Asmara Pasak Dewa
tanztj
June 29, 2018
INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA | |
<< Iblis Pulau Keramat --oo0oo-- Istana Langit Perak >> |
Pendekar Cambuk Naga
Karya: Barata
--≡¦ { 1 } ¦≡--
"Larilah terus! Jangan hiraukan aku dulu. Lari, Lanang!" teriak Andini sewaktu Lanangseta masih sering bimbang dan mengkhawatirkan keselamatan Andini.
Perasaan cinta Andini kepada Lanangseta itulah yang membuat ia sanggup menempuh resiko, bertarung melawan Prabima Wardana. Sesekali Andini sempat mengingat betapa kasarnya pemuda berpedang perak itu ketika hendak memperkosanya beberapa waktu yang lalu (dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO). Ingatan itu pun yang membuat Andini bernafsu untuk membunuh Prabima.
Ia sengaja menghadang setiap gerakan Prabima yang berusaha merebut bunga Teratai Wingit, yaitu bunga yang menentukan siapa lelaki yang akan menjadi calon istri Kirana, Putri Bukit Badai.
"Perempuan bodoh! Tak ada gunanya kau melindungi Lanangseta! Minggir...!" seru Prabima yang merasa dongkol sekali kepada Andini. Ia melancarkan tendangan sejurus yang digerakkan dengan tubuh berputar. Tendangannya mengenai pundak Andini yang waktu itu berkelit ke kiri. Andini terguling jatuh akibat tendangan itu, namun ia segera melesat bagai kupu-kupu terbang. Melayang tubuhnya, dan kakinya berhasil mengenai kepala Prabima kendati hanya menyerempet saja. Prabima segera meluncurkan tangan kanannya pada waktu Andini mendaratkan kaki ke tanah. Tangan Prabima yang menghantam wajah Andini berhasil ditangkis oleh gerakan tari yang gemulai namun punya kekuatan tenaga dalam yang lumayan.
"Tak semudah dugaanmu menyentuh tubuh Lanang, Setan!" kata Andini seraya mengembangkan kedua tangannya, namun pada detik berikutnya kaki kanannya maju ke depan dengan cepat sekali. Hampir saja Prabima kehilangan dagunya yang bersih dan indah itu kalau saja ia tidak segera mendongak ke atas, menghindari tendangan kaki Andini. Pada saat itu, Andini melihat posisi kaki Prabima lemah; sedikit tertekuk kedua nya. Maka, kaki kanan yang masih di atas itu segera turun bagai kibasan pedang menyamping, lalu berputar ke bawah dan menghentak kuat ke lutut Prabima. Tubuh Prabima oleng, dan rubuh.
Andini tidak menyerangnya lagi. Ia juga takut ketinggalan jauh dengan Lanangseta. Ia segera melesat bagai belalang loncat dan terbang.
"Rasakan kebodohanmu ini, Betina Jalang...!" seru Prabima yang segera melancarkan jarum-jarum beracun dari ujung jemarinya. Jarum-jarum itu melesat cepat seperti hembusan angin. Tak mudah dilihat mata manusia biasa. Namun Andini punya kepekaan tersendiri. Ia merasa ada angin berdesir dari belakangnya dalam satu kelompok. Pasti bukan sembarang angin. Karenanya ia segera menghentakkan kaki ke batang pohon sebesar lengan, lalu ia bersalto ke samping dengan cepat. Pada saat itu, jarum-jarum melesat dan menancap pada batang pohon itu. Tidak perlu menunggu sampai sepuluh hitungan, pohon itu telah menjadi kering seketika. Daun-daunnya rontok dan pohon itu tak akan bisa tumbuh lagi. Mati!
Lanangseta harus segera keluar dari Pulau Kramat itu. Ia sudah sampai di pantai, namun kembali hatinya was-was akan keselamatan Andini. Ia menunggu Andini untuk menyeberangi lautan dan menuju pantai di seberang sana. Tetapi ketika Andini muncul, gadis itu segera berkata:
"Menyeberanglah, Lanang. Cepat! Jangan tunggu pemuda itu mengejarmu. Aku sanggup menghadapinya di sini!"
"Andini, aku malu. Aku bisa mengalahkan dia, tapi...!"
"Tapi aku juga tidak ingin kalau kulitmu sampai terluka oleh kemarahan orang itu. Biar kuhadapi. Pergilah. Pergilah menyeberang, lekas...!" seraya Andini mendorong-dorong tubuh Lanangseta.
"Lekas, aku nanti akan menyusulmu setelah menjebak dia dalam perangkap...!"
Lanangseta tak mengerti apa rencana Andini sebenarnya. Tetapi ia menyadari bahwa ia harus pergi secepatnya, menyelamatkan bunga Teratai Wingit yang kini ada dalam genggaman tangan kirinya itu. Ia harus segera memakan bunga tersebut dalam upacara khusus sesuai adat leluhur Bukit Badai. Karena jika tidak segera memakan bunga itu, Prabima akan mencari peluang untuk mencurinya lagi.
Dengan ilmu peringan tubuh yang sangat sempurna, Lanang menyeberangi laut dengan berlari di atas permukaan air. Permukaan laut yang bergelombang kecil itu bagai permadani yang dapat dilaluinya dengan mudah, bahkan sambil berlari cepat. Setiap telapak kaki Lanang menginjak permukaan air, seolah-olah ia menginjak sebidang agar-agar yang sulit memercik. Prabima yang melihat hal itu segera menyusul Lanang. Ia berseru, "Aku juga bisa seperti kamu, Lanang!"
Namun belum sempat kakinya menginjak ke permukaan air laut, tiba-tiba kedua kaki Andini meluncur cepat ke arah lengan Prabima. Tendangan dari arah samping itu membuat Prabima terpental dan berguling-guling di tanah.
"Lanang! Hadapi aku jika kau memang jantan! Jangan lari, Lanang...!" teriak Prabima dengan gemas, karena sebelum ia selesai bicara, Andini yang bergaun tipis warna merah muda itu segera melancarkan pukulan jarak jauhnya yang diberi nama Pukulan Bidadari Senja. Pukulan itulah yang membuat beberapa orang Pulau Kramat mati dalam keadaan hangus di bagian tubuh yang terkena pukulan itu.
Tapi kali ini musuh Andini tidak mudah untuk dirobohkan. Prabima melihat gelagat tak baik dari pukulan Andini itu, ia segera mengeraskan kedua tangan dan kakinya, berdiri dengan sedikit merendah dan bungkuk, kemudian ia menghentakkan tangan kanannya. Dari tangan kanannya itu keluar semacam percikan api yang membentuk hawa racun dari pukulan Bidadari Senja. Kedua tenaga dalam itu berbenturan dan mengakibatkan suatu ledakan yang menggema.
Tubuh Andini terdesak mundur dua langkah, demikian tubuh Prabima.
Sekali lagi Andini melancarkan pukulan Bidadari Senja. Gerakan tangannya yang melambai bagai orang menari itu nyaris tidak ketahuan jika itu adalah sebuah pukulan yang sangat berbahaya. Tapi Prabima Wardana rupanya tahu akan hal itu, sehingga karena tak sempat memberi balasan seperti tadi, ia hanya meloncat ke samping dan pukulan Andini itu membentur bongkahan karang di belakang Prabima. Lanangseta sudah mendarat di pantai seberang pulau itu, bahkan ia segera berlari menyelusup hutan paya, dan berlari membawa bunga Teratai Wingit ke Bukit Badai. Ia tak tahu bahwa kali ini Andini agak keteter karena Prabima menggunakan pedangnya yang bersarung perak putih.
"Kau tidak akan mampu menandingi ku, Betina Busuk!" teriak Prabima seraya menebaskan pedangnya ke arah perut Andini. Tubuh Andini melengkung ke belakang dan ujung pedang itu melintas di depan perutnya hanya berjarak beberapa centimeter saja. Gerakan tangan kanan Prabima yang melesat ke kiri pada waktu menebaskan pedang, segera disambut dengan tendangan samping dari kaki kiri Andini. Prabima menggeloyor, nyaris kehilangan keseimbangan tubuh. Namun ia kembali menyerang Andini dengan satu loncatan ke atas dan melancarkan tendangan putar dari kaki kirinya. Tendangan itu dapat ditangkis oleh sekelebat kain lengan baju Andini. Kemudian Andini hendak menyerang maju, namun pedang Prabima segera menusuknya. Sehingga, Andini membatalkan serangannya, ia berkelit dengan merundukkan badan serendah mungkin dalam posisi miring ke kiri. Pedang lolos, lewat di samping leher Andini.
Kaki Prabima mulai menginjak tanah kembali, tapi belum genap berdiri keduanya, tahu-tahu kaki Andini telah menyapunya dengan cepat, dan Prabima pun terpental jatuh. Andini bermaksud menyerangnya dengan tendangan berikutnya dari arah atas Prabima. Tetapi tangan kiri Prabima tersentak ke depan, dan keluarlah jarum-jarum beracun warna hitam dari ujungujung jarinya itu. Akibatnya, Andini terpaksa berkelit ke samping dengan menggulingkan badan beberapa kali. Gaun merah mudanya yang longgar itu seperti kilasan sayap kupu-kupu menyeberang taman. Indah, namun cukup membahayakan. Sementara itu, serombongan jarum beracun itu melesat ke udara dan entah mengenai apa lagi.
Dalam satu kesempatan, Andini berhasil jatuh di dekat sebatang ranting pohon kering. Ia segera memungut ranting pohon yang panjangnya satu depa lebih. Ranting itu ia jadikan sebilah pedang dengan kekuatan tenaga dalamnya yang cukup hebat. Ketika Prabima menyerang dan menebaskan pedangnya, Andini menangkis dengan ranting itu. Suara yang timbul akibat benturan pedang dengan ranting menjadi nyaring.
"Tiing...!" Prabima sedikit kaget, ia berhenti menyerang. Matanya tajam memandang Andini yang juga berdiri menunggu serangan berikutnya dengan wajah angkuh dan mata seperti kucing marah. Diam-diam Prabima mulai tertarik dengan kehebatan Andini. Ia bergerak lagi dengan tiba-tiba supaya mengagetkan Andini. Gerakan itu adalah mengayunkan pedangnya secepat mungkin dengan kaki kanan menghentak ke tanah, maju ke depan, pedang Prabima pun melesat bagai hendak membelah kepala Andini. Andini menangkisnya dengan kayu kering itu, sambil kaki kirinya ditarik mundur dan kini ia merendahkan badan. Sedikit.
"Trang...! Tiing...! Tiing...!"
Andini menangkis setiap kibasan pedang Prabima. Ia agak terdesak mundur karena pukulan pedangnya begitu kuat. Andini masih bisa bertahan menangkisnangkis serangan pedang Prabima. Mereka bagai sepasang pemain anggar yang cukup ulet. Sebab dalam satu kesempatan. Andini pun mampu mendesak Prabima dengan ranting keringnya.
"Kuakui kau cukup ulet, Betina Jalang!" ujar Prabima sambil bermain anggar mengimbangi serang Andini.
"Tapi keuletan mu itu sia-sia. Ku ingatkan, tenagamu ini sangat sia-sia...!"
"Bagimu mungkin sia-sia, tapi bagiku tidak!" balas Andini dengan tetap berkonsentrasi pada permainan anggarnya.
"Hiaaah...! Tak kuizinkan siapa pun menyentuh Lanangseta!"
"Hebat. Suatu pengorbanan dan kesetiaan yang hebat!" kata Prabima seraya ia mengibaskan pedangnya bolak-balik, lalu oleh Andini ditangkisnya terus.
"Apa dasar mu mempunyai kesetiaan kepada Lanangseta, hah? Cinta?"
"Itu urusanku! Untuk apa kau tahu, Monyet Mati. Uhh... Mampus kau...!" Trang...!..... Ting, ting...! Tiing...!
Mereka sama uletnya, sama kuatnya. Permainan pedang Andini benar-benar tak dapat diremehkan kelincahannya, sekali pun yang ia gunakan itu sebenarnya adalah sebatang ranting kering. Namun sudah cukup mewakili sebagai pedang sama kekuatannya dengan pedang Prabima.
Prabima sendiri masih terus menyerang Andini bagai sedang berlatih. Ia kurang begitu serius, karena ia ingin tahu siapa gadis yang dilawannya itu?
"Aku belum pernah melihatmu, Betina Jalang! Karena itu aku sangsi dengan pertarungan ini."
"Tak perlu kau sangsikan. Percayalah bahwa sebentar lagi kau akan mati, Setan Gropos...!" Lalu, Andini menghentakkan pedangnya beberapa kali, "Hiaat...! Hiaat...!"
Pergelangan tangan Prabima bagai memutar dengan cepat dalam mempermainkan pedangnya. Ia berkata dengan nafas tak setenang semula:
"Boleh aku mati, tapi sebelumnya sebutkan dulu namamu. Aku tak ingin mati dengan penasaran tanpa ku tahu siapa pembunuhku," Prabima sedikit tersenyum nakal. Andini menyerang terus, kakinya bergerak maju mundur. Ia sangat lincah dalam hal bermain pedang seperti itu. Ia tetap bisa bicara dengan tenang.
"Namaku Andini. Lanang sering memanggilku, Andini Sayang...!"
"O, ya? Woow... mesra sekali kedengarannya. Lanang memanggilku Prabima, tapi tidak pernah pakai embel-embel Sayang di belakang namaku." Prabima menghentakkan kaki. Pedangnya disabetkan kuatkuat, namun ranting kering itu belum juga mau putus. Padahal, biasanya pohon pun dapat dipenggal putus oleh pedang Prabima, asal jangan terlalu besar. Namun kali ini, ranting yang kecil, sepertinya sebatang baja yang sukar dilebur dalam bara api apa pun.
"Kau akan mati dengan sia-sia, Andini."
"Mati membela seorang kekasih, bukan hal yang sia-sia," Sambil Andini berputar tubuh dan mengibaskan senjatanya ke atas, ingin merobek perut Prabima dari bawah ka atas. Tapi Prabima sempat menahan pedang tiruan itu dengan pedangnya yang asli sebilah pedang. Sambil begitu ia berkata sinis:
"Jangan bohong di depanku, sebab aku tahu kau bukan kekasih Lanangseta."
"Matamu yang buta! Pantas dicungkil dengan kayu ini! Hiiaat...!" Andini menusukkan ranting ke mata Prabima, tapi Prabima berkelit ke samping dan menangkisnya dengan hentakan keras.
"kurasa kau benar-benar perempuan bodoh! Kau cukup cantik, kau menggairahkan, kenapa kau rela menjadi gundik Lanangseta?! Kenapa sudi menjadi istri simpanannya?"
Andini semakin panas hati. Ia membabatkan senjatanya dengan kuat dan bertubi-tubi ke arah leher Prabima, sekalipun mampu di elakkan dan ditangkis oleh Prabima.
"Kau menghinaku tanpa memikirkan keselamatanmu, Setan! Seenaknya saja mengatakan aku istri simpanan Lanangseta!"
"Hei, aku bicara dengan benar, kan? Bukankah Lanangseta sudah punya calon istri sendiri?"
"Dia pernah bilang begitu, tapi itu bohong! Kau sendiri terkecoh dengan tipuan kata-katanya!" ketus Andini sambil terus bermain anggar dengan lawannya.
"Tipuan bagaimana? Ah, ah... kau ternyata belum tahu keadaan Lanangseta sebenarnya."
Andini tidak menjawab, matanya tak berkedip dalam menghindari tebasan pedang lawan. Ia berkelit dan menangkis, lalu sesekali menyerang dengan bertubi-tubi.
"Hei, Lanangseta memang sudah punya calon istri, bahkan dalam waktu dekat ini, kurasa ia akan melangsungkan perkawinannya...!" Prabima sengaja memanaskan hati Andini. Andini sendiri tidak berbicara apa pun, namun otaknya berputar mencari-cari kebenaran apa yang sepatutnya ia ketahui. Karena itu, Andini membiarkan Prabima berceloteh terus.
"Apakah Lanangseta tak pernah bilang padamu, bahwa ia akan kawin dengan Putri Bukit Badai? Apakah ia tidak bercerita padamu, bahwa untuk menjadi suami Putri Bukit Badai itu ia harus memakan bunga Teratai Wingit yang tadi dibawanya kabur itu? Dan apakah kau tidak tahu, bahwa bunga itu akan merubah darah siapa saja yang memakannya, menjadi satu darah dengan leluhur Bukit Badai. Dengan perubahan darah itu, maka ia dapat kawin dengan Putri Bukit Badai, dan mereka akan mempunyai keturunan. Tetapi jika ia tidak memakan bunga Teratai Wingit, namun nekad kawin dengan Putri Bukit Badai, maka ia tidak akan mendapat keturunan, dan perempuan itu akan mati dalam waktu kurang lebih satu minggu setelah tidur bersama Lanang. Sebab tanpa memakan bunga itu, berarti Lanang tidak bisa mempunyai darah sama dengan Putri Bukit Badai. Dan kalau perempuan itu nekad kawin, maka darahnya akan berubah, menjadi racun dan membusuk, lalu ia akan mati. Sebab itu, Lanang sangat marah ketika bunga itu ku curi. Ia takut kalau bunga itu ku makan, karena dengan demikian, akulah satu-satunya lelaki yang dapat kawin dengan si Cantik Bukit Badai. Dan... dan sekarang kau membantunya dalam usaha memperoleh bunga itu, namun di luar kesadaran kau telah berusaha membuat ia meninggalkan cinta mu, dan kawin dengan perempuan lain. Kau tidak akan memperoleh apa-apa dari dia, Andini...!"
"Bohong...!" teriak Andini amat beremosi. Wajahnya yang kuning langsat menjadi merah, nafasnya terengah-engah. Gerakannya semakin brutal karena dilapisi kemarahan yang sungguh membakar darahnya.
"Kau bohong, Prabima!"
Prabima bersalto ke belakang, dan berhenti menyerang.
"Itulah kenyataan yang belum kau ketahui. Karena itu sejak tadi kukatakan, bahwa kau perempuan bodoh! Kau membela orang yang kau cintai, tapi ia sendiri akan menjadi milik perempuan lain. Kau tidak akan memilikinya!"
