Life is journey not a destinantion ...

Misteri Goa Malaikat

INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA
<< Rahasia Sendang Bangkai --oo0oo-- Gerhana Tebing Neraka >>

LANANGSETA
Pendekar Cambuk Naga
Karya: Barata

--≡¦ { 1 } ¦≡--

PENDEKAR Pusar Bumi, atau Lanang seta, segera mencabut pedangnya setelah tiga utusan Bukit Badai menyerangnya bertubi-tubi dengan senjata kampak panjangnya.
"Sreet..!"Pedang Wisa Kobra keluar dari sarungnya. Terdengar bunyi denging yang datar, namun sangat menyakitkan gendang telinga. Ketiga utusan dari Penguasa Bukit Badai meloncat tinggi, bersalto ke belakang bersama. Salah seorang berseru kepada kedua temannya: "Cari daun, sumbatkan pada telinga kita!"
Gerakan ketiga utusan Bukit Badai itu memang gesit dan cekatan. Sambil tubuhnya kembali ke tanah, tangan mereka sudah berhasil menyambut dedaunan dan segera menyumpal Lubang telinganya. Bunyi denging yang dikeluarkan dari pedang Wisa Kobra berkurang.
"Seraaang...!" salah seorang memberi komando kepada yang lain. Mereka maju serentak dengan gerakan tubuh bagai meluncur mirip peluru. Masing-masing mengacungkan kampak panjang yang menyerupai tombak pendek itu. Ketiganya menyerang Pendekar Pusar Bumi dengan ganasnya.
Tanpa bicara sepatah kata pun, Pendekar Pusar Bumi siap menghadang serangan tiga arah: kiri, kanan dan depan. Ketika kampak panjang berjarak satu hasta dari tubuhnya, ia segera mengibaskan pedang Wisa Kobranya dengan gerakan memutar cepat, tangan keduanya memegangi gagang pedang Wisa Kobra. Kokoh dan gerakannya sangat cepat.
"Trang... trang... trang...!" Dalam satu kali tebasan beruntun itu, kampak panjang terpotong, masing-masing menjadi dua bagian. Tetapi ketiga tubuh yang meluncur itu masih hendak menerjang Lanang seta. Maka segera ia menjatuhkan badan ke tanah, berguling tiga kali dengan cepat. Pada waktu itulah pedang Wisa Kobra diayunkan ke atas dan berhasil merobek ketiga perut lawan.
"Aaakh...!" ketiganya berteriak serempak. Tanpa dikomando lagi, ketiganya kelojotan dalam sekaratnya. Perut mereka robek, isinya berhamburan keluar. Salah seorang ada yang mencoba bertahan, memegang usus dan isi perutnya yang lain, memaksakan diri untuk dapat memasukkan isi perutnya lagi. Namun sebelum pekerjaan itu ia kerjakan dengan baik, nafasnya tersentak-sentak, lalu ia sendiri diam tak berkutik lagi.
Pendekar Pusar Bumi segera memasukkan pedangnya ke sarung pedang yang berada di punggung. Ia berdiri dengan tegap. Memandang ketiga mayat lawannya dengan senyum sinis. Rambutnya yang panjang diikat kulit macan tutul itu masih dipermainkan angin senja. Ia masih tertegun memandangi mayat musuhnya yang dedel duel itu.
Mendadak ia terlempar ke depan, nyaris menjatuhi ketiga mayat itu. Sebuah pukulan jarak jauh begitu hebat menghentakkan punggungnya. Pendekar Pusar Bumi segera membelalakkan mata, menatap dengan garang namun tidak kasar. Ia baru saja berdiri dengan sebelah kaki, ketika tiba-tiba tubuhnya terasa disapu oleh hembusan angin yang sangat kencang, bagai badai yang melanda dan mampu merobohkan gedung sekokoh apa pun.
Pendekar Pusar Bumi terguling-guling tak tentu arah. Kemudian segera menghentakkan salah satu kakinya, dan melejitlah ia ke udara sambil memasang kesigapan. Begitu kakinya kembali menapak ke tanah, ia disambut oleh seribu jarum berwarna hitam yang melesat ke arahnya. Karuan saja pendekar tampan itu melejitkan tubuhnya kembali dengan gerakan tangan terentang dan mengguling ke kiri beberapa kali. Pedang Wisa Kobra segera dicabutnya begitu kakinya menyentuh tanah. Ia bersiap menghadapi serangan gelap.
"Siapa yang pengecut itu? Keluarlah! Mungkin kita butuh berkenalan!" seru Pendekar Pusar Bumi. Kedua tangannya memegangi gagang pedang, siap untuk menebas apa pun yang menyerangnya. Matanya melotot, namun tidak kasar. Tajam, bagai mampu memotong dahan yang dipandangnya. Tapi di balik ketajaman mata itu, tampak suatu genangan bening yang meneduhkan.
Angin senja bertiup lembut. Penyerang gelap yang ditunggu belum mau menampakkan diri. Lanangseta masih menunggu. la sempat terkejut melihat beberapa tanaman yang mendadak menjadi kering karena dihunjam jarum-jarum hitam, yang tadi nyaris menembusi badannya.
"Sobat! Keluarlah kalau kau ingin mengenalku!" seru Lanangseta kembali.
Kemudian dari balik semak belukar yang berduri tajam itu, muncullah sesosok tubuh gemulai. Senyumnya mekar dari bibir yang merah merekah. Ia melangkah bagai tanpa menghiraukan duri menggores kulit tubuhnya yang mulus. Ia amat tenang dipandang Lanangseta dengan mata membelalak dan mulut melongo. Dia bahkan ingin tertawa waktu Lanangseta menurunkan pedangnya yang terangkat dan mengusap lehernya yang berkeringat.
"Kau...? Perempuan...?" Lanangseta terkesima melihat kecantikan perempuan berpakaian serba hijau itu. Rambut panjang perempuan itu ditekuk ke atas, menjadikan satu sanggul yang indah, namun masih bersisa beberapa jengkal bagian ujung rambut itu. Dan sisa rambut itu dibiarkan berjuntai ke bawah dengan lemas, bagai seikat ekor kuda semberani. Perempuan itu sangat anggun. Matanya yang indah dan bening dan bergaris hitam pada tepian kelopaknya itu sangat mengagumkan. Hidungnya mancung, sedikit mencuat ke atas, namun sangat indah. Ia mengenakan giwang bermata merah delima. Juga mengenakan kalung emas berliontin batu zamrud Hijau, bening. Ia mengenakan pakaian potongan lelaki: celana pangsi dari bahan halus berenda benang emas, dan baju lengan panjang terbuat dari bahan yang sama, juga berenda emas di tepiannya. Baju itu tidak dikancingkan, sehingga terlihat kain penutup dada yang berwarna hijau transparan. Ia mengenakan sabuk berukuran empat jari berwarna kuning emas. Di bagian tengahnya terdapat batu-batu kecil berwarna hitam bening.
Lanangseta belum mau berkedip. Rugi berkedip sedetik pun. Jari-jemarinya yang lentik dan indah itu mempunyai kuku-kuku yang bersih. Tidak terlalu panjang, namun bentuk kukunya itu jelas sekali kalau sering dirawat. Sekerat cincin bermata merah delima, sama dengan kalungnya. Cincin itu sangat tipis, namun justru itu yang membuat indahnya lentik jemarinya. Sesekali pandangan Lanangseta tertuju ke cincin, namun lebih sering tertuju ke bagian dada yang berlapis kain tipis, sehingga menampakkan betul lekuk belahan dadanya, dan menampakkan betul permukaan kedua 'bukitnya' itu. Sesekali memang darah Lanangseta berdesir, tapi ia selalu mencoba untuk meredakan sesuatu yang melonjak-lonjak dalam dirinya.
"Siapa kau sebenarnya?" itulah suara Lanangseta setelah mulutnya terasa kelu beberapa saat. Perempuan itu hanya tersenyum tipis. Sangat tipis. Pandangan matanya tertuju pada mayat-mayat yang robek perutnya itu. Ia kelihatan tenang, langkah kakinya amat berwibawa ketika ia memeriksa ketiga mayat itu. Dan waktu ia berpaling kembali memandang Lanangseta, sorotan matanya itu sangat mendesirkan hati yang dipandang. Begitu berwibawa dan mencerminkan ketegasan dan keberaniannya yang luar biasa.
"Ohh... dia begitu anggun dan meng-etarkan," kata Lanangseta di dalam hati.
"Jangan memuji...!" tiba-tiba perempuan bagai bidadari itu berkata dengan suaranya yang amat lembut, enak sekali didengarnya.
"Memuji? Siapa yang memujimu?"
Perempuan itu memandang keadaan sekeliling dengan tenang. Ia juga berkata, "Kau tadi mengatakan aku begitu anggun dan menggetarkan!"
"Gila! Dia bisa mendengar suara batinku," gumam Lanangseta dalam hati. Tiba-tiba perempuan itu berkata dengan sedikit mengangkat alisnya yang tebal tapi teratur rapi.
"Memang. Tapi tidak berarti aku gila, seperti katamu tadi."
"Aku tidak berkata apa-apa," Lanangseta mencoba mengelak. Perempuan itu menyunggingkan senyum tipis, namun justru menambah pesona di wajah ayunya.
"Kau mengatakan aku gila. Kau! heran bahwa aku bisa mendengar suara batinmu." Pendekar Pusar Bumi mendesah lirih, merasa malu. Ia kini percaya bahwa perempuan punya ilmu tinggi itu tak bisa dibohongi. Ia bukan barang mainan yang pantas buat hiburan. Dan... tiba-tiba pada saat itu, perempuan itu berkata lirih, "Cobalah mempermainkan aku kalau kau ingin kehilangan nyawa dan ragamu!"
"Tutuplah telinga hatimu," ujar Lanangseta setelah tertegun beberapa saat ketika perempuan itu ganti memandanginya.
"Jika kau tidak menutup pintu hatimu, aku tidak bisa bicara dengan santai denganmu."
"Kau membutuhkan itu?"
"Ya. Aku ingin bicara dengan santai denganmu. Kita perlu saling kenal. Bukan saling mencurigai dan menyelidiki!"
Sungging senyum sinis yang tipis mekar di ujung bibir. Lagi-lagi Lanangseta mengeluh dan mendesah melihat senyuman yang indah itu......
"Kau telah melanggar memasuki wilayahku. Kau telah membunuh ketiga anak buahku, dan kau.."
"Aku minta maaf. Aku tidak tahu ini wilayah siapa." Lanangseta menyahut dengan cepat. Tangan kanannya masih memegangi pedang. Lalu ia buru-buru menyarungkan pedang itu.
"Kalau kau mau menjelaskan, mungkin aku bisa mempertimbangkan kesalahanku," kata Lanangseta lagi.
"Bukan kau, tapi aku yang harus mempertimbangkan kesalahanmu!" perempuan anggun itu bicara lebih keras lagi.
"Bukit Badai adalah wilayah kami, Ayahku yang menjadi penguasa Bukit Badai ini. Siapa pun tak boleh menginjak wilayah ini, sebab ini wilayah yang
suci."
"Suci?"
"Ya. Bagi kami, ini wilayah yang suci. Sebab di sinilah, nenek moyang kami, yang menurunkan kami selama ini, hilang tanpa jasad, sehingga Bukit Badai ini merupakan makam leluhur kami yang perlu dijaga dan disucikan. Kami tidak mengijinkan setiap orang seenaknya menginjak-injak makam leluhur kami."
"Makam...?" gumam Lanangseta. Ia memandang sekeliling.
"Makam sebesar ini? Ah... ini mengada-ada. Makam masa sebesar bukit begini?!" Perempuan itu berjalan, lebih mendekati Lanangseta. Ia memandang dengan tajam, tak berkedip, tak juga menjemukan diterima Lanangseta.
"Apalagi kau tadi kami lihat keluar dari mulut goa. Itu goa larangan bagi kami. Itu goa keramat, juga suci. Tak seorang pun boleh keluar masuk seenaknya di goa Malaikat itu. Mengerti?!" hardiknya.
"Goa Malaikat?! Yang mana goanya? Aku tadi hanya keluar dari sebuah lorong, semacam lobang sumur yang letaknya miring bagai mulut goa."
"Itulah Goa Malaikat! Jangan kau masuk ke sana lagi!" perempuan itu berkata tegas, sedikit membelalak, dan mata itu semakin indah saja dipandangnya. Lanangseta sempat berdecak kagum. Tangan perempuan itu dengan berani menampar pelan pipi Lanangseta.
"Plak...!"
"Dengar kata-kataku! Jangan berpikiran usil!"
Tamparan itu tidak menyakitkan. Lanangseta merasa tak perlu marah. Hanya saja dia berpikir, bagaimana caranya supaya bisa ditampar lagi seperti tadi. Dan tiba-tiba perempuan itu menamparnya lagi.
"Plaak...!" Lanangseta kaget.
"Eh, betul-betul ditampar lagi?" pikirnya heran.
Lanangseta mengusap pipi yang ditampar. Sedikit menyengat, tapi enak. Dihati berdesir indah. Ada kesan tersendiri dalam dua kali tamparan itu. Lanangseta tersenyum bagai mengucapkan kata terima kasih terhadap kedua tamparan tersebut. Namun, perempuan itu tiba-tiba melangkah pergi tanpa bicara apa pun. Lanangseta mengejar, melompat dan melayang melalui atas kepala perempuan tersebut, dan berdiri di depan perempuan berpakaian hijau muda.
"Ada yang lupa kau katakan," ujar Lanangseta.
Perempuan itu mengerutkan alisnya yang tebal namun berbentuk indah.
"Kau belum menyebutkan namamu," sambung Lanangseta.
"Aku tidak punya nama," jawabnya ketus.
"Jadi bagaimana kalau aku bertemu denganmu dan ingin memanggilmu?"
"Tak perlu memanggil!" sambil berkata begitu, ia melangkah ke arah lain. Lanangseta diam sebentar, lalu mengejarnya lagi.
"Tunggu...!" Perempuan itu tiba-tiba melesat dalam satu gerakan terbang seperti kunang-kunang hendak menghilang. Lanangseta tak mau tinggal diam. Ia ikut melesat dan tahu-tahu sudah berada di depan perempuan itu.
"Aku butuh mengetahui namamu."
"Untuk apa, hah?" ia menghardik. Matanya melebar sedikit.
Lanangseta terkagum sejenak, kemudian menjawab, "Untuk kucocokkan kepada siapa pun yang tahu riwayat Bukit Badai dan Goa Malaikat, apakah benar kau termasuk keturunan leluhur yang kau bilang tadi hilang di sini itu."
"Membosankan!" ucapnya tandas. Kemudian perempuan itu menghentakkan kakinya dan melambung ke atas. Ia sampai di dahan pohon. Memandang Lanangseta sebentar dengan senyum sinis, lalu melayang dari dahan ke dahan. Lanangseta tak mau kalah upaya. Ia juga mampu melesat dan nangkring di dahan yang menjadi sasaran perempuan itu berikutnya. Sehingga, mau tak mau mereka berada dalam satu dahan pohon.
"Apa susahnya hanya menyebut satu nama saja," kata Lanangseta. Perempuan itu tidak menjawab. Melesat lagi bagai seekor burung kutilang yang terbang ke pohon lain. Lanangseta mengejar, dan berhasil dalam satu dahan lagi.
"Kau jangan membuatku marah dalam hati. Sebutkan, siapa namamu!"
"Tanyakan saja pada orang di sekitar sini, atau siapa saja!"
"Aku ingin mendengar dari mulutmu!"
"Brengsek...!!" Perempuan itu menyerang dengan satu pukulan. Lanangseta kaget, dan melayang jatuh begitu tangan perempuan anggun itu menghentak di dadanya. Untung ilmu peringan tubuh dapat digunakan sewaktu-waktu, sehingga Lanangseta tak mengalami cedera begitu jatuh dari atas pohon. Hanya kepalanya sedikit pusing karena terbentur akar pohon yang besar. Ia melihat perempuan itu melesat bagai kilasan cahaya berwarna hijau. Lanangseta penasaran sekali. Segera ia memburunya dengan menggunakan jurus Lindung Bumi. Tubuhnya amblas ke tanah
dan tak terlihat lagi.
Perempuan itu menyangka Lanangseta sudah pergi. Ia segera turun dari dahan-dahan pohon. Lalu berjalan tenang. Namun mendadak ia nyaris terpekik kaget, karena dalam dalam tanah yang ada di depannya itu muncullah Lanangseta dengan terlebih dulu menghamburkan tanah tersebut. Lanangseta menyunggingkan senyum canda ketika melihat perempuan itu terkejut. Wajahnya begitu manis dalam keadaan kaget. Lanang tertawa pelan.
"Cuma ingin tahu nama saja sampai harus begini?"
"Aku tidak punya nama!" hardik perempuan itu.
"Mustahil!"
"Minggir!"
"Sebutkan dulu."
"Minggir...!!" bentaknya lebih keras. Lanangseta menggeleng. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi perempuan itu melancarkan pukulan ke arah dada Lanangseta dengan gerakan sedikit membungkuk, membuat tipuan. Lanangseta terpental ke belakang karena tak sempat menangkis pukulan yang cukup gesit itu. Dalam keadaan limbung begitu, kaki perempuan itu menendangnya kuat-kuat, sehingga Lanangseta memekik tertahan, memegangi perutnya yang mulas.
Perempuan itu membiarkan Lanangseta menyeringai kesakitan. Ia tidak menyerang lagi, tapi melesat dalam satu loncatan yang cepat untuk menghilang. Tapi agak-nya Lanangseta tak mau kehilangan perempuan itu sebelum mendengar siapa namanya. Lanangseta segera menyusul dengan satu loncatan yang tak kalah cepatnya. Ia bersalto beberapa kali di udara sehingga tahu-tahu sudah berdiri di depan perempuan itu. Perempuan itu menghempaskan nafas, penuh kejengkelan. Namun agaknya ia masih mencoba untuk menahan emosinya.
"Keras kepala...!" geram perempuan itu dengan memancarkan pandangan yang tajam meneduhkan, sama dengan pandangan mata Lanangseta. Sebenarnya perempuan itu mengakui kehebatan ilmu Lanangseta, juga mengakui pancaran sinar mata Lanang yang tajam dan meneduhkan. Hanya saja, ia pantang mengungkapkan kata-kata untuk itu semua. .Ia hanya menggeram dalam kejengkelan dan Lanangseta belum mau menyerah.
"Tolong... sebutkan namamu. Aku sangat membutuhkannya." Lanangseta berbicara dengan pelan dan serius. Perempuan itu hanya mendesis.
"Kau sudah punya kekasih. Untuk apa mengenal namaku."
Lanangseta terbengong sesaat.
"Dari mana dia tahu kalau aku sudah mencintai Sekar Pamikat?" pikir Lanangseta, dan tiba-tiba ia membungkam pikirannya sendiri setelah disadari bahwa perempuan itu jago mendengar suara hati orang lain. Buktinya kali ini ia tersenyum sinis.
Pasti dia telah mengetahui pikiran Lanangseta baru saja itu. Karenanya, Lanangseta menjadi punya gagasan untuk memanfaatkan keahlian perempuan anggun itu. Ia berkata di dalam hatinya, "Sebenarnya perempuan ini lebih cantik dari Sekar Pamikat..."
"Ada reaksi yang terlihat di wajah anggun yang cantik itu, yakni seulas senyum tersipu yang sangat tipis. Perempuan itu berusaha menyembunyikan senyuman tipisnya, namun mata Lanangseta lebih tangkas menangkap arti senyuman itu. Kemudian ia berkata dalam hati lagi, "Kalau saja... perempuan ini mau menyebutkan namanya, mungkin aku dapat tergoda dan takut mengigau memanggil-manggil namanya. Wah, bisa kacau kalau sampai didengar Sekar Pamikat..."
Senyum itu semakin nyata, mekar di ujung bibir yang tipis, merekah dan cukup sensual. Lanangseta buru-buru berkata dalam hati, "Ah, sebaiknya kubatalkan saja untuk mengetahui namanya. Baiklah, kutinggalkan saja perempuan ini dari pada nanti jadi runyam segalanya."
"Pentingkah namaku bagi dirimu?" tiba-tiba perempuan itu bertanya demikian. Ia terpancing. Ia menampakkan tanda-tanda sengaja memberikan namanya.
"Tidak," jawab Lanangseta, tetapi dalam hatinya segera berkata, "Mudah-mudahan dia tak jadi menyebutkan namanya."
Perempuan itu mendengar kata hati Lanangseta, lalu ia berkata dengan suara lirih, namun matanya tertuju ke arah lain:
"Namaku..." dia berhenti, agak ragu. Lalu menyambungnya lagi dengan bibir gemetar:"... Kirana Sari..."
Dan seketika itu juga terdengar suatu ledakan di angkasa: "Glegaar...!" Angin bertiup kencang, petir menyambar-nyambar tanpa setetes pun hujan. Langit bagai terbelah oleh nyala api yang menggores tajam. Awan hitam dan putih bergolak. Lanangseta gemetar, memandang ke atas, tertegun pada awan yang bergolak-golak bagai dipermainkan topan dahsyat. Bumi pun terasa bergoncang samar-samar. Nyala merah bagai membakar langit, nyala mmerah itu menjadi setiap terdengar ledakan di langit, di sela-sela gumpalan mega hitam yang mengamuk mengerikan. Tubuh Lanangseta sendiri nyaris tumbang karena tiupan angin yang begitu kuat. Sedangkan Kirana Sari pun terpaksa menundukkan kepala, bagai menahan diri dari hempasan badai yang datang dengan tiba-tiba.
Lanangseta sangat heran dengan kejadian alam yang secara tiba-tiba itu. Ia memandang Kirana Sari, ingin bertanya ada apa sebenarnya sehingga langit menjadi terbakar dan awan hitam menggulung-gulung bagai pusaran pembawa maut.
"Kirana Sari... ada..."
Belum sempat Pendekar Pusar Bumi meneruskan kalimatnya, tiba-tiba goncangan bumi semakin terasa kuat. Pohon tumbang di beberapa tempat. Badai semakin kuat, mengerikan. Gelegar di angkasa benar-benar bagai memecahkan langit. Mendung hitam menyatu dengan awan putih, menjadi satu pusaran maut. Petir semakin merajalela bergerak gila di angkasa. Loncatan api yang menimbulkan suara ledakan semakin bertambah banyak. Lanangseta sempat jatuh terduduk karena dihempas badai setan, yang begitu kuat dan mampu mematahkan batang pohon sebesar 10 pelukan manusia. Gemuruh suara pohon rubuh sangat mengerikan. Kirana Sari hanya diam, menutup mulutnya rapat-rapat, memandang Lanangseta dengan rasa iba. Kemudian ia mengulurkan tangannya kepada Lanangseta yang nyaris terseret badai ke arah selatan. Lanangseta menyambut uluran tangan perempuan anggun itu. Dengan kuat perempuan itu menarik Lanangseta sehingga lelaki tampan itu tak jadi terbawa arus badai. Mereka diam dengan saling berpegangan. Namun sesungguhnya perempuan itulah yang memegangi Lanangseta dan menahannya kuat-kuat agar jangan sampai pemuda yang baru dikenalnya itu terpelanting dan terbawa arus badai yang sangat kencang itu.
Beberapa saat kemudian, amukan alam berhenti. Angin perbukitan menjadi semilir. Namun banyak pepohonan yang rusak total. Bumi bagai habis dilandai gempa yang begitu dahsyat. Lanangseta terbengong-bengong memandang kekacauan itu.
Ia masih dipegangi oleh Kirana Sari. Perempuan itu berbisik lirih, namun bernada jelas dan tegas:
"Tinggalkan Bukit Badai ini, dan jangan sebut lagi namaku."
Lanangseta merasa heran. Ia ingin bicara, tapi tangan Kirana Sari segera menutup mulut yang sudah terlanjur terganga itu.
"Jangan sebut lagi namaku. Ingat itu. Sekali pun kau ada di depanku, jangan sebut namaku."
"Kenapa?"
"Kau telah mengalami akibatnya jika nama itu disebutkan seseorang."
Kerutan dahi Lanangseta semakin tajam.
"Jadi, badai dan petir yang mengamuk tadi akibat dari namamu yang disebutkan?"
Kirana Sari mengangguk.
"Hebat! Tapi gila ini.,.! Gila sekali! Masa menyebutkan nama saja sampai membuat bumi dan seisi alam menjadi berantakan begini?!"
"Kalau kau ingin selamat, jangan sebutkan namaku. Kau tadi telah menyebutkannya setelah aku menyebutkan namaku. Dan kau tahu amukan alam semakin menggila, bukan?" Kirana Sari menjauh, memandang kehancuran beberapa pohon di sekitarnya. Lalu terdengar suaranya yang masih bernada tegas dan berwibawa.
"Itulah sebabnya aku tak pernah menyebutkan namaku kepada siapa pun. Jika keadaan tidak memaksa sekali, aku tak mau memberikan namaku kepada seseorang. Karena nama itu adalah nama yang dipakai oleh leluhurku untuk menghancurkan sebuah pulau beserta gunung-gunungnya di laut selatan. Pulau itu, cukup besar. Lebih besar dari Pulau Jawa ini. Tapi karena dihuni oleh sekelompok orang-orang maksiat, dipimpin oleh seorang ratu yang amat jahat, maka leluhurku menghancurkannya dengan ilmu tersebut, yang kini menjadi namaku. Jadi kuminta, jangan lagi kau sebutkan namaku."
"Jadi, bagaimana jika aku ingin memanggilmu suatu saat nanti?"
"Panggillah di dalam hatimu, aku pasti mendengarnya. Tapi kurasa itu tak perlu, karena kita tak akan bertemu lagi. Kau harus pergi dan jangan kembali lagi kemari!"

