Life is journey not a destinantion ...

Tapis Ledok Membara

INDEX WINTARA
Tapis Ledok Membara --oo0oo Tangan Hitam Elang Perak

WINTARA
Pendekar Kelana Sakti
Karya : Buce L. Hadi

--¦::: « 1 » :::¦--

Suara-suara teriak para penyabung ayam memekakkan telinga. Saat dua ekor ayam jago bertarung saling hantam. Sekeliling arena pertarungan yang cukup besar itu dipagari oleh sederetan batang-batang bambu yang dilapisi karung. Membatasi orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu. Teriakan mereka semakin menjadi ketika seekor ayam jago berwarna hitam kemerahan menghantam lawannya. Beberapa lembar bulu beterbangan.... Nampak ayam yang terkena jalu si jago hitam bergulingan kelojotan, tapi ia masih bisa bertengger dengan kekar walaupun di bagian sayapnya mulai mengeluarkan darah. Bagaimana tidak...? Masing-masing pada kaki dua jaLgo itu terikat sepasang pisau kecil yang bukan main tajamnya. Banyak yang menggerutu namun lebih banyak orang yang kegirangan.
Diluar dugaan, ayam yang sudah terluka itu melompat membentangkan kedua sayapnya. Paruhnya yang runcing setajam pedang, mencocor batang leher si hitam. Kembali sekeliling arena itu riuh. Ada juga yang berjingkrak-jingkrak menyumpah. Kembali kedua jago itu saling berhadapan, dengan bulu-bulu leher berdiri tegang. Kedua kakinya pun mulai bersiap-siap menerjang.
"Breeet...!" Hantaman itu beradu keras, keduanya berpentalan. Si Hitam nampak tegar beringas. Lawannya, jago berwarna putih bercampur abu-abu seloyongan mundur. Sayap kirinya memerah bercampur darah. Mendadak si Hitam menyerang lagi. Hantaman jalunya tepat mengenai punggung lawannya. Darah pun mengalir lagi. Si putih makin limbung. Langkah-langkahnya mulai goyah. Si Hitam yang masih garang melompat menghantam dengan jalu pisaunya. Semua orang sudah menyangka dan menatap ngeri. Sudah pasti leher si Putih bakal putus...! Tapi ini tidak! Si Putih Bergeserke kanan, sehingga serangan itu dapat dielakkannya. Bahkan dalam kesempatan itu si Putih berhasil membalas serangan itu dengan terjangan dua kaki. Kedua jalu pisaunya yang nampak berkilat terlihat jelas menghantam dada si Hitam.
Siapa menyangka kalau si Putih yang sudah terluka parah itu masih dapat melancarkan serangan balasan demikian mantapnya. Seluruh arena itu jadi semakin bising. Para pencandu sabung ayam saling tuding meremehkan.
Si jago Hitam meskipun terluka di dadanya, ia nampak tenang. Seakan luka-luka di dadanya itu tidak berarti sama sekali. Bulu-bulu di lehernya meregang. Si Putih yang nampak lunglai mengais-ngaiskan sebelah kakinya. Di saat si Hitam datang menyerang, si Putih melompat dengan disertai sabetan jalu pisaunya. Semua orang berhenti berteriak. Semua mata memandang seakan tidak pereaya dengan apa yang mereka lihat. Leher si Hitam putus! Tubuh ayam hitam berkelojotan, sesaat kemudian ia diam tak berkutik. Belasan orang melompati pagar karung sambil berjingkrak jingkrak kegirangan.
Ki Sapta Nrenggana melotot seakan tidak percaya. Si jago Hitam miliknya tewas begitu saja oleh lawannya. Ia menggeram sadis. Kedua telapak tangannya mengepal erat menimbulkan gemeretak yang sangat kencang.... Seorang anak muda masuk dalam arena persabungan itu... Ia memapah si Putih. Senyumnya terarah pada Ki Sapta Nrenggana. Anak muda itu berjalan mendekati Ki Sapta Nrenggana. Dengan senyum anak muda itu menjulurkan telapak tangannya. Ki Sapta Nrenggana melemparkan sekantung uang logaman. Lalu dengan kesal ia meninggalkan arena sabung ayam. Pemuda itu tidak perduli, ia pun melangkah dengan dikerubuti orang-orang yang menyaksikan sabung ayam tadi. Maksud mereka ingin minta persenan. Pemuda itu mengambil separuh dari isi kantong yang diberikan oleh Ki Sapta Nrenggana. Kemudian membagikannya pada orang-orang itu. Kebanyakan dari mereka mengelu-elukan si Putih. Tentu saja untuk mengambil hati si pemuda.
"Wuaaah.... Hebat benar ayam aden. Jago Ki Sapta Nrenggana yang tak terkalahkan itu akhirnya tewas juga di tangan si Putih. Benar-benar luar biasa." kata Bayan, lelaki kurus tinggi yang selalu mengawal ke mana pemuda itu pergi.
"Itu namanya mujur, Mang Bayan. Sebenarnya kita sudah kalah. Coba kau lihat " jawab pemuda itu sambil mengangkat ayam jagonya. Mang Bayan mengernyitkan alis.
"Nafasnya sudah kembang kempis. Mungkin si Putih tidak akan bertahan lama. Aku yakin sampai di rumah pun tak akan tertolong.
" kata pemuda itu lagi.
"Kalau begitu cepat-cepat saja kita pulang, biar bisa motong ayam" usul Mang Bayan. Pemuda itu pun melangkah. Mang Bayan ikut mengiringi di samping kanan.
"Makan ayam piaraan sendiri rasanya kurang enak, Mang"
"Jadi harus diapakan ayam itu, den? Sayang kalau mati begitu saja"
"Bagaimana kalau dikasihkan orang saja...?"
Keduanya nampak menjauh meninggalkan tempat itu.
Sekantung uang tidak ada artinya bagi Ki Sapta Nrenggana. Kalau tadi dia merasa marah, bukan karena uang itu. Tapi soal ayam kesayangannya. Siapa yang menyangka jago yang selama ini tak terkalahkan, kini harus menerima kematian dengan kepala yang terpisah. Belum pernah ada kejadian seperti itu.... Itu yang membuat Ki Sapta Nrenggana mendongkol. Selama dalam perjalanannya ia berpikir, bahwa ia akan sekali lagi bertaruh dengan pemuda tadi. Dan berharap dapat membalaskan kematian si Hitam......

* * *



Ki Dulang Sungkar tersentak kaget di dalam kedainya. Ia melihat dua orang anak buah Ki Sapta Nrenggana datang menghampiri. Tiga orang yang sedari tadi asyik menikmati hidangan di kedai Ki Dulang Sungkar langsung ngibrit ketika melihat dua orang yang baru datang. Ki Dulang Sungkar tetap tenang. Ia pura-pura menyibukkan diri membereskan perabotan. Setelah dua orang itu duduk menghadapi meja yang penuh tersedia makanan. Barulah Ki Dulang Sungkar menyambut ramah.
"Ah.... Ada tamu rupanya. Silahkan. Silahkan dimakan kue-kuenya. Sebentar akan saya buatkan kopi."
"Tidak usah repot-repot, Ki. Kita langsung saja pada persoalan Ki Sapta Nrenggana" kata salah seorang yang duduk di hadapannya.
"Oh.... Soal itu.... Sa. saya belum membicarakannya pada Maladewi anak saya."
"Apa...? Jadi kapan soal lamaran Ki Sapta Nrenggana bisa dibicarakan? Apa Ki Dulang sengaja mau mempermainkan majikan kami...? Jangan cari penyakit, Ki....
Turuti saja apa kemauan Ki Sapta Nrenggana."
"Bukan begitu.... Kalian sendirikan tahu.... Maladewi gadis yang macam bagaimana? Saya sendiri sebagai orang tuanya sangat sukar mengaturnya....
Keras kepala...." kata Ki Dulang Sukar membohongi.
"Kami tidak perduli, Ki. Ki Sapta Nrenggana pun lebih keras kepala lagi.... Ini keputusan yang terakhir.... Hari ini beliau menginginkan Maladewi... jelas bukan...? Mana anak gadismu.... Suruh dia keluar dan ikut bersama kami."
"Dia tak ada di sini.... Dia."
"Bohong...!" bentak salah seorang anak buah Ki Sapta Nrenggana. Telapak tangannya menggebrak meja.
"Jangan sampai kami bertindak kasar, Ki.... Kami tahu.... Kau tidak menyukai Ki Sapta Nrenggana. Sungguh bodoh...! Beliau orang terkaya di kampung ini, kalau Ki Dulang menerima lamarannya. Hidup kalian tak akan kekurangan semacam ini. Ayolah, Ki. Kami sudah cukup sabar. Suruh keluar anak gadismu"
"Saya mengerti.... Saya mengerti. Tapi Maladewi sendiri yang tidak menyukai. Mungkin ia belum berminat untuk berumah tangga, jadi...." Belum habis Ki Dulang Sungkar bicara, salah seorang yang bertubuh tegap mencengkram kerah baju Ki Dulang.
"Mau tidak mau, Maladewi akan kami bawa. Itu keputusan kami!" orang itu bicara lantang. Ki Dulang Sungkar gelagapan.
Pada saat itu dari dalam kamar keluar seorang gadis cantik. Tentu saja gadis ini khawatir terhadap ayahnya, untuk itulah ia keluar. Apalagi ia tahu orang-orang bawahan Ki Sapta Nrenggana. Melihat kemunculan gadis yang tak lain adalah Maladewi, kedua orang anak buah Ki Sapta Nrenggana melotot. Tidak habis-habisnya mereka memandangi gadis itu.
"Lepaskan ayahku.... Lepaskan...!" Maladewi langsung melabrak orang yang mencengkram kerah baju ayahnya. Tapi orang itu malah semakin kuat mencengkram. S-kalipun Maladewi mengerahkan seluruh tenaganya.
"Kau membohongiku, Ki.... Jelas-jelas Maladewi ada di sini, tapi kau katakan tidak ada. Dularata pantang untuk dibohongi...." kata-kata itu begitu tenang. Tapi kedua tangannya yang kekar melempar keras tubuh Ki Dulang Sungkar ke luar kedai. Maladewi memekik melihat ayahnya bergulingan di tanah. Dularata menyeringai.
"Surakarma...! Bawa gadis itu...!" Dularata memerintahkan temannya. Orang yang dipanggil Surakarma menurut. Dengan kasar ia menarik tubuh Maladewi.
"Hari ini aku enggan membunuh. Aku masih menghormatimu sebagai mertua majikan kami..." nada bicara Dularata selalu tenang. Tanpa membantu Ki Dulang Sungkar berdiri, mereka meninggalkan tempat itu.
Maladewi meronta-ronta dalam dekapan Surakarma. Belum sempat mereka keluar dari pelataran kedai sesosok bayangan berputar di udara kemudian berdiri tegak di hadapan mereka. Dularata maupun Surakarma tidak yakin dengan penglihatan mereka sendiri. Di hadapan mereka telah berdiri sosok tua Ki Dulang Sungkar.
"Surakarma... Lepaskan anakku..!" Suara yang keluar dari mulut Ki Dulang Sungkar terdengar jelas. Tapi mana mau Surakarma melepaskan Maladewi.
"Apa kau tuli Surakarma...? Kataku lepaskan anakku...!" katanya lagi.
"Huh...! Baru bisa berjumpalitan di udara saja sudah berani menggertak. Menyingkirlah Ki Dulang. Aku si Dularata tidak pernah kenal takut"
"Bagus...! Orang-orang yang pernah kuhadapi, rata-rata tidak mengenal rasa takut. Tapi orang-orang yang kuhadapi bukan orang-orang seperti kalian. Berani, Nekad, Sadis. Hanya karena mata uang. Sungguh memalukan..." kata Ki Dulang Sungkar. Mendengar kata-kata itu Dularata melotot nanar!
"Ki Dulang Sukar."
"Aku tahu apa yang akan kau tanyakan, Dularata...." belum habis Dularata bicara Ki Dulang Sungkar langsung memotong.
"Aku si tua renta Dulang Sungkar pernah menyandang gelar Samber Nyawa". Mungkin kalian tidak pernah mendengar nama besar itu. Sekarang akan kutunjukkan pada kalian. Biar mata kalian terbuka..." Ki Dulang Sungkar melesat lagi. Tubuhnya melayang berputar hinggap di atas sebatang cabang pohon bergelantungan dengan kepala di bawah kaki di atas. Surakarma belum juga melepaskan Maladewi.
Dularata melompat ke atas, tinjunya diikutsertakan mengarah pada Ki Dulang Sungkar. Orang tua yang berada di atas pohon itu menepiskan dengan sebelah tangan.
"Plak. !"
Keduanya terjun ke tanah. Lengan Dularata terasa kesemutan. Ia menyeringai. Lalu memberi aba-aba pada Surakarma agar ikut membantu menyingkirkan Ki Dulang Sungkar. Maka setelah menghantam pingsan Maladewi, Surakarma merangsak menyerang. Melihat tindakan Surakarma, Ki Dulang Sungkar marah bukan kepalang. Tinjunya berputar ke samping....
"Bweeet!"
Hampir saja mengenai bagian kepala Surakarma. Dularata mematahkan serangan itu.... Tendangannya maju menjurus kearah perut....
"Deees!"
Cepat Ki Dulang Sungkar menangkis dengan lengan kanannya. benturan itu membuat Dularata mundur beberapa langkah.
Surakarma melesat ke atas.
"Deees!"
Hantamannya tepat mengenai punggung Ki Dulang Sungkar. Tapi tak begitu telak. Ia berbalik membalas serangan tadi. Surakarma yang tadi melancarkan serangan dan belum sempat menginjak tanah, gelagapan menyambut serangan balasan itu.
"Beg!"
Tendangan ke atas Ki Dulang Sungkar membuat Surakarma jatuh terbanting.
Dularata maju lagi, kali ini dengan dua pukulan beruntun berturut-turut. Sayang kedua pukulan itu meleset. Karena saat Dularata maju menyerang, Ki Dulang Sungkar sudah bergeser terlebih dahulu. Malah Dularata sendiri yang setengah mati menerima serangan balik. Meskipun hantaman-hantaman Ki Dulang Sungkar dapat diatasinya, Dularata harus berguling menjauh. Kemudian bangkit lagi. Sekarang mereka menyerang berbareng, Dularata melancarkan tendangan, Surakarma nyeruduk dengan jotosanjotosan keras. Ki Dulang Sungkar menghentakkan kedua kakinya, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang di udara. Maka kedua serangan itu terhmdar, masih dalam keadaan berputar di udara Ki Dulang Sungkar sempat menendang ke dua kakinya.
"Bug...! Bug...!"
Dularata maupun Surakarma bergulingan sambil memekik kesakitan. Hampir-hampir saja ia tidak dapat bangkit, karena dirasakan tulang rusuk mereka seperti patah.
Dengan seloyongan akhirnya mereka dapat bangun juga. Wajah Surakarma memerah menahan amarah. Dularata mengepal kedua telapak tangannya dengan geram. Ki Dulang Sungkar tetap berdiri tegak seolah-olah telah bersiap-siap menyambut serangan mereka. Kedua matanya nyalang menatap Dularata dan Surakarma. Menerima tatapan yang demikian sadis kedua orang ini jadi keder. Dularata maju selangkah.
"Baik, Samber Nyawa. Kuakui kekalahan ini. Tapi ingat! Ki Sapta Nrenggana tidak akan senang menerima perlakuan ini. Kami akan datang lagi dengan maksud yang sama...." kata Dularata mengancam.
"Sampaikan salamku kepada Ki Sapta Nrenggana. Aku tetap tidak akan menerima lamarannya. Cuma itu! Kalau kalian mau datang lagi. Kapan saja akan kutunggu. Asalkan jangan sampai menyakiti putriku Maladewi...." jawab Ki Dulang Sungkar tenang. Dularata dan Surakarma berjalan mundur beberapa langkah, kemudian mereka berbalik meninggalkan pelataran itu.
Maladewi masih terbaring di tanah. Ki Dulang Sukar mendekati, lalu memeriksa sekujur tubuh putrinya. Ternyata tak apa-apa. Ia hanya pingsan biasa.Maka cepat-cepat Ki Dulang Sungkar membawanya masuk ke dalam kedai. Direbahkan tubuh ramping itu pada serjuah tempat tidur di ruang kamar. Lalu ia keluar lagi membereskan dagangan di depan. Pikirannya masih kalut, ia masih membayangkan peristiwa tadi.
Untung saja tidak sampai terjadi pertumpahan darah. Ia ingat betul nama besarnya sebagai si Samber Nyawa. Dan ia merasa ada kekurangan dalam dirinya. Tapi justru kekurangan itu ia sangat berterima kasih sekali. Karena ia tidak sekejam seperti pada beberapa belas tahun yang lalu.
Samber Nyawa bukanlah sekedar nama kosong. Semua partai persilatan tahu akan tindakan manusia yang berjuluk si Samber Nyawa. Pada sebelas tahun yang lalu Samber Nyawa tidak pernah membiarkan musuh-musuhnya kalah dengan nyawa tersisa, kecuali nama. Tokoh yang paling ditakuti dan disegani ini telah berubah sama sekali. Kalau dulu ia selalu membunuh lawan-lawannya, kenapa sekarang Dularata dan Surakarma dibiarkan pergi hidup-hidup. Apalagi mereka berani mengancam. Belum pernah ia mendapat ancaman dari musuh-musuhnya.
Mungkin dikarenakan usia yang semakin lanjut, sehingga setiap gerakannya menjadi lamban dan ragu-ragu, atau juga dikarenakan ia mempunyai seorang putri yang membuat dirinya berubah pikiran.
"Ki... Ki Dulang...." Seseorang membuyarkan lamunannya. Ki Dulang Sungkar tersentak.
"Wuaaah... Ngelamunin apa, Ki? Asyik benar? Tolong buatkan saya kopi, Ki! Jangan terlalu manis...." kata orang yang baru datang itu. Melihat tamunya langsung duduk, Ki Dulang Sungkar mengambil gelas. Ia membuatkan pesanan tamunya. Segelas kopi dihidangkan.

