Life is journey not a destinantion ...

Penjara Langit

INDEX AJI SAKA
75.Racun Kelabang Merah --oo0oo-- 77.Sengketa Guci Pusaka

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta


Cetakan pertama. Penerbit Cintamedia, Jakarta. Penyunting : Tuti S. Hak cipta pada Penerbit. Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Seorang kakek berpakaian coklat yang warnanya hampir pudar membuka matanya yang sejak tadi terpejam. Sorot kehijauan dan tajam mencorong dari sepasang mata yang hampir tertutup oleh alis putih.
"Mengapa masih bersembunyi? Tidakkah lebih baik kalian menampakkan diri. Kalau kalian tidak ingin bertemu denganku, aku tidak memaksa. Tapi ketahuilah, sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat ini. Jadi, kalau kalian memang bermaksud menemuiku, sekaranglah saatnya," ujar kakek berpakaian coklat, lantang. Kendati bibir kakek itu tidak terlihat bergerak sedikit pun.
Hening sejenak setelah gema ucapan kakek berpakaian coklat tidak terdengar lagi. Keheningan itu dipecahkan oleh gemerisik pelan. Disusul keluarnya dua sosok tubuh dari kerimbunan semak yang berada zdekat kakek berpakaian coklat.
Kedua sosok itu memiliki tubuh sedang. Wajah mereka tidak terlihat karena tertutup topeng dari kayu. Yang tampak hanya sepasang mata mereka yang tajam berkilat.
Dua sosok bertopeng kayu ini melangkah dengan hati-hati mendekati kakek berpakaian coklat. Sementara kakek itu tetap tenang dan tidak bergeming sedikit pun dari duduknya.
Kakek berpakaian coklat tengah duduk bersila. Ia baru saja menyelesaikan semadinya. Kakek itu tidak duduk di atas tanah, melainkan di atas tumpukan tengkorak manusia yang diatur sedemikian rupa. Tumpukan itu semakin ke atas semakin berkurang jumlahnya, sehingga membentuk kerucut. Pada bagian teratas dari tumpukan teng-korak menjadi landasan pantat kakek berpakaian coklat.
Kakek itu memperhatikan sebentar kedua sosok bertopeng kayu. Kemudian, dengan bibir yang tidak bergerak dia membuka suara.
"Ada dua hal yang membuatku tidak menyukai kalian. Pertama, sikap kalian. Aku tahu kalian telah cukup lama berada di sini dan mengintai diriku. Yang kedua adalah topeng yang menutup wajah kalian. Berdasarkan hal ini bisa diketahui kalian tidak bermaksud baik terhadapku. Ini sudah cukup membuatku mempunyai alasan untuk membunuh kalian. Tapi kalian memang beruntung, datang di saat aku tengah gembira. Jadi, kuberikan kesempatan pada kalian untuk pergi dari sini sebelum aku berubah pikiran!"
Dua sosok yang mengenakan topeng kayu telah menghentikan langkahnya tiga tombak dari kakek berpakaian coklat. Mereka saling berpandangan sejenak.
"Sayang sekali." Sosok bertopeng kayu yang bertubuh lebih kurus menyambuti ucapan kakek berpakaian coklat.
"Kami berdua sengaja datang ke situ untuk menjumpaimu karena suatu maksud. Sebelum maksud itu tercapai, kami terpaksa tidak akan meninggalkan tempat ini."
Wajah kakek berpakaian coklat membesi. Penolakan atas ancamannya membuatnya tersinggung. Tapi, sesaat kemudian wajah itu kembali se-perti biasa. Tenang.
"Kalau begitu, aku yang akan pergi!" Kakek berpakaian coklat mencoba bersabar.
"Tidak ada yang pergi dari sini! Tidak kami. Tidak juga kau! Kecuali, kalau tujuan kami telah tercapai!" tandas sosok bertopeng kayu yang bertubuh lebih kurus.
Sorot ancaman maut terbayang pada sepa-sang mata kakek berpakaian coklat.
"Rupanya kalian termasuk orang yang sukar diperlakukan dengan lembut. Kalian lebih suka dikasari! Baik kalau itu yang kalian inginkan. Meski saat ini aku tengah bergembira dan telah bersumpah untuk menjauhi kekerasan, tidak berarti aku merelakan saja orang menghina diriku!"
"Jangan salah sangka. Kami tidak ingin mengajakmu bertarung. Kami akan pergi dari sini atau membiarkanmu pergi asalkan kau mau memberikan Golok Baja Hitam pada kami!" Sosok bertopeng kayu yang lain buru-buru menukas.
"Golok Baja Hitam?!" Alis kakek berpakaian coklat berkerut. Benda yang dimaksud orang bertopeng kayu itu memang ada padanya. Tapi, sepengetahuannya tidak ada hal istimewa pada benda itu. Agak heran kalau ada orang yang menca-rinya!
"Benar!" Yang menjawab orang bertopeng kayu yang bertubuh lebih kurus.
"Cepat berikan Golok Baja Hitam, dan kami akan pergi dari sini!"
"He he he...!"
Tawa terkekeh yang bernada merendahkan diperdengarkan kakek berpakaian coklat.
"Kalian kira, kalian siapa sehingga berani meminta golok itu padaku? Apakah kalian tidak tahu siapa aku?"
"Kami tahu!" Orang bertopeng yang lebih kurus menganggukkan kepala.
"Tapi, kami tidak takut kepadamu! Memang harus kami akui orang-orang persilatan merasa gentar terhadapmu, jangan kau kira kami akan demikian. Bagi kami, julukan Iblis Tangan Maut tidak berarti apa-apa!"
"Keparat! Mulutmu terlalu berbisa. Kalau tidak dihancurkan akan semakin kurang ajar nantinya!"
Begitu ucapan kakek berpakaian coklat yang ternyata berjuluk Iblis Tangan Maut selesai, beberapa tengkorak berturutturut melesat meninggalkan tumpukan dan meluncur ke arah orang bertopeng yang bertubuh lebih kurus.
"Permainan anak-anak kau tunjukkan di hadapanku...?"
Orang bertopeng itu membarengi ucapannya dengan mendorong tangan kanannya ke depan. Dia tidak terlihat terkejut melihat tengkorak-tengkorak itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan menakjubkan. Padahal, tengkorak-tengkorak itu berasal dari lapisan ketiga dari ba-wah, sementara jumlah lapisan ke seluruhannya delapan!
Meski demikian, tumpukan tengkorak itu tidak berantakan. Bahkan, tubuh kakek berpakaian coklat tidak bergeser!
Orang bertopeng kayu itu memang tidak asal bicara. Dari tangannya keluar hembusan angin keras yang berciutan nyaring. Tengkorak-tengkorak hancur berantakan sebelum mengenai sasaran ketika terhantam angin pukulannya.
Tapi, tidak semua tengkorak dihancurkan. Tengkorak yang terakhir dibiarkannya. Hanya daya luncurannya ditahan dengan dorongan angin pukulannya.
Iblis Tangan Maut membelalak lebar melihat serangannya demikian mudah dipatahkan. Sepasang matanya yang tajam melotot seakan ingin ter-lompat keluar karena tidak percaya.
Rasa penasaran membuat kakek berpakaian coklat mengubah bentuk penyerangannya ketika melihat tengkorak yang terakhir tidak di-hancurkan. Sambil memekik nyaring, Iblis Tangan Maut menjulurkan tangan kanannya ke depan.
Lawan kakek itu mengeluh tertahan. Tengkorak yang semula terhenti luncurannya, menda-dak melesat kembali dengan kecepatan sangat tinggi. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun mengulurkan tangan dan mengerahkan tenaga da-lam untuk menahan luncuran tengkorak. Perlahan tengkorak itu tertahan dan berhenti.
Kakek berpakaian coklat tidak tinggal diam. Kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan semua sehingga tengkorak kembali meluncur mendekati lawan. Orang bertopeng pun menambah tenaganya. Sesaat kemudian, kedua tokoh itu saling mendorong untuk mengalahkan.
Teman orang bertopeng tidak berani berbuat apa-apa. Dia hanya menyaksikan jalannya pertarungan dengan harap-harap cemas. Sepasang matanya tak pernah lepas dari tengkorak yang mengapung setengah tombak dari atas tanah.
Tengkorak itu tidak pernah diam di tempat. Terkadang meluncur lambat ke arah Iblis Tangan Maut. Dan, di lain saat melayang ke arah orang bertopeng.
Beberapa saat lamanya hal itu terjadi, sebe-lum akhirnya tengkorak mulai meluncur ke arah Iblis Tangan Maut. Sedikit demi sedikit jarak anta-ra tengkorak dengan Iblis Tangan Maut bertambah dekat.
..... Di balik topeng kayunya, orang bertopeng yang menjadi penonton tunggal tersenyum lega. Dia tahu rekannya berada di pihak yang menguntungkan. Dengan jelas dilihatnya tangan Iblis Tangan Maut yang terjulur menggigil hebat. Dari atas kepalanya mengepul uap putih yang kian menebal. Sementara wajah tokoh itu telah dibanjiri peluh yang terus menetes bagai aliran anak sungai.
"Huakh...!"
Iblis Tangan Maut memuntahkan darah segar. Tubuhnya sampai terbungkuk ke depan. Gerakannya membuat tumpukan tengkorak yang sejak tadi tetap rapi karena kekuatan tenaga dalam Iblis Tangan Maut, buyar berantakan!
Tapi, justru hal ini yang menyelamatkan nyawa Iblis Tangan Maut. Runtuhnya susunan tengkorak menyebabkan tubuh Iblis Tangan Maut terbawa jatuh. Akibatnya, tengkorak yang meluncur ke arahnya dengan cepat lewat beberapa jari di atas kepala Iblis Tangan Maut.
"Bagaimana, Iblis Tangan Maut? Apakah kau masih tidak bersedia menyerahkan Golok Baja Hitam itu?"
Orang bertopeng kayu yang menjadi lawan Iblis Tangan Maut bertanya seraya meletakkan tangannya di ubun-ubun Iblis Tangan Maut. Sedikit saja jari-jari yang dialiri tenaga dalam itu bergerak menekan, nyawa kakek berpakaian coklat akan melayang ke alam baka!
Iblis Tangan Maut pun bukan orang bodoh. Dia tahu lawannya memiliki kepandaian di atasnya. Terus melakukan perlawanan adalah perbuatan bodoh! Apalagi, jika dilakukan pada saat terancam maut seperti sekarang. Iblis Tangan Maut masih ingin hidup! Dia tidak ingin tewas karena bertindak bodoh mempertahankan benda yang tidak terlalu berarti.
Di dalam hati Iblis Tangan Maut masih me-rasa heran. Benarkah Golok Baja Hitam sama sekali tidak berarti? Kalau benar demikian, mengapa orang-orang bertopeng itu begitu ingin mendapatkannya? Tidak mungkin orang berani mempertaruhkan nyawa demi suatu benda yang tidak be-rarti apa-apa! Apalagi orang-orang yang mencarinya tokoh-tokoh berilmu tinggi seperti orang bertopeng kayu ini.
Iblis Tangan Maut yakin Golok Baja Hitam memiliki sesuatu yang menarik. Timbul rasa sayang di hati kakek berpakaian coklat untuk memberikannya pada orang bertopeng.
"Aku bukan termasuk orang yang sabar, Iblis Tangan Maut!" desis orang bertopeng.
"Maka, jangan coba-coba bermain gila! Sekali lagi ku peringatkan, cepat berikan Golok Baja Hitam atau kau akan mati tersiksa!" Iblis Tangan Maut merasakan nada kesungguhan dalam ancaman itu. Dia tidak berani bertindak sembarangan. Kakek itu tidak mau mempertaruhkan dirinya dengan Golok Baja Hitam yang belum diketahui kegunaannya.
"Senjata yang kau maksud itu tidak kubawa, Sobat. Tapi, kalau kau mau mengambilnya sendiri, silakan mengambilnya di goa tempat tinggalku," jawab Iblis Tangan Maut seraya menunjuk ke satu arah di belakangnya. Tampak gundukan batu yang hampir menyerupai bukit. Pada salah satu sisinya terdapat sebuah lubang.
Dengan isyarat tangan, orang bertopeng kayu yang mengalahkan Iblis Tangan Maut memberi perintah pada rekannya untuk mengambil senjata itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang bertopeng itu melesat ke arah gundukan batu. Sementara rekannya menunggu sambil mengawasi Iblis Tangan Maut. Kakek berpakaian cok-lat itu telah duduk bersila dan siap melakukan semadi untuk mengobati luka dalam di tubuhnya.
"Ingat, Iblis Tangan Maut," desis orang bertopeng.
"Apabila kau mempermainkan kami, maka nyawamu tidak akan bisa kau selamatkan lagi!"
Tidak ada jawaban sepatah pun dari mulut Iblis Tangan Maut. Dia malah menenggelamkan di-ri dalam keheningan semadinya. Kalau lukanya dibiarkan terlalu lama akan semakin parah dan dapat membawa kematian.
Tak lama kemudian, orang bertopeng yang bertugas mengambil Golok Baja Hitam keluar dari mulut goa. Dengan cepat ia melesat ke arah rekannya.
"Mari kita pergi," ajak kawannya begitu ia tiba di dekatnya.
Tanpa mempedulikan nasib Iblis Tangan Maut, dua orang bertopeng itu melesat ke arah tadi mereka datang. Dalam beberapa kali lesatan saja tubuh keduanya sudah tidak terlihat lagi. Iblis Tangan Maut tidak memperhatikan karena masih sibuk dengan semadinya.
Entah berapa lama bersemadi, Iblis Tangan Maut tidak mengetahuinya. Yang jelas ketika dia membuka sepasang matanya, di depannya telah berdiri dua sosok tubuh. Sepasang muda-mudi yang memiliki wajah elok. Mereka mengenakan pakaian yang warnanya berlawanan. Yang wanita mengenakan pakaian merah, sedangkan yang lela-ki berpakaian putih!
"Apakah kau orang yang berjuluk Iblis Tan-gan Maut?" tanya gadis berpakaian merah, ramah.
Iblis Tangan Maut mengeluh dalam hati. Sungguh tidak disangka berturut-turut ia didatangi orang-orang yang mempunyai kepentingan dengannya. Kakek berpakaian coklat itu tahu kendati gadis berpakaian merah mengajukan pertanyaan dengan ramah, tidak berarti mereka datang dengan maksud baik. Walaupun demikian, bukan watak kakek berpakaian coklat ini untuk berbohong. Apalagi sampai tidak mengakui julukannya sendiri.
"Tidak keliru, Nona. Kau memang tengah berhadapan dengan Iblis Tangan Maut!" jawab kakek berpakaian coklat tegas seraya mengangguk-kan kepala.
"Kalau begitu kau harus mati di tanganku, Keparat!" bentak gadis berpakaian merah keras. Raut wajahnya mendadak beringas.
Singng!
Sinar terang menyilaukan mata mencuat ketika gadis berpakaian merah mencabut pedang yang tersampir di punggungnya.
"Tunggu dulu, Nona!"
Iblis Tangan Maut buru-buru mencegah ketika melihat gadis berpakaian merah hendak menyerangnya. Malah, pemuda berpakaian putih yang berdiri di sebelah gadis berpakaian merah telah mencabut pedang pula.
"Mengapa kau memusuhiku? Aku yakin di antara kita tidak ada permusuhan. Melihat wa-jahmu pun baru kali ini. Bisa kau jelaskan alasan tindakanmu?"
"Ingatkah kau dengan seorang pendekar yang berjuluk Dewa Tangan Sepuluh?" Gadis berpakaian merah menghentikan gerakannya yang sudah hampir menyerang Iblis Tangan Maut.
"Dia tewas di tanganku," jawab kakek berpakaian coklat dengan nada penuh penyesalan.
"Bagus kalau kau mengakui dosamu!" timpal gadis berpakaian merah dengan sepasang mata berapi-api.
"Dengarlah baik-baik, aku adalah putri Dewa Tangan Sepuluh! Namaku Sutini. Kurasa kau tahu maksud kedatanganku ke tempat ini. Aku ingin membunuhmu, Iblis Busuk! Bersiaplah kau, Keparat!"
Belum juga gema ucapan gadis berpakaian merah lenyap, pedang di tangannya telah melesat menyambar leher Iblis Tangan Maut dengan kece-patan tinggi. Bentuk pedang Sutini lenyap menjadi sekelebatan sinar berkilauan yang disertai bunyi berdesing nyaring.
Iblis Tangan Maut mengenai serangan mematikan itu. Buruburu kakek berpakaian coklat ini melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara menjauhkan diri.
Sutini yang dilanda dendam membara tidak membiarkan lawannya lolos. Dia segera melompat mengejar seraya mengirimkan tusukan berantai ke bagian-bagian tubuh yang mematikan!
–––––––– 2
Iblis Tangan Maut sudah memperhitungkan hal itu. Maka, sambil menjauh kedua tangannya dikibaskan ke arah tengkoraktengkorak yang berserakan.
Bagai dilemparkan tangan yang ahli, tengkorak-tengkorak itu meluncur berturut-turut ke berbagai bagian tubuh Sutini. Gadis berpakaian merah itu terpaksa membatalkan serangannya. Bila dilanjutkan hanya akan mencelakai dirinya sendiri. Sebelum ujung pedang menghujam di tubuh lawan, tengkorak-tengkorak itu akan lebih dulu menghantam tubuhnya.
Trak, trak, trakkk!
Tengkorak-tengkorak berpentalan tak tentu arah ketika Sutini menarik kembali serangannya dan menggunakan senjatanya untuk memapaki.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Iblis Tangan Maut untuk melancarkan serangan balasan. Kakek berpakaian coklat ini menyadari Sutini bukan lawan yang ringan. Apalagi dirinya belum sembuh benar dari luka dalam.
Pemuda berpakaian putih yang telah meng-genggam pedang tidak terjun ke dalam kancah pertarungan. Dia berdiri dengan sekujur urat-urat yang menegang penuh kewaspadaan. Gagang pedangnya dicekal dengan kencang. Pemuda berpa-kaian putih ini bersiap-siap menolong apabila Sutini terdesak!
Diam-diam pemuda berpakaian putih mera-sakan gurunya dan juga guru Sutini, memang me-reka saudara seperguruan, terlalu menganggap Iblis Tangan Maut memiliki kepandaian tinggi. Kenyataan yang dilihat pemuda itu tidak demikian. Dengan jelas dilihatnya walaupun Sutini tak akan mampu mengalahkan Iblis Tangan Maut, tapi kakek berpakaian coklat itu pun tidak akan mudah mengalahkan lawannya. Kendati setelah pertarungan berlangsung hampir tiga puluh jurus, Iblis Tangan Maut mulai dapat mendesaknya.
"Kalau hanya sampai di situ saja kepandaian Iblis Tangan Maut," pemuda berpakaian putih berkata dalam hati, "Tidak sepantasnya tokoh ini amat mengkhawatirkan hati Guru. Jangankan Guru, aku dan Sutini maju bersama pun Iblis Tangan Maut dapat dibinasakan."
Melihat keadaan Sutini semakin tidak menguntungkan, sambil mengeluarkan pekikan melengking nyaring pemuda berpakaian putih terjun ke dalam kancah pertarungan. Keadaan langsung berubah.
Sutini tidak terdesak lagi. Malah, Iblis Tangan Maut yang terdesak. Pedang di tangan Sutini dan pemuda berpakaian putih bagai digerakkan oleh satu pikiran. Mereka saling melindungi dan memperkuat serangan.
Iblis Tangan Maut menjerit tertahan ketika ujung pedang Sutini menyerempet paha kanannya. Tubuhnya terhuyunghuyung ke belakang. Ke-sempatan itu dipergunakan pemuda berpakaian putih untuk melompat dan mengirimkan tusukan ke dada. Hanya selisih sekejap mata saja, Sutini menusukkan pedangnya ke leher!
"Pengecut-pengecut hina yang beraninya hanya main keroyok!"
Pada saat yang bersamaan dengan terden-garnya bentakan itu, dua kilatan cahaya yang menyilaukan mata meluncur cepat dan menghantam pedang Sutini dan saudara seperguruannya.
Sutini dan pemuda berpakaian putih terperanjat. Tangan mereka bergetar hebat. Dan, hampir saja senjata yang tercekal, terlepas. Kilatan benda menyilaukan yang terpaksa mereka tangkis melayang ke satu arah. Dengan enaknya, seorang gadis muda berwajah cantik mengulurkan tangan menangkapnya.
Kegagalan serangan itu membuat Sutini yang paling bernafsu untuk membunuh Iblis Tangan Maut menjadi sangat geram.
"Siapa kau, Wanita Liar? Sungguh berani kau mencampuri urusanku!" bentak Sutini dengan sepasang mata mendelik. Meski merasa heran melihat lawannya mampu membuat senjata yang dilontarkan kembali ke pemiliknya, rasa amarah membuat Sutini lupa. Padahal, dia melihat bentuk senjata itu. Logam putih yang berbentuk bulan sabit!
"Kaulah yang liar!"
Gadis yang baru tiba dan menggagalkan se-rangan maut terhadap Iblis Tangan Maut tidak mau kalah gertak. Bahkan, dia menudingkan jari telunjuk kirinya yang lentik.
"Mengapa kau menyerang kakekku...?!"
Bukan hanya Sutini saja yang terkejut. Pe-muda berpakaian putih pun demikian. Mereka tidak pernah menyangka Iblis Tangan Maut mempunyai seorang cucu perempuan!
"Kakeknya orang jahat. Cucunya pun sudah pasti bukan orang baik-baik! Lebih baik kau kubunuh sebelum menyebar maut di dunia persila-tan!"
Sutini yang tengah kalap melontarkan pukulan tangan kanan dan kirinya yang terkepal keras ke dada gadis berpakaian hijau. Jarak antara mereka sekitar lima tombak. Tapi, itu tidak menja-di masalah. Dari kedua tangan yang dipukulkan itu berhembus angin keras. Sutini mengirimkan pukulan jarak jauh.
Gadis berpakaian hijau melakukan hal yang sama. Terdengar bunyi menggelegar ketika pukulan-pukulan jarak jauh itu berbenturan di tengah jalan. Setiap benturan membuat Sutini terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan, benturan yang te-rakhir membuat Sutini terjengkang dan hampir jatuh.
Kenyataan ini sangat mengejutkan Sutini dan saudara seperguruannya. Mereka tidak menyangka tenaga dalam gadis berpakaian hijau demikian hebat. Malah lebih kuat dari Iblis Tangan Maut!
Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berpakaian putih menerjang cucu Iblis Tangan Maut. Ia membantu Sutini yang telah lebih dulu menyerang.

