Life is journey not a destinantion ...

Kutukan Jaka Bego

INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA
<< Dendam Darah Tua --oo0oo-- Iblis Pulau Keramat >>

LANANGSETA
Pendekar Cambuk Naga
Karya: Barata


--≡¦ { 1 } ¦≡--

JAKA BEGO merasa diikuti oleh beberapa orang secara sembunyi-sembunyi. Ia berlagak tidak mengetahui. Ia bahkan berjalan sambil menyenandungkan tembang Dandanggulo. Desa Tayub masih agak jauh. Sebetulnya bisa ditempuh dengan waktu yang singkat. Ilmu peringan tubuh yang ada padanya bisa saja mempercepat langkah. Namun berhubung ada tiga orang mengikutinya dari belakang secara sembunyisembunyi, maka ia tetap berjalan biasa. Sepertinya sudah menjadi kebiasaannya, bahwa ia akan bersikap biasa jika ada orang yang belum dikenalnya.
Dalam satu kesempatan, Jaka Bego melihat sebuah batu besar di tepi jalan. Ia bergegas bersembunyi di balik batu itu. Ia ingin tahu siapa ketiga orang yang mengikutinya itu. Benar juga. Ketiga orang itu berhenti, agaknya ia kehilangan jejak. Masing-masing clingakclinguk mencari buruan mereka. Jaka Bego tahu, salah seorang berdiri sambil bersandar pada batu itu, tapi ia tidak menengok ke arah kanan. Jika ia menengok ke arah kanan dan menunduk, maka ia akan menemukan Jaka Bego di sana.
Sebab itu, Jaka Bego bisa mendengar percakapan ketiga orang yang menguntitnya itu. Mereka berbicara dengan bahasa Cina. O, rupanya mereka adalah utusan Laksamana Chou yang kehilangan anak gadisnya, (dalam kisah DENDAM DARAH TUA). Dengan kemampuannya yang tak diketahui orang, ternyata Jaka Bego bisa mengartikan bahasa Cina yang dipergunakan ketiga penguntit itu.
"Tidak mungkin anak itu hilang. Liu. Dia bukan setan," kata orang yang bersandar pada batu tempat Jaka bersembunyi.
"Kalau bukan setan, kenapa dia bisa menghilang, Li Twan?"
"O, yang bersandar di batu itu bernama Li Twan," pikir Jaka Bego. Kemudian ia mendengar suara Li Twan.
"Pak Chang Hu, apa Anda tidak salah lihat?"
Rupanya satu di antara mereka adalah Chang Hu, kepala keamanan di kapal Laksamana Chou. Dan terdengar Chang Hu berkata, "Aku tidak salah lihat. Aku hapal betul dengan bau anak itu."
"Tapi dia menghilang? Kita kehilangan jejak," kata Liu.
"Kita jalan terus, siapa tahu anak itu ada di depan kita. Kita kuntit dia sampai masuk ke rumah pemuda yang membawa lari nona Yin Yin. Ayo, jalan "
Setelah ketiga utusan Laksamana Chou itu lewat, Jaka Bego tersenyum lega sambil menampakkan diri dari persembunyiannya. Ia memandang tiga orang berseragam pakaian merah. Ketiganya membawa pedang bertangkai panjang. Ketiganya memakai topi khas seperti bentuk buah bangkuang terbelah. Warnanya sama-sama biru berhias kuningan emas. Di setiap pangkal pedang, mereka memberi hiasan rumbai-rumbai halus, sepertinya dari bahan benang wol berwarna merah juga. Pedang bertangkai panjang itu kelihatan seram.  Jaka Bego berjalan pelan-pelan mengikuti ketiga orang itu.
"Pasti ini masih ada hubungannya dengan hilangnya putri Laksamana Chou," pikir Jaka Bego.
"Pasti dikira aku ingin pergi ke rumah Lanangseta. Ah, sebenarnya Lanangseta melarikan nona Yin Yin atau tidak?"
Ketika benak Jaka Bego sedang bertanya-tanya begitu, tahu-tahu ia kehilangan orang yang dikuntitnya. Ketiga orang itu bagai lenyap ditelan bumi. Jaka Bego clingak-clinguk, tak kelihatan mereka membelok ke kiri atau ke kanan. Tapi tak mungkin kalau hilang begitu saja. Pasti bersembunyi. Jaka Bego mencari di setiap semak dan bebatuan yang pantas dipakai buat bersembunyi. Namun beberapa tempat telah diperiksanya, ternyata tidak ada.
"Hei, utusan negeri Cina...?! Di mana kalian?!" seru Jaka Bego. Tentu saja tak ada jawaban.
"Aku menyerah. Aku tak bisa mencari kalian. Nah, sekarang keluarlah...!" Tetap tak ada jawaban. Sepi.
"Ah, berarti mereka sudah pergi jauh. Mungkin dengan berlari cepat," pikir Jaka Bego.
Maka Jaka Bego segera lari, mengejar ketiga utusan dari negeri Cina yang diperkirakan sudah berada di depannya. Tetapi dalam suatu kesempatan, Jaka Bego terpaksa memperlambat langkahnya. Ia mendengar suara langkah di belakangnya. Segera ia berkelebat, bersembunyi pada sebatang pohon besar. Ia melirik ke belakang, oh... ternyata ketiga orang Cina itu masih ada di belakangnya dan kini sedang menguntitnya lagi. Jadi, tadi sebenarnya ketiga utusan itu juga bersembunyi sewaktu mereka mengetahui bahwa Jaka Bego menguntitnya dari belakang.
Wah, ini namanya saling menguntit! Buktinya waktu Jaka Bego bersembunyi di balik pohon, ketiga utusan itu juga secepatnya bersembunyi di balik pohon. Jaka Bego melanjutkan perjalanannya. Ketiga orang itu juga melanjutkan penguntitannya. Jaka segera melesat masuk ke balik pohon lagi. Ketiga utusan itu juga masuk di balik pohon lagi. Jaka Bego berlagak mau keluar dari balik pohon, ketiga penguntitnya juga keluar dari pohon. Tapi Jaka masuk kembali, dan ketiga penguntitnya segera masuk juga. Jaka Bego mengulurkan tangan keluar dari pohon, ketiga pengintai itu juga mengulurkan tangan keluar dari pohon. Tangan Jaka ditarik kembali, tangan mereka juga ditarik kembali. Jaka Bego tertawa pelan dari persembunyiannya.
Akhirnya Jaka Bego merasa malas main umpetan, lalu ia keluar dari persembunyian dengan berseru, "Boleh menguntit asal jangan mengganggu...!"
Eh, dijawab juga, "Iyaaa...!"
"Tolol...!" bentak Chang Hu kepada Liu.
"Jangan menjawab. Itu berarti kita mengaku sedang menguntitnya."
"Hayaaa... dia sudah terlanjur tahu, buat apalah...!"
Jaka Bego berhenti sejenak sewaktu sampai di tepian desa Tayub. Ia mengingat-ingat di mana rumah Pak Lodang dan Mahani itu. Menurut ingatan Jaka Bego, di depan rumah adiknya Pak Lodang itu ada dua pohon kelapa berjajar. Nah, sekarang itulah yang menjadi patokan Jaka Bego. Ia tersenyum setelah melangkah. Ia membayangkan wajah Mahani yang berkulit coklat namun manis. Dengan adanya perkawinan Lanangseta dengan Kirana satu hari lagi, itu berarti memberi alasan bagi Jaka Bego untuk datang ke rumah Pak Lodang. Alasannya memberitahu dan mengundang Pak Lodang sekeluarga untuk menghadiri pesta perkawinan Lanangseta. Tapi sebenarnya... cuma ingin bertemu dengan Mahani yang ia senangi itu.
"Ah, tapi ketiga penguntit itu benar-benar memuakkan jadinya. Pasti mereka nanti akan mengganggu pertemuannya dengan Mahani. Maka, begitu sampai di depan rumah Mahani, Jaka Bego langsung saja masuk lewat jendela. Biarlah Pak Lodang atau Mahani terkejut sebentar, namun mereka akan tercengang dengan kedatanganku," pikir Jaka Bego. Pelan-pelan sekali ia melangkah masuk. Dan tiba-tiba sebuah pukulan kayu mendarat di punggung Jaka Bego.
"Auuwh...!" Jaka Bego mengaduh.
"Maling kamu, ya? Mau maling, ya?!" bentak seorang nenek sambil sekali lagi memukulkan gagang sapu ke tubuh Jaka Bego.
"Aaoww...! Sabar, Nek... Sabar...! Saya ini temannya Pak Lodang. Nenek besok ikut juga ya? Ikut datang ke pesta perkawinan Lanangseta. Ya, Nek...? Aoow...!" Jaka Bego mengaduh lagi.
"Pergi...! Ayo, pergi...!" teriak Nenek itu.
"Tunggu dulu, aduh...! Saya cuma mau memberitahu kepada Pak Lodang, bahwa... eh, nenek ini ibunya Mak Lodang yang katanya suka cerewet itu, kan?"
"Di sini bukan rumah Lodang. Ini rumah Kumoro, anakku."
"Hah...?! Rumah...? Lho, ini bukan rumah Pak Lodang? Astaga... aku salah masuk!"
"Ayo, pergi...! Tidak perlu pakai astaga-astagaan segala. Pokoknya pergi...! Kau mau memperkosaku, ya?"
"Iiih... amit-amit!" sambil Jaka Bego mencibir. Kemudian ia bermaksud membuka pintu untuk keluar.
"Ayo, keluar! Kok malah masuk!"
"Iya ini aku mau keluar! Ih, galak amat!"
"Kenapa kamu mau masuk kamar mandi, ha?"
"Lho, ini bukan pintu untuk keluar? Ooooh... pintu kamar mandi? Astaga...!"
"Tidak perlu pakai astaga, pokoknya keluar!" Lalu, "pletaak...!" Gagang kayu itu dipukulkan di kepala Jaka Bego. Jaka berlari menghindari pukulan berikutnya. Ia kembali melalui jendela dan keluar dari rumah itu. Nenek pemilik rumah masih gemas. Ia melemparkan bakiaknya. Jaka Bego menghindar. Bakiak itu segera diambil dan diserahkan kembali kepada nenek tersebut. Nenek itu masih marah, bakiak dilemparkan lagi dengan keras.
"Maaf, Nek... aku tidak sengaja...!" kata Jaka Bego sambil menghindar. Dan memang luput. Tapi Jaka Bego mengambil bakiak itu lagi, diserahkan kepada nenek.
Nenek menerima bakiak dengan omelan panjang.
"Anak tak tahu sopan... kurang ajar! Mau jadi pencuri tanggung kamu, ya? Ini rasakan bakiakku...!"
"Wess...!" Bakiak melayang lagi, sedangkan Jaka Bego sudah berjalan beberapa langkah. Merasa dirinya dilempar lagi, walau tidak terkena, ia menjadi dongkol.
"Sudah dibaiki malah ngelunjak," gerutu Jaka Bego. Kemudian ia mengambil bakiak itu, dan dilemparkan kembali kepada nenek. Maksudnya mau diberikan secara cepat. Tapi rupanya nenek itu tidak tangkas, bakiak yang hendak ditangkap ternyata meleset dan mengenai jidatnya.
"Pletoook...!"
"Kurang ajar...! Kepala orang tua dilempar bakiak!" teriak nenek itu, dan Jaka Bego terbengong jadinya. Kemudian takut dikeroyok orang sekitarnya, Jaka Bego lari ketakutan. Omelan nenek itu masih terdengar sayup-sayup. Lalu, setelah merasa jauh dari rumah tersebut, Jaka Bego berhenti sejenak. Mengatur pernafasannya. Mengelus kepalanya yang tadi terkena pukulan dua kali.
"Sial...!" gerutu Jaka Bego.
"Kukira tadi yang ada di depan rumah adalah dua pohon kelapa, eh... tidak tahunya dua pohon jambe. Uuh... gara-gara salah masuk rumah kepalaku jadi nyut-nyutan...!"
Kemudian ia teringat tiga orang yang menguntitnya. Ia segera berpaling kian ke mari.
"Mana tadi ketiga penguntit ku? Sudah pergi? Kehilangan jejak?!".....
Sekilas kelihatannya sudah aman. Tapi mata Jaka Bego ternyata masih awas. Ketiga penguntitnya berjongkok bersama di pohon kelapa. Masing-masing kakinya terjulur setelah lipatan. Tangan mereka memegang topi yang dikembangkan sehingga dari jauh memang mirip tanaman hias yang berwarna merah. Namun agaknya Jaka Bego tak bisa ditipu begitu saja. Ia tahu itu muslihat para penguntitnya. Maka, ia pun bergegas masuk ke sebuah kandang kambing milik orang. Dengan masuk ke kandang kambing secara tiba-tiba, maka ketiga pengintainya jadi kebingungan.
Jaka Bego menertawakan ketiga penguntitnya yang kini sedang clingak-clinguk mencarinya. Mereka menyebar dan tampak cemas, takut kalau kehilangan jejak. Tapi di luar kesadaran, ternyata di belakang Jaka Bego ada seekor kambing yang hendak beranak. Kambing itu mengembek berulangkali. Jaka Bego melihat dengan mata menyipit betapa susahnya kambing itu hendak beranak.
