Life is journey not a destinantion ...

Genderuwo Patah Hati

INDEX WIRO SABLENG
122.Roh Dalam Keraton --oo0oo-- 124.Makam Ke Tiga

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

TUBUH SI NENEK BERGETAR KERAS, BASAH OLEH KERINGAT. RACAU DARI MULUTNYA SEMAKIN KERAS PERTANDA APAPUN YANG TENGAH DILAKUKAN PEREMPUAN TUA INI AKAN SEGERA MENCAPAI PUNCAKNYA. DALAM KEADAAN SEPERTI ITU MENDADAK DI UDARA PAGI TERDENGAR SUARA BERDESING. SATU BENDA HITAM MELESAT SEPERTI JATUH DARI LANGIT, MELAYANG TURUN DAN BLUKK! JATUH TEPAT DI PANGKUAN SI NENEK. SUARA RACAU SI NENEK LENYAP, BERGANTI DENGAN JERITAN KERAS. TUBUHNYA TERHENYAK JATUH KE BATU BESAR, LALU TERGULING KE BAWAH DAN TERJENGKANG DI TANAH. DI PANGKUANNYA SAAT ITU, SEOLAH LENGKET, MELINGKAR SOSOK SEORANG ANAK LELAKI BERUSIA SEKITAR DUA BELAS TAHUN, BERPAKAIAN HITAM, BERAMBUT JABRIK.
"BOCAH JAHANAM! KAU YANG JADI GARA-GARA! KUBUNUH KAU!".
.....


1

PERAPIAN telah lama padam. Dinginnya udara men­jelang pagi itu terasa semakin mencucuk. Di samping perapian tergolek bergelung sosok seorang pemuda berpakaian biru. Tampaknya dia tertidur pulas, tak perduli embun mulai membasahi pakaian dan tubuhnya. Kenyenyakan tidur si pemuda tidak berlangsung lama. Beberapa saat berselang kelopak matanya yang terpejam kelihatan bergerak-gerak. Telinga kiri yang lebih dekat ke tanah mendengar satu suara di kejauhan, membuat dia terjaga. Sepasang mata itu membuka makin lebar. Si pemuda bangkit, duduk, memasang telinga.
"Derap kaki kuda. Dipacu sangat kencang ke arah sini. Firasatku mengatakan bakal terjadi satu kejadian buruk. Sebaiknya aku berlaku waspada, berjaga-jaga…." Pemuda berambut licin, berkumis kecil rapi ini meman­dang berkeliling. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Sesaat dia memandang ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Lalu dengan satu gerakan luar biasa cepatnya, laksana hembusan angin tubuhnya melesat ke atas cabang satu pohon besar. Mendekam dalam gelap di balik kerimbunan ranting dan dedaunan, menunggu.
Si pemuda tidak menunggu lama. Suara kaki kuda yang tadi dipacu kencang datang mendekat tapi berubah perlahan. Lalu dari dalam kegelapan muncul kepala seekor kuda hitam. Menyusul kelihatan penunggangnya. Ternyata di atas punggung binatang itu bukan cuma satu orang, melainkan ada dua penunggang.
Orang pertama adalah kakek mengenakan jubah kelabu penuh renda kuning. Di pinggangnya melilit seutas tali kuning, dihias rumbai-rumbai pada kedua ujungnya. Kakek yang mulutnya selalu komat kamit ini memutar kudanya beberapa kali mengelilingi perapian. Sepasang mata berputar, memperhatikan tajam keadaan sekitarnya.
"Apinya memang padam. Tapi aku masih merasa ada hawa panas. Berarti di tempat ini sebelumnya ada orang. Lalu menghilang kemana?" Si kakek memandang ber­keliling. Semula dia hendak berhenti sekedar istirahat di tempat itu. Namun niatnya dibatalkan. Rasa tidak enak menyamaki hatinya.
Di depan sosok si kakek, di atas punggung kuda kelihatan orang kedua. Orang ini tidak duduk seperti keadaannya kakek itu tetapi menggeletak menelungkup. Dan dia adalah seorang perempuan. Sesekali tangan kiri si kakek kelihatan mengusap tubuh perempuan itu sambil berkomat-kamit dan menyeringai.
Di atas pohon besar, pemuda berpakaian biru memperhatikan sambil membatin. "Aku tidak melihat wajahnya, tapi dari keadaan tubuhnya perempuan itu masih muda. Menelungkup di atas kuda, mungkin pingsan atau ditotok. Melihat cara si kakek mengelus tubuh perempuan itu agaknya ada yang tidak beres. Jangan-jangan…." Setelah memperhatikan sekelilingnya sekali lagi, kakek berjubah kelabu memutuskan meninggalkan tempat itu. Tali kekang disentakkan. Kuda tunggangan menghambur ke depan, menembus kegelapan malam.
Di atas pohon pemuda berpakaian biru usap-usap dagu sambil berpikir. "Belakangan ini aku banyak menyirap kabar menggemparkan. Terutama beberapa kejadian di Kotaraja. Orang tua tadi, aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi melihat kepada ciri-cirinya besar kemungkinan dialah tokoh silat Keraton, momok cabang atas yang dijuluki Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Wajahnya kulihat biasa-biasa saja, mengapa sampai punya gelar aneh seperti itu? Dia memboyong seorang perempuan muda. Mungkin perempuan culikan Aku sudah mendengar lama, ada beberapa tokoh silat Istana punya sifat keji. Suka berbuat mesum. Ada baiknya aku mengikuti kakek itu. Siapa tahu dia pernah bertemu atau melihat saudara yang tengah aku cari."
Memikir sampai di situ pemuda di atas pohon lalu berkelebat ke cabang sebelah bawah, melayang turun ke tanah. Sesaat kemudian laksana terbang dia lari ke arah lenyapnya kakek penunggang kuda hitam. Kl BALANGNIPA alias Hantu Muka Licin Bukit Tidar mempunyai sebuah pondok di Prambangan. Pondok ini terletak tak jauh dari tikungan Kali Oyo, di satu kawasan ditumbuhi pohon-pohon besar rapat serta tertutup oleh semak belukar lebat. Ke pondok inilah si kakek membawa perempuan boyongannya yang bukan lain adalah Kinasih, istri mendiang Raden Mas Sura Kalimarta juru ukir Keraton yang mati dibunuh oleh seorang pemuda mengaku bernama Bagus Srubud. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Tiga Makam Setan) Kinasih sendiri akhirnya jatuh hati pada pemuda itu dan selama beberapa hari bersenang-senang di dalam sebuah goa.

Pondok di tikungan Kali Oyo itu walau lama tidak dikunjungi dan tidak terpelihara namun keadaannya cukup bersih. Hantu Muka Licin Bukit Tidar baringkan tubuh Kinasih di atas sebuah ranjang kayu beralaskan tikar jerami. Sambil pandangi sosok Kinasih, si kakek duduk di tepi ranjang, komat kami menyeringai.
"Wajah ayu, tubuh bagus. Rejeki besar. Sayang masih pingsan. Membuat aku tidak sabar. Aku harus melakukan sesuatu agar dia siuman…." Hantu Muka Licin usap tubuh Kinasih mulai dari kening sampai ke kaki. Usapannya berhenti di kaki kiri Kinasih. Tiba-tiba jari-jari tangannya memencet urat besar di atas tumit kiri Kinasih. Begitu dipencet jalan darahnya, Kinasih menggeliat dan keluarkan suara keluhan panjang. Matanya terbuka. Dia masih belum melihat sosok si kakek. Pandangannya lurus ke atas ke arah atap pondok.
"Di mana aku…" bisik Kinasih. Kepalanya diputar ke kanan. Satu pekikan keluar dari mulutnya begitu melihat Hantu Muka Licin. Dia rasa-rasa pernah melihat orang tua ini sebelumnya, tapi karena ingatannya belum pulih benar dia tidak tahu kapan atau dimana. Kinasih bergerak bangkit, beringsut ke sudut ranjang.
"Orang tua, siapa kau? Aku berada di mana?"
Hantu Muka Licin menjawab pertanyaan Kinasih dengan tawa mengekeh. "Aku suamimu sendiri, apa tidak mengenali? Saat ini kita berada di pondok milikku. Pondok buruk memang, tapi kita berdua bisa menjadikan tempat ini satu sorga dunia! Ha… ha…ha…!"
Kagetlah Kinasih mendengar ucapan itu. Wajahnya serta merta menjadi pucat. "Orang tua, beraninya kau mengaku suamiku. Kalau otakmu tidak miring pasti…."
Gelak Hantu Muka Licin kembali meledak. "Kau tidak mengakui aku sebagai suamimu? Ha… ha…! Apakah aku lebih buruk dari mendiang suamimu si Sura Kalimarta? Dia hanya seorang juru ukir Keraton. Aku tokoh silat pejabat Istana! Dia tidak memiliki kejantanan sebagai suami! Aku lebih jantan dari seekor kuda liar! Ha… ha… ha! Kinasih…. Kau tidak mau menganggap aku sebagai suami tidak jadi apa. Anggap saja aku kekasihmu! Ha… ha… ha!"
"Orang tua gila!" Kinasih melompat turun dari ranjang kayu, berusaha lari ke arah pintu. Tapi pinggangnya dengan cepat dirangkul Hantu Muka Licin. Tubuhnya kemudian dilemparkan kembali ke atas ranjang.
"Dengar, aku menyelamatkan kau dari tangan Momok Dempet Tunggul Gono. Kau pantas berterima kasih dengan cara melayani aku sebagai suami, sebagai kekasih!"
Ucapan Hantu Muka Licin memulihkan ingatan Kinasih.
Malam tadi, dia bersama Wiro berada di depan makam suaminya di satu pekuburan di pinggiran Kotaraja. Lalu muncul kakek berjubah kelabu ini bersama seorang bertubuh tinggi seram dikenal dengan nama Tunggul Gono dan membawa sejumlah pasukan. Mereka menuduh, Wirolah yang telah membunuh suaminya. Dia bingung antara percaya dan tidak. Lalu terjadi pertempuran.
Wiro menghancurkan tangan kiri Tunggul Gono. Wiro sendiri kemudian roboh di tangan kakek berjubah kelabu ini. Lalu si kakek menyambar tubuhnya, menaikkannya ke atas kuda. Di atas kuda Kinasih berusaha membebaskan diri tapi sia-sia belaka. Malah karena kehabisan tenaga perempuan ini akhirnya jatuh pingsan.
Kinasih serta merta sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Kakek satu ini punya maksud jahat terkutuk atas dirinya. Kata-kata si kakek bahwa dia telah menyelamatkan dirinya dari tangan Tunggul Gono hanya omong kosong belaka karena sebenarnya dia sendiri sudah punya maksud keji.
"Orang tua, jika kau benar-benar tokoh silat pejabat Istana, kau harus menolongku. Membawa aku kembali ke Kotaraja…."
"Itu soal mudah, bisa aku lakukan kemudian. Jangankan ke Kotaraja, ke bulan pun kau akan kuantarkan. Ha… ha… ha!"
Tiba-tiba Hantu Muka Licin melompat naik ke atas ranjang. Kinasih terpekik. Kaki kanannya didorongkan ke dada Hantu Muka Licin. Dua tangan si kakek dapat memegang kaki itu di bagian paha. Ketika dua tangannya direnggutkan ke bawah, kain panjang yang dikenakan Kinasih robek besar, melorot turun.
Kinasih kembali menjerit. Cepat tutup auratnya yang tersingkap. Sebaliknya Hantu Muka Licin berkomat­kamit, mengekeh panjang. Dua tangannya kembali bergerak. Kinasih jatuh tertelentang di atas ranjang kayu.
Kinasih berusaha melawan. Tapi Hantu Muka Licin kuat sekali. Apalagi saat itu setan nafsu turut membantu memberi kekuatan padanya. Sebentar saja Kinasih sudah terkapar di atas ranjang dalam keadaan tidak berdaya.
Hantu Muka Licin tertawa panjang. Dengan cepat dia tanggalkan jubah kelabunya.
Di atas atap pondok, pemuda baju biru berkumis kecil yang sejak tadi mendekam mengintip apa yang terjadi, tanpa tunggu lebih lama segera saja hendak menjebol atap dan melesat turun ke dalam pondok. Namun tidak terduga mendahului gerakannya tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Tua bangka keparat! Kalau mencari’ kesenangan jangan serakah sendiri saja!"
Bersamaan dengan itu dinding pondok sebelah kanan jebol. Sesosok tubuh melesat masuk. Di lain kejap ranjang kayu di atas mana Hantu Muka Licin siap-siap hendak menindih tubuh Kinasih mencelat ke atas, hancur berantakan. Kinasih menjerit keras. Hantu Muka Licin keluarkan kutuk serapah. Sementara Kinasih jatuh terkapar di lantai, si kakek membuat gerakan jungkir balik. Sambil melesat ke sudut pondok dia lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah sosok yang barusan masuk ke dalam pondok dengan cara menjebol dinding! Tapi serangannya luput karena yang dihantam ternyata mampu berkelit gesit. Lalu di dalam pondok terdengar suara tawa mengekeh disertai menebarnya bau yang tidak sedap.
Di atas atap, pemuda baju biru memperhatikan terheran­heran. "Makhluk aneh, mata lebar kuping terbalik! Dia ini mau menolong atau ikut minta bagian?!"
* * *

2

JAHANAM kurang ajar!" membentak Hantu Muka Licin begitu mengenali siapa adanya orang di dalam pondok. "Bukankah kau cecunguk mengaku berjuluk Setan Ngompol, yang mengencingi sumur sumber air mandi Sri Baginda?! Dijebloskan dalam penjara! Mengapa bisa lolos?!"
Orang yang muncul di dalam pondok memang Si Setan Ngompol yang belum lama berselang diselamatkan oleh Wiro dan gadis cantik dari alam roh bernama Suci alias Bunga.
"Bagus kau masih mengenali siapa diriku. Sekarang ayo kau lepaskan perempuan itu! Jangan sampai aku sewot mengencingi mukamu!"
"Benar-benar kurang ajar berani mati! Baru jadi setan kecil sudah berani mencari perkara dengan aku hantu besar!"
"Ha… ha! Apamu yang besar? Anumu? Kejahatanmu? Atau nafsu terkutukmu?!"
"Tua bangka tak tahu diri! Tampang dan badan tidak karuan! Kau muncul mau minta bagian rupanya! Baik, ini bagian untukmu!" Selesai membentak Hantu Muka Licin cepat loloskan tali kuning yang melilit di pinggang. Begitu tali diputar, menggaung bunyi dahsyat disertai berkiblat­nya cahaya kuning berbentuk lingkaran, memapas laksana senjata tajam ke arah Setan Ngompol. Kinasih menjerit, jatuhkan diri ke lantai. Setan Ngompol tercekat dan langsung kucurkan air kencing.
"Braakk!"
Empat dinding pondok hancur. Pondok itu sendiri seperti diangkat angin puting beliung, melesat ke udara lalu hancur berantakan!
Tubuh Kinasih ikut terlempar ke udara lalu melayang jatuh dengan kepala lebih dulu. Perempuan ini menjerit keras. Sesaat lagi kepalanya akan remuk menumbuk tanah tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat menyam­bar tubuhnya. Di lain saat Kinasih merasakan dirinya seperti dibawa terbang lalu di satu tempat yang aman perlahan-lahan diturunkan ke tanah di belakang pohon besar. Semula perempuan muda ini hendak menjerit lagi, tetapi ketika melihat siapa yang menolongnya hatinya menjadi lega malah diam-diam merasa senang.
"Kau… kau siapa…?" Kinasih bertanya pada pemuda gagah berpakaian biru, berambut licin dan memelihara kumis hitam rapi yang barusan menyelamatkannya.
"Namaku Adimesa. Kau tak usah takut. Tetap berada di balik pohon ini…."
"Kau mau kemana?" tanya Kinasih sambil memegang lengan si pemuda.
"Kakek mata jereng berkuping terbalik yang menolongmu tadi. Ilmunya memang tinggi tapi dia bakal menemui kesulitan menghadapi lawannya. Aku harus menolongnya."
"Buat apa ditolong. Dia bisa saja sama bejatnya dengan jahanam berjubah kelabu itu…."
"Akan kita lihat nanti. Kau tunggu di sini," jawab Adimesa.
Hancurnya pondok membuat perkelahian antara Hantu Muka Licin dan Setan Ngompol kini berlangsung di tempat terbuka sementara langit di ufuk timur mulai kelihatan terang pertanda fajar sebentar lagi akan menyingsing.
Saat itu Hantu Muka Licin tengah melakukan serangan gencar. Cahaya kuning yang memancar dan tali ikat pinggangnya yang merupakan senjata andalan mengurung Setan Ngompol. Yang diserang berkelebat gesit, sambil balas menghantam dengan pukulan-pukulan sakti sementara kencingnya terus memancar tak berkeputusan, muncrat kemana-mana bahkan ada yang menyiprat ke wajah Hantu Muka Licin, membuat orang ini menjadi marah besar dan lancarkan serangan habis-habisan.
Walau terdesak hebat namun Setan Ngompol tidak mau kalah. Dia bertahan mati-matian. Serangan­serangan balasannya datang tidak terduga dan cepat sekali. Bahkan beberapa kali dia berhasil menyusup menembus lingkaran cahaya kuning lalu menghantamkan jotosan ke dada dan perut lawan!
Hantu Muka Licin kertakkan rahang. Mulutnya berkomat-kamit seperti membaca mantera. Tiba-tiba dia membentak garang. Lingkaran sinar kuning yang mengurung Setan Ngompol menebar hawa dingin. Bersamaan dengan itu Setan Ngompol merasakan dirinya tergulung, tersedot masuk ke dalam putaran cahaya kuning yang dengan cepat menciut segera aneh!
Setan Ngompol berseru keras. Dia berusaha loloskan diri dari sedotan cahaya kuning dengan cara melesat ke atas. Dari atas lalu lancarkan dua serangan maut. Yang pertama berupa tendangan dalam jurus Setan Ngompol Mengencingi Pusara.
Serangan ke dua berupa pukulan tangan kosong dalam jurus Setan Ngompol Mengencingi Bumi. Angin dahsyat disertai semburan air kencing menebar bau pesing menderu ke arah Hantu Muka Licin.
" Keparat!" rutuk Hantu Muka Licin. Kakek ini lipat gandakan tenaga dalamnya ketika melihat bagaimana lawan sanggup menembus lingkaran cahaya kuning. Tangan kanan digerakkan secara aneh sedang mulut berteriak "Sedot!"
Saat itu juga Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan. Air kencingnya mengucur deras. Dia rasakan tendangannya hampir menyentuh batok kepala la wan.Tapi entah mengapa tiba-tiba seperti ada tembok gaib menahan kakinya. Lalu cepat sekali tubuhnya seperti ditarik masuk ke dalam lingkaran, terseret ke bawah. Jika dia tadi mampu keluar dari sedotan sinar kuning kali ini seolah tak punya daya sosoknya menggapai-gapai kian kemari. Kalau dia sampai masuk ke dalam inti atau pusaran lingkaran cahaya kuning, sekujur sosok kakek bermata jereng ini akan remuk seperti dijepit batu besar!
" Kau mau menghancurkan tubuhku! Aku tidak takut mati!" teriak Setan Ngompol.
Pemuda berpakaian biru yang menyaksikan kejadian itu geleng-geleng kepala. " Kakek edan, apa betul dia tidak takut mati?!"
Masih dalam keadaan melayang, tersedot ke bawah tiba-tiba Setan Ngompol selorotkan celana bututnya di sebelah depan. Lalu serrrrrrr!
Hantu Muka Licin berteriak marah melihat apa yang dilakukan lawan. Terlebih karena pipi dan bahu kirinya sempat terkena guyuran air kencing Setan Ngompol. Setan Ngompol tertawa tergelak, berusaha melayang turun sambil jauhkan diri dari lawan.
Memaki panjang pendek Hantu Muka Licin usap wajahnya dengan tangan kiri. Saat itu juga wajah itu berubah licin. Hidung, mata dan mulut lenyap entah kemana! Suara tawa Setan Ngompol mendadak sirap! Si kakek mata jereng terkesiap kaget melihat perubahan pada wajah lawannya. Kesempatan seperti inilah yang ditunggu Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Dengan cepat dia kibaskan tali kuning di tangan kanan. Saat itu juga enam puluh jarum putih menderu berkilauan dalam gelapnya udara, menghambur ke arah enam puluh titik darah di muka dan tubuh Setan Ngompol.
Selama ini tidak satu musuhpun sanggup menyelamat­kan diri dari jarum maut bernama Jarum Perontok Syaraf itu. Dalam waktu satu hari satu malam nyawanya tidak akan ketolongan akibat racun jahat yang ada di jarum. Kalaupun korban bisa bertahan hidup, atau mampu mencabut jarum-jarum itu, maka bekas tusukan pada kulit dan daging akan membusuk. Dia akan menjadi cacat mengerikan dan menjijikkan seumur hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng telah mengalami hal ini. Untung saja dia masih sempat diselamatkan oleh Bunga, gadis dari alam roh yang juga dikenal dengan nama Suci. Bunga bukan saja mencabut puluhan jarum yang menancap di tubuh pemuda yang dikasihinya itu, tapi sekaligus memusnahkan racun yang mendekam di permukaan kulit dan daging tubuh Wiro hingga dia terhindar dari kebusukan.
Setan Ngompol sadar kesalahan yang dibuatnya. Dalam keadaan seperti itu dia tidak bisa berbuat suatu apapun. Mata terbelalak, mulut keluarkan seruan putus asa. Dia masih coba mengangkat tangan untuk melepaskan pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga dalam penuh. Namun terlambat. Kecuali ada keajaiban, kakek satu ini tidak akan tertolong.
Hanya sesaat singkat puluhan jarum akan menancap di muka dan tubuh Setan Ngompol, tiba-tiba berkelebat satu bayangan biru disertai suara srett… srett! Tujuh warna aneh memancar di udara yang masih gelap. Membentuk tameng setengah lingkaran.
"Sett… s’ettt!"
Puluhan jarum terbendung di udara, menancap di satu permukaan yang masih belum jelas apa adanya.
Hantu Muka Licin berseru kaget ketika dapatkan dirinya terdorong keras hingga terjajar dua langkah ke belakang. Dadanya mendenyut sakit dan jalan darahnya jadi tidak karuan. Dia coba bertahan, lututnya goyah. Kalau tidak cepat dia mengimbangi diri niscaya jatuh terhenyak di tanah. Setelah mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan, masih untung dia hanya jatuh berlutut.
Malu dan marah berkecamuk di dalam diri si kakek. Wajahnya yang tadi licin serta merta kembali ke asalnya.
Dua matanya membeliak besar ketika melihat bagaimana rumbai-rumbai pada dua ujung tali yang jadi senjata andalannya saat itu telah gugus berputusan. Ketika dia menggerakkan tali, kakek ini keluarkan seruan tertahan. Seperti terbakar dan berubah jadi debu, tali kuning itu rontok jatuh ke tanah. Dengan mata menyorot si kakek memandang ke depan. Hatinya menyumpah habis-habisan.
Di hadapannya, hanya dua langkah di depan kakek berjuluk Setan Ngompol, tegak seorang pemuda berpakaian biru. Rambutnya disisir rapi ke belakang, licin berkilat karena memakai sejenis minyak. Di atas bibirnya menghias kumis kecil rapi. Pembawaannya sangat tenang. Di tangan kirinya pemuda berwajah gagah ini memegang sebuah benda yang ternyata adalah sehelai kipas tujuh lipatan. Masing-masing lipatan berwarna berbeda, sesuai dengan warna pelangi. Melihat kipas di tangan si pemuda berubahlah wajah Hantu Muka Licin.

