Bendera Darah
tanztj
March 19, 2009
INDEX WIRO SABLENG | |
135.Rumah Tanpa Dosa --oo0oo-- 137.Aksara Batu Bernyawa |
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
KETIKA GENANGAN AIR MATA JATUH BERDERAI DI PIPI BIDADARI ANGIN TIMUR. JATILANDAK ULURKAN TANGAN KIRI UNTUK MENGUSAP. DENGAN TANGAN KANANNYA BIDADARI ANGIN TIMUR PEGANG JARI-JARI TANGAN PEMUDA ITU. LALU DITEMPELKAN KE PIPINYA SEMENTARA AIR MATA MENETES JATUH SEMAKIN DERAS.
"KAU MENCINTAI PENDEKAR DUA SATU DUA?" TANYA JATILANDAK.
SEPASANG BOLA MATA BIDADARI ANGIN TIMUR MEMBESAR TAPI MULUT TAK MENJAWAB. MALAH KEDUA MATANYA DIPEJAMKAN DAN TANGAN JATILANDAK SEMAKIN KENCANG DIPEGANG DI ATAS PIPINYA. BIBIR TERBUKA BERGETAR TAPI SUARANYA HANYA MENGGEMA DI DALAM HATI.
"KAU SAHABAT BAIK… KAU YANG BELUM LAMA MENGENALKU BISA TAHU PERASAANKU. TAPI DIA YANG KUHARAPKAN ITU MENGAPA SEOLAH TAK PERNAH PERDULI…?"
PADA SAAT ITU TIBA-TIBA TERDENGAR DERAP KAKI KUDA. DUA PENUNGGANG KUDA BERHENTI DI SEBERANG MATA AIR. SEPASANG MATA BIDADARI ANGIN TIMUR TERBUKA LEBAR. WAJAHNYA BERUBAH PUCAT. CEPAT-CEPAT GADIS INI TARIK DUA TANGANNYA YANG SALING BERPEGANGAN DENGAN TANGAN JATILANDAK. SUARANYA BERGETAR KETIKA MENYEBUT NAMA.
"WIRO….".....
DIAPIT dan dipegang dua Satria Pocong, nenek kurus itu melangkah menuju rumah tua beratap ijuk hitam berbentuk tanduk kerbau. Rambut kelabu awut-awutan, tubuh terbungkuk, wajah pucat keriput menunjukkan rasa takut. Sebuah lampion kain putih menyala suram di bawah atap rumah, bergoyang ditiup angin malam. Cahaya redup lampion ini tidak dapat menerangi seantero halaman rumah di mana menebar gundukan-gundukan batu. Malah bayangan cahaya menimbulkan ujud-ujud besar aneh menyeramkan di belakang bebatuan.
Mendekati rumah, si nenek tiba-tiba menangkap suara sesuatu. Suara orang mengerang. Perempuan. "Seperti orang sekarat. Di dalam rumah…" Ucap hati si nenek. Langkahnya jadi tertahan. Namun dua manusia pocong yang menggiring memaksanya jalan terus.
Saat itu di depan rumah tua seorang manusia pocong bersosok tinggi besar berdiri tak bergerak. Dua tangan dirangkap di depan dada. Sepasang mata dibalik lobang pada kain putih penutup kepala memandang memperhatikan nenek berambut kelabu.
"Salam hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!" Dua Satria Pocong keluarkan ucapan berbarengan.
Tanpa melepaskan pandangan matanya dari si nenek, manusia pocong tinggi besar yang rupanya adalah Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian anggukkan kepala sedikit lalu ucapkan pertanyaan.
"Aku tidak mau kesalahan. Perempuan tua, siapa namamu?!"
Yang ditanya tak segera menjawab. Bola mata berputar lalu memandang ke rumah tua, dari arah mana telinganya sejak tadi mendengar suara erangan tak berkeputusan. Rasa takut yang sudah menyelinap dalam diri membuat tubuhnya menjadi dingin dan lutut terasa goyah.
Melihat orang tidak menjawabi pertanyaan, si tinggi besar jadi marah dan membentak. "Perempuan tua! Aku tahu kau tidak torek! Katakan siapa namamu!"
"Kalian… Saya… mengapa saya diculik. Mengapa saya dibawa ke sini. Tempat apa ini? Kalian makhluk apa sebenarnya? Saya ingin pulang. Saya sedang susah. Saya kehilangan seseorang. Magiyo cucuku tidak pulang sejak satu hari lalu…"
Bukannya menjawab, perempuan tua itu malah ajukan banyak pertanyaan. Lalu seperti merasa tidak perlu menunggu orang menjawab pertanyaannya, nenek ini balikkan badan, berusaha melepaskan diri dari pegangan dua Satria Pocong dan tinggalkan tempat itu. Namun dua Satria Pocong cepat mencekal tangan si nenek kiri kanan.
"Perempuan tua! Jangan berani berlaku kurang ajar terhadap Yang Mulia Ketua!" Salah seorang Satria Pocong membentak. Dengan kasar tubuh perempuan tua ini diputar hingga kembali menghadap ke arah Sang Ketua.
"Perempuan tua, kau tak perlu takut." Manusia pocong tinggi besar keluarkan ucapan. "Kami membawamu ke sini untuk satu keperluan. Jika urusan selesai dan kau mematuhi apa perintah kami, kami akan bawa kau kembali ke desamu! Jawab saja pertanyaanku. Siapa namamu?"
Si nenek pandangi sosok bertutup kepala putih. Dia melihat sepasang mata berkilat tajam menatap tak berkedip ke arahnya. Hati si nenek jadi tergetar, tambah takut.
"Saya… saya Paimah."
"Kau tinggal di Desa Sarangan?"
"Be… betul."
"Di Sarangan apa pekerjaanmu?"
"Saya, saya tidak punya pekerjaan. Saya…" Ucapan si nenek terputus karena Sang Ketua membentak keras hingga orang tua ini tersirap darah, tambah pucat dan bergetar tubuhnya dilanda ketakutan. Sementara itu telinganya masih saja menangkap suara erangan dari dalam rumah tua.
"Kami tahu kau adalah seorang dukun beranak! Mengapa berani dusta mengatakan tidak punya pekerjaan?"
"Maksud saya…"
"Sudah!" Sang Ketua menghardik hingga si nenek merasa tubuhnya seperti leleh. "Kau dengar apa yang aku katakan! Pasang telingamu baik-baik! Di dalam rumah ini ada seseorang perlu pertolonganmu! Ada seorang perempuan akan segera melahirkan! Masuk ke dalam rumah dan tolong dia! Kau harus bekerja cepat! Bayi itu harus segera lahir! Kau tidak boleh menunggu terlalu lama! Jangan sampai sang bayi mati di dalam perut! Kalau kau mengalami kesulitan, bedol perut perempuan hamil itu dengan ini!"
Entah di mana tadi dia menyimpannya tahu-tahu Ketua Barisan Manusia Pocong telah memegang sebilah pisau tipis bermata dua, berkilat terkena cahaya lampion pertanda luar biasa tajamnya. Pisau ini disodorkan pada Paimah. Tapi dukun beranak ini tidak berani mengambil. Malah tersurut mundur. Sang Ketua dengan paksa menggenggamkan senjata itu ke dalam jari-jari tangan kanan si nenek.
"Di dalam rumah tersedia semua keperluanmu untuk menolong perempuan yang melahirkan. Di atas sebuah meja ada dua buah bokor perak. Begitu bayi lahir gorok lehernya. Tampung darahnya dalam dua buah bokor itu!"
Kejut dan takut Paimah sampai ke puncaknya begitu mendengar ucapan manusia pocong. Tubuh perempuan tua ini menggigil. Dua Satria Pocong segera menggandeng dukun beranak Paimah ke arah tangga rumah tua beratap ijuk. Di bawah atap, lampion bergoyang-goyang ditiup angin. Suara halus desau tiupan angin digetari suara erangan perempuan tak berkeputusan yang keluar dari dalam rumah. Di depan tangga, dua manusia pocong lepaskan cekalan mereka. Tiba-tiba salah satu dari dua belas pintu di bagian depan bangunan tua terbuka. Paimah si dukun beranak terkejut pucat, mata mendelik memandang ke dalam rumah.
"Paimah! Lekas masuk ke dalam rumah! Kerjakan tugasmu!" Teriak Sang Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.
Paimah memandang ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya tambah bergetar menggigil. Lutut semakin goyah. Perempuan tua ini gelengkan kepala lalu berkata dengan suara keras tapi gemetar.
"Tidak, aku tidak mau melakukan. Kalian boleh bunuh diriku! Tapi aku tidak akan sudi melaksanakan perintah kalian! Aku tidak akan membedol perut siapapun! Aku tidak akan menggorok bayi manapun!"
Paimah hendak campakkan pisau di tangan kanannya, namun Satria Pocong di sampingnya cepat mencekal lengannya dan membentak. "Tua bangka sialan! Jangan berlaku tolol! Kami tidak mau mendapat hukuman karena ulahmu!"
"Tidak! Kalian boleh bunuh aku! Apapun yang terjadi aku tidak akan mau melakukan perintah keji kalian!"
Sang Ketua yang berdiri di halaman rumah tua kelihatan mulai hilang kesabarannya. Di dalam rumah suara erangan perempuan terdengar semakin keras. Perlahan-lahan manusia pocong tinggi besar ini turunkan dua tangan yang sejak tadi dirangkapkan di depan dada. Mulutnya bergerak. Saat itu juga satu suitan keras melengking dari mulut itu.
Dari samping rumah sebelah kanan tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Seorang manusia pocong muncul sambil mencekal leher baju seorang anak lelaki berusia sekitar enam tahun. Anak ini menangis keras karena kesakitan dan rasa takut amat sangat.
Begitu melihat dan mengenali si anak lelaki, Paimah si dukun beranak menjerit keras. "Magiyo! Setan jahat terkutuk! Jadi kalian yang menculik cucuku! Lepaskan dia! Apa dosa cucuku! Apa dosa kami!"
Sekali berkelebat Ketua Barisan Manusia Pocong telah berada di depan Paimah. Pandangan matanya menyorot dari balik kain putih penutup kepala. Mulutnya keluarkan ancaman.
"Kalau kau berlaku tolol tidak mau melakukan perintah, cucumu akan aku gorok. Kau boleh pulang ke Sarangan membawa kepala anak itu!"
Paimah meratap keras. Kepalanya digeleng-gelengkan. Kemudian gelengan berubah menjadi anggukan. "Jangan bunuh cucuku! Jangan sakiti Magiyo…" ratapnya.
Di balik kain penutup kepala, tampang Sang Ketua menyeringai. Dia bergumam lalu berkata. "Jadi kau mau melakukan apa yang aku perintahkan?!"
Paimah tersengguk tercekik. Air mata bercucuran. Lalu perempuan tua ini anggukkan kepala berulang kali.
"Masuk ke dalam rumah! Kerjakan tugasmu! Cepat!" ucap Sang Ketua.
Paimah melangkah dengan kaki goyah tubuh menggigil serta tangis sesenggukan. Sang Ketua memberi isyarat pada manusia pocong yang mencekal Magiyo. Manusia satu ini cepat berkelebat dan lenyap di samping rumah tua bersama bocah yang dicekalnya. Sang Ketua kemudian kembali turun ke halaman.
Di depan pintu rumah, sebelum masuk Paimah tertegun sejenak. "Gusti Allah, apa dosaku sampai mengalami kejadian begini rupa. Tuhan, tolong Magiyo. Selamatkan anak itu…"
"Paimah! Tunggu apa lagi! Cepat masuk!" Bentak Sang Ketua kesal sekali.
Dukun beranak itu akhirnya melangkah masuk. Begitu sosoknya lenyap ke dalam bangunan, pintu yang tadi terbuka tiba-tiba menutup kembali!
Di dalam dan di luar rumah beberapa saat kesunyian yang sangat mencekam menggantung di udara. Angin bertiup dalam dinginnya udara malam. Lampion putih kembali bergoyang-goyang. Tak selang berapa lama di dalam rumah tua tiba-tiba terdengar satu pekik keras. Pekik perempuan yang kesakitan. Lalu menyusul pekik kedua. Pekik tangis bayi. Dua manusia pocong merasa lega dan memandang pada pimpinan mereka. Sang Ketua anggukkan kepala. Namun mendadak terdengar jeritan ketiga!
Tiga manusia pocong saling pandang lalu sama-sama memperhatikan ke arah rumah, ke arah deretan dua belas pintu yang tertutup. Sang Ketua mencium ada sesuatu yang tidak beres.
"Kalian berdua, dengar! Kalau dukun beranak itu telah selesai dengan pekerjaannya, seharusnya salah satu pintu terbuka. Itu tidak terjadi. Ada yang tidak beres! Jangan-jangan tua bangka itu berlaku nekad. Kurang ajar! Kalau sampai Bendera Darah terlambat atau gagal diberi sesajian, semua kita bisa celaka!"
Baru saja Sang Ketua membatin begitu, di dalam rumah tiba-tiba terdengar pekik tangis bayi. Terus menerus, tiada henti.
"Jahanam! Benar dugaanku! Ada yang tidak beres!"
Sang Ketua berkelebat, melompat melewati tangga. Kaki kanannya menendang salah satu pintu yang tertutup hingga ambrol dan terpentang lebar lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Dua Satria pocohg ikut berkelebat masuk. Di dalam rumah ketiganya sama-sama tersentak kaget. Kaki masing-masing laksana dipantek ke lantai kayu. Mata terpentang membelalak menyaksikan kengerian yang terpampang.
Di atas sebuah ranjang kayu tergeletak sosok seorang perempuan muda, diam tak bergerak entah pingsan entah sudah mati. Tubuhnya nyaris telanjang penuh lumuran darah. Darah membasahi ranjang bahkan sampai ke lantai kayu. Di lantai di samping kanan ranjang, terbujur sosok bayi merah dalam keadaan masih bergelimang darah. Tali pusatnya yang belum putus menjela mengerikan. Lalu di sebelah bayi yang terus menerus menangis ini, melingkar tubuh perempuan tua si dukun beranak Paimah. Tangannya memegang pisau yang tadi diberikan Sang Ketua Barisan Manusia Pocong. Pisau dan tangan berlumuran darah. Dua Satria Pocong mengerenyit ngeri ketika memperhatikan leher dukun beranak itu. Ada sobekan luka besar menganga dan masih mengucurkan darah!
"Sang Ketua memerintahkan dia menggorok leher bayi. Nyatanya dia bunuh diri menggorok leher sendiri…" Bisik salah seorang Satria Pocong pada temannya.
Sang Ketua hanya terkesiap sesaat. Di lain kejap dia berteriak berikan perintah pada dua anak buahnya.
"Kau!" sentak Sang Ketua sambil tudingkan tangan pada Satria Pocong di sebelah kanan. "Lekas hubungi Wakil Ketua! Singkirkan perempuan muda di atas ranjang! Ingat, dia harus dilenyapkan tanpa bekas tanpa jejak! Dan kamu!" Sang Ketua ganti menunjuk pada anak buah satunya. "Selesaikan pekerjaan dukun keparat itu! Isi dua botol dengan darah bayi! Lakukan cepat! Aku menunggu di pintu Ruang Bendera Darah!"
"Ketua," ucap Satria Pocong yang menerima perintah terakhir. Suaranya tercekat gemetar. Wajahnya pucat di balik kain penutup kepala. "Apakah… apakah saya harus menggorok leher bayi itu untuk mendapatkan darahnya?" Walau otaknya sudah dicuci dengan racun pemusnah ingatan, namun karena seumur hidup tidak pernah mengerjakan hal luar biasa mengerikan seperti itu, nyalinya menjadi leleh. Tubuhnya serasa lumat ditelan kengerian. Hal ini terbaca oleh Sang Ketua. Dia langsung membentak.
"Perduli setan kau mau melakukan apa dan bagaimana! Yang penting dua buah bokor itu harus diisi penuh dengan darah bayi! Kau mengerti?! Atau kau ingin saat ini juga menemui kematian dalam ketololan!"
Satria Pocong satu ini jadi ketakutan. Cepat-cepat dia menjura sambil berseru. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
DALAM Episode sebelumnya Rumah Tanpa Dosa diceritakan bagaimana pemuda dari Latanahsilam, negeri 1.200 tahun lalu, yakni Jatilandak berhasil menyelamatkan Bidadari Angin Timur ketika hendak digagahi oleh Hantu Muka Dua. Gadis berambut pirang ini kemudian memberitahu kalau saat itu ada seorang dara bernama Wulan Srindi telah dilarikan oleh seorang kepala rampok. Seperti yang hampir terjadi dengan dirinya, gadis itu pasti tengah berada dalam bahaya besar. Terancam kehormatan serta jiwanya. Sebelum Bidadari Angin Timur dan Jatilandak sempat meninggalkan pondok di pinggiran lembah, mendadak ada seseorang melemparkan sehelai Bendera Darah. Bendera berbentuk segi tiga ini lewat hanya satu jengkal dari wajah Bidadari Angin Timur, lalu menancap di papan rumah. Ketika Jatilandak mencabut bendera dari papan, bagian papan seputar mana bendera menancap ikut terbongkar hingga membentuk lobang. Setelah memperhatikan sebentar, dia lalu mencium ujung lancip gagang bendera. Memandang pada Bidadari Angin Timur dia berkata. "Kayu gagang bendera ini tidak beracun. Namun jika sampai menancap di wajahnya, akan membuat cacat dalam dan lebar. Lihat, gagang ini dibuat demikian rupa membentuk gerigi yang bagian lancipnya mengarah ke belakang. Kalau gagang menancap pada daging tubuh atau muka seseorang, lalu dicabut, banyak bagian daging yang akan ikut terbongkar. Lihat saja papan yang berlobang itu. Kau bisa menduga siapa adanya manusia yang begitu jahat dan keji hendak mencelakaimu?"
Bidadari Angin Timur perhatikan lobang di papan dengan perasaan ngeri lalu menjawab. "Tak bisa kuduga. Bahkan aku tidak melihat orangnya. Gerakannya cepat sekali."
"Aku hanya sempat melihat bayangannya. Seseorang berpakaian seba putih," memberitahu Jatilandak. "Aku ragu apakah dia Hantu Muka Dua. Walau sekilas dandanannya memang mirip-mirip si pelempar bendera."
"Aku punya firasat orang itu bukan Hantu Muka Dua. Sebelumnya Hantu Muka Dua jelas-jelas hendak menodaiku. Tapi si pelempar bendera tidak bersungguh-sungguh hendak mencelakai diriku," ucap Bidadari Angin Timur yang membuat Jatilandak kerenyitkan kening merasa heran. "Kalau dia memiliki gerakan luar biasa cepat, muncul melempar lalu lenyap seperti hembusan angin, jika dia mau, pasti bisa menancapkan bendera itu di kepala atau tubuhku. Ada satu maksud tersembunyi di balik pelemparan bendera. Mungkin dia hendak memberikan satu peringatan."
Jatilandak berpikir sejenak lalu berkata. "Mungkin juga hendak memancingmu. Mengharap kau melakukan pengejaran lalu membokongmu dalam satu jebakan. Tapi dia kemudian kabur karena aku muncul di tempat ini."
"Bisa jadi begitu," jawab Bidadari Angin Timur sambil menggigit bibir, berpikir-pikir lalu mengerling memperhatikan pemuda berwajah kuning di hadapannya. Ada sekelumit rasa kasihan muncul dalam diri gadis ini. Hati kecilnya berkata. "Kalau saja kulitnya tidak kuning seperti ini, kurasa dia cukup tampan."
"Bendera aneh, sengaja dilumuri darah. Biar kusimpan." Jatilandak kibas-kibaskan bendera berbentuk segi tiga sampai darah yang membasahi kain bendera menjadi agak kering. Bendera kemudian dimasukkan ke balik pakaian coklat. Sambil memandang wajah Bidadari Angin Timur pemuda berkulit kuning ini berkata. "Ada cipratan darah bendera di pipi kananmu. Dekat bibir."
Bidadari Angin Timur usap wajahnya di bagian yang dikatakan Jatilandak. Pemuda dari Latanahsilam itu tersenyum karena noda darah tidak seluruhnya pupus. Malah ada sebagian melebar ke atas bibir. Tadinya dia tidak mau memberitahu. Tapi ketika ditanya oleh Bidadari Angin Timur mengapa dia tersenyum, Jatilandak menjawab.
"Darahnya masih ada. Di atas bibir. Kalau kau izinkan aku membersihkan…"
Bidadari Angin Timur diam saja. Dia coba menyeka kembali. Tapi salah tempat. Jatilandak tersenyum lagi. "Masih ada," katanya. Pemuda ini lalu ulurkan tangan. Sekali mengusap, noda darah di atas bibirpun lenyap.
Jatilandak mengusap bibir sang dara biasa-biasa saja. Tanpa perasaan apa-apa. Semata-mata hanya dengan niat menolong. Sebaliknya entah mengapa si gadis merasa sentuhan tangan si pemuda menimbulkan getaran aneh dalam dirinya, sekalipun dia yakin Jatilandak tidak punya maksud tidak baik dalam menolong tadi.
"Kita harus pergi sekarang juga. Mengejar penjahat penculik gadis bernama Wulan Srindi," kata Bidadari Angin Timur sambil memandang ke jurusan lain, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.
"Aku tahu arah lari penjahat itu. Waktu menuju ke sini aku melihat dia keluar dari lembah, lari ke arah selatan. Mendukung seseorang."
"Datang ke sini tadi, penjahat itu menunggang kuda. Jika dia kabur dengan lari biasa berarti dia belum berapa jauh."
"Berarti juga tujuan yang hendak dicapainya tidak jauh dari sini," kata Jatilandak pula.
Bidadari Angin Timur tanpa banyak menunggu lagi segera melompat ke atas punggung kuda miliknya. Sedang Jatilandak memilih seekor kuda besar yaitu kepunyaan Warok Jangkrik yang ditinggalkan kepala rampok itu. Kedua orang ini segera membedal kuda masing-masing ke arah selatan.
* * *
DANGAU kecil itu terletak di bawah satu pohon besar, di pinggir ladang kopi yang sudah sejak lama ditelantarkan pemiliknya. Ke tempat inilah Warok Jangkrik membawa gadis culikannya. Wulan Srindi dengan keadaan pakaian tidak karuan rupa nyaris bugil dan dalam tubuh tertotok dibaringkan di lantai dalam keadaan tertotok, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Kepala dirundukkan mencium pipi Wulan Srindi. Bersamaan dengan itu tangan yang membelai wajah turun mengusap leher yang jenjang lalu secara kurang ajar turun lagi ke dada. Sampai di sini Warok Jangkrik tak sabaran lagi. Pakaian Wulan Srindi dirobeknya hingga keadaan gadis malang ini tambah mengenaskan. Sebenarnya saat itu Warok Jangkrik ingin melepaskan totokan yang melumpuhkan Wulan Srindi. Bagaimanapun juga dia lebih suka menghadapi orang yang bisa bersuara dan bisa bergerak. Namun sewaktu di lembah, dia telah melihat sendiri kehebatan ilmu silat si gadis ketika dikeroyok oleh empat anak buahnya. Kepala rampok ini tak mau cari penyakit. Dua tangannya bergerak. Dalam waktu singkat perawan anak murid Perguruan Silat Lawu Putih itu nyaris tidak tertutup lagi auratnya. Warok Jangkrik kemudian tanggalkan pakaiannya sendiri. Walau hati menjerit oleh rasa takut akan apa yang bakal menimpa dirinya, namun dalam keadaan tak berdaya Wulan Srindi hanya bisa pasrah. Dalam ketidakberdayaan itu tiada henti gadis ini mengucap memanggil nama Tuhan, meminta pertolonganNya.Sewaktu Warok Jangkrik meniduri tubuhnya dan tak ada lagi kemungkinan bagi Wulan Srindi untuk menyelamatkan diri dari perbuatan keji terkutuk itu tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat disusul ucapan-ucapan lantang.
"Manusia kurang ajar! Kepalamu layak kuhancurkan!" Satu suara lelaki datang dari arah kanan dangau.
"Tidak! Jahanam itu harus mati di tanganku!" Suara perempuan meningkahi, datang dari arah yang sama.
Warok Jangkrik tersentak kaget, cepat berpaling. Dia melihat satu bayangan biru berkelebat lalu satu tendangan menderu ke arah kepalanya!
