan gemuk. Bahkan lebih besar daripada tubuhnya. Karena suatu keperluan, dia bertandang ke rumah saudaranya. Karena satu hal, dia terpaksa menginap di rumah saudaranya itu. Sialnya, saudaranya orang yang miskin hingga hanya mempunyai satu tempat tidur. Itu pun berukuran kecil, karena memang untuk anaknya yang berumur delapan tahun. Demi rasa hormat maka saudaranya memberi tempat tidur itu untuknya. Sedangkan anaknya di suruh tidur di lantai. Tentu saja, ibu yang gemuk itu kebingungan. Bagaimana caranya dia bisa tidur di tempat yang sekecil itu? Nah! Pertanyaannya, bagaimana ibu yang gemuk itu tidur?!" ujar Tuyul Bertenaga Raksasa.
Alis Raksasa Kapak Maut berkernyit. Dia berpikir keras untuk bisa menjawab. Namun sampai dahinya berkeringat, belum ditemukan jawa-bannya.
"Bagaimana, Manusia Kerbau?! Sudah.... Lebih baik menyerah saja?!" ejek Tuyul Bertenaga Raksasa memanasmanasi.
"Menyerah?!" ulang Raksasa Kapak Maut keras dengan sepasang mata dibelalakkan. "Tidak akan! Pertanyaan itu demikian mudah untuk ku-jawab. Mengapa mesti menyerah?! Jawabannya, ibu itu harus meringkuk untuk bisa tidur! Betul, kan?!"
"Salah!" sanggah Tuyul Bertenaga Raksasa sambil melompat-lompat kegirangan, seperti anak kecil mendapat mainan.
"Tidak mungkin!" tukas Raksasa Kapak Maut, berkeras dengan jawabannya. "Mengapa ti-dak?! Hanya itu jalan satusatunya untuk bisa tidur! Sebab, tak mungkin tubuhnya terbujur di tempat sekecil itu?"
"Apa pun alasannya, yang jelas itu bukan jawabannya, Manusia Kerbau!"
"Kalau begitu..., apa jawabannya, Kerdil Li-cik?! Aku yakin kau hanya mengakaliku saja!" ser-gah Raksasa Kapak Maut, tidak mau kalah.
"Meram!" jawab Tuyul Bertenaga Raksasa, tersenyum atas kemenangan.
"Lho...?!" Raksasa Kapak Maut melongo. "Jawabanmu tak masuk akal, Manusia Kerdil!"
"Apa yang tidak masuk akal?! Bukankah yang kutanyakan, bagaimana tidur ibu gemuk itu? Tentu saja jawabannya meram. Mana mungkin orang tidur matanya tidak meram?! Satu-kosong!" jawab Tuyul Bertenaga Raksasa mempertahankan jawabannya.
"Baik. Aku mengaku kalah. Dan, sekarang giliranku mengajukan pertanyaan. Karena kau mengajukan pertanyaan yang bersifat akal-akalan, maka aku pun akan meladeni mu!" kata Raksasa Kapak Maut penasaran. "Nah, sekarang jawab pertanyaanku. Ayam apa yang keluar pada malam hari?! Ayo, tebak!"
"Ayam yang ada keperluan! Ha ha ha...! Be-tul kan...?!" jawab kakek Tuyul Bertenaga Raksasa cepat, disertai tawa bergelak. Menertawakan lelaki tinggi besar yang terdiam begitu pertanyaannya terjawab. "Apa pun pertanyaan yang kau ajukan, akan bisa kujawab, Manusia Kerbau! Kau tahu, aku paling pandai bermain tebak-tebakan!"
"Peduli amat! Itu bukan urusanku!" dengus Raksasa Kapak Maut, ketus. "Sekarang apa maksudmu mengintai pekerjaanku?"
"Ha ha ha...! Rupanya kau telah merasa paling sakti setelah bisa menebang pohon seperti itu?! Apa maumu, Raksasa Jelek?!
Bertarung?!" tandas Tuyul Bertenaga Raksasa.
Tuyul Bertenaga Raksasa lalu melangkah mendekati Raksasa Kapak Maut. Mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak sekitar delapan tombak. Tempat mereka berada, memang cukup aneh. Di belakang Raksasa Kapak Maut adalah hutan belantara yang tanahnya tertutupi daun dan ranting yang berserakan. Sementara sekitar satu tom-bak di belakang Tuyul Bertenaga Raksasa terdiri dari batu padas yang amat keras. Tampak lubang sedalam betis, setiap kali kakek kecil kurus itu melangkah! Padahal kakinya tidak menjejak sama sekali.
"Ooo, kau ingin memamerkan julukan Tuyul Bertenaga Raksasa rupanya," ejek Raksasa Kapak Maut disertai senyum mengejek.
"Ha ha ha...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa tertawa renyah. Baginya tidak ada hal yang terlalu dipusingkan. Sebab, setiap masalah selalu membuat hatinya gembira. Sesuai dengan wataknya yang selalu ber-gembira dalam menghadapi persoalan. Menurut-nya, hidup di dunia ini hanya sebentar. Lantas bila tidak diisi hal-hal yang menggembirakan, untuk apa?
Begitu saling berhadapan dalam jarak sekitar satu tombak, baru terlihat perbedaan mencolok antara Raksasa Kapak Maut dengan Tuyul Bertenaga Raksasa.
Di hadapan Raksasa Kapak Maut, Tuyul Bertenaga Raksasa terlihat begitu ringkih dan lemah. Yang jelas, bagaikan seekor ayam berdiri di depan seekor gajah! Rasanya, hanya dengan tiupan pun Tuyul Bertenaga Raksasa akan roboh ke tanah.
Kedua tokoh sakti ini telah saling berpan-dangan, laksana sepasang dua ekor ayam jago yang siap tarung. Sepasang mata mereka telah saling menyorot, sama-sama tajam dan menggiriskan.
Tapi sebelum saling gebrak, pendengaran dua tokoh yang sama-sama luar biasa tajam itu menangkap adanya gerakan langkah kaki yang menuju ke tempat ini. Perhatian Raksasa Kapak Maut langsung di arahkan ke depan. Sedangkan Tuyul Bertenaga Raksasa berbalik arah. Pandan-gannya langsung di layangkan ke belakang.
"Celaka...!" seru Raksasa Kapak Maut Suaranya keras bercampur kaget dan geram. Sepasang matanya mendelik pada Tuyul Bertenaga Raksasa.
"Mengapa kau tinggalkan pos penjagaan mu, Kerdil?! Tidakkah kau lihat ada orang yang menuju ke tempat ini?! Bila Tuan Besar tahu, maka kau akan digencet! Sehingga kau jadi lebih kecil dan kurus daripada sekarang!"
Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa terlihat pucat-pasi. Sebentar saja, karena kakek kecil kurus ini tahu-tahu tertawa. Tapi, nadanya jelas jauh berbeda daripada sebelumnya. Kendati tertawa, sinar matanya menyiratkan ketakutan dan kecemasan. Rupanya, ancaman Raksasa Kapak Maut mempunyai pengaruh besar!
"Kurasa bukan hanya aku saja yang menerima hukuman Tuan Besar! Kau pun juga akan mendapat hukuman, Kerbau! Lihat dirimu! Kau pun meninggalkan pos penjagaan mu. Jadi, kita sama-sama bersalah! Bahkan aku yakin kesalahan yang kau perbuat jauh lebih besar! Kaulah yang lebih dulu meninggalkan pos penjagaan, hingga aku terpengaruh. Toh, kupikir keadaan akan aman-aman saja!" Tuyul Bertenaga Raksasa tak mau kalah gertak. "Ha ha ha...!"
Raksasa Kapak Maut tertawa bergelak, sampai-sampai tubuhnya berguncang-guncang. Kelihatan gembira sekali.
"Kau mau mengakali ku, Kerdil?! Tak bisa! Lihatlah perbedaan kita! Meskipun aku meninggalkan pos penjagaan, namun tidak ke arah dalam. Sehingga bila ada orang yang masuk, akan bertemu lebih dulu denganku! Sedangkan kau, justru sebaliknya. Dan sekarang ada orang yang mampu melewati pos mu. Bahkan sekarang hampir tiba di batas penjagaan ku!"
Tuyul Bertenaga Raksasa tidak menyahuti. Disadari kalau dirinya salah dan hanya ingin mengakali Raksasa Kapak Maut. Namun tak disangka, lelaki bertubuh tinggi besar ini mampu balik mengakalinya.
Maka tanpa banyak cakap lagi Tuyul Bertenaga Raksasa melesat ke arah tempatnya menjaga. Dan sebentar saja, dia sudah bertemu seseorang tengah melewati pos penjagaan yang berupa dua batu sebesar rumah yang diletakkan bersebelahan, dengan celah selebar dua setengah tombak.
"Tahan langkahmu, Nona Cantik...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa langsung menghadang sosok yang telah belasan tombak, melewati pos yang dijaganya.
Sosok itu ternyata seorang gadis berpakaian kuning cerah. Usianya sekitar dua puluh tahun. Langkahnya terpaksa dihentikan, karena jalannya terhalang. Gadis berwajah cantik dan berkulit putih mulus ini cemberut, menandakan ketidaksenangan hatinya.
Namun, sesaat kemudian, kemuraman ga-dis itu sirna. Sepasang matanya bersinar-sinar. Senyumnya tersungging, memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya.
Tuyul Bertenaga Raksasa adalah orang yang memiliki watak periang dan senang menggoda orang. Dan sesuai pengalamannya, dia tahu kalau gadis di hadapannya ini memiliki watak sama dengannya. Sinar mata gadis itu adalah sinar mata orang yang gemar menggoda orang lain.
"Hey...! Siapa kau, Adik Kecil?! Mengapa berada di sini?! Enak-enakan kau bermain di sini! Tak tahukah, kalau sekarang orangtua mu sedang gelisah mencarimu?! Lekas pulang!" seru gadis berbaju kuning dengan sikap memarahi. Lagaknya seperti orang dewasa tengah menasihati seorang anak kecil yang nakal.
Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa langsung merah padam. Memang, meski pandai berdebat, dia mempunyai kelemahan juga. Dia paling tidak suka kalau kekurangannya diungkit-ungkit orang lain.
Ejekan yang dianggap kelewatan itu mem-buat Tuyul Bertenaga Raksasa berniat untuk membalas. Sebagai tukang mengejek, lelaki tua bertubuh kecil ini tentu saja tidak ingin mengalah begitu saja! Akan jatuh nama besarnya sebagai jago ejek!
"Memang kuakui, tubuhku seperti anak kecil! Tapi menurutku, ini justru menguntungkan. Karena, senantiasa aku terlihat awet muda. Dan yang lebih penting, hampir tidak pernah terserang penyakit Sedangkan kau, cantik-cantik tapi mempunyai penyakit bisul!"
Gadis berpakaian kuning tertawa mengejek.
"Kalau memang benar aku terkena penyakit bisul, coba tunjukkan!" tantang gadis itu, dia yakin Tuyul Bertenaga Raksasa hanya sekadar berbohong.
"Ah...!" seru Tuyul Bertenaga Raksasa, berpura-pura kaget. "Semuda ini sudah pikun?! Bisulmu rupanya sudah amat parah, Nona Cantik. Karena telah demikian besar. Yang lebih gawat lagi bisulnya ada dua! Aku tak habis pikir, mengapa kau tak berusaha mengobatinya? Bahkan malah disembunyikan. Kau pikir orang tidak tahu?"
"Kakek gila!" bentak gadis berpakaian kuning tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Rupanya kendati suka menggoda orang lain, dia tidak suka digoda. "Buktikan kebenaran mulutmu yang busuk itu! Tunjukkan, di mana adanya bisul itu!"
"He he he...!"
Tawa kakek kecil kurus mulai terdengar lagi. Dia yakin, ejekan terakhirnya yang dilancarkan telah memancing amarah gadis itu.
"Masihkah kau tidak bisa melihatnya, Nona Cantik?! Itu yang menggantung di bagian dadamu itu. Apa lagi kalau bukan bisul?!"
"Keparat!"
Gadis berpakaian kuning itu menggeram marah. Ejekan tadi sudah cukup membuatnya murka karena malu, tersinggung, dan marah. Dan kini kakek itu masih menambahi dengan tudingannya. Yang mengarah ke arah buah dada gadis itu!
"Kuhancurkan mulutmu yang bau busuk itu!"
Disertai amarah menggelegak, gadis berpa-kaian kuning itu melepaskan tendangan kaki ka-nannya lurus ke arah mulut Tuyul Bertenaga Rak-sasa. Namun, hanya menggeser kakinya ke belakang, kakek itu telah berhasil mengelakkan seran-gan.
"Eit! Sayang tak kena...! Kakimu kurang panjang, Nona Cantik Berbisul Besar! Ha ha ha...! Sekarang kau harus mengakui kelebihanku dalam hal mengejek! Ha ha ha.... Tidak ada seorang pun yang mampu menang bermain ejek-ejekan dengan ku!" kata
Tuyul Bertenaga Raksasa, pongah. "Ambrol perutmu...!" Kata-kata Tuyul Bertenaga Raksasa dijawab gadis itu dengan serangan susulan lewat kaki kanan ke arah perut. Namun, lagilagi hanya bergerak sembarangan, Tuyul Bertenaga Raksasa berhasil menangkap pergelangan kaki gadis itu. Bahkan begitu disentakkan, tubuh gadis berpakaian kuning terlempar jauh ke belakang!
Untung saja, gadis berpakaian kuning itu cepat bersalto beberapa kali di udara. Begitu ka-kinya menjejak tanah, diterjangnya Tuyul Bertena-ga Raksasa kembali dengan tendangan berantai.
"Hukh... uh... ukh...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa batuk-batuk sebelum serangan gadis berpakaian kuning tiba. Tampaknya batuk yang berat, sampai-sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk.
Sementara saat itu, tendangan berantai ga-dis berpakaian kuning tengah meluncur. Kepala Tuyul Bertenaga Raksasa yang menunduk ke depan akibat batuk hebat tampaknya akan menjadi sasaran empuk.
Tapi, sebelum kepala Tuyul Bertenaga Rak-sasa terhantam, gadis berpakaian kuning merasakan ada getaran keras pada bagian dalam dadanya! Getaran yang mampu membuat tubuhnya lemas, karena tenaganya lenyap begitu saja! Bah-kan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Tuyul Bertenaga Raksasa berdiri tegak seperti semula. Batuk hebat yang menyerangnya berhenti. Batuk itu memang bukan batuk penyakit, melainkan batuk yang sengaja dibuat untuk melancarkan serangan tenaga dalam.
Bagi orang sesakti Tuyul Bertenaga Raksasa, batuk buatannya tak kalah geraman seekor harimau yang paling perkasa sekalipun! Padahal, geraman harimau saja sudah cukup melumpuhkan nyali manusia atau binatang mangsanya.
Di lain pihak, gadis berpakaian kuning jadi geram. Tenaga dalamnya berusaha keras untuk disalurkan kembali. Setelah berhasil, dia bersiap melancarkan serangan.
Gadis yang memiliki watak keras hati ini sama sekali tidak merasa takut, meskipun tahu kalau kakek di hadapannya ini memiliki kepan-daian yang luar biasa!
"Cukup, Nona Cantik!" seru Tuyul Bertenaga Raksasa penuh wibawa, tidak berguyon seperti sebelumnya.
"Siapakah kau sebenarnya...? Apa maksud mu datang kemari?! Apa hubunganmu dengan Janggara, pemilik ilmu 'Tendangan Angin Puyuh'?"
"Apa urusanmu?!" sambut gadis berpakaian kuning. kasar tidak terlihat rasa takut sedikit pun.
"Tentu saja ada urusannya denganku, Nona Cantik! jawab Tuyul Bertenaga Raksasa, berkilah.
–––––––– 3
Tuyul Bertenaga Raksasa menatap wajah gadis berpakaian kuning di hadapannya penuh selidik. Sedikit pun tidak terlihat adanya senyum. Apalagi bercanda.
"Pertama, kau telah lancang memasuki wilayahku. Maka aku berhak tahu maksud kedatangan mu kemari. Kedua, kau menggunakan ilmu 'Tendangan Angin Puyuh' untuk menyerangku. Padahal, aku tahu pasti pemiliknya. Karena jangan-jangan kau mencuri ilmu itu!"
Merah padam wajah gadis berpakaian kuning itu.
"Apa boleh buat," desah gadis berpakaian kuning itu. "Aku Anjani. Kedatanganku kemari atas permintaan guruku. Dengan petunjuknyalah aku bisa berada di tempat ini."
Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa terperangah. Kelihatan tegang bukan kepalang.
"Berarti..., kau murid Janggara! Hanya dia yang memiliki ilmu 'Tendangan Angin Puyuh'. Lalu, apakah kedatanganmu kemari ingin mencuri pusaka lainnya dan tempat suci yang kami jaga, seperti yang pernah dilakukan gurumu?!"
"Tutup mulutmu yang busuk itu, Kerdil!" bentak gadis berpakaian kuning yang mengaku bernama Anjani, murid
Janggara marah. "Guruku tidak sejahat itu!"
"Ho ho ho...! Lucu.... Lucu sekali! Seorang yang paling goblok pun tak akan mempercayai kata-katamu. Dengarkan baikbaik, Nona Manis Berotak Udang?! Dulu gurumu tengah sekarat, ketika ditemukan Tuan Besar kami. Kemudian dia dirawat sampai sembuh. Malah juga diajarkan ilmu silat. Namun sebagai balasannya.... apa yang kau tahu, Anak Manis?!"