* * * * *



--≡¦ { 2 } ¦≡--

ANEHNYA, bukan Lanangseta yang pergi lebih dulu, melainkan Kirana Sari yang melangkah meninggalkan Lanangseta. Sebelumnya ia sempat berkata untuk yang terakhir kalinya: "Pergilah, jangan bertahan! Ilmumu memang hebat, tapi kau tak akan sanggup menghadapi kekuatan kami, orang-orang Bukit Badai ini. Kau telah membunuh tiga anak buahku, kuampuni itu, asal kau cepat pergi dan jangan menginjak makam leluhur kami ini. Bila nanti masih kulihat kau berada di wilayah Bukit Badai, kau akan kubunuh!"
Itulah kata-kata terakhir, sebelum ia melangkah 7 kali, untuk kemudian melesat bagai bayangan sinar hijau. Lanangseta ingin memperpanjang percakapan, tapi benar-benar tak ada kesempatan lagi. Ia mengejarnya, ah... gagal. Perempuan dengan nama Kirana Sari itu hilang bagai ditelan bumi. Lanangseta menyesal. Kecewa sekali. Tapi bekas wajahnya yang anggun, cantik dan menggetarkan hati itu masih melekat dalam benak Lanangseta.
Sambil melangkah menuju mulut goa, tempat ia tadi keluar, Lanangseta bergumam sendiri dalam hati, menyebut-nyebut nama Kirana Sari yang unik, tapi mengagumkan. Sesekali Lanangseta ingin mencoba menyebutkan nama itu lewat mulutnya, tapi ia membatalkan niat itu, ia tak ingin memancing kemarahan Kirana Sari, yang menurutnya bisa-bisa akan membunuhnya dengan sadis. Dalam hati pula, Lanangseta mengakui kehebatan ilmu dan tenaga dalam yang dimiliki Kirana Sari. Ilmu yang langka dan memukau lawan. Tapi, bagaimanapun ia tak yakin kalau ia dapat dikalahkan Kirana Sari.
"Aneh..." gumamnya sendirian.
"Padahal tujuanku keluar dari goa untuk mencari kemungkinan membawa Ekayana yang terluka di punggung itu, tapi kenapa justru terbuai oleh kehebatan Ki... eh, tak jadi. Kehebatan dia, maksudku," Lanangseta tertawa sendiri, karena ia nyaris menyebutkan nama Kirana Sari lewat mulutnya. Untung ia segera ingat. Goa yang dikatakan sebagai Goa Malaikat itu bermulut kecil. Menyerupai mulut sumur dalam posisi miring. Lanangseta keluarnya saja hams merangkak, demikian juga masuknya kembali. Apapun yang dikatakan Kirana tadi, ia sama sekali tidak percaya.
"Ini bukan goa! Apalagi dikatakan goa suci, uuh... ngibul!" Ia bicara sendiri sambil merangkak masuk mulut goa.
Beberapa saat kemudian ia mencapai tempat yang luas. Ia berdiri. Langit-langit goa hampir menyentuh rambut kepalanya. Ia melangkah, lebih ke dalam lebih lebar dan lebih tinggi langit-langitnya. Sinar matahari masih sempat menerangi bagian dalam goa yang sudah selebar balairung. Memang cahayanya remang-remang, tapi Lanangseta hapal ke arah mana ia tadi meningalkan adik kembarnya: Ekayana yang terluka bersama teman-teman lainnya. Kalau saja Ekayana tidak terluka akibat pedang beracun orang Sendang Bangkai (dalam kisah Rahasia Sendang Bangkai), mungkin ia tak perlu repot-repot keluar dari goa dulu. Mungkin ia lebih baik beristirahat dulu di dalam goa bersama teman-temannya dan kekasihnya: Sekar Pamikat atau si Dewi Cambuk Naga itu. Tetapi, agaknya keadaan tidak memungkinkan. Ia harus segera membawa keluar Ekayana, adik kembarnya itu, membawanya pulang ke Pesanggrahan Cendana Manik untuk meminta pengobatan dari ayahnya yang telah lanjut usia itu. Jalanan di dalam goa terpecah menjadi dua arah, ke kiri dan ke kanan. Lanangseta ingat, tadi ia meninggalkan Ekayana dan yang lainnya di lorong yang kiri. Maka, ia pun melangkah ke lorong yang kiri. Tapi beberapa langkah kemudian, ia berhenti dengan terheran-heran.
"Buntu?! Ah, kok jadi buntu begini? Rasa-rasanya tadi lorong ini amat panjang dan aku meninggalkan saudara kembarku di pertengahan lorong ini. Tapi sekarang... baru beberapa langkah dari persimpangan lorong, kenapa sudah jadi buntu begini?!"
Lanangseta yang dikenal dengan nama Pendekar Pusar Bumi itu masih tertegun beberapa saat. Lalu ia memeriksa dinding yang seakan membatasi dan menutup lorong itu. Oh, ternyata dinding tersebut berlumut, lembab dan kekar.
"Ini bukan ciptaan baru. Ini memang sudah lama. Jadi bukannya ada orang usil menutup jalan ini, tapi memang aku yang tersasar arah..." Lalu ia meninggalkan lorong itu.
Pendekar Pusar Bumi berbalik arah. Ia tiba di persimpangan lorong. Cahaya matahari menyinar temaram dari mulut goa yang kecil itu. Ia segera menuju ke lorong kanan. Dengan hati-hati ia melangkah dan meneliti keadaan sekitarnya dengan pan-danganmata sebisa-bisanya. Tetapi ia kembali ternenti, karena lorong itu bahkan lebih pendek dari yang kiri tadi. Ia tak dapat melanjutkan ke mana-mana. Ia terbengong dan clingak-clinguk keheranan.
"Apakah aku salah masuk?" pikirnya.
"Tapi mana mungkin aku salah masuk? Tadi aku keluar dari sini. Jelas persimpangan lorong yang berbatu pada ujungnya itu kuingat betul. Dan waktu aku keluar, aku dengan merangkak ke mulut goa itu yang semakin sempit. Juga begitu keluar, aku menghadap pada sebuah pohon besar yang berakar mirip dinding sebuah rumah. Dan kalau sekarang aku keluar lagi, maka aku tetap akan menghadap ke arah pohon itu. Tapi... kenapa jalan lorong keduanya menjadi buntu?" Lanangseta melangkah. Matanya mengawasi dengan cermat apa saja yang ada di samping kanan-kirinya. Ia mendesah, tak ada jalan lain. Hanya ada dua lorong itu, tapi semuanya buntu.
"Gila!" geramnya. Ia kembali ke lorong kiri, meneliti dinding yang seakan menjadi penghalang lorong itu. Ia memukul-mukulnya, tapi dinding itu tetap kokoh. Padat berisi, bukan berongga di dalamnya. Berarti memang tidak ada jalan di balik dinding tersebut. 
"Lantas aku tadi keluar dari mana? Apakah ada mulut goa lainnya yang sama dengan mulut goa ini? Apakah aku memang sudah salah masuk?" Lanangseta merayap kembali keluar dari mulut goa. Dia tak jadi memberitahukan kepada teman-temannya bahwa di situ ada tempat untuk keluar dari goa. Ia masih merasa perlu untuk meneliti keadaan sekitarnya, kalau-kalau ada mulut goa yang lain, yang sama dengan goa tersebut. Waktu itu, Matahari sudah mulai terbenam. Sebentar lagi akan menghilang dari permukaan bumi. Lanangseta bergerak lebih cepat meneliti keadaan sekitar mulut goa. Beberapa saat kemudian, ia menghempaskan nafas panjang.
"Aaah... memang tak ada lobang lain kecuali mulut goa itu. Aku tidak salah masuk. Tapi mengapa kedua lorongnya menjadi buntu?! Mengapa?!" Lanangseta jengkel sendiri. Ia segera masuk lagi ke dalam mulut goa yang kecil itu dengan merangkak. Ia memeriksa sekali lagi kedua lorong tersebut, oh... masih tetap buntu.
"Aneh...!" gumamnya. Ia duduk di lantai goa yang lembab. Otaknya pusing memikirkan keanehan tersebut atau memang kekeliruan yang belum disadari. Yang jelas, suatu keanehan telah terjadi pada saat itu.
Mulut goa itu tiba-tiba tertutup sendiri. Mulanya ada suara gemuruh, kemudian Lanangseta berlari ke mulut goa. Dan ia melihat mulut goa itu telah penuh dengan bebatuan serta tanah panas. Ia mencoba merayap untuk mencegah timbunan bebatuan itu, tapi gagal. Goa telah tertutup rapat dan batuan yang menimbunnya bagai mencair, lengket, lalu mengeras. Tak bergeming sedikit pun walau dipukul kuat-kuat.
"Setan...! Ini pasti perbuatan Kirana,"u capnya dalam hati. Lanangseta menggeram gemas. Ia kembali mundur dan mencapai permukaan goa yang lebar. Ia berdiri dalam gelap pekat tanpa seberkas sinar pun. Hatinya sangat dongkol, dan ia segera mencabut pedang Wisa Kobranya yang bergagang kepala ular kobra.
Ia mulai merayap lagi ke arah mulut goa, lalu dengan sebisa-bisanya, dalam posisi merangkak begitu, ia menghunjamkan pedang Wisa Kobra ke arah bebatuan yang menutup mulut goa.
"Prak... prak...!"
Bebatuan masih utuh. Lecet pun tidak, mungkin. Gelap. Tak tahu batuan itu lecet atau tidak, yang jelas pada saat itu Pendekar Pusar Bumi merasa tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Pedangnya yang kesohor dapat memotong gunung, ternyata tak berkutik dan tak berfungsi sedikit pun. Pedang itu bagai tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi.
"Celaka..,!" gerutunya. Ia mencoba sekali lagi untuk membobol penutup goa dengan pedangnya, namun yang terjadi hanya kilatan cahaya yang gemercik. Batuan itu tetap kokoh, padat. Tak bergerak sedikit pun.
Gelap begitu pekat. Lanangseta tak dapat melihat. Ia duduk bersandar pada salah satu dinding goa. Ia memikirkan jalan keluar bagi dirinya sendiri. Bagaimana ia dapat menolong Ekayana dan yang lainnya kalau dirinya sendiri terkurung dalam kegelapan yang membosankan itu? Tiba-tiba timbul gagasan untuk menggunakan ilmu Wiwaha Moksa yang selama ini menjadi andalannya. Ia segera bangkit, merenggangkan kedua kaki, menghadap pintu goa yang telah tertutup.
Lalu tangannya kedua-duanya mengeras, mengumpulkan tenaga di telapak tangan. Dalam satu konsentrasi yang tinggi, ia berseru "Wiwaha Moksaaa...!" seraya menggerakkan tangan ke depan.
"Blaar...!"
Kilatan cahaya hijau bening tersebar dari kedua tangannya yang terbuka ke depan. Kilatan cahaya bening itu mengenai bebatuan yang menjadi penutup! mulut goa. Tapi, bebatuan itu tidak bergerak sedikit pun. Masih tetap kokoh dan padat menutup mulut goa. Sekali lagi ia mencoba dan mencobanya terus, tapi tak pernah tercapai. Tubuhnya menjadi lemas, terlalu lelah. Ia tak ingin mencoba lagi, paling tidak untuk waktu dekat ini. Ia biarkan dirinya duduk dan bersandar sambil memikirkan cara lain untuk dapat keluar dari mulut goa itu.
Sementara itu, di tempat lain, Andini mengisak dalam tangisnya. Hatinya merasa bingung dan sedih melihat Ekayana, kekasihnya tak dapat bergerak. Tubuhnya semula lemas, lalu menjadi kaku sekujur tubuh. Ia hanya dapat menggerakkan bola matanya dan berkedip-kedip. Ia tak dapat bicara apapun. Tubuhnya telungkup di tanah dengan berlembarkan baju Gopo.
"Sudah sejauh ini, Lanangseta belum muncul juga," gumam Sekar Pamikat dalam kegelisahannya. Ia ikut memandang iba kepada keadaan Ekayana atau Pendekar Maha Pedang yang bagai sebatang gedebong pisang tergeletak di tanah. Luka di punggung makin memborok, mengobarkan bau busuk.
"Sama seperti kisahku dulu," gumam Ludiro, pengawal setia dari Sekar Pamikat.
"Sebentar lagi pasti punggung ini akan menjadi busuk seluruhnya. Kemudian tubuh dan kepalanya juga akan menjadi busuk."
"Dan dia akan mati?" Gopo menyahut dalam bentuk pertanyaan. Ludiro mau menjawab yang sesungguhnya, namun Andini telah berseru lebih dulu:
"Tidak! Dia tidak akan mati!"
Gopo yang bertubuh tinggi, besar bagai raksasa itu nyaris terlonjak kaget. Andini, gadis manja itu, dengan berani berdiri menghadap Gopo dan berkata, "Kalau dia mati, kau juga harus ikut mati!"
"Apa urusannya?" Gopo bersungut sungut.
"Kau yang menggendongnya dari Sendang Bangkai tadi! Dan mungkin akibat kau membawanya lari tanpa hati-hati, lalu tubuhnya terbanting-banting di pundakmu, membuat lukanya menjadi lebar dan memborok begini!"
"Enak saja! Bukannya berterima kasih, malah menyalahkan!" Gopo melengos sambil bersungut-sungut.
