Life is journey not a destinantion ...

Keris Buntung Ki Srongot

INDEX WINTARA
Dendam Jago Kembar --oo0oo Durjana Pemenggal Kepala

WINTARA
Pendekar Kelana Sakti
Karya : Buce L. Hadi

--¦::: « 1 » :::¦--

Lembah yang sunyi itu mendadak dikejutkan oleh suara kepak burung-burung yang semula berkelompok bertengger di atas pepohonan. Begitu juga dengan para binatang penghuni lembah tersebut. Semuanya saling serabut lari sembunyi. Karena saat itu serombongan orang mengiring sebuah tandu melintasi lembah.
Empat orang nampak memikul tandu, mereka berjalan serempak paling dulu. Sedangkan di belakangnya dua puluh orang mengikuti membentuk dua barisan. Mereka tidak perduli melihat para penghuni lembah berlarian menjauh ketika rombongan itu semakin masuk ke dalam lembah.
Nampak pula bekas beberapa gubuk yang telah usang. Gubuk-gubuk yang hampir reyot itu memang sudah lama tidak ditinggali. Lagi pula tidak mungkin bila ada penduduk yang dapat tinggal menetap di situ. Selain jauh dari desa lain, lembah itu nampak rawan dan jarang dilalui orang. Kecuali hari itu. Serombongan orang melewati mengikuti ke mana arah tandu yang mereka iringi melaju.
Di dalam tandu itu duduk seorang lelaki berusia tiga perempat abad dengan tenang. Lelaki itu nampak lebih muda di banding dengan usianya, meskipun rambut serta janggutnya telah memutih. Dari penampilannya dan cara ia duduk bersila di dalam tandu itu terlihat orang tua itu semakin gagah. Dia pula yang sebenarnya memimpin rombongan itu.
Sedangkan orang-orang yang memikul tandu maupun yang mengiringinya di belakang hanya para pengikut setia. Mereka tidak lebih anak buah Ki Tapak Kliwon. Kakek sakti dari Perguruan Lembah Karang Hantu. Kakek itu duduk bersila memandang ke depan. Rongga matanya hampir tertutup oleh alis putih yang tebal memanjang bawah. Sehingga kedua bola matanya tidak kelihatan.
Empat orang yang memikul tandu berjalan sangat cepat. Sepertinya keempat orang itu sama sekali tidak membawa beban. Padahal mereka sudah menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih tiga mil. Bahkan selama perjalanannya itu pula mereka tidak pernah beristirahat. Hal itu menandakan orang-orang Ki Tapak Kliwon bukanlah sekelompok manusiamanusia sembarangan.
Lagi-lagi Ki Tapak Kliwon menatap gubukgubuk tak berpenghuni. Rombongan itu terus melaju melewati bekas sebuah perkampungan. Puing-puing itu seperti mau ambruk saat langkah-langkah mereka berderap mengisi kesunyian lembah.
Di sisi kiri mereka berdiri tebing batu terjal berlumut. Pohon-pohon yang setinggi sepuluh meter, juga turut menghiasi di sepanjang jalan mereka. Daundaunnya yang rimbun membuat lembah itu makin gelap menyeramkan. Terkadang pula sinar matahari dapat masuk menerobos melalui celah-celah daun. Saat itu terdengar lagi suara kepak sayap burung-burung dari atas dahan, mereka beterbangan menjauh seperti terusik oleh rombongan yang baru saja melewati sarang-sarang burung di atas pepohonan. Setelah seharian penuh barulah mereka dapat menembus lembah yang pengap itu. Ki Tapak Kliwon nampak menghempaskan nafasnya kuat-kuat.
Kedua matanya tidak berkedip menatap sebuah perkampungan kecil. Perkampungan
itu nampak seperti tidak terurus. Beberapa gelintir orang kelihatan berdiri memandangi iring-iringan yang baru datang dan bakal melewati pemukiman tersebut.
Binatang-binatang peliharaan banyak yang berlarian saat rombongan itu mendekati. Para penduduk keheranan dibuatnya. Beberapa orang penduduk menghalau binatang-binatang peliharaan yang masuk pekarangan gubuk. Mereka juga seperti bergetar setelah menatap rombongan itu.
Seorang anak kecil yang telah menggendong seekor ayam jantan berdiri di tengah-tengah jalan. Ia menatap rombongan itu penuh keheranan. Rambut serta pakaiannya yang penuh tambalan bergerak-gerak tertiup angin. Dan saat rombongan Ki Tapak Kliwon berjalan semakin dekat pada anak yang berdiri di tengah-tengah jalan, mendadak ayam jantan dalam dekapannya itu melompat.
Anak itu pun terkejut setengah mati. Spontan saja ia berlari mengejar ke mana ayam jagonya lari. Sambil berkaok-kaok ayam jantan itu menyusup lari di hadapan keempat orang yang tengah memanggul tandu. Lalu masuk bersembunyi ke dalam semak. Tentu saja anak itu mengikuti langkah-langkah ayam itu. Ia pun bermaksud menyusup di hadapan keempat orang yang berjalan di depan rombongan.
Tapi belum sempat anak itu melintas di hadapan keempat orang itu, mendadak tubuh kecil itu terlempar jauh. Dan jatuh terbanting dengan sangat keras. Setelah kelojotan sambil menyemburkan darah, bocah malang itu diam tak bergeming. Sedangkan Iring-iringan itu tetap berjalan terus tak perduli.
Nampak pula seorang lelaki berdiri ke arah anak kecil yang tewas mengerikan itu, lelaki tersebut seperti mau menjerit melihat anaknya telah menghembuskan nafas.
"Mista...! Mista...!" Tubuh kecil bergelimang darah itu diguncang-guncangkan, si kecil Mista tetap diam tidak menjawab.
"Mista...." Lelaki itu cepat memapah anaknya. Lalu ia berlari menyusul iring-iringan yang baru saja berlalu. Para penduduk perkampungan kecil itu menyaksikan bagaimana peristiwa itu terjadi.
"Kalian keparat! Kalian telah membunuh anakku...!" Sambil memapah anaknya lelaki itu terus berlari. Bersamaan dengan itu pula iring-iringan itu mendadak berhenti. Maka ia dapat mengejar dan dengan sengit langsung memaki-maki di hadapan keempat orang yang memikul tandu.
"Kalian pikir kami ini sekelompok hewan Bagaimanapun juga kalian harus mempertanggungjawabkan nyawa anak ini!" bentaknya. Keempat orang yang berdiri paling depan diam tak menjawab. Ki Tapak Kliwon menyibakkan kain penutup tandu, maka ia dapat melihat seorang lelaki memapah mayat seorang bocah. Kakek dalam tandu itu menyeringai, kemudian....
"Jangan perdulikan kunyuk ini. Jalan terus...!" Ki Tapak Kliwon menutup kembali penutup tandu.
Mendengar perintah itu, maka para anak buah Ki Tapak Kliwon melanjutkan perjalanannya lagi. Mendadak saja laki-laki yang berdiri menghalangi iringiringan itu terlempar sampai bergulingan. Seketika itu juga lelaki yang tengah memapah anaknya ikut tewas. Dari mulutnya menghambur darah. Keduanya tewas dalam keadaan berpelukan.
Para penduduk yang menyaksikan jadi ngeri. Mereka serentak berlarian memasuki gubuknya masing-masing. Rombongan itu sendiri tetap diam mengawasi para penduduk.
"Kau telah membunuh dua nyawa di kampung ini, Ki. Seorang anak kecil di seorang laki-laki yang mungkin ayahnya." kata salah seorang pemikul tandu itu. Di dalam tandu Ki Tapak Kliwon menjawab.
"Biar saja! Kalau perlu kita habisi semua penduduk kampung ini. Karena kampung ini daerah Ki Karma Sentanu." Suaranya menggekeh.
"Kalau begitu tujuan kita telah sampai."
"Hem "
"Apakah kau mau turun dari tandu, Ki?" .....
"Buat apa.... Selama musuhku belum tampak, aku tidak perlu menampakkan diri." jawab Ki Tapak Kliwon. Lalu apa lagi rencana kita? Berdiam diri di sini saja?"
"Tolol! Suruh barisan belakang memporak porandakan seluruh perkampungan ini. Pancing agar Ki Karma Sentanu keluar dari persembunyiannya." perintah Ki Tapak Kliwon.
Maka salah seorang pemikul tandu itu mengangkat pedangnya ke atas. Gerakan itu merupakan tanda aba-aba untuk menyerang, lalu setelah melihat aba-aba itu, dua barisan yang terdiri dari dua puluh orang langsung bubar menuju ke arah tiap-tiap gubuk. Senjata-senjata mereka dari pedang sampai golok siap terhunus.
Mulai terdengar pula derak-derak pintu pagar yang didobrak hancur. Para penduduk kalang kabut menyelamatkan diri. Perkampungan kecil itu jadi riuh dengan pekik-pekik ketakutan. Ada juga yang berusaha lari ke luar dari gubuk, namun tindakan itu hanya membuang nyawa. Karena para pengikut Ki Tapak Kliwon telah membabatkan pedang lebih dulu. Perlawanan para penduduk kampung kecil itu tidak berarti sama sekali. Anak buah Ki Tapak Kliwon lebih berpengalaman dalam bertempur. Apalagi mereka rata-rata memiliki kepandaian di dalam memainkan senjata. Setiap kali mereka melancarkan serangan selalu saja korban-korban berjatuhan. Ki Tapak Kliwon tetap duduk bersilah dalam tandu. Dia sudah mendengar jeritan-jeritan yang menyayat. Denting beradunya senjata mereka ikut serta membisingkan perkampungan itu. Namun tiba-tiba saja...
"Creng...! Creeeng...!" Creeeng...!"
Mendadak terdengar suara yang amat memekakkan telinga. Mendengar suara itu, para pengikut Ki Tapak Kliwon maupun para penduduk langsung belingsatan. Terasa sekali suara itu seperti memecahkan gendang telinga.
Para anak buah Ki Tapak Kliwon yang terkenal berilmu tinggi saja tidak mampu menahan suara gembreng yang mengandung tenaga luar biasa, apalagi orang-orang penduduk kampung itu. Hampir semuanya memekik sambil menutup telinga. Ada juga yang bergelintingan tak sanggup mendengar.
"Creeeng...! Creeeeng...! Creeeeng...!"
Suara gembreng itu makin nyaring menghancurkan gendang telinga. Diam-diam Ki Tapak Kliwon mengawasi dari dalam tandu. Dan dia dapat melihat seseorang berdiri di atas atap jerami sebuah gubuk.
Sosok telanjang dada dengan kepala botak hitam berkilat. Di kedua belah tangannya ia menggenggam dua buah senjata yang mirip dengan dua buah tutup panci. Senjata itu tidak henti-hentinya dibenturkan.
"Creeeeng...! Creeeeng...! Creeeeng...!"
Ki Tapak Kliwon sempat melihat pula beberapa anak buahnya berkelojotan di tanah. Mata serta telinganya nampak mengeluarkan darah. Maka dengan sigap pula ia melesat dari dalam tandu. Tubuh berpakaian serba putih itu berputar-putar di udara. Keempat orang pemikul tandu tetap berdiri meskipun dari telinga mereka telah membanjir darah merah. Kakek berambut seputih kapas itu hinggap di tanah tanpa mengeluarkan suara. Kedua matanya menatap geram ke atas sebuah gubuk. Sebelah tangannya menyambar sebuah keris dari pinggang. Terdengar desingan nyaring saat keris itu keluar dari sarungnya. Lalu dia menuding ke atas ke arah sosok yang berdiri membenturkan senjatanya.
"Perbuatan yang tolol, Ki Karma Sentanu! Aku tidak perlu repot-repot lagi membantai mereka. Mendengar suara senjatamu saja mereka bakal mampus semua," ejek Ki Tapak Kliwon. Kerisnya yang aneh karena buntung separuh tetap teracung. Ki Karma Sentanu menatap ke bawah.
"Lebih baik mereka tuli dari pada harus mati di tangan anak buahmu, Manusia picik!" Jangan tertawa mengekeh begitu, kau lihat sendiri para anak buahmu di sana." Ki Karma Sentanu balik mengekeh. Dia sengaja membenturkan dua senjatanya lebih keras.
Ki Tapak Kliwon cepat menoleh ke belakang. Separuh anak buahnya sudah pada bergelimpangan. Sebagian lagi bertahan menguasai pendengarannya dari suara yang bertenaga luar biasa itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Ki Karma Sentanu tertawa terbahak-bahak. Gembrengan senjatanya makin nyaring. Ia tidak perduli dengan orang-orang yang berada di bawahnya mendengar. Yang jelas mereka semua bakal celaka. Saat itu juga Ki Karma Sentanu membenturkan senjatanya semakin cepat.
"Bangsat...! Aku ke mari justru akan mengadu ilmu denganmu, Manusia keparat!" bentak Ki Tapak Kliwon. Sebelah tangannya yang menggenggam keris buntung berputar. Maka saat itu juga terdengar suara yang sangat bergemuruh.
"Wuk...! Wuk...! Wuk...!"
Suara angin yang menderu-deru bagai angin puyuh itu membuyarkan suara benturan senjata Ki Karma Sentanu. Dua tenaga dahsyat saling membentur. Daun-daun hijau rontok beterbangan bersama debu. Batu-batu kerikil berhamburan tersapu angin menghujani orang-orang yang berada di sekitar kampung itu.
Suara gembreng tidak berpengaruh lagi. Namun hawa tenaga dalam kedua manusia sakti itu mampu menghempaskan puluhan orang. Banyak yang terlempar bagai bongkahan-bongkahan kayu lapuk.