"Aku tahu," Anjani mengangguk. "Beliau telah menceritakan semuanya padaku. Waktu kabur dari tempat ini, beliau mencuri sebuah pusaka. Sebuah guci perak murni luar biasa, yang mampu membuat arak yang paling lemah, menjadi arak keras. Bahkan mampu membuat arak ataupun air yang berada di dalamnya, menjadi penawar racun yang ampuh!"
"Nah! Kau tahu sendiri kebusukan gurumu! Namun, masih tak senang, kalau kukatakan dia jahat! Bagaimana ini?!" Tuyul Bertenaga Raksasa heran.
"Karena tuduhan jelek mu, atas niat baiknya. Kedatanganku kemari dengan susah payah sekadar untuk memenuhi amanat guruku! Beliau memintaku untuk mengembalikan kitab-kitab yang pernah dicurinya, dari tempat ini. Dan seka-ligus, akan memberitahukan tempat guci pusaka itu berada," jelas Anjani penuh semangat.
Tuyul Bertenaga Raksasa mengangguk-anggukkan kepalanya setelah tercenung sejenak.
"Aku tak bisa memberi keputusan. Lebih baik sampaikan sendiri pada Tuan Besar. Silakan, kau berjalan lurus. Nanti Raksasa Jelek yang ada di sana, akan mengantarmu sampai menemui Tuan Besar," jelas Tuyul Bertenaga Raksasa.
Dengan sikap gagah, Anjani melangkah me-nuju tempat Raksasa Kapak Maut berada. Gadis cantik ini sadar, dirinya telah masuk ke tempat yang berbahaya. Tempat yang dijaga manusia kerdil berjuluk Tuyul Bertenaga Raksasa saja sudah menjalani kesulitan. Apalagi harus menghadapi le-laki yang berjuluk Raksasa Kapak Maut. Pikiran-pikiran mengerikan, mendadak menghantui hati Anjani.
Namun, gadis berpakaian kuning yakin, bahwa Janggara gurunya tidak akan bertindak sembrono. Tentu dia telah memperhitungkan sega-la kemungkinan yang muncul.
***
"Celaka...!"
Satu seruan kaget, mendadak meluncur dari mulut seorang kakek tinggi kurus berwajah tirus, ketika melihat permukaan air berada dalam sebuah bak kayu, bergelombang keras. Daun sirih di atasnya tampak terombang-ambing. Padahal, tidak ada seorang pun yang mengguncang-guncangkannya. Permukaan air yang bergolak hebat itu terjadi dengan sendirinya, seperti diaduk-aduk tangan tak nampak!
"Anjani.... Apa yang terjadi padamu, Nak...?!"
Kakek berwajah tirus berusia enam puluh tahun ini bergegas bangkit dengan sikap gelisah. Pakaian longgarnya berwarna coklat diketatkan lagi dengan mengencangkan sabuknya. Tindakan itu dilakukannya dengan pandangan masih tertuju pada bak kayu yang airnya semakin bergolak.
Kemudian, kakek ini bergegas melangkah keluar. Hanya sekali ayunan kaki, dia telah berada di luar halaman gubuknya. Sebuah gubuk yang letaknya tersembunyi, tertutup pohon-pohon besar di sekelilingnya.
Kakek ini menatap ke arah gubuknya. Ke-mudian tubuhnya berbalik bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, mendadak maksudnya diurungkan. Sebab, pendengarannya yang tajam menangkap suara mencurigakan. Segera saja pan-dangannya beredar ke sekeliling. Kini, pandangan-nya terpatri pada jajaran pohon dan semak-semak rimbun di depannya.
"Kalian yang berada di persembunyian, ha-rap keluar! Kalau ada urusan denganku, mari kita selesaikan! Sebab aku sedang ada urusan lain!" bentak kakek itu lantang.
Tak lama kemudian, semak-semak di seki-tarnya terkuak, diiringi bunyi gemerasak. Dan dari sekeliling tempat itu, muncul beberapa sosok dengan sikap mengancam! Di tangan masingmasing tampak tergenggam senjata terhunus.
"Setelah bertahun-tahun, akhirnya persembunyian mu dapat kami temukan juga, Janggara!" seru seorang lelaki berkepala botak yang muncul dari sebelah kiri. Wajahnya bercambang bauk lebat. Sepasang gada berduri yang tergenggam di tangannya diayun-ayunkan secara menggiriskan.
"Kami datang ingin membuat perhitungan. Karena, kau telah membunuh sahabatku yang ber-juluk Banteng Gila!" sambung seorang lelaki bertubuh kurus seperti singa kelaparan. Dia muncul dari depan. Ganco di tangan kanannya, dituding-kan ke wajah kakek berwajah tirus yang ternyata bernama Janggara.
"Demikian pula denganku, Janggara," selak seorang yang bertubuh pendek kekar dengan rom-pi merah. Kulitnya pun merah. Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu halus. Dia muncul dari sebe-lah kanan. Senjata cluritnya diacung-acungkan.
Tatapan Janggara beralih pada lelaki be-rompi merah.
"Kurasa kau masih ingat padaku. Saudaraku mati di tanganmu, Janggara!" tambah lelaki bersenjata clurit ini.
Janggara tetap tenang. Dia tidak bergeming dari tempatnya, kendati tiga orang sangar itu mendekatinya. Dan memang sudah mengenal to-koh berompi merah yang terakhir bicara. Dia adalah Singa Berbulu Merah. Sedangkan saudaranya yang tewas di tangan Janggara berjuluk Singa Berbulu Putih.
"Aku memaklumi alasan kalian mencariku. Percayalah, aku tidak akan menghindar. Tapi seperti yang kukatakan tadi, saat ini aku sedang ada urusan lain yang lebih penting. Jadi kuminta pengertian kalian untuk menunda masalah ini, sampai urusanku selesai!" ujar Janggara.
"Ha ha ha...!"
Lelaki botak bersenjata sepasang gada yang sebenarnya berjuluk Setan Botak, tertawa bergelak. Nadanya terdengar menghina sekali.
"Kau kira kami ini sekumpulan bocah bodoh, yang begitu saja dapat dikelabui? Aku tahu. Urusan yang kau maksudkan itu tentu untuk meloloskan diri lagi dari kejaran kami!" ejek Setan Bo-tak.
"Lucunya lagi," sambung lelaki bersenjata ganco yang berjuluk Pengais Nyawa! Suaranya meringkik, seperti kuda. "Dia meminta pengertian kita. Padahal sewaktu membunuh sahabatku, Banteng Gila, tidak pernah meminta pengertian terlebih dulu. Dasar licik!"
"Kurasa ada baiknya, kita dengar dulu apa kemauannya. Aku ingin tahu, akal bulus apa lagi yang akan digunakan untuk meloloskan diri dari tangan kita," usul Singa Berbulu Merah.
"Aku tidak bermaksud licik dengan melarikan diri dari kalian. Urusan yang ku maksud adalah mengenai muridku. Saat ini, dia tengah dalam bahaya. Kalau aku tidak cepat menolongnya, mungkin akan mati. Maka kuminta kalian membiarkanku pergi untuk menyelamatkan nyawanya.
Percayalah! Setelah itu, aku bersedia menerima semua hukuman dari kalian tanpa melawan sedikit pun. Anggap saja, ini balas budi atas kebaikan kalian yang mau memenuhi permintaanku!"
"Apa urusannya dengan kami...?!" selak Se-tan Botak tak sabaran. "Mau muridmu itu mati, kek. Celaka, kek! Tidak ada hubungannya dengan kami! Bahkan kalau perlu, sebelum membunuh-mu, muridmu dulu yang akan kami siksa! Biar ta-hu rasa, sakitnya hati akibat kehilangan orang yang dicintai karena dibunuh orang!"
"Kalau begitu..., kalian lebih dulu yang akan kusingkirkan!"
Janggara sadar, tidak ada gunanya lagi berbicara panjang lebar dengan tokoh-tokoh sesat ini. Dan dia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Maka dengan lompatan yang sempurna, tubuhnya melesat menerjang lelaki berjuluk Pengais Nyawa!
Sementara, sejak tadi lelaki kurus kering itu rupanya telah bersiap diri. Datangnya serangan ini tidak membuatnya gugup. Matanya sempat melihat sekelebatan sinar menyilaukan dari golok pan-jang di tangan Janggara, yang membabat ke arah leher. Maka, segera ganconya diangkat untuk menangkis sekaligus membelit Wut..! Trak!
Tubuh Pengais Nyawa terjajar beberapa langkah ke belakang, karena kuatnya tenaga dalam Janggara. Kendati demikian, golok kakek berwajah tirus itu berhasil dijepit ganconya.
Janggara tidak sudi membiarkan senjatanya terjepit. Maka segera dilancarkan serangan susu-lan berupa tendangan kaki kanan ke arah dada, sehingga memaksa Pengais Nyawa membebaskan jepitannya.
Deb!
Pengais Nyawa cepat melompat ke belakang, langsung melepaskan jepitannya.
Dan sebelum Janggara sempat melancarkan serangannya lagi, Setan Botak dan Singa Berbulu Merah tidak tinggal diam. Mereka tahu, Janggara terlalu kuat jika dihadapi seorang diri. Maka hampir berbareng, kedua tokoh sesat itu mengeroyok.
"Hiyaaa...!"
Serbuan ini memaksa Janggara untuk membatalkan serangan terhadap Pengais Nyawa. Sesaat kemudian, dia sudah sibuk meladeni pengeroyokan tiga orang tokoh sesat ini.
Janggara memang luar biasa! Meskipun para pengeroyok berkepandaian tinggi, namun mampu dihadapinya seorang diri. Bahkan sempat melancarkan serangan batasan yang tak kalah dahsyat!
Setelah tiga puluh jurus kemudian, Janggara baru mulai terdesak. Sinar goloknya yang semula bergulung membentuk lingkaran sinar yang lebar, mulai menyempit Seranganserangannya yang semula gencar semakin berkurang. Hanya mengelak dan menangkis yang dapat dilakukannya.
Janggara sadar kalau keadaan seperti ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan dia akan kalah. Bahkan akan tewas di tangan lawan-lawannya. Bila hal ini terjadi, berarti keselamatan Anjani terancam. Maka, ketika ada kesempatan, kakek berwajah tirus ini melompat ke belakang menyelamatkan diri.
Setan Botak, Pengais Nyawa, dan Singa Berbulu Merah yang merasa berada di atas angin, tidak ingin kehilangan mangsanya. Saat itu juga mereka mengejar Janggara.
Sementara, kakek berwajah tirus itu sudah memperhitungkannya. Maka, begitu kedua kakinya menjejak tanah, seluruh tenaga dalamnya dikumpulkan. Dan seketika itu pula gerengan keras seperti harimau menggeram!
"Hhhmrrr....!"
Mendadak, tubuh tiga tokoh sesat yang tengah meluruk ke arah Janggara jatuh di tanah. Bahkan tenaga dalam mereka mendadak lenyap! Gerengan Janggara membuat sekujur tubuh mereka lemas!
Melihat ke tiga lawannya tampak kepayahan, Janggara segera mengeluarkan lengkingan tinggi mengandung tenaga dalam sempurna. Begitu dahsyat, hingga waktu Janggara mencoba pada sebuah batu sebesar kerbau, langsung hancur berantakan! Dan kali ini, Janggara menunjukkan lengkingannya pada tiga lawannya.
Setan Botak, Pengais Nyawa, Singa Berbulu Merah sadar bahwa lengkingan Janggara akan dapat menghancurkan isi dada.
Buktinya, sekarang telinga mereka terasa sakit bukan kepalang, ba-gaikan ditusuk-tusuk pisau amat tajam. Jantung mereka pun perih seperti teriris.
Bagai seperti diberi aba-aba, ketiga tokoh sesat ini segera bergerak saling mendekat Kemudian mereka duduk bersila, berderet ke belakang. Setan Botak di depan, Singa Berbulu Merah di tengah, dan Pengais Nyawa paling belakang. Dua orang yang berada di belakang menempelkan kedua telapak tangan pada orang di depannya. Memang, baik Pengais Nyawa maupun Singa Berbulu Merah tengah menyalurkan tenaga dalam pada Se-tan Botak!
Sementara dari Setan Botak yang berada paling depan, tenaga dalam yang disalurkan kedua tokoh itu di belakangnya dikeluarkan lewat satu lengkingan tinggi. Bersamaan dengan itu Janggara pun telah menyiapkan tenaga dalamnya.
"Hiyaaa...!"
"Eyaaa...!"
Dua jenis lengkingan tinggi yang merupakan tangan-tangan maut saling adu kuat satu sama lain.
Untuk kedua kalinya, setelah saling mengadu tenaga dalam lewat suara, Janggara harus mengakui keunggulan pihak tiga lawannya. Gabungan tenaga dalam mereka terlalu kuat untuk ditandingi. Sekujur tubuhnya mulai menggigil. Wa-jahnya di banjiri peluh sebesar biji jagung. Dari ubun-ubunnya tampak uap putih mengepul, pertanda telah mengeluarkan tenaga dalam yang melewati batas.
Di saat-saat menegangkan seperti ini, tiba-tiba terdengar bunyi mendesau. Rupanya beberapa tombak dari tempat pertarungan ganjil ini telah hadir seorang pemuda berpakaian ungu yang tengah menyapu tanah dengan ranting berdaun lebat Gesekan yang ditimbulkan itulah yang menimbul-kan bunyi mendesau.
Seperti tidak tahu kalau tengah terjadi per-tarungan tingkat tinggi, pemuda ini terus saja menyapu tanah dengan sapunya yang sederhana.
Bunyi desau itu ternyata mengandung tenaga dalam tinggi, sehingga tampaknya berpengaruh dalam menekan lengkingan ketiga tokoh sesat itu. Sementara keadaan Janggara tidak mengkhawa-tirkan lagi. Kepulan uap putih di atas kepalanya semakin menipis, sebagai pertanda kalau kea-daannya semakin membaik.
Sebaliknya, Setan Botak, Pengais Nyawa, dan Singa Berbulu Merah tampak kepayahan. Wajah mereka penuh peluh sebesar biji jagung. Uap putih yang mengepul dari atas kepala mereka semakin menebal. Kelihatan mereka sudah tidak kuat lagi menahan serangan yang datang. Dan akhirnya...
"Huakh...!"
Dalam keadaan duduk bersila, hampir ber-barengan dari mulut Setan Botak, Pengais Nyawa, dan Singa Berbulu Merah, keluar muntahan darah segar! Tubuh mereka seperti terlipat ke depan. Seketika pertarungan yang seru usai!
"Kali ini, kami mengaku kalah, Janggara! Namun suatu saat, kami akan datang lagi membuat perhitungan denganmu!"
Dengan terbata-bata karena luka dalam yang diderita, Setan Botak mewakili kawan-kawannya menantang Janggara. Lalu, tanpa menunggu jawaban Janggara, mereka melangkah ter-tatihtatih meninggalkan tempat itu. Namun sebe-lumnya mereka sempat memperhatikan pemuda berpakaian ungu yang telah berhenti menyapu.
Sorot mata Setan Botak, Pengais Nyawa, dan Singa Berbulu Merah, menyiratkan sakit hati yang mendalam. Sebagai tokoh golongan sesat tingkat tinggi, mereka tahu kalau pemuda berpakaian ungu telah membantu Janggara. Sebab kalau tidak, Janggara tentu berhasil dibinasakan!
Sementara Janggara juga merasa sangat lelah setelah pertarungan yang menguras tenaga dalam itu. Dia hanya menatap kepergian ke tiga lawannya dan tanpa sedikit pun berniat mengejarnya. Kakek berwajah tirus ini yakin, ketiga tokoh sesat itu tak akan selamat dari maut, karena luka dalam yang diderita terlalu parah.
Kini Janggara mengalihkan perhatian pada pemuda berpakaian ungu yang masih berdiri sambil memegang sapu sederhananya. Dia tahu, nyawanya telah diselamatkan pemuda itu. Maka, dengan senyum penuh rasa terima kasih, dihampirinya pemuda berpakaian ungu itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda," ucap Janggara, sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Dalam hati, kakek ini terkejut. Ternyata orang yang menolongnya masih muda. Semula, dia mengira seorang kakek. Terutama menilik kepandaian dan rambutnya yang putih! Untungnya sambil menghampiri tadi, Janggara sempat memperhatikan wajah sosok berpakaian ungu itu.
"Kalau tidak ada pertolonganmu, mungkin dua buah nyawa telah melayang," lanjut Janggara.
Pemuda berpakaian ungu berambut putih keperakan dan panjang terurai hingga ke punggung, hanya tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya.
"Lupakanlah, Kek. Bukankah sudah kewajiban kita sebagai manusia untuk saling tolong-menolong. Apalagi, aku sudah lama mendengar kekejaman sepak terjang tokoh berjuluk Pengais Nyawa dan Singa Berbulu Merah. Jadi, tindakanku ini ku anggap sebagai usaha menentang keangka-ramurkaan. Aku yakin, setiap orang yang dimusuhi tokoh sesat seperti mereka, kemungkinan besar berdiri di jalan yang lurus. Makanya, aku tidak segan-segan lagi untuk membantumu. Apalagi kulihat tadi kau agak terdesak. Maaf, bukannya maksudku merendahkan kemampuanmu, Kek. O ya. Tadi kau katakan, aku telah menyelamatkan dua nyawa? Padahal, kenyataannya hanya ada kau sa-ja Kek? Lantas, yang satu lagi nyawa siapa?"
