Rahasia Dara Ayu
tanztj
May 30, 2015
INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Rahasia Bunga Cubung Biru --oo0oo-- Darah Menggenang Di Candi Laksa |
BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
--««¦ [ SATU ] ¦»»--
Di antara pepohonan dan rerumputan liar, terlihat seorang pemuda berbaju kulit harimau sedang berjalan-jalan menikmati kesegaran udara pagi ini. Sesekali tangannya meraih bunga yang tumbuh liar, lalu mencampakkannya ke udara. Angin yang bertiup basah menghempaskan bunga itu sebelum jatuh ke tanah.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menghentikan ayunan kakinya begitu tiba di depan sebuah gubuk kecil yang ringkih bagai hendak rubuh. Pandangan matanya begitu nanar, menatap lurus gubuk kecil reyot di depannya. Pintu gubuk yang tertutup rapat, tiba-tiba terkuak memperdengarkan suara bergerit nyaring menyakitkan telinga.
Dari dalam gubuk itu keluar seorang perempuan tua mengenakan baju panjang yang lusuh dan kumal. Warnanya hampir pudar ditelan usia. Begitu pula perempuan tua itu. Entah sudah berapa tahun usianya. Tapi yang jelas lebih dari tujuh puluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk disangga sebuah tongkat kayu berwarna coklat kehitaman Perempuan tua itu melangkah menghampiri pemuda berbaju kulit harimau yang memandanginya dengan sinar mata sayu.
"Bagaimana keadaannya, Nyi Rampik?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Yaaah.... Meskipun sulit, tapi masih bisa kuhambat sedikit Berdoalah, Nak Bayu," sahut perempuan tua yang dipanggil Nyi Rampik itu sedikit mendesah.
"Apakah ada harapan sembuh?" tanya pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata memang Bayu atau si Pendekar Pulau Neraka.
"Mudah-mudahan. Hanya saja...," Nyi Rampik tidak melanjutkan ucapannya.
"Hanya apa?"
"Mungkin hanya mampu bertahan beberapa hari saja, tapi mungkin juga bisa lebih. Tapi asal dia tidak banyak menggunakan kekuatan tenaga dalam yang akan membuka saluran jalan darahnya."
Bayu terdiam membisu. Matanya menerobos ke dalam gubuk kecil reyot di depannya, melalui pundak Nyi Rampik. Tampak di sebuah dipan kayu beralaskan daun tikar pandan, tergolek seorang wanita muda berbaju hijau muda. Tarikan napasnya kelihatan begitu lemah meskipun teratur lembut. Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Pertarungan gadis Itu melawan Seruni berakibat sangat parah.
Entah ilmu apa yang digunakan Seruni, sehingga membuat Rampita semakin lemah. Tenaganya keluar tak terkontrol. Bahkan setiap kali menggunakan tenaga dalam, selalu memuntahkan darah. Tak ada tanda-tanda kalau gadis itu terluka. Tapi menurut Nyi Rampik, Rampita mengalami luka dalam yang sangat parah, dan kemungkinan merenggut nyawanya. Nyi Rampik sendiri tidak tahu, luka apa sebenarnya yang diderita Rampita.
"Mungkin hanya ada satu cara yang dapat menyembuhkan lukanya, Nak Bayu," ujar Nyi Rampik.
"Segala kemungkinan harus kita coba, Nyi," tegas Bayu.
"Hm..., kau tahu Bunga Cubung Biru?"
Bayu tersentak mendengar Nyi Rampik menyebut Bunga Cubung Biru. Ditatapnya dalam-dalam perempuan tua itu. Tapi kemudian Pendekar Pulau Neraka mendesah panjang, menghembuskan napas berat Rampita bisa terluka begitu karena persoalan Bunga Cubung Biru yang belum terselesaikan sampai sekarang. (Baca Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung Biru")
"Ada apa, Nak Bayu?" tanya Nyi Rampik.
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang dan berat. Meskipun baru kemarin Bayu mengenal perempuan tua ini, tapi sudah bisa dipercayainya. Nyi Rampik seorang perempuan tua yang dikenal karena ahli dalam ilmu pengobatan. Hampir semua orang di bagian Barat Kaki Gunung Cakal ini mengenal betul tabib itu. Dan Bayu mengetahui tentang perempuan tua ini juga dari para penghuni sebuah desa di Kaki Gunung Cakal sebelah Barat ini.
Biasanya seorang tabib tidak akan berpihak pada siapa pun. Dia akan mengobati siapa saja yang datang meminta pertolongan kepadanya. Malah akan melindungi dengan taruhan nyawa sekali pun. Karena itu Bayu tidak segan-segan lagi menceritakan semua yang terjadi pada diri Rampita sehingga mengalami luka yang sangat parah ini. (Baca serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah Rahasia Bunga Cubung Biru). Sedangkan Nyi Rampik mendengarkan penuh perhatian.
"Hm..., jadi gadis itu pewaris tunggal Bunga Cubung Biru?" ujar Nyi Rampik seperti bertanya pada dirinya sendiri.
....."Benar, Nyi. Tapi dia sendiri tidak tahu, di mana Bunga Cubung Biru itu. Bahkan amanat yang diberikan ayahnya menjelang ajal telah menimbulkan malapetaka," sahut Bayu agak mendesah.
"Bunga itu memang langka dan sangat berkhasiat. Tidak banyak orang yang beruntung sehingga bisa memilikinya. Memang setiap keberadaannya selalu menimbulkan bencana besar. Banyak orang yang ingin memilikinya, bahkan sampai berani mempertaruhkan nyawa," agak bergumam nada suara Nyi Rampik, seakan berkata pada dirinya sendiri.
Bayu hanya diam saja.
"Memang banyak penyakit yang bisa kuobati. Tapi untuk penyakit dalam akibat pertarungan seperti ini..., rasanya sukar sekali. Aku harus tahu dulu ilmu apa yang digunakan," lanjut Nyi Rampik.
"Mungkin Rampita sendiri tahu, Nyi," kata Bayu.
"Kau sendiri?"
"Tidak."
Nyi Rampik memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu. Jelas sekali kalau sorot mata perempuan tua itu tidak mempercayai jawaban Bayu. Padahal Pendekar Pulau Neraka itu menjawab sejujurnya. Bayu memang tidak tahu ilmu apa yang digunakan Seruni. Yang diketahuinya adalah, Seruni memiliki sebuah ilmu aneh yang bisa membuat badai salju.
* * * * *
Sudah tiga hari ini Bayu terpaksa tinggal di gubuk Nyi Rampik. Rampita memang sudah bisa bangun, tapi keadaannya masih terlalu lemah. Nyi Rampik tidak mengijinkan gadis itu pergi sebelum sembuh benar. Perempuan tua itu masih terus mencoba menyembuhkan luka yang diderita Rampita.
Malam itu Pendekar Pulau Neraka masih belum bisa memejamkan mata. Sementara malam terus merayap semakin tinggi. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin menusuk tulang. Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh ketika mendengar langkah kaki menghampiri. Bibirnya tersenyum melihat Rampita menghampiri. Gadis itu duduk disampingnya, sementara wajahnya masih kelihatan lemah dan agak pucat
"Belum tidur, Rampita?" pelan suara Bayu.
"Tidak bisa tidur," sahut Rampita juga pelan suaranya.
"Seharusnya kau tidur. Tidak baik angin malam bagi kesembuhanmu."
Rampita tersenyum tipis, namun tidak bersuara seraya matanya menerawang jauh. Sementara Bayu merayapi wajah cantik di sampingnya. Pandangan pemuda itu beralih ke arah gubuk kecil yang hanya diterangi pelita minyak jarak. Sunyi sekali tempat ini. Sangat terpencil, jauh dari jingkungan pemukiman penduduk
"Kakang...," Rampita berpaling menatap Bayu.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Sesaat mereka hanya saling tatap dalam kebisuan.
"Ada apa, Rampita?" tanya Bayu.
"Kau jadi pergi, besok?" tanya Rampita.
"Tentu. Aku akan mencari Bunga Cubung Biru untukmu," sahut Bayu setengah mendesah.
"Sia-sia saja, Kakang," lirih sekali suara Rampita.
"Aku yakin, ayahmu pasti menyimpan bunga itu di suatu tempat yang sangat rahasia. Malah sampai-sampai kau sendiri tidak mengetahuinya."
Rampita terdiam, wajahnya tertunduk merayapi tanah diujung kakinya. Gadis itu memungut sepotong ranting kering dan menggores-goreskannya di tanah. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan tanpa membuka mulutnya yang terkunci rapat.
"Kotak kayu itu sudah kau serahkan pada Seruni. Ayah tidak pernah mengeluarkan Bunga Cubung Biru dari dalam kotak itu," tegas Rampita masih terdengar pelan suaranya.
"Tapi Seruni bilang kotak itu sudah kosong. Bahkan menuduhku sudah mengambil bunga itu, Rampita. Aku yakin kalau ayahmu sudah memindahkannya ke lain tempat" sangkal Bayu.
"Kau belum tahu siapa sebenarnya Seruni itu, Kakang. Dia sangat.licik. Segala cara selalu dilakukannya demi mencapai segala keinginannya. Aku merasa...," kata-kata Rampita terputus.
"Kenapa, Rampita?" desak Bayu.
Rampita tidak langsung menjawab. Diangkat kepalanya, langsung menatap pemuda di sampingnya. Agak dalam juga gadis itu merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka. Seakan-akan ingin di yakini kalau yang duduk di sampingnya ini seorang pemuda berwajah tampan dan berkepandaian sangat tinggi. Sedangkan Bayu membiarkan saja gadis itu menatapi wajahnya.
"Kau tampan sekali, Kakang. Hati-hatilah terhadap Seruni," desah Rampita kembali menunduk.
Bayu jadi mengerutkan keningnya. Sungguh sulit dimengerti ucapan Rampita barusan. Namun di balik suaranya, Pendekar Pulau Neraka itu menangkap sesuatu yang sukar diartikan. Hanya Rampita sendiri yang bisa memastikan ucapannya tadi.
"Tampaknya kau kenal sekali dengan Seruni, Rampita," pancing Bayu.
Rampita mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis. Kembali pandangannya menerawang jauh ke depan. Tatapan matanya begitu kosong, lurus tak berkedip. Gadis itu seperti tengah mengingat sesuatu, atau tengah terbayang-bayang masa lalunya. Bibirnya yang kecil memerah itu tak lepas mengembangkan senyuman tipis hampir tak terlihat. Tapi senyum itu mendadak lenyap bersamaan dengan redupnya cahaya matanya.
"Siapa sebenarnya Seruni itu, Rampita?" tanya Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu semakin ingin tahu saja, karena dirasakan adanya sesuatu yang tersembunyi di antara kedua gadis ini. Dugaan kalau antara Rampita dan Seruni memiliki hubungan darah, tak pernah lenyap dari benak Bayu. Walaupun Rampita sendiri belum memberi jawaban yang diharapkan. Satu teka-teki besar masih menyelimuti diri gadis itu.
"Untuk apa kau selalu menanyakan itu, Kakang?" Rampita balik bertanya.
Bayu tidak bisa menjawab. Keingintahuannya hanya karena didorong rasa penasaran terhadap sikap Rampita pada Seruni. Gadis ini selalu saja mengalah, bahkan sampai-sampai rela mengalami luka dalam begitu parah. Bayu yakin, ada sesuatu antara Rampita dan Seruni. Sesuatu yang selalu ditutupi dan dirahasiakan gadis ini.
"Sudah malam. Aku tidur dulu, Kakang," ujar Rampita seraya bangkit berdiri.
Sebelum Bayu sempat membuka suara, gadis itu sudah melangkah menuju gubuk kecil. Pendekar Pulau Neraka terus memandangi gadis itu sampai lenyap di dalam gubuk kecil itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu masih duduk di bangku dibawah pohon, dan pandangannya tak beralih dari gubuk kecil yang hanya diterangi sebuah pelita minyak jarak
Sementara malam terus merambat semakin larut Udara pun semakin dingin. Namun Pendekar Pulau Neraka tetap bertahan duduk di bawah pohon. Otaknya terus berputar, untuk bisa menemukan jawaban dari teka-teki gadis itu. Begitu sulitnya teka-teki itu, sehingga sukar dipecahkan.
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, lalu berjalan gontai menuju gubuk kecil yang berdinding bilik bambu. Terlalu banyak lubang pada dinding gubuk itu, sehingga cahaya pelita mampu menerobos keluar. Bayu menghempaskan tubuhnya di balai bambu, kemudian merebahkan diri. Kedua tangannya terlipat untuk membantali kepalanya.
"Hhh...! Kenapa aku begitu memikirkannya...?" desah Bayu diiringi hembusan napas panjang.
* * * * *
Pagi-pagi sekali Bayu sudah bersiap-siap meninggalkan tempat sunyi dan terpencil ini. Hatinya sudah bertekad hendak mencari Bunga Cubung Biru. Sekuntum bunga langka yang hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Nyi Rampik sudah mengatakan kalau hanya bunga itu yang dapat menyembuhkan luka dalam Rampita.
Bayu memandangi Rampita yang mengantarkan sampai kepinggir sungai di belakang gubuk Nyi Rampik. Pendekar Pulau Neraka itu memandangi wajah cantik yang sedikit tertunduk. Entah kenapa, pemuda tampan ini seperti berat berpisah dengan Rampita. Dia.sendiri tidak tahu tentang perasaannya ini. Belum pernah dirasakan hal seperti ini pada seorang gadis.
"Aku harap bisa secepatnya kembali ke sini dengan Bunga Cubung Biru," kata Bayu pelan.
"Mengapa kau ingin sekali mendapatkan bunga itu, Kakang?" tanya Rampita seraya mengangkat kepadanya memandang Pendekar Pulau Neraka itu.
"Bunga itu sangat berarti bagimu, Rampita. Hanya dengan bunga itulah kau bisa sembuh, pulih seperti semula."
"Tapi kau akan mendapatkan kesulitan besar, Kakang."
"Apa pun namanya, aku selalu bergelimang segala macam kesulitan. Percayalah. Semuanya pasti bisa kuatasi dan kembali membawa Bunga Cubung Biru," Bayu meyakinkan gadis ini.
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Kakang. Hati-hatilah. Aku akan menunggumu di sini," ucap Rampita pelan.
Bayu menggamit pundak gadis itu. Ditatapnya dalam-dalam wajah cantik itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan tanpa bicara separah kata pun. Pelahan telunjuk Bayu menyentuh dagu gadis itu, lalu mengangkatnya hingga terdongak. Rampita memejamkan matanya pelahan ketika Bayu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Semakin dekat, semakin terasa desahan napasnya yang menerpa kulit wajah kemerahan.
Bayu memandangi bibir mungil yang setengah terbuka. Bibir indah yang selalu merah basah dan menantang. Lembut sekali Pendekar Pulau Neraka mengecup bibir yang agak bergetar itu. Hanya sekali kecupan lembut, namun sudah membuat seluruh tubuh Rampita bergetar bagai tersengat ribuan lebah beracun. Gadis itu masih memejamkan matanya meskipun kecupan itu telah hilang dari bibirnya.
Pelahan Rampita membuka mata, dan langsung menundukkan kepalanya. Sekilas terbersit rona merah pada wajahnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu jadi gugup, dan tidak sanggup memandang sorot mata pemuda tampan ini.
"Aku pergi dulu, Rampita," pamit Bayu.
"Ya...," hanya itu yang keluar dari bibir mungil Rampita.
Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian melangkah meninggalkannya. Rampita baru mengangkat kepalanya setelah pemuda itu pergi cukup jauh. Gadis itu berdiri mematung memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Pelahan diusap bibirnya dengan jari-jarinya yang bergetar.
"Kakang...," desah Rampita lirih.
Rampita masih berdiri mematung meskipun bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah tidak terlihat lagi. Gadis itu baru membalikkan tubuhnya, tapi tidak jadi melangkah. Ternyata tiba-tiba saja di depannya sudah berdiri Nyi Rampik yang langsung tersenyum. Seketika wajah Rampita memerah, lalu buru-buru menundukkan kepalanya.
"Pemuda yang gagah sekali," gumam Nyi Rampik seraya melangkah menghampiri Rampita.
Rampita hanya diam saja. Pelahan diangkat kepalanya, tapi tak sanggup memandang bola mata perempuan tua didepannya. Entah kenapa, ada rasa malu menyelinap di hati gadis ini. Kalau saja bisa, mungkin sudah disimpan bibirnya. Kecupan lembut Pendekar Pulau Neraka begitu membekas, tak akan terlupakan sepanjang hidupnya. Kecupan pertama seorang pemuda yang telah menggetarkan relung hatinya.
"Kau sudah mengatakannya, Rampita?" tanya Nyi Rampik seraya memandangi gadis itu dalam-dalam. Rampita menggelengkan kepalanya pelahan.
"Kenapa?"
"Aku.... Aku tidak sanggup mengatakannya, Nyi. Dia sudah berkorban banyak untukku. Rasanya tidak sanggup untuk melukai hatinya," lirih sekali suara Rampita.
"Aku bisa memahami perasaanmu, Rampita. Yaaah..., memang sukar mengatakannya. Tapi aku percaya, Bayu seorang pemuda yang tegar. Dia pasti bisa menerima semuanya dengan lapang dada dan besar hati, meskipun pahit"
"Itulah yang membuatku tidak bisa, Nyi."
"Aku tidak menyalahkanmu, Rampita. Semuanya memang sudah digariskan Hyang Widi. Kira hanya sebuah pelakon yang memainkan peranan di atas panggung luas ini. Serahkan saja segalanya pada Yang Kuasa," lembut sekali suara Nyi Rampik.
"Nyi...." Rampita tak kuasa lagi membendung perasaannya. Gadis itu menghambur, menjatuhkan diri dalam pelukan perempuan tua ini.
Sedangkan Nyi Rampik hanya menepuk-nepuk punggung gadis itu, dan mengelus rambutnya yang hitam berbau harum.
"Sudahlah, Rampita. Doakan saja agar Bayu bisa membawa Bunga Cubung Biru. Bagaimanapun juga, kau sendirilah yang harus menyelesaikan semua ini. Bukan Bayu, atau siapa saja!" tegas Nyi Rampik seraya melepaskan pelukan gadis itu.
"Benar. Memang hanya aku yang bisa, Nyi. Bukan orang lain, atau pun Kakang Bayu," desah Rampita lirih.
Nyi Rampik merengkuh pundak gadis itu, lalu membawanya melangkah meninggalkan tepian sungai kecil ini. Mereka berjalan pelahan dengan pikiran masing-masing.
"Nyi...."
"Ada apa?"
"Apakah tidak sebaiknya aku sendiri yang mencari bunga itu, Nyi?" Rampita memandangi wajah perempuan tua yang berjalan dengan bantuan sebatang tongkat di sampingnya.
"Jangan menyiksa dirimu, Rampita. Kau belum pulih benar," sahut Nyi Rampik agak terkejut.
"Tapi, Nyi...."
"Kau sendiri tidak tahu di mana bunga itu, bukan?" potong Nyi Rampik cepat.
Rampita terdiam. Kakinya terus terayun pelahan. Kepalanya tertunduk dalam memperhatikan ujung-ujung kakinya yang menapak pelahan di samping perempuan tua ahli pengobatan ini.
"Nyi, boleh menanyakan sesuatu padamu?" pinta Rampita setelah lama berdiam diri.
"Katakan, apa yang ingin kau tanyakan."
"Kenapa Nyi Rampik berpura-pura tidak mengenalku didepan Kakang Bayu?" tanya Rampita.
Nyi Rampik tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Rampita memandangi, menunggu jawaban perempuan tua itu. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Nyi Rampik masih berdiam diri tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Sampai mereka tiba di pondok, Nyi Rampik belum juga memberi jawaban dari pertanyaan Rampita. Meskipun berharap, namun gadis itu tidak ingin mendesak, dan hanya diam saja. Mereka kemudian duduk berdampingan di samping pondok, di atas tumpukan kayu bakar yang belum semuanya terbelah.
"Ayo, Rampita. Tenaga dalammu harus bisa kau latih kembali. Mudah-mudahan kau masih menyimpan sedikit kekuatan," kata Nyi Rampik setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Baiklah," sahut Rampita setengah mendesah.
"Kalau masih memiliki sedikit tenaga dalam, aku yakin kau akan pulih. Aku akan membantumu dengan penyaluran hawa murni ke dalam tubuhmu."
"Nyi, bukankah itu berbahaya?" sentak Rampita terkejut
"Demi kau, Rampita. Ayo, jangan membantah!"
"Baik, Nyi."
* * * * *
--««¦ [ DUA ] ¦»»--
Saat menjelang senja, Bayu sudah tiba di desa itu. Tidak mungkin lagi perjalanannya diteruskan, karena sebentar lagi malam tiba. Untuk mencapai Lembah Bunga, masih diperlukan tiga hari perjalanan lagi dari desa ini. Pendekar Pulau Neraka itu memasuki sebuah kedai yang tidak terlalu padat pengunjungnya.
Seorang pelayan atau mungkin juga pemilik kedai menghampiri, menyambut ramah disertai senyum mengumbar lebar. Laki-laki tua bertubuh gemuk ini membawa Bayu ke meja kosong. Sungguh beruntung, karena meja ini bersebelahan langsung dengan jendela yang menghadap keluar. Jadi pemuda berbaju kulit harimau ini bisa langsung memandang keadaan luar.
"Pesan apa, Den?" tanya laki-laki tua gemuk itu ramah.
"Apa saja yang bisa membuat perutku kenyang," sahut Bayu seenaknya.
"Wah! Makanan di sini lengkap, Den. Kalau dibawa semua, meja ini tentu tidak muat," seloroh laki-laki gemuk itu.
"Kalau begitu, sediakan saja arak dan makanan secukupnya. Apa saja yang disediakan tidak akan kutolak, asal enak."
"Baik, Den"
Laki-laki gemuk itu bergegas ke belakang. Sementara Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kedai ini. Tidak begitu banyak pengunjung, dan hanya beberapa meja saja yang terisi. Dari tampang, pakaian, serta senjata yang disandang, Bayu dapat memastikan kalau mereka rata-rata dari kalangan persilatan. Tapi ada juga beberapa orang yang kelihatannya dari kalangan biasa.
