Pemburu Dosa Leluhur
tanztj
June 30, 2018
INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA | |
<< Prahara Raden Klowor --oo0oo-- Pendekar Cambuk Naga |
Pendekar Cambuk Naga
Karya: Barata
--≡¦ { 1 } ¦≡--
"Brengsek! Mana Pulau Kramat itu?!" gerutunya sambil tolak pinggang dan clingak-clinguk.
Pemuda berpakaian serba biru itu masih menyelipkan sebuah senjata di pinggangnya. Cambuk Naga. Ia berjalan menyusuri tepian tebing karang, memandang dengan sesekali menyipit, mencari letak Pulau Kramat. Ini adalah tugas. Tugas Raden Klowor untuk membantu seorang perempuan penguasa Pulau Kramat itu. Nyai Katri. Tugas yang datangnya lewat mimpi itu, membuat Raden Klowor selalu bertanya-tanya di dalam hati, mengapa ia harus membantu perempuan yang bernama Nyai Katri? Siapa dia sebenarnya, Klowor belum pernah mengenalnya.
Pada saat itu, Klowor bermaksud meninggalkan tebing karang. Ia menduga salah tujuan. Mungkin bukan tebing karang yang itu yang harus dikunjunginya untuk melihat letak Pulau Kramat. Namun tiba-tiba mata Raden Klowor terbelalak kaget. Dari kedalaman air laut yang bergelombang itu, melesatlah sesosok tubuh ke udara, bagai anak panah yang dilepas dari dasar laut. Semburan air berbarengan dengan melesatnya sesosok tubuh yang sekelebat mirip lompatan ikan lumba-lumba itu.
Tubuh berambut basah kuyup dengan pakaian ketat yang juga basah kuyup itu berdiri dengan seenaknya di atas gulungan ombak. Wow...! Ini suatu kehebatan yang dipamerkan, pikir Klowor. Ombak yang tahu-tahu datang menggulung besar itu sepertinya sebuah kendaraan bagi orang yang baru saja muncul dari kedalaman laut.
Makin lama semakin jelas bentuk dan ujudnya. Raden Klowor masih terbengong dan segera tergerak hatinya. Ia menggumam sendirian:
"Wah, dia seorang perempuan...?! Woow...! Punya wajah cantik, lagi! Hebat. Tapi, apa maunya dia mendekat ke mari, ya? Mau melamar ku? Ih... mengagumkan juga ilmu perempuan itu. Hemmm... masih muda, lagi. Wah, punya pedang di punggungnya?! Nah, nah... dia sekarang bertolak pinggang menatap ku. Wah, jangan-jangan..."
Gumam dan ocehan Raden Klowor berhenti mendadak, karena ia melihat ada sinar merah dari pantai lain yang melesat dan menuju ke arah perempuan berambut panjang itu.
Sambil menatap luncuran sinar merah sepanjang separoh tombak itu, perempuan cantik tersebut masih berdiri di atas gulungan ombak yang membawanya menepi. Tiba-tiba saja tangan kanannya yang bertolak pinggang bergerak cepat ke arah sinar merah tersebut. Telapak tangannya terbuka dan dihentakkan, sehingga mengeluarkan kepulan asap biru bersama kilatan cahaya biru berbintik-bintik.
"Blaaar...!"
Timbul ledakan yang membahana. Raden Klowor terpental karena tebing karang itu berguncang. Ada semacam hempasan angin besar dan berat yang menghantam sekeliling alam di situ, dan membuat Klowor sepertinya ada yang menendang dari depan. Sedangkan, laut menjadi bergejolak besar. Ombaknya seakan mental ke atas bersama amukan air laut yang bergemuruh mengerikan. Perempuan yang tadi berdiri di atas gulungan ombak itu juga terpental ke belakang. Namun, dengan cekatan ia bersalto, sehingga keseimbangan tubuhnya segera dapat dikuasai. Ia menapakkan kakinya kembali di atas gulungan ombak yang lain.
Bumi yang bergerak bagai dilanda gempa itu kembali reda. Perempuan itu sudah semakin mendekati pantai, di bawah Raden Klowor. Dan, tiba-tiba perempuan itu bergerak cepat dalam satu lompatan, lalu tubuhnya bersalto beberapa kali, membuat Raden Klowor segera memasang kuda-kuda, takut mendapat serangan mendadak. Perempuan itu menjejakkan kakinya ke tebing karang, lalu berdiri tegap memandang Raden Klowor dalam jarak sepuluh meter.
Perempuan itu diam, memandang dengan matanya yang berukuran sedang, tapi punya ketajaman memandang. Pada tepian kelopak matanya ada warna kehitam-hitaman secara samar-samar, mungkin karena pantulan dari kebeningan matanya yang hitam tanpa kesurupan sedikit pun, bak buah duwet.
"Siapa kau?!" Raden Klowor sedikit mengendurkan kuda-kudanya. Matanya agak menyipit memperhatikan perempuan berpakaian kuning gading yang ketat dengan tubuhnya, sehingga lekuk-lekuk tubuh itu terlihat jelas. Karena perempuan cantik itu diam saja, Klowor juga diam. Matanya masih terus menyelidik keadaan gadis itu.
Klowor kagum dengan kemungilan bibirnya yang selaras dengan kemancungan hidung yang tidak terlalu panjang itu. Rambutnya yang panjang sebatas punggung, meriap basah, menutup sebagian pelipisnya. Ada ikat kepala berwarna hijau, berbentuk seperti tali sutra. Tapi, ikat kepala itu tidak begitu jelas terlihat karena kebasahan rambutnya. Dan, pedang bergagang gading dalam ukiran kepala burung garuda itu, bertengger mantap di punggungnya, terlihat jelas bagian gagangnya itu.
Perempuan itu memandang ke arah cakrawala sebentar, kemudian mendekati Raden Klowor beberapa langkah. Perempuan itu masih menyelidiki Raden Klowor dengan tatapan matanya yang tajam.
"Kau ke mari mau bermusuhan denganku apa mau bersahabat?" tanya Raden Klowor, tapi pertanyaannya kali ini juga belum mendapat jawaban dari perempuan tersebut.
"Kau bisu atau tuli?!" tanya Klowor lagi seenaknya. Perempuan itu masih memandang dengan kesan penuh curiga. Klowor jadi serba salah. Nyengir salah, bicara salah, memandang salah, ahh.. jadi kikuk dan resah dia.
Tiba-tiba, dari arah pantai bawah melesat sinar merah seperti tadi. Sinar itu jelas sekali ditujukan kepada perempuan cantik. Arahnya dari belakang perempuan itu. Tetapi, melihat gerakan mata Klowor yang membelalak, agaknya perempuan itu tahu gelagat adanya bahaya. Ia segera melompat ke samping, dan sinar itu melesat lurus melalui tempatnya berdiri tadi. Sinar itu kini menuju ke arah wajah Raden Klowor.
"Lho, kok ke mari...?!" Klowor kebingungan sejenak, kemudian ia melengkungkan badan ke belakang dalam posisi kayang.
"Wesss...!"
Sinar itu pun melesat tidak mengenai wajah Raden Klowor, melainkan melesat lewat atas perut Raden Klowor yang melengkung ke belakang dengan kedua tangan sebagai tumpuan badannya. Sinar itu melesat terus dan menghantam deburan ombak yang menggulung.
"Braaas...!" Ledakan terjadi bagai diredam dengan segulung air yang padat.
Klowor baru saja berdiri lagi dengan tegak, tahu-tahu perempuan itu sudah mencabut pedang, dan mengibaskannya ke samping. Dua senjata rahasia berbentuk bintang sedang ditangkisnya menggunakan pedangnya.
"Triing... triing...!"
"Konyol...!" Klowor berteriak mencaci maki sambil berkelit ke samping, sebab kibasan pedang menghalau senjata tajam itu membuat senjata rahasia itu melesat ke arah Klowor. Karena malas mati muda, Klowor berkelit ke samping menghindari senjata rahasia tersebut. Sedangkan, satu lagi dari senjata rahasia itu melesat ke arah lain.
"Hei, hati-hati kalau menangkis serangan! Jangan diarahkan ke mari, Tolol!" teriak Klowor dengan dongkol.
Tetapi, perempuan itu tidak menjawab sedikit pun, karena ia segera memainkan pedangnya, mengibas ke kanan kiri dan melompat dengan lincah, sebab beberapa saat kemudian datang lagi serangan senjata rahasia berbentuk bintang. Kali ini, bukan hanya dua senjata rahasia yang menyerangnya, melainkan lebih dari sepuluh senjata rahasia yang melesat berturut-turut. Arahnya dari balik semak pantai di bagian bawah tebing karang itu.
"Perempuan itu pasti punya musuh yang penasaran...." gumam .....Raden Klowor sendirian.
"Musuh gelapnya itu, pasti bukan orang berilmu cetek. Jurus pukulan atau tendangan yang memancarkan sinar merah tadi punya kekuatan yang cukup hebat. Dan, gerakan senjata rahasia yang dilemparkan itu ternyata bagai diatur larinya oleh suatu kekuatan dari arah di mana senjata itu melesat. Hemm... ada persoalan apa perempuan itu dengan orang yang berada di balik semak pantai itu?"
Klowor diam saja. Ia bahkan sedikit menyisih, berlindung di balik gundukan batu karang sebesar gentong. Namun, matanya masih memperhatikan gerakan perempuan cantik yang melintir, meliuk-liuk, menghindari dan menangkis senjata rahasia lawannya. Senjata yang sudah terlanjur melesat dan lolos dari sasaran, bisa kembali lagi dalam gerakan berputar dan menjurus kepada perempuan cantik. Kurang lebih sepuluh senjata berbintang sedang mengurung dan menyerang perempuan itu, sekalipun sudah berulangkali ditangkis dan dihindari. Sungguh suatu ilmu pengendalian jarak jauh yang belum pernah dilihat Raden Klowor selama ini. Sehingga, tidak heran kalau Raden Klowor jadi terbengong kagum memperhatikan permainan jurus milik penyerang gelap itu.
"Aaah...!" Perempuan itu memekik karena ketika ia bersalto menghindari salah satu senjata rahasia yang beterbangan itu, betis kakinya tergores salah satu dari senjata rahasia yang lain. Hanya tergores. Untung tidak menancap. Tapi, ia masih gesit menangkis dan menghindari senjata-senjata tersebut dengan menggunakan pedangnya.
"Triiing... triing... triing...!"
Perempuan itu bagaikan bertarung sendirian tanpa lawan. Lucu juga kelihatannya. Ia melompat dan bersalto beberapa kali hanya untuk menghindari keroyokan senjata rahasia yang melayang-layang bagai lebah hutan yang ingin menyengat lawannya. Lama-lama, perempuan itu kebingungan. Nyaris dihunjam senjata itu beberapa kali. Nafasnya kelihatan ngos-ngosan, dan tubuhnya mulai melemah. Kadang ia limbung dalam melangkah, kadang ia sempoyongan dalam berdiri. Karena, sudah cukup lama ia bertarung sendirian melawan keroyokan senjata rahasia yang beterbangan seperti lalat melihat borok.
"Kasihan dia...!" gumam Klowor.
"Sebetulnya bisa saja dia kubantu mengatasi keroyokan senjata rahasia itu, tetapi, aku belum tahu siapa dia? Orang baik-baik, atau orang jahat? Nanti, sudah kutolong, sudah kuselamatkan, eh... tidak tahunya dia orang jahat. Kalau ku diamkan, sampai ia akhirnya mati terkena senjata rahasia tersebut, eh... tidak tahunya ia tokoh persilatan yang baik budi. Wah, susah...! Serba bingung aku jadinya "
Klowor masih berada di balik batu besar, sekalipun sebenarnya batu itu tidak cukup baginya untuk bersembunyi. Sesekali Klowor berdecak kagum melihat ilmu yang dapat dipakai untuk mengendalikan beberapa senjata rahasia itu! Gerakan-gerakan senjata bintang itu memang cukup cepat dan meliuk-liuk, membalik arah dengan gesit dan lincah. Perempuan cantik itu, sekalipun masih mampu menghindar dan menangkis dengan pedangnya, tetapi lama-lama ia sepertinya kehabisan tenaga. Kasihan sekali.
"Bagaimana, ya? Kutolong atau kubiarkan saja?" Klowor masih dalam kebimbangan.
"Ah, tapi ini suatu pertarungan yang tidak jantan. Lawan perempuan itu tidak berani menampakkan diri. Jelas ini semacam serangan membokong. Jadi, ada baiknya kalau kutolong perempuan itu, terlepas apakah ia orang jahat atau orang baik-baik. Pertarungan itu sudah tidak sehat. Licik."
Ada formasi yang mengagumkan, yaitu keempat senjata rahasia bisa berjajar rapat dan bergerak cepat bagai kibasan pedang yang ingin menebas leher perempuan cantik. Untung saja perempuan itu segera merunduk seraya mengibaskan pedangnya ke samping bawah, karena ada dua senjata rahasia tertuju ke arahnya.
"Taar...!" Klowor melecutkan senjata Cambuk Naga. Lalu, terdengar suara: "Trak, trak !" Dua senjata rahasia bintang itu hancur disabet oleh cambuk Klowor.
"Tar... tarr...!" Dua kali cambuk Naga mengibas, dan bunyi: "Trak, trak, trak, trak...!" Terdengar beberapa kali. Lalu, sekali lagi cambuk itu mengibas, dan mengenai beberapa senjata bintang yang menjadi patah, hancur beberapa keping berserakan.
Sesaat kemudian, sepi. Perempuan cantik itu ngosngosan. Tangannya masih memegangi pedang dengan sigap, seakan siap menebas lagi jika ada senjata yang mendekat. Raden Klowor sudah menyiapkan cambuknya kembali. Ia duduk di atas batu karang yang datar, memperhatikan kelelahan perempuan cantik yang masih belum mau mendekatinya.
Sebenarnya hari masih siang. Tapi, karena mendung, maka hari kelihatannya redup. Teduh. Angin laut berhembus menggerakkan rambut dan pakaian Klowor. Sedangkan rambut basah perempuan cantik itu pun dihempas angin, namun tidak begitu meriap, karena masih basah.
"Hei, musuhmu sudah pergi!" cetus Klowor sambil tetap duduk di tempatnya. Santai.
Perempuan cantik masih memandang sekeliling, terutama ke arah semak di tepi pantai bawah. Pedang berkilauan masih digenggam erat di tangan kanannya. Wajahnya yang cantik masih diselingi kemarahan yang terpendam. Nafasnya pun masih terengah-engah dengan keringat yang bercampur basahan air laut di rambut dan tubuhnya. Ia mengenakan pinjung, penutup dada berwarna kuning gading yang dari tadi belum pernah melorot sekalipun, padahal gerakannya cukup kepayahan dan bisa-bisa membuat kain pinjungnya melorot. Tapi, Klowor segera tahu, bahwa kain penutup dada itu tidak bakal melorot, karena kemontokan buah dadanya yang sungguh menggiurkan hati lelaki mana pun. Montok, tapi indah. Tidak berlebihan.
"Hei, sudahlah... istirahat dulu. Lawanmu sudah pergi. Kenapa masih kau cari-cari terus?!" kata Klowor kepada perempuan itu. Tetapi, perempuan cantik masih tidak mau perduli dengan ucapan Klowor. Ia masih menatap dengan penuh selidik dan kewaspadaan yang tinggi. Tiba-tiba, tangan kirinya yang tidak memegang pedang itu bergerak menghentak ke depan dengan telapak tangan terbuka dan jempol terlipat. Lalu, keluarlah asap biru dengan percikan api birunya yang melesat ke arah semak belukar di sisi lain, sisi yang tak pernah dicurigai.
"Duaar...!"
"Aaaah...!" Tiba-tiba ada seseorang berteriak dan terlempar dari balik semak, darah memercik menjijikkan, potongan tangan dan kaki berserakan terlempar ke sembarang tempat. Hal itu membuat Klowor heran, bahwa ternyata masih ada musuh yang bersembunyi di balik semak.
Klowor menjadi malu pada diri sendiri. Ia cukup tolol. Ia mengira keadaan sudah menjadi aman, ternyata masih ada musuh yang mengintai menunggu kelengahan perempuan cantik. Maka, saat itu Klowor pun menjadi tegang, seakan bersiap siaga menunggu serangan selanjutnya. Matanya yang sedikit lebar itu memandang dengan nanar ke sekeliling. Ia hendak turun dari tebing karang yang menyerupai bukit kecil itu, tetapi ragu-ragu, takut di bawah sudah dihadang jebakan dan serangan dari tempat tersembunyi.
Sikap Klowor yang tegang dan bersiap siaga itu kini sedang ditertawakan dalam hati oleh perempuan cantik. Ada senyum tipis yang mekar berbau sinis di bibir yang mungil manis. Perempuan cantik ganti duduk di batuan yang datar, tak jauh dari tempat duduk Klowor semula. Klowor segera mendekati perempuan cantik itu, kemudian berkata....
"Kau "
"Istirahatlah. Lawan sudah pergi," sahut perempuan cantik yang sudah menyarungkan pedangnya. Klowor jadi tambah malu, karena kata-kata yang tadi diucapkan kembali oleh perempuan cantik. Mata Klowor segera memandang ke arah semak di sepanjang pantai. Ia seakan masih curiga, namun sebetulnya menutupi rasa malunya.
"Kau yakin mereka sudah pergi?" tanya Klowor tanpa memandang perempuan itu.
"Kau sangsi dengan penjelasanku?"