* * *




--¦::: « 2 » :::¦--

Warsih merasa jengkel. Sejak tadi putranya yang berumur lima tahun belum juga berhenti menangis. Sudah berbagai cara Warsih mendiamkan, tapi anak itu tetap saja terus menangis. Piring kaleng kecil berisikan beberapa potong singkong rebus tergeletak di hadapan anak itu. Hampir saja kakinya menyambar. Warsih cepat-cepat memindahkannya.
"Ding, sekarang emak belum punya uang. Hari ini makan singkong rebus saja ya. Nanti kalau Bapak pulang, baru bisa beli beras...." bujuk Warsih. Oding anaknya malah menangis semakin jadi.
"Sudah dong nangisnya. Masa dari tadi tidak mau berhenti. Cep, Ding....Cep."
Oding berhenti juga menangis. Tapi hidungnya masih sesenggukan. Air matanya meleleh. Warsih mengelus-elus rambut anaknya. Perasaannya juga sedih. Karena sudah beberapa hari ini suaminya belum juga pulang. Pekerjaannya memang mencari nafkah di kampung seberang. Suaminya tidak akan pulang sebelum membawa hasil. Warsih menyodorkan piring kaleng kecil pada anaknya. Oding mengambil sepotong singkong rebus, tapi ia tidak langsung memakannya. Pandangannya yang kosong menatap kehalaman rumah. Begitu juga Warsih, Ibu dan anak terdiam.
Dari kejauhan nampak dua orang lelaki berjalan mendekati gubuk itu. Seorang berperawakan kurus tinggi dan seorang lagi seorang pemuda tanggung membawa seekor ayam jago yang sudah kepayahan. Warsih yang melihat kedatangan dua orang itu langsung keluar dari teras gubuknya. Ia langsung mendekati.
"Den Wintara.... Sudah lama tidak kelihatan? Dari mana saja?" Warsih basa-basi.
"Tidak ke mana-mana, Bi. Di rumah saja. Kang Darman apa ada...?"
"Sudah lima hari ia tidak pulang-pulang, Den.... Entahlah di mana dia sekarang. Biasanya paling lambat tiga hari dia sudah pulang ke rumah."
"Biar saja, Bi. Barangkali setelah dapat uang banyak baru kang Darman pulang."
"Ah! Den Wintara bisa saja. Mari masuk den...." Warsih mengajak mereka masuk.
Wintara menurut. Mereka duduk di balai teras, sebelumnya mereka melihat Oding duduk di balai itu memakan singkong rebus. Mang Bayan mencolek pipi anak itu yang masih basah oleh airmata.
"Tunggu sebentar ya, Den. Bibi mau ambilkan air...." Warsih beranjak, tapi Wintara buru-buru mencegah.
"Tidak usah, Bi.... Tidak usah repot-repot. Kedatangan saya ke mari cuma mau...." Wintara menyerahkan ayam jagonya yang sudah berlumuran darah.
"Memberikan ayam ini kepada Bibi. Sebentar lagi ayam ini pasti mati. Sayang kalau tidak segera dipotong." katanya lagi.
Warsih menerima ayam itu. Di luar pikirannya Wintara mengambil beberapa keping uang logam dari kantong kecil yang didapat di tempat sabung, lalu menyerahkannya lagi pada Warsih.
"Ayam dan uang ini buat bibi...?" Warsih seakan tak percaya.
"Iya.... Buat bibi! Buat siapa lagi.?" jawab Wintara cepat.
"Te-te-terima kasih, Den. Kebetulan, Bibi sudah tak punya apa-apa lagi.".
"Ah.... Saya memang sudah niat memberikan itu semua kepada bibi."
"Jarang ada orang seperti Aden. Hari ini bibi betul-betul merasa mendapat rejeki yang sangat besar. Siang malam bibi berdoa, ternyata Tuhan masih mau mengabulkan. Coba saja lihat, Den. Sudah dua hari bibi dan Oding hanya memakan singkong. Itu pun masih untung, karena Kang Darman rajin menanam singkong di samping rumah."
"Tuhan memberikan akal kepada manusia agar bisa dipergunakan semasa hidupnya.... Begitu juga mengenai kebaikan. Sesama manusia sudah semestinya saling memberi atau saling menolong. Tapi menurut saya, pujian bibi yang terlalu berlebihan itu tidak benar. Pemberian ayam yang sudah hampir mati dan beberapa keping uang bukan berarti saya ini orang yang budiman. Yang jelas saya hanya niat. Cuma itu."
"Tapi, Den. Bagaimana pun ini rejeki bibi."
"Benar, Den...." Mang Bayan ikut bicara.
"Semua doa bi Warsih dikabulkan oleh Tuhan melalui diri Den Wintara. Bukannya begitu, Bi...." kata Mang Bayan lagi.
"Hati-hati Mang, jangan terlalu banyak memuji. Banyak orang yang jatuh karena pujian...." kata Wintara tegas.
Mang Bayan nyengir. Bi Warsih tersipu malu.
"Ayolah, Mang. Kalau kita di sini
terus, kapan bi Warsih membereskan ayam itu?" Wintara menarik lengan baju Mang Bayan. Ia hanya menurut.
"Kalian mau ke mana...?" tanya Warsih.
"Biasa, Bi. Anak muda kalau sedang jatuh cinta selalu tidak sabaran. "
Mang Bayan merajuk.
"Oh.... Memang sudah lama Den Wintara tidak ke kampung ini. Tentunya Maladewi di rumahnya sudah rindu setengah mati...." sahut bi Warsih. Ia masih berdiri memandangi kepergian mereka yang nampak mulai menjauh. Ia menggelengkan kepala. Entah karena apa. Wintara pemuda yang gemar menyabung ayam itu memang bukan orang kampung situ. Mereka berasal dari desa Karang Hampar. Kedatangannya ke kampung Tapis Ledok selain mengadu ayam, datang ke rumah seorang kenalan gadisnya yang bernama Maladewi. Mereka memang sudah lama berhubungan. Bahkan dengan Ki Dulang Sungkar, Wintara sudah saling mengenai baik.
Ketika mereka mulai mendekati sebuah kedai, langkah-langkah mereka semakin cepat. Nampak Ki Dulang Sungkar tengah melayani seorang tamu yang duduk nangkring di atas sebuah kursi panjang. Dari dalam kedai Ki Dulang Sungkar sudah dapat melihat kedatangan Wintara bersama Mang Bayan. Ia tahu betul kesukaan kedua orang itu. Maka sebelum mereka tiba, Ki Dulang Sungkar cepat-cepat membuat dua gelas teh manis. Begitu mereka sampai, Wintara langsung menyapa orang yang duduk menghirup kopinya.
"Wuaah.... Kang Birdun sudah lebih dulu ke sini rupanya. "
Orang itu langsung menoleh ke arah suara di sampinghya, lalu....
"Eh...! Den Wintara. Kapan datang? Kakang denger, Den Wintara habis menang taruhan. Bagi-bagi dong. "
Wintara hanya senyum. la langsung duduk menghadapi meja yang penuh tersedia rupa-rupa makanan. Mang Bayan mengikuti. Ki Dulang Sungkar menyuguhkan dua gelas teh manis.
Wintara mendelik kagum....
"Hebat.... Ki Dulang Sungkar benar-benar hebat. belum saya memesan beliau sudah dapat membaca maksud saya. Benar-benar luar biasa." kata Wintara kagum.
"Siapa bilang...." sergah Mang Bayan.
"Ki Dulang Sungkar belum tentu tahu apa yang saya inginkan. Buktinya beliau salah menyediakan. Coba dengar keinginan saya. Saya ingin makan dengan paha ayam dan pepes ikan...." kata Mang Bayan lagi.
Dia langsung menyambar gelas berisi teh manis, lalu ditenggaknya sampai tinggal tiga perapat. Ki Dulang Sungkar tersenyum, lalu...
"Kalau teh manis yang saya suguhkan itu salah, kenapa barusan kau meminumnya...?" Ki Dulang Sungkar protes.
"Ha... ha... ha.... Betul...! Betul apa yang diucapkan Ki Dulang Sungkar. Buktinya sebelum kau makan campur paha ayam, kau sudah meminum teh manis terlebih dahulu...." Kang Birdun ikut campur.
Ki Dulang Sungkar masuk ke dalam kamar di mana tadi ia merebahkan putrinya. Di ruangan itu Maladewi sudah siuman, bahkan sempat mendengarkan percakapan di luar. Kini ia tengah menghadapi sebuah cermin. Rambutnya sudah nampak rapih. Tidak seperti tadi. Ki Dulang Sungkar menyentuh bahu Maladewi.
"Temui Wintara. Dan jangan ceritakan persoalan tadi...." bisiknya perlahan. Maladewi bangkit sambil mengangguk meskipun ia malas keluar. Ki Dulang Sungkar sengaja berjalan lambat belakangan.
Mata Maladewi langsung tertuju pada Wintara ketika ia sudah berada di dalam kedai. Wintara menunduk, sesaat kemudian ia membalas tatapan itu. Maladewi
tersenyum. Ada suatu kelainan tergambar dalam raut wajah Maladewi. Diperhatikan begitu tentu saja gadis itu merasa kikuk. Ia melangkah berjalan menuju ke samping rumah.
Mang Bayan menyikut pinggang Wintara. Maksudnya memberi aba-aba. Sambil menghela nafas Wintara beranjak dari bangku panjang mengikuti langkah Maladewi. Gadis itu sudah berdiri menunggu pada sebatang pohon yang rindang. Matanya kosong memandang hamparan padi yang hampir rata ntenguning. Ia tahu betul kalau Wintara sudah berdiri di belakangnya.
"Masih suka menyabung ayam. ?"
suara Maladewi halus sekali.
"Kadang-kadang. Itu pun kalau aku perlu hiburan. Kenapa?"
"Tidak.....Tidak apa-apa. "
"Kenapa harus kau tanyakan itu?"
"Aku hanya khawatir. Di tempat semacam itu biasanya akan banyak menemui resiko. Dan lagi menurutku. Kau tidak pantas menjadi pecandu sabung ayam, Win. "
"Ah.... Aku akan coba-coba menghilangkan kebiasaan itu. Karena sekarang aku tidak memiliki lagi seekor ayam pun"
"Lucu... Berhenti jadi pecandu sabung ayam hanya lantaran tidak memiliki ayam.."
"Bu..bukan itu maksudku, Dewi...? Bukan. Kau tahu sudah berapa lama hubungan kita ini..?"
Maladewi diam tidak menjawab.
"Kenapa baru sekarang kau membicara kan soal sabung ayam. Dan kau pun tahu akan kegemaranku. Bahkan sudah sejak dari dulu."
"Aku tidak melarang. Aku hanya khawatir, Win.... Banyak kejadian yang sudah-sudah di arena persabungan ayam. Kang Tohir, Kang Nurjan, semuanya tewas di sana. "
"Sungguh besar perhatianmu padaku, Dewi. Sekarang aku betul-betul baru merasa."
"Merasa? Merasa apa? Merasa pikun? Merasa bodoh?"
"Bukan.... Baru sekarang aku merasa memilikimu, Dewi" Kedua lengan Wintara melingkar di pinggang gadis itu. Maladewi tidak bereaksi.
"Kalau hanya menyaksikan saja bagaimana? Tidak apa-apakan?" bisik Wintara.
"Hhh.. Sama saja!" jawab Maladewi cepat.
"Lantas, aku mesti bagaimana? Di saat-saat aku butuh hiburan. Perlu menenangkan pikiran. Melihat sabung ayam saja tidak boleh. Apa aku harus datang ke sini berdiri mematung memandangangi wajahmu terus menerus. Sampai aku terlena. Sampai mabuk kepayang. Sampai mati berdiri. Sampai.. Aoooooo...!" Wintara memekik. Belum habis Wintara meneruskan kalimatnya, Maladewi mencubit lengan Wintara. Kemudian ia melepaskan diri dari dekapan Wintara. Cubitan itu masih terasa panas dan membekas di lengannya. Aneh kenapa jantungnya yang terasa lebih dingin?
Hamparan padi yang menguning bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan tertiup angin. Seakan-akan menari mengikuti irama hembusan angin. Di kejauhan nampak sebuah gunung samar kelabu tertutup awan putih. Langit biru juga ikut menyemarakkan suasana cerah itu.
"Win.... Semalam aku bermimpi buruk."
"Mimpi buruk? Tentang aku?"
"Iya...!"
"Coba ceritakan!"
"Sebenarnya aku tidak percaya dengan arti-arti mimpi. "
"Tapi aku mau dengar, Dewi. Ceritakan saja. "
"Aku takut kau marah. "
"Cuma mimpi buruk. Kenapa musti marah"
"Janji...?"
Wintara mengangguk. Jari tangannya membetulkan rambut Maladewi yang menutupi sebelah matanya karena terhempas angin. Maladewi tidak berani menatap Wintara.
"Mimpiku buruk sekali. Rasanya terjadi seperti sungguhan. Aku melihat kau tewas oleh cakaran-cakaran Siluman Jahat. Siluman itu merencah-rencah dengan taringnya yang runcing-runcing, sampai tubuhmu terkoyak. Lalu Siluman Jahat itu pergi membawa jasadmu ke alam lain. Ke alam gelap berbau busuk. Aku berlari mengikuti sambil berteriak-teriak. Tapi seakan-akan teriakanku tidak lepas keluar" Maladewi tidak meneruskan cerita mimpinya. Wintara sudah menganggapnya tuntas.
"Sekarang kau baru percaya bahwa aku belum dibawa oleh Siluman Jahat, kan? Wajar kalau hari ini kau nampak begitu gelisah. Sebuah mimpi memang kadangkadang mempunyai arti. Tapi. "
"Kata-katamu membuat diriku semakin takut, Win...." kata Maladewi lirih.
"Setiap orang mempunyai rasa takut. Tapi bukan takut terhadap arti mimpi. Apalagi mimpi tentang kematian seseorang, Rasa khawatir memang selalu ada. Secara kenyataan pun, kematian adalah suatu malapetaka yang paling menakutkan...." tutur Wintara.
"Ba.... bagaimana kalau kau mati sungguhan, Win...?"
"Pertanyaan yang sangat lucu. Belum-belum kau sudah menganggap diriku mati."
"Aku memang tidak pereaya dengan arti mimpi. Tapi sekarang, aku betul-betul takut."
Wintara menatap Maladewi yang luruh dalam pelukannya. Keduanya terasa hangat.
"Seandainya aku mati, kau boleh kehilangan jasad dan ragaku, Dewi. Tapi kau tidak boleh kehilangan namaku. Juga kasih sayangku. Kau dengar itu...?" Wintara berbisik. Maladewi semakin menyusup dalam pelukan itu.
Mang Bayan menyantap lahap hidangannya. Kang Birdun melihatnya dengan menggeleng-gelengkan kepala. Dua piring nasi semunjung gunung dilahap dalam waktu yang sangat singkat. Sepiring nasi yang dihadapi Kang Birdun saja belum sempat habis. Tapi Mang Bayan sudah hampir dua piring. Ki Dulang Sungkar yang juga ikut melihatnya langsung menyodorkan segelas air. Ia takut kalau-kalau nanti Mang Bayan akan terselak.
Sebenarnya Mang Bayan sendiri sudah merasa keseretan. Maka ia cepat-cepat menyambar gelas dan langsung menenggaknya sampai kering.... Ahhhhhhh....
"Hari ini Den Wintara menang banyak. Ia baru saja mempecundangi ayam aduan milik Ki Sapta Nrenggana" kata Mang Bayan sambih mengunyah makanannya. Bagaimana pun kata-kata itu jelas terdengar. Dan bukan main kagetnya Ki Dulang Sungkar. Cepat ia menyembunyikan perasaannya dengan pura-pura menyibukkan diri.
Tergambar lagi peristiwa tadi, ketika ia menghadapi Dularata dan Surakarma suruhan Ki Sapta Nrenggana. Betapa ia sakit hati dan tak dapat berbuat banyak. Kekalutannya muncul lagi.
"Kang Birdun kan tahu sendiri siapa Ki Sapta Nrenggana itu? Den Wintara berani melawannya bertaruh sekantung uang. Padahal Den Wintara tidak punya uang sebanyak itu." kata Mang Bayan lagi. Telinga Ki Dulang Sungkar makin panas.
"Untung saja dia yang menang.... Kalau kalah" Mang Bayan masih terus menjejali mulutnya dengan makanan.
"Pasti Den Wintara berurusan dengan orang-orang tuan tanah itu"
"Prang. !"
Beberapa gelas terbanting pecah tak sengaja oleh Ki Dulang Sungkar. Mang Bayan maupun Kang Birdun jadi tersentak. Cepat-cepat Ki Dulang Sungkar menenangkan suasana itu.
"Ah.... Tidak.. Tidak apa-apa! Gelas-gelas ini masih terlalu basah dan licin, sehingga mudah tergelincir" Ki Dulang Sungkar menutupi perasaannya.
Mendengar penjelasan Ki Dulang Sungkar, Kang Birdun dan Mang Bayan kembali menyantap.
Ki Dulang Sungkar membereskan pecahan-pecahan beling yang berserakan di tanah. Namun dalam pikirannya masih terbayang wajah Ki Sapta Nrenggana yang menyebalkan itu.

* * *




--¦::: « 3 » :::¦--

"Tidak masuk akal! Kau cerita bohong, Dularata. Aku tahu betul siapa Ki Dulang Sungkar!" kata Ki Sapta Nrenggana dengan nada marah. Kalau saja hari itu Ki Sapta Nrenggana tidak kedatangan tamu, mungkin Dularata dan Surakarma sudah habis-habisan dicaci maki. Tamu itu duduk tenang di sebelahnya. Ia menatap Dularata dan Surakarma yang berdiri tertunduk.
"Orang setua itu mana mungkin memiliki kepandaian tinggi, aku tahu betul keadaannya. Apalagi ia berani mengaku menamakan dirinya si Samber Nyawa. "
"Saya berkata yang sesungguhnya, Ki. Ki Dulang Sungkar berkepandaian luar biasa!" Dularata meyakinkan.
"Bohong! Aku tetap tidak percaya!" bentak Ki Sapta Nrenggana.
"Tunggu dulu, Ki" Tiba-tiba orang yang duduk di sebelah Ki Sapta Nrenggana ikut bicara memotong.
"Aku pernah dengar nama Samber Nyawa. Tapi itu dulu, pada. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Memang ada orang yang menyandang julukan itu. Namun ia hilang begitu saja" tutur tamunya.
"Kalau pun ada orang yang berjuluk si Samber Nyawa, yang jelas bukan Ki Dulang Sungkar. Aku tak yakin" Ki Sapta Nrenggana masih penasaran.
"Kalau benar yang kalian hadapi adalah si Samber Nyawa, kalian termasuk orang yang beruntung. Setahuku, si Samber Nyawa tidak pernah membiarkan lawan-lawannya hidup!" kata tamunya yang masih memandangi Dularata dan Surakarma.
"Apa yang kau ketahui tentang si Samber Nyawa itu, Gada Rencah?" tanya Ki Sapta Nrenggana menoleh pada tamunya yang duduk di sebelahnya.
Tamunya yang ternyata bernama Gada Rencah berusaha mengingat-ingat. Sebentar kemudian wajahnya memerah. Telapak tangannya mengepal erat sampai timbul bunyi gemeretak.
"Dia seorang tokoh legendaris terkenal sangat sadis dan tak kenal ampun. "
Dularata maupun Surakarma mendelik mendengar penjelasan Gada Rencah.
"Jangan khawatir.... Aku tahu betul rupa si Samber Nyawa. Semuanya tergantung pada Ki Sapta Nrenggana. Bagaimana? Apa perlu kita buktikan sekarang?"
Ki Sapta Nrenggana kelabakan mendapat pertanyaan seperti itu. Ia cepat bangkit dari kursinya menghadap Gada Rencah.
"Jangan.. Jangan sekarang, Gada Rencah..Kita masih banyak waktu.. Lagipula kau baru saja tiba di sini, tentu masih merasa lelah, bukan? He... he... he. Istirahat saja dulu" kata Ki Nrenggana pada tamunya.
Gada Rencah ikut bangkit mengikuti ajakan Ki Sapta Nrenggana memasuki sebuah ruangan yang penuh berisi perabotan-perabotan mewah. Ternyata itu ruangan keluarga. Di tengahnya terdapat sebuah meja bundar besar dilengkapi dengan enam buah kursi. Di atas meja itu tersedia bermacam-macam makanan. Hidangan-hidangan yang tersedia di situ membuat Gada Rencah menelan air liur.
Ia langsung duduk setelah Ki Sapta Nrenggana mempersilahkan. Beberapa orang perempuan keluar melayani Gada Rencah. Ada yang memberikan piring, ada yang menuangkan arak. Ada juga yang memijit-mijit halus bagian punggung. Gada Rencah sendiri terheran-heran memandangi perempuan-perempuan itu.
Apalagi para perempuan itu hanya mengenakan kain, membungkus ketat tubuh-tubuh ramping mereka sampai sebatas dada. Membuat buah dada itu nampak sekal menonjol ke depan. Perempuan-perempuan itu hanya tersenyum dipandangi oleh Gada Rencah.
Ki Sapta Nrenggana tertawa melihat tamunya merasa puas di ruangan itu.
Selama Gada Rencah menyantap makanan, perempuan perempuan itu belum juga meninggalkan mereka. Malah perempuan perempuan itu melayani Gada Rencah tidak ubahnya seperti seorang raja.