Pendekar Pulau Neraka itu mengalihkan perhatiannya keluar melalui jendela di sampingnya. Kening pemuda berbaju kulit harimau itu menjadi berkerut, karena hampir semua orang yang lewat di jalan menyandang senjata berbagai macam bentuk dan ukuran. Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling kedai ini. Pada saat itu pemilik kedai menghampiri sambil membawa baki cukup besar, penuh berisi makanan dan seguci arak.
"Silakan dinikmati, Den," ucap laki-laki gemuk itu setelah meletakkan semua pesanan Bayu di meja.
"Terima kasih," sambut Bayu seraya tersenyum.
Laki-laki tua gemuk itu bergegas meninggalkan tamunya, dan kembali sibuk melayani tamu-tamu lainnya. Sementara Bayu menikmati santapannya. Agak geli juga hatinya melihat hampir seluruh meja dihadapannya penuh piring makanan. Memang tidak akan mungkin dihabiskan semuanya. Beginilah jadinya kalau memesan makanan asal memesan saja.
"He! Pergi sana! Tidak ada makanan sisa buatmu!" tiba-tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.
Bayu yang baru saja akan menenggak araknya, jadi tertahan. Dilayangkan pandangannya ke arah suara bentakan tadi. Tampak laki-laki tua gemuk pemilik kedai ini berkacak pinggang di depan pintu. Seorang laki-laki tua kurus kering dan berpakaian compang camping berdiri terbungkuk di depannya. Seluruh tubuh dan pakaiannya kotor berdebu. Tubuhnya disangga sebatang tongkat kayu bercabang dua pada bagian ujung atas.
"Biarkan dia makan bersamaku, Ki!" teriak Bayu.
Laki-laki gemuk pemilik kedai itu terkejut. Dipandanginya Bayu setengah tidak percaya. Bahkan hampir semua pengunjung kedai ini juga mengalihkan pandangannya ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Namun pemuda berbaju kulit harimau itu tidak peduli, lalu bangkit berdiri dan menghampiri pengemis tua itu. Dibawanya orang itu ke mejanya.
"Duduk di sini, Kisanak," kata Bayu.
"Oh, terima kasih. Terima kasih, Den. Biar di bawah saja," ujar pengemis tua itu.
"Duduklah di bangku, Ki," Bayu memaksa.
Dengan sikap penuh hormat pengemis tua itu duduk di depan Bayu. Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu meminta satu piring lagi. Maka pemilik kedai bertubuh gemuk itu memberi sebuah piring. Namun pandangan matanya masih tidak bisa mempercayai sikap tamunya ini.
"Makanlah sepuasmu. Kalau perlu, bungkus yang tersisa untuk keluargamu," kata Bayu.
"Terima kasih, Den," ucap pengemis tua itu.
Bayu tersenyum, lalu segera menenggak araknya yang tadi belum sempat menyentuh bibirnya. Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum-senyum melihat pengemis tua ini melahap makanan yang terhidang disertai napsu besar. Mungkin sudah beberapa hari dia tidak bertemu, makanan. Sedangkan Bayu hanya makan sedikit saja.
"Raden tidak makan?" tanya pengemis tua itu melihat Bayu tidak meneruskan makannya.
"Aku sudah kenyang. Habiskan saja, Ki," sahut Bayu ramah.
"Ah! Kalau saja semua orang sebaik Raden, tentu tidak akan banyak pengemis yang mati kelaparan," desah pengemis tua itu.
"Tidak selamanya aku berbuat begini, Ki," jelas Bayu terus terang diiringi senyum tipis.
"Oh, kenapa Raden berbuat baik padaku?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Kemudian dipanggilnya pemilik kedai bertubuh gemuk itu, untuk membayar semua makanan dan minuman yang telah dipesan. Pemilik kedai itu menyebutkan harganya, dan Bayu membayarnya semua. Bahkan juga meminta untuk membungkus sisa makanannya untuk dibawa pengemis tua itu.
"Makanlah yang enak. Semua sudah kubayar," ucap Bayu seraya mengayunkan kakinya meninggalkan kedai itu.
Tinggal pengemis tua itu terbengong dengan mulut penuh makanan. Demikian juga laki-laki gemuk pemilik kedai ini. Belum pernah dilihatnya ada orang begitu berbaik hati, mengajak seorang pengemis tua makan satu meja bersamanya. Bahkan membayar semua makanan dengan uang berlebih. Tidak ada yang tahu, kenapa pemuda berbaju kulit harimau itu berbuat demikian. Memang, yang diinginkannya hanyalah agar makanan yang dipesan tidak terbuang percuma. Kebetulan sekali ada pengemis, maka semua makanannya bisa diberikan kepada pengemis tua itu.
* * * * *
Tepat ketika matahari baru saja berada di atas kepala, Bayu melewati perbatasan Desa Temanggal. Namun ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka itu terhenti tiba-tiba, ketika mendengar suara orang mengaduh disertai bentakan-bentakan keras. Suara itu datang dari balik sebuah bukit batu yang tidak terlalu tinggi, dan berada di sebelah kanan.
"Hup !"
Sekali lompatan saja, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di atas bukit batu kecil itu. Seketika matanya terbeliak begitu melihat tiga orang laki-laki bertubuh kekar dan bertampang kasar tengah menganiaya seorang laki-laki tua bertubuh kurus, berpakaian compang camping.
"Huh! Rupanya kau memilih mampus daripada menunjukkan di mana Rampita berada, heh...?!" bentak salah seorang seraya memberi satu pukulan keras ke wajah laki-laki tua itu.
Des!
"Akh...!" laki-laki tua berpakaian pengemis itu terpekik. Tubuh yang kurus kering itu tersungkur jatuh ke tanah. Darah mengalir keluar dari mulutnya. Dan sebelum pengemis tua itu bisa bangkit berdiri, kembali datang satu tendangan keras mendarat di tubuhnya. Tak pelak lagi, dia terguling beberapa kali sambil merintih kesakitan.
"Katakan! Di mana Rampita!" bentak seorang yang mengenakan baju biru tua.
"Sungguh, aku tidak tahu di mana gadis itu berada," sahut pengemis tua itu.
"Phuih!"
Dug!
"Akh...!" Kembali terdengar pekikan keras ketika satu pukulan keras bersarang lagi di tubuh kurus tua itu. Belum lagi hilang pekikan itu, kembali salah seorang yang mengenakan baju merah melayangkan pukulannya. Tapi mendadak saja....
Tap!
"Heh...!" laki-laki kekar berbaju merah itu terkejut.
Dan sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi, mendadak saja laki-laki berbaju merah itu terpekik. Seketika tubuhnya terpental ke atas, namun masih bisa bersalto sebelum mendarat lunak di tanah. Sedangkan dua orang lainnya menjadi terpana begitu di dekat pengemis tua sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau.
Pemuda yang tak lain adalah Pendekar Pulau Neraka itu membantu pengemis tua berdiri, kemudian merayapi tiga laki-laki berwajah kasar di depannya. Pandangan mata Bayu begitu tajam menusuk.
"Memalukan! Menganiaya orang tua tak berdaya...!" dengus Bayu dingin.
"He, Kisanak! Jangan ikut campur urusanku!" bentak orang berbaju biru geram.
"Kalian mencari Rampita, maka harus berurusan dulu denganku!" dingin sekali suara Bayu.
Ketiga laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat kaget, sehingga sampai terlompat mundur dua langkah dan saling berpandangan satu sama lain. Sedangkan Bayu dengan halus mendorong pengemis tua ke belakang. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Dilangkahkan kakinya tiga tindak ke depan. Kedua tangannya terlibat di depan dada.
"Kalian jangan hanya bisa mengeroyok orang tua. Hayo, hadapi aku!" tantang Bayu lantang.
"Siapa kau, Kisanak!" bentak laki-laki berbaju merah.
"Tidak perlu kalian tahu siapa aku! Pergi dari sini, atau ingin merasakan kepalan tanganku!" Bayu memberikan dua pilihan.
"Beludak! Hajar bocah kurang ajar ini!" geram laki-laki yang berbaju merah kembali membentak, karena merasa diremehkan.
Seketika itu juga ketiga orang bertubuh kekar itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Meskipun diserang secara bersamaan, namun Pendekar Pulau Neraka hanya mengegoskan tubuhnya sedikit. Dan tanpa diduga sama sekali tangannya berkelebat cepat bagai kilat.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu ketiga orang itu berpentalan diiringi pekikan keras. Mereka bergelimpangan ditanah, namun cepat bangkit. Sesaat ketiga orang itu saling berpandangan, lalu masing-masing mencabut golok yang terselip di pinggang.
"Mampus kau keparat! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Bayu langsung merentangkan kakinya ke samping, kemudian dengan cepat memiringkan tubuhnya ketika sebuah golok berkelebat mengarah ke dada. Dan sebelum golok itu tertarik pulang, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangannya.
Digh!
"Akh...!" laki-laki berbaju merah yang mengibaskan golok itu menjerit keras.
Dan sebelum lawan terpental, kembali Bayu melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, laki-laki bertubuh kekar mengenakan baju merah itu terpental deras ke belakang. Tubuhnya keras sekali menghantam dinding batu. Dia mengerang sambil menggeliat lalu diam tak berkutik lagi. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah. Sedangkan dadanya tampak melesak masuk ke dalam.
Dua orang lainnya menjadi geram bukan main melihat seorang temannya tewas dengan dada remuk. Mereka langsung berlompatan menyerang dengan permainan golok yang cepat dan dahsyat. Namun Bayu bukanlah lawan enteng. Akibatnya, mudah sekali Pendekar Pulau Neraka membuat senjata lawan-lawannya terpental. Sebelum mereka bisa berbuat sesuatu, Bayu sudah melancarkan beberapa pukulan yang tak satu pun luput dari sasaran. Jeritan-jeritan melengking terdengar saling sambut, kemudian dua sosok tubuh kekar itu menggelepar ditanah.
Bayu menghampiri pengemis tua begitu melihat lawannya sudah tak berkutik, tanpa nyawa lagi. Pengemis tua itu hanya memandangi Bayu. Mereka memang sudah pernah bertemu sebelumnya di sebuah kedai
"Kenapa mereka mencari Rampita, Ki?" tanya Bayu langsung.
"Aku tidak tahu," sahut pengemis tua itu.
"Hm..., mereka memaksamu," gumam Bayu dengan kening berkerut "Siapa mereka, dan apa hubunganmu dengan Rampita?"
Pengemis tua itu tidak langsung menjawab. Dia hanya memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu dalam-dalam, kemudian tanpa berkata sedikit pun, melangkah pergi.
"Hey...! Tunggu!" seru Bayu seraya mengejar.
"Pergilah, Anak Muda. Jangan ganggu aku. Aku yakin, kau pasti sama seperti yang lain. Berpura-pura baik dan menolongku, padahal hatimu busuk!" agak ketus nada suara pengemis tua itu.
Bukan main terkejutnya Bayu mendengar kata-kata ketus itu. Pendekar Pulau Neraka tadi bertindak cepat dengan membunuh ketiga laki-laki itu, karena mendadak hatinya panas mendengar nama Rampita disebut-sebut. Dan lagi pula, Bayu memang tengah menyelidiki, siapa sebenarnya Rampita itu. Seorang Dara Ayu penuh misteri. Bayu sendiri tidak mengerti kenapa begitu memperhatikan gadis itu. Padahal mereka kenal belum begitu lama.
Karena Bayu terus mengikuti, pengemis tua itu menghentikan langkahnya. Laki-laki tua itu lalu memandang tajam pemuda berbaju kulit harimau itu. Sungguh berbeda sekali sikapnya ketika mereka bertemu pertama kali di kedai. Tatapan mata pengemis tua itu kini tidak lagi terlihat sayu, tapi begitu tajam menusuk. Bahkan berdirinya tegak, tidak membungkuk seperti orang kelaparan yang meminta belas kasihan hanya untuk sesuap makanan.
"Kenapa kau mengikutiku terus, Anak Muda?" dengus pengemis tua itu dingin.
"Jawab dulu pertanyaanku, Ki," sahut Bayu kalem.
Pengemis tua itu menatap Bayu tajam.
"Aku yakin, kau sendiri tidak tahu di mana Rampita kini berada. Lagi pula, apa hubunganmu dengan Rampita?" agak dingin nada suara pengemis tua itu.
"Justru karena mereka menghubung-hubungkan dirimu dengan Rampita, maka itu jadi urusanku!" sentak Bayu ketus.
"Heh?! Apa urusanmu dengan Rampita?" sekarang pengemis tua itu yang terperanjat.
Bayu hanya tersenyum-senyum kecil. Disandarkan punggungnya di sebuah pohon yang cukup rindang, menaungi dirinya dari sengatan sinar matahari. Sedangkan pengemis tua memandangi dengan kening yang semakin berkerut dalam.
"Anak Muda, siapa kau sebenarnya?" tanya pengemis tua.
"Kau sendiri, siapa?" Bayu malah balik bertanya, dan bersikap seenaknya.
"Anak Muda, kau memang telah menolongku dari kelaparan. Tapi itu bukan berarti aku berhutang budi padamu!" desis pengemis tua itu dingin.
"Aku tidak pernah membicarakan balas budi, dan tidak akan pernah!" tegas kata-kata Bayu.
"Aku hanya ingin mengingatkan kalau di antara kita berada dalam situasi sama. Tapi tampaknya kau tidak menginginkan. Baik..., aku akan pergi. Dan selamanya kau tidak akan bisa bertemu Rampita!" Setelah berkata demikian, Bayu langsung memutar tubuhnya dan melangkah pergi.
"Tunggu...!" cegah pengemis tua cepat-cepat.
Bayu menghentikan ayunan kakinya, kembali berbalik menghadap pengemis tua kurus kering itu.
"Ada apa lagi? Bukankah tadi menyuruhku pergi?"
"Aku mengaku kalah padamu, Anak Muda," ujar pengemis tua itu pelan.
"Hah...?! Bertarung juga belum, kenapa mengaku kalah?"
"Pertarungan bukan hanya adu kekuatan, Anak Muda. Kita tadi sudah melakukan satu pertarungan, berupa pertarungan mental! Dan aku mengakui kekalahanku..."
Bayu mengangkat bahunya. Kepalanya menoleh ke kiri, kemudian menghampiri sebongkah batu yang tidak begitu besar, tidak jauh di sebelah kirinya. Pendekar Pulau Neraka itu duduk mencangkung di situ. Sedangkan pengemis tua itu seenaknya duduk di tanah, bernaung di bawah pohon tidak jauh di depan Bayu.
"Sebaiknya kita mulai dengan memperkenalkan diri masing-masing, Anak Muda," usul pengemis tua itu memulai.
"Kau bisa memanggilku Dewa Pengemis."
"Kau tentu punya nama lahir, bukan?" Bayu tidak puas.
"Aku tidak tahu lagi namaku yang sebenarnya."
"Baiklah kalau begitu."
"Siapa namamu, Anak Muda?"
"Bayu"
"Siapa yang lebih dulu menceritakan hubungan kita dengan Rampita?"
"Kau dulu."
Laki-laki tua kurus berpakaian compang-camping yang mengenalkan diri sebagai Dewa Pengemis itu tersenyum kecut. Kepalanya tergeleng beberapa kali. Secara jujur, dalam hati diakui keteguhan pemuda berbaju kulit harimau ini. Meskipun kata-katanya selalu terdengar tegas, bahkan menjurus kasar, tapi Dewa Pengemis masih menangkap adanya kelembutan pada sorot mata Bayu.
"Sebenarnya aku bukanlah orang lain bagi Rampita. Karena, aku adalah kakak kandung ayahnya," Dewa Pengemis memulai menjelaskan di hadapan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Dewa Pengemis?" sergah Bayu.
"Itu urusanmu, Bayu. Yang jelas, jauh-jauh aku datang dari Selatan ingin bertemu adik dan keponakanku. Tapi ternyata adikku sudah tewas, dan padepokan yang didirikan dengan susah payah telah hancur. Tapi aku tetap berusaha untuk bertemu keponakanku di Gunung Cakal. Tapi ternyata Rampita juga sudah tidak ada lagi di sana. Sungguh tidak kumengerti, karena selama berada di sini, sudah tiga kali aku bentrok dengan orang-orang yang tidak bisa kumengerti apa maksud mereka mencari Rampita. Aku benar-benar tidak tahu."
Bayu terdiam, tapi pandangannya agak dalam ke mata Dewa Pengemis. Memang sudah disaksikannya, begitu banyak orang dari kalangan rimba persilatan tumpah di selatan Kaki Gunung Cakal. Bahkan sampai ke Lembah Bunga. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu belum mau percaya begitu saja pada laki-laki tua pengemis ini.
"Kau sudah pernah bertemu Rampita sebelumnya?" tanya Bayu menguji.
"Beberapa kali," sahut Dewa Pengemis.
"Di mana biasanya kau bertemu Rampita?"
"Di Puncak Gunung Cakal. Tepatnya di sebuah gua yang menjadi tempat tinggalnya. Semula keponakanku itu tinggal bersama Paman dan Bibi dari ibunya. Tapi setelah paman dan bibinya meninggal, tidak pernah kujumpainya lagi sampai sekarang. Entah sudah berapa tahun tidak kulihat," jelas Dewa Pengemis.
Bayu semakin dalam memandangi laki-laki tua pengemis itu. Pendekar Pulau Neraka memang pernah ke Puncak Gunung Cakal, menemui Rampita. Tapi ternyata bukan gadis itu yang tinggal di sana. Melainkan seorang yang hampir mirip dengan Rampita. Gadis cantik yang hidupnya bersama seekor binatang beruang putih raksasa, dan juga penuh misteri!
Sebenarnya Bayu ingin mengatakan kalau di Puncak Gunung Cakal sekarang bukan lagi menjadi tempat tinggal Rampita, tapi seorang gadis penuh misteri bernama Seruni. Namun saat mendengar cerita Dewa Pengemis, pikiran Bayu langsung berubah. Pendekar Pulau Neraka itu langsung bisa mengetahui kalau Seruni telah meninggalkan Puncak Gunung Cakal. Juga, Bayu sudah bisa menebak untuk apa gadis itu pergi.
"Dewa Pengemis, boleh aku tahu. Apakah paman dan bibi Rampita tidak mempunyai anak? tanya Bayu yang tiba-tiba mendapat pemikiran yang mungkin bisa mengungkap tabir misteri ini.
"Kenapa kau tanyakan itu, Bayu?" tanya Dewa Pengemis tanpa menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka tadi.
"Maaf. Dalam saat seperti ini, aku tidak bisa begitu saja mempercayai setiap orang. Apalagi yang berhubungan dengan Rampita. Masalahnya, hampir semua orang mengetahui seluk-beluk keluarga gadis itu," jelas Bayu.
Dewa Pengemis mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti ucapan Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian tersenyum. Entah apa arti senyumnya itu. Bayu sendiri sukar untuk memahaminya.
"Aku senang kalau Rampita berada di tempat yang aman dalam keadaan selamat. Tapi...," kata-kata Dewa Pengemis terputus.
"Tapi, kenapa...?"
Belum lagi Dewa Pengemis melanjutkan kata-katanya, mendadak saja sebuah bayangan hijau berkelebat Dan tahu-tahu di antara kedua orang itu berdiri gadis cantik mengenakan baju warna hijau muda. Baik Bayu maupun Dewa Pengemis terbeliak kaget. Mereka sampai terlonjak berdiri, dan mata terbuka lebar seolah-olah tidak mempercayai apa yang dilihat kini.
--««¦ [ TIGA ] ¦»»--
"Hh! Tidak kusangka kau begitu licik, Kakang. Kau hendak memperdaya pamanku!" dingin sekali nada suara Rampita.
"Rampita, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau..," suara Bayu terputus.
"Sikap dan kata-katamu memang manis, Kakang. Sayang sekali, maksud burukmu bisa kutangkap, walaupun tersembunyi di balik sikap dan kata-kata manismu," desis Rampita ketus.
"Rampita, kenapa kau...? Apa yang kau katakan?" Bayu jadi tidak mengerti pada sikap Rampita.
"Kau memang pandai berpura-pura, Kakang. Tapi semua akal licikmu sudah kuketahui! Kau harus mati, Kakang!
Hiyaaa...!"
"He! Tunggu...!"sentak Bayu.
Tapi Rampita sudah tidak bisa dicegah lagi. Gadis itu sudah cepat melompat menerjangnya. Terpaksa Bayu harus berkelit menghindari serangan gadis berbaju hijau muda itu. Sementara Dewa Pengemis juga tampak kebingungan, tidak mengerti akan semua ini. Dia hanya dapat diam menyaksikan Rampita yang tengah menyerang Bayu dengan gencar.
Serangan-serangan yang dilancarkan Rampita begitu bertubi-tubi sehingga membuat Bayu harus jumpalitan menghindarinya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka itu berseru agar Rampita menghentikan serangannya, tapi tidak dipedulikan. Bahkan semakin memperhebat serangan-serangannya.
Menyadari kalau gadis ini tidak mungkin lagi bisa dihentikan, Bayu menjadi gusar juga. Pendekar Pulau Neraka paling tidak suka dengan posisi seperti ini, yang hanya bisa berkelit dan menghindar tanpa dapat membalas sedikit pun. Dan pada saat Rampita mengarahkan satu pukulan keras kearah dada, dengan cepat Bayu menyilangkan tangannya di depan dada. Satu benturan keras pun tak dapat dihindari lagi.
"Akh...!" Rampita terpekik keras ketika pukulannya terhalang tangan Pendekar Pulau Neraka. Tepat pada saat itu, Bayu menghentakkan tangan kirinya ke arah lambung. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga Rampita tak mungkin mengelak lagi. Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di lambung gadis itu.
Des!
"Ughk...!" Rampita mengeluh panjang.
Selagi tubuh Rampita terbungkuk, Bayu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Sementara Rampita terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap lambungnya. Seketika wajah gadis itu memerah bagai terbakar. Seraya menyumpah dan memaki habis-habisan.
