Life is journey not a destinantion ...

Dendam Jago Kembar

INDEX WINTARA
Darah Perempuan Iblis --oo0oo Keris Buntung Ki Srongot

WINTARA
Pendekar Kelana Sakti
Karya : Buce L. Hadi

--¦::: « 1 » :::¦--

Ujung Kali Talang Hawu merupakan muara yang paling luas di Tanah Genang Banyu. Tidak heran kalau banyak kapal-kapal besar milik para saudagar yang bersandar di situ. Seperti sekarang ini, hampir seluruh pinggiran muara dipenuhi oleh kapal-kapal besar.
Para pekerja buruh angkut barang nampak giat mengangkut muatan, begitu juga dengan para nelayan yang baru pulang menangkap ikan. Suara-suara mereka sangat riuh. Karena hasil yang mereka bawa hari ini lebih dari cukup.
Kegembiraan itu sejak tadi telah menjadi perhatian beberapa orang yang berdiri seperti menunggu sesuatu pada sebuah pos. Orang-orang itu tersenyum mengangguk saat para nelayan itu lewat di hadapan mereka memberi salam. Semua orang merasa segan terhadap Adipati Rekayasa. Beliau salah seorang kepercayaan sri baginda. Apalagi beliau menjabat sebagai panglima tertinggi.
Pagi itu Adipati Rekayasa bersama seorang putranya berada pada keramaian bandar muara Kali Talang Hawu. Mereka dikawal oleh beberapa orang prajurit kerajaan. Mereka menatap tegang setiap melihat kapal-kapal yang berdatangan sandar di tempat itu. Terlebih-lebih putranya, Riwang. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Hal itu bukannya Adipati Rekayasa tidak mengetahui.
"Riwang, seharusnya kau merasa gembira menyambut kedatangan saudara kembarmu! Tidakkah kau merasa rindu terhadap Rawing? Selama sepuluh tahun kalian berpisah, entah seperti apa rupanya?" tegur Adipati Rekayasa. Mendengar ucapan sang ayah, Rawang agak tersentak.
"Bukannya aku tidak gembira, Ayah. Aku takut kedatangan Kakang Rawing malah akan membuat ayah bertambah pusing." jawab Riwang. Adipati Rekayasa tersenyum.
"Kalian sudah dewasa sekarang. Tidak mungkin kalian akan bertengkar terus seperti dulu. Semasa kecil, kalian memang selalu memusingkan ayah. Apalagi Rawing, wataknya yang keras dan ugal-ugalan hampir setiap hari membuat jengkel. Lain dengan kau. Tapi bagaimana pun kalian adalah anakanakku. Aku berharap selama sepuluh tahun ini Rawing dapat merubah pendiriannya." Riwang tidak menjawab. Karena telah dilihatnya sebuah kapal mulai merapat di pinggir muara. Adipati Rekayasa dan para pengawalnya ikut berdebar menanti para penumpangnya turun. Tapi ternyata kapal itu hanyalah pengangkut barang milik seorang saudagar dari tanah sebrang. Orang-orang yang turun dari kapal hanya beberapa pedagang yang akan berniaga di tanah Genang Hawu.
Kembali rombongan Adipati Rekayasa kecewa.

*
* *



Jauh di tengah Laut Jawa. Dua buah kapal besar dengan layar terkembang saling rapat. Dari kejauhan terdengar benturan senjata maupun teriakanteriakan orang mengerahkan tenaga. Terlihat pula beberapa awak kapal berjatuhan bersimbah darah menembus permukaan laut yang tenang membiru.
Tidak disangkal lagi. Dua buah kapal yang saling rapat itu telah terjadi suatu pertempuran sengit. Telah banyak mayat-mayat bergelimpangan penuh luka babatan pedang. Sebelah pihak dari mereka mengenakan seragam prajurit kerajaan. Mereka pula yang mendesak lawan-lawan yang tinggal beberapa orang itu.
Meskipun tinggal sembilan orang, mereka tidak gentar menghadapi kurang lebih dua puluh orang prajurit kerajaan. Walaupun mereka akhirnya mengantarkan nyawa satu demi satu. Para prajurit itu makin gigih tatkala jumlah lawannya makin berkurang.
Dentingan beradunya senjata mereka terdengar nyaring. Lima orang yang nampaknya memiliki kemampuan masih dapat bertahan. Bahkan mereka sempat menjatuhkan beberapa orang prajurit. Pedang mereka tidak henti-hentinya bergulung. Bersamaan dengan itu pula bergelimpangan. Ada. yang terlempar membentur tiang layar, adapula yang langsung nyemplung ke laut.
Melihat para prajurit itu tewas mengerikan, pemimpin dari prajurit-prajurit itu melompat menghadapi seorang lawan yang berilmu tinggi. Pedangnya langsung menyambar tanpa ampun. Tapi hanya dengan sekali tepis, pemimpin prajurit itu seperti kelabakan. 
"Kalian orang-orang kerajaan gadungan. Tindakan kalian tidak lebih macam perompak!" Penumpang kapal itu agak sengit. Pedangnya berdesing bagai segulungan sinar. Hampir saja pemimpin prajurit tersayat, sejak tadi pemuda ini memang dapat bertahan. Permainan pedangnya jauh dibandingkan dengan yang lain. Gerakannya yang nampak tenang menunjukkan bahwa pemuda itu salah satu lawan yang tidak mudah dilumpuhkan.
Pimpinan prajurit itu sendiri seperti tidak sabaran untuk menghabisi seluruh awak kapal itu. Cuma dia yang sanggup mengatasi perlawanan pemuda itu. Entah sudah berapa orang prajurit yang jatuh di tangannya. Tindakannya itu bukanlah menurut kehendaknya. Tapi justru ia membela diri dari serangan para prajurit yang mendadak datang menjegal perjalanan mereka.
"Melihat dari tampangmu, pastilah kau Rawing saudara kembar Riwang." Pimpinan prajurit itu garang membabat pedang. Pemuda yang satu-satunya dapat bertahan itu menghardik.
"Sudah tahu begitu kenapa masih juga menyerang! Tidak takutkah kau terhadap ayahku?" Pemuda itu ternyata Rawing. Seorang yang telah dinantikan oleh keluarganya di tepi muara.
"Kenapa harus takut terhadap Adipati Rekayasa? Kau pikir dia itu apa? Aku datang ke sini justru akan melumatkan mu!" jawab pimpinan prajurit. Gerakannya sangat lincah menggempur Rawing.
"Kalau begitu pastilah kau salah seorang pemberontak!" tukas Rawing. Pimpinan prajurit itu malah menyeringai. Babatan pedangnya berkelebat cepat. Rawing tidak sempat menangkis, tahu-tahu saja lengannya sudah mengucurkan darah. Bersamaan dengan itu pula prajurit-prajurit lain berdatangan membantu pemimpinnya.
Saat itu pun Rawing melirik ke arah pertempuran. Semua teman seperjalanannya telah tewas bergelimpangan. Kini tinggal Rawing sendiri. Dan sekarang para prajurit itu mengepung semua ke arahnya. Sedikit gugup Rawing menghadapi lawan yang demikian banyaknya. Apalagi Rawing telah terluka. Pimpinan prajurit itu tidak perlu lagi menyerang. Dia membiarkan semua anak buahnya melakukan perintahnya.
Begitu para prajurit itu maju serempak, Rawing menyambar pedangnya ke depan...
"Breeet!"
Tiga orang bergulingan. Tapi dari arah lain masih saja berdatangan belasan orang prajurit. Cepat pula Rawing menyabet ke belakang. Namun sambaran pedang yang begitu lambat membuat para penyerangnya itu mudah berjingkat mundur. Secepat itu pula Rawing berbalik ke belakang.
Dalam hal ini Rawing sudah kepalang tanggung. Menyerah atau tidak sama saja hasilnya. Pemimpin prajurit itu menghendaki kematiannya. Walaupun sebenarnya Rawing tidak tahu titik persoalan yang menyebabkan pasukan prajurit itu menyerang.
Adanya Rawing dalam kapal itu, semata-mata hanya penumpang biasa. Dia bermaksud akan kembali ke tanah kelahiran setelah sepuluh tahun ditinggalkannya. Ayahnya Adipati Rekayasa sengaja mengirim Rawing ke tanah Tapak Tuan pada seorang ulama. Dengan maksud agar Rawing memperdalam ilmu agama serta ilmu silat.
Tapi malang. Dalam perjalanan pulang kapalnya diserang oleh sekelompok orang-orang kerajaan. Hal itu pula yang menghambat perjalanannya. Rawing sendiri hampir kehabisan tenaga. Serangan-serangan prajurit yang serempak itu betul-betul tidak dapat dikuasainya.
"Terhadap ayahmu, aku kenal betul, Rawing! Terus terang aku iri padanya. Mungkin setelah beliau mampus aku bisa menggantikan kedudukannya...!" teriak pemimpin prajurit itu. Rawing yang mendengar ucapannya segera menghardik....
"Manusia licik! Dari tadi pun aku sudah curiga kalau serangan ini adalah atas kehendakmu sendiri! Kau akan dihukum pancung jika Sri baginda tahu!" Rawing melesat ke atas menjurus ke arah pemimpin pasukan itu. Namun seorang prajurit menghalangi terjangannya dengan babatan pedang. Bahkan dari arah lain beberapa prajurit berhasil melepaskan babatan pedang pada bagian punggung. Rawing berguling sambil memekik. Seluruh pakaiannya telah koyak dan bersimbah darah. Sekalipun ia sudah bangkit berdiri nampak seloyongan. Pandangannya nanar menatap pemimpin pasukan tertawa mengkekeh. Dan ia terkesiap saat tiga orang datang melancarkan serangan. Pedangnya bergerak menangkis serangan itu, tapi ia tidak bisa menghindari dua babatan pedang yang mengenai dadanya. Ditambah lagi sebuah hantaman yang mendorong keras...
"Deeer!". Tubuh Rawing mental membentur tiang layar. Dan terus meluncur ke luar sampai akhirnya nyemplung ke laut. Setelah melancarkan hantaman, pimpinan pasukan itu berlari ke pinggiran lambung. Dilihatnya permukaan laut memerah bercampur darah. Sedangkan tubuh Rawing tenggelam entah ke mana.
Sisa-sisa prajurit itu meluruk mendekati pemimpinnya yang masih berdiri menatap puas tenggelamnya tubuh Rawing.
"Tulang punggung Adipati Rekayasa sudah binasa. Tuan ku Dwipa Kuntar bisa melanjutkan rencana berikutnya." kata salah seorang prajurit. Jelas perkataan itu ditujukan pada pemimpinnya.
"Hm... Memusnahkan Adipati Rekayasa sama mudahnya dengan mengedipkan mata. Cepat atau lambat kita bakal menguasai tanah Genang Banyu. Ayo kita kembali ke kapal. Biarkan saja kapal ini melaju tanpa terkendali ke muara!" jawab pemimpin mereka yang ternyata bernama: Dwipa Kuntar. Setelah itu pun ia melompat pada sebuah kapal yang sedari tadi rapat dengan tempat di mana mereka bertempur.
Anak buahnya yang tinggal belasan orang itu mengikuti gerakan Dwipa Kuntar. Mereka berebutan melompat menyebrang dan hinggap pada kapal mereka. Sebagian mengangkut mayat-mayat prajurit. Memindahkan ke kapalnya. Hal itu merupakan suatu tindakan menghilangkan jejak.
Setelah itu kapal kerajaan mulai berangkat meninggalkan kapal yang telah banyak bergelimpangan mayat-mayat penumpang. Kapal kosong itu tetap melaju meski tanpa berpenumpang. Layar yang terkembang itu tertiup angin yang membawa kapal itu melaju ke muara.

*
* *



Sudah setengah harian penuh rombongan Adipati Rekayasa berdiri menanti..... datangnya sebuah kapal. Beberapa pengawalnya diperintahkan agar berdiri berjaga-jaga di pinggiran muara. Suasana siang itu memang telah sepi, meskipun kapal-kapal besar berderet memenuhi pinggiran sepanjang muara. Tidak ada lagi para bum yang tengah bekerja. Kecuali para pelayan yang sedang membetulkan alat penangkap ikan mereka.
Para pengawal Adipati Rekayasa mengawasi terus ke arah laut lepas, dan berharap akan menemukan sebuah kapal yang bakal datang bersandar. Namun yang mereka nanti-nantikan belum muncul juga. Mereka hampir putus asa. Dan tidak ada harapan lagi ada sebuah kapal yang datang bersandar di muara itu. Keringat telah mengucur dari pelipis Adipati Rekayasa, Riwang putranya yang berdiri menemani di samping ayahnya sudah tidak karuan lagi. Pakaiannya yang tadi pagi nampak rapi kini kusut semerawut Dia sudah mengira saudara kembarnya tidak datang pada hari ini. Juga dia sudah memberi keputusan pada ayahnya agar mereka kembali pulang, karena Rawing tidak mungkin datang sekarang. Namun Adipati Rekayasa tetap bertahan dan ingin menanti terus. Ternyata harapannya belum pupus benar, karena....
"Ada kapal datang...! Ada kapal datang!" Beberapa para pengawal Adipati Rekayasa berteriak-teriak. Mendengar teriakan itu Adipati Rekayasa sendiri langsung berlari ke arah pinggiran muara di mana banyak kapal-kapal bersandar.
"Tuanku Adipati Rekayasa, kami melihat kapal datang ke sini" kata seorang pengawal ketika Adipati Rekayasa melangkah menatap sebuah kapal yang makin lama makin dekat. Riwang berlari mendekati ayahnya.

* * *



--¦::: « 2 » :::¦--

Mereka tidak percaya dengan penglihatan mereka sendiri. Karena kapal yang dinanti-nantikan itu melaju tanpa terkendali. Begitu kapal tersebut menepi, kapal itu menabrak kapal-kapal yang lain bersandar. Beberapa kapal yang ada di situ berguncang. Beberapa pengawal yang berdiri di sekitar situ berlari mundur.
Benturan itu demikian dahsyat. Ada suara berderak seperti papan lambung yang patah. Setelah keadaan cukup tenang. Tempat itu menjadi ramai. Para nelayan dan para awak kapal yang tengah beristirahat memenuhi tempat itu. Tapi karena Adipati Rekayasa berada di situ, mereka tetap tenang. Mereka hanya menatap menyaksikan kapal tanpa ada yang berani mengeluarkan sepatah kata pun.
Lama sekali mereka menanti para penumpangnya turun. Sampai-sampai Adipati Rekayasa sendiri yang memerintahkan beberapa pengawalnya untuk naik memeriksa. Maka setelah kapal tersebut betulbetul menepi ke pinggir beberapa pengawal Adipati Rekayasa naik ke atas kapal. Baru saja mereka menginjakkan kakinya di geladak, mereka terkejut setengah mati. Karena yang mereka lihat hanyalah mayat-mayat yang bergelimpangan di sana sini. Serta keadaan yang semerawut.
"Tuan ku Adipati Rekayasa, semua penumpang kapal ini tewas!" Seseorang melapor dari atas kapal dengan suara lantang.
"Apa? Bicara yang betul, Pengawal!" Adipati Rekayasa seakan tidak percaya dengan laporan itu, maka ia sendiri langsung melesat ke atas. Hanya tiga kali berjumpalitan di udara Adipati Rekayasa sudah dapat menginjakkan kakinya di antara para pengawal. Ia pun tidak sanggup mengeluarkan kata-kata setelah berada di situ. Semua laporan pengawalnya benar. Mata kepalanya sendiri menyaksikan belasan mayat bergelimang darah.
"Astaga! Apa yang terjadi di atas kapal ini? Cepat geledah seluruh ruangan. Barangkali masih ada korban-korban lainnya." Dada Adipati Rekayasa bergemuruh.
"Hamba rasa Dimas Rawing tidak menumpang di kapal ini, Tuan ku."
"Banyak bicara! Perintahku geledah seluruh ruangan bawah!" Kemarahan Adipati Rekayasa memuncak. Sebenarnya ia tidak pernah marah seperti itu. Mungkin karena rasa khawatir terhadap diri anaknya Rawing. Menurut suratnya, Rawing akan datang hari ini menumpang kapal milik saudagar dari Aceh. Adipati Rekayasa bisa melihat bahwa kapal yang tengah diperiksanya adalah sebuah kapal dari tanah sebrang. Ia bisa menentukan begitu karena melihat kepala kapal itu menggambarkan suatu kebudayaan para pelaut Aceh yang sudah turun temurun. Tak lama kemudian berdatangan lagi para pengawal yang telah memeriksa ruangan bawah. Dua orang nampak membawa mayat yang sudah membiru. Adipati Rekayasa mengernyitkan alis menatap mayat itu.
"Kami tidak menemukan Dimas Rawing di bawah. Kecuali kedua mayat ini." lapor salah seorang pengawal setelah berhadapan dengan Adipati Rekayasa. Orang tua setengah umur itu makin bingung.
Tentu saja mereka tidak akan menemukan Rawing, karena sewaktu bertempur melawan pasukan Dwipa Kuntar, Rawing terkena sambaran pedang serta hantaman sehingga nyemplung ke laut.
Bagaimana pun Adipati Rekayasa cenderung digeluti perasaan kemelut. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada kapal saudagar Aceh itu. Yang ia pikir anaknya menumpang kapal ini. Itu menurut surat yang ia terima beberapa minggu yang lalu. Dengan menguatkan diri ia memerintahkan seluruh pengawalnya untuk membawa turun mayat-mayat itu.
Riwang putra Adipati Rekayasa menatap tak percaya ketika melihat para pengawal ayahnya membawa turun para awak kapal yang sudah tak bernyawa. Ia mengira saudara kembarnya Rawing ada di antara mayat-mayat itu. Maka ia cepat mendekati rombongan itu dan langsung mengawasi tiap-tiap mayat.
"Rawing tidak ada di kapal itu." Tahu-tahu Adipati Rekayasa sudah berada di sebelah Riwang.
"Tidak, Ayah. Batinku mengatakan Kakang Rawing telah menghadapi musibah. Dia pasti sudah ada di sini." jawab Riwang. Ikatan batin saudara kembar memang kuat. Riwang sendiri merasa seperti ada guncangan saat pertempuran itu berlangsung.
"Tapi ayah sudah mencarinya, Riwang. Tidak ada Rawing di sana. Mungkin juga ia menumpang pada kapal yang lain. Tunggu saja sampai beberapa hari, kalau Rawing tidak juga muncul, kita susul ke tanah Tapak Tuan." bujuk Adipati Rekayasa. Mata Riwang memandang jauh ke laut lepas yang tenang,
"Menurut pengamatanku, kapal ini tidak dirampok. Kita bisa melihat barang-barang mereka yang masih utuh. Jadi penyerang-penyerang itu sengaja datang mencegat untuk membantai mereka satu persatu. Apa maksudnya mereka membantai orang-orang ini?" tutur Riwang dengan tatapan mata yang memandang jauh.
"Hal ini menandakan bahwa perairan laut kita sudah tidak aman lagi."
Adipati Rekayasa merenungi setiap perkataan anaknya. Sedikitnya ia memang telah diguncangkan oleh rasa khawatir. Bagaimana tidak, membayangkan mayat-mayat yang bergelimpangan itu saja sudah demikian ngerinya. Apalagi setelah putranya mengatakan akan pulang bersama kapal dari Aceh. Sedangkan kapal dari tanah sebrang biasanya datang hanya sekali dalam satu bulan... Ya, Gusti... Mudah-mudahan saja anakku Rawing selamat dalam perjalanannya.