*
* *



--¦::: « 2 » :::¦--

"Wuk...! Wuuk...! Wuuk...!"
Gemuruh putaran keris buntung milik Ki Tapak Kliwon menderu-deru bagaikan badai angin. Begitu juga dengan suara gembreng senjata Ki Karma Sentanu.
"Creeeeng!"
Benturan senjata itu menggetarkan jantung serta gendang telinga bagi orang-orang yang berpentalan.
Rambut dan janggut putih Ki Tapak Kliwon tergerai-gerai di terpa angin yang begitu dahsyat. Sedangkan Ki Karma Sentanu sendiri nampak terhuyung terdorong oleh benturan tenaga dalam mereka. Dia masih bertahan di atas atap jerami.
Orang-orang yang berada di sekitarnya telah bersih. Para penduduk banyak yang bergelimpangan. Anak buah Ki Tapak Kliwon jauh-jauh menyingkir dari arena pertarungan. Mereka hanya menyaksikan dua jago sakti saling melancarkan tenaga dalam. Begitu Ki Tapak Kliwon menyabetkan keris buntungnya ke atas, Ki Karma Sentanu buru-buru menggeser kedudukannya. Dia merasakan seperti ada suatu dorongan yang amat kencang ke arahnya. Maka Ki Karma Sentanu cepat terjun ke bawah. Tubuhnya berjumpalitan di udara.
Ki Tapak Kliwon menyambut dengan tendangan memutar yang mengarah pada Ki Karma Sentanu yang masih berjumpalitan. Tapi dengan sigap pula sosok kepala botak itu menepis dengan senjatanya. Saat itu pula Ki Tapak Kliwon terpelanting. Untunglah ia cepat menguasai diri. Apalagi sambaran senjata Ki Karma Sentanu terus menjurus ke bagian kepala. Cepat Ki Tapak Kliwon menyambut dengan babatan keris buntungnya.
"Weeet...! Traaang!"
Senjata mereka beradu. Keduanya tak Urung terjungkal ke belakang. Dua-duanya sukar mengendalikan diri. Dan mereka terbanting di tanah.
Lengan Ki Tapak Kliwon yang menggenggam keris buntung serasa berdenyut. Ki Karma Sentanu bangkit berdiri. Kedua matanya membelalak melihat senjata gembrengnya sapat separuh. Melihat itu pun Tapak Kliwon tertawa terbahak-bahak.
"Senjatamu sudah terlampau tua, Karma Sentanu. Sebaiknya dibuang saja ke kali. Senjata macam apa menghadapi keris ku yang jelek ini saja tidak mampu." ejek Ki Tapak Kliwon. Dia bertolak pinggang seakan meremehkan Ki Karma Sentanu. Sudah tentu laki-laki telanjang dada itu menjadi murka. Kembali ia menghentakkan ke dua tangannya. Membenturkan senjatanya,
"Creeeeng!"
Suaranya memang agak sumbang, tapi keampuhannya sama sekali tidak berkurang. Dalam jarak yang sangat dekat itu, Ki Tapak Kliwon seperti dihujani oleh ribuan mata jarum.
"Segala keris buntung saja bisa menandingi senjataku. Kau rasakan lagi sekarang!" Ki Karma Sentanu hendak membenturkan lagi kedua senjatanya. Namun laki-laki berambut putih itu bertindak lebih dulu. Sekali hentak kedua kakinya melesat dan langsung menghantam pinggang Ki Karma Sentanu.
"Laki-laki tidak becus apa-apa! Tahunya hanya menggunakan senjata. Itu sama mudahnya aku mencabut nyawamu!" sergah Ki Tapak Kliwon saat Ki Karma Sentanu bergulingan. Tapi ketika ia melihat Ki Tapak Kliwon menyerang lagi, ia melemparkan sebelah senjatanya. Senjata itu berdesing. Cepat pula Ki Tapak Kliwon merunduk. Senjata gembreng luput memisahkan kepalanya. Tapi beberapa lembar rambut keputihan rontok terbabat. Ki Tapak Kliwon bergidik.
"Kau terlalu kepala batu, Ki Tapak Kliwon. Tidak kapokkah dulu ku pecundangi." bentak Ki Karma Sentanu. Ia telah bersiap-siap dengan sebelah senjatanya. Saat itu Juga Ki Tapak Kliwon mundur selangkah. Mulutnya menyeringai.
"Sudah kubilang. Dulu aku tidak pernah merasa kalah. Aku sengaja memperpanjang umurmu," jawab Ki Tapak Kliwon. Kembali ia menepis sambaran senjata gembreng lawannya. Terasa sekali sambaran anginnya begitu deras ke arah Ki Karma Sentanu.
Laki-laki telanjang dada itu sebenarnya sudah menyadari kalau senjata keris buntung di tangan Ki Tapak Kliwon, bukanlah senjata sembarangan. Dia sendiri sudah merasakan keampuhan senjata itu. Belum pernah ada senjata yang dapat merusak senjata gembreng milik Ki Karma Sentanu. Sekarang ia mulai berhati-hati dan tidak berani menghadapi dalam jarak dekat. Setiap kali sambaran besi mengarah kepadanya. Seperti ada tenaga yang amat luar biasa menghantam sekujur tubuhnya.
Dulu pada dua tahun yang lalu Ki Karma Sentanu pernah mengalahkan Ki Tapak Kliwon. Saat itu Ki Tapak Kliwon tidak memiliki senjata seperti sekarang ini. Ki Karma Sentanu betul-betul kewalahan menghadapi lawan yang pernah ia kalahkan. Dia sudah yakin pengaruh keris buntung yang membuat Ki Tapak Kliwon demikian hebat.
Persoalan mereka berdua memang tidak pernah habis dan berakhir. Keduanya bertarung mati-matian lantaran sebuah dendam dari kedua orang tua mereka. Adapun keris buntung dan senjata gembreng merupakan senjata pusaka kakek moyang mereka. Sampai sekarang menjadi turun temurun menjadi milik keturunannya.
Tanpa menggunakan senjata itu saja mereka sudah demikian hebat, apalagi sekarang masingmasing memamerkan kebolehan senjata pusaka mereka. Seluruh permukaan tanah perkampungan kecil itu bergetar. Ditambah lagi dengan suara-suara teriakan mereka yang menggelegar. Sesekali pula senjata mereka saling bentur mengeluarkan suara yang membeledar bagai guntur. Beberapa gubuk sudah hancur porak poranda. Bukan dikarenakan oleh amukan mereka. Tapi justru oleh kehebatan tenaga dalam mereka yang nyasar saat melancarkan serangan. Manakala keduanya bagai dua ekor banteng saling gempur mematikan. Nampak pula mereka betul-betul mengerahkan seluruh kemampuannya.
Keringat sudah mengucur dan membasahi di tubuh Ki Karma Sentanu. Sedangkan Ki Tapak Kliwon tetap menyambut tiap serangan-serangan Ki Karma Sentanu. Dia sendiri hampir kehabisan tenaga. Tapi melihat gerakan-gerakan Ki Karma Sentanu tampak limbung, laki-laki tua berambut putih ini makin bersemangat menghadapinya. Berkali-kali pula ia sengaja membabatkan keris buntungnya menghantam senjata Ki Karma Sentanu.
Maka terdengar benturan-benturan senjata mereka begitu memekakkan telinga. Kembang api memercik berhamburan. Ternyata keris buntung Ki Tapak Kliwon benar-benar dahsyat. Setelah membabat beberapa kali, lawannya sempat memekik. Tubuh Ki Karma Sentanu mencelat beberapa meter ke belakang. Senjata gembreng di tangannya sudah tidak berbentuk lagi. Senjatanya hampir habis terkikis oleh keris buntung.
Tentu saja hal itu menjadi bahan tertawaan Ki Tapak Kliwon. Namun laki-laki tua berambut putih itu seperti tidak memberi kesempatan lawannya membalas serangan. Sekali ia membabatkan keris buntungnya.
Tubuh telanjang dada yang nampak berdiri dengan kuda-kuda yang kokoh, terhuyung ke belakang. Meskipun dalam keadaan begitu, ia masih sanggup menangkis tendangan Ki Tapak Kliwon yang datang secara tiba-tiba.
Mendadak pula keris buntung di tangan Ki Tapak Kliwon berkelebat menyambar. Ki Karma Sentanu tidak sempat memekik. Tubuhnya yang telah banjir keringat berdiri dengan kaku. Detik itu pula kepalanya menggelinding ke tanah. Berhenti tepat di bawah kaki Ki Tapak Kliwon. Ki Tapak Kliwon menatap jijik kutungan kepala itu membelalakkan mata. Maka dengan sengaja ia menendangnya kuat-kuat. Maka kepala itu mencelat membentur tubuh tanpa kepala ambruk ke tanah.
Ki Tapak Kliwon sendiri mulai melangkah terhuyung. Matanya terus memandangi mayat Ki Karma Sentanu. Diam-diam ia merasa akan kehebatan lawannya. Tanpa sepengetahuannya darah mengalir dari kedua lubang telinga. Pendengarannya berdenging. Gendang telinganya hampir pecah. Semula ia mengira akan tuli. Tapi dalam keadaan mengalirkan darah begitu ia masih dapat mendengar suara orang-orang berdatangan. Mereka tidak lain para anak buahnya. Orang-orang kampung itu tidak berani menampakkan diri. Mereka pergi menyelamatkan diri entah ke mana.
Pendengaran Ki Tapak Kliwon agak berkurang. Dia tidak langsung menjawab saat salah seorang anak buahnya menegur.
"Dendam kita sudah terbalas, Ki. Semua keturunan Ki Karma Sentanu sudah tidak bisa yang berdiri di atas bumi. Hebat! Keris buntung milikmu benarbenar hebat...." Anak buahnya merasa kagum. Ki Tapak Kliwon tetap diam. Ia masih merasakan sekujur tubuhnya telah remuk. Pendengarannya masih berdenging. Mendadak saja ia menggeram. Keris buntung di tangannya bergetar. Lalu tanpa dihalangi lagi ia melompat. Begitu hinggap di sebelah mayat Ki Karma Sentanu, ia menendangi tubuh tanpa kepala itu.
"Sudah, Ki...! Sudah! Bangsat ini telah sampai di neraka. Percuma kau mengumbar amarah padanya!" Para anak buahnya berusaha menenangkan Ki Tapak Kliwon. Namun laki-laki berambut putih ini terus kalap mengamuk. Ia mencincang habis tubuh Ki Karma Sentanu. 
Darah muncrat ke mana-mana. Rambut putihnya telah penuh dengan darah. Begitu juga dengan para anak buah yang berada di dekatnya. Tidak luput kena cipratan darah. Sampai Ki Tapak Kliwon sendiri yang menghentikan amukannya. Dengan lemas pula berdiri. Nafasnya masih memburu. Tanpa bicara apaapa ia melangkah. Belasan anak buahnya yang masih sisa mengikuti dari belakang. Langkahnya menuju pada sebuah tandu. Tandu itu sudah terbalik. Mungkin akibat badai angin yang menerjang saat mereka bertarung. Hanya dengan sekali injak saja, tandu itu kembali berdiri. Lalu Ki Tapak Kliwon kembali masuk ke dalam tandu. Ia duduk bersila seperti semula. Tanpa sepengetahuan para anak buahnya Ki Tapak Kliwon memuntahkan darah. Darah yang keluar begitu banyak.
"Tunggu apa lagi? Ayo jalan!" bentak Tapak Kliwon dari dalam tandu. Kontan saja keempat orang yang tadi memikul tandu kembali mengangkat tandu itu lagi.
"Terus saja lurus. Maka kalian akan mencapai sebuah jalan menuju ke Batang Karang." katanya lagi. Keempat orang itu menurut. Iring-iringan itu berjalan lagi meninggalkan kampung terpencil. Maka dalam sekejap kampung itu mendadak sepi. Yang nampak hanya bekas-bekas seperti sebuah pertempuran.
Seluruh gubuk nampak berantakan. Juga mayat-mayat bergelimpangan mana-mana. Kebanyakan dari korban adalah
anak-anak dan orang tua yang tak berdaya. Jumlahnya hampir belasan. Yang masih hidup namun terluka, mengerang-ngerang menahan sakit.
Saat itu mulai berdatangan para penduduk yang tadi menyingkir. Mereka berlarian mengerubungi mayat-mayat keluarganya. Maka meledaklah tangis mereka saat menemukan anggota keluarganya telah menjadi mayat.

* * *



Desa Batang Karang sangat jauh dari lembah. Di mana-mana banyak terdapat ngarai yang mengalirkan air bening. Seluruh permukaan tanahnya nampak seperti karang. Namun di sana sini banyak ditumbuhi pepohonan yang sangat rimbun.
Setiap jalan hampir ditumbuhi oleh tanaman bunga yang berderet di sepanjang jalan. Rumputrumput halus bertebaran pada tanah-tanah lapang. Meskipun tanah itu berlapis karang. Desa itu hampir mirip dengan sebuah taman. Apalagi air ngarai itu berkumpul menjadi satu pada sebuah telaga, Membuat Desa Batang Karang makin sejuk.
Sebenarnya tempat itu jarang dilalui orang. Tapi bukan berarti tempat itu rawan. Karena dalam jumlah penduduk yang dikit, dan juga Desa Batang Karang sangat luas. Membuat tempat itu tidak pernah di ketahui oleh siapa pun.
Situasi seperti ini menjadi kesempatan bagi dua muda mudi yang tengah bercengkrama. Mereka duduk berdampingan di bawah sebuah pohon besar yang menghadap telaga. Sejak tadi sang gadis diam saja Jemari tangannya memainkan rumput yang menghampar di bawahnya.
"Murtiati.... Aku khawatir hubungan kita ini bakal terputus. Dengan bersembunyi seperti ini akan membuat ayahmu makin marah." kata si pemuda. Gadis itu diam saja. Memandang riak air telaga.
"Kita dari golongan yang berbeda. Meskipun kau putri dari aliran sesat, aku tidak pernah menganggap dirimu seperti ayahmu. Beliau mana mau menerima aku menjadi menantunya."
"Kau bicara apa, Kakang Buringan?" tukas gadis itu. Lalu...
"Kalau aku tidak mencintai mu, mana mungkin kita akan bertemu di sini. Biar saja orang tua kita pada urusannya masing-masing. Aku juga menyadari kalau aku anak seorang aliran sesat. Tapi pernahkah kau lihat aku campur tangan dalam urusan ayahku?" jawab gadis itu serampangan. Buringan mengumbar senyum. Kepalanya menggeleng.
"Bukan itu yang ku maksud, Murtiati. Aku sudah terlanjur mencintaimu. Bagaimana pun kau harus menjadi milikku. Hanya...." Buringan tidak meneruskan kata-katanya.
"Hanya apa...?" Murtiati penasaran.
"Saat ini aliran lurus dan sesat selalu bentrok. Bahkan mereka selalu menentang. Jelas-jelas aliran sesat memang harus di tumpas. Dalam hal ini aku ditugaskan untuk ikut pergerakan mereka untuk " laglagi Buringan menghentikan pembicaraannya.
"Untuk menghancurkan aliran sesat?" terka Murtiati. Buringan tidak menjawab. Itu berarti terkaan Murtiati tepat.
"Bodoh sekali kau ini, Kakang Buringan. Setidak-tidaknya kau harus bisa membujuk ayahmu. Kalau hanya diam saja sudah pasti pertempuran orangorang aliran sesat dan putih tidak bisa dielakkan lagi!." Murtiati bangkit.
"Aku tidak bisa menghindar dari tugas. Sebaliknya kaulah yang mesti membujuk ayahmu agar bergabung dengan orang-orang aliran lurus. Hanya itu jalan satu-satunya." jawab Buringan cepat.
"Terus terang, Kakang Buringan. Meskipun ayahku berada pada aliran sesat, aku tetap berada dipihaknya. Baik buruknya Sengkala Getih tetap ayahku." Pembicaraan mereka menjadi panas. Buringan menghempaskan nafasnya. Dia seperti orang yang kebingungan. 
"Pikirlah olehmu, Kakang Buringan. Kalau kau tetap pada pendirianmu, itu berarti hubungan kita berubah menjadi permusuhan." ancam Murtiati. Ia melangkah menjauh meninggalkan Buringan yang masih berdiri bersandar pada pohon besar.
"Murti.... Tunggu!" Buringan cepat melangkah menyusul Murtiati. Gadis itu sendiri berhenti melangkah. Bukan karena Buringan mengejarnya, tapi karena beberapa orang telah menghadang. langkahnya. Buringan seperti bergetar menatap ketujuh orang yang berdiri bersikap menantang. Nampak Murtiati jadi salah tingkah. Orang yang berdiri paling tengah tidak lain Mandra Loka, kakak kandung Murtiati. Tentu saja kemunculannya bagaikan petir di siang bolong.
"Perempuan rendah. Pantas kau selalu menghindar setiap saat pertemuan para aliran sesat. Rupanya kau telah tergila-gila dengan salah seekor anjing pengacau! bentak Mandra Loka.
"Kakang Mandra Loka, kau...." sela Murtiati, tapi sebuah tamparan telah melayang cepat ke pipinya. Terhadap kakaknya Murtiati tidak melawan. Tubuhnya terhuyung dengan pipi yang memerah.
"Kami semua telah siap bergabung dengan seluruh partai aliran sesat, tapi kau malah menempuh jalan yang salah. Kau mau coba-coba berkhianat terhadap ayah?" Mandra Loka makin geram.

