Life is journey not a destinantion ...

Pernikahan Dengan Mayat

INDEX WIRO SABLENG
137.Aksara Batu Bernyawa --oo0oo-- 139. Api Cinta Sang Pendekar

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

1

DALAM episode sebelumnya, “Bendera Darah” dan “Aksara Batu Bernyawa”, diceritakan bagaimana Sinto Gendeng muncul di malam buta ketika Wiro Sableng secara tidak terduga dibokong oleh salah seorang anggota komplotan manusia pocong. Sebuah bendera darah menancap di dada Wiro. Di tempat itu hadir Wulan Srindi murid Perguruan Silat Lawu Putih yang mengaku sebagai murid Dewa Tuak dan tengah mencari Pendekar 212 sehubungan dengan ikatan jodoh di antara mereka. Selain Wulan Srindi, di situ juga ada Jatilandak dan Loh Gatra yang istrinya diculik komplotan manusia pocong. Sementara itu, tanpa diketahui orang-orang tersebut, Bidadari Angin Timur dan Setan Ngompol bersembunyi dalam gelapnya malam, di balik kerimbunan semak belukar lebat. Diam-diam kedua orang ini mengikuti semua apa yang terjadi di tempat itu.
Walau Sinto Gendeng tertawa cekikikan sehabis mengerjai muridnya dengan berpura-pura hendak mencekoki Wiro dengan air kencing yang diperas dari ujung kain, tak seorangpun mau ikutan tertawa. Jangankan tertawa, senyum saja tak ada yang berani. Mereka semua tahu kalau si nenek punya adat dan sifat aneh. Sekali marah Sinto Gendeng bisa melabrak semua orang yang ada di tempat itu. Apa lagi tadi dia sudah marah-marah dan menganggap ada tiga orang gila di tempat itu.
Orang gila pertama menurut Sinto Gendeng adalah muridnya sendiri, karena dilihatnya berdandan aneh memakai bendera merah basah di dada. Sinto Gendeng kemudian pergunakan kesaktian Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghancurkan Bendera Darah sampai ke gagangnya.
Orang gila kedua di mata si nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu adalah Jatilandak, pemuda dari negeri 1200 tahun silam yang berkulit kuning mulai dari kepala– nya yang botak sampai ke ujung kaki. Lalu orang gila ketiga yang dituding si nenek bukan lain Wulan Srindi, gadis cantik berkulit hitam manis yang berlutut di hadapannya dan mengaku sebagai calon menantu.
Setelah puas tertawa, Sinto Gendeng memandang ke arah Pendekar 212, pelototkan mata lalu membentak.
“Anak Setan! Dua tugas yang aku berikan padamu, apakah sudah kau kerjakan?!”
Wiro yang sedang usap-usap bekas luka di dadanya yang barusan disembuhkan sang guru terlonjak kaget dibentak begitu rupa. Sambil garuk kepala dia balik bertanya.
“Anu Nek, dua tugas yang mana maksudmu?”
Sejak beberapa waktu belakangan ini memang banyak hal yang ditangani Pendekar 212. Lalu yang paling membuat kacau balau pikiran pemuda ini ialah melihat hubungan tak terduga antara Jatilandak dengan Bidadari Angin Timur. Wiro memergoki sendiri mereka berdua-duaan di satu tempat sunyi. Lalu sekali lagi Wiro melihat kedua orang itu. Bidadari Angin Timur seperti habis menangis dan Jatilandak mendukungnya. (Baca Episode sebelumnya berjudul “Bendera Darah)
“Setan geblek! Aku bertanya malah kau balik bertanya. Apa otakmu sudah jadi batu? Atau mungkin kerjamu selama ini hanya mencari gadis-gadis cantik sampai lupa tugas!” Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik seperti mau melompat dari rongganya yang cekung.
“Eh, mungkin juga betul kata gadis sinting bernama Wulan Srindi itu. Kau kini punya ilmu yang bisa membuat seorang gadis jadi bunting dari jarak jauh!” Kalau sebelumnya ketika meng– ucapkan kata-kata itu si nenek tertawa cekikikan, kini tidak. Tampangnya yang hitam hanya tinggal kulit pembalut tengkorak kelihatan angker sekali.
“Tidak Nek, aku… aku tidak punya ilmu begituan,” jawab Wiro sambil garuk kepala.
“Mengenai dua tugas itu aku mohon maaf. Aku…”
Belum habis Wiro berucap Sinto Gendeng sudah mendamprat.
“Benar-benar anak setan! Jadi jangankan mencari, menjajaki di mana beradanya Pedang Naga Suci 212 dan Kitab Seribu Pengobatan yang raib itu sama sekali belum kau lakukan…”
Wiro garuk-garuk kepala. Coba tersenyum dan berkata.
“Begini Nek. Anu, aku…”
“Tutup mulutmu sebelum aku robek dengan tongkat ini!” Jengkel si nenek rupanya sudah naik ke ubun-ubun. Tangan kirinya bergerak.
Wutt!
Tongkat kayu butut di tangan kiri si nenek melesat di depan muka Wiro. Kalau tidak cepat sang murid menarik kepalanya ke belakang bukan mustahil mulut Wiro benar­benar dirobek ujung tongkat.
Wiro usap-usap mulut. Muka pucat. Tak berani cengengesan lagi.
“Anak setan! Ingat, dulu kau pernah bicara akan mencari kitab itu bersama gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur. Kau malah berkata gadis itu punya dugaan di mana beradanya atau siapa pencuri kitab itu…”
“Memang benar Nek,” kata Wiro menjawab ucapan sang guru.
“Namun sebelum hal itu sempat dilakukan kami keburu berpisah. Aku janji Nek, akan mencari dua benda pusaka itu. Hanya saja saat ini aku dan kawan-kawan tengah menghadapi satu perkara besar…”
“Kentut busuk! Aku tidak perduli perkara besar apa yang kalian hadapi!” Hardik Sinto Gendeng. Lalu dia berbalik ke arah Wulan Srindi.
“Gadis geblek! Bagaimana kau bisa jadi sinting mengaku sebagai calon laki anak setan itu! Calon menantuku! Gelo!”
Wulan Srindi jatuhkan diri berlutut. Dia tundukkan kepala sesaat. Sebenarnya dulu ketika berselisih dan kesal melihat sikap Bidadari Angin Timur yang cemburu keter– laluan, Wulan Srindi hanya ingin bergurau untuk memper– mainkan gadis berambut pirang itu. Ternyata kini jadi keterusan. Kepalang basah, biar mandi sekalian, Wulan Srindi akhirnya teruskan sandiwara yang dilakukannya.
“Nenek Sinto, harap dimaafkan kalau aku membuatmu terkejut dan marah dengan semua ucapanku tadi. Tapi ketahuilah, sebelumnya Dewa Tuak telah mengangkatku jadi murid. Dia kemudian menyuruhku mencari muridmu. Katanya antara aku dan muridmu ada ikatan perjodohan…”
“Hah! Apa?!” Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik besar. Mulutnya seperti mau menelan bulat-bulat kepala Wulan Srindi.
“Tambah gila urusan ini! Tambah sinting kau rupanya!” Teriak Sinto Gendeng. Mulutnya komat kamit menahan carut marut.
“Siapa percaya ucapanmu! Kalau aku bertemu bangsat tua bernama Dewa Tuak itu akan aku hajar dia sampai pengkor!” Sinto Gendeng bantingkan tongkatnya ke tanah hingga amblas dan hanya tinggal setengah jengkal saja yang tersembul. Sambil mulutnya menggerendeng panjang pendek, Sinto Gendeng kem– bangkan telapak tangan. Sekali tangan ditarik ke atas, tongkat yang tenggelam di tanah melesat ke atas dan tahu­tahu sudah berada dalam genggaman tangan kirinya kembali. Namun kekuatah tenaga dalam yang dikerahkan Sinto Gendeng sewaktu menarik tongkat dari dalam tanah terlalu berlebihan. Ujung kainnya ikut terbetot ke atas sampai ke pinggul! Auratnya sebelah bawah tersingkap lebar!
Wulan Srindi yang berada paling dekat dengan si nenek cepat palingkan muka. Jatilandak pura-pura melihat ke langit dan Loh Gatra menunduk sambil garuk-garuk kening.
Wiro pejamkan mata lalu melengos.
“Gila, sudah dua kali aku melihat aurat terlarangnya. Dulu waktu dia terpendam di tanah. Kata orang melihat yang beginian bisa apes!” (Baca Episode pertama “113 Lorong Kematian)
Sinto Gendeng terpekik begitu sadar apa yang terjadi dengan dirinya. Dua tangannya cepat menurunkan kain panjang yang basah hingga auratnya sebelah bawah tertutup kembali.
Di balik semak belukar sepasang mata Setan Ngompol terpentang lebar......
“Uhh! Gelap sialan. Aku hanya melihat hitam semua!…” Matanya yang jereng diusap-usap. Air kencingnya sudah dari tadi mengucur.
“Betul kata orang. Nenek tua ini tidak suka pakai celana dalam! Kalau saja dia masih seorang gadis, hik… hik… hik pasti bagus punya!”
Di sampingnya Bidadari Angin Timur hanya bisa diam dengan wajah merah.
Sinto Gendeng dengan tampang membesi memandang berkeliling, mencari-cari.
“Siapa yang kau cari Eyang?” Wiro beranikan diri bertanya.
“Bocah geblek bernama Naga Kuning itu tidak ada di sini?”
“Tidak Nek, dia tidak ada di sini.” Menerangkan Wiro sambil bertanya-tanya mengapa gurunya menanyakan Naga Kuning. Wiro kemudian ingat, dulu ketika Sinto Gendeng dipendam di tepi telaga oleh Sepasang Naga Kembar Naga Nini dan Naga Nina, bersama Gondoruwo Patah Hati Naga Kuning menolong mengeluarkan si nenek dari jepitan tanah. Ketika Sinto Gendeng berhasil diselamatkan ternyata kain panjangnya masih terjepit di tanah hingga aurat sebelah bawah si nenek tersingkap lebar, sama dengan apa yang barusan kejadian.
“Hemm…” Wiro membatin.
“Rupanya mungkin Eyang Sinto merasa jengah dan malu sekali kalau Naga Kuning sempat melihat dirinya setengah bugil sampai dua kali.” (Baca Episode “113 Lorong Kematian)
Sementara semua orang mulai tenang setelah menyak– sikan pemandangan yang mengejutkan tadi, Wiro berpaling pada Wulan Srindi. Ingat pada apa yang sebelumnya diucapkan si gadis bahwa dirinya telah diangkat jadi murid oleh Dewa Tuak dan disuruh si kakek mencari dirinya karena ada ikatan jodoh. Ingin sekali Wiro menampar Wulan Srindi. Namun yang dilakukannya hanya meman– dang melotot pada si gadis sementara Wulan Srindi sendiri tenang-tenang saja malah senyum-senyum simpul.
“Nenek Sinto, kalau kau tidak percaya semua ucapanku silahkan mencari guruku Dewa Tuak. Tapi…” Wulan Srindi lalu berpura-pura unjukkan wajah sedih. Seperti mau menangis ada, seperti khawatir juga ada.
“Tampangmu berubah! Apa yang ada dalam otakmu! Jangan kau berani main-main padaku!” Bentak Sinto Gendeng.
Wulan Srindi gelengkan kepala berulang kali.
“Siapa berani mempermainkanmu Nek. Aku sangat menghormatimu. Apalagi kau adalah calon mertuaku…”
“Gadis setan! Kalau kau berani ucapkan kata-kata itu sekali lagi kubuat rengkah batok kepalamu!” teriak Sinto Gendeng.
“Maafkan diriku Nenek Sinto. Tapi mengenai guruku Dewa Tuak, aku tidak tahu apa dia masih hidup atau sudah waras…”
“Memangnya apa yang terjadi dengan tua bangka rongsokan itu?!” tanya Sinto Gendeng pula dengan mata masih mendelik dan tampang angker.
“Aku punya firasat dia yang mencuri Kitab Seribu Pengobatan. Karena dia satu-satunya mahluk yang berada di puncak Gunung Gede pada hari lenyapnya kitab pusaka itu!”
“Perihal kitab itu, aku tidak tahu apa-apa Nek. Guruku orang baik. Dia tidak mungkin mau mencuri. Apalagi mencuri barang berharga milik calon besan sendiri,” kata Wulan Srindi pula.
Mendengar ucapan Wulan Srindi yang menyebut dirinya sebagai calon besan, Sinto Gendeng kembali memaki panjang pendek. Wiro lagi-lagi hanya bisa delikkan mata.
Tanpa perdulikan sikap orang Wulan Srindi lanjutkan ucapan.
“Sehabis menolongku dari seorang manusia pocong yang hendak merusak kehormatanku, Dewa Tuak memasuki 113 Lorong Kematian. Sampai saat ini dia tidak muncul lagi. Semua orang tahu Nek, sekali masuk ke dalam lorong, jangan harap bisa keluar hidup-hidup! Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengan guruku itu.” Wulan Srindi usap matanya seperti orang mengusut air mata.
“Cerita kentut busuk!” tukas Sinto Gendeng tidak terpengaruh dengan mimik dan sikap Wulan Srindi. Dia melangkah mondar-mandir lalu kembali berdiri di hadapan si gadis.
“Gadis sinting! Kau harus buktikan semua kebe– naran ceritamu! Kau harus menyelidik masuk ke dalam lorong. Mencari Dewa Tuak. Membuktikan di hadapan semua orang ini bahwa dia benar sudah mengangkatmu jadi murid…”
“Dan bahwa dia benar telah menjodohkan diriku dengan muridmu,” sambung Wulan Srindi pula.
“Setan alas! Itu memang harus dibuktikan! Aku mau dengar langsung dari mulut tua bangka itu!” teriak Sinto Gendeng sementara Wiro garuk-garuk kepala dan yang lain-lain berusaha menahan senyum melihat keras kepala– nya gadis bernama Wulan Srindi itu.
“Tunggu apa lagi! Ayo cari lorong jahanam itu! Masuk ke sana!” Sinto Gendeng kembali berteriak.
“Nek…,” wajah Wulan Srindi jadi pucat, “Kalau aku masuk ke dalam lorong, mungkin tidak bisa keluar lagi…”
“Aku tidak perduli kau mau keluar atau tidak. Aku tidak perduli apa kau mati di dalam lorong lalu berubah jadi hantu lorong!” Jawab Sinto Gendeng.
Wulan Srindi jadi tercekat.
“Nenek Sinto, sebenarnya ketika kau datang kami siap untuk berunding. Tapi men– dadak ada dua kejadian hebat…”
“Jangan berkilah mengarang cerita!” bentak Sinto Gendeng.
“Tidak Nek, dia tidak mengarang cerita,” Wiro menya– huti, “Ceritakan pada guruku apa yang terjadi.”

2

DI BALIK semak belukar, Setan Ngompol berulang kali kucurkan air kencing men-dengar semua percaka– pan orang yang serba mengejutkan. Di sampingnya Bidadari Angin Timur terdengar menggerutu.
“Huh! Apa­apaan pemuda itu. Mengapa dia malah memberi peluang pada si gadis untuk menjual kebohongan?!”
“Sebelum mendengar ceritanya, kita tidak tahu apa dia bohong atau bicara benar,” kata Setan Ngompol pula.
“Kau! Kedengarannya kau mau membelanya. Keluar saja, pergi ke sana!”
“Oala! Aku yang jadi bahan dampratan!” ucap Setan Ngompol seraya pegang perut menahan kucuran air kencing. Diam-diam kakek bermata juling ini mulai tahu kalau gadis cantik di sebelahnya sangat tidak menyukai dara bernama Wulan Srindi itu. Apa di antara keduanya sudah saling mengenal sebelumnya? Setan Ngompol bertanya-tanya siapa sebenarnya dan dari mana muncul– nya si cantik hitam manis itu. Setelah diam sesaat Setan Ngompol berkata.
“Turut apa yang dibicarakan orang-orang itu, aku memang sudah mendengar lenyapnya Pedang Naga Suci 212. Tapi mengenai Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan milik nenek bau pesing itu baru saat ini aku tahu. Tadi Wiro memberitahu gurunya, kalau kau dan dia punya rencana sama-sama menyelidiki perkara itu. Malah bilang kau sudah punya dugaan siapa pencurinya.”
“Semua orang bisa saja bikin rencana, bisa punya dugaan,” jawab Bidadari Angin Timur dengan suara datar dan wajah dingin. Sikapnya seperti tidak acuh. Gadis ini memandang ke arah orang-orang di depan sana.
“Sandiwara busuk! Apa Sinto Gendeng tidak sadar kalau dirinya tengah ditipu gadis centil itu?” Bidadari Angin Timur kepalkan tinju.
“Sahabatku cantik,” ujar Setan Ngompol pula.
“Kalau kau mau ikut menyelesaikan keruwetan, agar nenek bau pesing itu tidak tertipu lebih jauh, ayo kita sama-sama keluar. Kita damprat gadis bernama Wulan Srindi itu. Tapi, apa kita punya bukti bahwa dia benar berdusta mengarang cerita?”
Sedang jengkel hati, Bidadari Angin Timur tambah kesal mendengar ucapan Setan Ngompol.
“Kakek tolol! Kau membela pemuda itu. Kau juga membela gadis centil itu! Aku tidak suka bicara lagi denganmu!”
Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur berkelebat ke balik semak belukar yang lain. Setan Ngompol berusaha menahan gerakan si gadis dengan ulurkan tangan, mak– sudnya hendak memegang bahu Bidadari Angin Timur. Tapi gerakan si gadis lebih cepat. Jari-jari tangan Setan Ngompol hanya sempat meraba sekilas bahu dan samping punggung sebelah kiri Bidadari Angin Timur. Si kakek goleng-goleng kepala. Pandangi tangan kanan sambil hatinya berkata.
“Aku meraba sesuatu di kepitan tangan kiri gadis itu. Senjata? Ah, mengapa harus aku pikirkan. Perempuan memang banyak perabotan yang selalu dibawa ke mana-mana. Kecuali si Sinto Gendeng itu. Yang ke mana-mana kalau polos-polos saja. Celana dalam saja tidak gablek…” Setan Ngompol lalu tertawa sendiri.
***
Sinto Gendeng pelototi muridnya. Lalu berpaling pada Wulan Srindi.
“Gadis sinting, apa yang mau kau ceritakan! Kalau ngawur kupecahkan kepalamu dengan tongkat ini!”
Wulan Srindi mengerling dulu pada Wiro baru membuka mulut berikan penuturan. Dia memulai ceritanya dari kematian Surablandong Ketua Perguruan Silat Lawu Putih yang sudah lengser dan kabarnya dibunuh oleh makhluk aneh berbentuk manusia pocong. Untuk menyelidik kematian Surablandong, bersama saudara seperguruannya yaitu Parit Juwana, yang merupakan ketua baru Perguruan, Wulan Srindi menyamar sebagai sepasang suami istri muda. Dalam penyamaran itu Wulan Srindi berpura-pura sedang dalam keadaan mengandung tujuh bulan memakai nama Nyi Ningrum, sedang Parit Juwana mengganti nama sebagai Raden Kuncorobanu. Hal ini dilakukan karena kabarnya komplotan manusia pocong yang sangat ganas itu sering berkeliaran menculik perempuan-perempuan muda yang tengah hamil tujuh bulan.
Di satu malam menjelang fajar, Wulan Srindi dan Parit Juwana pergi ke satu tempat dekat Telaga Sarangan. Mereka ingin melihat bunga mawar hitam langka yang hanya tumbuh di sekitar air terjun. Sebenarnya semua ini adalah siasat dua murid Perguruan Silat Lawu Putih itu untuk menjebak manusia pocong. Mereka diantar oleh Kepala Desa Sarangan, Ki Sena Pamungkur berikut bebe­rapa pengawal pamong desa.
Kenyataannya manusia pocong yang ditunggu-tunggu memang muncul. Perkelahian hebat terjadi. Ki Sena Pamungkur dan beberapa anak buahnya tewas. Menyusul Parit Juwana. Wulan Srindi sendiri kemudian ditotok dan dilarikan manusia pocong berkepandaian tinggi. Wulan Srindi dibawa memasuki lorong panjang berliku-liku. Dia dihadapkan pada seorang manusia pocong yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Ketua. Sebaliknya Sang Ketua memanggil manusia pocong yang menculik Wulan dengan sebutan Wakil Ketua. Sang Ketua menanyakan apakah tugas mencari Pendekar 212 telah dilakukan. Ternyata tugas itu belum terlaksana, tapi sudah disirap kabar di mana beradanya Wiro Sableng. Kepada Sang Ketua, Wakil Ketua minta agar dia diperbolehkan membawa Wulan Srindi. Atas izin Sang Ketua, Wakil Ketua komplotan manu– sia pocong membawa Wulan Srindi ke dalam kamarnya. Tapi ketika ditinggal sebentar, dengan merayu seorang manusia pocong lainnya gadis ini berhasil keluar dari Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Ternyata dirinya lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Manusia pocong yang menolong membawanya ke sebuah pondok dalam satu rimba belantara membekal niat mesum. Ham– pir dirinya hendak digagahi muncul Dewa Tuak menolong. Manusia pocong itu dibunuh dan ternyata adalah Ki Sepuh Dalem Kawung seorang sahabat lama Dewa Tuak. Dewa Tuak tidak sempat menanyai kenapa sahabatnya itu berubah menjadi orang jahat karena Ki Sepuh Dalem Kawung keburu menghembuskan nafas terakhir. (Baca Episode sebelumnya “Nyawa Kedua” dan “Rumah Tanpa Dosa)
“Setelah menyelamatkan diriku, sebelum masuk ke dalam lorong, Dewa Tuak berkenan menyatakan diriku sebagai muridnya…” Wulan Srindi mengerling pada Sinto Gendeng lalu melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aku masih tidak percaya. Apa alasannya mengambil dirinya jadi muridnya? Tidak semudah itu Dewa Tuak mengangkat seseorang jadi murid…” Ucap Sinto Gendeng.
“Nek, keadaan saat itu sulit dilukiskan. Perasaan Dewa Tuak entah bagaimana…”
“Tunggu,” memotong Wiro.
“Kau belum menceritakan dua kejadian hebat yang kau maksudkan pada guruku.”
Wulan Srindi mengangguk. Lalu mulai bercerita.
“Kejadian hebat pertama adalah munculnya Adipati Sidik Mangkurat yang hendak menangkap Pendekar 212…”
“Tunggu! Kenapa Sidik Mangkurat mau menangkap anak setan itu?!” potong Sinto Gendeng seraya melirik ke arah Wiro.
“Kami, aku dan Wiro dituduh membunuh Aji Warangan, kepala pasukan Kadipaten Magetan,” yang menjawab Loh Gatra.
“Padahal pembunuhnya sudah dapat dipastikan ada–Zlah anggota komplotan manusia pocong dari Lorong Kematian.”
“Juga karena dendam lama, Nek,” menyambung Wiro.
“Satu kali Adipati berusaha menangkap kakek berjuluk Setan Ngompol. Dia dituduh sebagai anggota komplotan manusia pocong dan hendak dihabisi. Aku menolong kakek itu. Sidik Mangkurat terpaksa angkat kaki kembali ke Magetan bersama anak buahnya. Dia malu dan dendam besar terhadapku.”
“Hemmm…” Sinto Gendeng hanya keluarkan suara bergumam mendengar keterangan Loh Gatra dan Wiro Sableng.
Wiro garuk-garuk kepala, mendekati gurunya lalu setengah berbisik berkata.
“Nek, kalau aku tidak salah ingat, pada pertemuan terakhir kau menceritakan pernah dihadang manusia pocong. Terjadi perkelahian. Kau menghantamnya dengan Pukulan Sinar Matahari. Manusia pocong kabur, jubahnya hangus separoh. Aku heran, sekarang mengapa kau seperti tidak percaya adanya makhluk aneh ganas itu?”
Sinto Gendeng pencongkan mulut lalu menjawab.
“Anak setan, kalau aku cerita terus-terang, semua orang disini akan lumer nyalinya. Siapa yang bakal berani menembus lorong kematian? Siapa yang masih punya nyali menyelidik, mengejar dan menghancurkan mahluk-mahluk keparat itu? Aku sendiri tidak mau ikut campur urusan beginian. Aku ada urusan lain lebih penting.”
“Tapi Nek, rimba persilatan sedang terancam. Di balik semua penculikan perempuan hamil dan pembunuhan ini pasti ada apa-apanya…”
“Rimba persilatan katamu? Hik… hik… hik.” Si nenek tertawa.
“Aku sudah lama tidak mengurusi yang namanya rimba persilatan. Kalian yang muda-muda, rimba persilatan ada di tangan kalian. Jadi uruslah sendiri!”
Wiro hanya bisa terdiam dan garuk-garuk kepala. Dalam hati pendekar ini berkata.
“Kalau tidak mengurusi rimba persilatan mengapa sekarang dia gentayangan di tempat ini? Nenek aneh, sulit dibaca hati dan jalan pikirannya.”
“Apa yang ada di benakmu?” Tiba-tiba Sinto Gendeng ajukan pertanyaan.
“Ti… tidak Nek,” Wiro terganggu.
“Terus-terang, biar kau marah Nek, aku cuma heran. Kalau kau memang tidak perduli rimba persilatan lagi, lalu mengapa muncul di sana, muncul di sini. Mungkin tengah mencari seorang kekasih lama?”
Plaaakkk!
Tamparan tangan kanan Sinto Gendeng mendarat keras di pipi Pendekar 212 Wiro Sableng, membuat sang murid berdiri sempoyongan. Di sudut bibirnya kelihatan ada darah mengucur. Sementara semua orang heran melihat apa yang terjadi karena tadi mereka melihat guru dan murid saling bicara berbisik-bisik. Lalu tahu-tahu Sinto Gendeng layangkan tamparan ke muka Wiro. Di balik semak belukar gelap terpisah sekitar sepuluh langkah dari tempat Setan Ngompol berlindung, Bidadari Angin Timur senyum-senyum seolah mensyukuri Wiro kena tampar tadi.
Lain hati dan perasaan Bidadari Angin Timur, lain pula perasaan dan sikap Wulan Srindi. Mungkin saja ada maksud untuk menarik keuntungan dari apa yang terjadi. Namun saat itu yang jelas memang ada rasa kasihan di lubuk hatinya. Dengan cepat dia dekati Wiro, keluarkan sehelai sapu tangan biru muda lalu menyeka darah di sudut bibir Wiro yang luka akibat tamparan. Sehabis menyeka darah, sapu tangan diselipkannya ke pinggang Wiro.
Di balik semak belukar Bidadari Angin Timur seperti dipanggang.
Melihat muridnya terluka akibat tamparannya, bagaimanapun juga Sinto Gendeng jadi terkesiap sendiri. Namun dia cepat tutupi perasaannya dengan berpaling pada Wulan Srindi dan berkata.
“Gadis sinting! Teruskan ceritamu.”
Sang dara berkulit hitam manis telan ludahnya, melirik ke arah Wiro sesaat lalu teruskan ceritanya.
“Terjadi perkelahian hebat antara muridmu dengan Adipati. Sewaktu terdesak Adipati itu keluarkan sebuah senjata berupa cambuk yang bisa mengeluarkan puluhan lidah api…”
“Apa?!” Sinto Gendeng kelihatan seperti berjingkrak mendengar cerita si gadis. Wajahnya berubah. Mata men– delik, pelipis bergerak-gerak dan susur dalam mulutnya disemburkan.
“Kau bilang Adipati Sidik Mangkurat memiliki senjata berbentuk cambuk. Yang bisa mengeluarkan puluhan lidah api?! Hah?!”
“Benar Nek!” jawab Wulan Srindi yang menjadi tegang melihat perubahan wajah si nenek.

