Life is journey not a destinantion ...

Tokoh Dari Masa Silam

INDEX AJI SAKA
35.Kemelut Rimba Hijau --oo0oo-- Rahasia Syair Leluhur

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta


1

Matahari telah agak tergelincir dari titik tengahnya. Sinarnya yang masih garang menyiram bumi, perlahan- lahan mulai terhal ang sekumpulan awan yang berarak. Sehingga membuat suasana di persada mulai terasa lebih sejuk.
Tampak dua orang tua tengah melangkah mendekati seorang pemuda yang juga tengah melangkah menghampiri. Seorang laki-laki berkumis tebal yang berada di sebelah kedua orang tua itu pun bergerak pula menghampiri pemuda berambut putih keperakan ini.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap seorang laki-l aki tua yang berpakaian putih, ketika mereka t elah dekat dengan pemuda berambut putih keperakan yang ternyata memang Dewa Arak. "Kalau kau tidak datang, mungkin Garuda Laut Timur telah membinasakan kami."
"Lupakanlah, Ki Waringin," sahut Arya sambil mengulapkan tangan. "Tolong-menolong merupakan kewajiban sesama manusia. Bukan tidak mungkin kalau suatu saat nanti kau akan menolongku, Ki?"
Memang, Dewa Arak baru saja menyelesaikan kemelut yang terjadi di dalam rimba persilatan. Sebuah
kemelut yang bermula dari pengiriman sebuah benda di dalam sebuah kereta berkuda. Waktu itu, Ki Waringin yang membuka usaha pengiriman, mengutus Sangga Juwana untuk ikut serta dalam pengawalan yang dilakukan oleh murid-murid Perguruan Harimau Terbang.
Namun pada akhirnya, benda itu berhasil dirampas Garuda Laut Timur. Kemudian, Ki Sancaka yang merupakan pimpinan Perguruan Naga Laut datang menjelaskan duduk persoalannya kepada Ki Waringin yang merupakan Ketua Perguruan Harimau Terbang. Dan selagi mereka berbincang-bincang, Garuda Laut Timur datang karena merasa tertipu. Masalahnya, ternyata benda yang dirampasnya hanyalah kepala seekor orang hutan! Untung saja, pada saat yang gawat, Dewa Arak datang membantu (Untuk jelasnya, silakan baca seri al Dewa Arak dalam episode "Kemelut Rimba Hijau").
Ki Waringin, seorang laki-laki tua berpakaian coklat, dan seorang laki-laki berkumis tebal, saling
berpandangan. Laki-laki berpakaian coklat adalah Ki Sancaka. Sedangkan laki-laki yang berkumis tebal adalah Sangga Juwana. Mereka kemudian melemparkan senyum, mendengar penuturan Dewa Arak.
"O ya, Ki. Kumohon, kau memanggilku dengan nama saja. Bukankah Sangga Juwana telah memberitahukan namaku padamu?"
Ki Waringin menganggukkan kepala, membenarkan pertanyaan Dewa Arak.
"Dan kau tidak keberatan memanggilku dengan nama saja kan, Ki?" tanya Arya lagi. "Tentu saja tidak, De..., eh! Arya," jawab Ki Waringin cepat. "Bukan begitu, Sancaka?"
"Eh..., ya Ya, benar," Ki Sancaka yang sama sekali tidak menduga pertanyaan itu menjadi gugup.
"Kalau begitu, kuucapkan terima kasih atas kesediaan kalian."
Ki Waringin dan Ki Sancaka hanya bisa tersenyum. Mereka sama sekali tidak memberikan t anggapan.
Sehingga, suasana menjadi hening. Masing-masing orang tenggelam dalam alun pikiran yang menerawang jauh. "Ah! Mengapa aku sampai lupa?!" pekik keterkejutan Ki Waringin, memecahkan keheningan yang terj adi.
Ki Sancaka, Arya, dan Sangga Juwana agak kaget bercampur heran melihat sikap kakek berpakaian putih itu. Dengan penuh rasa ingin tahu, mereka menatap Ki Waringin.
"Sangga! Mengapa kau hanya datang sendiri? Mana kawan-kawanmu yang lain?!" t anya Ki Waringin, bernada sungguh-sungguh.
Rupanya saking tertarik oleh pertarungan antara Dewa Arak melawan Garuda Laut Timur, Ki Waringin lupa menanyakan keadaan murid-muridnya yang lain. Sama sekali dia tidak merasa heran melihat kedatangan Sangga Juwana yang hanya seorang diri.
Kontan wajah laki-laki berkumis tebal itu berubah muram mendengar pert anyaan gurunya. Memang, pertanyaan itu mengingatkan Sangga Juwana akan masib buruk yang menimpa rekan-rekannya, sesama anggota Perguruan Harimau Terbang.
Ki Waringin bukan orang bodoh. Melihat perubahan wajah Sangga Juwana, sudah bisa diperkirakan nasib murid-muridnya yang ditugaskan mengantar barang kiriman. Tapi meskipun demikian, Ketua Perguruan Harimau Terbang ini ingin mendengar sendiri mengenai kejadian yang menimpa rombongan perguruannya dari mulut Sangga Juwana.
Bukan hanya Ki Waringin saja yang ingin mendengar berita tentang rombongan Perguruan Harimau Terbang. Tapi juga Ki Sancaka, walaupun sudah dapat menduga kejadian yang menimpa. Hal itu memang terlihat dari sikap Sangga Juwana. Tapi lain halnya bagi Dewa Arak. Dia memang tidak ingin mengetahuinya, karena telah melihat sendiri kejadiannya. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini pun diam menunggu.
..... "Katakanlah, Sangga. Seburuk apa pun berita yang akan kudengar, adalah lebih baik. Daripada, aku bertanya-tanya sendiri dalam hati tanpa ada kepastian," desak Ki Waringin ketika Sangga Juwana belum juga menceritakannya.
Sangga Juwana menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Mungkin dia berharap, dengan melakukan hal itu akan membuat hatinya lebih tenang.
"Mereka semua telah tewas, Guru," kata Sangga Juwana. Pelan sekali suaranya, sehingga mirip bisikan.
"Hhh...!"
Meskipun sudah menduga, tapi tak urung Ki Waringin merasakan nyeri pada dadanya. Sehingga, tanpa sengaja dihelanya napas berat.
Sementara, Ki Sancaka tahu perasaan yang melanda hati sahabatnya. Maka ditepuk-tepuknya bahu Ki
Waringin untuk memberi kekuatan batin.
Ki Waringin menoleh sambil melemparkan senyum penuh terima kasih pada Ketua Perguruan Naga Laut itu. Maka senyum itu langsung disambut Ki Sancaka dengan anggukan kepala.
"Apakah Garuda Laut Timur yang telah membunuh mereka, Sangga?" tanya Ki Waringin lagi, masih serak
suaranya. Jelas, berita yang baru saja didengar mempengaruhi jiwanya.
Sangga Juwana menggelengkan kepala.
"Raja Ular Beracun yang telah membunuh mereka semua, Guru. Dengan cara yang amat mengerikan!" Lalu secara singkat dan jel as, laki-laki berkumis tebal itu menceritakan kejadiannya. Sementara, Ki
Waringin dan Ki Sancaka mendengarkan penuh perhatian. Hanya Dewa Arak seorang yang mendengarkannya sambil lalu, karena memang telah tahu.
"Demikianlah ceritanya, Guru. Kalau saja Arya tidak datang menolong, aku pun akan menjadi korban kekejian Raja Ular Beracun itu," tutur Sangga Juwana mengakhiri ceritanya.
Ki Waringin tersenyum getir. Ditatapnya wajah Sangga Juwana lekat-lekat
"Sayang sekali, Sangga. Aku tidak akan pernah bisa membalas sakit hati Lantar dan yang lain-lain. Raja Ular Beracun terlalu sakti bagiku."
Ada nada ketidakberdayaan dan kegetiran yang amat sangat dalam ucapan Ki Waringin. Sehingga Arya,
Sangga Juwana, dan Ki Sancaka merasa terharu mendengarnya.
"Ah! Mengapa aku begini cengeng!" sentak Ki Waringin mendadak dan tiba-tiba.
Rupanya Ketua Perguruan Harimau Terbang ini mulai menyadari ketidakpantasan sikapnya. Maka diusahakannya untuk mengeluarkan kata-kata bernada jantan. Tapi, tetap saja terdengar sumbang di telinga.
"Ah! Aku tolol! Tolol sekali! Mengapa harus bersedih? Yang telah mati, ya relakan! Sekalipun kita menangis darah pun, yang telah mati tidak akan hidup kembali! Hey, Sangga! Hilangkan kesedihanmu! Tidak malukah kalau kecengenganmu dilihat Dewa Arak?!"
Usai berkata demikian, Ki Waringin menyunggingkan senyum di bibir. Tapi karena perasaan sedih belum sepenuhnya hilang, senyum itu lebih mirip seringai kesakitan.
Sangga Juwana pun berusaha tersenyum, meskipun terasa pahit dan datar. Akibatnya, senyumnya jadi
terlihat kecut.
"Ki...," tegur Arya hati-hati.
"Ada apa, Arya?" tanya Ki Waringin. "Ada yang bisa kubantu?" "Banyak, Ki. Banyak sekali," sahut Arya.
"Kalau begitu, katakanlah."
Pemuda berambut putih keperakan itu tidak langsung mengutarakan hal yang ingin dikatakannya. Dia tercenung sebentar memikirkan kata-kata yang tepat.
"Sebelumnya, aku ingin minta maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud untuk ikut campur dalam masalah
perguruanmu," kata Arya, memulai. "Tapi karena masalah ini telah membesar, terpaksa aku memberanikan diri untuk ikut campur. Dan untuk itu, aku membutuhkan bantuanmu, Ki."
Ki Waringin tertegun sejenak. Kemudian, ditat apnya wajah Ki Sancaka. Tapi, yang ditatap malah angkat bahu. Juwana. "Katakanlah sejel as-jelasnya, Arya. Mereka bingung kau bicara berputar-putar seperti itu," kata Sangga Rupanya, laki-laki berkumis tebal itu mengetahui arti raut wajah kedua kakek pemimpin perguruan yang membuka jasa pengawalan barang itu. Memang wajah Ki Waringin dan Ki Sancaka sama-sama menyiratkan kebingungan.
"Baiklah kalau begitu," sahut Arya mengalah. Kemudian, pemuda berpakaian ungu itu menatap wajah Ki Waringin dan Ki Sancaka berganti-ganti. "Begini, Ki. Kedatanganku kemari sebenarnya hanya untuk mencari keterangan, yang barangkali saja bisa
kugunakan untuk memecahkan masalah pelik ini. Yaitu, masalah perampasan barang kawalan Perguruan Harimau Terbang oleh tokoh-tokoh persilatan berbagai aliran dan tingkatan."
Arya menghentikan penuturannya sej enak. Sedangkan Ki Waringin dan Ki Sancaka yang sej ak tadi mendengarkan penuh perhatian, kini mulai mengerti maksud pembicaraan Arya.
"Kau menemukan adanya hal-hal yang aneh, Dewa Arak?" duga Ki Sancaka.
Kakek berpakaian coklat itu lupa memanggil Arya dengan julukannya. Tapi, rupanya pemuda berambut putih keperakan itu pun lupa. Buktinya, dia sama sekali tidak menegurnya.
"Benar, Ki. Apakah kau juga menemukan dugaan yang sama?" balas tanya Arya penuh gairah.
Ki Sancaka mengangguk-anggukkan kepala.
"Baru saja aku dan Ki Waringin memperbincangkan masalah itu, Arya. Jadi, kau rupanya tertarik untuk mengungkap rahasia barang kiriman itu?"
"Aku hanya merasa heran karena banyaknya tokoh persilatan dari berbagai aliran hitam dan tingkatan yang
mencoba merampas barang itu. Yang menjadi pertanyaan bagiku, apa sebenarnya jenis barang itu sehingga membuat geger rimba persilatan."
"Jadi..., kau belum tahu bentuk barang kiriman itu, Arya?"
Ada nada keheranan dalam suara kakek berpakaian coklat itu. Dan memang, dia tidak menyangka kalau Dewa Arak belum mengetahuinya.
"Benar, Ki," jawab Arya jujur. "Justru karena ingin tahulah aku mengajak Sangga Juwana kemari. Apa kau
tahu, benda apa yang dikawal Sangga Juwana dan rekan-rekannya itu, Ki?"
"Kalau secara pasti, aku juga tidak tahu, Arya," jawab Ki Sancaka terus terang. "Tapi menurut kabar yang tersiar, barang kawalan itu adalah sebuah kepala manusia."
"Kepala manusia, Ki? Lalu, mengapa sampai membuat dunia persilatan gempar?" tanya Arya, tanpa
mehyembunyikan perasaan heran.
"Karena kepala itu bukan sembarang kepala, Arya," jelas Ketua Perguruan Naga Laut itu.
Kemudian Ki Sancaka menceritakan kepada Arya mengenai kepala itu (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Kemelut Rimba Hijau").
Meskipun yang diceritakan adalah Arya, tapi Sangga Juwana pun ikut mendengarkan pula. Memang, laki- laki berkumis tebal itu juga belum mengetahuinya. Sedangkan Ki Waringin hanya diam saja. Dibiarkan saja sahabatnya yang bercerita kepada Dewa Arak, karena Ki Sancakalah yang lebih mengetahui.
Arya dan Sangga Juwana mendengarkan cerita Ki Sancaka penuh perhatian. Sama sekali cerita kakek berpakaian coklat itu tidak diselaknya hingga selesai.
Suasana menjadi hening ketika Ki Sancaka menyelesaikan cerita. Masing-masing telah tenggelam dalam
alun pikiran.
"Sekarang satu persoalan telah berhasil ditemukan jawabannya. Yakni, teka-teki mengenai barang kiriman itu," kata Arya setelah beberapa saat lamanya termenung. "Sekarang tinggal dua masalah lagi."
"Apa itu, Arya?" tanya Ki Waringin, angkat bicara.
"Orang yang telah menyebarkan berita mengenai barang kiriman. Dan, untuk apa barang kiriman itu?" jelas
Arya.
"Aku tidak setuju dengan pendapatmu, Arya," selak Ki Sancaka. "Kalau menurutku, belum ada satu pun
masalah yang terpecahkan. Semuanya masih gelap!"
Arya terkejut mendengar ucapan Ketua Perguruan Naga Laut itu. Sedangkan Ki Sancaka tahu perasaan yang tengah berkecamuk dalam hati Dewa Arak.
"Barang yang dikawal Sangga Juwana dan kawan-kawannya belum tentu kepala manusia. Bahkan kalau boleh kutebak, tengkorak itu adalah tengkorak kepala monyet besar. Sejenis orang hutan!"
Usai berkata demikian, Ki Sancaka menudingkan telunjuknya ke arah kepala orang hutan yang tergelet ak di
tanah.
"Itulah benda yang terdapat di dalam peti yang akan dikirimkan rombongan Perguruan Harimau Terbang ke
tempat yang telah disepakati," runjuk Ki Sancaka
Arya, dan Sangga Juwana mengikuti arah tudingan t elunjuk Ki Sancaka. Maka, kontan sepasang mata mereka terbelalak.
"Mengapa benda itu bisa berada di sini?" tanya Sangga Juwana.
"Garuda Laut Timur yang membawanya. Dan karena benda itulah, dia ingin membunuh gurumu, Sangga." "Mengapa demikian, Ki?" tanya Sangga Juwana masih belum mengerti. "Garuda Laut Timur jauh-jauh datang untuk merampas barang kawalanmu. Konon, dia telah mendengar berita yang t ersiar di dunia persilatan, bahwa i ring-iringan Perguruan Harimau Terbang membawa kepala tokoh sesat pemilik ilmu 'Rawa Rontek' yang meninggal dunia seratus lima puluh tahun yang lalu. Maka, bisa kau bayangkan sendiri kemarahannya ketika benda yang diperebutkannya diketahui hanya kepala seekor orang hutan. Dia merasa dipermainkan."
"Jadi, berita yang tersi ar di dunia persilatan itu hanya kabar bohong belaka?" Sangga Juwana jadi bingung sendiri.
"Itulah yang harus kita pecahkan, karena itulah pokok masalahnya!" sambut Ki Sancaka, cepat. "Lalu..., bagaimana caranya memecahkan masalah yang rumit itu?" tanya Sangga Juwana lagi.
Kalau saja rekan-rekannya dari Perguruan Harimau Terbang masih hidup, pasti akan merasa heran bukan kepalang melihat sikap Sangga Juwana. Laki-laki berkumis tebal itu dikenal sebagai orang yang mampu menyelesaikan persoalan, betapapun rumitnya. Tapi sekarang?
"Tentu saja mencari hal-hal yang ada hubungannya dengan barang itu," sahut Dewa Arak. "Betapapun tampaknya remeh, tapi jangan diabaikan. Bukan tidak mungkin dari situlah akan ditemukan pemecahan masalah pelik ini."
Ki Sancaka dan Ki Waringin mengangguk-anggukkan kepala, pert anda menyetujui ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau menurut pendapatmu, dari mana kita harus memulai, Arya?" tanya Ki Waringin, ingin tahu
pendapat Dewa Arak.
Dewa Arak tidak langsung menjawab pert anyaan Ki Waringin. Dia tercenung sejenak, dengan dahi berkernyit
"Kalau menurut pendapatku..., kita harus menyelidikinya dari awal dulu, Ki?" kata Arya mengutarakan
pendapat.
"Maksudmu, dari pemilik barang?" Ki Sancaka yang menyambuti. "Benar, Ki."
"Usulmu sama dengan rencana yang akan kujalankan, Arya!" sambut Ki Sancaka, gembira. "Kita harus
yakinkan dulu kalau dari pemiliknya, barang kiriman itu benar kepala tokoh sesat pemilik ilmu 'Rawa Rontek'. Dan, bukan kepala seekor orang hutan."
"Dan untuk itu, bantuan Ki Waringin sangat kita perlukan," sambut Arya, sambil melirik Ketua Perguruan Harimau Terbang.
"Dengan senang hati aku akan membantu kalian," mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut Ki Waringin.
"Apa yang dikatakan Arya tidak salah, Waringin. Kau adalah satu-satunya saksi hidup yang mengenali pengirim barang itu. Hanya, kau yang mengenalnya dan bukan orang lain!" dukung Ki Sancaka.
"Lalu..., ke mana kita harus mencarinya?" tanya Ki Waringin, bingung. "Aku sama sekali tidak tahu tempat tinggalnya."
Arya, Sangga Juwana, dan Ki Sancaka pun terdi am seketika. Kembali mereka menemukan j alan buntu.
Dahi masing-masing tampak berkernyit, pertanda benak mereka tengah dipakai untuk berpikir keras. "Mengapa tidak ke tempat tujuan pengiriman saja, Guru?" celetuk Sangga Juwana tiba-tiba.
Kontan semua wajah berseri. Sungguh tidak disangka, jalan keluarnya akan bisa ditemukan semudah itu.
"Sebuah usul yang bagus," puji Arya, tulus.
Berbeda dengan Dewa Arak, Ki Waringin dan Ki Sancaka sama sekali tidak memuji Sangga Juwana. Tapi, sorot kebanggaan terpancar jelas pada sinar mata Ketua Perguruan Harimau Terbang itu.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" tanya Ki Sancaka bernada teguran. "Mari kita satroni tempat tujuan
pengiriman barang itu."
Sesaat kemudian, empat orang gagah ini segera melangkah meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka sudah jelas, tempat tujuan pengiriman barang. Desa Sintang!