"Oh, anaknya kembar...? Mau keluar bersamaan?!" Jaka Bego tertegun sesaat.
"Iih... kasihan sekali kambing ini." Akhirnya Jaka Bego membantu mengeluarkan anak kambing yang satu. Tanpa disadari, ia pun telah menjadi dukun beranak untuk kambing. Ini mau tak mau harus dilakukan daripada kambing mengembek terus dan penguntitnya bisa mengetahui di mana dia berada, kan lebih baik mempercepat kelahiran kambing itu supaya tidak mengembek terus.
Ada seorang lelaki keluar dari rumah. Mungkin dialah pemilik kambing tersebut. Karena takut dikira mau mencuri kambing, maka Jaka Bego pun segera mengindap-indap dan pergi dari kandang kambing itu. Ia berlari dengan berjingkat-jingkat sambil memperhatikan apakah pemilik kambing mencurigainya atau tidak. Ternyata pemilik kambing bahkan tersenyum lega melihat kambingnya sudah beranak. Tetapi ketika Jaka Bego hendak melangkah lagi, ternyata ada seorang penguntitnya yang sudah berdiri di depannya persis. Jaka Bego menyeringai malu.
"Mau ke mana kau, Babi?"
"Mau... mau ke sana, Celeng...." Jaka Bego meringis, dan orang itu mendelik dikatakan celeng. Lalu orang itu menggenggam rambut Jaka Bego sehingga Jaka Bego meringis kesakitan.
"Di mana rumah pemuda itu?! Lekas katakan!"
"Pemuda yang mana? Di sini banyak pemuda," jawab Jaka Bego dengan ketololannya. Mendengar suaranya yang besar, pasti ini yang bernama Li Twan, yang tadi bersandar di batu ketika Jaka Bego bersembunyi di balik batu itu.
"Aku bertanya dengan sungguh-sungguh, jangan becanda! Aku sudah bosan menguntit mu terus. Ayo, sekarang tunjukkan di mana rumah pemuda yang melarikan nona Yin Yin."
"Wah, mana saya tahu?! Saya kan tidak ikut melarikan nona Yin Yin!" bantah Jaka Bego, dan sebuah tamparan mendarat di wajahnya. Jaka Bego meringis kesakitan. Tapi ketika ia hendak ditampar lagi, ia memberanikan diri untuk menangkis dengan gerakan cepat. Namun tangkisannya meleset malahan mengenai pipi Li Twan.
"Plook...!"
"Kurang ajar kamu, hayaa...!" Li Twan semakin mengangkat rambut Jaka Bego sehingga kaki Jaka Bego menggantung. Jaka Bego berseru kesakitan. Kakinya berkejet-kejet, dan tangannya simpang siur tak karuan. Malahan pada saat itu, ia berhasil menampar wajah Li Twan dua kali: "Plok...! Plook...!"
Li Twan segera melepaskan rambut Jaka Bego dan menendangnya. Ia tidak langsung menyerang, melainkan mendesis-desis dan mengibaskan wajahnya berulangkali. Karena ia mencium bau tak sedap dan mual. Bau darah kambing melahirkan. Jaka Bego meringis geli. Ia lupa tidak membersihkan tangannya ketika habis membantu kambing beranak. Darah masih belepotan di tangannya. Dan tak sadar tangan itu ia gunakan untuk menampar wajah Li Twan. Sekalipun tamparannya sangat pelan tak berarti, tapi lumuran darah kambing beranak itulah yang membuat Li Twan tidak buru-buru menyerangnya.
"Itulah jurus Kambing Beranak...!" seru Jaka Bego sambil berlari, selagi Li Twan mendesis, mendengusdengus, dan mengusap-usap wajahnya. Pada waktu itu, Liu datang menemui Li Twan.
"Ada apa? Kau telah menangkap anak itu?" Liu tak berani mendekat. Ia meludah beberapa kali.
"Bau apa ini? Uuh... cuih... cuih...!"
"Anak itu tangannya berlendir dan berbau kambing begini. Puih...!" Li Twan meludah.
"Ia lari ke sana...!"
Jaka Bego berlari dengan lincah dan gesit. Ia berhenti di samping sebuah rumah. Di sana ada air, dan ia mencelupkan tangannya ke kolam air tersebut. Tapi ia segera berteriak kaget. Ada sesuatu yang membuat jari tangannya terasa sakit. Tak lama, dari dalam kolam air itu muncul seekor kura-kura yang pantasnya disebut, penyu. Oh, rupanya ia digigit penyu itu. Jarinya sempat berdarah. Ia tak tahu kalau kolam itu adalah tempat peternakan penyu. Di desa Tayub itu, penduduknya banyak yang beternak penyu untuk diambil telurnya, atau menjadi nelayan tulen. Dan akibat teriakan itulah maka pemilik penyu pun keluar. Pemilik penyu itu mengira Jaka Bego hendak mencuri penyu-nya, karena itu ia berteriak, "Maliiiing...!"
Jaka Bego berlari cepat. Bukan lantaran diteriaki sebagai maling, tapi lantaran ia melihat ketiga penguntit dari Cina itu sedang menuju ke tempatnya. Tapi orang-orang kampung mengira Jaka Bego benar-benar seorang pencuri. Buktinya dia melarikan diri dan takut tertangkap penduduk. Sebab itulah semangat penduduk semakin berkobar. Mereka segera mengejar Jaka Bego.
"Kepung...! Kepung...! Ngidul...! Ngidul larinya...!" teriak orang-orang kampung. Ada yang membawa arit, ada yang membawa pentungan, ada yang membawa alu, pokoknya segala macam yang bisa dibawa, mereka bawa. Bahkan ada yang berlari membawa pengki tempat sampah, karena pada waktu itu yang dekat dengannya adalah pengki tempat sampah. Bahkan ada yang membawa kutang, karena waktu itu ia sedang memeras kutang istrinya yang basah habis dicuci.
Kejaran mereka semakin banyak. Jaka Bego tetap berlari sambil berseru, "Aku bukan maling...! Jangan salah sangka. Aku bukan maling...!"
Tapi mereka tetap mengejar Jaka Bego sambil berteriak sahut-menyahut, "Maling...! Maling...!" Bahkan ada orang yang baru keluar dari rumah berseru sambil lari di depan Jaka Bego.
"Maliiing...! Maling...!" Ia mengajak bicara kepada Jaka Bego, "Maling apa sih orang itu?"
"Tidak tahu, Pak!" jawab Jaka Bego.
"Memang harus segera dirajang-rajang orang semacam dia itu. Maling kok siang hari...! Maliiing...!"
Jaka Bego tahu orang itu berlari tanpa tujuan, sebab dia tidak tahu siapa pencuri yang dikejarnya. Maka Jaka Bego pun berkata, "Bapak mengejar apa?"
"Orang yang diteriaki maling itu...!"
"Yang diteriaki maling saya, Pak."
"Lho, jadi, kamu yang diteriaki maling?! Eh, alaah...!"
"Glepok...!" Tiba-tiba orang itu memukul Jaka Bego. Jaka tak sempat menghindar sehingga jatuh terguling-guling. Orang itu hendak menginjak perut Jaka Bego, "Mampus kau!" Tapi Jaka Bego sempat berguling ke kiri. Dan orang itu berteriak nyaring karena kakinya menginjak tanah dan di tanah itu ada pecahan beling yang cukup runcing. Tapi Jaka Bego sebenarnya juga terkena pecahan beling itu, tapi berhubung benda tersebut hanya mengenai ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit kerbau, maka ia tak merasa sakit.
Pada waktu Jaka Bego lari lagi, ia terkepung banyak orang di depannya. Salah satu orang itu ada Pak Lodang yang membawa sepotong bambu petung.
"Pak Lodang...! Saya Jaka Bego...!" teriak Jaka Bego.
"Lho, kamu Bego...? Kok jadi dikejar-kejar sebagai maling?!"
Orang di belakang Jaka Bego semakin dekat. Jaka Bego tergesa-gesa.
"Pak, mereka salah anggapan! Pokoknya saya bukan maling. Saya mau datang ke rumah, memberi kabar bahwa Bapak sekeluarga kalau bisa besok datang ke Bukit Badai. Anu... di sana Lanangseta kawin, sedang pesta. Dan... dan saya dikejarkejar tiga orang Cina, jadi saya terpaksa lari "
"Maliiing... tangkap! Ganyang !"
"Tunggu-tunggu...! Dia bukan maling...!" cegah Pak Lodang. Dan pada saat orang-orang ribut dengan Pak Lodang, Jaka Bego menyelamatkan diri. Jaka Bego naik ke sebuah pohon dengan cepat, lalu meloncat ke genting rumah. Dari genting yang satu ke genting yang satu ia berlari dengan cepat. Anehnya tak satu pun genting yang pecah diinjaknya. Gerakannya begitu cepat. Sampai akhirnya ia bisa melarikan diri sampai di tepian desa. Namun ternyata di sana ia terjebak. Tiga penguntitnya telah melesat dan mendahului larinya.
Jaka Bego hendak berbalik ke perkampungan nelayan, tapi tiba-tiba tiga pedang bertangkai panjang itu telah menyergapnya. Ketiga pedang itu bergerak cepat dan menyilang di lehernya. Satu menyilang di leher kiri, satu di leher kanan, dan satu lagi menyilang di leher depan.
"Bergerak, mati !" beriak Chang Hu. Jaka Bego tak berani bergerak, karena jika ia bergerak, maka pedang itu akan mengiris kulit lehernya.
"Uh, tajam juga mata pedang itu," pikir Jaka Bego dengan menahan nafas. Repotnya, pada waktu itu ia ingin batuk. Namun kalau ia batuk, berarti ia akan bergerak-gerak, dan mata pedang akan mengirisnya. Akhirnya ia menahannya kuat-kuat sampai matanya menjadi merah.
"Jangan menangis!" bentak Liu.
"Ikut kami ke kapal!"
"Ya, bawa saja ke kapal. Biar Laksamana Chou yang menyiksanya agar mengaku di mana rumah pemuda itu!" timpal Li Twan yang tadi dilumuri darah kambing beranak.
"Jangan. Jangan bawa saya ke mana-mana. Besok ada pesta." Jaka Bego merengek, namun ia tetap diseret ke kapal.
Tangan Jaka Bego diikat dan ia dituntun oleh Li Twan dengan seutas tali sisa pengikatnya. Ia jadi seperti kambing yang hendak dijual ke pasar hewan.
"Saya tidak tahu menahu soal nona Yin Yin, kenapa saya dijadikan korban...?" ucap Jaka Bego dengan wajah hendak menangis.
"Aku melihat sendiri kau kerjasama dengan pemuda itu!" bentak Chang Hu.
"Apa kau tak ingat waktu aku kau jatuhi dahan pohon sehingga aku terluka di beberapa bagian?!"
"Iya. Aku ingat. Itu memang peristiwa lucu yang tak bisa kulupakan. Tapi "
"Plook...!" Tamparan mendarat lagi di wajah Jaka Bego. Chang Hu memerah wajahnya.
"Jangan sekali lagi bilang itu pengalaman lucu, ya? Kau menghinaku jika berkata begitu!"
"Baiklah, pengalaman itu tak jadi lucu. Tapi aku berani sumpah, bahwa aku memang tidak kenal dengan Yin Yin. Kalau kalian mau memperkenalkan aku dengan nona Yin Yin, boleh saja, tapi jangan begini caranya!"
"Diaaam...!" bentak Liu.
"Bagaimana bisa diam? Aku tidak bersalah kok disuruh diam. Nanti kalau aku dihukum, apa kau mau bertanggungjawab?!"
Liu jengkel, ia menendang pinggang Jaka Bego dengan tendangan samping.
"Aauuw...!" Jaka Bego terjatuh. Ia terguling-guling. Lalu berusaha berpegangan pada batu, namun segera ditarik oleh Li Twan.
"Sreet...!" Sengaja ia mengenakan tali pengikat pada batu sehingga sedikit terpotong.
Ia berlari lagi karena dibangunkan oleh Chang Hu. Tapi tak lama kemudian ia berpegangan pada pohon. Dan Li Twan menariknya, "Ayo, cepat...!"
"Sreet...!" Tali bergesekan dengan kulit pohon. Begitu seterusnya ia lakukan. Dan hal itu di luar kesadaran para utusan Laksamana Chou. Makin lama keadaan tali semakin rantas. Jaka Bego punya sedikit harapan untuk bisa lolos. Namun ia harus mengulangi tindakannya itu supaya tali bisa tergeser dan bergesrekan terus dan nantinya akan menjadi putus. Tapi, sampai kapan ia akan tahan begitu? Sebab jika bergesekan dengan benda lain, kulit tangannya jadi ikut lecet dan perih.