"Jahaaannaaamm...!" teriak Andini melengking panjang. Ia membuang senjatanya dan menangis sambil tubuhnya lemas, jatuh di hamparan pasir pantai.
Prabima tersenyum tipis. Ia memasukkan pedangnya pada sarung pedang perak. Ia membiarkan Andini meraung-raung dalam tangisnya. Andini tak dapat mengendalikan diri. Ia seperti orang kena tipu mentahmentah oleh Lanangseta. Penyesalannya dalam membantu Lanang memperoleh bunga itu, sungguh bagai senjata yang menghunjam hatinya. Sakit sekali!
"Kalau ku tahu bunga itu adalah syarat perkawinanmu dengan perempuan lain, aku tidak akan sudi membantumu sampai sekarang ini, Lanang Setaaan...!" teriak Andini dalam tangisnya. Kakinya bergerak-gerak seperti anak kecil menangis minta jajan. Debu pasir berhamburan dan Andini tidak perduli akan hal itu. Ia sangat menyesal. Sangat menyesal sekali. Kegeraman sudah bercampur dengan kemarahan. Sebentar lagi kemarahan itu akan berubah menjadi dendam.
Prabima mendekati Andini dengan tenang, dengan senyum kepuasan karena mampu mempengaruhi Andini. Ia jongkok di depan Andini. Ia yakin Andini tidak akan menyerangnya.
"Kau tertipu, Andini. Dan orang tertipu itu sangat memalukan, sekaligus menyakitkan hati. Lebih baik ditampar keras-keras daripada ditipu mentah-mentah," tutur Prabima memberi pengaruh dendam di jiwa Andini.
"Aku tidak tahu kalau bunga itu adalah... adalah kunci dari perkawinannya. Kalau ku tahu begitu, kuhancurkan saja bunga itu, atau ku injak-injak seperti aku menginjak-injak calon istrinya! Bangsat memang Lanangseta itu...!" Andini tak peduli kata-kata itu layak atau tidak bagi perempuan secantik dia, tapi itulah ungkapan kemarahan yang dibungkus oleh penyesalan seumur hidup.
Prabima merasa mendapat angin. Ada peluang untuk merebut bunga itu sebelum tiba saat upacara adat leluhur Bukit Badai, di mana dalam upacara itu Lanangseta akan memakan bunga tersebut. Lalu, ia pun berkata kepada Andini dengan senyum kelicikan yang selalu menghiasi bibirnya.
"Banyak orang menyangka Lanangseta itu pria pujaan, laki-laki yang menjadi idaman setiap wanita, pemuda tampan yang pantas menjadi buah impiannya sepanjang malam. Namun di balik itu semua, Lanangseta adalah impian kebusukan. Banyak gadis yang dipermainkan olehnya. Banyak gadis yang diperas tenaganya, dan dimanfaatkan untuk mencari bunga teratai itu. Salah satu korbannya adalah kamu, Andini."
Andini tidak menyadari kalau saat itu ia sedang dihasut, ia juga tidak menyadari kalau saat itu Prabima memanfaatkan penyesalannya untuk merubah sikap Andini kepada Lanangseta, yang disadari Andini hanyalah gejolak dendam kian membakar darah dan menimbulkan kebencian yang besar pada diri Lanangseta. Ia merasa cintanya kepada Lanang seperti sebuah bungkus nasi yang dibuang begitu saja di sembarang tempat. Sebab itu, ia meredakan tangis untuk mendengarkan kata-kata Prabima yang seolah menghiburnya.
"Penilaian seorang wanita sering terpatok pada ketampanan wajah, ketegapan badan, dan daya tarik khusus yang ada pada diri lelaki. Ia tidak tahu bagaimana cara menilai hati lelaki sebenarnya. Sebab itu, banyak orang yang mengatakan kalau aku ini laki-laki brengsek, karena sikapku memang suka slonangslonong. Padahal di balik sikapku yang seenaknya itu, aku berjanji untuk tidak mau mempermainkan perempuan mana pun. Kalau kau suka, aku akan cinta kepada perempuan itu. Kalau aku cinta, aku akan memilih hanya dialah yang harus menempati hatiku. Kututup pintu hati untuk perempuan lain, sekali pun hal itu dapat membuat aku dibenci gadis-gadis yang ingin mencintai ku."
Diam-diam hati Andini berkata, "Baik juga pribadi pemuda ini. Ia tegas dalam menentukan pilihan. Ia calon suami yang setia kepada istrinya..."
Dan kesempatan bungkamnya mulut Andini itu masih terus dimanfaatkan oleh Prabima. Hasutan dan pengaruh dimasukkan secara halus sehingga Andini tidak merasakan adanya bahaya yang lebih kejam sedang mengancamnya.
"Kalau aku tahu kau adalah korban kekejian hati Lanang, aku tak akan tega menyerangmu berkali-kali. Tapi tadi aku sendiri sangsi, jangan-jangan kau memang senang menjadi istri simpanan Lanang."
"Puihh...!" Andini meludah benci, "Kalau ku tahu Lanang punya rencana begitu, kubunuh dia sejak kemarin!"
Prabima tertawa pendek, ia berdiri dan berkata:
"Itu mudah. Dan aku akan membantumu. Kita sama-sama sebagai orang yang dikecewakan Lanang, apa salahnya kalau kita bergabung untuk ganti mengecewakan dia atau calon istrinya itu? Bagaimana? kau setuju?!"
Andini menatap Prabima dengan tajam, sorot dendam terpancar dari matanya. Lalu ia menjawab dengan gigi menggeletuk: "Setuju! Sangat setuju!"
* * * * *
--≡¦ { 2 } ¦≡--
Kesibukan nafsu dan dendam, membuat mereka lupa pada Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng itu cukup berjasa juga dalam merebut kembali bunga Teratai Wingit dari tangan Prabima. Hanya saja, sayang ia kini dalam tangan penguasa Pulau Kramat yang bergelar Iblis Pulau Kramat. Dalam panggilannya ia sering disebut: Nyai Katri. Seorang perempuan cantik, bertubuh sexy, dan berilmu sangat tinggi. Dialah yang pernah menculik Lanangseta dengan Lanangseta dalam kisah Gerhana Tebing Neraka. Nyai Katri itulah musuh lama Lanangseta sejak ia menyandang sebutan sebagai Peri Sendang Bangkai maupun Gusti Dalem. Perempuan cantik yang mempunyai kesadisan tersendiri itu ketika menjadi istri Penghulu Badra bernama Areswara, namun sejak ia punya niat menguasai dunia, namanya berganti berkali-kali.
Nyai Katri bukan orang bodoh. Ia cukup pintar, cerdik, dan berilmu tinggi. Jaka Bego yang kini menjadi tawanannya sempat mengagumi ketinggian ilmu Nyai Katri, namun juga mengagumi kecantikannya. Hanya saja, Jaka Bego merasa jijik ketika Nyai Katri menyuruhnya menyaksikan apa yang dilakukan Nyai Katri.
"Diam di tempat, dan saksikan apa yang kulakukan ini!" kata Nyai Katri ketika itu. Jaka Bego sebenarnya ingin pergi dari halaman belakang pondok di tengah Pulau Kramat itu, namun Nyai Katri telah menotok jalan darah Jaka Bego, sehingga tubuh pemuda kurus kerempeng itu tak mampu berbuat apa pun, kecuali hanya berdiri di bawah sebuah pohon. Otak dan matanya masih mampu bekerja, sehingga ia tahu apa yang dilakukan Nyai Katri.
Dengan mengenakan gaun tipis warna biru muda, Nyai Katri mengangkat kedua tangannya seraya kepala mendongak ke atas. Entah mantera apa yang diucapkan saat itu, yang jelas tak lama kemudian beberapa benda melayang dan berdatangan di tempatnya. Beberapa benda itu adalah mayat para anak buahnya. Mayat-mayat perempuan yang pernah dikalahkan Andini dan Lanangseta itu melayang bagai terbang dari suatu tempat menuju ke depan Nyai Katri. Mereka berdiri tanpa nafas. Diam, kaku dan dingin. Bagian tubuh mereka ada yang menghitam, dan itu adalah akibat pukulan Bidadari Senja dari Andini (dalam kisah IBLIS PULAU KRAMAT).
Tujuh mayat berjejer bagai sebuah barisan. Nyai Katri memandang Jaka Bego yang masih bisa berbicara namun tidak mampu berbuat apa pun. Tubuhnya kaku bagai patung. Ia mendengar jelas apa yang dikatakan Nyai Katri kepadanya.
"Kuharap kau mau bersekutu denganku, kau tidak akan ku siksa, tidak akan kubunuh, melainkan justru akan kutambahkan ilmu kanuraganmu, seperti halnya Putra Tunggal muridku itu, yang saat ini sedang mengejar Lanangseta."
"Dia tidak akan berhasil menangkap Lanangseta," geram Jaka Bego, merasa tak senang dengan sikap Nyai Katri.
"Dia akan berhasil. Kau tidak tahu, bahwa separoh dari ilmuku telah dikuasai Putra Tunggal! Dan itu sulit ditandingi pendekar mana pun," kata Nyai Katri dengan suara kalem, seperti seorang penyabar.
Jaka Bego ingin mengucapkan sesuatu, namun matanya menjadi membelalak ketika ia melihat apa yang dilakukan Nyai Katri. Perempuan cantik bergaun tipis longgar itu mengeluarkan sinar dari matanya. Sinar warna kuning menerpa satu demi satu dari ke tujuh mayat wanita bekas anak buahnya. Lalu, dalam tempo singkat mayat-mayat itu meleleh bagai sebuah lilin, satu persatu menjadi bubur berwarna kuning belerang. Bau tak sedap pun tercium memuakkan.
"Hooeek...!" Jaka Bego ingin muntah, namun ia tidak bisa menundukkan kepala, sehingga akibatnya mulutnya saja yang menganga beberapa kali sambil hoak-hoek. Ketujuh mayat itu telah lebur menjadi tujuh gundukan bubur kuning. Benar-benar tak sedikit pun terlihat tanda-tanda bahwa ketujuh gundukan bubur itu sebenarnya adalah bekas jasad manusia.
"Sekarang giliranmu...!" seraya Jaka Bego dipandangnya tajam-tajam. Wajah Jaka Bego tegang, ngeri membayangkan kalau tubuhnya akan meleleh seperti ketujuh mayat itu. Ia segera berkata dalam kegugupannya:
"Tubuhku kurus seperti ini, kuminta jangan dilebur seperti mereka. Tolong, aku masih punya cita-cita lain sebelum aku mati. Tolong, jangan dibunuh aku sekarang. Aku masih sibuk memikirkan cita-citaku. Nanti kalau aku sudah tidak sibuk, kalau Nona mau bunuh aku, bunuhlah...!"
"Nona...?! Nona...?!" Nyai Katri yang cantik merasa aneh mendapat sebutan 'nona' dari Jaka Bego. Ia tertawa lepas, suaranya hingga menggema memenuhi Pulau Kramat. Dan Jaka Bego yang tidak tahu persis mengapa Nyai Katri tertawa, ia jadi ikut-ikutan tertawa.
"Diam...!" bentak Nyai Katri dengan mata melotot tajam. Seketika itu Jaka Bego menutup mulutnya dengan perasaan takut.
"Kenapa kau tertawa? Kenapa, hah?!"
"Cuma... cuma ikut-ikutan, biar meriah, Nona..."
"Jangan panggil aku Nona!"
"Apakah harus kupanggil: Nenek...?!"
Nyai Katri mendekat dengan geram.
"Kulumatkan mulutmu jika memanggilku Nenek. Panggil aku: Nyai...!"
"Nyai...?!"
"Ya, Nyai Katri...! Tahu kau, Kunyuk?!"
"Maaf, jangan panggil aku kunyuk. Kulumatkan..."
"Apa?! Kau mau melumatkan aku...?" Nyai Katri marah.
Jaka Bego ketakutan.
"Maksudku, yang akan kulumat sepotong singkong rebus, Nyai. Hemm... namaku memang bukan Kunyuk."
"Persetan dengan namamu. Tapi aku suka memanggilmu: Kunyuk!"
"Jangan, Nyai. Kedengarannya kurang gagah. Namaku Jaka Bego, bukan..."
"Diam!" bentak Nyai Katri.
"Tak ada yang mampu menentang keinginanku. Di sini, aku penguasa! Semua harus tunduk padaku, kalau ia tak ingin kulebur seperti ketujuh mayat ini. Mengerti?! Jadi, aku tetap akan memanggilmu Kunyuk Bego! Bukan Jaka Bego!"
"Saya... saya agak keberatan, Nyai."
"Baik, kalau begitu kau kulebur seperti mereka...!"
"Oh, jangan...!" Jaka Bego ketakutan.
"Hemm... sebaiknya panggil saja aku Kunyuk Bego. Setelah kupikir-pikir... nama itu lebih Kramat bagi dunia persilatan..."
"Lebih kramat...?!" Nyai Katri mengerutkan dahi.
"Ya. Terima kasih atas panggilan itu. Pasti aku akan jadi terkenal, karena nama itu cukup kramat, terutama di telinga perempuan. Terima kasih..."
"O, tidak. Kau akan kupanggil Jaka Bego saja. Tidak jadi Kunyuk Bego. Keenakan kamu nantinya...!"
"Terserah, Nyai Katri sajalah. Saya menurut..." kata Jaka Bego dengan senyum di dalam hati. Ia lega, ia mampu merubah keputusan Nyai Katri yang agaknya tak bisa buat main-main itu.
"Bagus kalau kau mau menurut. Kau akan selamat dan akan menjadi orang andalanku, Jaka Bego."
"Orang andalan, Nyai? Andalan apa?"
"Pejantanku...!"
"Pejantan, Nyai? Ah, aku ini manusia, bukan sapi!"
"Jangan menentang!" teriak Nyai Katri sambil mondar-mandir seraya memeriksa keadaan sekeliling.
"Kalau kau mau menjadi pejantanku, dan mau menuruti segala yang kuperintahkan, maka kau akan selamat dan menjadi orang kuat. Kau dapat mengalahkan Lanangseta, atau bahkan kalau kau mau tekun meresapi semua ilmuku, kau dapat sejajar dengan kesaktianku, Jaka Bego. Camkan itu!"
Jaka Bego tertegun beberapa saat. Mungkinkah ia akan menjadi sejajar dengan Nyai Katri? Kedengarannya menarik, namun sukar dipercaya. Tapi... ah, rasarasanya tak ada pilihan lain kecuali menurut segala perintah Nyai. Jaka Bego merasa asing di pulau itu, dan ia tak mau celaka.
Pengaruh totokan darah dibebaskan oleh Nyai Katri. Jaka Bego siap menerima perintah. Hal yang harus dilakukan adalah memindahkan bubur belerang yang terbuat dari leburan raga mayat-mayat itu.
"Pindahkan tiap gundukan ke tanaman itu..." seraya Nyai Katri menunjuk beberapa pohon setinggi manusia dewasa. Pohon itu banyak terdapat di belakang rumah, seakan memang ditanam dalam satu perkebunan. Jaka Bego tidak tahu itu pohon apa namanya, ia merasa asing. Sebab dilihat dari daunnya saja pohon itu cukup anehnya. Daunnya berwarna merah gelap berbentuk kecil-kecil, seperti telinga manusia. Tiap satu tangkai yang berbulu mempunyai beberapa helai daun yang tumbuh simetris, saling berhadapan, seperti daun dari pohon turi.
"Ini daun apa namanya, Nyai? Saya baru sekali ini melihat pohon seperti ini."
"Itu yang namanya pohon Galih Urip. Ia akan menjadi subur dan lekas besar jika diberi pupuk larutan daging manusia yang sudah dilebur itu. Nah, pindahkan semua ke bawah pohon itu. Lekas, sebentar lagi, hari menjadi gelap, kau harus beristirahat."
Sebenarnya ada yang ingin Jaka Bego tanyakan, yaitu tentang manfaat menanam pohon Galih Urip. Tetapi agaknya Nyai Katri belum mau banyak bicara soal itu. Jaka Bego menyerok dengan geli bubur mayat itu dengan suatu skop yang terbuat dari kulit kerang raksasa. Bau memualkan perut masih mengobar dari bubur belerang manusia itu, namun mau tak mau Jaka Bego harus menahannya rasa mual itu.
Sebenarnya banyak hal-hal aneh yang ingin Jaka Bego tanyakan. Hanya saja, rasa takutnya kepada Nyai Katri membuat Jaka Bego belum berani melontarkan apa sebenarnya yang terjadi di Pulau Kramat itu? Apa sebenarnya yang akan dilakukan oleh Nyai Katri itu?
"Ini adalah puriku, tempat aku dan... kau juga, bernaung sambil mempelajari hidup dan kehidupan" tutur Nyai Katri ketika ia membawa masuk Jaka Bego ke pondok panjang beratap ilalang kering. Jaka Bego melompong sambil matanya memandang seluruh isi rumah panjang itu.
Hanya ada satu kamar di bagian ujung, sisanya hanya sebentang ruangan berlantai kayu. Tiangtiangnya juga dari kayu tanpa dihaluskan, tanpa dipotong menjadi balok. Pada setiap tiang yang berjumlah sepuluh itu terdapat tempat pelita yang terbuat dari tempurung kelapa. Nyai Katri menyalakan kesepuluh pelita. Jaka Bego memperhatikan tikar-tikar anyaman daun pandan dan daun bakau. Ada beberapa tikar yang tebal seperti kasur, dan agaknya tikar tebal itulah kasur bagi mereka yang menempati puri tersebut. Sekarang kasur-kasur itu telah kosong tanpa penghuni. Penghuninya telah mati dan lebur dalam satu nasib.
"Kau bebas memilih tempat tidurmu, Jaka Bego. Kau hanya boleh masuk ke kamar itu, jika aku memanggilmu dari sana. Kalau kau masuk tanpa kusuruh, kau kuanggap pencuri dan hukumannya kulebur untuk menjadi pupuk pohon Galih Urip. Jelas...?!"
Jaka Bego mengangguk dalam keheranannya. Di tengah ruangan panjang itu ada meja seukuran dua kali panjang tubuh Nyai Katri. Agaknya di meja itulah mereka sering duduk bersila sambil menikmati makanan yang terhidang di atas meja tersebut.