***

2

Angin kering membawa debu bertiup lembut. Hari memang belum siang. Matahari juga belum lama muncul di u fuk Timur. Hembusan angin memang masih semilir. Tapi karena daerahnya kering dan berdebu, maka tiupan angin itu jadi tidak terasa nikmat sama sekali.
Empat sosok laki-laki yang mengenakan pakaian berl ainan, mendekapkan tangan ke wajah ketika angin yang membawa debu berhembus lebih keras dari sebelumnya. Wajah mereka tentu saja tidak ingin dilumuri debu.
"Itu Desa Sintang, Arya," kata laki-laki berkumis tebal yang mengenakan pakaian putih. Dia tak lain dari
Sangga Juwana.
Sambil berkata demikian, Sangga Juwana menudingkan jari telunjuk kanannya ke depan. Memang, di kejauhan tampak tembok batas sebuah desa. Apa lagi kalau bukan tembok batas Desa Sintang?
"Jadi di situkah tempat tinggal Juragan Dursana, Sangga?" tanya pemuda berambut putih keperakan yang
memang Dewa Arak.
Sementara itu, dua orang tua yang mendampingi mereka tak lain dari Ki Sancaka dan Ki Waringin. Ada sedikit kelainan pada diri Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Sangga Juwana. Ketiga orang itu walaupun masih mengenakan pakaian perguruan masing-masing, namun tidak nampak adanya sulaman gambar harimau bersayap atau naga emas. Memang, atas persetujuan Ki Waringin dan Ki Sancaka, diputuskan untuk melepaskan saja lambang perguruan masing-masing demi kelancaran tugas.
"Hehhh...?! Apa itu?" tanya Arya ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berlari cepat.
Dewa Arak mengernyitkan dahi. Pandangan matanya yang tajam menangkap adanya keanehan dari sesosok tubuh yang melesat cepat ke arah mereka. Sebentar saj a, pemuda berpakaian ungu itu tahu kalau sosok tubuh yang tengah berlari ternyata tidak bertangan kosong. Ada sesuatu yang dipanggulnya di pundak.
Bukan hanya Arya saja. Sangga Juwana, Ki Waringin, dan Ki Sancaka pun memperhatikan penuh perhatian. Dan sesaat kemudian, tampak jelas terlihat oleh sepasang mata mereka.
Untuk beberapa saat lamanya, Arya, Ki Waringin, dan Ki Sancaka, serta Sangga Juwana kebingungan. Tapi sebentar kemudian mereka sadar dan mengerti, ketika mendengar jeritan meminta pertolongan. Sosok tubuh yang tengah berlari menuju ke arah mereka itu membawa seseorang di pondongannya.
"Tolong...! Tolong...!"
Kembali terdengar jeritan yang menilik dari nadanya, jelas keluar dari mulut seorang wanita. "Keparat!" geram Sangga Juwana.
Laki-laki berkumis tebal ini sudah bisa memperkirakan, apa yang tengah terjadi. Sosok tubuh yang tengah menuju ke arah mereka jelas seorang penculik wanita! Dan tentu saj a sudah bisa diperkirakan, apa yang akan dilakukannya!
Yakin akan dugaannya, membuat Sangga Juwana bergerak melesat mendahului tiga orang teman seperjal anannya.
"Biar aku yang memberi pelajaran pada makhluk terkutuk itu, Guru."
Begitu ucapan yang dikeluarkan Sangga Juwana, sebelum tubuhnya melesat menghadang kedatangan sosok tubuh itu.
"Jangan sembrono, Sangga! Selidiki dulu kebenarannya!" nasihat Ki Waringin.
Sangga Juwana yang sudah berada beberapa tombak dari tempat semula, tidak sempat menyambutinya lagi.
Dia hanya menganggukkan kepala, pertanda akan mematuhi nasihat yang diberikan gurunya.
Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Dewa Arak sama sekali tidak mengejar Sangga Juwana. Dibiarkan saja laki- laki berkumis tebal itu mencoba membereskan masalah. Ketiga orang itu hanya memperhatikan saja dari kejauhan.

***

Sementara itu, Sangga Juwana dengan penuh semangat berlari menyongsong kedatangan sosok tubuh yang ternyata berpakaian kuning. Sosok itu tampak tengah memanggul seseorang yang diyakini Sangga Juwana sebagai wanita. Karena kedua belah pihak sama-sama bergerak mendekat, maka tak berapa lama kemudian jarak mereka telah demikian dekat.
"Berhenti...!" teriak Sangga Juwana ketika j araknya tinggal tiga tombak lagi dari sosok berpakaian kuning itu. selidik.
Sosok berpakaian kuning itu menghentikan larinya. Seketika, dirayapi sekujur tubuh Sangga Juwana penuh Sangga Juwana juga bertindak sama, merayapi sosok tubuh berpakaian kuning di hadapannya.
Sosok tubuh berpakaian kuning itu ternyata seorang laki-laki yang terlihat matang. Usianya tentu tidak akan kurang dari tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang, tertutup pakaian yang terlihat indah. Wajahnya juga cukup tampan. Apalagi dengan adanya sebaris bulu-bulu halus di bawah hidungnya. Laki-laki berpakaian kuning itu ternyata seorang pesolek. Benda kecil berbentuk seekor kumbang terbuat dari emas, tampak menghiasi keningnya.
"Siapa kau?! Berani-beraninya kau menghadang jalanku!" bentak laki-laki berpakaian kuning, keras. "Hmh...! Kukira siapa. Rupanya kau, Kumbang Emas!" desis Sangga Juwana sambil mengangguk-
anggukkan kepala.
Rupanya, Sangga Juwana mengenal laki-laki berpakaian kuning di hadapannya. Dan memang, hal itu tidak aneh. Sangga Juwana adalah seorang pengawal barang kiriman yang telah puluhan kali menjalankan tugasnya dengan baik. Hubungannya dengan tokoh-tokoh dunia persilatan amat luas. Tak aneh kalau tokoh persilatan dari berbagai aliran banyak dikenalnya. Meskipun, sebagian besar hanya dikenal lewat ciri-cirinya saja.
Wajah laki-laki berpakaian kuning itu berubah pucat. Raut keterkejutan tampak jelas di wajahnya.
"Kalau sudah tahu, mengapa tidak lekas menyingkir?" sambut laki-laki berpakaian kuning yang ternyata berjuluk Kumbang Emas. Secercah senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Memang, Kumbang Emas semula terkejut bukan kepalang kalau julukannya banyak dikenal orang. Tapi,
hanya sebentar saja perasaan itu melanda. Bahkan dia langsung bisa merubah sikap, dengan menggertak Sangga Juwana.
"Menyingkir katamu, Manusia Cabul?!" sahut Sangga Juwana tak kalah gertak. "Justru sudah lama aku mencari-carimu, tahu! Kau adalah manusia terkutuk yang harus cepat-cepat dimusnahkan dari muka bumi sebelum semua wanita menjadi korbanmu!"
Sambil berkata demikian, Sangga Juwana melayangkan pandangan sekilas ke arah sosok dalam pondongan Kumbang, Emas. Dugaannya tidak salah. Orang yang dipondong Kumbang Emas adalah seorang wanita berpakaian hijau.
"Kalau begitu, kau mencari penyakit sendiri, Keparat!"
Si Kumbang Emas menggeram keras. Dia marah bukan kepalang melihat kekerasan hati orang yang lancang menghadangnya. Namun demikian, Kumbang Emas bukan orang bodoh! Dia tahu, calon lawannya tidak sendirian. Di belakangnya masih ada tiga orang lagi. Memang, tadi laki-laki berpakaian kuning ini melihat kalau Sangga Juwana berjalan bersama-sama dua orang tua, dan seorang pemuda berambut putih keperakan. Dia pun melihat pula ketika orang di hadapannya ini memisahkan diri dari rombongan.
Sekali pandang saja, Kumbang Emas tahu kalau tiga orang yang masih berj arak sekitar sepuluh tombak di belakang calon lawannya, bukan orang sembarangan. Langkah mereka yang rata-rat a ringan telah mempertebal dugaan Kumbang Emas.
Kumbang Emas memutar otaknya untuk mencari jalan keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Dan karena otaknya memang telah t erbiasa melakukan hal-hal yang licik, sekejap kemudian sebuah jalan telah ditemukan.
Tampak seulas senyum keji tersungging di bibir Kumbang Emas. "Kau menginginkan wanita ini, Keparat?! Ambillah untukmu!"
Pada saat ucapan itu berakhir, Kumbang Emas melemparkan tubuh wanita yang dipanggulnya ke arah Sangga Juwana.
Wuttt...! "Hey...!"
Sangga Juwana terkejut bukan kepalang. Disadari kalau tidak buru-buru ditangkapnya, wanita yang hampir saja menjadi korban kekejian nafsu setan Kumbang Emas akan tewas. Maka tanpa berpikir dua kali, Sangga Juwana segera membalikkan tubuh dan melesat mengejar tubuh wanita itu.
Inilah kesempatan licik yang ditunggu-tunggu Kumbang Emas. Begitu Sangga Juwana membalikkan tubuh dan melesat mengejar tubuh wanita itu, tangannya segera dimasukkan ke balik baju. Dan ketika tangan itu keluar lagi, di tangannya telah tergenggam beberapa buah benda berbentuk kumbang berwarna kuning keemasan. Hanya saja, benda itu tidak terbuat dari emas sungguhan seperti yang bertengger di dahi. 
Wuttt...! Tiba-tiba, wanita yang dipanggulnya dilemparkan begitu saja oleh Kumbang Emas!
"Hey...!" Sangga Juwana sangat terkejut. Buru-buru ia melesat mengejar wanita itu. Sangga Juwana sama sekali tidak menyadari siasat Kumbang Emas! Kini, bahaya sedang mengintainya! Benda-benda yang berbentuk kumbang itu terbuat dari logam. Lagi pula, pada bagian kepalanya terdapat bagian yang meruncing. Tampaknya tajam mengkilat, dan cukup panjang.
Dan secepat benda-benda berbentuk kumbang itu tergenggam di tangan, secepat itu pula dilemparkan ke arah Sangga Juwana. Kemudian, dia langsung melesat kabur, menempuh arah ke kanan.
Wut, wut, wut...!
Sangga Juwana begitu terperanjat. Walau tidak melihat, tapi dari suara desingan yang tertangkap t elinga, laki-laki berkumis tebal ini tahu akan ada bahaya yang tengah mengancam. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Apalagi dia tengah melompat untuk menangkap tubuh wanita berpakaian hijau.
Haruskah niatnya diurungkan? Tapi, bagaimana mungkin Sangga Juwana melakukan hal itu? Kakinya sama sekali tidak mempunyai pijakan untuk melenting. Dalam waktu sekejap itu, Sangga Juwana mengambil keputusan nekat! Maksudnya tetap diteruskan untuk menangkap tubuh wanita berpakaian hijau yang masih melayang. Tapi pada saat yang bersamaan, tubuh Sangga Juwana menggeliat. Ini dilakukan untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang tidak diketahui bentuknya. Memang, hanya itulah satu-satunya jal an yang bisa dilakukan, Sangga Juwana.
"Sangga! Awaaas...!" teriak Ki Waringin memperingatkan.
Memang, Ketua Perguruan Harimau Terbang ini melihat adanya bahaya mengancam terhadap keselamatan muridnya. Bukan hanya dia saja yang melihatnya, tapi juga Ki Sancaka, dan Arya.
Tidak cukup dengan peringatan saja, Ki Waringin segera melesat ke depan untuk menyelamatkan nyawa
muridnya. Dan pada saat yang bersamaan, Ki Sancaka dan Arya melesat pula.
Ketiga orang ini seperti berlomba menyelamatkan Sangga Juwana. Raut kecemasan tampak di wajah Ki Waringin, Ki Sancaka, dan Arya. Memang, serangan mendadak itu sama sekali tidak diduga.
Sementara itu....
Tappp!
Sangga Juwana berhasil menangkap tubuh wanita berpakaian hijau. Dan pada saat tubuhnya t engah meluruk turun itulah beberapa senjata rahasia yang dikirimkan Kumbang Emas meluncur ke arahnya.
Sudah dapat diperkirakan, benda-benda berbentuk kumbang ini akan menghunjam tubuh Sangga Juwana.
Namun di saat yang gawat itu, berhembus serangkum angin keras memapak luncuran senjata-senjata rahasia yang mengancam tubuh Sangga Juwana. Dewa Arak yang t ahu akan sempitnya waktu, sambil melompat menghentakkan kedua tangannya ke arah senjata-senjata rahasia yang dikirimkan Kumbang Emas.
Prattt !
Benda-benda berbentuk kumbang itu langsung terpental balik ke arah Kumbang Emas, begitu terpapak hembusan angin keras yang dihentakkan oleh kedua tangan Dewa Arak.
"Hup!"
Ketika kedua kaki Sangga Juwana hinggap di tanah, Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Dewa Arak pun telah berada di sebelahnya.
"Dugaanku benar, Guru," lapor Sangga Juwana. "Orang itu adalah penjahat terkutuk! Dia Kumbang Emas,
Guru!"
Sangga Juwana kemudian segera membebaskan totokan pada wanita berbaju hijau, yang telah dilakukan
Kumbang Emas. Lalu, dibiarkannya wanita itu berdiri.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kang," kata wanita berpakaian hijau itu pada Sangga Juwana. "Lupakanlah," sahut Sangga Juwana.

***

Sementara itu, Dewa Arak yang mendengar ucapan Sangga Juwana langsung melesat mengejar Kumbang Emas. Bahkan Arya tel ah bertekad untuk melenyapkan Kumbang Emas selama-lamanya. Dan untuk itu, alasan Dewa Arak amat kuat. Memang Dewa Arak paling benci terhadap penjahat pemerkosa wanita! Tidak ada kata ampun baginya apabila bertemu penjahat seperti itu.
Kumbang Emas kelabakan ketika mengetahui dirinya dikejar. Segera seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan sampai ke puncaknya dalam usaha untuk melarikan diri sejauh-jauhnya.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati tokoh durjana ini ketika ekor matanya melihat seleret bayangan ungu melesat lewat sebelahnya. Bahkan kemudian menyusulnya. Dan ketika telah berjarak beberapa tombak di depannya, sosok bayangan ungu itu menghentikan lesatan dan membalikkan tubuh.
Dengan sendirinya, Kumbang Emas menghentikan l arinya. Dirayapinya sejenak sekujur tubuh sosok bayangan ungu yang tak lain dari Dewa Arak. Diam-diam, bulu tengkuk Kumbang Emas meremang ketika melihat tidak ada tanda-tanda kelel ahan sedikit pun kalau Arya telah mengerahkan kemampuan untuk mengejar dirinya. Padahal, dia sendiri agak terengah-engah.
Dari sini saja, sudah dapat diperkirakan kalau Dewa Arak memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dan dugaannya semakin menguat ketika teringat senjata-senjat a rahasianya yang dirobohkan pemuda berambut putih keperakan itu pula.
Tengkuk Kumbang Emas terasa dingin ketika teringat akan tokoh yang memiliki ciri seperti yang dimiliki pemuda berambut putih keperakan itu. Dewa Arak! Benarkah pemuda yang berdiri di hadapannya ini Dewa Arak?! Kalau memang demikian, nasib celakalah yang akan menimpanya! Mana mungkin dia mampu menghadapi Dewa Arak!
Tanpa pikir panjang lagi, Kumbang Emas segera membalikkan tubuh. Rupanya, dia bermaksud melarikan
diri ke lain arah. Namun, langkahnya kontan terhenti ketika di belakangnya berdiri empat sosok tubuh. Yang berdiri paling depan adalah Ki Waringin. Sementara Ki Sancaka, Sangga Juwana, dan wanita berpakaian hijau, berdiri di belakangnya.
Seketika wajah Kumbang Emas pucat pasi. Disadari kalau dirinya tidak akan mungkin bisa lolos lagi!
Maka otaknya segera diputar untuk bisa meloloskan diri.
"Luar biasa! Apakah kalian ini adalah gerombolan pengecut yang bermaksud mengeroyokku?! Ha ha ha...! Majulah! Kumbang Emas tidak bakal takut menghadapi keroyokan!" teriak Kumbang Emas memulai siasat liciknya.
Ki Waringin, Ki Sancaka, Sangga Juwana, dan Arya bukan orang bodoh. Mereka tentu saja t ahu maksud
tokoh durjana ini mengucapkan kata-kata seperti itu. Meskipun demikian, tetap saja membuat wajah mereka memerah.
"Menghadapi manusia busuk sepertimu, tidak perlu mengandalkan keroyokan!" tandas Ki Waringin.
"Ah! Begitukah?!" sambut Kumbang Emas bersikap meremehkan ucapan Ki Waringin. Bahkan seulas senyum mengejek pun menghias wajahnya. "Jadi, kalian akan menghadapiku satu persatu! Bila satu di antara kalian kalah, lalu diganti yang lain. Begitu? Ah, benar! Siasat kalian benar-benar jitu. Aku akan mati kelelahan!"
"Tutup mulutmu, Manusia Cabul!" bentak Sangga Juwana tak kuat menahan kemarahan. "Untuk menghadapi orang busuk sepertimu, aku pun sudah cukup! Kalau berhasil mengalahkan diriku, kau boleh bebas pergi dari sini!"
"Sangga!" seru Ki Waringin dan Ki Sancaka terkejut.
Ketua Perguruan Harimau Terbang dan Ketua Perguruan Naga Laut itu memang kaget bukan kepalang mendengar ucapan Sangga Juwana. Sama sekali tidak disangka kalau Sangga Juwana akan mengeluarkan perkataan seperti itu. Sungguh merupakan sebuah sikap yang ceroboh. Bahkan Arya pun diam-diam menyayangkan sikap yang diambil laki-laki berkumis tebal itu.
Kini mereka hanya dapat menunggu sambutan Kumbang Emas. Harapan mereka, penjahat cabul itu akan menolak usul yang diajukan Sangga Juwana. Tapi, ketiga orang lelaki ini tahu kalau hal itu tidak mungkin. Karena mereka t ahu, Kumbang Emas memang menunggu-nunggu keluarnya ucapan itu. Buktinya sejak tadi laki-laki berpakaian kuning itu tengah memancing-mancing keluarnya ucapan itu. Dan dugaan mereka rasanya tidak akan keliru. Kini tampak sepasang mata Kumbang Emas berkilat-kilat gembira.
"Kalau itu memang sudah menjadi kehendakmu, akan kuturuti, Kecebong Kecil!" sambut Kumbang Emas cepat. Hatinya merasa lega karena tidak menyangka siasat yang dijalankannya berl angsung mulus.
"Semua yang ada di sini menjadi saksi atas ucapanmu!"
"Kami bukan orang semacam dirimu, Kumbang Emas!" tandas Sangga Juwana tegas. "Sangga!" tegur Ki Waringin lagi.
"Biar, Guru. Aku yang akan menghabisi riwayat penjahat cabul ini!" sergah Sangga Juwana gagah. "Hhh...!" Ki Waringin menghela napas berat. "Hati-hati, Sangga!"
"Akan kuperhatikan semua nasihatmu, Guru!" sahut Sangga Juwana gagah sambil melangkah maju.
Sementara Arya, Ki Waringin, dan Ki Sancaka terpaksa melangkah mundur untuk memberi tempat pada kedua pihak yang akan bert arung. Mereka kini memperhatikan gerak-gerik Sangga Juwana dan Kumbang Emas dengan hati berdebar tegang, dan merasa khawatir akan keselamatan Sangga Juwana.
Kumbang Emas sebenarnya adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Dan itu bisa diketahui dari ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, dan juga kekuatan tenaga dalamnya sewaktu melemparkan benda-benda berbentuk kumbang. Akan mampukah laki-laki berkumis tebal itu menghadapi lawanny a?
Sementara itu, Sangga Juwana dan Kumbang Emas tampak sudah siap siaga. Kedua belah pihak sudah mengambil jarak. Sepasang mata mereka menatap satu sama lain. Untuk sesaat lamanya, kedua belah pihak tidak saling menggebrak, tapi hanya saling menilai kepandaian lawan melalui pandangan.
"Haaat...!" Kumbang Emas ternyat a mulai menyerang lebih dulu. Serangannya dibuka dengan sebuah tendangan lurus ke arah perut.
Wuttt!
Tendangan itu mengenai tempat kosong ketika Sangga Juwana menarik kaki kanannya mundur sambil mendoyongkan tubuh ke belakang.
Kumbang Emas tidak merasa penasaran melihat serangannya berhasil dielakkan lawan secara mudah.
Kembali dilancarkan serangan susulan. Kakinya yang tidak berhasil disarangkan ke sasaran, ditarik setengah jal an. Kemudian, kembali diluncurkan dalam bentuk tendangan miring ke arah leher. Untuk melakukan hal ini, terpaksa Kumbang Emas harus mengubah letak tubuhnya.
Kali ini, Sangga Juwana tidak mengelak l agi. Rupanya dia sudah bisa memperkirakan kekuatan tenaga dalam. Dan kini, laki-laki berkumis tebal itu menangkis tendangan dengan kedua tangannya. Maksudnya hendak menangkis sekaligus menangkapnya.
Plakkk!
Suara berderak keras terdengar ketika kaki dan tangan berbenturan. Akibatnya, tubuh Sangga Juwana terhuyung-huyung tiga langkah ke balakang. Sedangkan lawannya hanya terhuyung satu langkah. Jelas, tenaga dalam Kumbang Emas lebih kuat daripada Sangga Juwana.
Kenyataan ini tentu saja tidak hanya mengejutkan Sangga Juwana, tapi juga Ki Waringin, Ki Sancaka, dan
Arya.
Rupanya Kumbang Emas tidak ingin memberi kesempatan pada lawan. Secepat kekuatan yang membuat
tubuhnya terhuyung dipatahkan, secepat itu pula serangan lainnya dilancarkan. Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat pertarungan sengit.