3

PENDEKAR Kipas Pelangi," ucap Hantu Muka Licin dengan suara perlahan tercekat.
"Kalau tidak salah, bukankah saat ini aku berhadapan dengan seorang tokoh besar rimba persilatan, bernama Ki Balangnipa, berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar."
Hantu Muka Licin keluarkan suara bergumam. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. "Kalau memang sudah tahu siapa diriku, mengapa berani mencampuri urusan orang?!" Berucap Hantu Muka Licin.
Pendekar Kipas Pelangi tersenyum lalu membuka mulut menjawab ucapan orang.
"Ki Balangnipa, ketahuilah di dunia ini pada dasarnya tidak ada satu orangpun suka mencampuri urusan orang lain. Tapi kalau yang namanya urusan menyangkut kejahatan keji seperti perbuatan mesum yang hendak kau lakukan terhadap perempuan muda itu, rasanya tidak ada satu orang pun di rimba persilatan yang mau berpangku tangan begitu saja."
"Sombong sekali bicaramu. Membuat aku muak! Jangan mengira dengan kepandaianmu kau telah merasa jadi tokoh paling hebat dalam rimba persilatan."
Si pemuda hanya tersenyum tenang mendengar kata­kata itu. Dia dekatkan kipas di tangan kiri ke wajahnya. Dia pandangi sesaat enam puluh jarum putih yang me­nancap di permukaan kipas itu. Lalu mulutnya meniup. Enam puluh jarum serta merta luruh berjatuhan, amblas masuk ke dalam tanah. Sesaat tengkuk Hantu Muka Licin terasa dingin menyaksikan kejadian itu. Tapi dia menjaga agar tidak terjadi perubahan pada wajahnya. Setan Ngompol yang ikut menyaksikan tahu betul. Kalau pemuda baju biru itu mau, puluhan jarum yang menancap dikipas bisa dihantamkannya kembali pada si pemilik.
"Pendekar Kipas Pelangi!" si kakek tiba-tiba membentak. "Kau boleh merasa punya ilmu tinggi! Tapi jangan me­nyombongkan kepandaian di depanku! Jauh sebelum kau dilahirkan ibumu ke dunia, aku sudah malang melintang di rimba persilatan!"
Tiba-tiba terdengar orang tertawa bergelak. Yang tertawa adalah kakek mata jereng Setan Ngompol. "Bicara ngelantur boleh saja. Tapi mengapa membawa Ibu orang! Menyebut-nyebut soal lahir segala! Mengapa tidak menyebut dukun beranaknya sekalian?! Atau mungkin kau punya kepandaian seperti dukun beranak. Buktinya tadi kau hendak menanggalkan pakaian perempuan cantik itu! Apakah dia mau beranak? Aneh, hamil tidak, bunting juga tidak! Bagaimana bisa beranak? Ha… ha… ha… ha!"
"Tua bangka sinting!" maki Hantu Muka Licin pada Setan Ngompol. "Kalau urusanku dengan pemuda ini selesai, aku akan carikan tempat paling baik untukmu di neraka!"
"Walah!" Setan Ngompol berseru dan melompat berdiri sambil kucurkan kencing. "Aku baru tahu kalau kau ini mandor neraka rupanya! Ha… ha… ha!"
Tak dapat menahan amarahnya Hantu Muka Licin melompat ke arah Setan Ngompol sambil melepas satu pukulan tangan kosong. Namun dari samping ada deru angin menahan gerakannya. Ternyata dengan menggerak­kan kipas saktinya, tanpa membukanya, Adimesa berhasil mementahkan serangan Iblis Muka Licin.
"Pemuda setan!" kutuk Hantu Muka Licin. "Kau sudah bertindak terlalu jauh! Namamu sejak dua tahun belakangan ini memang telah menggegerkan rimba per­silatan tanah Jawa. Sayangnya hal itu telah membuat dirimu menjadi sombong! Padahal sifat sombong, memandang rendah orang lain hanya satu jengkal dari liang kubur!"
Pendekar Kipas Pelangi cuma tersenyum mendengar ucapan itu. Sikapnya tenang, sama sekali tidak tampak rasa amarah. Masih tersenyum dia berkata. "Aku tidak menyangka, juga tidak tahu bagaimana caranya kau menghitung jarak antara kesombongan dengan liang kubur. Lagipula, siapa yang bersifat sombong merendahkan?!"
"Sahabatku muda, tuan penolong, aku tahu cara kakek muka pantat itu menghitung jarak antara kesombongan dengan liang kubur!" Si Setan Ngompol membuka mulut.
Pendekar Kipas Pelangi palingkan kepala ke arah Setan Ngompol. Sepasang alisnya naik ke atas. Lalu tersenyum dan anggukkan kepala. "Orang tua, mohon aku diberitahu rahasia bagaimana dia mengukur jarak antara kesombongan dengan liang kubur."
"Mudah saja," jawab kakek mata jereng. "Dia pasti mengukur dengan mempergunakan tali kuningnya. Tapi sekarang talinya sudah jadi bubuk, berarti dia tidak bisa menghitung lagi! Kalau dia mau, paling-paling dia bisa mengukur mempergunakan anunya. Tapi melihat potongan badannya aku kira-kira anunya cuma pendek, tidak sampai setengah jengkal!" Habis berkata si Setan Ngompol tertawa mengekeh lalu terkencing-kencing.
Tampang Hantu Muka Licin kelihatan merah mengelam. Sekujur tubuhnya bergetar.
"Benar, aku kira kau benar Kek," menyahut Pendekar Kipas Pelangi menimpali canda ejek Setan Ngompol. "Sekarang mohon kau memberitahu, mengapa tadi kau menyebut kakek itu dengan sebutan kakek muka pantat."
"Gampang saja jawabnya!" sahut Setan Ngompol sambil senyum-senyum. Dia bisa merubah wajahnya jadi licin, tak ada mata, tak punya hidung, tak punya mulut. Pantat juga tidak punya mata, tidak punya mulut, tidak punya hidung! Jadi pantat dan mukanya sama kan? Ha… ha… ha!"
Meledaklah amarah Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Sekali bergerak saja dia sudah melompat ke hadapan Setan Ngompol. Gerakannya luar biasa cepat.
Setan Ngompol tak tinggal diam, cepat angkat dua tangannya, satu siap menangkis satunya menggempur. Tapi saat itu Pendekar. Kipas Pelangi telah mendahului. Dia berkelebat memotong gerakan Hantu Muka Licin sekaligus membuat Setan Ngompol menahan gerakan dua tangannya.
Hantu Muka Licin jadi mengkelap. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor. Tangan kanan bergerak mengebut lengan jubah. Dari ujung lengan jubah itu menyambar asap berwarna kelabu, menebar bau aneh. Dari bau itu Pendekar Kipas Pelangi maklum kalau asap itu mengandung racun sangat berbahaya. Cepat dia tutup jalan nafas dan bersamaan dengan itu tangan kirinya yang memegang kipas digerakkan.
"Srett!"
Kipas mengembang. Tujuh warna pelangi menyambar. Asap kelabu beracun berbalik menghantam ke arah wajah Hantu Muka Licin . Kakek ini berteriak kaget, berusaha menghindar tapi sebagian asap beracun telah memasuki saluran pernafasannya. Raungan dahsyat melesat dari mulut Hantu Muka Licin. Mukanya mendadak berubah biru. Sosoknya lunglai, rubuh ke tanah.
"Celaka! Nyawaku bisa-bisa amblas!" keluh Hantu Muka Licin dengan tengkuk dingin muka keringatan. Susah payah dia memasukkan tangan kanan ke balik jubah, mengeluarkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu. Penutup tabung dibukanya. Benda berbentuk butir-butiran hitam yang ada di dalam tabung dituang ke dalam mulut, ditelan dengan cepat. Sesaat dia terkapar di tanah, tak bergerak. Mata membeliak menatap langit yang mulai terang. Tiba-tiba kakek ini bangkit berdiri. Tubuh tertekuk. Mulut terbuka lebar-lebar, matanya mendelik. Lalu dari mulutnya menyembur muntah keluar cairan biru kehitam­an. Itulah racun asap yang tadi sempat dihisapnya. Dia masih untung bertindak cepat menelan obat penangkal hingga lolos dari kematian!
Berdiri terhuyung-huyung Hantu Muka Licin menunjuk tepat-tepat ke arah Pendekar Kipas Pelangi.
"Manusia jahanam! Kau tunggu pembalasanku!" Masih terhuyung-huyung Hantu Muka Licin putar tubuhnya lalu seperti orang mabok dia lari meninggalkan tempat itu.
Begitu Hantu Muka Licin lenyap. Setan Ngompol segera mendekati Pendekar Kipas Pelangi sementara Kinasih dengan agak ragu-ragu melangkah keluar dari balik pohon besar.
"Pendekar gagah, aku tua bangka bau pesing yang biasa dipanggil orang dengan sebutan Setan Ngompol menghaturkan banyak terimakasih padamu. Jika tadi kau tidak menolong, saat ini pasti diriku sudah jadi bangkai tak berguna, ditancapi puluhan jarum celaka!"
Pendekar Kipas Pelangi tersenyum. Sebelumnya dia tidak pernah mendengar nama kakek ini. Tapi diam­diam maklum kalau manusia aneh satu ini bukan orang sembarangan.
Sesaat mata Pendekar Kipas Pelangi seperti mengawasi si kakek, lalu melirik ke arah Kinasih yang melangkah mendatangi, kembali lagi memandangi Setan Ngompol.
"Kek, tadi waktu kau menjebol dinding dan menghambur masuk ke dalam pondok, aku mendengar kau berucap seperti minta bagian ingin mendapatkan perempuan itu."
"Anak muda, pandangan matamu seolah mencurigai diriku," kata Setan Ngompol. "Aku tidak menyalahkan dirimu. Apa yang aku ucapkan itu hanya senda gurau saja. Aku memang suka bergurau, mulutku bisa bicara jahil seenaknya. Tapi kita sama-sama lelaki…."
"Maksudmu Kek?"
"Maksudku lelaki itu tua atau muda sama saja. Sama-sama suka melihat wajah cantik dan tubuh mulus! Apakah kemudian di dalam hatinya muncul maksud keji dan mesum, itu persoalan lain…."
"Kau sendiri apa termasuk yang persoalan lain itu?" tanya Pendekar Kipas Pelangi sambil tersenyum.
Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Lalu goleng-goleng kepala. "Pendekar gagah, aku sekali lagi mengucapkan terima kasih. Aku tidak bakal melupakan budi perto­longanmu. Aku mohon pamit…."
"Tunggu dulu Kek," kata Pendekar Kipas Pelangi pula. "Ada beberapa pertanyaan ingin kusampaikan padamu." Saat itu Kinasih sudah berada di dekat ke dua orang itu. Dia memilih tegak di samping si pemuda dan mem­perhatikan Setan Ngompol tak habis heran. Dalam hati dia membatin.
"Aneh, bagaimana ada manusia seperti ini. Mata jereng, muka jelek, kuping terbalik, pakaian lusuh compang camping, bau pesing kencing melulu!"
"Apa yang hendak kau tanyakan, anak muda?"
"Pertama, bagaimana kau bisa terpesat ke tempat ini?"
Setan Ngompol tertawa lebar. "Jika aku bertanyakan hal yang sama padamu, mungkin jawaban kita tidak berbeda. Aku berada di satu tempat tak jauh dari sini ketika kakek mesum itu lewat memacu kuda membawa perempuan. Tadinya aku mengikuti hanya karena ingin tahu saja. Ternyata keingintahuanku harus kubayar mahal. Bahkan jiwaku hampir amblas!"
Setan Ngompol tidak mau menceritakan perihal bahwa dia sebenarnya belum lama terpesat dari Negeri Latanahsilam dan sejak berpisah dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dia tengah mencari bocah aneh bernama Naga Kuning. Siapa saja yang diceritakan tentang riwayat Negeri Latanahsilam pasti tidak akan mem­percayai. Bisa-bisa dia dianggap sinting. "Pertanyaanku ke dua," kata Pendekar Kipas Pelangi pula. "Apakah kau pernah mendengar seorang pemuda bernama Adisakal"
"Adisaka…. Adisaka…." Setan Ngompol garuk-garuk kepalanya. Hampir terlanjur mengatakan bahwa selama Ini dia berada di satu tempat disebut Negeri latanahsilam. Untung dia cepat menyadari lalu menggelengkan kepala. "Tidak pernah aku mendengar orang dengan nama itu. Bagaimana ciri-ciri orang yang kau cari Itu?"
Adimesa menarik nafas dalam. "Itulah sulitnya, aku tidak tahu ciri-cirinya…."
"Aneh, kau mencari orang. Tapi tidak tahu ciri-cirinya."
"Sebenarnya, dia kakakku. Tapi kami berpisah belasan tahun lalu. Sejak kami masih kecil. Bertahun-tahun aku berusaha mencarinya. Sampai sekarang tidak berhasil…."
"Ah, kau agaknya punya kisah hidup yang hebat. Dengar anak muda, kau telah menolongku. Aku berjanji akan balas menolongmu, mencari keterangan tentang kakakmu itu."
"Terima kasih Kek."
"Sebelum pergi bolehkah aku mengetahui siapa namamu sebenarnya?" tanya Setan Ngompol.
"Namaku Adimesa."
Ketika hendak melangkah pergi Setan Ngompol melirik pada Kinasih lalu berkata. "Ternyata aku tidak punya maksud menjahilimu ‘kan? Ha… ha… ha!"
Kinasih cuma diam tersenyum.
Sesaat setelah si kakek pergi dan malam perlahan-lahan memasuki pagi, Kinasih berkata. "Seperti kakek aneh tadi itu, aku juga ingin menyampaikan rasa terima kasih. Kau…."
"Tak usah ucapkan itu," kata Adimesa. "Lebih baik kau ceritakan siapa dirimu, mengapa sampai dibawa lari ke pondok itu oleh Hantu Muka Licin."
Dengan singkat Kinasih menuturkan malapetaka yang dialaminya. Mulai dari saat dia diculik oleh lelaki bernama Bagus Srubud sampai kemudian ditolong oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Adimesa terkejut mendengar Kinasih menyebut nama itu. "Jadi kau ditolong oleh Pendekar 212 Wiro Sableng? Dimana-pendekar itu sekarang?"
"Dia ditangkap oleh orang-orang berkepandaian tinggi dari Keraton," jawab Kinasih. Lalu perempuan ini bertanya. "Kau pernah tahu orang bernama Bagus Srubud yang tadi aku ceritakan? Mungkin tahu dimana aku harus mencarinya?"
Adimesa menggeleng. "Orang seperti itu terlalu berbahaya kalau kau cari. Lupakan dia. Walau orangnya nyata tapi nama itu kurasa tak pernah ada. Kejahatan yang dilakukannya atas dirimu pasti akan mendapat hukuman dari Yang Maha Kuasa. Sekarang yang penting kau harus segera kembali ke Kotaraja."
Di tempat itu mereka menemukan kuda hitam bekas tunggangan Hantu Muka Licin yang ditinggal begitu saja. Sebenarnya Kinasih ingin sekali diantar pulang ke Kotaraja oleh Pendekar Kipas Pelangi. Tetapi sang pemuda tidak menawarkan. Kinasih sendiri merasa sungkan untuk meminta. Padahal diam-diam sebenarnya hatinya tertarik pada pemuda bertubuh tegap berwajah gagah ini. Dia merasa menyesal telah menceritakan riwayat dirinya. Kini Adimesa tentu menganggapnya sebagai seorang perempuan rendah.
"Kalau saja tadi aku tidak terlanjur bicara berterus terang padanya, mungkin dia akan suka mengantar aku ke Kotaraja," kata Kinasih dalam hati.
Sebelum berpisah Adimesa bertanya pada Kinasih. "Menurutmu apakah tuduhan orang-orang Keraton bahwa Pendekar 212 yang membunuh suamimu, bisa dipercaya?"
"Sulit aku menjawab. Sampai saat ini aku masih bingung menyangkut hal yang satu itu…."
Adimesa menepuk pinggul kuda tunggangan Kinasih. Binatang itu segera melangkah pergi membawa penunggangnya menuju Kotaraja. Namun naasnya perempuan muda ini tidak pernah sampai di Kotaraja dalam keadaan hidup.
Siang di hari yang sama Kotaraja kembali dilanda kegemparan. Kinasih pertama kali ditemukan para pengawal di pintu gerbang timur, tertelungkup melintang di atas punggung kuda. Dua mata membeliak, wajah menunjukkan bayangan rasa takut amat sangat. Di keningnya ada guratan angka 212. Jari-jari tangan kanannya tergenggam kencang. Tubuhnya masih hangat, pertanda belum lama menemui ajal.
* * *