Waktu malam menjelma, suasananya benar-benar sepi. Pulau itu bagai jalan menuju ke alam kematian. Sepi dan menyeramkan. Hanya deburan ombak yang sesekali terdengar sayup-sayup, bagai irama menjelang ajal. Jaka Bego merasa tak betah tinggal di situ.
"Saya tidak betah tinggal di sini, Nyai. Saya mau pulang saja," kata Jaka Bego kepada Nyai Katri yang duduk di depannya. Mereka bicara sambil menghadap meja. Nyai Katri sedang merangkai beberapa bunga yang baunya harum mewangi. Itulah Bunga Nirmala kesukaan Nyai Katri dari dulu.
"Saya pulang sekarang saja, Nyai. Biar tidak diberi ongkos dan bekal tak apalah."
"Kau masih ingin hidup lama, Jaka?"
"Masih, Nyai."
"Kalau begitu, hilangkan niatmu untuk pulang. Tinggallah bersamaku di sini..."
"Tapi saya tak tahan, Nyai."
"Tak tahan dengan apa? Suasana Sepi? Angin laut yang dingin ini?" Nyai bicara sambil tetap merangkai bunga.
Jaka Bego tak berani menjawab. Hanya hatinya yang berdebar-debar dari tadi, bibirnya gemetar, keringat dingin mulai berserakan di keningnya. Nafas Jaka Bego pun sulit diatur. Sesekali ia menelan air ludahnya sendiri. Matanya mencuri pandang ke arah Nyai Katri, yang mengenakan gaun tipis sekali sehingga lekuk tubuhnya di balik gaun itu terlihat dengan jelas. Jelas sekali. Itu yang membuat Jaka Bego sejak duduk menikmati santap malam dengan ikan bakar dan air enau, ia kelihatan gelisah resah. Dalam sorotan cahaya api pelita, tubuh Nyai Katri sangat menggoda dan membuat nafas kadang-kadang menjadi sesak. Mungkin Nyai tahu kalau setiap lelaki yang memandangnya akan gemetar dan dicekam kegelisahan. Tetapi Nyai tetap berpenampilan tenang. Tenang sekali. Seakan ia tidak menyadari apa yang sedang bergolak di hati Jaka Bego.
"Kau sudah punya istri, Jaka?" Kali ini Nyai bertanya sambil memandang Jaka Bego sekilas. Jaka Bego hanya menggeleng dan menghela nafas entah untuk yang ke berapa kalinya.
"Sudah pernah punya kekasih?"
"Beb... beb... belum..." jawab Jaka Bego gemetar.
"Sama sekali belum pernah mengenal perempuan?!"
Nyai mendesak dengan sedikit senyum di ujung bibirnya.
"Beb... belum, Nyai..."
Nyai memandang wajah Jaka Bego. Pandangan yang lembut dan sangat menggelisahkan Jaka Bego. Lalu, Nyai Katri tertawa dan dalam desah. Jaka Bego jadi salah tingkah.
"Kalau begitu kau harus mengenal perempuan mulai sekarang. Jangan menjadi lelaki bodoh."
"Mak... mak..."
"Mau ngomong apa kau, hah? Kok jadi gugup?"
"Maksud., maksud Nyai bagaimana itu?"
"Yaah... suatu hal yang sangat kebetulan, bahwa kau belum pernah mengenal perempuan."
"Tapi... tapi saya naksir gadis anak pak Lodang, Nyai," kata Jaka Bego dengan polos.
"Sudah pernah... tidur bersama?"
"Ah, gila...! Ya, belum...!" seraya mulut Jaka Bego monyong-monyong.
"Mahani itu susah didekati, Nyai."
"Kalau begitu, sangat kebetulan."
"Sangat kebetulannya, kenapa?" Jaka Bego makin ingin tahu apa yang sedang direncanakan Nyai Katri.
"Kau akan mempunyai keturunan yang kuat. Anakmu bisa menjadi manusia terkuat di dunia dan ia nanti yang akan menguasai dunia."
"Anak saya? Ah, anak saya dari siapa? Saya kawin saja tidak kok bisa punya anak?"
"Cari perempuan. Culik dia, dan bawa ke mari. Lalu tidurlah bersamanya beberapa kali, nanti aku akan mencampurkan benihmu dengan getah pohon Galih Urip itu. Apabila tepat campurannya dan tepat jenis bibitmu, maka perempuan itu akan melahirkan anak yang terkuat di dunia. Kulitnya akan setebal baja dan ia tak akan mati. Setiap ia mati, ia akan bangkit kembali jika mencium bau tanah atau bau air. Dia akan mampu menghancurkan gunung dengan tenaganya yang maha hebat itu. Belum lagi kalau anak itu diisi dengan kekuatan ilmu tenaga dalam yang sempurna, ia akan menjadi pendekar yang tak terkalahkan."
Jaka Bego terbengong saja. Manggut-manggut tidak, tertawa, tidak. Mendesis pun tidak. Yang ia tatap hanya bagian dada Nyai Katri yang kelihatan menantang dan sangat menggoda kejantanannya itu. Nyai Katri berkata lagi, "Selama ini sudah kucoba, benih Putra Tunggal dengan anak buahku itu, kucampur dengan getah pohon Galih Urip, tetapi tidak menghasilkan anak yang kuinginkan. Setelah kutanyakan kepada Putra Tunggal, atau si Prabima, ternyata sebelumnya ia sering jajan dengan perempuan nakal di pelabuhan. Bahkan ia dulu pernah terkena penyakit memalukan akibat berzinah dengan seorang perempuan desa. Nah, sekarang... masalahnya berbeda. Kau masih murni. Masih segar. Apakah hal itu akan kusia-siakan? Rasanya kok tidak. Aku akan mencoba apa yang kurencanakan padamu. Maka, carilah gadis, bawalah ke mari dan kita akan lihat apakah gadis itu mampu melahirkan anak seperti yang kurencanakan atau gagal lagi."
"Tapi... tak ada gadis yang mau kepadaku, Nyai."
"Bisa kubantu dengan ilmuku. Kau akan digandrungi oleh banyak gadis cantik. Kau mau, kan?"
Jaka Bego berpikir dalam keraguan. Ia sebenarnya justru takut jika hal itu menjadi tugas baginya. Dia ingin memikat gadis, tapi tidak merupakan tugas yang menjadi suatu keharusan. Dan rencananya Nyai Katri itu sebenarnya sempat membuatnya merinding serta tidak percaya. Tetapi, mengingat saat ini ia tidak suka dengan kesepian pulau tersebut, dan ia tertawan oleh Nyai Katri, maka kesempatan bebas hanya ada pada tugasnya. Tugas mencari seorang gadis bisa membuatnya kabur selama-lamanya dan tak ingin kembali lagi ke pulau itu.
"Apakah Nyai bisa membuat aku menarik di mata para gadis cantik?" Jaka Bego berlagak tertarik.
"Di sini tidak ada yang tidak bisa kulakukan. Semuanya pasti bisa!"
"Kalau begitu..." Jaka Bego tersipu, berlagak malu.
"Saya mau, Nyai. Saya bersedia mencari seorang gadis sebagai bahan percobaan rencana Nyai. Kapan saya harus berangkat, Nyai...?" Nyai Katri tidak menjawab. Ia terdiam, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Dan tiba-tiba Nyai pun beranjak dari duduknya, lalu berkata:
"Ikut aku ke kamar, Jaka..."
Jaka Bego sempat bingung sebentar, Nyai berjalan menuju kamarnya. Ia berpaling sambil tersenyum kepada Jaka Bego. Tangannya melambai pertanda Jaka harus segera ikut ke kamarnya. Jaka Bego sedikit gemetar, hatinya merasa senang jika benar Nyai Katri mampu membuatnya jadi menarik di mata setiap wanita. Maka bergegaslah ia mengikuti Nyai Katri, masuk ke kamar yang hanya satu-satunya ada di ruangan panjang itu.
Jaka Bego benar-benar bertambah bego setelah masuk kamar Nyai Katri. Di sana ada dipan berlapis permadani berbulu tebal. Lantainya juga berlapis permadani, walau tak setebal yang ada di dipan lebar itu. Dipan tersebut cukup dipakai tidur dua orang. Bau wangi kembang Nirmala bagai memenuhi ruangan tersebut. Ada beberapa peralatan semadi, tempat pembakaran dupa, dan beberapa pusaka berupa keris serta yang lainnya tertempel di dinding. Cermin seukuran setengah badan juga ada. Selimut tebal dari kulit beruang, juga ada. Yang jelas, kamar itu memang lebih nyaman dan lebih hangat ketimbang tempat lainnya.
Nyai Katri berdiri di pinggir dipan empuk. Rambutnya yang tadi disanggul, kini terlepas panjang, terurai. Jaka Bego masih terpukau memandang tubuh berlapis kain tipis dalam keremangan cahaya api dian. Suatu pemandangan yang benar-benar mempunyai kekuatan magis tersendiri.
"Mendekatlah, Jaka..." kata Nyai Katri bernada desah.
Jaka Bego yang tidak tahu apa-apa itu mendekat, mulutnya masih melongo dan... jantungnya berdetakdetak. Ia merasa senang dengan apa yang dilihatnya, namun merasa takut dengan apa yang akan terjadi nanti. Siapa tahu ia berada dalam bahaya.
"Kau mau menjadi pengikutku?!"
Jaka Bego mengangguk, matanya belum berkedip.
Ia benar-benar kelihatan lugu dan... memang bego.
Nyai Katri melepas pakaiannya sendiri pelan-pelan, lalu gaun tipis warna biru muda itu jatuh ke lantai seluruhnya, sehingga mata Jaka Bego semakin melebar menyaksikan Nyai Katri dalam keadaan polos.
"Sebelum kau bersama perempuan lain, kau harus belajar dulu bersamaku..."
"Be... belajar... belajar silat, Nyai?"
Nyai Katri menggeleng dalam senyuman. Tangannya meraih pundak Jaka Bego.
"Kau benar masih perjaka. Gayamu yang polos dan tolol membuatku yakin, kau belum pernah tidur dengan seorang perempuan. Karena itu, akulah yang harus merenggut kemurnianmu, Jaka..."
"Kok direnggut, Nyai? Katanya aku mau dibuat menarik?"
"Ya. Tapi itu setelah aku merenggut perjakamu, dengan begitu tubuhku akan menjadi lebih segar dan usiaku akan bertambah dua tahun lebih muda dari yang sekarang."
"Jadi... jadi..." Jaka Bego semakin gemetar ketika Nyai Katri merayapkan jari-jemarinya kebagian tertentu.
"Jadi... aku harus berbuat apa sebenarnya, Nyai?"
"Tidur bersamaku, Jaka. Hanya satu kali sudah cukup, tetapi itu sudah membuatku menjadi lebih segar. Aku tak ingin kemurnianmu direnggut perempuan lain. Harus aku dulu yang melakukannya."
"Saya... saya bingung, Nyai..."
"Berbaringlah, biar kujelaskan dengan tekun..." Nafas Jaka Bego sesak. Tubuhnya jelas gemetar, namun ia membiarkan segalanya berlalu, asal ia bisa dibuat menarik.
Malam semakin kelam. Debur ombak sayup-sayup bagai mengiringi deru detak jantung Jaka Bego. Di kamar tersebut, Jaka Bego tak sempat menyebutkan siapa dirinya. Ia hanyut dalam kemesraan Nyai Katri. Namun yang lebih hanyut lagi adalah Nyai Katri. Ia merasa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga selama hidupnya. Sesuatu itu di luar dugaan ada pada diri pemuda kurus kerempeng. Sungguh tak terduga sama sekali, bahwa ternyata Jaka Bego telah mampu menjerat hati Nyai Katri dengan kemesraan yang tiada duanya.
Sekali Nyai Katri merenggut kemurnian Jaka Bego, dua kali ia mengulanginya dan sampai beberapa kali ia masih ingin mencengkeram Jaka Bego. Bahkan dalam desahannya, Nyai tak sadar berkata:
"Gila...! Luar biasa kau! Mengagumkan sekali...! Aku belum bosan-bosannya sampai sejauh ini. Benarbenar gila!"
Jaka Bego tidak tahu apa yang dimaksud Nyai Katri. Ia hanya mengikuti perintah perempuan cantik bertubuh sekal itu. Ia tak berani menolak perintah Nyai Katri, karena ia punya rencana tersendiri untuk kabur dalam satu kesempatan.
"Sepanjang hidup, baru ini kutemukan sesuatu yang paling berharga, dan yang kucari selama ini. Ternyata ada padamu, Jaka Bego... Ooh, mengagumkan sekali!"
Jaka Bego tak bisa banyak bicara. Bahkan untuk mengatakan satu kalimat pun ia tak sanggup. Ia bagai dicengkeram kuat-kuat oleh Nyai Katri. Ia bagai ada dalam pengaruh perempuan itu, sehingga ia seperti berada di bawah alam sadar. Nyai mendengus dan mendesah tiada berkesudahan. Bahkan ketika matahari fajar menyorotkan cahayanya di balik cakrawala, Nyai masih merasa ingin merenggut sesuatu yang amat menggetarkan jiwanya, sesuatu yang selama ini belum pernah dialami. Kehangatan dan kemesraan yang luar biasa dari Jaka Bego membuat Nyai lupa bahwa sebentar lagi matahari akan meninggi. Kehebatan Jaka Bego yang mengagumkan membuat Nyai Katri lupa ngantuk, lupa menguap dan lupa kalau tenaganya telah terkuras habis-habisan. Jaka Bego pun demikian, sama lupanya dengan Nyai Katri. Tetapi dalam hempasan nafas kelegaan yang terakhir, Nyai sempat berbisik, seperti bicara sendiri, "Kau... seperti mempunyai ilmu Pasak Dewa...! Ilmu yang membuat wanita tergilagila...!"
Sepatah kata pun Jaka Bego tidak bicara.
* * * * *
--≡¦ { 3 } ¦≡--
"Hei, berhenti...!" teriak Ludiro dalam jarak yang sudah mulai dekat. Tapi bayangan itu tetap melesat bagai segumpal bayangan sinar. Ludiro berusaha menyusulnya dengan memotong jalan lewat arah lain. Betapapun jadinya, ia merasa bertanggung jawab jika ada kejadian yang membahayakan terhadap wilayah Bukit Badai, terutama Griya Teratai Wingit, tempat Kirana dan ayahnya tinggal. Lompatan yang ringan melayang, tubuh Ludiro bagaikan terbang dalam satu arah. Kemudian kakinya segera menapak kembali ke tanah di depan bayangan yang dikejarnya. Bayangan itu terhenti seketika setelah Ludiro mencabut pedang Jalak Pati seraya berseru:
"Berhenti! Atau kupotong kakimu itu!"
"Paman...?!"
"Oh, sialan! Kau Lanang...! Kukira siapa yang melesat seperti segumpal sinar. Maaf, kukira kau orang yang bermaksud jahat hendak membikin onar di Bukit Badai."
Lanangseta menghempaskan nafasnya yang memburu.
"Aku bangga dengan tanggung jawabmu, Paman," kata Lanang seraya menepuk pundak Ludiro.
"Hei, bunga Teratai Wingit sudah ada di tanganmu kembali, Lanang? Oh, syukurlah kalau begitu."
"Aku berhasil merebutnya dari Prabima, Paman Ludiro."
"Prabima?! Jadi, pencurinya benar Prabima?!"
"Ya. Dan agaknya ia telah bersekutu dengan Peri Sendang Bangkai yang kini menguasai Pulau Kramat itu."
"Bangsat...!" geram Ludiro.
"Mereka memang harus di musnahkan, jangan diberi ampun dan peluang sedikit pun!"
"Sekarang Prabima sedang mengejarku, Paman. Tapi... Andini yang menghalanginya."
"O, Andini menghalangi Prabima? Apakah itu tidak berbahaya?"
"Dia mencintai ku, Paman. Dia membelaku matimatian untuk menunjukkan cintanya kepadaku."
"Anak sinting dia itu!" gumam Ludiro seraya memasukkan pedang peninggalan Sekar Pamikat, bekas kekasih Lanang yang sudah menjadi wanita suci di dalam Goa Malaikat.
"Lanang, apakah kau bertemu dengan Jaka Bego? Kami berangkat bersama menyusulmu, tapi dia menghilang entah lari ke mana, dan aku sibuk mencarinya."
"Jaka Bego...?! O, ya... waktu aku berusaha merebut bunga Teratai Wingit ini, dia tahu-tahu muncul dan menyerobot bunga ini dari tangan Prabima. Kemudian dia serahkan kepadaku, tapi... tapi dia tertangkap oleh Peri Sendang Bangkai, dan tak tahu bagaimana nasibnya sekarang..."
"Gila juga itu anak; tahu-tahu sudah terlibat urusan di Pulau Kramat. Tahu-tahu sudah jadi tawanan...!" Ludiro bagai bicara sendiri. Lalu ia menatap Lanangseta dan berkata lagi:
"Kalau begitu, biar kuhadapi Prabima, dan kau segeralah menghadap Rama Sabdawana dengan bunga itu. Akan kuhadang Prabima kalau sampai ia berani melewati batas wilayah Bukit Badai ini. Pergilah secepatnya, Lanang...!"
"Baik, Paman. Hati-hati, Prabima sudah bertambah ilmunya, sebab ia sudah bersekutu dengan Peri Sendang Bangkai."
"Sekali pun ia bersekutu dengan raja iblis pun aku tidak akan takut. Cambuk Naga tak pernah gentar menghadapi siapa pun, sejak di tangan Putri Ayu Sekar Pamikat sampai ke tanganku, tak pernah gentar sedikit pun..."
Sejak Ludiro mewarisi pusaka Cambuk Naga dan pedang Jalak Pati dari Sekar Pamikat, ia memang tak pernah merasa takut kepada siapa pun. Apalagi ia telah memakan lumut bercahaya dari sebuah goa, yang di luar kesadarannya ternyata lumut bercahaya itu membuat tubuhnya kebal terhadap senjata apa pun. Ini menambah Ludiro yang bertindak sebagai pengawal Lanangseta, sekaligus kepala keamanan keluarga Kirana, tak pernah mundur dalam menghadapi lawan di mana pun dan siapa pun orangnya.