*
* *



--¦::: « 3 » :::¦--

Buringan cepat menghalangi saat Mandra Loka akan memberi sebuah tamparan lagi. Lengannya yang kekar cepat menangkap pergelangan tangan Mandra Loka. Mendapat perlakuan seperti itu, Mandra Loka membalikkan serangannya.
"Des...!"
Tahu-tahu saja sebuah hantaman telah mendarat di punggung Buringan. Sengaja Buringan tidak melakukan perlawanan.
Melihat itu pun Murtiati segera berlari menengahi mereka. Ia mencegah Mandra Loka melancarkan serangan-serangan terhadap Buringan.
"Kalian jangan berkelahi.... Buringan tidak bersalah. Akulah yang pantas menerima ganjaran." sela Murtiati. Mandra Loka menggeram.
"Perempuan tidak tahu diri! Berani pula kau membela musuh!" Tangan Mandra Loka melayang lagi. Tapi sebelum hantaman itu mengena, Buringan menepis hantaman itu. Dia berdiri tenang menghadapi Mandra Loka.
"Murtiati tidak tahu apa-apa. Kalau kau ingin mengumbar amarah, limpahkan saja padaku." Buringan berdiri menantang di hadapan Mandra Loka. Murtiati memandang khawatir. Tindakan Buringan sungguh di luar perkiraannya. Gadis itu memekik saat Mandra Loka langsung memberi hantaman tiga kali berturut-turut.
Buringan sengaja menerima hantamanhantaman itu tanpa melawan. Sesungguhnya terasa sekali hantaman-hantaman itu di dadanya. Tapi ia tetap berdiri tegar. Buringan sendiri menatap Murtiati melepaskan senyum. Di hadapan Murtiati ia telah menunjukkan betapa ia sangat mengorbankan jiwanya.
Pada hantaman yang keempat, Buringan cukup terhuyung. Mulutnya menyembur darah. Melihat itu pun Murtiati segera memeluk Buringan. Sebelah lengannya memutar menepis hantaman Mandra Loka.
"Kalau kau bunuh dia, bunuh saja kami sekalian, Kakang Biar kami mati bersama!"
Mendengar kata-kata Murtiati, Mandra Loka seakan mau meledak. Maka setelah ia menggeram. Tendangannya tidak tanggung-tanggung menghantam. Kontan keduanya mencelat. Mereka berdua bergulingan. Sebenarnya tendangan itu hanya mengenai tubuh Buringan, tapi karena Murtiati memeluk erat tubuh Buringan, gadis itu ikut terbanting.
"Apa susahnya kalau hendak mencabut nyawa dua anjing gudik. Menyingkirlah dari pemuda sial itu, Murtiati. Maka hal ini akan ku rahasiakan pada ayah." Mandra Loka masih memandang muka terhadap adik perempuannya. Kata-kata itu pula menjadi pertimbangan dalam benak Murtiati. Namun melihat Buringan bangkit berdiri sempoyongan bersimbah darah begitu, Murtiati makin iba.
"Aku mohon padamu, Kakang Mandra Loka. Biarkan Kakang Buringan pergi. Aku bersedia meninggalkannya asalkan kau menahan amarah mu." jawab Murtiati. Mandra Loka tersenyum lebar. Lalu ia memandang ke belakang pada enam orang pengikutnya. Hanya dengan kerdipan sebelah mata saja keenam orang itu langsung meluruk mengepung Murtiati.
"Sejak kapan orang-orang aliran sesat bersikap maha pengampun. Dan juga sejak kapan kau mulai merasa cengeng seperti ini Adik Murtiati? Dulu kau seorang gadis yang paling garang. Sepak terjangmu tidak pernah kenal ampun. Kenapa terhadap Buringan yang justru musuh kita itu kau kasihani?"
Murtiati diam. Ia telah terkepung para pengikut Mandra Loka. Buringan sudah berdiri tegak. Mulutnya telah penuh dengan cairan kental berwarna merah. Menatap Buringan, Mandra Loka tertawa mengekeh.
"Kalau merasa tidak sanggup bertindak, biarlah aku yang mewakili mencabut nyawa anjing kekasihmu!" Mandra Loka melesat maju. Murtiati bermaksud mencegah tapi keenam orang yang mengepung menghalangi. Terhadap keenam orang penghalangnya Murtiati tidak ragu-ragu bertindak. Sekali ia membentak kedua lengannya berkelebat menghantam. Maka dua orang cepat menjerit.
Namun tindakannya itu meskipun dapat menghajar keenam orang pengepungnya, sudah terlambat. Karena Mandra Loka sudah melancarkan hantaman serta tendangan ke arah Buringan yang tetap diam tak melawan. Serangan-serangan Mandra Loka membuat Buringan jatuh bangun. Sudah hampir empat kali Buringan menyemburkan darah.
Dan nampaknya Mandra Loka benar-benar hendak menghabiskan riwayat Buringan. Laki-laki yang terluka itu sebenarnya bukan berarti pasrah atau tidak memiliki ilmu silat. Nama dan kemampuannya cukup terkenal dalam dunia persilatan. Namun dalam menghadapi Mandra Loka, Buringan sengaja menyerahkan nasibnya di tangan lawan.
"Kakang Buringan...! Jangan diam saja, kau bisa mati konyol!" teriak Murtiati. Gadis itu sibuk menghadapi para pengepungnya.
"Biarlah aku mati, Murtiati. Mungkin ini jalan yang terbaik untukku." sahut Buringan. Sebuah hantaman mendarat lagi di perut. Tubuh Buringan mundur mencelat. Tapi masih tetap berdiri meski dari mulutnya menghamburkan darah. Pandangannya sudah goyang. Manakala Mandra Loka tetap bringas melancarkan serangan.
"Kau tidak boleh mati, Kakang Buringan. Kalau kau mencintai ku kau harus tetap hidup. Hadapi Kakang Mandra Loka sebagaimana kau menghadapi musuh-musuh mu!" Murtiati memberi dorongan semangat. Dia sudah menjatuhkan tiga orang pengepungnya. Bagaimana Buringan bisa menghadapi Mandra Loka? Tubuhnya hampir hancur babak
belur. Detik itu pun tubuh penuh luka memar terlempar jauh. Mandra Loka baru saja melancarkan dua tendangan berturut-turut. Begitu tubuhnya jatuh terbanting. Buringan sudah tidak dapat bangkit lagi. Melihat itu pun Mandra Loka segera melancarkan serangan paling dahsyat.
"Hreaaaaa! Splaak!"
Mandra Loka memekik kaget. Hantamannya tidak mengena di tubuh Buringan, tinjunya seperti membentur sesuatu yang sangat keras.
Mandra Loka sudah yakin kalau ada seorang yang datang secara tiba-tiba menghalangi serangannya. Matanya cepat menangkap seorang pemuda mengenakan baju bulu binatang berdiri tepat di mana Buringan terbaring lemas. Pemuda itu tidak perduli Mandra Loka menatap geram ke arahnya. Ia terus merunduk memeriksa luka-luka Buringan.
"Sobat, jangan mencampuri urusan persilatan Desa Batang Karang. Lagi pula kita tidak saling kenal. Maka menyingkirlah dari sini," Mandra Loka menuding pemuda yang sesungguhnya Wintara si Pendekar Kelana Sakti. Wintara tidak perduli dengan ucapan Mandra Loka. Ia tetap memperhatikan luka-luka Buringan.
"Kalian sebenarnya orang-orang persilatan macam apa menganiaya orang sampai demikian rupa. Kalau saja dibiarkan, orang ini akan tewas." kata Wintara. Ia menggeleng kagum terhadap Buringan yang dapat bertahan dari luka-luka yang teramat parah.
"Kalau tetap cerewet kami tidak segan-segan lagi bertindak, dan kau akan sama mampusnya dengan anak anjing itu!" selak Mandra Loka.
"Ucapanmu terlalu sadis. Belum cukup puaskah kau menganiayanya? Sungguh terkutuk pula kau membiarkan seorang wanita menghadapi enam orang laki-laki. Sungguh memalukan." ucap Wintara tenang.
Melihat kedatangan Wintara di tempat itu membuat pertarungan Murtiati terhenti. Enam orang pengepungnya memandang garang pada Wintara. Serempak pula mereka berdiri berderet di belakang Mandra Loka.
"Berani menghalangi Mandra Loka sama saja dengan bunuh diri. Serang...!" perintah Mandra Loka. Maka enam pengikutnya berhamburan menyerang Wintara. Pendekar Kelana Sakti itu sendiri sudah bersiap-siap sebelumnya. Tanpa menggeser duduknya ia menyambut enam orang penyerang yang datang serempak. Tapi hanya dengan sekali mengibaskan lengannya...
"Des...!"
Dua orang langsung memekik celentang. Bersamaan dengan itu pula kakinya menyapu ke bawah.
"Breet!"
Tiga orang jatuh lagi. Dua di antaranya tak berkutik, kojor. Wintara bangkit berdiri mengumbar senyum. Para penyerangnya masih penasaran melepaskan serangan. Tapi begitu ia bermaksud membalas serangan mereka. Mandra Loka melepas melancarkan hantaman yang berturut-turut.
Namun serangan itu sama sekali tidak berarti bagi Pendekar Kelana Sakti ini. Saat serangan itu datang Wintara berputar. Sebelah lengannya menepis. Hantaman Mandra Loka yang bertubi-tubi itu jadi melenceng. Maka pada saat yang tepat Wintara mendorong kakinya ke depan. lalu....
"Des !"
Tak urung Mandra Loka terjungkal ke belakang. Tulang pinggangnya membentur permukaan tanah amat keras. Ia tidak langsung bangkit.
"Hantam dia biar tahu rasa!" teriaknya. Empat orang yang masih sisa bergerak maju. Wintara melompat mundur. Tapi tahu-tahu saja keempat pengikut Mandra loka mendadak terpelanting semua.
Di hadapan Wintara berdiri Buringan dengan tubuh bersimbah luka dan darah.
"Astaga! Dalam keadaan luka parah begini ia masih sanggup mengerahkan tenaganya. Sungguh luar biasa!" pikir Wintara. Tapi saat itu juga tubuh Buringan ambruk kembali ke tanah.
Merasa tinggal seorang diri, Mandra Loka segera berlari menjauh. Larinya sangat cepat dan tak mungkin terkejar. Wintara melesat pula mengikuti. Tapi ia segera menghentikan langkahnya karena teringat akan seorang yang tergeletak penuh luka. Dan saat ia menoleh ke arah Buringan. Pemuda itu sudah lenyap bersama gadis itu.

*
* *



--¦::: « 4 » :::¦--

Dalam melarikan Buringan, Murtiati merasa khawatir. Nafas Buringan sendiri sudah terputusputus. Darah dari mulutnya tidak pernah berhenti mengalir. Sedangkan luka-luka memar di tubuhnya tidak dapat dihitung berapa banyak. Dalam hati ia meruntuki kakaknya, Mandra Loka.
Tapi dalam keadaan seperti itu pun Buringan tetap sadar. Ia merasakan tubuhnya dipeluk erat-erat dan Murtiati membawanya lari sangat cepat. Menyadari hendak dibawa ke mana, Buringan berontak dari punggung Murtiati. ....
"Murtiati.... Turunkan aku.... Hhh Turunkan. Kau hendak membawaku pulang?" Buringan berontak. Murtiati menghentikan langkahnya.
"Luka-lukamu harus segera diobati, Kakang Buringan." Murtiati merasa lelah sekali. Mengetahui Buringan telah sadar, ia menurunkannya. Nampak sekali Buringan berdiri sempoyongan.
"Kau tidak perlu mengantar sampai rumah. Aku dapat berjalan sendiri. Kalau ayah tahu aku sampai begini, kau akan menjadi sasaran kemarahannya." Suara Buringan terengah-engah. Murtiati berpikir sejenak.
Apa yang diucapkan Buringan memang benar. Pada situasi gawat seperti ini tidak mungkin seorang dari aliran sesat menyatroni markas orang-orang golongan lurus. Bagaimana pun tidak ada tempat bagi orang-orang aliran sesat. Untuk itu Murtiati menyadarinya.
Sekalipun merasa keberatan, Murtiati harus juga meninggalkan Buringan berjalan sendiri. Langkahlangkah Buringan gontai membuat Murtiati makin iba. Gadis itu baru melangkah cepat setelah Buringan benar-benar hilang dari pandangan matanya.
Panas terik matahari begitu menyilaukan mata. Buringan terus melangkah meski dirasakan pandangannya berputar. Dari kejauhan nampak pula seorang penjaga berdiri di pintu gerbang rumahnya. Empat orang itu segera berlari mendekat saat didapati Buringan berguling ke tanah.
Ketika Buringan membuka matanya, tubuhnya serasa lemas tak bertulang. Ia nampak terbaring pada sebuah tempat tidur di kamarnya. Seluruh lukalukanya telah dibalut. Ia memandang sekeliling kamarnya telah banyak orang berkumpul. Kedua orang tua Buringan duduk di sisi kanan dan kiri. Ni Tambun Tambak sudah dua hari merasa cemas. Dan baru hari ini anaknya sadar dari pingsannya.
"Siapa yang melakukan ini semua Buringan? Siapa?" tanya Ni Tambun Tambak. Buringan seperti membuka mulut tapi suaranya tidak keluar.
"Katakan, Buringan. Biar aku yang akan membuat perhitungan dengan si manusia durjana itu." Ni Tambun Tambak tidak sabaran. Apalagi Buringan memuntahkan darah. Giri Paksi, ayahnya cepat mengangkat setengah bangun tubuh Buringan.
"Sabar, Ni.... Anak kita masih dalam keadaan terluka. Aku pun tidak akan tinggal diam kalau sudah kuketahui siapa yang berbuat keji seperti ini." sergah Giri Paksi. Ni Tambun Tambak, istrinya langsung diam. Lalu ia memberi perintah agar semua orang yang berada dalam ruangan itu keluar. Kecuali Tanjung Lodaya dan Rambi Somat.
Kedua pemuda yang tetap berdiri di dekat mereka adalah adik kandung Buringan. Mereka pun telah menaruh dendam terhadap orang yang menganiaya kakaknya, Buringan.
"Sudah pasti ini perbuatan orang-orang aliran sesat macam Sengkala Getih. Biar sekarang aku menyatroni mereka untuk membuat perhitungan dengan mereka!" Tanjung Lodaya mengumbar amarah. Ia tidak tahan melihat Buringan penuh balutan di tubuhnya.
"Kau pun harus tenang, Tanjung Lodaya. Di Batang Karang terlalu banyak orang-orang yang berpihak pada aliran sesat. Kita tidak bisa menuduh seenaknya." Giri Paksi menenangkan amarah anaknya.
"Tidakkah ayah melihat keadaan kakang Buringan? Kalau menunggu Kakang Buringan bicara, sudah pasti keparat itu buru-buru cuci tangan." Rambi Somat mendukung pendapat Tanjung Lodaya.
"Dia sudah siuman. Sebentar lagi Buringan akan mengatakannya pada kita. Untuk itu kalian harus bersabar. Juga tidak perlu khawatir. Buringan hanya mengalami luka-luka biasa. Hanya saja ia telah kehabisan darah. Jadi biarkan saja dia istirahat untuk sementara. Aku berharap kalian tidak mengganggunya." Giri Paksi berkata sabar. Namun dalam hatinya, ia begitu luluh melihat anaknya terbaring penuh luka.
Tanpa bicara lagi, Tanjung Lodaya dan Rambi Somat meninggalkan ruangan itu. Tinggallah Ni Tambun Tambak bersama Giri Paksi mendampingi Buringan. Pemuda penuh luka itu sudah membuka matanya. Ia memandangi kedua orang tuanya yang duduk di sisi kanan dan kiri.
"Apa sebenarnya yang terjadi denganmu Buringan. Rupamu ini sudah tidak karuan lagi." sapa Giri Loka. Ni Tambun Tambak tersenyum menghibur.
"Kalau ada kesulitan ayah ibumu tidak akan tinggal diam. Siapa yang akan merasa tenang melihat anaknya sampai babak belur begini, Buringan." Ni Tambun Tambak menuang air hangat ke dalam gelas. Lalu ia menyodorkan pada Buringan yang sudah duduk bersandar pada dinding.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah membaik bukan?" Giri Paksi memperhatikan wajah Buringan yang pucat mengangguk perlahan.
"Aku pikir kau tidak akan merasa senang dipecundangi seperti ini. Begitu hebatkah dia sehingga mampu melukaimu? Siapa dirinya gerangan?" Pertanyaan Giri Paksi bagaikan serentetan peluru yang menghunjam di jantung Buringan.
Sukar rasanya untuk mengatakan apa sebenarnya yang terjadi. Bagaimana pun Buringan merasa berat untuk mengatakan. Semua itu lantaran perasaan cintanya terlalu besar terhadap Murtiati. Sekarang ia tidak tahu mesti bilang apa di hadapan orang tuanya.
Sudah tentu Ni Tambun Tambak dan Giri Paksi terus menuntut dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dikehendakinya. Ada rasa penyesalan kenapa ia tidak melawan saat Mandra Loka mendera dengan serangan-serangan yang mematikan. Padahal kalau Buringan mau melayaninya, Mandra Loka bukanlah apaapa dibanding Buringan.
"Aku tahu benar watakmu, Buringan. Kau memang anakku yang selalu menjadi nomor satu. Aku tahu pula kalau kau mempunyai rencana untuk membuat perhitungan sendiri. Bukankah begitu? Tapi alangkah baiknya kalau kau sebutkan siapa orang hebat itu?" Pertanyaan Giri Paksi sangat halus.
"Kalau ayah sudah tahu watak ku, kenapa masih terus bertanya? Tunggulah sampai aku sembuh betul, akan kuseret keparat itu ke hadapan ayah." Buringan tersenyum. Di wajahnya tidak nampak rasa sakit sedikit pun. Giri Paksi pun tidak bisa memaksa lagi. Mendengar ucapan Buringan saja ia sudah merasa senang. Itu berarti Buringan akan sembuh total dalam waktu yang sangat singkat.
"Kau sudah berjanji padaku, Buringan. Kau harus menepatinya."

* * *



Kedatangan seorang tamu seperti Ki Tapak Kliwon, tidak putus-putusnya Sengkala Getih menyambut. Selama dua hari penuh kediaman Sengkala Getih tidak ubahnya seperti rumah pesta. Penyambutan besar-besaran Sengkala Getih semata-mata untuk menyenangkan Ki Tapak Kliwon.
Saat itu pun Ki Tapak Kliwon bersama belasan anak buahnya tertawa tergelak-gelak. Mereka tengah meminum tuak sepuas-puasnya. Perempuanperempuan cantik mendampingi setiap orang. Untuk Ki Tapak Kliwon seorang wanita penghibur tidak cukup untuk melayani. Dengan duduk beralaskan bantalan empuk ia didampingi dengan tiga orang wanita cantik.
Ruangan itu cukup besar. Dapat menampung tiga puluh orang lebih. Mandra Loka dan Murtiati duduk bersila mendampingi Sengkala Getih. Sejak dua hari ini pula ke
dua putranya itu nampak aneh. Mandra Loka selalu bersikap dingin terhadap Murtiati. Apalagi Murtiati sendiri. Rasanya tidak mau berpaling barang semenit menatap Mandra Loka.
Hanya saja Sengkala Getih tidak menyadari kalau di antara mereka ada sedikit perselisihan. Apalagi Sengkala Getih sekarang telah mabuk tuak. Mana ia perhatikan dua anaknya yang duduk mendampingi. Melihat situasi itu Murtiati merasa amat muak. Ingin rasanya ia cepat-cepat keluar dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Kedatangan Ki Tapak Kliwon dan bermaksud menetap di sini memang kami mengharapkan sekali. Dengan adanya tokoh maha sakti maka gabungan seluruh partai aliran sesat akan bertambah kuat. Aku yakin kita bisa menguasai Rimba Persilatan. Bukankah begitu, Ki Tapak Kliwon?" Suara Sengkala Getih menggelegak bercampur tawa. Ki Tapak Kliwon ikut tertawa tangannya mengibas seperti mengelakan pujian itu.
"Sudah berapa kali kau katakan ucapan yang itu-itu juga, Sengkala Getih? Rasanya aku hampir bosan mendengar pujian mu!" sela Ki Tapak Kliwon, saat ia bicara rambut serta janggutnya yang putih bergerakgerak.
"Bagi orang jago seperti anda memang perlu mendapat pujian. Di hadapanku kau tidak perlu merendah segala, Ki Tapak Kliwon. Ha-ha-ha-ha...." tawa Sengkala Getih makin jadi. Mendengar Ki Tapak Kliwon orang sakti, ketiga perempuan yang mendampinginya makin genit cekikikan.
"Bagaimana pendapatmu, Mandra Loka? Tentunya sebagai tuan rumah kau pun merasa gembira dengan jago tua ini." kata Sengkala Getih. Ia menoleh ke samping kiri. Mandra Loka segera menjawab.
"Semua yang dikatakan ayah memang benar. Kita-kita memang kurang dukungan dari tokoh-tokoh sakti. Tapi setelah adanya Ki Tapak Kliwon di sini, aku sudah menjamin aliran sesat akan bertambah teguh. Namun dalam hal ini pula aku masih merasa sangsi. Karena aku khawatir kalau-kalau masih ada seorang pengkhianat di antara kita."
Ucapan Mandra Loka bagaikan petir yang menyambar di muka Murtiati. Seketika itu juga wajahnya memerah. Sudah tentu ucapan itu ditujukan padanya. Secepat itu pula Murtiati menguasai diri. Maka ia pun mengeluarkan pendapat.
"Mana mungkin di antara kita ada terselip seorang pengkhianat? Mungkin kalau seorang pengecut pasti ada." tukasnya mantap. Mandra Loka hanya nyengir, cepat pula ia menjawab sindiran itu.
"Terhadap orang-orang aliran lurus yang banyak tingkah, apakah kita tetap membiarkannya?" Kata-kata itu sengaja diarahkan pada laki-laki tua berambut putih. Ki Tapak Kliwon sendiri justru tidak mengerti.
"Di antara kita tidak ada satu orang pun yang merasa dirinya pengecut. Kalaupun ada pasti Ki Tapak Kliwon yang akan menjatuhkan hukuman mati." sambung Mandra Loka. Sengkala Getih menatap heran.
"Kalau begitu kaulah yang pantas menerima hukuman itu! Karena kaulah orangnya yang pengecut itu!" bentak Murtiati. Ia bergegas bangkit. Menatap garang terhadap Mandra Loka.
"Ngawur. Justru kau penghianatnya!" Mandra Loka balas membentak. Keduanya sudah siap bangkit, tapi....
"Diam!" Sengkala Getih menghardik Mandra Loka dan Murtiati diam saling tatap. Memamerkan kemarahan.
"Kenapa kalian jadi bertengkar! Kalian bukan pengkhianat atau pun pengecut! Kalian berada di pihak yang sama! Kalau hanya mengacaukan pertemuan ini kalian di luar saja!" Sengkala Getih jadi naik darah.
"Ha-ha-ha-ha-ha.... Kedua anakmu memang sungguh luar biasa, Sengkala Getih. Belum apa-apa sudah merasa khawatir akan adanya 'duri' dalam kelompok kita. Pertengkarannya sudah seharusnya menjadi panutan kita. Aku cukup menghargai kekhawatiran mereka." Ki Tapak Kliwon berkata dingin. Sengkala Getih menghela nafas.
"Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang mereka ributkan. Ah! Sudah lupakan saja pertengkaran ini, mari diminum lagi araknya, Ki...." Sengkala Getih menyulangi tuak ke dalam, gelas. Ki Tapak Kliwon manggut-manggut. Saat itu Murtiati bangkit lagi. Tanpa bicara apa-apa ia bergegas meninggalkan ruangan itu. Sengkala Getih bermaksud menahan. Tapi Ki Tapak Kliwon malah menahan maksud Sengkala Getih agar membiarkan Murtiati pergi.
"Biarkan dia menenangkan pikirannya, Sengkala Getih. Tiap-tiap perdebatan terkadang mengumbar emosi. Justru aku salut akan perangai anak perempuanmu itu. Sikapnya tidak pernah pandang bulu."