Klowor tak bisa menjawab. Bingung dan malu membuat ia jadi seperti orang linglung. Karena Klowor diam, maka perempuan cantik itu berkata lagi sambil menggerai-geraikan rambutnya yang masih basah.
"Aku tahu, kapan aku harus bersiaga menerima serangan, dan kapan aku harus istirahat dengan tenang. Aku juga bisa tahu, di mana lawanku bersembunyi dan ke mana mereka akan lari."
"Mereka? Apakah musuhmu itu lebih dari satu orang?" Klowor bertanya begitu sambil menggunakan untuk duduk di batu depan perempuan cantik. Perempuan itu masih menanggapi Klowor dengan sikap angkuh, seakan tidak perduli Klowor duduk di depannya, tidak perduli Klowor bertanya tentang jumlah musuhnya. Ia mengikat rambutnya dengan tali sutra warna merah yang semula dijadikan ikat kepala. Kini rambut itu dikucir dan dibiarkan menjulur ke belakang.
"Aku tadi telah menolongmu, ketika kamu diserang oleh senjata-senjata rahasia yang dikendalikan dari jarak jauh," kata Klowor yang merasa heran, mengapa perempuan itu tidak mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Aku tidak pernah menyuruhmu menolongku," kata perempuan cantik. Klowor jadi malu sendiri. Ia mengalihkan pandangan mata, seperti perempuan itu juga tidak mau memandang Klowor dengan serius.
"Aku heran, mengapa perempuan secantik kamu punya musuh selicik itu. Kau benar-benar ingin dibunuhnya."
"Aku tidak pernah heran," jawab perempuan itu. Klowor diam. Memandang ke laut yang ombaknya sudah tidak seganas tadi. Dalam hati ia bertanya-tanya: di mana Pulau Kramat itu? Mungkinkah perempuan cantik itu tahu letaknya Pulau Kramat? Ah, siapa sebenarnya perempuan cantik itu sih? Demit? Kuntilanak? Atau manusia biasa?
"Mengapa ada orang yang ingin membunuhmu?" tanya Klowor.
"Karena orang itu tidak menyukai kalau aku hidup," jawabnya. Perempuan itu juga memandang ke arah laut. Jauh ke cakrawala. Berbeda dengan cara memandang Klowor yang sedikit liar karena mencari sesuatu.
"Tapi, aku senang dan kagum melihat permainan pedangmu, tadi. Kau jagoan, ya?"
Perempuan itu tidak menjawab, tidak berpaling sedikit pun. Klowor jadi salah tingkah.
"Namaku Raden Klowor. Namamu siapa?"
Klowor yang ada di belakang perempuan itu menunggu jawaban beberapa saat lamanya, eh... tidak ada jawaban juga. Klowor sedikit dongkol dan mengumpat dalam hati. Mulutnya terbungkam, tak tahu harus bicara apa lagi. Kalau ia bertanya tentang Pulau Kramat, rasa-rasanya percuma saja. Pasti tidak akan mendapat jawaban. Perempuan cantik itu punya nilai kesombongan tersendiri. Angkuh dan agaknya tidak suka banyak omong. Sebenarnya ada baiknya kalau perempuan itu ditinggal saja. Tetapi, Klowor merasa sayang. Ia mendapat kesempatan bertemu dan berkenalan dengan perempuan secantik itu, masakan harus disia-siakan begitu saja? Uuh... sayang!
Perempuan itu berpaling memandang Klowor yang terbengong. Klowor yang merasa dipandang jadi kikuk. Kemudian, perempuan itu bertanya dengan suara lepas tanpa bisik dan tanpa ragu-ragu.
"Kamu pernah mendengar nama Kartika Rahmi?"
"Kartika Rahmi...?!" Klowor berkerut dahi, berpikir beberapa saat, bahkan ada usaha untuk mengetahuinya. Tapi, ia menggeleng juga akhirnya.
"Aku baru mendengar nama itu sekarang ini. Kenapa? Kau mencari dia?"
"Tidak," jawab perempuan itu, kembali tidak memandang Klowor, melainkan memandang cakrawala.
"Lalu, kenapa kau bertanya tentang Kartika Rahmi? Ada apa? Siapa dia sebenarnya?"
"Dia..." Perempuan itu terhenti sebentar. Ragu-ragu.
"Katakan saja, siapa Kartika Rahmi itu, dan di mana ia tinggal. Kalau kau memerlukan dia, aku sanggup mencarikannya."
"Kau sanggup mencari Kartika Rahmi?" Perempuan itu menyunggingkan senyum tipis. Tipis sekali.
"Aku sanggup. Bagaimana ciri-cirinya?"
"Tak perlu," jawab perempuan cantik itu. Kemudian ia duduk di batu yang semula dipakai duduk Klowor.
"Kau sudah tahu ciri-cirinya, kan?"
"O, belum. Aku belum tahu ciri-cirinya Kartika Rahmi. Kan sudah kubilang, mendengar namanya saja baru sekarang."
"Tolol sekali kau."
"Kok tolol?"
"Kartika Rahmi itu aku sendiri."
"Hahh...?!" Klowor sempat terperanjat.
"Kau sendiri? Kenapa tadi bertanya padaku?"
"Aku cuma ingin tahu, apakah kau mengenalku atau tidak."
"Ooo...? Lalu...?"
"Aku cuma memperkenalkan diri."
"Ooo..." Klowor menyeringai malu, geli sendiri.
"Namamu Kartika Rahmi? Hemm... ya, ya, ya. Lantas, kenapa kau berada di sini?"
"Aku mencari seseorang. Tapi, belum ketemu."
"Siapa itu yang kau cari? Bukan aku, kan?"
Senyum tipis menyepelekan tersungging di bibir Kartika. Lalu, katanya, "Aku mencari seorang perempuan, bukan lelaki jelek seperti kamu! Aku mencari Nyai Katri, penguasa Pulau Kramat...!" Klowor terperanjat lagi. Bengong.
* * * * *
--≡¦ { 2 } ¦≡--
"Siapa mereka itu?!" gumam Raden Klowor.
"Naga-naganya bukan bermaksud baik. Wah, jangan-jangan salah paham?!"
"Kita harus segera lari, Klowor," kata Kartika sambil bergegas menuruni bukit karang itu.
"He, kenapa harus lari? Kita tidak punya urusan apa-apa dengan mereka! Jangan takut!"
"Mereka kaum pemakan daging manusia!" teriak Kartika.
"Hah...?!" Mata Klowor mendelik. Rombongan berkuda semakin dekat lagi. Teriakan dan pekik terdengar bersahutan. Senjata-senjata diacungkan, kuda pun semakin mempercepat larinya bagai hendak menembus setiap perintang.
Mau tidak mau Klowor pun lari mengikuti Kartika. Ia paling segan dimakan hidup-hidup oleh makhluk apa pun. Kartika menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup sempurna. Klowor kebingungan mengikutinya. Kartika melompat bagai anak kijang birahi. Beberapa dahan pohon dilaluinya, dan hal itu membuat Klowor semakin kagum terhadap ketinggian ilmu Kartika. Ia pun ikut-ikutan lari melalui jalan udara, dari dahan ke dahan sekalipun demikian, ia masih saja tertinggal beberapa langkah dari Kartika.
"Kartika...! Kurasa mereka sudah jauh tertinggal di belakang kita! Berhentilah dulu!"
Kartika tidak perduli. Gerakannya semakin lincah, semakin ringan saja kelihatannya. Raden Klowor tak mau ketinggalan jauh-jauh dengan Kartika. Mereka bergerak semakin menjauhi pantai. Dan suara derap kaki kuda itu sudah tidak terdengar lagi.
Namun, beberapa saat kemudian, ketika hari semakin redup, Kartika berhenti dari pelariannya. Nafasnya terengah-engah. Matanya memandang sebuah bukit yang ada di depannya. Klowor menyusul kemudian. Ia berhenti dengan nafas terengah-engah sambil ikut memandang bukit di depannya.
"Di sana ada goa," tutur Kartika.
"Dari mana kau tahu?"
"Mataku sempat melihat satu lobang yang tertutup dedaunan dan batang pohon."
"Apakah kita akan ke sana?"
"Entah. Kalau aku memang mau ke sana," jawab Kartika dengan nada ketusnya.
Klowor melirik sedikit dongkol. Ia membiarkan Kartika mulai bergerak mendaki bukit. Tetapi, alangkah kagetnya Klowor ketika melihat Kartika terpental mendadak dan jatuh berguling-guling ke tepat semula.
"Kartika...?! Ada apa!" Klowor kebingungan.
Mata segera dipasang untuk menembus segala tempat. Wajah Klowor menjadi tegang, seakan ia sedang diincar oleh maut di tempat yang tak diketahui.
Kartika bergegas bangun dengan mengerang lirih. Ia memegangi kepalanya. Pusing. Walau ia berhasil berdiri, tapi masih dalam keadaan limbung. Sempoyongan. Klowor menampakkan rasa cemasnya dengan bertanya:
"Kenapa jadi begini, Kartika? Kau menabrak apa, hah?!"
"Uuh...! Ada yang memukulku dari jarak jauh, Klowor."
Klowor mau menyanggah, namun ia buru-buru terperanjat melihat pundak kiri Kartika menjadi biru sampai di bagian lengan. Sepertinya ada yang memukul pundak itu dengan palu godam yang besar.
"Astagaa...?! Pundakmu jadi biru begini, Tika?" Ketika itu Klowor ingin menyentuhnya untuk menyatakan rasa cemasnya. Tetapi, tangannya segera ditampel oleh tangan kanan Kartika. Klowor jadi tak enak hati.
"Ada seseorang yang memukulku, Klowor."
"Siapa? Aku tidak melihat siapa-siapa di sini."
"Kau lihat saja ke arah batu besar di balik pohon, di samping kanan kita."
Klowor memandang arah yang dimaksud Kartika. Ia tidak melihat siapa-siapa di samping kanannya. Bahkan batu besar yang dimaksud Kartika itu tidak ada. Klowor jadi bingung sendiri.
"Tidak ada batu besar, Tika. Hemm... o, ya... ada batu besar, tapi di sana. Jauh sekali."
"Kau melihat bagian atas batu itu?"
"Hemmm... o, ya! Ada sesuatu yang bergerak. Tapi, mungkinkah itu manusia?"
Klowor hampir tak percaya kalau batu besar yang terlihat jauh sekali itu adalah batu yang dimaksud Kartika. Orang yang berdiri di atas batu besar itu hanya berupa seperti batang korek api yang diberdirikan. Kecil sekali. Bahkan pakaiannya warna apa, tidak bisa diketahui. Mungkin ada 5 km lebih jarak antara Klowor dengan orang di atas batu itu.
"Gila...! Kalau benar dia yang kau maksudkan, alangkah hebatnya orang itu. Dalam jarak sebegini jauh dia masih bisa memukulmu dan membuatmu tunggang-langgang begitu."
"Dia berilmu tinggi, Klowor."
"Aku tak tahu, apakah dia yang berilmu tinggi atau kau sendiri. Sebab, dalam jarak sebegini jauh, kau masih bisa melihat di mana lawanmu berada."
Klowor geleng-geleng kepala. Serba bingung. Serba heran, dan bahkan serba kagum jadinya. Kartika sudah selesai menenangkan diri, kemudian ia berjalan menyamping. Klowor mengikutinya dengan tatapan mata tertuju pada orang yang ada di atas batu di kejauhan itu.
Waktu mereka hendak mencapai sebuah pohon besar, Kartika menarik tangan Klowor sampai mereka berdua berjatuhan di rerumputan.
"Apa-apaan kau...?!" Klowor membentak jengkel. Pipinya tergores kayu kering, untung tidak berdarah. Tapi, beberapa saat kemudian, terdengar sebuah letupan kecil yang membuat batang pohon di dekat mereka bergetar, dahannya ada yang patah seketika dan menjatuhi pinggang Klowor.
"Aaauuw...!" teriak Klowor kesakitan. Ia menggeliat sambil menyeringai. Pada saat itu, Kartika berbisik dengan suara terlalu pelan:
"Bersyukurlah, Klowor...!"
"Kepalamu botak!" umpat Klowor.
"Pinggang kejatuhan dahan sebesar paha kerbau kok harus bersyukur."
Dengan tanpa senyum, Kartika berkata, "Daripada kepalamu yang terkena pukulan jarak jauh itu, kan lebih baik pinggangmu yang kejatuhan dahan."
"Uuuh...!" Klowor menggeliat sambil menyeringai memegangi pinggang. Kalau saja ia tadi sendirian, jelas ia akan mati dengan keadaan kepala terpisah dari leher karena terkena pukulan jarak jauh itu.
"Kau kenal siapa orang itu?" tanya Klowor.
Kartika yang duduk bersandar pada batang pohon itu menjawab tanpa senyum keramahan sedikit pun:
"Ki Punggo, tokoh persilatan dari Wetan."
"Kau yakin kalau dia Ki Punggo?"
"Ilmu Sabrang Gendeng, hanya dia yang punya."
"Apa itu ilmu Sabrang Gendeng?"
"Pukulan jarak jauh yang tidak punya batas. Meski dia ada di pucuk gunung di seberang sana... yang hampir menembus langit itu, kalau dia bisa melihat kita, maka pukulan ilmu Sabrang Gendeng tetap saja bisa dilancarkan dari sana, dan akan mematikan sasaran yang dituju."
"Ck, ck, ck...!" Klowor berdecak sambil geleng-geleng kepala, mengagumi keampuhan ilmu Sabrang Gendeng.
"Jadi, bagaimana caranya supaya tidak terkena pukulan ilmu Sabrang Gendeng itu?"
"Jangan sampai terlihat olehnya."
Kepala Klowor manggut-manggut. Ia ingin bangkit berdiri, tetapi tiba-tiba tangannya ditarik lagi oleh Kartika hingga ia jatuh terduduk. Sebelum Klowor marah, Kartika sudah lebih dulu berkata:
"Dia masih mengincar kita, Tolol! Berlindunglah!"
Tetapi, mendadak ada suara yang berkata dari jarak cukup dekat:
"Aku tahu di mana kau berlindung, Kartika!"
Klowor dan Kartika sama-sama terperanjat, lalu memandang ke suatu arah, dan di sana ternyata telah berdiri tokoh persilatan dari Wetan: Ki Punggo.
Kartika merasa percuma duduk berlindung, toh Ki Punggo sudah berada dalam jarak sepuluh langkah dari mereka. Maka, Kartika segera berdiri, dan bersiaga menghadapi serangan apa pun sewaktu-waktu.
Sementara itu, Klowor mulai menggeragap dan sedikit ciut nyalinya melihat sosok Ki Punggo yang berkumis tebal, baju hitam dan celana hitam tanpa hiasan apa pun. Baju itu tidak dikancingkan, menampakkan sebuah trisula yang terselip di pinggang dengan bagian gagangnya tepat di depan perutnya. Sabuk merah terbuat dari bahan tebal itu menampakkan keangkeran penampilan Ki Punggo. Rambutnya tidak begitu panjang, tapi diikat dengan kain kuning model ikat kepala seorang warok. Matanya lebar, galak. Jari-jari tangannya besar-besar. Ia mengenakan empat cincin batu bermata hitam, merah dan putih. Besar juga cincin itu, sesuai dengan gelang akar bahar yang melingkar di lengan kanannya seukuran jempol kakinya itu. Sungguh merupakan penampilan sesosok tokoh yang menggetarkan musuh.
"Aku tidak punya urusan denganmu, Ki Punggo," kata Kartika dengan pandangan mata seakan tidak gentar sedikit pun.
"Siapa bilang, Jalang?! Kau punya urusan dengan sekian banyak orang, terutama dari daerah Wetan!"
Klowor berkerut dahi dengan mulut ternganga bengong. Ia tiba-tiba dituding oleh Ki Punggo yang bersuara besar.
"Dan kau, Tikus sawah, kuharap jangan turut campur urusan ini...! Kau tidak tahu siapa perempuan jalang itu, bukan?!" Ki Punggo maju selangkah, Klowor justru mengeraskan otot-otot tangannya.
"Kalau kau turut campur urusan ini," kata Ki Punggo kepada Klowor, "Maka kau akan menyesal melihat tubuhmu tinggal tulang belulang, tahu?!"
Klowor ingin bicara, tetapi Kartika mendahului dengan mengatakan kepada Klowor.
"Minggirlah dulu, Klowor. Biar kuberi pelajaran sedikit kepada orang sombong ini. Biar dia tahu kalau tubuhnya yang besar seperti gajah bunting itu tidak punya isi apa-apa " Klowor terpaksa menyisih, sekalipun ia heran kepada Kartika yang berani berkata demikian, padahal tadi ia kelihatan takut kepada Ki Punggo dan mengakui kesaktiannya.
"Hiaaaat...!" Ki Punggo menyerang Kartika dengan lompatan kaki kanan maju ke depan. Kartika segera bersalto ke samping, sehingga kaki Ki Punggo menghentak pohon dan membuat pohon besar itu bergerak meliuk seakan hendak rubuh seketika. Itu pertanda sebuah tendangan yang cukup keras dan kuat. Andai Kartika terlambat menghindar, maka tubuh langsing mulus itu akan jebol karena tendangan itu.
"Monyet wadon...! Kuhancurkan kepalamu kali ini, hiaat...!"