"Paman, manusia keparat itulah yang membunuh Ayah! Sudah lama aku mencarinya. Dia harus mati, Paman!" teriak Rampita seraya meringis menahan rasa mual yang mulai menggerogoti perutnya.
"Rampita...," Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu.
"Percayalah padaku, Paman. Aku punya saksi," desak Rampita.
Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu. Sebentar ditatapnya Bayu, sebentar kemudian beralih ke arah Rampita yang tengah berusaha mengatur napasnya untuk mengusir rasa mual dan nyeri pada lambungnya. Sodokan tangan kiri Bayu memang cukup keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Namun begitu, sudah membuat Rampita hampir mati tertahan napasnya.
"Kenapa diam saja, Paman. Bunuh dia. Keparat itu membunuh ayahku, menghancurkan Padepokan Tongkat Sakti. Bahkan juga mencuri Bunga Cubung Biru!" bentak Rampita gusar melihat Dewa Pengemis masih diam saja ragu-ragu.
"Rampita, apa yang kau lakukan ini...?!" sentak Bayu tidak mengerti dengan sikap gadis itu.
"Diam kau, keparat! Pembunuh busuk!" sentak Rampita berang.
"Heh...?!" Bayu tersentak kaget.
Belum pernah Bayu melihat Rampita berkata sekasar itu. Bahkan belum pernah terlihat begitu berang. Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka itu bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja Dewa Pengemis sudah melompat sambil berteriak keras. Tongkat kayu yang kelihatan rapuh itu diputar kencang, dan dikibaskan ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
"Uts!" Buru-buru Bayu merundukkan kepalanya. Maka sabetan tongkat Dewa Pengemis lewat sedikit di atas kepala. Namun demikian, pemuda berbaju kulit harimau itu bisa merasakan angin tebasan tongkat rapuh itu. Sungguh dahsyat dan mengandung hawa panas menyengat. Dan sebelum Bayu mengangkat kepalanya, mendadak saja Dewa Pengemis sudah melepaskan satu tendangan menggeledek bertenaga dalam cukup tinggi.
"Jebol! Yeaaah...!"
Bughk!
"Ugh...!" Bayu terjengkang ke belakang sejauh dua batang tombak Meskipun tidak sampai ambruk ke tanah, namun cukup membuatnya limbung juga. Didekap perutnya yang terasa mual. Tendangan Dewa Pengemis begitu keras dan bertenaga dalam cukup tinggi. Bayu tak bisa lagi bertahan, dan langsung memuntahkan darah agak kental dari mulurnya. Seketika pandangan matanya jadi nanar.
"Hiyaaat ...!"
Dewa Pengemis tidak lagi menunggu lama, langsung melompat sambil cepat memutar tongkatnya. Sementara Bayu masih belum bisa menghilangkan rasa mual pada perutnya. Tapi mendapat serangan lagi, Pendekar Pulau Neraka bergegas membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali menghindari tebasan dan tusukan tongkat kayu secara beruntun
"Hup !" Cepat Bayu melompat bangkit. Pada saat itu Dewa Pengemis sudah kembali bergerak menyerang. Kakinya cepat menyusur tanah, membuat debu berkepul bagai tersepak kaki kuda yang dipacu cepat. Ujung tongkatnya lurus ke depan mengarah dada Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat ...!"
"Hap! Yeaaah...!"
Tap !
Cepat Bayu menggerakkan tangannya. Dan tepat ketika ujung tongkat hampir menyentuh dada, Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua tangannya di depan dada. Seketika ujung tongkat Dewa Pengemis terjepit di antara telapak tangan Bayu yang menyatu rapat. Tapi Dewa Pengemis rupanya tidak kehilangan akal. Sambil melentingkan tubuh ke depan, dihentakkan kakinya menendang dada Pendekar Pulau Neraka itu.
"Yeaaah...!"
"Hih!" Buru-buru Bayu menghentakkan tangannya ke depan seraya melepaskan jepitannya pada tongkat laki-laki tua pengemis itu, dan secepat itu pula melompat mundur sejauh tiga langkah. Pada saat yang sama, Dewa, Pengemis berputaran di udara, kemudian mendarat di tanah dengan manis sekali. Baru saja Bayu hendak membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras. Dan seketika Pendekar Pulau Neraka itu terkejut. Ternyata dari arah samping kiri, Rampita sudah melompat sambil menghunus pedang ke arahnya.
Wut! Wuk...!
"Hiy aaat ..!"
Cepat sekali Bayu menarik tubuhnya ke belakang menghindari tebasan pedang gadis berbaju hijau muda itu. Dan secepat itu pula, sambil melentingkan tubuhnya ke belakang secara berputar, dikirimkan satu tendangan keras. Kalau saja Rampita tidak cepat-cepat melangkah mundur, pasti dadanya terhajar tendangan itu.
Namun sebelum gadis itu sempat melakukan serangan kembali, Bayu sudah memberikan satu pukulan jarak jauh yang keras bertenaga dalam sempurna sekali. Rampita terperanjat. Buru-buru dilentingkan tubuhnya, berjumpalitan di udara beberapa kali. Pukulan jarak jauh Pendekar Pulau Neraka hanya mengenai sasaran kosong.
"Rampita, mundur...!" teriak Dewa Pengemis.
"Tidak! Aku harus membalas kematian Ayah!" seru Rampita tidak kalah kerasnya.
Gadis itu tidak mempedulikan peringatan laki-laki tua pengemis itu. Secepat kakinya menjejak tanah, secepat itu pula kembali menyerang Pendekar Pulau Neraka. Dengan pedang di tangan, Rampita bagai dewi maut yang siap mencabut nyawa. Pedangnya berkelebatan cepat mengurung setiap gerak Pendekar Pulau Neraka.
Tapi serangan-serangan gadis itu mudah sekali dapat dimentahkan. Bahkan tanpa diduga sama sekali, mendadak saja Bayu berhasil menyarangkan satu tendangan ke dada gadis itu. Rampita terpekik, langsung terlontar cukup jauh ke belakang.
"Rampita...!" seru pengemis tua itu, sambil melompat ke depan mendekati Pendekar Pulau Neraka. Dengan tongkat kayu di tangan, laki-laki tua itu menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan ganas sekali. Serangan-serangan tongkatnya sungguh berbahaya. Bahkan tongkat itu seperti memiliki mata. Ke mana Bayu menghindari, selalu diikuti.
"Huh! Aku bosan dengan permainan ini! Hiyaaa...!" dengus Bayu langsung saja mencelat ke atas. Dan sebelum Dewa Pengemis bisa menyadari, Pendekar Pulau Neraka sudah menukik deras. Langsung saja dikirimkan satu pukulan keras ke arah dada begitu kakinya menjejak tanah tepat di depan Dewa Pengemis.
Des!
"Aaakh...!" Dewa Pengemis menjerit keras. Pukulan Bayu telak menghantam dada Dewa Pengemis, membuat laki-laki tua itu terpental dan jatuh tepat di samping Rampita yang sudah bisa bangkit berdiri. Dewa Pengemis berusaha berdiri, tapi mengeluh merasakan nyeri pada dadanya. Sepertinya ada beberapa tulang dadanya yang patah. Dewa Pengemis bisa berdiri juga meskipun harus enahan rasa sakit yang luar biasa.
"Kita pergi saja, Paman," ujar Rampita memberikan saran.
"Baiklah, ayo!" sambut Dewa Pengemis.
Tanpa menunggu waktu lagi, Dewa Pengemis dan Rampita berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bayu hendak mengejar, tapi segera mengurungkan niatnya. Dia hanya berdiri tegak memandangi kedua orang yang semakin jauh.
Bayu mengayunkan kakinya pelahan membelah hutan lebat. Begitu lebatnya, sehingga matahari seakan-akan sulit meneroboskan cahayanya. Sekitar hutan ini begitu lembab. Sepanjang jalan yang dilalui hanya tumpukan daun kering dan lumut licin berembun. Jamur sangat subur tumbuh di balik batang dan akar serta pohon-pohon yang sudah mati.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah pelahan sambil memikirkan kemunculan Rampita. Benar-benar tidak dimengerti akan sikap gadis itu yang jauh berubah. Sepertinya Rampita adalah seorang gadis asing. Begitu garang dan liar sekali. Bayu benar-benar tidak mengerti akan perubahan sikap gadis itu yang begitu tiba-tiba. Bahkan menuduhnya sebagai pembunuh ayahnya.
"Hm..., sebaiknya aku kembali ke gubuk Nyi Rampik," gumam Bayu.
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat ke atas pohon. Bagai seekor burung elang, pemuda berbaju kulit harimau itu berlompatan dari pohon satu ke pohon lainnya, bagai tidak menyentuh daun sedikit pun. Begitu ringan dan sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Pulau Neraka, sehingga bisa berlompatan di atas pohon seperti berada di atas permukaan tanah saja. Setiap dedaunan atau ranting yang digunakan untuk pijakan, tak ada goyangan sama sekali.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau Neraka itu sudah sampai di depan pondok kecil reyot milik Nyi Rampik. Suasananya begitu sunyi senyap. Pelahan-lahan Bayu menghampiri pondok itu. Ditajamkan mata dan telinganya. Namun yang terdengar hanya desiran angin. Bahkan tidak terlihat adanya tanda-tanda mencurigakan. Suasananya tidak berubah, tetap sunyi seperti hari-hari yang lalu.
"Rampita...!" seru Bayu keras memanggil.
Sepi. Tak ada sahutan sedikit pun. Bayu jadi curiga dengan keadaan yang sunyi begini. Langkahnya terhenti di depan pintu pondok yang sedikit terbuka. Pelahan didorongnya pintu itu. Bunyi bergerit membuat debaran jantung Pendekar Pulau Neraka itu jadi semakin kencang.
Kosong! Tak ada seorang pun di dalam pondok ini. Tapi begitu Bayu hendak melangkah pergi, mendadak saja matanya menangkap sesuatu yang mencurigakan di kolong balai bambu. Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri, lalu membungkuk melihat ke bawah kolong balai bambu.
"Nyi Rampik...!" desis Bayu terbeliak.
Di dalam kolong balai bambu ini tergeletak seorang perempuan tua yang sangat dikenal Pendekar Pulau Neraka. Buru-buru pemuda berbaju kulit harimau itu menarik keluar Nyi Rampik, dan memindahkannya ke atas balai bambu beralaskan tikar daun pandan.
"Biadab...!" desis Bayu menggeram.
Nyi Rampik dalam keadaan pingsan. Darah di sudut bibirnya hampar mengering. Pertanda cukup lama perempuan tua itu pingsan. Seluruh wajah perempuan tua ini memar membiru. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kecil ini. Tak ada tanda tanda bekas ada perkelahian disini. Keadaannya cukup rapi. Tapi, di lantai dekat pintu belakang terdapat bercak darah mengering.
Bergegas Bayu menghampiri pintu yang langsung menuju bagian belakang. Pintu itu terbuka lebar, dan Bayu langsung menerobos. Kini Pendekar Pulau Neraka itu sudah berada di bagian halaman belakang. Tampak pepohonan yang sengaja ditanam Nyi Rampik hancur berantakan. Bercak-bercak darah mengering terlihat di mana-mana. Begitu banyak jejak kaki manusia tertera jelas di tanah.
"Hm..., di mana Rampita?" tanya Bayu jadi teringat dengan gadis itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar tawa lepas menggelegar.
Bayu langsung memutar tubuhnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Wajahnya cukup gagah dihiasi kumis tipis. Tubuhnya kekar berotot, dan berdada bidang yang berbulu. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ketika mendengar suara berkeresek dedaunan kering.
Dan sekitarnya kini bermunculan orang-orang bersenjata tombak. Jumlah mereka begitu banyak, lebih dari lima puluh orang. Semuanya bersenjata tombak yang bagian ujungnya berkeluk seperti mata keris. Mereka semua langsung membuat lingkaran mengepung, sehingga tak ada satu celah sedikit pun.
Pendekar Pulau Neraka kembali mengalihkan pandangannya pada laki-laki setengah baya yang masih gagah di depannya. Dari pakaian yang dikenakan, sepertinya dia bukan dari kalangan persilatan. Demikian pula orang-orang yang mengepungnya. Mereka mengenakan seragam bagai seorang prajurit kerajaan. Tapi, entah dari kerajaan mana. Tak ada lambang yang bisa menyatakan mereka datang dari suatu kerajaan.
"Kau yang bernama Bayu?" tanya laki-laki setengah baya itu.
"Benar. Dan kau siapa?"
"Aku Panglima Gajah Sodra. Aku sengaja menunggumu di sini untuk membawamu ke Istana Cagar Angin," tegas laki-laki setengah baya itu yang mengaku bernama Panglima Gajah Sodra.
"Maaf, Gusti Panglima. Sepertinya kita belum pernah bertemu. Kenapa Gusti Panglima ingin membawaku ke istana?" tanya Bayu, sopan.
"Sebaiknya kau jangan banyak tanya, Bayu. Gusti Prabu sendiri yang akan bertemu denganmu."
"Aneh.... Apa urusannya Gusti Prabu ingin bertemu denganku?" gumam Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.
"Bayu! Perlu kau ketahui. Aku ditugaskan membawamu ke istana dengan cara apa pun. Kuharap jangan membangkang, agar tidak menyulitkan dirimu sendiri!" tegas Panglima Gajah Sodra lagi.
"Kau mengancamku, Gusti Panglima," desis Bayu kurang senang.
"Terserah apa anggapanmu. Suka atau tidak suka, harus ikut denganku!"
"Kalau aku menolak?"
Panglima Gajah Sodra menggerung pelahan. Tatapan matanya sangat tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Diedarkan pandangannya ke sekeliling, seakan-akan tengah mengukur kekuatan para prajurit Kerajaan Cagar Angin ini. Jumlah yang cukup banyak, dan pasti mereka prajurit pilihan dengan tingkat kemampuan rata-rata cukup tinggi.
Selain membawa tombak, mereka juga menyandang pedang di pinggang masing-masing. Sedangkan Panglima Gajah Sodra hanya membawa pedang yang masih tergantung dipinggang. Tapi di pinggangnya juga melilit seutas cambuk hitam yang ujungnya menyerupai bentuk buntut kuda. Bayu bergumam pelahan, entah apa yang digumamkan itu.
"Adya Bala...!" seru Panglima Gajah Sodra lantang.
Satu teriakan menggemuruh terdengar dari para Prajurit itu. Mereka mengangkat tombak ke atas sambil berteriak menyambut seruan Panglima Gajah Sodra. Sementara Bayu sudah menggeser kakinya sedikit ke samping. Sudah bisa diduga, pasti mereka akan memberikan serangan.
"Bayu, jangan paksa aku menggunakan kekerasan," desis Panglima Gajah Sodra memperingatkan sekali lagi.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil sambil mengerutkan kening.
Panglima Gajah Sodra mendengus. Diangkat tangannya ke atas, maka seluruh prajuritnya sudah siap dengan tombak terhunus. Ketika Panglima Gajah Sodra menghentakkan tangannya ke depan, mendadak saja....
"Tunggu....'" terdengar bentakan keras dan lantang.
Para prajurit yang sudah siap hendak menyerang Pendekar Pulau Neraka, seketika mengurungkan niatnya. Panglima Gajah Sodra langsung memutar tubuhnya ke kiri. Dan seketika itu juga dijatuhkan dirinya berlutut seraya merapatkan tangan di depan hidung. Namun yang terjadi pada Bayu lain lagi. Pendekar Pulau Neraka itu membeliakkan matanya, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya ini.
"Seruni...," desis Bayu mengenali perempuan muda berbaju putih yang baru datang itu.
Gadis berbaju putih itu melangkah tenang mendekati Panglima Gajah Sodra. Sebentar ditatapnya laki-laki setengah bayu yang bersikap penuh rasa hormat itu. Kemudian pandangannya beralih pada Pendekar Pulau Neraka yang masih belum mempercayai semua yang dihadapinya ini.
"Gusti Ayu, Anak Muda ini mencoba membangkang," lapor Panglima Gajah Sodra.
"Apa Paman sudah mengatakan?" tanya Seruni.
"Sudah, Gusti Ayu. Tapi malah ditantang."
Seruni menatap Pendekar Pulau Neraka, lalu melangkah menghampiri dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi. Sedangkan Bayu hanya diam saja, tapi benaknya terus berputar keras. Gadis yang bernama Seruni ini memang sungguh misterius. Pertama mengaku bernama Rampita. Kemudian menjadi gadis liar dengan seekor beruang putih raksasa. Dan kini muncul dalam keadaan lain lagi. Bayu jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya dara ayu ini..?
"Kenapa kau menolak undangan Prabu Nata Kesuma, Bayu?" tanya Seruni agak datar nada suaranya.
"Aku tidak merasa diundang, mereka ingin membawaku secara paksa!" sahut Bayu ketus.
"Mereka tidak akan memaksa jika kau bersedia ke istana," Seruni tidak percaya pada jawaban Pendekar Pulau Neraka.
Bayu terdiam beberapa saat. Otaknya menimbang-nimbang undangan yang tidak pernah dimengerti ini. Tapi bagi Pendekar Pulau Neraka itu bukan masalah undangannya, melainkan rasa penasarannya pada diri gadis ini. Mungkin jika ikut ke Istana Kerajaan Cagar Angin, bisa mengetahui siapa sebenarnya. Seruni Dara ayu yang penuh misteri.
"Baiklah. Aku penuhi undangan raja kalian," tegas Bayu setelah berpikir cukup lama.
Seruni tersenyum. Kemudian berpaling pada Panglima Gajah Sodra. Diperintahkannya laki laki itu untuk mempersiapkan kuda. Dengan segera Panglima Gajah Sodra kembali memerintahkan para prajuritnya mempersiapkan kuda.
Saat itu ketegangan bisa teratasi, namun dalam pikiran Bayu masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan dugaan. Terutama mengenai dara ayu yang bernama Seruni. Rasa ingin tahunya semakin besar melihat sikap Panglima Gajah Sodra dan seluruh prajuritnya begitu hormat pada gadis ini. Bahkan memanggilnya dengan sebutan Gusti Ayu. Suatu sebutan penghormatan bagi seorang wanita.
* * * * *
--««¦ [ EMPAT ] ¦»»--
Bayu memandangi ruangan besar yang ternyata memang Balai Sema Agung Istana Cagar Angin ini. Cukup banyak orang yang ada di sini, selain Prabu Nata Kesuma yang duduk di singgasana yang didampingi Seruni. Di belakang raja muda itu berdiri beberapa gadis cantik mengenakan baju putih dan memakai selendang wama biru yang membelit pinggang. Bayu pernah bertemu gadis-gadis cantik itu, bahkan dua orang telah tewas di tangannya. Jumlah mereka kini tinggal delapan orang lagi.
Agak ke depan di samping kanan, duduk seorang laki-laki setengah baya, bertampang kasar. Tubuhnya tegap dan terlihat masih gagah. Dialah Panglima Gajah Sodra. Sementara di sebelahnya duduk beberapa orang pembesar lainnya. Sedangkan Bayu hanya berdiri saja di tengah-tengah mereka semua. Di belakang Pendekar Pulau Neraka itu terdapat sekitar dua puluh orang prajurit bersenjata tombak panjang.
"Aku senang kau sudi memenuhi undanganku, Bayu," ujar Prabu Nata Kesuma. Suaranya begitu lembut, bahkan seperti wanita saja. Senyuman di bibir yang merah bagai bibir perempuan selalu terkembang.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
"Mungkin panglimaku memperlakukanmu kurang mengenakan. Maafkan, tidak seharusnya terjadi adu ketegangan," sambung Prabu Nata Kesuma.
"Langsung saja, Gusti Prabu. Apa maksud Gusti Prabu mengundangku kemari?" celetuk Bayu tanpa memberi sikap hormat sedikit pun.
Sikap Bayu yang begitu berani membuat para pembesar menjadi memberengut tidak senang. Terlebih lagi Panglima Gajah Sodra yang hampir saja menerjang. Untung Prabu Nata Kesuma lebih dulu memberi isyarat dengan mengangkat tangannya sedikit. Dan Bayu memang tidak peduli, karena sejak semula memang sudah tidak senang terhadap sikap panglima itu. Kalau saja bukan karena rasa ingin tahunya mengenai diri Seruni, tidak mungkin Pendekar Pulau Neraka itu ada di ruangan besar dan megah ini.
"Bayu, kudengar kau sekarang memiliki Bunga Cubung Biru. Benar itu?" ujar Prabu Nata Kesuma lembut.
"Dari mana kau tahu?" tanya Bayu agak kaget juga meskipun sudah menduga pasti ada hubungannya dengan Bunga Cubung Biru yang tengah dihebohkan sekarang ini.
"Kau tentu sudah kenal gadis ini, Bayu?" Prabu Nata Kesuma menoleh pada/ Seruni yang duduk di sampingnya.
Bayu tidak menjawab, tapi hanya memandang Seruni yang tersenyum-senyum membalas pandangannya. Pendekar Pulau Neraka kembali mengalihkan pandangannya ke arah Prabu Nata Kesuma.
"Apa saja yang dikatakannya?" tanya Bayu.
"Tidak banyak. Tapi..., ah sudahlah. Mungkin kau lelah. Sebaiknya, beristirahatlah dulu. Kamar untukmu sudah disiapkan," jelas Prabu Nata Kesuma seraya menjentikkan jarinya.
Seruni bangkit berdiri, lalu menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
"Mari, kutunjukkan kamar untukmu," ujar Seruni manis.
Sebentar Bayu menatap gadis itu, kemudian berpaling ke arah Prabu Nata Kesuma. Raja muda itu mengangguk sedikit dan tersenyum. Tanpa berkata apa pun, Bayu mengikuti Seruni menuju kamar untuknya.
Sepeninggal Pendekar Pulau Neraka itu, Panglima Gajah Sodra menghampiri Prabu Nata Kesuma. Diberikannya hormat dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
"Gusti, kenapa tidak kita paksa saja agar mengaku," kata Panglima Gajah Sodra.
