Life is journey not a destinantion ...

Roh Dalam Keraton

INDEX WIRO SABLENG
121.Tiga Makam Setan --oo0oo-- 123.Genderuwo Patah Hati

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

BAB 1

Pendekar 212 Wiro Sableng dan Kinasih yang sembunyi di balik semak belukar di belakang sederetan pohon-pohon besar tidak menunggu lama. Yang muncul ternyata bukan Momok Dempet Berkaki Kuda, tapi serombongan penunggang kuda terdiri dari lima orang. Mereka berseragam hitam, bertampang sangar ganas. Rambut rata-rata panjang sebahu, kepala diikat kain hitam, muka tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk meranggas. Di pinggang terselip golok besar yang gagangnya berbentuk sama yakni ukiran tengkorak. Kelima orang ini membawa buntalan besar, digantung di leher kuda masing-masing.
“Siapa mereka. Pasti orang-orang jahat…” bisik Kinasih.
Wiro memberi anda agar Kinasih segera menutup mulut.
Penunggang kuda paling depan tiba-tiba angkat tangan kirinya. “Kita berhenti di sini. Hitung jarahan!” Orang ini memiliki cacat di pertengahan kening, membelintang melewati mata kiri membuat matanya mencelet keluar, merah mengerikan. Tampangnya paling seram dibanding dengan empat kawannya. Dari ucapan serta sikap agaknya dia yang menjadi kepala rombongan.
Empat penunggang kuda lain segera hentikan kuda masing-masing lalu melompat ke tanah, turunkan buntalan. Buntalan itu mereka letakkan di tanah di hadapan pimpinan mereka.
“Buka!” perintah si mata cacat.
Empat orang berpakaian hitam segera buka buntalan masing-masing. Di dalam setiap buntalan ternyata ada sebuah peti, terbuat dari kayu jati coklat kehitaman. Pada penutup peti ada gambar bintang dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga bergelung. Empat buah peti itu ternyata dikunci dengan sebuah gembok besar terbuat dari besi.
Empat lelaki berpakaian hitam cabut golok masing-masing. Tangan sama bergerak membacok.
“Trang… trang… trang… trang!”
Empat gembok terbelah, tanggal dari peti, jatuh ke tanah. Empat orang bertampang buas segera membuka tutup peti. Begitu peti dibuka, mata mereka sama membeliak besar lalu berbarengan ke empatnya tertawa bergelak.
“Rejeki kita benar-benar besar! Ha… ha… ha!”
Dari tempat mereka bersembunyi, karena terletak di bagian tanah yang agak ketinggian Wiro dan Kinasih daprt melihat sebagian isi peti itu.
”Harta perhiasan… uang emas… bukan main! Seumur hidup aku tidak pernah melihat sebanyak itu…” tak sadar Kinasih keluarkan ucapan. Wiro cepat menekap mulut perempuan ini.
“Warok Mata Api, kau belum membuka buntalanmu! Kami ingin melihat isinya!” salah seorang dari empat lelaki berpakaian hitam berkata.
“Warok Mata Api…” ujar Kinasih mengulang nama itu dengan suara perlahan dan bergetar.
“Kau tahu siapa dia?” berbisik Wiro.
“Aku pernah mendengar namanya. Suamiku pernah cerita. Warok Mata Api adalah salah sati dari empat dedengkot rampok Alas Roban. Dia menguasai kawasan selatan. Suamiku pernah menceritakan Warok Mata Api paling ganas di antara empat penguasa Hutan Roban.”
“Aku sudah duga. Ternyata mereka adalah komplotan penjahat. Gambar pada penutup peti adalah lambang Kerajaan. Jangan-jangan yang mereka jarah harta benda milik Kerajaan… Rampok berani mati!”
Wiro hentikan ucapan karena saat itu dia melihat Warok Mata Api mulai membuka buntalannya. Seperti isi empat buntalan yang sudah dibuka di dalamnya terdapat sebuah peti coklat kehitaman. Bedanya peti satu ini jauh lebih besar dibanding empat peti lainnya. Seperti yang dilakukan empat anak buahnya, Wiro mengira kepala rampok itu akan membacokkan golok besarnya untuk menghancurkan gembok besar penutup peti. Ternyata Warok Mata Api pergunakan tangan kosong. Gembok besi digenggam. Sekali tangannya meremas gembok besi itu hancur berantakan! Kalau Kinasih leletkan lidah terkagum-kagum, murid Sinto Gendeng hanya menyeringai. “Boleh juga tenaga dalam begundal satu ini…” katanya dalam hati.
Warok Maa Api buka penutup peti. Seringai lebar muncul di wajahnya begitu sepasang matanya melihat ke dalam peti. Empat anak buahnya terperangah. Peti itu penuh dengan barang perhiasan dan mata uang. Semuanya dari emas. Karena petinya lebih besar maka dengan sendirinya isinya jauh lebih banyak dari peti-peti lain.
“Warok! Ada satu kotak kecil di atas tumpukan perhiasan!” Salah seorang anak buah Warok Mata Api berkata sambil menunjuk.
“Aku sudah melihat!” Jawab Warok Mata Api lalu ulurkan tangan mengambil sebuah kotak kayu yang terletak di atas tumpukan harta perhiasan. Kotak kayu ini bagus sekali buatannya, halus berkilat. Di sebelah atas ada ukiran bintang dalam lingkaran, diapit dua naga bergelung. Itulah lambang kerajaan. Siapa saja yang melihat pasti mengenali.
Dengan tangan kirinya Warok Mata Api buka tutup kotak. Empat anak buahnya mendekat. Dari dalam kotak kayu itu keluar satu cahaya kuning.
“Keris emas!” Empat anggota rampok Alas Roban berucap berbarengan.
Warok Maa Api tenang saja. Tangan kanannya diulurkan. Ketika jari-jarinya menyentuh keris emas di dalam kotak, dia merasakan ada satu hawa aneh menjalar memasuki tubuhnya, membuat tengkuknya menjadi dingin.
“Ini pasti bukan senjats sembarangan,” kata sang Warok lalu kerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk menolak hawa aneh yang merangsak. Tangannya bergetar hebat, rasa ngilu menyengat sampai ke persendian bahu.
“Warok! Ada apa?!” Salah seorang anak buah Warok Mata Api berseru kaget ketika melihat sosok pimpinannya mengerenyitkan muka angkernya.
Warok Mata Api cepat-cepat kendurkan tenaga dalam, menghindarkan bentrokan yang bisa membuat dia menjadi malu di depan sekian anak buahnya.
Sambil memperhatikan keris emas itu Warok Mata Api berpikir-pikir.
“Belum pernah aku melihat keris dengan sarung begini bagus. Buatannya halus. Ada ukiran bintang dalam gelangan. Dua ekor naga… Aku yakin, senjata ini lebih berharga dari semua harta perhiasan dalam lima buah peti…”
Dengan hati-hati Warok Mata Api cabut keris emas itu. Begitu mata keris keluar dari sarung, satu cahaya kuning membersit menyilaukan, membuat Warok Mata Api tersurut dua langkah ke belakang. Tangannya bergetar dan kembali ada hawa aneh menjalari sekujur tubuhnya. Kali ini lebih hebat dari yang tadi. Keris emas itu hampir terlepas jatuh dari pegangannya.
“Senjata luar biasa! Benar-benar luar biasa!” Kepala rampok hutan Roban kawasan selatan itu cepat-cepat masukkan keris emas ke dalam sarungnya lalu selipkan senjata itu di pinggang di balik pakaiannya. Begitu keris menempel di tubuhnya kini ada hawa hangat mengalir. Sang Warok menunggu dengan berdebar. Ternyata hawa hangat itu segera sirna. Dia menarik nafas lega.
“Warok, saatnya kita membagi jarahan,” anak buah di samping kanan Warok Mata Api berkata.
Warok Mata Api mengangguk. “Dua pertiga dari harta dan uang dalam empat peti itu masukkan ke dalam petiku. Sisa yang sepertiga itu bagian kalian!”
Empat anggota rampok terkesiap saling pandang satu sama lain. Wajah mereka membersitkan rasa tidak puas. Yang tiga hanya berdiam diri tapi yang satu membuka mulut bicara keras.
“Warok, pembagian yang kau tentukan tidak adil! Kami sudah belasan tahun ikut bersamamu! Kau masih saja memperlakukan kami seperti ini! Sesuai janjimu semula kami justru dapat dua pertiga. Yang sepertiga untukmu! Sekarang mengapa terbalik?!”.....
“Salak Jonggrang! Apakah kau bicara mewakili teman-temanmu atau itu maumu sendiri!?” Warok Mata Api bertanya. Suaranya datar dan sikapnya seperti tadi tetap tenang. Tapi dua matanya memancarkan cahaya seperti kilatan api.
“Tiga temanku semua sungkan bicara. Jadi anggaplah aku mewakili mereka…” menjawab anggota rampok bernama Salak Jonggrang.
“Hemmmm, begitu? Dari dulu kau selalu menjadi penyulut biang perpecahan di antara kita…”
“Aku tidak bermaksud begitu Warok. Aku hanya mengingatkan, semua tindakanmu selama ini, terutama dalam membagi hasil jarahan selalu tidak adil. Kami dapat sedikit. Kau berlipat ganda. Seperti saat ini. Kau juga sudah mengantongi keris emas itu. Kami tahu senjata itu bukan sentjata sembarangan. Jauh lebih berharga dari semua emas perhiasan dan uang yang ada di lima peti. Anehnya kau masih menetapkan pembagian berlimpah ruah untukmu. Apalagi sebelumnya kau sudah berjanji. Hasil jarahan yang kami dapat satu banding tiga. Tiga untuk kami, satu untuk kau. Lagi pula jarahan yang ada padamu tidak kami perhitungkan. Itu bulat­bulat untukmu…”
“Jangan bicara segala macam janji. Aku pimpinan kalian. Setiap saat aku bisa merubah perjanjian sepuluh kali aku suka!”
“Warok, kalau begitu…”
“Bicaraku belum selesai Salak Jonggrang!” hardik Warok Mata Api. Sepasang matanya mendelik. Mata kirinya yang memerah seperti bara. “Jika aku tidak mau menuruti permintaanmu dan teman-teman, kau akan melakukan apa Salak Jonggrang?! Akan mengeroyokku?!”
Salak Jonggrang terdiam. Dia memandang pada tiga temannya. Tiga orang itu hanya diam dan agaknya mulai merasa tidak enak begitu melihat tampang pimpinan mereka, kelam membesi sementara mata mendelik tak berkesip.
“Tiga temanku hanya mengikut apa yang aku katakan, Warok…” kaa Salak Jonggrang pula.
Warok Mata Api menyeringai.
“Apa aku sudah tuli hah?! Tiga temanmu tidak bicara sepotongpun! Kau yang punya bisa! Kau biang penghasut! Aku tidak suka pada anak buah sepertimu! Terus terang aku sudah lama muak melihat tampangmu!”
Salak Jonggrang rupanya memang agak keras kepala. Mungkin karena telah bertahun­tahun diperlakukan tidak adil.
“Jika mereka suka menerima pembagian seperti maumu, itu urusan mereka. Untukku, aku tetap menuntut seperti perjanjian semula.”
“Begitu…? Baiklah! Kau boleh ambil semua isi peti yang tadi kau bawa. Mulai hari ini aku tidak ingin melihat tampangmu lagi!”
Salak Jonggrang pandangi tampang pimpinannya sesaat. Diam-diam hatinya bergeming juga melihat tampang angker itu. Lalu peti yang ada di hadapannya ditutup, dimasukkan ke dalam buntalan dan dinaikkan ke atas kuda.
“Aku pergi Warok. Kita tidak akan bertemu lagi!” kata Salak Jonggrang.
“Sebaiknya begitu,” sahut Warok Mata Api. “Sebelum pergi ada satu hal ingin kukatakan padamu!” Sang Warok melangkah mendekati anak buahnya.
“Kau hendak mengatakan apa?!” tanya Salak Jonggrang sambil hentikan gerakannya yang hendak naik ke punggung kuda.
“Tadi kukatakan aku sudah lama muak melihat tampangmu. Aku kawatir semua orang bersikap sama denganku…”
“Apa maksudmu Warok Mata Api?” tanya Salak Jonggrang tidak mengerti.
“Maksudku, jika tidak disenangi orang dimana-mana, buat apalagi perlunya hidup berlama-lama di dunia!” Habis berkata begitu Warok Mata Api tertawa bergelak. Tiba-tiba seperti direnggut setan tawanya lenyap. Hampir tidak kelihtan kapan tangannya bergerak tahu­tahu golok besar di pinggangnya telah terhunus keluar dari sarung, lalu berkiblat di udara. Semua orang, termasuk Salak Jonggrang hanya melihat cahaya putih berkelebat.
“Crassss!”
Salak Jonggrang menjerit.
Darah menyembur dari lehernya yang nyaris putus. Suara jeritannya tidak selesai, tercekik setengah jalan lalu tubuhnya tergelimpang roboh ke tanah, menggeliat sebentar kemudian diam tak berkutik lagi!
“Edan! Gerakan kepala rampok itu luar biasa cepatnya. Aku hanya sempat melihat bahunya bergerak lalu darah menyembur!” Di balik rerumpunan semak belukar tempatnya bersembunyi bersama Kinasih, murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
Dua anak buah Warok Mata Api terbelalak. Mulut ternganga tapi tak ada suara.
Salak Jonggrang adalah anak buah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Namun jika dia tidak bisa selamatkan diri dari serangan kilat tadi, menemui ajal sekali tabas saja dapat dimengerti karena waktu mengirimkan serangan maut tadi Warok Maa Api telah mempergunakan jurus paling hebat yang dimilikinya. Yakni jurus bernama Di Dalam Gelap Maut Menyusup. Sesuai dengan nama jurus itu Salak Jonggrang tidak melihat apa-apa. Dia seolah berada dalam gelap hingga jari di depan matapun tidak kelihaan! Tahu-tahu golok sudah mengibas tenggorokannya!
Warok Mata Api pandangi mayat anak buahnya itu dengan seringai bermain di mulut. Lalu dia berpaling pada tiga yang lain.
“Ada di antara kalian yang ingin mengikuti jejak Salak Jonggrang?!”
Tak ada yang menyahut. Warok Mata Api angguk-angukkan kepala lalu berkata. “ Bagus, kalian rupanya bukan bangsa pembangkang! Masukkan dua pertiga isi peti kalian ke dalam petiku. Lalu tinggalkan tempat ini. Kita berpisah di sini. Kalian kembali ke Roban, aku menyusul kemudian.”
Tanpa banyak cerita atau berani bicara tiga anggota rampok hutan Roban segera lakukan apa yang diperintah oleh pimpinan mereka. Lalu memasukkan peti kecul yang isinya tinggal sepertiga ke dalam buntalan masing-masing. Warok Mata Api kemudian sibuk mengemasi peti besarnya. Ketika ke empat orang ini hendak melangkah ke kuda masing-masing tiba-tiba kesunyian di tempat itu dipecah oleh suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian muncul seorang pemuda berbaju kuning yang kancing-kancingnya terbuat dari kayu diukir seperti potongan bambu kecil. Celananya berwarna hitam. Wajahnya tampan. Dia menunggang seekor kuda coklat yang bagian hidungnya berwarana putih. Tubuhnya yang tegap kokoh tampak gagah di atas kuda.
“Warok Mata Api! Jangan buru-buru pergi. Kita perlu membicarakan pembagian hasil jarahan untukku!”
Warok Mata Api dan tiga anak buahnya berpaling cepat.
“Sial! Kau rupnaya!” maki kepala rampok hutan Roban itu.
“Jangan bermulut lancang berani memaki! kalau bukan bantuan dan keterangan dariku seumur hidup kau tidak akan pernah mendapatkan hasil jarahan sebanyak itu! Apa yang kau dapat cukup untuk hidupmu tiga turunan! Bukannya berterima kasih malah berani memaki!”
Rahang Warok Mata Api menggembung. Dua matanya mendelik. Dia masukkan tangan
kiri ke dalam buntalan. “Kau minta imbalan! Ambillah dan lekas pergi!” Tangan kiri Warok Mata Api bergerak. Satu benda kuning melesat ke arah pemuda di atas
kuda coklat. Benda itu adalah sebuah perhiasan terbuat dari emas, berbentuk bunga setangkai yang ujung-ujungnya runcing. Di tangan Warok Mata Api perhiasan itu berubah menjadi satu senjata sangat berbahaya. Dinding kayu bisa ditembus! Apalagi daging manusia! Sang Warok melempar sama sekali jelas bukan sekedar untuk memberikan, tetapi merupakan satu serangan maut karena perhiasan itu laksana kilat menyambar ke arah tenggorokan pemuda berpakaian kuning!
“Dasar rampok! Membalas budi orang dengan khianat busuk! Hari ini kau akan tahu dengan siapa berhadapan! Jangan harapkan selamat sekalipun kau punya nyawa rangkap!” Di balik semak belukar Pendekar 212 sunggingkan senyum. “Ucapannya hebat! Hemmmm… Siapa adanya manusia satu ini!”