4

HUJAN lebat turun sejak malam menjelang pagi. Pedataran rendah di hilir Kali Lanang mulai digenangi air. Kalau hujan tak segera berhenti, hamparan sawah subur yang padinya siap dituai akan dilanda banjir, para petani akan menderita kerugian datar. Rupanya alam tidak mau menyengsarakan ummat, apalagi yang namanya rakyat kecil. Sebelum fajar menyingsing hujan mulai berhenti. Banjir yang ditakutkan tidak terjadi.
Di satu tempat ketinggian di hulu Kali Lanang, hawa dingin dan kabut tipis menutupi pemandangan. Samar­samar di bawah bayangan gelap pohon beringin besar hanya tiga tombak dari pinggiran kali, satu sosok berjubah hitam duduk tak bergerak di atas sebuah batu besar Sosok ini ternyata adalah seorang perempuan tua renta bermuka seram seperti setan.
Saat itu sebenarnya udara dingin bukan kepalang. Jangankan seorang nenek, orang mudapun pasti akan menggigil kedinginan. Tetapi disinilah letak keanehan. Walau udara mencucuk dingin luar biasa, tanah kali sekitar pohon beringin besar mengeluarkan hawa panas. Hawa panas yang bersentuhan dengan udara dingin menimbulkan uap hangat. Uap hangat ini bukan saja menyelimuti udara di pinggiran kali itu, tetapi juga membungkus batu besar, terus menyelimuti tubuh si nenek yang duduk di atasnya, hingga sosok orang tua berwajah seram itu kelihatan seperti mengepulkan asap putih, mulai dari kepala sampai ke kaki sementara sepasang matanya terpejam rapat.
Bersamaan dengan terangnya langit di sebelah timur tanda fajar telah menyingsing, dari mulut si nenek keluar suara meracau aneh. Mula-mula perlahan saja, kemudian berubah keras. Sekujur tubuhnya bergetar. Uap putih mengepul semakin banyak. Secara aneh sosok si nenek yang tadi duduk di atas batu perlahan-lahan bergerak ke atas lalu berhenti mengapung satu jengkal di atas batu. Jelas sudah si nenek tengah mengerahkan kesaktian dalam semedinya. Jika dia tidak memiliki tenaga dalam luar biasa, tidak mungkin tubuhnya mengapung seperti itu.
Di atas kepala, rambutnya yang kelabu awut-awutan naik tegak lurus ke atas, seolah berubah menjadi ijuk kaku. Sesaat kemudian jubah hitam yang membungkus tubuh nenek ini bergerak membuka, seolah ada tangan gaib yang menanggalkan. Pundak kiri kanan si nenek tersingkap. Aneh, pundak itu kelihatan putih dan bagus. Jubah merosot lagi ke bawah, menyembulkan dada. Untuk seorang nenek berusia hampir delapan puluh tahun seperti dia, dada itu seharusnya hanya tinggal daging tipis pembalut tulang. Tapi luar biasanya, nenek satu ini masih memiliki dada bagus dan putih. Jubah hitam merosot lagi, menyingkapkan perut, tertahan sebentar di pangkuannya lalu jatuh ke atas batu. Sosok tubuh si nenek kini hanya terlindung kepulan uap putih. Suara gumam racau yang keluar dari mulutnya terdengar semakin keras. Sementara dua mata masih tetap terpejam.
Menyusul terjadi satu keanehan lagi. Dua tangan si nenek tampak bergetar hebat. Getaran itu menjalar sampai ke ujung-ujung jarinya yang berkuku putih panjang. Lalu di sebelah pundak kiri kanan ada cahaya aneh berwarna merah. Cahaya ini bergerak ke bawah sepanjang dua lengan, memasuki dua telapak tangan terus ke arah sepuluh jari. Perlahan-lahan sepuluh kuku berwarna putih berubah menjadi merah. Makin merah, makin merah seolah sepuluh kuku itu telah menjadi bara menyala.
Tubuh si nenek bergetar keras, basah oleh keringat. Racau dari mulutnya semakin keras pertanda apapun yang tengah dilakukan perempuan tua ini akan segera mancapai puncaknya.
Dalam keadaan seperti itu mendadak di udara pagi terdangar suara berdesing. Satu benda hitam melesat seperti jatuh dari langit, melayang turun dan blukkk! Jatuh tepat di pangkuan si nenek.
Suara racau si nenek lenyap, berganti dengan jeritan keras. Tubuhnya terhenyak jatuh ke batu besar, lalu terguling ke bawah dan terjengkang di tanah. Si nenek menjerit lagi ketika dia mengangkat dua tangan, dia melihat warna merah bara api di sepuluh kukunya telah lenyap! Di pangkuannya saat itu, seolah lengket, melingkar sosok seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun, berpakaian hitam berambut jabrik. Anak ini sendiri keluarkan seruan tertahan, kaget karena tidak menyangka akan jatuh begitu rupa di atas pangkuan seseorang. Padahal sebelumnya, dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan dia sudah pasrah bahwa tubuhnya akan hancur remuk jatuh menghantam tanah atau batu.
Si nenek memekik panjang. "Habis! Hancur! Gagal sudah!" Sepasang matanya mendelik besar memandangi anak lelaki di depannya. "Bocah jahanam! Kau yang jadi gara-gara! Kubunuh kau!"
Tangan si nenek menjambak rambut jabrik si bocah lalu anak itu dibantingkannya ke tanah. Si bocah menjerit kesakitan.
"Remuk… walah…. Remuk tubuhku…" si bocah mengeluh, menggeliat di tanah lalu berusaha bangkit.
"Bocah setan! Bukan cuma tubuhmu! Nyawamu juga akan kubikin remuk!" Si nenek membentak, marah luar biasa. Sekali dia melompat kaki kanannya menghantam ke arah kepala si bocah.
"Nek, tunggu!" si bocah berteriak sambil tutupkan dua tangannya di atas kepala tapi matanya memperhatikan nakal. "Kalau memang mau membunuhku, jangan telanjang begitu rupa. Nanti setan akhirat jadi bingung mau mengirimku ke mana. Ke sorga atau ke neraka!"
Si nenek hendak menghardik marah tapi sadar kalau saat itu dia memang tidak mengenakan apapun.
"Hah?!"
Si nenek batalkan tendangannya. Dua tangan sibuk repot berusaha menutupi aurat yang telanjang. Dia ingat pada jubah hitamnya. Pakaian itu tergeletak di atas batu. Disambarnya lalu cepat dikenakan. Ketika dia selesai berpakaian dilihatnya bocah berpakaian hitam tadi tidak ada lagi di tempatnya semula.
"Kurang ajar! Lari kemana bocah setan itu! Sampai dimana, sampai kapanpun akan kucari! Akan kupecahkan batok kepalanya!"
Saking marahnya si nenek gerakkan kaki kanan.
"Braakkk!"
Batu hitam di pinggir kali yang tadi jadi tempat duduk­nya hancur berkeping-keping. Di atas pohon beringin anak berusia dua belas tahun yang mendekam di balik kerimbunan dedaunan delikkan mata, mulut ternganga.
"Makhluk aneh. Tampang berbentuk nenek muka setan. Tapi mengapa memiliki tubuh begitu bagus dan mulus? Tapi gila! Batu saja hancur oleh tendangannya. Apalagi kepalaku! Siapa gerangan adanya nenek ini? Sebelum celaka di tangannya lebih baik aku cepat-cepat menyingkir dari sini."
Baru saja anak itu berucap dalam hati, seolah tahu kalau orang yang dicarinya sembunyi di atas pohon, si Nenek tiba-tiba dongakkan kepala lalu pukulkan tangan kanannya. Dari tangan dan ujung jubah hitam menderu lalu gelombang angin luar biasa derasnya. Saat itu juga seluruh daun pohon di balik mana anak berpakaian hitam sembunyi rontok luruh ke tanah. Si anak jadi terlihat jelas, tegak sempoyongan di salah satu cabang, muka pucat pasi. Tubuhnya terasa kaku. Sambaran angin yang tadi dihantamkan nenek muka setan di bawah sana mempengaruhi jalan darahnya.
Sadar kalau orang sudah melihatnya serta sulit bergerak cepat untuk melarikan diri, anak ini nekad melompat ke bawah. Dua kali jungkir balik tak karuan akhirnya dia mampu juga menjejak tanah, tegak terbungkuk-bungkuk di depan si nenek sambil pegangi kepala, takut akan kena gebuk atau ditendang lagi.
"Nek, kalau kau memang mau membunuhku, aku tidak punya daya untuk selamatkan diri. Tapi aku mau tahu dulu apa dosa kesalahanku hingga kau mau menghabisi nyawaku."
"Bocah setan! Dosa kesalahanmu setinggi langit sedalam laut!" bentak si nenek.
"Walah, begitu amat Nek? Harap kau mau memberitahu yang salah apaku, yang dosa apaku?"
"Jahanam! Empat puluh hari empat puluh malam aku melakukan samadi! Tidak perduli hujan, tidak perduli panas. Makan tidak minum juga tidak! Hampir rampung ilmu yang aku dalami tahu-tahu kau merusak semuanya! Jahanam betul!"
Si nenek menggembor keras lalu menyergap. Tangannya kembali menjambak rambut jabrik si bocah. Ketika dia hendak membantingkan anak itu tak sengaja sepasang matanya bentrokan dengan dua bola mata si bocah. Ada sekilas cahaya aneh di mata anak itu membuat darah si nenek tersirap. Lalu dibalik wajah si bocah, dia seperti melihat satu wajah lain yang menyebabkan dadanya berdebar keras.
"Kurang ajar, ada apa dengan anak ini. Matanya menyorotkan ketakutan. Tapi dibalik bayang ketakutan Itu aku melihat satu bayangan lain. Hatiku… mengapa hatiku tiba-tiba bergetar?"
"Bocah setan! Siapa kau adanya! Mengapa berani mengusik semediku, menjatuhkan diri ke pangkuanku!
Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang mengirimmu ke Banyuanget ini?! Pasti kakek keparat itu!"
"Maaf Nek, jangan kau salah mengira. Tidak ada yang mengirimku ke sini! Aku tidak ada niat mengusik semedi­mu, apa lagi sengaja menjatuhkan diri kepangkuanmu…."
"Jangan dusta! Kau memang punya niat jahat dan niat cabul!" Si nenek perkencang jambakannya lalu meng­angkat tubuh si anak tinggi-tinggi, siap untuk dibanting­kan.
"Nek… aku… aku tidak tahu apa maksudmu…." "Jangan dusta! Kau sengaja muncul untuk mengusik semediku hingga aku gagal mendapatkan ilmu itu! Lalu kau juga sengaja menunggu sampai seluruh pakaian di tubuhku tanggal. Baru dijatuhkan diri di pangkuanku!"
"Nak, semua terjadi serba tidak sengaja. Aku…."
Tangan si nenek bergerak, siap membantingkan anak yang dljambaknya. Tapi si anak cepat berseru. "Tahan, tunggu dulu Nek! Beri kesempatan untuk menerangkan.."
"Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan mata! Apa yang hendak kau katakan?!"
"Kalau aku ceritakan bagaimana asal usulnya aku sampai melesat dari langit, melayang jatuh ke pang­kuanmu, pasti kau tidak percaya. Sumpah Nek, aku tidak sengaja jatuh ke pangkuanmu! Juga sumpah aku tidak punya niat cabul terhadapmu!"
"Siapa percaya mulut dan segala sumpahmu! Siapa namamu? Siapa menyuruhmu menggagalkan semediku?!" bentak si nenek.
"Namaku Naga Kuning, Nek. Tidak ada yang menyuruhku. Aku memang terlempar dari langit. Nasib apes jatuh di pangkuanmu pada saat kau dalam keadaan bugil. Nek, dengar Nek. Terus terang aku kagum padamu. Mukamu lebih jelek dari setan, tapi keadaan tubuhmu tidak kalah bagusnya dengan tubuh janda kembang…."
"Jahanam kurang ajar! Sekarang mampuslah!"
"Nek, aku mohon…."
"Mohonlah pada setan!"
Tangan si nenek sudah siap membanting. Tiba-tiba terjadi keanehan. Rambut si bocah mendadak berubah sangat licin seperti dilumuri minyak. Ketika si nenek hendak memperkencang jambakannya, cekatannya malah lolos. Si bocah jatuhkan diri ke tanah.
"Ternyata kau punya ilmu kepandaian! Bagus! Coba rasakan dulu tendanganku ini!"
Kaki kanan si nenek menderu tapi. Namun tendangan­nya luput. Anak yang jadi sasaran membuat gerakan lebih cepat, membuang diri ke kiri lalu bergulingan di tanah ke arah pohon beringin. Si nenek mengejar. Tapi anak itu menghilang seperti ditelan bumi.
"Kemana lenyapnya bocah kurang ajar itu?!" Si nenek memandang berkeliling, memperhatikan ke atas pohon beringin. Tapi Naga Kuning kali ini benar-benar lenyap. Si nenek usap wajah setannya, menarik nafas panjang berulang kali, lalu melangkah ke pinggir kali dan duduk merenung.
"Bocah kurang ajar bernama Naga Kuning itu. Mungkinkah dia…? Mustahil. Puluhan tahun telah berlalu. Aku tidak pernah mendengar riwayatnya lagi. Aku tak pernah mengharapkan dirinya lagi. Sakit hati, kekecewaan besar. Semua itu yang aku dapat darinya sebagai balas kebaikan hatiku padanya. Kalaupun yang tadi itu memang dia mengapa ujudnya seperti itu? Kalau dia masih hidup, usianya sudah di atas seratus tahun. Tidak mungkin. Namun, sejak dua purnama belakangan ini mengapa aku selalu terkenang pada dirinya?"
Si nenek memandangi arus Kali Lanang yang deras akibat curahan hujan lebat malam menjelang pagi tadi. Dia kembali mengingat-ingat. "Sewaktu rambutnya kujambak, rambut itu tiba-tiba menjadi licin. Anak itu memiliki ilmu meloloskan diri dengan menjadikan rambutnya licin. Memang di tanah Jawa ini banyak Ilmu aneh yang membuat orang bisa jadi licin. Ilmu Belut Putih, Ilmu Pelicin Raga dan sebagainya. Tapi sepanjang pengetahuanku hanya ada satu ilmu sejenis itu yang hebat luar biasa. Ilmu itu disebut Ilmu Ikan Paus Putih. Dan dimiliki oleh kakek sakti setengah manusia setengah roh yang adalah ayah angkatku sendiri. Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah anak itu ada sangkut pautnya dengan Kiai? Setahuku Kiai tidak pernah mengangkat murid. Tapi selama puluhan tahun aku berpisah dengan ayah angkatku itu, mungkin saja terjadi hal-hal yang aku tidak ketahui. Hai! Tololnya aku! Anak itu paling banyak berusia dua belas tahun. Mana mungkin dia sudah ada puluhan tahun silam? Mana mungkin dia bisa menguasai ilmu kesaktian tinggi dalam usia seperti dia?" Si nenek muka setan menghela nafas panjang berulang kali. Dia hendak bergerak bangkit. Mendadak dia mendengar suara orang berlari. Suara itu demikian halusnya seolah yang berlari tidak menginjak tanah. Si nenek menoleh. Satu bayangan berkelebat di belakangnya. Tahu-tahu seorang pemuda berpakaian biru, berkumis rapi berwajah tampan muncul, tegak berdiri beberapa langkah di hadapannya.
"Nek," pemuda itu menyapa sambil membungkukkan badan memberi hormat. "Maafkan kalau aku mengganggu ketenteramanmu, aku kebetulan lewat, melihatmu ada di sini, ingin menanyakan sesuatu…."
"Anak muda aku sedang tidak enak hati. Salah-salah lehermu bisa kupatahkan! Lekas minggat dari hadapanku!"
Pemuda berbaju biru yang bukan lain adalah Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi pandangi si nenek dengan wajah tenang lalu tersenyum. "Tampaknya nenek ber­wajah seram ini bukan manusia sembarangan. Tanda­tanda di sekitar sini menunjukkan agaknya sebelumnya terjadi satu perkelahian di tempat ini. Ada hancuran batu, ada pohon beringin yang gundul sebagian daunnya. Dari pada mencari urusan tak karuan memang lebih baik aku menyingkir dari tempat ini."
"Nek, terima kasih kau telah memberi ingat. Silahkan meneruskan bersunyi diri. Sekali lagi maaf kalau aku telah mengganggu" Pendekar Kipas Pelangi membungkuk lalu tinggalkan tempat itu.
Si nenek sesaat seperti tak acuh. Kemudian dia menoleh memperhatikan. "Anak muda itu bersikap tenang, bersifat polos. Tapi dia datang dengan berlari. Cepat tapi tanpa suara. Tahu-tahu muncul di hadapanku. Pasti dia mem­bekal ilmu tidak rendah. Ada baiknya kalau aku ketahui apa yang hendak ditanyakannya."
"Anak muda! Tunggu!" si nenek berseru.
Pendekar Kipas Pelangi hentikan langkah tapi hanya diam berdiri, tidak mau mendekati si nenek. Sebaliknya si nenek kini yang bangkit berdiri dan menyampari pemuda itu.
"Apa yang hendak kau tanyakan padaku?"
Si pemuda memandang wajah setan si nenek, lalu ter­senyum. "Terima kasih, kau mau memberi kesempatan," katanya. "Tidak jauh dari sini, sebelumnya aku melihat ada sebuah benda melayang di udara. Aku berusaha meng­ikuti. Benda itu melesat ke arah sekitar sini lalu lenyap. Aku berusaha mencarinya tapi tidak berhasil. Mungkin kau melihat sesuatu Nek?"
Si nenek diam sebentar. Dalam hati dia membatin. "Jangan-jangan bocah kurang ajar tadi yang dicari pemuda ini. Bukan mustahil dia sahabat anak bernama Naga Kuning itu."
"Benda yang melayang di udara itu, apakah manusia, batu, kayu, binatang atau apa?!" si nenek ajukan pertanyaan.
Pendekar Kipas Pelangi tersenyum. "Benda itu melesat cepat sekali. Seperti jatuh dari langit. Aku sulit menduga. Namun besar kemungkinan benda itu adalah sosok manusia…."
"Kau pasti gila! Mana ada manusia bisa jatuh melayang dari langit lalu lenyap. Dan kau muncul di sini bertanya padaku! Benar-benar edan!"
"Nek, belakangan ini memang banyak hal gila dan edan terjadi dalam rimba persilatan. Bahkan kegilaan dan keedanan itu merambat sampai ke Kotaraja. Kalau kita tidak menyiasati dan berjaga-jaga, kita bisa ikut­ikutan gila dan edan."
"Kau salah satu diantaranya yang sudah jadi gila dan edan!" tukas si nenek. "Heh, apa seorang bocah bernama Naga Kuning ada sangkut pautnya dengan dirimu? Mungkin dia orang yang tengah kau cari?"
"Naga Kuning?" Pendekar Kipas Pelangi gelengkan kepala. "Tak pernah aku mengenal bocah dengan nama itu."
"Kalau begitu jangan berdiri lebih lama di depanku! Pergilah sebelum aku merasa terusik…."
"Nenek aneh," kata Pendekar Kipas Pelangi dalam hati. Namun dengan tersenyum dia bungkukkan diri lalu melangkah pergi.
Tak lama setelah Pendekar Kipas Pelangi pergi, si nenek ingat sesuatu. Dia mengejar ke arah lenyapnya pemuda itu. Tapi yang dikejar tak kelihatan lagi.
"Tololnya aku. Seharusnya aku tanya siapa adanya pemuda itu. Siapa namanya!" Si nenek geleng-gelengkan kepala. Sekali berkelebat dia lenyap dari tempat itu.
Belum jauh berlari Pendekar Kipas Pelangi juga ingat sesuatu. Dia segera memutar larinya, kembali ke tepi kali. Namun di tempat itu orang yang dicarinya tak kelihatan lagi. Si pemuda usap-usap dagunya. "Seharusnya tadi aku tanyakan siapa adanya nenek itu. Mungkin dia tahu perihal Adisaka, kakakku. Tapi yah…. Sudahlah."

5

MATAHARI hampir tenggelam ketika Naga Kuning sampai di tepi selatan Telaga Gajahmungkur. Anak ini menatap dengan mata sayu. Dia teringat pada peristiwa beberapa waktu lalu ketika kehancuran melanda segala sesuatu yang ada di dasar telaga.
Perlahan-lahan Naga Kuning mendudukkan diri di tepian telaga. Mula-mula dia merasa ragu, tapi apa boleh buat. Dia menginginkan keterangan yang sangat dibutuhkannya itu. Satu-satunya yang bisa memberikan penjelasan adalah penguasa Telaga Gajahmungkur yang merupakan makhluk alam gaib dikenal dengan nama Kiai Gede Tapa Pamungkas. (Baca serial Wiro Sableng yang berjudul "Wasiat Iblis" dst. terdiri dari 11 episode)

"Peristiwanya sudah lama sekali. Aku tidak bisa memastikan, sejak isi telaga porak poranda, apakah Kiai masih suka datang ke tempat ini?"
Naga Kuning rangkapkan dua tangan di depan dada. Setelah memperhatikan sekitar telaga, anak ini pejamkan ke dua matanya, pendengaran terhadap alam luar ditutup. Sosoknya tidak bergerak. Dia telah berubah seolah patung. Menjelang tengah malam hujan gerimis turun. Udara menebar bau aneh, seperti bau kemenyan dibakar. Kepala Naga Kuning bergoyang, sekali ke kiri, sekali ke kanan. Bau kemenyan menyirap masuk ke jalan pernafas­an, mendekam di dada.
Sesaat kemudian mulut anak itu tampak bergerak. Lalu terdengar suaranya berucap perlahan. "Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya mohon, datanglah menampakkan diri. Ada satu masalah besar yang ingin saya tanyakan padamu. Saya tahu kau berada jauh di telaga tiga warna puncak Gunung Gede. Tapi dengan ilmu kesaktianmu, dengan redho Gusti Allah, tidak sulit bagimu untuk bisa muncul di telaga Gajahmungkur ini. Jika engkau men­dengar permintaan saya ini Kiai, saya mohon kau mau mengabulkan…."
Sunyi, sesekali terdengar gemerisik dedaunan tertiup angin. Sesekali terdengar riak air telaga disapu hembusan angin.
"Kiai, jika engkau mendengar harap kau mau mengabul­kan permintaan saya…." Kembali Naga Kuning berucap.
Masih sunyi. Namun laksana sebilah pedang raksasa tiba-tiba dari atas langit yang mulai gelap, menyabung kilat disertai gelegar yang menggoncang tanah. Sesaat cahaya terang menyilaukan menghantam permukaan telaga, tembus sampai ke dasar. Air telaga mencuat ke atas belasan tombak, berubah menjadi panas. Ketika air telaga panas ini jatuh kembali ke permukaan telaga yang dingin, terdengar suara mendesis panjang menggidikkan.
Di tepi telaga Naga Kuning kelihatan terhuyung-huyung. Mulutnya komat kamit. Kalau dia tidak mengerahkan segala kekuatan luar dan dalam, niscaya sejak tadi-tadi tubuhnya sudah terbanting ke tanah.
Naga Kuning merasakan ada angin aneh menyapu wajah dan permukaan kulit tubuhnya, membuat anak ini merinding. Dengan hati berdebar dia buka dua mata­nya yang sejak tadi dipejamkan. Mula-mula dia tidak melihat apa-apa. Kemudian ada hamparan kabut putih di tengah telaga. Kabut ini perlahan-lahan bergerak ke tepi telaga, di arah mana Naga Kuning duduk bersila. Semakin dekat ke tepi telaga semakin jelas bahwa kabut itu membentuk sosok seorang tua, tegak mengawang di atas permukaan air telaga.
Naga Kuning membuka matanya lebih besar. Tak berkedip dia memandang pada makhluk di atas telaga.
Makhluk ini berupa seorang tua berselempang kain putih. Wajahnya tertutup oleh rambut panjang, kumis dan janggut warna putih.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya sangat bersyukur dan berterima kasih Kiai mau datang," ucap Naga Kuning lalu masih dalam keadaan bersila dia membungkuk dalam­dalam.
"Anak manusia bernama Gunung, menjalani hidup sebagai Pangeran terbuang, yang aku kenal dengan gelar julukan Kiai Paus Samudera Biru, yang sehari-hari dipanggil dengan nama Naga Kuning alias Naga Cilik, alias Naga Kecil. Mungkin kau lupa bahwa aku sebenarnya tidak pernah ingin bertemu lagi denganmu?"
"Kiai. maafkan saya. Saya tidak lupa. Sejak rangkaian peristiwa tempo hari, sampai Telaga Gajahmungkur dilanda musibah besar, saya tahu, tidak pantas lagi bagi Kiai untuk menemui saya. Namun, sekali lagi dengan seribu maaf, saya mohon, ada satu hal yang perlu saya tanyakan pada Kiai…."
"Naga Kuning, aku sudah muak dengan segala urusan. Permintaanmu hanya mengusik ketenanganku di alam roh…."Naga Kuning terdiam. Lalu dengan suara perlahan sedih anak ini berkata. "Kalau Kiai memang tidak lagi mau mencampuri urusan dunia, kalau memang saya telah mengusik ketenangan Kiai di alam roh, saya mohon maaf. Apa yang hendak saya tanyakan pada Kiai biarlah tetap menjadi ganjalan dalam diri saya seumur-umur…."
Sosok orang tua berselempang kain putih itu kini ganti terdiam. Dua matanya yang bening tapi tajam menatap wajah Naga Kuning beberapa ketika lalu muncul sekelumit senyum, membuat Naga Kuning merasa lega.
"Naga Kuning, sebelum kita meneruskan bicara, harap perlihatkan dulu dirimu yang sebenarnya. Dunia masa kini penuh dengan berbagai ilmu aneh. Di dalam keanehan itu banyak sekali manusia yang memanfaatkan ilmu untuk menipu. Kau yang duduk bersila di hadapanku, bisa saja bukan Naga Kuning sebenarnya. Jadi harap kau perlihat­kan dulu padaku ujudmu yang sebenarnya…."
Naga Kuning membungkuk dalam, lalu perlahan lahan bangkit berdiri. Dua telapak tangan disatukan, diletakkan di atas dada, di arah jantung seperti lazimnya orang melakukan sholat. Suasana sunyi menyelimuti kawasan telaga. Perlahan-lahan sosok anak bernama Naga Kuning itu terlihat samar-samar seolah terbungkus kabut. Begitu kabut lenyap yang tegak di tepi telaga itu kini bukan lagi sosok seorang anak lelaki berpakaian hitam, melainkan sosok seorang tua berambut, berjanggut dan berkumis kelabu. Sepasang alis matanya putih panjang menjulai ke bawah. Pakaiannya sehelai kain hitam, melilit di bagian pinggang ke bawah,menyelempang di atas perut dan dada.
"Kiai Paus Samudera Biru," berucap Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Aku sudah melihat ujudmu sebenarnya. Kini tidak ada kebimbangan dalam diriku siapa kau adanya."
Orang tua berselempang kain hitam membungkuk. Begitu tubuhnya diluruskan, ujudnya berubah ke bentuk seorang bocah bernama Naga Kuning. Anak ini kemudian kembali duduk bersila di tanah di tepi telaga.
"Naga Kuning, sekarang sampaikan apa yang hendak kau tanyakan. Ingat, waktuku tidak lama." Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
"Maafkan saya Kiai. Saya tidak ingin mengganggu Kiai berlama-lama. Karenanya bolehkah saya menerangkan sesuatu lalu mengajukan satu dua pertanyaan?"
"Aku menyirap rasa, lama sekali kau tidak berada di negeri ini. Begitu muncul kau ingin bertemu denganku…."
"Kiai betul. Saya dengan dua orang kawan secara tidak sengaja terpesat masuk ke dalam negeri aneh Latanahsilam yang seribu dua ratus tahun berada sebelum tanah Jawa ini. Hanya Kuasa Gusti Allah yang memungkinkan saya dan kawan-kawan kembali ke tanah Jawa ini."
"Siapa dua orang kawanmu itu?" tanya makhluk di atas telaga yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Yang pertama Pendekar 212 Wiro Sableng…."
"Murid Sinto Weni alias Sinto Gendeng, murid si perempuan sinting itu! Aku tidak bergembira mendengar pendekar itu menjadi sahabatmu. Naga Kuning. Gurunya adalah muridku. Sejak Sinto Gendeng menguasai Kapak Maut Naga Geni 212 dan menyembunyikan Pedang Naga Suci 212, berbagai kejadian yang membuat aku marah telah dilakukannya. Untung Pedang Naga Suci sekarang sudah berada di tangan pewaris yang berjodoh yakni Puti Andini." (Baca "Wasiat Malaikat", Episode ke 9 dari rangkaian 11 Episode "Wasiat Iblis" dst.)