"Aku masih punya rencana yang lebih baik lagi, Paman Gajah Sodra. Kita sudah melakukan banyak kekerasan. Aku khawatir, rakyat akan tahu tentang kita yang sebenarnya, sehingga akan menambah kesulitan kita semua, Paman. Aku tidak ingin semuanya berantakan sebelum berhasil mendapatkan Bunga Cubung Biru itu," jelas Prabu Nata Kesuma lembut. Namun dalam nada suaranya mengandung tekanan yang amat dalam.
"Gusti Prabu, hamba dengar si Dewa Pengemis terlihat di sekitar Desa Temanggal. Bahkan beberapa telik sandi mengatakan melihat Rampita bersama Dewa Pengemis," lapor Panglima Gajah Sodra.
"Jangan hiraukan, Paman. Mereka bukanlah tandinganku. Biarkan saja mereka menjual obat, aku yakin tak akan ada yang mau mempercayainya lagi," sembur Prabu Nata Kesuma.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba hanya merasa khawatir. Sebab anak buah hamba tewas ketika bentrok dengan Dewa Pengemis."
"Sudahlah, aku akan kembali ke bilik semadi," Prabu Nata Kesuma bangkit berdiri dari singgasananya.
Delapan orang gadis cantik yang mendampinginya ikut berjalan di belakang raja muda itu. Sedangkan semua orang yang berada di ruangan Balai Sema Agung itu menundukkan kepala seraya merapatkan tangan di depan hidung. Mereka baru mengangkat kepala kembali setelah Prabu Nata Kesuma keluar dari tempat itu.
* * * * *
Malam belum begitu larut. Namun Bayu sudah terlelap dialam mimpi. Kamar yang disediakan Prabu Nata Kesuma memang sungguh menyenangkan, sehingga membuatnya lebih cepat jatuh tidur dari biasanya. Suasana begitu sunyi dan gelap. Hanya cahaya bulan yang menerobos masuk menerangi kamar itu. Dalam keremangan cahaya bulan terlihat sesosok tubuh menyelinap di bawah jendela luar kamar yang ditempati Pendekar Pulau Neraka.
Sosok tubuh hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam pekat, dan hanya bagian mata saja yang terlihat. Sosok tubuh berbaju hitam itu mencoba mencongkel jendela. Hanya sedikit suara yang terdengar, maka jendela sudah terbuka lebar. Diperhatikannya Bayu yang masih terlelap dalam buaian mimpi.
Slap!
Sungguh ringan gerakan sosok tubuh hitam itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia melompat masuk melalui jendela yang sudah terbuka lebar. Sebentar diawasinya Bayu, lalu pelahan-lahan bergerak mendekati pembaringan. Tangannya menggapai-gapai mencari sesuatu di atas meja.
Lalu berpindah ke lemari, dinding, dan setiap sudut di kamar ini. Bahkan permadani yang menjadi alas lantai kamar ini pun tak luput dari perhatiannya. Namun yang dicari belum juga ditemukan. Sosok hitam itu kini memusatkan perhatiannya pada Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya masih terlelap tidur.
Namun begitu kakinya hendak melangkah menghampiri, tanpa disengaja tangannya menyentuh sebuah jambangan yang berada di pinggir meja. Jambangan dari tanah liat itu jatuh dan pecah di lantai dengan menimbulkan suara berisik.
"Siapa itu...?" Seketika Bayu menggelinjang bangkit dari pembaringan. Pada saat itu sosok tubuh hitam melesat melalui jendela.
"Hai...?!" seru Bayu keras.
Tapi sebelum sosok tubuh hitam itu keluar, tangannya dikibaskan sambil memutar tubuhnya. Seketika melesat sebuah benda berwarna kemerahan ke arah Pendekar Pulau Neraka. Sebelum Bayu sempat menyadari, orang berbaju hitam itu sudah cepat melesat keluar.
"Uts! Hup...!"
Bayu langsung memiringkan tubuhnya, maka benda bulat kecil kemerahan itu lewat di depan dadanya. Secepat itu pula, Pendekar Pulau Neraka melompat mengejar melalui jendela juga. Sekilas masih terlihat bayangan hitam berkelebat melompati tembok benteng istana bagian belakang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu mengejar. Gerakannya sungguh cepat dan ringan, sehingga dalam sekejap saja sudah melompati tembok benteng yang tinggi itu.
"Huh!" Bayu mendengus begitu kakinya menjejak tanah di luar tembok benteng.
Sosok tubuh hitam itu lenyap tak terlihat lagi bayangannya. Bagian belakang istana ini memang seperti hutan saja. Pohonnya besar-besar dan rapat, sehingga menyulitkan sinar bulan meneranginya. Meskipun Bayu sudah memasang penglihatan tajam, tetap saja tidak bisa menemukan sosok tubuh hitam itu lagi.
"Hm..., siapa dia? Apa maksudnya memasuki kamarku...?" Bayu jadi bertanya-tanya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melompati tembok benteng. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat di bagian dalam belakang istana ini. Namun baru saja hendak melangkah, mendadak pemuda berbaju kulit harimau itu mengurungkan niatnya. Dipandanginya sosok tubuh ramping yang tiba-tiba sudah berdiri dekat di depannya.
"Seruni...," desis Bayu pelahan.
"Tidak ada yang perlu kau selidiki di sini, Bayu," kata Seruni sebelum Bayu membuka mulut
"Hm..., kau sendiri sedang apa di sini?" agak datar suara Bayu.
"Aku bebas melakukan apa saja di tempat ini, Bayu. Lain halnya denganmu. Kau jadi pengawasanku, Pemuda Tampan."
Bayu mendengus berat. Diayunkan kakinya melewati gadis itu. Seruni hanya memandangi sambil menyunggingkan senyuman. Gadis itu mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Pulau Neraka. Mereka berhenti setelah sampai di depan jendela kamar yang ditempati Bayu. Jendela itu masih terbuka lebar.
"Kau keluar lewat jendela, Bayu?" nada suara Seruni seperti menyelidik.
"Apa urusanmu?" dengus Bayu.
"Itu menjadi tanggung jawabku, Bayu. Selama berada disini, keselamatanmu di tanganku. Coba kalau ada yang melihat, kau bisa disangka pencuri."
"Kau menganggap diriku seperti anak kecil, Seruni," agak sinis nada suara Bayu.
"Aku ingatkan padamu, Bayu. Kau tamu di sini!" tajam suara Seruni.
Bayu hanya tersenyum sinis lalu enak sekali tubuhnya melompati jendela dan masuk ke dalam kamarnya. Belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu menutup jendela, Seruni sudah ikut melompat ikut masuk ke dalam kamar ini. Dihampirinya meja dan dinyalakan pelita, sehingga ruangan yang cukup besar dan indah ini terang benderang.
"He! Kamarmu berantakan...?!" seru Seruni terkejut.
"Ada pencuri yang masuk ke sini!" dengus Bayu.
Seruni memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sedangkan Bayu hanya berdiri saja bersandar di samping jendela. Seruni menghampiri, dan berdiri begitu dekat di depan Bayu. Hampir tak ada jarak di antara mereka.
"Seharusnya kau laporkan hal ini pada penjaga, Bayu," kata Seruni pelan.
"Hh! Aku tidak percaya pada penjaga tolol begitu!" dengus Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu hendak menjauh. Tapi Seruni lebih cepat melingkarkan tangannya ke pinggang. Bayu agak terkejut Dan sebelum hilang keterkejutannya, tahu-tahu gadis itu sudah melumat ganas bibirnya. Hampir saja Bayu kehilangan napas, dan untuk sesaat termangu. Tak tahu, apa yang harus diperbuatnya.
Seruni melepaskan pagutannya. Dilingkarkan tangannya di leher Pendekar Pulau Neraka itu. Dipandanginya wajah pemuda di depannya lekat-lekat. Dan Bayu sendiri juga memandangi wajah yang begitu dekat dengannya, tapi belum memberi tanggapan atas rangsangan yang dilakukan gadis ini.
"Kau tahu, Bayu. Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah terpikat denganmu," jelas Seruni pelan agak berbisik.
Pelahan dan halus sekali Bayu melepaskan rangkulan gadis itu. Digeser tubuhnya ke samping, lalu melangkah menghampiri kursi di samping pembaringan. Pendekar Pulau Neraka itu menghenyakkan tubuhnya di kursi itu. Sementara Seruni masih saja berdiri memandanginya. Dua kali Bayu menghembuskan napas panjang. Entah apa yang ada di dalam hati pemuda ini.
"Siapa kau sebenarnya, Seruni?" tanya Bayu sambil menatap tajam ke wajah gadis itu.
Seruni tidak langsung menjawab, tapi malah tersenyum dan menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu. Sambil menghembuskan napas panjang, gadis itu menghenyakkan tubuhnya di samping Bayu. Digeser duduknya, dan dirapatkan tubuhnya ke tubuh pemuda itu. Tangannya melingkar dipinggang Bayu, dan kepalanya direbahkan ke pundak.
Sementara Bayu hanya diam saja tak menanggapi. Seruni mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah pemuda tampan itu dalam-dalam. Pelahan-lahan didekatkan wajahnya ke wajah Bayu, dan dikecup bibir pemuda itu lembut. Sebentar Seruni melepaskan kecupannya, lalu melumatnya dalam-dalam. Mendapat rangsangan begitu rupa, Bayu jadi gelisah. Kelelakiannya langsung tergugah, tapi masih bisa mengendalikan diri. Dengan halus sekali dilepaskan pelukan Seruni dan bangkit berdiri.
"Kenapa menolak, Bayu?" tanya Seruni memberengut.
Bayu diam saja. Ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Ditatapnya Seruni dalam-dalam. Gadis ini memang cantik dan menggairahkan. Tapi Bayu jadi teringat peringatan Rampita sebelum meninggalkan gadis itu dipondok Nyi Rampik.
Namun sebentar kemudian Bayu juga jadi bertanya-tanya tentang diri Rampita. Sewaktu dibawa ke istana ini, dia ada dipondok Nyi Rampik. Sedangkan perempuan tua itu dalam keadaan pingsan dan Rampita sudah tidak ada lagi. Dan sebelumnya Pendekar Pulau Neraka bertemu Rampita.
Bahkan gadis itu kini membencinya di depan seorang laki-laki tua yang bernama Dewa Pengemis. Rampita mengakui kalau Dewa Pengemis adalah pamannya. Demikian juga si Dewa Pengemis, yang mengaku sebagai paman dari gadis itu. Dan sekarang dihadapannya ada seorang gadis yang hampir mirip Rampita. Seorang gadis yang juga penuh terselimut misteri.
"Sudah malam, Seruni. Sebaiknya kembali saja ke kamarmu," kata Bayu lembut
"Aku ingin tidur di sini!" dengus Seruni.
Bayu terhenyak kaget. Sungguh tidak disangka gadis ini akan seberani itu. Sementara Seruni sudah berdiri dan menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tengah diliputi berbagai macam perasaan di dalam dirinya. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu memeluk dan...
"Seruni..," desah Bayu mencoba mengelakkan ciuman gadis itu.
"Huh!" dengus Seruni. Dengan wajah memberengut kesal, gadis itu melepaskan pelukannya dan melangkah mundur.
"Kau menolakku, Bayu. Ini pasti gara-gara Rampita!" dengus Seruni geram.
"Seruni...."
"Baik! Kau akan lihat sendiri, Bayu. Dan jangan harap akan bisa bertemu Rampita lagi. Maka kau tentu tidak akan bisa menolakku lagi! Huh...!"
"Seruni, dengar dulu...!"
Tapi Seruni sudah bergegas meninggalkan kamar itu. Dibukanya pintu dengan kasar dan dihempaskannya dengan kasar pula. Suara pintu terbanting begitu keras, sehingga seluruh dinding ruangan ini sampai bergetar. Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap gadis itu. Seorang gadis yang cantik, liar, berkepandaian cukup tinggi tapi terselimut misteri.
Seruni melangkah lebar-lebar disertai wajah memberengut. Dengan sikap kasar, dibukanya satu pintu kamar yang tertutup rapat. Sebuah kamar besar dan indah, namun hanya diterangi satu pelita kecil. Gadis itu semakin memberengut melihat di atas pembaringan dua orang tengah bergumul tak mempedulikan kehadirannya. Dengan kasar dibantingnya pintu itu hingga tertutup. Maka, dua orang di pembaringan itu kontan terkejut
Mereka langsung buru-buru merapikan diri. Tampak yang laki-laki melompat dari pembaringan. Seorang pemuda berwajah tampan yang dikenal bernama Prabu Nata Kesuma. Sedangkan yang wanita berwajah cantik. Sikapnya kelihatan takut-takut ketika turun dari pembaringan. Pakaiannya belum begitu benar, sehingga bagian dadanya masih terbuka.
"Seruni, apa-apaan ini...?!" sentak Prabu Nata Kesuma.
"Suruh gendakmu ini keluar!" rungut Seruni.
Prabu Nata Kesuma meminta wanita itu keluar. Diberikannya satu kecupan di bibir gendak itu, sementara Seruni memalingkan muka. Dia tidak peduli ketika wanita itu memberi sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Dengan sikap hati-hati sekali dibukanya pintu, lalu keluar dan menutup pintu kembali. Prabu Nata Kesuma merapikan pakaiannya, kemudian duduk di tepi pembaringan. Sedangkan Seruni masih saja berdiri dengan wajah kusut.
"Ada apa, Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma lembut
"Huh! Dia menghinaku, Kakang. Dia menolakku!" rungut Seruni seraya menghempaskan tubuhnya di kursi.
"Bayu, maksudmu?"
"Siapa lagi? Dia pasti sudah dipengaruhi Rampita!"
Prabu Nata Kesuma tersenyum, kepalanya menggeleng beberapa kali. Laki-laki itu bangkit dari pembaringan dan melangkah menghampiri gadis itu. Dia duduk di samping Seruni, lalu menggenggam hangat tangan gadis itu. Tapi gadis itu menarik tangannya dengan kasar.
"Seruni, kau adikku satu-satunya. Tidak ada seorang pun yang boleh menghinamu. Akan kujatuhkan hukuman padanya besok," tegas Prabu Nata Kesuma.
"Bukan itu yang kuinginkan, Kakang!"
"Lalu?"
"Kakang, buat dia menurut padaku..."
"Ha ha ha...!" Prabu Nata Kesuma malah tertawa terbahak-bahak.
Dan Seruni semakin memberengut kesal.
"Bagaimana aku bisa membuat ramuan Pelebur Jiwa sekarang ini, Seruni. Kau sendiri kan tahu, tanpa Sari Bunga Cubung Biru tidak ada yang bisa kulakukan. Sedangkan sampai sekarang bunga itu belum berhasil didapatkan," kata Prabu Nata Kesuma setelah reda tawanya.
"Huh! Kakang selalu saja memikirkan Bunga Cubung Biru!" dengus Seruni memberengut.
"Dengar, Seruni. Kelangsungan kehidupan kita terletak pada bunga itu. Aku yakin kekuasaanku tidak akan bertahan lama jika tidak mendapatkan kembali bunga itu. Bunga Cubung Biru sangat penting bagiku, Seruni. Juga untukmu...!"
"Tapi Bayu tidak memilikinya, Kakang. Aku yakin bunga itu tidak ada padanya."
"Kenapa kau begitu yakin, Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma.
"Tadi sudah kucoba memasuki kamarnya. Sudah kucari, kuobrak-abrik seluruh kamarnya, tapi tidak ada. Juga sudah kucoba untuk merayunya, tetap saja tidak ada, Kakang. Bahkan...," suara Seruni terputus.
"Kau terus merayu dan dia menolakmu, begitu? Ha ha ha...!" Prabu Nata Kesuma tertawa terbahak-bahak.
"Tidak lucu!" bentak Seruni memberengut Tapi mukanya memerah juga.
"Sudahlah, Adikku. Bukan hanya dia pemuda tampan di dunia ini. Kau bisa mendapatkan sepuluh yang lebih tampan darinya," Prabu Nata Kesuma mencoba mendinginkan hati adiknya.
"Bayu bukan hanya tampan saja, Kakang. Tapi ilmu kedigdayaannya tinggi sekali. Bahkan dia berhasil membunuh beruang putih piaraan Eyang Banadu."
(Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah Rahasia Bunga Cubung Biru)
"Apa...?!" Prabu Nata Kesuma terperanjat
"Apakah Eyang Banadu tidak menceritakan padamu, Kakang?" tanya Seruni yang juga kaget melihat kakaknya begitu terkejut mendengar beruang putih tewas oleh Pendekar Pulau Neraka.
"Tidak. Kenapa tidak kau ceritakan hal ini padaku, Seruni?" nada suara Prabu Nata Kesuma terdengar menyesal.
"Hh..., aku pikir Eyang Banadu sudah mengatakannya padamu."
"Eyang Banadu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengatakan untuk sementara tidak bisa kembali karena ada urusan. Hanya itu yang dikatakannya."
"Eyang Banadu ingin mencari Bayu. Katanya, ingin menagih hutang beruang putihnya," sambung Seruni,
"Huh! Kalau begitu, Bayu harus dipenjara. Dan aku akan mengutus orang untuk memanggil Eyang Banadu!" tegas kata-kata Prabu Nata Kesuma.
"Kakang...!" Seruni terkejut. Gadis itu menyesal telah memberitahu perihal kematian beruang putih milik guru mereka. Dan sekarang tidak mungkin lagi niat kakaknya untuk memenjarakan Bayu bisa dicegah. Kalau sampai hal itu terjadi, tak mungkin pemuda itu bisa diharapkan lagi. Seruni tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri, kalau sudah begitu terpikat. Bukan saja oleh ketampanan, tapi ilmu kedigdayaan yang dimiliki Bayu yang membuat hatinya semakin terpikat.
Belum pernah Seruni merasakan kecemburuan pada seorang pemuda. Kecemburuan itu datang ketika melihat Bayu berada satu pondok bersama Rampita. Gadis itu tak bisa lagi mengelak kalau benih cinta sudah tumbuh di hatinya. Dia mencintai Pendekar Pulau Neraka, yang seharusnya menjadi musuhnya.
Seruni benar-benar tidak bisa berbuat apa apa lagi ketika Prabu Nata Kesuma memanggil pengawal dan memerintahkan untuk memenjarakan Bayu malam ini juga. Gadis itu hanya bisa diam terpaku di kursi yang didudukinya. Tidak mungkin ucapan kakaknya yang seorang raja di sini bisa ditentangnya. Dia mencintai Bayu, tapi juga tidak bisa menentang kakaknya.
"Kenapa Kakang memenjarakannya?" tanya Seruni tanpa disadari.
"Kenapa kau tanyakan itu, Seruni?" Prabu Nata Kesuma malah balik bertanya.
Seruni langsung terdiam. Ditundukkan kepalanya, lalu pelahan bangkit berdiri dan melangkah ke pintu.
"Seruni...," panggil Prabu Nata Kesuma.
Seruni tidak jadi keluar, meskipun telah membuka pintu kamar ini. Diputar tubuhnya, menghadap pada kakaknya. Dengan pandangan sayu ditatapnya wajah pemuda tampan itu.
"Tidurlah, kau perlu istirahat" ucap Prabu Nata Kesuma.
Seruni hanya mengangguk, kemudian berbalik dan langsung melangkah keluar. Pintu kembali tertutup begitu Seruni berada di luar kamar. Sementara Prabu Nata Kesuma masih berdiri memandangi pintu yang tertutup. Keningnya agak berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu. Mungkin tengah memikirkan sikap Seruni yang mendadak berubah ketika dirinya memerintahkan pengawal untuk memenjarakan Bayu.
"Rasanya tidak mungkin kalau Seruni jatuh cinta...," gumam Prabu Nata Kesuma bicara pada dirinya sendiri.
* * * * *
--««¦ [ LIMA ] ¦»»--
Ada enam orang penjaga di depan pintu penjara ini, sehingga tak ada kemungkinan untuk meloloskan diri. Ruangan ini terbuat dari batu tebal dan berlumut. Tak ada lampu pelita. Satu-satunya penerangan hanyalah dari sinar bulan yang menerobos masuk melalui celah batu kecil pada langit-langit. Pintu penjara ini terbuat dari jeruji besi baja yang kuat.
Mungkin jeruji besi ini bisa dipatahkan, tapi Bayu tidak tahu berapa penjaga yang harus dilewatinya. Di depan penjara ini saja ada enam penjaga. Belum lagi di pintu keluar, atau mungkin lebih banyak lagi di sekitar bangunan penjara ini. Yang pasti tidak mudah baginya untuk keluar. Namun selagi Pendekar Pulau Neraka itu berpikir keras, mendadak saja....
"Ughk!"
"Akh!"
Pekikan tertahan dan keluhan pendek terdengar beruntun. Bayu jadi terbengong melihat enam orang penjaga roboh dan tewas seketika. Sebelum Pendekar Pulau Neraka dapat mengerti, mendadak saja di depan pintu penjara muncul Seruni. Gadis ini membuka pintu penjara, lalu menyeretnya keluar dari ruangan pengap berbau tidak sedap ini.
"Seruni, kenapa kau...?"
"Jangan banyak tanya! Ayo ikuti aku!" potong Seruni cepat sebelum Bayu menyelesaikan pertanyaannya.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertanya lagi, dan langsung menuruti saja ke mana gadis itu membawanya pergi. Mereka menyusuri lorong bangunan penjara yang sempit dan pengap ini. Sampai di ujung lorong, Seruni membuka sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati tebal. Bunyi bergerit terdengar.
"Ayo, cepat!" sentak Seruni sambil menarik tangan Bayu. Mereka melewati pintu itu, dan Seruni menutupnya kembali.
Keadaan begitu gelap, tak ada penerangan sama sekali. Bayu mengayunkan kakinya ketika Seruni menyentakkan tangannya. Mereka kembali berjalan pelahan. Bayu merasakan kalau mereka berjalan menurun. Suasana yang begini gelap membuat mereka tidak bisa bergerak cepat. Ditambah lagi, jalan yang dilalui begitu licin.