BAB 2

Orang di atas kuda gerakkan tangan kiri, melintang di depan leher. Sesaat kemudian
perhiasan yang dijadikan Warok Mata Api sebagai senjata maut untuk membunuh telah berada dalam genggamannya. Ketika tangan yang menggenggam bergerak terdengar suara berderak. Begitu genggaman dibuka perhiasan emas telah hancur, berubah menjadi pasir kuning luruh jatuh ke tanah. Si pemuda berpakaian kuning menyeringai dan usap-usapkan telapak tangannya satu sama lain.
Tiga anak buah Warok Mata Api melengak kaget. Di balik semak belukar Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai sambil garuk-garuk kepala. “Ternyata tenaga dalam pemuda baju kuning itu lebih tinggi dari yang dimiliki Warok Mata Api…”
Warok Mata Api walau hatinya berdebar melihat kehebatan orang tapi tetap unjukkan sikap tenag. Malah sambil tertawa lebar dia berkata. “Sayang, hadiah untukmu kau hancurkan sia-sia. Aku tidak akan memberikan apa-apa lagi padamu. Jadi lekas pergi dari sini. Jangan berani menghalangi langkahku!”
Tiga anak buah Warok Mata Api segera maklum bakal terjadi hal tak diingini di tempat itu. Ketiganya segera hendak melompat ke atas kuda masing-masing.
“Siapa menyuruh kalian pergi! Berani menggerakkan kuda satu langkah saja, berarti minta mati!”
“Bajingan tengik! Kau tidak layak memerintah anak buahku!” bentak Warok Mata Api.
“Aku tidak main-main dengan ucapanku!” tukas penunggang kuda coklat.
Warok Mata Api memberi isyarat dengan tangan agar tiga anak buahnya segera pergi.
“Kalian cepat pergi! Aku mau lihat apa yang akan dilakukan bocah ingusan ini!”
Tiga orang anak buah Warok Mata Api segera sentakkan tali kekang kuda masing­masing. Pada saat itulah sosok pemuda berpakaian kuning di atas kuda coklat melesat ke udara. Gerakannya laksana angin. Lalu!
“Bukk! Praakkkk!”
“Bukk! Praakkkk!”
“Bukk! Praakkkk!”
Tiga tendangan menderu dahsyat.
Tiga anggota rampok terpental dari atas kuda, jatuh tergelimpang di tanah. Tak berkutik lagi. Menemui ajal tanpa keluarkan suara. Kepala masing-masing kelihatan rengkah! Ganas luar biasa!
Habis menendang, pemuda baju kuning membuat gerakan jungkir balik di udara. Di lain kejap dia sudah duduk kembali di punggung kudanya. Itulah jurus yang disebut Menendang Matahari Menduduki Rembulan.
“Gila! Gerakan luar biasa hebat!” kata Wiro sambil geleng-geleng kepala penuh kagum.
Kali ini Warok Mata Api tidak dapat menyembunyikan perasaan hatinya. Mukanya yang sangar berubah pucat walau sesaat. Kemudian untuk menutupi gejolak hati yang mempengaruhi nyalinya dia membentak.
“Manusia jahanam! Siapa kau sebenarnya?!”
Pemuda di atas kuda coklat tersenyum.
“Namaku tidak pernah berganti. Kemarin aku memperkenalkan diri padamu sebagai Damar Wulung. Hari ini dan sekarang tetap Damar Wulung! Ada pertanyaan lain?”
“Jahanam!” rutuk Warok Mata Api. “Kau inginkan bagianmu? Kau boleh ambil lima peti berisi harta dan uang emas itu! Tapi tinggalkan dulu nyawa busukmu di sini!”
“Warok Mata Api! Aku tidak serakah! Aku hanya ingin setengah dari harta dan uang jarahan itu. Ditambah sebuah kotak berisi keris emas…!”
“Setan! Kau tidak bakal mendapat sepotong tengikpun!” bentak sang Warok.
Pemuda bernama Damar Wulung tertawa lebar. “Sungguh manusia tidak tahu budi. Kau tidak mau membagi hasil pada anak buahmu aku tidak perduli. Tapi aku yang memberi keterangan padamu mengenai rombongan yang membawa harta perhiasan serta uang itu hendak kau lecehkan begitu saja, mana aku bisa menerima!”
“Perduli setan kau mau menerima atau tidak!” hardik Warok Mata Api. Lalu srett! Dicabutnya golok besar di pinggang. Sekali di menghentakkan kaki ke tanah, laksana terbang tubuhya melesat ke udara. Golok di tangan menderu bergulung menyambar ke arah pemuda di atas kuda coklat. Sinar putih berkiblat menyilaukan!
Jurus serangan yang dilancarkan kepala rampok Alas Roban itu adalah Petir Bergulung Maut Meraung. Kehebatannya walau berada di bawah jurus Di Dalam Gelap Maut Menyusup yang tadi menamatkan riwayat Salak Jonggrang namun selama ini jarang musuh bisa selamat dari jurus Petir Bergulung Maut Meraung itu.
“Cepat dan ganas…” kata orang di atas kuda yang mendapat serangan. Memang benar. Karena sekali menggebrak Warok Mata Api lancarkan dua bacokan dan tiga tusukan. Kalau lawan lolos dari dua bacokan, masakan satu dari tiga tusukan tidak bakal menemui sasaran!
Tapi alangkah terkejutnya dedengkot hutan Roban itu ketika mendadak dia dapatkan lawan yang diserang lenyap dari pemandangan. Di lain saat dari bawah perut kuda meluncur dua kepalan, menjotos ke arah ulu hati dan bagian bawah perutnya.
“Kurang ajar!” Warok Mata Api kertakkan rahang. Serta merta dia sapukan goloknya ke bawah.
“Putus!’ teriak sang Warok. Dia merasa yakin sekali tangan yang memukul ke arah tubuhnya akan putus disambar tebasan golok. Tapi lagi-lagi dia dibikin kaget senjatanya hanya memapas angin.
Si pemuda yang diserang dengan gerakan cepat telah terlebih dulu jatuhkan diri ke tanah. Golok lewat di atas punggung. Dengan geram Warok Mata Api putar goloknya, mengejar kepala lawan. Mendadak dia merasa kaki kirinya dicekal. Sebelum dia sempat melihat ke bawah apa yang terjadi tubuhnya tiba-tiba telah dilontarkan ke atas. Bersamaan dengan itu dari bawah tubuh kuda melesat ke atas sosok berpakaian kuning.
“Bukkk! Bukkk!”
Masih melayang di udara dua tendangan melabrak dada Warok Mata Api. Tubuhnya yang tinggi besar mencelat jungkir balik. Darah menyembur dari mulutnya. Selagi dia berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh kepala lebih dulu, goloknya lepas ditarik orang.
Walau dalam keadaan luka parah di dalam namun kepala rampok itu masih bisa melayang turun ke tanah dengan kaki lebih dulu. Namun tidak ada gunanya. Karena begitu dia berdiri, bagian tajam golok miliknya sendiri telah ditempelkan orang di urat besar di lehernya. Keringat dingin langsung memercik di kening kepala rampok ini. Mata mendelik seperti melihat setan kepala tujuh! Sebenarnya bukan golok itu yang menyebabkan nyalinya lumer. Tapi kehebatan gerakan lawanlah yang membuat dia mati kutu!
“Kau mau membunuh kau. Lakukan cepat!” kata Warok Mata Api dengan suara bergetar. “Tapi jika kau mau mengampuni selembar nyawaku, kau boleh ambil semua harta dan uang dalam lima buah peti…”
Damar Wulung sunggingkan senyum. “Permintaanmu mungkin bisa kupertimbangkan. Untuk itu segera lakukan apa yang aku perintah. Lima peti dalam buntalan! Lekas kau ikat ke leher kuda coklat milikku!”
Warok Mata Api menarik nafas lega. Dia bisa tersenyum sedikit. “Terima kasih kau mau mengampuni diriku. Aku Warok Mata Api tidak akan melupakan kebaikanmu!”
“Tidak perlu banyak bicara. Lakukan apa yang aku perintah!” kata Damar Wulung pula.
“Segera aku lakukan!”
Warok Mata Api lalu kumpulkan lima buah peti yang sudah dibuntal lalu satu persatu dinaikkannya ke atas kuda. Ketika hendak menaikkan peti ke lima tiba-tiba kepala rampok ini balikkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu cepat sekali tangan kanannya melemparkan sebilah pisau ke arah Damar Wulung.
Pemuda yang dibokong berteriak marah. Sambil jatuhkan diri ke tanah, tangan kanannya bergerak, balas melemparkan golok milik Warok Mata Api yang masih dipegangnya. Golok melesat deras ke arah Warok Mata Api. Kepala rampok Alas Roban ini berusaha mengelak. Namun terlambat. Senjata miliknya sendiri itu menancap telak di pertengahan dadanya!
Sementara itu pisau tadi yang dilemparkan sang Warok melesat di udara, menancap di pinggul kuda milik Salak Jonggrang. Binatang ini meringkik keras, lari belasan langkah lalu roboh tergelimpang, melejang-lejang dengan mulut berbusah lalu kejang tak bergerak lagi. Pisau yang dilemparkan Warok Mata Api ternyata mengandung racun luar biasa jahat. Kuda sebesar itu saja menemui ajal begitu cepat. Apalagi manusia!
Damar Wulung melangkah ke arah kudanya. Dekat mayat Warok Mata Api dia berhenti. Membungkuk lalu menggeledah tubuh kepala rampok itu. Di balik pinggang pakaian mayat ditemukannya sebilah keris emas. Senjata ini ditimang-timangnya sesaat lalu dia melanjutkan langkah ke arah kudanya.
Di balik semak belukar Wiro bergerak siap berdiri. Pada Kinasih dia berkata. “Kau tunggu di sini sampai aku kembali…”
“Eh, kau mau kemana? Aku tidak mau ditinggal sendiri. Begini banyak mayat bergelimpangan di tempat ini. Aku ikut…” kata Kinasih sambil pegangi lengan baju Pendekar
212.
“Aku punya syak wasangka buruk terhadap orang berbaju kuning itu… Dia membawa semua harta benda rampokan. Kau lihat sendiri lambang Kerajaan pada peti-peti itu. Aku perlu menanyakan mau dibawanya kemana semua barang jarahan itu…”
“Wiro, itu bukan urusanmu. Jangan mencari perkara. Orang itu tinggi sekali ilmunya.” “Siapa takutkan dia?” ujar murid Sinto Gendeng.
“Kau lupa barusan kehilangan tenaga dalam akibat tendangan kaki kuda Momok Dempet?
Apa kekuatanmu sudah pulih?” Wiro ingat dan jadi terkesiap. “Kau benar…” berucap Pendekar 212 perlahan. “Biar kucoba lagi…” Murid Sinto
Gendeng ini lalu kerahkan tenaga dalam yang berpusat di perut. “Sialan!” Wiro memaki sendiri. Ternyata dia hanya bisa mengerahkan sebagian kecil saja dari seluruh tenaga dalamnya. “Kalau aku nekad mencari urusan dengan si baju kuning itu bisa-bisa celaka…” Di depan sana terdengar suara kuda dipacu. Wiro hanya bisa menggeram. Pemuda
bernama Damar Wulung dan kudanya lenyap membawa lima peti berisi barang perhiasan dan uang serta sebilah keris.

BAB 3

Langit di sebelah barat kelihatan merah kekuningan. Sebentar lagi sang surya akan masuk
ke ufuk tenggelamnya, siang akan segera berganti dengan malam. Sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda meluncur kencang memasuki Kotaraja dari arah selatan. Di sebelah depan tampak dua sosok aneh duduk berdempetan. Salah seorang dari mereka bertindak sebagai sais gerobak sementera sosok dempet di sebelahnya duduk terkulai, tiada henti keluarkan suara mengerang. Dua orang dempet di atas gerobak ini bukan lain adalah Momok Dempet Berkaki Kuda.
Lantai gerobak merah digenangi darah. Darah ini mengucur dari kaki kiri Momok di sebelah kiri yang bernama Tunggul Gini. Kaki itu dalam keadaan buntung sebatas lutut ke bawah. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Tiga Makam Setan) kaki kiri Tunggul Gini putus dimakan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah sewaktu terjadi pertempuran antara sepasang momok ini dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Gono… Tubuhku terasa panas. Ada hawa aneh mencucuk menjalari sekujur badanku…”
“Jangan banyak bicara! Kerahkan tenaga dalam. Totok urat besar di pangkal paha kirimu agar darah berhenti mengucur…” membentak Tunggul Gono.
“Sudah kulakukan. Tapi aneh… Darah celaka masih terus mengucur. Ujung kakiku yang putus bengkak membiru…”
“Bengkak membiru?!” Mengulang Tunggul Gono. Dia melirik ke arah kaki kiri saudaranya yang putus. Memang benar. Kaki itu kelihatan gembung membiru. Tengkuk Tunggul Gono menjadi dingin. “Kau terkena racun!”
“Racun… racun dari mana?” tanya Tunggul Gini pucat dan serak.
“Ilmu gila Pendekar 212 itu! Tanah yang menjepit dan memutus kakimu itu pasti mengandung racun!” Kata Tunggul Gono pula lalu mendera punggung dua ekor kuda penarik gerobak dengan cemeti hingga binatang-binatang itu lari lebih kencang.
“Tunggul Gono… Kalau aku mati..”
“Diam!” bentak Tunggul Gono. “Jangan bicara seperti itu!. Siapa bilang kau akan mati… Kuatkan dirimu! Kerahkan tenaga dalam. Sebentar lagi kita sampai di tujuan. Orang yang akan kita temui pasti bisa menolong…”
Saat itu sebenarnya Tunggul Gono sendiri merasa sangat kawatir. Bukan saja melihat keadaan saudaranya yang tidak beda seperti orang mau sekarat. Tetapi juga karena hawa panas yang ada di tubuh Tunggul Gini kini merambas masuk ke dalam tubuhnya sendiri. Berarti kalau saudaranya itu kerasukan racun jahat, cepat atau lambat racun itu akan masuk ke dalam tubuhnya!
Di depan sebuah pintu gerbang satu gedung besar di pinggiran Kotaraja Tunggul Gono hentikan gerobaknya. Gedung ini adalah tempat kediaman Raden Mas Selo Kaliangan, Patih Kerajaan. Dua orang perajurit yang mengawal pintu gerbang dengan sikap waspada dan gerakan cepat segera mendatangi gerobak. Mereka terkejut melihat dan mengenali siapa adanya dua sosok di atas gerobak. Momok Dempet Berkaki Kuda. Lebih terkejut lagi melihat kaki kiri Tunggul Gini yang putus dan masih mengucurkan darah sementara Tunggul Gini sendiri dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan terus-menerus menggumam erang kesakitan.
Dua pengawal pintu gerbang dalam kejutnya segera bertindak cepat. Setahu mereka Momok Dempet Berkaki Kuda adalah sepasang buronan yang dicari-cari Kerajaan karena pernah melakukan pembunuhan terhadap beberapa tokoh silat Istana.
Pengawal pertama melompat ke atas gerobak sambil todongkan ujung tombak ke leher Tunggul Gono. Pengawal satunya lari ke samping pintu gerbang. Di sini terdapat sebuah kentongan kayu. Kentongan ini dipukulnya terus-menerus, baru berhenti ketika dilihatnya dari halaman dalam berdatangan belasan perajurit Kepatihan. Dalam waktu singkat gerobak yang ditumpangi Momok Dempet sudah dikurung lima belas perajurit, ditambah satu di atas gerobak yang masih mengarahkan tombaknya ke leher Tunggul Gono. Momok satu ini sama sekali tidak perdulikan mata tombak yang hanya seujung rambut dari tenggorokannya. Dia memandang ke arah belasan perajurit lalu keluarkan ucapan garang.
“Kalian monyet-monyet memuakkan! Mana Patih Kerajaan! Beritahu aku Momok Dempet Berkaki Kuda ingin menemuinya untuk satu urusan penting!”
Mendengar ucapan Tunggul Gono satu dari belasan perajurit yang mengurung gerobak maju mendekat. “Kalian buronan Kerajaan! Tidak pantas menemui Patih Kerajaan. Kalian harus kami tangkap saat ini juga!”
“Setan alas minta kugebuk!” Tunggul Gono berteriak marah. Tangan kanannya bergerak secepat kilat. Pengawal pintu gerbang yang menodongnya dengan tombak berseru kaget karena tahu-tahu tombak itu ditarik lepas dari pegangannya. Belum habis kejutnya ujung tombak yang tumpul menghantam dadanya hingga dia terpental jatuh dari atas gerobak, megap-megap meggerung kesakitan karena tulang dadanya remuk. Kemarahan Tunggul Gono tidak sampai di
situ saja. Tombak yang masih ada di tangannya ditusukkan ke kepala perajurit yang tadi bicara hendak menangkapnya.
Perajurit itu cepat babatkan pedangnya menangkis serangan. Beberapa temannya juga tak tinggal diam. Ada yang ikut membantu menangkis, ada juga yang menyerbu ke atas gerobak.
“Benar-benar keparat!” maki Tunggul Gono. Setengah berdiri dia babatkan tombak dalam gerakan setengah lingkaran. Terdengar suara berdentrangan disertai pekik kejut dan kesakitan. Beberapa senjata bermentalan ke udara. Dua perajurit terguling di tanah. Satu patah lengannya, satu lagi benjut bocor keningnya.
Di atas gerobak, walau dalam keadaan luka parah, Tunggul Gini tidak tinggal diam. Begitu beberapa perajurit melompat naik, dia gerakkan kaki kanannya. Satu perajurit terpental dan jatuh terbanting ke tanah dengan perut pecah. Tiga lainnya berteriak kaget dan cepat menghindar ketika melihat dari tangan kiri Tunggul Gini melesat selarik sinar hitam. Tak ampun lagi ke tiga perajurit itu mencelat ke udara. Ketika jatuh berkaparan di tanah tubuh mereka kelihatan hangus menghitam dan mengepulkan asap!
Walau berhasil membunuh empat orang perajurit namun akibat pengerahan tenaga yang berlebihan membuat keadaan Tunggul Gini semakin parah. Sosoknya terkulai lemah. Darah makin banyak mengucur dari kaki kirinya yang buntung. Melihat keadaan saudaranya begitu rupa dan mengira Tunggul Gini sudah mati, Tunggul Gono jadi mengkelap. Tombak yang masih dipegangnya diputar demikan rupa. Dua perajurit lagi menjadi korban. Ketika kemudian ujung tombak hampir menembus mati perajurit berikutnya, tiba-tiba dari samping melesat satu bayangan dan trang!
Tombak di tangan Tunggul Gono patah dua. Di atas gerobak berdiri seorang kakek berpakaian dan berdestar serba hitam, memegang sebilah pedang tipis berwarna biru. Sebiru pedang, begitu pula biru warna alisnya.
“Sobat lama Momok Dempet Berkaki Kuda! Kulihat salah satu dari kalian berada dalam keadaan tidak menggembirakan. Apakah kalian datang untuk menyerahkan diri?!” Kakek berpedang biru menegur.
Tungggul Gono meludah. “Malaikat Alis Biru! Jangan bicara terlalu sombong! Momok Dempet tidak mengenal kata-kata menyerah! Jadi jangan anggap kedatangan kami untuk meyerahkan diri!”
“Riwayat kalian di masa lalu tidak terpuji. Kalian adalah dua buronan yang dicari Kerajaan hidup atau mati! Barusan saja kalian membunuhi perajurit-perajurit Kepatihan! Apa kalian masih mengira bisa dibiarkan hidup lebih dari sekejapan mata?! Aku hanya butuh jawabanmu setelah itu bersiaplah menerima kematian!”
Sosok tinggi Tunggul Gono meregang ke atas.
“Aku ingin menemui Patih Kerajaan!” kata Tunggul Gono.
“Begitu? Sebutkan keperluanmu?!” kata kakek berpakaian serba hitam berkumis biru disebut dengan julukan Malaikat Alis Biru. Dia adalah salah satu tokoh silat Istana yang sore itu kebetulan bertamu di Gedung Kepatihan.
“Aku tahu Patih Selo Kaliangan seorang yang memiliki ilmu pengobatan. Aku minta dia menolong saudaraku ini…”
Mendengar kata-kata Tunggul Gono itu si kakek keluarkan tawa mengekeh. “Otakmu sudah tidak waras. Tidak menyadari diri sebagai buronan, malah baru saja membunuhi perajurit Kepatihan, kini bicara minta pertolongan Patih Selo Kaliangan! Jangan-jangan otakmu sudah miring alias sedeng gila!”
“Aku minta tolong tidak cuma-cuma! Aku membawa imbalan besar sebagai ganti pertolongan yang aku minta!”
“Hebat! Katakan imbalan apa yang bisa kau berikan? Nyawa busukmu dan nyawa busuk saudaramu?!” tukas Malaikat Alis Biru.
Rahang Tunggul Gono menggembung mendengar kata-kata si kakek. Namun dia tindih amarahnya dan berkata. “Kakek bau! Siapa sudi bicara denganmu! Aku hanya mau bicara dengan Patih Kerajaan!”
Tiba-tiba dari gelap bayang-bayang pintu gerbang Gedung Kepatihan terdengar satu ucapan membahana.
“Aku Selo Kaliangan, Patih Kerajaan ada di sini! Silahkan memberi tahu imbalan apa yang akan kau berikan untuk pertolongan yang kau minta!”
Tunggul Gono terkejut. Dia berpaling ke samping kanan. Di situ berdiri seorang berpakaian serba merah. Tegak tak bergerak sambil rangkapkan dua tangan di atas dada. Sepasang matanya yang besar memandang tajam ke arah Tunggul Gono. Orang ini adalah Patih Kerajaan Selo Kaliangan.
Setelah menatap sang Patih sesaat, baru Tunggul Gono membuka mulut. “Aku akan memberi tahu siapa pembunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta. Untuk itu aku minta Patih mengabulkan dua hal…”
“Katakan apa dua hal itu,” kata Patih Kerajaan pula, tenang dan tetap tidak bergerak di tempatnya berdiri.
“Pertama, Kerajaan harus memberi pengampunan atas diri kami. Mencabut cap bahwa aku dan saudaraku adalah buronan Kerajaan. Kedua aku minta kesediaan Patih Kerajaan untuk mengobati luka saudaraku! Jika permintaanku dipenuhi, aku bukan saja memberi tahu siapa pembunuh Raden Mas Sura Kalimarta, tapi juga akan membaktikan diri pada Kerajaan…”
Malaikat Alis Biru tertawa bergelak. “Siapa percaya pada manusia kotor sepertimu…?”
Panaslah hati dan naiklah darah Tunggul Gono.
“Gelarmu Malaikat! Tapi kau sebenarnya hanyalah seekor cecunguk tidak berharga. Karena kau cuma cecunguk maka sebaiknya jangan bicara banyak. Kau bukan penguasa yang bisa memberi keputusan!” Habis berkata begitu Tunggul Gono berpaling pada Patih Kerajaan Selo Kaliangan. :”Patih Kerajaan, aku menunggu jawabanmu.”
Patih Selo Kaliangan tatap wajah Tunggul Gono sambil otaknya bekerja. “Siapa pembunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta memang masih gelap. Ada baiknya kalau manusia satu ini diberi kesempatan…”
“Patih Selo, aku menunggu….”
“Patih, harap kita jangan sampai tertipu oleh manusia berpakaian bulu domba ini tapi sewaktu-waktu bisa menjadi srigala! Mayat-mayat perajurit itu masih panas unuk menjadi saksi!” Malaikat Alis Biru kawatir kalau Patih Kerajaan terpengaruh oleh ucapan dan permintaan Tunggul Gono.
Sang Patih anggukkan kepala dan kedipkan mata pada si kakek lalu berkata pada Tunggul Gono. “Perihal pengampunan atas diri kalian hanya Sri Baginda yang berkuasa memberikan. Aku tidak punya wewenang sama sekali…”
“Tapi selaku Patih Kerajaan bukankah bisa memintakan pada Raja. Terserah apa Patih mau melakukan.”
Patih Selo Kaliangan usap janggutnya. Dalam hati dia berkata. “Kematian juru ukir Raden Mas Sura Kalimarta memang mengusik Sri Baginda. Tapi sebenarnya orang tua itu tidak terlalu penting. Kalaupun pembunuhnya tidak ditemukan rasanya bukan satu ganjalan. Tapi momok satu ini agaknya bisa dimanfaatkan…”
“Baik, aku akan bicarakan soal pengampunanmu dengan Sri Baginda,” Patih Selo Kaliangan akhirnya ucapkan janji.
“Bagaimana dengan permintaan kedua? Pengobatan untuk saudaraku Tunggul Gini?”
Patih Selo Kaliangan melangkah mendekati gerobak. Saat itu hari sudah gelap. Patih memerintahan dua perajurit membawa obor. Di bawah penerangan dua obor Patih Selo Kaliangan memeriksa kutungan kaki kiri Tunggul Gini. Lama dia meneliti keadaan kaki itu lalu usap-usap janggut kelabunya dan gelengkan kepala berulang kali.
“Melihat kutungan kaki saudaramu ini, aku meragukan dia telah ditabas senjata tajam. Benda apa yang telah memutus kaki ini?” tanya Patih Selo Kaliangan pula.
“Putus dijepit tanah…”
“Putus dijepit tanah?!” Sang Patih kerenyitkan kening. “Tidak bisa kumengerti…”
“Patih, sudah kukatakan orang satu ini miring otaknya. Mengapa kita perlu bicara panjang lebar dengannya?!” berkata Malaikat Alis Biru.
Saat itu Tunggul Gono masih memegang patahan tombak. Dalam marahnya mendengar kata-kata Malaikat Alis Biru, Tunggul Gono gerakkan tangan hendak lemparkan tombak ke arah si kakek. Tapi tangannya cepat dicekal oleh Patih Selo Kaliangan.
“Jelaskan padaku hal yang menyangkut buntungnya kaki saudaramu…” berkata Sang Patih.
“Pendekar 212 Wiro Sableng yang melakukan!” jawab Tunggul Gono.
“Pendekar 212 Wiro Sableng?” mengulang Patih Kerajaan sambil memandang pada si kakek berjuluk Malaikat Alis Biru.
Kakek yang dipandang lantas membentak. “Tadi kau bilang kaki saudaramu putus dijepit tanah! Barusan kau katakan Pendekar 212 Wiro Sableng yang melakukan! Mana yang betul? Jangan berani bicara tak karuan pada Patih Kerajaan!”
“Setan tua! Siapa bicara tak karuan! Kaki saudaraku memang putus dijepit tanah. Tanah yang menjepit itu terjadi akibat ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar 212!”
“Pendekar 212… Aku pernah mendengar nama itu. Tapi sejak beberapa tahun belakangan ini tidak kedengaran kabar beritanya…” Patih Kerajaan berucap dalam hati.
“Setahuku Pendekar 212 Wiro Sableng telah meninggal dunia dua tahun yang lalu…” kata Malaikat Alis Biru pula.
Tunggul Gono keluarkan suara mendengus. “Kau terlalu banyak mendapat kesenangan di Keraton hingga tidak tahu apa yang terjadi di dunia persilatan! Pendekar 212 masih hidup! Dia yang memutus kaki saudaraku dengan ilmu kesaktian aneh yang tidak pernah kulihat sebelumnya!”
“Sepertinya tidak masuk akal!” kata Malaikat Alis Biru. “Tanah Jawa dipenuhi puluhan tokoh berkepandaian tinggi. Tapi tidak satupun yang memiliki ilmu kesaktian sanggup membelah tanah lalu menjepit kaki lawan sampai putus!”
“Ada silang sengketa apa di antara kalian hingga Pendekar 212 Wiro Sabelng memutus kaki saudaramu dengan ilmu anehnya?” bertanya Patih Kerajaan.
Tunggul Gono tidak menjawab. “Patih, saat ini biar kuberi tahu sekalian bahwa yang membunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta adalah juga Pendekar 212 Wiro Sableng! Kemungkinan besar istri juru ukir itu berselingkuh dengan Pendekar 212. Karena terakhir sekali kami melihat mereka berdua-dua di satu tempat…”
Kakek alis biru gelengkan kepala. “Kalau Pendekar 212 memang masih hidup, tidak masuk akal dia melakukan perbuatan keji itu. Membunuh seorang tua abdi Keraton yang tidak berdosa lalu berbuat mesum dengan istrinya. Aku tahu betul sifat perangai Pendekar 212. Senang pada gadis cantik dan sebaliknya disenangi puluhan gadis jelita. Tapi dia bukan pemuda mata keranjang yang memanfaatkan kesempatan. Dia tidak pernah menodai perempuan…”
“Setan tua! Aku tidak meminta kau atau Patih Kerajaan untuk percaya pada keteranganku! Aku hanya memberi tahu apa adanya. Jika kalian tidak percaya silahkan tunggu. Kedua orang itu pasti muncul di Kotaraja. Kinasih, istri mendiang Sura Kalimarta tidak mungkin akan meninggalkan rumah besar dan hartanya begitu saja…” Setelah diam sebentar, Tunggul Gono meneruskan ucapannya. “Aku sudah memberi tahu siapa pembunuh juru ukir Keraton. Harap Patih Kerajaan suka menolong mengobati luka saudaraku…”
Patih Selo Kaliangan kembali meneliti kaki kiri Tunggul Gini lalu berkata. “Aku mengenal ratusan macam dan jenis racun. Tapi racun yang bersarang di luka saudaramu ini tidak bisa kukenali. Aku tidak punya kemampuan untuk menolong saudaramu…”
“Patih Kerajaan, kau berdusta!”
“Apa untungnya kedustaan macam itu bagiku? Aku bisa saja berpura-pura mengobati luka adikmu. Akibatnya kau yang akan celaka karena mengira racun sudah dimusnahkan padahal masih mendekam dan bisa menjalar masuk ke dalam jalan darahmu. Coba kau perhatikan warna biru di kaki kiri saudaramu. Warna itu sedikit demi sedikit naik ke atas. Bilamana mencapai pangkal paha, berarti racun sudah masuk ke dalam pembuluh darah besar. Kalau sudah di situ saudaramu dan juga dirimu tidak akan tertolong lagi!”
Berubahlah paras Tunggul Gono. Momok satu ini usapkan tangan kanannya ke leher. Terasa panas. “Aku tahu sekali, Patih ini seorang yang mengerti seluk beluk pengobatan dan ahli dalam segala macam racun. Dia agaknya tidak berdusta. Umur saudaraku rasanya tak bakal lama. Aku sendiri…” Tengkuk Tuggnul Gono menjadi dingin. “Celaka, apa yang harus aku lakukan?!” Dia menatap tajam pada Patih Selo Kaliangan lalu berpaling pada sosok saudaranya yang terkulai di sebelahnya.
“Tunggul Gini…”
Orang yang dipanggil diam saja.
“Gini!” Tunggul Gono memanggil lebih keras. Kali ini sambil menggoncang bahu saudaranya dengan tangan kanan.
Perlahan-lahan sepasang mata Tunggul Gini yang sejak tadi tertutup membuka sedikit.
“Tunggul Gini! Kau dengar suaraku?!”
“Tunggul Gono. Kau… Ada apa… Tubuhku panas. Dadaku sesak, aku sulit bernafas. Pandangan mataku kabur. Aku…”
“Gini, maafkan aku. Aku terpaksa melakukan hal ini. Tak ada jalan lain!”
“Apa maksudmu Gono…?”
Tunggul Gono tidak menjawab. Tangan kanannya tiba-tiba memancarkan cahaya hitam. Bergerak ke kiri.
“Kraaakkk!”
Bersamaan dengan suara menggidikkan itu Tunggul Gini menjerit setinggi langit lalu diam. Ketika Tunggul Gono bangkit berdiri, sosok Tunggul Gini terhempas ke lantai depan gerobak yang dipenuhi genangan darah. Semua orang terkesiap kaget, ada yang sampai keluarkan suara tertahan melihat apa yang terjadi. Tunggul Gono membetot putus bahu kanan Tunggul Gini, saudara dempet yang menyatu bersama tubuhnya selama puluhan tahun!
Untuk beberapa lama kesunyian menegangkan menggantung di tempat itu. Semua orang dicekam kengerian. Sesaat kemudian, belum lagi rasa bergidik yang memagut sempat sirna, tiba­tiba terjadi lagi satu kengerian.
Secara aneh sosok Tunggul Gini yang kini tidak lagi memiliki tangan kanan tiba-tiba bangkit terduduk di lantai gerobak. Darah mengucur dari luka yang terkuak besar di bahu kanan. Darah itu membasahi sekujur tubuh dan pakaiannya.
Kepala Tunggul Gini berputar kaku ke arah Tunggul Gono. Mata membuka besar menggidikan, bibirnya bergetar. Dari dua lobang hidungnya mengepul hawa aneh keputih­putihan. Di sela getaran bibir, mulut berucap.
“Jahanam Tunggul Gono! Aku tidak rela kau perlakukan seperti ini. Kita dilahirkan dari perut yang sama. Puluhan tahun hidup dempet bersama dan kelak harus mati bersama pula. Tapi kini kau bunuh diriku untuk menyelamatkan diri sendiri. Aku tidak ikhlas. Rohku tidak akan pernah tenteram. Rohku akan gentayangan mengejarmu. Aku bersumpah akan meregang nyawamu! Kau lebih jahat dari keparat Pendekar 212 yang menjepit putus kakiku! Aku akan membunuh kalian berdua!”
Mau tak mau ngeri juga Tunggul Gono mendengar ucapan saudaranya itu. Apalagi waktu memperhatikan wajah Tunggul Gini. Angker menggidikkan. Tengkuknya seperti diguyur air es!
“Aku harus tinggalkan tempat celaka ini! Tapi aku tidak mau membawa serta mayatnya! Dia mengancamku dengan rohnya… Gila! Ini semua gara-gara Pendekar 212! Bangsat itu harus kuhabisi!”
Dengan kaki kirinya Tungggul Gono tendang sosok Tunggul Gini hingga jatuh ke tanah. Cemeti dicambukkannya ke punggung dua ekor kuda. Dua kuda penarik gerobak meringkik keras, melompat kabur meninggalkan hadapan pintu gerbang Kepatihan.
Sebelum lenyap di kegelapan terdengar teriakan Tunggul Gono. “Patih Kerajaan! Jika kau tidak menolong memnta pengampunan pada Sri Baginda, aku bersumpah akan mengobrak abrik Kepatihan dan Keraton!”
Patih Selo Kaliangan tersentak mendengar ancaman itu. Dia segera balas berteriak.
“Tunggul Gono! Besok pagi sebelum sang surya terbit! Aku tunggu kau di pintu gerbang Keraton sebelah timur!”

