Life is journey not a destinantion ...

Darah Menggenang Di Candi Laksa

INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA
Rahasia Dara Ayu --oo0oo-- Titisan Dewi Iblis

BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


--««¦ [ SATU ] ¦»»--

GUNUNG WARU tampak indah tersiram cahaya matahari pagi yang mengintip dari lekukan puncaknya yang selalu terselimut kabut tebal. Suasananya begitu tenang dan anggun. Namun di balik itu semua, tersimpan keangkuhan yang mengandung lingkaran misteri di dalamnya. Kabut tebal yang menyelimuti puncaknya, bagai selubung misteri yang selalu menantang untuk disingkap. Dan sampai kini, belum ada seorang pun yang berhasil menyingkapnya.
Namun ketenangan dan keanggunan Gunung Waru mendadak saja pecah oleh ledakan dahsyat menggelegar, hingga menggetarkan seluruh permukaan gunung itu hingga ke kaki yang terdapat beberapa perkampungan. Di sebelah Barat lereng gunung itu, terlihat jamur raksasa yang dibentuk dari debu dan bebatuan yang membumbung tinggi ke angkasa.
Belum lagi lenyap ledakan dahsyat tadi, tiba-tiba menyusul suara gemuruh dari batuan yang menggelinding menuruni lereng. Getaran semakin terasa, seakan-akan Gunung Waru ini mengamuk. Pohon-pohon bertumbangan tergulung longsoran batu besar dan kecil. Kemurkaan alam yang semula tenang, ternyata diakibatkan oleh dua orang manusia yang tengah berlaga di tepi jurang Lereng Gunung Waru sebelah Barat.
"Hiyaaa..."
"Yeaaah..."
Blarr
Ledakan-ledakan dahsyat terus terdengar ditingkahi teriakan-teriakan keras dari dua orang yang tengah bertarung. Mereka menggunakan ilmu-ilmu dahsyat, sehingga menghancurkan seluruh alam di sekitarnya. Entah apa yang menyebabkan mereka bertarung begitu dahsyat. Yang jelas, mereka sudah bertarung cukup lama. Terlihat dari simbahan keringat dan kotornya pakaian yang dikenakan.
Tidak jauh dari tempat pertarungan, terlihat empat orang wanita muda berwajah cantik tengah mengawasi jalannya pertarungan Masing-masing menyandang sebilah pedang di pinggang Potongan dan bentuk pakaian yang dikenakan sama persis. Hanya warna saja yang membuat mereka tampil berbeda. Pandangan mereka tidak berkedip ke arah salah seorang yang sedang bertarung.
Dia seorang wanita, mengenakan baju warna merah menyala. Potongan pakaiannya sama persis dengan empat wanita muda tadi. Sedangkan lawannya memakai jubah putih. Dia seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan. Kini masing-masing telah menggunakan pedang yang berkelebatan cepat mengincar tubuh satu sama lain.
"Hup Yeaaah..."
Tiba-tiba saja wanita berbaju merah melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat dimasukkan pedang ke dalam warangkanya di pinggang. Lalu dengan tubuh sedikit membungkuk, kedua tangannya bergerak cepat Seketika terlihat benda-benda berwarna Jingga bertebaran mengarah ke laki-laki muda berjubah putih.
"Yeah Hiyaaa..."
"Hup Hiyaaat.."
Pemuda berjubah putih itu berjumpalitan sambil cepat mengecutkan pedangnya, berusaha menghindari serbuan benda-benda berbentuk bunga berwarna Jingga itu. Bunga-bunga anggrek berwarna Jingga itu bertebaran bagai hujan, dan seperti tak pernah habis. Tampak wanita berbaju merah ketat itu berputar cepat sambil terus melontarkan anggrek-anggrek Jingganya. Dan tiba-tiba saja....
"Hiyaaat.."
Wanita berbaju merah itu melentingkan tubuhnya ke udara sambil tidak henti-hentinya melontarkan anggrek-anggrek Jingganya. Bagaikan kilat, dicabut pedangnya, langsung dibabatkan ke kepala pemuda berjubah putih itu.
Cras
"Aaa..."
Satu jeritan panjang melengking terdengar menyayat. Tampak pemuda berbaju putih panjang itu limbung sambil memegangi kepalanya. Darah terlihat merembes keluar dari sela-sela jari tangannya. Tebasan pedang wanita cantik berbaju merah tepat membelah kepala pemuda berjubah putih itu. Dan sebelum pemuda itu ambruk ke tanah, sekali lagi wanita berbaju merah itu membabatkan pedangnya. Kali ini langsung membelah dada. Seketika darah muncrat keluar deras dari dada yang terbelah lebar.
"Hup"
Wanita berbaju merah itu melompat kebelakan sambil menyarungkan pedangnya kembali ke pinggang. Tampak pemuda berjubah putih terhuyung-huyung limbung, lalu ambruk menggelepar di tanah. Sebentar tubuhnya masih menggelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi.
"Ha ha ha...
wanita berbaju merah itu tertawa terbahak-bahak. Tawa wanita berbaju merah itu disambung empat wanita cantik yang sejak tadi berdiri saja menyaksikan pertarungan dahsyat. Kini terdengar tawa-tawa lepas berderai menggema ke seluruh Lereng Gunung Waru. Suara-suara tawa yang membuat bulu kuduk terbangun bila mendengarnya.

* * * * *


.....
Sementara itu jauh di Kaki Gunung Waru, terdapat sebuah desa kecil. Hampir seluruh penduduknya disibuki oleh adanya tanah longsor yang datang dari lereng. Mereka bisa bernapas lega, karena longsoran tanah dan bebatuan itu tidak mencapai desa, karena terhalang lebatnya hutan. Tapi kejadian itu cukup membuat seluruh penduduk Desa Coket diliputi tanda tanya besar, karena belum pernah kejadian seperti ini dialami sebelumnya.
Berbagai macam dugaan dan pertanyaan seketika timbul. Hal itu juga merisaukan kepala desa dan pemuka-pemuka Desa Coket yang saat ini berkumpul di rumah kepala desa. Ada sekitar delapan orang memadati ruangan yang tidak terlalu besar. Ki Sampar, Kepala Desa Coket tampak lebih banyak diam dengan wajah datar tanpa cahaya.
"Sebaiknya kita periksa, apa sebab-sebab terjadinya longsor tadi," usul seorang laki-laki setengah baya yang berkumis tebal, sehingga penampilannya kelihatan angker. Orang sering memanggilnya, Ki Jalak.
"Aku rasa peristiwa ini tidak perlu dibesar-besarkan. Ini hanya kejadian alam biasa," sergah seorang tua berusia sekitar delapan puluh tahun. Dia mengenakan baju putih panjang dan berikat kepala putih. Seluruh penduduk desa mengenalnya sebagai Ki Dampil.
"Tapi kejadian ini belum pernah terjadi, Ki," potong seorang lagi yang duduk di samping Ki Jalak.
"Tidak ada seorang pun yang bisa menduga kejadian alam," kata Ki Dampil bijaksana.
"Untuk apa diributkan? Sebaiknya kita tentramkan saja penduduk yang resah."
"Sebaiknya kita serahkan saja pada Ki Sampar untuk memutuskannya," celetuk salah seorang seraya melirik kepala desa.
Semua yang berada di ruangan itu langsung memandang Kepala Desa Coket yang sejak tadi hanya diam saja tak bersuara sedikit pun juga. Sementara Ki Sampar sendiri masih terdiam. Pandangannya terarah ke luar jendela, menatap Puncak Gunung Waru yang lalu diselimuti kabut tebal.
"Ki Sampar, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Ki Jalak.
"Hhh..." Ki Sampar hanya menarik napas panjang. Kepala Desa Coket itu memandangi wajah-wajah yang mengharapkan keputusannya. Wajah-wajah resah diliputi tanda tanya besar karena peristiwa tanah longsor yang belum pernah terjadi di desa ini. Kembali ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Belum juga Ki Sampar membuka mulut mendadak saja terdengar suara mendesing yang sangat halus. Kepala desa itu langsung mengegoskan kepalanya, dan dengan cepat mengibaskan tangan ke samping.
Tap!
Semua orang yang berada dalam ruangan itu terkejut karena tiba-tiba saja Ki Sampar menangkap sebuah benda berbentuk bunga anggrek berwarna jingga. Baik Ki Sampar maupun yang lainnya bergegas bangkit dan melangkah ke luar. Tapi mereka jadi kecewa karena tidak mendapat apa-apa, selain para penduduk yang panik akibat terjadi tanah longsor di Lereng Gunung Waru.
"Apa itu, Ki?" tanya Ki Jalak yang berada di samping Ki Sampar. Ki Sampar tidak menjawab. Diserahkannya bunga anggrek jingga yang ditangkapnya barusan. Ki Jalak menerima bunga itu, dan memperhatikan dengan seksama. Kemudian bunga berwarna jingga itu berpindah dari tangan yang satu ke tangan lainnya, dan terakhir di tangan Ki Dampil. Tujuh orang yang mendampingi Ki Sampar saling berpandangan satu sama lain.
Mereka kemudian menatap Ki Sampar seakan meminta penjelasan tentang bunga anggrek jingga ini. Belum juga ada yang melontarkan pertanyaan, Ki Sampar sudah melangkah ke samping rumahnya. Sementara tujuh orang pemuka desa itu jadi bertanya-tanya terhadap sikap kepala desa itu yang terasa aneh. Dan mendadak saja semuanya dikejutkan suara ringkik kuda, lalu terlihat Ki Sampar memacu cepat kudanya.
"Ki..." teriak Ki Jalak memanggil.
Tapi Ki Sampar tidak mempedulikan, dan terus memacu cepat kudanya membelah jalan berdebu. Orang-orang yang memadati jalan, langsung menyingkir. Sementara tujuh orang di depan rumah kepala desa itu hanya bisa bertanya-tanya sambil saling melemparkan pandang.
"Kenapa kalian diam saja? Ayo, ambil kuda. Kejar Ki Sampar" sentak Ki Dampil ketika tersadar.
Tanpa banyak berbicara, mereka bergegas mengambil kuda masing-masing yang tertambat di bawah pohon, di samping rumah ini. Sebentar saja tujuh ekor kuda sudah berpacu cepat mengejar Ki Sampar yang sudah jauh memacu cepat kudanya. Penduduk desa yang sedang diliputi kepanikan, jadi bengong melihat kepala desa mereka beserta pemuka-pemuka desa lainnya berkuda dengan cepat menuju Lereng Gunung Waru.
Tak ada seorang pun yang membuka suara begitu sampai di Lereng Gunung Waru. Keadaan permukaannya begitu berantakan, seperti baru saja diamuk ribuan gajah murka. Batu-batu bertebaran di mana-mana. Pepohonan besar dan kecil bertumbangan saling tumpang tindih.
Delapan orang dari Desa Coket turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka tidak ingin mengambil resiko tergelincir karena terlalu sulit melalui jalan yang berantakan dengan pepohonan tumpang tindih tak beraturan. Belum lagi batu-batu yang sewaktu-waktu mungkin akan menggelinding. Ki Sampar berjalan paling depan. Mereka semua meninggalkan kuda di tempat yang aman.
"Ki, ke sini..." tiba-tiba salah seorang berteriak.
Semua orang yang bergerak menyebar, langsung menoleh ke arah suara tadi. Tampak salah seorang dari mereka yang kelihatan paling muda, berdiri tegak di samping sesosok tubuh berlumuran darah yang tergolek di atas batu besar. Mereka bergegas menghampiri.
"Santika...," desis Ki Sampar begitu dekat Kepala desa itu langsung menghambur dan memeluk tubuh tak bernyawa lagi Sementara, yang lainnya hanya bisa menarik napas panjang dan berat sambil menundukkan wajah. Ki Sampar mengangkat kepalanya, memandangi para pembantunya yang hanya diam dengan kepala tertunduk.
"Inilah yang kucemaskan sejak tadi...," suara Ki Sampar terdengar lirih dan agak tersendat.
Tak ada yang membuka suara. Mereka semua tahu, kalau pemuda berbaju putih yang berada di pelukan Ki Sampar itu adalah Santika. Putra tunggal Ki Sampar itu baru saja menyelesaikan pelajarannya di sebuah padepokan yang terletak di sebelah Timur Kaki Gunung Waru ini. Baru dua pekan Santika berada di desa kelahirannya, dan sekarang tergolek berlumuran darah tak bernyawa lagi.
Dua orang langsung bergerak maju, lalu mengangkat tubuh Santika. Ki Sampar bangkit berdiri. Ditariknya napas panjang, mencoba meredakan gejolak yang menggelegak dalam dada. Entah apa yang ada di dalam hati kepala desa itu. Yang jelas, kematian Santika sangat memukul perasaannya. Dia tidak mampu lagi berkata-kata. Sementara tiga orang menggotong Santika menuruni lereng. Dua orang lagi mengikuti dari belakang. Tinggal Ki Jalak dan Ki Dampil yang masih menemani kepala desa itu.
"Ki Sampar...," panggil Ki Dampil pelan.
Ki Sampar memutar tubuhnya menghadap dua orang pembantunya yang setia menemani. Dia mendesah panjang dan terasa begitu berat. Dipandanginya Ki Dampil dan Ki Jalak bergantian, seakan-akan mencari kekuatan pada dua orang di depannya ini.
"Sebaiknya kita cepat mengurus jasad Santika, Ki," usul Ki Dampil pelan.
"Yaaah...," desah Ki Sampar lirih.
Ketiga orang itu mengayunkan kakinya pelahan menuruni lereng, menyusul lima orang lainnya yang sudah lebih dahulu berjalan membawa jasad Santika. Tampak Ki Sampar begitu terpukul menghadapi kenyataan pahit ini. Putra satu-satunya tewas dengan tragis sekali, tanpa diketahui penyebabnya. Kematian Santika tepat waktunya dengan terjadinya tanah longsor, sehingga membuat kepanikan seluruh penduduk Desa Coket.
Sedangkan di dalam benak Ki Dampil dan Ki Jalak, terbetik satu pertanyaan yang sangat menggangu. Mereka tidak tahu, untuk apa Santika berada di lereng gunung ini? Mungkinkah Santika tewas terkena longsoran? Tapi rasanya tidak mungkin. Mereka tahu kalau Santika memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bukan suatu hal yang sulit bagi orang berkepandaian tinggi untuk menghindari tanah longsor, bagaimanapun dahsyatnya. Tapi mereka mendapatkan Santika tewas di antara reruntuhan longsoran tanah dan bebatuan. Kepalan pecah, dan dadanya terbelah sangat lebar.
Tubuh anak muda itu ditemukan tergeletak di atas sebongkah batu besar. Sedangkan sebelah kakinya terhimpit sebatang pohon. Melihat keadaan Santika yang demikian, memang kemungkinan besar terkena longsoran. Tapi, apa hubungannya dengan anggrek Jingga? Ki Sampar langsung ke lereng gunung ini begitu menerima bunga anggrek Jingga yang dilemparkan orang tidak dikenal, Inilah yang membuat Ki Dampil dan Ki Jalak jadi bertanya-tanya.

* * * * *



Kematian Santika merubah wajah Desa Coket yang semula selalu cerah, mendadak terselimut duka mendalam. Siapa yang tidak kenal Santika? Semua penduduk Desa Coket mengenal pemuda itu. Bukan saja sebagai putra kepala desa, tapi sebagai putra Desa Coket satu-satunya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Namun kini pemuda yang menjadi kebanggaan, seluruh penduduk desa itu telah tiada. Dia tewas tepat saat terjadinya longsor di Lereng Gunung Waru. Kematian Santika juga terdengar sampai ke Padepokan Sangga Langit, tempat pemuda itu mempelajari ilmu olah kanuragan.
Eyang Palandara yang menjadi ketua sekaligus Guru Besar Padepokan Sangga Langit menyempatkan diri datang bersama enam orang muridnya ke Desa Coket. Dia begitu menyesalkan kematian Santika, karena pemuda itu salah seorang murid kesayangan yang memiliki bakat luar biasa dalam ilmu olah kanuragan.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ki Sampar?" tanya Eyang Palandara ingin tahu.
"Entahlah.... Aku sendiri tidak habis mengerti, Eyang," jawab Ki Sampar lirih.
"Rasanya tidak mungkin kalau Santika tewas hanya karena longsoran," tegas Eyang Palandara setengah bergumam.
"Kami mendapatkannya sudah tewas di antara reruntuhan longsoran, Eyang," celetuk Ki Jalak.
"Hm..., apakah Santika memang selalu ke Lereng Gunung Waru?" tanya Eyang Palandara.
Laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah dan ikat kepala putih itu, tidak percaya kalau Santika tewasnya karena tertimpa longsoran. Eyang Palandara tahu betul kalau muridnya itu memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bahkan ilmu-ilmu yang diturunkannya nyaris dikuasai sempurna. Sukar dipercaya kalau Santika tidak bisa selamat dari longsoran. Apalagi, longsoran itu tidak terlalu besar.
"Tidak, Eyang," sahut Ki Sampar.
Eyang Palandara memandang setiap orang yang ada di ruangan depan rumah Ki Sampar ini. Jawaban Ki Sampar barusan membuatnya jadi berpikir lain. Dia tahu betul watak Santika. Pemuda itu tidak akan pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi jika tidak ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Eyang, kami mengetahui Santika ada di lereng setelah menerima sekuntum bunga anggrek Jingga, sesaat setelah terjadi longsoran di lereng itu," jelas Ki Dampil.
"Benar, Eyang. Bahkan kami semua heran, karena Ki Sampar tiba-tiba saja mengambil kuda dan menuju lereng itu," sambung Ki Jalak.
"Hmm". Benar itu, Ki Sampar?" Eyang Palandara menatap Ki Sampar dalam-dalam.
"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar pelahan.
"Jadi sebelumnya kau tahu kalau Santika ada di Lereng Gunung Waru?" Eyang Palandara ingin ketegasan.
"Tidak Tapi..., entahlah. Tiba-tiba saja aku mempunyai perasaan tidak enak," jawab Ki Sampar.
Eyang Palandara menatap Ki Sampar semakin dalam. Sedangkan yang ditatap hanya tertunduk saja tak sedikit pun mengangkat kepala. Ketua Padepokan Sangga Langit itu merasakan kalau kepala desa di depannya itu menyimpan sesuatu yang tidak ingin diungkapkan.
"Anggrek Jingga...," desis Eyang Palandara.
Beberapa saat lamanya di ruangan yang tidak terlalu besar itu sunyi. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Sementara Ki Sampar tetap tertunduk dalam. Bukan hanya Eyang Palandara yang tidak percaya terhadap semua jawaban Ki Sampar, tapi pemuka-pemuka Desa Coket juga tampaknya seperti tidak puas. Mereka tahu kalau sejak terjadinya longsor di lereng gunung, sikap Ki Sampar sudah terlihat aneh.
Bahkan dia cepat pergi begitu menerima sekuntum bunga anggrek yang dilemparkan orang tidak dikenal. Mereka semua tidak mau mempercayai, tapi tidak bisa mendesak Ki Sampar untuk mengatakan yang sebenarnya. Kepala desa itu sedang diliputi duka yang mendalam akibat kematian putra tunggalnya, dan kini hidupnya sebatang kara. Istrinya sudah meninggal berapa tahun yang lalu, dan sekarang anak tunggalnya menyusul. Sukar untuk dilukiskan, bagaimana perasaan Ki Sampar saat ini.
Merasa tidak mungkin bisa mendesak Ki Sampar untuk berterus terang, Eyang Palandara dan enam orang muridnya mohon diri. Mereka kembali ke Padepokan Sangga Langit di Kaki Gunung Waru sebelah timur. Ki Dampil dan beberapa pemuda desa lainnya Ikut mengantarkan mereka sampai ke batas desa. Ki Dampil dan empat orang pemuka desa baru berbalik setelah rombongan Eyang Palandara tidak terlihat lagi. Tapi belum juga bergerak, mendadak beberapa bunga anggrek berwarna Jingga meluruk deras ke mereka.
"Awas..." teriak Ki Dampil. Laki-laki tua itu cepat melompat dan berputaran di udara. Empat orang pemuka desa lainnya ikut berlompatan menghindari terjangan bunga-bunga anggrek tapi malang, dua di antaranya terhantam bunga-bunga anggrek Jingga itu. Jeritan melengking terdengar menyayat saling susul.
"Hi hi hi..."
"Heh" Ki Dampil tersentak kaget. Orang tua itu tidak sempat lagi memperhatikan dua orang pemuka desa yang tewas tertembus bunga anggrek Jingga. Sedangkan dua orang lagi bergegas mendekati Ki Dampil, tepat ketika empat orang wanita muda berwajah cantik muncul tiba-tiba.
"Siapa kalian?" bentak Ki Dampil.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami, orang tua ceriwis" sahut gadis yang memakai baju biru. Suaranya terdengar dalam, mengandung ketegasan berbau kekejaman.
"Kalian pasti yang membunuh Santika" dengus Ki Dampil langsung menebak.
Empat orang gadis cantik itu hanya tertawa saja. Sikap mereka begitu meremehkan. Sedikit pun tidak memandang sebelah mata pada tiga orang pemuka Desa Coket ini. Pelahan-lahan Ki Dampil mencabut golok yang terselip di pinggang. Sementara dua orang yang berada di sampingnya langsung menggeser menjauh ke samping. Mereka juga segera mencabut golok masing-masing.
"Untuk apa kalian mencabut golok? Kami datang hanya ingin memberi peringatan. Jangan sok usil mencampuri urusan orang lain" tegas gadis yang berbaju merah.
"Katakan, apakah kalian yang membunuh Santika?" bentak Ki Dampil tidak menghiraukan ancaman gadis itu.
"Kalau iya, kau mau apa?"
"Iblis... Kau harus menerima hukumannya" desis Ki Dampil menggeram.
"Ha ha ha..." Keempat gadis cantik itu tertawa terbahak-bahak.
Sementara Ki Dampil semakin geram saja melihat tingkah gadis-gadis yang memuakkan ini. Tanpa banyak bicara lagi, orang tua itu langsung melompat menerjang sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat.."
Serangan Ki Dampil diikuti dua orang yang menyertainya. Sedangkan gadis yang berbaju merah langsung melompat mundur, dan tiga gadis lainnya bergerak menyongsong serangan itu. Sengaja mereka menghadapi satu lawan satu. Pertarungan pun tak bisa dihindari lagi. Namun gadis-gadis cantik itu rupanya memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi juga. Buktinya mereka seperti bermain-main saja melayani orang-orang tua Pemuka Desa Coket ini.
Namun setelah beberapa jurus berlangsung, baru gadis-gadis itu menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya. Dan, tiba-tiba saja terdengar suara jeritan melengking menyayat. Tampak salah seorang pemuka desa terhempas dan tergeletak di tanah. Darah mengucur deras dari dadanya yang terbelah.
Belum lagi lenyap jeritan panjang melengking tadi, kembali menyusul jeritan menyayat. Tampak satu orang lagi menggelepar bersimbah darah. Ki Dampil yang menyadari kalau gadis-gadis ini memiliki kepandaian jauh di atasnya, langsung melompat mundur.
Tapi gadis berbaju hijau yang bertarung dengannya tidak memberi kesempatan baginya untuk melarikan diri. Cepat-cepat diterjangnya laki-laki tua itu sambil dikebutkan pedangnya. Terpaksa Ki Dampil harus kembali bertarung, meskipun hatinya sudah tidak yakin akan dapat mengungguli lawannya. Sementara ketiga gadis lainnya hanya menyaksikan sambil tersenyum-senyum.
"Yeaaah..." Tiba-tiba saja gadis berbaju hijau itu berteriak lantang. Dan dengan satu kecepatan bagai kilat, dilayangkan satu tendangan keras menggeledek.
Tendangan yang begitu cepat, tidak dapat dihindari lagi, tepat menghantam dada Ki Dampil. Akibatnya orang tua itu terpekik dan terpental ke belakang. Keras sekali Ki Dampil terjatuh ke tanah. Sebentar dia menggeliat, laki mencoba bangkit berdiri. Namun belum juga mampu berdiri, gadis berbaju hijau sudah melompat sambil menghunus pedangnya yang tajam berkilatan.
Teriakannya keras membuat jantung orang tua itu bergetar. Ki Dampil tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dipejamkan matanya menerima saat-saat kematian. Namun begitu ujung pedang gadis berbaju hijau itu hampir memanggang leher Ki Dampil, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuhnya.
Slap


