Iblis Buta
tanztj
January 27, 2013
INDEX AJI SAKA | |
78.Pembalasan Dari Liang Lahat --oo0oo-- 80.Misteri Gadis Gila |
AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting: Tuti S. Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Seorang pemuda tampan bermuka persegi melangkah setengah berlari. Ia menghampiri pondok sederhana yang berada belasan tombak di depannya. Pemuda itu terlihat gagah. Tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya bersembulan keluar. Pemuda berwajah persegi itu hanya mengenakan rompi dari kulit harimau. Pondok yang dituju pemuda berompi kulit harimau tidak dapat dikatakan bagus. Sekelilingnya di pagari potonganpotongan bambu setinggi pinggang. Rumah itu sendiri terletak di tengah-tengah. Kelihatan kecil dan ringkih karena berada di hamparan tanah luas yang ditumbuhi rumput-rumput liar.
Pemuda berwajah persegi menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu pagar bambu. Daun pintunya sendiri sudah tidak menempel lagi, tapi tergolek di bagian dalam.
Pemuda berompi kulit harimau itu memperhatikan sekeliling dengan wajah berduka. Sudut demi sudut tempat itu dirayapi dengan sepasang matanya yang mencorong tajam. Sorot sepasang mata yang terlindung alis tebal berbentuk golok itu menyiratkan ketidakpercayaan.
"Ibu...!" desis pemuda berompi kulit harimau. Suaranya agak tersendat "Apa yang telah terjadi padamu?"
Pandangan pemuda itu berhenti pada tanaman bunga yang berada di sisi kanan dan kiri rumah. Bunga-bunga itu layu, bahkan beberapa di antaranya mati. Padahal, ibunya amat sayang pada tanaman-tanaman itu. Ibunyalah yang menanam dan merawatnya. Mengapa sekarang bunga-bunga itu sampai tidak terurus?
Perasaan khawatir terbit di hati pemuda berwajah persegi. Setelah berhasil mengatasi sergapan rasa harunya, pemuda itu bergegas melangkah memasuki halaman.
Blosss!
"Hey!"
Pemuda berwajah persegi menjerit kaget. Tanah berumput yang diinjaknya amblas ke bawah membawa tubuhnya. Tanah yang dipijaknya ternyata tidak padat, hanya berupa lapisan saja. Di bawahnya tampak tombak-tombak berujung runcing siap menyate tubuh pemuda itu!
Meski kaget, pemuda berwajah persegi tidak kehilangan kepandaian. Sebelum menimpa ujung-ujung tombak yang runcing, ilmu meringankan tubuhnya segera dikerahkan untuk membuat kecepatan luncuran tubuhnya melambat. Kedua tangannya digerak-gerakkan seperti seekor burung yang mengepakkan sayap.
Ringan dan perlahan kedua kaki pemuda berwajah persegi menjejak ujung-ujung tombak. Bahkan, alas kakinya tidak tergores sedikit pun.
Pemuda berompi kulit harimau ini menghela napas lega seraya menghapus keringat yang membasahi dahinya. Perasaan kaget dan tegangnya sedikit berku-rang. Kemudian ia mendongakkan kepala untuk melihat permukaan lubang. Dalam lubang ini tak kurang dari empat tombak. Jarak yang cukup tinggi. Bahkan, terlalu jauh untuk dapat di lompati.
Pemuda ini tidak terlalu lama berdiri di atas ujung-ujung tombak. Seperti orang yang berjalan di tempat datar, ia mengayunkan kaki mendekati sisi lubang. Sejenak pemuda itu terdiam sebelum menempelkan kedua telapak tangannya yang terbuka ke dinding lubang. Lalu, bagai seekor cecak pemuda berwajah per-segi merayap naik ke atas!
Dalam waktu singkat saja pemuda berwajah persegi telah mencapai mulut lubang dan keluar dari dalamnya. Tampaknya sedikit peluh membasahi wajah-nya.
"Ha ha ha...!"
Gemuruh suara tawa membuat pemuda berwajah persegi menolehkan kepala ke belakang. Tawa mengejek itu pastilah ditujukan padanya.
Di luar pagar bambu berdiri sesosok tubuh yang membuat mata pemuda berompi kulit harimau itu terbelalak lebar. Sosok itu kelihatan aneh. Bertubuh amat pendek seperti anak berusia sepuluh tahun. Pendek dan gemuk! Kepalanya tidak ditumbuhi rambut sehelai pun. Wajahnya yang kelimis tampak seperti orang yang selalu bergembira. Semua anggota tubuh sosok ini serba bulat! Perutnya yang gendut terlihat jelas karena tidak tertutup rompi merah yang dikenakannya.
..... "Aku tidak pernah mimpi melihat seekor monyet cilik yang dungu terjeblos ke dalam sebuah lubang! Lucu sekali! Ha ha ha...!"
Wajah pemuda berompi kulit harimau merah padam. Ia merasa malu dan tersinggung. Pemuda itu menduga sosok pendek gemuk yang meski bentuk tubuhnya kecil, tapi usianya tak kurang dari lima puluh tahun. Pemuda berwajah persegi ini tidak tahu kalau sosok pendek gemuk itu telah berusia delapan puluh tahun lebih!
Pemuda berwajah persegi tidak berani lancang menurutkan perasaan hatinya untuk balas memaki. Kakek pendek gemuk itu bukan orang sembarangan. Tawa yang dikeluarkan kakek itu membuat dadanya bergetar hebat.
Setelah menatap kakek pendek gemuk sekilas, pemuda berwajah persegi membalikkan tubuh dan mengayunkan kaki menuju pondok sederhana. Kakek pendek gemuk tidak menghalangi maksud pemuda berompi kulit harimau. Bahkan, dia mengiringi ayunan kaki pemuda berwajah persegi dengan tawa mengejek.
"Ibu...!"
Pemuda berompi kulit harimau berteriak memanggil ketika telah berada di depan pintu pondok.
"Ibu...! Ini aku anakmu pulang...!"
Tidak terdengar sahutan meski pemuda itu menunggu beberapa saat lamanya. Kesabaran pemuda itu habis. Dengan kedua tangan didorongnya daun pintu. Ternyata tidak terkunci. Namun ketika daun pintu ter-kuak sedikit, terdengar bunyi nyaring di susul dengan desingan tajam. "Ah...!"
Pemuda berwajah persegi berseru kaget melihat beberapa anak panah meluncur deras ke arahnya. Dengan sigap tubuhnya dilempar ke belakang sehingga anak panah meluncur lewat tanpa mendapat hasil.
"Ha ha ha...!"
Kakek pendek gemuk yang masih berada di luar pagar kembali tertawa bergelak. Menertawakan pemuda berompi kulit harimau yang dua kali hampir mati.
"Lucu sekali...! Hampir saja monyet dungu ini menjadi sate monyet. Ha ha ha...! Lucu...! Lucu seka-li...!"
Kali ini pemuda berompi kulit harimau tidak bisa menahan sabar lagi.
"Siapa kau, Kakek? Mengapa memperhatikan gerak-gerikku? Tinggalkan tempat ini sebelum kesabaranku habis! Aku tidak ingin menghajarmu. Tapi, bila kau terus seperti ini jangan salahkan kalau aku yang muda bertindak kasar terhadapmu!" tegur pemuda ber-wajah persegi. "Ha ha ha...!"
Sambutan kakek pendek gemuk malah tawa bergelak. Sepasang matanya sejenak berkilat mengerikan memancarkan hawa maut.
"Seekor monyet muda yang telah dua kali hampir mati berani mengancamku? Ha ha ha...! Dunia benar-benar sudah gila. Rupanya kau memiliki nyali macan, Monyet Dungu! Aku jadi ingin melihat kesabaran mu habis. Tapi, sebelum itu aku ingin mempertunjukkan sebuah permainan yang menarik untukmu!"
Kakek pendek gemuk meletakkan ujung jari te-lunjuknya di bawah pagar bambu yang malang. Pagar itu memang terbuat dari belahan-belahan bambu yang disusun malang melintang. Ada dua deretan bambu yang malang. Kakek pendek gemuk meletakkan telunjuknya pada bagian bambu yang di atas.
Kakek itu menggetarkan tangannya sejenak. Ti-ba-tiba sebagian pagar bambu tercabut dari dalam tanah. Panjang pagar bambu yang terpisah dari deretan pagar kira-kira dua tombak. Kakek pendek gemuk lalu menggerakkan jari telunjuknya ke atas. Pagar bambu itu pun melayang ke atas bagai dilontarkan tenaga raksasa.
Di saat pagar bambu kehabisan daya luncuran, kakek pendek gemuk menjulurkan tangannya ke arah pagar bambu itu. Terdengar bunyi berderak ketika kawat yang mengikat batangbatang bambu tercerai-berai dan melayang turun.
Kali ini kakek pendek gemuk menjulurkan tangan kiri seraya memekik pelan. Bagai digerakkan orang, bambu-bambu itu meluncur ke depan dan menancap rapi di pinggir lubang tempat pemuda berwajah persegi terperangkap!
Wajah pemuda berompi kulit harimau berubah hebat. Pertunjukkan kakek pendek gemuk jelas merupakan hal yang luar biasa. Kakek itu mempunyai tenaga dalam yang sangat tinggi sehingga mampu mempermainkan batang-batang bambu itu sekehendak hatinya.
Tenaga dalam itu jadi bagai tangan tak nampak!
"Kau memang hebat, Kek." Pemuda berwajah persegi menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. "Tapi, bukan berarti kau bisa seenaknya saja menghina diriku. Aku bukan orang yang takut menghadapi kematian!"
"Bagus. Bagus. Kau menyenangkan hatiku. Anak Muda. Kau tidak pantas lagi kupanggil monyet dungu. Aku suka dengan orang-orang yang berjiwa pemberani! Tidak mau merengekrengek. Aku jadi lebih ingin mengenalmu lebih jauh. Apa hubunganmu dengan pemilik rumah itu?"
"Aku anaknya!" tandas pemuda berwajah persegi.
"Ah...! Begitukah?"
Pemuda berwajah persegi diam-diam memperhatikan suatu keanehan pada diri kakek pendek gemuk. Dalam keadaan apa pun wajah kakek itu tetap cerah dan penuh senyum, seperti orang yang memiliki hati welas asih. Mungkin dalam keadaan marah sekalipun wajah kakek itu tetap penuh dengan senyum.
"Menurut berita yang kudengar rumah itu milik istri Iblis Buta. Apakah kau anak dari tokoh yang terkenal itu?" tanya kakek pendek gemuk dengan senyum menghias bibir.
"Tak salah!" Pemuda berwajah persegi mengangguk. "Aku adalah anak Iblis Buta. Namaku Dirgantara!"
"Kalau begitu, sungguh merupakan hal yang menguntungkan. Tidak mendapatkan ayahnya, anaknya pun jadi. Setidak-tidaknya, andaikata Iblis Buta demikian pengecut dan tetap tidak berani memunculkan diri, kau akan menjadi gantinya!"
"Apa maksudmu, Kek?" tanya Dirgantara dengan perasaan tidak enak. Dia melihat adanya permusuhan antara kakek pendek gemuk dengan ayahnya, Iblis Buta.
"Masih kurang jelaskah bagimu, Monyet Dungu? Ayahmu telah melakukan sebuah kesalahan terhadapku. Dia telah lancang tangan membunuh muridku. Jadi, tidak ada pilihan lain bagiku kecuali turun gunung dan membalaskan sakit hati ini. Karena kau orang yang mempunyai hubungan darah dengan Iblis Buta, kau harus menanggung akibat perbuatan ayahmu. Ha ha ha...!" Dirgantara mengepalkan kedua tinjunya yang kekar.
"Tidak semudah itu kau melakukannya, Kek!"
"Ha Ha ha...! Kau terlalu besar kepala, Monyet Dungu! Jangankan kau, gurumu sendiri tidak akan mampu melawanku. Pernahkah gurumu bercerita tentang datuk sesat dunia persilatan yang sekitar tiga puluh tahun lalu mengasingkan diri?"
Wajah Dirgantara berubah. Gurunya memang pernah
bercerita tentang hal itu. "Jadi..., kau.... Setan Gila?!"
"Ha ha ha...! Benar sekali...!" Kakek pendek gemuk tertawa bergelak. "Mungkin sekarang kegilaan ku telah jauh berkurang. Sudah hampir empat puluh tahun aku mengasingkan diri, hingga banyak hal yang kulupakan. Bahkan, kebiasaan-kebiasaan ku!"
Dirgantara memang telah mendengar mengenai kakek pendek gemuk ini dari gurunya. Setan Gila yang terkenal karena ketinggian ilmu dan kekejamannya. Tanpa membuang-buang waktu, segera Dirgantara mencabut tongkat bambu yang sejak tadi tersampir di punggung sebagaimana pedang.
"Ha ha ha...!" Setan Gila tertawa melihat Dirgan-tara mencabut senjatanya. "Jadi gurumu si Petani Berambut Putih? Ha ha ha...! Bukankah dugaanku benar, Monyet Dungu? Sejak kulihat bambu kuning itu di punggungmu aku sudah bisa menduga siapa gurumu. Asal kau tahu saja, Monyet Dungu, gurumu apabila bertemu denganku akan berlutut dan meminta ampunan. Dan...."
"Tutup mulutmu dan lihat senjata...!"
Dirgantara yang tidak senang mendengar gu-runya dihina segera memutar bambu kuning sepanjang pedang di tangannya. Bambu kuning itu lenyap menjadi segulungan sinar kekuningan yang mengeluarkan bunyi mengaung keras seperti sekelompok lebah murka.
Kakek pendek gemuk hanya tersenyum lebar. Dia tidak melakukan tindakan apa pun. Baru ketika Dirgantara telah berada dekat dengannya dan serangan bambu pemuda itu hampir mengenai tubuhnya, kakek pendek gemuk bertepuk tangan sekali.
Glarrr!
Dirgantara yang tengah melayang di udara dan siap menusukkan bambu kuningnya merasakan ada halilintar menyambar dekat telinga. Keras bukan main sehingga tidak hanya telinganya saja yang mendadak tuli, tapi juga dadanya bergetar hebat. Tenaga yang terkumpul buyar seketika karena tubuhnya mendadak lemas. Bahkan, tubuh pemuda ini sampai terhuyung-huyung dan hampir jatuh ketika berhasil menjejak tanah.
Kakek pendek gemuk membuka mulutnya dan meniup. Angin luar biasa keras berhembus sehingga Dirgantara yang masih dalam pengaruh tepukan itu tidak kuat bertahan. Tubuh pemuda itu terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Sambil tertawa bergelak, kakek Setan Gila menudingkan jari telunjuknya. Dirgantara menyeringai ketika merasakan sekujur tubuhnya lemas ketika bahu kanannya terkena totokan. Setan Gila telah menotoknya dari jauh, Bagi orang yang memiliki tingkat tenaga dalam seperti Setan Gila merupakan sesuatu yang mudah untuk melakukan hal itu.
Setan Gila terkekeh girang. Kakinya yang pendek dan bulat seperti kaki gajah dihentakkan ke tanah sekali. Tubuh Dirgantara pun melayang ke arah kakek pendek gemuk itu.
Setan Gila yang sudah mengembangkan kedua tangan untuk menangkap tubuh Dirgantara terpaksa menarik kembali ketika terdengar bunyi berdesing nyaring. Kakek itu melihat bendabenda halus berwarna putih meluncur ke arahnya. Semula meluncur ke arah dada, tapi di tengah jalan berpencar. Masingmasing benda halus yang diketahui Setan Gila sebagai rambut manusia itu meluncur ke berbagai jalan darah mematikan di tubuhnya.
Setan Gila mundur selangkah seraya memperdengarkan tawa keras hingga perutnya berguncang. Rambut-rambut yang semula menegang kaku bagai jarum-jarum panjang itu melemas. Dan, ketika kakek pendek gemuk meniupnya rambut-rambut itu runtuh ke tanah.
Pada saat yang bersamaan tubuh Dirgantara pun jatuh ke tanah dengan keras karena tidak ada yang menyambutinya.
"Ha ha ha...! Kiranya kau penyabotnya. Pantas...! Apa gerangan yang membuatmu turun dari pertapaan, Jerangkong Penjagal Nyawa?!" seru Setan Gila dengan senyum lebar, kendati hatinya terkejut bukan main. Kaget dan dongkol karena tahu akan menghadapi saingan berat. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah salah satu dari dua datuk tua yang telah puluhan tahun mengundurkan diri.
Jerangkong Penjagal Nyawa seorang kakek yang berusia tak kurang dari seratus tahun. Ia mendengus mendengar ucapan Setan Gila. Wajahnya yang berbentuk tirus dan selalu tampak muram bertambah keruh. Wajah Jerangkong Penjagal Nyawa dan bentuk tubuh-nya memang merupakan kebalikan dari Setan Gila. Jerangkong Penjagal Nyawa bertubuh tinggi kurus. Ting-ginya hampir satu setengah kali tinggi manusia normal. Ia kurus bukan main seperti tulang dibungkus kulit. Pakaian yang dikenakannya putih bersih namun kebe-saran hingga senantiasa berkibaran ketika tertiup an-gin.
"Kau sendiri mengapa keluar dari tempat pengasinganmu, Gendut?" Sambil berkata demikian, Jerangkong Penjagal Nyawa melirik tubuh Dirgantara yang tergolek di tanah. Tubuh pemuda berompi kulit harimau itu tergolek tepat di antara kedua kakek ini.
Dirgantara yang mendengarkan adu mulut itu hanya bisa mengeluh dalam hati. Dia tahu keadaannya amat berbahaya. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah saingan berat Setan Gila. Setan Gila saja sudah tidak bisa ditanggulangi. Maka, kedatangan Jerangkong Penjagal Nyawa semakin memperburuk keadaan.
Tubuhnya yang lemas karena tertotok membuatnya hanya bisa berdiam diri dan pasrah pada keadaan. Yang dapat dilakukan Dirgantara hanya mendengarkan pertengkaran Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila serta berha-rap agar di antara mereka timbul pertarungan yang akan membuatnya mendapat kesempatan untuk melarikan diri.