Tapi rupanya lorong gelap ini tidak begitu panjang. Dan kini mereka sudah dihadang lagi oleh sebuah pintu besi. Seruni mengeluarkan anak kunci dari balik lipatan bajunya untuk membuka pintu. Bayu membantu menarik pintu itu agar terbuka. Secercah cahaya bulan langsung menerobos menerangi. Mereka bergegas keluar. Seruni menutup kembali pintu besi itu dan menguncinya. Disimpannya kembali kunci itu di balik lipatan bajunya. Sementara Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Di mana ini?" tanya Bayu.
"Di luar bagian Barat istana," sahut Seruni.
Bayu belum sempat bertanya lagi, karena Seruni sudah menyeretnya kembali. Mereka kemudian berlari kecil masuk ke sebuah hutan kecil yang tidak begitu lebat Tidak seperti bangunan-bangunan istana lainnya yang selalu berdiri di tengah-tengah kota, istana ini justru berada di tengah-tengah hutan.
Seruni berhenti berlari setelah cukup jauh mereka meninggalkan Istana Cagar Angin. Bayu juga ikut berhenti. Mereka benar-benar di dalam hutan sekarang ini. Tak ada yang bisa dilihat kecuali kegelapan dan pepohonan yang besar dan rapat Hanya gerit binatang malam yang terdengar.
"Kenapa aku kau bebaskan, Seruni?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Maaf, aku harus cepat kembali. Mereka tidak boleh tahu kalau aku telah membebaskanmu," kata Seruni tanpa menjawab pertanyaan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Tapi..."
Bayu tak sempat lagi meneruskan ucapannya, karena Seruni telah lebih cepat memeluk dan melumat bibir Pendekar Pulau Neraka itu. Kejadian yang begitu cepat dan tidak sempat disadari lagi. Sebelum Bayu bisa berkata apa-apa, gadis itu sudah berlari cepat meninggalkannya. Pemuda itu hanya bisa memandangi kepergian Seruni hingga lenyap ditelan kegelapan malam.
"Aneh...," desah Bayu seraya mengangkat bahunya. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tatapan matanya langsung tertumbuk pada kerlip cahaya yang timbul tenggelam di antara pepohonan yang menghitam. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung berjalan cepat menuju arah cahaya itu.
Bayu memandangi sebuah pondok kecil yang terbuat dari bilik bambu dan beratapkan daun rumbia. Cahaya yang dilihatnya tadi ternyata dari sebuah pelita kecil yang tergantung di beranda pondok kecil ini. Bayu melangkah mendekati kepintu yang terbuka. Sebentar Pendekar Pulau Neraka berhenti dan melongok ke dalam. Tak ada seorang pun di dalam pondok ini. Tapi....
Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu sempat berpikir jauh, mendadak saja mendengar suara mendesing dari arah belakang. Tak sempat lagi Bayu menoleh, tapi dengan cepat dimiringkan tubuhnya ke samping Maka sebuah benda seperti anak panah meluncur lewat di samping kepalanya.
"Hup !" Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melompat.
"Nyi Rampik...!" desis Bayu terkejut begitu melihat seorang perempuan tua tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh didepannya.
"Bayu...!" perempuan tua yang ternyata memang Nyi Rampik itu juga terkejut
"Kenapa ada di sini, Nyi?" tanya Bayu seraya menghampiri.
"Hhh...! Ceritanya panjang, Bayu," sahut Nyi Rampik bernada mengeluh.
Mereka kemudian duduk di beranda pondok kecil ini.
"Di mana Rampita, Nyi?" tanya Bayu yang teringat Rampita.
"Itulah, Bayu.... Kenapa aku pergi dan mencarimu"
"Katakan, Nyi. Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Bayu mendesak.
"Tidak lama kau pergi, datang seorang laki-laki tua bertubuh cebol yang ingin menculik Rampita. Aku dan Rampita berusaha melawan, tapi laki-laki itu terlalu tangguh. Aku berhasil melukainya, tapi dia malah membuatku pingsan. Begitu sadar, ternyata Rampita sudah tidak ada lagi. Tapi sebelum aku pingsan, samar-samar aku dengar kalau laki-laki itu mencarimu," Nyi Rampik menceritakan dengan singkat.
Bayu tertegun diam membisu. Dia tahu, siapa laki-laki cebol itu. Seorang tua bertubuh kecil gemuk yang bernama Eyang Banadu. Tapi yang tidak bisa dimengerti adalah, kenapa Eyang Banadu mencarinya?
Dan kini malah menyandera Rampita untuk jaminan kedatangannya. Bayu teringat ketika kembali ke pondok perempuan tua ini dalam keadaan kosong, kecuali Nyi Rampik yang tengah pingsan. Dan di situ dia bertemu Panglima Gajah Sodra. Pendekar Pulau Neraka menatap perempuan tua yang duduk di depannya. Tarikan napas berat terdengar dari hidung Pendekar Pulau Neraka itu.
"Di mana dia menungguku, Nyi?" tanya Bayu.
"Di Lembah Bunga. Kau tahu Padepokan Tongkat Sakti, bukan? Di sana dia menunggumu," sahut Nyi Rampik.
"Ya, aku tahu. Padepokan itu sudah hancur," desah Bayu.
"Kasihan anak itu. Penderitaan tidak pernah berhenti mengikutinya...," desah Nyi Rampik.
Bayu semakin dalam memandangi perempuan tua itu. Desahan Nyi Rampik tadi terasa aneh di telinganya. Dan rupanya perempuan tua itu baru menyadari. Dipalingkan mukanya, seakan-akan tak sanggup menerima tatapan Pendekar Pulau Neraka ini. Tatapan begitu tajam menusuk, seperti menuntut banyak darinya.
"Sepertinya kau sudah mengenal Rampita cukup lama, Nyi," ujar Bayu, bernada curiga.
Nyi Rampik tidak menjawab, tapi hanya menarik napas panjang saja. Sedangkan Bayu semakin dalam memandangi wajah tua di depannya ini.
"Kau menyembunyikan sesuatu, Nyi?" desak Bayu.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan padamu. Bayu. Aku merasa bersalah karena tidak berterus terang padamu waktu itu. Aku memang sudah mengenal lama, bahkan sejak Rampita masih kecil," pelan sekali suara Nyi Rampik.
"Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalnya, Nyi?" Bayu benar-benar tidak mengerti.
Memang terlalu banyak kepura-puraan yang ditemui Pendekar Pulau Neraka di sekitar Gunung Cakal ini. Bahkan sepertinya hampir semua orang selalu berpura-pura. Sukar baginya untuk bisa memahami. Bahkan sulit untuk mempercayai seorang pun di sini.
"Sukar untuk dijelaskan, Bayu. Masalahnya ini menyangkut kesetiaanku," kata Nyi Rampik pelan.
"Kesetiaan? Aku tidak mengerti maksudmu, Nyi."
"Kau akan mengerti jika sudah bertemu Dewa Pengemis, Bayu."
Bayu tersentak kaget. Dia ingat, kalau pernah bertemu seorang laki-laki tua berpakaian pengemis. Bahkan sempat ditolongnya. Tapi laki-laki tua yang mengaku bernama Dewa Pengemis itu justru malah menyerangnya setelah Rampita muncul. Bayu sendiri jadi tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Rampita muncul lalu menuduhnya yang tidak tidak. Dan sekarang Nyi Rampik mengatakan kalau Rampita diculik Eyang Banadu.
Semakin sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa mengetahui kebenaran semua ini. Terlalu banyak peristiwa yang sukar dipahami. Bayu merasakan dirinya masuk dalam lingkaran manusia-manusia aneh dengan segala tingkah polah yang membingungkan.
Tapi hal ini justru membuat Pendekar Pulau Neraka itu semakin ingin tahu, dan tidak mungkin diungkapkan sekaligus. Paling tidak dia harus mempercayai satu orang. Apakah mungkin Nyi Rampik bisa dipercayai? Atau Seruni, dara ayu penuh misteri yang sikapnya begitu aneh?
Sementara waktu terus berputar sesuai kodratnya. Terdengar ayam jantan berkokok, dan burung-burung berkicau, pertanda malam akan segera berganti. Namun kegelapan masih menyelimuti sekitarnya. Bayu baru tersadar, kalau sekarang berada di suatu tempat yang tidak diketahui apa namanya.
"Tempat apa ini, Nyi?" tanya Bayu.
"Sebelah Selatan Lembah Bunga. Kalau kau ingin ke Padepokan Tongkat Sakti, tidak berapa jauh lagi. Pondok ini baru kudirikan siang tadi," jelas Nyi Rampik.
"Kita tunggu sampai siang nanti, Nyi."
"Kau akan menemui si cebol itu, Bayu?"
"Ya," sahut Bayu mantap.
Bayu memang sudah memutuskan untuk pergi ke Padepokan Tongkat Sakti yang diketahuinya sudah hancur. Pendekar Pulau Neraka ingin membuktikan kata-kata Nyi Rampik. Jika memang benar, perempuan tua ini mungkin bisa dipercayainya. Paling tidak, ada satu orang yang bisa dipercaya daripada tidak sama sekali. Mungkin dengan begini bisa diungkapkan satu persatu dari semua teka-teki yang tengah dihadapinya.
* * * * *
Bayu memandangi sekitar Padepokan Tongkat Sakti yang telah rata dengan tanah. Pemandangan yang memang tidak sedap dinikmati. Di antara reruntuhan bekas padepokan itu, mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan rusak. Bahkan sebagian tinggal tulang belulang berserakan. Bau tidak sedap menyengat hidung. Pendekar Pulau Neraka mengalihkan perhatiannya ke suatu arah.
Dan memang di situ telah ada seorang laki-laki tua bertubuh kecil gemuk, dan berkepala gundul berkilat Dia berdiri tidak jauh di depan, di bawah sebatang pohon beringin yang cukup besar dan rindang. Tampak Rampita terikat di pohon itu.
"He he he.... Akhirnya kau datang juga, Bayu," suara laki-laki gemuk cebol itu terdengar serak dan berat
"Hati-hati, Bayu. Dia keturunan dari tanah India. Ilmu kedigdayaannya sangat tinggi," bisik Nyi Rampik yang berada di samping Pendekar Pulau Neraka.
Bayu hanya menggumam kecil saja. Diayunkan kakinya menghampiri laki-laki tua cebol itu. Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Sedikit pun perhatiannya tidak dialihkan dari orang tua cebol keturunan India ini. Bayu memang sudah pernah bertemu sekali. Tapi, waktu itu Pendekar Pulau Neraka yakin kalau laki-laki yang bernama Eyang Banadu ini sudah mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Sekarang mereka berdua berhadapan lagi. Saat ini Bayu sudah tahu kalau Eyang Banadu jelas ada hubungannya dengan Seruni dan Prabu Nata Kesuma. Di Istana Kerajaan Cagar Angin, Pendekar Pulau Neraka itu juga telah lihat delapan gadis murid laki-laki cebol ini. Bayu menghentikan langkahnya sekitar dua batang tombak jaraknya di depan Eyang Banadu.
"Semula aku menghormatimu, Eyang Banadu. Kau bijaksana, tidak mendengarkan pengaduan sepihak. Tapi perbuatanmu ini sungguh memalukan. Membuat rasa hormatku pupus," terdengar dingin nada suara Bayu.
"He he he.... Sungguh pandai kau bermain kata-kata, Bayu. Maaf, aku telah memanfaatkan gadis ini. Tapi hanya itulah cara yang kuperoleh untuk mengundangmu datang ke sini," sambut Eyang Banadu ringan.
"Hm.... Kau hanya menginginkanku, Eyang Banadu. Kenapa tidak kau lepaskan gadis itu?" tetap dingin nada suara Bayu.
Sambil terkekeh Eyang Banadu cepat menggerakkan tongkatnya. Dan seketika itu juga tambang yang mengikat Rampita di pohon terputus.
"Nah! Sekarang tinggal urusan kita berdua, Bayu," ujar Eyang Banadu.
"Kenapa kau menantangku dengan cara licik seperti ini, Eyang Banadu?" tanya Bayu ingin tahu.
"Karena kau telah membunuh binatang piaraanku, dan harus ditebus dengan darahmu sendiri, Bayu!" tegas Eyang Banadu.
"Oh.... Jadi beruang putih itu milikmu?" Bayu langsung bisa menangkap.
"Benar! Sekarang aku ingin meminta tanggung jawabmu!"
"Kenapa tidak minta tanggung jawab pada Seruni? Dialah yang membawa beruang putih itu dan menyuruh menyerangku. Rasanya salah jika meminta tanggung jawabku, Eyang Banadu!"
"Jangan menyalahkan orang lain, Bayu! Muridku mencoba melindungi diri dari nafsu kotormu!" bentak Eyang Banadu.
"He...!" Bayu tersentak.
"Apa lagi yang diperbuat Seruni... ?"
"Heh! Kau berpura-pura mengantarkan kotak kayu berisi Bunga Cubung Biru, padahal punya maksud buruk pada muridku. Kau tahu, Seruni adalah murid kesayanganku! Tak ada seorang pun yang bisa berlaku kurang ajar padanya. Nah! Bersiaplah, Bayu...!"
Bayu tak punya waktu lagi untuk menjelaskan, karena Eyang Banadu sudah melompat menyerang sambil berteriak keras. Laki-laki tua cebol itu mengebutkan tongkatnya beberapa kali, membuat Pendekar Pulau Neraka terpaksa jumpalitan menghindari. Sungguh dahsyat serangan-serangan yang dilancarkan Eyang Banadu. Setiap kebutan tongkatnya mengandung hawa dingin membekukan disertai hembusan angin kencang bagai hendak menghempaskan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Yeaaah...!"
Wuk!
Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Kali ini Eyang Banadu bertarung sungguh-sungguh. Terbukti serangan-serangannya sungguh dahsyat, membuat Pendekar Pulau Neraka agak kelabakan menghadapinya. Tongkat kayu yang digunakan sebagai senjata, sungguh dahsyat luar biasa. Batu dan pepohonan hancur terkena hantamannya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, tempat yang sudah berantakan semakin porak poranda akibat pertarungan itu.
Namun sampai sejauh ini, Bayu belum balas menyerang. Meskipun sesekali melontarkan pukulan keras, namun tidak berarti sama sekali. Kelihatan sekali kalau Pendekar Pulau Neraka itu tidak sungguh-sungguh dalam pertarungan ini.
"Phuih! Kau menghinaku, Anak Muda!" bentak Eyang Banadu seraya mengirimkan satu pukulan tangan kiri yang keras.
"Uts!" Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping, maka pukulan orang tua cebol itu luput dari sasaran. Namun sebelum Bayu bisa menarik tubuhnya kembali, Eyang Banadu sudah memberi satu sodokan tongkat ke arah dada.
Wuk!
"Yaaah...!"
Bayu terpaksa memutar tubuhnya ke belakang. Tapi Eyang Banadu terus mencecar dengan tusukan dan kibasan tongkat beberapa kali. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka harus berjumpalitan berputaran menghindari serangan beruntun ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu melentingkan tubuhnya ke udara ketika Eyang Banadu menghentakkan tongkatnya ke arah kaki.
"Hiyaaa...!"
Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian manis sekali hinggap di tanah sekitar dua batang tombak di belakang laki-laki tua cebol itu. Cepat sekali Eyang Banadu memutar tubuhnya.
"Tunggu! Dengarlah penjelasanku dulu!" bentak Bayu cepat
"Tidak ada lagi penjelasan, Anak Muda! Kau harus mampus hari ini! Hiyaaat..!"
Rupanya Eyang Banadu tidak bisa lagi diajak bicara. Kemarahannya sudah memuncak, sehingga kembali melompat menerjang dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Serangannya cepat luar biasa disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau Neraka untuk memberi penjelasan yang sebenarnya. Pemuda itu terpaksa berkelit menghindari serangan orang tua cebol itu.
Serangan-serangan yang dilakukan Eyang Banadu semakin meningkat. Dan Bayu tidak bisa lagi bermain main kali ini. Sedikit saja kelengahan akan berakibat fatal buat dirinya sendiri. Terpaksa Pendekar Pula Neraka itu melayani secara sungguh-sungguh pula.
Di tempat yang tidak begitu jauh, Rampita menyaksikan! pertarungan itu disertai perasaan cemas. Dia mengharapkan Bayu dapat cepat menyelesaikan pertarungan ini. Sementara Nyi Rampik menyaksikan pertarungan itu dari tempat yang agak jauh.
"Lepas...!" Tiba-tiba Bayu berseru keras. Dan seketika itu juga dihentakkan tangannya, tepat saat Eyang Banadu menghantamkan tongkatnya ke kepala Pendekar Pulau Neraka itu. Tak dapat dihindari lagi. Tongkat kayu itu beradu keras dengan pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Tring!
Sebelum laki-laki tua cebol itu hilang dari keterkejutannya, secepat kilat Bayu sudah mengirimkan pukulan menggeledek ke dada orang tua cebol itu.
Deeesss!
"Ughk...!" Eyang Banadu mengeluh pendek. Tak sempat menghindari lagi pukulan yang keras itu!
Trak!
"Eh...?!" Eyang Banadu terperanjat. Tongkat kayunya terbelah jadi dua bagian. Dan sebelum laki-laki tua cebol itu hilang dari keterkejutannya, secepat kilat Bayu sudah mengirimkan pukulan keras menggeledek, mengarah ke bagian dada orang tua cebol itu.
"Yeaaah...!"
Duk!
"Ughk...!" Eyang Banadu mengeluh pendek. Pukulan Bayu yang keras tak dapat dihindari lagi. Tubuh gemuk cebol itu terpental sejauh tiga batang tombak. Beberapa kali Eyang Banadu bergulingan di tanah, namun mampu cepat bangkit kembali meskipun agak limbung. Darah menetes keluar dari sudut bibirnya. Orang tua cebol itu melemparkan tongkat yang terbelah, kemudian melepaskan untaian kalung hitam dari lehernya.
Wuk! Wuk...!
"Hiyaaat ..!"
Sambil memutar-mutar kalung batu hitamnya. Eyang Banadu melompat menerjang kembali. Bayu menggeser kakinya sedikit ke samping. Pada saat yang sama laki-laki cebol itu melemparkan kalungnya dengan kecepatan tinggi. Tak mungkin lagi bagi Bayu menghindarinya. Cepat-cepat dimiringkan tubuhnya ke kiri, lalu....
"Yeaaah...!
Swing!
Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu bergerak cepat seketika Cakra Maut bersegi enam melesat. Senjata itu langsung menyambar untaian kalung hitam yang melayang deras di angkasa. Satu benturan keras terjadi, disertai ledakan dahsyat menggelegar. Seketika bunga api memercik menyebar ke segala penjuru.
Untuk kedua kalinya Eyang Banadu terperangah. Untaian kalung hitamnya hancur berantakan. Sedangkan Cakra Maut bersegi enam melesat berbalik ke arah pemiliknya, dan menempel kembali di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan sebelum Eyang Banadu bisa menguasai keterkejutannya, Bayu sudah melesatkan kembali senjata mautnya.
Sing...!
"Uts!" Buru-buru Eyang Banadu melompat ke samping menghindari senjata bulat bersegi enam itu. Namun belum juga bisa berdiri tegak sempurna, Cakra Maut sudah kembali melesat ke arahnya. Seketika laki-laki tua cebol itu hanya bisa membeliak.
Cras!
"Aaakh...!" Eyang Banadu menjerit keras melengking. Ujung-ujung Cakra Maut berhasil merobek dada laki-laki tua cebol itu. Seketika darah muncrat keluar membasahi dadanya. Eyang Banadu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang sobek cukup panjang.
"Kau yang menghendaki kematianmu sendiri, Eyang Banadu! Hiya!" seru Bayu keras.
Saat Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu, secepat itu pula dia melompat sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna. Eyang Banadu tak mungkin lagi berkelit. Dan....
Bughk!
"Aaa...!" Untuk kedua kalinya Eyang Banadu menjerit melengking tinggi. Pukulan yang dilontarkan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam kepala gundul orang tua gemuk cebol itu. Terdengar suara berderak dari batok kepala yang pecah. Tampak darah merembes keluar dari kepala tanpa rambut itu. Sebentar Eyang Banadu masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk menggelepar di tanah.
Bayu berdiri tegak memandangi tubuh cebol yang menggelepar meregang nyawa. Tak lama berselang, Eyang Banadu menghembuskan napasnya yang terakhir. Darah kini menggenang dari dada dan kepalanya. Bayu melangkah mundur beberapa tindak, kemudian berbalik. Pada saat itu Rampita berlari menghampiri diikuti Nyi Rampik.
"Kakang...!" seru Rampita.
--««¦ [ ENAM ] ¦»»--
"Uhk...!" Bayu mengeluh sambil berdiri. Sebelum Pendekar Pulau Neraka itu bisa bangkit berdiri tegak, bayangan itu kembali meluruk deras ke arahnya. Cepat-cepat Bayu melompat ke samping dan menjatuhkan diri ke tanah. Dia bergulingan beberapa kali, lalu bergegas melompat bangkit. Pada saat itu, terlihat bayangan itu kembali meluruk menyambarnya. Kali ini Bayu tidak menghindar, siap menerima dengan kaki terbuka lebar agak menekuk.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Tepat pada saat itu, bayangan itu segera melesat ke atas menghindari benturan dengan Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu tak mau tinggal diam. Secepat kilat dilentingkan tubuhnya ke atas, dan kembali dilontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
Dughk!
Hantaman Bayu tepat mengenai sasaran, tapi tangannya jadi terasa nyeri. Bahkan tubuhnya terlontar jatuh, bergulingan di tanah. Demikian juga bayangan itu. Dia terjatuh keras ke tanah. Hampir bersamaan mereka bangkit berdiri.
"Dewa Pengemis...!" desis Bayu begitu mengenali bayangan yang menyerangnya tadi.
"Paman...!" Rampita tersentak begitu bisa mengenali pula.
Rampita buru-buru berlari dan berdiri di tengah-tengah ketika Dewa Pengemis hendak melancarkan serangan kembali. Pada saat itu Nyi Rampik juga menghampiri laki-laki tua kurus kering yang berpakaian compang camping itu.