Sambil berseru keras Warok Jangkrik rundukkan kepala. Tangan kiri cepat menarik celana ke atas. Tangan sebelah kanan sebenarnya punya kesempatan mengirimkan serangan balasan berupa jotosan ke bawah perut si penyerang. Namun ketika melihat siapa adanya lawan, kepala rampok ini memilih selamatkan diri dengan berguling lalu jatuhkan tubuh ke bawah dangau. Tangan kanan dipergunakan untuk menyambar golok yang tergeletak di lantai dangau.
Begitu berdiri di tanah Warok Jangkrik segera cabut golok. Memandang ke depan dia dapatkan diri berhadapan dengan gadis cantik berpakaian biru berambut pirang.
"Bidadari Angin Timur," ucap Warok Jangkrik dengan suara tersendat bergetar. Dua langkah di belakang si gadis berdiri seorang pemuda aneh berkepala botak. Kepala botak itu, wajah dan kulit tangan serta kakinya kelihatan kuning. Menghadapi Bidadari Angin Timur seorang saja kepala rampok ini sudah merasa jerih. Apa lagi bersama si gadis ada seorang pemuda aneh berkulit kuning yang dari gerak-gerik penampilannya jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi. Warok Jangkrik cepat memutar otak.
"Tunggu! Jangan salah sangka. Gadis itu belum aku apa-apakan. Kau bisa dapatkan dirinya dalam keadaan selamat. Biar urusan kita selesaikan sampai di sini saja!"
Habis berkata begitu Warok Jangkrik menghambur ke kiri, siap ambil langkah seribu. Tapi yang dihadapinya adalah seorang gadis yang bukan saja berkepandaian tinggi namun juga punya kemampuan bergerak laksana kilatan cahaya. Baru dua langkah kepala rampok itu membuat lompatan kabur, sosok Bidadari Angin Timur berkelebat dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya.
Sambil sunggingkan senyum sinis dan angkat kepalanya sedikit, Bidadari Angin Timur berkata.
"Warok Jangkrik! Perampok bejat! Sebelumnya kau menipuku hingga diriku hampir jadi santapan manusia jahanam bercadar putih. Sekarang kau hendak berbuat mesum terhadap gadis ini? Dosa kejahatanmu selangit tembus. Kau pantas dikirim ke neraka saat ini juga! Tapi hari ini aku bersedia memberi pengampunan jika kau…"
"Sahabatku Bidadari, perlu apa berbaik hati. Orang jahat semacam dia harus diberi hukuman berat agar tidak ada orang lain jadi korban keganasannya di kemudian hari!" Pemuda botak berkulit kuning yang bukan lain adalah Jatilandak dari Negeri Latanahsilam memotong ucapan Bidadari Angin Timur.
"Aku bersumpah! Aku bertobat!" seru Warok Jangkrik. "Biarkan aku pergi…"
"Kau boleh pergi, tapi ada satu syarat. Ada pertanyaan yang harus kau jawab!" Berkata Bidadari Angin Timur.
"Jangankan satu syarat, jangankan satu pertanyaan. Seribu syarat seribu petanyaanpun akan aku patuhi dan akan aku jawab." kata Warok Jangkrik pula. Dia merasa gembira ternyata orang mau memberi pengampunan atas dirinya.
"Bagus," kata Bidadari Angin Timur sambil angguk-anggukkan kepala dan kembali tersenyum hingga lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan. "Sarungkan golokmu. Aku tidak suka bicara dengan orang yang memegang senjata di tangan."
Warok Jangkrik cepat-cepat sarungkan goloknya, tapi tidak diselipkan di pinggang karena tadi belum sempat mengenakan sabuk besar dan celana masih setengah kedodoran. Setelah disarungkan senjata itu dipegangnya di tangan kanan.
"Aku ingin tahu, mengapa kau menjebak diriku hingga hampir celaka di tangan manusia tinggi besar berjubah dan bertutup kepala kain putih itu."
"Dengar, aku… aku tidak ada permusuhan denganmu. Orang berjubah itu membujuk diriku. Aku diiming-iming sekantong emas." Menerangkan Warok Jangkrik. "Tapi bangsat itu menipuku! Emas yang dijanjikan, yang diberikan ternyata hanya tujuh batu kerikil!"
"Begitu! Penipu tertipu…" ujar Bidadari Angin Timur lalu dongakkan kepala dan tertawa panjang. Warok Jangkrik ikut tertawa cengengesan. Jatilandak hanya berdiri mengawasi kedua orang itu sambil rangkapkan tangan di atas dada. "Kau tahu siapa adanya orang yang kau sebut bangsat itu?" tanya Bidadari Angin Timur walau sebenarnya dia sudah tahu karena sebelumnya telah mendapat keterangan dari Jatilandak.
"Aku tidak kenal siapa dia. Bertemunyapun secara kebetulan. Di satu rumah tua di lembah. Waktu itu aku dalam perjalanan ke Magetan. Aku tidak perduli siapa dia. Saat itu aku hanya tertarik pada emas yang dijanjikan. Kalau aku bisa memancingmu ke rumah tua di lembah, sekantong emas akan diberikannya padaku."
"Kau tahu mengapa dia hendak mencelakai diriku?"
Warok Jangkrik gelengkan kepala. "Aku tidak dusta. Aku tidak tahu mengapa dia ingin mencelakai dirimu. Dia hanya meminta aku melarikan gadis bernama Wulan Srindi itu dan memancingmu agar datang ke rumah tua di lembah."
Bidadari Angin Timur melirik ke arah Jatilandak lalu berkata. "Warok Jangkrik, kau sudah menjawab semua pertanyaanku. Kau boleh pergi. Namun…"
"Namun apa?" tanya Warok Jangkrik dan mendadak saja mulai merasa jerih.
"Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kau akan berubah jadi orang baik?" Tanya Bidadari Angin Timur sambil menatap tajam ke arah Warok Jangkrik.
"Percaya padaku. Bukankah tadi aku sudah mengucapkan sumpah, sudah mengatakan tobat!"
"Benar sekali. Telingaku tadi memang mendengar semua ucapan, segala sumpahmu. Namun hatiku berkata lain. Siapa percaya pada dirimu?" kata Bidadari Angin Timur pula. "Kalau begitu…"
Belum sempat Warok Jangkrik menyelesaikan ucapannya sosok gadis di hadapannya mendadak lenyap. Dia hanya melihat bayangan biru berkelebat disusul suara sreet! Golok besar di tangan kirinya dicabut orang! Warok Jangkrik berteriak kaget. Dia cepat melompat mundur. Tapi terlambat. Lengan kanannya mendadak terasa dingin. Memandang ke bawah dia dapatkan lengan kanan itu telah putus oleh golok miliknya sendiri yang laksana kilat ditabaskan Bidadari Angin Timur. Warok Jangkrik sudah puluhan kali melihat semburan darah dari tubuh orang-orang yang jadi korbannya tanpa rasa merinding. Tapi kali ini dia menjerit setinggi langit melihat darah sendiri yang menyembur dari kutungan lengan.
"Juangkrikk! Tobaaattt!" Sosok kepala rampok itu terhuyung melintir. Dengan tangan kiri dia berusaha menotok urat saluran darah di bahu kanan. Namun darah masih terus mengucur.
"Lekas minggat sebelum kubuntungkan tanganmu yang satu lagi!" Mengancam Bidadari Angin Timur.
Dicekam rasa sakit dan takut bukan kepalang Warok Jangkrik tidak menunggu lebih lama. Secepat kilat dia kabur tinggalkan perkebunan kopi. Sementara berlari dari mulutnya tiada henti keluar jeritan kesakitan.
Bidadari Angin Timur sesaat pandangi golok berdarah di tangan kanannya lalu melirik ke arah pemuda di sampingnya. Dia melihat bayangan ketegangan menyelimuti wajah kuning Jatilandak dan berkali-kali pemuda ini menarik nafas panjang.
"Ada apa? Kau tidak suka melihat aku menabas buntung tangan manusia jahat itu? Sebelumnya kau sendiri keluarkan ucapan agar kita menjatuhkan hukuman berat atas manusia laknat satu ini." Ketika Jatilandak tak menjawab ucapannya Bidadari Angin Timur meneruskan perkataannya. "Seharusnya kepalanya yang aku tabas. Bukan tangannya…"
"Lalu, kenapa tidak kau tabas lehernya?" tanya Jatilandak.
Bidadari Angin Timur tersenyum. "Pertanyaanmu aneh," katanya. Lalu golok yang dipegang dicampakkan ke tanah hingga menghunjam amblas, hanya ujung gagangnya yang masih menyembul.
Jatilandak ikutan tersenyum walau tengkuknya agak terasa dingin. Gadis sehalus dan secantik Bidadari Angin Timur ternyata bisa menghukum seseorang secara mengerikan seperti itu.
"Itulah hukum rimba persilatan. Memang manusia jahat itu seharusnya layak dibunuh." Di balik senyum Jatilandak, Bidadari Angin Timur bisa membaca apa yang mungkin tersirat dalam hati si pemuda. Maka diapun berkata. "Hajaranku tadi masih terlalu ringan. Kalau manusia satu itu tidak berubah kelakuan, kelak kalau bertemu aku akan benar-benar menabas batang lehernya."
Jatilandak mengangguk lalu goyangkan kepala ke arah dangau. "Gadis itu perlu segera ditolong. Kau saja yang melakukan." Jatilandak merasa rikuh turun tangan karena keadaan aurat Wulan Srindi yang nyaris telanjang.
Sekali lompat saja Bidadari Angin Timur sudah berada di pinggir dangau. Dari balik pakaiannya dia keluarkan seperangkat baju dan celana panjang yang kemudian diletakkan di samping Wulan Srindi. Setelah memperhatikan keadaan tubuh gadis itu, Bidadari Angin Timur segera melepaskan totokan di tubuh Wulan Srindi.
"Lekas kenakan pakaian itu. Ada beberapa hal yang perlu aku tanyakan padamu."
Wulan Srindi merasa ada hawa hangat mengalir dalam tubuhnya pertanda totokan yang mengunci jalan suara dan membuat dirinya kaku telah musnah. Gadis ini gerakkan tubuh, langsung dan cepat mengambil baju dan celana yang terletak di lantai dangau.
"Terima kasih kau telah menolongku," ucap Wulan Srindi lalu dengan cepat, tanpa membuka pakaian penuh robek yang masih melekat di badannya, dia kenakan baju dan celana pemberian Bidadari Angin Timur. Ternyata pakaian ini cocok dengan ukuran tubuhnya. Selesai mengenakan pakaian, Wulan Srindi turun dari atas dangau lalu jatuhkan diri di tanah, berlutut di hadapan Bidadari Angin Timur dan membungkuk dalam. "Terima kasih. Kalau tidak kau yang menolong entah apa jadinya dengan diriku."
"Tidak perlu berlutut, aku bukan Dewa, bukan pula Gusti Allah."
"Bagaimanapun juga aku berhutang budi, kehormatan bahkan nyawa. Saat ini aku hanya bisa mengucapkan terima kasih. Kalau kelak di kemudian hari aku tidak bisa membalas budi pertolonganmu, biarlah Yang Maha Kuasa membalasnya berlipat ganda." Dalam mengeluarkan ucapan itu di dalam hati Wulan Srindi merasa seolah ada sesuatu di balik perkataan Bidadari Angin Timur. "Kata-katanya baik dan benar. Namun telinga dan hatiku merasa ada sedikit hawa ketus dalam nada suaranya. Mungkin aku salah menduga." Wulan Srindi berucap dalam hati. Lalu berkata. "Sahabat cantik, kalau aku boleh bertanya siapakah kau tuan penolongku ini adanya?"
"Simpan semua pertanyaanmu. Aku yang lebih dulu ingin bertanya padamu," jawab Bidadari Angin Timur sambil matanya memperhatikan tajam gadis di hadapannya.
Wulan Srindi sejurus tatap wajah cantik gadis di depannya. Kecantikannya semakin menonjol oleh rambut yang berwarna pirang. Saat memandang wajah cantik jelita itu, di dalam hati murid Perguruan Silat Lawu Putih ini kembali merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada ucapan Bidadari Angin Timur. Mungkin kecurigaan, mungkin juga satu ketidakpercayaan dan ingin menyelidik. Hal ini lebih kentara jika memperhatikan sorot pandang sepasang mata si gadis. Perlahan-lahan Wulan Srindi anggukkan kepala. "Jika sahabat hendak bertanya, saya siap menjawab," kata Wulan Srindi pula.
"Pertama, aku ingin tahu siapa dirimu adanya."
"Namaku Wulan Srindi. Aku anak murid Perguruan Silat Lawu Putih. Beberapa waktu lalu…"
Bidadari Angin Timur yang tak ingin penjelasan berpanjang-panjang potong ucapan Wulan Srindi. "Sewaktu di kedai Ki Sedap Roso di simpang jalan Sarangan, kau bertanya perihal seorang pemuda bernama Wiro Sableng pada pemilik kedai. Apa hubunganmu dengan pemuda itu. Mengapa kau mencarinya?"
"Nah… nah… nah," ucap Wulan Srindi dalam hati. "Makin kentara nada suaranya yang ketus. Bukan, bukan cuma ketus… Tapi berbau cemburu. Aku menaruh hormat padanya. Tapi jika dia menunjukan sikap curiga bahkan seperti mau menyudutkanku, sikap hormatku bisa berkurang. Malah bisa habis…"
"Wulan Srindi, kau belum menjawab pertanyaanku. Agaknya kau tak mau memberi keterangan?"
"Jelas, jelas sekali dia menaruh curiga yang berbau cemburu." Kembali Wulan Srindi membatin. Lalu gadis ini keluarkan jawaban. "Ada seseorang menugaskan aku mencari pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu."
Sepasang alis hitam Bidadari Angin Timur menjungkit ke atas. "Seseorang menugaskanmu mencari Wiro? Siapa orang itu?" tanya Bidadari Angin Timur pula penuh rasa ingin tahu.
"Seorang kakek berjuluk Dewa Tuak."
"Dewa Tuak?" Sepasang mata Bidadari Angin Timur menyipit, menatap tajam-tajam ke mata Wulan Srindi. Dalam hati dia tidak bisa percaya begitu saja pada gadis yang barusan ditolongnya ini. "Sudah cukup lama tokoh rimba persilatan itu tidak pernah muncul. Tahu-tahu kau mendapat tugas darinya untuk mencari Pendekar 212. Kenapa? Urusan apa? Di mana kau bertemu orang tua itu. Kapan? Mengapa dia menugaskanmu mencari Pendekar 212? Tunggu! Katakan dulu apa hubunganmu dengan Dewa Tuak."
"Aku murid kakek itu," jawab Wulan Srindi dengan air muka bersungguh-sungguh.
"Apa?!"
"Sahabat penolong, kau bertanya apa hubunganku dengan kakek itu. Aku barusan menjawab. Aku murid Dewa Tuak." Jawab Wulan Srindi pula.
"Tidak mungkin. Tidak bisa jadi. Setahuku kakek itu hanya punya seorang murid perempuan. Bernama Anggini. Sebayaku… Kau jangan mengaku-aku."
"Mohon maafmu. Mana berani aku mengaku-aku. Apa lagi bicara dusta padamu yang telah menyelamatkan diriku. Menurutmu tadi sudah lama kakek itu tidak muncul dalam rimba persilatan. Selama itu banyak hal bisa terjadi. Salah satu di antaranya adalah hubungan diriku dengan dia. Memang aku belum lama menjadi muridnya…"
Bidadari Angin Timur terdiam, menggigit bibir lalu melirik pada Jatilandak.
Melihat lirikan Bidadari Angin Timur, pemuda dari Latanahsilam ini membuka mulut. "Aku rasa Wulan Srindi tidak berdusta. Bisa saja ada kemungkinan bahwa Dewa Tuak telah mengambilnya jadi murid."
"Aku tahu betul siapa Dewa Tuak. Tidak semudah itu dia mengangkat seorang murid baru. Tapi… entahlah, mungkin begitu. Belum lama berselang aku bertemu Anggini. Dia tidak pernah bicara kalau gurunya telah mengangkat seorang murid baru. Mungkin… mungkin Anggini juga belum mengetahui hal itu."
Wulan Srindi diam saja tapi dalam hati dia menunggu apa lagi yang hendak ditanyakan gadis berambut pirang itu padanya.
"Kau ditugaskan mencari Pendekar 212 oleh Dewa Tuak. Baiklah. Sekarang ceritakan mengapa dia memberi tugas itu padamu? Memangnya kau punya hubungan apa dengan pemuda itu?"
"Cemburu! Aku benar-benar mencium hawa cemburu," ucap Wulan Srindi dalam hati. "Biar aku menguji dirinya." Sambil mengelus jari-jari tangannya sendiri dan tundukkan kepala seolah malu, padahal sebenarnya dia ingin menyembunyikan senyum jahilnya, Wulan Srindi berkata. "Sebenarnya ini adalah urusan pribadi. Tapi karena kau sahabat yang telah menolong dan kepada siapa aku berhutang budi, kehormatan serta nyawa, maka aku ikhlas menceritakan padamu. Dewa Tuak menugaskan aku mencari Pendekar 212 menyangkut perihal perjodohan diriku dengan pemuda itu." Ucapan Wulan Srindi seolah serasa sambaran petir sampainya di telinga Bidadari Angin Timur. Wajah cantiknya mendadak sontak bersemu merah sampai ke telinga.
"Gila!" Tiba-tiba meledak ucapan itu dari mulut Bidadari Angin Timur. Membuat Wulan Srindi tersentak angkat kepala dan juga membuat Jatilandak menatap heran. Bidadari Angin Timur sadar kalau dia telah kelepasan ucapan yang tidak wajar. "Tidak mungkin… Tidak mungkin…" Suaranya perlahan bergetar. Sesaat dia menatap Wulan Srindi kemudian pandangannya diarahkan ke kejauhan. Perlahan-lahan entah mengapa muncul saja rasa benci dalam hatinya terhadap Wulan Srindi. Kebencian yang disertai rasa penyesalan. "Seharusnya tidak kutolong dia tadi. Menyesal aku menolongnya…" Suara itu menggema berulang kali dalam hati kecil Bidadari Angin Timur.
"Kena kau sekarang!" ucap Wulan Srindi dalam hati. "Kecemburuanmu kau buktikan sendiri dengan ucapan, sikap dan air matamu."
Bidadari Angin Timur berpaling pada Jatilandak. Tanpa berkata apa-apa dia tinggalkan tempat itu. Berlari kencang ke arah utara.
"Bidadari Angin Timur! Tunggu! Kau mau ke mana?!" Berseru Jatilandak. Menjawab tidak berpalingpun tidak malah Bidadari Angin Timur percepat larinya sehingga tubuhnya terlihat seperti kelebatan bayangan biru. Jatilandak usap kepalanya yang kuning botak.
Dia memandang pada Wulan Srindi, seperti hendak mengatakan sesuatu pada gadis ini. Si gadis balas memandang dengan tersenyum, malah dengan nakal dia kedip-kedipkan matanya pada pemuda yang sedang bingung ini. Tanpa keluarkan ucapan apa-apa Jatilandak akhirnya berkelebat mengejar Bidadari Angin Timur.
Wulan Srindi menarik nafas panjang. Sambil tersenyum hatinya menduga. "Pasti ada sesuatu antara gadis penolongku itu dengan Pendekar 212. Dia kelihatan marah dan cemburu. Apakah dia mencintai Wiro? Seumur hidup aku belum pernah melihat pemuda itu. Seandainya tidak ada pesan dari Dewa Tuak, kini aku jadi sungguhan ingin mencari dan menemui pendekar terkenal itu. Selain memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi, pasti wajahnya sangat tampan."
Wulan Srindi rapikan pakaian, memandang ke arah lenyapnya Jatilandak lalu berkata perlahan. "Pemuda botak itu, agaknya dia menaruh hati pada si rambut pirang. Hemmm…" Wulan Srindi gelengkan kepala dan kembali tersenyum.
UNTUK beberapa saat lamanya Jatilandak hanya berdiri di balik rerumpunan pohon keladi hutan memperhatikan Bidadari Angin Timur yang duduk di dekat sebuah mata air. Dua kaki dilipat dan kepala dibenamkan di antara dua lutut.
"Heran, apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Jatilandak dalam hati. "Dia seperti tergoncang. Apakah aku pergi saja atau menemui dan coba bicara dengan dia? Siapa tahu bisa menolong…" Sesaat pemuda dari Latanahsilam itu masih merasa ragu. Antara hasrat hendak menolong sang dara dan keinginan untuk pergi tak mau mencampuri urusan orang. Dalam berpikir menimbang-nimbang tak sengaja daun keladi hutan yang dipegang dan disibakkannya terlepas, terkuak dan mengeluarkan suara cukup jelas bagi seorang berkepandaian tinggi seperti Bidadari Angin Timur.
"Kurang ajar! Siapa berani mengintai diriku!" rutuk gadis berambut pirang itu. "Pasti gadis tak tahu diuntung itu!" Tanpa mengangkat kepala dari atas lutut Bidadari Angin Timur gerakkan tangan kanan lalu lepaskan satu pukulan jarak jauh ke arah rerumpunan pohon keladi di balik mana Jatilandak berada.
Wuuusss!
Satu gelombang angin luar biasa derasnya menderu. Rumpunan pohon keladi dan semak belukar di sekitarnya terbongkar dari tanah, melayang ke udara dalam keadaan hancur berantakan. Kalau Jatilandak tidak cepat menghindar pasti tubuhnya juga akan ikut kena hantaman pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi itu.
Masih belum mengangkat kepala dari atas lutut Bidadari Angin Timur kembali gerakkan tangan kanan. Dari balik pohon tempatnya berlindung Jatilandak cepat berseru.
"Sahabat! Tahan pukulanmu! Ini aku! Jatilandak!"
Tangan yang hendak menghantam perlahan-lahan turun ke bawah. Kepala masih menunduk. Lalu terdengar suara isakan.
Jatilandak terkesiap heran. "Benar-benar aneh. Tadi dia menyerangku hebat sekali. Kini malah sesenggukan. Dia sahabatku. Aku harus tahu apa yang tengah terjadi dengan dirinya." Pemuda dari, Latanahsilam ini segera mendekati Bidadari Angin Timur dan tetap berlaku waspada, khawatir tiba-tiba diserang lagi. Dia duduk di dekat mata air, di samping si gadis, lalu dengan suara lembut bertanya, "Bidadari Angin Timur, aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu. Kalau boleh tahu, mengapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini? Kalau ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk menolongmu, katakanlah."
Sapaan Jatilandak itu malah membuat isak sengguk Bidadari Angin Timur semakin keras. Pemuda bermuka kuning itu jadi tambah bingung. Dia ulurkan tangan kiri, mengelus punggung si gadis. Tiba-tiba Bidadari Angin Timur angkat kepalanya, memandang ke arah Jatilandak. Wajahnya yang cantik basah oleh air mata.
"Pergi, jangan sentuh," ucap Bidadari Angin Timur. Suaranya memang tidak keras, tapi cukup membuat Jatilandak terkejut. "Aku tak ingin diganggu. Saat ini aku ingin sendirian."
Jatilandak tarik tangannya. "Maaf, aku bermaksud baik padamu. Aku tidak bisa menduga apa yang terjadi dengan dirimu. Namun aku melihat, ada satu perubahan pada dirimu setelah pertemuan dengan Wulan Srindi."
"Aku tidak suka pada gadis itu!"
"Heh…?" Jatilandak memandang heran. "Kau tidak suka, tapi kau lupa bahwa kau telah menyelamatkan dirinya?"
"Aku menyesal telah menolongnya."
"Sahabatku Bidadari Angin Timur. Tidak baik berkata seperti itu. Kau tahu, kau telah berbuat satu pahala sangat besar menolong gadis yang hampir celaka itu."
"Aku tidak mengharapkan pahala ataupun pujian. Maafkan kalau tadi aku menyerangmu. Aku mengira kau Wulan Srindi yang sengaja mengikutiku. Jatilandak, aku ingin sendirian di tempat ini."
"Baiklah, kalau kau minta aku pergi dari sini," kata pemuda muka kuning itu. "Agar aku tidak was-was, aku ingin bertanya, apakah karena gadis bernama Wulan Srindi itu diambil murid oleh Dewa Tuak dan kau merasa tidak layak, lalu kau tidak menyukai dirinya?"