* * *



Malamnya, dalam ruangan itu mengalun musik tabuhan gendang. Para penari menari dengan lenggak-lenggok yang menggairahkan. Rata-rata gerakan mereka sama mengikuti alunan musik. Tamu-tamu di situ tidak banyak. Tapi semuanya nampak seperti para pembesar. Pintu terkunci rapat. Hanya jendela-jendela saja yang terbuka. Mungkin agar angin dapat masuk.
Semuanya ada tiga rombongan. Tiap rombongan terdiri dari empat orang, masing-masing ditemani oleh para perempuan cantik. Rombongan-rombongan itu duduk berderet mengeliling ruangan. Ki Sapta Nrenggana berada pada rombongan paling tengah. Hanya rombongan itu yang terdiri dari dua orang. Yaitu bersama Gada Rencah. Tapi para perempuan penghiburnya lebih banyak. Mungkin karena Ki Sapta Nrenggana sebagai tuan rumah.
Beberapa pundi arak sudah bergulingan di hadapan mereka. Namun Ki Sapta Nrenggana masih terus memerintahkan pelayannya agar mengeluarkan semua pundi-pundi arak. Keadaan sudah semakin panas. Tabuhan gendang masih terus mengalun. Para penari nampak lelah.
"Cukup...!" Tiba-tiba saja Ki Sapta Nrenggana berteriak. Ia berdiri dengan sempoyongan. Tiba-tiba pula musik gendang berhenti. Ki Sapta Nrenggana melemparkan dua kantong uang pada pemimpin pemain musik.
"Kalian pulanglah. Juga kuucapkan terima kasih karena kalian telah menghibur kami. Pulanglah!" Ki Sapta Nrenggana duduk lagi. Langsung memeluk seorang perempuan di sebelahnya. Gada Rencah tidak perduli, karena ia sendiri telah sibuk menghadapi dua orang perempuan penghibur. Perempuan-perempuan itu kewalahan melayani Gada Rencah. Sebentar-sebentar mereka harus repot membetulkan pakaiannya yang menutupi bagian dada.
Pada rombongan-rombongan lain pun begitu. Nampak para pembesar itu tertawa puas dengan para penghiburnya. Ruangan itu jadi riuh, sekalian terdengar dengusan nafas lelaki terdengar pula cekikikan manja dari mulut para penghibur.
Seorang pemimpin datang menghadap pada Ki Sapta Nrenggana. Langkahnya demikian gemetar. Bagaimana tidak, Ia melihat jelas seorang perempuan telanjang bulat menggeliat-geliat di bawah dekapan Ki Sapta Nrenggana.
"Maaf, Ki, Kami sudah membereskan semua peralatan. Kami mohon pamit" kata pemimpin rombongan pemain musik.
"Hmmm.... Pergilah kalian. Dan jangan lupa menutup pintu kembali" jawab Ki Sapta Nrenggana tanpa menoleh.
Orang itu langsung berbalik sekaligus memberikan isyarat pada teman-temannya agar segera meninggalkan tempat itu. Semua peralatan musik dibawanya serta, satu-satu mereka keluar. Dan yang berjalan paling akhir menutup pintu kembali.
Beberapa pembesar sudah ada yang bangkit membawa pasangannya masuk ke dalam kamar. Hanya beberapa orang saja yang tetap tinggal di situ. Termasuk Ki Sapta Nrenggana dan Gada Rencah. Kalau tadi terdengar musik tabuhan gendang, sekarang hanya terdengar rintihanrintihan lirih dibarengi dengan dengusan yang saling memburu.
Tengah malam kian gelap. Tanpa awan dan bulan. Dularata dan Surakarma berjalan sempoyongan karena terlalu banyak minum arak. Mereka berjalan berkeliling memutari gedung yang masih terang benderang.
"Entah sedang apa orang-orang yang berada di dalam sana," pikir Dularata. Sesekali Surakarma mengintip dari jendela, dan ia pun hanya nyengir kepada Dularata. Kemudian berjalan lagi berkeliling. Suara jangkrik terdengar di sekeliling gedung besar itu. Hawa dingin pun menyengat kulit mereka. Untung saja mereka dihangatkan oleh beberapa pundi arak, sehingga tubuh mereka cukup panas. Bagaimana pun mereka tetap mendongkol. Ki Sapta Nrenggana tidak memberikan jatah apa-apa. Mereka malah mendapat tugas meronda. Tugas yang
membosankan.
Tiga sosok bayangan mengendap-endap di belakang semak di samping gedung. Tiga sosok itu langsung menyebar ketika Dularata dan Surakarma hampir melewatinya. Dularata berjalan terus. Tapi Surakarma sebentar-sebentar mengintip ke arah jendela membuat langkah tertinggal oleh Dularata. Dan ketika Surakarma bermaksud menyusul....
"Buuug. !"
Sebuah hantaman keras bersarang di ulu hatinya. Ia memekik kesakitan tapi suaranya tidak sempat keluar. Karena sosok bayangan itu cepat menambahkan sebuah tendangan.
"Bruuuug. !" Tubuh Surakarma terbanting keras. Dularata mendengar suara berisik itu, maka ia cepat berlari ke belakang.
"Plaaak...!"
Tahu-tahu ia diserang tiga sosok bayangan. Pipinya terasa panas menerima hantaman itu. Dularata tidak segera me-balas, ia mengernyitkan alisnya mema-dang tiga orang itu. Namun tetap saja ia tidak dapat mengenalinya. Karena ketiga orang itu mengenakan kain penutup.
Dularata maju dengan terjangan, meskipun langkah-langkahnya sempoyongan ia masih bisa melancarkan beberapa kali tinjunya.
"Plak...! Plak...! Plak...!"
Semua hantamannya yang tidak terarah dapat ditangkis oleh salah seorang yang memakai kain penutup di mukanya. Malah tahu-tahu dari arah belakang Dularata mendapat serangan balasan.
"Beg...!"
Sebuah tendangan menghantam keras tidak kepalang tanggung. Dularata tersungkur ke depan. Mukanya terseret pada tanah yang penuh dengan hamparan batu kerikil. Begitu ia bangun, terlihat jelas luka di sekitar keningnya. Ia tidak sempat lagi maju menyerang. Karena secara kilat ketiga orang itu langsung menghantam berbareng. Dularata jatuh menggelosoh pingsan. Dilihat orang itu sudah tidak berkutik lagi, ketiganya berlari menghampiri jendela kamar. Mereka mendengar desahan nafas seorang perempuan disertai suara derit tempat tidur. Salah seorang mengeluarkan sesuatu dari balik haju hitamnya. Dengan alat itu ia berusaha mendongkel jendela. Yang dua lagi berjaga-jaga. Tapi yang jelas mereka sudah tidak sabaran.
Dua tubuh bugil berlainan jenis saling rengkuh menindih di atas sebuah tempat tidur diterangi dengan sebuah lampu kecil. Keduanya tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba mereka mendengar suara jendela kamar terbuka lebar. Perempuan itu yang berada di atas tubuh seorang lelaki gemuk langsung menarik sprei menutupi seluruh tubuhnya. Dari jendela itu ia melihat tiga sosok bayangan. Ketika ia hendak menjerit. Benda runcing kira-kira satu jengkal menerobos masuk menembus tenggorokan perempuan itu. Tanpa mengeluarkan suara, perempuan itu ambruk di atas tubuh lelaki gemuk yang melihat kejadian itu demikian cepatnya. Lelaki gemuk itu ketakutan setengah mati melihat darah mengalir deras dari tenggorokan perempuan yang digaulinya. Ketiga sosok hitam masuk dalam ruangan kamar melalui jendela. Lelaki gemuk makin jadi gemetarannya. Salah seorang mendekatinya lalu dengan pukulan karate, ia menghantam batang leher lelaki gemuk itu.
"Deees!"
Si gemuk ambruk dengan tulang leher patah. Setelah keduanya betul-betul dibereskan, mereka menggeledah tempat itu. Semua barang-barang berharga milik lelaki gemuk yang ada di pakaiannya disikat habis. Lumayan! Beberapa perhiasan dari emas. Benda kecil apa saja yang nampak berharga disatukannya dalam satu kantong besar.
"Cari lagi! Di kamar sebelah masih ada! Ayo cepat!" Salah seorang yang berperawakan tinggi besar memerintah. Maka yang lain membuka pintu perlahan. Dan menyelinap dengan mengendap-endap. Di ruangan tengah masih terdengar suara. Suara beberapa pasang manusia yang tengah bergumul.
Hati-hati sekali mereka melangkah. Jarak kamar sebelah ada sekitar tiga meter. Mereka membuka pintu itu perlahan, tanpa bersuara. Terlihat lagi pemandangan seperti tadi, Melihat kemunculan ketiga orang, perempuan bugil yang telah banjir dengan keringat berteriak kaget:
"Aaaooooooo...! Ada orang...!"
"Bug...! Bug...!" Dua tendangan sekaligus melempar tubuh bugil itu sampai tak berkutik. Laki-laki yang ada di kamar itu bermaksud melawan, tapi hanya dengan sebuah tikaman pisau kecil menghentikan gerakannya.
"Ram.... Ram.... Rampooooook. "
Laki-laki itu jatuh limbung ke lantai. Suara teriakan perempuan tadi terdengar sampai ke ruangan tengah. Para lelakinya segera bangkit berjalan ke arah suara itu. Ki Sapta Nrenggana berlari limbung sambil membetulkan ikat pinggangnya. Yang lain mengikuti. Gada
Rencah menghempaskan dua perempuan yang masih menindih tubuhnya. Ia ikut bangkit menyusul.
Sampai di pintu kamar Ki Sapta Nrenggana tersentak kaget. Pada saat itu sebuah hantaman melempar tubuh Ki Sapta Nrenggana menimpa orang-orang yang berada di belakangnya.
"Bruaaaaak!"
Ketiga orang berkerudung itu langsung mengamuk melancarkan hantamanhantaman terhadap orang-orang itu. Ki Sapta Nrenggana merayap menjauh. Babatan-babatan pisau maupun pedang berkelebat merencah tubuh para undangan. Ada yang sekaligus mati, ada juga yang berteriak-teriak kesakitan. Ketiganya melangkah dengan mata yang nyalang menuju ke arah Ki Sapta Nrenggana. Dia terlentang melihat ketiga orang yang mendatangi dengan senjata di tangan mereka.
Seorang dari perampok itu melompat menyerang dengan pedang siap membabat. Tapi....
"Breeet!" Pedang itu terpental jauh. Perampok itu pun mundur terhuyung.
Ternyata Gada Rencah datang tepat pada waktunya. Ketika pedang perampok itu hampir menghujam Ki Sapta Nrenggana, Gada Rencah menyabetnya dengan ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit yang telah mengering.
Gada Rencah menatap ketiga rampok itu. Ki Sapta Nrenggana buru-buru menyurup ke belakangnya. Ia merayap seperti seekor anjing. Para perempuan penghibur berdiri ketakutan. Semuanya belum sempat mengenakan pakaian. Rata-rata membugil. Dengan peluh yang masih deras mengalir.
Pedang yang terpental tadi cepat diambil kembali oleh pemiliknya. Dan sekarang ia telah bersiap menyerang lagi. Seorang yang membawa karung berisi segala macam barang berharga melepaskan bawaannya. Ia mencabut sebilah pedang dari pinggangnya. Kini ketiga perampok itu siap menghadapi Gada Rencah. Mereka yakin Gada Rencah bukannya orang yang sembarangan. Maka mereka perlu hati-hati menghadapinya. Tiba-tiba dengan serempak mereka maju menyerang. Babatan-babatan senjata mereka berputar menerjang Gada Rencah. Serangan itu cukup mematikan. Tapi hanya dengan memutar ikat pinggangnya Gada Rencah dapat merobohkan ketiga penyerangnya. Sekali lagi Gada Rencah menyabet. Tahu-tahu saja ikat pinggang itu melilit di leher salah satu perampok itu. Dan ketika Gada Rencah menariknya dengan sekuat tenaga, orang itu ikut terbawa. Tubuhnya terlempar dengan kepala membentur tembok.
"Praaak!"
Orang itu terbanting ke lantai dengan kepala remuk mengeluarkan darah. Tubuh itu kelojotan, kemudian diam kaku tak berkutik.
Dengan tenang Gada Rencah mengikat kulit kering itu melilit di pinggangnya. Pada kesempatan itu dua orang perampok yang masih sisa langsung menerjang. Satu orang menikam dengan pisau pendek dan seorang lagi membabatkan pedang menyilang ke arah perut. Gada Rencah melompat ke atas. Babatan pedang serta tikaman pisau kecil terhindar. Tapi kakinya bergerak cepat menghantam orang yang memegang pedang.
"Bug!"
Orang itu bergalingan. Gada Rencah hinggap di lantai bagaikan daun jatuh. Menyambut tikaman pisau kecil.
"Deb!"
Luar biasa pisau itu! Tidak dapat menembus dadanya. Membekas pun tidak. Sudah tentu si penikam itu terheran-heran dibuatnya. Dalam pada itu Gada Rencah langsung melancarkan serentetan hantaman.
"Des...! Des...! Des...!"
Rampok yang bersenjatakan pisau kecil terlempar! Hantaman-hantaman itu tepat mengenai pada bagian yagn mematikan. Dari mulut serta hidungnya mengalir darah segar. Pandangannya kabur. Gada Rencah melompat lagi, kali ini tendangannya disertai tenaga penuh. Dan saat telapak kakinya menggedor dada lawannya, orang itu langsung mati dengan seketika. Tinggallah seorang perampok lagi. Kalau tidak salah dialah pemimpinnya. Ia bersenjatakan sebilah pedang. Wajahnya masih tertutup rapat dengan kain sarung. Hanya kedua matanya saja yang nampak menatap jalang. Pedangnya yang tajam mengkilap terhunus. Langkahnya bergerak perlahan maju. Matanya mengamati posisi Gada Rencah.

* * *




--¦::: « 4 » :::¦--

Ketika Gada Rencah menggertak menyerang. Pedang tajam memutar tiga kali babatan.
"Bret...! Bret...! Bret!"
Gada Rencah diam tak bergeming. Di tubuhnya membekas goresan-goresan putih. Kemudian goresan-goresan itu menghilang kembali seperti semula. Ilmu kebal! Gada Rencah memiliki ilmu yang langka seperti itu. Perampok yang masih tersisa mundur beberapa langkah. Namun Gada Rencah mengikutinya. Pedang itu menghantam lagi di lehernya. Gada Rencah menyambut babatan itu dengan telapak tangan. Cepat ia mencengkeram erat bilah pedang yang tajamnya bukan main. Sehingga perampok itu tak sanggup untuk menarik kembali. Di luar dugaan, Gada Rencah menarik kuat bilah pedang yang dicengkeramnya, sehingga perampok ikut terbawa. Dan ketika tubuhnya terseret mendekat, Gada Rencah melancarkan hantaman ke bagian dada. Kontan saja darah menyembur.
Manusia berkedok itu terhuyung.
Ki Sapta Nrenggana langsung menyambar pedang yang tergeletak di lantai. Ia membabat ke perut orang yang masih sempoyongan. Sudah jelas orang itu tidak dapat mengelakkannya. Perutnya robek melebar. Ia menggelepar gelepar bersimbah darah, seluruh lantai di sekitarnya memerah. Tapi Ki Sapta Nrenggana belum juga puas dengan babatannya tadi. Dengan geram ia mencincang habis tubuh yang sudah diam membeku.
"Cukup, Ki. Cukup. Seluruh lantai ini akan menjadi kotor. Cukup!" Gada Rencah mengguncang-guncangkan punggung Ki Sapta Nrenggana. Amukannya luar biasa. Cepat-cepat Gada Rencah menahan genggaman pedang itu. Barulah Ki Sapta Nrenggana berdiri tenang dengan nafas saling memburu. Matanya melotot tegang. Ia melempar pedang itu sampai menancap ditubuh yang tergeletak bersimbah darah. Para perempuan penghibur yang masih telanjang bulat meluruk ke arah Ki Sapta Nrenggana, mereka memberikan pakaian salin.
"Tenanglah, Ki..., Kita sudah membereskan ketiga perampok itu, kenapa musti membuang tenaga hanya karena emosi. Sekarang kumpulkan mayat-mayat mereka dan bukalah kain penutup wajah mereka.
" kata Gada Rencah. Maka suasana menjadi tenang.
Para pembesar yang masih segar bugar mengumpulkan mayat-mayat itu, meskipun sebenarnya mereka nampak jijik. Ketiga mayat itu berpakaian serba hitam semua. Hanya kain penutup wajah mereka saja yang berlainan warna.
Ki Sapta Nrenggana yang sudah berpakaian rapih langsung membungkuk membuka kain penutup wajah mereka satu per satu.
"Apakah Ki Sapta kenal dengannya?" tanya Gada Rencah setelah Ki Sapta Nrenggana membuka kain berwarna hijau.
"Tidak! Aku tidak kenal orang ini!"
Ki Sapta Nrenggana menggeleng.
"Coba yang di sebelahnya itu" perin-tah Gada Rencah. Ki Sapta Nrenggana langsung menarik kain berwarna biru bergaris-garis hitam. Sesaat ia memandangi wajah yang mengerikan. Ki Sapta Nrenggana mengernyitkan alis, kemudian....
"Semua asing bagiku. Tidak kukenal sama sekali" Sambil berjalan merunduk, ia mendekati tubuh yang terkoyak akibat cincangannya tadi.
Sebelum Ki Sapta Nrenggana membuka kain penutup, ia bergidik melihat sosok mayat itu. Bagaimana tidak, dari leher sampai pada bagian pinggang nampak terkoyak. Pakaiannya sudah basah dengan cairan kental berwarna merah.
Sekali sentak, kain penutup itu terbuka. Ki Sapta Nrenggana mendadak melotot seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Darman..." Tanpasengaja suaranya keluar.
"Darman? Siapa Darman?" Gada Rencah ikut heran.
"Orang kampung sini juga! Rumahnya tidak jauh dari sini!"
Ki Sapta Nrenggana bangkit. Ia tidak memperdulikan orang-orang di sekitarnya. Dengan langkah tergesa-gesa ia keluar gedung. Diamatinya sekeliling pekarangan. Nampak dingin dan sunyi. Ada sesuatu yang dicarinya di luar. Maka ia berjalan mengitari rumahnya. 
Tak berapa lama ia melihat dua sosok tubuh tergeletak dekat semak-semak. Ki Sapta Nrenggana kenal betul dengan dua sosok itu. Dengan geram ia menendangi dua sosok yang tergeletak. Keduanya mulai menggeliat. Dularata membuka matanya, pandangannya masih samar. Tapi ia tahu orang yang menendanginya itu majikannya sendiri. Maka ia cepat-cepat bangun. Surakarma merintih. Ulu hatinya masih terasa ngilu.
"Ada orang, Ki. Barusan ada orang!" kata Dularata tergagap.
"Kalian berdua betul-betul tidak dapat diandalkan. Makan tahi kerbau saja kalian semua. Untung saja Gada Rencah ada di sini! Kalau tidak, kalian akan sama mampusnya dengan aku" Mendengar amarah Ki Sapta Nrenggana, Dularata dan Surakarma tertunduk diam.
"Tunggu apa lagi di sini! Ayo masuk! Dasar tolol!" Ki Sapta Nrenggana beringsut meninggalkan mereka. Dua anak buahnya mengikuti dengan langkah-langkah pincang.

* * *



Warsih terjaga dari tidurnya, karena mendengar anaknya memanggilmanggil. Sebentar kemudian ia menggeliat. Matanya nampak kusam. Ia melihat anaknya sudah duduk di samping tubuhnya....
"Ada apa, Ding. Mau minum?" tanya Warsih. Oding mengangguk.
"Kenapa tidak ambil sendiri, kan biasanya"
"Takut, mak" Dengan lesu Warsih bangkit. Ia turun dari tempat tidur kemudian berjalan ke arah dapur. Tak lama ia kembali lagi dengan membawa segelas air. Oding menyambutnya. Ia langsung menenggak habis air minum itu sambil duduk. Warsih jadi tidak dapat tidur lagi walaupun tubuhnya sudah terbaring.
Sebenarnya hari hampir pagi, kicau burung dan kokok ayam jantan terdengar saling bersahutan. Suara azan Subuh sudah berhenti. Warsih bangkit lagi, ia membetulkan rambutnya yang kusut tergerai. Setelah ia menggulung rambut ia berjalan membiarkan Oding anaknya tetap duduk di atas ranjang. Ia mendorong pintu. Derit pintu bambu terdengar panjang. Suasana pagi itu masih nampak gelap, bahkan dingin.
Pandangannya menerawang jauh dalam kegelapan, rumah-rumah penduduk nampak samar tertutup kabut.
"Ahhhhhhhhh!"
Ia menggeliat lagi. Hidungnya mendengus. Ada sesuatu aroma yang kurang sedap. Bau anyir. Pastilah ada bangkai tikus di sekitar gubuknya, pikir Warsih. Mula-mula Warsih tidak perduli, malah ia mengutuki bangkai tikus itu.
Paling-paling ia mati karena kekenyangan mencuri kebun singkongnya.
Tapi bau anyir semakin menyeruak terbawa oleh angin yang menghembus ke arahnya. Sehingga Warsih tahu dari mana asal bau itu. Warsih beranjak dari balai," ia berjalan menyusuri arah bau itu sambil mengendus-endus. Bau anyir semakin santer! Itu berarti ia sudah dekat. Ia mengawasi sekitar situ, pandangannya membentur pada sesuatu yang tergeletak di bawah pohon pisang. Warsih bertanya-tanya. Bentuknya seperti manusia tertelungkup. Ia makin penasaran, karena justru bau anyir berasal dari situ. Mungki-kah mayat manusia? Rasanya tidak mungkin! Ia tidak mendengar suara apa-apa semalam. Mungkin ada orang yagn sengaja membuang bangkai-bangkai tikus atau kucing di situ. Karena dekat situ memang tempat sampah.
Dengan menggunakan sebatang ranting ia mengais-ngais onggokan itu. Dirasakan ujung ranting itu menyentuh sesuatu yang empuk berlapis cairan lendir. Setelah itu Warsih melihat ujung rantingnya telah melekat cairan merah merambat.
Warsih yakin sekali kalau yang dilihatnya itu adalah cairan darah. Maka ia cepat berlari balik ke dalam gubuknya. Oding sudah terlelap tidur. Hati-hati sekali ia mengambil sebuah pelita, lalu ia keluar lagi menuju ke tempat tadi. Sebelah telapak tangannya menjaga agar api pelita itu tidak mati. Sesampainya di tempat tadi Warsih hampir memekik, cepat ia menutup mulutnya. Sesosok tubuh tergeletak di atas tumpukan-tumpukan sampah. Dengan memberanikan diri ia membalikkan tubuh itu dengan sebelah kakinya. Dan.... Bagai disambar petir ia melihat mayat yang sudah terkoyak. Bagaimana pun juga Warsih masih dapat mengenali.
"Kang!!! Kang Darman! Kang Darmaaannnn!" teriakan Warsih keras memekakkan telinga. Pagi yang dingin dan sunyi tersentak kaget oleh jeritan-jeritan histeris Warsih.
"Kang Darmaaaannnn.!!! Hu, hu, hu, hu... Kanggggg!!!"
Warsih mengguncang-guncangkan tubuh yang berlumuran darah. Pelitanya mati tertiup angin. Beberapa penduduk terdekat yang mendengar suara jeritan Warsih m-nyerbu. Mereka langsung dapat menemui Warsih yang tengah menangisi mayat suaminya. Dan ketika para penduduk berdatangan, Warsih terkulai lemas. Ia tidak sadarkan diri.

