Life is journey not a destinantion ...

Pembalasan Dari Liang Lahat

INDEX AJI SAKA
77.Sengketa Guci Pusaka --oo0oo-- 79.Iblis Buta

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta



Cetakan pertama. Penerbit Cintamedia, Jakarta. Penyunting : Tuti S. Hak cipta pada Penerbit. Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

1
Hujan turun begitu deras, bagai ditumpahkan dari langit. Angin berhembus kencang menyapu apa saja yang dilalui. Sesekali kilat menjilat angkasa, membuat yang semula gelap gulita men-jadi terang-benderang meski hanya sekilas. Alam seperti tengah murka. Malam yang gelap pekat menjadikan suasana semakin menyeramkan!
Keadaan demikian seperti tidak dipedulikan oleh sebuah kereta sederhana yang ditarik kuda hitam tinggi besar. Pengendaranya adalah seorang lelaki kekar bertelanjang dada. Tanpa henti-henti cambuknya dilecutkan, membuat kuda penarik kereta terus berlari semakin cepat. Bunyi lecutan cambuk senantiasa terdengar, tapi nyaris tertindih oleh suasana alam yang tengah mengamuk.
Kelihatannya sang kusir ingin segera mela-kukan perjalanan secepat mungkin. Kendati demikian, keadaan alam yang tidak bersahabat dan tanah lunak karena hujan, membuat perjalanannya terhambat
"Masih jauhkah perjalanan kita, Gempita?!"
Terdengar suara serak dan parau dari da-lam kereta, berusaha menyeruak riuhrendahnya bunyi air hujan dan desir angin yang keras.
"Tidak! Sebentar lagi pun kita akan sampai...!" teriak sang kusir tidak kalah keras.
Kusir yang dipanggil Gempita memiliki cambang bauk lebat itu terlihat ketika alam terang benderang sejenak oleh kilatan di langit.
Berat dan mantap suara Gempita. Tidak terlihat gemetar atau tersendat-sendat, seperti layaknya orang kedinginan! Padahal, saat ini udara dingin menusuk hingga ke tulang sumsum!
Bahkan lelaki bercambang bauk lebat itu malah bertelanjang dada!
Tidak terdengar sahutan sama sekali dari dalam kereta. Rupanya, jawaban Gempita tadi cukup memuaskan hati orang di dalam kereta. Sementara kereta terus melaju terseok-seok melalui jalan tanah becek
"Kita telah sampai...!" seru Gempita, seraya menarik tali kekang kudanya.
Tanpa mempedulikan kudanya yang terus meringkik, lelaki bertelanjang dada dan bercambang bauk lebat itu melompat. Pada saat yang hampir bersamaan, dari belakang kereta melompat sesosok tubuh lain sambil membopong sebuah peti mati!
"Kita harus bertindak cepat..! Kalau terlambat, akan celaka...!" ujar Gempita sambil berlari cepat menuju hamparan tanah luas yang berjarak beberapa tombak di depan.
Di belakangnya, mengikuti sosok yang tadi di dalam kereta sambil membopong peti mati. Sinar bulan sepotong cukup menerangi sekitarnya. Sebuah tempat yang pemandangannya cukup mendirikan bulu roma. Hamparan tanah itu ternyata tidak kosong sama sekali. Pada beberapa bagian, tampak gundukangundukan tanah. Ya... tempat ini memang kuburan liar!
Pada bagian lapangan yang tidak terdapat gundukan, Gempita menghentikan langkahnya. Cangkul yang tadi diambil dari kereta, langsung dihunjamkan ke bumi.
"Uhhh...!"
Lelaki bercambang bauk itu berseru tertahan ketika ayunan cangkulnya yang sekuat tenaga bagai tertahan secara mendadak. Ketika menghunjam tanah, hanya sebagian mata cangkulnya yang amblas, Gempita penasaran bukan main.
Sambil menggertakkan gigi seluruh kekuatannya dikerahkan, hendak mencangkul kembali. Tapi, hasilnya sama saja. Rasa penasaran dan heran mulai berganti rasa takut. Dan dia tetap saja me-neruskan pekerjaannya.
..... "Cepat sedikit, Gempita! Jangan main-main! Waktu kita sedikit. Lihat! Bulan sudah menampakkan diri, dan hujan mulai mereda. Kalau sampai hujan berhenti dan peti ini belum ditanam, malapetaka besar akan terjadi!" kata lelaki yang membopong peti, berseru tak sabar.
Nada suara lelaki bertubuh kecil kurus ini menyiratkan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan. Dan memang bukan tanpa alasan dia memberi teguran. Apalagi, dia tahu, siapa Gempita. Bukan saja memiliki tenaga dalam luar biasa, tapi kepandaiannya juga boleh dibanggakan. Jangankan menggali tanah yang telah menjadi lunak karena tersiram hujan dengan cangkul! Menggali tanah keras dengan sebatang kayu pun dapat cepat dilakukannya. Tapi sekarang mengapa dengan cangkul justru pekerjaannya demikian lambat?!
"Aku tidak bermain-main, Marong! Seluruh kemampuanku telah kukerahkan! Tapi, memang ada sesuatu yang aneh di sini! Sesuatu yang membuat tenagaku seperti lenyap!" jelas Gempita, tanpa menghentikan pekerjaannya.
Jawaban itu membuat laki-laki kecil kurus yang dipanggil Marong merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Dia tahu, Gempita tidak main-main dan berkata benar. Begitu tiba di tempat ini pun, Marong telah merasa sesuatu yang aneh. Ra-sa takut tanpa sebab mendadak muncul di ha-tinya. Bulu-bulu di tubuhnya, terutama sekali di tengkuk kontan berdiri!
Marong seketika merasakan tenggorokan-nya kering. Malah dengan susah payah ludahnya baru dapat ditelan. Keringat sebesar-besar biji jagung mulai mengalir di wajahnya. Padahal, kenda-ti hujan semakin mereda, udara masih amat dingin!
Baik Marong maupun Gempita mulai bisa menarik napas lega ketika akhirnya lubang yang hendak digunakan untuk mengubur peti mati selesai digali. Tapi bertepatan dengan itu, hujan yang sejak tadi telah terus mereda, berhenti sama sekali.
"Celaka, Gempita! Hujan telah berhenti...! Usaha yang kita lakukan sia-sia belaka...!" keluh Marong, tanpa mampu menyembunyikan rasa gelisahnya.
"Nasi telah menjadi bubur, Marong," jawab Gempita, bernada keluhan. "Kita tidak mempunyai pilihan lain lagi, kecuali menguburkan peti ini. Tidak mungkin kita bertindak setengah jalan. Mudah-mudahan saja, perkiraan guru meleset!"
Marong tidak berkata apa-apa lagi. Dengan perasaan dicekam rasa takut, kedua lelaki ini menaruh peti mati ke dalam lubang dan mengubur-kannya.
"Mudah-mudahan saja perkiraan guru meleset. Bukankah itu hanya perkiraan saja!" hibur Marong, seperti untuk diri sendiri.
Marong mulai menjatuhkan gundukan de-mi gundukan tanah ke dalam lubang. Sebenarnya, mereka tidak perlu menggunakan kaki, mendorong gundukan tanah yang tadi berada di sisi lubang yang baru dibuat. Tapi, mereka tidak mempunyai pilihan lagi.
Tadi, dorongan angin pukulan mereka untuk pertama kalinya tidak membuahkan hasil, karena tanah-tanah itu seperti tak ingin bergeming.
"Jangan bicara hal-hal yang menyeramkan, Marong," tegur Gempita dengan tengkuk terasa dingin. Sementara bulu-bulu kuduknya terus berdiri semakin banyak. Percakapan yang dibuka Marong semakin membuat memperseram keadaan.
"Aku pun sebenarnya tidak ingin membicarakan hal ini, Gempita. Tapi, berdiam diri saja membuatku tidak enak. Aku bisa mati ketakutan!" sahut Marong.
"Bisa saja kau buat percakapan lainnya. Jangan percakapan tentang hal-hal yang membuat keadaan semakin seram," tangkis Gempita.
Marong diam. Bisa dirasakan kebenaran ucapan kawannya. Hal ini membuat suasana men-jadi hening.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda. Sehingga membuat dua lelaki ini terperanjat kaget dengan jantung seperti berhenti berdetak. Kalau saja suasana tidak remang-remang, akan terlihat wajah masing-masing yang pucat bagai tak dialiri darah. Rasa takut dan seram, membuat bunyi yang dalam keadaan biasa seperti berubah lain dan aneh. Malah sepertinya mampu membuat nyawa terbang sesaat
Sementara itu ringkikan yang ternyata dari mulut kuda yang telah membawa mereka ke tempat itu seperti bernada ketakutan. Bahkan setelah mengeluarkan ringkikan, kuda itu berlari cepat bagai tengah dikejar sesuatu yang menakutkan, berikut membawa kereta yang ditariknya.
Kejadian ini membuat Marong dan Gempita kaget bukan main. Padahal, kuda hitam itu bukan kuda sembarangan. Tapi, merupakan kuda pilihan yang amat taat pada majikan. Tapi, mengapa kali ini sampai berani meninggalkan tempat itu sebelum diperintah?
"Hitam...! Kembali...!"
Gempita berseru keras memanggil kudanya yang terus berlari membawa kereta. Padahal bi-asanya, setiap kali diberi perintah, kuda hitam itu menurut dan mengerti. Tapi, kali ini perintah itu tidak dipedulikan sama sekali.
"Heran..., apa yang terjadi dengan si Hitam...,?! Tidak biasanya dia berlaku seperti itu...?!" gumam Gempita kebingungan.
"Sepertinya dia sangat ketakutan, Gempita," bisik Marong, membuat Gempita terperanjat
Marong sadar kalau ketelepasan bicara. Karena kata-katanya akan membuat mereka semakin ketakutan. Tapi dia tahu, tidak ada gunanya lagi. Karena, perkataannya telah keluar. Malah kebenarannya tidak diragukan. Si Hitam memang ketakutan. Tapi, ketakutan terhadap apa?!
Gempita dan Marong saling berpandangan. Mereka tahu, binatang mempunyai naluri amat ta-jam. Bahkan kabarnya, binatang-binatang akan berteriak ketakutan kalau ada makhluk halus le-wat. Dengan tingkah si Hitam kali ini?! Gempita dan Marong sama sekali tidak mempedulikan kalau pakaian bagian bawah mereka mendadak basah. Dan....
"Gempita...! Lihat..!"
***
Marong berusaha berseru. Tapi yang keluar hanya keluhan bagai orang yang tengah sekarat. Bahkan tangan kanannya yang ditudingkan ke atas, tampak menggigil hebat.
Sementara, Gempita mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Marong. Dan wajahnya pun seketika berubah pucat. Bulan tampak berwarna merah seperti tersiram darah. Bahkan sekeliling permukaan bulan pun merah membara. Apa yang mereka takuti ternyata terjadi
"Bulan Merah...," desis Gempita lebih mirip keluhan. "Berarti malapetaka itu akan muncul. Cepat kita tinggalkan tempat ini, Marong...!"
Saat itu juga, bagai tengah berlomba lari, Marong dan Gempita berlari cepat meninggalkan tempat ini. Perasaan takut yang amat sangat, membuat kedua lelaki ini mengerahkan seluruh kemampuannya.
Baik Gempita maupun Marong merasa lega ketika berlari beberapa saat, tidak terlihat adanya tanda-tanda akan adanya sesuatu yang mengejar. Kendati demikian, karena rasa penasaran dan un-tuk lebih meyakinkan, kepala mereka menoleh ke belakang.
Dan mendadak saja jantung Marong dan Gempita bagai berhenti berdetak, begitu melihat ke belakang. Ternyata apa yang mereka lihat masih berupa gundukan tanah yang baru saja dibuat. Padahal, mereka telah berlari sekian lama! Ketika kedua pandangan mereka diarahkan ke kaki dan tanah, baru disadari kalau sejak tadi hanya berla-ri-lari di tempat.
Rasa takut dan cemas yang mencekam ba-gai membuat kedua lelaki ini menjadi gila. Lari mereka pun semakin dipercepat. Tapi kesudahan-nya tidak berbeda. Sepasang kaki mereka hanya bermain-main di tempat semula.
Marong dan Gempita terkenal sebagai to-koh persilatan yang berkepandaian tinggi. Dan mereka tahu, kejadian ini tidak wajar. Ada kekuatan tak nampak yang tidak dimengerti.
Sebagai tokoh yang telah memiliki kepandaian tinggi, Marong dan Gempita tahu kalau kejadian ini hanya dapat dilakukan oleh tokoh bertenaga dalam tinggi hanya dengan menjulurkan tangan. Tapi, di belakang mereka tidak terlihat seorang tokoh pun! Jadi, siapa yang telah melakukannya.
Akhirnya, setelah tahu kalau tindakan yang dilakukan sama sekali tidak berarti, Gempita dan Marong bertindak nekat. Mereka menghenti-kan lari, dan langsung mencabut senjata masing-masing. Gempita meloloskan goloknya, sedang Marong mencabut sepasang trisulanya.
"Siapa pun adanya kau, Siluman atau bukan, jangan bertindak pengecut begini. Silakan keluar! Tunjukkan rupamu, Pengecut! Jangan dikira kami takut mati...!" bentak Gempita keras sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perasaan takut yang melanda berubah menjadi nekat!
Marong tidak ikut berteriak Tapi, pandangannya beredar ke sana kemari dengan sikap waspada. Jantung yang berdetak dalam dadanya dirasakan bagai dentum tambur.
***
Keadaan menjadi hening setelah Gempita berteriak. Ternyata memang tidak ada sambutan sama sekali atas seruannya. Suasana jadi terasa menegangkan bagi Marong dan Gempita. Menung-gu hal-hal yang tidak diketahui, membuat kete-gangan memuncak. Bahkan keringat dingin makin mengalir membasahi sekujur wajah! Padahal, cua-ca amat dingin menusuk tulang! Dan tibatiba....
Blarrr!
Terdengar ledakan yang tidak terlalu keras, membuat Gempita dan Marong yang tengah tegang menunggu, kontan terlompat ke belakang. Mereka terkejut bukan main. Bahkan seketika itu pula, nyawa dua lelaki perkasa itu bagai melayang ke alam baka.
Setelah perasaan kaget yang melanda berangsur lenyap, dengan mata terbelalak kaget Marong dan Gempita menatap ke arah gundukan tanah yang menjadi sumber ledakan keras tadi. Karena, di situlah tempat peti mati yang dibawa dikuburkan! Tampak tanah bergumpal-gumpal berpentalan ke atas ketika ledakan terjadi!
Belalakan mata mereka semakin membesar ketika dari dalam lubang kuburan yang telah menganga keluar sesuatu. Mula-mula hanya dua buah tangan yang mencekal pinggir lubang. Kemudian disusul kepala berwajah pucat dengan mata bersinar kehijauan mirip mata kucing, liar! Sehingga membuat wajah itu semakin mengerikan!
"Ambar...," desis Marong dan Gempita hampir berbarengan. Suara dan sorot mata mereka seperti tidak percaya. Nama yang disebutkan adalah nama dari mayat dalam peti yang baru saja mereka kuburkan!
"Hi hi hi...!"
Terdengar tawa mengikik dari sosok mengerikan dari lubang kubur yang ternyata seorang gadis muda. Seram mengiris telinga dan menyayat jantung.
"Aku memang Ambar. Tapi, bukan Ambar seperti yang kalian kenal dulu. Kebangkitanku lagi, adalah untuk membalaskan semua sakit hatiku. Hi hi hi...! Dan, kalian adalah orang-orang yang pertama kali mendapatkan giliran untuk menerima kematian!" kata sosok mayat hidup yang bernama Ambar dengan suara menggiriskan.
"Tidak akan semudah itu kau dapat melakukannya, Setan Penasaran!" sentak Gempita yang telah bangkit keberaniannya. "Justru kaulah yang akan kami binasakan, untuk tidak bisa bangkit lagi selamanya!"
Gempita tanpa berpikir panjang lagi segera melompat menerjang. Goloknya diputar bagai kiti-ran, kemudian ditusukkan secara cepat ke arah perut manusia yang telah bangkit dari kematian-nya.
Zebbb!
Secara telak dan keras, golok Gempita mengenai sasaran dan menghunjam. Tapi, ternyata Ambar sama sekali tidak menjerit kesakitan. Gadis ini malah tertawa cekikikan. Tawa yang sepatutnya tidak keluar dari mulut manusia!
Gempita membaui adanya bahaya. Maka goloknya yang amblas menembus sampai ke punggung Ambar segera ditarik kembali. Tapi, hati lelaki ini mencelos ketika mengetahui senjatanya tidak bisa ditarik kembali.
Gempita menjadi gugup, sehingga mem-buatnya kehilangan akal. Dan tiba-tiba Ambar menggerakkan kepalanya ke depan, membenturkan pada kepala Gempita. Dan....
Prakkk!
Gempita tidak bisa mengeluarkan jeritan lagi, ketika kepalanya hancur berantakan berben-turan dengan kepala Ambar. Darah bercampur otak langsung muncrat-muncrat dari kepalanya yang hancur berkeping-keping! Sebagian dari darah itu malah menempel di dahi dan wajah Ambar yang terus tertawa kegirangan.
"Gempita...!"
Marong menjerit kaget bercampur marah, ketika melihat kematian kawannya secara demikian mudah dan mengenaskan! Kejadian itu berlangsung cepat, sehingga lelaki kecil kurus ini tidak sempat berbuat sesuatu untuk menyela-matkan Gempita.
"Kau harus mampus, Siluman Penasaran! Nyawa kawanku harus kau tebus dengan nyawa-mu!" dengus Marong.
Ambar berhenti tertawa. Kini sepasang matanya menatap Marong yang mulai bergerak mendekatinya sambil mempermainkan sepasang trisula. Bunyi mengaung mengiringi gerakan trisula
Meski diliputi marah meluap Marong bersikap hati-hati dan tidak mau sembarangan menyerang. Telah disaksikannya sendiri kehebatan mayat hidup itu. Dia tidak ingin mati konyol seperti Gempita. Maka kakinya melangkah hati-hati mendekati lawannya.
Namun tiba-tiba Marong menghentikan langkahnya ketika melihat perut Ambar bergolak. Bergerak turun naik, bergelombang! Ada bunyi menggelogok seperti air tengah mendidih hebat! Marong tak tahu, apa yang akan dilakukan mayat hidup ini.
Tapi, dengan sebentar saja Marong terpaku selanjutnya diawali teriakan melengking nyaring, lelaki ini melompat menerjang Ambar. Sepasang trisula di tangan dikelebatkan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian berbahaya di tubuh mayat hidup itu.
"Huakh...!"
Pada saat yang sama, dari mulut Ambar melesat keluar segumpal cairan merah kental, sebelum serangan Marong tiba.
Marong terperanjat saat gumpalan cairan merah yang diketahui sebagai darah itu meluncur cepat, laksana anak panah lepas dari busur, tu-buhnya tengah berada di udara. Tidak ada pilihan lain bagi Marong, kecuali menangkis serangan.
Lelaki kecil kurus ini terpaksa membatalkan serangannya. Sementara sepasang trisulanya segera dipergunakan untuk memapak kedatangan gumpalan darah itu. Marong tahu, meski hanya gumpalan darah, tapi menilik bunyinya yang berdesing nyaring, bisa diketahuinya kalau serangan itu tak kalah berbahayanya dengan lemparan batu karang! Apabila mengenai sasaran, akan berakibat sangat parah. Apalagi bagian yang dijadikan tu-juan adalah kepala!
Jantung Marong bagai berhenti berdetak, ketika melihat gumpalan darah itu bagaikan hidup. Sebelum tertangkis trisula, darah itu meliuk ke bawah bak seekor kelelawar. Hal ini membuat sepasang trisula yang hendak dipergunakan menjepit gumpalan darah, saling berbenturan menerbitkan bunyi nyaring. Sementara, gumpalan darah itu sendiri meluncur deras ke arah leher. Dan....
"Akh...!"
Marong hanya mampu menjerit tertahan ketika gumpalan darah itu menghantam lehernya. Tulang lehernya kontan hancur berantakan mengeluarkan bunyi berderak keras. Begitu ambruk di tanah, tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat sebe-lum diam tidak bergerak lagi. Marong tewas me-nyusul Gempita.
"Hi hi hi...!"
Ambar yang berupa sosok mayat hidup ter-tawa cekikikan. Penuh kegembiraan. Dengan pe-nuh rasa puas, ditatapnya mayat dua orang kor-bannya.