3

SINTO Gendeng mendongak ke langit. Dua mata dipejamkan.
“Nek, kalau aku tidak salah ingat, kakek bersorban putih menyebut senjata itu sebagai Pecut Sewu Geni…” Sinto Gendeng langsung tersentak. Dua mata mem– belalak.
“Apa katamu?” ucapnya sambil menatap tajam ke wajah Wulan Srindi.
“Si kakek menyebut pecut itu Pecut Sewu Geni?”
“Benar Nek,” Loh Gatra ikut meyakinkan.
Kembali si nenek mendongak ke langit gelap.
“Kalau itu betul Pecut Sewu Geni… Aku tidak bisa membayangkan. Jangan-jangan… Tapi bagaimana asal usulnya senjata sakti mandraguna itu sampai ada di tangan Adipati itu? Aku sendiri sudah belasan tahun mencari. Keburu orang lain mendapatkan. Heran, mengapa dalam kemunculan terakhir kali Kiai tidak pernah menceritakan apa-apa menyangkut pecut itu. Apakah… ah, pasti aku akan kena damprat lagi…”
Untuk beberapa lama Sinto Gendeng tegak termangu mendongak langit seperti itu hingga semua orang bertanya­tanya ada apa dengan nenek ini.
“Nenek Sinto…” Wulan Srindi menegur.
“Ceritaku belum selesai. Apa aku boleh meneruskan?”
Si nenek turunkan kepala, menatap tajam ke arah Wulan Srindi lalu anggukkan kepala.
“Ketika Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan cambuknya, orang itu…,” Wulan Srindi menunjuk pada Loh Gatra.
“Berusaha menangkis serangan. Maksudnya sekaligus mau melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena hantam. Tubuhnya cidera dikobari api. Wiro sendiri kemu– dian hampir celaka oleh cambuk api itu kalau tidak ditolong oleh seorang kakek aneh. Kakek ini berkepan– daian tinggi sekali. Dia merampas cambuk api dari tangan Adipati Sidik Mangkurat dalam satu gerakan yang hampir tidak kelihatan.”
“Kakek aneh itu!” ujar Sinto Gendeng hampir berteriak.
“Bagaimana ciri-cirinya?” Sinto Gendeng memandang lekat-lekat ke arah Wulan Srindi, melirik ke arah Wiro.
Wulan Srindi sebagai salah seorang yang memang melihat kakek aneh itu menjawab.
“Dia melayang di antara pepohonan. Gerakannya cepat luar biasa. Berkelebat dari satu pohon ke pohon lain seperti seekor elang raksasa…”
“Aku ingin kau menerangkan ciri-cirinya. Bukan segala macam kehebatannya.” kata Sinto Gendeng pula.
“Kakek itu mengenakan jubah dan sorban putih berkilat. Dalam gelapnya malam pakaian serta sorbannya tampak seperti nyala api. Dia memelihara janggut dan kumis putih seperti kapas. Wajah putih klimis. Ketika bicara, walaupun berteriak dan membentak tapi ada kelembutan.”
“Ketika bicara walau berteriak dan membentak tapi ada kelembutan…” Sinto Gendeng ulangi ucapan Wulan Srindi. Lalu kelihatan nenek ini usap wajahnya yang hitam berulang kali.
“Kakek berwajah klimis itu, apakah ada guratan kecil bekas luka di dagu kirinya?” Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan.
“Matam begitu gelap, dia berada di atas pohon. Aku tidak begitu memperhatikan…” jawab Wulan Srindi.
Wiro dan Loh Gatra yang sempat berada cukup dekat dengan si kakek juga tidak ingat dan tidak sempat mem– perhatikan apakah ada tanda guratan luka di dagu kiri orang tua itu. Karenanya, keduanya diam saja.
Sinto Gendeng sendiri membatin dalam hati, “Kakek berjubah dan bersorban putih berkilat. Memelihara janggut dan kumis putih, berwajah kelimis. Ada kelembutan di balik suaranya sekalipun ketika berteriak atau membentak. Mungkinkah dia…? Empatpuluh tahun tidak bertemu…” Sinto Gendeng tarik nafas dalam berulang kali.
“Nek, boleh saya meneruskan cerita saya?” tanya Wulan Srindi.
Sinto Gendeng mengangguk perlahan. Sebagian dari pikirannya berada di tempat lain, jauh menerawang.
“Ketika Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan cambuknya, orang itu…,” Wulan Srindi menunjuk pada Loh Gatra.
“Berusaha menangkis serangan. Maksudnya sekali– gus mau melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena han– tam. Tubuhnya cidera dikobari api. Wiro sendiri kemudian hampir celaka oleh cambuk api itu kalau tidak ditolong oleh si kakek. Dia merampas cambuk dari tangan Adipati Sidik Mangkurat.”
“Ah…” Sinto Gendeng lepas nafas panjang.
“Berat dugaanku, dia mengenal siapa adanya si kakek.” Wiro membatin sambil perhatikan gerak-gerik gurunya tapi kapok keluarkan ucapan.
“Aku punya dugaan kakek itu salah seorang kekasihnya di masa muda. Jadi ini rupanya alasan yang membuat dia masih mau muncul di rimba persilatan.”
“Hai, kenapa kau tidak meneruskan cerita. Apa yang terjadi kemudian?” Sinto Gendeng bertanya pada Wulan Srindi.
“Adipati Sidik Mangkurat minta agar si kakek yang berdiri di atas pohon menyerahkan kembali pecut sakti kepadanya. Si kakek mempersilahkan Adipati itu mengam– bil sendiri. Ketika Sidik Mangkurat melesat ke atas pohon, si kakek kipas-kipaskan tangan di depan wajah seraya berkata mengapa malam begitu panas. Tahu-tahu Sidik Mangkurat terpental, jatuh bergedebuk di tanah…”
“Pukulan Tangan Dewa Mengipas Bumi…”
Ucapan Sinto Gendeng walau perlahan tapi sempat terdengar Wiro.
“Ah, kau tahu nama pukulan yang dilepas si kakek.
Pasti kau memang kenal dengan dirinya, Nek…”
“Lalu, bagaimana kelanjutannya. Apa yang terjadi?” Sinto Gendeng kembali bertanya pada Wulan Srindi.
“Sebelum pergi kakek itu mengobati luka bakar di tubuh pemuda itu,” Wulan Srindi menunjuk ke arah Loh Gatra.
“Dia gelantungkan cambuk di depan pemuda itu, lalu meniup. Ajaibnya, seluruh luka bakar di tubuh dan wajah pemuda itu lenyap. Sembuh…”
“Mulut Dewa Menghembus Kesembuhan… Pasti dia… memang dia…” ucap Sinto Gendeng. Lagi-lagi membuat Wiro terkesima tapi tidak berani keluarkan ucapan. Takut salah dan kena tampar lagi.
“Setelah menyembuhkan pemuda ini, si kakek lantas berbuat apa? Pergi…?”
Wulan Srindi mengangguk.
Tadinya Wiro hendak menceritakan bagaimana sebe– lum pergi si kakek tersenyum dan kedipkan mata kiri satu kali padanya. Namun Wiro memutuskan lebih baik diam saja, tidak perlu bicara apa-apa.
“Waktu dia tinggalkan tempat ini, ke arah mana dia menuju…”
Wulan Srindi menunjuk ke jurusan lenyapnya kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.
“Aku yakin pasti nenek satu ini akan mengejar ke arah sana,” membatin Wiro.
Sinto Gendeng memang siap gerakkan kaki hendak berkelebat pergi. Tapi dia urungkan niat, memandang berkeliling.
“Coba kalian ingat-ingat. Setelah dapatkan cambuk, apakah kakek itu ada keluarkan perkataan. Perkataan apa saja…”
“Memang ada, tapi kami tidak ingat satu persatu…” jawab Wulan Srindi sementara yang lain-lain diam saja.
Tiba-tiba Jatilandak membuka mulut.
“Ada di antara ucapannya yang aku masih ingat. Dia bicara pada Adipati Sidik Mangkurat. Katanya Adipati itu harus sudah cukup puas dengan beradanya senjata sakti itu di tangannya selama lima puluh dua purnama. Saatnya senjata itu dikembalikan ke tempat asalnya…”
“Manusia muka kuning, benar kakek itu berucap begitu?” Sinto Gendeng ingin menegaskan. Ada rasa tak percaya tapi dadanya berdebar.
Jatilandak anggukkan kepala. Si nenek pencongkan mulutnya yang kempot beberapa kali. Tanpa keluarkan ucapan apa-apa lagi dia langsung berkelebat pergi tapi Wulan Srindi cepat memburu seraya berseru.
“Nek! Tunggu!”
Sinto Gendeng berhenti dan balikkan badan. Wajahnya yang angker tampak kesal.
“Gadis centil! Kau hanya membuang-buang waktuku saja. Ada apa?!”
“Nek, menghadapi urusan besar dengan manusia­manusia pocong yang bermarkas di lorong kematian, kami semua mohon petunjukmu. Apalagi guruku Dewa Tuak ada di dalam sana.”
“Gadis tolol! Kalian punya ilmu kepandaian, punya senjata! Apa lagi?! Sekarang bukan jamannya minta petunjuk! Segala sesuatu harus dipikir dan dikerjakan sendiri lalu punya rasa tanggung jawab sendiri!” jawab Sinto Gendeng sambil pelototkan mata.
“Nek, kami yang muda-muda ini hanya menang semangat. Pengalaman hanya secupak, ilmu kepandaian hanya semata kaki. Mana mungkin kami bersombong diri dapat menghadapi semua persoalan rimba persilatan. Lagi pula kau adalah satu-satunya tokoh panutan kepada siapa kami bergantung dan berharap.”
Pandai sekali Wulan Srindi mengucapkan kata-kata itu dan mengatur raut wajah unjukkan mimik penuh memelas.
“Hemmm…” Sinto Gendeng bergumam. Mulutnya yang perot komat kamit. Sesaat hatinya masih keras. Namun setelah pandangi wajah-wajah yang ada di tempat itu satu persatu terlebih wajah Si Anak Setan muridnya sendiri yang tadi ditamparnya, kekerasan hati si nenek jadi leleh juga.
“Baik! Dalam kalian menghadapi perkara besar ini, aku akan berikan satu petunjuk, hanya satu petunjuk. Tinggal bagaimana kalian mencernanya. Dengar baik-baik. Ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang keluar. Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk ada lobang keluar. Coba kalian ulangi kata-kataku barusan…”
Semua orang yang ada di situ dengan patuh mengikuti apa yang diperintahkan Sinto Gendeng. Mereka sama­sama mengucap.
“Ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang keluar. Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk ada lobang keluar…”
Belum habis gema ucapan semua orang, Sinto Gendeng sudah berkelebat lenyap dari tempat itu. Hanya bau pesingnya saja yang masih tertinggal menyekat di rongga hidung,
Wiro garuk-garuk kepala.
“Apa maksud tua bangka aneh itu. Urusan menghadapi manusia-manusia pocong pembunuh dan penculik perempuan-perempuan bunting mengapa membawa segala macam rotan dan bambu?”
Di balik semak belukar lebat dan gelap Setan Ngompol usap-usap bagian bawah perutnya.
“Rotan dan bambu. Hik… hik… Aku juga punya rotan dan bambu. Tak ada lobang masuk tapi ada lobang keluar. Ngocor terus-terusan! Ah, pasti ilmu rotan dan bambu milikku ini tidak bisa dipergunakan…”
Di balik semak belukar lain, tak jauh dari tempat Setan Ngompol mendekam, Bidadari Angin Timur tengah berpikir keras menimbang-nimbang. Apakah saat itu sebaiknya dia keluar saja dari tempat persembunyian dan bergabung dengan Wiro. Rasa benci yang dibalut rasa kecemburuan terhadap Wulan Srindi membuat dadanya terasa sesak dan panas. Ketika gadis cantik berambut pirang berkepandaian tinggi ini akhirnya memutuskan untuk segera keluar dari balik semak belukar, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Setan Ngompol terkencing saking kaget. Bidadari Angin Timur sibakkan semak-semak dan mem– perhatikan ke arah kegelapan. Ketika melihat siapa adanya si penunggang kuda, bibir si gadis seruakkan senyum. Lesung pipit muncul di pipi kiri kanan.
“Wulan Srindi, sekarang kena batunya kau!”

