Life is journey not a destinantion ...

Misteri Gadis Gila

INDEX AJI SAKA
79.Iblis Buta --oo0oo-- 81.Mustika Ular Emas

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta



Cetakan pertama. Penerbit Cintamedia, Jakarta. Penyunting : Tuti S. Hak cipta pada Penerbit.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

1

"Guru...!" Terdengar seruan bernada takut-takut yang berasal dari mulut mungil seorang gadis berkulit tubuh putih mulus terbungkus pakaian hitam. Sehingga, terlihat menyolok sekali dengan warna pakaiannya. Dia berdiri di belakang sosok berpakaian merah yang tengah duduk di pinggir sungai dengan pandangan tertuju ke depan. Entah, apa yang tengah ditatapnya. "Hm...!" Sosok berpakaian merah itu sukar digambarkan ciricirinya, karena pakaiannya longgar membuat bentuk tubuhnya tak terlihat jelas. Apalagi wajahnya ditutupi topeng tengkorak sungguhan, sehingga sukar dikenali. Dia hanya menggumam pelan, tanpa sedikit pun bergeming atau bahkan menoleh.
"Sejak keluar beberapa minggu yang lalu dan kembali dalam keadaan terluka, Guru jadi sering berlaku seperti ini. Aku jadi ikut sedih dan terharu. Aku tidak ingin Guru bersedih. Aku ingin berbuat sesuatu untuk membantu Guru. Katakan, Guru. Apa yang telah terjadi?! Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu," ujar gadis berpakaian hitam, mulai bera-ni. Padahal menilik dari jari-jemarinya yang saling genggam dan dipermainkan, bisa terlihat kegelisahan hatinya.
"Hhh…!" Sosok bertopeng tengkorak menghembuskan napas berat, seakan hendak menyingkirkan beban yang mengganjal dalam dada.
"Aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih atau bingung, Linggar. Kuharap lebih baik kau tidak usah memikirkan persoalan ini. Terlalu rumit! Kau akan bingung dan pusing nantinya!" sahut sosok berpakaian merah, yang dipanggil guru. "Tidak, Guru. Aku tidak akan pusing! Dan lagi, apa artinya pusing sedikit dibanding pengorbananmu. Guru telah memelihara ku sejak kecil, hingga sebesar ini dengan penuh kasih sayang. Guru telah menganggapku seperti anak sendiri. Bahkan aku menganggapmu sebagai orangtua ku sendiri. Tentu saja, itu kalau Guru tidak keberatan. Jadi, tidak ada salahnya kalau Guru menceritakan masalah yang menghimpit batinmu," ujar gadis berpakaian hitam yang dipanggil Linggar, panjang lebar sambil duduk di sebelah sosok ber-topeng tengkorak yang tetap tak menoleh.
Sosok bertopeng tengkorak tidak memberi jawaban apa-apa. Diam. Sementara Linggar menunggu dengan sabar, kendati tidak bisa menduga apa yang tengah berkecamuk dalam batin sosok gurunya ini. Amat sulit untuk membaca perasaan lewat wajah itu. Karena yang terlihat hanya topeng belaka, yang sejak dulu sorotnya selalu dingin!
"Ayolah, Guru. Tidak baik menyimpan masalah sendirian. Lagi pula, bila mengeluarkan masalah yang mengganjal hati, akan membuat dada dan pikiran menjadi lega," bujuk Linggar setengah bernada menggurui.
"Kau benar," akhirnya keluar juga ucapan lewat mulut yang tidak pernah terlihat "Tidak ada salahnya kau kuberitahukan. Barangkali saja kau bisa memecahkan masalah yang ku alami. Toh, kau telah cukup dewasa, dan memiliki kepandaian cukup untuk terjun dalam dunia persilatan."
“Terima kasih atas kepercayaanmu, Guru," ucap Linggar dengan wajah berseri-seri. Linggar sama sekali tidak tahu kalau di balik topengnya, sosok berpakaian merah itu tersenyum mendengar ucapannya.
"Kau pernah kuceritakan mengenai anakku, bukan?!" tanya sosok berpakaian merah longgar itu sambil menoleh dan menatap sepasang mata Linggar lekat-lekat Linggar sampai bergidik di dalam hati ketika melihat sepasang mata yang tajam mencorong dan bersinar kehijauan yang memancar dari balik topeng itu. Sorot mata yang seakan-akan dapat mengetahui apa yang tengah tersembunyi di dalam hati.
"Benar, Guru," jawab Linggar agak serak karena suaranya mendadak tercekat di tenggorokan. Perasaan ngeri yang muncul tiba-tiba menyebabkan suara Linggar demikian. Dan dia mempunyai alasan yang kuat. Apalagi setelah menyadari kalau gurunya bukan dari golongan baik-baik. Malah sebalik-nya! Meski terhadap dirinya amat baik, tapi Linggar tidak berani bertindak sembarangan. Dia tahu gurunya memiliki watak amat aneh. Bisa saja tanpa alasan sosok berpakaian merah itu akan menghukumnya. Bahkan membunuhnya kalau kebetulan tengah tidak senang hati!
"Nah! Itulah sebabnya, Linggar. Beberapa hari yang lalu, ketika tengah terjun ke dunia persilatan lagi, aku bertemu seorang pemuda yang wajahnya amat mirip dengan orangtuanya. Sehingga aku yakin, jangan-jangan anak itu adalah anakku yang terpaksa berpisah karena keadaan." Linggar tak begitu kaget mendengarnya. Apalagi gurunya telah terlalu sering bercerita tentang anaknya.
..... "Apakah putramu itu mengenalmu, Guru?!"
"Tentu saja tidak! Topeng yang ku kenakan ini membuat wajahku tidak dikenalnya. Celakanya lagi, sebelum aku sempat menemukan akal agar dapat memperkenalkan diriku padanya, muncul seorang pendekar muda berjuluk Dewa Arak yang langsung mencampuri urusan ini. Kami terlibat pertarungan. Dan ternyata, dia lihai bukan main. Aku dapat dika-lahkannya. Beruntung aku bisa melarikan diri. Kalau tidak..., entah apa yang terjadi dengan diriku..."
Barulah Linggar saat ini benar-benar kaget. "Jadi..., luka yang Guru derita karena bentrok dengan Dewa Arak?! Hhh...! Biar aku yang akan membalaskan dendammu itu, Guru. Akan kucari Dewa Arak. Akan kubalaskan sakit hatimu, Guru. Dan apabila, dia terlalu lihai, akan kucari cara lain untuk mengalahkannya! Aku berjanji, Guru!" tandas Linggar seraya bangkit dengan kedua tangan terkepal. Sikapnya terlihat gagah bukan main.
"Kalau begitu, wakililah aku untuk menemukan putraku itu. Juga balaskan dendamku pada Dewa Arak!" titah sosok berpakaian merah longgar.
"Akan kulaksanakan perintahmu, Guru! Kapan aku harus berangkat?!"
"Sekarang juga!"
"Baik, Guru!" jawab Linggar mantap.
"Sekarang juga akan kupersiapkan semua yang kuperlukan untuk bekalku." Sosok berpakaian merah tidak memberi jawaban. Tapi, Linggar tidak menjadi kecil hati. Dia telah kenal betul watak gurunya yang aneh. Maka dengan semangat menggebu tubuhnya berbalik untuk kembali ke pondoknya untuk segera berangkat mencari Dewa Arak "Aku pergi dulu, Guru!"

****

Linggar melakukan perjalanan tanpa tergesa-gesa. Sambil melangkah, kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri, menikmati pemandangan indah yang terhampar di sekitarnya. Tempat tinggal Linggar bersama gurunya me-mang di atas puncak Gunung Merbabu. Sewaktu meninggalkan gurunya, dia langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang membuat sosoknya tidak terlihat saking cepatnya bergerak. Bahkan kedua kakinya bagai tak menyentuh tanah! Tapi begitu telah berada di lereng, perjalanan dilakukan secara biasa. Ketika mengalihkan perhatian ke depan, Ling-gar terperanjat Di kejauhan dari kaki gunung, tampak berkelebat tiga sosok hitam di kejauhan. Gerakannya cepat bukan main. Dan mata Linggar yang tajam, segera saja mengetahui kalau itu adalah tiga sosok tubuh yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa! Jelas, mereka adalah orang-orang persilatan! Jantung Linggar berdetak jauh lebih cepat. Arah yang dituju tiga sosok itu adalah puncak Gunung Merbabu tempat gurunya tinggal! Perasaan tidak enak, mulai merayapi hatinya. Karena Linggar tahu, tempat gurunya tinggal sangat terpencil, tidak pernah didatangi orang! Maka tak heran kalau Linggar mulai mengkha-watirkan keadaan gurunya. Bukan tidak mungkin kalau tiga sosok itu memang ingin menemui gurunya tanpa maksud baik.
Meskipun demikian, Linggar berusaha tenang dengan sikap tak peduli. Kakinya terus terayun. Tapi baru beberapa betas tindak, terpaksa langkahnya dihentikan. Karena, tiga sosok itu telah berdiri berjajar menghalangi jalannya.
"Siapa kalian?! Mengapa menghalangi perjala-nanku?!" tanya Linggar dengan sikap tenang sambil merayapi tiga sosok yang berdiri di hadapannya.
"Ha ha ha...!" Salah seorang dari tiga sosok yang berdiri dalam jarak tiga tombak di depan Linggar tertawa terbahakbahak. Seakan-akan pertanyaan yang diajukan gadis itu sangat lucu. Sosok itu memiliki tubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat.
"Kau seorang gadis luar biasa, Anak Manis! Sungguh berani kau bersikap seperti itu pada kami! Kau tahu, siapa kami?!"
"Kami berjuluk Tiga Setan Langit Bumi!" sambung lelaki yang bertubuh kecil kurus. Kemudian, jari tangannya yang kecilkecil menuding kawannya yang lebih dulu berbicara. "Dia berjuluk Setan Tenaga Raksasa. Sedangkan aku berjuluk Setan Tanpa Bayan-gan."
"Dan aku Setan Pisau!" sambut lelaki terakhir yang warna kulit wajahnya kekuningan.
Linggar terkejut. Tapi dengan pandainya, perasaan itu disembunyikan hingga tidak terlihat pada wajahnya yang cantik.
Gurunya, pernah menceritakan tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, baik dari golon-gan putih maupun hitam. Dan, Tiga Setan Langit Bumi ini termasuk dalam golongan hitam yang memiliki ke-pandaian tinggi. Namun, Linggar tidak merasa gentar.
"Dan maksud kalian menghadang perjalanan-ku?!" Linggar mengulang pertanyaannya yang belum terjawab dengan sikap masih tenang
"Hanya untuk menanyakan keperluanmu berada di tempat ini," sahut Setan Pisau dengan sikap tenang. Di samping memiliki sikap tenang, Linggar juga memiliki watak cerdik. Maka mendapat pertanyaan ringan itu, tidak langsung dijawabnya. Dari pertanyaan seperti itu bisa jadi dirinya terperangkap bila memberi jawaban sejujurnya. Tentu saja keselamatan gurunya sangat dikhawatirkan. Dia tahu, gurunya banyak mempunyai musuh! Dan bukan tidak mungkin Tiga Setan Langit Bumi merupakan musuhnya.
"Kalau aku tidak mau menjawab?!" pancing Linggar.
"Ha ha ha...!" Setan Bertenaga Raksasa tertawa bergelak. Tokoh ini memang gemar tertawa. "Ingin kami tahu, sampai berapa lama kau bisa bertahan untuk tidak memberi jawaban!"
"Biar aku yang memaksanya!" Setelah berkata demikian, Setan Pisau menu-bruk Linggar. Tangan kanannya dengan jarijari menegang kaku ditusukkan ke arah dada gadis berpakaian hitam ini. Bunyi mencicit tajam terdengar, ketika jari-jari tangan itu merobek udara. Linggar tahu, tusukan jari tangan Setan Pisau amat berbahaya. Bahkan tak kalah berbahaya jika dibanding tusukan senjata tajam. Jari-jari itu bahkan mampu menghujam batu karang yang paling keras sekalipun!
Secepat kilat Linggar melompat ke belakang sambil menghunus pedang dan membabatkannya ke leher Setan Pisau.
Setan Pisau terperanjat melihat serangan balasan yang cepat ini. Kenyataan ini menyadarkan dirinya kalau gadis muda ini tak bisa dipandang remeh! Maka dengan kecepatan menakjubkan, diambilnya pisau dari balik bajunya. Lalu dengan kecepatan dahsyat, ditangkisnya pedang yang mengancam leher.
Trang! Bunyi nyaring disertai bunga api berpijar mengiringi terjadinya benturan pedang Linggar dengan sebilah pisau mengkilap di tangan kiri Setan Pisau. Sementara itu Setan Tenaga Raksasa dan Setan Tangan Bayangan membelalakkan mata saking kagetnya, ketika melihat tubuh Setan Pisau terhuyunghuyung empat langkah ke belakang akibat benturan keras tadi. Padahal Linggar hanya terhuyung dua langkah! Setan Pisau yang mengalami sendiri kejadian itu tidak hanya kaget saja, tapi juga marah. Dia benar-benar malu! Kenyataan ini pun menyadarkan dirinya kalau gadis ini bukan lawan ringan! Maka sambil mengeluarkan teriakan kemarahan, lelaki bermuka kuning ini menerjang. Kali ini tindakannya tidak setengah-setengah lagi.
Setan Pisau langsung mengeluarkan seluruh kemampuannya!
Memang tidak percuma bila lelaki bermuka kuning ini berjuluk Setan Pisau. Sepasang pisau yang be-rada di tangannya, berkelebatan laksana kilat men-gancam ke berbagai bagian tubuh Linggar. Sebuah permainan pisau yang benar-benar luar biasa. Meskipun demikian, Linggar tidak ciut nyalinya. Bahkan gadis ini mampu mengirimkan serangan yang tak kalah berbahaya! Ketenangannya membuat setiap serangan Setan Pisau selalu berhasil dikandaskan! Bahkan Linggar yang tahu kelebihannya dalam tenaga, selalu mengajak untuk berbenturan senjata.
Tentu saja Setan Pisau yang telah kenyang pengalaman mengetahui maksud lawannya. Maka dia berusaha secepat mungkin untuk menghindari terjadinya benturan senjata. Andaikata tidak mungkin, diusahakannya untuk berbenturan secara tidak langsung, agar tidak terlalu merugikan dirinya. Tindakan yang diambil ini, membuat Setan Pisau jadi berada di pihak yang terdesak. Sementara Setan Tenaga Raksasa dan Setan Tanpa Bayangan tahu kalau dibiarkan terus, rekan mereka akan menghadapi bahaya. Bahkan bukan ti-dak mungkin akan tewas. Maka setelah saling berpan-dangan sebentar, kedua anggota Tiga Setan Langit Bumi ini mengeluarkan senjata masing-masing. Setan Tanpa Bayangan mencabut golok besarnya, sedangkan Setan Tenaga Raksasa mengeluarkan ruyung berbatang tiga. Lalu sambil berteriak keras bagai harimau terluka, mereka terjun dalam kancah pertarungan! Hanya dalam beberapa gebrakan, keadaan lam kancah pertarungan berubah! Linggar yang tadi berada dalam kedudukan mendesak, sekarang menjadi terdesak! Satu hal yang menguntungkan Linggar adalah ketenangannya. Karena sifat itulah, dia dapat bertahan lebih lama! Memang, siasat yang dipergunakan Linggar kali ini cukup jitu. Betapa pun gencar serangan-serangan yang meluncur, tapi karena kuatnya pertahanannya, tak satu pun yang mengenai sasaran yang dituju. Bahkan setiap tangkisan membuat lawannya terhuyung-huyung.
Kendati demikian, Tiga Setan Langit Bumi tidak cepat putus asa. Bahkan berkat pengalaman dalam kancah dunia persilatan, ketiga tokoh sesat itu segera menemukan siasat untuk menarik keuntungan dari cara yang dipergunakan Linggar dengan melancarkan serangan bergiliran tanpa putus-putus. Cara Tiga Setan Langit Bumi ini memang cerdik bukan main. Serangan yang bergantian, membuat Linggar terus-menerus mengerahkan tenaga penuh tanpa istirahat. Sedangkan lawan-lawannya mempunyai waktu untuk memulihkan tenaga. Maka hanya dalam beberapa jurus saja tenaga Linggar telah jauh berkurang. Des! Karena kurang cepat menangkis akibat terlalu lelah, tendangan Setan Tanpa Bayangan mendarat di paha Linggar. Tubuhnya kontan terjengkang ke belakang. Pedangnya terlempar. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, golok Setan Tanpa Bayangan telah menempel di lehernya. Sedikit saja ditekankan, nyawa gadis ini akan melayang ke alam baka. Linggar pun mengendurkan uraturat syarafnya yang telah menegang, karena siap untuk dipergunakan. Disadari kalau tidak ada gunanya lagi melakukan perlawanan.
"Tunggu apa lagi?! Ayo, bunuhlah aku! Kau kira aku orang yang takut mati?!" tantang Linggar, tenang.
"Membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan, Anak Manis!" kata Setan Tenaga Raksasa parau, setelah terlebih dulu tertawa bergelak. "Tapi, untuk apa?! Kami hanya ingin mengajukan satu pertanyaan padamu. Dan apabila kau bersedia menjawabnya, akan kami bebaskan! Bagaimana?!"
Linggar diam. Sikap tenang membuatnya tidak segera menjawab, melainkan mempertimbangkan. "Bukankah kau punya hubungan dengan Tengkorak Darah?!" tanya Setan Pisau yang mempunyai watak tidak sabar, waktu Linggar terdiam.
Linggar sama sekali tidak terkejut mendengar dugaan yang demikian tepat. Dia sudah menduga, kalau kedatangan Tiga Setan Langit Bumi ini ada hubungan dengan gurunya, Tengkorak Darah. Dan menilik tingkah mereka, bisa diketahui kalau maksud yang terkandung tidak baik. Maka gadis berpakaian serba hitam ini diam membisu, tidak memberi jawaban sedikit pun. Setan Pisau menggertakkan gigi karena geram melihat pertanyaannya tidak dipedulikan. Seketika kedua tangannya yang menggenggam pisau digerakkan dengan kecepatan mengagumkan. Sehingga yang terlihat hanya kelebatan sinar-sinar yang menyilaukan mata. Sementara Linggar hanya memejamkan mata untuk menanti datangnya maut, ketika melihat Setan Pisau menggerakkan sepasang senjatanya. Tapi, ternyata yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Gadis itu hanya merasa kelebatan angin bermain di bagian atas tubuhnya. Lalu, desingan pisau lelaki bermuka kuning itu tidak terdengar lagi. Berbarengan dengan itu, Linggar merasakan hawa dingin menghembus bagian atas tubuhnya. Perasaan heran membuat Linggar membuka matanya. Dan, gadis itu kontan terpekik keras dengan wajah merah padam. Dengan kedua tangannya dia berusaha menutupi sepasang payudara yang menyembul seakan ingin melompat keluar. Ternyata, sekujur tubuh bagian atasnya telah tidak tertutup pakaian lagi! Sedangkan pakaian hitam bagian atasnya telah berserakan di tanah dalam keadaan tercabik-cabik!
Dalam keadaan lain, Linggar mungkin menga-gumi kehebatan permainan pisau Setan Pisau, sehingga mampu mencabik-cabik pakaian yang melekat di tubuh tanpa melukai kulitnya sedikit pun. Tapi sekarang, yang ada di benaknya hanya perasaan malu yang amat sangat dan marah! Tapi apa dayanya? Ujung golok Setan Tanpa Bayangan ternyata masih menempel di lehernya. Sedangkan di sebelah kirinya, Setan Tenaga Raksasa pun siap melancarkan serangan maut dengan ruyung berbatang tiganya. Sikap tenang Linggar mulai tidak terlihat De-ngan gugup, bagian tubuhnya yang telanjang berusaha disembunyikan dengan kedua tangannya. Tapi, tinda-kannya hampir tidak berguna sama sekali. Sebagian payudaranya tetap saja terlihat. Apalagi bagian tubuhnya yang lain, yang tidak bisa disembunyikan. Terlihat putih, halus, dan mulus. Sehingga, membuat sepasang mata Tiga Setan Langit Bumi tertuju pada tubuh telanjang itu dengan sorot seakan-akan ingin menelan bulat-bulat. Sorot nafsu memancar pada mata-mata yang terbelalak lebar, seakan hendak melompat keluar dari rongganya!
"Apakah kau masih mau bersikeras juga, Anak Manis?!" ancam Setan Pisau lagi. Suara napasnya memburu, karena cengkeraman nafsu birahi yang mulai berkobar.
"Sekali sepasang pisauku ini bergerak lagi, kau akan berdiri dalam keadaan telanjang bulat di sini. Dan setelah itu, tinggal menerima nasib menjadi permainan kami sampai kami puas! Sampai kau mati kelelahan! Pilih saja salah satu! Menjawab pertanyaan itu atau..."
"Iblis-iblis keparat!" maki Linggar geram dan putus asa, karena tidak berdaya menerima pilihan yang menyulitkan ini. Hatinya merasa ngeri membayangkan Setan Pisau akan melaksanakan ancamannya. "Kalian tidak memberiku pilihan lain!"
"Jadi kau bersedia menjawab pertanyaan kami?!" tanya Setan Pisau lagi dengan pandang masih melahap bagian tubuh Linggar yang telanjang. Linggar mengangguk, meski dengan hati berat.
"Aku memang mempunyai hubungan dengan Tengkorak
Darah. Beliau adalah guruku...," jawab gadis ini, lirih.
"Jadi..., Tengkorak Darah benar tinggal di tempat ini?! Di atas Puncak Merbabu sana?!" Setan Tenaga Raksasa ikut mengajukan pertanyaan. Sama seperti Setan Pisau, mata lelaki tinggi besar ini leluasa menjilati tubuh Linggar yang telanjang. Sinar matanya seperti mata seekor harimau lapar melihat kambing gemuk! Linggar mengangguk. Tiga Setan Langit Bumi saling berpandang se-bentar. Kemudian hampir bersamaan mereka tertawa bergelak.
"Aku telah menjawab pertanyaan kalian. Berarti, aku bisa pergi dari sini sekarang," tagih Linggar.
Lagi-lagi Tiga Setan Langit Bumi saling berpandang dan tertawa bergelak. Seakan-akan pertanyaan yang diajukan gadis itu merupakan sebuah hal yang amat lucu.
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, Anak Manis," ujar Setan Tenaga Raksasa dengan suara mengejek.
"Bukankah kalian telah berjanji untuk membebaskan aku, apabila pertanyaan kalian kujawab?! Nah! Pertanyaan kalian telah kujawab! Sekarang, aku menagih janji! Ataukah..., kalian ini hanya sekelompok pengecut hina yang biasa menarik janji yang telah di-ucapkan?! Apakah ucapan yang keluar dari mulut kalian tak ubahnya kotoran yang keluar dari lubang dubur kalian?! Setelah dikeluarkan, lalu dilupakan begitu saja?!"