* * *




Permainan pedang Sutini dan saudara seperguruannya hebat bukan main. Bentuk pedang-pedang itu lenyap. Yang terlihat hanya kilatan-kilatan sinar yang meluncur ke arah cucu Iblis Tangan Maut.
Namun, gadis berpakaian hijau itu memang benar-benar mengagumkan. Berbeda dengan kedua lawannya yang bersenjatakan pedang, gadis ini hanya menggunakan sebatang suling. Suling bambu! Cucu Iblis Tangan Maut ini memakai suling sebagaimana orang mempergunakan golok atau pedang. Terkadang menusuk, membabat, atau membacok. Namun yang menakjubkan, gera-kan suling itu selalu menimbulkan bunyi nyaring yang indah dan merdu.
Sutini dan pemuda berpakaian putih menjadi gelisah. Mereka memang tidak mengalami ke-sulitan menghadapi permainan suling cucu Iblis Tangan Maut. Tapi, suara suling itu merasuk ke dalam telinga dan membuat jantungnya berdebar kencang. Hal ini mempengaruhi gerakan Sutini dan kawannya. Permainan pedang mereka agak kacau.
Tukkk, desss!
Pada suatu saat, suling cucu Iblis Tangan Maut berhasil menotok bahu kanan Sutini. Disusul dengan tendangan kaki kanan gadis itu pada paha kiri pemuda berpakaian putih. Tubuh Sutini dan kawannya terhuyung-huyung ke belakang.
Sutini dan saudara seperguruannya menja-di sadar cucu Iblis Tangan Maut memiliki kepandaian luar biasa. Terus memaksakan diri melakukan perlawanan hanya akan sia-sia. Maka, tanpa malu-malu lagi kakak dan adik seperguruan itu melesat meninggalkan tempat itu.
Gadis berpakaian hijau yang marah pada Sutini dan pemuda berpakaian putih karena hen-dak membunuh kakeknya tidak membiarkan la-wan-lawannya kabur. Dia melesat melakukan pengejaran.
"Karina...! Tidak usah dikejar...!"
Gadis berpakaian hijau menghentikan ayunan kakinya. Ia tidak melakukan pengejaran lagi sehingga Sutini dan kawannya leluasa melarikan diri.
Gadis berpakaian hijau yang bernama Karina menghentakkan kaki ke tanah dengan kesal.
Tampaknya ia tidak rela membiarkan lawan-lawannya kabur. Dengan sorot mata penasaran, pandangannya dialihkan ke arah Iblis Tangan Maut, kakeknya.
"Mengapa Kakek mencegahku? Apabila tadi kakek tidak melakukan hal itu, aku yakin akan berhasil menangkap orangorang yang bermaksud membunuh Kakek!" protes Karina, marah.
Iblis Tangan Maut hanya tersenyum lebar. Luka pada bahunya telah tidak mengganggu lagi. Dia telah menotok jalan darah di sekitar luka hingga aliran darah terhenti. Dengan wajah berse-ri-seri ditunggunya Karina berada di dekatnya.
"Tenanglah, Karina." Iblis Tangan Maut memberi nasihat.
"Mungkin ada baiknya kau mendengarkan ceritaku agar hatimu tenang. Cerita yang menyebabkan mereka berdua datang kemari untuk membunuhku. Juga akan kuceritakan tentangku serta siapa ayah dan ibumu."
Wajah Karina langsung berseri-seri.
"Tentang dirimu dan ayah ibuku, Kek! Jadi, sekarang aku telah boleh mengetahuinya?" tanya Karina dengan gembira. Memang, Iblis Tangan Maut selalu mengulur jawaban apabila gadis ber-pakaian hijau itu menanyakannya. Kakek berpa-kaian coklat ini selalu memberikan jawaban, 'belum saatnya' atau 'nanti apabila kau telah de-wasa'
"Duduklah dulu, Karina. Aku akan menceritakan semuanya. Kuharap kau mau bersabar mendengarkannya. Cerita ini cukup panjang."
"Aku akan sabar mendengarkannya, Kek," jawab Karina cepat. Ia duduk di salah satu tengkorak yang berserakan di sekitarnya.
Iblis Tangan Maut tidak segera bercerita. Kakek berpakaian coklat ini malah termenung. Karina tidak tahu mengapa. Tapi, dia tidak ambil pusing dan menganggap kakeknya tengah mengingat-ingat hal yang akan diceritakannya.
"Usiaku sekarang kurang lebih seratus tahun. Sejak masih berumur dua puluh sembilan tahun aku telah menjagoi dunia persilatan. Satu demi satu tokoh persilatan yang bentrok denganku roboh. Kalau tidak tewas, pasti terluka yang amat parah. Tapi sebagian besar tewas. Karena itu, hanya dalam waktu beberapa tahun saja aku sudah mendapat julukan Iblis Tangan Maut. Sebuah julukan yang menyeramkan."
Iblis Tangan Maut tersenyum getir. Sorot penyesalan memancar jelas dari wajah dan sepasang matanya.
Karina yang tidak pernah tahu masa lalu Iblis Tangan Maut dan hanya tahu kakek berpakaian coklat ini adalah kakeknya, diam-diam terkejut bukan main mendengar cerita itu. Tanpa dijelaskan lagi dia tahu kakeknya termasuk tokoh golongan sesat! Tapi karena khawatir menyinggung hati Iblis Tangan Maut, Karina bersikap biasa saja. Seakan berita yang didengar tidak membuatnya terkejut sama sekali.
Iblis Tangan Maut merasa kagum melihat sikap Karina yang terlihat biasa saja. Padahal, kakek berpakaian coklat ini telah mengira Karina akan terkejut mendengar ceritanya. Bahkan, Iblis Tangan Maut sudah siap untuk melihat keterkejutan Karina. Tapi ternyata hal yang ditakutkan Iblis Tangan Maut tidak terjadi. Kakek berpakaian coklat itu menjadi lega. Ia melanjutkan ceritanya den-gan hati lapang.
"Karena kepandaian yang kumiliki, aku jadi banyak mempunyai musuh dan juga pengikut. Musuh-musuhku sebagian besar orang-orang golongan putih. Sedangkan pengikutku para penjilat dan orang-orang yang ingin mencari untung atas nama besar yang kumiliki. Bertahun-tahun aku hidup seperti itu. Gaya hidupku baru berubah ketika bertemu dengan seorang gadis cantik yang hampir menjadi korban kejahatan sekelompok penjahat. Aku menolongnya. Penjahat-penjahat kecil itu kubasmi semua. Kemudian kunyatakan cinta pada gadis itu, karena memang aku menyukainya. Gadis itu menerimanya dengan syarat aku bersedia meninggalkan dunia kejahatan dan ikut bersamanya menjauhi kerasnya dunia persilatan. Sebelum itu, gadis itu memintaku untuk membalaskan sakit hatinya karena ayahnya dibunuh orang jahat. Itu pun berhasil aku penuhi. Aku dan gadis itu menikah dan hidup dengan tenang di desa."
Iblis Tangan Maut menghentikan ceritanya. Sepasang matanya menerawang ke atas. Entah apa yang dipikirkan. Mungkin kakek berpakaian coklat ini tengah terkenang pada kehidupan te-nangnya di masa lalu.
"Bertahun-tahun aku dan gadis itu hidup tenang. Sampai akhirnya kami mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Orang-orang yang mendendam padaku terlalu banyak, sehingga mereka terus menelusuri jejakku. Tempat persembunyianku berhasil diketemukan. Dan sialnya saat itu aku tengah berada di sawah. Istriku dibunuh. Anakku sedang bermain sehingga tidak ikut terbunuh. Tapi tetap saja kejadian itu mengguncangkan hatiku. Aku hampir gila rasanya. Setelah menitipkan anakku pada salah seorang sahabat baikku, aku pergi untuk mencari pembunuhpembunuh keji itu. Bertahun-tahun aku melacak mereka. Pencarianku tidak sia-sia. Mereka kutemukan. Tanpa ampun kubantai mereka semua. Namun, sungguh tidak kusangka kalau sepeninggalku di dunia persilatan telah muncul tokoh sesat yang merajai go-longan hitam. Siluman Dari Neraka, julukannya. Salah satu dari tiga pembunuh istriku ternyata mempunyai hubungan baik dengan Siluman Dari Neraka."
"Ah...!"
Karina tidak tahan untuk tidak berseru kaget. Julukan datuk sesat itu membuat bulu kuduknya berdiri. Tokoh yang mempunyai julukan seperti itu pasti memiliki kekejaman yang mendirikan bulu roma.
"Aku yang memang tidak ingin mencari permusuhan lagi dengan orang-orang yang tidak mempunyai masalah denganku, tidak ambil peduli. Gairahku untuk berkiprah di dunia persilatan telah lenyap seiring dengan perginya istriku ke alam baka. Aku berniat kembali pada anakku."
Iblis Tangan Maut melanjutkan ceritanya dengan suara getir.
"Tapi ternyata kemunculanku telah memancing datangnya musuh-musuhku. Mereka orang-orang yang merasa sakit hati karena sahabat, kakak, atau saudaranya tewas di tanganku. Aku tidak bisa segera kembali pada anakku karena khawatir akan keselamatannya. Penghadangan-penghadangan dari orang-orang yang bermaksud membunuhku senantiasa terjadi. Hari-hariku pun seperti sebelum aku mengasingkan diri. Hanya kali ini aku tidak bertangan kejam. Tidak ada orang yang kubunuh kecuali sangat terpaksa. Karena serangan-serangan itu semakin menjadi-jadi, kesabaranku pun lenyap. Aku kembali seperti dulu. Aku menjadi Iblis Tangan Maut lagi! Salah seorang yang tewas di tanganku adalah Dewa Tangan Sepuluh yang bermaksud membalaskan kematian kawannya. Kau tahu siapa Dewa Tangan Sepuluh, Karina?"
Gadis berpakaian hijau itu menggeleng.
"Dewa Tangan Sepuluh adalah ayah gadis berpakaian merah
tadi."
Karina terperanjat. Sekarang dia tahu mengapa Sutini tadi demikian bernafsu untuk membunuhnya. Ternyata Sutini memendam rasa dendam.
"Akhirnya aku berhasil berkumpul dengan anakku saat ia telah dewasa. Bahkan, aku sempat menikahkannya dengan seorang pendekar yang memiliki kepandaian cukup tinggi," lanjut Iblis Tangan Maut.
"Apakah mereka ayah dan ibuku?" tanya Karina dengan suara serak karena perasaan tegang.
"Benar," Iblis Tangan Maut mengangguk.
"Ibumu, yaitu anakku, bernama Umari. Sedangkan ayahmu bernama Lesmana." "Di mana mereka sekarang, Kek?" tanya Karina tidak sabar.
Iblis Tangan Maut tidak segera menjawab. Dia malah menatap wajah Karina dengan sinar mata penuh rasa iba. Karina pun mendapat firasat jelek. Namun, dia tetap ingin mendengar kepas-tiannya.
"Katakanlah, Kek. Apa yang terjadi dengan orangtua ku? Percayalah, aku siap untuk menden-gar sekalipun berita yang akan kau katakan itu buruk."
Iblis Tangan Maut menghela napas berat. Dia terlihat bimbang untuk memberikan jawaban.
"Meskipun kau tidak memintanya, Karina, aku tetap akan menceritakannya. Syukurlah kau berhati tegar dan siap mendengarnya. Nah, dengarlah baik-baik."
Karina merasakan jantungnya berdetak le-bih cepat. Gadis itu tegang bukan main. Saking te-gangnya dan khawatir cerita Iblis Tangan Maut ti-dak terdengar jelas, gadis berpakaian hijau ini sampai menahan napas.
"Karena Umari telah menikah, aku tidak tinggal bersama mereka lagi. Ada orang lain yang telah menjaganya, yaitu ayahmu. Aku juga khawatir keberadaanku bersama mereka hanya akan menimbulkan bahaya. Baru setahun setelah perkawinan mereka, aku datang berkunjung. Ternyata kedatanganku sangat tepat. Meskipun harus kuakui agak terlambat."
"Aku masih kurang jelas dengan ucapanmu, Kek?" sergah Karina tidak sabar.
–––––––– 3
Iblis Tangan Maut tersenyum maklum. Ia mengerti mengapa Karina menyela pembicaraannya.
"Siluman Dari Neraka yang merasa perlu membunuhku untuk membuktikan kalau dirinya lebih unggul dari Iblis Tangan Maut, mencari-cariku. Karena tidak menemukanku, dia bermaksud membunuh Umari dan suaminya untuk memancing kedatanganku. Tapi, seperti telah diatur oleh Yang Kuasa, aku datang dan berhasil memer-gokinya. Siluman Dari Neraka benarbenar kejam. Umari dan suaminya disiksa. Bahkan, anak mereka yang masih bayi dan baru berumur beberapa hari hendak dibunuhnya pula."
Wajah Karina pucat pasi. Meski tidak menyaksikan sendiri, dia bisa membayangkan siksaan yang diderita orangtuanya. Kalau Iblis Tangan Maut saja yang telah terbiasa membunuh orang, merasa ngeri, Karina sukar membayangkan bentuk penyiksaan itu.
"Bayi yang baru berusia beberapa hari itu pasti aku. Benar demikian, Kek?" tanya Karina.
Api dendam mulai berkobar di dalam dadanya.
"Benar." Iblis Tangan Maut mengangguk.
"Siluman Dari Neraka bermaksud membunuhmu untuk menyiksa hati ayah dan ibumu, Karina. Padahal, mereka meski telah tersiksa setengah mati meratap-ratap agar kau diampuni. Mereka meminta agar siksaan yang akan ditimpakan kepadamu dialihkan saja pada mereka berdua. Tapi, Siluman Dari Neraka yang memang sengaja hendak me-nyiksa batin mereka mana mau memenuhinya?"
Karina menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tidak terdengar isak tangis. Namun dari celah-celah kedua tangan itu mengalir air mata. Karina menangis tanpa suara. Gadis berpakaian hijau ini merasa terharu mengingat kasih sayang ayah bundanya yang demikian besar.
"Sebelum Siluman Dari Neraka membuktikan ancamannya dengan menyiksamu, aku datang. Meski tidak ada yang memberi penjelasan, aku segera tahu apa yang tengah terjadi. Kutantang Siluman Dari Neraka. Dia yang memang tengah mencari-cariku langsung menyambuti. Kami pun terlibat pertarungan. Sebelumnya kuperintahkan Umari dan Lesmana agar pergi dari situ untuk menyelamatkan kau, Karina. Aku khawatir tidak akan mampu menang melawan Siluman Dari Neraka. Padahal aku tahu pasti dari luka-luka akibat siksaan yang mereka derita, orangtua mu tidak akan bertahan hidup. Tapi setidak-tidaknya kau selamat, Karina."
Iblis Tangan Maut menundukkan kepala. Sejenak kemudian diangkatnya kembali. Tidak terlihat gambaran perasaan apa pun pada wajah keriput yang terlihat matang oleh pengalaman hidup itu. Tapi, Karina tahu kakek berpakaian coklat itu tengah sangat berduka. Gadis ini telah lama ting-gal bersama Iblis Tangan Maut. Sehingga, dapat merasakan apa yang tengah dirasakan kakeknya.
"Ayah dan ibumu memenuhi perintahku. Dengan susahpayah mereka membawamu pergi. Aku sempat melihatnya sekilas. Dan, tidak bisa mengawasi mereka terus karena nyawaku sendiri tengah terancam. Siluman Dari Neraka memang sangat hebat. Harus kuakui tingkat kepandaiannya berada di atasku. Betapapun telah kukuras seluruh kemampuan yang kumiliki, tetap tidak mampu mengubah keadaan. Perlawananku terhenti ketika sebuah pukulannya membuat tubuhku terlempar. Pukulan itu keras sekali sehingga aku terluka dalam yang parah. Nyawaku tinggal melayang ke alam baka. Namun sebelum Siluman Dari Neraka melancarkan serangan susulan yang mematikan, muncul dua orang gagah. Mereka langsung menyerang Siluman Dari Neraka yang telah lelah bertarung denganku."
"Bagaimana hasil pertarungan itu, Kek? Apakah Siluman Dari Neraka itu mampus?!" tanya Karina dalam rasa benci yang menggelora.
Iblis Tangan Maut bisa merasakan kebencian itu.
"Aku tidak tahu, Karina," jawab Iblis Tangan Maut agak menyesal.
"Aku hanya menyaksikan sebentar untuk melihat kepandaian dua orang gagah itu. Kepandaian mereka ternyata cukup tinggi. Kalau pertarungan dilakukan satu lawan satu, mereka bukan tandingan Siluman Dari Neraka. Tapi karena, mereka berdua dan tenaga Siluman Dari Neraka telah terkuras, kemungkinan kedua orang itu akan keluar sebagai pemenang. Aku pergi dari situ untuk menyusul ayah dan ibumu, Karina. Kekhawatiranku ternyata beralasan. Di tengah jalan kulihat tubuh ayah dan ibumu tergolek tidak bernyawa. Kau menangis sendirian di tengah padang rumput yang luas. Aku pun membawamu kemari setelah menguburkan mayat ayah dan ibumu di sana."
Karina menundukkan kepala. Tidak me-nyangka orangtuanya meninggal dengan cara demikian mengenaskan. Hatinya sedih bukan main.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Karina?" tanya Iblis Tangan Maut setelah mem-biarkan gadis berpakaian hijau itu terdiam bebe-rapa saat.
"Entahlah, Kek," jawab Karina ragu.
"Yang jelas aku hendak mengunjungi makam orangtua ku. Setelah itu aku belum tahu, Kek."
Iblis Tangan Maut tidak memberikan tanggapan. Dia tahu Karina masih bimbang.
"Sayang sekali aku tidak bisa mengantarmu, Karina. Aku sudah tua. Otot-otot kakiku tidak kuat lagi untuk menempuh perjalanan jauh. Pesanku, jangan kau coba-coba membalas dendam terhadap Siluman Dari Neraka. Percuma, Karina. Kau akan celaka di tangannya. Kendati semua ilmu yang kumiliki telah kuberikan padamu tapi masih terlalu jauh untuk kau pakai menandinginya. Siluman Dari Neraka terlalu tangguh untuk ditandingi, apalagi dikalahkan!"
Karina membisu. Gadis berpakaian hijau ini tidak berani mengangguk atau menggeleng. Bisa saja untuk menyenangkan hati Iblis Tangan Maut, Karina mengangguk. Tapi, itu tidak dilakukannya. Karina tidak mau membohongi kakeknya.
Iblis Tangan Maut pun mengerti mengapa Karina bersikap demikian. Maka, dia tidak mendesak cucunya untuk memberikan jawaban.
"Kapan kau akan pergi, Karina?" Dengan pandainya, Iblis Tangan Maut mengalihkan pembi-caraan.
"Mungkin beberapa hari lagi, Kek. Aku ingin di sini dulu bersama Kakek."