Memang pedang Jalak Pati tidak seberapa kehebatannya namun Cambuk Naga yang bertengger di pundaknya itu, bukan sekedar cambuk kuda yang tak mempunyai kehebatan. Justru keunggulan Ludiro selama ini terletak pada kehebatan cambuk itu. Jika cambuk itu digunakan, Ludiro tak pernah tahu bagaimana ia harus bergerak. Tetapi Cambuk Naga itulah yang seakan telah menuntun Ludiro untuk bergerak, memainkan beberapa jurus yang dimiliki Sekar Pamikat. Jadi, pada Cambuk Naga itu seakan roh Sekar Pamikat selalu mendampinginya.
Dulu, ketika Ludiro belum menjadi kebal dan belum mewarisi senjata pusaka dari Sekar Pamikat, ia mempunyai senjata andalan berupa pisau kecil. Mata pisau kecil itu adalah senjata rahasianya yang paling diandalkan, di samping itu beberapa jurus yang menjadi unggulannya ialah Tendangan Dewa, Pukulan Hati Dewa, Tendangan Dewa Mimpi dan beberapa jurus yang menjadi simpanannya. Tetapi sejak ia menyandang cambuk naga di pundaknya, ia jarang menggunakan senjata rahasianya itu.
Jiwa pengabdian Ludiro sungguh dapat dipercaya, kesetiaannya begitu agung. Itulah yang membuat selama ini Ludiro tidak pernah merasa hebat. Ia tetap menghormati Lanangseta, sebagai bekas kekasih putri asuhannya, ia juga masih merendahkan diri di hadapan Kirana maupun ayah Kirana, Rama Sabdawana. Dan kepada teman-teman lainnya, Ludiro yang sudah setengah umur itu bersifat sebagai pengayom yang tak pernah menyombongkan kekuatannya dalam mewarisi Cambuk Naga dan pedang Jalak Pati. Pembelaannya begitu besar, bahkan ia tak segan-segan menjadikan nyawanya sebagai taruhan jiwa pengabdiannya. Kali ini, Ludiro sengaja menunggu kedatangan Prabima seandainya Andini tidak dapat melumpuhkan pemuda sombong itu. Ludiro tidak tahu apa yang telah terjadi pada diri Andini dengan Prabima. Yang jelas, ia yakin kalau satu di antara mereka pasti akan melewati perbatasan Bukit Badai itu. Dan Ludiro siap menunggu dari atas pohon. Jika Andini yang datang, pasti dialah yang menang, tapi jika Prabima yang muncul, berarti Andini kemungkinan besar mati terbunuh oleh Prabima.
Dalam keremangan senja, mata Ludiro masih tajam memandang daerah sekeliling dari atas pohon. Memang enak mengawasi dari atas pohon, tempat jauh pun masih bisa dijangkau oleh pandangan matanya. Ia hampir saja merasa bosan menunggu kemunculan Andini atau Prabima. Tetapi suatu gerakan di sebelah sana membuat Ludiro menjadi bersemangat lagi. Ada gerakan di sana, gerakan dua orang yang belum jelas siapa mereka.
Dengan hati-hati dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara, Ludiro mendekati tempat yang mencurigakan itu. Samar-samar ia mendengar suara seorang lelaki berkata:
"Tak jauh lagi tempatnya. Kita masuk ke sana setelah malam tiba. Jadi kita bisa beristirahat dulu di sini..."
Berdebar hati Ludiro mendengarnya. Suara itu cukup dikenal; tak salah lagi, itu suara Prabima.
"Usahakan kau membuat sibuk Lanangseta dan orang-orangnya. Pancing dia ke suatu tempat, dan aku akan berusaha mencuri bunga teratai warna ungu itu. Kalau calon istri Ladang memergokinya, akan kubunuh sekalian dia...!"
Sekali lagi jantung Ludiro berdebar dalam keheranan. Seingatnya suara perempuan yang baru saja didengarnya itu adalah suara Andini. Tetapi apakah Andini sekarang sudah berpihak kepada Prabima? Pikir Ludiro. Mengapa Andini jadi memusuhi Lanangseta? Bukankah dia bekas kekasih Ekayana, adik kembar Lanangseta itu?
"Oo... ya, aku tahu," kata Ludiro dalam hati.
"Pasti ini siasat si keparat Prabima itu. Dia berhasil menghasut dan mempengaruhi Andini. Kebetulan Andini memang kecewa karena Lanangseta ingin kawin dengan Putri Bukit Badai. Ah, memang tak salah lagi kalau mereka kini bersatu untuk menyerang Lanangseta dan keluarga Griya Teratai Wingit!"
Dengan gerakan yang sangat pelan, Ludiro semakin mendekati mereka. Ia naik ke atas pohon dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang semula menjadi milik Sekar Pamikat, kini telah merasuk dalam dirinya sejak Cambuk Naga diwariskan kepadanya. Lewat atas pohon yang berdaun rimbun itu Ludiro dapat melihat jelas apa yang dilakukan Andini bersama Prabima. Ludiro tidak terburu-buru bertindak, melainkan ia ingin tahu sampai sejauh mana pengaruh Prabima menguasai jiwa Andini.
Andini duduk bersandar pada batang pohon. Prabima masih berdiri di depannya sambil memeriksa keadaan di sekitar mereka. Ia tak tahu ada sepasang mata mengintai dari balik kerimbunan daun di atas pohon. Prabima ikut duduk di samping Andini dan berkata:
"Aku belum habis pikir, mengapa kau mencintai Lanangseta yang berjiwa kerdil itu? Bukankah di jagad raya ini banyak pemuda yang lebih tampan dan lebih sempurna ketimbang Lanangseta?"
Andini menghela nafas. Ia bermain sehelai rumput dengan mata bagai menerangi memandangi rumput itu.
"Semula aku adalah kekasih adiknya..."
"Adik Lanangseta?!"
"Ya. Ekayana namanya," Andini bicara dengan nada sedikit tertekan, mungkin karena pedih hatinya. Ia menyambung lagi:
"Aku sudah berkorban untuk Ekayana. Aku lari dari keluargaku mengikuti Ekayana, yang pada waktu itu diculik seseorang. Lalu dalam pencarianku itu, aku bertemu dengan Lanangseta yang ternyata kakak dari Ekayana. Tetapi demi melihat Lanangseta, hatiku menjadi iri, ingin merenggut kedua saudara kembar itu..."
"O, begitu keinginanmu?"
Andini tersipu.
"Mungkin aku memang serakah. Tapi jika aku melihat Lanangseta, aku seperti menjadi miliknya juga. Jika aku dicium Ekayana, aku merasa dicium olehnya juga. Tetapi... sekarang kenyataannya menjadi lain."
"Lanangseta sudah punya calon istri, begitu?" Sebaris desah terhempas lewat mulut Andini.
"Kepahitanku bukan hanya itu saja. Itu yang kedua. Tapi yang jelas, hatiku mulai terluka sejak Ekayana melarikan gadis Cina. Dan ia jatuh cinta dengan Yin Yin, putri seorang Laksamana dari negeri Tiongkok. Aku dibuangnya begitu saja. Padahal kami sudah tunangan. Lalu, aku lari kepada Lanang untuk mengadukan nasibku. Tak tahunya ada orang berkerudung hitam yang ingin memperkosaku..." Andini melirik Prabima, sebab ia tahu, Prabima itulah yang berkerudung hitam dan ingin memperkosanya, setelah Prabima memperoleh bunga teratai yang dicurinya dari rumah Kirana. Prabima mendengar hal itu hanya tersenyum malu.
"Dan kau berhasil diperkosa pemuda itu?" sindir Prabima.
Andini menjawab, "Sayang, pemuda itu cukup bodoh. Ia tak berhasil memperkosaku, hanya... hanya merayapkan tangannya ke ujung birahiku..."
"O, begitu? Jadi pemuda itu bodoh, ya?"
Andini tertawa geli sendiri. Kemudian ia berkata, "Lalu aku bertemu dengan Lanangseta. Kuceritakan tempat yang disebut oleh orang yang ingin memperkosaku itu. Pulau Kramat. Dan Lanang pun menuju Pulau Kramat. Aku ikut dengannya. Tetapi, dalam perjalanan ke sana, aku selalu berdebar-debar jika memandang Lanangseta, terutama, memandang bibirnya. Entah ada daya tarik apa di bibir Lanangseta itu sehingga aku benar-benar luluh, bahkan... sikapku seperti macan betina yang kelaparan dan kehausan di padang pasir. Aku benar-benar kasmaran kepadanya. Aku nyaris tak dapat mengendalikan nafsuku sendiri..."
"Lalu kau bertemu denganku dan... masihkah seperti kau bertemu dengan Lanangseta?!" pancing Prabima.
Andini memandang Prabima dalam keremangan senja. Ia masih bisa melihat jelas betapa menggairahkan juga bibir Prabima yang tampak selalu basah dan menyegarkan itu. Ia memperhatikan wajah Prabima yang tampan dan imut-imut, seakan sebuah genangan air sendang yang bening terhampar di wajah itu. Kesegaran dan kesejukan ada di sana. Andini sempat kelu melihat bibir Prabima begitu menggairahkan.
Prabima memandang Andini lekat-lekat. Ia berkata dalam desah bisikan:
"Apakah kau masih punya gairah yang tertunda itu?"
"Entah," jawab Andini.
"Yang ku tahu, kau ternyata jauh lebih menarik dari Lanangseta, Prabima. Aku melihat kesegaran lain di bibirmu, dan... sentuhan saat kau memperkosaku waktu itu, bagai terasa menjalar di sekujur tubuhku."
"Kau ingin aku menyelesaikan tugasku yang dulu tertunda itu?" desak Prabima. Tangannya mulai merayap ke dada Andini. Tetapi Andini tidak menepiskan tangan itu. Ia hanya mendesah kecil dan berkata bagai sebuah rengekan:
"Aku benar-benar gila birahi... Apakah kau sanggup menyembuhkannya, Prabima?"
"Akan kubuktikan, asal kau bersedia..."
"Kalau aku tidak bersedia?"
"Akan kupaksa..."
Andini tertawa kecil.
"Kalau begitu, paksalah aku. Aku akan berpura-pura tidak bersedia supaya aku memaksaku dengan kebuasanmu. Kau bisa sebuas singa, kan?"
Prabima semakin menjadi. Mencium leher Andini dengan nafas yang memburu. Andini hanya menggeliat dalam erangan yang sangat tipis. Ia pun memberikan serangan balasan dan tak kalah gesit dengan Prabima.
"Apakah begini kurang ganas...?" bisik Prabima.
"Aku ingin lebih buas lagi, Prabima. Oh... lakukanlah...!"
Ludiro yang memandang dari atas pohon mengeram dongkol. Ia berkata dalam hati, "Benar-benar perempuan jalang dia. Sungguh di luar dugaan semula! Dulu, ketika aku bertemu dengan Andini yang pertama kali, kusangka ia perempuan yang agung dalam kecantikannya. Ternyata sekarang ia tak lebih dari seekor singa betina. Benar-benar singa betina yang jalang...!" Ludiro menggeram-geram melihat Andini semakin menjadi gila ketika Prabima menyerangnya dengan buas dan kasar.
Ludiro tidak bisa menahan diri terlalu lama di atas pohon, ia segera melompat turun dan membuat kedua orang bercumbu itu terlonjak kaget. Andini segera meraih gaunnya dan mengenakan secepatnya. Prabima segera menutup bagian tubuhnya yang sudah terlanjur terbuka.
"Paman Ludiro...?! Kau ada di sini, rupanya?" Andini berlagak ramah, namun wajahnya menjadi pucat.
"Ya. Sudah sejak tadi aku di atas pohon itu, dan sudah puas aku melihat kebusukan bercampur dengan bangkai! Kau dan Prabima, Si Keparat itu!" Ludiro menuding Prabima dengan berani.
Prabima memerah mukanya. Selain gejolak birahinya terputus, juga mendengar ucapan Ludiro bagaikan menembus hatinya. Karena itu Ludiro segera ambil posisi ketika Prabima menggeram dengan mengepalkan kedua tangannya:
"Kurobek mulutmu yang kotor itu, Bangsat!"
"Prabima...! Jangan!" teriak Andini.
"Dia telah berjasa menolongku dan..."
"Dan sekarang kau menjadi musuhku, Andini! Tak ada jasa, tak ada hutang budi baik lagi! Kau sudah terang-terangan menjadi sekutu setan!"
"Paman, aku sebenarnya..." Andini ingin menjelaskan, tapi Ludiro menyerobot kata:
"Aku tahu, sekarang kau menjadi perempuan jalang! Itu yang ingin kau katakan padaku, bukan? Dan aku siap membunuh perempuan jalang semacam kau, Andini. Ketahuilah, perempuan seperti kau tidak ada harganya hidup di dunia. Sebaiknya kau kukirim ke neraka sebelum kau ganggu kedamaian Lanangseta dengan istrinya...!"
"Jangan salahkan aku kalau aku terpaksa menghancurkan mulutmu, Ludiro...!" teriak Andini yang tak tahan mendengar penghinaan Ludiro. Ia segera melayang dengan cepat menyerbu Ludiro dengan suatu tendangan, tetapi Ludiro sigap. Ia menangkis tendangan Andini dan segera bersalto ke belakang, karena Prabima menyerangnya juga dengan kaki kanannya.
"Mampus kau, Ludirooo... hiaaat...!"
Prabima menyusul gerakan Ludiro. Kedua tangannya memukul dengan cepat, namun Ludiro berhasil menghindar. Kepala Ludiro miring ke kiri, pukulan tangan kanan melesat ke tempat kosong. Dan pukulan tangan kiri Prabima ditangkisnya dengan lengan. Setelah itu secepatnya tangan yang habis dipakai untuk menangkis itu melesat ke arah pinggang Prabima. Mengena telak, membuat Prabima sedikit menyeringai kesakitan. Ia segera melompat, menjauhi Ludiro.
"Andini, serang dia bersama-sama...! Dia adalah penghalang kita...!" teriak Prabima.
Andini membuka jurus andalannya. Tangannya terentang yang satu ke atas, yang satunya ke bawah. Tubuhnya meliuk dengan kaki berjingkat. Ia seperti seorang sedang menari. Ludiro sempat terkesima sejenak, namun buru-buru menyadari kalau itu hanya sebuah tipuan pusat pikiran. Hanya saja, ia terlambat bergerak. Ketika Prabima melancarkan pukulan jarak jauhnya, dengan tangan terhentak ke depan keduanya dan pekik keganasan melengking: "Hiaaatt...!"
Ludiro terpental ke belakang dan membentur pohon. Keseimbangan tubuhnya bagaikan hilang. Namun ia segera bergegas bangkit dan berdiri dengan kedua kaki merendah, tangan keras tersulur ke depan, yang satu menekuk ke belakang dengan telapak tangan menghadap ke depan.
Prabima sempat terhenyak sejenak. Biasanya orang yang terkena pukulan tenaga dalamnya tak mampu lagi berdiri, bahkan dadanya akan bolong seketika. Tapi Ludiro ternyata tidak. Ludiro hanya terpental ke belakang lalu sigap berdiri menunggu serangan berikutnya.
Andini yang seperti orang menari itu makin lama makin dekat dengan Ludiro, kemudian dengan kibasan cepat tangannya menghentak ke depan. Pukulan Bidadari Senja dilancarkan ke arah Ludiro. Secepatnya Ludiro menarik kedua tangannya ke pinggang dan menyodokkan kedua telapak tangan itu ke depan dengan hentakan kuat. Lalu segumpal asap putih menyembur dari dalam telapak tangannya. Asap putih itu bertabrakan dengan kekuatan pukulan Bidadari Senja. Ada letupan kecil yang menyemburkan bunga api pada saat itu. Dan tubuh Ludiro terguncang sesaat, sementara tubuh Andini diam tak bergerak.
"Kau tak akan mampu menandingi pukulan Bidadari Senjaku, Ludiro," kata Andini dengan sinis.
"Andini," kata Prabima.
"Cepat selesaikan orang itu, dan kita mulai lagi kemesraan kita yang tertunda tadi..."
Andini mengangguk dan tersenyum.
"Ya. Aku sangat setuju. Kita bunuh dia, dan... kau menjadi singa lapar lagi, sedangkan aku akan menjadi mangsamu... hi, hi, hi..." Andini tertawa manja. Ludiro segera melompat menerjangnya.
Dalam keadaan bersalto ke depan, kaki Ludiro berhasil menendang Andini yang tengah membuka jurus tarian Bidadari Manja.
"Aaah...!" Andini memekik dengan tubuh terlempar ke belakang. Ia ditangkap Prabima, sehingga tubuhnya tak jadi membentur batang pohon.
"Kau tidak boleh diberi kesempatan, rupanya! Berani kau menendang Andini, berarti kau cari mampus...!" geram Prabima yang kemudian segera melancarkan pukulan sambil tubuhnya melayang lurus ke depan. Ludiro melompat tinggi, bersalto kembali. Kakinya berada di atas tubuh Prabima yang meluncur cepat itu. Kaki Ludiro segera menghentak ke bawah dan mengenai punggung Prabima dengan telak. Prabima tersungkur mencium tanah. Ludiro tak sempat menerjangnya lagi, sebab Andini menyerang dari arah lain. Kali ini ia melancarkan pukulan Bidadari Senja lagi, yang biasanya mampu membuat hangus tubuh lawannya lalu segera membusuk. Namun kali ini, Ludiro hanya terpental lagi walau mengenai dadanya. Ludiro tidak cedera sedikit pun. Ia hanya terpelanting ke belakang, dengan dada masih utuh tanpa bekas luka. Andini penasaran. Dalam keadaan Ludiro terjungkal ke tanah, ia melancarkan pukulan Bidadari Senja lagi. Pukulan itu bagai sebuah angin yang menghempas di lengan Ludiro. Namun anehnya, tak ada luka sedikit pun di lengan itu. Ludiro hanya merasa tertahan waktu hendak bangkit kembali.
"Dia tak mempan senjata dan pukulan apa pun, Prabima!" teriak Andini. Prabima segera mencabut pedangnya. Ia menyerang dengan pedang hendak ditusukkan ke tubuh Ludiro. Waktu itu Ludiro baru saja berdiri, tahu-tahu ujung pedang Prabima menghentak kuat di lehernya. Tetap pedang itu tidak mampu menembus leher Ludiro, bahkan menggoreskan luka pun tak mampu.