–––––––– 2 ––––––––

Tajam bukan main ucapan Linggar. Apalagi, diucapkan dengan suara keras. Sampai-sampai wajah Tiga Setan Langit Bumi berubah-ubah karena pedasnya nada ucapan itu.
"Siapa yang tidak menepati janji, Nona Bermu-lut Lancang?!" Setan Tenaga Raksasa masih mampu meredam kemarahannya. Sehingga, tidak melampiaskannya dalam bentuk perbuatan. Hanya saja ucapan lelaki tinggi besar ini penuh getaran kemarahan.
"Kalian semua!" tandas Linggar berani sambil menatap wajah tiga tokoh sesat itu. Kemarahan membuat gadis ini bertindak demi-kian. Kemarahan yang timbul karena merasa ditipu. Juga khawatir akan terjadinya peristiwa mengerikan terhadap dirinya.
"Bukankah kalian telah berjanji untuk membe-baskan bila aku menjawab pertanyaan? Tapi, mengapa aku tidak boleh pergi dari sini?! Bukankah itu berarti kalian melanggar perjanjian yang telah dibuat sendi-ri?!"
"Siapa bilang?!" tukas Setan Tenaga Raksasa dengan suara tinggi.
"Kaulah yang tidak menyimak perjanjian yang telah disepakati, Nona Berpikiran Pendek! Ingat! Bukankah aku berjanji akan membebaskanmu kalau telah selesai berurusan denganmu! Paling tidak setelah berurusan dengan tubuhmu yang molek!"
Linggar mengutuk dalam hati. Dia tahu, Tiga Setan Langit Bumi memang sengaja bertindak licik dengan mencari celahcelah kelemahan dari janji yang dibuat, demi keuntungan diri sendiri. Tapi, apa yang bisa dilakukannya sekarang?! Dalam waktu yang hanya sebentar, Linggar be-rusaha keras untuk mencari jalan keluar agar bisa lolos dari malapetaka yang mengerikan. Tapi, rasanya sukar! Dia tahu, ketiga lawannya telah siap sedia. Sedikit saja, otot-otot atau urat sarafnya menegang, mereka akan lebih dulu bertindak! Dan gadis ini yakin kalau akan kalah cepat bergerak, mengingat kedudukan-nya yang tidak menguntungkan. Linggar bimbang. Haruskah membiarkan saja Setan Pisau melakukan perbuatan tak senonoh yang lebih mengerikan? Menyayat celananya dengan sepasang pisaunya? Ataukah dia bergerak untuk menyelamatkan diri, dengan akibat terkena serangan Setan Tanpa Bayangan atau Setan Tenaga Raksasa?! Dalam saat-saat yang menentukan, mendadak Linggar mendengar ucapan di telinganya. Begitu jelas, sehingga hatinya merasa khawatir kalau Tiga Setan Langit bumi mendengarnya. Tapi ketika melihat ketiga tokoh sesat itu masih bersikap biasa, dia tahu kalau ucapan itu hanya ditujukan padanya seorang. Linggar yang memiliki seorang guru berkepandaian tinggi, segera tahu kalau ucapan itu hanya bisa dilakukan melalui ilmu mengirimkan suara dari jauh. Sebuah ilmu yang hanya bisa dikuasai oleh orang yang telah memiliki tenaga dalam sukar diukur tingkatan-nya.
"Jangan kaget, Nona. Aku akan menarik tubuhmu ke belakang. Kuharap kau jangan melakukan perlawanan. Ikuti saja kekuatan tarikan itu, agar aku lebih mudah menolongmu...."
Jantung Linggar berdebar tegang. Dia tahu ada orang sakti yang berusaha menolongnya. Dan karena keadaannya yang sulit untuk ditolong secara biasa, orang sakti itu hendak menolongnya dengan cara tak lazim. Menarik! Dan Linggar tahu, cara itu membutuhkan tenaga dalam amat kuat! Sementara itu, Setan Pisau masih mempermainkan sepasang pisaunya di depan dada. Rupanya, perasaan Linggar ingin disiksanya lebih dulu, sebelum melaksanakan ancamannya. Memang, bagi orang sekejam Setan Pisau, semakin tersiksa hati lawan, semakin gembira hatinya. Lelaki bermuka kuning ini sengaja mengulur-ulur waktu untuk mencabik-cabik celana Linggar, kendati sebenarnya nafsu birahinya telah meledak-ledak di ubun-ubun! Sementara, Setan Tenaga Raksasa dan Setan Tanpa Bayangan diam-diam mendongkol bukan main melihat sikap rekannya. Kedua tokoh dari Tiga Setan Langit Bumi ini sudah hampir tidak tahan lagi untuk melihat Linggar berbugil ria di hadapan mereka.
"Hey...!" Seruan kaget itu keluar hampir berbareng dari mulut Tiga Setan Langit Bumi ketika melihat tubuh Linggar tahutahu tertarik secara keras ke belakang. Padahal, mereka tidak melihat adanya gelagat kalau gadis berpakaian hitam itu akan melakukan sebuah gerakan pun. Tiga Setan Langit Bumi segera tahu kalau ada pihak ketiga yang telah campur tangan. Kemarahan besar pun bergolak di hati mereka. Bagai diberi perintah, tubuh mereka melesat memburu tubuh Linggar yang tengah melayang deras ke belakang. Tiga Setan Langit Bumi berusaha untuk merampas tubuh gadis itu.
Tapi sebelum maksud Tiga Setan Langit Bumi terlaksana, dari balik kerimbunan pepohonan meluncur tiga benda berwarna kehijauan. Cepat sekali luncurannya, hingga mengeluarkan bunyi melengking nyaring. Arah yang dituju adalah leher tiga Setan Langit Bumi! Tiga tokoh sesat ini tidak berani bertindak gegabah. Dari bunyi yang terdengar bisa diketahui kalau tiga benda kehijauan itu cukup dahsyat. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, senjata andalan masing-masing segera digunakan untuk memapaki. Trang, trang, trang! Tiga Setan Langit Bumi tanpa sadar menyeri-ngai, ketika merasakan tangan yang menggenggam senjata terasa sakit-sakit dan bergetar hebat. Hal ini benar-benar mengejutkan hati! Apalagi, ketika melihat kalau benda kehijauan itu hanya berupa daun! Sungguh tidak bisa dipercaya kalau tiga helai daun mampu membuat tangan mereka kesemutan hebat! Demikian kuatkah tenaga dalam orang yang lelah campur tangan itu, sehingga mampu membuat senjata yang lebih be-sar dan berat hampir terlepas dari pegangan! Akibat tangkisan pada daun-daun itu, Tiga Setan Langit Bumi terpaksa menggagalkan maksud mengejar Linggar. Sebelum mereka sempat berbuat sesua-tu, dari arah kerimbunan pepohonan melesat sesosok bayangan. Dan hanya dengan sekejap saja, sosok bayangan itu telah berdiri di depan Tiga Setan Langit Bumi! Tiga Setan Langit Bumi terpaksa mengalihkan pandangan dari tubuh Linggar yang telah lenyap di ba-lik kerimbunan pepohonan, ke arah sosok yang berdiri di hadapan mereka.
"Keparat! Rupanya kau yang telah mencampuri urusan kami?! Sebutkan namamu sebelum kami kirim ke akhirat, Bangsat?!" bentak Setan Pisau penuh kemarahan, sambil menatap tajam pada sosok yang berdiri di hadapannya. Seakan dia ingin menelan bulat-bulat lewat sorot matanya.
"Orang berwatak keji seperti kalian, tidak patut untuk mengenal namaku!" tandas sosok yang telah menyelamatkan Linggar dengan suara penuh getar kemarahan. Sosok ini adalah seorang pemuda berambut putih keperakan, berpakaian ungu. Siapa lagi kalau bukan Arya Buana alias si Dewa Arak? Pendekar muda yang paling benci melihat kejahatan berupa pelecehan harkat wanita. Tak aneh kalau Arya demikian marah pada Tiga Setan Langit Bumi.
"Keparat! Kucincang kau...!" Setan Pisau yang tidak bisa mengekang ama-rahnya lagi melihat sambutan Dewa Arak, langsung menerjang maju dengan tusukan sepasang pisaunya secara bertubi-tubi.
Tapi dengan sikap tenang, Dewa Arak mengelak di antara kelebatan sinar pisau. Sekali kedua tangan-nya bergerak menotok siku, Setan Pisau mengeluh tertahan.
Tuk!
"Aaakh!"
Kedua tangan Setan Pisau mendadak lumpuh. Maka tanpa dapat dicegahnya lagi, sepasang senja-tanya jatuh ke tanah. Dan sebelum dia sempat menya-dari apa yang telah terjadi, Dewa Arak telah menepuk kedua pangkal lengannya secara cepat. Pak!
"Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya, Setan Pisau memekik ter-tahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan kedua tangan tergantung di sisi pinggang. Wajah lelaki ini yang memang sudah kuning, semakin kuning karena rasa sakit yang amat sangat. Tulang pangkal lengan Setan Pisau telah hancur berantakan. Dan ini berarti, lelaki tokoh Tiga Setan Langit Bumi ini tidak akan kuasa lagi mengerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Dengan sendirinya, Setan Pisau telah kehilangan kemampuannya yang diandalkan.
Setan Tanpa Bayangan dan Setan Tenaga Raksasa terkejut campur marah ketika melihat keadaan rekan mereka. Sama sekali tidak disangka kalau lawan yang dihadapi demikian sakti, sehingga mampu membuat Setan Pisau tidak berdaya hanya dalam segebrakan. Perasaan marah membuat sisa tokoh Setan Langit Bumi ini meluruk menerjang Dewa Arak.
Setan Tenaga Raksasa mengayunkan ruyung ke arah kepala. Sedangkan Setan Tanpa Bayangan membabatkan golok ke arah leher! Sementara Dewa Arak tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya, kendati menghadapi dua buah serangan maut yang amat berbahaya. Sikapnya tetap te-nang. Baru ketika seranganserangan itu menyambar dekat, pemuda berambut putih keperakan ini bertindak. Hantaman ruyung pada kepalanya ditangkis dengan tangan kanan. Sedangkan babatan golok pada leher dibiarkan saja, setelah mengerahkan tenaga dalam untuk membuat leher itu lebih keras daripada baja! Pyar! Tak!
Ruyung Setan Tenaga Raksasa kontan hancur berantakan ketika berbenturan dengan tangan Dewa Arak yang penuh getaran tenaga dalam kuat. Sedangkan golok Setan Tanpa Bayangan yang menghantam sasaran, terpental kembali seakan menghantam gumpalan karet keras! Dua tokoh Setan Langit Bumi ini terperanjat. Dan kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak sebaikbaiknya untuk melancarkan serangan. Dia segera mendesak maju. Kemudian, dua tangannya menepak dada lawan-lawannya. Masing-masing sekali, dan tidak begitu keras. Pak! Pak! Kendati demikian, tubuh Setan Tenaga Raksasa dan Setan Tanpa Bayangan kontan terjengkang ke belakang bagai diseruduk kerbau liar. Dari mulut mereka mengalir darah segar. Dua anggota Setan Langit Bumi ini tahu, bila melawan terus tidak ada gunanya. Pemuda itu terlalu kuat untuk dapat ditandingi. Apalagi setelah mereka terluka dalam seperti ini. Maka setelah terlebih dulu melemparkan pandangan kebencian, tubuh Tiga Setan Langit Bumi ini berbalik lalu melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Sementara Dewa Arak tidak mengejar. Pemuda berambut putih keperakan ini hanya memperhatikannya, hingga tubuh tiga sosok sesat itu lenyap di kejau-han. Arya tahu, tidak ada yang perlu di-khawatirkan terhadap Tiga Setan Langit Bumi. Mereka memang tidak berbahaya lagi, bagai harimau kehilangan taring. Tidak hanya Setan Pisau yang kehilangan sebagian besar kemampuannya, tapi juga Setan Tanpa Bayangan dan Setan Tenaga Raksasa. Tepakan Dewa Arak telah membuat mereka terluka dalam yang amat parah dan membuat isi dada terguncang. Mereka bisa saja sembuh, tapi tidak akan mungkin bisa memiliki tenaga dalam yang cukup kuat lagi!

***

"Terima kasih atas pertolonganmu..., nggg..., Arya. Namamu Arya bukan?!" Sebuah suara dari belakang membuat Arya membalikkan tubuh. Seperti yang sudah diduga, Linggarlah yang mengatakannya. Sekarang, gadis itu telah rapi seperti biasa setelah mengganti pakaiannya di semak-semak. Bagian atas tubuhnya telah terbungkus pakaian hitam. Linggar memang membawa pakaian sewarna yang cukup banyak, di dalam buntalannya.
"Benar sekali, Nona. Namaku memang Arya. Arya Buana. Dan kuminta jangan mempersoalkan pertolongan tadi. Aku hanya kebetulan lewat tempat ini, dan kebetulan melihat kejadian ini. Aku memang paling benci dengan penjahat-penjahat semacam itu," sa-hut Arya tanpa menanyakan nama gadis yang ditolongnya, dan mengapa bisa berada di tempat seperti ini. Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau Linggar ada-lah gadis dari persilatan!
"Apa pun katamu, aku tetap berterima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Tanpa adanya per-tolongan ini, mungkin aku sudah...," Linggar tidak berani melanjutkan perkataannya. Karena baru mengin-gat kejadian tadi, bulu kuduknya sudah berdiri, "O ya. Namaku Linggar."
Sambil tersenyum Arya menyambut uluran ta-ngan gadis berpakaian hitam itu. Linggar memang bukan seorang gadis pemalu, meskipun memiliki watak pendiam. Kesan yang terlihat, Linggar tampak matang.
"Kau pasti seorang pendekar, Arya. Kepandaianmu hebat sekali! Tiga Setan Langit Bumi yang sakti itu pun berhasil kau halau dengan mudah," puji Linggar penuh perasaan kagum sambil melepaskan genggaman tangannya.
Arya tertawa pelan. "Kau terlalu memuji, Linggar. Kalau tidak keburu takut bila kau segera ikut campur dalam pertarungan, mana mungkin mereka melarikan diri?!" timpal Arya merendah hingga memancing tawa lunak Linggar. Linggar merasakan sesuatu yang aneh menyeruak dalam dada. Perasaan suka yang timbul ketika melihat wajah dan tingkah Arya. Bahkan perasaan itu semakin membesar begitu menyaksikan sendiri sikap rendah hati pemuda berambut putih keperakan itu. Gadis ini merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari semula. Suasana langsung hening. Linggar memang pendiam. Kendati memiliki sikap tenang, namun tidak mampu membuka percakapan selanjutnya.
"Kau sendiri, mengapa bisa berada di sini, Ling-gar?!" tanya Arya untuk memecahkan keheningan yang melingkupi.
"Ah, iya. Hampir saja aku lupa. Aku mempunyai sebuah urusan yang harus segera kuselesaikan. Urusan yang menjadi perintah guruku. Apakah kau bersedia? Aku harus segera turun gunung," Linggar terjingkat karena teringat akan urusannya. "Kau sendiri..., hendak ke mana, Arya?!"
Linggar mengajukan pertanyaan itu dengan penuh perasaan harap-harap cemas. Dalam pertanyaan itu sebenarnya terkandung ajakan terselubung, apabila pemuda berambut putih keperakan itu tidak mempunyai tujuan pasti. Bukankah pemuda itu tadi mengatakan keberadaan di tempat ini hanya sekadar le-wat? Berarti dia memang tidak mempunyai tujuan. Dan tidak ada salahnya kalau mereka melakukan per-jalanan bersama. Tapi, tentu saja Linggar tidak berani mengajukan penawaran karena merasa malu.
Tapi harapan di hati Linggar langsung kandas ketika mendengar sambutan Arya. "Ah...! Kalau begitu, keberadaanku di sini mengganggu urusanmu, Linggar. Silakan berangkat. Aku sendiri akan mengikuti ke mana kakiku melang-kah. Silakan."
"Kalau begitu, selamat tinggal, Arya. Sekali lagi, terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Aku berjanji, meski kau tidak mengharapkannya, akan kubalas budi baikmu ini."
Dengan menahan kekecewaan, Linggar berbalik dan melangkah meninggalkan tempat itu. Perasaan kecewa membuatnya langsung mengeluarkan ilmu lari cepatnya.
Sehingga dalam sekejapan saja, tubuhnya telah tidak terlihat lagi. "Seorang gadis yang hebat!" puji Arya penuh perasaan kagum. Seketika itu pula Dewa Arak teringat kembali akan kekasihnya, Melati. Di mana gadis berpakaian putih yang cantik jelita itu sekarang?! Ah! Betapa rindu hatinya untuk segera bertemu Melati! Pertemuannya dengan Linggar, membuatnya teringat akan Melati dan mendatangkan kerinduan yang menggebu-gebu. Arya menggeleng-geleng keras untuk mengusir bayangan Melati dari kepalanya.
Disadari, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan Melati. Ada hal penting yang harus diselesaikannya. Dia telah mendengar akan keluarnya dua datuk sesat yang amat sakti dari pertapaannya, karena tergiur Telur Elang Pe-rak. Dan dengan keluarnya datuk sesat itu, berarti ma-lapetaka besar bagi dunia persilatan akan terjadi. Dan sudah kewajiban Arya untuk menumpasnya!
Arya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keberadaannya di tempat ini sebenarnya bukan secara kebetulan. Melainkan, atas petunjuk seorang tokoh persilatan yang memiliki kemampuan luar biasa. Terutama dalam hal ilmu meramal! Tokoh itu berjuluk Peramal Gendeng!

****

Teringat Peramal Gendeng, membuat Arya ter-ingat kembali akan pertemuannya dengan kakek Aneh yang selalu mengenakan pakaian terbalik itu. Maka benaknya langsung menerawang, mengingat kejadian itu. Dewa Arak yang waktu itu memang hendak mencari dan menemukan Peramal Gendeng, sehabis menolong Jumpena dan Dirgantara dari tangan maut Tengkorak Darah, segera melesat menuju tempat yang dimaksud (Untuk jelasnya mengenai kejadian antara Tengkorak Darah, Dewa Arak, Jumpena, dan Dirganta-ra, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode : "Iblis Buta").
Namun belum begitu jauh Dewa Arak melesat, mendadak saat itu telinga Arya mendengar....
"Huakh...!"
Bunyi khas dari orang yang memuntahkan darah segar terdengar jelas oleh telinga Dewa Arak yang saat itu tengah melalui kerimbunan semak-semak dan pepohonan lebat Bunyi itu memaksa pemuda berambut putih keperakan ini untuk mempercepat langkah. Dia tahu, dan orang yang tengah membutuhkan pertolongan, meski belum diketahui mengapa orang itu sampai memuntahkan darah.
Dewa Arak segera mengerahkan kemampuan-nya sehingga kerimbunan semak-semak lebih dulu terkuak, sebelum tubuh berambut putih keperakan itu menerobosnya. Pengerahan tenaga dalam ke sekujur tubuh, telah menimbulkan getaran hebat. Sehingga membuat kerimbunan semak-semak terkuak, sebelum tubuh pemuda berambut putih keperakan itu melabraknya. Bunyi berkerosakan nyaring terdengar setiap kali tubuh Dewa Arak menerobos kerimbunan semak-semak, yang kendati pun telah terkuak, tetap saja ter-langgar tubuhnya.
"Tahan...!" Begitu keluar dari kerimbunan semak-semak, Dewa Arak langsung mengeluarkan teriakan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam luar biasa.
Dalam cengkeraman perasaan kekhawatiran, Arya sampai mengeluarkan teriakan dengan tenaga dalam sepenuhnya. Seruan pemuda berambut putih keperakan itu memang keras bukan kepalang, membuat sesosok tubuh jangkung yang tengah mengejar-ngejar sesosok tubuh kecil kurus yang tengah bergulingan, menghentikan pengejaran. Dan dia segera menoleh ke belakang. Sosok jangkung yang ternyata seorang kakek berwajah muram ini merasakan dadanya tergetar hebat, pertanda orang yang mengeluarkan seruan memiliki tenaga dalam amat kuat! Arya menghembuskan napas lega ketika melihat sosok kecil kurus yang ternyata seorang kakek berpakaian terbalik, belum mengalami kejadian yang mengkhawatirkan. Meski memang di sekitar mulutnya tampak cucuran darah yang keluar akibat luka dalam. Arya tahu, luka itu tidak akan membahayakan nyawa apabila segera dilakukan tindak penanggulangan.
Maka, dengan sikap tenang Dewa Arak mengayunkan kaki mendekati. Dua sosok itu yang bukan lain dari Peramal Gendeng dan Jerangkong Penjagal Nyawa memang masih berjarak sekitar delapan tombak darinya. Dan Jerangkong Penjagal Nyawa berada lebih dekat dengannya. Sikap Dewa Arak membuat Jerangkong Penjagal Nyawa semakin murka. Kakek Jangkung ini memang memiliki watak pemarah. Tentu saja tindakannya yang terganggu dalam menamatkan riwayat Peramal Gendeng, membuatnya murka. Sekarang ditambah lagi dengan sikap Dewa Arak yang terlihat jelas seperti tidak memandang rendah padanya. Maka Jerangkong Penjagal Nyawa menjadi kalap!
"Pemuda Gila tak tahu diri! Rupanya kau ingin segera menghadap malaikat maut?!"
Jerangkong Penjagal Nyawa segera mengayunkan kakinya yang panjang-panjang. Hanya beberapa langkah saja, dia telah berada di depan Arya dalam jarak tiga tombak. Kakek jangkung ini tidak mempedulikan lagi keadaan Peramal Gendeng. Yang ada di benaknya adalah, menghancurkan orang yang telah berani mengacau urusannya.
"He he he...!" Begitu berhasil bangkit, Peramal Gendeng langsung tertawa terkekeh-kekeh. Kelihatan gembira sekali, bahkan mengandung ejekan. Karuan saja tindakan kakek ini membuat Dewa Arak mengernyitkan alisnya. Sungguh seorang kakek yang aneh! Bukannya segera memulihkan luka dalamnya, tapi malah tertawa. Dan akan menyebabkan luka dalam itu semakin parah!
"Jerangkong Penjagal Nyawa! Tengkorak Berjalan yang bangkit kembali dari lubang kubur, kali ini kau akan mendapatkan lawan setimpal! Nama besarmu akan runtuh di tangan pemuda itu! Dialah Dewa Arak! Jagoan muda yang julukannya telah menggeger-kan dunia persilatan! Kau akan roboh di tangannya. He he he...! Uhugh!"
Peramal Gendeng menutup ucapan dan tawanya dengan batuk-batuk yang memercikkan darah segar. Maka terpaksa tawanya dihentikan. Arya yang telah bersiap-siap menghadapi Jerangkong Penjagal Nyawa hanya bisa menggeleng menyimpan perasaan tak mengertinya akan sikap Peramal Gendeng dalam hati. Perhatiannya semakin besar dipusatkan pada Jerangkong Penjagal Nyawa yang di-yakini memiliki kepandaian tinggi, karena memang sa-lah seorang dari dua datuk sesat yang telah lama men-gundurkan diri akibat merasa tua! Sekujur urat-urat saraf pemuda berambut putih keperakan ini menegang penuh kewaspadaan. Dalam hatinya, Dewa Arak berterima kasih pada Peramal Gendeng. Dalam sikap anehnya, kakek berpakaian terbalik itu masih berbaik hati untuk memberitahukan padanya, siapa lawan yang tengah dihadapi. Sehingga Arya bisa bersikap lebih hati-hati dan waspada.