"Begini, Anak Muda. Sebelum aku bertarung dengan tiga tokoh sesat tadi, aku tengah berusaha menolong muridku yang terancam bahaya. Bahkan kemungkinan akan tewas, kalau tidak segera ditolong. Lantas, kau menyelamatkan aku. Bukankah itu berarti kau telah menyelamatkan dua nyawa?!" jelas Janggara. "Ah! Hampir lupa. Namaku Janggara. Sedangkan muridku bernama Anjani. Memang, aku dulu..., yahhh... seperti kaulah, Anak Muda. Suka ikut campur bila melihat ada tindak kejahatan di hadapan mata. Dan kebetulan, sebagian dari tokoh sesat yang tewas di tan-ganku adalah kawan-kawan mereka. Jadi, mereka datang untuk membalas dendam."
"Aku Arya, Kek. Arya Buana," kata pemuda berambut putih keperakan itu balas memperkenalkan diri.
"Arya Buana. Hm.... Sebuah nama yang bagus. Kalau tidak mempunyai keperluan penting, ingin rasanya kita bisa berbincang panjang lebar denganmu, Arya. Namun, sayang sekali...."
"Oh..., tak mengapa, Kek. Aku bisa mengerti. Dan kalau kau setuju, aku bersedia membantumu. Maaf, bukannya ingin menyombongkan kepandaianku. Tapi...," kata pemuda yang tak lain memang Arya Buana alias Dewa Arak.
"Aku mengerti, Arya. Tapi, kurasa saat ini aku mampu melakukannya sendiri. Mungkin kelak bila tak sanggup, aku akan meminta bantuanmu. Aku tak ingin merepotkan mu," tolak
Janggara, halus.
"Kalau begitu, selamat tinggal, Kek. Kudoakan kau berhasil. Juga muridmu kembali dengan selamat," harap Arya, sambil melangkah pergi.
"Terima kasih atas bantuan doamu, Arya. Selamat jalan, pula!" sambut Janggara.
Kakek ini tidak langsung melangkah meninggalkan tempat itu. Ditatapnya Arya Buana alias Dewa Arak!
Janggara kontan terperangah ketika melihat guci arak yang menggantung di punggung Arya. Tadi, benda itu tidak kelihatan. Karena, pemuda itu berdiri berhadapan dengannya.
Janggara ingin berseru memanggil Arya, namun ditahannya. Dia hanya menatap tubuh pemuda berambut putih keperakan itu hingga hilang dari pandangannya.
Kemudian setelah menghela napas berat, Janggara berbalik dan melesat meninggalkan tempat itu untuk menolong Anjani, muridnya!
–––––––– 4
Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun, melangkah tenang menghampiri sekelompok bangunan yang terkurung pagar tembok tinggi. Pintu gerbangnya terlihat kokoh kuat, karena terbuat dari kayu tebal. Dan di atasnya, tertulis huruf-huruf tebal dan jelas pada selembar papan tebal dan lebar berukir. Papan itu bertuliskan Per-guruan Golok Malaikat!
Pemuda bertubuh tegap terbungkus pakaian coklat ini tersenyum mengejek. Bahkan membuang ludah dengan sikap menghina sekali, ketika melihat papan nama perguruan itu.
"Rupanya tua bangka itu mengalami kemajuan pesat! Makmur tampaknya, sehingga perguruannya yang dulu kecil sekarang telah menjadi demikian mewah! Tapi tunggu sebentar lagi, Tua Bangka! Aku, Samukti! Akan membuat semua hancur berantakan!" ancam pemuda berpakaian coklat ini.
Dengan wajah beringas, pemuda bernama Samukti melangkah lebar menghampiri daun pintu gerbang yang tertutup rapat. Sesampainya di depan pintu, Samukti segera menempelkan salah satu telapak tangannya. Tampak sembarangan saja, seperti layaknya orang yang bersandar dengan satu tangan. Tapi mendadak.... Krakkk...!
Terdengar bunyi berderak keras, ketika palang pintu gerbang yang terbuat dari balok kayu tebal dan berat patah! Seketika, daun pintu ger-bang itu pun terpental ke kakan-kiri. Tampak halaman luas dari kelompok bangunan membentang di depan mata.
Bunyi yang cukup keras tadi, membuat belasan pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih, mengalihkan pandangan ke arah pintu gerbang. Kebetulan, mereka menghadap ke sana.
Tidak demikian halnya seorang lelaki berusia tiga puluh tahun yang menjadi pengajar belasan anak muda itu. Pengajar dengan wajah dihiasi cambang bauk lebat itu berdiri membelakangi pintu gerbang, menghadap ke arah belasan pemuda asuhannya. Dan dia segera membalikkan tubuh, untuk melihat penyebab bunyi gaduh tadi.
Pemuda bercambang lebat itu mengernyitkan alis. Hatinya dongkol melihat daun pintu gerbang telah ambruk. Dan pandangannya langsung terpatri pada Samukti yang melangkah tenang, menuju salah satu bangunan perguruan. Sikapnya layaknya orang yang tidak bersalah sedikit pun.
Pemuda bercambang lebat itu sebenarnya murid kepala perguruan ini. Namanya, Badra. Segera disadari kalau kedatangan pemuda berpakaian coklat ini tidak dengan maksud baik. Maka setelah memberi isyarat pada adik-adik sepergu-ruannya untuk meneruskan latihan, Badra menghampiri Samukti.
Bila Badra memusatkan perhatian ke arah pemuda berpakaian coklat ini, maka lain halnya Samukti. Kakinya terus melangkah tanpa mempedulikan murid kepala Perguruan Golok Malaikat yang menuju ke arahnya.
Karena masing-masing tidak mau menyingkir dari jalannya, tubrukan antara mereka tidak mungkin bisa dihindari lagi. Apalagi karena jarak keduanya tak lebih dari dua tombak lagi.
Namun, ketika jarak tinggal satu tombak lagi, ada kekuatan tak nampak yang menyeruak. Sehingga, memaksa Badra untuk menyingkir dari jalan yang ditempuh Samukti. Kekuatan dahsyat yang membuat tubuhnya tertolak ke samping. Pa-dahal, Samukti tidak melakukan gerakan apa pun! Kecuali, melangkahkan kaki.
Tanpa menghiraukan pemuda bercambang lebat yang tertegun bingung, Samukti terus saja melangkah dengan sikap tak peduli. Arah yang di-tuju adalah bangunan paling besar, tempat tinggal Ketua Perguruan Golok Malaikat.
Ketika Samukti telah melaluinya sejauh satu tombak, Badra baru bisa menguasai diri. "Tunggu!"
Disertai teriakannya, Badra melompat dan bersalto beberapa kali di udara untuk menghadang Samukti. Tapi, ketika kedua kakinya telah menjejak tanah, dia hanya bisa melongo!
Badra ternyata tidak mendarat di depan Samukti. Maka dengan hati kaget campur heran, kepalanya cepat menoleh ke belakang. Tampak Samukti tengah melangkah seenaknya seperti semula, manis dalam jarak satu tombak darinya!
Badra bingung. Padahal, semula diyakini betul kalau akan menjejak tanah di hadapan pemuda berpakaian coklat. Lompatannya berjarak tiga tombak dari tempatnya semula berdiri. Dan se-harusnya, mendaratnya dua tombak di depan pemuda itu. Tapi, mengapa jarak antara mereka te-tap tidak berubah?! Apakah dia salah mengukur jarak?! Tidak mungkin! Ataukah, diam-diam pemuda berpakaian coklat itu ikut melesat untuk melaluinya?! Tapi, mengapa gerakannya tidak terlihat.
Sementara itu Samukti tetap bersikap tak peduli seperti sebelumnya. Dia seperti tidak tahu kalau tindakannya membuat murid kepala Perguruan Golok Malaikat kebingungan!
Sebenarnya murid-murid Perguruan Golok Malaikat lainnya melihat kejadian itu, walau tidak terlalu jelas. Tadi sebelum Badra menjejak tanah, tubuh Samukti telah berada beberapa tombak di depan hanya sekali langkah. Tidak begitu jelas, apakah pemuda itu melesat atau berlari! "Tunggu, Pengecut!"
Terdengar bentakan keras menggelegar, membuat Samukti menghentikan langkahnya. Kesempatan itu dipergunakan Badra untuk bersalto kembali. Dan kali ini, dia berhasil menghadang di depan Samukti.
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet! Semula aku tidak ingin mencari keributan dengan cecunguk sepertimu! Tapi karena telah menghinaku, kau pun akan mendapat bagiannya! Cuh! Cuh!
Cuh!"
Samukti tiga kali meludah, melepaskan tiga gumpal cairan kental yang mengeluarkan bunyi berdesing nyaring. Arah yang dituju adalah kening, leher, dan dada Badra.
Murid kepala Perguruan Golok Malaikat tahu, semburan ludah itu tidak bisa dipandang ringan. Cepat bagai kilat, dia melompat ke belakang sambil mencabut golok.
"Hup!
Srang!
Begitu golok tercabut, Badra cepat mengi-baskannya, memapak luncuran cairan kental dari mulut Samukti.
Trang! Trang!
Ketika gumpalan-gumpalan ludah itu bertemu batang golok, terdengar bunyi berdentang beberapa kali.
Badra terkejut bukan kepalang, ketika merasakan tangannya tergetar hebat Wajahnya pias, ketika melihat goloknya berlubang di tiga tempat! Akibat terkena gumpalan ludah yang disemburkan Samukti.
"Kaget, Monyet?!" ejek Samukti tersenyum sinis. "Itu hanya sekadar perkenalan saja. Kini terimalah ludahku yang akan mengirim nyawamu ke neraka!"
"Cuh!"
Samukti kembali meludah, melepaskan cairan kental yang meluncur ke arah pemuda bercambang lebat itu. Dan tentu saja, Badra tidak ingin mengulangi peristiwa serupa. Maka segera dia melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
Tapi, ketika Badra menjejakkan kakinya di tanah, ternyata cairan menjijikkan itu masih mengejarnya! Berbeda dengan sebelumnya, gumpalan ludah itu meluncur tanpa bunyi sama sekali!
Pemuda bercambang lebat kaget bercampur heran. Menurut perkiraannya, ludah itu telah kehabisan daya luncur. Namun kenyataannya, ludah itu masih meluncur cepat laksana anak panah yang bam saja dijepretkan.
Perasaan heran dan ingin tahu membuat Badra melempar tubuhnya ke samping, langsung bergulingan ke tanah. Namun, ketika bangkit kembali, ludah itu masih mengejarnya!
Sekarang, murid kepala Perguruan Golok Malaikat ini pun tahu kalau serangan itu berbeda dengan serangan pada umumnya. Ludah itu seperti hidup! Bagaikan bermata, ludah itu terus memburu ke mana saja Badra mengelak.
Badra kehilangan akal, bagaimana caranya meloloskan diri dari serangan ludah yang terus memburunya. Maka dengan tekad baja dia ber-diam diri menanti. Dan ketika ludah itu meluncur dekat, disambutnya dengan babatan golok.
Wusss!
Kembali Badra terperanjat, begitu babatan goloknya hanya mengenai angin. Bagaikan hidup ludah itu bisa mengelak. Masih terbengong, pemu-da bercambang bauk ini belum menyadari bahaya mengancam. Gumpalan ludah yang tadi mengelak, terus berputaran kemudian terus melesat meng-hantam dahi Badra hingga tembus ke belakang kepala.
Crok!
"Aaa...!"
Darah bercampur otak menyembur, dibarengi teriakan menyayat hati dari mulut Badra. Tubuhnya ambruk, dan nyawanya melayang saat itu juga!
Tewasnya Badra, membuat belasan orang murid Perguruan Golok Malaikat tersadar dari rasa terpukaunya. Sejak tadi, mereka seperti terkena sihir. Bengong, memperhatikan tingkah pengejar mereka dan gumpalan ludah yang terus-menerus mengejar.
Kesadaran yang timbul menyebabkan ke-marahan hebat. Bagai diberi perintah, mereka ber-gerak menyerbu. Golok-golok berkelebat ke arah berbagai bagian tubuh Samukti.
Sementara, Samukti tetap diam di tempat dengan sikap tenang! Baru ketika mata-mata golok nyaris menyentuh tubuh, Samukti bersin.
"Haaashiii...!"
Keras suara Samukti. Akibatnya, serangan golok-golok yang siap mencincang tubuhnya jatuh ke tanah. Saat itu juga para pengeroyok merasa-kan sekujur tubuh mereka lemas. Bunyi bersin Samukti membuat tenaga mereka terasa lenyap begitu saja. Bahkan seluruh urat mereka terasa lumpuh!
Samukti tertawa mengejek. Dan saat itu ju-ga, kedua tangannya dikibaskan bagaikan orang mengusir nyamuk. Hebatnya tubuh murid-murid Perguruan Golok Malaikat, berpentalan tak tentu arah bagaikan daun-daun kering diterbangkan an-gin keras.
"Setan! Siapa yang telah berani mengacau Perguruan Golok Malaikat?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakang, begitu Samukti menyelesaikan sepak terjangnya. Pemuda itu segera berbalik. Dan sepasang matanya langsung terbelalak, seperti melihat hantu di tengah hari bolong.
Ketika sama-sama menatap, sosok yang mengeluarkan bentakan terperanjat. Bahkan sam-pai melangkah mundur. Raut wajahnya menun-jukkan keterkejutannya yang tidak bisa disembu-nyikan.
"Kau..., kau..., Samukti...?!" tanya sosok yang ternyata gadis berpakaian biru. Tangannya yang berjari lentik serta halus ditudingkan ke depan.
Samukti tersenyum lebar, setelah berhasil meredam rasa kagetnya.
"Syukurlah kalau kau masih ingat padaku. Bukankah kau, Sunti Ranti?! Tak kusangka, kau masih seperti dulu. Cantik manis. Bahkan jauh lebih cantik."
Gadis bernama Sunti Rani berwajah cantik manis dengan bentuk tubuh menantang. Wajahnya memerah seketika mendengar pujian yang jelas mengandung kekurangajaran itu.
"Mau apa kau kemari, Samukti?! Kini, kau bukan murid Perguruan Golok Malaikat lagi?! Ingat! Ayah telah mengusirmu dan tidak mengakuimu sebagai murid! Atau kedatanganmu hendak minta dihajar?!, Biar aku saja yang mewakili Ayah untuk memberi pelajaran padamu!"
"Ha ha ha...!"
Samukti tertawa bergelak. Sikapnya terlihat merendahkan sekali. Sementara sepasang ma-tanya yang nakal menatap penuh minat sekujur tubuh dan wajah Sunti Rani.
"Kau keliru, Sunti! Aku datang bukan ingin kembali menjadi murid di sini. Aku tak menganggap Perguruan Golok Malaikat sebagai perguruanku lagi. Bahkan kuanggap sebagai musuh! Begitu pula dengan ayahmu yang kejam itu!"
"Ayah tidak kejam! Justru kaulah yang manusia tak tahu budi. Hampir tujuh tahun kau dididik, namun kepandaianmu dipergunakan untuk mencoreng muka Ayah dengan perbuatan nistamu! Dan kalau Ayah tidak keburu datang, anak perawan orang sudah kau garap habis-habisan!"
"Apa salahnya, Sunti?!" kilah Samukti. "Seharusnya Ayahmu membelaku. Bayangkan, aku mengutarakan cinta dan kekagumanku secara baik-baik, tapi gadis liar justru mencaci makiku! Siapa yang tidak kalap?! Untuk membalas sakit hatiku, ku perkosa saja dia! Sayang, Ayahmu yang tak tahu diri itu mencegahku!"
"Tutup mulutmu yang busuk itu, Samukti! Manusia bejat sepertimu seharusnya berterima kasih telah tercegah dari perbuatan keji! Kau be-nar-benar orang yang berwatak kotor! Kalau kau berbuat sopan dan tak mengajak yang tidak-tidak, kurasa gadis itu tak akan marah!"
"Sudahlah, Sunti. Lupakan saja masalah itu! Aku tak begitu minat dengan gadis terkutuk itu. Keberadaanmu di sini membuat mata hatiku tak tertarik lagi dengan gadis-gadis lain yang bahenol sekalipun. Ketika kulihat wajah dan bentuk tubuhmu, sudah bisa ku perkirakan betapa nik-matnya bermain cinta denganmu, Sunti. Dan...," Samukti makin ngawur.
"Tutup mulutmu yang kotor, Samukti!"
Sunti Ranti yang sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi langsung melompat menerjang Samukti. Tangan kanannya dihantamkan ke arah kepala pemuda berpakaian coklat itu.
Tapi tanpa menggeser tubuhnya sedikit pun, Samukti mengibaskan tangannya, menangkis serangan.
Plak!
"Aaakh!"
Sunti Ranti memekik tertahan, ketika tangannya berbenturan dengan tangan Samukti. Kemudian dengan sekali sentak Samukti telah mem-buat tubuh Sunti Ranti terhuyung ke depan. Dan kesempatan itu digunakan Samukti untuk meno-tok.
Tuk! Tuk!
Sunti Ranti merasakan tubuhnya lemas. Dan sebelum tubuh gadis itu ambruk, saat itu juga dengan buas Samukti menyambutnya. Direngkuhnya tubuh gadis itu dalam sebuah dekapan erat penuh nafsu. Kemudian dengan ganasnya, diciuminya wajah gadis itu.
Sunti Ranti ingin menjerit, namun tidak ada suara yang keluar. Dua buah totokan, membuat urat suara dan tubuhnya tak berguna sama sekali. Dia hanya bisa pasrah atas semua tindakan Sa-mukti terhadapnya. Dibiarkannya saja sekujur tubuhnya dihajar tangan Samukti.
"Manusia terkutuk! Lepaskan dia...!"