Ludiro sengaja tertawa sombong untuk memancing kepenasaranan hati lawan-lawannya. Andini mendekati Prabima dan berbisik, "Dia memang kebal senjata apa pun, Prabima!"
"O, ya...?" Prabima tersenyum tipis. Lalu ia mengambil sebuah cincin dari saku celananya. Cincin itu terbuat dari batu putih, seperti berlian, berbentuk kerucut. Ujungnya tajam. Dan Prabima mengenakannya seraya berkata:
"Apakah dia akan mampu menahan cincin Cupu Gina ini?"
"Ya, ya... cepat serang dia, Prabima. Ooh... aku sudah tak tahan untuk meresapi adegan tadi. Ayolah...!" rengek Andini dengan manja.
"Cupu Gina membelah karang...!" seru Prabima seraya menyerbu Ludiro dengan cincin di tangannya. Ludiro tak tahu apa kehebatan cincin Cupu Gina itu. Namun ia tetap menghindar pukulan Prabima dengan kaki dihentakkan ke atas, dan tangan Prabima terpental ke atas. Bagian dadanya terbuka, lalu kaki kiri Ludiro segera menghantam dengan tangan kiri, seperti sebilah golok menebas bambu.
"Huughh...!" Prabima mengalami sesak nafas. Ludiro hendak memukul lagi, tetapi punggungnya ditendang oleh Andini dengan kuat. Ludiro terjengkang dalam keadaan melintir. Pada saat itu, tangan Prabima yang mengenakan cincin mengibas ke bawah, tepat mengenai perut Ludiro. Dan pada saat itulah Ludiro menjerit sekuat tenaga. Perut itu robek panjang dan mengeluarkan darah kental.
"Berhasil...!" teriak Andini dengan girang.
"Ia berhasil terluka dengan cincinmu...!"
"Serang terus...!" teriak Prabima seraya kakinya bergerak keras bagai menendang bola. Tendangan itu mengenai wajah Ludiro sehingga Ludiro menjerit dan terpental beberapa langkah.
"Aaahhh...!" jeritan Ludiro melengking tinggi. Ia berusaha bertahan memegangi perutnya yang robek. Andini menyerangnya lagi dengan tendangan Bidadari Manja. Tendangan itu mengenai dada Ludiro, sehingga Ludiro sempat terbatuk-batuk tak kontrol diri. Ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk bangkit. Pada waktu itu, Prabima segera melancarkan pukulan bercincin Cupu Gina ke arah punggung Ludiro. Namun pukulan itu meleset, karena Ludiro berguling sambil mencabut Cambuk Naga dari punggungnya.
"Cambuk Naga...!" teriak Andini ketakutan.
"Hatihati, Prabima... Ia mulai menggunakan Cambuk Naga...!" Prabima tak sempat menyadari kata-kata Andini. Ia sudah semakin bernafsu membunuh Ludiro dengan cincinnya. Ia menyerang Ludiro dengan hentakan tangan mengibas lagi, tetapi: "Taaarr...!" Cambuk Naga melecut tangan Prabima, dan Prabima menjerit: "Aaaaahh...!" Pergelangan tangan itu nyaris putus total. Andini segera menarik Prabima, dan segera membawa lari pemuda itu dengan tangan terkuak ngeri.
"Tangguhkan dulu, Prabima...! Tunggu saat yang baik...!" Andini kabur bersama Prabima, dan Ludiro meringis kesakitan.
* * * * *
--≡¦ { 4 } ¦≡--
"Nyai Katri sanggup memulihkan lukaku ini. Pulih tanpa bekas. Bawa aku kembali ke Pulau Kramat dulu, nanti kita kembali menyerang mereka, Andini."
Tak ada pilihan lain bagi Andini, kecuali menuruti perintah Prabima. Hatinya yang gampang luluh oleh ketampanan itu membuat Andini merasa sayang kalau sampai Prabima kehabisan darah dan mati. Ada sesuatu yang diharapkan dari Prabima, yaitu kepuasan. Tetapi, jika Prabima mati, Andini sulit mencari singa lapar yang ganas seperti Prabima. Sebab itu, ia berusaha keras untuk menolong Prabima.
Tetapi ketika sampai di Pantai, Andini dan Prabima sama-sama terbengong dalam kebingungan. Pulau Kramat itu hilang. Tak terlihat gugusannya walau setitik pun. Hari sudah menjelang petang. Ada sinar bulan yang mengintip dari balik mega, tapi pulau itu tetap tidak kelihatan.
"Ke mana pulau itu, Prabima?"
"Entahlah. Aku sendiri heran," jawab Prabima dengan lemas. Matanya yang sayu memandang kian ke mari, dan pulau itu tidak diketahui di mana letaknya. Lautan kosong, ombak bergulung rendah.
"Mungkin kita salah alamat. Mungkin bukan di pantai ini seharusnya kita berdiri." kata Prabima.
"Tak mungkin," sanggah Andini.
"Aku ingat, di pantai ini aku nyaris merenggut kejantanan Lanangseta "
"Yaaah... seingatku memang begitu. Inilah pantai waktu kita menyeberang bersama tadi. Tapi pulau itu, oh... sungguh ajaib. Apa-yang terjadi di pulau itu sebenarnya?" Prabima berkata dengan lemah. Darah sudah banyak yang mengalir. Rasa sakit akibat tangannya nyaris terpotong itu sangat menyiksa diri Prabima. Pergelangan tangan itu sedikit lagi akan putus sama sekali. Untung ada satu urat yang belum terpotong sehingga masih bisa dipakai tambatan telapak tangan.
Apa yang terjadi dengan Pulau Kramat, agaknya tak seorang pun tahu. Bahkan Jaka Bego yang berada di pulau itu pun tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu kalau pulau tersebut hilang dari pandangan mata orang-orang yang berada di pantai.
Jaka Bego hanya menyadari bahwa dirinya sudah dua malam berada di dalam kamar Nyai Katri. Ia dijadikan kuda, budak nafsu Nyai Katri yang sangat terkagum-kagum oleh kejantanan Jaka Bego. Suatu kejantanan yang baru kali itu ditemui Nyai Katri sepanjang hidupnya. Nyai Katri sendiri tidak menyadari bahwa kejantanan yang ada pada Jaka Bego itu telah membuat dirinya lupa segala-galanya. Ia telah menjadi seseorang yang tergantung kepada Jaka Bego, dan ia telah menjadi seseorang yang tunduk meratap di bawah kaki Jaka Bego. Namun, posisinya sebagai penguasa Pulau Kramat tetap dipertahankan, sehingga sekali pun ia sangat terbuai dan luluh hatinya kepada Jaka Bego, namun ia tetap berusaha bertindak sebagai Sang Penguasa. Jaka Bego tetap bersikap sebagai kuda yang selalu menurut perintah majikannya.
Bahkan, dalam pengaruh kehebatan Jaka Bego, kali ini Nyai Katri bersedia memijit punggung Jaka Bego yang mengeluh kecapekan. Nyai Katri mengurut punggung hingga pinggang Jaka Bego dengan lembut namun mantap. Udara malam yang menghembuskan kedinginan tidak dihiraukan oleh mereka. Pakaianpakaian yang berserakan di lantai tak pernah sempat dipungut oleh mereka. Segalanya dibiarkan terbuka polos, dibiarkan berlalu dalam kelambu birahi yang meledak-ledak tiada hentinya.
"Kau merasa dingin, Jaka?" bisik Nyai Katri seraya kembali menyusupkan bibirnya ke tengkuk kepala Jaka Bego.
"Ya. Dingin."
"Kita buat hangat saja malam ini, seperti malam kemarin, Jaka. Ooh..." Nyai Katri mengusap pungggung Jaka Bego yang kurus kerempeng itu. Kepalanya bersandarkan pinggang Jaka Bego yang menelungkup di tempat tidur itu.
"Jaka... buatlah kamar ini menjadi hangat kembali."
"Sudah dua malam tanpa berhenti, Nyai. Apakah Nyai tidak bosan padaku?"
"Bosan?!" Nyai Katri tertawa mengikik.
"Bersamamu aku tak akan bosan, Jaka. Kau benar-benar pria jantan yang kuharapkan selama ini. Hanya kau satusatunya lelaki yang bisa menandingi ku, bahkan sampai dua malam tanpa berhenti kau masih sanggup menunjukkan kejantananmu. Ooh... sungguh aku bisa tergila-gila kepadamu, Jaka Bego. Kau punya senjata yang jauh lebih ampuh, jauh lebih sakti dari Prabima maupun pria lain yang pernah tidur bersamaku. Pedangmu, adalah pedang berkekuatan dahsyat yang mampu menembus dinding karang tebal, yang lebih panjang dari pedang lelaki lainnya. Dan aku sudah lama merindukan pedang sehebat itu. pedang yang mampu menembus dinding karang, bahkan aku yakin mampu menembus pegunungan es di dataran Tiongkok." Nyai Katri berceloteh sambil mengusap-usap kulit punggung Jaka Bego, sesekali merayap dengan nakal sehingga Jaka Bego tertawa kegelian.
"Nyai tidak capek?" kata Jaka Bego sewaktu Nyai Katri menyerangnya dengan gigitan kecil di paha. Nafas perempuan cantik itu mulai berpacu tak teratur kembali.
"Mungkin aku tak akan pernah capek berlayar bersamamu di kamar ini, Jaka. Ayolah, kita mengarungi lautan sorgawi lagi..."
Jaka Bego tidak menolak. Semangatnya masih tetap seperti semula pertama ia masuk ke kamar tersebut. Dan Nyi Katri sendiri mengakui bahwa kekuatan pacu yang ada pada Jaka Bego bagai tak pernah berkurang sedikit pun. Ia selalu mengerang dalam kekagumannya menerima ketahanan Jaka Bego dalam mendayung sampan keindahan itu.
Sebenarnya, pada saat-saat mereka berlayar itulah Pulau Kramat menjadi hilang. Tak seorang pun bisa melihat di mana letak Pulau Kramat, karena penguasa tunggal pulau itu sedang dalam ayunan gelombang asmara yang menggila. Jerit kemesraan, pekikan asmara, menggema di seluruh pulau itu. Jeritan seorang perempuan yang di puncak khayalan itulah yang membuat Pulau Kramat hilang dari pandangan mata. Jelas dari suara jeritan dan pekikan asmara Nyai Katri ternyata mempunyai pengaruh ajaib yang mengagumkan. Pulau bisa hilang, dan air laut menjadi rata.
Tetapi apabila Nyi Katri terengah dan lemas di samping Jaka Bego, pulau kembali nyata. Terlihat jelas. Menggunduk hitam dalam terpaan cahaya rembulan. Lalu pada saat seperti itulah, Andini dan Prabima dapat melihat pulau itu ada di seberang mereka. Sekali pun mereka sangat kagum dan terheran-heran, namun semua rasa itu mereka pendam di hati. Prabima menyuruh Andini membawanya ke pulau itu sebelum pulau tersebut hilang kembali.
Andini menggunakan ilmu Badai Es, yang mampu membuat ombak lautan menjadi beku. Licin seperti es, dan salju pun turun bertaburan. Dengan ilmu Badai besi itu, ia mampu berjalan di atas permukaan air yang membeku, yang menjadi padang es keras dan dingin. Prabima masih dipapah Andini pada waktu menyeberangi lautan yang membeku itu.
Malam semakin tinggi, kesunyian mencekam. Udara es yang dingin mencekam tulang itu menyelusup masuk ke kamar Nyi Katri. Namun perempuan itu masih memeluk Jaka Bego sehingga udara dingin itu tak sempat terasa. Kehangatan masih meresap ke tulang mereka. Keringat masih membanjiri tubuh mereka. Sekali pun keadaan mereka bagaikan patung kembar yang lengket, namun detak-detak jantung mereka seperti irama musik penggugah birahi.
Berjam-jam mereka berlayar dengan kemegahan rasa, berulangkali Nyai Katri naik ke puncak gunung kemesraan, namun baru sebentar mereka berlabuh, Nyai sudah mengajaknya berlayar lagi. Jaka Bego kelihatan tetap segar bugar, dan Nyai yakin semangatnya mendayung sampan masih kekar, masih seperti pemula. Namun rencana berlayar terpaksa batal. Di luar, ada suara memanggil-manggil. Suara seorang perempuan.
"Nyaiiii....! Nyai, buka pintunyaaaa...!"
Nyai Katri terperanjat kaget. Ia segera bergegas mengenakan pakaiannya, demikian juga Jaka Bego. Hanya saja, waktu itu Jaka Bego salah ambil, gaun Nyai yang dipakainya menutup sebagian tubuhnya. Nyai Katri menjadi kebingungan mencari pakaiannya.
"Hei, itu pakaianku, Jaka ! Ah, kamu jadi linglung begitu " Nyai menertawakan Jaka Bego, lalu Jaka Bego menyerahkan pakaian Nyai Katri.
"Tolong pakaikan ke badanku gaun itu..." perintah Nyai. Dan Jaka Bego menurut saja. Ia mengenakan pakaian pada tubuh Nyai Katri yang kelihatan masih menggairahkan itu.
"Siapa suara yang memanggilku, itu ya?"
"Saya kira itu suara perempuan, Nyai. Mungkin anak buah Nyai Katri," kata Jaka Bego.
"Bukan. Anak buahku ada tujuh yang perempuan, dan itu sudah mati semua."
Suara teriakan di luar semakin jelas, "Nyaaaaiii ! Buka pintuuuu !"
Nyai Katri bergegas lebih dulu keluar dari kamar. Jaka Bego segera mengenakan pakaiannya. Namun ia sempat meneliti kamar itu beberapa saat. Banyak senjata pusaka di sana, bahkan barang-barang antik atau benda-benda aneh juga ada. Mulanya Jaka Bego ingin mencuri satu benda yang ia sukai, yaitu kalung yang terbuat dari batu-batuan warna merah delima, tapi ia takut ketahuan Nyai Katri, takut dihukum. Maka ia tinggalkan benda itu, dan ia bergegas keluar dari kamar.
Pada saat ia keluar dari kamar, rupanya Prabima dan Andini sempat memergoki keadaan Jaka Bego. Prabima tak sempat memberi ulasan kata apa pun, karena tubuhnya sangat lemas dan ia jatuh dalam pangkuan Nyai Katri. Tetapi Andini bergegas mendekati Jaka Bego dalam keheranan. Andini tidak mengenal Jaka Bego, tetapi ia tahu bahwa Jaka Bego adalah teman Lanangseta yang membantu menyerobot bunga teratai Wingit dari tangan Prabima. Andini juga tahu, bahwa Jaka bego tertawan oleh Nyai, tetapi kenapa ia keluar dari kamar itu setelah Nyai? Apa yang mereka lakukan?
"Hei, apa yang kaulakukan di kamar itu bersama Nyai?" tanya Andini bagai menyelidik.
"Tidak apa-apa," jawab Jaka Bego berwajah takut.
"Bohong! Lihat, kau memakai celana terbalik tuh...!"
Jaka Bego membelalak kaget dan mulai tersenyum malu, setelah menyadari bahwa ia mengenakan celana dalam keadaan terbalik. Ia jadi salah tingkah, namun Andini mendesak Jaka Bego.
"Kau telah berbuat zinah dengan Nyai, ya?"
"Tidak," jawab Jaka Bego ingin menyanggah.
"Bohong...! Kau pasti telah berbuat tak senonoh dengan Nyai Katri. Iya, kan?"
"Tidak. Aku cuma disuruh Nyai..."
"Disuruh.... ya disuruh begituan..."
"Gila...!" geram Andini.
"Beruntung sekali kau!"
"Malahan Nyai yang merasa beruntung," sanggah Jaka Bego dengan kata-kata polos.
Nyai Katri mendekati Andini sebelum Andini sempat mengatakan sesuatu lagi, Nyai langsung bicara pada Andini:
"Apakah Lanangseta yang memenggal lengan Putra Tunggal itu?"
"Bukan, Nyai. Tapi... Ludiro, pengawal Lanangseta yang mencegat kami di perbatasan Bukit Badai."
"Kau juga dicegatnya?"
"Ya. Saya... saya telah bersatu dengan Prabima untuk menyerang Lanangseta, Nyai. Saya punya tujuan sendiri."
"O, bagus sekali...!" Nyai Katri manggut-manggut.
"Bahkan kalau boleh, saya ingin bersatu dengan Nyai juga," kata Andini yang membuat Jaka Bego terbengong sejak tadi.
"Kau tidak salah. Siapa namamu?"
"Andini..."
"Kau diserang pengawal Lanangseta pada saat apa?" Andini agak bingung untuk menjelaskan yang sesungguhnya. Tetapi karena Nyai berdiri dengan memandangnya yang seakan menuntut kejujuran, maka Andini pun menjawab:
"Saya... saya dan Prabima sedang... sedang bercumbu, Nyai!"
"Biadab! Orang itu harus dimusnahkan juga. Tapi sekarang, ikutlah aku membawa Prabima ke ujung pulau..."
"Bagaimana kalau tawanan ini saja, Nyai. Saya capek!"
"Tidak!" jawab Nyai tegas.
"Tenaganya khusus untukku. Kau harus membantu membawa Prabima ke ujung pulau."
Andini tak dapat membantah lagi. Sekali pun ia bersungut-sungut karena ingin beristirahat, namun ia tetap membantu mengangkat Prabima keluar rumah.
"Kenapa ia harus diobati di sana, Nyai?" tanya Andini.
"Di sana ada pohon yang daunnya bisa dipakai untuk menutup luka separah ini, jika daun itu dikenakan sinar bulan pada saat menempel di luka. Daun itu dan sinar bulan itu, merupakan perpaduan yang cukup hebat jika mendapat penyaluran hawa murni. Dalam sekejap luka ini akan membaik dan tak meninggalkan bekas..." tutur Nyai Katri sambil berjalan ke tempat yang dimaksud. Prabima tak dapat berbuat apa-apa kecuali melemas dalam erangan di ambang ajal.
Ketika mereka sampai di ujung pulau yang dimaksud Nyai, yaitu di tepian pantai, Prabima digeletakkan begitu saja. Nyai Katri memetik daun berbulu, warnanya hijau tua, lebarnya seukuran telapak tangan manusia dewasa. Daun itu ditempelkan pada luka terpotong di pergelangan tangan Prabima. Cahaya rembulan menyinari ketiga sosok manusia itu. Tetapi, tibatiba Nyai Katri merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia segera menyuruh Andini pulang.
"Andini, kau pulanglah ke puri, dan jaga pemuda kurus kerempeng itu. Ia bernama Jaka Bego, dan memang bego alias tolol. Tetapi aku khawatir kalau-kalau dia melarikan diri. Nah, ke sanalah. Jaga dia jangan sampai melarikan diri. Aku akan kembali membawa Prabima dalam keadaan sehat. Dan... kau boleh melanjutkan cumbuanmu dengannya..."
Andini mengangguk, lalu segera pergi meninggalkan Nyai Katri yang tengah berusaha mengobati Prabima. Dalam benak Andini terbayang khayalan indah bersama Prabima jika pemuda ganteng itu telah sembuh. Debar-debar hati Andini membuat nafas birahinya sesekali melonjak di sela khayalan. Ia berharap, mudahmudahan Nyai Katri tidak sampai pagi sudah membawa pulang Prabima dalam keadaan sehat. Tak tahan rasanya Andini ingin cepat bercumbu dengan Prabima, sebab sekilas bayangan pada waktu Ludiro belum hadir di antara mereka, masih melekat di hati Andini dan menghasilkan desiran-desiran lembut yang menggoda hati wanitanya.
Sewaktu Andini masuk ke rumah panjang itu, ia jadi kebingungan karena Jaka Bego sudah tidak ada di tempat, Andini berseru:
"Jaka Begoooo....! Jaka Bego di mana kamu, hah ?!"
Andini tidak memperolah jawaban. Gawat! Pasti Jaka Bego telah melarikan diri. Ia bergegas memeriksa kamar yang hanya ada satu-satunya di rumah panjang itu. Oh, ternyata Jaka Bego ada di kamar itu, sedang tiduran telentang dengan santai. Kedua tangannya ditaruh di bawah kepala dan kakinya yang kiri menumpang di lutut kaki kanannya.
"Hei, sedang apa kau di sini?!" hardik Andini.
"Apakah kau memang tidur di sini?!"
"Ya. Aku sudah dua malam di kamar ini."
"Ini kamarmu?"
"Bukan. Aku tidak punya kamar. Ini kamar Nyai Katri."
"Celaka kau?" geram Andini.
"Kalau Nyai tahu kau bisa dibunuhnya."
"Ah, masa....?" Jaka Bego tetap santai seperti tadi.
"Seingatku, Nyai sendiri yang menyuruhku masuk ke mari. Kemarin malam ia menyuruhku tidur di sini "
Andini menggumam, matanya memandangi keadaan kamar tersebut. Lalu ia berani mendekati Jaka Bego.
"Dua malam kau berada di kamar ini bersama Nyai?"
"Ya. Kalau tak percaya, buktikanlah sendiri."
Andini berkerut dahi.
"Gila, kau! Buktikan bagaimana maksudmu?"
"Maksudku, tanyakanlah sendiri kepada Nyai." Andini menghela nafas panjang. Benaknya berpikir:
Dua malam di kamar bersama Nyai. Apa saja yang dilakukan mereka. Hal itu yang membuat Andini penasaran dan bertanya:
"Dua malam kau di kamar ini bersama Nyai. Apa saja yang kau lakukan dengannya?"
"Banyak," jawab Jaka Bego dengan tenang.
"Aku dipijit oleh Nyai. Aku dipeluk dan... dan..."
"Dan apa lagi...?" Andini mendesah, jantungnya mulai berdebar-debar.
"Kau dicumbu juga oleh Nyai?" bisik Andini agak takut.
"Ya. Dan... itu berulang-ulang dilakukan Nyai."
"Berulang-ulang? Selama dua malam?"
Jaka Bego berkerut dahi," kenapa kamu kelihatannya heran? Buat kami itu biasa-biasa saja."
"Gila!" Andini terheran-heran.
"Dua malam tanpa berhenti kau lakukan itu?"
"Nyai yang memintanya. Bukan aku. Aku hanya menuruti perintah Nyai Katri."
"Dan. kau... kau tidak capek? Kau kelihatan segar bugar begitu? Aneh sekali. Apakah Nyai juga tidak bosan dengan pemuda kurus kerempeng dan jelek seperti kamu?"
Jaka Bego tahu, ia dihina. Tapi Jaka Bego tidak menanggapi hinaan itu. Ia malahan bangkit, duduk di pembaringan dan berkata dengan jelas:
"Nyai bilang... ia tidak akan pernah bosan jika bercumbu dengan lelaki seperti aku. Kata Nyai... aku punya kehebatan yang tidak dimiliki lelaki lain. Kata Nyai juga, aku punya pedang panjang yang mampu menembus dinding karang. Kata Nyai lagi, aku adalah kuda jantan yang perkasa dan yang dicarinya selama ini. Kata Nyai... akulah lelaki yang diharapkan selama hidupnya, dan baru sekarang ditemukannya. Juga kata Nyai, aku lebih hebat daripada Prabima dan lelaki yang pernah bercinta dengan Nyai..."
"Cukup, cukup...!" Andini gemetar.
"Kau pandai berbohong rupanya."
"Ah, pandai sih tidak. Cuma... aku memang dikatakan oleh Nyai sebagai lelaki hebat. Itu kata Nyai, bukan kataku. Kalau kau tak percaya bilang saja sama Nyai..."
Andini tertegun, debar-debar jantungnya membara. Ia merenungkan kata-kata Jaka Bego. Ia membayangkan maksud kata-kata itu. Dan ia menjadi berkeringat. Ia berkata dengan lirih, "Nyai bilang, kau lebih hebat dari Prabima?!"
"Ah, entahlah... Itu kata Nyai, kok." jawab Jaka Bego kalem seakan menggoda.
"Dan kata Nyai... kau... kau mempunyai pedang panjang yang mampu menembus karang?!"
"Iya. Itu kata Nyai lho. Aku sendiri dari dulu tidak pernah punya pedang. Buat apa!" Jaka Bego semakin berlagak sinis. Andini menjadi semakin salah tingkah. Ia keluar dari kamar, berjalan bagai orang melamun.
Malam merajut mimpi. Nyai Katri belum pulang juga. Padahal Andini keburu ingin bertemu dengan Prabima. Khayalan birahi menggodanya terus, apalagi setelah ia mendengar penuturan Jaka Bego. Ia terus menghayal dalam kegelisahan. Sampai akhirnya, Jaka Bego menemukan Andini diam bersandar di lantai dalam keadaan sendu.
"Nyai belum pulang, ya?"
Andini menggeleng. Jaka Bego heran, lalu mendekat, jongkok di depannya.
"Kenapa kau bersedih? Takut kehilangan Prabima?"
Andini menatap Jaka Bego dengan sayu. Lama sekali mereka saling tatap, lalu Andini berkata dengan suara lirih:
"Aku sangsi dengan kata-katamu tadi. Aku... aku ingin membuktikan kehebatanmu..."
"Husy! Jangan. Itu tidak baik. Nanti kalau ketahuan Nyai, kau bisa dibunuhnya. Aku sudah menjadi milik Nyai. Pusaka Nyai yang tak ingin diberikan kepada siapa pun."
"Sekali saja, Jaka...! Aku... aku tak tahan disiksa khayalanku sendiri... oooh..." Andini meraih Jaka Bego, menciumnya beberapa kali. Jaka Be go masih dalam kebingungan.
"Jaka, lakukanlah...! Berlayarlah seperti kau mengarungi samudra bersama Nyai Katri selama dua malam...! Berlayarlah walau sekali saja...!"
Andini semakin panas. Ia tak ingat lagi siapa dirinya. Namun Jaka Bego bertahan untuk tidak melayani keinginan Andini. Gadis itu sudah gila. Jaka Bego dipaksa dalam ancaman. Jaka Bego takut, lalu ia bersedia mengarungi samudra impian bersama Andini. Seluruh tubuh Andini bagai tidak berdesir lagi darahnya. Andini seperti ada di awang-awang, menggeliat, mengerang dan menjerit beberapa kali.
"Kau... oh, kau benar, Jaka. Kau memang hebat dan mempunyai pedang panjang yang mampu menembus lapisan karang. Yaah... pantas kalau Nyai kecanduan asmaramu...!"
Jaka Bego masih segar, masih mengayuh dayung sampan, membawa Andini ke lautan lepas. Andini menjerit lagi, dan lagi-lagi menjerit dalam buaian khayalnya. Ia bertambah gila dan meronta-ronta seperti cacing kepanasan. Ia mencengkeram Jaka Bego berulang kali, bahkan menggigit, pundak Jaka Bego hingga membekas. Ia menangis dalam raung khayalan yang terus melambung tinggi ke atas. Ia lupa Prabima dan lupa segala-galanya.
Pagi menjelang, sinar matahari merambah permukaan langit. Andini masih berpacu dalam dengus nafas yang tak teratur. Jaka Bego tetap segar, mengayuh sampan dengan dayung keperkasaannya. Keringat memang berhamburan di antara kedua belah pihak, tetapi kesegaran masih terlihat jelas di wajah Jaka Bego. Sedangkan Andini sudah menyerupai daun layu, lunglai dan lemas, namun masih mengharapkan mengarungi samudra kebahagiaan dengan Jaka Bego.
Sampai akhirnya, pintu terbuka dengan mendadak. Nyai Katri muncul. Ia segera berlari dan menendang Jaka Bego dengan tangis yang menjerit-jerit.
"Biadab kau...! Laknat kau...!" Nyai Katri melemparkan apa saja yang bisa dilemparkan ke arah Jaka bego. Ia tidak menyerang Andini yang tengah bergeser ke dinding dengan meraih pakaiannya sebagai penutup badan asal jadi. Jaka Bego kebingungan. Ia ingin mengambil pakaiannya, namun ia tak berani karena pakaiannya ada di kaki Nyai Katri. Sedangkan Nyai Katri menangis tersedu-sedu, hilang sudah kewibawaannya. Ia sebagai perempuan biasa yang tidak punya pengaruh. Ia bagai seorang istri yang melihat suaminya serong dengan perempuan lain.
Andini dan Jaka Bego merasa heran. Ketegaran Nyai Katri tidak ada sama sekali dalam keadaan seperti itu. Ia menangis sambil menutupi wajahnya memakai telapak tangannya sendiri. Saat itulah, baru ada kesempatan bagi Jaka Bego untuk mengambil pakaiannya. Ia segera mengenakan dengan terburu-buru, sampaisampai satu lobang celana ia masuki dua kaki dan ia terjatuh waktu hendak melangkah.
Andini mendekati Nyai Katri dengan berkata hatihati:
"Maafkan saya, Nyai... Saya memang... memang tak sadar, karena... karena ingat Prabima terus, Nyai. Lalu...lalu Jaka Bego menceritakan apa yang ia lakukan bersama Nyai selama dua malam, dan saya... menjadi tergiur. Lalu..."
"Kau juga menjadi korbannya, Andini!"
"Menjadi korbannya, bagaimana, Nyai?!"
"Kau telah terkena ilmu Pasak Dewa. Dia mempunyai ilmu itu. Dan kau tahu... ilmu itu menyedot semua kesaktianku, semua kekuatan kita ikut tersedot. Aku sekarang menjadi perempuan biasa, tanpa kekuatan sedikit pun. Nyatanya aku sejak tadi gagal menyalurkan hawa murni. Aku...oh, aku tak mempunyai kesaktian apa-apa lagiiii..! Dan, kau... kau juga tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi, Andini. Asmara Pasak Dewa telah merenggutmu. Merenggut semua daya kita..."
Andini tertegun bagai tak percaya dengan kata-kata Nyai Katri. Ia memandang Jaka Bego yang masih berdiri dengan sikap terbengong melompong. Jaka Bego sendiri bagai orang yang ada dalam keheranan cukup tinggi. Ia pun sepertinya tidak percaya dengan apa yang dikatakan Nyai Katri.
"Apakah Nyai tidak salah ucap...?" tanya Andini.
"Tidak. Aku baru sadar setelah aku gagal menyalurkan hawa murni ke tubuh Prabima. Aku baru sadar kalau aku tak mempunyai ilmu apa-apa lagi, aku tak bisa menyalurkan hawa murni lagi. Bahkan memukul batu pun aku tak sanggup lagi. Aku sudah mencobanya berulangkali..." Nyai Katri memperlihatkan tangan dan jarinya yang berdarah akibat memukul batu.
"Lihat... sampai tanganku luka semua, aku tetap tak bisa memecahkan sebutir batu yang biasanya hanya dengan satu genggaman batu itu akan menjadi debu. Nyatanya… ooh... ini, Andini. Dia telah menyedot ilmuku dengan ilmu Pasak Dewa. "
Andini tidak percaya. Ia segera bangkit dan memandang Jaka Bego. Yang dipandang jadi ketakutan. Jaka Bego menggerak-gerakan kedua tangannya seraya berkata:
"Tidak...! Aku tidak tahu...! Aku tidak sengaja! Jangan marah pada saya...! Nyai yang memintanya, Andini. Bukan kemauanku sendiri...! Sumpah...! Sumpah sekali!"
Untuk menghilangkan kepenasaranannya, Andini menggerakkan tangannya bagai sedang menari. Tubuhnya meliuk-liuk namun matanya masih menatap Jaka Bego, sedangkan Jaka Bego waktu itu jadi tertegun melihat tarian Andini. Lalu dengan cepat Andini menghentakkan tangan kanannya ke depan:
"Hiaaaaaat...!"
Jaka Bego masih terbengong, bahkan kini tersenyum karena dikira diajak bercanda oleh Andini.
"Bidadari Senjaaa...! Hiaaaatt...!" seru Andini sambil menggunakan pukulan Bidadari Senja yang mampu menghanguskan tubuh lawan dari jarak jauh. Tetapi ternyata pukulan itu kosong. Tanpa tenaga sedikitpun. Bahkan tangan Andini yang menyentak ke depan itu merasa ngilu bagian persendian sikunya. Ia pun terbelalak, tercengang memandangi tangannya. Lalu ikut menangis penuh penyesalan, "Ilmuku... ilmuku hilang semua, Nyaii... Ooh...!"
"Asmara Pasak Dewa telah menyedotnya, Andini...! Kita lengah dan lalai...!"
"Siapa kau sebenarnya, Bajingan!" teriak Andini gemas sekali.
* * * * *
--≡¦ { 5 } ¦≡--
"Nyai...? Andini...?!"
Andini bergegas bangun dan menghambur dalam tangis memeluk Prabima.
"Prabima...! Oh, syukurlah kau selamat...!"
"Apa yang terjadi dengan kalian berdua, Andini?!" Andini yang manja tetap mengisak dalam pelukan Prabima.
Nyai Katri berdiri dan memandang Prabima dengan berurai air mata kesedihan yang baru kali itu dilihat Prabima. Karenanya Prabima sangat heran melihat perempuan setegar Nyai Katri, yang tak pernah punya rasa belas kasihan, kali ini menangis seperti seorang ibu rumah tangga kehilangan kucing kesayangannya.
"Ada apa, Nyai? Apa yang telah terjadi?!"
Nyai Katri yang rambutnya panjang masih terurai itu mengisak beberapa kali, kemudian memberi penjelasan dengan susah payah. Nafasnya tersengal oleh tangis yang menyesak di dada.
"Aku... aku sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi, Prabima. Aku telah lemah..."
"Apa maksud Nyai bicara begitu? Bukankah Nyai guru saya? Nyai mampu berbuat apa saja dengan kesaktian Nyai."
"Tapi sekarang tidak lagi, Prabima!" tangis Nyai menjadi.
"Juga aku...!" sahut Andini dengan tangis kemanjaannya.
"Aku sudah tidak mempunyai ilmu pukulan Bidadari Senja, aku sudah tidak mempunyai tenaga dalam lagi. Semua ilmuku habis semua. Habis!" Andini makin meraung!
"Kenapa sampai begitu, Nyai? Kenapa, Andini?" Prabima masih bingung.
"Dia...!" Nyai Katri menuding Jaka Bego yang tampak sangat ketakutan duduk memojok.
"Dia mempunyai ilmu Asmara Pasak Dewa...!"
"Asmara Pasak Dewa?!" Prabima masih mengerutkan dahi.
Nyai Katri menjelaskan, "Ilmu Pasak Dewa adalah ilmu kuno. Di mana pada zaman dulu hanya beberapa orang saja yang mempunyai ilmu itu."
"Apa kehebatan ilmu itu?!" desak Prabima semakin ingin tahu. Nyai Katri mencoba menenangkan tangisnya, lalu menjelaskan dengan terbata-bata:
"Ilmu Asmara Pasak Dewa... mampu menyerap segala ilmu yang dimiliki oleh seorang perempuan. Umumnya hal itu terjadi jika antara pemilik Asmara Pasak Dewa sedang bermain cinta dengan perempuan berilmu. Setinggi apapun ilmu seorang perempuan, jika bermain cinta dengan lelaki yang memiliki Asmara Pasak Dewa, maka ilmu itu akan tersedot semuanya. Tanpa tersisa sedikit pun. Melalui permainan cinta satu kali saja, semua ilmu bisa diserap oleh Asmara Pasak Dewa. Dan...dan... Jaka Bego ternyata mempunyai ilmu itu. Sehingga... sehingga..."
"Nyai bermain cinta dengannya?!" tebak Prabima. Nyai Katri mengangguk seraya menangis sedih.
"Aku... aku menemukan kejantanan yang tak pernah dimiliki pria mana pun. Aku terpikat dan lupa diri. Aku tak sadar kalau Asmara Pasak Dewa memang mampu membuat perempuan lupa diri pada saat semua ilmunya terserap habis. Dan... dan itu terjadi pada diri Andini juga, yang waktu aku datang, ia sedang menghabiskan sisa kebahagiaan Asmara Pasak Dewa..."
"Gila...!" geram Prabima.
"Ini gila-gilaan..!"
"Maafkan aku, Prabima. Aku sungguh tak dapat menahan diri, dan... dan lalai kepada bahaya yang ada. Maafkan.." Andini meratap menyesali tindakannya. Ia malu, tapi apa boleh buat, semuanya telah terjadi dengan menyedihkan.
"Hal itu kusadari setelah aku tak mampu menyalurkan tenaga inti untuk menyembuhkan lukamu," tambah Nyai Katri.
"Lalu kucoba memecahkan batu, ternyata juga gagal. Jadi, aku segera menyadari bahwa Jaka Bego telah menyerap ilmuku, terkuras habis dengan cara menggunakan Asmara Pasak Dewa..."
"Siapa monyet itu sebenarnya? Mengapa ia sampai mempunyai ilmu Asmara Pasak Dewa?" kata Prabima bagai bicara pada diri sendiri.
"Kau sudah sembuh, Prabima?" Nyai Katri memandang tangan Prabima yang telah pulih seperti sedia kala.
"Aku tahu waktu Nyai Katri bersusah payah menyalurkan tenaga inti ke tanganku. Aku juga tahu Nyai pergi dengan hati kesal. Tapi, waktu itu keadaanku sangat lemah dan tak bisa bicara. Namun diam-diam aku menyalurkan tenaga intiku sendiri ke tangan, dan berhasil..." Prabima memperlihatkan pergelangan tangannya yang bagai tak pernah terluka sedikit pun itu. Andini sempat mengagumi penyembuhan tersebut, namun pikirannya segera kembali ke Jaka Bego.
"Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak Prabima kepada Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng yang menyimpan misteri itu hanya menggeleng ketakutan sambil semakin memojokkan badan. Ia tampak cemas dan rona wajahnya amat kasihan.
Prabima yang masih tetap berilmu tinggi itu segera merenggut baju Jaka Bego yang terbuat dari kulit kambing. Baju itu dulu pemberian dari seorang nelayan yang ditolong Jaka Bego dari hempasan ombak.
"Siapa kau sebenarnya, hah?! Ayo, mengakulah!"
"Jaka, Mas...!" jawab Jaka Bego dalam ketakutan.
"Siapa kau sebenarnya? Itu yang kutanyakan?!" bentak Prabima dengan kesal.
"Jaka Bego...! Sungguh, nama saya Jaka Bego... benar sumpah...!"
Jawaban itu membuat Prabima merasa seperti dipermainkan. Ia menampar Jaka Bego keras-keras, dan Jaka Bego mengejang kesakitan seraya menjerit:
"Aduh...! Ampun, Mas… Sakit...!"
"Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya, hah? Aku tahu, kau bukan anak tolol seperti yang kulihat ini!"
Karena gemas dan jengkelnya, Prabima menendang Jaka Bego sampai anak itu terpental menjatuhi Nyai Katri. Tentu saja Nyai Katri yang sudah menjadi perempuan biasa merasa kesakitan kejatuhan badan Jaka Bego. Lalu dengan gemas Nyai Katri mendorong tubuh Jaka Bego sampai kepala Jaka Bego membentur tiang.
"Aaaaauuuuh...!" Jaka Bego menjerit kesakitan. Namun benturan itu telah membuat suatu getaran itu telah mengakibatkan beberapa lampu yang menempel pada tiang-tiang itu bergoyang. Salah satu yang terbuat dari tempurung kelapa jatuh, dan mengenai kepala Prabima dengan keras.
"Praak..!"
Prabima menyeringai kesakitan sambil memegangi kepalanya. Kemarahannya semakin menjadi. Ia hendak membunuh Jaka Bego dengan pedangnya, namun Nyai Katri segera menghalangi.
"Jangan! Jangan bunuh dia..! Aku masih bisa membujuknya untuk mengaku, dan mengembalikan ilmu-ilmuku!"
Prabima menggeram gemas. Giginya menggeletuk. Tangan kirinya kembali mengusap-usap kepalanya yang kejatuhan lampu dari batok kelapa berisi minyak penuh itu.
"Sekarang pergilah, lawanlah Lanangseta. Rebut bunga itu sebelum sempat dimakannya. Jangan sampai terlambat!" perintah Nyai masih ditaati pula oleh Prabima.
Andini berkata, "Aku tak bisa ikut dalam keadaan seperti ini, Prabima, Yang jelas, aku ingin kau kembali dengan selamat dan... dan kita bisa bersatu selamanya."
Dengan sinis Prabima berkata kepada Andini, "Apakah kau masih pantas bercinta denganku?"
"Prabima...?!" Andini terkejut mendengar ucapan tak diduga itu. Prabima agaknya serius, ia bahkan berkata:
"Kau telah menyerahkan dirimu kepada Jaka Bego dengan segala resiko yang harus kau tanggung. Pantaskah setelah itu kau ingin menyerahkan dirimu kepadaku? Ciiih...! Aku tak akan sudi bergumul dengan bekas keringat Jaka Bego yang sinting itu!"
"Prabima, maafkan aku! Aku sudah mengaku salah dan..."
"Dan kau harus menanggung akibatnya sendiri!" Lalu Prabima pergi begitu saja dengan loncatannya yang bagai panah melesat itu. Andini memanggilnya dalam tangis, tapi tak dijawab.
Prabima masih penasaran dengan Kirana. Ia berharap agar saat ia sampai nanti bunga Teratai Wingit belum sempat dimakan Lanangseta. Betapapun juga, Prabima lebih tertarik kepada Kirana daripada terhadap Andini. Apalagi Prabima tahu bahwa Andini sudah tidak suci lagi, sedangkan Kirana pasti masih suci. Sebab itu, semangatnya menjadi berkobar-kobar untuk merebut bunga Teratai Wingit itu.
"Begitu bunga berhasil berada di tanganku, langsung akan ku makan di depan Lanangseta! Hah..! Rasakan kau, Lanangseta! Karena kehadiranmulah yang membuat Kirana jadi sama sekali tidak mengharap kehadiranku..." pikir Prabima sambil terus melesat menuju Griya Teratai Wingit.
Ternyata dugaan Prabima melesat jauh. Ia tidak tahu kalau Lanangseta telah memakan bunga Teratai Wingit pada saat itu juga, saat ia kembali membawa bunga berwarna ungu itu. Tentu saja yang paling bangga dan gembira adalah Kirana, Putri Bukit Badai yang cantik, anggun dan mempunyai sepasang mata menggetarkan hati Lanangseta.
Tengah malam, ketika mereka sedang berunding mengenai upacara perkawinan Lanang dengan Kirana yang akan diadakan besok pagi, tahu-tahu keadaan Griya Teratai Wingit menjadi gempar dengan munculnya Ludiro.
Lelaki pendek berbadan gempal dan berkulit kehitam-hitaman itu agaknya berusaha sekuat tenaga untuk sampai di Griya Teratai Wingit. Begitu sampai di depan pintu gerbang ia rubuh tak tahan lagi. Penjaga pintu gerbang segera membawa masuk Ludiro yang terluka perutnya akibat cincin Cupu Gina. Salah seorang memberanikan diri menghadap Sabdawana yang sedang berembuk dengan Lanangseta dan Kirana.
"Rama, maaf saya mengganggu..." ujar penjaga itu dengan memberi hormat terlebih dulu.
"Ada apa? Apakah kau tak tahu kami sedang berbicara sangat penting?!" kata Sabdawana yang merasa terganggu.
"Sekali lagi, saya mohon maaf, Rama Sabdawana. Hemmm.... ada hal yang lebih penting. Kami... kami temukan Paman Ludiro dalam keadaan luka parah, Rama?!"
"Paman Ludiro...?!" Lanangseta yang terpekik kaget. Sabdawana terbelalak juga melihat perut Ludiro robek dalam, nyaris isi perutnya terburai keluar. Ia segera menyuruh beberapa orang menggotong Ludiro ke kamar khusus. Tetapi Lanangseta sendiri yang mengangkat tubuh Ludiro. Lanangseta merasa khawatir melihat keadaan Ludiro yang sudah pucat pasi karena kehabisan darah. Ia menjadi iba melihat pengorbanan Ludiro.
"Pasti Si Keparat, Prabima itu, yang melukainya!" geram Lanangseta.
"Aneh. Bukankah Paman Ludiro tubuhnya kebal terhadap senjata apapun!" kata Kirana dengan cemas.
Sabdawana memperhatikan luka di perut Ludiro. Di tepian luka itu meninggalkan serbuk putih seperti serbuk pada sayap kupu-kupu. Lalu, ayah Kirana itu manggut-manggut seraya menggumam.
"Pasti seseorang telah menggunakan cincin Cupu Gina," kata Sabdawana dalam gumamnya.
"Cincin Cupu Gina, Ayah?!" Kirana merasa asing dengan nama senjata itu.
"Ya. Cincin Cupu Gina adalah sejenis batu-batuan yang hanya ada satu jenis di dunia ini. Cincin itu berbentuk seperti kerucut, ujungnya runcing mampu menggores benda setebal apa pun. Lihat serbukserbuk di sekitar lukanya. Ini menandakan ia tergores cincin Cupu Gina yang dulu pernah geger di rimba persilatan gara-gara merebutkan cincin tersebut."
"Tapi... mungkinkah Prabima memperoleh cincin itu?!" tanya Lanangseta yang masih dalam kecemasan.
"Mungkin saja, kalau dia berkomplot dengan seorang ratu bajak laut yang hidup pada masa ratusan tahun yang lalu. Ia bernama Areswara!"
"Areswara...?!" Lanangseta teringat nama yang pernah didengarnya dari Ludiro.
"Areswara ratu bajak laut yang berilmu tinggi. Kesaktiannya sangat hebat. Ia bisa berganti-ganti wajah, dan tak pernah tua. Ratu Areswara selalu berpenampilan cantik dan mempunyai daya tarik sendiri bagi setiap lelaki. Namun ia seorang yang kejam, yang serakah dan ingin menguasai dunia."
"Ayah mengenalnya?" tanya Kirana.
Sabdawana mengangguk. Ia berkata pelan, "Ada tiga orang leluhur kita yang pernah menjadi suaminya. Tetapi selalu mati dalam keadaan menyedihkan. Areswara itulah yang membunuhnya. Sehingga sampai sekarang, ia merupakan musuh bebuyutan kita juga." Ludiro mengerang lemah, nafasnya tersengalsengal. Ia bagai meregang menjelang ajal. Lanangseta kebingungan, demikian juga Kirana yang segera mendesak ayahnya untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan nyawa Ludiro. Tetapi Sabdawana berkata dengan nada patah semangat:
"Apakah aku akan bisa? Yang ku tahu, tak pernah ada luka yang bisa disembuhkan jika terkena goresan cincin Cupu Gina. Tak pernah kudengar cerita orang yang selamat setelah terkena goresan cincin itu. Sebab, serbuk dari batuan cincin itu merupakan racun yang paling ganas. Ia akan menyerang otak, atau jantung. Tergantung di mana lukanya berada. Kalau lebih dekat dengan jantung, dia akan menyerang jantung, kalau dekat otak, ia akan menyerang otak "
Lanangseta tiba-tiba teringat kata-kata gurunya, Si Tongkat Besi, yaitu seorang manusia yang sebenarnya dewa. Dewa yang terbuang dari Suralaya karena kesalahannya. Dulu, Lanangseta pernah mendengar Tongkat Besi berkata:
"Kalau pedangmu bisa membunuhku, maka darahku akan menempel pada pedangmu, dan akan membuat pedangmu menjadi pijar bagai bara besi yang menyala panas. Tapi sebenarnya pedang itu dingin. Keampuhan pedang itu cukup banyak, bisa memotong besi atau baja mana pun, bisa menghancurkan gunung dalam satu kali tusukan, bisa menyembuhkan luka apa pun, dan bisa melayang sendiri membunuh musuhmu dari jarak jauh dan lain-lain... karena itu kau harus "
"Lanang...!" tegur Kirana.
"Kenapa malah melamun?!"
"Menyembuhkan luka apapun..." gumam Lanangseta seraya termangu-mangu.
"Apanya? Kau bicara apa?" Kirana menggoyanggoyang lengan Lanangseta. Lalu, segera Lanangseta minta izin untuk mengambil pedangnya di kamar pusaka. Sabdawana tak keberatan, sebab dalam hati ia percaya, pasti ada sesuatu yang ingin dilakukan Lanangseta.
Sabdawana dan Kirana menepi dari tempat Ludiro dibaringkan di kamar perawatan itu. Lanangseta menghunus pedangnya: Pedang Wisa Kobra, yang telah menjadi pedang malaikat sejak ia berhasil membunuh Tongkat Besi di luar kesengajaan. Pedang itu menyala bagai pijar api, seakan sebatang besi yang habis dipanggang hingga membara. Warna merah api sangat mengerikan, dan membuat Kirana bergidik. Sementara itu, Ludiro hanya bisa mengerang tipis nafasnya semakin sesak dan seakan hampir habis. Wajah pucat pasi, dan mata sayu berwarna putih. Manik mata hitamnya sudah tak kelihatan lagi.
Lanangseta segera menempelkan pedang yang berpijar itu pada luka memanjang di perut Ludiro. Akibat sentuhan pedang tersebut, perut Ludiro mengepul, seperti besi panas yang tercelup dalam air. Suara desis juga terdengar dan membuat Kirana serta Sabdawana menyeringai ngeri. Ludiro tidak berteriak sedikitpun, juga tidak mengejang kepanasan. Dan Lanangseta tetap menempelkan pedangnya sampai asap yang keluar dari pedang yang menyentuh darah luka itu habis. Memang tercium bau daging panggang, tetapi kenyataannya sangat ajaib.
Nafas Ludiro terhela dengan lepas. Longgar. Matanya mulai berkedip-kedip. Lanangseta mengangkat pedang Wisa Kobranya, lalu semua mata terbelalak melihat perut Ludiro dalam keadaan rapat. Tak ada luka, tak ada sedikit pun bekas goresan. Perut itu bersih, bahkan darah yang berceceran di sekitar bekas luka juga bersih, bagai dihisap oleh pedang Wisa Kobra.
"Ooh... syukurlah kau segera menolongku, Lanang..." kata Ludiro masih dengan sisa kelemahannya.
"Ya, Paman. Karena aku tidak ingin kehilangan kau, Paman Ludiro," Lanangseta tersenyum. Ludiro dibiarkan berbaring. Kirana disuruh ayahnya menyelimuti tubuh Ludiro.
Sabdawana berkata, "Kau harus beristirahat sampai besok, Ludiro. Paling tidak untuk menghilangkan kelelahanmu selama bertarung dengan Prabima."
"Ya, Rama. Tapi bukan hanya Prabima yang menyerangku, melainkan Andini..." Ludiro berpaling kepada Lanang.
"Andini bersekutu dengan Prabima. Ia terpengaruh ketampanan Prabima, dan bahkan nekad berbuat mesum dengannya..."
"Andini...?" ucap Lanang dalam desah yang bernada ragu.
"Ya. Andini. Mereka merencanakan menyerangmu, mencuri bunga Teratai Wingit. Mereka ingin menggagalkan perkawinanmu, Karena... karena Andini penasaran, ingin merebutmu dari tangan istrimu."
"Siapa Andini itu?!" cetus Kirana dengan tajam. Lanang mulai khawatir kalau-kalau Kirana cemburu. Lalu dengan hati-hati Lanang menjelaskan secara singkat siapa Andini itu. Dan rupanya Kirana bukan cemburu, melainkan justru ingin menghajar Andini untuk menunjukkan bahwa dialah yang berhak memiliki Lanangseta, Si Pendekar Pusar Bumi.
"Bagaimana dengan bunga itu?" Ludiro masih mengkhawatirkan bunga tersebut.
"Tenang, Paman. Aku telah memakannya dalam upacara adat yang dilaksanakan tadi, begitu aku sampai," kata Lanang dengan senyum ceria.
Ludiro ikut tersenyum.
"Syukurlah... Kapan kau menikah?" tanya Ludiro lagi.
"Besok...! Kalau Paman masih lemah, biar saja berbaring di sini."
Ya. Besok. Dan perkawinan Lanangseta dengan Kirana Sari itu pun tak diketahui oleh Prabima. Dalam perjalanannya menuju Griya Teratai Wingit, Prabima selalu beranggapan bahwa bunga itu belum dimakan oleh Lanangseta. Sebab ia tahu, kalau untuk memakan bunga tersebut harus melalui upacara adat leluhur Bukit Badai, yang tidak mudah masa persiapannya. Tetapi dugaannya itu salah besar. Bahkan ketika ia tiba di depan pintu gerbang Griya Teratai Wingit, ia melihat beberapa orang meninggalkan rumah Kirana dengan senyum-senyum gembira. Ia tidak tahu kalau Lanangseta hari itu sudah resmi menjadi suami Kirana Sari, perempuan yang menjadi incaran Prabima sejak ia menjadi murid ibu Kirana. Prabima merasa penasaran, ia mencegat salah seorang tamu yang dalam perjalanan pulang.
"Pak... bapak dari rumah Rama Sabdawana?"
"Ya. Betul. Putri tunggalnya menikah dengan seorang Pendekar gagah perkasa." jawab orang itu dengan ceria.
Kemarahan dan kekecewaan Prabima meluap pada saat itu juga.
"Dia telah kawin..?! Bangsat...!" Ia memukul orang itu pada bagian dadanya hingga orang tersebut mengejang, dan roboh tak berkutik dengan dada hangus akibat pukulan.
Kemarahan Prabima adalah kemarahan yang paling tinggi sepanjang hidupnya. Ia menggunakan ilmu Bramapati untuk menyerang para tamu yang hendak meninggalkan rumah Kirana. Dengan sekali menggerakkan tangannya ke depan, maka keluarlah kobaran api yang segera melayang menghantam siapa saja yang ada di depannya. Sudah tentu orang yang terbakar itu menjerit-jerit dan berguling-guling. Bukan hanya satu orang, tapi lebih dari tujuh atau sembilan orang yang saat itu diserang dengan bola api dari tangan Prabima.
"Aaaooww...! Toloooong...! Aku terbakar...!"
"Aaaauuuh...! Apiii..! Apii... ooh, tolooooong...!"
Jerit mengerikan membahana. Keadaan menjadi kacau balau. Semua orang saling lari tunggang langgang. Kepanikan menghadirkan beraneka ragam teriakan histeris, juga pekikan kematian menggema di mana-mana.
"Rama...!" teriak Lande.
"Pemuda itu... eeh... Prabima mengamuk di depan gerbang. Ia membakar orangorang tak berdosa, Rama...!"