BAB 4

Gerobak yang ditumpangi Pendekar 212 Wiro Sableng dan Kinasih memasuki Kotaraja di
malam gelap di bawah hujan rintik-rintik. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara, termasuk kusir gerobak. Namun Wiro sempat melihat kesan yang tidak enak. Dia memperhatikan beberapa kali kusir gerobak itu melontarkan lirikan aneh ke arahnya dan Kinasih.
Di hadapan satu rumah besar gerobak berhenti.
“Ini rumahku,” kata Kinasih sambil turun, dibantu oleh kusir gerobak. “Heran, mengapa sepi dan gelap saja? Apa suamiku tidak di rumah?”
Wiro melompat turun. Pada saat itulah kusir gerobak untuk pertama kalinya membuka mulut, berkata sambil membungkuk di hadapan Kinasih.
“Maafkan saya, seharusnya saya memberi tahu dari tadi-tadi…”
“Memberi tahu apa?” tanya Kinasih heran.
“Den Mas Sura Kalimarta, suami Den Ayu, meninggal dunia beberapa hari lalu. Tewas dibunuh orang…”
Sepasang mata Kinasih terbeliak. “Aku tidak percaya…” katanya lalu memandang ke arah rumah besar.
“Saya tidak berdusta. Banyak orang berusaha mencari Den Ayu Kinasih, tapi tidak tahu mencari dimana. Ada yang menduga Den Ayu telah menjadi korban bersama rombongan yang menyambangi sahabat di desa. Tapi jenazah Den Ayu tidak ditemukan. Tapi sewaktu Den Ayu mencegat gerobak saya hampir-hampir tidak percaya. Menduga Den Ayu ini… Maafkan saya…”
Kinasih berpaling pada Wiro.
“Aku akan menyelidik ke dalam rumah,” kata Pendekar 212.
“Aku ikut!” kata Kinasih.
Saat itu dari seberang jalan mendatangi dua orang. Ternyata mereka adalah dua suami istri tetangga Kinasih.
“Jeng… Aduh Jeng! Syukur Jeng Kinasih masih hidup. Kami mengira…”
Belum sempat istri tetangga itu menyelesaikan ucapannya Kinasih sudah memotong. “Tolong diberi tahu. Apa benar suami saya…”
“Kami semua bingung Jeng. Raden Mas Sura Kalimarta ditemukan tewas di dalam rumah. Jeng Kinasih tidak diketahui berada dimana…”
Kinasih terpekik. Lalu sambil berulang kali menyebut nama suaminya perempuan ini lari memasuki pekarangan rumah besar yang gelap. Wiro mengikuti. Tetangga lain di sekitar situ segera pula berdatangan.
***

Kinasih menangis menelungkup di atas makam Raden Mas Sura Kalimarta yang tanahnya masih merah sementara hujan masih turun rintik-rintik.
“Ya Tuhan, mungkin musibah ini sebagai hukuman dariMu atas penyelewegnan yang aku lakukan. Bagus Srubud, aku bersumpah membunuhmu!” Rasa berdosa dalam dirinya membuat perempuan ini keluarkan ratapan menyayat hati.
“Kang Mas Sura, maafkan diriku! Siapa yang begitu jahat membunuhmu Kang Mas…”
Satu suara di dalam gelap tiba-tiba menyahut kata-kata Kinasih. “Pembunuh suamimu berada sangat dekat di sebelahmu Kinasih…”
Wiro dan Kinasih serta kusir gerobak yang ada di tempat itu tersentak kaget. Tempat itu tiba-tiba menjadi terang benderang. Memandang berkeliling Wiro melihat sekitar dua puluh perajurit Kerajaan memegang obor di tangan kiri dan senjata di tangan kanan telah mengurung seantero tempat. Di belakang barisan perajurit itu kelihatan tiga penunggang kuda. Seorang di antaranya adalah salah satu dari Momok Dempet.
Penunggang kuda kedua seorang kakek berpakaian serba hitam, memiliki alis berwarna biru. Dia bukan lain adalah kakek sakti tokoh silat Istana berjuluk Malaikat Alis Biru. Di samping kakek, duduk tenang di atas punggung kudanya seorang tua berjubah kelabu berenda kuning. Mulutnya komat kamit seperti tengah mengunyah sesuatu. Di pinggang jubahnya melilit sebentuk tali berwarna kuning yang ada umbai-umbai pada kedua ujungnya. Kakek berjubah kelabu ini di kalangan Istana dikenal dengan nama Ki Balangnipa berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Mengapa dia mempunyai julukan aneh ini sebentar lagi akan kita saksikan.
Yang tadi berucap menyahuti ratapan Kinasih adalah Tunggul Gono si Momok Dempet yang kini tinggal sendirian. Setelah memutus tangan saudaranya kini dia memiliki dua buah tangan di sebelah kiri. Yang satu tangan kirinya sendiri sedang yang dempet adalah tangan kanan Tunggul Gini.
“Aneh, makhluk dempet ini mengapa kini tinggal satu? Kemana lenyap pasangannya?!” pikir Wiro.
Kinasih usap matanya yang basah, memandang ke jurusan tiga penunggang kuda. “Si… siapa yang tadi bicara?”
Momok Dempet angkat tangan kirinya dan menjawab. “Aku! Momok Dempet bernama Tunggul Gono…”
“Momok Dempet Tunggul Gono,” kata Kinasih dalam hati. “Dia rupanya, tapi mana yang satunya?”
“Kinasih, apa aku perlu mengulang ucapanku tadi? Kau ingin tahu siapa pembunuh suamimu?” Tunggul Gono bertanya dengan suara sengaja dikeraskan agar semua orang termasuk Wiro mendengar.
“Siapa? Kau mengetahui…?”
Tunggul Gono tertawa. Jari telunjuk tangan kirinya di arahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Pemuda gondrong di sebelahmu itulah pembunuh suamimu!”
Kinasih terkejut. Matanya melotot besar memandang pada Wiro. “Dia…? Wiro?!”
“Jangan percaya Kinasih. Ada yang tidak beres. Ada orang memfitnah hendak mencelakai diriku. Aku tidak heran kalau orangnya adalah Momok Dempet yang kini berubah menjadi Momok Kampret! Dia punya dendam terhadapku. Beberepa hari lalu saudaranya aku celakai. Cuma aku tidak tahu dia buang kemana pasangannya itu!”
“Kau… kau bisa membuktikan pemuda ini yang membunuh suamiku?” tanya Kinasih pada Momok Dempet Tunggul Gono.
“Soal bukti membuktikan bisa kita lakukan nanti. Saat ini aku dan pasukan Kerajaan serta dua tokoh silat Istana datang ke sini untuk menangkapnaya. Ini adalah perintah Raja!”
“Edan!” maki Wiro.
“Pemuda sableng! Kau mau menyerahkan diri hidup-hidup atau perlu kukorek dulu nyawamu dari tubuhmu?!” Tunggul Gono ajukan pertanyaan dengan sikap sinis mengejek.
“Pendekar 212!” kakek alis biru membuka mulut untuk pertama kali. “Katakan dengan jujur, benar kau yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta?”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Dengan jujur disertai sumpah, aku tidak melakukan perbuatan keji itu!”
“Lalu bagaimana kau bisa berada berdua-dua di satu tempat di luar Kotaraja dengan istri juru ukir itu. Ada dugaan kalian berselingkuh dan berkomplot membunuh suami perempuan ini. Lalu berpura-pura berbaik-baik menolongnya untuk menutupi kebejatanmu…”
“Setan sekalipun tidak akan sejahat itu! Apa lagi aku manusia yang punya hati dan otak!”
“Tapi semua orang tahu hatimu bisa bengkok dan otakmu miring sableng…” tukas Momok Dempet Tunggul Gono.
Kinasih bangkit berdiri. Manatap Pendekar 212 tajam-tajam. “Wiro, kuharap kau mengaku secara kesatria. Kau…”
“Tidak perlu bicara panjang lebar dengannya. Dipaksapun dia tidak akan mengaku! Kinasih, harap kau menyingkir ke tempat aman. Kami orang-orang Kerajaan akan menangkap manusia keji ini!” Momok Dempet memberi ingat bukan lantaran apa. Tapi sesungguhnya sejak pertemuan di luar Kotaraja beberapa waktu lalu dia sangat bernafsu terhadap perempuan muda berwajah ayu jelita ini. Kelak jika urusan selesai dia akan berusaha mendapatkan Kinasih. Sebagai salah satu tokoh silat Istana, dia akan mempunyai kesempatan lebih luas. Siapa berani menghalangi?
Habis berkata begitu Momok Dempet Tunggul Gono memberi isyarat pada dua puluh perajurit dan dua kakek di sebelahnya. Dua puluh perajurit tancapkan obor ke tanah lalu melompat mempersempit kurungan.
Bagaimana ceritanya Momok Dempet Tunggul Gono saat itu bisa muncul bersama pasukan dan dua tokoh silat Istana?
Seperti dituturkan dalam Bab sebelumnya, Patih Selo Kaliangan bersedia menemui Tunggul Gono di pintu gerbang timur Keraton. Pertemuan itu terjadi pagi tadi menjelang fajar menyingsing.
Sebelumnya begitu selesai ba’dal Subuh Patih Selo Kaliangan berkesempatan menemui Baginda dan melaporkan apa yang terjadi tadi malam. Sang Patih pada pertemuan selanjutnya dengan Momok Dempet Tunggul Gono memberi tahu bahwa Raja bersedia memberi pengampunan atas perbuatannya di masa lalu menyangkut bentrokan yang menyebabkan terbunuhnya beberapa tokoh silat Keraton. Dia juga diterima sebagai salah satu abdi tokoh silat Istana. Namun untuk semua itu Tunggul Gono harus menjalankan dua tugas besar.
Tugas pertama mencari dan menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng yang disebutnya sebagai pembunuh Raden Mas Sura Kalimarta.
Tugas kedua dia harus membasmi para penjahat yang bercokol di Alas Roban sebelah utara, timur dan barat. Walau berat namun Tunggul Gono bersedia menerima kedua tugas itu tanpa menyadari bahwa dirinya kini diperalat oleh Kerajaan. Sri Baginda maupun Patih Selo
Kaliangan bukanlah orang-orang bodoh. Kepercayaan yang diberikan pada Tunggul Gono tetap harus diwaspadai. Untuk itu Malaikat Alis Biru dan Hantu Muka Licin Bukit Tidar diperintahkan agar selalu mengawasi gerak-gerik Tunggul Gono. Sebaliknya Tunggul Gono juga cerdik. Dia maklum dua tugas yang diberikan kepadanya bukan tugas enteng. Salah-salah bisa saja merupakan tugas bunuh diri. Tidak mudah meringkus Pendekar 212. Juga tidak gampang menghadapi tiga tokoh rampok penguasa tiga kawasan hutan Roban. Karena itulah dia bersedia bekerja sama dengan dua tokoh silat Istana yang saat itu ikut bersamanya walau dia tahu bahwa kedua orang itu diam-diam selalu mengawasi gerak-geriknya.
Setelah memberi isyarat Tunggul Gono yang bertindak selaku pimpinan, lebih dulu melancarkan serangan terhadap Pendekar 212. Dua puluh perajurit kemudian merangsak maju, menjepit murid Sinto Gendeng dari delapan penjuru. Malaikat Alis Biru baru bergerak setelah pecah pertempuran satu jurus. Kakek ini masuk ke kalangan pertempuran dengan setengah hati. Dia tidak begitu yakin bahwa Pendekar 212-lah yan telah membunuh Raden Mas Sura Kalimarta dan berbuat mesum dengan Kinasih.
Yang tetap tenang dan tak bergerak di tempatnya adalah Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Dari punggung kudanya kakek satu ini duduk diam, menyaksikan dengan tenang apa yang terjadi di depannya sambil mulutnya tiada henti komat kamit.
Tunggul Gono membuka serangan dengan pukulan sakti Ladam Setan. Tanah di bekas tempat Wiro berdiri berubah menjadi kubangan besar, hangus hitam. Sebelumnya Wiro telah menyaksikan kedahsyatan pukulan lawan. Untung saja saat itu cidera di perutnya telah pulih hingga dia bisa mengerahkan tenaga dalam seberapa besar yang dikehendaki.
Begitu melihat sinar melesat dari tangan kanan Tunggul Gono, Wiro melompat setinggi satu tombak seraya mainkan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar dan melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Gulungan angin dahsyat melabrak ke arah Tunggul Gono. Sosok makhluk dempet ini bergoncang keras. Cepat-cepat dia menyingkir selamatkan diri lalu kalau tadi tangan kanannya yang melepas pukulan Ladam Setan, kini tangan kirinya yang dipergunakan untuk menghantam. Seperti diketahui walau sosoknya sudah lepas dari tubuh saudaranya tapi tangan kirinya masih tetap dempet dengan potongan tangan kanan Tunggul Gini. Larikan sinar hitam dahsyat luar biasa menyambar dari sela dua tangan Tunggul Gono sebelah kiri.
Para perajurit di belakang Wiro berteriak kaget, berlompatan selamatkan diri karena sinar hitam yang menyembur keluar dari tangan Tunggul Gono menyambar setinggi dada.
Wiro yang sudah tahu sampai dimana tingkat kehebatan lawan, kerahkan dua pertiga tenaga dalam lalu sambuti sinar hitam serangan Tunggul Gono dengan pukulan Sinar Matahari.
Dua pukulan sakti dalam warna berlainan beradu dahsyat di udara. Tanah kawasan pekuburan bergoncang keras. Beberapa makam termasuk makam Raden Mas Sura Kalimarta rambas sama rata dengan tanah diterjang pecahan sinar hitam dan sinar puih. Tiga orang perajurit yang melakukan pengurungan menjadi korban. Menemui ajal hangus mulai dari kepala sampai ke kaki.
Hawa panas menyengat seantero tempat. Pendekar 212 terjajar dua langkah ke belakang. Sesaat mukanya pucat tak berdarah. Sebaliknya Tunggul Gono keluarkan seruan tertahan. Tubuhnya mental sampai satu tombak. Lututnya tertekuk ketika dia coba tegak imbangi diri. Mulutnya panas dan asin. Jalan nafasnya seperti dicekik.
“Celaka! Aku terluka di dalam…” keluh Tunggul Gono begitu menyadari ada darah dalam mulutnya. Dia meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah!
Tunggul Gono cepat kerahkan tenaga dalam. Selagi dia mengalirkan hawa sakti itu tiba­tiba satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu lawan sudah berada di depannya kirimkan tendangan ke arah dada. Secepat kilat Tunggul Gono sambut serangan itu dengan pukulan Sepasang Palu Kematian dengan tangan kirinya yang dempet. Sinar hitam kembali berkiblat di tempat itu.
“Hancur kakimu!” teriak Tunggul Gono. Tapi dia kecele. Pukulan dahsyatnya lewat dua jengkal di bawah kaki Wiro. Dari atas, laksana seekor burung Rajawali murid Sinto Gendeng melayang turun, menukik sambil tangan kanannya menyambar ke arah tangan kiri Tunggul Gono yang dempet dengan kutungan tangan kanan Tungul Gini.
Sesaat kemudian terdengar suara kreek… kreek… kreek. Tunggul Gono menjerit setinggi langit. Jari tangan kirinya hancur. Begitu juga jari tangan Tunggul Gini yang masih dempet pada tangan kirinya itu. Kreek… kreek… kreek! Menyusul telapak tangan, lalu ujung lengan, berderak hancur.
Ki Balangnipa alias Hantu Muka Licin Bukit Tidar kerenyitkan kening, sipitkan sepasang mata menyaksikan apa yang terjadi.
Malaikat Alis Biru melengak kaget.
“Ilmu gila apa yang dikeluarkan pemuda sableng itu! Setahuku Sinto Gendeng tidak mempunyai ilmu seperti itu. Jika tidak kucegah tangan Tunggul Gono bisa dihancurkannya amblas sampai ke bahu! Bahkan tulang lehernya bisa dikeremuk ludas!”
Dengan cepat Malaikat Alis Biru menghunus pedang birunya lalu babatkan senjata ini ke tangan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinar biru menggidikkan berkelebat disertai suara mengaung.
Dalam geramnya Wiro masih terus menghancurkan tulang tangan kiri Tunggul Gono sampai ke pertengahan lengan. Momok Dempet ini meraung kesakitan. Dengan tangan kanannya dia berusaha menghantam Pendekar 212, tapi sakit hancurnya tangan seperti melelehkan sekujur tubuhnya.
Pendekar 212 Wiro Sableng telah mempergunakan ilmu Koppo yakni ilmu menghancurkan tulang yang dipelajarinya dari Nenek Neko. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Sepasang Manusia Bonsai).
Ketika cahaya biru berkiblat disertai suara mendesing, sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng seperti tidak perduli dan seolah berjibaku membiarkan tangannya ditabas pedang asal bisa menghancurkan seluruh tangan maut Tunggul Gono. Malaikat Alis Biru yang sebenarnya tidak punya silang sengketa permusuhan dengan Wiro selain menjalankan tugas sebagai tokoh silat Istana abdi Kerajaan, terkesiap kaget melihat Wiro berlaku nekad, tidak berusaha menarik tangan kanan atau berbuat sesuatu untuk selamatkan diri. Tapi rasa kagetnya itu berubah menjadi jeritan keras ketika tiba-tiba sekali tangan kiri murid Sinto Gendeng menghantam melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Ini adalah pukulan ke empat dari enam pukulan sakti yang dipelajari Wiro dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).
Malaikat Alis Biru melompat tunggang langgang dari punggung kudanya. Kakek satu ini selamat tapi tunggangannya meringkik keras. Binatang bertubuh besar ini mental sampai tiga tombak, terguling di tanah, melejang-lejang sebentar lalu diam kaku tak bergerak lagi! Lobang besar terkuak mengerikan di rusuk kanan kuda itu. Si kakek alis biru tegak tergontai-gontai dengan muka pucat.
Wiro hancurkan tangan kiri Tunggul Gono sampai sebatas siku baru dilepaskan. Tunggul Gono meraung-raung kesakitan lalu gulingkan diri di tanah.
“Kalian semua tua bangka tak berguna! Menyingkir! Serahkan bocah ingusan itu padaku!”
Yang berteriak adalah kakek tokoh silat Istana bernama Ki Balangnipa berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Kudanya disentakkan ke depan. Kakinya kiri kanan menendangi perajurit-perajurit yang tidak sempat menyingkir memberi jalan. Sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Anak muda, aku tidak bicara banyak! Kau mau serahkan diri atau minta kusakiti dulu sampai tahu rasa…”
Wiro pandangi wajah tua di atas kuda itu sesaat. Dia tidak kenal siapa adanya kakek satu ini, juga belum pernah bertemu sebelumnya.
“Apa salahku hingga kalian orang-orang Kerajaan hendak menangkapku?!” murid Sinto Gendeng ajukan pertanyaan.
“Kalau kau punya telinga tadi tentu sudah mendengar apa yang dikatakan kakek yang kau hancurkan tangan kirinya itu!” jawab Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
“Kalian seharusnya menyelidik lebih dulu. Aku…”
“Bicaraku sudah cukup! Kau selain sableng juga keras kepala!” membentak kakek berjubah kelabu itu. Lalu dia loloskan tali kuning berumbai-umbai yang melilit di pinggang. Ketika tali itu diputar, suara deru keras membahana seperti mau merobek gendang-gendang telinga. Bersamaan dengan itu larikan sinar kuning berbentuk tabir lingkaran muncul menutup pemandangan. Wiro tersentak kaget ketika merasakan tubuhnya tertarik laksana disedot, masuk ke dalam tabir lingkaran kuning.
Didahului satu bentakan keras murid Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya, coba menjebol tabir lingkaran kuning dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Tabir kuning bergetar hebat seperti hendak pecah berantakan. Namun alangkah terkejutnya murid Sinto Gendeng ketika getaran tabir kuning itu berubah menjadi satu hawa dahsyat, membalik memukul tubuhnya dari empat jurusan!
“Sial dangkalan!” teriak murid Sinto Gendeng.
Wiro cepat jatuhkan diri di tanah. Dia selamat dari hantaman pukulannya sendiri. Sambil bergulingan dia lepaskan pukulan dengan dua tangan sekaligus. Tangan kanan melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Pukulan ini mengarah ke atas, ditujukan ke kepala lawan. Tangan kiri melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Diarahkan ke dada Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Kakek ini melengak kaget besar ketika melihat dua pukulan yang dilancarkan si pemuda berhasil menjebol tabir lingkaran kuning. Tangannya yang memegang tali kuning bergetar hebat, darahnya sesaat mengalir tidak karuan. Tubuhnya menghuyung, dengan cepat dia imbangi diri agar tidak jatuh dari atas punggung kuda.
“Luar biasa! Kalau aku tidak bertindak cepat bisa-bisa aku dibuat malu oleh pemuda sableng ini!” membatin si kakek. Lalu dia cepat melesat dari punggung kuda. Sambil melompat
dia pukul pinggul tungganggannya hingga binatang ini selamat dari serempetan pukulan tangan kanan Wiro. Dua pukulan sakti yang dilepas Pendekar 212 kemudian melabrak sebuah gubuk dan sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping!
Wiro terkejut ketika dapatkan lawannya tak ada lagi di atas kuda ataupun di hadapannya. Ketika dia merasa ada sambaran angin di belakang, cepat Wiro berbalik. Astaga si kakek ternyata ada di belakangnya. Memandang tak berkesip ke arahnya. Belum habis kejut murid Sinto Gendeng, lawan tiba-tiba gerakkan tangan kiri untuk mengusap wajahnya. saat itu juga wajah si kakek berubah menjadi licin. tak ada alis dan mata, tak tampak hidung ataupun mulut! Lawan mana yang tak bakal terkejut dan berlaku lengah melihat kejadian itu. Inilah kehebatn si kakek hingga dijuluki Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Banyak lawan yang terkecoh, berlaku lengah lalu dihabisi!
Selagi Wiro terkesiap dalam kejutnya tiba-tiba Hantu Muka Licin Bukti Tidar putar tali kuningnya. Kali ini tidak muncul tabir kuning. Tapi di antara suara berdesir aneh, tiba-tiba dari dua ujung tali kuning yang ada umbai-umbainya meluncur keluar seratus jarum putih. Demikian cepat lesatan jarum-jarum itu hingga mata telanjang sulit melihatnya.
Namun bagi Wiro, cukup mendengar dari sambaran angin saja. Dia sudah maklum kalau ada senjata rahasia dalam jumlah sangat banyak menyambar ke arah dirinya. Secepat kilat Wiro melesat setinggi dua tombak seraya lepaskan pukulan Dinding Topan Berhembus Tindih Menindih dan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
“Tembus!” teriak Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Wiro berhasil mengelakkan puluhan jarum yang menyambar ke arahnya dan memukul mental puluhan lainnya. Namun dua puluh satu buah masih bisa lolos! Menancap di dada, perut, tangan kiri kanan dan dua kakinya. Inilah kedahsyatan senjata rahasia Hantu Muka Licin Bukit Tidar yang dalam rimba persilatan disebut Jarum Perontok Syaraf. Saat itu juga Wiro merasa sekujur tubuhnya mati rasa, tak dapat digerakkan lagi. Untung tak ada jarum yang menancap di muka atau matanya!
Hantu Muka Licin Bukit Tidar tertawa mengekeh. Dia usap wajahnya dengan tangan kiri. Sepasang alis, dua buah mata, hidung dan mulutnya kembali muncul di wajahnya yang tadi licin!
“Kalian tunggu apa lagi! Naikkan bocah sableng itu ke aats kuda! Kita bawa ke Kotaraja! Jebloskan dalam kerangkeng besi bersama temannya kakek sial berjuluk Setan Ngompol itu!” Sementara si kakek tertawa mengekeh Wiro terkejut mendengar apa yang barusan diucapkan. “Jadi benar Setan Ngompol dipenjarakan di Kotaraja. Aku belum sempat mengetahui sebab musababnya. Apa lagi menolongnya. Juga belum tahu nasib apa yang menimpa si Naga Kuning. Kini diriku sendiri jadi tidak karuan!”
Seorang perajurit tiba-tiba bertanya. “Bagaimana dengan isri mendiang juru ukir Keraton ini?”
Meski menahan sakit setengah mati tapi begitu ingat Kinasih Momok Dempet Tunggul Gono cepat bangkit berdiri. “Tinggalkan perempuan itu. Aku yang akan mengurusnya!”
Hantu Muka Licin Bukit Tidar tertawa bergelak. “Tunggul Gono, mengurus diri sendiri saja kau tidak mampu. Apalagi mau mengurus perempuan muda secantik ini! Biar aku yang akan berbaik hati padanya!” Si kakek putar tali kuningnya. Kinasih mundur ketakutan. Dia terpekik ketika tiba-tiba tali kuning itu menjirat pinggangnya. Sekali tarik saja tubuh Kinasih terbetot, melayang ke atas bahu Hantu Muka Licin. Sambil terus mengumbar tawa kakek ini melangkah mendekati kudanya.
Momok Dempet Tunggul Gono memaki panjang pendek melihat perbuatan Hantu Muka Licin Bukit Tidar itu.
“Tua bangka busuk! Jika kau berani berbuat keji terhadap Kinasih, aku bersumpah akan membunuhmu!” Wiro berteriak mengancam.
Hantu Muka Licin putar tubuhnya sebentar, berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Perempuan ini apamu? Kekasihmu bukan, apalagi istrimu! Ancamanmu membuktikan bahwa kalian berdua sebelumnya memang sudah berselingkuh! Aku akan meminta Raja menjatuhkan hukuman berat atas dirimu! Pernahkah kau mendengar siksaan anggota rahasia diantuk puluhan kelabang beracun?! Ha… ha… ha…!”