"Aku tidak sudi berterimakasih sama kamu!"
"Dasar, bawel!" bentak Gopo dengan geram.
Andini jengkel sekali, ia segera menendang Gopo dengan satu kaki. Akibatnya dia sendiri yang jatuh terjungkal ke belakang.
"Biadab...!" seru Andini yang manja. Ia bergegas bangkit dan hendak menyerang Gopo.
Tapi Sekar Pamikat menengahi perselisihan itu, lalu berkata dengan tegas di depan Andini:
"Kemanjaanmu dan kepicikanmu tidak akan menyelesaikan masalah ini, Andini." Andini meredakan emosi. Kepada Sekar Pamikat, ia memang sangat sungkan. Ia menghargai Sekar Pamikat, sekali pun ia sebenarnya mampu melawan Sekar Pamikat, tapi itu tidak diinginkan.
Kepada Sekar Pamikat ia lebih banyak menampakkan kemanjaannya:
"Ekayana kekasihku, dia sakit begitu. Lantas apakah aku tidak boleh bersedih dan panik?"
"Bersedih yang wajar-wajar saja. Bersedih dengan emosi itu namanya kepicikan. Dan kepicikan seorang manusia dapat membunuh dirinya sendiri dari dalam. Percayalah, mati di tangan musuh itu lebih enak dari pada mati karena kepicikannya sendiri."
"Bagaimana kalau saya pergi menyusul Pendekar Pusar Bumi, Putri?" tanya Ludiro yang agaknya bosan dengan perselisihan Andini yang manja itu.
"Jangan kamu, Paman..." Sekar Pamikat memperhatikan luka sabetan pedang beracun itu. Ah, mengenaskan sekali. Jijik, dan ngeri. Luka itu sepanjang satu jengkal, tapi mempunyai lobang yang menguak mengobarkan bau busuk. Darah masih membasah dan bercampur dengan lendir yang menjijikan. Sekar Pamikat sempat bertanya kepada Ludiro.
"Apakah, dulu kau pun terluka begini parah, Paman?"
"Ya. Seperti yang pernah saya ceritakan, luka akibat goresan pedang beracun itu membuat lengan saya menjadi busuk, dan saya tak dapat bergerak apa-apa. Tapi, waktu itu ada tetesan darah dari atas pohon, dan ternyata tetasan darah Andini yang terluka karena senjata rahasia saya. Darah itulah yang menawarkan racun, bahkan membuat kering luka-luka itu dengan sangat ajaib." (dalam kisah Rahasia Sendang Bangkai). Mendengar penuturan Ludiro itu, Andini segera mencabut golok milik Gopo, lalu menggoreskan pada lengannya.
"Andini...!!" seru Gopo yang membuat Andini tergerak kaget akibat suara Gopo itu. Tapi ia nekad mengiris lengannya sendiri. Setelah lengannya berdarah, ia teteskan darah itu padaluka di punggung Pendekar Maha Pedang.
"Tolol...!" gerutu Gopo yang segera mengambil goloknya kembali, yang tadi dilemparkan begitu saja oleh Andini.
Ternyata, setelah ditunggu beberapa lama, luka di punggung Ekayana masih saja ternganga dan membusuk. Darah Andini tidak dapat menetralisir racun yang mengganas di daging tubuh Ekayana. Andini sendiri telah dibalut lengannya oleh Sekar Pamikat memakai sobekan kain baju Andini sendiri.
"Kau lihat, betapa kepicikan itu dapat mencelakakan diri sendiri, bukan? Kau gegabah, tidak memakai perhitungan, main iris lengan begitu saja. Nyatanya, luka kekasihmu tidak sembuh, dan kau telah terlanjur terluka."
"Kalau begitu," Andini bersungut-sungut seperti anak kecil, "Ludiro bohong! Dia bukan sembuh dari darahku!"
"Tidak. Aku tidak bohong!" bantah Ludiro.
"Lalu, kenapa luka di tubuh Ekayana tidak sembuh seperti luka-lukamu dulu? Padahal borok itu juga telah terkena tetesan darahku."
Sekar Pamikat selesai mengikat luka Andini yang memang tidak berbahaya itu. Ia bicara sambil memeriksa mata Ekayana yang ternyata masih bisa berkedip.
"Dulu, yang terluka paman Ludiro. Lalu terkena tetesan darahmu. Darahmu itu akibat luka terkena senjata rahasia milik paman Ludiro. Senjata itu beracun juga. Jadi, darahmu waktu itu bercampur dengan racun milik paman Ludiro. Sedangkan di tubuh paman sendiri, racun itu sudah membaur dengan darah dagingnya. Jadi, ketika ia terkena tetesan darahmu yang mengandung racun senjata paman Ludiro itu, membuat suatu bentuk cairan lain yang mampu menawarkan luka-luka di tubuh paman. Berbeda keadaannya dengan luka yang sekarang diderita Ekayana ini..." tutur Sekar Pamikat menjelaskan kepada 'anak kecil.' "Tapi... saya perhatikan dari tadi, perkembangan luka ini tidak seganas waktu saya dulu, Putri. Dulu, saya dalam waktu yang sangat singkat, borok itu telah menjalar di sekujur lengan. Tetapi sekarang, luka ini tidak begitu cepat menjalarnya. Lamban, walau memang makin melebar..."
Memang, sekarang kenyataan itu diketahui betul oleh Ludiro. Borok di punggung Ekayana memang melebar, tapi tidak sepesat luka-lukanya dulu. Namun demikian, luka tersebut jelas tetap berbahaya. Jika terlambat tanpa pengobatan, tidak mustahil lagi jika seluruh tubuh Ekayana akan memborok dan membusuk semua. Inilah yang dicemaskan mereka. Hampir setiap orang telah mencoba dengan saranya sendiri untuk mengobati luka tersebut, tapi tak ada yang berhasil. Luka itu cukup aneh dan mengerikan.
Karenanya rencana mereka semula adalah membawa Ekayana pulang ke Pesanggrahan Cendana Manik, dan menyerahkan luka itu kepada ayahnya yang juga ayah Lanangseta. Tetapi ternyata lorong goa itu cukup panjang dan berliku-liku, sehingga untuk memperingan beban, mereka beristirahat dulu beberapa saat, sementara Lanangseta mencari jalan menuju luar goa.
Mereka tidak tahu apa yang telah dialami oleh Lanangseta saat itu.
Penantian membuat kejenuhan dan semakin menegangkan saja rasanya. Sekar Pamikat akhirnya berangkat atas persetujuan yang lainnya, untuk mencari jalan menuju luar goa.
"Jika Lanangseta datang, suruh dia menungguku, jangan menyusul. Nanti malahan kacau lagi," pesan Sekar Pamikat. Ludiro yang menerima pesan itu mengangguk dengan perasaan kesal mengapa bukan dia yang ditugaskan mencari lobang keluar atau mencari Lanangseta sekalian. Tapi, pikirannya segera tenang setelah ia menemukan tendensi dari kepergian Sekar Pamikat. Barangkali gadis cantik kekasih Lanangseta itu tidak tahan terhadap bau busuk dari luka itu. Atau bisa jadi karena ia ingin menemui Lanangseta di suatu tempat yang sepi, yang cuma milik mereka berdua dengan sejuta kemesraan dan rindunya? Sebab itu, Ludiro segera membuang kekesalan hatinya.
Tapi, dapatkah Ludiro membuang kekesalan hatinya akibat ulah kemanjaan Andini dengan kekasaran Gopo? Seperti yang dihadapi saat ini, Andini membentak-bentak Gopo karena tak mau menghapus darah yang meleleh di kanan kiri punggung Ekayana.
"Aku jijik dengan darah begituan!" kata Gopo.
"Sombong!" ketus Andini.
"Begitu saja jijik, tapi sama dirinya sendiri yang seperti itu tidak jijik."
Gopo menggeram.
"Jangan keterlaluan bicara denganku, ya?!"
"Nyatanya kamu memang sok bersih!" debat Andini.
"Kenapa tidak kau sendiri yang membersihkan darah membusuk itu? Kenapa harus aku? Kamu kan yang menjadi kekasihnya. Harusnya kamulah yang membersihkan darah itu, sebagai tanda kesetiaan kepada kekasih! Tolol!"
"Aku geli! Aku tak tega!"
"Sama saja! Aku juga begitu! Goblok...!"
Sekar Pamikat tak tahu, bahwa seperginya dari mereka, Andini berkelahi dengan Gopo gara-gara jijik dan geli. Gopo diserang dengan suatu pukulan jarak jauh. Lelaki bertubuh besar seperti raksasa brewok itu terpental beberapa langkah dari tempatnya. Gopo marah. Ia berteriak keras, mengeluarkan tenaga dalamnya yang dapat disalurkan dari suara. Hal itu membuat Andini bagai ditabrak banteng lewat. Ia terguling-guling dan jatuh menindih Ludiro yang sedang berusaha bangkit akibat hempasan suara dan nafas Gopo.
"Kau memang perlu dihajar, Gopo...! Hiaaaat...!"
Ludiro menendang tangan Andini hingga Andini menyeringai merasa kesemutan. Ludiro berdiri di depan Andini ketika Gopo maju hendak menyerang Andini. Melihat Ludiro berdiri dan bertolak pinggang, Gopo menjadi tak enak. Ia berhenti. Andini semakin bandel, ingin menyerang. Tapi dengan satu gerakan kaki Ludiro yang melintang, Andini jatuh tersungkur.
"Kita di sini hanya empat orang. Satu terluka, jangan membuat yang tiga menjadi gila!" bentak Ludiro yang bertubuh agak pendek dari Andini, tapi kelihatan berotot.
"Untuk apa kalian saling berselisih? Untuk disebut sebagai jago? Untuk dikatakan paling unggul?"
Andini cemberut sewaktu dipandang Ludiro, ia buang muka. Dan Gopo sudah sejak tadi berjalan pelan, menjauhi Ludiro. Tapi Ludiro masih kelihatan kesal.
"Bodoh, sekali tempo boleh-boleh saja. Tapi jangan dipelihara sepanjang masa," Ludiro berkata kepada Andini.
"Dia yang kelewatan!" bantah Andini.
"Semua kelewatan! Termasuk goa ini! Ini goa apa sampai-sampai mau keluar saja kita kebingungan? Iya, kan?"
"Kurasa ini goa tempat kita menemukan lumut bercahaya dulu," ujar Gopo dari kejauhan.
"Bukan! Aku dapat merasakan hawanya lain," kata Ludiro.
"Gopo melangkah, makin lama makin jauh menyusuri lorong. Ludiro segera berseru: "Mau ke mana kau, Gopo?"
"Aku mau mencari lumut bercahaya. Aku akan memakannya supaya tubuhku menjadi kebal, seperti tubuhmu, Ludiro!"
"Kembali!" bentak Andini.
Gopo hanya berpaling sebentar, kemudian melangkah lagi. Pungggungnya yang tanpa baju terlihat bagai menutup pemandangan lorong. Ia melangkah tanpa peduli Andini berseru kepadanya dan meminta ia kembali. Ia sudah dibuai oleh khayalan lumut bercahaya yang dulu pernah mereka temukan, tapi mereka mengiranya tanaman beracun.
Nyala api dari ikat pinggang yang dibakar masih menerangi suasana dalam lorong goa itu. Letaknya memang sedikit jauh dari tubuh Ekayana yang telungkup di tanah, tetapi Ludiro baru menyadarinya bahwa nyala api itu tidak kunjung padam dari tadi. Padahal hanya sebuah ikat pinggang kecil milik Ekayana yang dibakar, namun nyalanya bagai abadi, tak kan kunjung padam. Aneh. Dan baru disadari oleh Ludiro bahwa goa itu pasti menyimpan banyak keanehan. Cukup misterius.
Ya, memang misterius. Sekar Pamikat pun mengatakan dalam hatinya demikian. Sebab ketika ia patah semangat mencari Lanangseta dan mencari mulut goa, ia ingin kembali kepada teman-temannya, tempat di mana mereka semua berkumpul. Anehnya, ia merasa tersesat beberapa kali, dan akhirnya kebingungan. Ada beberapa lorong dan persimpangannya, tapi ia tidak menemukan di mana jalan yang menuju tempat teman-temannya berkumpul. Ia sudah mencobanya berputar-putar mencari jalan menuju teman-temannya, tetapi rasanya ia hanya berjalan dari masa ke masa, berjalan dari tempat satu ke tempat lain. Ia berjalan terus tanpa menemukan kebun-tuan, tapi juga tidak sampai pada tujuan.
"Misterius sekali goa ini," pikirnya. Matanya yang sudah terbiasa dalam gelap itu mencoba mencari setitik sinar, yaitu sinar api yang ada di antara teman-temannya. Namun setitik sinar itu tidak ia peroleh. Gelap, remang. Itu saja. Dan anehnya, sejak tadi ia juga tidak berjumpa dengan mahluk apapun; binatang, tanaman, manusia, hantu... tidak ada!
Hanya saja, tahu-tahu ia menemukan tangga menuju ke bawah. Tangga batu berlapis-lapis, dan lebarnya sekitar tiga tom-bak.
"Ada ruangan di bawah sana. Sayang gelap..." pikir Sekar Pamikat. Ia mau turun, tapi masih bimbang. Mungkinkah di bawah sana ada Lanangseta, kekasihnya?