Ki Punggo menghantamkan pukulannya ke arah wajah Kartika dengan gerakan tubuh melayang, tetapi Kartika dengan gesit menangkis pukulan itu, lalu kaki kanannya bergerak cepat ke depan dan mengenai perut Ki Punggo. Sayang, Ki Punggo tidak merasakan tendangan Kartika. Ia bahkan semakin mengganas dan bernafsu untuk memecahkan kepala Kartika. Dengan gerakan tangan menghentak dari arah kanan kiri bersamaan, Kartika nyaris digencet oleh kedua telapak tangan Ki Punggo.
"Praak...!"
Untung Kartika segera merendahkan badan, sehingga Ki Punggo jadi seperti orang bertepuk tangan saja. Pukulan berganda dilancarkan oleh Kartika secara bertubi-tubi ke perut Ki Punggo.
"Haaaaaaiiit...!" teriak Kartika dengan keras. Pukulan itu mengenai perut dan ulu hati Ki Punggo. Tetapi, lelaki berwajah kasar dan menyeramkan itu tidak memekik sedikit pun. Tak ada erang kesakitan, kecuali suara menggeram menahan napas. Kendati begitu, Ki Punggo yang kokoh bagai batu pilar istana itu sempat mundur beberapa langkah akibat hentakan pukulan Kartika.
Segera Kartika melompat dan kedua kakinya bergerak cepat di udara, menendang wajah Ki Punggo bergantian.
"Mati kau. Gajah... huaaat...!"
"Uuuh... Aaah...!" Kali ini Ki Punggo merasa kesakitan karena mulutnya dihajar dua kali oleh tendangan kaki Kartika. Tetapi ia hanya sempoyongan sebentar, untuk kemudian mengibaskan tangannya yang kanan, dan dengan cepat ternyata ia sudah mencabut senjata trisulanya. Wow...! Cukup panjang juga senjata trisula itu, tidak seperti umumnya senjata trisula. Bagian tengahnya runcing dan panjangnya seukuran hampir satu lengan sendiri.
"Monyet binal...! Terimalah saat kematianmu di ujung pusakaku ini. Hiaaaaat...!" Ki Punggo melompat dan bersalto sampai melewati kepala Kartika. Ia mendarat tepat di belakang Kartika dengan menghadap ke arah lain. Dalam keadaan bertolak belakang itu, Ki Punggo menggerakkan trisulanya ke belakang, sasarannya adalah punggung lawan yang dipunggungi. Trisula yang menghentak dari samping pinggangnya ke belakang itu hampir saja tidak disadari oleh Kartika. Tetapi, gerakan Kartika yang memutar ke samping kanan itu ternyata justru membuat ujung trisula tidak jadi menembus punggung atau pinggang belakangnya.
"Sreet...!" Kartika mencabut pedangnya. Mendadak ia sempat terkejut karena tubuh Ki Punggo bergerak memutar dengan kaki kanannya menendang setengah lingkaran, dan mengenai rusuk kiri Kartika.
"Aaah...!" Kartika memekik kesakitan dan ia pun terguling ke samping sambil meringis nyeri. Ia menggeliat sesaat karena tulang rusuknya bagai patah. Pada saat itu, Klowor sempat berteriak cemas:
"Awas...!" Ki Punggo menusukkan trisulanya yang panjang dan tajam bagian ujungnya itu ke arah dada Kartika. Sekelebat pedang bergerak melintasi dada, "Traang...!" Pedang itu mampu menghalau arah ujung trisula yang hampir sampai menembus dada. Karena kibasan pedang itu, maka trisula tersebut menancap di tanah dalam sekali. Tubuh Ki Punggo yang terpaksa membungkuk itu segera dihajar oleh tangan kiri Kartika. Tangan itu bergerak memukul ke samping beberapa kali, karena Kartika masih dalam keadaan telentang sambil menahan sakit. Karena rusuknya sakit, maka gerakan tangan kiri itu tidak begitu kuat. Ki Punggo tidak merasakan sakit, namun justru siku kirinya menghentak ke dada Kartika dengan kuat.
"Huuugh...!" Kartika mendelik bagai tak bisa bernapas. Mulutnya menyemburkan darah kental. Ki Punggo berhasil mencabut trisulanya, dan segera menghunjamkan senjata itu ke perut Kartika. Saat itu, ternyata Kartika masih bisa mengibaskan pedang dengan sisa tenaganya. Trang...! Dan, kakinya bergerak ke atas seketika, sehingga mengenai kepala Ki Punggo dengan keras.
"Aaah...!" Ki Punggo memekik kesakitan, lalu terpental ke bagian atas Kartika.
Klowor ngeri, dan tak tega kalau Kartika yang dalam keadaan lemah itu mati diinjak oleh Ki Punggo. Segera Klowor menarik tangan Kartika, dan membuat Kartika berdiri. Ia berbisik dengan terburu-buru, "Bertahanlah berdiri, hadapi dia lagi!" Kemudian, secepatnya Klowor berada di tempat semula dalam keadaan berdiri seperti tadi. Dengan begitu, Ki Punggo yang sempoyongan sambil merundukkan kepala itu tidak melihat bahwa Kartika berdiri karena dibantu oleh Klowor.
"Kau belum apa-apanya, Kartika...!" geram Ki Punggo.
"Kau akan menyusul ayahmu yang punya jabatan Bangsat Seribu itu, tahu?!" Kartika tidak bicara apa-apa, ia merasakan sakit pada bagian dadanya. Ia berusaha berdiri tegak sekalipun sukar. Ki Punggo merasa sedikit lega melihat keadaan Kartika pada saat itu.
"Hiaaaat...!" Ki Punggo menyerang dengan berlari dan mengarahkan trisulanya yang tajam ke dada Kartika. Mata Kartika yang sayu sempat melihat kilatan benda putih itu. Kemudian nafasnya dihirup panjang-panjang, dan pedangnya digerakkan menebas ke arah depan, dari samping kanan ke kiri.
"Traang...!" Terhempas lagi trisula itu, hanya sayangnya belum bisa lepas dari genggaman Ki Punggo. Kali ini, justru kaki Ki Punggo yang berbahaya, dan menendang tepat mengenai perut Kartika.
"Huughh...!" Kartika mendelik lagi dengan badan sedikit membungkuk. Ia menyeringai menahan sakit. Klowor semakin cemas dan gatal tangannya untuk segera turun tangan. Namun, Klowor mencoba menahan diri untuk tidak ikut terlibat urusan mereka. Pada saat itu, Ki Punggo segera menghantamkan tangan kirinya ke arah wajah Kartika, sehingga Kartika terdongak sambil memekik kesakitan. Kemudian tubuh perempuan itu melayang dan jatuh dengan lemas dan suara erang kesakitan yang mengharukan hati Raden Klowor.
"Mampus kau, Perempuan Binaaal... hiaaat...!" Ki Punggo melompat, senjatanya siap ditancapkan ke punggung Kartika yang dalam keadaan kepayahan itu. Tetapi, di luar dugaan, Kartika masih sempat mengibaskan pedangnya sambil membalikkan badan dan menendang rusuk Ki Punggo bagian kiri.
"Traaang...!" Dan, Ki Punggo pun memekik kesakitan:
"Aaaow... bangsat kauuu...!" Ki Punggo sempoyongan seraya tangan kirinya memegangi bagian yang sakit.
"Sikat terus... jangan berhenti!" teriak Klowor kepada Kartika. Kartika bagai dibakar semangatnya, ia pun segera menerjang Ki Punggo dengan lompatan bersalto. Pada sat itu, kaki Ki Punggo sengaja dilempar batu kecil oleh Raden Klowor, dan bertepatan dengan itu Kartika melancarkan tendangan ke arah bawah dalam keadaan melayang. Tendangan itu sebenarnya bisa saja ditangkis oleh Ki Punggo, bahkan bisa saja trisula Ki Punggo menghentak ke atas dan menancap di bagian perut atau paha Kartika. Tetapi, karena konsentrasinya tertuju pada kaki yang sakit akibat lemparan batu kecil, maka ia pun bagai orang lengah. Tengkuk kepalanya terkena tendangan kaki Kartika sehingga Ki Punggo pun mendelik tak bisa berteriak.
Klowor girang dan bertepuk tangan. Tetapi, tiba-tiba ia terjungkal ke tanah karena kaki Ki Punggo sempat berkelebat mengenai perutnya. Ki Punggo sempat menggeram:
"Kau mulai ikut campur, Bangsat...!"
"Uuuh...! Cuma sedikit saja marah...!"
"Ciaaaat...!" Kartika menjerit kuat, sepertinya mengerahkan sisa tenaga yang paling penghabisan. Ia melayang menuju sasaran. Ki Punggo berkelebat berbalik dengan kibasan senjatanya. Namun, kaki Kartika tepat menendang pergelangan tangan kanan Ki Punggo sehingga trisula itu tertahan gerakannya. Dan, pada saat itu, pedang Kartika bergerak menebas dari atas ke bawah.
"Aaaahhhgg...!" Ki Punggo mendelik. Dadanya terbelah oleh kibasan pedang Kartika. Ia berusaha untuk bertahan sekalipun berdiri dengan oleng. Sementara itu, Kartika sendiri bagai sudah tidak dapat menahan diri dari luka dalamnya.
"Kkkaau... kkkau...!" Ki Punggo menuding Klowor yang sedang berusaha berdiri dari kejatuhannya.
"Kkkau. gara-gara kau... akuuu... akuuu "
"Kok aku yang disalahkan? Wee...?!" Klowor sengaja memancing kemarahan Ki Punggo. Ki Punggo memang panas hati, dan tanpa menghiraukan lukanya yang parah ia berusaha menyerang Raden Klowor. Tetapi, belum sampai dua langkah ia maju, Kartika telah menyekat kaki Ki Punggo, lalu ia melemparkan pedangnya ke tanah dalam keadaan bagian tajamnya menghadap ke depan. Maka, tak ayal lagi tubuh Ki Punggo jatuh tersungkur, tengkurap, dan disambut oleh bagian pedang yang tajam.
"Craas...!" Tepat mengenai leher.
Ki Punggo benar-benar sudah parah, namun ia masih berusaha untuk segera bangkit dan melakukan penyerangan lagi. Hanya saja, ia sudah kehilangan tenaga, darah pun banyak yang hilang, dan akhirnya... nyawanya pun ikut hilang. Ki Punggo meregang sesaat kemudian mati tak mau berkutik lagi. Sementara itu, Kartika sendiri juga ikut rubuh dan tak sadarkan diri. Klowor menjadi kebingungan. Ia segera menghampiri Kartika dengan sedikit panik:
"Kartika...?! Kartika...?! Kau... kau pingsan, Kartika?" Sekali pun pertanyaan tidak dijawab, tapi Klowor tidak merasa tersinggung, sebab Kartika benar-benar pingsan. Mungkin luka dalamnya terlalu parah sehingga ia tak bertahan lagi.
"Hebat...!" gumam Klowor.
"Bagaimana pun juga, kau termasuk perempuan cantik yang hebat, Kartika. Kau ulet dan gigih mempertahankan nyawa. Memang seharusnya manusia itu begitu, ya? Gigih mempertahankan nyawa "
Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali membawa Kartika ke arah goa yang hendak ditujunya semula. Alam sudah semakin mendekati gelap. Paling tidak, Kartika harus mendapat tempat untuk berlindung sementara, dan siapa tahu Klowor punya cara lain untuk menyembuhkan Kartika. Maka, dengan susah payah ia memapah Kartika, mendaki bukit, dan mencari goa yang dimaksud Kartika tadi. Jelas, nafas Klowor yang pas-pasan itu jadi terengah-engah membawa beban tubuh Kartika. Hanya karena wajah cantik saja yang membuat Klowor masih mau memapah tubuh itu, sekalipun ia mulai kebingungan dengan kakinya yang gemetaran itu.
Sialnya lagi, goa tersebut belum juga ditemukan oleh Klowor. Ia mencari ke sana ke mari, memandang menembus keremangan senja yang makin menggelap, ahh... tidak ada goa yang terlihat? Jangan-jangan tadi Kartika berbohong?
Pada saat itu, telinga Klowor sempat mendengar derap kaki kuda bergemuruh samar-samar. Arahnya sepertinya ditujukan ke lereng bukit itu. Wah, jangan-jangan mereka kaum pemakan daging manusia yang tadi dihindarinya? Wah, kalau mereka mengetahui Klowor di situ bersama Kartika, sudah tentu mereka akan berpesta pora memakan daging dua orang. Iih... dongkol sekali hati Klowor mencari goa tidak ketemu-ketemu. Hampir saja ia membuang tubuh Kartika karena jengkelnya. Sedangkan, beberapa saat kemudian, gemuruh suara derap kaki kuda itu semakin jelas. Gawat! Jumlah mereka kan tidak sedikit? Dilawan pun bisa sia-sia.
* * * * *
--≡¦ { 3 } ¦≡--
"Mau diapakan perempuan itu kalau susah begini?" gumam Klowor sendirian. Ia bingung. Capek. Ia bersandar dengan santai. Sampai akhirnya ia pun tertidur di samping tubuh Kartika yang masih pingsan itu.
Klowor tak tahu, seberapa lama ia tertidur. Yang jelas, ia mulai bermimpi bertemu dengan Jaka Bego, orang yang dianggap gurunya dari sekian banyak guru yang hadir di setiap mimpinya.
"Klowor, beri pernafasan bantuan pada Kartika," kata Jaka Bego di dalam mimpi Raden Klowor.
"Bantuan nafas bagaimana, Guru?"
"Tiup mulutnya...! Tiup berulangkali, dan awas... jangan sekali-kali menyedotnya."
"Apa dia akan sadar kembali, Guru?!"
"Yahh... kalau dia tidak keburu mati, pasti sadar kembali. Nah, lakukan itu!"
"Tapi, Guru... tapi..." Klowor terbangun dari tidurnya. Ia belum sempat bicara lebih lanjut. Ah, sayang. Ia padahal ingin bertanya tentang cara penyembuhan untuk Kartika, namun impiannya segera musnah dan tidurnya pun hilang. Ia kembali memejamkan mata, tetapi tak bisa tidur lagi. Ketika matahari mulai menampakkan diri dari ufuk Timur, Raden Klowor menggeliat pelan-pelan, kemudian berkedip-kedip memikirkan perintah gurunya lewat mimpi itu. Ia sedikit sangsi, apakah dengan meniup mulut Kartika maka perempuan cantik itu bisa sadar dari pingsannya?
"Kasihan, Kartika. Banyak luka memar di tubuhnya. Aku yakin, ada bagian dalam tubuh yang rusak berat akibat kekejaman Ki Punggo itu. Ah, tapi sebaiknya aku menuruti perintah guru saja "
Raden Klowor menempelkan mulutnya ke mulut Kartika. Ia harus meniup mulut itu. Tetapi keremangan cahaya fajar menampakkan wajah ayu itu bagai menggoda hati kelelakiannya. Gelisah juga jadinya. Klowor sudah hampir menempelkan bibirnya ke bibir Kartika, tapi urung lagi. Ia bahkan bertanya di dalam hati:
"Ditiup apa disedot, ya?"
Sekali pun sebenarnya selera Klowor adalah menyedot bibir dan mulut itu, tetapi ia ingat pesan guru agar jangan sekali-kali menyedot mulut Kartika. Ia harus meniup. Ya, meniup. Dan... hal itu pun akhirnya dilakukan juga.
Klowor menempelkan mulutnya ke mulut Kartika, kemudian meniupkan udara ke dalam mulut perempuan cantik itu. Jantung Klowor jadi berdetak-detak. Ada perasaan aneh yang mengusik hatinya dan membuatnya berdebar-debar. Hasrat untuk menyedot mulut itu begitu besar. Untung Klowor selalu ingat pesan guru dalam mimpinya, sehingga ia hanya bisa meniup dan meniup mulut itu berulang kali.
Kartika bagai orang tersengat kalajengking. Ia bergerak kaget. Kemudian membuka mata dan melihat Klowor ada di depannya persis, menempelkan mulutnya ke mulut Kartika. Kontan saja tangan Kartika menampar Klowor kuat-kuat.
"Ploook...!" Klowor terlempar ke samping dan jatuh telentang.
"Kurang ajar! Kau menggunakan kesempatan dalam kesempitan, ya?!" geram Kartika yang segera berdiri dengan tegap, seakan ia tidak pernah menderita luka dalam yang cukup parah. Klowor sendiri kebingungan untuk menjelaskannya. Ia baru mau bicara, tapi kaki Kartika menendang dagunya dengan tidak begitu keras.
"Uuh...! Sabar dulu, Tika...!"
"Kau tak pantas diberi kesabaran, Klowor! Apa yang telah kau lakukan pada diriku, hah?! Kau merenggut mahkota kegadisanku?! Iya?!"
"Bebb... bebb... belum, Tika...! Belum sempat kok...!"
"Bohong! Kau pasti punya maksud busuk!"
"Periksa saja...! Periksa, apakah mahkotamu kuambil atau tidak...! Periksalah!"
Kartika yang cantik mendengus kesal. Ia sendiri tak tahu, bagaimana harus memeriksanya. Tapi, begitu ia memperhatikan pakaiannya masih dalam keadaan tertutup rapi, ia mulai yakin bahwa ia tidak ternoda. Tetapi, ia masih jengkel karena Klowor telah berani melumat mulutnya. Ia tak mau bibirnya dikecup selagi ia tertidur.
"Lalu, apa yang kau lakukan terhadap diriku, Setan?!" ketus Kartika masih dengan bertolak pinggang. Klowor hanya memandangnya, memperhatikan keadaan Kartika. Timbul rasa heran dan bingung pada diri Klowor melihat Kartika bisa bertindak cepat, berdiri dan berkata lantang. Bukankah Kartika dalam keadaan terluka parah? Bukankah guru Klowor hanya memerintahkan untuk memberikan pernafasan bantuan dengan cara meniup mulut Kartika? Tetapi, kenapa Kartika sudah menjadi sehat seperti sediakala?