BAB 5

Rawapening sebenarnya tidak pantas disebut telaga. Selain luas, kedalamannya mencapai
puluhan bahkan lebih dari seratus kaki. Saat itu tepat tengah hari. Sang surya bersinar terik membakar jangat. Dari arah selatan kelihatan meluncur sebuah rakit bambu, dikayuh oleh dua orang lelaki desa berbadan tegap. Kedua orang ini sangat bersemangat mengayuh hingga rakit meluncur dengan cepat di permukaan air. Semangat dua orang ini disebabkan tidak lain oleh empat penumpang yang mereka bawa. Keempatnya merupakan gadis-gadis berwajah sangat
cantik. Sukar bagi mereka membedakan mana yang paling cantik karena selama ini memang keduanya belum pernah melihat dara-dara begitu jelita mempesona.
Meski senang mendapatkan penumpang empat gadis cantik, namun diam-diam dua lelaki desa ini merasa heran. Heran karena empat gadis itu membawa dua buah pacul, sebuah linggis dan dua buah pengki besar. Hendak bertanya mereka merasa sungkan.
Empat gadis yang bearda di atas rakit bukan lain adalah Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur, Anggini dan Puti Andini. Dalam Episode sebelumnya (Tiga Makam Setan) empat gadis itu diceritakan menyirap kabar bahwa Pendekar 212 telah meninggal dunia, diperkirakan dimakamkan di sebuah makam yang terletak di satu dari tiga pekuburan. Pekuburan pertama terletak di dekat candi di Kopeng. Yang kedua di pekuburan Banyubiru dekat telaga Rawapening sedang yang ke tiga di puncak Gunung Gede.
Bidadari Angin Timur dan tiga gadis lainnya telah menyelidik ke pekuburan dekat candi Kopeng. Di situ mereka menemui sebuah makam dengan papan nisan bertuliskan nama Wiro Sableng. Setelah makam dibongkar ditemukan tulang belulang manusia masih lengkap dengan kepala tengkorak. Pada kening tengkorak terdapat tulisan 212 sedang pada salah mata tengkorak ditemukan secarik kertas bertuliskan kalimat “Selamat Datang Di Makam Setan Pertama. Kalian Ditunggu Di Makam Setan Kedua.”
Merasa ditantang dan ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Pendekar 212 yang sama mereka cintai, empat gadis itu sepakat mengadakan perjalanan ke pekuburan Banyubiru.
Angin telaga bertiup kencang, mengibarkan pakaian dan rambut empat gadis cantik. Harumnya bau pakaian dan badan Bidadari Angin Timur terasa sedap di rongga hidung. Dua lelaki pengayuh rakit sampai kembang kempis cuping hidung mereka. Setelah berdiam diri sekian lama, Anggini memecah kesunyian.
“Menurut kalian, apakah kita akan menemukan kejadian sama seperti di makam pertama?”
“Maksudmu. Kita akan menemukan tulang belulang, tengkorak dan kertas bertuliskan kalimat gila itu?” tanya Puti Andini.
Anggini anggukkan kepala.
“Kita harus tabah kalau memang akan menemukan hal sama untuk kedua kalinya.” Kata Ratu Duyung.
“Yang jadi pertanyaan, siapa berbuat gila seperti itu. Apa tujuannya?”
Anggini, Puti Andini dan Ratu Duyung tak bisa menjawab. Lalu Puti Andini berucap. “Dua lelaki penggali makam di pekuburan candi Kopeng itu. Mereka menemui kema….”
Bidadari Angin Timur cepat memberi tanda agar Puti Andini tidak meneruskan kata­katanya lalu berbisik. “Jika kau menyebut-nyebut kematian dua penggali makam itu, dua pengayuh rakit ini kemungkinan besar tidak akan mau membantu kita menggali kuburan….”
“Selama malang melintang di rimba persilatan. Pendekar 212 banyak mempunyai musuh. Mungkin salah satu dari orang-orang yang tidak menyukainya itu yang melakukan perbuatan aneh ini….” kata Ratu Duyung pula.
”Bisa jadi…” kata Anggini. “Tapi mengapa membalaskan sakit hati dengan cara begitu rupa? Sepertinya mengarah pada diri kita. Di makam pertama kita selamat. Di makam kedua kita harus berhati-hati.”
“Aku menaruh firasat, siapapun orang yang berbuat gila ini dia tahu keadaan Wiro. Sudah meninggal atau msaih hidup! Ada satu niat jahat di balik semua yang di lakukannya. Kita benar­benar harus hati-hati…”
Tak selang berapa lama rakit sampai di tepian barat telaga Rawapening. Begitu merapat ke daratan, empat gadis melompat gesit, membuat kagum dua lelaki pengayuh rakit.
“Kalian harap menunggu sampai kami kembali ke sini. Tapi kami akan memberikan tambahan uang jika mau membantu kami…” kata Anggini.
“Membantu apa?” tanya salah seorang dari pengayuh rakit.
“Antarkan kami ke pekuburan Banyubiru. Nanti akan kami beri tahu apa yang harus kalian lakukan…”
“Baiklah, untuk kalian kami akan melakukan apa saja!” kata lelaki desa yang lebih muda dari temannya.
Tak jauh berjalan kaki dari tepi barat telaga Rawapening terlihat pekuburan Banyubiru, terletak di satu bukit kecil. Jumlah makam di tempat ini lebih banyak dibanding dengan pekuburan di candi Kopeng. Seperti yang mereka lakukan di pekuburan candi Kopeng, empat gadis ini berbagi tugas meneliti papan-papan nisan di kepala makam. Kebanyakan papan nisan itu sudah lapuk dan nama penghuni makam yang tertuls di situ sulit dibaca.
“Tak ada papan nisan bertuliskan nama Pendekar 212 atau Wiro Sableng…” kata Bidadari Angin Timur lalu menarik nafas dalam dan memandang berkeliling.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Puti Andini.
Bidadari Angin Timur diam, Ratu Duyung juga diam tapi matanya yang biru memandang tajam memperhatikan puluhan makam yang ada di pekuburan itu. Tiba-tiba mata biru bagus sang Ratu kelihatan membesar. Kepalanya sedikit menengadah.
“Para sahabat, aku melihat sesuatu. Mungkin terlewatkan oleh kita waktu memeriksa tadi. Lihat makam di ujung paling kanan, baris kedua.”
Anggini, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini mengikuti arah pandangan Ratu Duyung. Memperhatikan makam yan terletak di baris kedua paling ujung kanan.
“Makam iu tidak ada papan nisannya…” kata Puti Andini.
“Kita semua terlalu memperhatikan pada bagian nisan,” kata Ratu Duyung. “Dari sini aku melihat ada satu batu besar, mungkin batu kali, menyembul dari dalam tanah. Pada bagian kepala makam… Ikuti aku!”
Empat gadis itu segera bergerak, melangkah cepat. Ratu Duyung di depan sekali. Dua lelaki desa yang tidak tahu apa sebenarnya yang tengah dikerjakan gadis-gadis cantik itu mengikuti pula dari belakang.
Ratu Duyung dan tiga kawannya sampai di depan makam baris kedua, ujung kanan. Pada kepala makam, seperti yang terlihat dari jauh tadi, menyembul sebuah batu besar, kotor tertutup debu dan tanah serta rumput liar.
Ratu Duyung berjongkok. Tangan kirinya mematahkan sepotong ranting berdaun banyak. Dengan daun-daun ini disapu dibersihkannya debu dan tanah pada permukaan batu. Begitu debu dan tanah tersibak, sedikit demi sedikit kelihaan sederetan tulisan di atas batu.
“Lihat!” kata Ratu Duyung setengah berseru. Kini dia pegunakan tangannya yang halus untuk membersihkan batu di kepala makam. Deretan tulisan kelihatan makin jelas. Di situ tertera tulisan yang membuat dada empat gadis cantik berdegup keras begitu mereka mambaca.

“DI SINI DIMAKAMKAN WIRO SABLENG – PENDEKAR 212”

“Keadaan makam ini berbeda dengan makam yang kita bongkar di candi Kopeng. Tanahnya gersang, tidak ditumbuhi rumput segar. Berarti sudah cukup lama. Lebih dari satu tahun…” Berkata Anggini dengan suara agak bergetar.
“Aku punya firasat…” berucap Ratu Duyung. Suaranya agak tersendat menahan perasaan. “Jangan-jangan kali ini kita akan menemukan dirinya di dalam…” Sang Ratu tak mampu meneruskan ucapannya.
Bidadari Angin Timur menggigit bibir lalu melambaikan tangan pada dua orang lelaki desa. “Ambil pacul. Gali makam ini.”
Dua lelaki tadi tidak menyangka kalau mereka akan disuruh menggali kuburan. Keduanya saling berpandangan sesaat.
“Tadi kalian begitu bersemangat mau membantu kami. Sekarang seperti ketakutan! Menyingkirlah! Biar kami orang-orang perempuan yang melakukan!”
Anggini sambar pacul di sebelah kanan. Puti Andini mengambil pacul satunya. Dua lelaki tadi cepat menarik pacul-pacul itu dari tangan dua gadis. Tanpa banyak cerita lagi keduanya segera menggali. Ketika makam digali sedalam dada salah satu mata pacul mengeluarkan suara berdentrang tanda beradu dengan benda keras.
Empat gadis saling pandang.
“Seperti suara besi…” bisik Bidadari Angin Timur.
“Gali terus sampai kalian menemukan sesuatu!” kata Anggini.
Dua lelaki itu kembali menggali. Salah satu di antaranya mengganti pacul dengan linggis. Sesaat kemudian untuk kedua kalinya mata pacul beradu dengan benda keras. Lelaki yang memegang linggis tancapkan linggis di dekat pacul beradu lalu mengait ke atas. Perlahan-lahan dari dasar makam menyembul sebuah benda kehitaman. Ternyata sebuah peti besi karatan, tidak dikunci atau digembok.
“Naikkan peti besi itu ke atas!” kata Anggini.
Begitu peti dinaikkan ke pinggiran makam yang baru digali Anggini segera menariknya menjauhi lubang makam. Dengan tangan gemetar gadis ini membuka penutup peti besi. Agak sulit, mungkin karena engselnya karatan. Anggini kerahkan tenaga. Ketika penutup peti tiba-tiba terbuka gadis ini terpekik hampir jatuh terduduk. Tiga gadis lainnya juga sama menjerit tapi bukan karena hendak jatuh melainkan karena melihat apa yang ada di dalam peti karatan itu.
Di dalam peti ada sebuah tengkorak kepala manusia. Seperti sewaktu di makam pertama di pekuburan candi Kopeng, pada kening tengkorak tertera angka 212, ditulis dengan cat untuk
membatik. Sepotong kertas terletak di samping tengkorak dalam keadaan terlipat. Anggini yang masih belum sirap darahnya tidak berani mengambil.
Bidadari Angin Timur ulurkan tangan mengambil kertas. Lipatan dibuka. Semua mata terpentang lebar. Semua mulut sama membaca.

SELAMAT DATANG DI MAKAM SETAN KEDUA. KALIAN MEMANG HEBAT. KALIAN DITUNGGU DI MAKAM SETAN KETIGA. DI PUNCAK GUNUNG GEDE.