***

3

Arya, Ki Sancaka, dan Ki Waringin memperhatikan jalannya pertarungan dengan perasaan cemas. Benturan yang pertama kali terjadi antara Sangga Juwana dan Kumbang Emas, telah membuat mereka mengkhawatirkan keselamatan laki-laki berkumis tebal itu. Tapi apa yang dapat dilakukan? Sangga Juwana sendirilah yang telah menentukan pilihannya!
Kini yang dapat mereka lakukan hanyalah memperhatikan jalannya pertarungan, dan berharap Sangga Juwana dapat memanfaatkan kesempatan.
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung t elah berjalan semakin sengit. Namun perlahan-lahan, begitu
menginjak jurus ke lima belas, Kumbang Emas mulai dapat mendesak Sangga Juwana. Hal ini tidak aneh, mengingat laki-laki berpakaian kuning ini memang memiliki keunggulan dalam segala hal. Baik tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh. Sepertinya, robohnya Sangga Juwana hanya tinggal menunggu waktu saja.
Sekarang, Sangga Juwana lebih banyak bertahan. Serangan-serangan yang dilancarkannya berkurang j auh. Bahkan menangkis pun jarang dilakukan, karena hal itu akan merugikan dirinya. Kekuatan tenaga dalamnya yang berada di bawah lawan, menyebabkan tangannya sakit-sakit setiap kali terjadi benturan.
Semakin lama, keadaan Sangga Juwana semakin memburuk. Bahkan menginjak jurus kedua puluh lima, dia sudah tidak mampu melancarkan serangan lagi. Kini laki-laki berkumis lebat itu hanya mengelak dari serangan lawan. Itu pun tampak terpontang-panting ke sana kemari dalam upaya menyelamatkan selembar nyawa.
"Sangga! Kumbang Emas adalah penjahat keji yang licik. Dia telah berhasil memperdayaimu dengan tantangannya. Kalau kau kalah, dia akan lolos. Dan aku tidak suka hal itu terjadi. Kau paham?! Maka aku akan memberi petunjuk padamu. Perhatikan baik-baik dan ikuti!"
Mendadak Sangga Juwana tertegun. Dia mendengar adanya suara bisikan halus di telinganya.
Sambil terus mengelakkan setiap serangan yang dilancarkan, Sangga Juwana mendengarkan ucapan itu. Tanpa sadar kepalanya terangguk ketika mendengar kalimat terakhir yang terdengar di telinganya. Sangga Juwana tahu, siapa pemilik suara itu. Dewa Arak! Benar, Aryalah yang berbicara padanya. Tapi, apakah tidak ada orang lain yang mendengarnya?
Karena perasaan penasaran yang mendera, Sangga Juwana sekilas memperhatikan wajah-wajah yang berada di sekitarnya. Terutama sekali, wajah Kumbang Emas! Tapi, tidak nampak adanya tanda-tanda kalau laki- laki berpakaian kuning itu mendengarnya.
Sangga Juwana sama sekali tidak tahu kalau Dewa Arak tel ah menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh. Bagi orang yang telah memiliki tingkat kepandaian seperti Dewa Arak, hal itu seperti merupakan pekerjaan mudah.
Dewa Arak benar-benar menepati janjinya. Sesaat set elah ucapan itu dikeluarkan, petunjuk-petunjuk yang
dijanjikan pun muncul. Sedangkan Sangga Juwana segera mengikuti setiap petunjuk yang diberikan Dewa Arak.
Memang, setelah Sangga Juwana mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan Dewa Arak dari j auh, perlahan-lahan keadaannya yang sudah terdesak hebat mulai berubah. Laki-laki berkumis tebal ini tidak lagi terpontang-panting seperti sebelumnya. Bahkan dengan gerakan sederhana serangan Kumbang Emas sudah bisa dielakkannya.
Tak sampai lima jurus setelah mendapat petunjuk dari Dewa Arak, keadaan telah kembali seperti sewaktu pertarungan baru menginjak jurus-jurus awal. Bahkan Sangga Juwana sudah bisa melancarkan serangan-serangan balasan kembali! Hebatnya, bagian-bagian yang ditujunya adalah celah-celah terlemah dari tubuh lawan. Yang lebih gila lagi, setiap serangannya selalu dilancarkan secara mendadak dan tiba-tiba.
Karuan saja hal ini membuat Kumbang Emas kelabakan bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka kalau keadaan akan berubah seperti ini. Padahal, semula dia sudah yakin akan memenangkan pertarungan, mengingat keadaan Sangga Juwana yang sudah terdesak.
Kumbang Emas hampir tidak percaya melihat kenyataan yang dialaminya. Dan memang, hal itu sulit dipercaya! Jelas-jelas kalau Sangga Juwana hanya memiliki kemampuan di bawahnya. Baik tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuh. Tapi mengapa dia bisa mendesak?
Bukan hanya laki-laki berpakaian kuning itu saja yang dilanda perasaan bingung. Ki Sancaka, dan Ki Waringin pun heran bukan kepalang. Beberapa kali kedua kakek ini menggelengkan kepala dan mengucek-ucek mata, untuk meyakinkan diri kalau tidak salah lihat.Namun ketika beberapa kali melakukan hal itu, tetap saja tidak berubah. Padahal Ki Sancaka dan Ki Waringin yakin kalau mereka tidak sal ah lihat. Buktinya, Sangga Juwana ternyat a memang berhasil mengimbangi Kumbang Emas.
Berbeda dengan Kumbang Emas yang hanya bisa heran melihat perubahan mendadak itu, sementara di pihak Ki Sancaka dan Ki Waringin bukanlah orang bodoh. Mereka t ahu, Sangga Juwana tidak akan mungkin bisa melakukan hal seperti itu. Terutama sekali, Ki Waringin yang tahu pasti kalau gerakan-gerakan yang dilakukan Sangga Juwana berlainan aliran dengan miliknya.
Ki Sancaka dan Ki Waringin langsung bisa menduga kalau ada orang yang telah memberi petunjuk pada Sangga Juwana. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak? Kedua kakek ini tidak merasa heran kalau Dewa Arak memiliki ilmu mengirimkan suara dari jauh. Sebagai orang-orang yang telah memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi, mereka sudah pernah mendengar tentang ilmu itu. Meskipun, mereka tidak memilikinya.
Yakin akan kebenaran dugaannya, maka kedua ketua perguruan itu pun mengalihkan pandangan ke arah Arya. Tapi, alis Ki Sancaka dan Ki Waringin langsung berkerut ketika tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu tengah mengerahkan ilmu mengirim suara dari jauh. Buktinya, kedua bibir Dewa Arak tidak bergerak sama sekali.
Ki Sancaka dan Ki Waringin sama sekali tidak tahu kalau cara yang dilakukan Dewa Arak menandakan kalau penguasaan ilmunya sudah begitu tinggi. Jadi tidak heran kalau komat-kamitnya tentu saja tidak akan muncul.
Ki Sancaka dan Ki Waringin saling berpandangan. Maka perasaan bingung kembali melanda kedua orang
ini. Apakah memang tidak ada orang yang membantu Sangga Juwana?
Sadar kalau tidak ada gunanya memikirkan hal itu, Ki Sancaka dan Ki Waringin langsung membuang pertanyaan yang mengganggu benak mereka. Kini pandangan mereka dialihkan ke arah pert arungan yang tengah berlangsung sengit.

***

Di arena pertarungan, keadaan sudah berubah. Baik Sangga Juwana maupun Kumbang Emas tidak bertarung dengan t angan kosong lagi. Mereka tel ah sama-sama menggenggam senjata. Kalau Sangga Juwana menggunakan pedang, maka Kumbang Emas menggunakan kipas baja berwarna kuning yang ujung-ujungnya lancip seperti pisau.
Dengan tel ah digunakannya senjata masing-masing, maka pert arungan yang berlangsung pun jadi semakin ramai. Kedua belah pihak tampak telah sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan.
Hebat dan mengagumkan permainan kipas Kumbang Emas! Benda itu memang merupakan senjata yang
serba guna. Apabila ditutup bisa seperti pedang, dan bila dibuka berguna sebagai tameng.
Meskipun demikian, permainan pedang Sangga Juwana tidak kalah hebat. Pedang di tangannya menyambar-nyambar secara tidak terduga-duga. Bahkan Ki Sancaka dan Ki Waringin yang melihatnya pun jadi terbeliak kaget. Terutama sekali Ki Waringin! Dia tahu pasti kalau permainan pedang Sangga Juwana bukan ilmu yang diajarkannya.
Orang yang paling merasakan kedahsyatan ilmu pedang Sangga Juwana adalah Kumbang Emas! Laki-laki berpakaian kuning ini merasakan betapa beratnya tekanan pedang yang dilancarkan lawannya. Betapapun seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan, tapi tetap saja berada dalam pihak yang terdesak.
Dan pada jurus yang keempat puluh tujuh....
"Akh. !"
Kumbang Emas menjerit kesakitan ketika ujung pedang Sangga Juwana menyerempet pergelangan t angan kanannya. Darah segar mengalir dari luka itu. Seketika itu juga, kipas yang digenggamnya terlepas dari pegangan.
Dan sebelum Kumbang Emas sempat berbuat sesuatu, pedang di tangan Sangga Juwana kembali meluncur cepat ke arah perutnya. Dan....
Blesss! "Aaakh. !"
Kumbang Emas kontan melolong kesakitan. Pedang Sangga Juwana menancap di perutnya, hingga tembus ke punggung. Darah muncrat-muncrat seketika dari bagian yang terluka.
Sangga Juwana mencabut kembali pedangnya dari perut Kumbang Emas. Maka, darah yang muncrat- muncrat pun semakin banyak keluar.
Tubuh Kumbang Emas jadi terbungkuk. Sepasang kelopak matanya pun membelalak l ebar. Dengan kedua tangan, didekapnya luka pada perutnya. Tapi karena t erlalu besar, tetap saja darah mengalir deras lewat cel ah-celah jarinya. Kedua kakinya pun tampak menggigil keras. Sangga Juwana hanya memperhatikan saja laki-laki berpakaian kuning itu berjuang melawan maut. Dia ingin tahu, berapa lama Kumbang Emas mampu bertahan terhadap panggilan malaikat maut.
Ternyata, Sangga Juwana tidak menunggu terlalu lama. Sesaat kemudian tubuh Kumbang Emas ambruk ke tanah. Setelah berkelojotan meregang nyawa sebentar dia tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Tewas!
Sangga Juwana menghampiri. Dibersihkannya batang pedangnya yang berlumuran darah, dengan cara menggosok-gosokkannya pada pakaian Kumbang Emas. Baru setelah itu, dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Trek!
Sangga Juwana menatap wajah Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Arya serta wanita berpakaian hijau. Wajah- wajah mereka tampak menyiratkan kegembiraan at as kemenangannya.
"Kau hebat, Sangga! Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa mengalahkan Kumbang Emas. O ya, dari
mana ilmu-ilmu hebat itu kau dapat? Dan mengapa kau tidak memberitahukannya padaku?" sambut Ki Waringin ketika Sangga Juwana telah berada di dekatnya.
"Ah! Semuanya karena bantuan Arya, Guru," jawab Sangga Juwana, gembira. "Terima kasih atas pertolonganmu, Arya."
"Lupakanlah, Sangga! Bukankah sekarang kita telah menjadi sahabat? Di antara sahabat, mana bisa ada sikap sungkan-sungkan?" kalem jawaban yang keluar dari mulut Arya.
Ki Waringin dan Ki Sancaka saling berpandangan. Jadi, benar. Rupanya Dewa Arak-lah yang telah membantu Sangga Juwana, dengan memberi petunjuk dari jauh. Tapi, mengapa bibir Arya tidak berkemik-kemik sama sekali?
"O ya, Arya. Bagaimana caranya sehingga kau bisa mengirimkan suara padaku tanpa ada orang lain mendengarnya?" tanya Sangga Juwana, ingin tahu.
Meskipun hanya laki-laki berkumis tebal itu saja yang mengajukan pertanyaan, tapi secara diam-diam Ki
Sancaka dan Ki Waringin pun memasang kuping. Mereka rupanya juga ingin tahu jawaban yang akan diberikan Dewa Arak. Hanya seorang saja yang tidak peduli terhadap masalah yang diributkan keempat orang itu, yakni wanita berpakaian hijau.
"Aku menggunakan ilmu mengirimkan suara dari jauh, Sangga," jawab Arya jujur. "Dengan ilmu itu, aku bisa mengucapkan sesuatu terhadap orang yang kutuju, tanpa ada orang lain yang mendengarnya."
"Ah...!" desah Sangga Juwana penuh kagum.
"Luar biasa...!"
"Tapi, mengapa tadi kami lihat bibirmu tidak bergerak-gerak, Arya?" desak Ki Waringin bernada penuh harap.
Arya hanya tersenyum.
"Tanda seperti itu hanya akan nampak pada orang yang belum terlalu tinggi tingkat ilmu mengirim suara dari jauhnya, Ki," jelas Arya, tanpa bernada menggurui.
Hampir bersamaan, Ki Sancaka dan Ki Waringin mengangguk-anggukkan kepala. Perasaan kagum mereka terhadap Dewa Arak menjadi semakin mendalam. Karena, jawaban tadi membuktikan kalau pemuda berambut putih keperakan itu telah memiliki ilmu mengirimkan suara dari jauh yang hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
"Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan lagi, Ki?" tanya Arya untuk mengalihkan persoalan.
"Boleh," jawab Ki Waringin, singkat "Tapi..., apa tidak lebih baik kalau kita kembalikan wanita itu ke tempatnya lebih dulu?"
Hampir bersamaan Arya, Ki Sancaka, dan Sangga Juwana menganggukkan kepala. Jelas, mereka semua menyetujui usul Ki Waringin.
Tanpa diminta, Sangga Juwana segera menghampiri wanita berpakaian hijau itu.
"Siapa namamu, Nisanak? Kalau aku, Sangga Juwana. Panggil saja aku Sangga," tanya l aki-laki berkumis tebal itu.
"Namaku Sarini," jawab wanita berpakaian hijau, malu-malu.
"Sarini? Sebuah nama yang bagus," puji Sangga Juwana sambil menatap wajah Sarini.
Karuan saj a wajah Sarini jadi merah. Jelas dia merasa malu mendapat pujian seperti itu. Wajahnya yang sudah cantik, jadi semakin menarik seiring memerah wajahnya.
"Kini kau telah selamat, Sarini," kata Sangga Juwana yang diam-diam mengagumi kecantikan Sarini. "Sekarang, kami akan mengantarkanmu kembali ke tempat tinggalmu. Bisa kau beritahukan tempat tinggalmu?"
"Desa Sintang," jawab Sarini.
"Desa Sintang?!" ulang Sangga Juwana, gembira. "Mengapa bisa begitu kebetulan. Kami sendiri tengah menuju ke sana."
"O ya, Sangga?!" Sarini tampak terkejut juga. " Apakah ada urusan penting yang membuat kalian hendak menuju ke desaku?"
berani. Kini Sarini sudah bisa berbicara agak banyak. Mungkin sikap Sangga Juwana-lah yang membuatnya jadi
"Kami memang mempunyai keperluan di sana," jawab Sangga Juwana apa adanya. "Kami tengah mencari tempat tinggal orang yang bernama Juragan Dursana. Dan.... Hey! Kau..., kenapa, Sarini?!"
Sangga Juwana terpaksa menghentikan ucapannya ketika melihat wajah Sarini mendadak berubah.
Keterkejutan yang amat sangat tampak jelas pada raut wajah gadis itu.
Bukan hanya Sangga Juwana saja yang menjadi heran melihat perubahan hebat di wajah wanita berpakaian hijau itu. Dewa Arak, Ki Sancaka, dan Ki Waringin pun merasa heran juga. Namun dengan pandainya, mereka menyembunyikan perasaan itu hingga tidak tampak pada wajah. Meskipun demikian, ketiga orang itu tidak ingin ikut campur. Mereka membiarkan saja Sangga Juwana yang mencoba menyelesaikan masalah itu.
"Aku tidak apa-apa, Sangga," jawab Sarini sambil menyunggingkan senyum. Jelas, wanita berpakaian hijau ini bermaksud menimbulkan kesan seolah-olah benar-benar tidak mengalami apa pun.
Tapi Sangga Juwana orang yang telah berpengalaman. Dia tahu, nama Juragan Dursana mempunyai arti bagi Sarini. Itulah sebabnya, mengapa gadis itu merasa terkejut bukan kepalang ketika Sangga Juwana menyebut nama tokoh penting di Desa Sintang itu.
Meskipun demikian, Sangga Juwana memilih bertindak bijaksana. Maka, Sarini sama sekali tidak dipaksa untuk menjelaskan mengenai Juragan Dursana. Bahkan sikapnya seolah-olah tidak mengetahui keterkejutan Sarini.
"Syukurlah kau tidak apa-apa. Aku khawatir sekali tadi, barangkali kau jatuh sakit?" Sangga Juwana
mencoba mengalihkan persoalan.
"Mungkin kau benar, Sangga. Memang tadi aku merasa sedikit pusing," sambut Sarini cepat. Rupanya, kini dia sudah mendapatkan alasan untuk menutupi keterkejutan hatinya. "Tapi sekarang, sudah agak sembuh."
"Syukurlah," hanya itu yang diucapkan Sangga Juwana.
Suasana menjadi hening sejenak ketika laki-laki berkumis tebal itu tidak berkata-kata lagi. Memang, Sarini pun tidak bersuara lagi.
"Sebenarnya..., apa urusanmu dengan Juragan Dursana, Sangga?" tanya Sarini memecahkan keheningan yang terjadi.
Sangga Juwana tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sudah diduga kalau gadis itu pasti akan menanyakannya. Dan itu menunjukkan kalau Sarini ada hubungan dengan Juragan Dursana.
"Sebenarnya, tidak ada urusan apa pun," jawab Sangga Juwana, jujur. "Kami sebenarnya pun belum kenal dengan Juragan Dursana. Bahkan mendengar namanya karena orang lain yang memberitahukannya."
"Kalau tidak ada urusan apa-apa, mengapa ingin mengunjunginya?" kejar Sarini lagi, tanpa menyembunyikan perasaan ingin tahunya.
"Kami adalah orang-orang yang bertugas mengawal barang dengan imbalan bayaran. Dan kedatangan kami hanya ingin memberitahukan padanya, kalau barang kiriman miliknya telah dirampas orang. Dan tentu saja kami tidak ingin lepas dari tanggung jawab. Barangkali, kami bisa mengganti kerugian yang dial ami Juragan Dursana," jawab Sangga Juwana agak sedikit berbohong.
Arya, Ki Sancaka, dan Ki Waringin merasa puas mendengar penuturan Sangga Juwana. Mereka sudah khawatir sekali kalau Sangga Juwana akan mengutarakan apa adanya. Kini, mereka tinggal menunggu jawaban yang keluar dari mulut Sarini.
Sementara orang yang ditunggu-tunggu untuk berbicara, masih terdiam. Tarikan wajahnya masih menyiratkan kebimbangan.
"Sepengetahuanku..., Juragan Dursana jarang dikirimi barang...," sahut Sarini ragu-ragu.
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas berat.
"Sebenarnya..., siapa pemilik barang itu kami tidak tahu, Sarini. Yang jelas, ada orang yang membayar kami untuk mengirimkan barang itu kepada Juragan Dursana di Desa Sintang. Karena kami tidak tahu alamat pengirim barang itu, yahhh..., terpaksa kami bermaksud memberitahukannya kepada orang yang menjadi tempat tujuan barang kiriman," jelas Sangga Juwana, panjang lebar.
"Jadi..., begitu kiranya?" Sarini mulai mengerti.
"Benar, Sarini. Kau bisa memberitahukannya pada kami, di mana tempat ringgal Juragan Dursana?" Sarini menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang," ajak Sangga Juwana.
Maka rombongan kecil itu kini berangkat menuju Desa Sintang.