* * * * *



--≡¦ { 2 } ¦≡--

DALAM perjalanan ke kapal Cina, Jaka Bego sempat merasakan ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang janggal itu ialah adanya sepasang mata di tempat persembunyian yang mengikuti penderitaan Jaka Bego. Mungkin ketiga utusan Cina itu tidak melihat adanya sepasang mata di tempat persembunyian. Tetapi, naluri Jaka Bego tak dapat dikelabuhi lagi.
Benar. Ada sepasang mata tajam mengawasi perjalanan ketiga utusan Cina yang menyeret-nyeret Jaka Bego. Sepasang mata itu tampaknya cukup dikenali oleh hati Jaka Bego. Dalam hati Jaka Bego hanya bertanya-tanya, "Bukankah yang bersembunyi itu Lanangseta? Tapi mengapa ia tidak segera memberi pertolongan? Mengapa ia membiarkan aku tersiksa begini? Mengapa hanya memperhatikan dari balik semak belukar itu?"
Jaka Bego mengeluh dalam hati, "Sialan! Aku hanya dijadikan tontonan. Apakah... apakah Lanang sengaja membiarkan aku begini? Apakah ia terlalu takut terlibat dalam kekacauan ku ini? Ya, ya... aku mengerti. Mungkin Lanang sengaja membiarkan hal ini terjadi, karena jika ia ikut terlibat, mestinya ia takut perkawinannya besok akan tertunda lagi. Sialan! Ini namanya tidak adil. Lanang tega membiarkan aku tersiksa begini, hanya karena ia takut kalau perkawinannya akan tertunda. Uuh...! Dasar pendekar tidak tahu belas kasihan sama teman sendiri...!"
Tali mulai rantas. Jaka Bego sering jatuh dan diseret. Kadangkala ia ditendang oleh Chang Hu atau Liu. Tapi di balik kesengsaraannya, Jaka Bego punya rencana untuk memutuskan tali itu dan kabur. Hanya saja, rasanya lama sekali tali yang mengikat kedua tangannya tidak putus-putus juga. Dan, pada saat ia sengaja jatuh terakhir kalinya, di dekat semak berduri, ia sengaja mengenakan tali itu pada duri-duri semak. Li Twan yang memegangi ujung tali segera menyeret lagi dengan kasar. Jaka Bego mengharapkan tali itu putus pada detik itu pula. Ternyata tidak. Hanya kulitnya yang besot karena termakan duri-duri semak. Tapi matanya sempat bertatapan dengan sepasang mata yang mengintai dari balik kerimbunan semak lain.
"Lanang...!" Jaka Bego berseru dalam hati.
"Ya. Betul. Itu sepasang mata milik Lanangseta. Ah, gembel! Dia diam saja. Tega sekali dia, ya? Oh, awas kau...! Awas kau Lanang...!" Kemudian tanpa sadar ia bicara agak keras, "Perkawinanmu akan gagal!"
Suara itu sangat jelas karena memang terlontar lewat mulut dengan keras. Tentu saja hal itu mengejutkan ketiga utusan Cina, Twan, yang menyeretnya sejak tadi jadi berhenti, dan membentak kepada Jaka Bego, "Perkawinan siapa yang kau maksud?!"
"Hah...?!" Jaka Bego berlagak tidak mendengar.
"Kau mengatakan perkawinanmu akan gagal, maksudmu perkawinan siapa?!" kali ini Chang Hu yang membentak.
Jaka Bego mulai menggeragap dan tak ingin jalan pikirannya diketahui lawan. Ia segera menjawab dengan laga begonya, "Ah, aku tidak bilang apa-apa kok."
Ketiga utusan Cina saling pandang. Mulanya Liu dan Li Twan sedikit curiga dan ingin mengorek keterangan. Tapi Chang Hu memberi isyarat agar kedua temannya tetap terus berjalan.
"Omongan orang gila memang susah dimengerti!" gerutu Chang Hu seraya melangkah kembali.
Tetapi di dalam hati Jaka Bego, ada sebaris gerutu lain yang membuat sedikit dongkol, "Biar. Biar ku sumpahi supaya perkawinan Lanang tidak akan terlaksana sebelum ia menolongku...!"
Lanangseta tidak tahu kalau ia telah dikutuk Jaka Bego. Ia sibuk mengurusi keperluan perkawinannya di Griya Teratai Wingit. Dan Jaka Bego sendiri tidak tahu kalau Lanang sebenarnya tidak mengetahui apa yang terjadi pada diri Jaka Bego. Lanangseta hanya mengetahui, bahwa Jaka Bego telah pergi tanpa pamit. Ini menjengkelkan Lanang dan paman Ludiro.
"Jaka Bego hanya mau makan enak saja, tidak mau membantu kerepotan kita," gerutu Ludiro.
"Ke mana sebenarnya dia, Paman?" tanya Lanangseta sedikit dongkol.
"Mana aku tahu. Tadi kulihat ia mengejar-ngejar capung sambil tertawa-tawa, eeh... tahu-tahu sampai sekarang ia belum pulang."
Kejadian ini berlangsung, setengah hari setelah Jaka Bego pergi ke desa Tayub, untuk memberitahukan pesta perkawinan Lanang kepada keluarga Pak Lodang. Pada masa-masa itu, tentu saja hanya kedongkolan yang ada pada diri Ludiro, karena dianggapnya Jaka Bego tak mau ikut repot. Tetapi setelah sampai malam Jaka Bego belum kelihatan, Ludiro mulai waswas, jangan-jangan Jaka Bego tak akan kembali untuk selamanya? Dugaan itulah yang membuat Ludiro terpaksa bertanya kepada Lanangseta, "Apakah Jaka Bego sebelum pergi marah denganmu?"
"Tidak. Tidak ada masalah apa-apa," jawab Lanang yang sudah berada di kamar rias pengantin.
"Aneh!" gumam Ludiro.
"Aku curiga ada yang tidak beres. Jangan-jangan... dia telah mencuri pedang Wisa Kobra-mu, lalu segera melarikan diri."
"Ah, tidak," sanggah Lanangseta.
"Pedangku ada di kamar pusaka. Hanya Rama Sabdawana yang memegang kuncinya."
Menurut peraturan adat keluarga Kirana, memang begitu. Setiap mau mengawinkan keluarga mereka, semua pusaka harus dijadikan satu, dikumpulkan dalam kamar pusaka, dan kuncinya dibawa oleh Sabdawana. Jadi, Lanangseta yakin betul kalau pedang Wisa Kobra yang juga disebut pedang Malaikat itu, benar-benar masih ada di kamar pusaka.
"Lanang..." sapa Sabdawana, ayah Kirana.
"Jangan lupa, nanti, sebentar lagi, kau harus mengikuti upacara Getih Manunggal. Persiapkan pakaian pendekar mu."
"Baik, Rama. Tapi... bagaimana dengan pedang pusaka saya itu, Rama?"
"O, ya. Pedang itu tentu harus kau pakai juga dalam upacara nanti," jawab Sabdawana.
"Maksud saya apakah masih ada di kamar pusaka?"
Sabdawana jadi curiga atas pertanyaan itu.
"Memangnya kenapa kau bertanya begitu?"
Lanangseta menjelaskan kekhawatiran Ludiro sehubungan atas kepergian Jaka Bego yang sampai malam itu belum pulang juga. Karenanya, Sabdawana segera mengajak Lanangseta dan Ludiro untuk memeriksa ke kamar pusaka. Ternyata pedang itu masih ada. Utuh. Lanangseta mengambilnya, mengeluarkan dari sarungnya, ooh... masih asli. Pedang itu masih menyala seperti bara api.
"Bawalah sekalian buat perlengkapan upacara nanti," ujar Sabdawana.
Pada detik-detik berikutnya, terdengar derap suara kaki kuda menembus kesunyian malam. Hampir semua orang yang mendengarnya bercuriga, sebab tak ada perkiraan pada diri mereka kalau akan datang tamu pada malam itu, apalagi mengendarai kuda. Sedangkan upacara perkawinan Lanangseta dengan Kirana itu tidak menyebar ke mana-mana. Hanya disaksikan oleh murid-murid Sabdawana saja, baik muridmurid lama maupun murid-murid baru, yaitu bekas anak buah Begal Dogol.
"Siapa yang datang?" tanya Lanangseta kepada salah seorang murid di situ.
Jawab murid tersebut, "Katanya... utusan dari desa Tayub. Itu juga saya dengar dari penjaga gerbang."
"Desa Tayub?!" Lanangseta dan Ludiro nyaris menggumam bersamaan. Ludiro tanpa diperintah segera menuju ke pintu gerbang. Tak lama kemudian ia kembali lagi menemui Lanangseta dan Sabdawana yang masih bertanya-tanya: siapa tamunya itu.
"Siapa, Paman?" Lanangseta tak sabar.
"Hemm... Pak Lodang."
"Pak Lodang?! Pak Lodang malam-malam begini datang?"
"Ya. Naik kuda lagi. Berdua sama tetangganya," kata Ludiro.
Ini benar-benar di luar dugaan. Pak Lodang datang bersama tetangganya. Dengan menggunakan kuda sewaan? Dengan dipandu oleh tetangganya yang sudah tahu letak Bukit Badai dan letak Griya Teratai Wingit? Aneh. Ada apa?
Pertanyaan batin itu dilontarkan oleh Lanangseta ketika Pak Lodang menemuinya. Dengan sedikit gugup, Pak Lodang menjelaskan, "Tadi siang, Jaka Bego bermaksud mengabari saya dan keluarga tentang pesta perkawinanmu besok."
"Memang benar. Dan... maaf, saya tidak sempat memberitahu Pak Lodang jauh-jauh hari. Bahkan hampir saja saya lupa tidak memberitahu keluarga Pak Lodang. Tapi, di mana Jaka Bego sekarang?!"
"Dia... dia dikejar-kejar tiga orang Cina berpakaian seragam. Hampir saja dia disangka pencuri oleh warga desa kami. Dan... dan salah seorang penduduk melihat Jaka Bego tertangkap, lalu diseret-seret oleh tiga orang Cina itu."
"Chang Hu...." gumam Lanangseta dengan hati panas. Betapapun begonya Jaka Bego itu, namun sebenarnya Lanang sangat sayang kepada pemuda kurus kerempeng itu. Biar tolol, tapi beberapa kali Lanang tertolong olehnya. Jadi, jika dalam keadaan begini, tentu saja ia tak dapat tinggal diam. Ia tak akan sampai hati membiarkan Jaka Bego disiksa, atau diapakan saja oleh tiga orang Cina yang dulu menuduhnya mencuri anak gadis Laksamana Chou.
Pedang sudah di punggung, Lanangseta segera melesat keluar, dan meloncat ke punggung kuda bawaan Pak Lodang. Kuda dipacu cepat. Kirana sempat berseru, "Lanang...! Sabar dulu...!"
Tapi tak dihiraukan oleh Lanang. Dengan sedikit basa-basi, Ludiro berhasil meminjam kuda yang ditunggangi tetangga Pak Lodang itu. Dengan kuda tersebut Ludiro mengejar Lanangseta. Untung ada cahaya rembulan remang-remang, sehingga Ludiro bisa mengikuti gerakan Lanangseta yang bagai anak panah menembus kegelapan malam.
"Lanang! Kembali...!" seru Ludiro setelah kuda mereka berjajar.
"Ini kesalahpahaman. Salah paham yang bisa berlarut-larut, Paman. Jaka Bego adalah korban kesalahpahaman!"
"Iya. Tapi ingat, kau besok jadi pengantin. Malam ini kau harus mengikuti upacara adat Getih Manunggal. Kau harus memakan bunga Teratai Wingit itu supaya darahmu bisa menyatu dengan darah keturunan leluhur mereka. Ingat kata-kata Rama Sabdawana, bahwa tanpa memakan bunga itu, kau tidak akan bisa menikah dengan mereka. Pulanglah...!"
"Bagaimana dengan Jaka Bego?" seraya Lanang masih memacu kudanya.
"Nanti kita bicarakan di rumah. Yang jelas, tak baik calon pengantin pergi pada malam Midodareni ini. Setiap pengantin yang esoknya akan menikah, malam sebelumnya atau malam midodareni, tidak boleh keluar dari rumah lebih dari sepuluh langkah. Tahu?! Ayo, pulanglah sekarang juga. Kita bisa berembuk dengan kepala dingin...!"
Tak ada pilihan lain bagi Lanangseta kecuali mengikuti saran Ludiro. Ia pulang dengan langkah kuda yang lunglai. Namun ketika mereka sampai di Griya Teratai Wingit, ternyata di sana telah terjadi kekacauan. Orang-orang sibuk mencari sesuatu di luar rumah, bahkan sampai menyelusup di semak kegelapan.
"Apa yang terjadi?!" tanya Ludiro kepada salah seorang penjaga pintu gerbang.
"Ada seseorang yang memakai kerudung hitam keluar dari dalam. Ia kelihatannya telah mencuri sesuatu."
Ludiro memandang Lanangseta. Lanang buru-buru turun dari punggung kuda dan menemui Kirana yang tampak sedih dan cemas. Kirana yang mengetahui kemunculan Lanang segera menghambur dan berkata, "Lanang... bunga itu hilang!"
"Ha...?! Bunga... maksudmu bunga teratai Wingit?!" Lanang membelalakkan mata lebar-lebar.
"Ya. Bunga teratai Wingit telah hilang. Tadi, baru saja Lande memergoki seseorang berkerudung keluar dari kamar pusaka. Ia melesat cepat di kegelapan semak sana!"
"Gila...!" gertak Lanangseta dengan mata nanar dan gigi segera menggeletuk penuh kemarahan. Ia pun melesat di kegelapan malam, tempat orang berkerudung hitam menghilang. Darah Lanangseta bagai mendidih dan nafas pun tak teratur. Semua orang, tanpa kecuali, sibuk mencari di sekitar rumah Kirana. Banyak yang membawa obor, menembus kegelapan semak di sana-sini. Namun, tak satu pun yang menemukan orang berkerudung hitam itu, juga bunga teratai Wingit tak ditemukan walau sekelopak pun.
"Lande...." seru Lanangseta.
"Seperti apa wajah orang yang berkelebat tadi?"
"Tidak jelas, Mas Lanang. Seluruh tubuhnya berkerudung hitam. Wajahnya pun bagai mengenakan penutup dari kain hitam. Gerakannya begitu cepat."
"Tinggi badannya?"
"Kira-kira... yah, sejajar dengan Mas Lanang sendiri," jawab Lande, penjaga sekaligus murid Sabdawana.
"Brengsek...!" geram Lanangseta.
Ketika Lanang duduk di kamar rias pengantin pria, ia sempat tergerak oleh suara Sabdawana.
"Tanpa bunga itu... kau tak bisa kawin dengan anakku, sekalipun kau putra dewa, sekalipun kau murid dari pewaris ilmu Eyang Pramban. Bunga itu punya arti tersendiri dan sangat penting bagimu. Tanpa memakan bunga teratai Wingit, darahmu tak akan bisa menyatu dengan putri ku. Kau tak akan mempunyai keturunan seumur hidup, dan terlebih lagi, putri ku akan mati dalam waktu tidak kurang dari seminggu jika kalian telah bersetubuh. Sebab darahnya tak bisa menerima darahmu. Karena itu, dengan memakan bunga teratai Wingit, maka darahmu akan menjadi satu golongan dengan darah putri ku. Bisa bercampur."
Lanangseta terhempas kesal. Sabdawana kelihatan sangat prihatin sekali. Ia menepuk punggung Lanang seraya berkata, "Dapatkan dulu bunga itu kembali, baru kalian bisa menikah dan tidak berbahaya. Ingat, semua ini adalah rentetan nasib demi nasib. Jangan kau ingkari, bahwa untuk mendapatkan putri ku, memang sulit. Seperti seseorang yang ingin menggenggam cahaya. Tapi aku yakin, kau pasti akan berhasil. Aku telah melihat tanda-tanda dalam garis hidup pada diri anakku, bahwa akhirnya ia akan menikah juga dengan orang yang berhasil memakan bunga Teratai Wingit itu."
"Bagaimana kalau bukan saya yang memakannya, Rama?" Lanangseta menampakkan kecemasannya.
Sabdawana mendesah lirih.
"Terlalu sulit menjawabnya, Lanang. Sebaiknya carilah dengan segera, sebelum ada orang yang memakan bunga itu."
Kutukan Jaka Bego telah menjadi kenyataan. Bunga Teratai Wingit yang menjadi syarat perkawinan antara Lanang dengan Kirana, ternyata telah hilang dari kamar pusaka. Seperti yang dikatakan Sabdawana kepada Lanangseta, bahwa tanpa bunga itu perkawinan tak dapat berlangsung. Banyak resiko yang akan menimpa perkawinan tersebut jika tanpa bunga teratai dari Goa Malaikat itu.
Siapa yang mencuri bunga teratai Wingit itu? Untuk apa dicuri? Dan di mana Lanangseta harus mendapatkannya kembali? Itu adalah sebaris pertanyaan yang menyelinap di benak Lanangseta, si Pendekar Pedang Malaikat, atau Pendekar Pusar Bumi. Belum lagi pertanyaan: di mana Jaka Bego? Bagaimana keadaannya? Bagaimana nasibnya di tangan utusan Laksamana Chou? Siapa pula yang telah memfitnah Lanangseta dengan tuduhan melarikan putri Laksamana yang kabarnya bernama Yin Yin itu? Seperti apa Yin Yin itu?
"Uuuh...!" Kesal sekali hati Lanangseta dibuatnya. Kesal karena kemarahannya tak dapat dilampiaskan kepada siapa pun di situ. Ia sendiri menjadi bego, tidak tahu mana yang harus dikerjakan lebih dulu. Belum lagi ia berpikir bahwa Kirana akan cemburu jika mendengar ia dituduh melarikan putri Yin Yin. Woww...! Bisa ribut besar dia dengan calon istrinya. Paling tidak akan timbul kesalahpahaman lagi jika Kirana tahu, bahwa Lanangseta dituduh melarikan gadis Cina.
"Sebaiknya, aku mencari Jaka Bego dan kau mencari bunga teratai Wingit itu," usul Ludiro setelah Lanang mengeluh berulangkali dalam kebingungan.
"Aku akan minta bantuan Pak Lodang untuk mengantarku ke kapal Laksamana itu," sambung Ludiro yang beberapa hari sebelumnya telah mendapat cerita tentang tuduhan terhadap diri Lanang.
"Apa Pak Lodang tahu di mana kapal Laksamana Chou berlabuh? Dan apa sudah pasti kalau Jaka Bego dibawa ke sana?"
"Paling tidak, Pak Lodang dapat memberitahu di mana pelabuhan. Di pelabuhan itu aku bisa bertanya lagi."
Lanangseta tidak punya pilihan lain lagi. Usul Ludiro dipandang baik untuk saat ini. Maka ketika fajar pagi menyingsing, Ludiro dan Lanangseta sama-sama berangkat. Mereka mengajak serta Pak Lodang dan tetangganya, namun di persimpangan jalan mereka akan berpisah, Lanang mengambil langkah ke kiri, Ludiro beserta Pak Lodang dan tetangganya ke kanan, menuju pelabuhan.
Namun sebelum mereka sampai ke persimpangan jalan, mereka telah dikejutkan oleh sesuatu di jalanan. Tubuh seorang gadis tergeletak tanpa darah. Pingsan. Pak Lodang yang melihatnya pertama kali. Di sela rerumputan lebat, bajunya yang berwarna merah muda itu kelihatan. Dan ketika sama-sama mendekati, Ludiro dan Lanangseta hampir terpekik bersamaan, "Andini...?!"
Pak Lodang segera tahu bahwa Lanang dan Ludiro sudah mengenal gadis yang tergeletak pingsan itu. Namanya Andini, wajahnya cantik. Ada tahi lalat di bibir bawah. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya lentik. Bibirnya mungil, tipis, namun indah. Hanya saja, bibir itu jelas menampakkan betul sifatnya yang cerewet dan manja.
"Bagaimana bisa Andini ada di sini?" kata Lanang.
"Aku sendiri tidak tahu. Agaknya ia menemui kesulitan."
"Setahuku ia pergi bersama Ekayana, adikku, sejak dari Goa Malaikat itu." (dalam kisah MISTERI GOA MALAIKAT)
Ludiro menggumam, seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tak jadi. Rupanya Andini sudah lama pingsan di situ. Dan ketika mereka datang, beberapa saat kemudian ia siuman. Ia berkerut-kerut dahi dan mengeluh dalam rengek kemanjaannya. Ludiro sudah sebal dulu mendengarnya, namun ia segera memaklumi, toh itu sifat Andini. Mungkin tanpa kemanjaan, tanpa kecerewetan, bukan Andini namanya.
"Ekayana...?!" Andini segera memeluk Lanangseta tanpa tanggung-tanggung lagi. Lanangseta agak panik.
"Andini...! Andini, ingat aku Lanangseta."
Andini segera melepaskan pelukannya. Ia mundur beberapa langkah dan memandang Lanang dengan cermat. Tapi air matanya menjadi kian membasahi pipi.
"Lanang...." desisnya. Ia menatap dan menatap terus, sehingga Lanang menjadi risi.
"Apa yang terjadi, Andini? Mengapa kau sampai pingsan di sini?" tanya Lanangseta dengan lembut, untuk mengendurkan kecengengan Andini.
"Lanang, ooh...?!" Andini kembali memeluk Lanangseta. Ludiro dan yang lainnya hanya menghempaskan nafas. Andini menangis dan terisak-isak. Lanang mencoba menenangkan dengan segala cara. Lalu, Andini pun menjelaskan permasalahannya.
"Lanang... Ekayana nakal! Kejam!" rengek Andini seperti anak kecil.
"Kenapa dengan Ekayana, adikku itu?"
"Dia... dia tergila-gila dengan putri Cina. Namanya Yin Yin dan sekarang dia malah melarikan diri bersama putri Cina itu "
"Oooohh...." Lanangseta manggut-manggut, demikian juga Ludiro. Sekarang sedikit jelas permasalahannya, bahwa Ekayana itulah orang yang dicari-cari oleh Laksamana Chou. Karena wajah Ekayana dengan Lanangseta adalah sama persis, dan memang saudara kembar, maka ketika utusan pencari putri Yin Yin menemui Lanang dan Jaka Bego, mereka yakin betul bahwa mereka telah bertemu dengan Ekayana. Mereka tidak tahu kalau Ekayana itu mempunyai saudara kembar yang berwajah sama hanya berbeda sedikit dalam gaya penampilannya, yaitu Lanangseta.
"Kalau begini aku yang kena getahnya...." gumam Lanangseta. Ludiro tersenyum simpul. Tapi Andini masih memegangi tangan Lanangseta dengan manja.
"Paman Ludiro... sebaiknya antarkan dulu Andini ke rumah dan kenalkan pada Rama Sabdawana supaya "
"Kau sendiri mau ke mana? Mencari Ekayana?" sahut Andini dengan suaranya yang seperti anak kecil.
"Aku ada perlu lain. Penting, Andini. Untuk sementara "
"Aku ikut kamu saja!" sahut Andini, merajuk.
"Andini, aku akan pergi dengan satu tujuan. Kau tak bisa ikut. Karena tujuanku bukan ingin menemui Ekayana, tapi untuk "
"Tidak. Aku ingin menemanimu. Aku... aku sakit hati pada Yin Yin dan ingin membunuhnya. Tapi, untuk meredakan sakit hatiku, aku ikut kamu dulu, Lanang. Aku tak bisa meninggalkan wajah Ekayana. Tak bisa! Dan wajah itu ada padamu, Lanang. Hemm aku ikut ya?"
"Wah, bagaimana ini...?!"