* * * * *



--≡¦ { 3 } ¦≡--

LANANGSETA yang terkurung di persimpangan lorong itu ternyata telah tertidur beberapa saat lamanya. Ketika ia bangun, ia merasakan badannya amat segar. Tapi keadaan di sekitarnya masih gelap pekat. Pedang masih tergenggam di tangan kirinya, sementara itu tangan kanannya mencoba meraba kalau-kalau sesuatu ada di depannya. Ternyata kosong. Ia tetap sendirian.
Sekarang benak dan otaknya bekerja keras, bagaimana caranya untuk dapat lolos dari kurungan memuakkan itu. Ia sedang berpikir, ketika tahu-tahu pintu goa bermulut kecil yang tertutup bebatuan padat itu bergerak. Ada suara gemuruh terdengar samar-samar. Lanangseta segera lari dan berhenti di hadapan pintu goa yang tertutup. Suara gemuruh itu makin lama semakin panjang dan membuat pintu goa tersebut bergerak nyata. Membuka sedikit. Ada sinar masuk, sinar matahari.
Oh ternyata hari sudah pagi.
Namun mulut Lanangseta masih ternganga bengong. Bebatuan yang tadi menutup jalan ke luar dari goa itu bagai sedang dihisap sesuatu dari dalam tanah. Perlahan-lahan bebatuan yang tak mampu ditembus pedang Wisa Kobra itu bergerak turun. Semakin lebar celah sinar masuk, semakin nyata keadaan di luar, dan kini bebatuan tersebut telah lenyap ke dasar bumi. Pintu goa terbuka lebar, tapi tetap selebar kemarin, yaitu selebar mulut su-mur. Sinar terang masuk. Lanangseta tersenyum lega. Di ufuk sana, terlihat matahari muncul dari balik cakrawala. Tubuh Lanangseta bagaikan mandi cahaya matahari pagi. Mendadak ia termenung dan manggut-manggut.
"Sekarang aku tahu, Jelas sudah. Pintu goa itu akan tertutup jika tak ada sinar matahari sama sekali. Tapi akan terbuka jika ada sinar matahari walau hanya setitik," gumamnya sendirian. Ia masih manggut-manggut kagum.
Sinar matahari menembus permukaan dinding yang ada pada lorong kiri. Lanangseta terkejut melihat dinding itu pun bagai tenggelam ke bawah, seakan ada yang menyedotnya dari dalam tanah. Makin lama makin rendah, lalu rata dengan tanah, bahkan tidak terlihat lagi bagian atasnya. Lalu terlihatlah jalan lorong tempat Lanangseta datang dari mulanya. Lorong itulah yang akan membawanya menemui teman-temannya, Gopo, Ludiro, Andini, Ekayana dan Sekar Pamikat kekasihnya.
"O, oh... pantas aku sempat kebingungan. Ternyata kemarin sore jalanan itu telah tertutup sendiri akibat matahari telah condong ke barat dan ia tak dapat sinarnya. Jadi, jika tak memperoleh sinar matahari, maka ia akan menutup sendiri. Tetapi jika ada sinar matahari menembusnya, dinding itu akan bergerak sendiri, tidak menjadi penghalang jalan menuju lorong itu lagi. O, o, oh... pantas, pantas!"
Pendekar Pusar Bumi yang baru memahami sedikit rahasia goa ini, merasa terheran-heran bukan kepalang. Kini ia segera pergi menyusuri lorong yang akan membawanya ke tempat Ekayana. Dalam beberapa saat saja, dia telah bertemu dengan Ludiro.
Ludiro menjelaskan apa adanya ten-tang kepergian Sekar Pamikat dan Gopo yang sejak tadi belum kembali juga. Lanangseta mendesah kesal.
"Lanangseta...? Ke mana saja Anda pergi?" tegur Ludiro bernada menyalahkan Lanangseta. Lalu, Lanangseta menjelaskan pengalamannya secara singkat.
Andini mendekat.dan berkata, "Lukanya semakin busuk..."
Lanangseta mendesah setelah ia tahu luka di punggung Ekayana benar-benar busuk dan mengeluarkan belatung. Tetapi luka itu tidak mengganas seperti yang dialami Ludiro. Memang menjadi lebar, tapi cukup lamban. Hanya beberapa jarum saja luka itu melebar ke kanan-kiri dan sekitarnya. Hal itu menurut Ludiro karena Ekayana mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa. Coba kalau ketahanan tubuh Ekayana seperti ketahanan tubuhnya yang lemah pada waktu itu, tentu saja luka yang memborok itu akan cepat melebar seluruh badan.
"Angkat Ekayana... aku menemukan jalan ke luar," ujar Lanangseta dengan tegas.
"Tetapi, bagaimana dengan Sekar...?" kata Andini. Lanangseta bagai disengat batang hidungnya. Ia teringat Sekar Pamikat kekasihnya itu.
"Kemana dia?"
Ludiro menjelaskan apa adanya tentang kepergian Sekar Pamikat dan Gopo yang sejak tadi belum kembali juga. Lanangseta mendesah kesal.
"Brengsek! Dia memang suka bikin peraturan sendiri! Dia tidak tahu kalau goa ini mempunyai banyak rahasia, dan menyimpan banyak misteri. Hah...! Kemana arah perginya tadi?" Lanangseta kelihatan jengkel terpendam.
"Gopo ke sana," ujar Andini dengan manja seakan anak kecil yang sedang mengadu kepada ayahnya.
"Kalau Sekar ke sana," Andini menunjuk arah yang berlawanan. Lanangseta menjadi amat kesal. Mereka pergi berlainan arah. Padahal jika mereka terlambat ke luar, bisa-bisa mereka terjebak lagi di dalam goa itu.
"Bawa dulu Ekayana ke luar sebelum jebakan itu bekerja kembali," perintahnya kepada Ludiro.
Tubuh agak pendek yang kekar itu mengangkat Ekayana dengan berat dan kerepotan. Akhirnya Lanangseta yang membantu menggotong Ekayana. Mereka berjalan kearah mulut gua.
"Gopo bagaimana?" tanya Andini cemas.
"Bawa dulu Ekayana ke luar, nanti biar kucari mereka, asal Ekayana sudah berada di luar. Daripada goa ini tertutup lagi, dan Ekayana belum berada di luar, maka kita akan bermalam lagi di sini!" tutur Lanangseta agak dongkol dengan gaya Andini yang manja itu.
Gadis berbaju merah muda dengan tahi lalat di bawah bibir bagian ujung itu mengangguk. Lalu ia mengikuti dari belakang setiap gerakan Lanangseta yang mengangkat tubuh saudara kembarnya bernama Ludiro. Mereka akhirnya tiba di mulut goa. Andini kelihatan lega begitu melihat cahaya matahari. Tapi ia sempat mengeluh, "Kok sempit...?"
Kata-katanya itu tidak ada yang menanggapi. Lanangseta bergerak lebih dulu, merayap mundur menuju luar goa. Sambil merayap mundur, ia mengangkat tubuh Ekayana yang tak pernah berkutik lagi itu, sedangkan Ludiro mengangkat bagian lainnya. Dengan susah payah, akhirnya Ekayana memang berhasil dikeluarkan dari mulut goa yang sempit. Pada saat itu, pagi masih dibilang segar. Udaranya amat cerah. Andini merentangkan tangannya lebar-lebar, menghirup udara pagi yang menyegarkan paru-paru.
"Hati-hati, jangan melawan orang-orang Bukit Badai. Kalau mereka datang, katakan kalian sedang dalam perjalanan hendak meninggalkan Bukit Badai."
Setelah meninggalkan pesan begitu, Lanangseta masuk kembali ke mulut goa yang sempit, ia akan mencari Gopo dan Sekar Pamikat. Namun baru saja ia memasukkan sebagian badannya, ke mulut goa, tiba-tiba Andini menjerit tegang.
"Lihat...! Luka itu bergerak di punggung Ekayana!"
Ludiro menggumamkan kata terkejutnya, dan bersuara lirih, "Astaga...! Sekarang saatnya luka itu mengganas! Oh, menjalar ke seluruh punggung...! Gawat!"
Lanangseta tak jadi masuk ke dalam goa. Ia segera menghampiri tubuh adiknya dan memandang dengan mata terbelalak. Luka yang memborok dan berbelatung itu bergerak cepat, melebar ke seluruh punggung. Nyaris menutup seluruh permukaan punggung. Sebentar lagi pasti bagian pinggangnya juga akan membusuk.
"Seperti inilah waktu itu luka yang ada di lenganku. Bergerak cepat, membusukkan lengan dalam tempo singkat."
"Iblis...!!" geram Lanangseta dalam kebingungan. Pikirannya bimbang, antara membawa lari tubuh Ekayana ke Pesanggrahan Cendana Manik, atau mencari Sekar Pamikat lebih dulu baru pergi ke sana? Tapi mencari Sekar Pamikat dan Gopo jelas merupakan pekerjaan yang cukup memakan waktu lama. Goa itu penuh lorong rahasia, dan mungkin juga jebakan yang dapat mematikan. Ia harus hati-hati. Tapi jika ia membawa lari Ekayana ke Pesanggrahan Cendana Manik untuk diserahkan ayahnya, apakah cukup waktu untuk itu? Apakah borok tersebut tidak akan menjadi semakin lebar dan membawa kematian Ekayana sebelum mencapai Pesanggrahan Cendana Manik yang terbilang sangat jauh dari tempat tersebut? Jangan-jangan Ekayana tewas dalam perjalanan ke sana.
Tiba-tiba,, terdengar suara Ludiro bagai menemukan sesuatu. Andini tegang dengan linangan air matanya. Ia menatap Ludiro dan bertanya:
"Cara pengobatannya kau tahu?!"
"Bukan cara pengobatannya! Yang penting, masukkan kembali Ekayana ke dalam goa itu."
"Kau gila! Kau tahu sendiri betapa susahnya mengeluarkan tubuh Ekayana dari mulut goa itu. Sekarang mau kau masukkan lagi? Gila...!" Lanangseta menggerutu dan bersungut-sungut.
Kata Ludiro dengan tegas, "Yang penting masukkan kembali tubuh ini ke dalam goa. Lekas!"
"Jelaskan dulu!"
"Nanti kujelaskan!" bentak Ludiro dengan berani. Lanangseta berpendapat, kalau bukan hal penting, pasti Ludiro tidak akan berani membentaknya. Sebab itu, Lanangseta menurut apa kata Ludiro. Kendati dengan susah payah, namun akhirnya tubuh Ekayana bisa kembali berada di dalam goa tadi. Ludiro bahkan meminta agar tubuh Ekayana dibawa masuk lebih dalam lagi.
Napas mereka terengah-engah. Lanangseta bersimbah keringat, demikian juga Ludiro. Ekayana ditengkurapkan lagi pada tanah yang telah dilapisi baju Gopo oleh Andini. Kesepian merayapi mereka sejenak. Kemudian terdengar suara Lanangseta menggumam:
"Apa maksudmu dengan begini? Bikin susah saja...!"
"Lihat luka itu... Luka itu tidak bergerak lagi, kan?"
Semua mata tertuju pada luka memborok di punggung Ekayana. Mereka memperhatikan beberapa saat dengan mulut saling terkatup bisu. Dan mereka sama-sama menyadari bahwa luka tersebut memang tidak bergerak lagi. Tidak secepat waktu di luar. Pinggang Ekayana masih utuh, borok masih tetap dalam ukuran semula.
Suara Ludiro menjelaskan bagai seorang guru, "Jadi, luka ini akan menjadi ganas apabila berada di luar goa. Terkena angin, atau terkena matahari, atau... entah apa. Yang jelas, jika luka itu tetap berada di dalam goa ini, ia tidak begitu ganas. Lihat saja, tadi ia merayap bagai hendak memangsa seluruh tubuh Ekayana, tapi sekarang ia bagai diam saja, kan? Coba kalau Ekayana masih berada di luar, tentu sekarang ini pinggangnya sudah membusuk."
Gumam Lanangseta dan Andini nyaris bersamaan. Andini mengusap-usap wajah Ekayana dengan perasaan sedih. Suara Lanangseta memecah kebisuan yang berlangsung selama beberapa helaan nafas itu.
"Atau memang goa ini yang mempunyai khasiat tertentu terhadap luka beracun seperti itu?"
Ludiro mengangguk, "Bisa jadi begitu."
Lanangseta menghempaskan nafas. Lalu berkata: "Kalau begitu, aku akan keluar sebentar untuk mencari kayu bakar. Kita tinggal di sini dulu beberapa saat, sampai kita menemukan cara penyembuhan untuk Ekayana."
"Biar aku saja yang mencari kayu untuk api unggun di sini, kau beristirahatlah," ujar Ludiro. Lanangseta tak jadi bergerak pergi karena Ludiro sudah mendului.
Andini berwajah sayu. Tangisnya berhenti karena kelegaan, begitu mengetahui borok membusuk itu tak sempat mengganas. Lanangseta sendiri sempat merasa kasihan kepada Andini. Ia lama ditinggalkan Ekayana. Ia pasti rindu kepada kekasihnya, tapi begitu mereka bertemu dalam keadaan musibah seperti itu. Masih beruntung dirinya, yang kemarin sudah sempat becanda sebentar dengan Sekar Pamikat, bahkan sempat mencium gadis itu di dalam kegelapan goa. Tapi, sekarang ke mana gadis itu? Sekar Pamikat dan Gopo mengapa menghilang bersamaan? Secara kebetulan atau memang sudah direncana Pikiran Lanangseta memang suka begitu. Dan ketika hal itu dikatakan kepada Andini, gadis berkulit kuning itu berkata pelan, "Tega-teganya kau punya praduga seperti itu. Sekar tidak akan berbuat sesuatu kepada Gopo, karena dia dan Gopo semula bermusuhan. Dia maksudku Gopo itu, adalah tawanannya. Masih terhitung tawanannya. Dan..."
Tiba-tiba mereka mendengar suara Ludiro memekik sayup-sayup.
"Kulumatkan kepalamuuu. !!"
Lanangseta dan Andini berwajah tegang, saling pandang lalu menatap ke arah menuju jalan ke luar goa.
"Ada apa itu? Tampaknya Ludiro menemui kesukaran," ucap Andini lirih. Lanangseta mengangguk, dan bangkit berdiri.
"Pasti orang-orang utusan Penguasa Bukit Badai...!" Setelah bicara begitu, Pen-ekar Pusar Bumi pergi meninggalkan Andini. Beberapa langkah kemudian baru ia berpaling dan berseru, "Jaga Ekayana. Jaga pula keadaan di dalam goa ini...!" Andini hanya mengangguk, dan Lanangseta cepat menuju ke luar, karena agaknya Ludiro semakin seru bertarung melawan beberapa orang.
