Life is journey not a destinantion ...

Panggilan Ke Alam Roh

INDEX AJI SAKA
73.Pembantai Dari Mongol --oo0oo-- 75.Racun Kelabang Merah

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cetakan pertama. Penerbit Cintamedia, Jakarta. Penyunting : Tuti S. Hak cipta pada Penerbit.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit

1

Angin bertiup kencang. Hujan turun dengan deras laksana dicurahkan dari langit. Kilat yang sesekali muncul di langit menyilaukan mata. Bunyinya yang keras menggelegar mengiringi langkah kaki mungil itu.
Pemilik sepasang kaki mungil berlari tanpa mempedulikan keadaan alam yang seperti tengah mengamuk. Tubuh sosok terbungkus pakaian hijau yang telah basah kuyup itu sesekali menggigil, karena dinginnya cuaca yang ditimbulkan oleh deru angin kencang. "Ukh...!"
Pemilik kaki mungil itu ternyata seorang wanita muda. Usianya kira-kira dua puluh tahun. Ia mengeluh tertahan ketika jatuh tertelungkup di tanah karena kakinya tersandung batu. Lari gadis berpakaian hijau ini memang tidak tetap, terhuyung-huyung ke sana kemari. Pandangannya tidak tertuju ke jalan me-lainkan menatap ke depan dengan sinar mata kosong. Matanya itu tampak sembab seperti habis menangis. Wajahnya pun muram.
Pendeknya, tidak terlihat keceriaan pada wajahnya.
"Ibu...!"
Bukannya bergegas bangkit dari jatuhnya, gadis berpakaian hijau ini malah berseru tertahan. Terasa benar nada kepiluan dalam suaranya. Sarat dengan kedukaan yang mendalam.
"Aku tidak tahan menanggung aib ini.... Lebih baik aku pergi menyusulmu, Ibu...!" seru gadis berpakaian hijau meremas-remas tanah berlumpur di depannya. "Aku tak sanggup terus hidup.... Wahai, dewa petir sambarlah aku...! Pertemukan aku dengan ibuku...!"
Seperti menyambuti ucapan gadis berpakaian hijau, petir menyambar keras bagai hendak menghancurkan bumi. Tapi, tidak menyambar gadis berpakaian hijau, melainkan menghantam sebatang pohon yang berada cukup jauh dari tempat gadis itu berada.
Gadis berpakaian hijau terkejut dan menatap ke arah pohon yang terbakar hangus menjadi arang. Tiba-tiba dia menggertakkan gigi. Wajahnya tampak beringas! Sinar matanya menyiratkan pembunuhan! Andaikata saat itu ada orang yang dibencinya di situ, mungkin telah diserangnya habis-habisan.
"Apabila aku mati, terlalu enak bagi bangsat itu! Aku harus hidup dan membalas semua kekejian yang ditimpakannya padaku. Akan ku cabik-cabik seluruh tubuhnya. Akan kubunuh dia! Akan ku jadikan dia menyesal telah bermusuhan denganku!" desis gadis berpakaian hijau geram.
Entah karena sambaran petir, atau kesadaran yang timbul dari hatinya, gadis berpakaian hijau yang semula tidak memperlihatkan kemauan untuk hidup kini terlihat penuh semangat. Pada sinar mata dan tarikan wajahnya terlihat perasaan kejam. Ada sesuatu yang mengerikan di dalamnya.
Gadis berpakaian hijau bergegas bangkit berdiri. Sesaat ia tegak di tempatnya. Matanya menatap tajam ke depan dengan sinar mata penuh dendam. Kedua tangannya terkepal dan mengejang kaku. Baru sekarang terlihat kalau pakaian gadis berwajah cantik dengan tahi lalat di pipi kanannya itu compangcamping di beberapa bagian. Bagian anggota tubuhnya yang tidak tertutup tampak terlihat mulus.
"Demi langit dan bumi aku bersumpah akan membalas dendam perbuatan keji itu. Akan ku cabik-cabik tubuhnya. Akan kubuat dia menyesal dilahirkan ke dunia ini. Ha ha ha...!"
Bagai orang kurang ingatan, gadis berpakaian hijau tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya bergerak liar, terlihat mengerikan. Beberapa saat kemu-dian, ia berlari cepat meninggalkan tempat itu menuju puncak gunung!
Gadis berpakaian hijau tidak mempedulikan hujan lebat yang mengguyur sekujur tubuhnya. Angin dingin yang menusuk tulang serta kilatan petir yang diselingi bunyi menggelegar. Langkah kakinya terus diayunkan. Kali ini ia tidak terhuyung-huyung seperti sebelumnya. Air kecoklatan bercampur tanah memercik ke sana kemari ketika kaki-kaki gadis berpakaian hijau menjejak tanah.

* * *




"Nenek...!"
Dengan mengeluarkan seruan yang cukup lantang, gadis berpakaian hijau itu menubruk sebuah gundukan tanah tidak terurus. Tidak dipedulikannya pakaian dan sekujur tubuhnya yang semakin kotor dan berlepotan tanah lumpur. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di sebuah gundukan tanah kuburan.
Saat itu hujan telah reda. Hanya tinggal gerimis saja. Angin pun tidak terlalu keras berhembus. Petir sudah tidak menyalak, hanya kilatan-kilatan menyilaukan di langit. Gadis berpakaian hijau tiba di tempat yang dituju. Ia berlari tanpa henti hampir seperempat hari. Padahal, gadis berpakaian hijau telah menggunakan ilmu lari cepat
Pelan tapi meyakinkan, gelap mulai menyelimuti alam. Sang surya perlahan tenggelam di peraduannya. Hari telah petang. Gadis berpakaian hijau telah berlari sejak siang hari. Sejak matahari seharusnya berada tepat di atas kepala.
"Nenek..."
Dengan terbata-bata karena menahan isak tangis, gadis berpakaian hijau mengeluh tertahan.
"Cucumu sungguh bernasib amat malang, Nek. Sekelompok penjahat datang menyatroni tempat tinggal kami. Ayah mereka bunuh. Sedangkan aku mengalami nasib yang mengerikan. Mereka memperkosa aku secara brutal dan kasar...! Mereka menodai ku bergantian, Nek. Tiga hari tiga malam mereka melakukannya. Baru kemudian mereka meninggalkan aku pergi dan memberi kesempatan padaku untuk membunuh diri."
..... Seperti mengadu pada seseorang yang masih hidup dan tengah mendengar ucapannya, gadis ber-pakaian hijau bercerita tersendat-sendat. Air matanya mengalir laksana air sungai.
"Aku tidak mau bunuh diri, Nek.... Aku bukan seorang pengecut. Meski sebelumnya aku merasa lebih baik mati saja daripada hidup. Aku merasa diriku begitu kotor sehingga aku jijik dengan diriku sendiri. Aku jijik, Nek! Jijik...! Tapi, sekarang aku sadar. Aku tidak boleh tenggelam dalam kedukaan ini. Aku harus membalas perlakuan binatang-binatang itu. Untuk itu aku harus memiliki kepandaian tinggi. Binatang-binatang bermuka manusia itu memiliki kepandaian tinggi, Nek. Karena itu, aku datang kepadamu. Aku ingin meminta bantuanmu agar dapat membalaskan sakit hati ini. Bukankah kau dulu sering datang menjumpai ku dan mengatakan agar aku meminta perto-longan padamu bila mendapat kesulitan? Malah, dulu kau sering datang dan mengajarkan ku ilmu silat. Sekarang mengapa kau tidak mengajarkan silat lagi padaku, Nek?! Apakah kau takut terhadap Ayah, karena aku mempelajari ilmu darimu? Jawablah, Nek, Tolon-glah aku!"
Kedua tangan gadis itu memeluk gundukan batu nisan. Tubuh dan wajahnya menelungkupi gundukan tanah. Gadis berpakaian hijau terus mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada dalam dadanya.
Semakin lama seruan-seruan yang keluar dari mulutnya semakin mengecil. Mungkin kelelahan karena terlalu lama berlari dan menanggung beban yang menghimpit batinnya. Gadis berpakaian hijau tertidur sambil memeluk gundukan tanah. Dia tidak tahu ke-gelapan telah turun. Langit tidak terhias bintang dan bulan. Langit mendung.
Waktu terus merayap, Tengah malam pun tiba. Tepat pada saat itu hembusan angin mendadak keras. Bunyi anjing hutan melolong panjang. Gadis berpakaian hijau yang sejak tadi tertidur dengan tenang kini menggeliat gelisah.
Sesuatu dari alam lain masuk ke dalam mimpi gadis itu. Gadis berpakaian hijau bermimpi bertemu dengan seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya padat menggiurkan. Wajahnya pun cantik. Terlalu cantik malah. Penuh daya pikat dan penarik yang amat kuat! Wanita yang diketahui gadis berpakaian hijau sebagai neneknya dan memiliki usia hampir tujuh puluh tahun! Gadis berpakaian hijau tidak pernah tahu mengapa neneknya mampu membuat dirinya terlihat awet muda.
"Nenek...!"
Dalam mimpinya gadis berpakaian hijau me-manggil wanita cantik itu. Teriakannya tidak hanya sarat dengan kegembiraan tapi juga keterkejutan. Neneknya dijumpai tidak dalam keadaan seperti biasanya. Tidak seperti dalam mimpi-mimpi sebelumnya.
Nenek yang dulu di dalam mimpi sering mengajarinya ilmu silat kini tampak sangat mengenaskan keadaannya. Neneknya di kelilingi bambu-bambu setinggi manusia. Bambu-bambu itu berduri. Bagian atasnya tertutup oleh bambu yang sama. Neneknya terlihat ketakutan. Ia berputaran ke sana kemari mencari jalan keluar.
"Arum...! Arum Sari...! Cucuku, tolong bebaskan aku dari kurungan terkutuk ini. Aku ingin menolongmu. Tapi, aku tidak bisa keluar dari penjara keparat ini. Tolonglah aku, Arum.
Tolong...! Bukakan kurungan ini...!"
"Nenek...!"
Gadis berpakaian hijau yang bernama Arum Sari menjerit di dalam tidurnya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Arum Sari yang merasa gelisah dalam tidurnya menggeliat ke sana kemari. Terdengar keluhan tak jelas dari mulutnya.
"Uh...!"
Arum Sari baru terbangun dari tidurnya ketika tubuhnya terguling dari gundukan tanah.
Arum Sari tercenung begitu sadar sepenuhnya. Mimpi menyeramkan itu melekat kuat di benaknya. Mungkinkah mimpi itu hanya merupakan bunga tidur, ataukah memang kenyataan yang sebenarnya?
Arum Sari bingung memikirkan hal itu. Karena memikirkan mimpi yang menyeramkan itu, Arum Sari jadi tidak terlalu memikirkan keadaan sekelilingnya. Kalau saja pikirannya tidak dipenuhi mimpi buruk tentu Arum Sari akan ketakutan sekali berada di pekuburan sendiri. Betapapun beraninya Arum Sari adalah seorang wanita. Masih muda lagi.
Tapi, tak lama Arum Sari memikirkan mimpi itu. Kelelahan amat sangat yang mendera lahir dan batinnya membuat gadis berpakaian hijau itu merebahkan tubuhnya kembali di atas kuburan. Lagi-lagi Arum Sari dihantui mimpi mengerikan itu. Mimpi buruk yang tadi mengganggunya datang kembali. Tidur Arum Sari tidak tenang.
"Tolong, Arum...! Aku tidak betah dipenjara seperti ini. Aku ingin menolongmu, Arum. Aku ingin berjumpa denganmu seperti dulu. Bebaskan aku dari penjara ini, Arum...!"
Kembali neneknya Arum Sari yang awet muda meminta tolong dengan suara meratap-ratap pilu.
"Bagaimana aku bisa membebaskan mu, Nek?" Alam bawah sadar Arum Sari mengajukan pertanyaan. "Aku ingin mengeluarkan mu, Nek. Tapi, bagaimana caranya. Tubuhku lemah sekali. Urat-urat ku kaku semua. Bahkan tenagaku seperti lenyap entah ke mana. Aku tidak bisa menolongmu, Nek."
"Amat mudah kalau kau benar-benar ingin menolongku, Arum!" Nenek gadis berpakaian hijau itu memberi petunjuk. "Jika kau bangun dari tidurmu nanti, galilah, kuburan ku. Ambillah bambu runcing kuning yang ditancapkan di atas peti mati ku. Maka, aku akan bebas."
Seperti disentakkan oleh sesuatu yang kasat mata, Arum Sari tiba-riba membuka sepasang ma-tanya. Gadis berpakaian hijau ini merasakan kantuknya mendadak lenyap. Dia segera bertindak sigap.
Arum Sari tidak mempunyai pilihan lain. Dia yakin mimpi yang dialaminya bukan sembarang mimpi, tapi sebuah petunjuk.
Keyakinannya itu semakin besar ketika teringat neneknya bukanlah orang sembarangan. Neneknya seorang tokoh yang lihai dalam ilmu-ilmu gaib.
Arum Sari jadi berpikir. Beberapa puluh hari yang lalu neneknya selalu hadir dalam mimpinya. Ia mengajarkan ilmuilmu melalui mimpi. Tapi, hal itu hanya berlangsung beberapa minggu, tepatnya delapan belas hari. Ayahnya keburu mengetahui.
Ayahnya merasa curiga ketika melihat gadis berpakaian hijau itu melatih ilmu silat yang diketahuinya tidak pernah diajarkannya. Setelah didesak bertubi-tubi, Arum Sari akhirnya membuka rahasia siapa yang telah memberi pelajaran itu padanya. Dua hari kemudian neneknya Arum Sari tidak pernah datang lagi di dalam mimpinya. Baru pada malam hari ini, malam keempat puluh satu dari kematiannya, Arum Sari bertemu kembali dengan neneknya dalam mimpi. Itu pun setelah Arum Sari memanggil-manggil neneknya dan tidur di kuburannya.
Arum Sari yang cukup cerdik mulai merasa yakin ada hubungan antara ketidakhadiran neneknya di dalam mimpi dengan terbukanya rahasia itu. Arum Sari malah percaya neneknya terpenjara karena perbuatan ayahnya. Gadis berpakaian hijau ini tahu ayahnya tidak menyukai neneknya! Ayahnya Arum Sari memang seorang pendekar, sedangkan neneknya Arum Sari seorang tokoh hitam.
Tanpa mempedulikan keadaan malam gelap gulita, Arum Sari mulai menggali gundukan tanah ku-buran neneknya. Ia mempergunakan sebatang ranting yang ditemukannya berada di dekat tempat itu.
Arum Sari ternyata bukan seorang gadis lemah. Meski hanya dengan sebatang ranting, dia mampu menggali tanah kuburan itu dengan cepat. Tidak kalah cepat dengan lelaki bertenaga kuat yang menggali dengan mempergunakan cangkul.
Dalam gelora semangat yang menggebu, Arum Sari seperti mendapat tambahan tenaga baru. Tangannya bergerak cepat bukan main. Tanah bergumpal-gumpal berpindah ke sisi gundukan tanah kuburan.
Seperti telah bersepakat dengan Arum Sari, langit yang semula tertutup awan hingga bintang-bintang dan sang dewi malam tidak dapat menerangi persada perlahan terusir pergi. Ketika gundukan tanah sudah tergali cukup dalam, langit di atas tempat Arum Sari berada telah bersih. Sungguh suatu kejadian yang aneh. Bulan bulat penuh pun muncul di langit. Bulan purnama. Sinarnya kuning berkilauan. Suasana di pekuburan menjadi cukup terang.
Dengan mudah Arum Sari segera dapat melihat sebatang bambu kuning yang menancap di tutup peti mati. Tidak panjang. Hanya sepanjang jari telunjuk!
Hati Arum Sari tercekat. Bambu kuning ini semakin mempertebal keyakinannya kalau mimpi itu bukan sembarang mimpi. Tanpa ragu-ragu lagi, Arum Sari segera mencabutnya!
Baru saja bambu kuning itu tercabut, dari sela-sela tutup peti mati keluar asap. Arum Sari yang tidak menyangka hal ini terkejut bukan main. Dia sampai melompat ke belakang. Sepasang matanya terbela-lak lebar. Diperhatikannya asap tipis yang semakin lama semakin tebal. Samar tapi pasti asap itu membentuk satu sosok tubuh manusia!
"Nenek...!" Arum Sari berseru tertahan ketika melihat bentuk gumpalan asap.
"Arum Sari, Cucuku...!" Sosok berbentuk wanita itu mengembangkan senyum lebar. Senyum ramah penuh kasih. "Nenek...!"
Arum Sari kembali berseru. Kali ini sambil mengembangkan kedua lengannya, siap untuk meme-luk. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar uca-pan sosok itu. Lembut dan halus, tapi terkesan dingin dan kaku. Kesan yang menimbulkan dugaan kalau seruan itu bukan keluar dari mulut manusia. Hanya pantas keluar dari mulut setan atau makhluk halus lainnya.
"Tidak usah kau teruskan niatmu, Arum. Percuma. Kau tidak akan dapat. Aku hanya dapat kau lihat tapi tidak dapat kau raba apalagi dipeluk."
"Ah...!"
Arum Sari berseru kaget. Tapi, sesaat kemudian ia sadar kalau neneknya telah meninggal dunia empat puluh satu hari yang lalu.
"Kau mungkin bertanya-tanya mengapa demikian? Mungkin kau lupa kalau aku sudah meninggal dunia?"
"Aku ingat, Nek," jawab Arum Sari tanpa merasa takut sama sekali. Neneknya itu amat mencintainya.
"Bagus! Tapi, apakah kau sudah tahu mengapa aku tidak menjumpai mu lagi di dalam tidurmu dan memberikan pelajaran ilmu silat tingkat tinggi?" Dengan suaranya yang berat tapi bergaung neneknya Arum Sari kembali bertanya.
Arum Sari mengangguk.
"Semula aku tidak mengetahui mengapa kau tidak lagi mengajarkan ilmu silat padaku. Tapi, sekarang aku sudah mengetahuinya."
"Hm...!" Neneknya Arum Sari menggumam pelan. Sikap dan sinar matanya jelas menantikan jawa-ban Arum Sari.
"Aku yakin ini ada hubungannya dengan terbongkarnya rahasia kalau aku telah belajar ilmu silat darimu, Nek. Semua ini ada hubungannya dengan Ayah."
Neneknya Arum Sari tersenyum pahit. Senyum yang keluar tidak dari hati yang gembira.
"Dugaanmu memang tidak meleset, Arum. Ayahmu itulah yang membuatku tidak bisa keluar dan menemuimu di dalam mimpi- Begitu mengetahui kau belajar ilmu silat dariku, ayahmu lalu mendatangi makamku. Ia menggalinya kemudian menancapkan sebatang bambu kuning yang didapatnya dari seorang ahli kebatinan untuk mencegah rohku keluar."
Wajah Arum Sari memucat mendengar keterangan itu. Gadis berpakaian hijau ini merasa ayahnya telah bertindak terlalu kejam.
"Sungguh tidak kusangka Ayah dapat bertindak sekejam itu. Mengurung mu di tempat yang demikian mengerikan!" tandas Arum Sari. Ia bergidik seperti orang ketakutan.
Neneknya Arum Sari yang sebenarnya telah berusia tujuh puluh tahun tapi kelihatan seperti orang yang berusia tiga puluh tahun menggelengkan kepala.
"Pendapatmu keliru, Arum. Ayahmu sama sekali tidak jahat. Justru dia melakukan hal itu karena sayangnya padamu. Dia tidak ingin kau tersesat ke lembah kehinaan. Aku juga tidak menghendakinya. Biarlah aku saja yang tersesat!"
Wajah Arum Sari semakin memucat. Tapi, sinar sang dewi malam membuat perubahan wajah Arum Sari tidak terlihat.
"Dengan jalan menyiksamu, Nek?!" Terdengar penuh penasaran pertanyaan itu keluar dari mulut gadis berpakaian hijau.
"Dia tidak bermaksud demikian, Arum. Dia hanya ingin agar kau tidak tersesat. Hanya itu. Karena itu aku memaklumi tindakannya."
–––––––– 2
Arum Sari menundukkan kepala. Kedua tangannya memijatmijat pelipisnya. Gadis berpakaian hijau ini tampak kebingungan.
"Aku jadi semakin tidak mengerti, Nek. Aku minta kau tidak berteka-teki. Ceritakan tentang dirimu dan Ayah secara jelas. Jangan sampai ada yang disembunyikan. Aku ingin tahu mengapa kau dan Ayah terlibat permusuhan."
Neneknya Arum Sari menatap ke langit Kemu-dian pandangannya kembali di arahkan pada Arum Sari, cucunya.
"Memang sebaiknya kau mendengar cerita ku dulu sebelum kau menarik kesimpulan tentang siapa yang salah, aku atau ayahmu," ujar nenek itu dengan suara berat
"Aku memang bukan orang baik-baik, walau-pun sebenarnya dulu aku tidak berkeinginan menjadi orang jahat. Malah, aku bercita-cita menjadi seorang pendekar wanita!" Neneknya Arum Sari memulai ceri-tanya.
"Aku masih berusia sepuluh tahun ketika ayahku meninggal dunia. Ibuku dan kawan-kawan sepermainanku memanggilku Yayang, walaupun namaku sebenarnya adalah Mayang. Tiga tahun setelah kematian Ayah, ibuku menikah lagi. Aku mempunyai ayah tiri. Sayang dia bukan manusia melainkan binatang. Ketika umurku menginjak enam belas tahun, dia membujuk ku untuk mau digaulinya. Aku menolak, tapi dia memaksa. Pertarungan antara kami pun terjadi. Aku memang mempunyai kepandaian silat yang lumayan yang aku pelajari dari ibuku."
Sampai di sini neneknya Arum Sari yang ternyata bernama Mayang menghentikan ceritanya. Tapi, Arum Sari sudah bisa memperkirakan kelanjutan ke-jadian yang menimpa neneknya. Dia pun mengalami hal serupa.
"Ayah tiriku itu ternyata lihai bukan main. Apalagi saat itu dia tengah diamuk nafsu birahi. Tanpa mengalami kesulitan dia berhasil merubuhkanku. Aku diperkosa ayah tiriku. Rupanya dia telah cukup lama memendam hasrat birahi terhadapku. Hanya saja dia tidak pernah berhasil melampiaskannya karena ada ibuku. Saat itu kebetulan ibuku tengah pergi ke desa lain untuk mengobati seorang penduduk. Kesempatan itu dipergunakan ayah tiriku sebaik-baiknya. Tanpa mengenal puas ayah tiriku memperkosaku."
Arum Sari bergidik. Dia sudah mengalami kejadian seperti yang dikatakan Mayang. Arum Sari bisa merasakan betapa ngeri dan takutnya sewaktu mala-petaka itu akan terjadi. Dan, betapa hancur hatinya ketika semua telah selesai.
"Di saat ayah tiriku yang tidak mengenal puas itu menggeluti ku, ibu pulang! Beliau terperanjat melihat keadaan kami. Melihat sepasang mataku yang bengkak-bengkak karena terlalu banyak menangis, ibuku langsung bisa menduga apa yang telah terjadi.
Dengan kemarahan meluap-luap ibu menyerang suaminya. Terpaksa ayah tiriku melayaninya. Tapi, ayah tiriku memang lihai bukan main, ibu akhirnya tewas di tangannya." "Oh...!"
Arum Sari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sungguh tidak disangka kejadian yang me-nimpa Mayang dan ibunya mirip dengan kejadian yang diterimanya bersama ayahnya. Ayahnya pun tewas ke-tika berusaha membela dia dari perkosaan!
"Dengan tewasnya Ibu," Mayang melanjutkan. "Ayah tiriku mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mengangkangi diriku. Aku seperti istrinya saja. Biadab sekali dia! Aku menjadi benci dan dendam. Perasaan tak tahan kadang memaksaku ingin melarikan diri atau membunuh diri. Tapi, Ayah tiriku itu sangat cerdik. Dia selalu menotok dan membelenggu ku apa-bila nafsu birahinya telah di-lampiaskan. Makan pun aku ditungguinya!"
Arum Sari tertegun. Sama sekali tidak pernah disangka riwayat neneknya demikian mengenaskan. Bahkan, jauh lebih menyedihkan dari kejadian yang menimpanya.
"Kegilaan Ayah tiriku tidak berhenti sampai di situ. Ketika dia terlibat dalam judi, aku disuruh melayani setiap orang yang diinginkannya. Dia menjadikan ku sebagai pelacur dengan bayaran tinggi! Jadilah tubuhku permainan orang-orang berduit. Aku memang mempunyai daya tarik kuat yang membuat lawan jenisku terbangkit birahinya meski hanya melihat rupaku atau mendengar suaraku. Tak aneh kalau putra Ayah tiriku pun tergilagila dan menggauli ku! Mula-mula secara diam-diam karena takut ketahuan ayahnya. Tapi, lama-kelamaan secara terang-terangan. Gilanya, Ayah tiriku membiarkannya saja. Dendam ku pun semakin bertumpuk. Selama lima tahun lebih tubuhku menjadi permainan. Selama itu pula aku menanggung dendam. Aku tidak ingin mati dulu. Aku ingin membalas semua sakit hati yang bertumpuk ini! Jalan untuk itu akhirnya terbuka ketika seorang lelaki hidung belang tidak hanya datang untuk menikmati tubuhku.
Ia menawarkan jalan untuk membalas dendam. Dia seorang dukun! Dia tahu aku memendam dendam karena dia telah
menyelidikinya melalui ilmu hitamnya!"
Arum Sari yang sejak tadi mendengarkan dengan perasaan ngeri mulai merasa lega. Mayang telah mempunyai jalan untuk membalas dendam.
"Dia menawarkan kepadaku suatu kesaktian. Tentu saja kesaktian yang tidak sewajarnya. Kesaktian yang didapat dengan jalan hitam. Dengan syarat yang amat berat. Aku berpikir cukup lama sampai akhirnya memutuskan kalau lebih baik aku menerimanya. Demi membalas dendam dan sakit hati bertahuntahun, aku rela menanggung syarat-syarat yang berat itu."
"Apa syarat-syarat itu, Nek?" tanya Arum Sari ingin tahu.
"Bersetubuh dengan seekor ular yang sangat besar!" jawab
Mayang dengan nada pahit
"Ular?!" Arum Sari membelalakkan sepasang matanya.
"Benar! Seekor ular jantan yang panjangnya sekitar lima belas meter dan besarnya lebih dari paha manusia dewasa!"
Arum Sari tercenung dengan hati jijik. Jangan-kan bersetubuh, membayangkan saja dia sudah jijik bukan main. Dan, Mayang melakukannya.
"Demikianlah! Setiap seminggu sekali di malam Jum'at ular raksasa itu datang dan menggauli ku. Ucapan dukun itu ternyata benar. Hanya dalam sebulan aku telah memiliki kepandaian amat tinggi. Kepandaian silat dan juga ilmu gaib. Musuh-musuhku semua berhasil ku binasakan. Tapi Ayah tiriku dan anaknya tidak berhasil kubunuh. Mereka dapat meloloskan diri. Aku tidak tinggal diam. Terus kucari mereka hingga usiaku menjelang tiga puluh. Tapi, mereka tetap tak kutemukan. Justru aku bertemu dengan seorang petani gagah yang usianya beberapa tahun di atasku. Kami saling jatuh cinta dan akhirnya menikah! Sejak itu aku melupakan usahaku mencari Ayah tiriku. Aku hidup seperti petani. Tenang. Kebahagiaan ku bertambah ketika ibumu, Nuri, lahir. Dia tumbuh menjadi gadis cantik sehingga menjadi rebutan ba-nyak pemuda. Yang beruntung mendapatkannya adalah seorang pendekar muda yang kemudian berjuluk Pendekar Macan Hitam."
"Ayah...?!" ujar Arum Sari tanpa sadar.
"Benar." Mayang mengangguk. "Saat itu ibumu berumur dua puluh tahun, dan aku telah berusia lima puluh. Kebahagiaan ku mulai berkurang ketika ibumu pergi mengikuti ayahmu. Sepuluh tahun kemudian suamiku, Salaka, meninggal. Aku terpukul sekali. Aku tidak betah sendirian. Aku kesepian. Maka, aku pergi menjenguk ibumu. Nasibmu memang malang, Arum. Ibumu meninggal saat melahirkan mu."
"Aku ingat itu, Nek. Kau baik sekali." Sepasang mata Arum Sari menerawang ke langit, mengenang di-rinya sewaktu masih menjadi gadis cilik.
"Kau amat menyenangkan, Arum. Kau lucu dan lincah, membuat kesedihan ku berhasil kulupakan. Aku merasa terhibur. Sayang, lagi-lagi gangguan kembali muncul. Sepuluh tahun kemudian kudengar berita mengenai musuh besarku. Tapi, mereka telah berbeda jauh. Keduanya telah memiliki kepandaian tinggi. Sialnya lagi bagiku, mereka berhasil menemu-kan rahasia aku mendapatkan ilmu. Tempat tinggal mereka pun dipasangi benda-benda penangkal ular. Aku tidak bisa masuk ke tempat mereka. Apalagi membunuhnya. Terlebih setelah mereka mengenakan benda-benda anti ular. Aku tidak berdaya. Ketika aku bersikeras untuk membunuhnya karena tak kuat menanggung dendam, aku tewas di tangan mereka."
"Biar aku yang akan membalaskan dendammu, Nek!" tandas Arum Sari geram.
"Bukan kau, Arum Sari." Mayang menggeleng-kan kepala. "Tapi kita. Kita berdua yang akan membasmi mereka. Bersiaplah menerima kedatanganku di dalam dirimu, Arum!"
"Apa maksudmu, Nek?" Arum Sari tidak mengerti dengan perkataan neneknya.
"Itulah yang membuat ayahmu memutuskan untuk memenjarakan ku, Arum. Ayahmu tahu rahasiaku. Maka, ditancapkannya bambu kuning di atas peti mati ku agar aku tidak bisa menitis ke dalam dirimu. Ayahmu tahu kalau empat puluh satu hari selama kematianku, aku bisa menitis ke dalam dirimu. Lewat dari empat puluh satu hari aku tidak bisa berbuat apa-apa. Semula aku sudah putus asa. Tapi, siapa sangka malapetaka menimpa kau dan ayahmu. Kebetulan kau datang kemari dan mengadu padaku. Panggilanmu sampai ke alam tempat rohku. Panggilanmu membuat aku memiliki sedikit kekuatan sehingga mampu timbul di dalam mimpimu. Inilah hasilnya, Arum." Arum Sari mengangguk-anggukkan kepala.
"Sekarang, bersiaplah menerima kedatanganku ke dalam dirimu, Arum!"
Belum lenyap gema ucapan Mayang tubuhnya telah lenyap dari pandangan. Dan, tiba-tiba tubuh Arum Sari mengejang seperti orang terkena demam tinggi.
Kejadian itu hanya berlangsung sesaat Arum kembali seperti biasa. Hanya, ada sesuatu yang menyeramkan memancar dari sorot mata dan biasan wajahnya.
"Hi hi hi...!"
Arum Sari yang raganya telah dimasuki roh Mayang tertawa terkekeh. Suara tawa itu lebih pantas keluar dari mulut kuntilanak!