* * * * *



--≡¦ { 3 } ¦≡--

ANDINI merasa kewalahan mengimbangi kecepatan Lanangseta. Ia sering tertinggal, sekalipun Lanang sesekali berhenti menunggunya, namun kembali jika sudah melesat Andini tertinggal beberapa jauh.
"Lanaaang...!" serunya.
"Jangan cepat-cepat, nanti aku kehilangan kamu."
"Kita harus secepatnya sampai di sana!"
"Iya. Tapi badanku kan masih lemas. Habis pingsan. Aku tidak bisa secepat kamu. Kalau mau...." Andini cemberut setelah dekat dengan Lanang.
"Kalau mau, gendonglah aku."
"Andini, ayolah... jangan bermanja-manjaan. Waktuku hanya sedikit."
"Gendong aku supaya kecepatan kita sama," rengek Andini, dan hal itu membuat Lanangseta menahan kedongkolan.
Sebenarnya Lanangseta kurang menyukai keikutsertaan Andini. Tetapi, agaknya Andinilah yang tahu di mana bunga Teratai Wingit itu berada. Karena, kepingsanan Andini telah meninggalkan jejak bagi pencuri bunga Teratai Wingit.
Sebab di dalam kegelapan malam itu, Andini masih sempat melihat sinar dari Suatu tempat. Ia tidak tahu kalau sinar itu adalah sinar dari kesibukan di rumah Kirana. Yang penting, sebelum malam menjadi gelap, ia merasa harus sudah mendapat tempat untuk menginap. Dalam perjalanannya mencari Ekayana, ia harus berani sengsara, ia harus mau tidur di kandang kebo sekalipun kalau pemilik rumah yang hendak didatangi mengijinkan ia tidur di kandang kebo.
Dalam upayanya mendatangi cahaya obor yang belum diketahui milik rumah siapa itu, tiba-tiba Andini merasa berpapasan dengan orang berkerudung hitam. Andini pada waktu itu menyangka ia akan diserang oleh orang tersebut, sehingga rupanya ia merasa perlu menyerang lebih dulu.
Dengan satu loncatan yang gesit, Andini melancarkan pukulan dan tendangan secara bergantian. Namun gerakan kaki dan tangannya selalu saja bagai mengenai tempat kosong melulu. Orang berkerudung itu dapat menghindari setiap serangan Andini dengan gesit. Badannya meliuk ke sana sini, melompat kian ke mari, namun orang berkerudung itu belum mau menyerang Andini.
"Aku mencium bau harum pada diri orang berkerudung itu," kata Andini ketika menuturkan kisahnya itu di depan Lanang. Pada waktu itu Ludiro dan Pak Lodang serta tetangganya itu masih ada bersama Andini. Mereka belum berpencar. Mereka menyimak betul setiap perkataan Andini.
"Lalu, kenapa kau sampai pingsan?" tanya Ludiro.
"Ia menyerangku dengan pukulan jarak jauhnya. Dan... dan aku sempat lumpuh sejenak, karena kakiku merasa beku."
Andini mengenang peristiwa semalam. Ia diserang dengan pukulan jarak jauh sehingga kakinya merasa beku. Pada saat itu, tiba-tiba tangan Andini juga merasa bagai disekap oleh balok-balok es. Beku. Orang itu mendekati Andini, meraba wajah Andini dengan tangan kanannya. Andini masih sadar, mendengar katakata orang berkerudung itu dalam gumam, "Ternyata kau cantik juga, Nona "
"Setan! Tinggalkan aku. Kecantikanku bukan untuk kamu. Jangan salah sangka kalau aku cantik kau kira untuk dirimu. Jangan menyangka begitu. Tolol kalau kau menyangka aku begitu!" Andini mengomel dan menggeram dongkol.
"O, begitu, ya...?" Orang berkerudung itu tertawa pelan dalam bentuk desahan.
"Tapi nyatanya aku bisa menciummu malam ini...." Kemudian orang berkerudung itu membuka penutup wajahnya. Andini tegang. Samar-samar ia melihat lekuk ketampanan orang itu. Dan, tahu-tahu orang itu telah menciumnya. Menciumi Andini berulang kali dengan nafsu birahi yang mendengus-dengus. Andini tak kuasa mengelak.
Orang berkerudung hitam yang telah membuka penutup wajah itu menjadi tegang. Ia berhenti menciumi Andini, bahkan berhenti meraba-raba tubuh Andini dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegangi sesuatu yang disembunyikan di balik jubah hitamnya. Ia memandang ke arah suara keributan, di mana obor-obor berjalan cepat kian ke mari. Orang itu mendengus kesal.
"Sayang, malam ini urusanku lebih penting daripada harus menikmati kehangatan tubuhmu, Nona manis. Tak, kurasa untuk kali ini cukup sampai di sini dulu kemesraan kita!"
"Iblis kau! Akan ku tuntut perbuatanmu yang tak senonoh ini, Setan!" geram Andini.
"Boleh. Tuntutlah. Datang ke Pulau Kramat, di sana kau bisa menuntut kenikmatan yang tertunda ini. Kutunggu !"
Orang itu melesat, merasa takut ketahuan para pembawa obor yang sedang mencarinya. Namun Andini sempat berseru, "Hei, jangan pergi begitu saja! Kancingkan dulu bajuku ini, Keparat!"
Orang berpakaian serba hitam itu berhenti, berpaling ke arah Andini. Andini memandang benci walau sorot matanya terhalang gelap. Lalu, orang itu menggerakkan tangan kanannya bagai sedang menunjuk ke arah Andini. Detik berikutnya Andini terpental, jatuh telentang dalam keadaan kancing di depan dadanya telah tertutup rapi, namun ia segera tak sadarkan diri. Rupanya orang itu mengirimkan kekuatan tenaga dalam yang selain mampu menutupkan kancing baju, juga mampu menotok peredaran darah sesaat sehingga membuat Andini pun pingsan.
Pulau Kramat!
Itulah sasarannya. Beruntung Andini terlibat kasus sendiri dengan orang berkerudung hitam itu, sehingga Lanang merasa mendapat titik terang. Kini ia tahu, ke mana ia harus pergi. Pulau Kramat. Tak salah itulah tempat yang harus dituju selekasnya. Sebab Lanang yakin, orang yang telah menciumi dan meraba-raba Andini dengan bernafsu itu, jelas orang yang mencuri bunga Teratai Wingit. Dan sudah tentu di Pulau Kramat itulah bunga tersebut dibawa pencurinya. Tapi di mana Pulau Kramat itu?
Sebetulnya tetangga Pak Lodang itu tahu tempatnya, tapi ketika Lanang mengajaknya, ia tak mau ikut.
"Pulau itu banyak hantunya," kata tetangga Pak Lodang. Karenanya, ia hanya memberikan arah dan gambaran di mana Pulau Kramat itu berada. Kemudian Lanang pergi bersama Andini yang beralasan ingin menuntut balas perbuatan orang berkerudung itu.
Namun hati Ludiro yang dibawa pergi ke pelabuhan itu sempat menaruh curiga kepada Andini. Dalam dugaan Ludiro, jangan-jangan Andini itulah yang mencuri bunga Teratai Wingit. Mungkin dengan alasan tersendiri yang belum diketahui kebenarannya. Atau saja, mungkin Andini memang bekerja sama dengan orang berkerudung untuk mencuri bunga Teratai Wingit untuk suatu keperluan tersendiri, yang juga belum diketahui kebenarannya.
Tapi jika memang benar seluruh cerita Andini, maka Ludiro pun berpendapat, bahwa orang berkerudung itu adalah pencuri bunga Teratai Wingit. Terbukti ia selalu menggunakan satu tangan dalam menyerang dan meraba Andini. Pasti tangan kirinya itulah yang menggenggam bunga tersebut. Bukti lain ialah ada bau harum yang tercium Andini, itu pasti bau harum Teratai Wingit. Jadi, kalau begitu Ludiro harus segera menyelamatkan Jaka Bego, kemudian segera bergabung dengan Lanangseta di Pulau Kramat. Itu rencana Ludiro dalam perjalanan ke pelabuhan. Sementara itu, Pak Lodang dan tetangganya pulang ke rumah mereka. Ludiro melarang Pak Lodang ikut menemaninya.
Di pelabuhan, tempat di mana kapal pelayan dari berbagai daerah ditambatkan, ternyata Ludiro tidak menemukan kapal Cina di sana. Semua kapal milik orang pribumi. Ludiro menjadi bingung. Beberapa nelayan yang sedang nongkrong di dermaga juga tidak mengetahui adanya kapal Cina. Tetapi seorang lelaki tua yang menjadi pengurus pelelangan di pasar ikan itu agaknya bisa memberi penjelasan kepada Ludiro, ketika Ludiro iseng-iseng menanyakannya.
"Kira-kira lima hari yang lalu, saya melihat sebuah kapal dengan bentuk buritan kapal seperti seekor naga. Mungkin itu kapal Cina yang kamu maksud. Tapi ia tidak berlabuh di sini. Ia hanya lewat di kejauhan sana. Entah ia menuju ke mana. Yang jelas ke arah Barat jalannya...." kata lelaki pengurus pelelangan ikan.
"Terima kasih,. Pak tua. Kalau begitu saya harus menyusuri pantai ke arah Barat," ujar Ludiro.
"Ya. Tapi, ada apa sebenarnya? Kau kelihatan tegang. Apa yang terjadi di kapal Cina itu?"
Ya, ada apa di sana. Mungkin tak banyak orang mengetahuinya. Bahkan Ludiro sendiri tak tahu kejadian yang sebenarnya, di mana di kapal itu seorang pemuda kurus kerempeng sedang diikat kedua tangannya pada kedua tiang. Jaka Bego disiksa dalam sebuah kamar. Di sana ada dua tiang, dan di kedua tiang itulah tangan Jaka Bego diikatkan dalam posisi terentang, sedangkan kakinya dibiarkan lepas. Lemas dan bagai tak mampu berdiri lagi. Tali pengikat yang berjarak satu hasta dari masing-masing pergelangan tangan ke tiang itu ternyata cukup kuat, kokoh, dan membuat tubuh Jaka Bego terayun-ayun lemas.
Laksamana Chou, dengan pakaian kebesarannya berwarna kuning emas itu berdiri di depan Jaka Bego. Matanya yang sipit tapi tajam dan sudutnya bagai tertarik ke atas itu memandangi luka bekas cambukan di badan Jaka Bego.
"Jangan menjadi bodoh hanya karena kesetiaan, Jaka Bego," ujar Laksamana Chou yang sudah mendengar nama tawanannya.
"Kamu tak akan mendapat apa-apa dari pemuda yang mencuri anak gadisku. Jangan kau berkorban sampai penyiksaan yang lebih keji lagi."
"Saya tidak pernah mau disiksa. Tapi anak buah Tuan yang gila siksaan. Bayangkan hampir semua orang kapal ini jika masuk ke mari pasti menyakiti saya. Ada yang menampar dengan alas kakinya, ada yang memukul dengan gagang sapu, ada yang menyabet dengan kain handuknya, bahkan tadi ada yang datang langsung meludahi saya."
Laksamana Chou tersenyum sinis.
"Di sini memang ada larangan meludah di atas kapal."
"Iya, tapi cobalah bikin larangan yang berbunyi: Dilarang Meludah Di wajah Jaka Bego." sambil berkata begitu, Jaka Bego bersungut-sungut. Luka di beberapa tempat tidak begitu dihiraukan. Hanya sesekali ia menyeringai menahan sakit, namun tak sempat membuatnya menangis meraung-raung. Ia mencoba tidak menampakkan kecengengannya. Dan sejak tadi, ia berhasil tidak meraung-raung, kecuali menjerit kesakitan.
"Jaka Bego, kalau kau mau mengaku, mau menunjukkan di mana pemuda itu melarikan dan menyembunyikan Yin Yin, kau akan kubebaskan dan kuberi hadiah," kata Laksamana.
"Mau...! Mau sekali!" kata Jaka Bego.
"Tapi pemuda yang mana yang kalian kehendaki? Aku tidak tahu."
"Jangan berlagak tolol, Jaka Bego," geram Laksamana.
"Chang Hu pernah bertarung dengan pemuda itu, dan kau telah membantunya, bukan?"
"Yaaah... Tuan dibohongi Kacang Hiu...!" ujar Jaka Bego dengan senyum meremehkan.
Di situ ada Chang Hu, dan ia segera menampar Jaka Bego dengan keras, sehingga Jaka Bego gelagepan.
"Namaku Chang Hu! Bukan Kacang Hiu, tahu?!" bentaknya setelah menampar Jaka Bego.
"Laksamana." kata Chang Hu kepada Laksamana Chou.
"Saya berani bersumpah, saya melihat jelas Jaka Bego ini bersama pemuda Ekayana yang melarikan nona Yin Yin. Jelas sekali, Laksamana! Saya tak mungkin berbohong."
"Siapa? Pemuda siapa katamu tadi?!" Jaka Bego bagai memperoleh semangat.