Memang, Ludiro nyaris kewalahan menghadapi tujuh orang bersenjata. Mereka ganas-ganas, dan hampir tak memberi kesempatan berbicara kepada Ludiro. Tahu-tahu menyerang dan salah satu berusaha masuk goa. Orang yang bersenjata pedang lengkung mirip pedang Arab itu yang berusaha menerobos masuk goa. Ketika itu Ludiro sempat mengibaskan kaki kanannya kuat-kuat dengan hentakkan menyamping. Pipi orang itu terkena tendangan menyamping, dan ia terpental, kepalanya membentur bebatuan. Dengan satu gerakan cepat orang itu menebaskan pedangnya ke arah kepala Ludiro. Cepat Ludiro menangkap tangan tersebut dengan memiringkan badan ke arah leher lawan, lalu dengan gerakan gesit, ia berhasil melemparkan orang itu ke depan melalui dorongan punggungnya. Orang itu melayang dan menjatuhi beberapa temannya.
"Apa mau kalian sebenarnya, hah?!" bentak Ludiro yang masih belum mengerti mengapa ia tiba-tiba diserang.
"Jangan banyak bacot!" bentak seorang bersenjata piringan bergerigi.
"Kalian telah membunuh adik kami dalam upaya masuk ke goa ini, dan sekarang kami: Delapan Bersaudara Maut menuntut balas atas kematian adik kami yang bungsu itu. Terimalah kematianmu sekarang juga, heaaaat...!!"
Piring bergerigi itu menyerusuk ke leher Ludiro. Dengan gesit Ludiro mampu mengelak. Piringan bergerigi yang mempunyai tempat pegangan di bagian tengahnya itu dapat berputar dengan sangat cepat walau hanya di sentil oleh sebuah jari tangan pemegangnya. Piringan itu berhasil dielakkan Ludiro, dan membentur batang pohon sebesar paha Gopo. Batang pohon itu terpotong seketika dengan sangat rapi.
"Aku tidak kenal siapa kalian!" seru Ludiro sambil melancarkan pukulan ke arah muka orang itu. Setelah pukulannya terkena telak di dagu, segera Ludiro mengirimkan tendangan beruntun ke dada, wajah, dada dan wajah lagi, sampai orang itu terjengkang ke belakang. Kaki Ludiro belum sempat turun karena sebuah rantai berujung bola duri melayang ke arah kakinya.
"Breet...!"
Bola berduri di ujung cambuk rantai itu mengenai betis Ludiro. Tapi duri-durinya justru menjadi rontok seketika. Kaki Ludiro tidak tergores sedikit pun. Akibatnya, sebelum kaki Ludiro itu turun ke tanah, salah satu kakinya sudah menghentak kuat dan membuat ia melayang dalam keadaan berguling. Jurus itu sempat mengenai kepala orang bersenjata rantai berduri, tepat pada ubun-ubunnya, tumit kaki Ludiro menghantam bagi sebuah palu godam.
Prok...! Terdengar suara kepala orang itu bagai sebutir kelapa dipecah. Orang itu kelojotan dan limbung kian ke mari, lalu rubuh dengan kepala berdarah. Sementara tiga orang lainnya menyerbu Ludiro yang tiga lagi berusaha masuk ke mulut goa. Tapi gerakan tangan Ludiro sungguh cepat, tahu-tahu sebuah senjata Mata Pisau Beracun melayang tak dapat diikuti oleh pandangan mata. Senjata rahasia itu menancap tepat di tengkuk kepala salah seorang yang hendak masuk ke mulut goa. Orang itu memekik keras, membuat dua temannya berhenti seketika dan tercengang melihat orang itu roboh serta menggelepar-gelepar sebentar sebelum mengejang mati.
"Jahanam, kauuu...!" Kedua orang yang mengaku bersaudara itu melayang menerjang Ludiro dengan senjata trisulanya. Ludiro yang diserang tiga orang sebelumnya, tak sempat menghindari senjata tersebut.
Ludiro hanya memekik, "Hiyaaaaattt...!" Ia mengeraskan seluruh otot tubuhnya ketika semua senjata menghunjam dirinya. Ada yang patah seketika, ada yang tidak, hanya terpental ke belakang. Yang jelas, tak satu pun dari senjata mereka ada yang melukai tubuh Ludiro. Mereka berlima akhirnya mundur beberapa langkah, mengatur jarak, memasang strategi.
Ludiro sempat menghempaskan nafas, kecapekan. Lalu ia berkata, "Percayalah, kalian salah sangka. Aku tidak pernah membunuh saudara kalian. Kecuali hari ini," seraya Ludiro menuding kedua mayat saudara mereka. Orang yang kumisnya paling tebal berbisik kepada yang kepalanya botak. Entah apa yang mereka bisikkan, kemudiaan tiba-tiba mereka menyerbu masuk ke dalam goa, sementara yang tiga lainnya merintangi Ludiro dengan serangan berganda. Mereka meloncat dan menyerang Ludiro satu demi satu, namun sebenarnya yang menyerang hanya satu orang, yaitu yang paling akhir meloncat. Otomatis pandangan dan kesigapan Ludiro telah dikacaukan oleh dua serangan tipuan itu, sehingga akibatnya Ludiro pun terpental ke belakang terkana tendangan lawan pada keningriya. Agak pusing juga. Dan hal itu membuat Ludiro tak sempat mencegah dua orang yang berkumis tebal yang berkepala botak, masuk ke dalam goa.
Tapi rupanya, di depan goa itu telah berdiri seorang pendekar berambut panjang, berbadan kekar, dengan pedang di punggungnya. Begitu yang berkumis tebal mendekat, sebuah tangan kekar menghentakkan dadanya sampai yang dipukul terbatuk-batuk. Pukulan Lanangseta begitu kuat, bahkan orang berkumis tebal itu memuntahkan darah kental walau hanya beberapa tetes. Sedangkan yang berkepala botak segera menyerang Lanangseta dengan senjata cakra tajam. Ia cukup gesit menggunakan senjata cakra yang sekali waktu dapat meluncur sendiri dari tangkainya. Tetapi Lanangseta percuma menyandang gelar pendekar jika ia tak dapat berkelit ke belakang, dan membiarkan senjata itu berlalu di depan hidungnya. Kemudian tangannya menebas ke samping dan mengenai iga orang berkepala botak yang tampak paling sangar itu. Pukulan Lanangseta cukup keras, sehingga orang itu terbungkuk sakit. Dan pada saat itulah Lanangseta meloncat ke atas sambil melancarkan tendangan ke jidat lawannya. Orang itu sempat terdongak, dan lehernya disambut oleh tendangan Lanangseta berikutnya. Begitu kuat tendangan itu, sampai terdengar bunyi:
"Ngeekk...!" Lalu orang itu pun terguling-guling.
Pendekar Pusar Bumi tidak mau pergi dari depan pintu goa itu. Ia berdiri tegap, bagai menanti serangan berikutnya, dari siapa saja. Lalu, ia tersenyum ketika kedua musuhnya bergerak dengan irama serupa. Mereka tidak lagi menggunakan senjata, namun menggunakan tangan kosong. Tentu mereka sedang memainkan jurus andalan mereka. Gerakannya begitu seragam indah. Kaki terbuka keduanya, tangan menyilang di dada, dan kini terbuka ke samping semuanya, lalu salah satu kaki dari mereka ditarik ke belakang, dan kedua tangan yang berkembang itu ditarik ke belakang semua, setelah itu dihentakkan ke depan secara bersamaan.
"Heaaaah...!!"
"Blegaar..!"Lanangseta menghindari
sinar biru tua yang keluar dari keempat tangan mereka. Dengan sekali loncat, Lanangseta dapat melancarkan pukulan jarak jauhnya ke arah kedua orang tersebut. Sementara itu, sinar biru tua meluncur menghantam batu besar yang ada di samping kiri mulut goa. Batu itu tiba-tiba hilang. Serpihannya pun tak ada. Lanangseta tak sempat mengagumi pukulan hebat itu, sebab sekarang ia sedang sibuk membalas kedua orang itu hingga keduanya berguling-guling nyaris membentur pohon besar.
Tanpa disadari oleh Lanangseta, rupanya ada salah seorang dari ketiga orang yang melawan Ludiro itu melesat ke belakang Lanangseta. Dari arah belakang Lanangseta ia juga bergerak mempermainkan jurus serupa dengan yang dipermainkan oleh dua orang tadi. Dan dengan gerakan lincah dia menarik kedua tangannya sampai ke pinggang dalam keadaan terbuka, lalu ia melancarkan pukulan tenaga dalamnya seperti yang dilancarkan oleh kedua orang tadi. Sinar biru tua meluncur cepat tertuju pada tubuh Lanangseta. Tapi sebelum sinar itu menghantam punggung Lanangseta, tiba-tiba sinar itu berhenti. Berhenti total dan masih berujud sinar biru tua. Pada saat itu, orang tersebut memekik keras. Dadanya robek seketika, bahkan nyaris terpotong menjadi dua bagian. Lanangseta segera berbalik ke belakang. Dan matanya tertegun melihat Kirana Sari mencabik-cabik tubuh orang itu dengan sebatang ranting kering. Lanangseta sadar ada sinar biru tua berhenti di depannya. Ia bergeser tepat pada saat sinar itu melesat lagi, bagai meneruskan perjalanannya. Kecepatan sinar sangat luar biasa, sehingga tahu-tahu orang yang berkumis tebal itu terpekik tertahan, kemudian sirna tanpa bekas.
Andai saja Kirana Sari tidak muncul, pasti sinar biru tua itu akan meluncur menghantam Lanangseta dari belakang, dan nasibnya akan sama dengan orang berku mis tebal. Sirna selama-lamanya. Beruntung sekali kemunculan Kirana Sari begitu tepat, sehingga ia masih bisa diselamatkan oleh perempuan anggun yang berilmu tinggi itu.
"Awas...!" seru Kirana tiba-tiba. Lanangseta sigap, ia membalik ke belakang dan sebuah senjata cakra melayang ke arahnya. Dengan gesit ia mencabut pedang Wisa Kobra, lalui menebas senjata cakra itu.
"Trang...!" Senjata itu terpotong menjadi dua bagian. Ujung potongannya masih melesat terus dan berhasil dihindari Lanangseta. Tetapi di belakang Lanangseta berdiri Kirana Sari dalam jarak tertentu. Ujung potongan senjata cakra itu melesat ke arah Kirana Sari. Dengan gerakan yang melingkar ke samping, kaki Kirana berhasil menendang ujung senjata yang berbahaya itu. Tendangannya begitu kuat dan tepat sehingga senjata tersebut berbalik arah. Lanangseta meloncat menghindari ujung senjata cakra, dan begitu lolos tidak mengenai tubuh Lanangseta, maka senjata itu bagai kembali kepada pemiliknya. Orang berkepala botak yang memiliki senjata itu sangat tercengang. Ia tak sempat menghindar sehingga ujung senjata itu menghantam matanya. Ia terbawa tenaga dorong senjata tersebut sehingga ikut tertancap di pohon besar.
"Siapa mereka sebenarnya? Mengapa mereka menyerang kami tiba-tiba?" tanya Lanangseta kepada Kirana Sari.
"Mereka, orang-orang Tebing Neraka. Mereka selalu berusaha keras untuk dapat memasuki goa Malaikat." jawab Kirana dengan mata memandang tenang pada pertempuran Ludiro dengan dua orang musuhnya.
"Mengapa mereka ingin memasuki goa Malaikat itu? Ada apa di dalam goa tersebut? Harta? Atau..."
"Setelah selesai urusan ini, jangan lupa, cepat pergi..." seraya Kirana melecit bagai sebuah sinar hijau. Lanangseta menggeragap sebentar. Ia sempat berseru: "Kirana Sari...! Tunggu...!"
Badai datang dengan tiba-tiba begitu Lanangseta menyebut nama Kirana Sari. Petir menyambar-nyambar di angkasa, dan langit bagai terbakar, banyak warna pijar. Awan hitam bergulung-gulung mengerikan. Bumi pun goncang. Lanangseta menyesal mengucapkan nama Kirana Sari. Ternyata mempunyai kekuatan yang amat ampuh jika diucapkan oleh siapa saja. Badai begitu kencang. Lanangseta terhuyung-huyung. Sedangkan Ludiro merendahkan badan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak dihempaskan badai. Tetapi kedua musuhnya yang tengah menyerang serentak itu menjadi terbawa angin. Dihempaskan dengan kuat dan kepalanya membentur pohon. Begitu kuatnya hempasan dan benturan tersebut sehingga terdengarlah suara:
"Praaak...!" Dari arah musuh itu suara berbunyi. Ludiro menyeringai, menyipitkan mata, dan ia dapat mengetahui bahwa kepala kedua musuhnya itu secara serentak membentur batang pohon dengan keras. Lalu keduanya tergeletak di tanah dengan kelojotan beberapa saat, dan tak berkutik untuk selamanya.
"Cari pegangan...!" teriak Lanangseta yang sudah berhasil berpegangan akar pohon. Ludiro kebingungan. Tubuhnya yang terasa kecil itu sangat mengkhawatirkan. Ia nyaris tak berani bergerak sedikitpun. Ia bagai sedang menancapkan kedua kakinya ke bumi kuat-kuat dan menahan amukan angin badai yang begitu dahsyat. Sementara itu, Lanangseta mendengar pula suara seruan seorang perempuan:
"Lanaaang...!"
Mata Lanangseta terbelalak kaget, namun tak sempat melebar karena hembusan angin membuat perih di bola mata.
"Andini...! Jaga dirimu...!"
Andini kewalahan menahan diri dari hempasan angin kencang itu. Ia masih berdiri di depan mulut goa dengan berpegangan pada tanaman semak berduri. Tetapi agaknya tanaman itu tidak kuat menahan hempasan angin sekuat itu. Sebuah pohon tumbang seketika. Lalu tubuh Andini melayang karena tanaman yang dipegangnya jebol seakar-akarnya. Andini sempat berseru,
"Aaauuww...!"
"Andini...?! Cari pegangan lain, lekas...?!"
Seruan Lanang tak didengar oleh Andini.! Tapi ketika kedua tangannya terentang, tiba-tiba ia masuk dalam celah pohon, dan kedua tangannya itu dapat menjadi penghalang. Kedua tangan Andini meme-gang erat kedua celah pohon, sehingga tubuhnya tak ikut terlempar bagai benang menerobos lubang jarum.
Ketika keadaan alam menjadi reda kembali, nafas Ludiro terengah-engah. Ia sempat menghampiri Lanangseta dan berkata: "Kenapa Andini harus keluar dari dalam goa?"
"Mana aku tahu!" jawab Lanangseta, lalu keduanya menurunkan Andini yang tersangkut di antara celah pohon.
"Ilmu apa yang kau pakai tadi, Lanang...?!" tanya Andini.