* * *



Tok, tok, tokkk!
"Ketua...! Ketua...!"
Ketukan keras pada pintu yang diiringi panggilan tergesagesa membuat sesosok tubuh kekar berkulit hitam kecoklatan dan terbungkus pakaian putih bergaris-garis hitam menoleh ke arah pintu yang tertutup. Sorot mata lelaki berkumis tebal ini tampak menyiratkan perasaan tidak senang.
Meski kepalanya ditolehkan, lelaki berkumis tebal tidak menghentikan kegiatannya. Kedua tangannya tetap dijulurkan ke depan dengan telapak tangan menghadap ke atas. Ketika tangan itu digerakkan ke atas, sebuah meja besar dan bulat terbuat dari kayu jati hitam berukir ikut terangkat setinggi satu tombak! Lelaki berkumis tebal berada di sebuah ruangan luas.
"Ketua...! Ketua...!"
Seruan itu kembali terdengar. Ketukan pada daun pintu semakin gencar. Lelaki berkumis tebal menggertakkan gigi, geram. Kedua tangannya yang dijulurkan ditarik. Meja bundar itu pun jatuh ke lantai menimbulkan bunyi hiruk-pikuk.
"Hih!"
Dengan wajah merah padam membayangkan amarah, lelaki berkumis tebal berusia empat puluh lima tahun itu mendorongkan kedua tangannya ke depan. Seketika serangkum angin deras berhembus!
Blakkk!
Daun pintu langsung jebol. Lepas dari ambangnya dan melayang keluar menerpa orang yang berada tepat di depannya. Karuan saja orang yang tidak menyangka kejadian tersebut kaget.
Ia hanya bisa mengeluarkan seruan kaget ketika tubuhnya melayang deras ke belakang dan jatuh di tanah tertimpa daun pintu.
Orang yang malang itu berusaha bangkit setelah terlebih dulu hendak menyingkirkan daun pintu yang menindih tubuhnya. Tapi sebelum maksudnya terlaksana, di atas daun pintu itu telah berdiri lelaki berkumis tebal. Tidak terlihat lelaki berkumis tebal itu bergerak, tahu-tahu ia telah berada di atas daun pintu.
"Monyet kecil! Sungguh berani kau mengganggu
ketenanganku, heh?! Rupanya kau sudah kepingin mampus!"
Lelaki bertubuh kecil kurus itu terengah-engah menahan himpitan keras yang menyesakkan dadanya. Wajahnya pucat pasi. Adanya ancaman maut dalam ucapan lelaki berkumis tebal yang menjadi ketuanya.
"Tidak demikian maksudku, Ketua. Di luar sana ada orang yang datang mencari Ketua. Dia lihai sekali! Kawan-kawan banyak yang tewas di tangannya!"
"Hmh!"
Lelaki berkumis tebal mendengus. Sekali menjejakkan kaki tubuhnya telah melesat ke depan. Pada saat yang bersamaan, nyawa lelaki kecil kurus itu melayang ke alam baka. Tewas dengan dada remuk ketika kaki lelaki berkumis tebal bergerak menekan.
Dalam beberapa kali lesatan, tubuh lelaki ber-kumis tebal telah berada cukup jauh. Bangunan di mana lelaki berkumis tebal berada, dikelilingi pagar kayu bulat dan terletak agak jauh terpisah dari bangunan-bangunan lainnya yang berada di depan.
Sekarang lelaki berkumis tebal telah berada di halaman luar di mana terdapat pintu gerbang yang terbuka lebar.
Lelaki berkumis tebal menggeram ketika meli-hat beberapa sosok tubuh bergeletakan di tanah. Se-mentara beberapa muridnya tengah bertarung dengan sesosok bayangan putih. Orang-orang berpakaian putih bergaris-garis hitam itu bagaikan semut-semut yang menerjang api. Mereka tewas sebelum berhasil mendekat.
"Mundur semua...!"
Lelaki berkumis tebal berseru keras mengge-rakkan tenaga dalamnya. Suaranya terdengar bagai-kan guntur. Ada kekuatan gaib yang membuat semua orang yang tengah bertarung melompat ke belakang dan menghentikan pertarungan. Sosok bayangan putih yang ternyata seorang lelaki setengah baya, berwajah gagah dengan kumis dan jenggot terawat rapi, mengalihkan perhatian ke arah lelaki berkumis tebal yang tengah melangkah gagah mendekatinya.
"Kukira siapa, rupanya hanya seorang tikus kecil dari tokohtokoh sombong yang berjulukan besar! Kau datang hendak mengantar nyawa, Pendekar Macan Putih?!" ejek lelaki berkumis tebal menghentikan langkahnya tiga tombak di depan lelaki berpakaian putih.
Pada bagian dada kirinya tersulam gam-bar kepala seekor macan dengan benang emas. Lelaki berpakaian putih yang berjuluk Pende-kar Macan Putih tersenyum pahit Dia tidak terlihat marah atau tersinggung mendengar ejekan keras itu.
"Kau masih sombong dan besar mulut seperti dulu, Serigala Belang. Sayang, waktu itu kami bertindak kepalang tanggung sehingga kau dapat lolos. Tapi sekarang, jangan harap kau akan bernasib baik seperti dulu!"
"Kaulah yang akan mampus menyusul kawanmu, Pendekar Macan Putih yang malang!" tandas lela-ki berkumis tebal yang ternyata berjuluk Serigala Be-lang.
"Mana mungkin seekor serigala mampu membinasakan seekor macan, betapapun saktinya serigala itu? Andaikata serigala berhasil menewaskan macan, tentu tidak dengan cara yang jujur!" Pendekar Macan Putih menyindir.
Serigala Belang yang mengerti hinaan halus lawannya menjadi kalap. "Haattt...!"