"Ekayana," jawab Laksamana.
"Itu nama pemuda tersebut, bukan?"
"Weee. malu. Namanya bukan Ekayana! Namanya Lanangseta! Wee malu! Salah!"
"Plokk !" Tampar Chang Hu setelah Jaka Bego mencibir berulangkali ke mukanya.
"Jangan coba-coba mengalihkan dan mengacaukan pikiran kami, tolol! Kami tahu persis, pemuda itu bernama Ekayana, yang konon, menurut pengakuannya terhadap salah seorang awak kapal ini, ia bergelar Pendekar Maha Pedang!"
"Waaah... ngawur!" teriak Jaka Bego bagai memperoleh kegirangan.
"Ngawuuur...!"
"Husy! Diam!" bentak Huang Pai, sang algojo di situ. Jaka Bego menjelaskan maksudnya, "Kalian Salah duga. Benar-benar salah kaprah sekali. Pemuda yang bertarung dengan Chang Hu itu bernama Lanangseta, gelarnya Pendekar Pusar Bumi dan Malaikat Pedang Sakti. Tapi... tak tahu juga kalau kalian memberi gelar sendiri kepadanya. Aku belum pernah mendengarnya kok."
"Pendekar Pusar Bumi...?" gumam Laksamana sambil termenung. Chang Hu ikut tertegun sejenak. Lalu, Jaka Bego menyahut kata, "Iya. Pendekar Pusar Bumi sajalah. Jangan Pendekar Maha Pedang. Atau... berikan saja gelar, Pendekar Pusar Perawan. Nah... itu lebih cocok dan enak didengar."
Laksamana Chou memandang Jaka Bego dengankedongkolan yang masih ditahannya. Maksudnya ia ingin menyuruh Jaka Bego diam, tidak membicarakan soal gelar. Tapi Jaka Bego mengira, Laksamana ragu-ragu dalam memberikan gelar untuk Lanangseta. Makanya Jaka Bego segera menyahut lagi, "Tuan saya rasa gelar Pendekar Pusar Perempuan itu cukup langka di dunia ini. Iya, kan...? Atau... atau, o ya, saya punya gagasan lain. Begini bagaimana kalau kita berikan gelar baru kepadanya dengan julukan Pendekar Maha Pusar... eh, jangan-jangan jangan itu. Ini saja, hem... Pendekar... Pendekar Malaikat Pusar. Nah, itu saja, Tuan. Saya rasa itu cocok untuk...!"
"Plak... plaak... buug...!"
Pukulan beruntun menghunjam Jaka Bego dari tangan Chang Hu dan Huang Pai, lelaki tinggi berbadan besar itu.
"Kami tidak sedang berembuk untuk mencarikan gelar buat pemuda banci itu, tahu?!" bentak Chang Hu.
"Kamu tidak perlu menyodorkan beberapa gagasan nama gelar, kami tidak butuh. Yang kami butuhkan keterangan darimu, di mana dia berada! Lekas beritahukan kepada kami, kalau tidak... kau akan menjadi daging cincang, lalu akan kami buat santapan ikanikan hiu yang ada di tengah samudera nanti!"
Jaka Bego mengerang kesakitan. Tubuhnya bergelantungan di kedua tali yang mengikat tangan. Ia sepertinya tak tahan lagi untuk berdiri, karena sudah terlalu lama berdiri dan menderita siksaan macammacam.
Laksamana Chou mendekatkan wajah sambil merenggut pipi Jaka Bego. Kedua pipi itu ditekan kuatkuat dengan jemari tangannya sampai mulut Jaka Bego monyong-monyong.
"Katakan, di mana tempatnya! Jangan membuat kami kehabisan kesabaran, dan jangan mencoba mengulur-ngulur waktu. Katakan, lekas. di mana Ekayana dan Yin Yin ?!"
"Suyu, tuduk tuhu " ucap Jaka Bego dengan bibir monyong ke depan.
"Jangan bilang tidak tahu! Kamu pasti tahu!" bentak Laksamana dengan tangan masih menjepit mulut Jaka Bego.
"Butul, tutuk tuhu. Sumpuh. Suyu tuduk kunul Yun Yun dun Ukuyunu."
"Apa katanya, Chang?!" tanya Laksamana.
"Lepaskan dulu jepitan tangan Tuan, dan biarkan ia bicara dengan jelas mengulang kata-katanya tadi." Laksamana melepaskan jepitan tangan dari mulut
Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng berpakaian gembel itu mengibaskan wajah, mulutnya menganga kian ke mari karena pegal setelah dijepit keras. Wajah Jaka Bego dilemaskan dengan cara melenturkan kian ke mari. Tapi Laksamana mengira Jaka Bego meledek dan mencibir di depannya berulangkali. Karenanya sebuah tamparan keras mendarat di wajah Jaka Bego yang segera menggeragap.
"Jangan coba-coba mencibir di depanku, ya?! Bisa kupancung kepalamu!"
"Saya tidak mencibir, Tuan. Saya melemaskan ototo-tot wajah setelah Tuan jepit kuat-kuat tadi."
"Ooo... kukira meledek aku...!" Laksamana bersungut-sungut. Lalu, Chang Hu membentak:
"Ayo, ulangi kata-katamu tadi! Ucapkan dengan jelas biar Tuan Laksamana tidak bingung mengartikannya!"
"Saya bilang, bahwa saya betul tidak tahu. Sumpah. Saya tidak kenal Yin Yin dan Ekayana."
"Bohong! Dia orang licik. Pintar-pintar bodoh." seru Laksamana.
"Huang Pai, siksa dia sampai mau mengaku!"
"Baik, Laksamana...!" jawab Huang Pai yang bertubuh tinggi, berbadan tegap. Ia hanya mengenakan celana hitam dan ikat pinggang dari kain, semacam selendang warna merah. Kepalanya yang botak itu dibiarkan mulus tanpa hiasan. Tapi kumisnya yang tebal itu, sungguh menyeramkan jika berhadapan dengan Jaka Bego.
Laksamana keluar dari kamar tahanan di dalam kapal, dan Chang Hu ikut keluar juga setelah dengan usil kakinya menendang tulang kering Jaka Bego, sehingga Jaka Bego sangat kesakitan mendadak. Ia menjerit, "Aauuw... Terkutuk kau Kacang Hiu! Mudahmudahan kakimu sendiri yang sebentar lagi akan patah...!"
"Plook...!" Tamparan Huang Pai mendarat di mulut Jaka Bego.
"Aoow...!" teriak Jaka Bego.
"Mudah-mudahan gigimu sendiri akan segera rontok, Huang Pai!" teriak Jaka Bego.
Huang Pai tidak menghiraukan kata-kata itu. Ia segera mengambil cambuk panjang dan mencambuk tubuh kurus kerempeng itu berulangkali. Jaka Bego menjerit dan kelojotan. Huang Pai dengan posisi kaki terenggang dan berdiri tegar melancarkan cambuknya berulangkali, bahkan melecut ke bagian kaki segala. Posisi berdiri Jaka Bego sudah seperti mengambang. Tak bisa lurus. Jaka Bego menahan sakit mati-matian. Untung belum mati betulan.
"Tar...! Tarr... Taar...!"
"Berhenti...! Hentikan...! Aaaauuhhh...! Hentikan sebentar nanti mulai lagi...!" teriak Jaka Bego. Dan Huang Pai dengan senyum sinis menghentikan cambukan itu. Nafas Jaka Bego terengah-engah. Tubuhnya seperti jemuran basah. Ngelumbruk. Lunglai.
"Perintah Chang Hu, setiap sepuluh kali cambukan hanya diijinkan berhenti selama dua puluh hitungan," kata Huang Pai. Tambahnya lagi, "Dan selama dua puluh hitungan itu kau berhak berpikir untuk memberi jawaban dengan benar, atau membiarkan tubuhmu dicambuk lagi!"
"Huang Pai.... Ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu, tapi hanya untuk kamu. Aku tak ingin yang lain mendengar rahasia ini...." kata Jaka Bego di sela nafas yang ngos-ngosan.
Huang Pai berkerut dahi, matanya memancar tajam. Curiga. Jaka Bego berkata lagi: "Aku ingin membisikkan kata padamu. Sebuah rahasia. Dan aku percaya, kau pasti bisa menyimpan rahasia ini "
"Baik bicaralah...." kata Huang Pai yang berhidung besar itu.
"Mendekatlah ke mari, Huang Pai "
"O, tidak. Aku tidak akan memberi peluang padamu untuk menggigit telingaku, he... he... he "
"Kau memang waspada sekali, Huang Pai."
"Tentu, karena dulu ada seorang tawanan yang berbuat seperti rencanamu, dan daun telingaku cuil sedikit karena gigitannya." Waktu itu Jaka Bego melirik daun telinga Huang Pai yang kiri, dan ia tertawa pelan melihat daun telinga itu geripis sedikit.
Kemudian Jaka Bego berkata lagi di sela nafasnya yang masih terengah-engah:
"Tapi kali ini kau harus beruntung, Huang Pai "
"Kenapa?"
"Kau mendapatkan tawanan seorang kesatria," jawab Jaka Bego seperti bicara bersungguh-sungguh, dan hal itu membuat Huang Pai tertawa terkekehkekeh.
"Betul, Huang Pai. Aku bukan tawanan pengecut yang beraninya menggigit daun telinga. Kalau aku mau, aku bisa menggigit urat lehermu sampai putus."
Huang Pai terperanjat kaget dan siap mencambuk lagi. Jaka Bego segera berkata untuk menahan cambuk agar tak melecut lagi:
"Huang Pai, dengar... mendekatlah sedikit. Ini rahasia betul. Aku tidak bohong "
Huang Pai ragu sebentar, kemudian mendekati Jaka Bego pelan-pelan, penuh kewaspadaan dan kecurigaan.
"Kau mau bicara apa, lekas bicaralah selagi cambuk ku belum mencabik badanmu yang kerempeng itu."
"Huang Pai, dengar... tapi, tapi kau tidak akan bilang pada siapa pun, kan? Kau janji?"
"Akan ku usahakan berjanji...! Ayo, katakan!"
"Huang Pai, sebenarnya... sebenarnya aku ini orang sakti "
"O, ya ?!" Huang Pai tersenyum sinis dan dongkol.
Kata-kata itu seperti ejekan, ia merasa terkecoh. Tapi karena Jaka Bego bicara lagi, Huang Pai terpaksa menyimak lagi.
"Sungguh, Huang Pai. Aku ini orang sakti. Hanya saja, tak banyak orang yang mengetahui kesaktianku. Jadi, kalau kau menyiksaku, kau akan celaka. Kau akan terkutuk, seperti yang kukatakan tadi, bahwa gigimu akan rontok dalam waktu dekat. Sebab "
"Setan...! Kau menakut-nakutiku saja, hah?!" Huang Pai hendak melancarkan lecutan cambuk, tapi Jaka Bego segera berkata dengan serius:
"Tunggu, dengar dulu ! Kau boleh mencambuk ku lagi, tapi kau harus melihat kesaktianku dulu." Huang Pai menggumam jelas. Lalu berkata: "Tunjukkan kesaktianmu !"
"O, tidak. Itu namanya aku menyombongkan diri," kilah Jaka Bego.
"Kalau begitu, sekarang sudah saatnya aku mencambuk mu lagi...." kata Huang Pai sambil mengibaskan cambuknya satu kali. Jaka Bego berteriak sambil berkelejot kesakitan:
"Baik, baik akan kutunjukkan padamu "
Huang Pai berhenti mencambuk.
"Lekas "
Jaka Bego seperti kebingungan. Lalu ia berkata pelan,
"Carikan aku madu tawon "
"Apa?!"
"Madu! Aku butuh madu lebah hutan untuk membuat aku menjadi sakti "
Huang Pai mencibir sinis, Menertawakan kata-kata itu. Ia tampak ingin melecutkan cambuk lagi, namun Jaka Bego buru-buru berkata:
"Lekaslah, tak ada waktu lagi untuk menunjukkan kesaktianku. Nanti akan kuajarkan kepadamu. Ayo, carikan aku madu, walau hanya setetes saja."
"Kau bohong! Kau mau menipuku dan mengulur waktu supaya aku tidak mencambuk mu!"
"Tidak. Aku tidak bohong. Penggallah kepalaku kalau aku berani berbohong kepadamu. Aku ini orang yang tak pernah berbohong kepada siapa pun, kecuali keadaan terdesak."
Sejenak Huang Pai berpikir, menimbang-nimbang.
"Agaknya kata-kata tawanan ini bersungguh-sungguh," pikir Huang Pai. Ia menjadi penasaran. Ia ingat di dapur ada madu khusus untuk hidangan keluarga Laksamana Chou. Maka ia bergegas ke dapur, dengan tak lupa mengunci pintu ruang tahanan di dalam kapal itu. Tak lama kemudian ia kembali lagi dengan mulut berdarah. Ia segera mengunci pintu dari dalam. Jaka Bego heran melihat mulut Huang Pai berdarah.
"Kenapa mulutmu, Kawan?"
"Kepala juru masak marah padaku sewaktu aku ketahuan mencuri madu. Lalu aku ditamparnya pakai penggorengan. Keras sekali tamparannya sampai gigiku ada yang patah tiga biji. Uuuh sialan kamu!"
"Nah, kutukan sudah terjadi bukan? Padahal aku belum minum madu, apalagi kalau sampai meminum madu. Pasti lebih mujarab," kata Jaka Bego, tersenyum geli.
"Tapi aku berhasil membawa madu dalam kain serbet ini. Nah, minumlah setetes, tapi awas. kau bohong kupenggal tanpa persetujuan dari Laksamana. Mengerti?"