*
* *



--¦::: « 5 » :::¦--

Langkah-langkah Murtiati cepat. Pandangannya terus ke depan mengarah pada ujung jalan berbatu. Genangan-genangan air bekas gerimis semalam masih nampak. Terkadang pula kakinya dibiarkan melalui genangan air itu.
Udara masih terasa sejuk. Murtiati merasakan kelembutan angin yang menghembus di tubuhnya. Rambut serta bajunya berderai-derai diterpa angin. Langkahnya makin cepat menyusuri jalan. Dalam pada itu ia sempat melihat seseorang berjalan ke arah yang berlawanan.
Sebentar ia mengernyitkan alis, maka nampak jelas orang itu adalah seorang pemuda yang pernah menolongnya tempo hari. Yah! Pemuda itu tidak lain si Pendekar Kelana Sakti, Wintara. Ketika mereka berpapasan, Murtiati sengaja menundukkan muka. Ia khawatir kalau Wintara masih mengenalinya.
Namun baru saja beberapa langkah mereka berlalu. Wintara segera menghentikan langkahnya dan kembali menyusul Murtiati yang berjalan terburu-buru.
"Nona.... Tunggu dulu," Wintara berusaha mempercepat langkahnya. Maka sebentar saja ia sudah beriringan dengan Murtiati.
"Bukankah nona yang membawa seorang pemuda penuh luka pada beberapa hari yang lalu...? Kurasa aku tidak salah lihat." sapa Wintara nyerocos. Murtiati tidak perduli.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" Wintara terus mengiringi. Murtiati menghentikan langkahnya, sebentar kemudian ia menatap Wintara. Lalu ia melangkah lagi.
"Terima kasih atas pertolonganmu tempo hari. Waktu itu aku sangat terburu-buru, sehingga lupa untuk mengucapkan rasa terima kasih. Kakang Buringan tidak apa-apa. Sekali lagi kuucapkan terima kasih pada mu." Suara Murtiati polos. Lalu melanjutkan langkahnya. Wintara tetap berdiri menatap kepergian gadis itu. Ketika Wintara berniat membuntuti. Murtiati membentak.
"Kita sudah tidak punya urusan lagi, Sobat. Tidak perlu menguntit ku..." Wintara mengangkat bahu.
"Apa perlunya aku membuntuti mu? Kalau tadi aku berbicara padanya, itu hanya sekedar basa basi," pikir Wintara. Maka Wintara pun melengos melanjutkan perjalanannya.
Langkah Murtiati yang selalu cepat membuat ia lekas sampai pada tujuannya. Ditatapnya sebuah bangunan besar dikelilingi pagar setinggi tiga meter. Pada pintu gerbang tergantung sebuah papan nama bertuliskan 'Perguruan Tapak Angin'. Di pintu itu pula berdiri empat orang penjaga. Semuanya berseragam putih dengan masing-masing pedang terselip di pinggang mereka.
Tanpa ragu-ragu Murtiati melangkah ke sana. Empat orang penjaga pintu gerbang sudah melihat kedatangan seorang gadis. Mereka kenal betul siapa Murtiati itu. Makanya setelah tahu Murtiati akan masuk ke dalam Perguruan Tapak Angin, mereka langsung menghalangi.
"Maaf, Nona. Perguruan ini melarang masuk setiap orang-orang dari aliran sesat. Sebelum kami bertindak sebaiknya nona menyingkir saja dari sini."
"Benar, Nona. Apa pun maksud tujuan mu, sebaiknya urungkan saja niatmu. Saat ini ketua Giri Paksi tidak ingin diganggu!"
"Tapi sekarang aku harus bertemu dengan ketua kalian." jawab Murtiati cepat. Keempat orang penjaga pintu gerbang mengurung gadis itu makin rapat.
"Berani masuk itu berarti sama juga mengantarkan nyawa. Kami berempat masih memandang muka terhadap Sengkala Getih. Kalau saja kau bukan anaknya. Mungkin tubuhmu yang molek itu sudah menjadi kutungankutungan daging."
Murtiati menatap keempat orang itu bergantian. Ia melangkah mundur. Namun di luar dugaan, Murtiati menghentakkan kedua kakinya. Maka tubuhnya yang ramping itu melesat ke atas berjumpalitan di udara. Hanya dengan beberapa kali ia berjumpalitan Murtiati dapat melompati pagar yang setinggi tiga meter itu. Lalu tanpa bersuara hinggap di atas pekarangan bangunan.
Kemunculan Murtiati yang mendadak mengejutkan orang-orang yang berada di situ. Apalagi keempat orang penjaga pintu gerbang itu berlari mengejar. Sudah pasti yang lain berdatangan mengurung Murtiati. Merasa dipagar betis Murtiati tak berkutik.
"Saudara-saudara dari Perguruan Tapak Angin. Harap memberi jalan agar aku bisa berhadapan dengan Paman Giri Paksi." hormat Murtiati. Ia memandang berkeliling pada orang-orang yang mengurungnya "Siapa yang tidak tahu dengan akal licik keturunan Sengkala Getih. Sudah pasti kedatanganmu ke mari ini untuk merecoki urusan kami. Lagi pula siapa yang tidak kenal dengan tokoh setan perempuan yang bengis seperti kau?" Tanjung Lodaya mulai menghunuskan pedang.
"Saudara Tanjung Lodaya, maksud kedatanganku..."
"Tak perlu bicara panjang lebar, Perempuan setan. Kau sudah lancang berani masuk ke sini. Tentunya harus berani pula menanggung resiko." Rambi Somat tidak memiliki senjata. Tapi justru ia nampak lebih beringas. Melihat dua majikannya itu murka. Belasan orang pengikutnya ikut mencabut senjata. Murtiati diam mengawasi gerak gerik mereka. Orang-orang Tapak Angin sudah tidak dapat diajak kompromi lagi.
Tanpa bereaksi Murtiati membiarkan orangorang itu mulai menyerang. Gadis itu tetap tenang meski babatan-babatan pedang berseliweran di sekitar tubuhnya. Mendadak....
"Hentikan....!" Orang-orang itu menghentikan serangan. Mereka sudah mengenali suara itu. Maka dengan serempak mereka mundur kembali.
"Biarkan gadis itu menemuiku." Suara Giri Paksi lantang. Ia berdiri berdampingan dengan Ni Tambun Tambak di tengah pintu gedung. Dengan sendirinya orang-orang yang mengepung Murtiati memberi jalan. Gadis itu pun melangkah ke arah Giri Paksi. Dalam jarak dua meter ia memberi hormat.
"Maafkan atas kelancanganku ini, Paman Giri Paksi. Kedatanganku ini memang ingin menghadap paman. Untuk membicarakan persoalan Kakang Buringan." kata Murtiati menunduk.
Giri Paksi maupun Ni Tambun Tambak memandang tajam Murtiati. Dalam hal ini Murtiati cukup berani mengatakan persoalan Buringan di hadapan Giri Paksi. Sikap ini pula membuat Giri Paksi tidak habis pikir.
"Silahkan masuk, Cah Ayu. Tidak baik bicara di luar." Giri Paksi mempersilahkan Murtiati. Sebelah lengannya memberi jalan. Maka Murtiati melangkah masuk.
"Apa yang kau ketahui mengenai Buringan sampai terluka parah? Adakah selentingan dengan siapa dia berurusan?" Ni Tambun Tambak langsung bertanya.
"Bibi.... Sebaiknya aku bicara dengan Kakang Buringan." jawab Murtiati. Ni Tambun Tambak dan Giri Paksi saling pandang.
Buringan memang ada di kamarnya. Pantaskah seorang anak aliran sesat menemui Buringan? Apalagi Murtiati seorang gadis.
"Paman.... Bibi.... Aku perlu melihat keadaan Kakang Buringan." Permintaan Murtiati agak memaksa. Kalau saja Murtiati bukan anak si Sengkala Getih, tentu saja Giri Paksi sudah mengijinkannya.
"Kalau paman tidak mengijinkannya tak akan kukatakan dengan siapa Kakang Buringan berurusan."
Giri Paksi merasa terdesak. Ni Tambun Tambak memberi kerlingan mata sebagai aba-aba. Lalu....
"Kenapa tidak boleh? Mari, Cah Ayu Buringan masih terbaring di kamarnya!" Giri Paksi mengantarkan Murtiati sampai ke pintu kamar. Pintunya sudah terbuka sejak tadi maka Murtiati langsung masuk. Sudah tentu Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak mengikutinya dari belakang. Selain ingin mendengar apa yang diucapkan Murtiati, mereka juga khawatir kalau-kalau gadis itu akan berbuat nekad menyakiti Buringan. Tidak heran kalau mereka mengawasi terus langkahlangkah Murtiati masuk menemui Buringan. Pemuda yang terbaring di pembaringan langsung bangkit saat melihat seorang gadis bersama kedua orang tuanya menjenguk.
"Murtiati.... Astaga!" Buringan tidak menyangka. Gadis itu langsung duduk di samping Buringan. Dua pasangan tua ini tadi bingung melihat sikap anaknya begitu akrab.
"Kakang Buringan. Kenapa bersikap bodoh! Kenapa kau tidak mengatakan siapa yang melakukan ini pada paman atau bibi?" Murtiati seperti jengkel. Buringan tenang mengumbar senyum.
"Justru kau yang bertindak bodoh, Murtiati. Mereka tidak memusingkan lagi persoalan itu. Dengan kehadiranmu ke sini maka mereka malah jadi tahu." jawab Buringan.
"Jadi selama ini kau merahasiakannya?" ujar Giri Paksi.
"Sudah lama kami berhubungan, Ayah. Itu pun tanpa sepengetahuan Sengkala Getih."
"Ya-ya Sekarang kartu mu sudah terbongkar, lalu siapa yang menganiaya dirimu itu. Pastilah dia orang hebat. Apakah kalian bertengkar karena berebut Murtiati?" sergah Ni Tambun Tambak.
"Sama sekali bukan, Bibi.... Orang itu orang itu...." Murtiati jadi serba salah. Tapi akhirnya....
"Kakang Buringan sendiri yang bersikap bodoh. Dia membiarkan dirinya habis-habisan dihajar Kakang Mandra Loka." Tukas Murtiati.
"Ha-ha-ha-ha-ha.... Pantas kau bertahan merahasiakannya. Ternyata kau masih memiliki rasa malu. Makanya kalau pacar jangan sembunyi-sembunyi. Tidak heran kalau calon kakak iparmu murka." tawa Tambun Tambak tergelak-gelak. Wajah Murtiati memerah.
"Kenapa tidak kau katakan dari dulu Buringan. Kalau tahu kau punya hubung dengan Cah Ayu Murtiati aku tidak keberatan. Biar nanti urusan ini ayah yang akan menghadap pada Sengkala Getih." Giri Paksi ikut mendukung.
"Sekarang tidak perlu lagi, Paman. Maksud kedatanganku ini selain meminta maaf atas perbuatan Kakang Mandra Loka juga untuk memutuskan hubungan kami." Murtiati tertunduk.
Semuanya diam. Mereka ingin mendengar perkataan Murtiati lebih lanjut.
"Tidak mungkin ayahku mau menerima lamaran paman. Lagi pula kita berada pada jalan yang berbeda. Aku harus berada di pihak ayahku."
"Kau terlalu berperasaan, Cah Ayu! Tidak kau sadarikah kalau selama ini Sengkala Getih beserta orang-orangnya terjerumus pada jalan yang penuh resiko? Biarlah aku yang akan membujuk ayahmu agar bergabung dengan kami."
Tanpa sepengetahuan mereka. Tanjung Lodaya dan Rambi Somat mencuri dengar pembicaraan mereka dari balik pintu. Setelah mendengar pembicaraan itu keduanya cepat bergegas entah ke mana.
"Kuharap paman serta bibi mau merubah pendirian. Ayah serta para pengikutnya bukan manusia yang mudah diajak damai. Permisi."
"Cah Ayu kau sangat cocok menjadi menantuku." tukas Ni Tambun Tambak. Ia membuntuti Murtiati melangkah ke luar.
"Kalau sempat, kau boleh datang lagi ke mari." katanya lagi sebagai ucapan selamat tinggal. Dengan pandangan lurus Murtiati melangkah meninggalkan Perguruan Tapak Angin.
Giri Paksi berdiri di samping Ni Tambun Tambak ikut menatap kepergian Murtiati.
"Perempuan seperti itu yang ku dambakan. menjadi menantuku. Sikap satrianya yang membuat aku tertarik. gumam Giri Paksi.
"Tidak kau pikirkan kalau Murtiati anak Sengkala Getih?"
"Ah, aku tidak perduli! Bagaimana dengan kau?"
"Sama! Aku pikir Buringan memang cocok dengannya."
Lalu kedua pasangan tua itu kembali masuk. Orang-orang yang berada di pelataran bangunan menatap heran. Beberapa hari ini kedua majikan mereka memang selalu nampak murung, tapi pada hari ini...?