Mendadak terdengar teriakan menggeledek begitu kuat tenaga dalam yang terkandung, membuat tempat sekitarnya bergetar hebat. Saat itu juga Samukti menghentikan tindakannya. Matanya tampak merah karena merasa terganggu keasyi-kannya. Seketika perhatiannya beralih pada sosok yang mengeluarkan bentakan. Seorang kakek beralis merah yang wajahnya tampak merah padam. Marah!
Samukti tersenyum sinis. Tanpa mengenal kasihan tubuh Sunti Ranti yang tengah dipeluknya di dorong begitu saja hingga jatuh keras ke tanah.
"Akhirnya kau muncul juga, Golok Malaikat! Kukira kau terus bersembunyi di kandang mu!" ejek Samukti sambil menatap
mata kakek bera-lis merah yang dipanggil Golok Malaikat
"Erghhh...!"
Golok Malaikat menggeram. Sepasang ma-tanya membelalak hendak menelan pemuda di hadapannya bulat-bulat
"Oh! Ternyata kau, Murid Murtad! Manusia tak kenal budi! Menyesal, kenapa dulu tak kuhabisi saja nyawamu agar tidak menimbulkan buntut tak baik seperti ini!" geram Golok Malaikat dengan suara bergetar penuh kemarahan.
"Sayang sekali, Tua Bangka Bau Tanah! Kau tak melakukannya. Dan kau pantas menyesalinya seumur hidup. Sekarang kedatanganku kemari untuk membalas sakit hatiku karena kau menggagalkan rencanaku!"
"Kau bebas bertindak bila sanggup membuatku menjadi mayat, Biadab!"
"Sama sekali tidak, Tua Bangka!" Samukti menggeleng. "Aku justru menginginkan kau tewas belakangan. Terlebih dulu, semua muridmu akan kubantai. Kemudian putri mu si montok Sunti Ranti akan ku perkosa sampai mati di depanmu. Agar kau merasakan sakit hati yang mendalam. Dan kau, akan ku tinggalkan hidup-hidup, dalam keadaan tak berguna seumur hidupmu! Bagaimana, Tua Bangka! Asyik, bukan?"
"Kaulah yang akan kubunuh lebih dulu sebelum maksudmu terlaksana, Biadab!"
Golok Malaikat langsung mencabut senjata andalannya yang telah menggemparkan dunia per-silatan. Dia menjadi pentolan golongan putih yang ditakuti kawan maupun lawan, karena kehebatan goloknya. Dan kali ini golok itu disiapkan untuk menghadapi Samukti yang disadari bukan lagi la-wan ringan.
Golok Malaikat telah bisa menduga kalau Samukti telah memiliki kepandaian tinggi. Ini terlihat hanya dengan segebrakan saja, Sunti Ranti yang telah mewarisi hampir seluruh kepandaiannya, di buat tak berdaya.
Maka dibarengi teriakan melengking keras, Golok Malaikat menyerang Samukti.
Golok sakti Golok Malaikat tak terlihat ben-tuknya. Yang tampak hanya seleret bayangan mengurung seluruh jalan lolos Samukti. Bunyi nyaring yang terjadi akibat putaran golok merobek udara, memaksa murid-murid Perguruan Golok Malaikat yang telah siuman menutup telinganya karena merasakan sakit seperti ditusuk jarum.
Tetapi, kelihatan Samukti benar-benar luar biasa! Meski hanya bertangan kosong, amukan Golok Malaikat mampu dihadapi. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, setiap serangan kakek itu dikandaskan. Tak jarang pemuda ini menangkis dengan tangan telanjang. Dan setiap tangkisan Samukti, membuat tubuh Golok Malaikat ter-huyung-huyung ke belakang dengan tangan tergetar hebat.
Golok Malaikat tampak kelabakan, ketika Samukti melancarkan serangan balasan. Dan ken-dati bertangan kosong, serangan-serangan Samuk-ti tidak kalah berbahaya!
Golok Malaikat sadar, bahaya telah mengancam keselamatan murid-murid dan juga putrinya. Maka sambil terus mengadakan perlawa-nan sengit, dia menyempatkan diri untuk menyuruh murid-muridnya kabur. Sementara putrinya tidak diperintahkan untuk pergi karena tahu kalau Sunti Ranti dalam keadaan tertotok!
Entah karena patuh terhadap perintah ketua mereka, atau karena takut dan gentar melihat kesaktian Samukti, belasan murid Perguruan Golok Malaikat segera kabur meninggalkan tempat itu. Mereka sadar, Samukti tidak akan dapat di-tandingi! Hanya beberapa orang yang tidak kabur, karena merasa tak tega untuk meninggalkan guru mereka yang tengah sendirian menghadapi maut.
–––––––– 5
Samukti, memang berwatak keji. Melihat belasan murid Perguruan Golok Malaikat berlarian meninggalkan tempat itu, cepat bagai kilat dia me-runduk meraih beberapa kerikil di tanah. Lalu seketika itu pula dilemparkannya kerikil-kerikil itu ke arah murid-murid Perguruan Golok Malaikat
"Aaa...! Aaakh...!"
Jeritan-jeritan menyayat hati terdengar ke-tika kerikil-kerikil yang dilemparkan Samukti, memecahkan kepala belasan murid perguruan yang tidak berdosa.
Golok Malaikat marah bukan main melihat kematian muridmuridnya, secara mengiriskan! Maka seluruh kemampuannya dikerahkan untuk bisa membunuh, atau paling tidak mati bersama. Namun, niatnya hanya sia-sia. Kemampuannya kini memang berada cukup jauh di bawah Samukti.
Malah pada satu kesempatan, gedoran tan-gan pemuda itu kontan membuat tubuh Golok Ma-laikat terjengkang ke belakang. Darah segar kon-tan tersembur dari mulutnya. Dan begitu jatuh di tanah, kakek ini tidak mampu bangkit lagi. Tergo-lek tanpa daya.
Samukti kini tertawa keji. Dipungutnya go-lok milik Ketua Perguruan Golok Malaikat yang terjatuh di tanah. Dan dengan dua jarinya, golok itu dilengkungkan seperti bumerang.
Kemudian masih dengan senyum keji, golok itu dilemparkan ke arah sisa murid perguruan Golok Malaikat yang masih setia menunggu ketuanya.
"Keji!"
Golok Malaikat memaki dengan hati pilu, ketika melihat golok itu melayang, langsung me-menggal kepala muridmuridnya. Tidak terdengar jeritan apa pun dari mulut mereka. Sementara go-lok itu kemudian melayang kembali ke tangan Samukti yang tampak tersenyum puas.
"Bagaimana, Golok Malaikat?! Nikmat bukan, sebuah pembalasan dendam?!" tanya Samukti penuh ejekan.
"Terkutuk kau, Samukti!" maki Golok Malaikat! Bunuhlah aku!"
"He he he...!"
Samukti tertawa terkekeh. Kemudian dihampirinya tubuh Sunti Ranti yang tergolek. Seketika, wajah Golok Malaikat pias. Demikian juga Sunti Ranti. Mereka tahu, Samukti akan membuktikan ancamannya.
"Seperti telah kukatakan tadi, urusan dengan mu belakangan, Golok Malaikat! Kau kujadikan saksi mata, hasil pembalasan dendam yang berkarat sejak lima tahun yang lalu!" Bret!
Baju di bagian dada Sunti Ranti langsung robek lebar, ketika jari-jari tangan Samukti me-renggutnya. Saat itu juga dua buah bukit kembar milik Sunti Ranti mencuat hendak melompat keluar.
Golok Malaikat hanya bisa memaki kalang kabut. Sedang Sunti Ranti merintih dalam hati. Sementara itu Samukti menatap dua bukit kembar yang berkulit putih mulus dengan buas seperti se-pasang mata harimau lapar yang melihat kambing gemuk!
Sunti Ranti menjerit tertahan dalam hati, ketika Samukti bersiap menerkam tubuhnya. Ta-pi....
***
"Hanya manusia berhati binatang yang melakukan kekejian
seperti ini...!"
Belum sempat Samukti melampiaskan hasratnya, mendadak terdengar suara teguran yang tidak begitu lantang, namun terasa jelas ada nada kemarahan di dalamnya.
Samukti geram bukan kepalang. Dia tahu, ada orang yang hendak mencampuri urusannya. Dengan perasaan geram kepalanya ditolehkan ke belakang.
Di pintu gerbang, telah berdiri tenang seorang pemuda berpakaian ungu berambut putih keperakan. Siapa lagi kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak! Meski tenang, sepasang matanya yang tajam mencorong sarat ancaman. Memang, Dewa Arak paling benci bila melihat tindakan tak senonoh terhadap wanita!
Samukti yang sudah murka, kembali menggeram. Tangannya segera dijulurkan ke arah Golok Malaikat yang tengah tergolek. Sedangkan kakek itu hanya bisa memejamkan mata, pasrah menunggu datangnya maut!
Tapi maut yang ditunggu tidak kunjung datang. Kakek ini merasakan adanya angin keras menghamburkan rambutnya. Dan ketika matanya terbuka, di tangan Samukti telah tergenggam segumpal rambut miliknya!
Mendapat perlawanan demikian, Golok Malaikat tersinggung bukan main. Bagaimanapun ju-ga, dia adalah bekas guru Samukti yang wajib dihormati. Namun tindakan pemuda bejat ini justru sebaliknya, menghina!
Di lain pihak, Samukti tidak peduli. Begitu rambut Golok Malaikat berhasil diraihnya, langsung dibawanya ke depan mulut. Lalu, segera di-tiupnya. Maka puluhan helai rambut itu meluncur ke arah Dewa Arak laksana jarum-jarum panjang.
Dewa Arak mengibaskan tangannya, menciptakan angin besar yang meluruk ke arah rambut-rambut itu. Akibatnya laju rambut itu tertahan, bahkan lemas seperti semula dan jatuh ke tanah.
Kegagalan serangan ini membuat Samukti, gelap mata! Maka segera dilontarkannya pukulan bertubi-tubi ke arah Dewa Arak. Padahal, jarak mereka terpisah sekitar delapan tombak!
Dewa Arak yang tengah murka, karena melihat tindakan pemuda berbaju coklat itu terhadap Sunti Rani, kini bertindak tak tanggung-tanggung lagi. Serangan-serangan Samukti langsung disambutnya dengan cepat.
Bunyi berdesing dan berkesiutan nyaring terdengar, ketika dua tokoh sakti yang sama-sama muda saling memukulkan tangan masing-masing.
Pletar! Tar!
Terdengar letupan-letupan keras ketika pukulan-pukulan jarak jauh itu berbenturan di tengah jalan. Dan setiap kali terjadi benturan, tubuh keduanya sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Serangan yang gagal ini rupanya tidak memuaskan Samukti. Pemuda ini tampak marah bukan main dengan wajah merah padam. Sepasang matanya terbelalak, seperti hendak menelan bulat-bulat Dewa Arak. Kemudian dia berdiri diam, dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.
Lalu, matanya terpejam.
Dewa Arak terdiam sejenak mengamati tindakan lawannya, meski tak menghilangkan ke-waspadaannya.
"Urai Raga...!"
Samukti membentak keras begitu mata terbuka. Sesaat kemudian, Dewa Arak tertegun. Sedangkan Golok Malaikat dan Sunti Ranti terpaksa mengucak-ucak mata masing-masing karena tidak percaya dengan apa yang terlihat
Tampak, tubuh Samukti perlahan-lahan meninggi dan membesar. Dewa Arak dan Golok Malaikat yang telah kenyang pengalaman langsung menduga kalau hal seperti itu tidak mungkin bisa dilakukan manusia. Maka, kedua tokoh ini secepatnya mengerahkan kekuatan batin untuk menekan alam bawah sadarnya, kalau apa yang terlihat adalah tipuan belaka.
Tapi betapa kagetnya hati Dewa Arak dan Golok Malaikat, ketika melihat pemandangan yang terlihat tidak berubah sama sekali. Bahkan, tubuh Samukti semakin tinggi dan membesar!
Sementara Dewa Arak mengerahkan seluruh kekuatan batinnya. Kemudian dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya, pemuda berambut putih keperakan ini membentak keras.
"Asal kecil, kembali kecil!"
Berkali-kali Dewa Arak mengeluarkan teriakan keras, yang membuat suasana sekitarnya bergetar seperti ada halilintar yang menyambar. Na-mun, penglihatan yang tertangkap mata pemuda itu tetap saja tidak berubah. Malah, tubuh Samukti semakin membesar dan meninggi.
Melihat kenyataan ini, Dewa Arak pun sadar kalau pemandangan yang tampak adalah kenyataan sesungguhnya.
Meskipun diliputi rasa ketidakpercayaan, pemuda berambut putih keperakan ini terpaksa harus mengakuinya.
Dan yang dapat dilakukan Dewa Arak hanya menunggu sampai perkembangan tubuh Samukti berhenti. Kini jantung Arya mendadak berdetak keras.
Akhirnya penantian Arya berakhir. Perkembangan tubuh Samukti terhenti, ketika tubuhnya mencapai tinggi satu setengah tombak! Tidak hanya tinggi, tapi juga besar! Sehingga Samukti sekarang kelihatan seperti bukit kecil.
"Ha ha ha...!"
Samukti tertawa bergelak, penuh kegembiraan dan rasa bangga.
"Sekarang kau akan kuhancurkan orang usil!"
Dewa Arak terhuyung-huyung sambil mendekap kedua telinga. Untuk pertama kalinya, dia tidak mampu melawan pengaruh tawa yang menyerang telinga dan menekan jantungnya dengan tenaga dalamnya. Tawa itu demikian keras, tak ubahnya halilintar! Bahkan jantungnya bagai melompat-lompat dengan kepala terasa pening!
Samukti rupanya tahu kejadian yang tengah dialami Dewa Arak. Maka, tawanya segera dilanjutkan. Tindakannya membuat Dewa Arak semakin kelabakan bak cacing kepanasan. Tubuh Dewa Arak terus menggeliat-geliat
Keadaan Dewa Arak mengkhawatirkan sekali. Tubuhnya sempoyongan bagai orang mabuk berat. Kedua tangan didekapkan erat-erat pada kedua telinga. Wajahnya pun tampak memerah bagai kepiting rebus.
Sementara, daun-daun berguguran dari pohon. Bangunanbangunan yang terbuat dari kayu berderak-derak keras seperti hendak roboh. Malah beberapa saat kemudian, bagian demi bagian ban-gunan terlepas.
Golok Malaikat dan Sunti Ranti sudah pingsan sejak tadi akibat pengaruh tawa itu. Padahal mereka tidak terlalu mendapatkan pengaruh tawa Samukti. Karena tawa itu ditujukan jelas untuk Dewa Arak.
"Aaa...!"
Dalam upaya untuk menangkal pengaruh tawa, Dewa Arak menjerit sekeras-kerasnya. Dalam cekaman rasa sakit yang menggelegak, pemuda itu berusaha terus melawan pengaruh tawa yang menyakitkan itu.
Ranting-ranting langsung jatuh dari dahan pohon. Angin bertiup tak tentu arah, akibat perta-rungan aneh antar tenaga dalam.
Ternyata jeritan itu tidak terlalu banyak menolong Dewa Arak. Maka sambil tetap menjerit keras, Arya melompat menerjang Samukti. Guci araknya diayunkan deras ke arah kepala Samukti. Dewa Arak memang bermaksud secepatnya mero-bohkan lawan yang amat berbahaya ini!
"Hukh...!"
Keluhan tertahan keluar dari mulut Dewa Arak. Tubuhnya bagaikan menabrak sebuah dinding yang tidak tampak, begitu berjarak setengah tombak dari Samukti. Kekuatan dahsyat, membuat tubuhnya terjengkang deras ke belakang.
Begitu tubuh Arya jatuh ke tanah, Samukti mengirimkan dorongan pukulan jarak jauh dengan tangan kanan-kiri secara bergantian.
Untung, Dewa Arak sempat berkelit dengan menggulingkan diri. Kalau tidak, nasibnya sama dengan tanah tempatnya tergolek tadi, yang langsung berlubang sedalam kuburan gajah!
Dewa Arak bergidik! Selama petualangan-nya, belum pernah dia bertemu tokoh yang mem-punyai kekuatan tenaga dalam seperti ini! Hanya dorongan tangan saja mampu menimbulkan lubang besar pada tanah! Samukti yang sebesar raksasa ini, bahkan memiliki kekuatan lebih dahsyat daripada Raga Pitu (Untuk mengetahui lebih jelas tentang tokoh Raga Pitu, silahkan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Panggilan ke Alam Roh").
Samukti menggeram laksana harimau murka melihat serangannya gagal. Kemudian dengan kedua tangannya dilakukannya gerakan menarik.
Dewa Arak terperanjat bukan kepalang ketika merasakan ada kekuatan dahsyat yang menarik tubuhnya ke arah Samukti! Meski dalam keadaan tergolek di tanah, Arya masih mampu untuk bertahan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk menolak tarikan lawannya. Kendati demi-kian, tubuhnya tetap terseret juga.
Begitu telah dekat, Samukti yang tengah kalap itu cepat menggerakkan kakinya menjejak perut Dewa Arak. Tentu saja, Arya tidak ingin tubuh dan seluruh isi bagian dalam dadanya hancur berantakan. Maka tangannya segera diulurkan untuk menangkap kaki itu dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Tetapi, ternyata Arya hanya mampu berta-han sebentar. Disadari apabila memaksakan diri terus, tulang-tulang tangannya akan patah. Bahkan kaki yang luar biasa besar itu akan berhasil menjejak dadanya. Maka sambil melepaskan tangan, tubuhnya digulingkan.