Diawali teriakan nyaring, Serigala Belang men-dorongkan kedua telapak tangannya. Gerakannya per-lahan saja, seperti tengah mendorong sebuah benda yang teramat berat
Tetapi, Pendekar Macan Putih merasakan satu kekuatan meluncur ke arahnya. Ia pun tidak tinggal di-am. Segera dilakukannya tindakan serupa.
Dengan diawali teriakan melengking nyaring yang membuat belasan anak buahnya menutup telinga, Serigala Belang melompat melakukan dorongan kedua tangan. Gerakannya perlahan seperti tengah mendorong sebuah benda besar yang amat berat.
"Hih!"
Pendekar Macan Putih merasakan kekuatan tak nampak meluncur ke arahnya. Semakin lama semakin keras. Ia pun tidak tinggal diam. Segera dilakukannya tindakan serupa. Pendekar Macan Putih tidak ingin dianggap takut oleh Serigala Belang. Di samping itu ia juga ingin menguji kemajuan pimpinan Gerombolan Serigala Belang ini! Sepuluh tahun yang lalu ke-pandaian mereka berimbang.
Blarrr!
Dua pukulan jarak jauh yang mengandung te-naga dalam amat tinggi berbenturan di tengah jalan. Terdengar bunyi menggelegar yang menggetarkan sekitar tempat itu. Tubuh Pendekar Macan Putih terjengkang ke belakang dan terhuyunghuyung hampir jatuh!
"Ha ha ha...!"
Serigala Belang tertawa bergelak. Sementara wajah Pendekar Macan Putih berubah hebat melihat hasil benturan itu. Dia sama sekali tidak menyangka. Kekuatan tenaga dalam Serigala Belang benar-benar mengejutkan.
"Bagaimana, Pendekar Macan Putih? Masihkah kau ragu kalau serigala mampu mengalahkan seekor harimau?!"
Pertanyaan yang mengandung ejekan itu membuat wajah Pendekar Macan Putih semakin merah padam. Meski demikian, lelaki berpakaian putih ini masih tidak percaya kalau tenaga dalam lawan benar-benar telah sehebat ini!
"Jangan berbesar hati dulu, Serigala Belang!"
Pendekar Macan Putih menutup ucapannya dengan lemparan tiga batang logam berbentuk segi-tiga. Senjata rahasia yang menjadi andalan Pendekar Macan Putih meluncur ke arah Serigala Belang dengan diiringi bunyi berdesing nyaring, pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
"Hmh!"
Serigala Belang mendengus penuh ejekan. Dengan sikap sembarangan, kedua tangannya dijulurkan ke depan. Dan, akibat yang terjadi membuat sepasang mata Pendekar Macan Putih membelalak lebar. Senjata rahasia itu membalik sebelum bertemu dengan kedua tangan yang dijulurkan. Seakan ada kekuatan tak tampak yang menahan luncuran bintang-bintang segitiga dan membuatnya meluncur kembali ke pemiliknya. Pendekar Macan Putih kini percaya Serigala Belang memiliki kekuatan tenaga dalam yang tinggi.
Kendati demikian, Pendekar Macan Putih tidak menjadi gugup. Sebagai seorang ahli melempar senjata rahasia dia tentu saja mampu menangkalnya. Ketika bintang-bintang segitiga itu kembali ke arahnya, Pendekar Macan Putih mengeluarkan tiga bintang segitiga lainnya dan bergegas melemparkannya.
Bunyi berdentang pelan terdengar ketika enam senjata rahasia berbenturan di udara. Semuanya runtuh ke tanah. Tapi, terlihat jelas akibat benturan itu bintang-bintang segitiga yang dilepaskan Pendekar Macan Putih terpental mundur. Ini menjadi pertanda kalau bintang-bintang segitiga yang meluncur balik ditopang oleh tenaga dalam tinggi! Padahal, Pendekar Macan Putih hanya menjulurkan kedua tangannya, bukan menangkis!
Pendekar Macan Putih tidak menjadi gentar melihat kenyataan itu. Dia mencabut pedang bergagang kepala macan yang menjadi senjata andalannya. Dengan pedang telanjang di tangan, lelaki berpakaian putih ini menyerbu Serigala Belang.
Serigala Belang yang tahu kedahsyatan permainan pedang Pendekar Macan Putih tidak berani bertindak sembarangan. Dia pun mencabut senjata andalannya. Sebatang golok yang bercabang. Dengan senjata ini telah beberapa kali Serigala Belang berhasil merampas senjata lawan dengan mengkaitnya.
Dalam sekejap dua lelaki itu telah terlibat per-tarungan seru. Bunyi dentang senjata beradu yang di-iringi percikan-percikan bunga api ke udara menyema-raki jalannya pertarungan.
"Hih!"
Setelah hampir sepuluh jurus dan terjadi bebe-rapa kali benturan, dengan akibat tubuh Pendekar Macan Putih terhuyung mundur, Serigala Belang ber-hasil menjepit pedang Pendekar Macan Putih di ten-gah-tengah cabang senjatanya.
Pendekar Macan Putih kaget. Tapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Serigala Belang telah memu-tar goloknya sedemikian rupa sehingga pedang Pende-kar Macan Putih ikut terputar. Dan, ketika Serigala Belang melakukan gerakan menyentak, senjata Pen-dekar Macan Putih terlepas dari pegangan. Pedang itu terlempar cukup jauh.
Di saat tubuh Pendekar Macan Putih ter-huyung akibat sentakan, Serigala Belang memasukkan kembali goloknya ke dalam sarungnya di pinggang, kemudian melompat ke atas. Dari atas tubuhnya menukik turun dengan kedua telapak tangan terbuka menghantam pundak Pendekar Macan Putih.
Pendekar Macan Putih tidak mempunyai pilihan lain kecuali memapaki serangan itu dengan kedua telapak terbuka ke atas.
Plakkk!
Dua pasang telapak tangan berbenturan dan saling melekat. Tubuh Serigala Belang berada di atas Pendekar Macan Putih. Tubuh lelaki berkumis tebal itu lurus ke atas dengan kedua tangan berada di bawah, menempel dengan tangan Pendekar Macan Putih yang terjulur ke atas.
Terjadilah pertarungan yang mendebarkan. Pertarungan adu tenaga dalam. Mula-mula tidak terlihat hasilnya. Tapi sesaat kemudian, tampak kedua tangan dan kaki Pendekar Macan Putih menggigil keras. Dari kepalanya mengepul uap putih. Tampaknya, lelaki berpakaian putih ini telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Meski tenaga dalamnya kalah jauh, Pendekar Macan Putih tetap bersikeras bertahan. Dan kekerasan hatinya membuatnya cukup lama bertahan. Sayang landasan tempat kaki Pendekar Macan Putih bertumpu tidak kuat menanggung kekuatan tenaga dalam yang dahsyat itu. Dengan cepat tanah tempat-nya berpijak amblas! Kedua kaki Pendekar Macan Putih tenggelam sampai ke betis.
"Hukh...!"
Pendekar Macan Putih akhirnya harus menyerah ketika darah segar memancur deras dari mulutnya. Pendekar ini telah terluka dalam yang amat parah. Kedua tangannya langsung terkulai. Patah! Dan tangan-tangan Serigala Belang dengan keras menghantam kedua bahunya. Pendekar Macan Putih tewas dengan kedua kaki masih terbenam di dalam tanah!
"Ha ha ha...!"
Begitu berhasil menjejak tanah dengan mantap setelah berjungkir balik beberapa kali di udara, Serigala Belang tertawa bergelak. Tawa kemenangan. Kemudian, tanpa mempedulikan mayat lawannya, lelaki berkumis tebal ini melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Serigala Belang menuju bangunan tempat tadi dia berada.
–––––––– 3
"Hiya...! Hiya...!"
Seruan-seruan keras yang dibarengi pecutan bertubi-tubi memaksa seekor kuda coklat berlari sece-pat mungkin. Keempat kaki binatang itu bagai tidak menyentuh tanah. Debu mengepul tinggi di udara.
"Uh...!"
Seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu mengeluarkan seruan kaget ketika melihat kuda coklat itu berlari cepat ke arahnya. Padahal, saat itu dia tengah berada di sebuah jalan tanah yang lebarnya tak lebih dari dua tombak. Di ka-nan kiri jalan itu ditumbuhi semak-semak dan pepohonan kecil.
Pemuda berambut putih keperakan tidak ingin wajah dan pakaiannya dikotori debu yang mengepul tinggi karena lari kuda yang seperti kesetanan. Dia bergegas melompat ke samping dan menggunakan ujung-ujung atas semak-semak untuk berlompatan menjauh.
"Luar biasa...!"
Teriakan penuh kagum itu keluar dari mulut penunggang kuda coklat. Seorang pemuda berpakaian kuning tua dengan warna ikat kepala yang sama. Wajahnya tampan. Apalagi dengan adanya sebaris kumis tipis di bawah hidungnya. Pemuda berpakaian kuning tua sempat melihat tindakan pemuda berambut putih keperakan. Dan, pemuda berpakaian kuning tahu gerakan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang tokoh persilatan tingkat tinggi.
Tapi, hanya sampai di situ saja tanggapan pemuda berpakaian kuning tua. Lari kudanya sedikit pun tidak diperlambat. Dalam sekejapan saja ia telah jauh meninggalkan tempat itu.
Setelah debu yang mengepul sirna, baru pe-muda berpakaian ungu melompat meninggalkan pu-cuk semak-semak yang dihinggapinya. Semak-semak itu bergoyang ketika tubuh pemuda berambut putih keperakan menjejakkannya. Sebelum bersalto beberapa kali di udara dan mendarat di tanah.
Pemuda berpakaian ungu menatap ke arah penunggang kuda coklat yang terus menggebah kudanya. Sepasang alisnya berkerut heran melihat tingkah pemuda berpakaian kuning tua yang seperti dikejar-kejar sesuatu.
Pemuda berpakaian ungu itu pun berdiri menatap ke arah yang tadi ditinggalkan pemuda berpakaian kuning tua. Dia menduga akan melihat satu atau sekelompok orang yang melakukan pengejaran.
Sementara, jauh di depan pemuda berbaju kuning tua memperlambat lari kudanya ketika melihat sebuah pondok kecil di kejauhan. Ketika telah berada tepat di depannya, pemuda itu menarik tali kekang kuda. Belum juga berhenti dia telah melompat turun.
Ketika pemuda berpakaian kuning tua hendak mengetuk pintu, daun pintu telah lebih dulu dikuakkan dari dalam. Tersembullah seraut wajah wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun. Meski demikian, masih terlihat sisa kecantikannya di waktu muda.
"Gunaran...!"
"Ibu...!"
Wanita setengah baya dan pemuda berpakaian kuning tua saling berpelukan erat
"Apa yang terjadi, Ibu?" tanya pemuda berpakaian kuning setelah melepaskan pelukannya. "Kudengar dari guru, Ibu mengirim seorang kurir untuk menyuruhku pulang karena ada urusan yang sangat penting."
"Itu memang tidak salah, Gunaran!" Ibunya Gunaran yang mengenakan pakaian biru menyahut seraya mengangguk. "Berita yang amat penting dan menyangkut nasib ayahmu.. Karena itu, aku buru-buru mengirim kabar padamu."
"Ayah?!" Gunaran rupanya baru teringat akan ayahnya. "Mana Ayah, Ibu? Mengapa dia tidak datang menemuiku?"
"Itulah, Gunaran." Wanita berpakaian biru itu menghela napas berat. "Dua hari yang lalu ayahmu pergi untuk menjumpai rekannya di masa muda. Kau tahu kan siapa rekan ayahmu itu?"
"Ya." Gunaran mengangguk. "Bukankah orang itu berjuluk Pendekar Macan Hitam?"
Wanita berpakaian biru mengiyakan.
"Seminggu yang lalu seorang lelaki datang kemari menyampaikan berita mengenai Pendekar Macan Hitam. Lelaki itu terhitung murid Pendekar Macan Hitam, kendati pada kenyataan sebenarnya Pendekar Macan Hitam tidak pernah mempunyai murid kecuali putri tunggalnya. Arum Sari. Nah, lelaki itu mengabarkan kalau Pendekar Macan Hitam dan putrinya mengalami malapetaka karena perbuatan sekelompok orang yang dipimpin Serigala Belang.
"Ah! Musuh besar Ayah yang waktu itu lolos dari maut?!" Gunaran yang mendengar cerita itu dari ayahnya, berseru kaget.
"Benar. Maka, ayahmu segera pergi ke sana. Ia ingin mengecek sendiri kebenaran berita itu, juga hendak membinasakan Serigala Belang dan komplotannya apabila benar mereka berada di sana."
"Kalau benar demikian, Ibu tidak perlu khawatir. Aku yakin Ayah akan berhasil mengirim nyawa Serigala Belang dan komplotannya ke akherat. Aku yakin!" tandas Gunaran mantap.
"Tidak baik kau bersikap seperti itu, Gunaran!" cela wanita berpakaian biru. "Sikap memandang remeh hanya akan memperlemah kewaspadaan kita. Itu bukan tidak mungkin akan berakibat buruk. Ingat, kemenangan ayahmu dan kawannya itu terjadi pulu-han tahun yang lalu. Banyak hal mengejutkan bisa terjadi dalam waktu sepuluh tahun! Siapa tahu Serigala Belang mendapat kemajuan pesat dalam kepan-daiannya. Misalnya saja berhasil menciptakan ilmu-ilmu tinggi. Kau perlu ingat, Gunaran. Pendekar Ma-can Hitam berhasil ditewaskannya. Ini menjadi pertanda kalau Serigala Belang mempunyai andalan. Ingat Gunaran. Jangan suka memandang rendah lawan. Betapapun kau telah mengetahui tingkat kepandaian-nya!"
"Ya, Ibu?!" Gunaran mengangguk dengan sikap kagum. Dia tahu ibunya hanya memiliki kepandaian silat sekadarnya. Tapi, ia mampu memberikan pandangan yang demikian luar biasa.
"Sekarang pergilah dan susul ayahmu. Aku khawatir terjadi apa-apa terhadapnya. Aku mempu-nyai firasat buruk!" "Tapi, bagaimana dengan, Ibu?" Gunaran ragu.
"Jangan pikirkan aku. Aku tidak apa-apa. Pergilah, Gunaran!"
Gunaran tidak membantah. Setelah berpami-tan, ia segera melangkah keluar. Sesaat kemudian, kuda coklat itu kembali melesat cepat membawa Gu-naran di punggungnya.
Wanita berpakaian biru yang adalah istri Pendekar Macan Putih tidak segera masuk ke dalam rumah. Dia menatap Gunaran hingga tubuh putranya bersama kudanya lenyap di ujung jalan, menimbulkan kepulan debu tebal.
Lama istri Pendekar Macan Putih termenung di depan rumah. Sebenarnya, hati wanita ini merasa be-rat melepaskan putra tunggalnya setelah hampir sepu-luh tahun belajar di tempat kakek gurunya. Yaitu guru Pendekar Macan Putih dan Pendekar Macan Hitam. Tapi, apa daya? Tenaga Gunaran dibutuhkan untuk membantu Pendekar Macan Putih. Istri Pendekar Macan Putih baru saja hendak masuk kembali ke dalam rumah, tapi terpaksa diurungkan ketika melihat kepu-lan debu dikejauhan.
"Mungkinkah Gunaran balik kembali?" tanya wanita berpakaian biru dalam hati. Istri Pendekar Macan Putih pun berdiri menunggu.
Tapi, setelah beberapa saat kemudian penyebab kepulan debu tinggi itu mulai terlihat, istri Pende-kar Macan Putih bergegas masuk ke dalam. Itu bukan Gunaran. Kuda yang ditungganginya pun bukan coklat melainkan hitam legam. Maka, buru-buru wanita berpakaian biru membalikkan tubuh dan melangkah cepat ke dalam rumah. Ia khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Wanita berpakaian biru yang merasa lega ketika berhasil menyentuh daun pintu dan siap mendorongnya jadi terkejut setengah mati. Ada satu kekuatan yang memaksanya tertarik ke belakang. Betapa-pun istri Pendekar Macan Putih berusaha berlari, ia tetap tidak mampu berpindah tempat. Lari yang dilakukannya hanya di tempat saja.
Istri Pendekar Macan Putih menoleh. Dilihat-nya penunggang kuda yang rupanya telah turun dari kudanya berdiri lima tombak darinya. Ia tengah menjulurkan kedua tangan ke arahnya. Tidak terlihat mengerahkan tenaga, tapi wanita berpakaian biru ini tahu kedua tangan itulah yang menyebabkan dia tidak mampu berpindah tempat.
Istri Pendekar Macan Putih tidak putus asa. Ia terus berusaha. sekuat tenaga untuk bebas. Tapi, usahanya sia-sia belaka. Ketika sosok yang baru datang itu melakukan gerak menarik dengan kedua tangannya, tubuh wanita berpakaian biru dengan deras tertarik ke belakang. Istri Pendekar Macan Putih menjerit kaget.
Brukkk!
Tubuh istri Pendekar Macan Putih ambruk di tanah. Tepat di depan sosok yang baru datang. Wanita itu merasakan sekujur tubuhnya sakit-sakit karena terbanting keras. Dengan menguatkan diri dia memba-likkan tubuh dan berdiri menatap sosok di hadapan-nya.
"Siapa kau? Mengapa mempertunjukkan sulap untuk anakanak terhadapku?!" bentak wanita berpa-kaian biru dengan berani.
Sosok yang semula dikira Gunaran oleh wanita berpakaian biru tampak tersenyum lebar. Wajahnya yang hitam legam seperti juga kulit tubuhnya menam-pakkan deretan gigi yang kuning dan besar-besar. Kumis, jenggot, dan cambang bauk kasar menghias wajahnya yang penuh ditumbuhi jerawat.
"Kau ingin tahu siapa aku? Aku kawan dari musuh suamimu! Serigala Belang adalah kawanku. Sekarang kurasa kau tahu mengapa aku mempertunjukkan sulap anak-anak terhadapmu!" Lelaki berkulit hitam legam membuka suaranya yang keras dan mengguntur. "Namaku Malisang!"
Wajah wanita berpakaian biru kelihatan berubah. Ia menyadari adanya bahaya mengancam dari so-sok yang berdiri di hadapannya. Meski demikian, istri Pendekar Macan Putih tidak menjadi gentar.
"Kalau begitu apa maksudmu datang kemari, Malisang? Kalau untuk menemui suamiku perlu kuberitahu kalau dia tengah menuju tempat Serigala Belang berada. Kawanmu itu akan dibinasakan oleh suamiku. Bahkan mungkin sekarang dia telah binasa!" tandas istri Pendekar Macan Putih berapi-api.
"Ah! Begitu kiranya?" Malisang tersenyum lebar. "Berarti sekarang suamimu telah pergi ke alam baka. Kau pun akan mengalami nasib yang sama. Bahkan, mungkin lebih menyedihkan apabila tidak mau menjawab pertanyaanku!"
"Chuih!"
Istri Pendekar Macan Putih meludah dengan sikap memandang rendah.
"Jangan kau kira aku takut dengan ancamanmu! Aku bukan seorang pengecut!"
"Lebih baik kau jawab saja pertanyaanku sebelum kau menderita. Aku bukan seorang pengecut yang hanya berani dengan wanita lemah seperti kau!" tegas Malisang dengan senyuman yang telah lenyap dari bi-birnya. "Katakan di mana Harimau Terbang Berkuku Seribu!"
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai mati pun tetap tidak!" jawab istri Pendekar Macan Putih setengah menjerit. Tokoh yang ditanyakan Malisang adalah guru suaminya! Juga guru dari Pendekar Macan Hitam dan Gunaran.
"Rupanya kau termasuk seorang wanita yang ingin dikasari dulu sebelum tunduk! Baik kalau itu yang kau inginkan!" ancam Malisang dengan wajah bengis.
Malisang lalu mengambil dua buah batu sebesar kepalan tangan dan mengamang-amangkannya di depan istri Pendekar Macan Putih. Wanita berpakaian biru yang berhati tabah itu tampak bersikap tidak peduli, kendati jantungnya berdetak lebih cepat. Ia bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan Malisang?
Malisang yang sengaja bertindak lambat untuk melihat tanggapan istri Pendekar Macan Putih jadi geram bukan main melihat sikap tidak acuh wanita berpakaian biru. Dia merasa ditantang. Kemarahan lelaki berkulit hitam legam ini pun meledak. Siksaan yang diancamkan terhadap calon korbannya langsung di-mulai! Batu-batu itu dibenturkan satu sama lain.
Tak, tak, tak!
Bunyi berdetak pun terdengar ketika batu-batu itu saling berbenturan. Kelihatannya tidak ada hal yang aneh. Tapi, tidak demikian yang dialami istri Pendekar Macan Putih. Ketika batu itu pertama kali berbenturan seperti ada yang menumbuk dadanya. Bahkan, sepasang telinganya berdenging hebat! Sakit bukan main.
Istri Pendekar Macan Putih segera mendekap telinganya dengan kedua tangan untuk mencegah ma-suknya bunyi menyakitkan itu. Tapi usaha wanita itu sia-sia. Betapapun kuat telinganya didekap bunyi yang tidak mengenakkan itu tetap saja merasuk dan me-nyerangnya.
Semakin lama pengaruh benturan baru itu semakin menghebat. Sekarang istri Pendekar Macan Putih tidak hanya menutup kedua telinganya. Tapi, bergulingan di tanah karena tidak kuat menahan siksaan yang melanda. Wanita berpakaian biru itu merasakan telinganya seperti ditusuk-tusuk jarum panas yang amat tajam. Demikian pula dengan bagian dalam da-danya.
"Bagaimana? Apakah kau masih mencoba untuk bertahan?!" Di tengah gemuruh benturan dua batu dan jerit menyayat istri Pendekar Macan Putih, Malisang menawarkan keringanan hukuman.
Tapi, istri Pendekar Macan Putih benar-benar seorang wanita yang tahan uji. Meski tidak mampu menjawab karena rasa sakit yang melanda, dia memberi isyarat tidak mau dengan gelengan kepalanya.
"Keparat!"
Malisang yang sudah merendahkan diri menga-jukan tawaran jadi semakin kalap. Dia memutuskan untuk memberi siksaan yang lebih menyakitkan. Ben-turan batu-batuan semakin dipergencar.
"Terimalah kematianmu, Wanita Keras Kepala! Kau akan mati dengan mata, telinga, dan hidung yang mengeluarkan darah karena urat-urat syaraf mu pecah tak kuat menahan siksaan ini!"
Malisang memang tidak main-main dengan ancamannya. Begitu benturan batu-batunya dipergencar, istri Pendekar Macan Putih mendadak meraung memilukan. Ia menggelepar-gelepar di tanah seperti cacing dilempar ke abu panas!
"Ha ha ha...!"
Malisang tertawa bergelak melihat istri Pendekar Macan Putih tersiksa seperti itu. Kedongkolannya yang menggebu-gebu tersalurkan melihat korbannya yang keras kepala demikian menderita.
"Manusia Keji! Manusia Berhati Binatang...!"
Tawa Malisang terhenti di tengah jalan karena seruan keras yang mampu menindih gelak tawanya. Teriakan keras itu jelasjelas memakinya.
Di saat Malisang hendak mencari asal suara itu, angin tibatiba berhembus cukup keras. Tahu-tahu di depan Malisang dan istri Pendekar Macan Pu-tih telah berdiri seorang gadis berpakaian merah menyala. Seorang gadis yang amat cantik. Berkulit putih, halus, dan mulus. Beberapa tahi lalat menghias wajahnya, menambah kecantikannya.
Tanpa menunggu lebih lama, gadis berpakaian merah mengambil sebatang kipas yang terselip di pinggang. Kemudian, ia mengirimkan totokan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh Malisang!
Malisang melompat jauh ke belakang dan melemparkan batu-batu di tangannya pada gadis berpakaian merah! Kedatangan gadis itu membuat Malisang menghentikan serangannya terhadap istri Pendekar Macan Putih.
–––––––– 4
Gadis berpakaian merah mengembangkan kipasnya dan mengebutkan hingga batu-batu itu terpukul runtuh. Tapi, saking kerasnya tenaga Malisang, tubuh gadis berpakaian merah terhuyung dan tangannya bergetar hebat.
Kesempatan emas itu tak dibiarkan begitu saja oleh Malisang. Malisang segera meloloskan sabuknya. Kemudian, dilemparkan ke arah gadis berpakaian merah. Bagaikan memiliki nyawa, sabuk hitam pekat milik Malisang meluncur dan melibat erat gadis itu sebelum sempat berbuat sesuatu. Bahkan, sabuk itu membuat simpulan yang erat dari pangkal lengan sampai ke bawah pinggang. Kejadian itu terjadi demikian cepat.
Gadis berpakaian merah berusaha melepaskan diri dengan mengerahkan tenaga dalam. Tapi, sabuk itu bukan sabuk sembarangan. Walaupun gadis itu telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sabuk lawan tetap tidak mampu diputuskan. Sabuk itu lentur seperti karet!
Malisang tidak berani menanggung akibat bila gadis berpakaian merah sampai lepas. Di saat gadis itu tengah berjuang untuk membebaskan diri dari belitan sabuk. Lelaki berkulit hitam menudingkan jari te-lunjuk kanannya.
Tidak terlihat Malisang bergerak mendekat untuk melakukan totokan, tapi gadis berpakaian merah mengeluarkan keluhan tertahan ketika tudingan jari telunjuk Malisang mengenai salah satu jalan darahnya. Tubuh gadis berpakaian merah pun ambruk ke tanah seperti karung basah.
Gadis berpakaian merah tampak kaget bukan main. Malisang ternyata memiliki ilmu totokan jarak jauh. Dengan mempergunakan angin serangannya sa-ja, lelaki berkulit hitam ini mampu merobohkan lawan!
"He he he...!"
Malisang terkekeh melihat gadis berpakaian merah sudah tidak berdaya. Masih dengan kekeh yang tidak lenyap dari mulutnya, Malisang melakukan ge-rakan menarik dengan kedua tangan kepada istri Pendekar Macan Putih.
Wanita berpakaian biru yang memperhatikan jalannya pertarungan terkejut bukan main merasakan adanya tarikan yang luar biasa dari kedua tangan Ma-lisang. Istri Pendekar Macan Putih ini tahu gadis berpakaian merah tidak bisa diandalkan lagi untuk menyelamatkan nyawanya. Sayang, Malisang telah langsung bertindak sebelum istri Pendekar Macan Putih mengambil tindakan penyelamatan.
Dari pandangan mata Malisang, wanita itu tahu maut telah dekat dengan dirinya. Ia tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyelamatkan diri. Wanita berpakaian biru ini hanya bisa pasrah menanti da-tangnya maut.
Gadis berpakaian merah meski sudah tidak berdaya tidak menghalangi pandangannya ke arah Malisang dan istri Pendekar Macan Putih. Matanya terbelalak melihat tubuh Ibunya Gunaran tertarik deras ke arah Malisang.
Gadis berpakaian merah menduga Malisang akan menyambuti datangnya tubuh wanita berpakaian biru dengan tusukan jari tangan atau pukulan. Pokoknya serangan mematikan yang dapat mengirim nyawa istri Pendekar Macan Putih ke neraka. Tapi, dugaannya ternyata meleset. Malisang menjulurkan kedua tangannya ke arah sebatang pohon besar berdaun rimbun yang berada tak jauh darinya. Sesaat tangan lelaki berkulit hitam legam ini bergetar dan daun-daun pohon itu berguguran. Cukup banyak ba-gai dilanda angin topan.
Tindakan Malisang tidak berhenti sampai di situ. Dengan kedua tangannya dia melakukan gerakan mengibas ke arah istri Pendekar Macan Putih. Seketika itu pula daun-daun meluncur ke arah wanita berpakaian biru dengan kecepatan menakjubkan. Bunyi mencicit yang menyayat telinga terdengar ketika daundaun meluncur menyambut luncuran tubuh istri Pendekar Macan Putih.
Cap, cap, cappp!
Laksana benda-benda dari logam, daun-daun pohon itu menancapi sekujur tubuh istri Pendekar Macan Putih, mulai dari kepala sampai ke pinggang. Wanita berpakaian biru itu tidak tahan untuk tidak mengeluarkan jeritan menyayat. Darah pun deras mengalir dari bagian tubuh yang ditancap daun-daun yang tak ubahnya mata pisau akibat pengerahan tenaga dalam Malisang yang luar biasa.
Nyawa wanita berpakaian biru pun melayang ke alam baka dengan tubuh masih meluncur deras ke arah Malisang. Tapi, hanya dengan menjulurkan kedua tangan ke depan, Malisang telah membuat tubuh istri Pendekar Macan Putih kembali terpental ke belakang. Dari kedua tangan yang dijulurkan itu keluar angin keras.