Sementara, Setan Gila yang mendapat pertanyaan dari Jerangkong Penjagal Nyawa malah tertawa bergelak.
"Keluarnya aku dari pertapaan mempunyai tujuan yang jelas, Kurus!" Setan Gila tak mau kalah gertak. "Muridku tewas di tangan Iblis Buta. Mau tidak mau terpaksa aku harus turun tangan untuk memba-laskan kematiannya. Betapapun juga dengan tewasnya muridku, Iblis Buta telah berani menantangku!"
"Alasan yang dibuat-buat!" tandas Jerangkong Penjagal Nyawa, tajam. "Lalu, apa hubungannya dengan pemuda ini? Aku tahu murid Petani Berambut Putih ini anak Iblis Buta. Tapi, mengapa kau mempermainkannya dan berusaha menjadikannya sandera agar Iblis Buta tidak melakukan perlawanan?"
"Kau keliru, Kurus! Sama sekali tidak kusangka kepalamu yang kecil itu sejak dulu tetap mempunyai otak yang kecil pula. Setelah membunuh muridku, Iblis Buta menyembunyikan diri karena takut pembalasanku. Untuk memancing kedatangannya, aku terpaksa menyandera anaknya!" Cuhhh!
Dengan kasar Jerangkong Penjagal Nyawa meludah ke tanah begitu Setan Gila menyelesaikan ucapannya.
"Orang lain bisa kau bohongi, Gendut! Tapi, aku tidak akan bisa kau tipu! Aku tahu betul maksudmu menyandera anjing kecil ini untuk memaksa Iblis Buta memberitahukan di mana benda yang kau idam-idamkan."
"Apa maksudmu, Kurus?" tanya Setan Gila dengan tersenyum.
"Masih juga tidak mengaku. Aku tahu alasan-mu mencari Iblis Buta untuk mendapatkan Telur Elang Perak. Kau ingin kembali muda seperti dulu. Itulah se-babnya kau mencari Iblis Buta. Telur Elang Perak memang mampu membuat orang kembali muda!"
"Jadi kau pun menghendaki benda itu, Kurus? Kalau begitu, kau yang lebih dulu akan kusingkirkan!"
"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Gendut! Kali ini kau tidak akan seberuntung dulu!" Jerangkong Penjagal Nyawa tidak mau kalah gertak
–––––––– 2
Setan Gila maupun Jerangkong Penjagal Nyawa tidak ada yang mendahului menyerang. Kedua belah pihak sama-sama tahu lawan yang dihadapi amat berat. Mereka tidak yakin akan dapat saling mengungguli. Empat puluh tahun yang lalu ketika mereka bertarung pun tidak bisa ditentukan siapa yang menang. Kepandaian mereka berimbang. Pertarungan baru berakhir ketika mereka sama-sama terluka parah. Kalau saja tempat mereka bertarung tidak terpencil dan kebetulan ada musuh mereka yang lewat, nyawa kedua datuk sesat ini pasti akan melayang.
Luka-luka parah memaksa Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila menyembunyikan diri untuk menyembuhkan lukanya. Luka yang amat parah itu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengobatinya.
Ketika akhirnya luka-luka itu sembuh, Jerangkong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila tidak berminat lagi terjun ke dunia persilatan. Mereka memusatkan perhatian untuk menciptakan ilmu-ilmu baru.
Sepuluh tahun setelah luka-luka itu sembuh Setan Gila pergi menyatroni Jerangkong Penjagal Nyawa untuk menantang pertarungan ulang. Pada saat yang sama, Jerangkong Penjagal Nyawa juga mendatangi tempat Setan Gila dengan tujuan yang sama. Jalan yang mereka tempuh berlainan. Mereka tidak bertemu, dan pertarungan pun tidak terjadi. Akhirnya, mereka kembali ke tempat tinggal masing-masing dan terus memperdalam ilmu.
Usia tua dan tidak adanya lawan yang seimbang membuat Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila malas untuk terjun ke dunia persila-tan lagi. Mereka menghabiskan usia di tempat pengasingan. Sampai akhirnya mendengar kabar tentang Telur Elang Perak!
Kini Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila kembali saling berhadapan. Mereka tahu kalau pertarungan dilakukan seperti dulu keduanya akan tewas dengan napas putus. Mereka sudah terlalu tua.
"Aku mempunyai sebuah usul untuk pertarun-gan kita kali ini, Kurus. Aku bosan bertarung sebagaimana tukang-tukang pukul. Taruhan dari pertarungan ini adalah pemuda itu!" Setan Gila menawarkan seraya menuding tubuh Dirgantara yang tergolek.
"Tidak usah banyak bicara, Gendut! Kemukakan saja usulmu itu. Apa pun pertarungan yang kau ajukan akan kuterima!" tandas Jerangkong Penjagal Nyawa. Di-am-diam dia merasa gembira mendengar saran Setan Gila. Kakek jangkung ini pun khawatir apabila perta-rungan dilakukan dengan bertempur. Tapi, kegembi-raan itu tidak terlihat pada wajahnya yang muram.
"Kita bermain tarik tambang!" seru Setan Gila lantang. "Pada bagian tengahnya kita beri tanda.
Siapa yang tertarik terus hingga tanda itu tiba di garis lawan, dinyatakan kalah. Dan, tentu saja tidak berhak atas diri Monyet Dungu itu!"
"Setuju!" jawab Jerangkong Penjagal Nyawa tak kalah lantang.
Jawaban Jerangkong Penjagal Nyawa membuat Setan Gila sibuk membuat garis pada tanah. Sebuah garis tengah di mana tanda tengah pada tambang berada di atasnya, serta dua buah garis yang berada sejengkal di kanan dan kiri garis tengah. Garisgaris tambahan ini yang akan menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Tanpa banyak cakap Jerangkong Penjagal Nyawa segera memberikan rantai baja yang menjadi senjata andalannya untuk dijadikan tambang. Setan Gila melengkungkan sebatang pedang dan di taruh di tengah-tengah rantai. Pedang yang dilengkungkan dan membe-lit rantai itu berada tepat di tengah rantai. Kedua kakek itu kemudian mengambil kedudukan yang menurut mereka menguntungkan.
Dada Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila berdebar tegang ketika mereka mulai menggenggam ujung-ujung rantai. Rantai tampak menegang. Ketika Setan Gila memberi aba-aba, kedua kakek ini mengerahkan tenaga dalamnya untuk menarik.
Jerangkong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya agar segera dapat memperoleh kemenangan. Kekhawatiran mereka memang beralasan. Pihak lawan ternyata tetap tangguh seperti dulu. Kedua belah pihak telah mengerahkan seluruh tenaga dalam, tapi tanda pada rantai tetap tidak bergeser.
Setelah beberapa saat lamanya keadaan tidak berubah, Jerangkong Penjagal Nyawa jadi kehilangan kesabaran. Tenaga dalam andalannya yang berhawa panas segera dikerahkan. Hawa panas pun merayap melalui rantai baja dan tiba di ujung rantai yang digenggam Setan Gila!
Sepasang mata Setan Gila tampak terkejut kendati senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Kakek pendek gemuk ini sampai tersentak ketika merasakan hawa panas menyengat telapak tangannya. Kekagetan ini membuat pengerahan tenaga dalamnya mengendur. Dan, Jerangkong Penjagal Nyawa yang sudah memperhitungkan hal itu segera menariknya dengan keras.
Kedudukan kaki Setan Gila tidak berubah. Tapi, tubuhnya terseret ke arah Jerangkong Penjagal Nyawa hampir setengah jengkal. Sebelum keadaan bertambah buruk, Setan Gila segera mengerahkan tenaga dalam berhawa dingin yang menjadi andalannya.
Kalau dari Jerangkong Penjagal Nyawa mengepul asap tipis saat tenaga berhawa panas dikerahkan. Pada pengerahan tenaga dalam Setan Gila, muncul uap tebal. Terdengar bunyi berdesis nyaring seperti besi panas dicelupkan ke dalam air ketika Setan Gila mengerahkan tenaga andalannya.
Seperti juga pertarungan tenaga dalam sebelumnya, pertarungan antara dua tenaga dalam yang saling berlawanan ini pun seimbang. Kedudukan tetap ti-dak berubah, kendati Setan Gila telah berada dalam keadaan kritis. Jerangkong Penjagal Nyawa unggul sedikit di atasnya.
Setan Gila pun menyadari hal itu. Diam-diam dia merasa dongkol karena berhasil dipencundangi Je-rangkong Penjagal Nyawa. Kalau tidak kaget, lawan belum tentu bisa menariknya. "Auuumm...!"
Tiba-tiba, bagai seekor singa Setan Gila mengaum keras. Akibatnya sungguh luar biasa! Jerangkong Penjagal Nyawa merasakan tenaganya membuyar karena rasa sakit pada telinga dan dadanya!
Auman Setan Gila memang mengandung tenaga dalam luar biasa.
Keadaan yang dialami Jerangkong Penjagal Nyawa sudah dapat diduga Setan Gila. Maka, saat itu juga kakek pendek gemuk ini menarik rantai dengan kuat.
Jerangkong Penjagal Nyawa tidak mampu bertahan. Tubuhnya pun tertarik deras ke depan dan melayang ke arah Setan Gila.
Jerangkong Penjagal Nyawa tahu Setan Gila telah keluar sebagai pemenang. Namun, dia tidak ingin kalah mutlak. Maka, di saat tubuhnya melayang kakek jangkung ini mengirimkan serangan melalui mulutnya. Jerangkong Penjagal Nyawa meludah berkali-kali.
Ludah yang dikeluarkan tokoh ini bukan semba-rang ludah. Ludah kental itu mampu melubangi baja yang paling kuat. Itu diketahui dengan pasti oleh Setan Gila. Kini ludah-ludah itu meluncur ke kepalanya. Ka-kek pendek gemuk ini segera merundukkan tubuh.
Saat itu Jerangkong Penjagal Nyawa menghentak rantai dengan keras. Tubuh Setan Gila melayang keras ke depan seperti menyambuti tubuh kakek jangkung itu. Seperti telah disepakati sebelumnya, Jerang-kong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila melancarkan pukulan telapak tangan terbuka ke arah dada. Plak, plakkk!
Kedua telapak tangan itu berbenturan dan saling menempel. Bahkan ketika tubuh keduanya sudah melayang turun. Sekarang terjadi pertarungan jarak dekat.
Sesaat kemudian, dari atas kepala kedua kakek ini mengepul uap putih yang kian lama kian tebal. Tampaknya mereka sudah mengeluarkan tenaga yang melampaui batas. Ini berarti nyawa Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila berada di ujung maut. Baik yang kalah maupun yang menang akan sulit lolos dari kematian, karena selisih tenaga dalam mereka hanya sedikit.
Sebelum keadaan Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila semakin gawat keduanya melihat adanya kejanggalan. Dirgantara yang semula tergolek tak berapa jauh dari pinggir arena pertarungan kini tidak ada! Padahal, tadi Setan Gila yang memindahkannya ke sana agar tidak mengganggu jalannya pertarungan.
Hilangnya tubuh Dirgantara membuat kedua kakek ini menarik tenaga dalamnya. Dirgantara jauh lebih penting daripada pertarungan! Tindakan menarik tenaga dalam yang bersamaan membuat Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila tidak mengalami luka dalam akibat tenaga yang membalik.
"Keparat!"
Jerangkong Penjagal Nyawa memaki. Sepasang matanya yang sipit dibelalakkan lebar-lebar mencari Dirgantara. Barangkali saja pemuda berompi kulit ha-rimau itu masih berada di sekitar itu.
Tindakan serupa pun dilakukan Setan Gila. Dengan senyum mengembang di bibir, kakek pendek gemuk itu mencari-cari dengan sepasang matanya yang bulat besar.
"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...! Dua ekor anjing saling cakar-cakaran untuk memperebutkan tulang. Tak tahunya tulang itu dibawa kabur anjing lain. Ha ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Gendut! Kau ingin perutmu ku beset dan isinya ku sebar di sepanjang jalan?!" sergah Jerangkong Penjagal Nyawa, dengan suara keras.
Setan Gila yang sebenarnya tak kalah kecewanya dengan
Jerangkong Penjagal Nyawa, namun mampu menyembunyikannya dalam sikapnya yang gembira, semakin tertawa keras.
"Aku sudah bosan melayanimu, Anjing Kurus! Apa artinya perkelahian denganmu. Nanti kalau urusanku sudah selesai akan kucari kau dan ku patah-patahkan tulangmu lalu kuberikan pada anjing-anjing kelaparan untuk disantap!"
Jerangkong Penjagal Nyawa tidak berkata apa-apa. Dia tahu ucapan Setan Gila benar. Tidak ada gunanya pertarungan dilanjutkan. Dia sendiri pun lelah bukan main. Tantangannya tadi hanya karena kemarahan hatinya akibat ucapan kakek pendek gemuk. Melanjutkan pertarungan sama saja dengan membunuh diri.
Sambil tertawa lepas, Setan Gila melesat me-ninggalkan tempat itu. Tidak kelihatan kakek pendek gemuk ini berlari. Ia seperti menggelinding bagai bola. Dalam waktu singkat saja tubuhnya telah lenyap di ke-jauhan.
Jerangkong Penjagal Nyawa mendengus. Dia pun berlari meninggalkan tempat itu. Kakek jangkung bagai galah ini lebih aneh lagi. Dia berlari dengan mempergunakan kaki-kakinya yang panjang. Tapi, tak jarang Jerangkong Penjagal Nyawa menggunakan kedua tangannya sebagai pengganti kaki.
Penggunaan tangan ini tidak memperlambat larinya, malah menambah kecepatannya.
****
"Tolong turunkan aku, Sobat. Aku mampu berlari sendiri. Tidak enak rasanya kau terus-terusan me-manggul ku seperti itu. Bebaskan totokan pada tubuhku biar aku berlari sendiri."
Ucapan itu keluar dari mulut Dirgantara. Pemuda berwajah persegi ini berada di atas bahu seorang pemuda berpakaian kuning.
Pemuda berpakaian kuning menghentikan larinya. Kemudian, diturunkannya tubuh Dirgantara dari pondongan. Dengan sebuah tepukan pelan pada tubuh Dirgantara dia berhasil membebaskan pemuda berompi kulit harimau itu dari totokan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ujar Dirgantara setelah berdiri tegak di tanah. Sepasang matanya merayapi pemuda di hadapannya. Dirgantara lalu merangkapkan kedua tangan di depan dada dan membungkukkan sedikit tubuhnya.
"Pertolongan apa?" pemuda berpakaian kuning yang memiliki wajah tampan dan berkulit putih tersenyum malu. "Yang kulakukan hanya melarikanmu di saat kedua kakek itu tengah terlibat pertarungan."
"Itu pun namanya pertolongan, Sobat. Aku tidak bisa mengharapkan bantuan lebih dari itu. Kedua kakek yang tengah bertarung memperebutkan diriku itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Bahkan, aku yakin guruku sendiri tidak akan mampu menandingi salah seorang di antara mereka. Bayangkan saja, hanya dalam segebrakan aku dibuat tidak berdaya oleh kakek pendek gemuk," cerita Dirgantara. Ia langsung akrab dengan pemuda berpakaian kuning. Dirgantara tidak segan-segan untuk berterus terang.
"Ah...! Benarkah?" Sepasang mata pemuda berpakaian kuning membelalak. "Siapakah kedua kakek yang demikian lihai itu? Dan, kau sendiri siapa? Namaku Jumpena."
"Aku Dirgantara, murid seorang kakek yang berjuluk Petani Berambut Putih. Sedangkan kedua kakek itu adalah Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila," urai Dirgantara.
Sepasang mata Jumpena yang memang sudah membelalak semakin melotot lebar.
"Luar biasa! Aku tidak pernah mimpi akan ber-temu dengan tokoh-tokoh sakti yang sering diceritakan ayahku. Ayah sering bercerita tentang Petani Berambut Putih, demikian pula dengan dua datuk sesat itu. Jadi, kau murid Petani Berambut Putih, Dirga?"
Dirgantara mengangguk.
"Kau sendiri, boleh ku tahu siapa ayahmu, Jumpena?"
"Tentu saja," sahut Jumpena, cepat "Ayahku kenal baik dengan gurumu. Beliau dikenal orang dengan julukan Pendekar
Jari Maut!"
"Ah...!"
Kali ini Dirgantara yang terkejut. Menurut cerita gurunya, Pendekar Jari Maut merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih. Bahkan, Petani Berambut Putih, kendati belum pernah bertarung dengan Pendekar Jari Maut, mengatakan kepada Dirgantara kalau tingkat kepandaian Pendekar Jari Maut berada di atasnya.
"Sungguh tidak disangka aku akan berjumpa dengan putra seorang tokoh besar kaum putih yang sering diceritakan guruku dengan penuh kekaguman. Beliau pasti akan bangga bila tahu aku berjumpa denganmu, Jumpena. Apalagi bila kuceritakan kalau kau yang telah menolong nyawaku dari kematian."
Jumpena tersenyum, membuat sebaris kumis melintang yang cukup lebat di atas bibirnya yang merah bergerak-gerak lucu. Keadaan tubuh Jumpena memang bertolak belakang dengan Dirgantara. Jumpena memiliki tubuh kecil, tapi tidak kurus. Berkulit putih dan kelihatan lemah lembut. Wajahnya tampak terlalu tampan. Sedangkan Dirgantara memiliki tubuh tinggi besar. Kulitnya hitam kecoklatan. Sayang, ia tidak mempunyai kumis. Berbeda dengan Jumpena yang meskipun kelihatan lemah lembut tapi berkumis cukup lebat.
"Kau terlalu memuji, Dirgantara," ujar Jumpena dengan tersenyum, membuat Dirgantara semakin betah berbincangbincang dengan pemuda itu. Apalagi se-nyumannya enak dilihat.
"Kau sebenarnya hendak ke mana, Jumpena?"
"Mengantarkan surat dari ayahku untuk Naga Sakti Berwajah Hitam," jawab Jumpena. Ia mengambil segulung surat dari balik bajunya, kemudian memasukkannya kembali.