"Hei...!" Kartika menendang kaki Klowor.
"Kenapa memandangku dengan jalang, hah?! Aku tidak suka kau berbuat begitu lagi, Klowor!"
"Aku... aku hanya memberikan pernafasan bantuan padamu, supaya... supaya "
"Aku tidak perlu bantuanmu! Aku masih bisa bernafas sendiri! Sudah, jangan berbuat sehina itu lagi. Ingat!"
Kartika berdiri di mulut goa, memandang kesegaran udara pagi bersama sorot matahari yang masih kemerah-merahan. Klowor tertegun memandang punggung Kartika. Ia benar-benar heran melihat kesehatan Kartika. Ia tidak tahu, apa sebenarnya yang harus dilakukan untuk Kartika. Ia hanya memenuhi perintah guru, tapi mengapa ia ditampar dan dicaci-maki oleh Kartika? Ia dituduh berbuat kurang ajar. Apakah itu pantas bagi seseorang yang telah berhasil menyadarkan Kartika dari pingsannya?
"Kartika..." Klowor memberanikan diri berkata, sekalipun Klowor tahu, bahwa Kartika tidak memperdulikan sapaannya.
"Kartika, apakah kau ingat apa yang telah terjadi sebelum kita sampai ke goa ini?!"
Kartika diam, sampai lama tidak menjawab. Klowor malas mengulang. Pikirnya; biarlah Kartika melupakan pertarungannya dengan Ki Punggo. Biar sajalah Kartika lupa bahwa dirinya terkena luka dalam yang membuatnya pingsan. Yang penting bagi Klowor, Kartika jangan sampai marah lagi. Ia malu kalau dituduh hendak berbuat kurang ajar kepada Kartika.
Namun, pada saat itu, Kartika berbalik dan mendekati Klowor. Kartika masih menampakkan keangkuhannya, tanpa senyum dan tanpa keceriaan sedikit pun. Ia memandang ke arah dalam goa, yang mempunyai lorong membelok ke kiri. Entah apa isinya dan bagaimana keadaan di balik tikungan lorong itu, Kartika tidak memperdulikan dulu. Ia berdiri di depan Klowor yang duduk pada sebuah batu.
"Apa yang telah kau lakukan sebenarnya, Klowor?!" tanya Kartika dengan anda ketus.
"Aku memberikan pertolongan padamu. Sumpah. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya meniup mulutmu beberapa kali, supaya kau sadar dari pingsanmu. Itu pun atas perintah guruku yang hadir lewat mimpi." Kartika menggumam lirih, ada sesuatu yang membuatnya heran dan merasa aneh. Kemudian ia duduk di batu, berseberangan dengan Klowor.
"Aku ingat pertarunganku dengan Ki Punggo," katanya.
"Aku tidak memaksamu mengingat-ingat hal itu, Tika."
"Memang. Tapi, aku juga ingat bahwa aku terluka. Luka dalam yang cukup parah. Aku ingat saat aku menyemburkan darah dari mulutku, luka memar di pundak, dada dan tulang rusukku terasa ada yang patah "
"Aku berani bersumpah, bukan aku yang mematahkannya!" sahut Klowor, tetapi Kartika bagai tidak menghiraukan kata-kata itu. Mungkin dia menganggap tak perlu. Ia malahan merenung sambil berkata:
"Aku juga ingat, bahwa keadaanku sangat terluka. Aku memaksakan diri menguras tenaga terakhir untuk membunuh Ki Punggo. Kemudian, kepalaku terasa pening sekali, dan pandangan mataku menjadi gelap. Sama sekali gelap. Lalu, aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya."
Klowor menyahut lagi, "Aku membawamu ke goa ini."
"Aku tidak bertanya tentang itu," sahut Kartika yang membuat Klowor menahan malu dalam hati.
"Yang ingin kutanyakan: mengapa aku sekarang menjadi sehat dan segar? Padahal, sebelum aku berhasil membunuh Ki Punggo, aku sudah memperkirakan bahwa aku akan mati. Ada kekuatan tenaga dalam yang dilancarkan oleh Ki Punggo dan menyumbat saluran pernafasanku pada saat itu. Ketika aku melihat Ki Punggo merenggang mati, aku juga merasakan kehabisan nafas. Dan kupikir saat itu adalah saat kematianku yang akan tiba. Tapi ternyata, sekarang aku menjadi sehat. Badanku tak ada yang terasa sakit. Luka memarku hilang semua. Sama sekali tidak ada bekas bagian yang masih terasa sakit. Ini aneh sekali, Klowor. Seharusnya aku mati, atau dalam perawatan khusus karena luka di bagian dalam tubuhku ini. Tapi...? Kenapa sekarang aku malah menjadi segar? Kenapa tidak ada bagian yang kurasakan sakit atau ngilu-ngilu? Sedikit pun tak ada, Klowor."
"Saya tidak tahu, karena yang merasakan segalanya kamu." Klowor bicara agak datar, seakan tidak mau tahu lagi. Pada hal di dalam hatinya Klowor pun bertanyatanya heran: mengapa Kartika bisa sesehat itu? Mengapa luka memar yang membiru di pundak, dada dan sebagainya, hilang sama sekali?
"Klowor..." Kartika mendekat.
"Apa benar kau tiupkan udara di mulutku?"
"Kalau tidak salah, memang begitu."
Kartika menggumam dan manggut-manggut, ia memandang Klowor. Klowor risi dipandang demikian. Tak berani balas menatap Kartika. Ia menatap ke arah dalam goa.
"Terimakasih, Klowor. Dua kali kau menyelamatkan nyawaku. Dan, yang kali ini, sungguh mengherankan!"
"Aku sendiri merasa heran kok."
Kartika tersenyum. Tipis. Terasa sinis. Klowor diam saja, berusaha untuk tenang, sekalipun hatinya berdebar-debar dipandang terus-terusan oleh Kartika.
"Aku percaya," kata Kartika.
"... tiupan nafasmu itu bukan semata-mata untuk menyadarkan aku dari pingsan, melainkan punya kekuatan gaib."
"Gaib?" Klowor memandang dengan berkerut dahi.
"Kekuatan untuk menyembuhkan luka dalam dan... dan entah apa lagi namanya. Yang jelas, tiupan nafasmu itu telah membuat semua lukaku hilang, dan aku menjadi sehat secara ajaib. Menakjubkan sekali, Klowor!"
"Ah, entah...!" Klowor bersikap masa bodo.
"Mau ajaib, mau gaib, terserah kau bilang sajalah...!" Klowor kini berdiri di mulut goa dengan hati-hati. Ia ingat derap kaki kuda yang didengarnya semalam. Ia sedikit sangsi, jangan-jangan pengejar berkuda itu masih berkeliaran mencarinya di tempat itu.
"Klowor, aku minta pedangku "
Klowor menghunus pedang Kartika yang sebelum ia menggotong Kartika dari tempat pertarungan, ia sempat menyelipkan pedang Kartika ke pinggangnya. Namun, ketika Kartika menerima pedangnya lagi, tangannya menyahut tangan Klowor, matanya memandang tajam pada Klowor, dan ia pun berkata dengan suara lirih:
"Kau marah?" Klowor menggeleng.
"Kau sakit hati atas tamparanku tadi?" Klowor menggeleng.
"Kau hanya bisa menggeleng?"
Sekali lagi Klowor hanya menggeleng.
Kartika memasukkan pedangnya ke sarung pedang di punggungnya. Klowor buru-buru berpaling ke arah luar goa, tak berani menatap pandang terlalu lama dengan Kartika.
"Klowor. maafkan aku, ya?" Klowor diam saja.
"Aku tahu kau marah padaku, tapi itu urusanmu! Aku tidak pernah menganjurkan begitu. Jadi, kalau kau capek dalam marahmu, tanggunglah sendiri. Jangan salahkan aku."
Ada beberapa saat lamanya Klowor diam, membelakangi Kartika. Ketika ia berbalik, hendak mengatakan sesuatu, tahu-tahu Kartika sudah tidak ada di tempat.
"Kartika...?!" Klowor memanggil dengan suara keras. Tak ada jawaban yang terdengar. Ke mana dia? Klowor mulai kebingungan. Ia bergegas masuk ke kedalaman goa.
"Kartikaaa...!" Suara panggilan itu bernada penuh kecemasan. Klowor buru-buru memasuki lorong yang membelok itu. Tempatnya semakin gelap. Batu-batu dindingnya lembab dan lantainya pun bagai mengandung air. Klowor sedikit sangsi, mungkinkah Kartika menghilang dan pergi melalui jalanan licin itu?
"Kartikaaa...!" teriaknya lagi. Teriakan itu menggema cukup lama. Ini menandakan di ujung lorong itu ada ruangan yang lebar, atau jalan lurus yang panjang.
"Kartika, di mana kau...?!"
"Di sini...!"
Nah, ada jawaban. Kok kecil? Oh, berarti Kartika berada jauh dari lorong yang becek itu. Klowor pun segera berjalan menyusuri lorong itu dengan hati-hati. Ia bahkan sempat merayap, berpegangan dinding lorong supaya tidak jatuh tergelincir. Oh, ternyata lorong itu seperti perut ular yang melingkar-lingkar.
Makin dalam, Klowor semakin menemukan berkas cahaya temaram. Ia sedikit tenang, karena pada waktu ia berseru:
"Kartika, tunggu aku...!" Ada jawaban dari depannya: "Ke marilah! Lekas...!"
Ternyata keadaan di dalam goa memang semakin terang. Dan, tibalah Klowor di sebuah ruangan luas, berlangit-langit tinggi dengan sorot cahaya matahari yang memancar dari lobang di langit-langit goa yang tinggi itu.
"Lihatlah apa yang kutemukan ini, Klowor?" Kartika kelihatan tersenyum tipis. Klowor masih terbengong melihat ada telaga di dalam goa itu. Airnya berkilauan menyegarkan karena terkena sorot matahari dari langitlangit goa. Mungkin telaga itu adalah curahan air hujan yang ditampung di situ dalam beberapa waktu lamanya. Yang jelas air telaga itu sungguh menyegarkan.
Bentuk telaga itu bulat tidak beraturan. Di tepian telaga itu masih tersisa tempat luas, batuan cadas yang tergolong datar, hanya serpihan-serpihan batu cadas yang membentuk seperti kerikil. Sebagian tempat datar itu ada yang basah karena uap air telaga yang bagai mengembun itu, sebagian lagi ada yang kering. Kartika duduk ke tempat yang kering sambil memandangi air telaga bening. Ia kelihatan berwajah cerah, sekalipun tidak secerah jika seorang gadis menemukan sesuatu yang disukai. Kecerahan wajah itu adalah kecerahan perempuan angkuh yang sebenarnya berwajah anggun dan berwibawa.
"Aneh, ya? Di dalam goa ada telaga seluas ini." Kartika berkata demikian ketika Klowor mendekatinya.
"Mengagumkan sekali!" gumam Klowor, lalu ikut duduk di samping Kartika.
"Ini pasti tandon air."
"Apa itu tandon air?" Kartika berkerut dahi.
"Bila air hujan datang, ia akan masuk melalui lobang yang ada di langit-langit goa ini. Itu, lihat saja... lobang langit-langit itu cukup lebar. Matahari memancarkan sinarnya ke dalam sini melalui lobang itu. Tentu saja jika ada hujan, sebagian air hujan masuk ke sini melalui lobang itu juga."
"Iya, ya...?!" Kartika menggumam sambil memandang ke atas.
"Tapi, yang jelas telaga ini kelihatannya menentramkan hati siapa saja yang memandangnya."
"Betul. Aku sendiri merasakan demikian. Tentram."
"Aku jadi lupa tujuanku."
"Mencari Nyai Katri?"
"He-eh..." jawab Kartika tanpa memandang Klowor, melainkan memandangi air telaga yang menyegarkan itu.
"Kau kenal dengan perempuan penguasa Pulau Kramat itu?" tanya Klowor.
"Aku hanya tahu namanya."
"Lho, lantas kau ke sana mau apa? Kau ingin bertemu dengannya untuk apa?"
."O, itu rahasia...!" jawab Kartika bernada angkuh.
"Sebenarnya, kita punya satu tujuan."
"Kau juga ingin ke Pulau Kramat itu?"
"Ya. Aku harus bertemu dengan perempuan yang bernama Nyai Katri."
"Untuk apa?"
"O, itu rahasia," jawab Klowor menirukan jawaban Kartika.
Kartika tertawa lirih. Baru sekarang Klowor melihat dan mendengar tawa perempuan cantik itu. Oh, indah dan merdu sekali kedengarannya. Klowor benar-benar mengagumi tawa yang renyah itu. Bahkan ia sampai terbengong memandang Kartika dalam tawa yang indah itu.
"Hei, kenapa kau terbengong memandangiku? Belum pernah melihat perempuan, ya?"
Klowor buru-buru nyengir menggeragap. Katanya kemudian:
"Aku belum pernah melihat tawa seorang perempuan cantik seperti kamu, Tika."
"Hemmm...!" Kartika mencibir dan semakin membuat hati berdesir-desir. Mata Kartika kembali memandang air telaga yang berkilauan, namun tenang tanpa ombak sedikit pun.
"Sayang Pulau Kramat telah hilang."
Klowor sedikit kaget mendengar gumaman Kartika yang pelan itu. Klowor buru-buru bertanya dengan cemas:
"Dari mana kau tahu kalau Pulau Kramat telah hilang?"
"Aku telah mencarinya. Biasanya, seseorang yang berdiri di tebing karang, tempat kita bertemu itu, maka orang itu akan melihat sebuah pulau tak jauh dari tebing karang itu. Dan, itulah yang dinamakan Pulau Kramat, tempat Nyai Katri tinggal sebagai penguasa tunggal."
"Ooo...!" Klowor manggut-manggut.
"Aku juga diberitahu oleh seseorang begitu. Tetapi, ketika kau berdiri di tebing karang itu, aku tidak melihat pulau secuil pun."
"Pulau itu telah hilang," gumam Kartika bernada kecewa. Tetapi, demi memperhatikan air telaga kembali, Kartika menjadi bersemangat dan ceria. Aneh. Padahal keceriaan seperti itu jarang sekali ia peroleh semasa hidupnya yang cenderung menjadi orang angkuh, pendiam dan tegas.
"Kau ada hubungan apa dengan Nyai Katri, Klowor?"
"Entah. Aku tidak tahu, apakah aku ada hubungan saudara atau tidak. Yang jelas, aku belum mengenal Nyai Katri secara langsung. Tetapi, aku memperolah pesan dari guruku, bahwa aku harus datang ke Pulau Kramat itu."
"O, siapa gurumu itu? Aku boleh tahu?"
"Banyak," jawab Klowor. Kartika menganggap jawaban itu tidak serius, sehingga ia kelihatan sedikit cemberut. Klowor menjelaskan, "Aku berkata dengan sungguh-sungguh. Guruku tidak hanya satu. Kau mau tahu?!"
Kartika memandang Klowor dengan menghilangkan cemberutnya. Ia memang tidak mengangguk atau menggeleng, namun Klowor tahu, bahwa Kartika ingin mendengar siapa saja guru Klowor. Maka, dengan menghitung jari Klowor berkata:
"Jaka Bego, Lanangseta, istri Lanangseta, Sekar Pamikat..." Klowor berhenti bicara, karena Kartika menggerakkan tangannya, meminta Klowor berhenti sebentar.
"Kau kenal dengan Lanangseta juga?"
"Iya. Apa kau kenal dia?"
"Aku pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, dia yang bergelar Malaikat Pedang Sakti?"
"Ya. Kau tahu tentang dia, kalau begitu."
"Tidak begitu banyak. Aku hanya pernah mendengar kesaktian-kesaktiannya dan... katanya ia tampan, ya?"
"O, jelas. Lihat saja muridnya..." Klowor menunjuk wajahnya sendiri. Kartika mencibir lagi dengan bersungut-sungut.
"Eh, kamu tidak mengakui kalau aku tampan?" kata Klowor dengan wajah disodorkan di depan Kartika.
Sempat hal itu membuat Kartika tersenyum geli. Lalu, katanya dengan anda canda:
"Kau memang ganteng, tapi nanti, kalau kau sudah dewasa. Kalau sekarang kau masih seperti anak ingusan!"
"Jadi, aku kau anggap belum dewasa?"
Kartika diam sejenak, tidak memandang Klowor, tapi segera berkata:
"Kau kelihatan masih muda belia. Mungkin pikiranmu sudah dewasa, sayang wajahmu masih seperti ke kanak-kanakan, Klowor. Kau juga punya ketampanan yang lucu dan menggemaskan. Sayang aku tidak berminat meremat wajahmu itu."
Klowor hanya diam tertegun. Kartika berdiri, melepas sarung pedangnya. Kemudian ia berkata dengan Klowor:
"Kalau kau mau bersahabat denganku, pergilah ke balik batu itu dan sembunyikan wajahmu di sana."
"Kenapa? Kenapa kau menyuruhku demikian?"
"Aku mau mandi. Aku mau melepas pakaianku, dan jangan coba-coba mengintipku kalau kau tak ingin buta mendadak."
Dengan mengeluh kesal dan gerutuan lirih, Klowor pergi ke balik batu, tak berani mengintip. Kartika terjun ke telaga tanpa busana. Uh, segar sekali. Ia ceria dan berseru: "Klowor...! Airnya segar sekali. Ayo, mandilah sini...!"