Dewa Arak bermaksud menjauhkan diri. Namun, ternyata pemuda berambut putih keperakan ini tengah tidak mujur. Tangan Samukti yang besar dan kekar telah berhasil mencekal tengkuknya.
Samukti mengerahkan tenaga untuk menghancurkan tulang leher Arya. Sebaliknya, Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalam, untuk bertahan. Dia tidak ingin tulangnya hancur hingga tewas mengenaskan.
Dewa Arak tahu, bila keadaan seperti ini terus berlangsung tak lama lagi, dia akan tewas dengan tulang leher hancur. Jepitan tangan Sa-mukti benar-benar luar biasa. Dan Arya merasa tidak mampu bertahan lebih lama lagi.
Untungnya, kekhawatiran Dewa Arak tidak terbukti. Setelah beberapa saat tidak berhasil menghancurkan tulang leher Dewa Arak, Samukti kehilangan kesabaran. Maka dengan gemas tangannya diayunkan. Seketika, tubuh Dewa Arak pun melayang jauh dengan cepat. Begitu cepatnya, hingga melewati pagar tembok yang mengelilingi bangunan di dalam rumah Perguruan Golok Malaikat.
Samukti yang masih belum puas mengumbar amarah, mengedarkan pandangannya. Tampak tubuh Golok Malaikat tergolek pingsan. Hanya dua langkah, pemuda ini berada di dekat tubuh itu. Dan tanpa mengenal belas kasihan lagi, segera diinjaknya dada Golok Malaikat
Terdengar bunyi berderak keras dari tulang-tulang yang hancur. Darah mengalir keluar dari hidung, mata, mulut, dan telinga Ketua Perguruan Golok Malaikat. Maka seketika nyawanya copot dari raga.
Korban satu nyawa belum membuat puas Samukti.
Pandangannya kembali beredar. Kali ini matanya tertumbuk pada tubuh Sunti Ranti. Pemuda berpakaian coklat ini bergegas menghampiri. Namun baru setindak, tiba-tiba langkahnya terhenti. Tangan kanannya seketika memegangi kepala. Wajahnya menyeringai kesakitan. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung-huyung.
Demikian hebat, rasa sakit yang diderita Samukti, hingga tubuhnya membungkuk ke depan. Kali ini dua tangannya memegang kepala. Sedangkan seringai kesakitan yang terdengar sema-kin keras.
"Aduuuh...!"
Samukti tak tahan untuk tidak mengelua-rkan keluhan. Kemudian tubuhnya berbalik, dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bumi terasa bergetar, ketika kaki Samukti yang besarbesar menginjak tanah berkali-kali.
Tapi, rasa sakit yang mendera membuat lari Samukti tidak tetap. Tubuhnya terhuyung ke sana kemari.
"Panas...! Panas...! Air...! Air?..!"
Di antara derap langkah kakinya, Samukti berteriak seperti itu. Memang, pemuda berpakaian coklat ini merasakan bagian dalam kepalanya terasa panas bukan kepalang seperti ada api di dalamnya. Itulah sebabnya, yang dibutuhkan Samukti adalah air untuk merendam kepalanya.
Ketika tubuh Samukti lenyap dari pandangan mata, Sunti Ranti telah sadarkan diri. Semula, gadis ini kebingungan ketika melihat suasana sekitar sepi! Tidak terlihat adanya pertarungan lagi. Namun ketika matanya menatap mayat di depan-nya, seketika Sunti Ranti menjerit. Mayat yang terbujur remuk itu tak lain dari Golok Malaikat, ayahnya!
Namun, jeritan Sunti Ranti hanya tertahan di tenggorokan. Karena, dia masih dalam pengaruh totokan. Namun karena sebuah totokan memiliki batas waktu, maka lama kelamaan pengaruh toto-kan di tubuh Sunti Ranti sirna.
Bergegas Sunti Ranti menghampiri mayat ayahnya. Dan gadis itu segera bersimpuh di hada-pan Golok Malaikat, kemudian menangis sejadi-jadinya.
"Keparat kau, Samukti! Apa pun yang terjadi, aku akan mencarimu! Akan kubalas semua sakit hatiku!" desis Sunti Ranti penuh ancaman.
–––––––– 6
Byurrr!
Luncuran tubuh Dewa Arak berakhir di sungai. Tubuhnya terus saja tenggelam ke dalam air. Sisa-sisa tenaganya dikerahkan untuk mencapai ke permukaan sungai.
Begitu muncul di permukaan sungai, pemuda berambut putih keperakan ini benar-benar tidak mampu berbuat banyak. Karena, arus sungai yang membuat tubuhnya meluncur cepat terbawa arus yang makin lama makin deras.
Berdasarkan pengalaman, Dewa Arak tahu kalau aliran sungai yang makin deras pertanda telah dekat air terjun. Berarti, sebentar lagi, tubuhnya akan dihempaskan ke bawah. Padahal, biasanya di sana batu-batu telah siap melahapnya.
Sementara, tubuh Arya terus meluncur terbawa arus sungai. Sesaat kemudian, telinganya mendengar bunyi air terjun yang menderu-deru. Dalam keadaan seperti ini, untuk melawan arus sungai pun tidak ada gunanya.
Arya hanya mampu memejamkan mata ketika tubuhnya melayang dari atas puncak air terjun.
Sudah terbayang di benaknya, kalau tubuhnya akan jatuh terhujam batu-batu karang yang bertebaran di tempat tumpahan air terjun.
Tapi di saat tubuh Dewa Arak melayang jatuh, satu sosok yang tengah duduk di bongkahan batu di pinggir tempat jatuhnya air terjun melihatnya. Sikapnya tampak murung. Dan kebetulan, saat tubuh Arya melayang jatuh, kepalanya tengah mendongak ke atas.
Tanpa menunggu lebih lama, sosok itu me-lolos sabuk dan melemparkannya. Bagaikan hi-dup, sabuk itu meliuk-liuk, langsung melingkari pinggangnya membentuk simpulan erat. Selanjutnya, sosok itu bergerak menyentak.
Arya mendarat di batu datar dan luas di depan sosok itu, bagaikan diletakkan oleh tangan yang tidak tampak. Meski masih lemah, Arya berusaha untuk tersenyum dan mengangguk.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ujar Arya penuh rasa syukur. Pada sosok yang ternyata seorang kakek bertangan satu.
Dewa Arak mencoba duduk bersila berhadapan dengan kakek penolongnya. Kebetulan batu itu cukup luas.
"Berterima kasihlah pada Tuhan," jawab kakek bertangan satu. "Tanpa perkenannya, se-muanya tak berarti apa-apa. Aku yakin, semua ini telah di atur Yang Maha Kuasa. Dan aku hanya sebagai perantara saja, agar dapat menolong orang yang berjiwa bersih sepertimu, Anak Muda."
"Terima kasih atas pujian mu, Kek. Aku tak berani menganggap diriku sebagai orang yang berjiwa bersih. Namun, aku akan berusaha untuk menjadi seperti itu. O, ya. Namaku Arya Buana, Kek. Dan, orang-orang biasa memanggilku, Arya!"
Kakek bertangan satu itu tercenung sejenak, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Meski telah cukup lama mengasingkan diri, aku juga dengar tentang munculnya seorang pen-dekar muda sakti yang berjuluk Dewa Arak! Apakah kau sendiri yang dimaksudkan?! Kulihat, rambutmu putih keperakan. Pakaianmu ungu. Di punggungmu, ada guci arak. Dan yang lebih pent-ing lagi, sepasang matamu mencorong tajam pe-nuh kekuatan tenaga dalam. Aku yakin, tokoh sakti setenar Dewa Arak pasti memiliki mata seperti itu," ungkap kakek bertangan satu.
"Begitulah orang menjuluki aku, Kek. Namun, aku yakin tidak ada artinya bila dibandingkan dengan nama besarmu. Boleh ku tahu, siapa kau sebenarnya, Kek?!" tanya Arya hati-hati.
Kakek bertangan satu tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia malah tercenung sejenak.
"Sebenarnya, aku bermaksud untuk membawa mati rahasia busuk mengenai perbuatan terkutuk yang kulakukan di akhir hidupku!" jelas. kakek itu, bernada mengeluh.
"Lebih baik, kau tidak usah menceritakannya daripada menjadi beban batinmu, Kek. Dan...."
"Tidak perlu sungkan atau merasa kecil hati, Dewa Arak! Justru aku ingin menceritakannya. Dan kebetulan kau, sepertinya layak dipercaya. Aku tidak ingin perbuatan terkutuk yang kulakukan, membuat hatiku gelisah dan selalu dikejar-kejar perasaan bersalah. Dengan menceritakan pada orang lain, beban batin ku akan berkurang."
Dewa Arak diam, tidak memberi tanggapan sama sekali. "Namaku, Sangga Langit! Tapi, orang lebih suka memanggilku Eyang Sangga Langit," kakek bertangan satu memulai keterangannya. "Aku mempunyai.... Yahhh, katakanlah sebuah perguruan. Hanya saja, jumlah muridku tidak banyak. Hanya beberapa orang. Di antara mereka, yang paling menonjol adalah putri seorang sahabat yang sengaja dititipkan padaku. Seorang gadis cantik bernama Witari, yang memiliki kemampuan di atas kawan-kawannya. Ini karena ketekunannya dan juga bakatnya."
Arya diam-diam terkejut ketika mengetahui kakek di hadapannya adalah Eyang Sangga Langit. Nama kakek itu telah lama dikenal sebagai seo-rang tokoh sakti yang memiliki kepandaian yang luar biasa! Bahkan banyak memiliki ilmu gaib yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. Hanya sa-ja, jarang ada orang yang tahu tempat tinggalnya.
"Setelah mengajarkan semua kemampuan yang kumiliki kepada murid-muridku, aku lalu mengasingkan diri. Pekerjaanku, setiap hari adalah bersemadi dan memusatkan perhatian untuk menciptakan ilmu-ilmu lainnya," lanjut Eyang Sangga Langit setelah terdiam sejenak untuk mengambil napas. "Tapi baru beberapa bulan, Witari muncul. Tepat pada saat yang bersamaan, aku terserang rasa gelisah yang begitu mendadak dan aneh. Rasa gelisah ini timbul karena alam bawah sadarku yang sering kuasah menjadi tajam, merasakan adanya hal mengerikan yang bakal terjadi.
Tapi sayangnya, aku tidak sadar dengan firasat yang kuterima. Dan ternyata, malapetaka besar yang mampu membuat alam bawah sadar ku itu demikian gelisah berasal dari muridku."
"Apakah dia berkhianat?!" tanya Arya tidak sabar, karena rasa ingin tahunya.
"Tidak! Sama sekali tidak!" Eyang Sangga Langit menggeleng.
Kemudian lelaki tua ini menceritakan semuanya secara lengkap. Beberapa kali, Arya sampai mengeluarkan seruanseruan kaget mendengar semua cerita yang disampaikan kakek bertangan satu itu.
"Kalau begitu..., aku telah bertarung melawan Witari palsu yang kau maksudkan, Eyang," ujar Arya, ketika Eyang Sangga Langit menyelesaikan ceritanya.
"Ahhh...! Benarkah demikian, Arya?! Maksud ku..., kau telah berhadapan dengan orang yang telah menipuku untuk
mendapatkan ilmu 'Urai Raga'?!"
***
Kata-kata Eyang Sangga Langit terdengar bergetar.
Wajahnya diliputi rasa kaget dan tidak percaya.
"Sebenarnya aku tidak yakin, Eyang. Tapi mungkin saja kalau orang yang kuhadapi adalah orang yang menyamar sebagai Witari. Masalahnya, sewaktu bertarung beberapa kali dan tidak mampu mengalahkanku, dia kelihatan mulai penasaran.
Lalu disebutnya satu ilmu yang bernama 'Urai Raga'! Sesaat kemudian...."
"Tubuhnya membesar dan meninggi...?!" se-lak Eyang Sangga Langit tidak sabar menunggu kelanjutannya.
"Benar...!" jawab Arya cepat.
"Itulah ilmu 'Urai Raga' milikku!" pekik Eyang Sangga Langit setengah mengeluh.
"Sebuah ilmu yang mengerikan!"
Tanpa sadar Arya mengeluarkan kata-kata seperti itu karena masih terkenang akan kedah-syatan ilmu yang dipergunakan Samukti, sehingga membuatnya tidak berdaya sama sekali.
"Memang," kata Eyang Sangga Langit memberi persetujuan atas pendapat Arya. "Ilmu itu memang mengerikan dan akan menyebarkan maut, apabila berada di tangan orang yang berwatak angkara murka. Ilmu 'Urai Raga' membuat kemampuan seseorang berlipat ganda! Tenaga dalamnya menjadi sangat kuat. Sekujur tubuhnya seperti terlindung satu dinding kasatmata, sehingga tak satu pun serangan yang mampu menembusnya."
Arya mengangguk-anggukkan kepala, kare-na telah merasakan sendiri kebenaran cerita Eyang Sangga Langit.
"Lalu..., bagaimana cara mengalahkan ilmu itu, Eyang? Sepengetahuanku, tidak ada ilmu yang tidak punya kelemahan dan pantangan. Bisakah kau beritahukan padaku kelemahan ilmu itu, hingga keangkaramurkaan orang itu bisa ku cegah?" tanya Arya hati-hati, khawatir salah bicara.
Eyang Sangga Langit tidak langsung menjawab, tapi malah tercenung. Pandangannya diarahkan ke langit pada gumpalan awan yang tengah berarak.
"Aku sendiri belum pernah mempergunakan ilmu itu, karena memang belum lama kudapatkan. Jadi, bagaimana ku tahu kelemahannya. Tapi yang jelas, ada sebuah kelemahan besar dalam ilmu 'Urai Raga' yang dimiliki oleh Witari palsu itu!"
"Aku belum mengerti maksudmu, Eyang?!" desah Arya, tidak segan untuk mengutarakan ke-tidaktahuannya.
Eyang Sangga Langit tersenyum getir, sebagaimana halnya orang-orang yang tidak memiliki beban batin dalam hatinya. Kakek ini rupanya ma-sih teringat akan perbuatan terkutuknya yang dilakukan bersama Witari. Perbuatan terkutuk yang membuat batinnya terguncang hebat.
"Mungkin perlu sedikit kuberitahukan, Dewa Arak. Dunia ini dihuni oleh tidak hanya manusia saja. Namun, masih ada makhluk-makhluk lain yang tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba, ataupun dirasa. Tapi, mereka ada. Makhluk-makhluk ini di namakan makhluk gaib yang kasatmata. Tinggalnya pun di alam gaib. Tempat yang bagi sebagian orang sulit diterima akal sehat," Eyang Sangga Langit mulai dengan penjelasannya.
Arya terdiam. Dewa Arak juga percaya adanya makhlukmakhluk gaib beserta alamnya. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu mempunyai sesuatu dari alam gaib. Apabila diperlukan Belalang Raksasa-nya sewaktu-waktu bisa dipanggil untuk membantu (Mengenai belalang raksasa ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Dalam Cengkeraman Biang Iblis").
Makhluk-makhluk gaib itu ada yang berupa binatang, ilmu jin, setan, genderuwo, kuntilanak, tuyul, buto ijo dan Iain-lain sebagainya. Nah! Ilmu 'Urai Raga' itu kudapatkan, karena hubunganku yang erat dengan buto ijo. Namanya Tagula! Jadi, apabila kata 'Urai Raga' disebut, maka tubuh orang yang menyebutnya menjadi besar. Memang, tidak sebesar dan setinggi raksasa di alam gaib. Tapi paling tidak, dua kali lipat lebih tinggi dan le-bih besar dibanding ukuran orang pada umum-nya."
"Jelasnya ilmu 'Urai Raga' mempunyai kelemahan, Eyang?" desak Arya meminta penegasan.
"Tidak!" sahut Eyang Sangga Langit lantang.
"Sepengetahuanku, tidak! Tapi, ilmu 'Urai Raga' yang dimiliki
Witari palsu itu ada kelemahannya!"
"Bisa kau beritahukan, mengapa dan bagaimana aku bisa mengalahkannya melalui kelemahan yang dimilikinya?!"
"Tentu saja!" sahut Eyang Sangga Langit dengan suara dan sikap mantap. Tapi sebelumnya, maukah kau memenuhi permintaanku? Sebenarnya memang ini urusanku. Tapi karena aku sudah sangat tua dan tak mungkin lagi menempuh perjalanan jauh, maka kuminta tolong padamu, Dewa Arak. Maukah kau?!"
"Bersedia, Eyang. Tentu saja dengan syarat, tidak menyeleweng dari kebenaran!" jawab Arya mengajukan syarat.
"Tentu saja tidak, Dewa Arak!" timpal Eyang Sangga Langit cepat. Kau hanya kuminta mencari Witari, dan melindunginya kalau terjadi apa-apa. Aku tidak tahu, dia pergi ke mana. Mungkin kembali ke rumah orang tuanya. Aku benar-benar mengkhawatirkannya."
"Akan kuperhatikan semua kata-katamu, Eyang. Sekarang, beritahukanlah padaku. Apa kelemahan ilmu 'Urai Raga' yang dimiliki Witari palsu itu dan bagaimana aku bisa mengalahkannya!"
Kemudian Eyang Sangga Langit menjelaskan tentang kelemahan ilmu 'Urai Raga'. Sementara, Arya mendengarkan penuh minat.
"Satu pertanyaan lagi, Eyang. Tapi kalau kau tidak mau menjawabnya, aku tidak akan memaksa," ujar Arya ketika Eyang Sangga Langit telah memberitahukan kelemahan ilmu 'Urai Raga' yang dimiliki Samukti.