--««¦ [ DUA ] ¦»»--

"Setan" geram gadis berbaju hijau itu begitu ladangnya hanya menghunjam tanah kosong.
Sementara Ki Dampil entah berada di mana. Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat dan menyambar tubuh orang tua itu, sehingga keempat gadis itu tidak bisa melihatnya. Bahkan tidak disadari sama sekali. Ketiga gadis lain segera menghampiri gadis berbaju hijau yang mengumpat dan memaki-maki sendirian.
"Ayo, cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada yang datang," ajak gadis berbaju merah.
"Huh" gadis berbaju hijau itu bersungut-sungut.
"Ayo, cepat.."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka cepat berlompatan meninggalkan tempat itu dan meninggalkan empat mayat bergelimpangan berlumuran darah. Setelah empat gadis cantik itu tidak terlihat lagi, dari balik sebuah pohon besar, keluar Ki Dampil bersama seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau.
"Oh...," Ki Dampil mengeluh menyaksikan empat orang temannya tewas. Orang tua itu memandangi empat sosok tubuh tak bernyawa di depannya. Darah terus mengucur keluar dari luka-luka di tubuh mereka. Sementara di samping Ki Dampil berdiri seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau yang tadi menolongnya. Dia hanya diam saja memandangi empat sosok mayat yang masih mengucurkan darah segar. Wajahnya begitu datar tanpa ada sinar sedikit pun.
"Anak muda. Terima kasih atas pertolongan sehingga nyawaku terselamatkan. Tapi mereka., sungguh malang nasibnya...," ucap Ki Dampil seraya merayapi empat orang temannya yang sudah menjadi mayat. Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya diam saja. Diayunkan kakinya mendekati salah satu mayat, lalu dibungkukkan tubuhnya sedikit. Dengan dua jari, dicabutnya sekuntum bunga anggrek yang tertancap di dada mayat itu. Dipandanginya bunga anggrek Jingga itu. Ki Dampil menghampiri. Laki-laki tua itu memungut anggrek Jingga yang tergeletak di tanah.
"Siapa mereka, Ki?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku tidak tahu siapa mereka," sahut Ki Dampil.
Pemuda itu menatap Ki Dampil. Digenggamnya bunga anggrek Jingga yang berlumuran darah. Kemudian pandangannya beralih ke arah empat gadis cantik tadi pergi. Dan tanpa berkata sesuatu, pemuda itu cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan.
"Heh...?" Ki Dampil terperanjat. Tapi laki-laki tua itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya lebih dulu lenyap bagaikan tertelan bumi. Ki Dampil hanya bisa memandangi arah kepergian pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hhh..., kenapa aku tidak menanyakan namanya tadi..? Siapa anak muda itu..?" desah Ki Dampil pelahan. Sebentar orang tua itu masih berdiri dengan benak bertanya-tanya. Kemudian diayunkan kakinya cepat menuju Desa Coket kembali. Dia harus mengabarkan tentang peristiwa ini pada kepala desa, dan segera membawa penduduk untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan.

* * * * *



Malam sudah begitu larut Angin berhembus kencang menyebarkan udara dingin yang menggigilkan. Suasana seperti ini membuat seluruh penduduk Desa Coket lebih senang mengurung diri dalam kamar. Hanya ada beberapa peronda malam saja yang terpaksa menjalankan tugasnya, bergelut melawan dinginnya udara malam ini Hampir semua penduduk Desa Coket terlelap dalam buaian mimpi. Tapi tidak demikian halnya di sebuah kedai minum.
Meskipun malam begitu kelam dan udara menggigilkan, namun pengunjung setia kedai minum itu tidak menghiraukannya. Terlebih lagi kedai ini juga menyediakan wanita-wanita untuk menghibur dan menghangatkan suasana. Kedai ini memang letaknya agak jauh dari perumahan penduduk lainnya. Bahkan bisa dikatakan menyendiri, dekat perbatasan desa. Tidak heran, meskipun buka sampai jauh malam, tidak ada satu penduduk pun yang merasa terganggu ketenangannya.
Tepat tengah malam, seekor kuda berjalan pelan menuju kedai minum itu. Penunggangnya seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju ketat warna merah, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping. Dihentikan kudanya tepat di depan kedai, lalu ditambatkannya. Ayunan langkahnya tenang ketika memasuki kedai. Beberapa pasang mata menatap liar tak berkedip. Namun wanita itu tetap melangkah tenang, dan duduk di bangku yang kosong menghadapi sebuah meja bundar kecil. Seorang pelayan wanita bertubuh gemuk menghampiri.
"Beri aku arak yang terbaik," pinta wanita itu sebelum pelayan wanita gemuk menyapanya.
"Berapa guci, Nisanak?" tanya wanita gemuk itu.
"Lima."
Saat itu terdengar tawa terbahak-bahak dari arah samping kanan. Wanita berbaju merah itu hanya melirik saja. Tampak dua orang laki-laki sedang tertawa sambil memandangi dirinya. Beberapa laki-laki lain juga memandang ke arahnya. Memang, semua pengunjung kedai ini semuanya laki-laki, jadi terasa sangat aneh kalau ada seorang wanita masuk ke dalam kedai ini. Terlebih lagi di tengah malam buta seperti ini. Wanita cantik berbaju merah itu tidak mempedulikan ocehan-ocehan beberapa laki-laki yang diselingi tawa lepas berderai. Dia tahu, kalau ocehan itu tertuju padanya dan sedikit pun tidak dipedulikan.
Sementara pelayan wanita bertubuh gemuk sudah pergi mengambil pesanan tamunya ini. Pandangan wanita itu tertumbuk pada seorang pengunjung kedai yang duduk agak menyendiri di sudut. Seorang pemuda memakai baju kulit harimau
"Hm...," gumam wanita berbaju merah itu pelan. Pelayan wanita gemuk datang lagi sambil membawa lima guci arak yang dipesan wanita itu. Saat pelayan itu selesai meletakkan guci-guci arak di atas meja dan ingin kembali, wanita berbaju merah itu mencekal lengannya.
"Satu guci berikan pada orang yang di sudut itu," perintah wanita berbaju merah itu. Tanpa menjawab sedikit pun, wanita bertubuh gemuk itu mengambil satu guci arak dan membawanya kepada pemuda yang duduk di sudut. Diletakkannya guci arak itu di atas meja di depan pemuda itu.
"Maaf, aku tidak memesan arak lagi," tolak pemuda itu.
"Gadis itu yang memberikannya," jelas pelayan gemuk itu sambil menunjuk wanita berbaju merah.
Pemuda berbaju kulit harimau itu melirik sedikit, dan keningnya agak berkerut. Sementara pelayan wanita gemuk sudah meninggalkannya, kembali sibuk melayani tamu-tamu lain. Tampak wanita cantik itu mengangkat gelas bambunya dan tersenyum pada pemuda di sudut. Diteguknya sedikit arak di dalam gelas yang terbuat dari bambu halus. Saat itu seorang laki-laki berwajah kasar penuh brewok menghampiri gadis berbaju merah itu. Tubuhnya agak limbung saat berjalan, sehingga guci arak yang dibawanya terguncang-guncang. Suara tawa terkekeh terdengar sumbang di telinga. Dia berdiri di seberang meja wanita berbaju merah itu.
"He he he.... Nisanak, aku mengundangmu datang ke mejaku. Biar aku yang bayar semua minuman di sini. He he he...," suara laki-laki berwajah kasar terdengar serak karena kebanyakan arak.
"Terima kasih. Aku biasa minum sendiri," tolak wanita itu halus.
"Nisanak, tidak ada seorang pun yang bisa menolak undangan Kebo Rimang" sentak laki-laki itu.
"Cocok sekali," ringan sekali wanita itu berkata.
"Heh! Apanya yang cocok...?"
"Sesuai dengan namamu. Kau memang mirip kerbau"
Seketika suara tawa meledak di kedai ini. Sedangkan laki-laki yang mengaku bernama Kebo Rimang itu jadi memerah wajahnya. Dia memang seperti kerbau. Wajahnya kasar penuh brewok, dan tubuhnya tinggi besar dengan dada berbulu lebat. Sebuah gagang golok menyembul keluar dari pinggang.
"Keparat! Kau berani menghinaku, Cah Ayu...?" geram Kebo Rimang, meluap amarahnya. Digebrakkan kepalan tangannya yang besar ke meja, sehingga seketika itu juga meja di depan gadis berbaju merah itu hancur berantakan. Tapi gadis itu kelihatan tenang saja, sedikit pun tidak mempedulikan meja di depannya yang hancur berantakan
"Malam ini kau harus ikut denganku" Kebo Rimbang menjulurkan tangannya ke wajah gadis itu. Tapi mendadak saja gadis itu mengibaskan tangannya. Dan....
Plak
"Akh..." Kebo Rimang terpekik keras. Tubuh yang besar itu terpental ke belakang, menabrak sebuah meja hingga hancur berantakan. Semua pengunjung kedai jadi terkejut. Sungguh tidak disangka kalau gadis yang kelihatan lemah, ternyata mampu membuat Kebo Rimang yang bertubuh besar itu terjungkal.
"Keparat..." Kebo Rimang menggeram marah. Cepat-cepat laki-laki kasar itu bangkit berdiri, langsung mencabut goloknya. Sambil menggerung keras, dia melompat seraya membabatkan goloknya ke arah gadis berbaju merah itu. Cepat sekali gerakannya, dan semua pengunjung kedai menahan napas, tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Gadis itu tetap duduk tenang di kursi. Entah bagaimana kejadiannya, tangannya hanya digerakkan sedikit sambil tubuhnya ditarik ke belakang. Dan tahu-tahu, Kebo Rimang menjerit melengking tinggi.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Tampak goloknya sendiri menancap dalam di dada yang berbulu tebal. Kebo Rimang jatuh menggelepar, langsung mengerang meregang nyawa. Tak berapa lama kemudian, dia diam tak bergerak-gerak lagi, tewas tertancap goloknya sendiri.
Melihat kejadian itu, sebagian pengunjung kedai langsung berlarian ke luar. Tapi bagi mereka yang mempunyai nyali cukup besar, tetap bertahan di tempatnya. Terutama empat orang laki-laki yang tadi duduk satu meja dengan Kebo Rimang. Mereka langsung berlompatan sambil mencabut golok masing-masing.
"Perempuan keparat..."
Tanpa banyak bicara lagi, keempat laki-laki langsung menyerang. Golok mereka mengibas ke arah wanita berbaju merah itu. Tapi mendadak saja wanita itu melesat ke atas, dan tahu-tahu sudah duduk kembali di kursi lain. Laki-laki bersenjata golok itu jadi kelabakan, karena orang yang diserang tahu-tahu sudah berpindah tempat tanpa diketahui gerakannya. Dan sebelum disadari apa yang terjadi, wanita berbaju merah itu cepat mengibaskan tangannya. Terlihat kilatan cahaya Jingga berkelebat menerjang empat laki-laki itu.
Seketika terdengar jeritan-jeritan melengking, disusul ambruknya keempat laki-laki itu Hanya sebentar mereka menggelepar, kemudian diam tidak berkutik lagi.
"Anggrek Jingga...," terdengar desisan tertahan.
Desisan yang begitu pelan, rupanya terdengar juga sampai ke seluruh ruangan kedai itu. Dan hal itu membuat semua pengunjung kedai yang semula masih bertahan, langsung angkat kaki mengambil langkah seribu. Kini di dalam kedai itu tinggal si wanita berbaju merah dan pemuda berbaju kulit harimau yang masih saja tetap duduk tenang di sudut ruangan kedai minum ini. Entah ke mana, tahu-tahu semua pelayan dan wanita penghibur di kedai ini lenyap begitu saja. Mungkin mereka merasa takut begitu wanita berbaju merah ini mengeluarkan anggrek Jingga untuk menyudahi ke sombongan empat laki-laki itu.
Nama Anggrek Jingga memang menjadi momok menakutkan di Desa Coket ini. Sejak terbunuhnya empat orang pemuka desa di dekat perbatasan sebelah Timur, nama itu semakin terkenal dan ditakuti Karena senjata anggrek berwarna Jingga itu, maka seluruh penduduk desa menyebutnya si Anggrek Jingga. Padahal tak seorang pun yang tahu, siapa dan ada berapa orang si Anggrek Jingga itu.
"Kau tidak pergi, Pendekar Pulau Neraka?" lembut namun terdengar tajam suara wanita cantik berbaju merah itu.
Pandangan matanya lurus dan tajam tertuju langsung pada pemuda berbaju kulit harimau yang duduk di sudut ruangan. Pemuda itu mengangkat kepalanya. Sejenak mereka saling berpandangan tajam. Tampak sorot mata pemuda itu begitu terkejut, namun mampu ditutupi dengan sikap yang tenang dan senyuman tersungging di bibir.
"Dari mana kau tahu julukanku, Nisanak? Sedangkan aku tidak tahu siapa dirimu," datar sekali nada suara pemuda itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memang Pendekar Pulau Neraka, yang nama aslinya Bayu Hanggara. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu hanya tersenyum saja. Dia bangkit berdiri dan melangkah tenang menghampiri, lalu duduk di depan Bayu. Kedua orang itu hanya dibatasi sebuah meja bundar kecil.
"Seperti kata mereka, aku bernama Anggrek Jingga," ujar wanita itu.
"Aku ingin tahu namamu yang sebenarnya," dingin nada suara Bayu.
"Kau cukup mengenalku begitu," balas Anggrek Jingga tidak kalah dingin.
"Baiklah. Lalu, apa maksudmu membuat onar disini?"
"Aku...?" Anggrek Jingga tertawa renyah.
"Apakah kau tidak melihat? Bukan aku yang memulai, tapi mereka"
"Kedatanganmu ke sini yang mengundang, Anggrek Jingga."
"Hhh... Dasar laki-laki" dengus Anggrek Jingga.
"Apa ada larangan wanita datang ke sini? Dasar mereka saja yang tidak tahu diri"
"Aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku tahu, kedatanganmu ke sini sengaja mencariku," potong Bayu tegas.
"Nah Ada keperluan apa kau ingin bertemu denganku?"
"Ternyata kau tidak bisa sedikit santai, Pendekar Pulau Neraka. Kenapa kau selalu tidak bisa menganggap enteng semua persoalan?"
"Tidak semua"
"Baik..., memang tidak semua. Tapi kau selalu memandang serius setiap persoalan yang bukan persoalanmu. Dan kau terlalu suka ikut campur urusan orang lain" agak lantang suara Anggrek Jingga.
"Apa maksudmu, Anggrek Jingga?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Aku tahu, kau seorang pengelana. Dan kau bebas berada di mana saja, di tempat yang kau suka. Hanya saja yang tidak kusukai, kehadiranmu di sini dan kelancanganmu mencampuri urusanku" agak tertekan nada suara Anggrek Jingga.
"Hm.... Jadi kau yang membantai pemuka-pemuka desa di sini?" Bayu mulai bisa menangkap maksud wanita cantik ini.
"Bukan aku, tapi mereka yang membunuh diri sendiri"
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Sudah kukatakan bukan aku, tapi mereka sendiri" bentak Anggrek Jingga.
"Kau atau siapa saja, yang jelas kehadiranmu telah meresahkan seluruh penduduk desa ini. Dan..., maaf. Aku tidak bisa diam begitu saja melihat kejahatan berlangsung di depan mataku" tegas kata-kata Bayu.
"Sudah kuduga kau akan menjawab begitu," ujar Anggrek Jingga sinis.
"Tapi percayalah, kau tidak akan bisa melakukan apa-apa di sini." Setelah berkata demikian, Anggrek Jingga langsung bangkit berdiri dan berjalan tenang ke luar kedai.
Sementara Bayu masih tetap duduk di tempatnya sambil memandangi wanita cantik berbaju merah itu hingga lenyap dari pandangan. Sebentar kemudian terdengar suara kaki kuda dipacu cepat meninggalkan kedai ini.
"Hm..., siapa dia...?" gumam Bayu bertanya sendiri.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu merayapi kedai yang sudah sepi. Tampak beberapa meja kursi berentakan. Dia meneguk habis minumannya, lalu bangkit berdiri setelah meletakkan beberapa keping uang perak di atas meja. Ayunan kakinya begitu tenang meninggalkan kedai ini, dan terus berjalan ke luar. Sementara malam terus merambat semakin larut, udara pun bertambah dingin menusuk kulit. Bayu berjalan semakin jauh meninggalkan kedai.
"Berhenti..."
Bayu menghentikan langkahnya ketika mendengar bentakan keras dari belakang. Ketika diputar tubuhnya, tampak dua orang berjalan cepat menghampiri. Salah seorang membawa obor yang terbuat dari bambu. Nyala api obor menerangi sekitarnya, meskipun sukar mengalahkan kegelapan malam ini.
"Siapa kau? Ada apa malam-malam keluyuran?" tanya salah seorang yang membawa obor.
Belum juga Bayu menjawab, terdengar suara ringkik kuda. Kemudian terdengar derap langkah kaki kuda mendekati. Tampak dari selimut kegelapan, muncul, seekor kuda coklat belang putih, ditunggangi seorang laki-laki tua berjubah panjang yang hampir pudar warnanya. Dua orang yang menegur Bayu langsung menyingkir. Penunggang kuda itu melompat turun begitu sampai di depan Pendekar Pulau Neraka. Salah seorang memegangi tali kekang kuda itu. Bayu mengenali laki-laki tua ini. Orang tua yang ditolongnya dari maut.
"Ada apa ini?" tanya Ki Dampil.
"Orang asing ini mencurigakan, Ki," sahut salah seorang yang memegangi kuda.
"Hm...," Ki Dampil mengamati pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Pelahan kepalanya terangguk lalu tersenyum. Kemudian dihampiri dan ditepuknya pundak Bayu. Sedangkan dua orang peronda itu jadi bengong tidak mengerti.
"Kalian kembali saja. Dia bukan orang asing, tapi sahabatku yang akan berkunjung," kata Ki Dampil.
"Oh, maaf," ucap kedua orang itu hampir berbarengan.
Bayu hanya tersenyum saja. Dan dua orang peronda itu bergegas pergi. Ki Dampil memegangi tali kekang kudanya, kemudian mengajak Bayu berjalan. Mereka berjalan bersisian, tanpa ada yang berbicara sampai beberapa saat lamanya.
"Aku dengar ada keributan di kedai tadi," kata Ki Dampil membuka suara lebih dahulu. Bayu masih tetap diam.
"Beberapa pengunjung kedai menyebut tentang dirimu. Itu sebabnya aku cepat mengejar ke sini," sambung Ki Dampil lagi. Bayu hanya menggumam kecil.
"Kisanak, kudengar kau bicara dengan si Anggrek Jingga di kedai. Hm.... Boleh aku tahu, apa yang kau bicarakan?" pinta Ki Dampfl lagi.
"Dia hanya memintaku untuk meninggalkan desa ini," sahut Bayu terus terang.
"Edan... Apa haknya mengusirmu?" dengus Ki Dampil.
Bayu diam lagi, tapi tidak menghentikan ayunan langkahnya. Sementara Ki Dampil jadi bersungut-sungut tidak karuan. Sebentar dihentikan langkahnya dan Bayu terpaksa berhenti berjalan.
"Kisanak...."
"Bayu," potong Bayu cepat.
"Panggil saja aku Bayu."
"Aku Ki Dampil"
"Hm. Apa yang ingin kau katakan, Ki?" tanya Bayu.
"Apa kau ingin pergi dari desa ini?" tanya Ki Dampil.
"Sebenarnya aku hanya lewat saja di sini, dan memang tidak punya urusan di desa ini," jelas Bayu kalem.
"Kalau aku meminta, apakah kau bersedia tinggal di sini untuk beberapa hari?" pinta Ki DampiL.
"Untuk apa, Ki? Lagi pula ada yang tidak menghendaki kehadiranku di sini," Bayu mencoba menolak.
"Kau tentu sudah tahu kalau desa ini sedang mengalami kesulitan," bujuk Ki Dampil.
"Mungkin...," sahut Bayu seenaknya.
"Dan aku juga tahu kalau kau memiliki kepandaian tinggi. Kisanak, desa ini memerlukan seseorang yang berkemampuan tinggi untuk menghadapi si Anggrek Jingga," sambung Ki Dampil.
"Maaf, Ki. Bukannya hendak menolak, tapi aku tidak punya urusan di desa ini. Lagi pula aku tidak tahu, siapa itu Anggrek Jingga," sergah Bayu sopan.
"Kau sudah bicara dengannya di kedai tadi, Kisanak."
"Dia yang mengajakku bicara, dan aku tidak mengenalnya."
"Dia wanita berhati iblis. Sudah beberapa orang menjadi korbannya. Dan kau tahu sendiri, empat orang pemuka desa telah tewas olehnya."
"Rasanya bukan dia yang melakukannya, Ki," bantah Bayu.
"Sekutunya. Anggrek Jingga bukan satu orang, entah berapa orang. Yang jelas dia sudah menjarah desa ini, tanpa diketahui siapa saja orang-orangnya. Kisanak, jika keadaan seperti ini tetap dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mustahil seluruh penduduk desa ini akan dibantai habis."
"Oh..., apakah sampai sejauh itu?"
"Memang baru lima korban. Empat pemuka desa, dan satu putra kepala desa. Tiga hari ini belum ada lagi jatuh korban."
"Belum...," gumam Bayu seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Pasti akan jatuh korban berikut, Kisanak."
Bayu terdiam membisu, dan kembali mengayunkan langkahnya pelahan. Sementara Ki Dampil mengikuti di samping sambil menuntun kudanya. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi. Entah apa yang ada dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka saat ini. Apakah permintaan Ki Dampil diterima, atau perjalanannya terus dilanjutkan?