*
* *



Penjagaan sekitar rumah Adipati Rekayasa selalu ketat. Para pengawalnya yang bersenjatakan tombak serta pedang senantiasa berdiri waspada. Dari pintu gerbang sampai ke pintu masuk rumah teras dijaga. Pendek kata bangunan megah itu hampir dikelilingi oleh belasan pengawal. Dari halaman nampak Adipati Rekayasa berdiri di balik jendela. Wajahnya begitu muram. Sang istri duduk di sebelah anaknya, Riwang. Ketiganya nampak berdiam diri. Perasaan mereka seperti tengah dilanda sesuatu. Peristiwa terbunuhnya para pedagang dari Aceh telah lewat dua hari. Para korban sudah diantar kembali ke tanah air. Sekarang para pengawal itu yang mengantarkan jenazah belum kembali pulang. Hal itu membuat Adipati Rekayasa semakin bingung. Karena ia telah menugaskan seorang pengawalnya untuk singgah ke tanah Tapak Tuan untuk mencari berita adanya Rawing.
"Yang membuat kita semakin cemas setelah terjadinya pembantaian para pedagang dari Aceh. Aku khawatir Rawing ikut tewas bersama mereka. Bisa saja para pembunuh itu melemparkannya ke tengah laut." Istri Adipati Rekayasa memberi pendapat walaupun hatinya tidak menghendaki kejadian yang demikian.
"Sudah kukatakan jangan terlalu berpikiran was-was. Kata-katamu itu hanya membuat perasaan kita makin kalut. Aku pun tidak rela seandainya Rawing tewas dalam perjalanannya di tengah laut. Apalagi sampai di bunuh orang." Adipati Rekayasa menghardik.
"Kakang Rawing memang mengalami musibah, Ayah. Aku merasakan pada batin ku, Aku merasakan begitu dekat dengan dia. Hanya sayang kita tidak tahu di mana dia berada." Riwang ikut bicara. Adipati Rekayasa menatap ke arahnya. Lalu menoleh lagi ke luar dari jendela.
"Kalau memang perasaan batinmu demikian kita tidak perlu lagi merasa cemas atau khawatir. Kita tunggu saja para pengawal itu sampai kembali dari tanah Tapak Tuan." Adipati Rekayasa menghentikan ucapannya. Karena dari situ ia dapat melihat beberapa orang berkuda memasuki pekarangan rumahnya, Paling depan sekali di antara belasan kuda nampak Dwipa Kuntar.
Tentu saja para penjaga itu membiarkan masuk, karena Dwipa Kuntar sama-sama seorang panglima seperti Adipati Rekayasa. Kalaupun sekarang Dwipa Kuntar singgah ke rumah itu, pasti ada berita penting dari sri baginda yang akan disampaikan pada tuannya, pikir para prajurit yang menjaga pintu gerbang.
Adipati Rekayasa sendiri yang melihat kedatangan Dwipa Kuntar langsung melangkah ke luar menyambut. Istri dan Riwang hanya memperhatikan dari balik jendela. Diam-diam mereka mencuri dengar pembicaraan Adipati Rekayasa.
Belasan pengawal Dwipa Kuntar tidak turun dari kudanya. Semuanya nampak duduk angkuh di atas pelana. Adipati Rekayasa tidak merasakan keganjilan itu. Dan juga baru kali ini kedatangan Dwipa Kuntar dikawal oleh prajurit yang jumlahnya belasan orang.
"Sri baginda menugaskan aku untuk menangkapmu, Adipati Rekayasa." Bagai tersambar petir jantung Adipati Rekayasa mendengar ucapan Dwipa Kuntar.
"Aku pun tidak mengerti kenapa sri baginda bertindak seperti ini. Kedatanganku hanya mengemban tugas dari beliau." kata Dwipa Kuntar lagi.
"Apa kesalahanku?" tanya Adipati Rekayasa membelalakkan mata.
"Tidakkah kau mendengar berita kematian para pedagang serta para prajurit kerajaan yang tewas?" Dwipa Kuntar tersenyum.
"Apa hubungannya dengan diriku? Sudah kukatakan pada sri baginda bahwa para pedagang dari Aceh itu tewas oleh segerombolan pembunuh di tengah laut." Cepat pula Adipati Rekayasa menjawab.
"Tewas dibunuh bukan berarti dirampok, bukan? Saat terjadinya pembantaian itu aku menjadi saksi mata. Juga belasan pengawal ku melihat sendiri siapa yang melakukan pembantaian" itu." Sikap Dwipa Kuntar seperti memandang remeh. Ia berjalan mengelilingi Adipati Rekayasa yang masih berdiri di depan pintu. Lalu meneruskan pembicaraannya....
"Aku sendiri tidak percaya kalau gerombolan pembunuh itu dipimpin Rawing anak mu."
"Bohong! Tentunya kau memberikan saksi dusta, Dwipa Kuntar!" bentak Adipati Rekayasa. Wajahnya memerah. Serta tubuhnya gemetar menahan amarah. Saat itu Riwang dan istrinya keluar mendekati mereka.
"Kau telah menuduh Rawing seenaknya, Dwipa Kuntar. Tidak mungkin Rawing akan berbuat sekeji itu." Istri Adipati Rekayasa mengelak.
"Maaf. Kalau mata kepalaku sendiri tidak melihat, mungkin aku tidak berani datang ke sini. Mari, Adipati Rekayasa. Kau harus menghadap sri baginda. Dan juga jangan salahkan aku Aku hanya menjalankan tugas...." Dwipa Kuntar mengeluarkan belenggu besi. Tapi sebelum ia mengikat pada kedua lengan Adipati Rekayasa, laki-laki setengah umur itu menepis dengan kasar. Maka terjadi keributan kecil.
Melihat Adipati Rekayasa bersikap murka, para pengawalnya berdatangan. Tapi para pengawal Dwipa Kuntar cepat melompat semua dari atas kuda dan langsung menghadapi mereka satu persatu.
"Bagaimana pun aku tidak terima atau tuduhan ini! Kalian sengaja hendak menjerat aku!" Adipati Rekayasa berontak; Tapi Dwipa Kuntar cepat menodongkan pedangnya. Secepat itu pula Adipati Rekayasa melompat mundur. Maka Dwipa Kuntar memburunya dengan babatan pedang.
Sambaran pedangnya tidak mengenai. Adipati Rekayasa. Tapi malang bagi istrinya yang berdiri tidak jauh dari situ....
"Breeet!" Sambaran pedang tepat merobek perutnya. Perempuan itu memekik kelojotan. Adipati Rekayasa terbelalak menatap istrinya tewas bersimbah darah. Melihat itu pula para pengawal Adipati Rekayasa melakukan perlawanan terhadap para pengawal Dwipa Kuntar. Pedang mereka mulai berdentingan membisingkan halaman rumah.
Adipati Rekayasa bermaksud berlari ke arah tubuh istrinya yang tergeletak kaku, namun sambaran pedang Dwipa Kuntar menghalangi. Terpaksa pula ia melayani dengan tangan kosong. Gerakannya yang gesit berkelit menghindari tiap-tiap sambaran pedang. Dalam ilmu silat Adipati Rekayasa tidak boleh dianggap remeh. Sukar sekali bagi Dwipa Kuntar menyarangkan sambaran pedangnya. Tidak percuma Adipati Rekayasa menyandang gelar panglima tertinggi dalam tampuk sebuah kerajaan.
Riwang yang tidak memiliki ilmu silat barang secuil pun tidak berani turun tangan. Dia malah berdiri masuk kembali ke dalam rumah. Tindakannya bukan berarti dia seorang pengecut. Tujuannya masuk ke dalam rumah, tentunya ada maksud tertentu yang dianggapnya sebuah pertolongan bagi sang ayah.

*
* *



--¦::: « 3 » :::¦--

Larinya makin cepat ketika Riwang sampai pada ruangan khusus ayahnya. Ia tahu betul di mana Adipati Rekayasa menyimpan senjatanya. Maka sesampai di dalam ruangan itu, Riwang langsung menyambar pedang yang tergantung di dinding.
Sementara itu di luar pertempuran makin sengit. Para pengawal Adipati Rekayasa lebih banyak yang tewas. Sedangkan para pengawal Dwipa Kuntar belum apa-apa. Mereka nampak gigih menghabiskan para pengawal yang masih tersisa.
Dwipa Kuntar sendiri tidak perlu membantu para pengawalnya yang sudah berada di atas angin. Dia telah sibuk menyambar lesatan-lesatan tubuh Adipati Rekayasa. Di tubuhnya telah nampak goresangoresan luka terkena sambaran pedang.
Menghindari serangan-serangan Dwipa Kuntar tentu saja mengeluarkan tenaga tidak sedikit. Apalagi ia tidak menggunakan senjata. Mana mungkin Adipati Rekayasa dapat membalas serangan.
"Lebih baik mati daripada menyerah kepadamu, Dwipa Kuntar!" Adipati Rekayasa mundur menjauh saat Dwipa Kuntar menyapu bagian bawah dengan tendangan memutar.
"Bagus! Itu tandanya kau sama membrontak seperti anakmu. Selain itu kau mulai berani melawan perintah sri baginda! Hiiih!" Pedang Dwipa Kuntar menyambar. Adipati Rekayasa merunduk menghindarinya.
"Ayah! Ini pedangmu...!" Riwang muncul dari balik jendela. Dari situ pula Riwang melemparkan pedang pada ayahnya. Jarak dari situ cukup jauh, Adipati Rekayasa tidak mungkin menerima begitu saja. Dia harus melompat untuk meraih pedangnya... Tapi saat Adipati Rekayasa melesat ke samping, Dwipa Kuntar membabat pedangnya kuat-kuat...
"Craas...!" Adipati Rekayasa memang dapat meraih pedangnya, namun ia tidak dapat menghindari babatan pedang yang mengenai punggungnya. Saat itu pula Riwang memekik.
"Riwang...! Cepat pergi dari sini!" bentak Adipati Rekayasa sambil berbalik menangkis babatan pedang. Tapi...
"Tangkap anak itu... Kalau perlu bunuh saja!" Dwipa Kuntar memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengejar Riwang yang mulai lari lewat belakang rumah.
"Bangsat apa hakmu untuk membunuh keluargaku! Tidak mungkin sri baginda memerintahkan demikian!" Pedang Adipati Rekayasa berkelebat menyambar kepala. Tapi cepat Dwipa Kuntar menangkis pedangnya.
"Menghabiskan para pembrontak jangan kepalang tanggung. Harus sampai ke akar-akarnya!" Sambaran pedang Dwipa Kuntar melesat membalas. Lengan Adipati Rekayasa sampai bergetar saat pedang mereka beradu.
"Anjing kepala dua! Kau memfitnahku! lebih baik kita mati bersama! Hiaaaaa!" Adipati menerjang sengit. Babatan pedangnya berputar bagai kitiran angin. Namun hanya dengan sekali tebas, tubuh Adipati Rekayasa terhuyung mundur. Dwipa Kuntar menyeringai seraya membabatkan pedangnya lagi.
Cukup gelagapan Adipati Rekayasa menyambut babatan pedang itu. Tubuhnya sampai mundurmundur terdesak. Seleret sinar putih menyambar dadanya lagi. Terasa sekali goresan mata pedang menyayat kulitnya. Membuat Adipati Rekayasa kehilangan keseimbangan tubuh. Manakala Dwipa Kuntar semakin gencar melancarkan babatan-babatan pedangnya.
Sementara itu, Riwang tidak luput dari pengejaran beberapa orang pengawal Dwipa Kuntar. Larinya tunggang langgang tidak karuan. Lima orang pengejarnya memang jauh tertinggal. Dalam hati ia menyesali dirinya Kenapa dari dulu ia tidak pernah mempelajari ilmu silat. Sekarang ia betul-betul kesulitan. Melihat para pengejarnya mengacung-acungkan pedang ia sudah gemetaran. Apalagi berusaha melawan. Mungkin kalau kelima pengejarnya itu tanpa senjata, barangkali Riwang sudah nekad melawan.
Dalam pelariannya itu, Riwang sengaja menuju ke arah bekas reruntuhan bangunan. Ia bermaksud akan bersembunyi di situ Cuma itu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Saat Riwang memasuki bangunan itu, kelima pengejarnya kehilangan jejak. Namun mereka tetap yakin kalau Riwang bersembunyi di dalam reruntuhan bangunan batu. Begitu mereka mendekati bangunan itu, mereka mendengar batubatu berserakan dari atas. Maka kelimanya tanpa ragu-ragu lagi berebut masuk.
Namun baru saja mereka melangkah masuk, tiba-tiba saja sebongkah batu melayang ke arah mereka. Dua orang yang melangkah menaiki tangga di depan tidak sempat menghindar. Keduanya bergulingan dengan kepala remuk. Melihat dua temannya ambruk kelojotan, tiga orang lagi bersikap hati-hati. Pelanpelan sekali mereka menaiki tangga batu yang menuju ke atas.
Dari balik dinding Riwang telah bersiap-siap dengan sebatang kayu. Jantungnya berdebar-debar menanti kedatangan langkah-langkah mereka. Manakala detak-detak ketiga orang itu makin dekat. Dan saat salah seorang muncul dari balik dinding, Riwang menghantam kuat-kuat...
"Praaaak!" Tepat menghantam tenggorokan.
Setelah itu pula Riwang cepat berlari ke arah jendela. Lalu dari situ ia melompat ke luar. Padahal jendela itu cukup tinggi. Riwang jatuh bergulingan di tanah. Rupanya saat Riwang melompat ke luar dari jendela para pengejarnya tidak sempat melihat. Maka Riwang mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri. Cepat Riwang menyusup pada rimbunnya alang-alang yang memenuhi pelataran bangunan itu. Dari situ ia cukup aman merangkak menjauhi reruntuhan bangunan. Sekarang para pengejarnya itu betulbetul telah kehilangan jejak. Mereka keluar dari reruntuhan itu sambil membawa tiga orang temannya yang terluka.
Saat itu Riwang sudah cukup jauh dari tempat itu. Dan tidak mungkin lagi para pengawal Dwipa Kuntar mengejarnya. Riwang sendiri belum berani kembali ke rumahnya. Ia yakin pertempuran masih berlangsung di sana. Untuk itulah ia terus berlari saat menembus rimbunnya alang-alang.
Riwang sengaja memilih jalan yang jarang dilalui orang. Ia tidak ingin pelariannya diketahui orang lain. Dia tahu di depan sana ada sebuah perkampungan. Sengaja pula tujuannya ke sana, dan bermaksud akan tinggal untuk beberapa hari.

*
* *



Angin laut berhembus ke pantai membuat daun-daun nyiur melambai-lambai seperti menari. Burung-burung camar yang beterbangan hampir menyentuh permukaan laut saat itu Ki Balung mengangkat jalanya.
"Sial! Dari tadi tidak ada satu ekor ikan pun yang nyangkut di jala ku. Wuah-wuah bisa tidak makan malam ini!" gerutunya setelah melihat jala kosong. Lalu ia menebar lagi ke arah lain. Namun setelah ia mengangkat lagi, hasilnya tetap sama saja. Kosong!
"Kenapa laut ini mendadak miskin?" Ki Balung makin jengkel.
"Ayah...!" Ki Balung tersentak. Ia menoleh ke belakang menatap ke arah gubuknya. Seorang gadis nampak melambai-lambaikan tangan.
"Ada apa, Mayang?" jawab Ki Balung setengah membentak.
"Orang itu sudah sadar dari pingsannya. Dia mengerang-ngerang kesakitan!" jawab Kadis itu. Suaranya terbawa angin.
"Suruh dia minum obat yang telah kusediakan!"
"Aku takut, Ayah!"
"Bah! Jangan malu-malu kucing, Mayang! Terhadap pemuda ganteng saja harus takut!" Ki Balung terpaksa menggulung jalanya. Kemudian ia berbalik melangkah ke pinggiran pantai. Mayang putrinya masih menunggu di depan gubuk. Gadis itu menyambut membawakan jalanya saat Ki Balung mulai masuk ke dalam gubuk.
Rawing sudah duduk di atas balai ketika Ki Balung berada dalam ruangan itu. Bajunya sudah tidak melekat lagi pada tubuhnya. Maka nampak jelas semua luka-luka bekas sambaran pedang. Masih terasa perih. Ki Balung melangkah tersenyum membawakan gelas bambu.
"Luka-lukamu cukup parah. aku tidak mempunyai persediaan obat kecuali ini. Minumlah... mungkin bisa mengurangi rasa sakit." Rawing menerima gelas bambu itu. Cairan obat di dalamnya masih mengepulkan asap. Rawing tidak langsung meminumnya. Ia menatap Ki Balung.
"Di mana ini...?"
"Di rumahku.... Kami menemukan kau tergeletak pingsan di pantai. Tadinya kami mengira bahwa kau sudah mati. Ternyata kau hanya pingsan. Makanya kau ku rawat di sini." tutur Ki Balung.
"Te-terima kasih, Ki." Setelah itu Rawing menenggak habis cairan dalam gelas bambu, Saat itu Mayang putri Ki Balung masuk ke dalam ruangan itu. Saat itu pula Rawing menatapnya. Merasa ditatap demikian, Mayang tertunduk malu.
"Dia putri ku. Ibunya telah meninggal ketika berumur lima tahun. Dialah yang menemukan dirimu di pantai."
"Sangat cantik. Pastilah ibunya cantik pula." Mendengar ucapan yang demikian wajah Mayang makin memerah.
"Dia memang mirip dengan ibunya. Itulah sebabnya aku tidak pernah merasakan kehilangan istriku."
Rawing menyodorkan gelas bambu yang telah kosong itu pada Ki Balung. Setelah menerima gelas itu Ki Balung membantu Rawing bangkit berdiri. Lukalukanya masih mengeluarkan darah. Ia dapat memandang pantai berpasir putih dari pintu itu. Angin pun berhembus masuk menerpa tubuhnya.
Pandangannya jauh ke depan pada hamparan permukaan laut yang biru. Di sanalah ia terakhir kali bertempur dengan para pasukan kerajaan. Dia masih ingat betul pada orang yang telah melukainya. Seseorang yang tidak pernah takut terhadap ayahnya.
"Pakaianmu telah koyak, Anak muda. Aku menyimpannya di dalam. juga kepingan-kepingan uang logam yang tak ternilai jumlahnya. Semua kusimpan baik-baik." Kata-kata Ki Balung membuyarkan lamunan Rawing.
"Syukurlah.... Tapi aku tidak memikirkan soal itu. Selamat dalam keadaan begini saja aku sudah bersyukur. Simpanlah uang itu untukmu, Ki."
"Lebih baik ku belikan pakaian atau obat. Karena luka-lukamu itu mesti diobati. Dan kau pun harus beberapa hari tinggal di sini."
"Kau terlalu baik, Ki. Jarang aku menemui orang sepertimu."
"Aku merasa baru kali ini menolong orang. Lain dari kau tidak pernah. Bagaimana harus dianggap baik?" Rawing tersenyum. Kata-kata Ki Balung begitu lugu. Dia pun diam dengan kedua mata yang memandang ke arah laut. Ki Balung memperhatikannya.
"Melihat kau sepintas, rasanya hampir mirip dengan seorang putra panglima kerajaan yang menguasai tanah Genang Banyu." Ki Balung bicara lagi. Rawing cepat menoleh ke arah Ki Balung dengan pandangan yang aneh.
"Maksudmu panglima tertinggi Adipati Rekayasa?" tanya Rawing menyentak. Ki Balung malah gelagapan, tapi ia cepat menjawab....
"Betul! Yang kumaksudkan bahwa kau sangat mirip dengan putranya. Sedikit pun tidak berbeda dengan Riwang."
"Kalau begitu dugaanmu tidak salah lagi, Ki.... Aku saudara kembarnya yang baru datang dari Tanah Tapak Tuan. Namaku Rawing."
Kontan mata Ki Balung terbelalak. Ia tidak percaya dengan ucapan Rawing. Semula dirinya yang berdiri berdampingan, mendadak mundur selangkah. Mulutnya menganga seperti hendak mengeluarkan katakata.
"Masih belum percaya kalau aku putra kembar Adipati Rekayasa? Atau perlu kusebutkan nama ibuku Sartinah?" Rawing maju mendekat. Ki Balung belum percaya.
"Mayang...! Mayang ke mari! Cepat ke mari...! Ternyata orang yang kau selamatkan ini seorang putra Panglima Kerajaan...." Setelah berteriak begitu Ki Balung berlutut seperti memberi hormat.
"Terhadap ayahmu yang bijaksana itu aku cukup segan dan menghormatinya. Terhadapmu pun tentunya harus demikian. Maafkan aku Dimas Rawing, kami benar-benar tidak tahu kalau kau putra panglima." Sembah Ki Balung. Mayang sudah keluar dari gubuk. Rawing tersenyum menatapnya.