Kirana dan Sabdawana segera melompat dari ruang pertemuan, mereka segera menghambur keluar. Lanangseta bergegas masuk ke kamar pusaka dan mengambil pedangnya.
Pada saat itu, Prabima segera melancarkan ilmu Bramapatinya yang ia peroleh dari Nyai Katri. Bola api meluncur ke arah Kirana dan Sabdawana. Namun dengan gesit Kirana yang masih mengenakan pakaian pengantin itu melompat ke depan ayahnya, menghadang kedua bola api itu. Ia memutar kedua tangannya dengan salah satu kaki merenggang dan merendah ke bawah. Putaran tangannya tepat berhenti dalam satu sentakan kuat. Sentakan itu mengakibatkan bola-bola api yang tinggal beberapa jengkal dari tubuhnya itu melesat berbalik arah menuju Prabima.
Prabima bersalto menghindari bola-bola api yang ganti menyerangnya itu. Kirana mengeram dalam seruannya:
"Saatmu untuk mati, Manusia Ibliiis...!" Lalu, tangan Kirana bergerak ke depan dalam posisi jari jemarinya lurus semuanya. Dari ujung jari jemari itu meluncurlah jarum-jarum beracun, melesat cepat menghantam Prabima. Prabima semakin melayang dan berguling di udara menghindari jarum beracun yang ia miliki juga.
"Hiaaat....!" Prabima memekik seraya melancarkan tendangan ke arah Kirana. Dengan tangkas Kirana menangkis kaki kanan Prabima, lalu Kirana melambung tinggi hingga kakinya berada di atas kepala Prabima. Pada saat itu, kaki Kirana hendak menjejak kepala Prabima, tetapi Prabima lebih dulu melancarkan pukulan Bramapatinya sambil menelentang di tanah. Kirana terpaksa bersalto ke samping untuk menghindari bola api yang telah melesat, nyaris menyentuh lengannya itu.
Pada saat kaki Kirana menapak di tanah, Prabima melentikkan badan dengan berguling ke belakang langsung melayang. Kedua kakinya berhasil mengenai pinggang Kirana, sehingga perempuan cantik itu sempoyongan hampir jatuh. Seketika itu, mata Prabima memancarkan sinar kecil berwarna kuning Saat...! Sinar menuju ke tubuh Kirana, tetapi Kirana berkelit dengan menggulingkan badan ke tanah. Sambil berguling Kirana mengibaskan tangannya yang telah menggenggam batu-batu kecil. Batu-batu itu dilemparkan ke arah Prabima, oleh Prabima dilawan dengan sinar kuning yang keluar dari matanya. Batu-batu itu berbenturan dengan sinar kuning, dan menimbulkan sebuah ledakan cukup keras.
Agaknya Kirana sukar diatasi, sebab itu Prabima segera menyerang Sabdawana, ayah Kirana yang sejak tadi memperhatikan pertarungan tersebut. Ilmu Candra Geni yang mengeluarkan sinar kuning dari mata itu dilancarkan ke arah Sabdawana. Lelaki beruban itu menggeragap karena datangnya serangan itu secara tiba-tiba dan di luar dugaan. Namun pada saat itu sebuah bayangan melesat menyongsong gerakan sinar kuning. Dan sinar itu pun berhenti, lalu tubuh Lanangseta tampak dalam posisi salah satu kaki berdiri tertekuk dan satu kakinya lagi berdiri di atas lutut. Pedang Wisa Kobra berdiri tegak di depannya, menghadang sorotan sinar kuning itu.
"Kau harus berhadapan denganku, Prabima. Bukan dengan yang lainnya...!" kata Lanangseta dengan mata memandang tajam, memancarkan dendam. Prabima tersenyum sinis, segera mencabut pedangnya.
"Berpamitlah kepada istrimu yang cantik itu, Lanang. Sebab sebentar lagi kau akan kukirim ke neraka, dan ia akan menjadi perawan... Janda yang masih perawan, he, he, he...!" Prabima sengaja memancing kemarahan Lanangseta agar ia kehilangan kontrol diri. Tetapi Lanangseta kelihatan tenang. Ia menggerakkan pedangnya dengan kedua tangan. Pedang ditarik ke samping atas, dan tubuh Lanangseta meliuk bagai hendak menari. Prabima segera menyerang:
"Hiaaatt...!"
Tubuh Prabima melayang dengan pedang terarah ke dada Lanangseta. Lanang hendak menangkis pedang itu, namun mendadak Prabima menggerakkan pedangnya ke atas sehingga tangkisan pedang Lanang mengenai tempat kosong. Gerakan pedang tipuan itu hampir saja menusuk ubun-ubun Lanang kalau saja Lanangseta tidak segera berguling ke tanah tanpa menyentuh tanah sedikit pun. Posisi Lanang membelakangi Prabima. Kesempatan baik bagi Prabima untuk melancarkan senjata rahasia berupa jarum-jarum beracun ke punggung Lanangseta. Jaraknya cukup dekat dan gerakan jarum bagaikan angin berhembus kencang. Namun pada saat itu, Kirana dengan sigap segera melancarkan pukulan Pembeku yang membuat jarum-jarum berhenti seketika dan saling mengempal, lalu jatuh ke tanah. Kalau saja Kirana kurang cekatan sudah tentu punggung Lanangseta menjadi sasaran empuk jarum-jarum beracun itu.
Lanangseta segera berbalik menghadapi Prabima, yang ternyata telah meluncur menyerangnya dengan tendangan kaki kanan. Lanangseta mengelak dengan miringkan badan ke samping, tetapi rupanya tendangan itu hanya tipuan semata, karena begitu tendangan molos ke tempat kosong. Prabima mengibaskan pedangnya ke leher Lanangseta. Dengan gesit Lanangseta menghantam pedang itu dengan pedangnya. Trang...! Prabima buru-buru berguling takut terkena tebasan pedang Lanang yang bergerak cepat itu. Namun ketika ia mendaratkan kakinya ke tanah, ia jadi terbengong melihat pedangnya buntung, tinggal beberapa bagian. Lanangseta berdiri tegap sambil tersenyum.
"Bangsaaaaat... kau, Lanaaang..!" geram Prabima seraya melancarkan pukulan jarak jauh ke tubuh Lanangseta setelah ia membuang pedangnya.
Dengan gesit Lanangseta melejit tinggi, lalu bersalto beberapa kali dan berdiri tepat di belakang Prabima. Prabima berpaling, dan sebuah pukulan keras mengenai rahangnya hingga terdengar suara gemeretak.
"Oouuuw...!" Prabima terpental jauh seraya mengaduh. Ia segera berdiri tegak karena takut didahului serang Lanang. Matanya memerah menahan rasa sakit pada rahangnya.
"Kau masih ingusan, Bocah Bagus...!" ledek Lanangseta.
"Sebenarnya belum waktunya kau bertanding melawanku. Lebih baik kau pulang dulu, netek dulu pada guru perempuanmu yang bergelar Iblis Pulau Kramat itu. Nanti baru kau bisa mengalahkan aku..."
Prabima terpancing kemarahannya. Ia segera membuka jurus baru dengan menggerak-gerakkan tangannya seperti burung hendak terbang. Namun sebelum ia kesampaian menjajal jurus barunya itu, Lanangseta telah menerjangnya dengan memutari tubuh Prabima secara cepat sekali. Gerakan Lanang seperti kilasan cahaya bara merah mengelilingi Prabima, sukar diikuti oleh pandangan mata. Dan beberapa saat kemudian, Lanangseta menjauh dalam satu salto yang meninggi. Gerakan melayang turun dari atas itu seperti burung garuda turun dari langit. Rambutnya yang panjang itu meriap, melambai bagai sayap burung garuda. Begitu indah dan mengagumkan. Ia berdiri dengan tegap, kedua kaki terentang, tangan kanannya menjadi satu dengan tangan kiri memegang gagang pedangnya yang berdiri di depan dada kanannya. Otot-otot pada lengan dan dada terlihat membesar kekar. Banyak orang yang menyaksikan keadaan Lanang itu menjadi berdecak kagum, terutama Kirana.
Prabima menggenggam kuat-kuat, kedua tangannya berada di samping pinggang kanan kiri dalam posisi siap dihentakkan ke depan. Ia sempat berkata dengan sombong:
"Jangan bertarung seperti ayam mau kawin, Monyet! Terimalah aji pukulan Guntur Sambura ini..."
"Hei, hei... tunggu," kata Lanangseta.
"Lihat dulu apakah kau masih mempunyai jari tangan atau ada yang kurang. Lihat dulu, jangan sampai kau mati penasaran..."
Prabima tertegun sejenak. Ia mulai curiga, dan segera mengendurkan tangannya, membuka telapak tangannya, memelototi jari-jarinya. Oh, ternyata masih lengkap. Ia tertipu sehingga membuatnya tak jadi melancarkan aji pukulan Guntur Sambura.
"Kau hanya bisa bermain seperti anak kemarin sore, Lanang," ejek Prabima.
"Kau takut aku melancarkan pukulan Guntur Sambura, ya? Hemm...?!"
"Kusarankan lihat dulu jarimu..." kata Lanang dengan senyum sinis.
"Masih utuh...! Kau pikir kau jago pedang?" seraya Prabima menyodorkan kedua tangannya ke depan dalam keadaan jarinya terbuka semua. Tapi tiba-tiba jari kelingking tangan kiri jatuh secara mengejutkan. Disusul kelingking tangan yang satunya juga jatuh, seperti cicak kehabisan tenaga.
"Hahhh...?!"
Bukan hanya Prabima yang terbelalak kaget melihat jari kelingking itu berjatuhan. Tetapi Kirana dan semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi menggumam seperti serombongan lebah hutan lewat. Mereka berdecak kagum. Tak habis pikir mereka melihat jurus pedang sakti yang dilakukan Lanangseta tadi. Begitu cepat, begitu halus, sampai-sampai Prabima tidak menyadari kalau kedua jari kelingkingnya sudah terpotong sejak tadi.
"Heaaaahh...!" Prabima berteriak dalam kejengkelannya. Ia merasa dipermainkan dan segera menyerang Lanangseta dengan pukulan tenaga dalamnya. Lanangseta melesat ke udara, tapi miring ke kiri, sehingga dua kali pukulan jarak jauh Prabima yang tertuju ke bawah dan ke atas terpaksa mengenai tanah kosong. Tanah itu menjadi hangus dan berongga. Lanangseta menjejakkan kaki ke tanah, dan melayang lagi sambil bersalto melewati kepala Prabima. Ia mengibaskan pedangnya dengan kecepatan yang tak mampu dilihat mata manusia. Tahu-tahu ia telah mendarat seperti burung garuda hinggap di puncak bukit karang.
Prabima hendak bergerak, namun ia merasakan ada sesuatu yang perih di telinganya. Baru saja ia hendak memegang telinganya, tahu-tahu telinga itu telah lepas dan jatuh sendiri.
"Plok!" Daun telinga jatuh ke tanah dan sebaris gumam dan kata-kata "Woouw" terdengar menggema. Sekali lagi mereka dibuat kagum oleh gerakan jurus pedang. Nafas Prabima semakin terengah-engah diburu kemarahan yang meninggi. Ia benar-benar dianggap mainan murahan oleh Lanangseta. Gemuruh di dalam dadanya ingin meledak saja rasanya. Segera Prabima berseru:
"Lanang! Terimalah balasanku ini, Biadab...!"
Prabima merentangkan tangannya, lalu kaki kirinya ditarik lurus ke belakang, dan kaki kanannya menekuk rendah. Ia menggerakkan tangannya ke segala arah, kemudian bersalto ke depan. Tiba-tiba segumpal asap membungkus dirinya. Ia tak terlihat lagi.
Sabdawana berseru, "Siluman Raga Muspra...!"
"Hati-hati, Lanang...!" teriak Kirana Sari dengan cemas.
Lanangseta bergerak sigap. Tapi tahu-tahu tubuhnya bagai ada yang menendang dengan kuat. Ia terjengkang ke belakang dengan sentakan keras. Lanangseta menggeragap. Ia hendak bangkit, namun terasa ada yang memukulnya dua kali sehingga kepala Lanang terdongak dalam satu sentakan kuat.
Prabima tidak kelihatan. Asap itu menipis lalu hilang. Namun, Lanang mendengar dengus nafas Prabima di sampingnya. Bahkan kini semua orang mendengar ucapan sumbar Prabima:
"Lihat...! Hanya sekuku hitamku ilmu Lanangseta ini, ha, ha, ha !"
Lanangseta menebaskan pedangnya ke samping, namun ia tidak mengenai apa-apa. Tetapi justru sebuah tendangan hebat mengenai dadanya dan membuat Lanangseta memuntahkan darah beberapa percik. Suara Prabima terdengar lagi tanpa terlihat ujud manusianya:
"Ha, ha, ha... ayo, mainkanlah aku ! Sekarang giliranmu yang harus kumainkan, Babi bodoh !"
"Huuukh...!" Lanangseta terpukul punggungnya, namun rasa-rasanya bukan pukulan, melainkan tendangan beruntun yang mengenai punggungnya itu. Lanang menjadi limbung dan darah muncrat dari mulutnya.
"Lanang..!" Kirana bergegas hendak menolong, tapi ayah Kirana segera mencegah seraya berbisik:
"Percayalah, Lanang pasti bisa mengatasi hal kecil seperti itu. Ingat, dia murid Dewa Sinting, si Tongkat Besi. Ia tidak mungkin akan kalah begitu saja…" Dan kata-kata ini membuat Kirana sedikit tenang, sekali pun kegelisahan tercampur-baur dengan kecemasan di wajah anggun itu.
"Ucapkan selamat tinggal kepada istrimu, Lanang...!" seru Prabima. Tapi Lanang segera berlari dan melentik tinggi, bersalto tiga kali di udara, lalu tubuhnya mendarat agak jauh dari tempat pertempuran semula. Di sana mata Lanangseta terpejam. Ia membayangkan tubuh Prabima, dan segera mengibaskan pedang Wisa Kobranya dengan teriakan kuat, "Heeiaaatt...!"
"Aaaah...!" Terdengar pekikan memanjang di tempat pertarungan semula, tak jauh dari Kirana berdiri. Semua menjadi kaget, dan Kirana sendiri sampai mundur beberapa langkah bersama Sabdawana. Mereka bagai melihat asap tipis membayang, lalu makin lama semakin jelas terlihat tubuh Prabima berdiri dengan kepala mendongak ke atas. Tubuh yang melengkung ke belakang itu semakin jelas, namun juga semakin mengerikan. Tubuh itu terpotong menjadi tiga bagian, tanpa mengeluarkan darah berlimpah-limpah. Kaki terkulai, lalu disusul badannya dari leher ke bawah rubuh begitu saja, dan kini kepalanya pun ikut rubuh, menggelinding beberapa langkah dari kedua potongan badannya. Mereka yang menyaksikan hal itu banyak yang memejamkan mata karena ngeri. Tetapi mereka juga kagum, dalam jarak jauh, Lanangseta menebaskan pedangnya tiga kali dan langsung bisa memotong tiga bagian lawannya yang tidak kelihatan. Sungguh merupakan ilmu pedang yang amat hebat dan langka dimiliki pendekar lain.
Tetapi, mereka jadi tegang kembali ketika melihat kepala Prabima yang telah terpisah dari lehernya itu melayang sambil menyeringai bagai bola menuju Lanangseta.
"Lanang.... awaaaaas...!" teriak Kirana. Lanang sudah terlanjur menyarungkan pedangnya ke punggung. Kepala Prabima itu melayang cepat dengan gigi-gigi siap menggigitnya.
Namun sebelum kepala itu menyentuh Lanangseta, sebuah lecutan Cambuk Naga berbunyi nyaring: "Taaaar...!" Dan kepala itu pecah seketika terkena cambukan Ludiro. Lanangseta mengacungkan jempol kepada Ludiro yang baru nongol karena kelemahan tubuhnya. Namun semua orang tetap salut kepada Ludiro, yang mampu melecutkan Cambuk Naga tepat pada sasaran.
"Saatmu sangat tepat, Paman..." seraya Lanang memeluk Ludiro. Ludiro menyeringai, tubuhnya masih terasa lemas.
"Sudah selayaknya kau menyisakan sedikit untuk pembalasanku. Karena dialah yang merobek perutku dengan cincin keparat itu, dan aku berhak mendapat balasan, walau hanya sekali cambuk..."
Lanang, Kirana dan Sabdawana tertawa mendengar kata-kata Ludiro. Bahkan semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menjadi lega dalam senyum mereka. Kasak-kusuk jelas terjadi seperti lebah dan burung bersahutan, mereka membicarakan kehebatan-kehebatan dalam pertarungan Lanangseta dengan Prabima, musuh yang paling dibencinya itu.
"Lanang, dan kau Putri, kuucapkan selamat menempuh hidup baru, semoga kalian bahagia dalam perkawinan yang agung ini..." kata Ludiro seraya menyalami Kirana dan Lanangseta.
"Terima kasih, Paman... terima kasih..." bisik Lanangseta merasa bangga. Kirana pun memeluk Ludiro dan memberikan satu ciuman damai di kedua pipi Ludiro.
"Bagaimana dengan Jaka Bego yang katanya tertawan di Pulau Kramat itu?" sela Sabdawana. Mereka jadi tertegun sejenak. Kirana yang menyahut,
"Iya, ya...? Bagaimana dengan dia? Kasihan dia tidak ikut menikmati hari bahagia ini..."
"Aku yang akan ke sana menjemputnya," ujar Ludiro.
"Kudampingi kau, Paman..." kata Lanang.
"Aku bagaimana? Masa, pengantin baru akan ditinggal?" Kirana berlagak cemberut.
Lanangseta tertawa seraya memeluk Kirana yang cantik dan anggun.
"Kalau begitu, biarlah paman berangkat lebih dulu, setelah bulan maduku selesai, aku akan menyusul ke sana. Bukankah begitu, Putri cantik...?!"
"Terserah kau, Pendekar Tampan..." bisik Kirana. Lalu keduanya saling tertawa dan melangkah ke kamar pengantin. Itulah saat yang ditunggu-tunggu dan diperjuangkan mati-matian selama ini.
TAMAT
INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA | |
<< Iblis Pulau Keramat --oo0oo-- Istana Langit Perak >> |