* * * * *



--««¦ [ TIGA ] ¦»»--

Ki Sampar memacu cepat kudanya menyusuri tepian jurang di Lereng Gunung Waru. Begitu cepatnya kuda hitam itu dipacu, seakan-akan tidak peduli jika sewaktu-waktu bisa tergelincir masuk ke jurang yang sangat dalam di sebelahnya. Kepala Desa Coket itu menghentikan lari kudanya setelah sampai di depan sebuah bangunan tua dari batu.
Sebuah bangunan candi yang biasa digunakan untuk menyembah Hyang Jagat Nata. Dengan gerakan ringan, laki-laki tua itu melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar dirayapi sekitarnya, kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri candi itu. Kudanya ditinggalkan begitu saja, dan binatang itu kini merumput dengan tenang. Pelahan kaki laki-laki tua itu terus terayun semakin mendekati bangunan batu yang tidak begitu besar didepannya. Dia berhenti tepat sekitar dua tombak di depan pintu candi itu. Bentuk pintunya lebih mirip mulut gua batu.
"Kaukah itu, Sampar...?" terdengar suara lantang dan berat dari dalam candi.
"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar.
"Ada apa kau datang ke sini?" terdengar lagi suara berat.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu, Eyang."
"Untuk apa? Tidak ada yang perlu dibicarakan. Kau sudah memilih jalanmu sendiri, dan tidak lagi mengindahkan peringatanku. Pulanglah, tidak ada gunanya lagi berada di Candi Laksa ini."
"Eyang, ijinkan aku bicara sedikit saja," pinta Ki Sampar memohon.
"Apa kau sudah tidak mendengar kata-kataku lagi, Sampar...?"
"Dengar, Eyang."
"Kenapa masih di situ?"
"Eyang...."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Sampar. Aku minta secepatnya kau tinggalkan Candi Laksa ini. Kedatanganmu akan membawa bencana saja. Kau ingin darah menggenang di Candi Laksa ini? Pulanglah, Sampar. Jangan kau rusak lagi tempat ini" tegas kata-kata yang keluar dari dalam candi itu.
Ki Sampar terdiam dengan kepala tertunduk dalam. Pelahan diangkat kepalanya, memandang lurus ke dalam candi yang gelap. Hanya dari pintu batu ini jalan masuk ke dalam candi. Sedangkan tadi, sudah jelas kalau dia tidak diperkenankan masuk. Bahkan tegas-tegas disuruh pulang.
"Aku akan menunggu di sini sampai Eyang bersedia menerimaku," tekad Ki Sampar pelan. Setelah berkata demikian, Ki Sampar duduk bersila di depan pintu Candi Laksa. Tangannya diletakkan di lutut, dan pandangannya lurus seakan-akan ingin menembus kegelapan di dalam candi itu.
"Apa yang kau lakukan, Sampar?" terdengar lagi suara keras dari dalam candi.
"Aku akan menunggu di sini, Eyang," sahut Sampar tenang.
"Heh... Kau tidak boleh di..."
"Aku tidak akan pergi sebelum bertemu Eyang," potong Ki Sampar cepat.
"Anak setan..." terdengar geraman dari dala candi.
Ki Sampar tidak peduli, meskipun geraman sudah menandakan kemarahan. Laki-laki tua itu tetap duduk bersila, dan pandangannya tidak berkedip arah pintu batu yang menyerupai mulut gua itu.
"Tidak ada gunanya berkeras kepala, Sampar. Kau akan mati jika tidak menuruti kata-kataku," bujuk suara itu lagi.
Ki Sampar diam saja. Dia tetap duduk bersila tanpa bergeming sedikit pun.
"Sampar Kukatakan sekali lagi, pulanglah. Tidak ada yang bisa kau peroleh di sini"
Tetap saja Ki Sampar tidak peduli.
"Anak setan Keras kepala..." terdengar lagi geraman gusar.
Rupanya Ki Sampar benar-benar sudah nekad. Sedikit pun tidak dipedulikan suara-suara dari dalam candi yang sudah mulai bernada gusar. Dia tetap duduk bersila bagai arca batu di depan pintu candi itu. Sementara suara dari dalam candi tidak terdengar lagi. Mungkin sudah kesal, karena Ki Sampar tidak mempedulikannya.
"Baik, aku ingin tahu sampai di mana kekerasan hatimu" dengus suara itu lagi.
Ki Sampar sedikit menyunggingkan senyuman tipis. Tampak sinar matanya berbinar mendengar suara terakhir itu. Dalam hati, laki-laki tua itu sudah merasa menang. Dia tahu, kalau pemilik suara di dalam candi Itu tidak akan selamanya bertahan, dan pasti aka keluar menemuinya.
"Kau pasti akan menemuiku, Eyang," gumam Ki Sampar dalam hati.

* * * * *



Sementara itu di Desa Coket, Ki Dampil jadi kelabakan karena seharian tidak menemukan Ki Sampar. Tidak ada yang tahu, ke mana perginya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya menunggu saja di depan rumah kepala desa itu. Dari dalam, Ki Dampil menghampiri dengan wajah lesu. Saat itu Ki Jalak dan beberapa orang berkuda datang. Mereka langsung melompat turun dari kuda. Ki Jalak menghampiri Ki Dampil yang sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka, sedangkan beberapa orang lainnya menunggu di luar.
"Bagaimana, Ki Jalak?" tanya Ki Dampil langsung. Ki Jalak mengangkat bahunya.
"Hhh..., belum pernah Ki Sampar begitu...," keluh Ki Dampil.
"Mungkin ke rumah sanak keluarganya," duga Bayu.
"Dia tidak punya keluarga lagi," ujar Ki Jalak.
"Ki Jalak...." Ki Dampil memberi isyarat dengan matanya, maka Ki Jalak langsung mendekat. Kemudian Ki Dampil mengajak Ki Jalak menjauh dari Bayu.
"Apa sudah kau cari ke rumah istri mudanya, bisik Ki Dampil.
"Sudah, Ki. Tapi rumah itu kosong."
"Pembantunya?"
"Tidak ada lagi. Menurut tetangganya, Nyi Renggas sudah lama pergi bersama semua pembantunya.
"Kau tidak tanyakan ke mana perginya?"
"Sudah, tapi tidak ada yang tahu."
"Sudah berapa lama?"
"Sekitar dua purnama ini."
Ki Dampil mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian kembali menghampiri Bayu yang tetap menunggu. Sedangkan Ki Jalak menghampiri kudanya, lalu melompat naik dengan gerakan indah dan ringan sekali.
"Aku akan mencari lagi, Ki," kata Ki Jalak.
"Carilah ke tempat-tempat yang mungkin dikunjungi," ujar Ki Dampil. Ki Jalak langsung menggebah kudanya, diikuti pengikutnya. Debu mengepul begitu kuda-kuda itu melaju cepat meninggalkan halaman depan rumah Ki Sampar. Sementara Bayu dan Ki Dampil hanya memandangi saja.
"Aneh...," gumam Bayu tanpa disadari.
"Ya...," desah Ki Dampil.
"Ki Dampil, apa tidak mungkin Ki Sampar pergi ke Padepokan Sangga Langit? Bukankah anaknya menuntut ilmu di sana?" Bayu menduga.
"Hm..., memang benar. Santika memang menuntut ilmu di Padepokan Sangga Langit. Tapi..., untuk apa ke sana?"
"Yang jelas, ini ada hubungannya dengan si Anggrek Jingga itu, Ki"
Ki Dampil memandangi Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam. Dugaan Bayu yang tiba-tiba itu memang tidak pernah terpikirkan olehnya. Memang ada kemungkinan Ki Sampar pergi ke Padepokan Sangga langit. Tapi, untuk apa ke sana...? Inilah yang harus dibuktikan. Dan Bayu sudah menduga kalau kepergian Ki Sampar bukan saja karena kematian anaknya, tapi juga ada hubungannya dengan si Anggrek Jingga.
Sedangkan sampai sekarang ini belum ada yang tahu, siapa sebenarnya si Anggrek Jingga itu. Dan apa maksudnya membunuh Santika. Sekarang, meskipun tidak nyata, tapi sudah membuat gelisah seluruh penduduk Desa Coket ini. Memang Anggrek Jingga belum mengganggu ketentraman penduduk. Apalagi sampai mengambil korban penduduk desa. Tapi baik Bayu maupun Ki Dampil berkeyakinan, jika hal ini didiamkan berlarut-larut, bukannya tidak mustahil penduduk desa akan terkena juga.
"Kau tahu di mana letak padepokan itu, Ki?" tanya Bayu.
"Baru dua kali aku ke sana. Itu pun jika tidak lupa jalanannya," jawab Ki Dampil ragu-ragu.
Tunjukkan saja letaknya, aku akan pergi sendiri ke sana," jelas Bayu.
"Tidak mungkin, Bayu."
"Kenapa?"
"Setahuku, letak Padepokan Sangga Langit sangat terpencil. Malah tidak sembarang orang bisa memasukinya. Akan sulit bagimu untuk mencapai ke sana. Harus ada seseorang yang dikenal."
"Apakah ada orang lain di desa ini yang sering ke sana?"
"Tidak. Selain Ki Sampar sendiri dan aku yang dikenal sehingga bebas keluar masuk."
"Tapi kau tidak mungkin meninggalkan desa ini dalam keadaan seperti ini, Ki."
"Yaaah.... Itulah sulitnya, Bayu. Sudah menjadi kebiasaan, jika Ki Sampar tidak ada maka seluruh tanggung jawab berada di tanganku," nada suara Ki Dampil seperti mengeluh.
"Kau tidak bisa meninggalkan desa ini, Ki. Sedangkan harus ada yang ke Padepokan Sangga Langit," tegas Bayu lagi.
"Aku serahkan padamu, Bayu. Rasanya memang hanya kaulah yang bisa ke sana, meskipun aku rasa apakah bisa bertemu Eyang Palandara atau tidak.
"Akan kuusahakan, Ki," ujar Bayu bertekad.
"Terima kasih," ucap Ki Dampil.
"Maaf, aku menghambat perjalananmu."
"Lupakan saja."
Dengan kuda pemberian Ki Dampil, Bayu meninggalkan Desa Coket. Tujuannya sudah jelas, hendak pergi ke Padepokan Sangga Langit. Satu-satunya tempat yang diduga Ki Sampar berada. Tapi, baik Bayu maupun Ki Dampil serta semua pemuka Desa Coket tidak yakin kalau Ki Sampar ada di padepokan itu. Namun dalam keadaan seperti ini, segala kemungkinan bisa saja terjadi dan harus dibuktikan terlebih dahulu.
Sementara Bayu semakin jauh meninggalkan Desa Coket. Diikutinya petunjuk Ki Dampil agar menyusuri Kaki Gunung Waru, menuju ke Timur. Hanya ada satu jalan setapak kecil dan ini memudahkannya untuk memacu kudanya agar lebih cepat. Seekor kuda hitam yang gagah, dengan kecepatan lari yang sangat mengagumkan. Namun demikian, Bayu sebenarnya lebih tenang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Karena dengan begitu, bisa melatih dan semakin meningkatkan kemampuannya. Tapi pemberian Ki Dampil sulit untuk ditolak.
"Ini kuda kesayanganku, Bayu. Tidak ada duanya di desa ini. Bahkan di seluruh Gunung Waru," jelas Ki Dampil saat itu.
Bayu hanya tersenyum saja setiap kali mengingat kata-kata Ki Dampil yang selalu mengagumi kuda hitam ini.Sepertinya laki-laki tua itu berat sekali menyerahkannya. Dan Bayu memang mengakui kehebatan kuda hitam yang kini ditungganginya. Bukan saja bentuknya yang indah dan gagah, tapi larinya pun sangat cepat Kuda ini juga tangkas, seakan-akan bisa mengerti setiap kata yang diucapkan penunggangnya.
Hiya Hiyaaa..." Bayu terus menggebah kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Jalan setapak yang dilalui kini terasa menanjak, dan juga semakin menyempit. Bahkan kini berbatu, yang di kanan dan kirinya terdapat semak belukar berduri. Tampak tidak seberapa jauh di sebelah kiri, terdapat jurang yang cukup besar dan dalam. Bayu memperlambat laju kudanya, agar tidak tergelicir. Memang jalan yang dilalui semakin mendekati jurang, dan pada akhirnya benar-benar berada di tepi jurang.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang ketika melongokkan kepalanya ke dalam jurang. Sungguh dalam. Sampai-sampai dasarnya tidak terlihat dari atas sini, karena gelap tertutup kabut yang bergulung-gulung. Pendekar Pulau Neraka itu melayangkan pandangannya ke seberang jurang. Dalam hati diukurnya besar bibir jurang ini. Sekali lagi dia mendesah menghembuskan napas panjang.
"Tidak mungkin melompatinya dengan sekali lesatan saja," desah Bayu dalam hati. Bayu merasakan jalan yang dilalui semakin sulit. Malah beberapa kali kaki kuda hitamnya hampir tergelincir karena menginjak batu kerikil yang bertebaran di sekitar tepi jurang ini. Tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu, kecuali melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar matanya menatap ke depan, lalu memandangi kuda hitam di sampingnya.
"Kau tidak boleh ditinggalkan di sini, Hitam. Ayo, ikuti aku," kata Bayu seraya menepuk-nepuk leher kuda itu. Kuda hitam itu mendengus-dengus seraya mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan mengerti ucapan Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum.
"Ayo." Bayu meneruskan langkahnya hati-hati sekali sambil menuntun kuda hitamnya. Dia berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, untuk mengurangi beban. Batu yang dipijaknya terasa begitu rapuh. Dan kalau sewaktu-waktu runtuh, bisa langsung jatuh ke dalam jurang. Dan benar juga. Belum juga jauh berjalan, mendadak saja....
"Oh..." Bayu tersentak kaget. Kepalanya terdongak ke atas, tampak sebongkah batu yang cukup besar jatuh menggelinding dari atas tebing. Suaranya menggemuruh menggetarkan seluruh tebing ini. Sementara batu-batu lain juga berguguran, makin membuat seluruh tepi jurang ini bergetar. Belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu, mendadak saja jalan batu yang dipijaknya retak.
"Oh, tidak..." desah Bayu agak terpekik.
"Hieeegh..."
Tubuh Pendekar Pulau Neraka meluruk jatuh ke dalam jurang bersama kuda hitam yang meringkik melengking tinggi. Batu-batu berguguran menimbulkan getaran hebat dan suara menggemuruh. Bayu terus meluncur jatuh ke dalam jurang bersama kuda hitamnya serta reruntuhan batu.
Bayu mencoba tenang. Diraihnya sebongkah batu yang berada di dekatnya. Cepat-cepat batu itu ditotoknya, lalu tubuhnya melenting mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pendekar Pulau Neraka berputar sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari batu-batu yang berguguran masuk ke dalam jurang. Beberapa kali Bayu menjejakkan kakinya di bongkahan batu, lalu melesat ke atas.
Dengan mempergunakan batu-batu yang berguguran, Bayu mencapai ke atas. Memang tidak mudah. Namun berkat kesempurnaan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, Pendekar Pulau Neraka itu mampu mencapai tepi jurang. Dan sekali lagi ditotoknya batu dengan ujung jari kaki, lalu melesat naik. Cepat sekali tubuhnya melesat ke atas, lalu meraih sebuah dahan pohon yang menjorok keluar dari tepi jurang. Sebentar Bayu berayun-ayun, lalu sambil memutar tubuh, dilentingkan tubuhnya dan hinggap di tepi jurang.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang. Dipandangnya tebing batu yang berguguran. Dengan merapatkan tubuh ke dinding batu, Bayu bisa menghindari hujan batu yang seperti tidak ada habisnya. Kala matanya memandang ke dalam jurang, ada kesenduan pada sinar matanya.
"Kasihan kau, Hitam," desah Bayu lirih. Seluruh tebing dinding batu di tepi jurang maut ini masih bergetar. Meskipun sudah berkurang, namun batu-batu masih juga berguguran dari atas. Bayu tetap merapatkan punggungnya, berlindung dari hujan batu di bawah sebongkah batu yang agak menjorok keluar. Dijulurkan kepalanya, untuk mendongak ke atas. Tampak batu-batu masih saja berjatuhan.
"Hhh..., aku tidak boleh menunggu di sini. Sepertinya hujan batu ini tidak akan berhenti," gumam Bayu pelahan. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu mengamati keadaan sekitarnya, kemudian melesat.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Bayu menembus hujan batu. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya, seakan-akan kedua kakinya mengambang. Beberapa batu kecil menimpa tubuhnya tapi sedikit pun tak dirasakan. Bayu terus berlari, kadang-kadang berlompatan menghindari reruntuhan batu.
Cukup lama juga pemuda berbaju kulit harimau itu harus berlari cepat, dan akhirnya tiba di tempat yang aman. Pendekar Pulau Neraka tiba di sebuah padang rumput yang tidak seberapa luas. Padang rumput ini dibelah oleh jurang yang menyempit mengecil, dari berakhir pada sebuah tebing batu cadas yang sangat terjal.
Bayu memperhatikan sekitarnya. Dan, belum juga Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kaki, mendadak saja dari segala arah bertebaran benda kecil berwarna Jingga. Benda-benda berbentuk bunga anggrek itu meluruk deras bagai hujan ke arah pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Sial" rungut Bayu.
"Hiyaaat.."
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan menghindari serbuan anggrek jingga yang bertebaran bagai hujan. Sukar baginya untuk memastikan arah datangnya serangan, karena tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk melayangkan mata. Bunga-bunga anggrek jingga itu terus bermunculan seperti tidak pernah habis.
"Hiya Yeaaah..."
Bayu melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke angkasa. Lalu, diputar tubuhnya cepat sambil merentangkan tangan. Dan seketika itu juga, entah dari mana datangnya, tiba-tiba bertiup angin kencang yang menderu bagai topan. Bunga-bunga anggrek jingga itu berhamburan terhempas angin yang diciptakan Bayu. Pelahan-lahan tubuh Pendekar Pulau Neraka yang berputaran bagai baling-baling itu meluruk turun. Dan manis sekali kakinya menjejak tanah. Dia tidak-lagi berputar, tapi tangannya tetap merentang lebar ke samping.
"Yeaaah..."
Sambil berteriak nyaring melengking, Bayu menghentakkan tangannya ke atas hingga kedua telapak tangannya menyatu di atas kepala. Lalu dengan cepat ditarik tangannya ke depan dada. Matanya beredar memandang tajam sekitarnya. Pelahan-lahan diturunkan tangannya. Dan kini tak ada lagi serangan bunga-bunga anggrek jingga.
"Hmm, tampaknya kedatanganku memang sudah ditunggu," gumam Bayu dalam hati. Baru saja Pendekar Pulau Neraka itu hendak mengayunkan kakinya, mendadak saja dari atas pohon bertebaran jaring-jaring yang mengembang ke arahnya. Sesaat Bayu terkesiap, lalu cepat-cepat melompat ke depan. Tapi kembali bermunculan jaring-jaring berwarna hitam. Dan Bayu berlompatan menghindarinya.
"Keparat..."


--««¦ [ EMPAT ] ¦»»--

Beberapa kali Bayu berhasil menghindar dari perangkap jaring-jaring yang bertebaran. Namun ketika dua buah bunga anggrek jingga melesat ke arahnya, Pendekar Pulau Neraka itu jadi terkesiap. Dia berusa menghindar dari terjangan dua bunga anggrek jinggs itu, tapi tidak bisa menghindar dari sergapan sebuah jaring.
"Ih..." Belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu bisa melepaskan diri dari jaring hitam yang mengurungnya datang lagi dua jaring dan langsung membungkus dirinya. Dan Bayu benar-benar tidak berdaya, sehingga jatuh tergulung jaring. Sia-sia Pendekar Pulau Neraka mencoba memberontak, karena jaring-jaring ini begitu kenyal dan sukar diputuskan.
"Setan..." Bayu mengumpat geram. Pendekar Pulau Neraka itu tidak lagi memberontak ketika empat orang gadis bermunculan dari balik pohon dan semak belukar. Mereka masing-masing mengenakan baju warna biru, kuning, hijau dan putih. Dihampirinya Bayu yang terjerat jaring hitam. Salah seorang yang memegang tambang, langsung mendekati.
Dengan gerakan cepat dan lincah, gadis itu berlompatan di sekitar pemuda berbaju kulit harimau yang kini tak berdaya. Dan tahu-tahu, seluruh tubuh Bayu sudah terikat tambang. Gadis berbaju biru yang memegang tambang, menyerahkan dua ujung tambang pada gadis lainnya. Mereka tersenyum-senyum memandangi Pendekar Pulau Neraka yang sudah tidak berdaya lagi.
"Hei! Siapa kalian?" teriak Bayu bertanya.
Empat gadis cantik itu hanya tertawa saja. Dua orang segera menyeret Bayu yang terikat di dalam jaring hitam. Sedangkan dua orang lain berjalan di belakang. Pendekar Pulau Neraka itu mencoba memberontak, tapi usahanya sia-sia saja. Membebaskan diri dari jaring ini saja sudah sulit, apalagi harus melepaskan tambang yang mengikat seluruh tubuhnya.
Menyadari usahanya tidak akan berhasil, Bayu membiarkan saja tubuhnya terseret. Diperhatikan sekitarnya, menghapal jalan yang dilalui empat orang gadis cantik ini. Bayu mengerahkan hawa murni untuk menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya terantuk batu atau akar-akar pohon yang tersembul keluar dari dalam tanah. Tapi dengan mengerahkan hawa murni, semua rasa sakit tidak terasakan lagi.
"Tunggu" seru gadis yang mengenakan baju biru tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya gadis yang mengenakan baju kuning.
"Orang ini harus dibuat pingsan. Dia tidak boleh mengetahui jalan yang dilalui," usul gadis berbaju biru itu. lagi.
Hmm, benar," sahut gadis baju hijau. Tanpa banyak bicara lagi, gadis baju hijau menggerakkan tangannya beberapa kali ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Sedikit pemuda berbaju kulit harimau itu mengeluh, lalu pandangannya jadi nanar. Dan sebentar kemudian tidak sadarkan diri lagi. Bayu tidak tahu lagi, ke mana dibawa pergi oleh keempat gadis cantik ini.