4

DALAM Episode “Aksara Batu Bernyawa” dituturkan bagaimana setelah mendapatkan batu mustika (kala itu masih berupa dan bernama Batu Bernyawa) Raja Setan Tersenyum segera berangkat ke Kotaraja untuk menemui Tumenggung Abdi Tunggul di Keraton. Namun untuk kedua kalinya tokoh silat yang dulu pernah menjadi pentolan Istana ini ditimpa nasib sial. Kesialan pertama adalah kematian kekasihnya Ratu Setan Tersenyum. Sial kedua justru terjadi di Keraton. Dia kena ditipu oleh seorang yang mengaku mewakili Tumenggung. Orang ini yang ternyata memiliki kepandaian tinggi berhasil menotok Raja Setan, menyumpal mulutnya dengan patung kayu lalu mengambil Batu Bernyawa yang ada di balik jubah hijaunya. Walaupun Raja Setan berhasil menyemburkan patung kayu yang menyumpal mulut dan berteriak keras, namun pengawal yang kemudian datang tidak bisa berbuat apa. Orang tinggi besar yang menyamar sebagai seorang kakek berambut putih telah lenyap dari tempat itu.
Tak selang berapa lama sewaktu Tumenggung Abdi Tunggul keluar menemui Raja Setan Tersenyum. Walau berusia hampir enam puluh tahun namun wajah tampak masih segar dan sosok sang Tumenggung tinggi besar masih tegap kekar. Raja Setan Tersenyum menceritakan apa yang terjadi. Untuk beberapa lama Tumenggung terdiam, wajah berubah kaku dan mata menatap tak berkesip ke arah Raja Setan. Saat itu dia bukan cuma terkejut mendengar keterangan Raja Setan, tetapi juga bertanya-tanya apa yang terjadi dengan seorang lain yang juga ditugaskannya untuk mendapatkan Batu Bernyawa itu. Jika masih hidup apa yang terjadi dengan dirinya. Kalau sudah mati siapa yang membunuhnya.
“Seorang yang pernah menjadi tokoh silat Istana kelas satu, bisa diperdaya dan dirampok orang! Sungguh aku tak bisa percaya…”
“Tumenggung, aku mohon maafmu. Jahanam peram– pok itu berkepandaian luar biasa tinggi. Tumenggung, apakah kau tidak akan membantu melepaskan totokan– ku?”
Tumenggung Abdi Tunggul maju mendekat lalu tepuk ubun-ubun Raja Setan. Sungguh luar biasa. Sekali menepuk totokan di tubuh Raja Setan punah. Biasanya orang berkepandaian tinggi selalu melepas totokan di tempat di mana korban terkena totokan. Tapi Tumenggung Abdi Tunggul rupanya memiliki ilmu pelepas totok yang langka dan jarang orang lain memilikinya.
“Raja Setan, apakah kau mengenal siapa perampok itu?” tanya Tumenggung.
“Dia berdandan sebagai seorang kakek rambut putih. Aku yakin dia seorang yang ahli menyamar…”
“Ceritakan bagaimana kau mendapatkan Batu Bernya– wa sebelum dirampas oleh orang berpenampilan kakek berambut putih.”
“Aku menemukan peti hitam yang dibawa makhluk luar kepala manusia dari dasar samudera, tergeletak dalam keadaan terbuka di satu tempat. Batu Bernyawa menancap di kening kutungan kepala manusia yang ada dalam peti…”
“Peti tak mungkin berada di situ dengan sendirinya. Pasti ada beberapa kejadian sebelumnya…” ucap Tumeng– gung pula.
“Sesuai perintahmu, aku melakukan pengintaian di selatan Parangteritis. Ternyata di situ telah dipenuhi oleh beberapa orang tokoh silat dan serombongan orang ber– cadar mengaku sebagai orang-orang Kerajaan. Beberapa tokoh mati terbunuh sebelum salah seorang bercadar ber– hasil melarikan peti berisi batu mustika. Orang bercadar ini berat dugaanku adalah Pangeran Haryo…”
Raja Setan Tersenyum hentikan cerita menatap tajam pada Tumenggung Abdi Tunggul. Dia tidak melihat peruba– han pada wajah pejabat Keraton itu.
Raja Setan teruskan ucapannya.
“Kalau ada orang lain dari Istana yang ikut mencari batu mustika itu, seperti diriku apakah dia juga atas perintah Tumenggung?”
“Jangan bertanya dulu. Teruskan saja ceritamu,” jawab Tumenggung Abdi Tunggul.
“Orang yang kuduga Pangeran Haryo ini kemudian cidera berat akibat hantaman satu pukulan sakti yang dilepaskan seorang lelaki tinggi besar.”
“Kau tahu siapa orang tinggi besar ini?”
“Tidak,” jawab Raja Setan. Walau sudah bisa menduga siapa adanya lelaki tinggi besar itu namun Raja Setan sengaja berdusta, tidak mau memberitahu. Dia punya rencana untuk menyelidik.
“Aku sendiri kemudian terlibat perkelahian dengan orang tinggi besar itu dan kena ditotok. Kemudian dia lari mengejar Pangeran Haryo.”
“Jika orang tinggi besar inginkan Batu Bernyawa, adalah aneh dia tidak membunuhmu,” kata Tumenggung Abdi Tunggul sambil usap-usap dagu.
“Mungkin dia lebih mementingkan mengejar Pangeran Haryo,” jawab Raja Setan.
“Apa yang terjadi kemudian, tidak aku ketahui. Menjelang pagi aku berhasil melepaskan diri dari totokan. Lalu aku temui peti kayu itu…”
“Pangeran Haryo sendiri berada di mana?” tanya Tumenggung pula.
“Tidak aku ketahui berada di mana atau bagaimana nasibnya.” jawab Raja Setan.
“Aku punya firasat, Pangeran itu telah menemui ajal.”
“Kalau begitu, agaknya benar dugaanku bahwa Tumenggung juga menugaskan Pangeran Haryo selain diriku dalam mencari Batu Bernyawa itu.”
“Rasanya hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Ada satu tugas baru yang harus segera kau laksanakan.”
Raja Setan Tersenyum diam saja. Dia merasa ada siasat busuk dalam tugas yang diberikan sang tumenggung kepadanya.
“Sekarang juga kau berangkat ke kaki Gunung Kukusan. Di sebelah timur ada dua sungai saling bertemu pada tikungan berbentuk tapal kuda. Jika kau datang tepat waktu, di situ kau akan menemui seorang kakek aneh bertampang sedih dan sebentar-sebentar menangis. Temui kakek itu, begitu berhadapan langsung kau bunuh. Kau boleh pergunakan kuda terbaik yang ada di kandang kuda Keraton.”
“Kakek aneh ini, apakah dia punya nama atau memiliki gelar?” tanya Raja Setan Tersenyum sambil sunggingkan senyum.
“Dia dikenal dengan julukan Dewa Sedih.”
Senyum langsung lenyap dari wajah Raja Setan Terse– nyum. Tubuhnya hampir terangkat dari kursi yang diduduki. Sesaat kakek ini terdiam, baru kemudian membuka mulut.
“Soal bunuh membunuh sudah jadi pekerjaanku sejak aku berusia lima belas tahun. Tapi membunuh manusia yang berjuluk Dewa Sedih itu bukan satu pekerjaan mudah, Tumenggung. Selain itu aku harus menyelidik dan mencari pembunuh kekasihku. Orang tinggi besar itu. Besar duga– anku dia adalah orang yang merampas Batu Bernyawa.”
“Aku tidak mau mendengar alasan apapun keluar dari mulutmu. Apa kau masih inginkan hadiah ini, atau kita tutup pembicaraan sampai di sini!”
Habis keluarkan ucapan begitu Tumenggung Abdi Tunggal bertepuk dua kali. Saat itu juga muncul lima orang lelaki bertubuh tinggi tegap, berwajah angker. Masing­masing mencekal golok besar. Cepat sekali gerakan mereka tahu-tahu telah mengurung Raja Setan Tersenyum.
Melihat ancaman, Raja Setan Tersenyum sunggingkan senyum. Tapi dia tidak diam saja. Secepat kilat dia ambil lima anak panah hitam dari kantong di punggungnya.
“Aku tahu, kau punya ilmu hebatan melempar panah. Kau sanggup membunuh mereka dalam satu kali kejapan mata. Tapi kau tidak akan punya peluang untuk menghin– dari serangan maut dariku! Bagaimana?” Tumenggung Abdi Tunggul angkat tangannya yang dikepal. Kepalan itu tampak memancarkan cahaya hitam.
“Pukulan Jelaga Besi!” membatin Raja Setan Terse– nyum yang mengenali pukulan sakti yang siap dilepaskan sang Tumenggung. Jangankan tubuh manusia, dinding besipun mampu ditembus pukulan itu. Orang yang terkena pukulan tidak akan langsung tewas, tapi sakit sengsara dulu selama beberapa hari sebelum menemui ajal karena saluran darah, isi perut termasuk jantungnya telah dirambas bubuk besi mengandung racun jahat luar biasa.
Di dalam hati Raja Setan Tersenyum menyumpah habis­habisan.
“Tumenggung keparat ini rupanya memang sudah menyusun rencana keji dari dulu-dulu.” Namun tanpa perlihatkan rasa benci pada air mukanya terhadap sang Tumenggung, malah sambil tersenyum Raja Setan Tersenyum berkata.
“Aku memilih hadiah itu.”
Tumenggung Abdi Tunggul lemparkan kantong kain. Raja Setan Tersenyum cepat menangkap kantong berisi beberapa kepingan emas itu. Tumenggung bertepuk tangan dua kali. Lima lelaki tinggi besar bertampang angker serta merta tinggalkan tempat itu.
Tumenggung Abdi Tunggul usap dagunya.
“Aku ragu, hatiku menduga dia akan terlambat. Orang tinggi besar yang merampas Batu Bernyawa itu mungkin sekali mendahului sampai di tempat itu…” Sang Tumenggung geleng-geleng kepala.
“Aku punya dugaan Raja Setan Tersenyum tahu siapa adanya orang tinggi besar itu. Ada apa dia tidak mau menerangkan padaku.”
***
Kaki Gunung Kukusan sebelah timur. Saat itu menjelang tengah hari. Udara tidak begitu baik. Di arah selatan tampak awan tebal menutupi sebagian langit. Sesekali ada sambaran kilat membelah udara. Di tikungan sungai berbentuk tapal kuda pada pertemuan sebuah sungai dengan sungai lain seorang penunggang kuda berhenti di satu lamping batu. Matanya memandang berkeliling, lalu kembali diarahkan pada batu-batu besar yang bertebaran di bawah sana.
“Tumenggung itu menyuruhku ke sini. Tidak ada manusia, tidak ada hantu di tempat ini. Apalagi kakek berjuluk Dewa Sedih itu. Atau… hemmm, apakah ini siasat, satu jebakan yang dirancang oleh Tumenggung keparat itu?! Kalau aku lihat sosok tinggi besarnya, mengapa ada persamaan dengan orang tinggi besar yang membunuh kekasihku, dan kakek berambut putih si penyamar dalam keraton?” Raja Setan Tersenyum geleng-geleng kepala.
“Aku tidak akan mencari. Lebih baik menunggu. Kalau sampai matahari tenggelam Dewa Sedih tidak muncul, perduli setan! Aku akan tinggalkan tempat ini. Tidak membunuhnya tidak jadi apa. Aku sudah dapatkan hadiah.”
Raja Setan Tersenyum turun dari kudanya. Binatang itu dituntun ke tebing sungai yang tidak begitu terjal, lalu diturunkan ke dalam sungai untuk diberi minum. Raja Setan Tersenyum sendiri kemudian mencari bagian sungai yang airnya lebih bersih, singsingkan jubah hijau, ujungnya diikat di pinggang lalu turun ke air, membasahi muka dan kepalanya yang botak serta minum air sungai beberapa teguk.
Mendadak Raja Setan Tersenyum dikagetkan oleh satu keanehan. Arus air sungai yang mengalir melewati kedua kakinya ke arah hilir, tiba-tiba berputar-putar di sekitar tempat dia berada. Putaran yang mula-mula lambat saat demi saat menjadi keras. Akibatnya tubuhnya yang berada di dalam air mulai ikut berputar. Perlahan-lahan, lalu men– deru seperti gasing dan satu saat melesat ke udara.
Raja Setan Tersenyum berseru kaget. Dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Namun mengapa air sungai mampu membuat dia berputar dan terpental ke udara? Kekuatan dahsyat apa yang ter– sembunyi di balik kejadian aneh itu?
Di udara setelah lepas dari kekuatan dahsyat yang membuat dirinya terpental. Raja Setan Tersenyum mem– buat gerakan jungkir balik lalu melayang turun ke batu hitam berbentuk rata empat persegi di tengah sungai. Sepasang mata Raja Setan Tersenyum berputar liar, memandang berkeliling. Dia adalah seorang kakek luas pengalaman dan tinggi ilmu kepandaian. Tidak sembarang orang bisa mempermainkannya. Lalu apa yang barusan terjadi? Kekuatan apa yang bisa membuat air sungai berputar begitu rupa hingga dia ikut berputar dan terpental ke udara. Tidak satu manusiapun yang kelihatan. Lalu apakah semua itu tadi pekerjaan hantu, dedemit sungai?
Selagi Raja Setan Tersenyum kibas-kibaskan ujung jubahnya yang basah, tiba-tiba alisnya mencuat. Mata mendelik diarahkan ke air sungai satu tombak di depan batu persegi di atas mana dia berdiri. Air sungai dilihatnya mengeluarkan gelembung-gelembung serta suara aneh. Lalu di balik suara aneh itu dia seperti mendengar suara orang sesenggukan.
“Dia ada di sini…” ucap Raja Setan Tersenyum dengan suara bergetar. Matanya tak mau berkedip. Lengah sedikit saja bisa merenggut nyawa. Suara sesenggukan terdengar semakin keras. Orangnya sendiri tidak kelihatan. Lalu meledak satu suara orang menangis meratap! Batu yang dipijak Raja Setan Tersenyum bergetar hebat!
“Dewa Sedih… Di mana dia?” ujar Raja Setan Terse– nyum sambil memandang berkeliling. Matanya menyapu seantero tempat. Dia tidak melihat siapa-siapa. Kembali pandangannya diarahkan ke sungai yang mengeluarkan gelembung air.
“Apakah dia berada di dalam situ? Apa ada manusia yang bisa menangis di dalam air?”
Baru saja Raja Setan Tersenyum berkata seperti itu sekonyong-konyong gelembungan di sungai lenyap. Air sungai muncrat ke udara, disusul melesatnya satu sosok berselempang kain putih dalam keadaan basah kuyup! Saat itu juga kawasan sungai dibuncah oleh gelegar suara orang menangis.

5

DALAM keterkejutannya Raja Setan Tersenyum cepat tekuk dua lutut, tangan bergerak ke punggung mengambil lima buah anak panah hitam. Jika dilempar dengan kehebatan ilmu yang dimilikinya, Raja Setan Tersenyum mampu menghantam lima sasaran sekaligus. Apa lagi kalau lima anak panah maut hanya ditujukan pada satu sasaran. Sulit korban bisa lolos selamatkan diri. Namun saat itu Raja Setan Tersenyum menghadapi sesuatu yang membuat dirinya tergetar.
Memandang ke depan, di atas sebuah batu bulat, sejarak dua tombak dari batu persegi di mana Raja Setan Tersenyum berada, tampak seorang berambut putih basah awut-awutan, berkulit hitam, berselempang kain putih kuyup, duduk dengan kepala dibenamkan di atas lutut yang dilipat. Dari mulutnya menangis keluar ratapan yang membuat Raja Setan Tersenyum tambah terkesiap.
“Aku sedih, hik… hik… hik. Dua hari berendam di dalam sungai, rasanya diriku belum juga bersih. Hik… hik. Apakah dosa kesalahan bisa dihapus dengan berendam dalam air? Ampun biyung, tobat dewa… Mengapa aku harus selalu menerima nasib sial begini? Aku menangis sengsara, orang lain tertawa bahagia. Hik… hik… hik. Kalau saja bukan karena biji celaka ini, tidak akan jatuh malapetaka atas diriku. Hik… hik… hik.”
Sesaat orang di atas batu bulat hentikan tangisnya. Dia kembangkan kedua lutut lalu tarik ke depan kain putih yang dikenakan. Sambil sesenggukan dia perhatikan bagian bawah perutnya.
“Ah… Tidak kambuh… untung tidak bengkak lagi. Hik… hik. Biji celaka, apa kau tahu malapetaka besar yang akan menimpa rimba persilatan gara-gara tingkahmu menggelembungkan diri? Semua orang akan mengutuk diriku. Semua orang akan menya– lahkan diriku! Tapi mereka tidak tahu apa kesengsaraan diriku! Hik… hik… hik.” Habis meratap panjang orang ini kembali sembunyikan wajahnya di antara dua lutut. Namun tadi waktu sesaat orang itu mengangkat kepala, Raja Setan Tersenyum sempat memperhatikan wajahnya. Seorang kakek berwajah hitam aneh menunjukkan kesedihan abadi dengan sepasang alis hitam menjulai panjang ke bawah.
“Dewa Sedih, memang dia…” ucap Raja Setan Terse– nyum.
Mula-mula Raja Setan Tersenyum tercekat juga melihat kehadiran serta mendengar ratap tangis orang di atas batu. Tapi lama-lama dia jadi bosan dan sebal mendengar oceh ratapan yang tidak dimengertinya. Mulutnya sung– gingkan senyum. Tangan kiri mengusap kepala botak.
“Biar cepat selesai, biar aku habisi sekarang juga,” kata Raja Setan Tersenyum. Tangan kanannya yang memegang lima anak panah bergerak. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba orang di atas batu bundar menggerung keras lalu keluarkan ratap tangis.
“Aku sedih, aku kecewa. Hik… hik. Ada orang hendak membunuhku. Dia menyangka diri sudah jadi kaya raya karena punya sekantong emas. Tapi hik… hik… hik. Aku sedih, apa yang punya tidak tahu kalau emas itu palsu belaka adanya? Hik… hik… Aku sedih…”
Kejut Raja Setan Tersenyum bukan alang kepalang. Dia meraba dada jubah hijau di balik mana dia menyimpan kantong kain berisi emas yang diberikan Tumenggung Abdi Tunggul.
“Dia tahu aku membekal sekantong emas. Apa iya emas itu palsu?” Semula ragu akhirnya dengan tangan kiri Raja Setan Tersenyum keluarkan kantong emas. Dengan bantuan beberapa giginya yang masih utuh sementara tangan kanan tetap memegang lima anak panah hitam, kakek kepala gundul itu buka ikatan kantong. Dia membungkuk lalu tuang isi kantong di atas batu persegi. Mata mendelik. Satu persatu tujuh kepingan emas yang bergeletakan di batu diteliti. Lalu menyembur kutuk serapah dari mulutnya.
“Jahanam keparat! Adipati kurang ajar! Kau benar­benar mencari perkara! Aku bersumpah akan menembus batok kepalamu dengan tujuh keping emas ini!” Dengan cepat Raja Setan Tersenyum masukkan potongan­potongan emas itu ke dalam kantong kain lalu kantong disusupkan ke balik jubah.
Di atas batu besar Dewa Sedih kembali meratap.
“Aku sedih, ada orang pandai kena tipu. Hik… hik… hik… Apakah ini akhir perjalanan dirinya atau akhir riwayat diriku?”
Raja Setan bangkit berdiri lalu berteriak.
“Dewa Sedih! Dengar baik-baik! Saat ini adalah akhir riwayat dirimu!”
“Hik… hik… hik. Buruknya nasibku! Mati di tengah sungai, jauh dari sanak, jauh dari kadang. Tak ada sahabat yang tahu. Adikku Dewa Ketawa kau tak akan bisa tertawa mengiringi kematian diriku karena kau tak tahu kalau kakakmu ini sebentar lagi akan jadi bangkai. Hik… hik… hik.” (Seperti diketahui Dewa Sedih mempunyai seorang adik berjuluk Dewa Ketawa. Dari julukan saja jelas sudah bahwa dua bersaudara ini memiliki dua sifat yang bertolak belakang. Satu selalu sedih dan menangis, satunya selalu senang tertawa-tawa)
“Dewa Sedih, cukup sampai di situ kau meratap! Seka– rang terima kematianmu!” Bentak Raja Setan Tersenyum. Tangan kanannya yang memegang lima anak panah hitam diangkat lebih tinggi.
Dibentak orang, Dewa Sedih bukannya hentikan tangis malah menggerung lebih keras.
“Tidak disangka tidak dinyana dalam sedih masih ada sekelumit rasa bahagia. Kematianku tidak sia-sia. Hik… hik… hik. Ada seseorang yang kebetulan lewat, akan menjadi saksi kematian diriku. Hik… hik… hik. Mungkin juga aku bisa menyampaikan pesan terakhir padanya.
Hik… hik… hik.”
Ucap ratap Dewa Sedih membuat Raja Setan Terse– nyum terkejut dan untuk kedua kalinya dia hentikan gerakan tangan kanan yang hendak melempar lima panah maut. Telinga dipentang, mata dibuka lebar.
Pertama sekali dia mendengar suara derak derik aneh. Lalu ada langkah-langkah kaki mendatangi. Semakin dekat langkah-langkah kaki itu semakin terasa adanya getaran di atas batu sungai tempat dia berdiri. Lalu hidungnya mencium bau aneh. Belum sempat Raja Setan Tersenyum mengira-ngira, tiba-tiba di tebing sungai muncul satu pemandangan luar biasa!
Empat orang lelaki bertubuh kekar penuh otot, menge– nakan celana gombrong hitam berdiri di tebing sungai. Dua di depan, dua di belakang, mereka memanggul tiga buah batang kelapa yang diikat jadi satu. Di atas jejeran batang kelapa ini ada sebentuk sandaran menyerupai sandaran kursi. Di sini duduk seorang kakek bermuka berminyak, bertubuh luar biasa gemuknya dan mengenakan pakaian yang kekecilan. Tiga batang kelapa kelihatan melengkung saking beratnya tubuh kakek gemuk ini yang diperkirakan lebih dari dua setengah kwintal. Sambil usap-usap dadanya yang berbulu, mata kelihatan seperti mengantuk, si gemuk ini asyik-asyikan menghisap sebuah cangklong atau pipa yang menebar asap berbau tidak sedap. Jika pipa dilepas dari mulutnya maka mulut itu menguap lebar-lebar dan sepasang mata jadi berair. Sambil mengusap mata, si gemuk ini kembali masukkan pipa ke dalam mulut.
Dada Raja Setan Tersenyum jadi bergetar.
“Seumur hidup aku belum pernah melihat orangnya. Jika aku tidak salah menduga, apakah ini manusianya yang dijuluki Raja Penidur, tokoh paling tua dalam rimba persilatan. Punya segudang ilmu yang dianggap setingkat kehebatan para dewa? Ada apa dia tahu-tahu muncul di tempat ini?”
Kalau Raja Setan cuma bisa membatin dalam hati, lain halnya dengan Dewa Sedih. Kakek ini langsung keluarkan ratapan.
“Kedatangan seorang sahabat pada saat aku tengah bersedih, sungguh membuat diriku malu. Hik… hik… hik. Raja Penidur, harap maafkan kalau aku tidak bisa mem– berikan penyambutan sewajarnya padamu. Ketahuilah… hik… hik, kuharap kau jangan tidur. Saksikan akhir riwayat diriku. Hari ini aku akan menerima kematian sesuai dengan segala kesalahanku. Aku sedih… Selamat tinggal sahabatku Raja Penidur. Sebelum kau pergi, bolehkah aku menitipkan sebuah pesan padamu? Hik… hik… hik.”
“Waktuku tidak lama, mataku sangat mengantuk. Aku ingin tidur…” Raja Penidur berucap lalu kembali menguap lebar-lebar.
“Jika kau ingin menitipkan pesan harap segera mengatakan. Ketahuilah aku sendiri tengah dalam perjala– nan terakhir mengelilingi rimba persilatan. Sebelum diriku menghadap Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta aku ingin melihat rimba persilatan untuk terakhir kali. Seratus enam puluh lima tahun hidup di dunia terasa sangat memalukan. Karena lebih dari dua pertiga hidupku hanya kuhabiskan untuk menghisap cangklong dan tidur pulas…”
“Hik… hik. Aku ikut sedih mendengar penuturanmu. Sebagian dari pesan yang akan aku titipkan padamu ada dalam telapak tangan kiriku. Akan kulihat dan segera kukatakan padamu. Hik… hik.” Habis berkata begitu Dewa Sedih kembangkan telapak tangan kirinya. Kakek sakti ini memang punya kemampuan melihat sesuatu melalui telapak tangan kiri itu.
“Lekaslah, aku sudah sangat mengantuk. Aku mau tidur…” Raja Penidur berseru dari atas batang kelapa.
“Aku melihat… Hik… hik… Betapa menyedihkan. Rimba persilatan tanah Jawa akan dilanda malapetaka besar kalau ilmu terkutuk itu tidak segera dihentikan… hik… hik… hik.”
“Ilmu terkutuk? Ilmu terkutuk apa? Huah…” Raja Penidur mengucap.
“Saatnya aku tidur…”
“Tunggu! Hik… hik. Jangan tidur dulu!” Teriak Dewa Sedih. Kakek ini gerakkan telapak tangan kirinya. Sebuah bola api melesat keluar lalu menderu ke arah Raja Penidur.
Empat orang bertubuh kekar yang memanggul batang kelapa berteriak marah tapi tak berani berbuat apa-apa ketika mendengar Raja Penidur berkata.
“Tidak apa, dia tidak berbuat jahat. Dia hanya mencegah agar aku tidak tidur. Tapi kepandaiannya hanya mampu menahan kantukku dua kali kejapan mata saja…”
Bola api yang keluar dari tangan kiri Dewa Sedih melesat membungkus sekujur tubuh gemuk Raja Penidur. Tokoh silat aneh ini batuk-batuk beberapa kali. Sekali dia mengibaskan pipa, sinar merah yang membungkus tubuhnya lenyap.
“Sahabatku di sungai, mataku mulai mengantuk lagi. Aku mohon diri. Harap segera katakan pesanmu itu.”
Dewa Sedih tahan sesenggukan dan tangisnya. Dia usap-usap matanya yang basah lalu berkata.
“Ilmu terkutuk itu adalah… hik… hik… hik. Memberikan nyawa kedua pada orang yang sudah mati. Orang yang kemudian dihidupkan ini akan memiliki hik… hik… ilmu kesaktian luar biasa hebat tiada tandingan. Jika tidak dicegah malapetaka besar akan menimpa rimba persila– tan. Karena si pemberi kehidupan berkuasa penuh dan bisa memerintahkan apa saja atas diri orang yang dihidup– kan. Hik… hik… hik… Semua tokoh rimba persilatan bisa menjadi hamba sahaya si pemberi kehidupan atau dibunuh begitu saja secara keji. Mengerikan sekali. Hik… hik… hik.”
“Jadi itu pesan yang hendak kau sampaikan padaku?” tanya Raja Penidur sambil hembuskan asap pipa. Matanya mulai redup.
“Bukan… hik… hik! Jangan tidur dulu! Aku mohon… Pesanku, harap kau sampaikan kepada para tokoh yang bisa dipercaya. Malapetaka yang akan menghancurkan rimba persilatan bisa dicegah bilamana manusia pertama yang diberi kehidupan…”
Raja Penidur hembuskan asap pipanya.
“Aku tidak tertarik pada penuturanmu. Aku tidak tertarik apapun bunyi pesanmu. Pesan gila tak masuk akal. Mana ada orang yang sudah mati bisa dihidupkan dengan memberikan nyawa kedua. Nyawa siapa? Nyawa dari mana? Aku tidak tertarik pada ceritamu sahabatku.”
“Aku sedih mendengar ucapanmu. Hik… hik… Aku orang tolol. Tapi ternyata kau lebih tolol lagi. Akibat tidur seumur­umur, kau tidak tahu apa yang saat ini terjadi di dalam rimba persilatan. Padahal hik… hik… hik. Jika benar kau tengah dalam akhir perjalanan hidupmu, maka ini adalah satu kebajikan besar yang bisa kau buat sebelum meng– hadap Yang Maha kuasa. Aku mohon agar kau mencari seorang tokoh silat bernama…”
“Saatnya aku tidur sahabatku…” Di atas jajaran batang kelapa Raja Penidur berkata. Lalu kepalanya terkulai di atas kayu sandaran, tangan yang memegang pipa jatuh ke samping.
Melihat hal ini Dewa Sedih menangis keras. Dia miringkan kepalanya ke kanan. Lalu kepala dipukul-pukul berulangkali. Aneh! Dari telinga kanan si kakek meluncur keluar sebuah gulungan kain berwarna putih. Dewa Sedih cabut gulungan kain ini lalu dengan cepat dilemparkan ke arah Raja Penidur dan jatuh tepat di pangkuannya. Namun saat itu sepasang mata Raja Penidur mulai terpejam dan dari mulutnya keluar suara mendengkur.
Dewa Sedih menggerung keras. Dia tidak bisa berbuat apa selain memperhatikan kepergian Raja Penidur yang digotong oleh empat orang bertubuh kekar bercelana hitam gombrong.
Setelah puas menangis, Dewa Sedih baru ingat pada Raja Setan Tersenyum yang hendak membunuhnya. Tanpa berpaling dia berucap.
“Orang yang memegang lima anak panah hitam, tunggu apa lagi. Aku siap menerima kematian di tanganmu. Aku hanya sedih si gemuk itu tidak mau menyampaikan pesan– ku. Kalau dia bangun mudah-mudahan dia melihat gulungan kain putih itu. Tapi kapan dia akan bangun dari tidur pulasnya. Dua bulan, lima bulan atau satu tahun di muka? Malapetaka? Malapetaka! Hik… hik… hik. Mengapa hidup ini selalu susah dan menyedihkan bagi diriku?”
Dewa Sedih usap matanya, sesenggukan dan menghela nafas berulang kali. Yang ditunggu tidak terjadi. Raja Setan Tersenyum tidak melemparkan panah-panah maut, tidak membunuhnya. Perlahan-lahan Dewa Sedih angkat kepala dan berpaling ke arah batu persegi di tengah sungai tempat Raja Setan Tersenyum berada. Astaga! Dewa Sedih menggerung keras.
“Nasib peruntungan anak manusia tidak bisa ditentukan kecuali oleh Yang Maha Kuasa. Aku, mengapa bukan diriku yang pergi lebih dulu? Hik… hik… hik. Mengapa aku tak melihat kapan dia merampas panah itu. Mengapa aku tidak tahu kapan dia melempar anak panah itu! Hik… hik… hik!”
Di atas batu hitam persegi di tengah sungai sosok Raja Setan Tersenyum terkapar berlumuran darah. Lima anak panah yang sebelumnya dipegangnya dan akan dijadikan sebagai senjata membunuh Dewa Sedih, kelihatan me– nancap di tubuh kakek kepala gundul itu. Dua menancap di kening, dua di leher dan satunya di dada kiri.
“Raja Penidur, hik… hik… hik. Aku tahu pasti kau yang punya pekerjaan. Aku tahu, kau tak suka orang itu membunuhku. Lalu kau bunuh duluan. Tapi ketahuilah. Hatiku jadi sangat sedih. Tindakanmu hanya menunda kematian bagi diriku. Hik… hik… hik.” Dewa Sedih menangis keras lalu luncurkan diri dari atas batu bulat, masuk ke dalam air sungai.