“Setan kurang ajar!” maki Bidadari Angin Timur. Kertas itu diremasnya sampai hancur. Lalu sekali kaki kirinya bergerak, peti berisi kepala tengkorak manusia mencelat jauh.
Sesaat tempat itu tenggelam dalam kesunyian.
“Aku akan segera berangkat ke Gunung Gede. Di situ letak makam ke tiga! Makam terakhir! Aku berharap akan menemukan manusia jahanam yang melakukan semua perbuatan gila ini!” kata Anggini sambil kepalkan tangan. “Paling tidak bisa membuka teka teki gila ini! Apa sebenarnya yang terjadi dengan Wiro. Apa benar dia sudah mati atau masih hidup!”
Bidadari Angin Timur memandang ke arah kejauhan. Dari wajahnya dia tengah memikirkan sesuatu. Dalam hati dia membatin.
“Perjalanan ke Gunung Gede agaknya tidak bisa dihindari. Aku pernah ke sana bersama Wiro. Apakah aku sebaiknya memisahkan diri. Mendahului datang ke Gunung Gede? Mungkin aku akan menemui pemuda itu di sana dalam keadaan hidup. Bukan mustahil ini semua akal­akalan Wiro sendiri. Tapi bagaimana aku memberi alasan meninggalkan tiga gadis ini?”
Diam-diam Ratu Duyung memperhatikan perilaku Bidadari Angin Timur, saingannya paling berat dalam memperebutkan cinta kasih Pendekar 212 Wiro Sableng. “Seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Aku menaruh duga dia tengah memikirkan satu kesempatan untuk bisa mendahului berada di puncak Gunung Gede. Kalau betul, bagaimana aku harus bisa mencegah. Aku bisa mendahului ke sana melalui laut. Tapi aku tidak mau mengkhianati dua gadis lainnya ini…..”
Sementara itu Anggini tenggelam pula dalam jalan pikirannya sendiri. “Makam ke tiga di puncak Gunung Gede. Besar kemungkinan Wiro meninggal dan dikuburkan di sana. Bukankah di situ tempat dia digembleng oleh gurunya? Bukankah di situ pula tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng? Kalaupun akan menemui tipu daya untuk ketiga kalinya, paling tidak bisa menemui nenek sakti itu untuk mendapatkan keterangan. Jika muridnya masih hidup, siapa tahu Sinto Gendeng tahu dimana Wiro berada…” Sambil merenung seperti itu Anggini meraba bunga kenanga yang tempo hari diberikan oleh Bunga, gadis dari alam roh yang aslinya bernama Suci, berjuluk Dewi Bunga Mayat. Kembang itu diberikan dengan pesan agar diserahkan pada Wiro jika kelak Anggini bertemu dengan pemuda itu. “Apakah aku akan bertemu dengan Wiro? Lalu jika kuserahkan kembang kenanga ini padanya, apakah yang akan terjadi? Aku tahu benar, walau dia tidak mungkin hidup bersama Wiro namun Bunga bisa menjadi ganjalan bagi diriku>”
Setelah menimbang-nimbang, baik Bidadari Angin Timur maupun Ratu Duyung akhirnya memutuskan untuk tetap melakukan perjalanan bersama-sama.
Empat gadis itu memang sudah nekad. Setelah meninggalkan Rawapening, keesokan harinya mereka berangkat menuju Gunung Gede. Jika saja mereka menyempatkan diri singgah di Kotaraja dan mendengar berita ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sableng, jalan cerita akan menjadi lain.

BAB 6

Tumenggung Cokro Pambudi pagi itu tengah asyik bermain-main dengan burung Tekukur kesayangannya ketika seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam, memasuki pekarangan menunggangi seekor kuda coklat. Di leher kuda bergelantungan dua buah buntalan.
Seorang penjaga segera menemui tamu ini, menanyakanan maksud kedatangannya. Si penjaga kemudian memberi tahu Tumenggung Cokro.
“Orang muda itu bernama Damar Wulung. Ingin bertemu dengan Tumenggung untuk melapor satu kejadian penting dan menyerahkan sejumlah barang berharga.”
Tumenggung Cokro Pambudi sangkutkan sangkar burung di bawah cucuran atap. Dia perhatikan pemuda di atas kuda coklat sesaat. “Aku tidak kenal pemuda itu. Belum pernah melihatnya sebelumnya. Suruh dia menunggu di beranda. Aku segera menemui….”
Tak selang berapa lama Tumenggung Cokro Pambudi menemui tetamunya di beranda samping yang merupakan ruang tamu cukup besar, dipenuhi jambangan-jambangan berbagai ukuran.
Pemuda berpakaian kuning itu segera bangkit berdiri begitu melihat sang Tumenggung muncul. Dia membungkuk memberi hormat lalu memperkenalkan diri.
“Saya Damar Wulung, berasal dari Desa Karangmojo. Maafkan kalau kedatangan saya menggganggu ketentraman Tumenggung di pagi hari yang indah segar ini…..”
Tumenggung Cokro Pambudi tersenyum. Sudah lama dia tidak pernah bertemu dengan seorang pemuda tampan yang bicara halus budi bahasa dan hormat seperti pemuda yang ada di hadapannya ini. Dia melirik pada dua buntalan yang dibawa si pemuda dan diletakkan di lantai di dekat meja rendah.
Setelah mempersilahkan tamunya duduk Tumenggung Cokro mengambil tempat di lantai di belakang meja rendah, berhadap-hadapan dengan si pemuda.
“Anak muda bernama Damar Wulung, jelaskan maksud kedatanganmu…..”
“Saya tahu Tumenggung tidak punya banyak waktu menerima saya. Karena itu saya langsung saja pada pokok persoalan. Secara tidak sengaja saya memergoki serombongan perampok. Ternyata mereka adalah para penjahat dari Alas Roban, di bawah pimpinan Warok Mata Api…..”
Terkejutlah Tumenggung Cokro Pambudi mendengar penuturan Damar Wulung. ”Teruskan ceritamu, anak muda.”
“Mereka berjumlah lima orang, termasuk Warok Mata Api. Agaknya mereka baru saja melakukan penjarahan. Mereka tengah hendak membagi-bagi isi buntalan ketika saya memergoki.”
Tumenggung Cokro Pambudi perhatikan dua buntalan di samping Damar Wulung. “Kau tahu apa isi buntalan itu?”
Damar Wulung pindahkan dua buah buntalan ke atas meja rendah. Lalu satu persatu buntalan itu dibukanya. Terkejutlah mata Tumenggung Cokro Pambudi ketika melihat apa isi dua buntalan itu. Dua buah peti kayu jati coklat kehitaman. Pada penutup peti ada gambar bintang dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga bergelung.
“Ini peti-peti milik Kerajaan!” kata sang Tumenggung. “Apa isinya…” Tumenggung menjawab sendiri dengan langsung membuka penutup dua buah peti. “Tidak salah! Ini adalah harta dan uang emas milik Kerajaan yang dikabarkan lenyap dijarah perampok beberapa hari lalu. Menurut keterangan para Abdi Dalem, barang yang dirampok berjumlah lima peti. Kau menemukan hanya dua peti…?”
“Benar Tumenggung.” Jawab Damar Wulung.
Pandangan mata sang Tumenggung yang tak berkesip membuat si pemuda jadi tidak enak. Dia dapat membaca apa yang ada dalam hati atau pikiran pejabat Kerajaan itu. Maka dengan suara tenang dan halus dia berkata.
“Kalau sekiranya saya berniat jahat, perlu apa susah-susah mengantarkan dua buah peti ini? Lebih baik saya ambil untuk kepentingan sendiri…”
“Damar Wulung, jangan kau menduga salah. Ketika kau memergoki Warok Mata Api dan kawan-kawannya, mungkin saja tiga peti lainnya sudah disembunyikan di tempat lain. Namun sebenarnya ada sesuatu yang sangat berharga ikut lenyap digasak perampok Alas Roban itu….” Untuk memastikan ucapannya Tumenggung Cokro Pambudi menuangkan seluruh isi dua peti ke atas meja. Matanya memperhatikan harta perhiasan dan uang emas yang bergeletakan di atas meja. Diacak-acaknya beberapa kali. Tapi benda yang dicarinya tidak ada.
“Tidak ada…” kata Tumenggung Cokro dengan suara perlahan. Air mukanya tampak masgul.
Damar Wulung masukkan tangan kanannya ke balik baju kuning. Ketika dikeluarkan membersit cahaya kuning dari sebilah keris terbuat dari emas.
“Senjata inikah yang Tumenggung maksudkan?” tanya Damar Wulung seraya meletakkan keris emas itu di atas meja rendah.
Untuk kesekian kalinya sepasang mata sang Tumenggung mendelik besar. Keris emas di atas meja segera disambarnya. Dia agak tergagau ketika merasakan ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam tubuhnya lewat dua lengan. Selama ini dia hanya mendengar, tidak pernah melihat langsung keberadaan keris emas itu. Setelah menenangkan kejutnya, dengan cepat Tumenggung Cokro meneliti keris emas itu. Mula-mula ditelitinya sarung senjata yang terbuat dari emas. Setelah dibolak-balik beberapa kali Tumenggung Cokro Pambudi lalu mencabut senjata itu. Dengan dada berdebar diperhatikannya keris telanjang itu. “Yakin, aku yakin!” kata Tumenggung Cokro sambil menyarungkan keris itu kembali lalu sesaat meletakkan di atas kepalanya.
“Benar Damar Wulung! Benda ini yang kumaksudkan. Ini adalah Keris Kiai Naga Kopek! Gusti Allah! Senjata ini jauh lebih berharga dari semua barang yang dirampok! Aku akan menghadap Sri Baginda di Keraton, membawa keris ini dan dua peti itu. Kau harus ikut bersamaku Damar. Tapi tunggu dulu. Aku ingin jelas ceritanya. Katamu kau bertemu, memergoki Warok Mata Api. Penjahat itu tidak menyerahkan cuma-cuma begitu saja dua peti dan keris ini padamu, bukan?”
Sepasang mata sang Tumenggung memperhatikan sosok pemuda di hadapannya seolah mengukur kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh kekar pemuda bernama Damar Wulung ini.
Damar Wulung tersenyum. “Kami sempat bentrokan. Saya berusaha menghindari pertumpahan darah. Saya coba mengingatkan kepala rampok itu agar meninggalkan dunia hitam, kembali ke jalan yang benar. Tapi dia mana memandang sebelah mata. Dia menyuruh empat anak buahnya mengeroyok saya…”
“Terjadi perkelahian empat lawan satu. Benar…?”
”Memang begitu Tumenggung. Saya beruntung bisa mengalahkan mereka…”
“Ah… Lalu Warok Mata Api?”
“Seperti empat anak buahnya, saya terpaksa menyelesaikan dirinya…”
“Hebat! Luar Biasa!Selama ini tidak satu orang pandaipun sanggup menangkap kepala rampok itu hidup atau mati! Pasukan Kerajaan telah berkali-kali menyerbu Alas Roban kawasan selatan sarangnya Warok Mata Api. Mereka selalu kembali dengan membawa korban tidak terhitung! Kini kau seorang diri berhasil menewaskannya! Betul begitu Damar Wulung?!”
“Tumenggung, apakah saya bersalah membunuh lima orang itu walau mereka adalah para penjahat, rampok yang selama ini membuat onar, menyengsarakan rakyat menyusahkan Kerajaan?”
Tumenggung Cokro tertawa lebar mendengar kata-kata Damar Wulung.
“Anak muda, baru sekali ini aku bertemu orang yang hatinya sangat polos sepertimu. Ah…” Sang Tumenggung geleng-gelengkan kepala. Matanya tidak lepas-lepas memandangi wajah tampan si pemuda. Dia teringat Milani, puteri satu-satunya. “Sayang anak itu sudah mempunyai pilihan hati. Kalau tidak aku akan sangat berbahagia bila dia mendapatakn jodoh seperti pemuda ini. Pagi tadi dia sudah dijemput untuk latihan menunggang kuda. Seandainya saat ini dia ada di sini dan bertemu degann Damar Wulung…”
“Damar Wulung, kau telah berjasa besar pada Raja dan Kerajaan. Apakah kau menyadari hal itu?”
“Saya… Saya tidak merasa berjasa. Malah…”
“Kau memilih datang padaku. Mengapa tidak menghadap Patih Kerajaan atau menemui salah seorang Pangeran. Atau langsung menghadap Sri Baginda… Aku merasa mendapat kehormatan besar…”
“Saya hanya pemuda desa . Mana mungkin berani berlancang diri menemui Patih Kerajaan, apalagi menghadap Sri Baginda. Saya sudah lama mendengar tentang pribadi Tumenggung yang sangat dekat dengan rakyat. Itu sebabnya saya memilih menemui Tumenggung. Jika tindakan saya ini salah atau tidak berkenan di hati Tumenggung. Mohon saya diberi tahu dan minta maaf. Pagi ini saya sudah menghabiskan waktu Tumenggung…”
Tumenggung Cokro tertawa lebar. “Damar Wulung, kau bukan saja seorang pemuda gagah berilmu. Tapi juga tinggi budi rendah hati!” Tumenggung Cokro tepuk-tepuk bahu pemuda di hadapannya itu. Sambil menepuk dia kerahkan kekuatan tenaga dalam. Seseorang yang tidak memiliki ilmu, akan terhenyak miring tubuhnya oleh tepukan yang kelihatannya enteng- enteng saja itu. Tetapi yang terjadi malah mengejutkan sang Tumenggung. Tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming. Dia merasa tangannya menepuk tumpukan kapas yang sangat lembut. Semakin sukalah Tumenggnung Cokro Pambudi pada pemuda ini. Tidak terasa, meluncur saja ucapannya.
“Aku mempunyai seorang puteri. Kalau saja dia ada di sini, aku senang kau berkenalan dengannya. Pagi-pagi sekali tadi dia…”
“Tumenggung, rasanya saya sudah cukup lama mengganggu. Saya mohon diri…”
Tumenggung Cokro terkejut. “Apa? Kau harus ikut aku, Damar!”
“Ikut Tumenggung? Ikut kemana?” Damar Wulung bertanya heran.
“Astaga! Kau masih belum sadar kalau sudah berbuat jasa besar pada Kerajaan. Aku akan mengajakmu menghadap Sri Baginda di Keraton. Baginda pasti sangat gembira. Dan kau tahu Damar. Pemuda sepertimu sangat besar arti dan gunamya bagi Kerajaan. Aku yakin Sri Baginda akan memberikan satu jabatan tinggi bagimu. Bungkus kembali peti itu Damar. Kita berangkat sekarang juga. Aku akan berganti pakaian dulu…”
Tumenggung Cokro masuk ke dalam dengan membawa Keris Kiai Naga Kopek. Dua peti ditinggalkannya di atas meja. Ketika tak lama kemudian dia kembali ke beranda samping, dua buah peti berisi harta perhiasan dan uang emas sudah terbungkus rapi dalam buntalan kain. Namun pemuda bernama Damar Wulung tak ada lagi di tempat itu.
“Damar….?” Tumenggung Cokro memanggil.
“Damar Wulung?!” Sang Tumenggung berteriak lebih keras. Lalu lari ke halaman depan. Damar Wulung lenyap.
“Aneh, manusia aneh! Berbuat jasa besar begitu rupa. Lenyap menghilang! Sepertinya tidak menginginkan balasan apa-apa! Padahal ratusan pemuda bisa nekad berbuat apa saja agar bisa mendapat pekerjaan terhormat di Keraton…” Tumenggung Cokro usap dagunya lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia kembali ke beranda samping, lalu bergegas ke belakang menemui pembantu yang mengurus kudanya. Pagi itu juga dia segera menghadap Raja di Keraton. Seperti yang telah diduganya, Raja tidak kecewa dengan lenyapnya sebagian besar harta perhiasan dan uang. Yang penting Keris Kiai Naga Kopek bisa diemukan kembali.
Dengan mata bercahaya dan wajah berseri-seri Raja mengeluarkan Keris Kiai Naga Kopek dari dalam peti.
“Sungguh Gusti Allah Maha Besar. Ada saja uluran tanganNya melalui seorang pemuda berhati jujur, membawa pusaka Kerajaan ini kembali ke Keraton…” Sri Baginda cium sarung keris emas itu lalu perlahan-lahan ditariknya senjata itu keluar dari sarungnya. Ketika dia hendak mencium keris emas telanjang itu, mendadak gerakannya tertahan. Sepasang matanya membesar, meneliti ukiran di badan keris lalu kelihatan tubuh Sri Baginda lemas, menatap membelalak tapi sayu pada Tumengung Cokro Pambudi.
Heran melihat sikap dan raut wajah Sri Baginda, Tumenggung Cokro Pambudi langsung bertanya.
“Sri Baginda, agaknya ada sesuatu?”
“Keris ini Tumenggung… Keris ini….”
“Ya, ada apa dengan keris itu Sri Baginda?” Tumenggung Cokro beringsut maju mendekati Raja.
“Keris ini bukan Keris Kiai Naga Kopek. Keris ini palsu! Hanya sarungnya yang benar asli… Ampun Gusti Allah!”
“Tobat biyung!” ucap Tumenggung Cokro begitu mendengar kata-kata Raja.
Pagi itu juga Sri Baginda memerintahkan Tumenggung Cokro agar segera berangkat ke Desa Karangmojo. Damar Wulung sempat memberi tahu bahwa dia berasal dari desa tersebut. Tumenggung Cokro membawa sejumlah perajurit dan dua orang berkepandaian tinggi. Salah seorang di antaranya adalah Momok Dempet Tunggul Gono. Saat itu tangan kiri Tunggu Gono yang buntung sebatas siku telah disambung dengan selongsong besi yang ujungnya lancip berkeluk seperti ganco.
Begitu sampai di Desa Karangmojo, Kepala Desa dipanggil.
“Di desa sini tidak ada orang bernama Damar Wulung. Apalagi memiliki kepandaian silat hebat bisa mengalahkan perampok Alas Roban…” menerangkan Kepala Desa Karangmojo.
“Ada atau tidak desa ini harus kami geledah!” kata Tumengtung Cokro. “Jumlah kami dari Kotaraja tidak banyak. Harap perintahkan para petugas keamanan desa dan rakyat ikut membantu!”
Semua rumah penduduk di Desa Karangmojo digeledah satu demi satu. Karena desa ini cukup luas, maka menghhabiskan banyak waktu dan melelahkan untuk menggeledahnya. Dan hasilnyapun nihil besar. Damar Wulung tidak diketemukan batang hidungnya!
Dalam perjalanan kembali ke Kotaraja, Tumenggung Cokro Pambudi tidak habis­habisnya berpikir. “Agaknya aku berhadapan dengan bangsa penjahat kakap, cerdik dan berkepandaian tinggi. Semula dengan membawa harta, uang dan keris itu kepada Raja, aku berharap akan mendapat pujian. Syukur-syukur bisa diangkat jadi Adipati. Ternyata kini aku yang menanggung apesnya! Edan biyung! Apa yang harus aku katakan pada Sri Baginda? Tobat biyung!”
Selagi dalam keadaan pikiran kacau serta hati gemas begitu rupa, sesampainya di Kotaraja rombongan segera menuju Keraton untuk memberikan laporan. Ketika sama-sama menambatkan kudanya, Momok Dempet Tunggul Gono berbisik pada sang Tumenggung.
“Aku menaruh curiga?”
“Menaruh curiga? Maksud sampean apa?” tanya Tumenggung Cokro.
“Jangan-jangan semua ini hanya sandiwaramu saja. Siapa tahu kau berada di belakang layar. Aku mendengar peti emas itu sebenarnya berjumlah lima buah. Yang kau serahkan pada
Raja hanya dua. Yang tiga pasti kau tilep. Lalu Keris Kiai Naga Kopek yang asli kau ambil, menggantikannya dengan keris rongsokan dari kuningan disepuh emas…”
“Makhluk jahanam bermulut busuk!” teriak Tuemnggung Cokro marah sekali. Tangan kanannya bergerak laksana kilat hendak menampar. Tapi tangan kiri selongsong besi lancip Tunggul Gono cepat membuat gerakan menangkis, melintang di depan mukanya. Tumenggung Cokro menggeram. Dia berusaha menindih amarah dan terpaksa menarik tangananya.
“Lain kali jika kau berani berucap kotor, walau cuma sedikit saja, aku bersumpah akan membunuhmu!” kata sang Tumenggung pula.
Momok Dempet Tunggul Gono tertawa lebar. “Memang itu harus kau lakukan. Untuk menghilangkan jejak. Tapi apakah kau sanggup Tumenggung?”
“Akan aku buktikan. kita berdua akan menghadap Raja. Silahkan kau umbar mulut kejimu di hadapan Sri Baginda. Kalau perlu aku akan menghabisimu di depan beliau!” Habis berkata begitu Tumengung Cokro mendahului masuk ke dalam Keraton.