* * * * *



"Oh...," Bayu merintih lirih. Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan kepalanya, kemudian membuka matanya sedikit Kembali digeleng-gelengkan kepalanya. Seketika Bayu terkejut, begitu mengetahui berada di suatu ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari batu Dan tubuhnya kini berada di sebuah pembaringan beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Bayu mencoba menggelinjang, tapi jadi terkejut bukan main.
Seluruh tubuhnya terasa mati, tidak bisa digerakkan. Sekali lagi dicobanya menggerakkan tangan, tapi tangannya benar-benar lumpuh. Bayu sadar kalau pusat jalan darahnya sudah tertotok, dan tak mungkin bisa bebas meskipun mengerahkan hawa murni. Hal ini disadari karena bagian kepalanya masih bisa bergerak, sedangkan bagian tubuh lainnya lumpuh. Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan kepalanya ketika tiba-tiba ruangan yang semula remang-remang ini mendadak terang benderang.
Kini seluruh sudut ruangan terlihat jelas. Sebuah ruangan yang cukup besar, berdinding batu hitam agak berlumut. Tidak ada jendela, tapi ada sebuah pintu dari kayu jati tebal yang tertutup rapat. Pandangan Bayu tertumbuk pada seorang wanita cantik mengenakan baju warna merah muda yang longgar dan tipis. Begitu tipisnya sehingga lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas. Wanita itu berdiri di depan pintu yang tertutup. Bayu mengenalinya, karena pernah bertemu di kedai di pinggiran Desa Coket.
"Di mana aku?" tanya Bayu.
Wanita cantik itu tidak menjawab, tapi malah tersenyum. Dengan langkah gemulai, wanita itu menghampiri Bayu dan duduk di tepi pembaringan. Tercium aroma harum yang menyebar dari tubuh wanita cantik ini. Bayu hanya bisa memandangi saja karena seluruh tubuhnya sudah tertotok, tak mampu lagi digerakkan.
"Kau berada di tempatku, pemuda tampan," jelas wanita itu lembut.
"Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau membawaku ke sini?" tanya Bayu beruntun.
"Kau sudah mengenal siapa aku, bukan?" tetap lembut suara wanita itu.
"Yang pasti, namamu bukan Anggrek Jingga" dengus Bayu.
"Ternyata kau seorang pemuda yang selalu ingin tahu tentang wanita."
Bayu mendengus sengit.
"Baik Kau boleh memanggilku Kandita. Itu namaku yang sebenarnya. Dan semua orang lebih mengenalku dengan julukan Anggrek Jingga. Terserah kau, ingin memanggilku yang mana," kata wanita itu memperkenalkan namanya.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Bayu lagi.
"Hanya untuk pengamanan saja, Bayu," sahut Kandita lembut.
Kandita menjulurkan tangannya yang halus berjari lentik ke dada Pendekar Pulau Neraka. Dengan gerakan halus dan lembut, direbahkan kepalanya ke dada pemuda berbaju kulit harimau itu. Tercium bau harum yang sangat menusuk hidung Bayu. Pelahan wanita cantik itu mengangkat kepalanya, lalu merebahkan diri sehingga menghimpit tubuh Bayu. Sangat terasa, dua bukit kembar yang terselubung kain merah itu lembut menekan dada Pendekar Pulau Neraka.
Seketika Bayu merasakan napasnya sesak. Dan napasnya tertahan ketika Kandita dengan lembut sekali mengecup bibirnya. Hanya sedikit, namun sangat lembut dan hangat sehingga membuat Bayu sampai menahan napas. Tanpa dapat dicegah lagi, Pendekar Pulau Neraka itu menikmati kecupan lembut di bibirnya tadi.
"Kau tampan sekali, Bayu," desah Kandita.
"Hhh... Dari mana kau tahu namaku?" dengus Bayu.
"Mudah sekali mengetahui tentang dirimu, pemuda tampan," sahut Kandita seraya tertawa lembut.
"Aku tahu siapa dirimu. Seorang pendekar digdaya yang bergelar Pendekar Pulau Neraka. Sungguh... Tak kusangka kalau semudah ini bisa membawamu ke sini. Ah..., ternyata Pendekar Pulau Neraka tidak sehebat yang dikatakan orang."
"Licik Curang..." dengus Bayu gusar.
"Untuk mencapai apa yang diinginkan, segala cara akan kutempuh. Tidak ada kata licik, curang, atau kata-kata lain. Kau bisa melihat bagaimana aku melakukan sesuatu dengan perencanaan matang."
"Untuk apa kau lakukan semua ini?" tanya Bayu ingin tahu.
"Untuk apa...?" Kandita tertawa renyah. Wanita itu bangkit, menjauhkan tubuhnya dari Pendekar Pulau Neraka, tapi masih duduk di tepi pembaringan ini. Jari-jari tangan yang lentik mengelus-elus dada bidang pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Katakan, untuk apa kau lakukan semua ini?" desak Bayu.
"Sudahlah, Bayu. Tidak perlu kau ketahui semuanya. Percayalah Kalau urusanku sudah selesai, kau akan kubebaskan. Kau boleh pergi sesuka hatimu, bagai burung yang merdeka, bebas terbang ke mana saja," Kandita mencoba mengelak.
"Kenapa tidak kau bebaskan saja sekarang?"
"Belum saatnya, Bayu. Nanti, kalau sudah saatnya tiba. Tenang sajalah di sini. Semua keperluanmu akan dilayani murid-muridku. Mereka semua cantik-cantik. Tapi, awas... Jangan sekali-sekali merayu mereka. Dan kau juga jangan terpikat oleh godaannya. Selama berada di sini, kau menjadi milikku" agak tajam nada suara Kandita.
"Enak saja" dengus Bayu.
"Kau tidak bisa menolak, Bayu." Kandita melepaskan pakaian yang dikenakan Pendekar Pulau Neraka.
"Heh... Apa yang akan kau lakukan...?" sentak Bayu terkejut.
"Tenanglah.... Kau laki-laki, dan aku wanita. Aku rasa kau seorang laki-laki normal yang juga butuh belaian halus seorang wanita," tenang sekali suara Kandita.
"Edan Kau tidak bisa seenaknya me...."
Belum habis Bayu bicara, Kandita sudah menyumpal mulut Pendekar Pulau Neraka itu dengan mulutnya. Sehingga hanya keluhan dan gumaman saja yang terdengar. Bayu mencoba memberontak. Tapi totokan pada jalan darahnya begitu kuat, dan benar-benar tidak berdaya lagi. Sementara jari-jari tangan Kandita sudah mulai menggerayangi tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dan kini pemuda berbaju kulit harimau itu jadi terbeliak, manakala Kandita juga melepaskan pakaiannya sendiri.
"Setan kau, Kandita" geram Bayu, memerah wajahnya.
"Ssst..." Kandita tidak mempedulikan makian pemuda berbaju kulit harimau itu. Napasnya sudah mendengus memburu. Diciuminya seluruh wajah dan leher Bayu. Terasa hangat di kulit, mencoba merangsang gairahnya. Kandita terus berusaha membangkitkan gairah Pendekar Pulau Neraka ini dengan ciuman-ciumannya yang lembut dan hangat, dan rabaan jari-jarinya yang halus dan menggelitik.
Sekuat daya Bayu mencoba bertahan, tapi rangsangan yang diberikan wanita cantik ini benar-benar membuat kepalanya pening. Seluruh darah di tubuh Pendekar Pulau Neraka itu mulai menggolak mendidih, dan tubuhnya jadi menggeletar. Saat itu Kandita tersenyum, karena kali ini benar-benar berada di atas kemenangan. Seluruh tubuh wanita itu sudah dibasahi keringat. Napasnya semakin hangat mendengus, bagai kuda pacu yang didera kencang. Bayu memejamkan matanya kuat-kuat. Gerahamnya bergemeletuk keras.
Sementara Kandita semakin buas, dengan gerakan-gerakan tubuhnya yang bertambah liar. Suara desisan dan erangan lirih terdengar. Hingga akhirnya tiba-tiba saja wanita itu terpekik tertahan. Tubuhnya langsung jatuh lunglai, menggelimpang ke samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pelahan Bayu membuka matanya, melihat Kandita mengenakan pakaiannya kembali sambil tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan. Bayu benar-benar muak melihat senyum wanita itu, meskipun wajahnya sangat cantik dan senyumnya memikat.
"Aku akan membunuhmu, perempuan iblis..." desis Bayu menggeram.
"Itu tidak akan terjadi, Bayu," sambut Kandita diiringi derai tawanya. Setelah merapikan pakaiannya sendiri, wanita itu kemudian merapikan pakaian Pendekar Pulau Neraka. Ditepuk-tepuknya pipi pemuda itu dengan lembut. Sekali lagi diberikannya satu kecupan tipis di bibir. Bayu hanya bisa mengumpat dengan bara api kemarahan menggelegak di dada.
"Istirahatlah, Sayang," ucap Kandita lembut.
"Keparat Kubunuh kau, Iblis..." geram Bayu muak.
"Ha ha ha..." Kandita hanya tertawa saja. Begitu lepas derai tawanya. Wanita itu bangkit berdiri, turun dari pembaringan. Sambil memperdengarkan tawa yang lepas, dia berjalan keluar dari ruangan itu.
Tinggal Bayu memaki-maki dan mengumpat sambil berteriak teriak mengancam. Bukan main marahnya Pendekar Pulau Neraka itu, karena benar-benar merasa terhina oleh kelakuan Kandita. Belum juga reda kemarahan Bayu, muncul seorang gadis cantik lagi mengenakan baju biru ketat. Bayu mendengus memberengut kesal, dan benar-benar muak melihatnya. Dia hanya menatap tajam dengan mulut terkunci rapat. Gadis berbaju biru itu menarik sebuah kursi di dekat pembaringan, lalu duduk di sana.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu mendengus.
"Malam ini aku ditugaskan menjagamu," jawab gadis itu kalem.
Bayu menatap gadis itu dalam-dalam dengan sinar mata tajam. Sedangkan yang ditatap malah kelihatan tidak peduli, dan hanya duduk tenang tanpa membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka ini.
"Siapa namamu?" tanya Bayu iseng.
"Ranti," sahut gadis berbaju biru itu.
"Dan yang lainnya?" tanya Bayu lagi.
"Kami hanya empat, ditambah guru."
"Aku tanya nama yang lainnya."
"Yang pakai baju kuning namanya Dewi. Sedangkan yang berbaju hijau namanya Saras. Dan Pinanti yang berbaju putih," sahut Ranti menjelaskan dengan nada suara tenang tanpa tekanan sedikit pun "Kenapa kau tanya-tanya?"
"Tidak apa-apa," suara Bayu terdengar ketus. Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertanya lagi. Dipejamkan matanya sambil mencoba mengerahkan hawa murni untuk membebaskan totokan pada pusat jalan darahnya. Meskipun disadari tidak akan berhasil, tapi paling tidak harus dicoba.
Sementara itu di lain ruangan, Kandita sudah mengenakan baju merah menyala yang sangat ketat. Tampak sebilah pedang tergantung di pinggang. Pada ujung gagang pedang, terukir sekuntum bunga anggrek berwarna Jingga. Dia duduk di sebuah kursi kayu jati berukir yang sangat indah. Sedangkan di depannya tiga orang gadis berwajah cantik duduk bersila di lantai beralaskan permadani berbulu tebal.
"Dewi...," panggil Kandita seraya menatap gadis yang mengenakan baju kuning.
"Ya, Nini Guru?" sahut Dewi penuh rasa hormat.
"Apakah tua bangka itu masih ada di depan?" tanya Kandita, datar nada suaranya.
"Masih, Nini Guru," sahut Dewi.
"Lalu, bagaimana si tua lainnya, Saras?"
Kandita menatap gadis yang mengenakan baju hijau.
"Dia terlalu menyusahkan, Nini Guru," sahut Saras.
"Apa maksudmu?" tanya Kandita.
"Dia selalu saja duduk bersemadi, tidak mau makan dan minum. Semua makanan dan minuman yang disediakan tidak dijamah sama sekali," lapor Saras.
"Biarkan saja, jangan diurusi" dengus Kandita.
"Toh kita tidak lama lagi di sini. Biar dia mati kelaparan"
"Baik, Guru."
"Nah... Sekarang giliranmu, Pinanti," Kandita menatap muridnya yang memakai baju putih.
"Ya, Nini Guru," lembut sekali sahutan Pinanti.
"Bagaimana tugasmu?" tanya Kandita.
"Tidak ada masalah, Nini Guru. Semua berjalan lancar sesuai rencana," jawab Pinanti.
"Apa kau sudah dengar tentang Eyang Palandara?"
"Belum."
"Heh... Bukankah tugasmu memancing Eyang Palandara keluar dari padepokannya?" sentak Kandita agak gusar.
"Semua sudah dilaksanakan, Nini Guru. Tapi orang itu tetap saja tidak mau keluar, dan sepertinya sudah mengetahui pancingan ini."
"Mustahil... Dari mana dia tahu?" dengus Kandita.
"Dengar, Tujuan kita yang paling utama adalah si tua keparat Palandara. Kalau dia sudah mampus, tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita untuk menguasai seluruh daerah di Gunung Waru ini. Kita akan mendirikan kerajaan kecil di sini, dan hidup senang selama-lamanya."
"Tapi, Nini Guru...," selak Dewi.
"Ada apa lagi, Dewi?" tanya Kandita.
"Bukankah di sekitar Kaki Gunung Waru ini bukan hanya Padepokan Sangga Langit saja yang ada? Masih banyak padepokan lainnya," sergah Dewi.
"Bodoh Kau bicara asal menguap saja, Dewi" sentak Kandita.
"Maaf, Nini Guru," buru-buru Dewi memohon maaf.
"Aku hanya mengingatkan saja."
"Kalian semua tahu. Di sekitar Kaki Gunung Waru ini hanya ada satu padepokan kuat, yaitu Padepokan Sangga Langit. Nah Kalau kita sudah menguasai padepokan itu, tidak perlu banyak menguras tenaga untuk menaklukkan yang lain. Terlebih lagi partai-partai golongan hitam. Mereka pasti akan bergabung dengan sendirinya."
Ketiga gadis itu hanya diam mendengarkan.
"Kalian harus ingat. Aku memberi jurus-jurus tingkat tinggi bukannya tidak ada tujuan, tapi untuk membuat kalian menjadi wanita tangguh yang disegani dan ditakuti semua orang. Dan inilah saatnya untuk membuktikan kalau kaum wanita bukanlah kaum lemah. Kalian dengar itu?" lantang sekali suara Kandita.
"Mengerti, Nini Guru," ucap ketiga gadis itu berbarengan.
"Nah, Jadi jangan banyak macam-macam. Ikuti saja perintahku. Dan satu hal yang perlu kalian ketahui. Siapa saja berani membangkang, aku tidak segan segan menjatuhkan tangan. Paham..."
"Paham, Nini Guru," sahut ketiga gadis itu kembali berbarengan.
"Sudah jauh malam, sebaiknya kalian beristirahat saja," kata Kandita seraya bangkit berdiri. Wanita cantik berbaju merah itu mengayunkan kakinya meninggalkan ketiga muridnya, lalu masuk ke dalam sebuah kamar.
Sedangkan ketiga gadis cantik itu masih tetap duduk bersila. Mereka baru bangkit berdiri setelah cukup lama Kandita tidak keluar kamar lagi. Dua gadis masuk ke dalam kamar lain, sedangkan gadis yang berbaju putih masuk ke dalam kamar yang berpintu kayu jati tebal.
Di kamar itu ternyata Bayu berada dijaga seorang gadis cantik berbaju biru. Gadis yang bernama Ranti itu mengangkat kepalanya saat mendengar pintu terbuka, lalu bangkit berdiri dan menghampiri begitu melihat siapa yang datang. Pinanti menutup pintu kembali. Kedua gadis itu menarik kursi ke dekat pintu dari duduk di sana. Mereka memandang Bayu yang tampaknya sedang tidur lelap.
"Bagaimana dia?" tanya Pinanti.
"Tidur. Mungkin kelelahan," sahut Ranti seraya tersenyum penuh arti.
Sedangkan Pinanti hanya tersenyum tipis sekali. Terasa hambar senyuman gadis berbaju putih itu. Dipalingkan pandangannya, beralih pada Ranti yang duduk di sebelahnya.
"Ada apa, Pinanti? Nini Guru marah lagi?" lembut suara Ranti. Pinanti hanya mengangguk saja.
"Kalian pasti sudah menyinggung perasaannya lagi," tebak Ranti.
"Dewi yang memulai," ujar Pinanti pelan.
"Kan sudah kuperingatkan, jangan singgung-singgung masalah itu lagi. Kita ini hanya murid, dan semuanya ada di tangan Nini Guru Kandita. Lagi pula semua yang dilakukannya demi kita semua," tegas Ranti, agak pelan suaranya seperti takut terdengar Bayu.
Pinanti hanya diam saja. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Diarahkan pandangannya pada pemuda berwajah tampan mengenakan baju dari kulit harimau yang terbaring lelap dalam buaian mimpi.
"Ranti, kenapa dia ditangkap?" tanya Pinanti tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari Bayu.
"Pertanyaanmu aneh, Pinanti," desah Ranti.
"Aku hanya ingin tahu saja , Ranti."
"Dia terlalu banyak ingin tahu, dan Nini Guru tidak pernah menyukai itu," jelas Ranti.
"Aku tahu watak Nini Guru, karena telah lebih lama ikut dengannya daripada kau dan yang lainnya."
"Tapi, kenapa harus ditangkap? Kenapa tidak dibunuh saja seperti yang lain?" tanya Pinanti.
"Aku tidak tahu itu, Pinanti. Tapi yang jelas, Nini Guru menyukai pemuda tampan, gagah, dan berkepandaian tinggi. Ah, sudahlah. Nanti pemuda itu pasti juga dilenyapkan, kalau semuanya sudah selesai." Pinanti menganggukkan kepalanya pelahan.
"Sudah malam, tidur sana. Besok kau harus ke Padepokan Sangga Langit, bukan?"
"Iya... Aku tinggal dulu, Ranti." Pinanti bangkit berdiri Dibukanya pintu, dan dilangkahkan kakinya keluar. Ranti kembali menghampiri Bayu yang masih terbaring dengan mata terpejam. Sebentar dipandangi wajah pemuda itu, kemudian duduk di tepi pembaringan. Pelahan tangannya terulur dan mengusap dada pemuda itu dengan halus.
"Kau tampan sekali...," desah Ranti pelahan. Pelan-pelan Ranti membaringkan tubuhnya di samping Pendekar Pulau Neraka. Dipandanginya wajah tampan di sampingnya, lalu diletakkan kepalanya di dada pemuda itu. Dia tidak tahu kalau Bayu membuka matanya, dan kembali terpejam saat Ranti mengangkat kepalanya, langsung memandangi wajah pemuda tampan itu. Pelahan-lahan Ranti mendekatkan wajahnya, lalu mengecup lembut bibir Bayu. Ranti beringsut turun dari pembaringan, kemudian duduk di kursi dekat pembaringan itu.
Dipandanginya wajah Bayu lekat-lekat. Terdengar tarikan napas panjang dan terasa berat seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Malam ini gadis itu tidak boleh tidur, karena mungkin saja Pendekar Pulau Neraka itu bisa membebaskan diri dari pengaruh totokan pada jalan darahnya. Kalau hal itu terjadi, Bayu harus cepat diberi totokan kembali sebelum sempat melakukan sesuatu. Sungguh berat tugasnya, tapi tidak bisa ditolak.