"Hm....!" gumam Eyang Sangga Langit, pelan.
"Apakah tempat ini berhubungan dengan ruangan di mana kau dulu hampir dibunuh Witari palsu?!" Eyang Sangga Langit mengangguk.
"Ada sedikit tambahan lagi, Eyang!" tambah Arya, agak terburu-buru karena pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba. "Apakah kau tahu, kalau pengaruh aneh yang melanda perasaanmu dan perasaan Witari tidak sewajarnya?! Kalau benar, berarti ada orang yang sengaja menginginkan terjadi. Untuk apa?! Dan apakah kau bisa menduga, siapa orang itu?!" Eyang Sangga Langit menautkan alisnya.
"Memang agaknya ada pihak ketiga yang telah mempengaruhiku. Dengan menggunakan ilmu gaib yang menjijikkan, dia berhasil menjerumuskanku ke lembah kehinaan! Sayang, aku tak tahu siapa orang itu. Kalau tidak, sudah kuhancurkan kepalanya!"
Arya tidak menanggapi lagi. Dia tahu, Eyang Sangga Langit bersungguh-sungguh dengan ancamannya. Kakek itu terlihat demikian terpukul akibat perbuatan terkutuk yang pernah dilakukannya.
"Kurasa sudah waktunya aku harus pergi, Eyang. Akan kucari Witari palsu itu. Dan, akan ku lenyapkan angkaramurkanya. Selamat tinggal, Eyang!" ucap Arya Buana sembari berpamitan.
"Selamat jalan, Dewa Arak! Selamat bertugas, semoga kau berhasil!"
***
Dewa Arak mengernyitkan alis dengan mata menyipit untuk lebih memperjelas pandangan. Di kejauhan tampak ada sesosok tubuh tengah berlari cepat menuju ke arahnya. Padahal, dia sendiri tengah berlari cepat menuju ke arah sosok itu.
Arya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Setitik harapan tumbuh di hatinya. Siapa tahu sosok, yang tengah melesat cepat ke arahnya itu Samukti!
Tapi seiring semakin dekatnya jarak, Arya mulai bisa menduga kalau sosok di depannya bukan Samukti. Pakaian sosok itu merah! Lagi pula, tubuhnya kecil dan ramping! Jelas, seorang wanita!
Jantung dalam dada Arya berdetak jauh lebih cepat, ketika menduga kalau sosok di depannya orang yang dimaksud Eyang Sangga Langit. Witari!
"Ah...!"
Arya berseru kaget, ketika wanita berpakaian merah terhuyung-huyung kemudian jatuh ke tanah. Semula hatinya heran. Tetapi ketika melihat ada sosok lain yang melesat cepat memburu ke arah gadis itu, Arya segera tahu apa yang telah terjadi. Sosok yang melesat belakangan itu, tengah mengejarngejar sosok yang diduga Witari! Dan bukan tak mungkin, sosok yang baru datang belakangan ini telah membuat Witari roboh! Entah dengan pukulan jarak jauh, atau serangan senjata rahasia!
"Tahan...!"
Arya mengeluarkan seruan keras, ketika melihat sosok itu menghampiri tubuh gadis berpakaian merah. Pemuda itu khawatir, sosok itu akan mengirimkan serangan maut.
Berbareng dengan teriakan itu, Dewa Arak mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya. Dan saat itu juga tubuhnya melesat cepat ke depan.
"Ah! Kiranya kau, Kek," desah Arya dengan suara lega, ketika melihat jelas siapa sosok yang tengah berdiri di dekat gadis berpakaian merah. Orang itu ternyata Janggara!
"Kita berjumpa lagi, Dewa Arak...!" Janggara juga berseru.
Dan Arya merasakan adanya nada gembira dalam suara Janggara. Wajah kakek itu pun berseri-seri.
"Dunia memang tidak terlalu luas, Kek," kilah Arya sekenanya, sambil menyempatkan diri untuk memperhatikan gadis berpakaian merah yang tergolek di tanah.
Meski sekelebatan, pemuda ini sempat melihat adanya tahi lalat di pipi kanannya. Tidak salah lagi, gadis ini adalah Witari!
Janggara melihat lirikan Arya.
"Kau kenal gadis ini, Arya?!"
"Ya, kira-kira begitu," sahut Arya, mengangguk. "Guru gadis ini pernah menyelamatkan nyawaku!"
Janggara terdiam. Kepalanya hanya mengangguk-angguk. Entah, apa arti anggukannya.
"Kelihatannya kau ada persoalan dengannya, Kek?!" pancing Arya ingin tahu.
–––––––– 7
Janggara menghela napas berat.
"Sebenarnya sih, tak ada masalah yang berarti. Kami secara kebetulan bertemu di jalan. Dia kutanya baik-baik, eh..., malah marah-marah dan menyerangku. Terpaksa aku melawan. Rupanya, dia tak kuat melawanku, dan melarikan diri. Karena aku telanjur penasaran, dia kukejar. Dan..., kurasa kejadian selanjutnya kau telah tahu sendiri, Arya," jelas Janggara.
Arya mengangguk.
"Aku bisa memaklumi, mengapa dia marah-marah padamu, Kek?! Gadis ini memang tengah mendapat masalah. Jadi, mungkin saja menjadi gampang tersinggung. Tapi, dia sebenarnya tidak jahat. Maka ku mohon, kau sudi mengampuninya. Aku akan membawanya kembali pada gurunya. Karena, guru gadis itu sendiri yang telah memintaku untuk mencarinya. Apakah kau bersedia memaafkan kelancangannya, Kek?!"
"Karena kau yang meminta, aku tidak punya pilihan lain, Arya. Aku percaya padamu. Dan ku putuskan masalah ku dengannya selesai!"
"Terima kasih, Kek. Sudah kuduga kau pas-ti akan bertindak bijaksana."
Janggara tertawa terkekeh.
"Ah...! Hampir aku lupa! Bagaimana nasib muridmu itu, Kek? Sudah berhasil kau selamatkan?!"
Wajah Janggara muram seketika itu juga.
Tentu saja Arya kaget, melihat kenyataan yang sama sekali tidak diduga. Meski kakek berwajah tirus itu tidak memberi jawaban, namun dari sorot matanya menyiratkan kegagalan.
"Hhh...!"
Janggara terlebih dulu menghembuskan napas berat, seperti hendak membuang ganjalan dalam dadanya.
"Kurasa tidak akan ada seorang pun yang sanggup menyelamatkan nyawa muridku itu, Arya."
"Lho mengapa, Kek?!" tanya Arya kaget campur heran.
Dewa Arak tahu, siapa Janggara. Kakek berwajah tirus yang memiliki kepandaian amat tinggi. Bahkan Arya tak berani menganggap kalau kepandaian kakek ini berada di bawah tingkatnya. Kalau Janggara saja sudah demikian putus asa untuk bisa berbuat sesuatu, bisa dibayangkan se-berapa kuat kesaktian lawan yang dihadapinya!
"Muridku menjadi tawanan seorang tokoh sakti, di sebuah tempat yang bernama Puncak Nirwana. Jangankan untuk bisa masuk ke dalam sana. Menghadapi dua penjaga di tiap-tiap pos pun, aku sudah tak mampu. Kalau hanya menghadapi seorang di antara mereka aku akan sanggup. Tapi, dua orang sekaligus?! Padahal, tingkat kepandaian mereka hanya berbeda sedikit denganku!"
"Puncak Nirwana?!" Arya mengulang nama tempat itu dalam hati sambil mengernyitkan alis.
Dewa Arak memang pernah mendengar nama Puncak Nirwana. Tapi, tempat itu lebih menye-rupai dongeng. Menurut berita yang tersebar, letak Puncak Nirwana teramat rahasia. Tidak ada seorang pun tokoh persilatan tahu, di mana tempat-nya. Sehingga, mereka hanya menganggap tempat itu sebagai dongeng semata!
"Benar. Mengapa?!" Janggara balas mengajukan pertanyaan.
"Tidak apa-apa, Kek. Kukira tempat itu hanya ada dalam dongeng. Masalahnya, belum pernah ada orang yang dapat menemukan tempat itu," jawab Arya jujur.
"Tempat itu memang benar-benar ada, Arya," jelas Janggara sungguh-sungguh. "Di sana tinggal keluarga yang amat sakti dan berkepandaian sangat tinggi! Jangankan majikannya. Baru para penjaganya saja, sudah jarang dapat tertandingi tokoh persilatan tingkat atas!"
"Benarkah demikian, Kek?!" tanya Arya se-tengah tak percaya.
"Benar, Arya," tegas Janggara mengangguk, mantap. "Kau kira, dari mana aku bisa memiliki kepandaian setinggi ini?!" Wajah Arya berubah.
"Jadi..., kau penghuni Puncak Nirwana, Kek?!"
"Bukan. Aku orang luar. Hanya kebetulan, mendapat pertolongan dan dijadikan sebagai pewaris ilmu-ilmu mereka. Tapi hanya sebagian kecil saja yang diturunkan padaku. Lainnya, tidak diturunkan karena merupakan ilmu keluarga! Jadi, hanya anggota keluarga saja yang bisa mempelajarinya!"
Dewa Arak terkejut bukan kepalang mendengar keterangan ini. Kalau penuturan Janggara benar, sulit dibayangkan betapa tingginya kepandaian keluarga di Puncak Nirwana. Dan andaikata mereka turun ke dunia persilatan dan membuat onar, siapa yang akan sanggup mengalahkannya?
"Mungkin kau pernah mendengar julukan Raksasa Kapak Maut dan Tuyul Bertenaga Raksasa?! Kalau tidak salah, sekitar lima belas tahun yang lalu?!" tanya Janggara.
Arya mengangguk, karena memang pernah mendengarnya. Kedua tokoh yang disebutkan tadi memang memiliki kepandaian dahsyat. Begitu menurut berita yang tersebar di dunia persilatan. Se hingga tokoh sakti pentolan dunia pendekar seperti Golok Malaikat harus menelan kenyataan pahit, dicundangi mereka dalam pertarungan satu lawan satu!
"Nah! Mereka adalah penjaga-penjaga jalan menuju Puncak Nirwana! Di tempat asal mereka tidak ada julukan apa pun. Tapi begitu turun gunung, muncul julukan atas mereka karena tindakan-tindakan mereka yang menggemparkan!"
"Kudengar mereka tidak jahat!" selak Arya mengajukan pendapatnya.
"Memang tidak! Mereka turun gunung karena mencariku. Aku kabur dari Puncak Nirwana, karena tidak tahan berdiam di sana terus menerus. Aku ingin langsung membalas sakit hatiku pada tokoh-tokoh hitam yang menyebabkan keluargaku tewas. Ayah, ibu, dan adik-adikku tewas oleh gerombolan perampok. Maka setiap tokoh golongan hitam adalah musuh besarku. Yang harus ku basmi!
"Pantas, kemarin dulu waktu didatangi kelompok tokohtokoh hitam, tindakanmu terlalu keras!" kata Arya menganggukangguk maklum.
"Yahhh...! Kira-kira demikian, Arya."
Suasana hening ketika Janggara menghentikan cerita. Saat itu, baru Arya teringat pada Wi-tari. Gadis ini ternyata tidak mampu bergerak sa-ma sekali dalam keadaan rebah miring. Rupanya, dia tertotok sehingga lumpuh.
"Ah...! Hampir aku lupa...?!"
Sambil berkata demikian, Arya mengibaskan tangan kanan ke bawah seperti orang mengebut lalat. Gadis berpakaian merah yang memang Witari merasakan jalan darahnya kembali lancar. Namun, dengan muka merah, dia bangkit dan menerjang
Janggara.
Tapi, hal itu sudah diperhitungkan Dewa Arak. Sebelum serangan Witari mengenai sasaran-nya, di kirimkan totokan dari jauh. Sehingga, tubuh Witari ambruk seperti semula ketika jalan darahnya di bagian bahu kanan tertotok.
"Maafkan aku, Witari. Kurasa kau telah dengar sendiri. Salah paham telah selesai. Syukur, Kakek ini mau memaafkan kesalahanmu. Kalau tidak.... Sudahlah. Tak usah kau perpanjang lagi masalah ini. Lagi pula aku mendapat tugas dari Eyang Sangga Langit untuk menjagamu dari mara bahaya. Gurumu
khawatir, terjadi sesuatu atas di-rimu!"
Witari diam, tidak menjawab sama sekali. Hal ini membuat Arya agak heran. Dia tahu, urat suara gadis ini tidak tertotok. Lalu, mengapa tidak mau bicara sama sekali? "Kalau menurut penda-patmu..., apa yang seharusnya kulakukan, Arya?!"
Pertanyaan Janggara membuat Arya mengalihkan perhatiannya pada kakek itu.
"Maksudmu untuk menyelamatkan nyawa muridmu itu, Kek?!" tanya Arya meminta kepas-tian.
"Benar, Arya. Melalui dua penjaga, Raksasa Kapak Maut dan Tuyul Bertenaga Raksasa, aku tahu Tuan Besar pemilik Puncak Nirwana itu mengajukan persyaratan, kalau aku ingin muridku kembali selamat."
"Apa syaratnya?!"
"Dia meminta ku untuk memulangkan se-mua pusaka yang dulu kubawa sewaktu kabur dari Puncak Nirwana!" jawab Janggara, malu-malu.
"Nah! Tunggu apa lagi?! Dia sudah bersikap bijaksana dengan memberikan pilihan bagi keselamatan muridmu, Kek. Bahkan tidak mau menghukum mu. Dia hanya minta pusakapusaka kembali! Sekarang, tinggal terserah padamu. Lebih berat pada pusaka, atau pada nyawa muridmu?"
"Itulah sulitnya, Arya. Pusaka yang dimaksud sudah tak ada lagi di tanganku!"
"Ah...! Mengapa bisa demikian, Kek?!" tanya Arya, tanpa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Aku menyembunyikannya di suatu tempat. Tapi ketika aku bermaksud mengambilnya lagi, ternyata telah hilang. Belakangan kuketahui kalau pusaka itu telah berada di tangan seorang pendekar. Aku ragu, bagaimana cara mendapatkannya kembali!"
"Mungkin kau bisa memintanya secara baik-baik, Kek?!" Arya mengajukan usul.
"Bagaimana mungkin, Arya?! Pusaka itu telah menjadi senjata andalan pendekar itu. Tanpa adanya pusaka itu, dia bagai macan yang telah dicabut gigi dan kukunya. Begitu yang kudengar menurut berita di dunia persilatan," bantah Janggara.
Suasana kembali hening.
"Kalau seandainya kau orangnya, bagaimana tindakanmu, Arya?! Ini, misalnya," pancing Janggara.
"Mungkin akan kuberikan, Kek. Tapi, mungkin pula tidak. Ini bukan masalah sembarangan. Bukankah pusaka tidak lebih berharga daripada nyawa. Pusaka masih bisa dicari gan-tinya. Sedangkan nyawa? Tidak!"
"Kalau begitu..., aku mohon kebijaksanaan mu untuk memberi pusaka itu padaku untuk menebus nyawa muridku itu, Arya," ujar Janggara.
Arya melompat ke belakang bagai disengat kalajengking. Wajahnya kontan berubah hebat.
"Apa maksudmu, Kek?! Jangan main-main!" seru Arya memperingatkan.
"Aku tidak main-main, Arya. Pusaka yang ku maksud memang ada padamu. Kaulah pendekar yang kumaksudkan," ungkap Janggara, bersungguh-sungguh.
Arya terpaku kaku di tempatnya, bagai orang terkena sihir. Pemuda ini kelihatan bingung sekali, karena tidak menyangka kalau pusaka yang dimaksudkan ada di tangannya.
"Jadi..., pusaka yang kau maksudkan itu adalah..., guci pusakaku ini, Kek?!" tanya Arya, terbata-bata.
Janggara mengangguk.
"Guci itulah yang kularikan dari Puncak Nirwana, Arya. Karena aku tahu betul khasiatnya. Mampu menawarkan racunracun, mampu membuat arak yang lemah sekali pun menjadi keras, dan dapat dijadikan senjata. Bahkan masih banyak lagi kehebatan lainnya. Aku tidak tahu, bagaimana pusaka itu bisa ada padamu. Tapi, ku mohon kesediaanmu untuk memberi guci itu padaku untuk di tukar nyawa muridku, Arya."
Arya tidak langsung memberi tanggapan. Dia masih berperang melawan batinnya. Dua keinginan yang berlawanan berkecamuk dalam ha-tinya. Satu sisi ingin memberi, di sisi lain menolak.
"Tidak bisakah yang lainnya, Kek?! Bukannya aku tidak peduli nasib muridmu atau terlalu tamak dengan pusaka. Sama sekali tidak! Tapi..., guci ini teramat penting artinya bagiku. Tanpa adanya guci ini, bagaimana mungkin aku berjuluk Dewa Arak. Bahkan ilmu 'Belalang Sakti' tidak akan bisa ku mainkan, tanpa guci ini. Julukan Dewa Arak mungkin akan hapus karenanya," kilah Dewa Arak, memberi alasan.
Janggara tersenyum pahit
"Seperti yang kukatakan tadi, Arya. Guci itu amat berarti bagi seorang pendekar. Laksana nyawa kedua baginya. Jadi, yahhh...! Aku tidak bisa mengharap terlalu banyak," desah Janggara.
"Beri aku kesempatan untuk berpikir, Kek," pinta Arya. "Ketahuilah. Kalau hanya dua alasan itu, aku tidak terlalu berat untuk melepaskannya. Meski berat, tapi mungkin aku akan memberikannya padamu. Betapapun juga, nyawa manusia jauh lebih berharga daripada pusaka."