* * *




Hari masih pagi ketika seorang gadis cantik berpakaian hijau mengayunkan kaki memasuki mulut sebuah hutan. Wajahnya terlihat murung. Langkah kakinya pun tidak bersemangat. Gadis itu berjalan sambil menundukkan wajahnya. Hanya sesekali pandangannya ditujukan ke depan.
Ketika suatu saat gadis ini mengangkat wajahnya, terlihat sesosok tubuh bungkuk melangkah tertatih-tatih. Sebatang tongkat tergenggam di tangan kanannya. Benda itu digunakan untuk membantunya berjalan.
Hati gadis berpakaian hijau yang tidak lain Karina jadi tersentuh. Rasa iba terbit di hatinya melihat sosok di depannya melangkah dengan susah payah. Bahkan, beberapa kali terhuyung seperti akan jatuh.
Karina memang memiliki watak pendiam. Kendati demikian, bila tengah murka dia tidak kalah berbahayanya dengan orang yang pemarah. Untungnya, Iblis Tangan Maut mendidiknya dengan baik sehingga gadis ini tumbuh menjadi seorang dara yang berwatak gagah.
Karena itu, Karina tidak sampai hati membiarkan sosok di hadapannya. Sosok yang mengenakan pakaian merah lusuh itu adalah seorang kakek. Pandang mata Karina yang tajam dapat melihat dengan jelas jalan yang ditempuh kakek itu terus menanjak. Perjalanan yang tidak ringan bagi seorang yang telah berusia lanjut.
Karina segera melesat. Ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan untuk bisa menyusul sosok di hadapannya. Karina ingin membantu kakek itu untuk melanjutkan perjalanan.
Karina merasa heran ketika telah beberapa kali lesatan tidak juga menyusul kakek berpakaian merah. Padahal, sekali lesatan tak akan kurang dari delapan tombak. Paling tidak sudah dua puluh lima tombak jarak yang ditempuhnya. Sedang-kan kakek berpakaian merah berada sepuluh tombak di depannya, meskipun selama Karina melesat kakek itu terus berjalan.
Rasa penasaran dan heran membuat Karina mengerahkan seluruh kemampuan larinya. Sambil mengayunkan kaki, pandangannya diarahkan pada sosok di depannya. Dengan jelas dilihatnya kakek itu melangkah tertatih-tatih. Tapi anehnya, jarak antara mereka tetap tidak berubah! Betapapun Karina bersikeras dan terus berlari. Bahkan, sam-pai peluh membasahi sekujur tubuh dan napasnya menderu-deru, kakek berpakaian merah tetap tidak mampu dikejarnya.
Kenyataan ini membuat Karina menyadari kalau kakek berpakaian merah tidak selemah seperti yang diduganya. Kakek itu justru seseorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, ma-na mungkin hanya dengan berjalan tertatih-tatih mampu membuat pengejaran yang dilakukan den-gan sepenuh kemampuannya tidak berarti sama sekali?
Meskipun demikian, keinginan Karina tidak menjadi surut untuk menyusul kakek itu. Gadis berpakaian hijau ini malah ingin berkenalan dengan kakek berpakaian merah yang luar biasa itu.
Karina baru menghentikan pengejarannya ketika kakek itu lenyap dari pandangan ketika berada di jalan setapak yang di kanan kirinya ter-hampar kerimbunan semak, Gadis ini menatap ke arah dua jalan di kanan kirinya. Hanya ada dua jalan.
Karina bimbang memilih jalan yang akan di-tempuhnya. Dia tidak sempat melihat jalan mana yang dipilih kakek berpakaian merah. Tadi tubuh kakek itu tidak terlihat karena jalan yang meleng-kung sehingga menghalangi pandangan.
"Kau mencariku, Anak Manis?"
Teguran dari arah belakangnya membuat Karina terlonjak dan bergegas membalikkan tubuh. Karina kaget bagai terpatuk ular berbisa. Da-ra ini tidak menyangka kakek yang dicarinya telah muncul di belakangnya. Namun sebentar kemu-dian, perasaan kaget itu berhasil dihalaunya. Tan-pa ragu-ragu dara ini mengangguk.
"Benar, Kek," jawab Karina seraya menatap kakek berpakaian merah dengan penuh selidik.
Wajah kakek itu dihiasi oleh kumis, jambang, dan jenggot kasar yang putih serta tidak terawat. Kulit wajahnya merah seperti udang direbus. Sinar matanya yang tajam dan memancarkan sorot mengerikan membuat kakek ini terlihat angker. Ia mengenakan pakaian merah.
"Mengapa kau mengejar-ngejarku?!" tanya kakek bermuka merah penuh ancaman. Sepasang matanya mencorong menikam wajah Karina seakan ia hendak melihat kebenaran jawaban gadis itu.
Karina merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Sorot mata itu membuatnya yakin kalau kakek yang berdiri di hadapannya ini memiliki kemampuan luar biasa.
Sepengetahuannya hanya tokoh-tokoh yang memiliki tenaga dalam tinggi saja yang memiliki sinar mata seperti itu. Karina melihat sorot mata seperti ini pada kakeknya, Iblis Tangan Maut.
Gadis berpakaian hijau ini tidak merasa gentar sedikit pun. Gemblengan kakeknya telah membuatnya menjadi seorang dara yang tidak kenal takut. Apalagi mengetahui dirinya tidak melakukan kesalahan.
"Sebenarnya aku tidak bermaksud demikian, Kek. Kebetulan aku menempuh perjalanan kemari. Di kejauhan kulihat kau tengah berjalan tertatih-tatih. Karena jalan daerah ini cukup berat, aku bermaksud membantumu. Sungguh tidak ku-sangka ternyata kau tidak seperti yang kuduga," jawab Karina lancar dan tenang.
"Tidak seperti yang kau duga? Apa maksudmu, Nona Muda?!" desak kakek berpakaian merah ingin tahu.
"Kau seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Jadi, apa artinya pertolongan yang hendak kuberikan?" kilah Karina, halus.
Wajah kakek berpakaian merah membesi. Sinar matanya memancarkan kebengisan.
"Gadis Lancang! Berani kau merendahkan aku? Sungguh berani kau memandang rendah diriku. Aku tidak mau menerima begitu saja penghinaan ini! Kau harus mendapat hukuman yang setimpal atas kelancangan yang telah kau lakukan!"
Sepasang mata Karina berkilat-kilat Kemarahannya bangkit mendengar ancaman kakek itu. Tidak disangka kakek berpakaian merah ini memiliki watak demikian keji! Orang beritikad baik untuk menolongnya malah dianggap menghina. Bahkan, hendak memberikan hukuman. Sungguh gila dan keterlaluan!
"Kalau boleh kutahu, hukuman apa yang hendak kau jatuhkan padaku, Kek?!"
"Ah. Kau marah kiranya.... Marah karena aku hendak menghukummu? Bagus. Aku lebih suka menghukum orang yang berani melawan setelah merendahkanku!" jawab kakek berpakaian merah.
"Kau tahu, Nona Muda. Hukuman yang ingin kujatuhkan padamu adalah hukuman potong kedua telinga dan ujung hidung! Sekarang terserah padamu. Kau ingin aku yang melaksanakan hukuman itu atau kau sendiri yang melakukannya!" "Kakek berhati keji!"
Karina tidak kuasa menahan kemarahan yang meluap. Tindakan kakek itu dirasakan sangat kejam. Memotong kedua telinga dan ujung hidungnya! Betapa kejinya. Karina seorang gadis yang masih muda dan berwajah cantik. Apa jadinya kalau hukuman itu dilaksanakan. Tentu Ka-rina akan menjadi seorang gadis yang memiliki wajah menakutkan.
"Kau kira aku takut dengan ancamanmu?!"
"Ha ha ha...!"
Kakek berpakaian merah tertawa bergelak sehingga tampaklah giginya yang telah ompong. Tidak terlihat sebuah gigi pun di sana. Kebengisan dan kekejaman yang memancar di wajahnya.
"Rupanya kau seorang wanita pemberani, heh? Bagus. Bagus. Aku ingin tahu sampai di ma-na keberanianmu. Akan kau rasakan sendiri sik-saan yang akan membuatmu tidak berani mengunjukkan diri ke dunia luar lagi. Ha ha ha...!"
Karina merasakan jantungnya seperti diremas-remas ketika kakek itu tertawa. Kedua kakinya menggigil keras. Bergegas tenaga dalamnya dikerahkan untuk melawan pengaruh itu. Tapi, tawa itu tidak terdengar terlalu lama. Rupanya kakek berpakaian merah tidak ingin menggunakan tawanya untuk menyerang Karina. Tawa itu keluar karena rasa gembiranya.
Karina semakin was-was melihat kenyataan ini. Kalau tidak ditujukan untuk menyerang saja sudah demikian dahsyat pengaruh yang ditimbulkan, bagaimana bila kakek itu benarbenar ingin menyerangnya. Dara ini tidak bisa memperkirakan kedahsyatannya.
Karina tidak mau berpikir panjang. Kakek di hadapannya ini memiliki kepandaian luar biasa, maka suling yang terselip di pinggang segera dica-butnya. Suara merdu seperti bunyi suling ditiup langsung terdengar.
"Keluarkan senjatamu, Kakek Jahat! Kalau tidak jangan salahkan aku jika sulingku ini memukul mati kau!" Karina yang merasa tidak enak untuk menyerang lawan tidak bersenjata, memberikan kesempatan pada kakek berpakaian merah untuk mengeluarkan senjatanya.
Kakek berpakaian merah malah tertawa mengikik. Pandang matanya penuh dengan hinaan ketika menatap senjata Karina.
"Benda itu kau katakan senjata? Ah! Justru aku ingin mendengar bunyi yang akan kau mainkan. Pasti merdu sekali.
Sudah lama aku tidak mendengar bunyi musik!"
"Jebol perutmu...!"
Karina membarengi teriakannya dengan tu-sukan suling bambunya ke perut lawan. Kakek berpakaian merah sedikit pun tidak mengelak. Ba-ru ketika ujung suling mengenai kulit, perutnya ti-ba-tiba dikempeskan. Suling Karina ikut terbawa masuk. Beberapa saat kemudian, kakek itu mengembungkan perutnya.
"Ah...!"
Karina mengeluarkan teriakan tertahan. Ia terjengkang ke belakang akibat gerakan perut yang aneh itu. Bersamaan dengan gerak menggendutnya perut kakek berpakaian merah, ada kekuatan dahsyat yang mendorong tubuh gadis itu ke belakang. Karina tak mampu berbuat apa pun untuk bertahan. Dorongan itu terlalu kuat!
Kakek berpakaian merah tertawa bergelak melihat Karina menatap ke arahnya dengan pan-dang mata terbelalak. Gadis itu berhasil mema-tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang.
Untuk sesaat Karina menatap perut kakek itu yang tidak tertutup pakaian. Pakaian yang di-kenakannya sebenarnya cukup untuk menutupi bagian tubuh belakang dan depan. Tapi, kakek itu telah merobek bagian depannya sedemikian rupa sehingga mirip rompi.
"Ayo, tunggu apa lagi? Tidak ada gunanya kau bengongbengong seperti itu. Cepat kau buntungi ujung hidung dan dua telingamu sebelum aku yang melakukannya!" seru kakek berpakaian merah.
"Jangan harap aku akan melakukannya, Kakek Jahat!"
Karina yang masih penasaran kembali men-girimkan serangan. Kali ini ujung sulingnya ditu-jukan ke arah ubun-ubun kakek itu. Karina tahu betapapun saktinya kakek itu tak akan mungkin mampu melindungi ubun-ubun dengan kekuatan tenaga dalam. Ubun-ubun merupakan bagian ter-lemah dari tubuh manusia!
Kakek berpakaian merah tetap terkekeh. Perutnya mendadak bergerak dengan aneh. Bergelombang turun naik, mengembang dan mengempis. Seakan ada sesuatu di dalam perut itu yang bergerak-gerak ingin keluar!
Kembali Karina mengalami kejadian yang mengejutkan. Serangannya langsung berubah arah! Tidak lagi menuju ubunubun, tapi menukik dengan kecepatan menakjubkan ke arah perut! Ada kekuatan tak nampak yang membuat arah suling menyeleweng.
Karina tidak membiarkan hal itu terjadi. Kekuatannya dikerahkan untuk bertahan dan meneruskan serangan ke sasaran semula. Tapi tetap saja dia tidak mampu. Perut yang bergelombang itu seperti mengeluarkan daya tarik yang luar biasa. Tanpa dapat mencegah lagi, suling itu menancap di perut kakek berpakaian merah yang men-gempis.
Karina tidak tinggal diam. Ditariknya suling itu dari perut lawan dengan sekuat tenaga. Tapi, sia-sia. Sulingnya bagai terjepit oleh jepitan baja yang amat kuat. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Karina menjadi gelisah. Apalagi ketika me-rasakan hawa panas menjalar dari perut kakek itu. Mula-mula pada sulingnya, kemudian merayap ke tangan dan sekujur tubuhnya! Suling itu seperti terjatuh dalam tungku api.
Dalam waktu singkat saja sekujur tubuh Karina telah dibanjiri peluh. Wajahnya merah padam seperti udang rebus. Semakin lama semakin merah. Bahkan, sepasang matanya pun mulai memerah.
Karina sadar malaikat maut sudah berada di dekatnya. Dia akan mati dengan tersiksa. Ken-dati demikian, kekerasan hatinya membuatnya ti-dak mau mengeluarkan keluhan atau kata-kata menyerah. Dia terus bertahan. Berusaha keras menarik sulingnya dari jepitan perut yang men-gempis itu.
"Sungguh terlalu...! Menggunakan kekuatan dan kemampuan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap seorang gadis muda...!"
Bersamaan dengan terdengarnya seruan bernada teguran itu berkelebatlah sesosok bayangan yang langsung berdiri di belakang Karina. So-sok bayangan yang ternyata seorang pemuda berambut putih keperakan itu menempelkan kedua tangannya di punggung Karina.
"Mundurlah, Nona...."
Karina merasakan aliran tenaga dalam mengalir melalui punggungnya. Seketika itu sulingnya yang terjepit perut kakek berpakaian merah berhasil ditarik! Tanpa banyak bicara, gadis ini melangkah mundur setelah terlebih dulu mengerl-ing pada penolongnya. Sinar mata Karina penuh dengan rasa terima kasih.
–––––––– 4
Kakek berpakaian merah menatap pemuda berambut putih keperakan yang melangkah menghampirinya. Sinar mata kakek itu penuh ancaman. Dia merasa tersinggung melihat calon korbannya berhasil diselamatkan orang tak dikenalnya ini.
"Siapa kau, pemuda tak tahu diri? Sungguh berani kau menentangku. Apakah kau tidak tahu siapa aku...?!" tegur kakek itu. Suaranya keras menggelegar.
Pemuda berambut putih keperakan terse-nyum tenang. Dia sedikit pun tidak merasa gentar mendengar ancaman itu.
"Maaf, Kek. Aku tidak bermaksud menentangmu. Aku hanya tidak ingin kau membunuh gadis yang tidak berdaya itu. Apalagi dengan cara yang demikian keji. Lagi pula...."
"Aku tidak butuh ceramahmu!" bentak kakek berpakaian merah.
"Cepat katakan siapa dirimu sebelum kuhancurkan kepalamu!"
Sepasang alis pemuda berpakaian ungu itu berkerut. Rasa tidak senang merayapi hatinya me-lihat sikap kakek itu yang kasar. Padahal, dia telah berusaha untuk berlaku sopan.
"Panggil saja aku Arya, Kek," ujar pemuda berambut putih keperakan.
"Arya...?!"
Kakek berpakaian merah mengulang nama itu seraya mengernyitkan alisnya. Ia mencoba mengingat-ingat barangkali pernah mendengar nama itu. Tapi, ia tidak mampu mengingatnya.
"Kau telah lancang mencampuri urusanku, Pemuda Sombong! Bahkan dengan sikap jumawa berani menceramahiku. Aku tidak menerima hal itu. Kau akan menerima balasannya. Kau akan kusiksa. Lalu, kuberikan pada hewan-hewan peliharaanku. Kau pernah mendengar nama Tarantula? Nah! Tubuhmu akan kujadikan santapan binatang-binatang itu!"
Pemuda berambut putih keperakan yang tidak lain Arya Buana atau Dewa Arak tentu saja pernah mendengar tentang laba-laba itu. Juga dengan kedahsyatan racunnya. Tapi, dia tidak menjadi gentar. Arya tetap bersikap tenang.
Karina menyaksikan keributan yang terjadi dengan hati berdebar tegang. Dia bersiap sedia untuk membantu Arya melawan kakek berpakaian merah. Karina tidak yakin Arya akan mampu menandingi kakek itu. Meski telah dibuktikannya sendiri pemuda itu mampu membebaskannya dari pengaruh tenaga dalam kakek berpakaian merah.
Bukan hanya Karina saja yang siap bertarung. Dewa Arak pun demikian. Pemuda itu menyadari kakek di hadapannya ini seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Keberhasilannya membebaskan Karina bukan berarti tenaga dalamnya lebih tinggi dari kakek itu. Karina pun ikut ambil bagian dalam usahanya itu. Dengan kata lain, keberhasilan usahanya karena bantuan Karina pula.
Sekujur urat saraf Dewa Arak telah mene-gang waspada. Ia menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Siap siaga terhadap serangan yang akan dilancarkan kakek berpakaian merah.
Tapi, kakek itu tidak segera melancarkan serangan. Dia malah tertawa geli sekali seakan melihat sesuatu yang lucu. Tubuhnya sampai tergun-cang-guncang.
Karina dan Dewa Arak sangat heran melihat tingkah kakek ini. Apakah kakek berpakaian merah telah menjadi gila karena marahnya? Atau, demikian anehkah wataknya sehingga saking marahnya dia malah tertawa?
Jangankan Karina, Dewa Arak yang telah kenyang pengalaman bertarung menghadapi berbagai tokoh tingkat tinggi yang memiliki ilmu aneh-aneh saja merasa heran. Arya tidak merasa-kan adanya kelainan dalam tawa itu. Tidak ada ge-taran kekuatan tenaga dalam seperti tawa yang bi-asa digunakan untuk menyerang lawan.
Kendati demikian, Arya tidak meninggalkan kewaspadaannya. Siapa tahu kakek ini bermaksud mencari kelengahan lawan dengan berlaku seperti itu. Bagi seorang tokoh golongan hitam tidak ada pantangan melakukan serangan meski lawannya belum siap.
Kakek berpakaian merah itu memang tidak bermaksud melancarkan serangan. Dia terus tertawa. Arya merasakan suatu perasaan geli di hatinya, sehingga pemuda itu tersenyum. Semakin lama senyumnya makin lebar, sampai akhirnya pemuda berambut putih keperakan ini tertawa ke-ras. Malah, tubuhnya sampai terbungkuk-bungkuk dan tangannya didekapkan ke perut.
Hal serupa pun dialami Karina. Gadis ini merasakan munculnya perasaan gembira yang sangat. Rasa gembira yang mendorongnya untuk ikut tertawa. Tak pelak lagi, di tempat yang semula sunyi ini kini riuh rendah oleh gelak tawa. Tawa yang semakin lama semakin keras.
Beberapa lama kemudian, kakek berpakaian merah mengganti tawanya dengan tangis. Tangis yang demikian menyedihkan seakan tengah menanggung derita hidup yang bertumpuk-tumpuk.
Tangis kakek itu menimbulkan keharuan yang dalam di hati Arya dan Karina. Membuat kedua muda-mudi itu teringat hal-hal yang menyedihkan tentang diri mereka. Karina teringat pada orangtuanya yang tewas di tangan Siluman Dari Neraka. Isak tangis memilukan terdengar mengi-ringi air mata yang mengalir deras dari sepasang mata gadis itu. Kesedihannya semakin memuncak ketika teringat dirinya yang telah yatim piatu. Tia-da sanak keluarga lagi kecuali kakeknya yang te-lah amat tua.
Arya pun demikian. Pemuda berambut putih keperakan ini teringat akan ayah dan ibunya. Ayahnya tewas di tangan Siluman Tengkorak Putih, dan ibunya tewas secara mengerikan di tangan Darba, pemuda lihai yang berwatak sadis. Kesedihan dan rasa haru yang sangat meremas-remas hatinya. (Untuk lebih jelasnya mengenai kematian ayah dan ibu Dewa Arak, silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode: "Pedang Bintang" dan "Cinta Sang Pendekar").
Arya merasakan dadanya sesak bukan main. Isak tangisnya naik ke tenggorokan. Sepasang matanya terasa panas. Rasa haru yang tak terkira melanda hatinya. Di tempat lain, beberapa tombak darinya, Karina telah menangis terisak-isak. Air mata mengalir deras membasahi kedua belah pipinya yang mulus. Tangis gadis ini tak ka-lah menyedihkan dengan tangis kakek berpakaian merah.
Tangis Karina ternyata membuat Arya bagai diguyur air dingin. Pemuda berambut putih kepe-rakan ini segera menyadari keadaan yang tidak wajar itu. Kakek berpakaian merah entah dengan mempergunakan ilmu apa telah mempengaruhi alam bawah sadar seseorang! Dalam tawa dan tangis kakek itu terkandung pengaruh kuat yang memaksa orang untuk bertindak seperti yang diinginkannya. Arya segera mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh itu. Mula-mula agak susah karena alam bawah sadar pemuda ini telah terpengaruh. Tapi, lama-kelamaan usaha Arya membuahkan hasil. Tangis kakek itu tidak mempengaruhinya lagi. Arya berhasil membebaskan diri.
Kakek berpakaian merah geram bukan main melihat Dewa Arak berhasil terbebas dari pengaruhnya. Tangis yang diperdengarkannya semakin diperlambat.
Tapi, Arya tidak berhasil dipengaruhi lagi. Dia bagaikan batu karang. Meski gelombang tangis kakek itu mencoba menghanyutkannya, ia tetap tak bergeming! Bahkan, kini Arya sudah mampu tersenyum. Pemuda ini kemudian bertepuk tangan beberapa kali.
Bunyi menggelegar langsung terdengar berturut-turut. Suara itu mampu menutupi tangisan kakek berpakaian merah! Tidak hanya itu saja. Tepukan yang keras bagai gelegar halilintar itu menyadarkan Karina. Wajahnya merah padam ketika menyadari dirinya telah menangis keras-keras, bahkan sampai bergulingan seperti anak kecil!
Karina buru-buru bangkit. Dengan mempergunakan kedua tangan, pakaiannya dibersihkan dari debu yang menempel. Punggung tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi. Karina yang memiliki otak cerdik segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Kakek berpakaian Merah yang menjadi penyebabnya. Dan, pemuda berambut putih keperakan telah menyebabkan pengaruh aneh itu buyar.
Karina menatap kedua lelaki yang berdiri berhadapan dalam jarak tiga tombak itu. Dia bisa memperkirakan betapa dahsyat pertarungan yang akan berlangsung.
Sementara itu, kakek berpakaian merah telah menghentikan tangisnya. Tampaknya ia menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi jika dilanjutkan. Arya memiliki kekuatan batin yang kuat sehingga tidak mudah dipengaruhi.
"Kau memang hebat, Anak Muda. Harus kuakui belum pernah kutemukan seorang pemuda selihai dirimu. Kalau kau mampu menyambut seranganku tanpa kehilangan nyawa, aku mengaku kalah dan akan pergi meninggalkan tempat ini. Tentu saja hanya untuk saat ini. Lain kali jika kau kutemukan tak akan kuampuni! Sekarang ada urusan lain yang lebih penting yang harus kuurus. Bagaimana? Kau mau menyambut seranganku?"
Arya mempertimbangkan tawaran kakek itu sebentar. Dia tidak berani segera menyanggupinya. Menyambut serangan berarti mengadu keras dengan keras. Kekuatan tenaga dalam yang menjadi taruhannya. Siapa yang lebih kuat akan lebih unggul. Dan, Arya tahu orang setua kakek di hada-pannya ini sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalamnya. Kalau umurnya delapan puluh tahun saja, setidak-tidaknya kakek ini telah melatih tenaga dalam selama tujuh puluh tahun! Sedang-kan dia baru melatih tenaga dalamnya selama lima belas tahun. Dari perhitungan ini saja sudah bisa diperkirakan siapa yang berada dalam kedudukan menguntungkan.
Arya menyadari benar tenaga dalam yang dihimpunnya tidak didapat dengan cara biasa. Gurunya, Ki Gering Langit, telah mengajarkan cara menghimpun tenaga dalam yang amat dahsyat dalam waktu singkat. Sehingga, meski baru meng-himpunnya sekitar lima belas tahun Arya telah memiliki tenaga dalam luar biasa! (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam epi-sode perdana: "Pedang Bintang").
Setelah memikirkan tawaran lawan sebentar, pemuda berambut putih keperakan ini men-gangguk pasti.
"Kuterima tantanganmu, Kek!" jawab Arya mantap.
"Ha ha ha...!"
Kakek berpakaian merah tertawa bergelak. Ia mengajukan pertarungan itu karena memperhitungkan perbedaan usia di antara mereka. Berapa kuat tenaga dalam yang berhasil dihimpun seo-rang pemuda belia? Demikian pendapat kakek berpakaian merah. Kendati telah menyaksikan usahanya berhasil dibuyarkan Arya. Itu tidak men-jadi jaminan pasti pemuda berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
Kakek berpakaian merah lalu bersiap untuk melaksanakan rencananya. Dia berdiri dengan ka-ki kanan. Kaki kirinya diangkat tinggi-tinggi ke be-lakang, membuat badan dan kepalanya terjulur ke depan sejajar dengan bumi.
Dewa Arak pun bersiap. Tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu mengerahkan tenaga dalam inti matahari. Seketika itu pula di sekujur tubuhnya mengepul uap tipis. Wajah Arya merah padam seperti udang rebus, ia tahu lawannya telah siap menyerang dengan jurus 'Kalajengking'.
"Hih!"
Diiringi bentakan keras, kakek berpakaian merah menghentakkan kedua tangannya yang terbuka membentuk cakar. Hembusan angin yang luar biasa kerasnya meluncur ke arah Dewa Arak. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda berambut putih keperakan itu menyambutinya.
Blarrr!
Bunyi keras memekakkan telinga terdengar. Sekitar tempat itu tergetar hebat. Bahkan, Karina yang berada agak jauh merasakan kerasnya geta-ran. Pepohonan bergoyangan dan daundaunnya rontok berguguran ke tanah.
Akibat yang lebih hebat terjadi pada kedua petarung. Tubuh kakek berpakaian merah berputar dalam kedudukan masih seperti semula, sebe-lum akhirnya jatuh terjengkang! Sedangkan Dewa Arak, meski kuda-kudanya tidak berubah namun ia terseret mundur beberapa tombak. Tampak guratan dalam di tanah bekas terseretnya. Seretan itu baru berhenti ketika punggung Arya membentur sebatang pohon besar hingga pohon itu bergetar keras.
Kakek berpakaian merah bangkit berdiri. Sinar matanya memancarkan rasa penasaran dan kagum.
"Kau hebat, Anak Muda! Aku senang sekali dapat terus melanjutkan pertarungan ini. Tapi, janji adalah janji. Aku tidak pernah mengingkari janji yang kubuat. Aku akan pergi dan bila kita bertemu lagi baru nyawamu akan kuambil. Aku sudah berjanji untuk tidak mencabut nyawa orang lain sebelum nyawa musuh besarku kucabut! Se-lamat tinggal, Anak Muda!"
Setelah berkata demikian, kakek itu melesat pergi. Dalam beberapa kali lesatan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi.
Pandangan ngeri Karina dan takjub Dewa Arak mengantar kepergiannya, hingga tubuhnya tidak terlihat dari pandangan.
Arya yang telah berdiri tegak mendadak terhuyung-huyung ke depan. Dari mulutnya keluar darah segar. Kemudian, tubuh itu terguling dan jatuh ke tanah dengan keras. Arya jatuh pingsan!
Memang, benturan keras tadi telah melukai tubuh bagian dalam pemuda berambut putih keperakan itu. Dengan menguatkan hati dia dapat berdiri tegak. Tapi, tetap saja apabila kakek berpakaian merah bertahan di tempat itu lebih lama, Arya tidak akan kuat bertahan. Kekhawatiran kakek itu akan mengingkari janji membuat Dewa Arak berusaha bertahan.
Jatuhnya Arya membuat Karina bergegas melesat menghampiri. Gadis ini tidak menduga penolongnya terluka dalam, karena tadi terlihat demikian tegar.

* * *




Arya membuka mata ketika merasakan aliran hawa hangat bergerak ke sekitar tubuhnya. Dia juga merasakan dua telapak tangan halus menempel di dadanya. Dari kedua telapak tangan itulah hawa hangat yang berkeliaran ke sekujur tubuhnya berasal. Pandang matanya yang semula kabur perlahan dapat melihat dengan jelas pemilik kedua tangan halus itu. Seraut wajah cantik. Wajah Karina!
Karina telah menyalurkan tenaga dalam padanya. Semula Arya merasa heran. Tapi, ia segera teringat dirinya baru saja terluka dalam setelah terjadi benturan pukulan jarak jauh dengan kakek berpakaian merah.
"Cukup, Nona," tolak Arya. Gadis itu telah mengerahkan tenaga dalam cukup banyak untuk memulihkan luka dalamnya. Arya merasakan rasa sakit dan nyeri dalam dadanya telah lenyap.
Ini karena pertolongan yang diberikan Karina. Sebelumnya, dada Arya terasa sakit bukan main.
Karina segera menghentikan penyaluran tenaga dalamnya. Arya telah lolos dari ancaman maut, tinggal bersemadi untuk memulihkan kekuatannya. Pemuda berambut putih keperakan itu pasti sangat lelah, sedang sebagian besar tenaganya belum pulih kembali akibat luka dalam yang dideritanya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona. Namaku Arya. Aku berhutang nyawa padamu. Kalau tidak ada kau mungkin aku hanya tinggal nama saja, " ucap Arya, berterima kasih.
Karina tersenyum malu.
"Siapa yang menolong siapa? Kau yang lebih dulu menolongku. Tanpa pertolonganmu aku akan mati dalam keadaan mengerikan," elak gadis ini dengan perasaan ngeri. Ia teringat kembali dengan ancaman kakek berpakaian merah.
Mau tidak mau Arya tersenyum. Pemuda ini merasa geli mengingat keadaan mereka. Masing-masing saling memberikan dan menerima pertolongan. Sehingga, sulit dikatakan siapa yang menolong dan siapa yang ditolong.
"Mengapa kau terlibat pertarungan dengan kakek itu, Nona? Apakah kau mempunyai urusan dengannya?" tanya Arya. Ia tidak berani menanya-kan nama gadis itu karena melihat Karina mempunyai sifat pemalu.
"Gara-gara keisenganku, Arya. Namamu Arya bukan?" Wajah Karina memerah karena telah kelepasan menyapa Dewa Arak dengan namanya. Meski sebenarnya pemuda itu telah memperkenal-kan diri.
"Benar." Arya berpura-pura tidak mengetahui perasaan yang bergolak di hati Karina. Pemuda ini malah mempergunakan kesempatan itu untuk menanyakan nama gadis itu.
"Namaku memang Arya. Arya Buana. Kau sendiri siapa, Nona?"
Karina menyebutkan namanya. Dalam hati dia merasa bersyukur Arya tidak mempedulikan perasaan malu yang menyergap hatinya. Kemudian, dengan mulai berani Karina menceritakan semua kejadiannya. Mulai dari perpisahan dengan kakeknya sampai pertemuannya dengan kakek berpakaian merah. Tentu saja rasa malu membuat Karina tidak mau memperkenalkan julukan kakeknya. Arya pun tampaknya tidak mempersoalkan hal itu. Tapi, ia tahu Karina murid seorang tokoh tingkat tinggi.
Basa-basi itu tidak berlangsung lama. Dewa Arak dan Karina menyadari keadaan mereka tidak menguntungkan. Lebih baik mereka memulihkan tenaga. Keduanya kemudian duduk bersila untuk melakukan semadi.
Tapi, baru saja sepasang muda-mudi itu memejamkan mata terdengar teriakan melengking nyaring yang penuh kebencian.
"Rupanya kau di sini, Kuntilanak! Sekarang riwayatmu akan kuselesaikan!"
Hampir bersamaan Dewa Arak dan Karina membuka mata mengalihkan pandangan ke arah asal bentakan. Tampak dua sosok berkelebat cepat mendekati tempat mereka.
Dewa Arak mengerutkan alis, ia tidak mengenal kedua sosok terdiri dari lelaki dan wanita muda itu. Mereka mengenakan pakaian yang saling berlawanan. Yang wanita memakai pakaian berwarna merah, sedangkan yang lelaki memakai pakaian putih.
Arya melirik ke arah Karina. Dia melihat wajah gadis itu berubah. Karina mengenal kedua orang muda itu. Memang, sasaran makian yang tadi terdengar ditujukan pada seorang wanita! Siapa lagi kalau bukan Karina? Di tempat ini yang ada hanya Arya dan Karina.
Dugaan Arya tepat sekali. Karina memang mengenal sepasang muda-mudi berwajah elok itu. Mereka adalah Sutini dan saudara seperguruannya, Dampit!
Jantung Karina berdebar tegang. Gadis berpakaian hijau ini segera mengetahui adanya ancaman bahaya. Sutini memendam rasa dendam terhadap kakeknya. Dan, Karina tahu Sutini terlalu dikuasi dendam sehingga pertimbangannya tidak adil. Rasa dendam yang bergelora di dalam dada memang kadang-kadang membuat orang ti-dak bisa berpikir jernih. Ia hanya bisa menilai se-cara sepihak, yaitu hal yang menguntungkan dirinya.
Karina menyadari benar keadaannya sekarang amat tidak menguntungkan. Tenaganya yang tersisa hanya sebagian kecil. Itu tidak cukup untuk dijadikan andalan menghadapi Sutini yang li-hai. Kendati demikian, Karina tidak menjadi gen-tar. Dia bangkit dan menunggu kedatangan Sutini serta Dampit dengan sikap gagah.
"Kiranya kau...? Mengapa kau mengejar-ngejar aku?!" tegur Karina tenang. Sikapnya menunjukkan dia merasa yakin akan dirinya.
Arya mengeluh dalam hati melihat sikap Karina. Pandang mata pemuda ini segera dapat melihat kalau Karina masih lemah. Tapi, ia masih mampu bersikap demikian gagah. Di balik sikap pemalunya Karina memiliki watak keras hati dan tidak takut menghadapi ancaman. Sikap seorang wanita pendekar.
Sutini berdiri tiga tombak di depan Karina dengan membelalakkan sepasang mata saking kesalnya. Seakan ia hendak menelan bulat-bulat Karina dengan sepasang matanya yang indah itu.
"Tidak usah banyak bicara lagi, Wanita Liar!" Sutini memaki.
"Katakan di mana kakekmu yang jahat itu. Ke mana dia bersembunyi?"
"Untuk apa kau mencarinya? Percuma saja. Sampai kapan pun kau tak akan bisa melaksanakan niatmu. Kalau kakekku mau, dengan mudah kau dan kawanmu itu dibunuhnya. Tapi, beliau tidak mau melakukannya. Bahkan, beliau berpesan padaku supaya tidak meladenimu karena kau telah keliru!"
"Tutup mulutmu, Wanita Jahat!" Sutini semakin tenggelam dalam amarahnya. Yang ada di benak gadis ini hanya keinginan melampiaskan dendamnya yang bertumpuk. Dia tidak ingin mendengar nasihat.
"Kau tahu siapa yang benar dan yang salah? Kakekmu bukan orang baik-baik. Dia seorang penjahat keji. Tokoh dunia hitam yang kegemarannya membunuh orang. Dan, ayahku adalah salah satu korbannya! Apakah salah kalau aku ingin membalaskan kematiannya?!"
–––––––– 5
Karina mengangkat dagunya dengan sikap menantang. Kemarahannya bangkit mendengar kakek yang dibanggakan dan disayangi, dihina orang.
"Aku tahu kakekku bukan orang baik-baik. Dia seorang tokoh jahat. Entah sudah berapa banyak nyawa melayang di tangannya. Tapi, tidak bolehkan orang jahat sadar dari kesesatannya dan kembali ke jalan yang benar? Tidak bisakah orang jahat bertobat dan menghabisi sisa umurnya dengan hidup tenang?"
"Enak betul kalau begitu!" sergah Sutini sambil tersenyum sinis. Sikap dan ucapan gadis ini jelas menunjukkan amarahnya.
"Betapa enaknya? Sejak muda berlaku lalim, menyebar maut dan kejahatan di sana sini. Kemudian, karena takut menghadapi pembalasan lawan-lawannya lalu bertobat. Setelah tua dan tidak berdaya ingin kembali ke jalan yang benar agar selamat dari pembalasan! Sungguh suatu siasat yang licik!"
"Kau tahu satu tapi tidak tahu dua, Sutini," suara dan sikap Karina masih terlihat tenang, ti-dak terpengaruh oleh ucapan Sutini.
"Kau tahu, tewasnya ayahmu karena ulahnya sendiri!"
"Keparat! Mulutmu semakin lancang, Wanita Liar! Kalau tidak segera disumpal, kekurangaja-ranmu akan menjadi-jadi!"
Sutini yang tidak bisa menahan kemarahannya lagi mendengar ucapan Karina segera mengirimkan tendangan keras ke arah perut. Se-buah serangan yang akan mengirim nyawa gadis berpakaian hijau itu ke akhirat apabila sampai mendarat di sasaran.
Arya yang sejak tadi mendengarkan pertengkaran kedua gadis itu sedikit banyak telah bi-sa memperkirakan masalah yang dipertengkarkan. Hanya karena belum jelas dia tidak berani ikut campur.
Sekarang, melihat ancaman maut terhadap Karina, Arya tidak bisa berdiam diri lagi. Betapapun juga pemuda berambut putih keperakan ini telah membuktikan sendiri kalau Karina bukan gadis yang jahat. Terlepas dari siapa dan bagaimana orang yang menjadi kakeknya, Arya berkewajiban untuk menolong gadis berpakaian hijau itu.
Meskipun demikian, tidak berarti Dewa Arak berpihak pada Karina. Memang amat mudah untuk berpihak pada gadis berpakaian hijau itu. Sikapnya tenang dan pengalah, membuat orang bersimpati terhadapnya. Sifat seperti itu tidak ditunjukkan oleh Sutini. Bahkan, gadis berpakaian merah itu menunjukkan sikap kasar dan kejam serta mau menang sendiri. Walau demikian, Arya tidak mengambil kesimpulan dari masalah kecil itu.
Keinginan untuk menolong memang besar. Tapi, keadaan yang tidak menguntungkan membuat Arya tidak mampu berbuat banyak. Jangankan memapaki serangan Sutini, menyambar tubuh Karina dan membawanya mengelak dari serangan pun ia tidak mampu. Tubuhnya masih lemas seka-li.
Arya menarik napas lega ketika melihat Karina masih mampu menyelamatkan diri. Gadis ini melempar tubuhnya ke tanah dan bergulingan menjauhi. Tapi, Sutini yang telah bangkit amarah-nya tidak membiarkan saja. Dia melesat mengejar tubuh Karina dan menghujaninya dengan serangan-serangan berbahaya. Hal ini membuat Karina kewalahan untuk menyelamatkan selembar nya-wanya.
Arya melangkah maju bersiap untuk menolong Karina. Padahal, sebagian besar tenaganya telah lenyap. Apa yang dapat dilakukannya? Tindakan pemuda ini telah memancing tanggapan dari Dampit. Pemuda berpakaian putih ini ikut maju dan menatap Arya dengan sinar mata tidak se-nang.
"Bersikap jantan sedikit, Sobat. Mereka telah bertarung dengan adil. Satu lawan satu. Tidak selayaknya kau ikut mencampuri. Hanya orang-orang berwatak pengecut saja yang mau mencam-puri urusan yang telah demikian adil!"
Dampit memang tidak keras mengucapkan-nya. Tapi, nadanya keras dan tajam bukan main. Cukup untuk membuat wajah Arya memerah sampai ke telinga karena tersinggung.
"Adalah tindakan yang lebih pengecut membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan mata. Hanya seorang pengecut besar dan berjiwa keji yang membiarkan orang tidak berdaya bertarung!" timpal Arya dengan nada tak kalah tajam. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu dia berhadapan dengan seorang yang berjiwa pen-dekar, tapi salah menempatkan keadaan.
"Salah orang itu sendiri!" Dampit tidak mau kalah.
"Ingat, dia berada di rimba persilatan. Tempat ganas yang tidak mengenal ampun. Kewaspadaan dan kemampuan harus selalu terarah. Apabila tidak, yang diterimanya adalah ucapan selamat datang pada alam kubur!"
Hati Arya panas. Ketersinggungannya bertambah. Padahal pemuda ini jarang-jarang marah. Tidak mudah untuk membuat Arya tersinggung. Tapi kali ini pemuda berambut putih keperakan ini dua kali tersinggung. Itu terjadi hanya dalam dua kali Dampit berbicara.
Arya merasa diremehkan. Sikap dan ucapan Dampit mengisyaratkan pemuda ini seperti telah kenyang merambah kerasnya dunia persilatan dan hidup bergantung dengan kemampuan. Tampak jelas Dampit menganggap remeh dirinya. Arya dianggapnya orang yang baru turun gunung dan tidak mengenal kerasnya dunia persilatan.
Nasihat yang diucapkan Dampit dengan nada menasihati yang membuat Arya tersinggung bukan main. Sebagai orang yang kenyang pengalaman, Arya tahu Dampit belum pernah turun ke dunia persilatan, Jadi, keberadaannya di tempat ini mungkin baru untuk pertama kali. Dan, pemuda ini telah beraniberaninya memberi nasihat padanya.
"Rupanya kau telah kenyang merambah dunia persilatan, Sobat. Boleh kutahu julukanmu?
Nama besar yang kau sandang karena keberhasilanmu bertahan hidup di dunia persilatan yang ganas ini?" tanya Arya, menyindir.
"Aku belum punya julukan, Sobat. Tapi kalau kau ingin tahu, namaku Dampit. Percayalah, tak akan lama lagi julukanku akan membubung tinggi ke dunia persilatan. Dengan mempergunakan pedangku, aku akan mempertahankan nyawa!" Dampit masih bermulut besar.
"Ah.... Kiranya demikian! Kupikir kau telah kenyang merambah dunia persilatan. Setidak-tidaknya aku dapat belajar darimu agar aku bisa bertahan hidup. Dan...."
"Meski belum lama terjun dalam dunia persilatan." Dampit langsung menyela.
"Tapi, aku bisa mengajukan saran padamu. Kau bisa menggunakan nasihat yang akan kuberikan untuk bertahan hidup. O ya, kau belum menyebut namamu, Sobat."
Arya yang semakin jengkel melihat Dampit menyela ucapannya, mempunyai kesempatan un-tuk menghajar perasaan pemuda itu.
"Aku mana bisa dibandingkan dengan diri-mu. Bahkan, aku ingin meminta nasihatmu agar bisa selamat..."
"Tidak apa-apa. Akan kuberikan nasihatku. Biar jelek pun namamu beritahukan saja. Setidak-tidaknya kau akan kucatat sebagai orang pertama yang mendapat pelajaran bagaimana caranya bertahan hidup di dunia persilatan!" Lagi-lagi Dampit yang berwatak tinggi hati dan selalu memandang rendah orang lain, menyela.
"Baiklah." Arya bersikap seakan tidak mem-punyai pilihan lain.
"Namaku tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan namamu, Dampit. Apalagi dalam hal bertahan hidup. Mungkin aku harus berguru padamu untuk beberapa lama. Namaku Arya Buana. Tapi, orang lebih sering menyebutkan Dewa Arak.
Julukan itu yang mereka berikan pa-daku." "Ah...!"
Dampit terlonjak ke belakang bagai disengat kalajengking. Sepasang mata pemuda ini membe-lalak lebar bagai melihat hantu.
"Kau.... Dewa Arak...?!"
Setelah beberapa saat lamanya terkesima, akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut Dampit. Sikap dan nada ucapannya memancarkan keterkejutan dan rasa tidak percaya. Dipandanginya sekujur tubuh Dewa Arak mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Rasanya memang tidak salah.... Pakaian-mu, rambutmu. Juga guci di punggungmu. Sungguh-sungguhkah kau Dewa
Arak...?"
Bukan hanya Dampit saja yang mendengar julukan Dewa Arak. Sutini dan Karina pun demikian. Sutini sampai menghentikan serangannya terhadap Karina yang terus bergulingan untuk menyelamatkan diri. Kedua gadis ini menatap ke arah Dewa Arak dengan tatapan kaget. Mereka ti-dak pernah menyangka bisa bertemu dengan to-koh yang telah menggegerkan dunia persilatan. Orangnya ternyata masih amat muda!
Sementara Arya yang diperhatikan menyunggingkan senyum lebar.
"Orang-orang persila-tan memang menjulukiku Dewa Arak. Tapi, aku lebih suka dipanggil Arya," ucap pemuda berambut putih keperakan itu untuk meredakan suasana yang agak mencekam.
Dampit saling berpandangan dengan Sutini.
"Mari kita pergi, Sutini!"
"Tapi...."
"Lupakan saja masalah itu. Kita urus belakangan!"
Tanpa menunggu jawaban Sutini yang men-jadi bimbang, Dampit mendahului melesat me-ninggalkan tempat itu. Sutini menatap Arya dan Karina sesaat sebelum melesat pergi.
"Urusan antara kita belum selesai, Wanita Liar!"
Gema ucapan Sutini masih terdengar jelas meski sosoknya sudah tidak terlihat lagi.
Karina mengalihkan perhatian pada Dewa Arak,
"Jadi..., kau tokoh yang menggemparkan itu? Kau..,. Dewa Arak..."
"Maaf, Karina. Aku tidak ingin berbohong kepadamu. Hanya aku tidak mau menggembar-gemborkan julukan yang akan membuat percakapan menjadi canggung," Jelas Arya, khawatir Kari-na mengira dia tidak percaya pada gadis itu.
"Tidak apa-apa, De..., eh, Arya. Bukankah kau lebih suka dipanggil dengan nama?" tanya Ka-rina. Arya mengangguk.
"Aku tahu, kadang-kadang betapapun eratnya hubungan antara seseorang hal-hal yang dirahasiakan harus tetap ada. Aku pun tidak jujur terhadapmu, Arya. Aku tidak menceritakan siapa kakekku. Tapi karena kau telanjur tahu, tidak ada salahnya kuceritakan semua."
"Jangan memaksakan diri, Karina...," Arya mengingatkan.
"Tidak, Arya. Aku tidak memaksakan diri." Karina menggelengkan kepala.
Arya tidak memberikan bantahan lagi. Dia berdiam diri mendengar cerita Karina. Hanya sedi-kit yang diceritakan Karina.
Tentang siapa kakeknya dan masalah yang tengah dihadapinya sekarang. Tidak diceritakannya tentang riwayat hidupnya.
Tak lama kemudian, sepasang muda-mudi ini sibuk memulihkan tenaga dalam dengan bersemadi.

* * *



Sosok tubuh tinggi kurus menghentikan langkahnya di depan sebuah goa yang cukup besar. Sosok itu mengenakan pakaian berkilau-kilauan seperti terbuat dari emas. Pada bagian kepalanya terdapat penutup kepala berbentuk kerucut. Penutup kepala itu pun terbuat dari bahan yang sama. Berkilauan dan seperti bersisik, mirip kulit ular!
Sayangnya wajah pemakai pakaian mewah itu tidak terlihat. Tertutup sebuah topeng kayu berukir. Sebuah topeng kayu yang tipis dan memiliki ukiran-ukiran berbentuk hidung, mulut, dan juga lubang untuk kedua mata. Tampak sinar mencorong kehijauan memancar dari dua buah lubang kecil untuk mata pada topeng kayu itu.
Dengan sinar matanya yang luar biasa sosok bertopeng kayu menatap ke bagian dalam goa. Agaknya, ia ingin melihat isi di dalamnya.
Tapi, tentu saja betapapun tajamnya mata seorang manusia tidak akan mungkin mampu me-lihat sesuatu di dalam kepekatan. Ini pun disadari oleh sosok bertopeng kayu yang menilik bentuk tubuhnya adalah seorang pemuda. Ia mempergunakan telinganya untuk mengetahui apakah goa itu berpenghuni. Beberapa saat kemudian, ia mendapat jawaban. Goa itu berpenghuni.
Setelah memperhatikan bagian dalam goa yang tidak ketahuan panjang dan dalamnya, sosok bertopeng kayu mengirimkan ucapan pada orang yang berada di dalam goa melalui ilmu mengirimkan suara dari jauh.
Sementara dalam goa seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dan bertubuh pendek gemuk serta berkepala botak tengah bersemadi. Ia membuka sepasang matanya dengan terkejut.
"Gajah Cilik Berkepala Baja, harap keluar sebentar. Hentikan dulu semadimu. Maaf, aku sebenarnya tidak ingin mengganggu kesibukanmu. Tapi, aku mempunyai sebuah urusan yang amat penting."
Suara yang dikirimkan sosok bertopeng kayu menggema di dalam telinga kakek pendek gemuk. Memaksa kakek itu sadar dari semadinya dan membuka mata.
Kakek pendek gemuk yang berjuluk Gajah Kecil Berkepala Baja tercenung sebentar dalam keadaan masih duduk bersila. Ia bisa menduga orang yang telah mengirimkan suara dari jauh itu memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Hingga, sampai dapat menyadarkan Gajah Cilik Berkepala Baja dari semadinya. Tampaknya, orang itu tidak bermaksud jahat. Tamunya dengan baik-baik mengundangnya untuk keluar. Apabila dirinya tidak memenuhi permintaan itu berarti ia tidak menghargai aturan dunia persilatan.
"Tidak apa-apa, Sobat. Harap bersabar menunggu sebentar!"
Gajah Cilik Berkepala Baja memberi jawaban dari jauh pada sosok bertopeng kayu yang berada di luar goa. Belum juga ucapannya lenyap dari telinga, Gajah Cilik Berkepala Baja telah berada di luar goa. Tepat di depan sosok bertopeng kayu!
"Maaf." Sosok bertopeng kayu merangkapkan kedua tangan di depan dada seraya membungkukkan sedikit tubuhnya.
"Bukan maksudku mengganggu kesibukanmu, Gajah Cilik. Tapi, aku mempunyai urusan penting yang harus diselesaikan. Karena kebetulan kau mempunyai peranan penting dalam urusan ini, maka aku terpaksa mengganggumu."
Gajah Cilik Berkepala Baja membalas penghormatan itu dengan cara yang sama. Wajah ka-kek pendek gemuk ini kelihatan tidak senang keti-ka terpandang olehnya topeng kayu yang menutu-pi wajah tamunya.
"Aku tidak merasa terganggu, Sobat. Aku senang sekali bila bisa membantumu menyelesaikan persoalan penting itu. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa bercakap-cakap dengan hati penuh curiga bila kau mengenakan topeng di wajahmu. Keberadaan topeng itu menimbulkan prasangka tidak baik di hatiku. Kalau kau masih ingin bercakap-cakap denganku tanggalkan benda itu. Atau, kau tidak akan bisa mendapatkan keterangan penting dariku!" Gajah Cilik Berkepala Raja tanpa ragu-ragu menyatakan perasaan yang mengganjal hatinya.
"Maaf, sekali lagi maaf, Gajah Cilik." Sosok bertopeng kayu kembali menjura seraya membungkukkan tubuh.
"Bukan maksudku menimbulkan keragu-raguan di hatimu. Tapi dengan sejujurnya kukatakan aku tidak bisa membuka to-peng ini dari wajahku. Membukanya sama artinya dengan melepas nyawaku dari badan!"
"Terserah padamu, Sobat." Gajah Cilik Berkepala Baja mengangkat kedua bahunya dengan sikap acuh.
"Aku mau berbincang-bincang dengan syarat wajahmu yang kau hadapkan padaku dan bukan topeng kayu itu, atau kau terpaksa tak bisa mendapatkan apa yang kau inginkan! Aku tak bisa bercakapcakap dengan orang yang tidak mau mempercayaiku. Topeng di wajahmu menunjukkan kau tidak ingin kukenal. Ini berarti kau tidak mempercayaiku! Nah. Aku sudah mengatakan hal yang seharusnya kukatakan. Sekarang semua berada di tanganmu, Sobat!"
Sosok bertopeng kayu tampak bingung. Dia terdiam dengan menundukkan kepala. Sesaat kemudian, ditatapnya lagi wajah Gajah Cilik Berke-pala Baja.
"Gajah Cilik, aku memohon dengan sangat pengertianmu. Bukannya aku tidak ingin mengenalkan diri atau tidak percaya padamu. Ketahuilah, topeng ini tidak bisa kubuka, kecuali kalau aku telah tewas. Wajahku merupakan rahasia besar. Dan...."
"Aku pun merupakan rahasia besar, Sobat. Dulu memang aku seorang tokoh golongan putih yang cukup punya nama. Tapi, sekarang aku telah mengasingkan diri dan hampir tidak ada orang yang tahu julukanku lagi. Tempat ini pun merupakan tempat rahasia. Tapi toh aku tidak terlalu mempertahankan hal itu." Sosok bertopeng kayu menggelengkan kepala.
"Ada perbedaan besar antara kita, Gajah Cilik. Kau dulunya memang orang terkenal dan terjun ke dunia persilatan. Tapi, tidak demikian hal-nya dengan kami. Turun-temurun kami merupa-kan orang-orang yang tidak pernah muncul ke du-nia persilatan. Keberadaan kami tidak pernah diketahui tokoh-tokoh persilatan."
"Lalu, mengapa kau muncul ke dunia luar? Bukankah kau bilang tadi kau dan kelompokmu tidak pernah terjun ke dunia persilatan," bantah Gajah Cilik Berkepala Baja.
Gajah Cilik Berkepala Baja ingin mengetahui tentang sosok bertopeng kayu ini. Ia memiliki kepandaian amat tinggi. Sorot matanya yang tajam mencorong seperti mata harimau dalam gelap. Padahal, Gajah Cilik Berkepala Baja yakin sosok bertopeng kayu itu masih muda!
Kalau orang dengan usia semuda ini saja sudah memiliki tenaga dalam demikian kuat, ba-gaimana pula dengan orang tertua di dalam kelompoknya? Sukar untuk dibayangkan!
Mengetahui siapa sosok bertopeng kayu dengan kelompok-nya ini merupakan hal yang amat menarik.
"Seperti yang kukatakan, menemuimu untuk membicarakan suatu keperluan. Bagaimana, Gajah Cilik? Bersediakah kau membantuku?" tanya sosok bertopeng kayu penuh harap.
Gajah Cilik Berkepala Baja tidak segera menjawab. Ia terdiam sebentar seperti tengah mempertimbangkan suatu keputusan yang amat berat.
"Apakah permintaanku yang tadi tidak bisa kau pertimbangkan lagi, Anak Muda?" Kakek pendek gemuk itu merubah sapaannya.
"Sayang sekali, Gajah Cilik. Aku tidak dapat melakukan hal itu. Bukan hanya aku saja yang akan bersikap demikian, tapi semua orang-orang kami. Kami lebih suka melepaskan nyawa daripa-da melepaskan topeng ini. Ia jauh lebih berharga dari nyawa. Pada topeng ini terkandung kehorma-tan, harga diri, dan sumpah leluhur kami!" jelas sosok bertopeng kayu dengan penuh penyesalan.
Gajah Cilik Berkepala Baja tersenyum di dalam hati. Tanpa disadari lawan bicaranya, ia berhasil mengorek sedikit keterangan mengenai orang bertopeng kayu dan kelompoknya. Sosok bertopeng kayu itu telah terpancing. Dan, Gajah Cilik Berkepala Baja memang memiliki kecerdikan yang cukup.
"Kalau memang begitu, apa boleh buat?" Gajah Cilik Berkepala Baja menunjukkan sikap pasrah.
"Apa yang kau inginkan dariku? Apakah ini mengenai masalah orang lain?"
Sepasang mata di balik topeng kayu bersinar-sinar gembira mendengar kesediaan Gajah Cilik Berkepala Baja.
"Benar sekali,
Gajah Cilik. Orang itu adalah Siluman Dari Neraka!"
"Hukh!"
Gajah Cilik Berkepala Baja sampai terjajar beberapa langkah ke belakang begitu mendengar julukan yang diucapkan sosok bertopeng kayu. Kakek pendek gemuk itu terkejut bukan main. Ia mengenal betul tokoh itu.
Sosok bertopeng kayu mengayunkan kaki setindak mendekati Gajah Cilik Berkepala Baja.
"Kau mengenalnya kan, Gajah Cilik?" desak sosok bertopeng kayu.
Gajah Cilik Berkepala Baja malah menatap sosok bertopeng kayu dengan penuh selidik. Sikap kakek pendek gemuk ini terlihat waspada dan siap untuk bertarung.
"Apa hubunganmu dengannya?" Gajah Cilik Berkepala Baja balas bertanya. Suaranya terdengar tegang.
–––––––– 6
Sosok bertopeng kayu tidak segera menanggapi pertanyaan Gajah Cilik Berkepala Baja. Terlihat jelas dia merasa ragu untuk memberikan jawaban.
"Sebelum aku menjawab, maukah berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada orang lain? Maukah kau berjanji, Gajah Cilik?" tanya sosok bertopeng kayu setelah beberapa saat lamanya berdiam diri.
Gajah Cilik Berkepala Baja menatap wajah sosok bertopeng kayu lekat-lekat. Ia mencari kesungguhan dalam ucapan sosok yang berdiri di hadapannya itu.
"Kalau kau tidak mau berjanji, biarlah aku batalkan keinginanku. Aku tahu masih ada orang lain yang dapat menceritakannya padaku. Barang-kali dia tidak sekeras kau dalam mempertahankan pendapatnya. Selamat tinggal, Gajah Cilik! Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kesediaanmu menemuiku."
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi sosok bertopeng kayu membalikkan tubuh. Sekali kakinya bergerak tubuhnya telah berada belasan tombak di depan.
"Tunggu, Anak Muda!"
Ayunan kaki sosok bertopeng kayu terhenti. Tubuhnya dibalikkan. Tapi, dia tidak bergerak menghampiri. Mereka berhadapan dalam jarak be-berapa belas tombak.
"Boleh aku tahu siapa tokoh yang kau maksud sebagai orang lain yang mengetahui tentang Siluman Dari Neraka?" "Malaikat Tongkat!" jawab sosok bertopeng kayu, singkat.
Wajah Gajah Cilik Berkepala Baja berubah hebat.
"Dia sahabatku, Anak Muda! Kuharap kau tidak mengganggunya. Bila hal itu terjadi, aku akan mencarimu untuk melakukan perhitungan!" tandas Gajah Cilik Berkepala Baja, tegas.
"Legakan hatimu, Gajah Cilik. Aku tidak akan bertindak kasar terhadapnya. Kewajibanku adalah membawa pulang
Siluman Dari Neraka. Hidup atau mati, lain tidak!"
Sosok bertopeng kayu kemudian membalikkan tubuh dan bersiap melesat pergi. Tapi, lagi-lagi maksudnya tidak kesampaian. Gajah Cilik Berkepala Baja kembali mengeluarkan seruan mencegah.
"Ada apa lagi, Gajah Cilik?!" tanya sosok bertopeng kayu. Nada suaranya mulai meninggi. Sikap kakek pendek gemuk itu membuatnya me-rasa dipermainkan.
Tapi, Gajah Cilik Berkepala Baja seperti ti-dak mendengar pertanyaan sosok bertopeng kayu. Dia menatap wajah sosok yang berdiri di hada-pannya lekat-lekat.
"Jadi..., Siluman Dari Neraka merupakan salah seorang dari kelompokmu, Anak Muda?" tanya Gajah Cilik Berkepala Baja dengan suara bergetar.
"Benar, Gajah Cilik!" Sosok bertopeng kayu mengangguk. Suaranya terdengar lirih seperti orang berbisik.
"Dia merupakan anggota kelompok kami, tapi telah membelot. Ia melarikan diri dari tempat tinggalnya. Bahkan, dengan melarikan buku-buku pusaka kelompok kami. Puluhan tahun hal itu telah terjadi, namun tak satu pun usaha yang dapat kami lakukan karena berbagai hal dan pertimbangan."
Pernyataan sosok bertopeng kayu benar-benar mengejutkan Gajah Cilik Berkepala Baja. Kakek pendek gemuk ini tahu siapa Siluman Dari Neraka! Seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian luar biasa. Kalau sosok bertopeng kayu ini mendapat tugas membawa Siluman Dari Neraka hidup atau mati, berarti sosok yang mengenakan pakaian seperti kulit ular emas ini memiliki kepandaian di atas Siluman Dari Neraka!
"Ah...! Syukurlah kalau demikian," desah Gajah Cilik Berkepala Baja, lega.
"Semula kukira kau kawan Siluman Dari Neraka. Ternyata bukan. Kini kita bisa berbicara lebih banyak lagi. Dan agar hatimu lebih tenang, mungkin perlu kukatakan kalau aku bersedia merahasiakan cerita yang akan kau katakan.
Puas, Anak Muda?"
"Terima kasih, Gajah Cilik. Itu sudah cukup." Sosok bertopeng kayu mengayunkan kaki menghampiri, ketika Gajah Cilik Berkepala Baja dengan tersenyum lebar mendekatinya. Keduanya berjabatan tangan dengan erat.
"Nah. Sekarang ceritakan," ucap Gajah Cilik Berkepala Baja seraya melepaskan jabatan tan-gannya.
"Entah tepatnya sejak kapan, aku sendiri tidak tahu pasti, yang jelas sudah lebih dari dua ratus tahun nenek moyang kami menempati suatu tempat yang bagi kami merupakan penjara. Menurut cerita yang kami dapat turun temurun, tempat itu merupakan tempat buangan orang-orang yang melakukan kesalahan. Tempat yang menjadi tempat kelompokku adalah tempat hukuman. Kami lebih suka menyebutkan Penjara Langit. Tempatnya memang ada di puncak sebuah gunung yang tidak mungkin dapat didaki dengan kemampuan yang luar biasa sekalipun!" Sosok bertopeng kayu memulai ceritanya.
Sementara Gajah Cilik Berkepala Baja mendengarkan dengan penuh minat. Ia tidak menyela sedikit pun. Kakek pendek gemuk ini merasa tertarik dengan cerita mengenai asal-usul kelompok sosok bertopeng kayu yang demikian luar biasa.
"Kira-kira empat puluh tahun yang lalu Rataksa kabur meninggalkan Penjara Langit. Dia juga mengambil beberapa kitab yang berisi pelajaran ilmu silat dan sihir. Kami semua tahu. Tapi, tidak ada yang dapat dilakukan. Menurut hukum kami, setiap orang yang melarikan diri dari Penjara Langit akan menderita hebat sebelum mati. Entah karena mengapa aku sendiri tidak tahu, konon orang yang meninggalkan Penjara Langit di dalam tubuh orang itu akan muncul racun jahat! Racun berbahaya yang dapat menimbulkan kematian. Entah benar atau tidak, aku tidak pernah membuktikannya."
"Jadi, karena itukah maka kepergian Rataksa yang kemudian mendapat julukan Siluman Dari Neraka dibiarkan begitu saja?" duga Gajah Cilik Berkepala Baja.
"Tentu saja tidak!" sambut sosok bertopeng kayu, cepat.
"Tidak demikian mudah jalan keluarnya dengan langsung mengejar Rataksa. Dengan alasan apa pun seorang penghuni Penjara Langit tidak akan diperkenankan keluar. Namun, karena tindakan Rataksa dapat membuat arwah leluhur kami tidak tenang, maka seluruh penghuni berkumpul dan mencari jalan untuk memecahkan masalah ini. Akhirnya diputuskan untuk memilih orang-orang yang akan ditugaskan mengejar Rataksa. Tentu saja mesti orang-orang pilihan agar dapat menunaikan tugas dengan baik. Dengan wajah ditutup topeng dua orang pilihan itu mencari Rataksa untuk dibawa pulang dengan cara apa pun."
"Asal kau tahu saja, Anak Muda. Siluman Dari Neraka telah mengacau dunia persilatan sejak sekitar tiga puluh tahun lalu. Mengapa kau baru tiba hari ini? Selisih waktu antara kau dengannya tiga puluh tahun!"
"Lima puluh atau bahkan tujuh puluh ta-hun pun bukan masalah apabila aku berhasil membawa pulang Rataksa! Bagi kami masalah waktu tidak penting. Melainkan keberhasilannya. Agar nenek moyang kami yang pertama kali membuat sumpah tidak penasaran di alam baka!" tegas sosok bertopeng kayu, mantap.
Gajah Cilik Berkepala Baja mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Kalau boleh kutahu, mengapa tenggang waktunya bisa demikian lama?"
"Waktu yang demikian lama itu dipergunakan untuk menggembleng calon yang terpilih. Itu membutuhkan waktu belasan tahun. Kemudian, agar orang yang bertugas mencari Rataksa tidak mengalami kecelakaan di tengah jalan akibat racun di dalam tubuh karena keluar dari Penjara Langit, maka perlu memakan jamur emas. Jamur yang hanya tumbuh di tempat kami. Pertumbuhan jamur itu memakan waktu dua puluh tahun! Maka, kami pun membuang waktu beberapa puluh tahun lagi untuk menunggu jamur emas tumbuh. Karena itu, waktu kami terpisah jauh dengan Rataksa."
Rupanya, Rataksa pergi setelah lebih dulu memakan jamur emas, Rataksa yang cerdik memakan jamur secukupnya. Sedangkan yang lain dihancurkan untuk menyulitkan pengejaran. Tapi, Rataksa terlalu tergesa-gesa. Jamur itu belum masak benar. Kendati racun tidak akan membunuh-nya, malapetaka lain akan menimpa. Penghuni Penjara Langit tidak pernah berpikir akan ada orang yang berniat kabur, sehingga tempat tumbuhnya jamur tidak terjaga.
"Sayang sekali." Gajah Cilik Berkepala Baja, menyayangkan.
"Kalau saja tidak ada halangan-halangan itu, tentu sudah sejak lama kau dan Siluman Dari Neraka bertemu!"
"Mungkin." Sosok bertopeng kayu tidak berani memastikan.
Tiba-tiba Gajah Cilik Berkepala Baja tersentak kaget. Ada sesuatu yang terlupakan.
"Kalau demikian... dugaanku bahwa kau seorang pemuda ternyata salah. Dari ceritamu mungkin usiamu sekarang paling tidak lima puluh tahun!" terka Gajah Cilik Berkepala Baja.
"Tapi, mengapa bentuk tubuhmu seperti pemuda dua puluh lima tahun?"
"Karena pengaruh jamur emas!" jawab sosok bertopeng kayu.
"Usiaku sebenarnya memang lima puluh tahun."
Gajah Cilik Berkepala Baja mengangguk-angguk. Sepasang matanya memancarkan kekaguman.
"Sekarang, bisakah kau ceritakan padaku tentang Rataksa alias Siluman Dari Neraka. Bukankah menurut kabar yang tersiar Rataksa tewas di tanganmu dan kawanmu? Kalau benar demikian, sungguh sangat meringankan tugasku. Tapi aku ingin kepastian. Tentang kain merah yang menjadi pengikat kepalanya. Kain itu berlambang tengkorak manusia dalam kobaran api." Gajah Cilik Berkepala Baja menghela napas berat.
"Waktu aku dengan Malaikat Tongkat bertemu Siluman Dari Neraka yang telah lama kami cari-cari, ternyata tokoh itu sedang kelelahan karena habis bertarung dengan Iblis Tangan Maut. Antara kami kemudian terjadi pertarungan. Ternyata meski telah lelah, Siluman Dari Neraka masih sangat tangguh! Dia mampu menghadapi keroyokan kami. Mendadak terjadi sesuatu yang mengejutkan. Siluman Dari Neraka memekik kesakitan seperti orang yang menderita hebat. Dia langsung terguling-guling. Kesempatan baik ini tidak kami sia-siakan. Serangan-serangan kami lancarkan. Hingga, sebuah tendangan keras dariku membuat tubuh Siluman Dari Neraka yang tengah menderita, terlempar jauh. Ia masuk ke dalam se-buah lubang. Lubang yang garis tengahnya tidak kurang dari setengah tombak. Aku dan Malaikat Tongkat segera menuju ke sana dan melongok ke dalamnya. Kami menjatuhkan sebuah batu besar untuk mengukur dalamnya lubang. Tidak terdengar suara benturan batu dengan tanah atau air! Kenyataan itu sangat mengejutkan kami. Lubang itu mempunyai kedalaman yang tak terkira. Jadi, kemungkinan untuk selamat bagi Siluman Dari Neraka amat kecil, betapapun saktinya tokoh itu."
"Sesuai dengan amanat yang terbeban di atas pundakku, sekalipun mati aku harus membawa mayat Rataksa kembali. Mayatnya harus di-kuburkan di Penjara Langit sebagai pertanda dia adalah orang buangan. Orang hukuman!" Sosok bertopeng kayu tetap dengan keputusannya.
"Jadi..., apa yang akan kau lakukan?"
"Tidak banyak! Hanya menyelidiki tempat di mana jatuhnya Rataksa, dan membawa mayatnya pulang ke Penjara Langit!" jawab sosok bertopeng kayu, mantap.
"Bisa kau beritahu di mana lubang itu?"
Gajah Cilik Berkepala Baja segera menerangkan di mana lubang itu berada. Bahkan, dengan petunjuk-petunjuk lengkap sampai sosok ber-topeng kayu paham betul.
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Ga-jah Cilik. Aku tidak akan melupakan budi baikmu. Suatu saat aku akan membalas budi ini. O ya, hampir aku lupa menjelaskannya. Jamur emas yang belum masak itu menyebabkan Rataksa menderita sakit yang hebat bila terlalu lelah. Satu hal lagi, dia tetap terpengaruh oleh pertambahan usia. Tidak seperti aku. Selamat tinggal!"
Begitu ucapannya selesai tubuh sosok ber-topeng kayu melesat pergi. Dengan cepat ia telah berada belasan tombak dari tempat semula. Sesaat kemudian, tubuhnya lenyap di kejauhan.
Gajah Cilik Berkepala Baja memandanginya dengan perasaan takjub. Kepandaian sosok bertopeng kayu itu memang luar biasa. Dia yakin Siluman Dari Neraka akan mendapatkan seorang lawan yang amat tangguh. Seandainya tokoh yang menggiriskan hati itu masih hidup!

* * *




Dua sosok tubuh melayang agak bergegas menyusuri jalan tanah berdebu. Matahari tepat berada di atas kepala. Suasana di persada terasa panas.
Dua sosok tubuh itu sepasang muda-mudi berwajah elok. Yang pemudi mengenakan pakaian merah, sedangkan rekannya berpakaian putih. Se-pasang muda-mudi ini adalah Sutini dan kawan seperguruannya, Dampit.
"Itukah perguruannya, Sutini?" tanya pemuda berpakaian putih. Telunjuk kanannya ditudingkan pada kelompok bangunan yang terkurung pagar bambu cukup tinggi.
"Benar, Dampit. Aku yakin ini perguruannya. Guru telah menceritakannya," jawab Sutini dengan mata berkilat-kilat.
"Ah, aku sudah tidak sabar lagi ingin membuat perhitungan dengan manusia pengecut itu!"
Wajah pemuda berpakaian putih yang bernama Dampit tampak tidak segembira Sutini. Bahkan terlihat kalau Dampit seperti terpaksa.
"Haruskah kita ke sana, Sutini?"
"Tentu saja, Dampit!" tegas Sutini, keras.
"Manusia pengecut seperti itu tidak patut dibiar-kan hidup lebih lama lagi. Dia harus dilenyapkan!"
"Tapi, bukankah dia tokoh golongan putih, Sutini?!" bantah Dampit.
"Aku khawatir perbuatan kita ini akan membuat Guru murka."
"Kau ini khawatir sekali, Dampit! Kalau kau takut tunggu saja di sini, Biar aku sendiri yang ke sana. Pokoknya tekadku telah bulat. Mungkin perlu kuingatkan, Dampit. Kalau Pendekar Golok Sakti itu tidak bertindak pengecut dengan melari-kan diri sewaktu ayahku bertarung dengan Iblis Tangan Maut, ayahku pasti tidak akan tewas! Aku yakin Iblis Tangan Maut yang akan tewas. Sikap pengecutnya telah membuat ayahku tewas. Bukankah sudah sepantasnya kalau aku membuat perhitungan padanya?"
Dampit terdiam beberapa saat lamanya mendengar penjelasan Sutini. Orang yang tengah dilanda amarah memang tidak, bisa disabarkan lagi. Tapi meski demikian, dia masih mencoba me-lunakkan hati Sutini.
"Bukankah Guru bercerita kalau Pendekar Golok Sakti pun terpukul dengan kematian ayahmu, Dewa Tangan Sepuluh? Bahkan melalui kerja sama dengan Guru, Pendekar Golok Sakti berhasil menewaskan Siluman Dari Neraka! Kurasa tidak pantas kalau kau menimpakan kesalahan kepadanya atas tewasnya ayahmu."
"Kalau begitu, biar aku pergi sendiri!"
Sutini yang memiliki watak keras dan sudah terlalu dikuasai amarah segera melesat meninggalkan Dampit. Mau tidak mau pemuda berpakaian putih itu melesat mengejar untuk mendampingi Sutini. Dampit mencintai Sutini. Dia tidak ingin gadis itu terluka. Karena cintanya itulah dia rela mendampingi Sutini mencari orang-orang yang telah menewaskan Dewa Tangan Sepuluh.
Dalam beberapa kali lesatan Sutini dan Dampit telah berada di depan pintu gerbang dari papan tebal yang tertutup dan tidak terjaga. Tampak tulisan besar dan jelas berbunyi 'Rumah Perguruan Perisai Diri' tergantung di atas pintu gerbang yang tingginya satu tombak. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, dengan gerakan indah sepasang muda-mudi itu melompat ke dalam dan mendarat tanpa suara.
Tepat di hadapan Dampit dan Sutini tampak beberapa sosok tubuh telanjang dada tengah berlatih silat dengan penuh semangat. Mereka berdiri membelakangi kedua anak muda itu. Karena masuknya sepasang muda-mudi itu tanpa menimbulkan bunyi, orang-orang yang tengah berlatih tidak mengetahuinya.
Kecuali orang yang bertugas melatih mereka, karena kebetulan berdiri menghadap Sutini dan Dampit.
Pelatih yang memiliki tubuh kekar dan bercambang lebat ini murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri. Ia kelihatan terkejut bercampur heran melihat sepasang muda-mudi yang tidak dikenalnya. Setelah memberi isyarat agar murid-muridnya tetap meneruskan latihan, dia mengayunkan kaki menghampiri Sutini dan Dampit.
"Maaf, boleh kutahu siapa kalian?" tanya murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri. Ia ti-dak bisa menyembunyikan perasaan curiganya.
"Lebih baik kau panggil ketuamu kemari! Katakan padanya, ada orang yang mencarinya dengan membawa urusan penting!" sahut Sutini, dingin.
Murid utama itu mengernyitkan alis. Perasaan tidak senang langsung menyeruak di hatinya melihat sikap Sutini yang memandang remeh dirinya. Meskipun demikian, untuk menimbulkan kesan tuan rumah yang baik ditekannya perasaan itu. Malah, seulas senyum dipersembahkan!
"Manusia tidak tahu diuntung!" desis Sutini. Matanya berkilat-kilat memancarkan kemarahan yang sangat.
"Kuperingatkan sekali lagi padamu, Keparat! Sebelum kesabaranku hilang, cepat panggil gurumu kemari! Atau, kau akan melawat ke akherat! "
Hebat bukan main akibat ucapan Sutini! Wajah murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri langsung berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah. Memang, lelaki bercambang lebat ini murka sekali. Seumur hidupnya baru kali ini dia men-dapat perlakuan seperti itu. Bagaimana dia tidak naik darah? Dia telah berbicara baik-baik. Tapi, tanggapan yang diterimanya seperti ini. Sungguh menjengkelkan.
"Mulutmu kasar dan tajam sekali, Wanita Liar! Perlu kau ketahui kalau di sini bukan hutan. Ini adalah markas Rumah Perguruan Perisai Diri. Jadi, kau tidak boleh sembarangan bertindak! Ada aturan yang harus kau ikuti, aturan Rumah Perguruan Perisai Diri! Kalau kau tidak sudi menuruti peraturan ini, silakan keluar dari sini sebelum aku terpaksa mengusir kalian dengan kekerasan!"
Lantang dan penuh wibawa murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri mengucapkannya. Apalagi, sewaktu mengucapkan kalimat terakhir diiringi dengan tudingan jari telunjuknya ke pintu gerbang.
–––––––– 7
Sutini adalah seorang gadis yang memiliki watak keras. Semakin keras orang bersikap terha-dapnya, semakin keras pula balasan yang diberikan. Apabila pada saat dia tengah tersinggung. Pe-nolakan tegas murid utama Rumah Perguruan Pe-risai Diri membuat Sutini naik pitam.
Seketika itu pula, terdengar bunyi berkero-tokan keras seakan tulang-belulang di tubuh Sutini berpatahan. Padahal, dia tidak melakukan gerakan apa pun. Semua itu terjadi karena tenaga dalamnya bergolak dengan sendirinya!
Begitu pula keadaan murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri. Perasaan kaget yang sangat membayang jelas pada wajahnya. Saat itu pula disadari kalau Sutini bukan tokoh sembarangan. Dia pun segera bersikap waspada. Tanpa ragu-ragu lagi dirabanya gagang golok.
Pada saat yang bersamaan, murid-murid Rumah Perguruan Perisai Diri yang tengah berlatih menghentikan latihannya. Mereka mengalihkan perhatian pada kakak seperguruannya yang tengah bersitegang dengan sepasang muda-mudi. Seperti diberi perintah, dengan langkah perlahan kaki mereka diayunkan menghampiri tempat terjadinya ketegangan itu.
Sutini sudah tidak kuasa menahan kemarahannya lagi.
"Ingin kutahu, apakah tua bangka itu tetap tak mau keluar dari semadinya apabila semua muridnya kubinasakan!" desis gadis berpa-kaian merah itu penuh ancaman.
"Auuumm...!"
Suara auman laksana keluar dari mulut seekor harimau terdengar ketika Sutini membuka mulut.
Kelihatannya sepele saja. Tapi akibatnya luar biasa! Seluruh murid-murid Rumah Perguruan Perisai Diri, tak terkecuali lelaki bercambang lebat, merasakan betapa dada mereka terguncang hebat. Kedua lutut mereka langsung lemas. Tanpa dapat dicegah lagi mereka semua jatuh berlutut!
Tentu saja kenyataan ini sangat mengejutkan semua murid Rumah Perguruan Perisai Diri. Kini murid utama perguruan yang bercambang lebat itu tahu mengapa Sutini begitu berani bertindak kurang ajar. Kiranya, gadis berpakaian merah ini memiliki kepandaian tinggi.
Sutini tersenyum mengejek melihat keadaan yang dialami lawan-lawannya. Dengan sorot mata penuh ancaman dihampirinya lelaki bercambang lebat. Dampit yang diam-diam tidak setuju dengan tindakan Sutini buru-buru menyentuh lengan ga-dis itu untuk menyabarkannya. Tapi Sutini menepiskannya.
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet Hitam!" maki Sutini seenaknya ketika telah berada di dekat lelaki bercambang lebat.
"Asal kau tahu saja, aku tidak pernah membiarkan orang meremehkan diriku. Bersiaplah menerima hukumannya!"
Sutini menghentikan ucapannya. Diperhati-kannya wajah murid utama Rumah Perguruan Pe-risai Diri. Ingin dilihatnya lelaki bercambang lebat itu ketakutan karena ancamannya. Tapi harapannya sia-sia. Laki-laki bercambang lebat itu tetap berdiam diri. Tidak tampak adanya rasa takut sedikit pun. Karuan saja kenyataan ini membuat Sutini penasaran bukan main.
"Rupanya kau pikir aku main-main, hehhh...?!" dengus Sutini, bengis.
"Lihat baik-baik, aku akan meremas hingga hancur mulutmu yang kurang ajar itu!"
Karena Sutini mempertunjukkannya sedemikian rupa, mau tidak mau lelaki bercambang le-bat melihatnya juga. Sebuah tangan berjari-jari indah dengan kulit putih, halus, dan mulus. Terlihat menggiurkan! Tapi, lelaki bercambang lebat ini ta-hu nyawanya terancam bahaya tangan indah itu.
Wuttt!
Murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri berhasil mengelakkan cengkeraman tangan kanan Sutini. Ia bergegas melompat ke belakang. Perasaan ngeri mulai mencekam hati. Lawan benar-benar memiliki ilmu mengerikan. Sutini memiliki ilmu iblis!
"Kau sudah melihatnya bukan? Asal kau tahu saja, aku akan merobek mulutmu yang lancang! Baru setelah itu kurobek-robek seluruh tubuhmu!" ancam Sutini dengan suara yang mem-buat bulu kuduk merinding.
Tanggapan atas ucapan Sutini adalah serangan tidak terdugaduga dari lelaki bercambang lebat. Ia mengayunkan goloknya ke perut Sutini. Inilah yang ditunggu murid utama Rumah Perguruan
Perisai Diri. Sudah terbayang di benaknya gadis berpakaian merah itu akan terjengkang ke belakang dengan perut robek lebar!
Bukkk! Bukkk!
"Ah!"
Murid utama itu memekik kaget ketika mendapatkan kenyataan di luar perkiraannya. Dilihat jelas betapa mata kedua goloknya dengan deras menghantam sasaran. Tapi tidak terdengar jeritan menyayat Sutini, atau darah menyembur de-ras dari bagian yang terhantam ayunan golok. Ke-dua goloknya seperti menghantam benda kenyal. Serangan itu tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, kedua tangannya terasa lumpuh karena ayunan kedua goloknya membalik.
"Jangan kau kira akan semudah itu melukai Sutini, Anjing Buduk! Sekarang rasakan hukumanmu! Hih!"
Sutini mengayunkan tangan kanan. Lelaki bercambang lebat yang melihat adanya ancaman berusaha sebisa-bisanya untuk mengelak.
"Auuukh!"
Jeritan menyayat hati terdengar. Tangan Sutini mengenai sasaran dengan tepat. Merobek kedua sisi mulut murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri yang malang.
"Hi hi hi..,!"
Sutini tertawa mengikik. Ia sangat gembira melihat lelaki bercambang lebat berguling-gulingan di tanah seraya memegangi mulutnya yang robek lebar. Darah menyembur deras dari bagian yang terluka.
Semua kejadian itu tak luput dari pandangan murid-murid Rumah Perguruan Perisai Diri. Rasa ngeri menjalari hati mereka. Sutini ternyata memiliki watak yang kejam.
Meski demikian mereka tidak menjadi gen-tar. Bahkan sebaliknya, marah melihat kakak se-perguruannya menerima nasib seperti itu. Kalau saja mampu bergerak tentu sudah mereka terjang Sutini!
Keinginan untuk menolong kakak seperguruan mereka membuat murid-murid Rumah Perguruan Perisai Diri berusaha membebaskan diri dari kungkungan rasa lemas. Mereka memusatkan perhatian untuk membangkitkan tenaga dalam.
Sementara itu, masih dengan tawa terkekeh Sutini terus mengikuti lelaki bercambang lebat yang bergulingan karena rasa sakit. Ceceran darah membasahi tanah sepanjang tubuh murid utama itu berguling.
Dampit yang sejak semula memang tidak setuju dengan tindakan Sutini sudah tidak tahan. Sutini memang tengah diamuk dendam. Tapi, mengapa orang yang tidak bersalah dijadikan korban dengan demikian keji?
"Hentikan permainanmu, Sutini! Maksud kedatangan kita adalah untuk mencari Pendekar Golok Sakti. Jangan kau kotori tanganmu dengan korban-korban yang tidak berdosa!"
Tawa Sutini langsung terhenti. Semua karena ucapan Dampit yang penuh teguran. Kepalanya ditolehkan menatap pemuda itu.
"Tidak perlu kau mengajariku, Dampit! Aku mengetahuinya. Meskipun aku adik seperguruanmu, tapi tidak berarti kau seenaknya saja menekan ku!" Terasa jelas nada ketidaksenangan dalam sambutan gadis berpakaian merah itu.
Begitu ucapannya selesai, Sutini kembali mengalihkan perhatian pada lelaki bercambang lebat. Tanah tergetar hebat ketika Sutini menghen-takkan kaki kanannya ke tanah. Tubuh murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri yang tengah terguling-guling langsung terpental ke atas. Lonta-rannya mengarah ke tempat Sutini berada.
Kejadian ini membuat murid utama itu terkejut bukan main, Tapi apa dayanya? Mana mungkin dia berbuat sesuatu di saat tubuhnya tengah berada di udara? Maka, yang dilakukannya adalah pasrah pada keadaan.
Tiba-tiba, tubuh lelaki bercambang lebat yang tengah meluncur deras ke arah Sutini terhenti di udara, bagai ada kekuatan kasatmata yang menahannya. Sutini kaget. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tubuh murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri melesat ke arah yang berlawa-nan dari arah semula.
Sutini segera dapat menyimpulkan ada orang pandai yang ingin mengambil alih tubuh lelaki bercambang lebat. Gadis berpakaian merah ini menjulurkan kedua tangan untuk memaksa tubuh lelaki bercambang lebat mengikuti kemauannya, melesat ke arahnya.
Tindakan Sutini membuat tubuh lelaki ber-cambang lebat yang telah meluncur deras ke arah yang berlawanan terhenti. Dan, perlahan-lahan meluncur kembali ke arah Sutini. Tubuh murid utama itu meluncur berganti-ganti. Terkadang menuju tempat di mana Sutini berada, tapi tak ja-rang ke tempat yang berlawanan.
Empat tombak di depan Sutini, berdiri lelaki setengah baya. Ia berpakaian rompi putih. Berwajah tirus dengan rambut telah berwarna dua. Dialah Pendekar Golok Sakti! Tokoh yang tengah dicari Sutini ini berdiri dengan kedua tangan terjulur ke depan seperti halnya Sutini.
Pertarungan tenaga dalam untuk memperebutkan tubuh lelaki bercambang lebat akhirnya dimenangkan oleh Pendekar Golok Sakti. Secara perlahan namun pasti tubuh lelaki bercambang lebat terus meluncur ke arah Pendekar Golok Sakti. Itu terjadi setelah pertarungan unik itu berlangsung cukup lama. Wajah Sutini dan Pendekar Go-lok Sakti sampai dibanjiri peluh.
Menyadari keunggulan Pendekar Golok Sakti, Sutini segera menghentikan penyaluran tenaga dalamnya. Kemudian, ia melompat ke atas mematahkan kekuatan tarikan tenaga lawan. Sutini ber-salto beberapa kali di udara untuk kemudian men-jejak tanah dengan mantap.
"Siapa kalian? Mengapa melakukan tindakan keji seperti ini?" tanya Pendekar Golok Sakti, setelah meletakkan tubuh lelaki bercambang lebat yang pingsan karena tak kuat menjadi sasaran pertarungan tenaga dalam.
"Karena mereka tidak mau memenuhi permintaan kami untuk memanggil dirimu! Bukankah kau orang yang berjuluk Pendekar Golok Sakti yang pengecut itu?!" jawab Sutini langsung pada sasaran. Ia merasa yakin sosok yang berdiri di hadapannya itu adalah Pendekar Golok Sakti.
"Dugaanmu memang tidak salah, Nona Muda," Pendekar Golok Sakti mengangguk.
"Aku memang orang yang kau maksudkan itu. Sekarang aku sudah berada di hadapanmu. Cepat katakan maksudmu! Dan, apa artinya ucapanmu yang mengatakan aku seorang pengecut! Jelaskan sebelum aku terpaksa bertindak kasar kepadamu atas kelancanganmu!"
Sutini yang diamuk dendam atas kematian ayahnya dan menganggap Pendekar Golok Sakti sebagai salah satu dari orangorang yang harus dibunuhnya, semakin meluap amarahnya mendengar ancaman itu.
"Gagah nian ucapanmu, Pendekar Golok Sakti! Kalau saja aku tidak mengenalmu lebih dulu, tentu aku akan menganggapmu sebagai orang yang berjiwa jantan. Sayang..., karena aku telah lebih dulu mengenal watakmu yang pengecut, ti-puanmu tidak akan mempan terhadapku!" sambut Sutini penuh ejekan dan sikap merendahkan.
"Apa maksudmu, Nona Bermulut Tajam! Dua kali berkata kau telah dua kali pula memaki-ku pengecut! Kalau sekarang kau tidak menje-laskan mengapa bertindak seperti itu, jangan salahkan jika aku melupakan kalau kau seorang wanita muda!" Nada suara Pendekar Golok Sakti semakin meningkat.
"Kau memang seorang pengecut! Kau tidak pantas mendapat gelar Pendekar Golok Sakti. Orang seperti kau harusnya memakai julukan Pendekar Golok Tumpul. Apa artinya julukan pen-dekar kalau kau pergi meninggalkan kawanmu di waktu kau bertemu dengan lawan yang berat se-perti Iblis Tangan Maut?!" tandas Sutini bertubi-tubi dengan nada tinggi.
Wajah Pendekar Golok Sakti yang semula merah padam karena amarah yang bergelora men-dengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Suti-ni, mendadak berganti dengan keterkejutan yang sangat ketika mendengar kalimat terakhir itu.
"A... apa maksudmu...?!" tanya Pendekar Golok Sakti dengan suara bergetar.
"Tidak usah berpura-pura bodoh! Bukankah kau meninggalkan Dewa Tangan Sepuluh ketika menghadapi Iblis Tangan Maut, hingga pendekar yang perkasa itu tewas? Coba sangkal kalau kau berani!"
"Apa hubungannya denganmu?!" sentak Pendekar Golok Sakti sengit setelah beberapa saat lamanya tercenung.
"Dia adalah ayahku, Pengecut! Dan, kedatanganku kemari untuk membunuhmu karena kau yang telah menyebabkan ayahku tewas!"
"Ah...!"
Pendekar Golok Sakti mendesah kaget. Dia tahu Dewa Tangan Sepuluh mempunyai seorang putri. Tapi, sungguh tidak disangkanya kalau keturunan pendekar itu akan membalas dendam.
"Kau keliru! Yang membunuh ayahmu adalah Iblis Tangan Maut!"
"Benar! Tapi kau pun terlibat. Kalau kau tidak secara pengecut melarikan diri, ayahku tidak akan tewas. Sekarang kau harus pergi ke alam baka untuk menemui ayahku dan mendapat balasan darinya di sana!"
Tanpa menunggu lebih lama, Sutini lang-sung mencabut pedang dan memutarnya sejenak hingga bentuknya lenyap. Lalu, dengan diawali te-riakan melengking nyaring ia melompat menerjang Pendekar Golok Sakti dengan serangan-serangan maut.
Pendekar Golok Sakti sadar betul Sutini tidak bisa dicegah lagi. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri kecuali melakukan perlawanan. Apalagi ketika Ketua Rumah Perguruan Perisai Diri ini melihat kedahsyatan serangan gadis berpakaian merah itu. Tanpa ragu-ragu lagi, goloknya dicabut untuk menyambuti serangan Sutini. Hingga, kedua orang ini terlibat pertarungan sengit.
Namun, betapapun Sutini mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap terbukti kalau Pendekar Golok Sakti terlalu kuat. Semua serangannya kandas. Sebaliknya, setiap serangan Pendekar Golok Sakti mampu membuatnya kelabakan. Tak sampai tiga puluh jurus Sutini telah terdesak hebat.
Melihat kenyataan ini Dampit pun tidak tinggal diam. Meski tidak setuju dengan niat Sutini, pemuda berpakaian putih ini tidak ingin Sutini celaka atau tewas! Dampit mencabut pedang dan terjun ke dalam kancah pertarungan.
Ikut campurnya Dampit langsung mengubah jalannya pertarungan. Sutini tidak terdesak lagi. Malah, sepuluh jurus kemudian Pendekar Go-lok Sakti mulai terdesak. Semakin lama keadaan Ketua Rumah Perguruan Perisai Diri semakin mengkhawatirkan.
Pendekar Golok Sakti mengeluh dalam hati. Sutini dan Dampit tidak mungkin bisa ditanggulangi. Terjunnya Dampit membuat keadaan berubah drastis. Dampit dan Sutini mampu melakukan kerja sama yang baik. Permainan pedang kedua-nya saling melengkapi, membuat pertahanan se-makin kuat dan menjadikan serangan-serangan semakin dahsyat.
"Ah...!"
Pendekar Golok Sakti menjerit tertahan ke-tika goloknya yang menangkis serangan Dampit tidak bisa ditarik kembali. Menempel! Rupanya, pemuda berpakaian putih itu mengerahkan tenaga dalam untuk membuat senjatanya melekat dengan golok lawan.
Sebelum Pendekar Golok Sakti mengerah-kan tenaga dalam untuk melepaskan senjatanya, Sutini telah datang menerjang dengan tusukan pedang ke arah leher!
Wajah Pendekar Golok Sakti seketika pucat pasi! Namun, secara mengejutkan sesosok bayangan melesat ke dalam kancah pertarungan.
Tringng!
Pedang Sutini terpental balik. Sosok bayangan itu telah menyentilnya dengan telunjuk hingga menimbulkan bunyi berdenting nyaring. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Golok Sakti dengan menggunakan kelebihan tenaga dalamnya berhasil melepaskan tempelan pedang Dampit.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Pendekar Golok Sakti untuk melom-pat ke belakang menghindari serangan susulan. Padahal, tindakan itu sebenarnya tidak perlu. Sutini tengah terhuyung-huyung akibat sentilan so-sok bayangan. Sentilan yang membuat sekujur tangan Sutini tergetar hebat.
–––––––– 8
"Guru...!"
Sutini yang semula siap mengirimkan serangan langsung lemas sekujur tubuhnya ketika melihat sosok yang menangkis serangannya. Dampit pun menatap dengan wajah pucat dan sinar mata gelisah.
Sosok yang disapa Sutini sebagai guru adalah seorang kakek kecil kurus. Usianya tak kurang dari tujuh puluh tahun. Ia masih terlihat gagah karena sebaris kumis melintang di bawah hidungnya. Kumis yang telah memutih.
Kakek kecil kurus itu menatap Sutini dan Dampit bergantiganti dengan sinar mata penuh teguran. Ada bayangan kemarahan pada wajah-nya.
"Apa arti tindakanmu ini, Sutini? Dampit?" tanya kakek kecil kurus penuh wibawa.
Sutini rupanya hanya garang pada orang-orang lain saja. Terhadap gurunya gadis ini takut bukan main. Begitu mendapat pertanyaan itu, dia malah menatap Dampit. Sinar matanya meminta tolong pada pemuda itu untuk mewakilinya berha-dapan dengan gurunya.
Belum sempat Dampit memberikan jawa-ban. Pendekar
Golok Sakti telah terlebih dulu tertawa bergelak.
"Tidak usah terlalu tegang, Malaikat Tong-kat! Tidak ada urusan yang berarti antara kami. Hanya..., yahhh.... Sekadar latihan saja. Mereka datang dan meminta pelajaran dariku. Murid-muridmu ternyata hebat, Malaikat Tongkat. Hampir saja nyawa tuaku ini melayang. Aku kewalahan menghadapi mereka."
"Jangan membela mereka, Pendekar Golok Sakti!" tandas Malaikat Tongkat tegas.
"Aku tidak buta untuk bisa melihat adanya permusuhan dan ingin saling membunuh dalam seranganserangan kalian. Tidak usah kau berdusta! Sutini, jawab yang benar. Bukankah kau datang hendak membunuh Pendekar Golok Sakti?!"
Dengan wajah pucat pasi Sutini mengang-guk.
"Guru..., Sutini tidak...."
"Diam! Aku tidak bertanya padamu!" Semakin keras teriakan Malaikat Tongkat.
Dampit menundukkan kepala dengan wajah merah padam karena takut dan malu.
"Kalian benar-benar mengecewakan aku! Terutama kau, Dampit! Kau sebagai kakak perguruan seharusnya dapat membimbing Sutini agar tidak terjerumus ke jalan yang sesat.
Tak usah kalian jawab, aku tahu mengapa kamu berdua berada di sini. Sutini menimpakan kesalahan atas kematian ayahnya kepada Pendekar Golok Sakti. Dia datang untuk membuat perhitungan. Bocah ini memang terlalu diamuk dendam. Sudah berkali-kali kukatakan kalau Pendekar Golok Sakti tidak tahu-menahu dengan kematian Dewa Tangan Sepuluh! Perlu kau ketahui, Sutini, Pendekar Golok Sakti sama sekali tidak bersikap pengecut. Dia pergi meninggalkan ayahmu dengan hati berat. Itu pun atas desakan ayahmu sendiri. Ayahmu mengkhawatirkan keselamatanmu, putrinya. Pen-dekar Golok Sakti ini yang membawamu kepadaku untuk dijadikan murid kemudian dia merantau untuk mencari Iblis Tangan Maut guna mengadu nyawa. Tapi, tokoh itu telah lenyap bagai ditelan bumi. Pendekar Golok Sakti pun putus asa. Dia lalu tinggal di sini dan mendirikan perguruan. Sampai akhirnya kau datang dengan maksud burukmu itu! Untung saja aku segera tiba dan menolongnya pada saat yang tepat. Kalau tidak, mungkin kau akan menyesali peristiwa ini seumur hidup!"
Sutini mengangkat wajahnya yang sejak tadi ditundukkan. Air mata mengalir membasahi pipi gadis berhati keras ini. Air mata penyesalan. Sutini percaya sepenuhnya dengan cerita gurunya. Kakek itu tidak pernah berbohong.
"Perlu kau ketahui, Sutini." Malaikat Tong-kat menyambung ucapannya dengan suara yang semakin melunak.
"Ibumu terguncang batinnya mendengar kabar kematian ayahmu. Karena gun-cangan batin itu, ibumu tidak mau menerima kenyataan kalau tewasnya ayahmu bukan karena kesalahan Pendekar Golok Sakti. Sayangnya, kau menelan mentah-mentah cerita yang diberikan ibumu sebelum dia meninggal. Kau tidak pernah mau menanyakan padaku. Untung saja aku datang kemari, karena ada sesuatu masalah."
Sutini tidak bisa menahan rasa bersalahnya. Ditubruknya kaki Pendekar Golok Sakti dan Malaikat Tongkat. Dengan terputus-putus gadis ini mengutarakan penyesalannya.
Kedua kakek yang berteman baik itu men-gusap-usap rambut Sutini. Dampit hanya me-nyaksikan dengan hati terharu. Diamdiam dia merasa bersyukur gurunya telah datang.
"Sudahlah, Sutini," hibur Malaikat Tongkat.
"Lebih baik kau beristirahat. Kau terlalu lelah. Dampit, ajak
Sutini beristirahat."
Tanpa banyak cakap Dampit segera mem-bawa Sutini ke dalam. Sutini tidak membantah. Sedangkan Malaikat Tongkat menghampiri Pende-kar Golok Sakti.
"Masalah apa yang membawamu datang kemari, Malaikat Tongkat?" tanya Pendekar Golok Sakti.
"Masalah besar kurasa. Aku yakin peristiwa ini ada hubungannya dengan kejadian puluhan tahun lalu. Tentang datuk kaum hitam yang tersohor itu."
"Iblis Tangan Maut?" tanya Pendekar Golok Sakti dengan suara bergetar.
Malaikat Tongkat menggeleng. Seketika wajah Pendekar Golok Sakti yang semula sudah pucat ketika mengajukan dugaan mengenai Iblis Tangan Maut, semakin bertambah pucat.
"Siluman Dari Neraka...," terka Ketua Perguruan Perisai Diri ini.
"Benar. Aku yakin datuk sesat Itu muncul kembali ke dunia persilatan. Entah dengan cara bagaimana, yang jelas tokoh ini berhasil selamat"
"Kau bertemu dengannya?" tanya Pendekar Golok Sakti tanpa bisa menyembunyikan rasa gentarnya.
"Tidak. Aku hanya menemukan bekasnya. Gajah Cilik Berkepala Baja tewas dengan ciri-ciri seperti yang biasa diketemukan pada korban-korban Siluman Dari Neraka. Karena itulah aku segera datang ke sini karena khawatir kau disatroninya. Bukankah kau juga terlibat atas peristiwa yang menimpa Siluman Dari Neraka? Ingat, kau yang menjadi pemberitahu kalau siluman itu akan bertarung dengan Iblis Tangan Maut sehingga aku dan Gajah Cilik bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk melenyapkannya. Aku yakin dia akan membalas dendam terhadapmu juga!"
"Cerdik sekali...! Dari dulu kau memang cerdik...! Ha ha
ha...!"
Teriakan keras menggelegar membuat Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti mengalihkan perhatian. Wajah kedua tokoh golongan putih ini berubah hebat. Mereka bisa menduga siapa yang telah mengeluarkan seruan itu.

* * *




Di atas pagar kayu bulat yang mengelilingi Rumah Perguruan Perisai Diri tampak bertengger sesosok tubuh berpakaian merah dalam keadaan yang menakjubkan.
Kakek itu berdiri di atas pagar kayu bulat dengan tidak menggunakan kakinya. Tapi, dengan rambutnya yang panjang! Rambut itu menegang kaku seperti tongkat!
"Selamat berjumpa lagi, Malaikat Tongkat Apa kabarmu? Baik-baik saja, bukan? Sayang, Gajah Cilik Berkepala Baja tidak demikian. Keadaan-nya sangat mengenaskan," ujar kakek itu.
"Tidak usah bersilat lidah, Siluman Dari Ne-raka! Katakan saja kalau kau yang telah membunuhnya!" sentak Malaikat Tongkat seraya mengamang-amangkan tongkat di tangan kanannya.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, Malaikat Tongkat. Kurasa, kau dan Pendekar Golok Sakti tahu alasannya. Kalian telah menyebabkan aku terkurung bertahun-tahun di dasar lubang itu. Lubang yang amat dalam. Untung saja dasar-nya air sehingga aku bisa selamat. Selama berta-hun-tahun kutelusuri tempat itu untuk mencari jalan keluar. Sampai akhirnya jalan tembus ke dunia luar kutemukan. Pembalasan dendamku pun akan segera terlaksana! Ha ha ha...!"
"Atau kau yang akan mati untuk selamanya di sini!"
Malaikat Tongkat langsung menerjang Siluman Dari Neraka. Tongkatnya yang besar dan berat dibabatkan ke kepala kakek berpakaian merah. Tapi hanya dengan menggerakkan rambutnya Siluman Dari Neraka berhasil mengelakkan seran-gan itu. Kakek itu melesat dari tempatnya dan mendarat di tanah dengan kedua kaki.
Malaikat Tongkat yang geram melihat se-rangannya berhasil dikandaskan segera meluruk dengan putaran tongkatnya yang mengeluarkan bunyi menderu keras. Tapi, Siluman Dari Neraka berdiri dengan tenang. Kedua tangannya disedakapkan di depan dada.
Ketika tongkat lawan hampir meremukkan dadanya, Siluman Dari Neraka baru melakukan tindakan. Rambutnya bagaikan hidup, bergerak menyambuti tongkat. Bahkan, rambut itu terpisah menjadi dua kelompok. Yang kiri dengan cepat menangkis tongkat dan melibatnya. Sedangkan yang kanan menotok ke arah leher. Serangan maut!
Pendekar Golok Sakti tidak tinggal diam. Goloknya segera dicabut dan diayunkan ke rambut yang tengah meluncur ke arah leher.
Trakkk!
Seperti juga Malaikat Tongkat, Pendekar Golok Sakti menerima kejadian yang mengejutkan. Begitu tertangkis golok, rambut itu melemas. Ke-mudian, bagaikan hidup dengan cepat melilit ba-tang golok.
Pendekar Golok Sakti mengerahkan kekua-tan untuk menarik. Kalau goloknya tidak berhasil dibebaskan merupakan hal yang tidak mungkin, demikian pendapat kakek ini. Mustahil rambut mampu bertahan terhadap tajamnya golok. Tarikan pada golok akan membuat rambut seperti dipotong.
Tapi, Pendekar Golok Sakti harus menelan kenyataan pahit.
Golok pusakanya ternyata tidak mampu memutuskan rambut Siluman Dari Neraka. Rambut itu seperti terbuat dari bahan yang alot dan tidak bisa diputuskan.
Belum hilang rasa kaget Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti, keduanya dikejutkan lagi dengan mengalirnya tenaga dalam mereka. Te-naga itu bagai disedot Siluman Dari Neraka mela-lui rambutnya yang melibat tongkat dan golok.
Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti berusaha keras mencegah mengalirnya tenaga mereka. Namun, keduanya tak berdaya sama sekali. Kedua kakek ini pun berubah pikiran. Tidak ada jalan lain kecuali melepaskan senjata. Meski bagai seorang ahli silat senjata merupakan nyawa ke-dua, tapi Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti tidak memiliki pilihan lain.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya mereka ketika mengetahui tangan keduanya menempel dengan senjata, sehingga tidak dapat dilepaskan. Pucat pasi wajah kedua kakek ini. Tidak ada hal lain yang dapat mereka lakukan kecuali menunggu mati lemas kehabisan tenaga dalam! Entah ilmu apa yang dipergunakan Siluman Dari Neraka sehingga mampu menyedot tenaga dalam lawan.
Siluman Dari Neraka baru melepaskan belitan rambutnya ketika Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti sudah tidak mampu berdiri lagi. Tubuh kedua kakek itu sangat lemas. Wajah me-reka pucat seperti tidak berdarah. Butiran-butiran peluh sebesar kacang membasahi sekujur tubuh.
Wajah Siluman Dari Neraka merah padam. Kakek ini telah menyedot banyak tenaga dalam. Beruntung tingkat kepandaiannya tinggi dan kekuatan tenaga dalamnya luar biasa, sehingga tenaga dalam yang berhasil disedot dapat diarahkan ke pusar. Kalau tidak, tenaga dalam yang masih liar itu akan berkeliaran ke sana kemari dan me-nyebabkan urat-urat sarafnya pecah!
"Kalian akan mengalami kematian seperti halnya Gajah Cilik!"
Untuk kesekian kalinya rambut Siluman Dari Neraka terpecah menjadi dua gumpalan. Bak ular gumpalan rambut itu meluncur ke arah Ma-laikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti yang berdiri dengan kedua lutut.
Tukkk, tukkk
Begitu kedua gumpalan rambut menotok tubuh Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti, kedua kakek ini langsung menjerit tertahan. Jeritan yang keluar tanpa dapat mereka tahan. Keduanya menggelepar-gelepar bagai ayam disembelih!
Saat itulah Karina dan Dampit keluar dari salah satu bangunan yang mereka jadikan tempat beristirahat. Wajah mudamudi ini berubah hebat melihat kejadian yang dialami Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti.
"Iblis Keji...!"
Sutini yang memiliki watak keras tanpa pi-kir panjang menerjang Siluman Dari Neraka seraya menusukkan pedangnya. Jarak antara mereka kira-kira enam tombak, tapi Sutini bermaksud melancarkan serangan dengan satu terjangan.
Berbeda dengan Sutini, Dampit lebih berhati-hati. Apalagi setelah mengalami kejadian demi kejadian yang menimpanya. Kalau gurunya dan Pendekar Golok Sakti bisa diperlakukan seperti itu, dapat diperkirakan betapa tinggi kemampuan kakek berpakaian merah! Jadi, Sutini hanya men-cari penyakit dengan tindakannya yang ceroboh itu.
"Sutini...! Tahan...!"
Hanya itu yang bisa diserukan Dampit. Pemuda ini tidak sempat lagi bertindak untuk mencegah. Tubuh Sutini telah cukup jauh melayang. Mengejar pun percuma saja.
Siluman Dari Neraka mendengus. Dengan gerakan sambil lalu, seperti orang mengusir lalat, tangan kanannya dikibaskan. Serangkum angin berhawa panas meluncur ke arah Sutini.
Tidak hanya Sutini. Dampit pun pias wajahnya. Dia melihat maut mengancam Sutini. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Mencoba untuk menolong pun sia-sia karena gerakannya kalah cepat dan kalah lebih dulu.
Di saat yang mengkhawatirkan itu, sesosok bayangan ungu dengan kecepatan menakjubkan melesat menubruk tubuh Sutini. Luncuran tubuh gadis berpakaian merah itu dipotong dari samping.
Tubuh Sutini dan sosok bayangan ungu yang tidak lain Arya terguling-guling di tanah. Dan, terhenti dengan kedudukan sosok bayangan ungu berada di atas. Tubuh Sutini berada di bawah. Dada mereka saling bersentuhan.
Karuan saja Arya maupun Sutini jadi salah tingkah. Hal itu justru membuat mereka tidak segera bangkit berdiri, tapi malah berdiam diri den-gan saling bertatapan.
Geraman Siluman Dari Neraka membuat sepasang mudamudi ini tersadar. Hampir bersamaan dengan Arya melentingkan tubuh ke belakang, Sutini menggulingkan tubuhnya ke samping. Wajah keduanya memerah karena malu ketika telah berhasil berdiri.
Di tempat lain, Dampit dan Karina menatap kejadian itu dengan mata berapi. Ada rasa tidak enak dan iri melihat kejadian itu. Karina menatap Sutini dengan sorot mata tajam. Sedangkan Dampit mengepalkan tinjunya seraya menatap sosok berpakaian ungu.
"Kita bertemu lagi, Pemuda Sombong! Sekarang kupenuhi janjiku. Kau akan kubunuh!" seru Siluman Dari Neraka.
Arya tidak menyambuti ucapan Siluman Dari Neraka. Dia masih bingung melihat kemajuan hebat kakek berpakaian merah. Sambaran angin pukulan Siluman Dari Neraka yang tadi lewat sedikit di atas tubuhnya, dirasakan kuat bukan main. Jauh lebih kuat dari pukulan jarak jauh yang ditangkis Dewa Arak waktu pertama kali ber-temu tokoh sesat itu. Ataukah kakek ini pada saat itu tidak mengerahkan tenaga seluruhnya?" tanya Arya dalam hati.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak tahu kalau tenaga dalam Siluman Dari Neraka bertambah dengan pesat karena baru saja merampas tenaga dalam Malaikat Tongkat dan Pendekar Go-lok Sakti. Tambahan dua tenaga dalam itu tentu saja membuat tenaga dalam kakek berpakaian me-rah ini semakin berlipat ganda.
Siluman Dari Neraka rupanya sudah tidak sabar lagi untuk segera bertarung dengan Dewa Arak. Sambil mengeluarkan geraman yang mem-buat tempat itu bergetar hebat, ia melompat me-nerjang Dewa Arak. Arya pun menyambutinya dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'.
Pertarungan antara dua tokoh itu berlang-sung seru. Tapi, hanya terjadi beberapa belas ju-rus saja. Pertarungan berlangsung tidak seimbang. Dewa Arak senantiasa didesak dan dikejar-kejar. Dengan kekuatan tenaga dalamnya yang telah meningkat, Siluman Dari Neraka memaksa Dewa Arak mengadu tenaga. Pemuda berambut putih keperakan itu terus menghindar. Beruntung Arya mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Kalau tidak, sudah sejak tadi serangan Siluman Dari Neraka mendarat di tubuhnya. Gerakan kakek itu cepat bukan main. Jauh di atas kecepatan gerak Arya!
Dewa Arak benar-benar takjub dan kagum. Harus diakui untuk kesekian kalinya dia mendapat lawan yang amat tangguh. Ilmu 'Belalang Sakti' menyebabkan dia tidak segera roboh.
Akhirnya, apa yang ditakutkan Dewa Arak terjadi juga. Kecepatan gerak Siluman Dari Neraka membuatnya tidak sempat mengelakkan serangan di jurus kelima puluh. Tidak ada jalan lain bagi pemuda berambut putih keperakan itu kecuali menangkisnya. Karena tenaga dalam lawan berada jauh di atasnya, Dewa Arak menggunakan tenaga pelan ketika menangkis.
"Uh!"
Dewa Arak mengeluarkan keluhan tertahan. Tangannya yang berbenturan dengan tangan Si-luman Dari Neraka melekat.
Belum juga hilang perasaan kagetnya, tenaga dalamnya dirasakan mengalir melalui tangan yang bersentuhan. Arya segera menyadari lawan menggunakan ilmu aneh untuk mencuri tenaga dalamnya.
Dewa Arak tidak mau itu terjadi. Segera dihentikannya aliran tenaga dalamnya. Tapi ternyata tidak berhasil. Tenaga dalamnya tetap tersedot Si-luman Dari Neraka. Wajah Arya seketika pias. Pemuda ini tahu apa yang terjadi padanya. Dia akan mati lemas!
"Petualanganmu sudah berakhir, Rataksa. Kau harus kembali ke Penjara Langit!"
Ucapan keras itu terdengar di saat Dewa Arak mulai merasa lemas.
Akibat seruan itu sungguh hebat! Siluman Dari Neraka tersentak kaget dan terjingkat ke belakang. Tindakannya terhadap Arya langsung dihentikan.
Wajah Siluman Dari Neraka bertambah pias ketika melihat sosok bertopeng kayu yang mengenakan pakaian dari kulit ular emas. Pakaian itu adalah pakaian utusan Penjara Langit. Siapa pun yang mengenakannya berkuasa penuh untuk bertindak apa saja terhadap orang yang diburunya.
Siluman Dari Neraka hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sepengetahuannya, pakaian itu disimpan dalam sebuah kotak baja yang tidak bisa dibuka dengan alat apa pun, kecuali Golok Baja Hitam! Tapi kenyataannya? Siluman Dari Neraka tidak tahu kalau sosok bertopeng kayu ini salah satu dari dua orang bertopeng yang menyatroni Iblis Tangan Maut. Mereka telah mengambil Golok Baja Hitam. Dengan golok itu kunci kotak baja yang menyimpan pakaian dipatahkan. Karena pakaian itu hanya satu, maka yang menca-ri Siluman Dari Neraka hanya satu orang!
Siluman Dari Neraka yang sudah gentar mendapatkan kembali keberaniannya. Ia teringat kalau selama puluhan tahun ini telah melatih ilmunya. Dan, dia yakin telah mencapai tingkat sempurna. Belum tentu petugas dari Penjara Langit ini akan mampu mengalahkannya. Apalagi dia telah berhasil mendapatkan ilmu untuk menyedot tenaga dalam orang lain. Mana mungkin dia bisa dikalahkan.
"Kaulah yang akan kubunuh di sini!" Siluman Dari Neraka melompat dengan kedua tan-gan dihentakkan. Deru angin keras mengiringi ter-jangannya. Batu-batu kecil dan debu beterbangan di udara. Namun, sosok bertopeng kayu tetap ti-dak bergeming.
Orang-orang yang berada di tempat itu, termasuk Arya, sampai terbelalak kaget dan me-nahan napas melihat sikap sosok bertopeng kayu. Dewa Arak mengetahui benar betapa dahsyatnya serangan Siluman Dari Neraka.
Tiba-tiba, satu tombak sebelum kedua tangannya mendarat di sasaran, Siluman Dari Neraka mengeluarkan-jeritan menyayat. Tubuhnya terpental balik ke belakang seperti membentur dinding tak nampak. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah segar.
Setelah melayang-layang beberapa tombak, tubuh kakek berpakaian merah itu ambruk di tanah dan diam tidak bergerak lagi. Mati. Dengan tenang sosok bertopeng kayu menyambar tubuh itu dan melesat pergi, tanpa bicara apa pun pada orangorang yang berada di tempat itu.
Tidak ada seorang pun yang mengejar. Mereka masih terlalu kaget melihat betapa mudahnya sosok bertopeng kayu menewaskan Siluman Dari Neraka. Teka-teki bersarang di benak mereka ten-tang cara sosok bertopeng kayu membunuh Siluman Dari Neraka.
Jeritan tertahan Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti menyadarkan Sutini dan Dampit. Mereka memburu ke arah kedua kakek itu. Sesaat kemudian, tangis Sutini pun pecah. Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti tewas dengan cara mengerikan. Sekujur tubuh mereka menghitam.
Di saat sepasang muda-mudi ini dan Karina memperhatikan kedua mayat itu dengan perasaan ngeri, Dewa Arak melangkah pergi. Pemuda berambut putih keperakan ini mengetahui sosok bertopeng menggunakan ilmu gaib! Ilmu yang hanya bisa dipergunakan untuk bertahan. Setiap orang yang menyerang, maka serangan itu akan membalik mengenai dirinya sendiri. Ilmu 'Kontak' demikian namanya. Itulah ilmu yang dipergunakan sosok bertopeng kayu.
––––GS––––

SELESAI



INDEX AJI SAKA
75.Racun Kelabang Merah --oo0oo-- 77.Sengketa Guci Pusaka
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.