"Hentikan, Kakang!" bentak Nyi Rampik.
"Heh...?!" Dewa Pengemis tampak terkejut melihat Nyi Rampik ada di sini.
"Apa-apaan ini...?!" bentak Nyi Rampik nampak gusar.
"Minggir, Rampik. Biar kuhajar bocah keparat itu!" dengus Dewa Pengemis dingin.
"Kenapa? Apa salahnya padamu, Kakang?" tanya Nyi Rampik tidak mengerti.
"Kau jangan coba-coba melindunginya, Rampik. Dia sudah berani mengganggu Rampita dan menculiknya!"
"Paman...!" Rampita terkejut.
"Edan! Setan mana yang menutup matamu, Kakang?" dengus Nyi Rampik
"Heh...?!" Dewa Pengemis terlonjak. Laki-laki tua kurus itu memandangi Nyi Rampik dan Rampita bergantian. Sinar matanya seperti tidak mempercayai apa yang didengarnya tadi. Kemudian matanya beralih menatap Bayu. Bahkan saat itu Rampita menghampiri Bayu dan berdiri di sampingnya. Hal ini semakin membuat Dewa Pengemis jadi bengong seperti orang tolol.
"Ada apa ini? Rampita...!" Dewa Pengemis seakan-akan meminta penjelasan.
"Dari dulu kelakuanmu tidak pernah berubah! Pakai otakmu, Kakang...!" dengus Nyi Rampik bernada kesal.
Dewa Pengemis tampak semakin kebingungan. Dipandanginya ketiga orang di sekitarnya. Sementara Rampita menggandeng tangan Bayu dan mengajak menghampiri laki-laki tua pengemis itu. Gadis itu tersenyum, seperti mengerti kebingungan yang dialami Dewa Pengemis.
"Kenapa Paman membenci Kakang Bayu?" tanya Rampita lembut
"Aku..., aku...," Dewa Pengemis jadi gelagapan.
"Sudahlah, ini hanya salah paham saja," Bayu menengahi. Tidak tega juga hanya melihat laki-laki tua itu jadi serba salah.
"Aku tahu, ini pasti gara-gara si Seruni!" desis Nyi Rampik
"Jangan menuduh sembarang dulu, Nyi. Belum tentu ada sangkut pautnya dengan Seruni," sergah Rampita.
"Pasti! Anak nakal itu selalu saja bikin ulah. Kali ini sudah keterlaluan. Kau jangan membelanya terus, Rampita!" Nyi Rampik memperingatkan.
"Tapi, Nyi...."
"Tidak ada tapi-tapian!" bentak Nyi Rampik, cepat memotong ucapan Rampita.
"Aku kasihan padamu, Rampita. Sejak kecil selalu menderita, tapi kau terus mengalah. Kenapa? Kenapa kau terus mengalah, Rampita...?"
Rampita diam saja. Sedangkan Bayu hanya memandangi kedua wanita itu, disertai sinar mata keheranan. Sementara Dewa Pengemis sendiri masih diliputi ketidak mengertian akan semua kejadian ini. Diam-diam didekatinya Pendekar Pulau Neraka, lalu dicoleknya lengan pemuda itu. Bayu menoleh, lalu menggeser kakinya menjauhi Rampita. Dia berjalan mengikuti laki-laki tua pengemis itu.
"Jelaskan padaku, ada apa semua ini?" tanya Dewa Pengemis minta penjelasan.
"Aku sendiri tidak mengerti...," sahut Bayu.
"Edan! Barangkali semua orang sudah gila. Huh! Kenapa aku jadi ikut-ikutan gila...?!" rungut Dewa Pengemis.
"Ki... Hm, boleh aku memanggilmu begitu?"
"Terserah."
"Kenapa kau tiba-tiba memusuhi dan menyerangku, Ki?" tanya Bayu.
"Justru itu yang ingin kutanyakan padamu! Kenapa kau menculik Rampita?!" Dewa Pengemis malah balik bertanya.
"Aku tidak menculik Rampita. Aku justru ke sini untuk membebaskannya dari tangan Eyang Banadu."
"Heh!" Dewa Pengemis tampak terkejut
"Ada apa, Ki?" tanya Bayu.
Dewa Pengemis menatap Bayu dalam-dalam, kemudian pandangannya beralih pada sosok tubuh cebol tua yang tergeletak tak bernyawa di tanah. Kembali ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau itu seperti tidak percaya.
"Kau mengalahkannya...?" nada suara Dewa Pengemis seperti tidak mempercayai kalau Bayu yang menewaskan Eyang Banadu.
"Benar. Kenapa?"
"Aku sendiri belum tentu sanggup menandinginya. Bagaimana kau bisa mengalahkannya, Bayu?"
"Aku sendiri tidak tahu. Mungkin karena dia dirasuk kemarahan, sehingga tidak bisa mengendalikan diri," sahut Bayu seenaknya.
"Kau tahu, di daerah ini Eyang Banadu tidak ada yang menandingi. Ah, sudahlah.... Itu urusanmu. Tapi...," Dewa Pengemis kembali menatap Bayu dalam-dalam.
"Benar kau tidak menculik Rampita?"
"Apa perlu bersumpah? Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada Rampita sendiri."
"Aneh...! Padahal semalaman aku menjagainya. Kenapa bisa kecolongan...?" Dewa Pengemis bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Semalaman...?! Ki, Rampita sudah ada di sini sejak kemarin."
"Tidak mungkin! Semalam dia masih ada bersamaku!" bantah Dewa Pengemis.
"Ah..., mungkinkah ini ulah Seruni?" desah Bayu pelan.
"Ini bukan waktunya main-main, Bayu!"
"Aku tidak main-main. Hm.... Sebaiknya persoalan kita pecahkan bersama, lalu cari biang keladinya. Bagaimana?"
"Kau benar, Bayu."
Kedua laki-laki yang semula bersitegang itu, kemudian menghampiri Rampita dan Nyi Rampik yang juga tengah membicarakan persoalan yang sedang dihadapi. Mereka berempat kemudian berkumpul, duduk di sebuah batang pohon rindang. Mereka menyatukan pendapat dan mencari kebenaran yang selama ini seperti dipermainkan.
Memang sukar untuk dimengerti, namun akhirnya mereka menyadari kalau selama ini menjadi boneka permainan. Mereka sengaja diadu domba agar timbul perpecahan satu sama lain, sehingga saling bentrok. Terutama antara Pendekar Pulau Neraka dengan Dewa Pengemis. Terlebih lagi laki-laki tua berpakaian compang camping itu yang baru menyadari dirinya telah dipermainkan seorang wanita yang menyamar menjadi Rampita. Dan mereka semua tahu, siapa wanita itu.
Tapi yang lebih penting lagi, semua persoalan ini ternyata bertumpu pada sekuntum Bunga Cubung Biru yang sampai sekarang belum ada seorang pun yang memilikinya. Tak ada seorang pun yang tahu, di mana Bunga Cubung Biru kini. Namun di lain hal, semuanya jadi prihatin terhadap nasib Rampita.
Gadis ini akan terus lemah tanpa daya jika tidak segera diobati oleh bunga itu. Bahkan mungkin nyawa gadis ini bakal terenggut jika sekali saja menggunakan ilmu tenaga dalam. Secara alamiah, penggunaan tenaga dalam akan membuka aliran darah. Dan itu akan mengakibatkan sejenis racun dan luka dalam di tubuh gadis itu akan meluas sehingga akan berakibat sangat parah baginya.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Bayu memancing pendapat
Tak ada satu pun yang menjawab. Mereka hanya saling melemparkan pandang. Satu pertanyaan yang mudah dilontarkan, namun terasa sukar dijawab.
"Baiklah. Karena ini menyangkut keselamatan Rampita, aku mengusulkan untuk mencari Bunga Cubung Biru terlebih dahulu. Kita singkirkan semua persoalan dengan Seruni atau siapa saja. Bagaimana?" Bayu memberikan usul.
"Aku terserah saja...," Rampita menanggapi. Gadis itu memang sudah pasrah, karena tahu tidak akan bisa pulih tanpa Bunga Cubung Biru. Tak ada satu tabib pun yang bisa menyembuhkan luka-lukanya.
Memang Rampita sendiri tidak tahu, dengan apa Seruni melukainya. Waktu itu Nyi Rampik sudah memberi usul agar meminta obat penawar pada Seruni, tapi hal itu tidak akan mungkin. Karena, mereka semua tahu siapa gadis itu. Hanya saja mereka memang tidak memberitahukan Bayu. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sendiri tidak suka mendesak. Dia yakin kalau antara Rampita dan Seruni ada suatu hubungan. Bisa saja mereka bersaudara, bahkan mungkin bisa dikatakan saudara kembar.
"Dari mana kita mulai mencari bunga itu?" tanya Dewa Pengemis.
"Yang kutahu, Anom Sura menyimpan bunga itu dalam kotak kayu yang disimpan di bawah altar semadinya," jelas Nyi Rampik.
"Kotak itu sudah ada di tangan Seruni, tapi katanya bunga itu tidak ada di dalam kotak. Bahkan Kakang Bayu dituduh sebagai orang yang mengambilnya," sergah Rampita.
"Sedangkan kita sendiri tahu, Bayu tidak memiliki bunga itu," sambung Nyi Rampik.
"Hm..." Ada satu tempat yang sangat rahasia...," gumam Dewa Pengemis.
"Tapi aku tidak yakin kalau Anom Sura menyimpannya di sana."
"Segala kemungkinan harus dilaksanakan, Ki," celetuk Bayu.
"Kau yang lebih dekat dengan Anom Sura, jadi pasti lebih tahu tentang dia, Kakang," tegas Nyi Rampik.
Dewa Pengemis bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya reruntuhan bangunan Padepokan Tongkat Sakti. Kemudian kakinya terayun melangkah. Bayu, Nyi Rampik, dan Rampita mengikuti dari belakang. Mereka hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan dilakukan laki-laki tua pengemis ini.
Sedangkan Dewa Pengemis terus melangkah pelahan mendekati reruntuhan bangunan bekas padepokan tanpa berbicara sedikit pun juga. Dilewatinya reruntuhan bangunan itu, lalu terus berjalan menuju sebuah bangunan batu yang sudah hancur berantakan. Laki-laki tua berpakaian compang camping itu berhenti di dekat situ.
"Bayu, bisa kau singkirkan batu-batu ini?" tanya Dewa Pengemis seraya berpaling menatap pada Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tak menjawab, tapi lalu melangkah ke depan beberapa tindak. Sedangkan Dewa Pengemis mundur mendekati Nyi Rampik dan Rampita. Sebentar Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping tubuhnya. Kemudian digeser kakinya hingga terentang. Pelahan sekali tangannya bergerak ke depan dada, lalu kedua telapak tangannya merapat. Pelan-pelan Bayu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kemudian tangan kanannya naik ke atas dan tangan kiri ditarik hingga sejajar pinggang. Cepat sekali ditarik tangan kanannya hingga sejajar dada. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Bayu menghentakkan telapak tangan kanannya yang terbuka lebar ke depan. Pada saat itu terdengar suara menggemuruh. Tampak batu-batuan yang bertumpuk tidak beraturan di depannya berpentalan. Sebentar saja semua batu telah berserakan ke segala arah. Tinggal sebuah batu besar yang tampaknya tertanam di dalam tanah, sehingga hanya bagian atasnya saja yang terlihat
"Hebat!" puji Dewa Pengemis tulus.
"Ilmu apa yang kau gunakan itu, Bayu?"
"Aku menamakan jurus 'Sapuan Gelombang Samudra'," sahut Bayu.
"Sungguh dahsyat."
"Tapi itu belum sempurna, Ki," Bayu merendah.
"Ayolah, kita angkat batu itu," ajak Dewa Pengemis.
"Ki...." Bayu menahan dada laki-laki tua pengemis itu yang hendak melangkah menghampiri.
Dewa Pengemis menghentikan langkahnya, lalu tersenyum dan terangguk Bisa dimengerti maksud pemuda berbaju kulit harimau itu. Selangkah kakinya mundur.
Bayu menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, kemudian menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras. Tampak dari kedua telapak tangannya meluncur secercah cahaya kuning keemasan. Cahaya itu langsung menyambar batu yang terbenam ke dalam tanah itu. Ledakan keras terdengar menggelegar. Seketika batu itu hancur berkeping-keping, menimbulkan debu yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
Begitu debu menyebar terbawa angin, tampak sebuah lubang yang cukup besar berbentuk segi empat. Di tengah-tengah lubang itu terlihat sebuah kotak terbuat dari besi berwarna kemerahan. Dewa Pengemis bergegas menghampiri, lalu masuk ke dalam lubang itu dan mengambil kotak besi. Bayu membantu laki-laki tua itu keluar dari dalam lubang.
Dewa Pengemis membuka tutup besi. Tampak di dalam kotak besi kemerahan itu terdapat sekuntum bunga berwarna biru yang mengeluarkan cahaya terang berkilauan. Bunga itu bentuknya mirip bunga teratai, tapi ukurannya lebih kecil. Wajah Dewa Pengemis, Nyi Rampik, dan Rampita berseri-seri.
"Sudah kuduga, pasti Anom Sura menyimpannya di situ," desah Dewa Pengemis seraya menyerahkan kotak besi yang sudah tertutup lagi pada Rampita.
"Ini milikmu, jaga dengan baik"
Rampita menerimanya, namun bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Benda yang selama ini menjadi pangkal segala kerusuhan, ternyata berhasil dimilikinya lagi. Bunga ajaib yang akan memulihkan keadaan tubuhnya kembali seperti semula. Rampita menyerahkan kotak besi berisi Bunga Cubung Biru itu pada Nyi Rampik.
"Buatkan obat untukku, Nyi," ucap Rampita agak tersendat suaranya.
"Baik, Gusti Ayu," sahut Nyi Rampak seraya menerima kotak besi itu, bersikap penuh rasa hormat.
"Gusti Ayu...?!" Bayu mendesis tidak mengerti.
Pendekar Pulau Neraka itu memandangi Rampita dan Nyi Rampik bergantian. Sungguh hatinya terkejut dan tidak mengerti, kenapa Nyi Rampik memanggil Rampita dengan sebutan Gusti Ayu. Suatu sebutan yang biasa digunakan putri-putri bangsawan atau kerabat kerajaan.
Tapi Bayu belum bisa menanyakan, karena Dewa Pengemis sudah menggeret tangannya meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Rampita dan Nyi Rampik yang langsung sibuk menyiapkan peralatan yang dibawa untuk membuat ramuan obat dari Bunga Cubung Biru.
Bayu mengayunkan kakinya pelahan-lahan, berjalan semakin jauh meninggalkan reruntuhan Padepokan Tongkat Sakti. Sementara di sampingnya berjalan Dewa Pengemis. Sesekali mereka berhenti dan menoleh ke belakang. Tampak Nyi Rampik masih sibuk mempersiapkan peralatan untuk membuat ramuan Bunga Cubung Biru. Tanpa terasa kedua orang itu sudah begitu jauh meninggalkan kedua wanita itu.
"Bayu...."
"Ya?" Bayu menghentikan langkahnya. Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuh menghadap Dewa Pengemis yang rupanya sudah lebih dahulu berhenti berjalan. Sesaat mereka hanya saling tatap saja.
"Maaf, aku telah berlaku buruk padamu," ucap Dewa Pengemis.
"Lupakan saja," desah Bayu seraya tersenyum.
"Bayu, boleh aku bertanya secara pribadi padamu?"
"Kenapa tidak?"
"Kenapa kau selalu membela Rampita?" tanya Dewa Pengemis.
"Aku...? Aku...," Bayu tidak bisa menyelesaikan jawabannya. Terus terang, dia sendiri tidak tahu, kenapa selalu membela gadis itu. Rampita memang cantik. Bukan hanya wajahnya, tapi juga hatinya. Bayu dapat merasakan kecantikan seutuhnya pada gadis itu. Tapi untuk menjawab pertanyaan Dewa Pengemis, terasa sulit sekail
"Kenapa kau tanyakan itu, Ki?" Bayu malah balik bertanya.
"Jika kau tidak suka menjawabnya, lupakan saja. Ah! Pikiran orang tua memang selalu macam-macam. Lupakan saja, Bayu."
"Sikap yang sangat aneh!" dengus Bayu dalam hati. Benar-benar sulit memahami sikap laki-laki tua ini.
Sesaat kedua orang itu membisu, seperti mencari kata-kata yang tepat untuk berbicara kembali.
"Baiklah, kalau begitu aku yang akan bertanya padamu. Boleh?" Bayu mengalah.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Tentang Rampita."
Dewa Pengemis mengerutkan keningnya.
"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Bayu.
Baru sekarang pertanyaan yang selalu menjadi ganjalan di benaknya bisa dilontarkan. Dan Dewa Pengemis nampak terhenyak mendengar pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Sesaat laki-laki tua itu terdiam membisu. Sepertinya tengah berpikir keras, menimbang-nimbang untuk menjawab pertanyaan yang terasa sangat berat ini.
"Aku yakin, kau begitu dalam mengenalnya. Bahkan Rampita memanggilmu dengan sebutan Paman. Itu sudah menandakan antara kau dan Rampita punya hubungan," tegas Bayu lagi.
"Kenapa kau ingin tahu tentang dia, Bayu?" tanya Dewa Pengemis.
"Kenapa? Karena aku merasa ada keanehan pada dirinya. Dan itu selalu mengganggu pikiranku. Kau tahu, Ki. Hatiku tidak akan pernah puas jika hanya setengah jalan saja. Kau pasti bisa memahami maksudku," jelas Bayu.
"Kau mencintainya, Bayu?" tebak Dewa Pengemis langsung.
"Jangan tanyakan itu, Ki! Aku baru beberapa hari mengenalnya!" dengus Bayu kurang senang.
Tidak dipungkiri, Bayu sempat juga bergetar mendengar tebakan laki-laki tua pengemis itu. Dia sendiri tidak tahu dengan perasaannya kali ini. Belum pernah hatinya begitu penasaran ingin mengetahui diri seorang gadis. Bahkan belum pernah mempunyai perasaan seperti ini sebelumnya. Dalam petualangannya, sering dijumpainya gadis-gadis, tapi tidak ada yang sempat menggetarkan hatinya.
Entah kenapa, begitu bertemu Rampita, mendadak saja timbul berbagai macam perasaan yang sulit dicari arti dan sebabnya. Tapi yang jelas, Pendekar Pulau Neraka itu telah menumpahkan seluruh perhatiannya. Bahkan ada rasa cemas begitu mengetahui Rampita terluka dalam yang cukup parah dan sukar disembuhkan.
"Rampita memang membutuhkan seseorang yang bisa memberi perlindungan kepadanya. Sedangkan aku sudah tua, tidak mungkin bisa melindunginya terus menerus. Kasihan dia.... Mungkin sudah takdirnya harus bergelimang penderitaan yang tak kunjung reda," kata-kata Dewa Pengemis seakan-akan bernada mengeluh.
Bayu langsung bisa mengerti, tapi tidak bisa memutuskan secepat ini. Dia harus tahu betul, siapa Rampita itu sebenarnya, dan mengapa selalu mengalah pada Seruni. Apakah antara kedua gadis itu memiliki hubungan dekat? Berbagai macam pertanyaan yang belum terjawab menghantui benak Pendekar Pulau Neraka itu.
"Rampita sebenarnya bukan orang lain bagiku. Dia keponakanku satu-satunya yang tersisa. Ayahnya adalah adik kandungku sendiri," Dewa Pengemis mulai membuka sedikit tabir yang menyelimuti Rampita.
Bayu hanya diam saja mendengarkan, karena inilah saat yang tepat untuk bisa mengetahui tentang diri Rampita sesungguhnya. Dan kesempatan seperti ini sudah lama dinantikan.
"Keluarga kami terpecah belah karena adanya Bunga Cubung Biru. Bunga itu memang banyak memberi manfaat, tapi juga tidak sedikit mendatangkan malapetaka. Kami harus selalu menghadapi tantangan dan bahaya yang tak pernah kunjung padam selama bunga itu masih ada, walaupun semua hal itu disadari betul. Pernah kami sepakat untuk memusnahkannya saja, tapi ayah Rampita tidak menyetujui. Dia rela menyimpan bunga itu dengan segala resiko yang akan dihadapinya," sambung Dewa Pengemis.
"Aku mengerti, kenapa kau bisa dengan mudah menemukan tempat persembunyian bunga itu," gumam Bayu seperti untuk dirinya sendiri.
"Kau salah jika menyangka Anom Sura adalah ayah Rampita, Bayu," tegas Dewa Pengemis.
"O...?!" Bayu terhenyak. Langsung dikerutkan keningnya.
"Anom Sura sebenarnya bukan ayah kandung Rampita. Memang sejak masih bayi Rampita diasuh dan dibesarkan olehnya."
"Lalu, siapa Anom Sura itu?"
"Adikku, berarti juga pamannya Rampita."
"Lantas, di mana ayahnya sekarang?"
"Ayah Rampita sebenarnya bernama Ki Laban. Atau juga Wira Kerti, yang berjuluk Satria Pedang Perak."
"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.
"Waktu Rampita baru berusia satu bulan, datang bencana. Sekelompok orang persilatan menyerbu hendak merebut Bunga Cubung Biru. Dan malangnya, ibu gadis itu tewas. Tapi Wira Kerti berhasil menyelamatkan putrinya dan membawa ke Padepokan Tongkat Sakti ini. Dia sendiri kemudian mengembara untuk membalas dendam mencari pembunuh istrinya."
"Lalu, apakah dia membawa Bunga Cubung Biru?"
"Bunga itu berhasil jatuh ke tangan seorang wanita berkepandaian tinggi. Aku, Rampik, dan Anom Sura berhasil merebutnya kembali. Dan kami sepakat agar Anom Sura yang menyimpannya."
"Hm..., lalu, apa hubungannya Rampita dengan Seruni?" tanya Bayu, berusaha membuka tabir hubungan dua gadis itu.