* * * * *



--««¦ [ LIMA ] ¦»»--

Siang ini matahari bersinar terik sekali, seakan-akan hendak membakar seluruh permukaan bumi. Begitu teriknya hingga daun-daun berguguran, dan seluruh penghuni hutan di Gunung Waru berlomba-lomba mencari sumber mata air. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang gadis berpakaian serba putih yang menunggang kuda menyusuri lereng gunung sebelah Timur.
Kuda putih yang ditungganginya mendengus-dengus, dan mulutnya terbuka mengucurkan liur. Binatang itu tampak kelelahan, tapi penunggangnya tidak peduli. Dia terus menggebah kudanya agar berlari cepat. Wajah gadis itu juga sudah memerah. Keringat tampak membanjir di sekujur tubuhnya. Sesekali di sekanya keringat di leher yang putih jenjang.
"Hop..." gadis itu menghentikan laju kudanya. Pandangannya lurus ke depan, ke arah sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar tinggi dari batang pohon yang bagian atasnya runcing. Dia melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya ringan sekali, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Gadis itu berdiri tegak di depan kudanya.
"Sepi...," gumam gadis itu pelan. Pelahan kakinya terayun mendekati bangunan besar itu. Sinar matanya tajam tak berkedip merayapi sekitarnya. Ayunan langkah kakinya begitu ringan, tidak menimbulkan suara sedikit pun. Dia semakin mendekati bangunan besar bagai benteng pertahanan itu. Tapi baru juga sampai setengah jalan, mendadak saja...
"Hiyaaa..."
"Yeaaah..."
Tiba-tiba terdengar teriakan keras, disusul bermuculannya manusia-manusia dari balik pepohonan. Gadis itu terkejut, langsung memutar tubuh dan menatap ke sekelilingnya. Hatinya sungguh terkejut bukan main, karena di sekitarnya sudah dikelilingi orang bersenjata pedang terhunus. Jumlahnya begitu banyak, lebih dari lima puluh orang.
"Selamat datang di Padepokan Sangga Langit, Anggrek Jingga," tiba-tiba terdengar suara lembut
"Heh...?" gadis itu terkejut dan langsung berpaling. Pandangan gadis itu seketika tertumbuk pada seorang laki-laki tua berjubah putih yang tahu-tahu sudah berdiri di depan orang-orang yang mengepungnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sudah ada di sana.
"Eyang Palandara...," desis gadis itu mengenali .laki-laki tua yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.
"Kenapa kau datang sendiri, Pinanti? Mana gurumu?" tanya Eyang Palandara. Suaranya begitu lembut, namun mengandung kewibawaan.
"Kau tahu tentang diriku, Eyang Palandara...?" tanya gadis berbaju putih yang memang bernama Pinanti, salah seorang murid Kandita si Anggrek Jingga.
"Aku tahu siapa-siapa saja orang-orang dari Anggrek Jingga. Bahkan sebelum kalian muncul di Desa Coket aku sudah tahu. Malah kedatanganmu ke sini juga sudah kuketahui. Jadi, jangan heran jika aku menyambut kedatanganmu," jelas Eyang Palandara.
"Dari mana kau tahu?" tanya Pinanti mendengus. Gadis itu agak terkejut juga, tapi cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya. Hatinya jadi bertanya-tanya, dari mana Eyang Palandara mengetahui semua tentang Anggrek Jingga? Padahal selama ini gerakan Anggrek Jingga begitu tersembunyi, bahkan tidak ada yang tahu berapa jumlah anggota Anggrek Jingga sebenarnya.
"Jika tidak keberatan, aku ingin mengundangmu melihat-lihat Padepokan Sangga Langit," ajak Eyang Palandara ramah.
"Hm.... Kau tidak ingin memperdayaku, Eyang Palandara?" Pinanti jadi curiga.
"Kedatanganmu bermaksud mengetahui kekuatan padepokanku, bukan? Nah Marilah, kuperlihatkan seluruh kekuatan Padepokan Sangga Langit. Dan kau bisa melaporkannya pada Kandita," kata Eyang Palandara tenang dan ramah.
Pinanti jadi berpikir seribu kali. Sungguh tidak disangka kalau kedatangannya ke sini sudah diketahui. Bahkan sekarang Ketua Padepokan Sangga Langit itu sendiri yang menyambutnya, dan hendak memperlihatkan seluruh kekuatan padepokannya. Bukankah ini sesuatu yang sangat janggal? Mereka satu sama lain berdiri berhadapan sebagai musuh, tapi sikap Eyang Palandara yang begitu ramah membuat Pinanti tidak bisa memahaminya.
"Kau terlalu curiga terhadap maksud baikku, Pinanti," tebak Eyang Palandara seperti mengetahui jalan pikiran gadis itu.
Pinanti merayapi murid-murid Padepokan Sangga Langit di sekelilingnya. Saat itu Eyang Palandara menjentikkan jari tangannya, maka semua murid depokan itu bergerak masuk ke dalam benteng padepokan yang terbuat dari kayu gelondongan yang di tancapkan berkeliling ke tanah, membentuk cincin raksasa. Bangunan besar di tengah-tengah lingkaran benteng itulah yang menjadi tujuan mereka.
"Mari...," ajak Eyang Palandara setelah semua muridnya masuk ke dalam benteng.
"Sikapmu membuatku curiga, Eyang Palandara," tegas Pinanti berterus terang.
"Ha ha ha..." Eyang Palandara tertawa terbahak-bahak. Sepertinya kata-kata Pinanti tadi membuat tenggorokannya tergelitik.
"Kenapa tertawa, Eyang Palandara?" dengus Pinanti kurang senang.
"Aku tentu tidak akan bersikap begini jika bukan kau yang datang, Pinanti," kata Eyang Palandara setelah reda tawanya.
"Kenapa? Apakah ada perbedaan antara aku dan yang lainnya?" tanya Pinanti tidak mengerti, sehingga jadi bingung juga dibuatnya."
"Tentu saja ada perbedaannya. Marilah, kita bicarakan hal ini di dalam," ujar Eyang Palandara seraya merentangkan tangannya.
Sejenak Pinanti ragu-ragu. Tapi mendadak saja hatinya diliputi rasa penasaran akan sikap laki-laki tua berjubah putih ini. Terlebih lagi perkataannya yang terakhir. Berbagai macam pertanyaan terlintas di benaknya. Sejenak Pinanti memandangi orang tua itu, kemudian menatap ke arah bangunan besar Padepokan Sangga Langit Pintu gerbang benteng padepokan itu terbuka lebar, seakan-akan sengaja dibuka untuknya.
"Baiklah. Tapi jika kau hanya menjebakku saja, aku akan membunuhmu, Eyang Palandara" kata Pinanti tajam.
"Silakan, Pinanti," sambut Eyang Palandara ramah diiringi senyuman.
Pinanti memantapkan hatinya, kemudian mengayunkan kakinya menuju dalam benteng Padepokan Sangga Langit. Sedangkan Eyang Palandara sudah lebih dahulu berjalan di depannya. Dua orang terlihat menjaga di ambang pintu gerbang. Mereka membungkuk memberi hormat saat Eyang Palandara melintasinya. Dan pintu itu ditutup setelah kedua orang yang saling bermusuhan itu berada di dalam.
Pinanti memandangi ruangan besar yang dikelilingi jendela besar terbuka lebar, sehingga memberi keleluasaan pada matahari untuk menerangi ruangan ini dengan sinarnya yang memancar terik. Di setiap sudut ruangan terlihat senjata-senjata berjajar rapi dari berbagai bentuk. Pinanti tahu kalau ruangan ini merupakan balai latihan bagi murid-murid Padepokan Sangga Langit. Gadis itu duduk di lantai beralaskan tikar anyaman daun pandan. Di depannya, duduk Eyang Palandara. Tak ada lagi orang lain di ruangan ini mereka berdua.
"Ruangan ini sebagai pusat latihan semua murid Padepokan Sangga Langit. Kau lihat sendiri, segala macam senjata harus mereka kuasai dengan baik," jelas Eyang Palandara.
"Kenapa kau tunjukkan semua ini padaku?" tanya Pinanti.
"Bukankah itu yang hendak kau ketahui, Pinanti? Aku tahu, kedatanganmu ke sini sengaja untuk menyelidiki kekuatan Padepokan Sangga Langit. Sudah beberapa hari ini aku melihatmu berada di sekitar padepokan," ujar Eyang Palandara.
"Aku ingin tahu alasanmu berbuat semua ini padaku, Eyang Palandara" agak ketus nada suara Pinanti.
"Agar kau tidak bersusah payah menyelidikinya," jawab Eyang Palandara kalem.
"Itu bukan jawaban yang kuinginkan, Eyang."
"Tapi itulah jawabannya."
"Kau pasti tidak akan berbuat begini jika bukan aku yang melakukannya, bukan?" selidik Pinanti curiga.
"Tentu," sahut Eyang Palandara seraya mengangkat alisnya.
"Kenapa?" desak Pinanti.
"Karena kau murid termuda dari si Anggrek Jingga," sahut Eyang Palandara tetap tenang.
"Maaf. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Eyang" dengus Pinanti gusar. Dia bergegas bangkit berdiri.
"Tunggu dulu, Pinanti. Duduklah...," cegah Eyang Palandara cepat.
"Kau tidak bisa seenaknya mempermainkan aku, Eyang" rungut Pinanti tidak senang.
"Duduklah dulu, nanti akan kujelaskan semuanya," bujuk Eyang Palandara.
"Untuk sekali ini, Eyang. Sekali lagi kau mempermainkan aku, pertarungan menjadi keputusanku yang terakhir. Aku tidak peduli kalau saat ini berada di tempatmu dan dikelilingi murid-muridmu yang setiap saat bisa merajamku" suara Pinanti terdengar bersungguh-sungguh.
"Tidak akan terjadi pertarungan di sini, Pinanti. Duduklah, tenangkan dirimu dulu."
Pinanti kembali duduk. Wajahnya memerah dan sorot matanya tajam menusuk langsung bola mata orang tua di depannya. Sedangkan Eyang Palandara kelihatan tenang. Bibirnya tampak selalu menyunggingkan senyuman lebar.
"Pinanti, apakah kau pernah berpikir tentang dirimu sendiri? Tentang siapa, dan dari mana asalmu?" tanya Eyang Palandara, nada suaranya terdengar sungguh-sungguh.
"Untuk apa kau tanyakan itu?" dengus Pinanti kurang senang. Tapi keningnya terlihat berkerut juga. Pinanti memang mengakui bahwa selama ini tidak pernah terpikirkan tentang dirinya sendiri. Bahkan tidak pernah mau tahu, darimana asalnya, dan siapa dirinya sebenarnya. Yang diketahui, dirinya berada di sebuah tempat bersama wanita-wanita dan harus patuh pada seorang wanita cantik Kandita yang menjadi gurunya.
"Sebenarnya kesempatan seperti ini sudah kunantikan. Aku sendiri tidak mengerti tujuan Kandita yang memberimu tugas untuk menyelidiki aku, kekuatan Padepokan Sangga Langit ini," sahut Eyang Palandara agak mendesah.
"Tampaknya kau sudah cukup banyak mengetahui tentang Anggrek Jingga, Eyang Palandara," dengus Pinanti.
"Lebih dari yang kau ketahui," sahut Eyang Palandara.
Pinanti tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Sungguh tidak disangka kalau laki-laki tua ini mengetahui banyak tentang Anggrek Jingga. Bahkan mengakui lebih dari yang diketahuinya sendiri selama ini.
"Yaaah.... Aku sendiri tidak tahu, ilmu apa yang digunakan Kandita sehingga kau melupakan dirimu sendiri...," ujar Eyang Palandara terdengar mengeluh.
"Eyang, apa sebenarnya yang hendak kau bicarakan?" Pinanti jadi tidak mengerti.
"Yang kuinginkan hanyalah agar kau mengetahui siapa dirimu sebenarnya, Pinanti," sahut Eyang Palandara.
"Aku...?" Pinanti tersedak. Gadis itu tampak bingung, terlebih lagi begitu melihat bola mata Eyang Palandara berkaca-kaca. Bibir yang hampir tertutup kumis, tampak bergetar, seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tapi, tak ada satu suara pun yang keluar dari bibirnya itu. Entah Kanapa, tiba-tiba saja Pinanti merasakan ada sesuatu yang tersembunyi pada diri Eyang Palandara.
"Kau jangan coba-coba mempengaruhiku, Eyang. Aku tahu siapa diriku. Dan kau tidak bisa berbuat licik padaku," tegas Pinanti ketus.
"Pinanti. Dengar dulu..., Anakku...."
"Cukup" sentak Pinanti langsung bangkit berdiri. Gadis cantik itu cepat berbalik dan melangkah ke luar. Eyang Palandara buru-buru bangkit dan mengejar.
"Pinanti, tunggu..."
Tapi Pinanti terus berjalan cepat. Beberapa murid Padepokan Sangga Langit memandangi disertai sinar mata penuh kecurigaan. Tapi gadis itu diam saja tidak peduli. Dia terus berjalan cepat melintasi halaman berumput yang cukup luas. Segera dilentingkan tubuhnya melompati pintu gerbang. Cepat dan ringan sekali gerakannya, dan sebentar saja sudah lenyap di balik benteng padepokan ini.
Sementara Eyang Palandara hanya bisa terpaku memandangi dari ambang pintu bangunan besar padepokan itu. Dia tidak mencoba mengejar, dan hanya memandang dengan mata berkaca-kaca.
Pelahan dibalikkan tubuhnya, laki melangkah masuk kembali. Beberapa muridnya hanya memandangi disertai berbagai macam pertanyaan. Pinanti memacu cepat kudanya menyusuri Lereng Gunung Waru. Raut wajahnya kelihatan tegang. Kudanya digebah bagai dikejar setan saja. Padahal kuda putih itu telah mendengus-dengus kelelahan. Namun Pinanti tidak peduli. Sudah cukup jauh Padepokan Sangga Langit ditinggalkannya, tapi kecepatan kudanya belum juga dikendorkan.
"Yeaaah Hiyaaa..."
Pinanti semakin mempercepat lari kudanya, namun tiba-tiba saja kuda itu meringkik keras dan berhenti sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi tinggi. Pinanti terkejut, dan buru-buru menarik kekang kudanya, mencoba mengendalikan kuda putih yang mendadak jadi liar ini. Dan belum juga gadis itu bisa menguasai kudanya yang jadi liar, tiba-tiba terlihat secercah cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya.
Sejenak gadis itu terkesiap, lalu cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Kuda putih itu terlonjak, langsung berlari cepat. Pinanti berkelit dengan berputaran dua kali di udara, maka cahaya keperakan itu lewat sedikit di bawah telapak kakinya. Dengan gerakan yang manis, didaratkan kakinya di tanah.
"Ha ha ha..."
"Hm...," Pinanti menggumam kecil ketika tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar. Gadis itu melirik ke arah datangnya suara tawa itu, tapi mendadak jadi kebingungan. Ternyata suara tawa itu arah datangnya berpindah-pindah. Pinanti melayangkan pandangannya ke arah lesatan cahaya keperakan tadi Pandangannya tertumbuk pada sebatang pohon yang hangus. Pada batang pohon itu tertancap sebuah benda bulat pipih yang sisinya bergerigi berwarna keperakan.
"Kakek Iblis Perak...," desis Pinanti, agak bergetar nada suaranya.
"He he he..."
Pinanti langsung memalingkan mukanya ke depan begitu mendengar tawa terkekeh. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan gadis itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berambut putih bagai perak. Dia mengenakan jubah panjang juga berwarna perak. Tak ada senjata yang tergenggam.
Laki-laki tua yang dikenal Pinanti berjuluk Kakek Iblis Perak itu memang tidak menggunakan senjata selain bintang-bintang bulat bergerigi berwarna perak. Namun di balik jubahnya tersimpan sebuah senjata bulat pipih berwarna perak yang seluruh sisinya bergerigi. Senjata itu berlubang pada bagian tengahnya. Memang, senjata Kakek Iblis Perak itu sangat ditakuti kalangan rimba persilatan.
"He he he.... Kau masih mengenalku, Pinanti?" serak suara Kakek Iblis Perak itu.
"Mengapa kau mencegatku di sini?" dengus Pinanti.
Tentu saja Pinanti ingat betul pada laki-laki tua serba perak ini. Mereka pernah satu kali bentrok. Saat itu Pinanti bersama ketiga teman dan gurunya, sehingga Kakek Iblis Perak tidak mampu menghadapinya. Laki-laki tua itu kabur sebelum menjadi lebih parah keadaannya dalam menghadapi lima wanita cantik yang berjuluk Anggrek Jingga. Dan kini dia muncul menghadang salah seorang dari Anggrek Jingga, Pinanti sudah bisa menduga apa maksudnya. Pasti dendam. Dan gadis itu sadar kalau dirinya mungkin sulit menghadapi Kakek Iblis Perak sendirian.
"He he he.... Sebenarnya aku ingin membunuhmu, Pinanti. Tapi ternyata ada yang lebih dari keinginanku," ujar Kakek Iblis Perak dengan suaranya yang serak dan kering.
"Apa keinginanmu, Iblis Perak?" dengus Pinanti.
"Aku lihat kau tadi keluar dari Padepokan Sangga Langit He he he...," Kakek Iblis Perak terkekeh seraya melangkah mendekati gadis itu.
Pinanti mengerutkan keningnya. Pikirannya menduga-duga, apa yang diinginkan Kakek Iblis Perak ini sebenarnya. Dia juga sedikit terkejut, karena laki-laki tua itu mengetahui kalau dirinya baru saja dari Padepokan Sangga Langit.
"Pinanti, aku tahu kalau gurumu ingin melenyapkan si tua Palandara. Dan itu merupakan keinginanku yang sudah lama terpendam. Si tua keparat itu memang harus mampus, agar semua perbuatan kita tidak ada lagi yang menghalangi. Dan kita bisa menguasai seluruh daerah di sekitar Gunung Waru ini, He he he...," ujar Kakek Iblis Perak diiringi tawanya yang terkekeh.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Iblis Perak."
"He he he.... Kau akan mengerti jika kau mempertemukan aku dengan gurumu, Pinanti."
"Huh,.. Tadi Eyang Palandara bermaksud mempengaruhiku, sekarang kau juga ingin membujukku" dengus Pinanti.
"Jangan salah duga, Pinanti. Aku tidak akan memperpanjang persoalan lama. Bahkan sudah lama kulupakan," kata Kakek Iblis Perak mencoba membuat gadis itu mengerti.
"Katakan saja terus terang, untuk apa kau ingin bertemu guruku?"
Belum juga Kakek Iblis Perak menjawab pertanyaan Pinanti, tiba-tiba terdengar derap langkah kaki kuda. Mereka sama-sama berpaling ke arah datangnya suara kuda itu. Dan tak berapa lama kemudian, muncul empat ekor kuda yang ditunggangi gadis-gadis cantik berpakaian aneka warna. Baik Kakek Iblis Perak maupun Pinanti mengenali, siapa empat wanita cantik yang menunggang kuda itu. Mereka adalah Kandita dan ketiga muridnya, yang kemudian langsung berlompatan turun begitu dekat.
"Orang tua iblis... Apa yang kau lakukan pada muridku?" bentak Kandita berang.
"Aku..., aku...," Kakek Iblis Perak jadi tergagap mendengar bentakan keras itu. Dan sebelum laki-laki tua itu sempat menjelaskan, Kandita sudah mengegoskan kepalanya memberi isyarat. Seketika itu juga Ranti dan Dewi berlompatan cepat sambil mencabut pedangnya. Kedua gadis itu langsung menyerang ganas si Kakek Iblis Perak.
"He, tunggu..." sentak Kakek Iblis Perak.
"Kali ini kau harus mampus, tua bangka keparat Hiyaaa..." teriak Dewi lantang.
"Yeaaah..."
"Hup"
Trang
Serangan-serangan yang dilancarkan kedua gadis itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali. Maka Kakek Iblis Perak tidak punya pilihan lain lagi Dikeluarkan senjata anehnya dari balik jubahnya yang panjang. Sebuah senjata seperti tameng berbentuk bulat pipih yang sisinya bergerigi tajam. Dia memegang pada bagian tengahnya yang berlubang dengan bagian pegangan melintang di tengah-tengah lingkaran lubang.
Dengan senjata maut di tangan, Kakek Iblis Perak memang sukar ditaklukkan. Beberapa kali kelebatan pedang Dewi maupun Ranti berhasil ditangkis. Dan setiap kali senjata mereka berbenturan, terlihat kemampuan tenaga dalam yang dimiliki kedua gadis itu masih berada di bawah si Kakek Iblis Perak.
"Mundur kalian... Hiyaaat.."
Melihat kedua muridnya kewalahan, Kandita langsung berteriak lantang seraya melompat menerjang menggantikan kedua gadis itu. Terjunnya Kandita membuat Kakek Iblis Perak jadi gelagapan. Dia tahu betul kalau kemampuannya masih di bawah wanita cantik ini.
"Kandita, tunggu. Akan kujelaskan..." seru Kakek Iblis Perak sambil berkelit menghindari pukulan si Anggrek Jingga itu.
"Tidak ada lagi penjelasan bagimu, tua bangka keparat Hiyaaa" Kandita rupanya tidak mau kompromi lagi. Kandita terus menyerang dengan jurus-jurus dahsyat dan cepat luar biasa. Hal ini membuat Kakek Iblis Perak jadi kelabakan setengah mati, dan sekuat tenaga berusaha menghindar. Dicobanya untuk menggunakan senjatanya. Tapi setiap kali menggunakan senjata berbentuk aneh itu, Kandita langsung cepat dapat meredamnya.
Hal ini membuat Kakek Iblis Perak semakin kelabakan. Kakek Iblis Perak mengakui dalam hati kalau Kandita mengalami kemajuan yang pesat sekali. Jurus-jurusnya semakin mantap dan dahsyat. Belum lagi angin sambaran pukulannya sangat luar biasa. Jika lawan yang dihadapi hanya memiliki ilmu tenaga dalam tanggung, dapat dipastikan tidak akan mampu bertahan walau hanya terkena sambaran angin pukulannya saja.
Laki-laki tua itu saja selalu limbung manakala berhasil menghindari pukulan Kandita. Disadari kalau tenaga dalamnya masih satu tingkat di bawah si Anggrek Jingga ini. Kakek Iblis Perak memutar otaknya agar bisa lolos dari pertarungan ini. Dia yakin, Kandita tidak akan mungkin diajak kompromi lagi.
"Hiyaaa..."
Kakek Iblis Perak langsung melesat ke atas ketika kaki Kandita melayangkan satu sampokan melingkar ke arah kaki. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Kakek Iblis Perak. Cepat dia melesat hendak kabur. Namun sungguh sukar diduga Belum juga niatnya berhasil, Kandita sudah cepat mengecutkan tangan kanannya.
Wut
"Ikh..." Kakek Iblis Perak tersentak kaget. Cepat dikibaskan senjatanya ketika sekuntum bunga anggrek jingga meluruk deras ke arahnya. Dua senjata seketika beradu keras, menimbulkan percika api ke segala arah. Kakek Iblis Perak yang berada di udara, jadi kehilangan keseimbangan. Dia terpental jatuh dan bergulingan di tanah.
"Yeaaah..."
Secepat kilat Kandita melompat sambil mencabut pedangnya. Pedang berwarna putih keperakan itu berkelebat cepat mengarah ke leher si Kakek Iblis Perak
"Jangan..." tiba-tiba Pinanti berteriak lantang. Seketika ayunan pedang si Anggrek Jingga terhenti di udara. Wanita berbaju merah itu melompat mundur, dan langsung menatap Pinanti yang bergegas menghampiri si Kakek Iblis Perak.
Gadis itu membantu Kakek Iblis Perak berdiri. Tampak darah menetes ke luar dari sudut bibirnya. Beradunya senjata tadi memang sungguh dahsyat, karena masing-masing mempergunakan kekuatan tenaga dalam. Sehingga, kekuatan tenaga dalam Kakek Iblis Perak yang satu tingkat di bawah si Anggrek Jingga, menjadikan bagian dalam tubuhnya sedikit terguncang.
"Pinanti, apa-apaan kau ini...?" bentak Kandita gusar.
"Nini Guru, mohon sarungkan kembali pedangnya," pinta Pinanti.
"Pinanti...?"
"Aku mohon, Nini Guru. Semua ini hanya salah paham saja. Sungguh, hanya salah paham...," Pinanti mencoba meminta pengertian gurunya.
Kandita memandangi Pinanti dalam-dalam. Sungguh tidak dimengerti sikap murid yang termuda ini, tapi disarungkan juga pedangnya ke dalam warangkanya di pinggang. Sedangkan ketiga gadis lainnya yang berada di belakang Kandita juga menyarungkan pedangnya.
"Jelaskan, Pinanti. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main," pinta Kandita tegas.
"Baik, Nini Guru...."


--««¦ [ ENAM ] ¦»»--

Kandita menatap dalam-dalam Kakek Iblis Perak. Sinar matanya begitu tajam, seakan-akan tidak percaya meskipun Pinanti sudah menjelaskan semuanya dengan gamblang. Bahkan Kakek Iblis Perak sendiri membenarkan dan mengutarakan niatnya untuk bergabung menghancurkan Padepokan Sangga Langit.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Iblis Perak...?" desis Kandita bernada tidak percaya.
"Leherku jaminannya, Kandita," sahut Kakek Iblis Perak tegas.
"Setelah semua ini selesai, di antara kita tidak ada lagi perselisihan. Bahkan akan saling bantu dalam segala hal."
"Hm.... Kenapa kau berubah begitu cepat Iblis Perak?" ada nada kecurigaan pada suara Kandita.
"Setiap orang bisa berubah dengan sendirinya, Kandita. Dan kusadari kalau sebenarnya tujuan kita sama. Tidak ada ruginya jika bergabung demi tercapai apa yang kita inginkan. Bukan begitu, Pinanti?" Kakek Iblis Perak meminta pendapat Pinanti.
Pinanti tidak menjawab, dan hanya mengangkat bahunya saja.
"Baiklah, aku terima. Tapi jika kau berani berbuat macam-macam, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu. Ingat itu, Iblis Perak" tajam sekali nada suara Kandita.
"He he he.... Kau tidak perlu meragukan aku, Kandita."
Kandita menyuruh keempat muridnya naik ke punggung kuda. Sementara Pinanti jadi kebingungan, karena tidak lagi memiliki kuda.
"Kau denganku, Pinanti," kata Ranti.
Pinanti langsung melompat naik ke belakang Ranti. Sedangkan tinggal Kakek Iblis Perak yang kebingungan, karena tidak mungkin mengikuti keempat wanita itu hanya dengan jalan kaki. Dan rupanya kebingungan Kakek Iblis Perak diketahui Kandita.
"Kau bisa menyusul kami, Iblis Perak. Datanglah ke Candi Laksa. Di sanalah kami tinggal untuk sementara," kata Kandita.
"Candi Laksa...?" Kakek Iblis Perak terlongong.
"Kenapa?"
"Bukankah Candi Laksa tempat tinggal Eyang Binarong?"
"Tidak lagi, Iblis Perak. Sudah beberapa hari ini dia berada di neraka," tenang sekali jawaban Kandita.
"Ah, kau...?" Kakek Iblis Perak semakin terbeliak.
Kandita tertawa renyah. Dihentakkan tali kekang kudanya, maka murid-muridnya pun mengikutinya. Tinggal Kakek Iblis Perak masih terlongong. Mulutnya ternganga lebar dan matanya mendelik tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Sementara si Anggrek Jingga bersama murid-muridnya sudah jauh meninggalkan tempat itu.
"Ah, benarkah Eyang Binarong dapat dikalahkannya...?" Kakek Iblis Perak bertanya-tanya sendiri. Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, karena masih belum yakin kalau si Anggrek Jingga bisa mengalahkan Eyang Binarong. Bahkan sekarang menguasai Candi Laksa, sebuah tempat yang dikeramatkan dan disucikan oleh semua orang yang tinggal di sekitar Gunung Waru ini.
Candi Laksa merupakan tempat pemujaan bagi dewata. Tempat suci yang tidak sembarang orang bisa menginjakkan kaki di dalamnya. Tapi sekarang, Kandita yang dikenal berjuluk si Anggrek Jingga sudah menguasainya. Kakek Iblis Perak sukar untuk mempercayainya, karena tahu betul kalau Eyang Binarong memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Bahkan sukar dicari tandingannya, sehingga Eyang Palandara sendiri belum tentu bisa menaklukkannya.
"Aku harus membuktikannya" dengus Kakek Iblis Perak jadi penasaran.
"Bagaimana mungkin dia bisa menaklukkan Eyang Binarong secepat ini..? Sungguh mengagumkan kalau sampai hal itu menjadi kenyataan. Seluruh rimba persilatan pasti akan gempar"
Kakek Iblis Perak bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuh laki-laki tua itu sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
Saat itu terlihat sepasang mata mengawasi dari balik gerumbul semak. Pemilik mata itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dipandanginya arah kepergian si Kakek Iblis Perak sebentar, kemudian langsung berlari ke arah yang berlawanan. Tujuannya jelas, ke Padepokan Sangga Langit.

* * * * *



Brak
"Mustahil..." desis Eyang Palandara menggeram. Meja kayu jati tebal di sampingnya terbelah jadi dua terhantam kepalan tangan laki-laki tua itu. Wajahnya terlihat memerah pertanda sedang menahan kemarahan yang amat sangat. Namun sinar matanya memancarkan ketidakpercayaan dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Apa kau tidak salah dengar, Odang?" agak dalam nada suara Eyang Palandara. Tatapannya lurus pada seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh satu tahun.
"Tidak, Eyang. Aku mendengar sendiri," sahut pemuda yang dipanggil Odang itu.
Eyang Palandara terdiam.
"Si Anggrek Jingga mengatakan kalau Candi Laksa sekarang sudah dikuasainya. Bahkan telah membunuh Eyang Binarong. Jelas sekali aku mendengarnya, Eyang. Aku bersembunyi di dalam semak, tidak jauh jaraknya," sambung Odang.
"Mustahil Eyang Binarong dapat ditaklukkan perempuan iblis itu," desis Eyang Palandara tidak percaya.
"Eyang, sebaiknya kita periksa saja dulu kebenarannya," usul Odang.
"Baiklah. Kau bawa beberapa temanmu, dan pergi ke Candi Laksa. Segera kabarkan apa saja yang kau ketahui di sana padaku," perintah Eyang Palandara.
"Segera, Eyang." Odang bergegas meninggalkan ruangan itu.
Sementara Eyang Palandara berjalan mondar-mandir, dan wajahnya tampak muram. Memang, masih belum bisa dipercayai kalau Eyang Binarong bisa dikalahkan si Anggrek Jingga. Semua orang tahu, siapa Eyang Binarong itu. Seorang pertapa yang sangat sakti seperti dewa. Sukar diukur tingkat kepandaiannya. Pendeknya, Eyang Binarong bagaikan manusia setengah dewa. Saat itu seorang murid Padepokan Sangga Langit ini masuk. Eyang Palandara berbalik. Murid yang berusia muda itu membungkuk memberi hormat.
"Ada apa?" tanya Eyang Palandara.
"Ki Dampil ingin bertemu, Eyang," ujar pemuda itu penuh rasa hormat.
"Persilakan masuk."
"Segera, Eyang."
Pemuda itu bergegas keluar, dan tak lama kemudian datang lagi bersama seorang laki-laki tua. Seorang Pemuka Desa Coket yang sudah dikenal baik oleh semua murid Padepokan Sangga Langit ini. Eyang Palandara menggerakkan tangannya sedikit, maka pemuda itu menjura memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu. Eyang Palandara mempersilakan tamunya duduk. Ki Dampil mengambil tempat, duduk lantai beralaskan permadani tebal. Eyang Palandara duduk bersila di depannya.
Ruangan ini memang tidak memiliki perlengkapan meja atau kursi. Bahkan seluruh ruangan di dalam bangunan besar padepokan ini tidak memiliki perabotan. Hanya beberapa lemari yang menyimpan peralatan serta pakaian saja yang terlihat.
"Tampaknya ada sesuatu yang penting, sehingga jauh-jauh datang ke sini, Ki Dampil," ujar Eyang Palandara ramah.
"Benar, Eyang. Aku ingin menanyakan apakah ada seorang pemuda berbaju kulit harimau datang ke sini?" Ki Dampil langsung menuju pokok pembicaraan.
"Pemuda berbaju kulit harimau...?" Eyang Palandara mengerutkan keningnya.
"Benar, Eyang. Namanya Bayu."
"Tidak...," sahut Eyang Palandara heran.
"Tidak...? Padahal sudah tiga hari dia pergi. Dan katanya, hendak ke sini menemuimu, Eyang."
"Tunggu dulu, Ki. Siapa pemuda yang kau maksudkan? Rasanya namanya pernah kudengar...."
"Bayu, Dia seorang pengembara, Eyang. Dan telah menyelamatkannya...."
"Sebentar" potong Eyang Palandara cepat.
"Kau tadi bilang pemuda itu mengenakan baju kulit harimau...?"
"Benar, Eyang. Ada apa...?" sekarang malah terbalik, Ki Dampil yang keheranan.
"Apakah tangannya memakai gelang dari kulit harimau juga, dan di pergelangan tangannya ada sebuah benda berbentuk cakra?"
"Tidak salah, Eyang."
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Eyang Palandara.
"Eyang mengenalnya? Kalau begitu dia sudah sampai di sini?" kejar Ki Dampil.
"Tidak. Dia tidak ke sini. Tapi aku memang pernah mendengar namanya. Seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini. Tingkat kepandaiannya sukar diukur. Hm.... Kau bilang dia akan ke sini? Untuk apa...?"
"Aku yang memintanya ke sini, Eyang. Untuk mengetahui apakah Ki Sampar datang ke sini atau tidak," sahut Ki Dampil.
"Heh...? Kau datang membawa berita apa lagi ini..?" sentak Eyang Palandara terkejut.
Saat itu Ki Dampil jadi tertegun. Sungguh tidak disangka kalau Eyang Palandara begitu terkejut. Padahal belum begitu jelas mengutarakan maksudnya. Tapi nurani laki-laki tua itu sudah bisa merasakan, berita apa yang dibawa Ki Dampil.
"Eyang, sudah lebih dari satu pekan Ki Sampar pergi meninggalkan Desa Coket. Sudah setiap tempat yang biasa dikunjungi didatangi, tapi tidak juga ditemukan," jelas Ki Dampil.
"Kebetulan ada Bayu, yang bersedia mencari ke sini. Tapi setelah beberapa hari ditunggu-tunggu, pemuda itu tidak juga kembali. Itu sebabnya kususul sampai ke sini, sambil mencari barangkali bertemu Ki Sampar."
"Hhh... Apa lagi yang diperbuat Ki Sampar. .?" keluh Eyang Palandara.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti, Eyang. Sudah semua tempat dijelajahi, tapi Ki Sampar seperti lenyap ditelan bumi"
"Dan sekarang kau juga kehilangan pemuda itu?"
"Benar, Eyang. Padahal dia sangat kuharapkan, dan sudah berjanji hendak membantu seluruh warga desa untuk menyelesaikan kemelut ini Eyang, sebagian warga desa sudah pindah mencari tempat yang aman, karena selama ini tersebar desas-desus kalau si Anggrek Jingga akan membumihanguskan Desa Coket"
"Itu berita bohong, Ki Dampil. Dia sengaja memancing agar aku keluar" sentak Eyang Palandara.
"Oh..." Ki Dampil mengeluh memandangi Ketua Padepokan Sangga Langit itu dalam-dalam.
"Ah,.. Ini persoalan lama, Ki Dampil. Dan bukannya aku tidak berani menghadapi perempuan iblis itu. Tapi yang kupikirkan adalah nasib dan kelangsungan Padepokan Sangga Langit ini. Meskipun...,"
Eyang Palandara tidak melanjutkan. Digeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya tampak murung seperti terselimut kabut. Ki Dampil memandangi dalam-dalam. Sulit dimengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Sejak Santika didapati telah tewas, kemudian menghilangnya Ki Sampar, dan sekarang disusul tersebarnya desas-desus kalau si Anggrek Jingga hendak membumihanguskan seluruh Desa Coket, semua kejadian itu belum bisa dipikirkan dan dimengerti.
Terlalu pelik bagi otak tuanya untuk bisa cepat memahami. Sekarang Ki Dampil dihadapkan pada satu teka-teki lagi. Sungguh tidak diketahui kalau Eyang Palandara sebenarnya sudah mengetahui tentang si Anggrek Jingga itu. Dan sama sekali tidak disangka, kalau kemunculan si Anggrek Jingga ada hubungannya dengan Padepokan Sangga Langit, terutama Eyang Palandara sendiri.
"Ki Dampil, apakah kau sudah mencari ke Candi Laksa?" tanya Eyang Palandara setelah beberapa saat terdiam.
"Belum," sahut Ki Dampil.
"Tapi..., rasanya tidak mungkin Ki Sampar datang ke sana. Sudah dua tahun ini candi itu tidak pernah dikunjungi lagi, Eyang."
"Aku yakin, dia pasti menemui Eyang Binarong. Dan...."
Eyang Palandara tersentak, dan baru teringat kalau baru saja menerima laporan kalau Candi Laksa kini dikuasai si Anggrek Jingga. Kalau memang hal itu benar, sudah tentu Ki Sampar berada di tangan mereka. Eyang Palandara yakin betul kalau Ki Sampar pasti pergi ke Candi Laksa jika sedang menghadapi sesuatu yang tidak bisa diatasinya sendiri. Antara Eyang Binarong dengan Ki Sampar terjalin hubungan sangat erat. Memang, Ki Sampar adalah murid pertapa sakti itu.
Eyang Palandara sungguh tidak menyangka. Dan kini pikirannya baru bisa terbuka. Dia tahu mengapa Anggrek Jingga membunuh Santika. Jelas ini karena Santika adalah putra Ki Sampar. Dan pemuda itu berguru kepada Eyang Palandara di Padepokan Sangga Langit. Sementara Ki Sampar sendiri murid Ki Binarong. Sedangkan antara Eyang Palandara dengan Eyang Binarong adalah kakak adik. Dan si Anggrek Jingga adalah musuh besar Padepokan Sangga Langit. Jadi tidak mustahil kalau....
"Oh, tidak..." sentak Eyang Palandara seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eyang, ada apa?" Ki Dampil terkejut.
Eyang Palandara tidak menyahut tapi malah segera berdiri dan melangkah cepat keluar dari ruangan ini. Ki Dampil jadi kebingungan. Bergegas diikuti dan dikejarnya Ketua Padepokan Sangga Langit itu.
"Eyang, tunggu! Ada apa ini...?" seru Ki Dampil. Tapi Eyang Palandara terus berjalan cepat ke luar.

* * * * *



Sementara itu, Odang dan empat orang temannya sudah sampai di pelataran Candi Laksa. Mereka terkejut begitu melihat Ki Sampar duduk bersimpuh di depan pintu candi itu. Pakaiannya kotor tak terurus, seperti sudah beberapa hari duduk di situ. Bergegas Odang menghampiri. Namun belum juga mendekat mendadak saja dari atas bangunan candi itu bertebaran bunga-bunga anggrek berwarna Jingga.
"Awas..." seru Odang sambil mencabut pedangnya.
Tring
Trang
Empat orang yang berada di belakang Odang juga segera cepat bertindak. Mereka memutar pedang bagaikan kilat sambil berlompatan menghindari serbuan anggrek-anggrek Jingga yang bertebaran di sekitarnya bagai hujan.
"Akh"
"Aaa..."
Dua kali pekikan melengking terdengar, disusul ambruknya dua orang teman Odang. Tubuh mereka tertembus beberapa kuntum bunga anggrek Jingga. Odang dan dua orang teman lainnya tidak bisa lagi memperhatikan. Mereka segera berlompatan mundur sambil cepat mengibaskan pedang. Namun belum juga mereka keluar dari jangkauan anggrek-anggrek Jingga itu, mendadak saja....
"Aaa..."
Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak satu orang terjungkal roboh dengan dada tertembus tiga kuntum bunga anggrek. Darah menyemburat keluar dari dada yang berlubang tiga. Odang langsung melentingkan tubuhnya dan berputaran ke belakang beberapa kali di udara. Sementara temannya yang tinggal seorang lagi bergerak menyusul. Mereka keluar dari jangkauan serangan anggrek Jingga itu. Seketika hujan anggrek berhenti.
"Keparat.." desis Odang menggeram.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang?" tanya temannya.
"Tidak ada," sahut Odang. Kedua pemuda murid Padepokan Sangga Langit Itu memandang ke arah Candi Laksa yang tetap berdiri anggun pada tempatnya. Sedangkan di depan pintu candi itu Ki Sampar masih tetap duduk bersila. Sedikit pun Kepala Desa Coket itu tidak bergeming. Seolah-olah telinganya sudah tertutup, meskipun tadi beberapa kali terdengar teriakan-teriakan keras membahana di belakangnya.
"Mereka benar-benar sudah menguasai Candi Laksa ini," dengus Odang.
"Kakang, sebaiknya kita kembali saja. Laporkan semua ini pada Eyang Guru," usul temannya.
"Benar. Kau saja yang kembali Aku menunggu di sini," sahut Odang.
"Tapi, Kakang...."
"Tidak ada waktu untuk berdebat. Cepatlah, sebelum mereka membunuh kita semua di sini" bentak Odang.
"Baik, Kakang."
Bergegas pemuda murid Padepokan Sangga Langit itu melompat naik ke punggung kudanya, dan secepat itu pula digebah kudanya . Kuda coklat itu berpacu cepat meninggalkan pelataran Candi Laksa. Sementara Odang berdiri tegak memandangi sekitarnya. Pandangannya langsung terpaku ketika dari dalam candi melesat sebuah bayangan biru. Dan saat itu juga di depan Odang sudah berdiri seorang gadis cantik mengenakan baju biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan menggairahkan.
Namun Odang tidak sempat berpikir untuk merayapi tubuh dan wajah menggairahkan itu, karena telah tahu siapa gadis di depannya ini. Dia itu salah seorang dari si Anggrek Jingga yang telah menghebohkan dan menimbulkan banyak korban nyawa. Gadis berbaju biru itu memang Ranti, murid tertua si Anggrek Jingga.
"Kenapa kau tidak pergi saja sekalian? Di sini bukan tempatmu lagi" terdengar dingin nada suara Ranti.
"Kau yang seharusnya pergi, perempuan iblis" bentak Odang sengit.
"Hhh Kau tampan, tapi bicaramu sungguh menyakitkan. Apa yang kau andalkan, heh?" geram Ranti memerah mukanya.
"Ini" Odang menghunus pedangnya ke depan, langsung ditujukan ke wajah Ranti.
Gadis berbaju biru itu tertawa renyah, memperlihatkan baris-baris giginya yang rapi dan indah. Odang sempat menelan ludahnya mendengar tawa merdu dan menggairahkan itu. Terlebih lagi pada saat tertawa, Ranti kelihatan semakin cantik. Dada yang membusung indah itu terguncang-guncang, membuat mata Odang sempat terpatri pada dua tonjolan indah berkulit putih mulus itu.
"Setan..." Odang menggeram. Pemuda itu mencoba melawan daya tarik yang dimiliki gadis di depannya. Disadari kalau gadis berbaju biru itu tidak patut dikagumi, meskipun kecantikannya bagai bidadari yang baru turun dari kahyangan. Odang menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendesis. Tiba-tiba dia berteriak keras melengking, langsung berlari sambil menghunus ujung pedangnya ke arah dada Ranti.
"Hiyaaat.."
"Uts" Ranti cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka pedang Odang lewat sedikit di depan dada gadis itu. Secepat kilat Ranti memberi satu sodokan tangan kiri ke arah perut. Namun Odang lebih tangkas lagi. Cepat-cepat ditarik tubuhnya ke belakang, dan pedangnya dikibaskan cepat.
"Setan" dengus Ranti. Cepat gadis itu menarik tubuhnya ke belakang hingga doyong, maka pedang itu lewat di atas tubuhnya. Pada saat itu, Odang melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi. Tendangan yang datang secara tiba-tiba dan tidak terduga itu tak dapat dihindari lagi Terlebih-lebih, posisi tubuh Ranti memang tidak memungkinkan untuk menghindar.
Dughk
"Ugh..." Ranti mengeluh pendek. Seketika tubuh gadis itu limbung, terhuyung-huyung ke belakang. Cepat-cepat digerak-gerakkan tangannya, mencoba mengusir rasa mual akibat tendangan Odang yang bersarang di perutnya. Pada saat itu Odang sudah melompat memberi serangan lagi. Pedangnya berkelebatan cepat sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaa..."
"Hup Hiyaaa..."
Cepat Ranti menggeser kakinya ke samping. Dan sebelum ujung pedang Odang berhasil mengenai sasaran, Ranti sudah lebih dahulu bertindak. Dikibaskan tangannya ke arah pergelangan tangan kanan pemuda itu.
"Akh..." Odang memekik tertahan. Pukulan Ranti begitu keras, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Odang meringis, merasakan pergelangan tangannya patah. Pedangnya tidak mampu dipertahankan lagi, dan jatuh ke tanah. Sebelum murid Padepokan Sangga Langit itu bisa menyadari apa yang terjadi, Ranti sudah memberi satu tendangan menggeledek ke arah dada.
"Hiyaaa..."
Des
"Aaakh..."
Tubuh pemuda itu melambung tinggi ke angkasa begitu dadanya terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Pada waktu berada di angkasa, Ranti mengibaskan tangannya dua kali. Seketika dua kuntum bunga anggrek berwarna Jingga meluncur deras, langsung menghantam dada Odang. Kembali terdengar jeritan melengking tinggi.
"Aaakh..."
"Ha ha ha..."