* * * * *



--≡¦ { 4 } ¦≡--

UNTUK mencapai Pulau Kramat, harus menyeberangi lautan bergelombang. Ombak yang besar dan karang-karang menjulang runcing merupakan penghalang pertama bagi orang yang ingin menyeberang ke Pulau Kramat.
Dari atas perbukitan karang, Lanangseta berdiri tegak memandang pulau tersebut. Andini duduk pada sebuah batu karang yang tidak terlalu tajam. Matanya yang jeli itu ikut memandang ke lautan lepas. Di sana ada pulau kecil, namun sesungguhnya cukup besar. Karena terlihat dari jarak yang cukup jauh, maka pulau tersebut kelihatan sebesar jambu monyet.
"Kau yakin itu yang bernama Pulau Kramat?" tanya Lanang kepada Andini.
Rambut Andini yang meriap sebagian itu dibiarkan dihempas angin, menari-nari di permukaan wajahnya.
"Setahuku, memang itulah Pulau Kramat. Sebab dulu ada seorang pemberontak di negeri ku, dan tertangkap. Lalu ayahku diberi tugas untuk membuang pemberontak itu ke Pulau Kramat. Waktu itu, aku masih kecil. Aku ikut di kapal ayahku dan melihat Pulau Kramat dari jarak cukup jauh."
Lanang menggumam panjang. Rambutnya yang lebat sebatas punggung itu juga dipermainkan oleh angin. Matanya masih memandang tajam dan sedikit menyipit, terlempar jauh ke pulau itu. Seakan pandangannya mengandung tanya: Ada apa di sana?
"Kau ingat siapa pemberontak yang dibuang di pulau itu?"
"Aku sudah lupa. Tapi kabarnya orang itu sudah mati."
"Dari mana kau tahu kalau orang itu sudah mati? Siapa tahu dia masih hidup, lalu bisa menyusun kekuatan dan membuat onar di wilayah ku, kemarin?"
"Tidak. Orang itu sudah mati," jawab Andini.
"Sebab, pada suatu hari ulang tahun negeri ku, raja bermaksud memberi kebebasan dan pengampunan kepada semua tahanan, asal mereka mau mendukung pemerintahan selanjutnya. Ayahku bertugas menawarkan pengampunan itu kepada orang yang dibuang di pulau itu beberapa tahun yang lalu. Tetapi, menurut cerita ayahku, orang itu sudah mati. Mati tak terawat, dan tulang belulangnya tergeletak di pinggir pantai dengan pakaian yang dikenakan masa pembuangan itu. Memang pakaian itu sudah tinggal serpihan saja, tapi ayahku yakin bahwa dialah orang yang dibuang beberapa tahun yang lalu. Dan... kau tahu, Lanang?" Andini berpaling memandang Lanangseta.
"Apa...?"
"Pulau itu kosong. Tanpa penghuni. Tapi kalau malam, atau pada saat menjelang matahari terbenam, katanya sering terdengar orang memanggil-manggil perahu yang lewat di sekitar perairan sana. Bahkan, seorang nelayan dari daerah ku pernah tersesat ke pulau itu, lalu ketika dia bisa lolos dari amukan badai dan bisa kembali ke rumahnya, ia menceritakan banyak kengerian yang tak masuk akal." Andini bergidik sendiri membayangkan cerita itu.
"Cerita apa?"
"Ia melihat banyak orang berjalan di sepanjang pantai tanpa kepala. Dan ia melihat orang-orang berbulu, seperti orang hutan, yang selalu menyeret-nyeret kepala manusia dengan wajah yang menyeramkan. Ada yang bilang, itu manusia purba. Tapi ada yang bilang lagi, itu sebuah gangguan roh halus. Mana yang benar, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, pulau itu memang kosong. Dalam setengah hari berjalan kaki, kamu bisa mengelilingi pulau itu melalui pantainya. Berarti tidak begitu luas, kan?"
Sekali lagi Lanangseta memandang jauh ke pulau tersebut. Ada rasa merinding waktu mendengar cerita Andini, namun hati kecilnya tidak mau percaya penuh. Lalu ia membuang perasaan itu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah: bagaimana caranya untuk mencapai perjalanan ke sana. Ombak begitu besar. Banyak karang menonjol di sana-sini. Kalau tidak seorang pelaut sejati, sulit menghindari karang-karang itu. Sebab karang-karang tajam meruncing itu ibarat pagar yang mengelilingi Pulau Kramat.
Kalau saja ada Jaka Bego, mungkin ia bisa mencari jalan menuju ke sana, pikir Lanangseta. Jaka Bego memang kadang menyebalkan, tapi segala tindakannya seakan mempunyai arti yang di luar dugaan. Mungkin saja Jaka Bego bisa berbuat tolol di saat itu, di saat Lanang membutuhkan cara untuk mencapai pulau tersebut. Tapi siapa tahu ketololannya itu justru membawa Lanang bisa sampai ke Pulau Kramat itu. Ah, sayang tak ada Jaka Bego. Ah, sayang orang bego itu dalam tawanan orang-orang Cina. Ah... ah Mampukah ia membebaskan diri sendiri dari tangan orangorang Cina itu?
Lanangseta tak tahu kalau di dalam kamar tahanan Jaka Bego telah terjadi sesuatu yang mengejutkan. Huang Pai, si Algojo bertubuh besar dan berkepala gundul itu telah memberikan apa yang diminta Jaka Bego: yaitu setetes madu. Huang Pai sempat mencelupkan ujung serbet ke dalam madu, kendati untuk itu ia terpaksa ditampar oleh kepala juru masak dan mengakibatkan giginya rontok tiga biji.
Ujung serbet itu diperaskan ke mulut Jaka Bego yang menganga dengan lidah terjulur keluar. Huang Pai mengingatkan sekali lagi: "Kalau kau bohong, tidak ada kesaktian apa-apa, akan kupenggal sekarang juga kepalamu! Ingat itu, ya?"
Jaka Bego sedikit mengangguk, karena mulut dan lidahnya sibuk menunggu tetesan madu dari ujung serbet. Dan setelah akhirnya ada madu menetes satu kali ke lidahnya, Jaka Bego segera menelannya dengan mata berkedip-kedip seperti orang minum jamu kepahitan.
"Nah, sekarang tunjukkan kesaktianmu...!" ujar Huang Pai seraya bertolak pinggang di hadapan Jaka Bego. Mata Huang Pai yang bulat lebar bagai tanpa kelopak mata itu memandang tajam, seakan siap menunggu saat pelaksanaan menghukum Jaka Bego.
Jaka Bego diam saja. Kedua tangannya masih terentang dalam ikatan tali yang kuat. Kakinya sedikit ditekuk karena merasa pegal dan nyeri akibat cambukan tadi. Ia menundukkan wajah sambil memejamkan mata.
"Hemm... dia sedang membaca mantera khusus untuk kesaktiannya," kata Huang Pai di dalam hati. Huang Pai tetap berdiri dan menunggu kesaktian apa yang akan di keluarkan oleh tawanannya. Lama sekali Jaka Bego menunduk dengan mata terpejam. Huang Pai jadi berdebar-debar, mulai tegang.
"Brengsek...!" cacinya dalam bahasa Cina.
"Dia malah tidur...!"
Huang Pai merasa ditipu mentah-mentah, karena lama-lama ia mendengar suara dengkuran halus. Dengkuran itu ternyata keluar dari mulut Jaka Bego. Geram dan dongkol sekali hati Huang Pai dipermainkan begitu. Ia sama saja disuruh menunggui dengan setia seorang tawanan yang akan berangkat tidur.
Kedongkolan pertama dilampiaskan dalam bentuk tamparan dua kali.
"Plak...! Plak...!" Jaka Bego masih mendengkur, bahkan semakin kencang.
Kedongkolan ketiga dilampiaskan dalam bentuk cambukan pada tangan kiri Jaka Bego satu kali.
"Taar...!"
Eh, masih tidur juga. Gemas dan marah tak dapat ditahan oleh Huang Pai. Ia bermaksud menghajar wajah Jaka Bego dengan suatu pukulan keras. Sekeraskerasnya biar tawanannya terjengkang kaget lalu bangun dari tidurnya. Namun pada saat ia mengangkat wajah Jaka Bego yang ingin dipukulnya dengan keras itu, tiba-tiba kaki Jaka Bego bergerak ke depan, keduanya menjejak perut Huang Pai dengan hentakan sangat keras.
"Uugh...!" Huang Pai mendelik, nafasnya bagai berhenti beberapa helaan. Ia terlempar ke belakang dengan kedua kaki melengkung ke depan, nyaris bertemu dengan kepalanya yang ikut melengkung ke depan. Akibatnya, punggung Huang Pai beradu dengan dinding, kapal.
"Breaak...!" Huang Pai menyeringai kesakitan, ya perut, ya punggung. Belum lagi kepalanya yang waktu itu kejatuhan palang pintu darurat yang disandarkan pada dinding itu.
"Pletook...!"
"Iyaauww...!" pekik Huang Pai kesakitan. Ia bagai melihat banyak bintang berputar-putar mengelilingi batok kepalanya.
Namun pada saat itu, ia masih mendengar suara orang mendengkur. Ia mencoba memandang tawanannya, dan ternyata tawanannya itu masih tertidur dengan pulas dan mendengkur. Ada beberapa iler yang sempat menetes karena asyiknya tertidur dengan mulut ternganga sedikit.
Aneh!
Huang Pai mencoba memperhatikan dari jarak dekat, dan ia yakin bahwa Jaka Bego memang masih tertidur. Rasa-rasanya tak mungkin orang ini bisa menghindari pukulan, atau bahkan menyerang sekeras tadi, pikir Huang Pai. Lalu ia melangkah mundur, mengambil jarak untuk menendang Jaka Bego, setidaknya membalas tendangan yang tadi.
Dengan gerakan cepat kaki kanan Huang Pai meluncur ke dada kerempeng Jaka Bego. Tapi pada detik yang tak diduga sama sekali, tubuh Jaka Bego terayun ke belakang. Kedua kakinya merapat dan bergerak ke belakang, membentuk garis lurus dengan badannya, sehingga keadaan Jaka Bego seperti burung Elang yang hendak menukik. Tangannya yang masih diikat tali itu terentang semua itu seperti sayap burung Elang yang perkasa.
Akibat gerakan tak terduga dari Jaka Bego itu, maka tendangan kaki kanan Huang Pai menembus udara kosong. Yang lebih mencengangkan lagi, kaki Jaka Bego itu tidak turun-turun. Diam kaku, bagai ada sesuatu yang menopang kaki yang merapat itu. Tapi keadaan Jaka Bego masih tertidur. Melirik sedikit pun tidak. Nafasnya sangat teratur. Dengkurnya masih terdengar jelas. Ia bagai tidur menelungkup di awangawang.
Huang Pai terheran-heran, dan mencoba mendekatkan wajah untuk memastikan apakah kedua mata Jaka Bego benar dalam keadaan terpejam. Tapi pada saat Huang Pai hendak melihat dari dekat, tiba-tiba kedua kaki yang merapat itu turun dengan cepat dan menendang dagu Huang Pai dengan keras.
"Aaoouu...!" Huang Pai mengerang panjang, kesakitan. Tubuhnya kembali terpental dan membentur dinding kapal. Bibirnya terluka akibat gigi bawah yang tidak ikut patah pada waktu ditampar kepala juru masak itu telah membentur bibir atas. Bibir itu berdarah, dan Huang Pai semakin dongkol saja rasanya. Tubuhnya yang besar dan tanpa baju itu segera bergegas bangkit. Ia hendak menyerang Jaka Bego dengan jurus andalannya. Tetap ia dibuat tercengang lagi karena tali yang mengikat kedua tangan Jaka Bego itu telah lepas. Putus dalam satu hentakan kuat. Jaka Bego mulai melepaskan sisa tali yang masih melingkar di kedua pergelangan tangannya. Namun ia masih dalam posisi tertidur pulas: Kepalanya tertunduk lemas, matanya terpejam, dan kakinya berdiri bagai tidak seimbang. Sebentar-sebentar ingin jatuh.
Waktu Huang Pai nekad hendak menyerang, tibatiba Jaka Bego bicara seperti orang mengigau.
"Jangan menyerang, Huang... Pai! Kau akan mati kalau menyerang aku. Tapi kalau kau tidak menyerangku dan mau membantuku keluar dari kapal ini, kau akan menjadi saudagar kaya di bumi Nusantara ini."
Huang Pai ragu sesaat, karena ia mengira ucapan itu adalah ucapan orang mengigau. Tetapi sebelum Huang Pai berbuat sesuatu, Jaka Bego telah bicara dalam tidurnya.
"Lihat, pintu itu akan terbuka sendiri "
"Klik...!" Pintu itu kuncinya bergerak sendiri dan terbuka, namun belum menganga lebar. Jaka Bego tertawa pelan bagai orang sedang bermimpi.
"Ini adalah kesaktianku, Huang Pai. Aku telah memenuhi janji ku, bukan " kata-kata Jaka Bego selalu
datar.
"Dan aku akan memenuhi janji ku yang tadi, tentang kau akan menjadi saudagar kaya jika tidak menyerangku. Kau akan kukutuk menjadi orang kaya, jika kau mau membantuku melarikan diri dari kapal ini. Kau mengerti ?"
"Hem... ah... an... iya. Mengerti.... Mengerti sekali, Jaka "
"Hei, hei... dalam keadaanku begini, namaku bukan Jaka Bego. Jangan panggil begitu lagi."
"Hab... hab... habis, har... harus panggil apa?"
"Dewa "
"Hah...?! Ded... de... dew "
"Dewa!" bentak Jaka Bego.
"Bilang begitu saja susah!" rupanya dalam tidur pun ia masih sempat menggerutu. Aneh!
"Iyyy... iya. Hemm... Dewa. Ya, Dewa... Dewa Bego?"
"Husy! Sembarangan saja!" bentak Jaka Bego lirih, tapi dengan nada suara yang datar. Aneh.
"Bukan Dewa Bego. Tapi... panggil aku Dewa Seribu Mimpi "
"Banyak amat?!" Huang Pai terperanjat.
"Seribu ?"
"Itu hanya nama, Huang Pai. Bukan jumlah uang atau jumlah kutu busuk di kamar ini."
"Baik, baik...." Huang Pai mengangguk-angguk, membungkuk-bungkuk, memberi hormat dengan rasa takut. Tangannya saling berdekap erat dan teracung-acung di depan wajahnya jika ia menghormat, sekalipun ia tahu bahwa Jaka Bego sebenarnya tak pantas di panggil Dewa.
Jaka Bego yang masih tertidur seperti orang mengigau itu berjalan limbung menuju pintu yang telah terbuka kuncinya. Kemudian ia membuka sendiri pintu itu, dan berkata kepada Huang Pai:
"Jalanlah di depanku, Huang Pai. Tunjukkan jalan yang aman dan bisa untuk meloloskan diri."
"Tap... tapi "
"Tapi!" sahut Jaka Bego.
"Iya, saya mau bicara soal tapi, hanya saja. gugup."
"Jangan gugup. Jangan takut. Kau ku lindungi. Kalau kau gugup, tidur saja seperti aku ini "
"Bisa tidak gugup, ya?"
"Bisa kecebur laut!" jawab Jaka Bego.
"Nah, ayo jalan lebih dulu."
"Dewa...." kata Huang pai dengan takut-takut.
"Dewa Seribu Mimpi... Anda tidak akan bisa lolos dari kapal ini!"
Jaka Bego membentak, "Harus bisa! Kenapa tidak bisa?!"
Huang Pai benar-benar kaget dan sampai terlonjak tubuhnya. Kegugupannya semakin bertambah. Jaka Bego membentaknya lagi:
"Kenapa tidak bisa, hah?!"
"Sebab.... sebab di laut... di laut ada airnya... eh, ah... maksud saya "
"Yang namanya laut pasti ada airnya, Tolol!"
"Maksud saya, di... di tolol, eh... di laut. Ya, di laut."
"Ngomong apa kamu ini, hah? Ngomong apa?!" bentak Jaka Bego lagi.
"Yang jelas. !"
Huang Pai berkeringat, wajahnya pucat. Nafasnya pun tidak teratur, kadang dihela, kadang ditahan. Tubuhnya gemetar sehingga seakan apa yang dilakukan serba salah.
"Dewa tidak akan bisa lolos, sebab... kapal ini berada di tengah lautan, bukan merapat ke dermaga. Kapal ini sedang turun jangkar di tengah lautan. Jarak dari kapal dengan lautan cukup jauh."
"Jarak kapal dengan lautan cukup jauh ? Lho, jadi kapal ini ada di mana? Bukankah ada di tengah lautan?"
"Eh, iya... maksud saya...." Huang Pai menyadari kekeliruannya dalam bicara.
"Maksud saya, jarak kapal dengan daratan cukup jauh. Harus ditempuh dengan sampan atau perahu kecil. Hal ini sengaja dilakukan oleh Laksamana, supaya tawanannya, yaitu Anda sendiri, tidak dapat melarikan diri sebelum menjelaskan di mana letak rumah, atau tempat persembunyian nona Yin Yin dan pemuda yang melarikan nona Yin Yin itu."
"Ah... itu soal gampang. Mumpung aku masih menjadi dewa, aku bisa merubah lautan menjadi daratan tandus."
"Hah...?!" Huang Pai mendelik.
"Hebat sekali, ya?"
"Itu sudah peraturan: Dewa harus hebat. Jangan heran." Huang Pai manggut-manggut saja dalam keseriusan. Lalu Jaka Bego menyuruh Huang Pai keluar lebih dulu. Menaiki tangga menuju geladak kapal. Pada saat Huang Pai muncul ke geladak, Liu melihatnya, Liu langsung berseru:
"Hei... Huang Pai, bagaimana dengan tawanan itu? Sudah mau mengaku?"
Huang Pai kebingungan, sementara itu Jaka Bego sedang menaiki anak tangga menuju geladak dengan keadaan tertidur. Dengkurnya terdengar jelas di telinga Huang Pai.
"Sudah kau siksa supaya ia mengaku?" ulang Liu.
"Sudah. Dan... dan dia sudah mengaku...." jawab Hung Pai dalam keadaan bingung.
"Bagus! Mari kita melaporkan pengakuannya kepada Laksamana Chou! Kau hapal dengan pengakuannya itu, kan?"
"Ya, hapal. Ia mengaku bahwa dirinya adalah dewa yang sakti "
"Tolol! Itu bukan pengakuan, tapi penghinaan terhadap kita. Ia menganggap kita ini lebih rendah dari dia! Mana tawanan itu, aku mau menampar mulutnya."
"Tak perlu...! Kau tak perlu ikut masuk, dia sedang sedang tidur."
"Tidur...?! Tidur bagaimana?" Liu semakin mendekat dan pada saat itu Jaka Bego muncul dengan kepala terkantuk-kantuk dan mata terpejam lemas. Dengkurnya membuat Liu tersenyum sinis, mengira ia sedang ditipu oleh Jaka Bego. Sebab itu, Liu segera mengambil sikap menyerang Jaka Bego dengan tangan kosong.
"Jangan menyerang!" hardik Jaka Bego kurang seram. Ia berkata lagi, "Kalau kau menyerangku, kau akan patah tulang. Tapi kalau kau membantu melarikan diri dari kapal ini, kau akan diangkat menjadi nakhoda kapal!"
"Setan! Kau pikir aku bisa tertipu oleh permainanmu?! Hiaaat...!"
Liu melompat dalam gerak kaki kanan menerjang Jaka Bego dan kaki kirinya terlipat ke selangkangan. Tendangan itu dibiarkan meluncur ke arah wajah Jaka Bego. Kemudian dengan gerak seperti hendak terkulai jatuh, Jaka Bego miring ke kiri. Kaki Liu nyelonong ke tempat kosong, dan sebelum pukulan Liu melesat ke wajah Jaka Bego, ternyata Jaka Bego lebih dulu berhasil menghantam kuat-kuat rusuk lawannya. Bukan hanya satu kali hantaman, tapi sempat tiga kali hantam dalam satu gerakan cepat yang tak dapat dilihat mata manusia.
"Aaahhk...!" Liu menjerit kesakitan. Ia mengerang sambil memegangi tulang rusuknya yang tadi waktu dipukul mengeluarkan bunyi berderak. Patah. Teriakan Liu itu membuat orang kapal bergegas ke tempat kejadian. Mereka hanya menemukan Liu sendirian mengerang dan mengaduh sambil telentang di geladak.
"Kenapa Liu...?" tanya mereka yang mendekat.
"Tulang rusuk ku ada yang patah, aauhh... sakitnya...!"
"Kenapa dipatahkan? Kau sudah bosan punya tulang rusuk?"
"Tawanan kita yang mematahkannya, Tolol!" bentak Liu dalam teriakan.
"Tawanan yang mana?! Bukankah dia ada di dalam kamar tahanan kita bersama Huang Pai? Ah, ngaco saja omongan mu!"
Liu sendiri heran, ke mana Jaka Bego dan Huang Pai. Mereka tidak kelihatan di ujung tangga seperti tadi. Ke mana ya?