6

DUA purnama setelah pertemuan Dewa Sedih dengan Raja Penidur. Di satu petang menjelang matahari tenggelam, dua sosok putih berlari cepat membe– lakangi sang surya. Dari gerak lari keduanya serta jarak yang tak pernah terpaut jauh menunjukkan mereka sama­sama memiliki ilmu lari yang setara. Dua sosok putih ini bukan lain adalah dua anggota komplotan ganas yang dikenal dengan nama Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Mereka sanggup berbuat sadis semudah mengedipkan mata karena telah dicuci otaknya, dibuat beku perasaan hatinya dan hanya tunduk pada pimpinan mereka yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Ketua.
Sambil berlari manusia pocong di sebelah kanan berkata.
“Heran, mengapa kita berdua yang ditugaskan Yang Mulia Ketua. Belakangan ini ada beberapa anggota baru. Kabarnya mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Malah aku mendengar kabar selentingan di dalam lorong. Salah seorang yang kena dijerat adalah dedengkot rimba persilatan dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Seharusnya dia dan seorang lain yang diberi tugas, bukan kita. Hal itu sekaligus untuk menguji kemampuan serta kesetiaan mereka pada kelompok kita.”
“Mula-mula aku juga berpikir seperti itu,” jawab manusia pocong kedua.
“Tapi kemudian aku merasa, ini bukan cuma soal uji menguji. Tetapi soal kepercayaan dan kemampuan pasti bahwa tugas harus bisa dilaksanakan. Mengenai tokoh bernama Dewa Tuak, aku tidak heran mengapa Yang Mulia Ketua tidak memberi tugas sebagai ujian padanya. Aku menyirap kabar, minuman pencuci otak yang diberikan padanya tidak mempan. Dia pernah mencoba kabur. Membunuh dan menciderai kawan-kawan kita. Terpaksa dia dicekoki sampai dua kali. Itupun masih ada kekhawatiran manusia sakti satu itu belum dapat dikuasai perasaan dan jalan pikirannya. Sekarang Yang Mulia Ketua memberikan perintah pada kita berdua. Berarti dia mempercayai kita dan ini bukan tugas main-main. Kalau kita berhasil, kedudukan kita dalam Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian akan dinaikkan ke tingkat lebih tinggi. Tapi jika gagal tahu sendiri akibatnya. Jadi ini bukan tugas main-main.”
“Ini memang bukan tugas main-main. Maut hadangan– nya,” jawab manusia pocong pertama.
“Kau tahu siapa orang yang bakal kita hadapi?”
“Aku pernah mendengar nama julukannya. Tapi belum pernah melihat orangnya. Aku tidak yakin apakah dia memang punya kepandaian seperti yang disohorkan dunia persilatan. Orang kerjanya selalu tidur punya kemampuan apa?”
Manusia pocong kedua tersenyum di balik kain putih penutup kepala.
“Jangan sekali-kali bersikap memandang rendah orang. Kau tahu, sebelum kita berdua dilahirkan, manusia itu sudah hidup lebih dari seratus dua puluh tahun dan dianggap sebagai salah satu tokoh paling hebat dalam rimba persilatan.”
Sampai saat sang surya tenggelam, tak satupun dari dua manusia pocong itu bicara. Begitu hari mulai menjadi gelap manusia pocong pertama baru membuka mulut.
“Sebelum bintang pertama muncul di langit, kita akan sampai di Candi Cemorosewu. Aku harap dugaan Yang Mulia Ketua tidak meleset. Kalau tidak kita harus mencari ke mana? Kita hanya diberi waktu sampai tengah malam nanti. Berhasil atau tidak kita sudah harus kembali ke markas. Kau tahu apa yang bakal kejadian jika kita tidak berhasil?”
“Darah kita akan dikuras. Jantung kita akan dicopot! Mati!” jawab manusia pocong kedua. Tengkuknya terasa dingin.
“Setahuku selama ini Yang Mulia Ketua selalu matang dan tepat setiap perhitungannya. Lagi pula teman­teman yang bertindak sebagai mata-mata tentunya sudah menjajagi sebelumnya dan melapor pada Yang Mutia Ketua. Keberhasilan kita tergantung pada hasil kerja mata­mata. Bagaimana kalau mereka berdusta mengatakan bahwa benda yang harus kita dapatkan itu benar-benar berada di tangan Raja Penidur padahal kenyataannya tidak.”
“Di antara para anggota, siapa yang berani dusta dan mengkhianati Yang Mulia Ketua?” menyahuti manusia pocong pertama.
Kawannya terdiam. Sesaat kemudian baru membuka mulut.
“Aku pikir-pikir sungguh aneh. Kita ditugaskan untuk mendapatkan segulung kecil kain putih yang konon berada di tangan Raja Penidur. Sepotong kain putih yang digulung! Apa tidak gila! Mending kalau kain itu merupakan satu senjata atau benda sakti mandraguna?”
“Aku tidak pernah berpikir terlalu jauh atau coba-coba menyelidik. Aku punya firasat benda itu sama berharganya dengan nyawa seluruh penghuni 113 Lorong Kematian. Kita hanya diberi tugas untuk mendapatkan gulungan kain itu. Apakah berani membantah? Ingat ucapan Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua Seorang yang wajib dicintai.”
“Aku tidak membantah,” sahut manusia pocong kedua. Ada rasa ngeri dan rasa tunduk di dalam hatinya.
Manusia pocong pertama lanjutkan ucapan.
“Tak sengaja aku pernah mendengar pembicaraan antara Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua. Benda berupa gulungan kecil kain putih itu agaknya merupakan satu rahasia dahsyat. Yang bakal menentukan apakah 113 Lorong Kematian akan sanggup menguasai rimba persilatan atau tidak. Ada anggota yang melihat Yang Mulia Ketua bicara dengan semacam roh gaib. Roh gaib yang menjadi penguasa batu aneh yang sanggup memberikan nyawa baru pada orang yang sudah mati. Lalu ada kabar lain yaitu bahwa Yang
Mulia Ketua akan membentuk satu partai.”
“Partai?”
“Ya, satu kelompok yang jauh lebih besar dari sebuah perguruan silat. Partai itu mempunyai cabang di mana­mana. Kelak akan merajai rimba persilatan tanah Jawa, bahkan sampai ke seberang lautan.”
Semakin gelap malam semakin angker kelihatan bayangan dua manusia pocong yang berkelebat sangat cepat itu.
“Bintang pertama sudah kelihatan di langit!” manusia pocong pertama memberitahu temannya.
“Aku sudah melihat bagian atas candi,” kata manusia pocong kedua.
Hanya beberapa kejapan mata berlalu, dua manusia pocong itu telah sampai di sebelah timur Candi Cemoro– sewu. Di bawah sebatang pohon besar berdaun rimbun keduanya berhenti. Masing-masing memasang mata, pentang telinga.
“Sepi, aku tidak melihat apa-apa. Juga tidak terdengar suara apapun.” Manusia pocong kedua berkata.
“Tapi aku mencium bau sesuatu,” kata manusia pocong pertama.
Kawannya lalu tinggikan hidung dan menghisap udara malam dalam-dalam.
“Kau betul. Raja Penidur ada di candi. Bau yang kita cium adalah bau asap cangklongnya,”
“Berarti dia dalam keadaan bangun.”
“Belum tentu. Sekian puluh hari dia tidur, pipanya bisa saja tetap menyala. Kabarnya dia punya empat anak buah. Rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka bergan– tian menambah tembakau pipa dan menyalakan apinya. Eh, apakah kau tidak mendengar suara sesuatu? Tadi memang belum kedengaran. Sekarang jelas sekali. Suara orang mendengkur?”
“Astaga! Aku juga mendengar. Tanah terasa bergetar. Luar biasa hawa sakti tenaga dalam orang itu. Raja Penidur yang kita cari memang ada di candi.”
Manusia pocong pertama pegang bahu temannya lalu berbisik.
“Aku melihat bayangan asap tipis dari bagian kanan candi. Itu asap pipa Raja Penidur. Berarti dia memang ada di sana. Di balik tembok.”
“Kita menyerbu berbarengan atau dari arah terpisah?” tanya manusia pocong kedua.
“Kau lompati tembok sebelah kiri dan coba menarik perhatian empat pembantu Raja Penidur. Begitu mereka lengah aku akan merampas gulungan kain putih. Menurut penjelasan mata-mata yang diterima Yang Mulia Ketua, sejak Raja Penidur tidur dua bulan lalu, gulungan kain itu tidak bergerak dari pangkuannya.”
Tanpa tunggu lebih lama manusia pocong kedua segera keluar dari balik pohon besar. Dua kali bergerak cepat dia sudah berada di atas reruntuhan tembok candi sebelah kiri. Memandang ke bawah walau hanya sesaat, dadanya terasa bergetar. Di bawah sana, di lantai batu halaman candi, empat orang lelaki bertubuh besar kekar, bertelan– jang dada dan mengenakan celana hitam gombrong, duduk berpencaran, bersila tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Tidak dapat diduga apakah mereka tengah bersamadi atau beristirahat atau tertidur lelap.
Di antara keempat orang itu, di lantai batu terletak tiga batang kelapa yang diikat jadi satu. Di atas jajaran batang kelapa ini berbaring sesosok tubuh luar biasa gemuk. Sebuah pipa besar dan panjang berada di genggaman tangan kirinya dalam keadaan menyala dan mengepulkan asap berbau sangat tidak sedap. Dua mata terpejam. Mulut, rongga hidung dan tenggorokan jadi satu menge– luarkan suara grookk… grookk. Suara mendengkur.
Begitu injakkan kaki di atas reruntuhan tembok candi, manusia pocong kedua keluarkan suara suitan dua kali berturut-turut. Seperti yang diduga, empat lelaki yang bergerak mengelilingi jajaran batang kelapa, saat itu juga melompat bangkit. Kepala dan mata diarahkan ke tembok di mana manusia pocong kedua berdiri seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan.
“Mahluk di atas tembok!” Orang bertubuh kekar besar di ujung kanan menegur.
“Kami hanya memberi ingat satu kali! Tinggalkan tempat ini atau mati!”
Manusia pocong di atas tembok keluarkan suara mendengus.
“Kalian bangsa manusia. Aku mahluk pengu– asa kawasan Candi Cemorosewu. Ancaman itu lebih pantas aku tujukan pada kalian! Tinggalkan candi atau mampus!”
“Kami memilih mampus!” Teriak empat lelaki bercelana komprang hitam.
“Kalau begitu majulah berempat sekaligus. Biar cepat aku menghabisi kalian!”
Empat lelaki bertelanjang dada keluarkan suara menggeram. Saat itu juga keempatnya melesat ke arah tembok. Manusia pocong kedua berlaku sigap. Sesuai siasat yang sudah diatur, begitu empat lawan melayang setengah jalan, dia segera melompat turun dari atas tembok, lenyapkan diri ke bagian gelap di samping candi. Empat pembantu Raja Penidur segera mengejar. Walau tubuh mereka besar dan kekar namun gerakan masing­masing sangat enteng dan luar biasa gesit. Dalam waktu sangat cepat mereka telah berada di halaman samping Candi Cemorosewu, mengurung manusia pocong yang tegak dengan sikap sombong berkacak pinggang.
Pembantu Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tengah dan ibu jari tangan kanan hingga mengeluarkan suara klik! Saat itu juga kawannya di sebelah depan melesat menerjang ke arah manusia pocong. Namun beberapa langkah sebelum serangan sampai, manusia pocong kibaskan lengan jubah kiri kanan. Dua gelombang angin menderu menyambut datangnya serangan. Sesaat sosok pembantu Raja Penidur tergontai-gontai. Di lain kejap begitu berhasil mengimbangi diri dia cepat menyerbu kembali. Namun lawan yang diserang membuat gerakan kilat. Sekali berkelebat manusia pocong lenyap dari pemandangan.
Klik!
Sekali lagi pembantu Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tangan.
Orang tinggi besar di sebelah kiri melesat ke udara. Lenyap di balik bangunan candi. Karena berada di tempat yang agak jauh di mana dia bisa memandang lebih jelas, pembantu Raja Penidur ini tadi dapat melihat ke arah mana lenyapnya si manusia pocong. Namun begitu men– jejakkan kaki di lantai candi, dari balik dinding bangunan berkelebat sebuah kaki.
Bukkk!
Satu tendangan keras mendarat di pipi kanan pembantu Raja Penidur!
Kepala orang ini seperti terpental. Tubuhnya bergetar hebat namun dua kakinya tidak bergeser! Mulut keluarkan suara menggerang, kepala dimiringkan dan tangan kanan ditepuk-tepukkan ke pipi yang barusan kena tendangan lalu kepala kembali diluruskan. Dari mulut keluar suara menggembor. Dengusan nafas terasa panas dalam dingin– nya udara malam.
Di balik dinding candi, manusia pocong yang barusan hantamkan tendangan melengak kaget pelototkan mata. Tembok batu saja akan hancur berantakan kena tendangan kakinya. Seatos apa kepala manusia satu ini hingga tidak cidera barang sedikitpun? Tidak menunggu lebih lama, sambil melompat keluar dari balik dinding dia hantamkan tangan kanan, melepas satu pukulan sakti bertenaga dalam tinggi. Namun selagi tangan kanan masih terangkat di udara, belum sempat dipukulkan ke arah pembantu Raja Penidur, tiba-tiba satu tangan kukuh mencekal lengan kanannya. Berpaling ke belakang seorang tinggi besar bertelanjang dada menyeringai. Tiba-tiba seringai itu lenyap dan bersamaan tubuh si manusia pocong dipuntir ke depan lalu, bukkk! Satu jotosan keras melanda dada manusia pocong. Walau tubuh terpental hampir sepuluh langkah dan tertahan di dinding candi, namun tak ada suara keluhan apa lagi jeritan terdengar keluar dari mulut si manusia pocong. Hanya saja, pada kain putih penutup kepala, di bagian mulut kelihatan warna merah. Pertand aada lelehan darah keluar dari mulut mahluk ini, pertanda tubuhnya menderita luka dalam hebat akibat jotosan. Saat itu di kiri kanan dan sebelah belakang si manusia pocong mendengar suara dengusan. Meman– dang berkeliling dilihatnya empat pembantu Raja Penidur sudah mengurung! Sosok tinggi besar, dada telanjang celana gombrong hitam dan tampang sama-sama sung– gingkan seringai angker. Walau hatinya bergetar namun dengan cepat si manusia pocong pulihkan rasa percaya diri. Dua lutut dilipat, tubuh merunduk, dua tangan dikembang dengan ujung-ujung jari menukik ke lantai candi. Tiba-tiba tubuh itu diayun ke bawah. Ujung-ujung jari menotok lantai candi. Seperti sebuah bola karet tubuh manusia pocong melenting ke udara. Tepat pada saat kaki mencapai ketinggian kepala, sosok manusia pocong berputar. Ujung jubah menghambur angin deras, terangkat ke atas. Dua kaki menyembul dari balik bagian bawah jubah. Begitu tubuhnya berputar, dua kaki juga ikut berputar dan, bukk… bukk… bukk… bukk! Empat kepala pembantu Raja Penidur dimakan tendangan dahsyat!
Sebelumnya, ketika menendang seorang pembantu Raja Penidur dari balik bangunan candi, manusia pocong hanya kerahkan sepertiga tenaga dalamnya. Kini mengha– dapi empat lawan yang siap membantai dan diketahui memiliki tenaga dalam tinggi, dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya hingga perutnya menjadi cekung gembos dan dada seperti terbakar.
“Mampus semua!” teriak manusia pocong lalu hamburkan tawa bergelak.