* * *



Wintara dan Mang Bayan duduk sila menghadapi mayat yang sudah dibungkus kain kafan. Para penduduk sudah memenuhi ruangan itu. Seorang Kyai nampak tengah membacakan ayat-ayat suci pengantar untuk acara pemakaman jenasah Darman. Oding anak tunggalnya nampak diam, tapi Warsih masih sesenggukan dalam pelukan seorang perempuan tetangganya. Ia tidak kuasa melihat tubuh Darman suaminya terbujur kaku yang sebentar lagi lenyap dari pandangannya.
Beberapa orang pelayat datang lagi ke dalam gubuk itu. Semua orang-orang yang berada di situ mengarahkan pandangannya kepada beberapa orang yang baru datang. Wintara langsung tersenyum setelah melihat mereka. Orang yang berdiri paling tengah bersikap angkuh. Matanya seakan tidak puas memandangi mayat Darman. Wintara langsung bangkit menyambut beberapa pelayat itu.
"Silahkan duduk, Ki Sapta Nrenggana. Maaf tempatnya sempit.!" kata Wintara ramah.
"Sebentar lagi jenazah akan dikuburkan di halaman belakang rumah." katanya lagi.
"Terima kasih. Kami tidak akan berlama-lama di sini, masih banyak urusan-urusan yang lebih penting" jawab Ki Sapta Nrenggana dengan nada bicara yang kurang enak didengar. Lalu ia memberi isyarat pada orang yang berdiri di sebelahnya. Gada Rencah mengerti isyarat yang sudah diatur sebelumnya. Maka ia merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan sekantong uang logam. Semua mata menatap pada Gada Rencah orang asing di kampung Tapis Ledok. Di luar dugaan Gada Rencah melempar uang itu, tepat mengenai wajah jenazah Darman.
"Sungguh suatu penghinaan," pikir Wintara. Mang Bayan sendiri melotot tidak senang. Warsih tidak melihat peristiwa itu, karena ia telah hanyut dalam perasaannya.
Kalau saja tidak dalam keadaan seperti ini, Wintara sudah melabrak para pelayat yang kurang sopan itu. Kenapa harus dengan cara yang demikian? Apakah tadinya Kang Darman bermusuhan dengan Ki Sapta Nrenggana?
Warsih menjerit histeris saat empat orang lelaki tetangganya menggotong jenazah Darman. Sambil membacakan ayat-ayat suci mereka membawa jenazah itu untuk dimakamkan. Wintara dan Mang Bayan tidak mengikuti upacara pemakaman. Mereka sengaja diam di gubuk itu menemani Warsih. Saat itu Warsih sudah cukup tenang. Ia menghapus air matanya yang mengembang di kedua kelopak matanya yang membeng-kak. Ia baru sadar kalau Wintara dan Mang Bayan sudah ada di situ.
"Peristiwanya bagaimana, Bi. Bagai-mana Kang Darman sampai mengalami nasib demikian tragis" tanya Wintara.
"Bibi juga tidak tahu, Den. Subuh tadi bibi menemukan mayat Kang Darman di depan rumah. Bibi tidak tahu siapa yang membunuhnya" suara Warsih parau.
"Apa bibi tahu kalau kang Darman pernah bentrok dengan orang. Ng. Atau barangkali punya musuh?"
"Tidak mungkin, Den. Tapi yah...
tidak tahu juga, mungkin ada orang yang sentimen terhadap kang Darman. Namanya orang cari nafkah di kampung-kampung orang sudah tentu banyak saingan. "
Wintara menarik nafas panjang, lalu dihembuskan perlahan. Pandangan Warsih sayu, air matanya mengembang lagi. Dan tangisnya pun meledak. Wintara langsung mendekatinya.
"Sudahlah, Bi. Pasrahkan saja. Serahkan semua pada Tuhan, Kang Darman sudah tenang di alam sana. Tangisan bibi akan mengusik ketenangannya. "
"Bibi pasrah. Bibi rela. Tapi bibi tidak kuat menerima ini semua"
Wintara diam, ia tak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia hanya mendengar isak tangis Warsih.
"Darimana Den Wintara tahu kejadian ini?" tanya Warsih sambil menghapus air matanya.
"Kampung Tapis Ledok dengan Kampung Karang Hampar tidak berjauhan, Bi. Semua orang ramai membicarakan kematian Kang Darman. Karena itu suatu peristiwa yang sangat menggemparkan" jawab Mang Bayan. Wintara tetap diam. Sebenarnya ia ingin menjawab, tapi Mang Bayan sudah menjawabnya lebih dahulu.
"Oh ya, Bi. Apakah sudah diterima uang selawatan yang sekantong tadi?" kata Mang Bayan lagi.
"Su-Sudah.... Kira-kira dari siapa ya? Bibi sampai tidak tahu"
"Dari Ki Sapta Nrenggana" jawab Wintara cepat.
"Apa? Dari Ki Sapta Nrenggana? Tidak mungkin, Den. Tidak mungkin. Tempo hari saja bibi bermaksud minjam uang kepadanya. Boro-boro sekantong uang, sepeser pun ia tidak memberi. Dia malah menghina" suara Warsih tetap parau.
"Mungkin sekarang ia mulai prihatin terhadap bibi. "

* * *



Ki Dulang Sungkar bukannya tidak tahu kematian Darman suami Warsih. Bahkan ia pun telah mendengar beberapa orang yang mati di rumah peristirahatan Ki Sapta Nrenggana. Beberapa pembesar dan dua orang perampok. Hal itu bukan suatu rahasia. Karena Ki Sapta Nrenggana sendiri yang menyuruh orang-orang Tapis Ledok untuk menguburkan jenazah-jenazah mereka. Satu di antara orang itu sekarang ada di kedainya. Menceritakan semua yang ia ketahui.
Ki Dulang Sungkar mempunyai kesimpulan lain. Sekali pun Darman ikut merampok pada malam itu, Ki Dulang Sungkar cukup bangga akan keberaniannya. Hanya sayang Darman tidak berhasil. Birdun masih mengoceh terus menceritakan pengalamannya setelah ia menguburkan beberapa orang yang tewas di rumah peristirahatan Ki Sapta Nrenggana.
"Anehnya, Ki.... Pakaian yang dikenakan kang Darman sama betul dengan kedua perampok yang tadi pagi saya kuburkan. Semuanya serba hitam. Jangan-jangan" kata Birdun terputus.
"Jangan salah paham, Dun. Lagipula dua perampok itu kan bukan orang sini. Mana mungkin Darman ikut terlibat. Semuanya terjadi secara kebetulan." potong Ki Dulang Sungkar. Birdun menenggak kopinya. Lalu....
"Kematian kang Darman begitu sadis, Ki. Bagaimana ia tidak terlibat?"
"Stttt... Hati-hati kalau bicara. Kau lihat di sana itu?" kata Ki Dulang Sungkar berbisik perlahan, Birdun langsung menoleh mengikuti pandangan mata Ki Dulang Sungkar.
"Alihkan pembicaraanmu, Dun" bisik Ki Dulang Sungkar lagi. Birdun malah jadi takut. Karena yang dilihatnya tidak lain adalah Ki Sapta Nrenggana bersama kawan-kawannya menuju kedai di mana Birdun nangkring.
"Tenang.... Tenang, Dun. Jangan pergi dari tempat dudukmu. Kalau kau pergi mereka akan bertambah curiga" kata Ki Dulang Sungkar. Tapi Birdun semakin takut.

* * *




--¦::: « 5 » :::¦--

Ki Sapta Nrenggana memandang sinis Ki Dulang Sungkar yang nampak sibuk melayani seorang tamu. Ketika mereka tiba di depan kedai Ki Sapta Nrenggana langsung mendorong tubuh Birdun sampai tersingkir dan jatuh ke tanah. Kemudian Birdun lari menjauh. Dularata dan Surakarma mengu-rung Ki Dulang Sungkar, Gada Rencah mengawasinya dengan teliti di samping Ki Dulang Nrenggana. Lalu ia berbisik.
"Benar kata mereka, Ki. Ki Dulang Sungkar betul-betul si Sambar Nyawa."
"Kau jangan menakut-nakuti, Gada Rencah"
"Brang...! Gdombraaaang...!"
Tiba-tiba saja Dularata menendang meja dagangan itu, semua barang-barang dan makanan terbalik habis. Tapi Ki Dulang Sungkar tetap tenang. Mendengar suara berisik Maladewi keluar dari dapur, ia baru saja menanak nasi. Begitu ia keluar, Surakarma menjegal. Ia langsung memdekap tubuh ramping itu.
Ki Dulang Sungkar cepat bertindak.
"Blak!"
Tendangannya menghantam di bagian tulang rusuk. Surakarma yang membekap Maladewi jatuh. Maladewi yang terlepas dari bekapan itu lari berlindung di belakang Ki Dulang Sungkar.
"He... he... he... he. Serahkan anak gadismu padaku, Ki. Lebih baik kita mengikat tali persaudaraan. Maka urusannya akan beres. He... he... he...." Ki Sapta Nrenggana membujuk.
"Chis.... Siapa sudi mengikat tali persaudaraan dengan lelaki tua bajingan! Kau boleh berhasil mengawini gadis-gadis di kampung ini Tapi untuk mengawini putriku, jangan harap kau akan bisa" jawab Ki Dulang Sungkar.
"Kalau begitu, aku akan memaksa"
"Mentang-mentang kau orang terkaya di kampung ini, kau bisa bertindak seenaknya?" kata Ki Dulang Sungkar lagi. Ia langsung melompat. Tinjunya melayang menghantam Surakarma.
"Des. !"
Lalu tendangan memutar beraksi menyambar Dularata.
"Beg. !"
Dularata kelojotan. Dadanya terasa sakit.
"Kalau kau bisa berbuat seenaknya, Aku pun bisa" kata Ki Dulang Sungkar. Tendangannya berputar lagi.
"Wess. !"
Melempar ke luar Dularata maupun Surakarma sampai bergulingan ke tanah. Keduanya hampir tidak dapat bangun.
Ki Sapta Nrenggana mundur ke samping Gada Rencah. Ia jadi keder melihat kehebatan Ki Dulang Sungkar. Sekarang ia baru yakin kalau si Samber Nyawa, Ki Dulang Sungkarlah orangnya.
"Ki Dulang Sungkar. Sungguh bagus nama barumu itu" kata Gada Rencah yang tetap berdiri dengan kedua lengan melipat di dada.
"Aku yang muda ini telah bersusah payah mencari seseorang yang berjudul Samber Nyawa. Ternyata akhirnya selama bertahun-tahun kutemukan juga orangnya di sini. Sekali pun rambut dan janggutmu telah mengalami perubahan, Aku masih dapat mengenalimu" Gada Rencah menurunkan kedua lengannya. Ia menuding-n-ding seakan meremehkan.
"Siapa pun dirimu. Dan apa pun alasanmu. Kau sama saja bagai seekor anjing piaraan" Jawab Ki Dulang Sungkar, ia melangkah semakin jauh ke luar dari kedai.
"Bukan anjing piaran. Tapi anjing pembunuh. Kau masih ingat dengan nama besar Bah Lodaya?"
Ki Dulang Sungkar tidak menjawab. Ingatannya mundur pada beberapa belas tahun yang lalu.
Bah Lodaya. Orang yang terakhir dibunuhnya. Mereka pernah bertarung di sebuah lembah. Dan mengalami kematian secara tragis di tangan Ki Dulang Sungkar. Membiarkan mayat Bah Lodaya dikerubuti oleh burung-burung pemakan bangkai. Ki Dulang Sungkar tersenyum. Lalu....
"Siapa yang tidak kenal dengan tokoh cabul seperti Bah Lodaya? Kalau saja ia tidak membunuh dan memperkosa istriku, mungkin aku tidak akan bentrok dengannya" jawab Ki Dulang Sungkar.
"Kalau begitu, aku si Gada Rencah akan membuat perhitungan!" Gada Rencah bersiap-siap memasang jurus. Dularata dan Surakarma sudah bangkit siap membantu. Mendadak Dularata dan Surakarma menyerang berbarengan.
"Hreaaaaa!"
Ki Dulang Sungkar merunduk. Dua lengannya memutar sekaligus ke atas.
"Bug...! Bug!"
Dularata mau pun Surakarma terpelanting jatuh. Gada Rencah maju menyerang. Jotosannya melayang di atas kepala Ki Dulang Sungkar. Meskipun tidak mengena, anginnya menggetar rambut putih Ki Dulang Sungkar. Dan ketika Ki Dulang Sungkar membalas. Hantaman-hantaman mereka beradu keras.
"Dessss...!"
Gada Rencah menarik lengannya, kemudian ia mengganti serangan itu dengan sebuah tendangan cepat. Ki Dulang Sungkar melompat ke atas. Di saat tubuhnya masih berada di udara, dua telapak tangannya menepak tendangan tersebut.
"Blaaak!"
Gada Rencah menarik kakinya. Surakarma melompat cepat menerjang dari arah belakang. Tinjunya mengarah di punggung Ki Dulang Sungkar berbalik menyambut serangan Surakarma dengan sodokan telapak tangan. Surakarma memekik kesakitan. Ulu hatinya seperti tertembus benda tajam. Melihat Surakarma kelojotan Dularata menggantikan posisinya.
Ia pun maju melancarkan tendangan. Gada Rencah juga sudah melancarkan serangan dari samping kiri. Menghadapi dua serangan sekaligus Ki Dulang Sungkar berdiri tegak menyambut tendangan Dularata tepat mengenai bagian dada.
"Deb!"
Sungguh aneh! Begitu telapak kaki Dularata menyentuh dada, tubuhnya terpental seperti ada suatu tenaga dalam yang mendorongnya. Tapi menghadapi serangan Gada Rencah, Ki Dulang tak dapat menahannya lagi.
"Bug...!"
Hantaman itu mampu menggeser sampai beberapa langkah. Ki Dulang Sungkar terkesiap.
"Anak muda! Dari mana kau mendapat ilmu pukulan 'Tinju Pasir Wesi'!" Ki Dulang Sungkar heran.
"Sudah kubilang aku harus berurusan denganmu, Samber Nyawa! Karena aku Gada Rencah murid Bah Lodaya. Hreaaaaat!" Sambil berkata begitu Gada Rencah melompat. Ki Dulang Sungkar mundur sambil merunduk. Tendangan itu lolos melewati bagian atas. Tapi dalam keadaan seperti itu Gada Rencah menghantamkan pukulan ke bawah.
"Blaaar!"
Ki Dulang menangkis serangan itu. Rambutnya yang putih berubah tergerak terkena angin pukulan tersebut. Cepat Ki Dulang Sungkar berguling ke depan, lalu bangkit menatap nanar.
"Baiklah. Rupanya murid dan guru harus dibikin mampus. majulah murid cabul!"
Teriakan Gada Rencah menggelegar disertai dengan terjangan" begitu juga dengan Ki Dulang Sungkar. Ia pun tidak kalah gentar. Dua terjangan dari arah yang berlawanan saling beradu.
"Duarrrrr!"
Keduanya terpental, Gada Rencah terlempar beberapa tombak ke belakang. Ki Dulang Sungkar pun demikian, dari sela-sela bibirnya mengalir darah merah. Ia terbanting keras dekat Surakarma yang masih memegangi dadanya. Melihat keadaan yang begitu, Surakarma melancarkan serangan. Tapi meskipun Ki Dulang Sungkar terlentang di tanah, ia sempat menyambut serangan itu. Bahkan dua hantamannya sekaligus menghantam bagian leher dan perut.
Surakarma memekik, suaranya tidak keluar. Ia masih berdiri di hadapan Ki Dulang Sungkar. Kedua matanya melotot menahan sakit. Sekali lagi Ki Dulang Sungkar menghentakkan sebelah kakinya menghantam jatuh tubuh Surakarma.
"Des!"
Maka Surakarma terbanting ke belakang. Tak bergeming lagi.
Dularata tidak berani maju. Ia pura-pura mengelilingi Ki Dulang Sungkar.
Gada Rencah menggeram marah. Nafas-nya masih terasa sesak akibat benturan tadi. Ki Dulang Sungkar sudah bangkit, ia menghapus darah yang meleleh di sudut bibirnya. Matanya memerah menatap Gada Rencah. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat ia menyerang Gada Rencah.
"Plaaak!"
Gada Rencah yang sudah tahu akan mendapat serangan langsung menepis dengan sebelah lengannya. Lalu membalas dengan sebuah tendangan yang mengarah bagian perut. Sebelum tendangan itu mengenai, Ki Dulang Sungkar cepat bergerak mundur sambil tangannya mengibas ke depan.
"Bweeeet!"
Maksudnya menghantam tendangan itu. Tapi Gada Rencah membacanya, maka ia cepat menarik kakinya dan di luar dugaan tinjunya melayang cepat menghantam muka Ki Dulang Sungkar.
"Dueeeeer!" Ki Dulang Sungkar mundur terhuyung. Dirasakan tulang rahangnya remuk. Tinju Pasir Wesi membuat kedua pandangan Ki Dulang Sungkar meremang.
Ki Sapta Nrenggana tersenyum puas melihat Ki Dulang Sungkar mundur terhuyung. Ia mengalihkan perhatiannya ke arah kedai. Maladewi berdiri ketakutan dan khawatir di balik pintu. Langkahnya langsung menuju ke situ. Maladewi melihat Ki Sapta Nrenggana mendatangi. Cepat ia berlari ke dalam mengunci pintu. Ki Sapta Nrenggana yang sudah berada di depan pintu langsung menendang. Setelah ia menendang ketiga kali, barulah pintu itu terbuka. Nampak Maladewi gemetar ketakutan. Ia tidak bisa menolak lagi ketika Ki Sapta Nrenggana menariknya dengan kasar. Maladewi meronta-ronta, tapi cengkraman itu demikian kuat. Ki Sapta Nrenggana menyeretnya keluar. Maladewi menjerit-jerit. Ki Dulang Sungkar yang melihatnya, bukan kepalang marahnya.
"Wees!"
Tendangan Gada Rencah menghalangi langkahnya. Kalau saja Ki Dulang Sungkar tidak cepat bergeser mungkin dadanya sudah remuk. Sekali lagi tendangan itu menyambar. Ki Dulang Sungkar mengangkat lengannya, maka tendangan Gada Rencah menyimpang. Tahu-tahu sikutnya bergerak maju menghantam pinggang.
"Beg!" Tubuh Gada Rencah melintir setelah mendapat serangan itu. Tapi jotosannya sempat pula membalas.
"Deeees!"
Menghantam punggung Ki Dulang Sungkar. Darah menyembur dari mulutnya. Maladewi meronta-ronta dalam dekapan Ki Sapta Nrenggana yang berusaha membawanya dari tempat itu. Dularata juga ikut memegangi tubuh Maladewi yang meronta-ronta. Tiba-tiba saja....
"Deeees!"
Sebuah hantaman mendarat telak di punggung Ki Sapta Nrenggana.
"Argg. !"
Ki Sapta Nrenggana memekik kesakitan. Maladewi terlepas dari dekapannya. Tapi bukan berarti Maladewi terlepas dari cengkraman Dularata. Ki Sapta Nrenggana tersentak kaget melihat sosok tubuh tegap yang barusan menyerangnya. Wintara tersenyum mengejek.
"Ki Sapta Nrenggana. Orang yang cukup berpengaruh di Tapis Ledok, ternyata seorang buaya darat yang rakus akan anak-anak perawan orang" Kata Wintara. Selintas pandangannya tertuju pada pertarungan Ki Dulang Sungkar bersama Gada Rencah.
"Ini perampokan secara terang-terangan namanya. Merampok anaknya dengan cara kekerasan. Atau bila perlu membunuh orang tuanya. Hukum apa ini?" Kata Wintara lagi.
Ki Sapta Nrenggana berjalan mundur ke arah Dularata yang masih memegangi Maladewi. Gadis itu pun masih meronta-ronta.
"Wintara. Tolong!" Maladewi menjerit. Ki Sapta Nrenggana langsung membekap mulut gadis itu. Dularata melepaskan bekapannya karena ia telah menerima isyarat dari Ki Sapta Nrenggana. Selanjutnya ia menyerang Wintara.
Wintara buru-buru mundur. Dularata menyerang dengan melancarkan beberapa pukulan beruntun. Tiga hantaman sekaligus melesat, tapi pada serangan terakhir.
"Des!"
Jotosan Dularata mengenai lengan. Wintara memutar membalas. Dularata merunduk sambil merrangkis serangan itu. Namun di luar dugaan kaki Wintara maju ke depan menghantam perut.
"Beg!"
Dularata terjungkal ke belakang. Wintara sengaja menanti Dularata bangkit. Dan begitu Dularata bangun, sebuah tendangan memutar menghantam mukanya.
"Blaaaak!"
Membuat Dularata ambruk lagi. Melihat situasi yang tidak memungkinkan, Ki Sapta Nrenggana menyeret Maladewi menjauh dari tempat itu. Tentu saja Wintara tiak akan membiarkannya, ia bermaksud mengejarnya. Tapi....
"Splaaaak!"
Kaki Dularata menyambar menghalangi langkah Wintara. Ia pun jatuh bergulingan. Dularata melompat menyerang Wintara yang masih bergulingan di tanah.
"Des...! Des. !"
Dua kali hantaman bersarang di dada Wintara. Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Duralara yang menindih.
"Des!"
Sebuah jotosan berhasil menggulingkan tubuh Dularata. Sekarang Wintara berada di atas, Dularata meronta-ronta. Tapi hantaman-hantaman Wintara yang bertubi-tubi yang diarahkan pada bagian muka, membuat Dularata tak berkutik. Ia pingsan dengan seketika.
Ki Sapta Nrenggana sudah berada jauh dari kedai. Wintara yang melihat Maladewi dalam bekapan Ki Sapta Nrenggana langsung mengejar. Dalam pada itu Maladewi menggigit lengan yang memeluk erat. Ki Sapta Nrenggana memekik. Maladewi jatuh terbanting. Wintara langsung mengarahkan tendangan melompat.
"Bug!" Ki Sapta terjungkal.
Gada Rencah melesat cepat meninggalkan Ki Dulang Sungkar. Hanya dengan beberapa kali jumpalitan di udara, Gada Rencah sudah berada di hadapan Ki Sapta Nrenggana. Wintara begitu kaget. Ki Dulang Sungkar mengikuti! Di saat Gada Rencah melesat, tubuh Ki Dulang Sungkar tidak kalah cepatnya menyusul.
Dan di saat Gada Rencah melancarkan pukulan ke arah Wintara, Ki Dulang Sungkar mematahkan serangan itu dengan sebuah tendangan.
"Blaaak!"
Terhindar Wintara dari maut. Pukulan Tinju Pasir Wesi' menyerang lagi. Kali ini kedua tinjunya melayang sekaligus. Tinju kanan mengarah pada Wintara, dan tinju kiri menghantam keras ke bagian dada Ki Dulang Sungkar. Sebelum pukulan-pukulan itu mengenai, Ki Dulang Sungkar menendang tubuh Wintara. Maksudnya agar ia tidak terkena 'Tinju Pasir Wesi'. Memang benar usaha itu berhasil. Tapi ia sendiri tidak dapat mengelakkan pukulan yang menghantam dadanya.
"Deeer!"
Ki Dulang Sungkar tersungkur sambil menyemburkan darah. Namun hanya dengan satu hentakan, Ki Dulang Sungkar sudah bangkit kembali. Wintara maju menyerang, tapi Ki Dulang Sungkar menahannya sambil berbisik.
"Dia amat berbahaya. Kau jaga saja Maladewi. Biar keparat ini aku yang hadapi"
"Tidak, Ki. Justru dia berbahaya, kita hadapi berdua. Soal Ki Sapta Nrenggana urusan belakangan" jawab Wintara.
"Awas!" Ki Dulang Sungkar teriak.
Gada Rencah menyerang mereka. Dua pukulannya menyilang, kemudian menyusul sebuah tendangan. Ki Dulang Sungkar melompat sambil mendorong tubuh Wintara ke samping, maka serangan-serangan itu gagal. Gada Rencah menatap geram.
"Ki Sapta Nrenggana, bawa pergi gadis itu dari sini! Sebentar lagi cecoro-cecoro ini bakal mampus. Hraaaaaaat!!" teriakan Gada Rencah menggelegar.
"Bug!"
Wintara terpelanting kena tendangan Gada Rencah.
"Blaaaar!"
Ki Dulang Sungkar menyambut pukulan 'Tinju Pasir Wesi'. Kedua lengannya terasa nyeri. Belum hilang rasa sakit itu, sebuah tendangan menyambar bagian kepala. Cepat Ki Dulang Sungkar merunduk. Tapi tangan kanan Gada Rencah menghantam telak kepala Ki Dulang Sungkar. Wintara bangkit balas menyerang. Tubuhnya berputar, lalu melakukan tendangan ke atas.
"Bwuaaaaak!" Wintara mencelat ke belakang.
Ki Dulang Sungkar masih mengerang kesakitan, kedua telapak tangannya memegangi kepala. Tubuhnya terhuyung seakan tak terkendali. Langkah-langkahnya pun limbung. Gada Rencah berjalan mendekati dengan tatapan yang dipengaruhi oleh dendam. Ki Dulang Sungkar sudah tidak dapat melancarkan serangan lagi. Ia masih merasakan sakit yang begitu hebat. Pandangannya seperti berputar. Sewaktu Gada Rencah mencengkram kerah bajunya, Ki Dulang Sungkar tak dapat berbuat apa-apa.
Seluruh tulang-tulang Wintara terasa remuk akibat tendangan tadi. Ia berusaha bangkit walaupun dengan susah payah. Ia melihat Gada Rencah mengangkat leher Ki Dulang Sungkar ke atas, dan tangan kanannya siap menghantam....
"Jangaaaaan...!" teriakan Wintara terlambat. Hantaman tangan kanan Gada Rencah yang disertai tenaga dalam menembus ke perut Ki Dulang Sungkar. Lalu ia mengangkat ke atas tubuh yang berkelojotan tanpa nyawa. Darah mengalir deras membanjiri lengan kanan Gada Rencah, bahkan menghambur sampai ke wajahnya.
"Bah Lodaya. Kau lihat ini! Aku muridmu Gada Rencah berhasil melumatkan si Samber Nyawa. Kau lihat! Aku telah bermandikan darahnya! Semoga kau puas di alam baka sana!"