Klowor sempat tersenyum saat Kartika melambaikan tangan lalu menyelam. Lama. Lama sekali tidak muncul-muncul. Lho...? Klowor jadi cemas. Kartika tidak muncul lagi! Gawat.
* * * * *
--≡¦ { 4 } ¦≡--
"Kukira kau tenggelam, Kartika!"
"Uh, airnya segar sekali," kata Kartika sambil mengibaskan kepala. Air yang menyangkut di rambutnya memercik ke kanan kiri. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan dan mulai berkerut dahi.
"Kartika...?! Kau di mana?!"
Klowor merasa heran. Ia memperhatikan Kartika yang sedang berenang ke tepian.
"Klowor...?!" seruan itu mengandung arti kecemasan.
"Ooh... gelap?! Klowor aku tidak bisa memandang apaapa!"
"Kartika...?!" Klowor berseru kaget. Ia segera meraih tangan Kartika yang sudah dekat dengan tepian telaga. Ia menggenggam tangan itu, dan Kartika memeganginya erat-erat dengan perasaan cemas sekali.
"Kartika, apa kau bisa melihatku?!" Tangan Kartika meraba-raba, dan ia berseru dengan mengharukan:
"Ooh... aku buta! Aku buta, Klowor...! Aku tidak bisa melihat lagi...!" Kartika menjadi panik, demikian juga Klowor. Ia bahkan hampir saja terpeleset masuk ke telaga itu ketika menarik tangan Kartika. Bahkan, ia sudah tidak perduli keadaan Kartika yang telanjang bulat saat ditarik ke atas dan meraba-raba mencari pakaiannya.
"Kartika, kau tidak main-main?"
Kartika hanya menangis dengan panik, ia berseru menjerit-jerit, "Aku buta...! Oh, aku buta...?! Klowor aku bagaimana ini? Mataku tak bisa melihat apa-apa lagiii...!"
Maka, tangisnya pun menjadi terisak-isak sementara Klowor memberikan pakaian Kartika dengan tidak berpikir soal kemulusan tubuh yang telanjang itu. Kalau saja tidak dalam keadaan panik, mungkin Klowor akan tidak berkedip memandang tubuh Kartika yang telanjang dan menggiurkan itu. Namun, karena dalam keadaan tegang, mengharukan, maka tak ada pikiran Klowor ke arah negatip. Ia hanya kebingungan mengetahui keadaan Kartika yang menjadi buta akibat mandi di air telaga itu.
"Astaga...?! Kau benar-benar buta, Kartika...!" kata Klowor setelah mencobanya berulangkali menggerakgerakkan tangannya di depan mata Kartika, dan Kartika diam saja kecuali menangis dan menangis lagi. Klowor pun kemudian memeluk Kartika yang belum sempat mengenakan pakaian, sekalipun pakaian sudah berada di tangan Kartika.
"Bagaimana dengan nasibku ini, Klowor...?! Mengapa aku jadi buta?! Ooh... telaga keparat! Telaga setan!"
"Tenang, Tika. Tenang. Tabahkan hatimu. Ini bukan kecelakaan untuk selamanya. Kita masih bisa berusaha untuk membuatmu melihat kembali." Klowor membujuk Kartika yang menangis terisak-isak dalam pelukannya.
"Kenakan dulu pakaianmu. Kenakan dulu, baru kita cari jalan keluarnya."
Telaga yang menyegarkan, telaga yang menggiurkan karena kebeningan airnya itu, ternyata telah merubah nasib hidup perempuan cantik seperti Kartika. Mata yang semula mampu memandang tajam dan awas sekali itu, kini menjadi buta, sekalipun mata itu masih utuh. Tanpa ada cacadnya sedikit pun. Ini sungguh mengherankan dan sekaligus memukul jiwa Kartika. Klowor sendiri yang tidak ikut menderita, bisa merasakan betapa sedihnya jika ia yang mengalami hal itu. Sebab itu, Klowor tahu, apa yang dibutuhkan Klowor untuk saat ini; ialah penghiburan, dan ketenangan. Klowor harus bisa membuat Kartika tenang, untuk kemudian bisa berpikir mencari jalan keluar bagi penyembuhan mata itu.
"Aku sudah kehilangan segala-galanya, Klowor..." bisik Kartika dalam tangisnya.
"Tidak, Tika. Kau masih punya banyak kesempatan, punya banyak teman yang bisa menolongmu, dan "
"Oh, aku tidak percaya kalau ada teman yang bisa menolongku menyembuhkan kebutaan ini. Aku bagai telah terkena kutukan yang amat keji! Telaga keparat itu telah menjebakku dan aku sendiri oh, Klowor, aku lebih baik mati daripada harus menanggung siksaan seperti ini "
"Mati itu bukan jalan satu-satunya, Tika. Masih banyak jalan yang bisa kita tempuh, selain mati."
Tangis Kartika masih meratap-ratap, dan Klowor memakluminya. Klowor hanya bisa memeluk Kartika sambil mengusap-usap rambutnya untuk sekedar memberi penghiburan hati Kartika. Sampai lama mereka sama-sama bungkam, kecuali suara tangis Kartika yang kian lama kian mereda.
Mata Raden Klowor memandang air telaga yang bening dan menyegarkan. Terbayang ada maut di balik kebeningan telaga itu. Klowor jadi merinding seketika, membayangkan betapa mengerikan jika seseorang semakin lama terendam di dalam telaga tersebut.
"Mari kita tinggalkan goa keparat ini, Tika."
"Tidak! Aku akan tinggal di dalam goa ini, sampai aku memperoleh kesembuhan mataku ini," Kartika putus asa.
"Kalau perlu, biarkan aku mati di sini. Biarkan!"
"Kartika, mari kita berpikir secara dewasa dan kesatria. Masalahmu ini, adalah masalah yang harus kita hadapi, yang tidak boleh kita tinggal lari begitu saja. Ini adalah tantangan bagi jiwamu. Aku yakin, kau pasti bisa pulih seperti sedia kala! Aku yakin, Tika! Hanya saja, kau harus tabah dan tangguh dalam menopang penderitaan seperti ini. Jangan mau kalah oleh nasib, Kartika. Tetapi, berjuanglah menggeluti nasibmu sendiri. Karena manusia tidak bisa lepas dari segala penderitaan, kalau dia sendiri tidak gigih memperjuangkan kebaikan hidupnya sendiri! Jangan bergantung pada nasib semata, tetapi bergantunglah pada perjuangan diri kita masingmasing."
Banyak hal yang dikatakan Klowor, banyak hal yang diungkapkan Klowor untuk memulihkan jiwa yang guncang. Andai Klowor tidak pandai-pandai mengukuhkan jiwa Kartika, mungkin perempuan itu sudah nekad untuk bunuh diri atau mengerjakan kebodohan lainnya.
Setelah melalui bujukan, akhirnya Kartika berhenti menangis, dan mulai berpikir dengan sehat. Klowor lega dan senang jika Kartika sudah mulai menggunakan otak warasnya.
"Aku punya perasaan ngeri kalau keluar dari goa ini." kata Kartika masih sesekali tersengguk.
"Mengapa harus ngeri?"
"Banyak orang yang ingin membunuhku."
Klowor menghela napas, sedikit berat, merasa iba mendengar kata-kata itu. Kartika melanjutkan kata,
"Kalau aku tidak dalam keadaan buta begini, mungkin aku masih berani menghadapi siapa pun yang ingin membunuhku. Tetapi, dalam keadaan aku tidak bisa melihat apa-apa begini, apa yang bisa kulakukan untuk mempertahankan serangan dari mereka?"
Setelah bungkam sesaat, Klowor pun bertanya: "Mengapa banyak yang ingin membunuhmu? Apakah kau punya banyak kesalahan kepada mereka?"
Kartika menggeleng. Klowor berkerut dahi, tak jelas maksudnya. Tetapi, beberapa saat kemudian Kartika menjelaskan:
"Aku tidak merasa berdosa kepada mereka, tapi mereka merasa berhutang nyawa kepadaku, sehingga mereka merasa perlu membinasakan aku."
"Mengapa begitu, Tika? Dan, apakah Ki Punggo itu termasuk orang yang ingin membunuhmu atas dasar yang sama?"
"Ya. Ki Punggo, orang-orang yang menyerangku di tebing karang itu, serta beberapa dari mereka yang berkuda itu, semuanya ingin membunuhku."
"Kenapa bisa terjadi begitu?"
"Mereka menyimpan dendam. Orang-orang dari Wetan, khususnya para tetua dari Wetan, semua ingin membunuhku. Sejak usia sebelas tahun aku selalu dikejar-kejar oleh mereka, sampai usiaku 25 tahun sebesar ini, mereka masih mengejarku untuk membinasakannya. Dan... ini semua sebenarnya dikarenakan dendam."
"Dendam?!"
"Ya. Dendam mereka kepada ayahku." Kartika berusaha menenangkan jiwa dengan menghirup nafas panjang-panjang. Klowor diam, masih dicekam haru melihat mata indah Kartika berkedip-kedip dalam kebutaan. Ah, kasihan sekali perempuan cantik ini.
"Apakah ayahmu banyak berbuat dosa terhadap mereka?" Klowor mulai penasaran dan ingin mengetahui segalanya. Kartika hanya menjawab dengan suara lirih: "Memang. Ayahku dulu, adalah orang jahat. Penganut aliran hitam. Tetapi, ia sendiri juga membunuh orang-orang dari partai hitam. Mungkin kau pernah mendengar nama ayahku, karena namanya dan keganasannya itu sudah menyebar mungkin sampai ke seluruh pelosok dunia."
"Siapa ayahmu itu, Kartika?!"
"Mahesa Abang, atau yang bergelar Iblis Telapak Darah."
"Ooo...?!" Klowor manggut-manggut.
"Kau pernah mendengar nama itu dan kekejamannya, bukan?"
"Belum. Mungkin nama itu termasuk nama tokoh lama di rimba persilatan."
"Yah, memang ayahku itu tokoh lama di rimba persilatan. Tokoh jahat yang tak pernah pandang bulu kalau mau membunuh lawannya."
"Lalu, apa hubungannya orang-orang itu hendak membunuhmu? Apakah karena kau mengikuti jejak ayahmu?"
Dengan hati perih dan mata buta yang berkedipkedip itu, Kartika menuturkan kisahnya secara singkat.
"Banyak orang yang menyangka begitu. Memang, aku belajar segala ilmu yang dimiliki oleh ayahku. Tetapi, aku sendiri tidak setuju dengan cara hidup ayahku. Aku mengakui, bahwa ayahku itu sangat kejam. Ilmunya hebat, sehingga tak ada yang mampu menandinginya. Dengan kehebatan ilmunya itu, ayahku menjadi orang takabur dan sombong. Cuma aku dalam keluarga yang tidak setuju dengan cara hidup ayah. Ia merampok, merampas hak orang lain, membunuh dengan seenaknya dan hal-hal lain yang ia lakukan merugikan orang lain. Tetapi, aku tidak berani menyatakan pertentanganku dengannya. Diam-diam aku hanya menerima segala ilmunya tanpa sifat-sifatnya. Lalu, pada suatu hari, ayahku terperosok dan jatuh ke jurang yang curam, lalu jasadnya hilang. Ia mati di Tebing Neraka. Saat itu adalah kesempatan bagi mereka untuk membalas dendam. Empat saudaraku dibantai oleh mereka, dan ibuku sendiri disiksa, lalu dibunuh secara beramai-ramai. Dan, aku yang waktu itu masih ingusan sudah dikejar-kejar oleh mereka."
"Gila!"
"Mereka menganggap, bahwa anak orang jahat, pasti akan menjadi jahat pula seperti leluhurnya. Maka, mereka berusaha membinasakan semua keluarga ayahku. Pada waktu itu, ada seorang guru yang menyelamatkan aku dan aku dibawanya ke suatu tempat yang sunyi, lalu dijadikan aku muridnya. Tak ada orang yang berani mendekatiku, karena guruku itu orang yang disegani mereka, baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih."
"Siapa gurumu itu?"
"Resi Garba. Kau pernah mendengar nama itu?"
"Belum."
"Dia punya satu murid yang cukup sakti pula, namanya: Ludiro."
"Hah ?! Ludiro? Paman Ludiro?! Oh, aku kenal dengan beliau. Kenal sekali!"
"Sungguh?"
"Ya. Dulu, dialah yang diberi hak menerima pusaka Cambuk Naga, tetapi kini dia memilih menjadi petani biasa, dan Cambuk Naga ada di tanganku. Cuma, aku tidak tahu kalau Paman Ludiro punya guru yang bernama Resi Garba."
"Kapan-kapan, kalau umurku panjang, bawalah aku kepadanya, seumur-umur aku belum pernah bertemu dengannya. Karena ketika guruku mengangkat aku sebagai muridnya, ia baru saja melepas kepergian murid tertuanya: yaitu Ludiro."
"Ooo... begitu "
"Tetapi, menurut guruku, Eyang Resi Garba, tidak semua anak akan mewarisi sifat orang tuanya. Ada anak orang baik-baik, tapi ia menjadi anak yang berperangai buruk. Ada ayah seorang pendiam, mempunyai anak yang cerewet. Jadi, tidak semua orang jahat akan mempunyai anak yang jahat pula. Dan, hal semacam itu tidak bisa dimengerti oleh para pengejarku. Ketika aku lepas dari perguruanku, aku langsung disambut oleh serangan mereka. Jelas, mereka berani menyerangku, sebab Resi Garba guruku sudah wafat. Tak ada lagi yang ditakuti oleh mereka, sehingga mereka merasa bebas membunuhku. Itulah sebabnya aku ingin lari dan bergabung dengan Nyai Katri untuk minta perlindungan."
Klowor menggumam panjang sambil manggut-manggut. Kartika menampakkan kesedihannya kembali, namun tidak sampai menangis tersedu-sedu seperti tadi. Ia berkata lirih:
"Sekarang, keadaanku semakin lemah. Mereka masih mengejarku, sedangkan aku kini telah menjadi buta. Aku tidak akan tahu kalau ada orang yang kusangka baik, ternyata ia sedang mempersiapkan pedang untuk membunuhku. Inilah sebabnya aku menjadi takut keluar dari dalam goa ini."
"Kau tidak perlu takut, Kartika."
"Bagaimana aku tidak takut? Mereka yang bernafsu membunuhku itu bukan orang-orang tanpa ilmu, melainkan orang-orang yang punya ilmu tinggi. Kau tahu sendiri kehebatan Ki Punggo atau pelempar senjata rahasia itu, bukan?"
Sekali lagi Klowor menggumam, tapi pendek saja.
Sebab, ia segera bertanya kepada Kartika:
"Aku heran melihat pertarungan kemarin; mengapa Ki Punggo tidak mau menggunakan pukulan jarak jauhnya? Padahal kalau dia mau menggunakan pukulan jarak jauhnya, kau pasti bisa lebih celaka dan "
"Dia tidak akan bisa," sahut Kartika. Ia mulai mengalihkan pikiran, dan ini adalah tujuan Klowor, mengapa ia tiba-tiba bertanya tentang Ki Punggo.
"Mengapa ia tidak bisa melakukannya, Tika?"
"Karena pukulan Sabrang Gendeng itu hanya bisa dilancarkan dalam jarak beberapa ratus tombak. Kalau tidak salah harus dilancarkan dari jarak dua ratus tombak jauhnya. Tetapi, dalam jarak dekat ilmu itu tidak bisa dipakai. Itulah kelemahan ilmu Sabrang Gendeng. Semakin jauh, semakin ampuh, semakin dekat semakin tidak bisa dipakai."
"Ooo... jadi, kalau "
Tiba-tiba goa itu bergemuruh. Tanahnya bergerak-gerak. Klowor dan Kartika sama tegangnya. Ada beberapa batuan cadas berukuran kecil yang berjatuhan dari langit-langit goa itu. Wah, gawat...! Kalau goa itu runtuh, maka terkuburlah Kartika dengan Klowor di dalamnya.
"Ada gempa...!" Klowor terlihat begitu tegang. Ia berdiri dengan mata membelalak. Air telaga itu bergolak. Bunyi gemuruh makin jelas.
"Kartika, lekas kita keluar dari sini...! Lekas. !"
"Tidak. Biarkan aku di sini. Biarkan aku mati bersama telaga ini, kalau memang langit-langit goa akan runtuh."
"Kartika, jangan menjadi bodoh lagi. Bertahanlah menjadi orang pandai, supaya kamu tidak gampang celaka!"
Klowor menggeret tangan Kartika. Kartika berjalan dengan sesekali terkantuk batu-batu kecil.
"Cepat, Kartika...! Kurasa goa ini sebentar lagi akan tertutup dan hilang dari pandangan mata kita!"
"Aku ingin di sini saja, Klowor!"
"Jangan begitu, Kartika!"
"Aku tidak mau mati di tangan musuh-musuhku!"
"Kau tidak akan mati!" seru Klowor dengan jengkel.
"Bagaimana mungkin aku bisa melawan mereka dengan mata gelap begini, Klowor?"
"Aku ada di sampingmu, kan? Apakah kau sangsi terhadap kepandaianku melumpuhkan lawan?"
"Tapi... tapi aku memang belum pernah melihat kau bertarung dengan seseorang."
"Apakah itu berarti aku tidak bisa melindungimu?"