7

TENDANGAN yang sangat cepat disertai kekuatan tenaga dalam tinggi membuat empat orang pembantu Raja Penidur terpental dan jatuh terjengkang di lantai candi. Satu di antaranya malah membelintang di atas reruntuhan tembok. Orang pertama kelihatan hancur hidungnya, separuh muka bergelimang darah. Pembantu kedua lebam memar pipi kiri. Yang ketiga pergunakan tangan kiri untuk menekap mata yang melesak ke dalam rongga dan kucurkan darah, ketika tangannya diturunkan tampangnya kelihatan menggidikkan. Sementara pemban– tu keempat pegangi keningnya yang benjut hampir sebesar kepalan!
Setelah keluarkan keluh kesakitan serta menggembor pendek penuh geram, tiga pembantu Raja Penidur itu yang terjengkang di lantai candi perlahan-lahan bangkit berdiri. Yang hidungnya hancur dan wajah bercelemongan darah, usap mukanya mulai dari kening sampai ke dagu. Saat itu juga celemongan darah lenyap dan hidungnya yang hancur kembali ke bentuk semula tanpa cacat.
Orang kedua yang lebam memar pipi kiri seperti temannya setelah berkomat-kamit usap pipi yang cidera, begitu selesai diusap, pipi yang bengkak merah kebiruan itu serta merta sembuh tak berbekas. Lalu pembantu ketiga lakukan hal yang sama, usap-usap matanya yang melesak merah berdarah. Kucuran darah berhenti dan noda yang ada di mata serta pipi kiri pulih lenyap. Di atas tembok candi, pembantu keempat menggeliat sebentar lalu turun sambil usap-usap keningnya yang benjut seperti tinju. Di bawah benjutan itu ada luka menganga mengeluarkan darah kental. Luar biasa, setelah diusap cidera besar itupun hilang. Noda darah tak kelihatan lagi.
Manusia pocong yang menyaksikan semua kejadian itu mau tak mau jadi leleh nyalinya. Tendangan yang dilancarkannya tadi yang sanggup mengenai telak empat sasaran adalah jurus tendangan bernama Empat Dewa Membagi Pahala. Jarang sekali ada lawan mampu selamatkan diri dari tendangan tersebut. Kenyataannya memang begitu. Namun yang membuat manusia pocong jadi mengkirik tercekat ialah sewaktu melihat bagaimana empat tendangan yang sanggup menghancur leburkan batu besar itu hanya menimbulkan cidera berat. Dan gilanya semua cidera itu sembuh lenyap begitu diusap! Manusia pocong tidak bisa membayangkan sampai di mana tingkat ketinggian ilmu empat pembantu Raja Penidur ini. Kalau pembantu saja sudah demikian luar biasanya, bagaimana dengan si Raja Penidur sendiri?!
Mengharap kawannya berhasil melaksanakan tugas dan merasa hanya mencari penyakit saja jika dia mene– ruskan perkelahian dengan empat orang tinggi besar itu, manusia pocong keluarkan suitan keras memberi tanda pada temannya lalu melesat ke udara, berkelebat ke atas samping candi sebelah timur. Namun kecepatan daya lenting tubuhnya kali ini tidak bisa menipu empat pembantu Raja Penidur. Begitu tubuhnya bergerak ke atas, empat orang tinggi besar sama-sama keluarkan suitan keras. Tubuh mereka melesat ke udara. Di lain kejap manusia pocong merasakan kedua pergelangan tangan dan kaki kiri kanan telah dicekal orang. Dia berusaha berontak. Tapi malah tubuhnya dibanting hingga tersandar ke dinding. Dia coba kerahkan tenaga dalam. Tetap sia-sia. Tenaga dalam empat orang yang mencekalnya itu tak bisa ditembus!
“Setan jejadian! Perlihatkan tampangmu!”
Orang tinggi besar di sebelah kiri bawah yang mencekal kaki kiri membentak. Kawannya yang mencekal tangan kanan manusia pocong ulurkan tangan kiri ke arah kepala.
Sreet! Kain putih penutup kepala manusia pocong tersing– kap. Kelihatanlah satu kepala terbungkus rambut kelabu dan wajah tua berpipi cekung dengan kumis serta janggut dan cambang tidak terurus.
“Dewa Berkaki Iblis!” Dua orang pembantu Raja Penidur yang mengenali siapa adanya orang itu berbarengan keluarkan seruan.
Dewa Berkaki Iblis telah membuat nama besar. Sebagai seorang tokoh silat berkepandaian tinggi yang terkadang berbuat kebaikan tapi terkadang tidak segan-segan pula berbuat keji jika dia merasa ada kepentingan dan keun– tungan. Karena sifatnya yang munafik inilah mungkin rimba persilatan memberi julukan Dewa Berkaki Iblis kepadanya. Pertama karena sifatnya tersebut, kedua kehebatannya memang ada pada sepasang kaki. Puluhan lawan mene– mui ajal bukan dengan tangan atau senjata tapi dimangsa sepasang kaki.
Orang tua yang disebut julukannya itu walau muka kelihatan pucat tapi tenang-tenang saja, malah masih bisa sunggingkan senyum dan membuka mulut.
“Apalagi yang kalian tunggu?!”
“Eh, apa maksudmu?!” hardik pembantu Raja Penidur yang mencekal tangan kanan manusia pocong.
“Kalian inginkan kematianku! Mengapa tidak langsung membunuh?!”
Dua orang tinggi besar bercelana komprang hitam tertawa lebar.
“Soal nyawamu siapa yang memikirkan. Kami bisa membunuhmu secepat kilat menyambar. Tapi kami lebih dulu perlu beberapa keterangan!”
“Kalau kau tidak mau bicara, akan kubetot lidahmu sampai ke akarnya!” Mengancam orang yang memegangi kaki kiri manusia pocong.
“Hemmm… begitu? Keterangan apa yang kalian inginkan?” Si kakek berpipi cekung berjuluk Dewa Berkaki Iblis menyeringai.
“Siapa yang menyuruh kau dan temanmu datang menyerang kami! Lalu apa maksud kalian melakukan serangan! Pertanyaan ketiga, jika kalian merupakan satu
komplotan di mana sarang kalian?!”
Dewa Berkaki Iblis tersenyum.
“Kalau cuma itu yang kalian ingin tahu, tidak sulit bagiku memberi keterangan. Aku tahu setelah aku mem– beri keterangan, kalian akan menghabisi diriku. Agar aku bisa mati dengan tenang, biarkan aku bicara dengan tenang pula. Harap kalian sudi melepas cekalan pada dua tangan dan kakiku. Dalam keadaan terkurung serta mengalami luka dalam seperti ini apa kalian kira aku mau menipu dan masih sanggup melarikan diri?”
Empat pembantu Raja Penidur saling berpandangan. Yang dua anggukkan kepala. Temannya yang dua lagi ikut menyetujui. Keempat pembantu Raja Penidur lepaskan cekalan di kedua tangan dan kaki Dewa Berkaki Iblis. Orang tua ini menarik nafas lega berulang kali, lalu menatap empat orang tinggi besar di depannya dan berkata.
“Sebelum aku menjawab tiga pertanyaan tadi, apakah kalian pernah mendengar ucapan seperti ini? Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai.”
“Omongan ngacok apa itu?” hardik orang tinggi besar di samping kiri.
“Kalau kalian tidak mengerti biar aku beritahu.” Kata Dewa Berkaki Iblis pula. Sikap tenang wajah tersenyum. Lalu di luar dugaan dia balikkan badan dan secepat kilat membenturkan kepalanya ke dinding candi.
Praakkk!
Nyawanya tak tertolong lagi. Dewa Berkaki Iblis yang jadi anggota Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kema– tian ini tewas dengan kepala pecah!
***
Ketika manusia pocong kedua melompat tinggalkan tembok candi dan dikejar oleh empat orang pembantu Raja Penidur, manusia pocong pertama telah melesat ke atas tembok sebelah kanan. Dia menyeringai di balik kain putih penutup kepala karena merasa siasat yang dirancang ternyata mengena. Dia tidak menyadari malapetaka apa yang bakal menimpa dirinya sebentar lagi.
Tanpa tunggu lebih lama dia cepat berkelebat ke arah Raja Penidur yang terbaring ngorok. Walaupun malam gelap, namun matanya yang tajam sudah dapat melihat benda yang dicari, yakni satu gulungan kecil kain putih. Sesuai penjelasan Yang Mulia Ketua benda itu ada di atas pangkuan, dekat lekuk paha celana. Secepat kilat manusia pocong pertama ini ulurkan tangan kanan menyambar gulungan kain putih kecil. Dia berhasil mendapatkan! Namun sebelum sempat berkelebat kabur, tahu-tahu, clek! Satu tangan besar laksana jepitan besi mencekal lengan kanannya. Lalu ada asap berbau sangat tidak enak berhembus ke arah mukanya. Membuat dia gelagapan, sulit bernafas dan batuk-batuk.
Manusia pocong ini berusaha menarik tangannya yang dicekal. Sampai keluarkan seluruh tenaga luar dan dalam dan tubuh keringatan tetap saja dia tak mampu bebaskan lengan. Karenanya tidak menunggu lebih lama lagi tangan kiri segera dihantamkan ke perut gendut Raja Penidur.
Buuukkk!
Desss!
Tiga jajar batang kelapa yang menjadi alas ketiduran Raja Penidur sampai bergetar hebat. Tapi anehnya tubuh Raja Penidur sendiri tidak ikut cidera dihantam pukulan keras itu. Perut gendutnya yang kena hantam melesak ke bawah sampai satu jengkal, lalu perlahan-lahan melenting naik kembali.
“Gila! Ilmu apa yang dimiliki orang ini? Aku seperti memukul tumpukan kapas!” ucap manusia pocong dalam hati sambil melotot.
Sementara itu si gemuk yang kena dipukul anehnya malah menggeliat, menguap lebar-lebar. Tanpa membuka kedua matanya yang terpejam dia berkata.
“Enak-enakan tidur siapa yang barusan jahil menggelitik perutku…”
Walau kaget mendengar ucapan orang, si manusia pocong merasa dipermainkan. Kini dia kerahkan seluruh tenaga dalam ke tangan kiri lalu secepat kilat menghantam ke arah batok kepala Raja Penidur.
“Uuhhh… ada nyamuk nakal mau menghisap darahku.” Raja Penidur acuh tak acuh kibaskan pipa di tangan kanan. Mata masih terpejam.
Manusia pocong terlambat tarik tangannya.
Kraaakk!
Lengan kanan manusia pocong hancur. Bagian sebelah bawah bergelayutan, tidak sampai tanggal karena masih tertahan daging, urat dan otot. Jeritan setinggi langit keluar dari mulut si manusia pocong. Sementara tangan kanan– nya yang hendak merampas gulungan kain putih masih berada dalam cekalan Raja Penidur. Saat itulah empat pembantu Raja Penidur muncul. Mereka segera menarik tubuh manusia pocong dan siap hendak dibantai. Namun terpaksa urungkan niat ketika Raja Penidur terdengar berkata.
“Biarkan dia hidup. Biarkan dia kembali ke majikan yang menyuruhnya…”
“Raja Penidur, kami patuh apa yang kau perintahkan. Tapi sebaiknya manusia satu ini kita tanyai dulu. Siapa dirinya, siapa majikannya dan di mana tempat kediaman– nya…”
“Mengapa susah-susah? Biar saja. Nanti ada orang lain yang bakal mengurusi. Lepaskan dia. Kalau dia kembaii ke majikannya aku rasa dia bakalan jadi setan pocong betulan.”
Mendengar ucapan Raja Penidur, empat pembantu ayun tubuh manusia pocong lalu dilempar ke arah semak belukar.
Braaakkk!
Manusia pocong terkapar di atas semak-semak. Tangan kiri tergontai-gontai. Sambil menahan sakit dia cepat turun dan kabur tinggalkan tempat itu. Ternyata dia tidak terus kembali ke 113 Lorong Kematian. Di satu tempat dia berhenti di tepi sebuah jurang batu. Hatinya berkata, “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilak– sanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai. Tapi kalau aku kembali, apakah Yang Mulia Ketua akan memberi pengampunan? Kalau aku melarikan diri apakah Yang Mulia Ketua dan kaki tangannya tidak bakal menemukan diriku?”
Manusia pocong menatap ke dalam jurang dalam dan gelap. Terngiang ucapan Raja Penidur yang mengatakan kalau dia kembali ke majikannya, mungkin dia akan dijadikan setan pocong betulan alias dibunuh! Orang ini coba berpikir keras namun otaknya yang sudah dicuci tak banyak menolong. Putus asa dan juga ada rasa takut akhirnya didahului satu jeritan keras dan panjang dia memilih menghambur diri terjun ke dalam jurang batu.
***
Kembali ke Candi Cemorosewu.
Raja Penidur, tokoh aneh rimba persilatan ini usap-usap perutnya. Mulut menguap lebar. Ketika mendengar suara jeritan di kejauhan, tanpa membuka mata dia berkata.
“Mahluk tadi, dia ingin lebih cepat jadi setan pocong betulan. Hik… hik… hik.” Raja Penidur sedot lagi pipanya, hembuskan asap lalu menguap.
“Aku mau tidur. Kalian gotong diriku. Kita meneruskan perjalanan.”
“Raja,” salah seorang pembantu beranikan diri berkata.
“Ada sesuatu yang perlu kami beritahukan pada Raja.”
Tanpa membuka mata Raja Penidur hanya keluarkan suara berdehem serak.
Sang pembantu kembali membuka mulut.
“Sewaktu pertemuan dengan kakek berjuluk Dewa Sedih, sebelum Raja tidur, kakek itu melemparkan sesuatu ke pangkuan Raja.”
“Siapa bilang aku tidak tahu?” sahut Raja Penidur lalu menguap.
“Benda itu sebuah gulungan kain putih kecil. Mungkin bekas pengorek kuping tua bangka cengeng itu. Benda itu sampai sekarang masih ada di atas pangkuanku. Betul?” Raja Penidur menguap.
“Betul sekali Raja. Menurut kami benda itu bukan korek kuping. Tapi sesuatu yang sangat penting…”
“Bagaimana kau tahu benda itu penting?” tanya Raja Penidur.
“Kalau tidak penting mengapa dua manusia pocong itu menyatroni kita. Salah seorang dari mereka jelas-jelas hendak merampas gulungan kain itu.”
Raja Penidur diam saja lalu menguap.
“Raja,” pembantu di sisi kiri kini yang keluarkan ucapan.
“Dengan izinmu apakah kami boleh mengambil gulungan kain putih di atas pangkuanmu lalu membuka– nya? Siapa tahu kita akan menemukan sesuatu benda di dalam gulungan atau pesan berupa tulisan…”
“Mengapa mau bersusah payah, mengapa mau mengada-ada?”
“Maaf Raja, kami tidak bermaksud begitu. Kami tidak merasa susah apa lagi berani mengada-ada.” Pembantu yang tadi bicara berkata sambil membungkuk berulang kali.
“Sudahlah, kantukku tidak tertahan. Gotong diriku. Jangan sekali-kali berani mengambil apa lagi membuka gulungan kain putih. Berjalan ke arah matahari terbit. Menjelang fajar kalian akan menemukan seorang yang mengeluarkan suara berisik. Aku tidak akan bangun, jadi tidak akan menemuinya. Serahkan gulungan kain itu padanya. Berikan pesan begini. Minta dia pergi ke arah utara Telaga Sarangan, itu saja…”
“Perintah Raja kami lakukan. Seandainya kami…” Pembantu Raja Penidur tidak teruskan ucapannya karena saat itu manusia luar biasa gemuk berusia seratus enam puluh lima tahun itu telah keluarkan suara mendengkur alias sudah lelap tidur. Jangan harap akan bisa bicara lagi.
“Heran, Raja menyuruh menyampaikan pesan. Bunyi– nya begitu pendek. Apa orang yang keterimaan pesan akan mengerti. Pergi ke utara Telaga Sarangan? Mengapa? Untuk apa? Menemui siapa?”
“Sebaiknya kita tak usah banyak bertanya dan berpikir. Raja lebih tahu dari kita. Mari kita gotong batang kelapa tempat ketidurannya,” kata pembantu Raja Penidur yang waktu perkelahian di candi melesak matanya dihajar manusia pocong.