* * *




--¦::: « 6 » :::¦--

"Semua hutang nyawa ini telah lunas, Bah Lodaya. Semuanya berakhir! Sesuai dengan yang kau inginkan. Puaskah kau? Puaskah? Hua.. ha..ha...ha!" Gada Rencah berteriak lantang, wajahnya menatap ke langit. Tubuh Ki Dulang Sungkar masih tetap di atas dengan perut tertembus lengan kanan Gada Rencah.
Wintara menatap geram. Dengan tenaga sisa ia berusaha bangkit, lalu menerjang ke arah Gada Rencah. Emosinya yang disertai hawa nekad membuat serangannya makin bersemangat. Seluruh rasa sakitnya menghilang. Gada Rencah menyambutnya dengan tenang. Sebelum Wintara melancarkan serangan, Gada Rencah melempar tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke samping. Lalu kakinya berputar keras menghantam?
"Dues!"
Tendangan itu menghantam telak ke muka. Wintara terguling Pandangannya kabur. I a melihat Gada Rencah berdiri di hadapannya menyeringai.
"Sebelumnya kita tidak pernah berurusan, sobat. Tapi kau yang memulai mencampuri urusan orang. Sekarang aku tidak segan-segan lagi membunuhmu. Aku punya cara yang lebih adil" Gada Rencah menarik kerah baju Wintara. Lalu menyeretnya dengan kasar. Membawanya ke suatu tempat. Wintara terlentang pasrah terseret. Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan. Tapi Gada Rencah menyeretnya dengan langkah yang cepat. Membuat tubuhnya makin terbarut dengan hamparan tanah berbatu.
Mang Bayan menyaksikan kejadian itu dari semak-semak. Ia tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Mana mungkin ia berani menghadapi Gada Rencah yang begitu hebat. Sedangkan Mang Bayan sendiri tidak memiliki ilmu apa pun. Selama ini saja ia selalu mengandalkan Wintara majikannya. Dan sekarang majikannya dalam bahaya. Ia mengutuki dirinya, karena tidak mampu berbuat apa-apa.
Bukan hanya Mang Bayan yang menyaksikan kejadian itu. Hampir semua orang-orang yang tadi mengikuti ucapara pemakaman Darman datang ke situ melihat. Mereka pun sama halnya dengan Mang Bayan. Tak dapat berbuat banyak. Perasaan ngeri dan ketakutan membuat mereka tidak berani mendekat.
Tiba-tiba seorang perempuan berlari menyusul ke mana Gada Rencah menyeret Wintara.
"Warsih.... Jangan!" teriak dari salah seorang yang bersembunyi ketakutan. Perempuan itu tidak memperdulikan peringatan itu. Ia terus berlari mendekati Gada Rencah. Setelah mendekat, ia memutar menghalangi langkah Gada Rencah....
"Jangan bunuh dia! Jangan bunuh!" Warsih langsung berlutut memohon.
"Kasihanilah dia, Jangan. jangan dibunuh"
Gada Rencah malah mendorong tubuh perempuan itu sampai bergulingan. Kemudian meneruskan langkahnya. Wintara yang setengah sadar mendengar suara Warsih. Ia dapat melihat Warsih berlari menyusul dengan pandangan kabur.
Gada Rencah menghentikan langkahnya. Ia berdiri di pinggiran tebing. Kira-kira sepuluh meter ke bawah, terdapat sebuah sungai dengan air yang mengalir deras. Ia tersenyum sinis. Wintara terbaring di bawahnya.
Warsih menarik-narik lengan Gada Rencah sambil berlutut memohon. Gada Rencah acuh menatap perempuan itu.
"Kasihanilah dia. Biarkan dia hidup"
Gada Rencah melotot lebar. Warsih ketakutan. Tahu-tahu....
"Dues!"
Tinjunya menghantam kepala Warsih. Perempuan itu tak berkutik, tubuhnya ambruk di samping Wintara. Lalu Gada Rencah mengangkat tubuh Wintara, ia menatap nanar.
"Berusahalah melawan nasib, sobat. Kalau masih ada umur panjang, kau boleh mencari diriku. Nah, pergilah!" Dengan sekuat tenaga Gada Rencah melemparkan tubuh Wintara. Tubuh lunglai itu melayang ke udara. Sebelum jatuh ke dasar sungai, tubuhnya membentur cabang pohon yang telah mengering.
"Kraaak!"
Cabang pohon itu patah dan jatuh bersamaan dengan tubuh Wintara. Arus sungai yang deras menyambutnya. Gada Rencah memandang puas. Ia beranjak meninggalkan Warsih yang berbaring di tepi tebing.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu langsung menyingkir ketika Gada Rencah kembali melewati kedai Ki Dulang Sungkar. Langkah-langkahnya yang tenang menjauh dari tempat itu. Setelah Gada Rencah berlalu jauh, barulah mereka merasa lega. Satu demi satu mulai berani menampakkan diri. Mang Bayan masih terlolong mengingat peristiwa tadi.
"Cepat lihat keadaan Warsih di sana. Jangan-jangan orang itu telah membunuhnya pula" kata salah seorang lelaki, maka beberapa orang menghambur ke arah tebing. Sisanya masih di situ mengerubungi Mang Bayan.
"Sebaiknya Mang Bayan cepat pulang ke Karang Hampar. Beritahukan pada orang tua Wintara" Ada yang memberi saran.
"Betul, Mang. Biar urusan ini ditangani oleh orang tuanya"
Mang Bayan bingung. Tapi akhirnya ia pergi juga, pulang ke Karang Hampar. Beberapa orang yang tadi menuju tebing kembali, seseorang nampak memapah tubuh Warsih.
"Warsih tewas, Kang. Kepalanya remuk. Sungguh terlalu orang itu!"
"Innalillahi Wa Inna Illaihi rojiun. Bagaimana dengan Wintara? Mengapa kalian tidak membawanya sekalian?"
"Kami tidak menemukannya. Entahlah! Mungkin orang itu membuangnya ke sungai."
"Kalian sudah mencarinya...?"
"Belum! Siapa yang berani turun ke sungai yang angker itu...?"

* * *



Nyi Nilam Suti menggelosoh pingsan dalam pelukan suaminya ketika mendengar kabar dari Mang Bayan. Kyai Sempar. suaminya tidak percaya dengan pendengarannya. Darahnya naik mendengar putra tunggalnya tewas. Apalagi kalau kejadian itu terjadi di Tapis Ledok. Tidak mungkin nya. Orang-orang Tapis Ledok cukup segan padanya, kenapa sekarang anaknya harus tewas di sana?
"Siapa pelakunya, Bayan? Siapa?" tanya Kyai Sempar murka.
"Apakah orang-orang Tapis Ledok yang melakukannya? Siapa?"
"Bu-bu-bukan orang-orang Tapis Ledok. Tapi...." Mang Bayan ketakutan.
"Katakan, Bayan. Siapa orang itu?" Kyai Sempar meletakkan tubuh istrinya di bangku kayu.
"Seorang tukang pukul Ki Sapta Nrenggana"
"Ki Sapta Nrenggana. Dia harus membayar hutang nyawa ini" Kyai Sempar bergegas keluar. Bayan memandanginya.
Ia sudah dapat menebak ke mana Kyai Sempar pergi. Ke mana lagi kalau bukan ke Tapis Ledok! Untuk membuat perhitungan dengan Ki Sapta Nrenggana. Mang Bayan berlari menyusul.
"Hati-hati, Tuan. Orang itu begitu hebat. Ki Dulang Sungkar saja tewas di tangannya" kata Mang Bayan menjelaskan. Kyai Sempar diam saja, langkahnya dipercepat. Pandangannya yang lurus ke depan seakan tidak sabar. Lelaki setengah baya ini masih nampak kekar dan tegar, meskipun rambutnya hampir memutih. Garis-garis wajahnya menggambarkan suatu kemarahan yang luar biasa. Kelopak matanya tidak berkedip barang sekejap pun. Selama dalam perjalanannya ke Tapis Ledok, ia sudah membayangkan apa yang bakal terjadi di sana. Paling tidak ia harus mengumbar amarahnya terhadap orang-orang bayaran Ki Sapta Nrenggana. Walaupun dia sendiri harus mengorbankan nyawanya. Bahkan sampai titik darah penghabisan.
Jarak Karang Hampar ke Tapis Ledok tidaklah begitu jauh. Ia hanya berjalan lurus mengikuti alur jalan yang cuma satu-satu menuju ke sana. Semua orangorang yang kebetulan berpapasan dengannya, langsung menyingkir. Siapa pun tidak ada yang berani menyapa. Mereka tahu Kyai Sempar tengah dilanda amarah. Ketika Kyai Sempar memasuki desa Tapis Ledok, para penduduk kampung situ beringsut masuk ke dalam rumah. Ada juga yang berani menatap kedatangannya. Kyai Sempar tidak perduli. Ia terus melangkah dengan cepat. Kalau orang-orang kampung bersikap demikian terhadapnya, itu bukan berarti mereka memusuhi Kyai Sempar atau pun takut. Tetapi mereka segan. Apalagi dalam suasana seperti ini. Kyai Sempar sendiri sudah memahami sikap mereka.
Darikejauhan ia melihat satu kerumunan di rumah Warsih. Beberapa orang nampak sibuk di luar dan masuk gubuk itu. Benar apa yang diceritakan Mang Bayan tadi, tentunya mereka sibuk mengurusi mayat Warsih.
Kyai Sempar tidak bermaksud singgah, maka ia segera menikung ke sebelah kiri memotong jalan. Karena ia tahu betul, kehadirannya akan membawa kesan lain terhadap orang-orang itu. Lagi pula ia ingin cepat-cepat persoalan ini selesai dan memang perlu membuat perhitungan dengan Ki Sapta Nrenggana. Nyawa anaknya bukanlah selembar benang. Ki Sapta Nrenggana mesti membayar mahal. Ditatapnya bangunan megah yang berdiri kokoh. Bagian luar bangunan itu dikelilingi tembok batu setinggi dua meter. Ditengahnya terdapat pintu besar tertutup ra-pat. Tanpa basa-basi lagi Kyai Sempar menendang pintu itu....
"Braaaak!"
Dularata yang berada di halaman depan bukan main kagetnya. Ia langsung bangkit dari kursinya. Beberapa orang perempuan berlarian ke dalam.
"Suruh keluar Ki Sapta Nrenggana. Aku tua renta Kyai Sempar akan berurusan dengannya"
"Apa salahnya bila berhadapan denganku? Bukankah sama saja?" Dularata berkacak pinggang di hadapan Kyai Sempar.
"Memang! Karena Ki Sapta Nrenggana berikut anjing-anjing piaraannya akan kuhabiskan hari ini juga!" jawabnya cepat. Dularata tercengang mendengar perkataan orang tua itu. Ia berjalan maju. Baru saja ia berjalan beberapa langkah, Kyai Sempar sudah menerjang.
"Deeees!"
Dularata terpental, Ia kelojotan tak dapat berdiri lagi.
"Aku yakin bukan kau yang membunuh anakku! Tetap diamlah di situ. Setelah aku membereskan Ki Sapta Nrenggana, kau pun akan kukirim ke akherat!" Sambil berkata demikian Kyai Sempar melangkah menuju pintu gedung yang sudah terbuka. Sekalipun dalam keadaan marah, Kyai Sempar tidak berani lancang memasuki gedung itu.
"Ki Sapta Nrenggana. Keluarlah!" teriaknya lantang. Ia berdiri tegang di hadapan pintu.
"Ayo keluar dari persembunyianmu, Ki. Aku Kyai Sempar meminta tebusan nyawa anakku. Keluar!" teriaknya lagi.
Tiba-tiba sebuah benda runcing putih mengkilat melesat cepat. Sebuah pedang! Kyai Sempar bergeser sedikit.
"Wes!"
Sambaran pedang itu meleset.
"Siapakah orang yang berani melempar pedang. Keluar! Tunjukkan rupamu!" Tidak ada jawaban.
"Aku yakin, di balik tubuh Ki Sapta Nrenggana ada terselip kutu busuk berkepandaian tinggi!"
"Hua.. ha.. ha.. ha.. Sudah tahu begitu, kenapa tidak cepat-cepat merat tua bangka keropos! Kau hanya mengantar nyawa ke sini!" terdengar jawaban dari dalam. Jelas bukan suara Ki Sapta Nrenggana. Dari balik dinding muncullah sosok Ki Sapta Nrenggana.
Meskipun wajahnya pucat, tapi gerak-geriknya seakan tidak ada rasa takut sedikit pun. Melihat kemunculan Ki Sapta Nrenggana, Kyai Sempar langsung melompat menerjang. Pada saat itu pula sosok bayangan cepat berkelebat bagai anak panah. Kyai Sempar yang selalu awas dapat melihat walaupun hanya selintas. Maka ia menggerakkan lengan kirinya menghantam sosok yang melesat tadi.
"Blaaaak!"
Hantaman itu tepat mengenai. Sosok itu berjumpalitan di udara, kemudian hinggap tanpa bersuara di lantai.
Ki Sapta Nrenggana bermaksud melarikan diri, tapi Kyai Sempar yang gerakannya bagaikan setan menahan. Bahkan, Sempat menarik lengan Ki Sapta Nrenggana. Di luar dugaan....
"Kreeek!"
Tendangan Kyai Sempar yang keras mematahkan tulang lengan kiri Ki Sapta Nrenggana.
"Arrrrrrgth...!" Ki Sapta Nrenggana menjerit tidak kepalang tanggung. Lengan kanannya memegangi bagian lengan kirinya yang terasa sakit.
"Wuaaaa.... Lenganku! Lenganku!" teriaknya histeris.
Kyai Sempar menghantam sekali lagi dengan tinjunya. Tapi sebelum tinju itu mengenai Ki Sapta Nrenggana, sosok bayangan tadi melesat menggagalkan serangan itu. Ki Sapta Nrenggana berlari. Kini keduanya berhadapan.
"Tidak ku sangka.... macam memang beranakkan macam.... Tapi sayang seekor macan muda telah tumbang...! Tidak heran kalau macan induk kurat-karet mencari pembunuh anaknya" kata sosok tegap yang tak lain adalah Gada Rencah.
"Anak muda. kita akan mengadu nyawa" kata Kyai Sempar.
"Seharusnya memang demikian" jawab Gada Rencah.
"Mencabut pohon, lebih baik dengan akar-akarnya. Bukankah begitu?" Gada Rencah menyeringai.
Sudah tentu Kyai Sempar merasa terhina, dengan disertai amarah Kyai Sempar melancarkan serangan.
"Splaaak!"
Gada Rencah dapat menangkis serangan tersebut! Setelah menangkis, ia melompat ke luar. Kyai Sempar mengikuti dengan lesatan tubuhnya. Memang cukup leluasa. Di halaman muka gedung itu cukup luas. Setelah melompat keluar, Gada Rencah bersiap-siap kembali. Dan ternyata memang benar. Kyai Sempar maju menyerang. Pukulannya yang disertai tenaga dalam berkelebat memutar di atas kepala Gada Rencah. Ia tidak merunduk. Gada Rencah dapat menangkisnya dengan sebelah lengan.
"Deeees!"
Kyai Sempar memberi lagi sebuah pukulan. Gada Rencah cepat melompat keatas. Kedua tangannya merentang. Tahu-tahu, kedua telapaknya menghantam punggung Kyai Sempar.
"Des...! Des!"
Hantaman-hantaman itu cukup keras, Kyai Sempar sendiri merasakannya. Maka ia cepat berbalik sembari mengatur nafas. Sungguh gila! Seorang anak muda dapat melancarkan serangan terhadap dirinya. Dengan disertai amarah yang membara, Kyai Sempar melancarkan pukulannya. Gada Rencah menyambut dengan pukulan andalannya....
"Bluaaar!"
Kyai Sempar memekik hebat. Seluruh persendian jari-jari tangannya terasa ngilu. Rasa ingin membunuh anak muda itu semakin berhasrat. Maka ia segera menghimpun seluruh tenaga dalamnya. Paling tidak, harus ada salah satu yang keluar sebagai pemenang. Dirinya atau sebaliknya.
Gada Rencah lebih berhati-hati lagi. Ia menatap lawannya masih dapat berdiri te-gak. Meskipun Kyai Sempar sudah terkena pukulan 'Tinju Pasir Wesi'.
Gada Rencah menganggap sukar untuk melumpuhkan lawannya. Diam-diam ia menyalurkan tenaga pada kedua telapak tangannya. Dan di saat Kyai Sempar melompat ke arahnya, Gada Rencah tidak kalah gesit menyambut. Dua sosok tubuh berjumpalitan di udara, bagai dua ekor Rajawali saling terjang. Pukulan Kyai Sempar tepat mengenai muka.
"Des!"
Keduanya masih berada di udara, Gada Rencah membalas cepat.
"Der!"
Tinju Gada Rencah menghantam tidak kalah kerasnya di dada Kyai Sempar Keduanya jatuh ke tanah. Posisi mereka tetap berdiri saling menatap. Darah mengalir dari hidung Gada Rencah. Sementara itu Kyai Sempar menyemburkan darah dari mulutnya. Melihat itu, Gada Rencah melompat lagi melancarkan tendangan memutar.
"Bug!"
Kyai Sempar terbanting, tubuhnya membentur tiang pilar. Pandangannya langsung kabur. Mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu. Mendadak ia mengejang kaku, kemudian ambruk dengan nafas terhenti.