* * *




"Sekarang giliranmu, Gadis Liar!" Malisang menyorotkan tatapan dingin pada gadis berpakaian merah.
Bukannya takut, gadis berpakaian merah ma-lah menentang tatapan Malisang, Hal ini membuat Malisang semakin merasa tidak senang. Terlebih ia gagal mendapatkan keterangan tentang Harimau Terbang Berkuku Seribu.
"Aku tidak mau berpanjang kata, Gadis Liar! Aku bukan orang yang sabar. Cepat jawab atau kau akan mengalami hal yang mengerikan di tanganku! Kau akan ku telanjangi dan tubuhmu yang bagus itu kuumpankan pada gerombolan semut merah yang ku-bawa!"
Malisang menghentikan ucapannya ketika melihat perubahan di wajah gadis berpakaian merah. Dia tahu hati gadis itu terguncang. Kalau tidak karena an-caman dengan semut, tentu karena takut ditelanjangi! Sebagai seorang tokoh persilatan yang berpengalaman, Malisang tahu ancaman siksaan yang paling mengeri-kan bagi seorang gadis adalah perkosaan. Tapi, sayang Malisang bukan orang semacam itu. Dia tidak mem-punyai keinginan untuk menguasai tubuh seorang wanita secara paksa.
"Apa... yang hendak kau tanyakan padaku...?" tanya gadis berpakaian merah.
Suaranya agak bergetar karena perasaan te-gang yang melanda hati.
"Katakan di mana Harimau Terbang Berkuku Seribu!" tandas Malisang cepat
Wajah gadis berpakaian merah berubah pias. Mungkin kalau gadis ini dapat bergerak, ia akan ber-jingkat ke belakang seperti orang disengat kalajengking!
Melihat gadis berpakaian merah tercenung bingung malah seperti kaget Malisang jadi kalap.
"Cepat jawab sebelum aku kehilangan kesaba-ran dan memberikan hukuman terhadapmu! Jangan paksa aku untuk membuktikan ancaman ku!" desak Malisang tidak sabar.
Gadis berpakaian merah tidak juga memberikan keputusan meski ucapan Malisang terdengar semakin keras. Rupanya, pertanyaan yang diajukan Malisang terlalu rahasia. Sehingga, sukar bagi gadis berpakaian merah untuk memberikan jawaban.
Tindakan gadis itu membuat kesabaran Malisang habis. Lelaki berkulit hitam ini tahu gadis berpakaian merah mengetahui jawabannya. Karena itu, Malisang jadi geram ketika melihat gadis itu tidak juga memberikan jawaban.
Malisang murka bukan main. Dia merasa ditantang untuk membuktikan kebenaran ancamannya. Maka, segera tangan kanannya dijulurkan ke arah punggung kudanya yang sejak tadi dengan tenang merumput. Lelaki berkulit hitam itu menggetarkan tangannya mengerahkan tenaga dalam.
Sesaat kemudian, sebuah buntalan sebesar kepala yang berada di atas punggung kuda melayang ke arah Malisang. Pada saat yang bersamaan, dari atas pohon melinjo yang berada di sebelah kiri Malisang dan berlawanan arah dengan kuda Malisang, melayang dua butir buah melinjo ke arah gadis berpakaian merah.
Malisang meski tengah sibuk tidak kehilangan kewaspadaan. Bunyi luncuran buah melinjo yang mencicit cukup nyaring membuat kepalanya menoleh. Lelaki berkulit hitam legam ini melihat luncuran dua buah melinjo dari atas pohon. Sayang, Malisang tidak dapat berbuat apa-apa.
Tuk, tukkk!
Begitu buah-buah melinjo mengenai tubuh gadis berpakaian merah, ia merasa totokan yang membelenggu buyar. Jalan darahnya kembali lancar. Dengan sekali lentingan, gadis berpakaian merah langsung dapat berdiri meski kedua tangannya masih terbelenggu.
Melihat hal ini Malisang jadi naik darah. Begitu buntalannya berhasil ditangkap. Tangan kanannya segera digunakan untuk mengirimkan pukulan jarak jauh ke atas pohon tempat buah melinjo tadi berasal! Hembusan angin deras yang menandakan kekuatan tenaga dalam dahsyat pun meluncur ke atas pohon.
Sebelum pukulan jarak jauh Malisang tiba yang akan mengakibatkan sebagian besar daundaun dan ranting pohon berguguran, dari balik kerimbunan dedaunan mencuat dua buah telapak tangan. Yang kanan mengarah pada luncuran pukulan jarak jauh Malisang. Sedangkan tangan kirinya tertuju pada tempat gadis berpakaian merah berada.
Malisang hampir tidak percaya dengan penglihatannya ketika pukulan jarak jauhnya berhasil dikandaskan. Malah tidak pantas disebut kandas, me-lainkan lenyap begitu saja bagai tertelan tangan kanan yang keluar dari kerimbunan pohon. Tidak terjadi ben-turan tenaga dalam yang seperti biasanya terjadi.
Yang lebih gila lagi, tangan kiri yang mengarah ke tubuh gadis berpakaian merah kelihatan bergetar sesaat. Sabuk yang melilit tubuh gadis itu pun terlepas. Kejadian ini lebih membuat
Malisang kaget
Malisang bukan orang bodoh! Ia tahu sosok yang bersembunyi di atas pohon memiliki kepandaian sangat tinggi. Hanya dengan sebelah tangan ia mampu menelan pukulan jarak jauhnya. Hebatnya lagi, pada saat yang bersamaan ia mampu membebaskan gadis berpakaian merah dari belenggu lilitan sabuknya. Suatu tindakan yang Malisang sendiri tak akan mampu melakukannya meski dengan kedua tangan. Membuka ikatan lebih sulit daripada mengikatnya.
Yang lebih membuat Malisang yakin akan ketangguhan sosok yang berada di atas pohon adalah karena kedua tangan itu berasal dari satu orang. Karena gerakan itu dilakukan pada waktu yang bersamaan, sosok yang berada di atas pohon pasti membagi tenaganya untuk memunahkan pukulan jarak jauh dan melepaskan belenggu gadis berpakaian merah. Jadi, tiap tangan mengandung separo dari pengerahan tenaga dalamnya. Kalau separo saja mampu menenggelamkan pukulan jarak jauhnya, bagaimana pula dengan seluruh kekuatan tenaga dalamnya? Pikir Malisang. Maka setelah me-lempar pandangan gentar pada sosok yang tersembunyi di balik pohon, lelaki berkulit hitam legam ini melompat ke atas punggung kuda dan menggebahnya untuk segera meninggalkan tempat itu.