"Dukun keparat! Setiaji! Kalian pun akan mengalami nasib seperti dua monyet ini! Kalian bahkan akan menerima kematian yang lebih mengerikan! Tunggulah saatnya! Hi hi hi..!" Glarrr!
Mendadak saja terdengar bunyi halilintar yang luar biasa keras begitu Ambar tertawa. Suaranya bagaikan akan menghancurkan persada! Dan dengan tawa yang tidak terputusputus, tu-buhnya melesat meninggalkan tempat itu. Meninggalkan dua sosok mayat yang telah menjadi korban kebuasannya.
Sementara bulan telah kembali seperti biasa, berwarna kuning keemasan. Langit pun kembali cerah, seakan-akan tadi tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan bintang-bintang yang sejak tadi tidak terlihat, seperti saling berlomba untuk me-nampakkan diri. Awan tebal yang tadi menggantung di langit pun telah sirna ditiup angin.
–––––––– 2
Sang surya mengintip malu-malu di ufuk timur, mengusir kegelapan malam yang melingkupi persada. Kehadirannya disambut kicau riang burung-burung dan binatang-binatang lainnya. Bertepatan dengan itu, sesosok tubuh berpakaian coklat yang tidak terlihat jelas ciri-cirinya tampak-nya melesat cepat memasuki hutan kecil. Gerakannya cepat bukan main, sehingga sulit dikenali.
"Uh...!"
Sosok berpakaian coklat itu mengeluarkan keluhan tertahan, seraya menghentikan larinya. Dan dengan penuh rasa heran, matanya menatap ke arah jejeran pepohonan yang berada di depannya. Namun yang membuat tertarik sosok yang ternyata seorang kakek ini bukan pepohonan di depannya. Laki-laki yang telah tidak mempunyai sepasang kaki itu menatap heran ke arah mayat seekor kuda hitam bertubuh kekar dan besar yang tergolek di tanah dengan kepala hancur!
Kakek berpakaian coklat berlompatan mendekati bangkai kuda, Gerakannya sama sekali tidak terlihat mengalami kesulitan, kendati tidak memiliki kaki lagi. Karena pada kedua ketiaknya terselip dua batang tongkat penyangga yang berguna sebagai pengganti kaki.
Sepasang alis putih lelaki berusia amat lanjut itu bertautan, seperti tengah berpikir keras. Hanya dengan melihat sekilas, dia tahu kalau ku-da hitam itu bukan kuda liar. Karena di bagian belakangnya, bersambung dengan sebuah kereta.
Kakek berpakaian coklat ini tidak merasa heran melihat kuda itu tewas.
Tapi melihat keadaannya yang mengenaskan, membuat keningnya berkerut Kuda itu agaknya habis dilanda ketakutan hebat, sampai-sampai tidak memperhatikan keadaan sekitarnya. Binatang itu berlari sejadi-jadinya, melewati celah dua batang pohon. Meskipun cukup untuk lewat tubuhnya, tapi tidak bisa dilewati kereta yang di-bawanya. Akibatnya, kereta itu tertahan. Dengan sendirinya, lari kuda itu tertahan. Dan kakek ini yakin, kuda hitam itu telah berusaha cukup keras untuk meloloskan diri sebelum maut menjemputnya, melalui tangan kejam orang yang menghan-curkan kepalanya.
"Sungguh kejam orang yang membunuhnya!" desis kakek berpakaian coklat ini penuh perasaan penasaran, seraya mengarahkan pandan-gan ke tempat kuda itu berasal.
Tidak sulit bagi kakek ini untuk memastikannya. Karena di samping terjawab oleh arah binatang itu dan keretanya, juga oleh jejak kaki dan bekas roda kereta yang tampak jelas di tanah becek akibat hujan deras semalam. Dari bekas-bekas yang ada, memang tidak ada hambatan untuk mengikuti arah awal kuda hitam itu. Dan semakin jauh tempat kuda tergeletak ditinggalkannya, semakin banyak kerutan pada dahinya.
"Ah...!"
Kakek berpakaian coklat berseru kaget, begitu melihat tempat asal kuda itu berlari. Beberapa tombak di depannya, tampak hamparan tanah lapang yang sedikit ditumbuhi rumput mengering. Pada beberapa bagian, tampak gundukan-gundukan tanah agak memanjang. Dan tempat ini memang sebuah makam!
Bukan hanya makam-makam itu saja yang ada di hamparan tanah lapang itu. Tapi, juga dua sosok tubuh yang tergolek di tanah dalam keadaan tewas menyedihkan.
"Ya, Tuhan...!"
Seruan bernada kaget dan penyesalan di-keluarkan kakek itu, seiring lesatan tubuhnya ke depan menghampiri dua sosok mayat yang tergolek.
Tanpa memeriksa lagi pun, kakek berpakaian coklat ini telah mengenali dua sosok itu telah jadi mayat. Yang seorang bertelanjang dada dengan kepala pecah. Sedangkan yang satu lagi kecil kurus, dengan leher terkulai. Dan tepat pada bagian lehernya, tampak lubang besar menganga!
Pemandangan ini saja sudah membuat kakek berpakaian coklat terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika melihat adanya lubang kuburan yang menganga beberapa tombak dari situ. Maka den-gan wajah pucat dan tergesa-gesa, dihampirinya lubang itu.
Lalu dengan bertopang pada sepasang tongkat di ketiaknya, kepalanya dilongokkan ke dasar lubang.
"Apa yang aku khawatirkan akhirnya terjadi juga. Tuan Muda terbebas dari kungkungan. Malapetaka besar akan merajalela di dunia persi-latan. Ahhh...! Haruskah aku melakukan tindakan seperti yang diperintahkan tuan besar? Sanggupkah aku?!" gumam kakek itu dalam hati.
Kakek berpakaian coklat ini termenung beberapa saat di pinggir lubang. Kelihatannya dia bingung sekali. Bahkan beberapa kali menghela napas berat, seperti ada beban yang mengganjal dalam batinnya.
Dan, setelah menarik napas beberapa kali untuk menenangkan batinnya, kakek ini melangkah tertatih-tatih mendekati sebuah gundukan tanah lain yang lebih besar. Pada bagian tengah makam ini, tampak sebongkah batu hitam mengkilat.
"Tuan Besar," kata kakek ini dengan kepala tertunduk hormat. Seakan-akan orang yang disapa berada di depannya. "Apa yang kau khawatirkan, akhirnya terjadi. Tuan Muda telah lolos dari kungkungan. Dan aku khawatir dia akan menyebar maut di dunia persilatan. Banyak gadis cantik yang akan jadi korbannya lagi. Aku mohon restumu, Tuan Besar. Aku akan mencoba memenuhi titahmu untuk mencegah angkara murka
Tuan Muda."
Kakek berpakaian coklat lalu membungkuk beberapa kali, sebelum berdiri tegak seperti sedia kala.
"Maafkan aku, Tuan Muda. Aku terpaksa mengganggu istirahat mu."
Kakek itu menutup ucapannya dengan tiupan pelan dari mulutnya. Tapi, yang terjadi adalah hembusan angin keras yang mampu membuat batu hitam mengkilat sebesar kepala kerbau itu berpentalan jauh bagaikan dilempar tokoh persila-tan yang memiliki tenaga raksasa!
Kakek berpakaian coklat ini lalu duduk bersila, berjarak satu tombak dari makam. Sepasang matanya yang semula sayu sarat dengan penyesalan, mencorong dengan sinar kehijauan seperti mata kucing dalam gelap. Sekejap kemudian, mulutnya meniup.
Seketika kembali angin keras. berhembus dari mulut si kakek. Gundukan tanah itu bergoyang-goyang keras. Kian lama kian keras. Bongkahan-bongkahan tanah lembek berpentalan terpisah dari gundukannya. Semakin banyak, seiring tiupan kakek itu. Dan ketika wajah kakek berpa-kaian coklat telah dibasahi keringat, gundukan tanah itu sudah tidak nampak lagi. Yang tinggal hanya lubang besar menganga memperlihatkan sebuah peti mati di dalamnya.
Kakek ini kemudian menghembuskan napas lega, seraya bangkit berdiri. Dengan mempergunakan tongkat yang tadi ditaruhnya di tanah ketika duduk bersila, dia mulai melangkah.
Tapi baru juga beberapa langkah kakek itu menghampiri lubang, terdengar bunyi berkesiutan nyaring dari sebuah benda. Dia tahu pemilik lemparan benda itu mempunyai tenaga dalam luar bi-asa. Kendati demikian, hatinya tidak menjadi gen-tar untuk memapaknya dengan tongkat yang se-mula terjepit di ketiaknya.
Sebelum menangkis, kakek berpakaian coklat masih sempat melihat kalau benda yang meluncur ke arahnya mirip batu berbentuk agak bulat, sebesar kepalan tangan. Maka tanpa raguragu dipapaknya.
Pyarrr…!
***
Kejadian selanjutnya benar-benar mem-buat kakek ini kaget bukan kepalang. Ternyata benda itu meledak, walaupun pelan. Tapi berbareng ledakannya, berhamburan benda-benda halus ke arahnya.
Kejadian yang berlangsung demikian cepat ini tidak membuat kakek itu gugup. Dan tampaknya sepasang matanya awas bukan main. Meski meluncurnya benda-benda halus yang cepat bu-kan main, masih mampu ia lihat kalau itu adalah jarum yang puluhan jumlahnya!
Kakek berpakaian coklat tidak memiliki kesempatan sedikit pun untuk mengelak. Maka seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk membuat kulit tubuhnya kebal. Tapi belum juga tenaga dalamnya penuh dikeluarkan, mendadak....
Blammm!
Tiba-tiba terdengar bunyi berdebam nyaring, bagai bunyi halilintar!
Kakek berpakaian coklat ini mengeluh dalam hati. Bunyi berdetak keras tadi tidak hanya membuat telinganya tuli, tapi juga membuat pengerahan tenaga dalamnya buyar. Sekujur tubuhnya kontan lemas. Bahkan dia hampir jatuh, karena tenaga yang tidak tersedia membuat goyah tongkat yang terjepit di ketiak. Dan saat itulah, puluhan jarum beracun menghunjaminya!
Seketika itu pula, tubuh kakek ini ambruk ke tanah. Namun dia tidak putus asa. Dicobanya untuk bangkit hendak membalas orang yang telah melakukan penyerangan secara gelap dan licik. Tapi maksudnya segera diurungkan, karena tidak mampu melakukannya. Seluruh tenaga dalamnya seperti lenyap. Bahkan sekujur otot tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi. Kaku dan lemas.
Kakek itu tersenyum pahit. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, bisa ditebak kalau pengaruh jarum-jarum beracun dahsyat yang menancap di sekujur tubuhnya telah menjalar. Daya kerjanya demikian cepat, sehingga langsung bisa melum-puhkan sekujur tubuhnya.
Begitu kakek ini menghentikan maksudnya, mendadak terdengar angin berkesiut pelan. Dan tahu-tahu di dekatnya telah berdiri seorang kakek tinggi besar berkepala botak. Ciri-ciri seperti seekor monyet, dengan tubuh dipenuhi bulu. Pada kedua tangannya tergenggam kecer yang saling di-benturkan satu sama lain, hingga menimbulkan bunyi berdentam nyaring.
"Siapa kau? Mengapa melakukan tindakan sekeji itu terhadapku?!" tanya kakek berpakaian coklat ini lemah, kendati sebenarnya bermaksud untuk bertindak tegas.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berkepala botak mirip monyet itu tertawa bergelak.
"Mungkin kau tidak mengenalku, karena kesibukanmu melayani orang lain. Tapi aku mengenalmu. Bukankah kau Wara Kuri, budak keluarga Wiraraja? Tapi tidak apa-apa aku memperkenalkan diri, agar kau tidak mati penasaran. Namaku, Buluk Pitu. Dan kedatanganku kemari sama dengan tujuanmu. Aku ingin menguasai bocah gila keturunan dari Wiraraja. Ha ha ha...!" ka-ta laki-laki mirip monyet yang mengaku bernama Buluk Pitu.
"Iblis Jahanam! Jangan kau kira aku akan membiarkan saja!" tegas kakek berpakaian coklat yang ternyata Wara Kuri penuh rasa geram.
"Lalu kau ingin melakukan apa, Wara Kuri?! Membunuhku?! Silakan! Percayalah, aku tidak akan melawan sama sekali!" sambut Buluk Pitu, mengejek.
Wara Kuri hanya bisa mengutuk habis-habisan. Memang disadari, Buluk Pitu berani mengucapkan tantangan demikian, karena Wara Kuri sudah tidak berdaya sama sekali untuk berbuat apa-apa. Jarum-jarum itu telah melumpuh-kan sekujur uratnya. Dan dia hanya tinggal menanti ajal saja!
"Mengapa kau diam saja, Wara Kuri?! Ayo laksanakan ancamanmu! Ini dadaku. Pukul. Hantam! Pecahkan!" kata Buluk Pitu, semakin memanas-manasi dengan membusung-busungkan dadanya.
Melihat hal ini, Wara Kuri sadar kalau Buluk Pitu memang hendak mengejeknya habis-habisan. Kalau menunjukkan sikap tersinggung atau terpengaruh ejek itu, lelaki tinggi besar mirip monyet itu akan semakin menjadi-jadi. Maka betapapun panas hati, diredamnya semua amarah sekuat tenaga.
"Kau boleh berteriak-teriak sampai mulutmu keluar kotoran, Buluk Pitu. Tapi aku tidak akan meladenimu! Hanya satu hal yang menggan-jal hatiku. Tentu saja kalau kau tidak terlalu pengecut untuk memberi jawaban." pancing Wara Kuri.
Wajah Buluk Pitu kontan merah padam. Tampak jelas kalau hatinya merasa tersinggung oleh ucapan Wara Kuri.
"Aku tahu, kau mencoba mencari keuntungan dengan berdalih perkataan pengecut! Tapi, apa ruginya untuk memberi jawaban pada orang yang telah dekat liang kubur! Ayo, ajukan pertanyaanmu, Wara Kuri! Dan aku akan memberi jawaban sampai kau puas!"
Wara Kuri tidak kelihatan gembira mendengar Buluk Pitu bersedia memenuhi tantangannya.
"Hanya sebuah pertanyaan tak berarti, Buluk Pitu. Dari mana kau tahu mengenai putra Tuan Besar Wiraraja. Kau tahu, hal itu amat dirahasiakan! Hanya keluarga saja yang tahu."
Buluk Pitu tertawa terkekeh. Kemudian dengan suara berbisik, diberitahukannya orang yang dimaksud.
"Tidak mungkin...!" sentak Wara Kuri ter-bata-bata, ketika Buluk Pitu selesai memberi jawaban. "Aku tidak percaya! Kau bohong...!"
Buluk Pitu hanya mengangkat bahu dengan sikap tidak peduli.
"Aku tidak peduli apa pun tanggapanmu, Wara Kuri. Yang jelas, aku telah mengatakan yang sebenarnya. Mau percaya atau tidak, terserah. Sayang sekali aku tidak bisa menemanimu lamalama di sini. Aku masih punya urusan yang lebih penting. Mungkin kau tahu, apa yang harus kula-kukan. Benar, Wara Kuri. Mengendalikan bocah gila majikan mudamu dengan mayat tuan besar-mu!"
"Demi Tuhan, Buluk Pitu. Jangan lakukan itu!" teriak Wara Kuri meski yang terdengar hanya seruan lemah. "Jangan ganggu makam Tuan Be-sarku!"
Tapi, Buluk Pitu tidak mempedulikan seruan Wara Kuri. Kakinya malah melangkah lebar, menghampiri kuburan yang telah menjadi lubang menganga. Setibanya di pinggir lubang, kaki kanannya dihentakkan.
Wara Kuri hanya bisa mengeluh panjang pendek, ketika melihat dari dalam lubang melesat keluar sebuah peti mati hitam yang telah bercampur gumpalan-gumpalan tanah.
Dengan gerakan bagai menangkap segumpal kecil daun kering, Buluk Pitu mengulurkan tangan, menangkap peti mati itu. Kemudian sete-lah melepas tawa dan senyum mengejek pada Wa-ra Kuri, tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.
"Buluk Pitu, kembalikan...! Kembalikan, Buluk Pitu...!"
Wara Kuri merintih-rintih. Dan akhirnya kedua tangannya didekapkan pada wajah ketika melihat tubuh lelaki botak itu tidak berada di situ lagi. Hatinya benar-benar merasa terpukul bukan main melihat peti mati tuan besarnya dibawa kabur Buluk Pitu. Dalam waktu berturut-turut dua makam yang berada dalam penjagaannya telah berantakan!
"Maafkan kebodohan ku, Tuan Besar. Aku, orang tua bodoh. Aku tak mampu memenuhi amanat. Aku lebih pantas mati...!"
Wara Kuri lantas mengambil ranting kering dan runcing yang berada di dekatnya. Dengan si-sa-sisa tenaga yang dimiliki, dihunjamkan ranting itu ke tenggorokannya. Tapi....
"Trakkk!"
***
Wara Kuri memekik tertahan, ketika ranting di tangannya terlempar jauh tersambar oleh sebutir tomat sebesar buah ceremai. Benturan bahkan mampu membuat tangannya terlempar ke sisi pinggang!
"Hanya orang pengecut yang melakukan tindakan bodoh seperti itu!"
Berbarengan terdengarnya seruan yang dikeluarkan bernada tajam dan penuh teguran, di depan Wara Kuri telah berdiri seorang pemuda berambut putih keperakan. Sinar matanya tampak penuh dengan teguran.
Wara Kuri balas menatap. Dua pasang mata yang sama-sama tajam pun bertemu. Tapi hanya beberapa saat, karena Wara Kuri langsung menundukkan kepala.
Kakek berpakaian coklat ini tak kuat berlama-lama beradu pandang dengan pemuda tampan berpakaian ungu itu. Bukan karena sinar mata pemuda itu lebih tajam, tapi karena sinar teguran dan penyesalan dalam pandang mata pemuda itu yang ditujukan terhadapnya. "Aku khilaf, Anak Muda. Ahhh...! Hampir saja aku melakukan tindakan bodoh untuk yang kedua kalinya. Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak campur tangan, bagaimana aku nanti berhadapan dengan Tuan Besarku di akherat?!" keluh Wara Kuri.
Sinar mata pemuda berpakaian ungu itu melembut. Namun sesaat kemudian malah terbelalak lebar, ketika melihat pukulan jarum yang menancap di sekujur tubuh Wara Kuri. Tapi, ka-rena sibuk dan terlalu memusatkan perhatian pa-da tindakan kakek ini, pemuda itu tidak melihat hal-hal lainnya.
"Kau..., keracunan Kek. Jarum-jarum itu beracun!" seru pemuda berpakaian ungu itu, kaget bercampur khawatir.
Jarum-jarum berwarna hitam bersemu kehijauan. Sementara wajah Wara Kuri yang mulai mengelam, membuat pemuda itu langsung tahu kalau kakek berpakaian coklat ini tengah menderita keracunan.
Wara Kuri tersenyum pahit.
"Tidak perlu repot-repot menolongku, Anak Muda. Aku yakin nyawaku tidak akan tertolong lagi. Racun ini luar biasa sekali," ucap Wara Kuri tenang, ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu sibuk memeriksanya.
"Mungkin kau benar, Kek," sambut pemuda berpakaian ungu. "Tapi, hal ini tidak pantas untuk dijadikan alasan tindakanmu yang tak pantas itu! Tuhan mengaruniai kita kehidupan. Lantas mengapa harus disia-siakan? Apalagi dengan tindakan bodoh seperti itu." kata pemuda itu, bijak-sana.
"Aku tidak sepengecut itu, Anak Muda. Meskipun memang harus kuakui kalau tindakan yang hampir saja kulakukan, merupakan bukti nyata sikap pengecutku."
"Mengapa kau mencoba untuk membunuh diri, Kek?! Apakah kau mempunyai alasan lainnya?!" tanya pemuda itu.
Wara Kuri mengangguk sambil tersenyum. Tapi pemuda berpakaian ungu ini tahu senyum itu tidak keluar dari hati yang gembira.
"Boleh kutahu masalah yang tengah kau hadapi, Kek?!" tanya pemuda itu hati-hati.
Wara Kuri tidak langsung menjawab. Dia malah menatap pemuda itu lekat-lekat
"Pertanyaan itu tidak perlu dijawab sekarang, Kek. Sekarang yang lebih penting adalah menyelamatkan nyawamu," ujar pemuda beram-but keperakan itu.