"Inilah yang menyulitkan, Bayu. Setahun setelah Wira Kerti mengembara, datang seorang wanita membawa anak. Dia terluka berat, tapi bayi perempuannya dalam keadaan sehat. Wanita itu mengaku sebagai istri Wira Kerti. Semula kami tidak mau percaya. Tapi setelah satu minggu wanita itu meninggal, datang seorang tua bertubuh cebol mengakuinya sebagai saudaranya. Dan bayi perempuan itu diakuinya sebagai keponakannya. Kami tak bisa berbuat banyak, lalu menyerahkan bayi perempuan itu padanya."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pendekar Pulau Neraka tahu siapa laki-laki cebol itu. Dia tentu Eyang Banadu yang sudah tewas di tangannya. Dan dugaan Bayu hampir terbukti, bahwa antara Seruni dan Rampita tentu masih satu darah. Wajah mereka begitu mirip, bahkan seperti saudara kembar saja. Paling tidak, Seruni dan Rampita memiliki satu Ayah lain Ibu.
"Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Bayu," sambung Dewa Pengemis.
"Apa itu?" tanya Bayu.
"Wira Kerti sebenarnya seorang raja di Cagar Angin. Kami semua bersaudara dan sepakat menyerahkan tahta padanya, karena dia lebih pantas dan selalu bertindak adil. Tapi usianya tidak berlangsung lama. Kami semua cerai berai. Bahkan jadi tidak mengenal satu sama lainnya karena harus menyelamatkan diri masing-masing."
"Kenapa?"
"Ada sekelompok orang yang tidak menyukai kehidupan kami. Dan kelompok itu akhirnya juga pecah. Tapi ada satu orang yang berhasil menguasai Istana Cagar Angin hingga sekarang ini."
"Siapa?" tanya Bayu ingin tahu.
"Nata Kesuma."
"Nata Kesuma..?!" Bayu tidak percaya. Bagaimana mungkin Bayu bisa mempercayai? Nata Kesuma masih begitu muda. Dan kalau pun terlibat, tentu usianya sudah sama dengan Dewa Pengemis ini. Rasanya sukar dipercaya. Tapi setelah mendengar penjelasan Dewa Pengemis, Bayu semakin tercengang saja.
"Tapi, kenapa dia mengakui Seruni sebagai adiknya?" tanya Bayu.
Itulah, Bayu. Dia selalu memecah belah keluarga besar kami, sehingga tidak mengatakan dirinya yang sebenarnya pada Seruni. Dia sebenarnya sudah tua, bahkan usianya mungkin dua kali lipat dariku."
"Hebat! Ilmu apa yang dipakai untuk bisa awet muda...?" Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.
"Ilmu 'Pati Sukma Bayangan'. Ilmu itu sudah dikuasainya dengan sempurna, sehingga bisa membuat dirinya tetap muda tanpa dipengaruhi usia. Ilmu itu sangat langka, dan tidak sembarangan orang bisa menguasainya."
Bayu berdecak kagum.
"Satu hal lagi, Bayu. Dengan ilmu itu, Nata Kesuma sukar ditandingi. Dia tidak akan mati walaupun tubuhnya tertembus ribuan senjata pusaka yang maha sakti sekali pun."
"O...?!" Bayu semakin kagum.
"Itu sebabnya kami lebih baik menyingkir daripada berhadapan dengannya. Mencari perkara dengannya sama saja bunuh diri."
"Setiap ilmu pasti punya kelemahan, Ki."
"Memang! Tapi Nata Kesuma sudah memindahkan kelemahan dirinya ke dalam sebuah cupu emas yang berada didalam sabuk pinggangnya. Tanpa cupu itu semua ilmunya lenyap, dan dia akan kembali tua."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
* * * * *
--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--
Sejak melepaskan Bayu dari penjara, gadis ini selalu diliputi perasaan gelisah. Padahal perbuatannya tidak ada yang mengetahui. Bahkan Prabu Nata Kesuma sendiri sampai sekarang tidak mengetahuinya. Gadis itu tidak tahu kalau ada sepasang mata mengawasinya dari tempat tersembunyi. Dia baru tahu saat merasa ada seseorang berdiri di belakangnya. Saat menoleh....
"Oh...!" Seruni hampir terpekik.
"Ssst..."
"Kakang Bayu.... Ada apa ke sini?" agak berbisik suara Seruni.
Yang mengawasi Seruni sejak tadi memang Pendekar Pulau Neraka. Laki-laki berbaju kulit harimau itu menarik tangan Seruni dan membawanya ke tempat terlindung. Gadis itu menuruti saja tanpa membantah sedikit pun. Hatinya sudah begitu terpikat pada pemuda tampan ini, dan tidak peduli kalau pernah bentrok. Bahkan sekarang Bayu menjadi buronan kakaknya.
"Kenapa kau ke sini, Kakang?" tanya Seruni.
"Aku rindu padamu, Seruni," sahut Bayu berbisik.
"Ah, Kakang...," desah Seruni langsung berbunga hatinya.
Tanpa malu-malu lagi, gadis itu menjatuhkan diri dan memeluk Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu membalasnya dengan hangat. Tapi saat Seruni hendak mendekatkan bibirnya ke bibir pemuda itu, Bayu cepat-cepat menahan dengan jarinya ke bibir gadis itu.
"Kenapa? Kau rindu padaku, bukan?"
"Ya, aku rindu padamu. Tapi tidak di sini"
"Di mana? Di kamarku?"
Bayu hanya tersenyum saja sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Pendekar Pulau Neraka itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian menatap Seruni dalam-dalam. Gadis itu masih melingkarkan tangannya ke leher pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Sudah kusiapkan sebuah pondok untuk kita, Seruni," kata Bayu berbisik dekat telinga gadis itu.
"Oh, benarkah...?" berbinar mata Seruni.
"Itu juga kalau kau suka."
"Tentu suka sekali, Kakang."
"Ayolah, selagi tidak ada yang melihat."
Seruni tersenyum manis sekali. Diberikannya satu kecupan lembut di bibir pemuda itu, sebelum Bayu dapat mencegahnya. Dan Seruni menuruti saja ketika Bayu mengajaknya melompati pagar benteng. Tak ada yang menyaksikan, sementara malam terus merayap semakin larut Dan kedua orang itu lenyap di balik pagar tembok benteng yang tinggi dan kokoh.
Bayu dan Seruni sambil berpegangan tangan berlari-lari kecil menembus hutan di malam gelap gulita ini Seruni tidak tahu, ke mana pemuda itu membawanya pergi. Tapi semua tak dipedulikannya karena hatinya begitu berbunga, melambung tinggi ke angkasa.
Mereka berhenti di depan sebuah pondok kecil yang terbuat dari bilik bambu dan beratapkan daun rumbia. Hanya sebuah pelita kecil yang menyala redup di dalam pondok. Seruni memandangi pondok itu. Dilingkarkan tangannya ke pinggang Bayu. Bibirnya tersenyum manis dan bola matanya berbinar bagai bintang yang bergemerlapan di langit hitam.
"Hanya ini yang bisa kubuat untukmu," kata Bayu
"Indah sekali, Kakang. Aku suka," sambut Seruni semakin mengetatkan pelukannya pada pinggang pemuda itu.
"Masuk, yuk?" ajak Bayu.
Sebentar Seruni memandang wajah tampan pemuda itu, kemudian kembali tersenyum dan mengangguk. Mereka berjalan pelahan menuju ke pondok itu. Bayu membuka pintunya dan mempersilakan Seruni masuk. Gadis itu melangkah masuk dan memandangi bagian dalam pondok ini. Hanya pelita kecil dari buah jarak yang berada tergantung ditengah-tengah. Nyala api yang redup sepertinya sanggup menerangi seluruh bagian dalam pondok.
"Kakang.... akh!"
Seruni tak sempat lagi mengucapkan kata kata, dan langsung terkulai begitu membalikkan tubuh. Bayu cepat menangkap gadis itu, lalu membaringkannya ke lantai pondok. Pada saat itu masuk tiga orang ke dalam pondok. Bayu bangkit dan melangkah mundur.
"Aku hanya membuatnya pingsan sebentar," jelas Bayu.
"Kau hebat, Bayu," puji Dewa Pengemis.
"Sebenarnya aku benci dengan rencana ini," dengus Bayu.
"Aneh, kenapa kau membenci rencanamu sendiri?" tanya Nyi Rampik
"Pekerjaan seorang pengecut"
"Tapi tidak ada cara lain lagi, Bayu. Kau lihat apakah Rampita mirip Seruni?" Nyi Rampik mendorong Rampita agar maju.
Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Tak ada lagi yang bisa membedakan, mana Rampita dan mana Seruni. Kedua gadis ini serupa, seakan tak berbeda sedikit pun. Benar-benar seperti saudara kembar. Padahal mereka hanya satu ayah, lain ibu. Dan Rampita tahu kalau antara dirinya dengan Seruni satu Ayah. Itu sebabnya dia selalu mengalah, karena dia sendiri tidak bernapsu dengan segala macam urusan duniawi.
Sementara itu Dewa Pengemis sudah mengikat Seruni dengan tambang, dan membaringkannya di dipan bambu. Dihampirinya Rampita yang kini sudah berubah, baik tata rambut maupun pakaiannya. Gadis ini akan menyamar jadi Seruni, seperti yang sering dilakukan Seruni dalam melaksanakan aksinya. Sering orang menyangka kalau Rampita adalah gadis liar, binal, dan selalu membuat onar. Padahal sebenarnya yang melakukan adalah Seruni. Gadis itu memanfaatkan kesamaan antara mereka berdua untuk mengotori nama Rampita.
"Sebaiknya kau cepat ke Istana Cagar Angin, Rampita," tegas Dewa Pengemis.
"Aku tidak yakin kalau akan berhasil, Paman," kata Rampita ragu-ragu.
"Yakinkan dirimu, Rampita. Semua ini demi kebaikanmu sendiri," Nyi Rampik memberi semangat.
"Kau tidak lupa orang-orang di Istana Cagar Angin, Rampita?" tanya Dewa Pengemis.
"Tidak," sahut Rampita.
"Bagus. Hanya kau harus berhati-hati pada Panglima Gajah Sodra. Dia punya pandangan tajam," Nyi Rampik memperingatkan.
"Baiklah, aku berangkat sekarang," ujar Rampita memantapkan hatinya.
"Hati-hati, Rampita. Ingat! Begitu memperoleh cupu itu, kau harus segera ke sini," pesan Nyi Rampik.
Rampita mengangguk, kemudian melangkah keluar pondok Bayu bergegas mengikuti gadis itu.
"Kau kuantar sampai ke istana," kata Bayu menawarkan jasa.
Rampita tidak menolak, karena memang membutuhkan seseorang untuk teman dalam perjalanan. Mereka berjalan cepat meninggalkan pondok itu. Namun di tengah perjalanan, mereka berhenti. Rampita memutar tubuhnya. Dipandanginya dalam-dalam bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku tahu, setelah semua ini berakhir kau pasti meninggalkanku," pancing Rampita pelan.
Bayu tidak berkata apa-apa.
"Kakang, apakah salah jika seorang gadis mengatakan isi hatinya lebih dahulu?"
"Tidak," sahut Bayu.
"Tapi...."
Bayu cepat menutup bibir gadis itu dengan dua jari tangannya. Pemuda itu melangkah semakin dekat. Begitu dekatanya, sehingga hampir tidak ada jarak di antara mereka. Pelahan Bayu menurunkan tangannya, dan berhenti di bahu. Untuk beberapa saat mereka hanya diam saling pandang.
Pelahan wajah Bayu mendekati wajah gadis itu. Sedangkan Rampita hanya bisa memejamkan mata dengan wajah terdongak. Bibir yang memerah sedikit terbuka itu agak bergetar. Bayu memandangi bibir yang bergetar terbuka itu, kemudian melumat bibir itu disertai kecupan lembut membangkitkan gairah.
"Oh...," Rampita mendesah lirih. Gadis itu merapatkan tubuhnya dan memeluk leher Bayu erat Agak lama mereka saling berpelukan dengan bibir menyatu rapat. Pelahan Bayu melepaskan pagutannya, dan mereka kembali saling pandang.
"Kakang, aku...."
"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan, Rampita," potong Bayu cepat. Rampita terdiam.
"Ayolah, kau harus sampai di istana malam ini juga," Bayu mengingatkan.
Mereka melepaskan pelukan, dan kembali berjalan cepat menuju Istana Cagar Angin. Mereka berjalan bergandengan tangan. Sesekali Rampita mencuri pandang menatap wajah tampan di sampingnya. Gadis itu tidak tahu, kalau hati Bayu sendiri tengah bergolak.
Kelembutan, ketegaran, dan segala sikap gadis ini telah menggoyahkan benteng pertahanan Pendekar Pulau Neraka. Entah, Bayu sendiri tidak tahu, apakah ini yang dinamakan cinta? Pemuda itu memang belum pernah merasakan yang namanya cinta. Dan memang dia tidak bisa membohongi diri sendiri. Sekeping hatinya telah terkoyak oleh panah asmara yang tertanam dalam. Sukar baginya untuk membantah. Bayu benar-benar menyukai gadis ini, tapi tidak ingin larut dalam gelombang cinta.
* * * * *
Rampita ragu-ragu juga untuk mengetuk pintu kamar pribadi Prabu Nara Kesuma. Tapi akhirnya dimantapkan hatinya. Namun belum juga mengetuk pintu, tiba-tiba saja muncul Panglima Gajah Sodra.
"Gusti Ayu...."
"Oh!" Rampita terkejut. Cepat Rampita menghilangkan kegugupannya. Namun sorot mata Panglima Gajah Sodra membuat hatinya bergetar dan jantungnya berdebar tidak menentu. Menyamar seperti ini merupakan pengalaman terbaru dalam hidupnya. Tidak heran jika gadis itu harus bisa menguasai perasaannya.
"Maaf, Gusti Ayu. Gusti Prabu tidak ada di dalam kamar ini," kata Panglima Gajah Sodra memberitahu.
"Oh, di mana?" tanya Rampita.
"Apakah Gusti Ayu lupa? Ini hari ketujuh, purnama kelima. Gusti Prabu selalu berada di ruang semadi setiap hari ketujuh, dan baru keluar setelah matahari tenggelam nanti."
"Oh, iya. Aku lupa," desah Rampita buru-buru.
"Apakah ada sesuatu, Gusti Ayu?"
"Tidak," buru-buru Rampita menjawab.
Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu segera meninggalkan pintu kamar itu. Sementara Panglima Gajah Sodra memperhatikan sambil mengerutkan kening.
"Gusti Ayu...," panggil Panglima Gajah Sodra.
Rampita menghentikan langkahnya disertai gemuruh dadanya. Dia teringat pesan Nyi Rampik agar selalu waspada pada Panglima Gajah Sodra. Mengingat pesan itu, dadanya semakin bergemuruh kencang. Hatinya khawatir kalau penyamarannya akan terbongkar sebelum maksudnya tercapai.
"Maaf, Gusti Ayu. Mengapa Gusti tidak membawa pedang?" tanya Panglima Gajah Sodra yang sudah berada didepan Rampita kembali.
"Ada di kamar," sahut Rampita sekenanya.
"Tidak biasanya Gusti meninggalkan pedang," ada nada kecurigaan pada suara Gajah Sodra.
"Apakah ada larangan untuk tidak membawa pedang?" Rampita mendelik, mencoba menghalau kegugupannya.
"Ampun, Gusti Ayu. Hamba hanya mengingatkan saja."
"Sudahlah! Aku akan ke kamar. Jangan ganggu aku. Dan beritahu kalau Kakang Prabu sudah selesai bersemadi." Rampita buru-buru meninggalkan Panglima Gajah Sodra yang membungkukkan badan sedikit memberi hormat. Tapi laki-laki setengah baya itu malah memandangi dengan kening berkerut dan mata agak menyipit.
Sementara Rampita terus berjalan menuju kamarnya. Dengan tergesa-gesa dibukanya pintu kamar dan terus masuk. Gadis itu mengunci kamar itu dan menghamburkan diri ke pembaringan. Tapi mendadak saja hatinya tersentak ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.
"Oh!"
"Sss...."
"Kakang...," desah Rampita langsung duduk begitu melihat Bayu tahu-tahu sudah duduk di tepi pembaringan ini.
"Bagaimana Kakang bisa masuk ke sini?"
"Sejak semalam aku sudah berada di sini," sahut Bayu kalem.
"Seharusnya Kakang bersama Paman Dewa Pengemis dan Nyi Rampik."
"Aku mencemaskanmu, Rampita."
"Ah, Kakang...."
Bayu memberi senyuman. Tapi sesaat kemudian mata Pendekar Pulau Neraka itu menyipit. Dipandanginya wajah Rampita yang agak memucat.
"Ada apa, Rampita?" tanya Bayu.
"Kau mendapat kesulitan?"
"Panglima Gajah Sodra. Kelihatannya mencurigaiku," sahut Rampita memberitahu.
"Dia menanyakan pedang. Aku tidak tahu kalau Seruni tidak pernah melepaskan pedangnya."
"Itu di meja," Bayu menunjuk sebuah meja bundar disamping pintu. Di sana tergeletak sebilah pedang.
"Bagaimana pedang itu ada di sini?"
"Waktu kau masuk ke sini, Ki Dewa Pengemis datang membawa pedang itu untuk diberikan kepadamu. Makanya aku berada di sini menunggumu. Ke mana saja kau semalaman?"
"Menghafal istana ini. Semalaman aku mengelilinginya."
Untuk beberapa saat tak ada lagi yang berbicara. Dan mereka hanya saling pandang saja, kemudian sama-sama tersenyum. Entah apa yang membuat mereka tersenyum. Yang jelas Rampita langsung menundukkan wajahnya. Tapi Bayu kembali mengangkat wajah gadis itu dengan dua jari tangannya.
"Kau sudah bertemu Prabu Nata Kesuma?" tanya Bayu
"Belum. Hari ini dia bersemadi sampai malam nanti," sahut Rampita.
"Hm..., sebaiknya kau beristirahat saja. Tenangkan hati dan pikiranmu. Kesalahan kecil saja bisa menyulitkanmu, Rampita."
"Baik, Kakang. Tapi...."
"Kenapa?"
"Panglima Gajah Sodra. Rasanya hatiku tidak sanggup menerima sorot matanya. Dia sepertinya tahu kalau aku bukan Seruni."
"Kau tenang saja. Biar aku yang menanganinya."
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
"Menjauhkan dia darimu. Tenang saja, pokoknya usahakan agar mendapatkan cupu itu."
"Aku usahakan, Kakang."
"Bagus!" Bayu memberi satu kecupan lembut di bibir gadis itu.
"Kakang...." Rampita menahan tangan Pendekar Pulau Neraka yang akan bangkit berdiri.
"Kau mau ke mana?" tanya Rampita.
"Aku akan membereskan Panglima Gajah Sodra. Dialah satu-satunya orang yang berbahaya bagi kita."
Kecemasan jelas terpancar dari sorot mata Rampita. Dan Bayu menepuk punggung tangan gadis itu yang mencekal tangannya, berusaha memberi ketenangan. Tapi Rampita malah menarik tangan Pendekar Pulau Neraka itu, dan melingkarkan tangannya di leher. Pemuda itu terpaksa menahan dengan tangan bertumpu di pembaringan.
"Beri aku ketenangan, Kakang," bisik Rampita agak mendesah.
Bayu melingkarkan tangannya di pinggang ramping gadis itu. Dan kini bibir mereka sudah menyatu rapat. Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan. Hanya desah napas dan suara kecupan yang terdengar. Pelahan-lahan tubuh mereka rebah diatas pembaringan. Rampita mendesah panjang, menahan berat badan Pendekar Pulau Neraka. Saat gadis itu menggelinjang, tanpa disadari bagian bawah pakaiannya tersingkap.
Rampita merintih lirih ketika merasakan jari-jari tangan Bayu menjalari kulit pahanya yang gempal. Gadis itu buru-buru mencekal tangan Bayu yang hampir saja nyasar ke daerah terlarang. Rampita membawanya ke tempat lain di samping tubuhnya. Kembali tangan Bayu menjalar. Gadis itu buru-buru menepis, lalu menggelinjang keluar dari himpitan pemuda itu.
"Jangan, Kakang...," desah Rampita.
Bayu memandangi gadis itu, kemudian bangkit dan turun dari pembaringan. Rampita merapikan pakaiannya yang sempat berantakan, sehingga beberapa bagian tubuhnya terbuka.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Rampita lirih.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau benar, Rampita," tegas Bayu.
"Aku mencintaimu, Kakang. Tapi aku tidak ingin...."
"Ssst.., sudahlah. Seharusnya aku yang minta maaf padamu" Bayu melangkah mendekati jendela. Dibukanya pintu jendela sedikit, lalu mengawasi keadaan luar.
"Aku pergi dulu, Rampita."
Sebelum Rampita memberikan jawaban, Bayu sudah melesat keluar melalui jendela. Rampita bergegas memburu, dan berhenti di ambang jendela yang terbuka lebar. Tak terlihat lagi bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Rampita mendesah panjang. Entah merasa bersyukur atau menyesali, karena kesuciannya telah terselamatkan.
* * * * *
--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Kakang," kata Rampita. Prabu Nata Kesuma memang belum sadar kalau gadis yang berada di depannya ini bukan Seruni.
"Katakan saja."
"Aku takut Kakang marah," Rampita mencoba merajuk
"Ha ha ha...! Kenapa harus marah, Seruni? Katakan saja. Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Tentang Bunga Cubung Biru."
"Hm..., kau sudah mendapatkannya?" Prabu Nata Kesuma langsung bersungguh-sungguh mendengar Bunga Cubung Biru disebut.
"Belum. Tapi aku ingin tahu, untuk apa bunga itu bagimu, Kakang?"
"Kau kan tahu, Seruni. Bunga Cubung Biru banyak sekali kegunaannya. Salah satu kegunaannya bisa menyempurnakan hidup dan seluruh ilmu-ilmu yang kumiliki. Apa kau tidak bangga mempunyai Kakak yang digdaya? Pertanyaanmu aneh-aneh saja, Seruni."
"Tapi, kenapa Kakang tidak memberiku ilmu ilmu yang Kakang miliki?"