Bidadari Angin Timur tidak menjawab.
Jatilandak tersenyum. Pertanyaannya tadi hanya sekedar hendak memancing untuk satu pertanyaan berikutnya. Tapi karena yang ditanya tidak menjawab maka sebelum bangkit berdiri pemuda ini berkata lagi. "Maafkan aku. Aku tidak pantas mencampuri urusanmu. Selamat tinggal, sahabatku. Jaga dirimu baik-baik…" Pemuda ini hendak membelai rambut pirang sang dara. Tapi membatalkan niatnya dan akhirnya bergerak bangun.
"Tunggu," tiba-tiba Bidadari Angin Timur berkata. Dalam hati gadis ini membatin. "Ah, mengapa aku tidak bisa menguasai diri. Apakah aku harus menjelaskan semua padanya. Bisa-bisa dia menilai aku ini tambah tidak karuan…"
"Kau hendak mengatakan sesuatu?" tanya Jatilandak.
"Soal gadis itu diambil murid oleh orang pandai, itu adalah nasib dan rejeki masing-masing orang. Kalau memang benar, gadis itu sangat beruntung."
"Selama berada di tanah Jawa ini aku tidak kenal dan tidak pernah bertemu Dewa Tuak. Kakek satu itu kepandaiannya pasti setinggi langit sedalam lautan." Jatilandak diam sebentar, lalu sambil tersenyum dia bertanya. "Kalau soal dirinya diangkat murid bagimu tidak menjadi ganjalan, lalu apa yang membuatmu sedih?"
"Aku hanya kesal dengan diriku sendiri," jawab Bidadari Angin Timur.
"Kesal terhadap dirimu atau terhadap diriku yang jelek ujud ini?"
Bidadari Angin Timur tersenyum dan pegang lengan Jatilandak. Tanpa melepaskan pegangannya dia berkata, "Kau orang baik…"
"Kau juga baik," jawab Jatilandak seraya tangan kanannya diletakkan pula di atas tangan kiri Bidadari Angin Timur yang memegang lengannya.
"Bidadari Angin Timur, gadis bernama Wulan Srindi itu tidak perlu kau ingat-ingat lagi…"
"Aku sudah melupakan perihal ucapannya bahwa dia adalah murid Dewa Tuak. Tapi yang aku tidak suka, dia berdusta kalau Dewa Tuak telah menjodohkan dirinya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng."
"Bagaimana kau yakin dia berdusta?"
"Karena sebelumnya Dewa Tuak ingin menjodohkan muridnya bernama Anggini dengan pendekar itu. Namun tidak ada kata putus. Sinto Gendeng guru Pendekar 212 tidak pernah setuju dengan ikatan perjodohan yang dibuat Dewa Tuak, Wiro sendiri tampaknya acuh saja."
"Jika begitu ceritanya, tidak heran kalau Dewa Tuak akhirnya menjodohkan Wulan Srindi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng." Kata Jatilandak pula.
Bidadari Angin Timur tatap Jatilandak sesaat.
"Kau… kau percaya hal itu memang terjadi?" tanya sang dara perlahan sekali.
"Segala sesuatu bisa terjadi. Dewa Tuak pasti orang keras hati. Kalau muridnya yang bernama Anggini tidak dapat jadi jodoh Pendekar 212, maka dia coba dengan muridnya yang lain. Wulan Srindi itu. Baginya yang penting adalah mengikat pendekar itu dengan orang yang ada sangkut paut dengan dirinya. Kakek sakti, juga cerdik…"
Lama Bidadari Angin Timur terdiam. Perlahan, sepasang matanya yang bagus kelihatan mulai berkaca-kaca.
"Dugaanku benar. Aku berhasil memancing sikapnya. Gadis ini mencintai Pendekar 212 Wiro Sableng. Kini dia takut akan kehilangan pemuda itu…" Jatilandak membatin dalam hati. Ketika genangan air mata jatuh berderai di pipi Bidadari Angin Timur, Jatilandak ulurkan tangan kiri untuk mengusap. Dengan tangan kanannya Bidadari Angin Timur pegang jari-jari tangan pemuda itu lalu ditempelkan ke pipinya sementara air mata menetes jatuh semakin deras.
"Kau mencintai Pendekar 212?" Tiba-tiba meluncur pertanyaan itu dari mulut Jatilandak.
Bidadari Angin Timur tersentak. Sepasang bola matanya membesar tapi mulutnya tidak menjawab. Malah kedua matanya dipejamkan dan tangan Jatilandak semakin kencang dipegang di atas pipinya. Bibir terbuka bergetar tapi suaranya hanya menggema di dalam hati. "Kau sahabat baik… Kau yang belum lama mengenalku bisa tahu perasaanku. Tetapi dia yang kuharapkan itu mengapa seolah tak pernah perduli…"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Bidadari Angin Timur dan Jatilandak angkat kepala, berpaling. Dua penunggang kuda berhenti di seberang mata air. Salah seorang dari keduanya, yang mengenakan pakaian serba putih melesat ke udara. Membuat gerakan jungkir balik dan di lain kejap sudah tegak berdiri di hadapan kedua orang itu. Penunggang satunya melompat biasa, turun dari kuda lalu melangkah dan berdiri di samping penunggang kuda pertama.
Sepasang mata Bidadari Angin Timur terbuka lebar. Wajahhya yang kemerahan berubah pucat. Cepat-cepat gadis ini tarik dua tangannya yang saling berpegangan dengan tangan Jatilandak. Lalu bangkit berdiri diikuti Jatilandak. Suaranya bergetar ketika menyebut nama orang yang tegak di hadapannya.
"Wiro…"
PENDEKAR 212 Wiro Sableng sesaat tatap wajah Bidadari Angin Timur. Dia jelas melihat tanda-tanda si gadis habis menangis. Senyum kecil terkulum di mulut murid Sinto Gendeng. Senyum yang tampak aneh di mata Bidadari Angin Timur. Senyum yang menimbulkan satu tusukan pedih di lubuk hatinya. Membuat gadis ini bertambah canggung memandang sang pendekar. Wiro melirik pada Jatilandak. Pemuda ini tampak tenang seperti tidak ada apa-apa. Wiro kembali tersenyum, menggaruk kepala lalu berkata. Suaranya dibuat gembira begitu rupa, sengaja menindih perasaan hatinya yang galau.
"Dua sahabat! Tidak disangka akan bertemu kalian di tempat ini. Bidadari Angin Timur apakah kau baik-baik saja? Jatilandak? Ah, tentunya kalian berdua ada dalam keadaan baik-baik. Bidadari, seharusnya kau berada di Kotaraja. Apakah Setan Ngompol ada menemanimu di Gedung Kepatihan? Aku menyuruh dia ke sana untuk menemuimu, Sutri Kaliangan, Ratu Duyung dan Anggini."
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dua matanya masih menatap membelalak tertegun ke arah Wiro, wajahnya bertambah pucat. Kepalanya menggeleng perlahan. Wiro melirik sekali lagi pada Jatilandak lalu kembali memandang ke arah Bidadari Angin Timur yang balas menatapnya dengan mata tak berkesip.
"Ah, aku tidak ingin mengganggu ketenteraman kalian berdua. Aku dan sahabat Loh Gatra ada urusan penting yang harus dilakukan…" Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng memberi isyarat pada Loh Gatra dan putar tubuhnya.
"Wiro…" panggil Bidadari Angin Timur. Suaranya agak tersendat.
Saat itu Wiro telah berkelebat dan melompat naik ke atas kuda. Bidadari Angin Timur bangkit berdiri. Jatilandak juga ikutan bangun.
"Wiro, ada sesuatu yang perlu aku jelaskan," kata Jatilandak pula.
Di atas punggung kuda Pendekar 212 hanya sunggingkan senyum, lambaikan tangan lalu menggebrak tunggangannya melesat tinggalkan tempat itu. Loh Gatra merasa tidak ada gunanya dia berlama-lama di tempat itu segera pula bergerak pergi. Sebelum berlalu dia masih sempat berkata pada Bidadari Angin Timur. "Ada urusan gawat. Larasati, istriku, diculik komplotan manusia pocong yang berkeliaran di sekitar Sarangan. Aku pergi duluan…"
"Loh Gatra, tunggu!" panggil Bidadari Angin Timur yang sebelumnya memang telah mengenal suami Nyi Larasati itu. (Baca serial Wiro Sableng Badik Sumpah Darah terdiri dari 7 Episode). Tapi seperti Wiro, Loh Gatra juga telah naik ke atas kudanya dan tinggalkan tempat itu.
"Ya Tuhan, dia pasti telah menduga…" ucap Bidadari Angin Timur. Lututnya terasa goyah. Perlahan-lahan dia jatuh berlutut, tundukkan kepala ke dalam dua telapak tangan. Bahunya turun naik menahan isakan. Jatilandak segera dekati gadis ini, pegang bahunya seraya berbisik.
"Bidadari, kau dan aku sama-sama dalam keadaan khawatir. Wiro pasti mempunyai kesan keliru terhadap kita. Kita harus segera mengejarnya…" Bidadari Angin Timur tetap saja menekap wajahnya dengan dua telapak tangan. Kepalanya digelengkan. Lalu terdengar ucapannya tersendat-sendat. "Aku tak ingin ke mana-mana. Biar di sini saja. Rasanya aku ingin mati di tempat ini."
"Tidak sahabatku. Kau tidak boleh berucap dan bersikap seperti itu. Kita harus mencari Wiro dan bicara padanya. Kalau perlu aku akan mendukungmu mencari pemuda itu sampai dapat." Lalu Jatilandak benar-benar mendukung sang dara. Bidadari Angin Timur berusaha berontak lepaskan diri tapi akhirnya gadis ini hanya bisa menangis dalam pelukan pemuda dari Latanahsilam itu.
* * *
TAK sampai lima puluh tombak memacu tunggangannya, sebelum Loh Gatra menyusul, Pendekar 212 memutar kuda, bergerak perlahan, menyelinap kembali menuju mata air. Di balik serumpun pohon bambu hutan, murid Sinto Gendeng hentikan kudanya, sibakkan ranting-ranting pepohonan, memandang ke depan. Saat itulah dia melihat Jatilandak tengah mendukung Bidadari Angin Timur dan si gadis menangis dalam pelukan pemuda berkulit kuning itu. Jantungnya serasa runtuh dan remuk.
"Apa arti semua ini…?" ucap Wiro setengah berbisik dan tubuh mendadak terasa dingin mematung di atas kuda.
* * *
WIRO merasa seolah dia telah memacu kudanya seperti dikejar setan, tapi Loh Gatra yang berada di sebelahnya melihat murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menunggang kuda tertegun-tegun. Dua mata memandang ke depan, namun pandangan itu kosong. Mata dan pikiran tidak berada dalam satu kesatuan."Sahabat Wiro, kau baik-baik saja?"
"Memangnya ada apa dengan diriku? Mengapa kau bertanya begitu?" balik bertanya Wiro.
"Berbahaya memacu kuda kalau pikiran sedang kacau."
Wiro tertawa bergelak. Menggaruk rambut dan berkata. "Kau tahu dari mana pikiranku sedang kacau."
"Bukan cuma pikiranmu. Tapi juga hatimu!"
"Pikiran dan hatimu justru lebih kacau. Saat ini kau tengah kehilangan istri. Diculik orang. Jadi apa perlunya kau memikirkan diriku?"
"Maafkan, aku tidak bermaksud buruk. Kalau aku boleh bertanya, siapa pemuda berkepala botak yang seluruh kulitnya berwarna kuning itu?"
"Dia pemuda baik. Sahabatku dari negeri seribu dua ratus tahun silam."
"Negeri seribu dua ratus tahun silam. Aneh kedengarannya."
"Kau lihat sendiri. Orangnya juga aneh." ucap Wiro pula.
"Apa hubungannya dengan Bidadari Angin Timur? Apakah mereka sudah saling mengenal sejak lama?"
Murid Sinto Gendeng terdiam. Dia tak mampu menjawab. Karena dua pertanyaan Loh Gatra itu diam-diam juga menjadi pertanyaan di lubuk hatinya.
"Aku tidak tahu," ucap Wiro perlahan. "Kalau kau bertemu dengan mereka nanti, sebaiknya tanyakan sendiri."
"Wiro, kau sahabatku. Terserah kau mau marah menuduh aku mencampuri urusanmu. Setahuku bukankah gadis bernama Bidadari Angin Timur itu kekasihmu dan kau satu-satunya orang yang dicintainya?"
"Loh Gatra, kau ini bicara apa? Bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Antara aku dan gadis itu hanya ada hubungan persahabatan. Dia sering menolongku, aku pernah beberapa kali menolongnya. Itu hal biasa dilakukan antara orang-orang rimba persilatan."
"Aku tahu semua itu, Wiro. Namun, jika tidak ada hubungan yang lebih dari itu, mengapa aku melihat wajah Bidadari Angin Timur begitu pucat, seperti takut. Takut sekali karena tertangkap tangan oleh orang yang dicintainya ketika tengah berkasih-kasihan dengan pemuda lain."
"Ucapan edan!" bentak Wiro namun kemudian pendekar ini terdiam. Ada galau tidak enak di dalam hatinya. Terbayang kembali apa yang dilihathya ketika dia berbalik ke mata air dan dapatkan Bidadari Angin Timur menangis dalam dukungan Jatilandak. Sambil terus menunggang kudanya tanpa berpaling pada Loh Gatra, Pendekar 212 bertanya. Dia tidak sadar kalau pertanyaan itu menunjukkan perasaan hatinya. "Menurutmu, apakah pemuda bernama Jatilandak itu tengah bercinta dengan Bidadari Angin Timur?"
Loh Gatra tersenyum. "Nah, sekarang agaknya ada kebimbangan dalam hatimu. Terus terang aku tidak berani berucap menduga-duga."
Wiro garuk kepala, mengigit bibir lalu berkata.
"Dari wajah dan keadaan matanya aku lihat gadis itu habis menangis. Dia menangis sebelum kita datang. Agaknya ada yang terjadi di antara mereka. Mungkinkah keduanya telah melakukan sesuatu?"
"Sesuatu apa maksudmu?"
"Sesuatu, lebih dari hanya sekedar saling berpegangan tangan. Misalnya… mungkin saja sebelumnya kedua orang itu telah bercinta yang melebihi batas. Melakukan hubungan seperti sepasang suami istri?"
Loh Gatra tersenyum dan gelengkan kepala.
"Wiro, jika selama kau dan gadis itu berhubungan, kalian tidak pernah melakukan hal yang kau duga itu, percayalah, Bidadari Angin Timur tidak akan pernah mau melakukan perbuatan sesat itu dengan siapapun."
Murid Sinto Gendeng tersenyum kecut.
"Kebenaran ucapanmu hanya setan hutan di mata air itu yang tahu," kata Wiro sambil menggaruk kepala. Lalu murid Sinto Gendeng ini menambahkan dengan suara perlahan. "Kalaupun ada perasaan cinta di hatinya terhadapku, perasaan itu bisa saja berubah. Di dunia ini bukan cuma aku satu-satunya pemuda. Apa lagi Jatilandak memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi…"
"Bagaimana dengan wajah dan kulit tubuhnya yang serba kuning?"
"Di masa sekarang ini soal wajah bukan menjadi tuntutan pertama untuk disukai dan dicintai. Lagi pula pemuda bernama Jatilandak itu, kalau saja kulitnya tidak kuning, dia adalah seorang pemuda yang gagah…"
"Dari semua ucapanmu, aku melihat ada rasa cemburu dalam hatimu. Kalau betul berarti itu satu pertanda bahwa kau sebenarnya memang mengasihi Bidadari Ahgin Timur."
Wiro menggaruk kepala, tertawa panjang. Ketika dia hendak membuka mulut untuk menjawab ucapan orang, Loh Gatra mendahului,
"Wiro," ujar Loh Gatra yang tetap ingin menghibur dan menguatkan hati sahabatnya itu walau dia sendiri tengah dilanda malapetaka besar. "Jika kita melihat sesuatu, duga dan pikir bisa macam-macam. Tapi ketahuilah, sesuatu yang terlihat belum tentu menyatakan kebenaran dari apa yang kita duga. Selalu ada kemungkinan bahwa ada sesuatu yang sangat berlainan di balik kenyataan yang kita lihat. Sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan itu…"
"Aku tidak mengerti maksud semua ucapanmu. Mungkin aku cuma pemuda tolol yang tidak tahu basa basi ucapan." Kata Wiro pula sambil menggaruk kepala. Dia lantas saja teringat pada pertemuannya dengan Suci, gadis alam gaib yang lebih suka dipanggilnya dengan nama Bunga dan dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan julukan Dewi Bunga Mayat. Waktu itu Wiro baru saja menyelamatkan Bunga yang disekap Iblis Kepala Batu Alis Empat di dalam sebuah guci tembaga.
Terngiang kembali ucapan gadis alam gaib itu kepadanya. "Di luar diriku, aku tahu begitu banyak gadis mencintai dirimu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka. tetapi jika kelak di kemudian hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik."
Saat itu Wiro sempat bertanya, "Mengapa kau berkata begitu Bunga?"
Dan Bunga menjawab. "Pertanyaanmu tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau sendiri yang mencari tahu, yang mencari jawabannya…" (Baca Episode Wiro Sableng berjudul Kutukan Sang Badik)
Di atas punggung kuda Wiro kembali menggigit bibir. Hatinya berkata. "Bunga, pertanyaanmu sudah kujawab. Aku sudah menyaksikan sendiri jawaban itu. Bila kita memilih teman hidup, unsur kesetiaan adalah yang paling utama dari segala-galanya. Setia dalam susah dan dalam senang. Aku mengerti sekarang, Bunga. Waktu itu kau ingin mengatakan bahwa Bidadari Angin Timur bukanlah seorang gadis yang memiliki rasa dan sifat kesetiaan itu. Kau tak mau berterus terang. Itu pertanda kau memiliki hati yang sangat tulus, putih dan bersih. Terima kasih Bunga. Terima kasih. Aku akan selalu mengingatmu." Wiro menghela nafas dalam dan panjang. Hati kecilnya berbisik lagi. "Kalau saja ujudmu sempurna dan kau hidup di alamku, kalau saja kau bukan gadis alam roh, mungkin keadaan akan berbeda. Tidak seperti ini…"
"Wiro, kau bicara dengan siapa?" Loh Gatra yang berada di samping kanan Pendekar 212 bertanya terheran-heran.
Belum sempat Loh Gahtra mendapat jawaban tiba-tiba satu bayangan putih laksana kilat berkelebat turun dari langit muncul melayang di udara antara kuda tunggangannya dan kuda tunggangan Wiro. Loh Gatra mencium bau harum aneh santar sekali. Bau kembang kenanga! Bersamaan dengan itu dua ekor kuda keluarkan suara meringkik keras. Wiro dan Loh Gatra cepat usap tengkuk kuda masing-masing. Lari kuda sama diperlambat. Dua mata Loh Gatra mendelik besar memperhatikan sosok putih yang melayang antara kudanya dan kuda Wiro. Tengkuknya mendadak dingin memperhatikan sosok seorang gadis berkebaya putih, berambut hitam panjang lepas tergerai. Berwajah cantik tetapi pucat.
"Setan gentayangan di siang bolong!" teriak Loh Gatra, "Wiro! Pacu kudamu lebih kencang sebelum kita dicekiknya!" Loh Gatra gebrak kudanya hingga binatang itu melesat ke depan. Namun beberapa tombak di muka sana dia menoleh ke belakang dan jadi terheran-heran menyaksikan Wiro turun dari kuda lalu melangkah menghampiri gadis berkebaya panjang putih yang tegak di tepi jalan dan tampaknya sengaja menunggu. Kemudian dilihatnya Wiro dan gadis itu saling berangkulan. Tapi ada sesuatu yang aneh. Tubuh si gadis seolah tenggelam masuk ke dalam badan Wiro.
"Tubuh bayangan… Jin perempuan, demit, hantu atau apa. Aneh," ucap Loh Gatra dalam hati. Mau tak mau dia hentikan kuda lalu berbalik ke arah kedua orang itu. Tanpa turun dari tunggangannya Loh Gatra perhatikan gadis berkebaya panjang putih mulai dari kepala sampai ke kaki sementara harumnya bau bunga kenanga mencucuk hidung.
"Benar-behar aneh. Kalau hantu bagaimana mungkin dua kakinya menjejak tanah?" pikir Loh Gatra. Lalu telinganya mendengar gadis itu berkata. "Wiro, jarang kejadian seperti ini. Di alam roh aku mendengar kau menyebut namaku. Satu kekuatan putih mendorongku masuk ke dalam alammu. Padahal ini belum saatnya aku bisa mendatangi dirimu. Ini satu pertanda dan aku punya firasat. Hal ini terjadi karena kau bakal menghadapi satu bahaya besar. Aku harus memberi ingat agar kau berlaku hati-hati."
"Bunga, aku bersyukur hal ini bisa terjadi. Aku merasa bahagia bisa bertemu lagi denganmu," kata Wiro sambil memegang tangan gadis berkebaya putih, gadis alam gaib yang biasa dipanggil Wiro dengan nama Bunga.
"Wiro…" Loh Gatra memanggil dari atas kudanya. Suara dan wajahnya jelas menunjukkan rasa heran bercampur takut.
Wiro menggaruk kepala, berpaling pada sahabatnya itu. Sambil tersenyum dia berkata.
"Gadis ini bukan setan perempuan seperti dugaanmu tadi. Dia tidak akan mencekik siapa-siapa. Dia adalah sahabatku. Namanya Bunga."
"Aku tidak mengerti…" kata Loh Gatra pula.
Bunga tersenyum. "Jangankan dirimu, dia sendiripun sampai sekarang tidak pernah mengerti akan keadaan diriku yang seperti ini."
Loh Gatra coba tersenyum dalam ketidakmengertiannya. Saat itu dia ingin cepat-cepat meninggalkan tempat tersebut.
"Bunga, aku berterima kasih. Kau datang untuk memberi peringatan padaku. Aku akan berlaku hati-hati. Aku memang sedang menghadapi satu urusan besar. Aku tengah dalam perjalanan menuju Sarangan bersama sahabatku ini."
Bunga mengangguk. "Wiro, aku tidak bisa lama-lama muncul di hadapanmu. Sebelum pergi aku akan berikan lagi padamu sekuntum bunga kenanga yang tak pernah layu. Simpan baik-baik. Jangan sampai hilang seperti satu yang pernah kuberikan dahulu. Kalau ada sesuatu yang bisa kubantu, pegang bunga itu, cium dan sebut namaku. Atas kehendak dan kuasa Gusti Allah mudah-mudahan aku bisa muncul menemui dirimu. Selamat tinggal Wiro…"
"Bunga, tunggu. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan…"
Gadis dari alam roh itu balikkan diri.
"Ada apakah?"
"Ingat ketika kita berdua-dua berada di satu tempat tak lama setelah kau bebas dari sekapan guci tembaga?" tanya Wiro.
"Tentu saja aku ingat. Itu adalah salah satu dari hari-hari indahku bersamamu. Apa maksud pertanyaanmu?"
"Waktu itu kau berkata. Jika kelak aku ingin memilih teman hidup, jatuhkanlah pilihanku pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik…"
Bunga mengangguk.
"Waktu itu," Wiro melanjutkan. "Aku bertanya, mengapa kau berkata begitu. Lalu kau menjawab, biar aku sendiri yang mencari tahu, yang mencari jawabannya."
Bunga tersenyum. "Apakah kau telah mendapatkan jawabannya, Wiro?"
Pendekar 212 gigit bibir sendiri. Menggaruk kepala lalu berkata. "Kurasa memang sudah aku dapatkan. Bahkan aku lihat sendiri."
"Jangan hanya menuruti perasaanmu saja Wiro. Tapi pergunakan akal pikiran serta ketulusan hati. Siapa tahu kau nanti bakal mendapat jawaban yang lain."
Wiro merasa, kalau tadi jari-jari tangan Bunga yang diremasnya terasa dingin mendadak berubah hangat. Ketika rasa hangat ini menjalar masuk ke dalam tubuhnya, pegangannya lepas dari jari jemari si gadis. Lalu ada satu belaian lembut di pipi Pendekar 212.
"Selamat tinggal, Wiro."
Sosok gadis alam roh itu bergerak.