* * *




"Kalau bukan seorang pengecut dan memang memiliki maksud baik mengapa tidak turun dari atas pohon...?!"
Gadis berpakaian merah yang merasa kagum melihat Malisang yang demikian lihai lari ketakutan, sengaja mengeluarkan ucapan pedas untuk memaksa penolongnya keluar dari tempat persembunyian.
Gertakan gadis berpakaian merah ternyata berhasil. Sesaat kemudian, dengan didahului helaan napas berat, melayang turun sesosok bayangan yang mendarat ringan bagai sehelai daun jatuh.
"Ah...!"
Gadis berpakaian merah tidak mampu menahan keterkejutannya melihat sosok di atas pohon yang telah berdiri empat tombak di depannya. Sepasang mata gadis itu membelalak lebar seperti tengah melihat hantu.
Tentu saja tindakan gadis berpakaian merah membuat sosok yang baru turun dari pohon kebingungan. Apakah ada sesuatu yang salah dengan dirinya? Sosok itu bertanya sendiri dalam hati. Barangkali ada sesuatu yang tanpa diketahui menempel di wajah atau kepalanya? Kotoran atau sarang burung barangkali?
Karena pandangan gadis itu sebagian besar di-tujukan pada wajah dan kepalanya, sosok yang baru turun dari atas pohon menggunakan kedua tangannya untuk menyeka kepala serta wajahnya.
"Apa yang kau lakukan, Sobat?" Gadis berpakaian merah merasa heran.
Pertanyaan ini menyadarkan penolong gadis berpakaian merah kalau pada wajah dan kepalanya tidak terdapat apa-apa. Dia telah salah duga.
"Hanya iseng saja, Nisanak. Bukankah lebih baik mengusapusap wajah dan kepala daripada aku mengisap-isap jempol?" Untuk menutupi perasaan malunya, pemuda yang baru turun dari atas pohon dan berambut putih keperakan itu mencoba berkelakar.
"Hi hi hi...!"
Gadis berpakaian merah tertawa lucu mendengar jawaban itu. Dia tahu bukan itu jawaban yang sebenarnya. Tapi, dia tidak mempedulikannya dan tidak bertanya lebih lanjut.
Pemuda berambut putih keperakan ikut tersenyum lebar. Apalagi gadis itu kelihatan geli sekali. Pemuda berambut putih keperakan tidak menduga kalau tadi gadis berpakaian merah terkesima bukan karena ada sesuatu pada wajah dan kepalanya. Tapi, karena heran melihat orang yang telah menyebabkan Malisang pergi adalah seorang yang masih sangat muda! Tadi, gadis berpakaian merah menduga kalau yang melompat turun adalah seorang kakek yang sudah sangat tua, mengingat kesaktian yang dipertunjukkannya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Ka-lau tidak ada kau mungkin aku telah celaka di tan-gannya," ujar gadis berpakaian merah kemudian. "Kenalkan namaku Pertiwi. Kau boleh memanggilku Gi-wa. Asal jangan kau panggil aku dengan sapaan Tiwi saja. Aku tidak akan menoleh. Hi hi hi...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu tertawa. Bukan karena lelucon gadis berpakaian merah yang bernama Pertiwi. Lelucon itu sama sekali tidak lucu. Tapi, pemuda berambut putih keperakan tertawa karena melihat betapa gelinya Pertiwi tertawa. Pertiwi tidak tahu hal itu. Gadis berpakaian merah itu menduga pemuda berambut putih keperakan tertawa karena leluconnya.
"Lupakanlah, Pertiwi." Pemuda berambut putih keperakan menyapa secara lengkap. "Tolong menolong sudah merupakan kewajiban setiap manusia. Ja-di, tidak perlu dibesar-besarkan. Lagi pula hanya ke-betulan aku lewat tempat ini. Karena aku tidak tahu permasalahannya, aku menolong secara sembunyisembunyi. Aku tidak mau mencari permusuhan dengan orang yang tidak mempunyai urusan denganku."
Pemuda itu memang baru saja tiba setelah menunggu orangorang yang disangkanya mengejar pemuda berpakaian kuning tua. Cukup lama ia menunggu sebelum akhirnya menempuh arah yang dituju pemuda berpakaian kuning. Dia melakukan perjalanan seenaknya sehingga tiba di tempat ini dengan memakan waktu cukup lama. Apalagi karena agak kesulitan mengikuti jejak kuda yang sebagian besar telah hilang akibat tiupan angin keras.
"Meskipun orang itu telah membunuh wanita tua yang tidak bersalah?" Pertiwi meminta penegasan.
"Benarkah demikian?"
Pemuda berambut putih keperakan kelihatan agak terkejut. Ia mengalihkan pandangannya ke arah istri Pendekar Macan Putih yang tergolek tanpa nyawa di tanah. Memang, pemuda tampan berwajah jantan itu telah melihatnya. Hanya ia tidak tahu siapa yang telah membunuhnya.
"Tentu saja!" tandas Pertiwi keras. "Kau kira aku orang yang suka berbohong? Apakah aku tampak seperti orang yang suka menipu orang?!"
"Tentu saja tidak!" jawab pemuda berambut putih keperakan cepat, khawatir Pertiwi meledak amarahnya. "Siapa pun yang melihatmu bisa segera mengetahui kalau kau seorang wanita yang jujur. Kau tidak terlihat mempunyai sifat pembohong. Apalagi jahat dan sampai membunuh orang."
"Benarkah demikian?" Wajah Pertiwi berubah cerah. Lenyap sudah bayang kemarahan dari wajahnya.
Pemuda berambut putih keperakan menahan geli. Dia memasang wajah serius. Kepalanya diang-gukkan.
"Kau pun baik. Maksudku... aku yakin kau pun bukan orang jahat. Setidak-tidaknya demikian perkiraan ku. Apakah... kau seorang pendekar yang terkenal? O, ya. Aku belum mengetahui siapa nama-mu. Kau curang! Sejak tadi kau belum memperkenalkan nama. Padahal, aku sudah memperkenalkan diri sejak tadi."
Pemuda berambut putih keperakan hampir saja tidak kuat menahan rasa geli yang menggelitik hatinya. Baru saja Pertiwi memujinya dengan mengatakan baik, tapi belakangan mengatakannya curang. Siapa yang tidak merasa geli.
"Ayo! Cepat katakan siapa dirimu!" desak Pertiwi tidak sabar.
–––––––– 5
"Namaku Arya Buana. Tapi, lebih baik kau panggil aku Arya." Pemuda berambut putih keperakan itu memperkenalkan diri dengan suara pelan.
"Arya...." Pertiwi mengulang nama itu seraya mengernyitkan dahi. Ia tengah mengingat-ingat sesuatu.
Melihat sikap gadis berpakaian merah, pemuda berambut putih keperakan yang tidak lain Arya Buana atau yang lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak ini tahu tak lama lagi Pertiwi akan mengenal siapa di-rinya. Gadis berpakaian merah ini jelas telah mengenal namanya.
Kekhawatiran pemuda itu memang tidak berlebihan. Sesaat kemudian kernyitan pada dahi yang halus itu lenyap. Wajah Pertiwi berseri-seri. Dengan sepasang matanya yang bening dan berbinar-binar, gadis berpakaian merah ini menatap Arya lekatlekat dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sepasang mata itu lebih lama berhenti pada rambut dan pakaian
Arya. Kemudian, dengan sikap sungguh-sungguh Pertiwi berjalan mengelilingi Arya. Ia berhenti di belakang pemuda itu. Arya tahu apa yang dilakukannya. Apalagi kalau bukan memperhatikan guci di punggungnya.
"Sekarang aku tahu siapa dirimu, Arya," jawab Pertiwi seraya menyunggingkan senyum lucu setelah kembali berada di depan Arya. "Ciri-ciri mu sering sekali kudengar dari Guru. Beliau pernah bercerita tentang seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian amat tinggi. Ia telah merobohkan banyak penjahat-penjahat sakti! Orang itu berjuluk Dewa Arak! Pasti kau Dewa Arak. Betul kan?!"
"Kalau boleh ku tahu siapa gurumu, Pertiwi?" Arya berusaha mengalihkan pembicaraan karena dia merasa tidak enak Pertiwi memuji-mujinya.
"Guruku berjuluk Harimau Terbang Berkuku Seribu. Orang yang dicari-cari Malisang!" jawab Pertiwi kurang bersemangat. Ingatan tentang gurunya mengingatkan dia akan kakak seperguruannya, Gunaran. Dia telah dijodohkan dengan Gunaran.
Semula Pertiwi tidak terlalu menganggap pusing masalah perjodohan itu. Kakak seperguruannya tampan, lihai, dan juga baik hati. Apalagi yang kurang? Tapi sekarang setelah melihat Dewa Arak, Pertiwi mulai ragu dan menyesalkan perjodohan itu. Di-bandingkan dengan Dewa Arak, Gunaran sama sekali tidak ada artinya. Gunaran kalah segala-galanya.
Dewa Arak tidak hanya unggul dalam kesaktian. Dalam ketampanan pun pemuda berambut putih keperakan ini tidak kalah dengan Gunaran. Malah, ketampanan Arya dianggap Pertiwi lebih menarik. Jantan dan matang! Terlihat jelas kalau pemuda berambut putih keperakan itu telah kenyang dengan penga-laman hidup. Sikapnya demikian tenang dan meyakinkan. Kebaikan Dewa Arak pun tidak kalah dengan Gunaran. Pemuda di hadapannya ini telah menyumbangkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghancurkan angkara murka yang merajalela di persada.
"Ada yang salah dengan ucapanku, Pertiwi?" tanya Arya ingin tahu karena melihat gadis berpakaian merah tercenung. Ia tampak kurang bersemangat.
"Ah...! Sama sekali tidak, Dewa Arak!" jawab Pertiwi gugup. Gadis cantik itu berusaha tersenyum, tapi terlihat janggal.
"Syukurlah!" Meski tahu Pertiwi berbohong Dewa Arak tidak mendesak. "Aku sudah khawatir ucapanku menyinggung perasaanmu. Dan, panggil saja aku Arya. Tidak usah Dewa Arak segala. Tidak enak rasanya."
Pertiwi diam saja. Wajahnya masih terlihat muram.
"Kau belum menceritakan mengapa kau bentrok dengan lelaki berkulit hitam legam tadi. Apakah dia yang bernama Malisang? Tempat tinggalmu di sini? Dan, apa hubungannya kau dengan wanita yang tewas itu? Jawablah kalau kau mau menjawabnya, Pertiwi. Kalau kau tidak ingin, lupakan saja pertanyaanku."
"Tidak ada yang rahasia, Arya. Jadi, kurasa tidak ada salahnya kalau kuceritakan padamu. Aku tinggal bersama guruku, Harimau Terbang Berkuku Seribu dan kakak seperguruanku yang bernama Gunaran. Sebelum mempunyai murid kami, guruku telah mempunyai dua orang murid yang telah cukup terkenal di dunia persilatan. Mereka berjuluk Pendekar Macan Putih dan Pendekar Macan Hitam. Gunaran adalah anak dari Pendekar Macan Putih."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Dia telah mendengar julukan sepasang pendekar itu, yang terkenal belasan tahun lalu sebagai pembela-pembela kebenaran.
"Beberapa hari yang lalu Gunaran kedatangan seorang kurir yang diutus ibunya. Entah apa yang terjadi sehingga Gunaran dipanggil pulang. Aku yang khawatir akan terjadi sesuatu segera menyusul Gunaran. Wanita yang tewas itu adalah ibunya Gunaran. Sedangkan rumah ini tempat tinggal Gunaran dan keluarganya. Aku tahu tempat ini karena Gunaran pernah menceritakannya. Sayang, aku terlampau bodoh sehingga tidak mampu menyelamatkan nyawa ibunya Gunaran. Bahkan kalau tidak ada kau, aku pun akan tewas." Pertiwi menutup ceritanya dengan suara penuh rasa penyesalan.
Arya termenung sejenak memikirkan kejadian itu. "Aku rasa ini ada hubungannya dengan Harimau Terbang Berkuku Seribu. Bukankah Malisang, lelaki yang tadi hendak membunuhmu, bermaksud mencari Harimau Terbang Berkuku Seribu?!" Arya menyatakan dugaannya.
"Mungkin saja." Pertiwi menjawab tidak pasti.
"Kalau begitu mari kita kuburkan ibunya Gunaran. Setelah itu baru menyelidiki penyebab peristiwa ini!" ajak Arya.

* * *




Usai menguburkan mayat ibunya Gunaran, Arya dan Pertiwi meninggalkan tempat itu. Mereka memutuskan untuk mengusut kejadian itu lewat Gunaran. Baik Arya maupun Pertiwi merasa yakin sebe-lum meninggal ibunya Gunaran telah memberitahukan sesuatu yang menyebabkan Gunaran dipanggil pulang. Sesuatu itu yang telah mendorong Gunaran pergi meninggalkan rumah.
Arya dan Pertiwi menggunakan ilmu lari cepat agar dapat menyusul Gunaran. Mereka telah mempunyai perkiraan ke mana Gunaran pergi, karena jalan yang ada di depan rumah Gunaran hanya menuju ke dua arah! Yang satu arah yang ditinggalkan, sedang-kan yang lain arah kedatangan Malisang.
Mengetahui kepandaian Pertiwi tidak bisa dibandingkan dengan dirinya, Arya tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Hanya sekadar untuk membuat larinya bersisian dengan Pertiwi.
"Kau yakin wanita itu murid Harimau Terbang Berkuku Seribu, Pasu?!"
Seruan tidak keras tapi bergema ke sekitar tempat di mana
Arya dan Pertiwi berada mengagetkan sepasang muda-mudi itu.
Saat itu Arya dan Pertiwi berada di jalan setapak yang di kanan kirinya banyak ditumbuhi pohon besar berdaun rim-bun.
"Aku yakin, Ayah. Bukankah setiap murid kakek bongkok itu mempunyai ciri khusus? Kulihat di punggung tangan kirinya tergambar kepala seekor harimau!"
Sebuah suara lain menyambuti. Sama seperti sebelumnya, suara kedua ini pun sukar untuk diketa-hui dari mana asalnya. Suara itu bagaikan muncul dari segenap penjuru.
Arya dan Pertiwi menghentikan langkah. Mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lebih tepatnya lagi, Arya yang mengedarkan pandangan sedangkan Pertiwi hanya mengikuti ke mana pemuda berambut putih keperakan itu mengarahkan pandan-gan.
"Kau tahu di mana mereka, Arya?" tanya Pertiwi setelah melihat pemuda itu tidak segera menujukan pandangannya ke satu arah. Pertiwi tidak melihat apa pun kecuali pohon-pohon besar berdaun rim-bun.
"Belum bisa kupastikan, Pertiwi. Yang jelas mereka mengetahui tempat kita berada. Sedangkan kita tidak mengetahui tempat mereka. Celakanya lagi mereka mengenalmu. Dan, tampaknya mempunyai urusan dengan Harimau Terbang Berkuku Seribu," bisik Arya lirih.
"Aneh...!" Pertiwi berujar tanpa menyembunyikan rasa herannya. "Aku tahu kau memiliki kepandaian tinggi. Bahkan guruku amat mengagumimu. Mengapa kau tidak bisa mengetahui di mana pemilik suara-suara itu berada, Arya?"
"Kalau kau telah terjun ke dunia persilatan seperti aku, tentu kau tidak akan menganggapku memiliki kepandaian tinggi. Asal kau tahu saja, Pertiwi. Di dunia ini amat banyak tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan jauh lebih tinggi daripada ku. Bukan tidak mungkin orang-orang yang baru saja bersuara itu termasuk di antara tokoh-tokoh yang lebih tinggi kepandaiannya dari aku!"
"Tidak mungkin!" bantah Pertiwi tidak percaya. "Kalau benar banyak tokoh persilatan yang memiliki kepandaian melebihi mu, sudah sejak lama kau tewas, Dewa Arak! Kau terlalu merendah diri!"
"Lalu, bagaimana jawabmu mengenai ketidaktahuan ku akan keberadaan mereka yang tengah ber-cakap-cakap itu?" pancing Arya ingin tahu.
Pertiwi membisu.
"Mungkin kau bisa memberitahukannya padaku, Arya. Yang jelas aku tidak setuju dengan sikapmu. Memiliki sifat sombong memang tidak baik, tapi terlalu memandang tinggi lawan dan merendahkan diri terus pun tidak bagus. Itu akan membuat nyali kita kecil!"
Arya tersenyum lebar mengetahui kebenaran pendapat Pertiwi. Dia tidak memiliki nyali kecil. Hanya hendak membuka kesadaran Pertiwi kalau di dunia ini tidak hanya Dewa Arak saja tokoh yang paling sakti. Masih banyak tokoh-tokoh lainnya. Agar nanti apabila Dewa Arak roboh di tangan salah satu tokoh persilatan, Pertiwi tidak terlampau kaget yang mengakibatkan hal-hal yang tak diinginkan. Dia mera-sa bersyukur mendengar pendapat gadis berpakaian merah itu.
"Aku banyak menjumpai hal-hal seperti ini, Pertiwi. Memang tidak selalu orang yang dapat membuat sumber suaranya tidak diketahui memiliki kepandaian tinggi. Tapi, yang jelas dia memiliki kepandaian luar biasa. Setidak-tidaknya tenaga dalam yang dimilikinya amat kuat. Cara dia menyampaikan seruan tadi menggunakan ilmu memindahkan suara, sehingga suaranya seperti berasal dari delapan penjuru angin."
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang benar-benar lihai, Dewa Arak! Berita yang kudengar mengenai kesaktianmu ternyata tidak berlebihan. Buktinya kau tahu ilmu yang kupergunakan!" sambut suara pertama yang tadi terdengar.
"Tidak usah banyak bicara!" Pertiwi segera menyambuti, mendahului Dewa Arak. "Kalau kau memang bukan seorang pengecut tunjukkan dirimu!"
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Wanita Liar!"
Belum juga gema ucapan itu lenyap, terdengar bunyi berkerosokan dari sebatang pohon besar yang berada di sebelah kanan Arya dan Pertiwi. Sesaat kemudian, dua sosok bayangan melesat ke bawah dan menjejak tanah tanpa menimbulkan bunyi.
Arya dan Pertiwi segera memperhatikan dua sosok tubuh itu. Seorang kakek yang telah sangat tua. Usianya tak kurang dari seratus tahun. Tubuhnya telah bungkuk, meski terlihat agak kekar untuk ukuran seorang kakek. Rambut kumis, alis, dan jenggotnya telah memutih! Sepintas lalu kakek ini tidak menimbulkan kesan menyeramkan. Apalagi tegak tubuh bong-koknya karena ditunjang sebatang tongkat pada tangan kanan.
Sosok kedua lebih menimbulkan keangkeran bagi orang yang melihatnya. Tubuhnya tinggi besar. Pakaiannya berupa rompi coklat. Kulit wajahnya merah. Sekujur tangan dan dadanya yang tidak ter-tutup rompi dipenuhi bulu-bulu hitam lebat
Berbeda dengan Pertiwi, Arya tahu kakek bongkok itu jauh lebih berbahaya daripada lelaki berompi coklat yang mungkin berusia tujuh puluh tahun. Pemuda berambut putih keperakan itu pun memusatkan perhatian pada kakek bongkok.
"Akhirnya kalian berani menunjukkan hidung juga! Jangan kalian kira dengan demikian aku akan menganggap kalian tidak bersikap pengecut. Aku tahu kalian merasa terpaksa memunculkan diri. Malu karena takut kami anggap pengecut bukan? Padahal, kalian memang tak lebih dari pengecut-pengecut keji!"
Tajam dan pedas bukan main kata-kata Pertiwi. Gadis berpakaian merah ini memang memiliki keberanian yang besar. Tidak takut akan akibat apa pun. Yang diperbuatnya hanya satu, mengeluarkan perkataan semuanya tanpa dipikir. Arya sendiri yang tidak menduga hal itu kaget bukan main mendengarnya. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini menyesalkan sikap Pertiwi yang ceroboh. Pertiwi terlalu berani. Padahal, Arya tahu dua tokoh yang berdiri di depannya ini tokoh-tokoh tingkat atas. Tapi, apa daya? Nasi telah menjadi bubur. Ucapan telah dikeluarkan. Tak mungkin ditarik kembali. Yang dapat mereka lakukan hanya menanti akibatnya.
Arya semakin bersikap waspada ketika melihat perubahan pada wajah kedua lelaki di hadapannya.
"Iiih...!"
Pertiwi sendiri tanpa sadar mengeluarkan pekikan tertahan ketika melihat kakek bongkok yang sejak tadi menatap ke bawah seperti mencari sesuatu mengangkat kepalanya. Gadis berpakaian merah ini melihat sepasang mata yang mencorong tajam, seperti mata harimau dalam gelap! Hijau dan menyilaukan!
Pertiwi sampai melangkah mundur setindak karena kagetnya. Sedangkan Arya yang sejak tadi bersiap siaga makin mempertebal kewaspadaannya. Sinar sepasang mata yang mencorong kehijauan dan seperti itu menjadi pertanda kekuatan tenaga dalamnya yang luar bisa.
"Sungguh berani kau mengeluarkan ucapan seperti itu, Wanita Liar!" Pelan dan satu persatu kakek bongkok mengeluarkan kata-katanya. Tapi yang membuat hati Arya berdebar tegang adalah karena tidak terlihat bibir kakek itu bergerak! Padahal, suara yang keluar terdengar jelas. Meski tidak terlalu keras, tapi getarannya sampai ke dada.
"Padahal, gurumu sendiri tak akan berani berkata seperti ini! Malah, sejak puluhan tahun dia bersembunyi dariku. Kalau kau tidak mau memberi petunjuk di mana dia berada, jangan harap kau akan selamat dari tanganku! Ingin kulihat apa yang bisa diperbuat Dewa Arak untuk menyelamatkanmu!"
"Kakek bongkok tidak tahu malu!" Pertiwi yang tidak mudah digertak, menjadi semakin meluap amarahnya. "Orang seusia kau seharusnya sudah tidak memikirkan kekerasan lagi. Hidup tenang sambil menimang-nimang cucu!"
"Mulutmu semakin kurang ajar, Wanita Liar! Biarlah aku yang mewakili gurumu untuk menghancurkan mulutmu!"
Usai berkata demikian, kakek bongkok mengulurkan tangan kanannya bergerak hendak mencengkeram mulut yang memiliki bibir indah itu. Jarak antara kakek bongkok dengan Pertiwi tak kurang dari satu tombak. Tapi, tangan kakek bongkok ternyata dapat mulur dan terus mengancam mulut Pertiwi.
Pertiwi tentu saja tidak membiarkan mulutnya diremas hancur. Dia bersiap hendak melompat ke belakang ketika melihat tangan kakek bongkok bisa mulur. Tapi, sebelum gerakan itu dilakukan, gadis berpakaian merah ini melihat jari telunjuk kiri kakek bongkok menjentik perlahan. Sesaat kemudian, Pertiwi merasakan sekujur tubuhnya lemas. Jalan darahnya telah tertotok. Ini menyebabkan ia hanya bisa menanti tibanya serangan dengan sepasang mata membelalak ngeri. Sungguh tidak disangka kakek bongkok ini demikian lihai. Ingin Pertiwi menjerit minta tolong pada Dewa Arak, tapi suaranya seperti tercekik di tenggorokan!
"Jangan terlalu kejam terhadap seorang muda, Kek." Arya yang memiliki mata tajam dan tahu Pertiwi tidak berdaya segera membuka suara. Dengan berani pemuda berambut putih keperakan ini memapaki luncuran tangan kakek bongkok dengan hantaman tangan kanan. Arya mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
–––––––– 6
Prattt!
Tubuh kedua belah pihak terhuyung ke belakang akibat benturan keras itu. Dewa Arak dua langkah lebih jauh terhuyungnya dari kakek bongkok.
Kenyataan ini sangat mengejutkan Arya. Memang sudah dapat diduga kakek bongkok ini memiliki tenaga dalam luar biasa mengingat umurnya yang sudah sangat lanjut. Paling tidak kekuatan tenaga dalam telah dihimpun hampir seratus tahun! Sedangkan Arya tidak sampai dua puluh tahun.
Meski demikian, Arya sungguh tidak menyangka akan sedahsyat ini tenaga dalam yang dimiliki kakek bongkok. Benturan yang terjadi membuat tangan Arya kesemutan dan seperti lumpuh!
"He he he...!"
Kakek bongkok terkekeh, mulutnya yang sudah ompong dan tidak bergigi lagi terbuka lebar.
"Hanya sampai di Situ sajakah kemampuan yang kau miliki, Dewa Arak? Kali ini kau akan tewas di tanganku. He he he...!"
Masih dengan tawa terkekeh, kakek bongkok melakukan gerakan mendorong dengan tangan kanan. Dari telapak tangan yang terbuka itu meluncur se-rangkum angin keras ke arah dada Dewa Arak.
Arya tidak berani bertindak sembrono. Bergegas ia melompat menghindar seraya tak lupa membawa tubuh Pertiwi ke tempat yang aman dan membebaskan totokannya.
"Hati-hati, Pertiwi," demikian bisikan yang diberikan oleh pemuda berambut putih keperakan itu sebelum melompat menjauhi Pertiwi, khawatir gadis berpakaian merah itu akan terkena serangan nyasar.
Tahu kalau lawan yang dihadapinya bukan orang sembarangan, Dewa Arak segera menggunakan ilmu andalan 'Belalang Sakti'! Dengan ilmu itu amukan kakek bongkok dihadapinya.
Pada awalnya Dewa Arak tidak berani mema-paki seranganserangan lawan. Pemuda berambut pu-tih keperakan ini hanya berlompatan ke sana kemari menghindar. Beberapa kali tubuhnya terhuyung-huyung ketika angin pukulan jarak jauh kakek bongkok lewat di dekatnya.
Sambil terus berlompatan, Dewa Arak memutar benaknya. Pemuda berambut putih keperakan itu memikirkan cara untuk menangkal serangan lawan. Memapaki dengan kekerasan hanya akan merugikan dirinya karena tenaga dalam kakek bongkok jelas berada di atasnya. Tapi, mengelak terus-menerus pun tidak baik. Bukan tidak mungkin akhirnya ia akan terkena serangan-serangan lawan yang demikian gencar.
Semula Dewa Arak bermaksud menguras tenaga dalam lawan. Dia tahu serangan jarak jauh banyak menguras tenaga. Tapi, dugaan pemuda berambut putih keperakan ini keliru. Kakek bongkok meski telah belasan kali melancarkan pukulan jarak jauh tidak terlihat lelah. Bahkan, serangan-serangannya semakin bertubi-tubi.
Melihat kenyataan ini, Arya segera tahu kakek bongkok agaknya telah mengkhususkan diri mendalami ilmu pukulan jarak jauh. Sehingga, meski sering digunakan tidak berpengaruh buruk terhadapnya. Bahkan, mungkin ilmu pukulan jarak jauh merupakan ilmu simpanannya.
Yang membuat Dewa Arak semakin kagum adalah tenaga dalam kakek bongkok seperti tidak pernah habis. Pukulanpukulannya pun tidak pernah dilancarkan dengan menggunakan kedua tangan, melainkan dengan satu tangan tapi silih berganti. Dewa Arak jadi kewalahan karena tidak mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan.
Beberapa kali, di waktu mempunyai kesempa-tan baik, Dewa Arak melancarkan serangan balasan. Tapi, selalu kandas karena di sekeliling tubuh kakek bongkok seperti ada dinding kasat mata yang membuat serangannya tidak dapat mengenai tubuh kakek itu.
Akibatnya, sejak pertarungan terjadi Dewa Arak hanya bisa bermain kucing-kucingan.
Kenyataan ini membuat kesabaran Dewa Arak hampir habis. Ternyata perasaan yang sama pun melanda hati kakek bongkok.
"Ternyata julukan Dewa Arak yang terkenal hanya kabar bohong belaka! Apakah tidak ada cara lain yang bisa kau lakukan selain bermain kucing-kucingan seperti ini, Dewa Arak?!"
Ejekan kakek bongkok bagaikan minyak yang disiramkan ke api. Dewa Arak yang memang sudah hampir habis kesabaran jadi semakin kalap. Beruntung, akal sehatnya masih menahannya untuk tidak bertindak gegabah.
Sebagai seorang pemuda yang telah kenyang pengalaman, Dewa Arak menyadari kalau kakek bongkok itu memiliki tenaga dalam yang demikian dahsyat tapi usia tua tidak dapat dikalahkannya.
Kakek bongkok itu akan cepat lelah dan tidak memiliki napas panjang. Urat-uratnya pun tidak sekuat orang yang masih muda. Jelas, kakek bongkok itu akan sukar untuk bergerak lincah. Apalagi memburu Dewa Arak yang memiliki ilmu mukjizat 'Belalang Sakti' dengan ilmu jurus 'Delapan Langkah Belalang'!
Selain Dewa Arak dan kakek bongkok ternyata masih ada orang lain yang tidak sabar menyaksikan jalannya pertarungan. Orang itu adalah kakek berkulit muka merah.
"Ayah, biarlah aku yang menangkap gadis liar itu!"
Tanpa menunggu tanggapan kakek bongkok yang menjadi ayahnya, kakek bermuka merah melangkah lebar menghampiri
Pertiwi.
Pertiwi agak panik melihatnya. Pengalaman dengan kakek bongkok membuatnya sadar kalau ke-pandaian yang dimilikinya hampir tidak berarti. Rasa percaya dirinya berkurang. Maka, ketika kakek bermuka merah yang memiliki perbawa angker menghampirinya, Pertiwi menjadi gugup. Meski demikian, gadis berpakaian merah ini tidak kehilangan akal untuk menyelamatkan diri.
"Tidak tahu malu! Pengecut hina! Apakah kau hanya berani terhadap seorang gadis muda? Kalau kau berani, nanti hadapi Dewa Arak setelah pendekar perkasa itu mengalahkan ayahmu yang ringkih! Tentu saja kalau kau takut terhadapnya dan kau memang berwatak pengecut, aku tidak bisa berkata apa-apa!"
Langkah kakek bermuka merah terhenti. Wajah putra kakek bongkok itu jadi semakin merah. Pertiwi memang ahli dalam hal memaki-maki orang. Sekali ucap saja, gadis berpakaian merah itu menyebut kata-kata pengecut beberapa kali! Makian ini membuat kakek bermuka merah bimbang. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Kakek bermuka merah kembali mengayunkan langkah menghampiri Pertiwi.
Pertiwi tahu makiannya tidak manjur lagi. Maka, tanpa berani menunggu lebih lama, tangan kanannya segera dimasukkan ke dalam buntalan kecil yang berada di selipan ikat pinggangnya. Pertiwi mengambil senjata-senjata rahasianya yang berupa jarum-jarum tajam!
"Hih!"
Sepasang mata kakek bermuka merah sekilas memancarkan sinar kagum melihat jarum-jarum yang dilemparkan Pertiwi. Ketika dilepaskan jarum-jarum itu bergerombolan, tapi di pertengahan jalan mereka memisahkan diri mencari daerah penyerangan sendiri-sendiri. Hebatnya, tiap jarum menuju jalan darah mematikan.