* * * * *



--≡¦ { 4 } ¦≡--

UNTUK menghindari pertanyaan Andini, Lanang mengalihkan perhatian. Ia memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Ia bicara lirih bagai ditujukan untuk dirinya sendiri, "Mereka sangat bernafsu untuk memasuki goa Malaikat ini. Ada apa sebenarnya, ya?"
"Lanang...." tegur Andini yang ternyata tak bisa dikecohkan begitu saja.
"Ilmu apa yang kau pakai tadi? Namanya saja, aku ingin dengar."
Lanangseta kebingungan. Kalau ia menyebutkan Kirana Sari, pasti akan terjadi amukan badai dahsyat yang bagaikan menjelang hari kiamat tiba. Ia berusaha menghindari pertanyaan Andini, namun tak pernah berhasil. Bahkan gadis manja yang juga cerewet itu bertanya:
"Lalu siapa yang bicara denganmu di sebelah sana tadi? Siapa perempuan itu?" Pertanyaan Andini kali ini bernada penuhselidik setengah mencurigai.
Lanangseta hanya berkata, "Dia putri penguasa Bukit Badai ini."
"Siapa namanya?"
Sekali lagi Lanangseta bingung menjawabnya. Tetapi kecurigaan Andini semakin jelas. Gadis centil itu berkata: "Siapa nama gadis itu? Kenapa kau
tak mau menyebutkannya? Kau serong ya? Akan kuadukan kepada Sekar kalau kau mendua hati."
"Andini, ini bukan urusanmu. Kau harus..."
"Harus mengetahui siapa nama gadis itu!" sahutnya cepat. Andini cemberut. Ia jadi menampakkan kecemburuannya.
"Lupakan tentang perempuan itu. Ayo, kita masuk ke goa. Kita tak baik terlalu lama meninggalkan Ekayana."
"Tidak! Aku harus tahu nama perempuan itu!" Andini berkeras hati. Lanangseta agak kelabakan. Tiba-tiba Ludiro berseru dengan mengagetkan, "Hai, lihat! Mayat-mayat itu menghilang. Hilang sendiri!"
Lanangseta dan Andini membelalakkan mata. Tetapi Andini yang kelihatan paling terkejut. Ia bahkan bergeser merapatkan badan ke tubuh Lanangseta dan berpegangan lengan pendekar ganteng itu. En-tah sengaja atau memang dalam keadaan ketakutan sekali, yang jelas Andini merasa senang jika dapat berpegangan lengan Lanangseta. Mereka tak henti-hentinya berdecak menyaksikan mayat-mayat itu hilang sendiri.
"Kau menggunakan ilmu simpananmu lagi, ya?" bisik Andini.
Untuk menghilangkan desakan-desakan yang membingungkan, Lanangseta segera membawa masuk Andini ke dalam goa. Mulanya Andini mengancam tidak ingin masuk ke dalam goa jika tidak diberitahu siapa nama perempuan itu. Tetapi setelah Lanangseta dan Ludiro membiarkan dia diluar goa, akhirnya ia masuk sendiri dengan merangkak-rangkak seperti waktu ia keluar tadi.
Sesuatu yang amat mengejutkan membuat Lanangseta menjadi pucat wajahnya. Tempat di mana Ekayana tertelungkup tadi, sekarang telah kosong. Yang ada hanya kain baju Gopo, yang tadi dipakai sebagai alas tidur tubuh Ekayana. Ludiro sendiri menjadi gemetar ketika mengetahui jasad Ekayana telah hilang dari tempatnya.
"Ke mana dia?!" Lanangseta kelihatan sangat tegang.
Ludiro tak dapat bicara. Matanya membelalak kian-kemari. Ketika Andini sampai kepada mereka, Andini ikut terkejut dan segera menjerit:
"Ekayaanaaa...?! Kemana dia, Lanang? Kemana?!"
Suasana menjadi panik. Lanangseta tak ingin kehilangan saudara kembarnya. Ia segera mengambil pedang Wisa Kobra, lalu menggeserkan kuat-kuat pada dinding goa. Percikan api diterima oleh sebilah kayu kering, dan kayu itupun terbakar. Dengan menggunakan kayu berapi itu, Lanangseta melangkah cepat menyusuri lorong mencari Ekayana. Sementara itu, Ludiro juga mencarinya ke tempat berlawanan arah dengan kepergian Lanangseta. Andini menangis, mengikuti Lanangseta dari belakang sambil memanggil-manggil Ekayana. Tetapi ternyata tak satu pun sobekan kain atau percikan darahnya yang meninggalkan bekas. Ekayana bagai hilang tanpa bekas.
"Mungkinkah dia tadi ikut ke luar, lalu ikut terhempas badai mengerikan itu?!" kata Andini dengan tangisnya yang semakin menjengkelkan Lanangseta.
"Ini kesalahanmu!" bentak Pendekar Pusar Bumi yang memiliki wajah serta ciri-ciri sama dengan Ekayana.
"Kubilang tadi, jangan tinggalkan dia! Jaga dia! Tapi kamu malah ke luar dari goa! Apa-apaan itu?! Kau pikir tindakanmu sudah benar dan pasti menguntungkan? Untuk dirimu sendiri belum tentu menguntungkan, apalagi untuk diri orang lain!" Lanang mengomel tanpa peduli tangis Andini yang terisak-isak.
Kegeraman dan kejengkelan menyumbat di dada, membuat pernafasan Lanangseta terasa sesak. Andini memegangi tangan Lanangseta, namun tanpa peduli menyinggung perasaan atau tidak, Lanangseta mengibaskan tangan Andini.
"Kau hanya bisa menyalahkan aku!" seru Andini dalam tangisnya.
"Kau sendiri terlalu lamban bergerak, terlalu."
"Terlalu apa? Apa yang terlalu, hah?!" bentak Lanangseta karena dongkolnya. Andini yang cengeng dan manja semakin menyerukan tangis. Kesal sekali Lanangseta. Ia sudah melangkah terlalu jauh, menyusuri lorong panjang, namun ia tidak menemukan secuil pun jejak Ekayana.
Sewaktu ia kembali lagi ke tempat semula, Ludiro datang dari arah depan. Ia juga membawa obor kayu bakar dan kelihatan kebingungan.
"Tak ada tanda-tanda ke mana perginya," kata Ludiro sambil angkat bahu.
"Aku juga tidak menemukan tanda-tanda apa pun." Lalu, Pendekar Pusar Bumi itu menghela nafas dalam-dalam, mencari ketenangan.
"Lalu bagaimana nasibnya? Bagaimana keadaan Ekayana?!" Andini merengek. Lanangseta menjawab dengan kesal:
"Tanyakan pada dirimu sendiri! Kau yang bertanggungjawab. Kau yang kuserahi tanggungjawab menjaganya, tapi kau tak mau memberikan perhatian, apalagi bertanggungjawab sepenuhnya!" Lanangseta menggeram. Gemas sekali! Ia telah kehilangan Sekar Pamikat, haruskah ia kehilangan saudara kembarnya. Anggaplah Sekar Pamikat tidak terlalu berbahaya, karena ia masih bisa berjalan dan dalam keadaan sehat, tetapi bagaimana dengan Ekayana? Ia dalam keadaan terluka parah dan tak mampu bergerak sedikit pun.
"Kita cari ke luar goa," ujar Andini.
"Tak mungkin ia bisa ke luar sendiri. Bergerak saja tak mampu apalagi berjalan ke luar dari goa," kata Ludiro.
"Tapi siapa tahu...?"
"Siapa tahu kau yang melenyapkannya, begitu?" sahut Lanangseta dengan sinis. Andini terbelalak dituduh sebagai orang yang dengan sengaja melenyapkan Ekayana. Ia menjadi marah. Ia berseru dengan ketus: "Jaga bicaramu, Lanang! Jangan terlalu membakar kemarahanku yang sudah
sakit atas peristiwa ini!"
"Nyatanya waktu kutinggal ke luar, dia masih dalam keadaan parah. Tapi begitu kau ke luar, lalu masuk lagi, dia sudah tak ada. Kau punya cukup waktu untuk melenyapkannya dengan Lebur Ragamu itu!"
"Fitnah!" bentak Andini tak kontrol diri.
"Aku mencintai Ekayana. Sangat mencintai! Bagaimana mungkin aku akan menggunakan ilmu Lebur Raga untuknya? Bagaimana mungkin aku akan setega itu?!"
"Kenapa tidak? Mungkin kau punya pemikiran lain. Aku tahu, kau orang cerdas. Hanya kemanjaan yang membuat kau seperti orang bodoh."
"Lanangseta...!" bentak Andini. Ludiro tegang dan bingung. Andini berkata dengan sengit, "Sekali lagi kau menuduhku begitu, lebih baik kita tentukan siapa yang harus mati. Aku sudah kehilangan dia, tapi kau justru menuduhku yang bukan-bukan! Apakah itu menandakan bahwa kau punya otak yang sebesar biji kapas?!
"Tuduhanku beralasan dan masuk akal," kata Lanangseta merendahkan suara. Ludiro berlagak membuat api unggun dari kumpulan kayu yang sempat dibawanya masuk. Ketegangan masih meliputi mereka berdua. Lanang berkata lagi dengan nada suara rendah:
"Kau tentunya bisa berfikir, betapa menyedihkan keadaan Ekayana. Kau kasihan kepadanya, yang hidup tidak, mati pun tidak. Lalu kau ambil kebijaksanaan untuk membunuhnya. Kau gunakan ilmu Lebur Raga, di mana raga Ekayana akan berubah menjadi asap dan setelah itu tak akan kembali lagi. Mungkin kau pakai itu dengan dasar untuk memperingan beban penderitaan Ekayana!"
"Tidak! Sudah kubilang, otakmu memang sebesar biji kapas! Tak mungkin aku menggunakan ilmu itu untuk hal-hal demikian. Itu sama saja mendahului kehendak Hyang Widi. Itu dilarang oleh guruku... Juga oleh keluargaku!"
"Lalu ke mana dia sekarang...!!" bentak Lanangseta yang diliputi rasa panik dan menjengkelkan.
"Mana aku tahu! Aku tadi ke luar untuk memberi bantuan kepada kau dan Ludiro. Sebab kudengar mereka ada tujuh orang. Dan... dan aku tidak akan menyangka kalau Ekayana bisa hilang begini..." Andini menangis. Lanangseta menghempaskan nafas, menenangkah diri sendiri. Ia me-biarkan gadis manja itu menangis sesukanya. Ia sendiri merasa pusing memikirkan keanehan tersebut.
"Goa apa ini sebenarnya?!" gumamnya beberapa saat setelah ia termenung lama.
"Segalanya serba misterius! Uhh... kemana pula Sekar Pamikat dan Gopo? Mengapa mereka tidak muncul-muncul dari tadi?"
Lanang bicara sendiri, tanpa peduli ada, yang mendengarnya atau tidak. Tetapi beberapa saat kemudian, Ludiro berkata dengan hati-hati:
"Bagaimana kalau kucari mereka, sekaligus mencari Ekayana. Kau setuju?" Lanangseta memandang lelaki yang terhitung tua, namun masih segesit anak muda. Di wajahnya terbentang rasa duka dan penyesalan. Lanangseta tahu, bahwa Ludiro merasa bertanggungjawab jika sampai terjadi sesuatu atas diri Sekar Pamikat. Sebab itu, Ludiro yang punya rasa pengabdian begitu tinggi dan sangat setia itu dibiarkan pergi mencari Sekar Pamikat yang agaknya sudah dalam keganjilan. Sebelum Ludiro pergi, ia sempat berkata kepada Lanangseta: "Mudah-mudahan tak ada orang lain yang masuk goa ini, sehingga tak akan menimbulkan masalah baru sebelum mereka kita temukan."
Lanang tanggap terhadap kata-kata Ludiro itu. Ia pun menyahut,
"Baiklah... aku akan berjaga-jaga di mulut goa!"
"Aku bagaimana?!" tanya Andini yang masih menghabiskan sisa isak tangisnya.
"Ikutlah Ludiro," jawab Lanangseta.
"Apakah aku tidak sebaiknya ikut menjaga mulut goa?"
"Mulut sekecil itu apakah harus dijaga dua orang?" kata Lanangseta sambil beranjak meninggalkan mereka. Ludiro melangkah dengan membawa obor kayu dan beberapa potong kayu sebagai persediaan. Andini sempat bingung sejenak. Lanang bagai tidak menghiraukannya, dan Ludiro juga tidak mengajaknya. Tapi akhirnya ia melangkah mengikuti Ludiro.
Sambil menjaga mulut goa, Lanangseta masih sempat meneliti tiap dinding goa tersebut. Pikirannya masih belum dapat berhenti bertanya-tanya: "Mengapa orang-orang tadi sangat bernafsu untuk masuk ke goa ini?" Sejak kemarin lusa Lanangseta masuk ke goa Malaikat itu, ia tidak menemukan barang berharga satu pun. Jangankan emas, perak pun tak ada. Paling tidak hanya tempat itu. Ya, tempat yang sangat strategis bagi persembunyian atau bagi tempat untuk melatih ilmu kanuragan yang dirahasiakan. Paling tidak tempat itu dapat dipakai buat menyembunyikan barang hasil rampokan dengan aman dan tanpa takut dicurigai seseorang. Hanya itu yang bisa mereka harapkan. Untuk mengharapkan lebih dari itu tak ada.
Nyatanya dari kemarin lusa Lanangseta hanya dapat menemukan segudang masalah yang menjengkelkan baginya. Paling-paling beberapa keajaiban yang mengagumkan, itu pun tak seberapa banyak. Namun demikian, memang goa itu mengandung misteri yang cukup membingungkan. Ini sering dialami Lanangseta, dan bahkan baru saja ia benar-benar dibuat jengkel dengan hilangnya Ekayana. Kalau memang ada orang yang mengambilnya, lantas siapa orang itu? Sejak kapan berada di sini, dan apa perlunya mereka atau orang itu masuk ke goa yang menjenuhkan ini? Mungkinkah benar goa tersebut adalah sebagian dari makam leluhur Kirana Sari? Pemeriksaan dinding tak menemukan hasil apa pun. Lanangseta duduk di persimpangan lorong, menghadap pada mulut goa yang selebar lobang sumur itu. Pikirannya masih menerawang dan menimbulkan kejolak hati sedih, heran, dan kagum terhadap kenyataan yang telah dialami. Terlebih jika ia ingat Kirana Sari. Oh, benar-benar sosok anggun yang menyimpan banyak misteri juga perempuan itu.
"Kemunculannya sangat tak diduga. Tapi ia tidak mempunyai keterbukaan terhadapku. Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu yang amat penting bagi dunia persilatan, maupun bagi kehidupan di Bukit Badai ini," kata Lanangseta dalam hati. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, dan batinnya berkata: "Kurasa Kirana tahu rahasia goa ini. Dan... ah, mengapa tak kuceritakan kepadanya tentang kehilangan Ekayana dan Sekar Pamikat? Kurasa aku bisa meminta bantuannya, dan dia mau membantuku. Aku yakin itu. Ah, Kirana... Kirana..." keluh Lanangseta.
"Andai kau berada di sini, mungkin aku bisa menemukan kembali Ekayana dan yang lainnya."
Tiba-tiba mulut goa yang terang menjadi buram. Ada bayangan berdiri di sana. Bayangan sosok manusia yang agaknya sedang mengamat-amati goa tersebut. Lanangseta berdiri, pedang Wisa Kobra dicabut dari sarungnya. Ia siap menghadapi siapa pun yang masuk. Ia siap untuk mengusirnya. Namun tiba-tiba keremangan itu menjadikan suatu kegelapan. Hanya sekejap, tapi sempat membuat Lanangseta tergeragap dan mempersiapkan pedang Wisa Kobranya.
Ketika mulut goa yang bagai bundaran terang itu kembali seperti semula, tanpa penghalang, ada cahaya masuk, Lanangseta menjadi lega. Rupanya orang yang tadi berdiri di depan mulut goa telah pergi. Barangkali orang itu sangsi dan tidak mengira kalau lobang seperti sumur miring itu adalah mulut goa Malaikat. Pendekar Pusar Bumi menyarungkan pedangnya kembali. Karena ia sudah mendekat ke arah mulut goa itu, maka ia pun kembali hendak duduk di persimpangan lorong. Tetapi betapa terkejutnya Lanangseta begitu ia membalikkan badan, ternyata di depannya dalam jarak dua tombak berdiri seorang perempuan cantik, anggun dan mengenakan pakaian serba hijau terang.
Lanangseta terpekik tertahan, nyaris menyebutkan nama. Tapi untung ia ingat bahwa ia tak boleh sembarangan menyebutkan nama Kirana Sari itu. Ia buru-buru menutup mulutnya yang telah menganga, dan sedikit merasa malu karena perempuan anggun yang penuh misteri itu tersenyum menertawakan kekagetan Lanang.
"Kau...? Begitu cepat kau masuk tanpa kuketahui," kata Lanangseta.
"Orang bandel seperti kamu, mana bisa menjaga kewaspadaan," ujar Kirana Sari dengan suaranya yang empuk, enak didengar, namun mengandung bobot kewibawaan yang besar.
"Untuk apa kau ke mari?" tanya Lanangseta.
"Untuk apa kau memanggilku?"
"Siapa?" Lanangseta heran.
"Siapa yang memanggilmu?"
Perempuan bermata tajam namun meneduhkan dan enak di pandang itu melangkah, meneliti dinding goa. Sambil seakan acuh tak acuh, ia berkata jelas: "Aku mendengar kata hatimu memanggilku dua kali..."
Pendekar Pusar Bumi termenung beberapa saat, mengingat-ingat sesuatu. Dan ia pun tersenyum dalam kekaguman, setelah ia ingat bahwa baru saja, beberapa saat tadi, ia mengeluh dengan menyebut nama Kirana dua kali. Rupanya keluhan itu di-dengar oleh Kirana, dan ia segera datang.
"Wow...! Alangkah hebatnya ilmu yang digunakan Kirana. Orang menyebut namanya dalam hati pun ia akan datang karena mendengarnya. Hebat. Sekali lagi, hebat!" gumam Lanang di hatinya, dan ternyata kata hati itu pun sempat di dengar Kirana.
"Kau, membutuhkan aku. Aku mendengar keluhanmu, dan aku datang," ucapnya dengan tegas.
"Tapi jika kau tidak membutuhkan aku lagi, baiklah, aku akan kembali ke tempatku."
"Tunggu...! Tunggu sebentar. "
Lanang mencegah dengan berdiri di hadapan Kirana. Kirana memandangnya dalam jarak dekat. Begitu dekat Walau dalam keremangan, tapi matanya yang bertepian hitam itu dapat melihat jelas segala lekuk ketampanan wajah pendekar muda perkasa itu.
"Aku masih membutuhkan kamu, Kir..." tangan Kirana buru-buru menutup mulut Lanangseta yang hampir saja menyebutkan namanya. Anehnya, jemari tangan yang lentik itu tidak mau pergi juga dari bibir Lanangseta, sekalipun Lanangseta sudah berbicara kembali.
"Aku minta izin untuk beberapa saat tinggal di goa ini."
"Ini goa suci. Goa Malaikat. Tak boleh ada yang masuk ke dalam kenyataan goa ini." Kirana bicara dengan nada berbisik.
Lanangseta bagai mengimbangi bisikan itu.
"Aku tahu, tapi adikku hilang di sini. Ia dalam keadaan terluka, dan... tahu-tahu setelah kami menyelesaikan pertempuran dengan tujuh orang Tebing Neraka tadi, eh... dia hilang. Padahal dia dalam keadaan terluka parah, serta tak dapat bergerak sedikit pun. Aku perlu waktu untuk mencarinya. Tolong izinkan aku mencari..."
"Juga kekasihmu yang hilang?"
Lanangseta agak terperanjat mendengar pemenggalan kata akibat serobotan suara Kirana. Ia hanya mengangguk. Dan ketika itu, jemari Kirana yang menempel di bibir Lanangseta dilepaskan. Ia bagai menghindari tatapan mata Lanangseta. Ia berjalan menjauh, kini memandang mulut goa.
"Kau tak mau menolongku?" Lanang mendekatinya.
"Aku tak punya hutang budi padamu. Wajar kan kalau aku menolak keinginanmu itu?" ucapnya lirih. Lanang jadi kikuk. Perempuan anggun itu kalau bicara terang-terangan. Ah, tapi itu memang sikapnya, pikir Lanang.
"Kau memang punya hak untuk menolak. Dari situ aku tahu, sampai di mana batas kemanusiaanmu."
Kirana berpaling begitu mendengar ucapan Lanangseta itu. Di wajahnya tak ada senyum, padahal Lanangseta sangat mengharapkannya. Kemudian dengan pesona anggun yang menggetarkan hati, bibir sensual yang merekah itu bergerak-gerak indah.
"Kurasa ia sudah bukan lagi menjadi milikmu."
"Siapa?" Lanangseta terkejut sekali.
"Kekasihmu itu."
Bagai ada segumpal sekam yang menyumbat tenggorokan dan pernafasan Pendekar Pusar Bumi. Ia menelan ludah beberapa kali, tangannya gemetar dan wajahnya menjadi pucat.
"Aku... aku tidak mengerti mengapa kau bicara begitu. Apa maksudnya, aku juga tidak mengerti."
"Kekasihmu, akan menjadi milik goa Malaikat ini. Karena dia telah masuk dalam kenyataan goa ini."
Dahi pendekar tampan itu berkerut tajam.
"Aku masih kurang jelas. Tolong sekali lagi kau jelaskan supaya aku bisa memakluminya."
"Kalau kau tidak bisa memakluminya, apakah kau akan marah?" pancing Kirana dengan sikap tenang.
"Akan kuhancurkan goa ini!" jawab Lanangseta tegas.
"Apa kau sanggup?"
"Pasti!"
Kirana menyunggingkan senyum, ia berpaling. Tapi dengan berani, sepertinya tak sadar, Lanangseta segera meraih dagu Kirana dan memalingkan wajah anggun yang tengah tersenyum itu. Tentu saja hal itu membuat Kirana kaget dan tersinggung. Ia segera menampar tangan Lanangseta.
"Lancang...!"
"Aku...oh, maaf... aku hanya ingin menikmati senyumanmu. Dari tadi kutunggu, begitu kau tersenyum, kau lantas mau buang muka. Oh, itu tak bisa. Aku gemas...!"
Wajah itu memerah. Merah dadu. Bagai menahan malu. Namun kini sengaja ia menyunggingkan senyum buat Lanangseta.
Aneh...! Kok jadi begitu?