–––––––– 3 ––––––––

Tapi bukan hanya Dewa Arak saja yang merasa terkejut karena ucapan Peramal Gendeng. Jerangkong Penjagal Nyawa pun tak luput dari rasa kaget. Sikap pandang rendahnya, meski sebelumnya telah merasakan kuatnya getaran tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak, langsung pupus. Hal itu terjadi karena mendengar kalau pemuda berambut putih keperakan yang berdiri di hadapannya ini adalah Dewa Arak! Julukan yang amat terkenal dan sempat mampir di telinganya, begitu turun dari pertapaannya! Semula Jerangkong Penjagal Nyawa tidak terlalu menganggap tinggi Dewa Arak, meski telah merasakan sendiri kekuatan tenaga dalam pemuda itu. Tapi, anggapan itu langsung berubah ketika mengetahui kalau sosok yang berdiri di hadapannya adalah Dewa Arak! Meskipun hanya seorang pemuda, namun Dewa Arak tidak bisa disamakan dengan pemuda lainnya. Dalam usia semuda itu, dia telah merambah kerasnya dunia persilatan. Bahkan kenyang bertarung melawan berbagai tokoh persilatan tingkat tinggi, terutama sekali dari golongan hitam. Hal inilah yang menyebabkan Jerangkong Penjagal Nyawa tidak berani memandang rendah.
"Jadi..., kau rupanya Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan itu?! Sungguh kebetulan! Sudah lama kebesaran namamu kudengar. Sudah la-ma pula aku ingin menjajaki kelihaianmu. Dan seka-rang, kau hadir di sini. Bersiaplah mampus di tanganku, Dewa Arak!" tandas Jerangkong Penjagal Nyawa dengan sikap beringas, seperti ikan hiu mencium bau darah.
"Aku pun sudah lama mendengar nama besarmu, Jerangkong Penjagal Nyawa. Sama sekali tidak kusangka akan bertemu di sini, Seperti juga kau, aku mempunyai maksud yang sama denganmu. Kudengar, kau terlalu kejam dengan menyebar maut di mana-mana. Jadi, merupakan kewajibanku untuk melenyapkanmu selama-lamanya. Perjumpaan kita untuk menentukan siapa yang berhak untuk terus hidup!" sambut Arya tak kalah gagah dan tegas.
"Cuhhh...!"
Jerangkong Penjagal Nyawa meludah dengan sikap kasar.
''Tentu saja kau yang akan melawat ke akherat, Dewa Arak!"
Jerangkong Penjagal Nyawa mengegoskan kepalanya keraskeras. Saat itu juga rambutnya yang pendek, terutama sekali di bagian belakang kepalanya, ja-di terayun seperti akan ke depan. Yang luar biasa, beberapa helai rambut kontan terlepas dari kepala dan meluncur ke arah wajah Dewa Arak diiringi bunyi berkesiutan nyaring. Tapi Arya tidak gugup melihat serangan macam ini. Sebelum rambut-rambut itu mengenai sasaran, Dewa Arak melepaskan hembusan napas lewat tiupan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Seketika, rambutrambut yang semula menegang kaku laksana jarum melemas kembali dan runtuh ke tanah. Dewa Arak tidak bertindak gegabah dengan membiarkan rambut-rambut itu mengenai sasaran. Meski hanya rambut yang kelihatannya lemas, tapi karena dorongan tenaga dalam Jerangkong Penjagal Nyawa rambut-rambut itu mampu menembus batu ka-rang yang paling keras sekali pun.
Semula, Jerangkong Penjagal Nyawa sudah memperhitungkan kalau serangannya akan berhasil dikandaskan Dewa Arak. Maka, hatinya tidak merasa heran sama sekali. Serangan itu memang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian Dewa Arak. Dan ketika pemuda berambut putih keperakan itu tengah sibuk untuk mematahkan serangan rambutnya, langsung dikeluarkannya ilmu andalan. Tubuhnya langsung jungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kakek jangkung ini berdiri dengan mempergunakan kepala.
Dewa Arak sampai mengeluarkan seruan kaget, ketika sepasang kaki yang panjang meluncur ke arah kepalanya. Buruburu, pemuda ini melompat ke belakang hingga serangan ini gagal mengenai sasaran. Tapi sambil mengeluarkan dengusan nyaring, Jerangkong Penjagal Nyawa mengejar Dewa Arak dengan cara aneh bukan main. Kakek ini berlompatan mengejar dengan mempergunakan kepalanya! Sehingga, terdengar bunyi berisik ketika batok kepala itu berbenturan dengan tanah. Melihat keanehan ilmu lawannya, Dewa Arak lak ragu-ragu lagi mengeluarkan ilmu andalannya, 'Belalang Delapan Langkah'. Tak pelak lagi, perta-rungan aneh pun berlangsung. Di lain tempat, yang hanya berjarak beberapa tombak dari situ, Peramal Gendeng sibuk memperhatikan jalannya pertarungan. Kakek aneh ini sama sekali tidak mempedulikan luka dalamnya. Bagaikan seorang bocah menemukan tontonan menarik, demikian kelakuannya.
"Bagus! Bagus, Dewa Arak! Pukul kepalanya! Ya, betul! Ah, sayang meleset! Awas! Awas kaki yang kurus itu mengenai mukamu! Benar, bagus! Mengelak! Hantam! Serang! Patahkan saja tulang-tulang Tengkorak Berjalan itu, Dewa Arak!"
Sambil mencak-mencak tak karuan, kakek kecil kurus ini tak henti-hentinya memberi semangat pada Dewa Arak. Padahal, beberapa kali seruannya terhenti oleh batuk beruntun yang memercikkan darah segar. Bahkan beberapa kali ketika mencakmencak, seakan-akan dia sendiri yang bertarung, kakek ini menyeringai kesakitan. Tapi, toh kelakuannya itu tetap diteruskan.
Di kancah pertarungan sendiri, memang berjalan menarik. Dewa Arak harus mengakui kalau Jerangkong Penjagal Nyawa benar-benar memiliki kemampuan mengagumkan. Ilmu kakek jangkung itu benar-benar mengejutkan! Di samping aneh dan sukar ditebak, juga sulit ditangkal! Baik untuk mengelakkan atau menangkis, benar-benar membuat Dewa Arak harus menguras seluruh kemampuan. Yang lebih mengejutkan Dewa Arak lagi, setiap serangannya sebelum mengenai sasaran sering melenceng, karena ada kekuatan tak nampak menyebar di sekujur tubuh kakek jangkung itu. Arya benar-benar dipaksa untuk menguras seluruh kemampuan. Dewa Arak mengeluh dalam hati. Ilmu lawan-nya benar-benar membuat serangan-serangannya kehilangan keampuhan. Serangan yang seharusnya tertuju pada kepala, leher, atau ulu hati, selalu berbenturan dengan lutut atau betis lawan. Cara bertarung Jerangkong Penjagal Nyawa memaksa Dewa Arak untuk sesering mungkin mempergunakan sepasang kakinya, melakukan tendangan-tendangan rendah. Dewa Arak merasa jemu bertarung seperti ini. Dia tahu, apabila tidak dilakukan satu perubahan, pertarungan akan berjalan ulet. Dan hal itu akan membahayakan nyawa Peramal Gendeng. Kakek itu karena bawaan sifatnya yang aneh, jadi tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri. Yang dipentingkannya hanya kesenangan belaka. Menyaksikan jalannya pertarungan yang menarik, dia bukannya memikirkan pengobatan luka dalamnya. Kalau pertarungan berlangsung lama, nyawa Peramal Gendeng bisa terancam!
Maka, Dewa Arak segera memikirkan untuk bertindak nekat. Ketika kedua tangan Jerangkong Pen-jagal Nyawa meluncur ke arah bawah pusar dan ulu hati, sengaja tindakannya berkesan lambat. Dia mengelak dengan cara menarik tubuh bagian bawah jauhjauh ke belakang. Kelanjutannya, seperti yang diduga Dewa Arak. Jerangkong Penjagal Nyawa yang melihat kesempatan baik itu segera melancarkan serangan. Kedua kakinya yang menjulang, meluncur ke arah kepala. Saat itu, Dewa Arak bertindak sigap. Tubuhnya cepat ditegakkan sambil melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah ulu hati dan pusar!
"Uhhh...!" Jerangkong Penjagal Nyawa mengeluarkan keluhan tertahan, kaget bukan main. Kalau menuruti perasaan, serangan itu ingin dibatalkan saja. Karena dengan bangkitnya Dewa Arak, sasaran yang tertuju kedua kakinya melenceng ke bagian pundak. Di lain pihak dia sendiri terancam pada bagian yang memati-kan. Tapi keinginan itu hanya mudah dipikirkan, tapi tidak untuk dilaksanakan. Meskipun demikian, ka-rena sayang pada nyawa, kakek ini berusaha keras menghindari. Dengan keahliannya, tanpa membatal-kan serangan, tubuhnya dibuat doyong ke belakang, dengan hanya sedikit menggerakkan kepala. Pada saat yang bersamaan, kedua tangannya melakukan tangkisan bertubi-tubi ke arah kaki Dewa Arak. Duk, duk, plak, plak, des! Benturan nyaring terdengar berkali-kali disusul dengan terhuyung-huyungnya tubuh Dewa Arak dan Jerangkong Penjagal Nyawa. Arya terhuyung sampai beberapa langkah. Sebaliknya, Jerangkong Penjagal Nyawa terpaksa berlompatan beberapa kali dengan ke-palanya ke belakang, karena dorongan keras yang sangat kuat.
"Huakh...!" Bahkan Jerangkong Penjagal Nyawa sampai memuntahkan darah segar dari mulutnya ketika berdiri dengan kedua kakinya kembali. Kakek ini tampak masih terhuyunghuyung. Sebaliknya, Dewa Arak berdiri tegak, tidak kurang suatu apa pun. Tapi, kedua tangannya terkulai ke sisi pinggang. Pangkal lengan Arya terlepas dari sam-bungannya akibat terkena tendangan kaki Jerangkong Penjagal Nyawa yang dilakukan beruntun. Memang dalam benturan tadi serangan Jerangkong Penjagal Nyawa mendarat pada kedua bahunya. Sedangkan serangan Dewa Arak sendiri berhasil mendarat di perut lawannya. Hanya satu saja yang mengenai sasaran. Itu pun tidak terlalu telak, karena Jerangkong Penjagal Nyawa berhasil menangkisnya.
Meskipun demikian serangan itu telah cukup membuat kakek jangkung yang konyol itu terluka dalam yang cukup parah!
"Kau hebat, Dewa Arak!" Jerangkong Penjagal Nyawa memberikan pujian. ''Tapi aku belum kalah. Saat ini, tenagaku telah terkuras habis karena telah bertarung dengan Peramal Gendeng. Lain kali kita akan bertemu lagi. Dan kau akan kukirim ke akherat! Selamat tinggal!" Tanpa mempedulikan Dewa Arak lagi, kakek jangkung ini berbalik dan berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Kendati demikian, kecepatan larinya masih luar biasa! Dewa Arak menghela napas, antara perasaan kagum dan lega. Diam-diam hatinya meraga kagum bukan main terhadap Jerangkong Penjagal Nyawa. Dia tidak yakin akan dapat mengalahkan kakek jangkung yang amat sakti itu.
Karena lawan yang menolak melanjutkan pertarungan, tambahan lagi keadaannya sendiri tidak menguntungkan, Dewa Arak tidak bisa bertindak apa-apa lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini hanya mengawasi kepergian lawannya.
"Kau hebat, Dewa Arak. Julukanmu yang meenggemparkan memang tidak hanya berita besar belaka." Ucapan serak yang diikuti batuk-batuk itu membuat Arya tersadar dari kesimanya. Pemuda be-rambut putih keperakan ini menoleh ke belakang, menatap Peramal Gendeng. Lalu, bibirnya tersenyum le-bar.
"Kau benar-benar seorang kakek yang luar bi-asa, Peramal Gendeng!" ujar Dewa Arak tanpa menyembunyikan perasaan kagumnya, seraya melangkah menghampiri Peramal Gendeng. "Dalam keadaan terluka parah, bukannya berusaha menyembuhkan lukamu, tapi malah bersorak-sorai menyaksikan jalan-nya pertarungan. Pantas kau berjuluk Gendeng di samping Peramal yang tersandang, Kek."
"Ah...! Begitulah, Dewa Arak? Kurasa bukan karena itu aku mendapat julukan demikian. Tapi, karena kemampuanku menebak pertanyaan orang dan membuat orang lain tidak bisa menebak pertanyaanku. Kalau kau berhasil menebak pertanyaanku, kau boleh mengajukan satu pertanyaan padaku. Tapi sebaliknya, bila kau tidak bisa menebaknya, kau harus ganti mengajukan satu pertanyaan padaku? Bagaimana, Dewa Arak?! Apakah kau berani menerima tantangan yang kuajukan?!"
Dewa Arak menyembunyikan perasaan geli dalam hati melihat tingkah Peramal Gendeng yang tetap tidak mempedulikan luka dalamnya. Hatinya tidak heran melihat watak Peramal Gendeng yang aneh. Dewa Arak terlalu sering menjumpai tokoh aneh dalam perantauannya. Bahkan tokoh yang suka tebak-tebakan seperti halnya Peramal Gendeng (Untuk jelasnya sila-kan baca serial Dewa Arak dalam episode : "Pembunuh Gelap").
"Semut apa yang untuk mengangkatnya membutuhkan orang yang bertenaga amat kuat! Tidak sembarang orang bisa mengangkatnya?! Ayo, silakan tebak Dewa Arak! Kuberi waktu sampai lima puluh hitungan!" Arya mengernyitkan alis dengan sikap sungguh-sungguh, seperti layaknya orang yang tengah berpikir keras. Sebuah pertanyaan yang mudah sebetulnya. Demikian kata hati pemuda ini. Namun, untuk tidak membuat kecil hati Peramal Gendeng, Dewa Arak pura-pura berpikir keras. Sementara itu, Peramal Gendeng mulai menghitung begitu selesai mengajukan pertanyaan. Sejak hitungan pertama sampai kelima, dia berhitung dengan tenggang waktu. Tapi menginjak hitungan keenam, dasar tokoh berwatak aneh, hitungannya dengan kecepatan membalap. Hingga hanya dalam sekejapan saja, hitungannya telah mencapai hitungan keempat puluh lima. "Aku tahu, Kek!" seru Arya sehingga membuat Peramal Gendeng menghentikan hitungannya. Lang-sung ditatapnya Arya dengan sinar mata setengah tak percaya.
"Apa jawabanmu, Dewa Arak?!"
"Semut raksasa!" tebak Arya, mantap. "Salah!" sentak Peramal Gendeng kegirangan, karena pertanyaannya tak terjawab.
Kakek ini sampai mencak-mencak kegirangan dan membuatnya terbatuk-batuk secara hebat! Batuk yang memercikkan darah segar! Arya hanya melongo heran, mendengar jawa-bannya dianggap tidak tepat.
"Apakah kau tidak keliru, Kek?!" sergah pemu-da berambut putih keperakan ini karena merasa pena-saran dan takut Peramal Gendeng salah mendengar. "Jawabannya adalah Semut Raksasa. Bukankah demikian?"
"Bukan itu jawabannya, Dewa Arak! Mana ada semut raksasa?! Di mana pun, semut selalu kecil ukurannya. Dan, tak akan lebih dari ibu jari tangan manusia. Bukan! Bukan itu jawabannya, Dewa Arak. Cari jawaban lainnya!" Arya memutar otak untuk mencari jawaban yang tepat. Tapi sampai beberapa lama, tetap saja ti-dak diketahuinya. Sambil menghela napas berat pe-muda ini menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa menemukan jawaban lainnya! Pertanyaanmu terlalu sulit."
"Sudah kuduga, Dewa Arak! Dalam ilmu silat dan berkelahi, kau boleh mengaku nomor satu! Tapi dalam hal tebak-tebakan, kemampuanmu nol! Kuberikan sebuah pertanyaan yang paling mudah pun, kau tidak mampu menjawabnya! Luar biasa! Kau ingin tahu jawabannya? Semut yang terselip di dalam sebuah batu sebesar gajah! Ha ha ha...!"
Arya tersenyum masam. Kalau begitu caranya, sampai mati pun pertanyaan itu tidak akan bisa dijawab dengan tepat. Tapi, Dewa Arak tidak merasa penasaran sedikit pun. Dia tahu, buat orang seaneh kakek ini, apa pun bisa saja dijadikan tebakan yang hanya menguntungkan satu pihak!
"Kek...," Arya buru-buru menyela ketika Peramal Gendeng yang mulai tertawa-tawa mulai terbatuk-batuk lagi akibat luka dalamnya! Dia khawatir luka da-lam kakek itu makin parah dan akhirnya tidak bisa te-robati lagi "Ada apa, Dewa Arak...?! Apakah kau minta kuberi tebak-tebakan lagi?! Atau ingin mengajukan tebakan! Silakan! Silakan! Keluarkan semua persediaan tebakan yang kau miliki!" sambut Peramal Gendeng dengan batuk-batuk yang sesekali menghentikan uca-pannya.
"Tidak kedua-duanya, Kek," Arya menggeleng "Aku mengaku kalah padamu dalam hal bermain tebak-tebakan. Tapi aku mempunyai sebuah permintaan padamu?! Kuharap...."
"Tidak bisa, Dewa Arak!" potong Peramal Gendeng sambil menggoyang-goyangkan tangan kanan di depan dada. "Ingat perjanjian. Apabila kau ingin mengajukan pertanyaan, kau harus bisa menebak satu pertanyaan. Tapi, nyatanya? Kau tidak mampu menjawab! Berarti, kau tidak boleh mengajukan pertanyaan! Mengerti?!" Arya tidak menjadi putus asa atau mundur mendengar bantahan Peramal Gendeng.
"Sama sekali tidak kusangka, Peramal Gendeng yang katanya mampu menjawab pertanyaan yang diajukan orang, tak lebih dari seorang pengecut. Rupanya berita yang kudengar terlalu berlebihan. Menurut berita, Peramal Gendeng adalah seorang tokoh yang tidak takut menghadapi pertanyaan orang. Tapi, kenyataannya...?!"
"Siapa yang takut?!" tukas Peramal Gendeng cepat "Cepat katakan, apa yang ingin kau tanyakan! Akan kubuktikan kalau berita-berita mengenai kepandaianku memberi jawaban tidak berlebihan!"
"Begitukah?!" Arya sengaja membuat Peramal Gendeng lebih panas dengan sikap tidak percaya yang ditunjukkannya. Pemuda ini tidak khawatir bila kakek berpakaian terbalik itu akan murka dan menyerangnya habis-habisan. Arya tahu, Peramal Gendeng, sebagaimana tokoh persilatan lainnya yang memiliki watak aneh, tidak akan sampai hati bertindak keji.
"Jangan-jangan begitu mengetahui pertanyaan yang kuajukan, kau akan mencari seribu macam alasan untuk mengelak karena tidak mampu untuk menjawabnya," tambah Dewa Arak.
"Tidak usah banyak ribut! Katakan saja, apa yang hendak kau tanyakan! Akan kau lihat sendiri kalau aku mampu memberi jawaban yang tepat!" sergah Peramal Gendeng berapi-api karena penasaran mengingat kemampuannya diragukan orang.
''Tenang saja, Kek," Arya menyabarkan Peramal Gendeng yang telah kelabakan mirip kakek-kakek kebakaran jenggot. "Masalah mengajukan pertanyaan, soal mudah. Tapi, tidak akan seru bila tidak ada taruhannya."
Sepasang mata Peramal Gendeng terbelalak le-bar seperti akan melompat keluar. Kakek ini tampak kaget tapi hanya sebentar saja. Sesaat kemudian rasa gembira yang amat sangat sudah tampak pada tarikan wajahnya. Peramal Gendeng memang memiliki watak aneh. Semakin menarik sebuah masalah yang diajukan, semakin gembira hatinya. Dan Arya pandai mengemas permasalahan yang akan dipaparkan, sehingga membuat Peramal Gendeng merasa tertarik bukan main.
"Katakan cepat, Dewa Arak! Bagaimana taruhan itu?!" tanya Peramal Gendeng tak sabaran.
"Mudah saja, Kek," jawab Arya berkesan meng-
gampangkan. "Kita bertaruh. Aku dan kau sama-sama menebak, apakah pertanyaan yang akan kuajukan berhasil kau jawab atau tidak. Sebuah pertanyaan yang amat sukar, dan tidak pernah ada orang yang bisa menjawabnya."
Peramal Gendeng menelan ludah penuh minat. Mendengar penegasan Arya kalau pertanyaan itu amat sukar dan belum pernah berhasil dijawab orang, dia merasa tertantang. Sebagai seorang tukang jawab, tidak ada kebahagiaan lain yang didapatkan, selain bisa menjawab sebuah pertanyaan yang amat sukar. Apalagi apabila pertanyaan itu belum pernah dijawab orang seorang pun! Peramal Gendeng jadi semakin mengilar.