***

4

"Apa kalian tidak salah alamat?"
Sebuah pert anyaan bernada l esu terdengar dari dalam sebuah rumah besar dan terkurung pagar kayu bulat tinggi. Suara itu ternyata berasal dari sebuah ruang tengah yang cukup luas. Di sana, tampak duduk bersila enam sosok tubuh. Lima laki-laki, dan seorang wanita. Sedangkan yang berbicara tadi ternyata seorang laki-laki set engah baya. Pakaian mewah dan indah, membungkus tubuhnya yang berperut buncit.
Usai berkata demikian, laki-laki berpakaian mewah itu mengedarkan pandangan berkeliling, ke arah empat sosok tubuh di depannya. Sedangkan di sebelahnya adalah gadis berpakaian hijau yang memang Sarini. Sementara empat sosok tubuh yang duduk di hadapannya, tak lain dari Arya, Ki Sancaka, Ki Waringn, dan Sangga Juwana.
"Aku yakin tidak salah, Dursa," jawab Ki Waringin, mantap. "Meskipun sudah tua, pendengaranku tidak kalah dengan orang muda. Jelas sekali kalau pemilik barang itu meminta agar barangnya diantar ke tempat tinggal Juragan Dursana, di Desa Sintang. Bukankah kau yang bernama Juragan Dursana?"
"Kuakui, aku yang bernama Juragan Dursana," jawab laki-laki berperut buncit itu. "T api secara jujur kutegaskan, aku tidak tahu-menahu mengenai adanya barang kiriman itu untukku."
"Lalu kalau bukan..., mengapa minta dikirimkan ke alamat Ayah?" celetuk Sarini.
Sangga Juwana, Ki Sancaka, Arya, dan Ki Waringin menatap ke arah Sarini. Pertanyaan gadis berpakaian hijau yang ternyata putri Juragan Dursana itu membuat benak mereka berputar.
Sementara itu, Juragan Dursana yang mendapat pertanyaan itu langsung mengangkat bahu. "Mana aku tahu, Sarini?" laki-laki berpakaian mewah itu malah balas bertanya.
"Siapa tahu ada kawan baik Ayah yang ingin memberi hadiah?" kata Sarini lagi. Juragan Dursana menggelengkan kepala.
"Sepengetahuanku..., aku tidak pernah mempunyai kawan seorang wanita muda. Apalagi, yang mempunyai ciri-ciri seperti itu," bantah Juragan Dursana.
Memang, Ki Waringin telah menceritakan pada Juragan Dursana tentang orang yang telah mengirimkan
barang.
Ki Sancaka, Ki Waringin, Arya, dan Sangga Juwana yang memperhatikan tanya jawab anak beranak ini,
langsung berpandangan satu sama lain. Mereka semua yakin, Juragan Dursana sama sekali tidak terlihat mengenai barang yang kabarnya berisi kepala tokoh sesat yang tewas seratus lima puluh tahun lalu. Buktinya, raut wajah laki- laki berperut buncit itu menyiratkan kesungguhan yang amat sangat.
"Juragan...," ucapan Arya membuat Sarini men-urungkan niatnya untuk bertanya lagi. "Hm...," laki-laki berpakaian mewah itu meng-gumam pelan sambil menoleh.
Jelas, Juragan Dursana ingin mengetahui hal yang ingin dikatakan Arya. Bahkan, bukan hanya Juragan Dursana, tapi juga semua orang yang berada di situ. Tak terkecuali Sarini. Sikap tenang Dewa Arak itulah yang membuat orang ingin tahu hal yang akan dikatakannya.
"Kurasa, ada ketidakberesan dalam masalah ini," lanjut Arya ketika semua pasang mata t elah tertuju ke arahnya.
"Maksudmu bagaimana, Arya?" tanya Juragan Dursana, masih belum mengerti.
Laki-laki berperut buncit ini memang tel ah mengenal nama empat orang t amunya, karena mereka telah saling memperkenalkan diri sebelumnya.
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Pandangannya beredar ke arah wajah-wajah di sekelilingnya. Tampak di wajah Ki Waringin dan Ki Sancaka sama sekali tidak tampak raut kebingungan. Jelas, kedua kakek itu sudah mengerti maksud pembicaraannya.
"Kami sudah yakin, Juragan tidak terlibat dalam masalah ini. Dan kami minta maaf, karena telah mengganggu isrirahat Juragan."
"Ah! Sama sekali tidak, Arya," sahut Juragan Dursana cepat. Kedua tangannya digoyang-goyangkan untuk
lebih menjelaskan kenyataan kalau dia sama sekali tidak merasa terganggu. "Aku justru merasa senang atas kehadiran kalian. Aku berkata sejujurnya. Tanpa kehadiran kalian, aku tidak bisa membayangkan hal yang t erjadi pada putriku. "
"Ah! Lupakanlah itu, Juragan. Bukankah orang hidup memang harus saling tolong-menolong. Lagi pula, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Juragan atau Sarini yang akan ganti menolongku," sambut Sangga Juwana cepat.
Arya, Ki Sancaka, dan Ki Waringin menoleh menatap Sangga Juwana. Arya dengan alis berkernyit, sementara Ki Waringin dan Ki Sancaka dengan bibir tersenyum. Dua tanggapan yang berbeda ini terjadi akibat mendengar j awaban Sangga Juwana atas ucapan terima kasih yang disampaikan Juragan Dursana. Arya bingung karena perasaan dia pernah mendengar perkataan seperti itu, tapi sayangnya lupa kapan dan di mana mendengarnya. Sedangkan Ki Waringin dan Ki Sancaka merasa geli, karena mendengar Sangga Juwana mengulang perkataan Arya. "Tapi merupakan perbuatan yang wajar pula kalau kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian.
Coba bagaimana tanggapanmu kalau..., misalkan..., aku kau tolong, tapi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bagaimana?" debat Sarini.
"Ini..., ini...," Sangga Juwana kebingungan. Dan untuk beberapa saat lamanya, dia hanya mengucapkan kata-kat a yang tidak jelas maksudnya.
"Nah! Percaya tidak? Biar bagaimanapun juga, basa-basi itu perlu, Sangga," ujar Sarini, bernada menang ketika melihat Sangga Juwana sama sekali tidak bisa berbuat apa pun. Bahkan hanya diam saja tanpa tahu harus berbuat apa.
Ki Sancaka, Dewa Arak, dan Ki Waringin hanya tersenyum lebar melihat Sangga Juwana sama sekali tidak mampu membalas bantahan gadis berpakaian hijau itu.
"Sudahlah, Sarini. Kau ini keterlaluan sekali sampai menggoda orang," t egur Juragan Dursana, merasa
tidak enak hati.
Sarini pun diam, dan tidak berkata-kata lagi. Tampak jelas kalau gadis berpakaian hijau ini adalah gadis yang patuh.
"O ya, Arya," kata Juragan Dursana sambil menatap pemuda berambut putih keperakan itu lekat -lekat
Rupanya, dia masih ingin melanjutkan pembicaraannya yang terputus tadi. "Ada apa, Juragan?" tanya Arya.
"Entah mengapa..., akhir-akhir ini para penjahat kembali berani melancarkan undak kejahatannya. Di desa ini saja, hampir setiap hari terjadi kekacauan yang disebabkan orang-orang aliran hitam itu Ah, aku ingat!"
Juragan Dursana t ersentak. Dia tercenung beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya kembali. Sementara, Arya dan rombongan yang sempat terkejut melihat sikap laki-laki berpakaian mewah itu hanya menunggu dengan sabar.
"Aku ingat sekarang. Semakin mengganasnya tindakan orang-orang aliran hitam itu semenjak adanya kabar di dunia persilatan. Kabar mengenai sebuah perkumpulan pengawalan barang yang membawa kepala tokoh sesat. Bahkan tokoh sesat yang sudah meninggal dunia seratus lima puluh tahun lalu. Ya! Sejak saat itulah di sana-sini terjadi kekacauan."
Juragan Dursana menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Untung saja, Desa Sintang banyak memiliki tokoh aliran putih. Dan merekalah yang meredam tindak kejahatan tokoh-tokoh aliran hitam itu."
Kembali Juragan Dursana menghentikan ceritanya. Kali ini, untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Sementara, Arya dan yang lain tetap diam mendengarkan.
"Dalam keadaan tidak aman seperti itu, Sarini sudah kularang untuk bermain jauh. Tapi, tetap saja aku kecolongan. Kumbang Emas telah menculiknya tanpa diketahui. Hhh...! Untung saja ada kalian. Kalau tidak. "
Sarini bergidik ngeri ketika teringat kembali akan Kumbang Emas. Sudah bisa dibayangkan, nasib apa yang akan menimpanya.
Sementara itu, Ki Waringin berdehem ketika suasana tel ah hening, karena tidak ada yang membuka suara
lagi
"Karena tidak ada lagi yang dapat kami lakukan di sini, kami ingin pamit saja, Dursa," kata Ketua
Perguruan Harimau Terbang itu seraya bangkit berdiri.
Juragan Dursana tahu, tidak akan ada gunanya lagi membujuk. Maka rombongan Ki Waringin diantarkannya sampai pintu pagar rumahnya.

***

"Auuunggg...!"
Lolong anjing hutan mengaung panjang mengusik kesunyian malam. Bulan sepotong yang ada di langit semakin menambah keseraman suasana malam ini.
Dalam siraman sinar rembulan, tampak dua sosok tubuh bergerak cepat menuju Gunung Bubat. Gerakan mereka gesit bukan main, sehingga yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan yang bergerak cepat mendaki lereng. Kalau saja ada penduduk yang melihat, tentu akan mengira sebagai hantu-hantu yang tengah bergentayangan.
Lincah laksana kera, dua sosok bayangan itu bergerak mendaki l ereng. Sesekali, kaki kedua bayangan itu menotol bebatuan yang menonjol, untuk kemudian melenting ke atas. Lalu, mereka menotol lagi ke bebatuan, dan melenting lagi. Gerakan dua sosok bayangan itu baru berhenti ketika telah berada di depan sebuah gua yang garis tengahnya sekitar satu tombak.
"Jadi di sini kau menyembunyikannya, Cendani?" tanya salah satu dari dua sosok bayangan itu.
Orang yang dipanggil Cendani menganggukkan kepala. Ternyata dia adalah seorang gadis cantik berkulit putih bersih. Rambutnya juga tampak keriting halus.
"Itu pun masih menggunakan cara kucing-kucingan. Kalau tidak. "
Cendani tidak melanjutkan ucapannya. Tapi, rupanya sosok bayangan hitam satu lagi, yang ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kurus dan bergigi tonggos, sudah mengerti. Buktinya dia tidak melanjutkan ucapannya lagi.
Kini mereka berdua melangkah menuju ke dalam gua itu. Tapi ketika telah berada di ambang gua, kakek bergigi tonggos itu menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Ki Ringkul?" tanya Cendani, heran.
Kakek tinggi kurus yang ternyata bernama Ki Ringkul tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Cendani tajam-tajam.
"Kalau aku berhasil melaksanakan tugasku ini, kau berjanji akan memenuhi permintaanku?" Ki Ringkul malah balas bertanya.
"Aku janji, Ki," jawab Cendani, mantap.
"Bagus! Sekarang hatiku tenang! Mari kita ke dalam!"
Cendani dan Ki Ringkul pun melangkah masuk ke dalam gua. Di dalam gua itu, ternyata tidak ada penerangan sama sekali. Sehingga, suasana tampak gelap. Tapi baik Cendani maupun Ki Ringkul sama sekali tidak mempedulikannya, dan terus saja melangkah masuk. Menembus kegelapan yang pekat.
Tapi setelah melangkah sebanyak lima tindak, Cendani mengambil dua batang kayu dari selipan pinggangnya. Kemudian kedua batang kayu itu digosok-gosokkannya. Luar biasa! Hanya beberapa kali gosok, api pun memercik, dan tak lama kemudian sebatang obor pun menyala.
Seketika itu pula, suasana di dalam gua itu terang-benderang. Sehingga, kini mereka berdua dapat melangkah leluasa.
Gua itu ternyata mempunyai lorong yang panjang dan berliku-liku. Cendani dan Ki Ringkul harus melalui belokan demi belokan. Entah berapa banyaknya belokan, kedua orang itu tidak menghitungnya. Yang jelas, mereka menghentikan langkah ketika tel ah berada di sebuah ruangan yang luas. Ukurannya tak kurang dari enam tombak kali lima tombak.
Ki Ringkul mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan itu. Tidak ada apa-apa di dalamnya, kecuali dua buah peti hitam berukir. Yang satu berukuran dua j engkal kali dua j engkal, sedangkan yang satunya l agi berukuran biasa. Ukurannya seperti layaknya peti mati manusia dewasa.
"Dari kedua peti itulah sesosok mayat harus kau bangkitkan, Ki," kata Cendani, setel ah beberapa saat lamanya membiarkan kakek bergigi tonggos itu memperhatikan seisi ruangan.
"Hm , ya," hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Ki Ringkul.
Kemudian, Ki Ringkul melangkah menghampiri kedua peti mati itu. Diperhatikannya sejenak, lalu tubuhnya berbalik kembali. Kemudian, ditatapnya wajah Cendani lekat-l ekat. Dalam siraman sinar obor, wajah gadis itu terlihat semakin cantik. Tubuhnya yang terbungkus pakaian berwarna biru tua tampak montok dan menggiurkan. Hal itu tidak aneh, karena Cendani baru berusia dua puluh tahun.
"Sebenarnya aku takut melakukannya, Cendani. Apalagi kalau kuingat cerita leluhur-leluhur kita dulu....
Aku jadi semakin takut saja. Kalau saja tubuhmu tidak dijadikan upah atas usahaku ini, tak akan nantinya aku mau melakukannya."
Cendani tersenyum mengejek.
"Dan. , upah yang akan kuberikan ini tergantung padamu, Ki Ringkul. Kalau kau ingin mencicipi tubuhku
lebih cepat, tentu saja harus sesegera mungkin memulai tugasmu."
Usai berkata demikian, Cendani segera meraih bajunya di bagian dada. Brettt!
Baju itu kontan robek lebar. Tak pelak lagi, dua buah bukit kembar yang berbentuk indah mencuat ke luar.
Kulit dada Cendani yang putih halus dan mulus tampak mengkilat-kilat terjilat sinar obor.
Ki Ringkul menelan ludahnya dengan susah-payah. Sementara, sepasang matanya terbelalak menatap dua bukit kembar yang mencuat ke luar, seperti menatang.
"Kalau kau ingin cepat menikmatinya, lakukan pekerjaanmu cepat!" tandas Cendani. "Baik..., baik.... Akan kulakukan segera ," sahut Ki Ringkul terbata-bat a.
Kemudian, kakek bergigi tonggos itu mengambil buntalan kain hitam yang tergantung di punggungnya, lalu diletakkannya di lantai. Dan kini perlahan-lahan dibukanya ikatan buntalan itu. Dari dalam buntalan itu, Ki Ringkul mengeluarkan bermacam-macam benda. Kain lebar berwarna merah menyala, beberapa obor kecil, bunga tujuh macam, dan air dari tujuh tempat di dalam guci.
"Padamkan obor itu, Cendani," perintah Ki Ringkul dengan suara bergetar.
Tanpa banyak membantah, Cendani segera memadamkan obor itu. Kontan suasana di dalam gua menjadi gelap. Tidak terlihat apa pun lagi, kecuali kegelapan.
Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Dan kini Ki Ringkul telah menyalakan obor-obor kecilnya. Tapi,
terlebih dulu digelarnya kain berwarna merah menyala itu, yang ternyata lebar juga. Panjangnya tak kurang dari satu tombak. Sedangkan lebarnya sekitar setengah tombak.
Kemudian, Ki Ringkul meletakkan obor-obor kecilnya yang berjumlah tujuh buah di sekeliling kain. Bau- bauan yang aneh menusuk hidung segera t ercium, dan berasal dari obor-obor kecil itu. Jelas, obor itu bukan obor sembarangan!
Ki Ringkul memperhatikan sejenak, kemudian dijumputnya sebagian kembang tujuh macam. Kemudian, ditaburkannya bunga itu di dalam keliling kain berwarna merah. Sementara, sebagian lagi direndam ke dalam air.
Cendani memperhatikan semua perbuatan Ki Ringkul tanpa berkedip. Tampak kakek bergigi tonggos itu
menghampiri kedua peti.
Kriiiet!
Suara berderit tajam terdengar ketika tutup peti mati terbuka. Ki Ringkul langsung menatap isi peti mati sekilas. Dan seperti yang sudah diduga, di dalamnya terbujur sesosok mayat tanpa kepala. Agak meremang bulu kuduk Ki Ringkul ketika menyadari kalau mayat itu tel ah meninggal dunia seratus lima puluh tahun lalu. Tapi anehnya, mayat itu sama sekali tidak membusuk. Menilik dari keadaan pakaian yang dikenakan, jelas pakaian itu telah berkali-kali diganti dengan yang baru.
Dengan tangan agak menggigil, Ki Ringkul mengeluarkan tubuh mayat tanpa kepala itu. Kemudian dengan hati-hati, diletakkannya di atas hamparan kain merah.
Untuk pertama kalinya, Ki Ringkul merasa takut terhadap mayat. Padahal biasanya, tidak ada sepercik pun
rasa takut. Mungkin karena mayat kali ini lain dari biasanya, kakek bergigi tonggos ini jadi takut.
Kemudian, Ki Ringkul membuka peti yang kecil. Dari situ, dikeluarkannya sebuah kepala manusia. Dan kini, kepala itu dibawanya ke tempat mayat tadi diletakkan. Sesaat kemudian, tubuh mayat itu telah disatukan dengan kepalanya. Walaupun belum menempel, tapi sudah menciptakan ketegangan.
Ki Ringkul lalu duduk bersila. Perlahan-lahan, sepasang matanya dipejamkan. Mulutnya tampak komat- kamit, mengucapkan kata-kata yang tidak j elas. Terkadang, suaranya seperti orang menggumam. Tapi di lain saat, seperti ada sekumpulan tawon yang sarangnya diganggu.
Semakin lama, ucapan yang keluar dari mulut Ki Ringkul terdengar semakin keras. Gerakan pada bibirnya pun semakin cepat Tubuhnya juga mulai menggigil. Semakin lama semakin keras, lalu kemudian diam. Hal itu terjadi ketika tubuhnya telah menggigil beberapa saat lamanya.
Tanpa mempedulikan keringat yang membasahi wajah dan dahinya, Ki Ringkul mengambil guci yang berisi air dan kembang. Dihirupnya air itu, lalu disemburkannya ke sekujur tubuh mayat yang terbujur sebanyak tiga kali.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Ki Ringkul. Mulutnya kembali berkomat-kamit mengucapkan kalimat-kalimat tak jelas pada guci yang telah didekatkan ke bibirnya.
Beberapa saat lamanya Ki Ringkul berbuat demikian, kemudian air di dalam kendi dituangkannya ke
sekujur tubuh mayat di atas kain, mulai dari kaki sampai kepala.
Cesss...!
Ajaib! Seperti besi panas disiram air dingin, tiba-tiba asap putih tebal mengepul ketika ai r kendi itu menyiram tubuh mayat yang terbaring!

***

5

Mula-mula hanya sedikit saja asap yang timbul. Tapi semakin lama, semakin banyak. Bahkan sampai menyelubungi seluruh tubuh mayat itu.
Ki Ringkul segera bangkit dan bersilanya, dan melangkah ke belakang. Tapi, dia berdiri di sebelah Cendani. Wajah kakek bergigi tonggos ini tampak tegang, seperti orang ketakutan.
Perlahan-lahan asap itu kembali menipis. Semakin lama, semakin sedikit. Sampai akhirnya, tidak tersisa asap sama sekali. Sekarang, mayat itu kembali terlihat. Tapi, tidak nampak adanya perubahan sedikit pun pada mayat itu.
Namun sesaat kemudian, pemandangan yang mencekam hati dan membuat bulu kuduk berdiri pun terjadi. Betapa tidak? Jari-jari mayat itu tampak mulai bergerak-gerak. Mula-mula pelan dan kelihatan sulit, tapi kian lama kian cepat dan lancar.
Tanpa sadar, Cendani melangkah mundur. Sedangkan Ki Ringkul yang lebih tabah, hanya bisa memandang dengan wajah pucat pasi. Meskipun demikian, pandangan matanya tetap tidak beralih.
Cukup lama juga hal itu berlangsung. Sampai akhirnya, tiba-tiba tubuh itu bangkit berdiri. Dan ketika telah tegak, kepalanya yang kelihatan belum menyambung benar, juga tidak terlepas. Seperti sudah melekat begitu saja!
Wajah Ki Ringkul semakin memucat. Tanpa bisa dicegah l agi, kedua kakinya menggigil keras. Hal yang sama juga terjadi pada Cendani. Bahkan gadis itu mengalaminya sejak tadi.
Kedua orang yang berbeda usia dan jenis itu sama-sama dilanda ketakutan hebat. Apalagi, ketika mendadak....
Tappp!
Kedua tangan mayat itu bergerak mengusap lehernya yang masih belum tersambung benar. Setelah diusap, tidak nampak ada t anda-tanda kalau l eher itu bekas buntung. Kulit leher itu kembali seperti semula, tidak nampak tanda ada sayatan sama sekali.
"Ha ha ha !"
Mayat hidup itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya keras sekali, sampai-sampai membuat dinding-dinding gua bergetar hebat, seakan-akan akan runtuh! Jelas, tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.