BAB 7

Kembali pada peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Dalam keadaan lumpuh tangan dan kaki Pendekar 212 Wiro Sableng dogotong oleh dua orang perajurit. Di sebelah belakang mengikuti Tunggul Gono yang tangan kirinya hancur sebatas siku. Dengan menotok dua jalan darah di sisi kiri tangan yang hancur itu tidak sampai mengucurkan darah. Namun rasa sakit seperti ada puluhan paku mencucuk membuat Momok Dempet ini kelihatan mengerenyit kesakian berulang kali. Tampang yang kesakitan itu juga tampak garang beringas. Amarahnya hampir tidak terkendali. Saat itu ingin sekali Tunggul Gono menendang hancur kepala Pendekar 212 dengan kakinya yang berbentuk kuda. Pemuda inilah yang menyebabkan dia terpaksa membunuh saudaranya. Lalu pemuda ini pula yang telah menghancurkan tangan kirinya sampai ke siku, membuat dia cacat seumur hidup.
Di samping rasa dendam terhadap Wiro, Tunggul Gono juga marah pada Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Dia sudah lama mengincar Kinasih. Kini kakek satu itu memisahkan diri, membawa perempuan cantik itu entah kemana.
Tunggul Gono berdiri di hadapan sosok Wiro yang terbujur di lantai kerangkeng besi. Kaki kanannya diangkat, dipisahkan ke kepala Wiro. Tenggorokannya keluarkan suara menggeram pendek. Lalu mulutnya berucap.
“Pendekar 212! Saat ini sangat mudah bagiku menghabisi nyawamu. Satu kali kakiku menginjak remuk amblas kepalamu!”
Murid Sinto Gendeng menyeringai. “Lalu kenapa tidak kau lakukan?!” Wiro menantang.
Tunggul Gono menggeleng. “Kematian secara cepat terlalu enak bagimu. Aku lebih suka menyiksamu lebih dulu. Kalau perlu tidak usah membunuhmu, tapi membuatmu cacat dan gila seumur-umur! Ingat ucapan Hantu Muka Licin Bukit Tidar? Kakek sakti yang melumpuhkanmu dengan puluhan jarumnya? Malam nanti aku akan menyuruh orang menyiksa anggota rahasiamu dengan sengatan puluhan kelabang beracun! Kau boleh hidup, tapi sebagai laki-laki kau tidak akan punya daya apa-apa lagi. Di mata perempuan anjing buduk lebih berharga dari pada dirimu! Ha… ha… ha!”
“Ha… ha… ha!” Wiro ikutan tertawa membuat Tunggul Gono hentikan tawanya dan delikkan mata.
“Jahanam! Apa yang kau tertawakan?!” Tunggul Gono membentak.
“Kalau aku jadi anjing buduk, aku akan menggigit bukan cuma kakimu. Tapi juga anggota rahasiamu! Seperti aku kau juga tidak akan ada artinya bagi perempuan! Lalu kita bisa gila barengan! Ha… ha… ha!”
“Keparat!” Maki Tunggul Gono lalu tendang pinggul Pendekar 212 hingga mencelat ke sudut kerangkeng. Sambil memaki panjang pendek Tunggul Gono kelur dari tempat itu. Sebelum pergi dia kunci pintu kerangkeng dengan dua buah gembok besar. Kuncinya lalu digantung pada tembok enam langkah di depan kerangkeng. Sebenarnya dia ingin menyiksa Wiro dengan beberapa tendangan lagi, namun keadaan luka di tangan kirinya saat itu membuat dia lebih mementingkan mencari seseorang untuk minta pengobatan. Selain itu dia harus memikirkan akan disambugnya dengan apa tangan kirinya yang buntung itu. Tangan palsu dari kayu, atau besi?
Ketika Tunggul Gono mengikuti perajurit yang menggotong Wiro menuju kerangkeng besi, Malaikat Alis Biru pergi menemui Patih Kerajaan di satu ruangan dalam Keraton. Dia melaporkan perihal ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sanleng yang dituduh sebagai pembunuh juru ukir Raden Mas Sura Kalimarta.
“Patih Kerajaan,” kata Malaikat Alis Biru menyudahi laporannya. “Menyimak segala perbuatannya di masa lalu serta mengetahui dia adalah murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede, saya menaruh kawatir kalau-kalau kita telah kesalahan tangan.”
“Maksudmu?”
“Saya meragukan bahwa Wiro Sableng yang membunuh juru ukir itu lalu berselingkuh dengan Kinasih, istri almarhum,” jawab Malaikat Alis Biru pula. “Kalau kita sampai kesalahan tangan Sinto Gendeng pasti tidak akan tinggal diam. Lalu para tokoh rimba persilatan pasti akan bersikap tidak enak pula terhadap Kerajaan…”
Patih Selo Kaliangan merenung sejenak. “Ucapanmu ada benarnya…” kata sang Patih kemudian. “Aku tugaskan padamu menemui pemuda itu malam nanti. Jika kau merasa pasti dia tidak bersalah, aku memberi wewenang padamu untuk melepaskannya. Namun setelah dilepas, ternyata memang dia yang melakukan pembunuhan itu, bisakah kau memberikan satu jaminan bahwa kau akan mampu menangkapnya kembali?”
Malaikat Alis Biru. “Saya menjadikan diri saya sebagai jaminanya Patih. Saya bersedia dihukum berat kalau apa yang saya lakukan ternyata keliru.”
“Malaikat Alis Biru, kalau aku boleh bertanya mengapa kau seperti membela Pendekar 212?” bertanya Patih Kerajaan.
“Saya tidak membela dirinya Patih. Bagi saya lebih baik kelolosan terhukum yang bersalah dari pada memenjarakan orang yang sebenarnya tidak bersalah…”
Patih menganguk. “Jalan pemikiran yang bagus,” kata Patih Selo Kaliangan. “Tapi agaknya kau akan bentrokan kepentingan dengan Momok Dempet Tunggul Gono…”
“Saya tidak menyalahkan dirinya, Patih. Tunggul Gono punya segudang dendam kesumat terhadap Pendekar 212. Kematian saudaranya. Tangan kirinya yang dibikin hancur…”
“Baiklah Malaikat Alis Biru. Aku akan menemui Raja memberitahu keputusan kita ini. Semoga Raja dapat memahami. Aku tidak melihat orang tua berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Bukankah dia ikut serta dalam rombonganmu?”
“Di tengah jalan dia memisahkan diri. Dia memboyong Kinasih, istri mendiang juru ukir Keraton.”
Berubahlah paras Patih Selo Kaliangan. “Malaikat Alis Biru, perintahkan satu pasukan untuk mencari kakek itu. Cegah dia melakukan perbuatan keji itu. Aku akan memberitahu Raja. Sudah sejak lama kita orang-orang Keraton tidak suka dengan segala perbuatannya. Dia pernah diperingatkan, tapi masih saja berlaku tidak terpuji!”
“Saya akan menyiapkan pasukan. Atas izinmu biar saya minta Tunggul Gono untuk memimpin pasukan itu…”
“Ya, Momok Dempet itu memang harus banyak diberi pekerjaan. Dia juga salah satu orang yang harus kita awasi terus menerus…”
***

Sesaat setelah Tunggul Gono dan dua perajurit meninggalkan tempat itu, Pendekar 212 berusaha mengetahui berada dimana dia saat itu. Ternyata dia disekap dalam sebuah ruangan. Bagian belakang merupakan tembok batu yang sangat kokoh. Di kiri kanan serta bagian depan ruangan itu dibatasi dengan jalur-jalur besi sebesar betis. Ruangan itu tidak beda dengan sebuah kerangkeng tempat mengandangkan binatang buas.
Wiro coba kerahkan tenaga dalam. Tidak berhasil. Coba gerakkan kaki dan tangan. Juga tidak mampu. Dia hanya bisa memutar bola mata dan menggerakkan leher atau kepalanya sedikit. Selagi dia berusaha menarik nafas dalam sambil mengatur jalan darah, tiba-tiba hidungnya mencium satu bau yang amat tajam. Dia memutar mata, menggerakkan kepala. Tapi tak banyak yang bisa dilihatnya. Ditariknya nafas dalam kembali, lalu lapat-lapat didengarnya ada suara seperti orang mengorok jauh di sudut kiri, agak sebelah depan. Kalau saja dia bisa menaikkan kepala sedikit. Kemudian terdengar suara orang batuk-batuk.
“Tidak salah! Suara batuk itu aku kenali betul. Lalu bau pesing yang santar itu. Hanya ada dua makhluk di dunia yang bau tubuhnya memancarkan bau pesing. Guruku Sinto Gendeng dan Setan Ngompol. Yang tadi batuk adalah suara laki-laki. Jadi…” Wiro membatin. Dia kumpulkan tenaga dan berteriak.
“Setan Ngompol! Kau ada di sini?!”
Di dalam sebuah kerangkeng besi, terletak sebelah kiri depan kerangkeng tempat Wiro disekap, suara batuk serta merta lenyap. Satu sosok tua kerempeng yang sejak tadi terbujur di lantai mendadak sontak bangkit berdiri. Dari bawah perutnya memancar air kencing karena kaget oleh teriakan Wiro tadi. Sambil pegangi perutnya, orang tua ini terhuyung-huyung bangkit berdiri. Daun telinganya lebar. Yang sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik. Daun telinga yang seharusnya menghadap ke depan justru menghadap ke belakang.
Kakek ini memiliki sepasang mata jereng. Sambil memegang daun telinga kirinya, dua mata jereng memandang berputar mencari-cari. Lalu dia berseru.
“Siapa tadi berteriak menyebut nama Setan Ngompol?!”
“Aku! Wiro Sableng! Jawab cepat! Kau Setan Ngompol atau bukan?!”
Kakek dalam kerangkeng besi melangkah ke depan tapi gerakannya hanya sebatas dua langkah. Sesuau yang menjepit di selangkangannya membuat dia tak bisa maju lebih jauh. Walaupun demikian sudah cukup baginya untuk dapat melihat ke dalam kerangkeng dimana Wiro berada. Sebaliknya karena kini kakek itu dalam keadaan tegak berdiri, walau dia sendiri masih terbaring namun Wiro sudah dapat melihat bagian kepala orang.
“Astaga naga!” si kakek dalam kerangkeng yang memang Setan Ngompol adanya berseru kaget. Kencingnya langsung terpancar. “Wiro! Dedemit dari mana yag membawamu ke tempat celaka ini?!” teriak Setan Ngompol.
“Nanti aku ceritakan. Kau duluan yang cerita. Tempat apa ini, kira-kira dimana letaknya. Lalu bagaimana kau bisa bertahta di sini…”
“Sialan! Kau menyebut aku bertahta! Nasibku dan nasibmu tidak beda! Kita dipenjarakan orang di ruang bawah tanah ini. Letaknya di ujung satu lorong, masihdi kawasan Keraton. Tapi di
bawah tanah. Kau tahu tempat apa ini? Ini adalah tempat manusia-manusia malang celaka
menunggu hukuman mati!”
Serrr! Habis menyebut mati begitu si kakek kembali mengucur air kencingnya.
“Kalau memang mati ya mau dibilang apa!” kata Wiro. Tangan kanannya digerakkan hendak menggaruk. Tapi tidak bisa. “Lekas kau ceritakan riwayatmu sampai minggat ke sini. Bukankah kita sama-sama melesat mental dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun lalu?”
“Ya… ya aku sadari hal itu kemudian. Celakanya aku mental dan melayang jatuh di sumur tempat sumber air mandi Raja! Walau semua itu terjadi secara tidak sengaja, tapi para penguasa Istana mana mau tahu. Lagi pula siapa percaya kalau aku katakan aku barusan saja terpental dari negeri jahanam Latanahsilam. Raja marah, aku ditangkap. Kabarnya air sumur yang sudah tercemar air kencingku itu bukan saja sempat dipakai bersiram oleh Sri Baginda tapi juga sempat dipakai berkumur-kumur. Asyik tidak?!”
Pendekar 212 masih bisa tertawa gelak-gelak mendengar cerita Setan Ngompol itu. Lalu Wiro berkata.
“Kau tidak bersalah, semua terjadi bukan maumu. Kulihat kau dalam keadaan bebas. Mengapa kau tidak berusaha kabur melarikan diri?”
“Apanya yang bebas! Dari tempatmu terbujur kau mungkin sulit melihat. Tapi coba kau angkat kepalamu sedikit, lihat kemari! Kau tahu mengapa aku tidak bisa kabur! Gila betul!”
Pendekar 212 dengan susah payah berhasil mengangkat kepalanya sedikit. Ketika melihat sosok Setan Ngompol terkejutlah pendekar ini. Tangan dan dua kaki si kakek memang bebas. Tapi di bagian bawah perutnya, dari balik celana bututnya yang basah kuyup oleh air kencing kelihatan menggelantung sebuah rantai besi. Bagian lain dari ujung rantai dilibatkan ke jalur besi di dinding kiri sementara ujungnya tenggelam masuk ke lantai batu.
“Anggota rahasiaku dipatok jepian besi yang ada gandulan rantai. Aduh mak, sakitnya tidak seberapa. Tapi gatalnya, sulit aku menggaruk! Masih untung japitannya tidak terlalu kuat. Jadi aku masih bisa ngompol. Kalau sampai kencingku mandek mungkin aku sudah mampus tiga hari yang lalu! Kau saksikan dua tangan dan kakiku memang bebas. Aku bisa saja membobol jalur besi atau menghancurkan dinding batu. Tapi kalau aku kabur berarti putus anuku ini! Sial dangkalan!” SI kakek memberi keterangan lalu memaki panjang penden. “Wiro, sekarang giliranmu. Ceritakan apa yang terjadi. Mengapa kau berada dalam keadaan lumpuh begitu rupa. Kesalahan apa yang telah kau lakukan hingga disekap di tempat ini?!”
“Aku dituduh membunuh juru ukir Keraton dan berbuat mesum dengan istrinya…” Wiro menjawab lalu secara singkat menceritakan apa yang terjadi.
Setan Ngompol tertawa cekikikan.
“Kakek geblek, kenapa kau tertawa?!”
Setan Ngompol duduk menjelepok di lantai kerangkeng. Sambil pegangi perutnya dia bertanya. “Istri juru ukir itu, apakah dia masih muda dan cantik jelita?”
“Eh, mengapa kau bertanya begitu? Memang dia masih muda, parasnya cantik ayu…”
Setan Ngompol menyeringai. Setelah batuk-batuk beberapa kali dia lantas berkata. “Soal tuduhan kau membunuh juru ukir itu aku memang tidak percaya. Tapi soal kau beranu-anu dengan istrinya yang masih muda dan cantik, bisa saja memang kau lakukan…” Setan Ngompol lalu tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka setan! Mulutmu tidak karuan…”
“Walah, mumpung masih bisa bicara dan bergurau mengapa tidak dilakukan? Besok kalau sudah mati, setanpun tidak mau kita ajak bicara apalagi bercanda!” jawab Setan Ngompol. “Kau tahu, hukuman apa yang hendak dijatuhkan atas diriku?”
“Katamu ini sekapan tempat menunggu hukuman mati!”
“Mereka hendak melakukan sesuatu yang lebih buruk dari kematian!” jawab Setan Ngompol pula. “Mereka hendak mengebiri barang antikku!” Lalu serr, si kakek terkencing.
Wiro terkejut lalu ingat akan ucapan Tunggul Gono. “Nasibku tidak lebih bagus. Anuku akan diantuk dengan puluhan kelabang beracun!”
Kembali Setan Nghompol pancarkan air kencing. “Nasib… nasib. Aku mengira bisa kembali ke Tanah Jawa bakal mendapat kesenangan. Yang dapat malah malapetaka begini rupa. Mendingan aku tetap saja berada di Negeri Latanahsilam!”
“Kapan mereka mau menggorok burungmu Kek?” tanya Wiro.
“Besok pagi!” jawab Setan Ngompol. “Kau sendiri kapan mau dikawini dengan kelabang beracun?” bertanya si kakek.
“Enak saja kau mengatakan aku mau dikawini!” Wiro mendumal. Tapi dia menjawab juga. “Rencananya nanti malam. Yang punya niat tadinya adalah seorang kakek keparat berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Tapi yang melakukan Momok Dempet Tunggul Gono…”
”Agaknya kita hanya menunggu nasib. Kecuali jika ada yang menolong…”
“Harapan kita tipis Kek…” kata Pendekar 212 pula. Dia pejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran sambil mencari kala bagaimana bisa meloloskan diri. “Aku memiliki ilmu Sepasang Pedang Dewa yang kudapat dari Datuk Rao Basaluang Ameh,” membatin Pendekar
212. “Tapi percuma saja. Sekalipun aku bisa menjebol dinding, atau memutus jalur-jalur besi kerangkeng, aku tetap saja tak bisa melarikan diri. Pertama sekali aku harus bisa membebaskan diri dari kelumpuhan ini. Bagaimana aku bisa mencabuti dua puluh satu jarum celaka yang menancap di sekujur badanku ini? Siapa yang bakal menolong. Tuhan, apa Kau masih menaruh kasih menolong diriku? Hanya Engkau satu-satunya tempat aku minta tolong. Di tempat ini memang ada Malaikat. Tapi dia bukan MalaikatMu. Dia Malaikat Alis Biru, tokoh silat Istana yang salah kaprah!”