--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--

Sementara itu, di dalam salah satu ruangan Candi Laksa, Bayu masih terbaring tak berdaya. Pendekar Pulau Neraka sudah mengerahkan daya upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan pada pusat jalan darahnya. Tapi rupanya totokan itu begitu kuat, karena dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga dalam pada tingkat kesempurnaan.
Bayu tidak mengira kalau Kandita memiliki tenaga dalam yang sedemikian tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan mukanya ketika mendengar gerit pintu terbuka. Muncul seorang gadis berbaju putih dari balik pintu itu, yang kemudian melangkah masuk. Dan dengan hati-hati, ditutupnya pintu kembali. Bayu memperhatikan gadis itu hingga sampai mendekat.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu ketus.
"Ssst.., jangan berisik," bisik gadis itu.
"Hm.... Kau yang bernama Pinanti, bukan?"
"Iya. Aku datang untuk menolongmu," sahut Pinanti masih berbisik.
"Menolongku...?" Bayu mengerutkan keningnya, bingung.
"Sudah kubilang, jangan berisik. Nanti ada yang tahu."
"Kenapa kau ingin menolongku?" tanya Bayu berbisik suaranya.
"Karena aku tahu, kau perlu ditolong," jawab Pinanti enteng.
"Pasti ada alasan khusus, bukan?" desak Bayu lagi.
"Sudahlah diam, ingin bebas atau tidak?" dengui Pinanti.
"Baik Cepat bebaskan totokan di tubuhku."
"Di mana kau ditotok?" tanya Pinanti.
"Di sekitar dada, tiga kali banyaknya. Juga di pangkal lengan dan paha. Tapi kau harus hati-hati, terutama di tengah dada. Bisa-bisa kau menghentikan jantungku," jelas Bayu seraya memperingatkan.
"Persoalan mudah," Pinanti tersenyum. Cepat sekali jari-jari tangan gadis itu bergerak memberi totokan pada tempat-tempat yang disebutkan Pendekar Pulau Neraka tadi.
Bayu agak terpekik sedikit, tapi seketika dirasakan sekujur tubuhnya menegang, lalu pelahan aliran darahnya terasa kembali normal. Bayu cepat menggelinjang bangkit berdiri begitu bisa menggerakkan jari-jari tangannya. Namun Pinanti cepat mencekal tangan pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu menariknya kembali ke pembaringan. Bayu tersentak kaget, dan kehilangan keseimbangan tubuh. Pemuda itu jatuh kembali ke atas pembaringan.
"He... Ap...?"
Cepat Pinanti membekap mulut Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu jadi tidak mengerti akan sikap gadis ini. Pinanti merapatkan tubuhnya ke tubuh Bayu, seakan-akan hendak mencumbu Pendekar Pulau Neraka. Bayu jadi menggelinjang, namun Pinanti cepat cepat memeluk erat tubuhnya.
"Ssst.., diam. Ada yang datang. Kau harus pura pura masih tertotok," bisik Pinanti dekat di telinga Bayu. Sebelum Bayu bisa membuka suara, Pinanti sudah menyumpal mulut pemuda itu dengan bibirnya. Pada saat itu terdengar suara pintu bergerit terbuka, dan muncul Kandita
"Pinanti. Apa yang kau lakukan...?" bentak Kandita terkejut melihat Pinanti memeluk Bayu dan melumat bibir pemuda itu.
"Oh..." Pinanti tersentak, langsung melompat bangkit dari pembaringan. Sedangkan Bayu tetap terbaring, dan hanya berpaling menatap Kandita yang menghampiri Pinanti. Tampak gadis itu berlutut dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau lakukan, Pinanti?" tanya Kandita tajam.
"Aku.... Aku...," jawab Pinanti tergagap.
"O... Kau tertarik pada ketampanannya, ya...?" terdengar sinis nada suara Kandita.
"Maaf, Nini Guru," ucap Pinanti.
"Dengar, Pinanti. Selama urusan kita belum selesai, kau tidak berhak atasnya. Kau tahu, dia itu milikku Mengerti?"
"Mengerti, Nini Guru," sahut Pinanti.
"Aku memberimu tugas untuk menjaganya, bukan mencumbunya"
"Iya, Nini Guru."
"Jalankan tugasmu. Aku tidak suka lagi melihatmu mencumbunya"
"Baik, Nini Guru." Kandita menatap Bayu yang masih terbaring di pembaringan. Sementara Bayu membalas tajam tatapan itu. Sebenarnya Pendekar Pulau Neraka ingin menerjang wanita berhati iblis itu. Tapi mengingat Pinanti masih ada di ruangan ini, niatnya harus ditahan.
"Dan kau, jangan coba-coba memanfaatkan kesempatan ini" ancam Kandita.
Bayu hanya diam saja. Kandita membalikkan tubuh dan melangkah ke luar. Bayu menggelinjang bangkit, duduk di tepi pembaringan. Sedangkan Pinanti bergegas menghampiri pintu. Dibukanya sedikit, lalu diintip keluar dan ditutup lagi. Dia berbalik memandang Bayu yang duduk di tepi pembaringan. Pendekar Pulau Neraka itu juga memandangi gadis yang sedang melangkah menghampirinya. Sesaat mereka saling melempar pandang. Pelahan Pinanti menundukkan kepalanya. Bayu bangkit berdiri dan mengangkat kepala gadis itu.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Pinanti?" tanya Bayu "Kau bisa celaka nanti."
"Aku harus melakukannya. Aku tahu, hanya kaulah yang mampu mengalahkannya," sahut Pinanti lirih.
"Kau muridnya, kenapa ingin melenyapkan gurumu sendiri?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Kau tidak mengerti, Bayu. Terlalu sulit untuk menjelaskannya. Ini kulakukan karena terpaksa. Aku ingin dia lenyap selama-lamanya, tapi aku tidak punya daya sama sekali. Juga...," Pinanti menghentikan ucapannya.
"Teruskan, Pinanti," pinta Bayu.
"Kau harus cepat keluar dari sini, Bayu. Dia akan membunuhmu kelak," jelas Pinanti cepat.
"Kau belum menjelaskan semuanya, Pinanti," desak Bayu.
"Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah keluar. Sebentar lagi Candi Laksa ini akan digenangi darah. Kau harus membantu mereka menghadapi si Anggrek Jingga. Aku tidak ingin tempat suci ini banjir darah. Cepatlah keluar, cegah pertumpahan darah itu," Pinanti memohon penuh harap.
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, Pinanti," ujar Bayu.
"Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah. Tidak lama lagi pasti ada yang menggantikanku. Aku yakin itu. Cepat pergi...." Bayu jadi ragu-ragu.
"Bagaimana denganmu sendiri?"
"Kau bisa menotok jalan darah, bukan?"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Pinanti."
"Lakukan, Bayu."
"Pinanti...."
"Lakukan, kataku. Apa tidak kau dengar ada langkah kaki menghampiri? Cepat Atau kita berdua akan mati di sini..." desak Pinanti.
Bayu benar-benar tidak bisa memahami maksud gadis ini. Tapi telinganya memang mendengar langkah kaki halus mendekati ruangan ini. Cepat Bayu menggerakkan jari-jari tangannya ke tubuh Pinanti, dan seketika itu juga Pinanti roboh lunglai ke lantai. Secepat kilat Bayu melompat mendekati jendela batu yang berjeruji kayu.
"Hih! Hyaaah..."
Bayu melompat cepat menerobos jendela berjeruji kayu itu. Tubuhnya melesat keluar memporakporandakan jeruji kayu jendela itu. Pada saat yang sama, pintu ruangan terbuka. Muncul seorang gadis mengenakan baju biru.
"Oh, tidak... Pinanti..." jerit gadis itu terkejut. Gadis berbaju biru yang ternyata memang Ranti, langsung memburu menghampiri Pinanti yang terkulai di lantai. Matanya juga langsung terpaku ke jendela yang jebol berantakan.
"Keparat..." Ranti mendesis geram. Gadis itu berteriak memanggil guru dan teman-temannya. Sebentar kemudian di ruangan itu sudah bermunculan wanita-wanita cantik Mereka terkejut melihat Pinanti tergeletak di lantai. Dan lebih terkejut lagi, manakala mengetahui tawanan mereka sudah kabur dengan menjebol jendela.
"Setan..." geram Kandita memerah wajahnya.
"Kejar... Bunuh keparat itu"
"Baik, Nini Guru."
Tiga gadis segera berhamburan ke luar ruangan. Sementara Kandita menghampiri Pinanti yang terkulai lemas tak berdaya di lantai. Sebentar diamati tubuh gadis berbaju putih itu, kemudian diperiksanya. Dia mendesis, gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang amat sangat
"Hih..." Kandita menggerak-gerakkan jari tangannya ke beberapa bagian tubuh Pinanti. Pelahan gadis berbaju putih itu mulai mengeluh lirih seraya membuka mata nya. Pinanti menggerinjang bangkit begitu melihat gurunya, dan langsung berlutut.
"Guru.... Ampun,, Guru. Aku bersalah, hukumlah aku...," rintih Pinanti lirih.
"Bangun, Pinanti" desis Kandita.
Pelahan Pinanti bangkit berdiri. Kepalanya masih tetap tertunduk. Sedangkan Kandita mengamati sekujur tubuh gadis berbaju putih itu.
"Kenapa kau lakukan ini, Pinanti?" desis Kandita tajam, begitu datar nada suaranya.
"Melakukan apa, Nini Guru?" Pinanti pura-pura tidak mengerti, namun suaranya jelas terdengar.
"Kau yang membebaskan Bayu, bukan? Lalu kalian bersandiwara. Kau biarkan jalan darahmu ditotok. Benar begitu, Pinanti?" Kandita langsung mendesak.
Pinanti jadi tergagap, tidak bisa lagi menjawab.
"Kenapa kau lakukan itu, Pinanti? Kenapa kau khianati aku?" bentak Kandita gusar.
Sementara Pinanti semakin gemetar. Wajah Kandita yang memerah sudah menandakan kalau dirinya begitu marah. Pinanti tidak mengerti, kenapa gurunya ini bisa cepat mengetahui. Padahal sandiwara yang dilakukannya begitu sempurna.
"Tidak ada yang bisa bebas dari totokanku, meskipun hawa murni dan tenaga dalamnya sudah sempurna. Dan kau telah sengaja membebaskannya, Pinanti. Kenapa kau lakukan itu padaku, Pinanti? Kenapa...?" setengah menjerit suara Kandita.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Pinanti jadi punya keberanian. Diangkat kepalanya untuk menentang tatapan si Anggrek Jingga. Dia melangkah ke belakang tiga tindak.
"Karena kau musuh ayahku" desis Pinanti.
"Heh...? Apa yang kau katakan...?" Kandita terkejut.
"Kau tidak mungkin lagi mengelabuiku, Kandita. Aku sudah tahu semuanya. Kau sengaja menculikku, mencuci otakku dengan ramuan-ramuanmu. Kau buat aku jadi tidak mengenal lagi diriku, dan dari mana asalku. Tapi sekarang, aku sudah tahu. Aku adalah anak Eyang Palandara, laki-laki yang hendak kau bunuh. Kau memanfaatkan aku untuk membunuh ayahku. Kau kejam, Kandita. Kau iblis..."
"Tutup mulutmu, Pinanti" bentak Kandita geram.
"Kau tidak bisa lagi mengelabuiku, Kandita. Kau harus membunuhku terlebih dahulu, sebelum membunuh ayahku"
"Kurang ajar. Siapa yang berkata begitu padamu, heh?" geram Kandita.
"Aku...."
"Heh...?" Bukan main terkejutnya Kandita begitu tiba-tiba di ambang pintu sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah kumal. Tubuhnya kurus kering bagai tulang terbungkus kulit. Seluruh rambutnya sudah memutih. Bahkan kumis dan jenggot yang menyatu panjang juga sudah berwarna putih.
"Kau..., Binarong..." Kandita terbeliak begitu melihat laki-laki tua itu.
"Benar. Aku Binarong. Kau terkejut Kandita?" lembut sekali suara Eyang Binarong.
"Tidak. Kau sudah mati..." sentak Kandita.
"Aku mengakui kecerdikanmu, Kandita. Tapi sayang, racun yang kau campurkan pada minumanku belum cukup untuk membunuhku. Kau memang ahli dalam segala jenis racun maupun ramuan. Tapi seharusnya kau gunakan semua keahlianmu untuk menolong, bukan untuk mencelakakan orang lain."
"Aku tidak butuh nasihatmu" sentak Kandita sengit.
"Hatimu sudah tertutup bisikan iblis, Kandita. Tapi aku yakin, kau masih bisa menyadari dan memperbaiki kesalahanmu," lembut sekali suara Eyang Binarong.
"Tua bangka keparat. Kubunuh kau. Hiyat.." Kandita jadi geram bukan main, dan tidak bisa lagi menahan amarahnya. Cepat sekali si Anggrek Jingga itu melompat menerjang Eyang Binarong.
Laki laki tua itu memiringkan tubuhnya sedikit, maka pukulan Kandita yang keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu luput dari sasaran. Kepalan tangan yang halus itu menghantam dinding batu Candi Laksa ini hingga bergetar hebat. Beberapa batu mulai berguguran, dan pukulan Kandita membuat dinding batu candi ini jebol berantakan. Sementara Eyang Binarong menyambar tangan Pinanti yang berdiri terpaku, dan secepat kilat melesat sambil membawa gadis itu.
"Jangan lari kau, keparat.." geram Kandita berteriak lantang.
Tapi Eyang Binarong sudah lebih cepat melesat ke luar. Sementara ruangan itu terus bergetar, dan batu-batuan mulai berjatuhan. Kandita segera melesat keluar dari ruangan itu. Seketika batu-batu atap ruangan ini berhamburan jatuh menimbulkan suara bergemuruh dahsyat. Runtuhnya ruangan itu rupanya merembet ke ruangan-ruangan lain di seluruh Candi Laksa ini. Batu-batu dinding dan atap candi ini berguguran. Sudah dapat dipastikan, sebentar lagi seluruh bangunan Candi Laksa akan runtuh.
Sementara Kandita terus berlompatan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dia melesat keluar, tepat saat bangunan candi itu runtuh. Suara bergemuruh terdengar memekakkan telinga. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa begitu seluruh bangunan candi yang terbuat dari batu itu ambruk. Kandita memandangi sekitarnya yang sepi. Ditatapnya candi yang hancur tak berbentuk lagi. Tampak debu masih berkepul di sekitarnya.
Gadis itu menatap seorang laki-laki tua yang duduk bersila di dekat candi yang sudah runtuh. Dia tahu kalau orang tua itu adalah Ki Sampar, Kepala Desa Coket yang ingin bertemu Eyang Binarong. Hanya sayangnya keinginannya tidak kesampaian. Kandita menghampiri dan menyentuh pundak laki-laki itu.
Tapi Ki Sampar malah jatuh terguling. Tampak di dadanya tertancap lima buah anggrek berwarna Jingga. Rupanya ketika murid-murid si Anggrek Jingga menyerang murid-murid Padepokan Sangga Langit, beberapa buah anggrek Jingganya mengenai Ki Sampar, sehingga laki-laki tua itu tewas dalam penantiannya yang tidak terlaksana.
"Huh" dengus Kandita. Wanita itu menyepak tubuh Ki Sampar hingga terguling sampai sejauh dua tombak. Kandita merayapi empat mayat yang bergelimpangan di sekitar pelataran Candi Laksa ini. Tempat yang suci dan dikeramatkan ini benar-benar bergelimang darah. Dan memang, inilah yang sebenarnya dikehendaki Kandita. Dia ingin semua orang tahu kalau Candi Laksa yang disucikan dan dikeramatkan bisa juga bergelimang darah manusia.
"Hm... Ke mana perginya keparat itu...?" desis Kandita pelan.

* * * * *



Sementara itu tidak jauh dari pelataran Candi Laksa, tampak Bayu berdiri tegak memandangi dua sosok tubuh yang berlarian cepat ke arahnya. Setelah dekat, baru terlihat jelas kalau mereka adalah Eyang Binarong dan Pinanti. Bayu menyambutnya disertai senyuman tersungging di bibir.
"Syukur, kalian selamat," ucap Bayu.
"Oh, kalian sudah kenal?" tanya Pinanti.
"Benar. Anak muda inilah yang mengeluarkan aku dari peti mati," jawab Eyang Binarong.
"Aku bisa tahu dari Kandita sendiri. Dialah yang bercerita, membanggakan dirinya telah berhasil melumpuhkan orang terkuat di Gunung Waru ini," sambung Bayu.
"Tidak ada yang terkuat di dunia ini, Anak Muda," Eyang Binarong merendah.
"Bayu, namaku Bayu," Bayu memperkenalkan diri.
"Aku Eyang Binarong," Eyang Binarong juga memperkenalkan diri.
Bayu menatap Pinanti yang masih berusaha mengatur jalan napasnya. Sedangkan Eyang Binarong tidak tampak sedikit pun kelelahan. Bahkan tak ada satu titik pun keringat di wajahnya. Namun Bayu cepat maklum. Jelas kalau tingkat kepandaian yang dimiliki mereka jauh berbeda. Eyang Binarong tentu sudah sampai pada tahap yang paling sempurna. Memang semua orang menyebut dirinya manusia setengah dewa, karena ilmunya begitu sempurna.
"Oh... Kalian harus cepat-cepat kembali ke Candi Laksa. Aku yakin, sebentar lagi, Ayahku dan murid-muridnya tiba di sana," jelas Pinanti mengingatkan.
Bayu hendak bergerak cepat, tapi Eyang Binarong sudah keburu mencekal lengan pemuda itu. Pendekar Pulau Neraka mengurungkan niatnya, lalu memandang Eyang Binarong dalam-dalam.
"Tidak perlu tergesa-gesa. Biarkan mereka menyelesaikan persoalannya. Semua ini sudah digariskan Hyang Widi Wasa. Jangan sampai kita merusak ketentuan takdir," ujar Eyang Binarong lembut dan bijaksana.
"Tapi, pertumpahan darah ini harus dicegah, Eyang" sentak Pinanti.
"Tidak ada yang bisa menentang kehendak Sang Dewata Agung, Cucuku. Meskipun kalian berusaha keras, tapi pertumpahan darah tidak akan bisa dicegah. Biarlah semua terjadi menurut suratan takdir Hyang Widi Wasa."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya Bayu.
"Mantapkan hatimu, Anak Muda. Tetapkan, harus berpihak pada siapa? Jika melihat ada yang perlu di bantu, maka bantulah dia. Tapi jika tidak, jangan memaksakan diri."
"Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu langsung bisa menangkap maksud Eyang Binarong.
"Kau benar-benar seorang pemuda cerdas," puji Eyang Binarong tulus.
"Terima kasih," ucap Bayu tersipu.
"Ayolah, Eyang. Kita kembali ke Candi Laksa," ajak Pinanti.
"Baik. Tapi jangan terburu-buru. Napasmu bisa habis nanti," goda Eyang Binarong. Pinanti memberengut.
Diayunkan kakinya menuju Candi Laksa. Eyang Binarong tertawa kecil, dan juga mengayunkan langkahnya mengikuti gadis itu. Sedangkan Bayu berjalan di samping pertapa tua itu.
"Eyang, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Bayu meminta.
"Silakan. Apa saja boleh kau tanyakan selagi bisa kujawab dengan jujur."
"Eyang, aku membebaskanmu setelah Pinanti kutotok jalan darahnya. Bagaimana mungkin kau bisa mempengaruhinya begitu cepat?" tanya Bayu ingin tahu.
"Sebelum menjawab pertanyaanmu, aku ingin tanya dulu. Siapa yang membebaskanmu?"
"Kau tahu aku ditawan?" Bayu terkejut.
"Pinanti yang mengatakannya padaku."
"Jadi...?" Bayu geleng-geleng kepala.
"Dia datang padaku sebelum kau, Anak Muda."
"Kenapa Eyang masih berpura-pura ketika aku...," Bayu tidak melanjutkan ucapannya. Pendekar Pulau Neraka itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia benar-benar kagum pada kedigdayaan pertapa tua ini. Sementara mereka terus berjalan, sedangkan Pinanti berjalan sekitar tiga tombak di depan.
"Waktu Pinanti menyediakan minuman untukku, saat itu aku sudah bisa mencium adanya racun yang mematikan dalam minuman itu. Aku juga sudah curiga, karena kudengar Pinanti diculik, dan tiba-tiba saja muncul. Sikapnya juga aneh, seperti berpura-pura dan sama sekali tidak mengenaliku. Padahal sebelumnya dia sering mengunjungiku sebelum diculik," Eyang Binarong mulai menceritakan.
"Tapi kau minum juga minuman itu, Eyang?" tanya Bayu ingin tahu.
"Benar. Tapi itu setelah kututup seluruh jaringan saluran darah di tubuhku"
"Dan kau berpura-pura mati?" tebak Bayu.
"Kau cerdik sekali, Bayu."
"Tapi kenapa Pinanti tahu kalau kau belum mati, Eyang?"
"Secara bertahap, aku selalu mengeluarkan hawa murni setiap kali dia mengunjungiku dan meraba detak jantungku. Dan kemarin.... Oh, tidak. Tadi, dia datang lagi. Aku langsung bangun dan menotok jalan darahnya. Di situ pengaruh si Anggrek Jingga kuenyahkan dari dirinya. Hal itu bisa kulakukan karena aku yakin kalau pengaruh itu berasal dari ramuan, bukan dari perlakuan batin."
"Hebat," puji Bayu tulus.
"Dan selanjutnya kau tentu sudah bisa menebak sendiri," kata Eyang Binarong.
"Ah... Ternyata aku terlambat, Eyang," Bayu tersipu.
"Tidak, kau tidak terlambat. Kau tahu, Kandita berniat menguburku hari ini. Itu sebabnya aku dimasukkan ke dalam peti mati. Kalau saja kau tidak cepat datang membebaskanku, tentu aku sudah terkubur."
"Hanya sebuah peti kayu, Eyang pasti bisa mudah mendobraknya."
"Hal itu tidak akan kulakukan, karena aku tidak ingin melakukan kekerasan dan paksaan. Kalaupun jadi dikubur, itu tentu sudah menjadi kehendak Sang Dewata."
Bayu hanya mendesah saja. Jiwa Eyang Binarong tentu sudah jauh dari keinginan duniawi. Maka tidak heran kalau disebut Manusia Setengah Dewa. Dan Bayu sudah bisa menduga, tentu Eyang Binarong tidak ingin tangannya berlumur darah, karena hal itu akan mengotori kesuciannya. Dan tentu saja, apa yang dilakukannya bertahun-tahun akan lenyap begitu saja.