*
* *



--¦::: « 4 » :::¦--

Satu-satunya desa yang terdekat dengan Tanah Genang Banyu, adalah Desa Branjangan. Desa yang selalu ramai dikunjungi banyak pendatang. Para saudagar datang ke situ untuk berniaga. Juga para penduduk asli memanfaatkan keadaan keramaian desanya. Dari penginapan sampai rumah makan berderet bersaing.
Tiap-tiap gubuk nampak berukuran besar. Meskipun atapnya dari jerami namun dindingdindingnya hampir dari kayu semua. Bahkan ada juga yang sengaja membangun gubuknya bertingkat. Biasanya gubuk bertingkat itu sebuah penginapan.
Kereta-kereta kuda pengangkut barang berdiri pada tambatan kuda. Para pengemudinya tengah menyinggahi salah satu rumah makan. Siang itu memang agak lain. Tidak seperti hari-hari biasanya. Hampir tiap-tiap kedai ramai dipenuhi oleh para pendatang. Apalagi di muka jalan. Meskipun tidak penuh sesak, tapi cukup sulit untuk melangkah.
Sebentar-sebentar Riwang menoleh ke belakang. Ia selalu berpapasan dengan orang-orang yang jalan dari arah berlawanan. Riwang hanya tersenyum saat orang-orang itu merutuki. Sebelah telapak tangannya menimang-nimang sekeping uang logam. Hatinya merasa lega, karena di Desa Branjangan itu tidak dilihatnya seorang prajurit pun.
Tenang pula ia melangkah menghampiri salah satu rumah makan. Tapi mendadak pula ia menghentikan langkahnya. Ia sempat mendengar obrolan beberapa orang yang kebetulan singgah di tempat itu.
"Tidak kusangka Panglima Adipati Rekayasa yang selama ini kita segani ternyata hanya seorang penghianat kerajaan."
"Untunglah Dwipa Kuntar bersama pasukannya cepat meringkus." kata salah seorang temannya menimpali.
"Bukan hanya diringkus. Melainkan sekarang keluarganya telah dikirim ke akherat! Memang seharusnya begitu hukuman bagi pemberontak!"
"Masih untung mereka bertemu dengan Dwipa Kuntar. Coba kalau sampai kedapatan oleh sri baginda, pasti sudah.... Sreeeett! Orang itu menggorok lehernya dengan lengannya sendiri.
"Sana saja! Ketemu sri baginda maupun Dwipa Kuntar akan mengalami nasib yang serupa. Toh sekarang mereka sekeluarga sudah mampus semua." Mereka tertawa mengkekeh. Jelas sekali Riwang mendengar pembicaraan mereka. Cepat Riwang menyelinap ke balik dinding. Dia masih ingin mendengarkan pembicaraan orang-orang itu, meskipun hatinya hancur.
"Menurut yang kudengar, putranya sempat melarikan diri. Dwipa Kuntar masih terus mencarinya. Bahkan ia telah melepaskan sayembara. Siapa saja yang dapat menangkap Riwang hidup-hidup akan diberi hadiah yang memuaskan." Riwang yang merapatkan telinganya ke dinding bergetar bagai tersambar petir.
"Riwang...? Bagaimana kita bisa menangkapnya kalau kita sendiri tidak tahu rupa si Riwang itu?"
"Dasar jauh ke duit! Syukurlah aku sempat melihat dia walaupun hanya beberapa kali."
"Kalau begitu..." Temannya tidak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja dinding di sebelah mereka berderak. Serempak mereka menoleh ke arah suara derak itu. Mereka pun melihat seseorang berlari menjauh. Nampak sekali orang itu seperti berlari ketakutan.
"Astaga! Tidak salahkah penglihatanku?"
Salah seorang yang berada di rumah makan itu bangkit berdiri.
"Ada apa? Kau seperti melihat setan?" tanya temannya keheranan.
"I-i itu Riwang! Baru saja ia pergi dari sini!" kata orang itu sambil beranjak meninggalkan meja makan menyusul Riwang. Dengan tidak mengerti dua orang temannya ikut bangkit dan menyusul temannya. Sudah tentu pemilik kedai itu mencegah.
"Kalian mau ke mana? Bayar dulu makanan tadi."
"Maaf, Ki. Sekarang pun kami tidak mempunyai uang... Hitung saja dengan yang kemarin-kemarin. Besok aku bayar sepuluh kali lipat!" kata salah seorang dari mereka sambil mendorong pemilik kedai. Mereka pun meneruskan larinya.
"Bajingan-bajingan tengik. Sekali lagi makan tidak bayar aku racuni kalian!" rutuk pemilik kedai sewot.
Sementara itu Riwang betul-betul mempercepat larinya. Beberapa kali ia menabrak orang-orang yang berlalu lalang sampai bergelimpangan. Maka tempat itu menjadi riuh seketika. Di belakangnya tiga orang mengejar dengan kecepatan penuh. Mereka pun sering menyeruduk apa saja yang menghalanginya. Beberapa meja dagangan ambruk terguling sampai barangbarang dagangan itu berserakan di tanah. Usaha mereka tidak sia-sia. Dalam sekejap mereka telah mengepung Riwang yang sudah terpojok gelagapan. Mereka langsung melancarkan hantamanhantaman agar buruannya tidak lari lagi. Tindakan mereka sama seperti menggebuki seorang maling.
Riwang sama sekali tidak melawan. Karena dia memang tidak memiliki kepandaian ilmu silat. Secepat itu pula Riwang dapat diringkus. Maka tempat itu menjadi penuh dengan orang-orang yang berdatangan menonton. Tiga orang yang meringkus Riwang mencabut pedang. Lalu mereka membabatkan ke Mana ke mari. Tentu saja orang-orang yang datang menonton itu segera menyingkir sehingga ketiga orang itu leluasa membawa Riwang ke luar dari kerumuman itu.
"Minggir...! Minggir...! Kami harus menyerahkan buronan ini pada Panglima Dwipa Kuntar. Minggir...!" Mereka bertiga memang terkenal sebagai 'jagoan' Desa Branjangan. Orang-orang itu sangat takut melihat pedang-pedang mereka berkelebat.
Saat itu Ki Balung baru saja keluar dari gubuk seorang tabib. Di tangannya membawa dua buah bungkusan yang berisi obat dan pakaian. Alisnya mengernyit ketika dilihat tiga sosok mengacung-acungkan pedang membawa seseorang yang sudah babak belur.
Orang-orang masih saja membuntuti mereka di belakang. Ketiga orang yang membawa Riwang nampak seperti bangga.
"Buronan Riwang tertangkap! Buronan Riwang tertangkap!" Hanya itu yang didengar dari teriakan kerumunan yang menggiring Riwang.
Luka-luka di tubuh Rawing belum sembuh. Kain pembalut luka masih merembes darah. Tapi Rawing yang dalam keadaan luka itu sengaja tidak selalu diam. Dia sibukkan dirinya dengan membelah kayu bakar yang bertumpuk di samping gubuk. Mayang, putri Ki Balung, diam-diam memperhatikannya. Ia khawatir sekali kalau-kalau Rawing akan jatuh pingsan lagi. Apalagi panas matahari makin mencorot membuat keringat Rawing membasahi di sekujur tubuhnya. Sepertinya rasa lelah dan keringat yang meleleh itu tidak diperdulikan.
"Berhentilah dulu, Kang Mas Rawing. Air yang sejak tadi kusediakan belum juga kau minum." Suara halus Mayang mengejutkan Rawing.
"Luka-lukamu belum sembuh betul. Biarlah aku yang mengerjakannya." lanjut Mayang lagi. Rawing menghentikan membelah kayu. Ia tersenyum menatap Mayang, lalu....
"Aku biasa melakukan pekerjaan ini, Kang Mas Rawing. Kau yang tidak pantas melakukannya. Karena kau anak seorang panglima." Mayang melirik Rawing menenggak habis air itu. Mendengar ucapan Mayang, Rawing terbatuk.
"Aku memang putra Adipati Rekayasa, tapi cara hidupku tidak seperti tuan besar, atau anak bangsawan lainnya. Selama sepuluh tahun hidup dalam lingkungan para ulama. Mereka mendidik diriku dengan cara-cara yang paling keras sekalipun. Terus terang selama sepuluh tahun ini aku tidak berada dalam lingkungan keluarga. Aku berada di Tanah Tapak Tuan."
"Tapak Tuan? Di mana itu?"
"Di pulau sebrang. Tepatnya di bagian Tenggara Pulau Andalas."
Mayang diam tidak mengerti. Sebagai seorang dusun yang terpencil, Mayang memang kurang pengalaman. Dari maksud pembicaraan Rawing, Mayang hanya bisa mengartikan bahwa Rawing adalah seorang petualang. Diam-diam pula ia mengagumi terhadap pemuda yang satu ini. Dia juga tidak mengerti kenapa harus tertunduk malu saat Rawing menatapnya.
"Apa yang kau pikirkan, Mayang?" Rawing mendekati. Mayang jadi gelagapan. Mukanya berubah merah saat Rawing menyentuh rambut Mayang. Ia betul-betul tidak berani menatap atau mengelak.
"Selama hidupku belum pernah aku melihat wanita secantik kau, Mayang.... Aku " Rawing sendiri tidak berani meneruskan kata-katanya. Dengan gemetar pula Mayang mengangkat wajahnya. Tapi pandangannya cepat menoleh....
"Ayah datang, Kang Mas Rawing." Pandangan Mayang menatap Ki Balung yang berjalan tergesa-gesa menuju gubuknya. Belum pernah Mayang melihat ayahnya berjalan terburu-buru seperti itu. Untuk itulah Mayang datang menyambut. Dia membawakan dua bungkusan yang dibawa Ki Balung.
Rawing hanya menatap dari samping gubuk. Mayang sengaja menuntun ayahnya ke arah Rawing, Dari situ Ki Balung sudah melihat kepingan-kepingan kayu bakar bertumpuk di samping gubuk. Dia juga melihat Rawing masih memegang kampak.
"Dimas Rawing, sebaiknya kau jangan ke luar dulu." kata Ki Balung setelah berada dihadapan Rawing. Mayang sudah masuk ke dalam gubuk.
"Luka-luka ini tidak seberapa, Ki. Aku merasa sudah agak mendingan." jawab Rawing sambil mengangkat kampak melanjutkan membelah kayu. Baru tahu kalau kepingan-kepingan kayu itu pekerjaan Rawing,
"Bukan saja soal luka, Dimas Rawing. Situasi di luar sedang kacau, juga menyangkut persoalan keluargamu."
"Apa maksudmu, Ki...?" Rawing menatap tak mengerti.
"Sebaiknya kita bicara dalam." Ki Balung merangkul Rawing. Pemuda itu mengikuti dengan penasaran. Sambil menutup pintu gubuk, Ki Balung mengawasi keadaan di luar. Ia merasa khawatir kalaukalau ada orang lain yang kebetulan lewat di daerah itu. Padahal gubuk Ki Balung satu-satunya yang ada di pesisir pantai.
"Ada yang perlu kukatakan padamu, Dimas Rawing. Di luar keadaan benar-benar sedang kacau."
"Dari dulu juga tanah air kita selalu kacau. Apa yang membuatmu ketakutan seperti ini, Ki?" tanya Rawing tidak sabaran.
"Ketika aku pulang membeli obat-obatan, aku melihat saudaramu, Riwang tertangkap di Desa Branjangan. Mereka menuduh keluargamu sebagai pemberontak. Menurut kabarnya Adipati Rekayasa pun telah..." Ki Baking menghentikan ceritanya. Dengan gemetar ia menatap ke arah Rawing.
"Kenapa dengan ayahku, Ki... Kenapa dengan beliau?"
"Dwipa Kuntar telah membunuh ayah serta ibumu. Dia pula sekarang yang menggantikan Adipati Rekayasa menguasai Tanah Genang Banyu."
"Tidak mungkin, Ki... Aku tidak percaya! Bagaimana mungkin ayahku menjadi seorang pembrontak? Beliau satu-satunya orang kepercayaan sri baginda." Rawing menyangkal.
"Itu baru berita yang kudengar, belum tentu kebenarannya demikian. Yang kulihat hanya Riwang tertangkap oleh anak buah Dwipa Kuntar. Orang-orang itu akan menerima hadiah yang sangat besar." Ki Balung mengakhiri ceritanya. Rawing duduk terdiam seribu bahasa. Orang seperti Ki Balung tidak mungkin berdusta. Kalau saja ia tidak dalam keadaan luka begini, tentunya Rawing sudah mencari orang-orang yang menangkap saudara kembarnya. Rawing hanya diam ketika Ki Balung mulai membuka balutan luka-lukanya. Ia hampir memekik saat bubukbubuk obat dibalurkan pada luka-luka yang belum mengering. Pikirannya berkecamuk perasaan lain, seperti ingin cepat bertemu dengan saudara kembarnya.
Maka keesokan harinya Ki Balung tidak menemukan Rawing dalam kamarnya. Pakaian yang dibelinya kemarin sudah tidak ada, Kecuali sepucuk surat yang tergeletak di atas meja. Sekalipun Ki Balung tidak dapat membacanya, ia sudah yakin kalau surat itu sebuah ucapan selamat tinggal. Memang benar, Tadi pagi sebelum matahari terbit, diam-diam Rawing meninggalkan gubuk itu.

*
* *



--¦::: « 5 » :::¦--

Penjara itu sangat jauh letaknya dari kerajaan. Sri baginda sengaja membangunnya di situ. Sebenarnya bukan membangun. Tapi memugar. Sejak sri baginda belum lahir pun penjara itu sudah ada. Sebuah penjara tempat tawanan kelas berat. Di mana sekeliling penjuru itu dibuat kolam membuat penjara itu seperti berdiri di tengah-tengah sebuah danau.
Airnya yang bening menampakkan dasarnya demikian jelas. Terlihat pula tumpukan-tumpukan tulang kerangka yang sudah berlumut. Ikan-ikan pemakan bangkai banyak berseliweran dalam dasar kolam itu. Jumlahnya jutaan ekor.
Para petugas yang datang ke situ menyeberangi dengan pintu penjara sepanjang setengah meter yang berfungsi juga sebagai jembatan. Ikan-ikan buas itu langsung menyembul dari permukaan bila ada prajurit yang menyeberangi penjara. Jutaan ikan itu nampak bagai sebuah dataran kecil yang bergelombang. Sungguh mengerikan! Sekarang semenjak kematian Adipati Rekayasa, sri baginda menugaskan Dwipa Kuntar untuk menggantikan kedudukannya. Sri baginda sendiri tidak tahu penyebab kematian Adipati Rekayasa. Yang ia tahu hanyalah sekelompok pemberontak muncul membantai keluarganya. Dan beliau tidak menolak saat Dwipa Kuntar memilih markas pada penjara itu.
Tanpa sepengetahuan sri baginda pula Dwipa Kuntar menyelundupkan dua orang tokoh sakti sebagai dekingan. Dengan adanya mereka, Dwipa Kuntar semakin kuat. Namun sejak ia menggantikan kedudukan Adipati Rekayasa, banyak rakyat yang kurang suka. Rakyat banyak yang lebih sengsara dan tertindas. Apalagi terhadap dua orang tukang pukulnya itu. Mereka menjadi musuh rakyat yang paling ditakuti. Tindakannya yang kejam tanpa perikemanusiaan meresahkan rakyat. Yang lebih menjemukan lagi, kedua orang itu kerapkali mencuri anak perawan orang sesuka hatinya.
Hari itu Dwipa Kuntar yang kebetulan berada dalam penjara, kedatangan tiga orang dari Desa Branjangan. Bukan main senangnya Dwipa Kuntar ketika melihat ketiga orang itu membawa Riwang ke hadapannya.
"Bagus...! Bagus...! Kalian pantas mendapat hadiah dariku, karena meringkus pemberontak kecil ini ke hadapanku." Dwipa Kuntar tertawa menggelak. Tiga orang yang berdiri di hadapannya ikut tertawa. Tapi mereka terus diam saat menatap kedua orang yang duduk di sebelah Dwipa Kuntar. Bagaimana tidak, tikus pun akan lari melihat keseraman wajah kedua orang itu.
Sejenak kemudian Dwipa Kuntar berjalan mengelilingi Riwang yang berdiri lunglai. Wajahnya banyak bekas-bekas luka pukulan yang telah membiru.
"Pengawal...! Jebloskan dia dalam penjara!" Tiba-tiba saja Dwipa Kuntar berteriak. Maka beberapa orang berpakaian prajurit yang berdiri di balik tembok berdatangan menyeret tubuh Riwang. Tanpa meronta Riwang mengikuti empat orang prajurit menelusuri lorong menuju ruang tahanan. Kasar sekali mereka mendorong tubuh Riwang, sampai Riwang terjerembab mencium lantai batu ruang tahanan.
Sementara itu nampak Dwipa Kuntar menepuknepuk punggung salah seorang yang membawa Riwang.
"Kalian akan menerima hadiah yang tidak sedikit dariku. Masing-masing mendapat sekantong uang emas." Mendengar itu ketiga orang ini menelan ludahnya sendiri. Mereka begitu tergiur dengan kepingankepingan uang emas yang sebentar lagi menjadi miliknya. Mereka hanya menatap Dwipa Kuntar yang melangkah menuju ke sebuah meja berukir. Di atas meja itu memang sudah tersedia belasan kantong uang. Dwipa Kuntar mengambil tiga kantong, lalu menimang-nimang sambil tersenyum ke arah mereka.
"Nah terimalah ini. Kalian boleh membukanya di sini kalau tidak percaya dengan apa yang kalian terima." kata Dwipa Kuntar sambil melempar tiga kantong itu. Begitu mereka menerimanya terdengar suara gemerincingnya uang logam. Seperti terkesima ketiga orang itu pun langsung membuka kantong itu. Seketika wajah mereka berseri, karena apa yang mereka lihat. Betul-betul sekantong uang emas.
"Kalau mau pergi sekarang, silahkan. Mumpung pintu masih terbuka. Kalian bisa menyebrang dengan jembatan itu."
"Ka-kami memang harus pergi sekarang, Panglima. Karena urusan kami memang masih banyak." jawab mereka.
"Silahkan... Silahkan." Dwipa Kuntar memberi jalan pada mereka. Ia pun mengantar ketiga orang itu sampai ke depan pintu yang merebah bagai jembatan menyebrangi kolam. Setelah melewati beberapa penjaga pintu mereka bertiga menyebrangi kolam.
Ikan-ikan pemakan bangkai menyembul melompat-lompat begitu mereka berjalan di atas jembatan. Jumlahnya yang jutaan membuat permukaan air kolam benar-benar bagai sebuah daratan yang bergolak. Dwipa Kuntar tersenyum menatap kepergian ketiga orang itu. Diam-diam ia menarik tangkai besi yang ada di samping pintu. Maka ketiga orang ini yang masih menyebrangi jembatan terkejut setengah mati. Karena tiba-tiba saja jembatan yang mereka pijak berderak, terangkat ke atas. Dan Dwipa Kuntar tersenyum semakin lebar saat ketiga orang itu nyemplung ke dalam daratan bergolak.
Mereka hanya menjerit sekejap, manakala jutaan ikan pemakan bangkai berlomba mengerubuti tubuh mereka yang hilang di kedalaman dasar kolam itu. Detik itu pula cairan merah mulai mengembang ke atas bercampur dengan air kolam.
Dua orang bertampang angker itu sudah berdiri di samping Dwipa Kuntar, saat Dwipa Kuntar tertawa tergelak-gelak. Mereka kembali masuk setelah jembatan itu menutup bagai pintu penjara...
"Sayang sekali uang-uang emas itu kau buang, Dwipa Kuntar."
"Tiga kantong uang mas tidak berarti lagi bagi kita sekarang, Sawung Blambang. Kita masih memiliki puluhan karung uang emas dan masih bisa mengumpulkan lebih banyak lagi."
"Rencanamu menggantikan kedudukan Adipati Rekayasa rupanya sudah kau pikirkan masak-masak, Dwipa Kuntar. Tidak kusangka otakmu sehebat kancil." jawab seorang lagi yang bernama: Pragola. Keduanya tertawa menggelak mendengar ucapan Dwipa Kuntar.
"Kuakui... Semua ini berkat kerja sama kita yang baik." kata Dwipa Kuntar lagi. Ia berjalan melangkah paling dulu.
"Melihat kau mendadak kaya seperti ini, rasanya aku ingin juga aku menguasai sebuah tanah di wilayah ini." sela Sawung Blambang.
"Betul. Kalau hanya bergelimang uang rasanya kurang puas." Pragola menimpali.
"Tak lama lagi kita bisa menguasai tanah-tanah lain. Lihat saja nanti. Sementara sri baginda sibuk mengurusi tahta kerajaan, kita bisa menyusun rencana. Lama-lama pun kita akan menggeser kedudukan sri baginda." Dwipa Kuntar merangkul keduanya. Mereka menelusuri lorong yang menuju ke ruang tahanan.
Saat itu Riwang mulai bangkit. Ia menatap ruangan yang cukup besar namun pengap. Dilihatnya pula seorang kakek berambut putih sebatas dada duduk bersila di atas tumpukan jerami. Kening kakek itu berkerut saat Riwang melangkah mendekat.
"Ada lagi seorang tawanan yang menemaniku di sini. He-he-he.... Kau masih muda belia. Penjara ini khusus tawanan pemberontak. Hebat! Semuda ini sudah jadi pemberontak. Mengingatkan aku pada masa muda ku." Suara kakek itu rada bergetar.
"Aku bukan pemberontak, Kek. Juga bukan seorang penjahat. Dwipa Kuntar itu sendiri yang sebenarnya musuh kerajaan, ia telah memfitnah keluargaku sebagai pemberontak." jawab Riwang sambil duduk di sebelah kakek itu.
"Ssssst... Bicaramu perlahan sedikit. Dwipa Kuntar banyak memiliki telinga di sini. Aku tidak bertanggung jawab bila setan keparat itu murka. Kau bakal jadi santapan mahluk-mahluk najis." Riwang tidak mengerti dengan ucapan kakek itu.
"Tentunya kau yang bernama Riwang... Aku sudah mendengar nasib malang seorang Panglima Adipati Rekayasa. Dwipa Kuntar memang berlidah ular. Pemberontak yang sebenarnya, tidak mampu ditanggulanginya." gerutu kakek berambut putih.
"Apakah kakek juga seorang pemberontak?"
"He-he-he-he... Sebelum sri baginda lahir pun aku sudah jadi pemberontak. Sssst diamlah..." Kakek itu memandang ke depan, Riwang menoleh mengikuti. Di balik terali besi berdiri Dwipa Kuntar dan dua orang kaki tangannya.
"Kalian boleh sesuka hati mencaci ku. Karena sebentar lagi kalian akan kukirim ke dasar kolam. Terutama kau Riwang. Berhati-hatilah di sini." Dwipa Kuntar menyeringai seram.
"Kenapa harus dikirim ke dasar kolam?" bisik Riwang.
"Sssst..., Diam saja. Kelak kau bakal tahu." jawab si kakek dengan nada pelan. Mereka masih memandang ke arah terali besi saat ketiga orang itu pergi meninggalkan ruang tahanan. Mereka mendengar pula suara Dwipa Kuntar...
"Kuserahkan Riwang pada kalian, karena aku harus kembali ke Tanah Genang Banyu. Kalau perlu bunuh saja secepatnya... Aku tidak ingin melihat keturunan Adipati Rekayasa masih berkeliaran."
Setan! Kenapa mereka tidak membunuh ku sekarang saja? Sekarang pun atau nanti tokh aku tidak bisa melawan? Pikir Riwang. Kini tiga hari penuh hidupnya telah dilalui dalam ruangan pengap. Selama tiga hari itu pula ia tidak diberi makan. Terkadang ia ingin mengikuti cara hidup kakek itu, yang selalu memakan binatang kecil apa saja yang ada di situ. Tapi mana sanggup Riwang mengikutinya. Bagaimana sanggup? Kakek itu tanpa jijik melahap seekor tikus hidup-hidup, kadang kecoa, kadang pula cicak. Melihat saja Riwang sudah muntah!
Biarlah Riwang tidak makan serta minum, kendatipun ia harus mati kelaparan. Ketika mendengar suara langkah orang mendekati ruangan itu, Riwang selalu gembira. Karena ia yakin ada seorang pengawal yang akan menyeretnya untuk melaksanakan hukuman mati. Itu lebih bagus daripada harus mati tersiksa.
Seperti siang itu, Riwang langsung berlari ke arah terali besi, ketika mendengar suara, langkah beberapa orang. Bukan Dwipa Kuntar juga bukan dua orang pengikut setianya. Tapi cuma dua orang pengawal. Mereka membawa sesuatu dalam sebuah bungkusan daun.
Riwang langsung menerima bungkusan itu ketika seorang pengawal menyodorkan bungkusan itu. Cepat pula ia membuka bungkusan itu. Tidak diperdulikannya dua pengawal pergi meninggalkan ruangan. Isinya sebungkus nasi dengan paha ayam. Riwang sangat tergiur.
"Makanlah sepuas hatimu, Riwang, karena itu makananmu yang terakhir." Tiba-tiba saja kakek yang duduk bersila itu mengekeh. Ia menatap Riwang melahap rakus makanan itu. Sebentar saja bungkusan daun itu telah bersih. Setelah itu pula Riwang menjilati dinding tembok yang merembes air.
"Ratusan orang sebelumnya mengalami nasib yang sama sepertimu. Diberi makanan yang enakenak, untuk kemudian menjalani hukuman yang paling buruk. Dibuang ke dasar kolam yang penuh dengan jutaan penghuni pemakan bangkai!"
"Apa katamu, Kek?" Riwang berhenti menjilati rembesan air.
"Kataku kau akan dibuang ke dasar kolam. Dalam sekejap saja tubuhmu akan di sulap menjadi tulang-tulang kerangka."
Riwang mengernyitkan alis. Kata-kata kakek itu begitu menakutkan.
"Sekarang kau sudah kenyang, sedikitnya tenagamu sudah pulih. Apakah masih juga ingin minta mati lebih cepat?" Kakek itu seperti mengejek. Padahal maksudnya menyadarkan Riwang dari ketololannya.
"Kau benar, Kek. Setiap orang akan lupa daratan bila sudah merasa kekenyangan. Seperti katamu, aku sudah lupa dengan maut yang siap menjemput." Riwang tersandar lesu. Matanya menatap lantai-lantai batu.
"Masih ada harapan untukmu. Aku bisa mengeluarkan kau dari sini. Itu bila kau mau." jawab kakek itu.
"Yang kau ucapkan itu tidak bisa menghibur diriku, Kek... Bagaimana bisa mengeluarkan aku dari sini, sedangkan kau sendiri tetap terkurung. Kedua kakimu sudah lumpuh, apa yang bisa kau lakukan terhadap kedua orang pengikut Dwipa Kuntar yang hebat-hebat itu?
Kakek berambut putih tetap duduk bersila, senyumnya melebar.

*
* *



--¦::: « 6 » :::¦--

"Aku memang lemah tak berdaya, usiaku pun hampir mencapai seratus tahun. Seusia mu dulu aku memang pemberontak terhadap kerajaan. Sudah banyak yang telah aku lakukan. Dan aku menyadari, tidak ada pemberontak kalau tidak ada kezaliman. Sri baginda yang sekarang tidak zalim. Beliau tokoh masyarakat yang paling disukai rakyat. Cuma sayang sejak kemunculan Dwipa Kuntar, nama sri baginda jadi tercoreng." Kakek itu mengangkat kesepuluh jarinya, menunjukkan kuku-kuku yang runcing bagai mata pisau. Riwang menatap ngeri.
"Bagiku sudah tidak ada harapan lagi, sanak saudara juga semua rekan-rekanku yang berjumlah ratusan orang telah tewas dalam dasar kolam maut. Tidak ada pilihan lain selain menetap seumur hidup di sini." Tiba-tiba saja kesepuluh jari kakek itu mengarah ke bawah, di luar dugaan pula ia menusukkan pada kulit pahanya. Bahkan meremas-remas sampai daging keriput di pahanya terkoyak dan mengeluarkan darah.
Melihat itu Riwang langsung mencegah Namun kakek itu berontak menyingkirkan Riwang. Pemuda itu menatap semakin ngeri. Sepertinya ada sesuatu yang akan dikeluarkan dari daging pahanya. Ternyata dugaan Riwang tidak meleset.
Setelah mengejang-ngejang kelojotan, kakek berambut putih mengeluarkan sesuatu dari dalam daging pahanya yang bergetar hebat. Sebuah lempengan batu bercampur darah. Setelah dibersihkan dengan ujung rambutnya, kakek itu menyerahkan pada Riwang.
"Kala Suta" Riwang membaca tulisan dalam lempengan batu. Saat itu pula kakek berambut putih berdiri dari tempatnya.
"Kau harus pergi dari sini, Riwang. Kita bukan pemberontak yang pantas dihukum mati. Pergilah! Dan simpanlah batu nama ku jangan sampai hilang. Suatu saat kau pasti membutuhkannya." Setelah berkata begitu, kakek berambut putih menyingkirkan tumpukan jerami. Tidak ada apa-apa selain batu-batu lantai yang tersusun rapi meskipun sudah agak berlumut.
"Ke marilah, Riwang, bantu aku..." Kakek itu nampak menarik-narik salah satu batu lantai. Riwang jadi penasaran, setelah memasukkan batu bertuliskan 'Kala Suta' ke dalam balik bajunya, ia membantu mengangkat batu lantai.
Maka terlihatlah sebuah lubang yang cukup besar menuju ke bawah. Cukup gelap dan pengap. Riwang sendiri terkejut saat kakek itu mendorongnya ke bawah.
"Keluarlah dari situ. Terowongan ini di gali hampir tiga puluh tahun lebih. Belum ada orang yang mencobanya lari dari sini. Cepat pergi! Hanya ini satusatunya jalan keluar." Kakek itu tidak memperdulikan Riwang yang masih menatapnya keheranan. Dia cepat menutup kembali lantai itu dan menutupinya dengan tumpukan-tumpukan jerami sebagaimana asal mulanya.
Tinggallah kakek berambut putih sendirian dalam ruang tahanan itu. Ia melangkah terhuyunghuyung. Mulutnya terus mengerung menahan sakit. Ia menatap kesepuluh jarinya bergetar bersimbah darah.
Di luar dugaan pula kesepuluh jari yang berkuku runcing itu bergerak cepat menyambar tenggorokannya sendiri. Secepat itu pula darah menyembur bagai air mancur. Dengan tenaga yang masih tersisa ia menarik putus urat pernafasannya. Maka lantai ruangan itu banjir dengan darah saat kakek berambut putih kelojotan menjelang ajal.
Terowongan yang dilalui Riwang cukup panjang. Selain gelap dan pengap, bau busuk pun menyebar memuakkan. Riwang menelusurinya dengan merayap bagai binatang melata. Manakala air menggenang separuh tubuhnya. Binatang berbisa memang banyak berkeliaran di sekitar lubang itu. Tapi nasib mujur rupanya tengah melindungi Riwang. Dalam keadaan gelap seperti itu mana mungkin Riwang bisa melihat situasi sekitarnya. Terhadap bau busuk saja ia sudah tidak tahan. Ingin rasanya ia cepat-cepat keluar dari terowongan itu.
Maka setelah melihat setitik sinar, Riwang mempercepat menyeret tubuhnya. Udara segar mulai tercium. Sinar terang semakin nampak. Dan ternyata pula di situ batas terowongan. Rumput alang-alang menutupi mulut terowongan itu. Riwang cepat menyibak. Maka terlihatlah pemandangan yang amat menyejukkan.
Hamparan tanah berumput serta pepohonan yang merimbun. Berkali-kali Riwang menghirup udara segar. Sebuah kali terlihat pula memanjang menembus lembah yang nampak hijau berkabut.
Setelah keluar dari mulut terowongan itu, ia baru sadar kalau pakaiannya telah kotor tidak karuan. Maka langkahnya terus menuju ke pinggir kali. Di situ ia langsung mencuci tubuh serta pakaiannya yang penuh lumpur. Mulai terasa kesegaran tubuhnya. Ia pun meminum sepuasnya.
Menyadari baru melarikan diri, Riwang cepatcepat meninggalkan kali itu. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar ringkikan seekor kuda. Dengan waswas ia menyelinap ke balik semak. Mengintai ke arah suara ringkik kuda itu. Ternyata bukan orang yang mengejar seperti prasangkanya. Kuda itu nampak tertambat pada sebatang pohon.
Dengan mengendap-endap Riwang melangkah mendekati. Tidak ada siapa pun di situ kecuali seekor kuda. Pada tali kekang yang tertambat itu menggantung sebuah baju dari kulit binatang. Tanpa pikir panjang lagi Riwang menukar pakaiannya dengan kulit binatang itu.
Setelah melepaskan pakaian kotornya Riwang naik ke punggung kuda. Saat itu pula ia langsung menghela kuat-kuat. Maka kuda itu berlari cepat. Riwang nampak seperti seorang pendekar menunggangi kuda dengan mengenakan pakaian bulu binatang. Helaan-helaannya makin jauh terdengar.
Mendengar ringkikan kuda, anak muda yang tengah merendam dalam air kali langsung berjingkat. Sekali lompat saja anak muda itu sudah berdiri pada tanah tepian kali. Ditatapnya seekor kuda lari menjauh dengan seorang penunggangnya. Anak muda itu mendadak melotot.
"Gila...! Kuda serta pakaianku amblas di gondol maling." gerutunya dalam hati. Lalu ia berusaha mengejar...
"Hooooy...! Kembalikan kuda dan pakaianku...!" teriak pemuda itu sambil mengibar-ngibarkan pakaian kotor milik Riwang. Riwang yang telah melarikan kudanya melaju terus tanpa mendengar teriakan dari arah belakangnya.
"Brengsek! Bagaimana pun aku harus mendapatkan kembali pakaianku. Maling keparat itu harus tahu dengan siapa ia berhadapan." Kecepatan larinya memang sangat luar biasa. Hanya dengan beberapa hentakan kaki saja tubuh anak muda itu melesat jauh. Ada pun pemuda itu seorang tokoh persilatan yang pantang dikenal orang. Namun dirinya sebenarnya seorang pendekar yang maha sakti. Siapa lagi pemuda yang selalu mengenakan pakaian bulu binatang, selain Pendekar Kelana Sakti? Selain Wintara...

*
* *



Menjelang gelap Riwang menghentikan kudanya tepat di depan sebuah bangunan yang hampir runtuh. Bangunan itu nampak amat menyeramkan. Alangalang yang tumbuh di sana sini nampak pula tak terurus.
Riwang menambatkan kudanya di depan bangunan itu. Dia sendiri tanpa ragu-ragu melangkah ke hadapan pintu yang tertutup rapat. Dia bermaksud mengetuk. Tapi baru beberapa ketukan, pintu itu berderak ambruk ke belakang. Rupanya pintu itu memang telah rusak, dan Riwang berpendapat bangunan tua ini sudah tidak berpenghuni.
Untuk itulah ia lebih berani masuk ke dalam. Di dalamnya masih utuh segala perabotan meski dalam keadaan porak poranda. Di mana-mana terdapat sarang laba-laba. Membuat Riwang semakin merinding. Namun ia tetap melangkah jauh ke dalam.
Mendadak saja ia hampir memekik saat ia memasuki ruangan lain. Karena yang dilihatnya pada ruangan itu lima buah peti mati tanpa tutup. Kelima mayat utuh terbujur seperti tidur. Riwang berjingkat mundur. Ia memilih ruangan lain di sebelah kamar mati itu.
Pada ruangan yang tak berpintu itu Riwang sudah dapat melihat keadaan di dalam sana dari luar. Sebuah tempat tidur dengan peralatan lain yang nampak bersih teratur. Setelah melepaskan senyumnya, ia melangkah masuk. Tubuhnya terasa lelah karena setengah harian mengendarai kuda. Belum pernah ia melakukannya sebelumnya. Maka direbahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kedua matanya mulai terpejam. Tiba-tiba...
"Maling busuk! Aku sudah mendapatkan kudaku. Sekarang kembalikan pakaianku...! Kalau tidak...!" Terdengar suara teriakan dari luar.
Riwang tersentak bangun. Ia baru menyadari kalau tadi siang baru saja mencuri seekor kuda dan menukar pakaiannya dengan pakaian yang dikenakannya sekarang. Dia tidak berani menjawab. Seluruh tubuhnya gemetar.
"Rupanya kau memaksaku menyeret keluar? Baik...." Terdengar lagi suara teriakan. Begitu juga dengan suara langkah kaki yang mulai memasuki ruangan.
"Tunggu....! Aku menyerah. Kau boleh ambil kudamu kembali, juga pakaian ini... Harap kau mau mengampuni, bukan maksudku mencuri semua milikmu... Aku terpaksa." Riwang berdiri di tengahtengah pintu kamar. Baju bulu binatang sudah dilepaskannya.
"Semua maling akan mengaku terpaksa bila tertangkap." Wintara melangkah mendekat, dia pun membuka pakaiannya.
"Percayalah padaku, Sobat. Aku betul-betul tidak bermaksud mencuri. Aku pun tidak tahu kalau semua ini milikmu. Aku sengaja menggunakannya untuk mengelabui anak buah Dwipa Kuntar." Riwang mencoba menjelaskannya.
"Siapa pun yang kau sebut-sebut itu, bukan urusanku." kata Wintara sambil menarik baju bulu binatang dari genggaman Riwang. Sebaliknya Wintara hanya melemparkan pakaian Riwang ke arah muka. Riwang gelagapan menerimanya.
"Terhadapmu aku masih memberi hati. Entah kenapa mendadak kasihan setelah melihat kau tanpa mengenakan baju. Melihat dari raut wajahmu, kau bukan seperti golongan pencuri." Wintara bersikap ramah.
"Kalau kau bukan anak buah Dwipa Kuntar, aku bersyukur sekali. Aku bisa bersembunyi di sini untuk sementara. Terus terang aku baru saja lari dari perangkapnya." jawab Riwang.
"Ah! Aku tidak mau tahu urusanmu. Gara-gara kau pun, aku terpaksa bermalam di sini." Wintara masih keki.
"Tidak ada salahnya kalau kita berdua bermalam di sini, Sobat. Kamar ini cukup bersih dan tempat tidurnya cukup besar. Atau kau boleh tidur di sana aku di lantai." Riwang menunjuk ke arah tempat tidur. Wintara tidak menjawab, ia melangkah memasuki kamar itu yang cukup terang oleh sinar bulan yang masuk dari jendela kayu.
Namun langkah-langkah Wintara jadi terhenti ketika terdengar suara berderak-derak. Terlebih-lebih Riwang yang masih menatap ke ruangan itu. Matanya langsung tertuju pada suara derak. Yang berasal dari kelima peti mati itu.
Kedua bola mata Riwang hampir lompat dari rongganya saat melihat lima pasang lengan mulai bergerak-gerak ke luar dari peti mati. Wintara sendiri hampir tidak percaya melihatnya. Apalagi ketika kelima mayat itu bangkit menunjukkan raut wajah yang begitu dingin kebiruan.
"Ma-ma-mayat hiduuup!" Riwang seperti berteriak tapi suaranya terdengar perlahan. Wintara yang dalam keadaan tercengang itu sempat menarik tubuh Riwang menerobos jendela kayu saat kelima mayat itu melesat beterbangan menjurus ke arah mereka.

*
* *



--¦::: « 7 » :::¦--

Kayu-kayu jendela berderak menghambur ke luar. Bersamaan dengan itu pun tubuh Wintara terus menerobos ke luar menyeret Riwang. Keduanya jatuh bergulingan di tanah.
Kelima mayat itu menyusul satu persatu beterbangan. Dan tahu-tahu saja sudah berdiri berderet di hadapan mereka. Wajah mereka yang nampak amat menyeramkan menyeringai. Wintara cepat bangkit. Riwang langsung berlari ke belakang Wintara.
Dua dari kelima mayat itu bersenjatakan selendang, sedang yang tiga lagi dengan tenang menarik ikat pinggangnya. Maka dalam sekejap ikat pinggang itu berubah menjadi tiga bilah pedang. Saat itu pula kelimanya serempak menyerang.
Dua utas selendang menyambar, suaranya membledar saat Wintara menghindari sambil mengangkat tubuh Riwang ke atas. Namun tiga lawannya yang bersenjatakan pedang beterbangan menjurus tajam. Wintara yang selalu awas dapat melihat gerakan mereka. Maka saat tubuh Wintara berjumpalitan di udara, sempat ia melepaskan tendangan ke arah mereka.
"Plaaaak...!"
Tiga lawannya sekaligus berjatuhan ke tanah.
Melihat orang yang mereka serang begitu hebat menjatuhkan tiga orang sekaligus. Dua orang bersenjatakan selendang menarik se suatu dari wajah mereka. Ternyata wajah seram mereka cuma sebuah topeng. Begitu terpana pula Wintara menatap dua orang perempuan cantik.
"Buka kedok kalian semua! Kita tidak perlu menakut-nakuti dengan cara ini. Dan juga jangan membuang-buang waktu. Habiskan mereka berdua secepatnya!" bentak salah seorang perempuan cantik itu. Maka ketiga orang yang tadi jatuh bergulingan, segera membuka topeng-topeng mereka. Nampaklah tiga orang laki-laki gagah.
"Serang!" Selendang itu menyambar lagi. Wintara cuma bergeser ke kiri. Sambaran selembar selendang memang luput, tapi bagi Riwang yang buta terhadap, ilmu silat tidak bisa berbuat banyak. Dia sendiri terkejut saat dua selendang itu melilit di tubuhnya.
Wintara melesat menendangi selendangselendang itu, namun tiga orang bersenjata pedang datang menghalangi. Babatan-babatan pedang begitu cepat menyambar. Untunglah Wintara cepat menarik mundur dirinya.
Saat itu pula kedua wanita menarik selendangnya kuat-kuat. Tubuh Riwang sampai mencelat ke atas. Di luar dugaan salah seorang dari perempuan itu melepaskan tendangan menyambut kedatangan tubuh Riwang.
"Deees!"
Riwang kembali mencelat bersama belitanbelitan selendang.
Selendang-selendang yang begitu panjang membuat diri Riwang tersangkut pada cabang pohon di sekitar halaman bangunan tua itu. Wintara merasa lega melihat Riwang tidak cidera sedikit pun. Maka dia pun langsung menghadapi ketiga laki-laki itu.
"Kalian bakal jadi setan sungguhan! Tidak guna menakut-nakuti demikian." Gesit Wintara menghindari setiap babatan pedang. Dia selalu membarengi setiap babatan pedang dengan hantamannya. Mengetahui begitu hebat, ketiga laki-laki penyerangnya makin gigih melancarkan serangan. Namun pedang-pedang mereka yang panjang hampir satu meter, seakan tidak berarti sama sekali bagi Wintara.
Dengan gerakan-gerakan yang gesit serta lincah, Wintara berani berkelit menghindari babatanbabatan pedang yang bergulung-gulung bagaikan tiga buah leret sinar yang tak pernah putus.
Wintara yang sudah kepalang tanggung menghadapi mereka melepaskan tiga kali hantaman berturut-turut. Maka dalam sekejap, pedang-pedang mereka terlepas dari genggaman. Dan berdentingan menyentuh tanah. Tentu saja pemandangan seperti itu membuat dua perempuan cantik ini makin murka.
Keduanya menerjang bareng dengan pukulanpukulan yang siap dilancarkan. Terhadap kedua perempuan ini Wintara tidak gentar menghadapi serangan-serangan mereka. Maka Pendekar Kelana Sakti ini nekad menyambut serangan mereka.
Hantaman-hantaman mereka beradu di udara. Saat itu pula Wintara sempat memekik. Karena sebuah pukulan menghantam dadanya sangat keras. Ia baru menyadari kalau dua orang perempuan ini lebih tangguh dibanding dengan ketiga lelaki itu.
"Hebat! Setan-setan cantik ini tidak boleh dianggap enteng rupanya!" Wintara membalas serangan. Tapi ketika hantamannya hampir mengenai bagian dada, Wintara menarik kembali lengannya. Namun lengan kanannya cepat maju menghantam pinggul salah seorang perempuan itu sampai terhuyung.
Riwang meronta-ronta tergantung di atas pohon. Belitan selendang itu begitu kuat. Rontaannya makin kuat saat tiga orang lelaki berdatangan menghunuskan pedangnya. Ketiganya melesat ke atas sambil membabatkan pedang. Namun belum sempat pedang mereka menyentuh tubuh Riwang, Wintara lebih dulu datang. Kedua lengannya langsung berputar menghantam ketiganya. Tapi dua perempuan cantik itu rupanya menyusul saat Wintara melesat.
Salah seorang dari perempuan itu cepat menyambar pedang dari laki-laki yang jatuh bergulingan. Secepat itu pula pedang itu bergerak menyambar.
"Traaang!"
Pedang itu seakan menyentuh benda yang amat keras. Selendang serta baju yang dikenakan Riwang robek.
Riwang tetap tergantung di atas meronta-ronta, lalu tanpa disadarinya sesuatu jatuh dari robekan bajunya. Sebuah lempengan batu. Rupanya saat pedang menghantam tubuh Riwang, sambaran pedang itu tepat mengenai batu itu. Batu itu pula yang melindungi tubuh Riwang dari sambaran pedang.
Perempuan itu menghentikan serangannya. Matanya tertuju pada lempengan batu yang tergeletak di tanah. Dengan ujung pedangnya perempuan itu mengambil lempengan batu itu.
Matanya terbelalak saat ia membaca tulisan yang tertera di situ... Kala Suta... Maka...
"Hentikan...!" Mendadak perempuan itu berteriak. Wintara jadi terheran-heran melihat para penyerangnya serentak diam. Semua mata mengarah pada perempuan yang masih menggenggam lempengan batu. Keempat penyerang itu datang menggerubungi, Dalam kesempatan itu pula Wintara melesat ke atas pohon. Kelima orang yang berada di bawahnya membiarkan Wintara menurunkan Riwang.
"Maafkan tindakan kami tadi, Ketua. Kami semua betul-betul tidak tahu...." Perempuan yang menggenggam lempengan batu itu langsung memberi hormat ketika Riwang turun bersama Wintara. Kedua telapak tangan perempuan itu mengembalikan lempengan batu. Riwang menerima dengan tidak mengerti.
"Melihat lempengan batu itu, pastilah anda seorang utusan Kala Suta. Sekalipun anda seorang utusan, kami sudah menganggap sebagai pemimpin kami." Setelah memberi hormat, kelima orang itu bangkit berdiri. Wintara mengira mereka akan menyerang lagi. Maka kedua lengannya siap-siap mengeluarkan jurus.
"Aku yang bernama: Wuning Sari sekali lagi memohon maaf. Juga aku mewakili adik ku Lela Warni." Kedua wanita itu memberi hormat lagi. Ketiga lelaki yang berada di dekatnya berdiri menunduk. Tak lama kemudian berdatangan lagi orang-orang memenuhi halaman bangunan. Dari pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah penduduk desa itu. Semuanya hampir bersenjata. Mereka langsung berderet ke hadapan Riwang dan memberi hormat.
"Siapa sebenarnya kalian?" tanya Riwang sambil melangkah mundur. Wuning Sari tersenyum....
"Kami semua sebenarnya rakyat biasa. Sengaja memilih bangunan tua ini sebagai tempat pertemuan. Kami juga sudah siap memberontak terhadap pemerintah sri baginda. Kami hanya menunggu perintah ketua."
"Apa? Jadi kalian semua akan memberontak pada sri baginda? Kalian telah melakukan tindakan yang salah. Selama ini sri baginda sangat memperhatikan rakyat. Beliau telah memeras keringat untuk kemakmurkan rakyatnya. Kenapa harus memberontak?"
Mendengar ucapan Riwang semuanya saling pandang. Terlebih-lebih Wuning Sari dan Lela Warni. Satu pun tidak ada yang berani bicara.
"Kebencian kalian terhadap sri baginda sebenarnya hanyalah korban 'Kambing Hitam' seseorang yang juga memegang jabatan di keraton. Aku dan kakek Kala Suta sendiri yang melihat perbuatan orang itu. Kakek Kala Suta mengatakan padaku bahwa ia tidak pernah memberontak terhadap sri baginda. Orang yang harus kalian hadapi adalah: Dwipa Kuntar...!"
"Sebagai seorang ketua, anda telah menerangkan perihal yang sebenarnya. Apapun pendapat ketua akan kami junjung tinggi. Terima kasih telah menyampaikan seseorang yang mesti kami hadapi."
"Sekali lagi aku katakan. Aku bukanlah seorang ketua yang pantas memimpin kalian, aku pun sama seperti kalian. Namaku Riwang."
"Apapun pengakuanmu, kami tetap menganggap kau sebagai ketua. Kala Suta yang selama puluhan tahun menyendiri telah menyerahkan batu tulis itu padamu. Ia tidak mungkin salah pilih." sela Lela Warni. Riwang makin tidak bisa menjawab. Wintara hanya menggaruk-garuk kepala.
Kala Suta menyendiri? Mereka telah beranggapan salah lagi. Jelas-jelas Riwang terkurung bersama dalam satu ruang tahanan. Mereka malah menganggap Kala Suta menyendiri. Siapa sangka pula kalau Riwang sekarang menjadi pemimpin mereka. Riwang jadi bingung sendiri.
"Ada sesuatu yang akan kukatakan, Ketua. Aku rasa untuk mengetahui di mana Kala Suta berada adalah satu rahasia. Tapi tak mengapa. Kala Suta memang orang yang sukar untuk ditemui, paling tidak kau akan mengantarkan di mana Dwipa Kuntar." Perkataan Wuning Sari begitu mengejutkan.
"Wuaaah... Kalau urusan kerajaan, aku tidak ikut campur," Tiba-tiba Wintara nyeletuk.
"Biarlah urusan kita sampai di sini saja, Riwang. Aku anggap sudah tidak ada persoalan lagi." lanjut Wintara, sebelah lengannya menepuk punggung Riwang.
"Siapakah pemuda yang bersamamu itu, Ketua Riwang?" tanya Lela Warni.
"Dia...? Oh dia " Riwang gelagapan.
"Aku Wintara, sahabatnya." Wintara cepat menjawab.
"Ya, ya. Dia sahabatku." Riwang menimpali.
"Ah, Ketua Riwang rupanya terlalu lelah. Mungkin karena perjalanannya yang teramat jauh. Sebaiknya kita beristirahat saja di dalam. Udara di luar sangat dingin. Tentunya kau pun perlu istirahat. Bukankah begitu, Wintara?" Wuning Sari memberi jalan. Maka keduanya melangkah masuk ke dalam bangunan itu lagi. Orang-orang yang berkumpul itu pun mengiringi dari belakang.
Beberapa orang menyediakan sebuah bangku berukir. Bangku itu diletakkan pada ruangan yang cukup besar di mana kelima peti mati masih terbujur kosong. Riwang di persilahkan menduduki kursi itu. Dalam hati, Wintara tertawa geli. Seorang pencuri bisa berlagak seorang raja. Mereka ini sebenarnya apa? Sepasukan pemberontak? Atau sepasukan orang-orang kurang waras?
Mula-mula mereka menyamar bagai hantu. Lalu menyerang ingin membunuh, kemudian menganggap Riwang sebagai ketua. Dan sekarang kedua wanita cantik itu sibuk mengeluarkan makanan. Ada baiknya juga Wintara mengejar Riwang sampai ke sini. Setidaktidaknya ia akan mendapat jatah makan malam.
"Setelah makan malam ini, Ketua Riwang boleh beristirahat. Biar kami berjaga di luar bergantian. Kami betul-betul menganggap malam pertemuan yang sangat luar biasa." tutur Lela Warni yang berdiri di sebelah Riwang. Pemuda yang kebingungan itu mengangguk.
"Tempat ini aman. Kita tidak perlu khawatir terhadap orang-orang kerajaan." kata Wuning Sari tidak kalah gesit melayani Riwang. Gadis yang satu ini selalu menunjukkan sikap yang berlebihan.
"Sudah kubilang, jangan libatkan sri baginda dalam pemberontakan kalian. Musuh kalian dan musuh rakyat sebenarnya adalah Dwipa Kuntar. Keparat itu yang semestinya kita musnahkan." Saat Riwang bicara orang-orang yang berada di situ diam seketika.
"Aku pun tidak perlu melibatkan diri." sela Wintara.

*
* *



--¦::: « 8 » :::¦--

Kemarahan Dwipa Kuntar meledak saat mengetahui tawanan Riwang melarikan diri. Mulanya ia tidak mengerti, bagaimana Riwang bisa lolos dari penjara yang tergembok begitu kuat. Dan juga tidak mungkin bisa lolos karena penjagaan yang begitu ketat.
Mengenai kematian Kala Suta yang sangat mengerikan itu. Dwipa Kuntar sudah menduga dia bunuh diri. Yang ia tidak habis pikir darimana Riwang bisa raib secara misterius, sedangkan terali besi masih tetap tergembok. Namun setelah ia memeriksa seluruh ruangan itu. Amarahnya makin memuncak. Karena ditemukannya sebuah lorong rahasia yang selama ini tidak diketahuinya. Maka dengan sengit ia memerintahkan seluruh pengawalnya untuk menelusuri terowongan itu dan mencari kembali tawanan Riwang.
Mereka semua menyebar ke segala pelosok. Memasuki desa-desa, lembah, maupun hutan belantara sekalipun. Setiap orang yang mereka temui tidak luput dari pertanyaan mereka. Bahkan ada juga yang mengorbankan nyawa di tangan para pengawal Dwipa Kuntar.
Desa Branjangan jadi gempar mendengar berita larinya tawanan Riwang. Mereka menduga Riwang pasti berada di desa itu. Para pengawal pun memeriksa setiap rumah-rumah penduduk. Namun susah payah mereka belum juga menemukan Riwang.
Rawing yang kebetulan baru memasuki desa itu guna mencari saudara kembarnya tersentak kaget. Para penduduk yang dijumpainya lari kalang kabut. Mereka seperti bertemu setan melihat Rawing berjalan tenang. Orang-orang itu teriak-teriak di sepanjang larinya...
"Riwang di sini...! Riwang di sini...!" Dari teriakan mereka, Rawing sudah memastikan kalau orangorang Dwipa Kuntar tengah mencari-cari Riwang. Maka ia pun memandang berkeliling. Sekejap saja pelataran desa itu sunyi senyap. Para penduduk desa menepi dalam gubuk mereka. Semua mata memandang ke arah Rawing. Rawing sendiri merasa berdiri di tengahtengah kesunyian.
Saat itu pula bermunculan beberapa orang berpakaian prajurit. Mereka yang berjumlah delapan orang menghunuskan pedang. Sigap pula mereka melangkah ke arah Rawing.
"Bagus kau, Riwang! Berani pula kau menampakkan diri. Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup. Dwipa Kuntar hanya memerintahkan membawa kepalamu." Para prajurit itu langsung mengepung Rawing. Mereka mengira Rawing adalah Riwang. Karena wajah mereka memang serupa. Rawing memanfaatkan kesempatan itu.
"Aku khawatir kepala Dwipa Kuntar sendiri yang bakal menggelinding..." Rawing menjawab tenang. Kedelapan prajurit itu membelalakkan mata.
"Jaga lidahmu, Riwang." Prajurit itu jadi sengit. Pedangnya membersit menyambar Yang lainnya mengikuti mulai menyerang. Namun sebelum pedang mereka mengenai Rawing melepaskan tendangan lebih dahulu pada salah seorang penyerangnya. Sampai terbanting ke tanah sambil menyemburkan darah dari mulutnya.
Mereka betul-betul terperanjat melihat tendangan Rawing yang begitu cepat. Apalagi melihat seorang temannya ambruk tanpa berkutik. Sudah tentu mereka jadi keder. Semua penuturan Dwipa Kuntar tidak benar. Riwang yang dibilang tidak becus apa-apa ternyata sangat sukar untuk dilumpuhkan.
Ketujuh prajurit yang masih sisa itu mengepung dari segala arah. Pedang-pedang mereka berkelebat mencecar ke tubuh Rawing yang sebenarnya ingin tertawa melihat mereka kebingungan. Saat itu pula Rawing menyambut serangan-serangan mereka. Meskipun dengan tangan kosong, Riwang dapat membuyarkan lawan-lawannya yang bersenjata pedang.
Dari kejauhan para penduduk desa menyaksikan pertarungan itu. Mereka semua menatap ngeri. Kaum perempuan ada yang sempat memekik ketakutan saat sebilah pedang menyambar ke arah Rawing. Tapi Rawing yang sudah mengerahkan semua jurusjurusnya itu melesatkan diri ke atas.
Dan dalam keadaan yang masih berjumpalitan di udara itu Rawing melepaskan dua hantamannya sekaligus. Maka dua orang prajurit ambruk kelojotan dengan mulut berlumuran darah.
"Kenapa tidak Dwipa Kuntar sendiri yang datang ke mari. Biar ku habiskan bersama kalian!" bentak Rawing. Sebelah lengannya cepat menepis pergelangan tangan lawannya. Secepat itu pula ia merebut pedang dari tangan lawan.
Dalam satu detik pedang itu bergerak keras, lalu disusul dengan jatuhnya seorang prajurit. Isi perutnya terburai ke luar mengerikan. Jeritannya menyayat memekakkan telinga.
"Majulah kalian bertiga sekaligus." Rawing menyeringai. Pedangnya terhunus masih bersimbah darah. Matanya nyalang menatap ketiga orang prajurit berdiri gemetar di hadapannya.
"Aku kira kalian tidak setakut ini saat membantai keluarga Adipati Rekayasa. Kenapa sekarang nampak seperti tikus kecebur di kali? Ayo maju...!"
Ketiganya saling pandang. Mereka bergidik melihat lima orang temannya bergelimpangan di tanah tanpa nyawa. Manakala Rawing melangkah mendekati. Para penduduk desa yang ada di sekitar situ menatap tegang.
"Hraaaaaa...!" Mendadak Rawing menerjang dengan suara teriakan yang lantang menggelegar. Pedangnya yang masih berlumuran dengan darah berkelebat bagai kilat yang menggelegar di langit. Serentak pula ketiganya ambruk. Dan di antaranya tidak sempat memekik, karena kepala mereka lebih dulu menggelinding. Sedang yang satu lagi kelojotan.
Ia telah kehilangan sebelah lengan dan sebelah telinga. Rupanya Rawing sengaja menyisakan segelintir lawannya. Orang itu tetap kelojotan di bawah telapak kaki Rawing yang menginjak kepalanya.
"Aku yakin kau masih bisa bertahan sampai kau menunjukkan di mana adanya Dwipa Kuntar!" bentak Rawing. Kedua matanya melotot seperti hendak loncat.
"Arggght" Orang itu memekik saat Rawing menarik bangkit.
"Orang-orang kampung...! Kalian tidak perlu takut padaku! Anjing-anjing ini pantas bergelimpangan dimakan cacing tanah. Karena mereka bersekutu dengan manusia bernyawa anjing. Tidakkah kalian dengar peristiwa pembantaian panglima kerajaan Adipati Rekayasa? Dalang semua ini adalah Dwipa Kuntar. Tidak patutkah aku sebagai anaknya menuntut balas atas kejahatan mereka? Hah! Pantaskah aku menuntut balas?" Suara Hawing polos namun sangat nyaring. Matanya memandang berkeliling mengarah pada orangorang Desa Branjangan yang berdiri ketakutan di depan gubuk mereka.
Rawing seperti tertawa, tapi suaranya tidak keluar. Tubuhnya yang kekar berdiri memegangi seorang prajurit cacat.
"Tidakkah kalian sadar, kalau kalian juga mulai dipengaruhi oleh Dwipa Kuntar keparat itu? Lamalama daging kalian bakal tersayat seiris demi seiris. Bahkan terperas sampai tetes darah penghabisan!" Puas mengumbar kata, Rawing mendorong tawanannya. Langkah-langkahnya yang gegap menyeret.....
Orang-orang Desa Brajangan hanya menatap kepergian Rawing yang makin lama makin menjauh. Dalam hati mereka terselip kebenaran yang diucapkan Rawing. Selama ini Dwipa Kuntar memang mulai menindas rakyat Branjangan secara perlahan-lahan Terutama soal upeti yang dilipatgandakan. Namun yang mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin Riwang bisa menggulingkan tujuh orang prajurit dengan sangat cepatnya. Padahal mereka tahu benar saat tiga 'jagoan' Kampung Branjangan meringkusnya waktu itu. Riwang sama sekali tidak berontak bagai tak berdaya. Tapi sekarang...? Tentu saja mereka terkecoh, karena yang mereka lihat tadi bukanlah Riwang, melainkan Rawing saudara kembarnya yang baru datang dari Tanah Tapak Tuan.
Semenjak Wintara bertemu dengan Riwang maupun orang-orang penghuni bangunan tua. Wintara merasa berada di lingkungan orang-orang berpenyakit saraf. Ada pula kesan yang membuat Wintara selalu ingin tertawa. Apalagi setelah melihat keakraban yang begitu singkat antara Riwang dengan Wuning Sari. Terlihat pula sinar kecemburuan di mata gadis bernama: Lela Warni.
Bagaimana tidak, Riwang tergolong pemuda yang sangat tampan. Wajar kalau dua kakak beradik itu saling berebut. Teman-temannya yang berjumlah hampir dua puluh orang malah memberi kesempatan pada Wuning Sari. Hal itu membuat Lela Warni makin cemberut.
"Sobat Wintara, kami akan senang kalau kau mau bergabung dengan kami. Kami membutuhkan orang-orang seperti kau." kata Wuning Sari yang duduk rapat di samping Riwang. Pemuda itu sendiri sebenarnya merasa risih. Wintara hanya menatap sekilas, lalu.... 
"Maaf, aku tidak ingin terlibat dengan urusan kalian. Aku cukup bangga dengan semangat juang yang begitu membara. Juga "
"Kau takut, Wintara? Untuk apa memiliki ilmu setinggi gunung kalau tidak dipergunakan saat rakyat membutuhkannya? Lagi pula kita tidak memberontak terhadap sri baginda. Seperti yang diperintahkan Kala Suta melalui Ketua Riwang. Kita hanya menggulingkan kebejatan Dwipa Kuntar. Hanya itu...!" tutur Wuning Sari.
"Betul, Wintara. Kalau saja kita dapat menumpas Dwipa Kuntar, semua rakyat akan merasa tentram. Sebaiknya kau ikut kami." tukas Rawing.
"Kalian cukup banyak untuk menggulingkan kekuatan Dwipa Kuntar. Dan lagi kalian semua berilmu cukup tinggi. Kurang apa lagi?" jawab Wintara.
"Aku harus pergi sekarang. Maaf... Aku bukan termasuk orang yang bisa diandalkan. Anggap saja pertemuan kita ini secara kebetulan. Permisi..." Wintara melangkah ke luar. Orang-orang yang berkumpul di situ memberi jalan.
"Semoga saja kau berubah pikiran, Wintara. Kami masih membutuhkan dirimu !"kata Lela Warni yang berlari memburu. Wintara sudah mendekati kudanya. Wintara tersenyum.
"Mungkin juga." jawabnya sambil naik ke atas pelana. Hanya dengan menarik tali kekang, kudanya sudah melangkah. Lela Warni masuk kembali ke dalam bangunan, namun mendadak ia berhenti. Ia mendengar suara langkah-langkah yang amat mencurigakan. Cepat ia melompat ke balik rimbunnya semak. Di situ ia bisa melihat belasan orang berpakaian prajurit. Langkah-langkah mereka seperti akan menuju pada bangunan tua.
Maka dengan gerakan yang sangat lincah, Lela Warni berjumpalitan tanpa mengeluarkan suara. Melihat kehadiran Lela Warni yang begitu aneh, orangorang yang tengah berkumpul itu merasa terkejut.
"Cepat bersembunyi, para pengawal Dwipa Kuntar menuju ke mari." bisik Lela Warni yang langsung melompat ke atas bersembunyi. Suara itu seperti menyebar, maka orang-orang yang berkumpul berlompatan mencari tempat persembunyian.
Begitu juga dengan Wuning Sari. Sekali ia menghentakkan kedua kaki, tubuhnya sudah berada di atas para. Riwang bangkit kebingungan. Dalam sekejap saja ruangan itu sepi seperti pertama kali ia datang ke situ. Untuk melesat ke atas seperti mereka, mana mungkin Riwang bisa.
"Ketua Riwang... Cepat naik ke mari!" Wuning Sari mengeluarkan suara pelan. Yang dilakukan Riwang malah seperti anak tolol. Karena ia tidak dapat melesat, Riwang hanya memanjat tiang ruangan. Sudah tentu tindakan itu akan memakan waktu yang sangat lama. Maka Wuning Sari turun kembali menyambar tubuh Riwang.
Tindakan Wuning Sari pun terlambat. Belasan prajurit sudah terlanjur melewati pintu bangunan yang terbuka lebar. Mereka pun sempat melihat mereka berdua. Dan hampir tidak percaya adanya Riwang di dalam ruangan itu. Maka...
"Itu Riwang...! Cepat tangkap! Juga perempuan itu!" Mereka serempak memburu Riwang yang gelagapan. Belasan pengawal Dwipa Kuntar memenuhi ruangan itu mengelilingi Riwang dan Wuning Sari.
"Bocah sial! Kau telah menyusahkan kami. Sebaiknya kau kupenggal sekarang!" Prajurit-prajurit itu mulai maju, Wuning Sari melindungi posisi Riwang.

*
* *



--¦::: « 9 » :::¦--

Tiba-tiba saja bagian atas ruangan berderak. Bersamaan dengan itu pula dua puluh orang yang bersembunyi di atas berloncatan ke bawah. Para prajurit yang berdiri di bawahnya terkejut setengah mati. Tahu-tahu saja mereka telah terkepung. Malah gerakan mereka lebih cepat. Tanpa adanya perintah lagi orangorang itu menyerang para prajurit.
Wuning Sari yang berada di tengah-tengah kepungan itu langsung melepaskan babatan pedang. Prajurit yang berada di depannya terlempar dengan dada yang bersimbah darah. Dan ketika ia membabat untuk yang kedua kalinya, dua orang ambruk kelojotan.
Rekan-rekannya yang lain sibuk pula menghadapi para prajurit itu. Denting beradunya senjata mereka nyaring. Begitu juga dengan suara jerit kesakitan yang panjang menyayat. Selalu beriringan dengan jatuhnya para korban dari kedua belah pihak.
Riwang mundur gemetar. Diam-diam ia mencari tempat persembunyian. Ia paling takut melihat pertempuran. Dalam keadaan seperti itu mana mungkin para prajurit Dwipa Kuntar dapat mengawasi Riwang. Wuning Sari sendiri mengira Riwang tengah terlibat pertempuran.
"Pemberontak-pemberontak keparat! Berani kalian terhadap pasukan pengawal Dwipa Kuntar?" Ada juga seorang prajurit yang gigih melancarkan serangan. Lela Warni memang tengah menghadapinya.
"Mulutmu terlalu busuk! Siapa yang takut terhadap Dwipa Kuntar...!" bantah Lela Warni, pedangnya berkelebat menyambut serangan. Menimbulkan benturan yang sangat keras.
"Adik Lela Warni, jangan bertele-tele menghadapi mereka. Pancung saja lehernya!" perintah Wuning Sari yang saat itu sudah menjatuhkan lima orang lawan. Mendengar itu pun Lela Warni memutar pedangnya kuat-kuat, maka...
"Craaak!"
Sebuah kepala menggelinding lalu terinjakinjak di bawah kaki pertempuran.
"Teman-teman...! Lawan kita sudah berkurang banyak, jangan beri kesempatan mereka melarikan diri...!" Sambil berteriak begitu Wuning Sari terus menggempur para prajurit yang ada di hadapannya.
"Hantam terus...!" Lela Warni makin bersemangat. Kurang lebih sudah enam orang yang dibikin tewas. Entah sudah berapa orang yang telah bergelimpangan tanpa nyawa di ruangan itu. Belum lagi yang terluka. Baik dari kedua belah pihak yang tengah terluka itu, mereka tetap melancarkan serangan. Dan ternyata para pengawal Dwipa Kuntar betul-betul porak poranda. Satu demi satu sampai pada yang terakhir, tewas mengerikan.
Setelah Wuning Sari membabat ke arah leher lawan terakhirnya, ternyata Lela Warni datang pula merobek bagian perut. Bahkan ditambah lagi dengan sebuah tendangan. Tubuh itu terlempar dengan nyawa terputus. Setelah berdegumnya tubuh itu di lantai ruangan, tempat itu kembali sunyi. Pertempuran telah usai. Para pengawal Dwipa Kuntar tewas semua tanpa sisa. Kelompok Riwang nampak membantu bangkit rekan-rekan yang terluka. Saat itu Riwang baru menampakkan diri.
"Tiga orang teman kita tewas, Wuning Sari... Yang luka enam orang." lapor orang-orang itu. Wuning Sari menatapi para korban, lalu...
"Obati yang luka-luka, yang tewas biarkan saja di sini. Kita tidak punya waktu banyak. Secepatnya kita harus meninggalkan tempat ini. Karena Dwipa Kuntar telah mencium markas kita."
"Kenapa harus menunggu waktu berlarut-larut. Kita jalankan saja rencana semula!" sela Lela Warni.
"Membidik Matahari?" Wuning Sari mengeluarkan kata sandi.
"Ya!"
Wuning Sari menatap teman-temannya yang terluka tengah diberi pengobatan. Syukurlah luka-luka mereka tidak begitu berat. Riwang juga tengah memeriksa keadaan mereka. Lalu gadis itu melangkah ke arah Riwang. Lela Warni mengikutinya.
"Ketua Riwang, mohon diberi petunjuk. Di manakah kami bisa menemukan Dwipa Kuntar?" Wuning Sari menegur. Riwang menoleh.
"Betul, Ketua Riwang, sebentar lagi pasti pasukan Dwipa Kuntar berdatangan ke mari. Daripada kita diserang, lebih baik menyerang lebih dulu." timpal Lela Warni.
"Ya...! Kami sudah siap menghadapi mereka!" jawab orang-orang yang berada di situ serempak. Bahkan orang-orang yang terluka itu ikut menyahut.
"Kami sudah terlanjur luka, Ketua Riwang. Lebih baik mati dalam menghadapi setan keparat Dwipa Kuntar."
Riwang tidak segera menjawab. Sebenarnya ia merasa khawatir terhadap mereka. Riwang tahu sendiri kalau Dwipa Kuntar mempunyai dua orang tukang pukul yang berilmu tinggi. Dengan kedua orang itu pula Dwipa Kuntar semakin berkuasa dan tak terkalahkan. Namun karena dorongan yang sangat mendesak, Riwang terpaksa buka suara....
"Baik, aku yang tidak memiliki ilmu secuil pun akan turut bersama kalian. Bersiap-siaplah. Kita akan menuju 'Penjara Maut."
"Penjara Maut?" Wuning Sari dan Lela Warni terkejut.
"Pantas kita selalu gagal mencari Dwipa Kuntar. Si keparat itu rupanya bersembunyi di sana!" gerutu Lela Warni.
"Kalau begitu kita segera berpencar. Biar Ketua Riwang bersamaku. Lela Warni, harap memimpin yang lain. Jangan terlalu bergerombol. Hal itu akan mencurigakan."
Meski agak cemberut, Lela Warni menuruti perintah kakaknya. Langkahnya menuju ke luar lebih dulu.
"Siapa yang mau ikut bersamaku, silahkan...!" Nada bicaranya begitu kesal. Tanpa diperintah lagi tiga orang temannya datang mengikuti Lela Warni.

*
* *



Ki Balung tersenyum lebar saat ia menarik jalanya untuk yang keempat kali. Puluhan ikan meronta-ronta berkecipak dalam jalanya. Ia hampir tidak sanggup menarik. Manakala ombak laut demikian besar menerpa. Lengannya yang legam memunguti satu demi satu ikan-ikan itu. Sampai-sampai tempat ikannya yang tergantung di pinggangnya penuh sarat.
Ikan-ikan yang masih berkecipak dalam jalanya tidak mungkin akan tertampung. Ki Balung sengaja menyeret jalanya ke pantai. Bermaksud akan membersihkan jalanya dari ikan. Saat itu ia mendengar derap kaki kuda yang menderu-deru.
Dari tempat ia berdiri Ki Balung sudah melihat kepulan debu yang bergulung-gulung memenuhi tanah berpasir. Belasan kuda serta para penunggangnya yang berpakaian prajurit nampak menghela kudakudanya demikian cepat. Ki Balung mengernyitkan alis menatap pasukan itu yang makin lama makin dekat.
Dia sudah tahu maksud kedatangan para prajurit itu. Maka ia bersikap pura-pura tidak tahu. Meskipun tangannya gemetar memunguti ikan-ikan dari jalanya. Jantungnya hampir copot saat kuda-kuda itu berhenti mengelilinginya.
"Kakek Kriput! Kami tengah mencari seorang buruan bernama Riwang. Apakah kau melihatnya?" tegur salah seorang prajurit itu.
Ki Balung tidak berani menatap. Dengan gemetar ia tetap menunduk.
"Kakek peyot! Apakah kau tuli!" bentak yang lain tidak sabaran. Kali ini Ki Balung mengangkat wajahnya menatap mereka. Dilihatnya belasan prajurit berwajah garang. Ki Balung makin menggigil.
"A-a-aku... ti-tit-tidak tahu... Betul-betul tidak tahu." jawab Ki Balung gugup. Matanya memandang ke arah gubuk. Ia khawatir sebab Mayang putrinya ada di sana. Dia pun tahu pula kalau mereka adalah para pengawal Dwipa Kuntar. Tiba-tiba saja...
"Plak!" Salah seorang dari mereka menampar dengan telapak kaki. Kontan Ki Balung bergulingan.
"Kau tidak jujur, Kakek busuk! Seret dia! Bawa ke gubuknya dan periksa!" Para penunggang kuda itu turun, mereka langsung menyeret Ki Balung. Ikan-ikan tangkapannya berantakan menggelepar-gelepar di pasir.
"Aku sungguh-sungguh tidak tahu... Aduuuh! Ampun!"
Mereka langsung mendobrak pintu gubuk. Mayang yang berada di dalam tengah menanak nasi mendadak terkejut. Ia hampir tidak percaya gubuknya telah penuh dengan para prajurit.
Tiba-tiba pula dari kerumunan itu mencelat tubuh Ki Balung ke hadapan Mayang. Sudah tentu Mayang jadi kalang abut memburunya. Para prajurit itu hanya menyeringai menatap mereka.
"Geledah seluruh ruangan ini, cepat!" Mereka menghambur memasuki tiap-tiap ruangan dalam gubuk itu.
"Kalian mencari apa?" bentak Mayang. Tapi Mayang mendapat jawaban yang tak terduga. Seorang prajurit yang paling menyeramkan datang menghampiri Mayang. Gadis itu tersentak, tahu-tahu saja rambutnya yang panjang dijambak.
"Tentunya gadis ini putri mu, Ki. He-he-he-he... Sangat cantik. Disayangkan pula hidup terpencil seperti ini...." Wajah bringas itu mendekat ke wajah Mayang. Gadis itu berontak.
"Lepaskan dia! Dia tidak tahu apa-apa...!" teriak Ki Balung. Namun sebuah tamparan mendarat lagi di pipinya. Ki Balung meringis. Lalu diam bergetar menatap seorang prajurit menghunuskan pedang ke arah Ki Balung.
"Kau lihat apa yang kupegang ini, Ki...? Sekarang kau tidak mungkin berdusta lagi." Orang yang menghunuskan pedang itu menunjukkan sesuatu pada Ki Balung. Laki-laki setengah tua itu membelalakkan mata.
"Pakaian bekas ini masih teramat bagus. Rasanya tidak mungkin kalau pakaian ini milikmu. Bekas apa pula bercak-bercak darah yang melekat di baju ini?"
"Ayah...!" pekik Mayang sambil berlari, tapi langkahnya segera terhenti karena salah seorang prajurit menahan tubuhnya dan langsung memeluk eraterat. Datang lagi beberapa orang ikut memegangi Mayang yang meronta-ronta.
"Dia sudah pergi...! Dia sudah tidak ada di sini...!" teriak Mayang. Orang-orang itu makin kuat merejang.
"Mayang kau bicara apa!" Ki Balung membentak. Namun mendadak kedua mata membelalak. Karena sebilah pedang telah menembus di perutnya.
"Ayah...!" Para prajurit sengaja melepaskan Mayang. Mereka menatap gadis itu meratapi Ki Balung. Sebentar kemudian mereka menarik kembali Mayang. Gadis itu menjadi bulan-bulanan belasan prajurit. Tawa mereka menggelegak memenuhi ruangan gubuk. Mereka mulai mempreteli pakaian Mayang. Mencabik-cabik secara bergantian. Sampai polos membugil.
Pemandangan seperti itu terlihat jelas oleh Ki Balung yang mengeluarkan nafas terputus-putus.
"Kalian laknat...! Binatang...!" teriaknya. Darah sudah mengalir dari perut. Kedua bola matanya seperti hendak keluar menatap anaknya yang bugil merontaronta dari tangan ke tangan.
"Sebelum kau mampus katakan ke mana Riwang?" Mereka berhenti mempermainkan Mayang yang sekarang sudah terbaring di tanah menangis. Bibir Ki Balung bergetar. Tiba-tiba saja ia meludahi muka orang yang bicara tadi. Tanpa membalas orang itu berbalik melangkah mendekati Mayang. Para prajurit lainnya diam membisu. Mendadak saja orang itu menarik ke atas tubuh Mayang. Menghadapkan pada sang ayah yang sudah sekarat. Gadis itu menggeliatgeliat lemas. Di hadapan Ki Balung pula orang itu menjilati seluruh tubuh bugil Mayang.
Dengan mengerahkan tenaganya Ki Balung berusaha bangkit. Langkah-langkah yang gontai menerjang ke arah orang yang melumat habis anaknya. Namun seleret sinar putih menebas lehernya lebih dulu. Kepala Ki Balung yang kuntung melayang ke luar diiringi dengan tawa mereka yang mengakak. Dari leher Ki Balung mengucur deras darah bagai air mancur.
Buntungan kepala itu jatuh tepat di pangkuan Wintara yang kebetulan melewati gubuk itu. Kudanya sengaja dihentikan di muka gubuk. Tanpa merasa jijik ia memegangi kepala Ki Balung sambil turun dari atas pelana. Dari pintu yang terkuak lebar itu, Wintara bisa melihat seorang gadis membugil meronta-ronta di bawah rejangan belasan orang laki-laki.