* * * * *



--≡¦ { 5 } ¦≡--

PARA awak kapal dikerahkan untuk mencari hilangnya Jaka Bego, tawanan mereka. Kesibukan terjadi di sana-sini. Mereka menggeledah tiap kabin, tiap kamar, dan semua tempat digeledah. Diperiksa dengan teliti, namun hasilnya nihil. Jaka Bego dan algojo mereka yang bertugas menghukum dan menyiksa tawanan itu telah lenyap. Laksamana Chou menjadi berang.
"Buta semua mata kalian!" bentak Laksamana Chou.
"Masa' mencari dua orang dalam kapal ini saja sampai tidak bisa? Mereka kan tidak mungkin berenang ke daratan!"
Tak satu pun ada yang berani membantah atau pun menyanggah kata-kata Laksamana Chou. Mereka masih sibuk memeriksa sampai di bagian ruang bawah kapal, di gudang makanan dan gudang persenjataan. Tapi tetap saja mereka tidak menemukan Jaka Bego.
"Penghianat! Huang Pai juga penghianat! Penggal kepalanya kalau dia tertangkap nanti!" teriak Laksamana Chou yang amat marah. Ia merasa dipermainkan oleh orang gila semacam Jaka Bego. Sementara itu, Laksamana segera bicara kepada kepala keamanan kapal: Chang Hu.
"Cari mereka sampai dapat, lalu pancung kedua kepala mereka. Tapi kalau sampai besok mereka tidak tertangkap, kepalamu yang akan kupancung sendiri! Jelas?!"
"Jelas, Laksamana...!" jawab Chang Hu dengan suara lemah dan gemetar
Chang Hu menggerutu tak habis-habisnya sambil mencari tawanannya. Bahkan ia sempat berteriak ketika hari sudah menjadi sore: "Jaka Bego...! Di mana kamu! Keluarlah! Kasihanilah aku sedikit, jangan sampai aku yang dipancung!"
Sebelum gelap menguasai alam jagad raya ini, telah dikerahkan dua regu pencari memakai sekoci. Kedua regu itu menjelajah di perairan dengan mendayung perlahan-lahan. Salah satu regu dalam sebuah sekoci dipimpin oleh Chang Hu sendiri. Gerutu dan omelannya tak kunjung reda dari tadi.
"Huang Pai benar-benar jahanam...!" katanya sambil memandang di permukaan air, kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan.
"Dia sudah bekerja dengan kita lebih dari sepuluh tahun, eeh... sekarang dia mau jadi penghianat, membantu menyembunyikan Jaka Bego. Uhh...! Apa sebenarnya yang akan ia dapatkan dengan memihak kepada Jaka Bego?!"
Salah seorang dalam sekoci itu menyahut, "Mungkin bahkan Huang Pai sendiri dalam bahaya. Ia dijadikan jaminan atas keselamatan tawanan kita."
"Hemm... apa mungkin begitu?" pikir Chang Hu. Namun bagaimana pun geram dan marahnya dia saat itu, guratan rasa takut dan kecemasan terbayang jelas di permukaan wajahnya yang gemuk bagai bakpau itu. Jelas ia sangat khawatir kalau-kalau sampai besok pagi Jaka Bego belum ditemukan. Itu pertanda riwayatnya akan habis! Dipancung Laksamana sendiri.
Sampai menjelang tengah malam, mereka masih mencari ke mana saja. Mereka belum menemukan tanda-tanda berhasil. Sampai akhirnya mereka lemas, terlalu lelah mencari seharian sibuk mencari tawanan yang seperti mencari setan saja itu. Lalu, mereka tertidur dalam kepenatan. Hanya beberapa orang yang bertugas menjaga keamanan kapal, termasuk keamanan barang-barang dagangan mereka berupa... candu dan rempah-rempah lainnya.
Dalam kesepian malam itu, Chang Hu tidak dapat tidur. Sebentar-sebentar ia terbangun dan memeriksa keliling kapal sendiri. Lalu berusaha untuk tidur lagi, kendati otaknya tak pernah berhenti berpikir. Chang Hu dan yang lainnya tak tahu, bahwa Jaka Bego dan Huang Pai bersembunyi dalam gulungan layar kapal. Mereka membuat diri mereka bagai menyatu dengan gulungan layar kapal, dan berusaha menahan segala kepengapan, kegerahan, kehausan atau apa saja. Bahkan ia mulai irit nafas, sebab pergantian udara di situ cukup susah. Mereka berada dalam satu gulungan layar besar yang tak sampai dicurigai para awak kapal. Namun ketika hari sudah menjadi sepi, Huang Pai jadi sangat cemas, karena dengkuran Jaka Bego yang masih tertidur terus itu terdengar jelas. Huang Pai takut kalau dengkuran itu didengar penjaga, dan mereka bisa ketahuan kalau bersembunyi dalam gulungan layar. Rupanya kegelisahan dan kecemasan Huang Pai itu tetap diketahui Jaka Bego, kendati dalam keadaan tidur. Jaka Bego berbisik di sela dengkurnya:
"Huang Pai, kau sanggup berlari sampai ke daratan?"
"Berlari?!" Huang Pai juga berbisik.
"Kalau saja kita berada di suatu lembah atau dataran kering, mungkin saya sanggup berlari mencapai tempat aman. Tapi, kita ini kan ada di atas permukaan laut, Dewa."
Jaka Bego mendengkur, sepertinya tidak mendengarkan ucapan Huang pai. Tapi beberapa saat kemudian ternyata Jaka Bego berkata lagi:
"Kalau begitu, mari kita keluar sekarang. Keadaan sudah sepi."
"Bagaimana dengan penjaga? Biasanya kapal ini biar pun malam dan di tengah lautan, tetap ada orang yang mendapat tugas jaga. Dan... dan kalau tak salah malam ini saya juga kena giliran jaga."
"Kalau begitu berjagalah dulu, nanti kita melarikan diri bersama-sama." kata Jaka Bego seperti orang mengigau.
"Tadi Dewa mendengar sendiri, bukan? Bahwa saya pun akan dipenggal kepalanya oleh Laksamana. Jadi, saya rasa saya tak perlu ikut tugas jaga malam. Nanti malah saya kehilangan kepala."
"Ya, ya... tapi kau bicara jangan terlalu keras. Ludahmu menyembur semua ke wajahku...." bisik Jaka Bego, lalu mendengkur lagi. Tidak keras, tapi pasti. Pasti tidur.
Malam semakin larut. Rembulan memercikkan sinarnya sedikit saja. Cukup untuk menerangi malam hingga jadi remang-remang. Perlahan sekali Huang Pai membuka gulungan layar untuk meloloskan diri. Dan beberapa saat berikutnya mereka memang berhasil keluar dari gulungan layar.. Jaka belum bangun dari tidurnya. Ia berjalan seperti mayat hidup yang kekurangan nafas. Huang Pai mengendap-endap mendekati pagar kapal. Ia melongok ke bawah, lalu berbisik:
"Tuan Dewa... di bawah kita ada sekoci ditambatkan "
"Hah? Kuaci? Untuk apa kuaci itu?"
"Bukan kuaci, tapi sekoci. Perahu kecil. Kita bisa mendayungnya sampai ke daratan."
"Ide yang bagus. Tapi kau tidak lupa bagaimana cara mendayung, bukan?"
"O, tidak, Tuan Dewa...! Saya dulu juara mendayung sekapal ini. Dan... oh, berarti nanti saya yang harus mendayung terus sampai di darat, ya?" Huang Pai seakan baru menyadari tugas yang akan dilaksanakan. Jaka Bego mengangguk samar-samar, seperti kepala yang sedang terkantuk-kantuk.
"Cepat kau turun lebih dulu, siapkan dayung, pegang kuat-kuat dan "
"Hei, siapa itu di pinggiran kapal?!" teriak seorang penjaga.
"Gawat, kita ketahuan penjaga, Tuan Dewa," bisik Huang Pai dengan tegang. Lalu ia buru-buru menuruni tangga terbuat dari tali yang menuju ke sekoci. Penjaga berpakaian serba hitam dengan ikat kepala kain merah itu berjalan mendekati Jaka Bego, sementara Huang Pai telah turun. Jaka Bego masih tertidur dengan pulas. Penjaga itu mengamat-amati keadaan Jaka Bego. Ia terbengong tegang.
"Astaga...! Kau...? Kau tawanan yang lepas itu, kan?!"
Jaka Bego bersandar pada pagar kapal. Penjaga heran, lalu mendekatkan wajah untuk memastikan apakah orang yang dihadapi itu benar-benar dalam keadaan tidur, atau hanya tipuan belaka. Sesaat dalam penyelidikannya, ia yakin bahwa tawanan itu tidur. Tapi tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam rahangnya, sehingga ia terpekik tertahan dan roboh di geladak. Jatuhnya tubuh ke lantai papan menimbulkan bunyi cukup keras. Jaka Bego tak mau yang lainnya terbangun karena keributan tersebut. Dengan cepat ia menggerakkan kakinya dan menghentak ke ulu hati penjaga. Orang tersebut mengerang tertahan, lalu pingsan. Dengan masih tetap dalam posisi tidur, Jaka Bego mencoba menuruni tangga menuju sekoci. Di bawahnya ada dua sekoci. Dalam salah satu sekoci terdapat Huang Pai yang sudah siap memegangi dayung dan sudah melepas tali pengikat sekoci. Ia siap jalan. 
Ada suara langkah orang di geladak. Huang Pai menjadi sangat tegang. Ia berbisik keras, "Tuan Dewa... lekas! Ada orang yang berjalan menuju ke atas kita...!"
Memang. Jaka Bego juga mengetahui adanya bahaya yang mendekat, sebab itu ia segera turun dengan satu lompatan halus, di mana pada waktu mendarat di dalam sekoci, tak ada suara yang terdengar sedikit pun. Lembut dan ketahuan kalau diimbangi dengan ilmu peringan tubuh yang cukup sempurna.
"Lekas dayung...!" bisik Jaka Bego kepada Huang Pai.
"Lekas...! Tunggu apa lagi?!"
"Tuan Dewa... tuan salah naik. Bukan sekoci itu yang akan bergerak, tapi sekoci yang saya naiki ini" kata Huang Pai dengan gugup.
Jaka Bego mendengkur sebentar. Kemudian berkata, "Sial. Aku salah naik sekoci...!" Ia segera melompat ke sekoci yang di dalamnya sudah siap Huang Pai hendak mendayung.
Begitu dayung bergerak beberapa kali, terdengar suara Chang Hu berteriak keras, "Hoii...! Lihat, itu tawanan kita melarikan diri dengan sekoci !"
Semua orang kapal menjadi terbangun dan ikut memandang ke laut. Mereka berduyun-duyun bahkan saling berdesak untuk mendapat tempat berdiri paling pinggir. Mereka melihat gerakan payung Huang Pai begitu cepat, membuat perahu kecil itu melaju dengan pesat.
"Tolol...! Kenapa hanya menjadi penonton! Kejar mereka...! Kejaaar...!" teriak Hu dengan keras, seperti orang kesetanan.
Jumlah awak kapal begitu banyak, dan mereka berebut turun ke sekoci, bahkan kini ada dua sekoci lagi yang diturunkan dan dipersiapkan untuk pengejaran laut.
"Cepat...! Cepat...!" teriak Chang Hu yang panik.
"Nyawaku ada pada mereka! Cepat turun dan kejar. Jangan... aaaaahh...!" Chang Hu terdesak anak buahnya dan akhirnya jatuh melampaui pagar kapal. Tubuhnya melayang, dan jatuh tepat di pinggiran sekoci baru. Kakinya menghantam tepian sekoci sehingga persendian lututnya patah total, sedangkan tubuhnya terguling masuk ke air laut. Ia berteriak-teriak antara ketakutan dan kesakitan.
Huang Pai mendayung dengan gerakan cepat. Tiga kapal sekoci lainnya mengejar dengan semangat dan gerak yang sama cepatnya. Sementara itu, Jaka Bego tetap tertidur dengan enaknya. Ia bagai tidak menghiraukan ketegangan saat itu.
"Seraaang...!" ada suara lengking yang terdengar. Huang Pai tahu, itu suara Laksamana Chou. Dan itu adalah aba-aba untuk perang. Maka tak heran kalau Huang Pai segera dihujani anak panah yang berhamburan melintasi kepala dan sekitar badannya. Posisi Jaka Bego sedikit menguntungkan, karena ia sedikit merebah sehingga kemungkinan terkena anak panah cukup sedikit. Tetapi Huang Pai, sungguh dalam bahaya. Ia tetap harus mengayuh dayung sambil dihujani anak panah yang beterbangan bagai lalat di waktu malam. Gemas dan ketakutannya bercampur jadi satu, malam membuat semangatnya bertambah besar, demikian juga tenaganya.
"Berikan dayung yang satunya padaku " kata Jaka Bego dalam nada datar, mirip orang mabok. Huang Pai memberikan salah satu dayung kepada Jaka Bego. Lalu, dengan terhuyung-huyung dan sebentar-sebentar jatuh terduduk, Jaka Bego mengibaskan dayung kian ke mari. Kibasan anginnya membuat anak panah melesat tak beraturan, seakan anak panah itu terpental sebelum memasuki pusaran angin.
"Hujani panah terus...!" seru seseorang yang terbaring di dalam sekoci. Rupanya ia adalah Chang Hu, yang dalam keadaan sakit, patah tulang lututnya, namun masih ikut serta dalam pengejaran. Jelas hal itu dilakukan hanya semata-mata ingin menghindari hukuman pancung, seandainya ia gagal menangkap Jaka Bego dan Huang Pai.
Anak panah terus menghujani sekoci warna coklat tua. Agaknya sekoci itu sudah cukup lama. Kayu-kayu papannya mampu ditembus anak panah, dan kini anak panah itu menghunjam ke badan sekoci beberapa kali. Itu akibat kibasan angin yang timbul dari gerakan dayung Jaka Bego. Berputar dalam satu tangan bagai kitiran.
"Astaga...!" Huang Pai terpekik.
"Sekoci kita bocor. Air mulai masuk...!"
Yang lebih parah lagi, ayunan ombak laut terasa semakin menghebat. Memang bukan berupa gelombang besar, tapi mampu menggulingkan sekoci kalau saja hal itu terjadi.
"Tinggalkan sekoci ini, Huang Pai...." ucap Jaka Bego dengan suara sedikit serak.
"Tinggalkan bagaimana, Tuan Dewa?"
"Lari, Tolol! Jangan pakai sekoci ini lagi...!"
Kemudian, sambil tetap memutar dayung di udara untuk menghalau anak panah, Jaka Bego turun dari sekoci. Kedua kakinya menapak di air dan terayunayun mengikuti gelombang lautan.
"Ayo, turun dari sekoci...!" perintahnya kepada Huang Pai, tetapi Huang Pai masih mendelik dan tertegun heran. Ia sangat heran melihat Jaka Bego dapat berdiri di atas permukaan air laut tanpa tenggelam sedikit pun. Jaka Bego bagai berdiri di tanah yang bergelombang, namun ia masih dalam posisi tidur dengan kepala terkantuk-kantuk.
"Turun, jangan bengong saja!"
"Turun bagaimana? Saya mana bisa berjalan di atas air seperti Tuan Dewa?!" Huang Pai kebingungan dan ngeri.
"Pegang tanganku dan kita lari bersama," kata Jaka Bego sambil mengulurkan tangannya yang lemas lunglai itu. Sementara tangan yang memutar dayung sudah berhenti. Huang Pai berdiri, memegangi tangan Jaka Bego, namun ia belum turun ke permukaan air. Ia masih dalam sekoci yang mulai memberat karena air banyak masuk di dasarnya.
"Ayo, lekas...!" desak Jaka Bego. Huang Pai masih kebingungan sebab ia tahu betul bahwa dirinya tidak mampu mempunyai ilmu sehebat Jaka Bego. Ia tidak mampu berdiri di permukaan air seperti itu.
"Aku... aku tak bisa seperti itu, Tuan Dewa "
"Harus bisa. Ayo, ikuti langkahku !"
Dengan perasaan bimbing. Huang Pai melangkah ke permukaan air yang bergolak itu. Byuur...! Huang Pai tercebur dan gelagepan sesaat. Jaka Bego berseru lemas:
"Jangan bimbang, Tolol! Jika kau bimbang, kau tak akan berhasil melakukan sesuatu yang di luar dugaan. Ayo, bangkit dan jangan bimbang !"
Mereka yang mengejar bertambah dua sekoci, jadi ada lima sekoci di belakang Jaka Bego dan Huang Pai. Masing-masing sekoci ada sekitar enam atau tujuh orang. Kapal layar besar yang sering disebut kapal layar raksasa itu masih berlabuh pada tempatnya. Tetapi sayup-sayup terdengar teriakan yang tak jelas artinya. Pasti itu teriakan Laksamana Chou yang gemas sendiri terhadap anak buahnya.
Sementara mereka menghujani panah, Huang Pai sendiri berulangkali mencoba untuk bisa berjalan di atas air. Ia masih gagal terus. Namun akhirnya, entah dengan suatu kekuatan apa, Jaka Bego membentak di tengah tidurnya: "Berdiri!"
Bentakan itu cukup kuat, mengagetkan Huang Pai. Dan seakan karena bentakan itu tubuh Huang Pai terlonjak, kemudian di luar kesadarannya ia telah mampu berdiri di samping Jaka Bego. Tangan Jaka Bego yang lemas lunglai itu masih dipegangi terus dengan perasaan ngeri masih ada. Tetapi ketika Jaka Bego memberi perintah dengan bentakan orang yang sedang tidur: "Lari...!"
Maka, Huang Pai pun dapat lari di atas permukaan air laut yang bergolak. Laju lari mereka begitu cepat, melebihi kecepatan sekoci. Bahkan mereka tidak diombang-ambingkan ombak seperti sekocinya tadi. Huang Pai merasa heran, mengapa telapak kakinya bagaikan berjalan di atas gumpalan es keras. Dingin tapi keras. Ia sendiri tak pernah menyangka kalau dirinya akan mampu berjalan di atas permukaan air laut.
"Aahk...!" Huang Pai terpekik tertahan.
"Saya... kena panah, Tuan Dewa...!"
Ada anak panah yang sempat melesat dan mengenai punggung Huang Pai, tapi untung tidak terlalu dalam, sehingga dengan mudah Jaka Bego yang tertidur itu menarik serta melepaskan anak panah tersebut.
"Ayo, bertahan... daratan sudah kelihatan," kata Jaka Bego seperti orang sok tahu. Padahal ia terpejam, dan di depan cukup gelap, tapi ia tahu kalau daratan sudah dekat. Sedangkan Huang Pai yang masih membuka mata dan bahkan membelalak lebar itu, tidak mengetahui kalau daratan sudah dekat. Karenanya, Huang Pai terus berlari mengikuti perintah bekas tawanannya.
"Aaahk...! Kena lagii...." Huang Pai mengerang dalam pekikan yang tertahan. Kini pahanya yang terkena anak panah yang masih menghujani mereka itu.
Jaka Bego berhenti dan mencabut anak panah itu dengan gerakan cepat, nyaris tidak terasa oleh Huang Pai. Sambil tertidur dalam keadaan berdiri, Jaka Bego menggerutu, dan kini ia menghadap ke arah lawanlawannya. Ia berkata seperti hendak berseru, namun tak mampu berseru karena rasa kantuknya amat berat.
"Orang-orang terkutuk...! Lihat saja, tak lama lagi kapal itu akan hancur disapu badai...!"
Kemudian ia meneruskan pelarian dengan agak lamban karena kaki Huang Pai membutuhkan topangan tubuh Jaka Bego. Sampai akhirnya, mereka pun tiba di pantai dalam keadaan basah kuyup. Huang Pai langsung terjatuh sampai mengerang kesakitan: Punggung dan pahanya terluka akibat tusukan panah pengejarnya.