Dirgantara hanya mengangguk-angguk. Pemuda berwajah persegi ini tidak tertarik untuk bertanya men-genai isi surat. Dirgantara tahu kalau tidak merupakan rahasia, Jumpena yang memiliki sifat terbuka pasti akan memberitahukannya. Kemungkinan lain, pemuda berkumis tebal itu tidak tahu isi surat ayahnya. Bukan-kah surat itu ditujukan pada Naga Sakti Berwajah Hi-tam?
"Kau sendiri hendak ke mana, Dirga?"
Dirgantara yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu hanya membisu. Semula tujuannya pulang setelah berguru selama belasan tahun adalah untuk menemui ibunya.
Tapi, ibunya ternyata tidak ada di rumah. Dia tidak tahu ke mana ibunya per-gi.
"Aku tidak tahu, Jumpena. Tujuanku semula ingin menemui ibuku setelah selesai berguru pada Petani Berambut Putih. Tapi, ternyata beliau tidak ada. Bagai-mana kalau aku ikut denganmu sekalian mencari cerita mengenai ibuku? Apakah kau tidak merasa keberatan?" tanya Dirgantara penuh harap.
"Tentu saja. Mengapa tidak?" sambut Jumpena setelah tercenung sejenak. "Bukankah kalau ada kawan perjalanan jadi lebih enak."
Dirgantara menyembunyikan kegembiraan yang melanda hatinya dengan tersenyum. Entah mengapa, pemuda berompi kulit harimau itu merasa gembira bersama Jumpena. Ada sesuatu dalam diri pemuda berpa-kaian kuning itu yang membuat nya tertarik.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Jumpena. Kau mengajakku menemui Naga Sakti Berwajah Hitam. Gu-ruku banyak bercerita mengenai tokoh itu. Katanya ia memiliki ilmu silat tangan kosong yang luar biasa."
Jumpena hanya mengangguk untuk membenar-kan.
"Kurasa percakapan ini bisa kita lakukan den-gan melakukan perjalanan, Dirga. Aku khawatir akan terlambat tiba di tempat Naga Sakti Berwajah Hitam. Ayahku berpesan agar surat ini segera tiba di tangan tokoh itu." "Kalau begitu mari kita bergegas."
"Tunggu dulu, Dirga." Jumpena mencegah keti-ka melihat Dirgantara mengayunkan kaki.
Dirgantara menoleh, heran. Mengapa sekarang Jumpena malah mencegahnya, bukankah tadi pemuda berpakaian kuning itu yang mengajaknya bergegas?
"Kau lihat tanda itu. Apakah sejak tadi sudah berada di sini?" Jumpena menudingkan jari telunjuknya ke sebelah kanan.
Dirgantara mengarahkan pandangan ke sana. Pemuda berwajah persegi itu kelihatan terkejut. Di tempat yang ditunjuk Jumpena tertancap sebatang tongkat yang pada bagian ujungnya terikat sehelai kain berwarna merah dan bergambar tengkorak manusia!
"Aku yakin tongkat berbendera itu tadi tidak ada di sana, Jumpena," desis Dirgantara dengan perasaan tegang.
"Berarti tongkat itu ditancapkan saat kita tengah bercakapcakap," bisik Jumpena, tak kalah tegang.
Dirgantara dan Jumpena saling berpandangan. Dalam adu pandang itu keduanya memahami isi hati masing-masing. Orang yang telah menancapkan tongkat tanpa sepengetahuan mereka menunjukkan kalau pela-kunya memiliki kepandaian tinggi!
"Rasanya aku pernah mendengar cerita menge-nai tokoh yang memiliki tanda seperti ini," Dirgantara mengernyitkan kening. Ia mencoba mengingat-ingat.
"Aku ingat...!"
Hampir bersamaan perkataan itu keluar dari mulut Dirgantara dan Jumpena. Sepasang mata itu memancarkan kekhawatiran. Jumpena dan Dirgantara saling berpandangan dengan wajah tegang.
"Siapa tokoh yang kau maksudkan itu, Jumpena?" Dirgantara memberi kesempatan pada pemuda berpakaian kuning untuk memberikan jawaban lebih dulu.
–––––––– 3
"Tengkorak Darah...," Jumpena berbisik seperti khawatir ucapannya terdengar tokoh yang dimaksud.
"Kak kak kak...!"
Bagai menyambuti ucapan Jumpena, terdengar suara tawa berkakakan. Nadanya tidak pantas keluar dari mulut seorang manusia, melainkan burung gagak.
Jumpena dan Dirgantara sampai melangkah mundur karena terkejut. Dua orang muda yang sama-sama mendapat gemblengan tokoh golongan putih ini kebingungan. Mereka mengedarkan pandangan berkelil-ing mencari-cari pemilik tawa. Suara tawa itu seperti berasal dari segala penjuru.
Kenyataan ini menyadarkan Jumpena dan Dir-gantara kalau pemilik suara tawa memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Hanya orang bertenaga dalam tinggi saja serta memiliki ilmu memecah suara yang dapat melakukan hal ini. Baik Jumpena maupun Dirgan-tara tidak akan mampu melakukannya.
"Kalian mencari aku...?"
Kali ini ucapan bernada aneh itu dapat diketahui datangnya secara pasti oleh Jumpena dan Dirgantara. Sosok yang mereka duga sebagai Tengkorak Darah tidak mempergunakan tenaga dalam istimewanya lagi.
Bagai berlomba Jumpena dan Dirgantara mem-balikkan tubuh. Kemudian, melompat ke belakang un-tuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan.
Tapi ternyata tindakan mereka tidak beralasan. Sosok yang mengeluarkan pertanyaan itu sama sekali tidak melancarkan serangan. Wajahnya tertutup kedok dari tengkorak manusia asli! Pakaian yang dikenakan-nya merah dan serba longgar sehingga berkibaran ditiup angin. Pada bagian dadanya tersulam gambar tengkorak manusia dengan benang emas. Terlihat menyolok sekali dengan warna pakaiannya yang merah.
"Tengkorak Darah...?" desis Jumpena dan Dirgantara dengan suara tercekat di tenggorokan, karena perasaan tegang. Apalagi ketika mereka mencium bau kemenyan yang keras menusuk hidung. Perasaan tegang itu semakin besar.
"Rupanya kalian telah mengenaliku, heh...?"
Kembali suara yang tidak enak didengar berku-mandang. Tidak terlihat kalau sosok bertopeng tengko-rak manusia yang mengucapkannya. Tapi, cukup untuk membuat Jumpena tahu kalau Tengkorak Darah itulah yang berbicara. Dirgantara pun yakin akan hal itu.
"Bukan sesuatu yang aneh." Jumpena mengusik ketegangan dengan suaranya yang lantang dan keras. "Julukanmu amat terkenal. Bahkan kabarnya kau telah berani menantang Iblis Buta untuk bertarung. Setelah itu kabar mengenai dirimu tidak terdengar lagi. Kau hilang ditelan bumi. Lenyap tanpa ketahuan di mana rimbanya!"
"Tutup mulutmu, Bocah Lancang! Kau ingin aku
menelanjangi mu di depan kawanmu...?"
"Keparat!"
Jumpena memekik penuh kemarahan.
"Kau kira karena kau berjuluk Tengkorak Darah aku akan takut terhadapmu? Kali ini kau akan kujadikan tengkorak sungguhan!"
Jumpena yang rupanya jengkel mendengar makian Tengkorak Darah segera menggerakkan kedua tangannya. Seketika itu pula benda-benda kecil bersinar meluncur ke arah Tengkorak Darah.
"Permainan anak-anak seperti ini dipertunjukkan padaku?!" dengus Tengkorak Darah dengan suara mengejek. Dia tidak mengelak sedikit pun sehingga benda-benda kecil yang adalah jarum-jarum itu menan-cap di sasaran.
Tengkorak Darah mendengus dengan kasar ketika Jumpena menunggu hasil serangan jarumnya. Jarum-jarum itu telah dibaluri racun, yang meskipun ti-dak mematikan tapi cukup untuk membuat orang yang tertusuk pingsan. Bersamaan dengan dengusan itu pakaian Tengkorak Darah bergelombang keras seperti tertiup hembusan angin. Jarum-jarum beracun itu runtuh ke tanah. Kiranya, jarum-jarum beracun itu tidak me-nembus kulit, hanya pakaiannya saja.
Wajah Jumpena berubah. Pemuda berpakaian kuning ini sadar tidak ada gunanya lagi mengirimkan serangan susulan. Tengkorak Darah mampu membuat kulit tubuhnya tidak bisa ditembus benda tajam.
Seakan tidak peduli pada keterkejutan Jumpena, Tengkorak Darah menjulurkan tangannya. Jari-jarinya tidak terlihat karena terbungkus sarung tangan merah. Sosok berpakaian merah ini menggerakkan tangan sebentar seperti menyentak. Dan, sebatang ranting yang tergolek di tanah melayang ke arahnya. Ranting itu panjangnya tak kurang dari tiga jengkal.
Sebelum ranting itu berada dekat dan masih me-layanglayang di udara, Tengkorak Darah menjejakkan kaki. Tubuhnya melayang ke atas menyambut luncuran ranting. Tapi, ternyata tidak. Tengkorak Darah menjejakkan kaki di atas ranting yang tengah melayang!
Dengan sekali menggoyangkan kaki, Tengkorak Darah membuat arah luncuran ranting berbalik menuju Jumpena! Karena sosok bertopeng tengkorak manusia ini berada di atasnya, luncuran itu membawa tubuh Tengkorak Darah meluncur pula.
Jumpena melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara untuk menggagalkan serangan Tengkorak Darah. Dan, ia berhasil. Sebelum Tengkorak Darah mengirimkan serangan susulan, Dirgantara yang khawatir teman barunya terluka segera melompat ke atas mengirimkan serangan dengan bambunya yang berputar cepat hingga bentuknya lenyap menjadi segundukan sinar kehijauan!
Tengkorak Darah menjejakkan kaki. Ranting yang berada di kakinya tertekan ke bawah. Tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Dirgantara kemudian hinggap pada sebatang bambu sepanjang tiga kaki yang meluncur ke depan. Ternyata sebelum melompat tokoh yang memiliki wajah penuh rahasia ini telah melemparkan sebatang kayu untuk tempat mendarat.
Dirgantara tidak melanjutkan serangannya. Jumpena pun demikian. Keduanya membiarkan saja Tengkorak Darah meluncur. Bahkan mereka mendiamkan ketika Tengkorak Darah berputar-putar mengelilingi kepala mereka dengan berdiri di atas bambu.
***
Pertunjukan Tengkorak Darah berakhir, dengan mengarahkan luncuran bambunya pada sebatang pohon. Bambu itu menembus batang pohon. Karena bambu tidak panjang ketika menembus pohon, maka bergoyang-goyang seperti akan terlepas menahan berat tubuh Tengkorak Darah.
Dirgantara dan Jumpena yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku Tengkorak Darah hanya berdiam diri memperhatikan tindakan apa yang akan dila-kukan Tengkorak Darah selanjutnya.
Tengkorak Darah sendiri bersikap tidak peduli.
Dengan tenang dikeluarkannya dua buah boneka yang terbuat dari ranting kecil dan jerami. Kemudian, dengan hati-hati pada bagian kepala yang mem-punyai muka sekadarnya ditempelkan masing-masing sehelai rambut. Jumpena maupun Dirgantara tidak tahu kalau rambut yang ditempelkan pada dahi boneka adalah rambut mereka! Tanpa setahu kedua orang muda itu, Tengkorak Darah dengan mempergunakan kelihaiannya mengambil rambut mereka.
Karena membuat boneka sederhana itulah Tengkorak Darah baru muncul setelah Jumpena dan Dirgantara meributkannya tadi, setelah melihat adanya tanda yang ditancapkan. Memang, setelah menancapkan tanda keberadaan dirinya Tengkorak Darah pergi mencari ranting dan jerami untuk membuat boneka. Bonekaboneka itu mewakili Jumpena dan Dirgantara.
Sementara itu Dirgantara dan Jumpena saling berpandangan. Sinar mata mereka tampak bertanya-tanya. Meskipun demikian, kedua pemuda itu bisa memperkirakan Tengkorak Darah tengah merencana-kan sesuatu yang tidak baik! Setidak-tidaknya akan merugikan mereka. Jumpena maupun Dirgantara mengetahui Tengkorak Darah ahli bermain sihir!
Keyakinan akan dugaan itu menyebabkan Dir-gantara dan
Jumpena menghunus senjata yang tadi telah disimpan. Kemudian, sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring mereka melesat ke arah Tengkorak Darah dengan senjata di tangan.
Dirgantara memutar bambu kuningnya hingga bentuknya lenyap menjadi segundukan sinar yang mu-la-mula kecil kemudian melebar. Jumpena mengelua-rkan sepasang pisau yang putih berkilat. Dengan senja-ta itu ia bersiap untuk membunuh Tengkorak Darah.
Tengkorak Darah tentu saja melihat tindakan kedua pemuda itu. Tapi, dia bersikap tidak peduli. Seperti tidak mengetahui adanya serangan ia tetap memusatkan perhatian pada boneka yang berada di tangannya. Di saat Dirgantara dan Jumpena melalui setengah jarak antara mereka, baru Tengkorak Darah dengan mempergunakan jari telunjuknya menotok bagian bahu kanan boneka-boneka itu.
Pada saat yang bersamaan dengan totokan yang mengenai bahu kanan boneka-boneka, Jumpena dan Dirgantara merasakan tubuh mereka tiba-tiba lumpuh. Tanpa mampu berbuat apa pun lagi, luncuran tubuh kedua pemuda itu terhenti di tengah jalan. Kemudian, ambruk ke tanah bagaikan sehelai karung basah.
"Hak hak hak..!"
Tengkorak Darah tertawa berkakakan. Kemudian, dengan gerakan kaki sederhana sosok berpakaian serba merah itu melepaskan bambu yang menancap di batang pohon. Dengan sekali sentak bambu itu melayang membawa tubuhnya menuju tempat Jumpena dan Dirgantara berada. Tepat di depan kedua orang muda itu luncuran bambu terhenti. Kemudian, mendarat turun perlahan-lahan seperti diatur oleh tangan tidak nampak.
Tengkorak Darah menatap wajah Jumpena dan Dirgantara berganti-ganti. Sorot sepasang matanya memancarkan kesan menyeramkan, membuat kedua pemuda yang sebenarnya memiliki nyali besar itu merasa ngeri. Keduanya sadar kalau keadaan mereka amat berbahaya. Kematian telah berada di depan mata. Wa-laupun Jumpena dan Dirgantara bukan orang-orang yang takut kematian, tapi tewas secara mengerikan bukan persoalan main-main. Bagi orang seperti Tengkorak Darah kematian lawan secara mengerikan merupakan hal menyenangkan! Ini yang membuat kedua orang muda itu ngeri. Meski demikian, keduanya tidak me-nunjukkan perasaan gentar. Malah, dengan berani Jumpena dan Dirgantara membalas tatapan Tengkorak Darah dengan sorot mata penuh tantangan.
"Aku tahu kalian orang-orang muda yang berani mati." Tengkorak Darah berkata dengan suara anehnya setelah terlebih dulu melepas tawa mengerikan. Tawa yang bukan timbul karena perasaan gembira. Jumpena maupun Dirgantara merasakan kepedihan dalam tawa itu. Ini membuat keduanya merasa heran. "Aku yakin kalian tidak akan bertindak seberani itu, mengajukan tantangan terhadapku dengan sinar mata, kalau tahu kematian yang akan kalian terima!"
"Kau boleh mengajukan ancaman apa pun. Tapi jangan harap aku akan gentar! Aku tak akan minta ampunanmu, Manusia Iblis! Silakan lakukan sekehendak hatimu!" sambut Jumpena yang ternyata memiliki watak pemberani dan tidak takut menghadapi ancaman.
"Apa yang dikatakan kawanku memang benar, Tengkorak Darah!" Dirgantara ikut berbicara untuk menyejukkan suasana tegang yang melanda. Dirgantara lebih bisa mengendalikan diri untuk tidak memancing kemarahan Tengkorak Darah. Dilihatnya kilatan kema-rahan pada sepasang mata Tengkorak Darah begitu mendengar ucapan Jumpena. Dirgantara memiliki wa-tak lebih tenang. Yang lebih penting adalah mencari ja-lan untuk menyelamatkan diri. "Kami bukan orang-orang yang takut mati.
Tapi kalau boleh kami tahu, ada urusan apa di antara kita hingga kau berniat menjatuhkan tangan jahat terhadap kami. Sepanjang ingatan kami tidak ada urusan di antara kita."
Tengkorak Darah menatap wajah Dirgantara se-jenak.
"Kau lebih memiliki otak daripada kawanmu. Memang, diantara kita tidak ada permusuhan. Tapi itu tidak menjadi alasan bagiku! Kalau kau meminta ala-san, sesalilah kenapa kalian berada di sini pada saat aku berada di sini! Kalau aku ingin membunuh orang, kubunuh saja, habis perkara. Tanpa perlu alasan apa pun. Kebetulan saat ini aku tengah ingin menyiksa orang!"
"Mengapa bertele-tele, Tengkorak Darah!" Jumpena tidak senang melihat sikap Dirgantara, ia mengira pemuda berompi kulit harimau itu merasa gentar, sehingga langsung menyela. Suara dan nadanya lebih ke-ras dari semula. "Kalau kau ingin bunuh, silakan bunuh! Ingin menyiksa, siksa saja! Tidak perlu bertele-tele dan berbicara panjang lebar seperti nenek-nenek bawel!"
Tidak hanya Tengkorak Darah, Dirgantara pun kaget mendengar perkataan Jumpena.
"Jumpena benar-benar seorang yang nekat!" desis hati Dirgantara. Nekat dan tidak mengenal gelagat.
Tengkorak Darah menggeram keras. Terasa betul nada kemarahan di dalamnya. Tapi, sebentar kemudian berganti dengan tawa bergelak.
"Kau kelihatannya memiliki hati baja, Bocah Ba-gus! Aku jadi ingin membuktikan kebenaran ucapanmu. Apakah kau benarbenar memiliki hati keras dan tahan uji, atau hanya sesumbar belaka?!"