–––––––– 4 ––––––––

"Cepat katakan apa taruhannya, Dewa Arak?!" desak Peramal Gendeng hampir tidak bisa menahan kesabarannya lagi.
"Kalau kau bisa menjawab pertanyaan itu, aku mengajukan satu permintaan padamu. Sedangkan kalau kau tidak bisa menjawab, aku boleh mengajukan satu permohonan padamu," jawab Arya dengan sikap sungguh-sungguh. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak sungkan-sungkan lagi mengikuti tingkah Peramal Gendeng. Dia tahu, untuk memahami bahkan mengalahkan orang gila, dia harus ikut-ikutan gila! Kalau tidak, segalanya akan berantakan!
Tapi, dasar Peramal Gendeng memiliki watak aneh. Dia benar-benar tak menyimak kata-kata Dewa Arak. Padahal, taruhan bagi pertanyaan itu tidak menguntungkan pihaknya sama sekali. Bahkan hanya menguntungkan Dewa Arak. Tapi dia malah bersorak-sorak kegirangan.
"Bagus sekali, Dewa Arak! Sungguh sebuah taruhan yang adil sekali! Bagus! Aku setuju! Nah! Sekarang ajukan pertanyaanmu!"
Arya melongo. Meski sebelumnya memang telah mengetahui watak kakek berpakaian terbalik ini, tetap saja tidak menyangka akan seperti ini jawaban yang didapatkan. Untungnya, pemuda berambut putih keperakan ini termasuk dalam jenis orang yang tidak terlalu lama tenggelam dalam alun perasaan. Hanya dalam waktu sebentar saja, dia sudah bisa bersikap biasa.
"Pertanyaan yang hendak kuajukan adalah, di mana adanya Iblis Buta, Kek?!"
Arya hampir terlontar, ketika melihat Peramal Gendeng malah tertawa bergelak hingga terbatuk-batuk. Meski heran, pemuda ini tidak mengajukan pertanyaan lagi. Ditunggunya hingga kakek itu sendiri yang memberi jawaban.
"Luar biasa! Mengapa begitu banyak tokoh persilatan yang mencari-cari Iblis Buta?! Mengapa tidak ada seorang pun yang mencari-cariku?! Apakah orang buta itu memiliki wajah yang lebih tampan daripada aku?!"
Arya tak tahan untuk tidak tersenyum mendengar ucapanucapan Peramal Gendeng. Tapi senyumnya langsung lenyap, ketika melihat wajah Peramal Gendeng langsung berubah. Tidak penuh guyon dan canda seperti sebelumnya, melainkan terlihat demikian sungguh-sungguh. Sikap ini membuatnya tampak angker. Apalagi karena sepasang matanya yang menatap Dewa Arak itu seperti hendak membaca hati pemuda itu.
"Sama sekali tidak kusangka seorang pendekar seperti kau tidak berbeda dengan Jerangkong Penjagal Nyawa dan tokohtokoh hitam lainnya. Mengilar terhadap pusaka milik orang lain!"
Wajah Arya kontan merah padam. Kendati demikian, sikapnya tetap tenang. Dia tidak terkejut sama sekali mendengar ucapan Peramal Gendeng. Baik melihat sikap kakek itu yang demikian cepat berubah, maupun tuduhan yang dilontarkan padanya.
"Kau salah menduga, Kek," sergah Arya tenang. "Justru keberadaanku di tempat ini untuk meminta petunjuk karena ingin menyelamatkan Iblis Buta. Semula aku mencari sendiri, di mana adanya tokoh yang dulu menggemparkan dunia persilatan itu. Tapi jejaknya lenyap. Dia bagaikan ditelan bumi. Maka, aku datang kemari. Itu pun karena rasa tanggung jawabku terhadap keamanan dunia persilatan. Maaf, bukannya aku
menyombongkan diri, Kek."
"Lanjutkan keteranganmu, Dewa Arak?!" ujar Peramal Gendeng, sama sekali tidak peduli dengan permintaan maaf Dewa Arak.
"Kudengar, pusaka di tangan Iblis Buta yang bernama Telur Elang Perak mempunyai banyak khasiat. Di antaranya, mampu membuat orang menjadi muda kembali. Entah bagaimana caranya, aku tidak tahu persis. Kudengar, karena alasan itulah tokoh-tokoh sakti seperti Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila, keluar dari pertapaan. Kalau sampai salah satu di antara mereka berhasil mendapatkannya, dan kembali menjadi muda, aku tidak tahu malapetaka apa yang akan menimpa dunia persilatan! Dalam usia tua saja, mereka sudah demikian tangguh. Apalagi bila telah kembali menjadi muda! Untuk mencegah terjadinya hal ini, aku ikut mencari Iblis Buta! Setidak-tidaknya, dengan keberadaan bersamanya, akan sedikit membantu. Apabila dia menghadapi banyak tokoh tangguh yang menjadi lawannya!"
Wajah Peramal Gendeng yang tegang mencair kembali. Sikapnya malah kembali seperti semula. Wajahnya berseri-seri dengan sinar mata berputar penuh sikap menggoda orang lain. Sorot tak waras pun memancar baik pada wajah maupun sinar matanya.
"Kalau begitu.., tidak ada masalah lagi, Dewa Arak." Dengan suara berbisik seperti takut didengar orang lain, kakek berpakaian terbalik ini memberita-hukan di mana terlihatnya jejak Iblis Buta yang terak-hir kalinya, sebelum lenyap bagai ditelan bumi! Arya tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukkan kepala. Karena Peramal Gendeng telah memberikan jawaban, berarti kesempatan untuk men-gajukan satu permintaan baginya telah terbuka. "Sekarang giliranku untuk mengajukan satu permintaan padamu, Kek."
"Silakan, Dewa Arak!" sambut Peramal Gendeng mengajukan tantangan.
"Aku minta kau segera mengobati luka dalammu, Kek."
"Ha ha ha...!" Tawa Peramal Gendeng meledak. Permintaan yang diajukan Dewa Arak tidak patut disebut permintaan, karena tidak menguntungkan pemuda itu.
"Permintaanmu aneh, Dewa Arak. Tapi karena telah berjanji tidak ada pilihan lain bagiku kecuali memenuhinya, aku, Peramal Gendeng, bukanlah semacam orang yang mudah mengobral janji untuk kemudian mengingkarinya. Tapi percayalah, Dewa Arak. Setelah selesai mengobati luka dalamku, lukamu pun akan kuobati."

****

Sampai di sini, ingatan Dewa Arak membuyar karena pendengarannya yang tajam menangkap bunyi mencurigakan. Memang saat itu benaknya tengah melayang-layang mengingat pertemuannya dengan Peramal Gendeng. Tapi, pendengarannya tetap mampu mendengar gerak atau bunyi-bunyi tak wajar di sekitarnya. Bunyi yang tertangkap telinga Dewa Arak ada-lah bunyi gemerisik pelan dari daun-daun kering yang terinjak kaki! Karena asalnya dari sebelah kanan, kepalanya menoleh ke sana. Dari celah-celah yang tercipta di antara kerim-bunan semaksemak yang berjarak sekitar delapan tombak di sebelah kanan, Dewa Arak melihat sesosok tubuh berlari cepat menuruni lereng. Kelihatan tergesa-gesa sekali. Cepatnya gerakan sosok itu, membuat Arya tidak bisa melihat secara jelas. Yang tampak sekelebatan bayangan samar-samar. Melihat hal ini, perasaan curiga pun timbul di hati Dewa Arak. Menurut keterangan Peramal Gendeng, tempat ini merupakan tempat di mana jejak Iblis Buta terakhir kali terlihat. Siapa tahu, sosok itu ada hubungannya dengan urusan mengenai Iblis Buta.
Perasaan tertarik yang sebagian besar dilandasi perasaan curiga, membuat Arya melesat mengikuti sosok bayangan itu. Dia khawatir kalau-kalau sosok itu adalah salah satu dari sekian banyaknya tokoh persilatan yang mengejar Iblis Buta. Dan siapa tahu, sosok itu malah telah mendapatkan Telur Elang Perak! Saat itu juga, Dewa Arak mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Dia tahu, jalur yang ditempuh sosok bayangan itu akan berakhir, dan mau tidak mau menuju jalan tanah berbatu yang pada bagian kirinya terdapat gundukan batu. Maka segera diputuskannya untuk segera tiba di balik batu itu sebelum sosok bayangan itu tiba. Maksud Arya ternyata terkabul. Dia telah tiba lebih dulu di tempat yang dimaksud. Dewa Arak berdiri di tengah-tengah jalan yang lebarnya tak lebih dari satu tombak. Bagian kanannya berupa gundukan batu yang besar, sedangkan sebelah kiri terdapat dinding tebing yang menjulang tinggi seakan hendak mengga-pai langit. Arya mengernyitkan alis dengan perasaan tidak enak, ketika melihat sosok bayangan itu di kejauhan. Cepat sekali gerakannya, hingga hanya dalam sekejapan saja telah terlihat jelas. Dan apa yang terlihat jelas inilah yang membuat pemuda ini mengernyitkan alis. Sosok bayangan itu ternyata seorang pemuda berpakaian indah. Seorang pemuda pesolek, karena terlalu banyak riasan. Wajahnya memang tampan. Tapi karena terlalu banyak riasan, jadi terlihat tidak jantan, berkesan lembut dan banci!
Kalau hanya melihat pemuda pesolek ini, Dewa Arak akan bersikap seperti biasa. Tapi pemandangan lainnya yang terlihatlah, menjadi penyebabnya. Pada kedua tangan pemuda pesolek itu tampak terbopong sesosok tubuh ramping berpakaian kuning, milik seorang gadis yang berwajah amat jelita. Melihat keadaannya, langsung diketahui kalau gadis itu tengah dalam keadaan tertotok. Bukan hanya Arya yang merasa tidak senang, pemuda pesolek itu pun demikian. Meski masih berjarak beberapa tombak, Arya dapat melihat sinar ketidak-senangan yang memancar pada wajah dan sepa-sang mata pemuda berpakaian indah itu.
"Minggir...! Minggir kau, Hey, Orang Gila...!" Pemuda pesolek itu mengeluarkan seruan, tanpa bisa menyembunyikan perasaan tidak senangnya. Hal ini semakin menambah kecurigaan Arya. Sikap yang diperlihatkan hanya menunjukkan kalau dia tengah merasa gelisah dan khawatir. Dalam sekejapan saja, otak Dewa Arak bekerja. Jelas, pemuda pesolek itu pasti te-lah menculik gadis berpakaian kuning ini. Karena keyakinan akan dugaannya, Dewa Arak sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. Bahkan, renggangan kakinya semakin diperlebar. Tindakan ini membuat pemuda pesolek semakin geram.
"Mampuslah kau, Orang Gila tak tahu diri!"
Saat itu juga pemuda pesolek itu menghentakkan tan-gan kanannya ke arah Dewa Arak, setelah terlebih dahulu memindahkan tubuh yang dipondong ke tangan kirinya. Maka hembusan angin keras langsung menyambar ke arah Arya. Sudah terbayang di benak pemuda berpakaian indah ini kalau pemuda berambut putih keperakan itu terjengkang ke belakang sambil menjerit memilukan karena nyawanya melayang akibat dadanya hancur. Pukulan jarak jauhnya memang luar biasa! Jangankan tubuh manusia. Batu karang yang paling keras pun akan hancur berantakan apabila terkena secara lang-sung.
Ketidaksenangan Arya semakin menjadi-jadi melihat serangan ini. Dia tahu, serangan itu sangat dahsyat mengandung maut. Kalau orang yang diserang kurang cepat bergerak dan tidak memiliki tenaga dalam amat kuat, jelas sudah cukup mengirim nyawanya ke neraka! Dari sini saja Arya sudah bisa mengirangira, dari golongan mana pemuda berpakaian indah itu berasal!
Seorang yang memiliki watak gagah, tak akan mengirimkan serangan demikian keji sebelum jelas masalah yang tengah dihadapi! Maka saat itu juga Dewa Arak menjulurkan tangan kanannya ke depan. Seketika hembusan angin keras yang meluncur dari tangan pemuda pesolek itu lenyap seperti tertelan oleh sesuatu yang keluar dari tangan Arya!
Pemuda pesolek itu terkejut melihat kenyataan ini. Kegagalan serangannya tidak akan terlalu membuatnya kaget, kalau tidak seperti ini kejadiannya. Apa yang telah dilakukan oleh pemuda berpakaian ungu itu? Kenyataan ini membuat pemuda pesolek ini tahu kalau orang di hadapannya bukan lawan yang bisa dipandang ringan. Cara dalam memunahkan pukulan jarak jauhnya, telah menjadi pertanda kalau pemuda berambut keperakan itu memiliki tenaga dalam tinggi. Maka meski tengah tergesa-gesa, pemuda berpakaian indah ini menghentikan larinya.
Kini dia ber-diri dalam jarak dua tombak dari Arya. "Mengapa kau menghadang jalanku, Sobat. Maaf, menyingkirlah sedikit. Berilah jalan padaku. Aku, Lanang, akan berterima kasih sekali apabila kau bersedia mengabulkannya," ujar pemuda pesolek yang mengaku bernama Lanang dengan suara lembut penuh nada membujuk.
"Aku bersedia untuk memenuhi permintaanmu, Lanang. Tapi, aku mempunyai sebuah syarat," timpal Arya tak kalah tenang dan halus. Meski demikian, tidak berarti pemuda berambut putih keperakan ini terjebak oleh sikap manis Lanang. Pengalaman telah menunjukkan padanya kalau sikap manis biasanya ada udang di balik batu. Arya yang sempat memperhatikan gadis ber-pakaian kuning di bopongan Lanang, dan sekarang telah dipindahkan ke bahu jadi berpikir keras. Dia yakin, pernah melihat gadis ini. Hanya saja, lupa kapan dan di mana. Bentuk mulut, wajah, dan sepasang mata itu diingatnya betul.
"Katakanlah syaratmu itu, Sobat," ujar Lanang, mengumbar senyum manis. Pemuda pesolek ini memang memiliki kecerdikan mengagumkan.
Sebagai putra Naga Sakti Berwajah Hitam yang terkenal sebagai datuk besar persilatan, tentu saja Lanang memiliki kepandaian tinggi. Tapi, dia tahu kalau Dewa Arak juga memiliki kepandaian tinggi. Bisa jadi dia tidak kalah. Tapi, akan sangat membutuhkan waktu untuk mengalahkannya. Sedangkan dia sendiri tengah memburu waktu. Kalau ada cara lain yang lebih mudah dan cepat, mengapa memilih yang sukar?! Maka, Lanang tidak ragu-ragu lagi meladeni permintaan Dewa Arak.
"Katakan saja, Sobat. Kalau bisa tentu saja akan ku penuhi. Bukankah lebih baik bersahabat, daripada saling gontokgontokan?!"
"Apa yang kau katakan itu memang benar, La-nang. Aku pun tidak suka gontok-gontokan. Maka, kuharap kau mau mengabulkan syarat yang kuajukan. Yaitu, bebaskan gadis yang kau bawa. Dan, kita tidak menjadi saling bentrok karenanya.
Bagaimana?!"
Wajah Lanang langsung merah padam. Sepasang matanya yang tajam memancarkan kilatan maut. Ucapan Dewa Arak membuat hatinya terbakar amarah. Tapi, lagi-lagi kecerdikan melarangnya untuk bertindak macam-macam. Toh, siasat yang dipergunakannya belum mencapai puncak. Maka, sebuah senyum lebar pun menghias mulutnya, kendati hatinya memaki-maki. "Kalau begitu kau salah sangka, Sobat. Kau kira aku orang macam apa?! Penculik gadis-gadis?! Ga-dis yang tengah kubawa ini adalah saudaraku sendiri. Dia kubawa tergesa-gesa, karena hendak kumintakan obat pada Raja Obat Sakti di lereng sebelah timur. Dia terluka dalam akibat salah mempelajari sebuah ilmu yang diajarkan ayah," jelas Lanang panjang lebar, terbungkus kebohongan.
Arya terdiam. Bukan karena menerima begitu saja penjelasan Lanang, tapi tengah mempertimbang-kan jawaban yang diberikan. Memang masuk akal alasan yang dikemukannya. Tapi, Dewa Arak tidak mudah percaya.
"Bisa kuajukan pertanyaan sendiri padanya, Lanang. Maaf, bukannya curiga. Tapi, berhati-hati," ujar Arya, tenang.
"Sayang sekali, Sobat," sambut Lanang dengan sikap terlihat penuh penyesalan. "Adikku ini justru tidak bisa berbicara, akibat salah latihan itu. Telah beberapa hari dia bisu mendadak. Maka begitu mendengar adanya seorang jago obat di sekitar sini, segera sa-ja kubawa untuk segera diobati."
"Boleh aku melihatnya, Lanang?! Barangkali saja aku bisa mengobatinya. Sedikit banyak, aku mengerti cara untuk mengobati luka dalam. Terutama sekali, karena salah latihan!" ujar Arya, masih belum hilang rasa curiganya.
Lagi-lagi terlihat oleh Arya, wajah Lanang membesi.
Memang hanya sebentar, tapi cukup terlihat oleh sepasang mata Dewa Arak yang tajam. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini memuji kemampuan Lanang mengendalikan perasaannya.
"Silakan, Sobat," sambut Lanang dengan sikap gembira yang dipaksakan. Terlihat jelas oleh Arya yang telah kenyang pengalaman menghadapi beragam orang dengan berbagai watak kalau kata-kata itu seperti dipaksakan.
"Aku justru gembira kalau kau mampu mengobatinya. Sehingga, aku tidak perlu bersusah-payah membawanya pada Raja Obat Sakti di lereng timur gunung ini," tambah Lanang. Dengan sikap tidak peduli, Arya mendekati tubuh gadis berpakaian kuning yang telah direbahkan Lanang di tanah. Sementara pemuda pesolek itu sendiri berdiri tak jauh darinya, bersikap mengawasi. Kini Arya sudah berjongkok, agar bisa melihat keadaan gadis berpakaian kuning lebih jelas. Dan saat itulah, Lanang mengirimkan tendangan dahsyat dengan kaki kanan ke arah kepala Dewa Arak.
Namun pemuda pesolek itu keliru kalau mengira Dewa Arak akan sedemikian mudah dapat dirobohkan. Walaupun terlihat sembarangan dan kelihatan tampak tidak menaruh kecurigaan sama sekali, sebenarnya sekujur urat-urat saraf pemuda berambut putih keperakan itu telah menegang waspada. Tentu saja Arya telah bersiap-siaga untuk menerima serangan yang datang tanpa terduga-duga. Maka ketika kaki Lanang dengan kecepatan kilat dan kekuatan dahsyat menyambar, Dewa Arak melompat ke samping dan menggulingkan tubuhnya menjauh. Sehingga, membuat serangan itu kandas.
Lanang menggeram. Penasaran karena serangannya tidak sesuai yang diharapkan, membuat pemuda berpakaian indah ini menubruk mengikuti Dewa Arak Sambil mengejar, dikirimkannya serangan bertu-bi-tubi dengan kedua tangan serta kaki. Kali ini, Dewa Arak yang telah berhasil bangkit cepat. Plak!
"Aaakh...!"
Bunyi nyaring terdengar berkali-kali. Lanang menjerit tertahan. Tubuhnya kontan terhuyung. Dan tangan dan kakinya terasa nyeri bukan main, ketika berbenturan.
Seakan-akan yang dibentur adalah batang baja yang amat kuat! Hasil benturan ini menyadarkan Lanang kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam lebih kuat. Maka sekali tarik, sabuk emas yang terselip di pinggang telah berada di tangannya. Lalu cepat sekali pemuda pesolek ini mengibaskannya.
Tarrr!
Ledakan nyaring terdengar, ketika sabuk emas itu meledak di udara. Sementara, Arya telah lebih dulu menarik kepalanya ke belakang, sebelum luncuran sabuk emas itu menghantamnya.
Pemuda pesolek itu semakin geram. Seluruh kemampuannya memainkan sabuk dikeluarkan, hing-ga lenyap bentuknya. Bahkan berubah-menjadi rentetan patuk-patuk yang mirip paruh ular. Terkadang mengejang kaku laksana golok yang panjang. Tapi tak jarang melecut-lecut laksana cambuk! Perkembangan permainan senjata lemas ini memang sulit diduga.
Ketika untuk kesekian kalinya, sabuk Lanang meluncur ke arah ubun-ubunnya, Dewa Arak men-doyongkan tubuh ke samping. Dan sebelum pemuda pesolek itu menarik pulang senjatanya, Arya telah lebih dulu mengulur tangan untuk menangkapnya.
Tap!
"Heh?!"
Lanang terperanjat ketika melihat senjata andalannya berada dalam genggaman lawan. Tiba-tiba ditariknya senjata itu dengan keras untuk membuat tubuh Dewa Arak ikut tertarik.
Tapi, maksudnya tidak tersampaikan. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak bergeming, bak sebongkah gunung! Melihat hal ini Lanang menggeram kesal. Maka dengan menggunakan pengerahan tenaga dalamnya, pemuda pesolek ini membuat sabuk itu bergelombang bak permukaan air laut. Melalui cara ini, biasanya dia mampu membuat lawan melepaskan cekalan. Karena, sabuk yang bergelombang itu tiba-tiba dapat menghantam muka. Namun, lagi-lagi maksud Lanang kandas. Ketika gelombang pada sabuk itu baru mencapai pertengahan jarak, langsung mengendur, kemudian kandas!
Sementara dari arah yang berlawanan, Dewa Arak mengerahkan tenaga dalam untuk membuat gerakan bergelombang pada sabuk itu lenyap. Lanang tidak kehabisan akal. Saat itu, adu tarik-menarik masih berlangsung. Maka dengan mempergunakan kekuatan menarik dari lawan, pemuda pesolek ini melompat ke depan. Langsung diterjangnya Dewa Arak dengan kecepatan luar biasa. Karena di samping akibat pengaruh tarikan Arya, masih ditambah lagi luncuran yang dibuatnya.
Dewa Arak tidak kehabisan akal. Maka ujung sabuk yang digenggamnya segera dilemparkan ke arah tubuh Lanang yang tengah meluncur.
Lanang terperanjat bukan main. Saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Untuk mengelak jelas tidak mungkin. Jalan satusatunya hanya menangkis. Tapi hal itu pun sulit dilaksanakan, karena ujung sabuk yang dilemparkan tidak mengarah ke tubuhnya, melainkan bagian samping dengan gerakan seperti berputar.
"Ah...!"
Lanang hanya mampu mengeluarkan pekikan kaget ketika sabuk itu melingkari tubuhnya dan melilit secara erat. Untung saja kedua tangannya tidak ikut terlilit. Walaupun demikian, keadaan tidak disangka-sangka itu membuat Lanang gugup. Padahal saat itu, Dewa Arak sudah mendorongkan kedua tangannya secara bergantian pada tubuh yang masih berada di udara. Hembusan angin keras yang muncul dari kedua telapak tangan Dewa Arak, tidak mampu dielakkan lagi. Tapi, pemuda pesolek ini telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya. Walaupun begitu, bila Dewa Arak bermaksud buruk, dorongan itu telah cukup membuat nyawanya terancam! Dorongan yang dilakukan Arya hanya sekadarnya, tidak dimaksudkan untuk melukai. Hasilnya, tubuh putra Naga Sakti Ber-wajah Hitam ini terdorong beberapa tombak, kemudian berhasil bangkit mendarat dengan kedua kaki secara mantap. Dewa Arak yang memang tidak bermaksud mencelakai lawannya, tidak melakukan serangan susulan.
Di saat tubuh Lanang melayang, kesempatan itu dipergunakan untuk menghampiri gadis berpakaian kuning yang masih tergolek tidak bergerak sama sekali. Namun....
"Akh...!" Mendadak Arya mengeluarkan pekik kesakitan. Dirasakannya kedua pahanya ditusuk tombak! Arya yakin, tombak itu menembus hingga ke paha belakang. Karena saat itu tengah melangkah, tak ampun lagi tubuhnya terguling jatuh. Gadis berpakaian kuning yang sudah yakin ka-lau penolongnya akan berhasil membebaskannya, menjadi terkejut ketika melihat secara tiba-tiba pendekar muda itu memekik kesakitan dan terguling roboh. Apa yang terjadi dengan pemuda perkasa itu? Dewa Arak sendiri, begitu roboh terguling segera mengerahkan pandangan pada sepasang pahanya. Dia tidak percaya kalau ada tombak yang menembus di sana, karena tidak mendengar atau melihat luncurannya. Tepat seperti yang diduga pemuda berambut putih keperakan itu, pada pahanya tidak terdapat apa pun. Jangankan tombak, jarum pun tidak! Dewa Arak adalah seorang pendekar yang telah kenyang pengalaman menghadapi ilmu-ilmu aneh. Maka segera dapat diduga kalau kejadian yang menimpanya dilakukan lewat ilmu gaib. Karena, dia ma-sih merasakan seperti ada dua buah tombak pada pahanya yang menembus sampai ke belakang. Dugaan ini membuat Dewa Arak teringat akan peristiwa yang belum lama dialaminya. Saat itu, dia pun melihat kejadian seperti yang dialaminya ini. Hanya saja kejadiannya menimpa orang lain. Seorang pemuda berpakaian kuning tersiksa. Padahal, yang dilakukan si penyiksa hanya melakukan tusukan terhadap sebuah boneka!