*
* *



--¦::: « 6 » :::¦--

Buntut dari persoalan babak belurnya Buringan ternyata menjadi panjang. Karena Tanjung Lodaya dan Rambi Somat yang telah mendengar penuturan dari Murtiati itu, tidak tinggal diam. Tanpa sepengetahuan Giri Paksi, kedua pemuda itu berani mendatangi tempat Sengkala Getih. Mereka sudah bertekad akan membalas perlakuan Mandra Loka terhadap Buringan.
Maka setelah berada di depan markas Sengkala Getih, keduanya langsung berteriak-teriak menantang.
"Sengkala Getih! Suruh ke luar Mandra Loka untuk menghadapi kami!" Rambi Somat mengacungkan tinjunya. Mereka berteriak-teriak terus. Namun tidak ada jawaban dari Sengkala Getih.
"Apakah Mandra Loka hanya seorang pengecut? Suruh dia ke luar!" bentak Tanjung Lodaya, sejak tadi pedangnya telah terhunus.
Mendengar suara teriak-teriak itu beberapa pengikut Sengkala Getih menghambur ke luar. Mereka dipimpin oleh Mandra Loka. Setelah mereka berhadapan, Mandra Loka mencibir.
"Cari penyakit. Berani-beraninya pentang bacot di sini. Apakah kalian sudah san hidup?" tukas Mandra Loka.
"Kalau takut mati buat apa kami datang ke sini! Mari Mandra Loka, tunjukkan pada kami sampai di mana kehebatanmu sampai bisa mempecundangi Buringan!" sergah Rambi Somat.
"Oh! Kalian hendak menuntut balas rupanya. Boleh." Mandra Loka langsung pentang jurus. Para pengikutnya langsung mengurung. Tapi justru para pengikutnya yang menerjang lebih dulu.
Maka pertarungan tak dapat dielakkan lagi. Tanjung Lodaya yang sudah tidak sabaran langsung membabatkan pedangnya.
"Breeet...!"
Hampir saja sambaran pedangnya merobek perut beberapa penyerang. Rambi Somat yang sudah terlanjur emosi menghindari serangan-serangan itu. Tubuhnya terus melintir ke arah Mandra Loka. Ia sengaja memilih lawannya sendiri.
Mandra Loka yang kedatangan serangan dari Rambi Somat secara mendadak langsung berjingkat mundur. Dua hantaman yang berturut-turut nyaris memecahkan kepalanya. Untunglah Mandra Loka cepat menunduk. Namun Mandra Loka masih sempat membalas serangan itu dengan sodokan kaki kirinya.
"Des...!"
Rambi Somat menangkis dengan sebelah tangan.
Dari arah belakang datang tiga orang membokong. Secepat kilat Rambi Somat berbalik melancarkan tendangan memutar, maka...
"Des...! Des...! Des...!" Ketiga penyerang gelap itu bergelimpangann. Melihat itu pun Mandra Loka menerjang gencar. Namun Rambi Somat tidak kalah gesit menyambut.
Saat itu pun Tanjung Lodaya tidak kalah sibuknya. Pedangnya berkelebat terus mencari sasaran. Hampir tidak ada yang berani maju menyerang. Karena mereka tahu kehebatan ilmu pedang Tanjung Lodaya tidak boleh dianggap main-main. Dan lagi sudah beberapa orang yang menggeletak bersimbah darah tanpa nyawa. Pemandangan seperti itu pula yang membuat nyali para pengikut Mandra Loka jadi ciut.
Seleret sinar putih berkelebat cepat. Kali ini babatan pedangnya bergerak dengan disertai terjangan yang sangat cepat. Maka dalam gerakan yang seperti kilat itu, dua orang langsung kelojotan dengan kepala masing-masing hampir putus.
Mengetahui para pengikut Mandra Loka makin berkurang, Rambi Somat makin bersemangat menggempur Mandra Loka. Meskipun sekali-sekali berdatangan beberapa penyerang lagi yang merecoki pertarungan, Rambi Somat selalu dapat mengatasi. Hanya dengan memutar kuat-kuat kedua tangannya mereka sudah berpentalan.
Apalagi setelah Tanjung Lodaya datang membantu. Rambi Somat tidak perlu repot-repot lagi melancarkan serangan. Dengan adanya Tanjung Lodaya semua para penyerang yang berjumlah enam orang itu dapat ditumpas habis. Tinggallah Mandra Loka menghadapi kakak beradik itu.
Namun demikian Mandra Loka tidak gentar sedikit pun. Ia masih dapat menghindari babatan pedang Tanjung Lodaya maupun hantaman-hantaman yang mematikan dari Rambi Somat.
Dalam hal ini pun Mandra Loka bukan orang yang tergolong rendah ilmu. Terbukti ia bisa berkelit menghadapi serangan-serangan yang maut sekalipun. Boleh dikatakan Mandra Loka bisa mengimbangi meskipun ia dikeroyok dua orang.
Tapi segesit-gesitnya orang berilmu. Kelengahan selalu ada. Saat Mandra Loka dapat menghantam Rambi Somat. Tanjung Lodaya membabatkan pedangnya kuat-kuat.
"Breeet...!"
Mandra Loka tidak dapat menghindarinya. Karuan saja ia memekik. Punggungnya mengucurkan darah. Saat ia berbalik untuk membalas. Rambi Somat sudah bangkit melancarkan serangan.
"Desss...!"
Mandra Loka terbanting keras di tanah. Tubuhnya kelojotan. Kepalanya terasa hampir pecah.
Maka dalam keadaan bergelintingan itu. Tanjung Lodaya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan terjangan yang sangat keras ia melesat mengarahkan pedangnya pada Mandra Loka. Tapi...
"Trang...!"
Pedangnya serasa bergetar, dan tubuh Tanjung Lodaya sendiri jatuh terhuyung. Dilihatnya pedang itu telah kutung separuh. Tanjung Lodaya cepat bangkit. Mereka berdampingan dengan Rambi Somat. Keduanya memandang ke depan.
Mereka menatap sekelompok orang berderet. Seorang kakek berambut putih berdiri dengan keris buntung terhunus di tangan. Sedangkan Sengkala Getih nampak membantu Mandra Loka bangkit. Rupanya saat Tanjung Lodaya mengarahkan pedangnya, Ki Tapak Kliwon menggagalkan serangan itu.
"Bagus kalian semua keluar untuk menyaksikan bagaimana hebatnya kemarahan kami. Biarkan Mandra Loka bertarung denganku, Sengkala Getih! Setan kurap ini telah menghina kami!" bentak Rambi Somat.
Ki Tapak Kliwon berjalan mengelilingi kakak beradik itu. Senyumnya melebar.
"Aku yang tua keriput ini memang rada tidak tahu diri. ia tidak henti-hentinya menatap kedua pemuda itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Terhadap kakek berambut putih ini mereka perlu berhati-hati. Terlebih-lebih Rambi Somat. Ia tahu bagaimana tadi kakek berambut putih mematahkan pedang Tanjung Lodaya.
"Apakah Mandra Loka hanya seorang pengecut. Baru beberapa gebrakan saja sudah berlindung di balik tubuh sang ayah?" ejek Tanjung Lodaya. Mendengar ejekan itu, semua pengikut Sengkala Getih maupun anak buah Ki Tapak Kliwon berniat meringkus kakak beradik ini. Tapi sebelum mereka melakukan tindakan, Ki Tapak Kliwon mengangkat sebelah tangannya. Maka serempak mereka kembali mundur.
"Anak muda. Boleh saja kau menghadapi Mandra Loka. Tapi sebelumnya aku harus mengukur dulu sampai di mana kemampuanmu." kata Ki Tapak Kliwon. Mendadak dua kakak beradik itu tersentak.
"Sungguh tak kusangka! Apakah kalian tidak punya orang andalan lagi untuk menguji kami? Masakah orang tua keriput yang hampir mampus ini harus menghadapi kami?" Rambi Somat sengaja mengejek memancing kemarahan mereka. Ki Tapak Kliwon tersenyum.
"Aku yang tua keriput ini memang rada tidak tahu diri. Barangkali juga sudah bosan hidup. Marilah, Anak muda.... Kalian boleh maju dua-duanya sekaligus." jawab Ki Tapak Kliwon. Ia memasukkan keris buntungnya ke dalam sarung yang terselip di pinggangnya. Lalu berdiri bersikap menantang.
Tanpa buang waktu kedua kakak beradik ini langsung mengurung dari arah yang berlawanan. Tanjung Lodaya yang bersenjatakan pedang, melancarkan babatan pedang. Ia tidak menyadari kalau pedangnya itu tinggal separuh. Begitu juga dengan Rambi Somat. Ia tidak perduli meski orang yang dihadapinya telah tua keriput. Setiap hantamannya berkelebat tanpa ampun.
Di luar dugaan, Ki Tapak Kliwon dapat mengelak bagai angin. Setiap hantaman
maupun babatan pedang dapat dihindarinya sangat cepat. Tubuhnya dapat berpindah-pindah bagai sebuah bayangan. Hal itu sangat sulit untuk Tanjung Lodaya maupun Rambi Somat melancarkan serangan. Menghadapi seorang kakek berilmu tinggi, kakak beradik ini segera membuka jurus-jurus baru yang merupakan andalan mereka. Nampaklah segulungan sinar putih bagai kitiran, telapak tangan Rambi Somat bergemuruh saat bergerak.
Ki Tapak Kliwon mendadak tersentak ketika Rambi Somat melancarkan serangan. Angin pukulan itu begitu deras menerpa tubuhnya. Saat itu pula seleret sinar putih bergerak bagai kilat menyambar. Rambut putih Ki Tapak Kliwon beberapa lembar beterbangan kena babatan pedang. Manakala serangan Rambi Somat terus mendera bertubi-tubi. Kewalahan juga Ki Tapak Kliwon menghadapi hantaman-hantaman itu. Maka tubuhnya yang seringan kapas itu langsung bersalto mundur ke belakang. Pada lentingan yang ketiga kakak berambut putih menarik keris dari pinggangnya. Ketika dia hinggap di tanah. Ki Tapak Kliwon telah bersiap-siap dengan keris buntung terhunus.
Sengkala Getih bersama orang-orang yang masih berada di situ menatap tegang.
Dua kakak beradik itu serempak menerjang. Namun Ki Tapak Kliwon segera memutar keris buntungnya ke udara. Terdengarlah suara yang amat bergemuruh. Entah datangnya dari mana tiba-tiba saja angin bergulung bagai badai.
Ketika Ki Tapak Kliwon mengarahkan keris buntungnya pada Rambi Somat, mendadak sebuah tenaga dahsyat menghantam pemuda itu. Padahal keris buntung Ki Tapak Kliwon belum menyentuhnya. Begitu juga ketika Ki Tapak Kliwon mengarahkan keris itu pada Tanjung Lodaya. Dua kakak beradik itu mengalami nasib yang sama. Keduanya bergulingan menyemburkan darah. Tubuhnya terus berguling seperti terdorong badai angin yang maha dahsyat.
Selama keris buntung masih dalam genggaman Ki Tapak Kliwon, suara gemuruh itu terus menderuderu. Badai angin makin besar manakala kakek berambut putih itu memutarnya kuat-kuat. Semua orang yang berada di sekitar situ beterbangan bagai gumpalan-gumpalan kapas yang tertiup angin. Kecuali Sengkala Getih. Hanya dia satu-satunya yang dapat bertahan dan tetap berdiri teguh. Kedua lengannya kekar memegangi tubuh Mandra Loka yang hampir terbawa oleh tenaga dahsyat keris buntung.
Sedangkan tubuh Rambi Somat dan Tanjung Lodaya entah apa jadinya. Keduanya terbanting ke sana ke mari. Darah terus menyembur dari kedua mulut mereka. Demi mempersingkat waktu, Ki Tapak Kliwon kembali menghantamkan kerisnya ke arah mereka, maka....
"Bledaaar. !"
Seluruh permukaan tanah yang terkena hantaman itu hancur berantakan. Rambi Somat maupun Tanjung Lodaya tidak nampak lagi di situ. Mereka ikut sirna saat asap hitam mulai lenyap perlahan.
Ki Tapak Kliwon menggeram sengit. Ia yakin sekali kalau hantaman keris buntungnya itu diarahkan tepat pada kedua lawannya. Kenapa harus meleset mengenai permukaan tanah. Dan juga lenyapnya kakak beradik itu bukan karena hancur terkena hantaman keris buntung. Tapi karena adanya orang ketiga yang berusaha menyelamatkannya. Dan juga Ki Tapak Kliwon merasa hantaman keris buntungnya seperti beradu dengan tenaga dalam lain.
Maka bagai setan jelalatan ia memandang berkeliling. Ia memandang jauh seseorang membawa lari tubuh Rambi Somat dan Tanjung Lodaya. Semua orang merasa kagum saat membledarnya suara hantaman itu. Apalagi dengan tiba-tiba tubuh kedua kakak beradik lenyap seketika. Sengkala Getih mengira mereka berdua telah hancur lebur.
Setelah angin badai mereda mereka mulai berdatangan berkumpul. Semuanya merasa kagum akan kehebatan keris buntung.
"Seseorang telah menyelamatkan mereka. Seorang berilmu tinggi yang mampu menahan hantaman keris buntung. Siapa dia kira-kira?" kata Ki Tapak Kliwon geram. Sengkala Getih melongo.
"Bukankah mereka telah hancur lebur?" tanya Sengkala Getih terheran-heran. Yang lain melongo. Pantas saja mereka tidak tahu, karena saat seseorang datang menyelamatkan kakak beradik itu, mereka sibuk menghindari diri dari badai angin yang begitu dahsyat.
"Mata kalian semua buta. Mana ada kepingankepingan tubuh mereka di sini?" Ki Tapak Kliwon menunjuk ke permukaan tanah yang berantakan. Asap hitam masih mengepul di situ. Mereka semua diam. Kecuali Sengkala Getih.
"Kalau pun ada yang menyelamatkan mereka, pastilah Giri Paksi orangnya."

* * *



"Semua ini gara-gara Murtiati, Ayah! Dia penyebab semua ini!" Mandra Loka menuding-nuding Murtiati. Diperlakukan begitu sudah tentu Murtiati tidak merasa senang. Apalagi di hadapan orang banyak.
"Kau pantas menerima ganjaran dari orangorang Perguruan Tapak Angin, Kakang Mandra Loka. Karena kau sendiri yang memulainya!" balas Murtiati sengit. Mandra Loka bangkit dengan nafas yang memburu. Luka di punggungnya telah dibalut. Nampak sekali darah masih merembes dari balutan itu.
"Coba saja ayah bayangkan. Kita semua repot menghadapi semua partai aliran lurus, sempatsempatnya dia memadu kasih dengan salah satu musuh kita. Apakah dibenarkan?" Mandra Loka menghadap pada Sengkala Getih. Murtiati tidak bisa menjawab.
Saat itu juga Sengkala Getih menggertakkan giginya.
"Tidak kusangka duri dalam badan ternyata anakku sendiri! Hukuman mati pun pantas untukmu!" Sengkala Getih murka. Telapak tangannya melayang menampar. Sekali tamparan itu mendarat Murtiati terpelanting.
"Kenapa harus menyakiti anak sendiri, Sengkala Getih. Urusan anak muda memang repot kalau kita sebagai orang tua tidak dapat mengurusnya." Suara Ki Tapak Kliwon menenangkan suasana. Senyumnya melebar. Namun pandangan matanya menatap jijik terhadap Murtiati.
"Kesabaranku sudah habis!" Sengkala Getih menerjang lagi. Murtiati sudah pasrah. Mungkin dengan sekali tendang ia bakal mati. Tapi cepat pula Ki Tapak Kliwon menghalangi.
"Sabar, Sengkala Getih. Beri dia kesempatan, kalau Murtiati adalah putri mu." Ki Tapak Kliwon membantu bangkit.
"Apa maksudmu, Ki...?" tanya Sengkala Getih.
"Orang-orang kita banyak yang menjadi korban, juga Mandra Loka nyaris tewas. Masakah kita hanya berpangku tangan saja? Bagaimana pun ini suatu penghinaan. Biarkan Murtiati menebus kesalahankesalahannya."
Sengkala Getih diam merenungi ucap Ki Tapak Kliwon. Setelah ia menatap Mandra Loka, ia berpaling pada Murtiati.
"Pergilah bersama Mandra Loka ke Perguruan Tapak Angin, aku ingin tahu berapa banyak orangorang si Giri Paksi kau habiskan!" bicara Sengkala Getih datar. Mendengar perintah ayahnya, Mandra Loka langsung bangkit menyambar bajunya.
"Dalam hal ini, biarlah kutugaskan semua pengikut ku ikut membantu. Aku kurang yakin dengan semua anak buahmu, Sengkala Getih" Ucapan Ki Tapak Kliwon cukup nyelekit. Tapi Sengkala Getih tetap tidak menyahut. Bukan lantaran takut. Tapi karena Ki Tapak Kliwon sesepuh dari seluruh partai aliran sesat. Itulah sebabnya Sengkala Getih tidak bisa mengelak perintah Ki Tapak Kliwon.