Gemuruh semakin jelas. Guncangan pada tanah dan dinding-dinding goa semakin nyata. Banyak reruntuhan dari bagian atap goa, dan hal itu menambah Klowor semakin tegang. Ia segera menyeret Kartika untuk memasuki lorong licin itu. Ia sangat hati-hati membawa Kartika ke luar.
"Jangan berjalan ke arah lain. Rasakan saja tarikan tanganku ini. Ikutilah dengan menjaga keseimbangan tubuh. Ayo, lekas Kartika! Lekas keluar dan jangan mau mati diurug bebatuan cadas ini...!"
"Klowor, kau benar-benar mau berjanji untuk melindungi aku selama aku menjadi buta begini?!"
"Aku berjanji!" Sambil Klowor bergerak pelan melalui lorong licin itu.
"Aku berjanji akan menjagamu, semasa aku sendiri masih hidup!"
"Apakah kau tidak ingin menyerahkan kepalaku kepada Prabu Umbarpati...?"
"Siapa Prabu Umbarpati itu?"
"Seorang raja di daerah Wetan yang menyediakan hadiah, bagi siapa saja yang bisa menyerahkan kepalaku di depan mejanya. Itu sebabnya mereka yang ingin membunuhku semakin banyak jumlahnya!"
"Ayo, lekas... lekas...! Kau tak perlu berkeyakinan begitu, Kartika. Kau harus percaya, bahwa tak ada seorang yang kubiarkan menyentuh kulit tubuhmu, apalagi ia mau membunuhmu, oh... mungkin ia harus melompati mayatku dulu!"
Memang kalimat-kalimat Klowor sempat melegakan hati Kartika, dan membuat hati itu pula bagai melayang tinggi. Klowor siap melindunginya. Klowor siap mati untuk Kartika. Semua itu jauh dari dugaan Kartika sendiri. Ia mulanya mengira Raden Klowor adalah sebagian dari orang-orang yang punya selera untuk membunuhnya, ternyata dugaannya salah.
Sorot matahari di luar goa tidak membuat Kartika silau. Ia berjalan melangkah sedikit cepat dengan bantuan Klowor. Ia tak bisa jauh-jauh dari Klowor, karena ia belum terbiasa berjalan dalam kegelapan mata seperti itu.
"Klowor..." bisik Kartika.
"Aku mendengar suara seseorang sedang bertarung di arah kanan kita."
"Ya, aku juga mendengar. Tapi, agaknya mereka jauh dari kita, kok. Tenang saja, Tika. Aku selalu ada di sampingmu. Tenang saja...!"
"Apa kau bisa melihatnya; siapa yang bertarung itu?"
"Mereka cukup jauh, Tika. Dan, kurasa kita tidak perlu mengetahui siapa mereka. Nanti malah kita terlibat urusan mereka."
"Blegaarr...!" Terdengar suara ledakan membahana. Lalu, tanah menjadi guncang beberapa saat. Klowor sendiri nyaris terpelanting jatuh karena guncangan bumi yang dipijaknya. Kartika buru-buru berpegangan pada pundak Klowor dengan rasa cemas yang menegangkan.
"Rupanya akibat ilmu kedua orang yang bertarung itulah, yang membuat kita tadi ketakutan di dalam goa, Klowor."
"Ya. Benar. Yang membuat goa seperti mau runtuh itu adalah ilmu-ilmu yang dipakai dalam pertarungan mereka."
"Maka, periksalah dulu, Klowor. Periksalah dulu, kalau ternyata mereka tokoh sakti, mungkin kita bisa memohon bantuan untuk mengembalikan penglihatanku, Klowor."
Setelah mempertimbangkan sesaat, Klowor pun berkata:
"Baiklah! Mari kita mendekati mereka. Tapi, ingat...! Kau tidak boleh terlalu dekat. Kau harus berada di tempat yang terlindung, sedangkan aku akan mengintipnya dari atas pohon. Kalau memang mereka yang menang adalah tokoh sakti, maka aku akan memintakan penyembuhan matamu kepadanya."
Kartika menyetujui perjanjian itu. Karenanya, ketika ia ditinggal naik ke atas pohon oleh Klowor, setelah mereka berjarak dekat dengan pertarungan itu, maka Kartika hanya diam saja ketika tubuhnya yang jongkok itu ditutup dengan berbagai daun oleh Klowor.
"Astaga...!" gumam Klowor di atas pohon. Matanya melihat pertarungan yang cukup seru, yaitu seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba merah dengan ikat kepala yang botak berwarna biru tua, sedang bertanding dengan tokoh botak pula, tanpa ikat kepala dan masih ada sisa sedikit rambut di bagian tepian kepala.
Yang membuat Klowor kaget adalah usia mereka. Mereka itu sudah sama-sama tuanya. Sama-sama berjenggot putih, dan sama-sama mengenakan pakaian semacam jubah. Yang satu berwarna merah, yang satu berwarna hijau tua. Keduanya bertarung dengan sama kuat, sama-sama punya ilmu yang dahsyat untuk menyerang maupun menangkis.
"Klowor...!" seru Kartika dengan bingung menentukan pohon yang digunakan memanjat oleh Klowor. Rupanya Kartika tidak betah ditutup dedaunan. Gatal semua tubuhnya. Melihat keadaan Kartika yang berjalan dengan meraba-raba, Klowor segera turun.
"Tika...?! Ada apa kau? Kenapa tidak diam dalam persembunyian? Kalau ada musuhmu yang kebetulan lewat sini, bisa-bisa kau celaka tanpa setahu aku, Kartika."
"Aku cuma ingin tahu, siapa mereka itu?"
"Yang bertarung itu, seorang lelaki botak berambut tipis pada bagian tepiannya, berpakaian jubah hijau dan bersenjata sebuah tongkat. Sedangkan lawannya, berpakaian merah dengan ikat kepala warna biru tua. Ia bersenjatakan sebuah kalung bermanik-manik besar."
"Orang itu berkepala botak dan jenggot putihnya panjang?"
"Ya. Ya, benar! Kau mengenalnya?"
"Ya, ampuuun...! Mengapa aku harus bertemu dengan Ketua Perguruan Kumbang Laga?!"
"Apa itu bahaya?"
"Jelas. Karena dialah kaki tangan Prabu Umbarpati! Ia yang mempunyai tugas utama untuk menangkap atau membunuhku!"
"Wah, lantas bagaimana kalau sudah begini?!"
* * * * *
--≡¦ { 5 } ¦≡--
Beruntung sekali, Kartika bisa bertemu dengan Raden Klowor yang masih hijau, namun punya kekuatan yang sudah cukup matang. Klowor bertindak sebagai pelindung, lantaran dia tahu, bahwa Kartika bukan manusia berdosa seperti almarhum ayahnya. Klowor ingin menegakkan keadilan dan mencelikkan mata mereka yang tertutup nafsu membunuh.
Sehingga, dengan susah payah, Klowor tetap membawa lari Kartika, mencari tempat berlindung sebelum ia berhasil membawa Kartika kepada gurunya: Lanangseta.
"Apakah kau yakin kalau Lanangseta gurumu itu bisa menyembuhkan kebutaanku?!" tanya Kartika seraya dituntun untuk menjauhi pertarungan Ketua Perguruan Kumbang Laga.
"Pasti bisa!" jawab Klowor meyakinkan.
"Guru Lanangseta banyak kesaktian, sebab dengar-dengar, dia itu sudah diberi wewenang sama dengan seorang dewa, karenanya ia bergelar Malaikat Pedang Sakti. Ini menurut cerita bibi guru yang kudengar pada suatu mimpi."
"Bagaimana kalau ternyata gurumu itu tidak bisa menyembuhkan kebutaanku, Klowor?"
"Sesuatu yang diusahakan terus menerus, tidak mungkin akan selalu gagal. Pasti akan tiba saatnya untuk berhasil. Percayalah, Tika... aku tetap akan berusaha mencari jalan bagi kesembuhanmu!"
Klowor terus melangkah, menuntun Kartika dengan sabar dan hati-hati. Perasaan haru masih terselip di hati Klowor melihat Kartika berjalan dengan susah payah, meraba-raba dan sesekali tersandung akar maupun batu.
"Tika, awaaas...!" Klowor segera menarik tangan Kartika ke bawah, hingga tubuh mereka merendah, karena pada saat itu, sebuah tombak melesat dari arah depan Klowor dan nyaris menghunjam ke dada Raden Klowor.
"Klowor...?! Ada apa?!" Kartika gugup.
"Seseorang telah menyerang kita, Tika...!"
Pada saat itu pula, sebuah tawa terdengar terbahakbahak. Ada juga tawa yang terkekeh di samping kiri mereka, dan ada pula gumam memanjang di samping kanan mereka. O, tiga orang brewok telah mengepung Klowor dan Kartika dari tiga arah: depan, kiri dan kanan. Semuanya berwajah bengis, brewokan dan berbadan tegap.
"Tiga orang brewok menghadang kita," bisik Klowor.
"Gawat. Mereka yang bergelar Tiga Brewok Pencabut Uban. Mereka cukup berbahaya, Klowor."
"Apa kelebihan mereka, Tika?" bisik Klowor sambil memandang ketiga calon lawannya dengan curiga.
"Jurusnya selalu dilancarkan secara berkaitan, beruntun. Hati-hati, Klowor. Jangan sampai ada satu uban atau satu rambut pun yang tercabut oleh mereka. Rambut kita sehelai adalah nasib nyawa kita. Kalau rambut kita diputuskan maka saat itulah nyawa kita melayang. Mereka adalah tokoh aliran hitam yang menyimpan dendam kesumat pada ayahku."
"Di mana kelemahannya?"
"Cari tahu yang bernama Somali, itulah pusat kekuatan mereka. Kalau Somali dilumpuhkan, maka jiwa mereka berdua jatuh. Kalau kau bisa membunuh Somali, maka yang dua akan bertekuk lutut kepadamu. Itu menurut cerita ayah, dulu."
"Ayam kampung...!" seru seseorang yang ada di kanan.
"Menyingkirlah kau, Ayam Kampung. Jangan menghalangi kami. Kami punya urusan dengan perempuan kudis itu!"
"Apa maksud kalian menghadang kami?!" Klowor bersikap tegar dan tenang.
"Kami tidak menghadang kamu," kata brewok yang di depan.
"Kami hanya ingin membunuh biang penyakit yang ada di belakangmu itu!"
"Mengapa Kartika harus dibunuh?!"
"Ha, ha, ha... Maruto, jelaskan kepada Ayam Kampung itu!" kata seorang yang ada di depan kepada orang yang berada di samping kanan. Maka, Klowor pun mencatat dalam hati, o... yang ada di sebelah kanan bernama Maruto.
Maruto berkata dengan suaranya yang berat, sedikit serak:
"Ketahuilah, Ayam Kampung, perempuan itu adalah keturunan iblis pelalap dosa! Bapaknya setan! Keluarganya juga setan! Kalau kau melindungi dia, berarti kau termasuk keluarga setan! Tahu?!"
Klowor terus memancing pertanyaan sebelum ia menghadapi ketiga brewok itu. Hanya satu nama lagi yang ia butuhkan untuk mengetahui, yang mana yang bernama Somali.
"Kalian picik! Salah pengertian!" kata Klowor.
"Tidak semua anak akan menjadi pewaris sifat orang tuanya! Dan, tidak semua anak berhak menanggung dosa leluhurnya. Kalian ini kelihatannya orang-orang berilmu tinggi, tapi mengapa berpikiran dangkal?!"
"Maruto, serang dia!"
"Tunggu!" Klowor bersiap siaga dengan tangan bermaksud menahan gerakan mereka. Ia mencoba mengulur waktu:
"Jelaskan dulu, apa sebab kalian mendendam kepada ayah Kartika? Barangkali kalau menurut kalian benar, maka aku pun akan melepaskan perempuan ini untuk menebus dosa!"
Orang yang ada di samping kanan berseru kepada yang da di depan Klowor.
"Dubang, ceritakan kematian teman-teman kita karena pembantaian yang dilakukan oleh Iblis Telapak Darah!"
Dalam hati Klowor berkata, "O, yang ada di depanku itu bernama Dubang. Berarti yang punya nama Somali itu orang yang ada di sebelah kananku. Bagus!"
"Ayam Kampung, coba kau pikir, bagaimana kami tidak sakit hati dan menyimpan dendam kepada ayah perempuan itu, jika pada suatu hari "
"Cukup!" Klowor memutus pembicaraan Dubang, sebab ia sudah tahu, yang mana yang bernama Somali.
Klowor sempat berbisik kepada Kartika, "Usahakan jangan sampai mereka tahu kalau kau buta. Cabut pedangmu, dan cobalah menggunakan perasaan dalam bergerak. Awas, hati-hati... jangan sampai pedangmu membabat aku."
"Ya, aku mengerti " balas Kartika dalam berbisik.
Lalu, Klowor berkata kepada mereka, "Aku sudah berembuk dengan Kartika, bahwa kami siap menghadapi tuntutan dendam kalian. Tapi, jangan salahkan kami kalau kalian bertiga mati dengan cara kurang nyaman. Mengerti?!"
Dubang tertawa keras.
"Ayam Kampung mau unjuk kekuatan? Hah, bunuh sekalian dia!"
"Heaaaatt !"
Maruto menyerang dengan lompatan kaki terarah pada Klowor, Somali bersalto di udara menyerang Kartika. Pada saat itu, Klowor pun melompat dan menyongsong Somali, supaya ia gagal menyerang Kartika. Pukulan Somali diadu dengan kepalan tangan Klowor di udara, dan kaki Klowor sempat bertabrakan dengan kaki Somali. Keduanya sama-sama terpental ke belakang. Namun, Klowor lebih naas. Ia jatuh disambut dengan tendangan kaki Maruto, sehingga punggungnya terasa mau patah rasanya.
"Hiaaat...!" Dubang menyerang Kartika dengan senjata pedang gandanya, satu di tangan kiri, satu di tangan kanan. Klowor melihat hal itu menjadi cemas. Kartika menebaskan pedangnya ke segala arah, membabi buta. Salah satu gerakan pedangnya ada yang mengenai pedang Dubang, sehingga Kartika tahu sasaran. Maka kakinya segera menghentak ke depan, agak ke bawah.
"Aaauww...!" Dubang menjerit karena kemaluannya terkena tendangan Kartika. Somali segera mencabut kampaknya. Pada saat itu, Klowor dihantam oleh Maruto hingga dadanya terasa mau jebol. Klowor hanya berteriak:
"Kartika, awas samping kananmu...!"
Dengan menggunakan kedua tangan, Kartika memegangi pedangnya dengan meliuk-liukkan tubuh sambil menebaskan pedangnya ke arah kanan. Ia tak tahu kalau Somali melompat ke atas kepalanya dan kakinya menendang kepala Kartika hingga Kartika jatuh terguling-guling. Suara pekikan Kartika membuat Klowor semakin berang. Maruto yang hendak menerjang Kartika dengan senjata mirip tombak sepanjang lengan itu, segera diterjang oleh Klowor.
Tendangan ke arah punggung Maruto membuat orang itu terpental dan menabrak Somali, hingga keduanya berguling-guling. Sementara itu, Dubang sempat menendang wajah Kartika dengan keras, kemudian pedang kirinya menyabet ke bawah dan mengenai paha Kartika.
"Aaahhh...! Aku kena, Klowor...!"
"Bangsat brewok, kubunuh kau...!" teriak Klowor yang siap menusukkan pedang kanannya ke bawah, ke arah perut Kartika. Tetapi, gerakan itu belum sempat terjadi karena dengan cepat kaki Klowor menendang beruntun dalam satu lompatan salto, dan tepat mengenai pelipis Dubang. Orang itu terpental ke samping, kemudian sebelum pedangnya sempat berkelebat, Klowor telah lebih dulu menghentakkan pukulan ke arah leher Dubang. Akibatnya Dubang memekik tertahan dengan tubuh berguling menjauh.
Kartika bingung, karena pedangnya lepas dari tangan. Ia meraba-raba mencari pedangnya. Pada saat itu, Maruto segera berteriak:
"Hei, ternyata perempuan jalang itu buta...! Dia buta!"
"Ha, ha, ha...! Dia buta! Benar!" Somali kegirangan, juga yang lain. Tetapi, Klowor menjadi cemas, mereka sudah mengetahui kelemahan Kartika, dan itu adalah bahaya.
"Klowor... mana pedangku?" bisik Kartika sambil merangkak menggapai-gapai pedangnya yang ada di bagian kaki. Klowor segera mengambil pedang Kartika dan membantu Kartika berdiri.
"Uuh... pahaku terluka dalam, sakit sekali...!" Kartika jatuh lagi, terduduk. Saat itu, Dubang segera menyerang bersamaan dengan Somali. Satu menyerang Klowor, satu lagi menyerang Kartika. Somali yang menyerang Kartika dengan senjata kampaknya yang berbahaya.
"Kibaskan pedangmu ke kiri...!" teriak Klowor sambil ia menangkis dan menghindar serangan Dubang. Kakinya sempat masuk menjejak dada Dubang dengan buas, Dubang terlempar lagi, sekalipun betis Klowor sempat tergores pedang yang ada di tangan kiri Dubang. Traang...! Untung-untungan pedang Kartika mampu menangkis kampak Somali. Tetapi, ia tak tahu kalau tangan kiri Somali segera menghantam wajahnya hingga mata Kartika pun mengeluarkan darah. Kemudian, kampak Somali diangkat dan siap membelah kepala Kartika. Pada saat itu, Klowor melompat, menubruk
Somali hingga keduanya bergulingan.