* * *




--¦::: « 7 » :::¦--

Alur sungai itu memanjang menuju ke sebuah jeram. Dari kejauhan sudah terdengar suara air terjun jatuh menimpa deras bebatuan. Arus sungai itu pun semakin kencang ketika mendekati jeram. Di kedua sisi sungai banyak ditumbuhi pohon-pohon besar, membuat kedua sisi itu menjadi gelap dan menyeramkan.
Sesuatu mengambang di permukaan sungai terbawa arus yang demikian kencang. Sebuah ranting kering yang cukup besar. Terapung-apung menuju ke arah jeram. Sesuatu ikut terbawa di atas ranting itu. Sosok. tubuh yang telah membiru dengan bekas-bekas luka memar. Tubuh seorang lelaki.
Dari arah pepohonan yang gelap sosok tubuh besar berlompatan ke arah jeram seakan-akan ingin mendahului ranting pohon yang mengapung terbawa arus. Dengan gerakan-gerakan yang sangat aneh, sosok besar itu terus melompat. Kadang-kadang sosok besar itu berayun-ayun dari cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Dengan begitu ia cepat mencapai jeram. Lalu sosok besar itu turun ke sungai. Meskipun arus itu demikian kencang, sosok itu berjalan melawan arus menyambut sebatang ranting yang makin lama makin mendekat.
Jari-jari tangannya yang runcing bagai mata jarum menahan ranting tersebut. Kemudian ia meraih tubuh yang tersangkut. Membawanya dengan sebelah lengan. Jauh sekali perbedaan tubuh mereka. Sosok besar itu, empat kali lebih besar dari tubuh lelaki yang dibawanya. Dengan susah payah ia berjalan ke pinggir sungai. Gerakannya sekarang jadi lamban, mungkin karena ia membawa beban. Dan lagi harus melawan arus yang demikian kencang nyaris melempar mereka ke dalam jeram. Ranting kayu tadi sudah tidak nampak lagi. Mungkin sudah jatuh hancur membentur bebatuan di dasar air terjun.
Dan ketika jari-jari yang runcing itu mencapai akar pohon merambat ke pinggiran sungai, sosok besar itu mengeluarkan suara yang amat mengerikan.
"Grooooooarr!"
Dengan bantuan akar itu ia dapat naik ke tepian sungai. Tanpa menoleh ia terus berjalan membawa tubuh yang dingin tak bergeming ke dalam kegelapan lebatnya pepohonan.
Telapak kakinya membekas di tanah. Cukup besar. Dan tidak mirip dengan telapak kaki manusia. Tubuhnya yang nampak setengah membungkuk menyeruak menerobos semak-semak belukar. Lengannya yang besar melindungi setiap kali semak berduri menyerempet tubuh lelaki yang dibawanya.
Jalan yang dipijaknya bukan lagi tanah, kini mereka harus melalui hamparan batu sebesar kepala bayi. Itu berarti sudah tidak ada lagi pepohonan maupun semak belukar, kecuali rerumputan yang menyembul dari celah-celah hamparan batu. Memang betul tempat itu lebih mirip sebuah lapangan yang dikelilingi pepohonan yang cukup tinggi.
Di tengah lapangan berbatu, nampak sebuah reruntuhan bekas bangunan megah. Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Sekeliling bangunan itu berderet anak-anak tangga. Pada dindingdindingnya membekas seperti ukiranukiran timbul yang hampir pudar. Tiang-tiang atapnya masih nampak kekar, malah atapnya yang sudah sebagian runtuh.
Sosok besar itu berjalan menaiki anak-anak tangga. Lalu memasuki reruntuhan bangunan itu. Ia memandangi seluruh ruangan itu, kemudian berjalan menuju ke suatu tempat yang agak bersih. Diletakkannya tubuh dingin di atas lantai.
Matahari dapat menembus langsung ke tempat itu. Menembus dari atap bangunan yang rusak, menggarang tubuh yang terlentang di lantai. Sosok besar itu memandangi raut wajah lelaki yang terlentang di bawahnya. Sebentar kemudian ia berjingkat-jingkat. Lalu kepalanya menggeleng perlahan ke samping kiri dan kanan, kedua bola matanya yang besar bersinar memandang aneh.
Ia melangkah ke sudut ruangan yang agak gelap. Di situ ia merangkak. Jari-jari tangannya yang runcing mengorek-ngorek sesuatu yang bergerumulan di sela-sela tembok bagian bawah. Seperti tumbuhan jamur sebesar-besar ibu jari. Ia mengumpulkan jamur-jamur yang berjatuhan ke lantai. Hawa panas merambat pada tubuh yang terlentang di lantai. Dadanya nampak naik turun meskipun pelan. Sebelah lengannya bergetar. Jari-jari tangannya bergerak-gerak. Kelopak matanya yang tertutup rapat membuka perlahan. Lelaki itu mengerang merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit. Mendengar erangan itu sosok besar langsung bangkit berlari mendekati. Dua telapak tangannya yang besar banyak mengumpulkan jamur.
Pandangan lelaki itu masih kabur. Meskipun demikian ia dapat melihat sosok hitam besar berdiri di sebelahnya. Lama kelamaan penglihatannya berangsur pulih. Kedua matanya terbelalak lebar. Sesaat melihat jelas sosok bayangan di sampingnya. Seekor Beruang berbulu coklat kehitaman! Spontan ia kaget dan menyeret mundur dirinya. Sosok besar yang ternyata seekor beruang hanya diam memandang Mulutnya menyeringai menampakkan gigi-gigi serta taring yang putih berkilat. Lelaki itu semakin takut. Ia terus mundur sampai punggungnya menyentuh tembok. Beruang itu melangkah maju. Menghadapi binatang buas sebesar itu tidak mungkin bisa, apalagi keadaannya sudah begitu parah. Ia meraih apa saja yang ada di situ, dan melemparkan ke arah beruang yang tetap berjalan mendekati. Lelaki itu kaget sekali ketika ia meraih sekali lagi, ternyata ia baru dapat melihat. Semua yang dilemparkan tadi adalah beberapa tulang tengkorak. Cukup besar. Tentunya bukan tengkorak manusia. Dan memang banyak menghampar tulang belulang di lantai bangunan itu.
Keadaan tubuhnya makin lemah, ia sudah tidak dapat lagi bergerak, manakala beruang itu sudah berada dekat. Semakin dekat menghampiri. Tiba-tiba mahluk menyeramkan itu menghentikan langkahnya. Ia merunduk melepaskan jamur-jamur di samping lelaki yang ketakutan. Dengan aneh, beruang itu memberikan isyarat agar jamur-jamur itu segera dimakan. Berkali-kali beruang memberikan isyarat yang sama.. Tapi lelaki ini belum juga mengerti. Beruang itu merunduk mengambil sebuah jamur, lalu ia sendiri memakannya. Lelaki itu diam melihat tingkah laku si beruang, Ia baru mengerti kalau beruang itu menginginkan perbuatan yang sama. Memakan jamur. Apa maksudnya? Apakah setelah ia memakan jamur-jamur itu, barulah beruang itu akan melahap dirinya? Ia berpikir terus? Aneh juga! Seekor binatang buas, sebelum memangsa korbannya terlebih dahulu diberi makan. Lucu! Apakah kebiasaan beruang memang demikian?
Lelaki itu merasa lega, karena mahluk menyeramkan itu berjalan mundur. Langkah-langkahnya yang berat menuju ke sudut ruangan gelap. Lalu ia duduk di situ. Ia memberi isyarat lagi. Dengan memberanikan diri lelaki itu meraih beberapa buah jamur. Memakannya atau tidak hasilnya sama saja. Beruang keparat itu pada akhirnya pasti akan mencabik-cabik tubuhnya dan kemudian melahapnya, kata lelaki itu dalam hati. Maka dengan sekali suap empat buah jamur sekaligus dikunyahnya. Melihat itu si Beruang berjingkrak-jingkrak kegirangan. Suara raungan aneh memenuhi ruangan itu. Tapi....
"Arkhhhhhhhh. !"
Tiba-tiba saja lelaki itu kelojotan. Tubuhnya menggelepar-gelepar di lantai. Seakan-akan ada sesuatu yang bergelora dalam badannya. Seluruh tubuh mengeluarkan keringat sebesar-besar biji jagung. Beruang itu tetap berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tubuh yang telah dibanjiri oleh keringat itu bergetar hebat sambil terus berkelojotan. Sesaat kemudian masa krisis itu telah lewat, nafasnya terengah-engah saling memburu, ia tidak merasakan getaran itu lagi. Hawa panas pun telah hilang. Beruang itu datang mendekat. Dan begitu lelaki itu berusaha bangkit. Lengan Beruang menyambar menarik tubuhnya. Menyeret ke suatu tempat, meskipun ia meronta-ronta cengkraman Beruang semakin kuat.
Ruangan itu sangat gelap, tapi masih dapat dilihat. Betapa kotor dan semrawutnya ruangan tersebut. Tulangtulang tengkorak berserakan di mana-mana, juga bau busuk sangat menyengat hidung. Laki-laki itu yakin sekali kalau tulang-tulang tengkorak itu bukanlah tulang belulang manusia. Karena nampak tulang-tulang itu begitu besar.. Lagi pula masih ada tersisa bekas kulit berbulu lebat yang menempel pada tulang-tulang tersebut. Jadi ia memastikan tempat itu adalah kuburan para beruang.
Ia tidak sempat memikirkan itu lagi. Karena dengan tiba-tiba tubuhnya terbanting keras. Beruang itu menyingkirkan tumpukan tulang belulang di hadapannya. Kaki serta kedua lengannya bergerak-gerak membersihkan tempat itu.. Pada lantai itu terdapat batu lantai berwarna paling lain. Juga paling menonjol ke luar. Beruang itu menarik keluar batu lantai yang menonjol. Sebentar saja batu itu terangkat ke atas. Maka terlihatlah sebuah lubang menuju ke ruangan bawah. Si Beruang menarik kembali tubuh lelaki itu, kali ini ia membawanya menyusuri tangga batu yang terdapat dalam lubang. Dan bukan main terkejutnya. Seluruh ruangan itu nampak terang benderang oleh cahaya api yang terdapat di tengah ruangan dinding batu itu seluruhnya dipenuhi dengan ukiran-ukiran yang sangat menakjubkan. Beruang itu langsung membawanya ke suatu tempat. Ia melemparkan lelaki itu sampai tersungkur. Kepalanya terasa pening. Ketika wajahnya terangkat. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang kakek dengan rambut serta janggut panjang memutih, duduk bersila di atas sebuah batu pualam hijau. Wajah kakek itu demikian tenang, garis-garis lekuk yang semestinya keriput tidak ada sama sekali. Tubuh yang putih licin bagai plastik itu terbungkus oleh kain hijau. Laki-laki yang baru datang masih terheran-heran memandang. Apalagi setelah melihat beruang di sebelahnya mendekati kakek itu dan langsung merunduk seperti seseorang yang sedang bersujud menyembah. Laki-laki itu jadi ikut-ikutan menyembah.
"Maaf, Kek.... Bukan maksudku sengaja mengganggu tempat pertapaan ini. Sungguh... Aku sendiri pun tidak tahu mengapa aku harus berada di sini. Semua ini gara-gara dia" Wintara bersujud, tangannya menunjuk ke arah beruang yang masih bersujud pula.
"Seandainya kakek merasa terganggu. Kakek boleh menghukum saya. Itu lebih baik, daripada menjadi isi perut binatang itu. Sekali lagi saya memohon. Ampunilah saya. Saya bersedia menerima hukuman apa pun"
"Groaaaaaaar...!"
Terdengar suara yang amat mengerikan.
Laki-laki itu langsung mengangkat wajahnya. Di atas batu pualam hijau sudah tidak ada lagi kakek yang duduk bersila. Sungguh aneh! Ke mana perginya? Lelaki itu mendengar suara langkah kaki yang demikian berat. Cepat ia berlari, ia mengira beruang itu telah membawa untuk disantap. Maka ia langsung berlari menuju ke arah suara yang menyeramkan tadi. Benar saja! Ia melihat jelas tubuh kakek kurus itu berada dalam dekapannya. Pastilah beruang itu telah mengoyak tubuhnya, secepat kilat lelaki itu melompat melancarkan sebuah tendangan. Dan begitu tendangan itu mengenai bagian belakang tubuh beruang, lelaki itu memekik hebat. Beruang itu tidak bergeser sedikit pun. Malah lelaki itu yang terlempar jauh. Sungguh luar biasa. Lelaki itu sendiri mendadak kaget.
Dari mana ia mendapatkan tenaga untuk bangkit berdiri, dan sampai sanggup melancarkan sebuah tendangan? Sebelumnya dari itu, ia tidak lebih bagaikan sebatang tonggak yang tak berguna. Sekarang betul-betul dirasakan aneh! Ia melihat luka-lukanya masih membekas, bahkan ada yang masih mengeluarkan darah. Kenapa semua itu tidak dirasakannya sama sekali? Ia memandangi sekeliling ruangan bawah tanah, Nampak bergerombol tumbuhan jamur melekat di dinding-dinding batu. Mungkinkah semua ini karena pengaruh jamur-jamur yang dimakannya tadi? Kalau benar, tentunya beruang itu tidak ada maksud jahat terhadap dirinya. Tapi ia berbalik mikir, apa sebenarnya yang diinginkan beruang itu. Maka ia terus mengikuti langkah-langkah si Beruang. Ia memasuki sebuah ruangan lagi. Di situ tersedia sebuah peti mati dari Kayu Jati yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran. Hati-hati sekali beruang itu memasukan tubuh kakek yang bersila di atas batu pualam hijau. Di dalam peti mati kakek itu seperti tidur layaknya. Beruang itu mengangkat penutup peti mati. Ia berusaha menutup, tapi percuma. Posisi kakek itu tetap bersila kaku, penutup peti itu tidak dapat menutup rapat. Melihat itu lelaki yang membuntuti langsung datang membantu. Beruang itu merangkul punggungnya. Sekarang orang itu tidak takut lagi. Ia sudah betul-betul mengerti apa yang akan diperbuat si Beruang itu. Dan ia pun melihat posisi kakek itu tetap bersila, sekalipun tubuh renta itu telah terbaring dalam sebuah peti mati.
Perlahan lelaki itu mengusap kedua kaki yang kaku bersila, ia membacakan serentetan mantra sambil mengelus-elus perlahan. Lalu dengan perlahan pula ia menarik kaki kakek itu sekaligus. Maka kedua kaki yang semula bersila kaku, kini lemas terjulur ke depan. Beruang itu langsung menutup peti mati, nampak begitu berat. Kedua lengannya yang besar bergetar mengangkat penutup peti yang terbuat dari batu. Tanpa diperintah lagi, lelaki itu datang membantu. Mendapat tenaga tambahan barulah peti itu dapat tertutup rapat sebagaimana mestinya. Beruang itu berjingkrak-jingkrak. Sebelah lengannya memeluk tubuh lelaki itu. Ia membawanya mengelilingi peti mati. Dan menunjukkan sesuatu yang tergambar pada sekeliling peti mati marmer. Lelaki itu memperhatikan beberapa gambaran timbul. Gambaran-gambaran itu seperti gerakan-gerakan seseorang yang telah memperagakan jurus-jurus maut secara berurutan. Tahulah ia sekarang. Kakek itu telah meninggalkan beberapa jurus ilmu silat yang langka di dalam ruangan bawah tanah. Di luar kesadarannya lelaki itu mulai mengikuti beberapa gerakan.
"Groaaaar! Groaaaaar!"
Beruang itu berjingkrak-jingkrak kegirangan tanda setuju.

* * *



Lengan kiri Ki Sapta Nrenggana masih membengkak terbungkus kain yang menyerong kepundaknya. Padahal sudah dua minggu ia mengobatinya secara rutin. Lukanya memang cukup parah. Persehdian sikutnya remuk, kalaupun sembuh tentunya ia tidak dapat menggerakkan sebelah lengan. Ia masih ingat betul peristiwa tersebut. Rasa sakitnya pun masih membayang terus. Sehingga ia tidak dapat melakukan apa-apa di rumah sebesar itu. Untung saja Gada Rencah bermaksud menetap lama di situ. Ki Sapta Nrenggana sendiri yang mengangkat Gada Rencah menjadi pengawal pribadinya. Dularata memanggil orang-orang sekampungnya untuk bekerja pada Ki Sapta Nrenggana. Maladewi tersekap dalam sebuah kamar yang bersih dan dipenuhi aroma wewangian. Setiap hari tersedia makanan yang cukup mewah, namun jarang sekali ia
memakannya. Kecuali lapar betul.
Pintu kamar terbuka, Maladewi tidak menoleh. Pastilah seorang pelayan yang akan memberi makan malam untuknya. Dugaannya meleset! Ternyata orang yang masuk ke dalam kamar itu tidak lain Ki Sapta Nrenggana dengan lengan kiri terbalut menggantung di dada. Senyumnya menyeringai, ia melangkah mendekati. Maladewi langsung bangkit menyingkir.
"Jangan begitu, Dewi. Ini malam pertama kita. "
"Pergi! Jangan dekati aku. Pergi!" Ki Sapta Nrenggana makin dekat. Ia langsung memeluk tubuh elok itu.
Maladewi mendorong berusaha lari "Aaaaarght!" Ki Sapta Nrenggara
berteriak. Sewaktu Maladewi mendorong ternyata lukanya tersentuh keras.
Dularata dan Gada Rencah yang mendengar teriakan itu langsung menyusup ke dalam kamar. Maladewi yang bermaksud lari terhalang oleh kedua orang itu. Ia gelagapan ketika Dularata mendadak membekuknya.

* * *




--¦::: « 8 » :::¦--

"Ikat dia...!" Ki Sapta Nrenggana meringis menahan sakit. Lukanya berdenyut. Dularata membawa Maladewi ke samping tempat tidur, lalu membantingnya dengan kasar.
"Ikat kedua tangan dan kakinya, Dularata.... Ikat yang kencang!" perintah Ki Sapta Nrenggana. Gada
Rencah diam saja berdiri memandangi gadis yang meronta-ronta di atas ranjang. Dularata keluar kamar. Maladewi beringsut ke pojokan ranjang menatap takut.
"Kau tidak bisa menolak keinginanku lagi, Dewi. Kau bakal jadi istriku! Kenapa mesti takut? Diam sayang He...
he... he...he...." Ki sapta Nrenggana mendekati. Maladewi langsung menendang, untunglah Ki Sapta Nrenggana cepat bangkit dari tempat itu. Dularata kembali lagi memasuki kamar dengan membawa beberapa utas tali sebesar telunjuk.
"Rupanya sengaja agar aku berbuat kasar. Bangsat! Ikat!" kata Ki Sapta Nrenggana marah. Dularata langsung membekap menubruk. Maladewi merontaronta. Namun tenaga Dularata lebih bestir. Dalam sergapan itu Maladewi tidak mampu bergerak. Dularata berhasil mengikat kedua pergelangan tangannya merentang pada tiang-tiang ranjang.
"Kaki! Kakinya juga diikat!"
Dularata menyusur ke bawah. Untuk mengikat kedua kakinya ia mendapat kesulitan. Kedua kaki itu meronta-ronta menendang. Kain Maladewi tersingkap, maka terlihatlah kemulusan yang luar biasa. Ki Sapta Nrenggana menelan ludah. Cepat-cepat ia membantu memegangi kaki Maladewi dengan sebelah tangannya. Maka Dularata dapat lebih mudah mengikat kedua kaki Maladewi satu persatu.
"He.. he.. he.. he.." Ki Sapta Nrenggana memandangi tubuh terlentang mengang-ang di atas ranjang itu. Maladewi terus meronta-ronta, tapi tali-tali pengikat itu begitu kuat.
"Kalian berdua keluarlah" kata Ki Sapta Nrenggana menatap Gada Rencah dari Dularata. Keduanya berbalik meninggalkan kamar. Ki Sapta langsung mengunci pintu dari dalam. Senyumnya buas terarah pada Maladewi.
Telapak tangan kanannya mengeluselus pipi Maladewi. Terasa halus sekali. Pandangannya liar menyusuri seluruh tubuh itu. Maladewi meronta lagi. Telapak tangan itu turun ke bagian dada. Menyusup ke balik baju. Ia menyentuh benda kenyal berputing, meremasnya.
"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskan!" Gadis itu terlentang menjerit-jerit. Mendadak Ki Sapta Nrenggana menarik baju kebaya itu. Maka tersembullah dua gundukan daging bergoyang-goyang.
"Iblis terkutuk. Bunuh saja aku!" Dadanya tersengal-sengal membuat Ki Sapta Nrenggana semakin berani. Kain pembungkus tubuhnya mengendur. Lelaki itu semakin mudah membukanya.
"Aaaaahh.... Waaaa.... Waaaa...!" Maladewi meronta-ronta kali ini lebih hebat, ranjang itu berderak-derak seakan mau terbalik. Tanpa selembar benang pun, tubuh Maladewi terlentang dengan kedua kaki mengangkang lebar terikat. Ki Sapta Nrenggana melepaskan ikat pinggangnya. Tiba-tiba....
"Braaaak!"
Pintu kamar terbuka lebar!
Seseorang memasuki kamar itu.
"Gada Renca! Mau apa kau!" Ki Sapta Nrenggana membentak.
"Aku menginginkan gadis itu sekarang Ki! Sekali ini saja." kata Gada Rencah tenang. Ki Sapta Nrenggana melotot.
"Apa. ?"
Gada Rencah mendekati Ki Sapta Nrenggana, ia mencekik lehernya dengan sebelah lengan.
"Tanpa aku, mana bisa kau mendapatkan gadis itu, Ki? Apakah aku yang telah bersusah payah tidak boleh menikmatinya?"
"Kau bawahanku Gada Rencah. Gadis itu milikku. Lagipula aku telah membayar mahal untukmu"
"Hentikan ocehanmu Ki Sapta Nrenggana. Aku hanya menginginkannya sekali ini saja. Atau aku harus mematahkan sebelah lenganmu lagi?"
Ki Sapta Nrenggana diam, ia tidak berani melawan. Dia hanya diam dengan rona muka yang memerah. Kekesalannya hampir meledak di dalam jantung. Sungguh berani. Seorang bawahan atau seorang pengawal bertindak seperti itu.
"Kau boleh tetap di sini. Atau lebih baik ke luar, Ki" Gada Rencah membuka pakaiannya. Kemudian berjalan ke samping ranjang.
"Jangan.... Jangannnnn." Gadis itu berusaha berontak. Gada Rencah tidak perduli. Ia terus naik ke atas ranjang, langsung menunggangi seekor kuda betina yang meronta-ronta dengan disertai jeritan jeritan histeris.

* * *



Udara dalam sebuah ruangan bawah tanah masih tetap pengap. Bau busuk menyebar menyengat hidung. Sebuah peti mati dari batu marmer tergeletak di tengah ruangan itu. Banyak kulit-kulit binatang tergantung di dinding menghiasi, membuat kesan ruangan itu semakin pengap. Dua tahun yang lalu kulit-kulit binatang itu tidak ada sama sekali. Mungkin lelaki muda yang terkurung di situ sengaja mengumpulkannya.
Sekarang lelaki muda itu duduk berhadapan dengan seekor beruang yang nampak duduk lesu. Lelaki itu mengunyah beberapa buah jamur sambil memandangi sahabatnya yang empat kali lebih besar dari tubuhnya.
"Akhir-akhir ini kau selalu murung. Ada apa? Bukankah kau yang menginginkan aku harus bersamamu di sini. Semua jurus-jurus yang tergambar pada peti mati itu telah habis kupelajari. Seharusnya kau bergembira" kata lelaki muda itu sambil bangkit berdiri. Bajunya yang telah koyak bergerak-gerak setiap ia melangkah. Beruang itu tetap diam, tidak mau menjawab walaupun dengan bahasanya. Lelaki itu mendekat mengelus-elus bulu yang berwarna coklat kehitaman. Dari kedua kelopak mata binatang itu yang sayu mengeluarkan beberapa tetes air mata. Lalu lengannya yang besar bergerak mendorong tubuh lelaki itu. Kemudian memberikan bahasa isyarat. Lelaki itu mengernyitkan alis.
"Apa? Kau mengusirku? Apa-apaan kau ini. Kita sudah bersumpah sehidup semati. Sekarang kau mengusirku. Tidak! Aku tidak mau pergi!"
"Wes...! Wes...!" Beruang itu melemparkan tulang-tulang tengkorak yang berada di situ.
"Praaaak...!"
Kedua tulang itu hancur bersamaan oleh kibasan lengan lelaki itu. Si Beruang bangkit, dengan sekali lompatan ia menyambar salah satu kulit yang tergantung. Lalu dilemparkannya lagi ke arah si pemuda yang tidak mengerti melihat tindakannya. Lelaki muda itu langsung menyambar. Kemudian ia melihat lengan beruang tersebut bergerak-gerak memberi isyarat.
"Oooooo.... Aku harus mengganti bajuku yang telah koyak dengan kulit ini? Baik, Aku turuti kemauanmu" katanya setelah melihat isyarat itu.
Beruang itu maju mendorong-dorong ke luar lelaki muda itu. Sungguh aneh! Apa maksudnya. Lelaki itu berjalan mundur, ia berdiri memandangi gerak-gerik si Beruang. Tiba-tiba.
"Grek.... Grek.... Gregeeeeek...!" Pintu batu ruangan itu tertutup hampir mengunci si Beruang dalam ruangan peti mati, cepat lelaki itu melompat bermaksud menarik agar beruang itu tidak terkunci. Tapi....
"Desss!"
Sengaja beruang itu menendang. Tubuh lelaki itu terpental jauh. Dan pintu itu telah tertutup rapat mengurung beruang yang berada di dalamnya. Terdengar suara raungan yang sangat panjang melengking. Tak lama setelah raungan itu berhenti, seluruh tempat itu bergetar. Seluruh ruangan bawah tanah bergemuruh. Pasir-pasir dan batu-batu mulai berjatuhan, hampir saja sebongkah batu menimpa lelaki itu.
"Gila.... Seluruh ruangan ini akan ambruk" Baru saja ia berkata demikian, sebuah tiang retak kemudian patah jatuh berdebum di lantai. Ruangan itu jadi gelap, karena api yang menyala di ruangan tengah telah tertimbun pasir dan puing-puing batu. Lelaki muda itu langsung melompat ke arah tangga. Ia belum juga pergi dari situ. Merasa keberatan meninggalkan beruang yang terkurung.
"Grauuuuuuuuuung!"
Terdengar lagi raungan panjang.
"Tidak beruang! Aku tidak bisa meninggalkanmu tertimbun di sini!"
"Grauuuuuuuuuung!"
Seluruh dinding ruangan bawah ambruk berjatuhan membuat lantai ruangan itu penuh dengan batu-batu. Dari atas pun demikian atap-atap runtuh nyaris menimbun dirinya.
Dengan terpaksa sekali lelaki muda itu berlari menjajaki anak tangga yang menuju ke atas. Lengannya yang memegang kulit berbulu memutar melindung dirinya dari percikan-pereikan batu. Sampai di atas, reruntuhan bangunan itu bergetar. Cepat ia melompat ke luar. Melewati sisa-sisa tulang belulang dan puing-puing batu. Dan ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Reruntuhan gedung megah itu ambruk melesak ke dalam tanah. Yang tertinggal hanyalah sederetan anak tangga setengah melingkar pada reruntuhan itu. Lelaki itu menarik nafas panjang kemudian menghembuskan. Ia tidak sudah sadar lagi ketika melihat pakaiannya yang koyak tidak melekat di tubuhnya. Mungkin terlepas waktu ia menyelamatkan diri dari re runtuhan. Teringat akan kulit beruang dalam genggamannya, cukup besar dan kuat bila ia menggunakannya sebagai penutup tubuhnya dari hawa dingin maupun panas.