* * *



Darah dalam dada Ni Tambun Tambak bergejolak. Telinganya panas mendengar dua orang putranya mengerang-ngerang kejang. Rambi Somat dan Tanjung Lodaya
tidak henti-hentinya menyemburkan darah. Tidak ada bekas-bekas luka di tubuh mereka. Itu bertanda mereka menderita luka dalam.
Giri Paksi sendiri tidak mengerti dengan kejadian ini. Tapi ia cukup tenang melihat seorang pemuda duduk bersila di antara Rambi Somat dan Tanjung Lodaya. Pemuda itu sibuk menotoki setiap aliran darah. Maka dua kakak beradik itu dapat tenang.
Rasa sakit mereka sedikit berkurang meskipun nafas mereka belum teratur. Namun akibat totokan pemuda yang menyelamatkannya, dua kakak beradik itu seperti kaku tak dapat bergerak. Hal itu sengaja di lakukan agar luka-luka dalam tersebut tidak menjalar ke seluruh tubuh.
"Sengkala Getih.... Seng-Sengkala Get-GetGetih " Rambi Somat mulai bicara.
"Anak muda, apa sebenarnya yang terjadi dengan dua putra ku ini. Benarkah ini perbuatan Sengkala Getih?" Pertanyaan Giri Paksi ditujukan pada pemuda yang masih duduk bersila.
"Aku Wintara, Paman. Aku hanya kebetulan lewat saat pertarungan itu terjadi. Soal siapa yang melakukannya aku tidak tahu. Yang kukenal hanyalah seorang tua berambut putih bersenjata keris buntung." jawab Wintara yang tidak lain si Pendekar Kelana Sakti.
"Keris buntung...?" Giri Paksi dan Tambun Tambak hampir berucap bareng. Saat itu Buringan keluar dari kamarnya.
"Dia pula yang menyelamatkan aku, Ayah." ujar Buringan. Wintara menoleh arah suara. Ia menatap Buringan melangkah mendekat. Luka-luka di tubuhnya sudah tidak nampak.
"Ah, kau rupanya, Kebetulan sekali," sahut Wintara.
"Menurut perkiraan ku, Adi Rambi Somat dan Tanjung Lodaya bermaksud menuntut balas terhadap Mandra Loka. Bukankah begitu...?" Buringan langsung mendekati dua adiknya yang tergeletak lemas.
"Siapa yang akan berpangku tangan melihat Kakang Buringan dihina orang. Terhadap orang-orang Sengkala Getih tidak perlu memberi hati. Mereka memang pantas dilumatkan." jawab Tanjung Lodaya. Giri Paksi membentak.
"Kalian terlalu ceroboh! Jelas kesalahan berada di pihak kita sekarang. Sengkala Getih memang pihak aliran sesat. Rencana untuk menumpas aliran sesat bukan berada di tangan kalian. Orang-orang rimba persilatan sudah mengutus Buringan.... Ulah kalian hanya merusak rencana,"
"Tapi, Ayah... Tindakan kami semata-mata hanya tertuju pada Mandra Loka. Lagi pula mana bisa Kakang Buringan mengemban tugas itu dalam keadaan yang masih terluka." jawab Rambi Somat. Buringan tersenyum mendengar ucapan itu.
"Aku merasa sudah pulih. Luka-luka ini tidak seberapa. Bagaimana dengan kalian?" tukas Buringan.
"Kalau saja kakek busuk bersenjata keris buntung tidak muncul, Mandra Loka keparat itu sudah terpisah kepalanya." jawab Tanjung Lodaya. Melihat kedua orang yang diselamatkannya sudah bisa bicara, Wintara bangkit berdiri.
"Keris buntung itu memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Selain dapat menimbulkan badai angin, keris itu mengandung sepasukan tenaga manusia." tutur Wintara.
"Keris buntung.... Yah. Pasti itu Keris Buntung Ki Srongot." gumam Giri Paksi. Hanya Keris Buntung Ki Srongot yang memiliki kekuatan seperti itu." gumamnya lagi. Giri Paksi berjalan keliling. Ia seperti ingat sesuatu.
"Belum pernah kudengar keris memiliki kehebatannya demikian." Ni Tambun Tambak ikut berpikir. Wintara dan Buringan berdiri berdampingan menatap Giri Paksi.
"Hal ini mengingatkan aku pada seorang tokoh legendaris bernama: Eyang Buana Penangsang. Semasa kecil aku paling suka mendengarkan pengembaraan pendekar maha sakti itu. Orang tua dulu paling sering menceritakan petualangan pendekar maha sakti itu pada cucu-cucunya. Semula aku mengira legenda tersebut hanya bertujuan agar setiap anak lelaki menjadi pendekar kesatria pembela bumi pertiwi. Tapi setelah mendengar adanya Keris Buntung Ki Srongot yang memiliki kekuatan dahsyat. baru yakin tokoh maha sakti itu benar-benar ada." Giri Paksi berusaha mengingat-ingat. Kemudian Giri Paksi melanjutkan ceritanya.
"Menurut legenda, Ki Srongot memang memiliki keris buntung. Sepak terjangnya sangat merugikan rakyat-rakyat kecil. Demi menumpas kejahatan Ki Srongot, maka berdatanganlah seluruh jago-jago dari segala penjuru. Namun terhadap Ki Srongot, mereka bukanlah apa-apa dibanding dengan kesaktiannya. Mereka hanya mengantarkan nyawa dengan percuma. Kalau hanya menghadapi Ki Srongot mereka pasti mampu! Tapi karena Ki Srongot memiliki Keris Buntung yang sangat dahsyat itu semua orang bertekuk lutut di bawah kakinya. Saat itu Ki Srongot bagaikan seorang raja. Sampai akhirnya datanglah seorang pemuda bernama Buana Penangsang. Tak disangka-sangka Ki Srongot dapat dikalahkannya. Padahal pemuda itu tanpa menggunakan senjata apa pun. Bersamaan dengan tewasnya Ki Srongot, keris buntung serta keluarganya lenyap entah ke mana." Giri Paksi menarik nafas. Wintara, Ni Tambun Tambak juga ketiga anaknya tertarik dengan cerita itu. Mereka diam menghayati penuturan Giri Paksi.
"Ada lagi yang lebih menarik dari Eyang Buana Penangsang. Ia memiliki enam pasang beruang gunung. Dan juga selalu membawa beberapa kantong jamur ke mana pun ia pergi. Pernah juga ia menetap lama di sebuah desa. Bahkan menerima beberapa orang murid. Tapi tak lama kedapatan semua muridnya tewas. Mereka tidak sanggup menerima ilmu yang dimiliki Eyang Buana Penangsang. Merasa berdosa terhadap mereka, Eyang Buana Penangsang pergi mengasingkan diri. Tidak ada yang tahu ke mana dia menyendiri. Masih kuingat pula beberapa jurus ampuh yang dimiliki pendekar maha sakti itu. Di antaranya: Bayu Menghantam Karang, Bayu Penjerat Nadi, Tinju Bayu Delapan Penjuru, yang paling ringan adalah jurus Bayu Menghempas Gelombang. Mungkin masih ada lagi jurus-jurus mautnya.... Hanya itu yang kudengar warisan cerita yang kudapat dari nenek moyang ku " Giri Paksi menghentikan ceritanya.
Mendengar cerita Giri Paksi yang panjang lebar itu, Wintara hampir mati berdiri. Bagaimana pun ia merasa ada kesamaan mengenai latar belakang kehidupannya. (Baca: Tapis Ledok Membara).
Ingatannya masih tajam ketika Wintara diselamatkan oleh seekor induk beruang. Maka membayang kalau ia pernah hidup di tengah-tengah sekumpulan beruang. Bahkan hampir mati pula saat pertama kali memakan buah jamur yang tumbuh di sebuah reruntuhan bangunan tua. Pada reruntuhan yang terpendam itu pula ia diseret oleh induk beruang menemui sosok jasad renta. Bagaimana pun Wintara telah mempelajari serangkaian ilmu silat yang banyak tertulis pada dinding-dinding ruangan bawah tanah. Siapa lagi kalau bukan jasad renta itu yang mewariskan ilmu silat kepadanya. Dan jasad renta yang telah dianggapnya sebagai guru memang tidak lain Eyang Buana Penangsang.
Wintara memang tidak tahu nama-nama jurus maut yang dimilikinya. Tapi setelah mendengar cerita Giri Paksi, barulah Wintara mengerti dengan jurusjurus yang pernah dipelajari di sebuah ruang bawah tanah.
"Wintara.... Apa yang kau pikirkan?" Teguran Giri Paksi mengejutkan. Wintara tersentak. Tapi cepat ia menguasai diri.
"Ah. Tidak Tidak apa-apa, Paman. Aku hanya memikirkan soal Keris Buntung Ki Srongot." Gerak gerik Wintara seperti salah tingkah.
"Menurutku, kau tak perlu ikut campur urusan kami, Wintara. Kami mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas penyelamatanmu terhadap tiga putra kami. Biarlah urusan ini menjadi persoalan Perguruan Tapak Angin." kata Ni Tambun Tambak.
"Betul, Wintara. Bukan aku meremehkanmu. Tapi kami tidak akan melibatkan dirimu. Perguruan Tapak Angin sebagian kecil dari ilmu silat Eyang Buana Penangsang. Mungkin masih bisa menanggulangi Keris Buntung Ki Srongot." ujar Giri Paksi.
"Sekalipun aku pergi meninggalkan kalian, yang pasti kakek berambut putih itu tetap mencari diriku. Sebab dia tahu saat aku menyelamatkan Rambi Somat dan Tanjung Lodaya." jawab Wintara dengan pandangan yang mengarah pada dua sosok terbaring lemas.
"Biar saja Wintara berada di pihak kita, Ayah. Lagi pula kita semua sudah kepalang basah. Kita tidak perlu menggempur mereka sampai tuntas. Asalkan Sengkala Getih mau bertobat, itu sudah lebih dari cukup." Buringan memberi pendapat.
"Biar aku terluka begini, aku masih bisa menghadapi musuh. Bagaimana dengan kau, Kakang Rambi Somat?" Tanjung Lodaya melirik pada Rambi Somat. Pemuda itu manggut. Maka Wintara melangkah ke arah mereka. Kemudian memberi totokan beberapa kali pada jalan darah mereka. Mendadak pula kakak beradik itu kembali menjerit. Rasa sakit yang tadi lenyap menyengat lagi. Mereka mengerang-erang seperti mau mati.
"Itu tandanya kalian belum boleh bergerak dulu." kata Wintara sambil menotol kembali urat nadi mereka. Seketika itu juga mereka tenang. Namun tibatiba saja....
"Arghhhht...!"
Terdengar jeritan panjang. Jeritan bersumber dari luar halaman gedung. Maka, serempak orangorang yang berada ruangan itu menoleh ke luar. Giri Paksi terkejut melihat empat orang penjaga pintu gerbang bergelimpangan. terlihat pula anak buah yang lain menghadapi beberapa orang yang tiba-tiba saja datang menyerang.

*
* *



--¦::: « 8 » :::¦--

Buringan tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Sekejap pun ia tidak berkedip. Dari balik jendela ruangan itu dapat melihat Mandra Loka bersama belasan pengikutnya mengobrak abrik. Hal itu tidak mengejutkan, tapi ketika ia memandang ke arah pintu gerbang, kedua biji matanya hampir lompat ke luar.
Nampak Murtiati gigih menggempur baris pertahanan Perguruan Tapak Angin. Gadis itu pun dibantu oleh beberapa anak buah. Demi melihat itu Buringan langsung lompat ke luar dari jendela. Begitu juga dengan Giri Paksi maupun Ni Tambun Tambak. Hanya dengan beberapa lesatan tubuh mereka sudah berada di depan pintu gedung.
Dua pasang jago tua itu langsung menghadapi orang-orang Mandra Loka. Para pengikut itu sesungguhnya anak buah Ki Tapak Kliwon. Makanya mereka tidak segan-segan lagi menghadapi tuan rumah Tapak Angin. Senjata mereka bermacam-macam, tapi yang jelas senjata itu dapat merobek perut bila mereka lengah.
Orang-orang Tapak Angin sendiri agak kewalahan menghadapi mereka. Meskipun mereka masingmasing menggunakan pedang. Untung saja majikan mereka turun tangan, Baik Mandra Loka maupun para pengikut Ki Tapak Kliwon masih bisa di tangani.
Benturan senjata mereka beradu berdentingan. Teriak-teriak penuh semangat menggelegar di sana sini. Peristiwa itu tidak ubahnya seperti sebuah pertempuran. Dalam pertempuran ini Mandra Loka sengaja melampiaskan kemarahannya. Dengan senjata pedangnya ia membabi buta berusaha menjatuhkan orang-orang Perguruan Tapak Angin.
Tentu saja Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak tidak akan membiarkan tindakan Mandra Loka. Sebagai ketua perguruan mereka tidak ingin semua anak muridnya jatuh di tangan musuh. Maka dengan kemurkaannya pula mereka berusaha menjatuhkan satu demi satu para pengikut Mandra Loka.
Sementara itu Buringan repot mengatasi para penyerang yang dipimpin oleh Murtiati. Seranganserangan Murtiati terhadap orang-orang perguruan Tapak Angin nampak aneh. Buringan dapat melihat sendiri kalau gadis itu setengah-setengah dalam penyerangan. Dan yang terlebih jelas lagi, Murtiati dalam keadaan menangis. Serangan-serangannya seperti ngambang tak tentu arah.
"Murtiati apa-apaan kau!" bentak Buringan. Hantamannya melayang menjatuhkan dua orang penghalang. Dua orang yang jatuh itu langsung disambut oleh orang-orang Tapak Angin. Sungguh mengerikan, kedua orang itu hancur bagai daging cincang.
"Kakang Buringan kau musuhku! Di antara kita harus ada yang mati!" sahut Murtiati. Air matanya masih deras mengalir.
"Kau sudah tidak waras, Murtiati!" Buringan melihat Murtiati semakin tidak menentu melancarkan serangan, sudah tentu orang-orang Tapak Angin semakin mudah mengepung dan membalas seranganserangan gadis itu.
"Biarkan dia...! Biarkan dia...!" perintah Buringan.
Mendengar perintah Buringan, orang-orang Tapak Angin jadi berbalik mundur.
Mereka kembali menghadapi para pengikut Murtiati yang sebenarnya anak buah Tapak Kliwon.
"Jangan perdulikan Murtiati! Hantam saja yang lainnya." Buringan melesat atas. Dalam keadaan masih di udara, tangannya berputar menghantami setiap kepala musuhnya sampai hancur berantakan.
Murtiati betul-betul tidak mendapatkan lawan. Orang-orang Tapak Angin tak ada yang meladeninya. Hal ini membuat Murtiati kesal. Di tengah-tengah pertempuran, Murtiati seperti putus asa. Ia membiarkan dirinya jatuh bersimpuh di atas tanah, ia tidak tahu mesti berbuat apa. Di hadapan Buringan yang tengah menghadapi musuh, Murtiati menangis mengutuki dirinya.
Melihat Murtiati duduk bergetar bersimpuh di tanah, Mandra Loka mengira gadis itu terluka. Maka dengan cepat ia menghindar dari serangan Giri Paksi. Lalu lesatan tubuhnya menjurus pada Murtiati. Giri Paksi tidak mengejar. Karena masih banyak para pengikut Mandra Loka yang menghalangi.
Entah sudah berapa orang yang bergelimpangan di tanah. Namun dari pihak perguruan Tapak Angin lebih banyak orang yang jatuh. Ni Tambun Tambak sendiri tidak tahu berapa orang yang sudah tewas di tangannya.
Sebentar-sebentar pula ia melirik pada gadis Murtiati.
Mandra Loka menjadi marah melihat Murtiati malah menangisi dirinya. Serta merta ia memaki.
"Kau betul-betul pengkhianat, Murtiati. Kita sudah berhadapan dengan penghalang-penghalang partai kita. Kenapa masih berdiam diri! dasar perempuan laknat!" bentak Mandra Loka tak kepalang. Cepat Murtiati mengangkat wajahnya membalas tatapan murka Mandra Loka. Dengan nafas yang memburu serta geram ia meraih sebilah pedang yang tergeletak di tanah. Saat Murtiati menghunuskan pedang itu, Mandra Loka melangkah mundur. Ia mengira adik perempuannya itu akan menyerang dirinya. Tapi ternyata tidak. Dengan teriakan yang menggelegar gadis itu melesat sambil membabatkan pedang. Murtiati membabat satu persatu para pengikutnya sendiri.
Semua itu di luar dugaan. Para pengikut Ki Tapak Kliwon tidak akan menyangka kalau akan mendapat serangan dari Murtiati. Bahkan banyak di antara mereka yang tewas secara mengerikan. Sambaran pedangnya selalu menjatuhkan korban. Orang-orang Perguruan Tapak Angin sendiri jadi tidak mengerti.
Saat Murtiati berada di pihak Tapak Angin, para penyerang dari aliran sesat drastis berkurang dan hampir habis.
Kekuatan Perguruan Tapak Angin makin meningkat. Para penyerang itu dibuat kalang kabut. Tapi justru sisa-sisa orang itu Murtiati yang membereskannya.
"Cah Ayu.... Apa kau tidak salah tindak!" ujar Giri Paksi.
"Hus! Syukurlah kalau dia mulai sadar. Namanya juga calon mantu!" bentak Ni Tambun Tambak. Kedua majikan Tapak Angin sudah berdiam diri. Sudah tidak ada lagi musuh. Musuh yang terakhir ini bergelimpangan jatuh oleh sambaran pedang Murtiati.
"Ayah pasti akan menghancurkan batok kepalamu, Murtiati! Kau keparat!" teriak Mandra Loka. Tinggal dia sendiri terkepung oleh pasukan Buringan. Murtiati tidak peduli dengan teriakan-teriakan Mandra Loka, malah sekarang gadis itu nampak bersujud di hadapan Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak.
"Paman.... Bibi.... Sengkala Getih memang ayahku, tapi saat ini aku betul-betul memohon perlindunganmu." sembah Murtiati.
"Kau calon menantuku. Sudah semestinya kau ku lindungi, Cah Ayu. Biar nanti Sengkala Getih itu kuhajar adat!" jawab Ni Tambun Tambak. Dia menarik tubuh Murtiati bangkit berdiri. Lalu ketiganya memandang ke arah pertempuran Buringan.
Para murid Tapak Angin yang masih siaga berhamburan mengepung Mandra Loka. Tapi Giri Paksi segera memberi aba-aba, agar membiarkan Buringan sendiri menghadapi Mandra Loka. Anak lelaki si Sengkala Getih itu tidak merasa gentar walau dirinya tinggal sendiri. Ia nampak mulai mengeluarkan jurusjurus andalannya.
"Tempo hari aku masih mengampunimu, Buringan. Sekarang kau bakal mampus!" hardik Mandra Loka. Kedua lengannya merentang lebar. Hampir saja kedua lengannya menyabet kepala Buringan. Cepat ia menepis hantaman itu.
"Pukulanmu cukup kuat untuk mengantarku ke neraka!" jawab Buringan. Sebelah lengannya membalas serangan. Saat itu pun Mandra Loka melancarkan tinju yang sangat keras, maka kedua hantaman mereka beradu nyaring.
Sampai pada jurus yang kelima keduanya sama-sama melesat ke atas. Tubuh Buringan melintir bagai gasing. Masih berada di udara Mandra Loka melepaskan dua pukulan berturut-turut. Tapi mendadak malah Mandra Loka sendiri yang terbanting ke tanah. Dadanya sesak seperti remuk. Rupanya Buringan telah melancarkan serangan lebih dulu terhadap Mandra Loka. Laki-laki itu cepat bangkit menyambut. Buringan yang sudah hinggap di tanah terpaksa menghentakkan kakinya lagi.
Maka saat hantaman serta tendangan datang memburu, Buringan terus salto ke belakang berkalikali. Susah payah Mandra Loka mengejar. Mengetahui penyerangnya sudah kehabisan nafas. Buringan sengaja berdiri menghadapi hantaman-hantaman Mandra Loka. Dia sudah memperhitungkan kalau semua pukulan Mandra Loka sudah tidak bertenaga penuh lagi.
"Des...! Des...! Des...!" Tiga kali berturut-turut hantaman Mandra Loka mendarat di dada Buringan. namun pemuda Buringan tetap tegar menerima tanpa mengelak. Tapi sekali Buringan melepaskan hantaman yang sama berturut sebanyak tiga kali.
"Des...! Des...! Des...!" Mandra Loka mental tidak kepalang. Mulutnya menyembur darah.
"Itu balasan atas perlakuanmu tempo hari!" Buringan menatap Mandra Loka bangkit, langkahnya sudah sempoyongan. Namun ia tetap memaksakan diri menerjang Buringan.
"Lebih baik mati daripada kau hina seperti ini! Heaaaa!"
"Keras kepala...!" bentak Buringan. Terjangan Mandra Loka makin deras mengarah. Tenang sekali Buringan melepaskan tendangan ke bagian perut. Langkah Mandra Loka terhenti. Mulutnya menyembur darah lagi. Kedua matanya mendelik menakutkan.
"Aku sudah berjanji pada ayahku untuk menyeretmu ke bawah telapak kakinya, Mandra Loka." Sambil berkata demikian Buringan melancarkan tendangan memutar.
"Deeeer...!"
Tepat sekali menghantam muka. Kontan Mandra Loka terpelanting bergulingan. Tubuhnya berhenti tepat di hadapan Giri Paksi yang sejak tadi menyaksikan pertarungan mereka.
"Kakang...!" Murtiati memekik. Gadis itu merasa tidak tega melihat Mandra Loka berlumuran darah. Saat Murtiati memeluknya, Mandra Loka mengelak. Ia mendorong Murtiati seraya bangkit meskipun seloyongan. Ia memandang jijik terhadap Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak. Kedua orang itu tersenyum ramah.
"Sadarlah, Mandra Loka. Partai kami selalu terbuka bagi orang-orang tersesat." kata Giri Paksi. Tapi Mandra Loka seakan tidak perduli dengan nasehat itu. Merasa tidak mampu melancarkan serangan, Mandra Loka menggertak.
"Nyawa orang-orang Perguruan Tapak Angin sebentar lagi akan pindah ke akherat! Siapa yang sudi bergabung dengan kalian? Kalian pikir orang-orang aliran lurus cukup hebat?" Mandra Loka berdiri lunglai. Sikapnya menantang, lalu....
"Aku sudah berada di hadapanmu, Paksi. Kalau mau bunuh, silahkan turun tangan!" Mandra Loka menatap tajam majikan Tapak Angin. Giri Paksi mengumbar senyum sambil menggeleng.
"Pantang bagi kami menyakiti lawan yang sudah tak berdaya, Mandra Loka. Pulanglah.... Dan katakan pada Sengkala Getih ayahmu, aku akan datang bebesanan!" Mendengar ucapan Giri Paksi, Murtiati tertunduk.
Bagi Mandra Loka ucapan Giri Paksi adalah suatu penghinaan. Maka setelah buang ludah ke tanah ia berbalik menyingkir. Langkah-langkahnya lunglai. Baru saja berjalan kurang lebih sepuluh meter, tubuhnya ambruk lagi lalu bangun meneruskan kepergiannya.
"Bagaimana aliran sesat dapat bertahan? Kalau berjalan saja harus merayap seperti anjing!" gurau Buringan. Bukan main gusarnya Mandra Loka. Namun apa daya, keadaannya sudah tidak memungkinkan dalam mengumbar amarahnya. Mandra Loka hanya menggerutu dalam hati berlapiskan dendam yang sangat dalam.
Saat itu Wintara memandangi mereka dari balik jendela. Di sampingnya telah berdiri Rambi Somat dan Tanjung Lodaya. Mereka juga memandangi orangorang Tapak Angin mulai bangkit memegangi lukaluka mereka. Beberapa di antaranya ada yang harus terpaksa dibantu berdiri karena mengalami luka-luka berat. Untung saja tidak ada korban nyawa.
Belasan pengikut dari aliran sesat bergelimpangan mengerikan tanpa nyawa. Darah berceceran di sekitar halaman gedung. Nampak Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak menggiring Murtiati masuk ke dalam gedung. Wintara terpaksa memapah dua kakak beradik itu untuk menyambut mereka.