"Jadi..., masih ada alasan lain yang membuat mu merasa keberatan, Arya?!" tanya Janggara agak kaget.
"Benar, Kek. Malah justru ini yang terberat! Perlu kau ketahui, guci ini pemberian guruku. Dan dia memberikan, untuk menjadi pelengkap ilmu andalan yang diwariskannya padaku!" "Ah...!"
Janggara mengeluarkan keluhan tanpa sempat ditahan lagi. Sebagai seorang tokoh persilatan yang menghargai hubungan murid dan guru, kakek ini tahu betapa pentingnya warisan seorang guru. Dan seorang murid wajib menjaga pemberian gurunya dengan sebaik-baiknya. Karena, itu sama dengan amanat Janggara pun tahu, rasa bimbang Dewa Arak semakin bertumpuk.
"Kurasa," Janggara membuka ucapan lagi dengan suara kering dan getir. "Aku tidak perlu melibatkanmu dalam hal ini, Arya. Biarlah kucari cara lain untuk menyelamatkan muridku."
Arya tidak memberi tanggapan. Keningnya tampak berkernyit, tengah berpikir keras.
"Aku mempunyai jalan lain, Kek. Bagaimana kalau kita pergi bersama-sama. Kita coba untuk meminta kebijaksanaan penghuni Puncak Nirwana itu. Kalau dia tetap tidak menerima, apa boleh buat. Mungkin guci itu terpaksa harus kuberikan. Biar bagaimanapun, benda itu toh asalnya dari sana," jelas Dewa Arak. "Sebuah usul yang baik, Arya," sahut Janggara tidak terlalu gembira. "Tapi terus terang saja, aku tidak terlalu yakin kalau Tuan Besar itu mau menerima kedatangan kita."
"Tapi tidak ada salahnya kita mencoba dulu, Kek?!" kilah Arya memberi semangat.
"Kau benar, Arya. Tapi...."
"Apa yang perlu diragukan lagi, Kek?! Bu-kankah menurut pengakuanmu, penghuni Pun-cak. Nirwana adalah orang-orang yang berwatak bijaksana dan suka menolong. Aku yakin, mereka akan memberi keputusan yang adil!"
Janggara untuk yang kesekian kalinya menghela napas berat. Hal ini membuat Arya heran. Karena sebagai pemuda yang kenyang pengalaman, dia bisa tahu ada sesuatu yang masih disembunyikan kakek itu.
"Dulu penghuni Puncak Nirwana memang memiliki watak baik hati dan suka menolong. Tapi sekarang, entah mengapa bisa sampai berubah seperti ini. Aku tidak percaya lagi, Arya. Tapi, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa muridku. Menurut pendapatmu, pantaskah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, menyandera seorang gadis muda untuk memaksa gurunya memenuhi permintaan itu?! Bukankah ini aneh?! Aku yakin, telah terjadi perubahan pada diri penghuni Puncak Nirwana itu."
Arya diam. Meski demikian, dalam hatinya menyetujui pendapat yang dikemukakan Janggara.
"Bahkan...," sambut Janggara lagi. "Bukan hanya kembalinya guci pusaka untuk merebut nyawa muridku, tapi juga seorang gadis cantik berpakaian merah yang bernama Witari."
Di luar dugaan Janggara, Arya tidak kaget sama sekali. Bahkan seperti telah mengetahui sebelumnya.
"Kau tidak kaget, Arya?! Apakah kau telah menduga sebelumnya?!"
Arya mengangguk.
"Aku merasa curiga, ketika Witari tidak mampu bicara. Padahal, aku tahu secara pasti, kalau tidak ada totokan pada urat suaranya. Berarti ada seseorang yang telah melakukan sesuatu membuat urat suaranya tidak mampu bekerja. Pa-dahal tadi, sewaktu tubuhnya tersungkur aku sempat mendengar jeritan kagetnya," jelas Arya beralasan.
Janggara diam, namun wajahnya mendadak berubah memerah. Ini menjadi petunjuk kalau kakek itu merasa malu.
"Dan setelah tahu semua ini, kau masih mau menolongku, Arya?!" tanya Janggara setengah tak percaya.
"Tentu saja, Kek. Aku tahu, kau bukan orang jahat. Dan tindakan yang kau lakukan pun bukan karena itu. Tapi, karena terdorong keinginan untuk menolong muridmu. Dan lagi, kalau kau memaksa untuk membawa Witari, mana mungkin aku mampu menghalangimu?!"
"Kau memang pintar merendah, Arya. Mana mungkin aku yang setua ini dapat mengalahkan mu?!"
Tanpa banyak cakap lagi, Arya segera membebaskan totokan yang membelenggu Witari. Sedangkan, Janggara mengeluarkan obat sedot yang membuat urat suara gadis itu kembali seperti biasa.
Witari ternyata tidak menyerang Janggara lagi. Karena sebelumnya, Arya telah membujuknya. Dan gadis itu memang tidak keras kepala.
Sekarang, ketiga tokoh ini telah melesat menuju Puncak Nirwana. Arya sengaja mengajak Witari untuk berjaga-jaga terhadap sesuatu hal yang ditakuti.
–––––––– 8
"Itulah pintu masuk menuju Puncak Nirwana, Arya," jelas Janggara ketika melalui jalan berliku-liku yang sukar ditemukan orang.
Tidak hanya Arya yang mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjukkan kakek itu, tapi juga Witari. Di depan sana jalan berbatu padas membentang. Di kejauhan, dua buah gundukan batu sebesar gajah, berjarak sekitar setengah tom-bak saling bersebelahan memisahkan jalan. Dan tempat ini adalah pos penjagaan Tuyul Bertenaga Raksasa.
"Hey...!"
Seruan kaget hampir berbareng keluar dan mulut mereka bertiga begitu melihat sosok tubuh berpakaian biru terlempar keluar dari celah-celah batu yang merupakan pintu gerbang.
"Dia..., gadis itu..., putri Golok Malaikat..!" seru Arya. Meskipun jaraknya cukup jauh, namun dari pakaiannya yang kuning bisa dikenali kalau sosok yang terlempar adalah Sunti Ranti!
Baru saja seruan pemuda berambut putih keperakan itu keluar, dari celah batu yang sama melesat sesosok tubuh kecil dan pendek.
"Itulah Tuyul Bertenaga Raksasa! Penjaga pos ini...!" teriak Janggara.
Melihat keadaan itu, membuat Janggara, Dewa Arak, dan Witari semakin mempercepat lari. Berada paling depan adalah Dewa Arak. Di belakangnya, Janggara. Dan terakhir Witari.
Dewa Arak tiba pada saat yang tepat. Tubuhnya melesat, menyelak di antara kedua tokoh yang bertarung tak seimbang. Lalu segera dipapaknya....
Plak!
"Uhhh...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa mengeluh kaget, ketika tubuhnya terhuyung ke belakang akibat tangkisan Dewa Arak. Di lain pihak, pemuda itu pun terhuyung sedikit ke belakang.
"Menyingkirlah, Nona," ujar Arya tanpa menoleh karena tahu sedang berhadapan dengan seorang lawan, tangguh. "Dia terlalu tangguh untuk mu."
Sunti Ranti yang menyadari kesaktian Tuyul Bertenaga Raksasa tidak banyak memban-tah. Kakinya segera melangkah mundur setelah terlebih dulu menatap penuh kagum pada Dewa Arak.
Sementara Tuyul Bertenaga Raksasa menatap Arya penuh selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kukira hanya aku yang dilahirkan dalam keadaan tak wajar. Ternyata, tidak. Hey! Kau ini anak muda atau orang tua sih?!" tanya kakek kecil kurus itu, seperti bertanya pada seorang anak kecil.
"Kalau menurut penglihatanmu, bagaimana?!" balas Arya.
Nadanya memberikan pilihan.
"Tentu saja kakek-kakek! Ha ha ha...!" jawab Tuyul Bertenaga Raksasa penuh rasa gembira karena merasa berhasil mengejek.
"Kalau begitu, matamu perlu juga diperiksa, Kek! Bukan hanya tubuhmu saja yang tidak wajar tapi juga matamu!" balas Arya.
Kini Tuyul Bertenaga Raksasa yang justru mencak-mencak seperti kakek kebakaran jenggot.
"Kunyuk lapar, Singa ompong! Kuda pin-cang! Lalat jelek! Kecoak buduk! Nah! Semua itu-lah perkataan yang paling cocok untukmu, Orang Aneh! Orang setengah tua setengah muda!"
"Terserah apa katamu saja, Kek," jawab Arya sambil berusaha menahan perasaan geli. Tingkah kakek itu benar-benar membuatnya hampir tidak bisa menahan tawa.
"Ah! Jadi kau menantangku rupanya?! Merasa sakti, setelah menangkis seranganku?! Rupanya kau sok jago, karena ada gadis cantik di belakangmu, eh?! Sok pahlawan! Cara kuno! Semua orang sudah tahu, kau hanya berusaha menarik perhatian gadis itu kan?!" celoteh Tuyul Bertenaga Raksasa panjang lebar.
Wajah Arya kontan memerah. Makian itu terlalu! Dia khawatir, Sunti Ranti akan salah terima.
"Kakek aneh! Mulutmu semakin tidak karuan! Ketahuilah, aku datang untuk menemui Tuan Besarmu! Cepat antarkan aku ke sana!" seru Arya.
"Kau kira mudah untuk bertemu Tuan Besar?! Langkahi dulu mayatku kalau kau ingin menemuinya?!" tantang Tuyul Bertenaga Raksasa sambil membusungkan dadanya yang tipis seperti papan.
Dan sebelum Arya memberikan tanggapan, Tuyul Bertenaga Raksasa telah menyerang. Setiap serangannya menimbulkan bunyi bercicitan nyaring.
Dan tak punya pilihan lain, kecuali meladeninya.
Pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Diam-diam Dewa Arak mengakui kebenaran ucapan Janggara. Tuyul Bertenaga Raksasa memang memiliki kepandaian tinggi. Terutama sekali tenaga dalamnya. Beberapa gebrakan dengan tan-gan kosong, pemuda berambut putih keperakan ini telah bisa melihat sendiri kelihaian lawannya.
Sementara itu Janggara, Sunti Ranti, dan Witari menyaksikan pertarungan dengan hati tertarik bercampur kagum. Terutama sekali, Janggara. Untuk pertama-kalinya, dia berhasil menyaksikan sendiri kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu. Terlihat jelas kalau Dewa Arak berhasil menekan lawannya.
Memang, bagi Janggara sendiri, Tuyul Bertenaga Raksasa masih ada di bawahnya. Tapi kendati demikian, kakek ini tidak berani memastikan kalau menghadapi Dewa Arak akan unggul.
Sementara itu Sunti Ranti dan Witari tidak terlalu terpaku pada pertarungan itu. Gadis-gadis manis ini saling lirik satu sama lain. Ada sorot iri pada sinar mata mereka, yang timbul karena perasaan cemburu. Beberapa kali mereka saling bentrok pandang, dengan cepat masing-masing pihak mengalihkan tatapan ke arah lain.
Witari merasa iri pada Sunti Ranti. Dia tahu, putri Golok Malaikat itu cantik jelita. Dan bukan tidak mungkin Dewa Arak akan jatuh hati padanya. Memang dalam hati kedua gadis manis ini ada rasa tertarik yang besar terhadap Dewa Arak. Pemuda itu demikian tampan, lihai, tapi rendah hati. Bahkan terlihat matang penuh pengalaman hidup.
Di lain pihak Sunti Ranti, juga tidak senang pada Witari. Gadis ini tidak habis pikir, bagaimana Dewa Arak bisa berjalan bersama gadis itu. Sama sekali tidak disangka kalau Dewa Arak bisa jatuh hati pada Witari. Hatinya pun panas, karena cemburu.
***
"Akh...!"
Tuyul Bertenaga Raksasa menjerit kesakitan ketika tangan Dewa Arak telah menampar pundaknya. Tubuhnya kontan terpelanting ke belakang. Dari mulutnya keluar darah segar!
Sebelum Tuyul Bertenaga Raksasa berbuat sesuatu, Dewa Arak telah melesat cepat. Kakek ini tidak bisa berkutik lagi, ketika jari tangan Dewa Arak telah menempel pada ubunubunnya.
Tuyul Bertenaga Raksasa tahu, dia telah kalah. Sedikit saja jari tangan Dewa Arak bergerak menekan, nyawanya akan melayang dengan kepala pecah!
"Tunggu apa lagi?! Aku telah kalah! Bunuhlah aku...!" pekik Tuyul Bertenaga Raksasa. Pekik yang keluar dari hati yang kecewa, karena gagal menunaikan tugas.
Bukannya memenuhi permintaan itu, Arya bahkan menjauhkan jari-jari tangannya dari ubun-ubun Tuyul Bertenaga Raksasa.
"Aku bukan pembunuh berdarah dingin, Kek. Lagi pula, aku tidak pernah mau membunuh lawan yang tak berdaya. Di samping itu, kedatanganku kemari bukan untuk mencari permusuhan! Kau telah kalah, berarti aku bebas masuk ke dalam!"
Setelah berkata demikian, tanpa peduli lagi Arya meninggalkan Tuyul Bertenaga Raksasa. Kakinya cepat terayun menuju ke dalam. Di belakang nya, Janggara, dan dua gadis lain yang berjalan saling berjauhan ikut masuk pula.
Tapi sekitar belasan tombak kemudian, ke-tika medan yang ditempuh berupa hutan kecil dengan hamparan semak-semak dan ranting ker-ing di sekitarnya, muncul sesosok tubuh menghadang. Siapa lagi kalau bukan Raksasa Kapak Maut
"Biarkan mereka masuk...!"
Belum juga Raksasa Kapak Maut bertindak, terdengar seruan keras. Maka kapak di bahunya yang siap digunakan untuk menyerang segera diturunkan. Seruan yang menggema karena dikeluarkan lewat pengerahan ilmu mengirimkan suara dari jauh, membuat semua yang ada di tempat ini terkejut "Ikut aku...!"
Tiba-tiba Raksasa Kapak Maut berujar sambil berbalik. Kakinya lantas melangkah me-ninggalkan tempat itu. Lelaki tinggi besar ini tentu saja mengenal Janggara yang bersama Dewa Arak. Namun sedikit pun tidak ada teguran dari mulut-nya.
***
"Hik hik hik..!"
Satu tawa mengikik nyaring tiba-tiba memecahkan ketegangan ketika Dewa Arak dan orang-orang yang bersamanya telah berada di tepi jurang yang sangat dalam. Mereka menjadi was-was, apakah harus menyeberangi jurang yang menggunakan seutas tambang ini, atau tidak. Bu-kan tidak mungkin kalau mereka semua akan di-kandaskan di dasar jurang yang dalam ini.
"Rupanya, Dewa Arak dan Janggara hanya manusia-manusia pengecut yang tak berani menghadapi tantangan! Hik hik hik...! Ingin kudengar bagaimana tanggapan dunia persilatan kalau mendengar hal ini!"
"Jangan harap kau bisa memancing kami untuk bisa dijebak dengan akal bulus itu, Sobat!" sahut Dewa Arak, seperti berbisik.
Pada saat berkata tadi, wajah Dewa Arak tampak merah. Dan semua yang ada di sini tahu, pemuda itu memang tengah mengerahkan ilmu mengirimkan suara jarak jauh. Buktinya, bunyi yang terdengar di seberang jurang keras dan lantang.
"Hik hik hik...!"
Tawa mengikik terdengar lagi, menyambut ucapan Dewa Arak. Sebuah tawa yang keluar dari mulut seorang nenek-nenek!
"Kalau kau bersikap jujur, keluarlah! Dan, antarkan kami sampai ke seberang. Kalau tidak, berarti kau hanya ingin menjebak kami!" teriak Witari, memberikan usul.
Witari memang memiliki watak tenang. Namun sekali berbicara, tepat pada sasaran.
Sementara itu Janggara tampak berdiam diri. Sebenarnya kakek ini pun ingin mengajukan ucapan. Namun, sadar kalau dirinya seorang pelarian dari tempat itu, ucapan yang hampir keluar dari mulut ditahannya.
"Hik hik hik...! Usulmu boleh juga, Witari?! Mana suami gelap mu, si Tua Bangka Sangga Langit?! Mengapa tidak kau ajak kemari?! Hik hik hik...! Sama sekali tidak kusangka, kalau gadis semuda dan secantikmu mau menyerahkan diri pada seorang kakek yang sudah bau tanah! Hik hik hik...! Permainan cinta kalian luar biasa!" ejek suara di seberang tebing.
Wajah Witari seketika pucat pasi. Sungguh tak diduga, kalau suara itu menyerang pribadinya habis-habisan.
Sementara Janggara dan Sunti Ranti yang semula tidak tahumenahu, seketika menoleh ke arah gadis berpakaian merah. Mereka sama sekali tidak menduga kalau apa yang dikatakan pemilik Puncak Nirwana itu benar-benar terjadi! Namun tampak kalau Witari sama sekali tidak berusaha membantah. Benarkah hal itu terjadi?!
Dewa Arak tiba-tiba ingat sesuatu. Menurut cerita Eyang Sangga Langit, perbuatan terkutuk bersama muridnya terjadi karena masing-masing seperti orang yang kehilangan ingatan. Sehingga, semua tindakannya tidak dapat dikendalikan lagi. Peristiwa itu terjadi tanpa ada seorang pun saksi yang tahu. Jadi, dari mana pemilik Puncak Nirwana tahu peristiwa itu?