***

Memang menggiriskan sekali keadaan mayat itu. Tubuhnya tinggi kurus, laksana tulang t erbungkus kulit. Tapi, bukan itu yang membuat orang ngeri. Wajahnya yang pucat karena lama t ak kena sinar matahari itulah yang membuat orang bergidik memandangnya. Demikian pula sinar matanya. Rasanya, tak pantas dimiliki manusia, melainkan iblis! Begitu mengerikan!
Setelah puas tertawa, mayat hidup yang kalau menilik keadaannya berusia tiga puluh lima tahun itu, menatap Ki Ringkul dan C endani berganti-ganti. Karuan saja hal itu membuat kedua orang yang sudah sej ak tadi merasa gentar, melangkah mundur tanpa sadar.
"Ha ha ha...! Jangan takut !" cegah mayat hidup itu. Suaranya terdengar kering dan parau. "Aku tidak akan
menyakiti kalian. Bahkan aku merasa bert erima kasih karena kalian tel ah membangkitkan j asadku dari tidur panjang. Ha ha ha !"
Cendani dan Ki Ringkul dengan susah payah menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang mendadak kering.
Sementara, mayat yang telah bangkit itu seperti berpura-pura tidak tahu tentang perasaan yang berkecamuk di hati Cendani dan Ki Ringkul. Masih dengan tawa tidak putus-putus, kakinya melangkah menghampiri.
"Namaku Burangrang," kata mayat hidup itu memperkenalkan namanya. "Siapa kalian?"
"Aku. , Ki Ringkul," jawab kakek bergigi tonggos. Pelan sekali suaranya, hampir tidak terdengar.
"Hm.... Ki Ringkul," ulang mayat hidup yang ternyata bernama Burangrang. "Dan kau. Siapa namamu, Anak Manis?"
"Cendani," jawab gadis berambut keriting itu, tak kalah lirih dengan Ki Ringkul.
Memang, dalam cekaman rasa takut yang melanda, lidah Cendani dan Ki Ringkul terasa kelu. Sehingga, sulit mengeluarkan suara.
Burangrang mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa maksudnya. Hanya laki-laki berwajah pucat itu
sendiri yang tahu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Ki Ringkul," ucap Burangrang parau. "Jangan berterima kasih padaku. Tapi, berterima kasihlah pada Cendani," jawab Ki Ringkul tanpa sadar.
Perasaan takut yang melanda, membuat akal sehat Ki Ringkul menguap entah ke mana. Sehingga, ucapan yang keluar tercetus tanpa sempat terpikir lebih dulu.
"Heh...?! Mengapa demikian?" tanya Burangrang heran.
Sambil berkata demikian, Burangrang menatap wajah Cendani dan Ki Ringkul berganti-ganti.
"Karena..., karena akulah yang menginginkan kau bangkit kembali," jawab Cendani, masih tetap lirih suaranya.
Jelas, gadis berambut keriting ini belum mampu menghilangkan rasa takut yang melanda hatinya.
Sepasang alis Burangrang berkerut dalam, sehingga hampir saja bertautan satu sama lain.
"Mengapa kau menginginkan aku bangkit dari kematian, Cendani?" desak Burangrang, penuh tekanan. Cendani membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya.
"Karena kau adalah buyutku," kali ini Cendani mampu berkata lantang. Bahkan gadis itu mampu membalas
tatapan Burangrang, meskipun dengan hati kebat-kebit. "Heh...?!"
Burangrang terjingkat ke belakang. Jelas, ucapan yang dikeluarkan Cendani amat mengejutkan hatinya. "Aku buyutmu?!" ulang Burangrang sambil menudingkan jari telunjuk ke dadanya sendiri. "Tidak
kelirukah kau, Cendani?! Usiaku belum tiga puluh tahun. Dan tidurku tidak lama. Mana mungkin aku buyutmu?!" "Kau memang buyutku. Kau telah tertidur selama seratus lima puluh tahun lebih," jelas Cendani. "Ahhh...!" desah Burangrang, kaget "Benarkah aku telah tertidur selama seratus lima puluh tahun?!"
Cendani mengangguk-anggukkan kepala pertanda membenarkan. Sementara, Ki Ringkul diam saja. Tidak nampak adanya tanda-tanda kalau kakek bergigi tonggos itu ingin ikut ambil bagian dalam pembicaraan.
Burangrang tercenung melihat anggukan kepala Cendani.
"Mungkin kau benar, kalau aku tertidur lebih dari seratus lima puluh tahun. Tapi, tetap saja aku bukan buyutmu. Perlu kau ketahui, Cendani. Aku tidak pernah beristri! Jadi, mana mungkin mempunyai keturunan."
Pelan dan halus Burangrang mengeluarkan kata-katanya. Padahal, ini bukan tabiat Burangrang. Tapi entah mengapa, terhadap Cendani dia tidak sampai hati bersikap kasar.
"Kau memang tidak beristri. Tapi, berapa banyak wanita yang menjadi korbanmu! Dan kakekku, lahir dari salah seorang wanita yang menjadi korbanmu! Wanita itulah yang menceritakan kepada kakek, ketika ditanyakan tentang siapa ayahnya," jelas Cendani.
Kali ini Burangrang tidak bisa berkata-kata lagi. "Jadi, aku mempunyai keturunan?!" desah Burangrang, setengah tak percaya.
Ada nada kegembiraan dalam ucapan Burangrang. Dan memang, sebenarnya Burangrang merasa gembira
bukan kepalang. Bahkan bercampur bangga karena keturunannya yang berhasil membebaskannya dari tidur panjang. "Lalu..., mana kakekmu, ayahmu, ibumu, dan seluruh keluargamu, Cendani?" tanya Burangrang, penuh
gairah.
Wajah Cendani kontan muram. Karuan saja hal ini membuat Burangrang heran bukan kepalang. Perasaan
tidak enak pun bersemayam di hatinya. Dia yakin, ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi terhadap keluarga Cendani.
"Itulah sebabnya, aku bersusah-payah menempuh bahaya dan penderitaan hanya untuk membangunkanmu dari tidur panjang," kata Cendani, serak.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Cendani," sahut Burangrang, heran.
"Semua keluargaku tel ah tiada, tewas dibunuh orang. Kakekku, ayahku, dan saudaraku, dan juga pamanku.
Dan orang satu-satunya yang dapat membalaskan semua sakit hati ini adalah kau!" jelas Cendani.
Terdengar geraman keras laksana binatang terluka dari mulut Burangrang. Jelas, laki-laki berwajah pucat ini dilanda kemarahan hebat.
"Kakek t ewas di tangan R aja Ular Beracun. Demikian pula halnya ayah," sambung Cendani lagi. "Paman
tahu kalau tidak gunanya membalas dendam bila mempergunakan kemampuan sendiri. Kemudian, diusahakannya untuk mencari tempat disembunyikannya tubuh dan kepalamu. Paman tahu, kau telah mati. Tapi, dia tahu pula kalau kau bisa bangkit kembali dari kematian. Maka, dia pun mulai berkelana untuk mencari tempat beradanya tubuh dan kepalamu. Hampir sepuluh tahun paman berkelana, baru tempat itu ditemukannya."
Cendani menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Tapi sayang, usaha penyelidikan paman diketahui tokoh-tokoh aliran putih yang memang mendapat tugas dari leluhurnya untuk menjaga tubuh dan kepalamu baik-baik."
"Tapi, bukankah tubuh dan kepalaku ditempatkan di tempat yang t erpisah j auh?!" kejar Burangrang ingin
tahu. "Paman dipergoki sewaktu menyelidiki kepalamu. Tapi sebelum ajal menjemput nyawanya, beliau sempat memberitahukannya padaku. Dan akulah yang meneruskan usahanya. Waktu mengambil tubuhmu, sama sekali tidak menemui kesulitan. Tapi sewaktu mengambil kepalamu, sempat terjadi kegemparan. Perbuatanku diketahui mereka. Untung saja, itu terjadi setelah aku berada jauh dari tempat itu."
"Lalu...?" tanya Burangrang tidak sabar ketika melihat Cendani menghentikan ceritanya.
"Aku dikejar," sahut Cendani cepat. "Dan karena khawatir usahaku gagal, segera kucari jalan untuk membebaskan diri dari kejaran. Maka kudatangilah Perguruan Harimau Terbang yang menyediakan j asa pengawalan barang. Lalu, kumasukkan kepala seekor orang hutan dalam peti kecil, dan kuminta agar dikirimkan ke Desa Sintang. Dan seperti yang sudah kuduga, hal itu tersebar luas di dunia persilat an. Perguruan Harimau Terbang yang diburu-buru, baik oleh tokoh aliran hitam, aliran putih, maupun tokoh-tokoh aliran putih yang bertugas menjaga kepalamu." Cendani menghentikan ceritanya sebentar.
"Kau cerdik, Cendani," puji Burangrang. "Tidak memalukan menjadi keturunanku."
"Akhirnya, kudengar kalau para pengejarku tewas di tangan Garuda Laut Timur. Syukurlah! Dengan demikian, aku aman. Dan dengan leluasa, kusembunyikan kepala dan tubuhmu di gua ini. Di sini beberapa kali kucoba untuk membangkitkanmu dari kematian, tapi gagal. Karena putus asa, maka kuhubungi Ki Ringkul, sahabat paman," sambung Cendani, yang kini tidak lagi menggunakan istilah tidur panjang.
"Lalu, kau meminta pertolongan padanya kan, Cendani?" duga Burangrang tidak sabar.
"Benar," jawab Cendani. "Tapi sayang, Ki Ringkul tidak bersedia. Namun setelah kudesak-desak, dia bersedia juga, walau dengan satu syarat."
"Apa syaratnya, Cendani?" tanya Burangrang sambil melemparkan kening penuh ancaman pada Ki
Ringkul.
Tentu saja Ki Ringkul jadi takut bukan kepalang. Tapi apa daya? Tempat Burangrang berdiri membuat
jalan keluar jadi terhalang. Maka, dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu perkembangan yang akan terjadi.
"Dia memintaku agar menjadi istrinya." "Jahanam!" seru Burangrang keras.
Terdengar suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang patah. Padahal, tokoh yang menggiriskan itu sama sekali tidak berbuat apa-apa. Suara itu timbul karena t enaga dalamnya mengalir sendiri, akibat kemarahan yang melanda.
Burangrang menatap Ki Ringkul. Ada hawa maut yang memancar dari sepasang mata yang memiliki sorot menakutkan itu.
"Lalu..., kau menyetujuinya?" desak Burangrang, semakin tinggi nada suaranya.
Cendani menggelengkan kepala.
"Kukatakan terus terang, kalau aku tidak mau! Tapi Ki Ringkul pun berkeras pula dengan keinginannya. Kami saling silang pendapat. Cukup lama juga, sampai akhirnya aku mengalah. Aku bersedia memenuhi permintaannya, tapi hanya sehari!"
"Kau..., kau memenuhi permintaan gila itu, Cendani?!" tanya Burangrang setengah tidak percaya.
"Apa boleh buat!" desah Cendani "Tidak ada jal an lain lagi untuk membangkitkanmu dari kematian. Jadi, permintaannya terpaksa kupenuhi"
"Jadi kau..., sudah "
Burangrang menghentikan ucapannya di tengah jalan, tidak sanggup untuk menyambung ucapannya lagi. Cendani menggelengkan kepala.
"Belum," jawab Cendani. "Menurut perjanjian yang disepakati, apabila kau berhasil bangkit dari kematian, baru aku akan memenuhi permintaannya."
"Jangan kau penuhi permintaan gila itu, Cendani!" tandas Burangrang cepat dan keras. "Aku tidak ingin keturunanku berjodoh dengan orang sembarangan! Hanya orang yang bisa mengalahkanku yang akan menjadi jodohmu, Cendani!"
"Tapi..., aku sudah berjanji pada Ki Ringkul. Dan. "
"Perjanjian tidak berlaku bila salah satu pihak terpaksa melakukannya! Itu pandanganku! Dan kau keturunanku, Cendani! Dengan demikian, kau harus ikut pula memegang pandanganku itu! Saat ini juga, perjanjian dengan Ki Ringkul batal!" potong Burangrang, cepat.
Wajah Cendani dan Ki Ringkul berubah. Tapi, gadis berambut keriting itu hanya terkejut saja. Tidak demikian halnya dengan Ki Ringkul. Kakek bergigi tonggos itu kaget bercampur gentar, karena tahu ada bahaya besar yang tengah mengancam.

***

Dengan langkah satu-satu, Burangrang melangkah menghampiri Ki Ringkul. Kakek bergigi tonggos ini memang sudah sejak tadi ketakutan, karena t ahu ada bahaya besar yang tengah mengancamnya. Maka ketika Burangrang menghampiri, dia menjadi kalangkabut.
"Ampun..., ampunkan aku. Kutarik kembali perjanjianku dengan Cendani..., tapi jangan bunuh aku," ratap Ki Ringkul terputus-putus, seraya melangkah mundur.
"Tidak semudah itu, Ringkul!" desis Burangrang. "Tindakanmu sudah keterlaluan! Dan aku tidak bisa
mengampuninya lagi! Asal kau tahu saja, Ringkul! Aku tidak pernah mengampuni orang yang berani menghinaku! Dan perjanjianmu dengan Cendani sama saja penghinaan untukku! Dan balasannya, mati!"
Sambil berkata demikian, Burangrang terus melangkah maju. Lambat-lambat saj a kakinya melangkah. Dia terus mendekati Ki Ringkul yang melangkah mundur.
Tapi baru beberapa tindak, Ki Ringkul sudah tidak bisa mundur lagi. Bagian belakangnya adalah dinding gua. Dan kini, punggungnya telah menyentuh dinding itu.
Wajah Ki Ringkul semakin memucat ketika menyadari keadaan kalau dirinya tidak bisa mundur lagi.
Dengan raut wajah membayangkan ketakutan amat sangat, ditatapnya Burangrang yang tengah menghampiri.
Bagi Ki Ringkul, satu tindak Burangrang melangkah mendekati, berarti satu pukulan keras menghantam dadanya. Jantungnya yang memang sejak tadi sudah berdegup kencang, semakin keras berdetak. Maka dalam cengkeraman rasa takut yang memuncak, Ki Ringkul jadi nekat. Dicabutnya golok yang terselip di pinggang.
Srattt!
Sinar terang menyilaukan berkelebat ketika golok itu keluar dari sarungnya. Lalu....
"Haaat !"
Diiringi pekik melengking nyaring, Ki Ringkul melompat menerjang. Goloknya dibabatkan ke arah leher secara mendatar.
Singgg!
Suara mendesing nyaring, mengawali tibanya babatan golok itu. "Hmh. !"
Burangrang hanya mendengus melihat serangan itu. Tanpa berusaha mengelak at au menangkis, dibiarkan
saja golok itu meluncur ke arahnya. Memang, dia bermaksud menerima serangan itu dengan pengerahan tenaga dalamnya.
Takkk!
Telak dan keras sekali mata golok itu menghantam sasaran. Tapi akibatnya, senjata itu yang justru terpental balik seperti membentur sebuah karet kenyal.
"Ukh. !"
Sebuah keluhan tak terasa keluar dari mulut Ki Ringkul. Tangan yang menggenggam pedang kontan terasa sakit-sakit. Sementara, leher Burangrang sama sekali tidak terpengaruh. Jangankan luka, tergores pun tidak.
"Ha ha ha !"
Tawa bergelak Burangrang menyambuti perasaan terkejut yang melanda hati Ki Ringkul. "Kau boleh pilih bagian yang paling lunak di tubuhku, Ringkul!" seru Burangrang.
Ada nada kesombongan dalam ucapan tokoh sesat yang berasal dari masa silam itu. Perasaan yang timbul
karena dirinya merasa jauh lebih unggul daripada lawannya.

***

6

Cendani menatap ngeri semua kejadian di depan matanya. Meskipun bisa dirasakan kalau Burangrang menyayanginya, namun tetap saja tidak mampu menghilangkan perasaan takut yang melanda. Sikap maupun tindak- tanduk Burangrang memang membuat orang merasa ngeri.
Walaupun demikian, gadis berambut keriting itu tetap saja memaksakan matanya untuk memperhatikan kejadian yang terpampang di hadapannya.
Tampak Ki Ringkul tengah kelabakan. Kakek bergigi tonggos itu nampak terpaku di tempat. Namun hal itu
hanya berlangsung sebentar saj a, karena sesaat kemudian sudah kembali melancarkan serangan. Goloknya dikelebatkan ke berbagai bagian tubuh Burangrang.
Tak, tak, tak...!
Berkali-kali golok Ki Ringkul menghantam sasaran. Menusuk, menetak, membacok, dan membabat. Dan itu dilakukan pada seluruh bagian tubuh Burangrang. Hasil yang didapatkan kakek bergigi tonggos tidak berbeda dengan sebelumnya. Sia-sia!
"Ha ha ha...!"
Sambil berkacak pinggang, Burangrang tertawa terbahak-bahak. Hujan serangan golok Ki Ringkul sama sekali tidak dirasakannya. Padahal, senjata itu bertubi-tubi menghantam berbagai bagian tubuhnya.
Akhirnya, Ki Ringkul sendiri yang kelelahan. Napasnya memburu hebat. Memang, dia telah mengerahkan
seluruh kemampuan dalam serangan itu.
"Sudah selesai, Ringkul? Sudah puaskah kau melancarkan serangan-seranganmu?" ejek Burangrang.
Memang, Ki Ringkul sudah menghentikan serangan-serangannya. Napasnya memburu hebat. Bahkan tubuhnya pun sampai terbungkuk-bungkuk.
"Sekarang giliranku," ucap Burangrang lagi, sambil melangkah maju bersikap mengancam.
Ki Ringkul tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Disadari, tidak ada gunanya melakukan perlawanan yang akan membuatnya lelah sendiri. Oleh karena itu, Ki Ringkul hanya pasrah saja ketika melihat Burangrang menghampirinya.
Karena perasaan ngeri, Ki Ringkul tidak berani menentang pandangan mata Burangrang. Malah kepalanya ditundukkan, untuk menghindari adu pandang dengan Burangrang. Sepasang mata laki -laki berwajah pucat yang memiliki sorot mata menakutkan itu, membuat nyalinya ciut!
"He he he...!"
Burangrang tert awa bernada menyeramkan. Kemudian, tangan kanannya diulurkan ke arah dada Ki Ringkul. Susunan jari-jari tangannya seperti membentuk totokan jurus 'Bangau'.
Tukkk.
Tubuh Ki Ringkul langsung terkulai ketika totokan tangan Burangrang menghantam sasarannya. Bagaikan sehelai karung basah, tubuh kakek bergigi tonggos itu ambruk ke tanah.
Masih dengan tawa yang belum putus, Burangrang membungkukkan tubuh. Dilihatnya sejenak tubuh Ki
Ringkul yang tergolek tidak berdaya, dan hanya bisa memperhatikan semua tindakan Burangrang dengan perasaan ngeri yang mencekam hati.
"Aku membutuhkan makanan-makanan berkhasiat untuk mengisi perutku yang sudah l ama tidak terisi, Ringkul! Untung saja, ada kau di sini sehingga aku tidak repot-repot lagi mencarinya," kata Burangrang, bernada menyeramkan.
Kontan bulu tengkuk Ki Ringkul berdiri. Terasa ada ancaman yang mengerikan dalam ucapan Burangrang.
Dan perasaan itu bukan hanya dialami Ki Ringkul saja, tapi juga oleh Cendani.
Usai berkata demikian, Burangrang mengulurkan tangan kanannya, dengan jari telunjuk dijulurkan.
Sementara, jari-jari tangannya dilipat ke dalam.
Cendani dan Ki Ringkul bergidik ngeri ketika melihat kuku panjang dan hitam yang menyembul dari ujung jari telunjuk Burangrang. Dan kini, kuku yang menyeramkan itu meluncur ke arah dahi Ki Ringkul.
Tappp!
Kuku jari yang panjang dan runcing itu telah menempel di dahi Ki Ringkul. Dan ketika Burangrang mengerahkan sedikit tenaga dalamnya, maka....
Krrrsss!
Dahi Ki Ringkul kontan amblas, diiringi darah segar yang merembes keluar. Tapi karena Burangrang memang tidak bermaksud membenamkan kuku jari tangannya dalam-dalam, darah yang mengalir keluar pun hanya sedikit saja. Ki Ringkul meringis karena menahan perih pada kulit dahinya. Rasa heran seketika melanda hatinya. "Apa yang hendak dilakukan Burangrang?" tanya kakek bergigi tonggos dalam hati.
Tapi, Ki Ringkul tidak terlalu lama dilanda perasaan heran, karena sesaat kemudian j awabannya telah ditemukan. Rupanya tangan Burangrang seperti hendak membuat guratan yang digoreskan ke sekeliling kepala Ki Ringkul, secara mendatar. Mulai dari dahi melewati belakang kepala, dan kembali lagi ke dahi. Sepertinya, Burangrang ingin membelah kepala Ki Ringkul menjadi dua bagian!
Rasa sakit yang mendera Ki Ringkul makin luar biasa! Lolong kesakitan yang keluar dari mulutnya telah menjadi bukti nyata. Keringat sebesar biji jagung pun bermunculan di selebar wajahnya yang pucat pasi.
Tapi, Ki Ringkul tidak terlalu lama mengalami penderitaan itu. Karena sebelum Burangrang menyelesaikan kekejiannya dengan membelah kepala korbanya menjadi dua bagian, kakek bergigi tonggos itu sudah tidak mampu lagi bertahan. Ki Ringkul tewas sebelum kepalanya terbelah menjadi dua bagian!