BAB 8

Dua mata Si Setan Ngompol dan Pendekar 212 Wiro Sableng yang sejak tadi berada dalam keadaan terpejam tiba-tiba dibuka nyalang. Di ujung lorong terdengar langkah-langkah kaki mendatangi.
“Jahanam orang-orang Istana!” kata Setan Ngompol dalam hati. “Mereka pasti hendak mengerjai Wiro. Aku harus melakukan sesuatu.” Kakek ini menunggu sampai akhirnya dia melihat tiga orang muncul dan berhenti di depan kerangkeng besi tempat murid Sinto Gendeng disekap.
Yang tegak paling depan adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, memiliki sepasang alis berwarna biru. “Hemmm… ini pasti begundal berjuluk Malaikat Alis Biru yang diceritakan Wiro,” membatin Setan Ngompol. Diam-diam kakek ini kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan, menyiapkan pukulan Setan Ngompol Mengencingi Pusara. Begitu Wiro hendak dicelakai dia akan hantamkan pukulan sakti itu ke arah Malaikat Alis Biru.
Malaikat Alis Biru memberi isyarat pada dua orang perajurit berbadan tegap yang ikut bersamanya. Salah seorang dari mereka mengambil sebuah kunci yang tergantung di tembok di depan kerangkeng, lalu membuka dua gembok besar pengunci pintu kerangkeng.
“Pendekar 212! Aku datang untuk membebaskanmu!”
Murid Sinto Gendeng tersentak kaget mendengar ucapan Malaikat Alis Biru. Dia sama sekali tidak mengira. Setan Ngompol tak kalah kejutnya. Kakek ini buru-buru menekap bagian bawah perutnya agar tidak kucurkan air kencing. Dua matanya tetap mengawasi karena dia merasa ragu. Apa benar Malaikat Alis Biru hendak membebaskan Wiro. Mungkin hanya satu jebakan saja.
Pintu besi dibuka. Malaikat Alis Biru masuk ke dalam. Dua perajurit mengikuti.
“Kau hendak berbuat apa?!” Wiro bertanya.
“Seperti aku katakan tadi, aku datang untuk membebaskanmu. Patih dan Sri Baginda menganggap kau bukan pembunuh juru ukir Keraton bernama Sura Kalimarta. Karena itu kau dibebaskan. Aku menjamin kebebasanmu. Karena itu jika kelak terbukti memang kau yang membunuh sang juru ukir, kau harus menyerahkan diri untuk diadili!”
“Ini buka jebakan atau tipuan?” tanya Pendekar 212.
“Tak ada yang menjebak. Tak ada yang menipu!”
Di dalam kerangkengnya Setan Ngompol merasa lega. Tenaga dalam di tangan kanannya perlahan-lahan dikendurkan.
“Aku berterima kasih padamu, Patih Kerajaan dan Raja. Tetapi kurasa tidak ada gunanya aku mendapat kebebasan. Aku tidak bisa berjalan meninggalkan tempat ini. Tangan dan kakiku lumpuh akibat tusukan dua puluh satu jarum Hantu Muka Licin Bukit Tidar!”
“Soal kelumpuhanmu aku tidak bisa menolong. Aku tidak bisa mencabut jarum-jarum itu tanpa mencelakai. Aku tahu betul, kalau jarum kucabut tanpa mengerti bagaimana caranya, keadaanmu bukannya tertolong, malah selain lumpuh kulit dan dagingmu bisa membusuk!”
“Jarum jahanam!” rutuk Pendekar 212.
“Aku akan menyuruh dua perajurit ini membawamu keluar. Kau boleh minta diantar kemana saja. Hanya itu yang bisa aku lakukan!” kata Malaikat Alis Biru pula.
Wiro diam sejenak. Lalu dia ingat Setan Ngompol. “Aku tidak sudi meningggalkan tempat celaka ini. Kecuali jika temanku kakek bernama Setan Ngompol di kerangkeng sana juga ikut dibebaskan!”
“Ah… jadi kakek jereng kuping terbalik bau pesing itu adalah kawanmu! Sayang aku tidak diberi wewenang untuk melepaskannya. Apa yang telah dilakukannya bukan kesalahan kecil. Dia mengencingi sumur sumber air mandi Sri Baginda.”
“Dia melakukan itu tidak sengaja. Karena kecebur! Dengar, aku tidak akan meninggalkan tempat ini kalau dia tidak ikut serta!”
“Anak muda, mengapa berlaku tolol? Jika kau sudah bebas di luaran kau bisa mencari jalan menolong kawanmu itu…”
“Benar Wiro!” Berseru Si Setan Ngompol dari dalam kerangkengnya. “Jangan pikirkan aku. Selamatkan dirimu. Minta dua perajurit itu mengantarkanmu ke Imoyudan. Cari seorang bernama Mangiri. Dia tahu seorang pandai yang bisa mencabut dua puluh satu jarum di tubuhmu!”
“Anak muda, kau dengar ucapan sahabatmu itu. Tunggu apa lagi? Dua perajurit itu akan membawamu ke Imoyudan. Saat ini malam hari. Tak ada yang akan mengganggu perjalananmu sampai ke Imoyudan. Aku menjamin…”
“Tapi aku mendengar besok pagi anggota rahasianya akan dikebiri. Dalam waktu singkat begitu bagaimana mungkin aku menolongnya?”
“Berarti kau berpacu dengan waktu, anak muda. Jadi jangan membuang waktu percuma…” kata Malaikat Alis Biru pula.
Wiro terdiam dan berpikir sambil memperhatikan Setan Ngompol.
“Kalau tak ada cara lain untuk membebaskan kawanku itu, aku terpaksa mengikut saja…” kata Pendekar 212 dengan suara perlahan. Dia merasa sedih meninggalkan Si Setan Ngompol. Dua perajurit segera menggotong sosok Wiro Sableng. Tapi baru saja mereka dua langkah meninggalkan kerangkeng, tidak terduga dari ujung lorong muncul tiga orang mendatangi.
Di depan sekali melangkah Momok Dempet Tunggul Gono. Tangan kirinya yang buntung tampak disambung dengan sebuah selongsong besi yang ujungnya berkait seperti ganco. Di kiri kanan, agak ke belakang menngikuti dua orang. Satu berpakaian merah gelap, masih muda dan bertubuh hitam gelap. Satunya lagi seorang kakek berpakaian biru muda, memakai blangkon yang pada bagian depannya tersemat sebuah batu permata berwarna hitam.
Malaikat Alis Biru merasa kaget melihat kemunculan orang-orang itu. Dia bisa tidak perduli dengan Tunggul Gono dan lelaki muda yang membawa bumbung bambu. Tapi kakek berbelangkon dan berpakaian biru muda membuat hatinya tiba-tiba menjadi kawatir. Kakek ini di kalangan Keraton dikenal dengan julukan Iblis Batu Hitam. Ilmu silatnya tidak seberapa tinggi. Tapi batu hitam yang menempel di belangkonnya luar biasa berbahaya. Dengan benda yang dianggap keramat itu dia mampu menghadapi lawan bagaimanapun hebatnya. Itu sebabnya di kalangan Keraton dia dianggap sebagai pimpinan tertinggi dari para tokoh silat Istana. Dia jarang muncul. Tapi sekali muncul pasti menjatuhkan malapetaka!
“Ada yang tidak beres. Agaknya Tunggul Gono sudah tahu Wiro hendak dibebaskan. Dia datang sambil membawa kakek ini.” Membatin Malaikat Alis Biru.
Sesaat kemudian Momok Dempet Tunggul Gono, kakek berbelangkon dan lelaki membawa bumbung bambu sampai di depan kerangkeng.
“Sungguh satu pertemuan tidak terduga!” Tunggul Gono angkat bicara. Matanya memandang tak berkesip pada Malaikat Alis biru, lalu memperhatikan dua perajurit yang menggotong Wiro, kembali memperhatikan Malaikat Alis Biru. “Sobatku Malaikat Alis Biru, kau hendak bawa kemana tawanan ini?”
“Sesuai persetujuan Patih Kerajaan dan Sri Baginda, aku diberi wewenang membebaskan tawanan…” jawab Malaikat Alis Biru.
“Apa?! Kau diberi wewenang membebaskan tawanan bernama Wiro Sableng ini? Jangan bergurau sobatku Alis Biru!”
“Siapa bergurau!” bentak Malaikat Alis Biru.
“Hemm… Apakah kau membawa wewenang tertulis dari Patih atau Raja?”
“Wewenang itu diberikan secara lisan.”
Tunggul Gono menyeringai. “Kalau begitu harus aku suruh dulu orang memeriksa. Sementara itu masukkan kembali tawanan ke dalam kerangkeng!”
“Kau berani melawan kehendak Raja dan Patih Kerajaan?!” kembali Malaikat Alis Biru membentak.
“Aku berani melawan kehendak siapa saja selama urusannya belum jelas!” Lalu karena melihat dua perajurit tidak mau menurunkan tubuh Pendekar 212 yang digotong, Tunggul Gono tendangkan kaki kudanya sebelah kanan.
“Bukkk!”
Wiro mengeluh tinggi. Tubuhnya terlempar menyerempet pintu lalu masuk ke dalam kerangkeng, jatuh bergedebukan di lantai.
“Jahanam berkaki kuda! Kau berani mencelakai sahabataku yang tidak berdaya! Makan pukulanku!”
Satu suara membentak di sebelah belakang. Lalu terdengar suara angin menderu disertai bau pesing mencucuk hidung.
Tunggul Gono, kakek berbelangkon dan lelaki yang memegang bumbung bambu berseru keras lalu sama-sama berkelebat selamatkan diri. Selarik sinar hitam lewat di depan mereka. Menghantam jalur-jalur besi kerangkeng hingga bengkok melengkung lalu meruntuhkan dinding batu di sebelah sana.
“Tua bangka jahanam! Kau minta mati berani menyerang kami!” teriak lelaki berpakaian merah yang memegang bumbung. Dia melompat ke hadapan kerangkeng dimana Setan Ngompol disekap. “Mana kunci kerangkeng! Biar kubunuh makhluk busuk tak berguna ini sekarang juga!”
“Ini urusan kecil. Serahkan kakek bau pesnig itu padaku!” Yang bicara adalah kakek berbelangkon berjuluk Iblis Batu Hitam. Dia melangkah ke depan kerangkeng Setan Ngompol. Matanya tiba-tiba dibelalakkan. Kepalanya digoyangkan ke depan. Saat itu juga dari batu hitam yang tersemat di bagian depan belangkon menyembur cahaya hitam, membungkus sekujur tubuh Setan Ngompol. Kakek ini menjerit keras lalu terkapar roboh di lantai. Mukanya tampak kaku. Matanya mendelik dan dari mulutnya mengucur darah.
Wiro berteriak marah! Dia mengira Setan Ngompol tewas. Padahal cuma pingsan saja walau sebenarnya membunuh kakek itu mudah saja bagi Iblis Batu Hitam.
“Jahanam keparat! Kau berani membunuh sahabatku! Kalau aku bebas kucari kau! Akan kupatahkan lehermu!”
Iblis Batu Hitam cuma ganda menyeringai mendengar ucapan Wiro itu sedang Tunggul Gono tertawa mengekeh.
“Anak muda, turut hatiku aku ingin membunuhmu saat ini juga!” berucap Iblis Batu Hitam. “Apalagi mengingat gurumu Si Sinto Gendeng beberapa waktu lalu telah mencelakai diriku! Lihat!”
Iblis Batu Hitam singkapkan tangan kirinya yang terlindung lengan dalam jubah hitam. Tangan itu masih utuh, tapi menciut kecil dan kehitam-hitaman. Pada bagian atas telapak melekat sebuah benda yang ketika diperhatikan ternyata adalah sebuah tusuk konde terbuat dari perak. Wiro segera mengenali. Tusuk konde itu adalah tusuk konde yang biasa menancap di batok kepala gurunya.
“Gurumu membuat aku cacat begini rupa. Aku bersumpah tidak akan mencabut tusuk konde ini sebelum aku mencabut nyawa nenek keparat itu!”
Wiro mendengus. “Kalau kau punya otak jernih kejadian itu seharusnya merupakan satu pelajaran bagimu! Ternyata otakmu tidak jernih! Tapi penuh air comberan!”
“Jahanam, berani kau menghina ketua kami!” teriak Tunggul Gono marah. Dia segera memberi isyarat pada lelaki berpakaian merah yang membawa bumbung bambu. Sambil melompat masuk ke dalam kerangkeng orang ini buka penutup bumbung bambu. Lalu dia membungkuk di hadapan Wiro. Dengan tangan kirinya dia tarik celana sang pendekar hingga melorot jauh ke bawah. Bersamaan dengan itu tangannya yang kanan bergerak menuangkan isi bumbung bambu. Di dalam bumbung ini terdapat tiga puluh ekor kelabang merah ganas yang sengatannya bisa membuat laki-laki menjadi kehilangan kejantanannya seumur hidup!
“Lodan!” teriak Malaikat Alis Biru menyebut nama lelaki muda hitam seraya melompat masuk ke dalam kerangkeng. “Tahan! Jangan lakukan itu!”
Tapi gerakan Malaikat Alis Biru tertahan karena pakaiannya tiba-tiba dicekal oleh Tunggul Gono.
“Aku susah payah menangkap bangsat itu! Aku harus membayar mahal dengan kehilangan tangan kiri. Bahkan nyawa saudaraku! Kini kau hendak membelanya. Aku tidak perduli Raja dan Patih Kerajaan berada di pihakmu! Kau pantas kubunuh lebih dulu!”
Habis berkata begitu Tunggul Gono hantamkan selongsong besi yang ujungnya berbentuk gaetan. Bagi orang berkepandaian tinggi seperti dia, gaetan besi itu bisa berubah menjadi senjata yang lebih mengerikan dari pedang atau golok! Apalagi dia memilki gerakan cepat. Gaetan besi tahu-tahu sudah berkelebat tinggal dua jengkal dari leher Malaikat Alis Biru.
Satu cahaya biru tiba-tiba berdesing membelah udara.
“Trangg!”
Tunggul Gono keluarkan jeritan kesakitan. Darah mengucur dari goresan luka di lehernya akibat sambaran benda tajam.
Gaetan besi tangan kiri Tunggul Gono terpental. Kakek ini tersurut dua langkah. Wajahnya pucat. Di depannya Malaikat Alis Biru tegak tergontai memegang sebilah pedang berwarna biru. Mukanya tak kalah pucat.
“Sahabatku Tunggul Gono, kau bantu Lodan. Urusan ini harus cepat diselesaikan. Aku tak banyak waktu berada di Kotaraja ini!”
Yang hicara adalah Iblis Batu Hiam. Dia melangkah ke hadapan Malaikat Alis Biru dan berucap “Pedangmu cukup sakti. Aku Iblis Batu Hitam ingin melihat sampai dimana kehebatannya!”
Habis berkata begitu kakek berjuluk Iblis Batu Hiam delikkan matanya dan goyangkan kepala. Saat itu juga serangkum sinar hitam menderu keluar dari batu hitam yang tersemat di bagian depan belangkonnya.
Malaikat Alis Biru membentak keras. Tangan kanan yang memegang pedang dibabatkan ke depan. Bersamaan dengan itu dia lepaskan satu pukulan sakti dengan tangan kiri. Selarik sinar biru berkiblat. Namun betapapun hebatnya pedang di tangan si kakek serta saktinya pukulan yang dilepaskan, sinar hitam yang keluar dari batu di belangkon telah lebih dulu menghantam.
Malaikat Alis Biru keluarkan jeritan setinggi langit. Sosoknya yang dibungkus sinar hitam lawan langsung kelojotan lalu roboh ke lantai. Tidak seperti Setan Ngompol, kakek malang ini benar-benar menemui ajal alias dibikin mati oleh serangan Iblis Batu Hitam. Habis membunuh manusia satu ini rangkapkan tangan di depan dada, memandang menyeringai pada Momok Dempet Tunggul Gono. Namun seringai masnuia satu ini mendadak sontak lenyap seperti direnggut setan. Di dalam kerangkeng tiba-tiba ada dua cahaya hijau berkiblat disertai jeritan mengidikkan keluar dari mulut Lodan. Lalu sunyi dan kengerian luar biasa melanda tempat itu.
Sosok Lodan yang tadi hendak mengguyurkan tiga puluh kelabang ke bagian bawah perut Pendekar 212 berkaparan di lantai dalam bentuk tiga kutungan besar dan berwarna hijau mengepul. Apa yang terjadi?

BAB 9

Pada saat tiga puluh kelabang beracun di dalam bumbung bambu hampir meluncur jatuh
ke bagian bawah perut Pendekar 212 Wiro Sableng yang terkapar, murid Sinto Gendeng tidak melihat cara lain untuk selamatkan diri. Dari mulutnya keluar seruan keras menyebut ilmu kesaktian yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh. (Baca serial Wiro Sableng mulai dari “Wasiat Iblis” sampai “Kiamat Di Pangandaran” terdiri dari 8 Episode).
“Sepasang Pedang Dewa!”
Saat itu juga dari dua mata Wiro melesat keluar dua larik sinar hijau bersilang berbentuk sepasang pedang luar biasa tajam dan cepat tabasannya. Lodan, pemuda hitam berpakaian merah tidak tahu apa yang terjadi.
“Crassss!”
“Crasss!”
Tubuh Lodan terbelah tiga mengerikan. Berkaparan di lantai kerangkeng. Puluhan kelabang merah mati berkaparan di atas genangan darah yang mengucur keluar dari potongan tubuh Lodan. Empat besi kerangkeng sebesar-besar betis putus!
“Jahanam keparat! Kau bisa selamat dari kelabang beracun itu! Tapi jangan harap bisa lolos dari tanganku!”
Iblis Batu Hitam melompat ke depan pintu kerangkeng. Matanya dibeliakkan ke arah Wiro yang terbaring di atas genangan darah. Kepalanya yang memakai belangkon digoyangkan ke depan. Serangkum sinar hitam maut menderu ke arah Pendekar 212.
Sebelumnya Setan Ngompol dan Malaikat Alis Biru tidak sempat meloloskan diri dari serangan mengerikan ini. Agaknya hal itu juga akan terjadi dengan murid Sinto Gendeng. Hanya sesaat lagi sinar hitam akan melabrak membungkus tubuhnya tiba-tiba ada cahaya putih menyambar. Bersamaan dengan itu bau harum aneh menggidikkan merebak di seantero tempat!
“Bau bunga kenanga!” Wiro berkata dalam hati, tercekat!
Sesaat lagi sinar hitam akan menggulung Pendekar 212 tiba-tiba cahaya putih menebar, mendahului membungkus tubuh sang pendekar. Ketika kemudian sinar hitam dan cahaya putih saling bergesekan meledaklah letusan-letusan yang menggetarkan seluruh dinding dan lantai bangunan di bawah tanah itu. Bahkan di atas sana bangunan Keraton terasa bergetar seperti dilanda gempa! Di depan kerangkeng Tunggul Gono jatuh terhenyak. Mukanya pucat, masih belum tahu jelas apa yang telah terjadi.
Iblis Batu Hitam berteriak kaget ketika merasakan tubuhnya seperti dilabrak topan, terpental membentur besi-besi kerangkeng. Kepalanya serasa tanggal. Pamandangannya sesaat gelap dan keningnya terasa panas sekali. Tulang-tulang di sekujur tubuhnya seolah bertanggalan. Di hadapannya muncul satu sosok aneh menyerupai asap. Lalu berubah menjadi bayang-bayang. Kemudian antara kentara dan tidak dia melihat satu sosok gadis berpakaian putih, berwajah cantik tapi pucat pasi denan sepasang mata menyorot dingin laksana sambaran angin salju!
“Bunga…!” Pendekar 212 menyebut nama itu dengan lidah setengah kelu, mata mendelik.
Iblis Batu Hitam tanggalkan belangkonnya. Matanya terbelalak ketika melihat batu hitam sakti yang jadi andalan ilmu kesaktiannya tak ada lagi di belangkon itu.
“Manusia iblis, kau mencari benda ini?” Satu suara tiba-tiba menegur. Yang bicara adalah sosok gadis berbentuk bayang-bayang itu. “Kau mencari benda ini?!” Si gadis mengulang.
Iblis Batu Hitam dan juga Momok Dempet Tunggul Gono tersentak kaget. Memandang ke depan mereka melihat batu hitam yang tadinya menempel di belangkon kini berada dalam genggaman jari-jari gadis muka pucat.
“Hantu keparat! Kembalikan batu itu padaku!” teriak Iblis Batu Hitam.
“Hantu keparat… Kau memanggil aku Hantu Keparat1 Sungguh lucu! Hik… hik… hik!” Gadis muka pucat yang merupakan penjelmaan roh gadis bernama Suci alias Bunga alias Dewi Bunga Mayat tertawa panjang. “Kau inginkan benda ini silahkan mengambil!”
Suci gerakkan jari-jari tangannya.
“Traaakkk!”
Batu hitam berderak hancur menjadi bubuk halus.
Iblis Batu Hitam berteriak marah, berusaha mengejar tapi percuma. Terlambat. Dalam remasan Suci batu telah berubah menjadi bubuk. Ketika gadis ini meniup, debu batu itu menyembur ke arah Iblis Batu Hitam. Dan ini bukan sambaran debu biasa. Kalau Iblis Batu Hitam tidak cepat menyingkir matanya bisa buta ditembus debu hancuran batu hitam miliknya sendiri.
Lelehlah nyali Iblis Batu Hitam. Bukan saja melihat apa yang terjadi tapi juga karena dia tidak memiliki ilmu lain selain mengandalkan batu hitam tiu. Tunggul Gono sendiri sejak tadi sudah putus keberaniannya. Begitu melihat Iblis Batu Hitam memberi isyarat dan begerak kabur, Tunggul Gono segera pula melompat menghambur.
“Kalian terlalu terburu-buru. Mau pergi kemana?” satu suara menegur.
“Ih!”
Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono menjerit berbarengan karena entah kapan bergeraknya tahu-tahu sosok gadis berwajah pucat itu sudah berada lima langkah di hadapan mereka, bertolak pinggang dan tertawa panjang.
“Aku tidak menghalangi. Kalian mau kabur silahkan! Tapi terima dulu hadiah kenang­kenangan dariku. Satu orang dapat satu!”
Tangan kiri kanan Suci bergerak. Dua buah benda berwarna kuning seperti berpijar, melesat di udara. Bau wangi menggidikkan kembali menebar. Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono menjerit setinggi langit. Tunggul Gono pegangi kupingnya sebelah kanan. Di liang kupingnya menancap sebuah benda yang ternyata adalah sekuntum bunga kenanga kuncup. Darah mengucur dari liang telinga yang hancur sampai ke gendang-gendangnya. Di sebelah Tunggul Gono. Iblis Batu Hitam meraung sambil pegangi mata kirinya. Darah mengalir di sela­sela jarinya. Kalau Tunggul Gono kuping kanannya yang dapat “hadiah” maka Iblis Batu Hitam mata kirinya yang dihantam bunga kenanga kuncup! Sambil menjeri-jerit ke dua orang itu lari tunggang langgang sepanjang lorong. Naik ke tingkat atas dan membuat gempar seisi Keraton.
“Setan! Hantu!” teriak Tunggul Gono sambil menunjuk-nunjuk ke bawah.
“Ada roh jahat gentayangan!” ikut berteriak Iblis Batu Hitam.
Pasukan pengawal Keraton menjadi sibuk. Beberapa tokoh silat Istana juga segera berdatangan, mencari tahu apa yang terjadi. Tapi seperti orang gila dan menunjuk-nunjuk kian kemari sambil berteriak-teriak Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam tidak bisa ditanyai. Akhirnya karena terlalu banyak darah yang keluar dua tokoh silat ini roboh pingsan.
***
“Bunga…” ucap Wiro ketika sosok bayangan putih mendatangi. Dia berusaha bangkit tapi lupa kalau sekujur tubuhnya berada dalam keadaan lumpuh. “Ah…! Aku gembira bisa bertemu denganmu lagi, Bunga…”
“Diam saja di tempatmu Wiro. Aku akan berusaha mencabut semua jarum yang menancap di tubuhmu. Untung tidak ada jarum yan menancap di titik darah mematikan. Mudah­mudahan aku bisa memusnahkan kelumpuhanmu!”
Cepat Suci berjongkok di samping Pendekar 212. Telapka tangan kanannya dikembangkan. Matanya dipejamkan. Bersamaan dengan dibukanya matanya kembali, tangan kanannya diusapkan sejengkal di atas permukaan tubuh Wiro. Terjadilah satu keanehan.
Dari telapak tangan Suci keluar satu hawa dingin menyedot disertai kepulan asap tipis putih. Sebaliknya dari sosok Pendekar 212 merambas keluar hawa panas disertai asap kehitaman.
Tiba-tiba! Sett… sett… sett!
Dua puluh satu jarum yang menancap di tubuh Wiro melesat ke atas dan menancap di telapak tangan Suci. Tangan itu kucurkan darah tapi cuma sebentar. Ketika Suci mengibaskan tangannya semua jarum jatuh luruh ke tanah. Walau keadaannya saat itu masih lemah namun Wiro sudah mampu menggerakkan tangan dan kakinya lalu duduk di lantai.
“Bunga, terima kasih. Kau muncul di saat aku membutuhkan pertolongan…” Wiro ulurkan tangan hendak memeluk tubuh Suci. Namun sadar pakaiannya basah kotor oleh darah dia tarik ke dua tangannya kembali. Bunga tersenyum lalu pegang ke dua tangan Wiro. Walau sosoknya berupa bayang-bayang namun Wiro merasakan pegangan gadis itu seperti pegangan manusia biasa adanya.
“Dua tahun aku kehilangamu. Aku mencari dan mencari. Tapi kau lenyap tak tahu rimbanya….” bisik Suci. Kata-kata itu diucapkanya sambil sepasang matanya berkaca-kaca. Kemudian dia ingat. “Ini bukan saatnya untk berbincang-bincang. Kita harus segera meninggalkan tempat ini. Di atas sana aku mendengar suara ramai. Sebentar lagi orang-orang Keraton akan menyerbu ke sini…”
Wiro masih pegangi dua tangan si gadis dan memandangi wajahnya tak berkedip. Perlahan-lahan dia coba bangkit berdiri. Tapi tubuhnya masih lemah. Dia tak mamapu bangun. Menyadari hal ini Suci cepat membantu. Ketika dipapah keluar dari dalam kerangkeng, Wiro ingat pada Setan Ngompol.
“Sahabatku, kakek bau pesing itu. Kita harus menolongnya. Mudah-mudahan masih hidup.” Wiro menunjuk pada sosok Setan Ngompol yang masih terhenyak di lantai kerangkeng setengah pingsan setengah sadar.
Suci sandarkan Wiro ke dinding. Lalu sosok gadis ini seperti asap berhembus melayang masuk ke dalam kerangkeng lewat celah-celah besi. Dai memeriksa keadaan Setan Ngompol sebentar, memberi tanda pada Wiro kalau si kakek masih hidup. Sesaat Suci bingung bagaimana
harus membuka rantai besi yang tergantung di bawah perut Setan Ngompol. Di atas suara-suara kaki terdengar berlarian mendatangi bagian bawah di ujung lorong.
“Aku perlu kapak saktimu!” kata Suci. Gadis ini melayang keluar dari dalam kerangkeng, meminta Kapak Naga Geni 212 lalu kembali masuk ke dalam kerangkeng. Sekali tabas saja, rantai besi yang mengikat Setan Ngompol putus pada kepanjangan tiga jengkal dari bawah perutnya.
Suara keras dentrangan mata kapak memutus rantai besi menyadarkan Setan Ngompol. Kakek ini mula-mula mencium bau kembang kenanga. Ketika matanya dibuka pandangannya membentur sosok aneh, seperti asap, berwujud gadis cantik pucat berkebaya putih panjang.
“Si… siapa kau…?” Dalam kejutnya dan takut si kakek kucurkan air kencing. Dia terheran-heran melihat Kapak Naga Geni 212 ada di tangan si gadis lalu rantai besi yang selama ini mengikat dirinya tergelatak putus di lantai.
“Kakek bau pesing. Tidak ada waktu untuk bertanya jawab. Kita harus tinggalkan tempat ini. Wiro sudah menunggu!”
“Wiro…?”
Tak sabaran Suci bembeng tengkuk pakaian si kakek lalu seperti tadi dia masuk begitu pula dia bertindak keluar dari dalam kerangkeng besi. Tapi dia lupa sosok Setan Ngompol tidak sama keadaannya dengan dirinya. Ketika sosoknya sudah di luar, tubuh Setan Ngompol tertahan menabrak jalur-jalur besi kerangkeng. Kakek ini melolong kesakitan. Keningnya jontor dan tulang kering kakinya seperti mau remuk membentur jeruji besi! Kencingnya awur-awuran. Dalam hati Suci menggerutu. “Kalau kakek bau pesing ini bukan sahabat Wiro, rasanya lebih baik aku tinggalkan saja di dalam kerangkeng ini!”
Suci pergunakan kapak sakti untuk menjebol dua jeruji besi hingga Setan Ngompol bisa keluar dari dalam kerangkeng. Kapak dikembalikannya pada Wiro. Untuk mempercepat Suci bembeng leher pakaian kedua orang itu, lalu dibawa melayang di udara sepanjang lorong.
“Tewas aku!” teriak Setan Ngompol.
“Ada apa Kek?!” tanya Wiro.
“Copot barang antikku!” jawab Setan Ngompol. Kakek ini buru-buru pegangi ujung rantai yang menggelantung di bawah perutnya. Wiro tertawa lebar sedang Suci jadi senyum-senyum.
Ketika mereka sampai di tingkat atas yang menuju bangunan Keraton, semua orang yang ada di tempat itu mejadi gempar.
“Ada dua tubuh melayang di udara!” Seseorang berteriak.
“Setan perempuan menggondol dua tawanan!” teriak yang lain.
“Roh halus masuk Keraton!”
Pasukan pengawal Keraton segera mengurung, namun mereka tidak tahu mau berbuat apa karena masing-masing telah dilanda ngeri melihat sosok perempuan aneh yang membembeng Wiro dan Setan Ngompol.
“Semua menyingkir! Apa yang terjadi di tempat ini!” satu suara membahana. Yang muncul adalah Patih Selo Kaliangan. Di belakangnya mengikuti Sri Baginda. Semua orang segera menyingkir. Anggota pasukan cepat melakukan pengawalan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan atas diri Sri Baginda.