Dalam masalah ini, Eyang Sangga Langit mencurigai adanya pihak ketiga yang menyebabkan peristiwa itu terjadi.
Pemuda berambut putih keperakan ini segera mencurigai akan adanya hal-hal yang tidak beres di sini. Setidak-tidaknya, pemilik Puncak Nirwana ini tahu pelaku yang menyebabkan peristiwa terkutuk itu terjadi. Bahkan bukan tidak mungkin kalau penyebab semua itu justru pemilik Puncak Nirwana ini!
"Tidak usah berpura-pura dalam berbicara, Nek! Aku tahu, kaulah yang menjadi biang keladi terjadinya peristiwa terkutuk itu! Dan kau harus membayar semua tindakan kejimu, Nek!"
Kali ini Dewa Arak tidak sungkan-sungkan lagi, karena tahu kalau pemilik itu adalah seorang wanita yang telah tua.
"Hik hik hik...! Kau memang cerdik, Dewa Arak! Otakmu encer, sehingga bisa menduga, kalau orang di balik semua kejadian itu! Aku! Akulah yang telah menyebabkan Eyang Sangga Langit yang sakti roboh di dalam pelukan nafsu! Hik hik hik.... Ingin kulihat sendiri, bagaimana wajah tua bangka itu, bila tahu kalau pelaku semua ini adalah aku! Nah! Karena kalian telah menungguku, aku datang untuk mengantarkan ke Puncak Nirwana!"
Belum juga gema ucapan itu lenyap, semua yang ada di tepi jurang melihat sesosok tubuh bungkuk memegang tongkat melangkah tertatih-tatih meniti tambang dari arah seberang. Sebelah kaki sosok bungkuk itu ternyata buntung sebatas pangkal paha. Melihat langkahnya benar-benar mengundang iba.
Namun dalam hati Witari, sedikit pun tak ada perasaan iba. Gadis yang semula sudah melupakan luka hatinya, kembali terbangkit amarah-nya. Sepasang matanya memancarkan kebencian dan nafsu membunuh ketika menatap sosok bungkuk berjarak belasan tombak yang diketahuinya, sebagai dalang dari peristiwa terkutuk yang menimpa dirinya.
Maka tanpa peduli lagi, Witari langsung melesat ke arah pinggir tebing sambil mencabut sulingnya. Lalu dengan cepat ujung sulingnya ditu-sukkan ke tambang yang berada di sisi tebing, tempat kelompoknya berada. Dan....
Trak!
Ujung suling Witari tidak berhasil menusuk tambang, karena Raksasa Kapak Maut lebih dulu bertindak dengan memapak ujung suling Witari lewat kakinya. Keras! Sehingga membuat tubuh gadis berpakaian merah terhuyung-huyung ke belakang.
Raksasa Kapak Maut benar-benar tak kenal ampun. Rupanya sekali kapaknya keluar, tak akan berhenti sebelum mengisap darah korban. Saat itu pula kapaknya kembali diayunkan.
Sementara Dewa Arak tidak bisa tinggal diam melihat Witari terancam bahaya. Maka lang-sung tubuhnya berkelebat memapak ayunan kapak dengan pengerahan seluruh tenaga dalam.
Klang!
Bunga api berpijar ke segala arah ketika kapak besar Raksasa Kapak Maut berbenturan dengan guci Dewa Arak. Bunyi berdentang keras mengiringi benturan itu. Tampak tubuh Raksasa Kapak Maut terhuyung-huyung ke belakang.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Witari. Kembali sulingnya ditusukkan ke arah tambang. Melihat hal ini, Janggara tidak bisa tinggal diam. Dia tahu, bila tambang itu putus, berarti putus juga hubungan menuju Puncak Nirwana. Dan itu be-rarti, nyawa muridnya tidak dapat diselamatkan. Maka seketika tubuhnya melesat memapak suling dengan golok panjangnya.
Trak!
Janggara dan Witari sama-sama terhuyung ke belakang. Namun terhuyungnya gadis itu lebih jauh dua langkah. Pandang matanya tampak beringas ketika menatap Janggara. Hatinya geram, karena maksudnya dihalangi!
"Tahan Witari!" cegah Dewa Arak sebelum keadaan memanas. "Tahan dulu dendammu, Witari! Percayalah. Akan ada saatnya untuk membalaskan dendammu. Yang terpenting saat ini, kita harus membebaskan murid Kakek Janggara lebih dulu, yang disandera Penguasa Puncak Nirwana. Dan dia tak lain adalah Samukti, yang telah men-curi ilmu 'Urai Raga' yang seharusnya menjadi milikmu."
Dewa Arak memang tahu kalau Samukti telah berada di Puncak Nirwana, setelah Sunti Ranti menceritakan mengapa bisa bertempur dengan Tuyul Bertenaga Raksasa.
Waktu putri Golok Malaikat ini mengejar-ngejar Samukti yang masih dalam bentuk raksasa! Karena bentuk yang belum kembali ke asal ini, Sunti Ranti bisa mengikuti kepergian Samukti melalui jejak langkahnya. Dan ternyata, jejak itu menuju ke Puncak Nirwana.
Sunti Ranti yang tidak tahu kalau tempat yang ditujunya adalah Puncak Nirwana, segera saja menerobos masuk. Tentu saja Tuyul Bertenaga Raksasa tidak membiarkannya! Maka pertarungan antara mereka pun terjadi, sampai akhirnya Dewa Arak keburu menolong.
Sementara itu, Witari mulai bisa berpikir jernih. Nasihat Dewa Arak memang benar. Dan setelah menghela napas berat, sulingnya disimpan di pinggang.
Pada saat yang bersamaan, sosok bungkuk berkaki satu telah tiba di ujung tambang. Kemudian dengan sekali genjot, tubuhnya berada di depan Dewa Arak.
Dewa Arak dan Sunti Ranti menatap tak berkedip. Inikah, tokoh pemilik Puncak Nirwana yang terkenal amat sakti itu? Dia adalah seorang nenek yang berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Tubuhnya bungkuk, dengan seluruh rambut berwarna putih. Telinganya dihiasi sepasang anting-anting besar mirip gelang.
Sementara, Witari menatap dengan sorot kebencian. Kalau menuruti perasaan, sudah diter-jangnya nenek bungkuk itu.
Sedangkan Janggara menatap dengan sinar mata heran. Lelaki tua ini yakin, kalau pemilik Puncak Nirwana bukan nenek berkaki satu ini. Yang tidak dikenalnya sama sekali! Mengapa nenek berkaki satu ini bisa berada di sini?
"Siapa kau?!" tanya Janggara. "Aku tahu kau bukan pemilik Puncak Nirwana. Aku kenal betul dengan pemiliknya!"
Pertanyaan kakek berwajah tirus itu, membuat Dewa Arak, Sunti Ranti, dan Witari terperanjat. Jadi, nenek ini bukan pemilik Puncak Nirwana? Lalu, di mana pemilik itu sebenarnya?
"Hik hik hik...! Kau Janggara, bukan?!" tanya nenek berkaki satu itu, tidak mempedulikan keheranan dan pertanyaan Janggara. "Mana guci pusaka yang kuminta?! Cepat serahkan, kalau kau ingin muridmu selamat!"
"Hmh...!"
Janggara menggeram seperti harimau luka.
Sama sekali tidak disangka kalau nenek inilah yang telah meminta guci pusaka. Bahkan telah menyandera muridnya. Memang waktu pergi ke Puncak Nirwana, dia tidak bertemu nenek itu. Janggara hanya bertemu Raksasa Kapak Maut, yang diutus menyampaikan pesan tuannya!
"Aku tak akan menyerahkan guci pusaka padamu!" tegas Janggara, mantap.
"Hik hik hik...! Kau cerdik, Janggara. Meskipun kau serahkan guci itu, muridmu tetap akan kubunuh! Biar kau rasakan betapa sakit hati melihat kematian orang yang dicintai!"
"Apa maksudmu, Nenek Jahanam?!" tanya Janggara tidak mengerti.
"Sederhana saja," jawab nenek berkaki satu dengan sorot mata beringas. "Kau telah membunuh Singa Berbulu Putih. Kau tahu, dia itu suamiku!"
"Ah...!"
Seruan tertahan penuh rasa kaget keluar hampir bersamaan dari mulut Janggara dan Witari.
"Kiranya kau wanita jalang yang pernah diceritakan guruku. Kau pasti Nyai Kalangkang!" desis Witari. "Pantas, kau melakukan kekejian terhadap kami. Kau merasa sakit hati, karena telah diusir guru, setelah berbuat zinah di dalam wilayah perguruan. Sebagai hukuman, guru membuntungi kakimu sebagai peringatan bagi yang lain. Kau memang murid murtad!"
"Tutup mulutmu...!" bentak nenek berkaki satu yang ternyata bernama Nyai Kalangkang.
"Kubunuh kau."
"Tidak usah repot-repot. Guru! Biar aku yang membinasakannya!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras menggelegar. Dan di tempat itu, tahu-tahu Samukti telah berdiri dalam wujud seperti raksasa.
Samukti menggeram keras! Sehingga, membuat semua orang yang berada di situ, jatuh berlutut. Bahkan tubuh mereka menggigil hebat!
Hanya Nyai Kalangkang dan Raksasa Kapak Maut yang tidak terpengaruh. Karena, Samukti tidak menujukan ke arah mereka. Dengan kekeh penuh kemenangan, nenek itu menghampiri Witari. Siap memberi hukuman!
Arya melihat ancaman maut menghantui murid Eyang Sangga Langit. Saat itu juga seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Lalu tangannya cepat dihentakkan. Maka saat itu pula serangkum angin keras membuat tubuh Witari terlempar ter-guling-guling. Akibatnya tongkat Nyai Kalangkang hanya menghantam tanah hingga hancur berantakan!
"Witari...! Lekas...!" seru Arya, menyuruh gadis berpakaian merah itu melakukan petunjuk Eyang Sangga Langit.
Dalam keadaan tubuh bergulingan, Witari berseru keras!
"Urai Raga...!"
"Aaakh...!"
Samukti seketika mengeluarkan lengkingan panjang bernada kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung. Kemudian tubuhnya ambruk, menggeliat geliat laksana cacing kepanasan. Dia menggelepar-gelepar, tanpa mempedulikan sekelilingnya. Dan tidak terasa tubuhnya telah berada di bibir tebing.
Selain Dewa Arak dan Witari, semua yang melihat kejadian ini merasa heran. Mengapa hal seperti itu bisa terjadi terhadap Samukti. Hanya kedua anak muda itu yang tahu. Tentu saja, Arya tahu atas penjelasan Eyang Sangga Langit tentang kelemahan ilmu itu. Maka tak heran bila Arya mengajak Witari ke Puncak Nirwana ini. Karena menurut Eyang Sangga Langit gadis itulah yang dapat membunuh Samukti.
Menurut penjelasan Eyang Sangga Langit, ilmu 'Urai Raga' hanya bisa diberikan pada orang yang berhak. Sehingga bila dipergunakan, tidak menimbulkan celaka. Dalam hal ini, hanya Witari-lah yang berhak.
Maka, begitu Witari menyerukannya, maka ilmu raksasa yang menitis dalam diri Samukti berusaha keluar menjumpai pemiliknya yang sah! Maka kejadian yang menimpa Samukti pun demikian. Karena bukan pemilik sah, begitu menggu-nakan ilmu itu, Samukti tidak bisa kembali seperti sedia kala. Tetap dalam keadaan tubuh tinggi besar seperti raksasa.
Samukti terus bergulingan, sehingga... "Aaa...!"
Disertai jeritan panjang, tubuh Samukti tertelan jurang yang siap merancah tubuhnya.
"Samukti...!" seru Nyai Kalangkang. Dengan tindakan cepat, dia melompat untuk menangkap tubuh pemuda berpakaian coklat itu.
Tap!
Tangan Samukti berhasil ditangkap! Namun Nyai Kalangkang tidak mempunyai landasan kuat untuk berpijak. Maka, tubuhnya pun ikut terbawa, meluncur ke dasar jurang yang tak terukur da-lamnya. Jeritan menyayat hati, mengiringi lenyapnya tubuh kedua tokoh sesat itu.
"Erghhh...!"
Raksasa Kapak Maut menggeram keras. Dia tampak marah sekali. Namun, sebelum kapaknya diayunkan....
"Apakah kau hendak membela orang jahat seperti mereka, Raksasa Kapak Maut?! Ingat! Dia bukan tuan besarmu! Bahkan, dia orang luar yang jahat. Aku yakin, Tuan Besar telah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Mana Tuan Besar?!"
Raksasa Kapak Maut menghentikan niat-nya, kemudian menggeleng.
"Tuan Besar sudah lama tidak terlihat, setelah masuk ruangan semadi. Nyai Kalangkang dan Samukti dibawa Tuan Besar ketika pergi keluar atas dasar kasihan. Tuan Besar telah terlalu pikun, sehingga tidak tahu kalau orang-orang yang dibawanya jahat. Setelah masuk ruang semadi, beliau tidak tahu kalau wanita tua itu menggerayangi ruang perpustakaan dan mempelajari ilmu-ilmu hitam yang terlarang. Ilmu itulah yang diperguna-kannya untuk bertindak jahat terhadap Eyang Sangga
Langit!"
"Apa yang dikatakannya memang benar."
Mendadak terdengar sebuah suara lain, menyambung ucapan Raksasa Kapak Maut. Saat itu juga semua yang berada di situ menoleh ke arah asal suara. Namun, tak seorang pun yang terlihat.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia tahu, ada orang sakti yang sengaja mempermainkan dengan ilmu memindahkan suara. Maka segera di-kerahkannya pandangan ke seberang jurang, ke arah Puncak Nirwana. Dewa Arak yakin, pemilik suara itu akan datang dari sana. Bukan dari belakang mereka.
Dugaan Dewa Arak ternyata tepat. Di atas tambang, tampak sesosok tubuh kecil dan ringkih tengah menyeberangi jurang sambil membopong tubuh seorang gadis. Dia tidak sedang berjalan, karena kakinya tidak bergerak sama sekali. Tepat-nya, sosok itu tengah meluncur.
Dewa Arak sendiri merasa takjub, meski hanya sebentar. Sulit diukur, sampai di mana ketinggian tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh kakek itu.
Sementara itu, Sunti Ranti yang belum merasa puas atas tewasnya Samukti, tiba-tiba mele-sat ke arah tambang. Langsung dibabatnya tam-bang itu dengan sulingnya.
"Ranti...! Jangan...!" cegah Dewa Arak, seraya melesat mendekat.
Namun terlambat! Tambang itu telah lebih dulu putus. Semua orang yang ada di sini terkejut bukan main. Apalagi ketika melihat tubuh kakek itu melayang ke dalam jurang!
"Tuan Besar...!"
Raksasa Kapak Maut dan Janggara berlari ke tepi tebing dan berseru keras dengan wajah pucat.
"Tidak usah menjerit begitu, Raksasa. Juga kau, Janggara."
Entah dari mana, tahu-tahu kembali terdengar teguran yang membuat terkejut semua yang ada di tempat ini. Serentak mereka semua menoleh ke belakang. Tahu-tahu di situ berdiri, kakek ringkih sambil membopong tubuh gadis ramping.
"Tuan Besar...!"
Raksasa Kapak Maut dan Janggara menghambur ke arah kakek ringkih yang dipanggil Tuan Besar.
"Tak usah banyak tingkah, kalian!" tegur kakek ringkih itu. "Dan kau, Janggara. Bukankah ini muridmu?!"
Janggara segera menerima tubuh yang diangsurkan kakek ringkih ini, disertai ucapan terima kasih. Apalagi, kakek ini merupakan penolong, guru, dan juga majikan yang telah mengampuni kesalahannya.
"Kau yang berjuluk Dewa Arak itu, kan?!" tanya kakek ringkih itu pada Arya.
Dewa Arak mengangguk.
"Boleh kulihat gucimu?!"
Kakek ringkih itu mengulurkan tangan. Tentu saja Arya tidak sudi gucinya diambil. Maka tubuhnya segera bergerak menghindar. Tapi betapa kagetnya Arya, ketika gucinya telah berada di tangan si kakek. Arya jadi bingung. Padahal dia telah berusaha mengelak. Kenyataannya, gucinya terambil juga.
"Dari siapa kau dapatkan guci ini, Dewa Arak? Gering Langit?!"
Arya tersentak mendengar nama gurunya disebut-sebut. Dari mana kakek itu tahu?
"Kau tidak usah heran, Dewa Arak. Aku adalah Sukma Palaga. Dan Gering Langit itu terhitung kawanku. Beberapa kali dia datang ke tempat ini. Dialah satu-satunya orang luar yang tahu tentang hilangnya guci ini. Aku yakin, dia berhasil menemukannya, lalu memberikannya padamu. Kau tahu kan,
mengapa aku tidak celaka di dasar jurang?"
Dewa Arak mengangguk. Apalagi kalau bukan ilmu gaib seperti yang dimiliki gurunya. Ilmu 'Ringkas Bumi' (Untuk jelasnya mengenai ilmu ini, silahkan baca episode: "Penganut Ilmu Hitam").
"Terimalah kembali gucimu, Dewa Arak. Kau lebih memerlukannya. Dan kalian semua yang berada di sini, kuundang ke tempatku. Jangan khawatir, tambang itu tidak hanya sehelai."
Tidak ada yang keberatan sama sekali dengan tawaran kakek bernama Sukma Palaga. Semua dengan suka hati beranjak ke Puncak Nirwana.
––––GS––––
SELESAI
INDEX AJI SAKA | |
76.Penjara Langit --oo0oo-- 78.Pembalasan Dari Liang Lahat |