* * *




"Hmh...!"
Kakek bermuka merah mendengus. Ia memandang remeh serangan Pertiwi.
"Permainan seperti ini kau pertunjukkan pada Iblis Muka Merah?!"
Sepasang mata kakek bermuka merah sekilas memancarkan sinar kagum melihat jarum-jarum yang dilemparkan Pertiwi.
Ketika dilepas, jarum-jarum itu bergerombolan. Tapi di pertengahan jalan mereka me-misahkan diri mencari daerah penyerangan sendiri-sendiri. Hebatnya, tiap jarum menuju jalan darah mematikan!
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, kakek bermuka merah yang mengaku berjuluk Iblis Muka Merah mendorong kedua tangannya terbuka ke depan. Tampak kedua tangan itu bergetar ketika Iblis Muka Merah mengerahkan tenaga dalam. Sesaat kemudian, pemandangan yang menakjubkan pun terjadi.
Benar-benar menakjubkan! Bahkan, sepasang mata Pertiwi terbelalak heran. Gadis berpakaian merah ini tidak percaya akan pemandangan yang terpampang di hadapannya. Jarum-jarum tersedot ke arah kedua tangan yang dijulurkan itu. Jarum-jarum yang telah berpencar mencari sasaran serangan sendi-ri-sendiri mendadak meluncur ke satu arah, menuju kedua telapak tangan Iblis Muka Merah yang terbuka.
Tapi, sebelum jarum-jarum itu menembus telapak tangan Iblis Muka Merah, kedua tangan yang diju-lurkan itu bergetar keras. Jarum-jarum Pertiwi sekarang berbalik arah menyerbu pemiliknya sendiri!
Pertiwi tidak mau mencari penyakit. Buru-buru dia melompat ke samping kanan. Tapi, betapa kaget gadis berpakaian merah itu melihat jarum-jarum beracun tetap meluncur ke arahnya. Jarumjarum itu seperti mempunyai nyawa. Mereka mengejar Pertiwi. Jarum-jarum itu meluncur mengikuti arah gerakan tangan Iblis Muka Merah!
Pertiwi bersalto beberapa kali di udara setelah melempar tubuhnya ke belakang. Begitu kedua kakinya menjejak tanah dilihatnya jarum-jarum itu masih meluncur ke arahnya. Padahal, gadis berpakaian merah ini telah berada cukup jauh.
Kenyataan ini menyadarkan Pertiwi kalau mengelak tidak berguna sama sekali. Tindakan itu hanya akan menyebabkan dirinya terus dikejar jarum-jarum itu. Maka, kali ini Pertiwi tidak mengelak lagi. Dengan modal nekat, gadis berpakaian merah itu men-julurkan kedua tangannya. Dia bermaksud mencegah laju jarum-jarum dengan tenaga dalamnya.
Pertiwi mengerahkan seluruh tenaga dalam-nya. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Gerakan jarum-jarum itu tertahan. Dan terhenti sama sekali bagai ada tangan tak nampak yang menahan lajunya.
Namun hal itu hanya berlangsung sebentar saja. Begitu Iblis Muka Merah menambah kekuatan tenaga dalamnya, jarum-jarum itu bergerak kembali ke arah Pertiwi dengan kecepatan lebih lambat.
Pertiwi menggertakkan gigi dalam usahanya mengerahkan tenaga dalam sampai ke puncak. Kendati demikian, usahanya boleh dibilang tidak membuahkan hasil. Jarum-jarum itu terus meluncur ke arah-nya. Bahkan lebih cepat ketika Iblis Muka Merah me-nambah sedikit tenaganya.
Keadaan Pertiwi yang terdesak hebat tidak lu-put dari perhatian Dewa Arak. Memang, meski tengah sibuk menghadapi hujan serangan lawan, Dewa Arak tidak lengah terhadap nasib Pertiwi. Beberapa kali pemuda berambut putih keperakan ini mengerling ke arah Pertiwi.
Dewa Arak tahu Pertiwi telah bermain api! Adu tenaga dalam antara Pertiwi dan Iblis Muka Merah hanya akan berakhir apabila salah satu di antara mereka tewas. Apabila perbedaan tenaga dalam kedua orang itu tidak terlampau jauh mungkin yang kalah hanya akan terluka parah. Padahal, Dewa Arak tahu pasti Iblis Muka Merah memiliki tenaga dalam jauh di atas Pertiwi.
Dengan kata lain, Pertiwi pasti akan celaka!
Dewa Arak tidak menginginkan Pertiwi tewas. Maka begitu mendapat kesempatan mengelakkan se-rangan kakek bongkok, pemuda berambut putih kepe-rakan itu mengirimkan pukulan jarak jauh dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang' memapaki jarum-jarum yang semakin mendekati tubuh Pertiwi.
Bresss!
Bunyi letupan tertahan terdengar. Pukulan jarak jauh Dewa Arak menumbuk jarum-jarum yang tengah dipermainkan dua kekuatan tenaga dalam. Benturan itu menyebabkan jarum-jarum berpentalan dan melenyapkan dua tenaga dalam yang telah saling melekat
"Uh...!"
Iblis Muka Merah maupun Pertiwi mengeluarkan keluhan ketika tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang.
Dewa Arak tanpa membuang waktu segera melesat menyambar tubuh Pertiwi dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Iblis Muka Merah tidak tinggal diam. Bergegas dia melesat mengejar. Tapi, baru beberapa tindak kakinya langsung dihentikan ketika mendengar seruan mencegah.
"Tidak usah dikejar! Kita masih mempunyai urusan yang lebih penting! Membunuh seorang seperti Dewa Arak dapat dilakukan belakangan!"
Iblis Muka Merah tidak membantah. Tubuhnya dibalikkan dan melesat cepat meninggalkan tempat itu mengikuti langkah kakek bongkok.
"Kau yakin akan dapat menemukan tempat kediaman Harimau Terbang Berkuku Seribu, Ayah?" tanya Iblis Muka Merah tidak yakin.
"Selama wanita liar itu belum meninggalkan jejaknya selama tujuh hari, bekas perjalanan yang dilaluinya akan bisa ku telusuri. Dan, tempat tinggal Ha-rimau Terbang Berkuku Seribu pun akan dapat kita temukan!"
Iblis Muka Merah mengangguk-anggukkan ke-pala. Entah apa arti anggukkannya. Hanya kakek berkulit merah itu sendiri yang mengetahuinya.

* * *




Gunaran mengernyitkan alis. Heran melihat suasana lengang yang meliputi bagian dalam bangunan yang terkurung pagar kayu bulat tinggi. Daun pintu gerbang terkuak sedikit. Dari celah-celah itu pemuda berpakaian kuning tua mengintai. Tidak di-jumpainya seorang pun di dalam halaman yang luas dan di bagian depan bangunan.
Gunaran mulai merasa ragu akan kebenaran berita yang didapatnya. Benarkah ini tempat tinggal Pendekar Macan Hitam dan anaknya yang dikuasai oleh Gerombolan Serigala Belang? Kalau benar demikian, mengapa kelihatan demikian sepi? Bukankah menurut para penduduk yang tinggal tidak jauh dari tempat ini Gerombolan Serigala Belang berjumlah cukup banyak. Apakah ayahnya, Pendekar Macan Putih, telah membasmi mereka semua?
Setelah tercenung beberapa saat lamanya di depan pintu gerbang, Gunaran memutuskan untuk masuk ke dalam. Dengan hati-hati dan penuh sikap waspada, pemuda berpakaian kuning tua melangkah perlahan. Urat-urat sarafnya saat itu menegang siap menghadapi kemungkinan yang tidak diharapkan.
Tapi, kehati-hatian Gunaran ternyata tidak beralasan. Tidak terjadi apa pun yang dikhawatirkannya. Bahkan, ketika dia telah melewati pintu gerbang. Ma-lah pemandangan tak terduga yang menyambutnya di halaman depan, tepat di balik pintu gerbang. Mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan mengenaskan. Semuanya sudah tidak memiliki daging lagi. Tinggal tulangtulang. Lebih jelasnya lagi kerangka manusia!
Gunaran sampai bergidik melihat pemandangan ini. Benaknya menduga-duga. Makhluk apakah yang telah memakan habis bagian tubuh mayat-mayat itu?
Di saat Gunaran tengah kebingungan terdengar jeritan menyayat hati. Jeritan kesakitan. Asalnya dari bagian belakang. Tanpa menunggu lebih lama Gunaran segera melesat ke belakang. Sikap hati-hati membuat pemuda berpakaian kuning tua ini kendati tengah tergesa-gesa tidak meninggalkan kewaspadaannya.
Jantung Gunaran berdetak lebih cepat ketika melihat sebuah bangunan kecil yang terletak agak jauh dari bangunan-bangunan lainnya. Dari sinilah suara jeritan menyayat itu berasal. Dengan langkah semakin hati-hati pemuda itu melangkah mendekati pintu.
Sungguh suatu hal yang kebetulan. Daun pintu itu memiliki lubang sebesar ibu jari tangan. Melalui lubang ini Gunaran mengintip ke dalam. Seketika hati pemuda berpakaian kuning tua ini tercekat ketika melihat pemandangan di dalam ruangan yang tidak besar.
Pemandangan yang terlihat Gunaran sungguh mengejutkan. Terlebih berada di tempat yang memungkinkan untuk dilihat jelas.
––––––––
7
Di salah satu sisi dinding bangunan tampak menempel sesosok tubuh berkulit hitam kecoklatan dan berkumis tebal melintang. Sosok yang usianya tak kurang dari empat puluh lima tahun ini bertelanjang dada. Pakaiannya yang berwarna putih dengan garis-garis hitam teronggok di lantai.
Semula Gunaran mengira sosok itu bersandar di dinding. Ternyata tidak. Ia ditempelkan di dinding dengan kedua tangan terentang ke samping dan kaki agak terpentang. Pada telapak tangan dan kakinya di-pakukan sebatang pisau yang merah membara! Pisau yang telah digarang di api panas.
Pemandangan ini saja mungkin tidak akan membuat Gunaran terlalu ngeri. Ada pemandangan lain yang membuat pemuda berpakaian kuning ini bergidik. Pada sekujur tubuh telanjang itu menempel ulat-ulat bulu yang dikenal Gunaran sebagai ulat yang gatal bukan main. Ulat-ulat itu berwarna hitam, berbulu lebar, dan berjumlah tak kurang dari dua puluh ulat. Mereka berkeliaran ke sana kemari. Lelaki berkumis melintang menggeliat-geliat dan menjerit-jerit tersiksa perasaan gatal yang bukan main!
"Hik hik hik...!"
Tawa merdu seorang wanita muda, tapi dengan nada yang membuat bulu kuduk merinding, terdengar dari sudut lain. Wanita berwajah cantik dengan bentuk tubuh menggiurkan. Sayang, memiliki wajah beringas dan sinar mata yang menyiratkan kekejaman.
Wanita itu berpakaian hijau. Gunaran seperti pernah melihat wajah itu. Hanya dia lupa kapan dan di mana.
"Serigala Belang! Bagaimana rasanya menjadi orang yang kalah? Nikmat bukan? Ah...! Sekarang aku baru mengerti mengapa dulu jeritan dan rintihanku sedikit pun tidak kau pedulikan. Ternyata jeritan dan rintihan itu nikmat didengar." Gunaran terperanjat begitu mendengar lelaki berkumis tebal yang tengah disiksa itu adalah Serigala Belang, orang yang hendak dibunuh ayahnya. Serigala Belang ternyata masih hidup! Lalu, ke mana ayahnya? Pertanyaan itu menimbulkan kekhawatiran di hati Gunaran. Kalau ayahnya telah bertemu dengan Seri-gala Belang dan tokoh sesat itu masih hidup, hanya ada satu kemungkinan, ayahnya telah tewas di tangan Serigala Belang. Dugaan ini membuat Gunaran gelisah.
Seruan wanita berpakaian hijau yang usianya tak lebih dari dua puluh tahun membuat Gunaran memperhatikan lelaki berkumis tebal yang berjuluk Serigala Belang. Tokoh sesat ini tampak tersiksa seka-li. Ulat-ulat itu memang dahsyat. Gatal dan lagi mengisap darah, meski hanya sedikit
"Kurasa siksaan yang kau alami belum sebanding dengan derita yang kuterima, Serigala Belang. Apa-lagi jika kuperhitungkan dengan nyawa ayahku, Pendekar Macan Hitam yang harus kau bayar. Siksaan seperti ini tidak berarti sama sekali. Aku punya permainan lain yang lebih menarik!"
Wanita berpakaian hijau yang ternyata putri Pendekar Macan Hitam yang bukan lain Arum Sari, mengambil sebuah cambuk lemas yang ujung-ujungnya dipasangi paku-paku berkarat berwarna ke-hijauan, pertanda telah dialiri racun.
Wanita berpakaian hijau itu masih duduk ber-sila. Dengan tenang, cambuk itu dilecutkan secara sembarangan. Cambuk pun melayang ke arah Serigala Belang dan menghantam tubuhnya dengan telak. Uniknya, cambuk itu bagai dilekukkan dengan tangan. Menghantam dada Serigala Belang dengan ujungnya yang penuh dipasang paku! Serigala Belang meraung menyayat hati. Lecutan cambuk membuat darah men-gucur karena dagingnya terkoyak. Bersamaan dengan itu rasa gatal serta panas yang luar biasa langsung melanda.
Dalam cekaman rasa sakit dan gatal Serigala Belang meronta-ronta. Tapi, karena sekujur tubuhnya telah tidak bertenaga, hanya geliatan lemah yang mampu dilakukannya.
Tindakan Arum Sari terus berlanjut. Gadis berpakaian hijau itu mengulurkan tangan kanan ke depan dan menggetarkan cambuknya yang masih berada di udara. Cambuk itu melayang kembali ke bagian tubuh lain dari Serigala Belang. Lelaki itu meraung kesakitan. Begitu seterusnya. Sementara ulat-ulat hitam terus berpesta-pora. Binatang-binatang itu tidak merasa terganggu sama sekali. Cambuk itu tidak menghantam mereka, menyentuh sedikit pun tidak. Semua itu telah diatur oleh Arum Sari.
Gunaran hanya bisa menatap dengan sepasang mata terbelalak. Apalagi setelah mendengar perkataan gadis berpakaian hijau. Dia sekarang ingat siapa wanita berpakaian hijau. Dia adalah Arum Sari, putri Pendekar Macan Hitam.
Ingat akan Arum Sari, Gunaran merasakan jantungnya berdetak kencang. Gurunya pernah berce-rita tentang Arum Sari. Beliau menasihati agar bila bertemu dengan Arum Sari supaya bersikap hati-hati. Apabila Arum Sari memiliki watak jahat, Gunaran harus segera pulang memberitahukan Harimau Terbang Berkuku Seribu. Barangkali saja Arum Sari dapat diselamatkan!
Gunaran yang telah mengenal Arum Sari di waktu kecil tentu saja tidak menginginkan gadis itu menjadi orang jahat. Harimau Terbang Berkuku Seribu pernah sedikit menyinggung kalau Arum Sari sebenarnya tidak ingin berlaku jahat. Gadis berpakaian hijau itu bertindak demikian karena pengaruh dari dalam tubuhnya. Karena itu, Gunaran bermaksud memberitahukan Harimau Terbang Berkuku Seribu. Bukankah gurunya akan mengobati gadis berpakaian hijau itu?
Gunaran terlalu terburu-buru bertindak. Dia memandang enteng Arum Sari. Ketika baru saja berlari meninggalkan daun pintu, pemuda berpakaian kuning tua ini hampir terlonjak saking kagetnya menden-gar bentakan nyaring yang menggetarkan jantung.
"Manusia tidak tahu diri dari mana yang berani mengintai kesenanganku? Jangan harap kau dapat lolos dari tanganku!"
Gunaran mengenal betul suara Arum Sari karena tadi telah mendengarnya. Dan, Gunaran tidak ingin terlibat keributan dengan Arum Sari. Ia tidak mempedulikan seruan itu dan terus berlari.