"Aaahh...!" Klowor memekik, dadanya sempat tergores kampak Somali. Namun, ia tidak perdulikan, karena ia melihat Maruto melemparkan senjatanya yang mirip tombak runcing ke arah Kartika.
"Serangan dari depan, Tika...! Kibaskan pedang, aah...!" Klowor menjerit kesakitan sebab kaki Somali mengenai wajah dan mulutnya. Tapi, Kartika sempat mengibaskan pedang ke arah depan beberapa kali, sehingga senjata yang meluncur itu berhasil ditangkisnya. Hanya saja, ia tak tahu kalau kibasan pedang segera dilancarkan oleh Dubang dari samping kanannya. Klowor yang melihat sekelebat hal itu segera melemparkan batu ke arah Dubang.
"Aaaow...!" Dubang menjerit, karena mulutnya tepat dihantam oleh batu sebesar jempol kakinya. Akibatnya kibasan pedang ke pundak kanan Kartika tidak begitu telak mengenai sasaran. Namun, sempat merobek punggung Kartika yang kanan. Kartika menjerit dan mengejang ke depan.
"Taar...!"
Klowor mengambil cambuk dan mengibaskannya ke udara. Letupan cambuk itu sendiri telah membuat hati ketiga musuhnya menjadi tersentak seketika. Semua mata memandang Klowor, dan sikap mereka mulai hatihati.
"Itu Cambuk Naga...?!" teriak Dubang. Klowor memutar-mutar cambuk ke atas kepala sambil berjalan mendekati Kartika yang mengerang kesakitan. Somali dan Maruto mengambil jarak agar tak terjangkau oleh cambuk itu. Dubang segera menggerakkan kedua pedangnya bersimpang siur di depan wajahnya, membuat suatu gerakan jurus perisai pedang. Ia siap menangkis serangan cambuk bila sewaktu-waktu dilecutkan ke arahnya.
"Klowor... aku tidak kuat..." Kartika meratap pelan, lalu tangannya memegangi kaki Klowor sebagai tempat untuk bersandar. Ia memeluk kaki itu dengan lemas. Darah masih meleleh dari sudut mata kirinya. Luka di punggung dekat pangkal lengan itu pun cukup lebar dan sakit sekali. Klowor membiarkan Kartika memeluk kaki kanannya. Menurutnya itu lebih baik, supaya ia tidak terpancing oleh lawan untuk bergerak menjauhi Kartika.
"Kalau kalian masih berkeras kepala menuntut balas kepada Kartika, maka cambukku ini yang akan bicara tanpa ampun lagi. Ku usulkan, kita berdamai saja!" kata Klowor.
"Kami lupa bagaimana caranya berdamai...!" kata Dubang.
"Baik. Kalau begitu aku juga lupa bagaimana cara membiarkan kalian hidup."
Mendadak, Maruto berteriak, "Tiga pusaran angin...!" Klowor tidak tahu apa artinya, namun ia segera melihat ketiga manusia brewok itu bergerak berjajar di depan Klowor. Masing-masing siap dengan senjatanya, posisi mereka berdiri menyamping dengan kaki kanan maju ke depan. Gerakan tangan kanan mereka sama; ke atas kepala mengacungkan senjata. Kemudian Somali
yang ada di tengah segera berteriak: "Seraaang...!"
Mereka melompat bersamaan. Bersalto dalam satu gerakan ke arah Klowor. Tetapi, beberapa saat sebelum mereka mencapai Klowor, posisi mereka telah terpecah menjadi tiga arah. Dubang membelok ke arah kanan, Maruto ke arah kiri, sedangkan Somali lurus ke atas kepala Klowor. Jurus ini memang sempat membingungkan Klowor. Namun, dengan gerakan cepat, Klowor mengibaskan cambuknya ke udara, berputar satu kali dengan menimbulkan letupan dan nyala api pada bagian ujung cambuk. Letupan itu seakan mengeluarkan tenaga dalam yang cukup kuat sehingga membuat tiga lawannya terpental ke arah masing-masing.
Somali jatuh di belakang Klowor, membentur pohon. Sementara Dubang dan Maruto terguling-guling di semak berduri. Kesempatan itu digunakan oleh Klowor untuk menghantam Somali dari tempatnya berdiri. Ia menghantam dengan lecutan Cambuk Naga yang tepat dalam satu jangkauan.
"Taar...!" Ujung cambuk yang mengeluarkan nyala api itu mengenai paha Somali, dan saat itu pula Somali memekik sekeras-kerasnya.
"Aaaaoohhh...!"
Paha itu terpotong dari pangkalnya dengan darah memancar dari luka potongan. Somali menjerit-jerit kesakitan, karena ia telah kehilangan satu kaki.
Klowor memperhatikan Dubang dan Maruto, ternyata mereka sangat ketakutan dan menjadi gugup. Klowor tahu, mereka berdua mulai panik.
"Somaliii...! Somali kau terluka...?!" teriak Maruto.
"Dia terpotong kakinya!" balas Dubang yang kebingungan dan kelihatan sadis sekali.
Benar juga kata Kartika, apabila Somali dilumpuhkan kekuatannya, maka Maruto dan Dubang pun akan turun mentalnya, dan menjadi ciut nyalinya.
"Hantam terus Somali..." bisik Kartika dalam erangan kesakitannya.
Klowor segera mengibaskan cambuknya sekali lagi dengan gerakan memutar-mutar cambuk lebih dulu di atas kepala, baru kemudian dilecutkan.
"Taaar...! Deeer...!"
"Somaliiiiii...!" teriak Dubang dan Maruto bersamaan. Mereka segera menghambur ke tempat Somali dan kebingungan di sana, sebab tubuh Somali telah hancur menjadi serpihan-serpihan daging berlumur darah. Tubuh Somali bagai meledak, lalu hancur akibat terkena jurus Naga Penjilat Nyawa.
Dubang dan Maruto menangis meraung-raung dengan kebingungan ingin memunguti daging-daging serpihan tubuh Somali. Klowor memejamkan mata. Sebenarnya ia tak tega melakukan hal itu. Tetapi, gerakan tangannya seakan tidak pernah ia sadari. Seakan bergerak sendiri dan menggunakan jurus maut yang ia sendiri belum mengetahuinya. Bahkan, kali ini ia sendiri bingung, mengapa tangannya yang menggenggam Cambuk Naga yang hitam berserat putih itu kembali memutarmutar di atas kepala.
Hal itu membuat Dubang menjadi sangat ketakutan, demikian juga Maruto. Ia segera membuang senjatanya, dan Dubang sendiri melemparkan kedua pedangnya sambil bersujud mencium tanah, sementara mereka berseru sambil meraungkan tangis atas kematian Somali.
"Ampunilah kami...! Ampunilah kami...! Jangan bunuh kami seperti saudara tertua kami itu...! Oh, ampunilah kami. Jangan bunuh kami...!"
Suara mereka bersahut-sahutan dalam erangan tangis seperti seorang anak kecil. Dan, Klowor segera menghentikan gerakan cambuknya. Itupun ia sendiri tidak tahu, mengapa tiba-tiba tangannya ingin berhenti dan menggulung tali cambuk yang terbuat dari serat sutra putih.
"Nyawa kalian ada di mulut Kartika," kata Klowor.
"Kalau Kartika memerintahkan kalian harus dibunuh, maka cambuk ini pun akan segera melesat dan membuat kalian seperti Somali."
"Aduuuh... ampunilah kami, Kartika...! Ampunilah...!" rengek Maruto tanpa tahu malu lagi. Ia benarbenar seperti anak kecil.
"Kami memang salah! Kami memang picik dan bodoh. Ampunilah kami, Kartika...! Oh, kasihanilah kami berdua ini...!"
Klowor bicara dengan tegas, sementara Kartika masih memeluk kaki Klowor dengan lemas.
"Bagaimana, Kartika? Apakah mereka harus dibunuh sekalian...?!"
Kartika diam. Maruto dan Dubang semakin ampun-ampun. Mereka juga menunggu keputusan Kartika dengan tegang. Dan, setelah beberapa saat kemudian, Kartika pun berkata:
"Bebaskan mereka...!"
"Baik. Kalian bebas! Dan, pergilah yang jauh sana!" seru Klowor. Kemudian Maruto dan Dubang semakin tak kenal malu, mereka menangis sambil berpelukan. Klowor ingin tertawa dalam hati, namun ia merasakan sakit pada dadanya yang terkena goresan kampak Somali.
"Terima kasih...! Terima kasih, Kartika...!" Dubang membungkuk-bungkuk dengan hormat di dekat Kartika. Demikian juga Maruto, yang mengangguk-angguk sambil mengucapkan kata terima kasih berulang-ulang. Kemudian, Klowor segera mengusir mereka untuk cepat-cepat pergi. Dan, mereka pun pergi dengan berlari terbirit-birit.
"Klowor... aku lemas...!"
"Kartika, bertahanlah...!" Kemudian Klowor mengangkat tubuh Kartika yang mulai membiru. Mungkin ada racun dari senjata lawan yang membaur di dalam darah Kartika, sehingga tubuh itu menjadi pucat, bahkan membiru dan dingin. Klowor sangat cemas. Lukanya sendiri tidak dihiraukan. Ia segera membawa pergi Kartika dengan tujuan yang satu. Langkah Klowor sendiri menjadi gontai. Ia terseok-seok, terhuyunghuyung, karena lukanya sendiri terasa perih.
Ketika tiba di pematang sawah, Klowor tak tahan. Ia jatuh terkulai bersama Kartika yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Seorang petani menjerit melihat Klowor dan Kartika dalam keadaan bermandi darah. Kemudian dua orang petani lainnya datang dan segera memberi pertolongan. Mereka membawa Kartika dan Klowor ke perkampungan mereka. Lalu, kampung itu pun menjadi heboh, keadaan Klowor dan Kartika menjadi bahan pembicaraan mulut-mulut kampung yang tidak tahu masalahnya. Mereka hanya menduga-duga dan saling mengarang cerita sendiri-sendiri.
Entah berapa lama Klowor pingsan, ketika ia siuman, ia sudah berada di sebuah rumah berdinding papan. Seorang lelaki beruban yang mengaku bernama Pak Kiswo, berdiri di samping tempat tidur bambu, tempat Klowor dibaringkan. Sedangkan istri Pak Kiswo itu sebentar-sebentar membasuh darah yang masih mengucur dari luka-luka Raden Klowor. Ada semacam ramuan lembut yang dilumurkan pada luka-luka Klowor, namun hal itu tidak membuat darah menjadi berhenti. Klowor mengerang karena merasakan sekujur badannya menjadi panas sekali.
"Bertahanlah, Anak muda," kata Pak Kiswo.
"Sebentar lagi rasa sakit dan panas akan hilang. Paling tidak akan berkurang. Bertahanlah "
"Ooh... terima kasih atas pertolongan bapak. Tapi... tapi di manakah saya saat ini, Pak?"
"Di rumah saya. Nama saya Kiswo, dan ini istri saya. Saya yang menemukan kamu bersama teman perempuanmu di pematang sawah dalam keadaan berlumur darah."
"Ooh... uuuh...!" Klowor mengerang.
"Lalu... lalu di mana teman perempuanku itu ? Di mana, Pak?"
"Tadi pagi seseorang mengambilnya."
"Hah ?!" Klowor mendelik. Tegang.
"Dia mengaku saudara dari teman perempuanmu itu."
"Siapa namanya?!"
"Entah. Tetapi, dia tampaknya seorang yang sakti. Ia mengenakan jubah merah, berkepala gundul dengan ikat kepala biru tua. Ia membawa tasbih, kalung besar dan...!"
"Celaka! Itu musuh kami. Itu Ketua Perguruan Kumbang Laga. Ooh... Kartika, kau pasti diserahkan kepada Prabu Umbarpati...! Celaka! Celaka sekali...!"
* * * * *
--≡¦ { 6 } ¦≡--
Sesuai dengan petunjuk beberapa orang yang melihat kepergian mereka, Klowor berlari terus tiada henti, mengejar waktu yang cukup mendebarkan itu. Beruntung sekali utusan Prabu Umbarpati tidak mengambil pusaka Cambuk Naga dan pedang milik Kartika, sehingga Klowor masih merasa mempunyai kekuatan untuk mengalahkan orang tua berkepala botak itu.
"Kacau! Ke mana mereka perginya ya? Tak ada jejak yang bisa dipakai tanda," gumam Klowor ketika sampai di tengah hutan yang tandus. Banyak pepohonan yang kering, tumbang atau pun mati sama sekali. Pandangan Klowor memang sedikit bebas, tetapi ia sangat menyesal karena ia tidak tahu ke mana arah kepergian utusan Prabu Umbarpati itu.
Ada sebuah bukit. Bukit cadas tanpa tanaman. Klowor segera naik mendaki. Barangkali di atas bukit itu Klowor bisa melihat kelebat seseorang berbaju merah yang membawa Kartika. Tetapi harapannya itu sia-sia. Ia menjadi kebingungan di puncak bukit cadas itu. Ke mana arah yang harus dituju? Ke Selatan? Utara? Barat? Atau Timur?
O, ya. Timur. Sebab, Klowor ingat kata-kata Kartika, bahwa Prabu Umbarpati itu adalah raja di daerah Wetan. Sedangkan Wetan, berarti Timur.
Luka di dada masih ternganga. Sedikit perih, tapi sudah tidak sepanas tadi. Klowor pun tidak memperdulikan lagi. Yang ia perhatikan kini suara derap kaki kuda yang datang dari arah Timur. Derap kaki kuda itu semakin menjauh. Itu tandanya mereka sedang menuju arah Timur juga. Entah derap kaki kuda milik orangorang yang dikatakan Kartika sebagai kaum pemakan daging manusia, atau derap kaki kuda dari kelompok lain, yang jelas Klowor harus menyelidikinya.
Dengan menggunakan Lindung Bumi, Klowor amblas ke dalam tanah dan melakukan pengejaran ke arah derap kaki kuda itu. Satu kelebihan jurus Lindung Bumi, adalah dapat bergerak lebih cepat ketimbang harus berlari di atas permukaan tanah. Karena itu, Klowor dalam waktu singkat bisa mencapai di belakang derap kaki kuda yang bergemuruh seperti datangnya rombongan badai itu.
Derap kaki kuda itu berhenti. Di dalam tanah Klowor pun berhenti, menyimak suara yang ada. Oh, telah terjadi pertempuran di atas permukaan tanah itu. Suara pekik dan teriakan yang ganas terdengar susul menyusul. Klowor mulai menjauh dari bawah tanah tempat berhentinya kaki-kaki kuda itu. Di tempat yang diperkirakan sepi itu, Klowor melesat dari dalam tanah bersama hamburan pasir tanah yang jebol diterjang lompatan tubuhnya. O, rupanya ia berada di kaki sebuah bukit, tepi hutan. Ada suara debur ombak di kejauhan. Berarti tempat itu tidak seberapa jauh dari pantai laut.
Tetapi, yang paling menarik bagi Klowor adalah sejumlah pasukan berkuda yang membuat suatu lingkaran. Ada orang yang dikepung oleh mereka. Orang itu mengenakan pakaian komprang model jubah berwarna merah, kepalanya botak diikat kain biru tua. Tak salah lagi, dialah Ketua Perguruan Kumbang Laga. Perempuan yang tergeletak di kakinya itu berpakaian kuning gading. Dan, itulah Kartika. Rupanya utusan Prabu Umbarpati sedang berebut Kartika dengan orang-orang berkuda. Utusan itu memperhatikan Kartika, sekalipun ia diserang oleh tiga orang bertampang menyeramkan dan ganas-ganas.
Apakah Klowor harus segera turut campur merebut Kartika? O, tidak. Klowor akan menunggu, sampai ketahuan siapa yang unggul dalam pertarungan tersebut.
Lama kelamaan, timbul rasa was-was di hati Raden Klowor. Ada beberapa orang dari rombongan berkuda yang secara diam-diam berusaha menggaet kaki Kartika yang agaknya tak sadarkan diri itu. Apabila utusan Prabu Umbarpati melihatnya, segera kaki dan tangannya bekerja untuk menghantam orang yang berusaha menggaet tubuh Kartika. Tetapi, pada saat itu juga, datang serangan dari orang yang berada dalam arena, dan membuat manusia botak berjubah merah itu terjungkal tak sempat menangkis dan menghindar.
"Kalau begini caranya, bisa-bisa Kartika diserobot oleh mereka dan dijadikan santapan yang lezat saat itu juga. Wah, bahaya kalau begini caranya! Aku harus bisa segera menyerobot Kartika lebih dulu." Klowor menggumam, berpikir dan mencari-cari tempat yang strategis.
Tak jauh dari tempatnya mengintai, Klowor melihat ada sebuah pohon besar yang berongga. Mirip goa. Akarnya yang berbentuk pipih menyerupai dinding penyekat kamar. Rasa-rasanya tempat itu cukup lumayan untuk menyembunyikan Kartika. Tapi, bagaimana cara menyerobot Kartika supaya bisa berhasil dengan mudah?
"Cambuk Naga harus bicara lagi! Kubuat habis penunggang kuda yang mengurung Kartika dan utusan Prabu Umbarpati itu. Ah, tetapi... jangan-jangan kekuatanku yang bisa membuat pasukan berkuda berantakan itu malah dimanfaatkan oleh lelaki botak untuk membawa kabur Kartika. Bisa-bisa aku berurusan dengan mereka, sementara lelaki botak itu dengan bebas membawa kabur Kartika. Wah, jangan! Jangan menggunakan cara itu..." celoteh Klowor sendirian.