8

UDARA menjelang pagi terasa dingin. Empat pembantu Raja Penidur berjalan cepat tanpa ada yang bicara. Keadaan masih gelap dan udara dingin luar biasa. Tidak heran walau memanggul beban sangat berat ditam– bah dengan berjalan cepat keempat orang itu tidak keluar– kan keringat.
Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara sesuatu. Raja Penidur sudah mendengar sejak tadi namun tak ada yang mau bicara. Sesuai perintah, mereka bergerak terus ke arah timur, arah terbitnya sang surya. Tak selang berapa lama salah seorang dari mereka akhirnya tidak tahan juga untuk membuka mulut.
“Aku mendengar suara curahan air terjun…”
“Aku juga,” teman di sebelah depan menyahuti.
Pembantu pertama kembali berkata.
“Turut arah datangnya suara pasti itu air terjun Ngadiloyo. Sudah tiga hari kita tidak mandi. Bagaimana kalau mampir dulu ke sana membersihkan diri mencari kesegaran.”
“Air terjun lurus di sebelah kanan. Tujuan kita lurus tidak membelok. Aku khawatir kalau sampai tidak tepat waktu…” Yang berkata orang tinggi besar di belakang kanan,
“Aku mau-mau saja,” ujar pembantu di sebelah belakang kiri.
“Tapi siapa berani menyalahi perintah Raja. Kita disuruh mencari orang yang mengeluarkan suara berisik dan menyerahkan gulungan kain putih.”
“Orang yang selalu berisik itu, terus terang tidak jelas siapa dia adanya. Lelaki, perempuan, masih muda atau sudah tua. Lalu berisik bagaimana? Apa setiap saat dia berteriak-teriak terus… Aku khawatir kita kesalahan menyerahkan pada orang lain.”
“Sudahlah, tak perlu terlalu memikirkan siapa orang itu, apa lagi pergi mandi ke Ngadiloyo. Percepat langkah kalian. Lihat ke depan, apa tidak melihat langit sebelah sana sudah mulai terang? Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kita harus menemukan orang itu. Siapapun dia adanya.”
Mendengar ucapan temannya itu dan melihat langit di kejauhan memang mulai terang, tiga pembantu yang mengusung Raja Penidur serta merta mempercepat langkah. Keempat mereka kini kelihatan setengah berlari.
Di ufuk timur kemunculan sang surya membuat langit yang sepanjang malam gelap menghitam perlahan-lahan mulai kelihatan terang.
Tiba-tiba empat pasang kaki memperlambat lari. Lalu berhenti sama sekali. Empat pembantu Raja Penidur mendengar suara aneh. Dua kali berturut-turut.
“Aku tak bisa menduga suara apa itu. Datangnya tepat di arah terbitnya sang surya.” Pembantu di sebelah depan kanan keluarkan ucapan.
“Jalan saja terus. Aku kira kita akan segera menemu– kan petunjuk sesuai perintah Raja,” kawan pengusung di sebelah kiri depan berkata.
“Kalau petunjuk yang kita temui memang bagus. Tapi kalau bahaya?”
“Apa selama ini kita pernah takut menghadapi bahaya?” teman orang yang barusan bicara menyahuti.
Empat orang tinggi besar itu segera lanjutkan perja– lanan. Tapi kali ini mereka tidak berlari lagi, hanya melang– kah cepat karena hati masing-masing dirasuki oleh rasa was-was yang membuat mereka harus bersikap waspada.
Berjalan sejauh tiga puluh langkah mendadak meng– hadang sebuah parit. Sebagian sisi parit ditumbuhi semak belukar lebat setinggi pinggul. Empat pembantu Raja Peni– dur terpaksa hentikan langkah. Jika tetap mempertahan– kan arah lurus ke timur, mereka harus berputar ke kanan atau ke kiri parit baru bisa meneruskan perjalanan. Namun apa yang membuat mereka tidak segera melanjutkan langkah ialah melihat kehadiran seseorang di seberang parit.
Seorang mengenakan caping duduk menjelepok di bawah sebatang pisang yang tengah berbuah matang. Di pangkuannya terletak satu tongkat berwarna putih terbuat dari tulang. Di belakang punggung tergantung sebuah buntalan. Tangan kanan orang ini memegang sebuah benda yang kurang jelas apa adanya. Pakaiannya rombeng penuh tambalan. Tak seorangpun dari empat pembantu Raja Penidur dapat melihat wajah orang itu karena tertutup caping lebar. Cuma terlihat sedikit bagian dagu yang bergerak-gerak tiada henti, tanda dia tengah makan atau mengunyah sesuatu.
Tangan kanan orang bercaping bergerak. Benda yang ada dalam genggamannya keluarkan suara aneh. Suara berkerontangan. Keras dan berisik, membuat telinga empat pembantu Raja Penidur mengiang sakit. Sehabis membuat suara berisik, dengan benda di tangan kanan orang itu angkat tangan kiri. Telapak di buka menampung ke atas. Aneh luar biasa. Sebutir pisang di atas pohon jatuh ke bawah. Di tangkap dengan tangan kiri lalu dikupas dan dimakan oleh orang bercaping sambil kepalanya dimang– gut-manggut. Habis pisang dimakan kulit dilempar ke dalam parit. Ternyata di parit sudah sembilan kulit pisang bergeletakan.
Orang bercaping usap perutnya sebentar.
“Masih kem– pes…” katanya lalu tertawa, gerakkan tangan kanan yang memegang benda yang bisa mengeluarkan suara berisik.
Tangan kiri diangkat kembali. Ditampung sedemikian rupa. Pisang jatuh lagi secara aneh, dimakan, kulit dilem– par dan tangan kanan kembali menggoyang benda berisik.
Empat pengusung Raja Penidur saling pandang semen– tara lagit semakin terang.
“Aku rasa ini orangnya,” ucap lelaki tinggi besar di depan kanan.
“Yang dimaksud Raja sebagai orang yang selalu berisik adalah benda yang tadi digoyangkan di tangan kanan.”
“Mari kita datangi dia. Bicara dan kalau memang dia orangnya serahkan saja gulungan kain putih dan sampai– kan pesan sesuai perintah Raja.”
Empat lelaki tinggi besar bertelanjang dada dan mengenakan celana gombrong hitam berjalan memutar parit ke sebelah kanan, begitu sampai di hadapan orang bercaping yang duduk di bawah pohon pisang mereka segera turunkan batang kelapa ke tanah.
Seperti tidak acuh orang bercaping kembali gerakkan tangan kanan. Suara berisik luar biasa membuat luruh beberapa daun pepohonan di sekitar tempat itu. Selain itu suara berisik seperti mau merobek gendang-gendang teli– nga membuat empat pembantu Raja Penidur tekap telinga masing-masing.
Selagi orang kebisingan, orang bercaping tampungkan lagi tangan kirinya. Ketika pisang jatuh, pembantu di sebelah depan cepat gerakan tangan hendak mendahului mengambil pisang. Orang bercaping golengkan kepalanya sedikit. Seperti hidup pisang itu melejit ke atas meng– hantam mata kiri sang pembantu hingga dia mengeluh kesakitan. Sebelum sampai ke tangan orang bercaping, pisang mental dulu ke bagian bawah perut orang tinggi besar hingga dia kesakitan terbungkuk-bungkuk. Ketika dia mengusap mata dan memandang ke depan dilihatnya orang bercaping telah menyantap pisang yang tadi hendak diambilnya sambil tertawa haha-hehe! Habis pisang dimakan kulit dilempar ke dalam parit. Lalu benda di tangan kanan digoyang kembali. Empat pembantu Raja Penidur lagi-lagi dibuat gelagapan dan cepat-cepat tutup telinga mereka.
Hari semakin terang. Orang bercaping yang masih belum kelihatan jelas wajahnya keluarkan suara tawa bergelak. Lalu mulutnya berucap.
“Kedatangan tamu dari jauh sungguh menyenangkan. Apa lagi sudah berminggu-minggu aku tidak bertemu dengan yang namanya manusia!”
Orang bercaping goyangkan tangan kanannya. Kembali suara berisik menggema di udara saat fajar menyingsing itu. Empat pembantu Raja Penidur ingin sekali merampas benda di tangan kanan orang bercaping. Tapi mereka tidak berani berlaku ceroboh. Mereka maklum yang duduk menjelepok di tanah sambii terus-terusan makan pisang itu adalah seorang aneh berkepandaian tinggi. Apalagi mereka sudah menduga, orang inilah si manusia berisik yang dimaksud oleh Raja Penidur.
Sementara itu Raja Penidur sendiri terus saja men– dengkur dalam kelelapan tidurnya, sama sekali tidak terganggu oleh suara berisik yang keluar dari benda yang digoyang orang bercaping.
“Cuma sayang. Ha… ha… ha.” Orang bercaping teruskan ucapannya dan tertawa.
“Aku mencium bau tidak enak. Bau ketek, bau selangkangan, bau daki, baru keringat, bau apaknya pakaian, bau busuknya rambut. Semua jadi satu! Hai, udah berapa hari kalian berempat tidak ketemu air, tidak madi?”
Empat pembantu Raja Penidur saling pandang. Yang satu hendak bicara tapi kedahuluan orang bercaping.
“Kalau ingin menyegarkan diri, mengapa tidak mandi dulu? Air parit itu cukup bersih, jernih dan sejuk!”
Empat lelaki tinggi besar kembali saling pandang satu sama lain dan delikkan mata. Orang bercaping itu jelas mempermainkan mereka. Menyuruh mandi di parit yang katanya berair bersih, jernih dan sejuk. Padahal jelas-jelas air parit itu kotor berlumpur, penuh lumut dan sampah termasuk kulit pisang yang dilemparkan seenaknya. Lalu air parit itu juga mengeluarkan bau tidak sedap.
“Kalian tidak mau mandi? Tidak apa. Ha… ha… ha. Berjalan jauh, membawa beban berat pasti kalian haus dan juga lapar. Sayang tidak ada air di sini. Tapi untuk mengganjal perut lapar dan haus dahaga mengapa tidak makan pisang saja? Rasanya manis dan banyak airnya. Aku persilahkan kalian mencicipi.”
Habis berkata begitu orang bercaping ambil tongkat putih di atas pangkuan. Tongkat diangkat dan dikibaskan empat kali berturut-turut ke arah pisang di atas pohon. Empat buah pisang secara aneh melesat dan masuk ke dalam mulut empat pembantu Raja Penidur. Pelipis bergerak, rahang menggembung, mata mendelik. Jelas keempat orang ini menjadi marah besar diperlakukan seperti itu.
“Oho! Jangan marah! Makan saja pisangnya. Aku tidak akan minta bayaran! Ha… ha… ha!”
Saking marah dan karena pisang sudah masuk hampir setengahnya ke mulut mereka, dengan gemas geram empat lelaki tinggi besar itu akhirnya kunyah dan telan pisang dengan kulit-kulitnya.
Orang bercaping kembali tertawa.
“Kalau lagi lapar, pisang dilahap dengan kulitnya memang sedap juga. Ha… ha… ha!” Orang bercaping goyangkan tangan kanan. Kembali suara berisik menggema di seantero tempat.
Tadinya keempat orang yang masih dalam keadaan marah itu hendak melakukan sesuatu untuk memberi pelajaran pada orang bercaping yang sudah keterlaluan kurang ajarnya. Tapi mereka merasa aneh, pisang dengan kulit itu terasa sangat sedap dan walau cuma makan sebuah saat itu mereka merasa perut masing-masing kenyang sekali. Dahagapun hilang, tubuh terasa segar dan kuat. Segala keletihan menempuh perjalanan jauh dan membawa beban berat lenyap!
“Orang bercaping, jelaskan siapa dirimu!” Pembantu paling depan berkata. Suaranya tidak berani keras lagi. Dia menyadari orang yang duduk di tanah itu benar-benar bukan manusia sembarangan.
“Sudi membuka caping. Bolehkah Kami melihat wajahmu?” kawannya di samping kiri ikut keluarkan ucapan.
Orang bercaping melintangkan tongkat putih di atas dada. Benda yang selalu digenggamnya di tangan kanan diletakkan di tanah. Perlahan-lahan bagian depan caping bambunya didorong ke atas hingga wajahnya tersingkap sampai ke kening. Ternyata dia adalah seorang kakek. Dan astaga! Sepasang matanya kelihatan putih, tidak ada bola mata hitam sama sekali!

9

EMPAT pembantu Raja Penidur tersentak kaget. Manusia buta begini rupa bagaimana bisa tahu kehadiran mereka, membawa beban berat dan bisa melakukan hal-hal aneh. Padahal orang tidak buta sekalipun belum tentu bisa mengerjakan!
Setelah tertawa panjang kakek ini berkata.
“Pakaian rombeng banyak tambalan. Membekal tongkat putih dari tulang. Mengenakan caping. Ke mana­mana membawa kaleng rombeng berisi batu. Mata hanya tinggal putihnya saja. Apa kalian masih tidak mengenali diriku? Ha… ha… ha…!”
“Kakek Segala Tahu!”
Empat pembantu Raja Penidur keluarkan ucapan hampir berbarengan. Lalu sama-sama bungkukkan tubuh memberi hormat.
“Setahu kami kau adalah sahabat sangat dekat dengan Raja Penidur…”
“Kami memang bersahabat. Tapi dia seorang sahabat yang sombong!” kata si kakek pula.
“Buktinya, menemuiku dia terus-terusan tidur. Tapi aku mau tahu apakah dia cuma berpura-pura.”
Kakek bercaping yang memang Kakek Segala Tahu adanya, orang yang merupakan salah satu dedengkot rimba persilatan tanah Jawa beringsut mendekati jejeran tiga batang kelapa di atas mana Raja Penidur tidur dengan mengeluarkan suara mendengkur keras.
Kakek itu kerahkan tenaga dalam lalu kaleng rombeng yang didekatkan ke telinga kiri Raja Penidur digoyang kuat­kuat. Empat pembantu Raja Penidur tersurut sampai empat langkah. Satu di antaranya hampir terpeleset masuk ke dalam parit. Mereka semua menutup telinga masing­masing karena tidak sanggup mendengar kerasnya suara kaleng rombeng berisi batu yang digoncang.
Di atas jejeran batang kelapa, Raja Penidur tidak bergerak, tidak pula berhenti dengkurnya. Sepasang mata terus terpejam. Dahsyatnya suara kerontangan kaleng yang digoyang di telinga kirinya sama sekali tidak membuatnya bangun dari lelap tidur.
Kakek Segala Tahu belum mau menyerah. Tenaga dalamnya ditambah lagi hingga capingnya beberapa kali berjingkrak ke atas. Kaleng rombeng dipindah, kini digoyang di dekat telinga kanan Raja Penidur. Seperti tadi Raja Penidur tidak bergeming, tidak terpengaruh sedikit– pun.
“Kakek Segala Tahu,” ucap salah seorang pembantu.
“Kau saksikan sendiri, Raja Penidur tidak sombong, dia tidak berpura-pura. Dia memang tidur nyeyak. Kalau belum saatnya, apapun yang terjadi, sekalipun gunung meletus di depan hidung dan dunia ini mau kiamat, dia pasti tetap saja tidak akan terjaga bangun. Harap kau tidak meng– ganggunya lebih jauh.”
Kakek Segala Tahu menyeringai.
“Siapa percaya ocehanmu!?” katanya.
“Kalau gunung meletus di depan hidungnya, majikanmu ini sudah jadi debu. Kalau dunia kiamat dia sudah jadi bara puntung neraka! Ha… ha… ha! Kalian semua tenang saja. Lihat saja. Masih ada cara lain untuk membuktikan apakah dia memang benar-benar tidur atau bohongan belaka!”
“Asal kau jangan menyakiti dirinya saja Kek,” kata salah seorang pembantu Raja Penidur.
“Jangan takut, jangan khawatir. Hik… hik. Aku tidak akan menyakiti dirinya. Malah aku mau memberinya satu kenikmatan.” Jawab Kakek Segala Tahu. Lalu orang tua ini ambil tongkatnya. Ujung tongkat diletakkan di atas tubuh Raja Penidur, tepat di bagian bawah perut manusia gemuk itu. Perlahan-lahan sambil kedip-kedipkan matanya yang putih, Kakek Segala Tahu mulai usap-usapkan ujung tongkatnya.
“Kakek, apa yang kau lakukan?” tanya seorang pembantu Raja Penidur.
“Ssst… Lihat saja. Tak usah khawatir…” Jawab Kakek Segala Tahu dan terus saja mengusapi bagian tubuh di antara dua paha Raja Penidur. Lama kelamaan, perlahan­lahan celana di bagian bawah perut itu membengkak, naik ke atas, makin tinggi dan makin tinggi.
Kakek Segala Tahu tertawa cekikikan. Dia tarik tongkatnya lalu berkata.
“Kalian lihat sendiri. Barusan aku telah membuktikan majikanmu ini tidak tidur benaran. Dia hanya pura-pura. Kalau dia memang tidur mengapa anunya bisa munjung, bisa naik diusap-usap. Padahal cuma diusap dengan tongkat. Bagaimana kalau yang mengusap jari-jari tangan gadis cantik? Huh! Pasti meledak robek celananya! Ha… ha… ha…”
Empat pembantu Raja Penidur sesaat terdiam lalu serentak sama-sama menutup mulut menahan tawa. Salah seorang di antara mereka kemudian berbisik pada teman­temannya.
“Lekas saja beritahu pada kakek itu maksud keda– tangan kita. Lama-lama melayani dirinya kita semua bisa sinting.”
“Kek,” salah seorang dari empat pembantu dekati Kakek Segala Tahu.
“Raja Penidur memberi tugas pada kami berempat untuk menemuimu. Soal apakah dia tidur benaran atau pura-pura mohon jangan diambil hati. Kami diperintahkan untuk menyerahkan…”
“Aku sudah tahu. Kalian diperintahkan untuk menye– rahkan satu barang butut padaku disertai satu pesan. Bukan begitu?!”
Empat pembantu Raja Penidur jadi tersirap kaget. Bagaimana kakek buta ini bisa mengetahui tugas yang mereka jalankan?
Kakek Segala Tahu masih senyum-senyum dan ber– tanya.
“Sudah, jangan pada bingung. Serahkan benda itu dan sampaikan pesannya.”
Salah seorang dari empat lelaki tinggi besar ambil gulungan kain putih kecil di atas lipatan paha celana Raja Penidur. Benda ini kemudian diserahkannya pada Kakek Segala Tahu.
Si kakek usap-usap benda yang diterimanya. Sesaat tercengang. Seperti melihat padahal buta dia bertanya.
“Si gendut ini menyuruh kalian menyerahkan benda ini padaku?”
“Benar Kek. Harap kau mau menerima…”
“Benar-benar menghina!”
“Kek, buruk bagusnya benda ini harap kau sudi mene– rima. Kami berempat hanya menjalankan perintah. Harap jangan marah.”
“Siapa bilang aku marah!”
“Kalau begitu tolong diterima saja Kek.”
“Sekarang coba katakan apa pesan dari si gendut majikanmu ini?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Raja berpesan agar Kakek pergi ke utara Telaga Sarangan.”
“Hemmmm…” Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng bututnya.
“Mau apa dia menyuruh aku ke sana? Mencari apa menemui siapa?”
“Maaf Kek, Raja tidak menjelaskan apa-apa.”
Kakek Segala Tahu kerontangkan lagi kaleng rombeng– nya. Gulungan kain putih kecil kembali diusap-usap. Lalu perlahan-Iahan dibuka. Begitu gulungan kain terbuka si kakek meraba-raba kain itu. Ternyata di atas kain ada serangkaian tulisan tertera dengan tinta kuning. Kakek Segala Tahu perlihatkan kain putih itu pada orang tinggi besar yang berdiri di depannya lalu berkata.
“Beritahu, aksara apa yang tertera di kain ini. Aksara Jawa kuno, Arab atau Cina?”
Orang tinggi besar memperhatikan kain putih di tangan si kakek sebentar. Lalu menjawab.
“Tulisan Jawa Kuno Kek.”
“Begitu?” Si kakek manggut-manggut. Atur caping di atas kepala. Betulkan letak buntalan di punggungnya lalu selipkan tongkat di pinggang. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
“Kakek, boleh kami membaca apa yang tertulis di atas kain putih itu?”
“Apakah guru kalian memerintahkan begitu?”
Pembantu yang barusan bicara jadi terdiam lalu gelengkan kepala.
“Barang sudah kalian serahkan, pesanan sudah kalian sampaikan. Saatnya aku pergi ke mana aku mau menuju dan kalian silahkan berangkat melanjutkan perjalanan?”
“Tapi Kek, sesuai pesanan Raja, kau harus pergi ke utara Telaga Sarangan.”
“Ke mana aku mau pergi itu adalah urusanku,” jawab Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng rombengnya.
Empat orang pembantu Raja Penidur tidak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah membungkuk memberi hormat mereka angkat batang kelapa lalu mengusung pergi Raja Penidur yang terus saja ngorok tiada henti.
Setelah orang-orang itu pergi Kakek Segala Tahu kembali duduk menjelepok ke tanah. Caping didorong ke atas. Kepala mendongak ke langit. Jari-jari tangan meng– usap rangkaian tulisan di atas kain putih kecil. Begitulah caranya kakek aneh ini membaca. Dalam membaca dia tertawa-tawa sendiri.
“Curang! Kenapa cuma anak perjaka yang boleh nikah? Huh! Apa tua bangka seperti aku ini tidak boleh mendapat kesempatan? Tapi… ha… ha… ha!”
Setelah mengomel si kakek tertawa sendiri.
“Apa yang bisa dilakukan kakek keropos seperti aku jika nikah dengan perawan? Modalku cuma terong keriput, mungkin sudah karatan lagi! Ha… ha… ha!”
Kakek Segala Tahu sekali lagi usap rangkaian tulisan di atas kain putih dengan jari-jari tangannya. Lalu dia kelihatan seperti menggigil.
“Huh… nikah dengan mayat! Siapa sudi! Lebih baik gempor seumur-umur! Hik… hik…
hik!”
***
Semalaman suntuk Kakek Segala Tahu berjalan sambil sesekali kerontangkan kaleng bututnya. Ketika sang surya muncul baru dia berhenti, duduk di pinggiran sebuah hutan kecil. Dari kemunculan matahari kini dia tahu mana arah utara.
“Apakah aku harus pergi ke utara sesuai pesan si gendut itu?” Kakek Segala Tahu bertanya dalam hati.
“Urusanku banyak yang lain. Kalau tidak melihat kesulitan yang bakal dihadapi anak-anak itu aku lebih suka tidak perduli dengan pesan si gendut!” Si kakek kerontangkan kaleng berisi batu kerikil. Setelah merasa letihnya hilang dia lanjutkan perjalanan kembali. Namun baru bertindak enam langkah dua bayangan putih berkelebat mengha– dang. Satu di kiri satu di kanan.
“Ah, manusia-manusia pocong itu rupanya benar-benar ada,” Membatin si kakek. Caping di dorong ke atas. Dua manusia pocong jadi melengak ketika menyaksikan orang yang mereka hadang ternyata adalah seorang kakek bermata putih alias buta.
Manusia pocong di sebelah kanan membentak.
“Kakek buta! Kami tahu kau membekal segulung kecil kain putih! Serahkan benda itu pada kami!”
Kakek Segala Tahu dongakkan kepala ke atas, keron– tangkan kalengnya lalu tertawa mengekeh.
“Yang namanya pocong itu tak pernah ada yang bisa bicara. Dan kalau muncul selalu membawa bau menyan. Kalian ini pocong apa? Masih punya nyawa berbadan seperti mayat! Benar-benar tolol. Atau sinting?!”
Dua manusia pocong jadi terkesiap. Bagaimana kakek buta itu tahu keadaan diri mereka?
“Kalian ini makhluk jejadian apa sebenarnya? Datang dari mana?!”
“Kau tak layak bertanya!” bentak manusia pocong di samping kiri. Temannya di sebelah kanan menyambung.
“Kakek buta, kami tahu kau punya kepandaian. Tapi jangan harap dengan kepandaianmu itu kau bisa selamatkan diri dari kematian! Lekas serahkan barang yang kami minta! Atau kau akan mampus percuma di tangan kami orang-orang 113 Lorong Kematian!”
“Wah… wah… wah! Kalau kalian mengancam mau membunuhku, aku yang tua bau tanah ini mana berani melawan. Apalagi kalian berdua aku cuma sendiri. Apalagi kudengar kalian menyebut-nyebut 113 lorong. Bisa-bisa aku kalian cincang jadi 113 potong!” Seperti orang keta– kutan Kakek Segala Tahu lalu bongkar buntalannya sambil mulutnya berucap.
“Heran, heran. Bagaimana kalian tahu kalau aku membekal segulung kain putih?” Dari dalam buntalan Kakek Segala Tahu kemudian keluarkan barang yang diminta. Segulung kecil kain putih.
“Bagus! Kau cukup tahu diri!” Manusia pocong sebelah kanan cepat ambil gulungan kain putih kecil lalu memberi isyarat pada temannya untuk segera pergi.
Sang teman berbisik.
“Kita bunuh saja tua bangka ini.”
“Kurasa tidak perlu. Kita sudah mendapatkan apa yang dicari.” Jawab manusia pocong satunya. Justru ini adalah satu kesalahan besar yang kelak akan menimbulkan malapetaka atas pimpinan serta seluruh anggota Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.
Dua manusia pocong itu akhirnya tinggalkan si kakek.
***
Di dalam 113 Lorong Kematian.
Yang Mulia Ketua melangkah mundar-mandir dalam Ruang Bendera Darah. Wakilnya tegak tak bergerak. Kedua orang ini berada dalam keadaan risau. Sang ketua hen– tikan langkah. Memandang pada wakilnya dan berkata.
“Aku tahu, saat ini matahari sudah naik tinggi. Menurutmu apakah dua anggota kita akan berhasil mendapatkan benda itu?”
“Mudah-mudahan. Saya berharap begitu…”
“Kalau hanya mudah-mudahan berarti masih ada rasa was-was dalam hatimu! Kita sudah kehilangan Dewa Berkaki Iblis dan temannya Datuk Liang Akhirat. Kalau sampai dua anggota yang kita kirim menghadang kakek buta ini gagal lagi, celaka besar menghadang. Gila! Mengapa roh gaib penghuni Aksara Batu Bernyawa tidak pernah memberitahu kain penangkal celaka itu dari dulu­dulu! Bisikan roh baru aku terima tiga malam lalu. Terlambat! Mungkin ini ada sebabnya. Ada kaitan dengan Yang Mulia Sri Paduka Ratu yang selalu menyanyikan lagu keparat itu!”
“Yang Mulia Ketua harap bersabar. Saya yakin dua orang kita itu akan segera kembali sebelum tengah hari. Kalaupun terjadi hal yang buruk, biar saya sendiri yang turun tangan.”
“Untuk sementara aku tidak mengizinkan kepergianmu dari tempat ini. Apa kau tidak ingat laporan mata-mata yang mengatakan beberapa orang terlihat di sekitar selatan Telaga Sarangan. Dari ciri-ciri yang disebutkan, salah seorang di antara mereka adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saatnya kita menjebak dan menghabisi manusia satu itu. Apa kau tidak ingin membalaskan dendam kesumat sakit hatimu terhadap musuh bebuyutanmu itu?”
“Saya menurut perintah Yang Mulia Ketua. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!”
Baru saja Wakil Ketua menyelesaikan ucapannya tiba­tiba di pintu ruangan ada ketukan. Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong cepat melangkah ke arah pintu batu. Yang Mulia Ketua menekan sebuah tombol rahasia di lengan kanan kursi batu yang biasa didudukinya. Dinding batu di ujung ruangan bergerak turun ke bawah membentuk pintu terbuka.
Di depan pintu dua orang manusia pocong menjura ke arah Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua baru melangkah masuk ke dalam Ruang Bendera Darah.
“Kalian berhasil?!” tanya Yang Mulia Ketua dengan suara keras lantang.
Manusia pocong di sebelah kanan menjura.
“Berkat petunjuk Yang Mulia. Kami berhasil.” Lalu dari balik jubah putihnya manusia pocong ini keluarkan sebuah benda. Gulungan kecil kain putih. Benda ini diserahkan kepada Yang Mulia Ketua.
“Ah…” Yang Mulia Ketua lepaskan nafas lega. Gulungan kain cepat dibuka. Secepat kain terkembang secepat itu pula teriakan keras menggeledek dari mulutnya.
“Jahanam! Palsu! Apa ini?! Kalian berani menipuku!”
Dua manusia pocong tersentak kaget dan tersurut tiga tangkah. Di balik kain putih penutup kepala wajah mereka menjadi pucat pasi. Wakil Ketua maju mendekat berusaha melihat apa yang ada di atas kain putih kecil. Seharusnya di atas kain itu tertera serangkaian tulisan. Tapi yang dilihatnya adalah gambar muka orang dengan lidah menjulur mencibir.
Yang Mulia Ketua menyambar dua buah Bendera Darah dari meja batu dan siap dilemparkan ke arah dua anak buahnya. Wakil Ketua cepat mencegah.
“Yang Mulia Ketua. Harap sudi bersabar! Kita tanyai dulu mereka. Apa yang telah terjadi. Lagi pula, kalau keduanya kita habisi, jumlah anggota kita semakin sedikit. Di saat-saat seperti ini kita perlu banyak anggota. Sudah cukup lama kita tidak ketambahan anggota baru. Yang sudah ada jangan sampai berkurang…”
“Setan alas!” Yang Mulia Ketua bantingkan dua bendera darah hingga menancap amblas di lantai batu! Di balik lobang kecil kain putih penutup kepala sepasang mata Yang Mulia Ketua berapi-api.
“Kalian berhasil ditipu tua bangka ini! Sungguh mema– lukan! Sebelum pergi apakah kalian sudah membunuh– nya?!”
Dua anggota Barisan Manusia Pocong tak segera menjawab. Salah satu di antaranya malah tundukkan kepala.
“Jahanam! Apa kalian berdua sudah jadi bisu? Jawab!
Kalian membunuh kakek buta itu atau tidak?”
Manusia pocong di sebelah kanan membungkuk ketakutan lalu berkata.
“Sebelum pergi, saya sudah mengingatkan dia untuk membunuh orang tua itu. Tapi katanya tak perlu karena kami sudah mendapatkan apa yang dicari.”
“Jahanam keparat!”
Yang Mulia Ketua hantamkan tangan kanannya ke arah manusia pocong di samping kiri yang tegak tertegun tundukkan kepala. Satu gelombang angin panas menebar cahaya-cahaya menggidikkan melabrak tubuh manusia pocong. Orang ini menjerit keras. Tubuhnya mencelat ke luar ruangan, melayang sepanjang lorong lalu jatuh berge– debuk dalam keadaan hangus mengerikan.
Ketika Yang Mulia Ketua palingkan kepala ke arah manusia pocong satunya, sang wakil cepat menghalangi.
“Yang Mulia Ketua, jangan…” Lalu dia berkata pada manusia pocong di depannya.
“Manusia tolol. Lekas keluar dari tempat ini. Atau aku sendiri yang akan mewakili Yang Mulia Ketua memecahkan batok kepalamu!”
Tidak tunggu lebih lama, manusia pocong satunya yang pucat pasi wajah serta kucurkan keringat dingin di seluruh tubuh serta merta keluar dari Ruangan Bendera Darah.
***
TIDAK lama setelah dua manusia pocong tinggalkan dirinya, Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Dasar pocong jejadian. Kalau pocong sungguhan pasti kalian tidak termakan tipuku! Ha… ha… ha.”
Si kakek angkat capingya. Dari sela-sela rambutnya yang putih dia keluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah gulungan kain putih. Tangan kanan kerontangkan kaleng rombeng dua kali, lalu dia mulai mengusap rangkaian tulisan di kain putih dengan ujung-ujung jari. Begitulah cara dia membaca apa yang tertulis di kain tersebut.
Batas antara kebaikan dan kejahata
adalah kebijaksanaan. Kehidupan yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa, akan menimbulkan bencana malapetaka di mana-mana. Jika kehidupan pertama tidak dimusnahkan
rimba persilatan akan kiamat. Dalam kiamat, tangan-tangan jahat akan jadi penguasa. Darah mengalir sederas air sungai di musim hujan. Nyawa tiada artinya lagi. Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat. Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan, nikahkan dia dengan seorang perjaka. Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang lelaki, nikahkan dia dengan seorang perawan. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Dalam kesakralan ada kesucian. Dalam kesucian ada jalan untuk selamat. Maka kematian abadi akan menjadi jalan keselamatan.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Kain putih digulung kembali lalu disusupkan di sela rambut putih di atas kepala.