***

Rasa mual yang amat sangat mendera Cendani ketika t empurung kepala Ki Ringkul bagian at as terpisah.
Hampir saja isi perut gadis itu keluar.
Kini, di depan mata Cendani tampak gumpalan benda putih yang menempel di dalam tempurung kepala bagian bawah Ki Ringkul. Tempurung kepala bagian bawah itu masih bersatu dengan utuh. Cendani tahu, gumpalan benda putih itu adalah otak Ki Ringkul!
Meskipun perasaan ngeri yang amat sangat melanda hati, Cendani memaksakan diri untuk terus melihatnya. Dia ingin tahu kelanjutan tindakan tokoh yang menjadi buyutnya itu.
Cendani melihat Burangrang tertawa terkekeh-kekeh dengan sepasang mata berbinar-binar. Raut
kegembiraan yang amat sangat tampak jelas terlihat, karena Burangrang memang tidak menyembunyikannya. Atau, sengaja tidak menyembunyikannya.
Kemudian sambil mengeluarkan geraman laksana seekor beruang lapar, tangannya diulurkan ke arah gumpalan otak Ki Ringkul. Tampak hati-hati sekali laki-laki berwajah pucat itu melakukannya.
Sesaat kemudian, gumpalan otak itu telah berada di tangan Burangrang. Laki-laki berwajah pucat itu memandanginya sesaat, lalu..., memakannya dengan lahap! Burangrang memakan otak Ki Ringkul mentah-mentah, dengan penuh nafsu! Seakan-akan, benda putih lunak itu adalah makanan lezat!
Cendani yang menyaksikan kejadiannya itu hampir tidak mampu lagi menahan isi perutnya keluar. Rasa mual yang amat sangat, timbul ketika menyaksikan adegan itu.
Tak lama kemudian, otak Ki Ringkul telah habis disantap Burangrang, tanpa bersisa sedikit pun! B ahkan
Burangrang sampai menjilat jilati seluruh jari tangannya hingga licin tandas.
Tapi, tindakan Burangrang tidak hanya sampai di situ saja. Begitu otak Ki Ringkul telah habis dilahap, tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini, ke arah perut Ki Ringkul.
Blosss!
Perut Ki Ringkul kontan jebol ketika tangan kanan Burangrang menghunjam perutnya. Memang, tokoh dari masa silam itu mengerahkan tenaga dalamnya sewaktu menjulurkan tangannya.
Untuk yang kesekian kalinya, darah kembali mengalir keluar dari perut Ki Ringkul yang ambrol. Sedangkan tangan Burangrang terus saja menerobos masuk ke dalam perut. Dan ketika keluar kembali, di tangan yang berlumuran darah itu telah tergenggam hati Ki Ringkul.
Tanpa merasa jijik sama sekali, Burangrang memakan lahap hati yang masih berlumuran darah itu. Tak dipedulikannya sama sekali darah yang mengotori wajah dan pakaiannya.
Sementara itu, Cendani yang masih nekat memperhatikan, kali ini tidak sanggup lagi bert ahan. Tanpa
mampu dicegah lagi, isi perutnya keluar. "Huakhhh...!"
Tubuh Cendani terbungkuk-bungkuk ketika isi perutnya keluar. Karuan saja suara muntah-muntah gadis itu terdengar Burangrang. Tanpa menghentikan kesibukannya, kepala laki-laki berwajah pucat ini pun menoleh ke belakang. Memang, saat itu Cendani berada di belakang Burangrang.
"Mengapa, Cendani?" tanya Burangrang, pelan tapi bernada teguran.
"Aku tidak tahan melihat kelakuanmu," kata Cendani sambil mengangkat wajah. Suara itu terdengar cukup lantang, meskipun wajah Cendani masih pucat pasi. "He he he...!"
Sambil masih tetap menggeragoti hati Ki Ringkul, Burangrang tertawa terkekeh. "Masih bisa kumaklumi ucapanmu, Cendani. Tapi apabila tel ah mencoba mencicipi makanan-makanan berkhasiat ini, aku yakin kau akan ketagihan. Dan yang pasti, kau akan meninggalkan makanan-makanan yang biasa kau makan," ujar Burangrang bernada yakin.
"Hal itu tidak akan mungkin terjadi!" tandas Cendani mantap.
"Kita lihat saja buktinya, Cendani," sambut Burangrang sambil memasukkan potongan hati Ki Ringkul yang terakhir ke dalam mulutnya.
Cendani sama sekali tidak menyambuti ucapan Burangrang. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat untuk menghilangkan sisa rasa mual yang masih bersarang.
"Apakah kau bersedia membantuku, Buyut?" tanya Cendani setelah perasaan mualnya lenyap. "Maksudmu..., membalas dendam, Cendani?"
Cendani menganggukkan kepala pertanda membenarkan dugaan buyutnya.
"Tentu saja, Cendani!" tegas Burangrang. "Akan kubalaskan sakit hati keturunanku! Katakan, siapa saja orang yang harus kubunuh!"
"Seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, orang pertama adalah Raja Ular Beracun!" tandas Cendani.
Sepasang mata gadis berambut keriting itu tampak memancarkan sorot kebencian ketika mengucapkan kata-kat a terakhir. Jelas, perasaan dendam yang melanda hatinya sangat besar.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita satroni tempatnya!" sambung Burangrang, cepat.
Kontan wajah Cendani berseri-seri. Dia yakin, dengan perantaraan buyutnya, dendam yang membara di hatinya dapat terlampiaskan. Memang, kesaktian leluhurnya ini sudah lama terdengar telinganya.
Sesaat kemudian, dua tokoh yang berasal dari zaman yang berbeda jauh itu segera melesat meninggalkan
tempat itu. Tak mereka pedulikan mayat Ki Ringkul yang tergolek diam di tanah, tanpa bentuk lagi.

***

Matahari sudah berada di ufuk Barat. Bias-bias kemerahan telah tampak di kaki langit, tempat bola raksasa itu terbenam. Hari telah petang. Tak lama lagi persada akan diliputi kegelapan. Dan sang Dewi Malam pun akan memulai tugasnya, menyorotkan sinarnya untuk menguak kepekatan malam.
Dalam suasana yang sebentar lagi akan diselimuti kegelapan, tampak berkelebatan empat sosok bayangan. Mereka semuanya menuju ke arah sebuah bangunan cukup besar yang terkurung pagar kayu bulat tinggi. Di bagian atas pintu gerbang itu tergantung sebuah papan tebal berukir yang bertuliskan, Perguruan Harimau Terbang.
Karena gerakan empat sosok tubuh itu rat a-rata cepat, sehingga sukar mengenali mereka. Yang terlihat hanyalah warna pakaian yang dikenakan. Itu pun tidak terlalu j elas. Satu sosok mengenakan pakaian ungu, dua sosok mengenakan pakaian putih, dan satu sosok lagi mengenakan pakaian coklat. Sudah bisa diduga, siapa empat sosok bayangan itu. Ya! Mereka tak lain adalah Arya, Ki Sancaka, Sangga Juwana, dan Ki Waringin!
"Aneh...," kata Ki Waringin tanpa menghentikan larinya. "Mengapa di dalam perguruan tampak terang?"
Ki Sancaka, Arya, dan Sangga Juwana saling pandang, tanpa menghentikan larinya. Sorot keheranan memancar pada pandangan mata mereka semua. Memang, sejak kedatangan Garuda Laut Timur, Ki Waringin telah menyuruh semua pelayan di Perguruan Harimau Terbang untuk segera meninggalkan tempat itu. Dia tidak ingin mereka menjadi korban. Dan memang, sebelum keberangkatan Ki Waringin dan rombongan ke Desa Sintang, para pelayan itu sudah meninggalkan tempat ini. Tapi, mengapa bagian dalam perguruan tampak terang?
"Mungkin ada pelayan yang kembali lagi, kemudian menyalakan obor ketika bagian dalam perguruan dilihatnya gelap, Guru?" sambut Sangga Juwana, terengah-engah.
"Mudah-mudahan dugaanmu benar, Sangga," hanya itu jawaban yang diberikan Ki Waringin.
Ki Sancaka, Arya, dan Sangga Juwana tahu kalau Ki Waringin merasa tidak yakin akan dugaan tadi. Kata- kata, maupun nada suaranya tel ah menjelaskan kenyataan yang telah terjadi. Namun meskipun demikian, tidak ada lagi yang mengajukan dugaan. Karena memang mereka sama sekali tidak tahu hal yang tengah terjadi.
Yang dilakukan keempat orang itu adalah terus melanjutkan langkah, agar bisa secepatnya mengetahui hal yang tengah terjadi. Maka, sesaat kemudian mereka telah berjarak tiga tombak dari pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang.
"Hati-hati, Ki," seru Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa berkata demikian ketika melihat Ki Waringin hendak menerobos masuk.
Ucapan Arya seketika menyadarkan Ki Waringin akan kecerobohan tindakannya. Bukan tidak mungkin kalau di dalam perguruan telah siap tokoh-tokoh persilatan yang akan menurunkan t angan j ahat, apa-bila dia telah berada di dalam. Maka, langkahnya pun segera dihentikan.
"Terima kasih atas peringatan yang kau berikan, Arya," ucap Ketua Perguruan Harimau Terbang itu. "Lupakanlah, Ki," sambut Arya cepat
"Kalau menurut perhitunganku...," Ki Sancaka angkat bicara. "Rasanya tidak mungkin ada serangan dari orang yang berada di dalam, Arya!"
Sangga Juwana, Arya, dan Ki Waringin mengalihkan pandang.
"Dugaanmu sama sekali tidak salah, Ki," sambut Arya sambil tersenyum lebar. "Memang, aku yang terlalu hati-hati."
Sangga Juwana menjadi bingung.
"Mengapa kau yakin kalau dugaan Ki Sancaka benar, Arya?" tanya Sangga Juwana, bingung. Memang, laki-laki berkumis tebal ini belum mengerti maksud pembicaraan yang terj adi.
"Menurut perhitungan, tidak mungkin orang yang berada di dalam akan melancarkan serangan, apabila kita
berada di dalam. Kau tahu, mengapa?" Arya malah balas bertanya. Sangga Juwana menggelengkan kepala pertanda tidak tahu.
"Kalau orang yang berada di dalam hendak membokong orang yang hendak masuk ke dalam dengan serangan mendadak, mengapa mesti menyalakan lampu?" jelas Ki Waringin berapi-api.
Sangga Juwana mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Tapi kan..., bisa saja orang itu terlupa. Atau sengaja memperliihatkan keberadaannya agar orang menjadi lengah?" bantah Sangga Juwana.
"Itu hanya kemungkinan kecil saja, Sangga," seiak Ki Sancaka cepat
"Apa yang dikatakan Ki Sancaka tepat sekali, Sangga," sambung Arya. "Terjadinya serangan dari orang yang berada di dalam terhadap orang yang masuk, merupakan kemungkinan yang amat kecil."
"Kalau begitu, mengapa kau menyuruh guruku berhati-hati, Arya?" kejar Sangga Juwana penasaran. Arya tersenyum.
"Seperti yang sudah kukatakan tadi, aku memang mempunyai sikap demikian. Selalu berhati-hati, bahkan cenderung terlalu berhati-hati. Mungkin dikarenakan seringnya aku bertemu kelicikan-kelicikan dalam petualanganku," urai Arya members penjelasan.
Ucapan Arya terhenti ketika telah berjarak satu tombak dari pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang. Memang meskipun terlibat percakapan, keempat orang itu terus saja melanjutkan langkah. Dan kini, mereka tidak berlari seperti semula.
Seperti hendak menunjukkan kenyataan ucapannya, Ki Sancaka langsung saja melangkah mendahului masuk ke dalam. Ketiga rekannya sama sekali tidak mencegah, dan hanya saling pandang sejenak sebelum melangkah mengikuti.
Tapi karena langkah Ki Waringin, Sangga Juwana, dan Arya tidak seperti langkah Ki Sancaka yang tergesa-gesa, mereka tertinggal agak jauh. Ki Sancaka telah berada di ambang pintu gerbang, sedangkan rombongan Ki Waringin masih berjarak setengah tombak lebih di belakangnya.
Tampak oleh mereka Ki Sancaka melangkah memasuki pintu gerbang. Dan seperti ucapan yang dikeluarkannya, kakinya melangkah tanpa sikap waspada sama sekali. Bahkan secara sembarangan saja.
Wunggg, singgg...! "Ah...!"
Ki Sancaka menjerit tertahan! Dia merasa kaget bukan kepalang mendengar desingan nyaring, disusul berkelebatnya beberapa batang senjata ke arahnya. Satu menyambar leher, sedangkan yang lain mengancam perutnya!
Serangan itu datang mendadak sekali. Tambahan lagi, Ki Sancaka tengah berada dalam keadaan tidak siap sama sekali. Dia tengah melangkah masuk secara sembarangan, akibatnya serangan itu membuatnya jadi kelabakan bukan main.
Meskipun demikian, sebagai seorang ahli silat yang t elah ratusan kali bertarung, seluruh otot dan urat syaraf Ki Sancaka seperti telah mempunyai kemauan sendiri. Maka begitu ancaman bahaya itu muncul, dengan sendirinya Ki Sancaka langsung bertindak menyelamatkan diri. Dan gerakan itu tanpa diperintah otaknya lagi, melainkan langsung begitu saja.
Tukkk!
Kaki Ki Sancaka langsung menotol tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melayang ke atas. Memang inilah jalan satu-satunya bagi Ketua Perguruan Naga Laut ini untuk menyelamatkan diri. Namun..... 
"Ah...!"
Ki Sancaka menjerit tertahan. Dia merasa kaget bukan kepalang mendengar desingan nyaring, disusul berkelebatannya beberapa batang senjat a ke arahnya.
Meskipun tidak sempat melihat jel as karena cepatnya serangan, tapi ekor matanya sempat melihat adanya
dua sosok bayangan yang melancarkan serangan ke arahnya. Satu menyambar leher, sedangkan yang lain mengancam perutnya.

***

7

Crasss...! "Aaakh...!"
Ki Sancaka menjerit keras ketika kedua kakinya terbabat putus sampai sebatas lutut. Darah segar langsung memancur deras seiring jatuhnya dua potongan kaki Ki Sancaka ke tanah.
Memang, elakan yang dilakukan Ki Sancaka tadi kurang cepat. Sehingga, walaupun serangan yang menuju perutnya bisa diel akkan, namun serangan yang menuju ke leher tak mampu dielakkannya. Tubuhnya belum sempat melayang tinggi, ketika babatan senjata itu akhirnya menyambar kedua kakinya. Dan akibatnya, kedua kaki Ki Sancaka terbabat putus.
"Sancaka...!"
"Ki...!"
Hampir berbareng, Ki Waringin, Arya, dan Sangga Juwana berseru kaget melihat kejadian yang menimpa Ki Sancaka. Bagai diperintah, ketiga orang itu segera melesat ke depan. Masing-masing berlomba untuk lebih dahulu tiba agar bisa menolong Ki Sancaka segera.
Sementara Ki Sancaka dengan kedua kakinya yang telah buntung, terus meluncur ke atas. Baru ketika daya luncuran habis, tubuhnya pun meluruk turun. Dan selama itu, luka yang keluar dari kedua kakinya yang buntung terus mengucurkan darah segar.
Sebelum mendarat di tanah, Ki Sancaka segera bertindak cepat dengan bergegas mengulurkan kedua tangannya. Kakek berpakaian coklat ini bermaksud mendarat dengan kedua tangannya.
Tappp!
Usaha Ki Sancaka tidak sia-sia. Kedua t elapak tangannya berhasil mendarat di tanah. Dan dengan sedikit gulingan, tubuhnya langsung menggelinding di tanah.
Dan ketika telah berputar kembali, kedua tangannya langsung bergerak cepat menotok jalan darah di kedua lututnya.
Tuk, tuk, tuk...!
Beberapa totokan beruntun l angsung dilakukan pada jalan darah di sekitar lutut. Sehingga, cucuran darah yang mengalir keluar kontan terhenti.
Namun sebelum Ki Sancaka sempat berbuat se suatu, dua orang penyerangnya telah kembali menyerbu. Senjata-senjata di tangan mereka langsung dikelebatkan ke arah berbagai bagian tubuh Ki Sancaka yang mematikan. Wajah Ki Sancaka kontan pucat ketika menyadari kenyataan sulit itu. Maka, jalan satu-satunya adalah menangkis.Tapi menangkis menggunakan kedua tangan telanj ang terhadap dua senjata yang digerakkan dengan tenaga dalam cukup tinggi, justru akan membuat tangannya buntung. Dan memang, tingkat t enaga dalam yang
dimiliki Ki Sancaka belum mampu memapak serangan senjat a tokoh persilatan dengan tangan kosong.
Di saat gawat bagi keselamatan Ki Sancaka, tiba-tiba melesat sesosok bayangan ungu yang langsung saja memapak serangan senjata dua orang penyerang Ki Sancaka, menggunakan tangan kosong.
Tak, tak, tak...!
Suara berderak keras terdengar ketika tangan dan golok berbenturan. Dan akibatnya, tubuh kedua orang penyerang Ki Sancaka langsung terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan sosok bayangan ungu sama sekali tidak terpengaruh.
Sosok bayangan ungu yang tak l ain dari Dewa Arak itu menatap penuh selidik pada dua orang lawannya. Sedangkan kedua orang itu tampak tengah tertegun. Rasa ngilu yang mendera kedua tangan, menjadi penyebab kebingungan mereka.
Kedua orang itu berusia sekitar empat puluh tahun. Wajah dan bentuk tubuh mereka serupa satu sama lain. Tapi anehnya, mereka mempunyai kulit tubuh yang saling bertolak belakang. Yang satu, putih. Sedangkan yang lain, hitam. Yang lebih aneh lagi, mereka pun mengenakan pakaian yang sama dengan kulit wajahnya.
"Siapa kalian?! Mengapa menyerang kawanku?!" tanya Dewa Arak pelan tapi tegas.
Bukannya menjawab pertanyaan Arya, kedua orang itu malah terlongong. Raut wajah dan sinar mata mereka memancarkan keterkejutan yang amat sangat
"Kau..., kau.... Bukankah kau Dewa Arak...?!" tanya orang yang berkulit putih, terbata-bat a.
"Begitulah julukan yang diberikan orang kepadaku," jawab Arya. "Lalu, siapakah Kisanak berdua?" "Tidak usah kau tanyakan, Arya!" seru Sangga Juwana keras. "Aku tahu, siapa kedua orang itu!"
Laki-laki yang berkulit hitam membalikkan tubuh untuk melihat orang yang berbicara. Di hadapannya tampak berdi ri dua orang l aki-laki. Yang satu berpakaian warna putih, sedangkan yang lainnya coklat. Mereka tak lain adalah Ki Waringin dan Sangga Juwana yang tadi bersama-sama Dewa Arak saling mendahului untuk mencapai tempat Ki Sancaka.
"Kau tahu, siapa mereka, Sangga?" tanya Arya seraya menatap laki-laki berkumis tebal itu. Sangga Juwana menganggukkan kepala.
"Dua Dewa Kembar. Yang satu berjuluk Dewa Hitam. Sedangkan yang satunya Dewa Putih," jelas Sangga
Juwana.
Dewa Arak mengernyitkan dahi. Sepengetahuannya, kedua orang itu adalah tokoh persilatan aliran putih,
dan amat terkenal di wilayah Selatan. Kepandaian mereka cukup tinggi. Hanya sayangnya, mereka tidak pernah mencampuri urusan persilat an. Lalu, mengapa kini mereka menyerang Ki Sancaka?
"Mengapa kalian menyerang Ki Sancaka?" tanya Arya ingin tahu.
"Siapa pun orangnya yang bersahabat dengan Ki Waringin, akan kami basmi! Tidak terkecuali kau, Dewa Arak!" tandas Dewa Hitam keras.
"Mengapa?" kejar Arya.
"Karena sebentar lagi akibat tindakan Ki Waringin, akan terjadi bencana di dunia persilatan," sahut Dewa Putih yang kelihatannya lebih sabar.
"Maaf. Kurasa kalian berdua salah paham," ujar Arya hati-hati.
"Tidak!" tandas Dewa Hitam dan Dewa Putih berbareng. "Kami jelas-jelas mendengar berita itu. Perguruan Harimau Terbang tel ah membawa barang ki riman yang berupa kepala Burangrang, tokoh sesat pembawa bencana yang tewas lebih dari seratus lima puluh tahun lalu!"
Arya tersenyum lebar.
"Kalian salah paham! Berita itu tidak benar! Kami berempat telah membuktikan ketidakbenaran berita yang tersiar! Sebenarnya, bukan kepala tokoh sakti yang dlkirim, melainkan kepala seekor orang hutan! Mungkin ada orang yang ingin menciptakan keresahan dalam dunia persilatan!" jelas Dewa Arak.
Dewa Hitam dan Dewa Putih saling berpandangan.
"Bagaimana kalian tahu kalau kepala itu berisi kepala seekor orang hutan?" tanya Dewa Hitam.
Arya lalu menceritakan semuanya. Sementara, Dewa Hitam dan Dewa Putih mendengarkan penuh perhatian. Sekali pun mereka tak menyelak cerita pemuda berambut putih keperakan itu.
Sementara, Ki Waringin tampak sibuk mengurusi Ki Sancaka yang terluka.