Tengkorak Darah menutup ucapannya dengan mengeluarkan sebatang jarum panjang dari balik baju. Setelah mengerling ke arah Jumpena dari balik topengnya jarum itu diacungkan tinggitinggi. Kemudian, diturunkan perlahan-lahan dengan sikap seperti akan menusuk boneka sederhana yang ditempeli rambut Jumpena.
"Hentikan! Hentikan tindakan itu, Tengkorak Darah!"
Dirgantara yang meskipun tidak tahu pasti apa yang akan terjadi, namun sedikit banyak ia bisa mem-perkirakan. Pemuda itu berseru mencegah dengan nada menyiratkan kekhawatiran.
Tengkorak Darah memalingkan kepala menatap Dirgantara. Jumpena pun demikian. Tapi sebelum ke-dua orang itu membuka mulut, Dirgantara telah lebih dulu berseru.
"Kalau kau masih ingin menyiksa, siksalah aku!
Akulah yang lebih berhak untuk kau siksa. Bebaskan dia, Tengkorak Darah! Biar aku yang menanggung semuanya. Aku rela kau siksa, bahkan kau bunuh sekalipun asal kau biarkan dia bebas!"
"Dirga!" Jumpena berseru kaget mendengar ucapan Dirgantara. Suara pemuda berpakaian kuning ini agak serak karena rasa haru yang menyeruak mendengar pembelaan
Dirgantara.
"Kau tenang-tenang saja, Jumpena. Bukankah kau telah menolongku? Sekarang berikan aku kesempatan untuk menolongmu."
"Tapi...."
"Bagaimana, Tengkorak Darah?" Dirgantara bu-ru-buru memutus ucapan Jumpena. "Kau mau menerima usulku...?" Tengkorak Darah mendengus setelah tertegun mendengar usul tidak masuk akalnya itu. Sungguh ti-dak pernah terpikir olehnya ada orang yang mau meng-gantikan untuk menerima hukuman. Sepengetahuan-nya, orang lebih suka mengorbankan orang lain asal di-rinya selamat.
"Usulmu gila!" tajam ucapan Tengkorak Darah. "Aku tidak bisa menerimanya. Sebaliknya, aku malah akan membebaskan mu dan menyiksa sampai mati orang yang bermulut lancang itu!"
"Kau mengambil keputusan yang tepat, Tengkorak Darah!" Jumpena mempunyai kesempatan untuk berbicara. "Memang aku seharusnya orang yang kau hukum. Akulah yang bersalah! Bisa juga kau mengambil keputusan lain. Tapi bila hal itu kau lakukan, berarti kau tidak memiliki otak yang baik. Otakmu telah rusak!"
Dirgantara mengeluh dalam hati. Harus diakui kalau dalam kepintaran berbicara Jumpena memang luar biasa. Mungkin tidak kalah dengan perempuan!
Kata-katanya selalu tepat menyinggung perasaan orang yang memojokkannya, sehingga orang yang diajak bica-ra tidak bisa mengambil keputusan lain.
"Kau boleh rasakan sendiri keputusan yang telah kau pilih, Bocah Liar!"
Dengan gemas Tengkorak Darah menusukkan jarumnya pada kepala boneka yang ditempeli rambut Jumpena. Dan, membiarkan jarum itu di sana.
Dirgantara sampai membelalakkan mata ketika melihat pemandangan yang mustahil dan sangat mengerikan! Begitu Tengkorak Darah menusukkan jarum pada kepala boneka, tubuh Jumpena kemudian menggelepar-gelepar. Seringai kesakitan tampak jelas pada wajahnya. Pemuda berpakaian kuning itu sampai mampu memegangi kepalanya. Padahal saat itu Jumpena, seperti juga dirinya, tengah berada dalam keadaan le-mas terkena totokan! Rangsangan sakit yang demikian kuat menjadikan Jumpena mampu bergerak tanpa sa-dar. Tapi hanya sebatas tenaga kasar. Ia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam.
–––––––– 4
Dirgantara merasa bulu tengkuknya meremang. Rasa sakit yang diderita Jumpena karena kepala boneka yang ditempeli rambut Jumpena ditusuk jarum. Meski tidak terlampau cerdik, pemuda berompi kulit harimau itu tahu ada hubungan erat antara boneka dengan diri Jumpena. Boneka itu merupakan cerminan tubuh Jumpena. Dirgantara sebelumnya tidak pernah menyaksikan ilmu keji seperti ini! Dirgantara tidak berani membayangkan betapa mudahnya Tengkorak Darah membunuh siapa saja yang diinginkannya lewat boneka buatannya.
"Hentikan! Hentikan itu, Tengkorak Darah! Kau... keji...!" Dirgantara berteriak-teriak begitu sadar dari keterkejutannya. Suaranya keras dan lantang ka-rena didorong perasaan khawatir dan ngeri. Ia tak tega melihat Jumpena menggelepar-gelepar di tanah. Kedua tangannya didekapkan ke kepala.
"Hak hak hak...!"
Tengkorak Darah malah tertawa terbahak-bahak. Ia kelihatan gembira sekali melihat pemandangan yang terpampang di depan matanya.
"Sekarang kau buktikan kehebatan ilmu dan siksaanku, Bocah Lancang! Inilah ilmuku yang terbaru. Dengan ilmu ini aku dapat membunuh siapa pun yang ku mau. Hak-hak-hak...!" "Hentikan, Tengkorak Darah!" Dirgantara semakin kalap melihat sosok berpakaian merah itu tidak mempedulikan teriakannya. "Kalau kau teruskan tindakanmu ini, kau akan mendapat kesulitan besar. Bebaskan dia, Tengkorak Darah!"
Tengkorak Darah menghentikan tawanya dan menatap wajah Dirgantara lekat-lekat.
"Kalau tidak mengingat wajahmu yang mengingatkan aku pada seseorang, sudah kuhancurkan mulutmu karena berani mengancamku, Bocah Liar! Kau kira Tengkorak Darah takut akan ancamanmu! Aku justru ingin mencari permusuhan dengan guru bocah lancang itu, agar bisa terjadi pertempuran antara kami dan aku bisa membunuhnya!"
"Tapi..., ayahnya adalah Pendekar Jari Maut! Kau akan celaka di tangannya, Tengkorak Darah. Dan...."
"Apa...?!"
Tengkorak Darah tersentak kaget mendengar ucapan Dirgantara. Kenyataan ini membuat pemuda berompi kulit harimau itu merasa gembira. Ia mengira gerakannya berhasil. Tengkorak Darah akan merasa segan bermusuhan dengan lawan berat seperti Pendekar Jari Maut.
"Jadi..., bocah lancang itu anak dari Pendekar Jari Maut? Manusia terkutuk itu? Kalau begitu aku sangat beruntung. Untuk sementara aku bisa membalaskan sakit hatiku sebelum ayahnya sendiri menerima ganjaran atas kekejian yang dilakukannya terhadapku!"
Dirgantara melongo. Dia tidak menyangka akibat gertakannya akan begini. Tengkorak Darah ternyata memiliki dendam pada Pendekar Jari Maut. Keadaan Jumpena justru semakin gawat!
Sebelum Dirgantara berbuat sesuatu, Tengkorak Darah telah lebih dulu bertindak. Boneka yang semula dibiarkan dengan jarum menancap di kepala kini diam-bilnya. Jarum panjang itu dicabut. Dan, dengan bertu-bi-tubi jarum ditusukkan ke berbagai bagian tubuh boneka! Jumpena semakin menggelepar-gelepar. Kendati demikian, tak sedikit pun keluar keluhan dari mulutnya. Keringat dingin sebesar-besar biji jagung dan seringai kesakitan di wajah menunjukkan kalau pemuda berpakaian kuning ini tengah menderita hebat!
"Rasakan wahai Pendekar Jari Maut..,! Lihatlah anakmu kusiksa...! Datanglah kemari.... Biar kau sendi-ri yang menerima siksaan dariku!" seru Tengkorak Da-rah dengan mengerahkan tenaga dalam. Tangannya masih terus menusuk-nusuk berbagai bagian tubuh boneka.
"Hentikan...! Hentikan, Keparat! Tengkorak Darah...! Hentikan...! Keparat kau...! Aku bersumpah akan membuat perhitungan denganmu. Aku akan membunuhmu!" Dirgantara yang tidak menderita apa pun berteriak-teriak bagai cacing kepanasan.
Teriakan Dirgantara ternyata manjur. Tengkorak Darah menghentikan siksaannya. Kepalanya di tolehkan ke arah Dirgantara. Sepasang mata tajam berkilat-kilat menatap
Dirgantara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bulu kuduk Dirgantara sampai berdiri. Ta-pi, Dirgantara menguatkan hati. Dia membalas tatapan itu meski tidak dengan sorot menantang.
Dirgantara tiba-tiba melihat Tengkorak Darah yang telah memperhatikannya terhuyung ke belakang. Sepasang mata tajam di balik topeng itu terpejam seper-ti tengah memusatkan perhatian pada sesuatu.
Dirgantara tidak tahu tubuh Tengkorak Darah terhuyung karena ada serangan. Serangan dari jauh yang hanya didengar Tengkorak Darah. Serangan itu berupa bunyi dentang nyaring seperti logam kosong dipukul besi! Bunyinya menyakitkan telinga dan membuat isi dada tergetar hebat
Tengkorak Darah yang mengetahui seseorang telah menyerangnya tidak tinggal diam. Dia mengumpulkan hawa murni dan memusatkan perhatian. Sesaat kemudian dari mulutnya terdengar siulan. Siulan melengking yang tidak tertangkap telinga biasa, tapi langsung melawan pengaruh bunyi yang menyerangnya!
Dirgantara yang semula keheranan semakin bertambah heran melihat tokoh itu duduk bersila. Dia tidak tahu apa yang tengah terjadi. Pemuda berompi kulit harimau itu tidak tahu kalau saat ini telah terjadi pertarungan dahsyat tenaga dalam.
Dirgantara mulai dapat menduga apa yang ten-gah terjadi ketika melihat uap tipis mengepul dari kepa-la Tengkorak Darah. Uap itu hanya akan muncul apabi-la seseorang mengerahkan tenaga dalam sampai mele-wati kemampuan. Berarti Tengkorak Darah tengah ter-libat pertarungan! Tapi, dengan siapa?
Pertanyaan yang bergayut memaksa Dirgantara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pemuda berwajah persegi ini pun melihatnya. Belasan tombak dari tempatnya, berdiri seorang pemuda tampan berpakaian ungu dan berambut putih keperakan. Pemuda berpakaian ungu ini duduk bersandar pada sebatang pohon besar. Kelihatan santai, tapi tangan kanannya tak hentihentinya menyentili badan guci. Begitu cepat jari-jarinya bergerak hingga yang terlihat hanya bayangan tak jelas. Anehnya, betapapun Dirgantara mengerahkan tenaga dalam untuk mempertajam pendengaran namun tidak terdengar bunyi guci yang disentil. Padahal, melihat kecepatan jari itu bisa diperkirakan kerasnya bunyi yang terdengar.
Dirgantara tidak tahu bunyi itu hanya ditujukan pada Tengkorak Darah. Hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggi saja yang bisa mendengarnya. Dirgantara mengalihkan perhatian pada Tengkorak Darah. Pemuda berompi kulit harimau ini bisa memperkirakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Keadaan Tengkorak Darah demikian mengkhawatirkan. Uap yang mengepul dari atas kepalanya semakin tebal dan berwarna putih. Pakaiannya yang terlalu besar itu telah melekat dengan tubuh karena banyaknya peluh. Bahkan, dari balik topeng mengalir keringat. "Hukh!"
Tubuh Tengkorak Darah terdorong agak ke belakang kemudian tertunduk ke depan. Tengkorak Darah terluka dalam. Ia memuntahkan darah segar. Topeng yang menutupi wajah dan mulutnya membuat darah itu tidak terlihat. Tengkorak Darah telah kalah!
Tengkorak Darah mengerling ke arah pemuda berambut putih keperakan dari balik lubang topengnya. Kemudian, ia bangkit dengan terhuyung-huyung dan melesat meninggalkan tempat itu.
Pemuda berpakaian ungu tidak mengejarnya. Dia menghela napas berat, lalu menyimpan guci ke punggungnya dan mengusap peluh yang membasahi sekujur wajah dengan punggung tangan. Baru setelah itu ia mengalihkan perhatian pada tubuh Jumpena dan Dirgantara.
Pemuda berpakaian ungu mengambil sebutir buah ceremai yang banyak berserakan di dekatnya. Pohon di mana tubuhnya bersandar memang pohon cere-mai. Dengan sembarangan disentilnya buah yang terselip di antara jari-jari kanannya.
Dirgantara kagum bukan main merasakan aliran darahnya kembali lancar ketika buah ceremai yang disentil pemuda berpakaian ungu mengenai tubuhnya. Totokannya telah terbebas.
Perbuatan yang dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu cukup sulit. Membebaskan totokan dari jarak jauh dengan butiran buah ceremai. Dia sendiri belum tentu mampu melakukannya!
Sebelum pemuda berompi kulit harimau bangkit berdiri dan membebaskan totokan Jumpena, pemuda berpakaian ungu melakukan gerakan seperti menotok dengan dua jari. Dirgantara melihat jelas arah yang dituju jari-jari itu ke tubuh Jumpena.
Dirgantara hanya mendengar bunyi bercicitan pelan. Sesaat kemudian, begitu pemuda berpakaian un-gu menurunkan tangannya, Jumpena bergerak bangkit. Dirgantara melongo. Pemuda berambut putih keperakan itu mampu membebaskan totokan, dari jarak jauh!
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Kalau tidak ada kau mungkin aku, Dirgantara, dan kawanku ini, Jumpena, tidak akan berada di dunia ini. Boleh aku mengenai nama atau julukanmu, Sobat?" tanya Dirgantara setelah berada di depan pemuda berambut putih keperakan. Dirgantara dengan tergopohgopoh berlari menghampiri karena perasaan kagum.
"Benar, Sobat. Aku pun sangat berterima kasih. Tengkorak Darah memang ganas dan keji. Benar seperti yang dikabarkan orang!" Jumpena yang telah berada di sebelah Dirgantara menambahkan.
Pemuda berpakaian ungu menatap wajah Dirgantara dan Jumpena berganti-ganti. Senyuman lebar tersungging di bibirnya.
"Tidak usah banyak berterima kasih, Dirga, Jumpena, hanya suatu kebetulan aku lewat tempat ini. Itu pun karena mendengar seruan orang itu yang menyebut-nyebut nama Pendekar Jari Maut. Kalau tidak karena teriakan itu tak mungkin aku sampai di sini. Jadi, orang itu yang berjuluk Tengkorak Darah? O ya, namaku Arya. Tapi, dunia persilatan memberikan julukan Dewa
Arak kepadaku."
"Benar, Arya." Jumpena yang pintar berbicara memberikan jawaban. "Orang itu yang berjuluk Tengkorak Darah."
Pemuda berpakaian ungu yang memang Arya Buana alias Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Diam-diam ia merasa heran melihat sikap kedua orang muda di hadapannya. Mereka tidak terkejut mendengar julukannya. Apakah julukannya belum sampai ke daerah ini?
Arya tidak tahu kalau tidak kenalnya Jumpena dan Dirgantara dengan julukan Dewa Arak karena mereka baru terjun ke dunia persilatan. Jadi, belum mendengar julukan Dewa Arak yang menggemparkan. Guru-guru mereka pun tidak menceritakannya karena terlalu lama menyembunyikan diri sehingga tidak pernah mendengar julukan itu.
"Kau hendak ke mana, Arya?" tanya Jumpena.
"Aku tidak punya tujuan. Hanya mengikuti ke mana kaki ini melangkah, Jumpena," jawab Arya seraya tersenyum. "Mengapa kalian bisa bentrok dengan Tengkorak Darah?"
"Tidak ada masalah apa-apa sebenarnya, Arya, Tengkorak Darah saja yang terlalu usilan," jelas Jumpena sekenanya.
Arya sampai tersenyum mendengar jawaban yang sembarangan itu.
"Tapi, tadi kudengar Tengkorak Darah menyebut-nyebut Pendekar Jari Maut."
"Beliau adalah ayahku, Arya," jawab Jumpena, cepat.
"Ah...! Begitukah...?!" Arya kelihatan terkejut "Benar!" Dirgantara yang menyahuti. "Jumpena itu anak Pendekar Jari Maut Sedangkan aku murid Petani Berambut Putih."
"Murid tokoh-tokoh terkenal rupanya," sambut Arya yang telah mendengar nama besar Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih sebagai tokoh-tokoh besar golongan putih. Julukan Pendekar Jari Maut lebih tenar daripada Petani Berambut Putih.
"Kami tengah dalam tugas untuk mengunjungi Naga Sakti Berwajah Hitam," tambah Jumpena untuk menambah kepercayaan Dewa Arak.
"Kalau begitu, silakan kalian berangkat. Mungkin kalian sudah ditunggu. Aku pergi dulu...."
Dirgantara dan Jumpena menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat tubuh pemuda berambut putih keperakan sudah tidak terlihat lagi. Padahal, suaranya masih bergema di sekitar tempat itu.
"Hebat sekali Dewa Arak itu!" Dirgantara membuka percakapan. "Tidak kusangka seorang tokoh muda telah memiliki kepandaian luar biasa. Dibandingkan dengannya kepandaian yang kumiliki tidak berarti apa-apa."
"Kau tidak perlu berkecil hati, Dirga," hibur Jumpena yang merasakan nada keluhan dalam ucapan pemuda berompi kulit harimau itu. "Jangankan kau atau aku, Tengkorak Darah yang menggiriskan hati itu saja bukan tandingannya. Dewa Arak memang hebat bukan main. Entah mana yang lebih lihai bila diban-dingkan dengan ayahku atau gurumu."
Dirgantara tidak memberikan tanggapan. Pemuda berompi kulit harimau ini masih terpukul ketika mengingat berturut-turut dirobohkan orang yang memiliki kepandaian di atasnya.
Kepandaiannya yang dipelajari dengan susah payah selama belasan tahun ternyata tidak berguna!
Jumpena pun tengah digayut persoalan yang sama. Kedua pemuda itu melakukan perjalanan tanpa berbincang-bincang lagi.
–––––––– 5
"Ayo kejar, Putih...! Cepat! Jangan sampai si hitam mengalahkanmu...!"
Seruan-seman lantang bernada gembira itu ke-luar dari mulut seorang kakek kurus berambut awut-awutan. Usianya sukar untuk ditaksir. Tapi melihat rambut yang telah memutih juga jenggot dan kumisnya, kakek kecil kurus ini tentu sudah sangat tua.
Sambil terus berteriak-teriak dengan penuh semangat, ia mengayun-ayunkan tangan kanannya menepuki kuda-kudaan dari kayu yang ditungganginya. Bagian bawah kuda yang berbentuk melengkung seperti busur membuat kuda-kudaan itu bergoyanggoyang ketika kakek kecil kurus menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Sejajar dengan kuda-kudaan putih yang ditunggangi kakek kecil kurus, sekitar satu tombak di sebelahnya, terdapat kudakudaan kayu berwarna hitam. Kuda-kudaan itu tidak bergoyanggoyang sebagaimana halnya kuda-kudaan putih, karena tidak ada yang menungganginya.
"Ayo, Putih...! Ya, sebentar lagi...! Cepat, keluarkan seluruh kemampuanmu! Sebentar lagi kau akan menang!"
Kakek kecil kurus yang mengenakan pakaian coklat tapi terbalik, bagian dalam berada di luar, semakin keras menggerakgerakkan tubuh sehingga goyangan pada kuda-kudaan putih bertambah keras.
"Ha ha ha...!" Serentetan tawa bergelak mengiringi seruanseruan kakek kecil kurus. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di dekat kakek kecil kurus telah berdiri sesosok tubuh pendek gemuk! Sosok tubuh yang teramat pendek dan kelewat gemuk, persis bola. Perutnya yang tidak tertutup rompi berguncangguncang ke-tika sosok itu tertawa. Tawa yang membuat daundaun bergetaran seperti hendak terlepas dari rantingnya.
"Peramal Gendeng...! Kau sungguh tidak adil. Mana mungkin kuda hitam bisa menang kalau kau berpihak pada kuda putih dan selalu menambah tenaga untuknya? Biarlah aku yang membantu kuda hitam untuk memperoleh kemenangan!"
Tanpa menunggu sambutan kakek kecil kurus yang dipanggil Peramal Gendeng, sosok pendek gemuk bergerak. Tubuhnya tahu-tahu telah berada di atas punggung kuda-kudaan.
Sambil tertawa tanpa henti, kakek pendek gemuk ini mencengkeram tali yang dipasangkan pada bagian leher kudakudaan. Ditariknya tali dengan keras. Dan... kuda-kudaan itu melayang ke depan, lebih patut dikatakan terbang!
"He he he...!"
Peramal Gendeng tak mau kalah dalam tawa. Bersamaan dengan keluarnya tawa terkekeh itu tangannya bergerak menyentak. Kuda-kudaan itu pun melesat ke depan menjajari kuda-kudaan yang ditunggangi kakek pendek gemuk.
"Setan Gila! Kau benar-benar seseorang yang menyenangkan. Mari kita berlomba untuk mencapai pohon nangka yang ada di sana!"
Dua kakek yang sama-sama memiliki watak aneh itu pun saling berlomba 'terbang' dengan mempergunakan kuda-kudaan. Pohon nangka yang dimaksud Peramal Gendeng letaknya tak kurang dari seratus tombak!
Tentu saja karena kuda-kudaan itu tidak bisa terbang, baru beberapa tombak melayang dan begitu tenaga luncuran habis, kuda-kudaan itu melayang tu-run. Tapi, hanya dengan sentakan tangan kiri pada tali dan gerakan tangan kanan mengayun ke belakang se-perti orang mengayun perahu, Setan Gila maupun Pe-ramal Gendeng mampu membuat kuda-kudaan itu melayang kembali!
Peramal Gendeng ternyata tidak hanya sesum-bar dengan berani mengajak Setan Gila berlomba. Ka-kek berpakaian terbalik ini mampu mengimbangi luncu-ran kuda-kudaan hitam Setan Gila. Bahkan, Peramal Gendeng mampu melewati! Padahal, Setan Gila telah membawa kuda-kudaannya melesat lebih dulu.
Betapapun Setan Gila mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengalahkan lawan, tetap saja laju kuda-kudaan Peramal Gendeng tak terkejar. Sampai akhirnya Peramal Gendeng mendaratkan kuda-kudaannya dengan mantap di tanah!
"He he he...!"
Peramal Gendeng menertawakan Setan Gila yang mendaratkan kuda-kudaannya belakangan.
"Bukankah sudah kukatakan, Setan Gendut! Kuda putih milikku ini memang luar biasa. Telah beberapa kali kuda hitam itu bertarung lari dengan kuda pu-tih, tapi tidak pernah menang. Kau membuktikannya sekarang, bukan? He he he...!" ejek Peramal Gendeng dengan gembira sebagaimana layaknya seorang bocah yang memenangkan perlombaan.
Setan Gila meski merasa penasaran bukan main namun mampu menyunggingkan senyum lebar. Malah, dia pun kemudian tertawa keras sampai perut gendutnya terguncangguncang.
"Kuda putihmu memang hebat, Ulat Kecil!" Setan Gila tidak mau kalah mengeluarkan makian seraya menggaruk-garuk pantatnya yang tidak gatal. "Di samping memiliki lari cepat, kekuatan napasnya pun tidak bisa ditandingi kudaku. Tapi, rasanya kuda itu sakit Aku yakin tubuhnya akan hancur lebur!"
Setan Gila dalam keadaan masih duduk di atas kuda-kudaan hitam mengambil dua batang pisau dari balik bajunya. Kemudian, batang-batang pisau itu digosokkan satu sama lain hingga terdengar bunyi yang mengilukan.
Peramal Gendeng tahu Setan Gila hendak melakukan sesuatu. Tapi, mengapa bunyi yang mengilukan itu tidak mempengaruhinya? Padahal, Setan Gila tengah melancarkan serangan dengan mempergunakan tenaga dalam tingkat tinggi.
Keyakinan kalau tindakan Setan Gila tidak di tujukan padanya, Peramal Gendeng sibuk mengorek-ngorek hidungnya untuk mengeluarkan kotoran. Beberapa kali gumpalan-gumpalan kecil yang menjijikkan terbawa jari-jari tangan yang kumal dan kotor itu ketika ditarik keluar dari lubang hidung!
Tiba-tiba ketika bunyi bergesekan dua batang pisau itu semakin meninggi, Peramal Gendeng tersentak. Dia teringat ucapan kakek pendek itu sebelum menggesek-gesekkan pisaunya.
Tapi kesadaran Peramal Gendeng terlambat! Di saat bunyi gesekan mencapai puncaknya terdengar bunyi letupan cukup keras. Kuda-kudaan putih yang ditungganginya hancur berantakan! Meski kaget, kakek berpakaian terbalik ini tidak memperlihatkannya. Bahkan, ketika serpihan-serpihan kuda putih berjatuhan ke tanah tubuhnya tidak bergeming! Peramal Gendeng tetap dalam posisi duduk menunggang kuda. Padahal, tubuhnya maupun kedua kakinya tidak menyentuh tanah. Kakek kecil kurus ini duduk di udara!
Namun itu hanya berlangsung sesaat. Tubuh kecil kurus itu kemudian melayang turun.
"Putih...! Kudaku yang malang. Mengapa kau pergi meninggalkan aku? Rupanya benar yang dikatakan gendut brengsek itu. Kau telah sangat tua dan sakit-sakitan. Biarlah sebagai tanda hormatku kuantar kepergianmu dengan lagu perpisahan!" keluh Peramal Gendeng dengan suara sedih sebagaimana layaknya ditinggalkan orang yang dicintai.
Si putih....
Itulah namamu....
Kau selalu setia menemaniku....
Sejak aku muda Sampai tua ini. Sekarang aku kesepian....
Tapi ada orang lain yang menemaniku sebentar Sedangkan engkau sendirian menempuh perjalanan baru
Perjalanan yang sama sekali tidak pernah kau tempuh
Aku tidak ingin kau takut atau kesepian Kau bu-tuh kawan untuk berlomba dan berbincang-bincang
Biarlah kusuruh si hitam untuk menemanimu
Bersamaan dengan lenyapnya ucapan terakhir dari lagu yang didendangkan Peramal Gendeng terdengar bunyi ledakan cukup keras. Kuda-kudaan hitam yang ditunggangi Setan Gila hancur berkeping-keping. Tapi seperti juga Peramal Gendeng, Setan Gila mampu tetap duduk seperti ketika kuda-kudaan hitam itu ada.
"Ha ha ha...!"
Setan Gila yang telah berdiri tegak di tanah tertawa bergelak untuk menutupi rasa kagetnya melihat kekuatan tenaga dalam Peramal Gendeng. Tidak disangkanya kakek kecil kurus itu mampu menghancurkan kuda-kudaan dengan hanya bernyanyi sembarangan. Memang, kakek pendek gemuk ini telah merasakan getaran-getaran tenaga dalam ketika Peramal Gendeng bernyanyi. Getaran kuat yang tidak tertuju padanya, tapi untuk menghancurkan kuda-kudaan hitam.
"Kau semakin lihai saja, Cacing Kurus!"
"He he he...!"
Peramal Gendeng terkekeh. Kotoran-kotoran hidung yang tadi berada di ujung jari dilemparkannya ke arah Setan Gila. Gumpalan-gumpalan menjijikkan itu melayang dengan menimbulkan bunyi berdesing nyaring. Tapi Setan Gila tidak mempedulikannya. Bahkan ketika mengenai berbagai bagian tubuhnya. Beberapa di antaranya mengenai wajah. Setan Gila sama sekali tidak merasa jijik. Sedangkan rasa sakit tidak dirasakan karena kakek pendek gemuk ini telah lebih dulu mengerahkan tenaga dalam.
"Kau pun masih seperti dulu, Gendut! Babi Gendut! Kerbau Bunting! Gajah Bengkak! Bahkan, mu-lutmu makin manis saja didengar telinga. Aku yakin kedatanganmu kemari bukan untuk bermain-main. Kau pasti tengah mencari kotoran ayam! Betulkan?!"
Setan Gila terkekeh.
"Kau memang tetap cerdik seperti dulu, Cacing Kurus! Malah aku yakin kau telah bertambah pandai. Sebagaimana kau memperlihatkan kepadaku betapa sikap jorokmu semakin bertambah!"
"Tidak usah berputar-putar, Gajah Bengkak! Kau hendak memuji atau menghina? Atau, kau ingin perutmu yang gendut itu kubuat kempes?!"
"Karena kau telah menanyakannya lebih dulu, baiklah, aku akan memberikan jawaban. Kedatanganku kemari hanya ingin menguji kemampuanmu, Cacing Kurus! Aku ingin tahu apakah kau masih mempunyai kemampuan yang dulu kau banggabanggakan. Sampai kau berani menempelkan gelar peramal di depan kelakuan gendengmu. Jangan-jangan kemampuanmu telah lenyap. Sekarang aku membawa sebuah persoalan untukmu, Cacing Kurus! Aku tak yakin kau mampu menyelesaikannya. Ini persoalan besar! Beranikah kau menerimanya, Cacing Kurus? Ingat, persoalan ini bukan persoalan biasa, melainkan menyangkut julukanmu! Apabila kau tidak bisa memecahkannya berarti kau tidak pantas berjuluk Peramal Gendeng!"
"Kecoak Busuk! Kadal Buntung! Monyet Jelek! Kucing Pincang!" Peramal Gendeng memaki-maki dengan kalap. Kakek kurus ini memang mempunyai sifat kekanak-kanakan. Tantangan yang dikeluarkan Setan Gila telah membuatnya kelabakan bukan main. "Berani kau meragukan kemampuanku, Gendut Jelek?! Gajah Bengkak! Ayo, katakan masalah mu. Akan kubuktikan
kalau gelar Peramal Gendeng yang kupakai bukan sembarangan!"
"Ah..., begitukah?!" Setan Gila tertawa dengan sikap mengejek. "Benar-benarkah kau menantang persoalan yang tengah kuhadapi, Cacing Kurus yang berani menggelari diri dengan gelar besar! Apakah nanti setelah ku kemukakan kau tidak akan menciut? Kau tidak akan malu-malu mengundurkan diri karena tidak mampu memberikan jawaban?!"
"Gendut Gila!" Peramal Gendeng semakin kalap. "Bila sekali lagi kau keluarkan perkataan seperti itu, perutmu akan kukempesi!"
"Baik! Baiklah kalau kau telah yakin akan kemampuanmu. Tapi ingat, apabila kau tidak berhasil menyelesaikannya, lebih baik kau copot gelar peramalmu!" Setan Gila melancarkan serangan terakhir. Kakek pendek gemuk ini memang sangat licik. Dia tahu Pe-ramal Gendeng memiliki ilmu meramal yang luar biasa. Tidak ada hal yang sulit bagi Peramal Gendeng. Tapi sayang kakek kecil kurus itu memiliki watak aneh. Apa-bila dia sedang tidak ingin, biar orang meminta-minta sampai menyembah-nyembah dia tidak akan melayani. "Saat ini aku tengah mencari seseorang. Dia telah lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Orang ini telah sangat berani membunuh muridku!"
"Katakan saja siapa orangnya? Setidak-tidaknya ciri-cirinya. Pakaian atau benda yang biasa di pakainya. Akan kuberikan jawaban saat ini juga!" Peramal Gen-deng yang berhasil dipanasi hatinya langsung memberi-kan tanggapan.
"Dia seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tubuhnya kurus. Sepasang matanya buta. Dan, dia memiliki satu lengan. Pakaian yang dikenakannya serba hitam. Tapi tongkatnya berwarna putih. Kurasa keteranganku sudah cukup. Sekarang tinggal membuktikan kebenaran sesumbarmu. Benarkah kau berhak berjuluk Peramal Gendeng! Atau, lebih baik kau mengganti julukan dengan Pembohong Gendeng!"
Peramal Gendeng tidak menyambuti ejekan Setan Gila. Kakek kecil kurus ini duduk bersila dengan kepala ditundukkan. Beberapa saat lamanya dia bersikap seperti itu. Sementara Setan Gila memperhatikan gerak-geriknya dengan sikap tak acuh.
Waktu berlalu tanpa terasa. Hampir setengah hari Peramal
Gendeng belum bergerak dari kedudukan-nya. Duduk bersila dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya terbuka di atas paha. Sekujur wajah kakek kecil kurus ini penuh dengan keringat. Bahkan, ada uap putih mengepul dari kepalanya.
Ketika akhirnya uap itu semakin tebal tubuh Peramal Gendeng bergerak-gerak. Kepalanya didongakkan menatap wajah Setan Gila yang sejak tadi memperhati-kan gerak-geriknya dengan tidak sabar.
"Ha ha ha...!"
Setan Gila tertawa bergelak untuk menutupi rasa kecewanya. Dia tahu Peramal Gendeng gagal dengan usahanya. Meski demikian, kakek pendek gemuk ini tidak percaya kalau tidak mendengar langsung dari mulut Peramal Gendeng.
"Bagaimana, Cacing Kurus? Bukankah persoa-lan yang kuberikan padamu amat berat? Katakan kalau kau tidak mampu menyelesaikannya. Katakan saja kau bersedia menarik kembali gelar peramalmu. Bukankah kau tidak mampu menjawab pertanyaanku?!"
"He he he...!" Peramal Gendeng malah terkekeh. "Orang lain mungkin bisa kau tipu dengan akal bulus-mu ini, Setan Gila! Tapi, jangan harap kau dapat melakukannya terhadapku. Aku tak bisa kau kelabui!"
"Omongan gila macam apa ini?!" Setan Gila meski keheranan tetap mampu menyunggingkan se-nyum lebar. "Aku tidak mengerti maksudmu, Cacing Gendeng!"
"Sejak dulu kau memang pandai berpura-pura untuk menutupi kepahitan mulutmu yang berbau manis, Gendut Gila! Permainanmu sama sekali tidak ada gunanya. Kau tidak bisa menipuku, Gendut Gila!"
"Menipumu?! Kau rupanya masih bisa bercanda, Cacing Gendeng! Luar biasa! Sifatmu tidak juga berubah meski telah puluhan tahun kita tidak bertemu!"
"Sudahlah, Gendut! Lebih baik kau segera menggelinding dari sini sebelum perutmu kubikin kempes!"
"Jadi..., kau menyerah, Cacing Kurus yang gendeng! Kau tidak berhasil menemukan orang yang kuca-ri? Jadi, benar kau bersedia melepaskan julukan yang kau sandang itu?!" Meski kaget bukan main, Setan Gila masih mampu tersenyum lebar dengan wajah berseri-seri.
"Menemukan orang? Rupanya kau masih juga berpura-pura, Setan Gila! Gendut Air! Apakah perlu kuberitahukan? He he he...! Gendut, aku tidak bisa kau tipu! Orang yang kau maksudkan itu tidak pernah ada. Mungkin dia sudah mati. Tapi yang jelas, aku tidak merasakan adanya getaran dari orang itu.
Sudahlah, lebih baik kau tinggalkan tempat ini!" "He he he...!"
Tawa Setan Gila meledak! Perutnya berguncang-guncang. Untuk menutupi guncangan pada perutnya kedua tangannya didekapkan. Tapi, justru kedua tangan itu yang bergerak-gerak terbawa gerakan perut.
"Lucu sekali! Benar-benar menggelikan. Sungguh tidak kusangka orang yang berjuluk Peramal Gendeng ternyata hanya besar julukannya saja. Setelah tidak menemukan pesanan yang diberikan orang, enak saja mengatakan kalau orang itu telah menipu! Pesanan yang dimaksudkan tidak pernah ada dan segudang alasan lainnya!"
Senyum yang terkembang di mulut Peramal Gendeng mulai lenyap.
"Setan Gila! Rupanya kedatanganmu ke tempat ini memang untuk mencari permusuhan denganku! Kau sudah bosan hidup, heh?!"
Tawa Setan Gila semakin membesar mendengar ancaman Peramal Gendeng. Kakek pendek gemuk ini tidak merasa takut atau gentar sedikit pun.
"Kegilaan yang semakin menjadi! Setelah puas menipu dan orang yang ditipu tidak terima, enak saja mengusir orang. Ternyata kau benar-benar gendeng! Ucapan dan janjimu tidak ubahnya bunyi yang keluar dari lubang dubur, Cacing Kurus! Setelah kau buang, lalu kau lupakan!"
"Tutup mulutmu, Gendut Gila!" Peramal Gendeng semakin kalap. Kumisnya bergetar karena gejolak amarah. "Kalau kau mengajukan orang yang bukan khayalan otak bebalmu, di mana pun dia berada den-gan mudah akan dapat kutemukan! Tapi, kau sengaja mempermainkan ku. Mana mungkin bisa kutemukan orang yang terjadi karena khayalanmu saja?!"
"Ha ha ha...! Perkataanmu semakin gila, Cacing Kurus! Baiklah! Karena kau tidak mampu menemukan, orang itu, biar kuberitahukan siapa dia. Orang yang kucari karena telah berani meremehkanku dengan membunuh murid kesayanganku.... Iblis
Buta!"
"Iblis Buta?!"
Peramal Gendeng mengulang julukan itu dengan terkejut. Kakek kecil kurus ini memang telah mendengar julukan Iblis Buta yang menggemparkan dunia persilatan sepeninggal Setan Gila dan Jerangkong Penjagal Nyawa.
Setan Gila hanya terkekeh sebagai tanda mengiyakan.
Sikapnya terlihat mengejek sekali.
"Apakah kau masih mau mengatakan kalau orang yang kucari itu hanya khayalan belaka? Apakah sekarang kau akan mengatakan Iblis Buta khayalanku saja? Jangan kau katakan kau belum pernah mendengar julukan si, Peramal Bloon!"
Peramal Gendeng tidak menanggapi ejekan itu. Dia melipat kedua tangan di depan dada dan memejamkan mata. Hanya sebentar saja, sepasang matanya kembali dibuka.
"Mungkin aku harus menanggalkan gelarku, Gendut Gila! Aku tidak bisa melacak di mana Iblis Buta berada." Terasa jelas nada kegetiran dalam ucapan Peramal Gendeng.
"Mungkin kau benar, Cacing Kurus! Kau sudah terlalu tua. Bukan tidak mungkin ilmu meramal yang dulu hanya kau miliki sedikit itu telah lenyap bersamaan dengan semakin tuanya dirimu. Jangan kau katakan kalau Iblis Buta memiliki kekuatan gaib yang membuat usahamu mencari dirinya tidak berhasil. Ha ha ha...! Betapa akan geger dunia persilatan kalau tahu Peramal Gendeng ternyata tidak mampu meramal lagi!"
"Aku tidak serendah itu, Gendut!" Meski sebenarnya tersinggung, Peramal Gendeng tidak berkata dengan nada keras seperti sebelumnya. Kemarahannya langsung mengendur seiring dengan ketidak berhasi-lannya menemukan Iblis Buta. "Sepanjang pengetahua-nku dan memang sebenarnya, Iblis Buta tidak mempu-nyai kekuatan gaib yang dapat menggagalkan usahaku. Aku tidak menjumpai adanya tabir yang menghalangi. Bahkan, aku merasa heran. Tokoh yang kau sebut itu seperti tidak pernah ada. Tidak ada getaran-getarannya sama sekali. Kalau kau mau bersabar menunggu beberapa hari, mungkin aku bisa
mencari tahu mengapa hal ini bisa terjadi. Dan...."
"Omongan kentut busuk!"
Seman tajam yang bernada ketus itu membuat Setan dan Peramal Gendeng terperanjat. Serentak mereka menolehkan kepala. Pemilik seruan itu agaknya memiliki kepandaian tinggi. Seruannya melengking nyaring dan menyakitkan telinga.
–––––––– 6
"Kiranya kau, Tengkorak Berjalan...." Peramal Gendeng mengangguk maklum mengapa seruan tadi demikian menggetarkan hati. Dia tidak merasa heran sekarang. Kakek jangkung bagai galah itu memang memiliki ilmu amat tinggi. Tidak kalah dengan Setan Gila.
"Ha ha ha...! Tulang hidup rupanya yang membuat ulah!" Setan Gila ikut berbicara.
Jerangkong Penjagal Nyawa mendengus keras menunjukkan ketidaksenangan hatinya.
"Sungguh tidak kusangka sekarang kau mempunyai otak yang cukup baik, Gendut Gila! Padahal du-lu kepalamu hanya berisi kotoran belaka! Sekarang rupanya sebagian kotoran itu telah berubah menjadi otak sehingga kau bisa lebih dulu tiba di tempat ini...!"
"Ha ha ha...! Terima kasih atas pujian mu, Tulang Hidup! Orang yang paling tolol sekalipun akan tahu aku akan lebih pintar dari kau! Kepalamu yang kecil itu mana mungkin bisa ditempati otak yang besar. Kalau otaknya saja kecil, tidak mungkin pemiliknya pintar dan memiliki pandangan luas. Ha ha ha...!"
"Lebih baik kau tutup mulutmu yang berbau busuk itu, Gendut Liar! Pusatkan perhatianmu pada tu-juan semula. Bukankah kau ingin menemukan di mana Iblis Buta? Peramal Gendeng yang berotak tak waras ini mana mau menunjukkan tempatnya kalau tidak dipaksa!"
Peramal Gendeng memang tidak waras. Tapi, dia tidak mau mengakuinya. Kakek kecil kurus ini malah berpendapat orangorang selain dirinya itulah yang tidak waras. Peramal Gendeng paling tidak suka kalau dikatakan tidak waras. Amarah kakek yang selalu mengenakan pakaian terbalik ini langsung meluap.
"Tengkorak Berjalan! Kalau tidak segera diberi hajaran keras kau memang tidak mau pergi. Rontok tulang-tulangmu!"
Tidak kelihatan kakek kecil kurus ini menggerakkan kaki, tapi kedua tangannya telah berada dekat dengan dada Jerangkong Penjagal Nyawa. Tentu saja untuk mengirimkan serangan ke arah dada Peramal Gendeng yang memiliki tubuh separo tinggi tubuh Jerangkong Penjagal Nyawa harus melompat ke atas. "Uh...!"
Wajah Jerangkong Penjagal Nyawa berubah hebat. Kedua tangannya yang panjang dan kurus mirip batang bambu segera dijulurkan memapaki serangan yang meluncur ke arahnya.
Pratttt!
Dua pasang tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi saling berbenturan dan melekat! Peramal Gendeng kaget bukan main. Jerangkong Penjagal Nyawa yang menyebabkan tangan mereka saling melekat. Kakek jangkung itu menggunakan tenaga dalam yang menyedot. Peramal Gendeng tidak memiliki pilihan lain kecuali mengerahkan tenaga dalam untuk menandingi serangan lawan.
Dalam waktu tak lama mulai terlihat keunggulan berpihak pada Peramal Gendeng. Tangan Jerangkong Penjagal Nyawa yang menjulur turun karena Peramal Gendeng bertubuh pendek tampak menggigil keras. Dari kepalanya mengepul uap yang semakin lama semakin tebal. Keringat laksana aliran anak sungai mengucur deras pada wajahnya, membuat wajah yang selalu terlihat keruh itu semakin tidak enak dipandang.
Keadaan Peramal Gendeng tidak separah Jerangkong Penjagal Nyawa. Wajah kakek kecil kurus ini pun penuh dengan cucuran peluh dan kedua tangannya menggigil, tapi tidak sedikit pun uap mengepul dari ke-palanya.
Setan Gila terkekeh. Keadaan Jerangkong Penjagal Nyawa amat mengkhawatirkan. Kekalahan sudah pasti berada di pihak kakek jangkung itu. Dalam keadaan lain Setan Gila akan merasa gembira jika melihat Peramal Gendeng kalah, apalagi bila sampai tewas.
Setan Gila bukan orang bodoh. Jerangkong Pen-jagal Nyawa berani bertindak nekat karena mengandalkan dirinya. Seperti juga Setan Gila, Jerangkong Penjagal Nyawa telah mengetahui kelihaian Peramal Gendeng karena dulu pernah bertarung dan mengalami kekalahan. Keberanian kakek jangkung itu karena keberadaan Setan Gila di tempat ini.
Setan Gila adalah seorang yang memiliki kelicikan luar biasa. Keanehan wataknya kadang-kadang membuatnya bertingkah tak lazim. Kakek pendek gemuk ini tidak ragu-ragu untuk bertindak curang.
"Peramal Gendeng, kau tahu keadaanmu sekarang. Sekali aku ikut turun tangan, nyawamu akan melayang saat ini juga. Tapi, itu tidak akan kulakukan. Kau akan kubiarkan hidup dalam keadaan cacat. Sedangkan monyet peliharaan mu akan ku panggang hidup-hidup di depan matamu dan ku santap bersama Jerangkong Penjagal Nyawa! Kecuali kalau kau mau berjanji atas nama besarmu sebagai seorang tokoh persilatan, maka aku akan menarik maksudku itu!" Setan Gila memulai ancamannya seraya mengembangkan se-nyum.
"Tidak usah berbelit-belit, Setan Gila!" Peramal Gendeng memaki.
Dari tindakan yang dilakukan Peramal Gendeng ini saja bisa diketahui kalau kakek kecil kurus itu memiliki tenaga dalam di atas Jerangkong Penjagal Nyawa. Di saat tengah mengadu tenaga dalam merupakan pantangan besar untuk berbicara! Di samping perhatian menjadi terbagi aliran tenaga dalam pun berkurang. Peramal Gendeng mampu melakukannya dan tetap mengungguli Jerangkong Penjagal Nyawa.
"Katakan di mana Iblis Buta, Cacing Kurus!" Setan Gila cepat menyahut. "Aku yakin kau pasti mendapat sedikit jejaknya."
Peramal Gendeng tidak segera menjawab." Dia tercenung sebentar.
"Kau memang memiliki otak licin seperti belut, Gendut! Memang aku bisa melacak di mana tempat te-rakhir Iblis Buta berada. Kau dapat mencarinya di tempat itu, Perut Gendut!"
"Ha ha ha...! Kau pintar mengetahui keadaan, Cacing Kurus! Peramal Komeng! Begitu keadaan mem-buruk kau langsung membuka suara. Ha ha ha...! Ayo, katakan di mana tempat terakhir Iblis Buta berada!" Se-tan Gila tidak sabar lagi untuk segera mendapat jawa-ban.
"Di Gunung Cikuray!" jawab Peramal Gendeng.
"Ha ha ha...!" Setan Gila tertawa terbahak-bahak. Ia gembira bukan main. "Selamat tinggal, Cacing Kurus, Tengkorak Hidup! Aku pergi dulu. Kalian boleh meneruskan permainan itu!"
Jerangkong Penjagal Nyawa yang sedikit pun tidak menyangka akan terjadi seperti ini hanya bisa menatap penuh perasaan geram pada Setan Gila yang te-lah membalikkan tubuh dan siap melesat pergi. Tapi baru beberapa langkah tubuhnya kembali dibalikkan. Dari jarak sekitar lima belas tombak tangan kanan Setan Gila dijulurkan ke depan. Pergelangan tangannya kemudian digoyang-goyangkan.
Tidak terdengar hembusan angin. Tapi, Jerang-kong Penjagal Nyawa langsung menerima akibatnya. Dari balik punggungnya mengalir hawa hangat yang terus menerobos ke dalam pusar bergabung dengan tenaga dalamnya lalu meluncur lewat kedua tangan. Dengan tenaga bantuan itu Jerangkong Penjagal Nyawa berhasil menahan tekanan Peramal Gendeng.
Di lain pihak, Peramal Gendeng merasakan adanya tekanan kuat dari kedua tangan Jerangkong Penjagal Nyawa. Sebagai tokoh tua yang telah kenyang pengalaman dia segera tahu
Jerangkong Penjagal Nyawa mendapat bantuan dari tangan Setan Gila yang dijulurkan. Hal ini memaksa Peramal Gendeng mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Setan Gila sendiri sehabis melakukan pertolongan melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan tawa bergelak. Dalam waktu singkat tubuhnya telah tidak nampak lagi.
***
Dengan wajah berseri-seri Jumpena dan Dirgantara mendaki lereng Gunung Cikuray. Medan yang cukup curam dan dipenuhi batu-batu karang runcing yang dapat merusakkan alas kaki dan melukai telapak tidak menjadikan hambatan. Mereka tetap dapat berlari dengan cepat seperti layaknya di tempat datar.
Dua orang muda itu berlari berjajar. Dahi dan leher Dirgantara telah dibanjiri peluh. Napasnya mulai memburu. Sementara Jumpena masih terlihat segar. Hanya pada dahinya terlihat sedikit peluh. Napasnya biasa saja.
Tiba-tiba, dengan masih mengayunkan kaki, Jumpena dan Dirgantara saling berpandangan. Mereka mendengar bunyi bergemuruh dan getaran kuat pada tanah yang mereka pijak.
"Hati-hati, Dirga! Aku yakin di atas sana terjadi tanah longsor!" seru Jumpena, memperingatkan.
Dirgantara mengangguk. Pemuda berompi kulit harimau ini memang mempunyai dugaan yang sama.
Sebentar kemudian, apa yang dikhawatirkan kedua pemuda ini segera terlihat. Dari atas bergelindingan batu-batu besar dan kecil menuju ke arah mereka. Beberapa di antaranya ada yang sebesar gajah bunting!
Dirgantara dan Jumpena bersikap waspada. Betapa berbahayanya apabila tertabrak batu-batu itu. Tubuh mereka akan hancur seperti dendeng! Maka, kedua pemuda itu melompat tinggi ke atas dan ketika meluncur turun menggunakan ujung kaki untuk menotok batu-batu besar yang lewat di bawah mereka. Dengan mempergunakan tenaga benturan antara ujung kaki dengan batu, mereka melenting ke atas dan hinggap di atas batu yang lain. Cara ini membuat Jumpena dan Dirgantara tetap dapat melanjutkan perjalanan meski jauh lebih lama.
Ketika akhirnya kedua kaki Jumpena dan Dirgantara menjejak tanah, batu-batu telah berada jauh di bawah mereka. Kedua pemuda ini saling berpandangan sejenak. Mereka menghapus peluh yang membasahi kening.
"Aku yakin runtuhan batu ini tidak terjadi dengan sewajarnya." Dirgantara memecah kebisuan dengan sebuah dugaan.
Jumpena mengangguk.
"Aku sependapat denganmu, Dirga. Aku pun menduga demikian. Ada orang yang bermaksud meng-halangi kepergian kita. Entah apa maksudnya. Yang je-las, orang itu berani mati. Kalau Naga Sakti Berwajah Hitam sampai tahu, orang jahat itu akan mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya."
"Kau benar, Jumpena." Dirgantara mendukung ucapan Jumpena. "Guru pernah bercerita kalau wilayah kekuasaan Naga
Sakti Berwajah Hitam meliputi seluruh wilayah pegunungan ini!"
"Ha ha ha...!"
Suara tawa keras bernada ejekan bergema ke seluruh penjuru tempat itu, menimbulkan gaung panjang yang nyaring. Jumpena dan Dirgantara bergegas menoleh. Saat itu mereka telah berada di bagian puncak yang datar. Pada beberapa tempat terdapat gundukan-gundukan batu sebesar rumah. Dari salah satu gundukan batu itu keluarnya suara tawa. Kedua orang muda ini segera mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi bagian dalam tubuhnya.
"Tidak kusangka hari ini aku akan bertemu dengan dua ekor tikus dungu. Mudah-mudahan saja kedua tikus ini mampu memberikan perlawanan yang berarti sebelum mati!"
Jumpena dan Dirgantara saling bertukar pan-dangan dengan wajah merah dan sepasang mata berkilat-kilat memancarkan kemarahan. Ucapan itu jelas ditujukan pada mereka.
Dibandingkan dengan Dirgantara, Jumpena memiliki hati yang lebih mudah terbakar emosi. Dengan wajah merah padam kakinya diayunkan menuju salah satu gundukan batu tempat suara itu berasal. Tapi, Dirgantara segera menyentuh bahunya. Sayang, karena gerakan Jumpena, jari-jari tangan Dirgantara tidak mengenai bahu melainkan dada kanan pemuda berpa-kaian kuning itu.
"Tunggu sebentar, Jumpena. Aku khawatir ini merupakan jebakan."
"Ih...!"
Dirgantara terperanjat bukan main. Tahu-tahu Jumpena membalikkan tubuh dan mengirimkan serangan maut dengan dua buah jari yang mengeluarkan bunyi mencicit nyaring! Tapi, bukan karena itu saja. Pemuda berompi kulit harimau ini merasakan jari-jarinya menyentuh gumpalan daging kenyal dan lunak, sehingga ia segera menarik jari-jarinya dengan terkejut. Saat itu pula dengan kecepatan menakjubkan Jumpena menyerangnya. Untung saja Dirgantara telah lebih dulu melempar tubuhnya ke belakang.
"Jumpena...! Apa kau sudah tidak waras...? Mengapa menyerangku...?!" seru Dirgantara keras penuh keheranan. Ia melempar tubuhnya ke sana kemari mengelakkan serangan Jumpena. Pemuda berpakaian kuning ini menggunakan ilmu 'Jari Maut' yang diwarisi Jumpena dari ayahnya, Pendekar Jari Maut.
Plakkk, plakkk!
Dirgantara terpaksa menangkis ketika tidak memiliki kesempatan mengelak lagi. Serangan Jumpena tidak bisa dibuat main-main. Pemuda berompi kulit ha-rimau ini terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dalam-nya. Kendati demikian, tubuh Dirgantara tetap ter-huyung-huyung ke belakang dua langkah. Sedangkan Jumpena terhuyung satu langkah.