–––––––– 5 ––––––––

Begitu teringat pemuda berpakaian kuning yang bernama Jumpena, orang yang mengalami siksaan secara aneh itu, Arya hampir memukul kepalanya sendiri. Mengapa dia demikian pelupa? Gadis berpa-kaian kuning yang tengah tergolek tak berdaya itu mempunyai wajah yang demikian mirip Jumpena! Tidak hanya ciri-ciri tubuh, tapi juga pakaiannya! Sebagai orang yang berakal cerdas, Dewa Arak segera bisa mengetahui kalau gadis berpakaian kuning ini adalah Jumpena! Pemuda tampan pintar bicara dan keras hati yang dulu ditemukannya bersama Dirgantara (Untuk jelasnya mengenai Jumpena, Dirgantara, dan pengalaman yang mereka alami silakan baca serial Dewa Arak dalam episode : "Iblis Buta". Karena cerita ini merupakan sambungannya). Tapi, Arya tidak bisa terlalu lama memikirkan mengenai Jumpena yang sebenarnya adalah seorang gadis bernama Jumini. Karena saat itu, di tengah berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Pemuda berambut putih keperakan ini segera sibuk mencari cara untuk menyelamatkan diri dari pengaruh ilmu aneh dari orang yang belum diketahui. Dewa Arak segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak lama, matanya tertunduk pada seorang kakek berpakaian dari kulit ular tengah duduk bersila di atas sebatang ranting yang ditancapkan di atas sebongkah batu sebesar gajah bunting!
Ranting itu kecil, tak lebih dari ibu jari tangan. Panjangnya sekitar satu tombak. Merupakan sebuah pemandangan aneh sekaligus menakjubkan melihat ranting yang lemas itu mampu menembus batu yang amat keras. Apalagi, mampu diduduki seorang manu-sia tanpa meliuk yang terlalu berlebihan. Malah, kakek berpakaian dari kulit ular yang berwajah hitam itu duduk dengan enaknya, seakan pantatnya telah menempel dengan ranting! Kakek berwajah hitam ini dengan sikap anteng dan tak peduli duduk memegang sebuah boneka. Pada bagian paha kanan kiri boneka itu tertancap sebatang jarum panjang, tembus sampai ke paha belakang! Di lain pihak, Lanang yang sudah siap menerima serangan Arya, menjadi kaget. Terutama ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu mendadak jatuh dan berdiam di tanah dengan seringai kesakitan. Di sini dia merasa mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan. Dengan cepat sabuk pada tubuhya dilepas. Tapi baru saja maksudnya hendak dilancarkan, Lanang memandang ke arah Dewa Arak, menatap disertai rasa heran. Seketika wajahnya memucat! Arah tatapan Dewa Arak tertuju pada kakek yang tengah duduk bersila di atas ranting kecil! Kakek yang amat dikenalnya. Karena, kakek itu adalah.... ayahnya. Naga Sakti Berwajah Hitam!
Tidak aneh kalau Lanang merasa kaget dan juga takut. Memang, dia telah mempunyai satu kesalahan besar. Pemuda ini telah berani membawa kabur Jumini karena tertarik akan kejelitaannya. Bukan dilandasi cinta, karena orang seperti Lanang mana kenal cinta? Yang ada hanya nafsu! Perasaan itulah yang mendorongnya bertindak nekat, menentang keputusan ayahnya! Padahal, selama ini pemuda pesolek ini tidak bertindak demikian. Apalagi Naga Sakti Berwajah Hitam amat keras dengan aturannya. Siapa pun yang berani menentang aturannya, akan mendapat hukuman berat! Tak terkecuali, Lanang putranya.
Lanang sendiri telah tahu peraturan ayahnya.Bahkan telah merasakan hukuman dari ayahnya! Tapi, rasa nafsu mengalahkan rasa takutnya. Kini melihat keberadaan ayahnya di situ, Lanang langsung pucat pasi! Perasaan takut yang luar biasa, membuat Lanang bagai orang kehilangan akal. Bukannya melakukan sesuatu, dia malah tercenung di tempat itu sambil menatap Naga Sakti Berwajah Hitam seperti orang melihat hantu.
Sebenarnya, kalau hanya birahi saja, tak akan berani Lanang bertindak seperti itu. Ada hal lain yang lebih mendasar yang membuat dorongan itu jadi membesar. Tanpa sengaja, dia telah membaca buku Naga Sakti Berwajah Hitam yang memang gemar menulis. Lanang tahu, kegemaran ayahnya. Tapi karena setiap kali menulis, Naga Sakti Berwajah Hitam selalu menyimpan bukunya, Lanang tidak pernah tahu apa yang ditulisnya. Dan kebetulan, sewaktu pergi bersemadi di ruang rahasia, dia lupa menyimpan bukunya kembali. Saat itu Lanang yang tengah mencari ayahnya, untuk menanyakan perkembangan ilmunya, tak kuasa untuk menahan keinginan untuk membaca buku itu. Ternyata isinya, semua pengalaman Naga Sakti Berwa-jah Hitam itu dan asal-usulnya. Dari buku itulah, Lanang tahu kalau dirinya bukan putra Naga Sakti Berwajah Hitam itu. Dia ternyata anak seorang panglima yang gagal dalam melakukan pemberontakan terhadap kerajaan. Sebelum mati, si panglima yang merupakan sahabat baik Naga Sakti Berwajah Hitam, menitipkan Lanang cilik.
Lanang sekarang mengerti, mengapa ayahnya, Naga Sakti Berwajah Hitam, bersikap dingin saja. Tidak pernah terlihat adanya kasih sayang, baik dalam ucapan maupun sikap. Perasaan tidak betah dan keinginan untuk melihat keluarganya, membuat Lanang mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu. Lanang yang merasa terpukul menerima kenyataan ini memutuskan untuk membawa lari Jumini.
Di samping karena birahinya, juga karena keinginan untuk membalas sakit hati. Sakit yang timbul karena kenyataan ini, selalu dirahasiakan oleh Naga Sakti Berwajah Hitam. Maka, pelarian itu pun terjadi. Naga Sakti Berwajah Hitam rupanya tahu kalau ada orang yang memperhatikannya. Pandangannya yang sejak tadi ditujukan pada boneka segera dialihkan. Maka dua pasang mata pun bertemu. Yang satu penuh rasa takut, sedangkan yang lain tajam menusuk dan penuh hawa maut.
"Anjing tak kenal budi!" seru Naga Sakti Berwajah Hitam tajam dan nyaring. Tidak kelihatan adanya kemik pada bibirnya. "Sejak kecil kau ku peli-hara. Kuberi pelajaran ilmu silat tinggi. Tapi setelah besar, kau berani mengkhianatiku! Rupanya kau sudah ingin bertemu malaikat maut. Baik! Ku penuhi keinginanmu!"
Wajah Lanang semakin pucat. Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di wajahnya. Kedua kakinya pun menggigil hebat. Dia tahu, nyawanya terancam. Bahkan kemungkinan besar akan tewas mengerikan! Apalagi bila mengingat kelihaian ayahnya dengan boneka di tangan. Selama ayahnya melihat keberadaannya, selama itu pula melalui boneka, kakek berwajah hitam itu mampu bertindak apa pun terhadap orang yang dituju dengan sarana sebuah boneka. Karena rasa takut akan kematian yang mengerikan, Lanang tidak ragu-ragu lagi menjatuhkan diri berlutut.
"Ampunkan aku, Ayah! Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. Ampunkanlah aku, Ayah," ratap Lanang tanpa malu-malu. Pemuda yang cerdik ini mencoba bersikap seakan belum tahu rahasia dirinya kalau bukan keturunan kakek berwajah hitam itu!
"Cuhhh!" Naga Sakti Berwajah Hitam meludah ke tanah dengan sikap kasar. "Jangan harap aku mengampunimu, Anjing!
Aku tidak sudi mengampuni seorang pengkhianat! Sekarang kau hanya menyabot tawananku! Kelak bila kuampuni, kau akan membunuhku! Tak ada ampun lagi bagi seorang pengkhianat!"
Tubuh Lanang yang tengah berlutut itu sema-kin menggigil keras. "Aku berjanji, Ayah. Aku tidak akan berani membantah semua ucapanmu lagi. Sampai hatikah kau membunuh darah daging sendiri, Ayah?!" ratap Lanang masih mencoba melumerkan hati kakek berwajah hitam itu.
"Ha ha ha...!" Naga Sakti Berwajah Hitam tertawa bergelak. Keras bukan main, sehingga membuat sekitar tempat itu berguncang-guncang. Tapi anehnya, mulutnya tetap tidak bergerak sama sekali!
"Siapa yang bilang kau anakku, Anjing?! Kau hanya seorang anak telantar yang ku pungut, dengan harapan bisa membalas budi baikku. Tapi harapanku ternyata sia-sia! Aku tak lebih dari memelihara seekor anjing! Sedari kecil ku pelihara dan ku sayang, tapi ketika besar malah menggigit ku! Sebelum kau semakin membahayakan kedudukanku, sudah tiba saatnya kulenyapkan dari muka bumi! Lihat ini baik-baik, Anjing tak kenal budi!"
Ucapan-ucapan Naga Sakti Berwajah Hitam tak ubahnya pisau berkarat yang menghujam jantung Lanang secara bertubitubi. Berita yang didengarnya tetap mengejutkan hati, kendati telah mengetahui sebelumnya. Keterangan yang mengejutkan, membuat piki-ran Lanang bagaikan menguap. Maka, kalimat terakhir Naga Sakti Berwajah Hitam tanpa banyak pikir lagi diturutinya. Lanang tahu, kalau Naga Sakti Berwajah Hitam akan mengunjukkan boneka yang dianggap dirinya. Boneka yang menjadi jalan bagi Naga Sakti Berwajah Hitam untuk melakukan tindakan apa pun sekehendak hatinya!
Dugaan Lanang memang tepat! Di tangan ka-nan kakek berwajah hitam itu tergenggam sebuah boneka. Lanang yang sejak tadi terkesima, jadi menggeram bagai harimau luka. Perasaan terpukul dan kha-watir yang besar akan kematian mengerikan, membuatnya bertindak nekat. Maka sambil meraung keras, pemuda pesolek ini bangkit dan melesat sambil menghentakkan kedua tangannya. Langsung dikirimkannya pukulan jarak jauh pada orang yang selama ini diang-gap ayahnya! Tapi, sebelum maksudnya terlaksana, Lanang memekik kesakitan. Karena, Naga Sakti Berwajah Hi-tam telah lebih dulu, menggerakkan jari-jemarinya, meremas boneka di tangannya. Akibat remasan itu, Lanang merasakan tubuhnya bagai digencet dua buah bongkahan batu besar! Rasa sakit yang amat sangat mendera sekujur tubuh-nya. Napasnya pun sesak. Pemuda pesolek ini yakin, tak lama lagi sekujur tulang-belulangnya akan hancur berantakan!
Lanang mengeluarkan geraman yang lebih mirip erangan seekor binatang buas terluka! Dikerahkannya tenaga dalam untuk bertahan dari himpitan tak nampak pada tubuhnya. Dia tidak ingin mati sia-sia! Urat-uratnya sampai bersembulan keluar, saking kuatnya himpitan yang melanda. Rupanya, geraman Lanang menyadarkan Dewa Arak yang sejak tadi memperhatikan dan mendengarkan jalannya perselisihan antara Naga Sakti Berwajah Hitam dengan Lanang. Namun pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa berdiri, apalagi bergerak. Karena, kedua kakinya masih tidak mampu digerakkan. Tapi tentu saja kedua tangan Dewa Arak terbebas. Maka dengan kedua tangannya dikirimkannya serangan terhadap Naga Sakti Berwajah Hitam yang berjarak sekitar delapan tombak, berupa pukulan jarak jauh dengan jurus 'Pukulan Belalang'! Seketika itu pula hembusan angin keras berhawa panas menyengat, meluruk ke arah Naga Sakti Berwajah Hitam.
Kakek itu terkejut bukan main menyadari serangan amat berbahaya yang cukup untuk menghantarkan nyawa kea lam baka. Meski tahu pukulan jarak jauh itu amat dah-syat, Naga Sakti Berwajah Hitam tidak menjadi kecil hati. Hatinya tidak merasa gentar, karena terlalu yakin akan kepandaiannya sendiri. Maka pukulan jarak jauh Dewa Arak tidak dielakkannya, melainkan dipapaknya. Keras lawan keras. Untuk itu, kakek ini terpaksa menjatuhkan boneka-boneka yang tengah digenggamnya ke tanah. Bresss! Bumi bagaikan bergetar hebat ketika dua pukulan jarak jauh yang dahsyat berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama-sama terjengkang ke belakang.
Ranting yang diduduki Naga Sakti Berwajah Hi-tam kontan patah berkeping-keping. Namun, kakek itu mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar dengan bersalto beberapa kali di udara. Lalu kakinya menjejak tanah dengan mantap. Di lain pihak, Dewa Arak sendiri sampai bergulingan di tanah. Hal ini membuat rasa sakit pada pahanya semakin menjadi-jadi. Karena meskipun kelihatannya tidak ada apa-apa, tapi terasa bagaikan ada dua batang tombak yang menyate pahanya. Tentu saja hal ini membuat rasa sakitnya semakin menghebat!