"Bunga…" Wiro berseru memanggil. Namun sosok Bunga telah berubah menjadi cahaya putih yang melesat ke udara dan akhirnya lenyap seolah menembus langit.
Wiro masih mengusap-usap pipinya yang barusan dibelai Bunga ketika di sampingnya Loh Gatra berkata.
"Sulit aku mengerti kalau tadi itu bukan sebangsa setan atau hantu. Dia muncul secara aneh, lenyap secara aneh pula. Terbang lenyap ke langit! Manusia biasa mana bisa begitu? Wiro…"
"Dia gadis dari alam roh."
"Gadis dari alam roh! Bagaimana ceritanya kalian bisa saling kenal dan berhubungan? Dari pembicaraan kalian berdua tadi agaknya gadis itu tahu banyak seluk-beluk hubunganmu dengan Bidadari Angin Timur."
Wiro masukkan kembang kenanga yang diberikan Bunga ke balik pakaian putihnya.
"Mengenai Bunga, panjang ceritanya. Tak bisa kujelaskan saat ini…"
Loh Gatra masih punya rasa ingin tahu. "Sebelum dia pergi, gadis itu membelai pipimu. Apa yang dilakukannya itu, cara dia bertutur dan menatapmu, agaknya dia punya satu perasaan hati yang khusus terhadapmu kalau tidak mau dikatakan cinta. Betul?"
Wiro tertawa. Menatap ke langit lalu berkata.
"Sahabatku, kalau memang ada cinta di dunia ini, bercinta dengan gadis sungguhan saja susah setengah mati, apa lagi dengan gadis dari alam roh."
"Kita bersahabat, mengapa kau tidak mau berterus terang padaku?" ucap Loh Gatra pula.
"Sahabatku, gadis itu telah pergi. Sekarang giliran kita melanjutkan perjalanan." Wiro melompat naik ke punggung kuda. Loh Gatra geleng-geleng kepala lalu membedal kuda mengejar Wiro.
Ketika Wiro melewati sebuah pohon besar mendadak terbayang kembali Bidadari Angin Timur yang duduk berdampingan dekat mata air sambil saling berpegangan tangan dengan Jatilandak. Juga terbayang saat ketika Jatilandak mendukung gadis itu dan Bidadari Angin Timur menangis dalam pelukan si pemuda. Tidak terasa ada hawa panas mendorong tenaga dalam hebat ke tangan kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan itu berubah menjadi seputih perak mulai dari siku sampai ke ujung jari. Loh Gatra terkesiap kaget. Belum sempat dia mengatakan sesuatu tiba-tiba di luar sadar Wiro hantamkan tangannya ke arah pohon.
Bummmm!
Kraaak!
Pohon besar terbongkar tumbang, hancur dan berubah jadi kobaran api.
"Wiro! Kau melepas pukulan Sinar Matahari! Kau hancurkan pohon tanpa alasan! Apa kau sudah gila?!"
Pendekar 212 tertawa bergelak. "Gila mungkin belum. Yang pasti aku memang sableng! Ha… ha… ha… ha!"
"Kalau cuma sableng rasanya semua orang sudah tahu. Yang aku khawatirkan kalau-kalau dirimu telah kesambat kemasukan roh gadis aneh tadi. Menghantam tak karuan, tertawa tak karuan…" kata Loh Gatra perlahan, hingga tidak terdengar oleh Wiro yang berada di sebelah depan.
RUANG Bendera Darah adalah satu ruangan batu, terletak di bawah Ruang Kayu Hitam dalam kawasan 113 Lorong Kematian. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja batu. Di samping kiri meja ada sebuah kursi, juga terbuat dari batu. Di atas kursi ini duduk Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Sosok tinggi besar Sang Ketua tidak bergerak. Sepasang mata di balik dua lobang kecil pada kain kerudung putih penutup kepala memandang liar ke arah dinding batu di hadapannya. Pada dinding itu, hampir tak kentara ada sebuah pintu batu. Dari sebelah dalam pintu ini hanya bisa dibuka dengan menekan satu tombol rahasia. Tombol tersebut terletak pada ujung lengan kursi sebelah kanan yang diduduki Yang Mulia Sang Ketua.
Dua tombak di belakang meja dan kursi ada sebuah tangan batu merapat ke dinding. Pada ujung puncak tangga yang memiliki 13 undakan, sebuah bendera besar berbentuk segi tiga merah menancap ke dinding. Bendera ini menebar bau anyir menusuk hidung. Inilah yang disebut Induk Bendera Darah. Empat pendupa pada sudut-sudut kamar yang menebar bau harumnya kemenyan tidak dapat menindih tajamnya bau anyir darah setengah kering yang melekat di bendera. Di atas Bendera Darah, berderet menancap pada dinding batu terdapat dua lusin bendera kecil berbentuk segi tiga berwarna putih. Tepat di bawah ujung lancip bendera yang menjulai ke bawah ada tonggak batu yang kedudukannya agak miring ke depan, di atas mana terletak satu tengkorak kepala manusia tertutup oleh lumut berwarna merah kehitaman. Pada ubun-ubun tengkorak terdapat sebuah lobang. Di sebelah bawah ada lagi satu tonggak batu setinggi pinggang. Di atas tonggak batu ini terletak sebuah bokor perak dalam keadaan kosong.
Kepala Yang Mulia Ketua bergerak sedikit ketika sepasang telinganya menangkap langkah-langkah kaki di balik dinding ruangan batu. Diam-diam dalam hati dia menghitung gerakan langkah kaki di balik dinding batu. Di lorong di luar sana ada empat orang tengah berjalan menuju Ruang Bendera Darah. Cocok dengan perhitungan. Yang datang adalah orang-orang yang telah ditunggunya. Langkah kaki berhenti. Lalu ada suara ketukan pada pintu batu. Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian segera tekan tombol pada ujung kanan lengan kursi yang didudukinya. Secara aneh bagian tengah dinding batu di hadapannya bergerak turun ke bawah membentuk pintu terbuka. Api pendupaan di empat sudut Ruang Bendera Darah tiba-tiba menyala terang. Asap kelabu mengepul ke atas sampai menyentuh langit-langit ruangan. Di luar sana, di depan pintu, pada ujung lorong batu berdiri empat sosok. Tiga di antara mereka mengenakan jubah putih dan tutup kepala putih. Tiga manusia pocong ini adalah Wakil Ketua, dua Satria Pocong yang bertindak sebagai pengawal dan masing-masing membawa sebuah bokor perak berisi darah. Di antara dua Satria Pocong ini berdiri manusia pocong ke empat. Bau wangi aneh menebar dari tubuhnya yang semampai. Ketika melangkah masuk walau gerakannya enteng namun kelihatan jelas gerak sepasang kaki serta dua tangannya mengayun kaku.
Seperti tiga manusia pocong yang berbarengan masuk dengannya, manusia pocong satu ini mengenakan jubah dalam dan kain penutup kepala. Namun pada penutup kepala, di atas kening, ada sebuah mahkota kecil hijau bercahaya. Kalau tiga manusia pocong lainnya, seperti juga Sang Ketua mengenakan jubah putih tebal, manusia pocong satu ini memakai jubah putih yang begitu tipis. Hingga walau samar, auratnya masih bisa terlihat cukup jelas. Lalu di bawah kain penutup kepala di sebelah belakang menjulai panjang rambut hitam berkilat. Dari keadaan manusia pocong satu ini jelas dia adalah seorang perempuan!
Di belakang sana terdengar suara desiran halus. Pintu batu yang tadi membuka kini bergerak naik menutup dinding. Untuk beberapa ketika Ruang Bendera Darah diselimuti kesunyian. Ada hawa ketegangan menggantung di udara.
Yang Mulia Ketua memberi isyarat dengan gerakan jari-jari tangan kanan. Melihat isyarat ini empat manusia pocong segera bergerak melangkah.
Begitu sampai di hadapan Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian, ke empat orang itu sama menjura, laju mendongak dan secara berbarengan keluarkan seruan.
"Salam hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong bangkit dari kursi batu, angkat tangan kanan ke depan lalu keluarkan ucapan. "Wakil Ketua, kau tahu apa yang harus dilakukan. Laksanakan tugasmu!"
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian melangkah mendekati Satria Pocong di samping kanan. Satria Pocong ulurkan tangan, serahkan bokor perak berisi darah yang dipegangnya. Setelah menerima bokor Wakil Ketua melangkah ke arah tangga batu yang menempel di dinding belakang Ruang Bendera Darah. Perlahan-lahan dia menaiki tiga belas undakan batu. Pada undakan terakhir di sebelah atas dia hentikan langkah, berpaling ke bawah. Saat itu pula Satria Pocong kedua segera tinggalkan tempat, melangkah ke arah tonggak batu setinggi pinggang. Dengan hati-hati dia letakkan bokor berisi darah yang dibawanya di atas tiang batu, tepat di sebelah bokor perak kosong. Selesai meletakkan bokor berisi darah orang ini melangkah mundur, kembali ke tempat semula.
Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara. Ruang Bendera Darah kembali diselimuti kesunyian dan ketegangan.
"Wakil Ketua! Kau boleh mulai!" Tiba-tiba suara Yang Mulia Ketua menggema di ruangan batu.
Mendengar ucapan Sang Ketua, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong ulurkan dua tangan yang memegang bokor perak ke depan. Dengan hati-hati, perlahan-lahan dia curahkan cairan darah di dalam bokor ke atas bendera besar segi tiga merah. Kucuran darah jatuh membasahi Induk Bendera Darah, sebagian meresap pada kain bendera, sebagian lagi meluncur ke bawah, jatuh tepat dan masuk ke dalam lobang pada ubun-ubun tengkorak yang terletak di tiang batu miring. Begitu darah memasuki tengkorak terjadi beberapa keanehan. Induk Bendera Darah berbentuk segi tiga besar yang basah tiba-tiba bergerak hidup, seolah digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, bendera ini berkibas keras. Darah yang membasahi bendera menyiprat ke dinding dan lantai ruangan batu. Menempel sesaat lalu secara aneh lenyap tak berbekas. Di atas sana Induk Bendera Darah kembali kuncup tak bergerak.
Keanehan berikutnya, begitu cairan darah masuk ke dalam tengkorak lewat bolongan di ubun-ubun, tiba-tiba sepasang mata tengkorak memancarkan cahaya merah laksana ada api yang membersit dari sebelah dalam. Lalu empat api pendupaan di sudut ruangan batu menyala terang. Asap kelabu mengepul ke atas. Di lantai ruangan terasa ada getaran-getaran halus.
Darah yang masuk ke dalam tengkorak melalui lobang di ubun-ubun mengucur keluar melewati mulut tengkorak dan selanjutnya masuk tertampung dalam bokor perak kosong yang terletak di atas tiang batu setinggi pinggang.
Di atas tangga batu, begitu darah dalam bokor perak habis, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong perlahan-lahan tarik tangannya kembali. Dia tak berani bergerak sebelum ada perintah dari Sang Ketua.
"Wakil Ketua, tugasmu selesai. Kau boleh turun." Suara Yang Mulia Ketua menggema di ruangan batu.
Wakil Ketua putar tubuh, lalu melangkah menuruni tangga 13 undakan. Sampai di bawah dia serahkan bokor yang telah kosong pada Satria Pocong yang semula membawanya. Kesunyian kembali mencekam di ruangan batu. Sepasang mata Sang Ketua menatap ke arah dua buah bokor di atas tonggak batu setinggi pinggang. Perlahan-lahan, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dia melangkah ke arah tiang batu. Di depan tiang dia tegak diam sejenak, kepala tertunduk. Dari balik kain putih penutup kepala terdengar suaranya mengucapkan sesuatu, bergumam tak jelas. Mungkin tengah merapal mantera. Kemudian kelihatan Sang Ketua angkat ke dua tangannya, lalu dimasukkah ke dalam bokor berisi darah yang berasal dari curahan lewat Induk Bendera Darah.
Terdengar suara riak cairan. Sang Ketua seperti tengah mencuci tangan dengan darah di dalam bokor. Anehnya ketika tangan yang basah di keluarkan, sama sekali tidak ada merah nodanya darah. Kedua tangan itu seperti dicelup dan dicuci di dalam air biasa!
Wakil Ketua keluarkan secarik kain merah dari balik jubah lalu diberikan pada Yang Mulia Ketua. Selesai mengeringkan tangannya dengan kain merah Yang Mulia Ketua kembalikan kain itu pada wakilnya lalu pergi duduk di kursi batu. Dari tempatnya berdiri Wakil Ketua kemudian berseru.
"Satria Pocong, letakkan bokor yang kau bawa di atas meja batu."
Satria Pocong yang sejak tadi berdiri memegangi bokor perak segera laksanakan perintah. Bokor berisi cairah darah diletakkan di atas meja batu lalu dengan cepat dia kembali ke tempat semula.
Sang Ketua perhatikan bokor itu sesaat lalu menatap ke arah manusia pocong perempuan yang tegak beberapa langkah di hadapannya.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apakah kau telah siap untuk menerima berkah berupa pembasahan dan pensucian kepalamu?" Dari tempatnya duduk Sang Kedua keluarkan ucapan, ajukan pertanyaan.
Pocong perempuan yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Sri Paduka Ratu tundukkan kepala sedikit lalu berkata. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
"Bagus. Sekarang majulah dua langkah, tanggalkan kain penutup kepalamu dan berlutut di hadapanku!"
Sesuai perintah Sang Ketua, pocong perempuan maju dua langkah. Gerakan kaki dan ayunan tangan kelihatan kaku. Lalu dengan tangan kanannya dia membuka kain penutup kepala bermahkota hijau. Begitu kain penutup kepala terbuka, kelihatanlah satu wajah gadis cantik tapi sangat pucat seolah tak berdarah. Bagian putih dari matanya begitu putih hingga tampak menggidikkan. Pandangan mata kosong dan dingin. Di pipi kirinya ada guratan cacat bekas luka. Rambut panjang hitam menjulai-sampai ke punggung. Perlahan-lahan gadis ini tundukkan diri ke lantai. Kain putih penutup kepala diletakkan di samping kanan, lalu dia berlutut dengan kepala diarahkan menghadap Ketua Barisan Manusia Pocong.
Sang Ketua duduk tak bergerak. Sepasang mata dipejamkan. Di balik kain penutup kepala mulut komat-kamit. Sesaat kemudian terdengar suaranya berucap lantang.
"Penghuni Aksara Batu Bernyawa. Di luar sana, pada bentangan langit malam menghias bulan sabit hari ke tiga. Inilah malam perjanjian. Sesuai pesan dan tugas yang tersurat dan tersirat di dalam Aksara Batu Bernyawa, malam ini, aku, Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, siap melaksanakan apa yang tertera dalam syarat ke sembilan. Pengusapan darah bayi yang masih segar ke ubun-ubun Yang Mulia Sri Paduka Ratu, siap dan segera aku laksanakan."
Baru saja ucapan Sang Ketua berakhir, di ruangan batu tiba-tiba ada suara silir seperti tiupan angin. Bendera Darah bergerak-gerak. Hawa dingin untuk beberapa saat menyungkup seantero ruangan. Semua orang merasa tegang, kecuali Sang Ketua. Begitu suara tiupan angin sirna dan hawa dingin lenyap. Sang Ketua ulurkan dua tangan, menyibak rambut gadis yang berlutut di depannya hingga membentuk garis putih tepat pada ubun-ubun. Setelah menggulung lengan jubah sebelah kanan sampai sebatas siku, dengan tangan kiri Yang Mulia Ketua mengambil bokor perak berisi darah di atas meja. Tangan kanan lalu dimasukkan ke dalam bokor. Ketika tangan itu dikeluarkan kelihatan merah basah oleh cairah darah yang mulai mengental. Tangan yang berlumuran darah kemudian diusapkan ke ubun-ubun gadis yang berlutut di lantai. Pada saat darah diusapkan ke ubun-ubun, entah dari mana datangnya selarik sinar merah berkiblat lalu membungkus sekujur tubuh si gadis mulai dari kepala sampai ke kaki. Tubuh Sri Paduka Ratu bergetar hebat. Sang Ketua sendiri tersentak dan sampai tersandar ke kursi batu saking kagetnya.
Semua apa yang dilakukan Sang Ketua tadi diperhatikan tak berkesip oleh Wakil Ketua dan dua Satria Pocong. Pada saat darah diusapkan ke ubun-ubun dua mata tengkorak di atas tiang batu kembali memancarkan cahaya merah dan empat api pendupaan di sudut ruangan menyala terang serta mengepulkan asap kelabu.
Bokor perak diletakkan kembali ke atas meja batu. Sang Ketua bangkit berdiri, melangkah ke tiang batu di atas mana terletak bokor berisi darah yang dikucurkan dari Bendera Darah lalu masuk tengkorak yang berada di tiang miring, selanjutnya ditampung dalam bokor pada tiang batu setinggi pinggang. Sang Ketua celupkan tangan kanannya yang berlumuran darah ke dalam bokor ini. Begitu tangan dikeluarkan noda darah telah lenyap. Wakil Ketua cepat memberikan kain merah. Setelah mengeringkan tangan dengan kain itu Sang Ketua kembali duduk di kursi batu. Lalu rambut tersibak gadis yang berlutut dirapikan dan ditautkannya kembali.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, upacara telah selesai. Silahkan berdiri. Harap segera mengenakan penutup kepala."
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai." Setelah keluarkan ucapan itu si gadis ambil kain penutup kepala bermahkota lalu bangkit berdiri.
Wakil Ketua datang mendekat. "Yang Mulia Ketua, Bendera Darah tinggal beberapa buah lagi. Saatnya kita menambah persediaan."
"Hal itu memang sudah aku ketahui," jawab Yang Mulia Ketua. Lalu dia memutar tubuh, memandang ke arah dinding ruangan sebelah belakang di mana menancap dua lusin bendera kecil berbentuk segi tiga putih. Perlahan-lahan Sang Ketua angkat tangan kanannya. Lima jari tangan membuka. Telapak tangan membentang. Jari telunjuk diacungkan. Didahului satu bentakan keras dia membuat gerakan seperti menusuk lalu tangan diputar setengah lingkaran dan jari telunjuk diarahkan ke bokor perak berisi darah yang terletak di atas meja batu.
Terjadilah satu keanehan.
Bett… bettt… bett!
Suara kibasan lain terdengar dua puluh empat kali berturut-turut. Dua lusin bendera putih segitiga yang menancap di atas Induk Bendera Darah melesat ke bawah. Sesuai dengan gerakan jari telunjuk Yang Mulia Ketua, dua puluh empat bendera itu melesat masuk ke dalam bokor perut di atas meja batu. Darah di dalam bokor bergejolak mengeluarkan suara seperti mendidih. Asap merah mengepul. Dua lusin bendera segi tiga yang tadi berwarna putih kini berubah menjadi merah!
"Wakil Ketua, pada saat fajar menyingsing besok pagi, kau boleh mengambil dua lusin Bendera Darah itu"
Wakil Ketua barisan Manusia Pocong membungkuk seraya berkata. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan…"
Sang Ketua anggukkan kepala lalu berkata.
"Antarkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu ke Rumah Tanpa Dosa. Dua Satria Pocong tetap di sini untuk membersihkan Ruangan Bendera Darah." Habis berkata begitu Sang Ketua lalu memberi isyarat pada wakilnya agar mendekat. Sang Wakil segera mendatangi. Dengan suara perlahan Sang Ketua berkata. "Jangan antarkan langsung gadis itu ke Rumah Tanpa Dosa. Bawa ke kamarku lebih dulu. Aku ingin bercinta dengannya malam ini. Sudah lama aku mencari waktu dan kesempatan. Agaknya malam inilah baru bisa kulaksanakan."
Di balik kain penutup kepala Wakil Ketua tersenyum lebar. Setelah menganggukkan kepala tanda mengerti dia segera mendampingi Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Dua Satria Pocong di sebelah depan. Sang Ketua tekan tombol rahasia di lengan kanan kursi batu. Bagian dinding batu yang merupakan pintu bergerak turun ke bawah. Hanya tinggal beberapa langkah lagi ke empat orang itu akan melewati pintu batu, tiba-tiba dari arah depan yang merupakan sebuah lorong, menggelundung sesosok tubuh yang kemudian terkapar di ambang pintu! Di sebelah belakang tiga Satria Pocong tampak mengejar berhamburan.
Ketua Barisan Manusia Pocong tersentak kaget, langsung melompat dari kursinya seraya membentak.
"Apa-apaan ini?!"
Dua mata Sang Ketua mendelik memperhatikan sosok yang terkapar di lantai batu. Sosok berjubah putih, berkepala kain putih yang setengah tersingkap. Jelas dia adalah salah seorang anggota Barisan Manusia Pocong. Apa yang terjadi dengan dirinya?
Tiga Satria Pocong belum sempat menjawab, sosok di lantai tiba-tiba keluarkan suara tawa mengekeh.
"Kalau pertanyaan itu kau tujukan padaku, itulah yang aku tidak bisa menjawab. Ha… ha… ha!"
"Jahanam! Bagaimana hal ini bisa terjadi?! Siapa keparat satu ini?!" Yang Mulia Ketua berteriak marah. Sekali berkelebat dia berhasil menarik tanggal kain penutup kepala Satria Pocong. Begitu melihat wajah orang kagetnya jadi tambah alang kepalang sampai dia berseru menyebut nama.
"Dewa Tuak!"
"Ha… ha… Kau kenali diriku. Aku tidak kenali dirimu!" Orang yang tergeletak di lantai lorong di depan Ruang Bendera Darah kucak-kucak matanya. Dia memang adalah si kakek yang dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Sebelumnya dalam keadaan tubuh lemah dan pikiran kacau dia telah bertempur melawan tiga Satria Pocong. Walau dia berhasil menghajar mereka namun daya kekuatan yang ada dalam dirinya semakin parah dan daya ingatnyapun bertambah tidak karuan.
Selain kaget Sang Ketua Juga marah besar. Mata Sang ketua membelalak pada tiga Satria Pocong yang muncul berbarengan dengan Dewa Tuak. "Gila! Bagaimana tua bangka ini bisa lolos! Bagaimana otaknya masih jernih! Aku tidak akan memberi ampun pada siapa saja yang telah melakukan kesalahan!"
Tiga Satria Pocong ketakutan setengah mati. Ketiganya segera menjura dalam sambil berkata berbarengan. "Mohon ampunmu Yang Mulia Ketua." Salah seorang di antara mereka lalu beranikan diri memberi keterangan.
"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Kami tidak tahu bagaimana kejadiannya dia bisa lolos dari kamar sekapan. Ketika kami pergoki dia telah berada di Lorong Seratus Dua. Kami segera hendak membekuknya. Tapi dia melawan. Mohon maaf, kami bertiga sempat dihajarnya. Lalu dia melarikan diri ke arah sini. Kami mengejar sambil melepaskan tiga pukulan berbarengan. Pukulan kami membuat dia jatuh menggelundung tepat ketika pintu Ruang Bendera Darah terbuka."
"Jahanam! Ada yang tidak beres!" Teriak Sang Ketua semakin marah.
Wakil Ketua cepat mendekati dan berbisik. "Dewa Tuak bukan orang sembarangan. Dia memiliki hawa sakti dan tenaga dalam sangat tinggi. Dua kekuatan itu bisa saja merupakan daya tolak dari apa yang telah kita lakukan terhadapnya. Tapi percayalah, daya ingatnya tidak akan bertahan lama. Dia segera akan tunduk pada perintah dan kemauan kita."
"Jangan bicara tolol padaku! Sudah berapa lama dia mendekam di tempat ini! Tokoh silat lainnya begitu dicekoki minuman Selamat Datang langsung punah daya ingatnya. Mengapa dia tidak?!"
"Saya akan menyelidik. Saya akan urus tua bangka satu ini. Harap Yang Mulia Ketua memberi izin."
"Kalau begitu lekas kau ringkus dia! Jebloskan kembali ke kamar tahanan. Kita memerlukan dirinya dalam waktu singkat," perintah Sang Ketua.
"Jangan khawatir. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Saya akan meringkus dan memberikan minuman tambahan padanya!"
Ketika Wakil Ketua hendak bergerak, Yang Mulia Ketua pegang bahu jubah orang ini lalu berkata. "Satu dari dua Satria Pocong yang bertindak sebagai mata-mata telah memberitahu padaku. Kawasan Telaga Sarangan telah didatangi orang-orang tak dikenal. Hari-hari besar yang kita tunggu akan segera datang."