*
* *



--¦::: « 9 » :::¦--

Ki Tapak Kliwon dan Sengkala Getih berlari ke luar gedung ketika melihat Mandra Loka berjalan tersaruk-saruk menemui mereka. Pakaiannya telah penuh darah, serta mukanya biru memar. Tentu saja kedatangannya yang mengejutkan itu sangat mengecewakan dua tokoh aliran sesat ini. lebih-lebih Ki Tapak Kliwon. Ia memandang tajam saat Mandra Loka jatuh bangun di hadapan mereka.
Mereka sudah menduga kalau Mandra Loka telah gagal menyerang Perguruan Tapak Angin. Makanya Ki Tapak Kliwon cepat menghardik. Karena belasan anak buahnya tidak kembali bersama Mandra Loka. Sengkala Getih menarik anaknya bangkit.
"Perguruan Tapak Angin salah satu perguruan yang tidak boleh dianggap enteng, Ki Tapak Kliwon. Mereka musuh kita yang paling kuat." kata Sengkala Getih. Kata-katanya itu bermaksud agar laki-laki tua berambut putih menyadari kekuatan musuh dan tidak menyalahkan Mandra Loka.
"Sama sekali bukan, Ayah. Semua di luar dugaanku. Tiba-tiba saja Murtiati memihak pada mereka. Semua anak buah Ki Tapak Kliwon malah habis dibantai oleh pengkhianat jalang itu!" tutur Mandra Loka. Suaranya lantang. Ki Tapak Kliwon maupun Sengkala Getih membelalakkan mata demi mendengar penjelasan Mandra Loka.
"Keparat!" Ki Tapak Kliwon menggeram. Ia tidak bisa menguasai diri. Reflek pula ia mencengkeram kerah baju Mandra Loka. Sengkala Getih tidak berani menghalangi.
"Kenapa kau biarkan hidup perempuan bangsat itu! Hah!" Tanpa bisa dielakkan, Ki Tapak Kliwon melempar tubuh Mandra loka. Sudah tentu Sengkala Getih tidak akan membiarkan anaknya terluka lagi. Maka ia pun segera menyambar sebelum Mandra Loka terbanting ke tanah.
"Kenapa harus mengumbar amarah pada Mandra Loka, Ki Tapak Kliwon? Bukankah itu salahmu sendiri? Dia terluka parah begini justru karena bertindak sendirian. Kalau mau menjatuhkan hukuman terhadap putri ku, silahkan. Aku rela kehilangan seorang anak!" Sengkala Getih membela diri. Ki Tapak Kliwon tidak dapat mengatasi kemarahannya.
"Kau memang tidak becus mengurus anak, Sengkala Getih. Sia-sia usahamu selama ini. Kalau bisanya cuma mendidik seekor anjing pengecut dan pengkhianat. Apapula diri ayahnya yang sebenarnya?"
"Ki Tapak Kliwon, jangan bicara yang bukanbukan!" bantah Sengkala Getih.
"Akupun sama murkanya seperti kau terhadap orang-orang Perguruan Tapak Angin. Di hadapanmu aku berjanji akan menghancur leburkan perguruan itu!" Sengkala Getih berdiri di hadapan Mandra Loka.
"Percuma! Kau pikir aku tak dapat bertindak sendiri? Minggirlah, Sengkala Getih. Aku pantang melihat seorang pengecut!" Tapak Kliwon bersiap-siap melancarkan serangan. Yang pasti serangan itu diarahkan pada Mandra Loka.
"Tidak, Ki. Kau tidak boleh membunuhnya. Mandra Loka sudah bertindak semampunya." jawab Sengkala Getih.
"Kalau begitu kali ini aku harus membunuh dua orang pengecut sekaligus!" hardik Ki Tapak Kliwon.
Mengetahui situasi yang runcing itu, semua anak buah Sengkala Getih yang berjumlah dua belas orang langsung berdatangan. Mereka berjaga-jaga dan siap pula melindungi majikannya. Namun Sengkala Getih segera memberi aba-aba agar mereka semua mundur. Tapi bagi Ki Tapak Kliwon, ia tidak perduli dengan dua belas orang anak buah Sengkala Getih.
Tanpa perduli pula Ki Tapak Kliwon mulai mengeluarkan kembang-kembang jurus yang sangat aneh. Dua lengannya bergulung-gulung seperti menghimpun tenaga. Melihat itu pun diam-diam Sengkala Getih bersiap-siap pula. Kedua matanya terus mengawasi gerak gerik Ki Tapak Kliwon. Dan saat kedua lengan Ki Tapak Kliwon menghantam, Sengkala Getih membarengi dengan hantamannya. Maka dua hantaman dahsyat beradu nyaring. Tenaga yang dilancarkan oleh mereka tidak tanggungtanggung. Sengkala Getih sengaja mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Karena ia tahu Ki Tapak Kliwon memiliki kehebatan yang jauh beberapa tingkat darinya.
Maka ketika hantaman mereka membentur, Sengkala Getih terdorong mundur seloyongan bersama tubuh Mandra Loka. Sedangkan Ki Tapak Kliwon hanya mundur tiga langkah ke belakang. Dan siap melancarkan serangan lagi. Saat itu pun semua anak buah Sengkala Getih yang tadi mundur, kini berdatangan lagi mengurung.
Hanya dengan kibasan sebelah lengannya saja tiga orang anak buah Sengkala Getih terjungkal tak berkutik. Yang lain tidak gentar menghadapi Ki Tapak Kliwon. Mereka setia melindungi majikannya. Meskipun harus tewas di tangan laki-laki berambut putih.
Hantaman-hantaman Ki Tapak Kliwon memang selalu tepat menjatuhkan para penghalangnya, namun Sengkala Getih sendiri tidak tinggal diam melihat anak buahnya jatuh satu demi satu. Setelah membawa Mandra Loka ke tempat yang aman, Sengkala Getih datang menggempur Ki Tapak Kliwon. Hantamannya langsung diarahkan kuat-kuat.
Bagi Ki Tapak Kliwon yang sangat tangguh itu sama sekali bukan masalah. Hantaman-hantaman Sengkala Getih dapat di hindari begitu saja. Hal itu pula membuat Sengkala Getih makin penasaran. Maka ia terus melepaskan serangan lebih gencar. Menghadapi amukan itu Ki Tapak Kliwon mulai kelabakan. Sudah repot menangkis hantaman-hantaman itu. Dari arah belakang anak buah Sengkala Getih serempak membabatkan pedang. Sudah tentu serangan-serangan itu amat sulit dihindari. Makanya laki-laki tua berambut putih itu cepat mendorong kedua tinjunya ke depan. Menghadapi hantaman yang sangat mendadak Sengkala Getih agak tersentak. Ia hanya sempat menepis salah satu tinju Ki Tapak Kliwon, sedangkan tinju lainnya masuk mengenai tenggorokan Sengkala Getih.
Setelah itu pula Ki Tapak Kliwon salto ke depan menghindari babatan-babatan pedang.
Para anak buah Sengkala Getih terus mencecar gerakan-gerakan laki-laki berambut putih itu.
Tapi mendadak saja mereka berpentalan bagai sebuah gunung meletus. Mereka terbanting bergulingan, semuanya menyemburkan darah dari mulut. Ada yang langsung tewas seketika karena terlempar membentur batang pohon. Rupanya saat Ki Tapak Kliwon bersalto, ia sempat menarik keris buntung dari pinggangnya dan langsung memutar. Maka muncullah badai angin yang sangat dahsyat.
Sengkala Getih sendiri setengah mati menghadapinya. Kalau hanya badai angin Sengkala Getih masih sanggup bertahan. Dalam keadaan itu pula Sengkala Getih melihat tubuh Mandra Loka ikut terhempas bagai segumpal kapas. Apalagi saat Ki Tapak Kliwon memutar kerisnya kuat-kuat. Apa pun yang ada di sekitarnya berderak hancur beterbangan.
Kalau Sengkala Getih kurang konsentrasi dalam menghadapi badai angin tersebut, mungkin dirinya pun mengalami nasib yang sama seperti dengan para pengikutnya. Sekarang pun ia merasakan seluruh rambut serta pakaiannya hendak lepas dari tubuhnya. Ki Tapak Kliwon tertawa menggelegak melihat Sengkala Getih mulai terdorong sedikit demi sedikit.
"Ha-ha-ha-ha-ha. Pantas kau berani menghadapiku. Ternyata diam-diam pun kau memiliki ilmu Penangkal Badai Angin!" bentak Ki Tapak Kliwon memutar keris buntungnya. Para anak buah Sengkala Getih entah ke mana mencelatnya.
"Ki Tapak Kliwon! Kita masih bisa berdamai! Tidak semestinya kau bertindak seperti ini!" jawab Sengkala Getih, ia mulai menyadari kalau dirinya tidak mungkin bisa menghadapi amukan keris buntung.
"Anjing! Mau coba-coba menjilat? Mana pantas sikap demikian dapat berdiri pada pihak aliran sesat. Sebaiknya cepat saja merat ke akherat!" hardik Ki Tapak Kliwon. Lengannya yang menggenggam keris buntung berkelebat menghantam.
"Bweeet...!" Maka....
"Deeeerr. !"
Dari ujung keris buntung itu seperti keluar sinar biru menjurus. Sinar itu tepat menghantam ke tubuh Sengkala Getih yang masih berdiri bertahan dari badai angin. Karuan saja Sengkala Getih tidak dapat menghindar. Hantaman itu mendera di tubuhnya bagai gempuran sepasukan prajurit. Tak urung tubuh Sengkala Getih mencelat. Mulut serta hidungnya mengucurkan darah.
Tapi ia masih bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya. Dalam keadaan mencelat itu nampak Sengkala Getih seperti hanya terhuyung. Sengkala Getih sengaja mengatur agar tubuhnya mendarat tepat di samping Mandra Loka. Anaknya itu sudah lemas tak berkutik.
"Bagus berdirilah berdampingan. Maka dengan sekali bantam kalian akan mati bersama sekaligus!" ujar Ki Tapak Kliwon. Sengkala Getih menatap tidak berkedip, ia menghapus darah yang menghambur di sekitar mulut dan hidung dengan lengannya.
Nampak Ki Tapak Kliwon memutar kerisnya lagi. Maka datang lagi badai angin dengan disertai tawa Ki Tapak Kliwon membahana. Sengkala Getih cepat memegangi tubuh Mandra Loka. Dilihatnya pula lakilaki berambut putih itu siap mengarahkan keris buntung. Mengetahui kedahsyatan hantaman keris buntung, maka sebelum hantaman itu mendarat ke arahnya, Sengkala Getih cepat melesat membawa tubuh Mandra Loka.
Dengan begitu melesetlah hantaman tenaga dahsyat keris buntung. Ki Tapak Kliwon menggeram marah. Sengkala Getih dan Mandra Loka telah jauh melarikan diri. Dengan mengandalkan kesaktian keris buntung Ki Tapak Kliwon berlari mengejar mereka.
Hantaman-hantaman keris buntung terus mencecar ke mana pun Sengkala Getih bersama putranya melarikan diri. Hantaman-hantaman itu selalu meleset dan membledar di atas permukaan jalan yang dilalui buruannya. Sengkala Getih sendiri harus mengerahkan kecepatan larinya dari serangan Ki Tapak Kliwon yang membuntuti mereka di belakang.

* * *



Hamparan karang yang luas ditumbuhi pohonpohon besar nampak sunyi sepi. Jauh dari situ berdiri sebuah Perguruan Tapak Angin. Pintu gerbang perguruan itu tertutup rapat tidak seperti biasanya. Tidak terdengar suara-suara teriak penuh semangat latihan murid-murid Perguruan Tapak Angin.
Semua penghuninya pergi meninggalkan tempat itu. Mereka tahu orang-orang Sengkala Getih bersama seorang tokoh yang memiliki keris buntung bakal datang menyerang. Demi menyelamatkan semua murid-muridnya, Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak memerintahkan mereka agar menyingkir untuk sementara.
Tentunya Rambi Somat dan Tanjung Lodaya yang masih dalam keadaan terluka itu juga turut mengungsi. Dua putra Giri Paksi itu belum cukup kuat untuk menghadapi serangan orang-orang Sengkala Getih. Sehingga dalam menghadapi serangan-serangan itu nanti terpaksa Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak yang turun tangan.
Selain Buringan, Wintara dan Murtiati ikut membantu pertahanan majikan Tapak Angin. Kini mereka semua berada di balik rimbunnya dedaunan. Dari atas pohon itu mereka bisa melihat situasi dengan leluasa. Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak bersembunyi pada pohon yang lain. Keduanya mengawasi terus sepanjang jalan satu-satu yang pasti dilalui bila ada penyerangan.
Sedangkan Wintara, Buringan dan Murtiati berada di atas pohon yang bersebrangan dengan di mana Giri Paksi bersembunyi. Ke lima orang itu bertekad akan menghadang. Mereka sengaja memilih arena pertarungan agak jauh dari perguruan. Sebab bagaimana pun orang yang memiliki Keris buntung Ki Srongot pasti datang pula menyerang, pikir mereka.
Ketika mendengar suara yang nyaring membledar berkali-kali, kelima orang itu saling pandang. Kemudian mereka mempertajam penglihatan mereka ke ujung jalan di bawahnya. Suara benturan-benturan yang bagaikan menghancurkan permukaan dataran karang itu menggema makin dekat.
Dalam pada itu mereka dapat melihat sosok kecil menggondol tubuh tak berdaya. Dari kejauhan sosok itu pontang panting berlari menghindar dari kejaran seseorang yang membuntuti di belakangnya, Terlihat pula saat orang di belakangnya itu menggerakkan lengannya selalu terdengar ledakan Dalam jarak yang masih sangat jauh itu Murtiati dapat meyakinkan kalau sosok yang lari pontang panting itu tidak lain Sengkala Getih membawa tubuh Mandra Loka. Memang benar, ketika mereka berlari hampir mendekati tempat persembunyian mereka, baru terlihat jelas.
Sengkala Getih setengah mati membawa tubuh Mandra Loka menghindari setiap sambaran keris buntung.