****

Sementara dengan adanya gempuran Dewa Arak, Lanang jadi terbebas dari siksaan. Cepat dikerahkannya tenaga dalam untuk mengusir rasa sakit yang masih mencengkeram sekujur tubuhnya. Kemu-dian tanpa mempedulikan apa-apa lagi, tubuhnya segera melesat menyambar tubuh Jumini yang masih tergolek di tanah.
"Hey...!" ' Arya yang telah terbebas dari kekuatan yang membuat tubuhnya terguling-guling, sempat berseru melihat tindakan Lanang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Secara untung-untungan, tangan kanannya dihentakkan untuk melancarkan ju-rus 'Pukulan Belalang' pada Lanang.
Untuk yang kedua kalinya, hembusan angin keras berhawa panas menyengat meluncur dari tangan Dewa Arak. Tapi karena terlalu terburu-buru melancarkan serangan, maka Lanang mudah sekali mengelakkannya dengan melompat jauh ke depan. Setelah itu, pemuda pesolek yang memiliki watak licik ini langsung melesat cepat, meninggalkan tempat itu bersama tubuh Jumini.
"Keparat...!" Naga Sakti Berwajah Hitam menggeram murka, melihat bekas putranya berhasil melarikan diri. Malah dalam waktu sebentar saja, telah berada puluhan tom-bak di depan. Kakek ini tahu, mengejar bukan merupakan hal yang mudah. Apalagi, medan di sini memungkinkan Lanang untuk bersembunyi di berbagai tempat yang ada di situ. Mumpung tubuh pemuda itu masih terlihat, Naga Sakti Berwajah Hitam ini memutuskan untuk menggunakan boneka, mencegah Lanang melarikan diri. Kakek berwajah hitam ini mengerutukkan gigi. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas, lalu digetarkan sebentar. Sesaat kemudian, boneka yang merupakan cermin Lanang, melayang deras dari atas gundukan batu dan meluncur ke arah tangan kakek itu. Padahal, boneka itu berada di atas gundukan batu yang tingginya tak kurang dari satu tombak, jarak sekitar lima tombak dari tempatnya berada! Dewa Arak yang melihat hal ini tahu, apabila boneka Lanang berhasil jatuh ke tangan Naga Sakti Berwajah Hitam, keselamatan pemuda pesolek itu terancam. Ini berarti, nyawa Jumini pun dalam bahaya. Dan Arya tidak ingin hal itu terjadi. Maka dalam waktu singkat, Dewa
Arak bisa mengambil keputusan. Lanang harus diselamatkan. Ini berarti, boneka yang merupakan cerminan pemuda pe-solek itu, tidak boleh jatuh ke tangan Naga Sakti Berwajah Hitam, selama Lanang masih terlihat. Maka Dewa Arak segera menjulurkan kedua tangannya ke arah boneka Lanang.
Naga Sakti Berwajah Hitam menggeram penuh kemarahan, ketika melihat luncuran boneka Lanang melambat. Seakan-akan, tertahan oleh kekuatan yang tak nampak. Begitu melihat tangan Dewa Arak yang dijulurkan, kakek ini langsung tahu apa yang tengah terjadi. Memang, Dewa Arak pun menggunakan tenaga dalam untuk menarik boneka itu ke arahnya! Perbedaan kepentingan, membuat boneka La-nang tertarik ke sana kemari.
Tapi karena jarak boneka itu dengan Naga Sakti Berwajah Hitam telah lebih dekat, membuat pengaruh tarikan tenaga Naga Sakti Berwajah Hitam lebih kuat daripada Dewa Arak. Setelah tertahan sebentar, meski agak lambat, boneka itu meluncur ke arah tangan Naga Sakti Berwajah Hitam. Dewa Arak tentu saja mengetahuinya. Dan dia tahu, apabila tetap diteruskan, Naga Sakti Berwajah Hitam akan unggul. Padahal, saat itu tubuh Lanang masih terlihat. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini segera merubah tenaganya. Kalau semula berusaha menahan, sekarang malah mengirimkan te-naga mendorong. Perubahan ini membuat tenaga tarikan Naga Sakti Berwajah Hitam jadi berlipat ganda, setelah di-tambah tenaga dorong Dewa Arak. Tindakan Dewa Arak benar-benar di luar perhitungan Naga Sakti Berwajah Hitam. Akibatnya dia jadi tidak bisa mengendalikan luncuran boneka, yang seharusnya mendarat di telapak tangannya, jadi melesat melewatinya. Naga Sakti Berwajah Hitam kesal bukan main. Cepat tubuhnya berbalik dan bermaksud mengambil boneka yang masih melayang deras melewatinya dengan menggunakan tarikan tenaga dalamnya.
Tapi, Dewa Arak tidak membiarkannya terjadi. Sambil mengeluarkan teriakan keras, pemuda berambut putih keperakan ini melompat menerjang sambil menghantamkan kedua tangannya yang terbuka! Naga Sakti Berwajah Hitam tidak mempunyai pilihan lain kecuali menangkisnya. Dalam kemarahan dipapaknya serangan itu dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Plakkk! Dua pasang tangan yang sama-sama terbuka saling berbenturan dan melekat. Kedua belah pihak pun segera mengerahkan tenaga dalam untuk saling menekan. Tak membutuhkan waktu lama, segera terlihat pihak yang unggul. Wajah Dewa Arak tampak kuyup dibasahi peluh. Kedua tangannya menggigil keras se-perti terserang demam tinggi. Bahkan dari atas kepa-lanya mulai mengepul uap putih. Mula-mula tipis, tapi makin lama makin banyak dan tebal! Di pihak lain, Naga Sakti Berwajah Hitam belum terlihat apa-apa. Wajahnya masih biasa saja, tidak terlalu dibanjiri peluh. Walaupun pada kenyataannya Dewa Arak berada di pihak yang terdesak, tapi bukan berarti kalah kuat dibanding lawannya. Yang jelas Dewa Arak harus membagi sebagian tenaganya untuk sepasang kakinya. Sebagian tenaganya digunakan untuk menahan rasa sakit, karena pemuda ini terpaksa berdiri. Sementara sebagian lagi digunakan untuk menegakkan sepasang kakinya yang sebenarnya tidak layak untuk dipakai berdiri. Maka tak heran kaki pemuda ini menggigil ke-ras! Keadaan Arya semakin mengkhawatirkan. Tak akan lama lagi, pemuda berambut putih keperakan ini roboh di tangan lawannya. Kalau tidak tewas, paling ringan akan terluka dalam amat parah.
Naga Sakti Berwajah Hitam menyadari keunggulannya. Dan dia tidak sabar lagi untuk segera meraih kemenangan. Maka segera diputuskannya untuk memberikan pukulan terakhir, agar cepat merobohkan lawannya.
"Hhhgrrr...!"
Naga Sakti Berwajah Hitam menggereng keras seperti seekor macan murka, disertai tenaga dalam le-bih besar. Itu pun masih ditambah muncratnya darah segar dari mulutnya. Bukan darah karena kakek ini terluka dalam, tapi memang dikeluarkan untuk mengirimkan serangan. Saat itu juga gumpalan darah meluncur ke arah ubun-ubun Dewa Arak. Apabila mengenai sasaran, maka ubun-ubun Arya akan hancur berantakan.
"Huakh...!" Dewa Arak yang memang sudah hampir tidak kuat, langsung terjengkang ke belakang sambil me-muntahkan darah segar dari mulut. Pengerahan te-naga dalam Naga Sakti Berwajah Hitam yang disertai gerengan, terlalu kuat untuk bisa ditahannya. Tapi, justru hal ini yang menyelamatkannya dari maut. Gumpalan darah yang meluncur ke arahnya lewat beberapa jari di atas kepalanya. Naga Sakti Berwajah Hitam terkekeh kegirangan, melihat lawan tangguhnya berhasil dirobohkan. Tanpa memberi kesempatan pada Dewa Arak yang masih tergolek di tanah, tubuhnya meluruk menyerbu untuk menjatuhkan pukulan maut.
"Akhirnya kau tewas juga, Dewa Arak! Pendekar tenar yang ditakuti lawan dan kawan, akhirnya tewas di tanganku. Ingin kudengar sendiri kegemparan dalam dunia persilatan! Selamat tinggal Dewa Arak! Sila-kan temui Malaikat Maut!"
Naga Sakti Berwajah Hitam mengayunkan tangan kanannya, menghantam kepala Dewa Arak. Saat itu juga angin keras berhembus sebelum pukulan itu sendiri tiba. Tapi, Dewa Arak tetap tidak menunjukkan gerakan sedikit pun. Rupanya dia sudah pasrah menghadapi maut yang akan datang menjemputnya.
Tapi.... Tuk!
"Aaakh...!" Naga Sakti Berwajah Hitam mengeluh tertahan ketika ada sesuatu yang menghantam sikunya, sebelum tangannya menghancurkan kepala Dewa Arak. Akibatnya, aliran tenaga dalamnya ke tangan lenyap. Sikut tangannya mendadak langsung lumpuh. Dengan sendirinya, serangan Naga Sakti Berwajah Hitam pun urung.
Alis Naga Sakti Berwajah Hitam berkernyit. Bingung. Ditatapnya Dewa Arak. Pemuda inikah yang telah membatalkan serangan dengan lemparan benda kecil pada sikunya? Tapi, rasanya mustahil! Bukankah pemuda itu tengah berada dalam keadaan tidak berdaya. Tidak mungkin dia yang melakukan karena tengah terluka parah. Mengerahkan tenaga dalam, berarti bunuh diri! Sedangkan tindakan yang baru saja dilakukan, membutuhkan tenaga dalam tinggi. Kenyataannya, mampu membuat tangan Naga Sakti Berwa-jah Hitam itu lumpuh! Ya! Bukan Dewa Arak. Berarti, ada orang lain yang usil. Keyakinan akan dugaannya membuat kakek berwajah hitam ini mengarahkan pandangan ke depan. Tidak terlihat apa-apa kecuali bongkahan batu besar yang tadi didudukinya. Lalu, dari mana sesuatu yang membuat tangannya lumpuh itu berasal?
Karena tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, Naga Sakti Berwajah Hitam kembali mengalihkan perhatian pada Dewa Arak. Kali ini, kakek ini bertindak cerdik dalam melakukan serangan. Dia tidak menggunakan tangan lagi melainkan kaki. Dengan ujung kaki kanannya, dikirimkannya tendangan ke arah leher yang merupakan jalan darah yang mematikan! Tersentak sedikit saja telah cukup untuk membuat nyawa Dewa Arak melayang. Tapi lagi-lagi, sebelum ujung kaki itu menyentuh sasaran, ada sesuatu yang menyambar telak lutut Naga Sakti Berwajah Hitam. Sehingga, membuat kakinya lemas kehilangan tenaga. Untuk yang kedua kalinya serangan kakek ini kandas. Naga Sakti Berwajah Hitam melangkah mundur. Langsung pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi, tetap saja tidak terlihat adanya tanda-tanda ka-lau di sekitar tempat itu ada orang lain. Tentu saja kakek ini murka, karena merasa dipermainkan.
"Pengecut! Keluar kau...! Kalau memang berani, jangan hanya bermain secara sembunyi-sembunyi! Ayo, hadapi aku! Naga Sakti Berwajah Hitam...!" teriak kakek itu sambil berkacak pinggang. Seruan yang dikeluarkan Naga Sakti Berwajah Hitam keras bukan main, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga tidak hanya bergema di sekitar tempat itu, tapi juga terdengar sampai jauh.
Sambil mengeluarkan tantangan demikian, Naga Sakti Berwajah Hitam mengedarkan pandangan ke sekitar tempatnya berdiri. Dan bulu kuduknya tanpa terduga meremang, karena tidak terlihat adanya benda yang bisa diperkirakannya dilepas oleh orang yang menolong Dewa Arak. Padahal seharusnya, bila peno-long itu melemparkan sesuatu, akan tergolek di tanah!
Lalu, apa yang sejak tadi menyentuh siku dan lutut-nya, sehingga serangan-nya kandas? Ataukah semua ini perbuatan hantu? Atau, makhluk halus lainnya?

–––––––– 6 ––––––––

Naga Sakti Berwajah Hitam sebenarnya tidak pernah percaya akan adanya setan atau yang sejenis-nya. Tapi entah kenapa, kakek ini merasa seram juga. Tidak adanya orang lain yang ikut campur uru-sannya di sekitar tempat ini, membuat kakek berwajah hitam ini yakin betul kalau keanehan ini terjadi akibat campur tangannya makhluk halus. Dan hatinya semakin yakin, dengan tidak adanya bekas-bekas dari sesuatu yang membentur siku atau lututnya. Padahal, dia yakin betul bahwa telah terjadi benturan pada siku dan lutut. Tapi, mengapa tidak ada bekasnya sama sekali?! Bahkan tidak adanya desir angin yang mengirin-gi luncuran sesuatu yang telak mengenai siku dan lu-tutnya, terpaksa membuat ciut nyalinya. Betapapun saktinya orang yang ikut campur tangan, Naga Sakti Berwajah Hitam yakin kalau pendengarannya akan mampu menangkap sekalipun desir angin itu amat lemah.
Naga Sakti Berwajah Hitam tahu, kendati sosok yang menyelamatkan Dewa Arak memiliki ilmu 'Sirna Raga' atau ilmu 'Halimun' sekalipun, gerakannya tetap akan terdengar. Setidaktidaknya, kekuatan yang terkandung dalam serangan akan menimbulkan angin yang tertangkap telinga. Tapi kenyataannya? Ini berar-ti, penolong Dewa Arak itu tidak menggunakan ilmu demikian! Kesimpulan yang paling gampang memang makhluk halus yang menjadi biang keladinya! Tapi, mungkinkah ada makhluk halus yang demikian usil mencampuri urusan manusia? Naga Sakti Berwajah Hitam menunggu bebe-rapa saat, setelah mengeluarkan tantangan. Tapi ternyata tidak ada jawaban sama sekali. Justru yang terdengar adalah gema ucapannya sendiri yang dipantulkan tebing-tebing gunung. Terdengar aneh dan menyeramkan. Mungkin, beginilah suara makhluk halus itu. Tapi kalau benar makhluk halus, kenapa ber-tindak tanggungtanggung bila hendak membela Dewa Arak.
Mengapa hanya bertindak, sewaktu pemuda berambut putih keperakan itu diserang? Kenapa tidak melancarkan serangan saja? Apakah makhluk halus tidak pandai menyerang?! Keberanian Naga Sakti Berwajah Hitam yang sempat mengalami guncangan, timbul kembali. Makhluk halus atau bukan, kalau memang menghalangi tindakannya, tidak ada salahnya dilabrak! Apa yang ditakutkan? Bukankah dia merupakan seorang tokoh persilatan tingkat tinggi? Naga Sakti Berwajah Hitam memutuskan untuk bertindak nekat. Satu langkah lagi, Dewa Arak yang terkenal di dunia persilatan itu berhasil ditewaskannya. Tunggu kapan lagi kesempatan sebaik ini? Maka setelah mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya, dia melompat menerjang Dewa Arak dengan kedua tangan terbuka.
Dan... Bresss!
"Aaakh...!"
Naga Sakti Berwajah Hitam tiba-tiba mengeluarkan jeritan menyayat ketika kedua tangannya bagaikan membentur dinding yang tidak tampak. Bahkan seluruh tenaga dalamnya seperti membalik. Tubuhnya langsung terlempar deras ke belakang, dan melayang-layang bagai daun kering diterbangkan angin. Belasan tombak jauhnya tubuhnya melayang-layang, sebelum akhirnya jatuh di tanah menimbulkan bunyi keras. Kakek berwajah hitam itu bangkit tertatih-tatih dengan wajah pucat pasi. Darah tampak mengalir dari sudut-sudut bibirnya, akibat luka dalam yang cukup parah karena tenaga dalamnya sendiri berbalik memukul dirinya. Naga Sakti Berwajah Hitam menggeleng-geleng untuk mengusir pusing yang menyergap. Ditatapnya Dewa Arak untuk yang terakhir kali dengan pandangan bingung dan heran. Kemudian tubuhnya berbalik meninggalkan tempat itu.
"Kali ini kau boleh menghirup udara bebas, Dewa Arak. Tapi lain kali, jangan harap kau akan semujur ini...!"
Cukup keras dan lantang ucapan kakek berwajah hitam ini. Tapi, Dewa Arak tidak menyambutnya sama sekali. Bukan hanya karena tidak mau, tapi juga karena tidak mampu. Jangankan untuk berteriak. Untuk menggerakkan bibir saja, sukar sekali. Andaikata-pun bisa, yang keluar dari mulutnya lebih dari sebuah bisikan pelan. Dalam keadaan setengah sadar itu, Arya masih mendengar bisikan berasal dari mulut seorang kakek. "Aku pergi dulu, Anak Muda. Tugasku sudah selesai. Kelak, apabila kejadian seperti ini terulang, mungkin aku akan muncul kembali."
Hanya sampai di situ ucapan sosok yang tidak terlihat. Tapi itu cukup untuk menjawab keheranan yang sejak tadi membalut hati Arya. Meski dalam keadaan terluka parah, Arya masih sadar dan tahu kalau Naga Sakti Berwajah Hitam hendak membunuhnya. Tapi entah karena apa, tak jua terlaksana. Kiranya ada orang yang menghalangi tindakannya. Arya masih dapat mengucapkan terima kasih, kendati yang tercipta hanya kemak-kemik bibirnya. Sesaat kemudian, pe-muda perkasa ini telah jatuh pingsan.

****

Seorang pemuda berompi kulit harimau melangkah cepat menuju kaki lereng Gunung Cikuray. Sekujur wajahnya kotor berdebu. Wajahnya muram. Rambutnya pun kusut berantakan, tak terurus. Sepertinya, pemuda ini telah lama tidak memperhatikan keadaan dirinya lagi. Keadaannya yang tidak terurus, semakin lengkap dengan sepasang matanya yang sayu seperti lam-pu kehabisan minyak. Hanya saja, sesekali sepasang mata itu mencorong tajam. Tulang-tulang wajahnya pun mengeras penuh kebencian. Dan itu selalu tercipta, setiap kali pemuda ini menyebut satu nama dengan suara berdesis penuh dendam.
"Naga Sakti Berwajah Hitam.... Apabila kau mengganggu Jumini, aku bersumpah akan mengadu jiwa denganmu! Aku, Dirgantara, tidak sudi hidup di dunia ini apabila kau masih bercokol! Hanya ada satu di antara kita yang harus hidup! Kau, atau aku!"
Terdengar bunyi berkerotokan keras ketika pe-muda berompi kulit harimau yang mengaku sebagai Dirgantara menutup ucapannya. Padahal, dia tidak melakukan gerakan apa pun. Tenaga dalamnya yang telah mencapai tingkat tinggi bergerak sendiri, menyebabkan terjadinya bunyi seperti itu. Belum juga tuntas kekesalan pemuda itu, tiba-tiba....
"Ooouw...!" Sebuah teriakan nyaring terdengar, dan berpengaruh besar terhadap Dirgantara. Tubuhnya kontan terjingkat, bagaikan disengat ular berbisa. Sepasang bola matanya berputar liar, mencari sumber te-riakan tadi. Dan sepasang matanya memancarkan si-nar penuh harap, ketika terpandang sebuah gubuk ke-cil di tengah persawahan. Tempat Dirgantara berada memang sebuah areal persawahan yang luas. Di sekitarnya yang terli-hat hanya jejeran padi yang mulai menguning. Pemuda itu sendiri berada di jalan setapak, yang terdapat di antara kotak sawah yang satu dengan yang lain.
"Jumini...," desis Dirgantara penuh perasaan haru. Ketidak bergairahan Dirgantara langsung lenyap. Meski wajahnya masih kusut, tapi terlihat jelas adanya semangat menyala-nyala. Baik pada wajah, maupun sinar matanya. Berbareng ucapan itu, Dirgantara melesat cepat bukan main gerakannya, sampai-sampai kedua ka-kinya bagai tak menginjak tanah. Pematang yang kecil dan licin tidak menghalangi kecepatan larinya. Semen-tara pandangannya tertuju ke arah gubuk di tepi sa-wah. Sedangkan mulutnya tak henti-hentinya menye-butkan satu nama. Jumini! Namun sebelum Dirgantara sampai di dekat gubuk itu, mendadak dari arah lain melesat satu sosok bayangan hitam yang juga memburu ke arah gubuk. Mungkin sosok itu juga mendengar teriakan tadi.
Karena sosok bayangan hitam itu lebih cepat, terpaksa Dirgantara menghentikan larinya. Dia ingin tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Maka secepat itu pula, tubuhnya disembunyikan di dalam kerimbunan padi, sambil matanya tak lepas mengamati ke arah gu-buk.

****

Sementara di dalam gubuk, tampak seorang pemuda tampan dengan dandanan macam-macam tengah menggumuli seorang gadis manis yang terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
"Rupanya kau tidak bisa diperlakukan secara lembut, Jumini! Mungkin kau lebih suka dikasari lebih dulu, sebelum akhirnya tunduk, heh?! Baik kalau itu yang kau inginkan, ku penuhi...!"
Dengan napas memburu hebat karena pengaruh nafsu birahi yang menyesakkan dada, pemuda pesolek yang tak lain Lanang cepat menotok gadis dalam himpitannya yang memang Jumini. Tuk! Saat itu juga, tubuh Jumini lemas tak berdaya. Sedangkan dengan mata jelalatan, Lanang langsung melucuti pakaian gadis itu. Hanya dalam sekejapan saja, gadis berpakaian kuning itu telah bugil. Dan Lanang yang telah diamuk nafsu, segera menubruknya dengan buas. Persis seekor serigala kelaparan menerkam anak kambing gemuk!
"Jangan..., jangan lakukan itu.... Aku mohon, Lanang...," pinta Jumini mengiba dengan suara meme-las. Air mata gadis itu telah mengalir deras memba-sahi sepasang pipinya yang mulus. Air mata yang mengucur karena cekaman rasa takut dan ngeri akan terjadinya sesuatu hal yang mengerikan terhadap dirinya.
"Lebih baik kau bunuh saja aku...," lanjut Jumini Lanang yang telah kesetanan tidak mempeduli-kan sama sekali. Bahkan tindakannya semakin kasar. Di telinganya, rintihan Jumini tak ubahnya nyanyian bidadari yang membuat semangatnya semakin meng-gebu-gebu. Sebenarnya, Lanang tidak begitu suka melakukan tindakan ini. Tapi, apa boleh buat? Ini memang cara satu-satunya untuk menjadikan hati Jumini yang keras mencair. Yang penting, Jumini mau menjadi pasangannya setelah peristiwa ini. Lanang yakin, Jumini tidak akan mempunyai pilihan lain lagi setelah semuanya terjadi. Tapi di saat yang gawat terhadap kehorma-tan Jumini....
Brak!
Tiba-tiba pintu gubuk terlepas dari engselnya dan dalam keadaan hancur berkeping-keping. Tentu saja gangguan mendadak ini, membuat Lanang melompat dari tubuh Jumini yang tengah ditindihnya. Secepat kilat, dia bersiap untuk menghadapi keadaan yang tidak memungkinkan.
"Manusia berhati binatang...!" desis sosok yang ternyata seorang gadis berpakaian serba hitam. "Ma-nusia seperti kau sudah selayaknya dimusnahkan dari muka bumi!" Gadis berpakaian serba hitam yang tak lain Linggar hanya bertindak sampai di situ. Dibiarkannya Lanang yang lari sambil meraih pakaiannya dengan menjebol dinding gubuk hingga jebol. Pemuda pesolek itu mencari tempat untuk mengenakan pakaian, karena saat itu sudah telanjang bulat
"Kenakan itu, Nona," ujar Linggar teringat akan nasib Jumini yang masih tergolek di lantai gubuk beralaskan jerami. Namun ketika melihat gadis itu tak bergerak, Linggar sadar kalau Jumini telah tertotok. Maka seketika tangannya bergerak cepat, melepaskan totokan pada tubuh Jumini. Dengan wajah masih pucat dan airmata yang mengucur deras, Jumini mengenakan pakaiannya. Beberapa kali dia terbalik mengenakannya, karena pikirannya melayang-layang. Beberapa tombak di luar gubuk, Lanang tampak terburu-buru mengenakan pakaian. Pemuda pesolek itu ingin segera memberi hajaran pada Linggar. Kejadian ini memang membuat Lanang jadi kehabisan kesabaran dan menyumpah-nyumpah karena perasaan kesal. Daging yang sudah berada di depan mata dan tinggal ditelan, telah terlepas lagi karena campur tangan orang usil. Maka ketika akhirnya berhasil mengenakan pakaiannya kembali, pemuda pesolek ini mencelat ke depan gubuk. Lega hatinya ketika melihat orang yang telah bertindak usil, telah berada di depan gubuk juga. Jumini masih berada di dalam gubuk.
Sementara itu, sepasang mata milik Dirgantara terus memperhatikan sosok berpakaian serba hitam, dan pemuda pesolek yang dikenal sebagai pemuda hidung belang. Karena tidak melihat adanya Jumini, dan menyadari betapa tingginya kepandaian Lanang, Dirgantara merasa tak akan mampu menghadapinya. Maka dia segera berbalik, meninggalkan tempat persembunyiannya.