* * *




Di dalam bangunan, sehabis mengeluarkan bentakan dan tahu pengintai itu tidak kembali, Arum Sari menjadi beringas. Sekali tangan kirinya dijulurkan ke depan dan disentakkan, cambuk yang masih melayang-layang, di atas tubuh Serigala Belang melesat keluar dengan kecepatan mengagumkan.
Brakkk!
Daun pintu hancur berantakan ketika cambuk berujung paku itu menghantam keras. Kemudian, cambuk melesat keluar secepat kilat. Arum Sari terpaksa menggunakan kedua tangannya untuk mengendalikan cambuk itu. Kedua tangannya yang kekar dan berotot dijulurkan ke depan dan digetarkan penuh pengerahan tenaga!
Arum Sari yang sekarang memang berbeda dengan Arum Sari beberapa hari yang lalu. Arum Sari yang dulu biar dibantu ayahnya, Pendekar Macan Hitam, tidak akan mampu mengungguli Serigala Belang. Sedangkan bagi Arum Sari sekarang Serigala Belang sama sekali tidak ada artinya!
Arum Sari mendapat kemajuan pesat Tidak hanya kepandaian, tapi juga tenaga dalam! Karena itu, gadis berpakaian hijau ini mampu mengendalikan cambuk dari jauh dengan mempergunakan tenaga dalamnya.
Luncuran cambuk terdengar oleh Gunaran yang mempunyai telinga tajam. Ketika menengok pemuda berpakaian kuning tua itu kaget bukan main, ia melihat cambuk melayang mengejarnya, sedangkan Arum Sari telah duduk di ambang pintu yang daunnya hancur berantakan.
Gunaran yang memang tidak ingin meladeni keinginan Arum Sari menggertakkan gigi dan menambah kecepatan larinya. Dalam sekejap saja cambuk berujung paku milik Arum Sari tertinggal jauh.
Arum Sari menggeram menahan marah. Dia tahu kalau tetap bersikeras menggunakan cambuknya, Gunaran akan berhasil kabur. Maka, dengan mengibaskan kedua tangannya Arum Sari melayang ke depan mengejar Gunaran! Kedudukan tubuh Arum Sari masih dalam keadaan bersila.
Gunaran yang tengah asyik-asyiknya berlari agak terkejut ketika merasakan hembusan angin di dekatnya. Tapi dia tidak ambil peduli. Dan, terus berlari.
Gunaran baru memperlambat larinya ketika melihat sesosok tubuh telah berada di depannya, masih dalam keadaan melayang dan memunggunginya. Sosok tubuh berpakaian hijau dalam keadaan duduk bersila! Siapa lagi kalau bukan Arum Sari.
Karena jalan keluar telah dihadang, Gunaran terpaksa menghentikan langkah. Pemuda berpakaian kuning tua ini tidak merasa gentar sedikit pun kendati tahu kepandaian Arum Sari sungguh luar biasa. Ke-nyataan kalau Arum Sari mampu menyusul larinya menunjukkan ilmu meringankan tubuh Arum Sari be-rada di atasnya. Padahal, Arum Sari tidak menggerakkan kaki!
Ketidak-gentaran sikap Gunaran di samping karena memang wataknya sebagai seorang gagah juga karena Arum Sari bukan orang yang pantas untuk di-takuti. Gunaran telah pernah bertemu dengan Arum Sari sewaktu mereka masih kecil. Arum Sari seorang gadis cilik yang menyenangkan. Perasa dan mudah kasihan terhadap sesuatu. Jangankan membunuh orang, membunuh tikus pun rasanya Arum Sari tidak akan sampai hati.
Gunaran membelalakkan mata melihat Arum Sari menjejakkan kaki di tanah hanya dengan menurunkan kedua kakinya dari lipatan. Gadis berpakaian hijau itu kemudian membalikkan tubuh. Gunaran dan Arum Sari saling beradu pandang.
"Siapa kau, Pengecut Hina...?!" Arum Sari men-gajukan pertanyaan dengan suara melengking nyaring. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke wajah Gu-naran. Sikapnya terlihat merendahkan. "Besar sekali nyalimu hingga berani mengintai perbuatanku? Hm.... Rasanya aku pernah melihat wajahmu..."
"Bukan hanya rasanya saja, Arum Sari. Kita memang pernah bertemu." Gunaran menjawab dengan suara pahit. Dia merasa tersinggung sekali melihat sikap Arum Sari yang demikian sombong. "Ayahmu adalah sahabat karib ayahku."
"Jadi, rupanya kau Gunaran!" Tidak terdengar nada kegembiraan dan keterkejutan dalam ucapan itu. Biasa saja. Sehingga, Gunaran diam-diam merasa ke-cewa. Tapi, pemuda berpakaian kuning tua ini meng-hibur hati dengan anggapan Arum Sari memang ten-gah dilibat masalah.
Gunaran hanya mengangguk mengiyakan per-tanyaan Arum
Sari.
"Apa maksudmu datang ke tempat ini?!" tanya Arum Sari ketus.
Memang, meskipun telah disusupi roh Mayang, Arum Sari tidak kehilangan kesadarannya. Bahkan gadis itu seperti mempunyai pribadi ganda. Ia dapat bersikap sebagai Arum Sari dan Mayang secara berganti-ganti, tergantung keadaan yang dihadapi. Saat ini Arum Sari tengah terguncang batinnya, sehingga sifatnya jadi agak liar dan beringas. Bahkan, terhadap Gunaran yang merupakan kawannya sewaktu kecil.
"Aku ingin mengetahui kejadian yang menimpa kau dan ayahmu, serta melihat nasib ayahku. Asal kau tahu saja, Arum Sari. Ayahku datang kemari untuk membalaskan kematian ayahmu!"
"Hhh...!" Arum Sari mendengus. "Suatu tindakan yang tolol! Hanya mengantar nyawa dengan percuma!"
Merah padam wajah Gunaran. Dia tersinggung sekali mendengar ayahnya dimaki. Boleh jadi Arum Sari tengah dilanda masalah, tapi tetap saja Gunaran tidak akan membiarkan ayahnya dihina orang seme-na-mena.
"Kau terlalu, Arum! Kau pikir aku takut padamu?!" suara Gunaran tiba-tiba meninggi.
"Hi hi hi...!" Arum Sari malah tertawa. "Siapa suruh kau takut padaku, Gunaran yang bodoh?"
"Kau..., sungguh tak kusangka ayahmu mempunyai anak sesat sepertimu, Arum! Biarlah aku mewakili almarhum ayahmu untuk menghukum mu!"
Usai berkata, Gunaran melompat menerjang Arum Sari. Ia langsung mengirimkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada. Dalam luapan amarah Gunaran mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Angin puku-lannya terdengar berciutan cukup nyaring.
Gunaran memperkirakan Arum Sari akan mengelak atau menangkis. Maka, pemuda berpakaian kuning tua ini terperanjat ketika melihat putri Pende-kar Macan Hitam tidak bergeming. Arum Sari mem-biarkan saja serangan Gunaran.
Gunaran yang sungguh pun marah tidak ber-niat mencelakakan Arum Sari bergegas mengurangi tenaganya. Karena, untuk menarik pulang serangan-nya sudah tidak memungkinkan lagi.
Buk, bukk, bukkk!
Berturut-turut tinju Gunaran bersarang di sasaran. Tapi akibatnya bukan Arum Sari yang roboh. Gunaran berteriak kesakitan merasakan tangannya seperti bukan berbenturan dengan tubuh manusia, melainkan gumpalan baja yang amat keras.
"Hi hi hi...!" Lagi-lagi Arum Sari terkekeh. "Manusia sombong juga rupanya kau, Gunaran! Kau kira aku selemah kau? Tidak usah mengurangi tenagamu. Kau kerahkan semuanya pun tidak akan berarti apa-apa buatku!"
Gunaran yang masih merasakan sakit pada tangannya setelah membentur dada Arum Sari tampak terkejut mendengar ucapan itu. Arum Sari mengetahui kalau ia mengurangi tenaganya. Gunaran tak bisa membayangkan ketinggian ilmu Arum Sari.
Pemuda itu segera memutuskan untuk tidak main-main lain. Di samping merasa tersinggung den-gan ucapan gadis berpakaian hijau itu, Gunaran juga ingin membuka mata Arum Sari kalau ia tidak memiliki kepandaian rendah.
Wuk, wuk, wuk!
Bunyi menderu langsung terdengar ketika Gu-naran memutar senjata andalannya. Ruyung berba-tang dua yang dihubungkan dengan rantai baja. Sen-jata andalan itu semula terselip di pinggang.
"Haaatt...!"
Diawali teriakan keras yang mendirikan bulu roma, Gunaran menghantamkan senjatanya ke arah kepala Arum Sari. Pukulan itu dilancarkan dari atas.
Tapi, Arum Sari tetap bertindak seperti sebelumnya, memandang remeh Gunaran. Ketika ruyung itu menyambar kepalanya, dia sedikit pun tidak berusaha mengelak. Ditangkisnya serangan itu dengan jari-jari tangan terbuka, lalu menangkapnya.
Kreppp!
Gunaran mengerahkan seluruh tenaganya un-tuk menarik ruyungnya dari cekalan tangan Arum Sari. Tapi tidak berhasil. Padahal Gunaran telah menggunakan kedua tangannya, sementara Arum Sari hanya memakai tangan kiri.
"Hih!"
Di saat Arum Sari bergerak memutar tubuh, Gunaran langsung melayang ke arah gadis itu. Saat itulah tangan kanan Arum Sari dihentakkan ke depan.
Bresss!
Tubuh Gunaran melayang ke belakang ketika pukulan jarak jauh Arum Sari menggedor dadanya. Ruyung yang semula tergenggam di tangan terlepas dari pegangan.
"Hukh...!"
Gunaran memuntahkan darah segar ketika tubuhnya jatuh ke tanah setelah melayang beberapa tombak. Pemuda berpakaian kuning tua ini muntah darah karena memaksakan diri untuk bangkit.
"Kalau saja kau dulu bukan sahabatku, mungkin nyawamu sudah kukirim ke akherat, Gunaran! Berbahagialah karena kau pernah berkenalan denganku!" tandas Arum Sari sombong. Kemudian, ia membanting ruyung Gunaran ke tanah hingga amblas ke dalamnya.
"Kejam sekali...!"
Sambutan lirih tapi terdengar jelas menyesalkan ucapan Arum Sari. Bagai telah disepakati sebelumnya, Arum Sari dan Gunaran langsung mengalih-kan pandangan ke arah asal suara. Kalau Arum Sari belum bisa menebak siapa pemilik suara itu, tidak demikian halnya dengan Gunaran. Pemuda berpa-kaian kuning tua itu langsung berseri-seri wajahnya. Pemilik suara itu adalah gurunya, Harimau Terbang Berkuku Seribu.
"Kau...?!"
Arum Sari mengeluarkan seruan tertahan. Sepasang matanya membelalak lebar. Wajahnya menyiratkan keterkejutan yang sangat. Gadis berpakaian hijau ini melangkah mundur karena kagetnya.
"Kau terkejut, Mayang?"
Pemilik suara lembut itu ternyata seorang kakek kecil kurus. Usianya sukar untuk ditaksir. Tapi melihat penampilannya tak kurang dari seratus sepuluh tahun. Ia mengangguk sehingga rambutnya yang putih dan gondrong bergoyang-goyang. Demikian pula dengan kumis dan jenggot putihnya yang tidak terurus.
Kakek ini tidak hanya pandai dalam ilmu kepandaian silat, tapi juga ilmu kebatinan. Dengan mata batinnya ia mampu melihat jelas bayangan roh Mayang dalam diri Arum Sari. Kakek ini pula yang menyuruh Pendekar Macan Hitam untuk menancapkan bambu kuning pada peti mati Mayang ketika ayah Arum Sari mengadukan perihal Mayang padanya.
"Mengapa kau mencampuri urusanku, Parugi?!" sentak Arum Sari yang dipanggil Harimau Ter-bang Berkuku Seribu sebagai Mayang. "Kuharap kau jangan ikut campur!"
"Bagaimana mungkin, Mayang? Tubuh orang yang kau tumpangi itu adalah cucu muridku. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa tinggal diam? Apalagi setelah kau melukai muridku juga. Aku lebih tidak bisa tinggal diam. Tinggalkan raga cucu muridku itu, Mayang. Kau akan kubiarkan pergi. Tapi, apabila peringatanku ini tidak kau indahkan, jangan salahkan aku kalau kau akan tersiksa. Mungkin kau masih ingat aku adalah penangkap roh!"
–––––––– 8
Wajah Arum Sari berubah pucat. Sinar ma-tanya menyiratkan rasa takut yang tidak bisa disem-bunyikan.
"Aku mohon dengan sangat, Parugi. Biarkan aku menempati jasad ini dulu. Aku ingin membalaskan sakit hatiku yang tengah sekian puluh tahun kupendam terhadap Raga Pasu dan Raga Pitu," pinta Mayang melalui mulut Arum Sari.
"Sayang sekali, Mayang. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Cepat kau pergi dari raga cucu muridku sebelum aku terpaksa bertindak kasar terhadapmu!" tegas Parugi alias Harimau Terbang Berkuku Seribu.
"Sebentar saja, Parugi," Arum Sari yang sebenarnya adalah Mayang masih berusaha membujuk.
"Jangan tunggu kesabaranku habis, Mayang. Ini peringatan terakhir. Cepat pergi atau kau terpaksa menderita selamanya!"
Arum Sari mengeluarkan keluhan panjang yang sarat dengan kekecewaan dan kepiluan hati. Mayang yang berada dalam raga Arum Sari tahu tidak ada gunanya lagi berlama-lama di sini.
Tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan raga Arum Sari. Padahal, dendamnya belum tuntas. Baru dendam Arum Sari yang dilampiaskannya.
Harimau Terbang Berkuku Seribu dan Gunaran melihat seleret sinar hijau melesat dari atas kepala Arum Sari. Kemudian, melesat menjauh dengan kecepatan yang menakjubkan!
Sekelebatan dan langsung lenyap.
Begitu seberkas sinar kehijauan keluar dari atas kepalanya dan lenyap, Arum Sari mengeluh. Tu-buhnya ambruk ke tanah tak sadarkan diri.
Gunaran hendak bergerak bangkit untuk memeriksa keadaan Arum Sari, tapi maksudnya segera dihentikan oleh gurunya. Harimau Terbang Berkuku Seribu memberikan isyarat padanya untuk diam saja, tidak perlu melakukan tindakan apa pun.
Gunaran tidak membantah. Diperhatikannya Harimau Terbang Berkuku Seribu mendekati tubuh Arum Sari yang tergolek di tanah. Harimau Terbang Berkuku Seribu berdiri dengan menekuk lutut seraya mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Kemu-dian, tangan kanannya diusapkan ke seluruh bagian tubuh Arum Sari mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hanya, tapak tangan kakek kecil kurus ini tidak bersentuhan dengan kulit Arum Sari, kira-kira tiga jari di atasnya. Harimau Terbang Berkuku Seribu tengah membuat pelindung gaib agar makhluk halus tidak bisa masuk ke dalam tubuh gadis itu.
Beberapa saat kemudian, Harimau Terbang Berkuku Seribu bangkit berdiri. "Sekarang Mayang tidak akan bisa masuk lagi ke dalam raga Arum Sari. Apa pun yang terjadi. Kalau dia memaksakan kehen-dak, akan celaka sendiri," ujar kakek itu seraya me-mandang wajah Gunaran.
Belum juga Gunaran sempat memberikan tanggapan, Harimau Terbang Berkuku Seribu menoleh ke belakang, ke arah pintu gerbang. Gunaran pun segera mengarahkan pandangannya ke sana. Dia yakin kakek kecil kurus itu mempunyai alasan bertindak demikian.
Dugaan Gunaran tidak keliru. Dari balik pintu gerbang muncul sesosok tubuh berkulit hitam legam. Malisang!
"Kau, Harimau Terbang Berkuku Seribu?!" tanya Malisang seraya menghampiri kakek kecil kurus dengan tergesa. Tenang dan tanpa ragu-ragu, kendati belum mengenal lelaki berkulit hitam legam itu.
Dari gerak-geriknya, Harimau Terbang Berkuku Seribu tahu orang ini bukanlah orang baik-baik. "Siapa kau?"
"Benar," jawab Harimau Terbang Berkuku Seribu.
"Aku langsung saja pada pokok persoalannya, Harimau Terbang," sergah Malisang tidak sabar, "Aku hanya ingin agar kau tidak mau memenuhi permintaan Raga Pasu dan Raga Pitu. Mereka ingin meminta kau supaya menangkap roh Mayang. Atau, mengeluarkan roh Mayang dari dalam raga cucunya. Kuharap kau jangan melakukan hal itu. Biarkan Mayang melaksanakan pembalasan dendamnya yang bertumpuk sejak puluhan tahun."
Harimau Terbang Berkuku Seribu mengernyitkan alis.
"Tidak usah bertele-tele, Sobat. Aku tahu kau bukan orang baik-baik. Tak mungkin kau melakukan tindakan ini untuk kepentingan Mayang. Katakan apa alasanmu yang sebenarnya sebelum kau menyudahi pembicaraan kita."
Lelaki berkulit hitam legam itu tahu hanya akan merugikan diri sendiri kalau menyembunyikan persoalan dari kakek bermata tajam seperti Harimau Terbang Berkuku Seribu. Apalagi saat ini dia tengah memerlukan bantuan kakek itu. Maka, setelah menghela napas berat lelaki berkulit hitam legam ini mulai bercerita.
"Namaku Malisang. Aku tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Mayang. Mendengar nama dan semua urusannya pun dari guru dan kakek seperguruanku. Mereka adalah Raga Pitu dan Raga Pa-su."
"Seorang murid hendak membunuh kakek seperguruan dan gurunya? Luar biasa!" timpal Harimau Terbang Berkuku Seribu, tajam. Ia tidak merasa heran karena dapat memperkirakan tokoh golongan apa Ma-lisang.
Tapi, Malisang tidak mempedulikan hal itu.
"Aku menjadi murid Raga Pitu seperti halnya Serigala Belang. Hanya aku menjadi muridnya dua tahun lebih dulu dari Serigala Belang. Ayah dan anak itu mempunyai watak seperti iblis. Keduanya gila wanita! Entah sudah berapa ratus wanita yang menjadi korbannya. Bahkan, beberapa tahun lalu ketika aku berjumpa dengan seorang wanita yang menarik hatiku dan ingin kujadikan istriku, ayah dan anak yang telah gila itu merampasnya dan mempermainkannya sampai mati! Aku tidak ingin kejadian itu terulang pada wanita lain yang saat ini telah mencuri hatiku.
Kami berniat untuk menikah!"
"Agar niatmu itu tercapai, kau akan membunuh guru dan kakek seperguruanmu itu?!" tukas Harimau Terbang Berkuku
Seribu.
"Begitulah, Harimau Terbang." Malisang kemudian mengangguk. "Jalan satu-satunya hanyalah Mayang. Tidak ada seorang tokoh pun yang sanggup mengalahkan Raga Pasu. Tua bangka itu memiliki kepandaian iblis!" "Hhh...!"
Harimau Terbang Berkuku Seribu menghela napas berat.
"Sayang sekali, Malisang. Roh Mayang telah kuusir pergi dari tubuh Arum Sari. Bahkan, tubuh Arum Sari telah kupasangi benteng hingga roh Mayang tidak bisa masuk lagi. Perlu waktu yang cukup lama untuk membuka kembali benteng itu agar roh Mayang bisa masuk. Dan...."
"Sayangnya kau tidak punya waktu untuk itu, Harimau Terbang!" sambut sebuah suara yang disusul dengan kekehnya. Suara itu berasal dari mulut seorang yang telah lanjut usia.
"Benar, Ayah!" sambut sebuah suara lain lebih keras.
"Roh perempuan jahanam itu tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi terhadap kita. Dan, dengan matinya Harimau Terbang Berkuku Seribu serta dua monyet kecil ini kita akan aman selama-lamanya."
Malisang langsung melompat mundur melihat kemunculan dua sosok yang tidak lain kakek bongkok dengan anaknya, Iblis Muka Merah. Kakek bongkok itu bernama Raga Pitu sedangkan Iblis Muka Merah bernama Raga Pasu.