Dirgantara merasakan tangannya yang digunakan untuk menangkis terasa perih! Ada cairan hangat mengalir, tapi itu tidak dipedulikannya. Seluruh perha-tiannya dicurahkan pada Jumpena.
"Apa maksudmu, Jumpena? Mengapa kau menyerangku seperti ini...?!" tegur Dirgantara, tidak terlihat kemarahan kecuali tekanan yang meminta penjelasan.
Jumpena yang sudah siap kembali melancarkan serangan segera menghentikan gerakannya. Ia merasakan nada kesungguhan dalam ucapan pemuda berompi kulit harimau itu. Ditatapnya wajah Dirgantara lekat-lekat seakan ingin mencari kebenaran dalam wajah jantan itu. Dirgantara yang merasa tidak melakukan kesa-lahan membalas tatapan itu dengan sinar mata penuh pertanyaan.
Sesaat lamanya dua pasang mata saling berpan-dangan. Baru kemudian Jumpena menghela napas berat. Sorot sepasang matanya melunak. Wajahnya yang tegang mulai mencair.
"Tidak ada apa-apa, Dirga," ucap pemuda berpa-kaian kuning itu. Suaranya terdengar kaku, tidak seperti biasanya. "Lain kali jangan sembarangan menyentuhku. Aku mudah terkejut. Kalau tidak, akan terjadi hal seperti ini lagi. Kau bisa memenuhi permintaanku ini, Dirga?"
Meski sebenarnya merasa heran mendengar permintaan Jumpena, Dirgantara mengangguk juga. Pemuda berompi kulit harimau ini mengangguk pelan.
"Aku berjanji, Jumpena. Tapi, harap kau ingat aku tidak bermaksud jahat atau hendak mengejutkanmu. Aku hanya khawatir kau mendapat celaka terjebak orang yang bersembunyi di balik gundukan batu itu."
–––––––– 7
Ucapan Dirgantara membuat Jumpena teringat kembali akan persoalan yang tengah dihadapi. Dia menolehkan kepala ke arah gundukan batu yang menjadi sumber suara tawa.
"Sudahkah urusan kalian beres, Tikus-tikus Dungu?!"
Seperti tahu Jumpena telah mengalihkan perhatian pada dirinya, pemilik suara dari balik gundukan batu kembali terdengar.
"Untuk lebih meyakinkan kalian bahwa aku tidak memandang tikus-tikus seperti kalian sebagai se-suatu yang perlu dikhawatirkan dan untuk menghilangkan kesan aku telah membuat perangkap, maka aku akan keluar dari persembunyian ku untuk men-jumpai kalian!"
Begitu ucapan itu selesai, Dirgantara serta Jumpena berdebar tegang. Mereka menduga-duga siapa sosok di balik gundukan batu itu. Meski dari nada suaranya mereka bisa menebak pemilik suara itu masih muda.
Jumpena dan Dirgantara saling berpandangan ketika mendengar langkah-langkah kaki yang tidak rin-gan. Terdengar jelas oleh telinga Jumpena dan Dirgan-tara yang tajam. Kenyataan ini sangat mengherankan mereka. Langkah kaki yang tidak ringan itu menanda-kan pemiliknya tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Ini berarti kepandaian orang itu tidak terlampau tinggi.
Kenyataan itu mengurangi perasaan tegang Jumpena dan Dirgantara. Tapi ketika pemilik suara telah keluar dari balik gundukan batu, wajah Jumpena dan Dirgantara kembali tegang. Mata mereka menatap dengan terbelalak lebar.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan sosok yang keluar dari balik gundukan batu. Seperti yang diperkirakan Jumpena dan Dirgantara, sosok itu memang masih berusia muda. Umurnya tak lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya tampan, namun pesolek seperti seorang wanita. Pakaiannya indah. Bau harum menyebar dari tubuhnya. Pemuda berpakaian indah ini ternyata memakai harum-haruman seperti layaknya seorang perempuan.
Kalau melihat keadaan demikian saja Jumpena dan
Dirgantara tidak akan terkejut Tapi, terdapat hal lain. Di atas kepala pemuda berpakaian indah bertengger sebongkah batu sebesar gajah. Pada bagian batu yang menempel dengan kepala meruncing sepanjang satu jengkal. Pemuda berpakaian indah itu berjalan mendekati Jumpena dan Dirgantara tanpa menggoyangkan batu.
Batu sebesar itu tentu berat bukan main. Membutuhkan tenaga yang amat besar dan kemampuan tinggi untuk bisa menjunjungnya di kepala. Sekarang Jumpena dan Dirgantara mengerti mengapa langkah kaki pemuda berpakaian indah terdengar jelas.
"Mengapa kalian bengong seperti sapi ompong, Tikus-tikus Dungu!" pemuda pesolek mengeluarkan perkataannya dengan penuh ejekan dan kesombongan.
"Tutup mulutmu, Banci!" Jumpena yang berwatak berani tidak bisa berdiam diri lagi. Pemuda berpakaian kuning ini tidak gentar. Meski tahu pemuda berpakaian indah merupakan lawan yang amat tangguh. Kemampuan pemuda itu membawa batu telah menjadi bukti. Apalagi dengan masih mampunya ia melontarkan kata-kata. Padahal berbicara membutuhkan tenaga dalam, sehingga akan mengurangi pengerahan tenaga yang tertumpah pada batu.
"Mulutmu terlalu tajam! Terima ini kalau bera-ni!" Pemuda pesolek menggerakkan lehernya sedemikian rupa, seperti seekor banteng hendak menancapkan tan-duknya.
Batu sebesar gajah itu terlempar dari kepala pemuda berpakaian indah dengan mengeluarkan angin menderu keras. Setelah beberapa tombak terlempar ke atas dan tenaga luncurannya habis, batu itu meluncur ke bawah. Padahal, tepat di bawahnya berdiri Jumpena.
Jumpena bersikap tenang. Ketika batu itu meluncur semakin dekat, kedua tangannya diulurkan untuk menyambut. Pemuda berpakaian kuning itu ternyata menangkis sambil mengikuti ayunan batu ke bawah sehingga tidak mengadu kekuatan keras lawan keras.
Untuk menunjukkan kalau dia pun mampu melakukan tindakan yang dilakukan pemuda berpakaian indah, Jumpena mengangkat batu tinggi-tinggi di atas kepala dengan kedua tangan. Wajah pemuda berpakaian kuning ini sampai merah padam karena beratnya batu.
Pemuda berpakaian indah tertawa mengejek. Di saat Jumpena masih sibuk dengan batunya, dia melesat cepat mengirimkan serangan. Kedua kepalannya yang terkepal dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar.
Jumpena terkejut sekali mendapat serangan itu. Saat serangan dilancarkan dia tengah sibuk dengan ba-tu. Seluruh tenaganya dikerahkan pada batu itu. Kalau dikendurkan, dia akan celaka. Tubuhnya akan luluh lantak tertimpa batu!
***
"Manusia Curang!"
Dirgantara yang melihat ancaman maut terha-dap Jumpena tidak kuat untuk tidak berteriak memaki. Pemuda berwajah persegi ini melompat memapaki se-rangan licik pemuda berpakaian indah.
Plak, plak, plakkk!
Tubuh pemuda berpakaian indah dan tubuh Dirgantara terjengkang ke belakang. Dirgantara lebih jauh. Bahkan, ketika menjejakkan kaki di tanah, tubuhnya terhuyung-huyung. Pemuda berompi kulit harimau ini merasakan tangannya sakit.
Sementara itu, sebelum pemuda berpakaian in-dah sempat berbuat sesuatu, Jumpena mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melemparkan batu ke arah pemuda pesolek itu.
Pemuda berpakaian indah tidak tinggal diam. Dia tahu bertindak lambat sedikit saja akan mati ter- gencet batu. Kedua tangannya yang terkepal di hentak-kan ke
arah batu.
Blarrr!
Bunyi keras langsung terdengar. Batu besar itu hancur berkeping-keping terhantam pukulan jarak jauh pemuda berpakaian indah.
Saking kerasnya pukulan dan besarnya batu kepingankepingan yang terjadi berpentalan ke sana kemari. Jumpena, Dirgantara dan pemuda berpakaian indah berusaha mengelakkan kepingan-kepingan batu yang berpentalan. Tapi karena banyaknya, tetap saja mengenai mereka dengan telak. Namun berkat tenaga dalam yang mereka miliki hantaman tidak terlalu menimbulkan masalah. Sedangkan yang menuju ke wajah dan anggota-anggota tubuh lemah lainnya dipapaki dengan tangan dan kaki.
Pemuda berpakaian indah berang. Dia semula sudah membayangkan Jumpena akan roboh terkena pukulan beruntunnya. Siapa kira Dirgantara akan maju dan menggagalkannya.
Rasa berang membuat pemuda berpakaian indah segera meloloskan sabuk yang melilit pinggang.
Sabuk berwarna keemasan dan terlihat jelas terbuat dari benang-benang emas. Dengan sabuk di tangan diterjangnya Dirgantara yang berada lebih dekat darinya.
Jumpena dan Dirgantara memang sudah siap tempur. Mereka langsung mencabut senjata masing-masing. Dirgantara dengan sepasang bambunya. Sedangkan Jumpena dengan sepasang pisau putih mengkilat. Pertarungan sengit pun tak dapat dihindarkan.
Bunyi meledak-ledak dari sabuk pemuda berpa-kaian indah bercampur bunyi mengaung dari bambu Dirgantara yang diselingi dengan bunyi bercuitan nyar-ing dari pisau Jumpena meramaikan jalannya pertarungan. Sabuk pemuda pesolek ternyata hebat bukan main. Sabuk itu seakan telah menjelma menjadi seekor naga! Naga yang bermain-main di angkasa, meliuk-liuk. Terkadang lemas seperti ular. Mematuk dan meluncur dalam bentuk patukan-patukan ujung sabuk. Tak jarang menegang kaku seperti pedang. Bahkan mampu mengeluarkan bunyi meledakledak nyaring ketika pe-muda berpakaian indah memainkannya seperti memainkan sabuk. Di tangan pemuda pesolek sabuk itu dapat dijadikan apa saja. Melibat, melilit untuk mengambil senjata lawan pun mampu!
Tapi lawan yang dihadapi pemuda berpakaian indah bukan orang-orang sembarangan. Jumpena dan Dirgantara memiliki kepandaian tinggi. Meskipun kalau menghadapi seorang demi seorang mereka bukan tandingan pemuda pesolek itu.
Tapi karena mereka maju berdua perlawanan yang mereka berikan jauh lebih dahsyat. Meski belum pernah bertarung bersama-sama, Dirgantara dan Jum-pena mampu melakukan kerja sama yang baik.
Pemuda pesolek harus menerima kenyataan pahit. Dia terdesak hebat. Kalau semula gulungan sabuk pemuda ini lebar sekarang telah menyempit. Bahkan, serangan-serangannya tidak segencar sebelumnya. Dia lebih banyak bermain mundur.
Dirgantara dan Jumpena gembira sekali. Kemenangan telah berada di depan mata. Maka, keduanya semakin bersemangat melancarkan serangan. Sudah tidak sabar lagi mereka untuk meraih kemenangan.
Meskipun demikian, di dalam hatinya Jumpena maupun Dirgantara merasa kagum. Kepandaian pemuda berpakaian indah itu lebih tinggi dari mereka. Diam-diam kedua orang muda ini menduga-duga murid atau anak siapakah pemuda pesolek itu?
Tiba-tiba, Dirgantara dan Jumpena terperanjat. Pemuda berpakaian indah yang semula sudah terjepit dan hanya mampu bermain mundur secara tak terduga mampu melancarkan serangan-serangan luar biasa! Serangan yang mampu membuat Jumpena dan Dirgantara kelabakan. Bagian yang diserang adalah bagian-bagian terlemah pada pertahanan mereka.
Semula Jumpena dan Dirgantara menduga hal itu terjadi secara kebetulan. Tapi, ketika kenyataan itu berlangsung terus mereka mulai merasa curiga. Dalam keadaan sangat terjepit tak mungkin pemuda pesolek bisa memperbaiki keadaan secara tak terduga. Sehingga mampu berbalik mengancam dan berada di atas angin.
Sambil terpontang-panting mengelak, Jumpena dan Dirgantara yang menduga ada orang pandai yang telah membantu pemuda pesolek, mereka mengedarkan pandangan. Dengan ilmu mengirim suara dari jauh orang itu dapat memberikan petunjukpetunjuk kepada pemuda pesolek.
Dugaan Jumpena dan Dirgantara ternyata beralasan. Beberapa tombak dari tempat pertarungan berdiri seorang kakek bertubuh sedang. Wajahnya hitam. Pakaiannya terbuat dari kulit ular. Kakek berwajah hitam ini mengenakan ikat kepala dari bahan kulit ular pula.
Meski sekilas, Jumpena dan Dirgantara sempat melihat mulut kakek berwajah hitam ini terkatup rapat-rapat. Tidak terlihat dia tengah mengirimkan bisikan dari jauh.
Tapi, justru hal itu yang sangat mengejutkan Jumpena dan Dirgantara. Guru dan ayah mereka telah bercerita kalau ilmu mengirim suara dari jauh membutuhkan kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Semakin tinggi tenaga dalam pemiliknya semakin tidak terlihat cara ia mengirimkan bisikannya. Kakek berwajah hitam ini mampu melakukannya tanpa bibirnya berkemik sedikit pun.
Jumpena dan Dirgantara juga telah mendengar tentang ciriciri yang dimiliki kakek berwajah hitam. Ci-ri-ciri yang ada menunjuk pada Naga Sakti Berwajah Hi-tam. Tokoh tingkat tinggi kaum putih yang tengah dicari-cari Jumpena.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Naga Sakti Berwajah Hitam membantu pemuda berpakaian indah? Jangan-jangan ada hubungan antara pemuda berpa-kaian indah dengan Naga Sakti Berwajah Hitam?
Apa yang diduga Dirgantara dan Jumpena memang tidak keliru. Pemuda berpakaian indah memang mendapat bantuan dari kakek berwajah hitam. Dan, kakek itu memang Naga Sakti Berwajah Hitam.
Pemuda berpakaian indah mendengar bisikan-bisikan di telinganya. Bisikan yang dikenal betul pemiliknya. Maka, pemuda pesolek ini menuruti. Hasilnya ternyata menakjubkan!
"Akh...!"
Jumpena memekik kesakitan. Sabuk pemuda pesolek dengan gerakan tidak terduga meliuk menotok bahunya. Tubuhnya seketika terhuyung. Dirgantara yang tidak ingin kawannya celaka langsung melompat ingin menolong. Tapi, dengan sebuah tendangan kaki kanan pemuda pesolek berhasil melemparkan Dirganta-ra ke belakang dan jatuh terguling-guling.
Kekhawatiran akan keselamatan Jumpena membuat Dirgantara buru-buru mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar. Tapi ternyata tin-dakannya tetap terlambat. Pemuda pesolek telah lebih dulu mengirimkan totokan ke bahu kanan Jumpena yang membuat tubuh pemuda berpakaian kuning itu roboh terkulai.
"Dirga! Jangan pedulikan aku. Lari...!" Jumpena yang tahu Dirgantara akan terus melanjutkan perlawanan segera mencegah. Perlawanan Dirgantara tak akan berarti. Bahkan akan mengakibatkan pemuda berompi kulit harimau itu tertawan.
Dirgantara ternyata mau menerima saran Jumpena. Dengan terburu-buru tubuhnya dibalikkan. Dia melarikan diri meninggalkan tempat itu dengan kaki terpincang-pincang. Dirgantara memang memiliki pandangan cukup luas. Ia tidak hanya mementingkan perasaan. Maka, dia pun bisa menerima saran Jumpena. Sebelum kabur pemuda berwajah persegi ini masih sempat memungut gulungan surat Jumpena yang terjatuh sewaktu pemuda berpakaian kuning itu didesak hebat oleh pemuda pesolek.
"Tidak usah dikejar, Lanang!" Seruan Naga Sakti Berwajah Hitam membuat langkah kaki pemuda pesolek yang ternyata bernama Lanang terhenti di tengah jalan. Tanpa berkata apa-apa dihampirinya tubuh Jumpena yang tergolek di tanah.
"Hey! Bukankah kau orang yang berjuluk Naga Sakti Berwajah Hitam...?!"
Kakek berpakaian kulit ular yang memang Naga Sakti Berwajah Hitam menatap pemuda itu dengan so-rot mata menyelidik.
"Matamu ternyata awas juga, Nona Muda! Aku memang orang yang berjuluk Naga Sakti Berwajah Hitam. Mau apa kau dan kawanmu itu mendaki gunung ini?"
Tidak hanya Jumpena yang terperanjat. Lanang pun membelalakkan sepasang matanya. Mereka terkejut mendengar Naga Sakti Berwajah Hitam menyapa Jumpena dengan panggilan 'Nona Muda'.
"Ayah..." Lanang menyapa Naga Sakti Berwajah Hitam dengan suara tertahan. "Pemuda ini... seorang perempuan...?" Naga Sakti Berwajah Hitam mengangguk.
"Dia memang seorang wanita, Lanang. Dia mampu melakukan penyamaran dengan baik. Tapi, tetap tidak bisa menipu sepasang mataku! O ya, Nona Muda, sekarang jelaskan maksud kedatanganmu ke tempat ini!"
Jumpena yang terkejut karena tidak menyangka Naga Sakti Berwajah Hitam tahu rahasianya menatap wajah kakek berpakaian kulit ular itu dengan pandan-gan berani. Pemuda ini memang seorang wanita yang menyamar sebagai lelaki untuk mencegah banyaknya gangguan di perjalanan. Dengan penyamaran seperti itu Jumpena merasa lebih bebas.
"Aku memang seorang wanita!" tandas Jumpena tegas. "Aku menyamar sebagai lelaki karena ingin perjalananku lebih mudah. Dan, kedatanganku kemari diutus oleh ayahku untuk menyampaikan surat untukmu, Naga Sakti!"
"Hmh...! Siapa ayahmu...?!" dengus Naga Sakti Berwajah Hitam dengan nada meremehkan.