"Saya gembira," jawab Wakil Ketua. "Asalkan Yang Mulia Ketua mau berbagi rejeki dengan saya."
"Kita sudah menentukan bagian dan rejeki masing-masing. Tapi jika kau bertindak lamban, perhitungan rejekimu akan jatuh ke tangan orang lain."
Wajah Wakil Ketua di balik kain putih penutup kepala menyeringai. "Kalau itu sampai terjadi, saya akan sangat kecewa. Karena sejak dia membunuh saudara saya, jelas-jelas nyawanya adalah milik saya."
"Itu sudah menjadi perjanjian di antara kita. Tapi jangan lupa Wakil Ketua. Banyak orang dan banyak tangan yang ingin dan bisa membantainya. Sekarang lekas kau singkirkan tua bangka itu."
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!" Habis berkata begitu Wakil Ketua melompat ke arah sosok Dewa Tuak yang masih bergelung di lantai batu sambil mengumbar tawa.
Tiba-tiba, hekk!
Satu totokan yang didaratkan Wakil Ketua ke urat besar di pangkal leher membungkam mulut dan membuat kaku sekujur tubuh Dewa Tuak.
RATU Duyung lama-lama jadi kesal. Setiap dia memacu kuda meninggalkan Sutri Kaliangan di belakang, dia terpaksa berbalik kembali atau menunggu. Putri Patih Kerajaan itu menunggang kuda perlahan santai-santai saja.
"Aku tak mengerti," Ratu Duyung keluarkan ucapan. "Sewaktu di Kotaraja kau begitu bersemangat untuk segera melakukan perjalanan. Kau sangat khawatir atas keselamatan Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Sekarang kau malah menunggang kuda perlahan enak-enakan. Seperti orang tengah tamasya. Apa kau tidak melihat sang surya sudah jauh condong ke barat. Bisa-bisa kita kemalaman di tengah jalan."
Sutri Kaliangan, dara cantik berpakaian serba kuning dengan pedang tergantung di pinggang tersenyum mendengar ucapan Ratu Duyung. "Sahabatku Ratu Duyung, menurut hitungan kita sudah setengah jalan. Kalau dipaksakan memang bisa saja kita sampai malam hari di tempat tujuan. Padahal tujuan kita masih merupakan teka-teki. Satu-satunya bimbingan arah adalah apa yang kau lihat di cermin saktimu."
"Kalau sudah tahu mengapa tidak mempercepat lari kuda? Aku tidak mau bolak-balik menjemputmu dan meminta agar bergerak lebih cepat."
"Ratu Duyung, dengar. Sedikit banyak aku cukup mengenali kawasan yang telah kita lewati dan yang bakal kita tempuh. Jika kita terus mengikuti arah, di depan sana kita akan menemui sebuah gunung bernama Gunung Kukusan. Di sebelah barat ada Gunung Lawu. Di dalam cermin kau melihat ada bahaya besar mengancam Wiro. Kalau kita memasuki daerah tujuan pada malam hari, apakah menurutmu bukan berarti kita mencari bahaya?" Ratu Duyung diam saja. Sutri Kaliangan meneruskan kata-katanya. "Kita perlu istirahat. Dua tunggangan kita juga perlu istirahat. Besok pagi kita lanjutkan perjalanan."
"Besok pagi? Apa maksudmu, Sutri?"
"Kita bakal melewati sebuah kampung bernama Jatipurno. Ayahku memiliki sebuah rumah di sana. Karena terletak tak jauh dari kaki Gunung Kukusan udaranya sejuk, pemandangan sangat indah. Nah, kita bermalam di Jatipurno. Kita perlu mandi, cukup istirahat dan cukup tidur."
"Kau tidak lagi mengawatirkan keselamatan Wiro?"
"Siapa bilang tidak mengawatirkan. Tapi jangan lupa memikirkan keselamatan diri sendiri. Kalau kau berniat terus melanjutkan perjalanan, aku tak bisa menghalangi. Aku tetap akan singgah di Jatipurno."
Setelah menimbang sesaat akhirnya Ratu Duyung berkata. "Baiklah. Aku mengalah. Kita bermalam di Jatipurno. Tapi besok pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit kita harus sudah melanjutkan perjalanan."
Sutri Kaliangan tertawa lebar. "Sahabatku, agaknya kau juga mengawatirkan keselamatan pemuda itu. Kurasa bukan hanya sekedar mengawatirkan. Mungkin juga ada rasa rindu. Sudah berapa lama kalian tidak bertemu?"
Ratu Duyung tidak menjawab.
"Aku mendengar, banyak sekali para gadis tergila-gila pada Pendekar itu. Yang sudah pasti Anggini dan Bidadari Angin Timur. Aku tahu waktu di Gedung Kepatihan tadi malam mereka berpura-pura acuh ketika kuajak agar segera sama-sama berangkat. Aku yakin, keduanya mencari jalan sendiri-sendiri. Mungkin ingin mendahului kita menemui pemuda itu."
"Apakah kau merasa cemburu kalau Bidadari Angin Timur atau Anggini berhasil menemukan Wiro lebih dulu?"
"O-ooo. Justru hal itu yang akan aku tanyakan padamu." Kata Sutri Kaliangan pula sambil tersenyum dan melirik. Gadis ini tertawa kecil ketika melihat wajah Ratu Duyung bersemu merah.
"Kau tak mau menjawab. Ratu, apakah kau mencintai Wiro? Hemmm… aku bisa melihat pada raut wajah dan sinar matamu. Kau mencintai pemuda itu."
"Sutri, jika kau terus menggoda, aku lebih baik melanjutkan perjalanan seorang diri. Terus-terang, aku tidak merasa perlu singgah di Jatipurno."
Sutri Kaliangan dekatkan kudanya ke kuda Ratu Duyung lalu pegang lengan gadis bermata biru itu. "Harap kau jangan marah. Aku hanya bergurau. Soalnya, gadis mana yang tidak terpikat dengan pemuda seperti Wiro. Pendekar berkepandaian tinggi, berbadan tegap berwajah gagah. Selain itu baik hati pula. Banyak yang meramalkan dia bakal jadi tokoh utama dalam rimba persilatan tanah Jawa."
"Pendekar berkepandaian tinggi, berbadan tegap berwajah gagah. Selain itu baik hati pula. Diramalkan bakal menjadi tokoh utama dalam rimba persilatan tanah Jawa…" Ratu Duyung mengulangi ucapan Sutri Kaliangan lalu cepat menyambung. "Kau seorang gadis cantik jelita, Putri Patih Kerajaan, juga memiliki ilmu silat tinggi. Bukankah merupakan pasangan yang cocok dan serasi?" Kini Ratu Duyung yang menggoda Sutri Kaliangan.
Yang digoda tertawa panjang. "Aku boleh dibilang gadis yang ketinggalan kereta. Bagaimana mungkin bisa bersaing dengan para sahabat yang telah lebih dulu mengenal Wiro. Bidadari Angin Timur, Anggini dan kau sendiri."
"Kurasa kau lebih mendapat perhatian karena kau putri Patih Kerajaan. Cantik…"
"Menurutmu begitu?" tanya Sutri lalu menjawab sendiri pertanyaannya. "Kurasa tidak. Ketika ayahku menawarkan jabatan Panglima Kerajaan padanya, sebagai balas jasa dalam membantu mendapatkan Melati Tujuh Racun, satu-satunya obat yang mampu menyembuhkan penyakit ayah, dia menolak. Berarti dia tidak ada perhatian pada diriku."
"Menolak jabatan bukan berarti menolak cinta seorang gadis cantik sepertimu. Justru di situlah keluhuran budinya sebagai seorang pendekar. Dia tidak mau menjual diri dengan jabatan. Lebih dari itu dia tidak mau merendahkan makna cinta dan kasih sayang dengan balas jasa."
"Apapun alasan penolakannya, yang jelas aku tidak mungkin mendapatkan dirinya," kata Sutri Kaliangan pula. Suaranya perlahan seperti sedih, namun di mulutnya terkulum sekelumit senyum.
"Jangan terlalu berhiba diri, sahabatku. Dibanding dengan kami-kami rasanya kau lebih punya kesempatan. Apakah kau pernah mengajuk hatinya? Apakah kalian pernah berdua-dua?"
"Hai! Kau tengah menyelidiki diriku!" kata Sutri Kaliangan lalu tertawa cekikikan.
* * *
SUTRI Kaliangan dan Ratu Duyung sampai di Jatipurno tepat ketika sang surya tenggelam di ufuk barat. Rumah milik ayah Sutri itu selain besar juga sangat bagus dan kokoh bangunannya. Mulai dari tangga sampai tiang dan dinding dipenuhi ukiran-ukiran bagus dan halus. Setelah dua gadis itu mandi, penjaga rumah bersama istri menyiapkan makan malam. Selesai makan Sutri menyuruh suami istri itu pulang ke rumah mereka yang terletak tak jauh dari situ. Ketika meninggalkan rumah, Ratu Duyung sempat melihat keduanya berbisik-bisik sambil menuruni tangga dan sesekali menoleh ke belakang memperhatikan dirinya. Walau heran melihat sikap dua suami istri itu namun Ratu Duyung tidak berkata apa-apa.
"Di rumah ini ada dua kamar. Besar-besar. Sebaiknya kita tidur di satu kamar saja. Kita bisa ngobrol macam-macam sebelum tidur." Begitu Sutri Kaliangan berkata dan ditanggapi wajar-wajar saja oleh Ratu Duyung.
Sebelum masuk ke dalam kamar Sutri Kaliangan mengeluarkan sebuah tabung kecil. Tabung ini ternyata berisi minyak wangi. Begitu penutup tabung dibuka, bau harum luar biasa memenuhi ruangan. Sutri mengusapkan minyak wangi di leher, belakang telinga dan pangkal dadanya. Lalu tabung minyak diserahkan pada Ratu Duyung. "Pakailah…"
"Terima kasih, aku tak biasa memakai minyak wangi." Jawab Ratu Duyung tidak berdusta. Selain itu dia merasa setiap dia menghela nafas, harumnya minyak wangi itu mendatangkan perasaan aneh dalam dirinya.
"Sekali ini harus. Nanti kau akan biasa. Aku masih ada persediaan satu tabung. Kau boleh ambil yang satu ini. Pakailah…"
Karena Sutri Kaliangan memaksa terus, Ratu Duyung mengambil juga tabung kecil berisi minyak wangi itu tapi tidak dipakainya. Tabung diselipkan di balik pakaian. Tak lama kemudian keduanya masuk ke dalam kamar. Mereka mengobrol sebentar, mungkin karena keletihan Ratu Duyung tertidur lebih dulu.
* * *
RATU Duyung tidak tahu berapa lama dia telah tertidur ketika mendadak terbangun. Pertama sekali bau harum minyak wangi menusuk hidung, masuk ke dalam jalan pernafasannya. Ada perasaan aneh. Seperti pertama kali mencium bau itu ketika Sutri Kaliangan mengusapkan ke tubuhnya. Lalu dia merasakan ada pelukan kuat di pinggang. Ada himpitan kaki di pahanya. Dia juga merasakan hembusan nafas panas. Setelah itu ada ciuman di pipi dan pangkal lehernya. Darah Ratu Duyung mengalir cepat. Jantungnya berdegup keras. Ada kehangatan aneh menyungkupi dirinya.
"Apakah aku bermimpi," pikir Ratu Duyung. Dibukanya ke dua matanya. Tepat ketika ada satu wajah tersenyum mesra meneduhi wajahnya dan hendak mengecup bibirnya.
Ratu Duyung cepat mendorong tubuh orang yang menghimpitnya. Memandang ke depan serasa tak percaya dia. Sutri Kaliangan duduk di atas ranjang, tersenyum padanya. Dan gadis ini, tak sehelai pakaianpun melekat di tubuhnya!
"Sutri, apa yang kau lakukan terhadapku?" tanya Ratu Duyung heran.
Sutri Kaliangan masih tersenyum. Lidahnya yang merah dijulurkan membasahi bibir. "Memangnya aku melakukan apa?" Balik bertanya Sutri. Suara perlahan, mata setengah dipejamkan.
"Barusan…"
"Barusan apa?" ucap Sutri lirih.
"Kau memelukku. Kau menciumku. Kau juga hendak mengecup bibirku…"
Sutri Kaliangan dongakkan kepala lalu tertawa panjang.
"Apakah itu aneh?" ucap putri Patih Kerajaan ini sambil tangannya mengelus paha Ratu Duyung. Ratu Duyung cepat tepiskan tangan gadis itu.
"Tentu saja aneh! Bagiku sangat aneh!" Jawab Ratu Duyung. Suaranya keras tanda kesal. Tubuhnya terasa semakin hangat.
"Jangan menduga yang bukan-bukan sahabatku. Malam begitu dingin. Tidak ada selimut di atas ranjang. Kita tidur berdua-dua. Apakah aku tidak boleh mencari kehangatan dengan memeluk tubuhmu yang bagus?"
Tersirap darah Ratu Duyung mendengar kata-kata Sutri Kaliangan itu.
"Tapi, kau bukan cuma memelukku. Kau menciumiku. Kau hendak mengecup bibirku…"
"Ketika kau tertidur, aku masih sulit memejamkan mata. Aku pandangi wajahmu yang cantik seperti boneka. Aku kagumi tubuhmu yang putih mulus dan bagus. Sebagai seorang sahabat apakah aku tidak boleh menyentuhmu?"
"Apa yang kau lakukan bukan cara orang bersahabat."
"Lalu, bagaimana seharusnya cara orang bersahabat. Tunjukkan padaku." Kata Sutri Kaliangan lalu rebahkan dadanya yang putih terbuka ke bahu Ratu Duyung.
Ratu Duyung cepat menghindar dan berkata.
"Kau tadi berucap malam begitu dingin. Tapi mengapa kau bertelanjang diri seperti ini?"
Sutri Kaliangan tersenyum dan kedipkan perlahan sepasang matanya.
Ratu Duyung mengusap leher dan belakang telinganya. Jari-jarinya kemudian didekatkan ke hidung. "Kau… kau mengusapkan minyak wangi itu ke tubuhku…"
"Aku ingin kau juga memakainya. Bukan cuma aku. Sebagai tanda kita bersahabat…"
Ratu Duyung geleng-gelengkan kepala.
Karena bujukannya tidak mengena Sutri Kaliangan akhirnya berkata, "Tidurlah, pagi masih lama. Kita perlu istirahat." Sutri Kaliangan ulurkan tangan memegang dan mengelus lengan Ratu Duyung.
Saat itu setelah mencium minyak wangi yang dioleskan Sutri ke telinga dan lehernya, rasa aneh semakin berkecamuk dalam tubuh Ratu Duyung.
"Ada rangsangan aneh dalam diriku. Aku harus sanggup melawan…" Cepat Ratu Duyung kerahkan tenaga dalam.
"Malam-malam di atas tempat tidur mengerahkan tenaga dalam. Untuk apa?" tanya Sutri Kaliangan yang rupanya tahu apa yang tengah dilakukan Ratu Duyung. "Tidurlah, aku tidak akan mengganggumu." Habis berkata begitu putri Patih Kerajaan itu lalu rebahkan badannya di atas tempat tidur. Sikapnya benar-benar membuat jengah Ratu Duyung. Sutri berbaring menelentang. Dua tangan dikembangkan ke samping menyingkapkan ketiaknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus hitam.
"Ada yang tidak beres dengan gadis satu ini. Apa yang ada di benaknya. Minyak wangi itu… Aku menaruh curiga. Dia memasukkan sesuatu di dalam minyak wangi. Tubuhku jadi panas. Diriku diselimuti rangsangan. Aku harus berbuat sesuatu…"
"Ratu, kau mau ke mana?" tanya Sutri ketika dilihatnya Ratu Duyung beranjak turun dari atas ranjang.
"Aku perlu ke belakang."
"Biar aku temani," kata Sutri.
"Tidak usah."
"Ah matamu indah sekali. Biru bercahaya. Bolehkah aku menciumnya?" Masih dalam keadaan tanpa pakaian Sutri Kaliangan beringsut ke tepi ranjang.
Ratu Duyung cepat-cepat turun dari tempat tidur lalu keluar dari kamar, meninggalkan rumah, pergi ke sumur kecil di halaman belakang. Tubuhnya terasa lebih segar setelah mencuci wajah, leher dan dadanya yang diusapi minyak wangi oleh Sutri Kaliangan. Rangsangan aneh yang ada dalam dirinya perlahan-lahan berkurang. Ratu Duyung tidak kembali ke dalam bangunan. Di halaman kiri rumah ada sebuah gerobak. Ratu Duyung naik ke atas gerobak ini. Untuk beberapa lama dia berbaring di lantai gerobak sambil berpikir-pikir.
"Apa yang telah dilakukan putri Patih Kerajaan itu terhadapku? Dia memberiku obat perangsang yang dimasukkan dalam minyak wangi. Sikap dan perbuatannya terhadapku… Ada sesuatu yang tidak beres dengan gadis itu. Jangan-jangan, aku memang pernah mendengar cerita tentang laki-laki yang hanya bergairah terhadap sesama lelaki. Tentang perempuan yang hanya mau berhubungan sesama perempuan. Apakah… Jangan-jangan…" Ratu Duyung ingat pada pasangan suami istri penjaga rumah. "Ketika meninggalkan rumah, dua orang itu berbisik-bisik sambil memperhatikan diriku. Mungkin sebelumnya Sutri Kaliangan telah sering membawa gadis-gadis ke rumah ini. Jika benar ada kelainan pada diri Sutri mereka pasti tahu banyak. Kalau saja aku bisa menemui keduanya…" Ratu Duyung usap tengkuknya yang mendadak terasa merinding.
Di dalam gerobak, dinginnya udara malam membuat Ratu Duyung bergelung dan rangkapkan tangan di depan dada. Dalam masih mengingat-ingat apa yang barusan dialaminya, gadis ini keluarkan cermin sakti dari balik pakaian.
"Aku tak mungkin meneruskan perjalanan bersama gadis itu. Aku tahu betul, orang seperti dia bisa berbuat nekad bila maksudnya tidak kesampaian. Bukan mustahil dia akan membunuhku karena malu rahasia dirinya kuketahui. Aku harus mencari jalan sendiri. Rupanya gerak-geriknya yang selama ini seperti terpikat dan ingin cepat-cepat menemui Wiro hanya satu kepura-puraan belaka. Dia punya tujuan lain. Aku harus mencari tahu di mana Wiro berada…" Di dalam gerobak, dalam gelap, dan dinginnya malam Ratu Duyung arahkan pandangan pada cermin sakti berbentuk bulat. Tanpa diketahuinya, dua bayangan putih laksana sepasang setan gentayangan berkelebat ke arah bangunan lalu melesat ke atas wuwungan.
DI ATAS atap rumah, dalam gelapnya malam dua sosok mendekam sesaat. Dari jubah serta kain penutup kepala yang serba putih jelas mereka adalah Satria Pocong, anggota Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Setelah saling berbisik salah seorang dari mereka menggeser atap kayu sirap lalu mengintai ke dalam rumah. Begitu mengintip orang ini keluarkan suara terperangah, membuat teman di sebelahnya bertanya.
"Ada apa?"
"Belum pernah aku melihat pemandangan luar biasa seperti ini," suara manusia pocong pertama bergetar. Nafasnya berhembus kencang.
"Ke pinggirlah, coba kulihat." Manusia pocong kedua ingin tahu pemandangan apa yang ada di bawah sana.
"Aku sedang asyik. Jangan kau ganggu dulu."
"Jangan serakah!" Manusia pocong kedua mengomel.
"Atap ini masih luas. Mengapa tidak membuat lobang sendiri?"
Penasaran ingin tahu apa yang dilihat kawannya, manusia pocong kedua mengalah lalu menggeser atap sirap di bagian lain. Ketika dia mengintai ke dalam rumah, langsung dari mulutnya keluar ucapan.
"Aahhhh…" Tengkuknya yang tertutup kain putih diusap berulang kali. Tanpa menggeser mata dari renggangan atap sirap manusia pocong ini berkata pada teman di sebelahnya. "Sebelumnya kau bilang ada dua gadis. Yang kulihat cuma seorang."
"Gadis satunya mungkin sudah pergi. Mungkin tidak tinggal di sini."
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Kita?" tanya manusia pocong pertama. "Aku akan turun ke bawah. Terserah kau. Kalau kau minta bagian silahkan menunggu. Kalau tidak kembali saja ke Lorong."
"Susah punya teman serakah sepertimu." Manusia pocong kedua mengomel. Tapi hatinya bimbang. Apa yang disaksikannya di dalam kamar di bawah sana membuat tubuhnya keringatan. "Aku memilih kembali saja," katanya kemudian. "Silakan kau bersenang-senang. Tapi aku nasihatkan agar kau tetap waspada. Hati-hati. Gadis itu agaknya belum tidur. Seperti menunggu kedatangan seseorang."
"Dia menunggu aku," jawab manusia pocong pertama lalu tertawa perlahan di balik kain penutup kepala. "Perlu apa takut terhadap seorang gadis cantik yang saat ini berbaring di atas ranjang tanpa pakaian."
"Aku hanya mengingatkan. Kau tahu, belakangan ini kita sudah menyirap kabar tentang terlihat orang-orang tak dikenal sekitar Telaga Sarangan dan bebukitan batu sekitar Lorong. Belum lama salah seorang tokoh rimba persilatan berjuluk Dewa Tuak malah berhasil menyusup ke dalam Lorong."
"Tua bangka satu itu perlu apa dikhawatirkan. Atas perintah Yang Mulia Ketua, Sri Paduka Ratu telah meringkusnya. Lagi pula kemunculan orang-orang yang kau sebutkan itu bukankah sesuai dengan rencana dan apa yang telah diatur oleh Yang Mulia Ketua? Dewa Tuak sudah muncul dan dilumpuhkan. Dia sekarang jadi salah satu anggota Barisan Manusia Pocong. Aku yakin tidak lama lagi yang disebut Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng akan segera pula muncul."
"Bagaimana kalau gadis telanjang di dalam kamar itu ternyata merupakan satu pancingah. Kau bisa celaka…"
"Kalau kau takut, lekas-lekas saja kembali ke Lorong." Manusia pocong pertama segera hendak bergerak. Tapi bahunya dipegang oleh teman di sebelahnya.
"Sebelum naik ke atap ini, aku sempat mengelilingi rumah. Di sebelah belakang aku menemui dua ekor kuda. Besar dan tegap-tegap. Salah satu diantaranya ada hiasan kain kuning di leher dan dada. Hiasan seperti ini hanya dimiliki kuda pejabat-pejabat tinggi di Kotaraja…"
"Sobatku, kau kembalilah ke Lorong. Aku kesini mencari gadis cantik itu. Bukan mencari kuda yang ada hiasan kain kuning." Setelah tertawa perlahan manusia pocong pertama ini lambaikan tangan pada temannya lalu berkelebat turun dari atas atap rumah. Sesaat kawannya masih berada di atas atap. Sebelum menyusul turun sekali lagi dia mengintai ke dalam rumah lewat renggangan atap sirap. Menarik nafas panjang, geleng-geleng kepala lalu berkelebat pergi.
* * *
DI atas tempat tidur, Sutri Kaliangan berbaring tidak sabar menunggu kedatangan Ratu Duyung. Ketika pintu kamar terbuka dan ada langkah-langkah kaki halus memasuki kamar, gadis ini pejamkan mata, tersenyum.
"Ratu Duyung. Kau membuatku gelisah…" Di atas ranjang Sutri Kaliangan balikkan tubuh, kepala di arahkan ke pintu kamar. Begitu pandangannya membentur sosok serba putih yang tegak di samping tempat tidur, gadis ini tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan. Kejap itu juga dalam keadaan tidak sadar akan keadaan auratnya, gadis ini melompat turun ke lantai. Begitu sadar kalau saat itu dia tidak mengenakan pakaian sama sekali, langsung menjerit dan berusaha menyambar pakaian kuningnya yang berserakan di kaki tempat tidur. Tapi si manusia pocong lebih cepat. Sekali bergerak dia berhasil mengambil pakaian itu. Sambil membuntal-buntal pakaian kuning dengan kedua tangannya dia berkata.
"Tak perlu risaukan pakaian ini. Kau lebih cantik tanpa pakaian! Ha… ha… ha!"