–––––––– 7 ––––––––

"Ha!"
Sementara Lanang melongo sebentar, kemudian tertawa bergelak.
"Mimpi apa aku semalam sampai bisa bertemu seorang bidadari dari kahyangan? Siapa kau, Gadis Ayu?! Apakah kau juga ingin bersenang-senang denganku?!"
Jumini yang sudah muncul di samping Linggar, menggertakkan gigi. Kebenciannya terhadap Lanang semakin membesar. Belum lama, Lanang mengatakan kalau dirinya adalah wanita satu-satunya yang dicin-tai. Sekarang pemuda itu telah memuji-muji gadis ber-pakaian serba hitam. Di depan hidungnya lagi! Benar-benar seorang lelaki buaya!
"Makhluk menjijikkan seperti kau memang tidak patut dibiarkan lama-lama hidup di dunia ini!" desis Jumini, penuh perasaan geram.
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Dik. Aku pun tidak mempunyai niat untuk mengampuninya! Serahkan padaku untuk menghukumnya!"
Jumini menatap wajah Linggar lekat-lekat se-bentar.
"Kau yakin bisa menanggulanginya sendiri?!"
Linggar mau tidak mau tersenyum melihat tingkah Jumini yang kekanak-kanakan.
"Aku tidak yakin, Dik. Tapi andaikata aku tidak mampu, bukankah masih ada kau?! Dengan adanya kau, apa lagi yang perlu ku khawatirkan?!"
Jumini tersenyum. Kemudian setelah melempar senyum manis untuk Linggar, Jumini melangkah mundur. Diberinya kesempatan pada Linggar untuk menghadapi Lanang. Kendati demikian, gadis yang sebenarnya putri Pendekar Jari Maut ini bersiap-siap memberi pertolongan bila terjadi sesuatu yang tidak di-inginkan terhadap penolongnya.
Lanang adalah seorang pemuda yang cerdik bukan main. Sekali lihat saja bisa diketahui kalau kepandaian Linggar amat tinggi. Dan mungkin berada di atas Jumini. Tapi kalau sampai mereka bersatu untuk mengeroyoknya, dia akan menderita kerugian. Jelas, dia tidak akan mampu menghadapi mereka berdua. Maka sebelum kedua gadis ini bersatu, diputuskannya bertindak cepat.
"Cuhhh!"
Tanpa disangka-sangka, Lanang menyemburkan ludahnya berkali-kali. Pemuda ini tahu, sebagian besar orang merasa jijik dengan cairan kental itu. Terutama sekali, wanita.
Dugaan Lanang tidak meleset. Linggar merasa jijik bukan main melihat gumpalan-gumpalan ludah kental yang meluncur bertubi-tubi ke arahnya. Cepat gadis itu melompat jauh ke belakang sejauh empat tombak. Dan dari jarak itu, Linggar mementahkan semburan-semburan ludah dengan memutar pedangnya di depan dada hingga menimbulkan gulungan sinar kemilau.
Permainan pedang Linggar ternyata tidak hanya enak dilihat, tapi juga menggiriskan. Beberapa jengkal dari gulungan sinar pedangnya, gumpalan-gumpalan ludah itu runtuh ke tanah semuanya. Cairan-cairan menjijikkan itu bagaikan bertemu dinding tidak nampak.
Lanang sebenarnya terkejut melihat hal ini. Se-ketika itu pula disadari kedahsyatan tenaga dalam la-wannya. Tapi dia tidak mempedulikannya. Kesempatan itu dipergunakannya untuk melolos sabuk dan mengirimkan serangan.
Sabuk itu meliuk-liuk laksana seekor ular. Ujungnya mematuk-matuk, ke bagian-bagian tubuh yang berbahaya.
Siasat Lanang berhasil. Serangan-serangan lu-dahnya memang dimaksudkan untuk membuat Ling-gar menjauh. Sementara senjata sabuknya memang mempunyai jangkau jauh lebih panjang daripada pe-dang lawan. Maka bila pertarungan berlangsung dalam jarak jauh, Lanang akan mendapat satu keuntungan.
Namun, Lanang keliru bila mengira Linggar dapat disiasati seperti itu. Gadis berpakaian serba hitam ini memiliki ketenangan luar biasa. Ketenangan inilah yang dapat membuatnya berpikir panjang. Hanya dalam sejekap, Linggar tahu kalau kedudukan pemuda pesolek itu lebih menguntungkan bila hal ini berlangsung. Maka serangan-serangan ujung sabuk Lanang dihadapinya dengan elakan, lompatan gulungan tubuh ke depan.
Lanang juga tidak kalah cerdik Dia pun menjaga jarak dengan cara melompat ke belakang juga se-raya mengirimkan serangan-serangan berbahaya. Tindakannya membuat jarak antara mereka tidak beru-bah.
Sedangkan saat itu Jumini mengernyitkan alis-nya, tidak tenang ketika melihat jalannya pertarungan. Dalam hati, diakui kalau kepandaian Linggar amat tinggi. Bahkan mungkin tidak berada di bawah tingkatnya sendiri. Tapi agaknya Linggar bukan tandingan Lanang, putra angkat Naga Sakti Berwajah Hitam. Terlihat jelas oleh Jumini betapa Linggar tidak mampu mendekati Lanang.
Kini sekujur otot-otot tubuh Jumini sudah me-negang, bersiap terjun ke dalam kancah pertarungan dan menyelamatkan membantu Linggar.
Rrrttt!
Jantung dalam dada Jumini berdetak keras. Hatinya tegang bukan main, ketika melihat batang pedang Linggar terlibat sabuk Lanang. Jumini tahu, Linggar sengaja melakukannya agar tidak terus-menerus dicecar. Kendati demikian, Jumini tidak bisa membenarkan pertarungan yang menggunakan tenaga dalam seperti itu. Jumini tahu betul kalau tenaga dalam Linggar masih berada di bawah tenaga dalam Lanang. Dan ini berarti kerugian terbesar akan dialami Linggar.
"Ah...!"
Tanpa sadar Jumini berteriak kaget ketika melihat Linggar melepaskan pedangnya. Saat itu, adu tarik-menarik tengah berlangsung sengit. Dan Lanang berada di pihak yang unggul. Akibatnya, tubuh Lanang terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Sementara Jumini lebih kaget lagi ketika melihat Linggar malah duduk bersila. Apa yang hendak dilakukan gadis berpakaian hitam itu? Jumini hanya mampu bertanya dalam hati dengan perasaan terce-kam.
Tapi, sesaat kemudian keheranan Jumini berganti kekaguman. Samar-samar dari atas kepala Linggar terlihat melesat sesosok bayangan yang mirip Ling-gar yang tengah duduk bersila. Hanya saja bentuknya hanya berupa bayangan tidak jelas. Kalau Jumini tidak memiliki tenaga dalam tinggi dan memperhatikan pertarungan sejak semula, tentu tidak akan bisa melihatnya.
Sementara itu, bayangan Linggar melayang cepat menuju Lanang. Saat itu pemuda pesolek ini telah berhasil memperbaiki kedudukannya yang tidak menguntungkan. Dengan agak bergegas, dia duduk bersila juga. Sebentar kemudian, dari atas kepalanya pun melayang-layang sesosok bayangan yang juga mirip dengan Lanang asli. Sosok bayangan Lanang ini langsung menyambuti kedatangan sosok bayangan Linggar.
Pertengahan jalan, dua sosok bayangan ini saling bertemu. Dan seperti layaknya dua orang manusia, mereka ini saling serang dengan tangan kosong. Keduanya silih berganti mengirimkan pukulan dan tendangan.
Jumini yang baru pertama kali melihat pertarungan semacam ini, menjadi bingung. Meski demikian, karena tingkat kepandaiannya memang sudah cukup tinggi, bisa diduga akan apa yang tengah terja-di. Linggar dan Lanang tengah mengadu kekuatan ba-tin. Kedua tokoh itu seperti melepaskan nyawa mereka sendiri.
Cara pertarungan demikian memang menak-jubkan.
Kelihatannya dua belah pihak tidak berbuat apa-apa, selain duduk bersila dan berdiam diri. Padahal, masing-masing memusatkan perhatian sepenuhnya, untuk mengerahkan seluruh kekuatan batin yang dimiliki.
Walaupun hanya duduk bersila dan diam tidak bergerakgerak bagaikan patung batu, sekujur tubuh mereka, telah dibanjiri peluh. Bahkan ketika keadaan itu berlangsung agak lama, dari atas kepala dua tokoh itu mengepul uap. Mula-mula tipis dan tidak terlihat mata, tapi semakin lama semakin tebal dan banyak.
Jumini hanya bisa menatap dengan perasaan gelisah, ketika melihat uap yang mengepul dari atas kepala Linggar jauh lebih banyak. Malah kedua tangan Linggar yang bersedakap, menggigil keras seperti orang demam tinggi. Jumini tahu, Linggar tengah terdesak hebat.
Hati Jumini gelisah, karena hanya mampu menyaksikan tanpa mampu berbuat apa-apa. Gadis ini tidak tahu, bagaimana caranya membantu Linggar. Pandangan matanya memang dapat melihat kalau bayangan Linggar terus-menerus terdesak dan terhim-pit. Bahkan beberapa kali terkena serangan bayangan Lanang.
Jumini sampai menghentakkan kaki saking kagetnya, ketika melihat bayangan Linggar melompat memapak serangan bayangan Lanang. Jumini tahu, Linggar bertindak nekat
"Huakh...!"
Tiba-tiba Linggar memuntahkan darah segar. Tubuhnya yang masih dalam keadaan duduk bersila sampai terlipat ke depan. Di lain pihak, Lanang hanya mengeluarkan keluhan tertahan. Dua bayangan yang tadi saling tarung, mendadak lenyap seketika itu juga.
"Linggar...!"
Jumini menghambur ke arah Linggar berada. Hatinya khawatir gadis penolongnya itu akan celaka. Maka, bergegas dihampirinya Linggar untuk diperiksa.
"Aku tidak apa-apa, Dik," ucap Linggar terbata-bata.
Terlihat susah sekali, gadis ini berbicara. Bah-kan pembicaraannya ditutup dengan mengalirnya da-rah segar dari celah-celah bibirnya.
"Maafkan aku yang tidak becus ini. Aku tidak mampu mengalahkan lelaki buaya itu. Dia terlalu lihai untukku," desah Linggar seperti menyesal.
"Biar aku yang akan melanjutkannya, Kak," sahut Jumini sambil menatap ke arah Lanang yang masih juga duduk bersila. Pemuda pesolek ini walau tidak terluka, tapi tenaganya habis karena terlalu terkuras.
"Jangan lakukan itu, Dik. Itu bukan tindakan ksatria," cegah Linggar dengan suara lemah.
Tapi, Jumini memang memiliki watak keras. Perlakuan Lanang terhadapnya saja sudah cukup be-ralasan untuk membunuhnya. Tidak peduli bagaimana caranya. Ini, masih ditambah lagi perbuatannya terha-dap Linggar hingga luka parah. Kemarahan Jumini bertumpuk-tumpuk. Dengan langkah lebar dan sorot mata penuh ancaman, dihampiri Lanang.
Lanang menyadari akan adanya ancaman ba-haya besar. Sama sekali tidak disangka kalau akhir pertarungan ini bisa seperti ini. Linggar ternyata demi-kian cerdik, sehingga mampu membuat kemenangan-nya hampir tidak berarti. Sebab, dengan mudah Jumi-ni akan dapat membunuhnya.
"Lanang...! Manusia keji...! Penjahat terkutuk! Orang sepertimu harus segera dilenyapkan dari muka bumi! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut, Pemuda Banci!" hiding Jumini dengan suara sengit, begitu langkahnya berhenti dengan jarak dua tombak di depan Lanang.
"He he he...!"
Sungguhpun tenaganya telah terkuras banyak, Lanang masih memaksakan diri untuk tertawa. Penuh ejekan.
"Tunggu apa lagi, Jumini?! Bukankah kau ingin membunuhku?! Silakan! Aku sudah tahu kalau orang macam kau, memang pandai memanfaatkan peluang. Bukankah lebih enak membunuh orang yang sudah ti-dak mampu mengadakan perlawanan?! Kau memang mirip ayahmu yang pengecut! Beraninya hanya menghadapi orang yang tidak berdaya! Tak heran kalau anaknya pun akan menjadi orang yang paling pengecut!"
Jumini mendelik mendengar ejekan itu. Dia tahu, Lanang tengah berusaha menyinggung harga dirinya, demi untuk menyelamatkan nyawa. Tapi sayangnya, kecerdikan Lanang membuat keinginannya untuk menjatuhkan hukuman bagi pemuda pesolek itu berkurang jauh. Tentu saja, Jumini risih dicap pengecut.
Gadis ini bimbang. Apakah ejekan itu ditangga-pi dan Lanang akan mengambil keuntungan? Ataukah dibiarkan saja, dan maksudnya bisa diteruskan?
Tapi dasar Jumini seorang gadis nakal, urakan, dan cerdik. Maka dalam waktu sekejapan saja, sudah bisa menemukan jalan terbaik untuk memecahkan masalah. Bibirnya tampak tersenyum mengejek den-gan sepasang mata bersinar-sinar.
Lanang yang semula sudah merasa yakin dengan ejekannya yang mampu menyinggung harga diri Jumini, kini mulai merasa cemas. Senyum yang semula menghias bibirnya, mulai memudar.
Dia tahu, Jumini memiliki kecerdikan. Barangkali saja, gadis itu te-lah menemukan sebuah cara untuk melakukan tinda-kan terhadapnya.
Sementara itu, Jumini dengan sikap tenang mulai menghunus pedangnya. Sedang Lanang memperhatikan dengan dada berdetak keras, karena jan-tungnya memukul lebih cepat. Hidungnya mulai membaui adanya bahaya.
"Manusia jahanam! Lanang! Aku bukan sejenis orang berwatak pengecut yang mampu membunuh orang tidak berdaya. Aku tidak sudi membunuhmu! Tapi, terlalu enak bila membiarkan mu pergi begitu saja. Orang semacammu harus diberi pelajaran! Sebelah tanganmu akan kuambil sebagai ganjaran atas kekurangajaranmu terhadapku! Terimalah balasan sikap tak sopanmu terhadapku!"
Jumini segera menggetarkan pedangnya, hing-ga seperti berjumlah belasan. Bunyi mengaung ter-dengar mengiringi getaran pedang itu. Kemudian sam-bil memekik nyaring, gadis ini melompat sambil mengi-rimkan babatan ke arah pangkal tangan kanan La-nang.
Sementara itu wajah pemuda pesolek ini pucat pasi membayangkan sebelah tangannya akan lenyap untuk selamanya. Namun....
Trang!
Jumini mengeluh tertahan, ketika beberapa jari sebelum batang pedangnya mengenai sasaran melesat sinar kehijauan dari sebelah kanannya. Sinar hijau yang melesat cepat dengan bunyi berdesing nyaring, membentur keras mata batang pedang Jumini.
Benturan tadi kontan membuat Jumini terpak-sa bersalto ke belakang beberapa kali untuk mema-tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlontar. Terasa berat bukan main. Malah pedangnya hampir terlepas dari pegangan, saking kerasnya.
Begitu Jumini menjejakkan kaki, terdengar ta-wa mengikik dan terdengar liar! Begitu tak beraturan!
Dengan hati panas karena marah atas campur tangan terhadap urusannya, Jumini mengalihkan pandangan ke arah asal tawa. Ternyata di sana telah berdiri sesosok ramping dengan bentuk tubuh menggiurkan. Seorang gadis muda yang memiliki wajah cantik. Hanya saja, keadaannya membuat Jumini berdetak mengkirik.
Gadis yang telah menyelamatkan Lanang itu memang mempunyai tingkah aneh. Bukan hanya ka-rena tawanya yang berkesan aneh dan mengerikan, tapi juga dandanannya. Pakaiannya bercorak kembang-kembang yang dikenakannya terbalik. Wajah yang sebenarnya cantik itu pun jadi terlihat mengerikan karena terlalu banyak bedak. Sinar matanya kosong, namun berkesan liar.
Tingkah dan penampilan gadis berpakaian kembangkembang ini saja sudah membuat Jumini bergidik. Tapi yang lebih membuat hatinya tercekat adalah, ketika melihat benda yang tadi telah berbenturan dengan pedangnya. Benda berwarna kehijauan itu ternyata batang alang-alang yang tak lebih besar dari batang lidi.
Jumini tak habis pikir, bagaimana mungkin sebatang alangalang yang demikian kecil mampu membentur batang pedangnya? Seakan-akan yang terjadi tadi benturan antara dua batang benda tajam yang sama-sama-sama besar dan berat. Yang lebih gila lagi, batang alang-alang itu mampu membuat pedangnya hampir terlepas dari pegangan. Benar-benar luar biasa tenaga dalam yang terkandung pada lemparan batang alang-alang itu. Bagaimana pula, bila yang dilempar-kan untuk menangkis adalah pedang pula!
Jumini yang berotak encer, segera bisa mengetahui kalau gadis berpakaian kembang-kembang itu memiliki kepandaian tinggi! Kekuatan tenaga dalamnya telah memberi petunjuk yang jelas. Dan dia tidak yakin akan mampu menghadapinya.
"Siapa kau, Kak?! Mengapa kau mencegah tin-dakanku yang hendak membunuh bangsat itu?!" ujar Jumini dengan suara lembut sambil menuding Lanang.
"Kakak? Hi hi hi...!" ulang gadis berpakaian kembangkembang sambil tertawa mengikik dengan sepasang bola mata berkeliaran liar ke sana kemari. "Kapan aku pernah mempunyai adik perempuan sepertimu?! Aku tidak mempunyai adik! Apalagi adik yang gila!"
Wajah Jumini merah karena malu dan tersinggung. Dia tadi menyebut kakak untuk menghargai gadis berpakaian kembangkembang ini. Namun sama sekali tidak disangka kalau tanggapan yang didapat akan seperti ini!
Yang lebih menyakitkan hati adalah, ketika Jumini malah dimaki sebagai orang gila oleh gadis berpakaian kembangkembang ini. Padahal dia yakin, sekali lihat saja orang akan tahu siapa yang lebih pa-tut dikatakan gila.
"Ah...! Rupanya aku salah bicara! Kukira aku berhadapan dengan orang! Tak tahunya hanya seekor iblis betina yang tak waras! Memang pantas sekali Iblis betina tak waras bergaul dengan seorang lelaki tak ta-hu diri! Tepat sekali!"
"Keparat!" maki gadis berpakaian kembang-kembang, kelihatan marah sekali. "Berani kau mengatakan aku gila?! Dasar orang gila! Kau benar-benar mempunyai nyali macan! Apakah kau telah mempunyai nyawa rangkap? Menghinaku saja, telah cukup untuk membunuhmu. Apalagi setelah kau berani-beranian memaki calon suamiku! Kau akan kubunuh, Gadis Gila! Hi hi hi..!"
Jumini, Linggar, lebih-lebih lagi Lanang, terperanjat mendengar penuturan gadis berpakaian kembang-kembang itu yang mengaku-aku Lanang sebagai calon suaminya! Sedangkan Jumini dan Linggar menjadi heran. Benarkah gadis yang kelihatan tak waras itu adalah calon istri Lanang?! Tidak salahkah itu?!
"Mengapa malah bengong, Wanita Gila?! Kau harus mendapat hukuman atas kelancanganmu hendak membunuh suamiku!"
"Kaulah yang lebih dulu akan kusingkirkan, Wanita Gila!" sentak Jumini kehabisan sabar, langsung dia melesat menerjang sambil menusukkan pedangnya ke arah leher!
"Uh, galaknya! Sayang tidak kena!" seru gadis berpakaian kembang-kembang ini sambil merendahkan tubuh sampai berjongkok, sehingga serangan ujung pedang Jumini lewat beberapa jari di atas kepa-lanya.
Jumini merasa direndahkan. Langsung serangannya disusuli dengan tendangan kaki kanan ke arah kepala. Tapi masih dalam keadaan berjongkok, gadis berpakaian kembang-kembang itu mengelak. Tak kelihatan menjejakkan kaki, tapi tubuhnya telah melayang ke belakang. Sehingga, serangan Jumini kembali kandas.
Jumini penasaran bukan main. Dengan kemarahan semakin memuncak, dikirimkan serangan susulan dengan mengerahkan seluruh kemampuan. Pedangnya ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai sekujur tubuh bagian atas yang berbahaya dari gadis gila itu.

–––––––– 8 ––––––––

Gadis gila berpakaian kembang-kembang yang sudah berdiri tegak di atas tanah, tidak gugup melihat serangan bertubi-tubi dari Jumini. Dan hanya menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, dia telah berhasil membuat semua serangan kandas.
Pada satu kesempatan, Jumini menusukkan pedangnya ke leher. Namun dengan gerakan manis sekali, gadis itu mengegoskan tubuhnya. Dan sebelum Jumini sempat menariknya, gadis berpakaian kembang-kembang ini telah lebih dulu mengulurkan mulutnya.
Krep!
Batang pedang Jumini di luar dugaan, berhasil digigit gadis berpakaian kembang-kembang itu.
Jumini kaget. Cepat pedangnya ditarik kembali dengan keras. Tapi pedangnya bagai terjepit catut baja saja. Betapapun kerasnya menarik, namun tak bergeming sama sekali. Apalagi untuk merobek mulut gadis gila itu.
Meski demikian, Jumini yang memiliki watak keras hati tidak mau mengalah. Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk menarik. Dan di saat, gadis berpakaian kuning ini tengah berada dalam puncak kekuatan tarikannya, gadis gila berpakaian kembang-kembang itu mengerahkan tenaga menekan pada gigigiginya.
Krak!
Saat itu juga, batang pedang Jumini patah menjadi tiga potong. Tubuh gadis itu pun terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikannya sendiri. Salah satu potongan pedang tetap berada di tangannya. Se-dangkan potongan yang lain berada di antara gigi-gigi gadis gila berpakaian kembang-kembang itu.
Dan di saat tubuh Jumini masih terhuyung ke belakang karena belum bisa mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang, gadis gila itu mengegoskan kepalanya.
Set!
Seketika, dua potong batang pedang yang masih di mulut gadis gila itu melesat dengan kecepatan menakjubkan ke arah Jumini. Yang satu menuju ke leher, sedangkan yang lain menuju ke ulu hati. Rupanya gadis gila itu benar-benar berniat mengirim nyawa Jumini ke alam baka, dengan mengirimkan dua serangan yang mematikan.
Di lain pihak, meski dalam keadaan kurang menguntungkan, Jumini masih mampu melihat akan adanya ancaman maut. Hanya sekali memperhatikan, dapat diketahui kalau potongan pedang yang menuju ke leher, yang lebih dulu mengenai sasaran. Karena di samping meluncur lebih dulu, kecepatan luncurannya pun lebih dahsyat.
Dalam waktu yang hanya sekejap itu, Jumini mampu berpikir cepat. Dia harus menangkis potongan pedang yang meluncur ke arah leher. Sedangkan untuk potongan selanjutnya akan dielakkan saja, dengan menggunakan tenaga yang didapat dari benturan nanti.
Begitu waktu yang ditunggu tiba, Jumini langsung mengayunkan pedangnya yang tinggal sepotong pada sasaran ke leher.
Wut!
"Heh?!"
Hati Jumini mencelos, ketika melihat potongan pedang yang dikira akan mendarat lebih dulu, tiba-tiba melambat. Sebaliknya, potongan yang lain, meluncur menakjubkan. Akibatnya tangkisan Jumini jadi mengenai angin kosong.
Jumini jadi gugup. Dengan sebisa-bisanya, tu-buhnya dilempar ke belakang untuk menjauhi Malaikat Maut. Perubahan serangan yang demikian menda-dak, membuatnya jadi kehilangan akal. Sehingga....
Cap, cap!
Jumini menjerit tertahan, ketika kedua potong-an pedang itu mendarat di sasaran. Yang satu menancap di pangkal bahu kanan, sedangkan yang satu lagi menembus dada sebelah kanan bagian atas. Gerakan terakhir yang dilakukan Jumini tadi memang cukup untuk menyelamatkan nyawanya dari maut. Kendati, tetap saja dia tidak mampu untuk menyelamatkan diri dari ancaman potongan pedang.
"Hi hi hi...!"
Gadis gila berpakaian kembang-kembang men-gikik ketika melihat Jumini memekik kesakitan dengan tubuh masih terhuyung-huyung ke belakang.
Linggar yang sejak tadi belum sempat melakukan tindakan untuk mengobati luka dalamnya, merasa cemas melihat nasib Jumini. Dia ingin meneriakkan seruan saja pada Jumini agar segera pergi meninggalkan tempat itu. Karena melawan terus pun akan percuma.
Gadis gila berpakaian kembang-kembang itu memang memiliki kepandaian menakjubkan. Bahkan mungkin berada di atas Lanang. Terus melawan sama saja mati konyol!
Untungnya bukan hanya Linggar yang menyadari keadaan demikian, tapi juga Jumini. Maka meski kekuatan yang membuatnya terhuyung telah habis, gadis ini bertingkah seakanakan masih dipengaruhi kekuatan itu dengan bergerak ke arah Linggar. Kemudian secara tiba-tiba, Jumini menyambar tubuh Linggar, lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu. Perasaan khawatir bila gadis gila itu mengejar, membuat seluruh kemampuan larinya terpaksa dikerahkan.
Tapi, kekhawatiran Jumini ternyata tidak beralasan. Gadis gila itu sama sekali tidak mengejar. Meski memang kaget ketika melihat lawannya mengambil langkah seribu, gadis berpakaian kembang-kembang itu tidak memburu. Yang dilakukannya hanya terus tertawa-tawa sambil mengeluarkan ejekan cukup memerahkan telinga.
"Ayo! Ayo, mau lari ke mana kau, Gadis Gila?! Akan kukejar ke mana pun kau lari! Ayo...! Awa...! Pedang...! Pedang...! Hi hi hi...! Ada orang gila berlari tunggang langgang! Hi hi hi...!"