* * *



Batu perbatasan sebuah desa berdiri tegak di kedua sisi jalan. Di kedua batu itu tertera tulisan KARANG HAMPAR. Meskipun huruf relief hampir sebagian rontok, tapi masih jelas terbaca.
Rumah-rumah penduduk banyak berkelompok-kelompok. Para penduduknya sibuk menyusun padi di lumbUng. Anak-anak kecil berlarian saling kejar bermain. Ada juga para ibu yang nampak sedang menampi beras. Seorang lelaki tua tengah membelah kayu bakar, melihat seorang pemuda berjalan melaluinya. Anak muda berperawakan kekar mengenakan pakaian bulu berwarna coklat kehitaman. Rambutnya gondrong sebatas pundak. Ia berjalan terus, sekalipun kehadirannya di desa itu telah menjadi perhatian orang-orang kampung.
Langkahnya yang tenang menuju ke satu tempat. Menyusuri jalan berkelok, melewati sebuah parit dengan jembatan dari batang pohon kelapa. Kemudian menembus sebuah perkebunan.
Sebuah rumah besar berdiri sunyi. Sebagian rumah itu telah hancur. Nampak seperti terbakar. Masih kelihatan sisa-sisa arang pada tiang-tiang kayu. Genting-genting sudah banyak berjatuhan di tanah, di halaman rumah banyak ditumbuhi rumput-rumput liar. Pemuda itu menatap dengan pandangan tajam. Kedua telapak tangannya mengepal keras, ketika melihat dua gundukan tanah di samping rumah. Dua gundukan tanah disertai masing-masing sebuah nisan.
"Gada Rencah. Pastilah dia yang melakukan ini semua. Tunggulah! Kita akan berhadapan lagi.
" katanya dengan nada pelan. Lalu ia berlalu meninggalkan tempat itu. Tatapannya seperti kosong ke depan. Tidak diperdulikannya orangorang yang memperhatikan. Ia terus lewat dan berlalu menembus ke jalan lurus yang menghubungkan ke desa Tapis Ledok.
Dari kejauhan desa tersebut sudah nampak, rumah-rumah penduduk nampak seperti titik-titik yang berwarnawarni. Pepohonan yang menghijau nampak berderet membatasi.
Dari dulu desa Tapis Ledok memang selalu ramai, dari pasar, tempat perjudian maupun tempat pelacuran ada di situ. Siang malam desa itu selalu saja banyak didatangi para pendatang. Seperti halnya pada siang itu. Warung Bi Wikurnah ramai didatangi oleh para pelanggannya. Hampir bangku-bangku panjang yang mengelilingi meja berisi dagangan penuh. Birdun duduk paling tengah, sebelah kakinya naik ke atas bangku.
"Aku yakin, ayam jago Ki Sapta Nrenggana menang lagi. Aku berani pegang" kata Birdun sombong. Tangannya menyambar gelas berisi kopi. Lalu meneguknya sedikit.
"Siapa yang berani melawan ayam miliknya, Kang. Semua orang tahu, Si Kliwon sudah menang bertarung sebanyak delapan belas kali. Kang Birdun kan tahu sendiri. Ayam ki Sarwih yang hebatnya bagaimana pun dibuatnya terkapar bermandi darah. Iya nggak?" kata salah seorang yang berada di situ.
"Tapi katanya hari ini Ki Sapta Nrenggana akan mengadu dengan ayam milik Ki Johar.. Ki Johar tidak perlu bertaruh. Asal jago Ki Johar menang, Ki Sapta Nrenggana berani membayar dengan sekantong uang" yang lain menimpali.
"Aku tetap pegang ayam jago Ki Sapta Nrenggana." kata Birdun mantap.
"Kau berani bertaruh? Aku berani membayar sepuluh kali lipat" kata Birdun lagi. Orang-orang yang mendengar ucapan itu bermkir. Seseorang menyeletuk.
"Baiklah. Aku pegang jago milik Ki Johar"
"Boleh! Jika kau menang, kau akan mendapat sepuluh kali lipat dari uang taruhanmu"
Sosok tubuh kerempeng dengan gemetaran menuju warung itu. Telapak tangannya terjulur ke depan seperti meminta. Suaranya hampir tidak keluar. Birdun yang mengetahui datangnya pengemis itu langsung menoleh.
"Rasanya aku ampir bosan membelikanmu makanan. Apakah tida ada pekerjaan lain selain mengemis?" Birdun mendongkol.
"Kalau terus-terusan begini, aku bisa babak belur" katanya lagi. Bi Wikunah yang sedang sibuk melayani para tamunya melihat juga kedatangan pengemis itu.
"Sudah, Dun. Kali ini kau tidak usah membelikan makanan. Biar bibi saja yang memberi. Kau tidak perlu mengeluarkan uang" kata Bi Wikunah. Ia mengemasi sebungkus nasi. Pengemis bertubuh kerempeng itu hanya menunduk dengan telapak tangan yang masih terjulur. Bi Wikunah telah selesai membungkus nasi ia bermaksud memberikan bungkusan itu. Tapi Birdun langsung menyambar mengambil bungkusan itu dari tangan bi Wikunah.
"Biar saya yang memberikannya, Bi" kata Birdun. Birdun tetap duduk di bangku, ia sengaja menjatuhkan bungkusan nasi itu di bawah kakinya. Tubuh kerempeng yang gemetaran langsung menubruk membuka bungkusan yang berisi nasi berikut lauk-pauk. Bagai orang yang kelaparan ia melahap makanan itu. Birdun menyeringai.
Tahu-tahu sebelah kakinya menginjak batang leher lelaki kerempeng itu sampai mukanya mencium tanah. Sekaligus Birdun menyiram kepala itu dengan kopi.
"Traaaang!"
"Arghhhht...!"
Birdun menjerit. Telapak tangannya yang memegang gelas kopi terasa tertimpa sesuatu. Gelas yang telah kosong itu jatuh.
"Ternyata masih banyak anjing-anjing yang tidak berperasaan di kampung ini" ucapan itu jelas terdengar. Birdun sendiri sudah dapat melihat seorang pemuda berambut gondrong berdiri tegak di depan warung. Pemuda yang mengenakan pakaian kulit binatang membantu pengemis itu bangkit berdiri. Birdun keluar dari bangku. Ia langsung melancarkan serangan ke arah pemuda itu.
"Plak!"
Pemuda itu menepak, lalu tendangannya menyambar....
"Bug!" Menghantam keras, membuat Birdun terguling tak dapat bangkit lagi.
"Den Wintara...." katanya seakan tak percaya.
"Syukurlah kau masih mengenaliku, Mang Bayan... Tak apa-apa, Birdun hanya pingsan. Dia memang harus mendapat pelajaran seperti itu...." kata pemuda itu kepada si pengemis. Mendengar kata 'Den Wintara' orang-orang yang berada dalam waning langsung belingsatan.

* * *




--¦::: « 9 » :::¦--

Sebenarnya Ki Johar tidak mau menurunkan ayam jagonya ke arena persabungan. Tapi Ki Sapta Nrenggana memaksa, bahkan ia berjanji akan memberi uang sekantong bila ayamnya bisa mengalahkan si Kliwon. Sekalipun Ki Johar tidak perlu mengeluarkan uang taruhan. Ki Johar sendiri tahu, kalau saja ia menolak. Mungkin akan terjadi sesuatu terhadap dirinya.
Sekeliling arena persabungan telah dipenuhi oleh para pengunjung yang juga akan ikut bertaruh. Ki Sapta Nrenggana bersama Dularata duduk paling depan. Nampak Ki Sapta Nrenggana mengelus-elus leher si Kliwon. Ki Johar sedikit gemetar memasuki arena. Ia telah selesai memasang kedua pisau kecil di kedua kaki jagonya. Seorang wasit menerima ayam itu. Tak lama pun
Ki Sapta Nrenggana menyerahkan ayamnya. Dua buah pisau tajam berkilat terikat kuat pada pergelangan kaki si Kliwon.
Dua orang lelaki datang memasuki arena membantu. Masing-masing membawa seekor ayam itu ke arah sudut yang berlawanan. Maka para pencandu sabung ayam bersorak riuh. Semuanya sudah siap bertaruh. Kebanyakan dari mereka memegang ayam Ki Sapta Nrenggana. Hanya beberapa orang saja yang terpaksa menjagoi milik Ki Johar.
"Lepas...!" kata wasit memberi aba-aba.
Maka kedua ayam itu saling menerjang. Bulu-bulu leher mereka meregang, kemudian.
"Jbreeeet!"
Kliwon menghantam lebih dulu. Pa-ruhnya menghantam punggung lawannya. Jago Ki Johar nampak berlari mundur. Suasana tempat itu jadi ramai. Sekali lagi Kliwon maju melancarkan hantaman dengan sebelah kaki.
"Jbreeeet!"
Jalu pisau mengenai pagian paha. Untung cuma tergores. meskipun demikian darah tetap mengalir. Ki Sapta Nrenggana nampak tersenyum puas. Ki Johar sudah yakin, jagonya akan terkapar di arena itu. Kliwon nampak beringas. Kedua kakinya yang kekar siap lagi menghantam. Jago Ki Johar berjalan minggir-minggir mengelilingi arena. Dan saat Kliwon datang menyerang, jago Ki Johar yang sudah terluka itu melompat tinggi. Lalu kedua cakarnya jatuh menginjak punggung Kliwon.
"Beg!"
Kliwon tersungkur, ia bangkit lagi mem-balas serangan. Terjangannya bagaikan seekor burung rajawali. Sayapnya menghantam sembari kakinya yang disertai jalu pisau menghajar sebelah muka lawannya. Jago Ki Johar terbanting bergulingan. Ki Johar cemas. Apalagi melihat jagonya lama tidak bangkit-bangkit.
Kliwon melompat, kedua kakinya sekali-gus menghantam. Jago ki Johar yang masih rebah di tanah langsung menyambut. Kedua kakinya bergerak cepat. Kliwon memekik. Dada serta temboloknya tertembus jalu-jalu pisau. Kliwon bergoseran di tanah, Jago Ki Johar nampak mengerahkan seluruh tenaganya. Membuat Kliwon tidak dapat terlepas dari tikaman-tikaman jalu. Semua orang mengeluh kecewa. Ki Sapta Nrenggana melotot.
"Kliwon tewas! Kliwon tewas!" teriak wasit. Memang betul... Setelah berkelojotan ia tidak berkutik lagi. Jago Ki Johar berjalan limbung melepaskan tikaman-tikaman jalu pisau yang menembus dalam. Para pencandu sabung ayam seakan tidak percaya. Kliwon yang sudah berpengalaman menang delapan belas kali jatuh di tangan jago Ki Johar. Sungguh luar biasa jago Ki Johar itu. Beberapa orang nampak kegirangan menerima uang taruhan, bagaimana tidak. Mereka berani membayar sepuluh kali lipat untuk ayam Ki Johar. Hampir semuanya menjagoi Kliwon. Dan sekarang mereka betul-betul kena batunya.
Ki Johar memasuki arena dengan ketakutan. Ia langsung mengambil ayam jagonya yang sudah berlumur darah di bagian mukanya. Dan Ki Johar tidak bermaksud menuntut sekantong uang dari perjanjian Ki Sapta Nrenggana. Ia tidak berani. Ia tahu betul siapa dia. Kalau saja ia berani meminta, itu sama saja membangunkan macan tidur. Maka ia melangkah saja menyingkir dari arena.
Mendadak sebuah cengkraman menarik tubuhnya. Ki Johar berbalik. Dularata langsung menarik ayam jago dari pelukan Ki Johar. Ia sendiri tidak dapat menahannya. Dan ia begitu kaget melihat Dularata membanting jago miliknya, bahkan kakinya dengan sangat kencang menginjak ayam itu. Jago Ki Johar kelepekan. Semua isi perutnya keluar dari liang anus. Ki Johar langsung menubruk ayam yang sudah remuk itu, tapi.
"Dues!" Dularata menendang tubuh Ki Johar. Tentu saja tubuh itu terbanting ke belakang. Ki Johar meringis menahan sakit. Orang-orang yang berada di situ menatap ngeri, mereka tidak ada yang berani menolong Ki Johar. Mereka takut akan mengalami nasib yang sama. Sekali lagi Dularata maju.
"Jangan, Tuan. Jangan. Saya tidak bermaksud meminta perjanjian itu Tidak. Saya rela ayam saya mati. Jangan. Jangan bunuh saya" Ki Johar menangis. Dularata terus maju matanya jalang menakutkan.
"Tunggu...!" Sebuah teriakan membuat langkah Dularata terhenti sekaligus menoleh ke arah suara itu. Sosok tubuh melompat masuk ke dalam arena sabung. Dularata menatap seorang pemuda memakai baju kulit binatang berdiri seperti menantang.
"Aku rasa peraturan sabung ayam tidak demikian. Tidak berakhir dengan pertumpahan darah. Kalau sudah kalah, ya sudah. Apakah ini peraturan Ki Sapta Nrenggana?" kata pemuda itu yang menatap tajam ke arah Ki Sapta Nrenggana. Merasa ditatap sedemikian rupa Ki Sapta Nrenggana jadi salah tingkah.
"Anak muda. Pergilah dari sini! Aku tidak bermaksud membunuh dua orang di sini!" kata Dularata sengit. Dari mana pemuda asing ini mengenali majikannya?
Siapa sebenarnya dia. Dularata maju ke depan beberapa langkah.
"Mau bunuh boleh! Tapi bayar dulu uang ganti rugi jago Ki Johar, itu baru namanya adil" kata pemuda itu tenang. Dularata menoleh ke arah Ki Sapta Nrenggana, majikannya memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Maka Dularata langsung mengerahkan tinjunya. 
"Mampus kau pemuda usil...!"
Pemuda itu merunduk, tinju Dularata meleset. Masih dalam keadaan merunduk, pemuda ini yang ternyata tidak lain adalah Wintara memutar lengannya.
"Plak!"
Tinju itu beradu. Dularata terpelanting hebat. Wintara nyengir. Sungguh dahsyat! Lengan Dularata seperti terasa patah. Tapi ia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Ia melompat lagi. Tendangannya bergerak cepat. Wintara melesat ke atas, tubuhnya berjumpalitan di udara, tahu-tahu sebelah tangannya menghantam keras bagian punggung.
"Arghhhh! "Dularata ambruk. Darahnya menyembur. Ki Sapta Nrenggana tersentak kaget. Dularata merangkang bangkit. Belum Dularata berdiri benar, Wintara melancarkan tendangan memutar.
"Dueees!"
Dularata terlempar ke luar dari arena sabung ayam. Menimpa beberapa orang yang ada di situ. Lalu orang-orang itu segera berlarian menyingkir. Tubuh Dularata tergeletak kaku. Matanya melotot lebar tak bergeming. Dularata tewas dengan mengerikan. Melihat itu Ki Sapta Nrenggana merungkut, suaranya yang gemetar keluar.
"Ba-ba-baik, Ba-baik.... A-Aku akan mengganti ayam itu" Ki Sapta melemparkan sekantong uang. Lalu ia bermaksud berdiri melangkah.
"Tunriggu! Bagaimana dengan uang taruhannya?" kata Wintara tegas.
"Oh.... I-i-iya.... A-a-aku lupa..." Ki Sapta Nrenggana merogoh lagi saku bajunya. Ia mengeluarkan sekantong uang, dan melem-parkannya pada Ki Johar. Ki Johar tidak berani mengambil dua kantong uang yang tergeletak di tanah.
"Ambillah uang itu, Ki. Uang-uang itu sudah menjadi hakmu. Ambillah." Wintara mengambil dua kantong uang itu, lalu memberikannya pada Ki Johar. Ia gemetar menerimanya.
"Dua tahun belakangan ini rasanya ada yang lain. Kenapa dengan tangan kirimu itu, Ki. Dari tadi kulihat tidak banyak bergerak" tanya Wintara. Ki Sapta Nrenggana gelagapan. Lalu dengan gemetar pula ia menjawab
"Pa-pa-patah. Lengan kiriku pa-pa-tah. "
"Apakah Gada Rencah yang mematahkan lenganmu?" Bagai tersambar petir Ki Sapta Nrenggana mendengar pertanyaan itu, mukanya pucat pasi.
"Bu-bukan.... Bu-bukan Gada Rencah.... Te-te-tapi se-se-seorang Kyai... Ka-ka-kalu tidak sa-salah Ki-Ki-Kyai Sempar namanya. "
Tibat-tiba saja Wintara melesat cepat ke samping Ki Sapta Nrenggana.
"Kalau begitu, aku pun punya tugas yang sama seperti Kyai Sempar. Untuk mematahkan sebelah lenganmu lagi, Ki" Wintara langsung meraih lengan kanan Ki Sapta Nrenggana.
"Dari alam baka sana ia mengutusku demikian" kata Wintara lagi.
"Ja-ja-jangan...." Ki Sapta Nrenggana ketakutan, cengkraman Wintara makin kuat.
"Kau boleh tidak mengenaliku, Ki. Dua tahun memang cukup lama. Wajar kalau kau tidak mengenaliku lagi. Beberapa tahun yang lalu kita pernah bertaruh di sini. Masih ingat? Apakah kau lupa juga ketika merebut Maladewi dari tangan Ki Dulang Sungkar? Aku yakin kau masih ingat"
"Hah?! K-kk-kau.... Kau..." Ki Sapta Nrenggana memandang tak percaya.
"Aku Wintara!"
Semua orang yang masih ada di situ terbelalak. Ternyata Wintara masih hidup. Mereka teringat pada dua tahun yang lalu, peristiwa tragis yang terjadi di Tapis Ledok ini. Siapa yang percaya akan kehadirannya. Dua tahun cukup membuat perubahan-perubahan pada diri Wintara. Dari rambut, pakaiannya. Juga tubuhnya yang jauh lebih kekar dan besar. Sudah tentu kedatangannya untuk menuntut balas. Mereka yakin.! Yah pasti akan terulang peristiwa dua tahun yang lalu. Di desa ini.
"Di mana Maladewi sekarang" pertanyaan itu cukup pelan, tapi begitu menggelegar di jantung Ki Sapta Nrenggana.
"Cepat jawab!" Wintara memuntir lengan Ki Sapta Nrenggana, orang itu pun memekik hebat.
"Cepat katakan di mana dia, Ki"
"A-ada.. Maladewi ada.. Di-d-di-dia bersama Gada Rencah...!"
"Kebetulan! Aku pun memang sedang mencari dia. Antar aku ke sana, Ki" Wintara mendorong tubuh Ki Sapta Nrenggana. Langkahnya tersaruk-saruk karena Wintara masih mencengkram keras lengannya. Mereka meninggalkan tempat itu, Mang Bayan mengikutinya dengan langkah yang gemetaran. Arena itu menjadi penuh. Semua orang mengerubungi mayat Dularata. Ki Johar bangkit sambil menggenggam dua kantong uang, beberapa orang me-mapahnya mengantarkan pulang. Ada juga yang bergegas mengikuti ke mana kepergian Wintara. Tapi mereka hanya mengikuti dari kejauhan. Wintara menghajar punggung Ki Sapta Nrenggana di saat ia berjalan pelan. Mendapat hajaran itu, Ki Sapta Nrenggana mempercepat langkahnya. Ia tidak mau mendapat hajaran-hajaran seperti kerbau dungu yang dicambuk. Dan pada saat mereka melintas jalan becek, Ki Sapta Nrenggana terpeleset. Wintara langsung menarik keras lengan kanannya yang belum lepas dari cengkraman. Sudah tentu ia merasa amat kesakitan.
"Bangun...!" Wintara menyeret kuat-kuat. Ki Sapta Nrenggana yang sudah kepa-yahan begitu lambat berdiri. Dengan langkah cepat Wintara menyeretnya.