Naga Kuning diam saja. Tak berani menanggapi ucapan sang Kiai. Lalu terdengar Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya. "Siapa temanmu yang kedua?"
"Kakek sakti berjuluk Setan Ngompol…."
Kiai Gede Tapak Pamungkas mendesah panjang mendengar jawaban Naga Kuning bocah yang selama bertahun-tahun pernah menjadi orang kepercayaannya itu. "Setan Ngompol! Kau mungkin lupa, tapi aku tidak akan pernah melupakan. Bukankah manusia satu itu yang masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur, membawa dan menebar air larangan hingga telaga dan isinya laksana dijungkir balikkan? Dan orang seperti itulah yang menjadi temanmu! Sungguh aku menyesal muncul di hadapanmu saat ini. Naga Kuning!"
"Saya mohon beribu maaf. Kiai. Saya…."
"Sudah! Sekarang ajukan saja pertanyaanmu."
Naga Kuning membungkuk dalam-dalam lalu berkata. "Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang perempuan tua yang saya tidak kenal siapa dia adanya." Lalu Naga Kuning menuturkan riwayatnya jatuh ke pangkuan seorang nenek yang duduk bersemedi dalam keadaan telanjang di tepi Kali Lanang. "Walau saya tidak pernah melihat nenek ini sebelumnya namun dari suaranya saya seperti mengenali siapa dirinya. Ketika ingatan itu muncul dan saya sadar, saya kembali ke tempat pertemuan. Tapi nenek itu tak ada lagi di tepi kali. Saya punya dugaan, dan saya berharap tidak keliru. Perempuan tua itu adalah puteri angkat Kiai sendiri, yang bernama Ning Intan Lestari…."
"Ning Intan Lestari…." Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut nama itu dengan suara perlahan. Di wajahnya nampak kesedihan mendalam.
"Kau menyebut Ning Intan Lestari sebagai anakku. Naga Kuning, agaknya sampai saat ini rasa tanggung jawab atas kejadian di masa silam masih belum muncul dalam dirimu."
"Kiai…." Naga Kuning hendak mengatakan sesuatu. Kalau perlu mengembangkan kembali riwayat di masa silam dimana dia lebih banyak kejatuhan dosa kesalahan.
"Sudah, apa yang hendak kau tanyakan?"
"Pertama apakah Ning Intan Lestari masih hidup. Saya memang berharap dia masih hidup. Pertanyaan kedua, mungkin Kiai mengetahui bahwa perempuan tua yang suaranya sama dengan suara Ning Intan Lestari itu memang Ning Intan Lestari, adanya?"
"Bagaimana ciri-ciri perempuan tua yang kau temui di tapi Kali Lanang itu?" bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Mukanya seram, lebih seram dari setan. Rambut kelabu. Berpakaian jubah hitam…."
"Menurutmu, kira-kira berapa usianya?"
"Antara delapan sampai sembilan puluh tahun. Namun saya melihat keanehan pada tubuhnya…." Naga Kuning tidak meneruskan ucapannya.
"Keanehan apa?"
"Saya tidak berani menceritakan. Pertanyaan saya, mungkinkah nenek itu puteri angkat Kiai yang bernama Ning Intan Lestari?’
Kiai Gede Tapa Pamungkas tidak menjawab, melainkan memandang lekat-lekat ke wajah bocah yang duduk bersila di tepi telaga itu. Dia menunggu, mengharapkan jawaban.
"Naga Kuning," sang Kiai akhirnya berkata. "Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Mungkin nenek itu memang puteri angkatku, mungkin juga tidak. Untuk memastikan, hanya kau sendirilah yang harus melakukan penyelidik­an. Jika kemudian kau mengetahui bahwa nenek itu bukan Ning Intan Lestari, urusan cukup cuma sampai disitu. Tapi jika dia memang Ning Intan Lestari, aku ingin tahu apa tindakanmu selanjutnya?"
Naga Kuning tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Dia terdiam beberapa lamanya. Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Agaknya dia tidak mau memaksa dan merasa tidak perlu menunggu jawaban si bocah.
"Naga Kuning, usiamu sebenarnya sekitar seratus dua puluh tahun. Kematangan hati dan pikiranmu apakah masih perlu dipertanyakan? Apapun persoalan yang terjadi antara kau dengan puteri angkatku adalah menjadi tanggung jawab kalian berdua. Berarti kalian berdua pula yang harus menyelesaikan…."
Naga Kuning terdiam.
"Kau mengerti maksud kata-kataku, Naga Kuning?"
Si bocah mengangguk, lalu membungkuk dalam­dalam seraya berkata. "Saya mengerti Kiai. Maafkan kalau saya sudah membuat Kiai merasa terganggu. Saya merasa bersyukur Kiai tidak marah terhadap saya…."
"Kemarahan tidak pernah menyelesaikan masalah. Apapun masalahnya. Ingat hal itu baik-baik Kiai Paus Samudera Biru…."
Wajah Naga Kuning tampak kemerah-merahan mendengar Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut gelarnya. Dia merasa seperti tidak layak menyandang gelar itu.
"Naga Kuning, pernahkah kau mendengar seorang nenek berilmu tinggi dipanggil dengan sebutan Gondoruwo Patah Hati"
Naga Kuning menggeleng.
"Carilah nenek itu. Kelak kau akan menemukan sesuatu," kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
"Saya akan mencari nenek itu. Terima kasih atas petunjuk Kiai. Kalau saya boleh bertanya, apakah Gundoruwo Patah Hati itu…."
Tiba-tiba dari langit menyambar kilat. Sekejapan kawasan telaga menjadi terang benderang. Air telaga bergejolak muncrat. Lalu segala sesuatunya sirap sunyi kembali. Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas tak kelihatan lagi, lenyap dari permukaan telaga.
Lama Naga Kuning termenung di tepi telaga itu. "Kalau nenek itu memang Ning Intan Lestari adanya, apa yang telah terjadi dengan dirinya. Mengapa wajahnya menjadi buruk, seram mengerikan seperti itu. Lalu kemana aku harus mencari dia? Setelah dua tahun terpesat ke Negeri Latanahsilam, tanah Jawa seolah asing bagiku. Siapa pula sebenarnya nenek bernama Gondoruwo Patah Hati itu? Mengapa Kiai menyuruhku mencarinya. " Naga Kuning menghela nafas dalam lalu bangkit berdiri. Gerakannya berubah menjadi lompatan terkejut ketika dekat sekali di belakangnya tiba-tiba terdengar suara tertawa keras, panjang menyeramkan.
Naga Kuning cepat membalik. Anak ini keluarkan seruan tertahan ketika melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Orang ini berjubah hitam, berambut putih, tegak membelakanginya. Tangan kanan buntung. Di daun telinga sebelah kanan belakang ada tahi lalat
merah sebesar ujung jari kelingking. "Orang ini, aku rasa-rasa pernah melihat sebelumnya," kata Naga Kuning dalam hati.
* *

6

TIBA-TIBA si jubah hitam yang tegak membelakang itu keluarkan suara tertawa melengking panjang. Lalu dibalikkannya tubuhnya hingga kini berhadap-hadapan dengan Naga Kuning. Orang ini ternyata adalah nenek berjubah hijau tua. Rambut putih panjang riap-riapan. Muka hancur. Mata kiri hanya tinggal rongga besar menyeramkan sedang mata kanan terbujur keluar seperti mau melompat tanggai. Luar biasanya di keningnya menempel potongan tangan kanan miliknya sendiri.
"Luhjahilio…." Naga Kuning tergagau. Lututnya bergetar. (Mengenai nenek seram Luhjahilio yang merupakan salah satu dari Sepasang Hantu Bercinta, silahkan baca riwayat Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam "Rahasia Patung Menangis", "Rahasia Mawar Beracun" dsb.) "Bagaimana bangkai butut Latanahsilam ini bisa berada di tempat ini? Apakah dia Ikut terlempar ke tanah Jawa dari negeri seribu dua ratus tahun silam?"

Si nenek berwajah lebih hebat dari setan ini mendongak ke langit lalu tertawa panjang. "Gelapnya udara malam, lama tidak bertemu, ternyata kau masih mengenali diriku. Hik… hik… hik! Anak keparat! Mana dua temanmu si Wiro dan si Setan Ngompol? Selama di Negeri Latanahsilam kalian bertiga telah membuat aku dan kekasihku banyak susah! Dulu aku tidak sempat membunuhmu! Mungkin kau memang harus menemui ajal di negeri sendiri! Hik… hik… hik!"
Mula-mula Naga Kuning memang agak kecut juga melihat kemunculan tidak terduga Luhjahilio. Ternyata keseraman wajah nenek satu ini lebih hebat dari nenek yang ditemuinya di tepi Kali Lanang. Tapi setelah menenangkan diri dan keberaniannya muncul, anak ini segera menyahuti ucapan orang.
"Nenek muka setan! Kau muncul cuma sendirian. Mana kekasihmu si Lajahilio?! Kau ini datang di tanah Jawa ada yang mengundang, atau sekedar pesiar atau diam-diam mengikuti si Setan Ngompol? Jangan-jangan kau sudah jatuh cinta pada kakek bau pesing sahabatku itu!"
Luhjahilio kembali tertawa. Bola mata kanannya yang tergantung di pipi bergerak-gerak turun naik.
"Wahai! Kau memang pandai bergurau! Aku mau lihat apakah kau masih bisa bergurau kalau sudah jadi mayat!"
"Wahai!" Naga Kuning meniru ucapan si nenek. "Ini bukan di Latanahsilam lagi, bicara memakai wahai segala! Jauh-jauh datang ke tanah Jawa kau cuma merusak pemandangan. Lebih baik kembali pulang ke kampungmu sebelum kawanan anjing pasar menggerogoti dirimu!"
Wajah Luhjahilio tampak mengkerut. "Tidak heran!" katanya. "Di negeri orang kau kurang ajar. Di negeri sendiri pasti lebih kurang ajar! Kau tidak mau memberi tahu dimana dua sahabatmu itu berada?"
"Kalau sadar kau berada di negeri orang pandai-pandai membawa diri! Baru muncul sudah membawa niat jahat hendak membunuh!" Luhjahilio tertawa lagi. Tiba-tiba melompat. Tangan kirinya menyambar
"Breettt!"
Naga Kuning berseru kaget. Serangan yang dilancarkan Luhjahilio bukan saja tidak terduga tapi juga sangat cepat. Untung dia masih punya kesempatan bergerak surut dua langkah. Kalau tidak, bukan Cuma pakaian hitamnya yang robek disambar jari-jari tangan berkuku panjang si nenek, daging dan tulang dadanya bisa ikutan jebol. Naga Kuning merasa heran. Semasa di Negeri Latanahsilam Luhjahilio bersama pasangannya, Luhjahilio, memang memiliki ilmu tinggi. Namun bila dibanding dengan para tokoh lainnya, sepasang kakek nenek ini belum termasuk di jajaran atas. Kini mengapa gerakannya begitu cepat luar biasa hingga dia tidak mampu mengelak menyelamatkan diri? "Jangan­jangan makhluk ini penjelmaan Gondoruwo Patah Hati yang dikatakan Kiai Gede Tapa Pamungkas…" pikir Naga Kuning.
"Nenek jelek! Jauh-jauh datang ke tanah Jawa cuma untuk mengantar nyawa!" teriak Naga Kuning. Lalu anak Ini membalas serangan si nenek. Didahului jeritan keras tubuh Naga Kuning melesat, melepas pukulan Naga Murka Merobek Langit.
Luhjahilio hadapi serangan orang dengan tertawa memandang enteng. Dia sengaja menyongsong datang­nya serangan dengan balas memukulkan tangan kiri. Agaknya si nenek ingin menjajal sampai dimana kehebat­an kekuatan lawan.
Kaget Luhjahilio bukan alang kepalang ketika bukkk! Lengan kirinya beradu keras dengan lengan kanan Naga Kuning. Si nenek terlempar sampai empat langkah. Muka setannya mengkerut kesakitan. Sebaliknya Naga Kuning sendiri terpental tiga langkah, termonyong-monyong meniup lengan kanannya yang bengkak membiru.
Mengira kekuatan tenaga dalamnya masih jauh lebih tinggi dari Naga Kuning, sambil membentak garang Luhjahilio kembali menyerbu.
Menghadapi serangan kedua ini. Naga Kuning melesat ke atas hampir setinggi satu tombak. Lalu sambil melayang turun dia hantamkan kaki kanannya dalam jurus Naga Murka Menjebol Bumi. Yang di arah adalah kepala lawan.
Si nenek tertawa cekikikan. Kepalanya dijauhkan ke belakang. Ketika kaki Naga Kuning lewat di depan keningnya, tidak disangka-sangka tangan kanannya yang menempel di kening bisa bergerak mencekal pergelangan kaki Naga Kuning.
Sebenarnya cekalan ini tidak ada bahayanya. Yang berbahaya adalah serangan susulan tangan kiri yang sengaja dihantamkan ke selangkangan Naga Kuning.
"Nenek cabul! Kau bukannya berkelahi! Tapi sengaja hendak memegang barangku!" teriak Naga Kuning. Dia kerahkan tenaga dalam ke kaki kanan yang kena dicekal. Luhjahilio berseru kaget ketika kaki yang dipegangnya terasa menjadi sangat berat. Demikian beratnya hingga kepala dan tubuhnya tertekan hebat. Mau tak mau dia terpaksa lepaskan cekalan pada kaki kanan si bocah. Begitu kakinya lepas, dengan kaki yang sama Naga Kuning hantam pipi si nenek.
Luhjahilio meraung kesakitan. Tubuhnya terlempar jauh. Kepalanya seperti pecah. Pemandangan gelap. Untuk beberapa saat lamanya dia terkapar di tanah sambil pegangi pipi kanan yang bengkak membiru dengan tangan kiri. Tampangnya semakin seram tidak karuan.
Naga Kuning tegak berkacak pingang di hadapan Luhjahilio. "Nenek jelek! Apa kau masih betah tinggal di tanah Jawa ini? Atau mungkin bisa kubantu melemparkanmu ke langit agar kembali ke negeri asalmu?!"
"Makhluk jahanam! Aku belum kalah!" teriak Luhjahilio. Tubuhnya yang terkapar di tanah tiba-tiba bergulingan, mengeluarkan suara bergemuruh seolah­olah gelondongan batang kayu raksasa menggelinding.
"Bagus, kau datang sendiri mencari tendangan!" seru Naga Kuning. Anak ini menunggu sampai sosok Luhjahilio hanya tinggal dua langkah dari hadapannya baru dia mengangkat kaki kanan menendang.
Luhjahilio keluarkan pekikan keras. Bersamaan dengan itu tubuhnya yang masih menggelinding di tanah berputar. Dua kaki membabat laksana gunting. Naga Kuning menendang. Dua kaki lawan membuka. Lalu menutup kembali dengan cepat.
Naga Kuning berteriak kaget ketika dapatkan kaki kanannya tahu-tahu sudah berada dalam jepitan dua kaki Luhjahilio. Dia berusaha menyentakkan kaki, tapi tak berhasil lolos. Jepitan dua kaki si nenek terasa panas dan seperti hendak menggergaji putus tulang keringnya.
Tidak menunggu lebih lama Naga Kuning hantamkan dua tangan sambil keluarkan aji Ikan Paus Putih untuk melicinkan kakinya yang dijepit lawan.
Luhjahilio berteriak keras ketika melihat dua larik sinar hitam, dekat sekali menyambar ke arahnya. Nenek dari Negeri Latanahsilam ini kebutkan lengan jubah sebelah kiri. Satu gelombang angin luar biasa deras menangkis dua pukulan sakti Naga Murka Menjebol Bumi yang dilepaskan Naga Kuning.
"Desss!"
"Desss!"
Naga Kuning keluarkan keluhan pendek. Meski dia berhasil meloloskan diri, namun tubuhnya terpental ke atas setinggi dua tombak, dadanya mendenyut sakit, aliran darahnya kacau balau. Tubuhnya kemudian terbanting ke tanah. Untuk sesaat lamanya anak ini terkapar tak bergerak. Tubuh luluh lantak, pemandangan gelap berkunang!
Sebaliknya Luhjahilio terhenyak amblas di tanah sedalam satu jengkal. Mulut kembang kempis susah bernafas. Dua tulang iganya patah. Darah meleleh dari mulutnya. Namun sungguh hebat nenek muka setan ini. Sesaat setelah menggapai-gapai dia berhasil keluar dari dalam lobang. Mata kanan guntal-gantil melotot. Begitu melihat Naga Kuning terkapar tak bergerak, niat hendak membunuh kembali berkobar dan memberi kekuatan. Dua kali bergerak dia sudah melompat ke hadapan Naga Kuning. Kaki kanannya menendang, yang di arah tepat ubun-ubun batok kepala si bocah. Sekali ini Naga Kuning benar-benar akan menemui kematian dengan kepala pecah. Kecuali kalau Naga Hantu Langit Ke Tujuh, ilmu kesaktian yang mendekam di dadanya memunculkan diri menolongnya. Tetapi hal ini mungkin tidak akan terjadi karena saat itu Naga Kuning sendiri berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan. Bahkan dia tidak tahu bahaya maut yang datang mengancamnya.
Sesaat lagi kepala Naga Kuning akan remuk dihantam tendangan Luhjahilio, tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat.
"Luhjahilio! Jangan kau bunuh anak itu!"
"Setan keparat! Siapa berani campur urusanku!" teriak Luhjahilio marah. Tanpa perduli dia teruskan tendangannya.
Saat itulah menerpa satu gelombang angin luar biasa kerasnya, membuat Luhjahilio terhuyung-huyung beberapa langkah lalu jatuh terduduk di tanah. Si nenek meraung keras, bukan karena kesakitan tapi karena marah besar.
"Makhluk kurang ajar! Siapa kau?!" bentak si nenek lalu terhuyung-huyung bangkit berdiri. Saat itu Naga Kuning mulai siuman dan berusaha tegak. Masih kurang Jelas, dia melihat satu sosok tinggi besar samar-samar berdiri di hadapannya.
*
* *