"Manusia pocong…" ucap Sutri bergetar dalam hati. "Apa ini makhluk yang ramai dibicarakan orang belakangan ini. Ternyata bukan cuma cerita kosong." Putri Patih Kerajaan ini hanya terkesiap sesaat. Keberaniannya kemudian muncul. Sambil melindungi tubuh dengan bantal dia membentak.
"Jahanam! Kau siapa?! Keluar dari kamar ini!" Matanya melirik ke arah dinding kamar di mana tergantung pedang miliknya. Manusia pocong sudah membaca apa yang ada di benak si gadis. Buntalan pakaian kuning yang digenggamnya dilemparkan ke arah Sutri. Selagi Sutri membuat gerakan menangkap pakaian, secepat kilat manusia pocong melompat ke arah dinding menyambar pedang perak.
Seperti diketahui Sutri Kaliangan yang puteri Patih Kerajaan ini walau mempunyai kelainan tapi juga memiliki ilmu silat cukup tinggi. Sadar kalau orang menipu, Sutri segera melesat ke arah manusia pocong sambil lancarkan jurus serangan yang disebut Menusuk Puncak Gunung. Jurus ini sebenarnya adalah jurus serangan ilmu pedang. Walau dimainkan dalam serangan tangan kosong kehebatannya tidak kalah berbahaya dengan memakai pedang. Nyatanya si manusia pocong kena dihantam.
Bukkk!
Jotosan Sutri Kaliangan mendarat di bahu kanan manusia pocong. Membuat orang ini melintir dan mengeluh tinggi kesakitan. Gagang pedang yang sudah ada dalam genggamannya terlepas, senjata itu jatuh berkerontang di lantai. Manusia pocong segera balikkan tubuh, tepat ketika Sutri Kaliangan melompat sambil hantamkan satu tendangan.
Manusia pocong keluarkan suara mendengus dari hidung. Walau marah dan sakit namun sepasang matanya berkilat menyaksikan tubuh telanjang yang menyerangnya.
Wuttt!
Tendangan Sutri Kaliangan meleset hanya setengah jengkal di samping kiri tubuhnya. Begitu serangan lawan lewat, manusia pocong membuat gerakan kilat. Tahu-tahu dia telah mencekal betis kanan Sutri Kaliangan. Sebelum gadis ini sempat berbuat sesuatu, tangan yang mencekal betis bergerak dan Sutri terpekik. Tubuhnya terlempar ke atas, jatuh ke bawah, terjengkang di atas ranjang! Sutri terpekik. Seolah baru sadar keadaan auratnya yang tanpa pakaian, gadis ini cepat berguling turun dari atas tempat tidur. Namun manusia pocong bergerak lebih cepat. Dengan satu gerakan kilat dia membuat lompatan. Dua jari tangan ditusukkan ke arah pangkal leher si gadis mendaratkan totokan aneh. Tubuh putri Patih Kerajaan itu tidak kaku, tetapi mendadak menjadi lemas.
"Manusia setan keparat! Jangan kau berani berlaku kurang ajar terhadapku!" Teriak Sutri.
"Gadis cantik! Siapa yang tega berbuat kurang ajar! Aku malah mau memberikan kesenangan padamu!"
"Setan terkutuk! Aku Sutri Kaliangan Puteri Patih Kerajaan! Ayahku akan mencincang tubuhmu!"
Sesaat si manusia pocong seperti terkesiap mendengar ucapan Sutri. Namun kemudiah dia tertawa. "Aku tidak kenal siapa dirimu. Juga tidak tahu siapa itu yang disebut Patih Kerajaan. Saat ini aku ingin bersenang-senang."
Habis berkata begitu manusia pocong siap melucuti jubahnya. Di sebelah atas kain putih penutup kepala tidak ditanggalkan. Agaknya manusia pocong ini tidak mau wajahnya dilihat orang. Sutri kembali memaki dan berteriak. Dia berusaha bangkit tapi tidak bisa. Dicobanya menggulingkan diri, juga tidak mampu.
"Gadis, harap kau pasrah saja pada nasib. Kalau memang berjodoh, urusan hari ini bisa kita perpanjang sampai nanti. Ha… ha… ha!"
"Makhluk keparat! Aku bersumpah membunuhmu!"
Sambil tertawa bergelak manusia pocong melompat ke atas tempat tidur.
* * *
DI dalam gerobak di halaman kiri rumah, Ratu Duyung menatap tak berkesip ke cermin sakti bulat yang dipegangnya dengan kedua tangan. Perlahan-lahan bayangan hitam di dalam cermin berubah terang namun seperti ada gelombang asap melapisi permukaan cermin. Sesekali ada bayangan putih muncul lalu lenyap, muncul lagi dan kembali lenyap. Ditunggu sekian lama Ratu Duyung masih belum melihat apa-apa. Tiba-tiba dua tangan yang memegang cermin mulai bergetar. Ratu Duyung ingat pada kejadian sewaktu dia melakukan pemantauan di Gedung Kepatihan. Ratu Duyung tidak berani kerahkan hawa sakti, khawatir akan mengalami hantaman kekuatan yang tak kelihatan seperti kejadian tempo hari.
"Ada kekuatan aneh menghalangi. Wiro, di mana kau…" ucap Ratu Duyung. Tiba-tiba sudut matanya melihat satu bayangan putih berkelebat di depan gerobak. Ratu Duyung turunkan cermin. Tubuhnya masih melunjur di lantai gerobak. Dada dan kepala dinaikkan.
"Astaga, apa yang aku lihat ini? Pocong hidup gentayangan di malam hari?"
Gadis cantik yang berasal dari kawasan samudera selatan ini segera simpan cerminnya lalu bergerak bangkit. Sosok serba putih lenyap di balik sederetan pepohonan.
"Pocong hidup… Mungkin ini makhluk yang pernah dibicarakan para gadis sewaktu di Gedung Kepatihan. Makhluk setan penculik perempuan hamil." Sang Ratu berpikir sejenak. Segera saja muncul niatan di hatinya untuk mengejar manusia pocong tadi. Tidak menunggu lebih lama Ratu Duyung segera keluar dari dalam gerobak. Ketika dia siap berkelebat mengejar, tiba-tiba dari arah rumah terdengar jeritan disusul bentakan-bentakan perempuan.
"Sutri Kaliangan..," ucap Ratu Duyung. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?"
Untuk seketika gadis jelita bermata biru ini jadi bingung. Apakah akan meneruskan maksudnya semula mengejar manusia pocong atau menghambur masuk ke dalam rumah untuk melihat apa yang terjadi.
"Ah, gadis yang punya kelainan itu mungkin mau menipuku. Sengaja menjerit dan membentak agar aku segera datang. Lebih baik aku tinggalkan saja dia," membatin Ratu Duyung. Namun untuk kesekian kalinya dia mendengar suara jeritan gadis itu. Lalu suara gedebuk pukulan disusul suara senjata jatuh berkerontang di lantai. Setelah ulang berpikir akhirnya Ratu Duyung berkelebat ke arah rumah. Saat itulah ada suara perempuan berteriak di atas atap rumah.
"Aku tahu! Maksudmu bukan mau membantu! Tapi mau melihat lebih dekat aurat telanjang gadis cantik itu! Awas kalau kau berani menjamah tubuhnya!"
Terdengar suara tertawa bocah cekikikan.
Lalu, braakk!
Salah satu bagian atap sirap jebol.
Ratu Duyung memasuki rumah terus melompat ke kamar tidur, tepat ketika satu sosok kecil gesit berpakaian hitam terjun dari atas wuwungan kamar, langsung melompat ke belakang sosok manusia pocong yang saat itu siap berbuat bejat hendak menggagahi Sutri Kaliangan.
"Pocong jejadian! Hancur kantong menyanmu!"
Sosok kecil berpakaian hitam ulurkan tangan ke depan.
Krekkk… tesss!
Si manusia pocong menjerit setinggi langit. Darah mengucur dari anggota rahasia di bawah perutnya. Di samping ranjang seorang anak lelaki berpakaian hitam-hitam berambut jabrik dekatkan tangannya yang barusan meremas ke lobang hidung, lalu kibas-kibaskan tangan itu sambil keluarkan suara seperti orang mau muntah kemudian tertawa gelak-gelak. Sementara itu si manusia pocong gulingkan diri, menungging-nungging di lantai kamar sambil menjerit megap-megap, pegangi perutnya di sebelah bawah yang telah hancur diremas orang!
"Naga Kuning! Apa yang kau lakukan?!" teriak Ratu Duyung dengan mata mendelik ngeri ketika melihat apa yang terjadi dengan manusia pocong yang tadi hendak menggagahi Sutri Kaliangan.
"Aku hanya mengusap gituannya. Heran, kenapa dia melintir kelojotan seperti itu! Seharusnya dia bergumam keenakan! Hik… hik… hikkk!"
Si bocah berambut jabrik yang bukan lain adalah Naga Kuning menjawab konyol seenaknya lalu tertawa cekikikan.
"Bocah edan kurang ajar!" maki Ratu Duyung tapi dengan wajah setengah tersenyum.
"Ratu, mohon maafmu. Mungkin tadinya kau bermaksud meraba perabotan orang. Tapi kedahuluan oleh aku! Ha… ha… ha!"
"Anak setan! Siapa sudi melakukan yang kau katakan itu!" Ratu Duyung berteriak marah.
Si bocah Naga Kning kembali tertawa gelak-gelak sambil matanya melirik ke arah sosok tak berpakaian Sutri Kaliangan yang tertelentang di atas tempat tidur.
HAI! Kalian jangan cuma tertawa-tawa. Lekas tolong diriku!" Sutri Kaliangan berteriak. Di samping tempat tidur si manusia pocong masih menjerit-jerit lalu melompat ke arah pintu. Ratu Duyung cepat menghalangi namun ditabrak dengan keras hingga gadis itu terdorong jauh ke dinding kamar.
"Biarkan pocong keparat itu kabur! Dia akan mati kehabisan darah! Yang penting tolong dulu diriku. Aku ditotok!" Sutri Kaliangan kembali berteriak
Ratu Duyung berpikir. Sutri sudah ada orang yang menolong, lebih baik dia mengejar manusia pocong. Ratu Duyung cepat keluar dari kamar. Ketika sampai di luar rumah, seekor kuda menghambur dalam kegelapan.
"Manusia pocong! Dia kabur dengan kuda milik Sutri Kaliangan!" Ratu Duyung kepalkan tinju lalu cepat lari ke samping rumah. Disitu masih ada seekor kuda yakni kuda yang sebelumnya ditungganginya dalam perjalanan dari Kotaraja bersama Sutri. Ratu Duyung melompat ke atas kuda, segera melakukan pengejaran. Namun entah bagaimana orang menipunya, Ratu Duyung tidak berhasil mengejar manusia pocong. Orang itu lenyap dalam kegelapan padahal tadi hanya terpaut belasan tembok saja di depannya.
Dalam gelap Ratu Duyung segera keluarkan ilmu Menembus Pandang. Dengan ilmu ini dia mampu melihat benda-benda dalam gelap atau terhalang benda lain yang berada dalam jarak tertentu. Hawa sakti dialirkan ke kepala, mata dikedipkan dua kali. Pandangan dipentang ke depan. Sesaat kemudian sang Ratu melihat satu keanehan. Dia mampu melihat kuda besar yang dipergunakan manusia pocong dalam melarikan diri. Namun si penunggang sama sekali tidak kelihatan. Kuda besar itu menghambur sendirian seperti ditunggangi hantu yang tidak kelihatan!
"Aneh luar biasa! Dirinya dalam keadaan terluka parah. Ilmu setan apa yang dimiliki manusia pocong itu hingga dirinya tidak tembus pandang? Atau mungkin ada satu kekuatan dari luar membantu melindungi dirinya? Kekuatan yang tempo hari aku pernah lihat di cermin sakti?"
Dituntun oleh ilmu Menembus Pandang meski agak lamban Ratu Duyung berusaha terus mengikuti manusia pocong yang melarikan diri. Walau tidak takut akan kehilangan jejak orang yang dikejarnya tapi ada satu hal yang dikhawatirkan Ratu Duyung. Yaitu seperti yang dikatakan Sutri Kaliangan. Manusia pocong itu bisa saja menemui ajal kehabisan darah sebelum dia berhasil mengejar atau mengetahui sarangnya.
Kembali ke dalam kamar. Mendengar teriakan Sutri Kaliangan minta tolong dan memberitahu kalau dirinya berada dalam keadaan tertotok, bocah konyol berambut jabrik Naga Kuning segera melompat ke samping tempat tidur. Dua matanya menjelajah nakal di sekujur tubuh si gadis.
"Katakan, bagian mana tubuhmu yang ditotok." Naga Kuning kembangkan tangan kanan di atas dada Sutri Kaliangan. Telapak ke bawah dan tangan digerak-gerakkan ke kiri ke kanan. "Ah, pasti di bagian sini. Di bagian dadamu!" kata anak itu. Tangannya lalu diturunkan mendekati permukaan dada yang tidak tertutup.
"Bocah setan!" Dari atas atap rumah yang jebol terdengar satu bentakan. "Minggir kau! Aku yang akan menolong gadis itu! Awas kalau kau berani menyentuh tubuhnya!"
Satu sosok serba hitam, dari atas atap rumah, laksana setan terjun dari langit melesat masuk ke dalam kamar. Naga Kuning didorong ke samping hingga terjajar ke dinding. Sambil usap-usap rambutnya yang jabrik Naga Kuning berkata.
"Kau keliwat cemburu. Masakan aku…"
"Huss! Diam! Siapa percaya dirimu! Waktu Sinto Gendeng dikeluarkan dari pendaman kau masih suka melihat tubuh telanjang nenek itu! Padahal tubuhnya kurus hitam keriputan! Apalagi tubuh gadis cantik dan bagus seperti yang ini! Owalah!" (Mengenai riwayat Sinto Gendeng dilepas dari pendaman baca seri pertama berjudul 113 Lorong Kematian)
Naga Kuning hanya bisa sunggingkan senyum mendengar ucapan itu.
Sutri Kaliangan tercekat memperhatikan orang yang tegak di samping tempat tidur. Seorang nenek berjubah hitam. Rambut panjang kelabu, bermuka seram seperti setan. Sepuluh kuku jarinya panjang runcing dan hitam.
"Nek, mungkin aku pernah melihatmu sebelumnya. Tapi lupa siapa dirimu. Kau bisa melepaskan totokan di tubuhku?" Sutri Kaliangan keluarkan ucapan.
Si nenek yang dalam rimba persilatan dikenal dengan panggilan Gondoruwo Patah Hati tidak menyahuti pertanyaan orang. Sepasang matanya menatap sekujur tubuh Sutri Kaliangan. Mencari letak di bagian tubuh sebelah mana gadis ini telah ditotok. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan ditekuk. Tiba-tiba dua jari yang ditekuk ini bergerak, ditekankan ke pangkal leher sebelah kiri Sutri Kaliangan.
Desss!
Saat itu juga totokan yang menguasai tubuh si gadis punah. Rasa lemas lenyap. Sutri Kaliangan berseru keras, gulingkan diri ke kiri sambil menarik kain alas tempat tidur. Untuk beberapa lama dia berdiri terdiam di sudut kamar sambil lindungi auratnya dengan kain itu. Sepasang mata menatap Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning.
"Aku mengucapkan terima kasih…" kata si gadis kemudian.
Gondoruwo Patah Hati tidak menjawab. Dia melirik ke arah Naga Kuning lalu melangkah ke pintu sambil memberi isyarat agar si bocah mengikutinya. Sampai di ambang pintu, ketika Naga Kuning masih tak beranjak di tempatnya, si nenek hentikan langkah.
"Kau masih berada di situ, apakah mau menolong gadis itu mengenakan pakaiannya?!"
Si bocah tertawa lebar. Lalu menyahuti, "Kita sudah menolongnya. Tadi kita bercuriga bahwa orang yang hendak berbuat keji itu mungkin adalah anggota komplotan orang-orang yang suka menculik perempuan bunting. Mengapa kita tidak bertanya mencari keterangan pada gadis ini?"
"Kau bisa bertanya pada orang lain. Bukan pada gadis yang masih telanjang bulat begitu rupa! Ayo ikut aku tinggalkan tempat ini." Si nenek ulurkan tangan kirinya menjewer telinga Naga Kuning. Dalam keadaan meringis kesakitan bocah ini kemudian dibimbing keluar kamar.
"Hai! Tunggu dulu!" Seru Sutri Kaliangan. "Harap mau memberitahu siapa adanya kalian."
Naga Kuning hendak menjawab tapi Gondoruwo Patah Hati mendahului. "Kami adalah sahabat kakek berjuluk Setan Ngompol yang tempo hari mendapatkan kembang Melati Tujuh Racun untuk penyembuh sakit ayahmu."
"Jadi, kau sudah tahu kalau aku puteri Patih Kerajaan?"
Gondoruwo Patah Hati mengangguk perlahan.
"Ah, aku benar-benar berterima kasih pada kalian berdua. Tunggulah di luar kamar. Aku akan berpakaian. Nanti kita bicara lagi. Aku berjanji akan memberikan hadiah besar pada kalian berdua."
"Sudah saatnya kami pergi..," kata Gondoruwo Patah Hati.
"Kalian mau menuju ke mana?"
Naga Kuning hendak menjawab. Tapi si nenek kembali menjewer kupingnya dan menarik si bocah meninggalkan tempat itu.
Sampai di luar Naga Kuning berkata. "Kita menolongnya, mengapa kemudian kau bersikap ketus pada gadis itu?"
"Sudah, tak perlu banyak bertanya. Aku punya dugaan kita sudah dekat dengan sarang manusia-manusia penculik perempuan hamil itu."
"Dugaanmu bisa saja betul. Tapi aku ingin tahu…"
"Apa yang kau ingin tahu?" tanya Gondoruwo Patah Hati.
"Intan," Naga Kuning memanggil si nenek dengan nama aslinya. Seperti dituturkan dalam beberapa serial Wiro Sableng sebelumnya, Gondoruwo Patah Hati bernama asli Ning Intan Lestari merupakan kekasih Naga Kuning di masa muda. Selain itu dia adalah anak angkat Kiai Gede Tapa Pamungkas, guru Sinto Gendeng yang asal muasal memiliki Kapak Maut Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212. Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin menjodohkan anak angkatnya ini dengan Rana Suwarte. Tetapi Ning Intan Lestari menolak karena hatinya telah lebih dulu tertambat pada Naga Kuning yang sebenarnya adalah seorang kakek sakti bernama Gunung berjuluk Kiai Paus Samudera Biru. Namun perjalanan hidup memisahkan mereka selama sekian puluh tahun. Dalam kepatahan hatinya ditinggal sang kekasih Intan tetap menunggu sampai akhirnya dia berhasil bertemu kembali dengan Gunung walaupun saat itu mereka sudah menjadi seorang kakek dan seorang nenek. Namun Kiai Gede Tapa Pamungkas masih tetap ingin menjodohkan anak angkatnya itu dengan Rana Suwarte hingga akhirnya terjadi perseteruan antara Naga Kuning dengan Rana Suwarte. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Gondoruwo Patah Hati, Senandung Kematian)
"Intan, apakah kau cemburu aku mau berlaku yang tidak-tidak terhadap gadis tadi?" Naga Kuning bertanya.
"Itu hal yang pertama. Hal kedua kau tidak pantas mengenal apa lagi berdekatan dengan gadis itu. Aku sudah lama menyirap kabar. Puteri Patih Kerajaan itu punya kelainan.
"Hemm, begitu? Kelainan apa maksudmu? Suka pada anak-anak bagus seperti aku ini?"
"Bocah keblinger! Sombongnya! Kau tahu, gadis itu hanya suka pada sesama jenisnya. Hasratnya hanya bisa tersalur pada sesama perempuan!"
"Nah… nah! Kalau begitu aku tak bakal diapa-apakannya. Kau yang bakal jadi incaran. Bukankah kalian sama-sama perempuan? Baiknya kau kembali ke rumah sana. Aku biar mengintip di luar. Ingin tahu apa saja yang dilakukan antara perempuan dengan perempuan! Kau pasti bakal diberinya hadiah berlipat ganda! Ha… ha., ha…"
Gelak tawa Naga Kuning langsung berhenti begitu jari-jari tangan Gondoruwo Patah Hati memuntir daun telinga kirinya.
* * *
KEMBALI pada Wulan Srindi, murid Perguruan Silat Lawu Putih. Seperti diceritakan sebelumnya gadis ini sempat diculik dan hendak diperkosa oleh Warok Jangkrik. Untung dirinya berhasil ditolong diselamatkan oleh Bidadari Angin Timur dan Jatilandak. Namun antara Wulan Srindi dan Bidadari Angin Timur kemudian terjadi rasa saling tidak enak kalau tidak mau dikatakan sebagai perselisihan. Ini disebabkan Wulan Srindi telah mengaku dirinya adalah murid Dewa Tuak yang akan dijodohkan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sampai beberapa hari berlalu Wulan Srindi belum juga berhasil mencari tahu tentang keberadaan Wiro. Selain itu dia merasa khawatir akan diri Dewa Tuak. Setelah menyelamatkan dirinya tempo hari, kakek itu diketahui menyusup masuk ke dalam sebuah lorong di kawasan bukit batu. Sampai saat ini si kakek tidak pernah lagi muncul. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas dirinya. Untuk masuk mencari ke dalam lorong batu Wulan Srindi tidak punya keberanian. Sekali lagi dirinya sampai ditangkap manusia-manusia pocong, jangan harap dia bakal bisa keluar dari tempat itu. Kalaupun dia keluar mungkin sudah berupa mayat dan jadi korban perkosaan! Akhirnya yang dilakukan gadis ini adalah tetap berada di dalam rimba belantara sekitar pinggiran lembah batu sebelah selatan. Di sebelah utara, setelah menyeberangi lembah batu menjulang kawasan bukit batu. Di situlah terletaknya kawasan 113 Lorong Kematian. Sambil menyirap kabar mengenai Dewa Tuak dan Wiro Sableng Wulan Srindi ingin mengawasi tempat itu barang satu dua hari. Karena bagaimanapun juga dia punya dendam kesumat pada manusia pocong yang telah membunuh kakak seperguruan yang juga Ketua Perguruan Silat Lawu Putin yaitu Parit Juwana (baca serial sebelumnya berjudul "Nyawa Kedua")
Saat itu malam hari. Di langit kelihatan rembulan setengah lingkaran. Walau cahayanya lumayan terang namun tidak dapat menembus ke dalam rimba belantara di mana Wulan Srindi berada. Menjelang larut malam gadis ini mulai terkantuk-kantuk. Dia mencari tempat yang baik untuk berbaring di bawah sebatang pohon besar. Hampir matanya terpicing tiba-tiba sepasang mata gadis ini terbuka kembali. Lapat-lapat dia mendengar suara gebrakan kaki kuda dari ujung rimba belantara. Wulan Srindi cepat berdiri, mendekam ke balik serumpunan semak-belukar, pentang mata mengintai.
Tak selang berapa lama seekor kuda ditunggang oleh sosok bertutup kepala dan jubah putih menghambur lewat di depan semak belukar.
"Manusia pocong," desis Wulan Srindi dalam hati. Sambil kepalkan tangan dan keluar dari balik semak belukar gadis ini meneruskan ucapannya dalam hati. "Kalau tahu bangsat itu yang bakal lewat pasti akan aku bokong." Si penunggang kuda sudah lenyap di kejauhan dalam kegelapan malam, Wulan Srindi tidak berani melakukan pengejaran karena sadar setiap Satria Pocong 113 Lorong Kematian memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Sambil berpikir-pikir apa yang harus dilakukannya akhirnya gadis ini kembali duduk ke bawah pohon besar. Dia coba memejamkan mata. Tapi aneh kantuknya kini seolah lenyap. Pikirannya melayang pada hal lain yaitu sang pendekar yang tengah dicarinya.