* * * * *



--≡¦ { 5 } ¦≡--

LANANGSETA alias Pendekar Pusar Bumi, segera membawa Kirana masuk melalui lorong kiri. Lalu mereka berhenti di tempat hilangnya Ekayana. Di sana hanya ada selembar kain baju Gopo yang bekas dipakai alas tidur Ekayana. Lanangseta telah menceritakan secara terperinci tentang mengapa mereka berada di goa itu dan bagaimana sekarang keadaan teman-temannya. Sebab itu Kirana berkata:
"Kalian bahkan lebih tahu dari kami."
"Kurasa tidak. Tentang jalan lorong menuju Sendang Bangkai, memang pernah kami lewati, tapi kalau disuruh mengulang kembali, mungkin kami tak akan mampu."
Kirana mengambil kain baju Gopo, ia mengamati beberapa saat. Sementara itu, Lanangseta mepcoba berkesimpulan:
"Apakah Ekayana adikku juga akan menjadi milik goa ini?"
Kirana menggeleng, lalu meletakkan kembali kain baju milik Gopo. Ia berkata dengan tanpa memandang Lanang:
"Tidak. Ia akan kembali."
"Tapi bukankah tadi kau bilang, bahwa siapa yang memasuki goa ini, akan menjadi milik goa ini?"
"Siapa yang memasuki kenyataan goa ini. Kenyataan!" Kirana mengulang. Lanangseta berkerut dahi.
"Kau bingung?"
Lanang mengangguk Polos. Kirana tersenyum tipis. Dan Lanang melebarkan mata, ingin melihat lebih jelas lagi senyuman itu. Kirana agaknya membiarkan pendekar tampan itu menikmati senyumannya. Kemudian ia berkata sambil melangkah kembali, menuju persimpangan lorong:
"Kalian hanya masuk dalam lapisan goa Malaikat, Bukan di dalam kenyataan goa ini."
Lanang manggut-manggut sambil ber-alan di belakang Kirana. Kirana sendiri segera melanjutkan perkataannya:
"Tapi kekasihmu. Sekar Pamikat, telah masuk ke dalam kenyataan goa ini dan menjadi milik goa ini."
"Artinya?"
"Sekar yang akan mewarisi isi goa ini."
"Harta karun? Perhiasan dan uang emas?"
Kirana menggeleng dengan anggun.
"Entah. Aku belum pernah tahu, dan belum pernah mendengar cerita dari orang tuaku, apakah goa ini menyimpan emas dan harta berharga, atau tidak. Tapi yang jelas, goa ini menyimpan pusaka leluhur kami, yang kadang belum pernah kami pahami selama ini."
"Jadi... maksudmu, Sekar Pamikat akan menjadi..."
"Seorang resi, atau begawan perempuan yang... tentu cantik, bukan?"
"Gila!" geram Lanangseta kelihatan tegang. Kirana memperhatikan dengan tenang dan berwibawa. Lanangseta mendesah dan gelisah.
"Kau bohong!"
"Tidak. Keluargaku tidak diperbolehkan berbohong dengan sungguh-sungguh. Kalau berbohong secara main-main, memang tak apa."
"Berarti kau kali ini main-main!" desak Lanangseta.
"Apakah kau merasa kupermainkan? Kalau memang begitu, yah... anggap saja keteranganku itu main-main. Tapi nanti kau harus menyadari, bahwa garis kehidupan manusia tak pernah ada yang mempermainkan. Semuanya bergaris tegas, jelas dan bersifat terbuka. Hanya kadangkala manusia tidak pernah mau mengakui keterbukaan sang nasib. Itulah sebabnya manusia sering menyampingkan firasat-firasat hidupnya."
Pendekar Pusar Bumi tak dapat menahan kegelisahannya. Kelihatan jelas sekali. Dan Kirana yang lembut namun berwibawa itu masih mau menjelaskan:
"Memang Goa Malaikat ini punya banyak misteri dan teka-teki, tapi siapa orangnya yang mampu memecahkan misteri itu? Keluargaku sendiri sampai sekarang masih dalam upaya memecahkan apa sebenarnya yang ada di dalam goa ini."
"Jadi kau tidak tahu ke mana Ekayana pergi?"
Kirana menggeleng lagi.
"Tidak. Yang kutahu dia akan kembali lagi. Dia tidak seperti Sekar Pamikat."
"Dan kau bisa mengetahui hal itu secara pasti dari mana?" desak Lanangseta.
"Ada caranya sendiri. Di rumahku, ada sebuah cermin. Apabila cermin itu buram tak dapat dipakai untuk berkaca, itu pertanda ada seseorang yang telah masuk ke dalam kenyataan goa ini. Selama ini, dari aku kecil sampai sedewasa ini, baru sekarang terjadi cermin kami buram!"
"Bagaimana kau bisa memastikan kalau orang yang masuk kedalam goa yang sebenarnya itu adalah Sekar Pamikat?"
"Hanya seorang perempuan yang dapat masuk ke dalam ruang semadi. Konon, di ruang semadi itulah Eyang Nyai tinggal sampai saat ini belum pernah menampakkan diri. Tapi jika hanya berada di sekitar ruang itu, siapa pun bisa. Dan kau bilang tadi, hanya ada dua perempuan, yaitu Sekar Pamikat dan Andini. Tapi yang hilang Sekar Pamikat, bukan?" Pendekar Pusar Bumi manggut-manggut dalam gumamnya. Kegelisahannya sudah mulai reda, walau tidak hilang. Tetapi kesedihannya, semakin tampak jelas.
"Itulah sebabnya goa ini dikatakan sebagai goa suci, karena, menurut cerita leluhurku, Eyang Nyai bermukim di sini. Dan Eyang Nyai itu sebenarnya nenek canggahku. .."
Kirana mulai sadar kalau kata-katanya sudah tidak diperhatikan lagi oleh Lanangseta. Karena itu ia merubah pembicaraan, menjadi suatu nasihat untuk membangkitkan gairah hidup Lanangseta:
"Hidup itu punya resiko sendiri-sendiri. Resiko itu akan menjadi sangat berat bagi kita, jika terlalu dihayati. Suatu pengorbanan, penderitaan dan kesedihan, mau tak mau harus terjadi pada diri kita. Jika tidak terjadi, kita sama saja dengan mati. Yang penting bagi manusia adalah, bagaimana cara mengatasi setiap resiko hidupnya. Sebab hidup itu juga ibarat segenggam gelas kaca, yang akan pecah jika tidak hati-hati membawanya..."
Lanangseta mendengar, namun ia tetap diam. Ia masih membayangkan sejauh itukah riwayat kehidupan Sekar Pamikat? Sepahit inikah hatinya di dalam hidup tanpa Sekar Pamikat?
"Aku harus segera pulang..." kata Kirana datar. Lanang baru sadar dari lamunan. Ia buru-buru meraih tangan Kirana tanpa ragu-ragu.
"Lalu bagaimana dengan aku?"
"Pergilah sebelum aku membunuhmu," jawabnya datar.
"Apakah kau yakin, kau akan bisa membunuhku?"
"Yakin."
"Baiklah, sekarang juga kau dapat melakukannya."
Kirana menatapnya dengan lembut, tapi punya makna ketegasan.
"Bunuhlah aku sekarang juga. Aku tidak akan segera pergi sebelum bertemu dengan yang lainnya."
Kirana diam saja. Hanya memandangnya tak berkedip. Pandangan itu penuh ar-ti, namun sukar diterjemahkan maknanya.
"Bunuhlah," kata Lanang dalam desah. Ia semakin mendekatkan leher, seakan memberikan kesempatan Kirana untuk mencekiknya. Tapi, dalam hatinya ia yakin, bahwa Kirana tak akan sanggup. Sebab itu, ia sengaja membiarkan jarak wajahnya begitu dekat dengan wajah Kirana. Dan perempuan anggun itu masih tetap memandanginya tanpa berkedip.
"Lakukanlah niatmu..." bisik Lanangseta.
Kirana membisik, "Kau... harus bertarung dulu denganku."
"Baiklah, mari kita bertarung di luar," tantang Pendekar Pusar Bumi.
"Belum saatnya. Tunggu sampai kau membandel sekali lagi, baru kita bertarung satu lawan satu."
Kirana selalu menghindar, dan lama-lama Lanangseta bosan sendiri. Pegangan tangan Lanang masih erat di tangan Kirana. Kirana sendiri membiarkannya, bahkan kini ia memandang pergelangan tangannya yang digenggam Lanangseta. Tangan itu bergerak perlahan-lahan, seperti ingin meronta lepas dari genggaman Lanangseta, namun juga seperti sedang dipermainkan.
"Kau ingin kulepaskan?" Kirana mengangguk, tetap tenang, bagai tak punya perasaan apa-apa. Lanang menggodanya dengan pertanyaan: "Kenapa kau ingin kulepaskan?"
"Sudah hampir sore. Sebentar lagi."
"Goa ini tertutup, Begitu, bukan?" sahut Lanangseta. Kirana tampak heran dan berkerut dahi samar-samar.
"Apakah... apakah goa ini setiap sore akan tertutup?"
"Apakah kau belum tahu?"
Kirana menggeleng. Kini ganti Lanangseta yang merasa heran. Mungkin juga tidak setiap orang bisa memergoki goa ini tertutup dan terbuka sendiri. Kemudian Lanangseta menjelaskan apa yang dilihatnya tentang batu-batu penutup yang bergerak sendiri jika tanpa matahari atau jika matahari bersinar pertama kalinya. Kirana tampak asing dengan kisah itu. Dan ia mengaku belum pernah mendengar cerita dari orang tuanya tentang sinar matahari itu.
"Aneh..." gumam Lanangseta.
"Berarti kau benar-benar tidak memahami seluk-beluk goa ini, ya?"
"Memang. Malahan aku belum pernah mendengar tentang sinar yang dapat membuka tembok dan pintu goa."
Lanangseta manggut-manggut. Dan tiba-tiba ia mempunyai gagasan sendiri. Ia memandang kalung kirana.
"Aku... hemmm... Boleh aku meminjam kalungmu?" Kirana menggeleng tegas.
"Kalung ini tak boleh lepas dari leherku. Ini pemberian nenek."
"Baiklah. Tapi izinkan aku mempermainkannya sebentar. Sangat sebentar."
"Untuk apa?"
"Nanti kau akan tahu sendiri." Karena bersifat mendesak dan membuat Kirana penasaran, akhirnya ia mengizinkan Lanangseta mempermainkan kalung berliontin batu zamrud. Pada tepian batu itu terdapat lapisan semacam intan atau kristal bening. Lanangseta menyuruh Kirana berdiri di dekat pintu masuk goa. Kirana heran, tapi karena rasa ingin tahu, ia tetap berdiri mengikuti perintah Lanangseta. Tubuhnya tersiram cahaya matahari. Lanangseta mempermainkan kalung itu dengan sangat hati-hati. Sesekali tangan atau jemarinya sempat menyentuh payudara Kirana yang menonjol itu, namun agaknya Lanangseta tidak bermaksud nakal, sehingga Kirana membiarkan. Kalung itu bergemerlapan diterpa cahaya matahari. Pelan dan sangat hati-hati sekali, Lanangseta menggerak-gerakkan kalung tersebut, lalu salah satu pantulan cahayanya mengenai dinding lorong sebelah kanan. Dinding lorong kanan itu tak pernah terkena pantulan matahari. Tetapi sekarang, kalung Kirana dapat mematulkan cahaya matahari kendati hanya seberkas kecil, seukuran jarum jahit.
Dan tiba-tiba, terdengar suara bergemuruh. Dinding lorong itu bergerak-gerak. Kirana kaget dan terheran-heran melihat dinding itu bergerak turun, bagai ada yang menariknya ke dasar bumi.
"Dinding itu...? Astaga... dinding itu terbuka sendiri," gumam Kirana dalam kekaguman.
"Kalung ini yang membukanya. Bukan karena kalung ini sakti, tapi karena cahaya matahari memantul, dan pantulan sinarnya itu mengenai dinding lorong itu. Jika ia terkena pantulan sinar matahari, maka dinding tersebut akan terbuka sendiri, seperti yang kau lihat sekarang ini."
Kirana tak habis pikir, bahwa ternyata pendekar tampan yang ada di dekatnya itu benar-benar mempunyai otak yang cukup cerdas. Semuanya memang di luar dugaan bagi Kirana. Bukan hanya kecerdasan Lanangseta, tapi apa yang ada di balik dinding lorong itu pun menjadi hal yang di luar dugaan. Lorong itu sudah tanpa dinding lagi. Tetapi ada cahaya berbinar-binar terang dari dalam lorong tersebut. Kirana segera berlari menuju lorong tersebut. Lalu Lanang menyusulnya. Keduanya sama-sama terbelalak, sama-sama terbengong dengan mata tak berkedip. Mereka melihat setumpuk perhiasan dan emas-emas dalam bentuk gumpalan batu. Jumlahnya tidak sedikit. Bahkan menggunung setinggi setengah badan Lanangseta.
"Emas...?!" Lanangseta memekik tertahan, takut didengar orang. Kirana masih tertegun sampai beberapa saat.
"Rupanya inilah yang menjadi incaran orang-orang itu."
Kirana menggumam panjang, ia memegang sebongkah emas dalam bentuk batu kasar. Ia mengamatinya sejenak, lalu berkata lirih:
"Orang tuaku pun belum tentu mengetahui hal ini."
"Ini semua milik keluargamu, Ki... eh, nggakjadi!"
Kirana tersenyum geli melihat Lanangseta tak jadi menyebutkan namanya. Terdengar suara gemuruh lagi. Lanangseta terperanjat.
"Lekas keluar dari lorong ini! Pintu akan tertutup dalam beberapa helaan nafas lagi, sebab ia sudah tidak terkena pantulan sinar matahari...!"
Kirana buru-buru meloncat ketika dari dasar bumi muncul bongkahan-bongkahan bebatuan yang sudah terakit menjadi satu bidang dinding tebal. Lanangseta segera mengikuti Kirana. Dan mereka berada di luar lorong setelah lorong itu tertutup rapat seperti semula, bagai tak ada jalan menuju ke dalaman lorong.
Kirana masih belum hilang rasa kagum dan terpana. Lanang segera menyadarkan Kirana dengan kata-kata:
"Sudaaah...! Suatu saat kau dan keluargamu dapat mengambil semua emas itu. Kau sudah tahu cara membukanya, kan?"
"Kalau tidak keduluan kamu, kan?" Lanang menggeleng dalam senyuman.
"Tidak mungkin. Sebab itu barang bukan milikku. Jadi aku merasa tak punya hak untuk mengambil dan memilikinya. Percayalah, rahasia ini tak akan bocor." Kirana tersenyum. Lanangseta baru akan menikmati senyuman itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara denting senjata beradu. Makin lama semakin terdengar jelas dari ramai. Suara-suara teriakan menggema sampai di dalam goa. Lanangseta dan Kirana sama-sama terkejut dan saling bertanya-tanya dalam hati:
"Siapa yang bertarung di luar goa?"
"Pasti orang-orang Tebing Neraka," gumam Kirana. Lalu keduanya keluar dari mulut goa. Lanang lebih dulu berada di luar, baru Kirana menyusul. Tetapi pada saat itu, Lanangseta bagai terpaku di tempat dan tercengang. Ia melihat seorang pendekar muda, dengan ikat kepala dari kulit macan tutul sedang bertarung melawan satu barisan orang-orang ganas. Mulut Lanangseta gemetar ketika ia berkata:
"Itu... itu Ekayana, adik kembarku...?!"
"O, pantas. Kalian memang sukar dibedakan, kalau saja adikmu tidak mengenakan celana lebih panjang dari kamu," kata Kirana dengan tenang.
Keheranan masih meliputi pikiran Lanangseta.
"Ajaib sekali! Ia dalam keadaan sehat, tanpa cacat atau luka sedikit pun di punggungnya. Ajaib! Benar-benar ajaib!"
"Ya, ajaib! Kita hanya menjadi penonton pertarungan satu melawan seribu, itu memang sangat ajaib," sindir Kirana. Kemudian Lanangseta tertawa. Dan tanpa ragu-ragu lagi ia melesat cepat bagai anak kijang hutan. Sekali lagi ia meloncat tinggi, lalu jatuh tepat di samping Ekayana yang tengah sibuk menangkis serangan lawan dengan pedangnya. Ekayana sempat kaget sebentar, lalu menengok ke arah Lanangseta.
"Hei...!" sapa Ekayana pendek dengan senyum girang.
"Hei, sudah sembuh?"
"Sudah! Mereka menolongku," sambil berkata demikian, Ekayana Seta menghadapi serangan lawan, menangkis dan menghindar, Demikian juga Lanangseta, sambil mengibaskan pedang Wisa Kobra ia masih bisa ngobrol dengan adik kembarnya:
"Mereka siapa, maksudmu?"
"Para orang tua penghuni goa itu." Para orang tua? Berarti lebih dari satu orang tua. Padahal selama ini Lanangseta merasa tak pernah menjumpai satu orang pun di dalam goa, kecuali orang-orang yang dikenalnya. Tapi segera Lanangseta memahami, mungkin yang dimaksud Ekayana adalah leluhur keluarga Kirana, entah dalam bentuk roh halus, atau memang mereka masih hidup sampai saat ini.
"Andini di mana?" tanya Ekayana.
"Mencarimu bersama Ludiro. Mereka masih di dalam goa. Eh... kenapa kau terlibat utusan dengan orang-orang ini?"
"Mereka memaksaku untuk menunjukkan letak goa Malaikat. Aku tidak tahu, dan memang tidak tahu. Tapi mereka tidak percaya, bahkan menyerangku."
"Yang kita huni itulah Goa Malaikat. Kalau begitu, mari kita selesaikan secepatnya permainan ini, nanti kita cari Andini bersama-sama...!" Kemudian setelah Ekayana mengangguk, Lanangseta pun berteriak keras, melayang ke udara dan membabatkan pedangnya ke arah lawan. Sekali tebas, dua tiga kepala yang terkena.
Orang-orang Tebing Neraka itu ganas-ganas. Jumlahnya puluhan orang yang datang ketika itu. Agaknya pimpinan mereka benar-benar tahu, bahwa di goa Malaikat itu tersimpan banyak emas, sehingga ia memerintahkan seluruh orang-orangnya untuk menguasai goa Malaikat. Jika memang begitu, lalu siapa pemimpin mereka sebenarya? Mengapa sampai mengetahui betapa berharganya Goa Malaikat itu? Kirana Sari sengaja tidak turun tangan. Ia berdiri di depan mulut goa sambil menyaksikan pertarungan dua pendekar kembar melawan sejumlah orang-orang Tebing Neraka. Dalam hati, Kirana Sari mengakui kehebatan kedua pendekar tampan itu. Ekayana dipuji atas permainan pedangnya yang cukup bagus dan mengagumkan. Pedang itu dapat berputar cepat, mengelilingi tubuhnya, dan berguna sebagai pelindung tubuh.
'Trang...! Trang...! Tang...!"
Hanya suara itu yang terdengar dari setiap tebasan senjata lawan ke arah tubuh Ekayana. Yang mengagumkan lagi, sekali Ekayana menebaskan pedangnya, dua tiga orang menjadi patung seketika. Artinya diam mendadak dalam gerakan pada waktu itu. Kemudian satu persatu bagian tubuhnya yang terpotong itu jatuh, dan matilah mereka. Seperti saat ini, Ekayana mengayunkan beberapa kali pedangnya ke arah lawan. Orang itu masih sempat tersenyum, sebelum tangannya tahu-tahu terlepas, jatuh. Disusul dengan kupingnya, pahanya, lalu kepalanya menggelinding sendiri pada saat Ekayana sudah menewaskan dua orang lainnya. Itulah kehebatan ilmu pedang Ekayana. Sayang Kirana belum mengetahui bahwa Ekayana itu memang bergelar Pendekar Maha Pedang. Memang berbeda dengan saudara kembarnya Pendekar Pusar Bumi. Kalau pendekar yang satu itu memang cekatan, namun permainan pedangnya tak sehebat Ekayana. Tetapi keampuhan pedang itu sendiri cukup mengagumkan. Lanangseta seolah-olah bertugas merontokkan persenjataan lawan. Jenis senjata apa saja yang tertebas pedang Wisa Kobranya, langsung patah menjadi beberapa bagian, tergantung berapa kali pedang itu menebas senjata tersebut. Hal ini membuat orang-orang Tebing Neraka menjadi kelabakan. Namun ilmu silat dan tenaga dalam orang-orang itu juga tak dapat diremehkan. Yang paling berbahaya adalah pukulan tenaga dalam jarak jauh, yang mengeluarkan nyala sinar biru tua. Pukulan itu dapat membuat orang yang terkena menjadi sirna tanpa bekas. Untuk sementara, tugas Kirana adalah menahan setiap ada serangan sinar biru tua. Ia menahan dari jarak jauh, dan apabila posisi kedua pendekar itu tidak dalam satu arah dengan sinar biru tua, maka melepaskan sinar tersebut. Jika mengenai teman mereka sendiri, maka hilanglah teman mereka, jika mengenai pohon, maka hilanglah pohon itu.