7

ORANG tinggi besar yang berdiri di hadapan Naga Kuning mengenakan jubah putih menjela tanah. Di atas kepalanya, bertengger sebuah songkok atau tudung tinggi dilapisi kain hitam. Bukan saja kepalanya yang tertutup kain hitam tapi sebagian wajahnya juga terlindung hingga sulit untuk dikenali.
"Makhluk jahanam bersongkok hitam! Siapa kau?!" teriak Luhjahilio marah. Kali ini sambil membentak dia melompat ke hadapan si tinggi besar. Tangan kanannya bergerak cepat luar biasa menyambar tudung di kepala orang. Naga Kuning sudah memastikan, tudung dan kain hitam yang menyembunyikan wajah orang berjubah putih pasti akan kena dijambret. Kepala dan wajah orang itu segera tersingkap.
Namun tenang saja, si tinggi besar undurkan kaki kanan satu langkah. Sambil merunduk dan jauhkan kepalanya ke belakang dia kebutkan lengan kanan jubah putihnya.
Luhjahilio bukan saja gagal menyingkap wajah orang, tapi dia sendiri terpental satu tombak dan hampir terjengkang di tanah kalau tidak lekas mengimbangi diri. Saat itulah si nenek kembali merasakan sakit dua tulang iganya yang patah akibat hantaman Naga Kuning. Luhjahilio tegak terbungkuk sambil pegangi dada, memandang geram dengan matanya yang cuma satu ke arah makhluk berjubah putih bertudung hitam.
"Luhjahilio…" si jubah putih menegur, "Siapa aku tidak penting. Lekas menyingkir dari sini. Serahkan bocah ini padaku!"
Rahang Luhjahilio menggembung. Si nenek mana mau pergi dari situ. Namun dia sadar kalau orang berjubah memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari dirinya. Maka sekedar mengalah nenek ini melesat ke satu cabang pohon, mendekam di sana memperhatikan apa yang bakal terjadi. Lebih dari itu dia ingin tahu ada urusan apa antara si jubah putih dengan Naga Kuning. Lalu juga ingin tahu siapa adanya si tinggi besar bersongkok hitam ini.
Seperti si nenek Luhjahilio, Naga Kuning juga tidak mengetahui siapa adanya orang berjubah di hadapannya saat itu. Tapi dia dapat mencium bahaya besar. Siapapun adanya adanya orang ini, agaknya dia membekal dendam kesumat jauh lebih besar terhadap dirinya dibanding dengan dendam kesumat yang bersarang dalam diri Luhjahilio.
"Anak setan!" si tinggi besar membentak. Suaranya membahana, menggetarkan tanah, membuat Naga Kuning tersentak.
"Bapak setan!" Naga Kuning tiba-tiba membalas, menyahuti bentakan orang.
Si tinggi besar menggeram. Tangan kanannya digerakkan. Naga Kuning berseru kaget. Di atas pohon Luhjahilio juga terkesiap. Tangan kanan yang bergerak itu mendadak berubah besar dan panjang. Belum sempat bergerak tahu-tahu pinggang Naga Kuning sudah dicekal lalu dicengkeram dengan keras. Si bocah keluarkan suara seperti mau muntah. Lidahnya terjulur. Isi perutnya seolah mau terbongkar keluar. "Anak setan! Kau dengar baik-baik! Isi perutmu akan kujebol keluar, lalu kusumpalkan ke mulutmu biar kau makan sendiri! Kecuali kau mau menyelesaikan satu perkara!"
"Per… perkara apa…?" tanya Naga Kuning dengan muka pucat, lidah terjulur dan perut seperti mau pecah. "A… aku tidak kenal siapa kau. Bagaimana mungkin ada perkara di antara kita?!" Diam-diam Naga Kuning segera keluarkan "Ilmu Ikan Paus Putih" untuk melicinkan tubuh agar bisa meloloskan diri.
Si tinggi besar bersongkok hitam kembali keluarkan suara menggeram. "Kau boleh keluarkan semua ilmu kesaktian yang kau miliki! Ilmu pelicin tubuhmu tidak mempan terhadap cekalanku! Kau boleh membuktikan!"
Si tinggi besar cengkeramkan lima jari tangan kanannya yang besar-besar. Naga Kuning mengeluh kesakitan. Cairan bening bercampur darah keluar dari mulutnya. Dia telah mengeluarkan ilmu kesaktian pelicin tubuh, tapi aneh kali ini dia tidak mampu melepaskan diri! Tidak pikir lebih panjang anak ini hantamkan tangan kanannya, ke atas. Yang diarahnya adalah dagu si tinggi besar. Yang dilancarkannya adalah pukulan "Naga Murka Merobek Langit."
Si tinggi besar tertawa mengekeh. Sekali tangan kirinya bergerak, lengan kanan Naga Kuning sudah berada dalam cekalannya. Anak ini mengeluh kesakitan. Cekalan lawan seperti cengkeraman besi yang hendak menghancurkan tulang-tulangnya. Tidak ada jalan lain, kalau orang memang hendak membunuhnya, harapannya hanya tinggal pada kemunculan "Naga Hantu Langit Ke Tujuh," makhluk jejadian berbentuk Naga Kuning yang menjadi pelindungnya dan berada dalam tubuhnya. Tetapi sang makhluk tidak keluar karena saat itu orang berjubah putih memang belum berniat untuk membunuhnya!
"Bapak setan! Katakan, perkara apa yang ada di antara kita.’!" Naga Kuning ajukan pertanyaan lalu berteriak. Dia sudah tidak sanggup menahan rasa sakit cengkeraman lima jari raksasa yang menghunjam di perutnya.
Wajah yang terlindung dibalik kain hitam menggembung merah. Sebelum menjawab pertanyaan Naga Kuning, kembali dia cengkeramkan lima jari tangan kanannya ke pinggang si anak hingga Naga Kuning menggeliat melintir dan menjerit kesakitan.
"Anak setan! Kau pasang telingamu baik-baik! Aku akan katakan perkara apa yang ada di antara kita!" Si tinggi besar berjubah putih berucap. "Beberapa waktu lalu…."
Belum sempat orang ini menyelesaikan ucapannya tiba-tiba terdengar kuda meringkik. Di lain kejap satu bayangan hitam melesat di udara lalu bukkk! Satu hantaman keras melanda punggung orang berjubah putih. Bayangan hitam ini sesaat mengapung di udara lalu berkelebat, berbalik ke tempat dari arah mana tadi dia melesat. Kembali terdengar suara kuda meringkik.
Sosok si tinggi besar terlempar ke depan. Cekalannya pada pinggang Naga Kuning terlepas. Begitu lolos si bocah segera mencari tempat aman sambil memasang mata. Dia melengak kaget tapi juga gembira ketika melihat siapa yang barusan menolongnya. Orang itu duduk tak bergerak di atas punggung seekor kuda putih. Dia bukan lain nenek muka setan berambut kelabu berjubah hitam yang beberapa waktu lalu pernah ditemuinya di tepi Kali Lanang dan ingin dicarinya. Naga Kuning coba tersenyum dan lambaikan tangan pada si nenek. Tapi si nenek muka setan ini seolah tidak perduli. Pandangannya di arahkan pada orang tinggi besar yang kepala dan mukanya tertutup tudung berkain hitam.
"Makhluk yang sembunyikan muka di balik tudung! Perkara apa yang membuat kau sampai menyiksa anak itu?!" Si nenek muka setan bertanya.
Si tinggi besar menggeram. "Ada hubungan apa kau dengan anak setan itu hingga turun tangan menyelamatkannya?!"
Nenek berjubah hitam mendengus. "Kau menyebut bocah itu anak setan. Kau boleh memanggil aku dengan sebutan ibu setan! Hik… hik… hik!"
Orang bertudung hitam tertawa bergelak. "Rupanya kau ibu dari anak setan itu! Baik, jika perkara memang tidak bisa diselesaikan, tidak ada salahnya aku menghabisi anak dan ibu setan sekaligus! Kau ibunya setan biar aku singkirkan lebih dulu!"
Si nenek balas gelak orang dengan tawa panjang. "Puluhan tahun malang melintang di tanah Jawa. Baru hari ini bertemu tikus comberan tak dikenal berujud makhluk berjubah putih bertudung hitam sepertimu! Harap kau suka memperkenalkan diri siapa kau adanya sebelum nyawamu kukirim ke akhirat!"
"Nenek muka setan! Kalau kau memang tahu seluk beluk akhirat, silahkan nanti tanya sendiri pada penjaga akhirat siapa aku adanya! Sekarang biar tubuhmu kuremukkan lebih dulu!"
Habis berkata begitu si jubah putih gerakkan tangan kanannya. Seperti tadi tangan itu mendadak sontak berubah besar dan panjang, melesat ke arah pinggang si nenek yang masih berada di atas punggung kuda putih."Ilmu tipuan iblis tidak laku di hadapanku!" seru si nenek muka setan. Lalu tangan kirinya dikibaskan ke samping.
"Bukkk!"
"Breett"
Dua tangan bentrokan keras di udara disertai suara robeknya pakaian.
Orang berjubah putih terpental lima langkah. Tubuh terbungkuk, muka di balik tudung hitam mengerenyit menahan sakit dan mata membelalak ketika melihat bagaimana ujung lengan jubahnya sebelah kanan robek besar akibat sambaran kuku-kuku jari nenek muka setan. Dua robekan kecil jubah putihnya masih menyangkut di ujung-ujung kuku tangan kanan nenek muka setan.
Dari balik robekan ujung lengan yang menyingkapkan tangannya dia melihat bagaimana daging dan kulit lengannya menggembung bengkak berwarna hitam kebiruan.
Di atas pohon Luhjahilio yang menyaksikan kejadian itu sempat terkesiap. Dia tidak menyangka kalau nenek muka setan di bawah sana memiliki tenaga dalam begitu tinggi. Kalau si tudung hitam saja bisa dibuatnya men­tal berarti dirinya tidak ada arti apa-apa jika sampai berhadapan dengan nenek itu. Niatnya untuk mengetahui perkara yang menyangkut si tudung hitam dan anak bernama Naga Kuning serta keinginannya mengetahui siapa adanya orang tinggi besar bertudung hitam itu terpaksa ditunda dulu. Yang penting lebih baik dia cari selamat. Karenanya sebelum terjadi apa­apa Luhjahilio segera saja melompat dari cabang pohon tempatnya mendekam ke cabang pohon di sampingnya lalu lenyap dalam kegelapan malam. Si nenek berjubah hitam walau sempat terjajar dua langkah namun masih bisa keluarkan tawa mengekeh.
"Makhluk bersongkok hitam! Sayang sekali, aku tidak berkesempatan menemui malaikat di akhirat untuk menanyakan siapa dirimu adanya. Biar kau saja yang mewakili aku, berangkat duluan ke akhirat!"
Habis berkata begitu nenek muka setan yang sampai saat itu masih tetap duduk di atas punggung kuda putihnya jentikkan lima jari tangannya. Dari ujung-ujung kukunya yang panjang runcing memancar lima larik sinar hitam menggidikkan.
"Setan tua! Jangan sonbong! Siapa takutkan dirimu!" teriak orang bersongkok hitam. Dia cepat gerakkan tangan kanan. Dari telapak tangan kanannya melesat keluar satu cahaya, bergulung besar lalu memecah menjadi tujuh. Dua menyambar ke arah kepala si nenek, lima menghantam ke jurusan badan.
"Hebat!" teriak nenek muka setan. Seolah memuji tapi sebenarnya tidak karena saat itu juga dia melompat ke atas, berdiri di punggung kuda dan putar pergelangan tangan kanannya. Lima sinar hitam yang menyembur dari kuku-kuku jarinya berputar demikian rupa, langsung menyambar tujuh larik sinar putih serangan lawan.
"Bummm! Bummm! Bummmm!"
Tiga letusan keras menggelegar, menggoncang udara malam. Orang tinggi besar keluarkan seruan keras, cepat-cepat melompat mundur sambil dua tangannya dipergunakan untuk memadamkan api yang berkobar membakar jubah putihnya di tiga bagian!
Nenek muka setan walau mendelik tapi tidak tampakkan wajah kaget apalagi takut ketika melihat bagaimana ujung lengan jubah sebelah kiri telah berubah menjadi bubuk hitam alias hangus!
"Nenek celaka ini! Aku tidak bisa menandinginya! Lebih baik mengurut dada bersabar diri…" membatin orang tinggi besar. Dia lalu berpaling pada Naga Kuning. "Anak Setan! Hari ini kau selamat karena ada ibu setan menolongmu! Tapi kau tak akan kubiarkan lama! Aku akan muncul mencarimu kembali!"
Habis berkata begitu orang ini serta merta berkelebat hendak tinggalkan tempat itu. Namun nenek berkuda putih cepat menghadang. Naga Kuning tak tinggal diam. Anak ini segera pula melompat ke hadapan si tinggi besar. Melihat gelagat tidak baik orang ini cepat mengambil sebuah benda yang disembunyikan di balik songkok hitamnya lalu dibantingkan ke tanah. Terdengar satu letusan keras menusuk telinga disusul menggebubunya asap hitam pekat menutupi pemandangan.
"Setan alas! Kau mau lari kemana!" terdengar bentakan nenek muka setan. Dia menghantam dengan tangan kanan. Tapi terlambat.
Ketika asap hitam surut dan lenyap dan udara terang kembali. Naga Kuning terkejut. Bukan saja si tinggi besar berjubah putih tak ada lagi di tempat itu, tetapi si nenek muka setan juga ikut lenyap bersama kuda putihnya!
"Nenek muka setan itu, dia barusan menolongku.
Lantas mengapa melenyapkan diri begitu saja? Dia seperti tidak mengharapkan ucapan terima kasih. Tapi apa itu sebab sebenarnya dia menghilang? Mungkin dia tidak ingin menemuiku." Naga Kuning merenung cukup lama. Namun tetap saja dia tidak bisa memecahkan teka­teki keanehan nenek yang telah menolongnya. "Aku harus mencarinya. Untuk sementara aku terpaksa menunda mencari Wiro dan Setan Ngompol."
*
* *

8

BUKIT kecil itu terletak tak jauh dari Karangmojo. Di bawah siraman sinar rembulan empat belas hari puncak bukit yang ditumbuhi pohon teh tampak indah. Di sebuah gubuk berbentuk dangau, dua orang asyik bercakap­cakap.
"Wiro, kalau tidak mendengar kau sendiri yang bercerita, rasanya sulit dipercaya bagaimana kau dan teman­temanmu terpesat ke negeri seribu dua ratus tahun silam."
"Memang begitu adanya. Nyata tapi sukar dipercaya. Itu sebabnya, ketika Setan Ngompol ditangkap, dia tidak mungkin menceritakan bahwa dirinya terlempar dari langit, jatuh masuk ke dalam sumur sumber air mandi raja. Siapa yang mau percaya? Masih untung kuasa Tuhan bisa mengembalikan kami ke tanah Jawa ini. Kalau tidak…." Wiro garuk-garuk kepala. "Aku sudah bertemu dengan Setan Ngompol. Bagaimana kejadiannya dengan anak konyol bernama Naga Kuning belum kuketahui. Aku perlu menyelidik, apakah dia ikut terlempar kembali ke tanah Jawa. Kalau sampai tertinggal di Latanah silam, kasihan anak itu."
"Apakah kau tidak berniat mencari beberapa orang yang telah lama berpisah denganmu?" Bunga bertanya.
"Siapa?"
"Ada empat orang. Cantik-cantik…."
Wiro tertawa karena sudah dapat menduga kemana maksud pertanyaan Bunga. Apalagi sebelumnya gadis alam roh itu telah menceritakan bagaimana Anggini, Ratu Duyung, Puti Andini, dan Bidadari Angin Timur berusaha mencarinya, sampai-sampai menemukan dua makam setan. Semua gara-gara ada berita bahwa dirinya telah meninggal dunia setahun silam. Kemungkinan di kubur di salah satu dari tiga tempat yakni Pekuburan Banyubiru, dekat Candi Kopeng dan terakhir Puncak Gunung Gede. Empat gadis cantik telah menyelidik di dua tempat pertama, yang mereka temukan ternyata adalah makam­makam setan. Jenazah atau tulang belulang Wiro tidak ditemukan. Tentu saja karena sampai saat itu dia masih hidup, masih bernafas.
"Apa yang kau pikirkan Wiro?" bertanya Bunga.

"Empat gadis yang kau sebutkan tadi…" jawab Pendekar 212 Wiro Sableng. "Mereka sahabat-sahabat baikku." kata Wiro polos. "Aku banyak berhutang budi bahkan nyawa terhadap mereka. Seperti diriku, mereka adalah manusia-manusia makhluk Tuhan yang tidak lepas dari berbagai perasaan. Mendengar ceritamu, aku bertanya­tanya siapa adanya orang yang mempermainkan mereka dengan membuat makam-makam setan itu…."
Bunga tersenyum. "Kau pandai mengalihkan pembicaraan."
Wiro pegang lengan gadis itu. "Terus terang, aku khawatir akan keselamatan mereka. Dua kali mereka dijebak dengan makam setan. Pada makam ke tiga jangan-jangan muncul bahaya tidak terduga…."
"Kau mungkin bisa menduga siapa biang racun yang melakukan semua itu?" tanya Bunga.
"Aku pasti akan menyelidik. Saat ini memang ada beberapa dugaan. Kau pernah mendengar seorang pemuda bernama Bagus Srubud?"
Bunga menggeleng. "Siapa dia?"
"Pemuda keji yang memperdaya Kinasih, istri mendiang juru ukir Keraton. Mungkin nama itu palsu belaka…." Wiro menggaruk kepala lalu melanjutkan. "Kau tahu, di dunia ini mungkin aku satu-satunya manusia yang tidak disukai oleh banyak orang. Aku banyak musuh."
"Kau bicara seolah menyesali diri, Wiro. Padahal kenyataan yang kau hadapi adalah tantangan rimba persilatan, yang harus dihadapi oleh setiap pendekar pembela kebenaran."
Wiro memandang ke langit, menatap ke arah rembulan bundar bercahaya terang sejuk. "Kalau saja orang tuaku tidak menemui ajal di tangan Ranaweleng, aku tidak akan pernah diambil murid oleh Eyang Sinto Gendeng, aku tidak akan menjadi pendekar geblek macam ini…."
"Jangan bicara seperti itu Wiro. Segala sesuatu dalam kehidupan kita, sejak kita dilahirkan, malah sejak kita masih berbentuk janin, keadaan dan takdir diri kita telah ditentukan oleh Gusti Allah. Mengumpat diri sendiri sama saja dengan mengumpat semua kehendak Allah…."
"Aku paling takut pada Tuhan," kata Wiro. "Tapi mengapa aku kebagian segala macam hal yang sulit-sulit, penuh tantangan, darah dan nyawa…."
Bunga usap kepala Pendekar 212 lalu berkata. "Mungkin Tuhan baru memberi sedikit cobaan dan ujian padamu? Mengapa kau berucap seperti orang berputus asa? Tantangan hidup seharusnya membuat seorang pendekar menjadi lebih tabah, lebih kokoh lahir dan batin. Lebih kokoh dari batu karang ditepi pantai yang setiap hari didera angin dan ombak! Bahkan ketika topan datang melanda dia tetap berdiri tegar!"
Mendengar kata-kata Bunga itu Wiro merangkul si gadis erat-erat dan mencium kening serta pipinya berulang kali. "Terima kasih Bunga, terima kasih…."
Bunga balas memeluk. Wajahnya dibenamkan ke dada sang pendekar, menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca-kaca. Wiro dapat merasakan kehangatan air mata si gadis. "Wiro, aku tidak malu mengatakan, sebenarnya aku ingin selalu dekat dengan dirimu. Namun keadaan diriku tidak memungkinkan hal itu."
"Aku gembira mendengar ucapanmu itu Bunga. Walau kita tidak bisa saling berdekatan, tapi kini aku tahu, diriku ternyata selalu ada dalam hati sanubarimu.
Sekali lagi aku berterima kasih…." Wiro mencium rambut harum sang dara lalu mengangkat wajahnya, mengecup ke dua matanya yang basah.
Pada saat itulah tiba-tiba ada suara orang berkata.
"Rembulan purnama di malam indah. Dua insan saling bermesra. Cuma sayang yang perempuan hanyalah setan kesasar dari alam roh!"
"Bagaimana kalau pemudanya kita rubah jadi roh pula agar keduanya bisa bermesraan lebih asyik?!" Satu suara lain menimpali ucapan tadi.
Tempat itu kemudian dipenuhi oleh tawa bergelak.
Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget. Lepaskan pelukannya di tubuh Bunga lalu bangkit berdiri, tegak di lantai dangau. Bunga tak. Kalah kejutnya. Namun gadis ini tampak tenang saja. Sepasang matanya yang tadi basah lembut kini memandang tak berkesip, dingin beku seperti es!
Di sekitar dangau, berdiri empat orang bertampang seram mengerikan. Orang pertama mengenakan pakaian hitam. Di kepalanya bertengger sebuah blangkon yang juga berwarna hitam. Mata kirinya ditutup dengan selapis kulit hitam bertali yang diikat ke bagian belakang kepala. Sepintas lalu, orang ini kelihatan seperti bajak laut. Dia bukan lain adalah Iblis Batu Hitam, yang dianggap sebagai pimpinan tokoh silat istana. Namun sejak senjata andalannya berupa batu sakti dihancurkan dan mata kirinya dibuat buta dengan tancapan bunga kenanga oleh Bunga, Iblis Batu Hitam kehilangan pamor. Menyadari keadaan dirinya yang kehilangan kesaktian, ditambah dendam kesumat pada Bunga dan Wiro, malam setelah dirinya dipecundangi Iblis Batu Hitam menemui gurunya untuk meminta bantuan membalaskan dendam kesumat sakit hati.
Orang kedua, tegak disamping Iblis Batu Hitam adalah Momok Dempet Tunggul Gono. Kepalanya dibalut menutupi telinga kiri yang cidera berat akibat tancapan bunga kenaga yang dilemparkan Bunga.
"Heran, dua manusia jahat ini, kalau tidak ada yang menolong bagaimana bisa sembuh secepat ini," bisik Wiro pada Bunga.
Si gadis tidak menyahuti, melainkan memandang pada dua orang yang tegak di belakang Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam. Dia segera memaklumi. Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam boleh saja dianggap enteng, tapi dua lainnya di sebelah belakang tidak bisa dibuat main. Yang pertama dari dua orang ini, kakek berbadan tinggi kerempeng, berkulit hitam laksana kayu gosong dimakan api. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat terbuat dari tulang putih, dipenuhi lobang-lobang kecil. Dua pipinya sangat cekung hingga sepasang matanya tampak sangat angker seperti melesak ke dalam. Rambut, kumis serta janggutnya putih, punggungnya agak bungkuk. Kakek ini jarang muncul dalam rimba persilatan, karenanya walau ilmunya tinggi dirinya tidak begitu dikenal. Dia bernama Ki Sepuh Item. berjuluk Si Tongkat Akhirat. Dan dia bukan lain guru Iblis Batu Hitam!
Orang kedua, inilah sosok yang paling angker diantara empat orang yang muncul di tempat itu. Dia hanya mengenakan sehelai celana hitam komprang. Tubuhnya yang telanjang penuh ditumbuhi bulu, mulai dari tangan sampai ke dada, terus ke pangkal leher. Kulit muka berwarna kebiru-biruan. Di sela bibirnya kiri kanan menyembul taring hingga tampangnya tak beda dengan raksasa. Sepasang matanya merah dihias empat buah alis merah, satu di bawah, satu di atas pada masing-masing mata. Pada pinggang kirinya tergantung sebuah guci terbuat dari perunggu berkilat. Dan yang hebatnya, kepalanya, mulai dari kening ke atas berbentuk empat persegi, kelabu kehitaman dan sangat keras. Di atas kepala ini terletak sebuah pendupa batu yang mengepulkan asap dan menebar bau kemenyan. Ketika melihat guci perunggu itu, wajah Bunga si gadis alam roh yang memang sudah pucat pasi kini tambah memutih. Dadanya berdebar. Dia mengenali siapa adanya makhluk satu ini.
"Iblis Kepala Batu Alis Empat…" membatin Bunga. "Aku tidak takutkan dirinya. Tapi jika aku gagal berarti aku tidak dapat menyelamatkan orang yang aku cintai. Jika itu sampai terjadi, paling tidak yang tiga orang itu harus dapat aku habisi!"
"Wiro," bisik Bunga. "Kau serahkan yang tiga orang itu padaku. Orang keempat, yang menjunjung pendupaan memiliki ilmu gaib yang sulit dijajagi kehebatannya. Jika aku tidak bisa menghadapinya, aku akan memberi isyarat dengan mengangkat tangan kanan. Begitu kau melihat isyarat itu, larilah. Selamatkan dirimu. Jangan pikirkan hal-hal lain, termasuk diriku…."
"Tidak Bunga, apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkanmu seorang diri di tempat ini!" jawab Wiro.
"Jangan Wiro, kau harus dengar apa yang aku katakan. Terlalu berbahaya…. Ingat, aku makhluk alam roh. Aku tidak mengenal kematian di alamku. Tapi bagimu lain…."
"Memangnya bangsat penjunjung dupa itu siapa?" murid Sinto Gendeng bertanya.
"Dia punya beberapa julukan. Di antaranya Iblis Kepala Batu Alis Empat, Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Dia punya kesaktian aneh, bisa menangkap makhluk halus dan jin. Termasuk makhluk alam gaib seperti diriku…."
"Kalau begitu biar kugempur dia sekarang juga!" kata Wiro.
"Jangan. Dia dengan mudah bisa melumpuhkanmu," jawab Bunga. Lalu gadis alam roh ini melompat dari atas dangau, turun ke tanah. Di langit, sekelompok awan hitam bergerak menutupi rembulan hingga keadaan di puncak bukit menjadi gelap temaram. Wiro tak tinggal diam. Dia segera pula berkelebat turun. Tangan kiri bersiaga dengan Pukulan Sinar Matahari, tangan kanan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 sedang tumit kanan setiap saat bisa dihunjamkan ke tanah mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang didapatnya dari Hantu Santet Laknat alias Luhrembulan di Negeri Latanahsilam. (Baca riwayat petualangan Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam terdiri dari 18 Episode mulai dari Bola Bola Iblis sampai Istana Kebahagiaan.)