***

"Celaka...!" cetus Dewa Hitam ketika Dewa Arak mengakhiri ceritanya. "Jangan-jangan, wanita siluman itu telah mengecoh semua orang!"
"Wanita siluman?" ulang Arya dengan dahi berkernyit dalam.
"Tentu saja bukan siluman sungguhan, melainkan seorang manusia seperti kita. Menurut berita yang berhasil kami peroleh, wanita itu adalah keturunan Burangrang. Hm Dia pasti ingin membangkitkan leluhurnya
dari kematian," jelas Dewa Hitam.
Kemudian wajah Dewa Hitam berpaling ke arah Ki Sancaka yang terbaring dengan kaki buntung, ditemani Ki Waringin. Lalu, tokoh itu berpaling menatap Dewa Putih. Sementara, yang ditatap hanya menganggukkan kepala saja.
Sebentar kemudian, Dewa Hitam dan Dewa Putih menghampiri Ki Sancaka.
"Maafk an kami, Ki. Sungguh kami tidak tahu kalau ini ternyata siasat wanita itu," ucap Dewa Hitam.
Ki Sancaka hanya tersenyum getir. Walaupun dia menyadari kesalahpahaman ini, tapi rasanya berat untuk memberi maaf. Masalahnya, kedua penyerangnya tidak bertanya lebih dahulu, dan langsung menyerang.
"Kami berjanji akan mengobati luka-lukamu, Ki," tambah Dewa Putih.
Ki Sancaka masih diam saja. Dewa Putih dan Dewa Hitam jadi salah tingkah. Mereka jadi tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh suatu kesalahan bodoh yang baru mereka perbuat kali ini. Maka sejenak suasana jadi hening.
"Bisa kau ceritakan sejelas-jelasnya, Dewa Hitam," pinta Ki Waringin yang masih menolong Ki Sancaka.
Hal itu dilakukan untuk menghilangkan kekakuan yang terjadi.
Dewa Hitam menatap Ki Waringin.
"Baik! Kami akan ceritakan dari awal," Dewa Hitam mengambil keputusan.
Usai berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam ini termenung. Rupanya, dia tengah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Sejak keturunan sebelum kami, telah ada kewajiban untuk menjaga sebuah tempat terlarang untuk
didatangi siapa pun. Tempat itu berisi kepala seorang tokoh sakti angkara murka yang tewas seratus lima puluh tahun lalu. Burangrang namanya. Maaf, nama tempat itu tidak bisa kami beritahukan." Dewa hitam menghentikan ceritanya sejenak untuk melihat tanggapan di antara mereka. Sementara Ki Waringin mengangguk, memaklumi permintaan maaf Dewa Hitam yang tidak bisa menyebutkan tempat beradanya kepala Burangrang.
"Kepala Burangrang digantung di atas langit-langit tempat itu. Maksudnya, agar tak bersentuhan dengan tanah," sambung Dewa Hitam lagi. "Selama ratusan tahun, tempat itu aman. Sampai pada suatu saat, ada seorang laki-laki keturunan Burangrang berusia empat puluh tahun yang mengetahui tempatnya. Untung kami berhasil membungkam mulutnya untuk selamanya. Tapi entah bagaimana caranya, tahu-tahu seorang wanita muda yang juga keturunan Burangrang, berhasil membawa l ari kepala itu. Kami pun mengejarnya karena tidak ingin malapetaka mengerikan terulang kembali."
Kembali Dewa Hitam menghentikan ceritanya. Ditelannya ai r liur, untuk membasahi tenggorokannya yang
kering karena terlalu banyak berbicara.
Tapi sebelum laki-laki berpakaian hitam ini melanjutkan cerita, sudah didahului Dewa Putih.
"Sayangnya, pengejaran yang kami lakukan terlambat. Wanita itu ternyata telah pergi jauh. Maka, kami pun berpencar untuk mengikuti jejaknya. Salah seorang dari kami memberi tahukan kalau wanita itu masuk ke Perguruan Harimau Terbang sambil membawa peti. Dan berita yang kami dapatkan adalah, wanita siluman itu menitipkan peti pada Perguruan Harimau Terbang. Maka, rombongan kami pun merencanakan untuk merampasnya. Sebagian menuju ke tempat asal Burangrang, sedangkan kami berdua menuju tempat persembunyian tubuh Burangrang, yang memang cukup j auh dari t empat kami. Dan betapa gegernya kami ketika tahu tubuh Burangrang ternyata telah lenyap!"
Dewa Putih menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Dan kesempatan itu digunakan oleh Ki Waringin sebaik-baiknya.
"Apakah wanita yang kau maksudkan mengenakan pakaian biru, berambut keriting halus, dan berkulit
putih?" tanya Ketua Perguruan Harimau Terbang ingin memastikan.
Dewa Putih menganggukkan kepala, pertanda membenarkan dugaan Ki Waringin. "Dialah wanita itu. Cendani namanya," sambut Dewa Hitam, tak mau ketinggalan.
"Tak kami sangka tel ah terjadi peristiwa mengerikan. Rombongan yang bertugas mencegat rombongan
Perguruan Harimau Terbang tewas terbantai bersama-sama tokoh lainnya. Menurut kabar yang berhasil kami dengar, pembunuh itu adalah Garuda Laut Timur."
"Dari mana kalian tahu, kalau laki-laki dan wanita itu adalah keturunan Burangrang?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Dari berita yang didapatkan rombongan kami ketika menuju ke t empat asal Burangrang. Bahkan seorang penganut ilmu hitam di tempat Burangrang tinggal, telah lenyap tanpa ketahuan kabar beritanya. Kami khawatir kalau kepergian tokoh ahli ilmu hitam itu berhubungan dengan Burangrang. Bahkan bukan tidak mungkin Cendani yang datang memintanya untuk membangkitkan Burangrang kembali."
Dewa Hitam menghentikan ceritanya. Tapi, tidak ada seorang pun yang membuka pembicaraan. Maka Suasana pun menjadi hening sejenak.
"Andaikata dugaanmu itu benar, untuk apa Cendani membangkitkan kembali leluhurnya?" tanya Arya ingin tahu.
Dewa Hitam menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaan Arya.
"Semula kami pun merasa bingung juga. Tapi dari berita yang didapat ketika rombongan kami mendatangi tempat asal Cendani, kami bisa memperkirakan alasannya. Keluarga Cendani dibinasakan oleh Raja Ular Beracun. Kalau mengukur kemampuan sendiri, tidak akan mungkin Cendani bisa mengalahkan Raja Ular Beracun. Jalan satu- satunya adalah membangkitkan kembali Burangrang Karena, hanya Burangranglah satu-satunya yang bisa membalaskan sakit hati itu!" jelas Dewa Hitam.
Arya menggangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita mendahului Cendani dan Burangrang?" usul Dewa Arak "Maksudmu..., kita satroni sarang Raja Ular Beracun?" sambut Dewa Hitam cepat
Arya menganggukkan kepala, pertanda membenarkan.
"Hal itu pun sudah kami pikirkan sebelumnya, Dewa Arak. Hanya saja set elah kami pertimbangkan, maksud itu pun kami urungkan. Apabila Burangrang belum menuju ke sana, akibatnya kami malah akan bentrok dengan Raja Ular Beracun? Dan itulah yang sama sekali tidak diinginkan," urai Dewa Hitam.
"Kalau begitu, biar aku saja yang ke sana," kata Arya. "Kebetulan aku mempunyai urusan dengan Raja Ular Beracun!"
"Aku ikut, Arya!" selak Sangga Juwana. Arya menggelengkan kepalanya. "Maaf, Sangga! Bukannya tidak mengizinkan, t api aku harus bertindak cepat. Maksudku, apabila Burangrang benar-benar telah bangkit dari kematiannya, dapat segera kutanggulangi sebelum menelan korban lebih banyak," jelas Dewa Arak.
"Apa yang dikatakan Arya tidak sal ah, Sangga!" Ki Waringin memberi dukungan pada Arya. "Lebih baik, kau temani aku mengobati Ki Sancaka!"
"Hhh...!" Sangga Juwana menghela napas berat. "Kalau demikian, apa boleh buat "
"Benar! Kami juga tetap akan membantu Ki Waringin untuk mengobati luka-luka Ki Sancaka! Maaf sekali lagi. Kami benar-benar menyesal atas kejadian yang menimpa Ki Sancaka," kata Dewa Putih disertai raut wajah penuh penyesalan.
"Maafk an kami sekali lagi, Ki Sancaka," ucap Dewa Hitam pula seraya berjongkok di sebelah Ketua Perguruan Naga Laut itu.
Sementara itu, Dewa Arak tidak menunggu lebih lama lagi. Setelah berpamitan pada semua orang yang
berada di situ, pemuda berambut putih keperakan itu melesat cepat. Tujuannya sudah jelas, yakni tempat kediaman Raja Ular Beracun. Dari Sangga Juwana, Dewa Arak tahu, ke mana harus pergi.

***

8

"Ssshhh...!"
Suara desisan tajam terdengar dari mulut seorang kakek bermata picak. Tubuhnya yang kecil dan kurus, terbungkus rompi dan celana dari kulit ular.
Kakek itu rupanya tengah berl atih pernapasan. Tubuhnya membentuk kuda-kuda sej ajar, dengan kedua
tangan tampak menegang penuh tenaga. Jari-jari kedua tangannya menegang lurus, kaku. "Ssshhh...!"
Seiring keluarnya desisan dari mututnya, kakek bermata picak yang tak lain dari Raja Ular Beracun itu menyodokkan tangan kanannya ke depan secara perl ahan-lahan, tapi penuh tenaga. Lalu setelah semuanya terjulur penuh, tangan kanannya ditarik kembali secara cepat dan diletakkan di pinggang sambil menarik napas. Kemudian, ganti tangan kirinya yang dijulurkan. Demikian seterusnya.
Hari masih sangat pagi. Matahari baru saja muncul di ufuk Timur. Angin yang bertiup pun masih terasa sejuk di kulit dan nikmat dalam dada. Dan sepagi itulah, Raja Ular Beracun telah berl atih pemapasan.
Meskipun tengah berlarih, rupanya kemampuan pendengaran Raja Ular Beracun tetap tidak berkurang.
Terbukti, telinganya menangkap adanya langkah di balik tembok pelataran tempatnya berlatih. Memang, Raja Ular Beracun tengah berlatih di halaman samping rumahnya. Dan antara halaman rumah dengan dunia luar, dibatasi tembok batu setinggi hampir dua tombak! Dan dari luar itulah suara berasal.
Tapi Raja Ular Beracun sama sekali tidak mempedulikannya. Dari langkah itu bisa diketahui kalau kepandaian orang yang berada di luar t embok, tidak perlu ditakutinya. Maka, dia pun terus saja meneruskan lahhannya.
Raja Ular Beracun bersikap t enang-tenang saj a sambil menunggu hingga pemilik langkah itu masuk ke dalam. Ingin diketahuinya, apa yang akan dilakukan orang itu.
Raja Ular Beracun tidak perlu menunggu terlalu lama, karena sesaat kemudian....
"Hup! Hup!"
Dua sosok bayangan t elah mendaratkan kakinya di hadapan Raja Ular Beracun, hanya berj arak dua tombak. Yang seorang mendaratkan kakinya dengan suara terdengar j elas oleh telinga Raja Ular Beracun. Tapi, tidak demikian halnya dengan sosok tubuh yang satu lagi. Sepasang kakinya mendarat laksana sehelai daun kering jatuh ke tanah. Tidak terdengar sedikit pun suara ketika hinggap di tanah. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi
Raja Ular Beracun tidak berani bertindak sembrono. Buru-buru latihannya dihentikan. Kemudian, ditatapnya dua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya, penuh selidik.
Yang seorang adalah gadis berambut keriting halus. Wajahnya cantik jelita. Kulit tubuhnya yang putih halus dan mulus, dibungkus pakaian berwarna biru.
Tapi, Raja Ular Beracun tidak memperhatikan gadis berambut keriting lama-lama, karena hanya lawan ringan. Walaupun, tampak ada sorot kebencian yang memancar dari sepasang mata indah dan bening itu.
Raja Ular Beracun lebih memusatkan perhatian pada sosok tubuh di sebelah gadis itu. Dia adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya kurus kering seperti seekor cicak kelaparan. Ada rasa nyeri yang menyelinap di dalam hati kakek berpakaian ular ini ketika menatap sosok tubuh kurus kering di hadapannya. Sorot matanya memancarkan kengerian! Rasanya, sinar mata seperti itu tidak akan dimiliki manusia.
Raja Ular Beracun sama sekali tidak tahu kalau laki-laki yang menumbuhkan rasa takut di hatinya tak lain dari Burangrang. Walaupun pernah mendengarnya, tapi dia tak pernah melihatnya. Padahal, tokoh sesat di hadapannya ini kepalanya telah berusaha direbutnya. Dan memang, dia tidak ingjn tokoh berilmu 'Rawa Rontek' itu bangkit kembali dari kematiannya. Raja Ular Beracun tahu, kalau Burangrang bangkit kembali dari kematiannya, kedudukannya sebagai datuk sesat akan bisa tergusur. Alasan yang sama juga mendorong Garuda Laut Timur untuk merebut kepala Burangrang agar tidak bisa bersatu kembali dengan tubuhnya.
"Inikah orang yang berjuluk Raja Ular B eracun itu, Cendani?" tanya Burangrang dengan suara parau dan serak. kakek!" "Benar, Buyut," jawab Cendani sambil menganggukkan kepala. "Dialah yang telah membunuh ayah dan Setelah mendapat pemberitahuan dari Cendani, Burangrang melangkah maju.
"Bersiaplah untuk menerima kematian, Raja Ular Beracun!" desis tokoh sesat dari masa silam itu.
Tapi orang seperti Raja Ular Beracun mana bisa digertak? Apalagi belum pernah melihat orang yang menggertaknya. Dia malah tersenyum mengejek untuk menyembunyikan rasa ngeri yang melanda hatinya. "Orang seperti kalian ingin merobohkan Raja Ular Beracun?! Jangan mimpi! Kalian berdualah yang akan kubantai! Dengarkan! Kalian berdua akan kusiksa sebelum kubunuh karena telah bertindak kurang ajar! Kalian telah mengganggu latihanku dan juga mengancamku!"
Meskipun tidak mengerti, siapa ayah dan kakek Cendani yang t elah dibunuhnya, Raja Ular B eracun tidak ingin memperpanjang urusan itu. Perasaan angkuhlah yang mendorongnya bertindak demikian.
Burangrang menggeram keras, hingga terdengar mengerikan sekali! Geraman yang keluar dari mulutnya
seakan-akan keluar dari mulut seekor binatang buas yang t engah murka. Memang, Burangrang tengah murka bukan kepalang. Untungnya, meski dalam keadaan seperti itu, dia masih ingat untuk tidak mengerahkan segenap tenaga dalamnya. Karena bila hal itu dilakukan, Cendani pasti akan celaka.
Meskipun demikian, walaupun hanya mengerahkan sebagian kecil dari tenaga dalamnya, namun toh tetap saja berpengaruh pada Cendani. Gadis berambut keriting itu cepat mendekapkan kedua tangannya ke telinga, karena dengungan keras telah menyerangnya.

***

Seiring lenyapnya geraman itu, Burangrang melompat menerjang Raja Ular Beracun. Kedua tangannya terkembang membentuk cakar. Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya bergerak menyampok kepala Raja Ular Beracun. Arah gerakannya dari atas ke bawah. Sedangkan tangan kirinya disiapkan di pinggang.
Cittt..!
Suara mencicit nyaring menyakitkan telinga terdengar ketika cakar itu bergerak menuju sasaran. Sementara Raja Ular Beracun yang memang sej ak tadi sadar kalau calon lawannya memiliki kepandaian lihai, tidak berani bertindak sembarangan. Buru-buru dia melompat ke belakang, sehingga sampokan itu lewat beberapa jengkal di depan wajahnya.
Luar biasa! Dalam keadaan tubuh berada di udara seperti itu, Burangrang mampu melancarkan serangan susulan! Entah bagaimana caranya, tahu-t ahu kaki kanan tokoh sesat dari masa silam ini tel ah bergerak mengibas. Dan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh.
Wuttt!!
Kali ini, pelipis Raja Ular Beracun yang diancam. Menilik dari deru angin keras yang mengawali tibanya serangan, bisa diperkirakan besarnya kekuatan tenaga dalam yang terkandung. Memang, jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur berantakan apabila terl anda kibasan Burangrang.
Untuk yang kedua kalinya, Raja Ular Beracun tidak berani bertindak sembarangan. Dia tidak sudi melakukan elakan-elakan jarak pendek, karena belum mengetahui perkembangan ilmu lawannya. Padahal, serangan itu bisa dielakkan dengan merendahkan tubuh. Tapi karena belum membaca perkembangan ilmu lawan, Raja Ular Beracun tidak mengelak seperti itu. Datuk sesat yang merajai daratan itu cepat melempar tubuh ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara. Dan....
"Hup!"
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, Burangrang pun berhasil mendarat pula. Dan secepat itu pula, dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah Raja Ular Beracun. Pertarungan sengit antara dua tokoh sakti pun tidak bisa dielakkan lagi.
Pertarungan yang mendebarkan hati itu memang hanya disaksikan Cendani seorang. Gadis berambut keriting ini memperhatikan penuh perhatian. Sepasang matanya hampir tidak pernah berkedip memperhatikan. Namun betapapun matanya telah disipitkan agar dapat melihat lebih jelas, tetap saja jalannya pertarungan tidak bisa disaksikan secara jelas. Memang, gerakan kedua tokoh sakti berbeda zaman itu berlangsung cepat bukan kepalang.
Yang tampak dari pertarungan itu hanyalah bayangan hitam dan kuning yang terkadang saling belit, tapi tak jarang saling pisah. Namun terpisahnya dua bayangan itu hanya berlangsung sebentar saja. Karena begitu bayangan kuning terpental dari kancah pertarungan, bayangan hitam segera melesat memburu. Sesaat kemudian, kedua bayangan itu telah saling belit kembali.
Raja Ular Beracun menggertakkan gigi. Hatinya merasa heran bukan kepalang melihat cara bert arung lawannya. Kelihatannya Burangrang bertarung tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri. Bahkan seperti sengaja hendak mengadu nyawa. Yang dilakukan Burangrang adalah melancarkan serangan terus-menerus, tanpa mempedulikan pertahanan sama sekali.
Tentu saja Raja Ular Beracun yang belum ingin mati, tidak sudi meladeni tindakan Burangrang. Dan sebagai akibatnya, datuk sesat penguasa daratan ini jadi terdesak hebat. Namun sebenarnya, Raja Ular Beracun menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan ke arah pertahanan lawan yang terbuka di sana-sini.
Beberapa kali serangan dilancarkan ke bagian bagian tubuh Burangrang. Memang, banyak cel ah-celah yang terbuka di sana-sini. Tapi, serangannya segera ditarik kembali oleh Raja Ular Beracun. Karena pada saat serangan itu dilancarkan, Burangrang sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan dia melancarkan serangan serupa. Melihat hal ini, Raja Ular Beracun tidak mau mati konyol.
Maka, pada saat pertarungan belum mencapai tujuh puluh jurus, Raja Ular Beracun sudah terdesak. Memang, apabila dibuat perbandingan dengan Burangrang, Raja Ular Beracun kalah segala-galanya. Baik tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuhnya. Beberapa kali sewaktu terjadi benturan, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang disertai rasa nyeri yang amat sangat.
Kini, Raja Ular Beracun hanya bisa bermain mundur. Serangan-serangannya yang semula bertubi-tubi kini sudah tidak terlihat l agi. Dia lebih banyak mengelak. Menangkis pun apabila keadaan sudah terlahj memaksa saj a. Dengan tingkat tenaga dalam yang berada di bawah lawan, banyak menangkis hanya akan merugikan dirinya.
Tapi berapa lama Raja Ular Beracun dapat bertahan? Mengelak terus-menerus, sementara lawan yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan? Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Raja Ular Beracun pun mengetahui hal itu. Maka, sambil mengelak dicarinya kesempatan baik.
Sementara, Burangrang terus saja melakukan serangan bertubi-tubi tanpa mempedulikan pertahanan diri. Hal ini sebenarnya cukup membuat Raja Ular Beracun jadi kebingungan. Tapi, buru-buru pikiran itu dihilangkan dari benaknya. Saat ini, dia tangah menghadapi lawan amat tangguh. Bahkan dalam keadaan terdesak. Kalau masih harus memusingkan masalah yang mengherankan itu, dia akan celaka.