"Ayahku berjuluk Pendekar Jari Maut!" jawab Jumpena lantang.
"Ha ha ha...!"
Naga Sakti Berwajah Hitam tertawa bergelak. Dia geli mendengar jawaban Jumpena yang penuh kebanggaan ketika menyebut julukan ayahnya.
"Jadi, kau putri Pendekar Jari Maut...? Ha ha ha...! Ada urusan apa ayahmu berani menyuruhmu kemari untuk
mengantarkan surat. Cepat berikan surat itu...!"
"Bagaimana mungkin aku bisa memberikan surat kalau keadaanku seperti ini?!" sentak Jumpena kesal.
"Ooh..., begitu kiranya...?" Naga Sakti Berwajah Hitam tertawa. "Biarlah kau kubebaskan. Lagi pula kau tidak mungkin bisa berbuat sesuatu selama ada aku di sini. Sekalian aku ingin melihat wajah aslimu!"
Naga Sakti Berwajah Hitam mengibaskan tangan kanannya. Terdengar bunyi angin bertiup pelan. Seketika itu pula Jumpena merasakan jalan darahnya kembali mengalir lancar. Tapi, kibasan tangan Naga Sakti Berwajah Hitam membuat dandanan rambutnya berantakan. Rambutnya yang semula digelung ke atas terlepas dari ikatan dan terurai.
Saat itu pula Lanang termangu-mangu.
"Kiranya dia seorang gadis yang luar biasa cantiknya...!" seru pemuda pesolek itu dengan suara tertahan.
"Matamu memang tajam, Lanang! Kau tahu mana wanita cantik dan mana yang tidak. Tapi ingat, wanita seperti ini tidak menguntungkan apabila dijadikan permainan seperti wanitawanita lain yang biasa kau dapatkan. Dia lebih baik kita pergunakan untuk menambah ilmu."
Lanang langsung membisu. Kelihatan jelas pemuda pesolek ini amat takut pada ayahnya.
Tanpa mempedulikan putranya lagi, Naga Sakti Berwajah Hitam mengalihkan perhatian pada Jumpena yang telah berdiri tegak.
"Ayo, serahkan surat itu! Jangan coba-coba menipuku. Kau akan mengalami nasib yang mengerikan!"
Jumpena yang memang memiliki watak pemberani hanya tersenyum mengejek. Kemudian perhatiannya dialihkan pada bagian dalam bajunya. Tapi, beta-papun dijelajahi seluruh bagian dalam pakaiannya tidak ditemukan surat itu.
"Jangan katakan kau tidak menemukan surat itu, Nona Muda. Aku tidak pernah main-main!" Naga Sakti Berwajah Hitam membuka ucapannya dengan su-ara angker.
"Barangkali saja terjatuh, Ayah." Lanang yang merasa suka dengan Jumpena mengajukan pembelaan. "Atau, barangkali kau kurang teliti mencarinya, Nona Manis? Mungkin aku perlu turun tangan untuk membantumu."
"Diam kau, Lanang!" bentak Naga Sakti Berwajah Hitam.
Seketika pemuda pesolek itu membungkam mulutnya. Tapi, hanya sebentar saja. Pemuda pesolek itu teringat sesuatu.
"Aku rasa dia berkata benar. Ayah. Tadi kulihat kawannya memungut sesuatu di tanah. Pasti itu surat yang dimaksudnya!"
Naga Sakti Berwajah Hitam yang sudah bersikap mengancam karena paling tidak suka ditipu mengendur kembali urat-urat di tubuhnya.
"Mungkin kau benar, Lanang. Tapi, biarlah untuk sementara gadis ini menjadi tawanan kita!"
Naga Sakti Berwajah Hitam lalu melambaikan tangan kanannya. Kelihatan sembarangan, tapi Jumpe-na yang mencoba untuk mengelak tidak mampu. Tubuh gadis berpakaian kuning ini ambruk ke tanah. Ia terke-na totokan jarak jauh Naga Sakti Berwajah Hitam yang mengenai bahu kanan.
"Bawa dia, Lanang!"
Naga Sakti Berwajah Hitam memberikan perin-tah pada putranya. Kemudian, membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Tapi ingat, jangan berbuat macam-macam. Atau kau akan kehilangan kepalamu!"
Lanang tidak berani banyak bicara. Tanpa suara sedikit pun dari mulutnya dipanggulnya tubuh Jumpe-na. Pemuda pesolek ini melangkah mengikuti ayahnya.
–––––––– 8
"Jumpena.... Ah... betapa malang nasibmu, Sahabatku...!" Dirgantara mengeluh seraya menyandarkan tubuh di sebatang pohon besar. Pemuda berompi kulit harimau ini telah berada jauh dari Puncak Gunung Ci-kuray. Wajahnya dibanjiri peluh karena terus-menerus berlari.
Dengan napas yang masih memburu Dirgantara mengurut kakinya yang tertendang. Pemuda berompi kulit harimau ini meringis kesakitan. Tapi terus saja di-urutnya.
Beberapa saat kemudian, Dirgantara menerawang ke angkasa. Tatapannya kosong. Yang teringat pemuda berwajah persegi ini hanya Jumpena. Keane-han sikap Jumpena membuat Dirgantara tercenung.
Dirgantara merasa bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Mengapa dia merasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam dadanya setelah berpisah dengan Jumpena? Mengapa sikap, senyum, dan cara pemuda berpakaian kuning itu tertawa terbayang-bayang dalam matanya. "Hhh...!"
Dirgantara menghela napas berat. Ternyata dia menyukai Jumpena, bahkan terlalu menyukai, sebagaimana sukanya seseorang terhadap lawan jenisnya. Padahal Jumpena seorang lelaki! Kalau pemuda berpakaian kuning itu tahu tentu Dirgantara akan ditinggalkan setelah terlebih dulu dimaki habis-habisan.
"Rupanya aku telah gila...!" Dirgantara mengeluh dengan suara tertahan. Kedua tangannya mendekap wajah. Pemuda berompi kulit harimau ini kelihatan ter-pukul sekali menyadari keanehan perasaannya.
Tiba-tiba Dirgantara teringat surat milik Jumpena yang tadi berhasil dibawanya kabur. Dipandanginya surat yang tergenggam di tangan kanan setelah diambil dari selipan pinggangnya. Batin pemuda berwajah persegi ini berperang. Di satu pihak ingin membuka surat itu, dan di lain pihak berusaha melarangnya karena hal itu bukan urusannya.
Akhirnya, setelah beberapa saat termangu-mangu ragu Dirgantara memutuskan untuk membuka gulungan surat Siapa tahu ditemukannya suatu petunjuk untuk menemukan Jumpena. Dengan harap harap cemas pemuda berompi kulit harimau ini membuka gulungan surat.
Sahabatku Naga Sakti Berwajah Hitam.
Bersamaan suratku ini aku ingin memberitahukan kepadamu kalau aku berniat mengikat hubungan kekeluargaan denganmu. Kebetulan aku mempunyai seorang putri, Jumini, namanya. Dialah yang membawa suratku ini untuk kuserahkan padamu.
Kudengar kau memiliki seorang putra. Aku bermaksud menjodohkannya dengan putramu. Tentu saja sebelumnya kita harus mengatur pertemuan agar tidak terjadi salah paham. Biar mereka saling mengenai lebih dulu.
Untuk semua itu kupercayakan padamu, Sobatku. Aku hanya tahu hasilnya. Tak lama lagi aku akan berkunjung ke tempatmu, untuk melihat hasilnya. Selamat berusaha, Sobatku! Semoga berhasil.
Kawanmu, Pendekar Jari Maut.
Sepasang mata Dirgantara membelalak lebar. Banyak hal-hal mengejutkan yang diterimanya. Keterke-jutan pertama yang bercampur kegembiraan adalah Jumpena ternyata seorang wanita! Seorang perempuan yang pasti cantik jelita. Ia bernama Jumini.
Tapi, keterkejutan lain yang menyakitkan hati Jumini ternyata telah dijodohkan oleh Pendekar Jari Maut, dengan putra Naga Sakti Berwajah Hitam! Ada rasa sakit yang menikam hati pemuda berompi kulit ha-rimau ini.
"Jumini...!"
Bagai orang kurang ingatan, Dirgantara berseru keras memanggil nama Jumpena yang sebenarnya Jumini. Dirgantara mengepalkan kedua tangannya dan menengadahkan kepala menatap langit.
"Aku akan membebaskan mu, Jumini...! Apa pun yang akan terjadi kau harus bebas...!"
Setelah mengeluarkan perkataan keras ini, Dirgantara melesat cepat menuruni lereng gunung. Pemuda ini menyadari benar apabila menolong Jumini sendirian tidak akan berhasil. Kemungkinan besar ia hanya akan menyerahkan nyawa. Maka, cara lain akan ditempuhnya.
***
"Tidak kelirukah kau, Dirga?!" Pertanyaan yang bernada tidak percaya itu dikeluarkan seorang kakek berpakaian sederhana.
Tubuhnya kekar dan berkulit hitam legam. Kulit orang yang terbakar matahari. Usia kakek ini belum terlalu tua, tapi seluruh rambutnya telah memutih.
Kakek berambut putih itu berjalan mondar-mandir di depan seorang pemuda berompi kulit hari-mau yang tengah duduk bersila dengan sikap hormat Pemuda ini adalah Dirgantara.
"Aku yakin sekali, Guru," Dirgantara menyahut pelan tapi penuh keyakinan. "Bukan hanya ciri-cirinya saja yang sesuai. Kepandaiannya juga tinggi. Dan lagi, bukankah tokoh yang memiliki ciri-ciri demikian dan tinggal di tempat itu hanya Naga Sakti Berwajah Hitam, Guru?"
Kakek berambut putih yang bukan lain Petani Berambut Putih, guru Dirgantara, menghela napas berat. Dia berdiri di depan muridnya dengan dahi berkernyit dalam.
"Meskipun demikian, kau tidak boleh bertindak gegabah, Dirga. Naga Sakti Berwajah Hitam terkenal sebagai tokoh tingkat tinggi golongan putih. Tak mungkin beliau bertindak serendah itu. Menghina dua orang muda. Apalagi sampai menahan keturunan Pendekar Jari Maut. Kau tahu, pendekar itu adalah sahabat karib Naga Sakti Berwajah Hitam. Jadi, rasanya mustahil kalau dia melakukan hal sekejam itu. Aku yakin ada sesuatu yang tidak wajar di balik semua ini."
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Guru? Mendiamkan saja Jump... Jumini ini dalam bahaya?" Dirgantara hampir keseleo lidah menyebut nama Jum-pena.
"Tentu saja tidak!" jawab Petani Berambut Putih setelah tercenung sebentar. "Kurasa lebih baik kau kembali ke tempat Jumini ditawan. Tapi, jangan bertindak sembarangan. Aku sendiri yang akan pergi menjumpai Pendekar Jari Maut untuk mengabarkan berita ini. Dialah yang paling berkepentingan dalam masalah ini. Kau mengerti, Dirga? Ingat, jangan bertindak gegabah. Masalah ini belum jelas. Siapa tahu pelaku semua ini bukan Naga Sakti Berwajah Hitam, melainkan orang-orang yang sengaja ingin menjatuhkan namanya. Kita jangan sampai terkecoh.
"Aku mengerti. Guru. Tapi..., apakah rencana Guru tidak terlalu memakan waktu? Bagaimana kalau Jumpena telah lebih dulu dicelakai?" Dirgantara men-gutarakan kekhawatirannya.
"Berdoalah agar hal itu tidak terjadi, Dirga." Petani Berambut Putih menyambuti dengan tenang. "Apa-bila itu terjadi, anggap saja memang sudah seharusnya terjadi. Kewajiban seorang manusia hanya berusaha dan
berikhtiar, tapi Tuhan-lah yang menentukan.
Dirgantara tidak berani memberikan bantahan. Dia menyadari kebenaran ucapan gurunya. Tambahan lagi, dia tidak berani berdebat lagi. Tindakan itu berarti tidak mempercayai keputusan yang diambil Petani Berambut Putih.
"Agar kau tidak menjadi resah, mungkin perlu kuberitahu, Dirga," sambut Petani Berambut Putih yang mengetahui keresahan hati muridnya. "Tempat tinggal Pendekar Jari Maut berada di tengah perjalanan menuju tempat tinggal Naga Sakti Berwajah Hitam. Hanya menyimpang sedikit. Jadi, tidak terlalu membuang wak-tu lama."
"Terserah Guru saja. Aku percaya Guru men-gambil keputusan yang terbaik." Dirgantara pasrah.
"He he he....!" Petani Berambut Putih tertawa lunak. "Kau jangan khawatir, Dirga. Percayalah padaku. Aku tak akan membiarkan calon mantuku celaka."
"Apa maksudmu. Guru? Calon mantu?" Dirgantara tersentak kaget. Ditatapnya wajah Petani Berambut Putih dengan mata bertanya-tanya.
"Tidak usah menyembunyikan rahasia hatimu, Dirga. Sejak kau berusia kurang dari sepuluh tahun, aku telah mengenai betul watakmu. Aku pun pernah muda. Pernah merasakan jatuh cinta. Kau me-mang tidak salah pilih. Keturunan Pendekar Jari Maut memang pantas untuk menjadi jodohmu. Biar aku yang akan membicarakan masalah ini dengan Pendekar Jari Maut. He he he...! Aku sudah ingin melihat kau menikah dan mempunyai anak. Kau sudah cukup umur, Dirga."
"Guru...! Tapi...."
"Jangan katakan kau tidak mencintainya, Dirga!" selak Petani Berambut Putih, tak sabar. "Kekhawatiranmu yang terlalu berlebihan atas nasib gadis itu telah menjadi bukti nyata kalau kau mencintainya. Atau..., jangan-jangan gadis itu yang tidak mencintaimu? Kalau memang benar demikian, dia tentu seorang gadis yang bodoh. Apa lagi yang kurang dari dirimu. Tampan, gagah, memiliki kepandaian tinggi."
"Tapi Guru..., ayahnya...."
"Jangan kau pikirkan ayahnya!" potong Petani Berambut Putih. "Ayahnya biar aku yang urus. Yang penting, katakan padaku apakah gadis itu juga mencintaimu? Setidak-tidaknya menunjukkan tanda-tanda menyukai. O ya, siapa nama gadis itu, Dirga? Aku lupa lagi."
"Jumini, Guru," jawab Dirgantara dengan hati berdebar tegang. Dia ingin mengatakan pada gurunya kalau Jumini telah dijodohkan dengan putra Naga Sakti Berwajah Hitam. Tapi, Petani Berambut Putih tidak memberikan kesempatan. Dirgantara pun memutuskan untuk membiarkan saja hal itu.
"O ya, Dirgantara. Bagaimana tanggapan Jumini selama kau melakukan perjalanan bersamanya?"
"Baik sekali. Guru," kemudian Dirgantara menceritakan semua kejadian yang dialaminya sehingga bertemu dengan Jumini.
Petani Berambut Putih kelihatan terkejut men-dengar pengalaman Dirgantara. Beberapa kali seruan kaget keluar dari mulutnya.
"Tengkorak Darah...," desis Petani Berambut Putih hampir tidak percaya. "Sudah lama aku mendengar julukannya. Tapi, dia lenyap setelah bertemu dengan Iblis Buta. Entah apa yang terjadi antara mereka. Iblis Buta pun demikian. Julukannya lenyap begitu saja dari dunia persilatan. Kabarnya tokoh ini tak pernah kenal ampun. Tidak hanya tokoh-tokoh golongan hitam saja yang dimusuhi. Tokoh golongan putih pun demikian. Banyak tokohtokoh golongan hitam yang tewas di tangannya.
Mengingat kekejamannya, orang-orang memasukkannya dalam kelompok golongan hitam. Padahal, kebanyakan korbannya adalah orang-orang golongan hitam. Entah apa yang dicarinya."
Dirgantara membiarkan saja gurunya tenggelam dalam alun pikirannya. Sampai akhirnya kakek itu te-ringat sendiri.
"Sudahlah, Dirga. Kurasa lebih baik kau cepat pergi. Hanya pesanku, jangan bertindak gegabah. Usahakan jangan turun tangan kecuali terpaksa sekali. Tunggu kedatanganku dengan calon mertuamu, Pendekar Jari Maut. Nah, sekarang pergilah...!" Setelah berkata demikian, kakek berambut putih ini membalikkan tubuh dan masuk ke dalam ruangan lain. Ruangan yang dijadikan tempatnya menyepi.
"Aku pergi dulu, Guru."
Dirgantara menghormat sekali lagi sebelum me-lesat pergi. Dia yakin, gurunya akan pergi juga tak lama sepeninggalnya. Ada sedikit perasaan lega dan girang di hati Dirgantara. Gurunya akan turun tangan untuk menyelamatkan Jumini. Dan, akan berbicara dengan Pendekar Jari Maut mengenai perjodohannya dengan Jumini. Meski Jumini telah dijodohkan dengan putra Naga Sakti Berwajah Hitam, tapi maksud gurunya sedi-kit banyak menimbulkan harapan di hati Dirgantara. Harapan yang membuatnya selalu menyenangkan Ju-mini. Bahkan di sepanjang perjalanan, Dirgantara membayangkan bagaimana rupa gadis berpakaian kuning itu dalam dandanan aslinya. Tidak dalam penyamaran sebagai seorang pemuda.
Dugaan Dirgantara ternyata tidak keliru. Sepeninggal dirinya, Petani Berambut Putih melesat meninggalkan tempat kediamannya. Ia bermaksud mencari Pendekar Jari Maut untuk mengabarkan perihal Jumini.
Berhasilkah Dirgantara membebaskan Jumpena yang ternyata seorang gadis bernama Jumini? Benarkah seperti yang dikatakan Peramal Gendeng, Iblis Buta se-benarnya tidak pernah ada? Siapa pulakah Tengkorak Darah?
––––GS––––
SELESAI
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
MISTERI GADIS GILA
INDEX AJI SAKA | |
78.Pembalasan Dari Liang Lahat --oo0oo-- 80.Misteri Gadis Gila |