9

SEPASANG muda-mudi! Mengapa tidak terus bermesraan. Padahal kami ingin menyaksikan kelanjut-an permainan asmara kalian! Ha… ha… ha!" Yang berseru dan kemudian tertawa bergelak adalah Iblis Batu Hitam.
Di sebelahnya Momok Dempet Tunggul Gono menyambungi. "Tampang kalian berdua kulihat sangat pucat! Jangan kawatir! Kami datang tidak untuk membunuh kalian! Nyawa kalian tidak ada artinya. Yang kami inginkan ialah bagian-bagian tubuh kalian, pengganti bagian tubuh kami yang telah kalian rusak!"
Bunga mendengus dan maju satu langkah. "Manusia­manusia tidak tahu diri! Pelajaran yang aku berikan rupanya tidak bisa membuat kalian sadar! Minta ditambah?!"
"Iblis Batu Hitam!" Wiro berkata. "Kurasa kau tidak pantas lagi menyandang gelar itu. "Bagaimana kalau kau ganti saja dengan gelar lain. Misal Iblis Mata Picak?!" Wiro tertawa gelak-gelak lalu menoleh pada Tunggul Gono. "Makhluk kaki kuda! Ujudmu kulihat tambah tidak karuan! Tangan kiri buntung, disambung dengan besi.Kuping kananmu pasti sudah budek! Kuda benaran masih ada gunanya dari pada makhluk tak karuan macammu ini! Ha… ha… ha!"
Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono segera hendak menerjang Wiro karena tidak dapat menahan geram. Tapi Ki Sepuh Item alias Si Tongkat Akhirat cepat memberi isyarat lalu maju satu langkah ke hadapan Wiro. Dengan matanya yang cekung melesak ke dalam dia perhatikan murid Sinto Gendeng mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Bangkai gosong!" ucap Wiro seenaknya. "Kau rupanya jarang melihat manusia hingga memandangiku seperti aneh. Atau matamu sudah terbalik, mengira aku ini perempuan? Ha… ha… ha!"
Ki Sepuh Item mendongak ke langit lalu ikutan tertawa. "Orang yang mau mampus biasanya membaca segala macam doa, minta ampun atas segala dosa, bertobat sebelum ajal. Tapi kau aneh. Malah meracau tidak karuan!"
"Kakek gosong! Aku tidak tahu siapa kau adanya. Rupanya kau setan puntung neraka yang kesasar muncul hendak menjemput diriku. Apakah kau datang membawa kuda sembrani, atau aku harus membonceng di punggungmu? Kulihat tubuhmu sudah bungkuk keropos, apa masih sanggup mendukung aku? Bagaimana kalau temanku gadis cantik ini ikut-ikutan minta didukung?!"
Rahang Ki Sepuh Item menggembung. Dari ubun­ubun kepalanya mengepul asap hitam pertanda orang ini marah besar mendengar ejekan Wiro tadi.
"Pemuda kurang ajar! Berani kau menghina guruku Si Tongkat Akhirat!" teriak Iblis Batu Hitam marah sekali.
"Walah! Kakek gosong berjuluk Si Tongkat Akhirat ini ternyata gurumu! Astaga, harap maafkan diriku. Aku melihat dia memang membawa tongkat. Berarti kini aku tidak meragukan kemampuannya bisa mendukungku! Kakek gosong, apakah kau sudah siap menggendongku ke neraka?"
"Iblis Batu Hitam! Tunggul Gono! Aku tidak mau menghabiskan waktu mengotori tangan! Bunuh pemuda rambut gondrong ini!" teriak Ki Sepuh Item.
Mendengar perintah itu Iblis Batu Hitam dan Momok Dempet Tunggul Gono segera melompat menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng.
Seperti diketahui Iblis Batu Hitam menjadi ketua para tokoh silat istana karena dia memiliki batu hitam sakti yang menjadi senjata andalannya. Setelah batu itu dihancurkan Bunga, oleh gurunya dia dibekali sebilah golok anelt. Golok ini memiliki gagang di sebelah tengah, bagian yang tajam dan runcing ada dua yaitu di kiri kanan gagang. Melihat kepada bentuk dan cara memainkannya golok ini tidak beda dengan sebuah toya pendek. Sekali golok diputar maka bertaburlah sinar hitam berbentuk lingkaran, menebar hawa dingin menggidikkan.
Momok Dempet Tunggul Gono melompat sambil tusukkan tangan kirinya yang disambung dengan selongsong besi dan memiliki ujung lancip berkeluk. Yang diarah adalah leher lawan. Kehebatan selongsong besi ini, jika lawan mampu mengelak maka dia akan menarik tangannya. Ujung besi yang berbentuk lancip berkeluk dengan sendirinya akan mengait lawan dari belakang.
Murid Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri, siap menyambut serangan dua lawan dengan pukulan Sinar Matahari. Sementara tangan kanan bergerak untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Wiro jadi tersurut mundur dua langkah ketika tiba-tiba dua sinar merah berkiblat, menyambar dari kiri ke kanan, menyapu ke arah dua orang yang mengirimkan serangan.
Iblis Batu Hitam berseru keras, melompat mundur dengan muka pucat sambil kibas-kibaskan tangan kanan. Golok bermata dua terpaksa dilepaskannya, dibanting demikian rupa dan menancap di tanah. Dua mata golok saat itu telah berubah menjadi besi panas membara akibat hantaman sinar merah. Telapak tangannya sendiri kelihatan merah melepuh!
Dibanding dengan Tunggul Gono, Iblis Batu Hitam masih beruntung karena dia bisa membuang goloknya yang berubah menjadi besi menyala. Tunggul Gono menjerit kalang kabut. Selongsong besi yang menjadi sambungan tangan kirinya juga telah berubah menjadi besi membara. Karena besi itu terkait kencang ke lengan sebelah atas maka dia tidak bisa melepaskannya. Ki Sepuh Item cepat memukul besi panas itu dengan tongkat tulangnya sehingga lepas dari sambungannya.
"Aku telah memberi pelajaran! Apa kalian masih keras kepala? Lekas menyingkir dari tempat ini! Bawa dua orang itu!" Yang berucap adalah Bunga.
"Gadis makhluk alam roh!" yang berkata dengan suara lantang adalah Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. "Mentang-mentang kau bisa mempecundangi kedua orang itu, jangan bersikap sombong pongah. Ilmu kesaktian Roh Mendera Bumi yang tadi kau perlihatkan tidak ada arti apa-apa bagiku! Kau sudah terlalu lama gentayangan di alam yang bukan alammu! Tiba saatnya aku memasungmu. Sampai kiamat kau tak bakal bisa kemana-mana lagi!"
Habis berkata begitu Iblis Kepala Batu Alis Empat kedipkan matanya tiga kali berturut-turut. Pendupaan menyala di atas kepalanya yang berbentuk batu segi empat mengobarkan api dan mengepulkan asap sebanyak tiga kali.
"Apa yang hendak dilakukan bangsat kepala batu ini," pikir Wiro.
Bunga memperhatikan setiap gerak dan perbuatan Iblis Kepala Batu Alis Empat dengan dada berdebar. Ketika dilihatnya orang itu mengambil guci yang tergantung di pinggangnya, gadis dari alam roh ini segera maklum apa yang hendak dilakukan orang. Dengan cepat dia hentakkan kaki kanan ke tanah. Di tanah muncul cahaya merah, menjalar naik memasuki tubuhnya, terus ke kepala. Begitu cahaya merah sampai di mata, dari sepasang mata si gadis berkiblat dua larik sinar merah, menggunting ke arah Iblis Kepala Batu Alis Empat. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Roh Mendera Bumi, yang tadi membuat musnah serangan Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono.
Iblis Kepala Batu dengan tenang angkat tangan kirinya sementara tangan kanan memegang guci perunggu, perlahan-lahan diletakkan di atas pendupaan yang menyala.
Tangan kiri dan sekujur tubuh Iblis Kepala Batu bergetar keras ketika dua larik sinar merah sepanas bara api melabrak tubuhnya. Tapi ternyata dua sinar maut itu tidak sampai menyentuh dirinya, tertahan satu jengkal. Untuk menahan serangan gadis alam roh itu. Iblis Kepala Batu mengerahkan seluruh tenaga luar dalam, menguras seluruh hawa sakti yang dimilikinya. Tubuhnya bergetar hebat, mandi keringat. Sepasang matanya yang merah seperti dikobari api. Taring yang mencuat dari sudut-sudut bibirnya kelihatan bertambah panjang. Tiba-tiba Iblis Kepala Batu dorongkan tangan kirinya sambil meniup ke depan.
"Bummm!"
Satu ledakan dahsyat menggema. Puncak bukit bergoyang. Pohon-pohon teh rambas. Dangau di belakang sana roboh. Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Iblis Kepala Batu tak kuasa menahan getaran yang mendera sekujur tubuhnya, perlahan-lahan jatuhkan diri, berlutut di tanah, mulut komat-kamit.
Bunga kelihatan masih mampu berdiri walau sekujur tubuhnya juga dilanda getaran dahsyat. Wajahnya yang cantik tambah pucat. Mendadak gadis alam roh ini merasa tubuhnya seperti leleh. Memandang ke depan, dari kiri kanan sosok Iblis Kepala Batu muncul dua makhluk raksasa melayang, mengenakan cawat, berambut panjang yang dijalin sampai ke punggung. Bunga bisa melihat dua makhluk ini, tetapi Wiro tidak.
"Dua jin dari alam roh," desis Bunga. "Celaka! Aku tidak mungkin melawannya." Bunga berpaling ke arah Wiro. Ketika Wiro memandang padanya gadis ini cepat angkat tangan kanan memberi tanda. "Wiro, lekas tinggalkan tempat ini!" Bunga berteriak.
Wiro tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia kumpulkan tenaga lalu melompat bangkit. Kapak Maut Naga Geni 212 sudah tergenggam di tangan.
"Wiro, lekas lari! Tinggalkan tempat ini! Cepat!" Kembali Bunga berteriak.
Tiba-tiba Wiro mendengar suara menggemuruh. Suara teriakan si gadis lenyap ditelan gemuruh itu. Lalu Wiro melihat Bunga meronta-ronta kian kemari seperti ada yang memegangi dan menyeretnya. Sesaat kemudian sosok gadis ini naik ke udara dan anehnya, tubuhnya berubah menjadi asap panjang, mengecil, melayang meliuk-liuk masuk ke dalam mulut guci tembaga kuning di atas kepala Iblis Kepala Batu.
"Astaga! Apa yang terjadi dengan gadis itu?" ujar murid Sinto Gendeng dengan mata terbelalak.
"Bunga!" Wiro berusaha mengejar sambil kiblatkan kapak saktinya. Cahaya putih menyilaukan dan panas disertai gaung seperti ribuan tawon mengamuk memenuhi udara.
Iblis Kepala Batu angkat tangan kirinya. Kembali terdengar suara,menggemuruh. Wiro merasakan ada dua sambaran angin di kiri kanannya seolah ada dua makhluk besar tak kelihatan mendatangi. Lalu dua tangan tak kelihatan mendorongnya hingga dia terbanting jatuh punggung di tanah. Kapak sakti terlepas jatuh dari tangannya. Ketika dia berusaha bangkit sambil berusaha menghantam dengan dua pukulan tangan kosong, satu kaki yang tidak kelihatan menginjak dadanya, membuat Wiro tidak berdaya. Tak mampu menggerakkan tangan bahkan nafasnyapun seperti amblas!
Iblis Kepala Batu Alis Empat tertawa mengekeh.
"Budak gondrong!" katanya pada Wiro. "Kalau aku ingin membunuhmu gampang saja. Semudah meniup debu di tangan. Tapi biar nyawamu kuserahkan pada sahabatku Ki Sepuh Item. Ha… ha… ha! Selamat tinggal Pendekar 212. Apa yang kucari sudah kudapat. Ha… ha… ha!"
Iblis Kepala Batu buka mulutnya. Dari dalam mulut dia muntahkan satu benda berwarna hitam. Benda ini kemudian disumpalkannya ke mulut guci tembaga. Dia memandang sekali lagi ke arah Wiro lalu didahului suara tawa panjang sosoknya berkelebat lenyap dari pemandangan.’
Saat itu juga injakan berat di dada Pendekar 212 lenyap. Tanpa perdulikan kapak yang masih tergeletak di tanah dengan cepat Wiro melompat, mengejar ke arah berkelebatnya Iblis Kepala Batu Alis Empat.
"Iblis jahanam!" Wiro berteriak. Dia lepaskan Pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung dengan tangan kiri sementara tangan kanan berbarengan didorong melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang yakni pukulan ke dua dari enam pukulan sakti yang dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Pohon­pohon teh di puncak bukit hancur berantakan, mental bertaburan di udara. Sayangnya Iblis Kepala Batu Alis Empat telah lenyap, hanya suara tawanya yang masih tertinggal mengumandang.
"Celaka! Bunga… gadis itu lenyap masuk ke dalam guci tembaga! Bagaimana aku harus menolongnya!" Wiro kepalkan tangan, cemas sekali dan juga geram marah luar biasa. Kemarahannya kini ditujukan pada Iblis Batu Hitam, Tunggul Gono dan Ki Sepuh Item alias Si Tongkat Akhirat. Lebih-lebih ketika dilihatnya Ki Sepuh Hitam si kakek kulit gosong tengah membungkuk hendak mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tercampak di tanah. Didahului bentakan keras murid Sinto Gendeng melompat ke arah Ki Sepuh Item.
Kaki kanannya bergerak menderu laksana topan.
Sementara itu, tidak diketahui oleh ke empat orang yang berada di bukit itu, di atas punggung seekor kuda coklat yang hidungnya berwarna putih, di balik sebuah pohon besar, satu-satunya pohon di puncak bukit teh itu, seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam menyaksikan semua yang terjadi tadi dengan mata hampir tak pernah berkedip. Pemuda ini bukan lain adalah Damar Wulung yang terakhir kali beberapa waktu lalu muncul di tempat kediaman Tumenggung Cokro Pambudi, membawa dua buah peti berisi harta perhiasan dan uang. emas milik Kerajaan serta sebilah keris yang semula diduga adalah Keris Kiai Naga Kopek pusaka Keraton ternyata palsu. (Baca Episode sebelumnya berjudul "Roh Dalam Keraton")

Dari balik pohon besar, Damar Wulung telah menyaksikan apa yang terjadi di puncak bukit teh itu. Sambil menyeringai dan usap-usap dagunya dia berkata dalam hati.
"Iblis Kepala Batu Alis Empat memang hebat. Tapi kehebatannya mengandalkan ilmu gaib dan kekuatan jin. Pendekar 212 Wiro Sableng, pendekar satu ini memang berbahaya. Tapi juga gagah. Tidak salah kalau aku menduga Dewi memendam rasa gairah terhadapnya. Ketika dia tidak merasa mendapat tanggapan, rasa suka berubah menjadi dendam. Hemm… ini kali pertama aku melihatnya. Jadi ini manusianya yang menurut Dewi harus aku tangkap hidup-hidup." Damar Wulung tersenyum. "Pendekar 212 Wiro Sableng bisa menunggu. Dewi boleh bersabar. Aku harus mengatur siasat, biar bisa berlama-lama menikmati kesenangan dengannya. Semakin lama aku bisa bersiasat, semakin banyak kejadian besar di rimba persilatan tanah Jawa ini. Aku bisa menjadi penonton yang baik, sambil mencari keuntungan." Seringai menyungging lagi di mulut Damar Wulung. Dengan tenang pemuda itu duduk di atas kudanya, memperhatikan dari balik pohon apa yang selanjutnya akan terjadi antara Wiro dengan tiga orang yang masih ada di puncak bukit teh setelah Iblis Kepala Batu Alis Empat meninggalkan tempat itu.

10

DI DALAM sebuah pondok kayu, tak berapa jauh dari Kali Lanang, malam itu nenek berwajah setan tidak dapat memicingkan mata. Banyak persoalan membuncah benak dan hatinya. Namun yang paling membuatnya gelisah dan tak habis-habis merenung adalah pertemuan dengan anak berambut jabrik bernama Naga Kuning itu. Dua kali sudah dia bertemu. Malah pada kali terakhir dia sempat menyelamatkan nyawa anak itu. Dia sendiri merasa heran, begitu ingin dia melihat si bocah tetapi mengapa setelah menolong dia melarikan diri?
"Hatiku masih diselimuti kekecewaan di masa lalu. Lagi pula aku masih belum yakin. Kalau-kalau dia bukan orangnya, tak jadi apa. Tapi kalau memang dia, bagaimana aku…." Si nenek geleng-geleng kepala, menarik nafas dalam beberapa kali. "Ah, mengapa aku terlalu berkhawatir. Dengan keadaanku seperti ini, dia tak mungkin mengenali diriku. Tetapi…." Si nenek terdiam sejenak. Dadanya terasa berdebar. "Waktu aku samadi di tepi Kali Lanang malam itu, dia sempat melihat keadaan tubuhku. Jika dia berusaha menyelidik keanehan itu, aku…."
Si nenek duduk di ujung ranjang, perhatikan sepuluh jarinya yang diletakkan di atas pangkuan. Lalu kembali gelengkan kepala. "Anak itu…. Kalau saja dia tidak jatuh di pangkuanku ketika aku hendak merampungkan ilmu kesaktian i,tu, pasti saat ini aku sudah menguasai Ilmu Kuku Api. Nasibku sial…."Si nenek menghela nafas panjang. "Saat ini agaknya hari hampir pagi. Aku masih belum bisa memejamkam mata. Ada apa dengan diriku."
Tiba-tiba si nenek menahan nafas. Dua matanya memandang ke atas atap pondok yang terbuat dari daun rumbia kering. Telinganya dipasang.
"Tak mungkin aku salah dengar. Itu bukan suara angin. Ada orang di atas atap. Satu orang….Tidak, mungkin dua." Ingat kejadian malam kemarin yaitu perkelahiannya dengan orang bertudung hitam, mengira orang datang hendak membalas dendam, si nenek berkelebat ke pintu. Sekali tendang saja pintu pondok jebol. Di iain kejap nenek bermuka setan itu sudah berada di halaman depan pondok. Memandang ke atas dia .melihat seseorang berdiri di atas atap. Dari bentuk tubuh serta pakaian, apalagi orang itu tidak bertudung, si nenek segera maklum, orang di atas atap bukansi tinggi besar berjubah putih yang disangkanya.
"Siapapun manusia itu dia pasti bermaksud tidak baik! Malam-malam buta mendekam di atas atap rumah orang!" membatin si nenek. Lalu dia segera hendak melompat ke atas wuwungan sambil siapkan pukulan tangan kosong di tangan kanan, tapi mendadak sudut matanya melihat bayangan sesuatu di sebelah kiri. Cepat dia berpaling. Kejut amat sangat membuatnya tersurut ketika matanya membentur satu sosok putih samar-samar di dalam kabut. Si nenek serta merta jatuhkan diri berlutut, membungkuk dalam. Suaranya tercekat dalam ketika berucap.
"Ayah…."
Makhluk dalam kabut bergerak mendekat. Lalu si nenek merasakan usapan halus di kepalanya. Perlahan-lahan dia angkat wajahnya sedikit. Dekat sekali di depannya berdiri seorang tua berselempang kain putih.
"Kalau saja mata hati dan mata perasaanku tidak mendapat redho Gusti Allah, niscaya aku tidak mengetahui bahwa yang ada di depanku saat ini adalah puteriku sendiri. Ning Intan Lestari, berdirilah. Benar rupanya apa yang aku dengar. Mengapa kau jadi seperti ini?"
Perlahan-lahan si nenek muka setan yang dipanggil dengan nama Ning Intan Lestari bangkit berdiri. Kepalanya masih ditundukkan, tak berani memandang pada orang tua di depannya. Si orang tua pegang dagu si nenek lalu mengangkatnya hingga kini dia dapat melihat dengan jelas wajah seram itu. Desah panjang keluar dari mulut kakek berselempang kain putih.
"Anakku, aku tahu penderitaanmu setinggi langit sedalam lautan. Tetapi sungguh aku tidak menyangka kalau tidak melihat sendiri. Apa yang telah menyebabkan wajahmu cacat begini rupa?"
"Ayah…."
Kembali orang tua berselempang kain putih mendesah dalam. "Aku bisa mengerti, simpan ucapanmu. Tak usah kau terangkan kalau itu hanya akan menambah beban derita hatimu."
"Ayah, maafkan kalau selama ini anakmu tidak pernah menyambangimu di puncak Gunung Gede atau di Telaga Gajahmungkur. Pertemuan ini membuat anakmu ini merasa sangat berdosa. Karena ayah yang datang mencari, bukannya saya yang mencari ayah."
"Tak ada rasa kecewa dalam hatiku. Aku datang menemuimu dengan satu harapan. Agar kau bisa melupakan masa lalu. Lalu dalam sisa usiamu yang entah tinggal berapa tahun lagi kau dapat menghabiskan dan menikmatinya sebagaimana layaknya manusia yang pernah hidup di dunia ini. Sebagaimana layaknya seorang perempuan, seorang gadis…."
"Ayah, saya gembira bisa bertemu dengan Ayah. Tapi saya tidak tahu apa arti maksud kedatangan Ayah" Si nenek tundukkan kepalanya, menyembunyikan sepasang matanya yang mulai berkaca-kaca.
Kakek berselempang kain putih pegang bahu si nenek lalu berkata. "Anakku, kau tidak bisa hidup seperti ini terus menerus. Segala derita masa lalu harus disingkirkan. Segala kehancuran hati dan jiwa masa silam harus dilenyapkan. Kau lihat orang di atas atap pondok itu?"
Si nenek melirik ke wuwungan pondok.
"Saya lihat Ayah. Siapakah dia?" tanya si nenek.
"Kau akan segera mengetahui, anakku." Si kakek lambaikan tangan kirinya. Melihat isyarat ini, orang di atap pondok tampak bergerak. Sekali berkelebat dia sudah berdiri di hadapan ke dua orang itu. Ternyata dia adalah seorang kakek berwajah jernih, berusia sekitar delapan puluhan. Mengenakan pakaian ringkas warna biru gelap, di usianya yang sudah sangat lanjut kakek ini tampak gagah. Di masa mudanya pastilah dia merupakan seorang pemuda sangat cakap.
"Rana Suwarte, aku sudah mengantarkanmu sampai ke hadapan orang yang selama ini kau cari. Tugasku selesai. Semoga nasibmu beruntung dan kau bisa menemui kebahagiaan."
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya sangat berterima kasih atas kebaikan Kiai…." Kakek bernama Rana Suwarte berkata seraya membungkuk.
Orang tua berselempang kain putih yang ternyata adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas, makhluk setengah manusia setengah roh anggukkan kepala lalu berpaling pada si nenek.
"Anakku Ning Intan Lestari, aku berharap malam ini segala derita sengsaramu selama ini akan lenyap dan biarlah menjadi satu kenangan belaka. Kau harus menerima dan bersedia menghadapi kenyataan yang datang padamu karena datangnya dari Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih. Selamat tinggal anakku. Bungkus benakmu dengan pikiran jernih. Urapi hatimu dengan kecintaan yang tulus. Aku harapkan kalian berdua akan menemui kesepakatan demi kebahagiaan yang selama ini kalian dambakan…."
"Kiai…." Si nenek berucap.
Angin malam berhembus kencang. Kabut mengapung naik. Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap dari pemandangan. Si nenek tersurut. Dia melirik sekilas pada kakek di sampingnya, lalu tanpa berkata apa-apa dia segera hendak melangkah pergi.
"Intan, tunggu!" kakek berwajah jernih bergerak mengejar..
Si nenek bimbang sesaat. Kakinya sudah melangkah, namun diurungkan. Dia berhenti, dia menunggu. Tidak berpaling pada si kakek, melainkan memandang ke jurusan lain. Kakek bernama Rana Suwarte mendatangi, tegak dua langkah di hadapan si nenek. Dia pandangi wajah buruk si nenek beberapa ketika. Rangkungannya turun naik bertanda dia tengah menahan gejolak hati yang sulit diutarakan. Akhirnya mulutnya berucap juga.
"Intan, kalau tidak ditolong dan diantar sendiri oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas, mungkin aku tidak akan pernah bisa mencarimu. Aku tidak tahu kalau selama ini orang yang memakai julukan Gondoruwo Patah Hati itu sebenarnya adalah engkau."
Ning Intan Lestari melirik, tapi tetap tak bergerak, juga tidak menjawab ucapan orang.
"Intan, ketahuilah berpuluh tahun aku mencarimu. Aku merasa bersyukur pada Gusti Allah, saat ini akhirnya dengan pertolongan Kiai Gede Tapa Pamungkas akhirnya aku bisa menemuimu…."
"Puluhan tahun adalah waktu yang sangat panjang. Mengapa kau bersusah payah mencariku…?" tiba-tiba si nenek ajukan pertanyaan.
"Apakah aku masih perlu menerangkan, padahal hatimu tentu sudah menduga mengapa aku melakukan semua itu."
"Maafkan. Tidak, aku tidak bisa menduga. Puluhan tahun terlalu lama untuk mengingat-ingat. Aku sudah hampir pikun," jawab nenek muka setan.
Rana Suwarte terdiam sesaat, hanya matanya yang tak berhenti menatapi wajah si nenek. Dalam hati kakek ini berkata. "Dia berkata dusta. Mustahil tidak tahu mengapa aku mencari dan ingin menemuinya. Tapi aku dapat memaklumi. Derita masa silam yang begitu parah terlalu sulit untuk disembuhkan."
"Intan, terus terang, aku tidak malu-malu mengatakan. Apalagi tadi Kiai sempat menerangkan. Aku mencarimu karena perasaan hatiku terhadapmu sejak puluhan tahun lalu tidak pernah berubah. Aku masih tetap mengharapkan…."
"Mengharapkan apa?" si nenek memotong.
"Sejak kita berpisah, kita telah dilanda gelombang kepedihan hati dan jiwa. Dalam semua derita sengsara itu sampai saat ini kau masih tetap seorang gadis, aku sendiri sampai saat ini masih tetap perjaka. Kita sama-sama memiliki ketabahan hati. Mungkin itu satu pertanda bahwa dalam derita dan ketabahan hati itu kita bisa bersatu.Mewujudkan cita-cita di masa muda…."
"Cita-cita apa?" tanya si nenek.
Pertanyaan itu membuat Rana Suwarte bersemu merah wajahnya. Tapi dengan sabar, malah dengan mengulum senyum dia berucap.
"Intan, tujuh puluh tahun lebih kau hidup dalam beban kepatahan hati. Apakah itu tidak cukup? Apakah kau tidak mendambakan satu kehidupan yang lebih baik. Kau harus mengubur gelar yang diberikan orang-orang padamu. Gelar Gondoruwo Patah Hati itu tidak pantas bagi dirimu. Kau tahu Intan, aku mencintaimu sepenuh hati…."
"Setelah melihat wajahku yang seperti setan ini, apakah kau masih mencintaiku?"
" Kasih sayangku padamu, cinta kasihku padamu, tidak pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang. Apapun yang terjadi dengan dirimu…."
Dalam hatinya si nenek berkata. "Manusia gila! Bagaimana mungkin dia bisa berkata begitu? Jangan­jangan
"Kau berdusta! Mukaku cacat buruk begini rupa, lebih seram dari setan. Dan kau mengatakan masih mencintai diriku. Siapa orangnya yang bisa percaya? Kau tidak buta, kau bisa melihat dunia ini dengan segala isinya. Puluh perempuan cantik bertebaran di mana-mana. Jika kau memang menginginkan kehidupan berumah tangga, perempuan-perempuan itu lebih pantas bagimu daripada nenek cacat bermuka setan seperti aku ini."
"Intan, jika seandainya aku menginginkan perempuan lain, sudah sejak lama aku berumah tangga. Jika aku tidak mengasihimu sepenuh hati, tidak mungkin aku meminta pertolongan Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk mencarimu. Kini setelah bertemu, aku mohon jangan kau tolak diri tua buruk ini. Hidup kita berdua mungkin tidak berapa lama lagi. Mengapa sisa hidup itu harus kita jalani dengan kesia-siaan?"
"Aku tidak merasa sisa hidupku sebagai satu kesia­siaan…."
"Mulutmu bisa berkata begitu. Tetapi hatimu mungkin berbeda. Intan, aku ingin membawamu ke Telaga di puncak Gunung Gede, meminta restu Kiai Tapa Gede Pamungkas…."
"Gunung Gede…." Si nenek mengucapkan kata-kata itu sambil tersenyum. Ini untuk pertama kali si kakek melihat Intan Lestari tersenyum. Dia merasa ada sekelumit harapan muncul, namun jadi terkesima ketika mendengar si nenek melanjutkan ucapannya. "Di puncak Gunung Gede, bukankah di situ juga merupakan tempat kediaman Sinto Weni yang lebih dikenal dengan nama Sinto Gendeng, orang yang pernah menjalin cinta kasih denganmu di masa muda?"
Kakek bermuka jernih berpakaian ringkas biru menarik nafas dalam. "Intan, kau mungkin salah menyirap kabar. Antara aku dan Sinto Gendeng tidak ada jalinan hubungan apa-apa. Dimasa muda dia memang pernah tinggal di tempat kediaman guruku, untuk menjadi teman latihan ilmu silat. Kiai Gede Tapa Pamungkas juga mengetahui hal ini. Kemudian Sinto Gendeng pergi bersama pemuda bernama Sukat Tandika yang dikenal dengan julukan Tua Gila Dari Andalas. Entah bagaimana kelanjutannya, yang jelas Sukat Tandikapun ditinggalkannya. Kabarnya dia melarikan sebuah pedang pusaka…." (Baca serial Wiro Sableng Episode "Tua Gila Dari Andalas" sampai "Gerhana Di Gajahmungkur" terdiri dari 11 Episode)