"Serang terusss...!" seru salah seorang yang bertugas menjadi komandan tempur mereka.
"Ingat, rebut goa Malaikat dan hancurkan penghalangnya...!!"
Kirana tersenyum tipis. Sayang Pendekar Pusar Bumi saat itu tidak melihatnya. Pendekar Pusar Bumi sedang memperagakan jurus Lindung Buminya. Ia amblas ke tanah, tahu-tahu muncul di bawah kaki beberapa lawannya. Lalu dengan cepat pedang Wisa Kobra merobek perut dan bagian tubuh lawan lainnya. Berulangkali ia menggunakan jurus itu dan selalu berhasil. Tapi, orang-orang Tebing Neraka semakin bertambah banyak saja rasanya. Ru-panya kali ini adalah penyerangan total dari orang-orang Tebing Neraka.
Tiba-tiba sebuah tangan meraih leher Kirana dari belakang. Kirana mengibaskan orang itu, dan orang itu terpental jauh sekali, tinggi dan jatuh tepat di bebatuan dengan kepala duluan. Mengerikan sekali kematiannya. Kemudian Kirana merasa perlu turun tangan untuk mempercepat mengalahkan orang-orang ambisius itu. Gerakannya begitu lincah namun kelihatannya ringan. Ia seperti ogah-ogahan bertempur, tapi yang menjadi korban pukulannya tidak sedikit. Hanya saja, tiba-tiba orang Tebing Neraka itu beralih arah ke Kirana. Ada yang berteriak,.
"Awas, jangan sampai terluka...!" Ada juga yang berseru sambil menyerang, "Aku dulu yang memakainya! Aku dulu...!" Kirana masih bertarung dengan gaya malas-malasan, namun sebenarnya ia mempunyai gerakan yang sangat cepat dan hebat. Satu kali ia memukul lawannya, tiga orang di belakang orang yang dipukul dapat terjungkal bersamaan. Tetapi, mereka menyerang dengan tujuan lain. Mereka tidak bermaksud membunuh, tapi memakai tubuh Kirana lebih dulu baru akan mem-bunuhnya. Karena itu, mereka yang menyerang Kirana sengaja menyimpan senjata mereka. Tubuh mulus dan sintal itu, sangat sayang jika sampai terluka. Bahkan dari mereka hanya ada yang berusaha mencium Kirana. Tetapi yang diperoleh selalu pukulan hebat dan telak yang membuat mereka menggelepar, lalu mati.
Sementara Pendekar Pusar Bumi masih senang menggunakan jurus Lindung Buminya, amblas, menyerang, amblas, menyerang... begitu seterusnya. Sedangkan Pendekar Maha Pedang, bagai sedang memotong agar-agar untuk suatu hidangan. Ia menggerakkan pedangnya ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, dan pada umumnya lawan yang terkena sabetan pedangnya tidak merasa sakit. Bahkan ada yang tidak sadar kalau dirinya sudah terpotong menjadi tiga bagian. Tahu-tahu sewaktu ia ingin berlari mengejar keroyokan tubuh Kirana, anggota tubuhnya sendiri telah berantakan, dan ia pun mati dengan nyaman.
Pada waktu itu, Kirana melesat tinggi melampaui kepala mereka. Ketika ia menginjakkan kakinya ke tanah, seorang bertubuh kekar dan bermata jalang segera menyergapnya. Kirana menjatuhkan diri di rerumputan. Orang itu memeluknya dengan kuat dan berusaha mencium Kirana. Lanangseta sempat melihat adegan Kirana hampir diperkosa orang itu. Ia segera melejit, melambung ke atas, dan membabat orang-orang yang hendak ikut berguling-guling dengan Kirana.
Tubuh Kirana telah berada di bawah dan tangan orang kekar itu mulai bekerja ke mana-mana. Namun tiba-tiba tubuh orang kekar itu terpental ke atas, ia sempat bersalto sambil berteriak:
"Aaaakhh...!" Ia dapat jatuh dalam posisi berdiri, namun sekujur tubuhnya telah penuh dengan ratusan jarum hitam. Wajahnya rusak dihunjam sekitar 50 jarum, belum sekujur tubuh lainnya. Dan tiba-tiba orang itu menjadi kering. Makin lama makin kering kerontang, sampai akhirnya ia tak ubahnya seperti besi bekas yang tergeletak penuh karat.
Kini nafsu birahi mereka sirna, yang ada hanya niat membunuh Kirana. Tapi Kirana sendiri telah siap siaga dengan senyum sinisnya yang menggemaskan setiap orang. Dan pada saat itu, terdengarlah suara seorang perempuan dari mulut goa yang berteriak-teriak menghadapi lawan. Lanangseta sempat melirik, dan ternyata perempuan itu adalah Andini:, yang sibuk menghadapi sekitar tujuh orang. Tentu orang-orang itu berusaha hendak masuk ke dalam goa, tapi sudah dihadang oleh Andini yang tidak tahu menahu masalahnya.
Lanangseta meloncat, dan berguling di udara bagai sebuah baling-baling. Ketika ia turun, ia telah berada di belakang Pendekar Maha Pedang.
"Gadismu muncul...!" kata Lanangseta.
"Ya, aku sudah melihatnya baru saja," jawab Ekayana seraya berkelit ke kiri menghindari tombak bermata tiga. Lalu ia meliukkan badan sambil menebaskan pedangnya ke perut lawan. Ia masih sempat berkata, "Dia pasti akan terkejut jika melihatku."
"Sebaiknya temui dia sambil kau babat mereka yang menyerang Andini. Biar di sini aku yang mengurus."
"Ide yang bagus...!" katanya sambil tersenyum, Dan ia pun melesat ke atas, bersalto beberapa kali. Pedangnya sempat menyambar batok kepala lawan, sehingga orang itu terbelah kepalanya bagai semangka tanpa biji.
"Eka...?!" Andini terbelalak memandang Ekayana.
"Awas belakangmu"! teriak Ekayana.
Andini menggerakkan satu kakinya ke belakang,
"wess...!" Tendangannya dapat dihindari lawan, namun orang itu menjadi memar wajahnya karena terkena angin tendangan Andini. Ekayana berguling ke bawah sambil menebaskan pedang pada kaki lawan. Dan ketika itu pula jerit kesakitan membahana dengan histeris. Lalu dengan beberapa gerakkan jurus ringan, Ekayana berhasil menumbangkan lima orang lawan dengan tiga gerakan yang cukup mematikan. Sedangkan Andini mengibaskan rambutnya yang panjang dan mengenai wajah musuhnya, maka orang itu pun menjerit kesakitan, wajahnya bagai terkelupas tanpa ampun lagi. Pedang Ekayana yang akhirnya menghentikan pernafasan orang itu. Andini sempat memeluk Ekayana kekasihnya. Ia sangat rindu. Namun ia terpaksa mau diajak berguling-gulingan oleh Ekayana, karena dua tombak meluncur cepat ke arah mereka. Sambil berpelukan dalam berguling, Andini sempat menyabut beberapa daun dan rumput. Ia menebarkan dalam satu gerakkan, dan rumput serta daun itu pun melesat cepat ke arah dua orang yang melemparkan tombak tadi. Orang itu mengerang kesakitan dan untuk kemudian tubuhnya tak berkutik lagi dengan darah yang membanjir dari tiap-tiap bagian tubuh yang terkena rumput itu.
Ekayana dan Andini masih berguling beberapa kali, lalu berhenti karena tertahan oleh sebuah batu besar.
"Aku rindu kamu...!" kata Andini.
"Kau pikir hanya kamu yang bisa rindu?" Ekayana tertawa bersama Andini. Pada saat itu, seorang lawan hendak membabat Ekayana dan Andini, namun Lanangseta mengetahuinya dan segera menendang sebutir batu. Batu itu melayang dan mengenai kepala orang itu. Kemudian dengan sangat mengagumkan kepala orang itu pecah seketika terkena batu yang diten-dang Pendekar Pusar Bumi.
Bertepatan dengan itu, Lanangseta juga melihat dua orang akan membokong Kirana. Lanangseta tak mempunyai kesempatan seperti tadi, karena kini empat orang menutup jalannya. Maka di luar kesadaran, Lanangseta berteriak:
"Kirana Sari!! Awas belakangmu...!" Tak ayal lagi badai pun datang dengan cepat. Lanangseta tercengang dan menyadari ucapannya. Ia telah menyebut nama Kirana Sari. Ia buru-buru mencari tempat untuk berpegangan. Badai mengamuk. Petir menggelegar di angkasa. Langit bagai terbakar. Merah membara. Awan hitam bergolang, bergulung-gulung. Sebatang pohon tumbang seketika, pohon berukuran kecil. Tumbangnya pohon itu sempat menjatuhi tubuh seorang lawan hingga orang itu tergencet. Lanangseta segera bergabung dengan Ekayana dan Andini. Mereka tertahan batu besar. Sementara itu, orang-orang Tebing Neraka sibuk dan kebingungan menghadapi hempasan badai yang begitu kuat dan gencar. Satu persatu mereka mulai terhempas, terpelanting dan bahkan yang bertubuh kurus sekalipun sempat melayang tinggi, lalu jatuh tertancap tonggak pohon. Mereka benar-benar kacau. Banyak kepala yang saling beradu dengan keras. Banyak juga yang tulangnya patah karena bagai diadu dengan batang pohon atau batu. Sementara itu, Lanangseta dan Ekayana sempat melindungi Andini. Gadis itu dipepetkan dengan batu besar, lalu ditutup oleh kedua tubuh mereka.
Pada waktu itu, gadis manja masih sempat bertanya: "Aku tahu, nama perempuan itu Kirana Sari, kan? Aku mendengar kau menyebutkannya tadi."
"Diam!" bentak Lanangseta dengan kasar dan keras. Tapi Andini sudah terlanjur mengucapkan nama itu, sehingga badai pun datang lagi dan semakin hebat. Bumi bergoncang bertambah mengerikan. Gelegar petir di angkasa bertalu-talu, bagai terjadi ledakan gunung bertubi-tubi. Percikan api di langit seperti tarian ular. Mengerikan sekali. Saat itu, orang-orang Tebing Neraka semakin kocar-kacir dan terpental ke mana-mana dengan nasib ditanggung masing-masing. Andini sangat ketakutan. Ekayana tetap tenang, seperti kakaknya. Sedangkan Kirana sendiri, hanya diam di bawah sebuah pohon, menundukkan kepala, memusatkan konsentrasi pada kaki agar menapak kuat di tanah. Sampai beberapa saat lamanya alam menjadi murka, seakan kiamat sedang terjadi dalam bentuk gejala-gejala dini. Pedang Wisa Kobra nyaris terlepas, namun berhasil diraih kembali, kemudian buru-buru disarungkan. Deru angin bagai rombongan pasukan berkuda lewat di samping telinga mereka.
Kemudian kian lama, kian mereda. Dan akhirnya sepi.
Angin semilir. Ledakan di angkasa hilang. Langit menjadi cerah kembali. Bumi tidak lagi bergoyang. Dan orang-orang Tebing Neraka sudah tak bersuara lagi. Ada yang mati tertimpa pohon, ada yang mati terbentur pohon atau batu. Ada yang mati karena kepalanya beradu dengan tombak teman sendiri sehingga seperti tusukan sate. Ada pula yang terbang entah ke mana dan mati dalam keadaan bagaimana.
Yang jelas, semua sudah reda. Semua menjadi sepi. Lanangseta muncul dari balik batu besar. Ia memandang Kirana yang berdiri dengan tenang sambil memandang kerusakan alam di sekelilingnya. Ekayana dan Andini masih berangkulan ketika muncul dari balik batu besar. Lanangseta berjalan mendekati Kirana.
"Kau terluka?" tanya Lanangseta.
Kirana menjawab dengan acuh tak acuh, "Periksalah sendiri."
Saat itu, Andini dan Ekayana berjalan mendekat. Lanang bicara kepada Kirana, "Itu adikku dan kekasihnya, Andini."
"Pergilah kalian," kata Kirana tanpa ekspresi apa pun.
Andini dan Ekayana sempat kecewa mendengar ucapan Kirana. Andini ingin membalas dengan kata-kata sinis, tapi dengan cepat tangan Lanangseta membungkam mulutnya. Ia berbisik saat Kirana menjauhi mereka, berlagak memeriksa korban yang bergelimpangan itu.
"Jangan melawan dia! Kumohon jangan! Demi keselamatanku sendiri. Tahu...?!"
Pendekar Maha Pedang memandang Lanangseta dengan tatapan mata yang penuh tuntutan. Lanangseta tahu, bahwa Ekayana ingin membantu kakaknya kalau memang ada urusan dengan perempuan itu. Namun Lanangseta buru-buru mengedipkan mata dan berbisik lagi:
"Sekarang kalian telah bertemu kembali. Pergilah cepat. Ekayana kalau perlu kembali dulu ke Cendana Manik, ajak serta Andini, biar ayah tahu siapa calon istrimu itu. Turutilah kata-kataku ini." Ekayana menghela nafas panjang-panjang. Lanangseta menambahkan kata:
"Nanti aku akan menyusul menemuimu, entah di Cendana Manik, atau ke Kerajaan Sebrang. Aku pasti menemui kalian."
Mau tak mau Ekayana mengangguk.
"Baiklah. Jaga dirimu sebaik mungkin."
"Ya. Dan aku meninggalkan tempat ini setelah aku bertemu dengan Ludiro, dan Gopo."
"Bagaimana dengan Sekar Pamikat?"
"Dia akan menjadi penguasa bukit ini. Sudahlah, nanti kuceritakan panjang lebar setelah kita jumpa di sana."
Akhirnya, dengan langkah-langkah berat, Ekayana serta Andini meninggalkan Pendekar Pusar Bumi. Andini sesekali menengok ke belakang kendati sudah jauh melangkah. Ia masih melontarkan nada sedihnya, "Kasihan Lanangseta."
"Ia dapat mengurus diri sendiri," ujar Ekayana.
"Oya... sebenarnya apa yang terjadi pada dirimu? Kenapa kau hilang dan tahu-tahu sudah bertarung dalam keadaan sehat, tanpa bekas luka lagi."
Ekayana tersenyum.
"Ceritanya panjang, Dini. Yang jelas, aku diselamatkan oleh orang tua yang ada di dalam goa itu. Aku disembuhkan dengan cara yang tidak kuketahui. Hanya yang kuingat, tahu-tahu aku sudah berada di bawah pohon, lalu kedatangan orang-orang Tebing Neraka itu. Ah, nanti kuceritakan lebih panjang lagi setibanya di rumah. Sekarang sebaik-nya kita ke Pesanggrahan Cendana Manik, menemui ayah. Tentu Ayah ingin melihat seperti apa kecantikan calon menantunya itu..." Andini tertawa manja dan mempererat pelukannya.
Sementara itu, Pendekar Pusar Bumi atau Lanangseta, masih tertegun menyaksikan banyak mayat di sekitar depan Goa Malaikat. Ia melihat sosok tubuh perempuan anggun yang punya daya pesona tersendiri itu berdiri di mulut goa. Lanang segera menghampirinya. Ia berhenti didepan Kirana. Mereka saling tatap beberapa saat. Angin berhembus semilir, mempermainkan rambut mereka, mempermainkan mata mereka yang sama-sama tajam namun meneduhkan.
"Maaf, aku tadi tak sengaja menyebutkan namamu," kata Lanangseta. Kirana membuang pandangan ke cakrawala.
"Kenapa kau tak ikut pergi dengan mereka?" katanya datar.
"Aku menagih janji."
Sekejap cepat Kirana berpaling menatap Lanangseta.
"Janji? Janji apa aku padamu?"
"Kau akan membunuhku."
Kirana menghela nafas.
"Apa kau masih membandel ingin tinggal di tanah kami ini?!"
"Aku harus tinggal beberapa saat lagi, karena dua temanku, Ludiro dan Gopo belum ke luar dari Goa. Mereka tersesat dan aku akan mencarinya sampai ketemu."
"Waktumu sudah habis!" ketus perempuan anggun itu.
"Biar. Aku tidak peduli."
"Keras kepala!" Kirana menyipitkan mata. Tapi cantik.
"Lama-lama habis sudah kesabaranku! Kau benar-benar bisa kubunuh!" tandasnya.
Tiba-tiba terdengar gemuruh di belakang Kirana. Oh, matahari telah tenggelam, dan goa itu tertutup sendiri secara otomatis. Ia bagai kehabisan tenaga surya. Kirana tertegun melihat goa itu tertutup sendiri dengan rapat. Ia segera berpaling kepada Lanangseta, seakan berkata:
"Goa menutup sendiri." Namun pada saat itu Lanangseta hanya menyunggingkan senyum dan mengangkat bahunya sambil membuka kedua tangan. Lalu ia berkata: "Mau tak mau harus kutunggu sampai goa itu terbuka lagi. Lalu akan kucari temanku di dalam sana."
"Tidak!" bantah Kirana.
"Aku akan nekad."
"Kau harus pergi."
"Kau sajalah yang pergi," Lanang bagai malas.
Tiba-tiba Kirana melancarkan serangannya melalui tendangan kaki kanan yang menyamping.
"Wess...!" Lanangseta berhasil menghindari tendangan itu. Tapi dalam langkah berikutnya, kaki kiri Kirana mengayun ke depan, menendang kuat-kuat, dan mengenai dada Lanangseta."
Buuk. !"
"Huugh...!" Lanangseta mengaduh, membungkukkan badan sambil memegangi dadanya. Ia menahan sakit dengan bersandar pada sebuah batu besar. Kirana segera menghampiri dengan wajah kaku, tanpa ekspresi.
"Menyingkirlah sebelum aku membunuhmu!"
Jawab Pendekar Pusar Bumi, "Bunuhlah sebelum aku menyingkir."
Kirana menghempaskan nafas, kesal dan gemas. Wajahnya jadi kelihatan manis menggemaskan.
"Bunuhlah...!" kata Pendekar Pusar Bumi.
Dengan ketus Kirana berkata, "Cabut pedangmu! Kita benar-benar bertarung secara kesatria!"
"Baik...!" Lanangseta mencabut pedangnya.
"Sreet...!" Lalu berkata pelan, "Aku telah siap!"
"Aku belum!" jawab Kirana ketus dan tandas.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin bertarung secara ksatria, tapi tanpa kutahu nama musuhku."
"Jadi kau butuh namaku?"
"Kalau kau mau bertarung denganku, sebutkan namamu!"
Lanangseta cengar-cengir.
"Namaku, Lanangseta. !" Kirana memandang ke langit yang suram.
"Sepi. Tak ada badai, tak ada petir, tak ada apa-apa. Hem... sebuah nama tanpa arti!" ejeknya. Lanang tersenyum sinis.
"Kau sudah tahu namaku. Mari kita bertarung, dan kau harus membunuhku."
Kirana diam saja. Ia berusaha untuk tetap tenang.
"Ayo, bertarung dan bunuhlah aku!" Lama-lama Kirana berpaling dan memandang mata Lanangseta dalam-dalam.
Ia berkata bagai bisikan: "Apakah aku akan sanggup membunuhmu?"
"Kenapa tidak?"
Kirana menggeleng lemah. Ia memandang jauh ke cakrawala dan berkata lirih, "Aku lupa, bagaimana cara membunuh orang yang kucintai..." Lanangseta tertegun. Kirana memandang lembut. Kemudian Kirana membiarkan tangan Lanangseta meraih pundaknya. Ia bahkan merebahkan kepala di dada Pendekar Pusar Bumi.
Sore pun redup, beralih keremangan petang. Tapi ada sinar bulan di sela-sela mega. Sinar kirana yang membias menerangi sosok insan yang sedang merebahkan kepalanya di dada seorang pendekar tampan. Insan itu amat lembut, namun juga anggun dan menggetarkan hati lelaki. Kirana Sari!
Ia mencintai Pendekar Pusar Bumi. Tetapi benarkah ia akan menjadi kekasih pendekar itu?

TAMAT



INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA
<< Rahasia Sendang Bangkai --oo0oo-- Gerhana Tebing Neraka >>
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.