***

Gadis berpakaian kembang-kembang ini baru menghentikan ejekan dan tawanya, ketika tubuh Jumini sudah tidak terlihat lagi. Dengan lagak malu-malu sambil menghias senyum semanis mungkin, ma-tanya melirik ke arah Lanang.
"Bagaimana, Suamiku?! Apakah kau telah senang sekarang...?! Musuh-musuh kita telah terusir pergi. Sekarang, mari kita pergi menjumpai Kakek. Dan tua bangka bau tanah itulah yang akan menikahkan kita. Bagaimana? Kau mau kan, Suamiku Sayang?!"
Lanang susah payah menelan ludahnya seperti orang menelan duri. Di dalam hati, pemuda pesolek ini memaki kalang kabut. Sama sekali tidak disangka kalau perkembangan nasibnya jadi seperti ini. Semula harapannya akan mendapat dua bidadari. Tak tahunya mendapat seorang gadis gila!
Jantung Lanang berdetak jauh lebih cepat keti-ka gadis berpakaian kembang-kembang itu bergerak menghampirinya dengan langkah terlihat malu-malu. Kedua tangannya di depan dengan jari-jari diremas dan direntangkan satu sama lain. Wajahnya ditunduk-kan. Namun dari balik bulu matanya yang kelewat len-tik, matanya menyambar ke wajah Lanang. Dan pemu-da itu malah muak jadinya.
Semakin gadis berpakaian kembang-kembang itu dekat, Lanang semakin muak. Perutnya pun mendadak mual, ingin muntah.
Lanang sudah bersiap-siap untuk memaki-maki. Bahkan akan meludahi, apabila gadis berpakaian kembang-kembang itu terus mendekat. Tapi sebelum maksudnya itu dilaksanakan, mendadak langkah gadis itu berhenti. Wajah yang semula penuh senyum dan sikap yang malu-malu, seketika berubah. Lanang melihat wajah gadis itu beringas. Sepasang matanya liar kembali.
"Keparat! Orang-orang gila dari mana yang berani mengintai ku?! Apakah kalian bosan hidup, sehingga berani mengintai putri tercantik sedunia yang hendak bercengkerama dengan calon suaminya?!" sentak gadis berpakaian kembang-kembang ini sambil berbalik.
Lanang mendadak terperanjat. Benarkah ada banyak orang yang tengah mengintai mereka? Kalau benar mengapa dia tidak terdengar oleh telinganya? Demikian tinggikah ilmu meringankan tubuh orang-orang itu? Kalau benar demikian, berarti kepandaian gadis ini sukar diukur! Lalu, bagaimana pula tingginya tingkat kepandaian gurunya? Mengingat hal ini Lanang jadi bergidik!
Waktu terus berlalu. Tapi, orang-orang yang dimaksud gadis berpakaian kembang-kembang ini tak juga keluar dari tempat persembunyiannya di dalam gubuk tempat Lanang semula.
Lanang yang melihat hal ini mulai meragukan keberadaan orang-orang yang dimaksud gadis ber-pakaian kembangkembang ini. Bukan tidak mungkin kalau gadis itu hanya mengada-ada saja. Bukankah gadis itu memang kurang waras?
"Rupanya kalian lebih gila daripada orang gila yang baru saja kuusir?! Kalian ingin aku bertindak keras?!"
Gadis berpakaian kembang-kembang menutup ucapannya dengan dorongan kedua telapak tangan terbuka, setelah terlebih dulu tersilang di depan dada.
Saat itu Lanang mendengar bunyi mendesing keras, kemudian pondok sederhana itu berderak keras seperti diterpa angin ribut. Bahkan pondok itu terangkat ke atas bagai dicabut tangan-tangan raksasa yang tidak kelihatan. Lalu potonganpotongan pondok berjatuhan, bertumpukan beberapa tombak di sebelah kiri tempat itu.
Dan begitu pondok itu telah tidak tampak lagi, sepasang mata Lanang terbelalak. Di situ tampak berdiri tegak dua sosok yang telah berusia lanjut. Ternyata gadis berpakaian kembangkembang tidak salah dengar. Dia benar! Dan Lanang mulai merasakan bulu kuduknya berdiri!
Keterkejutan Lanang semakin membesar, ketika melihat dua sosok itu. Pemuda pesolek ini teringat akan seorang tokoh besar, ketika melihat ciri-ciri salah seorang di antara mereka.
Sosok yang dimaksudkan Lanang berpakaian sederhana. Kulitnya hitam kecoklatan. Wajahnya terli-hat keras. Sebuah caping bambu bertengger di atas kepalanya yang terhias rambutrambut putih. Lanang tahu, kakek itu tak lain adalah Petani Berambut Putih!
Petani Berambut Putih tampak bersikap tenang, kendati baru mengalami kejadian yang cukup mengejutkan. Demikian pula sosok yang satu lagi, wajah dan sikap mereka biasa saja ketika mengayunkan kaki mendekati tempat Lanang dan gadis berpakaian kembang-kembang itu berada.
"Kau yakin kalau pemuda itu yang dimaksud Dirgantara muridmu itu, Petani Berambut Putih?!" tanya kakek di sebelah Petani Berambut Putih, tubuhnya kecil kurus dan bermata sipit
"Aku yakin, Jari Maut. Muridku menceritakannya secara jelas. Pasti pemuda itu yang bernama Lanang."
"Lalu..., siapa gadis aneh di sebelahnya itu?" tanya kakek kecil kurus yang ternyata Pendekar Jari Maut
"Aku sendiri tidak tahu, Jari Maut. Tapi menilik dari sikap Lanang, aku yakin, dia tidak mempunyai hubungan apa pun dengannya."
"Seorang gadis yang hebat. Semuda itu sudah memiliki tenaga dalam yang demikian kuat. Entah siapa gurunya. Sayang, otaknya tidak waras," puji Pendekar Jari Maut disertai helaan napas berat.
Percakapan dua kakek sakti yang merupakan tokoh-tokoh besar dunia persilatan golongan putih ini membuat jantung Lanang terasa berdetak jauh lebih cepat. Sama sekali tidak disangka akan bertemu mereka. Dua kakek yang memiliki tingkat kepandaian seja-jar dengan ayahnya, Naga Sakti Berwajah Hitam. Tapi toh, keberadaan mereka bisa diketahui gadis berpakaian kembang-kembang. Lalu, sampai di mana tingkat kepandaian gadis gila ini?
Percakapan dua kakek itu saja sudah menun-jukkan pada Lanang akan ketinggian kepandaian me-reka. Terlihat jelas kalau Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut bercakap-cakap dengan hanya mengemikkan sedikit bibir. Tapi toh, bunyi yang terdengar amat lantang. Bahkan bergema ke seluruh penjuru tempat ini.
Berbeda dengan Lanang, gadis gila berpakaian kembangkembang itu tidak merasa gentar sama sekali. Bahkan kelihatan sekali marah. Apalagi ketika melihat kedua kakek itu terus melangkah mendekati tempatnya berada dengan sikap tak ambil peduli.
"Berhenti, Orang-orang Gila! Kalau kalian tidak mau patuh juga, kalian akan kujadikan mayat-mayat gila! Bagus bukan?! Hi hi hi...!"
Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih saling berpandangan tanpa menghentikan ayunan kaki. Di mulut mereka sama-sama tersungging senyum. Kedua kakek sakti ini merasa geli melihat sikap gadis berpakaian kembang-kembang itu. Semula seruannya mengandung kemarahan, tapi ditutup tawa mengikik. Dasar orang tak waras! Kendati demikian, terbit rasa iba di hati mereka terhadap nasib gadis yang tidak waras itu.
"Rupanya kalian ingin merasakan gebukanku?!"
Seruan itu membuat Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih berhenti melangkah. Dan seiring selesainya perkataan itu, gadis berpakaian kembang-kembang langsung membuktikan ancamannya. Dua kakek ini tentu saja tidak takut mendapat gebukan. Mereka ingin melihat, tindakan apa yang akan dilakukan gadis yang memiliki tenaga dalam amat kuat itu.
Terlihat gadis berpakaian kembang-kembang berdiri tegak dengan kedua tangan terbuka bersilang di depan dada. Sepasang matanya berputar liar, khas orang kurang waras. Padahal, Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih tahu kalau gadis itu tengah mengumpulkan kekuatan batin. Tapi anehnya dengan sikap seperti itu. Luar biasa!
"Heh?!"
Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih tersentak kaget, ketika melihat dua batang ranting sebesar itu jari kaki yang panjangnya bagai pedang melayang naik. Padahal, ranting itu berada di sekitar tiga tombak dari tempat gadis gila berpakaian kembang-kembang ini.
Semula ranting itu bergerak naik ke udara perlahan. Tapi kemudian, meluncur ke arah Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih. Bahkan mulai melesat menyerang bagaikan hidup! Hanya saja ranting itu melesat berjajar di kanan dan kiri sebagaimana layaknya dipegang sepasang tangan manusia.
Kalau kedua kakek sakti itu saja terperanjat, apalagi Lanang! Malah biji matanya bagai hendak melompat keluar melihat kejadian ini. Lanang yakin, apa yang dilihatnya bukan sihir!
Keterkejutan Lanang semakin menjadi-jadi, ketika Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih mulai sibuk menyambut serangan. Seakan-akan ranting di depan mereka dipegang oleh seseorang yang kini menyerang mereka berdua.
Tentu saja sebagai tokoh-tokoh besar dunia persilatan, Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih tidak mau menghadapi serangan seperti itu bersama-sama. Petani Berambut Putih mengelak dengan melompat mundur, menjauhi tempat itu. Sedangkan Pendekar Jari Maut menangkis, kemudian balas menyerang.
Pertarungan aneh pun terjadi. Lanang dan Petani Berambut
Putih menyaksikannya dengan sinar mata penuh perhatian.
Pertarungan semacam ini memang tidak pernah disaksikan Lanang sebelumnya.
Serangan-serangan yang tertuju pada Pendekar Jari Maut selalu berbahaya dan mematikan. Tokoh tua itu dipaksa menguras seluruh kemampuannya. Namun yang menyulitkan, serangan tidak bisa dibalas karena tidak adanya orang yang memegang ranting! Jadi, di-alah yang terus-menerus menjadi korban serangan.
Petani Berambut Putih mengernyitkan alis. Ilmu seperti ini rasanya pernah disaksikannya. Hanya saja dia lupa, kapan, di mana, dan siapa pemiliknya. Untuk itu seluruh perhatiannya dicurahkan pada per-tarungan. Akibatnya dia tidak memperhatikan sekitarnya. Bahkan....
"Heh?!"
Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut kaget bukan main ketika mendadak saja ranting-ranting itu ambruk ke tanah begitu saja. Dan serentak mereka segera mengalihkan pandangan ke arah gadis berpakaian kembang-kembang berada. Kosong! Gadis itu telah lenyap! Demikian pula Lanang.
Sementara Petani Berambut Putih hanya bisa tersenyum lebar bagaikan orang tidak bersalah. Pa-dahal, Pendekar Jari Maut menatap ke arahnya den-gan sinar mata penuh penyesalan.
"Bagaimana gadis itu bisa lolos, Petani?!"
"Aku terlalu sibuk melihat pertarungan aneh itu, Jari Maut. Aku lupa kapan di mana aku melihat. Bahkan aku pernah menghadapi hal semacam ini. Aku lupa siapa pemiliknya," kilah Petani Berambut Putih. "Aku yakin dia meninggalkan tempat itu secara hati-hati, sambil memperhatikan jalannya pertarungan. Kalau tidak, bagaimana mungkin perlawanan yang diberikan sepasang ranting itu masih tetap sengit, sebelum akhirnya roboh secara tiba-tiba?"
"Aku pun tahu itu, Petani. Bahkan aku tahu pula, siapa yang telah memiliki ilmu itu. Karena, aku pun pernah menghadapinya. Hanya saja aku tidak lupa!"
"Benarkah itu, Jari Maut?! Lalu, siapakah orangnya?!" tanya Petani Berambut Putih penuh pena-saran.
"Siapa lagi kalau bukan Iblis Buta?!"
"Ah...! Mengapa aku demikian pelupa?! Benar! Iblis Buta! Tapi, apa hubungannya gadis itu dengannya. Mungkinkah dia muridnya?!"
"Kemungkinan itu besar sekali," timpal Pendekar Jari Maut.
"Aku jadi ingin mengusut hal aneh ini. Ahhh...! Sama sekali tidak kusangka urusan jadi bertambah banyak."
"Kita usut bersamaan saja, Petani. Bukankah tempatnya di sini juga?! Mudah-mudahan saja Iblis Buta tidak terlalu pelit untuk menyerahkan beberapa butir telur elang perak pada kita!"
Petani Berambut Putih diam. Kendati demikian, Pendekar Jari Maut tahu kalau rekannya setuju. Maka, tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat itu, diikuti Petani Berambut Putih. Mereka segera memperhatikan keadaan jalan, untuk mencari jejak gadis berpakaian kembang-kembang yang diduga ada hubungannya dengan Iblis Buta!

***

"Hhh...!"
Seorang kakek berpakaian abu-abu menghela napas berat, seperti hendak melepaskan ganjalan dalam batinnya. Sepasang matanya yang merah membara seperti orang sakit mata menyapu dua sosok yang berdiri di hadapannya. Terutama sekali, pada sosok yang satu. Seorang pemuda berpakaian mewah dan indah serta pesolek. Lanang!
Lanang merasakan bulu kuduknya satu persatu berdiri, ketika kakek bermata merah yang rambut, alis, kumis, jenggotnya telah memutih. Sepasang mata kakek teramat tua itu seperti hendak meraba-raba sekujur tubuhnya.
Lanang yakin, orang ini sepertinya kakek dari gadis berpakaian kembang-kembang yang berada di sebelahnya. Dan kakek ini tampaknya tengah menilainya.
"Jadi..., pemuda ini yang kau inginkan menjadi calon suamimu, Suri?!" tanya kakek bermata merah itu tanpa menggerakkan bibirnya sama sekali. Namun suaranya terdengar keras dan lantang. Bahkan dinding gua tempat mereka bertiga sekarang berada, bergetar hebat. Debu-debu halus tampak berjatuhan ke bawah.
Dengan wajah menunduk, tangan saling belit dan putar, serta kaki yang digurat-guratkan ke tanah, gadis berpakaian kembangkembang yang dipanggil Suri mengangguk. Sikap gilanya berganti dengan sikap malu-malu.
"Bukankah kau kuperintahkan untuk mengambil pemuda lainnya? Pemuda yang ku maksud adalah, berpakaian ungu dan berambut putih keperakan?! Pemuda yang kutolong nyawanya dari tangan maut Naga Sakti Berwajah Hitam?! Mengapa dia yang kau bawa kemari?!" sembur kakek bermata merah ini.
Sementara Lanang merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari semula. Dia tahu, siapa yang dimaksud kakek itu. Pasti Dewa Arak! Jadi, pemuda sakti yang hampir tewas oleh ayahnya, berhasil ditolong kakek ini? Bagaimana cara kakek itu menolongnya?
"Tapi, aku lebih suka pada dia, Kek!" bantah Suri, berani. Sepasang bola matanya mulai berputar liar. "Kalau tidak dengan dia, aku tidak mau!"
Kakek bermata merah itu menggeleng-geleng kepala dengan sikap prihatin.
"Lagi pula, pemuda yang kau maksudkan sudah tidak ada di situ lagi!" tambah Suri.
Kakek bermata merah diam. Terbayang kembali di benaknya, bagaimana dia menyelamatkan nyawa Dewa Arak dari kematian. Dengan ilmu 'Memindahkan Semangat', tindakan Naga Sakti Berwajah Hitam mampu dicegahnya. Hanya saja sampai pada batas menahan, dan tidak mampu menyerang.
Semula kakek ini tidak tahu akan adanya pertarungan di tempat yang cukup jauh dari tempatnya berada, kendati juga berada di Gunung Cikuray. Namun karena mata batinnya yang tengah mencari begitu kuat, langsung terasa adanya getarangetaran aneh. Dan itu terjadi karena ilmu gaib yang tercipta dari ilmu hitam Naga Sakti Berwajah Hitam.
"Di mana sekarang pemuda berambut putih keperakan itu?!" tanya kakek ini dalam hati
"Bagaimana, Kek?!" desak Suri tidak sabar lagi, ketika melihat kakeknya bermata merah itu malah termenung.
"Kau benar-benar bersedia menjadi suaminya, Anak Muda?!" tanya kakek itu, pada Lanang.
Lanang yang tidak mengira akan mendapatkan pertanyaan itu dengan gugup mengangguk.
"Bersedia, Kek. Tapi dengan satu syarat," jawab Lanang, memberanikan diri.
Memang Lanang cukup cerdik. Setelah berhasil mengusir rasa jijiknya terhadap Suri, dia bersedia memenuhi keinginan gadis gila itu. Tentu saja demi mendapatkan ilmu yang tinggi.
Kakek bermata merah menatap dengan sinar mata tajam, membuat Lanang bergidik. Tapi pemuda itu cepat menguasai perasaan dan bersikap tenang.
"Katakan apa syaratmu?!" tanya kakek itu penuh ancaman.
"Aku harus memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Suri, Kek. Sebagai seorang suami, aku tidak berharga bila memiliki kepandaian di bawahnya. Bagaimana aku dapat melindunginya dari bahaya?!" jawab Lanang mengajukan alasan cepat dan masuk akal.
"Syaratmu kuterima. Tapi, ingat! Jangan coba-coba main gila. Karena aku dapat membunuhmu dengan mudah!
Mengerti?!"
"Mengerti, Kek. Kuminta, pengesahan menjadi suami Suri apabila aku telah memiliki kepandaian le-bih daripada Suri."
"Itu mudah saja, Anak Muda. Besok pun kau akan memiliki kepandaian lebih hebat daripada Suri. Cucuku kelihatan sakti, karena memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi, itu berkat Telur Elang Perak. Kau pun akan kuberikan telur itu, agar besok telah memiliki tenaga dalam amat tinggi. Aku tahu, kau telah memiliki ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dan secara perlahan-lahan, kau pun akan kuajarkan ilmuku!"
Lanang hampir berseru saking kagetnya. Sama sekali tidak disangka kalau dirinya akan mendapatkan Telur Elang Perak. Bukankah kabarnya telur itu bera-da di tangan Iblis Buta? Jadi, inikah Iblis Buta? Diakah tokoh yang menggemparkan itu?! Tapi, mengapa ciri-cirinya tidak sesuai.
"Boleh aku tanya sesuatu, Kek?!"
Perasaan ingin tahu, membuat Lanang berani mengajukan pertanyaan. Apalagi dia yakin kakek itu tidak akan membunuhhya, karena Suri mencintainya.
Dan kakek yang diduga Iblis Buta ini amat sayang pa-da cucunya.
Kakek bermata merah itu diam.
"Sepengetahuanku, Telur Elang Perak itu ada di tangan Iblis Buta. Mengapa...."
"Akulah yang berjuluk Iblis Buta!" potong kakek bermata merah, yang ternyata berjuluk Iblis Buta tidak sabar. "Dulu, aku menyamar karena tidak ingin dikenal orang. Jelas?! Apabila kurang, nanti akan ku jelaskan lebih lanjut. Kali ini, cukup! Aku tengah tidak ingin bercakap-cakap lama-lama."
Lanang terdiam. Hatinya sudah merasa puas mendapat kepastian demikian. Sama sekali tidak per-nah disangka akan bernasib baik seperti ini. Ternyata, Iblis Buta hanya merupakan samaran dari kakek men-gerikan ini!
Sementara itu, Iblis Buta memejamkan mata. Dan Lanang tahu diri, lalu bergerak untuk duduk. Tidak mau mengganggu sedikit pun. Sedangkan Suri tampak tersenyum-senyum sendiri, lantas duduk di sebelah pemuda pesolek itu.


–––– GS ––––

SELESAI



INDEX AJI SAKA
79.Iblis Buta --oo0oo-- 81.Mustika Ular Emas
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.