"Bagaimana wajahnya, di mana dia berada. Aku benar-benar ingin sekali melihat dan menemui." Wulan Srindi menekap pipinya yang terasa dingin. Dua telapak tangannya digosok-gosok satu sama lain hingga menjadi hangat lalu ditekapkan kembali ke pipi. Gadis cantik berkulit hitam manis ini tidak sadar berapa lama dia duduk di bawah pohon sambil menekap wajah begitu rupa. Dia tersentak sewaktu di kejauhan kembali terdengar suara derap kaki kuda. Kali ini tidak sekeras dan sekencang yang pertama tadi. Kembali Wulan Srindi bersembunyi di balik semak belukar. Cukup lama dia menunggu hingga akhirnya kelihatan muncul seekor kuda yang berlari lamban. Kuda ini ditunggangi oleh seorang yang kepalanya ditutupi kain putih. Tubuh si penunggang kuda rebah ke depan. Satu tangan bergayut pada leher kuda, tangan yang lain mendekam di bagian bawah perut.
Ketika kuda dan penunggang lewat di depan semak belukar, Wulan Srindi jadi terperangah dalam kejutnya. Si penunggang ternyata tidak mengenakan pakaian selain kain putih penutup kepala. Dari mulutnya keluar suara erangan. Tampak noda darah di sekujur paha dan kaki.
"Manusia pocong… dia terluka. Apa yang terjadi…? Mengapa dia terpencar dari temannya yang tadi?" Baru saja Wulan Srindi berucap dalam hati sekitar sepuluh tombak di depan sana tiba-tiba kuda yang ditunggangi manusia pocong meringkik keras dan angkat dua kaki depan ke atas. Tak ampun manusia pocong yang ada di punggungnya jatuh tersungkur ke tanah, mengerang panjang lalu diam tak berkutik. Entah mati entah pingsan.
Wulan Srindi kerenyitkan kening. Mau mendekati, tengkuknya merinding karena selain kain putih penutup kepala, si manusia pocong tidak mengenakan apapun.
"Ah, peduli setan! Mengapa aku harus takut atau jengah! Mungkin dia sudah mampus! Biar kutarik kain penutup kepalanya. Ingin tahu siapa bangsat satu ini adanya!" Habis berkata begitu Wulan Srindi segera keluar dari balik semak belukar, melangkah cepat mendekati manusia pocong yang tergeletak di tanah. Namun baru berjalan lima langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar derap kaki kuda keras dan cepat. "Jangah-jangan kawan manusia pocong. Aku harus sembunyi," pikir Wulan. Cepat gadis ini berkelebat ke balik deretan pohon di samping kiri.
Tak lama kemudian muncul dua orang penunggang kuda. Di sebelah depan seorang pemuda berpakaian warna gelap, mengenakan destar hitam berwajah cakap. Alis mata tebal, hidung mancung. Di belakang menyusul seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan ikat kepala dan pakaian serba putih.
Di balik pohon Wulan Srindi membatin sambil matanya memandang tak berkesip. "Jangan-jangan pemuda berdestar hitam ini Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng yang tengah aku cari. Orangya cakap, sikapnya gagah. Pasti dia."
Sementara itu penunggang kuda sebelah depan hentikan lari kudanya. Berkata pada temannya yang di belakang.
"Aneh, tadi makhluk itu tidak jauh di depan kita. Mengapa mendadak lenyap?"
Teman yang diajak bicara hentikan pula kudanya di samping kuda kawannya yang bertanya. Memandang berkeliling lalu berkata. "Barusan ada suara kuda meringkik. Lalu sunyi. Coba kita teruskan bergerak ke depan. Mungkin kita menemukan sesuatu. Tapi harap berhati-hati. Bukan mustahil orang yang kita kejar sedang memasang perangkap. Tempat ini, bukankah tak jauh dari kawasah Telaga Sarangan?" Si gondrong berucap sambil sesekali menggaruk kepalanya.
"Betul," jawab penunggang kuda berdestar hitam. "Kalau tidak salah, di sebelah timur sana ada air terjun Ngadiloyo. Rimba belantara ini memang termasuk kawasan Sarangan…"
Si gondrong angkat tangan kanannya memberi tanda lalu menunjuk. "Lihat," katanya. "Di depan sana. Ada sosok menggeletak di tanah…"
Pemuda berdestar hitam memandang ke arah yang ditunjuk.
"Astaga, aku berada lebih dekat. Bagaimana sampai tidak melihat?"
Dua pemuda segera gerakkan kuda ke depan. Di dekat sosok yang tergeletak di tanah keduanya melompat turun dari kuda tunggangan masing-masing. Dan keduanya sama-sama terkesiap.
"Seumur hidup baru sekali ini aku melihat ada manusia mati seperti ini!" kata si gondrong sambil pandangi melotot sosok tubuh yang terkapar di depannya.
"Dari kain putih penutup kepalanya aku yakin dia adalah salah satu anggota komplotan manusia pocong yang menculik istriku."
"Aku juga menduga begitu. Tapi mengapa dia mati dalam keadaan begini rupa? Bugil di sebelah bawah?!" Si gondrong tertawa dan lagi-lagi dia menggaruk kepala.
"Wiro…," pemuda berdestar hitam sebut nama si gondrong.
Di balik pohon Wulan Srindi terkejut mendengar ucapan pemuda berdestar hitam. "Aku mengira dia yang Wiro. Ternyata si gondrong itu… Ah, tampangnya memang tak kalah gagah, malah kelihatan lebih jantan. Tapi kenapa sikapnya aneh konyol, seperti orang kurang waras. Sebentar-sebentar ketawa, sebentar-sebentar menggaruk kepala. Apa karena ini maka dia dinamai Wiro Sableng? Apa betul orang seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi? Bagaimana ini, apa aku harus keluar menemuinya? Memperkenalkan diri sambil memberitahu keadaan Dewa Tuak?"
Setelah berpikir sekali lagi akhirnya Wulan memutuskan untuk keluar dari balik pohon. Namun belum sempat bergerak tiba-tiba kedengaran suara derap kuda banyak sekali. Tak lama kemudian rimba belantara diterangi nyala obor yang dipegang oleh sekitar dua puluh orang penunggang kuda. Dari pakaian serta perlengkapan yang mereka bawa kentara mereka adalah serombongan pasukan. Mungkin balatentara dari Kadipaten.
"Loh Gatra," bisik Wiro pada pemuda di sebelahnya. "Kita kedatangan tamu dari Kadipaten Magetan. Naga-naganya bakal ada urusan yang tidak enak."
"Kita tidak ada urusan dengan mereka. Malah jika mereka tahu urusan kita, mereka harus membantu."
"Tenang, lihat saja apa yang bakal terjadi," kata Wiro lalu bangkit berdiri. Pemuda di sebelahnya yaitu Loh Gatra yang istrinya diculik manusia pocong ikutan berdiri.
Seorang bertubuh besar, mengenakan pakaian keprajuritan mewah lengkap dengan topi tinggi, menyeruak di antara pasukan berkuda. Beberapa langkah dari hadapan Wiro dan Loh Gatra yang tegak di samping mayat telanjang, orang ini hentikan kudanya. Dari atas kuda dia pandangi dua pemuda di depannya. Lalu mulutnya keluarkan ucapan memerintah. "Pasukan! Tangkap pemuda gondrong itu!"
LOH Gatra terkejut besar mendengar perintah yang dilontarkan penunggang kuda bertopi tinggi. Selusin prajurit menyerahkan obor yang mereka pegang pada teman-teman mereka lalu melompat turun dari kuda masing-masing. Ketika mereka bergerak hendak mengurung dan meringkus Wiro, Loh Gatra cepat melompat ke muka dan berucap lantang. Sementara murid Sinto Gendeng hanya berdiri tenang-tenang saja.
"Tahan! Kalau tidak salah menduga, bukankah kami berhadapan dengan Raden Sidik Mangkurat, Adipati dari Magetan?"
"Jika sudah tahu mengapa masih bertanya?!" Seorang prajurit yang berdiri di samping kanan Loh Gatra membentak. Tampangnya memang galak dan suaranya besar keras. Dia yang mengepalai rombongan pasukan.
Loh Gatra tidak perdulikan bentakan prajurit kepala. Dia maju beberapa langkah mendekati Adipati Magetan lalu berkata. "Saya Loh Gatra, cucu Ki Sarwo Ladoyo, mendiang sepuh Kadipaten Temanggung!"
Dengan memberitahu siapa dirinya Loh Gatra berharap Sidik Mangkurat tidak akan berlaku sembarangan. Tapi sang Adipati tidak memandang sebelah mata. Malah dia keluarkan ucapan tajam menyindir.
"Aku pernah mendengar riwayat kakekmu itu. Nama Ki Sarwo tidak begitu bersih. Dia pernah membangkang terhadap Adipati Temanggung. Pantas kemudian dia dihabisi!"
"Apa yang kau dengar tidak benar. Justru kakekku dibunuh secara keji oleh orang-orang Adipati Temanggung Jatilegowo!" (Baca serial Wiro Sableng "Badik Sumpah Darah" terdiri dari 7 Episode)
"Orang muda! Rupanya kau mau memutar balik peristiwa! Menyingkirlah. Aku dan pasukan datang kemari bukan untuk berdebat dengan pemuda ingusan sepertimu. Kalau kau tidak mau menyingkir, pasukan akan kuperintahkan untuk meringkusmu bersama si gondrong ini!"
"Kalau sahabatku memang punya kesalahan, aku tidak keberatan kau menangkapnya. Tapi jelaskan dulu apa kesalahan sahabatku ini!"
"Kalian bersahabat? Bukan mustahil kalian berserikat melakukan kejahatan. Berkomplot menculik perempuan-perempuan hamil!"
"Edan! Bagaimana Adipati bisa mengarang cerita fitnah seperti itu?!" Ujar Loh Gatra setengah berteriak sementara Wiro masih saja berdiri tenang malah cengar-cengir rangkapkan dua tangan di depan dada.
"Siapa mengarang fitnah!" bentak Adipati Raden Sidik Mangkurat marah dan melotot besar.
"Beberapa waktu lalu terjadi penculikan atas diri Nyi Upit Suwarni, puteri Ki Mantep Jalawardu sahabatku. Perempuan muda itu tengah hamil tujuh bulan. Penculiknya diketahui seorang berpakaian serba putih menyerupai pocong hidup. Surablandong, seorang sahabatku yang melakukan pencarian dibunuh. Lalu Aji Warangan Kepala Pasukan Kadipaten Magetan lenyap. Tak diketahui di mana beradanya, entah masih hidup entah sudah mati. Di Bantul pasukanku hampir berhasil menangkap salah seorang anggota komplotan manusia pocong itu. Dia kami ketahui sebagai seorang kakek berjuluk Setan Ngompol. Lalu muncul pemuda keparat ini mengaku sahabat si kakek, menyatakan diri sebagai Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua Wiro Sableng! Setan Ngompol ditolongnya dengan cara mempermalukan diriku. Aku ditotok pada bagian sini!" Sang Adipati menunjuk ke arah pangkal lehernya. Lalu menyambung ucapan. "Aku meragukan apa bangsat gondrong ini benar Pendekar Dua Satu Dua adanya! Setahuku pendekar itu tidak pernah berbuat kejahatan atau berkomplot dengan manusia-manusia jahat!"
"Adipati, sahabatku ini memang Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng adanya."
"Aku tidak perduli siapa dia! Yang jelas sudah terbukti dia berserikat dengan komplotan manusia-manusia pocong!"
Wiro Sableng garuk-garuk kepala lalu keluarkan suara berdehem. Sejak tadi berdiam diri, kini untuk pertama kali dia keluarkan ucapan.
"Aku dan sahabat Loh Gatra justru dalam perjalanan mencari sarang komplotan penculik berupa manusia pocong itu. Istri Loh Gatra ikut jadi korban penculikan. Malam ini, di satu tempat di selatan, kami melihat ada seorang penunggang kuda yang kepalanya ditutup kain putih. Kami melakukan pengejaran. Tahu-tahu menemukan manusia pocong ini tergeletak di tempat ini, dalam keadaan kepala atas ditutup kain putih tapi kepala sebelah bawah tersingkap polos! Alias bugil plontos! Silahkan Adipati menyaksikan sendiri." Wiro pergunakan kaki kiri mendorong hingga sosok manusia pocong terguling dan menungging kaku di depan kuda tunggangan Sidik Mangkurat. Rahang sang Adipati menggembung melihat pemandangan yang tidak sedap ini sementara Wiro senyum-senyum dan Loh Gatra ikutan mesem-mesem.
"Kalian pandai mengarang cerita!" Bentak Adipati Sidik Mangkurat. "Begitu kepergok lantas saja mengatakan mengejar manusia pocong. Padahal manusia pocong itu adalah kawan kalian. Mungkin dia dalam keadaan celaka dan tadi pasti kalian tengah hendak menolong menyelamatkannya!"
Loh Gatra marah besar mendengar ucapan Adipati Magetan itu.
Wiro menyeringai. Sambil garuk kepala dia berkata. "Kalau tidak percaya manusia pocong ini bukan sahabat kami, buka saja kain penutup kepalanya. Nanti bakal ketahuan siapa dia!"
Dengan rahang kaku menggembung menahan marah yang menggelegak Adipati Magetan berkata. "Kurang ajar! Beraninya kau memerintah diriku!"
"Jika tidak mau, biar aku sendiri yang membuka kain penutup kepalanya!" Enak saja dengan tangan kirinya Wiro merampas obor yang dipegang seorang prajurit Kadipaten. Obor itu bukan didekatkan ke kepala tapi diarahkan ke pantat manusia pocong yang tergeletak di tanah setengah menungging karena saat itu tubuhnya telah kaku.
"Adipati, lihat baik-baik. Apa kau mengenali orang ini dari bokongnya?" Habis berkata Wiro lebih mendekatkan obor ke pantat mayat, memandang ke arah Sidik Mangkurat lalu tertawa gelak-gelak. Loh Gatra yang tidak bisa menahan geli ikutan tertawa.
Seorang prajurit bersenjatakan golok yang tak dapat menahan marahnya langsung menyerbu, bacokkan senjata ke kepala Wiro. Tapi dari samping Loh Gatra hantamkan satu jotosan ke dada orang hingga prajurit ini mencelat mental, muntah darah lalu bergedebuk di tanah tak berkutik lagi. Belasan prajurit di tempat itu menjadi geger, marah luar biasa. Terlebih Sidik Mangkurat. Dia berteriak memberi perintah.
"Pasukan! Bunuh dua pemuda itu! Cincang mereka sampai lumat!"
"Tahan! Tunggu dulu!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia sengaja kerahkan tenaga dalam hingga suaranya menggeledek dan tanah terasa bergetar. Beberapa ekor kuda meringkik ketakutan. Para prajurit yang hendak menyerang termasuk sang Adipati sendiri jadi terkesiap.
"Luar biasa, belum pernah aku melihat orang memiliki kekuatan tenaga dalam dengan pengaruh sehebat ini. Siapa pemuda gondrong ini sebenarnya?" diam-diam Adipati Sidik Mangkurat berkata dalam hati.
Selagi semua orang terhenyak hening, Wiro lantas pergunakan kesempatan untuk bicara dan kembali permainkan Adipati itu.
"Adipati, kalau dari pantat kau tidak bisa mengenali, apakah kau bisa mengenali dari sebelah sini?"
Dengan kaki kirinya Wiro dorong mayat manusia pocong hingga terjungkir dan terlentang di tanah, dua kaki setengah terangkat menghadap ke arah Adipati Sidik Mangkurat. Wiro dekatkan obor ke bagian bawah perut mayat manusia pocong yang terpentang polos! Sambil senyum-senyum dia bertanya. "Adipati, dari bagian yang satu ini, apakah kau masih belum mengenali siapa adanya manusia pocong ini?"
Untuk seketika mau tak mau Sidik Mangkurat jadi tercekat ngeri melihat tubuh bagian bawah orang yang hancur berlumuran darah namun di lain saat Adipati ini keluarkan bentakan menggeledek.
"Jahanam kurang ajar!"
Kali ini Adipati Magetan benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Sambil melompat dari kuda, kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala Wiro. Sementara tangan kanan bergerak mencabut sebilah pedang yang tergantung di pinggang lalu dibabatkan ke arah kepala Wiro. Serangan berantai ini memang luar biasa karena Sidik Mangkurat memiliki ilmu silat tinggi. Dua serangan yang barusan dilancarkannya itu adalah jurus yang disebut Mendera Bumi Memapas Langit. Walau usia sudah lebih setengah abad dan tubuh besar gemuk namun serangan yang dilancarkan sang Adipati kelihatan cepat dan ganas!
Dengan mundur ke belakang Wiro berhasil mementahkan tendangan lawan. Begitu tendangannya berhasil dielakkan Wiro, Sidik Mangkurat keluarkan teriakan menggeledek sementara pedang membabat dalam kecepatan kilat. Wiro kembali berkelebat cepat menyingkir namun pedang bergerak aneh dan breett! Ujung pedang berhasil merobek bahu kiri baju putih murid Sinto Gendeng, menggores luka daging tubuhnya.
Sambil meringis menahan sakit murid Sinto Gendeng berteriak. "Adipati geblek! Tahan dulu seranganmu! Lihat, apa kau mengenali wajah orang ini?" Dengan ujung kakinya Wiro membetot lepas kain putih penutup kepala manusia pocong. Lalu obor di tangan kiri di dekatkan ke wajah orang. Begitu nyala api obor menerangi wajah si manusia pocong, Adipati Sidik Mangkurat keluarkan seruan tertahan. Semua prajurit Kadipaten ikut melengak kaget.
"Aji Warangan!" seru Adipati Sidik Mangkurat dengan suara tercekat begitu mengenali wajah manusia pocong yang barusan disingkap kain penutup kepalanya. Matanya yang mendelik kemudian diarahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Jahanam!" teriak sang Adipati sambil menuding dengan ujung pedang, "Kau membunuh Kepala Pasukanku!"
"Tuduhan edan!" ejek Wiro. "Tadi kau menuduhku berserikat dengan manusia pocong ini. Kini setelah ketahuan siapa dirinya enak saja kau menuduh aku membunuhnya!"
"Aku punya dugaan lain!" Loh Gatra berucap lantang. "Kalau manusia pocong satu ini adalah Kepala Pasukan Kadipaten Magetan, bukan mustahil Adipatinya yang jadi pimpinan kelompok masing-masing pocong! Saat ini dia sengaja menjatuhkan tuduhan busuk pada kita untuk menutupi kejahatannya sendiri!"
"Bisa jadi! Bisa jadi!" sahut Wiro manggut-manggut konyol lalu tertawa bergelak.
Marahnya Sang Adipati Magetan bukan alang kepalang.
"Pasukan! Cincang dua orang ini!" Teriak Sidik Mangkurat. Lalu dengan pedang di tangan dia mendahului menyerang. Belasan prajurit segera ikut menyerbu. Belasan lainnya membentuk lingkaran melakukan pengurungan agar dua orang tersebut tidak lolos.
Tiba-tiba dari balik pohon ada suara teriakan perempuan.
"Tahan serangan! Manusia pocong itu menemui ajal bukan dibunuh Wiro dan kawannya! Aku tahu apa yang terjadi!"
Adipati Magetan semula tidak mau perduli akan teriakan orang. Namun ketika seorang gadis cantik melompat gesit ke tengah kalangan pertempuran dia terpaksa menahan serangan. Melihat sikap atasan mereka anggota pasukan Kadipaten Magetan terpaksa menahan diri, tak berani teruskan serangan.
Di tengah kalangan pertempuran Wiro berbisik pada Loh Gatra, "Kau kenal siapa gadis itu?"
Loh Gatra gelengkan kepala.
"Gadis! Katakan siapa dirimu!" Hardik Adipati Sidik Mangkurat.
"Namaku Wulan Srindi. Aku murid kakek sakti berjuluk Dewa Tuak!"
Adipati Magetan yang memang pernah mendengar nama besar Dewa Tuak jadi tertegun. Perlahan-lahan dia turunkan pedang dan tatap wajah si gadis yang balas memandang tak berkedip ke arahnya.
Yang paling kaget adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Mulutnya melongo, hatinya membatin. "Gadis ini, aku tak pernah mengenal dirinya. Mengaku murid Dewa Tuak. Setahuku kakek itu hanya punya seorang murid yaitu Anggini. Bagaimana mungkin dia bisa saja seenaknya mengaku murid Dewa Tuak. Anggini juga tidak pernah menceritakan kalau dia punya saudara satu guru. Atau mungkin ada sesuatu diluar pengetahuanku?"
"Gadis," Adipati Sidik Mangkurat berkata. "Kalau kau memang murid Dewa Tuak, demi rasa hormatku pada kakek sakti itu, aku memberi kesempatan padamu untuk meringkus pemuda berambut gondrong itu. Kawannya biar pasukanku yang melakukan!"
Wulan Srindi angkat kepala lalu tertawa panjang.
"Adipati, harap mau berlaku bijaksana. Aku ingin menerangkan sesuatu, karena aku tahu apa yang telah terjadi di tempat ini."
Adipati Sidik Mangkurat jadi kesal tapi berusaha mempersabar diri. "Baik, kau boleh menerangkan apa yang telah terjadi. Tetapi jika kau nanti ternyata menipuku, aku tidak segan-segan membuat kepalamu menggelinding di tanah!"
Si gadis ganda tersenyum, melirik pada Wiro lalu membuka mulut.
"Manusia bugil itu muncul lebih dulu. Menunggangi kuda. Di depan sana dia tersungkur jatuh dari kuda yang ditunggangi. Tak lama kemudian muncul dua pemuda itu. Mereka memeriksa orang yang jatuh, mungkin juga hendak menolongnya. Dari pembicaraan di antara mereka jelas keduanya tidak ada sangkut paut hubungan apa-apa dengan orang yang jatuh dari kuda. Yang berdestar hitam memberitahu pemuda bernama Wiro bahwa dia yakin sekali orang itu adalah anggota komplotan manusia pocong yang telah menculik istrinya."
Adipati Magetan menatap ke arah Loh Gatra. Masih ada rasa tidak percaya dalam dirinya terhadap pemuda satu ini. Dia berpaling pada Wiro. Lebih-lebih terhadap si gondrong ini. Selain tidak percaya, rasa dendamnya karena ditotok dan dipermalukan tempo hari masih belum pupus. Apalagi barusan si gondrong ini masih sempat mempermainkan dirinya secara kurang ajar. Setelah berfikir sejenak, Adipati Sidik Mangkurat berkata, "Jangan-jangan kau sahabat dua pemuda ini. Keluar dari persembunyian, pura-pura mengarang cerita untuk menolong mereka. Kalian semua telah merencanakan semua ini! Beraninya kalian bersandiwara!"
"Tunggu dulu!" sahut Wulan Srindi sambil mengangkat tangan. "Siapa dua orang pemuda ini akupun tidak kenal…"
"Aneh, kau membela orang-orang yang tidak kau kenal. Mana mungkin aku percaya kalau tidak ada apa-apanya di antara kalian bertiga. Lalu mengapa dan apa yang dikerjakan seorang gadis sepertimu malam-malam buta di tempat ini?" Adipati Magetan itu kini menjadi penuh curiga.
"Supaya tidak terjadi kesalahpahaman berkepanjangan, saya akan beri penjelasan," kata Wulan Srindi pula.
Adipati Sidik Mangkurat sudah keburu kesal.
"Aku tidak punya waktu mendengar celoteh palsu!" kata sang Adipati. Dengan pedang terhunus dia maju satu langkah sambil memberi perintah. "Pasukan! Tangkap gadis ini! Nanti kita akan selidiki siapa dia sebenarnya!"
Dua orang prajurit yang memegang golok segera sarungkan senjata masing-masing. Mereka mengira dengan tangan kosong akan mudah saja dan bisa meringkus gadis murid Perguruan Silat Lawu Putih itu. Tapi keduanya kecele, malah mendapat hajaran. Begitu dua orang prajurit sampai di hadapannya Wulan Srindi mainkan jurus Membelah Ombak Menembus Gunung. Dua lutut ditekuk sedikit, dua tangan diluruskan ke atas dan tiba-tiba sekali dua tangan ini menghantam ke kiri dan ke kanan.
Bukkk! Bukkk!
Dua prajurit menjerit keras, mencelat lima langkah. Satu berdiri terbungkuk-bungkuk, mengerang sambil pegangi hidungnya yang mengucurkan darah. Kawannya terkapar di tanah, mengeluh tak berkeputusan. Pipi dan mata kiri bengkak lebam.