*
* *



--¦::: « 10 » :::¦--

Melihat itu pun Murtiati hampir memekik. Sudah pasti ayahnya, Sengkala Getih bersama Mandra Loka bakal tewas di tangan Ki Tapak Kliwon. Buringan berusaha agar Murtiati tetap tenang.
Di seberang sana di atas pohon yang lain Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak bukannya tidak mengenali pengejar yang selalu mengacung-ngacungkan keris buntung. Berdasarkan pengalaman yang sangat luas dalam dunia persilatan, kedua tokoh sakti majikan Tapak Angin cukup kenal dengan tokoh sesat yang satu ini.
Siapa yang tidak kenal dengan Ki Tapak Kliwon yang kerap kali malang melintang merecoki dunia persilatan. Dengan adanya Keris Buntung Ki Srongot di tangannya, pastilah Ki Tapak Kliwon salah satu keturunan Ki Srongot.
"Apa urusannya Ki Tapak Kliwon mengejar membabi buta begitu terhadap Sengkala Getih? Bukankah mereka berdiri dipihak yang sama?" balas Ni Tambun Tambak.
"Yang pasti mereka sedang kacau! begitulah orang-orang aliran sesat menyelesaikan persoalan. Dalam hal ini pun aku yakin mungkin juga dikarenakan Murtiati sekarang memihak kita." jawab Giri Paksi setengah berbisik.
"Kalau begitu kita harus menolong Sengkala Getih. Bagaimana kita bisa besanan kalau Sengkala Getih sampai tewas?" kata Ni Tambun Tambak lagi. Paksi tidak menjawab, ia mencibir ke arah istrinya.
Saat itu Sengkala Getih sudah berada di bawah mereka. Ia jatuh berguling bersama tubuh Mandra Loka. Dalam hal ini Mandra Loka masih sadar, hanya saja ia sudah terlalu parah. Sama beratnya dengan lukaluka sang ayah. Kedapatan Sengkala Getih terjatuh, Ki Tapak Kliwon tidak lagi berlari mengejar. Dengan melangkah pelan ia terus melangkah mendekati kedua orang ini. Keris buntungnya bergetar siap menghantam.
"Manusia tolol! Apa gunanya melarikan diri. Siapa pun tidak ada yang akan membantumu. Kalaupun ada, tentunya orang itu orang dungu." Ki Tapak Kliwon berkata sambil melangkah. Tangannya siap mengarahkan keris buntung.
"Nah! Mampuslah kalian sekarang Heaaaa!"
Keris itu bergerak cepat. Sedetik sebelum keris buntung menghantam mengeluarkan sinar kebiruan, melesat dua sosok tubuh dari atas pohon. Dua sosok tubuh itu langsung menyambar masing-masing tubuh Sengkala Getih dan Mandra Loka.
Dua sosok itu berhasil menyelamatkan mereka dari maut. Hantaman dahsyat keris buntung nyasar mengenai permukaan tanah yang hancur bagai gunung meledak. Benturan itu sangat nyaring. Kedua sosok penyelamat sampai merasakan getarannya.
Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak tersenyum mengangguk. Mereka melihat betapa hebatnya Wintara dan Buringan menyelamatkan Sengkala Getih dan Mandra Loka. Lain dengan Ki Tapak Kliwon. Begitu sadar ada yang menyelamatkan buruannya, ia menghardik.
"Bangsat! Berani ikut campur tangan denganku, berarti kalian cari mampus, Cecurut-cecurut busuk!" Ki Tapak Kliwon mendelik. Ia menatap garang pada Wintara maupun Buringan yang masih memegangi tubuh orang yang baru saja diselamatkannya.
"Dalam aliran sesat aku tidak pernah mengenali orang-orang semacam kalian! Pastilah kalian pentolanpentolan Perguruan Tapak Angin, Bagus! Cukup kuhargai keberanian kalian ini." Ki Tapak Kliwon meletakkan keris buntung tepat di antara matanya. Sebelah lengannya lagi merapat di atas dada. Nampaknya laki-laki berambut putih itu tengah membuka jurus. Saat itu pula orang-orang dari atas pohon berlompatan ke bawah. Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak langsung menempatkan diri di antara Wintara dan Buringan. Murtiati menyingkirkan Sengkala Getih dari tempat itu. Buringan mengikuti langkah Murtiati membawa tubuh Mandra Loka. Menatap kelima orang itu. Ki Tapak Kliwon menyeringai. Kemudian mengangkat keris buntung ke atas mengacung ke langit.
"Yang kudengar selentingan, bahwa seluruh perguruan aliran lurus akan menumpas semua partai aliran sesat. Mana lagi yang lain? Biarlah aku sendiri yang mewakili semua partai aliran sesat menghadapi kalian. Kalau kalian hanya berlima, percayalah kalian hanya mengantarkan nyawa!" ujar Ki Tapak Kliwon. Giri Paksi cepat menjawab:
"Belum waktunya, Ki Tapak Kliwon! Kami dari Perguruan Tapak Angin memang merasa sulit menghadapi partai-partai aliran sesat. Tapi berhubung sekarang kepalang berhadapan denganmu, apa salahnya jika kami terpaksa coba-coba mengukur kepandaian serta kehebatan keris buntung yang kau miliki itu?"
Ha-ha-ha-ha-ha...!" Ki Tapak Kliwon malah tertawa mendengar ucapan Giri Paksi. Janggut serta rambutnya yang putih sampai tergerak-gerak. Lalu...
"Boleh... boleh...! Hitung-hitung aku ingin tahu juga kehebatan majikan Tapak Angin yang kesohor ini!" Setelah berkata begitu mulutnya terkatup rapat. Sesaat kemudian Ki Tapak Kliwon memutar kerisnya di udara..
"Wuk...! Wuk...! Wuk...!" Seperti yang sudahsudah kita ketahui. Maka datanglah badai angin. Suaranya menderu-deru bergemuruh. Kerikil-kerikil karang beterbangan bagai tak punya bobot. Giri Paksi dan istrinya menghentakkan kedua kaki berbarengan. Maka keduanya dapat berdiri teguh menghadapi badai angin.
Wintara berdiri tenang dalam hempasan badai. Hanya rambut panjangnya yang berderai-derai. Ia sempat pula melirik ke belakang. Buringan yang tidak tahu datangnya badai angin itu mendadak terlempar. Begitu juga dengan Murtiati. Dengan keadaan menggondol ayahnya ia terlempar bergulingan. Di luar dugaan pula malah Sengkala Getih yang menguasai Murtiati dari hempasan badai.
Buringan menabrak sebatang pohon besar. Dalam kesempatan itu ia dapat berpegangan pada sebuah cabang yang terjuntai. Sebelah lengannya masih memegangi tangan Mandra Loka. Tubuh itu terombangambing dalam hempasan angin yang sangat dahsyat.
"Wuk...! Wuk...! Wuk...!"
Suara angin bergemuruh bersama derai mengekeh dari tokoh sakti berambut putih. Daun-daun yang masih hijau rontok berhamburan. Tubuh Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak bergetar hebat menguasai dirinya. Matanya terus tertuju pada keris buntung. Mereka khawatir kalau-kalau Ki Tapak Kliwon mengerahkan hantaman yang paling mereka takuti.
Wintara yang berada di samping mereka. Tetap tenang. Hal itu pula membuat dua pasangan tokoh dari Tapak Angin mengernyitkan alls. Tentu saja mereka merasa heran. Mereka saja berdua hampir tidak mampu menghadapi hempasan badai, tapi Wintara yang masih terbilang sangat muda belia mampu berdiri tenang. Tidak nampak tanda-tanda pada Wintara kalau berusaha keras seperti kedua majikan Tapak Angin ini.
"Bet...! Beeet...! Beeeet...!"
Mendadak kedua telapak tangan Wintara mengepak-ngepak ke depan. Lalu dengan sekuat tenaga ia mendorong.
"Blaaaar...!"
Terdengar seperti benturan nyaring. Ki Tapak Kliwon tersentak. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Ia merasakan dorongan tenaga dalam yang sangat keras. Genggaman keris buntung bergetar hebat.
Mungkin ini yang dinamakan jurus 'Bayu Menghempas Gelombang' pikir Wintara. Hantaman itu sangat ampuh. Mampu menghentikan angin badai yang begitu dahsyatnya. Merasa diremehkan oleh seorang pemuda yang masih bau kencur. Ki Tapak Kliwon memutar keris buntungnya lebih cepat.
"Wuuuk...!" Kedahsyatan badai angin itu berlipat ganda. Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak sampai bergeser ke belakang. Bekas tapak kaki mereka menggores pada permukaan tanah berkarang. Namun....
"Bledaaar...!" Kembali Wintara melancarkan hantaman yang sama. Dua-duanya baik Ki Tapak Kliwon maupun Wintara sampai terlempar berlawanan. Seketika itu juga badai angin perlahan mereda. Giri Paksi dan istrinya tidak percaya dengan apa yang diperbuat Wintara. Ki Tapak Kliwon sendiri terkesiap murka. Maka sasaran utamanya adalah Wintara yang kini sudah bersiap dengan pukulan 'Bayu Menghantam Karang'. Sebab ia tahu pasti lawannya akan menghantam menggunakan keris buntungnya.
Dugaan Wintara sangat tepat. Ki Tapak Kliwon mengibaskan sambaran keris buntung. Saat itu Wintara belum sempat membuka jurusnya. Tanpa bisa dihindari lagi, sinar kebiruan menderu di tubuh Wintara. Ni Tambun Tambak memekik melihat tubuh Wintara terlontar dalam keadaan berdiri dan menyemburkan darah.
Pendekar Kelana Sakti itu sendiri duduk bersimpuh seperti kehabisan tenaga.
Wintara mencoba mengeluarkan jurus lain yang disebut jurus 'Selaksa Bayu Penjerat Nadi'.
Tepat sewaktu Ki Tapak Kliwon menggerakkan keris buntungnya, Wintara mengeluarkan jurus 'Selaksa Bayu Penjerat Nadi'.
Jurus itu tepat menghantam tubuh Ki Tapak Kliwon dan mengakibatkan tubuhnya diam beberapa saat.
Tidak ada yang tahu kalau pengaruh jurus 'Selaksa Bayu Penjerat Nadi' hanya dapat menghentikan gerak seseorang beberapa saat. Setelah pengaruh itu benar-benar habis, nampak Ki Tapak Kliwon bergerak hebat. Ia telah menyadari kalau keris buntungnya sudah terlepas dari genggaman. Maka setelah laki-laki tua berambut putih itu telah terbebas dari pengaruh pukulan 'Selaksa Bayu Penjerat Nadi' ia menggeram hebat.
Di luar dugaan kedua lengannya mengepal erat. Dengan disertai teriakan yang menggelegar kedua tinjunya_ melayang mengarah pada batok kepala Wintara yang masih duduk mengatur pernafasan. Dalam kesempatan yang hanya satu detik itu, Sengkala Getih menepis hantaman Ki Tapak Kliwon.... Benturan itu membledar di atas kepala Wintara.
Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak datang pula. Mereka bermaksud akan menyingkirkan Wintara dari situ. Namun tendangan Ki Tapak Kliwon menghalangi langkah mereka. Seketika itu juga terdengar bentakan nyaring yang keluar dari mulut Wintara. Keadaan yang masih terduduk itu, Wintara memutar lengannya. Nampak jelas lengan itu bergulung-gulung. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat kedua telapak tangannya menghantam.
"Deeeer...!"
Ki Tapak Kliwon memekik nyaring. Tubuhnya langsung ambruk celentang di tanah. Wintara sendiri tidak tahu, entah jurus apa yang barusan ia keluarkan. Yang dia lakukan hanyalah melepaskan jurus terakhir yang dia miliki. Mungkin juga itu jurus 'Tinju Bayu Delapan Penjuru'. Sebutan jurus andalan yang pernah dikuasai oleh tokoh maha sakti Eyang Buana Penangsang. Dari hantaman itu terlihat pula kedahsyatan jurus tersebut. Ki Tapak Kliwon tewas seketika dengan seluruh urat-urat daging menonjol ke luar. Wintara tetap duduk menghimpun tenaganya lagi. Keringatnya mengucur deras di sekujur tubuhnya. Sengkala Getih menatap tubuh Ki Tapak Kliwon yang terkapar mengerikan.
"Wintara. Rupamu sudah tidak karuan begini. Perlukah aku salurkan tenaga hawa murni untuk memulihkan kembali tenagamu?" sapa Giri Paksi. Wintara tidak menyahut. Saat Giri Paksi menyentuh punggung Wintara, terasa sekali hawa dingin menyelubungi seluruh tubuh pemuda ini. Ni Tambun Tambak dapat melihat keterkejutan suaminya.
"Aku tidak apa-apa, Paman. Sebentar lagi juga akan pulih dengan sendirinya. Bantu saja yang lain. Aku khawatir anak si Sengkala Getih itu tidak dapat bertahan." Tujuan kata-kata Wintara bermaksud pada Mandra Loka.
Giri Paksi maupun Ni Tambun Tambak tersenyum kecut memandang Mandra Loka berdiri lemas. Melirik pula mereka pada Buringan dan Murtiati berdiri berdampingan mulai melangkah mendekat ke arah mereka. Tapi ketika kedua majikan Perguruan Tapak Angin ini menoleh pada Sengkala Getih.
Dipandang seperti itu Sengkala Getih melangkah mundur gerak geriknya seperti membuka jurus. Wintara yang sudah berdiri itu juga mengira kalau Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak akan melancarkan serangan. Maka ia cepat melangkah berdiri di antara mereka.
"Kita masih punya urusan yang sangat penting, Sengkala Getih. Dan kita tidak bisa menunda-nunda lagi." kata Giri Paksi.
"Antara kita memang selalu berurusan. Tidak heran kalau aliran sesat dan lurus selalu bentrok. Tunggu apalagi?" Sengkala Getih bersiap-siap dengan jurusnya. Kedua majikan Perguruan Tapak Angin ini berbalik senyum.
"Tidak usah pentang jurus begitu, Sengkala Getih. Kalau mau menjatuhkan dirimu dari tadi aku sudah melakukannya. Apalagi sekarang kau sudah terluka parah. Kau tidak lebih seperti seekor lalat sekarat." Sahut Ni Tambun Tambak. Mendengar ucapan Wintara ingin tertawa. Karena ia sudah mengetahui maksud pembicaraan mereka.
"Lalu urusan apa yang akan kau katakan padaku?" Sengkala Getih makin bingung. Ia memandang bergantian pada mereka.
"Tidak baik bicara panjang lebar dalam keadaan seperti ini. Undang saja Paman Sengkala Getih ke perguruan. Di sana kalian akan leluasa saling tukar pikiran." ujar Wintara yang sudah dapat menangkap maksud kedua majikan Perguruan Tapak Angin.
"Tidak! Tidak bisa! Sebelum aku mengetahui rencana kalian, mana mungkin aku bisa ikut begitu saja terhadap kalian." jawab Sengkala Getih. Ni Tambun Tambak bertolak pinggang, lalu ia menunjuk ke arah Buringan dan Murtiati yang sejak tadi memandangi mereka.
"Tidakkah kau lihat anakmu itu? Tanpa sepengetahuan kita mereka berani memadu kasih. Kalau aku tidak pernah merasa muda mungkin sudah kuhajar si Buringan." Ni Tambun Tambak menggertak.
"Kau juga jadi tua bangka sangat bertele-tele. Katakan saja dengan singkat kalau kita akan melamar anaknya." sergah Giri Paksi.
Spontan Sengkala Getih menoleh pada Murtiati yang berdampingan berdiri. Murtiati cepat menunduk saat Sengkala Getih menatap. Nafas Sengkala Getih jadi lega. Ia tidak mengatakan, Ya atau Tidak. Kecuali diam.
"Setuju atau tidak, aku tetap membawa Murtiati untuk kujadikan menantuku." Ni Tambun Tambak bersikap galak. Lalu...
"Buringan! Bawa Murtiati ke perguruan. Biar aku yang mencarikan penghulu." Buringan menuruti perintah Ni Tambun Tambak. Keduanya melangkah jalan. Mandra Loka mengikuti dari belakang. Langkahnya yang lunglai selalu jatuh bangun tanpa ada yang membantu. 
Kemudian Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak berlalu meninggalkan Sengkala Getih yang masih berdiri mematung. Kedua majikan Perguruan Tapak Angin itu menyusul langkah-langkah Buringan.
Wintara tidak sampai hati meninggalkan Sengkala Getih sendirian. Lalu ia pun menarik lengan lakilaki itu untuk mengikuti mereka kembali ke perguruan.
Pesta pernikahan berlangsung meriah. Seluruh partai perguruan aliran lurus datang menghadiri. Mereka berdatangan memberi salam pada kedua mempelai, Buringan dan Murtiati. Pendek kata Perguruan Tapak Angin hampir penuh sesak oleh pentolanpentolan dari rimba persilatan.
Ni Tambun Tambak nampak menggiring semua tamu perempuan. Dia sengaja mengajak tamutamunya ke ruangan lain, sedangkan Giri Paksi tetap menghadapi golongan laki-laki. Giri Paksi didampingi oleh Sengkala Getih yang selalu mengumbar senyum salah tingkah.
Dalam pertemuan itu mereka ramai membicarakan tokoh sakti macam Ki Tapak Kliwon. Tidak putus-putusnya Sengkala Getih menjawab pertanyaanpertanyaan mengenai kehebatan Keris Buntung Ki Srongot.
"Demi menjaga keamanan, keris tersebut kami hancurkan. Itu pun melalui tangan si pemuda hebat, Wintara." sumbar Giri Paksi matanya mengarah ke sudut ruangan di mana tadi Wintara dan Mandra Loka berada. Namun saat itu juga dilihatnya hanya Mandra Loka yang nampak. Wintara sudah tidak ada di situ.
"Ah, sungguh sayang kalau pusaka begitu hebat dipunahkan. Kenapa tidak di urus saja olehmu, Giri Paksi?" ujar orang yang mengerubungi Giri Paksi. Laki-laki itu tidak menjawab, matanya terus mencaricari seorang pemuda yang tadi bersama Mandra Loka. Tetap nihil.
"Kalau keris buntung berada di tangan Giri Paksi, sudah pasti kita-kita yang akan menjadi musuhnya." Sengkala Getih terpaksa menjawab. Karena dilihatnya tuan rumah sibuk mencari-cari seseorang.
"Aku sendiri sudah kapok. Giri Paksi tidak boleh dianggap remeh." sambung Sengkala Getih.
Mendengar ucapan tokoh sesat yang mulai tobat ini semua orang jadi tertawa lebar. Mereka sudah merasakan kalau Sengkala Getih sekarang berada di pihak orang-orang aliran lurus. Demi mempererat hubungan itu pula Sengkala Getih harus 'dikerjai'. Dia harus mengulangi arak pada setiap gelas-gelas mereka kosong.
Saat itu Giri Paksi beranjak dari kursinya. Matanya terus memandang berkeliling mencari Wintara. Pemuda yang dicarinya itu tetap tidak ditemui. Sekalipun ia sudah berjalan ke luar. Musik gending mengalun mengisi keramaian pesta itu. Giri Paksi kembali ke dalam untuk menemui para tamunya. Sepanjang jalannya itu ia terus menggerutu.
"Pemuda hebat. Ia cepat merat saat aku mengetahui siapa sebenarnya. Dari mana ilmu yang sangat dahsyat itu kalau bukan Eyang Buana Penangsang mewarisi kepada Wintara. Rupanya dongeng yang kuceritakan pada anak-anakku menjadi kenyataan juga "

TAMAT



INDEX WINTARA
Dendam Jago Kembar --oo0oo Durjana Pemenggal Kepala
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.