*
* *



--¦::: « 10 » :::¦--

"Hentikan pesta kecil ini, pasukan-pasukan rakus!" Suara Wintara mengejutkan orang-orang yang berada di dalam gubuk. Semuanya menoleh ke arah suara. Maka mereka melihat sosok Wintara berdiri di tengah-tengah pintu memegangi kutungan kepala.
"Oh, kiranya ada seorang anjing pengusik yang mengantarkan nyawa! Masuklah kemari, kami memang tengah haus membunuh." jawab orang yang sedang menindih tubuh bugil Mayang.
"Aku bukan saja anjing pengusik, Sobat... Tapi juga anjing yang galak. Apalagi terhadap cecurutcecurut tengik macam kalian!" jawab Wintara tenang. Ia meletakkan kutungan kepala Ki Balung pada leher yang masih mengalirkan darah di tanah.
"Bangsat! Cincang dia...!" Belasan prajurit itu menarik gagang pedang. Semuanya menghunus ke arah Wintara.
"Aku harap kalian bisa melakukannya. Karena selama ini belum ada yang bisa membunuhku, padahal aku sendiri sudah bosan hidup." Bicara Wintara mengejek. Dia malah melangkah mendekat. Mendengar ucapannya para prajurit Dwipa Kuntar garang melepaskan babatan pedang.
Orang yang paling dulu melepaskan sabetan pedang itu mendadak terjungkal. Dan menimpa beberapa orang di belakangnya. Ternyata Wintara lebih dulu melancarkan tendangan. Setelah itu pun Wintara tertawa mengekeh. Orang-orang itu cepat bangkit lalu menyerang lagi. Babatan-babatan pedang berseliweran bagai leretan-leretan sinar putih mengarah deras pada Wintara.
Kedua mata Wintara yang selalu awas dapat melihat leretan-leretan sinar putih yang bakal menggores di tubuhnya, maka sebuah babatan-babatan pedang melesat, Wintara menyambutnya dengan hantaman maupun tendangan.
"Bagaimana kalian bisa mencincang diri ku, menggunakan pedang saja kalian tidak becus!" Sambil berkata begitu ia merunduk menghindari dua babatan pedang, lalu dalam keadaan merunduk itu Wintara mendorong kedua telapak tangannya ke depan, maka...
"Bleder!"
Dua prajurit itu terlempar beberapa meter tak berkutik.
Menghadapi mereka dalam ruangan gubuk itu Wintara merasa sedikit kewalahan. Setiap sambaran pedang hampir saja mengenainya. Untunglah Wintara cukup gesit dan tangguh. Ia bisa berkelit menghindari setiap sambaran pedang. Ingin sekali Wintara memancing agar mereka segera keluar dari gubuk. Tapi nampaknya para prajurit itu tidak memberi kesempatan. Mereka telah menutup semua jalan keluar.
Mayang yang masih berada di sudut ruangan berdiri ketakutan melihat sambaran-sambaran pedang nyaris memenggal kepala Wintara. Bagaimana tidak? Wintara yang hanya seorang diri dan tanpa menggunakan senjata, terpaksa menghadapi belasan orang prajurit yang sudah terlatih. Sekalipun Mayang tahu kalau pemuda yang satu ini berilmu sangat tinggi...
Tidak henti-hentinya ia mendengar suara yang membledar menghantam jatuh satu demi satu para prajurit itu. Ditambah lagi dengan teriakan semangat Wintara. Membuat ruangan itu jadi makin gaduh. Yang nampak dari luar hanyalah para prajurit yang terlempar dari pintu maupun jendela. Di dalamnya Wintara sibuk melancarkan serangan-serangan.
Dua telapak tangannya terus berputar menghantami setiap prajurit yang datang menyerbu. Selama menghadapi mereka Wintara tidak berkedip sedikit pun. Sambaran pedang yang berjumlah belasan itu betul-betul merencahnya dari segala arah. Bahkan Wintara tidak dapat menyelamatkan selembar rambutnya yang putus terbabat.
"Gila! Kalian hampir saja mengupas batok kepalaku!" Wintara mundur selangkah.
"Itu baru beberapa lembar rambutmu, Anjing buduk! Sebentar lagi tubuhmu yang bakal hancur berkeping-keping." Penyerang itu melancarkan babatan pedang membabi buta. Sedangkan dari belakang penyerang-penyerang lain membokong. Merasa tidak sempat menyambut, Wintara melesat ke atas. Tubuhnya menerobos atap jerami.
"Kejar dia. Cepat...!" Dengan garang mereka berlari ke luar. Wintara sudah berdiri di atas atap. Dia menatap ke bawah pada atap jerami. Mayang masih menangisi jasad Ki Balung.
"Nona... cepatlah berpakaian. Tidak baik membugil terus dalam keadaan demikian."
Baru sadar kalau keadaan Mayang telanjang bulat. Seperti bangun dari mimpi, gadis itu langsung menutupi dada serta auratnya dengan kedua tangannya. Lalu ia menyambar selembar pakaian yang menggeletak di tanah. Pakaian bekas Rawing memang agak koyak tapi masih bisa dikenakan. Di bagian dadanya agak terbuka, menampakkan buah dada yang ranum menonjol ke depan dan hampir keluar. Sementara itu Wintara tetap di atas atap memandangi para prajurit yang menghambur ke luar. Beberapa orang di antaranya mulai berusaha naik. Dengan demikian Wintara lebih mudah melancarkan serangan.
Belum sempat mereka mendekati, Wintara sudah menjemput lebih dulu. Tentu saja dengan sambutan sebuah tendangan. Maka dengan sekali tendang, lima orang jatuh sekaligus. Kelimanya jatuh menggelinding lalu membentur permukaan tanah. Tidak satu pun dari kelima orang itu dapat bangkit lagi, karena tulang leher mereka patah semua.
Sudah tentu yang lainnya makin murka. Merekapun mulai naik dari segala sudut. Tapi secepat itu pula Wintara terjun ke bawah. Selama tubuhnya melesat ke bawah sebelah telapak tangannya menghantami tiga orang yang hampir mencapai atap. Maka tidak ampun lagi ketiganya celentang ke tanah dengan menyemburkan darah.
Wintara sendiri berjumpalitan, lalu hinggap di tanah tanpa bersuara. Karuan saja semua orang yang sudah berada di atas atap itu berlompatan turun. Namun belum sampai orang-orang itu menginjakkan kakinya ke tanah, Wintara sudah menyambut mereka. Kali ini Wintara menghantam lebih keras. Hantamanhantamannya meremukkan dada semua lawannya.
Kuda-kuda tunggangan mereka meringkikringkik. Kuda-kuda itu hampir memenuhi pelataran gubuk. Hanya kuda Wintara yang nampak tenang berdiri. Nampaknya kuda itu melihat banyak kehebatan tuannya. Tidak jarang pula ia selalu menghindar dari timbunan para prajurit yang berjatuhan ke bawah.
Saat itu Wintara masih menghadapi enam orang prajurit. Keenamnya itu pula telah mengurungnya. Namun Wintara tidak gentar sedikit pun. Leretanleretan sinar yang menyambar ke arahnya dengan mudah dihindari. Tiga orang yang berada di hadapannya gencar membabatkan pedang.
Babatan-babatan pedang itu mengarah pada bagian perut dan dada. Secepatnya pula Wintara salto ke belakang berkali-kali. Dan begitu kedua kakinya menyentuh tanah, Wintara sudah berada di pantai.
Ketika ketiga orang itu maju lagi, Pendekar Kelana Sakti ini menyambut dengan hantaman lengannya...
"Bug!"
Tubuh serta pedangnya langsung ambruk tersirat ombak. Dua orang lagi maju. Terjangannya bagai orang kesetanan. Babatan pedang mereka berkelebat cepat. Dengan tenang Wintara melancarkan tendangan memutar...
"Des...! Des!"
Kontan keduanya ngusruk mencium air laut.
Salah seorang dari mereka bangkit. tapi...
"Der!"
Tendangan Wintara kali ini membuat orang itu mencelat tidak kepalang tanggung. Tahu-tahu saja tubuh itu telah mengambang di permukaan laut terombang ambing ombak.
Tiga orang lagi yang berada dekat gubuk langsung melompat ke atas kuda mereka. Dan melarikan diri.
"Kau akan menerima akibatnya, Pemuda keparat...! Dwipa Kuntar pasti memancung kepalamu!!!" teriaknya. Mereka melarikan kuda secepat mungkin. Wintara berlari menyusul...
"Kalau begitu Dwipa Kuntar sama bejadnya dengan kalian!" teriak Wintara. Tubuhnya melesat deras dan mendadak saja sudah berada di atas pelana kudanya.
"Kalian sudah menganiaya orang dan bermaksud memperkosa seorang gadis, sekarang hendak mengadu pula pada Dwipa Kuntar. Siapa sebenarnya Dwipa Kuntar itu?" gerutu Wintara dalam hati. Ketika ia hendak memacu kudanya, Mayang keluar dari gubuk. Ia sudah tidak membugil lagi.
Pakaian bekas Rawing dikenakannya, meskipun telah ternoda dengan bercak-bercak darah mengering. Mayang berdiri di muka pintu menatap Wintara, sedangkan Wintara merasa risih. Karena bagian dada gadis itu masih terbuka lebar menampak jelas.
"Mereka telah membunuh ayahku. Aku harus memberitahukan pada sri baginda "
"Sepertinya mereka para prajurit gadungan. Tidak mungkin mereka akan bertindak seperti ini kalau mereka betul-betul pengawal kerajaan." ujar Wintara.
"Mereka orang-orang suruhan Dwipa Kuntar. Beliau seorang panglima yang tidak disukai rakyat. Aku juga sudah mendengar kalau Tanah Genang Banyu telah berubah menjadi neraka setelah Dwipa Kuntar menguasainya." Mayang mendekati salah satu kuda yang ada di muka gubuknya. Wintara yang mendengar penuturan Mayang jadi berpikir. Ia teringat akan rencana kelompok Riwang yang akan menghadapi Dwipa Kuntar. Kalau begitu jelaslah baginya sekarang. Mereka bukan sekelompok orang-orang senewen. Tapi....
"Hey, Nona Kau hendak ke mana?" tegur Wintara. Mayang sudah melarikan kudanya. Wintara berusaha mengimbangi.
"Sudah kukatakan, Dwipa Kuntar tidak bisa didiamkan. Sekarang juga aku akan menghadap sri baginda untuk melaporkan ulahnya." jawab Mayang tanpa menoleh. Wintara dapat melihat air mata gadis itu telah membasahi di kedua belah pipinya.
"Tindakanmu sangat tepat, Nona. Biarlah aku mengejar sisa prajurit itu." Wintara membelokkan arah kudanya. Ia masih dapat melihat ke mana tiga orang prajurit yang melarikan diri. Kepulan debu bekas derap kaki kuda masih nampak dari kejauhan. Wintara memacu kudanya mengejar mereka.

*
* *



Penjara maut berdiri tegak menyeramkan. Dingin bagai sebongkah balok es. Sekeliling penjara nampak air kolam beriak, sesekali pula berloncatan ikanikan berwarna keperakan di permukaan air. Jumlahnya hampir tidak dapat dihitung. Mungkin juga jutaan. Setiap kali mereka melompat nampak gigi-gigi yang berderet runcing bagai mata gergaji.
Rawing tetap memegangi tawanannya menghadap ke arah penjara di sebrang kolam. Tawanannya hampir tidak dapat berdiri, setiap kali Rawing mengangkat ke atas selalu jatuh lagi. Keadaannya memang telah parah. Sebelah tangan serta telinganya telah sapat. Darah pun terus menetes. Sepanjang bekal jalan mereka telah penuh dengan tetesan-tetesan darah. Rawing menatap geram ke arah penjara itu. Dadanya bergemuruh.
"Tunjukkan di mana jalan menuju ke sana!" bentak Rawing. Tangannya menghantam punggung orang itu. Hampir saja orang itu tersungkur masuk ke dalam kolam.
"Dari sini tidak ada jalan, kecuali... Kecuali..." jawabnya gugup. Ia membiarkan tubuhnya tetap lusuh di pinggir kolam.
"Kecuali apa!" Rawing seperti tidak sabar.
"Kecuali orang-orang di dalam sana yang membukakan jalan."
Rawing menatap pintu penjara yang tingginya melebihi sepuluh meter. Dia sudah menduga kalau pintu itu berfungsi juga sebagai jembatan penyeberangan. Sebenarnya dengan mengandalkan ilmu peringan tubuh Rawing bisa menyebranginya, tapi di depan sana tidak ada tempat untuk hinggap. Karena seluruh dinding berdiri rata dan licin. Dia juga tidak gegabah terhadap kolam yang mengelilingi penjara itu. Lebar kolam yang cuma sepuluh meter itu tidak ada artinya. Pastilah ada yang tersembunyi di balik permukaan air. 
Sementara itu di balik tembok penjara berdiri tiga orang berpakaian gemerlapan. Mereka tidak lain Dwipa Kuntar, Sawung Blambang dan Pragola. Mereka sudah mengetahui kedatangan Rawing ke tempat itu, karena mereka dapat melihat jelas dari balik jendela.

*
* *



--¦::: « 11 » :::¦--

Para pengawal yang ada di situ hanya beberapa orang. Berdiri siaga mengawal ketiga orang yang tetap menghadap ke luar dari balik jendela. Dwipa Kuntar nampak tersenyum.
"Tikus dungu itu berani datang lagi ke sini. Kalau tahu begini aku tak akan mengutus semua anak buahku untuk mencarinya." ujar Dwipa Kuntar. Sawung Blambang dan Pragola hanya tertawa mengekeh. Mereka mengira orang yang berdiri di muka penjara adalah Riwang.
"Dia sudah bosan hidup. Lempar saja ke dalam kolam." sahut Pragola. Tanpa basa-basi lagi Dwipa Kuntar memberi aba-aba pada para pengawalnya untuk segera membuka jembatan. Maka dua orang melangkah ke balik pintu. Salah seorang dari mereka menarik tuas. Maka pintu penjara berderak membuka.
Rawing yang berada di sebrang kolam sudah menduga kedatangannya itu sudah diketahui. Pintu yang merebah di hadapannya semakin merendah membentuk sebuah jembatan. Dwipa Kuntar bersama dua orang andalannya berdiri di tengah-tengah pintu penjara. Ketiganya menatap Rawing.
"Bagus, Riwang! Kau memang harus mampus di sini. Nah pintu sudah terbuka. Kau bisa berjalan ke mari?" sapa Dwipa Kuntar. Pragola dan Sawung Blambang tidak henti menatap. Merasa dipanggil Riwang, tahulah Rawing bahwa Riwang saudara kembarnya masih hidup. Ia berpura-pura pula berperan sebagai Riwang.
Tanpa memperdulikan tawanannya Rawing melangkah maju. Setiap gerakan langkahnya nampak tegang. Sementara itu ketiga orang yang menunggu di tengah-tengah pintu nampak tenang-tenang saja.
"Aku seperti ling lung, Dwipa Kuntar. Sepertinya aku tidak pernah datang ke sini." jawab Rawing sambil melangkah terus. Dia sudah berada di pertengahan jembatan.
"Biasanya perasaan orang yang hampir mampus memang begitu, Riwang. Kau tak perlu merasa aneh." Dwipa Kuntar bicara angkuh.
Tanpa sepengetahuan Riwang, tawanan yang ditinggalkan di tepi kolam mengikuti langkah-langkah Rawing. Meskipun ia telah kehilangan sebelah lengannya, orang itu menerjang bagai seekor kerbau. Ia bermaksud akan mendorong Rawing ke dalam kolam, Tapi Rawing adalah Rawing. Bukan pula Riwang. Terjangan itu dapat dirasakannya walaupun Rawing tidak menoleh ke belakang.
Secepat itu pula ia berbalik sambil menghempaskan kedua lengannya...
"Bug!"
Sambil memekik nyaring pembokong itu terjerumus ke dalam kolam. Namun jeritannya segera lenyap. Rawing sendiri dapat melihat tubuh penyerangnya digerogoti oleh jutaan ikan-ikan pemakan daging. Dalam waktu sekejap saja telah berubah menjadi tulang-tulang kerangka. Kembali Rawing menatap Dwipa Kuntar.
Melihat gerakan Rawing, barulah Dwipa Kuntar sadar kalau pemuda yang tengah menuju ke arahnya bukanlah Riwang. Kalau Riwang, tentunya tidak bisa menghindari serangan itu. Dan juga tidak mungkin datang ke situ seorang diri. Dwipa Kuntar tersenyum sinis. Diam-diam ia menarik kembali tuas pengendali jembatan. Maka pintu yang merebah itu berderit bergerak ke atas. Rawing yang berdiri di atasnya terkejut setengah mati, Tanpa diduga pula Pragola dan Sawung Blambang maju menyerang. Rawing yang sudah kepalang berada di tengah-tengah jembatan terpaksa menghadapi kedua orang itu. Rawing dapat menghindari serangan Pragola. Namun menghadapi serangan Sawung Blambang ia amat terkejut. Meskipun ia dapat menangkis, namun tenaga yang dilancarkan Sawung Blambang begitu keras. Sehingga tepat masuk menghantam dadanya.
Dua kali berturut-turut Rawing menerima hantaman dari Sawung Blambang tanpa terhindar. Manakala jembatan semakin berdiri vertikal menjorok curam. Saat Pragola melepaskan tendangan, Rawing memekik. Tubuhnya terlontar ke samping. Tak ampun lagi Rawing jatuh ke bawah di mana jutaan ikan-ikan pemakan daging menanti dengan lapar.
Namun sebelum tubuh Rawing menyentuh permukaan air, terasa lengan-lengan kekar datang menyambar. Rawing tidak sempat siapa yang telah menyelamatkannya. Tahu-tahu saja mereka sudah berada di atas jembatan yang tetap bergerak menutup pintu penjara.
Pragola maupun Sawung Blambang amat terkejut melihat kemunculan seorang pemuda mengenakan baju binatang. Kehebatannya dalam menyelamatkan Rawing amat mengagumkan. Di atas jembatan yang nyaris tertutup seperti itu pun sempat berdiri tegak.
Pemuda itu melompat masuk bersama Rawing saat pintu penjara menutup rapat. Di bawahnya Pragola dan Sawung Blambang menyambut dengan serangan-serangan. Dwipa Kuntar memberi aba-aba agar para pengawalnya ikut menyerang. Maka berhamburan para pengawal bersenjata pedang mengepung. Melihat itu Rawing langsung menghadapi para prajurit itu.
"Riwang! Kenapa bertindak sendiri? Mana yang lain?" Suara Wintara agak keras. Karena ia sendiri tengah menghadapi dua orang andalan Dwipa Kuntar. Saat itu ia merunduk menghindari sebuah tinju yang nyaris memecahkan kepalanya.
"Aku bukan Riwang! Tapi...." Rawing tidak melanjutkan ucapannya. Karena seleret sabetan pedang datang begitu cepat. Namun saat itu pula Rawing sempat melepaskan hantaman keras. Orang itu sampai mencelat jatuh. Tanpa sengaja pula tubuh yang terlempar itu menancap tembus pada tuas pengendali pintu. Maka terdengar suara derakan dari pintu yang mulai membuka lagi.
"Aku Rawing, saudara kembar Riwang. Di mana adikku?" lanjut Rawing setelah menjatuhkan seorang lawan lagi. Langkah-langkahnya gencar melabrak tiaptiap prajurit. Karena yang ditujunya adalah Dwipa Kuntar, Laki-laki setengah tua itu telah bersiap-siap dengan pedangnya. Nampaknya ia pun tidak gentar melihat Rawing menuju ke arahnya sambil melancarkan serangan yang menjatuhkan beberapa pengawalnya.
"Apa? Ucapanmu tidak jelas!" teriak Wintara. Suasana di ruangan itu memang gaduh. Lagi pula Wintara agak repot menghadapi dua orang lawannya itu. Pragola maupun Sawung Blambang tergolong orang yang berilmu tingkat tinggi. Wintara nyaris jadi bulanbulanan mereka. Setiap serangan balasan Wintara tidak berarti apa-apa bagi mereka.
"Aku Rawing! Riwang saudara kembar ku!" Suara Rawing lebih keras.
Dwipa Kuntar malah maju. Babatan pedangnya tidak tanggung-tanggung diarahkan pada Rawing. Sebelum Rawing mendekat, ia menyambar pedang dari salah satu lawannya yang berhasil dibuat jatuh klenger. Dengan pedang itu ia menangkis sambaran pedang Dwipa Kuntar.
"Bangsat kau Rawing! Aku pikir sudah jadi bangkai di laut sana!" sergah Dwipa Kuntar. Serangannya dilipatgandakan.
"Aku memang setannya, Kunyuk Dwipa Kuntar. Datang ke mari justru akan menuntut atas perbuatanmu!" jawab Rawing. Ia menangkis lagi. Benturan senjata mereka berdenting sampai memercikkan api. Para pengawal yang lain tidak berani maju. Juga tidak berani melancarkan serangan, karena saat itu Dwipa Kuntar tengah bergelut dengan Rawing. Sama-sama gigih, karena dalam kepandaian ilmu pedang mereka sangat berimbang.
Di lain pihak, Wintara harus berjumpalitan setengah mati menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pragola dan Sawung Blambang. Telah beberapa kali Wintara membalas serangan-serangan itu dengan melepaskan 'Pukulan Hawa Dingin', namun kedua lawannya itu selalu dapat mengelak. Bahkan ketika hantaman mereka beradu, benturan tenaga dalam mereka menimbulkan bunyi yang membledar.
Ketiganya berpentalan ke arah yang berlawanan. Malang bagi Wintara, tubuhnya terus keluar dan harus jatuh bergulingan di atas jembatan yang telah terbuka itu. Tak dapat dihindarinya pula ketika tubuhnya tergelincir ke bawah. Namun dengan cepat pula ia berpegangan dengan sebelah lengan. Kalau tidak, mungkin sudah menjadi sasaran ikan-ikan pemakan bangkai.
Melihat itu Pragola maupun Sawung Blambang meluruk keluar. Sawung Blambang sengit melancarkan serangan terhadap Wintara yang tergantung pada tepian jembatan.
Saat itu pula di sebrang kolam berdatangan belasan orang menunggangi kuda. Mereka rombongan Lela Warni bersama pasukannya, Dari atas pelana kuda gadis itu langsung melesat bagai anak panah. Hantamannya mendorong keras Sawung Blambang. Mendapat bantuan seperti itu Wintara salto ke atas lalu hinggap di atas jembatan itu lagi.
"Wintara, kalau saja kau akan bertindak seperti ini, kenapa tidak bergabung dengan kami. Bertindak sendirian hanya mengantar nyawa." Lela Warni menghalau kedua penyerang Wintara dengan pedang, teman-temannya sudah turun dari kuda dan mulai menyerbu. 
"Hati-hatilah terhadap dua anjing gudik itu, Lela Warni... Pukulan tenaga dalamnya sangat hebat." Wintara berjumpalitan di udara, lalu hinggap di samping Lela Warni langsung melancarkan serangan.
"Mana anjing Dwipa Kuntar itu! Suruh dia keluar menghadapi kami!" bentak Lela Warni sambil melepaskan sambaran pedang pada Pragola. Namun ia sangat terkejut, karena mendadak saja sebuah hantaman menggedor perutnya....
"Der!"
Pedang serta tubuhnya terlempar dan bergulir jatuh ke arah kolam.
Melihat itu, Wintara yang tadi menghadapi Sawung Blambang cepat berbalik. Saat itu pula Sawung Blambang melepaskan hantamannya. Wintara terdorong maju. Dari mulutnya menyembur darah.