10

KEMBALI ke tempat bertemunya Pendekar 212 Wiro Sableng, Wulan Srindi, Jatilandak dan Loh Gatra. Seperti diketahui di tempat itu juga ada Bidadari Angin Timur dan kakek berjuluk Setan Ngompol. Kedua orang ini bersembunyi di balik semak belukar dalam gelapnya malam sementara berpikir-pikir apakah akan keluar bergabung dengan orang-orang itu atau tetap saja sembunyi dulu mendengarkan segala pembicaraan mereka.
Tak lama setelah Sinto Gendeng pergi meninggalkan orang-orang itu muncul seorang penunggang kuda. Bida– dari Angin Timur yang berada paling dekat dengan arah datangnya orang, begitu melihat siapa adanya si penung– gang kuda segera saja mengambil keputusan untuk keluar dari tempat persembunyiannya.
Orang yang datang dan kemudian turun dari kuda adalah seorang gadis cantik berpakaian ringkas warna ungu. Sehelai selendang yang juga berwarna ungu diikat– kan di pinggang membuat penampilannya menjadi tambah gagah. Rambut yang digulung ke belakang, diikat dengan sehelai pita ungu. Kemunculan gadis ini membuat semua orang di tempat itu sesaat jadi terdiam namun setelah itu mereka segera mengelilinginya dan suasana berubah jadi gembira.
“Anggini,” tegur Wiro menyebut nama gadis yang baru turun dari kuda yang bukan lain adalah Anggini, murid Dewa Tuak yang konon memang sejak lama diinginkan untuk dijodohkan dengan Wiro.
“Kau datang sendirian. Mana para sahabat yang lain. Ratu Duyung, Sutri Kaliangan…” Entah lupa entah memang tidak sengaja Wiro tidak menyebut nama Bidadari Angin Timur.
“Malam pertemuan di Gedung Kepatihan,” menyahuti Anggini.
“Kami menunggu. Kau tidak muncul. Kami akhir– nya berpencaran mencari jalan sendiri-sendiri. Aku tidak tahu di mana beradanya Sutri Kaliangan dan Ratu Duyung. Juga Bidadari Angin Timur. Aku…”
Belum sempat Anggini menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba satu suara berseru menggema di kegelapan malam.
“Anggini! Aku ada di sini!”
Begitu suara lenyap, di tempat itu berkelebat satu bayangan biru menebar bau harum. Tahu-tahu Bidadari Angin timur telah berdiri di antara orang-orang itu. Anggini langsung merangkul Bidadari Angin Timur. Saat saling berangkulan Bidadari Angin Timur pergunakan kesempatan untuk berbisik.
“Anggini, dengar baik-baik. Tapi jangan melihat pada orangnya. Kau lihat gadis hitam manis yang berdiri di samping pemuda berkulit kuning?”
Anggini melirik.
“Ya, aku lihat. Siapa dia?”
“Namanya Wulan Srindi. Soal asal usulnya nanti akan kau ketahui sendiri. Tapi sebagai sahabatmu ada satu hal membuat aku sakit hati pada gadis itu. Dia mengaku pada semua orang, juga pada Eyang Sinto Gendeng…”
“Eyang Sinto Gendeng ada di sini?” tanya Anggini.
“Tadi, sekarang sudah pergi.” Menerangkan Bidadari Angin timur.
“Gadis itu, dia mengaku apa?”
“Dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak…”
Anggini terkejut.
“Setahuku guru tak punya murid lain selain diriku.” Kata Anggini sambil sekali lagi melirik ke arah Wulan Srindi.
“Semua orang tahu. Gadis itu berdusta. Malah lebih jahat dari kedustaan itu, dia membuat kedustaan kedua. Dia mengaku Dewa Tuak menjodohkan dirinya dengan Wiro…”
Ada tarikan nafas di tenggorokan Angini. Dalam pelukannya, Bidadari Angin Timur merasa tubuh Anggini bergetar dan degup jantungnya mengencang.
“Aku merasa tidak terusik kalau gadis itu berjodoh dengan Wiro,” bisik Anggini. Membuat sekilas wajah Bidadari Angin Timur jadi berseri.
“Aku tak pernah lagi memikirkan soal itu. Kurasa Wiro juga demikian. Tapi soal dia adalah murid Dewa Tuak, itu perlu diselidiki. Biar aku bicara dengan gadis itu…”
“Tenang, kuharap kau tenang. Jangan dulu mengacaukan suasana. Nanti mereka tahu kalau aku yang membuka rahasia.”
“Apakah gadis itu tahu siapa diriku?” tanya Anggini.
“Kurasa tidak. Tak ada perubahan di wajahnya ketika kau muncul.”
“Kalau begitu aku harus mencari guru. Cukup lama kami tak pernah bertemu…”
“Mungkinkah karena lama tak bertemu gurumu kemudian dalam rindunya mengangkat gadis itu jadi murid?” Pertanyaan Bidadari Angin Timur sebenarnya sekadar memancing.
“Guruku punya hak melakukan apa saja. Tapi dia bukan seorang yang tega berkhianat…”
Perlahan-lahan Bidadari Angin Timur lepaskan pelukannya di tubuh Anggini.
“Anggini, bagaimana kau tahu kalau kami berada di sini?” Wiro bertanya pada Anggini dengan sikap seolah Bidadari Angin Timur tak ada di situ. Rupaya sakit hati atas beberapa hal yang dilakukan Bidadari Angin Timur dengan Jatilandak belum bisa dilenyapkan sang pendekar.
“Ratu Duyung,” jawab Anggini.
“Di mana gadis bermata biru itu?” tanya Wiro pula.
Mendengar disebutnya nama itu, dan dalam bertanya kenangan Pendekar 212 kembali pada pertemuannya dengan Bunga atau Suci, gadis dari alam roh, beberapa waktu lalu. Saat itu Bunga mengatakan agar jika dia di kemudian hari mencari kawan hidup maka pilihlah Ratu Duyung, jangan gadis lain. Kemudian Wiro tersadar, mendengar suara Anggini.
“Melalui cermin saktinya aku dan kawan-kawan mengetahui ancar-ancar keberadaanmu. Dia berangkat lebih dulu bersama Sutri Kaliangan puteri Patih Kerajaan. Aneh kalau dia belum bergabung dengan kalian.”
“Mungkin mereka mampir dulu di satu tempat. Kau tahu Sutri Kaliangan adalah seorang putera Patih Kerajaan. Di mana-mana dia dikenal dan dihormati orang. Pasti banyak yang ingin mengundangnya…” Yang bicara adalah Bidadari Angin Timur.
Wiro tidak memberi tanggapan. Dia hanya melirik sebentar pada gadis berambut pirang itu lalu memandang pada Anggini dan berkata.
“Ada kabar tidak enak. Menurut gadis ini…” Wiro memalingkan kepala pada Wulan Srindi lalu meneruskan ucapannya, “gurumu Dewa Tuak ditahan oleh komplotan manusia pocong…”
“Kami tengah mengatur rencana penyerbuan ke 113 Lorong Kematian, markas manusia pocong. Mereka menculik istriku yang sedang hamil,” berkata Loh Gatra.
“Aku bersumpah akan membantai pimpinan dan semua anggota manusia pocong kalau guruku dibikin cidera, apalagi kalau sampai tewas.” Kata Anggini pula. Lalu dia sambung ucapannya.
“Wiro, aku perlu bicara dengan gadis hitam manis bernama Wulan Srindi ini. Kau kenal di mana dia?”
Wiro tak bisa menjawab hanya garuk-garuk kepala, melirik pada Bidadari Angin Timur.
“Pasti dia yang memberitahu saat berpelukan tadi.” Murid Sinto Gendeng membatin.
“Kalau kau ingin bicara padanya silahkan. Aku tidak melarang. Tapi kita tengah menghadapi perkara besar. Jangan sampai terjadi silang selisih dan kekacauan di antara kita sebelum masalah besar terpecahkan.”
“Dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Yang aku tahu selama ini aku adalah murid tunggal Dewa Tuak. Apa tidak layak kalau aku menanyai gadis itu karena dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak pula?”
“Layak-layak saja…” sahut Wiro. Lalu dengan suara agak dikeraskan agar terdengar Bidadari Angin Timur sang pendekar berkata.
“Dia juga bicara soal gurumu telah menjodohkan dirinya dengan diriku. Bukankah itu yang sudah diceritakan Bidadari Angin Timur padamu tadi sewaktu kalian saling berpelukan?”
Wajah Bidadari Angin Timur langsung berubah merah.
Anggini cepat menolong sahabatnya itu dengan berkata.
“Hal satu itu tidak perlu kuselidiki. Gadis itu mau kawin dengan siapa saja silahkan saja. Antara guru kita memang ada usaha untuk mengikat kita dalam perjo– dohan. Tapi tidak ada keterusan dan aku sudah melupakan semua itu.”
Wiro manggut-manggut.
“Ah, pandai sekali Bidadari Angin timur mengipas bara api dalam dada gadis ini,” kata Wiro dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dan tersenyum dia berkata.
“Memang gadis sekarang boleh-boleh saja memilih siapa kekasih dan calon suaminya. Kalau aku boleh bertanya apakah kau suka pada pemuda berkepala botak berwarna serba kuning itu?”
Anggini menoleh ke arah Jatilandak lalu memandang mendelik kearah Wiro.
“Apa-apaan ini? Kau bicara apa?! Bukankah…”
Wiro tertawa lebar.
“Untung kau tidak menyukainya. Karena ketahuilah pemuda itu adalah kekasih dan milik sahabatmu ini.”
Habis berkata begitu tanpa perdulikan bagaimana wajah Bidadari Angin Timur menjadi merah kelam dan tubuhnya bergetar, murid Sinto Gendeng melangkah tinggalkan dua gadis.
“Sahabatku, apa yang terjadi antara kau dan Wiro?” tanya Anggini sambil memegang lengan Bidadari Angin Timur.
Yang ditanya hanya gelengkan kepala. Wajah masih kelihatan merah dengan mimik seperti menahan tangis.
“Kita semua tengah menghadapi satu urusan besar. Tapi agaknya urusan pribadi tidak bisa dilupakan. Saha– batku, jika ada kesempatan di lain waktu aku ingin kau menceritakan apa yang terjadi antara kalian berdua. Kalau aku tidak bisa mendapatkan pemuda itu sebagai teman hidup, kuharap kaulah penggantinya. Jangan dia sampai jatuh ke tangan gadis lain. Mari kita bergabung dengan mereka…”
Bidadari Angin Timur telan ludahnya sendiri. Tenggo– rokannya bergerak-gerak.
“Terima kasih, aku memilih lebih baik pergi saja.” Jawab Bidadari Angin Timur.
“Apakah itu akan menyelesaikan persoalan?” Tanya Anggini.
“Aku tidak tahu. Aku tidak perduli. Gadis bernama Wulan Srindi itu, dialah biang racun semua ini…”
“Tetapi apa yang terjadi antara kau dengan pemuda kuning itu? Wiro tidak mungkin berkata seperti tadi jika tidak ada apa-apa…”
“Dia salah sangka. Keliru menduga. Aku…” Bidadari Angin Timur akhirnya melangkah pergi. Melompat ke atas kuda yang tadi ditunggangi Anggini dan tanpa dapat dicegah tinggalkan tempat itu.
Semua orang jadi melongo. Loh Gatra mendatangi, hendak bertanya pada Anggini. Tapi Anggini justru melang– kah mendekati Wulan Srindi. Jatilandak tampak bingung. Tapi hanya sesaat. Di lain kejap pemuda dari Negeri Lahtanasilam ini segera berkelebat ke arah lenyapnya Bidadari Angin Timur. Melihat hal ini Anggini merasa seolah apa yang diucapkan Wiro tadi benar adanya. Antara Bidadari Angin Timur dengan Jatilandak ada jalinan hubungan yang lebih dari hanya berupa persahabatan.
Anggini meneruskan langkah menemui Wulan Srindi. Wiro garuk-garuk kepala ketika Loh Gatra mendekatinya dan berkata.
“Aku sangat mengawatirkan keselamatan istriku. Aku tak bisa berada lebih lama di tempat ini. Aku akan mencari mulut terowongan dan menerobos masuk ke dalam 113 Lorong Kematian.”
“Sahabat, harap kau bersabar. Kita harus mengatur siasat. Dua orang yang mabuk bercinta tadi pergi begitu saja. Kekuatan kita hanya sedikit. Apa kita bisa menghan– curkan orang-orang jahat itu kalau hanya mengandalkan kekuatan? Kita harus memutar otak. Aku tengah berusaha memecahkan petunjuk yang diberikan Eyang Sinto Gendeng.”
“Kita berdua akan bekerja keras. Sementara para gadis itu akan membuat silang selisih!” sahut Loh Gatra.
Wiro hanya bisa garuk kepala lalu tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu.
Di hadapan Wulan Srindi, Anggini berdiri memandangi si gadis mulai dari rambut sampai ke ujung kaki. Di mata Wulan Srindi sikap Anggini begitu congkak dan nada suaranya terdengar kasar ketika dia bertanya.
“Namamu Wulan Srindi?!”
“Betul sekali,” jawab Wulan Srindi dengan suara lembut dan sambil tundukkan kepala sedikit sebagai penghorma– tan.
“Ah, tentunya gadis berambut pirang tadi yang memberitahu padamu siapa namaku.”
“Dari mana aku tahu namamu itu urusanku sendiri,” tukas Anggini.
“Kau mengaku pada orang-orang di tempat ini sebagai murid Dewa Tuak.”
“Itu juga betul. Kalau aku boleh bertanya, sahabat berpakaian ringkas serba ungu ini siapakah adanya?”
“Namaku Anggini. Dan kalau kau mau tahu aku adalah satu-satunya murid Dewa Tuak!”
“Ah, tidak disangka akan bertemu saudara satu guru,” ujar Wulan Srindi. Gadis ini membungkuk dalam-dalam tanda hormat.
Anggini menjadi panas.
“Aku tahu kau berdusta! Kau cuma mengada-ada!”
“Semua orang di sini tidak percaya. Siapa menyalahkan mereka? Apalagi kalau kau juga tahu bahwa Dewa Tuak menjodohkan diriku dengan pemuda berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng itu.”
“Soal perjodohanmu! Soal kau mau kawin dengan siapa bukan perduliku! Tapi jangan kau berani menipu mengaku sebagai murid Dewa Tuak!”
“Buat apa berdebat tidak karuan di tempat ini semen– tara Dewa Tuak ditahan orang di dalam lorong? Kau bicara tidak karuan sementara nyawa gurumu terancam. Bukan– kah lebih baik mencari jalan bagaimana menyerbu ke dalam lorong, menyelamatkan Dewa Tuak. Menyelamatkan perempuan-perempuan muda hamil yang diculik komplotan manusia pocong!”
“Aku tidak perlu nasihatmu! Aku juga tidak perlu bantuanmu! Aku bisa masuk sendiri ke dalam lorong!”
“Sombongnya! Silahkan masuk ke dalam lorong! Sekali masuk jangan harap kau bisa keluar!” Setelah sunggingkan seringai mengejek Wulan Srindi tinggalkan Anggini. Di depan Wiro dia berhenti sebentar.
“Hanya aku yang tahu seluk beluk lorong kematian. Itupun sedikit sekali. Tidak menjamin bisa masuk dan keluar hidup-hidup.”
“Aku harap tidak ada perselisihan di antara kita. Lebih baik memecahkan masalah. Apapun yang terjadi kita harus menyerbu ke dalam markas manusia pocong. Apa yang kau ketahui tentang mereka. Kuharap kau mau membantu…”
“Tanpa dimintapun aku akan membantu karena guruku ada di dalam sana!” jawab Wulan Srindi sambil pegang lengan Wiro.
“Tapi jika ada yang bicara sombong dan mau mempengaruhi orang lain, silahkan pergi sendiri!”
Kata-kata Wulan Srindi itu membuat panas telinga dan merah wajah Anggini. Apa lagi sewaktu melihat bagaimana Wulan Srindi memegang lengan Pendekar 212. Walau perasaannya terhadap pemuda ini boleh dikatakan sudah hampa namun mau tak mau ada goresan perih di lubuk hatinya. Anggini membatin, “Jangan-jangan karena ulahnya bermain api dengan gadis ini sampai-sampai Bidadari Angin Timur beralih perhatian pada pemuda muka kuning itu. Dasar mata keranjang!”
“Sahabat, kau mau ke mana?” tanya Anggini ketika dilihatnya Loh Gatra melangkah cepat meninggalkan tempat itu.
“Aku tak mau terlibat dengan segala silang selisih di antara kalian. Istriku terancam. Keselamatannya lebih penting bagiku! Aku akan mencari jalan masuk ke dalam lorong kematian.” Menjawab Loh Gatra.
“Kalau begitu, aku bergabung bersamamu!” kata Ang– gini pula.
“Kalian! Jangan pergi dulu. Kita harus mencari siasat!” seru Wiro. Tapi Loh Gatra dan Anggini terus saja berkelebat pergi.
Wiro kebingungan. Garuk-garuk kepala. Ketika sadar tangannya masih dipegang Wulan Srindi cepat-cepat ditariknya.
“Aku tidak dapat menyalahkan dirimu…” kata murid Sinto Gendeng pula.
“Aku memang tidak punya salah apa-apa. Heran, kenapa semua gadis itu, cantik-cantik tapi bicara ketus dan kasar. Mulutnya saja sudah begitu, bagaimana hatinya…”
“Aku ingin bertanya, apa benar Dewa Tuak meng– angkatmu jadi muridnya?”
“Kalau ya kenapa? Kalau tidak kenapa?”
Wiro tertawa.
“Jangan berteka teki.”
Wulan Srindi menggeleng.
“Aku tidak berteka-teki. Kalau ingin tahu, nanti tanyakan sendiri pada Dewa Tuak.”
“Kalau dia masih hidup.”
“Jaman sekarang rohpun masih bisa diajak bicara!” jawab Wulan Srindi pula sambil tertawa. Ketika dia hendak melangkah pergi Wiro memegang bahunya.
“Menurut ceritamu kau sebelumnya sudah pernah masuk ke tempat ini. Tahu jalan masuk ke lorong kematian. Kuharap kau mau membantu…”
“Aku pernah masuk ke dalam lorong kematian itu. Sewaktu diculik manusia pocong yang pangkatnya Wakil Ketua. Namun dengan memperdayai seorang anggota komplotan aku berhasil keluar dari lorong. Yang jelas aku tidak akan masuk ke dalam lorong lewat mulut terowongan di kawasan bukit batu. Pasti kesasar dan maut
tantangannya.”
“Lalu, apa kau tahu jalan lain?” tanya Wiro.
“Tidak. Maksudku belum. Aku ingat petunjuk Eyang Sinto Gendeng sebelum pergi. Kau masih ingat kata-kata gurumu?” tanya Wulan Srindi.
“Ya. Dia bilang ilmu rotan jangan dipakai karena tidak ada lobang masuk tidak ada lobang keluar. Ilmu bambu bisa menolong karena ada lobang masuk ada lobang keluar. Aku masih belum bisa memecahkan petunjuknya itu.”
“Bagus kau masih ingat, tapi sayang tidak bisa memecahkan maksudnya.”
“Apa kau bisa memecahkan?” tanya Wiro.
Wulan Srindi tersenyum.
“Aku anak murid Perguruan Silat Lawu Putih. Di perguruan kami bukan hanya belajar silat dan ilmu agama. Tapi juga mendalami rahasia hidup dan kehidupan manusia. Mempelajari setiap ujar-ujar yang merupakan kembang rahasia hidup manusia.”
“Katakan saja, apa kau sudah tahu arti petunjuk yang diucapkan guruku itu?” Wiro tidak sabaran.
“Kau pernah punya rumah?” tanya Wulan Srindi.
Wiro menggaruk kepala, lalu menggeleng.
“Tidak.”
“Tapi pernah melihat rumah kan?”
“Gila! Tentu saja pernah! Banyak, sering! Apa maksudmu?”
“Kalau rotan diibaratkan rumah tidak masuk akal. Karena tidak punya jalan masuk tidak punya jalan keluar. Tidak ada pintu depan tidak ada pintu belakang. Lalu bambu. Kalau ada lobang masuk pasti ada lobang keluar…”
“Seperti mulut manusia.” kata Wiro menyambung.
“Ada lobang masuk yaitu mulut untuk makan dan ada lobang keluar untuk kentut!”
“Itu pengertian orang sableng macammu dan tidak lucu!” potong Wulan Srindi tapi tak dapat menahan tawa.
“Lalu…”
“113 Lorong Kematian. Ada jalan masuk di sebelah depan, ada jalan masuk di sebelah belakang.”
“Kalau memang begitu, di mana jalan masuk sebelah belakang?”
“Itulah yang harus kita cari! Bukan terus-terusan ngobrol di sini!” kata gadis berkulit hitam manis itu sambil menarik lengan Wiro.
Sesaat setelah Wiro dan Wulan Srindi tinggalkan tempat itu, Setan Ngompol kini tinggal sendirian di balik semak belukar.
“Gila, apa yang harus aku lakukan?” si kakek usap-usap bagian bawah perut lalu bergerak bangkit dan keluar dari tempat persembunyiannya.