"Bertahan, Huang Pai Bertahanlah sebentar, kita harus mencari tempat perlindungan " Jaka Bego menyeret-nyeret Huang Pai. Sedangkan Huang Pai sendiri sudah tak dapat bicara apa-apa, kecuali nafasnya terengah-engah sambil mengerang kesakitan.
Agaknya tak ada pilihan lain bagi Jaka Bego kecuali mengangkat Huang Pai ke suatu tempat. Huang Pai masih sadar ketika ia merasa diangkat oleh kedua tangan Jaka Bego dengan ringan sekali. Jaka Bego yang kurus kerempeng itu bagaikan tak merasa keberatan sedikit pun mengangkat tubuh Huang Pai yang besar itu. Bahkan dengan satu kekuatan khusus, Huang Pai sadar kalau tubuhnya dibawa melayang ke atas. Tiga kali kaki Jaka Bego menghentak ke batang pohon kelapa, dan sampailah mereka di atas pohon kelapa yang berdaun lebat. Huang Pai sempat berteriak ketakutan waktu ia menyadari bahwa kini dirinya ada di puncak pohon kelapa. Ia disandarkan pada pelepah daun kelapa itu. Jaka Bego segera menutup mulut Huang Pai yang berteriak-teriak kengerian.
"Di sini kita akan aman sementara waktu, asal mulutmu tidak jeplak seenaknya begitu, Huang Pai," kata Jaka Bego.
"Ak... aku.... Sa.... Sssaya... saya takut pada tempat yang ting... tinggi...." ucap Huang Pai dalam ketakutan yang lebih mencekam jiwanya.
"Sayaa... sssaya... memang tidak berani berada di tempat tinggi "
"Badan gede, muka kasar begitu kok takut di tempat tinggi... Uhh, payah!" Jaka Bego sempat mengomel dan menggerutu dalam tidurnya.
"Kalau begitu, pejamkan mata dan jangan sekali-kali memandang ke bawah!"
Huang Pai benar-benar memejamkan mata kuatkuat. Hal itu dilakukan setelah ia berbalik menelungkupkan badan di atas sehelai pelepah daun kelapa. Pelepah itu cukup kuat, dan Jaka Bego ternyata pintar memilih mana pelepah yang kuat untuk menyangga tubuh, mana yang tidak kuat.
Masih dalam keadaan tidur, Jaka Bego berusaha kelapa muda yang ada di bawah kakinya. Dengan menggunakan gigi dan terkantuk-kantuk Jaka Bego mengupas sebutir kelapa muda. Ia mengupasnya dengan menggunakan gigi saja. Membesot serat demi serat sabut kelapa yang ada.
Sementara itu, para pengejar yang menggunakan sekoci itu mulai mendekati pantai, siap melakukan pendaratan. Terdengar dari atas pohon suara Chang Hu berseru dalam suara tertahan:
"Cari mereka sampai ketemu, dan bilamana perlu bunuh di tempat. Penggal kepalanya lalu kita serahkan Laksamana! Uuhh...! Sial! Kalau kakiku tidak patah karena jatuh tadi, kedua monyet itu pasti sudah kudapatkan!"
"Chang Hu kakinya patah," bisik Huang Pai sambil memejamkan mata. Jaka Bego sibuk menyesat serabut kelapa.
"Kalau tak salah, kau pernah mengutuknya di kamar tahanan. Tuan Dewa. Kau pernah mengutuk Chang Hu, yaitu ketika ia menendang tulang kering kakimu, Tuan Dewa "
"Lupakan kutukan itu, toh sekarang sudah terjadi." Jaka Bego bicara dengan pelan.
Gelap malam membuat para pencari tak melihat tempat persembunyian Jaka Bego. Apalagi sudah gelap, daun kelapa itu amat rimbun dan banyak buahnya, sudah tentu tempat persembunyian semacam itu cukup aman. Para pencari itu mulai gaduh dan menyisir daerah pantai dengan barisan pemeriksa dan penggeledah yang bergerak dengan teratur. Mereka berbaris dalam jarak lima langkah, berjajaran dan serempak maju ke kedalaman semak belukar tanaman pantai.
Jaka Bego sudah berhasil mengupas kelapa, ia juga berhasil membolongi batok kelapa yang keras itu dengan salah satu jarinya. Ia segera meminum air kelapa muda beberapa teguk, lalu diminumkan pula kepada Huang Pai. Kemudian ia minum lagi beberapa teguk, tapi tidak benar-benar diteguk habis. Ia menyisakan air itu di dalam mulutnya, lalu dipakai untuk berkumur beberapa saat. Di luar dugaan Huang Pai ternyata Jaka Bego sedang bersiap untuk menyembuhkan luka pada tubuh Huang Pai yaitu dengan cara menyemburkan air kelapa muda itu dengan pelan dan setiap luka disemburkan tiga kali. Perih. Memang perih. Huang Pai hampir saja menjerit karena sakit.
"Usahakan untuk tidur, supaya besok kau mendapatkan lukamu sudah sembuh."
"Se... secepat itukah lukaku akan sembuh, Tuan Dewa?"
"Iya, tapi jangan keras-keras bicaramu!"
"Saya terkejut mendengar luka saya akan sembuh."
"Saya juga," kata Jaka Bego.
"Ah, masa Anda juga terkejut, Tuan Dewa?"
"Yaah... sekedar rasa setia kawanku saja kepadamu, kalau kau sengsara akan kubantu untuk ikut merasakan kesengsaraanmu. Kalau kau terkejut, akan kubantu untuk lebih terkejut lagi. Biasa, itu sikapku. Sikap saling menolong."
"Sungguh baik hati Anda ini sebenarnya, Tuan Dewa."
"O, iya! Kan sudah kukatakan sejak semula, bahwa aku tak pernah berbuat jahat kepada siapa pun, kecuali benar-benar terdesak."
"Jadi, kalau Tuan Dewa bilang, tidak, kenyataannya juga tidak, begitu? Maksud saya soal kejujuran, Tuan Dewa."
Sambil terkantuk-kantuk dan bagai malas bicara, Jaka Bego menjawab.
"Itu juga pernah kukatakan kepadamu, bukan, bahwa aku tidak pernah berbohong, kalau tidak terdesak."
"Juga tentang nona Yin Yin, apakah Tuan Dewa tidak berbohong?"
"Tidak. Aku tidak bohong. Aku memang tidak kenal nona Yin Yin. Bahkan... melihatnya pun belum pernah "
"Tapi bagaimana dengan pemuda yang bernama Ekayana itu? Apakah Tuan Dewa benar-benar tidak mengenalnya?"
"Benar. Aku berani... eh, kamu masih terus mengorek keterangan dariku, ya? Ingat kita sudah jauh dari kapal. Kau bukan lagi algojo dan tukang siksa, aku sudah bukan lagi tawanan mu...!"
"Ma... maaf, Tuan...." Huang Pai menyadari tindakannya.
Dengkuran Jaka Bego semakin keras, bagai berlomba dengan deru deburan ombak di pantai. Huang Pai tidak tahu, apakah Jaka Bego tidur sungguh, atau tetap memperhatikan keadaan sekitarnya. Kali ini Huang Pai merasa hidup di samping pendekar aneh. Orang sakti yang unik.
"Siapa sebenarnya Jaka Bego itu?" pikir Huang Pai sambil tetap menelungkup di atas pelepah daun kelapa. Lukanya sudah tak seperih tadi. Ia sedikit tenang. Namun ia tetap tak berani membuka mata, sebab ia takut melihat bawah. Karena asyik bertanya-tanya dalam hati dengan keadaan mata terpejam, maka tak ayal lagi Huang Pai pun tertidur.
Ketika ia terbangun, ia telah merasakan panasnya matahari menyengat kulit. Tubuh Huang Pai berkeringat segar. Ia hampir saja berteriak karena membuka mata, dan begitu mata terbuka ia dalam posisi memandang ke bawah dari suatu ketinggian.
"Tuan Dewa...." sapanya gemetar. Huang Pai tetap memejamkan mata kembali.
"Ssst... bergerak pelan-pelan, jangan bersuara," bisik Jaka Bego. Lalu ia membantu Huang Pai duduk dan bersandar pada pelepah daun kelapa itu. Keadaan Huang Pai sudah menghadap ke Jaka Bego, jadi ia berani membuka matanya sedikit demi sedikit.
Oh, ternyata Jaka Bego sudah tidak tertidur lagi. Jaka Bego dalam keadaan terbengong memandang ke bawah.
"Tuan Dewa... Anda sudah tidak tidur lagi?"
"Tidur? Hemm.... O, ya... tidak. Eh, apa aku tadi tertidur?" tanya Jaka Bego dengan heran.
"Lho, Tuan Dewa tidak sadar?"
Jaka Bego menggeleng.
"Aku malah sedang berpikir bagaimana caranya turun ke bawah."
"Aneh...!"
"Kamu keterlaluan Huang Pai, membawa kabur aku saja sampai di tempat setinggi ini."
"Hemm... bukankah, bukankah Anda sendiri yang membawa saya bersembunyi dari kejaran mereka di tempat setinggi ini? Mengapa Tuan Dewa jadi bingung sendiri?"
"Tuan Dewa...?!" Jaka Bego bingung. Ia garuk-garuk kepala.
"Bukankah Anda mengaku sebagai Dewa Seribu Mimpi?"
"Dewa Seribu Mimpi? Ah, persetan dengan dewadewaan."
"Nah, yang benar yang mana ini?" Huang Pai semakin kebingungan. Ia memberanikan diri melihat ke bawah sambil berpegangan lengan Jaka Bego.
"Hah...? Banyak mayat bergelimpangan?!"
"Iya. Aku juga heran tadinya. Tapi setelah kuperhatikan, mereka mayat orang-orang kapal, temantemanmu juga."
"Ooh...?!" Huang Pai tegang.
"Jadi, siapa yang membunuh mereka? Siapa yang membantai para pengejar kita?"
"Jangan tanyakan aku! Aku. sendiri sedang berpikir tentang bagaimana cara kematian mereka!" Jaka Bego bersungut-sungut.
Samar-samar Jaka Bego mendengar suara letusanletusan kecil. Arahnya di balik rimbun dedaunan, di bawah sebarisan pohon kelapa lainnya. Lalu teriakanteriakan kecil terdengar pula, ada yang berteriak karena direnggut maut, ada yang berteriak karena kemarahan. Lalu, Jaka Bego mencoba berdiri untuk melihat ke arah lain, arah datangnya letusan-letusan kecil dan teriakan-teriakan itu.
"Astaga... ada yang bertarung di sana. " ujar Jaka Bego. Tapi Huang Pai tidak mendengar ucapan itu. Pikirannya masih dililiti keheranan karena melihat lukalukanya telah sembuh sama sekali. Bahkan tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Luka di paha itu, sepertinya tak pernah terjadi luka. Begitu pula sewaktu Huang Pai meraba punggungnya yang terkena anak panah tadi malam, ternyata juga tak ada bekasnya sedikit pun. Aneh. Seingatnya, semalam ia disembur memakai air kelapa oleh Jaka Bego. Tapi secepat itukah lukanya dapat sembuh?
"Oh, ya, ya aku tahu," kata Jaka Bego.
"Tahu? Tahu tentang apa maksud, Tuan Dewa?"
"Tahu suara letusan itu. Kau dengar letusan itu?"
"Ya.... Saya dengar seperti letusan... itu bukan letusan. Itu lecutan cambuk, Tuan Dewa. Saya hapal dengan lecutan cambuk "
"Benar. Itu lecutan cambuk. Dan pasti lecutan Cambuk Naga."
"Cambuk Naga?! Cambuk pusaka siapa?"
"Cambuk pusaka milik paman Ludiro. Aku kenal baik dengan paman Ludiro. Dan, kurasa dialah yang bertarung melawan orang-orang kapal yang mati di bawah kita ini "
Jaka Bego berdiri lagi, Huang Pai tidak berani. Dengan berdiri pandangan mata tidak terganggu rimbunan daun di sebelah sana. Dengan berdiri Jaka Bego bisa melihat gerakan silat Ludiro yang menyambar lawannya dengan lecutan Cambuk Naga.
"Eh, itu dia Chang Hu. Ia memberi aba-aba dari perahu kecil. Agaknya kaki Chang Hu terluka dan tak dapat dipakai untuk berdiri."
"Seingat saya," kata Huang Pai.
"Kaki Chang Hu memang terkena kutukan Tuan Dewa sehingga benarbenar patah."
"Hah...? Aku mengutuk begitu kepadanya?"
"Iya! Bahkan saya pun pernah Anda kutuk. Satu di antaranya tentang kerontokan gigi saya ini, Tuan Dewa "
"Astaga ! Aku tidak ingat lagi kok, ya?" Jaka Bego terbengong memandang tiga gigi atas Huang Pai patah semua.
Tiba-tiba ia harus merunduk, karena angin bertiup cukup kencang. Makin lama semakin kencang dan bunyi desau angin menggaung mirip suara lebah sejuta. Ada apa ini? Semakin lama semakin jelas hembusan angin menjadi badai yang mengamuk. Tapi suara letusan dari Cambuk Naga masih terdengar samarsamar. Suara teriakan semakin banyak dan gaduh. Ombak bergolak sangat ganas. Jaka Bego berusaha berdiri lagi memandang ke tempat pertempuran Ludiro. Oh, ternyata pada saat itu Ludiro sedang memutarmutarkan cambuknya di udara. Sementara itu, orangorang kapal berusaha melarikan diri dengan sekoci menuju kapal induk yang dari pucuk pohon kelapa terlihat kecil itu.
"Huang Pai... teman-temanmu melarikan diri menuju kapal induk, dan menggunakan kapal kecil untuk ke sana."
"Itu siasat tempur Chang Hu. Jika keadaan tidak memungkinkan lebih baik mundur untuk menyerang kembali di lain waktu dan kesempatan yang berbeda."
"Uaah...! Mereka berjumpalitan. Lihat, ombak melemparkan perahu kecil yang mereka naiki. Iih ombak begitu ganasnya mengamuk. Lihat, Huang Pai...
air laut bagai dituangkan ke sana-sini dan... dan astaga kapal induk itu terbalik!"
"Hah...?! Kapal induk terbalik? Maksudnya kapal yang dipakai buat menawan Anda kemarin?"
"Iya...! Sini berdirilah... biar kelihatan jelas "
Huang Pai takut, namun penasaran. Akhirnya ia nekad berdiri dengan berpegangan pada tubuh Jaka Bego. Dan ia pun terbengong melihat lautan bergelora, badai mengamuk, membuat ombak lautan seperti lidah-lidah raksasa hendak menelan bumi. Deburannya sangat keras mengerikan. Kapal yang dikuasai oleh Laksamana Chou itu terbalik, kemudian kembali seperti posisi semula, dan... malahan kini terlempar ke belakang, lalu diam tengkurap bagai bangkai kapal yang naas.
"Gila! Bisa segini hebat kekuatan Cambuk Naga?!" gumam Jaka Bego.
"Dengan hanya diputar-putar saja sudah mendatangkan badai sebegini hebatnya, apalagi kalau sampai mengenai benda apapun, pasti benda itu akan hancur menjadi serbuk yang halus Wah, jurus apa itu yang dipakai paman Ludiro, ya? Pintar juga dia. Kuakui sungguh pintar paman Ludiro itu. Kapal sebegitu besar bisa ditunggang-balikkan dengan tanpa menyentuh sedikit pun "
"Jelasnya," sambung Huang Pai.
"Kapal itu telah termakan kutukan Anda, Tuan Dewa. Ia benar-benar disapu badai, seperti yang anda lontarkan tadi malam dalam sebuah kutukan, yaitu pada saat saya terkena anak panah dua kali."
"Oh, jadi aku juga mengutuk begitu?!"
Huang Pai mengangguk sekali pun dalam hatinya heran, mengapa hal itu sampai tidak disadari Jaka Bego. Mungkinkah Jaka Bego pendekar yang lupa ingatan? Mungkinkah karena ia bertarung dalam keadaan tidur sehingga tidak tahu apa yang ia lakukan?
Memang, aneh sosok pemuda kurus kering dan kerempeng itu. Bahkan sewaktu ia turun dari pohon perlahan-lahan, ia tidak sanggup membantu Huang Pai untuk turun ke bawah, padahal semalam ia yang mengangkat tubuh Huang Pai dan membawanya loncat tiga kali hingga sampai di pucuk pohon.
"Paman Ludiro...!" teriaknya ketika ia melihat Ludiro memandang orang-orang kapal yang berserakan di lautan lepas. Badai telah reda, dan banyak mayat mengapung di permukaan air laut. Kayu-kayu pun mengapung, pertanda kapal maupun sekoci itu pecah disabet ombak besar tadi.
"Hei, Jaka Begooo...!" seru Ludiro yang tampak tercengang dalam senyum kegembiraan. Ludiro segera berlari menemui Jaka Bego. Ia menggenggam erat kedua pundak Jaka Bego seraya berkata:
"Kupikir kau telah dibunuh oleh mereka di kapal itu!"
"Belum sempat, Paman. Aku bahkan sempat melarikan diri dengan bantuan salah satu dari orang mereka."
"Ooh... syukur, syukur.... Kalau tahu begitu seharusnya aku tak semarah tadi. Eh, kau di mana tadi? Kau melihat aku bertarung dengan mereka?"
Jaka Bego mengangguk.
"Aku bersembunyi, Paman. Sejak semalam, aku bersembunyi di pucuk pohon kelapa itu...." jawab Jaka Bego menuding pohon tempat persembunyiannya.
"Malahan orang yang menolongku melarikan diri masih di pucuk sana, ia tak berani turun. Takut "
Ludiro menertawakan kata-kata Jaka Bego.
"Kalau begitu, mari kita bantu menurunkan dia " kata Ludiro. Sambil berjalan ke arah pohon kelapa yang masih dihuni Huang Pai, Ludiro berkata kepada Jaka Bego:
"Habis ini kita ke Pulau Kramat."
"Pulau Kramat?!" Jaka Bego merasa heran dan masih asing nama itu bagi telinganya.
"Kenapa harus ke sana?"
"Bunga Teratai Wingit dicuri orang."
"Hah...?! Dicuri orang?! Siapa yang mencurinya?"
"Itu yang sedang diselidiki Lanangseta. Ada kabar yang mengatakan bahwa bunga itu dibawa pencurinya ke Pulau Kramat."
"Jadi...? Jadi Lanangseta sampai sekarang belum menikah dengan putri Bukit Badai?"
"Pernikahannya terpaksa tertunda, karena ia harus mendapatkan bunga teratai itu."
"Pernikahan yang tertunda...?" Jaka Bego seperti sedang bicara pada dirinya sendiri. Lalu ia berkata dalam hati, "Mungkinkah itu akibat kutukan ku sewaktu aku diseret-seret Chang Hu dan anak buahnya? Tapi... tapi waktu itu aku melihat Lanang memperhatikan aku dari tempat persembunyian." Jaka Bego terbengong, ia belum tahu bahwa yang memperhatikan dia itu bukan Lanangseta, melainkan adik kembarnya yang bernama Ekayana. Pemuda itu pula yang dicari-cari oleh Laksamana Chou atas tuduhan melarikan putrinya yang bernama Yin Yin.
Kalau begitu, bagaimana nasib putri Laksamana Chou yang bernama Yin Yin itu? Apakah Ekayana yang bergelar Pendekar Maha Pedang itu benar-benar jatuh cinta Kepada Yin Yin? Jadi, bagaimana nasib Andini jika Ekayana bercinta dengan Yin Yin? Dan yang utama lagi... apakah Lanang akan berhasil merebut kembali bunga Teratai Wingit dari Pulau Kramat? Bukankah kata Andini pulau itu kosong. Kalau begitu, siapa orang yang mencuri bunga teratai Wingit itu? Orang yang dibuang oleh pemerintah negeri asal Andini? Bukankah orang itu sudah mati?!
Banyak yang belum terungkap. Namun kutukan Jaka Bego telah banyak yang menjadi kenyataan. Kapal Laksamana Chou disapu badai, kaki Chang Hu patah, perkawinan Lanangseta tertunda, dan apakah Huang Pai akan menjadi saudagar kaya seperti kutukan aneh yang terlontar dari mulut Jaka Bego?

TAMAT



INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA
<< Dendam Darah Tua --oo0oo-- Iblis Pulau Keramat >>
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.