Tanpa menunggu tanggapan Wara Kuri, pemuda itu mengambil guci perak yang tersampir di punggungnya. Dan dengan kedua tangannya, mulut guci itu didekatkan ke mulut si kakek.
"Minumlah ini, Kek. Mudah-mudahan saja bisa melenyapkan keganasan racun yang tengah menggerogoti nyawamu," ujar pemuda itu lagi.
Wara Kuri menatap wajah pemuda di depannya lekat-lekat. Dia berusaha mencari kesungguhan dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. Hatinya merasa tindakan pemuda itu amat janggal. Tubuhnya tengah keracunan hebat yang mungkin akan merenggut nyawanya. Tapi, malah ditawari minum arak dengan harapan agar bisa sembuh! Apakah ini bukan sebuah ejekan?!
Wara Kuri akhirnya mengalah. Pandangan matanya yang telah kenyang makan garam kehi-dupan, langsung bisa melihat adanya kesungguhan. Baik dalam sikap, maupun suara pemuda be-rambut putih keperakan ini. Maka akhirnya ditu-ruti juga kemauan pemuda itu. Hati kecilnya sem-pat meragukan kewarasan akal pemuda itu.
"Gluk... gluk... gluk...."
Terdengar bunyi tegukan beberapa kali, ketika arak dari guci perak itu berpindah ke dalam perut Wara Kuri.
"Sekarang kau istirahat saja dulu, Kek. Mudah-mudahan saja nyawamu bisa terselamatkan," ujar pemuda berpakaian ungu berharap sambil menaruh kembali guci araknya di punggung.
Wara Kuri hanya tersenyum getir. Pemuda di hadapannya masih dianggapnya kurang waras. Atau, sengaja melakukan tindakan itu untuk menghibur hatinya.
Sementara itu pemuda berpakaian ungu ini bangkit berdiri tegak. Tubuhnya lantas dibungkukkan separo berjongkok untuk meminumkan arak pada Wara Kuri.
Dan kini, pemuda itu memperhatikan ke sekeliling. Sepasang alisnya bertautan, ketika melihat dua sosok yang tergolek dalam keadaan tewas mengenaskan. Dan kerutan itu semakin da-lam, ketika menjumpai adanya sebuah lubang kuburan menganga yang menunjukkan kalau isinya telah diambil orang. Dia tidak merasa aneh. Bahkan tahu kalau maksud yang terkandung di dalam melakukan pencurian itu banyak macamnya. Tapi yang jelas, kemungkinan terbesar digunakan melakukan kejahatan.
"Boleh kutahu siapa kau, Anak Muda?! Dan, atas dasar apa kau memberi pertolongan padaku?!"
Pertanyaan dari arah belakang membuat pemuda itu berbalik. Bibirnya lantas tersenyum lebar. Dirasakan adanya nada kecurigaan dalam pertanyaan kakek berpakaian coklat. Memang bisa dimaklumi, mengapa kakek ini bersikap seperti itu. Dasarnya, karena berdua tidak saling kenal
"Kau tidak perlu khawatir, Kek. Aku menolongmu bukan karena alasan tertentu yang bisa merugikanmu atau menguntungkanku. Yang jelas, aku tidak pernah bisa diam jika melihat adanya sesuatu yang tidak berkenan di hatiku. Selama aku bisa menolong, dan kupandang pertolongan itu sesuai kaidahkaidah kebenaran, maka aku tidak segan-segan melakukannya.
Jadi kau tidak perlu khawatir."
Sorot mata penuh curiga yang memancar pada sepasang mata Wara Kuri mulai berkurang. Lagi-lagi dia merasakan adanya kesungguhan dalam jawaban yang diberikan pemuda di hadapannya. Pengalaman hidup dan usia setua ini, membuat Wara Kuri sedikit banyak bisa memperkira-kan jawaban tulus pemuda itu.
Dan ketika Wara Kuri merasa kan adanya perubahan pada tubuhnya, keyakinannya makin bertambah. Kini sekujur tubuhnya yang tadi terasa sakit menggigit-gigit bak digigit puluhan semut api, telah jauh berkurang. Kalau tidak merasakan sendiri, hatinya tidak akan percaya kalau arak mampu menyembuhkan luka akibat racun di tu-buhnya.
Apalagi ketika dirasakan, tenaganya mulai berangsur timbul.
Kalau tadi berbicara sangat menyakitkan dada dan tenggorokan. Bahkan harus dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga. Sekarang, tidak lagi. Meskipun memang diakui masih agak sukar, tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.
"Rupanya kau seorang pendekar, Anak Muda?!" ujar Wara Kuri sekenanya.
Kakek ini tidak yakin akan pertanyaannya sendiri. Kalau melihat dari keadaannya yang masih muda, pemuda berambut putih keperakan itu mungkin baru keluar dari perguruan silat.
–––––––– 3
Pemuda berambut putih keperakan itu tersenyum malu.
"Sebutan pendekar terlalu tinggi untukku, Kek. Apa sih yang telah kulakukan? Aku hanya seorang pemuda biasa yang selalu berkelana menuruti langkah kakiku ini. Memang harus kuakui, aku tidak pernah bisa berdiam diri jika melihat sesuatu yang menurutku tidak sesuai kaidah-kaidah kebenaran."
Perasaan kagum mulai timbul di hati Wara Kuri. Sekarang, sedikit banyak sudah bisa diraba-raba watak pemuda di hadapannya. Tidak som-bong atau menyombongkan tindakannya. Bersikap rendah hati, dan tidak berbohong!
"Boleh kutahu namamu, Anak Muda?! Perkenalkan, aku Wara Kuri."
Kakek berpakaian coklat ini lebih dulu mengulurkan tangan. Tindakannya dilakukan sambil bangkit dari berbaringnya. Lalu dia duduk bersila di tanah. Bahkan kini tenaganya telah semakin pulih.
"Aku Arya Buana, Kek. Tapi, panggil saja Arya," sahut pemuda berpakaian ungu itu buru-buru, seraya menyambut uluran tangan Wara Kuri dengan agak membungkukkan tubuh sedikit.
Wara Kuri tersentak kaget. Bahkan genggaman tangannya pada tangan pemuda berambut putih keperakan itu terlepas tanpa sadar. Ditatapnya sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan yang ternyata Arya alias Dewa Arak dari atas sampai ke bawah.
"Ada yang salah, Kek?!" tanya Arya Buana.
"Sama sekali tidak," sahut Wara Kuri sambil menggeleng dengan sikap kaku karena terlalu terburu-buru. "Hanya saja, namamu mengingatkan aku pada tokoh yang saat ini tengah menjulang namanya di tengah rimba persilatan karena tindakantindakannya yang perkasa. Namamu sama benar dengan namanya. Bahkan sekarang, aku ingat kalau ciri-cirimu semua sama dengan tokoh itu. Maka jangan katakan kalau kau bukan
Dewa Arak, Anak Muda?!" Arya tersenyum lebar.
"Memang, aku orang yang kau maksudkan itu, Kek. Tapi sebagian besar berita yang terdengar terlalu berlebihan. Aku hanya seorang pemuda biasa yang sering mengembara. Dan..."
"Kau terlalu merendah, Dewa Arak!" sergah Wara Kuri dengan perasaan girang. "Justru aku percaya kalau semua berita yang tersebar di dunia persilatan benar. Ahhh! Aku jadi malu hati, karena telah mencurigaimu. Bahkan aku menganggapmu sebagai seorang pemuda hijau yang tidak tahu kerasnya dunia persilatan. Semula, kukira kau seorang pemuda yang baru selesai berguru dan tengah mencari pengalaman. Tapi, nyatanya?"
"Nyatanya benar kan, Kek?!" potong Arya sambil tertawa bergelak, sehingga membuat Wara Kuri pun tergelak,
"Setelah tahu siapa dirimu, aku tidak ragu-ragu lagi menceritakan masalah yang tengah kuhadapi, Arya. Barangkali saja, kau bisa menolong. Meskipun harus kuakui, semua ini merupakan tanggung jawabku. Tapi banyaknya masalah, membuatku terpaksa membutuhkan bantuan orang lain. Kini aku percaya kepadamu. Dan aku yakin, Tuan Besar tidak akan marah bila mengetahui. Bahkan aku yakin, beliau akan merasa setuju sekali. Kini, aku meminta bantuanmu untuk menyelesaikan masalah ini," jelas Wara Kuri, mulai membeberkan masalah yang tengah dihada-pinya.
Melihat Wara Kuri bermaksud mengutarakan masalah yang dihadapinya, Arya segera duduk bersila di hadapannya. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah bisa memperkirakan kalau penuturan yang akan didengarnya cukup panjang.
"Yang akan kuceritakan ini adalah suatu rahasia. Maka, kuharap kau tidak menceritakan-nya pada orang lain, Arya. Aku tidak memintamu untuk berjanji. Karena aku tahu, orang macam apa kau ini,"
"Mudah-mudahan aku bisa melaksanakan amanatmu, Kek," jawab Arya singkat, sudah cukup memuaskan hati Wara Kuri
Kakek ini tahu, bagi orang seperti Dewa Arak, ucapan itu sudah lebih bisa dipercaya dari-pada sumpah orang lain!
"Aku sendiri tidak tahu pasti, kejadian-kejadian sebelumnya. Yang kuceritakan hanya hal-hal yang kuketahui. Dan kurasa, hal ini cukup untuk diceritakan, karena memang menyangkut ketenteraman dunia persilatan."
Sampai di sini, Wara Kuri terdiam. Dan Arya melihat adanya sinar kecemasan baik dalam wajah maupun sikap kakek itu. Hatinya pun agak khawatir dan ikut tidak enak. Arya tahu, Wara Kuri bukan seorang kakek lemah. Sinar mata yang mencorong tajam dan bersinar kehijauan, telah menguatkan dugaan Arya kalau Wara Kuri berkepandaian sangat tinggi. Toh, kakek ini masih merasa cemas. Sedikit banyak, Arya bisa memperki-rakan masalah berat yang tengah dialaminya.
"Kira-kira lima belas tahun yang lalu aku hanya seorang penebang kayu. Aku sebatang kara, Arya," tutur Wara Kuri, memulai kisahnya dengan pandang mata menerawang ke angkasa. Seakan-akan di sana terpampang kejadian belasan tahun yang lalu.
"Biasanya saat menebang kayu tidak terjadi apa-apa. Tapi suatu saat aku terjebak hujan yang membuatku terpaksa berteduh di bawah sebatang pohon yang berbatang besar, empat kali pelukan orang dewasa. Usiaku yang telah menjelang senja, tak memungkinkan untuk berhujan-hujan bila kembali ke pondokku. Tapi belum lama berada di sana, halilintar menyambar. Aku masih sempat melihat kalau halilintar itu menuju ke arah pohon tempatku berteduh. Bergegas aku melompat meninggalkan tempat itu untuk menyelamatkan nyawa dari sambaran halilintar. Tapi, usahaku ternyata tidak berhasil sepenuhya. Pohon yang tersambar halilintar itu tumbang ke arahku. Aku berusaha mengelak sedapat mungkin, tapi tetap saja batang pohon itu menimpaku. Aku hanya merasakan sakit amat sangat pada kaki, sebelum semuanya menjadi gelap. Begitu sadar, aku telah berada dalam sebuah rumah besar. Sementara kedua kakiku ini telah tidak ada lagi."
Arya menghela napas berat. Hatinya dapat merasakan betapa hancur hati Wara Kuri ketika menerima musibah itu. Tapi, Dewa Arak tidak menyelak. Dia terus diam mendengarkan.
"Orang yang menolongku itu adalah seorang kakek berusia lebih tua daripada usiaku. Katanya, kedua kakiku remuk sehingga untuk menolong nyawaku terpaksa harus dipotong. Kakek bernama Wiraraja itu merawatku secara telaten. Sampai akhirnya, lukaku pulih. Suatu saat, dia menawarkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa banyak pikir lagi tawaran itu kuterima. Sejak saat itu, aku pun tinggal dengannya.
Wiraraja adalah seorang yang baik hati. Bahkan tak segansegan untuk menurunkan semua ilmunya padaku. Sayang, aku terlalu bodoh. Maka meski telah belajar mati-matian, dan Tuan Besar mengajarku sungguh-sungguh, hanya seba-gian saja ilmunya yang berhasil kuserap," lanjut Wara Kuri.
Arya mengangguk-angguk. Dalam hati, dia tidak menganggap Wara Kuri seorang yang bebal. Saat pertama kali belajar ilmu silat, kakek itu telah berusia paling sedikit enam puluh tahun. Ba-gaimana mungkin akan dapat belajar dengan cepat?!
"Di tempat itu, ternyata tidak hanya aku. Masih ada dua orang bocah berusia sekitar sepuluh tahun, dan seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Belakangan kuketahui, kalau wanita itu adalah istri Tuan Besar Wiraraja. Sayang, salah satu dari dua bocah itu memiliki otak yang tidak waras. Kendati demikian, dia me-miliki bakat luar biasa. Meski belajar berbarengan, bocah yang tidak waras itu jauh meninggalkan bo-cah yang satunya lagi dalam pelajaran ilmu silatnya."
Sampai di sini, Wara Kuri menghela napas berat Arya yang kenyang pengalaman bisa menebak kalau sumber malapetaka yang dimaksudkan kakek ini pasti berasal dari salah satu di antara dua bocah itu. Meski demikian, dugaannya tidak diutarakan.
"Sekitar sepuluh tahun kemudian, kedua bocah itu menjelma menjadi pemuda perkasa. Bocah tak waras itu ternyata putra Tuan Besar Wiraraja. Sedangkan bocah satunya lagi adalah anak telantar yang dipungut untuk menjadi kawan bermain anaknya. Dan ketika bocah-bocah itu be-sar, malapetaka mulai timbul. Putra Tuan Besar Wiraraja yang bernama Tuan Muda Gautama, sikap tak warasnya semakin menjadi-jadi. Maka kekacauan demi kekacauan pun ditimbulkan. Untung sebelum terjadi hal-hal yang lebih mengkhawatirkan, Tuan Besar Wiraraja telah memperhitungkannya. Dan aku diperintahkan untuk mengawasi setiap gerak-gerik Tuan Muda Gautama. Setiap menimbulkan kekacauan, aku datang dan membujuknya dengan baik-baik. Bocah itu ternyata patuh padaku. Aku sendiri tak tahu kenapa. Mungkin karena aku selalu mengurusnya sejak masih kecil. Tuan Besar Wiraraja dengan hati hancur terpaksa mengurung Tuan Muda Gauta-ma. Dia tidak ingin kejadian memalukan terhadap dirinya terjadi kembali."
***
"Kak Setiaji."
Panggilan itu datangnya dari seorang wanita muda berpakaian biru. Lembut dan mesra suaranya.
Lelaki tampan dan gagah berpakaian kuning yang berkuda di sebelah wanita berpakaian biru, menoleh. Tali kekang kuda tunggangannya ditarik agak melangkah lambat-lambat
"Ada apa, Marni?!" sahut lelaki berpakaian kuning, yang dipanggil Setiaji. Suaranya juga terdengar lembut dan mesra.
Wanita berpakaian biru yang bernama Marni tidak segera menjawab. Terlihat jelas kalau hatinya merasa ragu untuk mengutarakan sesuatu yang akan disampaikannya.
Setelah menatap sesaat, Setiaji tahu ada perasaan yang berkecamuk di hati Marni. Seketika langkah kudanya dihentikan. Dibalikkannya arah binatang itu, hingga berada di hadapan kuda Marni. Seulas senyum penuh rasa sabar dilemparkannya.
"Kau tidak usah ragu-ragu, Marni. Katakan saja, apa yang hendak kau sampaikan. Tidak baik memendam persoalan. Apalagi kau telah hamil muda. Aku khawatir, hal itu akan berakibat buruk pada bayi yang tengah kau kandung. Bayi kita," ujar Setiaji panjang lebar, tetap tenang dan penuh kesabaran.
Wajah Marni kelihatan bersemu merah. Malu. Pandangannya pun ditujukan pada perutnya yang mulai agak menonjol ke depan. Kemudian perhatiannya dialihkan pada Setiaji, suaminya.
"Kau benar, Kak Setiaji. Tapi.., aku khawatir apa yang akan kusampaikan ini tidak menyenangkan hatimu," Senyum Setiaji semakin lebar.
"Ingat-ingatlah, Marni. Apakah selama perkawinan kita, aku pernah marah-marah?!"
Marni tersenyum tipis. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng.
"Nah! Kalau begitu, apa lagi yang dikhawatirkan. Katakan
saja."
Marni menatap wajah Setiaji lekat-lekat. Dia yakin betul akan cinta kasih suaminya. Selama hampir enam bulan berumah tangga, tak pernah suaminya itu marah padanya. Kehidupan rumah tangga mereka selalu rukun, tenang, dan pe-nuh kebahagiaan. Dan Marni tidak sampai hati menuduh Setiaji akan marah karena masalah yang hendak diutarakannya. Justru tanggapan lainnya yang merisaukan hati Marni.
"Sebetulnya aku tidak ingin mengatakannya, Kak. Tapi karena sudah telanjur, apa boleh buat," kata Marni seraya menghela napas berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal batinnya. "Beberapa hari belakangan ini, aku selalu dilanda perasaan cemas yang tidak ku mengerti. Malah, setiap tidur aku selalu bermimpi buruk. Aku khawatir sekali, Kak. Aku takut kecemasan ini merupakan sebuah firasat..."
Setiaji hampir tertawa begitu mendengar masalah yang diutarakan istrinya. Semula dikira masalah besar. Tak tahunya, hanya persoalan sepele. Tapi untuk menjaga perasaan Marni, dia menelan rasa geli dan memasang wajah sungguh-sungguh.
"Sudah cukup lama juga kau diganggu pe-rasaan itu rupanya, Marni. Mengapa kau simpan saja? Bukankah lebih baik kalau diberitahukan padaku sejak dulu? Barangkali saja aku bisa memecahkan persoalan ini," ujar Setiaji, sengaja meladeni ucapan Marni. Padahal, bisa saja istrinya disuruh untuk tidak usah memikirkannya. Apalagi mimpi-mimpi yang dianggap sebagai penghias tidur.
Tapi Setiaji tahu, tindakan seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Lebih bagus dibahas dan dicarikan jalan keluar, agar Marni terbebas dari rasa takutnya. Jalan satu-satunya adalah dengan membahas masalah itu.
"Beberapa hari sebelum keberangkatan kita untuk mengirimkan barang Tuan Marjuki, pera-saan demikian muncul. Kemudian dituruti mimpi-mimpi yang menyeramkan. Aku khawatir sekali akan adanya ancaman bahaya terhadap kita," papar Marni.
Setiaji tersenyum lebar. Hal yang sengaja dilakukan untuk menenangkan hati istrinya;
"Tenangkan hatimu, Marni. Bukankah urusan mengantar barang Tuan Marjuki telah selesai dikerjakan dengan baik. Jelas, kekhawatiranmu tidak beralasan. Mungkin saja itu tercipta, karena kecemasanmu menanti saat-saat lahirnya bayi kita. Meskipun demikian, untuk menenangkan hatimu, aku tidak akan menerima pesanan lagi. Mulai sekarang hingga bayi ini lahir, aku tidak pergi-pergi lagi. Tidak Juga denganmu. Kita beristirahat, sampai bayi kita lahir. Kita habiskan waktu di rumah," janji Setiaji, mantap.
Wajah Marni kontan berseri-seri. Tampak jelas kalau pernyataan Setiaji amat melegakan hatinya. Laki-laki ini telah hafal betul watak istrinya, merasa terharu melihat sambutan ini. Dan di da-lam hatinya, dia bertekad untuk memenuhi janjinya meski apa pun yang akan terjadi.
"Benarkah, Kak?! Ah! Betapa girang dan le-ganya hatiku. Aku memang was-was dengan kese-lamatanmu, Kak. Pekerjaan yang kau lakoni ini penuh bahaya. Aku khawatir akan terjadi sesuatu padamu. Aku takut kehilangan mu, Kak."
"Tenangkanlah hatimu, Marni. Dan mari kita pulang. Rumah menunggu kita."
Setaji langsung memutuskan pembicaraan. Apalagi tidak ada lagi masalah lain lagi yang lebih besar.
Sepasang suami-istri berusia muda yang penuh kebahagiaan ini pun meneruskan perjalanan yang tadi tertunda. Seperti juga sebelumnya, percakapan dl perjalanan berlangsung seenaknya. Tidak terburu-buru.
Tapi baru juga beberapa belas tombak perjalanan dilakukan, pasangan suami-istri yang masih baru ini menarik tali kekang kudanya. Maka seketika binatang-binatang itu pun menghentikan langkahnya.
Sekitar enam tombak di depan pasangan suami-istri ini, berdiri sesosok tubuh dengan kedua tangan berkacak di pinggang. Wajah Setiaji dan Marni tampak beriak. Mereka kenal betul dengan orang yang berdiri menghadang perjala-nan.
"Bukankah dia wanita yang tak tahu malu itu, Kak Setiaji?!" bisik Marni, khawatir terdengar oleh sosok yang berdiri menghadang jalan.
Setiap mengangguk kaku. Suaranya ter-dengar kering dan kaku ketika memberi jawaban. "Benar, Marni. Dia Ambar."
Wajah Marni membesi. Sinar matanya ber-kilat memancarkan kemarahan dan kebencian ke-tika menatap sosok yang menghadang jalan. Sosok yang dikatakannya sebagai Ambar.
Sebelum Setiaji memberi tanggapan, Marni dengan gerakan lincah dan manis melompat dari punggung kuda. Langkah kakinya lebar-lebar, ke-tika menghampiri sosok yang berdiri di depannya.
"Marni! Tunggu...!" cegah Setiap ketika is-trinya telah menempuh jarak dua tombak.
Lelaki berpakaian kuning ini melompat turun dari punggung kuda, langsung mengejar Marni
Marni yang telah menghentikan langkah langsung berbalik. Ditatapnya wajah suaminya lekat-lekat. Sorot penentangan terlihat jelas memancar dari sepasang matanya yang bening dan indah.
"Jangan kau menghalangi tindakanku, Kak Setiaji. Wanita tak tahu malu ini tidak patut untuk mendapat perlakuan layak. Kalau tidak diberikan tindakan tegas, dia akan terus datang dan merongrong kehidupan kita!"
"Mungkin kau benar, Marni. Tapi biar bagaimanapun juga, dia adalah teman bermain ku sewaktu kecil. Ayahnya adalah kawan baik ayahku. Mana mungkin aku akan membiarkan kau membunuhnya?! Apa kata ayahnya dan juga ayahku nanti?!" Jelas Setiaji dengan sikap serba salah dan bingung.
"Kau tidak perlu merasa bertanggung jawab atas keselamatannya, Kak Setiaji. Dan kau tidak perlu khawatir akan disalahkan ayahmu dan ayahnya. Karena, bukan wanita tak tahu malu itu yang akan mati. Tapi, aku! Kematianku tidak akan membuatmu disalahkan orang!"
Setiaji kontan melongo mendengar jawaban Marni. Dia sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaan istrinya. Tapi dari nada jawaban Marni, bisa diketahui kalau perasaannya terluka. Sakit hati! Jawaban Marni meski diutarakan dengan keras, tapi jelas mengandung isak tangis!
Setiaji terkesima di tempatnya beberapa saat. Jawaban Marni yang ketus, membuatnya menelan kembali ucapan yang tadi dikeluarkan. Dia yakin hal ini karena ucapannya sendiri.
–––––––– 4
Setiaji membutuhkan waktu cukup lama untuk mengetahui keanehan sikap Marni. Sebuah dugaan yang diyakini benar menyeruak di hatinya. Marni pasti cemburu dan tersinggung. Ucapan Setiaji tadi, terasa jelas adanya perhatian dan kekhawatiran terhadap Ambar. Di lain pihak, sedikit pun tidak terlihat adanya kekhawatiran atau perhatian atas nasib yang akan menimpa Marni. Itulah sebabnya, Marni tadi kehilangan akal sehatnya.
Sementara itu Marni, malah bergegas menghampiri Ambar yang tetap dalam sikap semula. Berdiri tegak dengan kedua tangan berkacak di pinggang, mirip patung batu. Sikapnya kelihatan angker bukan main.
Begitu jarak antara kedua wanita itu tinggal tiga tombak lagi, Marni menghentikan ayunan kakinya. Dengan wajah merah padam dan dada turun naik menahan gejolak amarah, jari telunjuknya ditudingkan ke arah wajah Ambar.
"Hey, Wanita tak tahu malu! Sekarang kita buktikan, siapa yang akan terus hidup! Kau, atau aku!" kini Marni dengan suara bergetar dan sepasang mata seperti akan keluar dari rongganya.
Ambar yang meski berdiri tegak dengan wajah tertunduk dan sepasang mata menekuri ta-nah, perlahan mengangkat kepala. Sepasang matanya diarahkan pada orang yang telah memaki dan mengajaknya bertarung.
"Ihhh...!"
Seketika jeritan tertahan yang sarat perasaan kaget keluar dari mulut Marni. Dan seiring terdengar jeritan, wanita berpakaian biru itu melangkah mundur dua tindak. Sepasang matanya yang bening indah sekarang bergantian redup, bak sorot mata seekor kelinci melihat kedatangan seekor harimau lapar.
Tepat dengan keluarnya jeritan, Setiaji telah berhasil sadar dari terkesimanya. Kini lelaki ini mampu menemukan jawaban dari keanehan sikap Marni. Bagaikan disengat ular berbisa, tubuhnya melesat ke depan menyusul Marni. Dan hanya dengan sekali lesatan, dia telah berada di sebelah istrinya.
Laki-laki itu kontan merasakan jantungnya berhenti berdenyut, begitu melihat sepasang mata Ambar! Mata yang dulu bening indah, sekarang berubah mengerikan! Bentuknya telah menyipit dengan sorot menggiriskan. Rasanya, bukan mata yang dimiliki manusia! Bahkan tengkuk Setiaji te-rasa dingin!
"Kau berani memakiku, Perempuan Perampas Jodoh
Orang?!"
Ucapan Ambar terdengar parau dan menyakitkan telinga. Nadanya seperti tidak patut keluar dari mulut seorang wanita.
Apalagi, wanita yang masih muda seperti Ambar.
Setiaji dan Marni saling berpandang. Pasangan suami-istri ini mulai merasakan adanya sesuatu yang aneh dan tidak wajar terhadap diri Ambar. Bukan hanya nada suaranya yang berubah jauh. Cara Ambar mengucapkannya pun membuat mereka bergidik! Ambar tidak kelihatan membuka mulut atau mengemikkan bibir. Tapi, suara yang keluar demikian lantang dan penuh ancaman!
"Dulu kau boleh menang terhadapku. Tapi sekarang, jangan harap! Hari ini semua sakit hatiku yang berbulan-bulan kupendam, akan terlampiaskan! Bersiaplah untuk menerima pembalasan dariku, Wanita Jalang!" dengus Ambar.
Makian Ambar membuat Marni berhasil mengusir perasaan takutnya. Perasaan marah dan tersinggung yang besar, mengalahkan rasa takutnya. Dengan tangkas, Marni mengeluarkan senjata andalannya yang terselip di pinggang. Sebuah ke-butan!
"Kaulah yang akan kukirim ke akherat, Wanita Gila Lelaki!"
Berbarengan teriakannya, Marni melompat menerjang Ambar. Bulu-bulu kebutan di tangannya yang semula lemas, menegang kaku bak jarum-jarum. Dan dengan keadaan seperti itu, istri Setiaji ini mengirimkan totokan bertubi-tubi ke arah leher, bawah hidung, dan ubun-ubun. Dalam sekali gerak, Marni mampu mengirimkan tiga serangan mematikan!
Sementara, Ambar tidak bergeming dari tempatnya. Bahkan kedua tangannya yang berada di pinggang pun tetap dibiarkan. Padahal, serangan, Marni menimbulkan bunyi bercicitan nyaring, yang menandakan kuatnya tenaga dalam yang terkandung.
Baru ketika ujung kebutan itu menyambar dekat, Ambar mengembungkan mulutnya. Seketika ditiupnya kebutan yang tengah meluncur ke arahnya.
Marni terperanjat. Seketika dirasakannya ada hembusan angin yang luar biasa kuatnya dari mulut Ambar. Bulu-bulu kebutannya yang semula menegang kaku, kontan melemas dan membuyar. Dengan sendirinya, serangan Marni kandas.
Dan bahkan tiupan Ambar tidak hanya sekali. Wanita yang telah bangkit dari kematiannya kembali meniup. Sasarannya masih ditujukan pada kebutan Marni.
Bak dicabuti tangan kuat yang tidak tampak, bulu-bulu kebutan itu meluncur ke arah pemiliknya dalam keadaan menegang kaku, laksana jarum-jarum kuat.
Melihat hal itu wajah Marni seketika memucat. Saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Dan lagi, rentetan serangan itu berlangsung demi-kian cepat. Maka hal ini membuat Marni gugup. Disadari betul kalau tidak apa waktu yang cukup. Untuk berbuat sesuatu untuk menyelamatkan di-ri.
Pada saat yang genting itu, Setiaji cepat bertindak. Dia memang tidak sempat mencegah tindakan istrinya. Maka tidak ada pilihan lain, kecuali berjaga-jaga terhadap sesuatu yang tidak diharapkan. Setiaji khawatir, Marni akan celaka. Keanehan diri Ambar, membuat Setiaji jadi meragukan kalau Marni bisa berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu.
Karena kewaspadaan ini, Setiaji dapat bertindak cepat ketika Marni tengah kelabakan. Maka langsung dikirimkannya pukulan jarak jauh dengan kedua tangannya untuk meruntuhkan bulu-bulu kebutan yang akan mencelakakan istrinya.
Deb! Deb!
Seketika itu pula arah bulu-bulu kebutan itu melenceng terkena dorongan pukulan Setiap.
Sepasang mata Ambar yang sudah menco-rong, terlihat semakin berkilatan ketika menatap Setiaji yang telah membawa Marni untuk menyingkir.
Marni meronta pelan, berusaha melepaskan cekalan tangan Setiaji pada pergelangan tangannya. Tindakan itu karena rasa kesal terhadap suaminya.
Hanya sampai di situ tindakan Marni. Dan sebenarnya bila menuruti perasaan, dia ingin menggerutu habis-habisan mengingat pembelaan Setiaji terhadap Ambar. Tapi rasa hormat dan cinta, tambahan lagi Setiaji telah turun tangan menyelamatkannya dari ancaman, membuat Marni tidak sampai hati untuk menuruti ledakan perasaannya.
Setiaji merasakan adanya penolakan itu. Maka untuk tidak membuat keributan bertambah besar, pegangannya dilepaskan. Perhatiannya kembali dialihkan pada Ambar. Tampak gadis yang dulu mencintainya habis-habisan tengah menatapnya dengan sinar mata bengis.
"Rupanya kau masih membela perempuan perampas itu, Setiaji?!" dengus Ambar dingin penuh ancaman.
"Itu sudah merupakan kewajibanku sebagai suami, sekaligus orang yang mencintainya, Ambar. Kuharap kau mau memahaminya. Masih banyak orang lain yang jauh lebih gagah dan tampan daripadaku. Dan aku yakin, kau akan dengan mudah menemukan dan mendapatkannya. Orang secantik kau, tidak sulit untuk mendapatkan penggantiku," ujar Setiaji kalem dan tenang.
"Tutup mulutmu, Setiaji!" bentak Ambar, keras. "Aku tidak butuh nasihatmu! Aku hanya butuh jawaban. Dan perlu kau ketahui, kedatanganku kemari tidak untuk membicarakan masalah cinta! Aku mempunyai urusan lain yang lebih penting!" Wajah Setiaji langsung berubah berseri-seri. Jawaban Ambar sedikit banyak melegakan hatinya. Karena itu berarti, dara ini telah berhasil mengusir rasa cinta terhadap dirinya. Perasaan yang keras membuatnya merasa bersalah. Le-nyapnya rasa cinta di hati Ambar, membuat ba-tinnya lega.
"Syukurlah kalau demikian, Ambar. Aku turut bergembira karenanya. Sejak semula, aku sudah yakin. Lambat laun, kau akan menyadari kalau cinta itu tidak bisa dipaksakan," desah
Setiaji.
"Telan dulu rasa gembiramu, Setiaji!" sergah Ambar keras dan kasar.
Saat itu juga, kening Setiaji berkerut. Sedangkan Marni menggertakkan gigi karena marah.
"Aku memang tidak berurusan dengan yang namanya cinta. Aku ada di sini adalah untuk mencegat perjalananmu. Juga, wanita tak tahu malu itu. Semua ini karena urusan dendam!"
Seri di wajah Setiaji lenyap. Sedangkan di belakang, Marni semakin keras menggertakkan gigi. Sikap Ambar yang kasar meski Setiaji telah berusaha bersikap selembut mungkin, membuat ke-sabaran Marni hampir hilang. Dan dia bermaksud menerjang Ambar.
"Apa yang hendak kau lakukan, Ambar?!" tanya Setiaji lagi.
"Melenyapkan kalian dari muka bumi dengan cara menyedihkan. Sehingga, membuat kalian menyesal dilahirkan di dunia ini!" desis Ambar dingin.

"Keparat!"
Marni yang tidak bisa menahan kesaba-rannya lagi berseru keras, dan bersikap mener-jang. Tapi Setiaji lebih dulu bertindak mencegah-nya.
"Biar aku yang akan menyelesaikan masa-lah ini, Marni,". ujar Setiaji lembut.
Marni tidak berani membantah suaminya. Dia hanya bisa melempar pandangan penuh kebencian pada Ambar.
Sementara dara yang sudah berupa mayat hidup itu tidak memberi tanggapan sama sekali. Dingin seperti patung batu!
Perhatiannya malah dialihkan pada Setiaji yang telah mencabut sebilah golok besar di pung-gung.
Sinar terang berkelebat dari golok Setiaji. Lalu pinggulnya digerak-gerakkan sedemikian ru-pa seperti seekor kuda. Senjatanya yang kelihatan cukup berat tampak melayang naik ke atas. Tanpa melihat sama sekali, Setiaji mengulurkan tangan untuk menangkap golok tepat pada gagangnya.
"Keluarkan senjatamu, Ambar. Terpaksa aku harus mengusirmu dengan kekerasan seperti dulu."
Setiaji tak lupa untuk memberi kesempa-tan pada calon lawannya untuk mengeluarkan senjata. Dia adalah seorang lelaki berjiwa ksatria, Pantang baginya untuk menyerang lawan yang tidak bersenjata! Apalagi, lawannya adalah seorang wanita!
Ambar tersenyum, tapi tidak terlihat manis. Raut wajahnya dingin. Sorot sepasang ma-tanya mengerikan. Kulit wajahnya pucat. Dan senyumnya lebih mirip seringai.
Setiaji mengeluh dalam hati. Sama sekali tidak disangka kalau kegagalan cinta, membuat Ambar yang dulu berwajah manis jadi demikian mengerikan.
"Aku tidak menggunakan senjata lagi, Setiaji. Meskipun demikian, jangan dikira akan mampu menundukkanku seperti dulu?! Jangan harap! Majulah! Serang aku!" sambut Ambar.
Setiaji bimbang. Kegagahan telah melarangnya untuk memenuhi permintaan yang tidak wajar. Lelaki ini berdiri di tempatnya dengan tangan menggenggam senjata. Tapi benaknya bingung
"Kalau kau tidak sampai hati untuk menyerang, biar aku yang maju!" dengus Marni, mantap.
Seruan ketus dari Marni di belakangnya, membuat Setiaji mengambil keputusan cepat. Golok yang telah terhunus dilemparkan sembarangan. Tapi di udara, golok itu meliuk secara aneh. Lalu, meluncur turun dengan batang lebih dulu dan mendarat tepat di dalam sarungnya seperti dimasukkan oleh tangan saja!
Kini, Setiaji tidak ragu-ragu lagi menyerang. Walau diakui kalau Ambar bukan tergolong gadis jahat, tapi sikap dan tindakannya telah kelewat batas. Mudah-mudahan tindakannya akan membuat gadis itu kapok dan tidak akan mengganggu diri atau istrinya.
Seperti juga ketika menghadapi serangan Marni, Ambar tidak bergeming dari tempatnya semula. Padahal, Setiaji tengah menyerangnya dengan pukulan tangan kanan kiri bertubi-tubi ke arah perut sampai mengeluarkan bunyi mendem.
Setiaji terperanjat melihat Ambar tidak bergeming dari tempatnya. Dan dia bukan orang kejam yang tega memukul orang tanpa perlawa-nan. Maka secepat itu pula serangan berusaha keras untuk dibatalkan.
"Manusia Tolol! Jangan merasa paling sakti di kolong langit ini...?!" ejek Ambar.
Dara yang telah bangkit dari kematiannya ini menutup ucapannya dengan gelengan kepala secara keras. Saat itu juga rambutnya yang panjang bergerak ke depan.
Setiaji kaget bukan main, begitu melihat adanya sekelebatan rambut hitam yang melayang ke arah kepalanya. Padahal jaraknya telah dekat. Bahkan kecepatan gerak rambut hitam itu luar biasa.
Melihat serangan mendadak ini, lelaki itu gugup. Sehingga....
Prattt!
Setiaji menjerit tertahan, ketika rambut Ambar menampar telak pipinya. Kepalanya sampai tertolak keras ke samping dengan pipi terasa panas dan perih bukan main. Tubuhnya sampai tergempur terhuyung-huyung.
Ketika berhasil memperbaiki keseimban-gannya, Setiaji mengusap pipinya yang terasa perih. Dan seketika matanya terbelalak begitu melihat cairan kental pada telapak tangannya. Tampa-ran rambut Ambar telah membuat kulit wajahnya pecahpecah mengeluarkan darah. Sakit dan perih menyengat!
"Rupanya kau telah berlatih habis-habisan selama ini, Ambar. Baik! Ku ladeni kemauanmu!" dengus Setiaji.
Setiaji memutuskan untuk bertindak keras. Dia tahu, Ambar tidak bisa dipandang rendah. Dara berpakaian serba hitam ini pasti telah menda-atkan kemajuan pesat dalam ilmu silat. Buktinya dia mampu membuat Marni hampir celaka dalam segebrakan. Bahkan juga dapat menyarangkan sebuah serangan yang menyebabkan Setiaji terkejut setengah mati. Maka seketika tubuhnya melu-ruk ke arah Ambar dengan tendangan kaki kanan lurus bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pu-sar.
Plak, plak, Rrrttt!
Setiaji hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Ternyata tendangan bertubi-tubinya mudah sekali dipatahkan dengan rambut Ambar. Berkali-kali rambut itu bergerak-gerak memapak. Malah ketika serangannya berakhir, rambut Ambar! bergerak membelit!
Setiaji sampai menggigit bibir ketika pergelangan kaki yang dilibat rambut terasa sakit bukan main. Libatannya tak kalah dengan libatan seekor ular sawah!
Saat itu juga Setiaji mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk mempertahankan agar tu-lang-tulang pergelangan kakinya tidak hancur berantakan akibat belitan rambut. Sekujur tubuhnya tampak, menggigil keras. Peluh mengalir deras membasahi wajahnya.
Di lain pihak, Ambar terlihat biasa-biasa saja. Sepertinya, dara ini tidak mengerahkan tenaga sedikit pun.
Marni yang memperhatikan jalannya pertarungan segera mengerti kalau suaminya berada dalam bahaya. Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring wanita itu mengirimkan totokan ke arah ubun-ubun Ambar dengan bulu-bulu ke-butan yang menegang kaku.
"Hmh...!"
Tapi Ambar rupanya sudah memperhitungkannya. Ketika serangan Marni semakin dekat, dia mendengus. Sementara gumpalan rambutnya yang masih terasa di kepala dikibaskan, hingga meluncur ke arah kebutan yang meluruk ke arahnya.
Namun Marni tidak terkejut. Telah disaksikan sendiri keanehan ini sebelum mendapatkan serangan secara langsung. Maka kebutannya cepat ditarik kembali. Dia tidak ingin senjatanya ter-belit rambut. Dan, berbarengan dengan itu, kaki kanannya diayunkan ke arah dada Ambar
Serangan susulan Marni dilakukan secara cepat. Dia yakin, kalau serangannya berhasil, libatan terhadap kaki Setiaji akan terlepas.
Tapi, lagi-lagi sebelum serangan Marni mengenai sasaran, rambut Ambar meliuk aneh. Ujung-ujungnya meluncur ke arah lututnya.
Tuk, tukkk!
Dua kali lutut Marni tertotok ujung rambut yang telah menegang laksana rotan. Akibatnya, kaki itu pun lumpuh. Seketika gerakan Marni terhenti seketika. Padahal pada saat yang sama gumpalan rambut Ambar kembali bergerak. Kali ini mengibas ke arah perut Dan....
Crasss...!
"Aaaa...!"
Darah segar muncrat dari mulut Marni, ke-tika kibasan rambut Ambar telak mengenai sasarannya. Tubuh Marni terhuyung dan jatuh terjengkang, karena salah satu kakinya tidak bisa digunakan lagi.
"Marni...!" jerit Setiaji kaget melihat kejadian yang menimpa istrinya.
Perasaan khawatir, membuat Setiaji yang tengah berusaha melepaskan diri, tidak bertindak setengah-setengah lagi. Dan dia tidak memikirkan masalah tindakan ksatria lagi.
Maka dengan tangan yang bebas diambil-nya goloknya yang tersampir di punggung. Dan dengan amarah meluap-luap, senjata itu dilemparkan ke arah kepala Ambar.
"Hmmm...!"
Ambar mendengus! Sepasang matanya jadi lebih terang dari sebelumnya, dan semakin menghijau. Setiaji sampai melongo melihatnya. Apalagi ketika menyaksikan kejadian selanjutnya. Ternyata dari sepasang mata Ambar, meluncur dua leret sinar kehijauan yang secara telak menghantam go-lok Setiaji.
Bagai lilin bertemu api. Demikian yang menimpa golok Setiaji! Golok yang terbuat dari baja pilihan itu kontan lumer sebelum menyentuh sasaran.
"Kau lihat, Setiaji. Bila aku hendak membunuhmu dan wanita tak tahu malu itu, mudah sekali! Tapi, aku tidak mau melakukannya. Terlalu enak bagimu, kalau mati secara demikian. Terlalu nikmat! Pembalasan seperti itu tidak sebanding dengan penderitaan yang ku alami. Kita harus setimpal, Setiaji!"
Berbareng dengan usainya ucapan Ambar, terdengar bunyi berderak keras ketika tulang pergelangan kaki Setiaji remuk akibat belitan rambut tadi. Baru setelah dara yang telah bangkit dari kematiannya ini melepaskan belitan, rambut itu meluncur ke arah bahu kanan Setiaji.
Tuk! Tuk!
Bak sehelai karung basah, tubuh Setiaji terkulai jatuh ke tanah tertotok rambut Ambar. Lelaki ini tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Se-kujur tubuh lemas. Dia hanya mampu melihat dan mendengar tapi tidak kuasa bertindak apa pun.
"Kak Setiaji.,.!" seru Marni lemah.
Setiaji hanya bisa menatap dengan sorot mata sedih. Dia tahu, dirinya dan juga istrinya terancam bahaya besar. Tapi, yang dipikirkan hanya keselamatan Marni.
"Pergilah, Marni. Tinggalkan aku! Cepat selagi ada kesempatan!" seru Setiaji, bernada khawatir.
Perintah itu lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Jangankan berlari cepat meninggalkan tempat itu, berdiri saja Marni belum mampu. Dia tertatih-tatih ketika berusaha untuk bangkit. Luka yang dideritanya memang cukup parah.
"Tidak, Kak Setiaji. Apa pun yang akan terjadi, aku akan berada di sampingmu," sahut Marni lemah.
Setiaji merasa terharu mendengar ucapan istrinya. Dadanya terasa sesak oleh rasa haru yang menyeruak. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya menangis meraung-raung. Tapi rasa malunya sebagai seorang laki-laki, membuatnya bersikeras untuk bertahan.
"Kalau begitu, biarlah kita mati bersama, Marni. Tidak hanya di alam dunia saja kita bersama. Tapi, di akherat pun kita akan berkumpul kembali." tandas Setiaji.
"Jangan kalian kira mimpi itu bisa terlaksana!"
Ambar yang merasa kesal mendengar percakapan Setiaji dan Marni membentak keras.
"Aku tidak begitu bodoh untuk membunuh kalian berdua! Salah satu di antara kalian, harus mati secara mengerikan! Sedangkan yang lainnya akan hidup. Tapi, dengan keadaan menyedihkan!" ujar Ambar.
Setiaji dan Marni hampir berbareng menoleh ke arah Ambar yang tertawa-tawa mengerikan.
"Wanita Iblis!" maki Marni, geram.
"Kejam!" Setiaji juga ikut memaki.
Tapi makian sepasang suami-istri itu hanya ditimpali tawa bergelak dari mulut Ambar sebuah tawa yang mengerikan. "Kalian boleh memaki apa saja. Yang jelas, keputusanku akan tetap kulaksanakan! Kau, Marni! Akan menerima kematian di tanganku secara menyedihkan. Sedangkan kau, Setiaji! Kau akan kujadikan budak pemuas nafsuku, mau atau tidak mau. Setelah itu, hukuman mengerikan lain akan kau terima! Hi hi hi...!"
–––––––– 5
Ambar yang sudah sangat dirasuk dendam, segera menggerakkan rambutnya disertai tawa terkikik tanpa putus. Kali ini rambutnya yang su-dah di jadikan satu gumpalan lebar segera dike-butkan ke arah Marni.
Angin yang luar biasa keras seketika berhembus ke arah Marni. Istri Setiaji yang masih dalam keadaan lemah, tidak mampu bertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang, langsung terguling-guling. Padahal, dia tadi telah bisa bangkit berdiri, walaupun masih sempoyongan.
Marni baru berhenti bergulingan ketika menghantam sebuah pepohonan dalam kerimbu-nan semak-semak.
Raakkk!
"Marni..!" jerit Setiaji penuh kekhawatiran melihat keadaan istrinya. "Jahanam kau, Ambar! Kau bukan manusia! Tapi iblis! Lepaskan dia! Bunuh saja aku! Akulah yang bersalah atas semua kejadian pada dirimu. Bukan dia!"
Tapi Ambar tidak mempedulikan teriakan-teriakan Setiap. Bahkan malah tertawa terkekeh-kekeh, begitu gembira.
"Kau lihatlah kejadian yang akan menimpa perempuan tak tahu malu itu, Setiaji!"
Saat itu juga, Ambar menatap ke arah Marni yang masih tergolek.
"Marni...!"
Setiaji tak tahan untuk tidak berteriak keras, begitu melihat dua larik sinar kehijauan memancar dari sepasang mata Ambar menuju ke arah Marni. Lelaki ini telah tahu, bagaimana kedahsyatan sinar-sinar hijau itu. Golok baja pilihan saja bisa luluh. Apalagi, Marni!
Ternyata Ambar tidak ingin menghancurkan tubuh Marni dengan sinar maut dari sepasang matanya. Dua larik sinar yang melesat ternyata ditujukan pada kerimbunan semak-semak yang menghalangi istri Setiaji berada.
Kerimbunan semak langsung terbakar ke-tika dua larik sinar dari mata Ambar menerpa. Angin yang saat itu cukup keras berhembus, membuat api yang timbul dalam sekejap saja berkobar besar.
Setiaji menjerit-jerit meneriakkan nama istrinya diseling makian-makian terhadap Ambar. Sekarang bisa diketahui malapetaka apa yang akan mengancam Marni.
Berbeda dengan Setiaji, Marni tidak mengeluarkan teriakan sama sekali. Dia memang paling menderita. Tapi keinginan kuat untuk tidak mem-buat Ambar semakin gembira, membuat Marni mampu bertahan untuk tidak mengeluh.
Teriakan-teriakan Setiaji dan tawa Ambar mengiringi gemeretaknya api memakan kerimbunan semak-semak. Hanya dalam waktu singkat, kumpulan semak-semak tempat Marni berada telah terbakar habis. Di antara kepulan asap yang masih mengepul, tercium bau hangus daging ter-bakar.
Kini tinggal Setiaji yang menatap sisa-sisa kebakaran dengan wajah pucat pasi bagai tidak dialiri darah. Lelaki yang hampir saja menjadi seo-rang ayah ini merasa terpukul bukan main, melihat kematian istrinya di depan mata tanpa mampu memberi pertolongan sama sekali.
"Hik hik hik...! Bagaimana rasanya kehi-langan orang yang sangat dicintai, Setiaji?! Menyakitkan bukan?!" ejek Ambar, penuh kepuasan. "Dan, sekarang kau akan menerima bagiannya!"
Setiaji tidak memberi tanggapan. Perasaannya terlampau terpukul. Pikirannya bagaikan buntu. Jiwanya terasa telah mati terbawa pergi Marni.
Setiaji tidak teringat sama sekali akan keadaan dirinya. Bahkan tidak merasa peduli akan apa yang hendak dialami. Tubuhnya diam tidak bergeming, ketika Ambar dengan langkah satu-satu menghampirinya dengan sikap terlihat penuh ancaman.
****
Alis Arya berkernyit ketika melihat sesuatu di depan yang jaraknya tak kurang dari lima puluh tombak. Pemuda berjuluk Dewa Arak ini tengah dalam perjalanan untuk melacak mayat Tuan Muda Gautama yang bangkit dari kuburnya. Karena dikhawatirkan, mayat itu akan menyebar kekacauan di dunia persilatan.
Di perjalanannya ini, Arya bertemu keane-han. Sesuatu yang sudah pasti adalah seorang manusia, namun tetap saja membuat hatinya agak heran. Ternyata sosok itu terlalu pendek untuk ukuran seorang manusia. Tambahan lagi gera-kannya terlihat janggal. Maka sambil terus melan-jutkan perjalanan, Arya terus memperhatikan so-sok di hadapannya.
Semakin lama jarak antara Arya dengan sosok itu semakin dekat Pandangan yang tertangkap pun kian jelas. Dan seiring itu, timbul pera-saan kasihan di hati Dewa Arak
Sosok di depan Arya sebenarnya juga me-lakukan perjalanan searah. Tapi karena kalah cepat, Dewa Arak bisa menyusulnya. Sosok yang memang manusia itu ternyata tidak memiliki sepasang kaki! Buntung sampai ke pangkal paha. Dan hebatnya, dia berlari mempergunakan kedua tangan. Tapi melihat gerakannya, Arya tahu kalau sosok itu belum lama mengalami cacat demikian. Penggunaan tangannya tampak masih kaku. Bahkan beberapa kali terguling ke tanah ketika berlari.
Sambil terus berlari mengejar, benak Dewa Arak berputar keras. Pandangan matanya meneliti sosok di depannya penuh perhatian. Dan Arya yang telah kenyang pengalaman ini, langsung tahu kalau sosok di depannya ternyata masih berusia muda. Tubuhnya kelihatan kekar, dan terlihat pas dengan pakaian kuningnya. Yang masih menjadi pertanyaan di kepala Arya adalah, mengapa sosok yang buntung kedua kakinya ini kelihatan demikian tergesa-gesa. Adakah sesuatu yang amat mendesak sehingga membuatnya tersiksa?
Ketika untuk yang kesekian kalinya sosok berpakaian kuning itu tersungkur, Dewa Arak melesat mendahului dan berdiri menghadang di depannya.
"Mengapa demikian terburu-buru, Sobat?!" tanya Arya. Pelan dan tenang.
Sosok berpakaian kuning yang tidak memiliki kaki, ternyata adalah seorang lelaki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Kini matanya mena-tap wajah Arya penuh selidik.
"Kau siapa?! Dan, apa maksudmu menghadang perjalananku?!" lelaki berpakaian kuning ini malah balas bertanya.
Arya tersenyum tenang. Hatinya tidak merasa tersinggung kendati pertanyaannya tidak terjawab, Dia maklum lelaki berkaki buntung ini masih menaruh curiga.
"Aku Arya, Sobat. Aku seorang pengelana yang tidak sengaja menghadang perjalananmu. Kebetulan, aku melihatmu. Karena merasa aneh melihat kau demikian terburu-buru, aku menyusulmu. Barangkali saja ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu," jelas Dewa Arak, hati-hati.
"Maafkan atas sikapku yang terlalu curiga, Arya. Namaku, Setiaji. Dan seperti yang kau duga, aku memang tengah terburuburu. Ada sebuah urusan penting yang harus secepatnya kuselesaikan. Itulah sebabnya aku bertindak seperti ini," sahut lelaki berkaki buntung yang ternyata Setiaji.
"Begitu pentingkah hingga kau memaksakan diri untuk melakukannya? Tidakkah kau menunggu, hingga luka-luka yang kau derita sembuh! Maaf, bukannya aku bermaksud mencampuri. Tapi, aku yakin lukamu itu belum lama."
Setiaji menghela napas berat. Kembali sepasang matanya menelusuri sekujur tubuh Arya penuh selidik. Seakan-akan, lelaki yang baru mendapat kemalangan ini tengah menilai Arya dengan pandangan matanya.
"Mungkin aku harus menceritakannya padamu, Arya. Seperti yang kau katakan tadi, aku mungkin butuh bantuan. Masalah penting yang harus segera kuurus ini tak akan mungkin bisa diselesaikan, dengan keadaan tubuh seperti ini. Dengan bantuanmu, aku yakin masalah ini akan lebih cepat terurus. Tapi, aku ingin kepastian darimu, Arya. Benarkah kau ingin membantuku?!" tanya Setiaji.
"Dengan catatan, urusan yang kau maksud ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran," jawab Arya mantap.
Setiaji tersenyum lebar.
"Kau kira aku orang macam apa, Arya?! Jelek-jelek begini, dulu aku bekas seorang pendekar. Jadi jangan khawatir kalau urusan yang ku maksud akan menjerumuskanmu ke jalan hitam. Tidak, Arya. Bahkan urusan ini akan membuat namamu terkenal di dunia persilatan."
"Terima kasih, Setiaji. Tapi sayang sekali, aku tidak butuh nama besar. Aku hanya ingin membantumu. Lain tidak. Nah, sekarang katakanlah."
Setiaji tercenung sebentar. Kelihatan kalau lelaki ini tampak ragu untuk berbicara.
"Sebenarnya aku tidak ingin mencerita-kannya pada siapa pun. Tapi karena aku tidak mungkin bisa menyelesaikannya, dan kebetulan kau bersedia membantu, mau tidak mau cerita ini terpaksa kututurkan padamu. Agar kau menjadi jelas dengar jalannya kejadian," Setiaji mulai dengan ceritanya.
"Puluhan tahun lalu, ayahku adalah seorang pendekar. Telah banyak tokoh hitam yang dikalahkan, bahkan ditewaskan dalam upayanya menumpas angkara murka yang bersemayam di dunia ini. Pada suatu hari, ayahku bertemu bebe-rapa tokoh sesat yang menjadi kawan baik dari orang-orang yang telah tewas di tangannya. Sebenarnya, ayahku tidak akan kalah kalau saja mereka bertarung secara jantan. Tapi, mereka bertarung secara keroyokan. Ayahku terdesak, dan mungkin akan tewas kalau tidak muncul seorang tokoh golongan putih lain. Berdua, mereka bahu-membahu mengusir penjahat-penjahat hingga tuntas. Dari situ terjalinlah persahabatan di antara mereka. Bahkan lalu saling berjanji untuk mengeratkan persahabatan ini dengan menjodohkan anak-anak mereka, apabila mempunyai anak yang berlainan jenis."
Arya diam meski pada saat itu Setiaji menghentikan ceritanya. Dewa Arak merasakan adanya nada penyesalan dalam ucapan lelaki berpakaian kuning ini ketika bercerita tentang perjodohan. Arya yang memiliki otak cerdas langsung bisa memperkirakan kalau masalah yang dimaksud Setiaji, sedikit banyak berpangkal dari ikatan jodoh itu.
"Keinginan ayah dan kawannya terkabul. Ayah mendapatkanku, seorang anak lelaki. Se-dangkan kawannya mendapat seorang anak pe-rempuan. Ketika berumur sepuluh tahun, anak yang bernama Ambar itu dibawa ayahnya mengunjungi kami. Selama beberapa lama, Ambar menjadi kawan bermain ku. Namun akhirnya kami berpisah kembali."
Sampai di sini, Setiaji menghentikan ceritanya. Dia termenung agak lama. Raut wajahnya menyiratkan gambaran berbagai macam perasaan. Kecewa, gembira, marah, dan sedih. Semuanya tercampur menjadi satu.
"Ketika aku dewasa, Ayah menyuruhku turun gunung sekaligus memerintahkan pergi ke tempat Ambar dan ayahnya. Saat itu pula aku diberitahukan mengenai jodohku. Namun diamdiam aku tidak puas, walau tidak ingin menentang ayahku. Dan sama sekali tidak kusangka kalau dalam perjalanan aku bertemu seorang gadis can-tik yang berhasil mencuri hatiku. Namanya, Marni. Rasa cinta padanya, menyebabkan perjodohan itu kutolak mentah-mentah. Akibatnya seperti yang kuperkirakan. Ayah marah dan mengusirku. Dia tidak menganggapku sebagai anak lagi, karena merasa malu pada sahabatnya."
"Sahabat ayah tidak bertindak apa-apa, selain membiarkan semua yang telah terjadi. Tapi, Ambar tidak demikian. Rupanya, dia memang telah mencintai ku. Mengetahui hal yang sebenarnya, dia kabur dari rumahnya dan pergi mencariku. Berbulan-bulan dia mencari tanpa hasil, karena aku saat itu tengah sibuk bertualang bersama Marni. Tapi, akhirnya kami berhasil diketemukan. Ambar marah bukan main pada Marni. Sehingga pertarungan antara mereka pun terjadi. Mereka samasama lihai. Aku yang tidak ingin Marni terluka, ikut campur dan mengusir Ambar. Sejak saat itu, kabar tentang Ambar tidak terdengar lagi. Dia bagai lenyap ditelan bumi. Sedangkan kami, beberapa minggu kemudian menikah. Ayahku tidak menghadiri pernikahanku. Yang ada hanya pamannya Marni. Beliau pun pergi ke alam baka, tak lama setelah kami menikah. Aku dan Marni mencari nafkah dengan menyediakan jasa pengawalan bagi orang-orang yang ingin bepergian jauh, atau menyuruh mengantarkan barang. Kami selalu bernasib baik. Sampai akhirnya, tanpa kami duga-duga dia datang lagi...." "Ambar...?!" terka Arya, tanpa ragu-ragu.
Setiaji mengangguk pelan.
"Tapi, Ambar kali itu sangat berbeda den-gan sebelumnya. Dia telah memiliki kemampuan mengerikan. Dengan mudah, aku dan Marni dikalahkan. Kemudian dengan kejam, Marni dibunuh bahkan aku dibuat cacat seperti ini dengan sabe-tan rambutnya. Tapi, dasar wanita iblis! Kendati telah menghancurkan hatiku dengan siksaan, dia masih belum puas. Sengaja hatiku disiksa lagi dengan mengatakan akan menghabisi nyawa ayahku."
Arya mengangguk-angguk. Sekarang baru dimengerti, mengapa Setiaji berusaha keras untuk melaksanakan urusannya. Ternyata memang sebuah tugas penting. Lelaki yang telah buntung sepasang kakinya ini harus berlomba dengan waktu, agar nyawa ayahnya bisa diselamatkan.
"Meski ayah tidak menganggapku sebagai anak lagi, tapi aku masih tetap menghormatinya. Kuakui, aku memang bertindak salah. Untuk menebus rasa salahku ini, aku bermaksud memberitahukan adanya ancaman bahaya yang akan datang dari Ambar! Orang yang sama sekali tidak disangka-sangka, tapi kini telah memiliki kepandaian menakjubkan!"
Arya menatap Setiaji dengan sinar mata kagum. Dia setuju sekali pada pendirian lelaki ini yang tetap menghormati ayah kandungnya. Bahkan menyiksa diri untuk memberitahukan adanya bahaya mengancam.
"Seperti yang kukatakan semula, aku bersedia menolongmu, Setiaji. Dalam keadaan biasa, mungkin kau akan dapat cepat memberitahukan adanya bahaya terhadap ayahmu. Tapi sekarang? Mau tidak mau kau membutuhkan bantuan. Kurasa, kau lebih baik naik di leherku. Dan aku ber-lari cepat untuk segera tiba di sana! Bagaimana?!"
"Terserah kau saja, Arya. Aku menurut sa-ja. Aku percaya kau akan memberi usulan yang baik!" sahut Setiaji, memberi pilihan pada Arya untuk menentukan cara.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Cepat naik ke pundakku, dengan segera."

Setiaji tersenyum. Kedua tangannya segera menekan tanah. Lalu tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di tengkuk
Arya. Tanpa membuang waktu, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu, berlari menuju arah yang ditunjuk
Setiaji.
****
Satu sosok ramping berpakaian hitam tengah berlari cepat, melalui dataran beralas padang rumput pendek. Medan itu tidak rata, bergelom-bang seperti permukaan air laut.
Mendadak sosok ramping itu menghentikan langkahnya. Ketika di depannya telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar. Kepalanya botak dengan cambang bauk lebat. Pada punggungnya tampak menyembul dua buah kecer berbentuk bulat tipis.
"Orang hutan! Cepat menyingkir dari hadapanku sebelum amarahku timbul!" desis sosok ramping berpakaian hitam yang ternyata seorang gadis berwajah pucat seperti tak berdarah, dengan mata mengerikan. Siapa lagi sosok itu kalau bukan Ambar.
"Kau kira aku bisa kau bunuh, sesudah membunuh kakekkakek jompo yang dulunya merupakan seorang pendekar yang cukup terkenal itu?" sahut kakek yang mirip orang hutan itu sambil tertawa gembira. "Aku Buluk Pitu tak akan semudah itu dapat ditaklukkan. Bahkan kau yang akan menjadi hamba sahayaku, Tuan Muda. Ken-dati demikian, biarlah. Sebelum kau kujadikan budak, tidak ada salahnya kalau kita bermain-main sebentar. Aku ingin tahu, sampai di mana kesaktianmu!"
Tanpa mempedulikan kemarahan Ambar, laki-laki yang ternyata bernama Buluk Pitu segera mengambil sepasang kecer yang tergantung di punggung. Biasanya, setiap tokoh yang mendengar bunyi kecernya, akan kehilangan tenaga dalamnya meski untuk sementara. Kaki lemas, karena jan-tung bergetar hebat
Blammm!
Bunyi berdentam nyaring terdengar, ketika Buluk Pitu mengadu sepasang kecernya. Bumi bagaikan tergetar hebat.
Bahkan batang-batang pohon yang ada di sekitar tempat itu bergetar, seakan gemetar mendengar bunyi kecer itu.
Tapi ternyata bunyi itu sama sekali tidak mempengaruhi Ambar. Padahal, dara ini hanya mengebut-ngebutkan rambutnya, ketika kecer itu dibenturkan! Bahkan dari kebutan rambutnya timbul angin menderu keras. Tidak keras bila di-bandingkan bunyi kecer. Tapi, bunyi sudah cukup untuk meredam pengaruh dahsyat yang timbul dari bunyi kecer!
Buluk Pitu yang merasa penasaran, segera mengulangi serangannya. Tapi, hasilnya tetap sama. Bunyi kecernya tidak berpengaruh apa pun bagi Ambar. Dan ini membuatnya penasaran bukan main. Maka sambil membentak nyaring, sepasang senjata andalannya dilemparkan! Seketika bunyi berdesing nyaring terdengar, ketika dua benda itu melesat, menyambar dari arah kanan dan kiri dara berpakaian hitam itu.
Kali ini, Ambar cepat menjulurkan kedua tangannya ke depan. Maka dua buah kecer berpu-tar kembali ke pemiliknya sebelum bertemu sepasang tangan yang jari-jarinya terbuka. Malah kecepatan luncurannya jauh lebih cepat dari semula!
Buluk Pitu terperanjat. Kalau bertindak ayal sedikit saja, senjata akan menghirup darah tuannya sendiri. Maka luncuran sepasang kecernya disambut dengan kedua tangan terbuka. Sebagai pemilik senjata, tentu saja Buluk Pitu dengan mudah bisa menaklukkannya.
Tap! Tapp!
Buluk Pitu terhuyung mundur dua lang-kah, ketika berhasil menangkap sepasang kecer-nya. Kedua tangannya bergetar hebat. Dari sini kakek berkepala botak ini benar-benar membuat gentar bukan main. Buluk Pitu sadar, Ambar memiliki kemampuan di atasnya. Melakukan perlawanan sama dengan mencari mati! Maka dia mulai bersiap melaksanakan rencananya.
"Tuan Muda Gautama! Lihat, apa yang ada di tanganku. Kau harus tunduk!" seru Buluk Pitu dengan suara penuh pengaruh, sambil mengelua-rkan sebuah keris kecil bergagang dan berbatang kuning mengkilat. Benda ini didapatkan Buluk Pi-tu dari peti mati Tuan Besar Wiraraja.
Tubuh Ambar yang dipanggil sebagai Tuan Muda Gautama tampak tergetar. Ucapan Buluk Pitu terlihat mempunyai pengaruh terhadap dirinya. Sepasang matanya yang tadi liar dan penuh hawa pembunuhan, perlahan melembut. Tapi hal itu hanya berlangsung sebentar saja. Tak lama dia menggeram keras. Dan dari sepasang matanya meluncur cepat dua larik sinar kehijauan ke arah Buluk Pitu.
–––––––– 6
Buluk Pitu memang belum pernah menyaksikan kedahsyatan sinar hijau yang meluncur dari kedua bola mata sosok yang dipanggilnya Tuan Muda Gautama. Tapi sebagai seorang yang telah kenyang makan asam garam, dia tidak berani bertindak gegabah. Maka sebelum sinar-sinar itu menghantam, tubuhnya melompat ke samping dan bergulingan menjauh.
Benar saja. Dua buah gundukan batu berukuran sedang yang kebetulan berada di belakang Buluk Pitu hancur lebur menjadi sasaran seiring terdengarnya bunyi ledakan keras. Mata Buluk Pitu sampai terbelalak saking kagetnya me-lihat kedahsyatan sinar-sinar hijau itu.
Tapi, Ambar tidak berhenti sampai di situ saja. Seranganserangan sinar kehijauan terus di-lanjutkan. Kini dua larik sinar itu bagaikan tidak pernah berhenti, terus-menerus mencecar tubuh Buluk Pitu. Sehingga memaksa kakek itu untuk bermain kucingkucingan, melompat ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawa.
Tindakan Buluk Pitu menyebabkan sekitar tempat itu porakporanda. Rerumputan banyak yang hangus terbakar, tersambar angin serangan Ambar. Tanah terbongkar di sana-sini. Asap mengepul ke angkasa. Dan pada beberapa tempat, api berkobar meski hanya kecil saja.
Sambil tetap berlompatan mengelakkan tangan-tangan maut dari sinar-sinar hijau, Buluk Pitu memeras otaknya. Dia merasa heran, ketika sosok yang dipanggilnya Tuan Muda Gautama tidak terpengaruh sama sekali dengan keris dan pe-rintahnya. Padahal, demikianlah cara yang harus dilakukan, untuk menguasai roh Tuan Besar Gautama yang telah bangkit lagi Buluk Pitu tahu, keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Bahkan bukan tidak mungkin kalau nyawanya akan melayang ke alam baka. Pa-dahal, dia belum ingin melihat alam akherat kendati usianya telah amat tua.
Itulah sebabnya, ketika untuk kesekian kali serangan sinarsinar hijau meluncur, sambil melompat mengelak Buluk Pitu melemparkan sepasang kecernya. Sengaja kecer itu dilepas satu persatu, agar lawannya menyediakan waktu lebih banyak untuk mematahkan serangan-serangannya.
Buluk Pitu masih sempat melihat ketika kecer yang pertama kali dilepaskan terhantam sinar hijau dari mata Ambar. Hebatnya, senjata yang terbuat dari baja pilihan itu leleh! Dan kecer kedua tidak sempat dilihat karena Buluk Pitu telah melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan kecepatan menakjubkan!
Ambar alias Tuan Muda Gautama hanya bisa memaki kalang kabut ketika calon korbannya telah lenyap begitu sepasang kecer itu berhasil dihancurkannya. Amarahnya yang telah bangkit membuatnya tidak mau berhenti bertindak sebelum Buluk Pitu binasa. Maka tubuhnya juga melesat mengejar ke arah kepergian Buluk Pitu tadi.
Tapi baru saja beberapa kali lesatan, Ambar mendengar bentakan nyaring dari belakang-nya.
"Berhenti...! Wahai orang yang berlari di depan, berhenti! Berhenti kau, Pengecut...!"
Kata-kata terakhir membuat Ambar yang semula tidak ambil peduli jadi menghentikan langkahnya. Meski telah bukan manusia sewajar-nya lagi, Ambar tetap memiliki keangkuhan yang pantang dianggap pengecut. Dengan cepat tubuh-nya berbalik. Sikapnya terlihat mengancam.
Hanya dalam sekejap, orang yang menegur itu telah berada di depan Ambar berjarak empat tombak. Dia ternyata seorang kakek berpakaian coklat. Kedua kakinya buntung sampai pangkal paha, digantikan oleh dua batang tongkat. Seperti juga Ambar, dia terperanjat atas pertemuan ini. Kini masing-masing pihak saling pandang dengan alis berkerut seakan saling mengenal,
"Kau..., kau siapa...?! Rasanya aku pernah melihat wajahmu...?!"
Kakek berpakaian coklat terlebih dulu membuka percakapan dengan suara bergetar. Se-pasang matanya terbelalak lebar penuh rasa kaget ketika melihat wajah Ambar.
"Aku pun rasanya mengenalmu, Kakek! Hanya saja aku lupa, kapan dan di mana pertemuan itu berakhir."
Dua pasang mata saling pandang, sebelum akhirnya berisikan nada-nada kecurigaan.
"Tua Bangka tidak tahu diri! Hentikan uca-pan tololmu. Aku bukan apa-apamu. Cepat kau pergi dari sini, sebelum kesabaranku habis!"
Ambar yang lebih dulu sadar dari kesi-manya, membentak keras setelah yakin kalau ka-kek berpakaian coklat ini tidak mempunyai hu-bungan dengannya.
Kakek berpakaian coklat tersenyum getir.
"Pergi itu urusan mudah, apabila semua urusan telah bisa diselesaikan. Tapi sayang, urusan antara kita belum selesai. Aku punya satu pertanyaan padamu, Nona," balas kakek berkaki buntung itu.
Sepasang mata Ambar mulai berkilat te-rang. Sinar kehijauan semakin jelas terlihat. Ka-kek berpakaian coklat itu tersentak, begitu melihat adanya sesuatu yang aneh. Namun kakek ini pu-rapura bersikap tidak peduli.
"Beberapa puluh tombak dari tempat ini, aku menemukan mayat seorang kakek gagah perkasa. Aku tahu betul kalau dia dulunya seorang pendekar besar. Menilik dari keadaan mayatnya, aku yakin orang yang membunuhnya belum lari jauh. Dan ternyata, hanya kau yang berada dekat dengan tempat mayat kakek itu. Jelas, kau mempunyai hubungan yang erat dengan tewasnya kakek pendekar itu, Nona."
"Kau memang cerdik, Tua Bangka bau ta-nah! Akulah yang telah membunuhnya. Tapi, orang itu memang pantas dibunuh. Aku punya semboyan hidup. Tidak ada tempat bagi orang yang mengkhianati janji. Dan kakek jompo itu telah mengingkari janji yang telah dibuatnya sendiri. Maka, aku pun membunuhnya! Kalau kau tidak senang, silakan maju. Biar kuhabisi sekalian orang-orang yang berani menentangku!"
Kakek berpakaian coklat menghela napas berat. Kepalanya menggeleng-geleng seperti layak-nya orang yang merasa prihatin.
"Sayang sekali, Nona. Kau sebenarnya ma-sih muda. Jalan hidupmu masih panjang. Menga-pa memilih jalan sesat dan bukan jalan lurus?! Sadarlah! Jangan kau jerumuskan dirimu ke da-lam jurang kehancuran!"
"Tutup mulutmu!"
Ambar yang merasa tidak senang diberi nasihat, segera melancarkan serangan mempergu-nakan sepasang matanya. Dua sinar yang memiliki kekuatan daya hancur luar biasa seketika meluruk ke arah sang kakek. "Uts...!"
Kakek berpakaian coklat melompat meng-hindari serangan. Dia tahu, sinar hijau itu memi-liki kekuatan dahsyat Rasanya tidak akan ada senjata apa pun yang mampu menahannya!
Serangan-serangan gencar sinar hijau yang keluar dari sepasang mata Ambar benar-benar membuat kakek berpakaian coklat yang tak lain Wara Kuri untuk berlompatan ke sana kemari. Tindakannya membuat keadaan sekitar itu menjadi porak-poranda.
"Ih...!"
Wara Kuri terperanjat ketika merasakan adanya tarikan kuat ketika baru saja melompat untuk mengelakkan serangan sinar hijau dari mata Ambar. Sementara, dara berpakaian hitam itu terus menjulurkan tangan dengan kedua telapak terkembang, melakukan gerak menarik.
Wara Kuri yang tengah berada di udara, ti-dak mampu berbuat sesuatu untuk bertahan. Apalagi tidak ada pijakan.
Pada saat yang merugikan bagi Wara Kuri, Ambar mengirimkan serangan maut dengan sinar matanya!
Wesss...!
Dua larik sinar hijau meluncur, menghan-tam luncuran tubuh Wara Kuri yang tertarik ke arah Ambar.
Wara Kuri benar-benar berada dalam pilihan sulit. Keadaannya tidak memungkinkan untuk mengelak. Jalan satusatunya untuk menyelamatkan diri, hanya menangkis. Tapi bila menangkis sinar maut dalam jarak yang demikian dekat, memiliki kemungkinan untuk menerima akibat yang sangat parah.
Di saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawa Wara Kuri, terdengar bunyi hembusan keras diiringi hawa panas menyengat. Datangnya, dari belakang Wara Kuri terus meluncur memapak dua larik sinar hijau!
****
Bresss! Blarrr...!
Bumi bagaikan tergetar begitu dua larik sinar hijau dari mata Ambar berbenturan dengan hembusan angin panas yang keras. Sekitar tempat itu bagaikan digoyang tangan raksasa. Sedang akibatnya bagi pihak-pihak yang terlibat dalam ke-jadian itu, lebih hebat lagi.
Tubuh Ambar terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Tapi, tubuh sosok bayangan ungu yang melancarkan pukulan jarak jauh berhawa panas dari belakang Wara Kuri, melayang deras ke belakang bagai daun kering dipermain-kan angin!
Wara Kuri yang berada dalam kancah per-tarungan ketika dua kekuatan dahsyat bertemu sekujur tubuhnya terasa seperti dimasuki ribuan semut. Saat itu, Ambar menggerakkan tangan menyerang perut Wara Kuri. Jarak antara mereka se-benarnya tidak memungkinkan bagi Ambar untuk mengirimkan serangan. Apalagi Ambar melancar-kan serangan tanpa bergeming dan tempatnya.
Tapi, Ambar ternyata sudah memperhitungkan. Tangannya ternyata dapat memanjang seperti karet. Jarak yang seharusnya tidak ter-jangkau berhasil dilompati. Dan....
Bresss...!
"Aaaa...!"
Tak pelak lagi, jari-jari tangan gadis berpakaian hitam ini menembus perut Wara Kuri hingga tembus ke punggung. Darah berhamburan dari bagian yang robek lebar.
Kakek itu kontan menjerit memilukan. Tapi, Ambar sama sekali tidak peduli. Tanpa ada perubahan sedikit pun pada wajahnya yang pucat pasi, tangannya ditarik kembali dengan gerakan mengoyak. Sehingga, membuat luka Wara Kuri semakin parah. Kemudian, sambil tertawa terkikih tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Am-bar sama sekali tidak ingat pada orang yang telah memapak sinar hijau dari matanya.
Tak lama sepeninggalnya, dari balik kerimbunan semaksemak tempat terlemparnya sosok yang tadi memapak serangan, melangkah ter-huyung-huyung dua sosok yang bertumpuk menjadi satu. Sosok yang satu berada di atas sosok yang lain. Mereka adalah Dewa Arak dan Setiaji yang berada diatas pundaknya.
Dengan langkah terhuyung-huyung karena rasa pusing amat sangat yang masih melanda, Arya memaksakan diri menghampiri Wara Kuri tergolek. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu, keadaan kakek itu telah amat mengkhawatirkan. Kalau tidak bertindak cepat, nyawanya keburu melayang ke alam baka. Kendati Arya tahu, Wara Kuri tak bakal bisa diselamatkan mengingat keadaannya yang terlalu mengkhawatirkan. Tapi setidak-tidaknya, kakek itu mungkin akan meninggalkan pesan.
Sebelum Arya berada di dekat Wara Kuri, dari arah yang berlawanan melesat sesosok bayangan serba merah. Gerakannya cepat bukan main. Hanya dalam sekejapan, sosok itu telah berada di dekat tubuh Wara Kuri
Bahkan dia berjongkok, memperhatikan luka kakek berpakaian coklat itu penuh selidik.
Helaan napas berat keluar dari mulut so-sok ini. Kepalanya pun menggeleng. Kemudian tangan kanannya diulurkan. Dan dengan kecepa-tan menakjubkan, tangannya bergerak menotok sekitar luka untuk menghentikan aliran darah agar Wara Kuri tidak mati lemas.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Sayang, aku tidak akan bisa membalasnya. Tapi aku, Wara Kuri, bukan orang yang tidak kenal budi. Bila di dunia ini aku tidak mampu membalas, maka di penghidupan yang lain, akan kucoba un-tuk membalas budimu ini," ujar Wara Kuri terpa-tah-patah.
"Tidak usah memikirkan masalah itu, Wara Kuri. Aku tidak membutuhkan balas budi. Kehadiranku di tempat ini pun, hanya sebuah kebetulan. Aku sebenarnya sudah tidak berhasrat untuk terjun dalam dunia persilatan. Tapi karena sesuatu hal, dan karena keteledoran dua orang muridku, terpaksa aku turun gunung meninggalkan tempat pengasinganku yang nikmat. Dan aku terjun kembali ke dalam kerasnya kancah dunia persilatan yang menjijikkan," sahut laki-laki berbaju merah ini.
Wara Kuri tertawa terkekeh walau dengan susah payah.
"Kita ternyata mempunyai nasib yang sama, Sobat. Kita tidak termasuk orang-orang yang beruntung. Aku pun sebenarnya sudah tidak ingin terjun dalam dunia persilatan. Tapi sebuah kejadian yang mengerikan dan amanat dari majikanku, membuat aku tidak bisa mengelak. Akhirnya aku harus mengalah pada nasib. Aku harus meninggalkan dunia ini, tanpa bisa menyelesaikan amanat majikanku. Nasib memang
mempermainkan manusia, Sobat"
Sosok berpakaian merah ternyata seorang lelaki berjenggot panjang sampai ke dada. Usianya sekitar enam puluhan tahun, tapi masih tampak gagah. Kumisnya yang masih hitam dan melintang menambah kegagahannya. Di waktu mudanya, dia pasti seorang pemuda yang amat tampan dan gagah.
"Ternyata kita mempunyai masalah yang sama, Wara Kuri. Hanya saja kau harus pergi sebelum masalahmu berhasil diselesaikan. Sedangkan aku masih terus mencari. Entah sampai kapan hal ini baru bisa terungkap. Atau mungkin aku akan mengalami kejadian sepertimu. Mening-galkan dunia ini tanpa berhasil mengupas masalah yang menggayuti benakku," kata lakilaki ber-pakaian merah.
"Boleh kutahu, apa yang mendorongmu terjun ke dalam dunia persilatan, Sobat?!" tanya Wara Kuri ingin tahu.
"Bangkitnya mayat dari kematiannya," jawab lelaki berpakaian merah, langsung pada sasaran.
Wara Kuri mengeluarkan keluhan tertahan.
"Mengapa?!" tanya lelaki berpakaian merah ini heran.
"Masalah yang tengah kita hadapi ternyata sama," jelas Wara Kuri cepat
"Jadi..., kau pun...."
"Benar," Wara Kuri mengangguk. Kemu-dian secara singkat tapi jelas, kakek berpakaian coklat ini menceritakan semuanya.
Sampai lawan bicaranya mengerti dengan masalah yang tengah dihadapinya.
"Kau sendiri bagaimana?!" tanya Wara Ku-ri.
"Hampir sama," jawab lelaki berpakaian merah. Dahinya tampak berkerut dalam seperti tengah berpikir keras. "Aku mempunyai dua orang murid. Yang pertama, bernama Gempita. Dan yang satu lagi, bernama Marong. Pada suatu hari, me-reka datang membawa seorang wanita yang hampir mati. Keadaannya tidak terurus. Bahkan boleh dibilang tak ubahnya gembel. Ingatannya hampir hilang. Aku yakin wanita ini telah mendapatkan guncangan batin yang berat, sehingga membuatnya seperti gila. Menilik dari gerak-geriknya, aku tahu wanita ini bukan orang sembarangan. Seti-dak-tidaknya murid seorang sakti. Terbukti meski dalam keadaan kurang ingatan, ilmunya masih cukup hebat. Wanita itu bernama Ambar."