*
* *



--¦::: « 12 » :::¦--

Meskipun telah mendapatkan hantaman yang sangat keras dari Sawung Blambang, Wintara tetap melanjutkan niatnya. Dalam gerakan yang sangat lambat kita dapat melihat bagaimana Wintara menyelamatkan Lela Warni. Bagaikan seekor rajawali Wintara menyambar tubuh ramping yang hampir masuk ke dalam permukaan air kolam.
Lalu keduanya hinggap di atas jembatan tanpa mengeluarkan suara. Kembali Wintara menyemburkan darah lagi. Ketika Lela Warni hendak maju lagi, Wintara merentangkan sebelah lengan menghalangilangkah Lela Warni.
"Menyingkirlah dari sini, Lela Warni. Mereka bukan tandingan mu. Menyingkirlah!" sergah Wintara. Pasukan Lela Warni telah berkumpul di belakangnya. Lalu Wintara menghimpun tenaganya kembali. Setelah mengepak-ngepakkan kedua tangannya. Kedua telapak tangannya mengatup sebatas dada. Lela Warni merasakan hawa dingin yang keluar dari tubuh Wintara. Makanya ia segera mundur beberapa langkah.
Dan gadis itu hampir tidak percaya ketika melihat Wintara terbang menjurus bagai sebutir peluru. Nampak pula Pragola dan Sawung Blambang menyambut dengan melepaskan beberapa pukulan. Hantamanhantaman itu memang mengena di tubuh Wintara. Tapi Wintara sendiri seperti tidak merasakan apa-apa. Malah Wintara sempat melepaskan dua kali berturutturut hantaman pada kedua orang lawannya itu.
Pragola maupun Sawung Blambang jatuh kelojotan. Keduanya menyemburkan darah dari mulut. Namun Wintara lebih hebat lagi. Darah kehitaman mancur dengan deras dari mulut dan hidung. Tapi tindakannya itu tidak percuma. Saat keduanya jatuh kelojotan, pasukan Lela Warni menerobos masuk ke dalam ruang penjara. Wintara tetap berdiri dengan pandangan nanar mengawasi kedua lawannya yang mulai bangkit berdiri.
Lela Warni serta pasukannya tersentak bagai tersambar petir saat melihat sosok tubuh dengan gagah menghadapi belasan orang pengawal Dwipa Kuntar. Melihat itu pun Lela Warni datang membantu. Juga pasukannya. Pedangnya yang telah terhunus langsung mencari sasaran.
"Riwang. Astaga...! Kau pun diam-diam bertindak sendiri." tegur Lela Warni dengan nada keras. Rawing tidak perduli. Babatan pedangnya terus berputar menjatuhkan dua orang ke lantai.
"Mana Wuning Sari serta pasukannya. Apakah mereka semua tewas?"
"Kau bicara apa, Nona. Aku tidak kenal dengan Wuning Sari atau pun kau!" jawab Rawing sengit melancarkan babatan pedang. Jatuh lagi seorang pengawal Dwipa Kuntar.
"Apa?" Lela Warni heran. Ia berdiri mematung menghentikan serangan. Dan tidak menyadari kalau serangan lawan datang dari arah belakang. Matanya memandang Rawing penuh keheranan.
"Awas di belakangmu, Nona!" Rawing berteriak. Lela Warni tersadar dari kebingungannya, maka ia segera membabat ke belakang...
"Bret!"
Seorang prajurit terjungkir dengan perut terburai menyembur darah.
"Kau aneh, Riwang! Dalam beberapa hari saja kau sudah lupa pada kami, apakah ini hanya siasatmu saja?" Lela Warni mengawasi pasukannya menggempur habis para pengawal Dwipa Kuntar.
"Siasat apa? Aku betul-betul tidak kenal kalian. Lagipula aku bukan Riwang. Aku saudara kembarnya." jawab Rawing. Babatan pedangnya tidak pernah putus. Para pengawal Dwipa Kuntar berjatuhan. Begitu juga dengan Dwipa Kuntar, ia pun tidak tanggung-tanggung membalas kematian para anak buahnya terhadap pasukan Lela Warni. Ruangan itu telah penuh bergelimpangan para korban pertempuran. Pasukan Lela Warni tinggal beberapa orang, sedangkan para pengawal Dwipa Kuntar hampir habis. Namun kekuatan Dwipa Kuntar melebihi seekor banteng. Pedangnya lebih banyak memakan korban. Dan sekarang ia tengah menghadapi Lela Warni bersama Rawing. Leretan sinar putih saling gulung merencah menimbulkan percikan api. Dentingan senjata mereka memekakkan telinga saat senjata mereka beradu. Gigih pula kedua muda mudi ini menggempur pertahanan Dwipa Kuntar.
Saat itu Wintara tengah berkelit menghindari serangan Pragola dan Sawung Blambang yang datang serempak. Kemarahan Wintara kian memuncak. Justru dengan kemarahan seperti itu kedua lawannya jadi blingsatan. Wintara tidak memperdulikan hantaman-hantaman mereka bersarang di tubuhnya. Namun dengan sekali balas, tinju Wintara dapat membuat Sawung Blambang terjungkal bergulingan di sepanjang jembatan. Ia tidak segera bangkit, karena hantaman itu mengena telak pada ulu hati.
Bagi Pragola hantaman Wintara yang bergulung-gulung menimbulkan suara bergemuruh dapat diatasi. Itu pun dia harus kewalahan menahan serangan itu. Kedua lengannya serasa berdenyut manakala hantaman mereka saling bentur. Pragola yang memiliki kepandaian agak lumayan dibanding Sawung Blambang dapat mengimbangi setiap gerakan Wintara, Maka pada satu kesempatan Pragola dapat melepaskan tendangan ke arah perut. Tak urung lagi Wintara mencelat ke belakang. Sawung Blambang yang sudah siap bangkit tidak sempat menghindar saat Wintara jatuh menimpa dirinya. Dan tak ayal lagi tubuh Sawung Blambang terjerumus masuk ke dalam permukaan kolam tanpa ampun.
Ketika tubuh itu masuk ke dalam kolam, permukaan air kolam seperti bergolak. Muncul pula jutaan ikan-ikan pemakan daging saling berebut menggerogoti tubuh Sawung Blambang. Jeritannya keras merobek suasana menyeramkan itu.
Melihat itu Wintara bergidik, dalam sekejap yang nampak hanyalah tulang-tulang kerangka tanpa secuil daging. Permukaan air kolam sekitar itu memerah bercampur darah. Pragola menatap geram. Tubuhnya seperti bergetar dengan wajah yang murka.
Ketika mereka saling tatap. Mendadak dari dalam ruangan penjara terlontar sosok tubuh Dwipa Kuntar. Tubuhnya bergulingan di bawah kaki Pragola. Punggungnya telah robek bekas babatan pedang.
Dari mulut pintu muncul Rawing dan Lela Warni yang siap mengejar Dwipa Kuntar. Di belakangnya berderet sisa-sisa pasukan Lela Warni. Serempak pula mereka menyerbu. Namun serbuan itu disambut oleh Pragola. Lela Warni dan Rawing tidak menyangka kalau Pragola akan merebahkan diri dan menyapu langkah-langkah mereka.
Tak terelakkan lagi keduanya jatuh bangun. Pragola cepat menepis saat Lela Warni membabatkan pedangnya. Sebelah lengan Pragola maju menghantam....
"Des!"
Lela Warni memekik. Pedangnya terlepas sedangkan tubuhnya kembali berguling. Rawing cepat maju ke depan mengarahkan sambaran pedang. Sudah tentu maksudnya menghalangi Pragola dalam melancarkan serangan pada Lela Warni yang masih kesakitan.
Pasukan Lela Warni yang tinggal beberapa orang itu datang menyerbu. Namun mereka bukanlah apa-apa bagi Pragola. Meskipun mereka menggunakan senjata pedang, Pragola tanpa kesulitan menghantami mereka. Ada juga beberapa dari mereka yang terjerumus ke dalam kolam tanpa ampun tidak sempat berteriak lagi. Mereka sudah terseret ke dasar kolam digeluti oleh jutaan ikan-ikan pemakan bangkai. Permukaan air kolam mendadak merah, bercampur darah.
Dalam hal ini bukan berarti Wintara tinggal diam. Wintara juga dapat melihat betapa mengerikan nasib pasukan Lela Warni. Tapi dia sendiri merasa repot menghadapi Dwipa Kuntar. Apalagi Dwipa Kuntar membabi buta melancarkan sambaran pedangnya. Setiap sambaran pedangnya selalu maut bagi Wintara.
Lela Warni yang sudah diselamatkan oleh Rawing dapat melihat kesibukan Wintara. Makanya ia cepat menarik selendang yang merupakan ikat pinggang. Sebentar saja selendang itu menggletar nyaring. Dwipa Kuntar tidak sempat menghindari lecutan selendang Lela Warni. Tahu-tahu saja tubuhnya telah terbelit tanpa daya. Detik itu juga Lela Warni menarik kuatkuat. Saat tubuh Dwipa Kuntar melayang ke atas, Wintara melesat ke atas pula melepaskan tendangan...
"Deeer!"
Tubuh Dwipa Kuntar melintir lalu ambruk keras di atas jembatan.
Bersamaan dengan itu pun Rawing terjungkal. Sambaran Pragola seperti kitiran angin yang menderuderu menghempas Rawing. Namun mendadak saja Pragola tersentak. Kedua lengannya bagai membentur benda yang amat keras. Rupanya Wintara cepat datang mematahkan serangan Pragola.
"Bangsat! Jangan seperti tikus-tikus pengerat! Maju saja kalian bertiga!" bentak Pragola. Mendapat tantangan seperti itu, Lela Warni maupun Riwang segera bangkit. Keduanya menerjang dari arah yang berlawanan. Wintara ikut pula melancarkan serangan. Tanpa melangkah mundur Pragola cepat memutar kedua lengannya. Maka terdengar bagai suara guntur. Sekali Pragola menghempaskan seluruh tenaganya. Ketiga jago itu berpentalan. Rawing tersungkur terpelanting bergulingan, Lela Warni jatuh ke pinggir jembatan dan hampir saja terjerumus. Mukanya yang mengarah ke permukaan air kolam berubah pucat saat ikan-ikan pemakan bangkai berlompatan menyambar. Wintara mundur beberapa langkah sambil terhuyung. Dadanya terasa sesak.
"Hebat kau anak muda! Kau sanggup menahan pukulan 'Guntur Selaksa', cobalah ini sekali lagi... Hreaaaa!" Pragola menerjang. Langkahnya gegap menginjak jembatan. Cepat Wintara mengerahkan tenaga inti hawa dingin. Tanpa berkedip ia mendorong kuatkuat telapak tangannya ke depan, maka....
"Bledaaaaar!"
Keduanya mental dari kedua sisi jembatan. Di bawahnya telah menanti permukaan air kolam yang dihuni oleh mahluk-mahluk mengerikan, jeritan Pragola memecah keras. Dan tubuhnya yang meluncur deras ke permukaan kolam langsung diserbu jutaan ikan-ikan sebesar telapak tangan.
Pada saat sebelum Pragola jatuh, Wintara pun mengalami nasib yang serupa. Tanpa ampun Wintara jatuh ke bawah. Saat itu pula Lela Warni bertindak cepat. Selendangnya di lecutkan ke arah Wintara. Maksud gadis itu akan menyambar dan menarik tubuh Wintara, tapi sayang tindakannya terlalu cepat. Selendang itu merentang bagai sebuah galah tepat di atas pemukaan air kolam.
Tanpa diduga pula, Wintara berjumpalitan di udara. Lalu kedua kakinya menapak pada ujung selendang Lela Warni. Nampak jelas ilmu peringan tubuh yang sangat sempurna. Gadis itu membelalakkan matanya saat Wintara berlari cepat di atas rentangan selendang yang mengambang. Kemudian dengan hentakan kaki kirinya Wintara melesat ke atas mencapai jembatan lagi. Rawing meringis seluruh tulang-tulang sendinya terasa rontok. Meskipun begitu ia bisa melihat kehebatan Pendekar Kelana Sakti itu. Ia membiarkan tubuhnya yang penuh luka memar terbaring.
Diam-diam pula Dwipa Kuntar yang juga sudah terluka melarikan diri. Wintara dan Lela Warni melangkah mengejar. Tapi keduanya segera menghentikan larinya. Membiarkan Dwipa Kuntar berlari terus. Mereka tidak perlu mengejarnya, karena mereka sudah melihat rombongan Wuning Sari sudah berada di ujung jembatan. Dwipa Kuntar sendiri terkejut setengah mati saat hampir sampai di ujung jembatan. Langkah-langkahnya yang terhuyung mendadak berhenti menatap belasan orang turun dari kuda. Paling tengah dan berjalan lebih dulu adalah Wuning Sari, di sebelahnya Riwang mengikuti dengan tenang.
Dwipa Kuntar menoleh ke belakang, dilihatnya Wintara bersama Lela Warni mulai melangkah. Dirinya benar-benar terkurung. Tidak ada jalan lain lagi, di kanan kirinya sebuah kolam. Riwang tidak berhenti menatap Dwipa Kuntar berdiri ketakutan.
Dengan geram pula Riwang merampas pedang Wuning Sari dari pinggangnya. Gadis yang berdiri di sebelahnya tidak menghalangi saat Riwang berlari ke arah Dwipa Kuntar sambil mengacungkan sebilah pedang mengkilat bagai kaca.
Dwipa Kuntar menatap ngeri pada pedang yang sudah teracung siap menebas lehernya. Langkahnya bergetar mundur. Sebelum Riwang membabatkan pedangnya, Dwipa Kuntar tergelincir sendiri...
"Byuuur!"
Cepat Dwipa Kuntar berpegangan pada pinggiran jembatan. Ia tidak sadar pula kalau setengah tubuhnya masuk ke dalam permukaan air. Maka pada detik itu teriakan menyayat keluar dari mulut Dwipa Kuntar.
"Wuaaaaaaaaaaa...!" Dwipa Kuntar merontaronta. Tangannya tetap berpegangan erat pada pinggiran jembatan. Semua orang yang berada di situ menatap ngeri. Manakala jeritan Dwipa Kuntar yang menyayat terdengar semakin histeris. Tergetar hati Riwang untuk menolongnya. Maka ia segera melangkah mengulurkan tangannya, namun....
"Biarkan dia!" Terdengar suara bentakan seorang lelaki. Jelas suara itu bukan dari mulut Wintara maupun Rawing. Maka serentak orang-orang yang berdiri di atas jembatan itu menoleh ke arah suara. Nampaklah sepasukan prajurit kerajaan lengkap berkuda.
"Biarkan dia digerogoti habis oleh makhlukmahkluk laknat itu." kata seorang lelaki yang menunggangi kudanya paling tengah, Seorang gadis cantik turun dari kudanya, ia segera berlari ke arah jembatan. Rombongan Wuning Sari yang memenuhi di ujung jembatan memberi jalan. Larinya semakin cepat ketika hampir mendekati Riwang.
"Kakang Rawing..." Gadis itu langsung memeluk tubuh Riwang yang gelagapan. Ia seperti ingin menghindar dari pelukan gadis itu. Wuning Sari cepat membuang muka. Lela Warni hanya tersenyum, ia tahu apa yang menyebabkan Riwang gelagapan seperti itu. Maka ia melangkah mendekati keduanya...
"Nona... kau salah alamat. Orang yang kau maksud ada di sana." ujar Lela Warni sambil menunjuk ke arah Rawing yang sudah bangkit duduk. Lakilaki itu tersenyum ke arah gadis yang tengah memeluk Riwang.
"Mayang...! Mestinya kau memeluk aku" kata Rawing sambil melepaskan senyum yang lebar. Mayang membelalakkan matanya. Sebentar kemudian ia menatap Riwang, lalu kembali ke arah Rawing. Dengan pipi yang memerah Mayang melepaskan pelukannya, dan ia berlari lagi ke arah Rawing.
Wintara menjadi geli. Orang-orang yang berada di situ maupun para pasukan yang baru datang tertawa melihat tingkah gadis itu. Namun tawa mereka mendadak tegang saat....
"Aaaaaaaaaaarght!" Jeritan terakhir Dwipa Kuntar memekak nyaring. Tubuhnya tetap bergelantungan di atas pinggiran jembatan. Semua orang yang menatapnya berdecak ngeri, karena tubuh Dwipa Kuntar telah habis separuh. Yang tersisa bagian tubuhnya saja. Ia pun tewas dengan kedua mata yang membelalak. Di bawahnya berkecipak ikan-ikan pemakan bangkai saling lompat berebut sisa daging yang berjatuhan ke bawah.
"Kalian harus ikut kami menghadap sri baginda sekarang juga." kata seorang prajurit yang nampak berwibawa. Ia tetap duduk di atas kudanya. Mendengar ucapan itu semuanya diam tegang. Kecuali....
"Tidak! Kami tidak akan menyerahkan diri pada sri baginda! Apa lagi harus menerima hukuman darinya. Kami akan menentang!" bantah Lela Warni. Prajurit kerajaan itu malah tersenyum.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Nona. Kalian diundang oleh sri baginda bukan untuk menjalankan hukuman, tapi untuk menghadiri pengangkatan Rawing dan Riwang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai panglima. Apa kalian tidak setuju?" sergah prajurit itu lagi.
Lela Warni mengangkat bahu. Wuning Sari menarik Riwang ke arah Rawing. Dua pemuda kembar itu berdiri bersampingan. Di sisi mereka berdiri pula Mayang dan Wuning Sari. Lela Warni menoleh kanan dan kiri seperti ia mencari sesuatu.
"Apa yang kau cari, Nona? Pendekar muda itu? Dia sudah pergi lebih dulu. Kami pun tidak tahu ke mana tujuannya." kata prajurit yang tetap duduk berwibawa di atas kudanya. Lela Warni melengos. Selintas ia nampak cemberut.

TAMAT



INDEX WINTARA
Darah Perempuan Iblis --oo0oo Keris Buntung Ki Srongot
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.