Tak jauh dari arena itu, ada gundukan tanah yang tinggi. Klowor harus bisa berdiri di sana. Tapi, untuk mencari tanah gundukan itu, ia harus melalui tempat lapang yang besar kemungkinan bisa diketahui para pasukan berkuda. Satu-satunya jalan, ia harus menggunakan jalan bawah tanah. Sekali lagi ia menggunakan jurus Lindung Bumi untuk mencapai gundukan tanah itu.
"Blees...!" Klowor berjalan di dalam tanah, seperti berjalan di alam bebas, hanya saja cahayanya menjadi merah namun tidak mengganggu mata. Dan, kini ia berhasil muncul di balik gundukan tanah itu. Pelan-pelan ia merayap dan mencapai bagian atas gundukan tanah tersebut.
Raden Klowor berdiri tegap di atas gundukan tanah itu. Ia akan menggunakan jurus Tapak Sembrani, yang pernah digunakan dalam merebut sebuah selendang (dalam kisah: PRAHARA RADEN KLOWOR). Kali ini, ia berusaha menyedot tubuh Kartika dari jarak jauh. Ia cepat-cepat memperagakan jurus tersebut sebelum pasukan berkuda itu mengetahui gelagatnya. Klowor mengejangkan kedua tangannya. Nafasnya ditahan beberapa saat. Kedua tangan itu segera bergerak kaku, telapak tangan saling merapat di depan dada. Keras sekali, sampai tubuhnya pun ikut bergetar. Lalu, kedua tangan itu dihentakkan ke depan dalam keadaan lurus, dan kedua telapak tangan dalam posisi tengkurap.
Mata Klowor tertuju pada Kartika yang tergeletak di tanah. Kedua tangannya bergetar dengan nafas tertahan sejak tadi. Dan tiba-tiba tubuh Kartika bergerak-gerak. Mereka yang melihat menyangka Kartika sadar dari pingsannya. Namun, mata mereka menjadi terbelalak kaget, ketika tubuh Kartika melayang di udara dalam keadaan berbaring seperti semula.
"Huuuuuuoow...!" Hampir semua mulut berseru kagum melihat tubuh Kartika melesat terbang dan tahutahu sudah berada di atas gundukan tanah. Klowor berdiri sambil memapah tubuh Kartika yang membiru kaku.
"Perempuan itu dicurinya...!" teriak mereka.
"Kejaaar...!"
Raden Klowor segera melarikan diri sambil menggendong Kartika. Sementara itu, lelaki botak berjubah merah jadi terbengong melihat Kartika sudah tidak ada di tempat semula. Ia tidak melihat keajaiban yang dilakukan oleh Raden Klowor, karena ia sibuk bertarung menghadapi tiga lawan yang mewakili pasukan berkuda.
Kini, utusan Prabu Umbarpati itu pun ikut mengejar Raden Klowor dan berusaha mendului para penunggang kuda. Namun, sebelum mereka semua sempat mencapai Klowor, murid Jaka Bego itu sudah lebih dulu menyembunyikan tubuh Kartika di dalam pohon berongga besar. Ia berdiri di depan rongga pohon itu untuk memberi perlindungan, dan menghalau siapa saja yang hendak mengambil tubuh Kartika.
"Serahkan perempuan itu!" teriak utusan Prabu Umbarpati.
"Perempuan itu harus menanggung dosa ayahnya!"
"Hei, tua bangka yang bodoh, dosa ayahnya bukan merupakan dosa pribadinya! Kau jangan mau dibodohi oleh dendam tuamu!" Klowor dengan berani, sementara pasukan berkuda telah mulai mengepungnya.
"Serahkan dia, atau kucincang bacotmu, hah?!"
"Sebelum kau cincang bacotku, mungkin gundulmu sudah retak lebih dulu!"
"Biadab, hiaaatt...!" Sebuah tendangan berputar dilancarkan oleh lelaki botak berjubah merah. Klowor tak sempat menangkis tendangan yang kedua, sehingga wajahnya telak dihentak kaki lawannya hingga darah mengucur dari hidung. Klowor menggeram kesakitan, dan menggerutu dalam hati:
"Gawat, belum-belum hidungku sudah bocor...!"
Klowor buru-buru menjaga keseimbangan dalam berdiri. Ia terpaksa merendahkan badan karena kalung bermanik-manik besar itu menyambar kepalanya. Dengan tubuh merendah begitu, Klowor segera berputar dan melancarkan serangan dengan jurus Turangga Sujud. Kedua tangan menapak di tanah, dan kedua kaki menghentak ke belakang, tepat mengenai dada lawannya yang botak. Orang itu terjengkang ke belakang. Kemudian, salah seorang dari penunggang kuda hendak melemparkan tombak kepada Klowor, tetapi dicegah oleh pimpinan mereka.
"Tunggu, lihat dulu siapa yang menang, baru kita bantai beramai-ramai!"
Kalau saja Klowor mau berpindah tempat, ia akan mendapat ruang gerak yang lebih leluasa. Tapi, kalau ia berpindah tempat, maka Kartika akan diserobot oleh para penunggang kuda. Jadi, sekalipun tempatnya sempit, terbatas oleh semak berduri di kanan kiri, tapi Klowor harus bertahan di depan rongga pohon itu. Ia harus menjadi benteng bagi siapa saja yang hendak merebut Kartika.
"Hiaaatt...!" Lawan menyerang dengan kibasan kalung yang memercikkan bunga api berwarna biru kemerahan-merahan. Klowor berguling ke samping, percikan api mengenai batang pohon bagian atas rongga, dan batang pohon itu menjadi hangus seketika, membentuk sebuah garis hitam.
Merasa dirinya dalam bahaya, Klowor tidak mau main coba-coba. Ia bisa kehabisan tenaga, salah-salah ia bisa lengah, dan mengancam keselamatan jiwanya, juga mengancam keselamatan Kartika. Maka, segera ia menggunakan cambuk pusakanya.
Pada waktu itu, tepat lawan yang botak kepalanya itu, menyerang Klowor dengan memutar-mutarkan kalungnya yang bermanik-manik batu besar. Klowor tahu, kalau kalung itu disabetkan, pasti akan mengakibatkan bahaya besar baginya. Maka, sebelum hal itu terjadi, Klowor segera melecutkan cambuknya ke udara.
"Taaar...!"
Tali cambuk membelit di kalung itu. Lawan terperangah sesaat. Kemudian, Klowor menghentakkan cambuk dengan kekuatan keras, dan kalung itu pun hancur berkeping-keping bagai sebuah batu yang rompal akibat benturan keras.
"Biadab haram...! Kau benar-benar mencari mampus! Hiaaat...!" Lawan yang botak itu menerjang Klowor dengan tendangan melayang. Ketika itu, Klowor mengelakkan ke kanan, dan kaki lawan menjejak pohon, lalu membalik dengan bersalto dan mengenai punggung Kartika.
"Huugh...!" Klowor berguling-guling akibat tendangan itu. Posisinya membuka rongga penyimpanan tubuh Kartika. Maka, lawan botak itu segera menghampiri tubuh perempuan cantik itu dan hendak membawanya lari.
"Lancang kau...!" teriak Klowor sambil mengibaskan cambuknya dalam posisi setengah terlentang di tanah.
"Taaar...!" Jurus Cambuk Kelabang Murka dilancarkan tanpa ampun lagi. Lecutan itu mengenai punggung lawan berjubah merah. Punggung itu bolong seketika. Orang tersebut memekik kesakitan sambil oleng menjauhi rongga pohon. Klowor buru-buru berdiri dan menghantamkan cambuknya sekali lagi ke arah kepala orang itu.
"Taaar...! Deeer...!"
"Huuuuuuh...?!" Semua orang berteriak kagum dan ngeri melihat tubuh lelaki botak itu meledak dan hancur berkeping-keping. Serpihan-serpihan daging tubuhnya berhamburan ke mana-mana membuat yang memandang menjadi memejamkan mata. Tak ada lagi ujud lelaki botak berjubah merah, yang ada hanya cuilancuilan daging yang menjijikkan.
Klowor sendiri sempat bergidik, karena beberapa orang dari penunggang kuda itu ada yang turun dan memunguti cuilan daging tersebut, lalu dimakannya, dikunyahnya dengan girang hati. Pimpinan mereka yang berkumis tebal dan bermata merah itu menghampiri pemakan daging itu, lalu menamparnya kuat-kuat.
"Goblok...! Kan ada daging yang lebih lezat dari itu?! Serang dia! Cincang keduanya dan habisi sekarang juga!"
"Seraaaang...!"
Mereka turun dari kuda dan mengacungkan senjata. Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali menghancurkan mereka secepatnya. Karena itu, Klowor pun segera memutar-mutar cambuknya di atas kepala. Kemudian bunyi letupan dan nyala api terjadi beberapa kali.
"Tar... taarr... tarr...!"
"Aaaahhh...! Aaauuh...!"
Mereka mencengkeram kejang dan menjerit-jerit karena tubuh mereka mulai dibakar api. Seperti ada kilatan cahaya petir yang menyambar-nyambar mengenai tubuh mereka. Bahkan beberapa pohon pun ikut terbakar. Kuda-kuda meringkik dan berlarian dengan binal. Kuda-kuda yang mengamuk itu pun sempat menginjakinjak beberapa orang penunggang kudanya sendiri.
"Lariii...! Lekas lariii...!" teriak pimpinan mereka yang bermata merah. Sempat sang pimpinan memandang Klowor beberapa saat, kemudian dari sorot matanya itu keluar sinar berwarna merah tua tertuju pada Raden Klowor.
"Hiaaaat...!" Klowor melompat ke samping, sambil mengibaskan cambuknya ke arah kepala pimpinan mereka. Ujung cambuk yang menimbulkan suara ledakan itu tepat mengenai pelipis orang tersebut, dan pecahlah kepala itu menjadi berkeping-keping.
Taaar...! Taaar...!
Cambuk Naga beraksi terus. Beberapa orang penunggang kuda itu lari tunggang langgang dengan tubuh terbakar api yang susah dipadamkan. Bau sangit mengabar. Jerit dan pekik saling bersahut-sahutan bagai irama neraka. Sementara itu beberapa pohon telah terbakar dan menjadi berkobar.
Angin berhembus cukup kencang. Angin itu juga akibat dari putaran cambuk yang bagai kipas angin di atas kepala Klowor. Tak satu pun dari mereka ada yang lolos dari api. Semuanya terbakar dengan keadaan mengerikan. Ada yang sambil berlari-lari mencari tempat air, ada yang berguling-guling sambil berteriak. Ada pula yang hanya diam saja, tahu-tahu rubuh dan menjadi hangus. Kuda-kuda yang terbakar pun meringkik mengerikan sambil menggelepar-gelepar di rerumputan. Namun, ada pula kuda yang lolos dari senjata api cambuk dan berlari ketakutan sambil menabrak beberapa orang dari mereka.
Hutan jadi terbakar. Apinya berkobar-kobar. Klowor jadi kebingungan sendiri. Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali membawa lari Kartika, menjauhi hutan yang sudah terlanjur terbakar itu. Dengan menggendong Kartika di pundaknya, Klowor terus berlari meninggalkan jerit kematian dan kobaran api yang kian mengganas itu.
Entah ke mana Klowor harus lari, tetapi begitu ia sadari, ia sudah berada di sebuah pantai. Nafasnya terengah-engah, matanya memandang kanan kiri dengan panik. Oh, ternyata ia sampai di tebing karang, tempat pertama kali ia bertemu dengan Kartika.
"Kartika...! Kartika...?!"
Perempuan cantik yang membiru itu tidak bersuara lagi. Keadaannya benar-benar parah. Klowor menjadi gusar, dan kepanikannya meningkat. Haruskah Kartika mati di tempat pertama kali mereka berjumpa? O, tidak! Kartika yang sudah terlanjur buta itu harus sembuh. Ia sudah berjanji, bahwa ia akan mencarikan jalan untuk kesembuhannya.
Tapi, dalam keadaan begini, apakah mungkin Klowor mampu melarikan Kartika ke Puri Bukit Bulan, tempat Lanangseta dan Kirana hidup bersuami istri itu? Apakah ada cukup waktu untuk membawa Kartika ke sana?
Klowor menempelkan telinganya ke dada Kartika. Ya, ampun! Detak jantungnya sangat lemah. Sebentar lagi pasti Kartika akan mati. Ia harus segera ditolong. Harus, ya, tapi bagaimana caranya?! Bagaimana?! Klowor benar-benar gusar dalam kebingungannya.
Ada sebuah ingatan yang mengharukan hati Klowor, yaitu pada saat Kartika dalam keadaan pingsan dan terluka bagian dalamnya akibat pertarungannya dengan Ki Punggo. Ia pada waktu itu berhasil menyelamatkan jiwa Kartika. Lalu, Klowor ditampar, lalu Kartika menyesal, lalu Kartika meminta maaf, kemudian mereka masuk ke dalam goa. Aaah... kenangan itu sungguh menggoda hati Klowor.
"Hei, mengapa aku tidak melakukan penyembuhan seperti yang kulakukan di goa itu?" pikir Klowor. Ia ingat, saat ia menghembuskan nafas bantuan ke dalam mulut Kartika, ternyata membuat Kartika sehat kembali. Waktu itu, Klowor sebenarnya cukup bangga pada dirinya sendiri. Tetapi, bagaimana dengan tamparan Kartika dan tuduhan Kartika tentang kekurangajaran Klowor?
"Ah, masa bodo! Dia mau menuduhku lagi, mau menamparku lagi, mau berterima-kasih padaku... itu urusan nanti. Yang penting sekarang aku harus memberikan nafas bantuan ke dalam mulutnya. Guru pernah berpesan begitu!"
Maka, dengan tanpa ragu-ragu lagi, Raden Klowor mengecup bibir Kartika yang membiru itu. Ia meniup mulut itu beberapa, kali. Bahkan tangannya sempat membuka mulut Kartika untuk melakukan pemberian nafas bantuan dengan lebih leluasa lagi.
Kepala Klowor jadi pusing sendiri. Ia banyak menghembuskan nafas lewat mulut ke mulut Kartika, namun Kartika belum sadar dari pingsannya. Ia hampir putus asa. Sekali lagi ia mencoba meniup mulut Kartika bagai sedang meniup api di dalam tungku memakai corong bambu.
Lama-lama, ia melihat tanda-tanda kehidupan. Dada Kartika mulai berdegub jelas. Lalu, ada nafas pelan yang terhembus dari hidung Kartika.
"Tika...?! Tika...?! Sadarlah, Kartika...?!" Klowor bersemangat dan mulai berdebar-debar. Ia tersenyumsenyum dalam keharuan. Ia mengusap-usap wajah itu dengan penuh rasa sayang.
Sesaat kemudian terdengar suara erangan yang lirih. Kartika merintih. Sekali pun masih merintih, namun Klowor sudah cukup lega, sebab dengan demikian maka Kartika ada harapan untuk bisa hidup kembali.
"Tika...? Kartika...? Kau dengar suaraku...?!"
"Ooh... di mana aku...?!"
"Kita... kita berada di pantai, Kartika. Kita telah berhasil lolos dari buruan orang-orang pemakan daging manusia, dan... dan Ketua Perguruan Kumbang Laga itu telah berhasil ku binasakan, Kartika. Kita aman di sini... Di pantai tempat kita pertama kali berjumpa, Tika...!"
Kartika mengerjap-ngerjapkan mata. Ia masih mengeluh dan mengerang dengan lemas.
"Klowor... aku sakit...!"
"Kau akan sembuh, Tika. Akan sembuh...!" Klowor girang sekali.
"Aku telah memberikan pernafasan bantuan lewat mulutmu, seperti dulu, sewaktu di dalam goa itu "
"Ooh... kau..." Suara Kartika lemah. Kini Klowor mengangkat kepala Kartika dan meletakkan dalam pangkuannya. Ombak masih menderu dan memercikkan buih-buihnya ke pantai.
"Bagaimana kalau kulakukan lagi, Tika?"
"Apa ?" tanya Kartika dengan lirih dan parau.
"Bagaimana kalau kutiup lagi mulutmu ?!"
"Ah..." Kartika sempat mencubit hidung Klowor dengan tawa yang tersimpan, karena kesehatannya belum pulih sama sekali.
Tetapi, pada saat ia berhasil mencubit hidung Klowor, matanya menjadi membelalak dan berkedip-kedip.
"Klowor...?! Ooh... aku bisa melihat lagi ?!"
"Apa ?! Kau bisa melihat lagi?!"
"Ya. Aku... aku... oh, aku bisa melihat lagi, Klowor !" Kartika memeluk Raden Klowor dengan tangis kebahagiaannya. Rupanya tiupan nafas yang dilakukan Klowor itu telah membuat segala penyakit sirna, baik penyakit di luar tubuh maupun di dalam tubuh. Dan, yang sangat di luar dugaan adalah, kebutaan mata itu sendiri jadi ikut terobati secara tidak sengaja. Rupanya itulah salah satu kehebatan Klowor yang tidak pernah disadari selama ini, bahwa nafasnya mampu menyembuhkan segala macam penyakit.
Luka lain pada diri Kartika pun berangsur-angsur hilang. Lalu, Kartika pun tampil kembali sebagai sosok perempuan cantik yang mempunyai ilmu tidak mudah disepelekan. Kini, ia selalu bersamaan dengan Raden Klowor, terutama dalam misinya mencari Pulau Kramat yang hilang.
"SALSE GAN"
INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA | |
<< Prahara Raden Klowor --oo0oo-- Pendekar Cambuk Naga |