***

"Haaat..!"
Pada jurus kedelapan puluh tiga, disertai suara teriakan nyaring, Burangrang melancarkan serangan bertubi- tubi. Kedua tangannya meluncur cepat ke arah dada dan ulu hati Raja Ular Beracun.
Raja Ular Beracun memutar benaknya. Kesempatan baik untuk mendapatkan kemenangan, telah terpampang di depan mata. Kalau tidak bisa meman faatkan, belum t entu kesempatan baik seperti ini akan muncul kembali.
Setelah mempertimbangkannya sej enak, Raja Ular Beracun langsung berrindak. Buru-buru tubuhnya didoyongkan ke samping kanan untuk mengelakkan serangan. Pada saat yang bersamaan, kaki kirinya diluncurkan ke arah dada.
Prat, prat... Bukkk!
"Akh...! Akh...!"
Kejadiannya berl angsung demikian cepat. Serangan-serangan dari Burangrang maupun Raja Ular Beracun mendarat di tubuh satu sama lain. Hanya saja, serangan-serangan Raja Ular Beracun mendarat tepat di sasaran. Sedangkan serangan Burangrang meleset dari sasaran, karena daruk sesat penguasa daratan itu t elah keburu mengelak. Serangan-serangan Burangrang hanya mengenai dada kiri atas sebanyak dua kali berturut-turut.
Akibatnya, disertai jeritan kesakitan dari mulut tubuh kedua tokoh sakti itu terjengkang ke belakang. Dari mulut masing-masing keluar darah segar. Tapi, darah yang keluar dari mulut Burangrang jauh lebih banyak. Namun meskipun demikian, bukan berarti Raja Ular Beracun tidak apa-apa. Luka-luka yang dideritanya ternyata cukup parah. Karena serangan-serangan Burangrang memang dahsyat bukan kepalang.
"Buyut...!" jerit Cendani ketika melihat tubuh laki-laki berwajah pucat itu terjengkang deras ke belakang disertai semburan darah dari mulutnya
Dengan raut wajah beringas, Cendani memalingkan wajahnya ke arah Raja Ular Beracun. Dan....
"Hiyaaat..!"
Disertai teriakan keras melengking tinggi, Cendani meluruk ke arah Raja Ular Beracun. Dan ketika berada di udara, tangan kanannya bergerak mengambil pedang yang tergantung di punggung. Dan....
Srattt!
Sinar terang berkelebat ketika pedang Cendani tercabut dari sarungnya. Dan secepat pedang itu tercabut, secepat itu pula ditusukkan ke perut Raja Ular Beracun.
Datuk sesat penguasa daratan itu terkejut bukan kepalang. Padahal saat itu tubuhnya tengah terluka dan tengah terhuyung. Jadi, merupakan suatu hal yang amat sulit untuk mengelak. Maka, jalan satu-satunya untuk mengelak hanya menangkis! Segera saja Raja Ular Beracun menggunakan tangan kanannya untuk menangkis serangan itu. Memang tangan kirinya sudah tidak bisa digunakan lagi. Langsung dipapaknya serangan pedang itu dengan tangan telanjang.
Trak!
Suara berderak keras terdengar ketika batang pedang itu berbenturan dengan tangan Raja Ular Beracun. "Akh. !" Cendani menjerit tertahan. Tangannya yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Akibatnya, senjata yang tergenggam pun terlepas dari pegangan.
Tapi, bukan hanya Cendani saja yang menderita kerugian dalam benturan itu. Raja Ular Beracun pun mengalami hal yang sama. Tangannya t ergores pedang, hingga kulit dagingnya sobek. Darah segar pun mengucur keluar. Memang, sewaktu memapak serangan tadi, Raja Ular Beracun tidak bisa mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena tengah terluka cukup parah. Jadi dia hanya mengerahkan separuh tenaganya.
Sementara itu, Cendani rupanya sudah memperhitungkannya. Karena begitu pedangnya terl epas dari pegangan, tangan kirinya bergerak ke arah perut Raja Ular Beracun. Ada sinar berkilat seiring meluncur tangannya. Ternyata, di genggaman tangan gadis itu tercekal sebilah pisau yang berkilat-kilat saking tajamnya.
Raja Ular Beracun terperanjat. Namun, sudah tidak ada waktu lagi untuk mengelak. Maka....
Blesss!
Pisau di tangan Cendani kontan amblas ke dalam perut sampai ke gagang. Kemudian, gadis berambut keriting itu langsung melepaskan cekalan pada pisaunya, dan melompat menjauh.
"Hup!"
Baru saja kedua kakinya hinggap di t anah, terdengar tawa yang amat dikenalnya. Suara tawa Burangrang, buyutnya! Bagai disengat kalajengking, Cendani menoleh ke belakang. Tampak Burangrang t engah menghampirinya. Namun, tidak nampak ada tanda-tanda kalau tokoh sesat dan masa silam itu terluka.
"Kau. , kau tidak apa apa, Buyut?" tanya Cendani gagap karena kaget
Burangrang menggelengkan kepala.
"Tidak akan ada seorang pun yang bisa membinasakanku, Cendani!" sahut Burangrang sombong. "Tap..., tadi kulihat "
"Memang kubiarkan serangan itu mengenaiku, Cendani. Karena aku tahu, tidak akan terj adi apa pun atas
diriku," tenang ucapan yang keluar dari mulut Burangrang. "Jangan panggil aku Burangrang kalau cecoro seperti Raja Ular Beracun mampu melukaiku!"
Karuan saja ucapan Burangrang membuat wajah Raja Ular Beracun yang sudah pucat karena t engah menjelang ajal, semakin bertambah pias. Tarikan wajahnya juga menampakkan keterkejutan yang amat sangat.
"Jadi, kau..., kau. "
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, tubuh Raja Ular Beracun sudah roboh, tidak bangkit lagi untuk selamanya. Namun di akhir hayatnya, dia sempat tahu kalau pembunuhnya adalah tokoh sesat dari masa silam yang kepalanya dicari-carinya agar tidak bisa bersatu dengan tubuhnya.
"He he he !"
Burangrang t ertawa bergelak panjang, bernada kemenangan. Tapi, mendadak t awanya dihentikan Kepalanya langsung menoleh ke balik tembok. Memang, pendengaran Burangrang yang tajam mendengar adanya deheman pelan di balik tembok
"Ada orang lihai datang," kata Burangrang pada Cendani yang t ampak kebingungan. Burangrang tahu kalau orang yang berada di balik tembok sengaja mengunjukkan diri.
Belum juga lenyap gema suara Burangrang, sesosok bayangan ungu melompat melewati atas tembok. Indah dan manis gerakannya. Ketika kedua kakinya mendarat di tanah, sedikit pun tak terdengar suara. Laksana daun kering yang jatuh ke tanah saja gerakannya.
Begitu berada di dalam, pandangan mata sosok bayangan ungu yang tak lain dari Dewa Arak itu segera beredar berkeliling. Yang pertama kali dilihatnya adalah dua sosok tubuh yang berdiri menghadap ke arahnya. Salah satu dari mereka sudah bisa diduga. Siapa lagi kalau bukan Cendani! Dan yang satunya lagi, pasti Burangrang.
Dugaan Dewa Arak semakin menguat ketika melihat mayat R aja Ular B eracun tergelet ak di tanah. Sama sekali tidak disangka kalau akan keduluan. Dia t ahu, di balik tembok ada orang. Makanya dia pun berdehem untuk memberitahukan keberadaan dirinya pada orang yang ada di dalam.
"Siapa kau?" tegur Burangrang keras.
Burangrang tahu Dewa Arak adalah seorang calon lawan tangguh. Itu bisa dilihat dari gerakannya tadi, dan dari sorot matanya yang mencorong taj am. Tokoh sesat masa silam ini tahu, sorot mata seperti itu hanya dimiliki orang yang telah memiliki tenaga dalam tinggi.
Arya tidak merasa heran kalau Burangrang tidak mengenalinya. Tokoh yang menggiriskan ini telah tewas lebih dari seratus lima puluh tahun yang l alu, dan baru bangkit dari kematian. Jadi bukan hal yang aneh jika tidak mengenalinya.
"Dia pasti Dewa Arak, Buyut!" celetuk Cendani yang sudah mendengar berita mengenai Dewa Arak. "Dewa Arak?!" ulang Burangrang dengan alis berkernyit
"Benar," Cendani menganggukkan kepala. "Seorang pendekar muda sakti yang telah banyak merobohkan pentolan golongan hitam! Selama ini, dia belum pernah terkalahkan!"
Arak. Burangrang mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Lalu, apa maumu, Dewa Arak?" tanya Burangrang keras.
"Sederhana saja. Melenyapkanmu selama-lamanya agar tidak mengacau dunia persilatan lagi!" tegas Dewa
"He he he...! Kau hanya akan mencari mati, Dewa Goblok!"
"Kematian bukan merupakan hal yang menyeramkan bagiku, Burangrang! Apalagi, mati di dalam mempertahankan kebenaran!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut Dewa Arak. "Kalau begitu, mampuslah!"
Usai berkata demikian, Burangrang melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Dewa Arak. Serangannya dibuka dengan sebuah tendangan miring kaki kanan, bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar. Semuanya, dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Kalau tepat mengenai sasaran, sudah bisa diperkirakan hal yang akan terjadi.
Dewa Arak tentu saja mengetahui hal itu. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera dilempar ke belakang. Lalu, Dewa Arak bersako beberapa kali di udara. Dan selagi kedua kakinya belum menginjak tanah, diambilnya guci arak yang tersampir di punggung dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan pemuda berambut putih keperakan itu. Sesaat kemudian, hawa hangat pun menjalari perutnya dan terus merayap naik ke atas kepala. Dan ketika kedua kakinya mendarat di tanah, Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Tapi, bukan hanya pemuda berambut putih keperakan itu saja yang telah bersiap sedia. Burangrang pun telah bertindak sama. Sadar kalau lawan t elah menggunakan ilmu andalan, dikerahkan pula hal yang sama. Entah dari mana mengambilnya, tahu-tahu di tangan tokoh yang menggiriskan itu telah tergenggam sebilah kapak besar yang bertangkai panjang.
"Hiiih...!"
Disertai teriakan keras yang mendirikan bulu roma, Burangrang mengayunkan kapaknya ke arah pinggang Dewa Arak Rupanya, dia bermaksud membelah tubuh lawannya menjadi dua bagian.
Wuttt..!
Babatan kapak itu lewat di bawah kaki, ketika Dewa Arak melompat ke atas. Tapi, tindakan Burangrang tidak hanya sampai di situ saja. Kembali dilancarkannya serangan susulan ke arah Arya. Sesaat kemudian, kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu terlibat pertarungan sengit
Kapak besar bergagang panjang di tangan Burangrang menyambar-nyambar ke arah Dewa Arak disertai deru angin keras yang menyeramkan. Apabila terkena sedikit saja, maka kulit Dewa Arak akan robek lebar.
Hebat bukan kepalang permainan kapak Burangrang, tapi masih tak kalah hebat lagi ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak. Guci, kedua tangan, dan semburan araknya saling tunjang-menunjang, menanggulangi setiap serangan Burangrang.
Beberapa gebrakan kemudian, tubuh kedua tokoh yang t engah bertarung itu telah tidak terlihat lagi. Yang tampak hanyalah bayangan ungu dan hitam yang saling sambar dan gempur.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Hatinya merasa heran bukan kepalang melihat cara bertempur
Burangrang. Tokoh dari masa silam itu bertempur tanpa mempedulikan pertahanan. Yang dilakukannya hanya menyerang dan terus merangsek
Sudah tidak terhitung lagi, banyaknya cel ah yang terbuka di tubuh lawan. Beberapa kali serangan dilancarkan, tapi langsung ditarik kembali ketika Burangrang tidak mempedulikannya. Bahkan malah balik melancarkan serangan.
Pada jurus kedelapan puluh tiga, Dewa Arak melihat bagian dada Burangrang terbuka lebar. Maka t anpa membuang-buang waktu lagi, gucinya segera disorongkan.
Bukkk!
Telak dan keras sekali guci Dewa Arak menghantam sasaran. Seketika itu juga, tubuh Burangrang terlempar ke belakang. Darah bermuncratan dari mulutnya.
Brukkk!
Tubuh Burangrang jatuh berdebuk di tanah, bahkan sampai terguling-guling. Arya sudah menghela napas lega. Sudah bisa diperkirakan kalau Burangrang pasti akan tewas. Atau paling tidak gedoran gucinya t adi telah membuat Burangrang terluka parah.
Bahkan Cendani pun menjerit ngeri. Dia lupa akan ucapan buyutnya tadi. Dengan kemarahan meluap-luap, diserbunya Dewa Arak. Pedang di tangan Cendani berkelebat cepat membentuk gulungan sinar terang menyilaukan mata. Kemudian, dari gulungan sinar pedang itu mendadak mencuat ujung pedang ke arah leher Dewa Arak. Melihat serangan maut yang meluncur ke arahnya, Dewa Arak bersikap tenang. Dipapaknya luncuran ujung pedang itu dengan sentilan jari telunjuknya.
Tinggg! "Ikh!"
Cendani menjerit kaget ketika t angannya terasa mendadak lumpuh. Maka pedangnya pun terl epas dari pegangan. Bukan itu saja. Bahkan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhuyung ke belakang.
Tapi, Cendani benar-benar seorang gadis keras kepala. Tangan kirinya segera dimasukkan ke balik baju. Ketika ditarik kembali, sebilah pisau tampak t elah tergenggam di t angan, dan langsung dilemparkan ke arah Dewa Arak.
Serangan seperti itu tentu saja tidak berarti apa pun bagi Dewa Arak. Segera gucinya diayunkan untuk memapak kedatangan pisau itu.
Tranggg!
Singgg...! Cappp! "Akh...!"
Kejadiannya berlangsung terl alu cepat. Tahu-tahu, Cendani menjerit memilukan ketika pisau miliknya menyate lehernya hingga t embus ke tengkuk. Rupanya, tangkisan guci Dewa Arak membuat pisau itu membalik ke arah pemiliknya!
Dewa Arak menatap mayat Cendani dengan sinar mata penuh penyesalan. Memang, hal seperti itu sama sekali tidak disangka. Walaupun harus diakui, kematian memang lebih baik bagi Cendani.
Sebuah geraman keras bernada penuh kemarahan, menyadarkan Dewa Arak dari termenungnya. Dapat dibayangkan, betapa kaget hatinya ketika melihat Burangrang telah bangkit berdiri! Bahkan terlihat segar bugar, tidak nampak adanya tanda-t anda kalau Burangrang telah terluka dalam.
"Kubunuh kau. '" geram Burangrang keras sambil melompat menerjang.
Tokoh dari masa silam itu memang murka bukan kepalang melihat keturunannya yang bernama Cendani itu tewas. Akibatnya, kedahsyatan serangannya pun berlipat ganda.
Tapi lawan yang dihadapinya adalah Dewa Arak, seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian menakjubkan. Ilmu-ilmu yang dimilikinya memungkinkan dirinya untuk menanggulangi setiap serangan Burangrang. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak tel ah membuat kandas setiap serangan Burangrang. Sebaliknya, dengan jurus 'Belalang Mabuk' berkali-kali Dewa Arak berhasil menyarangkan sasaran.
Namun sebenarnya, Dewa Arak mulai dirayapi perasaan putus asa. Pertarungan telah berlangsung lebih dari dua ratus jurus. Bahkan serangannya telah berkali-kali mendarat di sasaran, tapi semua sama sekali tidak berarti. Memang, sewaktu terkena serangannya, tubuh Burangrang tampak tak berdaya. Tapi ketika tubuhnya menyentuh tanah, dan bisa bangkit kembali, tidak ada tanda-tanda kalau pentolan sesat seratus lima puluh tahun silam itu terluka! Kalau seperti ini terus, bukan tidak mungkin kalau dirinya yang akan tewas di tangan lawan.
Sambil terus berjuang keras untuk menundukkan lawan, Dewa Arak memutar otaknya. Dan mendadak pemuda itu tersentak ketika menemukan suatu kesimpulan. Mungkinkah yang membuat Burangrang tidak bisa mati adalah tanah?! Hampir Dewa Arak bersorak ketika menemukan kenyataan yang membuatnya semakin yakin akan kebenaran dugaannya! Setiap kali bangkit dari tanah, Burangrang kembali segar bugar. Haruskah tokoh ini dibuat tewas tanpa menyentuh tanah? Maka Dewa Arak pun bersiap melaksanakan rencananya.
Sementara itu, Burangrang sama sekali tidak t ahu kalau Dewa Arak telah bersiap melakukan rencananya. Tokoh sesat dari masa silam itu terus saja melakukan penyerangan dahsyat. Memang, seperti juga Dewa Arak, Burangrang seakan-akan tidak pernah merasakan lelah. Tenaganya kontan pulih, sehabis bangkit dari tanah. Bahkan kedahsyatan serangannya sama sekali tidak mengendur.
"Haaat..!"
Diiringi teriakan menggeledek, Burangrang melesat memburu Dewa Arak dengan kapak di tangan. Hal itu dilakukan karena melihat Dewa Arak melompat ke belakang.
Tapi, sama sekali tidak diduga deh Burangrang kalau hal itu memang sudah direncanakan Dewa Arak
Maka begitu pemuda berambut putih keperakan itu melihat Burangrang mengejarnya, kedua tangannya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss!
Deru angin keras berhawa panas menyengat, meluruk ke arah tubuh Burangrang yang tengah merangsek maju. Seperti juga sebelumnya, tokoh dari masa silam ini sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan kapaknya dibabatkan dengan dahsyat
Bresss! Crattt! Tubuh Burangrang melayang ke belakang ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak mendarat telak di tubuhnya. Seketika itu juga, tubuhnya menghitam hangus. Sedangkan Dewa Arak hanya meringis karena pergelangan tangannya terserempet kapak Burangrang.
Namun, Dewa Arak sama sekali tidak mempedulikan lukanya. Segera tubuh Burangrang yang tengah melayang dikejarnya. Kedua tangan pemuda berambut putih keperakan itu terjulur ke depan. Dan....
Tappp!
Tubuh Burangrang berhasil ditangkap Dewa Arak. Dan memang, seperti yang sudah diduga, Burangrang tidak bangkit lagi. Dia tewas dengan seluruh tubuhnya gosong. Samar-samar tercium bau daging yang terbakar hangus.
Kemudian, dengan satu tangan, Dewa Arak menotok jalan darah di sekitar lukanya, untuk mencegah cai ran merah kental lebih banyak membanjir keluar. Sementara mayat Burangrang disangga dengan satu tangan lainnya.
Tuk, tuk, tuk...!
Seketika aliran darah pada tangan Dewa Arak terhenti.
Matahari naik semakin tinggi. Dan kini, telah hampir mencapai titik tengahnya. Angin yang bertiup pun sudah tidak nyaman di kulit ketika Dewa Arak beranjak meninggalkan tempat itu sambil memanggul tubuh Burangrang. Entah dibawa ke mana mayat itu. Hanya Dewa Arak sendiri yang tahu.

SELESAI


INDEX AJI SAKA
35.Kemelut Rimba Hijau --oo0oo-- Rahasia Syair Leluhur
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.