"Kau merasa dipermainkan bahkan mungkin ditipu oleh Sinto Gendeng, lalu berpaling padaku?"
Rana Suwarte gelengkan kepala. "Sinto Gendeng tidak mempermainkan diriku, juga tidak menipu. Antara kami memang tidak ada hubungan apa-apa selain persahabatan karena dikenalkan oleh guru masing-masing…."
Wajah setan si nenek kembali tersenyum. "Aku perlu menjajagi apa ucapanmu itu betul adanya. Tapi apa ada gunanya? Maafkan aku, aku ada keperluan lain. Aku terpaksa meninggalkanmu."
"Intan, aku mohon," si kakek cepat bergerak dan berdiri di hadapan orang yang dikasihinya itu.
"Dengar," si nenek berkata seraya mundur satu langkah. "Aku hargai perasaanmu dan aku berterima kasih. Tapi aku tidak menerima semua ucapan dan hasratmu. Antara kita biar tetap menjadi dua sahabat. Tidak lebih dari itu…."
"Intan, Kiai Gede Tapa Pamungkas akan sangat kecewa…."
"Kiai adalah orang ketiga. Yang mengambil keputusan adalah kita berdua."
"Aku sudah mengambil keputusan. Aku ingin kau menjadi istriku. Dengan sepenuh hati."
"Terima kasih kalau memang itu keputusanmu. Tapi aku belum bisa memberikan keputusan yang sama…."
"Sekarang belum, mungkin nanti. Aku akan menunggu. Sampai kapanpun," kata Rana Suwarte pula.
"Mungkin keputusan itu tidak akan pernah aku ambil. Maaf kalau aku mengatakan perasaanku apa adanya.""Intan, aku harap kau sudi merenung, memikirkan…."
"Aku sudah terlalu lama merenung dan berpikir hingga menjadi tua bangka tak berguna seperti ini."
"Kau, kau bukan tua bangka tak berguna Intan. Kau segala akhir dari harapanku…" si kakek berusaha mendekat sambil ulurkan tangan hendak memegang lengan si nenek, tapi perempuan tua itu cepat bersurut.
"Maafkan aku. Harapanmu terlalu indah, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi sekarang…."
Rana Suwarte tampak benar-benar kecewa. Dua matanya dipejamkan dan mulutnya berucap. "Intan, ini satu kenyataan dari harapanku yang tidak terduga. Teganya hatimu. Seandainya kau menusukkan pisau panjang menghunjam jantungku tembus sampai ke punggung mungkin tidak seperti ini sakitnya. Sebelum kau pergi, ada satu pertanyaan yang aku ingin kau menjawabnya dengan segala kejujuran…."
"Kejujuran, apakah di dunia ini masih ada apa yang dinamakan kejujuran?" bertanya si nenek.
"Kejujuran selalu ada dalam setiap lubuk hati sanubari manusia. Hanya saja kadang-kadang manusia sengaja menyembunyikannya, apapun alasannya."
Ning Intan Lestari tersenyum. "Baiklah, apa yang hendak kau tanyakan?"
"Kau menolak maksud baikku, apakah karena kau belum lama ini mengetahui bahwa seorang yang pernah kau cintai di masa muda telah muncul kembali?"
Tergetar hati si nenek mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu. Tapi dengan cepat dia ajukan pertanyaan.
"Siapa maksudmu? Siapa orang yang aku cintai di masa muda itu?"
"Kau tahu siapa orangnya. Mengapa harus pura-pura balik bertanya?"
Si nenek mendongak ke langit kelam. Lalu tertawa panjang.
"Suara tawamu aneh terdengar di telingaku. Intan. Ada getaran hati menggema dalam gaung tawamu. Seolah, menyatakan bahwa memang begitulah sebenarnya alasanmu menolak hasrat baikku."
"Maafkan aku. Agaknya aku belum bisa menjadi orang jujur. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Selamat tinggal. Jangan coba mencariku lagi."
"Intan, tunggu!"
Tapi si nenek bernama Ning Intan Lestari telah berkelebat lenyap, meninggalkan Rana Suwarte termangu seorang diri. Wajahnya yang jernih tampak mengelam.
"Dunia penuh keanehan. Bagaimana bisa terjadi seseorang menolak kebaikan yang datang dari hati yang putih bersih? Intan, aku tahu kau mencintai orang itu. Jika kau menolakku, bukan berarti kau akan mendapatkan dirinya. Puluhan tahun aku menunggu, sekarang mungkin sudah kepalang tanggung." Rana Suwarte kepalkan dua tinjunya lalu diletakkan di atas kepala. Dua gelungan asap mengepul keluar dari tangan yang dikepalkan. Si kakek ternyata tidak dapat mengendalikan tenaga dalam akibat gejolak yang membakar dirinya.
* * *

11

KITA kembali ke puncak bukit teh di Karangmojo. Walau hampir berhasil menyentuh Kapak Maut Naga Geni 212 namun mendengar deru angin keras menerjangnya dari samping dengan cepat Ki Sepuh Item menyingkir selamatkan diri sambil pukulkan tongkat tulang putihnya. Dari lobang-lobang di badan tongkat menggema suara seruling seperti ditiup berbarengan, menggetarkan gendang-gendang telinga.
Wiro terkesiap. Bukan saja tendangannya hanya mengenai tempat kosong, tapi angin yang keluar dari lobang-lobang tongkat tulang putih lawan terasa dingin mencucuk, membuat kakinya yang masih terulur seperti ditusuk puluhan jarum dan mendadak sontak terasa kaku. Cepat-cepat murid Sinto Gendeng tarik pulang kakinya lalu jatuhkan diri di tanah. Sambil bergulingan Wiro sambar kapak saktinya.
Ki Sepuh Hitam alias Si Tongkat Akhirat melintangkan tongkat tulangnya di depan dada lalu umbar tawa bergelak.
"Pendekar 212! Kekasihmu gadis makhluk alam roh sudah diringkus Iblis Kepala Batu Alis Empat! Sekarang siapa yang hendak kau andalkan menjadi penyelamat nyawamu?!"
Habis berucap begitu kakek berkulit hitam ini sabetkan tongkat saktinya ke depan. Wusss! Selarik angin mengeluarkan asap putih menyambar ke arah Wiro. Dari bau aneh yang bertabur dalam tebaran asap Pendekar 212 segera maklum kalau asap yang keluar dari dalam tongkat tulang itu mengandung racun jahat. Sambil melompat mundur dan menutup penciumannya Wiro pukulkan tangan kirinya ke arah lawan.
Satu gelombang angin melabrak ke arah ki Sepuh Item.
"Cuma pukulan Benteng Topan Melanda Samuderal Siapa takut!" seru si kakek. Sambil melompat ke samping dia gerakkan tangannya yang memegang tongkat.
Murid Sinto Gendeng bukan saja penasaran melihat lawan tahu nama pukulan yang dilancarkannya, namun juga jengkel karena angin yang keluar dari sambaran tongkat Ki Sepu Item membuat amblas pukulan saktinya sementara tangan kirinya tergetar hebat. Sebenarnya Ki Sepuh Item sendiri merasakan dadanya mendenyut sakit akibat bentrokan itu namun dia mampu menyembunyikan keterkejutannya. Dia tidak menyangka pemuda lawannya memiliki tingkat tenaga dalam demikian tinggi.
Didahului teriakan keras Wiro kembali menyerbu. Kali ini dia menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni212.
Satu cahaya putih menyilaukan berkiblat. Hawa panas menyambar dan dengung suara tawon mengamuk memenuhi udara.
Sambil lindungi matanya yang silau dengan tangan kiri, Ki Sepuh Item membuat gerakan aneh. Tubuhnya yang bungkuk meliuk rendah, tongkat di tangan kanannya bergetar keras hingga berubah menjadi enam buah. Luar biasanya, ke enam ujung tongkat menyusup tembus ke arah tangan kanan lawan lalu memukul!
"Traang!"
Wiro berseru kaget. Tangan kanannya bergetar hebat.
Selagi dia berusaha bertahan hawa panas yang keluar dari kapak sakti membalik memukul ke arah tangan dan sisi tubuhnya sebelah kanan. Pendekar 212 berseru keras. Genggaman tangannya pada gagang kapak goyah. Ketika lawan menggerakkan tangan kanannya kembali, tongkat berubah lagi menjadi enam buah dan menabur serangan ke arah dada, leher serta kepala, mau tak mau murid Sinto Gendeng melompat mundur sambil babatkan senjata. Mata kapak membabat ke arah pinggang lawan. Saat itulah tongkat tulang mengayun dari bawah ke atas.
"Traang!"
Untuk ke dua kalinya dua senjata, kapak dan tulang saling beradu di udara. Wiro berseru kaget. Kapak sakti terlepas dari genggamannya, mental ke udara. Sebaliknya Ki Sepuh Item tak kalah kejutnya ketika meneliti dia dapatkan ujung tongkat tulangnya telah berkurang satu jengkal, putus dibabat Kapak Maut Naga Geni 212! Selagi lawan terkesiap, Wiro cepat melompat ke udara, menyambar kapak sakti yang melayang jatuh.
"Kehebatan kapak itu ternyata bukan cuma nama kosong!" kata Ki Sepuh Item dalam hati. "Dari pada mencari penyakit, aku harus cepat-cepat menyudahi pertempuran ini!"
Kakek berkulit gosong ini angkat tangan kirinya sebatas tinggi telinga kiri. Telapak dibentang begitu rupa, diarahkan pada lawan. Bersamaan dengan itu tongkat tulangnya diarahkan ke depan, menjaga jarak sehingga lawan tidak mudah mendekatinya.’Ki Sepuh Item melirik pada muridnya Iblis Batu Hitam dan Momok Dempet Tunggul Gono.
"Kalian berdua, apakah tidak ingin berebut pahala membereskan manusia satu ini? Membalas dendam dan mencari jasa pada Kerajaan?!"
Walau memang mendendam berat pada Pendekar 212 Wiro Sableng namun sejak tadi dua orang itu tidak mau ikut terjun ke dalam pertempuran. Bukan saja karena merasa sungkan terhadap Ki Sepuh Item, tetapi juga karena diam-diam merasa jerih terhadap Wiro. Tunggul Gono masih menderita sakit luar biasa akibat selongsong besi tangan kirinya putus dan membakar ujung lengannya. Sementara Iblis Hitam masih melepuh sakit tangan-kanannya. Semua akibat hantaman cahaya merah membara yang dilepas Bunga dari sepasang matanya.
Didahului satu bentakan garang, Ki Sepuh Item melesat ke depan. Tangan kanan yang memegang tongkat bergerak. Tongkat tulang bergetar mengeluarkan angin deras dan suara seperti beberapa seruling ditiup berbarengan. Tongkat yang berubah menjadi banyak itu menerpa ganas, menebar mengurung Wiro dari enam penjuru.
Sambil menyerang dengan tongkat tulang putih, tangan kiri Ki Sepuh Item tak berhenti bergerak. Dari telapak tangannya yang dikembangkan, seperti ada kaca memantul cahaya, menyambar menyilaukan dua mata Pendekar 212. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Kaca Hantu. Pada telapak tangan kirinya itu Ki Sepuh menanam sejenis susuk. Jika dia mengerahkan tenaga dalam maka telapak tangannya bisa memancarkan cahaya menyilaukan seperti pantulan sinar matahari jatuh ke atas kaca.
"Sialan! Ilmu setan apa yang ada di telapak tangan makhluk gosong pantat kuali ini!" geram Wiro dalam hati.
Lima jurus pertama murid Sinto Gendeng benar­benar dibuat kelabakan. Serangan tongkat lawan laksana curahan air hujan. Gerakan kapaknya untuk melindungi diri ataupun balas menyerang seperti ditekan hingga dia tidak bisa leluasa bergerak. Dua kaki Wiro bergerak dalam jurus-jurus silat "Orang Gila" yang didapatnya dari Tua Gila sedang gerakan kapak mengandalkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng.
Ilmu tongkat yang dimiliki Ki Sepuh Item sebenarnya tidaklah terlalu hebat. Namun jurus-jurusnya memiliki daya susup yang tidak terduga selain tongkat itu sendiri memang luar biasa. Disamping itu cahaya menyilaukan yang keluar dari telapak tangan Ki Sepuh membuat Wiro kadang-kadang mati langkah karena kesilauan.
Setelah bertahan sampai lima belas jurus, dalam satu gebrakan hebat kakek kulit gosong ini berhasil susupkan satu tusukan ke arah lambung Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat berkelit tapi masih terlambat.
"Breettt!"
Masih untung cuma baju putihnya yang kena disambar robek. Kalau sampai lambungnya yang dimakan, isi perutnya pasti akan keluar berbusaian.
Ki Sepuh Item tertawa bergelak. Saat itu Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam mulai bergerak memasuki kalangan pertempuran. Iblis Batu Hitam mencekal golok mata duanya yang telah berubah menjadi besi hitam. Sementara Tunggul Gono yang tidak punya senjata hanya mengandalkan tangan kosong.
Seperti diketahui walau tangannya kini cuma satu yaitu tangan kanan sedang tangan kiri buntung dan cidera hebat, namun Tunggul Gono masih sanggup. melancarkan serangan-serangan berupa pukulan sakti seperti Ladam Setan, Palu dan Ladam Membongkar Bumi. Menghadapi Ki Sepuh Item sendirian Wiro sudah banyak mendapat kesulitan.
Apalagi kalau dikeroyok tiga. Selain itu dia agak sulit memusatkan perhatian karena sedikit banyak pikirannya terbagi pada Bunga yang telah diculik dan dimasukkan ke dalam guci tembaga oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat.
Ketika ketiga orang itu sama-sama menggebrak, mulai menggempurnya, dari balik pinggang Wiro keluarkan batu hitam pasangan kapak sakti. Melihat ini Ki Sepuh Item segera berteriak memberi ingat pada Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam.
"Awas! Dia hendak menyulut api membakar kita!"
Memang betul. Baru saja teriakan kakek kulit gosong itu lenyap, Wiro telah menempelkan batu hitam ke mata kapak lalu digeser kuat-kuat dengan pengerahan tenaga dalam.
"Wuss!"
Lidah api menyambar. Tiga orang di depan sana berteriak, berlompatan berserabutan. Sekali lagi lidah api menggebubu, lagi dan lagi. Tetapi yang diserang Wiro sebenarnya bukan langsung ke tiga lawannya itu, melainkan pohon-pohon teh sekitar mereka. Dalam waktu beberapa kejapan mata saja api mengurung dimana-mana.
Di balik pohon besar. Damar Wulung yang masih duduk di atas kuda coklatnya menyaksikan pertempuran dengan asyik kini terheran-heran.
"Apa perlunya pemuda gondrong itu menyemburkan api sakti demikian rupa? Untuk mengacaukan lawan?"
Selagi ketiga orang dibuat kalang kabut terkurung api, tiba-tiba terdengar suara reettttt! Menyusul teriakan Tunggul Gono.
"Awas! Ilmu hantu membelah bumi!"
Iblis Batu Hitam dan gurunya si kakek muka gosong tidak mengerti apa yang dimaksudkan Tunggul Gono berteriak seperti itu. Mereka baru sadar dan sama­sama berteriak kaget ketika melihat bagaimana tanah di depan mereka terkuak membelah, bergerak mengejar ke arah kaki-kaki mereka!
Ki Sepuh Item pukulkan tongkatnya ke tanah. Maksudnya menghentikan gerakan tanah yang membelah dan memburu ke arahnya. Hantaman tombak membuat tanah terbongkar dan malah mempercepat gerak tanah yang membelah. Hendak lari api telah mengurung. Hendak melompat ke atas, pemandangan tertutup oleh asap tebal yang mengepul dari pohon­pohon teh yang terbakar.
"Jahanam celaka!" maki Ki Sepuh Item. Tengkuknya dingin, mata mendelik ketika menyaksikan bagaimana sosok Tunggul Gono dan muridnya Iblis Batu Hitam terperosok masuk ke dalam tanah yang membelah.
Jeritan mereka lenyap bersamaan dengan lenyap amblasnya sosok ke dua orang itu ke dalam tanah!
Dalam keadaan maut sudah di depan mata seperti itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda cepat sekali. Lalu satu tangan kuat kokoh menyambar pinggang Ki Sepuh Item. Tubuhnya seperti melayang di udara, dibawa keluar dari kurungan api, selamat dari jepitan tanah.
Di luar kurungan api Pendekar 212 terkesiap kaget. Di bawah bayang-bayang kobaran api dia melihat seekor kuda coklat berhidung putih ditunggangi seorang yang tiarap di atas punggung binatang itu. Dia hanya sempat melihat sekilas pintas wajah si penunggang. Setelah itu kuda dan penunggangnya lenyap di arah timur bukit. Memandang ke depan, sosok Ki Sepuh Item tak kelihatan lagi.
"Setan alas! Siapa penunggang kuda coklat yang menyelamatkan kakek gosong pantat kuali itu?! Aku rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya. Sial! Seharusnya tadi aku hantam dengan pukulan Sinar Matahari!" Wiro memaki marah, garuk-garuk kepala habis-habisan.