Arya dan terutama sekali Setiaji yang juga mendengarkan percakapan itu, merasa kaget bukan main. Jantung Setiaji bahkan seperti berhenti berdetak mendengar cerita itu. Jadi, Ambar benar-benar menderita!
"Karena perawatan kami yang tak kenal lelah, Ambar berhasil disembuhkan. Tapi sayang seribu kali sayang, Ambar terjatuh dalam tangan seorang ahli ilmu hitam yang berhati keji. Ambar menuntut ilmu hitam yang aneh-aneh. Bahkan sampai akhirnya, Ambar tewas dalam mempelajari ilmu itu. Syarat yang terlalu berat, membuat nyawanya melayang. Tapi justru itu sebenarnya yang diinginkan gurunya yang memang berhati keji. Dia ingin menciptakan budak yang mau melakukan semua perintahnya, tanpa membantah sedikit pun. Dan itu hanya dapat diperoleh, bila Ambar telah menjadi mayat kemudian bangkit lagi. Tentu saja begitu telah menjadi mayat hidup, kesaktian
Ambar akan berlipat ganda. Dengan demikian, penyihir jahat itu jadi memiliki seorang budak yang amat taat, sekaligus luar biasa sakti."
Wara Kuri diam. Dia merasa takjub mendengar cerita itu. Sedangkan Arya dan terutama sekali Setiaji baru menyadari mengapa Ambar jadi demikian sakti. Rupanya, Ambar telah mati. Ambar telah menjadi semacam budak yang hanya ta-hu melaksanakan perintah. Tanpa sadar, sepasang mata Setiaji berkaca-kaca, karena rasa haru. Betapapun juga, lelaki ini merasa bertanggung jawab atas malapetaka yang menimpa Ambar.
"Dengan sebuah siasat, aku berhasil mencuri mayat Ambar. Aku tidak ingin, dia dijadikan budak. Setelah berhasil, aku mencari tahu bagaimana caranya untuk menghentikan semua kegilaan itu. Akhirnya, aku pun mendapatkannya. Ambar harus dikubur, sebelum hujan lebat berhenti. Bahkan sebelum sinar bulan berwarna merah. Karena bila itu terjadi, malapetaka akan muncul. Dari tempat tinggalku kupantau keadaan muridku. Sebenarnya, aku yakin mereka akan berhasil. Tapi ternyata gagal. Dari tempatku, aku tahu kalau dua muridku itu telah tewas."
"Apakah orang yang dimaksud muridmu itu seorang lelaki tinggi besar bertelanjang dada, dan seorang lelaki kecil kurus? Dan mereka pun naik kereta?!" tanya Wara Kuri, untuk memastikan ketika teringat akan hal mayat yang ditemukannya.
"Benar," sahut lelaki berpakaian merah itu mengangguk.
"Mereka memang telah tewas. Dan tempat terjadinya adalah di makam milik keluarga majikanku. Asal tahu saja, tempat itu sebenarnya terlarang bagi orang luar. Pemakaman itu adalah pemakaman keluarga. Dan, tidak untuk orang lain. Tapi, muridmuridmu telah lancang mengubur mayat Ambar di sana. Dan aku bisa memperkirakan apa yang terjadi, " papar Wara Kuri, mengeluh panjang pendek.
"Apa?" lelaki berpakaian merah jadi ingin tahu.
"Wanita muda itu berhasil hidup, karena adanya roh milik Tuan Muda Gautama yang dikubur di situ. Pada saat-saat tertentu, roh itu memang muncul ke permukaan. Biasanya, itu terjadi setiap sebulan sekali. Dan aku yakin, roh itulah yang membuat mayat Ambar hidup kembali."
"Mungkin kau benar, Wara Kuri. Tapi, mungkin kau mau mendengar penjelasanku. Mayat Ambar itu tidak untuk dikuburkan di tempat makam majikanmu. Aku tidak tahu. Bahkan muridku juga tak tahu kalau di sana ada makam. Mereka dan aku telah sepakat untuk menguburkannya di sebuah tempat. Tapi, entah mengapa mereka memilih makam milik majikanmu. Aku tidak mengerti maksud mereka. Tapi yang jelas, apa yang ku takuti telah terjadi. Mereka menanam mayat setelah hujan berhenti dan juga sinar bulan merah telah muncul. Padahal, aku telah berpesan berkali-kali agar jangan sampai itu terjadi. Karena jika sampai demikian, nyawa mereka tak akan selamat"
"Lalu..., apa yang akan kau lakukan?!" tanya Wara Kuri, ingin tahu.
"Aku belum tahu," desah lelaki berpakaian merah menggeleng. "Entah nanti."
"Sayang sekali, Sobat," desah Wara Kuri dengan suara penuh sesal. "Kalau saja aku tidak ceroboh, aku mungkin akan dapat melenyapkan angkara murka Ambar dengan mudah. Majikan tuanku telah meninggalkan pusaka untuk melumpuhkan kekuatan roh anaknya. Pusaka itu berupa keris bergagang kuning. Demikian juga batangnya. Sayang, senjata itu telah diambil Buluk Pitu. Aku khawatir dengan senjata itu, Buluk Pitu akan ber-hasil mengendalikan Ambar."
Lelaki berpakaian merah tersenyum lebar.
"Jangan khawatir, Wara Kuri. Apa yang kau khawatirkan tidak akan terjadi. Senjata yang kau sebutkan, tidak mempan terhadap Ambar. Di perjalanan aku melihat Buluk Pitu sampai memaki kalang kabut dan membuang sebuah benda yang ternyata bernama Keris Emas. Bahkan sempat kudengar dia memaki-maki Ambar. Berarti, keris itu tidak bisa digunakan untuk mempengaruhinya."
Wajah Wara Kuri berubah, membesi. Biasan wajah dan sinar matanya memancarkan rasa tersinggung yang besar.
–––––––– 7
"Kau terlalu merendahkan pusaka keluarga Wiraraja, Sobat. Apakah pusaka kau yang lebih ampuh daripada pusaka itu? Kau tahu, Tuan Besarku yang bernama Tuan Wiraraja memiliki pengetahuan luas. Dan keris yang kau rendahkan itulah yang dikatakan Tuan Wiraraja, akan berhasil membuat mayat hidup itu tidak bangkit lagi untuk selamanya," kata Wara Kuri, berapi-api.
Rasa tersinggung membuat ucapan Wara Kuri kelihatan menggebu-gebu. Dan itu terlalu memaksakan keadaan diri. Padahal, keadaannya telah sangat payah, sehingga membuatnya batuk-batuk darah.
"Maaf, maaf. Bukannya aku bermaksud demikian, Wara Kuri. Aku yakin pusaka itu ampuh. Bahkan aku percaya, Tuan Wiraraja berkata benar. Mayat Gautama akan roboh untuk selama-lamanya, apabila terhunjam Keris Emas. Tapi perlu kau ketahui, mayat yang bangkit itu bukan mayat Gautama. Tapi, mayat orang lain. Ambar namanya."
"Sama saja!" cela Wara Kuri "Bukankah bangkitnya mayat itu, karena roh Tuan Muda Gautama?!"
"Ucapanmu hanya benar sedikit, Wara Kuri. Mayat Ambar tidak bangkit karena roh Tuan Muda Gautama. Mayat itu bangkit karena ulah tokoh seperti yang kuceritakan. Roh Gautama hanya mempercepat bangkitnya mayat itu. Seharusnya, sehari setelah dikuburkan, baru Ambar akan bangkit. Tapi keberadaan roh Gautama, mempercepat kebangkitannya. Aku mempunyai alasan kuat untuk hal ini. Buktinya, yang dicari mayat Ambar adalah orang-orang yang telah membuat-nya sakit hati. Kalau roh Gautama yang berada dalam diri Ambar, pasti yang didahulukan adalah kepentingan Gautama!" jelas lelaki berpakaian me-rah dengan sabar!
Wara Kuri diam.
"Mungkin kau benar, Sobat," kata kakek ini setelah terdiam sejenak. "Maafkan atas sikapku yang tidak patut."
"Lupakanlah, Wara Kuri. Aku memaklumi perasaanmu. Pergilah dengan tenang. Percayalah. Kau tidak mempunyai beban batin lagi. Karena, roh Gautama belum keluar. Dan mudahmudahan tidak keluar. Ada pun mengenai peti mati Wiraraja, biar aku yang mengurusnya," janji lelaki berpakaian merah.
"Terima kasih, Sobat"
Dan kepala Wara Kuri pun terkulai. Kakek ini meninggalkan dunia dengan hati belum tenang. Sambil menghembuskan napas berat, lelaki berpakaian merah itu bangkit. Kemudian kepalanya menoleh ke belakang, pada Arya dan Setiaji yang sejak tadi menyaksikan perdebatan.
"Siapa kalian?! Apakah mempunyai hubungan dengan urusan yang tengah kami hadapi?!" tanya lelaki berpakaian merah, penuh selidik.
"Aku Arya, dan kawanku ini Setiaji," jawab Arya, cepat
"Gadis yang kau sebut sebagai Ambar, adalah bekas tunanganku. Sebelumnya, aku tidak terlibat dalam urusan ini. Tapi, karena dia telah membunuh istriku dan melakukan kekejian dengan membuntungi kakiku maka aku harus terlibat dalam urusan ini. Bahkan dia mengancam akan membinasakan ayahku. Hal inilah yang membawaku kemari. Mudah-mudahan saja beliau belum mengalami kejadian yang ku khawatirkan."
Lelaki berpakaian merah menghela napas berat
"Lebih baik kalian urungkan niat kalau ingin selamat. Mayat hidup itu tidak akan bisa ditandingi. Dia memiliki kemampuan tak masuk akal. Bahkan aku pun tak yakin akan bisa mengalahkannya. Meskipun demikian, tetap akan ku usahakan untuk melenyapkannya selama-lamanya."
"Demikian pula denganku, Kek," timpal Arya, tenang. "Memang kuakui, Ambar memiliki kemampuan luar biasa. Tapi, kewajiban untuk mencegah terjadinya angkara murka di dunia persilatan, membuatku tidak mempunyai alasan lain. Aku rela kehilangan nyawa untuk menegakkan keadilan," tandas Dewa Arak.
"Begitu pula denganku!" sambut Setiaji mantap dan tegas.
Lelaki berpakaian merah tersenyum lebar. Matanya menatap Arya dan Setiaji dengan sorot mata kagum. Dia tahu, tengah berhadapan dengan orang-orang muda berjiwa gagah dan tidak takut menghadapi kematian.
"Kalian pemuda hebat! Pendekar-pendekar yang tidak mementingkan diri sendiri. Aku senang berkenalan dengan kalian. Namaku, Kerta Bumi. Nama yang tidak terkenal karena aku hanya seorang yang tinggal di gunung dan tidak pernah berkiprah dalam dunia persilatan. Sayang, karena keadaan yang tidak memungkinkan, aku tidak bi-sa berlama-lama bercakapcakap dengan kalian. Aku harus pergi untuk mencegah terjadinya hal yang lebih mengerikan!"
"Apa yang hendak kau lakukan, Kek?!" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Mencegah ahli ilmu hitam yang kejam itu dalam memperbudak Ambar demi kepentingannya sendiri! Nah!
Selamat tinggal!"
Tanpa menunggu tanggapan Arya dan Se-tiap, Kerta Bumi melesat. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah berubah menjadi titik hitam yang semakin lama semakin kecil. Dan ak-hirnya, lenyap di kejauhan.
"Mari, Arya. Kita harus bergegas. Aku kha-watir, Ambar akan tiba lebih dulu menjumpai ayahku."
"Mudah-mudahan saja tidak, Setiaji. Bukankah dia tidak tahu tempat tinggal ayahmu sekarang? Akan makan banyak waktu baginya untuk menemukan ayahmu. Aku yakin, kita akan tiba lebih dulu darinya."
Mulutnya berkata demikian, tapi Dewa Arak mengayunkan kaki juga meninggalkan tem-pat itu. Pemuda berambut putih keperakan ini melesat cepat, mengerahkan seluruh kemampuannya.
****
"Ayah...!"
Begitu melihat pondok kecil yang diketahui sebagai tempat tinggal ayahnya, Setiaji telah berte-riak keras. Meski Dewa Arak saat itu tengah melesat menuju ke tempat itu, lelaki yang sudah tidak sabar lagi langsung melompat dari atas pundak Arya.
"Ayah...!"
Setiaji kembali berseru tanpa menyembunyikan perasaan khawatirnya, begitu telah tiba di ambang pintu. Sementara Arya yang menyusul se-kejap kemudian, mengerutkan kening ketika meli-hat bagian dalam pondok yang porak-poranda ba-gai dilanda angin besar. Pemuda ini tahu, ada orang yang telah datang ke tempat ini dan menim-bulkan kerusakan. Mungkinkah Ambar?!
Sedangkan Setiaji segera masuk ke dalam pondok, memeriksa setiap ruangan yang ada sam-bil berseru-seru memanggil ayahnya. Tapi sampai semua tempat dijelajahi, yang dicari tetap tidak di-temukan.
"Ayahku tidak ada Arya," desah lelaki berpakaian kuning ini pada Arya yang menatap ke arahnya dengan sinar mata penuh pertanyaan.
"Syukurlah. Itu berarti ayahmu selamat," sahut Arya, kalem.
"Hm..., Atas dasar apa kau berani mengatakan demikian, Arya? Ketidak-beradaan mayat ayahku di sini?! Tidakkah kau lihat keadaan yang berantakan?! Dari sini saja bisa diketahui ada orang yang telah datang ke tempat ini, dan memporakporandakannya. Siapa lagi kalau bukan Ambar?! Aku yakin, ketidak-beradaan mayat ayahku di sini, karena telah dibawa gadis liar itu untuk disiksa sebelum mati!" tandas Setiaji berapi-api.
"Aku tidak yakin dengan tanggapanmu itu, Setiaji," Arya bersikeras dengan pendapatnya. "Kalau benar Ambar hendak menyiksanya untuk apa ayahmu dibawanya. Dan itu hanya menyusahkan diri. Aku lebih condong kalau dia menyiksa dan membunuhnya di tempat ini. Tapi, itu bila benar seperti yang kau duga."
Arya dan Setiaji berbareng mengalihkan perhatian ke luar pondok, begitu terdengar bunyi langkah kaki berat yang mendekati tempat mereka berada. Dari sini bisa diduga kalau orang itu tidak memiliki ilmu meringankan tubuh. Andaikata punya paling hanya sekadarnya saja.
Sungguh pun demikian, Setiaji dan Arya tidak kehilangan semangat untuk memeriksanya. Mereka cepat melesat ke depan. Dan hanya den-gan sekali lesatan, telah berada di depan pintu.
Orang yang melangkah sampai terjingkat ke belakang bagai disengat binatang berbisa, keti-ka tahu-tahu dua sosok tubuh berada di depan-nya.
"Paman Nanggal!" seru Setiaji gembira.
Sapaan itu membuat seorang lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun wajahnya hitam kecoklatan tak mampu menutupi pucat pasinya. Yang semula kelihatan terkejut bukan main, jadi memperhatikan dua sosok di depannya. Dia menatap tak percaya pada sosok Setiaji yang mengeluarkan teguran.
"Kau...,kau…, Aden Setiaji...?!" tanya Nanggal setengah tidak percaya.
Terutama sekali, ketika pandangannya tertumbuk pada sepasang kaki lelaki itu yang telah buntung.
"Benar, Paman. Aku Setiaji. Bagaimana kabarmu, Paman. Apakah baik-baik saja?! Di mana, Ayah?! Mengapa rumah ini demikian beranta-kan?!" tanya Setiaji bertubi-tubi.
Wajah Nanggal berubah. Kelihatan bingung sekali.
"Aku baik-baik saja, Den. Tapi, tidak demikian ayahmu.
Beliau mempunyai nasib buruk seperti juga kau. Ah, Den Setiaji. Apa yang telah terjadi atas dirimu?! Mengapa kedua kakimu bisa demikian, Den?!"
"Nanti akan kuceritakan, apabila aku telah mempunyai kesempatan, Paman. Saat ini aku tengah tergesa-gesa. Aku tidak ingin sesuatu terjadi atas diri Ayah. Katakan, apa yang telah terjadi ter-hadap ayahku, Paman Nanggal?!"
"Kejadiannya belum lama terjadi, Den. Hanya berbeda waktu setengah hari denganmu. Iblis itu datang dan mencari ayahmu. Aku tidak tahu, apa yang terjadi sebelumnya. Karena aku tidak mau mencampuri urusan antara mereka. Tapi sesaat kemudian, kudengar bunyi ribut-ribut. Ternyata, ayahmu telah bertarung melawan iblis itu yang berkepandaian hebat sekali. Sebentar saja, ayahmu terdesak hebat Dan akhirnya, dia roboh. Kemudian, iblis itu membawanya. Aku takut sekali, Den. Maka, aku bersembunyi. Aku baru keluar, ketika kudengar bunyi gaduh dari tempat ini lagi. Kukira, iblis itu datang lagi untuk membunuhku. Aku menjadi nekat, mendekati tempat ini. Dan aku telah siap menyabung nyawa. Tak tahunya, malah kau dan kawanmu ini yang datang. Ah! Betapa leganya hatiku, Den. Hanya saja...."
"Bisa kau beritahukan padaku, bagaimana ciri-ciri iblis itu, Paman?!" selak Setiap tak saba-ran. "Apakah dia seorang wanita?!"
"Benar, Den," Nanggal mengangguk. "Masih muda lagi...! Pakaiannya serba hitam. Tetapi sepasang matanya yang mengerikan membuatku takut!"
Setiaji dan Arya saling berpandangan. Dalam adu tatap yang hanya sebentar, mereka sama-sama bisa menduga siapa orang yang membawa mayat ayahnya Setiaji. Iblis yang dimaksud Nang-gal itu adalah Ambar!
"Kau tahu ke arah mana iblis itu membawanya lari, Paman?!" tanya Arya, tak sungkan-sungkan lagi menyapa seperti halnya Setiaji.
Arya tahu, kalau Nanggal ini sebenarnya bukan Pamannya Setiaji. Melainkan, pembantu sejak Setiaji kecil.
Nanggal menggeleng. Setiaji dan Arya mengeluh dalam hati. Tanpa adanya petunjuk yang jelas, mereka akan kehilangan jejak Ambar.
"Tapi, aku sempat mendengar ucapannya setelah iblis itu berhasil membunuh dan membawa ayahnya Den Setiaji. Di antara derai tawanya, iblis itu mengatakan kalau akan membawa ayahmu pada ayahnya untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya."
Wajah Setiaji kontan berseri-seri.
"Terima kasih, Paman."
"Kau tahu, di mana tempat tinggal dua orang tua Ambar, Setiaji?!" tanya Arya.
"Tentu saja! Mari kita ke sana!"
*** Brukkk!
Bunyi berdebuk nyaring yang menjadi per-tanda jatuhnya benda berat ke tanah, membuat seorang lelaki tinggi tegap berkumis melintang yang tengah bersemadi membuka matanya dengan sikap kaget. Lelaki yang telah berusia sekitar lima puluh lima tahun ini langsung melompat ke bela-kang, bersiap menghadapi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Kaget, Ayah?!"
Seruan melengking nyaring membuat lelaki berkumis melintang ini semakin kaget. Suara itu amat akrab di telinganya, sejak belasan tahun yang lalu. Suara yang selama ini dirindukannya. Pandangannya di arahkan pada sosok yang mengeluarkan seruan, setelah terlebih dulu menatap benda. yang menimbulkan bunyi gaduh tadi.
Benda itu ternyata sosok manusia yang telah cukup dimakan usia. Bahkan ternyata dikenal baik oleh lelaki berkumis melintang ini. Maka un-tuk ketiga kalinya lelaki ini terperanjat.
"Kau..., kau..., Ambar...?!" tanya lelaki berkumis melintang itu. Suaranya menyiratkan keti-dak-percayaan yang mendalam. Sepasang ma-tanya menelusuri sekujur tubuh gadis berpakaian hitam yang berdiri di hadapannya.
"Ayah kira siapa?! Apakah Ayah mempunyai anak lagi selain aku..."!
Sepasang mata lelaki berkumis melintang berkaca-kaca. Bibirnya pun bergetar keras.
"Anakku..., Ambar.... Ah! Akhirnya kau kembali juga,
Nak...?!"
Lelaki ini bergerak menghampiri. Sementa-ra Ambar menghambur menubruk tubuh ayahnya dan membenamkan diri di pelukannya. Ayah dan anak ini saling rangkul. Hanya saja, bila lelaki berkumis melintang tampak terharu bukan main, Ambar biasa-biasa saja. Tetap dingin.