--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--

Saat itu di pelataran Candi Laksa, Eyang Palandara dan murid-muridnya sudah dihadang Anggrek Jingga dan ketiga murid-muridnya. Bahkah masih ditambah beberapa tokoh rimba persilatan golongan hitam yang dibawa Kakek Iblis Perak. Orang tua itu bisa dengan cepat mengumpulkan tokoh rimba persilatan golongan hitam, karena memang sudah merencanakan semuanya secara rapi untuk menghancurkan para penghalangnya.
Pertumpahan darah di pelataran Candi Laksa tidak bisa dihindari lagi. Kini darah benar-benar menggenang di Candi Laksa. Jerit pekik melengking menyayat hati terdengar saling bersahutan, ditingkahi pekik pertempuran dan denting senjata beradu. Sungguh tidak diduga kalau murid-murid Padepokan Sangga Langit memiliki kemampuan rata-rata yang cukup tinggi.
Mereka terlihat bertarung penuh semangat. Terlebih lagi begitu melihat Candi Laksa sudah hancur tak berbentuk lagi. Meskipun banyak jatuh korban, namun murid-murid Padepokan Sangga Langit tidak gentar sedikit pun. Mereka sadar kalau yang dihadapi adalah orang-orang rimba persilatan yang sudah kenyang segala macam bentuk pertempuran.
"Ayah..." seru Pinanti begitu sampai.
Tampak Eyang Palandara berdiri di garis belakang sambil mengawasi murid-muridnya bertarung. Eyang Palandara menoleh. Pinanti berlari cepat dan langsung menjatuhkan diri berlutut memeluk kaki ayahnya. Gadis itu menangis, tapi Eyang Palandara cepat-cepat membangunkan gadis itu.
"Jangan menangis, Anakku," ucap Eyang Palandara.
Pinanti menyeka air matanya cepat-cepat, lalu berpaling memandang Bayu dan Eyang Binarong. Sesaat Eyang Binarong dan Eyang Palandara saling bertatapan, kemudian berpelukan sebentar. Bayu hanya menyaksikan saja semua itu, tapi hanya sebentar. Dia memang lebih tertarik pada pertarungan yang sedang berlangsung.
"Aku tidak yakin kalau kau tewas oleh seorang bocah, Kakang," ujar Eyang Palandara.
"Dia bukan bocah lagi, Adi Palandara. Dia sudah jadi seorang wanita tangguh," jelas Eyang Binarong.
"Ya. Dan dia hendak menuntut balas kematian orang tuanya padaku"
"Sayang sekali. Anak itu juga mengambil jalan sesat" gumam Eyang Binarong.
Pada saat itu pertarungan semakin terlihat sengit. Tapi sudah banyak orang bawaan Kakek Iblis Perak yang tewas maupun melarikan diri. Juga tidak sedikit murid Padepokan Sangga Langit yang gugur. Pertarungan sengit berjalan tidak seimbang, karena murid-murid Padepokan Sangga Langit tidak mampu membendung gempuran Kakek Iblis Perak dan si Anggrek Jingga serta ketiga muridnya.
"Hiyaaa..."
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah si Anggrek Jingga.
"Mundur semua..." seru Bayu keras menggelegar.
Murid-murid Padepokan Sangga Langit yang sedang mengeroyok Anggrek Jingga langsung berlompatan mundur. Pendekar Pulau Neraka mendarat dengan manis di depan wanita cantik.
"Eyang Binarong dan Eyang Palandara akan memaafkanmu jika kau bersedia bertobat dan menghentikan semua ini, Kandita," bujuk Bayu.
"Cerewet Jangan banyak omong kau. Hiyaaa..." Rupanya Kandita sudah tidak bisa. lagi diajak berdamai, dan langsung melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Wanita cantik berbaju merah itu mengibaskan cepat pedangnya beberapa kali. Dan beberapa kali pula Bayu terpaksa menangkisnya dengan Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanannya.
Tring
Setiap kali dua senjata itu berbenturan, mereka bergidik menggeletar. Dan mereka tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki hampir seimbang. Sementara pertarungan terus berlangsung sengit. Tampak Pinanti sudah terjun dalam kancah pertempuran. Sedangkan Eyang Binarong dan Eyang Palandara hanya menyaksikan saja dari tempat yang cukup aman.
"Hiya Yeaaah..."
Kandita semakin meningkatkan serangan-serangannya. Beberapa kali wanita berbaju merah itu hampir berhasil menyarangkan pedangnya ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu berhasil mengelak dengan kelitan manis. Bahkan tidak jarang serangan balik yang dilakukan Bayu membuat wanita itu kelabakan juga.
"Aaakh..." Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara jeritan kecil tidak jauh darinya.
Tampak Pinanti terjajar terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya. Pada saat itu terlihat Kakek Iblis Perak melompat sambil mengibaskan tangannya yang memegang senjata berbentuk tameng yang sisinya bergerigi tajam.
"Hiyaaat..."
Sebelum senjata kakek kurus itu berhasil merobek tubuh Pinanti, mendadak saja Eyang Palandara melompat cepat bagaikan kilat sambil mengibaskan pedangnya menyampok senjata Kakek Iblis Perak.
Tring
"Akh..." Kakek Iblis Perak memekik tertahan. Sebelum kakek itu sempat menyadari apa yang terjadi, Eyang Palandara sudah bergerak cepat memberi satu tendangan keras mengandung tenaga dalam sempurna ke dada orang tua itu.
Dughk
"Hughk" Kakek Iblis Perak mengeluh pendek. Tubuh berjubah perak itu, terjajar ke belakang. Pada saat itu, salah seorang murid Padepokan Sangga Langit yang kebetulan berada di belakangnya, langsung menusukkan pedangnya ke punggung Kakek Iblis Perak hingga tembus ke dada.
"Aaakh..." Kakek Iblis Perak menjerit melengking tinggi. Tapi sebelum ambruk ke tanah, kakek itu berhasil memenggal orang yang menusuknya dari belakang. Leher pemuda itu langsung buntung, dan kepalanya menggelinding ke tanah tepat saat tubuhnya ambruk. Kakek Iblis Perak masih berhasil merobohkan seorang lagi sebelum menggelepar di tanah dengan pedang menembus punggung hingga ke dada. Dia tewas seketika itu juga.
Kematian Kakek Iblis Perak membuat kegemparan bagi orang-orang yang berpihak padanya. Mereka langsung lari tak tentu arah menyelamatkan diri. Beberapa murid Padepokan Sangga Langit hendak mengejar, tapi keburu dicegah Eyang Binarong dengan suaranya yang menggelegar.
"Jangan dikejar..."
Kaburnya orang-orang golongan hitam itu, membuat ketiga murid Anggrek Jingga jadi kelabakan. Terlebih lagi jumlah murid Padepokan Sangga Langit masih begitu banyak. Apalagi mereka sadar tidak mungkin bisa menghadapinya. Tapi ketiga orang wanita cantik itu tidak bisa lagi melarikan diri, karena murid-murid Padepokan Sangga Langit sudah menyerangnya dengan ganas. Mereka terpaksa melayani sekuat tenaga. Belum begitu lama, terdengar jeritan melengking tinggi.
"Aaa..."
"Dewi..." jerit Ranti begitu melihat Dewi terhuyung sambil mendekap dadanya yang sobek berlumuran darah. Dan belum juga gadis berbaju kuning itu bisa melakukan sesuatu, kembali sebilah pedang membabat punggungnya. Dia menjerit keras. Darah langsung muncrat dari punggung yang terbelah cukup besar. Dan kini, satu tusukan tidak bisa dihindari lagi. Dewi benar-benar tidak berdaya lagi. Entah, berapa tusukan dan sabetan pedang mampir di tubuhnya. Dia tewas sebelum ambruk ke tanah dengan tubuh tercincang.
Kematian Dewi membuat Ranti dan Saras jadi panik. Tanpa berbicara lagi, mereka membuang pedangnya dan menyerah. Puluhan pedang langsung mengurungnya. Dua orang menghampiri membawa tambang, lalu mengikat dua orang gadis murid si Anggrek Jingga itu. Sementara pertarungan antara Anggrek Jingga melawan Pendekar Pulau Neraka terus berlangsung sengit Meskipun wanita itu mengetahui tinggal sendirian, tapi tidak juga menyerah. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat dan berbahaya.
"Keparat busuk! Mampus kau Hiyaaa..." Kandita memaki-maki sambil berteriak-teriak, dan bertarung bagai kesetanan. Dia benar-benar tidak peduli lagi begitu menyadari tinggal sendirian. Hal ini membuat pikirannya tidak terpusat pada lawan. Namun demikian serangan-serangannya jadi semakin dahsyat. Kandita mengeluarkan seluruh kemampuannya. Tangan kanan yang memegang pedang berkelebat cepat membabatkan pedangnya, mengurung Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan tangan kirinya memberi pukulan-pukulan keras bertenaga dalam cukup sempurna.
"Hiyaaat Yeaaah..."
Kandita bertarung sambil memutar-mutar tubuhnya. Pada saat itu, tangan kirinya berkelebat cepat menyebarkan bunga-bunga anggrek Jingga ke segala penjuru mata angin. Bunga-bunga anggrek jingga itu bertebaran cepat, dan seketika terdengar jerit dan pekikan melengking menyayat. Beberapa orang murid Padepokan Sangga Langit berjatuhan tersambar anggrek-anggrek jingga yang ditebarkan Kandita.
"Mundur..." teriak Eyang Palandara keras.
Mereka yang masih bisa menyelamatkan diri, langsung berlompatan mundur menjauh dari jangkauan bunga-bunga anggrek jingga. Tapi rupanya Kandita malah sengaja bertarung sambil mendekati mereka, dan terus melontarkan bunga-bunga mautnya.
"Keparat licik..." geram Bayu murka menyaksikan kelicikan lawannya ini. Pendekar Pulau Neraka itu langsung melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu kakinya mendarat, cepat dibungkukkan tubuh ke kiri. Secepat kilat dikibaskan tangan kanannya. Dan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka yang berupa Cakra Maut seketika melesat cepat bagai kilat karena dilontarkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Saat itu Kandita yang tengah melontarkan bunga-bunga anggrek jingga ke arah murid-murid Padepokan Sangga Langit jadi terkesiap. Tampak sebuah benda keperakan meluncur deras ke arahnya. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Kandita menyangka kalau senjata itu sudah lewat. Tapi begitu menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja dari arah samping kanannya Cakra Maut menyambar tiba.
"Akh..." Kandita memekik tertahan. Gadis itu begitu terkejut setengah mati. Buru-buru ditarik tubuhnya ke belakang, maka Cakra Maut itu melesat lewat sedikit di depan dadanya. Tapi kembali dia jadi terkesiap, karena tiba-tiba saja senjata itu berhenti, dan....
Crab
"Aaa..." Kandita menjerit melengking tinggi. Sukar dikatakan. Hanya dengan menggerak-gerakkan tangannya saja, Bayu dapat mengendalikan senjata mautnya. Dan Cakra Maut bersegi enam itu amblas ke dada Kandita hingga tembus sampai ke punggung. Darah langsung muncrat keluar deras sekali. Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut melesat dan langsung menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Bayu..." Pinanti menghambur dan memeluk Pendekar Pulau Neraka. Tentu saja pemuda berbaju kulit harimau itu jadi gelagapan dibuatnya. Buru-buru Bayu melepaskan pelukan gadis itu.
"Kau tidak apa-apa, Bayu?" tanya Pinanti tidak mempedulikan rona wajah pemuda itu yang memerah menahan malu.
Tidak," sahut Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan mukanya menatap dua orang gadis yang terikat dijaga beberapa orang murid Padepokan Sangga Langit. Bayu menghampiri, dan berdiri sekitar tiga langkah lagi di depan kedua gadis itu. Ditatapnya dalam-dalam wajah Ranti, gadis yang mengenakan baju biru.
Bayu teringat ketika Ranti menjaganya pada malam hari. Darahnya jadi menggolak mendidih kala teringat betapa liarnya gadis ini mencumbu dirinya dalam keadaan tidak berdaya karena pusat jalan darahnya tertotok. Pandangan Bayu beralih pada Saras. Gadis berbaju hijau itu juga memperlakukan dirinya seperti seekor binatang. Saras lebih liar lagi, sehingga Pendekar Pulau Neraka merasa muak. Seluruh wajahnya memerah, dan matanya bersorot tajam. Belum pernah dirinya diperlakukan seperti itu. Jelas, Bayu merasa terhina, dan tak akan bisa melupakannya seumur hidup. Pendekar Pulau Neraka akan terus merasa terhina dan malu jika kedua gadis ini masih dibiarkan hidup.
"Kau harus mampus, perempuan iblis..." desis Bayu menggeram. Tiba-tiba saja, Pendekar Pulau Neraka itu mencabut pedang dari pinggang Pinanti yang berdiri di sampingnya. Cepat sekali. Begitu pedang tercabut, langsung dibabatkan ke leher kedua gadis itu.
Cras
"Aaa..."
"Aaakh..."
"Bayu..." sentak Eyang Palandara terkejut.
"Dewata Yang Agung...," desah Eyang Binarong.
Kedua gadis itu langsung terjungkal jatuh dengan kepala hampir terpisah dari badan. Bayu menyerahkan pedang berlumuran darah itu pada Pinanti. Gadis itu menerima dan memasukkan kembali ke dalam sarungnya. Pelahan Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya seraya memandangi wajah-wajah yang terlongong menatap ke arahnya. Pandangan Bayu terhenti pada dua laki-laki tua.
"Maaf, aku harus membunuhnya," ujar Bayu. Setelah berkata demikian, Bayu mengayunkan kakinya berjalan pergi.
Semua orang hanya bisa bengong tidak mengerti terhadap tindakan Pendekar Pulau Neraka yang begitu tega membunuh dua orang gadis dalam keadaan terikat. Hanya Pinanti yang bisa mengerti perasaan pemuda itu, dan langsung berlari mengejar.
"Bayu, tunggu..."
Bayu menghentikan langkahnya ketika Pinanti sudah menghadang di depannya. Sejenak mereka hanya saling berpandangan saja. Pinanti mengambil tangan pemuda itu dan menggenggamnya hangat-hangat. Bayu mencoba melepaskan, tapi gadis itu malah membawanya ke dada. Dan kini mereka berpelukan erat seakan-akan gadis itu ingin agar Bayu dapat merasakan debaran jantungnya.
"Aku tahu perasaanmu, Bayu. Mereka memang pantas untuk mati," ujar Pinanti pelan, hampir berbisik.
"Seandainya kau juga berbuat yang sama seperti mereka, aku tidak peduli meskipun ayahmu seorang ketua padepokan besar," desis Bayu datar.
"Tapi aku bukan mereka, Bayu."
Bayu memandang lurus ke bola mata gadis itu.
"Kenapa waktu itu kau menciumku?" desis Bayu.
"Terpaksa," sahut Pinanti. Seketika wajah Pinanti menyemburat merah. Sungguh, seumur hidup dia belum pernah mencium seorang pemuda. Saat itu memang terpaksa dilakukannya, karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan pemuda ini. Dan diakui, hatinya sempat bergetar juga waktu itu.
"Bayu, aku belum pernah melakukannya. Aku hanya ingin menyelamatkanmu saja. Percayalah, aku bukan mereka."
Bayu terdiam. Dilepaskan tangannya dengan halus dari pelukan gadis itu. Memang diakui, waktu itu Pinanti terasa kaku. Dan Bayu juga mengakui kalau debaran jantung Pinanti terasa begitu hebat. Tidak seperti yang lainnya. Bayu memang bisa merasakan kalau ada rasa keterpaksaan pada diri gadis itu saat menciumnya.
"Aku percaya padamu, Pinanti," tegas Bayu.
"Oh! Terima kasih, Kakang," ucap Pinanti lega. Gadis itu tersenyum senang, karena Bayu mau mempercayai dirinya.
Dan pemuda berbaju kulit harimau itu juga memberikan senyum, meskipun terasa agak hambar. Pendekar Pulau Neraka itu melirik orang-orang yang tengah sibuk mengumpulkan mayat teman-temannya, dan dimasukkan ke dalam tandu yang diikatkan pada kuda. Bayu memutar tubuhnya ketika Eyang Binarong menghampiri.
Sedangkan Eyang Palandara tengah sibuk mengatur murid-muridnya untuk membawa murid-murid lain yang tewas dalam pertempuran. Dan sebagian lagi menguburkan mayat-mayat lawannya. Bagaimanapun juga, mereka semua adalah manusia, dan patut mendapat perlakuan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.
"Bayu, boleh aku bicara padamu sebentar?" pinta Eyang Binarong. Bayu menganggukkan kepalanya.
"Terus terang, sebenarnya aku menyesalkan tindakanmu tadi," kata Eyang Binarong langsung berterus terang.
"Maaf kalau itu membuatmu tidak senang," ucap Bayu.
"Aku bisa memahami, kau pasti punya alasan kuat sehingga berbuat sekejam itu pada mereka. Tapi itu tidak baik pengaruhnya terhadap nama besarmu. Kau harus ingat, mereka yang bernaung di bawah panji Padepokan Sangga Langit adalah calon pendekar yang akan menggantikan orang-orang tua sepertiku ini. Mereka pasti tidak akan melupakan perbuatanmu. Mereka adalah manusia, dan aku tidak percaya kalau mereka akan diam saja. Paling tidak mereka pasti akan bercerita pada orang lain," jelas Eyang Binarong gamblang, membuka perasaan hatinya.
Bayu hanya diam saja. Diakui kebenaran kata-kata orang tua ini. Tapi gadis-gadis itu memang tidak bisa dibiarkan hidup. Akan lebih parah lagi kalau mereka sampai bebas dan menyebarkan cerita buruk tentang dirinya. Tapi dengan kejadian barusan, memang mungkin orang akan menganggap dirinya kejam, berdarah dingin, dan tidak mengenal belas kasihan. Bahkan bisa juga kaum persilatan menggolongkannya ke dalam aliran hitam.
Tapi Bayu tidak peduli, karena dia yang mengalami mendapat perlakuan seperti binatang. Kewibawaannya dipermalukan sedemikian rupa tanpa dapat berbuat apa-apa. Orang lain memang bisa menuding. Tapi jika mereka mengalami, pasti akan berbuat yang sama dengan yang dilakukannya pada kedua gadis itu.
"Aku hanya bisa berpesan padamu, Bayu. Kau harus bisa menempatkan diri, dan menghapus dampak buruk atas kejadian ini," kata Eyang Binarong lagi.
"Terima kasih, Eyang," ucap Bayu.
Eyang. Binarong menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian meninggalkannya.
Pinanti segera menghampiri setelah Eyang Binarong pergi. Gadis itu memandangi wajah tampan di depannya lekat-lekat.
"Kenapa tidak kau ceritakan saja yang sebenarnya, Bayu?" tanya Pinanti.
"Biar itu semua menjadi rahasia pribadiku, Pinanti," sahut Bayu.
"Kau begitu luhur, Bayu," puji Pinanti tulus.
Bayu hanya tersenyum saja, lalu berbalik dan mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Pinanti memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Dipandangi ayahnya yang masih sibuk memberi perintah dan mengatur murid-muridnya. Sedangkan Eyang Binarong sedang berlutut di samping mayat Ki Sampar. Tak ada yang memperhatikan. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Pinanti langsung melompat mengejar Bayu yang hampir tenggelam ditelan lebatnya hutan di Lereng Gunung Waru ini. Cepat sekali gadis itu melompat. Hanya beberapa lompatan saja, dia sudah bisa mengejar Pendekar Pulau Neraka itu. Pinanti langsung berdiri menghadang di depan Bayu.
"Pinanti, mau apa lagi kau?" tanya Bayu.
Pinanti tidak menjawab, dan hanya memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu dalam-dalam. Saat ini mereka sudah cukup jauh dari pelataran Candi Laksa. Tak ada yang bisa melihat, karena mereka terhalang pepohonan dan semak yang rapat bertautan. Bayu jadi tidak mengerti akan sikap gadis ini.
"Ada apa, Pinanti?" tanya Bayu lembut.
"Kau akan meninggalkanku begitu saja, Kakang?" Pinanti balik bertanya.
"Aku memang harus pergi. Masih banyak yang harus kukerjakan, Pinanti," Bayu mencoba meminta pengertian gadis ini.
"Tanpa memberi sesuatu yang berarti padaku?"
Bayu semakin tidak mengerti. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka sempat memahami maksud gadis itu, tiba-tiba saja Pinanti sudah menghambur memeluknya erat-erat. Gadis itu melingkarkan tangannya di leher. Kepalanya mendongak dengan bibir merah sedikit terbuka. Bayu menelan ludahnya sendiri melihat bibir merah yang menantang itu.
"Berikan aku sesuatu yang berarti untuk dikenang, dan kau boleh pergi, Bayu," ujar Pinanti agak mendesah.
"Aku...." Belum habis Bayu bicara, Pinanti sudah menyumpal bibir pemuda itu dengan bibirnya. Sebentar Bayu gelagapan, tapi akhirnya melingkarkan tangannya di pinggang ramping gadis itu. Bayu membalas, memagutnya penuh gairah.
"Ohhh...," rintih Pinanti lirih.
"Kau gadis nakal yang pernah kujumpai, Pinanti."
"Ya, dan kau tidak akan bisa melupakanku."
Bayu tersenyum, dan Pinanti juga tersenyum. Kemudian mereka kembali berpagutan penuh gairah menggelora dalam dada. Bibir mereka menyatu rapat bagai tak akan terpisahkan lagi. Desah napas dan rintihan lirih terdengar. Mereka tidak peduli pada suara Eyang Palandara yang berteriak memanggil gadis itu.
"Pinanti..., di mana kau...?"
"Jangan hiraukan, Kakang," desah Pinanti ketika Bayu melepaskan pagutannya. Pinanti langsung memagut bibir pemuda itu lagi, dan Bayu pun jadi tidak peduli. Dibalasnya pagutan itu dengan hangat pula. Semakin ketat pelukannya, dan semakin menggelora lumatannya pada bibir gadis itu.
"Ohhh...."

S E L E S A I

TITISAN DEWI IBLIS


INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA
Rahasia Dara Ayu --oo0oo-- Titisan Dewi Iblis
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.