11

DI RUANG Bendera Darah menjelang pagi. Yang Mulia Ketua duduk di kursi batu. Sebuah seloki besar terbuat dari kayu dipegang di tangan kiri sudah sejak lama kosong. Wakil Ketua yang berdiri di sampingnya beberapa kali mencoba mengisi seloki itu dengan sejenis minuman keras yang ada di dalam sebuah guci tanah liat tetapi ditolak. Wakil Ketua tidak bisa menduga apa yang ada di benak pimpinannya saat itu.
Setelah beberapa waktu berlalu Wakil Ketua membe– ranikan membuka mulut.
“Yang Mulia Ketua, saya tadi baru saja memberitahu laporan dua mata-mata yang bertugas di utara dan selatan lorong. Mohon petunjuk Yang Mulia Ketua apa yang harus kita lakukan. Saya rasa kita harus bertindak cepat.”
Yang Mulia Ketua masih diam. Sesaat kemudian baru dia berkata.
“Aku tidak mengawatirkan orang-orang itu. Mereka boleh datang. Semua sesuai dengan apa yang kita rencanakan selama ini. Yang menjadi pikiranku adalah Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Aku telah meniduri hampir semua perempuan hamil yang ada di tempat ini. Hanya dia seorang yang aku belum mendapat kesempatan. Dulu ketika hampir aku membawanya ke kamarku, muncul tua bangka Dewa Tuak menganggu membuat ulah.”
“Yang Mulia Ketua, jika memang itu yang dikehendaki saya bisa mengatur Yang Mulia Sri paduka Ratu mening– galkan Rumah Tanpa Dosa dan membawanya ke kamar Yang Mulia Ketua. Tapi mohon maafmu Yang Mulia Ketua, saya tahu Sri paduka Ratu memiliki kecantikan yang sulit dicari bandingannya. Namun di balik kecantikan itu ada sesuatu yang membuat saya khawatir. Mengapa Yang Mulia tidak mengalihkan perhatian pada perempuan­perempuan lainnya saja?”
“Seperti aku katakan tadi. Semua mereka sudah kutiduri! Tapi Sri Paduka Ratu memiliki kelainan dan kehe– batan sendiri. Dia memiliki kekuatan tenaga dalam yang dahsyat. Hawa sakti luar biasa. Aku ingin mengambil semua kehebatan itu. Ingin menyedot menguras dari tubuhnya. Kalau aku bisa mendapatkan semua kehebatan yang dimilikinya itu, rimba persilatan di tanah Jawa ini, bahkan di seluruh jagat raya ini akan berada dalam geng– gamanku!”
“Yang Mulia Ketua, mohon maafmu. Turut ilmu persilatan dan ilmu kesaktian, bukankah Yang Mulia bisa menyedot lewat ubun-ubun?”
“Cara kuno yang bisa membahayakan Sri Paduka Ratu. Mungkin otaknya lebih dulu hancur sebelum aku dapat menguras seluruh kehebatannya. Kau tahu, dia dalam keadaan tidak punya perasaan, tidak punya pikiran.”
“Tapi dia tunduk pada Yang Mulia dan dia kuat!”
“Itulah sebabnya aku ingin menidurinya. Cara paling mudah untuk mendapatkan semua kehebatan yang dimi– likinya. Di samping aku sekaligus bisa merasakan kenik– matan tiada tara.”
Wakil Ketua jadi terdiam.
“Ada satu hal lagi yang aku khawatirkan.” Yang Mulia Ketua kembali keluarkan ucapan.
“Kain putih berisi penangkal kehidupan bagi nyawa kedua belum kita dapatkan. Aku yakin benda itu masih ada di tangan kakek keparat berjuluk Kakek Segala Tahu itu.”
“Terus terang kita memang kekurangan orang untuk menangkapnya. Tapi seperti saya laporkan tadi, mata-mata memberitahu ada tanda seorang kakek dengan ciri-ciri Kakek Segala Tahu tengah bergerak ke tempat ini. Kemungkinan besar dia datang dari arah selatan lorong.”
Di balik kain penutup kepala Yang Mulia Ketua menye– ringai.
“Siapapun yang datang dari arah itu akan menemu– kan jurang batu dan jalan buntu. Kecuali jika dia mengetahui pintu rahasia menuju tangga seratus undakan yang akan membawanya ke lorong seratus dekat Ruang Kayu Hitam. Jika di selatan mereka tidak menemukan jalan masuk, mereka pasti akan kembali ke utara, lewat lobang terowongan menuju lorong kematian.”
“Untuk berjaga-jaga saya telah menyuruh seorang anggota bersiap-siap menabur asap beracun di kawasan itu. Saya hanya tinggal menunggu persetujuan Yang Mulia kapan asap itu mulai ditaburkan.”
“Semua aku serahkan pada kebijaksanaanmu Wakil Ketua. Aku hanya minta satu hal untuk diperhatikan. Aku harus tahu dari arah mana Pendekar 212 Wiro Sableng mencoba masuk ke tempat ini. Harap kau beritahu mata­mata agar bekerja dan mengawasi manusia satu itu siang malam.”
“Akan saya lakukan Yang Mulia Ketua. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!”
“Sekarang kau jemputlah Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kurasa waktu kita tidak terlalu banyak sebelum tamu-tamu pengantar nyawa itu datang ke tempat ini.”
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian bungkukkan badan memberi hormat lalu melangkah ke dinding di ujung ruangan. Di sini terletak sebuah pintu rahasia yang hanya bisa dibuka dengan menekan tombol yang ada di lengan kursi kedudukan Yang Mulia. Wakil Ketua berdiri di depan dinding menunggu sampai pintu dibuka.
“Wakil Ketua,” tiba-tiba terdengar suara Yang Mulia Ketua.
“Bulan sabit hari ketiga tinggal sepuluh hari di muka. Siapa ibu dari bayi yang darahnya akan menjadi usapan ubun-ubun Sri Paduka Ratu?”
“Seorang perempuan muda bernama Larasati, janda mendiang Adipati Jalapergola dari Temanggung. Suaminya bernama Loh Gatra. Diduga ikut bersama rombongan orang-orang yang hendak menyerbu ke tempat ini.” (Mengenai riwayat Larasati dan Loh Gatra baca serial Wiro Sableng Episode Badik Sumpah Darah dan seterusnya)
“Orang bernama Loh Gatra itu punya nyali. Berarti dia punya ilmu yang diandalkan. Tangkap dia hidup-hidup. Kita akan jadikan dia anggota Barisan Manusia Pocong.”
“Bagaimana dengan yang lain-lain, Yang Mulia Ketua?”
“Sampai kita tahu siapa-siapa mereka adanya, untuk sementara kita tangkap hidup-hidup. Aku rasa beberapa di antara mereka adalah gadis-gadis cantik berkepandaian tinggi pemuja pendekar keparat Wiro Sableng. Selain bisa kita jadikan penghibur dan penghias Lorong Kematian, mereka mungkin bisa dimanfaatkan. Kecuali Kakek Segala Tahu. Manusia satu itu harus dibunuh. Karena dia tahu apa yang ada di kain putih. Kita akan meminta banyak bantuan dari Sri Paduka Ratu.”
“Tapi Yang Mulia Paduka, jika Yang Mulia merencana– kan tidur dengan Sri Paduka Ratu, dan menguras serta menyedot seluruh kesaktiannya, bagaimana mungkin dia kita andalkan untuk menghadapi orang-orang itu? Dia tidak akan lebih dari mayat hidup yang tak punya daya apa-apa.”
“Ah, kau betul…” ujar Yang Mulia Ketua.
“Aku bisa menunda rencana bersenang-senang dengan dia sampai selesai urusan dengan orang-orang itu. Terutama Pendekar 212 Wiro Sableng! Sebagai pengganti, bawa Larasati ke kamarku.”
“Perintah Yang Mulia akan saya laksanakan. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai.”
Sang Ketua tekan tombol batu di lengan kanan kursi. Pintu batu terbuka. Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong menjura memberi hormat lalu tinggalkan Ruang Bendera Darah.
***
Beberapa lama sebelum fajar menyingsing.
Udara gelap dan terasa dingin sekali. Wulan Srindi berlari cepat melewati satu rimba kecil di sebelah timur kawasan 113 Lorong Kematian. Wiro mengikuti dari belakang. Dari gerakan kaki dan kecepatan larinya murid Sinto Gendeng bisa menduga-duga sampai di mana tingkat ilmu kepandaian si gadis. Baik ilmu tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh Wulan Srindi belum mencapai tingkatan cukup tinggi. Namun ada satu hal yang diper– hatikan Wiro. Ketika berlari, dua tangan gadis itu sama sekali tidak mengeluarkan suara atau sambaran angin. Agaknya di sinilah letak kehebatan Wulan Srindi, pikir Wiro.
Dingin, gelap dan sunyi. Tak ada satupun yang bicara di antara kedua orang itu. Tiba-tiba kesunyian malam dirobek oleh suara suitan dua kali berturut-turut, datang dari arah timur. Sesaat kemudian dari arah barat terdengar pula dua kali suitan.
“Kehadiran kita sudah diketahui orang-orang Lorong Kematian,” kata Wiro.
“Kita harus berhati-hati. Mereka suka membokong dengan Bendera Darah.” Menjawab Wulan Srindi.
“Aku sudah merasa bokongan mereka,” kata Wiro pula. Lalu dia bertanya.
“Kau mendengar suara sesuatu?”
“Di sebelah depan atau belakang?” balik bertanya Wulan Srindi.
“Belakang,” jawab murid Sinto Gendeng.
“Kalau begitu kau yang tahu, kau yang mendengar. Pentang telinga lebar-lebar. Nyalangkan matamu. Jangan kita berdua sampai mati konyol sebelum sampai di Lorong Kematian. Jangan kita sampai gagal sebelum aku berhasil menyelamatkan guruku….”
Sambil lari Wiro membatin. Dari setiap ucapannya gadis bernama Wulan Srindi ini ternyata punya daya pikir cepat dan cerdik. Selain itu dari ucapannya tadi Wiro jadi menduga-duga jangan-jangan Wulan Srindi memang benar murid Dewa Tuak. Kalau tidak mengapa dia begitu berse– mangat dan mau bersusah payah untuk menyelamatkan orang tua itu?
“Ada suara orang berlari di belakang kita,” Wiro memberi tahu.
“Berarti ada yang mengejar atau menguntit. Dugaanku manusia pocong.”
“Di depan kiri ada pohon besar dan semak belukar lebat. Membelok ke balik pohon!” kata Wiro.
Begitu sampai di dekat pohon besar, ke dua orang itu segera membelok lalu mendekam di balik semak belukar. Tak lama kemudian satu bayangan putih berkelebat lewat. Tapi di depan sana makhluk ini berhenti. Tegak meman– dang berkeliling mencari-cari. Ternyata dia memang seorang manusia pocong.
“Berani mengejar berani menerima kematian. Aku akan bunuh manusia pocong itu!” kata Wulan Srindi pula.
“Jangan main bunuh saja. Lebih baik ditangkap hidup­hidup, lalu kita paksa dia menunjukkan jalan masuk ke Lorong Kematian lewat belakang.”
Wulan Srindi tersenyum.
“Kenapa kau tersenyum?” tanya Wiro.
“Terus terang sebenarnya barusan aku hanya ingin menguji kecerdasan otak dan jalan pikiranmu. Ternyata apa yang aku rencanakan sama dengan yang kau kata– kan.”
Wiro garuk kepala.
“Kau pandai mencari dalih. Mana aku tahu kau punya pikiran seperti itu. Bisa saja kau hanya bicara pura-pura untuk menyatakan bahwa kau gadis hebat.”
“Aku memang gadis hebat karena aku murid Dewa Tuak!”
“Kalau begitu cepat kau serang manusia pocong itu. Pergunakan jurus-jurus ilmu silat Dewa Tuak.”
“Kau mau menguji? Apa lupa keteranganku bahwa orang tua itu belum lama mengangkatku jadi murid. Mana sempat menurunkan ilmu silat barang sejurus dua jurus!”
“Jangan mencari alasan. Kalau kau takut biar aku yang turun tangan!”
“Enak saja menuduh aku takut!”
Tiba-tiba dari depan sana si manusia pocong berteriak.
“Dua orang yang sembunyi di balik belukar lekas keluar unjukkan diri! Berani datang ke kawasan Lorong Kematian berarti berani menerima ajal!”
“Pocong keparat!” teriak Wulan Srindi. Lalu gadis itu melesat keluar dari balik semak belukar sambil menerjang manusia pocong dengan jurus Membelah Ombak Menembus Gunung. Dalam gelap, tangan kanan gadis ini berkelebat menghantam ke arah kepala manusia pocong dalam gerakan sangat cepat dan hampir tak kelihatan.
Tapi si manusia pocong bukan orang sembarangan. Sekali dia mengangkat lengan jubahnya terdengar suara buukkk! Wulan Srindi terpekik. Tubuhnya terpental setengah melintir. Manusia pocong tertawa mengekeh lalu menyerbu ke arah si gadis. Melihat hal ini Wiro segera melesat keluar dari balik pohon. Tangan kanan lepaskan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang didapatnya dari Tua Gila. Menyaksikan serangan kilat dan ganas ini manusia pocong cepat berkelit ke samping tapi kurang cepat. Pinggulnya kena digebuk. Tubuhnya terjengkang di tanah. Wulan Srindi cepat injak dada orang. Wiro angkat kaki kanan, siap menendang kepala manusia pocong.
Tiba-tiba si manusia pocong keluarkan seruan.
“Anak sableng! Jangan! Ini aku!”
Habis berteriak manusia pocong itu cepat-cepat tarik lepas kain putih penutup kepala. Kelihatan satu kepala berambut tipis, sepasang mata jereng dan kuping kanan yang terbalik.
“Tua bangka sialan!” maki Wiro.
“Kau rupanya!”
“Siapa si jereng sinting ini?!” tanya Wulan Srindi.
“Perkenalkan, namaku Setan Ngompol! Aku tidak sinting cuma sering ngompol!” kata si kakek lalu tertawa mengekeh.
“Pantas dari tadi aku mencium bau pesing. Kau minta mati berdandan seperti itu!” ujar Wiro.
“Justru tadinya dengan dandanan ini aku ingin menyu– sup ke dalam lorong. Tapi tidak tahu jalan.”
“Untung kepalamu tidak keburu kutendang rengkah, Kek.” Wulan Srindi angkat kakinya yang dipakai menginjak Setan Ngompol.
Si kakek cepat duduk tapi tidak segera berdiri. Dalam duduk dia usap-usap tubuhnya di sebelah bawah perut.
“Mengapa dia? Apa yang dilakukan?” Tanya Wulan Srindi.
Wiro tersenyum.
“Apalagi kalau bukannya ngompol alias beser alias kencing!”
“Aneh, kenapa ada manusia macam begini di atas dunia?!” kata Wulan Srindi pula.
Setan Ngompol tertawa mengekeh lalu bangkit berdiri. Jubah putih yang dikenakannya kelihatan kuyup di sebelah bawah!

TAMAT


Episode Berikutnya:
API CINTA SANG PENDEKAR


INDEX WIRO SABLENG
137.Aksara Batu Bernyawa --oo0oo-- 139. Api Cinta Sang Pendekar
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.