Gadis ini diam saja ketika ayahnya sibuk memelukinya. Bahkan beberapa saat kemudian, tubuh lelaki tua itu didorongnya. Pelan tapi terasa.
"Ah...! Apa yang terjadi denganmu Ambar?! Kau pergi demikian lama. Ayah berusaha mencarimu ke mana-mana, tapi selalu gagal. Karena putus asa, Ayah kembali kemari. Ayah pikir, apabila kau suatu saat merasa rindu pasti akan datang ke tempat ini. Kau tahu, hanya ini tempat tinggal kita."
"Aku datang kemari untuk memberi orang yang telah ingkar janji pada ayah. Barangkali saja Ayah ingin menghukumnya," Ambar mengalihkan persoalan.
Lelaki berkumis melintang yang ternyata ayahnya Ambar menautkan alis. Sekarang dia baru merasakan adanya kejanggalan ini. Tapi, dia tidak terlalu larut oleh perasaan kaget dan tidak percaya. Sehingga, tidak melihat adanya keane-han. Sekarang setelah perasaan-perasaan itu me-reda, baru terlihat jelas.
"Apa maksudmu, Ambar?!" tanya lelaki berkumis melintang, belum mengerti permasala-han.
Lelaki ini mengajukan pertanyaan sambil menatap wajah anaknya penuh selidik. Perasaan heran, takut, dan ngeri pun timbul. Ambar jauh berbeda dengan yang dulu. Kendati wajahnya masih tetap cantik, tapi biasan wajah menyiratkan kebengisan.
Bahkan sepasang matanya meman-carkan sorot mengerikan.
Lelaki tegap ini bergidik. Apa yang telah terjadi dengan putrinya?
–––––––– 8
"Kurasa lebih baik Ayah periksa bangsat itu!" tuding Ambar pada sosok yang tadi dijatuhkannya di depan ayahnya.
Lelaki berkumis melintang semakin heran. Nada ucapan Ambar berbeda dengan yang dulu. Demikian kasar! Kendati demikian, keinginan agar tidak menimbulkan masalah di saat pertemuan yang seharusnya dirayakan dengan gembira, membuat dia mengikuti perintah putrinya.
Tambah lagi, lelaki ini belum sempat memperhatikan lebih seksama sosok yang tadi membuat semadinya buyar. Lelaki ini merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat ketika baru disadari kalau telinganya tadi tidak mampu mendengar bunyi langkah Ambar. Bahkan kedatangannya pun sama sekali tidak diketahuinya, sampai gadis itu sendiri yang memberitahukan kedatangannya. Ini berarti, Ambar memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa dahsyatnya! Sampai sedemikian tinggikah kemajuan yang didapat Ambar dalam waktu singkat?
Dan pertanyaan dalam hatinya kontan membuyar ketika lelaki berkumis melintang ini mulai memperhatikan sosok yang berada di depannya dalam keadaan menelungkup. Bentuk tubuh itu serasa dikenalnya.
Perasaan itu, membuat lelaki ini mengge-rakkan kaki kanan ke tanah satu kali. Maka tu-buh yang tertelungkup segera terguling hingga menelentang.
"Garuda Mata Emas...?!" desis lelaki berkumis melintang kaget, ketika mengenali sosok yang telentang. Seorang kakek kecil kurus, ber-muka merah dan bermata kuning.
"Benar, Ayah," Ambar mengangguk. "Dia Garuda Mata Emas. Kawan Ayah yang telah berani-beranian menghina keluarga kita, dengan mengingkari janji yang telah dibuatnya sendiri."
Lelaki berkumis melintang ini tertegun sebentar. Pandangannya berganti-ganti menatap Ambar dan Garuda Mata Emas. Dia masih bin-gung, membayangkan mengapa Ambar bisa membawa Garuda Mata Emas sebagai tawanan. Pa-dahal lelaki ini tahu betul, siapa Garuda Mata Emas. Seorang tokoh golongan putih yang memiliki kepandaian tinggi. Bahkan hatinya tidak yakin mampu mengalahkan kakek bermata kuning itu. Lalu, bagaimana caranya Ambar bisa menjadikannya sebagai tawanan?! Mungkinkah Ambar telah memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Garuda Mata Emas?! Tapi, mungkinkah itu?! Rasanya mustahil!
"Bagaimana, Ayah? Mengapa Ayah malah tercenung? Tidak senangkah Ayah akan tindakanku ini? Aku sengaja membawa si keparat ini ke-mari agar Ayah sendiri yang memberi hukuman padanya," tegur Ambar membuat pertanyaan di hati laki-laki itu buyar.
Lelaki berkumis melintang bergidik. Dirasakannya ada nada dingin dalam kata-kata Ambar. Sebagai orang yang telah lama berkecimpung dalam dunia persilatan, dia tahu kalau nada seperti itu biasa keluar dari mulut orang-orang golongan hitam. Orangorang yang telah kehilangan perasaannya. Hal ini membuatnya semakin heran. Apa yang telah terjadi dengan putrinya hingga sampai seperti ini?
Lelaki berkumis melintang mulai memperhatikan lebih jauh. Dan dia pun mulai menemukan keanehan lain. Wajah Ambar tampak pucat dan dingin, sehingga kelihatan menyeramkan. Apalagi, jika ditambah sepasang mata yang memi-liki sorot aneh mengerikan. Seketika bulu kuduk-nya meremang berdiri.
"Berilah keputusan, Ayah. Atau, Ayah menyerahkan hukuman itu padaku?! Jangan khawatir, Ayah. Aku akan memberi siksaan yang akan membuat tua bangka itu menyesal!" kata Ambar lagi dengan nada tidak sabar melihat ayahnya belum juga memberi tanggapan.
"Omongan macam apa itu, Ambar?!"
Kemarahan lelaki berkumis melintang ini akhirnya meledak.
"Kau terlalu buta oleh dendam dan sakit hati! Itulah sebabnya, kau tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah! Dendam membuatmu kurang ajar dan lancang! Justru kaulah yang akan ku hukum atas hinaan-hinaan yang kau lontarkan pada Garuda Mata Emas!" dengus laki-laki ini.
Sepasang mata Ambar kontan berkilat-kilat. Sinarnya mulai bersemu kehijauan. Ayahnya sampai tercekat melihat hal ini. "Keanehan apa lagi yang akan kulihat?" batin lelaki ini berbicara.
Namun dengan cepat, lelaki ini menghi-langkan rasa aneh yang dialami.
"Kau tahu, Ambar. Garuda Mata Emas tidak bersalah! Dia telah berusaha semampunya agar janjinya bisa terwujud. Tapi, Setiaji, calon jodohmu itu tetap berkeras dengan penolakannya. Bahkan dia rela diancam untuk tidak diakui sebagai anak! Garuda Mata Emas tak kalah menderita daripada kita, Ambar. Dia malu karena tak bisa memenuhi janji. Bahkan sampai kehilangan seorang anak. Penderitaan batinnya berat. Dan sekarang, kau masih hendak menghukumnya?! Kau pun telah dengan lancang memaki-makinya! Bebaskan dia, Ambar. Dan kau pun harus minta maaf padanya."
Tanpa menyahuti, Ambar segera berbalik. Pandangannya ditujukan pada sebuah batu di luar rumah. Lalu...
Blarrr!
Sebongkah batu sebesar gajah yang berada empat tombak di sebelah kiri depan Ambar hancur lebur. Ternyata sinar hijau dari mata gadis itu menerpanya. Ambar yang tidak bisa lagi menahan amarahnya, menujukan sinar hijau itu pada batu untuk melampiaskan amarahnya.
Lelaki berkumis melintang sampai terjingkat kaget melihat hal ini. Apa yang dilihat, baru pertama kali dalam hidupnya. Belum pernah ada tokoh persilatan yang sakti bagaimanapun, mam-pu menghancurkan batu besar dengan sinar dari mata! Tapi, kenyataannya Ambar mampu melaku-kannya!
"Mungkin perlu kuberitahukan padamu, Ayah. Kedatanganku kemari bukan meminta nasihat. Apalagi, ceramahmu. Aku datang untuk menyerahkan keparat yang telah ingkar janji ini pada Ayah. Dan kau harus menghukumnya. Kalau kau tidak bersedia, biar aku yang akan melakukannya."
"Tidak, Ambar!" cegah lelaki berkumis melintang tegas, seraya berdiri di antara Ambar dan tubuh Garuda Mata Emas. "Tak akan kubiarkan kau melakukan tindakan tersesat itu! Sebelum kau membunuh Garuda Mata Emas, kau harus melangkahi mayatku dulu!"
Ambar mundur selangkah. Tanggapan ayahnya benar-benar di luar dugaannya. Semula dikiranya, ayahnya akan dengan senang melakukan tindakan untuk membalas sakit hati. Nyatanya, Ambar kecele!
Ambar memang telah menjadi mayat hidup. Tapi rasa hormat terhadap ayahnya di saat masih hidup, ternyata tidak sirna. Oleh karena itu, tantangan lelaki berkumis melintang membuatnya bingung.
"Mengapa mundur?! Bukankah sekarang kau telah menjadi orang sakti?! Mengapa takut?! Ayo maju! Bunuh aku!"
Lelaki berkumis melintang malah mende-sak-desak. Dia terus melangkah maju. Tindakan ini memaksa Ambar untuk mundur terus.
"Ha ha ha...!"
Terdengar bunyi tawa bergelak. Mendadak di saat Ambar terus mundur. Sementara, ayahnya terus maju mendesak.
Ambar dan ayahnya terkejut. Hampir berbareng, keduanya menoleh ke arah asal suara. Di sana telah berdiri seorang kakek kecil kurus ber-jenggot panjang. Tangan kanannya buntung mulai dari pergelangan.
"Diam kau...!" Lelaki berkumis melintang membentak. "Segera tinggalkan tempat ini, Sobat. Tidak pantas mencampuri urusan antara seorang ayah dan anaknya!"
Kakek berjenggot panjang tertawa bergelak.
"Sudah mau mampus masih banyak lagak! Ambar! Bunuh
dia...!"
Ambar yang sejak kedatangan kakek berjenggot panjang itu menatap dengan sinar mata penuh dendam, tubuhnya langsung tersentak ketika mendengar kata-kata si kakek. Perhatiannya terkesima bagai patung batu. Tapi, hanya sebentar saja.
Kini Ambar menatap ayahnya.
"Ayah, cepat tinggalkan tempat ini! Cepat, sebelum terlambat!" seru Ambar. Tiba-tiba timbul rasa kekhawatiran di hatinya.
Lelaki berkumis melintang membaui adanya bahaya. Dia tahu, pasti ada hubungannya dengan kedatangan kakek berjenggot panjang ini. Maka setelah menatap kakek itu dan Ambar berganti-ganti "Heaaa...!"
Ayah Ambar berteriak keras laksana binatang buas terluka. Kemudian dia melompat menerjang.
"Ambar...! Cegah dia! Bunuh..,!"
Kakek berjenggot panjang berteriak dengan suara mengandung getaran kuat.
Ambar yang sejak tadi merasa khawatir, sekujur tubuhnya tiba-tiba menjadi bergetar. Lalu dengan geraman keras, tangan kanannya dijulurkan seperti karet hingga panjangnya dua kali lipat. Arah yang dituju adalah ayahnya.
Tappp!
Lelaki berkumis melintang tercekat hatinya ketika pergelangan kakinya yang sebelah kiri tera-sa ada yang menangkap. Hal ini membuat lompa-tannya terhenti di tengah jalan.
Bresss!
Tanpa memberi kesempatan lagi, Ambar langsung membanting tubuh ayahnya
Bantingan yang keras, membuat sekujur tulang-belulang lelaki berkumis melintang itu terasa bagai rontok. Saat itu, Ambar yang telah berada dalam pengaruh kakek berjenggot panjang mengirimkan serangan maut dengan mempergu-nakan matanya.
Namun belum sempat sinar itu menghantam, tubuh ayahnya
Ambar tahu-tahu bergerak bagai ditarik sesuatu yang tak nampak.
Blarrr!
Tanah tempat kakek berkumis melintang tadi ambrol ketika sinar hijau itu menghantam.
"Ambar...! Kau benar-benar anak durhaka...!" seru sesosok bayangan.
Ambar menggeram keras penuh kemarahan melihat campur tangan dua sosok yang telah menolong ayahnya. Yang seorang duduk di pundak seorang pemuda berambut putih keperakan. Dan mereka tak lain dari Dewa Arak dan Setiaji!
Baru saja Setiaji membentak, kembali membersit sinar hijau dari mata Ambar. Sasarannya, jelas dia dan Dewa Arak.
"Awas, Arya...!" seru Setiaji memperingatkan.
Dewa Arak yang telah mengetahui kedahsyatan dua larik sinar itu tidak berani bertindak gegabah. Maka cepat dia melompat menghindarinya.
Ambar merasa geram bukan kepalang ketika melihat serangannya gagal menemui sasaran. Segera disusulinya dengan serangan berikut seca-ra bertubi-tubi. Maka, Dewa Arak pun dibuat si-buk bukan main. Tubuhnya berlompatan ke sana kemari untuk menyelamatkan diri.
Cukup menarik gerakan-gerakan Dewa Arak. Dia seperti bermain-main dalam menghinda-ri sinar-sinar hijau yang berasal dari sepasang ma-ta Ambar. Terlambat sedikit untuk mengelak, berarti maut
"Gautama...!"
Di antara sibuknya pertarungan yang terjadi antara Dewa Arak dengan Ambar, terdengar panggilan. Tidak keras, tapi mampu mengatasi keriuh-rendahan yang ada.
Aneh! Ambar tiba-tiba menghentikan serangannya.
Kepalanya cepat menoleh ke arah asal suara sapaan.
Arya dan Setiaji yang ikut menoleh juga, tercekat hatinya ketika melihat ke arah asal suara. Mereka melihat satu sosok dengan sekujur tubuh-nya telah rusak dan tidak bisa dikenali. Bau busuk yang menyengat hidung menjadi pertanda ka-lau sosok ini adalah mayat hidup. Bahkan sempat, beberapa ekor belatung menggeliat-geliat di bebe-rapa bagian tubuh sosok yang telah rusak itu
"Ayah...."
Terdengar suara serak dan parau, yang ternyata berasal dari mulut Ambar. Sebuah suara yang pantas dikeluarkan seorang lelaki.
Sementara itu kakek berwajah kuning yang memiliki jenggot panjang kelihatan gelisah bukan main. Dia mulai membaui adanya hal-hal yang tidak beres. Menurutnya mayat hidup yang baru datang ini, bisa membuat segalanya menjadi kacau.
Di lain pihak, Setiaji dan Arya memperhatikan penuh rasa tertarik. Mereka agak heran dan bingung melihat perkembangan yang tidak disangka-sangka. Mengapa Ambar disapa dengan nama Gautama? Dan anehnya, mengapa gadis itu menyapa mayat hidup yang baru datang ini sebagai ayah?
Arya yang cerdik langsung teringat cerita Wara Kuri. Gautama yang dimaksud mayat hidup yang sekujur tubuhnya telah hancur ini, pasti Tuan Muda Gautama. Dan berarti mayat hidup ini yang tiba-tiba muncul adalah Tuan Besar Wirara-ja? Yang menjadi pertanyaan, mengapa Ambar tahu-tahu bertindak sebagai Gautama?
Sementara itu, kakek berjenggot panjang yang melihat adanya ancaman terhadap keberhasilan usahanya, tidak membuang-buang waktu la-gi. Sambil mengeluarkan teriakan keras menggelegar, diterkamnya mayat hidup yang diduga Tuan Besar Wiraraja.
"Gautama, cepat bertindak. Tunggu apa lag!?! Cepat! Ini kesempatan terakhir! Atau..., kau ingin rohmu menderita selamanya?!" ujar mayat hidup yang telah membusuk itu lagi.
Ambar yang dipanggil Gautama, bergetar sekujur tubuhnya seperti terkena demam tinggi. Jelas, kata-kata mayat yang telah membusuk itu mempunyai pengaruh besar terhadapnya.
Beberapa saat sebelum serangan kakek berjenggot panjang yang berupa babatan golok besar ke arah leher mencapai sasaran, Ambar ber-tindak cepat menggiriskan. Langsung dikirimnya serangan berupa dua larik sinar hijau ke arah ka-kek berjenggot panjang. Keberadaan tubuhnya di udara, dan tidak adanya tempat berpijak, yang membuat serangan Ambar tidak bisa dielakkannya.
Wesss...! Crasss!
"Aaaa...!"
Terdengar jeritan menyayat ketika tubuh kakek berjenggot panjang hancur lebur terterpa sinar hijau. Kepingan tubuhnya yang berceceran jatuh di muka bumi. Mati.
"Sekarang, kembalilah ke tempatmu semula berada,
Gautama," ujar mayat hidup itu lagi.
"Baik, Ayah," sahut roh Gautama yang tidak mempunyai pilihan lain lagi, karena takut dengan ancaman hukuman yang dijatuhkan padanya.
Sekejap kemudian, dari atas kepala Ambar melesat cepat sinar berwarna terang kekuningan ke udara kemudian lenyap.
Saat yang tepat, mayat hidup yang dikenal sebagai Tuan Besar Wiraraja bertindak cepat. Diambilnya sebatang pisau dari selipan pinggangnya. Kemudian, senjata tajam itu dilemparkan ke arah Ambar yang masih berdiam diri.
Settt!
Dewa Arak dan Setiaji kaget bukan main.
Mereka ingin berbuat sesuatu untuk mencegah, tapi tidak sempat yang dapat dilakukan hanya menatap dengan mata terbelalak lebar. Dan....
Crapp!
"Aaakh...!"
Ambar yang masih berdiri di tempatnya bagai patung, menjerit tertahan ketika pisau me-nembus dada kirinya, tepat menusuk jantung. Setelah menggigil sejenak, tubuhnya roboh ke tanah seperti sehelai karung basah dengan mata melolot. Tewas untuk yang kedua kalinya.
"Ambar...!"
Lelaki berkumis melintang yang juga ayahnya Ambar menghambur sambil menjerit memilukan.
"Ayah...!"
Setiaji juga ikut menghambur. Hanya saja tujuannya ke arah Garuda Mata Emas.
Sedangkan Arya menatap mayat hidup pembunuh Ambar. Sikapnya siap tarung.
"Masalah sudah selesai, Arya. Ingat! Aku adalah lelaki berpakaian merah. Terpaksa rohku kulepas dan masuk ke dalam mayat Tuan Wiraraja untuk membereskan keangkaramurkaan ini," jelas mayat hidup yang telah membusuk itu.
"Bukankah katamu yang merajalela menyebar maut adalah Ambar yang akan dijadikan budak oleh seorang ahli ilmu hitam?!" desak Arya, ingin tahu.
"Benar. Dan orang yang mati hancur itu adalah ahli ilmu hitam yang ku maksud. Dia berjuluk Iblis Pemuja Setan. Niat jahatnya iblis itu tidak berhasil baik. Bahkan menjadi bumerang buat dirinya sendiri. Itu karena kelalaiannya. Dia tidak tahu kalau di samping roh Ambar, masih ada roh Gautama. Dan roh Gautamalah yang menyebabkan Ambar bangkit kembali lebih cepat dari seha-rusnya. Meski demikian, roh Ambar tetap berkuasa. Apalagi, Gautama juga tidak ingin menyerakahi tempat yang bukan miliknya."
"Sekarang aku mengerti," kata Arya sambil mengangguk. "Ambar yang memang sudah dipatok oleh Iblis Pemuja Setan untuk menjadi budaknya, tidak bisa menolak. Maka, kau tadi mengancam roh Gautama yang tidak berada di bawah pengaruh ahli ilmu hitam itu. Dan juga, kekuatan roh Gautama cukup dahsyat. Sewaktu roh Gautama pergi, roh Ambar masih belum pulih kesadarannya. Saat itulah kau bertindak. Luar biasa! Kau memang hebat, Sobat"
"Terima kasih atas pujiannya. Meski demikian, tanpa bantuanmu mana mungkin aku bisa berhasil?!"
Usai berkata demikian, mayat hidup Tuan Wiraraja mengalihkan perhatian ke arah lain. Tampak Setiaji dan lelaki berkumis melintang tengah sibuk dengan urusan masing-masing.
––––GS––––

SELESAI



INDEX AJI SAKA
77.Sengketa Guci Pusaka --oo0oo-- 79.Iblis Buta
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.