* * *



Pintu gerbang pada pagar tembok yang mengelilingi bangunan megah itu memang sudah terbuka. Tiga orang nampak duduk di sudut teras, dua orang perempuan menemani mereka. Di halaman muka dua orang berdiri. Salah seorang dari mereka tengah menyulut rokok. Suasana memang sepi. Hanya cekikikan para perempuan yang berada di sudut teras terdengar renyah.
Mereka tidak menyadari kalau di depan pintu gerbang telah berdiri Ki Sapta Nrenggana dengan wajah yang seperti menahan sakit. Wintara berdiri di belakangnya siap memuntir lengan Ki Sapta Nrenggana. Ia mendorong masuk ke dalam halaman gedung. Dua orang yang berdiri di halaman tersentak kaget, mereka langsung menghambur mengepung Wintara.
"Anak muda! Sungguh berani kau bertindak seperti ini terhadap Ki Sapta Nrenggana. Cari mampus! Lepaskan dia!" Wintara tidak menjawab, malah kakinya menyambar ke atas. Menghantam orang yang berbicara tadi sampai bergulingan. Seorang lagi langsung maju. Wintara menarik lengan Ki Sapta Nrenggana ke samping, sambil melancarkan sebuah pukulan keras bersarang di dada
penyerangnya
"Buuuug...! Wuaaaaa!"
Orang itu menjerit, tubuhnya mencelat ke belakang.
Tiga orang di sudut teras langsung bangkit mendengar teriakan itu. Dan mereka dapat melihat majikannya dalam keadaan terancam di bawah cengkraman seorang pemuda. Ketiganya menatap
garang.Wintara,terus mendorong maju tubuh Ki Sapta Nrenggana ke dalam. Namun ketiga orang ini bermaksud menghalangi. Mai ah seorang di antaranya menarik Ki Sapta Nrenggana.
"Plak!"
Wintara menepis lengan itu. Lalu memutar melancarkan tinjunya.
"Des!"
Orang itu terhuyung ke belakang. Dua orang datang lagi menyerang. Mereka berusaha melepaskan Ki Sapta Nrenggana dari cengkraman Wintara.
"Arghhhhh!"
Ki Sapta Nrenggana menjerit. Lengannya terasa sakit, karena Wintara memuntir lebih keras lagi. Lengan kirinya yang sudah patah mati tidak berfungsi.
Dua orang itu berhenti menyerang. Salah seorang yang tadi terhuyung sudah bangkit.
"Suruh keluar Gada Rencah! Cepat! Kalau tidak ingin majikan kalian menjerit terus menerus!" perintah Wintara.
"Panggil dia! Panggil Gada Rencah!" teriak Ki Sapta Nrenggana.
"Aku ada di sini, Ki" Jawab seseorang dengan suara dingin.
Wintara langsung menatap ke arah suara itu. Gada Rencah telah berdiri di tengah-tengah pintu gedung. Ia masih saja tetap seperti dulu. Tidak berubah. Dari dalam keluar seorang perempuan muda. Perempuan itu langsung berdiri di belakang Gada Rencah. Wintara mengendorkan cengkramannya pada lengan Ki Sapta Nrenggana. Seakan ada getaran yang sangat hebat dalam dirinya ketika melihat perempuan itu.
"Maladewi. Kaukah Maladewi?" kata-kata itu keluar di luar kesadarannya. Merasa cengkraman Wintara mengendor, Ki Sapta Nrenggana lari meloloskan diri. Tapi cepat Wintara meraih lengan itu lagi, mencengkram lebih kuat. Bersamaan dengan itu, Wintara menendang tubuh Ki Sapta Nrenggana.
"Deees! Waaaaaaaaark...!"
Lengan kanannya tertinggal dalam cengkraman Wintara. Sedangkan tubuhnya jatuh berkelojotan bagai ayam disembelih. Semuanya menatap ngeri. Terlebih-lebih perempuan yang berdiri di belakang Gada Rencah. Kedua matanya terpejam menyaksikan kengerian itu.
Tentu saja ketiga orang yang tadi bermaksud menyerang tidak tinggal diam. Kini ketiganya menghambur mengepung dari segala arah. Wintara melompat menghadapi penyerang-penyerang itu satu demi satu.
Kakinya berkelebat menyambar "Des!"
Satu orang jatuh dengan tulang leher patah.
"Weeees!"
Serentetan serangan datang dari belakang. Wintara membalikkan tubuhnya.
"Bug!"
Sebuah hantaman mengenai di dada Wintara. Tapi ia cepat membalas dengan mendorong kedua telapak tangannya ke depan.
"Blaaaar!" Penyerang itu terjungkal dengan tulang-tulang dada remuk.
Tingga seorang lagi yang nampak ragu-ragu maju.
"Silahkan. Jangan bertindak seperti seorang pengecut!" Wintara berdiri tenang. Orang itu melompat, kedua lengannya menghantam menyilang. Sambil merunduk, Wintara memutar lengannya ke atas.
Deeees!"
Tepat mengenai kepala orang itu. Dan jatuh di samping tubuh Ki Sapta Nrenggana yang kehilangan lengan kanannya. Tubuhnya telah banjir dengan darah. Ia mengerang kesakitan.
Wintara menatap tajam ke arah Gada Rencah yang berdiri dengan kedua lengan menyilang di dada. Perempuan muda yang berada di belakangnya sudah tidak nampak lagi.

* * *




--¦::: « 10 » :::¦--

"Menyesal dulu aku tidak membunuhmu, anak muda." kata Gada Rencah, mengenali Wintara. Malah sekarang Wintara nampak lebih angker.
"Sekarang pun kau masih punya kesempatan. Mari Gada Rencah! Kita perhitung-kan hutang darah itu" jawab Wintara berani. Gada Rencah melangkah maju. Kini keduanya berhadapan saling tatap.
"Ya! Sekarang aku betul-betul akan melumatkanmu, bocah keparat!" Gada Rencah melompat sebelah tangannya menyambar. Sebelumnya Wintara sudah melompat ke belakang terlebih dulu. Tubuhnya melintir, beberapa serangan Gada Rencah dapat dielakkan. Sungguh hebat. Wintara hampir kewalahan menghadapinya.
Terdengar dua kali berturut-turut benturan lengan mereka.
Gada Rencah begitu marah melihat se-angan-serangannya tidak satu pun mengena. Kini malah Wintara balas menyerang. Begitu tendangan Wintara memutar menyambar perut, Gada Rencah melesat ke atas berputar melintasi bagian kepala.
"Bug!"
Sebelah kakinya menghantam keras. Pinggang Wintara terasa ngilu. Tapi cepat ia membalikkan tubuhnya sembari menepis sebuah jotosan yang nyaris menghantam mukanya.
Wintara sudah tahu kalau Gada Rencah memiliki pukulan 'Tinju Pasir Wesi'. Untuk itulah sengaja ia tidak mendekat. Tapi selama ia bertempur, Gada Rencah belum juga mengeluarkan tinju mautnya itu. Apakah semua ini hanya siasat?
Padahal kurang lebih Wintara sudah menghadapi sepuluh jurus. Dirasakannya pula benturan-benturan keras di saat hantaman-hantaman mereka beradu. Bukan main. Wintara sendiri merasa hantaman Gada Rencah lebih kuat dan disertai tenaga penuh. Lengannya terasa berdenyut-denyut.
Dengan sekali hentakan, tubuh Wintara melesat ke atas dan hinggap pada cabang pohon yang berada di halaman itu. Gada Rencah segera menyusul. Lesatan tubuhnya lebih cepat. Mengarah dengan tinju yang siap dilancarkan. Melihat Gada Rencah demikian garangnya, Wintara melompat berpindah ke cabang yang lain. Gada Rencah yang sudah terlanjur melancarkan serangan, tidak dapat menarik tinjunya lagi.
"Blaaaaar!"
Cabang pohon di mana tadi Wintara hinggap patah berderak, kemudian jatuh ke tanah. Hantamannya masih membekas pada patahan cabang.
Wintara cepat turun dari cabang itu. Kedua kakinya hinggap tanpa bersuara. Gada Rencah melotot, ia merasa dipermainkan. Maka ia pun melesat turun bagai seekor rajawali menyambar mangsa. Wintara bergulingan di tanah menghindari sergapan itu. Setelah menjauh baru ia melompat bangkit. Tapi...
"Beg!"
Baru saja ia bangkit, tendangan Gada Rencah yang mengarah cepat, merobohkan tubuhnya lagi. Tentu saja Gada Rencah tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Dua tinjunya sekaligus menghantam. Wintara bergulir menghindar.
"Derr!"
Hantaman itu melesak ke tanah. Belum sempat Gada Rencah menarik kedua lengannya, kaki kiri Wintara menyambar.
"Des!"
Tepat menghantam puiiggung. Gada Rencah tersungkur ke depan. Mendapat hantaman semacam itu wajah Gada Rencah memerah. Ia bangkit lagi menerjang. Terjangannya begitu cepat, Wintara tidak sempat menghindar. Tahu-tahu....
"Blaaaaar!"
Wintara memekik. Tubuhnya terlempar membentur batang pohon. Darah menyembur dari mulutnya. Gaga Rencah menyerigai menyeramkan. Kedua matanya nyalang menatap Wintara yang berusaha bangun sembari mengusap darah dengan lengan.
"Begitulah seharusnya. Dari tadi saja mengeluarkan Tinju Pasir Wesi'mu, Gada Rencah. Biar perhitungan kita cepat selesai" kata Wintara.
"Itu berarti kau ingin cepat-cepat mampus!" bentak Gada Rencah.
"Atau malah sebaliknya!" Wintara mengejek.
"Bangsat!" Gada Rencah murka.
"Weeees!"
Tendangannya bergerak cepat.
"Plaaak!" Wintara menepis tendangan yang demikian keras, tak urung tubuhnya pun terhuyung. Sekali lagi tangan kiri Gada Rencah melayang, dalam keadaan terhuyung Wintara menyambut hantaman itu.
"Des!"
Wintara cepat merunduk. Lalu dengan cepat ia melancarkan tinju ke arah perut. Bersamaan dengan itu Gada Rencah menendang ke atas. Maka keduanya terpental. Gada Rencah memegangi perutnya mundur beberapa langkah. Wintara malah lebih parah. Setelah mental, tubuhnya masih bergulingan tak terkendali.
Gada Rencah mengira, pastilah lawannya itu sekarat setelah mendapat tendangan di bagian dagu. Maka sengaja ia tidak menyerang lagi. Di luar dugaan, tubuh Wintara yang tadi bergulingan tiba-tiba saja mencelat ke atas. Kemudian hinggap di tanah dengan gerakan-gerakan aneh. Belum pernah Gada Rencah melihat kembang-kembang jurus seperti itu. Ia pun kaget luar biasa ketika mendadak Wintara menerjang. Dalam kewaspadaannya, Gada Rencah menyambut dengan sebuah hantaman.
"Deeees!"
Tepat mengenai pundak. Wintara pun sempat pula melancarkan pukulannya ke samping muka. Lalu sekali lagi telapak tangan Wintara memutar menampar keras kuping. Gada Rencah terhuyung, kemudian ia jatuh bergulingan sambil menjerit.
"Arghhhh!" Kedua tangan memegangi kupingnya. Tubuhnya berkelojotan hebat. Wintara sendiri sudah tidak dapat menyerang lagi. Ia masih merasakan sakit akibat hantaman tadi yang bersarang di pundaknya.
Seorang perempuan muda berlari ke luar dengan pedang terhunus. Kedua matanya membelalak lebar. Wintara yakin perempuan itu adalah Maladewi. Yaaah, Maladewi! Bagi Wintara, dua tahun belum cukup untuk melupakannya. Perempuan itu terus berlari ke arah Gada Rencah yang sudah bangkit berdiri. Lalu dengan sadis ia membabatkan pedangnya berkali-kali di tubuh Gada Rencah.
"Craaak! Craaaak! Craaak! Craaak!" Babatan-babatan pedang mengoyakkan pakaian Gada Rencah. Orang itu sendiri masih berdiri tegar. Tidak setetes darah pun yang keluar dari tubuhnya. Gada Rencah menggeram, pakaiannya yang terkoyak dihempaskannya. Peremuan itu ketakutan. Lengannya yang memegang pedang gemetar. Wintara cepat melompat, tapi Gada Rencah menendang lebih dulu....
"Bug!"
Wintara ngusruk! Mulutnya menyembur darah lagi. Gada Rencah menarik tubuh perempuan itu. Lalu tinjunya dilepaskan keras menghantam wajah yang penuh ketakutan.
"Des!"
"Dewiiiiiii...." Wintara memekik. Terlihat jelas wajah perempuan itu mengucurkan darah. Sekali lagi tinju Gada Rencah menghantam. Kali ini di bagian dada. Kontan tubuh ramping itu mencelat. Wintara melompat menyambar. Maka tubuh perempuan itu jatuh ke dalam pelukkannya.
"Dewi...! Dewi...! Dewiiiii!" Wintara mengguncang-guncang tubuh itu.
"Aku mendengar seruanmu, Win. Aku dengar. Ohkk... Maafkan aku" Wintara merebahkan tubuh Maladewi. Wintara memeluk erat.
"Aku sendiri tidak percaya kalau kau masih hidup" Kedua kelopak mata Maladewi sayu, Wintara memeluknya semakin erat.
"Kau masih ingat dengan apa yang kau ucapkan dulu? Kau boleh kehilangan jasad dan jiwaku. Ta-ta-tapi kau tidak boleh kehilangan namaku. K-k-kau masih ingat?" kata-kata Maladewi makin hanyut perlahan.
"Tidak, Dewi! Kau tidak boleh mati. Kau tidak boleh meninggalkan aku!"
"Win.... Aku su-su-su-dah ti-tidak tahan l-la-lag...?" Wajah Maladewi jatuh ke dada Wintara. Matanya tertutup rapat. Ram-butnya berderai tertiup angin. Wintara mengangkat wajahnya. Tatapannya geram mengarah pada Gada Rencah yang masih berdiri menantang. Lengan kekarnya meraih pedang dalam genggaman Maladewi. Lalu ia berdiri menuding dengan pedang itu.
"Manusia busuk. Sekalipun kau memiliki ilmu kebal, Aku tidak gentar.!" kata Wintara mengambil langkah-langkah jurusnya.
"Manusia yang mau mampus biasanya memang banyak omong. Majulah! Karena kau memang musti mampus" Gada Rencah melangkah maju. Disambut dengan babatan pedang.
"Bret!"
Jelas sekali mata pedang itu menyambar dada. Wintara merasakan mata pedangnya menyentuh benda keras. Sebilah pedang tidak begitu ampuh dibanding dengan tangan kosong. Memang betul, Gada Rencah lebih kewalahan menghadapi Wintara tanpa bersenjata. Sekalipun Gada Rencak menguasai ilmu kebal, Wintara berpendapat pasti ada kelemahannya. Hanya saja ia belum menemukan. Selama ini pula Wintara menggempur menjejaki setiap jengkal tubuh Gada Rencah.
Meski menyadari kehebatan pukulan 'Tinju Pasir Wesi', Wintara sudah tidak perduli lagi. Dan di saat Gada Rencah menghantam,
"Des...!"
Tulang iga Wintara terasa copot. Tubuhnya mundur terdorong. Gada Rencah melesat kembali melancarkan dua tinjunya berturut-turut Wintara memutar lengannya.
"Splaaak!"
Pukulan-pukulan itu bergulir melesat. Pedangnya yang masih digenggam membersit. Menghantam kedua lengan Gada Rencah. Lalu dengan cepat Wintara mendorong tendangannya ke samping kiri.
"Des!"
Gada Rencah memekik. Pinggangnya berdenyut. Ia mulai mengakui kehebatan pemuda itu. Dua tahun lamanya telah merubah keadaan lawannya memiliki daya tahan yang sangat luar biasa. Yang lebih heran lagi, pemuda yang mengenakan kulit binatang ini jauh lebih tangkas dibanding dua tahun yang lalu.
Di saat Wintara melancarkan tendangan memutar ke atas, Gada Rencah segera merunduk, kedua telapak tangannya cepat me-nutup telinga. Selintas Wintara teringat ketika ia menampar keras sebelah telinganya. Gada Rencah ambruk bergulingan. Kenapa baru sekarang Wintara menyadari. Sudah pasti di situlah letak kelemahannya. Wintara menarik nafas panjang, kemudian ia melompat dengan babatan-babatan pedangnya.
"Bwet...! Bwet...! Bwet...!"
Gada Rencah menyambut dengan mengibaskan kedua lengannya. Maka babatan-babatan pedang itu menyentuh lengan-lengan Gada Rencah yang keras membatu. Malah sebelah lengannya berhasil menggenggam bilah pedang yang tajamnya bukan main.
Sekuat tenaga Wintara menariknya, tapi telapak tangan Gada Rencah mencengkeram erat batang pedang lebih kuat menekuk.
"Trak!"
Pedang dalam genggaman Wintara patah dua. Tendangan Wintara keras terarah. Gada Rencah melancarkan pukulan 'Tinju Pasir Wesi' mengarah pada kaki Wintara yang masih melesat memutar. Sebelumnya hantaman itu mengena, Wintara menarik kakinya. Sebelah kakinya yang masih menginjak tanah menghentak membuat tubuh Wintara melesat ke atas. Gada Rencah cukup terperangah, ia tidak sempat meninju ke atas. Sebab Wintara telah melancarkan kedua kakinya menghantam telinga kanan dan kiri Gada Rencah.
"Waaaaaaaaaark!" pekikannya dahsyat sekali. Wintara yang masih berada di atas langsung menukik bagai sebatang tonggak.
"Breeeeees!"
Pedangnya yang penggal menembus ke pusar menerobos ke tulang belakang. Lalu keduanya bergulingan, Wintara berguling dua kali, kemudian ia bersalto langsung berdiri tegak. Gada Rencah bergoseran di tanah. Darahnya telah membanjir di sekujur tubuhnya yang telanjang dada. Debu-debu bersatu dengan keringat yang mulai membanjir pula. Gada Rencah terus berteriak penuh kesakitan.
"Waaaaaaaaaark!"
Wintara sendiri menatap ngeri. Dan saat Gada Rencah bangkit lagi dengan mata melotot, Wintara siap melancarkan serangan. Tapi tidak, Gada Rencah ambruk lagi dengan nafas yang terputus.
Ki Sapta Nrenggana masih mengerang kesakitan. Sebelah pangkal lengannya yang kutung tergenang darah. Ia tidak dapat bangun. Lengan kirinya yang mati akibat tendangan Kyai Sempar pada dua tahun yang lalu membuatnya lumpuh. Ia pun takut sekali memandang Wintara yang berdiri menatap sinis. Sebenarnya bisa saja Wintara langsung membunuh, tapi kelihatan keadaan Ki Sapta Nrenggana sudah demikian parah, Wintara jadi terenyuh. Ia menjadi tidak tega. Maka ia sengaja mengampuninya dan berjalan ke arah di mana tubuh Maladewi terkapar.
Mang Bayan yang sedari tadi menyaksikan pertarungan itu di balik pintu gerbang bersama orang-orang kampung lainnya berlari masuk. Ia menemukan yang masih menatap tubuh kaku terbaring pucat. Wintara sendiri menyadari akan kehadiran Mang Bayan.
Orang-orang kampung Tapis Ledok tidak ada yang berani mendekat. Mereka hanya menyaksikan dari jauh berderet di belakang.
"Mang.... Tolong urus mayat Maladewi. Juga orang-orang itu. Kubur mereka sebagaimana mestinya" kata Wintara, pandangannya masih tertuju pada paras yang cantik mempesona.
"I-I-Iya, Den. Biar nanti mamang minta bantuan pada orang-orang kampung, kebetulan mereka ada di sini semua" kata Mang Bayan terbawa arus kesedihan.
"Setelah itu kembalilah pulang ke Karang Hampar. Uruslah rumah seperti dulu, sayang kalau tidak dirawat. Rumah itu untukmu, Mang" kata Wintara setengah membisik.
"Den Wintara tidak kembali ke Karang Hampar?" tanya Mang Bayan.
Wintara menggeleng, lengannya memeluk pundak Mang Bayan.
"Sebuah rumah sudah tidak berarti lagi bagiku, Mang. Selama dua tahun lebih pengaruh lingkungan alam bebas telah menempa hidupku. Dan ternyata aku menyukai adanya kebebasan. Aku khawatir di desa-desa lain masih ada suasana yang terbelenggu dengan kezaliman. Untuk itu, aku mengemban tugas menumbangkan semua kebatilan maupun kezaliman. Mudahmudahan saja aku sanggup"
"Den Wintara hendak berkelana? Itu berbahaya sekali, Den" kata Mang Bayan.
"Aku akan berusaha menghadapi semua rintangan-rintangan itu, Mang"
Banyak orang kampung berdatangan mendekat. Mereka mengangkat satu persatu mayat-mayat itu dengan perasaan jijik. Mang Bayan memapah tubuh Maladewi.
Ki Sapta Nrenggana merintih-rintih memohon pertolongan, tapi tak satu orang pun yang mau perduli. Ia baru merasakan beta pa pahit dan busuk dirinya. Apalagi ia tidak dapat mengangkat dirinya sendiri.
Mang Bayan berjalan paling depan. Ia menoleh ke belakang. Mencari sesuatu. Orang yang berada di belakangnya pun mengikuti menoleh ke belakang. Tiba-tiba Mang Bayan berbalik melangkah. Teman-temannya jadi terheran-heran. Ia kembali memasuki halaman gedung itu.
Mereka baru menyadari, seseorang telah raib menghilang di antara mereka. Yaaaah... Wintara sudah tidak nampak lagi. Maka tempat itu menjadi riuh seketika. Mang Bayan menghela nafas. Wintara... Pendekar Kelana... Pendekar Kelana... Pengelana Sakti mengelana... Menghadapi resiko yang penuh bahaya...
Katanya dalam hati.

TAMAT



INDEX WINTARA
Tapis Ledok Membara --oo0oo Tangan Hitam Elang Perak
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.