BAB 10

Mula-mula Patih dan Raja melihat sosok Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam tergeletak
di lantai, tak berapa jauh dari tangga yang menuju ke lorong bawah bangunan. Lalu! Ini yang membuat mereka melengak kaget. Dua sosok tampak seperti melayang di udara. Satu pemuda gondrong yang pakaiannya penuh berselemotan darah. Satunya lagi kakek bau pesing berkuping lebar. Dua tangannya memegangi gulungan rantai besi sepanjang tiga jengkal. Di antara dua sosok yang seperti melayang itu kelihatan sosok ke tiga, antara kelihatan dan tidak berujud gadis
cantik berkebaya panjang.
Baik sang Paih maupun Sri Baginda segera maklum kalau mereka tengah berhadapan dengan makhluk setengah gaib setengah nyata. Dengan nada hati-hati Patih Selo Kaliangan menegur.
“Roh gadis berkebaya putih. Apakah kau telah tersesat masuk Keraton…?”
Sosok Suci gelengkan kepala.
“Bisakah kau membuat sosokmu lebih jelas agar kami dapat melihat wajahmu?”
“Jika itu maumu tak ada salahnya…” jawab Suci. Saat itu juga wajah dan tubuhnya membayang lebih jelas, hampir menyerupai sosok manusia biasa. “Namaku Suci, aku tidak tersesat datang ke tempat ini…”
Sri Baginda terangguk-angguk, walau ada rasa ngeri dan juga heran.
“Kalau kau tidak tersesat berarti memang sengaja datang kemari. Lalu mengapa hendak melarikan dua tawanan itu?” Patih Kerajaan kembali bicara.
“Aku tidak melarikan mereka. Aku menolong meneyelamatkan keduanya. Mereka dipenjarakan tanpa kesalahan.”
“Mana mungkin kami bertindak seperti itu…”
“Patih, aku tidak ingin berdebat denganmu. Tapi kau dan juga Sri Baginda harap sudi mendengar ucapanku ini. Jika Keraton masih memelihara manusia-manusia busuk seperti Tunggul Gono, Iblis Batu Hiam, Hantu Muka Licin Bukit Tidar dan yang lain-lainnya, jangan harap berkah Gusti Allah akan menjadi bagian Keraton dan semua isinya…!”
Habis berkata begitu, selagi Patih dan Raja terkesiap Suci putar tubuhnya, membumbung ke atas, membawa serta Wiro dan Setan Ngompol. Justru saat itu tiba-tiba mengumandang satu bentakan aneh, seolah datang dari dalam sumur atau jurang sangat dalam.
“Semua tetap di tempat! Aku ingin tahu siapa yang mencelakai saudaraku Tunggul Gono!”
Sosok Suci yang tengah melayang naik ke udara seperti diterpa angin. Kalau tidak lekas dia menghindar Wiro dan Setan Ngompol bisa celaka. Dengan cepat Suci bergerak turun ke lantai ruangan. Wiro dan Setan Ngompol dibisikinya agar segera berlindung di balik sebuah tiang besar.
Di lain saat dari atas langit-langit ruangan besar melayang turun satu sosok berujud bayang-bayang, menampilkan seorang kakek berpakaian hitam, rambut awut-awutan, memiliki sepasang mata besar. Bahu kanan buntung, lukanya masih tampak basah berdarah! Kaki kiri putus sebatas lutut sedang kaki kanan berbentuk kaki kuda, sama seperti yang dimiliki Tunggul Gono.
Seisi Keraton menjadi gempar. Sosok yang muncul ini bukan lain adalah rohnya Tunggul Gini, saudara kembar Tunggul Gono yang tewas akibat racun tanah yang menjepit putus kakinya!
Sosok Tunggul Gini berdiri di atas satu kaki, memandang mencorong pada Suci.
“Kita sama-sama makhluk dari alam roh!” Tunggul Gini berucap. “Kuharap kau mau berbaik hati menyerahkan pemuda berambut gondrong bernama Wiro Sableng itu!”
“Kenapa kau menginginkan dirinya?!” tanya Suci.
“Kakiku buntung karena perbuatannya. Aku tewas dibunuh saudara sendiri juga akibat perbuatannya. Di sebelah sana saudaraku menggeletak setengah mati setengah hidup pasti juga karena ulah perbuatannya!”
“Saudaramu aku yang menghajar! Sekedar untuk memberi pelajaran agar dia bisa bertobat!” kata Suci pula.
Sosok gaib Tunggul Gini keluarkan suara tertawa panjang. “Kau roh jujur. Mengakui perbuatan. Aku bersedia mengampuni dosamu asal segera menyerahkan pemuda yang kuminta!”
“Aku tidak bakal menyerahkan pemuda itu. Bukankah lebih baik kau menyelamatkan saudaramu sendiri?!”
“Kau tak perlu memberi nasihat! Kau mau menyerahkan pemuda gondrong iu atau tidak?!”
“Kalau kau merasa mampu silahkan mengambil sendiri!”
“Makhluk roh muka pucat! Kau memaksaku menurunkan tangan jahat! Lihat jari!” Tunggul Gini tusukkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah Suci. Serta merta selarik sinar hitam menderu deras ke arah kening gadis ini. Sebenarnya serangan yang dikeluarkan Tunggul Gini adalah jurus pukulan bernama Ladam Setan. Tapi kini dia melancarkan serangan dengan cara
menusukkan satu jari saja. Pertanda di alamnya yang baru makhluk roh ini memiliki kehebatan berlipat ganda!
Pada saat sinar hitam tusukan tangannya berkiblat, sosok Tunggul Gini melayang ke balik tiang besar tempat Wiro dan Setan Ngompol sembunyi. Dengan tangan kirinya mahkluk roh ini berusaha menyambar rambut gondrong Pendekar 212.
Di sebelah sana sinar hitam serangan Tunggul Gini lewat dua jengkal di atas kepala Suci yang cepat menunduk. Sinar ini melabrak dinding Keraton hingga menimbulkan gelegar keras. Dinding tebal itu kelihatan berlubang besar kehitaman!
Ketika Tunggul Gini melancarkan serangan dan berusaha menjambak rambutnya, untungnya Wiro sudah berlaku waspada sejak tadi. Tangan kanannya bergerak. Selarik sinar putih menerangi seluruh tempat disertai menebarnya hawa panas dan suara bergaung seperti ribuan tawon mengamuk.
Tunggul Gini berteriak, memaki keras. Walau tangannya yang menjambak mungkin tidak mempan ditabas kapak sakti itu, tetapi dia tidak berani berlaku ayal. Dengan cepat dia tarik pulang tangannya. Bersamaan dengan itu kaki kudanya sebelah kanan menendang ke arah batok kepala Wiro dalam jurus Ladam Kematian!
Tidak menyangka mendapat serangan susulan begitu rupa Pendekar 212 kembali babatkan kapak saktinya. Tapi tangkisannya kali ini melesat jauh. Kaki kuda Tunggul Gini menyusup di balik sambaran Kapak Naga Geni 212.
“Celaka!” Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan. Dia berusaha hendak menolong, tapi dua tangannya tak mungkin dilepas karena harus terus menerus memegangi rantai besi berat yang mengganduli barang antiknya!
Hampir kaki kuda Tunggul Gini menghancurkan kepala Wiro tiba-tiba dari samping Suci lancarkan dua pukulan tangan kosong sekaligus. Sosok Tunggul Gini terhuyung-huyung. Dia berteriak marah, membalik dengan cepat seraya jentikkan lima jari.
“Gadis jahanam! Biar kau kubikin mampus untuk kedua kalinya!”
Suci tersentak kaget ketika melihat bagaimana dari tangan lawan berkelebat lima sinar hitam luar biasa cepat dan ganasnya. Semua orang yang ada di tempat itu berserabutan menyingkir. Tapi Suci sendiri tetap tidak bergerak di tempatnya. Dia seperti sengaja menunggu.
Sesaat kemudian tiba-tiba gadis dari alam roh ini hentakkan kaki kanannya ke lantai. Dari lantai memancar sinar merah, menjalar ke atas memasuki tubuhnya terus ke kepala. Di lain kejap dua larik sinar merah menyembur dari sepasang mata gadis ini. Inilah ilmu yanfg disebut Roh Mendera Bumi.
Tunggul Gini berseru tegang menyaksikan bagaimana dua larik sinar merah yang keluar dari sepasang mata lawan menggulung lima sinar hitamnya lalu menghantam ke arah dirinya sendiri!
Sosok Tunggul Gini buyar tercabik-cabik, berubah menjadi asap hitam merah. Suara raungannya menggelegar dahsyat. Sebelum sosoknya lenyap terdengar dia berteriak.
“Makhluk roh muka pucat! Aku belum kalah! Di lain saat aku akan muncul mencarimu untuk membuat perhitungan!”
Selagi semua orang di tempat itu terhenyak dalam kegemparan luar biasa Suci cepat membembeng Wiro dan Setan Ngompol lalu membawanya melayang ke udara meninggalkan Keraton.
Sri Baginda mengusap wajahnya yang pucat keringatan berulang kali. Diiringi Patih Kerajaan dia melangkah meninggalkan tempat itu dengan kaki terasa bergetar. Satu saat dia berhenti, menunggu Patih Selo Kaliangan berada di dekatnya lalu berkata. “Peringatan roh gadis bermuka pucat itu agaknya perlu kita perhatikan. Tokoh silat yang hanya mencari keuntungan, bertindak mengatas namakan Keraton atau Istana padahal melakukan perbuatan keji seharusnya kita pangkas dari jajaran Istana. Temui aku besok pagi di serambi timur Keraton.”
“Akan saya lakukan Sri Baginda,” jawab Patih Kerajaan seraya membungkuk.
***

Setan Ngompol duduk julurkan dua kakinya di tanah. Setiap dia memandang ke bawah
perutnya dia merasa marah, kesal dan jengkel. Hatinya selalu mendumal. “Japitan jahanam! Rantai celaka! Bagaimana aku bisa melepaskan diri dari benda keparat ini? Siapa yang bisa menolong Wiro sudah mencoba dengan kapak. Rantai bisa dibabat pendek sampai tinggal satu jengkal. Tapi sisanya termasuk japian besi tidak bisa ditanggalkan, tidak mungkin dibuang…”
Memandang ke tepi telaga kecil Setan Ngompol memperhatikan Wiro dan Suci duduk berdua-dua. Di sebelah timur matahari baru saja naik. Udara masih terasa sejuk. Setan Ngompol melihat dua orang di tepi telaga itu bangkit berdiri lalu melangkah ke arahnya.
“Bagaimana keadaanmu pagi ini kek?” menyapa Suci.
“Aku baik-baik saja,” jawab Setan Ngompol. “Sebaliknya aku merasa kehadiranku di tengah kalian hanya merupakan beban…”
“Beban, beban apa? Memangnya kami menggendongmu kemana-mana?” ujar Wiro Sableng pula.
“Maksudku jika hanya kalian berdua saja, tentu lebih merasa bebas. Kalian sudah sangat lama tidak bertemu. Pasti banyak yang akan kalian bicarakan. Aku dulu juga pernah muda…”
“Sekarangpun kau masih muda Kek!” kata Suci menggoda.
Setan Ngompol cibirkan mulutnya. “Terus terang banyak cerita lama yang mau kubicarakan denganmu Wiro. Tapi kukira lain kesempatan masih ada. Aku ingin memisahkan diri. Cuma, japitan besi dan sisa rantai yang masih sejengkal ini, bagaimana menghilangkannya…”
”Aku sudah bilang, kita kembali saja ke Keraton, minta kunci japitan itu. Kalau kunci sudah ada pasti bisa dibuka.” Kata Wiro pula.
“Kunci, kunci apa? Coba kau lihat sendiri!” Setan Ngompol lupa kalau di situ ada Suci. Dia buru-buru hendak merorotkan celana butut basahnya ke bawah. Tapi begitu sadar sambil tersipu-sipu si kakek tarik kembali celananya ke atas. “Japitan ini tidak ada kuncinya. Waktu orang-orang celaka itu menjapit, mereka mempergunakan martil besar untuk mematikan japitan. Untung barangku tidak dijapit medel!”
Wiro pandangi si kakek sambil garuk-garuk kepala.
“Aku ingin menjajal memutus dengan Kapak Naga Geni 212. Tapi aku kawatir kalau anggota rahasiamu ikut putus bersama besi japitan! Salah-salah kau bisa berubah lelaki buka, perempuan juga bukan!” kata Wiro lalu tutup mulutnya menahan tawa sementara Suci pura-pura memandang ke jurusan lain.
“Heran, mengapa orang-orang Istana memelihara tukang siksa begini kejam….. Aku masih ingat tampang bangsat yang memasang japitan pada barang antikku ini,” kata Setan Ngompol. Waktu menyebut “barang antik” dia sengaja berucap perlahan agar jangan sampai terdengar oleh Suci. “Aku bersumpah mencari kesempatan untuk membalas! Awas kau bangsat!”
Setelah merenung sejenak Setan Ngompol kembali berkata. “Sudahlah, kalian berdua pergi saja. Tinggalkan aku di sini. Bagaimana nasibku nanti biar aku yang menanggung sendiri.”
“Kami tidak akan meninggalkamu Kek.” Kata Suci. “Itu janji kami berdua sahabat­sahabatmu ini.”
Wiro garuk-garuk kepalanya. Setan Ngompol ikut-ikuan menggaruk. Tiba-tiba kakek ini bangkit melompat. Dua tangan memegangi bagian bawah perut.
“Ada apa Kek?” tanya Pendekar 212.
“Aku ingat sesuatu…” jawab Setan Ngompol.
“Apa yang kau ingat? Nenek genit Luhlampiri di Negeri Latanahsilam itu?”
Si kakak gelengkan kepala. “Aku justru ingat kau!” katanya sesaat kemudian sambil menudingkan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke arah Wiro.
“Ingat aku? Aku ada di depanmu. Masakan diingat-ingat? Aneh kau ini. Aku kawatir karena selalu memikirkan anumu yang kejepit itu lama-lama otakmu berubah miring….”
“Wiro… Dengar. Aku ingat! Bukankah kau memiliki ilmu aneh yang disebut Menahan Darah Memindah Jasad…” (Baca rangkaian episode petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam mulai dari Episode pertama berjudul “Bola-Bola Iblis” sampai Episode terakhir berjudul “Istana Kebahagiaan).
“Kau betul. Hantu Selaksa Angin, nenek tukang kentut di Negeri Latanahsilam itu yang memberikannya padaku. Lalu apa maksudmu?” Wiro bertanya . Lalu dia tersentak sendiri. “Astaga! Aku mengerti Kek! Biar kucoba! Tapi….”
“Tapi apa?”
“Setahuku ilmu itu hanya untuk memindahkan bagian tubuh atau aurat manusia saja. Sedang besi yang menjapit anumu serta rantai yang sedang bergelantungan di anumu itu bukan bagian dari aurat tubuhmu…’
Diam-dam dari tempatnya berdiri Suci mendengarkan percakapan kedua orang itu.
“Aku minta kau mencobanya Wiro. Kalau memang sudah dicoba dan tidak berhasil, nasibku yang sial. Tapi kalau berhasil aku punya kaul mencukur semua rambut yang ada di tubuhku! Mulai dari rambut sampai ke kaki!”
“Kaulmu saja sudah tidak karuan! Berkaul itu sesuatu yang bersifat baik.”
“Aku bingung. Mungkin kau benar. Karena keliwat memikir barangku ini otakku jadi tidak karuan. Aku salah berucap. Tapi apa boleh buat. Rupanya memang begitu bunyi kaulku! Ayo sobatku muda. Lekas kau coba ilmu kesaktianmu itu!”
Wiro garuk-garuk kepala. Dia pandangi si kakek dengan hati iba. “Baik, akan kucoba.” Wiro lalu jongkok di hadapan Setan Ngompol yang duduk di tanah, Ke dua kaki si kakek dikembangkannya. Setan Ngompol hendak menurunkan celana bututnya tapi tak jadi. Dia menggoyangkan kepala ke arah Suci lalu mendehem beberapa kali. Suci yang mengerti maksud deheman itu sambil senyum-senyum melangkah dan berlindung ke balik sebatang pohon.
“Dia sudah sembunyi. Turunkan celanamu Kek…” kata Wiro Sableng.
Tanpa ragu-ragu Setan Ngompol tuunkan celananya sampai ke lutut.
Wiro memandang ke bawah.
“Buset…!”
“Buset? Apa yang buset?!” tanya Setan Ngompol.
“Jelek amat Kek!”
“Apa yang jelek amat?!”
”Anumu!”
“Setan kau! Nanti kalau kau sudah tua barangmu lebih jelek dari punyaku, tahu?!”
Wiro tertawa cekikikan. Perlahan-lahan dia turunkan tangannya ke bawah perut si kakek. Setan Ngompol pegang lengan sang pendekar.
“Kenapa?” Wiro bertanya.
“Awas kau kalau berani mengacak ke tempat yang bukan-bukan!”
Di balik pohon Suci menutup mulutnya berusaha menahan tawa mendengar ucapan­ucapan ke dua orang itu.
“Tenang kek, aku berusaha. Mohon kepada Tuhan agar kau bisa tertolong…”
“Lakukan cepat, aku sudah berdoa!” kata Setan Ngompol sembari matanya meram melek dan mulutnya komat kamit.
“Eh, belum kuraba kau sudah seperti orang keenakan Kek!” ujar Wiro melihat mimik si kakek.
“Setan! Jangan bergurau terus!” bentak si kakek.
Wiro kembali ulurkan tangan kanannya ke bawah. Jari-jarinya menyentuh jepitan besi di bawah perut si kakek. Dia lalu merapal bacaan yang diajarkan Hantu Selaksa Angin alias Luhkentut. Hening… sunyi. Lalu kreek!
Dua mata Setan Ngompol mendelik. Dua mata Wiro melotot. Kedua orang ini saling berpandangan sesaat. Perlahan-lahan Wiro tarik tangan kanannya dari bawah perut si kakek. Dia dan juga Setan Ngompol tak berani memandang ke bawah. Sama-sama takut kalau-kalau…
“Kek…?” Wiro bersuara setengah berbisik.
“Bagaimana…?” Suara si kakek bergetar.
”Aku memgang sesuatu. Keras. Aku tak berani melihat….”
“Uhh… Aku juga!” jawab si kakek. Mukanya keringatan.
Tiba-tiba Wiro melompat. Di tangannya ada sesuatu. Benda ini kemudian ditempelkannya ke batang pohon di belakang mana Suci berada.
“Kek!” seru Wiro girang. Di batang pohon itu kini menempel japitan besi dan ujung rantai yang selama ini menyantel di bawah perut Setan Ngompol.
Setan Ngompol takut-takut memandang ke bawah. Dia melihat. Masih tak percaya. Dirabanya. Mula-mula satu tangan. Lalu memaki dua tangan.
“Masih utuh… Masih utuh! Lengkap semua…!” Satu teriakan gembira menggelegar dari mulut Setan Ngompol. Lalu kakek ini jatuhkan keningnya ke tanah, bersujud menyatakan syukur. Dia lupa kalau saat itu celananya berada di ujung kaki.
“Kek, untung tidak ada babi hutan di sini! Kalau ada bokongmu pasti sudah dilalapnya!” kata Wiro sambil tertawa gelak-gelak.
“Terima kasih Tuhan! Terima kasih Wiro!” Masih dalam keadaan tidak perduli akan celananya yang merosot di bawah lutut kakek ini lari menuju telaga. “Aku harus mandi! Mandi syukur sambil membersihkan diri! Mungkin selama ini aku terlalu banyak dosa!”
“Byurr!”
Setan Ngompol ceburkan tubuhnya ke dalam telaga kecl.
Suci keluar dari balik pohon. Bersama Wiro dia melangkah ke tepi telaga. Si kakek berkecimpung ria sambil tiada hentinya berteriak-teriak gembira.
“Kek, aku kawatir tubuh, pakaian dan air kencingmu akan mencemari air telaga. Membuat ikan di dalamnya mati semua!” Berseru Wiro.
Setan Ngompol tidak acuhkan senda gurau itu. Dia berkecimpung terus dalam air, sesekali menyelam sambil menggosok-gosok auratnya.
“Wiro, kita tidak menunggu lama. Lihat!” Suci tiba-tiba menunjuk ke tangah telaga. Wiro memperhatikan. Di situ dilihatnya beberapa ekor ikan timbul mengapung. Makin lama makin banyak.
“Kek! Apa kataku! Lihat! Ikan pada mati mencium bau tubuh, pakaian dan air kencingmu!”
“Jangan bergurau terus anak setan!” teriak Setan Ngompol.
“Buka matamu! Lihat sendiri!” teriak Wiro.
Setan Ngompol usap mukanya yang basah. Dia memandang seputar telaga. “Celaka! Kau benar! Tapi apa benar karena bau tubuh, pakaian dan air kencingku…”
“Ditambah dosamu Kek!” sambung Wiro. “Lekas naik ke darat! Nanti semakin banyak ikan yang mati di telaga ini!”
Tidak sadar kalau saat itu di sebelah bawah dia tidak mengenakan apa-apa lagi, si kakek
berenang ke tepi lalu naik ke darat. Suci terpekik dan cepat balikkan badan sambil menarik tangan Wiro. Keduanya lari menjauhi telaga. Di satu tempat Wiro berhenti dan berteriak. “Kakek Setan Ngompol! Kami pergi! Jangan lupa kaulmu! Mencukur semua rambut mulai dari kepala sampai ke kaki!” “Aku tidak akan melupakan! Aku tidak akan melupakan!” terdengar si kakek menjawab disusul suara tawanya terkekeh-kekeh. “Serrrrr!” Air kencing muncrat dari bawah perutnya.

TAMAT


Episode Berikutnya :
GONDORUWO PATAH HATI


INDEX WIRO SABLENG
121.Tiga Makam Setan --oo0oo-- 123.Genderuwo Patah Hati

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers