Titisan Dewi Iblis
tanztj
May 31, 2015
INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Darah Menggenang Di Candi Laksa --oo0oo-- Pertentangan Dua Datuk |
BAYU HANGGARA
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Pendekar Pulau Neraka
Karya: Teguh. S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
--««¦ [ SATU ] ¦»»--
Penunggang kuda itu terus menggebah kuda hitamnya semakin cepat. Pandangannya lurus ke depan, ke arah tepian hutan yang mulai menghadang di depan. Semakin dekat dengan hutan itu, semakin tersirat ketegangan pada wajah tampannya. Sebaris kumis tipis menghiasi bibir yang terkatup rapat. Kuda hitam itu terus berpacu semakin mendekati tepian hutan yang kelihatan rapat oleh pepohonan besar dan kecil.
Swing!
Tiba-tiba saja melesat sebuah benda bersinar keperakan ke arah penunggang kuda itu.
"Hup...!"
Penunggang kuda itu cepat-cepat melompat. Tapi benda bercahaya keperakan itu menghantam badan kuda, sehingga binatang itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Tepat saat pemuda itu mendaratkan kakinya, kuda hitam tunggangannya ambruk menggelepar di tanah. Tampak pada bagian perutnya berlubang dan mengepulkan asap.
Pemuda berwajah tampan itu merayapi hutan di depannya. Begitu sunyi, sampai-sampai suara serangga pun tak terdengar. Namun kesunyian ini semakin membuat pemuda tampan yang mengenakan baju warna biru muda itu menjadi lebih waspada. Pe-lahan digeser kakinya melangkah maju ke depan. Tatapan matanya tetap tajam tak berkedip merayapi hutan yang begitu lebat di depannya. Belum juga pemuda itu sampai di tepian hutan, mendadak saja....
Swing!
"Yeaaah...!"
Pemuda berbaju biru itu langsung melentingkan tubuhnya ke atas begitu melihat sebuah benda keperakan meluncur deras dari arah depan. Benda bulat sebesar kenari itu bagaikan kilat melesat lewat di bawah kaki pemuda itu.
Belum juga pemuda itu sempat mendarat turun, kembali melesat benda-benda keperakan yang memancarkan cahaya terang disertai kepulan asap. Benda-benda bulat sebesar kenari itu meluncur deras, memaksa pemuda berbaju biru harus berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.
Sungguh indah gerakan saltonya, sehingga tak satu pun benda-benda keperakan itu menghajar tubuhnya. Dengan satu gerakan manis, pemuda itu mendarat ringan di tanah. Begitu ringannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kedua kakinya menjejak tanah berumput.
"Siapa kau?! Keluar...!" seru pemuda itu lantang. Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggema sampai ke seluruh penjuru mata angin, namun tak ada sahutan sama sekali. Pemuda itu melirik kudanya yang telah tewas dengan perut berlubang sebesar jari. Kembali dirayapi hutan lebat di depannya.
"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara tawa kecil nyaring mengikik. Pemuda tampan berbaju biru muda itu melompat satu langkah ke belakang. Suara tawa itu terdengar kering, dan seakan-akan datang dari segala arah. Siku pemuda itu segera menggeser gagang pedang yang tergantung dipinggang untuk menjaga kemungkinan.
"Kau terlalu berani datang sendiri ke sini, Raden Antawirya!"
Belum hilang suara kering melengking tinggi itu, mendadak saja di depan pemuda tampan itu muncul seorang perempuan berjubah merah panjang. Sebatang tongkat yang bagian ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan, tergenggam di tangan kanan. Rambutnya panjang terurai, sehingga hampir menutupi wajahnya yang lebih mirip muka tengkorak. Pemuda yang dipanggil Raden Antawirya itu agak bergidik juga melihatnya.
Memang, penampilan perempuan itu sungguh mengerikan. Seluruh wajahnya tak lagi memiliki daging. Dan kedua matanya bolong, namun berwarna merah menyala seperti sepasang bola api Baju merah yang dikenakannya sangat panjang, sehingga menutupi seluruh kaki dan tangannya. Mulutnya yang tanpa bibir itu meringis memperlihatkan baris-baris gigi yang tampak jelas menghitam.
"Mau apa kau datang ke sini, Raden Antawirya?" kering sekali suara perempuan berwajah tengkorak itu.
"Aku ingin meminta adikku kembali!" tegas Raden Antawirya.
"Hik hik hik... Adikmu sedang menjalani hukuman, Raden. Jadi kau harus bersabar menunggu selama seratus tahun, baru dia bebas dari hukuman."
"Kau lepaskan adikku, atau kuhancurkan purimu, perempuan setan!" bentak Raden Antawirya geram.
"Kata-katamu bisa membahayakan dirimu sendiri, Raden!" desis wanita berwajah tengkorak itu, mengancam.
"Phuih! Kau pikir aku takut, heh?! Ayo, maju. Biar kubunuh kau sekalian, perempuan laknat!" geram Raden Antawirya.
"Bocah sinting! Pergi kau dari sini!" bentak perempuan berwajah tengkorak itu mulai gusar.
"Tidak! Sebelum kau lepaskan adikku!"
..... "Edan...!"
Perempuan berwajah tengkorak itu seketika mengebutkan tangannya yang tersembunyi di balik lengan jubah. Dan saat itu juga melesat beberapa butir benda berwarna keperakan yang langsung menerjang pemuda itu. Namun gesit sekali Raden Antawirya berlompatan menghindari serangan yang cepat dan riba riba itu.
Dan sebelum Raden Antawirya bisa menarik napas lega, mendadak perempuan berwajah tengkorak itu melompat sambil berteriak keras melengking tinggi. Maka secepat kilat dikebutkan tongkatnya ke arah kaki.
"Hup!"
Raden Antawirya melompat menghindari tebasan tongkat itu. Namun sungguh tidak terduga sama sekali, perempuan berwajah tengkorak itu menghentakkan tongkatnya ke atas sehingga menghantam keras telapak kaki Raden Antawirya.
Tak dapat dicegah lagi, tubuh pemuda berbaju biru itu melayang deras ke udara. Pada saat itu juga, perempuan berwajah tengkorak melesat ke angkasa, memburunya. Sementara tangan kirinya menghentak keras sambil berteriak melengking.
"Hiyaaat...!"
"Aaakh...!" Raden Antawirya menjerit melengking tinggi
Hentakan tangan kiri perempuan berwajah tengkorak itu tak bisa dihindari lagi. Tubuh Raden Antawirya meluncur deras ke angkasa, dan meluruk jatuh di tengah-tengah padang rumput yang menghampar bagai permadani. Namun sebelum pemuda itu menghantam tanah, mendadak sebuah bayangan menyambarnya cepat, dan langsung membawanya pergi
"Hm...," perempuan berwajah tengkorak hanya menggumam.
Dia sudah berdiri tegak di atas tanah berumput memandangi bayangan yang berkelebat cepat menyambar tubuh Raden Antawirya. Meskipun matanya bolong sehingga yang terlihat hanya berupa cahaya merah, namun pandangannya demikian tajam. Baris-baris giginya yang tidak tertutup bibir itu bergerak-gerak. Mungkin tengah tersenyum atau menggumamkan sesuatu. Namun seketika itu juga perempuan itu melesat masuk ke dalam hutan. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kelebatan hutan.
* * * * *
SEMENTARA itu di balik sebuah bukit yang menjadi pembatas padang rumput, berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi pagar batu bagai sebuah benteng. Di tengah-tengahnya berdiri bangunan megah dan besar. Di sekeliling benteng bangunan megah itu terdapat rumah, baik besar maupun kecil yang letaknya saling merapat satu sama lain. Tempat itu merupakan sebuah kota Kerajaan Kali Jirak.
Suasana kota itu demikian ramai, seakan-akan tak pernah mati dari segala kegiatan rakyatnya. Namun dari wajah-wajah rakyat yang mendung, terlihat kalau mereka seperti tengah menghadapi masalah yang cukup berat. Bahkan para penjaga di perbatasan maupun di depan gerbang kelihatan lesu tak bergairah. Hal ini karena Prabu Truna Dilaga yang menjadi raja di situ, tengah dilanda gelisah.
Sudah beberapa hari ini Prabu Truna Dilaga selalu menyendiri dalam kamar atau di taman belakang istana. Semua orang tahu, apa yang sedang menjadi beban pikiran Prabu Truna Dilaga. Sejak kehilangan putrinya, Raja Kali Jirak itu memang selalu murung. Dan sekarang ini, putranya yang dipersiapkan untuk menggantikan kedudukannya menghilang tak tentu rimbanya. Berarti sudah tiga hari ini Raden Antawirya tidak terdengar kabarnya.
"Gusti Prabu...." "
Prabu Truna Dilaga mengangkat kepalanya ketika mendengar suara. Matanya kini terpaku pada seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tegap dan berwajah tampan namun mencerminkan ketegasan. Laki-laki itu duduk bersimpuh sambil merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Kepalanya tertunduk, seakan-akan ikut merasakan beban yang tengah diderita rajanya ini. Sorot mata Prabu Truna Dilaga begitu redup bagai tak memiliki gairah hidup lagi.
"Gusti Prabu, hamba membawa seorang perambah hutan yang melihat Raden Antawirya," lapor laki-laki itu sebelum diminta.
"Bawa ke sini, Patih Natabrata," ujar Prabu Truna Dilaga lesu.
"Hamba, Gusti Prabu."
Patih Natabrata memberikan sembah, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan Prabu Truna Dilaga yang masih tetap duduk di bangku taman. Tidak lama berselang, Patih Natabrata sudah kembali membawa seorang laki-laki tua bertelanjang dada dan bertubuh kurus. Mereka duduk bersimpuh di depan Prabu Truna Dilaga bersikap penuh rasa hormat.
"Siapa namamu?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Hamba bernama Ki Ebun, Gusti Prabu," sahut laki-laki tua itu seraya merapatkan kedua tangannya di depan hidung memberi sembah.
"Benar kau melihat putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga lagi.
"Benar, Gusti Prabu. Hamba melihat Raden Antawirya berkuda di dalam hutan. Hamba pun sempat bertanya hendak ke mana, tapi Raden Antawirya tidak menyahut. Bahkan beliau mendera kudanya lebih kencang lagi," tutur Ki Ebun.
"Kau tahu ke mana arah perginya?"
"Ke Utara, Gusti Prabu."
"Hutan Kamiaka...," desis Prabu Truna Dilaga pelan, hampir tidak terdengar.
Prabu Truna Dilaga memandangi laki-laki tua perambah hutan itu. Sorot matanya terlihat semakin redup tak bercahaya. Bahkan wajahnya seperti kehilangan cahaya kegairahan. Dua kali dihembuskan napas panjang dan berat. Sementara Ki Ebun dan Patih Natabrata hanya diam saja sambil menundukkan kepala.
"Patih Natabrata, antar orang tua ini pulang," perintah Prabu Truna Dilaga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Natabrata seraya memberikan sembah.
"Aku berterima kasih atas keteranganmu, Ki Ebun. Kau patut mendapatkan hadiah dariku," ujar Prabu Truna Dilaga.
"Oh terima kasih, Gusti Prabu."
Ki Ebun beberapa kali memberi sembah sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Patih Natabrata kemudian menggamit lengan laki-laki tua perambah hutan itu. Mereka memberi sembah sekali lagi, kemudian beranjak pergi meninggalkan Raja Kali Jirak itu sendirian. Prabu Truna Dilaga baru saja akan bangkit berdiri ketika tampak seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun datang menghampiri. Dia diiringi enam orang gadis berparas cantik.
'Permaisuriku Rara Kuminten...," sambut Prabu Truna Dilaga seraya memberikan senyum, meskipun terasa getir dan amat dipaksakan.
"Kulihat ada seorang tua di sini tadi, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten setelah duduk di samping laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu.
"Seorang perambah hutan yang kebetulan melihat Raden Antawirya," sahut Prabu Truna Dilaga.
Permaisuri Rara Kuminten hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Disuruhnya enam orang gadis yang menyertainya untuk pergi. Setelah memberi sembah, keenam gadis itu beranjak pergi dengan sikap penuh hormat
"Apa yang dikatakannya, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten setelah keenam dayangnya pergi.
"Dia hanya mengatakan kalau melihat Raden Antawirya di dalam hutan," sahut Prabu Truna Dilaga.
"Dia tidak mengatakan ke mana perginya?"
"Katanya ke arah Utara. Hah.., pasti ke Hutan Kamiaka."
"Anak nakal! Sudah kularang ke sana, masih juga membandel...!" dengus Permaisuri Rara Kuminten.
Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya diam saja dengan wajah semakin terselimut mendung. Kedua anaknya kini sudah tidak ada. Tak ada yang bisa diharapkan lagi untuk mengganti kedudukannya sebagai raja di Kali Jirak ini. Sedangkan usianya semakin menggerogoti tubuhnya.
"Mau ke mana, Kanda Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten melihat Prabu Truna Dilaga bangkit dan melangkah hendak pergi.
"Aku ingin istirahat," sahut Prabu Truna Dilaga tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Permaisuri Rara Kuminten tidak mencegah, dan hanya diam saja memandangi laki-laki tua itu meninggalkannya. Wanita yang masih kelihatan cantik itu tetap duduk di kursi taman, meskipun Prabu Truna Dilaga tidak kelihatan lagi punggungnya.
* * * * *
Malam sudah jatuh, dan kegelapan menyelimuti seluruh permukaan bumi Kerajaan Kali Jirak. Malam ini angin berhembus kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan tulang. Sayup-sayup di kejauhan, terdengar lolongan anjing hutan yang menyayat bagai mendendangkan irama kematian.
Seluruh rakyat Kali Jirak sudah terlelap dalam buaian mimpi. Hanya para prajurit yang bertugas ronda malam saja yang masih terlihat berjaga-jaga di tempat tertentu. Namun agak jauh dari kota, tepatnya dekat gerbang perbatasan kota sebelah Utara, seorang laki-laki tua masih duduk menyendiri di depan rumahnya yang kecil dan kumuh.
Laki-laki tua itu adalah Ki Ebun, yang setiap hari mencari nafkah dengan merambah hutan mencari kayu bakar dan berburu binatang untuk dijual ke kota. Laki-laki tua itu duduk mencangkung sambil menikmati kepulan asap daun tembakau. Mata tuanya lurus merayapi bulan purnama yang malam ini bersinar indah keemasan, menyirami bumi dalam selimut kegelapan.
"Ayah...."
"Oh...!" Ki Ebun tersentak dari lamunannya ketika mendengar sapaan lembut dari belakang. Ditolehkan kepalanya, lalu tersenyum melihat seorang gadis berparas manis tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu kemudian duduk di sampingnya. Pakaiannya sangat sederhana. Bahkan pada kain yang dikenakan terdapat satu tambalan. Meskipun begitu tidak menghilangkan kemanisan wajahnya yang sederhana.
"Kenapa Ayah belum tidur?" lembut sekali suaranya.
"Kau sendiri, kenapa belum tidur, Melati?" Ki Ebun malah balik bertanya.
"Tidak bisa," sahut gadis yang dipanggil Melati itu.
Nama yang sangat indah, seindah wajahnya. Mungkin Ki Ebun memberi nama anaknya ini dengan harapan akan menjadi seorang gadis yang dapat mengharumkan kaumnya, seharum bunga melati. Satu harapan yang wajar dari seorang tua seperti Ki Ebun ini.
"Kenapa?" tanya Ki Ebun lembut.
"Aku memikirkan hadiah dari Gusti Prabu, Ayah. Sebaiknya kita apakan, ya...?" tanya Melati seperti pada dirinya sendiri.
"Aku sendiri bingung, Melati. Padahal aku hanya mengatakan apa adanya. Eee..., kok malah diberi hadiah begitu besar. Ayah jadi takut, Melati...," semakin pelan suara Ki Ebun.
'Takut kenapa, Yah?" tanya Melati polos.
"Aku takut perampok," bisik Ki Ebun, seakan-akan suaranya takut terdengar orang lain.
"Ah, Ayah.... Jangan macam-macam, ah! Nanti kalau benar-benar kejadian, bagaimana?" Melati mencoba bergurau, padahal hatinya cemas juga.
"Melati! Tadi Ayah sedang berpikir-pikir, apa sebaiknya kita pindah saja dari sini...?" kali ini nada suara Ki Ebun terdengar sungguh-sungguh.
"Pindah ke mana lagi, Yah...? Kita sudah enam kali pindah, dan rasanya jadi bosan! Aku ingin menetap di sini saja," rungut Melati.
'Tapi di sini hidup kita juga tidak ada perubahan, Melati. Tetap saja aku jadi perambah hutan. Aku ingin memberimu kesenangan, seperti gadis-gadis lain. Bisa punya baju bagus, bisa punya kereta untukmu bepergian, dan punya segala macam."
"Jangan mengkhayal, Yah. Aku sudah cukup senang, kok."
'Tapi kau belum punya baju bagus, Melati."
"Untuk apa baju bagus, harta, dan kekayaan, kalau hidup kita selalu diliputi ketakutan, Ayah. Tidak, ah! Aku tidak mau. Aku sudah senang hidup begini Aman dan tentram tanpa harus memikirkan segala macam."
"Tapi hadiah itu saja sudah membuat kepala kita jadi seperti pecah."
Melati terdiam, dan Ki Ebun jadi membisu. Hadiah yang diberikan Prabu Truna Dilaga memang membuat mereka jadi gelisah, tidak seperti hari-hari yang lalu. Mereka jadi tidak tenang, seakan-akan selalu diintai ribuan pasang mata yang mencari kesempatan baik untuk menerkam.
Saat mereka terdiam, mendadak di depan mereka muncul seseorang yang mengenakan jubah merah panjang membawa tongkat yang ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan Ki Ebun dan Melati terperanjat, sehingga langsung melompat bangkit berdiri. Terlebih lagi gadis itu. Dia sampai terpekik dan hampir pingsan melihat raut wajah orang itu.
Wajah yang tidak memiliki daging dengan mata bolong memerah bagai bola api. Gigi-gigi yang tidak tertutup bibir itu menyeringai menyeramkan. Ki Ebun sampai bergetar dan seluruh wajahnya memucat bagai tak pernah dialiri darah.
"Kau yang bernama Ki Ebun?" dingin dan kering sekali suara perempuan berwajah tengkorak itu.
"Iy.., iy..., iya," sahut Ki Ebun tergagap.
"Kau harus mati, orang tua!"
"Ap..."
Belum juga Ki Ebun bisa meneruskan ucapannya, mendadak saja perempuan berwajah tengkorak itu mengecutkan tongkatnya. Maka seketika itu juga tubuh Ki Ebun mengejang kaku dan bola matanya membeliak lebar. Tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Tahu-tahu, laki-laki tua perambah hutan itu ambruk ke tanah. Kepalanya tergulir, terpisah dari lehernya.
"Aaakh...!" Melati menjerit melengking tinggi. Gadis itu langsung melorot jatuh tak sadarkan diri melihat kematian ayahnya yang sangat menyayat itu. Jeritan Melati mengejutkan seluruh rakyat yang rumahnya berdekatan dengan rumah Ki Ebun. Seketika saja suasana jadi terang benderang oleh nyala pelita dan obor. Perempuan berwajah tengkorak itu mendengus, kemudian dengan sekali lesat saja, tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Pada saat itu berdatangan orang-orang membawa obor. Mereka terperanjat begitu melihat mayat Ki Ebun tergeletak berlumuran darah. Lebih terperanjat lagi, setelah melihat leher laki-laki tua perambah hutan itu yang terpenggal buntung. Dan di dekatnya tergolek Melati yang tak sadarkan diri.
* * * * *
--««¦ [ DUA ] ¦»»--
"Seharusnya dia tidak kuberi hadiah terlalu banyak," keluh Prabu Truna Dilaga menyesali diri.
"Tapi hadiah itu tidak hilang, Gusti Prabu," jelas Patih Natabrata.
Prabu Truna Dilaga memandangi patihnya ini.
"Ampun, Gusti Prabu Seharusnya hamba melaporkan hal ini sejak tadi," ucap Patih Natabrata seraya " memberi sembah.
"Bagaimana kau tahu, Patih?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Hamba sempat mengunjungi rumah Ki Ebun, Gusti. Menurut putrinya, hadiah yang diberikan Gusti Prabu masih utuh. Tak berkurang sedikit pun."
"Hm..., aneh...? Jadi untuk apa dia membunuh orang tua itu?" Prabu Truna Dilaga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Itulah yang sedang hamba pikirkan, Gusti Prabu.
Menurut putri Ki Ebun, orang itu wajahnya menyerupai tengkorak, berjubah merah, dan memegang tongkat. Dan dengan tongkatnya itulah dia memenggal kepala Ki Ebun. Kejadian selanjutnya, gadis itu tidak tahu, karena telah pingsan saat itu juga."
"Dewi Iblis...," desis Prabu Truna Dilaga pelan. Hampir tak terdengar suaranya.
"Gusti Prabu...."
"Aku tidak mengerti, untuk apa perempuan iblis itu membunuh Ki Ebun...?" Prabu Truna Dilaga bertanya-tanya sendiri.
"Siapa itu Dewi Iblis, Gusti?" tanya Patih Natabrata.
Prabu Truna Dilaga tidak langsung menjawab. Dipandangi patihnya dalam-dalam. Sorot matanya begitu dalam dan menyimpan sejuta arti yang sukar dimengerti. Wajahnya menyiratkan tekanan batin yang amat berat Patih Natabrata hanya menundukkan kepalanya saja, tidak sanggup membalas tatapan tajam junjungannya.
"Dulu ketika dia muncul di sini, kau masih kecil, Patih. Dan aku pun masih begitu muda. Belum menjadi raja...," pelan suara Prabu Truna Dilaga.
Sedangkan Patih Natabrata hanya diam saja mendengarkan.
"Ah..., aku tidak yakin kalau dia muncul lagi di sini. Aku yakin kalau iblis itu sudah tewas," desah Prabu Truna Dilaga setengah menggumam seakan-akan bicara untuk dirinya sendiri.
"Gusti...," agak tercekat suara Patih Natabrata.
"Kau harus mengetahuinya, Patih. Karena kalau memang dia belum tewas dan sekarang muncul lagi, maka kemunculannya ada sangkut pautnya denganmu," jelas Prabu Truna Dilaga.
Patih Natabrata terhenyak, sampai-sampai mendongakkan kepalanya menatap Prabu Truna Dilaga. Namun buru-buru laki-laki setengah baya itu memberi sembah dan menundukkan kepalanya kembali.
"Dulu, aku dan ayahmu bersahabat karib. Ayahmu juga seorang patih yang sangat gagah berani. Aku selalu memanggilnya paman, karena memang jauh lebih tua usianya dariku sendiri...," Prabu Truna Dilaga berhenti sebentar.
"Aku waktu itu ingat sekali, saat Ayahanda Prabu mengajakku berburu. Lalu kuminta agar ayahmu ikut serta, dan Ayahanda Prabu tidak berkeberatan. Kami berburu bersama-sama dan berlomba-lomba mendapatkan buruan yang terbanyak"
Patih Natabrata masih diam mendengarkan. Dia memang sering mendengar cerita ayahnya sebelum meninggal. Ayahnya dan Prabu Truna Dilaga memang tidak bisa dipisahkan. Ke mana-mana mereka selalu berdua, seperti dua saudara kandung. Itu sebabnya, mengapa Patih Natabrata memutuskan untuk mengabdi sepenuhnya pada Kerajaan Kali Jirak ini. Dia tidak ingin mengecewakan harapan mendiang ayahnya. Dan rupanya Prabu Truna Dilaga juga sangat kehilangan sahabatnya, sehingga langsung mengangkat Natabrata sebagai patih begitu ayahnya meninggal.
"Di dalam hutan, aku dan ayahmu berhasil memanah seekor kijang dalam waktu bersamaan. Tapi rupanya kijang itu milik seorang wanita. Akibatnya dia menuntut nyawa kijang itu dengan nyawaku setelah tahu kalau aku waktu itu seorang putra mahkota. Ayahmu membela, hingga akhirnya bertarung mengadu nyawa dengannya. Tapi kemudian Ayahanda Prabu melerai dan mengganti kijang itu dengan sejumlah uang," kembali Prabu Truna Dilaga menghentikan kisahnya.
Dan Patih Natabrata masih juga diam mendengarkan tanpa memberi tanggapan sedikit pun.
"Tapi rupanya perempuan itu tidak merasa puas, hingga akhirnya datang ke sini dan membuat keonaran selama bertahun-tahun. Segala tindakannya begitu kejam, sehingga dijuluki Dewi Iblis. Aku sendiri tidak tahu, siapa nama sebenarnya. Kepandaiannya sungguh luar biasa, sehingga para prajurit maupun panglima pilihan mengalami kesukaran untuk membekuknya Hingga akhirnya dia kembali bentrok lagi dengan ayahmu. Pertarungan berlangsung seru, hingga memakan waktu tiga hari tiga malam. Namun akhirnya ayahmu berhasil menyudahi. Wanita itu tewas, tapi ayahmu mendapat luka parah sehingga dia...," Prabu Truna Dilaga tidak meneruskan kisahnya.
Patih Natabrata sendiri sudah mengerti lanjutannya. Ayahnya lumpuh setelah bertarung melawan wanita yang dijuluki Dewi Iblis itu. Hingga ajalnya, laki-laki berjasa dan penuh pengabdian itu dalam keadaan lumpuh. Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri membisu. Ruangan yang besar ini jadi sunyi.
"Gustri Prabu, apakah ada kuburan si Dewi Iblis itu?" tanya Patih Natabrata setelah cukup lama berdiam diri.
"Ada. Letaknya di Hutan Kamiaka," sahut Prabu Truna Dilaga pelan.
"Hutan Kamiaka...," desis Patih Natabrata.
* * * * *
PATIH NATABRATA memandangi padang rumput luas bagai permadani terhampar tak bertepi. Di seberang sanalah terletak Hutan Kamiaka. Sebuah hutan yang tidak pernah terjamah tangan-tangan manusia. Jadi sampai saat ini masih menjadi hutan perawan yang dianggap angker. Belum ada seorang pun yang berani menjamahnya. Dan mereka yang nekad, tak akan pernah lagi terdengar kabar beritanya.
"Hhh...!" Patih Natabrata menghembuskan napas panjang.
Dipandanginya dua puluh orang prajurit yang menyertai. Mereka memang prajurit pilihan yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Tapi dua puluh prajurit pilihan tidak berarti apa-apa, bila teringat cerita Prabu Truna Dilaga tentang seorang perempuan yang memiliki julukan sangat menggetarkan hati. Dewi Iblis! Patih Natabrata kembali mengarahkan pandangannya ke seberang padang rumput ini. Kepalanya menoleh ketika mendengar suara langkah kaki halus dari arah kanan. Tampak dua orang laki-laki berjalan ke arahnya. Seorang mengenakan baju dari kulit harimau, dan seorang lagi mengenakan baju warna biru muda. Hampir seluruh kepalanya tertutup caping besar dari anyaman bambu. Kedua laki-laki itu menghentikan langkahnya sekitar dua batang tombak di samping Patih Natabrata.
"Maaf, boleh kami lewat?" ucap orang yang mengenakan baju kulit harimau, sopan.
"Kisanak berdua hendak ke mana?" tanya Patih Natabrata.
"Kami hendak ke bukit sana," sahut laki-laki muda berbaju kulit harimau itu lagi.
Sedangkan yang seorang hanya diam saja sambil terus menundukkan kepala, seakan akan sengaja menyembunyikan wajah. Namun Patih Natabrata justru tertarik padanya. Diamati dalam-dalam sehingga matanya agak menyipit
"Boleh kami lewat?" pinta pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.
"Silakan," Patih Natabrata mempersilakan.
Kedua orang itu bergegas berjalan meninggalkan Patih Natabrata dan dua puluh orang prajuritnya. Sementara Patih Natabrata memperhatikan dengan kening berkerut dalam. Perhatiannya justru terpusat pada orang yang berjalan di sebelah pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Ah, tidak mungkin...!" desah Patih Natabrata seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi..., bentuk tubuhnya mirip sekali dengan Raden Antawirya...."
Patih Natabrata terus memperhatikan kedua orang itu hingga lenyap di balik kelebatan pepohonan. Dan segera diberinya isyarat agar para prajuritnya bersiap melanjutkan perjalanannya kembali. Sebentar kemudian, dua puluh satu kuda berpacu melintasi padang rumput.
Tanpa setahu mereka, dari balik kerimbunan pepohonan, tampak dua pasang mata tengah mengawasi tak berkedip. Dua pasang mata dari pemuda-pemuda yang tadi lewat di depan Patih Natabrata. Pemuda berbaju biru kini sudah melepaskan caping bambunya, dan membiarkan saja tersampir di punggung.
"Kau kenal dia, Raden Antawirya?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu tanpa mengalihkan pandangannya ke depan.
"Ya. Dia patih kepercayaan Ayahanda Prabu," sahut pemuda berbaju biru yang ternyata memang Raden Antawirya.
"Bayu, mau apa dia ke sana...?"
"Mungkin tujuannya sama denganmu, Raden," sahut pemuda berbaju kulit harimau.
Pemuda itu memang bernama Bayu yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Sementara Raden Antawirya terus memandangi rombongan kecil itu yang semakin jauh melintasi padang rumput Entah kenapa, Raden Antawirya jadi cemas setelah teringat pengalamannya yang sangat pahit. Hampir saja dia tewas kalau tidak ditolong pemuda di sampingnya ini.
"Mereka bisa tewas semua, Bayu," desah Raden Antawirya tak bisa menyembunyikan kecemasannya.
"Kau cemas, tapi kenapa tadi tidak mau menunjukkan dirimu?" Bayu memandangi wajah pemuda di sampingnya.
"Aku tidak akan kembali ke istana tanpa adikku, Bayu," sahut Raden Antawirya.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Bayu.
"Kita harus mencegah mereka mendekati hutan itu, Bayu. Aku tidak ingin Paman Patih tewas sia-sia."
Bayu mengangkat pundaknya.
"Cepat, Bayu. Sebelum mereka sampai ke hutan itu!" ajak Raden Antawirya.
Bayu tak punya pilihan lain lagi, kecuali mengikuti Raden Antawirya yang sudah berlari cepat mengejar rombongan kecil Patih Natabrata. Dalam hari, Pendekar Pulau Neraka itu kagum juga pada ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak ini. Namun belum cukup tinggi untuk bisa menyamainya. Dan Bayu hanya mengerahkan setengah saja dari ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Itu pun tampaknya jadi terbalik. Bukannya Bayu yang menyesuaikan diri, tapi malah Raden Antawirya yang harus menyesuaikan.
* * * * *
RADEN ANTAWIRYA terperanjat ketika tiba-tiba mendengar jeritan-jeritan melengking saling susul. Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak itu buru-buru mengenakan tudungnya, lalu berlompatan cepat. Tapi dua kali pemuda itu melompat pada saat yang sama Bayu sudah mendahului dengan hanya sekali lesatan saja.
Pada saat Pendekar Pulau Neraka tiba, tampak seluruh prajurit yang dibawa Patih Natabrata sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Tubuh mereka berlubang mengeluarkan asap. Selagi Bayu memeriksa para prajurit itu, Raden Antawirya baru sampai Hati pemuda itu terkejut melihat semua prajurit yang dibawa Patih Natabrata sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Bayu, di mana Paman Patih?" tanya Raden Antawirya.
Bayu tersentak, karena seperti diingatkan oleh pertanyaan itu. Semua mayat ini berjumlah dua puluh, dan hanya para prajurit saja. Sedangkan Patih Natabrata tidak kelihatan. Kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian sama-sama mengalihkan pada kuda yang tadi ditunggangi Patih Natabrata.
"Pasti Paman Patih mengejar perempuan iblis itu, Bayu," desis Raden Antawirya menduga.
Bayu cepat menangkap tangan Raden Antawirya yang akan melangkah memasuki Hutan Kamiaka. Raden Antawirya mengurungkan niatnya, lalu menatap Bayu dalam-dalam.
"Jangan bertindak gegabah dulu, Raden. Kita belum tahu, siapa orang itu," kata Bayu mengingatkan. 'Tapi aku harus menyelamatkannya, Bayu" "Aku tahu. Tapi tidak dengan cara begini. Kita harus hati-hati dan jangan terbawa arus kemarahan."
Raden Antawirya menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Diakui kebenaran kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu. Untuk menghadapi manusia misterius berkemampuan sangat tinggi memang tidak bisa dengan kepala panas. Raden Antawirya mengangkat bahunya, menyerahkan segalanya pada pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Ayo kita kembali ke kotaraja," ajak Bayu.
"Kembali..?!" Raden Antawirya terperanjat
"Iya, nanti akan kujelaskan"
Raden Antawirya tidak bisa membantah lagi. Diikuti saja Pendekar Pulau Neraka yang sudah melangkah cepat meninggalkan tepian Hutan Kamiaka yang angker ini. Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan tepian hutan.
"Kau punya rencana, Bayu?" tanya Raden Antawirya tidak sabar.
"Ya. Kudengar seorang perambah hutan tewas terbunuh semalam," sahut Bayu.
"Apa hubungannya dengan semua ini?"
"Jika perambah hutan itu tidak bertemu denganmu lebih dahulu, mungkin aku tidak akan mengkaitkannya. Terlebih lagi, aku dengar dia sempat melaporkan pada ayahmu di istana. Hanya sayang sekali malamnya, perambah hutan itu tewas dengan leher terpenggal."
"Ohhh...," Raden Antawirya mendesah panjang.
"Aku akan memancingnya untuk menemuiku, Raden," jelas Bayu mengemukakan rencananya.
"Maksudmu?" Raden Antawirya tidak mengerti.
"Aku akan menemui ayahmu dan mengatakan pernah melihatmu Dengan cara demikian, aku yakin orang itu akan menemuiku dan hendak membunuhku."
"Rencanamu terlalu berbahaya, Bayu," Raden Antawirya kurang setuju.
"Raden.... Adalah suatu perbuatan bodoh jika memasuki Hutan Kamiaka. Padahal masih ada cara lain yang lebih memungkinkan dan tidak terlalu berbahaya," Bayu mencoba memberi pengertian.
Kembali Raden Antawirya terdiam. Meskipun hatinya tidak setuju terhadap rencana Pendekar Pulau Neraka ini, tapi tidak bisa membantah lagi. Disadari kalau pengalamannya dalam menghadapi kejadian seperti ini belumlah seberapa bila dibandingkan Bayu yang sudah kenyang makan asam garam rimba persilatan.
Meskipun baru sedikit, tapi cerita mengenai diri Pendekar Pulau Neraka itu sudah terserap ke dalam hati sanubari Raden Antawirya. Tidak mungkin orang biasa akan bisa menyambarnya begitu cepat ketika hampir saja terhempas ke tanah akibat serangan Dewi Iblis. Bahkan pemuda berbaju kulit harimau itu juga menyembuhkan luka-lukanya hanya dengan penyaluran hawa mumi. Bayu memang hanya mengatakan sedikit tentang dirinya, tapi itu sudah cukup bagi Raden Antawirya untuk menaruh kepercayaan padanya.
"Aku akan membuat pondok kecil di luar batas kota," kata Bayu kembali mengemukakan rencananya untuk bertemu orang misterius itu.
"Lalu?" tanya Raden Antawirya ingin tahu lebih lanjut.
"Sementara kau tetap tinggal di pondok, dan jangan ke mana-mana. Meskipun dia datang, jangan menampakkan diri. Biar aku yang akan menghadapinya sendiri. Aku yakin, dia bukan setan, jin, iblis dari neraka atau sejenisnya. Dia pasti manusia biasa yang memiliki tingkat kepandaian tinggi."
"Tapi, mukanya...," Raden Antawirya serasa tak sanggup membayangkan wajah orang itu.
"Bisa saja mengenakan topeng, Raden. Atau mungkin juga pernah terluka sehingga kulit wajahnya habis terkelupas."
"Yah..., terserah kau sajalah," desah Raden Antawirya menyerah.
Bayu hanya tersenyum saja.
"Bayu, ada sesuatu yang masih mengganjal hatiku," ungkap Raden Antawirya pelan.
"Katakan saja, Raden."
"Mungkin aku sudah mengatakan padamu, tapi rasanya masih kupikirkan." "Hm...."
"Terus terang aku tidak mengerti, kenapa orang itu menculik adikku. Bahkan juga mengatakan kalau adikku harus menjalani hukuman selama seratus tahun lamanya...," Raden Antawirya mengeluarkan ganjalan di hatinya.
"Kau pernah menanyakan hal ini pada ayahmu, Raden?" tanya Bayu.
'Tidak," sahut Raden Antawirya, agak ngambang suaranya.
"Kenapa Raden tidak menanyakannya?"
"Ayah terlalu larut dalam kesedihan. Sedangkan aku tidak sampai hati untuk menanyakannya, Bayu. Itu sebabnya, kenapa aku nekad hendak membebaskan adikku sendiri tanpa sepengetahuan orang lain," jelas Raden Antawirya
"Selama ini, apakah kau tahu ayahmu punya musuh?" tanya Bayu lagi.
"Tidak. Belum pernah kudengar kalau Ayahanda Prabu punya musuh," sahut Raden Antawirya.
"Aneh juga...," gumam Bayu pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti sampai sekarang, Bayu. Baik Ayahanda Prabu, aku, dan adikku tidak pernah menyakiti siapa pun juga. Kehidupan kami selalu damai, hingga sampai datang manusia aneh itu yang menculik adikku."
"Di mana adikmu diculik?"
"Di kaputren. Semua dayang dan emban pengasuhnya tewas. Bahkan pengawal yang menjaga kaputren pun tewas. Orang itu sudah lenyap sambil membawa adikku begitu aku, Ayahanda Prabu, dan Patih Natabrata serta beberapa prajurit datang."
"Lalu, bagaimana kalian bisa tahu kalau adikmu diculik?"
"Salah seorang pengawal memberitahu sebelum tewas."
Bayu terdiam membisu dengan kening agak berkerut Ayunan langkahnya tidak berhenti meskipun mereka sudah meninggalkan padang rumput, dan kini tengah menuju Kota Kerajaan Kali Jirak. Dari cerita yang didengar, Pendekar Pulau Neraka belum menemukan adanya kejanggalan. Tapi agak heran juga, karena seluruh dayang dan emban serta pengawal kaputren tewas. Sedangkan yang dia tahu, kaputren merupakan tempat terlarang. Dan hanya keluarga istana serta kerabat dekat saja yang boleh memasuki. Sekeliling kaputren sudah pasti dijaga ketat. Jika orang itu bisa masuk dengan menewaskanseluruh penjaga, tentu tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Dan yang pasti, orang itu sudah mengetahui seluk-beluk kaputren, sehingga bisa bergerak cepat dan leluasa sebelum diketahui penjaga lainnya.
"Raden, apakah benteng kaputren mudah dilompati?" tanya Bayu.
"Rasanya sulit, Bayu. Aku sendiri belum bisa mencapai puncaknya," sahut Raden Antawirya.
"Tapi entah jika memang dia memiliki kepandaian tinggi. Dan aku yakin, kau juga bisa melewatinya dengan sekali lompatan saja."
"Ada berapa pintu masuk ke dalam kaputren?" tanya Bayu lagi.
"Satu. Tapi...." '
'Tapi apa, Raden?
"Ada pintu khusus yang hanya dilalui Ibunda Permaisuri. Tidak ada seorang pun yang boleh melewatinya, karena pintu itu langsung menembus kamar pribadinya."
"Hm...," gumam Bayu pelahan.
Sedangkan Raden Antawirya hanya diam saja.
"Satu lagi pertanyaanku, Raden. Apakah di luar benteng kaputren ada penjaga selain di dalam?" tanya Bayu.
"Ada. Jumlahnya sekitar satu pasukan jika siang, dan dua pasukan di malam hari." "Penjaga-penjaga itu tewas juga?" 'Tidak..."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban Raden Antawirya yang terakhir bernada ragu-ragu. Tapi untuk sementara jawaban itu dirasa cukup untuk menjadi bahan pertimbangannya. Dan otak Pendekar Pulau Neraka itu mulai bekerja keras. Dan kini mulai timbul berbagai macam dugaan di benaknya. Juga, berbagai macam pertanyaan yang disadari belum bisa terjawab secepat ini.
* * * * *
--««¦ [ TIGA ] ¦»»--
Bayu mendesah kagum begitu kakinya menginjak taman yang indah bagai berada di dalam sorga. Pandangan Pendekar Pulau Neraka itu langsung tertumbuk pada seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun yang duduk di kursi taman. Di sebelahnya duduk seorang wanita berparas cantik, meskipun garis-garis ketuaan mulai menggurat wajahnya. Bayu menaksir kalau usia wanita ini mungkin sudah berkepala empat.
Dua prajurit yang membawa Bayu segera berlutut memberi sembah begitu sampai di depan Prabu Truna Dilaga dan permaisurinya. Bayu ikut berlutut dan merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Pemuda berbaju kulit harimau itu sudah diajarkan Raden Antawirya, bagaimana jika berhadapan dengan Prabu Truna Dilaga.
"Ada apa, Prajurit?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba membawa seorang pemuda yang mengaku melihat Raden Antawirya," sahut salah seorang prajurit, bersikap penuh rasa hormat
"Hm...," Prabu Truna Dilaga menggumam sambil mengamati pemuda berbaju kulit harimau yang sudah duduk bersila di tanah berumput.
"Kalian boleh pergi, Prajurit"
Kedua prajurit itu memberi sembah, lalu beranjak pergi meninggalkan taman ini.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Prabu Truna Dilaga setelah kedua prajurit itu pergi.
"Nama hamba Bayu, Gusti Prabu," sahut Baya Sikapnya telah seperti yang diajarkan Raden Antawirya, meskipun tidak pernah menyukainya.
"Pekerjaanmu?"
"Berburu, Gusti Prabu."
"Benar, kau telah bertemu putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga seraya menatap dalam-dalam pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Benar, Gusti Prabu. Hamba bertemu di tepi
padang rumput Dan Raden Antawirya menuju
Hutan Kamiaka."
"Lalu, kau bertemu lagi?"
"Tidak, Gusti. Tapi kemarin hamba bertemu Patih Natabrata dan dua puluh orang prajurit yang juga menuju Hutan Kamiaka."
"Apa...?!" Prabu Truna Dilaga terperanjat bukan main. Dia sampai terlonjak berdiri mendengar Patih Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka bersama dua puluh orang prajurit.
"Pengawal! Panggil Punggawa Dipa Praga!" perintah Prabu Truna Dilaga pada seorang pengawal yang berada di dekatnya.
Pengawal itu memberi sembah, kemudian bergegas berlari melaksanakan perintah itu. Prabu Truna Dilaga berjalan mondar-mandir dengan wajah membe-rengut Jelas terlihat kegelisahan melanda hatinya. Dari sudut ekor matanya, Bayu memperhatikan sikap Prabu Truna Dilaga. Dia juga memperhatikan wanita yang tetap saja duduk tanpa cahaya sedikit pun. Bahkan wanita itu memandangi pemuda berbaju kulit harimau di depannya dengan sinar mata sukar diartikan. Pengawal yang diperintahkan tadi, kini telah datang kembali bersama seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Mereka langsung memberi sembah begitu sampai didepan Prabu Truna Dilaga. Pengawal kembali mengambil tempat, berdiri di belakang Raja Kali Jirak itu.
"Punggawa Dipa Praga," terdengar berat nada suara Prabu Truna Dilaga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Punggawa Dipa Praga seraya memberi sembah.
"Di mana kau lihat Patih Natabrata?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Ampun, Gusti Prabu. Kemarin Gusti Patih berangkat ke Hutan Kamiaka," sahut Punggawa Dipa Praga.
"Heh...! Kau tahu, kenapa tidak melaporkan padaku?" bentak Prabu Truna Dilaga.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba dilarang untuk melaporkannya. Gusti Patih sendiri yang melarang."
Prabu Truna Dilaga bersungut-sungut sendiri, kemudian memerintahkan Punggawa Dipa Praga mengantarkan Bayu ke luar. Tanpa banyak kata lagi, mereka beranjak pergi meninggalkan taman itu. Prabu Truna Dilaga masih berjalan mondar-mandir, dan wajahnya masih memberengut. Memang disesali juga tindakan Patih Natabrata yang nekad pergi ke Hutan Kamiaka. Sedangkan Raden Antawirya sendiri sampai sekarang belum kembali juga.
"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Paman Patih. Kenapa dia begitu nekad pergi ke hutan itu...?" gumam Prabu Truna Dilaga seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Mungkin ingin membebaskan anakmu, Kanda Prabu," celetuk Permaisuri Rara Kuminten yang sejak tadi diam saja.
'Tapi tidak seharusnya bertindak sendiri seperti itu...? Paling tidak hal itu bisa dibicarakan padaku lebih dahulu. Hhh.... aku tidak yakin bisa bertemu lagi dengannya. Tidak ada seorang pun yang bisa keluar dalam keadaan hidup dari hutan itu," nada suara Prabu Truna Dilaga terdengar menyesali.
"Kenapa tidak kau kirim saja prajurit ke sana, Kanda?" usul Permaisuri Rara Kuminten.
"Terlalu riskan mengirim prajurit ke hutan itu, Dinda."
"Kau sudah kehilangan kedua anakmu, dan sekarang ditambah patih kesayanganmu Apa kau ingin ada lagi korban berikutnya dari orang-orang yang kau sayangi? Malah tidak mustahil, aku pun bisa hilang diculik."
"Jangan punya pikiran yang bukan-bukan, Dinda."
"Aku hanya mengemukakan pendapatku saja, Kanda:"
Permaisuri Rara Kuminten bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan taman itu. Enam orang gadis yang selalu bersamanya mengikuti dari belakang. Sedangkan Prabu Truna Dilaga masih di taman ini bersama dua orang pengawal saja. Wajah Raja Kali Jirak itu semakin terlihat kusut
* * * * *
BAYU duduk mencangkung di beranda pondok yang dibangunnya siang tadi bersama Raden Antawirya. Pondok yang tidak begitu bagus, tapi cukup buat melancarkan rencananya untuk bertemu manusia bermuka tengkorak. Sementara malam terus merambat semakin larut. Kesunyian begitu terasa mencekam sekitarnya. Di halaman pondok itu, Bayu membuat api unggun untuk sedikit memberi kehangatan di malam yang cukup dingin itu. Pendekar Pulau Neraka masih tetap menunggu dengan sikap penuh waspada. Namun, beranda yang hanya diterangi lampu minyak jarak itu, tidak mampu menyingkap ketegangan di wajah Pendekar Pulau Neraka.
"Dia sudah datang, Bayu?" terdengar suara dari dalam pondok.
"Belum. Jangan menampakkan dirimu, Raden," sahut Bayu berbisik.
"Kapan datangnya?" tanya Raden Antawirya yang bersembunyi di balik dinding pondok. Sengaja pintunya dibuka sedikit agar nanti bisa melihat ke luar.
"Aku tidak tahu, Raden," sahut Bayu lagi.
"Uh! Nyamuk-nyamuk ini membuatku tidak tahan lagi, Bayu!" rungut Raden Antawirya.
Bayu hanya tersenyum kecut.
"Dasar anak raja!" umpat Pendekar Pulau Neraka dalam hati.
Beberapa kali memang terdengar tepukan yang cukup keras. Pasti Raden Antawirya sedang berperang melawan nyamuk.
"Jangan berisik, Raden. Nanti dia tidak mau datang..!" bisik Bayu.
"Kulitku pedas digigiti nyamuk terus, Bayu!" rungut Raden Antawirya.
'Tahanlah sedikit. Kau bukan perempuan yang bisanya hanya mengeluh saja."
Kini tak ada lagi suara. Mungkin Raden Antawirya memberengut atau mengumpat dalam hati. Dan Bayu hanya tersenyum-senyum saja. Entah apa yang membuatnya tersenyum. Mungkin kelakuan Raden Antawirya yang membuatnya jadi tertawa geli di dalam hati. Memang sukar hidup di alam terbuka bagi yang tidak terbiasa.
"Heh...!" tiba-tiba Bayu terperanjat ketika mendadak saja pelita dari minyak jarak padam. Demikian pula api unggun yang dibuatnya tadi.
Belum hilang rasa keterkejutan Pendekar Pulau Neraka itu, mendadak saja di depannya muncul seorang perempuan berambut panjang terurai hampir menutupi wajahnya yang tidak memiliki daging. Wanita itu mengenakan jubah merah panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Sebatang tongkat yang ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan tergenggam di tangan yang tertutup lengan jubah merahnya. Bayu menggelinjang bangkit berdiri, lalu melangkah beberapa tindak ke depan
"Kau yang bernama Bayu?" serak dan kering sekali suara wanita berwajah tengkorak itu.
"Benar, dan kau siapa?" balas Bayu.
"Kau tidak periu tahu siapa aku, Bayu!" desis wanita berwajah tengkorak itu sengit.
"Hm..., lalu apa maksudmu datang ke sini?" dengus Bayu tidak kalah dinginnya.
"Aku datang hendak mencabut nyawamu, keparat!"
"Apa salahku...?"
Tapi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu tidak terjawab. Bahkan jawaban yang diterima adalah serangan dari kibasan tongkat yang begitu cepat luar biasa. Sejenak Bayu terperangah, namun cepat menarik lehernya ke belakang. Maka sabetan tongkat itu lewat di depan lehernya.
Namun Bayu sempat terkejut juga, karena angin tebasan tongkat itu mengandung hawa panas dan hempasan yang begitu kuat Akibatnya Pendekar Pulau Neraka itu sedikit terhuyung, terdorong ke belakang.
"Bagus! Rupanya kau punya kebolehan juga, Bayu!" dengus wanita berwajah tengkorak itu.
"Kau belum menjelaskan, kenapa ingin membunuhku?" sentak Bayu.
"Tidak perlu penjelasan bagi manusia lancang sepertimu!"
Setelah berkata demikian, perempuan bermuka tengkorak itu langsung saja melompat menyerang kembali. Dan kali ini lebih dahsyat dari semula. Bayu cepat-cepat melompat ke samping sambil menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan tongkat itu kembali luput dari sasaran. Hal ini membuat perempuan bermuka tengkorak itu jadi geram bukan main.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, perempuan bermuka tengkorak itu memperhebat serangannya. Tongkat berujung bintang segi delapan itu berkelebatan cepat mengurung setiap gerakan Pendekar Pulau Neraka. Tapi, kali ini wanita itu mendapat lawan yang memiliki segudang pengalaman bertarung dan kepandaian yang sangat tinggi. Makanya, hingga kini serangannya belum juga bisa mendapatkan hasil yang diharapkan.
Bahkan beberapa kali Bayu melancarkan serangan balik yang membuat perempuan bermuka tengkorak itu jadi kelabakan menghindarinya. Beberapa kali dia menyumpah dan memaki menyemburkan ludahnya saat Pendekar Pulau Neraka melancarkan serangan balik yang dahsyat dan membuatnya kerepotan untuk menghindar.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi jurus cepat terlewati. Sementara dari balik pintu pondok, Raden Antawirya memperhatikan tanpa berkedip. Sungguh tidak diduga kalau Bayu mampu menandingi perempuan bermuka tengkorak itu. Walaupun pertarungan sudah berlangsung lebih dari sepuluh jurus, tapi belum ada tanda tanda bakal ada yang terdesak. Bahkan pertarungan ini kelihatan akan berlangsung lama.
Dan setelah dua puluh jurus berlalu, Bayu tidak hanya menerima serangan. Bahkan sekarang dia malah lebih banyak memberi serangan. Tentu saja hal ini membuat perempuan bermuka tengkorak itu semakin kelabakan saja. Sambil bertarung, mulutnya terus mengeluarkan sumpah serapah, karena tidak akan menyangka bakal mendapatkan lawan begini tangguh.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" sambil berteriak keras, perempuan bermuka tengkorak itu mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Tapi Bayu tidak berusaha berkelit. Bahkan tangan kanannya diangkat, dan dibiarkan saja tongkat itu beradu dengan pergelangan tangan kanannya.
Trang!
Satu benturan keras terjadi. Seketika percikan bunga api menyebar ke segala penjuru. Tampak perempuan bermuka tengkorak itu bergetar tangannya, dan buru-buru menarik pulang tongkatnya. Tapi belum juga sempurna menarik tongkatnya, mendadak saja Bayu melayangkan satu tendangan keras menggeledek.
"Yeaaah...!"
Tendangan yang begitu cepat dan tiba-tiba itu tidak bisa dihindari lagi. Terlebih lagi perempuan tua bermuka tengkorak itu tengah berusaha menahan getaran pada tangannya akibat benturan ujung tongkatnya dengan pergelangan tangan Bayu tadi.
Dughk!
"Hughk..!" perempuan bermuka tengkorak itu mengeluh pendek. Tendangan Bayu tepat menghantam perutnya, membuat tubuh berjubah merah itu terbungkuk dan terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu Bayu sudah melompat cepat sambil melancarkan dua pukulan sekaligus ke arah dada. Tapi perempuan bermuka tengkorak itu masih mampu menghindari dengan menarik kakinya cepat-cepat ke samping. Sungguh sukar diikuti pandangan mata biasa. Karena tanpa diduga sama sekali, dalam keadaan tubuh masih berada di udara, Pendekar Pulau Neraka memutar tubuh sambil mengibaskan tangan kirinya langsung ke arah muka perempuan bermuka tengkorak itu.
Plak!
"Akh...!" perempuan bermuka tengkorak itu terpekik keras. Pukulan Bayu demikian keras, sampai-sampai tubuh perempuan bermuka tengkorak itu berputar bagai gasing. Dan pada saat itu terlihat sebuah benda keperakan terlontar. Seketika itu juga, perempuan bermuka tengkorak cepat melesat kabur. Begitu cepatnya, sehingga sebelum Bayu bisa mengejar, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang.
* * * * *
RADEN Antawirya keluar dari pondok setelah cukup lama menunggu akhir pertarungan. Dihampainya Bayu yang sedang membungkuk memungut sesuatu dari tanah. Pendekar Pulau Neraka itu langsung memutar tubuhnya menghadap Raden Antawirya.
"Ini...!" Bayu menyodorkan tangannya yang memegang benda berwarna keperakan.
"Apa ini...?" tanya Raden Antawirya seraya menerima benda keperakan itu.
"Topeng...?"
Raden Antawirya memandang Bayu dalam-dalam, kemudian kembali merayapi benda perak di tangannya. Benda berbentuk topeng tengkorak yang begitu halus berwarna keperakan, tapi lentur bagai karet
"Sayang, aku tidak sempat melihat wajah di balik topengnya," desah Bayu.
Raden Antawirya kembali mengalihkan pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Bayu menghampiri tumpukan kayu api unggun yang tadi padam akibat terlempar sebuah benda keperakan. Bayu menyalakan kembali api dengan batu pemantik, kemudian duduk di dekat api. Beberapa ranting ditambahkan agar nyala api lebih besar. Raden Antawirya ikut duduk di samping Pendekar Pulau Neraka itu, sambil mengamati topeng tengkorak di tangannya.
"Sudah kuduga, dia pasti manusia biasa yang hanya mengenakan topeng," jelas Bayu lagi setelah menghembuskan napas panjang.
'Tapi, siapa orang itu, ya...?" gumam Raden Antawirya seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Itulah yang harus kau selidiki, Raden."
"Aku...?!" Raden Antawirya menatap Bayu dalam-dalam.
"Siapa lagi kalau bukan kau yang menyelidiki, Raden."
"Lalu, kau sendiri...?"
Bayu tersenyum. Meskipun Raden Antawirya tidak mengemukakan secara langsung, tapi dari nada suaranya sudah bisa dipastikan kalau bantuan Pendekar Pulau Neraka ini sangat diharapkan. Memang, Raden Antawirya telah menyaksikan sendiri kehebatan Pendekar Pulau Neraka. Pertama, ketika dia bentrok dan hampir tewas kalau Bayu tidak segera menolongnya. Dan yang kedua telah disaksikan sendiri betapa dahsyatnya pertarungan tadi. Dari situ saja Raden Antawirya sudah bisa mengukur kemampuannya sendiri. Tak mungkin manusia misterius itu bisa dihadapi seorang diri kalau tidak meminta bantuan Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat ini, tidak mungkin mencari orang lain lagi.
"Bayu, kau bersedia membantuku?" tanpa sungkan-sungkan lagi Raden Antawirya meminta bantuan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kalau kau percaya padaku?"
"Kenapa tidak? Aku tentu menaruh kepercayaan penuh padamu, Bayu."
Bayu tersenyum, dan Raden Antawirya juga tersenyum senang. Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak berbicara, namun benak masing-masing terus berputar. Memang sangat disayangkan kalau wajah di balik topeng tengkorak itu tidak sempat terlihat. Orang itu begitu cepat melarikan diri begitu topengnya terbebas. Bahkan Raden Antawirya sendiri belum sempat melihat wajah aslinya.
"Bayu, kita sudah tahu kalau dia manusia biasa. Apa tidak sebaiknya kita ke Hutan Kamiaka saja?" saran Raden Antawirya.
"Untuk apa ke sana, Raden?" tanya Bayu.
"Aku merasa adikku dan Paman Patih masih hidup, dan kini dikurung di dalam hutan itu."
"Dan kau akan menjelajahinya?"
Raden Antawirya tidak menjawab.
"Hutan itu sangat luas, Raden. Dan tidak mungkin bisa menjelajahinya dalam waktu singkat. Lagi pula akan memakan waktu yang tidak sedikit."
"Lalu, apa pikiranmu, Bayu?" tanya Raden Antawirya meminta pendapat.
"Aku rasa kita bisa mendapatkan orang itu di sini, Raden."
"Di sini...?!" Raden Antawirya tidak mengerti.
"Ya, di Istana Kafi Jirak."
"Kau jangan main-main, Bayu!" sentak Raden Antawirya.
"Sebaiknya kita telaah setiap kejadian yang telah berlalu, Raden. Dan jebakanku berhasil baik. Dari situ saja sudah bisa kuduga kalau orang yang kita maksud ada di dalam istana. Dan dia tahu kedatanganku, serta mengetahui apa yang kukatakan pada Prabu Truna Dilaga. Dan aku yakin, orang itu juga mengetahui kedatangan perambah hutan itu, sehingga dengan mudah bisa membunuhnya," Bayu memaparkan jalan pikirannya.
'Teruskan, Bayu," pinta Raden Antawirya mulai tertarik
"Pertama dari ceritamu. Sudah kuduga kalau orang itu ada di dalam istana dan mengetahui seluk beluknya dengan pasti. Itu sebabnya kenapa aku menggunakan cara ini. Aku memang ingin membuktikan, apakah dia akan membunuh setiap orang yang melaporkan tentang dirimu, Raden," lanjut Bayu.
"Lalu?"
"Dia bisa mengetahui siapa saja yang pergi ke Hutan Kamiaka, dan mencegatnya di sana sebelum orang itu datang. Itu sebabnya kedatanganmu ke sana sudah diketahuinya. Bahkan dia juga menunggu kedatangan Patih Natabrata."
"Hm..., aku tidak mengatakan kepergianku pada siapa pun," gumam Raden Antawirya.
'Ingat-ingatlah, Raden. Mungkin Raden lupa, atau secara tidak sadar pernah mengucapkan sesuatu."
Raden Antawirya diam termenung.
"Ya. Aku memang pernah bilang, akan mencari adikku di Hutan Kamiaka. Tapi aku tidak mengatakan kapan dan dengan siapa akan pergi."
"Kepada siapa Raden bicara?" tanya Bayu.
"Pada Ayahanda Prabu. Tapi di situ juga ada Ibunda Permaisuri dan Paman Patih Natabrata. Juga ada beberapa punggawa serta prajurit."
'Terlalu banyak. Sukar mencurigai salah satunya," gumam Bayu pelan.
"Kau mencurigai salah satu dari mereka, Bayu?"
"Raden! Waktu aku datang menemui ayahanda-mu, hanya ada Prabu Truna Dilaga, Gusti Permaisuri, dan dua orang prajurit pengawal. Tidak ada yang lain. Tapi...."
"Tapi apa, Bayu?"
"Punggawa Dipa Praga tahu kalau Patih Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka, tapi tidak melaporkannya pada ayahmu."
"Aneh...," desah Raden Antawirya.
* * * * *
--««¦ [ EMPAT ] ¦»»--
"Cepat keluar dari sini...!" seru Bayu begitu melihat api cepat melahap atap pondok
Raden Antawirya langsung menyambar tudung tikar, lalu mengenakannya. Kemudian dia melompat ke atas mengikuti Pendekar Pulau Neraka yang sudah lebih dahulu melompat menerjang atap yang terbakar. Mereka berputar di udara, kemudian hinggap di sebuah batang pohon yang cukup besar.
Kedua pemuda itu terkejut bukan main ketika melihat di sekeliling pondok telah dikepung orang-orang berbaju merah dengan kepala terselubung kain merah juga. Wajah mereka mengenakan topeng ber-bentuk tengkorak manusia. Mereka semua menunggang kuda, berjumlah sekitar dua puluh orang.
"Itu di atas pohon! Seraaang...!" tiba-tiba salah seorang menunjuk ke atas pohon tempat Bayu dan Raden Antawirya berada. Seketika itu juga benda-benda bulat kecil berwarna keperakan bertebaran ke arah Bayu dan Raden Antawirya. Sejenak kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian secepat kilat berlompatan, berputaran di udara menghindari terjangan benda-benda kecil keperakan itu.
Pohon yang mereka naiki tadi meledak dan hancur berkeping-keping tersambar benda-benda keperakan yang dilontarkan orang orang berbaju merah dan mengenakan topeng tengkorak itu. Bayu dan Raden Antawirya mendarat manis di tanah, agak jauh jaraknya dari dua puluh orang bertopeng tengkorak itu.
Tapi belum juga mereka bisa menarik napas lega, orang-orang bertopeng tengkorak itu sudah menggebah kudanya dan menerjang kedua pemuda itu. Terpaksa Raden Antawirya harus mencabut pedangnya, dan langsung melompat menyongsong. Sedangkan Bayu menunggu dengan tangan terkepal erat.
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
Pertempuran pun tak dapat dihindari tagi. Raden Antawirya mengamuk bagai banteng terluka. Dengan pedang di tangan, pemuda itu benar-benar sangat berbahaya bagi lawan-lawannya. Pedangnya berkelebat cepat dan sukar diduga arahnya. Namun orang-orang bertopeng tengkorak itu rupanya memiliki tingkat kepandaian tinggi juga. Mereka mampu mengimbangi amukan Raden Antawirya. Bahkan tidak jarang membuat putra mahkota itu kerepotan.
Sementara Bayu hanya dengan tangan kosong saja sudah berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya. Sambil bertarung, Pendekar Pulau Neraka itu selalu memperhatikan Raden Antawirya yang kelihatannya masih kerepotan menghadapi lawan-lawannya. Melihat posisi Raden Antawirya semakin terdesak dan kewalahan, Bayu segera meningkatkan serangan-serangannya.
Jerit dan pekikan terdengar saling sahut, disusul robohnya orang-orang berbaju merah yang wajahnya tertutup topeng tengkorak. Dalam waktu tidak berapa lama saja, semua pengeroyok Pendekar Pulau Neraka sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat membantu Raden Antawirya. Meskipun putra mahkota itu selalu terdesak, tapi sudah merobohkan tiga orang lawannya. Dan terjunnya Pendekar Pulau Neraka membuat lawan-lawan semakin porak poranda. Pukulan dan tendangan Bayu sungguh keras luar biasa, dan tak terbendung lagi. Jerit dan pekik melengking semakin sering terdengar, dan sebentar kemudian suasana jadi sunyi senyap.
Bayu dan Raden Antawirya berdiri tegak berdampingan, dan sama-sama menghembuskan napas panjang sambil memandangi dua puluh mayat bergelimpangan. Raden Antawirya membuka topeng tengkorak salah satu mayat dengan ujung pedangnya. Tampak seraut wajah yang masih tergolong muda tersembunyi di balik topeng tengkorak itu.
"Kau kenal dia?" tanya Bayu.
Raden Antawirya hanya menggelengkan kepalanya saja. Ujung pedangnya kemudian menyingkap satu persatu topeng-topeng tengkorak. Tak ada satu pun yang bisa dikenali. Mereka semua masih muda-muda, dan mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan putra mahkota ini. Bayu memandangi pemuda yang mengenakan tudung tikar pandan itu. Raden Antawirya memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarungnya di pinggang.
"Aku tidak tahu, siapa mereka...?" desah Raden Antawirya.
"Siapa pun mereka, yang jelas maksudnya akan membunuh kita, Raden," kata Bayu.
"Apakah mereka suruhan manusia tengkorak itu?" nada suara Raden Antawirya seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak bisa memastikan, Raden. Hhh...! Sayang sekali, seharusnya kita tadi membiarkan salah seorang hidup."
"Ya, kita terlalu terbawa amarah."
Kedua pemuda itu terdiam. Mereka sama-sama memandangi pondok yang sudah hancur terbakar. Asap masih mengepul dari sisa-sisa pondok yang sudah jadi arang. Hampir bersamaan kedua pemuda itu menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Bayu, apa tidak sebaiknya semua ini kita selidiki dari dalam istana?" usul Raden Antawirya seraya memandang Pendekar Pulau Neraka di sampingnya.
"Tidak mungkin kita masuk ke sana, Raden," sergah Bayu.
"Aku akan kembali terang-terangan. Aku ingin tahu, ada perubahan apa di dalam istana." .
"Apakah itu tidak membahayakan diri Raden sendiri?"
"Kau pernah bilang, Bayu. Segala sesuatu selalu mengandung bahaya, tinggal tergantung kita sendiri. Apakah mampu meredam bahaya itu ataukah pasrah menghadapinya... ?"
Bayu tersenyum lebar. Memang hal itu pernah dikatakannya pada Raden Antawirya, saat pemuda ini tengah putus asa akibat nyaris tewas di tangan manusia aneh bermuka tengkorak. Cukup banyak yang dikatakan Bayu untuk membangunkan semangat putra mahkota ini. Dan rupanya setiap kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka meresap ke dalam hatinya.
"Baiklah. Aku akan tetap menjagamu, Raden," ujar Bayu.
"Aku percaya itu, Bayu."
* * * * *
KEMUNCULAN Raden Antawirya di istana kembali, sungguh mengejutkan. Semua orang menyangka kalau putra mahkota itu sudah tewas di Hutan Kamiaka. Ini baru pertama kali terjadi, orang bisa selamat keluar dari Hutan Kamiaka yang terkenal angker. Kedatangan Raden Antawirya disambut gembira. Bahkan Prabu Truna Dilaga sendiri ingin berdua dengan putranya di dalam kamar pribadi yang tidak seorang pun diijinkan masuk. Terlebih lagi Raden Antawirya memang ingin bicara saja berdua bersama ayahnya, tanpa orang lain. Malah Permaisuri Rara Kuminten tidak diijinkan masuk ke dalam kamar khusus ini. Prabu Truna Dilaga tidak puas-puasnya memandangi putranya, yang seakan-akan baru saja bangkit kembali dari kematian.
"Bagaimana kau bisa keluar dari Hutan Kamiaka, Putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga tidak sabar lagi hendak mendengar cerita pengalaman anaknya.
"Ceritanya sangat panjang, Ayahanda Prabu. Tapi bukan itu yang hendak ananda bicarakan," kata Raden Antawirya.
"O...," Prabu Truna Dilaga mengerutkan alisnya.
"Ada sesuatu yang lebih penting, yang hendak ananda bicarakan, Ayahanda Prabu," jelas Raden Antawirya lagi.
"Pembicaraan apa?" tanya Prabu Truna Dilaga bertanya-tanya dalam hati.
"Ananda mohon, Ayahanda Prabu tidak bergusar hati. Ananda memang selamat dari Hutan Kamiaka, tapi itu bukan karena usaha ananda sendiri. Ada seorang pendekar perkasa yang telah menyelamatkan ananda, Ayahanda Prabu."
"Oh...," desah Prabu Truna Dilaga semakin berkerut keningnya.
"Pendekar perkasa itu tentu sudah Ayahanda Prabu kenal," lanjut Raden Antawirya.
"Siapa?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Dia bernama Bayu, dan pernah menemui Ayahanda Prabu di sini."
"Bayu...," gumam Prabu Truna Dilaga mencoba mengingat-ingat.
"Oh, ya.... Memang pernah datang ke sini seorang pemburu muda yang bernama Bayu. Apakah pemuda gagah itu yang kau maksudkan, Anakku?"
"Benar, Ayahanda Prabu. Bayu sengaja datang ke sini dengan satu siasat."
"Siasat..?"
"Maksud Bayu sebenarnya baik, Ayahanda Prabu. Dan ananda yang menyetujui siasatnya itu. Hasilnya juga sungguh mengejutkan."
"Ceritakan selengkapnya padaku," pinta Prabu Truna Dilaga semakin tertarik.
"Sepulangnya dari sini, malamnya Bayu didatangi seseorang yang mukanya seperti tengkorak. Ananda jelas melihatnya. Mereka kemudian .bertarung, tapi orang itu berhasil kabur setelah Bayu melepaskan topeng tengkorak yang dikenakannya. Dan pagi tadi, ananda dan Bayu diserang dua puluh orang bertopeng tengkorak Kami berhasil mengalahkan mereka. Dan itu pun berkat Bayu juga, Ayahanda Prabu," dengan singkat Raden Antawirya mengisahkan pengalamannya bersama Pendekar Pulau Neraka.
"Hm." Teruskan, Anakku," pinta Prabu Truna Dilaga.
"Dari situ ananda yakin, kalau orang bertopeng tengkorak itu ada di dalam istana ini, Ayahanda Prabu," lanjut Raden Antawirya.
"Bagaimana kau bisa menduga begitu, Anakku?" tanya Prabu Truna Dilaga.
"Dari setiap kejadian yang terjadi, orang itu mengetahui persis keadaan dan orang-orang istana. Bahkan dia tahu kalau aku, Paman Patih Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka."
"Kau tahu...?!" Prabu Truna Dilaga terhenyak kaget.
"Ananda memang telah tahu kepergian Paman Patih Natabrata ke Hutan Kamiaka. Bahkan ananda dan Bayu berusaha menolong, tapi terlambat Paman Patih Natabrata lenyap, sedangkan dua puluh prajuritnya tewas."
"Oh...," keluh Prabu Truna Dilaga langsung tertunduk kepalanya.
"Maafkan ananda, Ayahanda Prabu. Ananda terpaksa memberitahukan hal ini," ucap Raden Antawirya.
"Tidak apa, Anakku. Lanjutkanlah, apa saja yang sudah kau ketahui?"
"Tidak banyak yang ananda ketahui, Ayahanda Prabu. Itu sebabnya ananda pulang kembali ke istana untuk memancing tanggapan manusia bermuka tengkorak itu."
Prabu Truna Dilaga diam membisu dengan wajah terselimut mendung. Pelahan diangkat kepalanya, ditatapnya dalam-dalam bola mata pemuda di depannya.
"Seharusnya kau tidak kembali ke sini, Anakku," ujar Prabu Truna Dilaga lirih.
"Kenapa?" tanya Raden Antawirya tidak mengerti.
"Karena aku juga sebenarnya sudah berpikir ke arah itu, tapi belum punya cukup bukti. Aku tahu siapa orang yang menculik adikmu, dan yang membuat resah seluruh Kerajaan Kali Jirak ini...."
"Siapa orangnya, Ayahanda Prabu?" desak Raden Antawirya.
"Dewi Iblis."
"Dewi Iblis...?!" Raden Antawirya mengerutkan keningnya.
Tanpa diminta lagi, Prabu Truna Dilaga menceritakan tentang perempuan berwajah tengkorak itu. Apa yang diceritakan kini, sama persis dengan yang pernah diceritakan pada Patih Natabrata. Sedangkan Raden Antawirya mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak disangka kalau pada masa mudanya dulu, ayahnya punya musuh yang sangat tangguh. Hanya saja yang masih sulit dimengerti, apakah mungkin seseorang yang sudah mati bisa bangkit kembali sehingga mampu melancarkan pembalasan dendam sekarang ini?
Kalau memang benar manusia bertopeng tengkorak itu adalah Dewi Iblis, itu berarti mereka berhadapan dengan sosok makhluk halus, bukan manusia biasa. Tapi Raden Antawirya tidak percaya dengan segala macam hantu. Dia teringat kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang meyakinkan dirinya kalau yang sedang dihadapi saat ini adalah manusia biasa berkepandaian sangat tinggi.
Tapi kalau mengingat cerita ayahnya, Raden Antawirya jadi bimbang juga. Prabu Truna Dilaga mengenali betul kalau orang itu adalah Dewi Iblis. Wanita yang pernah menjadi musuh besar keluarga Istana Kerajaan Kali Jirak ini. Sedangkan menurut Prabu Truna Dilaga, Dewi Iblis sudah tewas di tangan orang tua Patih Natabrata. Rasanya sukar dipercaya kalau orang yang sudah mati bisa bangkit lagi, dan sekarang melancarkan aksi balas dendamnya.
"Ayah, apakah Dewi Iblis mempunyai murid?" tanya Raden Antawirya, yang tiba-tiba mendapat pikiran begitu.
"Setahuku tidak, Anakku," sahut Prabu Truna Dilaga.
"Hm.... Pasti ada orang lain yang menggunakan nama Dewi Iblis, dan ingin meruntuhkan Kerajaan Kali Jirak ini...," gumam Raden Antawirya seperti bicara pada dirinya sendiri.
Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya terdiam saja membisu. Persoalan yang mereka hadapi sekarang semakin bertambah pelik. Mereka sadar kalau tengah menghadapi seseorang yang sangat licin dan berbahaya. Terlebih lagi ketika menyadari kalau orang itu berada di dalam istana ini. Memang sulit untuk membuktikan siapa di antara sekian banyak orang yang bisa dicurigai dalam lingkungan istana. Hal ini bagaikan mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Karena semua pembesar istana dan pengurus istana ini adalah orang-orang yang mereka kenal, dan sudah mengabdi secara turun-temurun. Rasanya tidak mungkin salah seorang dari mereka yang mencoba memberontak meruntuhkan kekuasaan.
Mereka terus -berbicara bertukar pikiran hingga jauh malam. Baru pada lewat tengah malam, mereka keluar dari kamar itu dan kembali ke kamarnya masing-masing. Di dalam kamarnya, Raden Antawirya tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Pikirannya terus mengambang, melayang jauh pada semua peristiwa yang terjadi di Kerajaan Kali Jirak ini. Dia tidak percaya kalau kejayaan Kali Jirak akan runtuh dalam waktu dekat.
* * * * *
SEMENTARA itu di dalam kamar lain, Prabu Truna Dilaga juga belum bisa memejamkan matanya. Pembicaraannya dengan Raden Antawirya tadi benar-benar tidak diduga sama sekali. Hampir-hampir penguasa Kali Jirak ini tidak percaya kalau ada musuh yang menghendaki keruntuhan kerajaan di dalam istana ini Terlebih lagi, orang yang menghendaki itu ada hubungan dengan Dewi Iblis yang dulu menjadi musuh besar keluarga istana.
"Kau sudah kembali, Kanda...?"
Prabu Truna Dilaga berpaling saat mendengar sapaan lembut dari arah belakang. Tampak Permaisuri Rara Kuminten menggeliat bangkit dari pembaringan, lalu duduk ditepinya sambil memandangi laki-laki yang telah lama menjadi suaminya itu. Sedangkan Prabu Truna Dilaga sendiri masih tetap berdiri di samping jendela kamar ini.
"Sudah malam, kenapa belum tidur...?" lembut sekali suara Permaisuri Rara Kuminten.
'Tidurlah dulu, aku belum mengantuk," ujar Prabu Truna Dilaga kembali memandang ke luar melalui jendela.
Permaisuri Rara Kuminten beranjak bangkit dari pembaringan. Dilangkahkan kakinya menghampiri suaminya, lalu memeluk pinggang laki-laki tua itu. Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya diam saja tidak memberi tanggapan.
"Ada yang kau pikirkan, Kanda?" tanya Permaisuri Rara Kuminten.
"Hhh...!" Prabu Truna Dilaga hanya menarik napas panjang saja.
"Apa yang kau bicarakan dengan Antawirya?" tanya Permaisuri Rara Kuminten lagi.
"Tidak ada," sahut Prabu Truna Dilaga seraya melepaskan pelukan istrinya.
Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu melangkah menghampiri pembaringan Kemudian direbahkan tubuhnya di sana. Permaisuri Rara Kuminten menghampirinya, lalu duduk di tepi pembaringan kembali.
Dipandanginya wajah laki-laki tua itu. Tangannya bergerak lembut memainkan rambut di dada Prabu Truna Dilaga.
"Rasanya kau belum pernah menyimpan rahasia padaku, Kanda. Apakah pembicaraanmu dengan Antawirya begitu penting, sehingga aku tidak boleh tahu?" rajuk Permaisuri Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga hanya diam saja. Namun matanya tidak juga mau terpejam, meskipun terasa berat dan lelah sekali. Sementara Permaisuri Rara Kuminten merebahkan rubuhnya di samping laki-laki tua -itu. Diletakkan kepalanya di dada yang berbulu lebat itu.
"Kanda, Antawirya memang bukan anakku. Tapi apakah aku tidak boleh mengetahui rahasianya? Aku menyayangi dan menganggapnya anakku sendiri, walau aku sendiri tidak bisa memberimu seorang keturunan," pelan sekali suara Permaisuri Rara Kuminten.
"Jangan persoalkan itu lagi, Dinda. Aku tidak suka lagi mendengar keluhanmu tentang anak. Aku sudah cukup bahagia kau dampingi. Kaulah penyelamat hidupku di saat aku kehilangan pegangan karena kehilangan seorang pendamping. Ah, sudahlah.... Lupakan semua itu, Dinda."
"Bagaimana aku bisa tinggal diam saja, Kanda. Sementara kau terus gelisah dalam ketidakmenentuan. Aku tahu, kau sangat memikirkan keselamatan Intan Wandira yang sampai sekarang belum jelas nasibnya. Dan aku yakin kalau kedatangan Antawjrya tidak akan mengobati kegelisahan hatimu. Sedangkan aku...."
Prabu Truna Dilaga buru-buru menutup mulut istrinya dengan dua jari tangan, maka kata kata Permaisuri Rara Kuminten terputus seketika. Prabu Truna Dilaga menggeser tubuhnya, lalu duduk bersandar di pembaringan. Sedangkan Permaisuri Rara Kuminten memandanginya, sambil duduk dengan tangan bertumpu pada tubuh suaminya.
"Terlalu banyak yang telah kau lakukan untukku, Dinda. Dan aku tidak ingin membebanimu dengan segala macam pikiran yang akan membuatmu susah," kata Prabu Truna Dilaga.
"Tapi, untuk apa aku mendampingimu jika kau masih saja menyimpan rahasia," rungut Permaisuri Rara Kuminten.
"Ini rahasia keselamatan negeri, Dinda. Dan aku...."
"Aku bisa membantu mencari jalan keluarnya, Kanda," potong Permaisuri Rara Kuminten cepat Prabu Truna Dilaga menarik napas panjang. Memang diakui kalau Rara Kuminten selalu mempunyai pikiran cemerlang. Tidak sedikit buah pikirannya terpakai untuk membantu meningkatkan kemajuan negeri. Bahkan di kala sedang menghadapi masa sulit sekalipun, buah pikiran cemerlang wanita ini tiba-tiba saja muncul.
"Ayolah, Kakang.... Untuk apa menyimpan rahasia jika akhirnya aku toh tahu juga...," bujuk Permaisuri Rara Kuminten.
"Baiklah...," desah Prabu Truna Dilaga menyerah.
Laki-laki tua ini memang selalu saja tidak'kuasa menyimpan rahasia sekecil apa pun di depan Permaisuri Rara Kuminten. Sedangkan wanita itu selalu saja dapat membujuk sehingga membuat hati laki-laki tua ini lemah. Prabu Truna Dilaga akhirnya menceritakan juga tentang pembicaraan bersama Raden Antawirya. Bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil sekalipun tuntas diceritakannya.
Sementara Rara Kuminten mendengarkan penuh perhatian. Sepertinya setiap kata yang diucapkan laki-laki tua ini disimak, dan ditelannya bulat-bulat. Raut wajahnya sedikit berubah ketika Prabu Truna Dilaga mengatakan bahwa kepulangan Raden Antawirya bermaksud menyelidiki setiap orang yang ada di dalam istana. Hal ini karena putra mahkota itu menduga segala yang telah terjadi bersumber dari dalam istana sendiri. Permaisuri Rara Kuminten masih berdiam diri meskipun Prabu Truna Dilaga telah menyelesaikan ceritanya. Bahkan untuk beberapa lamanya mereka hanya membisu saja. Beberapa kali terdengar tarikan napas panjang dan berat.
"Kanda..., apakah Kanda percaya pada pemuda yang bernama Bayu itu?" Permaisuri Rara Kuminten baru membuka suara setelah cukup lama diam membisu.
"Rasanya pemuda itu bermaksud baik, Dinda," sahut Prabu Truna Dilaga.
"Justru aku sebaliknya, Kanda. Aku malah jadi curiga. Jangan-jangan justru dialah yang memanfaatkan Raden Antawirya. Toh kita tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Sedangkan Raden Antawirya sendiri baru beberapa hari mengenalnya."
"Maksudmu...?" Prabu Truna Dilaga meminta penjelasan.
"Pertolongan tidak akan selamanya tulus, Kanda. Bahkan banyak dari pertolongan yang mengharapkan sesuatu. Bisa saja pemuda itu berpura-pura membantu Raden Antawirya, padahal sebenarnya hendak meruntuhkan kerajaan ini. Kau harus menyelidiki siapa dia sebenarnya, Kakang. Kalau perlu penjarakan dia," tegas Permaisuri Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga hanya diam saja. Keningnya berkerut dalam, pertanda tengah berpikir keras. Sementara Permaisuri Rara Kuminten terus berbicara mengemukakan pendapatnya yang sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan Raden Antawirya.
* * * * *
--««¦ [ LIMA ] ¦»»--
"Punggawa Dipa Praga, hendak ke manakah membawa rombongan prajurit?" sapa Bayu ramah.
"Aku datang untuk menjemputmu, Bayu," sahut Punggawa Dipa Praga.
"Menjemputku...?" Bayu mengerutkan keningnya.
"Benar! Dan kuharap kau tidak membuat kesulitan."
Punggawa Dipa Praga menjentikkan jarinya. Dua orang prajurit melompat turun dari punggung kudanya. Mereka menghampiri Bayu sambil menggenggam tambang di tangan. Bayu jadi tidak mengerti, dan hanya melangkah mundur dua tindak.
"Tunggu! Untuk apa tambang ini...?" tanya Bayu minta penjelasan.
"Kau akan tahu nanti di istana, Bayu. Sebaiknya tidak perlu melawan!" tegas nada suara Punggawa Dipa Praga.
"Pengawal, ikat dia!"
"Hey...! Tunggu dulu! Aku bukan buronan, mengapa ingin mengikatku?!" sentak Bayu semakin tidak mengerti akan sikap punggawa ini.
"Sekarang ini kau menjadi buronan Kerajaan Kali Jirak, Bayu!" tegas Punggawa Dipa Praga sinis.
Bayu benar-benar tidak mengerti dengan semua ini, tapi tidak mau menyerahkan diri begitu saja. Sementara prajurit-prajurit lainnya sudah berlompatan turun dari kuda masing-masing. Mereka langsung bergerak mengepung Pendekar Pulau Neraka ini. Bahkan sekarang ada enam prajurit yang mengelilingi Bayu sambil memutar-mutar ujung tambang. Melihat gelagat yang kurang menguntungkan ini, Bayu langsung bersiap-siap. Ditatapnya Punggawa Dipa Praga dengan sinar mata tajam. Sedangkan Punggawa Dipa Praga membalasnya dengan tidak kalah tajam pula.
'Punggawa, jelaskan. Apa maksud semua ini?" pinta Bayu.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Bayu. Prajurit...! Tangkap bajingan ini...!" perintah Punggawa Dipa Praga lantang.
"Eh...!"
Bayu tidak punya kesempatan untuk berbicara lagi. Enam orang prajurit yang memegang tambang sudah bergerak melempar tambangnya ke atas melewati kepala Pendekar Pulau Neraka itu. Dan mereka secara bersamaan melompat menangkap ujung tambang yang dilemparkan itu.
Bayu bisa mengerti cara penangkapan ini. Dengan cepat dilentingkan tubuhnya ke udara sambil meraih Cakra Maut Senjata itu kemudian digenggam dengan tangan kanannya. Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka itu bergerak cepat mengibaskan tangannya membabat tambang-tambang yang membentuk jaring di atas kepala.
Tas! Tas! Tas...!
Tambang-tambang itu seketika putus, maka enam orang prajurit itu berpentalan karena pada saat itu mereka menarik tambang kuat kuat Tubuh mereka bergelimpangan di tanah dengan wajah terbengong melihat tambang yang terpotong-potong jadi beberapa bagian. Sementara Bayu dengan manis sekali mendarat kembali di tanah. Dia memasang lagi Cakra Maut di pergelangan tangannya.
"Bayu! Kuperingatkan sekati lagi, jangan membuat perlawanan!" bentak Punggawa Dipa Praga gusar.
"Hm.... Siapa yang memerintahkanmu untuk menangkapku, Punggawa?" tanya Bayu.
"Kau tidak perlu tahu. Ini perintah!" sentak Punggawa Dipa Praga.
"Baik! Kalau begitu, aku tidak akan menuruti perintahmu!"
"Keparat.. Serang...! Penggal kepalanya!" perintah Punggawa Dipa Praga lantang.
Seketika itu juga prajurit-prajurit yang memang sejak tadi sudah menunggu perintah, langsung menghambur menyerbu Pendekar Pulau Neraka. Bayu yang tidak mengerti persoalannya, jadi ragu-ragu. Dia hanya bisa berkelit dan berlompatan menghindar tanpa memberi serangan balasan. Namun serangan-serangan yang datang demikian gencar. Bahkan beberapa kali ujung tombak dan mata pedang hampir menghunjam tubuh Pendekar Pulau Neraka. Semakin lama ruang gerak Bayu semakin terasa sempit. Bahkan sukar baginya untuk berbuat banyak lagi. Prajurit-prajurit ini benar-benar ingin mencincang tubuhnya.
Bayu memang paling tidak menyukai keadaan seperti ini. Darahnya langsung mendidih ketika satu tendangan yang dilancarkan Punggawa Dipa Praga berhasil bersarang di tubuhnya, dan membuatnya terhuyung ke belakang. Kalau saja tidak cepat-cepat mengegos, tentu tubuhnya sudah terpanggang sebatang tombak yang datang dari arah belakang.
"Phuih! Kalian benar-benar ingin membunuhku, rupanya!" dengus Bayu mulai gusar.
"Hayo! Serang terus! Cincaaang...!" seru Punggawa Dipa Praga memberi semangat para prajuritnya.
Mendengar teriakan-teriakan bernada perintah itu, Bayu jadi semakin memuncak amarahnya. Seluruh darah di tubuhnya bergolak mendidih. Wajahnya memerah menahan kemarahan yang hampir melesak sampai ke kepala.
"Keparat..!" desis Bayu geram ketika hampir saja sebuah pedang menebas lehernya. Sambil menggeram marah, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangannya. Segera disampoknya tangan prajurit yang memegang pedang itu. Sungguh cepat luar biasa gerakan Bayu. Sebelum prajurit itu bisa menyadari, tahu-tahu terpekik keras dan tubuhnya terpental ke udara.
Sebelum prajurit itu ambruk ke tanah, Bayu sudah cepat memutar tubuhnya sambil menggerakkan tangannya bagai kilat memberikan beberapa pukulan beruntun. Seketika itu juga jerit dan pekikan melengking terdengar saling sambut disusul tubuh-tubuh berpelantingan menggelepar di tanah. Dalam satu gebrakan saja, tidak kurang dari sepuluh prajurit merintih menggelepar di tanah.
* * * * *
MELIHAT sepuluh orang menggelepar dan merintih kesakitan, prajurit-prajurit lainnya langsung berlompatan mundur. Saat itu mereka merasa gentar menghadapi pemuda berbaju kulit harimau ini. Bayu berdiri tegak sambil menatap tajam Punggawa Dipa Praga. Sementara punggawa itu melangkah mundur beberapa tindak. Tampak jelas raut wajahnya memancarkan kegentaran pada kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka ini.
"Baik! Kali ini kau boleh merasa menang, Bayu. Tapi lain waktu kau akan meratap memohon ampun padaku!" desis Punggawa Dipa Praga dingin.
"Aku khawatir malah sebaliknya kau yang meratap, Punggawa!" balas Bayu tidak kalah dingin.
Punggawa Dipa Praga memberi isyarat pada prajurit-prajuritnya. Tanpa diperintah dua kali, prajurit-prajurit itu segera berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sebagian membantu temannya yang terluka. Bayu memang sengaja hanya memberi sedikit luka pada mereka. Tidak ada maksud sedikit pun dihatinya untuk membunuh. Pelahan-lahan Punggawa Dipa Praga melangkah mundur menghampiri kudanya, kemudian melompat naik ke punggung tunggangannya itu. Sebentar ditatapnya Pendekar Pulau Neraka, kemudian digebah kudanya dengan kecepatan tinggi. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa ketika puluhan kuda berpacu cepat meninggalkan tepian sungai itu.
Bayu masih berdiri tegak memandangi kepergian para Prajurit Kerajaan Kali Jirak itu. Hatinya jadi bertanya-tanya, kenapa prajurit-prajurit itu hendak menangkapnya? Bahkan berniat membunuhnya? Pendekar Pulau Neraka jadi teringat Raden Antawirya yang kini berada di dalam istana.
"Hm.... Apa yang terjadi pada Raden Antawirya?" gumam Bayu bertanya-tanya sendiri.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu melesat pergi mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Arah yang dituju sudah jelas ke Kota-raja Kali Jarak. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga bisa berlari kencang seperti angin. Kedua tapak kakinya bagai tak menjejak tanah, sehingga bagaikan terbang saja. Dan yang terlihat kini hanya bayangan tubuhnya saja yang berkelebat tak berbentuk. Tanpa memerlukan waktu lama, Pendekar Pulau Neraka itu sudah tiba di dekat tembok benteng istana bagian belakang. Sebentar diamati keadaan sekitarnya, kemudian dia melompat naik ke atas tembok benteng yang tinggi itu. Hanya sekali lesatan saja, Bayu sudah bisa mencapai bagian atas tembok.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu mengamati keadaan dalam tembok benteng ini. Tampak beberapa penjaga hilir mudik mengitari bangunan besar dan megah itu. Perhatian Bayu terpusat ke sebuah jendela yang terbuka lebar. Dari tempat ini dapat terlihat jelas keadaan dalam kamar melalui jendela yang terbuka lebar itu. Tampak Raden Antawirya tengah duduk di kursi menghadap jendela. Di depannya berdiri seorang laki-laki yang rambutnya sudah memutih semua. Bayu tahu, siapa laki-laki tua yang berdiri menghadap Raden Antawirya dan membelakangi jendela itu. Meskipun tidak bisa melihat wajahnya, tapi sudah cukup bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mengetahui. Dia adalah Prabu Truna Dilaga.
"Hm..., apa yang mereka bicarakan...?" gumam Bayu bertanya di dalam hati.
Cukup jauh jarak antara tempat ini dengan kamar itu. Tak mungkin Bayu bisa mendengarkan percakapan di dalam kamar itu. Sebentar diedarkan pandangannya berkeliling. Bibirnya kemudian tersenyum begitu melihat sebuah pohon cukup besar, dan sepertinya berada dalam jangkauannya.
"Hup...!"
Indah sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka saat melentingkan tubuhnya ke arah pohon itu. Cepat dan ringan sekali, sehingga tak ada yang mengetahui. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya hinggap di cabang pohon. Sebentar kemudian Bayu sudah melesat ringan menuju atap, tepat di kamar itu.
Tap!
Bayu langsung merapatkan tubuhnya begitu mencapai atap. Dari atap ini percakapan di dalam kamar bisa terdengar. Tapi begitu telinganya dipasang tajam-tajam, Pendekar Pulau Neraka itu jadi berkerut keningnya. Ternyata di dalam kamar itu tidak terdengar satu suara pun. Pelahan-lahan Bayu menggeser tubuhnya lebih ke tepi, lalu dijulurkan kepalanya ke bawah, mencoba melihat ke dalam kamar.
"Sial...!" rutuk Bayu begitu melihat ke dalam kamar yang sudah kosong
Ternyata pada saat Bayu tiba di atap, Prabu Truna Dilaga dan Raden Antawirya telah meninggalkan kamar itu. Bayu kembali menarik kepalanya bergegas, karena mendengar suara langkah tidak jauh di bawah sana. Tampak dua orang prajurit penjaga tengah berjalan melintasi jendela kamar itu. Bayu merapatkan tubuhnya ke atap, agar tidak terlihat.
"Huh...! Apa yartg harus kulakukan sekarang...?" dengus Bayu dalam hati.
Dua orang prajurit penjaga itu bukannya lewat, tapi malah berhenti di depan jendela. Dan Bayu jadi dongkol setengah mati. Tubuhnya mulai terasa pegal dalam posisi seperti ini. Sesekali diliriknya dua penjaga itu. Dan kini Pendekar Pulau Neraka merutuk dalam hati, karena kedua penjaga itu malah duduk di bawah pohon.
"Dasar, penjaga malas!" gerutu Bayu sengit.
Bayu menyadari tidak mungkin meninggalkan atap ini. Sedikit saja bergerak, pasti kedua penjaga itu bisa mengetahuinya. Pendekar Pulau Neraka itu bersungut-sungut dalam hati. Hatinya menyesal karena menyelinap begini tanpa hasil yang diharapkan. Sedangkan dua orang prajurit penjaga itu malah tertawa-tawa, sehingga membuat Bayu semakin menggerutu kesal dalam hati. Bola mata Pendekar Pulau Neraka itu berputar, dan otaknya bekerja keras mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk meloloskan diri dari ketersiksaan seperti ini.
"Setan! Bisa sampai malam aku di sini...!" rutuk Bayu kesal.
* * * * *
SEMENTARA itu di ruangan lain, Raden Antawirya dan ayahnya sedang berdebat sengit. Pemuda itu tidak menyukai tindakan ayahnya yang memerintahkan Punggawa Dipa Praga menangkap Bayu. Bahkan memerintahkan membunuh jika pemuda berbaju kulit harimau itu melawan.
"Kenapa Ayahanda melakukan itu?" dengus Raden Antawirya.
"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mempercayai siapa pun. Terlebih lagi pada orang yang belum kita kenal asal-usulnya, Antawirya," jawab Prabu Truna Dilaga.
'Tapi, kenapa Ayah tidak bilang dulu padaku?"
"Aku masih sah sebagai raja di sini, Antawirya!" bentak Prabu Truna Dilaga.
"Maaf, Ayahanda Prabu. Nanda tidak bermaksud menyinggung," ucap Raden Antawirya.
"Ah, sudahlah. Nanti kalau Punggawa Dipa Praga kembali, kau boleh menanyai teman barumu itu," jelas Prabu Truna Dilaga.
Pada saat itu seorang prajurit penjaga datang menghadap. Dilaporkan bahwa Punggawa Dipa Praga hendak menghadap. Dan Prabu Truna Dilaga memerintahkan Punggawa Dipa Praga segera menemuinya. Pengawal itu bergegas pergi setelah memberi hormat. Tak lama berselang, muncul Punggawa Dipa Praga dalam keadaan tubuh yang lusuh dan kotor berdebu. Punggawa itu langsung menjatuhkan diri bersimpuh di depan Prabu Truna Dilaga.
"Mana anak muda itu?" tanya Prabu Truna Dilaga langsung.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba gagal menjalankan tugas," lapor Punggawa Dipa Praga.
"Apa...?!" Prabu Truna Dilaga mendelik.
"Anak muda yang bernama Bayu itu melawan, dan hamba mencoba meringkusnya, Gusti Prabu. Tapi dia digdaya sekali. Sepuluh prajurit yang hamba bawa terluka cukup parah," jelas Punggawa Dipa Praga.
"Sudah kukatakan, tidak mudah menangkap Bayu...," dengus Raden Antawirya tersenyum tipis.
Prabu Truna Dilaga mendelik pada putranya yang duduk di sebelahnya, kemudian kembali menatap Punggawa Dipa Praga yang masih duduk bersimpuh di lantai. Kepala punggawa itu tertunduk dalam, seakan-akan tak sanggup menerima sorot mata laki-laki tua itu yang sangat tajam menusuk.
"Huh! Dia sudah berani membangkang perintahku!" dengus Prabu Truna Dilaga.
"Punggawa...!"
"Hamba Gusti Prabu."
"Bawa prajurit pilihan lebih banyak lagi. Tangkap dia, dan kalau perlu bunuh di tempat!" perintah Prabu Truna Dilaga.
"Hamba laksanakan, Gusti Prabu."
Punggawa Dipa Praga memberi sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, kemudian beranjak meninggalkan ruangan itu. Prabu Truna Dilaga mendengus berat. Kembali ditatap putranya yang tersenyum-senyum seakan-akan meremehkan perintah ayahnya tadi pada Punggawa Dipa Praga.
"Kenapa kau tersenyum-senyum, Antawirya?" dengus Prabu Truna Dilaga bernada kurang senang.
"Ampun, Ayahanda Prabu. Nanda hanya merasa tindakan Ayahanda Prabu terlalu berlebihan. Nanda yakin, Bayu tidak akan mau menurut jika Ayahanda Prabu mengerahkan sekian banyak prajurit. Dia bukan manusia sembarangan. Kepandaiannya tinggi sekali, Ayahanda Prabu," ujar Raden Antawirya seraya memberikan hormat.
"Seberapa jauh kau mengenalnya, Antawirya?" tanya Prabu Truna Dilaga datar.
'Tidak begitu jauh. Tapi aku percaya kalau dia tidak seburuk yang Ayah kira," jawab Raden Antawirya.
'Tapi kau harus melihat kenyataannya, Anakku. Dia sudah berani membangkang perintahku."
Raden Antawirya hanya mengangkat bahunya saja. Pada saat itu Rara Kuminten masuk ke ruangan ini. Sementara Raden Antawirya segera mohon diri dan meninggalkan ruangan itu. Rara Kuminten memandangi putra mahkota itu, kemudian menghampiri Prabu Truna Dilaga yang masih duduk di kursi kayu berukir. Kemudian wanita itu duduk di depannya. Hanya sebuah meja kecil yang menjadi pembatas antara mereka.
"Kenapa dia, Kanda?" tanya Permaisuri Rara Kuminten seraya melirik Raden Antawirya yang baru saja lenyap di balik pintu.
"Dia tidak menyukai tindakanku," sahut Prabu Truna Dilaga masih bernada kesal.
"Dia membela anak muda itu, Kanda?"
"Entahlah. Tapi kelihatannya memang begitu"
"Hm.... Ini sangat berbahaya, Kanda," gumam Permaisuri Rara Kuminten, terdengar pelan suaranya.
Prabu Truna Dilaga menatap dalam-dalam wanita di depannya ini. Walaupun usianya sudah berkepala empat, tapi masih kelihatan cantik menggairahkan. Bahkan seperti masih berusia dua puluhan saja.
"Kanda Prabu! Kita tidak tahu, sudah berapa lama Antawirya berhubungan dengan pemuda itu. Aku jadi curiga.... Jangan-jangan dia tidak ke Hutan Kamiaka, tapi...," Rara Kuminten memutuskan kata-katanya.
'Teruskan, Dinda," pinta Prabu Truna Dilaga sambil mengerutkan keningnya.
"Kanda, bukankah Raden Antawirya bukan putra kandung...?"
"Apa maksudmu, Dinda?"
"Kanda tidak memiliki seorang anak laki-laki. Dan Kanda hanya mempunyai seorang putri yang kini hilang diculik hingga tak tahu kabar beritanya lagi. Sedangkan Antawirya hanya anak dari seorang selir yang bersekongkol dengan pemberontak yang mencoba meruntuhkan tahta. Malah Kanda sendiri yang menjatuhkan hukuman mati kepada selir itu. Aku jadi curiga kalau sesungguhnya Raden Antawirya diam-diam menyusun kekuatan hendak merebut tahta," kata Permaisuri Rara Kuminten mengemukakan pikirannya.
Prabu Truna Dilaga terdiam sambil mengelus-elus janggutnya yang berwarna dua. Apa yang dikatakan Permaisuri Rara Kuminten barusan memang tidak bisa disalahkan. Raden Antawirya memang hanya anak selir. Itu pun sebenarnya anak hasil hubungan gelap seorang selir dengan seorang punggawa. Karena wanita itu selir, lalu Prabu Truna Dilaga mengangkat Antawirya menjadi anak.
'Tapi dia tidak tahu siapa orang tuanya yang sebenarnya, Dinda," kata Prabu Truna Dilaga.
"Siapa tahu ada yang membocorkan rahasia ini, Kanda. Hampir semua penghuni istana ini tahu siapa Antawirya sebenarnya. Aku tidak menuduh satu-satu. dan kemungkinan itu juga bisa saja terjadi, bukan?"
"Bagaimana kalau dugaanmu salah?"
"Dugaan itu bisa salah dan bisa juga benar, Kanda. Dalam keadaan seperti ini, segala kemungkinan tidak bisa diabaikan begitu saja. Tapi aku juga tidak mengharapkan kalau dugaanku benar. Kanda bisa menyelidikinya dengan menempatkan seorang telik sandi yang khusus mengamati segala tingkah laku Raden Antawirya," tenang sekali nada suara Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga mengangguk-anggukkan kepalanya, sedangkan Rara Kuminten tersenyum manis. Wanita itu kemudian pindah duduknya ke samping laki-laki tua itu dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang. Prabu Truna Dilaga menggamit bahu wanita itu dan memberi satu kecupan lembut di bibirnya.
"Ah, Kanda. Sebaiknya istirahat saja dikamar," rajuk Permaisuri Rara Kuminten.
"Kau selalu membuatku bergairah, Dinda,'' puji Prabu Truna Dilaga seraya bangkit berdiri.
"Biarpun sudah tua, Kanda tetap tampan dan penuh gairah," balas Rara Kuminten.
Prabu Truna Dilaga tertawa senang. Diberikannya hadiah kecupan lembut di bibir wanita itu. Rara Kuminten membalasnya dengan hangat pula. Mereka berjalan meninggalkan ruangan itu sambil berangkulan.
* * * * *
--««¦ [ ENAM ] ¦»»--
RADEN ANTAWIRYA terperanjat begitu masuk ke kamarnya. Entah dari mana, tahu-tahu di dalam kamar itu sudah ada Pendekar Pulau Neraka. Buru-buru Raden Antawirya menutup pintu kamar ini dan menguncinya. Juga, bergegas ditutupnya jendela. Sedangkan Bayu duduk tenang di bangku dekat jendela. Raden Antawirya menarik sebuah kursi dan duduk di depan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kenapa kau ke sini, Bayu?" tanya Raden Antawirya, setengah berbisik suaranya.
"Ada yang ingin kusampaikan padamu," jelas Bayu.
"Aku tahu, kau pasti akan protes tentang penyerangan para prajurit itu, bukan?" tebak Raden Antawirya langsung.
"Bagaimana kau tahu?"
"Baru saja aku berdebat dengan Ayah. Aku juga tidak tahu, mengapa justru Ayah mencurigaimu, Bayu. Maaf, aku tadi tidak sempat mencegah."
"Sejak semula sudah kuduga, ada yang tidak beres di sini...," gumam Bayu pelan.
"Ketidakberesan itu semakin terlihat jelas, Bayu. Terutama sikap ayahku yang begitu lain," sambung Raden Antawirya.
Bayu mengerutkan keningnya. Sungguh tidak disangka kalau pemikiran Raden Antawirya sampai sejauh itu. Sampai-sampai ayahnya sendiri pun mendapat kecurigaan.
"Terus terang, aku sendiri curiga ada yang tidak wajar pada diri Ayahanda Prabu, Bayu. Aku tidak melihat lagi seorang ayah yang kukenal, yang kukagumi, kuhormati, dan menjadi panutan dalam hidupku. Rasanya aku berhadapan dengan sosok asing yang tidak pernah kukenal di dalam diri Ayahanda Prabu," ungkap Raden Antawirya.
"Kenapa kau punya perasaan begitu, Raden?" tanya Bayu.
"Entahlah, Bayu Sejak aku kembali, keanehan semakin terasa di sekitarku. Sepertinya aku berada di suatu tempat yang sangat asing dan tidak pernah kukenal sebelumnya."
Bayu terdiam membisu.
"Bahkan Ayahanda Prabu sama sekali tidak menyinggung-nyinggung lagi tentang penculikan Intan Wandira. Dia seperti melupakan anaknya, Bayu. Aku tidak lagi melihat kesedihan dimatanya, bahkan beberapa kali kudengar perintah yang rasanya tidak masuk akal," sambung Raden Antawirya.
"Kau tahu kenapa sebabnya?" tanya Bayu.
"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Bayu," desah Raden Antawirya lirih.
Bayu kembali terdiam, kemudian bangkit berdiri ketika mendengar suara langkah kaki di luar jendela. Dari sela-sela jendela kamar ini, diintipnya keadaan luar. Pendekar Pulau Neraka itu bersungut dalam hati saat melihat dua penjaga berada tidak jauh di depan jendela. Dua penjaga yang tadi hampir membuatnya kehilangan kesabaran Mereka duduk-duduk di bawah pohon seperti tadi.
"Ada apa, Bayu?" tanya Raden Antawirya seraya ikut mengintip.
"Tidak apa-apa. Hanya penjaga," sahut Bayu kembali duduk di kursi.
Raden Antawirya ikut duduk kembali di kursinya semula.
"Raden, tetaplah berada di istana ini. Aku akan ke Hutan Kamiaka," kata Bayu.
"He...! Untuk apa ke sana?" Raden Antawirya tersentak kaget.
"Aku akan menyelidiki, ada apa di hutan itu."
"Kalau begitu, aku ikut."
"Jangan, Raden Jika kau ikut denganku, mereka akan tahu tujuanku. Tetaplah Raden di sini, sambil menyelidiki terus perkembangannya."
'Tapi...."
"Ingat, Raden. Orang yang kita buru belum jelas siapa. Dan kita berdua yakin, kalau orang itu ada di dalam istana ini. Jika Raden keluar dari istana, tentu ada yang membuntuti. Dan mereka akan mengetahui kalau Raden berjalan bersamaku. Sangat berbahaya, Raden. Bisa-bisa mereka memanfaatkan ini dan memutarbalikkan kenyataan. Raden tahu maksudku...?" Bayu mencoba menjelaskan.
"Aku mengerti, Bayu. Hati-hatilah," sahut Raden Antawirya.
"Secepatnya akan kulaporkan keadaan di sana, Raden," kata Bayu berjanji.
Raden Antawirya tersenyum dan menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu. Sebentar mereka terdiam, kemudian Bayu bangkit berdiri lagi. Dia mendengus begitu mengintip ke luar jendela. Dua orang penjaga masih berada di sana, duduk di bawah pohon.
"Aku akan membawa mereka pergi dari situ, Bayu," kata Raden Antawirya, seperti mengerti arti dengusan Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu hanya mengangguk saja. Sebentar kemudian Raden Antawirya keluar dari kamar ini. Pelahan Bayu membuka jendela sedikit agar bisa leluasa melihat keadaan di luar. Tak lama terlihat Raden Antawirya memanggil kedua penjaga yang kemudian bergegas menghampiri. Pada saat itu Bayu membuka jendela lebar-lebar dan melesat ke luar. Raden Antawirya sempat melihat Bayu melesat ke luar. Hatinya kagum dengan keindahan dan kecepatan gerak Pendekar Pulau Neraka itu. Tak ada yang tahu, dan Pendekar Pulau Neraka itu sudah lenyap di balik tembok dengan kecepatan luar biasa.
* * * * *
SUDAH dua hari Raden Antawirya menunggu, tapi tidak ada kabar berita dari Pendekar Pulau Neraka yang pergi ke Hutan Kamiaka. Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak itu jadi gelisah, dan jadi tidak kerasan mengurung diri dalam kamar. Raden Antawirya keluar kamarnya, dan terus menuju ke istal. Pemuda tampan berusia dua puluh tahun lebih itu mengambil kuda dan menungganginya keluar dari lingkungan istana yang dipagari benteng tinggi dan kokoh. Kuda putih itu berlari kencang menuju Utara. Raden Antawirya tidak tahu kalau sejak dari istana, selalu dibuntuti seseorang.
Raden Antawirya menghentikan lari kudanya setelah melewati batas gerbang kotaraja bagian Utara. Dua orang penjaga gerbang hanya bisa memandangi tak mengerti karena Raden Antawirya cepat memacu kudanya dan lenyap didalam hutan. Pemuda itu melompat turun dari punggung kudanya, lalu menoleh ke belakang. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat menyelinap ke dalam semak.
"Heh...?!" Raden Antawirya terperanjat.
Tanpa berpikir panjang lagi, putra mahkota itu melentingkan tubuhnya ke udara, dan hinggap di cabang pohon. Lalu dia kembali melenting indah, dan berputaran di udara. Dengan ringan sekali, pemuda itu berlompatan dari ujung pohon yang satu ke ujung pohon lainnya. Dan dengan satu gerakan ringan, Raden Antawirya meluruk turun, tepat di depan seseorang yang bersembunyi di balik semak.
"Siapa kau...?!" bentak Raden Antawirya.
"Oh...!" orang itu terperanjat kaget.
Raden Antawirya menarik ke luar pedang dari sarungnya di pinggang, langsung ditempelkan ke leher laki-laki muda berpakaian lusuh bagai seorang perambah hutan. Pemuda itu menatap tajam dan menyuruh orang itu keluar dari semak. Dengan sikap takut-takut, laki-laki muda berpakaian lusuh itu beranjak keluar dari semak.
"Siapa kau?" tanya Raden Antawirya.
"Hamba.... Hamba hanya pencari kayu bakar, Raden...," sahut orang itu.
"Hm...," Raden Antawirya tidak percaya pada jawaban laki-laki muda berpakaian kumal ini.
Diamati seluruh tubuh dan wajahnya. Keningnya berkerut dan matanya sedikit menyipit Dengan ujung pedang, diangkatnya wajah laki-laki itu. Kemudian mengambil tangannya. Sambil mendengus, Raden Antawirya melemparkan tangan orang itu Dia semakin ketat menempelkan mata pedangnya ke leher yang telah penuh peluh.
"Mana kapakmu, Kisanak?" tanya Raden Antawirya bernada curiga."
"Anu, Raden..., ta.... Tadi terjatuh," sahut orang itu tergagap.
"Hm.... Kau terlalu bodoh mencari alasan, Kisanak," dengus Raden Antawirya dingin.
Orang itu hanya menundukkan kepalanya saja. Keringat semakin deras membanjiri tubuhnya. Raden Antawirya tahu, kalau orang ini bukan pencari kayu bakar. Kapak seorang pencari kayu bakar tidak akan pernah tertinggal. Lagi pula kulit tubuh dan buku-buku jari tangan orang ini tidak menyiratkan kalau sering melakukan pekerjaan berat.
"Siapa kau sebenarnya, dan apa pekerjaanmu di sini?" tanya Raden Antawirya dingin.
"Hamba.... Hamba.... Akh...!"
Raden Antawirya terkejut ketika tiba-tiba sebatang anak panah menancap dalam di leher laki-laki itu. Cepat Raden Antawirya melompat ketika melihat sebuah bayangan berkelebat cepat. Tapi bayangan itu lenyap lebih cepat lagi.
"Huh!" Raden Antawirya mendengus kesal.
Bergegas dihampiri laki-laki itu, lalu diperiksanya. Tapi, laki-laki berbaju kumal itu sudah tidak bernyawa lagi. Sebatang anak panah tertanam dalam memanggang lehernya. Pelahan Raden Antawirya bangkit berdiri. Diedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat lagi.
"Hih!"
Raden Antawirya mencabut anak panah yang tertancap di leher orang itu. Diamatinya anak panah yang berlumuran darah. Dengan selembar daun jati, dibersihkan darah yang melekat pada batang anak panah.
"Hm..., hanya panah pemburu rusa...," gumam Raden Antawirya. Raden Antawirya memeriksa tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Pemuda itu terkejut ketika melihat sabuk yang tersembunyi dibalik sabuk kulit di pinggang. Bergegas pemuda itu melepaskan sabuk berlapis emas dari pinggang orang itu. Kedua matanya terbeliak kala mengenali sabuk itu.
"Sabuk tamtama...," desis Raden Antawirya. Raden Antawirya memang mengenali sabuk itu. Semua Prajurit Kerajaan Kali Jirak yang berpangkat tamtama pasti mengenakan sabuk ini. Dan yang lebih mengejutkan lagi, pada kepala sabuk tergambar goresan bulan sabit dan sebilah pedang. Itu adalah lambang pasukan rahasia kerajaan.
Raden Antawirya menggenggam erat-erat sabuk berlapis emas itu. Wajahnya memerah menegang, dan gerahamnya bergemeletuk menahan geram. Dia kini tahu, segala gerak geriknya selalu diawasi. Raden Antawirya menyimpan sabuk itu di balik lipatan bajunya, kemudian berlari-lari kecil menuju kuda yang ditinggalkannya. Dengan satu lompatan yang ringan, Raden Antawirya langsung naik ke punggung kudanya. Dan seketika itu juga digebah kudanya kuat-kuat Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, kemudian melesat kencang meninggalkan hutan itu.
* * * * *
Prak!
Raden Antawirya melemparkan sabuk berlapis emas ke atas meja, tepat di depan ayahnya. Baik Prabu Truna Dilaga maupun Permaisuri Rara Kuminten terkejut Mereka memandangi sabuk berlapis emas itu, kemudian menatap Raden Antawirya yang tengah diliputi kemarahan.
"Untuk apa Ayahanda memata-mataiku?!" dengus Raden Antawirya ketus.
"Ada apa ini...?" Prabu Truna Dilaga seperti tidak mengerti.
Sedangkan Permaisuri Rara Kuminten hanya memandangi laki-laki tua itu sambil menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Begitu tipis, sehingga tak ada yang memperhatikan.
"Sabuk ini kuambil dari seorang telik sandi yang memata-mataiku. Dia tewas oleh seseorang yang menggunakan panah. Dan aku tahu, kalau panah itu untuk berburu milik Ayah!" agak keras suara Raden Antawirya.
Selain sabuk berlapis emas, di atas meja juga tergeletak sebatang anak panah yang masih sedikit berlumuran darah. Pada tangkai anak panah itu terukir lambang Kerajaan Kali Jirak. Tak ada yang memiliki anak panah berburu seperti itu selain Prabu Truna Dilaga.
"Ayah tidak perlu melakukan itu padaku. Aku bukan pemberontak, dan bukan pula penjahat yang harus diawasi. Baik.... Jika Ayah sudah tidak mempercayaiku lagi, aku akan pergi dan tidak akan kembali ke istana ini lagi!" Setelah berkata demikian, Raden Antawirya segera berbalik dan cepat meninggalkan ruangan itu.
"Antawirya...!" sentak Prabu Truna Dilaga. Tapi Raden Antawirya sudah keburu lenyap di balik pintu, tanpa mempedulikan panggilan ayahnya. Prabu Truna Dilaga terhenyak disertai hembusan napas panjang di samping permaisurinya. Matanya memandangi dua benda di atas meja.
"Siapa saja bisa mengambilnya, Kanda. Panah itu tersedia banyak di gudang senjata," kilah Rara Kuminten.
"Dinda, siapa yang menggunakan panah milikku ini?" tanya Prabu Truna Dilaga.
'Tamtama Tipang," sahut Rara Kuminten.
"Jika kau yang memberi panah itu, kau harus menghukumnya, Dinda!" tegas Prabu Truna Dilaga.
"Untuk apa? Tugasnya dijalankan dengan baik. Lagi pula hanya panahmu yang bermutu baik. Bidikannya tidak pernah meleset. Ingat, Kanda. Kita harus menjaga rahasia ini."
'Tapi, kenapa harus menggunakan panahku Apa tidak ada panah lain? Panah untuk berburu biasa kan banyak!"
"Aku sudah katakan, Kanda. Tidak ada yang sebaik panah milik Kanda Prabu. Jika bidikan meleset, akan memperburuk keadaan."
Prabu Truna Dilaga mengeluh panjang. Entah apa yang ada di dalam hatinya saat ini. Dia tadi tahu kalau Raden Antawirya begitu marah. Suatu perbuatan bodoh jika memata-matai putra mahkota itu. Lebih bodoh lagi, panah yang digunakan untuk membunuh pengintai itu miliknya sendiri.
Prabu Truna Dilaga memandangi permaisurinya dalam-dalam. Semua ini memang rencana Permaisuri Rara Kuminten. Bahkan dia tidak tahu kalau wanita ini menggunakan panah miliknya untuk melenyapkan pengintai itu.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Rara Kuminten?" tanya Prabu Truna Dilaga. Pandangan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata wanita itu.
"Aku...? Kenapa kau menatapku begitu, Kanda?"
"Jawab saja pertanyaanku, Rara Kuminten!" desis Prabu Truna Dilaga seraya bangkit berdiri.
"Heh...?!" Permaisuri Rara Kuminten seperti kebingungan.
"Peran apa yang sedang kau mainkan? Siapa kau sebenarnya Rara Kuminten?" jelas sekali kalau nada suara Prabu Truna Dilaga mencurigai permaisurinya ini.
"Kanda..., ada apa ini? Mengapa kau berkata demikian...?" Rara Kuminten tampak kebingungan.
"Kau yang mengatur semua ini, sehingga keluargaku pecah berantakan. Kenapa kau lakukan semua ini, Rara Kuminten? Kenapa...?!" agak tinggi nada suara Prabu Truna Dilaga.
"Kanda, mengapa kau marah padaku? Aku hanya melakukan yang terbaik untukmu. Untuk kita semua, Kanda. Oh...," Rara Kuminten mendekap wajahnya. Terdengar suara isak tertahan. Terlihat bahu wanita itu terguncang. Prabu Truna Dilaga memandangi. Seketika keraguan tersirat didalam sinar matanya. Pelahan dihampiri dan dipeluknya wanita itu. Luruh seketika hatinya mendengar suara isak tangis permaisurinya ini.
"Dinda, aku hanya ingin meminta penjelasanmu. Kenapa kau lakukan semua ini...?" pelan suara Prabu Truna Dilaga.
"Kau.... Kau menuduhku, Kanda. Kau kejam...!" jerit Rara Kuminten.
Wanita itu mendorong tubuh Prabu Truna Dilaga, kemudian berlari kencang sambil terisak. Prabu Truna Dilaga bergegas bangkit dan berlari mengejar.
"Dinda...! Dindaaa...!"
Tapi Rara Kuminten terus berlari tergesa-gesa, dan langsung membuka pintu sebuah kamar. Cepat-cepat dimasukinya kamar itu, lalu dikuncinya dari dalam. Prabu Truna Dilaga langsung menggedor pintu kamar itu begitu sampai.
"Dinda...! Buka pintu, Dinda! Buka pintu...!" teriak Prabu Truna Dilaga sambil menggedor keras pintu kamar itu.
"Tidak! Kau sudah tidak percaya padaku lagi!" terdengar suara dari dalam kamar.
"Buka pintunya dulu, Dinda. Kita bisa bicara baik-baik. Maafkan aku, Dinda...," bujuk Prabu Truna Dilaga.
Tapi pintu kamar itu tetap saja terkunci dari dalam. Prabu Truna Dilaga terus berusaha membujuk. Namun tetap saja tidak mendapat tanggapan. Pintu tetap terkunci, bahkan kini tak ada sahutan dari dalam kamar. Prabu Truna Dilaga menyandarkan punggungnya dengan lesu. Desahan panjang terdengar begitu berat.
"Oh, Dewata Yang Agung... Dosa apa yang telah kuperbuat? Kenapa kau berikan cobaan begini berat...?" keluh Prabu Truna Dilaga.
Dengan langkah lesu, laki-laki tua itu meninggalkan pintu kamar yang tertutup. Dia menyesal telah begitu gegabah mencurigai dan melukai hati permaisurinya. Prabu Truna Dilaga sungguh menyesali sikapnya yang terlalu terbawa amarah.
"Oh, kenapa jadi begini? Mengapa saat-saat yang seharusnya bahagia jadi hancur begini... Tak pernah aku berharap masa tuaku terbelenggu seperti ini. Oh, Dewata Yang Agung...," keluh Prabu Truna Dilaga dalam hati.
* * * * *
SUDAH HAMPIR tiga hari Permaisuri Rara Kuminten tidak mau keluar dari kamar pribadinya. Dan selama itu Prabu Truna Dilaga terus membujuknya agar ke luar, tapi tak ada jawaban sedikit pun dari dalam. Pintu kamar itu terus terkunci rapat. Bahkan Prabu Truna Dilaga tidak melihat seorang pelayan pun masuk ke dalam kamar ini. Laki-laki tua itu jadi mencemaskan keadaan istrinya.
Sementara itu, prajurit yang diperintah mencari Raden Antawirya hanya membawa kabar yang semakin membuat hati Raja Kerajaan Kali Jirak itu semakin hancur. Meskpun Raden Antawirya bukan anak kandung, tapi sangat dicintainya seperti anak kandung sendiri. Sejak masih bayi, pemuda itu sudah diangkat sebagai anaknya, sebelum putri kandungnya lahir dari permaisuri yang sah. Kini semuanya tak ada lagi di sisinya. Bahkan permaisuri keduanya juga tidak mau menemuinya sekarang, dan hanya mengurung diri selama tiga hari.
Sejak pagi tadi, Prabu Truna Dilaga duduk merenung di dalam taman belakang istana. Sama sekali keindahan taman dan segarnya udara yang membawa harum aroma bunga-bunga bermekaran tidak ternikmati. Tak ada seorang pengawal pun di sekitar taman ini. Prabu Truna Dilaga ingin menyendiri, merenungi semua yang tengah terjadi pada keluarganya.
"Gusti Prabu...."
Prabu Truna Dilaga tersentak ketika mendengar suara, dan langsung mengangkat kepalanya. Entah kapan, tahu-tahu didepannya sudah duduk bersimpuh Punggawa Dipa Praga. Punggawa itu memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Truna Dilaga lesu
"Hamba ingin memberi laporan, Gusti Prabu," sahut Punggawa Dipa Praga.
"Katakan."
"Hamba menemukan kuda milik Raden Antawirya, Gusti Prabu."
"Heh...!" Prabu Truna Dilaga tersentak kaget.
Laki-laki tua itu sampai terlonjak bangkit dari duduknya. Dipandanginya Punggawa Dipa Praga dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan.
"Ulangi lagi, Punggawa!" pinta Prabu Truna Dilaga.
"Hamba menemukan kuda milik Raden Antawirya, Gusti Prabu," Punggawa Dipa Praga mengulangi laporannya.
"Di mana?"
"Di tepi padang rumput yang menuju Hutan Kamiaka."
"Di mana...?!" untuk kesekian kalinya Prabu Truna Dilaga tersentak kaget.
"Di tepi padang rumput yang menuju Hutan Kamiaka, Gusti Prabu," sahut Punggawa Dipa Praga mengulangi.
"Oh...! Apa maksudnya dia ke sana...?" desah Prabu Truna Dilaga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
Tentu saja Punggawa Dipa Praga tidak bisa menjawab. Dia hanya diam saja sambil menundukkan kepaja, tetap duduk bersimpuh di rerumputan.
"Punggawa, siapkan kuda dan prajurit pilihan serta beberapa panglima. Aku akan melihat sendiri ke sana," perintah Prabu Truna Dilaga.
'Tapi, Gusti...."
"Lakukan perintahku!" bentak Prabu Truna Dilaga keras.
"Hamba laksanakan, Gusti Prabu."
Bergegas Punggawa Dipa Praga memberi sembah, lalu bangkit berdiri. Dengan ayunan kaki lebar-lebar, punggawa itu meninggalkan taman belakang istana ini. Prabu Truna Dilaga sendiri bergegas meninggalkan taman. Ada sedikit cercah harapan mendengar laporan punggawanya tadi. Paling tidak, bisa diketahui, di mana kini Raden Antawirya berada.
Baru saja Prabu Truna Dilaga meninggalkan taman, langkahnya terhenti. Tampak Permaisuri Rara Kuminten keluar dari dalam kamarnya. Wanita itu memandangi laki-laki tua di depannya yang juga tengah menatap ke arahnya. Pelahan Prabu Truna Dilaga menghampiri, dan berhenti sekitar dua langkah lagi di depan permaisurinya itu.
"Dinda, ada berita gembira untuk kita," ujar Prabu Truna Dilaga.
"Berita apa?" tanya Permaisuri Rara Kuminten.
"Punggawa menemukan kuda Antawirya. Aku sendiri yang akan membawa pulang anak nakal itu," kata Prabu Truna Dilaga.
"Oh...," hanya itu yang bisa diucapkan Permaisuri Rara Kuminten.
"Aku pergi dulu, Dinda. Baik-baiklah di sini."
Sebelum Permaisuri Rara Kuminten membuka suara, Prabu Truna Dilaga sudah cepat meninggalkannya. Permaisuri Rara Kuminten hanya memandangi saja kepergian laki-laki tua itu. Setelah punggung Prabu Truna Dilaga tidak terlihat, wanita itu kembali masuk ke kamarnya.
* * * * *
--««¦ [ TUJUH ] ¦»»--
Mereka baru saja melewati sungai kecil dan terus bergerak menerobos lebatnya hutan. Namun semakin jauh, semakin jarang pepohonan yang terlihat. Dan kemudian mereka sampai di tepi sebuah padang rumput yang sangat luas. Prabu Truna Dilaga menghentikan laju kudanya. Salah seorang panglima memberi aba-aba pada para prajurit agar berhenti. Mereka semua memandangi padang rumput yang luas tak bertepi. Tampak di kejauhan sana, terlihat sebuah hutan yang selama ini sangat ditakuti. Hutan Kamiaka!
Tapi bukan itu yang menjadi perhatian mereka, terutama Prabu Truna Dilaga. Seekor kuda putih yang tengah merumput tenang itulah yang justru menarik perhatian mereka. Semua tahu kalau kuda itu milik Raden Antawirya..
"Di mana Raden Antawirya....?" tanya Prabu Truna Dilaga.
Tentu saja tak ada yang bisa menjawab, karena mereka semua memang tak ada yang tahu. Prabu Truna Dilaga memerintahkan untuk mengambil kuda itu. Seketika dua orang prajurit memacu kudanya ke tengah padang untuk melaksanakan perintah junjungannya. Tapi belum juga berkuda jauh, mendadak saja kuda kedua prajurit itu meringkik keras, dan melemparkan penunggangnya. Kedua prajurit itu terpental jauh ke tanah berumput. Mereka segera bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba dua buah benda keperakan meluruk deras dan langsung menghantam tubuh kedua prajurit itu.
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking tinggi terdengar mengiringi ambruknya kedua prajurit itu. Prabu Truna Dilaga tersentak kaget. Para panglima segera memerintahkan untuk membuat pertahanan melindungi raja mereka. Sedangkan Punggawa Dipa Praga bergegas membantu laki-laki tua itu turun dari kuda, lalu membawanya menyingkir ke dekat batu.
Belum juga hilang kepanikan para prajurit itu, tiba-tiba saja dari arah hutan di belakang mereka bertebaran benda-benda kecil bulat berwarna keperakan. Dan sekejap saja terdengar jeritan-jeritan melengking tinggi disusul berjatuhannya para prajurit itu. Semua prajurit jadi kelabakan karena tidak tahu, mana lawan yang harus diserang. Meskipun hanya sekali, tapi tebaran benda-benda bulat kecil keperakan itu cukup membuat gentar juga. Betapa tidak! Dalam sekejap saja, hampir separuh jumlah mereka sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Benda-benda bulat keperakan itu melubangi tubuh para prajurit.
Pada saat prajurit-prajurit itu diliputi berbagai macam perasaan tak menentu, tiba tiba saja dari arah hutan yang tadi dilalui, terdengar suara-suara gaduh bagai teriakan-teriakan peperangan. Tapi tak ada seorang pun terlihat didalam hutan itu. Hanya suara-suara saja yang terdengar. Prajurit-prajurit Kerajaan Kali Jirak itu jadi pucat.
"Awas...!" tiba-tiba salah seorang panglima berteriak kencang.
Pada saat itu, dari dalam hutan bermunculan manusia berbaju merah mengenakan topeng tengkorak perak. Mereka langsung menyerbu sambil memperdengarkan suara-suara riuh menggetarkan hati. Seketika itu juga di tepian padang rumput yang berbatasan dengan tepi hutan, terjadi pertempuran. Teriakan-teriakan pertempuran dan jerit pekik melengking terdengar berbaur menjadi satu, ditingkahi denting senjata beradu. Prajurit-prajurit yang sudah kacau, semakin bertambah kacau lagi. Mereka bertempur tanpa mengikuti petunjuk lagi. Musuh seakan-akan ada di mana-mana.
Sebentar saja, lebih dari separuh prajurit sudah bergelimpangan tak bernyawa. Sementara di tempat yang cukup terlindung, Prabu Truna Dilaga dan Punggawa Dipa Praga tampak cemas menyaksikan para prajuritnya tak mampu membendung serangan manusia manusia bertopeng tengkorak itu. Jumlah penyerang memang jauh lebih kecil, tapi mereka mengawali serangan ini dengan terlebih dahulu menjatuhkan mental para prajurit. Terlebih lagi, gerakan-gerakan mereka dalam bertempur demikian cepat. Apalagi kemampuan mereka jauh lebih tinggi bila dibanding para Prajurit Kerajaan Kali Jirak.
"Gusti, sebaiknya kita segera menyingkir dari sini," usul Punggawa Dipa Praga.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Prabu Truna Dilaga mencemaskan para prajuritnya yang semakin kewalahan saja.
"Tidak ada harapan, Gusti. Sebaiknya Gusti Prabu cepat menyingkir dari sini," desah Punggawa Dipa Praga.
Prabu Truna Dilaga memang tidak punya pilihan lain lagi. Laki-laki tua itu cepat melompat naik ke punggung kudanya, dan menggebah kuat-kuat. Punggawa Dipa Praga bergegas mengikuti Tapi rupanya beberapa orang berbaju merah bertopeng tengkorak itu melihat kepergian Prabu Truna Dilaga dan Punggawa Dipa Praga. Tampak enam orang manusia bertopeng tengkorak itu berlompatan mengejar. Prabu Truna Dilaga dan Punggawa Dipa Praga terus memacu kudanya menerobos kelebatan hutan dengan kecepatan tinggi. Tapi tiba-tiba saja sebuah benda bulat kecil berwarna keperakan melesat bagai kilat dan langsung tepat menghantam punggung Punggawa Dipa Praga.
"Aaa...!"
"Punggawa...!" jerit Prabu Truna Dilaga.
* * * * *
Prabu Truna Dilaga menarik tali kekang kudanya. Dan seketika itu juga kuda yang ditungganginya berhenti Cepat-cepat dia melompat turun, dan menghampiri Punggawa Dipa Praga yang tergeletak tak bernyawa lagi. Dari punggung hingga dadanya berlubang sebesar jari.
"Biadab...!" geram Prabu Truna Dilaga mendesis. Sret! Prabu Truna Dilaga langsung menarik ke luar pedangnya. Pada saat itu enam orang berbaju merah dan bertopeng tengkorak perak sudah tiba. Mereka langsung mengepung laki-laki tua itu. .
"Maju kalian semua,, keparat...!" bentak Prabu Truna Dilaga menggeram marah.
Wuk! Wuk...!
Prabu Truna Dilaga mengebut-ngebutkan pedangnya di depan dada. Angin kebutannya begitu keras, sehingga menimbulkan suara menderu bagai topan. Enam orang bertopeng tengkorak itu bergerak mengelilinginya. Salah seorang menganggukkan kepalanya, dan....
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seorang yang berada di depan langsung melompat menerjang sambil mengibaskan pedang ke arah leher Prabu Truna Dilaga. Meskipun sudah berusia lanjut, tapi Prabu Truna Dilaga tidak bisa dianggap sembarangan. Dengan cepat sekali dikibaskan pedangnya menangkis.
Trang!
Dua pedang beradu keras. Dan sebelum orang bertopeng tengkorak itu bisa menarik pulang kembali pedangnya, Prabu Truna Dilaga sudah melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi.
"Yeaaah...!"
Des!
Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu tak dapat dihindari lagi. Orang bertopeng tengkorak perak itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk sedikit sambil terhuyung ke belakang. Tapi rupanya Prabu Truna Dilaga tidak membiarkan begitu saja. Sambil berteriak keras, laki-laki tua itu melompat sambil mengecutkan pedangnya ke arah leher. Namun belum juga pedang Prabu Truna Dilaga membabat leher orang itu, seorang lainnya lebih cepat lagi melesat seraya membabat pedang laki-laki tua itu.
Trang!
Prabu Truna Dilaga tersentak kaget. Persendian tangannya sampai nyeri, dan seluruh tangan kanannya bergetar hebat ketika pedangnya beradu dengan sebuah pedang lain. Buru-buru ditarik pulang pedangnya, lalu melompat mundur. Namun belum juga laki laki tua itu siap, satu serangan dari tusukan pedang mengarah ke lambung kiri.
Wuk!
"Uts...!"
Cepat-cepat Prabu Truna Dilaga menarik tubuhnya ke belakang, maka tusukan pedang itu lewat di depan perutnya. Pada saat yang bersamaan, datang lagi tebasan pedang dari arah kanan. Prabu Truna Dilaga tak mungkin berkelit lagi. Dengan cepat dikibaskan pedangnya menyampok pedang yang mengarah ke leher.
Tring!
Hampir saja pedang di dalam genggaman tangan Prabu Truna Dilaga terlepas, kalau saja tidak segera dipindahkannya ke tangan kiri. Dan secepat itu pula dikibaskan ke arah samping. Tepat ketika sebuah kaki melayang mengarah ke kepala.
Cras!
"Aaa...!" orang itu menjerit keras. Tebasan pedang Prabu Truna Dilaga membabat kaki orang itu hingga buntung. Dan sebelum orang itu jatuh ke tanah, Prabu Truna Dilaga sudah melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tendangan itu tepat menghantam kepalanya. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah. Orang bertopeng tengkorak perak itu menggelepar di tanah. Seketika darah mengalir deras dari kaki yang buntung dan kepala pecah.
Melihat satu temannya tewas, lima orang lainnya langsung menyerang dari lima jurusan secara bersamaan. Prabu Truna Dilaga cepat memutar tubuhnya sambil mengibaskan pedang dengan cepat ke segala arah. Beberapa kali pedang laki-laki tua itu berbenturan. Dan setiap kali membentur pedang lawan, terasa persendian tangannya nyeri. Rupanya kelima orang itu tidak lagi menganggap remeh Prabu Truna Dilaga. Meskipun sudah lanjut usia, tapi gerakan-gerakannya masih begitu gesit Bahkan kecepatannya sungguh luar biasa, walaupun tenaga dalamnya mengalami kemunduran. Ini terbukti, setiap kali terjadi benturan adu tenaga dalam, Prabu Truna Dilaga merasakan nyeri pada tulangnya.
Jurus demi jurus berlalu. Dan ketika lewat dua puluh jurus, sudah terlihat kalau Prabu Truna Dilaga mulai kewalahan menghadapi lima orang pengeroyoknya. Beberapa kali tubuhnya harus menerima tendangan serta pukulan lawan-lawannya. Tapi laki-laki tua itu masih cukup tangguh, dan masih bisa memberi perlawanan, walaupun sudah tidak berarti banyak lagi.
"Yeaaah..,!"
Tiba-tiba satu tendangan keras mendarat di dada Prabu Truna Dilaga, sehingg membuatnya terjungkal deras ke belakang. Bersamaan dengan itu, sebilah pedang membabat pergelangan tangannya. Tapi Prabu Truna Dilaga masih bisa menangkis dengan pedangnya sendiri.
Trang!
"Akh...!" Prabu Truna Dilaga memekik tertahan. Dia tak dapat lagi menguasai pedangnya, sehingga terpental ke angkasa. Prabu Truna Dilaga mencoba mengejar pedangnya, namun sebuah tendangan menghentikan usahanya. Kembali tubuhnya terjajar menerima tendangan keras pada dadanya.
"Yeaaah...!"
Selagi Prabu Truna Dilaga terhuyung-huyung ke belakang, salah seorang melompat cepat sambil berteriak nyaring. Pedangnya terangkat ke atas kepala, lalu bagaikan kilat diayunkan hendak menebas kepala laki-laki tua itu. Tepat pada saat mata pedang itu hampir membelah kepala Prabu Truna Dilaga, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat, langsung menerjang manusia bertopeng tengkorak perak itu. Terjangan bayangan itu demikian cepat dan keras sekali, sehingga tak bisa terelakkan lagi.
"Akh...!" orang itu menjerit keras. Tubuhnya terlontar jauh ke belakang.
"Bayu...," desis Prabu Truna Dilaga begitu tiba-tiba di depannya sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau.
"Ayah...!"
Prabu Truna Dilaga berpaling begitu mendengar seseorang memanggilnya. Tampak Raden Antawirya berlari-lari menghampirinya. Tapi yang membuat laki-laki tua itu lebih terpaku, adalah dua orang yang tengah berlari-lari kecil di belakang Raden Antawirya. Sementara Bayu berdiri tegak memandangi empat orang manusia bertopeng tengkorak yang tampak seperti enggan bertemu dengannya.
* * * * *
RUPANYA terjangan Pendekar Pulau Neraka itu demikian keras, sehingga orang yang tertendang tadi langsung tewas seketika. Sedangkan empat orang sisanya kini hanya saling berpandangan sejenak Tiba-tiba secara bersamaan mereka berlompatan menyerang pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeah...!"
Bayu langsung memiringkan tubuhnya ke kiri dan secepat itu pula dihentakkan tangan kanannya ke depan. Seketika Cakra Maut melesat bagaikan kilat menyambar salah seorang. Jeritan melengking tinggi terdengar, disusul ambruknya satu orang bertopeng tengkorak. Bayu berteriak keras, lalu tubuhnya melesat bagai kilat menerjang tiga orang lainnya. Dua kali dikirimkan pukulan keras bertenaga dalam sempurna. Satu orang berhasil menghindari, tapi satu orang lagi menjerit keras. Dadanya terhantam pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap! Yeaaah...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya seraya menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut yang baru saja akan menempel kembali di pergebngan tangan Pendekar Pulau Neraka itu, kembali melesat dan menyambar leher salah seorang. Kembali terdengar jerit melengking tinggi. Satu orang kembali roboh, karena lehernya terbabat hampir buntung. Dengan ujung kakinya, Bayu menjentik sebilah pedang yang tergolek di dekat kakinya. Pedang itu melayang di udara, dan dengan tangkas sekali Bayu menangkapnya. Langsung saja dikibaskannya pedang itu ke pedang lawan yang tinggal satu.
Trang!
"Akh...!" orang itu terpekik, dan pedangnya terpental lepas dari genggaman. Sebelum lawan sampat menyadari apa yang baru terjadi, Bayu sudah melompat Langsung saja dikirimkan satu tendangan ke arah dada. Tak dapat dikatakan lagi, orang bertopeng tengkorak itu terjungkal ke belakang. Bayu langsung memburu. Ditempelkannya ujung pedang ke leher orang itu.
"Hih!"
Dengan ujung jari kaki, Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan topeng tengkorak perak. Tapi mendadak Bayu terbeliak kaget Ternyata orang itu telah menggigit lidahnya sendiri hingga buntung. Dan sebelum Bayu sempat menyadari, mendadak orang berbaju merah itu mengangkat tubuhnya, sehingga pedang yang menempel di leher itu langsung menembus.
Crab!
"Heh...!" Bayu tersentak kaget. Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa lagi mencegah. Dilepaskan genggamannya pada tangkai pedang sehingga tubuh orang berbaju merah itu jatuh ke tanah dengan leher terpanggang sebilah pedang.
"Edan...!" dengus Bayu tidak percaya.
Bayu memutar tubuhnya ketika sebuah tangan menepuk pundaknya. Tampak seorang laki-laki hampir setengah baya sudah berada didekatnya, diikuti tiga orang yang telah berdiri di depannya. Dua orang mengapit seorang laki-laki tua.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan padamu, Anak Muda," ujar Prabu Truna Dilaga.
"Ayah harus percaya kalau Bayu benar-benar akan membantu kita," selak Raden Antawirya.
"Dan yang terpenting lagi, Kakang Bayu-lah yang menyelamatkan aku dan Paman Patih," sambung gadis cantik yang ternyata adalah Intan Wandira, adik Raden Antawirya.
Sepasang bola mata Prabu Truna Dilaga berkaca-kaca. Dihampirinya Pendekar Pulau Neraka, dan langsung disodorkan tangannya. Bayu pun menyambutnya hangat. Laki-laki tua itu malah menarik dan memeluknya erat sekali.
"Maafkan atas kebodohanku," ucap Prabu Truna Dilaga setelah melepaskan pelukannya.
"Lupakan saja," hanya itu yang bisa diucapkan Bayu.
Prabu Truna Dilaga menepuk-nepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian berpaling pada Raden Antawirya dan Intan Wandira. Tangannya merentang dan merengkuh kedua anaknya ini. Prabu Truna Dilaga semakin trenyuh hatinya kala mengingat antara Raden Antawirya dan Intan Wandira sebenarnya bukan saudara kandung, tapi pengorbanan yang dilakukan Raden Antawirya sungguh besar.
* * * * *
--««¦ [ DELAPAN ] ¦»»--
"Hm..., jadi selama ini sebenarnya kalian tidak di Hutan Kamiaka?" tanya Prabu Truna Dilaga setelah Intan Wandira mengakhiri pengalamannya.
"Benar, Ayah. Mereka mengurungku di dalam sebuah lembah yang ada di bukit itu," sahut Intan Wandira menunjuk sebuah bukit yang tampak menghitam.
"Dan yang terpenting lagi, Ayah. Mereka dipimpin oleh seseorang yang selama ini kita kenal baik. Bahkan sangat kita cintai, sambung Raden Antawirya.
"Yaaah.... Sudah bisa kuduga, siapa yang kalian maksud. Selama ini aku seperti buta, begitu terpengaruh padanya. Sungguh tidak kusangka kalau dia biang keladinya," keluh Prabu Truna Dilaga lirih.
Sesaat mereka semua terdiam.
"Hanya yang tidak habis kumengerti, kenapa dia menggunakan nama Dewi Iblis...? sambung Prabu Truna Dilaga pelan, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Dia murid Dewi Iblis, Gusti Prabu," sahut Patih Natabrata yang sejak tadi diam saja.
"Oh...!" Prabu Truna Dilaga tampak terkejut.
"Kalau begitu dia adalah Titisan Dewi Iblis yang lama.... Lalu bagaimana kau bisa tahu, Patih?"
"Dia sendiri yang mengatakannya pada hamba, Gusti Prabu. Dia mengharapkan agar hamba bergabung dan mempengaruhi para prajurit. Tapi hamba sekali-kali tidak akan berkhianat Gusti."
'Terima kasih...," ucap Prabu Truna Dilaga terharu.
"Mereka harus dihancurkan, Ayah. Sebelum mereka menghancurkan kita," tegas Intan Wandira.
Prabu Truna Dilaga hanya terdiam membisu. Benar-benar tidak disangka kalau permaisuri yang selama bertahun-tahun mendampingi dan sanggat dicintainya, sesungguhnya menyimpan dendam di balik hatinya. Dendam seorang murid karena gurunya tewas. Suatu cara kerja yang sangat rapi dan terencana baik. Bahkan juga telah menghimpun kekuatan di tempat yang jarang diinjak manusia. Rupanya Rara Kuminten sengaja ingin membuat Prabu Truna Dilaga menderita secara pelahan-lahan. Dia ingin menghancurkan dan mencerai beraikan keluarga istana. Lalu menggerogoti dari dalam, melumpuhkan kekuatan yang akhirnya akan mudah menghancurkannya. Siapa pun pasti akan memuji rencananya itu. Tapi walaupun demikian Rara Kuminten sudah bisa berbangga, karena sebagian rencananya sudah berjalan baik.
"Besok kita kembali ke istana," kata Prabu Truna Dilaga. 'Aku akan menangkap sendiri si pengkhianat itu, kemudian menghancurkan gerombolannya."
* * * * *
KEMBALINYA seluruh keluarga istana kerajaan disambut gembira seluruh kerabat penghuni istana. Tapi di balik kegembiraan itu tersimpan satu kehampaan. Ternyata Prabu Truna Dilaga tidak menemukan lagi permaisurinya di dalam istana. Menurut pelayan pribadinya, Permaisuri Rara Kuminten meninggalkan istana sebelum Prabu Truna Dilaga dan kedua putranya masuk.
"Rupanya dia sudah mengetahui kegagalannya," desah Prabu Truna Dilaga.
"Gusti Prabu, hamba akan menyiapkan seluruh prajurit," ujar Patih Natabrata.
Prabu Truna Dilaga tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, dan hanya menganggukkan kepalanya saja. Patih Natabrata bergegas meninggalkannya untuk menghimpun kekuatan. Sementara di ruangan itu tinggal Bayu, Raden Antawirya, dan Intan Wandira.
"Ayahanda Prabu, ijinkan nanda ikut berperang," tegas Raden Antawirya memohon.
"Kau tetap di sini, Antawirya. Kau harus menjaga adikmu," Prabu Truna Dilaga menolak.
'Tapi..."
"Dengar, Antawirya," potong Prabu Truna Dilaga cepat "Dalam keadaan seperti ini, istana tidak boleh kosong. Selama aku pergi, seluruh tampuk kekuasaan berada di tanganmu. Tidak mungkin kekuasaan kuserahkan pada adikmu."
Raden Antawirya terdiam tidak bisa membantah. Memang diakui, dia tidak akan mungkin ikut menggempur anak buah si Dewi Iblis. Walaupun kecewa, tapi Raden Antawirya tidak bisa mendesak lagi. Dia tahu kalau memiliki tugas yang tidak kalah beratnya disini.
"Lalu, bagaimana dengan Bayu? Apakah akan ikut juga?" tanya Raden Antawirya seraya melirik pada Pendekar Pulau Neraka.
"Kalau memang benar Rara Kuminten itu murid si Dewi Iblis, rasanya seribu prajurit pun tidak akan sanggup menandinginya. Kau tahu sendiri, hanya dengan pengikut-pengikutnya saja, seratus prajurit pilihan hancur tak bersisa. Jadi aku membutuhkan bantuannya, Antawirya," sahut Prabu Truna Dilaga.
"Ah, sayang sekali Aku tidak bisa menyaksikan pertarungan tingkat tinggi," desah Raden Antawirya agak mengeluh.
"Ini bukan tontonan, Antawirya. Ingat' Kau bukan anak kecil lagi. Kau calon raja!"
"Maaf, Ayahanda Prabu," ucap Raden Antawirya buru-buru.
"Ah, sudahlah. Kelak kau akan bisa mengalami sendiri."
Pada saat itu Patih Natabrata kembali muncul diiringi dua orang panglima yang sudah siap berangkat berperang. Pakaian yang dikenakan kedua panglima itu sungguh menakjubkan, sampai-sampai Bayu kagum dibuatnya. Belum pernah Bayu melihat pakaian perang begitu gemerlap.
"Seluruh pasukan terpilih sudah siap, Gusti Prabu," lapor Patih Natabrata.
"Hm.... Patih, aku sendiri yang akan memimpin," tegas Prabu Truna Dilaga.
"Gusti...!" Patih Natabrata terperanjat kaget.
Semula dikira kalau Prabu Truna Dilaga akan memberi restu saja, dan menunjuknya untuk memimpin menumpas gerombolan yang hendak menghancurkan kerajaan ini. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali kalau Prabu Truna Dilaga sendiri yang akan memimpin.
"Siapkan kuda dan perlengkapan perangku, Patih," perintah Prabu Truna Dilaga.
"Gusti, kalau boleh hamba...."
"Laksanakan saja perintahku, Patih!" potong Prabu Truna Dilaga cepat.
"Hamba, Gusti."
Buru-buru Patih Natabrata memberi sembah, lalu bergegas meninggalkan ruangan ini. Sedangkan dua orang panglima tetap tinggal. Merekalah yang akan mengawal Prabu Truna Dilaga nanti. Sementara laki-laki tua itu bangkit berdiri, lalu menepuk pundak kedua anaknya. Dengan langkah yang tegap dan penuh kepastian, Prabu Truna Dilaga berjalan ke luar diiringi dua orang panglima yang sudah siap dengan pakaian perang yang berwarna perak. Suara bergemerincing terdengar begitu kedua panglima itu berjalan.
"Bayu, kuharap kau bisa kembali lagi ke sini nanti," ujar Raden Antawirya berharap.
"Kau tidak akan mengecewakan harapan kami bukan, Kakang?" bujuk Intan Wandira yang berjalan di sebelah kiri Bayu.
"Aku tidak bisa berjanji," kata Bayu setengah mendesah.
"Usahakan, Kakang. Hanya satu atau dua hari saja," desak Intan Wandira merajuk.
"Aku mengharapkan sekali, Bayu. Aku yakin, Ayahanda Prabu akan kecewa jika kau langsung pergi," sambung Raden Antawirya.
"Baiklah, akan kuusahakan. Tapi aku tidak bisa lama," Bayu akhirnya menyerah juga.
"Terima kasih, Kakang," ucap Intan Wandira senang.
Mereka mengantarkan sampai di tangga depan istana. Sekitar seribu prajurit sudah siap dengan senjata lengkap dan pakaian perang. Sebuah kereta perang juga sudah siap. Patih Natabrata membantu Prabu Truna Dilaga menaiki kereta perangnya. Seekor kuda yang gagah, tinggi dan tegap sudah disiapkan untuk Pendekar Pulau Neraka. Prabu Truna Dilaga memberi aba-aba, maka rombongan besar itu pun berangkat. Derap langkah kaki kuda dan pasukan jalan kaki seakan-akan hendak meruntuhkan bangunan istana ini. Prajurit-prajurit itu bersorak, meneriakkan pekik-pekik peperangan pembangkit semangat. Sementara Raden Antarwirya dan Intan Wandira memandangi sampai barisan terakhir meninggalkan pintu gerbang istana. Hanya sekitar dua ratus prajurit saja yang masih tetap tinggal di istana ini.
"Ayo, Intan," Raden Antawirya mencolek lengan gadis itu.
"Oh...!" Intan Wandira tersentak.
"Kau melamun...?"
"Tidak," sahut Intan Wandira.
"Aku tahu, kau pasti tertarik pada Bayu, bukan?" goda Raden Antawirya.
"Ah, Kakang...."
Wajah Intan Wandira mendadak saja bersemu merah dadu. Raden Antawirya tertawa terbahak-bahak sambil terus berjalan masuk ke dalam, menghindari cubitan gadis itu. Untuk pertama kalinya, istana ini kembali dihiasi gelak tawa. Intan Wandira berlari mengejar sambil memberengut, karena kakaknya terus mengolok-olok. Wajah gadis itu semakin bertambah merah saja. Tapi olok-olok Raden Antawirya tidak berhenti, meskipun Intan Wandira sudah menjerit-jerit meminta berhenti. Istana Kali Jirak kembali semarak, dan terasa hidup setelah beberapa lamanya terselimut kabut tebal kehampaan.
* * * * *
KEDATANGAN para prajurit Kerajaan Kali Jirak rupanya sudah ditunggu. Belum juga mereka mencapai bukit, orang-orang berbaju merah bertopeng tengkorak sudah menyongsongnya. Maka pertempuran di kaki bukit itu tak dapat dihindari lagi. Prabu Truna Dilaga tidak menyangka kalau pengikut Dewi Iblis begitu banyak, hampir menyamai jumlah prajurit yang dibawanya. Tapi, kali ini mereka adalah para prajurit terpilih yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Mereka rata-rata memang berasal dari padepokan yang tersebar di seluruh wilayah Kerajaan Kali Jirak.
Sementara itu Pendekar Pulau Neraka berusaha membuka jalan menuju ke bukit. Pukulan-pukulan yang dilontarkan sungguh dahsyat Kedua tangannya bagai palu godam dahsyat. Setiap kali pemuda berbaju kulit harimau itu melontarkan pukulan, selalu terdengar jeritan melengking disusul robohnya satu atau dua orang lawan. Sedangkan Prabu Truna Dilaga juga sungguh gagah. Dengan pedang di tangan kanan dan tali kendali kereta di tangan kiri, diterobosnya orang-orang bertopeng tengkorak. Cara bertempur yang diperlihatkan Prabu Truna Dilaga, membangkitkan semangat para prajuritnya. Dan mereka terus merangsek lawan, tak peduli dengan korban yang terus berjatuhan. Rumput yang semula berwarna hijau, kini berubah merah bergelimang darah. Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah saling tumpang tindih, dan tubuh-tubuh masih terus berjatuhan.
"Majuuu...!"
"Seraaang...!"
Teriakan-teriakan keras memberi petunjuk terus terdengar mengalahkan jerit dan pekik serta teriakan pertempuran. Prajurit-prajurit Kerajaan Kali Jirak terus merangsek semakin mendesak lawan, dan sedikit demi sedikit mulai mendekati bukit. Pada saat itu Prabu Truna Dilaga melihat seorang wanita mengenakan topeng tengkorak berdiri di atas sebongkah batu besar mengawasi jalannya pertarungan. Di depannya masih terlihat barisan orang berbaju merah yang semuanya mengenakan topeng tengkorak. Jumlah mereka masih cukup banyak, dan tampaknya sudah tidak sabar menunggu perintah.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba wanita bertopeng tengkorak perak itu berteriak keras sambil mengangkat tangannya yang menggenggam tongkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Ujung tongkat yang berbentuk bintang, tampak berkilatan tertimpa cahaya matahari. Bukit bagaikan hendak runtuh, bergetar ketika orang-orang berbaju merah berlarian membantu teman-temannya yang semakin terdesak.
"Pasukan cadangan! Majuuu...!" tiba-tiba terdengar teriakan perintah dari arah belakang. Kembali bumi bergetar. Barisan cadangan yang dipersiapkan mambantu penyerangan, bergerak cepat berhamburan memasuki kancah pertempuran
"Pasukan panah! Siaaap...!"
Kembali terdengar teriakan memerintah. Saat itu Bayu melihat pasukan panah Kerajaan Kali Jirak sudah siap dengan busur terbentang. Pendekar Pulau Neraka itu melompat menghampiri Prabu Truna Dilaga.
"Gusti, hentikan gerakan pasukan panah. Kita semua bisa hancur terpanggang," ujar Bayu begitu dekat dengan Prabu Truna Dilaga. Prabu Truna Dilaga berpaling, dan menjadi terkejut melihat pasukan panah sudah siap melepaskan senjatanya. Bergegas diputar kereta perangnya, lalu digebah kudanya ke garis belakang dengan kencang.
'Tunggu...!" seru Prabu Truna Dilaga lantang. Seorang panglima yang bertugas memimpin pasukan panah mengurungkan aba-abanya untuk melepaskan anak panah. Bergegas dihamprinya Prabu Truna Dilaga, dan langsung memberi hormat.
"Tunggu tanda dariku. Jangan menggempur mereka dengan panah!" dengus Prabu Truna Dilaga.
"Gusti Prabu, hamba mempersiapkan regu panah sayap kiri. Hamba mencoba membuka jalan ke bukit melalui sayap kiri," jelas panglima itu.
Prabu Truna Dilaga memandang ke bagian sayap kiri. Tampak barisan orang berpakaian merah begitu tangguh.
"Beri tanda pada panglima sayap kiri agar menarik pasukannya mundur, kemudian cepat hujani mereka dengan panah!" perintah Prabu Truna Dilaga melihat kebenaran panglimanya.
"Hamba, Gusti Prabu."
Panglima itu segera memberi tanda pada panglima di sayap kiri untuk menarik mundur pasukannya. Dan begitu pasukan di sayap kiri bergerak mundur, langsung panglima itu memerintahkan pasukan panahnya.
"Seraaang...!"
Seketika ratusan anak panah bertebaran memayungi udara. Dan sesaat kemudian terdengar jerit pekik melengking, disusul ambruknya tubuh-tubuh bertopeng tengkorak perak yang berada di bagian kiri. Serangan panah itu membuat mereka jadi kalang kabut, dan berusaha mundur.
"Berhenti...!" seru panglima pasukan panah.
"Seraaang...!" panglima pasukan sayap kiri langsung memberi perintah.
Kini keadaan langsung terbalik. Orang-orang bertopeng yang semula menguasai bagian sayap kiri, jadi berantakan. Prabu Truna Dilaga tersenyum. Dalam hati, dia memuji kejelian pandangan panglimanya dalam menyusun pola penyerangan. Kini semua bagian benar-benar dikuasai. Dan pola bertempur orang orang bertopeng tengkorak perak itu semakin tidak terarah. Mereka masing-masing berusaha menyelamatkan diri. Keadaan seperti ini tentu menguntungkan sekali bagi pasukan Kerajaan Kali Jirak. Prabu Truna Dilaga memberi isyarat pada masing-masing pasukan cadangan di setiap bagian untuk bergerak menggempur. Maka seketika para panglima masing-masing pasukan segera memberi perintah untuk menggempur lawan yang memang sudah tidak bisa terkendali lagi
Penambahan kekuatan pasukan membuat lawan semakin terdesak hebat. Sementara itu Dewi Iblis tak memiliki lagi pasukan cadangan. Mereka benar-benar kalah dalam taktik pertempuran. Dan akibatnya memang merugikan diri sendiri, meskipun kemampuan tata pertempuran mungkin lebih tinggi. Melihat tak ada lagi harapan untuk bisa memenangkan pertempuran, perempuan bertopeng tengkorak di atas batu bukit itu mencoba melarikan diri meninggalkan anak buahnya yang masih bertahan. Tapi pada saat itu Bayu bisa melihat, dan langsung melentingkan tubuhnya melewati beberapa kepala.
"Hiyaaa...!"
Apa yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka mendapat perhatian dari Prabu Truna Dilaga. Laki-laki itu kini tak lagi ikut bertempur, karena merasa sudah yakin bisa memenangkan pertempuran ini. Justru perhatiannya dipusatkan pada Pendekar Pulau Neraka yang sedang berusaha mengejar wanita bertopeng tengkorak perak yang mencoba melarikan diri melalui bukit.
Bayu terus berusaha mengejar. Sementara beberapa orang yang mencoba menghadang, langsung menggelepar meregang nyawa. Pendekar Pulau Neraka itu rupanya tidak tanggung-tanggung lagi dalam melontarkan pukulan. Kekuatannya dikerahkan penuh, sehingga sekali hantam saja, lawannya langsung menggelepar tewas menyemburkan darah dari mulutnya.
* * * * *
"Yeaaah...!"
SAMBIL berteriak kencang, Bayu melentingkan tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di depan perempuan bertopeng tengkorak perak itu. Bayu berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada. Sedangkan wanita berjubah merah dengan wajah tertutup topeng tengkorak itu kelihatan terkejut.
"Hm.... Percuma kau mengenakan topeng, Rara Kuminten," dengus Bayu dingin.
"Kau memang manusia sialan, Bayu! Mampus kau! Hiyaaat'"
Perempuan bertopeng tengkorak yang ternyata memang Rara Kuminten itu langsung saja menyerang Pendekar Pulau Neraka setelah melepaskan topeng yang menutupi wajahnya. Memang tidak ada gunanya lagi menutupi wajahnya di depan Pendekar Pulau Neraka ini. Serangan-serangan yang dilancarkan Rara Kuminten memang sungguh dahsyat luar biasa. Beberapa kali pukulannya hampir mendarat di tubuh Pendekar Pulau Neraka, tapi selalu dapat dihindari. Bahkan Bayu memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Sementara pertarungan di kaki bukit masih berlangsung, maka di lereng bukit ini juga terjadi pertarungan dahsyat antara Pendekar Pulau Neraka melawan Rara Kuminten atau si Dewi Iblis. Hanya dua orang yang bertarung, tapi seperti seratus prajurit yang bertarung. Sebentar saja sekitar pertarungan sudah porak poranda. Batu-batu berhamburan, pepohonan bertumbangan terkena pukulan yang tidak mengenai sasaran.
Sementara itu diam-diam Prabu Truna Dilaga meninggalkan kereta perangnya yang berada di garis belakang. Laki-laki tua itu ingin juga menyaksikan pertarungan di lereng bukit. Tanpa diketahui, Patih Natabrata juga mengikuti. Rupanya dia juga tertarik menyaksikan pertarungan tingkat tinggi itu. Hatinya tidak merasa khawatir, karena prajurit-prajurit Kerajaan Kali Jirak semakin menguasai lawan-lawannya.
Sementara pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dengan Dewi Iblis terus berlangsung semakin sengit. Sebentar saja sudah puluhan jurus berlalu. Tapi tampaknya pertarungan masih akan terus berjalan lama. Sekitar daerah pertarungan sudah tidak berbentuk lagi. Bukit ini bagai terkikis dua tangan raksasa.
Bayu menggunakan senjata Cakra Maut yang tergenggam di tangan kanan untuk meredam serangan tongkat bintang Dewi Iblis. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka itu melontarkan senjatanya, tapi Rara Kuminten selalu berhasil menghindar. Dan setiap kali dua senjata itu beradu, seketika terdengar ledakan dahsyat menggelegar disertai percikan bunga api serta kepulan asap tebal.
"Modar...!" tiba-tiba Rara Kuminten berteriak keras. Dan seketika itu juga tongkatnya mengibas ke kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Uts!"
Buru-buru Bayu merundukkan kepalanya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewi Iblis menghentakkan kakinya menendang ke arah perut. Kali ini Bayu tak bisa menghindar lagi, sehingga tendangan kaki wanita berjubah merah itu tepat bersarang di perutnya.
"Heghk..!" Bayu mengeluh pendek Pendekar Pulau Neraka terhuyung ke belakang dan tubuhnya agak terbungkuk Dan sebelum pemuda berbaju kulit harimau itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, secepat kilat Rara Kuminten melayangkan satu pukulan keras tangan kiri. Pukulan itu tepat mendarat di wajah Bayu.
Des!
"Akh...!" Bayu terpekik keras.
Pendekar Pulau Neraka itu terpental, dan jatuh ke tanah dengan kerasnya. Pada saat itu Rara Kuminten sudah melompat. Diangkat tongkatnya tinggi-tinggi ke atas kepala, siap dihunjamkan ke dada Pendekar Pulau Neraka yang saat itu dalam keadaan terlentang di tanah.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
"Hih!"
Cepat-cepat Bayu menggulirkan tubuhnya ke samping, dan secepat itu pula dikibaskan tangan kanannya. Cakra Maut melesat cepat bagai kilat Kilatan cahaya senjata cakra bersegi enam itu membuat Rara Kuminten terbeliak. Tapi dalam keadaan tubuh di udara begitu, sukar untuk berkelit lagi. Apalagi dalam keadaan posisi menyerang.
"Yeaaah...!"
Cepat Rara Kuminten mengibaskan tongkatnya hendak menyampok senjata Cakra Maut itu. Tapi sungguh di luar dugaan, Bayu cepat menggerakkan tangan kanannya. Maka Cakra Maut meliuk menghindari tebasan tongkat si Dewi Iblis. Dan seketika itu juga Bayu menghentakkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka lebar.
Crab!
"Aaa...!"
Rara Kuminten menjerit melengking. Cakra Maut langsung menembus dalam di dadanya. Dewi Iblis itu terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Pada saat itu Bayu melompat bangkit berdiri. Dihentakkan tangan kanannya, maka Cakra Maut melesat balik, dan langsung menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Rara Kuminten berusaha bangkit berdiri, meskipun dadanya berlubang mengucurkan darah. Tapi wanita itu tidak bisa berdiri tegak. Tubuhnya limbung, dan darah terus mengucur dari dadanya yang berlubang akibat tertembus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat kau, Bayu...!" geram Rara Kuminten.
"Hm...!" Bayu hanya menggumam saja.
Rara Kuminten melangkah tertatih menghampiri Pendekar Pulau Neraka sambil merentangkan ujung tongkatnya ke depan. Sambil mengerahkan sisa seluruh kekuatannya, perempuan berjubah merah itu melompat dengan ujung tongkat terhunus ke depan. Sementara Bayu masih berdiri tegak menanti.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke samping. Dan begitu ujung tongkat berada di samping tubuhnya, Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melayangkan satu tendangan ke arah perut seraya menghentakkan tangannya menjepit tongkat itu di ketiak. Tubuh perempuan berjubah merah itu terhuyung ke belakang, dan tongkatnya terlepas dari genggaman. Cepat Bayu memutar tongkat lawannya, lalu melemparkan diserta pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sing...!
Crab!
"Aaa...!"
Terdengar jeritan melengking tinggi, mengiringi kematian si Dewi Iblis, Bayu menarik napas panjang memandangi mayat Rara Kuminten yang dadanya terpanggang tongkatnya sendiri. Perempuan berjubah merah itu tewas seketika sebelum tubuhnya mencapai bumi. Bayu menoleh ketika Prabu Truna Dilaga dan Patih Natabrata menghampiri. Tampak bola mata Prabu Truna Dilaga berkaca-kaca. Bagaimanapun juga, wanita itu telah mendampingi hidupnya selama bertahun-tahun. Hanya saja tanpa disadari selama ini jalan pikirannya selalu dipengaruhi wanita itu.
Saat itu rupanya pertarungan di kaki bukit sudah selesai Sisa-sisa pengikut si Dewi Iblis langsung meletakkan senjata, menyerah. Mereka memang merasa tidak akan mungkin bisa melanjutkan pertarungan. Apalagi tanpa pemimpin. Tanpa berbicara apa pun, ketiga orang di lereng bukit berjalan menuruni lereng. Bayu sempat melihat ada setitik air bening menggulir di pipi laki-laki tua ini. Tapi cepat Prabu Truna Dilaga menghapus dengan punggung tangannya, mencoba tabah menghadapi kenyataan pahit ini.
"Patih Natabrata! Sebaiknya kau cepat mempersiapkan pelantikan putra mahkota untuk menggantikanku," pinta Prabu Truna Dilaga.
"Gusti, apakah Raden Antawirya akan tetap...," Patih Natabrata tidak melanjutkan ucapannya.
"Mereka tidak boleh tahu, Patih. Ini rahasia antara aku dengan orang-orang tua. Tak ada seorang pun yang boleh mengetahuinya. Biarkan mereka hidup berbahagia. Aku tidak ingin mengusik kebahagiaan putra-putraku," jelas Prabu Truna Dilaga.
"Hamba mengerti, Gusti."
"Bayu, aku mohon kau menjadi saksi pengangkatan putra mahkota menjadi Raja Kerajaan Kali Jirak," pinta Prabu Truna Dilaga lagi.
Bayu tidak bisa menolak lagi, dan hanya menganggukkan kepala saja. Pendekar Pulau Neraka itu bisa merasakan kebahagiaan yang menyelimuti hati Prabu Truna Dilaga, tapi juga terselimut duka dalam menghadapi kenyataan pahit ini.
Hidup.... Tak ada yang bisa meramalkan....
S E L E S A I
Kisah berikutnya:PERTENTANGAN DUA DATUK
INDEX PENDEKAR PULAU NERAKA | |
Darah Menggenang Di Candi Laksa --oo0oo-- Pertentangan Dua Datuk |