"Gadis kurang ajar! Jelas kini bagiku! Kalian bertiga satu komplotan!" Teriak Adipati Magetan melihat dua prajuritnya cidera begitu rupa. Dengan pedang di tangan dia mengejar ke arah Wulan Srindi. Dari samping kiri seorang prajurit yang menjadi kepala rombongan ikut melompat seraya berkata.
"Adipati, serahkan gadis ini pada saya. Biar saya yang meringkusnya!"
Tapi amarah Sidik Mangkurat sudah menembus kepala.
"Menyingkir! Biar aku sendiri yang memberi pelajaran pada gadis kurang ajar ini!" Habis berkata begitu Sidik Mangkurat gerakan tangan kanannya. Pedang berkilat membabat aneh, bertabur berkilau dalam gelapnya malam.
Sebelumnya Wiro telah merasakan kehebatan ilmu pedang Sidik Mangkurat yang mampu merobek baju dan menoreh luka bahu kirinya. Wiro bukannya meremehkan orang. Tapi apakah ilmu yang dimiliki si gadis melebihi dirinya? Selain itu Wiro khawatir kalau si gadis sampai celaka di tangan lawan, dia tidak akan berkesempatan menanya dan menyelidiki siapa dia sebenarnya dan paling penting untuk mengetahui bagaimana pangkal ceritanya hingga si gadis menyatakan diri sebagai murid Dewa Tuak.
"Adipati! Tahan serangan! Mari kita bicara dulu!" Murid Sinto Gendeng berseru seraya melompat ke tengah kalangan pertempuran. Dia berusaha menahan agar Sidik Mangkurat tidak melanjutkan serangan. Namun diteriaki serta dihadang begitu rupa malah membuat Adipati dari Magetan itu jadi kalap.
"Gondrong kurang ajar! Silahkan kalau kau mau bicara duluan. Cepat lakukan sebelum kepalamu kutabas menggelinding di tanah!"
Adipati Magetan yang tidak mau memberi kesempatan pada Wiro langsung kiblatkan pedang, menggempur dengan jurus-jurus maut! Dia membuka serangan dengan jurus disebut Kilat Menyambar Menara Keraton. Laksana kilat senjata di tangan kanan Adipati itu menderu ke arah kepala Wiro. Ketika lawan berhasil mengelakkan serangannya dengan menundukkan kepala, Sidik Mangkurat mengejar dengan jurus kedua yang disebut Angin Puting Meremuk Pohon Beringin. Laksana angin puting beliung pedang berkilat menderu bertabur membungkus tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng membuat Loh Gatra yang menyaksikan terkesiap ngeri.
Breett! Breettt!
Sungguh luar biasa ilmu pedang Adipati Magetan itu. Pakaian Wiro robek di dua tempat.
Wulan Srindi tercekat. Sambil berteriak keras gadis ini sambar sebatang tombak milik seorang prajurit lalu melompat ke dalam kalangan pertempuran.
Wutt!
Tombak di tangan Wulan Srindi laksana kitiran, berputar ke arah pedang dan berusaha menembus menghantam ke bagian kepala lawan dalam jurus Menyapu Lereng Menjebol Puncak Gunung.
Traang!
Pedang dan tombak bentrokkan di udara. Bunga api memercik. Wulan Srindi keluarkan seruan tertahan ketika dapatkan tombak di tangannya telah patah dibabat pedang lawan! Selagi dara ini terkesiap begitu rupa, senjata lawan datang menyambar. Loh Gatra berteriak memberi ingat. Sesaat lagi ujung pedang akan membabat bagian dada Wulan Srindi, saat itulah Pendekar 212 Wiro Sableng menyusup dalam jurus Membuka Jendela Memanah Matahari. Tangan kiri melesat ke atas menahan lengan kanan Sidik Mangkurat. Bersamaan dengan itu tangan kanannya menyambar ke arah pedang. Lalu terdengar tiga kali berturut-turut suara kraak… kraak… kraaakkkk!
KEJUT Adipati Sidik Mangkurat dan semua anggota pasukan Kadipaten Magetan bukan alang kepalang ketika menyaksikan bagaimana dengan tangan kosong Pendekar 212 mematahkan pedang di tiga tempat seperti semudah seorang meremas kerupuk! Sepertinya ujung pedang patah, lalu bagian pertengahan, menyusul badan pedang di atas gagang. Pada remasan ke empat tangan Wiro bergerak ke arah pergelangan tangan lawan. Sidik Mangkurat keluarkan seruan keras. Sebelum lima jari tangan Wiro sempat mencekal pergelangan tangan kanannya dengan cepat dia lepaskan gagang pedang. Dengan muka pucat dan mata mendelik besar Adipati ini melompat menjauhi Wiro. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat ada orang memiliki kesaktian yang mampu meremas mematahkan pedang seperti meremas mematahkan Opak gendar (Opak gendar sejenis kerupuk dibuat dari nasi yang dikeringkan).
"Ilmu setan apa yang dimiliki pemuda gondrong ini?" membatin Sidik Mangkurat sambil matanya mengawasi ilmu jari tangan kanan Pendekar 212. Ilmu yang tadi dikeluarkan Wiro untuk mematah tiga pedang Sang Adipati adalah ilmu Koppo, yaitu ilmu mematah benda keras yang didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura (baca serial Wiro Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai).
"Adipati, apakah sekarang kita bisa bicara?" Bertanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan kanan berkacak pinggang tangan kiri menggaruk kepala.
Hawa amarah yang membungkus sekujur tubuh Adipati Sidik Mangkurat melebihi rasa kecut yang ada dalam hatinya. Selain itu dia merasa sangat dipermalukan di hadapan pasukannya. Tanpa menjawab pertanyaan Wiro dari balik pinggang dia keluarkan sebuah benda berbentuk tali yang ternyata adalah seutas cambuk berwarna merah, bergagang yang dilibat kain biru, panjang sekitar dua belas jengkal.
Beberapa prajurit Kadipaten, termasuk kepala rombongan pasukan tersentak kaget melihat senjata di tangan pimpinan mereka. Memandang ngeri, mereka segera bergerak mundur menjauh. Salah seorang prajurit berbisik pada kepala pasukan. "Bukankah senjata di tangan Adipati Pecut Sewu Geni?"
"Aku yakin itu memang Pecut Sewu Geni. Tapi bagaimana bisa dimiliki Adipati? Bukankah…"
Kepala rombongan pasukan Kadipaten itu tidak meneruskan ucapannya. Ketika Adipati Sidik Mangkurat menggerakkan tangan, mulai memutar cambuk mereka mundur semakin jauh. Wajah masing-masing menunjukkan kengerian.
Semula Wiro menaruh enteng senjata di tangan lawan yang dianggapnya tidak lebih dari sebuah cambuk butut bendera lembu atau kuda. Namun matanya menangkap raut ketakutan beberapa prajurit Kadipaten yang melangkah menjauhi. Hal ini juga dilihat oleh Loh Gatra yang segera berbisik pada Wiro.
"Senjata di tangan Adipati itu agaknya bukan sembarangan. Hati-hati. Atau kali ini biar aku yang menghadapinya…"
"Loh Gatra, tetap di tempatmu. Aku ingin tahu sampai di mana kehebatan cambuk itu," jawab Wiro. Tapi saat itu Loh Gatra sudah melompat ke depan.
"Adipati, kami masih mau berharap agar kau menyadari bahwa kami bukan orang-orang jahat. Kami tidak punya sangkut paut apa-apa dengan manusia-manusia pocong. Seperti yang dikatakan Wiro tadi, istriku telah diculik manusia pocong. Kami berada di sini tengah melakukan pengejaran."
Adipati Sidik Mangkurat keluarkan suara mendengus. "Anak muda mengaku cucu Ki Sarwo Ladoyo. Aku masih mau sedikit menghormati mendiang kakekmu itu. Aku memberi kesempatan mencari selamat padamu. Menyingkirlah! Kecuali kalau kau minta mampus duluan!" Sidik Mangkurat gerakkan tangannya ke atas. Cambuk yang dipegangnya kelihatan memancarkan cahaya benderang merah seolah berubah seperti besi yang digarang. Ketika Loh Gatra tidak mau beranjak dari tempatnya, Adipati Sidik Mangkurat tidak menunggu lebih lama. Tangan kanan bergerak memutar. Pecut Sewu Geni mengeluarkan suara menderu laksana topan menyerbu. Bersamaan dengan itu nyala merah pada sekujur cambuk berubah menjadi api. Ketika cambuk membabat terdengar suara letupan-letupan keras. Kobaran lidah api luar biasa banyaknya menyambar ke arah Loh Gatra.
Wuuttt! Wuss… Wusss… Wusss!
"Loh Gatra! Awas!" Teriak Wiro seraya menarik tangan sahabatnya itu. Namun enam dari sekian banyak kobaran lidah api aneh masih sempat menyambar tubuhnya sebelah kanan. Pakaiannya serta merta ditambus api. Loh Gatra keluarkan jeritan keras, jatuhkan diri di tanah lalu berguling berusaha memadamkan api.
"Adipati keparat! Kejahatan apa yang telah kami perbuat hingga tega-teganya kau menjatuhkan tangan keji terhadap sahabatku!" Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah, melompat ke depan, siap menerkam Sidik Mangkurat. Tangan kiri membuat gerak jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan untuk membentengi diri dari serangan api cambuk yang ganas. Tangan kanan melancarkan serangan dalam jurus Benteng Topan Melanda Samudera. Pukulan sakti ini sangat mematikan. Selain itu juga mengeluarkan angin deras yang sekaligus diharapkan dapat menghalau datangnya serangan api yang keluar dari Pecut Sewu Geni.
Wajah Adipati Sidik Mangkurat menyeringai garang. Rahang menggembung. Tangan kanannya menghantam.
Wuuuut! Wusss… Wusss… Wusss!
Kobaran lidah api, puluhan banyaknya menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro gerakkan dua tangan, balas menghantam. Tangan kiri membentengi diri, tangan kanan lancarkan serangan mengeluarkan angin deras. Suara letupan-letupan keras menggelegar di tempat itu.
"Tembus!" Teriak Adipati Sidik Mangkurat.
Kenyataannya memang begitu. Empat belas kobaran lidah api melesat ganas tak sanggup ditahan jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan ataupun dimusnahkan dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Wiro tersentak kaget. Tidak percaya serangan cambuk api lawan sanggup menembus dua kekuatan hawa sakti pertahanan dan serangan. Wulan Srindi berteriak pucat.
Pada saat yang luar biasa menegangkan itu tiba-tiba terjadi hal tidak terduga. Di langit sebelah timur, dalam gelapnya malam mendadak ada satu nyala putih. Nyala ini bergerak ke arah rimba belantara, begitu cepatnya dan kurang dari sekejapan mata telah berada di tempat itu. Benda putih menyala ini ternyata adalah sosok seorang berjubah dan bersorban putih berkilat. Laksana seekor elang, orang ini menukik ke arah Adipati Sidik Mangkurat. Dua lengan jubah dikebutkan. Dua gelombang cahaya biru disertai sambaran angin luar biasa dinginnya menerpa. Puluhan kobaran lidah api serta merta padam. Pendekar 212 Wiro Sableng lolos dari serangan ganas yang bisa membakar dirinya seperti kejadian dengan Loh Gatra. Sidik Mangkurat sendiri terjajar sampai empat langkah. Begitu dia berhasil mengimbangi diri, Pecut Sewu Geni sudah tak ada lagi di tangan kanannya. Dia memandang berkeliling. Orang yang barusan merampas Pecut Sewu Geni masih berada di tempat itu. Dia tidak berdiri di tanah tapi memilih tegak di salah satu cabang pohon. Cabang pohon ini hanya sebesar pergelangan tangan. Jika orang itu bisa berdiri di atas cabang itu, pastilah dia memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa.
Wiro yang barusan terselamatkan ikut memandang ke arah pohon. Orang yang berdiri di atas pohon itu ternyata seorang kakek berjubah dan bersorban putih berkilat. Janggut serta kumis putih lebat tapi rapi menghias wajahnya yang bersih. Pecut Sewu Geni digulungkan ke tangan kanannya. Cambuk ini kini berada dalam bentuk dan warnanya semula. Tak ada lagi bagian yang menyala seperti besi digarang.
Ketika memperhatikan kakek di cabang pohon, wajah Adipati Sidik Mangkurat berubah, dadanya bergetar, hatinya tidak enak. "Orang tua di atas pohon! Mengapa kau merampas cambuk milikku!" Adipati Sidik Mangkurat menegur dengan suara keras.
"Aha!" si kakek menjawab teguran orang sambil acungkan Pecut Sewu Geni. "Jadi Pecut Sewu Geni, Pecut Seribu Api ini adalah milikmu?! Maaf, aku tak pernah menduga sebelumnya." Si kakek tersenyum. "Lima puluh dua purnama aku mencari. Malam ini baru aku bisa menemukan senjata sakti mandraguna milik pewaris di tanah seberang. Adipati Sidik Mangkurat, aku tidak menuduhmu mencuri tapi bertanya-tanya bagaimana cambuk milik orang lain ini bisa berada di tanganmu. Saat kau harus sudah cukup puas selama lima puluh dua purnama senjata ini berada di tanganmu. Saatnya senjata ini dikembalikan ke tempat asalnya. Aku tidak menjatuhkan hukuman apapun padamu asalkan kau mau bertobat dan segera meninggalkan tempat ini. Jangan mencampuri urusan orang lain…"
"Kau sendiri apa tidak merasa mencampuri urusan orang lain?" Ucap Sidik Mangkurat memotong ucapan si kakek. "Kembalikan pecut itu padaku."
"Kalau kau memang masih menginginkan, ambillah sendiri ke sini," jawab si kakek di atas cabang pohon.
Rahang Adipati Magetan menggembung. Sekali dia menekan dua telapak tangan ke tanah, tubuhnya yang besar itu melesat ke cabang pohon.
Di atas pohon si kakek berjubah dan bersorban putih tersenyum. Dia kembangkan tangan kanannya lalu dikipas-kipaskan seraya berkata, "Aneh, malam buta begini mengapa udara terasa panas…"
Ketika tangan si kakek mengipas, sosok Adipati Sidik Mangkurat yang tengah melesat ke arah pohon mendadak terpental kian kemari hingga akhirnya jatuh bergedebuk ke tanah. Topi tingginya mencelat entah ke mana.
"Hai! Aku sudah menunggu, apakah kau tidak jadi mengambil Pecut Sewu Geni ini? Astaga, kau malah enak-enakan tiduran di tanah. Sayang pakaianmu yang bagus…" Si kakek memandang ke arah Sidik Mangkurat lalu tertawa mengekeh.
Dalam keadaan sekujur tubuh sakit Adipati itu mencoba bangkit. Terbungkuk-bungkuk menahan sakit dia naik ke atas kudanya, memberi isyarat pada prajurit kepala lalu tinggalkan tempat itu.
Di atas pohon kakek bersorban dan berjubah putih berkilat hendak bergerak pergi. Namun batalkan niatnya sewaktu pandangannya membentur sosok Loh Gatra yang terkapar di tanah. Wajah dan tubuhnya sebelah kanan mengalami luka bakar cukup parah. Saat itu Loh Gatra berusaha bangkit ditolong oleh Wiro. Kakek di atas pohon melayang turun. Matanya yang kecil tajam pandangi wajah serta bagian tubuh Loh Gatra yang terbakar lalu geleng-gelengkan kepala. Kakek ini buka libatan Pecut Sewu Geni di tangannya. Gagang pecut diletakkan di atas kepala, cambuk dibiarkan menjuntai melewati wajah serta bagian tubuh yang menderita luka bakar.
"Asal cambuk kembali kepada cambuk. Asal pecut kembali kepada pecut." Si kakek berucap lalu meniup ke arah cambuk. Astaga! Saat itu juga luka bakar di wajah dan tubuh Loh Gatra lenyap. Keadaan dirinya tak kurang suatu apa kecuali pakaian yang masih berada dalam keadaan hangus terbakar.
"Luar biasa. Kek, kau hebat sekali…" Wiro memuji sambil garuk-garuk kepala dan menatap si kakek.
Orang tua yang ditatap balas memandang tersenyum dan kedipkan mata kirinya pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Bersamaan dengan itu tubuhnya diputar. Sekali dia berkelebat sosoknya lenyap dari tempat itu.
Wiro leletkan tidah, geleng-geleng kepala. "Aku tak kenal siapa adanya kakek hebat itu."
"Aku malah tak sempat mengucapkan terima kasih padanya…" Ucap Loh Gatra sambil usap-usap wajahnya setengah tidak percaya.
Tiba-tiba di kejauhan ada suara derap kaki kuda. Makin cepat makin keras dan mendatangi ke tempat orang-orang itu berada. Tak lama kemudian dalam gelapnya malam kelihatan seorang penunggang kuda berjubah dan bertutup kepala putih. Gerakannya menunggang kuda aneh sekali. Sebentar dia tak kelihatan, di lain saat sudah ada di sebelah kiri atau jurusan kanan.
"Manusia pocong!" ujar Wulan Srindi.
Di depan sana kuda dan penunggang lenyap kembali. Wulan Srindi putar tubuhnya. Tiba-tiba gadis ini berteriak.
"Awas serangan membokong!"
Wiro berbalik.
"Wiro awas!" Teriak Wulan Srindi.
Tapi terlambat.
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya sempat melihat sebuah benda melesat di kegelapan malam. Ada cairan menyiprat. Lalu dia merasakan perih amat sangat di dadanya. Ketika dia memperhatikan ternyata disitu telah menancap sebuah bendera aneh, berbentuk segi tiga dan basah oleh cairan berwarna merah.
"Bendera Darah…" desis Wulan Srindi dengan suara bergetar.
Wiro menggigit bibir menahan sakit. "Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan ini…"
"Pasti manusia pocong tadi. Aku akan melakukan pengejaran." Kata Loh Gatra.
"Jangan ke mana-mana. Aku curiga serangan membokong ini hanya jebakan belaka. Wiro pejamkan mata. Menjajaki mencari tahu. "Panah ini tidak beracun. Kalau beracun aku pasti bisa merasakan. Atau mungkin hawa sakti Kapak Naga Geni Dua Satu Dua telah memusnahkan."
Wiro kembali menggigit bibir. Ketika dia hendak mencabut gagang bendera darah yang menancap di dadanya tiba-tiba ada orang berseru.
"Jangan dicabut! Berbahaya!"
Seorang berpakaian coklat, berwajah dan bertubuh kuning muncul di tempat itu. Jatilandak, pemuda dari Negeri Latanahsilam.
"Huh, dia…" kata Wiro dalam hati. Dia tidak perdulikan kedatangan orang karena masih merasa sakit hati atas kejadian tempo hari. Dia telah menyaksikan Jatilandak bermesraan dengan Bidadari Angin Timur. Kini dia merasa benci dan tidak ingin melihat pemuda ini.
Begitu Jatilandak muncul Wulan Srindi memandang berkeliling. "Mana yang betina?" Gadis ini membatin. "Bukankan sebelumnya dia berdua-dua dengan Bidadari Angin Timur? Hemm… mungkin gadis berambut pirang itu sengaja sembunyikan diri di sekitar sini. Kesempatan bagiku. Lihat saja, akan aku kerjai lagi dia!"
"Wiro, jangan dicabut." Jatilandak mengulangi ucapannya tadi.
Tanpa memandang ke arah pemuda berwajah kuning itu Wiro bertanya. "Memangnya kalau dicabut kenapa?" Sepasang mata murid Sinto Gendeng memandang berputar ke arah kegelapan, mencari-cari. Tapi dia tidak melihat Bidadari Angin Timur. Padahal sebelumnya dia mengetahui kalau gadis itu berdua-duaan dengan Jatilandak. Mungkin bersembunyi di sekitar situ?
"Aku pernah melihat bendera ini sebelumnya. Ujung lancip yang menancap di dalam daging tubuhmu berbentuk gerigi menghadap keluar. Jika gagang bendera dicabut, daging di sekitarnya akan ikut terbongkar. Sebesar ini." Jatilandak membuat lingkaran dengan dua ibu jari dan dua jari tengah tangan kiri kanan.
"Gila! Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya! Kalau tak boleh dicabut biar kupatahkan saja!" Nekad murid Sinto Gendeng kembali gerakkan tangan hendak mematahkan gagang bendera darah. Tapi satu tangan halus memegang lengannya mencegah.
"Orang sudah memberi nasihat, jangan berbuat nekad."
Wiro putar kepala, menatap wajah cantik gadis berkulit hitam manis itu.
"Kau yang mengaku sebagai murid Dewa Tuak, siapa kau sebenarnya?!"
"Tadi sewaktu Adipati itu berada di sini sudah kuberitahu. Apakah kau tidak mendengar? Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak. Kau tahu, selama ini aku mencarimu…"
"Perlu apa kau mencariku? Aku tidak percaya kau adalah murid…"
"Tidak heran, kalau kau tidak percaya. Karena kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau akan lebih heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut guru aku berjodoh dengan dirimu!"
"Eee… apa?!" Wiro merasa sakit di dadanya jadi berlipat ganda.
Wulan Srindi tersenyum. "Nanti saja kita bicarakan hal itu. Tak jauh dari sini ada tempat yang baik. Kau bisa berbaring di sana sementara kami-kami ini berusaha membantu mengeluarkan bendera darah itu dari tubuhmu."
Baru saja Wulan Srindi selesai berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang berseru.
"Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Jika kau ingin selamat dari Bendera Darah dan jika kau punya nyali silahkan datang ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian."
"Manusia pocong! Pasti itu manusia pocong yang mencelakaiku! Jahanam betul!" Wiro segera angkat tangan kanannya. Begitu tangan itu berubah putih seperti perak mulai dari siku sampai ujung jari, dia langsung menghantam.
Wusss!
Selarik cahaya putih panas menyilaukan berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke arah munculnya suara orang berteriak tadi. Pohon-pohon yang terkena sambaran cahaya hangus lalu berderak roboh. Nyala kobaran api terlihat di mana-mana. Namun manusia pocong yang jadi sasaran pukulan Sinar matahari yang dilepaskan Wiro berhasil lolos.
"Jahanam itu boleh lolos saat ini. Aku bersumpah akan mematahkan batang lehernya!" Wiro memaki sambil mengepalkan tangan kanan penuh geram.
Di tempat gelap, di balik sebatang pohon besar, seseorang yang mendekam menyembunyikan diri, mengeluarkan umpatan perlahan. "Gadis tak tahu diri. Beraninya mengaku murid Dewa Tuak. Beraninya mengatakan berjodoh dengan Wiro. Lihat saja, aku bersumpah satu saat akan menampar mulutmu."
"Sahabatku, siapa orang malang yang hendak kau jadikan sasaran tamparanmu? Mudah-mudahan bukan diriku. Aduh, bisa-bisa kencingku muncrat semua. Saat ini saja belum apa-apa sudah mau luber rasanya. Hik… hik… hik." Tiba-tiba satu suara bertanya.
Orang yang sembunyi di balik pohon tersentak kaget. Dia mencium bau pesing. Cepat palingkan kepala. Dia melihat kepala berambut tipis nyaris gundul, sepasang telinga berdaun lebar yang salah satunya terbalik. Lalu sepasang mata belok yang dikedap-kedipkan.
"Kau! Jangan dekat-dekat. Aku tidak mau celanamu yang basah air kencing menyentuh pakaian atau tubuhku."
"Aku tahu diri," jawab orang yang barusan datang. "Aku juga takut bersentuhan dengan dirimu. Bisa-bisa bukan air kencing yang keluar tapi air yang lain. Hik… hik… hik."
"Tua bangka sinting! Aku sedang kesal sakit hati! Jangan bicara jorok!"
"Amboi, gerangan apa yang mengesalkan hatimu? Putus bercinta, ditinggal kekasih atau…"
"Kakek brengsek! Sudah! Tutup mulutmu! Lihat ke depan sana!"
"Astaga! Yang satu itu bukankah dia si anak setan murid Sinto Gendeng. Eh, anak sableng itu dia memakai apa di dadanya?"
"Bukan memakai apa! Dia barusan dibokong orang dengan Bendera Darah!"
"Astaga! Siapa yang membokong!"
"Manusia pocong!"
Serr!
Mendengar disebutnya nama itu langsung kakek bau pesing yang bukan lain Setan Ngompol adanya kucurkan air kencing.
INDEX WIRO SABLENG | |
135.Rumah Tanpa Dosa --oo0oo-- 137.Aksara Batu Bernyawa |