DI KAKI bukit teh, saat itu keadaan masih gelap dan udara dingin. Di satu tempat yang datar penunggang kuda coklat menjatuhkan sosok Ki Sepuh Item ke tanah kemudian melompat turun dari punggung tunggangannya.
Ki Sepuh Item sesaat bergulingan lalu melompat dan tegak berdiri. Dia langsung menghadap ke arah penunggang kuda yang barusan melompat turun. Dia tidak menyangka kalau yang telah menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda belia.
"Anak muda, kau telah menolong diriku! Namun siapa dirimu aku belum tahu! Lalu mengapa kau sampai berbaik hati menyelamatkanku?!" Ki Sepuh Item alias Si Tongkat Akhirat menegur tapi sama sekali tidak membungkuk atau memberi penghormatan sebagaimana lazimnya orang yang telah ditolong.
"Namaku Damar Wulung! Setiap budi kebaikan pasti ada balas imbalannya. Bukankah begitu?!" Pemuda berpakaian kuning celana hitam mengaku bernama Damar Wulung menyahuti.
Kening Ki Sepuh Item mengerenyit. Alis kiri kanan mencuat naik. "Kalau saat ini aku bisa membalas budimu akan aku lakukan sekarang juga! Harap kau mau mengatakan bagaimana aku harus membalas budi kebaikanmu agar diantara kita tidak ada segala hutang piutang!"
Damar Wulung tertawa.
"Bagiku segala hutang piutang tidak perlu ditagih cepat-cepat. Makin lama makin baik karena ada bunganya. Bukan begitu? Ha… ha… ha!"
"Anak muda bernama Damar Wulung, apa maksudmu?" Ki Sepuh Item jadi merasa tidak enak.
"Kelak satu hari aku akan muncul untuk minta balas imbal budi baik menyelamatkan nyawamu malam ini! Ingat itu baik-baik."
"Aku akan ingat dan aku akan lakukan!" jawab si kakek penasaran, terlebih ketika dilihatnya begitu saja pemuda itu melompat naik ke atas punggung kudanya seolah tidak mengacuhkan dirinya.
"Kau mau kemana?" bertanya Ki Sepuh Item.
"Apakah perlu aku katakan padamu?!"
"Sialan!" maki si kakek dalam hati. "Mentang­mentang sudah menolongku, aku dianggap rendah saja."
Masih penasaran Ki Sepuh Item kembali bertanya. "Jika aku memerlukan dirimu, kemana aku harus mencari?"
"Kau tak perlu mencariku. Karena aku yang akan mencarimu!"
"Benar-benar kurang ajar!" rutuk Ki Sepuh Item lagi-lagi dalam hati. Dengan mata tak berkedip dia perhatikan pemuda itu memutar kudanya lalu menghambur pergi dari tempat itu.
"Pemuda aneh, kurang ajar! Siapa dia sebenarnya! Damar Wulung…. Damar Wulung. Apakah aku pernah mendengar nama itu sebelumnya?" Ki Sepuh Item coba mengingat-ingat. Tiba-tiba dipukulnya kening sendiri."Astaga, nama itu! Damar Wulung! Bukankah itu pemuda yang menimbulkan kehebohan di Keraton? Dia kabarnya yang menggulung kepala rampok hutan Roban Warok Mata Api! Yang kemudian menipu Tumenggung Cokro Pambudi dengan Keris Kiai Naga Kopek palsu! Dia belum tentu manusia baik-baik. Jelas! Tapi mengapa dia menolong menyelamatkan diriku? Ada sesuatu yang disembunyikannya dibalik pertolongan ini? Persetan! Mengapa aku terlalu memikirkan pemuda itu! Yang harus aku pikirkan adalah mencari manusia bernama Wiro Sableng yang telah membunuh muridku dan Tunggul Gono. Dia menipuku dengan serangan lidah api. Lalu membunuh dengan ilmu jahanam aneh yang bisa membelah tanah! Muridku Iblis Batu Hitam, aku akan membalaskan dendam kematianmu!" Ki Sepuh Item jadi merinding sendiri bila dia ingat kematian yang dialami muridnya. Tanah terbelah. Iblis Batu Hitam menjerit. Suara jeritan dan tubuhnya kemudian amblas lenyap di dalam tanah yang kembali menyatu.
"Seumur hidup belum pernah aku menyaksikan ilmu mengerikan seperti itu. Aku yakin Sinto Gendeng sekalipun tidak memiliki ilmu celaka itu! dari mana pemuda jahanam itu mendapatkan ilmu keparat yang bisa membelah tanah dan mengubur amblas hidup-hidup muridku dan si Tunggul Gono. Wiro Sableng tunggu

12

WIRO duduk di bawah pohon besar di puncak bukit teh. Matanya mengawasi sisa-sisa kobaran api dan kepulan asap. Apa yang telah dilakukannya dalam menghadapi tiga pengeroyok tadi membuat Wiro ingat pada Luhrembulan, gadis cantik di Negeri Latanahsilam yang ujud sebenarnya adalah seorang nenek buruk berjuluk Hantu Santet Laknat. (Baca petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam terdiri dari 18 Episode)

"Selama di tanah Jawa, sudah dua kali aku mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Kalau dulu dia tidak memaksa memberikan ilmu itu padaku, dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan diriku. Mati sia-sia. Bagaimana keadaannya sekarang? Masih di negeri seribu dua ratus tahun silam itu atau mungkin sudah terpesat pula ke tanah Jawa seperti yang terjadi dengan Luhjahilio? Ingin sekali rasanya aku bertemu dengan dia."
Dalam keadaan termenung dan mengingat-ingat seperti itu tiba-tiba Wiro mendengar suara derap kaki kuda banyak sekali. Datangnya dari kaki bukit teh sebelah selatan. Wiro berdiri, melangkah ke tempat ketinggian lalu memandang ke bawah. Dia melihat obor barisan banyak sekali. Di bawah nyala api obor tampak para penunggang kuda. Hampir semuanya mengenakan pakaian seragam pasukan Kerajaan. Hanya beberapa orang saja di sebelah depan tidak berseragam.
"Aneh, satu pasukan besar Kerajaan naik ke puncak bukit ini? Ada apa? Mungkin gara-gara melihat pohon teh yang terbakar?"
Menjelang mencapai puncak bukit, di satu lereng pasukan besar itu berpencar membentuk lingkaran. Lalu perlahan-lahan dalam gerakan mengurung mendaki naik ke atas.
Karena merasa kehadiran pasukan kerajaan itu tidak ada sangkut paut dengan dirinya, murid Sinto Gendeng tidak beranjak dari tempatnya. Malah ada rasa ingin tahu apa yang hendak diperbuat oleh orang-orang itu.
Rombongan pasukan kerajaan semakin dekat, akhirnya sampai di puncak bukit. Wiro memandang berkeliling. Dia baru menyadari, bahwa berdiri di bawah pohon besar itu dirinya terkurung di tengah-tengah lingkaran pasukan yang ternyata hampir dua ratus or­ang banyaknya!
Ketika dia menyadari hal itu tiba-tiba seorang prajurit di ujung kiri berteriak.
"Perwira Kepala! Orang yang kita cari ternyata memang ada di puncak bukit! Lihat ke bawah pohon besar sana!"
Wiro mulai merasa tidak enak. Dia memperhatikan ke arah prajurit yang barusan berteriak. Dilihatnya seorang berseragam Perwira Kerajaan memandang ke arahnya. Perwira ini lalu menggerakkan kudanya mende-kati kelompok penunggang kuda lainnya. Dipating depan ada orang berpakaian kebesaran serba merah. Wiro segera mengenali. Orang itu bukan lain adalah Raden Mas Selo Kaliangan, Patih Kerajaan.
"Kalau tak ada perkara besar, tidak nanti Patih Kerajaan langsung turun tangan," membatin Wiro.
Disekitar sang patih ada beberapa penunggang kuda yang dari pakaian serta sikap dan gerak gerik mereka mudah diketahui kalau mereka adalah para tokoh silat Istana.
Setelah menerima laporan dari Perwira Kepala, Patih Selo Kaliangan memberi isyarat pada orang-or­ang disekitarnya. Mereka berjumlah lima orang. Kelima orang ini lalu mendahului menggebrak kuda masing­masing ke arah pohon besar tempat Wiro berdiri, sang patih menyusul sementara Perwira Kepala tadi memberi tanda pada ratusan prajurit untuk bergerak naik ke atas puncak bukit, mempersempit lingkaran mengurung.
Para tokoh silat utama yang mendampingi Pati Selo Kaliangan, yang pertama adalah Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Mukanya masih tampak pucat karena belum sembuh benar dari racun miliknya sendiri yang terhisap ke dalam tubuhnya akibat hantaman Pendekar Pelangi ketika dia dipergoki hendak menggagahi Kinasih.
(Baca Episode "Roh Dalam Keraton")

Sebelumnya dia memiliki sebuah senjata yakni seutas tali kuning yang bisa mengeluarkan jarum maut. Seperti diketahui senjata andalannya telah musnah di tangan Pendekar Kipas Pelangi. Sebenarnya Patih Kerajaan tidak begitu suka membawa tokoh silat satu ini, apalagi diketahui dia telah menculik Kinasih. Namun karena tenaganya diperlukan maka mau tak mau dia diajak serta bersama rombongan pasukan besar itu. Biasanya dia selalu mengenakan jubah kelabu. Tapi sekali ini Hantu Muka Licin mengenakan sehelai baju biru dan celana komprang juga berwarna biru.
Orang kedua dalam rombongan besar itu adalah Tumenggung Cokro Pambudi. Tumenggung ini memaksakan diri ikut bersama rombongan karena ingin menelusuri jejak Damar Wulung yang lenyap begitu saja.
Tokoh silat ke tiga seorang lelaki separuh baya berwajah merah seperti udang rebus. Dulu dia adalah seorang pentolan bajak sungai yang sangat ganas. Beberapa tahun lalu dia bertobat melakukan kejahatan dan mengabdi menjadi tokoh silat Istana.
Nama sebenarnya tidak ada yang tahu, dia hanya dikenal dengan julukan Sanca Merah Bengawan So/o. Bajak sungai ini memang mempunyai sejenis ilmu aneh.
Sekali dia bisa menempelkan tangan atau kakinya ke tubuh lawan maka dengan cepat dia bisa menggulung tubuh itu seperti seekor ular. Lawan yang kena digulung akan menemui ajal dalam keadaan luluh hancur tulang belulangnya mulai dari batok kepala sampai ujung kaki!
Di samping Sanca Merah Bengawan Solo, di atas seekor kuda hitam bertotol kelabu, duduk tokoh silat Istana ke empat. Dia adalah seorang lelaki berusia enam puluh tahun, berwajah gagah dan berpakaian sangat rapi lengkap dengan blangkon. Orang ini membekal sebilah keris.
Tidak seperti kebiasaan dimana orang membawa keris di pinggang sebelah belakang, lelaki ini membawa keris di pinggang sebelah depan. Dan tidak cuma satu, tapi sekaligus dua di pinggang kiri kanan. Dia diketahui bernama Jalak Kumboro, bergelar Pendekar Keris Kembar. Ilmu silatnya tinggi, otaknya terkenal cerdas. Kabarnya dia berhasrat besar hendak menduduki jabatan Patih Kerajaan. Apalagi konon dia masih keponakan seorang Pangeran yang sangat dihormati di kalangan Keraton. Selama ini dia lebih banyak berada di Surokerto. Namun begitu mendengar banyak huru-hara terjadi di Kotaraja maka dia menyempatkan diri untuk lebih banyak berada di Keraton.
Tokoh silat terakhir atau ke lima yang ikut bersama, rombongan pasukan besar yang dipimpin langsung Patih Kerajaan adalah seorang kakek aneh. Kepalanya yang botak dicat kuning. Di hidungnya menyantel sebuah anting-anting. Walau pakaiannya tak kalah bagus dengan yang dikenakan Jalak Kumboro namun dia menunggang kuda dengan bertelanjang kaki. Mungkin ada sebabnya dia tidak mengenakan alas atau penutup kaki.
Karena seperti yang terlihat sepuluh kuku jari kakinya panjang-panjang dan berwarna hitam kebiru­biruan.
Di Kotaraja, kakek kepala plontos kuning ini dikenal dengan julukan Si Bisu Penyabut Nyawa Tanpa Suara. Gelar ini memang cocok dengan keadaan dirinya karena selain bisu atau tidak bisa bicara, jika membunuh dia melakukan tanpa suara sama sekali. Kebanyakan dari musuh yang menjadi korbannya menemui ajal akibat hunjaman kuku-kuku kakinya yang hitam angker.
Walau hatinya semakin tidak enak namun murid Sinto Gendeng tetap berdiri tenang di bawah pohon. Dia melihat Patih Kerajaan menyeruak diantara para tokoh silat Istana, bergerak mendekati. Begitu sang patih berada di hadapannya, sebagaimana lazimnya rakyat biasa Wiro segera membungkuk memberi hormat.
‘ "Pendekar 212 Wiro Sableng," berucap sang patih. "Aku benar-benar merasa menyesal mengikuti anjuran mendiang Malaikat Alis Biru membebaskanmu dari penjara. Ternyata kau adalah seorang pembunuh keji!"
Murid Sinto Gendeng terkejut. "Patih Kerajaan, mohon saya diberitahu…."
Saat itu Perwira Kepala sudah berada di hadapan Wiro. Dia memandang ke arah Patih Kerajaan menunggu isyarat. Ketika sang patih anggukkan kepala Perwira ini cepat berkata dengan suara lantang.
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Atas nama Kerajaan kau kami tangkap dan saat ini juga dibawa ke Kotaraja. Kau dituduh dengan bukti-bukti telah melakukan beberapa pembunuhan!"
Wiro pandangi wajah Perwira Kepala itu sesaat lalu berpaling pada Patih Selo Kaliangan.
"Patih Kerajaan, mohon diberitahu kesalahan saya. Siapa saja yang saya bunuh…."
Patih Selo Kaliangan goyangkan kepalanya pada Perwira Kepala. Sang perwira kembali membuka mulut.
"Kau diketahui membunuh seorang prajurit petugas kepenjaraan bernama Lodan. Lalu kau juga dituduh membunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta. Korban kejimu berikutnya adalah istri sang juru ukir bernama Kinasih. Kau membunuhnya dengan kejam, malah tega-teganya mengguratkan jarahan 212 di kening perempuan itu! Lalu kau juga dituduh sebagai orang yang berada di belakang lenyapnya Keris Kiai Naga Kopek, senjata pusaka Keraton."
Sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi ternganga mendengar semua tuduhan itu. Dia pandangi Patih Kerajaan sambil garuk-garuk kepala.
"Pemuda gondrong! Jangan menunjukkan sikap berpura-pura bego!" membentak si muka merah Sanca Merah Bengawan Solo.
Wiro pandangi tampang merah udang rebus di atas kuda itu sesaat, lalu memandang berkeliling. Melihat ini Sanca Merah Bengawan Solo kembali membentak.
"Kau tengah berusaha mengintai mencari peluang melarikan diri hah? Lakukanlah! Akan kulibas tubuhmu sampai remuk mulai dari kepala sampai kaki!"
"Saya merasa tidak bersalah, mengapa harus melarikan diri?!" jawab Pendekar 212.
"Saya mengaku membunuh orang bernama Lodan. Itu untuk menyelamatkan diri. Dia hendak mengguyurkan kelabang beracun ke tubuhku! Semua orang jika diperlakukan seperti itu pasti berusaha membela menyelamatkan diri! Seorang hamba Kerajaan berbuat kejam seperti itu sebelum membuktikan kesalahan orang, apa layak? Tidak disebut gila, kejam atau keji?!"
"Apakah kau juga dalam usaha menyelamatkan diri ketika membunuh Raden Mas Sura Kalimarta serta istrinya Kinasih?!" bentak Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
"Hantu bejat! Yang aku tahu adalah kabar bahwa kau menculik istri juru ukir itu! Kau bawa kemana perempuan itu. Apa yang kau lakukan?! Sekarang kelihatannya kau paling bersemangat menuduh diriku!
Kau sengaja menyembunyikan kebejatan dirimu sambil berusaha memperlihatkan bahwa kau ingin berjasa besar pada Kerajaan! Hanya manusia laknat yang bisa berbuat seperti itu!"
"Pembunuh jahanam! Berani kau bicara kurang ajar menghinaku!" teriak Hantu Muka Licin Bukit Tidar yang masih sakit hati atas kejadian yang menimpanya belum lama berselang, kini menjadi marah besar karena merasa ditelanjangi di depan orang banyak. Dia sentakkan tali kekang kudanya. Begitu tunggangannya melompat maju kaki kanannya ditendangkan ke dada Pendekar 212.
Mana ada orang yang mau ditendang mentah-mentah seperti itu. Termasuk Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng ini cepat menyingkir ke kiri. Begitu tendangan orang lewat, tangan kanannya secepat kilat berkelebat membuat gerakan menotok.
Yang ditotok bukannya kaki atau tubuh Hantu Muka Licin, tapi urat besar di leher kuda tunggangan orang. Totokan ini bukan totokan yang melumpuhkan binatang itu tetapi membuat arus darahnya mengalir terbalik! Akibatnya kuda besar ini meringkik keras kesakitan. Dua kakinya dihentakkan, dinaikkan tinggi-tinggi ke atas lalu menghambur kabur. Tak dapat tidak Hantu Muka Licin pasti akan jungkir baiik, terbanting berkelukuran di tanah.
Sambil memaki Hantu Muka Licin lesatkan tubuhnya ke atas, berusaha menyambar cabang pohon besar di atasnya. Dia memang berhasil memegang dan bergantung di cabang pohon itu, tetapi satu kejadian sangat memalukan terjadi tak terduga. Pada saat tubuhnya melayang ke atas untuk bergantung di pohon, sebuah benda kecil yang adalah sebutir batu ikut melesat ke atas.
"Tess!"
Batu kecil ini memutus tali celana komprang biru Hantu Muka Licin. Celakanya sang hantu tidak mengenakan celana dalam. Ketika celana luarnya jatuh merosot ke bawah, tak ampun lagi auratnya sebelah bawah tersingkap amburadul tak karuan!
"Walah! Barang jelek saja dipertontonkan!" seru Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.
Puncak bukit teh menjadi gempar. Patih Kerajaan tidak tahu mau berkata atau berbuat apa.
Si botak kepala kuning bisu keluarkan suara ha-hu ha-hu berulang kali sambil menekap mulut menahan tawa. Di atas pohon Hantu Muka Licin tampak kelabakan. Tadinya dia hendak pergunakan salah satu tangan untuk menutupi aurat. Tapi percuma saja. Lagi pula keadaan tubuhnya yang lemah membuat dia khawatir tak dapat bertahan menggantung terlalu lama.
Sambil memaki panjang pendek, tanpa celana, semua orang melihat bagaimana Hantu Muka Licin menggapai di cabang pohon, memanjat ke atas lalu mendekam sembunyikan diri di balik kerimbunan daun-daun, tak berani turun.
"Ada tangan jahil kurang ajar melempar dengan batu! Memutus tali celana Hantu Muka Licin!" Seseorang berteriak sambil menunjuk ke balik serumpun pohon teh yang masih utuh tak kena terbakar.
Orang yang berteriak ini adalah Jalak Kumboro alias Pendekar Keris Kembar. Rupanya dia sempat melihat apa yang terjadi. Begitu berteriak tubuhnya melesat ke arah rerumpunan pohon teh. Tapi dia kecewa besar karena orang yang tadi dipastikannya sembunyi di tempat itu tak ada lagi di situ.
"Kabur!" kata Jalak Kumboro cemas. "Kalau tidak berilmu tinggi tidak mungkin bisa lenyap secepat itu! Tindakan jahil begitu rupa, apakah orang ini ada sangkut pautnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng?" Sambil terus berpikir-pikir dia melangkah cepat kembali ke kudanya.
Patih Selo Kaliangan melompat turun dari kudanya. Rahangnya menggembung, memandang membelalak pada Pendekar 212 yang masih tertawa gelak-gelak.
"Pendekar 212, sebenarnya kami orang-orang Keraton masih menaruh hormat terhadap gurumu Eyang Sinto Gendeng. Apalagi kau dan gurumu pernah banyak membantu Kerajaan. Tapi apa yang terjadi di tempat ini benar-benar sudah keterlaluan. Kau terpaksa dijebloskan ke penjara. Hukuman sangat berat bakal jatuh atas dirimu!"
"Patih, saya tahu kau hanya menjalankan perintah! Tapi menjalankan perintah tanpa menjalankan pikiran sehat dan mempergunakan hati jernih sama saja melaku­kan satu tindakan tolol!"
"Pasukan! Tangkap pemuda ini!" teriak Patih Kerajaan. "Ikat tangan dan kakinya! Perwira Kepala, totok tubuhnya, cepat!"
Perwira Kepala yang berhidung pesek segera melompat dari kudanya lalu kirimkan satu totokan ke urat besar di pangkal leher Wiro.
"Tunggu! Jangan!" teriak murid Sinto Gendeng sambil dua tangannya diangkat dan digoyang-goyangkan di depan dada Perwira Kepala. Hampir tak ada satu orangpun yang melihat, sebelum totokan Perwira Kerajaan menyentuh urat besar di pangkal lehernya, totokan yang disusupkan Wiro lebih dulu mendarat di pangkal bahu kiri kanan sang perwira.
Saat itu juga Perwira ini menjadi kaku kaki, kepala dan tubuhnya. Tapi dua tangannya bergerak-gerak seperti orang setengah menari setengah bersilat.
"Kurang ajar! Apa yang dilakukan si gondrong keparat itu!" teriak Sanca Merah Bengawan Soto yang pertama kali menyadari apa yang terjadi. Kembali tempat Ku dilanda kehebohan.
Selagi semua orang terheran-heran. Pendekar 212 menyusup di bawah perut kuda Patih Kerajaan. Dia menggayutkan tangan kirinya di leher binatang itu, lalu berlindung di balik tubuh kuda. Sesaat kemudian kuda tinggi besar ini meringkik keras. Dari hidungnya menyembur cairan, dua matanya membelalak. Di lain kejap binatang ini melompat lalu menghambur lari luar biasa cepatnya.
Para prajurit yang mengurung tak berani menghadang. Takut diterjang kuda tinggi besar.
"Kejar! Jangan biarkan lolos!" teriak Patih Kerajaan.
"Tangkap! Jika melawan habisi saja!" menimpali Sanca Merah Bengawan Solo. Bersama Pendekar Keris Kembar dia segera membedal kuda masing-masing, melakukan pengejaran.
Perwira Kepala bersama hampir dua puluh anak buahnya ikut pula melakukan pengejaran. Di atas kudanya si bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara manggut-manggut sementara Tumenggung Cokro Pambudi hanya bisa mengepal-ngepalkan tinju.
Tak selang berapa lama orang-orang yang melakukan pengejaran itu kembali dengan tangan kosong. Perwira Kepala yang muncul paling belakang memberitahu, Pendekar 212 Wiro Sableng tidak berhasil mereka kejar. Selain kudanya lari luar biasa cepat, pemuda itu kemungkinan menyelinap ke satu jalan gelap yang tidak mereka ketahui.
Patih Selo Kaliangan membanting kaki. "Bagaimana aku menyampaikan kejadian memalukan ini pada Sri Baginda?" katanya sambil geleng-gelengkan kepala. Lalu menyambung ucapannya. "Heran," aku tahu betul. Kuda tungganganku waktu sampai di puncak bukit ini kaki kanannya mengalami cidera cukup parah. Tapi mengapa binatang itu bisa lari secepat itu, seperti dikejar setan!"
"Maafkan saya Patih Kerajaan," kata seorang prajurit. "Saya sempat melihat, waktu membedal kuda itu, pemuda gondrong bukannya menyentakkan tali kekang kuda. Tapi memencet biji kuda jantan itu. Kuda manapun kalau dipencet begitu rupa, dalam kesakitan luar biasa akan lari seperti dikejar setan. Ke neraka sekalipun kuda itu mau saja menghambur…."
Patih Kerajaan melototkan mata, membuat si prajurit yang barusan bicara ketakutan lalu cepat-cepat memutar tubuh. Beberapa orang palingkan wajah, menyembunyikan tawa.
Di atas kudanya tokoh silat gagu Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara usap-usap kepala kuning botaknya. Lalu tertawa ha-hu ha-hu! Tangan kirinya ditunjuk­tunjukkan ke bagian belakang bawah kuda tunggangannya sementara tangan kanan diangkat membuat gerakan memencet. Si gagu ini seolah hendak mengatakan. "Itu akibat memiliki kuda jantan. Kalau menunggang kuda betina seperti milikku ini pasti tidak ada bijinya yang bisa dipencet!"
"Ha-hu… ha-hu!"

TAMAT



INDEX WIRO SABLENG
122.Roh Dalam Keraton --oo0oo-- 124.Makam Ke Tiga
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.