"Untuk apa? Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang pun sudah sukar dicari tandingannya. Ilmu yang kau peroleh dari Eyang Banadu sudah cukup tinggi."
"Tapi aku ingin seperti Kakang," rajuk Rampita.
"Itu tidak mungkin, Seruni. Semua ilmuku tidak boleh ada yang bisa menyamai. Tidak sembarang orang bisa menguasainya. Ah, sudahlah. Kenapa kau mempermasalahkan itu? Yang penting tugasmu adalah mendapatkan Bunga Cubung Biru."
Rampita terdiam. Gadis itu melihat ke pinggang pemuda tampan yang sebenarnya sudah berusia lebih dari seratus tahun.
"Ke mana sabukmu, Kakang?" tanya Rampita tidak melihat Prabu Nata Kesuma memakai sabuk.
"Oh!" Prabu Nata Kesuma terperanjat seperti baru tersadar kalau tidak lagi mengenakan sabuk emasnya.
"Pasti tertinggal di bilik semadi."
"Ah, Kakang sudah sudah mulai pelupa. Biasanya sabuk itu tidak pernah ketinggalan."
"Aku terburu-buru tadi. Seruni, bisa tolong ambilkan sabukku?"
Rampita tersenyum. Entah kenapa, hatinya menjadi gembira mendengar permintaan Prabu Nata Kesuma. Sungguh tidak disangka akan semudah ini tugasnya. Tanpa menunggu waktu lagi, gadis itu langsung bangkit dan melangkah keluar dari kamar itu. Tapi belum juga melewati pintu, Prabu Nata Kesuma sudah memanggilnya.
"Cepat kau bawa ke sini, aku harus segera membersihkan diri," pesan Prabu Nata Kesuma.
"Baik, Kakang," sahut Rampita.
Bergegas gadis itu keluar dari kamar pribadi raja yang kelihatannya muda itu. Sementara Prabu Nata Kesuma masih duduk bersila beralaskan permadani tebal berwarna biru muda. Diraba-raba pinggangnya yang tidak mengenakan sabuk emas. Di dalam sabuk itu tersimpan sebuah cupu kecil yang menjadi segala pusat kekuatan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya.
"Hhh...! Untung Seruni mengingatkan," desahnya.
* * * * *
Rampita menimang-nimang sabuk emas di tangannya. Bibirnya tersenyum mengamati sabuk yang indah ini. Kemudian dikenakannya sabuk itu di pinggangnya. Pas! Tidak kekecilan atau kebesaran. Padahal ukuran pinggangnya dengan pinggang Prabu Nata Kesuma tidak sama. Tapi, sabuk ini pas sekali.
Rampita menutupi sabuk itu dengan melilitkan selendang berwarna biru muda, kemudian keluar dari bilik semadi itu. Dua orang penjaga membungkukkan badan memberi hormat. Rampita bergegas meninggalkan bilik semadi itu. Tapi baru saja berjalan sekitar tiga batang tombak, tampak di depannya berjalan Panglima Gajah Sodra. Ayunan kakinya lebar-lebar dan nampak tergesa-gesa.
"Gusti Ayu, hamba diminta untuk membawa sabuk Gusti Prabu," jelas Panglima Gajah Sodra begitu dekat di depan Rampita.
"Justru aku baru dari bilik semadi, tidak ada sabuk Kakang Prabu di sana," ujar Rampita.
"Tapi, tadi Gusti Prabu mengatakan kalau Gusti, Ayu sedang mengambil sabuknya yang tertinggal di bilik semadi."
"Kenyataannya tidak ada! Kalau tidak percaya, cari saja sendiri!" dengus Rampita.
Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke dalam bilik semadi. Sedangkan Rampita tersenyum tipis memperhatikan. Tidak lama kemudian laki-laki setengah baya itu keluar lagi, dan berhenti di depan Rampita yang tersenyum sinis.
"Percaya tidak? Sabuk itu tidak ada," ujar Rampita sinis.
"Hamba harus segera melaporkannya, Gusti Ayu."
"Sekalian katakan, aku akan berburu ke hutan."
Rampita bergegas pergi meninggalkan Panglima Gajah Sodra. Sedangkan laki-laki setengah baya itu segera melangkah pergi menuju kamar pribadi Prabu Nata Kesuma. Beberapa prajurit yang berpapasan dan memberi hormat, tidak ditanggapi sama sekali Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke kamar yang besar dan indah itu.
"Mana sabukku?" tanya Prabu Nata Kesuma langsung.
"Tidak ada, Gusti Prabu," sahut Panglima Gajah Sodra seraya memberi hormat.
"Tidak ada...?!" Prabu Nata Kesuma mendelik.
"Gusti Ayu Seruni juga tidak menemukannya di...."
"Panggil Seruni ke sini!" bentak Prabu Nata Kesuma memotong cepat.
"Tapi, Gusti. Gusti Ayu Seruni sudah pergi berburu ke hutan."
"Apa kau bilang...?!" Prabu Nata Kesuma semakin berang.
"Ampun Gusti Prabu," buru-buru Panglima Gajah Sodra memberikan sembah.
"Cepat kejar, dan bawa ke sini! Aku tidak mau tahu, hidup atau mati. Bawa anak itu ke sini dan serahkan sabuknya padaku!"
"Hamba laksanakan segera, Gusti Prabu." Panglima Gajah Sodra bergegas keluar dari ruangan itu.
Sementara Prabu Nata Kesuma tampak gusar. Wajahnya memerah dan gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
"Edan! Malam-malam begini berburu!" dengus Prabu Nata Kesuma.
Tapi mendadak saja Prabu Nata Kesuma tersentak, dan buru-buru berlari keluar kamar pribadinya. Tapi Panglima Gajah Sodra sudah tidak terlihat lagi. Laki-laki itu bergegas menuju kamar Seruni. Ditendangnya pintu kamar itu hingga jebol berantakan. Dipandanginya setiap sudut kamar itu. Matanya langsung tertuju pada sebilah pedang yang tergeletak di atas meja.
"Setan! Dia pasti bukan Seruni! Pasti Rampita...!" geram Prabu Nata Kesuma baru tersadar.
Bergegas Prabu Nata Kesuma keluar dari kamar itu. Laki-laki yang sebenarnya sudah tua itu berteriak-teriak memanggil semua prajuritnya sambil terus berlari keluar istana. Seluruh prajurit langsung berlarian dan berkumpul di depan istana. Prabu Nata Kesuma berdiri bertolak pinggang di ujung tangga beranda.
"Mana Panglima Gajah Sodra?" tanya Prabu Nata Kesuma lantang.
"Gusti Panglima membawa seratus-prajurit menyusul Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang punggawa.
"Siapkan kudaku. Bawa seluruh senjata dan kerahkan kekuatan kalian. Kejar Seruni hidup atau mati!" perintah Prabu Nata Kesuma keras menggelegar.
Tak ada seorang prajurit pun yang berani membantah. Mereka bergegas melaksanakan perintah itu. Dan tidak lama kemudian serombongan besar bergerak meninggalkan Istana Cagar Angin. Prabu Nata Kesuma berkuda paling depan didampingi empat punggawa. Hampir seribu prajurit yang mengiringinya. Itu pertanda seluruh kekuatan Kerajaan Cagar Angin telah meninggalkan istana.
* * * * *
Sementara itu di pinggiran hutan, Bayu sudah menghadang rombongan yang dipimpin Panglima Gajah Sodra. Pendekar Pulau Neraka itu langsung mengamuk menghajar para prajurit hingga berantakan. Jerit dan pekikan melengking memecah kesunyian di tengah malam ini. Tubuh-tubuh bergelimpangan bersimbah darah. Bayu bertarung menggunakan jurus-jurus cepat. Senjata mautnya tergenggam di tangan, membabat setiap prajurit yang tak sempat lagi menghindar.
Saat hampir seluruh prajurit tewas, muncul Rampita yang langsung menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Kemunculan gadis itu membuat sisa-sisa prajurit itu semakin kelabakan, bahkan berusaha melarikan diri. Bayu melihat Panglima Gajah Sodra mencoba kabur, namun cepat-cepat dihadangnya. Pada saat itu, Rampita juga sudah menghabiskan sisa prajurit yang ada dan sudah berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Sejak semula aku sudah curiga padamu, Rampita!" dengus Panglima Gajah Sodra dingin.
"Sayang terlambat, Panglima Gajah Sodra. Aku sudah menguasai sabuk emas Nata Kesuma," ujar Rampita disertai senyum sinis.
Rampita melepaskan selendang biru yang membelit pinggangnya, dan melemparkan begitu saja ke samping. Tampak di pinggangnya melilit sebuah sabuk berwarna keemasan. Panglima Gajah Sodra mendelik, melihat sabuk emas itu berada di pinggang Rampita. Sedangkan gadis itu tersenyum-senyum penuh kemenangan.
"Bersiaplah menerima hukumanmu, pengkhianat!" geram Rampita. Seketika itu juga Rampita melompat menerjang Panglima Gajah Sodra. Terjangan gadis itu demikian dahsyat. Hal ini membuat laki-laki setengah baya itu terperangah sejenak, namun cepat berkelit dan memberi serangan balasan.
Tapi Rampita bukanlah wanita sembarangan. Apalagi derita akibat luka dalam yang dialaminya sudah lenyap oleh Bunga Cubung Biru. Bahkan kini dengan sabuk emas dipinggang, gadis ini bergerak begitu cepat seringan kapas. Hal ini membuat lawannya sebentar saja sudah terdesak hebat. Beberapa kali pukulan dan tendangan Rampita mendarat di tubuhnya.
Panglima Gajah Sodra menyadari kalau tidak akan mungkin bisa menandingi Rampita yang mengenakan sabuk emas itu. Bahkan ketika ujung pedangnya berhasil menggores bahu kanan gadis itu, tak ada luka sedikit pun. Kulit Rampita jadi kebal, bahkan tenaga dalamnya berlipat ganda. Sabuk emas yang dikenakan gadis itu sudah merasuk, sehingga membuatnya semakin tangguh dua kali lipat
"Mampus kau! Hiyaaa...!" seru Rampita keras. Seketika itu juga Rampita melontarkan satu pukulan keras ke dada Panglima Gajah Sodra. Pukulan yang begitu cepat dan bertenaga dalam sangat tinggi itu tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam dada lawan.
Dughk!
"Aaakh...!" Panglima Gajah Sodra menjerit keras. Tubuh laki-laki setengah baya itu terlontar hebat sejauh beberapa batang tombak.
Rampita langsung melompat mengejar, dan memberi satu tendangan menggeledek disertai pukulan dahsyat ke bagian kepala. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah. Panglima Gajah Sodra kembali menjerit melengking. Tubuhnya seketika ambruk, langsung diam tak berkutik lagi. Darah merembes keluar dari kepala yang remuk.
Rampita berdiri tegak memandangi mayat Panglima Gajah Sodra Kepalanya menoleh ketika merasakan bahunya disentuh lembut. Ternyata Bayu sudah berdiri di sampingnya. Rampita menyandarkan kepalanya di dada Pendekar Pulau Neraka itu.
"Ayo, Rampita. Kita harus segera menemui Dewa Pengemis dan Nyi Rampik," ajak Bayu.
"Ayo, Kakang."
Tapi belum juga mereka berjalan meninggalkan tempat itu, mendadak terdengar suara menggemuruh dari arah belakang. Kedua anak muda itu langsung memutar tubuhnya berbalik. Tampak debu mengepul di udara. Semakin jelas terdengar. Suara ratusan ekor lkuda dipacu cepat disertai teriakan-teriakan keras menggelegar. Bayu dan Rampita saling berpandangan.
"Mereka mengejar, Kakang," desah Rampita.
"Ya! Jumlah mereka begitu banyak," sahut Bayu.
"Bagaimana, Kakang?"
Bayu tidak segera menjawab. Dan sebelum bisa mengeluarkan suara, ribuan prajurit berkuda yang langsung dipimpin Prabu Nata Kesuma sudah muncul. Bayu dan Rampita saling berpandangan. Sungguh tidak disangka kalau Prabu Nata Kesuma akan membawa begitu banyak prajurit.
"Rampita! Serahkan sabuk itu padaku!" bentak Prabu Nata Kesuma lantang.
"Heh, enak saja! Sabuk ini milikku!" dengus Rampita ketus.
"Dengar, Rampita. Aku akan mengampunimu, asal kau serahkan sabuk itu padaku," Prabu Nata Kesuma mencoba membujuk.
"Sekali tidak, tetap tidak!" tegas Rampita.
"Setan...!" geram Prabu Nata Kesuma. Kemarahan laki-laki muda tampan itu semakin memuncak melihat sabuk emasnya sudah membelit pinggang Rampita. Dan dia tahu, orang yang mengenakan sabuk itu akan sukar dikalahkan. Meskipun tanpa sabuk itu dia masih memiliki kekuatan, tapi sebagian besar sudah lenyap.
"Hari ini riwayatmu tamat, Prabu Nata Kesuma!" desis Rampita dingin.
"Setan keparat...! Seraaang...!" seru Prabu Nata Kesuma tak dapat lagi menahan kemarahannya.
Seketika itu juga, ribuan prajurit yang sejak tadi sudah siap menunggu perintah langsung berhamburan menyerbu Pendekar Pulau Neraka dan Rampita. Tentu saja kedua orang itu jadi gelagapan. Meskipun mereka memiliki kepandaian sangat tinggi, tentu tidak mungkin sanggup menghadapi ribuan prajurit ini.
"Mati kita, Kakang...," desis Rampita.
Namun belum juga para prajurit itu mencapai Bayu dan Rampita, mendadak saja bertebaran ribuan anak panah menghujani para prajurit itu. Seketika terdengar jerit dan pekikan melengking, disusul tumbangnya prajurit-prajurit dengan tubuh tertancap panah.
Belum juga ada yang sempat menyadari, tiba-tiba saja dari segala arah berlarian orang-orang berpakaian compang camping membawa tongkat yang beraneka ragam bentuknya. Mereka langsung menyerang para prajurit yang masih dihinggapi kepanikan. Tak dapat dihindari lagi, pertempuran masal pun terjadi.
Jerit dan pekik melengking disertai teriakan-teriakan pertempuran bercampur menjadi satu. Tampak Prabu Nata Kesuma kelabakan mengatur para prajuritnya yang berantakan. Teriakan-teriakannya yang keras memberi perintah, tenggelam dalam hiruk pikuknya suara pertempuran.
Saat itu Bayu melihat seorang laki-laki tua kurus kering tengah mengamuk membantai para prajurit dengan tongkatnya. Tidak jauh darinya, tampak seorang perempuan tua berjubah kumal yang juga mengamuk menggunakan tongkat Bayu mengenali mereka. Dan ternyata Rampita juga melihat. Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Rampita meminta pendapat
"Kau bantu Dewa Pengemis dan Nyi Rampik, sementara aku akan menghadapi Prabu Nata Kesuma," kata Bayu.
"Baik, Kakang," sahut Rampita.
Gadis itu tidak membuang-buang waktu lagi, langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Sementara Bayu melompat mendekati Prabu Nata Kesuma yang tengah menggempur para pengemis yang mengeroyoknya. Meskipun tanpa sabuk emas, namun Prabu Nata Kesuma tidak bisa dianggap enteng. Pukulan dan tendangannya masih berbahaya, walau kadar kekuatannya jauh berkurang.
"Mundur semua...!" seru Bayu keras.
"Bayu...," desis Prabu Nata Kesuma.
Para pengemis yang mengeroyok Prabu Nata Kesuma langsung berlompatan mundur. Mereka kemudian menyatu bersama yang lainnya, menggempur para prajurit yang semakin kedodoran. Entah sudah berapa orang bergelimpang tak bernyawa. Tapi banyak juga yang berhasil melarikan diri. Pertempuran terus berlangsung meskipun para prajurit Kerajaan Cagar Angin semakin terdesak hebat
"Aku lawanmu, Prabu Nata Kesuma!" desis Bayu dingin.
"Huh! Menyesal kau kubiarkan hidup!" dengus Prabu Nata Kesuma.
"Tidak ada gunanya lagi penyesalan. Bersiaplah, Prabu Nata Kesuma!" Bayu langsung menggerakkan tangannya di depan dada. Pandangannya tajam menusuk langsung bola mata Prabu Nata Kesuma. Sedikit Bayu menggeser kakinya ke samping.
Sedangkan Prabu Nata Kesuma sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Juga, digeser kakinya pelahan mengikuti gerak kaki Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Mereka sama-sama berlompatan menyerang. Prabu Nata Kesuma mengibaskan pedangnya ke arah leher. Namun manis sekali Bayu berkelit, bahkan dengan cepat melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna. Pukulan Bayu yang cepat dan keras, masih dapat dihindari lawannya.
Namun pertarungan tidak berhenti sampai di situ. Masing-masing mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya. Meskipun hanya menggunakan tangan kosong, tapi pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu sangat dahsyat. Setiap tebasan pedang Prabu Nata Kesuma selalu ditangkis dengan pergelangan tangannya yang terdapat Cakra Maut. Senjata andalan yang jarang digunakan jika tidak dalam keadaan terdesak.
Dalam waktu sebentar saja, puluhan jurus telah terlewati. Namun pertarungan masih berlangsung sengit. Bayu mengakui kalau lawannya ini sangat tangguh, meskipun sebagian kekuatannya telah sirna akibat sabuk emas yang menyimpan kekuatannya sudah berpindah tangan.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Prabu Nata Kesuma berteriak keras. Seketika itu juga dikibaskan pedangnya cepat mengarah ke kepala.
Tak ada lagi kesempatan bagi Bayu yang baru saja menghindari tendangan menggeledek lawannya ini. Dengan cepat digerakkan tangan kanannya menangkis pedang itu.
Tring!
Benturan keras terjadi sehingga menimbulkan bunga api. Selagi pedang Prabu Nata Kesuma terpental balik, cepat-cepat Bayu memiringkan tubuhnya. Dan secepat itu pula dikibaskan tangan kanannya ke atas. Cakra Maut melesat cepat bagai kilat ke arah dada Prabu Nata Kesuma yang tidak menyadari akan serangan kilat itu.
Crab!
"Aaa...!" Prabu Nata Kesuma menjerit keras melengking. Cakra M aut yang dilepaskan Bayu menembus dada Prabu Nata Kesuma hingga tembus ke punggung. Dan sebelum laki-laki itu bisa menguasai tubuhnya, Cakra Maut yang melesat melalui punggung, berbalik cepat Senjata itu langsung membabat lehernya. Sekali lagi Prabu Nata Kesuma menjerit melengking tinggi. Darah muncrat dari dada dan leher.
Cakra Maut kembali menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka. Saat itu juga Bayu melentingkan tubuhnya sambil berteriak keras. Dan dengan satu tendangan keras menggeledek yang mendarat di tubuh Prabu Nata Kesuma, Pendekar Pulau Neraka membuat lawannya seketika itu juga ambruk menggelepar ke tanah. Sebentar kemudian, tubuh penguasa Kerajaan Cagar Angin itu diam tak bergerak-gerak lagi.
Keanehan terjadi. Laki-laki muda tampan itu berangsur-angsur berubah tua keriput. Prabu Nata Kesuma kembali ke asalnya, seorang laki-laki tua yang berusia lebih dari seratus tahun. Bayu memandangi sambil bergerak mundur beberapa tindak. Pada saat yang sama, para prajurit Kerajaan Cagar Angin sudah melarikan diri setelah melihat rajanya tewas. Sebagian pengemis mengejar, tapi sebagian lagi diam saja sambil mengurangi lelah.
Bayu memutar tubuhnya ketika mendengar langkah menghampiri. Rampita berjalan cepat menghampiri Pendekar Pulau Neraka diikuti Dewa Pengemis dan Nyi Rampik. Gadis itu langsung memeluk Bayu dan memberi satu kecupan dibibir.
"Terima kasih. Untung kau cepat datang, Ki," ucap Bayu setelah Rampita melepaskan pelukannya.
"Sudah kuduga hal ini akan terjadi, jadi cepat-cepat kukumpulkan rakyatku," jelas Dewa Pengemis.
Bayu memandangi para pengemis yang berjajar di belakang laki-laki tua itu. Meskipun dari kalangan pengemis, tapi kemampuan yang dimiliki sungguh luar biasa.
"Bagaimaan dengan Seruni?" tanya Bayu.
"Biar aku yang menangani. Bagaimanapun juga dia masih keponakanku," celetuk Nyi Rampik.
"Dan kau bisa kembali ke istana, Rampita," sambung Dewa Pengemis.
Rampita tidak menyahut, tapi malah memandangi Bayu. Seakan-akan gadis itu meminta pendapat Pendekar Pulau Neraka. Dewa Pengemis menggamit lengan Nyi Rampik dan mengajaknya pergi. Kedua orang tua itu seperti sengaja membiarkan dua anak muda ini berbicara berdua saja.
"Maaf, Rampita. Aku harus pergi," kata Bayu pelan.
"Ya. Kita memang tidak bisa bersama-sama. Aku juga akan kembali ke Gunung Cakal. Di sanalah tempatku, bukan di Istana," desah Rampita.
Sesaat mereka saling berpandangan
"Kapan kau akan pergi, Kakang?" tanya Rampita.
"Secepatnya," jawab Bayu singkat
"Boleh minta sesuatu?"
"Katakan saja."
"Aku ingin kau tinggal bersamaku untuk beberapa hari."
Sukar bagi Bayu untuk menolak permintaan gadis ini. Dipandanginya bola mata bening indah itu, kemudian dilingkarkan tangannya di pinggang yang ramping. Tubuh mereka merapat, sementara wajah mereka juga begitu dekat Rampita melingkarkan tangannya di leher pemuda itu. Tak ada kata-kata terucapkan. Tahu-tahu bibir mereka sudah menyatu rapat, mengikuti alur gelombang asmara yang disadari tak akan bisa bersatu.
S E L E S A I
DARAH MENGGENANG DI CANDI LAKSAINDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Rahasia Bunga Cubung Biru --oo0oo-- Darah Menggenang Di Candi Laksa |