* * *




Raga Pitu menatap tiga sosok yang berdiri di hadapannya dengan sepasang matanya yang menco-rong mengerikan. Tatapannya berhenti agak lama pa-da Malisang.
Tubuh Malisang kontan menggigil keras seperti terkena demam tinggi. Ia bisa memperkirakan nasib yang akan menimpanya. Dia tahu tidak ada satu ke-kuatan pun yang sanggup melawan Raga Pitu, kecua-li... roh Mayang! Tapi, sekarang roh Mayang telah ti-dak berdaya pula!
"Celaka aku sekarang, Harimau Terbang. Kita semua akan celaka. Sungguh tidak kusangka kau akan bertindak demikian ceroboh," sesal Malisang.
Harimau Terbang Berkuku Seribu yang berdiri paling depan, tersenyum tenang. Nama Raga Pitu telah lama didengarnya sebagai tokoh lihai yang memiliki kepandaian luar biasa. Terutama tenaga dalamnya. Tapi, Raga Pitu kemudian mengasingkan diri. Baru sekarang ia keluar lagi. Harimau Terbang Berkuku Seribu tidak takut dengan Raga Pitu.
Hanya saja Harimau Terbang Berkuku Seribu mengkhawatirkan keselamatan muridnya. Gunaran yang tengah terluka bukan tandingan Raga Pasu yang berjuluk Iblis Muka Merah.
"Malisang!" Raga Pitu berkata keras, tapi mulutnya sama sekali tidak bergerak. "Kau barangkali telah memiliki nyawa rangkap sehingga berani mencoba mengkhianatiku. Kemarilah,
Malisang...."
Raga Pitu memanggil dengan lemah lembut se-bagaimana layaknya seorang kakek memanggil cucunya. Tapi, Malisang malah mundur dengan wajah pucat-pasi. Ia menyadari benar ada ancaman bahaya maut
Sepasang mata Raga Pitu berkilat-kilat menyiratkan hawa maut. Kemudian, kedua tangannya dikembangkan. Dia melakukan gerak menarik.
"Ah...!"
Malisang menjerit tertahan ketika merasakan ada kekuatan dahsyat menariknya ke arah Raga Pitu. Seakan-akan ada tangan tak nampak.
Malisang tidak mau berdiam diri menghadapi ancaman maut itu. Dia berusaha keras untuk bertahan. Tapi hanya sebentar saja kekuatan yang menarik itu terhenti. Kemudian, tubuhnya kembali melayang deras ke arah Raga Pitu.
Prokkk!
Malisang tidak sempat lagi menjerit. Tubuhnya yang meluncur deras ke arah Raga Pitu disambut dengan tamparan tangan kanan ke pelipisnya. Kepala itu langsung pecah mengeluarkan darah bercampur otak. Malisang tewas seketika.
"Keji...!"
Meski Malisang bukan apa-apanya, Harimau Terbang Berkuku Seribu geram juga melihat kekeja-man Raga Pitu. Maka, sambil mengeluarkan auman keras yang menggetarkan sekitar tempat itu, Harimau Terbang Berkuku Seribu melompat menerkam Raga Pitu. Jari-jari kedua tangannya mengambang mem-bentuk cakar harimau. Bunyi bercicitan nyaring dari udara yang terobek kuku-kuku jari tangan Parugi tak kalah dengan jeritan puluhan ekor tikus.
Prat, prat, prat!
Berturut-turut cakar Harimau Terbang Berkuku Seribu berbenturan dengan tangan Raga Pitu yang memapaknya. Akibatnya, tubuh Harimau Terbang Berkuku Seribu terpental ke belakang. Sedangkan Ra-ga Pitu berdiri tidak bergeming. Kendati demikian, lengan bajunya dan baju di bagian dadanya koyakkoyak terkena sambaran angin serangan cakaran Harimau Terbang Berkuku Seribu. Demikian hebatnya Parugi. Tidak percuma dia berjuluk Harimau Terbang Berku-ku Seribu. Angin serangannya saja cukup untuk melukai kulit tubuh lawan dan merobek pakaiannya. Ta-pi, kulit tangan Raga Pitu tidak mampu ditembus!
Raga Pitu menggeram murka. Meski kulitnya tidak terluka tapi pakaiannya yang koyak cukup membuatnya berang. Maka, di saat tubuh Harimau Terbang Berkuku Seribu ke belakang, Raga Pitu menghujaninya dengan pukulan-pukulan jarak jauh-nya yang menggiriskan hati.
Raga Pitu memang seorang tokoh sesat yang licik dan cerdik. Agar serangan lebih gencar, setiap pukulan jarak jauh dilakukan dengan satu tangan. Hembusan angin keras pun silih berganti menghujani tubuh Harimau Terbang Berkuku Seribu. Kakek kecil kurus itu terpontang-panting ke sana kemari menge-lakkan serangan-serangan gancar itu. Padahal, tubuh Harimau Terbang Berkuku Seribu tengah berada di udara.
Bresss!
Harimau Terbang Berkuku Seribu menjerit tertahan ketika salah satu pukulan jarak jauh lawan menghantam paha kanannya. Seketika tubuh kakek kecil kurus ini terlempar ke belakang dan jatuh berde-buk di tanah. Darah segar langsung muncrat dari mulutnya.
"Ha ha ha...!"
Iblis Muka Merah tertawa bergelak. Ia berjalan menghampiri tubuh Harimau Terbang Berkuku Seribu yang kebetulan tergolek di sebelah Gunaran yang sudah mampu duduk dengan kedua kaki dijulurkan. Baik Gunaran maupun Harimau Terbang Berkuku Seribu berdiam diri saja, tidak berusaha melakukan perlawanan lagi. Mereka seperti sudah pasrah akan datangnya maut
Tapi ketika jarak antara Iblis Muka Merah dengan tubuh guru dan murid itu masih sekitar empat tombak, sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu di depan Iblis Muka Merah, membelakangi Harimau Ter-bang Berkuku Seribu dan muridnya, Dewa Arak berdiri dengan sikap gagah.
"Kau lagi?!" Iblis Muka Merah menggeram. "Rupanya kau sudah ingin mampus!"
Iblis Muka Merah langsung mengirimkan serangan dahsyat Namun Dewa Arak yang sudah sejak tadi bersiap menyambutinya dengan ilmu 'Belalang Sakti'. Pertarungan dahsyat pun terjadi. Iblis Muka Merah ternyata lihai bukan main.
Di lain tempat, Raga Pitu tengah beristirahat memulihkan tenaga. Ia terlalu lelah setelah menguras sebagian besar tenaganya dengan cecaran-cecaran pukulan jarak jauh.
Beberapa saat setelah Dewa Arak terlibat perta-rungan dengan Iblis Muka Merah, Pertiwi yang mela-kukan perjalanan bersama Dewa Arak pun tiba. Gadis itu segera menghambur ke arah guru dan kakak se-perguruannya. Ketiga orang itu terlibat dalam perte-muan yang mengharukan.
"Sungguh tidak disangka kau telah bertemu dengan pendekar yang nama harumnya telah meng-goncangkan dunia persilatan, Pertiwi," ujar Harimau Terbang Berkuku Seribu tanpa menyembunyikan rasa kagumnya.
Pertiwi hanya menundukkan kepala. Dari balik bulu matanya ia mengerling ke arah gurunya. Ingin ia mendengar Harimau Terbang Berkuku Seribu melanjutkan pembicaraan mengenai Dewa Arak. Entah mengapa setiap pembicaraan mengenai Dewa Arak amat menyenangkan hati Pertiwi.

Pertiwi kecewa ketika melihat gurunya tidak melanjutkan pembicaraan. Malah, mengalihkan perha-tian pada pertarungan yang tengah berlangsung. Be-berapa kali kakek kecil kurus itu memuji Dewa Arak. Harimau Terbang Berkuku Seribu merasa kagum melihat ilmu Dewa Arak yang demikian aneh.
Pertiwi yang tidak tertarik dengan jalannya pertarungan mengedarkan pandangan berkeliling.
Dia melihat Raga Pitu tengah duduk bersila. Kakek itu sedang bersemadi.
"Mumpung kakek sakti itu tengah sibuk dengan semadinya biar kubunuh saja dia, Guru. Biarlah aku dianggap pengecut daripada kita semua tewas di tangannya!" ujar Pertiwi. Kemudian melesat menghampiri Raga Pitu.
Harimau Terbang Berkuku Seribu terkejut bukan main melihat tindakan yang dilakukan Pertiwi.
"Pertiwi! Jangan...!"
Tapi, Pertiwi tidak mempedulikan seruan gu-runya. Dengan kedua tangan terkepal dilancarkannya pukulan ke dada Raga Pitu.
Desss!
"Akh...!"
Pertiwi menjerit keras ketika pukulannya membentur sasaran. Ada aliran tenaga dalam yang amat dahsyat menangkisnya. Tubuhnya melayang ke belakang dengan darah segar berhamburan dari mulutnya. Pertiwi salah menduga! Saat itu Raga Pitu tengah dalam keadaan membahayakan karena seluruh tenaga dalamnya sedang berputaran! Maka, Pertiwi pun mengalami nasib naas.
"Pertiwi...!" Hampir bersamaan seruan itu keluar dari mulut Harimau Terbang Berkuku Seribu dan Gunaran. Harimau Terbang Berkuku Seribu tahu nyawa muridnya tak akan bisa diselamatkan. Luka dalam Pertiwi sangat parah.
Di saat tubuh Pertiwi tengah melayang itu, tanpa bisa dilihat oleh seorang pun karena saking cepatnya, sinar kehijauan menumbuk tubuh gadis berpakaian merah itu dan lenyap masuk ke dalam tubuh Pertiwi. Roh Mayang! Akibatnya, sesaat kemudian Pertiwi mampu melakukan salto beberapa kali ke belakang dan menjejak tanah dengan ringan.
Karuan saja semua orang yang melihat kejadian ini menjadi heran. Tapi, Pertiwi sendiri tidak ambil peduli. Dia mengalihkan perhatian pada Dewa Arak yang mulai berhasil mendesak Iblis Muka Merah.
"Dewa Arak...! Mundur...!"
Seruan keras laksana guntur itu keluar dari mulut Pertiwi. Bukan hanya keras, tapi mempunyai pengaruh aneh yang membuat tokoh sesakti Dewa Arak tanpa sadar bergerak mundur.
"Terimalah kematian kalian, Raga Pitu dan Ra-ga Pasu...!" seru Pertiwi dengan suara melengking nyaring, menyeramkan. Gadis berpakaian merah ini mengepalkan kedua tangannya ke atas.
Dewa Arak, Gunaran, dan Harimau Terbang Berkuku Seribu menatap dengan sinar mata tak percaya. Sementara wajah Raga Pitu dan Raga Pasu memucat mengetahui siapa yang telah mengeluarkan seruan itu. Mayang! Orang yang telah mereka permainkan habis-habisan dulu! Raga Pitu adalah ayah tiri
Mayang. Dan Raga Pasu adalah anak dari Raga Pitu. Mereka hafal betul dengan suara Mayang. Maka, mereka langsung bisa mengenalinya.
Tapi, ayah dan anak ini tidak sempat berbuat sesuatu. Langit tiba-tiba menjadi gelap. Petir dan badai bersahutan. Angin yang luar biasa kencangnya berhembus.
Raga Pitu dan Rasa Pasu tidak tinggal diam.
Keduanya mengerahkan tenaga pada kedua kaki agar angin keras itu tidak membuat tubuh mereka melayang. Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Tapi tak lama kemudian dari mulut, hidung, dan telinga mereka mengalir darah segar. Agaknya kedua kakek itu telah mengerahkan tenaga dalam sampai melewati batas. Dengan diiringi jeritan menyayat hati, kedua tokoh sakti yang jahat itu pun tewas mengerikan! Kulit mereka terkelupas akibat terpaan angin yang sangat kencang.
"Uh...!"
Tubuh Pertiwi ambruk ketika dari kepalanya melesat keluar sinar kehijauan yang kemudian meninggalkan tempat itu. Gunaran, Harimau Terbang Berkuku Seribu serta Dewa Arak melihatnya. Gunaran menatap gurunya meminta penjelasan. Tapi, Harimau Terbang Berkuku Seribu hanya mengangkat bahu kendati tahu mengapa Mayang yang seharusnya tidak bisa masuk ke dalam tubuh Pertiwi karena bukan titisannya ternyata bisa masuk. Saat itu Pertiwi sudah hampir mati. Rohnya lemah. Roh Mayang jadi bisa masuk karena lebih kuat. Kejadian ini membuat nyawa Pertiwi terselamatkan.
Setelah memeriksa dan yakin kalau Pertiwi tidak tewas, Dewa Arak pun mohon diri. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak tahu kalau setelah sadar Pertiwi langsung mencaricarinya. Pertanyaan pertama yang diajukan Pertiwi pada Harimau Terbang Berkuku Seribu dan Gunaran adalah....
"Mana, Dewa Arak?"
Harimau Terbang Berkuku Seribu terutama Gunaran, hanya bisa menghela napas berat Kecewa, mereka tahu Pertiwi tertarik pada Dewa Arak.
Harimau Terbang Berkuku Seribu maupun Gunaran tidak dapat menyalahkan Pertiwi atau Dewa Arak. Suatu hal yang wajar kalau Pertiwi jatuh hati pada Dewa Arak, seorang pendekar yang luar biasa. Dewa Arak pun tidak bisa disalahkan. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak bermaksud menjerat Pertiwi.
Sementara di sebuah tempat yang jauh, Arya tengah berlari cepat meski benaknya masih memikir-kan kejadian yang menimpa Raga Pitu dan Raga Pasu. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak merasa heran. Tapi, kagum. Dia tahu banyak kekuatan tak masuk akal di alam gaib, di alam roh. Dan, Arya tahu Mayang yang telah meninggal tidak mendapat kesulitan menggunakan ilmu-ilmu yang berada di alam gaib!

––––GS––––

SELESAI



INDEX AJI SAKA
73.Pembantai Dari Mongol --oo0oo-- 75.Racun Kelabang Merah

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers