Sepasang Maling Budiman
tanztj
March 16, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
7 Tumbal Perawan --oo0oo-- Ular Kobra Dari Utara |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
¦≈ȸ| 1 |ȸ≈¦
Meskipun suasana masih pagi, tubuh kurus lelaki tua itu bercucuran keringat. Sesekali langkahnya terhenti.
Napas tuanya tersengal-sengal. Lalu setelah meletakkan batu yang dibawa ke tanah, tangannya menyeka keringat yang hampir mengalir ke mata. Ditelan air lu-dahnya guna membasahi kerongkongan yang basah kehausan. Kepalanya menggeleng-geleng, seolah hendak mengatakan bahwa dirinya tak mampu.
Namun orang-orang berpakaian rompi hitam yang bertugas sebagai pengawas itu tampaknya tak peduli. Mereka bagaikan iblis-iblis kejam. Tak ada belas kasihan sama sekali terhadap para pekerja yang sudah dibayar oleh juragan yang menangani pembuatan jalan. Siapa yang berani membangkang, akan mendapat siksa yang berat "Uhhh...!" lelaki tua bertubuh kurus itu melen-guh lirih dengan mulut meringis.
Tubuhnya tampak gemetaran, seakan menggambarkan betapa berat beban yang tengah dijalani. Begitupun guratan-guratan di wajah lelaki tua itu menyiratkan derita hidup yang telah menghimpit jiwanya.
"Hyang Widhi! Oh..., sampai kapan penderitaan ini berakhir" Sampai kapan derita yang harus ditanggung warga Desa Kaliamba ini...?" keluh lelaki tua hampir tak berdaya. Wajahnya yang berpeluh menengadah, memandang ke langit. Seakan-akan tengah mengadukan nasibnya kepada Yang Maha Kuasa.
Baru beberapa kali tarikan napas lelaki itu termenung, tiba-tiba dari belakang seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun bermuka beringas menghampiri. Tanpa banyak bicara, lelaki beringas yang ternyata penjaga para pekerja menendang tubuh lelaki tua itu. Dugkh! "Tua bangka tak tahu diri! Sudah dibayar masih malas-malasan kau"!" hardiknya dengan mata melotot. Lelaki tua renta yang ditendang, terjungkal. Beruntung batu yang dibawa terlontar agak jauh, tak mengenai tubuhnya. Dengan tertatih-tatih, lelaki tua renta itu berusaha bangun. Wajahnya memandang mengiba, berusaha meminta belas kasihan.
"Saya..., saya sakit, Den," ujar lelaki tua itu dengan suara gemetar.
"Ah..., alasan lagi! Cepat bangun dan kerja! Jangan sampai hilang kesabaranku!" hardik si penjaga dengan muka semakin menampakkan kegarangan.
Kakinya dengan enteng, kembali menendang pantat lelaki tua itu. Dugkh! "Aduh! Ampun, Den!" Lelaki tua renta itu terjungkal dengan muka mencium tanah. Namun, sepertinya si penjaga tak merasa kasihan sedikit pun. Bahkan dengan angkuhnya, lelaki muda bermuka garang itu tersenyum sinis.
Orang-orang yang sedang bekerja, hendak membantu lelaki tua malang itu. Namun tiba-tiba....
"Jangan turut campur! Atau kalian akan mendapatkan hal serupa dengan orang tua yang hampir mampus itu"!" terdengar suara keras membentak. Sehingga pekerja paksa itu mengurungkan niat mereka.
Namun mata para pekerja paksa itu memandang penuh kebencian pada lelaki berpakaian hijau sepanjang lutut yang dirangkapi pakaian dalam warna kuning.
Lelaki berperut buncit dan bermuka bengis itu, tak lain juragan yang menangani pekerjaan pembuatan jalan. Dia bernama Durka Pela, warga desa yang terkenal pelit dan kikir. Namun karena pintar mengambil hati para pembesar, dirinya dipercaya untuk menangani masalah pembebasan tanah dan pengerjaan pembuatan jalan. Pertentangan antara Juragan Durka Pela dengan warga Desa Kaliamba mengenai pembebasan tanah dan upah yang sangat kecil, sudah sering terjadi.
Namun selama ini, warga selalu kalah. Hal itu karena Juragan Durka Pela beserta para centengnya melakukan penekanan dan penyiksaan, yang membuat warga semakin menderita.
"Kalian telah tahu, apa yang akan kalian dapatkan, jika berani menentangku!" bentak Juragan Durka Pela dengan tingkah sombong. Kedua tangannya bertolak pinggang. Matanya memandang penuh kebengisan pada para pekerja yang seketika mengurungkan niat mereka untuk melakukan pemberontakan. Juragan Durka Pela tersenyum sinis. Keangkuhannya semakin menjadi-jadi. Matanya disapukan ke sekeliling tempat pembuatan jalan dengan tajam, yang membuat semua pekerja semakin ketakutan.
"Ayo, kalian kerja lagi!" seru Juragan Durka Pe-la pada para pekerja paksa yang masih diam, memandang penuh kebencian kepadanya. Namun Juragan Durka Pela tak peduli. Dengan angkuh, juragan kikir ini bertolak pinggang. Kepalanya digerakkan, memberi perintah pada anak buah agar menangani para pekerja. Kemudian dengan tanpa mempedulikan para pekerja. Juragan Durka Pela beranjak meninggalkan tempat itu diikuti dua orang pengawalnya.
Para penjaga yang bertugas mengawasi para pekerja, kembali berlaku kasar. Siapa saja yang malas-malas mereka siksa dengan tendangan dan pukulan.
Sehingga para pekerja tak ada yang berani membangkang. Meski merasa tertekan dan tersiksa, mereka terpaksa bekerja. Meski keringat bercucuran membasahi tubuh, mereka tetap bekerja.
Mentari terus merangkak naik dengan sinarnya yang semakin panas. Para pekerja tetap bekerja, tanpa ada waktu beristirahat.
Apalagi para penjaga tampak semakin beringas dan kejam setiap menghadapi pekerja yang mencoba melawan. Para penjaga tak memandang bulu pada siapa saja. Tak peduli pada orang tua, ataupun anak muda. Sekali saja kedapatan beristirahat atau malas, siksa hukuman akan menimpa dirinya.
***
"He he he...! Semakin lama pekerjaan itu, akan semakin banyak uang yang masuk ke kantongku," gumam Juragan Durka Pela sambil tertawa terkekeh.
Kedua orang centeng turut tertawa senang, karena mereka juga akan mendapatkan cipratan uang dari juragannya. Ketika mereka melintasi jalanan berbukit, tiba-tiba dari arah yang berlawanan berkelebat sesosok bayangan biru di depan kuda-kuda itu.
"Hiiieeeh...! Hiiieeehhh...!" Kedua kuda penarik kereta langsung meringkik, dengan kaki-kaki terangkat ke atas. Hal itu membuat orang-orang yang berada di dalam kereta terkejut "Ada apa, Kusir"!" sentak Juragan Durka Pela bertanya.
"Ampun Juragan! Ada orang menghadang kita!" sahut sang Kusir.
"Huh! Cecunguk macam apa lagi yang berani menghadang perjalanan kita"!" dengus Juragan Durka Pela.
"Barda dan kau Gopal, bereskan dia! Mengganggu saja!"
"Beres, Gan," jawab kedua centeng yang langsung melompat keluar untuk melihat orang yang berani menghadang perjalanan juragannya.
Seorang lelaki berpakaian biru tua nampak berdiri tegap. Matanya menatap tajam dua orang centeng Juragan Durka Pela. Lelaki bercadar biru itu seakan mengejek kedua centeng yang telah banyak membuat penderitaan warga Desa Kaliamba.
"Siapa kau"! Untuk apa kau menghadang perjalanan kami"!" bentak centeng yang berkepala botak.
Matanya yang juling menatap wajah lelaki yang terhalang kain biru itu. Dari sikapnya seperti dibuat-buat, centeng yang bernama Barda itu jelas memperlihatkan sifat penjilat. Lagaknya seperti seorang jagoan yang tak tertandingi siapa pun.
"Siapa diriku, kalian tak perlu tahu! Aku ingin bertemu dengan juragan kalian," sahut lelaki bercadar biru tegas. Matanya menentang tatapan kedua centeng yang garang. Sepertinya lelaki berpakaian biru panjang sampai selutut itu tak merasa takut sedikit pun.
"Untuk apa kau ingin bertemu juragan kami"!" bentak Gopal. Hidungnya yang besar tampak berkembang kempis.
"Aku tak butuh kalian! Mana juragan kalian"!" bentak lelaki bercadar biru tak kalah kerasnya. Hal itu membuat kedua centeng Juragan Durka Pela tersentak kaget. Barda dan Gopal tak menyangka kalau lelaki bercadar biru akan berani membalas bentakan mereka.
"Cepat suruh juragan kalian keluar!"
"Kurang ajar! Lancang sekali kau! Nih..., hadapi dulu kedua centengnya!" bentak Barda. Kepalanya yang botak manggut-manggut "Hua ha ha...! Untuk menghadapi kalian, kurasa tak ada artinya!" tiba-tiba lelaki bercadar biru tertawa keras terbahakbahak, mengejek kedua centeng yang semakin bertambah geram.
"Kurang ajar! Sombong kau! Heaaa...!"
"Kuremukan kepalamu!" Barda dan Gopal segera mencabut golok mereka. Kemudian dengan pekikan menggelepar, kedua centeng itu langsung merangsek lawan yang tampak masih berdiri tegap di depan kereta kuda Juragan Durka Pela.
"Hea!"
"Yea!" Golok di tangan kedua centeng itu membabat cepat. Namun dengan ringan lelaki bercadar biru segera bergerak mengelak. Kaki kanannya ditarik ke belakang, sedang kaki kiri ditekuk membentuk kuda-kuda.
Lalu dengan gerak cepat, kedua tangannya menghantam pundak kanan dan kiri kedua lawannya setelah serangan mereka lepas.
Degkh! Degkh! "Ukh!"
"Akh!" Kedua centeng itu seketika terhuyung-huyung ke belakang, terkena hantaman tangan lelaki bercadar.
Mata keduanya membelalak sedangkan dari mulut mereka melelehkan darah. Barda dan Gopal merasakan sesak dan nyeri di dada mereka.
"Hua ha ha...!" lelaki bercadar biru tertawa terbahak-bahak, sehingga tubuhnya tampak terguncang.
Kemudian setelah mendengus, lelaki yang belum dikenal itu berkata, "Kalau aku mau tak sulit mengirim nyawa kalian ke neraka!" Ucapan lelaki bercadar biru tidak menyadarkan kedua centeng Juragan Durka Pela. Mereka justru bertambah marah karena merasa diremehkan.
"Cuih...!" Barda membuang ludah ke tanah.
Kemudian disekanya dengan telapak tangan, darah yang meleleh di bibirnya. Matanya menatap penuh kebengisan, "Kau kira mudah menakuti kami" Huh, jangan kira kami akan takluk di tanganmu!"
"Hm, begitu" Rupanya kalian memang hams kusingkirkan dari dunia ini! Bersiaplah...! Heaaa...!" dengan lompatan cepat, seperti terbang, lelaki bercadar biru membuka serangan.
Kedua tangannya telah siap menghajar kedua centeng Juragan Durka Pela.
Kedua centeng Juragan Durka Pela tersentak, menyaksikan jurus silat yang sangat cepat dan seperti mengandung tenaga dalam yang kuat. Sesaat lagi, serangan lelaki bercadar biru itu akan menghantam tubuh kedua centeng itu. Namun tiba-tiba....
"Hentikan!" dari dalam kereta muncul Juragan Durka Pela. Sehingga lelaki bercadar biru seketika menghentikan gerakannya.
"Bagus! Rupanya kau tahu diri, Durka Pela! Kalau saja kau tak segera keluar, kedua kunyuk jelekmu ini sudah kukirim ke neraka!" dengus lelaki bercadar sengit "Apa maumu" Kau telah kenal namaku, tetapi aku tak mengenalmu," ujar Juragan Durka Kepala dengan mata terus menyelidik, siapa adanya lelaki ga gah yang sebagian wajahnya ditutup cadar. Sekilas Juragan Durka Pela mengenal sosok tubuh lelaki itu.
Namun hatinya ragu, karena tak melihat jelas wajah lelaki itu "Hm, tak banyak," sahut lelaki bercadar biru.
"Katakan, apa?" Lelaki bercadar biru tak langsung menjawab.
Matanya menatap tajam wajah Juragan Durka Pela.
Seolah-olah hendak menyelidik, apakah Juragan Durka Pela benar-benar akan memenuhi permintaannya.
Atau sebaliknya, dengan kelicikan akan menipu dirinya.
"Baik, aku minta kau bersedia menyerahkan potongan gaji kuli-kuli itu!" Membelalak mata Juragan Durka Pela, mendengar permintaan lelaki bercadar. Kedua centengnya pun tersentak kaget, sekaligus marah karena lelaki bercadar biru dianggap telah berani turut campur dalam urusan mereka.
"Huh"! Lancang sekali mulutmu!" dengus Barda geram. Centeng botak itu hendak maju, tetapi Juragan Durka Pela melarangnya.
"Tenang!"
"Dia terlalu kurang ajar, Juragan," ujar Barda sengit "Tenang..., tenang saja! Jangan kira aku akan menuruti permintaan itu!" bisik Juragan Durka Pela pada kedua centengnya dengan bibir tersenyum sinis.
"Bagaimana, Durka Pela"!" tanya lelaki bercadar biru.
"Mereka telah kubayar sesuai dengan perjanjian," jawab Juragan Durka Pela.
"Hm, jangan kira aku tak tahu, kalau kau telah memaksa mereka agar mau menerima tiga kali! Bukan itu saja, kau juga telah menekan pemilik tanah yang terkena jalur pembuatan jalan dengan harga semurah mungkin!" ujar lelaki bercadar biru. Hal itu membuat muka Durka Pela seketika merah membara.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, hai...
Lelaki Bercadar!" dengus Barda geram. Tubuhnya seketika melesat seraya mengayunkan golok menyerang.
"Mampus kau! Hih...!" Wrt! "Uts! Kurasa kaulah yang harus mampus! Hea...!" usai berkelit lelaki bercadar biru segera menghantamkan telapak tangan kanannya ke dada Barda.
Barda yang tubuhnya doyong ke depan setelah gagal menyerang, tersentak kaget. Dirinya berusaha berkelit sambil membabatkan golok ke tubuh lelaki bercadar.
"Heaaa!" Wrt! Lelaki bercadar menarik mundur serangannya, kemudian sambil memutar tubuh, kaki kanannya menendang punggung Barda dengan keras.
Degkh! "Akh...!" Tubuh Barda terhuyung-huyung ke depan. Dari mulutnya memuncratkan darah segar. Matanya melotot lebar. Sesaat tubuhnya meregang, berbalik memandang lelaki bercadar.
"Kau...." Belum habis ucapan Barda, seketika tubuhnya ambruk dengan mata masih membelalak. Nyawanya melayang. Hal itu semakin membuat Gopal dan Juragan Durka Pela membelalakkan mata marah.
"Kurang ajar! Kau telah berani membunuh temanku! Kau harus mampus! Heaaa...!" Gopal seketika melesat dengan goloknya, membabat dan memburu lawan. Namun dengan cepat lelaki bercadar biru mengelitkan serangan-serangan gencar dan keras yang dilancarkan Gopal.
"Hea!" Dengan melompat ke sana kemari lelaki bercadar biru terus mengelitkan serangan gencar yang dilancarkan Gopal. Sesekali lelaki bercadar biru itu balik menyerang dengan pukulan dan tendangan. Namun ternyata serangan balasan itu tak bisa dianggap remeh. Buktinya Gopal tampak kelabakan dibuatnya.
Gopal harus berjuang mati-matian agar bisa lepas dari serangan lawan.
"Yea!" Lelaki bercadar berkelit dengan tubuh memutar ke belakang. Kemudian dengan cepat dan beruntun tangan dan kakinya menghantam punggung dan kepala Gopal.
"Hea!" Degkh! Degkh! "Ukh! Akh...!" Tubuh Gopal terhuyung-huyung cepat ke depan. Dari mulutnya muncrat darah segar. Kemudian, diiringi serangan keras tubuhnya ambruk ke tanah.
Dan tewas seketika.
Melihat kedua centengnya mati, Juragan Durka Pela hendak lari ke kereta. Namun dengan cepat, lelaki bercadar biru telah melesat menghadangnya.
"Mau lari ke mana, Durka Pela"!" bentak lelaki bercadar biru dengan suara geram.
Mendengar ancaman yang tampak dari sikap lelaki itu Juragan Durka Pela gemetar ketakutan. Keringat dingin mengucur deras mulai membasahi sekujur tubuhnya.
"Ampun, jangan bunuh aku!" pinta Juragan Durka Pela sambil menyembah-nyembah.
"Aku akan mengampunimu, asalkan kau mengembalikan uang potongan gaji pekerja. Kembalikan pula uang pembebasan tanah yang juga telah kau potong!" perintah lelaki bercadar biru mengancam.
"Tapi... tapi...."
"Tapi apa"!" bentak lelaki bercadar keras, "Kau akan mengatakan uangmu habis untuk mengumpul-kan gundik dan membeli rumah-rumah mewah. Begitu, kan"!" Juragan Durka Pela menundukkan kepala sambil mengangguk, membenarkan apa yang dituduhkan lelaki bercadar biru. Lelaki berperut gendut itu tak mampu menahan rasa takutnya, sehingga sampai ter-kencing-kencing.
"Baiklah kalau memang hari ini tak ada. Kutunggu sampai tiga hari. Kuminta kau menyerahkannya di Bukit Kucing!" perintah lelaki bercadar. Kemudian tanpa menghiraukan Juragan Durka Pela, lelaki bercadar biru melesat meninggalkan tempat ini.
Dengan sempoyongan dan gemetaran Juragan Durka Pela melangkah menghampiri keretanya. Wajahnya menggambarkan kepanikan dan bingung. Lelaki bercadar biru, bukanlah orang sembarangan. Terbukti dua orang centengnya dalam sekali gebrak saja dapat dibinasakan.
"Bagaimana aku akan memberi permintaannya," keluh Juragan Durka Pela sambil melangkah ke keretanya. Kemudian tanpa bicara, lelaki gemuk berperut buncit itu naik ke keretanya, "Jalan!" Sang Kusir menurut, menjalankan keretanya.
***
¦≈ȸ| 2 |ȸ≈¦
"Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?" gumam Juragan Durka Pela masih kebingungan.
Kakinya melangkah hilir mudik. Otaknya terus bekerja, diperas untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya.
Kebingungan masih melanda pikiran Juragan Durka Pela, ketika delapan orang wanita cantik yang menjadi gundik-gundiknya masuk. Kedelapan gadis cantik berpakaian seronok mendekati Juragan Durka Pela. Ada yang melenggak-lenggokkan tubuhnya. Ada yang langsung membuka pakaiannya sehingga telanjang bulat. Juga ada yang langsung memberi ciuman dan rangsangan pada juragan berperut gendut itu.
"Kenapa Kakang nampak kebingungan?" seorang gadis berpakaian merah jambu yang masih muda sekali, berusia sekitar delapan belas tahun, mencoba bertanya.
"Ah, tidak apa-apa," jawab Juragan Durka Pela sambil membalas semua yang dilakukan kedelapan wanita cantik yang dijadikan gundiknya.
Meski pikirannya sedang kusut oleh masalah yang sedang dihadapinya, Juragan Durka Pela berusaha menghilangkannya. Direngkuhnya kedelapan wanita cantik itu. Kemudian dengan tertawa-tawa, mereka meladeni Juragan Durka Pela.
Ada yang ditindih, ada yang memijit dan segala macam tingkah laku yang menjijikkan. Semua mereka lakukan dengan keadaan tubuh tak tertutup sehelai benang pun. Juragan Durka Pela tidak ubahnya buaya darat yang sangat rakus. Meski usianya sudah setengah abad, lelaki gendut itu nampak masih sanggup meladeni kedelapan gundiknya. Dengan penuh nafsu, Juragan Durka Pela terus menggumuli kedelapan gundiknya secara bergantian.
Hilang sudah pikirannya yang pusing, memikirkan lelaki bercadar biru yang menuntut uang pemotongan gaji dan pembebasan tanah. Seakan Juragan Durka Pela melupakan apa yang akan terjadi, jika besok dia tidak dapat memenuhi permintaan lelaki bercadar biru itu.
"Persetan dengan lelaki bercadar itu!" maki Juragan Durka Pela dalam hati sambil terus menggeluti kedelapan gundiknya bergantian, yang tertawa-tawa senang. Kedelapan gundik Juragan Durka Pela, merasa senang dengan perbuatannya.
Tengah Juragan Durka Pela melampiaskan nafsunya pada kedelapan gundik, tiba-tiba....
Brak! Dinding papan rumahnya dijebol dua sosok lelaki yang mengenakan cadar biru dan ungu. Mata kedua lelaki berpakaian seperti cadar, memandang tajam wajah Juragan Durka Pela dan kedelapan gundiknya yang terkejut. Sehingga mereka langsung berlarian sambil mengenakan kain masing-masing.
"Siapa kalian"! Lancang sekali masuk tanpa izinku!" bentak juragan Durka Pela sengit seraya membetulkan pakaiannya.
"Hhh..., tak jadi soal siapa kami berdua! Sekarang juga, kuminta serahkan hartamu! Cepat..!" bentak lelaki bercadar ungu.
Matanya menatap tajam pada Juragan Durka Pela. Sebilah pedang telah ditudingkan ke muka Juragan Durka Pela yang masih tampak terkejut tak mampu berbicara.
"Kami harap jangan melawan!" sambung lelaki bercadar biru.
"Kau"!" kaget Juragan Durka Pela, mengenali suara lelaki bercadar biru yang dikenalnya. Ya. Orang itu tak lain lelaki yang telah menghadangnya kemarin.
"Ya! Sengaja aku datang ke rumahmu, karena kurasa kau tak akan memberikan apa yang kuminta.
Manusia licik sepertimu, tak dapat dipercaya," sahut lelaki bercadar biru sambil menghunus pedangnya.
"Bu..., bukankah kau minta besok?" tanya Juragan Durka Pela dengan tubuh gemetaran.
"Besok aku akan menyerahkan padamu."
"Hm, begitu?"
"Ya."
"Kau kira aku percaya pada bualanmu, Durka Pela"!" bentak lelaki bercadar biru, "Aku tak sebodoh itu! Sekarang serahkan sisa uang yang kau potong dari gaji para kuli dan pembebasan tanah!"
"Tapi.., tapi..."
"Jangan membantah, Durka Pela!" bentak lelaki bercadar ungu seraya mendekatkan ujung pedangnya ke leher Juragan Durka Pela, yang menjadikan lelaki berperut gendut itu semakin ketakutan. Namun pada saat itu pula, dari luar masuk anak buah Juragan Durka Pela berjumlah sepuluh orang.
"Ada apa, Juragan"!"
"Bunuh mereka!" teriak Juragan Durka Pela.
Seketika terbangkit keberaniannya, setelah melihat kedatangan sepuluh anak buahnya. Mendengar perintah juragannya, sepuluh lelaki berpakaian rompi hitam dan berwajah bengis itu langsung menjalankan perintah. Mereka langsung mengurung kedua lelaki gagah yang mengenakan cadar.
"Heaaa...!"
"Kalian mencari mampus!" dengus lelaki bercadar biru. Kemudian dengan cepat tangan kanannya bergerak, membabat dan menusukkan pedang memapak serangan lawan-lawannya.
"Huh! Jangan banyak bicara! Pergi saja kalian dengan tenang, atau terpaksa kami tak segan-segan membinasakan kalian berdua!" bentak lelaki berbadan tinggi besar dengan kumis tebal. Tampaknya orang ini pimpinan dari kesepuluh orang berompi hitam, yang merupakan centeng bayaran Juragan Durka Pela.
"Hm, kalian juga penghisap darah rakyat kecil! Kalian bersuka ria di atas penderitaan orang miskin! Jangan harap kami membiarkan kalian hidup! Heaaa...!" lelaki bercadar ungu mendengus marah sambil memutar pedang dengan cepat memapaki serangan lima orang lawannya.
Trang! Trang...! "Heaaa!" Dentangan nyaring pun terdengar ketika beberapa pedang saling bentur. Lelaki bercadar ungu terus membabatkan pedang, tak ingin serangan lawan mendahului. Hingga....
Bret! Crab! "Aaakh...!" dua orang lawan menjerit, ketika dadanya terbabat pedang lelaki bercadar ungu. Tubuh kedua centeng Juragan Durka Pela itu meregang mendongak dengan dada mengucurkan darah. Kemudian keduanya ambruk dan tewas.
Melihat kedua temannya mati, tiga orang lainnya bukan takut. Mereka justru bertambah beringas dan marah. Dengan ganas ketiganya langsung melakukan serangan secara serentak. Berkelebatan pedang mereka menusuk dan membabat tubuh lelaki bercadar ungu.
"Heaaa...! Mampuslah kau, Pengacau!" dengus salah seorang dari ketiganya sambil membabatkan pedang. Namun babatan pedang lelaki bercambang lebat itu dengan mudah dapat dielakkan lelaki bercadar ungu, yang kemudian melakukan serangan balasan ke tubuh lelaki brewok itu.
"Yeaaa...!" Wrt! Cras! "Akh...!" lelaki bercambang bauk itu menjerit.
Tubuhnya terlempar ke belakang dengan perut robek akibat babatan pedang lelaki bercadar ungu. Sesaat tubuhnya masih mampu bertahan. Namun kemudian ambruk dan tewas dengan darah membanjir membasahi sekujur tubuh.
Di sisi lain, lelaki bercadar biru pun tak kalah hebat dalam menghadapi lawan-lawannya. Pedang di tangannya bergerak sangat cepat. Sehingga yang tampak hanya kelebatan-kelebatan cahaya putih, disertai suara berdecit terus memapak dan menyerang lima orang lawannya.
"Heaaa...!" Wrt! Wrt! Pedang di tangan lelaki bercadar biru itu laksana sebuah baling-baling yang kuat dan cepat. Kelima lawannya membelalakkan mata kaget tak menyangka kalau ilmu pedang lawan begitu tinggi. Namun mereka tetap berusaha menghalau serangan lelaki bercadar biru dengan sambutan pedang mereka.
"Heaaa...!" Serentak kelima lelaki berpakaian rompi hitam membabatkan pedang ke tubuh lelaki bercadar biru, sehingga pedang mereka saling bertemu dan beradu.
Trang! Trang! Trang...! Prak! Prak! Prak...! Suara berdentang dan gemeretak keras terdengar. Seperti ada benda-benda keras patah oleh tebasan pedang.
"Heh"!"
"Hah"!" Kelima centeng Juragan Durka Pela langsung melompat ke belakang dengan mulut ternganga lebar.
Lima lelaki berompi hitam itu terkejut ketika melihat pedang mereka patah terbabat pedang lawan. Mata mereka saling berpandangan, penuh keheranan. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka menjerit "Awaaas...!"
"Heaaa...!" Lelaki bercadar biru rupanya telah kembali menyerang dengan babatan pedangnya yang cepat dan mematikan. Hal itu membuat kelima lawannya yang masih diliputi rasa kaget tersentak kaget. Cepat-cepat mereka berusaha mengelak.
Akan tetapi....
Crab! Crab...! "Aaakh...!"
"Aaakh...!" Bagaikan baling-baling yang tajam, pedang di tangan lelaki bercadar biru membabatkan perut lawanlawannya dengan cepat. Sehingga kelima lelaki berompi hitam itu tak berhasil mengelakkan tubuh mereka dari sambaran pedang lawan. Seketika tubuh mereka sempoyongan sambil memegangi perut yang terkoyak lebar. Darah mengucur dari sobekan perut kelima centeng Juragan Durka Pela. Tubuh mereka gemetar, dengan mulut meringis menahan sakit. Karena darah terlalu banyak keluar, mereka tak mampu bertahan lama. Kelima lelaki berompi hitam ambruk mencium tanah. Sementara itu, lelaki bercadar ungu masih berusaha keras menghadapi lawan-lawannya. Di lain tempat dua orang lawannya terpental dengan keadaan tak kalah mengerikannya. Leher dan dada mereka terkoyak mengucurkan darah.
"Kau..., kkk..., Aaakh...!" kedua orang lawannya seketika ambruk dan tak mampu bangun lagi.
"Hm, mana bajingan itu"!" tanya lelaki bercadar biru pada temannya.
"Nampaknya dia lari, Kanjeng Pangeran," sahut lelaki bercadar ungu.
"Ssst! Jangan kau panggil itu," bisik lelaki bercadar biru "Baik, Cadar Biru."
"Kita harus mencari hartanya," ujar lelaki bercadar biru yang ternyata Pangeran Prapanca.
"Ayo, kita harus segera membagikan harta Juragan Durka Pela pada rakyat yang menderita."
"Mari!" Pangeran Prapanca dan rekannya Pranala segera melesat meninggalkan kamar itu. Keduanya langsung mengobrak-abrik rumah Juragan Durka Pela mencari harta milik juragan kejam itu. Tidak lama kemudian keduanya telah melesat keluar dari rumah Juragan Durka Pela membawa dua karung barang berharga. Malam terus merangkak perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk tulang sumsum. Kedua pendekar bercadar itu terus melesat menembus kegelapan malam.
***
"Ayo, kita harus cepat, Pranala!" ajak Pangeran Prapanca.
Pranala segera mempercepat larinya, agar dapat mengimbangi kecepatan lari Pangeran Prapanca. Kemudian keduanya saling berpencar. Pangeran Prapanca menuju arah timur, sedangkan Pranala ke arah barat. Keduanya membagi-bagikan barang berharga yang mereka bawa, dengan cara melemparkan dari atas. Sehingga orang di dalam rumah mengira kalau barang berharga itu diturunkan Hyang Widhi dari langit. Tidak begitu lama, keduanya telah menyelesaikan pekerjaannya itu. Mereka tersenyum puas sambil melangkah dengan tenang meninggalkan Desa Kaliamba yang seketika heboh karena para penduduk kejatuhan rejeki dari langit Warga Desa Kaliamba berbondong-bondong keluar dari rumah mereka. Kemudian semua warga berkumpul di tengah lapangan. Dipimpin oleh seorang tetua kampung, warga desa memanjatkan doa syukuran atas pemberian rejeki pada mereka.
"Hyang Jagad Dewa Batara, terimalah sembah kami...! Kau telah mengutus malaikat-malaikat-Mu, untuk memberi rejeki pada kami," seru tetua kampung sambil menengadahkan wajah ke langit. Sedang kedua tangannya kini terbuka. Begitu pun yang dilakukan para warga desa lain, yang rupanya juga menerima anugerah yang sama malam itu.
Warga Desa Kaliamba benar-benar mengira kalau yang memberi rejeki itu malaikat-malaikat utusan Hyang Widhi. Itu sebabnya mereka melakukan upacara pemanjatan doa syukuran, karena merasa telah terbebas dari penderitaan dan kemiskinan yang selama ini mereka terima. Semenjak Juragan Durka Pela berkuasa dan mendapat kepercayaan dalam pembuatan jalan dari para pembesar istana, kehidupan warga Desa Kaliamba semakin buruk.
Warga desa dipaksa pindah dari tanah pekarangan yang mereka tempati. Mereka juga dipaksa bekerja dengan upah kecil, serta tindakan penindasan lainnya yang membuat warga desa semakin sengsara.
Sementara para kepala desa di sekitar Desa Kaliamba pun tak berdaya menghadapi tindakan itu. Karena pada umumnya mereka dihukum dan terus ditakutitakuti oleh para anak buah Juragan Durka Pela.
Malam semakin dingin, ketika warga Desa Kaliamba satu persatu meninggalkan tanah lapang di tengah-tengah desa. Sampai akhirnya lapangan di tengah desa itu sepi. Hanya asap bekas perapian untuk memanjatkan doa yang masih mengepul. Asap itu membubung tinggi ke angkasa.
Cahaya rembulan yang redup, semakin meredup. Rembulan perlahan-lahan bergerak ke barat, pertanda kalau hari menjelang pagi.
***
Nampaknya lelaki setengah baya ini berlari terburu-buru, setelah semalam mengalami kejadian menakutkan yang hampir saja merenggut nyawanya.
"Hhh...! Biadab! Mereka benar-benar biadab!" gerutu Juragan Durka Pela dengan napas terengahengah. Masih terbayang dalam ingatan, bagaimana semalam rumahnya disatroni, dua lelaki bercadar yang merampok dan membunuh para centeng, "Tunggulah pembalasanku, Manusia-manusia Keparat!" Juragan Durka Pela berlari bagaikan tidak mengenal lelah, meski keringat bercucuran dan nafasnya tersengal-sengal. Dendamnya pada kedua lelaki bercadar yang telah memporak-porandakan rumahnya, serta mengambil harta benda miliknya membuat lelaki gemuk berperut gendut ini marah. Semangatnya terpacu untuk segera sampai di tempat kediaman orang biasa dimintai pertolongan. Orang tua itu tak lain Ki Jalna Wangga atau si Pukulan Petir.
Antara Juragan Durka Pela dan Ki Jalna Wangga memang tak ada hubungan apapun. Namun telah terikat dalam kesepakatan yang dibuat oleh guru dari Ki Jalna Wangga dan orangtua Juragan Durka Pela.
Sebelum meninggal, guru Ki Jalna Wangga pernah berpesan pada ayah Juragan Durka Pela bahwa antara Juragan Durka Pela dengan si Pukulan Petir akan selalu memiliki kaitan erat. Ki Jalna Wangga harus mau menolong Juragan Durka Pela, jika Juragan Durka Pela membutuhkan pertolongan. Itu sebabnya guru Ki Jalna Wangga memberi batu mustika biru pada ayah Juragan Durka Pela, agar setiap waktu jika anaknya membutuhkan, bisa diminta tolong pada Ki Jalna Wangga. Matahari belum tinggi ketika Juragan Durka Pela sampai di sebuah bangunan tua yang terletak di puncak Bukit Pawean. Bangunan itulah tempat tinggal Ki Jalna Wangga setelah beberapa tahun lalu meninggalkan dunia persilatan. Lelaki berjuluk si Pukulan Petir itu sengaja mengasingkan diri dari keramaian rimba persilatan yang telah lama digelutinya.
"Siapa di luar"!" terdengar suara serak dan berat bertanya dari dalam bangunan menyerupai pura.
Ditilik dari suaranya, tentu pemiliknya lelaki berusia enam puluh tahunan.
"Aku, Durka Pela!" sahut Juragan Durka Pela dengan napas tersengal-sengal.
"Masuk!" terdengar perintah Ki Jalna Wangga.
Juragan Durka Pela menurut. Kakinya perlahan melangkah menaiki tangga kayu yang menuju serambi rumah panggung itu. Berulang kali Juragan Durka Pela menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur agar tidak tersengal-sengal. Kakinya terus melangkah ke pintu yang telah terbuka.
"Masuklah!" Juragan Durka Pela menapakkan kakinya melangkahi pintu. Tampaklah seorang lelaki bertubuh tinggi tegar berdiri membelakanginya. Dialah Ki Jalna Wangga atau si Pukulan Petir. Rambutnya yang panjang terurai diikat kain hijau.
"Ada apa kau datang ke tempatku?" tanya lelaki berpakaian mirip jubah warna coklat itu masih dengan tubuh membelakangi. Seakan lelaki ini enggan untuk membalikkan tubuh. Belum juga Juragan Durka Pela menjawab, Ki Jalna Wangga kembali memerintah, "Duduklah!" Juragan Durka Pela cukup tergetar juga menghadapi lelaki aneh ini. Jantungnya dirasakan berdebar keras. Dengan perlahanlahan, Juragan Durka Pela menurut duduk. Juragan Durka Pela terdiam dengan muka menunduk. Lidahnya terasa sangat kelu untuk memulai berkata.
"Mengapa kau diam?" tanya Ki Jalna Wangga.
Kemudian perlahan-lahan lelaki tinggi besar berambut terurai panjang itu membalikkan tubuhnya. Dan kini nampak sesosok lelaki bermuka garang namun tenang.
"Aku mendapatkan kesulitan, Saudaraku," kata Juragan Durka Pela setelah lama terdiam.
"Hm, kesulitan apa...?"
"Rumahku diobrak-abrik lelaki bercadar biru."
"Lalu apa maumu?"
"Aku ingin kau membunuhnya, Jalna."
"Apakah kau kira mudah membunuh?" tanya Ki Jalna Wangga sinis.
"Aku yakin, kau mampu."
"Hm," Ki Jalna Wangga menggumam tak jelas.
Matanya menatap tajam Juragan Durka Pela. Yang dipandang hanya menundukkan kepala. Ki Jalna Wangga menarik napas dalam.
"Kalau saja antara guruku dan orangtuamu tak ada hubungan baik, sudah dari tadi kusingkirkan kau, Durka! Bukankah sudah kuperingatkan padamu, jangan serakah. Tetapi kau tak pernah menghiraukan peringatanku. Dan kini, kau datang memintaku untuk membunuh orang yang melakukan tindak kebajikan itu. Hm, permainan macam apa ini?"
"Dari mana kau tahu mereka baik, Jalna?" tanya Juragan Durka Pela agak terkejut.
"Hhh..., aku telah mendengar tentang sepak terjang mereka. Mereka memang pencuri. Tetapi, bukan untuk mereka sendiri. Mereka mencuri untuk rakyat yang kau tindas!" tukas Ki Jalna Wangga, yang membuat Juragan Durka Pela terdiam.
"Bagaimana, Durka?"
"Itu terserahmu, Jalna. Kau boleh menolak, namun batu mustika biru akan tetap kupegang," ancam Juragan Durka Pela.
Mendengar ucapan Juragan Durka Pela mata Ki Jalna Wangga membeliak. Selama mustika biru ada di tangan Juragan Durka Pela, maka dirinya tak akan bisa lepas dari ikatan timbal balik yang telah dirintis kedua orangtua mereka. Itu sama saja dengan menjerumuskan dirinya ke lembah sesat "Bagaimana, Jalna?" tanya Juragan Durka Pela mulai berani menatap wajah, Ki Jalna Wangga.
"Hm, licik sekali kau, Durka. Tapi baiklah, kalau benar setelah kupenuhi permintaanmu kau kembalikan mustika itu, aku akan melakukan tugas ini! Ingat, jika kau berbohong, tak segan-segan aku membunuhmu!" ancam Ki Jalna Wangga. Wajahnya memerah merasa terpaksa terhadap permintaan Juragan Durka Pela.
"Jangan khawatir! Selama ini, aku tak pernah menyusahkanmu, bukan?" jawab Juragan Durka Pela dengan senyum mengembang di bibir. Sepertinya juragan berperut gendut itu merasa yakin, kalau Ki Jalna Wangga akan dapat menyingkirkan lelaki bercadar biru "Pulanglah! Jika aku telah menjalankan tugas, maka aku akan ke rumahmu," ujar Ki Jalna Wangga.
"Baik! Kutunggu." Juragan Durka Pela tersenyum puas, kemudian bangkit dari duduknya. Setelah menjura, lelaki berperut gendut itu melangkah keluar meninggalkan tempat peristirahatan si Pukulan Petir.
Ki Jalna Wangga terpaku berdiri dengan mata memandang kosong. Nafasnya mendesah, seakan ada sesuatu yang menjadi beban pikirannya. Kemudian dengan menarik napas lagi, lelaki berambut panjang itu melangkah masuk. Ditutupnya pintu pesanggrahannya.
"Aku tak tahu, sampai kapan manusia licik itu akan mengadu domba diriku dengan para pendekar," gumamnya sambil melangkah masuk.
***
¦≈ȸ| 3 |ȸ≈¦
Mereka masih diliputi kebahagiaan.
Di pagi yang cerah itu, dari arah timur nampak seorang remaja melangkah memasuki mulut Desa Kaliamba. Yang satu pemuda berpakaian rompi kulit ular. Tingkah lakunya lucu. Mulutnya tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan. Pemuda tampan berambut gondrong itu tak lain Sena Manggala atau lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Tingkah lakunya yang konyol membuat setiap orang yang melihat tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Berjalan di sampingnya dengan senyum menawan, seorang gadis berparas elok laksana Dewi Kwan Im. Pakaiannya yang hijau berlengan panjang tampak mencolok dengan warna kulitnya yang putih. Dipundaknya tersandang sebilah pedang. Gadis cantik berparas Cina itu, tiada lain Bidadari Pencabut Nyawa, atau Mei Lei. Keduanya tengah melanjutkan perjalanan menuju tempat kediaman guru Sena, di Goa Setan.
"Kakang, sepertinya ada pembuatan jalan baru di desa ini," ujar Mei Lie sambil memandangi tempat yang kelihatan banyak bebatuan menumpuk. Sebagian lagi, sudah menjadi hamparan yang rata.
"Eh, benar juga. Tapi, mengapa sepi?" tanya Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, padahal belum selesai. Ah, kurasa ada sesuatu yang menjadikan pembuatan jalan jadi terhenti."
"Sesuatu apa, Kakang?" tanya Mei Lie dengan kening berkerut, ingin tahu apa yang dimaksudkan Pendekar Gila. Matanya memandang lekat wajah Pendekar Gila yang menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Pendekar Gila tak langsung menjawab. Sambil cengengesan, tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Dipandanginya bebatuan menumpuk di kanan kiri tanah yang akan dibuat jalan. Sebagian jalanan sudah tertutup bebatuan sebesar kepalan. Pepohonan pun banyak yang ditebangi, potongan-potongan kayu tertumpuk di pinggir tanah yang telah terbuka untuk jalan.
"Entahlah, Mei. Tapi.... Ah, apakah kau tak ingat, Mei" Bukankah di perjalanan kita mendengar kalau Baginda Awangga sedang membuat jalan yang akan menghubungkan antara Kerajaan Surya Langit dengan Kerajaan Bayu Bumi?" tutur Sena menjelaskan.
"Untuk apa, Kakang" Bukankah menurut kabar, dua kerajaan itu selama ini saling bermusuhan" Keduanya saling memperebutkan Desa Kaliamba ini...?" tanya Mei Lie semakin ingin tahu.
"Tapi, mengapa kini kedua kerajaan itu bisa rukun. Bahkan tampaknya berusaha saling mempererat hubungan. Buktinya mereka membuat jalan di sekitar perbatasan kedua kerajaan. Ah..., mungkin ada sebab-sebab tertentu, Kakang," lanjut Mei Lie sambil memandangi jalan yang tampak masih berserakan itu.
"Entahlah, Mei. Kau kira aku ini dewa, yang tahu semua kehidupan di Mayapada ini" Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie melototkan mata. Gadis itu gemas sekali melihat tingkah laku kekasihnya. Kemudian dengan pelan dicubitnya pinggang Sena.
"Nakal!"
"Aduh...! Bisa sobek kulit pinggangku," rungut Sena sambil cengengesan.
"Kakang sih, nakal," gerutu Mei Lie manja. Matanya nampak meredup, membuat Pendekar Gila semakin merasa senang. Semakin cemberut, kecantikan gadis itu semakin tampak jelas.
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, Mei Lie pun kembali melotot. Namun kemudian turut tersenyum. Tangannya dengan manja menggelayut di pundak kekasihnya. Kedua pendekar itu kembali melangkah beriringan meneruskan perjalanan. Keduanya saling bercanda ria.
***
Jalna Wangga sebenarnya tak ingin menjalankan perintah itu, karena sudah tak mau turut campur dalam urusan rimba persilatan. Namun karena ikatan persaudaraan yang dibina gurunya dengan ayah Jalna Wangga, menyebabkan dirinya terpaksa harus melaksanakannya. Hal yang kedua, karena Juragan Durka Pela telah berjanji akan menyerahkan batu mustika biru, jika Jalna Wangga menjalankan permintaan tersebut "Hm, ke mana aku harus mencari lelaki bercadar biru?" tanya Jalna Wangga bergumam sendiri. Di rimba persilatan banyak manusia memakai cadar untuk menyembunyikan wajahnya. Sulit bagi si Pukulan Petir itu mencari orang yang dimaksudkan Juragan Durka Pela. Jalna Wangga terus melangkah, menelusuri Bukit Yuyu yang membentang panjang dari barat sampai ke timur. Tiba-tiba dari kejauhan matanya melihat sepasang muda-mudi tengah melangkah berlawanan arah dengannya. Tak lama kemudian kedua mudamudi itu telah sampai di depannya.
"Kisanak dan Nisanak, dilihat dari pakaian dan senjata yang disandang Nisanak, tentunya kalian dari rimba persilatan, bukan?" sapa Jalna Wangga atau si Pukulan Petir.
Mei Lie mengerutkan kening, lalu menoleh ke wajah kekasihnya. Kemudian Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala. Mata Jalna Wangga terbelalak, merasa heran menyaksikan tingkah laku pemuda di hadapannya.
Tingkah laku pemuda di hadapannya yang seperti orang gila, mengingatkan Jalna Wangga pada seseorang yang sangat dikaguminya. Orang gila yang kesaktiannya belum tertandingi hingga saat ini. Namun Jalna Wangga sepertinya belum yakin, karena pernah didengarnya kalau Pendekar Gila dari Goa Setan sangat aneh. Dia tak pernah mengambil murid.
"Siapa pemuda gila ini?" gumam Jalna Wangga dalam hati, "Dilihat dari gerakgeriknya, sama persis dengan Pendekar Gila dari Goa Setan. Tapi, apa benar dia muridnya?"
"Kisanak, kau memang benar. Kami memang dari persilatan. Ada apa gerangan...?" tanya Mei Lie mendahului Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, rupanya penglihatanku masih waras," gumam Jalna Wangga. Kemudian dengan mata masih memandang Pendekar Gila, lelaki berjubah coklat itu bertanya, "Kalau memang mataku yang tua ini benar-benar belum rabun, apakah benar Kisanak ada hubungan dengan Pendekar Gila dari Goa Setan?" Mei Lie menoleh ke wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, dari mana kau tahu, Ki?" tanya Sena memandang dengan mata terpicing.
"Dari tingkah lakumu, Anak Muda."
"Aha...! Bagaimana mungkin kau yakin aku seorang pendekar" Ah, aku hanya pemuda gila," jawab Sena, "Bagaimana mungkin aku dapat dihubungkan dengan Pendekar Gila dari Goa Setan?" Jalna Wangga tersenyum. Hatinya merasa tak ragu, kalau pemuda ini bukan pemuda gila sembarangan. Atau memang ada hubungannya dengan Pendekar Gila dari Goa Setan yang pernah menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun yang silam. Apalagi ketika Jalna Wangga melihat suling yang terselip di ikat pinggang pemuda gila itu. Matanya seketika membelalak, hampir tak percaya pada penglihatannya.
"Suling Naga Sakti! Kau..." Kau Pendekar Gila dari Goa Setan"!" tanya Jalna Wangga dengan mata masih membelalak. Hatinya hampir tak percaya, kalau kini sedang berhadapan dengan pendekar yang sangat kesohor itu. Namun Jalna Wangga tiba-tiba kembali ragu, karena menurutnya, tentu Pendekar Gila sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Sedangkan pendekar yang memegang Suling Naga Sakti ini, baru dua puluh empat tahunan.
"Ah ah ah...! Kau mungkin salah, Ki. Sudah kukatakan, aku hanya pemuda gila biasa yang tiada arti. Bagaimana mungkin kau mengatakan aku Pendekar Gila dari Goa Setan" Lucu sekali...!" gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya cengengesan, sementara tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Tapi aku tak dapat kau bohongi, Pendekar.
Suling Naga Sakti ada di tanganmu. Namun, benarkah kau Singo Edan" Seharusnya pendekar sakti itu sudah berusia tujuh puluh tahun lebih," ujar Jalna Wangga masih belum yakin dengan penglihatannya.
"Hi hi hi...! Kau kira ada orang seperti Dewa, yang bisa mengubah usia" Lucu sekali kau, Ki," gumam Sena masih cengengesan dengan kepala menggeleng-geleng.
"Kisanak, sebenarnya temanku bukanlah Pendekar Gila dari Goa Setan. Namun dia adalah murid tunggalnya," tutur Mei Lie menjelaskan.
Semakin membelalak kaget mata Jalna Wangga mendengar penuturan Mei Lie. Hatinya tak menyangka, kalau Singo Edan ternyata memiliki seorang murid.
Kalau gurunya saja selama ini belum ada yang menandingi, muridnya tentu memiliki ilmu-ilmu gila yang lebih dahsyat. Pikir Jalna Wangga.
"Oh, terimalah salah hormatku, Tuan Pendekar!" ujar Jalna Wangga sambil menjura hormat.
"Aha, kurasa tak semestinya kau berlaku begitu, Ki. Seharusnya kami yang muda, melakukan hal itu. Ah, sudahlah, kami tak punya waktu banyak.
Maaf, kami harus segera meneruskan perjalanan untuk menemui guru," kata Sena mohon diri.
"Jadi Tuan Pendekar hendak menemui guru Tuan?" tanya Jalna Wangga.
"Begitulah. Ada apa?" tanya Sena.
"Sampaikan salam hormatku pada guru Tuan," pinta Jalna Wangga.
"Sampaikan pada guru Tuan, Jalna Wangga menghaturkan hormat!"
"Baik, Ki. Akan kusampaikan. Kami mohon diri," ujar Sena sambil menjura. Begitu pula yang dilakukan Mei Lie. Namun ketika mereka hendak melangkah, tiba-tiba Jalna Wangga berseru.
"Tuan Pendekar, tunggu!"
"Aha, ada apa lagi, Ki?" tanya Sena dengan kening mengerut Mei Lie menghela napas. Sepertinya gadis itu tak suka dengan Jalna Wangga, yang menghentikan langkah mereka kembali. Seakan-akan Mei Lie melihat kalau orang tua ini tak mempercayai mereka. Bahkan tampaknya hendak menyelidiki Pendekar Gila dan dirinya.
"Maaf, saya kembali mengganggu!"
"Cepat katakan! Kami tak ada waktu lagi," desak Mei Lie tak sabar.
"Kalau boleh ku tahu, apakah Tuan berdua melihat lelaki bercadar biru?" tanya Jalna Wangga.
"Tidak!" sahut Mei Lie cepat, "Sudah tak ada la-gi?"
"Terima kasih," jawab Jalna Wangga. Kemudian setelah menjura hormat Si Pukulan Petir meninggalkan kedua pendekar yang kembali melanjutkan perjalanan ke barat "Orang tua aneh. Untuk apa dia mencari lelaki bercadar biru?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Sudahlah, Kakang! Mengapa kita memikirkan orang tua itu" Ayo kita teruskan!" ajak Mei Lie sambil menggandeng tangan Pendekar Gila untuk meneruskan perjalanan.
"Tapi, Mei. Kurasa ada sesuatu yang menarik di desa itu," kata Sena dengan mata menyapu ke sekeliling Bukit Yuyu. Kemudian ditolehkan kembali wajahnya ke Desa Kaliamba. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Apalagi setelah bertemu Jalna Wangga yang bertanya tentang lelaki bercadar biru.
"Ah, kau ini ada-ada saja, Kakang. Sudahlah, kita pergi!" ajak Mei Lie.
"Tunggu, Mei! Aku yakin, orang tua itu ada hubungannya dengan kemacetan pembuatan jalan. Ah, kurasa ada yang kurang beres di Desa Kaliamba itu.
Apakah tak sebaiknya kita singgah dulu di desa ini?" ajak Sena sambil nyengir dengan mata memandang penuh harap pada Mei Lie. Sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala, yang menjadikan tingkahnya nampak semakin bertambah lucu.
"Hhh...!" Mei Lie menghela napas pelan.
"Baiklah, aku setuju."
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Sementara Mei Lie justru cemberut. Kemudian dengan nakal, Mei Lie mencubit pinggang Sena. Lalu keduanya berlari-lari menuruni Bukit Yuyu, menuju Desa Kaliamba.
Desa yang juga dituju Jalna Wangga
***
Para pengunjung kedai, nampak sedang membicarakan masalah dua orang bercadar yang telah merampok rumah Juragan Durka Pela dan membagikan harta rampokannya kepada penduduk.
"Wah, kalau begitu, berarti mereka yang memberi pada kita," kata lelaki bertubuh kurus dengan jenggot panjang.
"Ya! Baik sekali mereka. Baru kali ini, ada maling yang membagi-bagikan barang colongannya pada warga desa," sambung yang lainnya.
Jalna Wangga yang mendengar pembicaraan orang-orang di kedai seketika tergetar hatinya. Kalau benar apa yang diceritakan orang-orang tentang dua maling budiman itu, berarti mereka berbuat demi kemanusiaan.
"Hm, pantaskah aku mengabulkan permintaan Durka" Kalau sebenarnya kedua lelaki bercadar itu bertujuan baik?" gumam Jalna Wangga. Hatinya mas-gul, setelah mendengar cerita warga Desa Kaliamba di kedai ini. Ketika semua orang membicarakan tentang dua orang lelaki bercadar yang membagi-bagikan rejeki, da-ri luar masuk dua orang lelaki yang sedang mereka bicarakan. Sepontan semua yang ada di kedai membungkuk memberi hormat. Hal itu menjadikan kedua orang bercadar biru dan ungu mengerutkan keningnya.
"Hai, mengapa kalian memberi hormat padaku?" tanya lelaki bercadar biru, "Aku bukan siapa-siapa. Aku manusia seperti kalian. Kedatangan kami kemari, semata-mata ingin meminta makan." Mendengar permintaan manusia bercadar biru, dengan tergopoh-gopoh pemilik kedai segera menghampiri. Kemudian segera menjura hormat "Silakan, Tuan-tuan...!" sambutnya penuh ramah.
"Terima kasih, Ki. Kami lapar, ingin makan," pinta lelaki bercadar ungu.
Pemilik kedai segera memerintah pelayannya agar membawakan makanan yang lezat-lezat. Tidak lama kemudian, makanan pun datang. Hal itu membuat kedua manusia bercadar terkejut, tak menyangka akan dihidangkan makanan yang lezat-lezat dan tentu sangat mahal harganya.
"Ki, tentunya makanan selezat ini sangat mahal harganya. Bagaimana aku akan membayarnya?" tanya lelaki bercadar biru, tak mengerti mengapa pemilik kedai memberi mereka makanan yang lezat-lezat. Padahal mereka belum memesan makanan apapun.
"Ah, untuk Tuan berdua, kami tak meminta bayar. Kami telah tahu, siapa Tuan berdua," jawab pemilik kedai sambil membungkuk hormat. Di bibir lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun dan bertu- buh kurus itu menyunggingkan senyum ramah. Senyum yang tulus, tanpa dibuat-buat "Tapi, Ki" Lelaki bercadar ungu hendak menolak, namun pemilik kedai telah mendahului.
"Ah, sudahlah! Betapa kami warga Desa Kaliamba sangat berterima kasih atas pertolongan Tuantuan," sahut pemilik kedai, yang semakin membuat kedua lelaki bercadar saling pandang.
"Aku tak mengerti, Ki," kata manusia bercadar ungu.
"Sudahlah, Tuan! Jika memang harus bayar, biar kami yang membayarnya," salah seorang warga Desa Kaliamba yang ada di kedai menyahuti.
"Tuan berdua telah menolong kami. Sudah sepantasnya kami membalas Tuan berdua." Kedua lelaki bercadar itu tak berkata lagi. Sesaat keduanya saling pandang. Kemudian lelaki bercadar biru memandangi pemilik kedai yang masih tersenyum penuh hormat "Baiklah kalau begitu. Tolong kau bungkuskan!"
"Dengan senang hati, Tuan. Pelayan tolong bungkus!" perintah pemilik kedai dengan gembira, karena pemberiannya tidak ditolak kedua manusia bercadar itu. Setelah mendapat dua bungkusan, kedua manusia bercadar itu segera melesat keluar meninggalkan kedai. Namun tanpa mereka ketahui, seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan jubah coklat mengikuti mereka dari belakang.
Pendekar Gila dan Mei Lie sejak tadi mengawasi gerak-gerik kedua manusia bercadar yang kini dikejar Jalna Wangga. Kedua pendekar muda-mudi itu kemudian menguntit ketiganya.
"Kita harus tahu, Mei. Ah, jelas ini suatu keganjilan," ujar Pendekar Gila sambil terus berlari ke selatan membuntuti Jalna Wangga.
"Kalau begitu, kedua manusia bercadar itu orang baik, Kakang?" tukas Mei Lie.
"Mungkin, Mei," sahut Sena.
"Kita tak tahu apa maksud mereka sesungguhnya."
"Ya, kuharap mereka benar-benar bermaksud baik," gumam Mei Lie sambil terus mengikuti Pendekar Gila mengikuti Jalna Wangga yang tengah mengejar kedua manusia bercadar.
Sampai di Hutan Jabara, pada sebuah tanah lapang yang sepi Jalna Wangga berhasil mengejar kedua manusia bercadar. Sementara itu, Pendekar Gila dan Mei Lie segera menyelinap bersembunyi di balik semak belukar yang lebat, mengintai apa yang akan terjadi.
"Kisanak, sedari tadi kami perhatikan kau menguntit kami, ada apa?" tanya lelaki bercadar biru setelah menghentikan langkahnya.
"Kalian kenal dengan Durka Pela, bukan?" tanya Jalna Wangga.
"Ya! Ada apa?" tanya lelaki bercadar ungu.
"Kutunggu kalian di Bukit Yuyu nanti malam, untuk menyelesaikan apa yang berhubungan antara kalian dan saudaraku!" usai berkata begitu, tanpa menghiraukan kedua manusia bercadar lelaki tua berjuluk si Pukulan Petir itu melesat pergi.
"Manusia aneh," gumam lelaki bercadar ungu, "Apakah Kanjeng Pangeran akan melayaninya?"
"Ya! Bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab, Pranala. Meski nyawaku sebagai taruhannya.
Demi rakyat yang menderita aku siap berkorban," jawab Pangeran Prapanca.
"Kalau begitu, aku harus ikut, Kanjeng."
"Baiklah, kita hilangkan pikiran itu. Ayo...!" ajak Pangeran Prapanca. Keduanya pun seketika melesat meninggalkan Hutan Jabara, tanpa tahu dua orang yang sejak tadi mengawasi mereka. Ya, Pendekar Gila dan Mei Lie yang tampak kebingungan karena belum mengerti.
"Aku semakin tertarik, Mei. Kurasa, lebih baik kita melihat apa yang terjadi nanti malam," ujar Sena sambil cengengesan dengan kepala menggeleng-geleng.
"Terserah kau saja, Kakang," sahut Mei Lie.
"Ayo kita ke kedai! Perutku sudah lapar. Hi hi hi...!" Dengan tertawa cekikikan, Pendekar Gila melangkah meninggalkan Hutan Jabara.
¦≈ȸ| 4 |ȸ≈¦
Sampai sejauh itu kedua pendekar muda itu belum mengerti penyelesaian macam apa yang diinginkan Ki Jalna Wangga. Setelah sampai di Bukit Yuyu yang masih sepi, Pendekar Gila segera mengajak Mei Lie bersembunyi di balik semak-semak yang cukup rimbun. Hal itu dimaksudkan agar kehadiran mereka tak diketahui Ki Jalna Wangga maupun kedua lelaki bercadar.
"Ingat, Kakang. Kau jangan cekikikan!" ujar Mei Lie mengingatkan Pendekar Gila.
Sebab kebiasaan konyol kekasihnya akan menyebabkan persembunyian mereka diketahui.
"Aha, tenanglah, Mei! aku akan berusaha," sahut Sena sambil cengengesan dengan tangan mengga- ruk-garuk kepala.
"Lihat, dua lelaki bercadar itu datang," bisik Mei Lie.
"Aha, kau benar. Kurasa, malam ini akan terjadi pertarungan yang seru, Mei," kata Sena masih dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Dari arah barat, melesat dua sosok tubuh menuju tanah lapang yang ada di Bukit Yuyu. Tidak lama kemudian, dari arah selatan melesat pula sesosok tubuh tinggi besar. Ketiganya pun bertemu, saling pandang satu sama lain.
Pendekar Gila dan Mei Lie ingin tahu apa sebenarnya yang akan terjadi. Keduanya berusaha tenang di persembunyian. Mata mereka memandang tajam ke tanah lapang tempat tiga orang lelaki saling berhadapan.
"Kau telah siap, Cadar Biru?" tanya Ki Jalna Wangga.
"Aku siap. Apapun yang hendak kau lakukan, aku telah siap menghadapinya," jawab Pangeran Prapanca tegas.
"Bagus! Tapi terlebih dahulu kukatakan, bahwa aku hanya menjalankan tugas yang diperintahkan Durka Pela," tutur Ki Jalna Wangga.
"Aku tahu," jawab Pangeran Prapanca yang mengenakan cadar biru.
"Baik, bersiaplah! Heaaa...!" Ki Jalna Wangga melesat dengan serangan pertamanya yang bernama 'Pukulan Gempa'. Kedua tangannya direntangkan dengan jari-jari mengepal. Tangan kiri ditaruh di bawah siku tangan kanan. Sedangkan tangan kanan digerakkan ke samping, yang diteruskan ke depan lurus.
"Mundurlah, Cadar Ungu!" perintah Cadar Biru tak menyebut nama rekannya. Setelah Pranala mundur, Pangeran Prapanca pun segera membuka jurusnya. Kaki kanannya digeser agak ke depan setengah ditekuk. Kedua tangannya menyatu di depan dada. Lalu tangan kanan membuka dan ditarik ke atas, diikuti dengan tangan kiri diangkat ke atas kepala. Itulah jurus pembuka 'Bangau Merentang Sayap' diteruskan dengan jurus 'Kepakan Sayap Bangau'.
"Hea!"
"Yea!" Tubuh keduanya melesat ke depan. Tidak hanya tangan yang bergerak menyerang, kedua kaki mereka pun turut menendang dan menyapu. Dalam sekejap saja, keduanya telah terlibat pertarungan yang seru.
"Jaga igamu, Cadar Biru!" seru Ki Jalna Wangga. Kemudian dihantamkan pukulan tangan kanannya ke dada sebelah kiri lawan. Namun dengan cepat Pangeran Prapanca berkelit, sehingga pukulan lawan hanya mendesir beberapa jari di samping tubuhnya.
Setelah lepas dari serangan lawan, dengan cepat Pangeran Prapanca memutar tubuhnya setengah lingkaran. Kemudian dengan gerakan ringan, lelaki bercadar biru itu mengibaskan telapak tangan kirinya ke tulang rusuk sebelah kanan lawan.
"Rusukmu, Ki! Hea...!" Wrt! "Hait!" Dengan berguling, Ki Jalna Wangga mengelitkan serangan lawan. Sambil berguling pula, lelaki tua itu melancarkan tendangan dengan jurus 'Kaki Jengkrik Menjentik'.
"Hea...!" Pangeran Prapanca mencelat ke belakang, mengelakkan tendangan kaki lawan. Melihat lawan melompat, dengan cepat Ki Jalna Wangga melakukan salto. Kemudian dilentingkan tubuhnya ke atas, sambil bergerak melakukan serangan. Kaki kanan menendang tubuh lawan dalam keadaan masih melayang.
"Heaaa!" Melihat lawan menyerang dengan tendangan, Pangeran Prapanca segera memiringkan tubuh ke samping kanan lalu merunduk. Kemudian dengan jarijari terbuka tangan kanannya dikibaskan ke tubuh Ki Jalna Wangga.
"Yea!" Wrt! "Heh"!" Ki Jalna Wangga kaget bukan kepalang karena tak menyangka lawan akan menyerang begitu cepat. Dengan cepat lelaki berambut panjang itu menarik serangan. Tubuhnya dilontarkan ke atas. Setelah berjumpalitan di udara dengan ringan kakinya mendarat sambil tertawa-tawa.
"Hua ha ha...! Hebat! Kau benar-benar hebat Cadar Biru. Tapi itu baru pemula, bukan" Kini kau yang menyerang!" seru Ki Jalna Wangga.
"Baik! Bersiaplah!"
"Aku telah siap," jawab Ki Jalna Wangga.
Pangeran Prapanca segera menarik kaki kanan ke belakang. Kaki kiri agak ditekuk. Tangannya menyilang ke bawah, kemudian digerakkan ke atas. Itulah jurus 'Bangau Menyibak Air'. Sebuah jurus pembuka yang cukup berbahaya. Sasarannya dada dan jantung lawan.
"Yea!"
"Hea!" Kedua tubuh melesat ke udara. Pangeran Prapanca mengembangkan kedua tangan ke samping.
Kemudian dengan cepat tangan kanannya memburu ke depan. Disusul dengan tangan kiri untuk menangkis.
"Hea!" Ki Jalna Wangga pun nampaknya tak mau kalah. Tangannya dijotoskan ke muka, disusul dengan tangkisan tangan kirinya. Mereka terus bertarung di udara laksana burung terbang.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang menyaksikan pertarungan itu terkesiap kaget Mata keduanya membelakak, takut kalau-kalau salah seorang di antara keduanya akan menjadi korban.
Namun untuk ikut campur dalam urusan itu, Sena tak mau. Dirinya belum tahu apa sebenarnya yang terjadi.
"Kakang, apa kita akan tinggal diam?" tanya Mei Lie berbisik lirih, sepertinya khawatir menyaksikan pertarungan itu.
"Aha, rupanya kau yang cerewet, Mei. Bukankah kau tadi melarangku berbicara?" sahut Pendekar Gila dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi, aku khawatir salah satu mati percuma, Kakang."
"Aha, kau semakin cerewet saja seperti seorang nenek, Mei."
"Tapi, Kakang...."
"Aha, sudahlah. Rimba persilatan memang begitu, Mei. Kita lihat saja. Bukankah kita tak tahu apaapa?" ujar Sena berusaha mengingatkan kekasihnya yang kelihatan tak sabar.
"Tapi kelihatannya mereka orang baik-baik. Rasanya tak pantas sealiran harus bertarung," tukas Mei Lie masih berusaha mengajak Pendekar Gila agar melerai pertarungan itu.
Tampak kini keduanya bertarung sambil bergulingan ke bawah. Mereka masih saling pukul dan tendang.
"Kau harus ingat, Mei. Ini pelajaran untukmu.
Dalam urusan pribadi, kita tak bisa ikut campur," ujar Sena berusaha menjelaskan pada kekasihnya.
"Aha, bukankah lebih baik kita melihat?" Mei Lie pun menurut diam. Dengan cemas gadis itu menyaksikan pertarungan yang semakin seru.
Kini tubuh keduanya masih bergulingan di tanah. Namun begitu, keduanya bagaikan dua ekor kucing.
Meski dengan tubuh menggelinding dari atas bukit itu, keduanya tetap berusaha saling menyerang.
"Hea!"
"Yea!" Tangan mereka terus bergerak, memukul dan menangkis. Begitu pula dengan kedua kaki mereka, saling kait dan tendang. Sebuah perkelahian yang sangat seru. Tampaknya kedua orang itu memiliki ilmu setaraf. Trak! "Heaaa...!" Trep! Tangan Pangeran Prapanca menyerang. Namun dengan cepat tangan kiri Ki Jalna Wangga menangkis dan menangkapnya. Lelaki bercadar biru itu berusaha menarik tangannya. Disodokkan sikunya menyerang, tetapi kembali Ki Jalna Wangga menangkis dengan siku tangan kiri.
"Hea!" Trak! Keduanya saling dorong dan tarik. Sampai akhirnya, mereka berada di bawah. Keduanya masih saja saling dorong dan tarik, kemudian tiba-tiba telapak tangan dan jotosan mereka beradu.
Plakkk! "Hea!"
"Yea!" Pangeran Prapanca melenting ke atas, dengan tubuh jumpalitan. Kemudian dengan ringan mendaratkan kaki di atas bukit. Begitu juga dengan Ki Jalna Wangga. Lelaki tua itu pun melakukan hal yang serupa. Setelah berjumpalitan mencelat ke atas, dengan ringan kedua kakinya mendarat di atas bukit. Seketika pertarungan mereka berlanjut. Mata mereka saling pandang seakan berusaha mengukur ilmu masingmasing.
"Bagaimana, Cadar Biru" Apakah akan diteruskan?" tanya Ki Jalna Wangga, "Sengaja aku tidak mengeluarkan jurus andalanku yang bernama jurus 'Pukulan Petir'. Karena jika aku keluarkan jurus itu, maka kau akan mengalami kematian." Diam-diam di hati Cadar Biru tersirat rasa kagum pada lelaki setengah baya itu. Dia pun menyadari, kalau lelaki bermuka garang itu mau, maka dalam beberapa gebrakan saja dia akan kalah. Tetapi rupanya lelaki berjubah coklat itu hanya menjajal sampai seberapa ilmunya.
"Hm, kita teruskan," sahut Cadar Biru yang ju-ga ingin melihat sampai sejauh mana kepandaian lelaki bermuka garang namun matanya mencerminkan ketenangan dan persahabatan ini.
"Cadar Biru, biar aku yang meneruskan, karena aku pun terlibat di dalamnya," tiba-tiba Cadar Ungu yang tak lain Pranala berseru.
"Hm, dua-duanya pun boleh!" sela Ki Jalna Wangga, yang membuat kedua lelaki bercadar saling pandang sesaat. Napas keduanya memburu, terlebihlebih Pangeran Prapanca yang merasa diremehkan.
Mata di balik cadar biru itu menyorot tajam ke wajah Ki Jalna Wangga. Seakan tak mampu lagi ditahan kemarahannya yang bergayut dalam hati. Hal itu karena dirinya merasa lelaki tua itu telah ikut campur urusannya terhadap Juragan Durka Pela.
"Kita teruskan! Biar aku yang menghadapimu!" tantang Pangeran Prapanca, "Mari kita gunakan senjata kita!"
"Hm, begitu" Baiklah." Ki Jalna Wangga tersenyum sinis seraya memicingkan mata memandang wajah Cadar Biru.
Sret! Pangeran Prapanca menarik pedang dari warangkanya. Begitupula yang dilakukan Ki Jalna Wangga. Lelaki tua itu mencabut golok panjangnya dari warangka. Keduanya mundur dua tindak dengan mata saling menatap tajam.
"Hai... Mereka benar-benar hendak saling membunuh, Kakang," kata Mei Lie berbisik.
"Aha, biarkan saja! Inilah rimba persilatan, Mei.
Kadang kala, manusia tak lebihnya seperti hewan. Tak mengenal belas kasihan terhadap sesamanya," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kita lihat saja, Mei!" Mei Lie kembali diam sambil memperhatikan kedua orang yang siap melakukan pertarungan maut.
Keduanya sama-sama telah mengeluarkan senjata. Satu bersenjata pedang, sedangkan yang satunya bersenjatakan golok panjang bergerigi.
***
"Yea!" Dengan jurus 'Bangau Terbang', Pangeran Prapanca membuka serangan. Pedang di tangan kanannya digerakkan dengan cepat. Mulanya ke bawah, kemudian dengan cepat diangkat dan dibabatkan sambil melesat ke depan. Sedang tangan kirinya tak mau ketinggalan, bergerak memukul dengan telapak terbuka.
"Hea!" Menyaksikan lawan telah membuka serangan, Ki Jalna Wangga pun dengan cepat membuka jurus 'Simpul Golok Maut'. Golok di tangannya digerakkan naik turun, lalu dilanjutkan dengan babatan mendatar. Disertai pekikan menggelegar, membuat suasana sepi di Bukit Yuyu berubah riuh, Ki Jalna Wangga melesat menyerang.
"Yeaaa...!" Wrt! Dua tubuh berkelebat cepat dengan senjata siap membantai satu sama lain. Pedang dan golok tampak berkelebat begitu cepat. Sehingga kedua senjata itu bagaikan menghilang. Yang kelihatan hanya sinar yang berkeredep, keluar dari gerakan kedua senja ta. Wrt! Trang! Golok dan pedang tajam itu beradu, mengeluarkan pijaran api. Ki Jalna Wangga dan Pangeran Prapanca tampak saling melompat ke belakang. Namun sebentar kemudian, dengan pekikan menggelegar, keduanya kembali melesat maju.
"Hea!" Wut! Wut! "Yeaaa...!" Keduanya kembali menyerang, menggerakkan senjata masing-masing untuk membabat dan menusuk ke tubuh lawan. Namun kedua-duanya sama-sama lincah dan gesit Tubuh mereka berkelebat-kelebat dalam mengelitkan dan menangkis serangan lawan.
Wrt! Trang! Dengan memutar cepat pedangnya, Pangeran Prapanca berusaha mendesak lawan. Pedangnya membabat dan menusuk ke bagian atas tubuh Ki Jalna Wangga. Namun orang tua berambut panjang itu nampak tak mengalami kesulitan menghadapi seranganserangan lawan. Dengan melompat ke sana kemari Ki Jalna Wangga menangkis dan mengelak.
"Hea!" Trang! "Hih!" Pangeran Prapanca menarik pedangnya, lalu melancarkan pukulan ke dada. Namun dengan cepat Ki Jalna Wangga merundukkan tubuh. Digeser kaki kiri ke samping, diikuti dengan tubuhnya yang doyong.
Sehingga serangan Pangeran Prapanca hanya mengenai tempat kosong. Ki Jalna Wangga segera membalas serangan dengan tubuh masih agak membungkuk. Di tusukkan goloknya ke perut lawan.
"Jaga perutmu, Cadar Biru! Heaaa...!" Wrt! "Aits! Hebat...!" teriak Pangeran Prapanca tak sadar, karena kaget mendapatkan serangan yang tiba-tiba itu. Dengan cepat lelaki bercadar biru itu melompat ke belakang. Kemudian bersamaan dengan itu diputarnya pedang ke bawah menangkis serangan lawan.
"Hea!" Trang! Mei Lie yang ahli bermain pedang menggelenggelengkan kepala, menyaksikan pertarungan lelaki bercadar biru melawan Ki Jalna Wangga. Sebenarnya menurut pandangan Mei Lie, Ki Jalna Wangga dapat dengan mudah mengalahkan lawannya. Mei Lie melihat titik lemah lelaki bercadar biru itu. Namun nampaknya Ki Jalna Wangga masih berusaha menjajaki sampai seberapa ilmu pedang lelaki bercadar biru itu, sehingga orang tua bermuka garang itu nampaknya tak bermaksud menyudahi pertarungan dengan cepat.
"Kakang, kulihat orang tua itu bertarung tak sungguh-sungguh," bisik Mei Lie pada Pendekar Gila.
"Aha, kau benar, Mei. Nampaknya Ki Jalna Wangga memang sedang mendalami sampai seberapa ilmu lelaki bercadar biru," sahut Sena dengan wajah meringis sambil menggarukgaruk kepala.
"Tak kusangka, orang tua bermuka garang itu, ternyata memiliki hati yang baik juga," gumam Mei Lie sambil terus memperhatikan jalannya pertarungan yang masih berlangsung seru.
Kini nampak dengan gerakan cepat mereka saling menyerang. Tubuh keduanya berkelebat saling menghindar dan menangkis. Golok dan pedang pun terdengar terus berbenturan. Suaranya memecah keheningan malam.
Trang! "Heaaa...!" Pangeran Prapanca dan Ki Jalna Wangga terus bergerak melangkah ke samping sambil saling menangkis serangan. Sungguh sebuah gerakan silat yang sangat indah ditonton.
Pranala yang ilmunya memang berada di bawah ilmu Pangeran Prapanca, hanya terbengong kagum.
Hatinya hampir tak percaya, kalau Pangeran Prapanca akan dapat mengeluarkan jurus silat yang indah dan cepat Selama ini, keduanya memang bersama-sama.
Namun Pranala belum pernah melihat Pangeran Prapanca mengeluarkan jurus 'Angin Meniup Daun'.
Tubuh keduanya terus bergerak ke samping dengan masih diiringi benturan senjata saling serang.
Kaki-kaki mereka bergerak dengan teratur, kadang menyilang dan kadang merentang. Sedangkan tangan kiri keduanya, bergerak mengepak-ngepak atau terkadang menekan ke belakang dan samping. Sepertinya tangan kiri itu sengaja digunakan untuk menjaga keseimbangan tubuh mereka dalam menyerang.
Trang! Trang! Senjata mereka terus beradu. Namun pada suatu kesempatan, Pangeran Prapanca berhasil menarik golok di tangan Ki Jalna Wangga.
"Hea!" Wrt! Trakkk! "Akh...!" Ki Jalna Wangga tersentak kaget dengan mata terbelalak. Dirinya tak menyangka kalau lawan akan dapat membuang senjatanya. Kini Ki Jalna Wangga nampak pasrah, ketika Pangeran Prapanca menempelkan ujung pedangnya ke leher.
"Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah!"
"Hm, membunuhmu mudah saja. Tapi aku tak pernah sembarang membunuh orang. Dan untuk itu sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini, sebelum pikiranku berubah!" perintah Pangeran Prapanca.
Ki Jalna Wangga hanya diam saja tak berkata apa-apa. Dirinya hanya bergumam dalam hati.
"Kalau saja aku tak tahu siapa kau sebenarnya, hhh..., tak segan aku membunuhmu. Tapi aku tahu siapa kau sebenarnya. Aku bersalah jika membunuh atau menangkapmu...." Kemudian Ki Jalna Wangga cepat pergi meninggalkan tempat itu, Pangeran Prapanca mengikutinya dengan pandangan tajam. Pranala yang melihat Pangeran Prapanca cemas segera menghampiri.
"Kenapa orang itu dilepas begitu saja, Pangeran?" tanya Pranala agak gusar.
"Biarlah. Kita tak perlu membunuh orang seperti dia. Tujuan kita bukan itu," jawab Pangeran Prapanca.
"Ah, sudahlah! Mari kita pergi!" Keduanya pun melesat pergi meninggalkan Bukit Yuyu yang kembali sepi.
Sementara itu Pendekar Gila dan Mei Lie pun keluar dari tempat sembunyi.
"Orang tua aneh," gumam Mei Lie.
"Hi hi hi.... Kau benar, Mei. Tapi yang ku herankan, siapa sebenarnya lelaki bercadar biru" Rekannya tadi memanggil dengan sebutan 'pangeran'. Ah ah ah... aneh sekali!" gumam Sena dengan cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hm, memang aneh, Kakang. Kalau dia seorang pangeran, dari kerajaan mana" Lalu untuk apa dia memakai cadar dan merampok?" tanya Mei Lie turut heran.
"Aha, kurasa kita akan tertunda di sini, Mei. Ini benar-benar keanehan. Hi hi hi...!" kata Sena sambil cekikikan, membuat mata Mei Lie melotot gemas. Namun gadis itu tak mencubit pinggang, kekasihnya bahkan kini merapatkan diri ke tubuh Pendekar Gila.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun segera meninggalkan Bukit Yuyu yang kembali sepi. Bulan kelabu mengiringi perjalanan kedua pendekar muda itu.
***
¦≈ȸ| 5 |ȸ≈¦
"Hop!" Kedua sosok itu kini berdiri di atas tembok.
Mata mereka yang sebagian wajahnya tertutup cadar biru dan ungu mengawasi sekeliling bangunan kadipaten itu.
"Hati-hati, kita harus bergerak cepat!" ujar Pangeran Prapanca mengingatkan pada Pranala.
"Apa tak sebaiknya kita lumpuhkan keempat penjaga ini, Pangeran?" ucap Pranala.
"Kurasa tak perlu. Kalau kepergok apa boleh buat," jawab Pangeran Prapanca.
"Ayo, kita beraksi!" Kedua lelaki bercadar itu melesat turun. Dengan ringan tanpa menimbulkan suara, keduanya mendarat di pekarangan sebelah barat kadipaten.
"Hop!"
"Ya! Hm, kita harus cepat beraksi," ujar Pangeran Prapanca dengan mata memanjang tajam ke seke- lilingnya.
"Pangeran, lihat!" bisik Pranala sambil menunjuk ke salah sebuah kamar yang nampak masih terang. Dari bayangan di dalam kamar itu, menunjukkan masih banyak orang yang belum tidur.
"Nampaknya mereka belum tidur, Pangeran."
"Hm, benar. Tapi...," Pangeran Prapanca mena-jamkan pandangannya. Nampak bukan bayangan lela- ki melainkan ada lima orang wanita di dalam kamar itu.
"Kurasa mereka perempuan, Pranala. Hanya satu lelaki.
"Mungkinkah wanita simpanan adipati cabul itu, Pangeran?" tanya Pranala.
"Bisa jadi. Dasar adipati keparat! Tak memperhatikan rakyatnya yang menderita, malah enakenakan bersama wanita-wanita simpanannya," dengus Pangeran Prapanca geram.
Matanya membelalak semakin lebar, "Ayo...!" Kedua sosok itu melesat cepat menuju kamar tempat bercengkerama itu. Keduanya mendekat, kemudian perlahan-lahan mengintip apa yang terjadi di dalam kamar itu lewat celah jendela.
Membelalak mata Pangeran Prapanca dan Pranala melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Keduanya terkejut. Di dalam kamar itu, Adipati Jata Sura sedang asyik bercumbu bersama kelima gundiknya yang masih muda-muda.
"Adipati keparat!" dengus Pangeran Prapanca dalam hati. Kemudian segera menggerakkan kepala memberi isyarat kepada Pranala agar masuk.
Brak! Suara berderak keras terdengar. Adipati Jata Sura dan kelima gundiknya yang masih dalam keadaan telanjang tersentak kaget. Serentak mereka menjerit melihat jendela kamar telah jebol. Mereka hendak lari, namun Pranala telah menghadang di pintu kamar.
Srang! "Jangan lari! Serahkan hartamu, Adipati! Atau nyawamu yang akan melayang!" ancam Pangeran Prapanca sambil mengacungkan pedang ke arah leher Kanjeng Adipati Jata Sura yang ketakutan. Sehingga wajahnya kelihatan sangat pucat. Tubuh gemetaran.
Begitu pula dengan kelima wanita cantik yang masih dalam keadaan telanjang bulat mereka menggigil ketakutan.
"Cepat katakan, di mana hartamu"!"
"Ampun..., jangan bunuh kami!" ratap Adipati Jata Sura mengiba dengan keringat dingin bercucuran, "Ambillah semua hartaku! Asal jangan kalian apa-apa-kan aku!"
"Baik! Cepat katakan!" bentak Pangeran Prapanca semakin menempelkan pedangnya ke leher sang Adipati.
"Ayo, tunjukkan di mana kau menyimpannya." Dengan ketakutan, Adipati Jata Sura pun menurut Kakinya melangkah di bawah ancaman pedang Pangeran Prapanca. Sedangkan Pranala menahan kelima wanita gundik yang semakin ketakutan. Mereka berdiri mengumpul di sudut kamar itu, sambil menutupi tubuh mereka.
Adipati Jata Sura terus melangkah menuju kamar lain Sedangkan Pangeran Prapanca terus menodongkan pedangnya di leher sang Adipati. Namun tak terduga, tiba-tiba Adipati Jata Sura memberontak sampai lepas. Kemudian lari keluar.
"Prajurit! Maliiing...!" teriak Adipati Jata Sura membuat para prajuritnya yang tidur seketika terban-gun. Mereka serentak lari menghampiri.
"Ada apa, Kanjeng Adipati?"
"Tolol! Mengapa kalian tak tahu kalau ada dua orang maling masuk"!" bentak Adipati Jata Sura, "Tangkap mereka!" Prajurit-prajurit kadipaten yang berjumlah sepuluh orang langsung menyerbu ke dalam.
"Tangkap maling!"
"Celaka, Pangeran, kita tak bisa apa-apa lagi," bisik Pranala.
"Apa boleh buat. Kita layani!" Dua lelaki bercadar itu segera melesat memapaki serangan kesepuluh prajurit kadipaten yang memburu ke tempat mereka. Pedang di tangan Pangeran Prapanca dan Pranala bergerak cepat memapaki serangan pedang dan tombak lawan.
"Hea!" Wrt! Wrt! Trang! Trang! Pangeran Prapanca dan Pranala nampaknya tak ingin berlama-lama menghadapi kesepuluh prajurit kadipaten. Keduanya langsung mengeluarkan jurus silat andalan. Pedang mereka bergerak semakin cepat, berputar laksana baling-baling. Dari putaran pedang itu keluar deru angin yang menyentak.
"Kita tak ada waktu, Cadar Ungu! Tumpas saja!" perintah Pangeran Prapanca.
"Baik, Cadar Biru! Heaaa...!"
"Yea!" Suara riuh rendah, teriakan dan dentang senjata seketika memecah kesunyian malam di lingkungan kadipaten itu.
"Tangkap mereka...!" seru Adipati Jata Sura merasa berani karena para prajuritnya kini menghadang kedua maling itu.
Para prajurit berusaha merangsek kedua lawannya. Namun dengan cepat keduanya memutar pedang. Lalu tubuh keduanya turut berputar, mengikuti gerakan pedang. Kejadian itu sangat cepat, dan....
Wrt! Wrt! Cras! Cras! "Akh...!" Tiga orang prajurit menjerit. Perut mereka terbabat pedang Pranala. Begitu juga dengan yang dilakukan Pangeran Prapanca. Tiga orang yang mengeroyoknya, harus rela melepaskan nyawa mereka. Dada dan muka mereka terbabat pedang. Darah pun seketika berceceran di tempat pertarungan itu.
Melihat teman-temannya mati, keempat prajurit yang masih hidup seketika merasa kecut. Mereka menyurut mundur dengan tubuh gemetaran. Namun terdengar Adipati Jata Sura berteriak, memerintah mereka agar menyerang....
"Seraaang! Bunuh saja kedua maling itu...!" Mau tak mau, keempat prajurit kadipaten itu kembali bergerak menyerang. Namun dengan keadaan tekanan jiwa, menjadikan keempat prajurit itu kaku dan kewalahan menghadapi serangan lawan. Tanpa kesulitan Pangeran Prapanca dan Pranala membabatkan pedang mereka menghalau para prajurit itu.
Wrt! Cras! Cras! "Akh..,!" Keempat prajurit kadipaten langsung mendongak sekarat, dengan tangan memegangi perut yang terbabat pedang. Kemudian dengan mendelik, mereka ambruk ke tanah dan tewas. Kejadian itu tentu saja membuat Adipati Jata Sura kembali membelalakkan mata. Tubuhnya gemetaran. Terlebih lagi ketika Pangeran Prapanca mendekati dirinya dengan pedang berlumuran darah.
"Kau mau seperti mereka, Adipati"!" ancam Pangeran Prapanca sambil mengajukan pedangnya.
"Ampun..., tidak. Ambillah semua hartaku, asal jangan kalian bunuh aku!" ratap Adipati Jata Sura dengan tubuh semakin gemetaran.
"Cadar Ungu," Pangeran Prapanca memberi isyarat pada Pranala agar mengikat tangan dan kaki Kanjeng Adipati Jata Sura.
Setelah menyumbat mulut Adipati Jata Sura, Pranala segera membantu Pangeran Prapanca menguras habis harta milik Adipati Jata Sura.
Dua karung harta berharga mereka bawa, kemudian dengan cepat meninggalkan kadipaten.
"Ayo, kita harus cepat! Waktu tak ada lagi," ajak Pangeran Prapanca sambil melompati pagar tembok kadipaten, diikuti Pranala.
"Hop!" Dengan ringan kedua lelaki bercadar itu melompat dan hinggap di pagar tembok. Kemudian langsung melompat keluar dari lingkungan kadipaten. Keduanya berlari meninggalkan lingkungan Kadipaten Wungkalan, menembus gelapnya malam.
Tidak lama kemudian, kelima gundik Adipati Jata Sura ribut. Hal itu mengundang perhatian warga yang dekat dengan kadipaten, juga orang-orang yang bekerja pada kadipaten. Malam itu juga, gempar. Kadipaten telah didatangi maling.
Sementara Pangeran Prapanca dan Pranala seperti biasanya, langsung membagikan hasil curian kepada orang-orang miskin yang membutuhkan.
Kini mereka berada di Desa Kuniran yang masih termasuk wilayah Kadipaten Wungkalan. Keduanya langsung meletakkan barang-barang berharga di depan pintu rumah mereka. Setelah selesai membagi-bagikan hasil curian, mereka kembali melesat pergi menuju ke barat, tempat Hutan Aseman berada. Mereka pun menghilang di dalam hutan itu.
***
Satu pihak, mengutuk perbuatan kedua maling budiman. Pihak ini tentunya berasal dari kalangan orang-orang besar, para pejabat kerajaan. Namun di pihak lain, terutama rakyat yang menderita merasa bersyukur dengan kehadiran kedua maling budiman yang banyak menolong mereka.
Pagi itu, di ruang pertemuan Istana Kerajaan Surya Langit nampak hadir seluruh pembesar istana.
Perdana Menteri Giri Gantra, Panglima Utama Rawa Sekti, sesepuh kerajaan yang terdiri dari lima orang dan Baginda Raja sendiri, Prabu Awangga telah hadir di balai pertemuan.
Sementara dari luar istana, telah datang para adipati. Di situ juga hadir Juragan Durka Pela, serta beberapa tokoh rimba persilatan yang sengaja diundang baginda raja. Di antara tokoh rimba persilatan, nampak Tirta Kayonan atau yang lebih terkenal dengan sebutan Pisau Maut. Buto Gege, seorang tokoh persilatan aliran sesat yang tubuhnya tinggi bagaikan raksasa. Bermuka menyeramkan dan telanjang dada.
Senjata yang digunakan sebuah martil besar bernama Martil Dewa. Selain kedua tokoh itu, hadir pula lima orang tokoh rimba persilatan lainnya. Di antara mereka terdapat Ki Naga Wilis, Nyi Rara Cenil serta sepasang pendekar muda bergelar Sepasang Jalak Sakti dari Desa Kumbar. Sedangkan seorang lagi, tak lain seorang resi gemuk berkepala botak dengan senjata tasbih besar dari Perguruan Kuil Perak.
"Saudara-saudara sekalian, tentunya kalian saya undang kemari telah mengerti apa yang akan kita bicarakan," ujar Baginda Prabu Awangga, membuka pertemuan itu. Semua menganggukkan kepala.
"Akhir-akhir ini, wilayah kita dihebohkan adanya dua orang maling yang oleh rakyat dianggap maling budiman. Padahal, sebulan lagi putriku akan me-langsungkan pernikahan dengan pangeran dari Kerajaan Bayu Bumi. Kalau sampai masanya suasana belum juga tenang, bagaimana tanggapan Kerajaan Bayu Bumi terhadap kita" Untuk itulah, kuharap secepatnya bereskan kedua maling itu," perintah Baginda Awangga menekankan.
"Daulat, Baginda...!" jawab semua para undangan.
"Saya tak tahu, apa kedua maling itu dari kerajaan kita, atau dari kerajaan lain yang sengaja disusupkan kemari," kembali baginda berkata, setelah menarik napas dalam-dalam.
"Selama ini, kerajaan ki-ta aman. Namun entah mengapa, tiba-tiba kini ketika putriku hendak melangsungkan perkawinan, muncul kekacauan. Bagaimana menurutmu, Paman Perdana Menteri?" Perdana Menteri Giri Gantra menjura dengan menganggukkan kepala. Wajah lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun ini, nampak menggambarkan kelicikan dan keserakahan.
"Ampun, Baginda! Apa yang Baginda titahkan memang sudah sepantasnya. Karena kalau dibiarkan kerajaan kita bisa buruk di mata kerajaan lain," ujar Perdana Menteri Giri Gantra, nadanya menjilat.
"Lalu, bagaimana rencanamu, Paman?" tanya Baginda Raja ingin tahu, apa rencana yang ada dalam pemikiran Perdana Menteri Giri Gantra.
"Menurut hamba, kita sebar sayembara. Barang siapa bisa mendapatkan kedua maling itu, maka padanya akan kita berikan kedudukan di istana sekaligus harta," tutur lelaki penjilat ini sambil menganggukkan kepala. Matanya yang mengandung kelicikan, melirik pada Buto Gege yang menyeringai.
"Aku setuju. Bahkan bila perlu, aku rela memberi putriku yang kedua untuk istrinya, jika dia memang lelaki. Tapi jika wanita, maka akan kujadikan permaisuriku." Baginda Awangga bagaikan tanpa sadar mengucapkan perintah itu.
"Ampun, Baginda! Apakah Baginda sadar bersabda begitu?" tanya Ki Samaika, salah seorang sesepuh istana yang dianggap paling tua serta sangat dihormati.
"Memangnya kenapa, Ki Resi" Apakah salah jika aku bersabda begitu?" tanya Baginda Awangga belum menyadari.
"Ampun, Baginda! Memang sabda seorang raja tak salah. Tetapi, mungkin ada kekeliruan yang harus dibenahi atau dipertimbangkan kembali," ujar Ki Samaika berusaha mengingatkan.
"Tidak bisa, Ki! Kau jangan menentang Baginda!" hardik Perdana Menteri Giri Gantra, "Sabda Baginda berarti hukum! Dan sabda seorang raja, disaksikan serta diperintahkan para dewata. Adalah hal yang tidak benar, jika seorang raja menarik sabda yang telah diucapkan." Ki Samaika terdiam. Nampaknya orang tua berusia sekitar tujuh puluh lima tahun ini, tak mau ber-debat dengan perdana menteri kerajaan. Itu pula yang membuat Ki Samaika hanya mengalah diam.
"Ampun Baginda Yang Mulia! Bukan maksud hamba melancangi titah Baginda," kata Perdana Menteri Giri Gantra sambil menyembah.
"Tidak apa, Paman. Memang apa yang kau katakan benar adanya. Sabda seorang raja, tidak boleh ditarik kembali. Maka itu, besok perintahkan sebar sayembara itu. Siapa pun orangnya, berhak mengikuti sayembara ini!" titah Baginda Prabu Awangga. Semua terdiam, tak ada yang dapat lagi berkata-kata, termasuk Ki Samaika. Walau dalam hati orang tua itu menyesalkan sabda Baginda Raja, tetapi sebagai seorang penasihat dirinya tak mungkin menentang keputusan saja. Keputusan seorang raja, merupakan hukum kuat yang harus dijalankan semua orang yang menjadi rakyat kerajaan.
"Daulat, Baginda! Segala titah Baginda, akan segera hamba laksanakan," jawab Perdana Menteri Giri Gantra sambil menyembah.
Senyum tipis mengembang di bibirnya.
"Kurasa tak ada masalah lagi. Maka itu, pertemuan saya tutup!" kata Baginda Raja, kemudian berlalu meninggalkan ruang pertemuan. Satu persatu semuanya pergi, kini di dalam ruang pertemuan tinggal lima orang sesepuh kerajaan yang masih termenung. Mereka nampaknya masih memikirkan tentang keputusan baginda. Mulut mereka bungkam. Hanya mata mereka yang dihias alis putih tampak saling berpandangan satu sama lain.
***
¦≈ȸ| 6 |ȸ≈¦
Orang-orang yang ada di kedai, termasuk Pendekar Gila dan Mei Lie, keluar ingin tahu apa isi pengumuman itu.
"Kakang, nampaknya pihak kerajaan tak suka dengan kedua lelaki bercadar itu," kata Mei Lie setelah membaca isi pengumuman sayembara itu.
"Aha, kau benar. Nampaknya kedua orang itu kini menjadi perhatian pihak kerajaan," gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang?" tanya Mei Lie.
"Kita?" gumam Sena sambil mengerutkan kening. Kemudian terdengar tawanya yang lepas sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu menjadikan Mei Lie cemberut "Lucu sekali...! Hi hi hi...! Untuk apa kita mesti pusing-pusing" Kita belum jelas masalahnya, Mei Lie."
"Tapi, pihak kerajaan nampaknya sangat membutuhkan pertolongan kita," tukas Mei Lie.
Pendekar Gila tak langsung menjawab. Sesaat wajahnya nampak tercenung. Namun, kemudian kembali terdengar suara tawanya yang nyaring. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat semua orang yang melihat tingkah lakunya, memandang heran pada Pendekar Gila. Namun Sena tak menghiraukannya. Mulutnya masih cengengesan sambil mengga ruk-garuk kepala.
"Ah, dunia ini memang sulit...," gumamnya setengah mengeluh.
"Kadang kala, orang benar disalahkan. Tetapi, orang salah dibenarkan. Seperti hukum rimba. Kalau yang kuat akan semakin di atas. Sedangkan yang lemah, akan semakin di bawah bahkan terinjak."
"Apa maksudmu, Kakang?" tanya Mei Lie belum memahami ungkapan yang baru saja dikatakan Sena.
Mata gadis Cina yang cantik itu, memandang lekat wajah kekasihnya yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala "Ah ah ah..., kadang aku bingung, atau memang aku yang sudah gila" Hi hi hi...! Lucu sekali!" gumam Sena lagi sambil tertawa cekikikan, "Gila..." Ah, memang aku ini gila! Namun kurasa masih banyak orang yang melebihi aku gilanya."
"Aku tak mengerti, Kakang," keluh Mei Lie dengan kening masih mengerut, menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. Tingkah laku dan ucapannya. Semakin aneh bagi Mei Lie. Kadang kala, mimik muka Pendekar Gila tercenung. Tetapi sebentar kemudian tersenyum cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Inikah kehidupan yang beradab...?" tanya Se-na, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Ah ah ah, sangat lucu sekali! Kadang orang menutupi kejahatan dengan kebaikan. Lucu...! Hi hi hi...!" Mei Lie semakin tak mengerti dengan kata-kata yang diucapkan Pendekar Gila. Dirinya memang belum begitu dalam menghayati kehidupan. Tidak seperti Sena, yang telah lama menghayati kehidupan dengan berkelana. Perasaan mereka pun berbeda. Mei Lie senantiasa cepat emosi dan tersinggung. Sebaliknya Sena nampak tenang dan selalu berusaha memahami kejadian di sekitarnya dengan pikiran tenang. Bahkan sekilas seperti bercanda. Cekikikan, cengengesan, tertawa terbahak-bahak atau tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Mei Lie, kau baca sekali lagi isi pengumuman itu! Lalu resapilah maksudnya," ujar Sena seraya menunjuk pengumuman sayembara itu. Mei Lie menurut, dengan lafal terputus-putus bahasanya dia membaca isi pengumuman itu.
Barang siapa yang dapat menangkap hidup atau mati, penjahat-penjahat kerajaan yang telah membuat keonaran dengan mencuri dan merampok beberapa orang pembesar kerajaan, maka akan mendapat ganjaran dari Baginda Raja. Jika yang berhasil menangkap kedua maling lelaki, akan dinikahkan dengan putri baginda yang kedua, Putri Dyah Ayu Pitasari, adik Putri Dyah Sari Sekar Arum.
Kedua penjahat itu sangat berbahaya jika dibiarkan. Terbukti sejak kemunculannya, telah meng-hambat pembangunan jalan. Hal itu karena adanya kejadian yang menimpa Ki Durka Pela dan Adipati Jata Sura yang bertanggung jawab dalam pembuatan jalan tersebut.
Baginda Raja Sutya Langit.
Prabu Awangga.
"Aha, bagaimana menurutmu, Mei?" tanya Sena setelah melihat Mei Lie selesai membaca. Mei Lie menggeleng-gelengkan kepala. Pendekar Gila tersenyum cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mengerti, Kakang. Kurasa, pihak kerajaan benar," sahut Mei Lie, yang membuat Pendekar Gila tertawa. Sepertinya ucapan Mei Lie lucu sekali.
"Hua ha ha...!" Mei Lie yang merasa ditertawakan merengut, Pendekar Gila menghentikan tawanya. Kemudian dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Sena berujar.
"Ah ah ah..., kurasa kau tak bisa menyalahkan dan membenarkan salah satu pihak, tanpa lebih dahulu mengetahui masalah yang sebenarnya, Mei."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang?" tanya Mei Lie meminta saran, "Kalau kita hanya diam kurasa pihak kerajaan akan menuduh kita bersekong-kol dengan mereka." Pendekar Gila tidak langsung menjawab. Tangannya mencabut bulu burung yang terselip di ikat pinggangnya. Kemudian dikoreknya telinga dengan bulu burung itu. Mulutnya cengengesan, sedang matanya memandang ke atas.
"Ah ah ah, sulit..., sulit memang! Tapi kita harus bisa bertemu dengan kedua maling itu," ujar Sena.
"Untuk apa, Kakang?"
"Aha, kurasa mereka melakukan pencurian dan membagi-bagikan harta hasil curian pada penduduk, karena ada alasan tertentu, Mei," ujar Sena berusaha menjelaskan.
"Ah, lebih baik kita masuk ke kedai, daripada di sini terkena terik matahari." Mei Lie pun menurut, melangkah seiring bersama kekasihnya kembali ke dalam kedai. Keduanya baru saja hendak masuk, ketika dari arah timur nampak dua orang lelaki satu menunggang kuda dan satunya lagi berjalan menuju kedai.
Pendekar Gila dan Mei Lie tak peduli dengan kedatangan kedua orang berwajah garang itu. Orang yang berjalan, bertubuh tinggi besar seperti raksasa.
Dadanya berbulu lebat. Matanya garang. Orang ini tak lain Buto Gege. Sedangkan orang yang naik kuda, meski badannya besar, tetap tak sebesar dan setinggi manusia raksasa itu.
Penunggang kuda itu kalau dilihat dari pakaiannya terbentuk jubah tentu seorang resi. Kepalanya botak plontos. Di lehernya tergantung sebuah kalung tasbih besar. Dialah Resi Wisangkara, dari Kuil Perak. Kuda yang ditungganginya terus melangkah ringan, seakan tak membawa beban sama sekali.
Kedua tokoh hitam itu terus menuju kedai di ujung Desa Kaliamba. Pendekar Gila dan Mei Lie nampak telah berada di dalam kedai, seakan tak mempedulikan kedatangan dua lelaki bertubuh besar itu.
Namun baru saja Pendekar Gila dan Mei Lie hendak duduk, tiba-tiba keduanya disentakkan oleh suara keras dan menggelegar laksana guruh.
"Di mana maling pengecut itu"! Hai..., katakan! Di mana maling-maling tolol itu"! Atau Buto Gege akan memangsa kalian"!" bentak Buto Gege sambil menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang coklat menyeramkan. Matanya yang lebar, melotot menatap ke kedai. Pendekar Gila karena terkejut, mengurungkan niatnya untuk duduk. Matanya memandang keluar.
Terdengar suara tawa nyaring dari mulutnya ketika melihat dua manusia besar itu membentak-bentak orang-orang di kedai.
"Hua ha ha...! Kau lihat sendiri, Mei" Lucu sekali mereka itu. Mereka tak ubahnya cecurut besar yang suka menjilat kotoran. Hua ha ha...!" seru Sena sambil tertawa terbahakbahak. Hal itu tentu saja membuat kedua manusia besar di luar tersentak kaget.
Seketika mata keduanya memperhatikan ke dalam kedai, seakan ingin membuktikan orang yang berani mentertawai mereka.
"Bocah gila! Sinting...! Lancang sekali mulutmu!! Rupanya kau teman kedua maling tolol itu"!" bentak Resi Wisangkara dengan suara keras dan parau.
Hatinya marah mendengar ejekan Pendekar Gila.
Sementara itu orang-orang yang berada di dalam kedai tampak bingung dan serba salah. Mereka ketakutan dan cemas menyaksikan kedua manusia bertubuh besar yang masih berada di luar kedai. Namun untuk turut campur jelas tak ada yang berani.
Mata mereka silih berganti memperhatikan pemuda gila yang berada di dalam kedai, lalu menoleh pada kedua lelaki yang sedang marah-marah itu.
Para pengunjung kedai itu merasa heran pula melihat keberanian pemuda gila mengejek Buto Gege dan Resi Wisangkara. Namun semua hanya diam membisu, ketakutan. Tak ada yang menyahuti katakata kedua orang besar itu.
"Hua ha ha...! Lihat Mei Lie, kurasa merekalah yang tolol! Karena mereka menjilati kotoran. Hi hi hi...!" teriak Sena sambil tertawa-tawa dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sikapnya yang konyol membuat Buto Gege dan Resi Wisangkara terbelalak karena begitu marah. Hati mereka benar-benar tersinggung mendengar ucapan seenaknya dari mulut pemuda bertingkah laku mirip orang gila itu.
"Grrr! Keluarlah kau, Bocah Sinting"!" geram Buto Gege sambil mengayunkan martilnya yang besar hingga menimbulkan angin. Lalu dengan kuat dihantamkan martil raksasa itu ke kedai.
Wuttt! Brakkk! Kedai itu porak-poranda terhantam Martil Dewa di tangan Buto Gege. Orang-orang di dalam kedai berteriak-teriak ketakutan. Ada di antara mereka yang ter-luka, tertimpa kayu bangunan. Bagi mereka yang telah lebih dulu lari menghindar tentu saja selamat dari ke-jatuhan dinding kayu kedai itu. Sementara Pendekar Gila dan Mei Lie yang telah melompat keluar tak terke-na hantaman Martil Dewa itu.
"Hua ha ha...! Dasar raksasa tolol!" seru Sena sambil cengengesan. Kini tubuhnya telah berada sepuluh tombak dari kedai yang hancur.
"Ah ah ah, kurasa binatang hutan ini harus dijinakkan, Mei?"
"Kakang, apakah Kakang akan diam dan menimbang-nimbang lagi jika sudah begini?" tanya Mei Lie nampak sudah tak sabar.
Matanya menatap tajam ke arah dua manusia besar yang kini melangkah menuju ke arah mereka.
"Aha, kurasa tidak, Mei. Jelas mereka mengajak kita main-main," jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Aku juga muak melihat kedua manusia sombong itu," rungut Mei Lie dengan pandangan penuh kebencian terhadap dua manusia besar yang kelihatan angkuh. Seakan, keduanya hendak menyombongkan diri, sehingga melangkah pun dengan cara membusungkan dada.
"Aha, kurasa mereka memang tikus-tikus sombong. Badan mereka saja yang besar, tetapi berotak kerbau!" ujar Pendekar Gila sambil tertawa-tawa. Hal itu sengaja untuk memancing kemarahan kedua manusia besar itu.
"Kurang ajar! Bocah gila, jika kau ingin selamat, cepat katakan, di mana kedua maling itu berada"!" bentak Resi Wisangkara dengan menggeram marah. Tasbih besar yang tadi dikalungkan di leher, kini telah berada di tangan kanannya. Setelah melompat dari kuda, kakinya perlahan-lahan melangkah mendekati Pendekar Gila dan Mei Lie yang berada di sebelah barat sepuluh tombak dari kedua lelaki besar itu.
"Hm...! Grrr! Rupanya tulang tubuhmu minta kuremukkan, Bocah Edan!" bentak Buto Gege marah merasa dihina sebagai kerbau dungu. Martil Dewa di tangannya diputar dengan cepat hingga mengeluarkan suara menderu-deru disertai angin.
Werrr! Werrr!
***
Werrr! Werrr! Srakkk! Srakkk! "Hua ha ha....!" Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak seperti merasa ada sesuatu yang lucu. Tangannya terus menggaruk-garuk kepala. Buto Gege yang merasa ditertawakan seperti itu meledaklah kemarahannya. Serta merta dipercepat gerakan tangannya memutar Martil Dewa. Werrr! Werrr! Angin pun menderu bertambah kencang. Para pengunjung kedai sudah tak berani berada di dekat kedai. Namun Pendekar Gila masih berdiri dengan suara tawanya yang semakin keras. Seakan-akan angin besar itu tak berarti sama sekali baginya. Sementara itu, Mei Lie tampak telah menggenggam erat-erat Pedang Bidadarinya, berusaha menahan serangan kekuatan dahsyat dari Martil Dewa.
"Hua ha ha! Lucu sekali kau, Buto Tolol"!" ejek Sena sambil terus tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Bahkan sesekali mulutnya terdengar bernyanyi-nyanyi. Matanya memejam-mejam seperti hendak tidur.
"Ah, segar sekali! Mengapa tak dari kemarin kau mengipas tubuhku ini" Hua ha ha...! Hua ha ha...! Terus, putar terus kipasmu...!" Buto Gege dan Resi Wisangkara tersentak kaget menyaksikan Pendekar Gila tak terpengaruh sama sekali. Mata mereka membelalak seakan tak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Bagi kedua manusia besar itu sungguh tak masuk akal. Tubuh pemuda berompi kulit ular itu ternyata mampu bertahan terhadap serangan angin besar yang keluar dari putaran Martil Dewa di tangan Buto Gege. Bahkan pemuda gila itu tertawa semakin keras sambil memejam-mejamkan mata.
"Bocah sombong! Rupanya kau mencari mampus, berani menghina Buto Gege!" dengus Buto Gege sambil menghantamkan martil raksasanya ke tubuh Pendekar Gila.
"Remuk tubuhmu! Heaaa...!"
"Mei Lie, awaaas!" teriak Sena mengingatkan kekasihnya yang langsung melompat ke samping. Sementara dia sendiri langsung melenting ke atas.
Wuttt! Glarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika Martil Dewa menghantam tanah. Tanah yang terkena hantaman martil itu, hancur berhamburan menganga dan cukup dalam.
"Hua ha ha...! Kau benar-benar tolol, Buto"! Kenapa tanah kosong kau hantam?" ejek Sena yang telah bertengger di atas sebatang cabang pohon sambil masih terdengar pula suara tawanya. Tingkah lakunya mirip seekor kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tubuhnya berjingkrak-jingkrakan. Sehingga dedaunan pohon itu tampak bergetar.
"Kurang ajar!"
"Kau hadapi dia, Buto! Biar aku meringkus gadis cantik itu," seru Resi Wisangkara sambil menatap Mei Lie.
"Baik! Tapi kalau berhasil, akulah yang lebih dahulu!" sahut Buto Gege sambil menolehkan kepala kepada Mei Lie yang masih menggenggam erat pedangnya.
"Baik," sahut Resi Wisangkara sambil tersenyum, kemudian dia segera melangkah ke arah Mei Lie yang nampaknya sudah siap dengan sambutannya.
Mei Lie segera menggerakkan Pedang Bidadarinya dengan jurus 'Tarian Bidadari'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
"Hea!"
"He he he...! Nisanak lebih baik menyerah! Kau akan kujadikan istriku yang ketiga kalau kau mau menyerah," ujar Resi Wisangkara sambil terkekeh, merendahkan siapa gadis yang hendak dihadapinya.
Bahkan resi dari Kuil Perak itu nampak tenang, menganggap Mei Lie bukan lawan yang perlu ditakuti "Huh, kalau memang aku kalah, aku rela mati di tanganmu!" dengus Mei Lie dengan sengit. Kemudian dengan masih bergerak menari, gadis itu mulai melakukan serangan pada Resi Wisangkara.
"Heaaa...!" Wut! Wuttt! Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan semakin mendekat ke tubuh lawan. Lelaki tua berkepala botak itu tiba-tiba tersentak kaget.
"Heh"!" Dengan mata terbelalak kaget, Resi Wisangkara melompat ke belakang. Matanya memandang tajam, hampir tak percaya pada apa yang dialaminya barusan. Dirinya tak menyangka, kalau gadis Cina di hadapannya ternyata bukan gadis sembarangan. Terbukti dengan serangan yang hampir saja merenggut nyawanya. Kalau saja kakinya tak segera melompat ke belakang, pedang Mei Lei yang mampu menghancurkan tubuh lawan itu pasti membabatnya.
"Hm, rupanya kau bukan gadis sembarangan, Nisanak"! Baik, aku pun tak segan-segan meladenimu," kata Resi Wisangkara sambil memutar tasbih be-sarnya yang berwarna hijau.
Wrt! Srakkk...! "Hm, memang itulah yang kuinginkan, Resi Cabul! Heaaa...!"
"Yea!" Mei Lie segera melesat dengan jurus 'Bidadari Menyentak Selendang'. Tangannya bergerak merentang dan kaki kanannya diajukan. Kemudian dengan cepat, kedua tangannya yang merentang bergerak menyerang. Pedang Bidadari di tangan kanannya terus berkelebat memburu sasaran. Dari gerakan pedang itu keluar hawa panas.
Wuttt! Wuttt! "Aits!" Dengan cepat Resi Wisangkara merundukkan tubuh sambil menggeser kedudukan kakinya tiga langkah ke kanan. Lalu dengan jurus 'Musang Menyelimut Tubuh', lelaki tua berkepala botak itu membalas serangan. Dikibaskan dan diputar-putar tasbihnya menyerang Mei Lie.
Wert! Crakkk...! Cletarrr...! "Haits...! Hea...!" Dengan memiringkan tubuh, Mei Lie mengelakkan sambaran tasbih hijau itu. Lalu setelah berhasil lolos dari serangan lawan, dengan cepat Mei Lie melancarkan tendangan kaki kiri ke dada lawan. Melihat lawan menendang, Resi Wisangkara segera memapakinya dengan pukulan tangan kiri. Namun, ternyata tendangan yang dilakukan Mei Lie hanya se-bagai gerak tipu. Ketika lawan menangkis, dengan cepat Mei Lie menarik serangan. Lalu tanpa diduga gadis cantik berpakaian hijau itu melancarkan sebuah pukulan dahsyat.
"Hea!" Wuttt! "Heh"!" Resi Wisangkara yang tak menduga akan diserang begitu cepat, berusaha mengelak. Namun gerakan tangan Mei Lie yang disertai pengerahan tenaga dalam, datang lebih cepat. Tak ada kesempatan bagi lelaki berkepala botak itu untuk mengelak. Yang dapat dilakukan hanya balas menyerang dengan tasbih be-sarnya. Tanpa sungkan lagi, Resi Wisangkara segera mengibaskan tasbihnya ke tangan Mei Lie.
"Hea!" Melihat lawan hendak menyerang dengan tasbihnya, Mei Lie segera menarik pukulan tangannya.
Kemudian sambil mengelit ke samping dengan cepat dibabatkan Pedang Bidadari, memapak tasbih yang menderu di atas kepalanya.
Jletarrr! Prakkk! Ledakan keras memekakkan telinga terdengar ketika pedang Mei Lie berhasil menyambar tasbih lawan. Prelll! "Hah...!" Mata Resi Wisangkara terbelalak kaget. Lelaki besar berkepala botak dan bermuka bengis itu, melompat ke belakang. Matanya memandangi tasbihnya yang hancur berantakan, terbabat pedang Mei Lie.
"Celaka! Dia bukan gadis biasa!" gumam Resi Wisangkara dengan wajah menampakkan ketegangan. Dia benar-benar tak menyangka kalau tasbihnya yang merupakan senjata sakti dan terbuat dari batu-batu pualam rontok terbabat pedang lawan.
Merasa tak unggulan menghadapi gadis Cina itu, tanpa membuang waktu lagi Resi Wisangkara melesat kabur. Wajahnya begitu pucat, setelah menyadari kalau lawan menghendaki biasa saja menghabisi nyawanya.
"Mungkinkah dia yang bernama Bidadari Pencabut Nyawa?" gumam Resi Wisangkara sambil terus berlari, meninggalkan Mei Lie yang tampak tersenyum.
"Celakalah aku kalau dia benar-benar Bidadari Pencabut Nyawa!" Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi Buto Gege masih bergerak ke sana kemari, mengelakkan hantaman-hantaman Martil Dewa. Buto Gege tampaknya tak ingin lawan dapat melakukan serangan balasan. Diserangnya terus Pendekar Gila tanpa henti.
Wrt! Wrt! Glarrr...! Brakkk! Martil Dewa kembali menghantam pohon, hingga hancur berantakan. Sedangkan Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Aku di sini, Buto Tolol!" seru Sena sambil tertawa-tawa.
"Grrr! Kurang ajar! Remuk tubuhmu!" Buto Gege kembali menghantamkan Martil Dewa ke pohon tempat Pendekar Gila bertengger. Namun dengan cepat pemuda itu melompat berpindah ke pohon lain.
Wrt! Brakkk! "Hua ha ha...! Matamu buta, Raksasa Tolol.
Mengapa pohon kau hantam?" ejek Sena sambil terta-wa. Tanpa diketahui tiba-tiba tubuhnya telah bertengger di cabang pohon yang lain.
"Ah ah ah...! Tempatmu di hutan. Tetapi, mengapa kau merusak pepohonan?"
"Kurang ajar! Kali ini tak akan luput dari Martil Dewaku, Bocah Gila! Hm...! Hiaaa...!" Buto Gege yang marah karena sejak tadi diledek oleh Pendekar Gila, segera memutar Martil Dewanya. Angin menderu-deru keras dan menggetarkan disertai hawa panas yang menyengat. Semakin cepat Martil Dewa diputar, nampak martil itu mengalami perubahan. Dari Martil itu, keluar lidah api.
"Heaaa!" Wusss...! Melihat Buto Gege mengarahkan lidah api yang keluar dari kepala martil dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan ajian 'Inti Bayu'nya.
"Heaaa!" Wusss! Wusss...! Besss...! Dua kekuatan sakti saling bertemu. Api yang semula hendak menyerang ke tubuh Pendekar Gila, seketika padam terhempas hawa dingin dari angin yang keluar dari ajian 'Inti Bayu'.
Disertai amarah meledak-ledak Buto Gege memutar Martil Dewa dengan kekuatan tenaga dalam yang luar biasa. Dari putaran senjata itu muncul angin dahsyat yang menghembuskan hawa dingin. Orang-orang yang berada di sekitar tempat pertarungan me- rasa menggigil kedinginan.
"Hi hi hi...! Enak sekali kipasmu," kata Sena sambil tertawa cekikikan "Ah, membuatku mengantuk sekali." Dengan mata memejam-mejam seperti orang mengantuk, Pendekar Gila mengerahkan tenaga in-tinya ke seluruh tubuh. Sehingga tubuhnya tidak me- rasa dingin. Yang dirasakan hanya hawa sejuk.
"Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu, Bocah Gila!" Buto Gege kini mengangkat martilnya tinggi-tinggi. Kemudian dengan kuat dihantamkan martil besar itu ke tubuh lawan. Namun sebelum senjata lawan sempat menerjang, dengan cepat Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya. Dan secepat kilat pula disabetkan suling itu untuk menangkis Martil Dewa.
Wrt! Srt! Trakkk! "Heh"!" Membelalak mata Buto Gege, melihat suling di tangan Pendekar Gila. Mulutnya menganga dan tubuhnya seketika menggigil bagai kedinginan, "Kau"! Kau Pendekar Gila...?"
"Aha, kenapa tubuhmu Buto Gege?" tanya Sena dengan mulut cengengesan Sedangkan tangannya masih menangkiskan Suling Naga Sakti ke senjata lawan yang semakin lama semakin melemah.
"Tidak! Ampuuun...!" teriak Buto Gege sambil menarik senjatanya. Kemudian manusia raksasa itu berlutut, sambil melakukan sembah. Keadaan itu membuat Pendekar Gila dan Mei Lie mengerutkan kening, tak mengerti mengapa manusia raksasa itu berbuat begitu.
"Aha, kenapa kau seperti dikejar setan, Raksasa?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap keheranan pada Buto Gege yang masih bersujud sambil meraung-raung bagaikan ketakutan.
"Ampun, Tuan...! Ampun...! Hukumlah hambamu yang bodoh dan dungu ini!" Buto Gege terus meraung-raung minta ampun sambil bersujud di depan Pendekar Gila. Seolah akan diterimanya apapun hukuman dari Pendekar Gila.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie masih tak mengerti, mengapa Buto Gege berlaku begitu.
"Ah ah ah, kau aneh sekali, Raksasa" Aku..., aku tak mengerti dengan tingkahmu. Hi hi hi...!" Sena cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya Mei Lie yang juga heran melihat keganasan Buto Gege yang tiba-tiba hilang.
"Aha, mana aku tahu?" sahut Sena sambil cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala.
"Aha, bangunlah, dan ceritakan mengapa kau ini!" Dengan perlahan Buto Gege bangun. Kepalanya tertunduk, tak berani memandang Pendekar Gila. Hal itu membuat Sena semakin tak mengerti. Mulutnya semakin cengengesan.
"Aha, kenapa kau, Raksasa?" tanya Sena.
Buto Gege sejenak melakukan sembah sambil berdiri, kemudian dengan suara berat dan besar Buto Gege pun menceritakan siapa dia sebenarnya. Dikatakan, bahwa dirinya saudara dari Kemuning Wangi.
Kemuning Wangi adalah kekasih dari Pendekar Gila.
Puluhan tahun yang silam, keduanya menjalin cinta.
Keduanya saling menyayangi. Namun cinta mereka kandas, setelah kehadiran Buto Gege.
"Aha, mengapa kau salah, Raksasa. Aku bukan Pendekar Gila yang kau maksudkan. Aku hanyalah muridnya," ujar Sena menjelaskan.
"Jadi, kau murid Kakang Singo Edan?" tanya Buto Gege.
"Aha, benar!" jawab Sena.
"Oh, syukurlah kalau begitu! Walau kau muridnya, aku tetap mau meminta maaf padanya lewat kau. Aku merasa bersalah. Karena semenjak kehadiranku, mengakibatkan kakakku menderita. Sampaisampai kakakku tak mau melihat dunia lagi," tutur Buto Gege.
"Maksudmu?" tanya Mei Lie menyala.
"Siapa dia, Pendekar...?" tanya Buto Gege, seraya menoleh pada Mei Lie.
"Dia temanku, namanya Mei Lie. Dan aku Sena Manggala," jawab Pendekar Gila memperkenalkan diri.
Buto Gege yang semula ganas, kini menjura hormat pada Mei Lie dengan cara menganggukkan kepala. Kedua telapak tangannya menyembah di depan dada.
"Terimalah hormatku, Nisanak!"
"Terima kasih," jawab Mei Lie.
Buto Gege pun menceritakan peristiwa yang dialami puluhan tahun silam. Kejadian yang menyebabkan hubungan Kemuning Wangi dengan Singo Edan putus. Ketika Buto Gege datang menemui Kemuning Wangi, sang Kakak merasa malu memiliki adik seorang raksasa. Namun Singo Edan berusaha meyakinkan Kemuning Wangi, agar mau menerima adiknya.
Kemuning Wangi mulanya hendak menerima, namun kekerasan hatinya menolak. Apalagi setelah tahu adiknya berhaluan sesat. Pertentangan antara Singo Edan dan Kemuning Wangi terjadi. Sampai akhirnya Buto Gege menyangka kalau Singo Edan yang tak suka padanya. Raksasa itu menantang Singo Edan bertarung. Mulanya Singo Edan menolak. Namun setelah diejek dan dituduh menyakiti hati Kemuning Wangi, akhirnya Singo Edan menerima tantangan Buto Gege.
Mereka pun bertarung. Rupanya ilmu Singo Edan jauh lebih tinggi daripada ilmu Buto Gege. Sehingga Buto Gege dapat dikalahkan. Buto Gege dilemparkan ke Gunung Gelangan.
Sejak kejadian itu, Kemuning Wangi justru menuduh Singo Edan tak punya perasaan dan tega melemparkan adiknya. Kemuning Wangi pun akhirnya meninggalkan Singo Edan, untuk mencari sang Adik.
"Kami benar-benar menyesal, karena merasa benar sendiri. Penyesalan kami, benar-benar tak dapat tuntas sebelum meminta ampun pada Kakang Singo Edan. Walau kakakku telah membutakan matanya.
untuk tidak melihat dunia lagi," kata Buto Gege mengakhiri ceritanya. Wajahnya nampak sedih. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
"Aha, kurasa guru pun akan mengampuni kalian," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih. Ku mohon padamu, jika sampai di tempat gurumu, sampaikan permintaan maaf kami!" pinta Buto Gege penuh harap, "Kami benar-benar merasa tak akan pernah tenang, sebelum Kakang Singo Edan memaafkan tindakan kami." Mei Lie yang mendengar cerita Buto Gege, matanya tampak membasah. Hatinya turut iba, setelah tahu bagaimana nasib manusia raksasa itu. Sementara Pendekar Gila kini nampak mengulum bibir dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Sepertinya Pendekar Gila pun turut merasa prihatin dengan nasib Buto Gege dan kekasih gurunya, Kemuning Wangi.
"Itukah sebabnya Eyang Guru tak menikah...?" tanya Sena dalam hati.
"Sena, aku harus segera pergi. Hati-hatilah!" ujar Buto Gege.
Setelah menjura, manusia raksasa itu pun melangkah meninggalkan Pendekar Gila dan Mei Lie yang masih terpaku memperhatikan sosok raksasa itu.
Langkah kaki Buto Gege, lima kali langkah mereka.
Namun di balik tubuhnya yang besar, tersembunyi duka dan kesedihan serta keburukan nasibnya.
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum cengengesan. Dimasukkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya. Lalu dipandang wajah Mei Lie yang tersenyum, sepertinya merasa tenang ada bersama sang Kekasih.
Keduanya saling pandang. Di bibir mereka, mengurai senyum.
***
¦≈ȸ| 7 |ȸ≈¦
Suasana sunyi memperjelas suara lolongan anjinganjing hutan yang semakin mencekam malam di Desa Sawangan dan sekitarnya. Sehingga suasana mirip pedesaan yang mati. Seperti desa yang tak berpenghuni.
Apalagi angin yang berhembus agak kencang meniupkan hawa dingin. Dinginnya terasa menusuk ke tulang sumsum. Sementara itu langit tampak mendung.
Kilat pun sesekali menyambar, dengan sinarnya yang hanya sekejap menerangi bumi. Sesaat kemudian, terdengar suara guruh di langit.
Hujan rintik-rintik mulai membasahi bumi, bagaikan tangis Dewi Malam yang sedang dirundung duka. Angin semakin kencang berhembus. Dan orangorang yang tidur, semakin terlelap dalam mimpinya.
Di bawah rintik hujan gerimis, dua sosok tubuh berlari-lari kecil berusaha mencari tempat berteduh.
Kedua orang itu, tak lain Pendekar Gila dan Mei Lie.
Keduanya terus berlari-lari, untuk mencari tempat berteduh.
"Hujan sialan! Dingin sekali, Kakang," keluh Mei Lie sambil berlari-lari mengikuti Pendekar Gila yang hanya tertawa cekikikan.
"Aha, kenapa kau memaki-maki hujan" Hi hi hi...! Bagaimana kalau kita cari pohon saja yang rindang?" ajak Sena sambil terus berlari ke timur, karena di sana nampak banyak pepohonan besar.
Mei Lie tak menyahuti, kakinya terus lari mengikuti langkah kaki Pendekar Gila. Keduanya sampai di bawah sebatang pohon beringin yang besar.
"Bagaimana, Mei?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah, kenapa kau harus kedinginan seperti ini?"
"Aku tak apa-apa, Kakang. Bahkan kini merasa lebih dekat dengan alam," sahut Mei Lie sambil mere-bahkan kepalanya di pundak sang Kekasih. Pendekar Gila dengan penuh kasih sayang membelai rambut dan memeluk tubuh Mei Lie, berusaha agar gadis itu tak merasa kedinginan. Suasana malam di bawah rinai gerimis dan hawa dingin dirasakan begitu indah oleh Pendekar Gila dan Mei Lie. Paduan kasih sayang yang mereka bina selama ini, kian menyentuh dan terasa di dalam alunan jiwa yang bersih dan suci. Pendekar Gila masih berdiri di bawah pohon beringin besar itu, ketika dari arah timur nampak dua sosok bayangan berlarilari. Keduanya ternyata dua sosok tubuh. Di pundak mereka terpanggul dua karung besar yang terus dibawa lari ke selatan.
"Kakang, lihat...! Bukankah itu orang yang dicari-cari pihak kerajaan?" ujar Mei Lie sambil menunjuk dua orang bercadar yang di pundaknya memanggul kantung.
"Aha, kurasa benar, Mei. Ayo, kita kejar mereka!" ajak Sena.
Keduanya segera melesat meninggalkan pohon beringin, memburu kedua lelaki bercadar yang membawa kantung di pundak. Dengan mengerahkan ilmu lari, dalam sekejap mereka dapat menghadang kedua lelaki bercadar.
"Berhenti!" seru Mei Lie, yang membuat kedua lelaki bercadar menghentikan langkah mereka. Mata kedua maling budiman yang tiada lain Pangeran Prapanca dan temannya, Pranala memandang tajam pada Mei Lie dan Pendekar Gila.
"Ada apa kalian menghadangku?" tanya Pangeran Prapanca.
"Benarkah kalian yang sering disebut maling budiman?" tanya Mei Lie.
"Ah, kurasa kami bukan maling budiman. Kami hanya ingin membantu penduduk desa yang miskin, yang haknya diambil oleh orang-orang kaya dan para pembesar," sahut Pangeran Prapanca yang bercadar biru.
"Apapun alasannya, kerajaan memerintahkan untuk menangkap kalian," kata Mei Lie.
Kedua maling budiman saling padang. Kemudian Pangeran Prapanca memandang lekat wajah Pendekar Gila yang bertingkah laku aneh, membuatnya mengerutkan kening. Sepertinya Pangeran Prapanca berusaha mengingat-ingat akan sesuatu.
"Jadi, kalian yang disebut sebagai penegak kebenaran dan keadilan pun hendak menangkap kami?" tanya Pangeran Prapanca setengah mengejek.
"Aha, lucu sekali ucapanmu, Maling Budiman! Meski kau mengatakan bertujuan baik, bagaimana mungkin kami akan percaya dengan omongan kalian, jika sebagian muka kalian ditutupi," ujar Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Cadar Biru, tak ada waktu lagi untuk berteletele!" ujar Pranala mengingatkan Pangeran Prapanca.
"Benar! Kalian mau apa?" tanya Pangeran Prapanca dengan tegas, "Apakah kalian pun akan me- nangkap kami untuk mendapatkan hadiah dari Baginda Awangga" Silakan kalau mampu!"
"Hm, begitu" Ah, sungguh lucu sekali! Hi hi hi...! Kisanak, kami bukan atas dasar sayembara itu hendak menangkap kalian. Tetapi atas dasar keadilan dan keamanan saja yang mendorong kami untuk menangkap kalian," ujar Sena berusaha menjelaskan apa yang menyebabkan dia turut berusaha menangkap Sepasang Maling Budiman.
"Keadilan..." Hua ha ha...! Keamanan..."!" Pangeran Prapanca tertawa terbahakbahak, mendengar Pendekar Gila menyebut keadilan dan keamanan. Diliriknya Pranala yang juga tertawa.
"Hua ha ha...!" Sena tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat kedua maling budiman terdiam. Keduanya kembali saling pandang, kemudian menatap wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kisanak, kalau kau mengatakan keadilan dan keamanan, keadilan macam apa" Keamanan macam apa?" tanya Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, kenapa kau tanyakan hal itu padaku?" tanya Sena. Tingkahnya masih cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Seharusnya, kalian tanyakan hal itu pada warga yang merasa terganggu dengan perbuatan kalian." Pangeran Prapanca dan Pranala kembali saling pandang, lalu kembali keduanya tertawa terbahakbahak. Hal itu menjadikan Pendekar Gila turut tertawa keras sambil menggarukgaruk kepala.
"Kisanak, tingkah lakumu seperti orang gila.
Namun tutur katamu, sangat pintar. Hm, meski aku belum kenal siapa kalian, tetapi kurasa kalian pendekar yang berjiwa besar," tukas Pangeran Prapanca, "Kalau kau tidak bertanya, maka kini aku ingin mengajukan pertanyaan pada kalian."
"Aha, kau lucu sekali, Kisanak," kata Sena sambil cengengesan.
"Tapi kalau memang itu maumu, katakanlah!"
"Kita terlalu bertele-tele, Kakang. Mereka sudah ketahuan mencuri, mengapa kita masih membiarkan?" kata Mei Lie tak sabar.
"Aha, tenanglah, Mei," sahut Sena masih cengengesan.
"Nah, Kisanak, katakanlah apa yang akan kau tanyakan pada kami!" Pangeran Prapanca sesaat terdiam. Dipandangi tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu.
Bahkan dapat mengundang tawa. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dengan masih memandang lekat pada wajah Sena berkata.
"Kisanak, jika seandainya Kisanak benar orang yang menjunjung kebenaran dan keadilan, kemudian melihat ada yang tidak benar, bagaimana" Di sebuah kerajaan, rakyatnya menderita, sementara orang-orang besar semakin sewenang-wenang, memperlakukan mereka. Bahkan, rakyat dianggap sebagai manusiamanusia yang tak punya arti, apa tindakanmu?" tanpa Pangeran Prapanca, yang menjadikan Pendekar Gila mengerutkan kening. Dipandanginya Mei Lie yang juga terdiam. Kemudian nampak mulutnya cengengesan lagi dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah...! Jadi rupanya kalian hendak berkedok dengan hal yang kalian katakan tadi" Kulihat rakyat di sini tak menderita seperti yang kau katakan, Kisanak," sahut Sena membantah penuturan Pangeran Prapanca.
"Itu karena kau tak melihat kenyataannya, Kisanak. Kau tak melihat, bagaimana rakyat dipaksa meninggalkan sawah atau pekarangan! Kalian juga tidak melihat, bagaimana para kuli dipaksa untuk menerima bayaran yang sangat rendah. Padahal menurut perjanjian, para kuli dibayar sepuluh tail," tutur Pangeran Prapanca dengan suara berapi-api, "Kalau kalian masih tidak percaya, kini kami siap menghadapi kalian!"
"Alasan!" dengus Mei Lie.
"Terserah apa yang kau katakan, Nisanak!" sahut Pangeran Prapanca.
"Baik, bersiaplah kalian untuk kami tangkap!" kata Mei Lie sambil bergerak menyerang Pangeran Prapanca dan Pranala yang tersentak kaget.
Dengan cepat kedua lelaki bercadar bergerak ke samping. Namun rupanya serangan Mei Lie tak berhenti sampai di situ. Mei Lie kembali bergerak menyerang.
"Tunggu! Hentikan, Mei!" seru Sena yang membuat Mei Lie menghentikan serangan. Namun nampaknya wajah gadis itu tak senang, kekasihnya melerai pertarungan.
"Ada apa lagi, Kakang" Bukankah kedua maling ini sudah ketahuan belangnya?" tanya Mei Lie dengan wajah bersungut.
"Aha, sabarlah sedikit, Mei!" Pendekar Gila kembali melangkahkan kakinya mendekati Pangeran Prapanca. Tingkah lakunya masih kelihatan konyol, cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Aha, pertarungan tak akan membawa sebuah persoalan menjadi selesai.
Bahkan sebaliknya akan membuat masalah semakin panjang" gumam Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya memandang Pangeran Prapanca dan Pranala, yang tertegun sejenak. Mereka tak menyangka, kalau pemuda gila di hadapannya dapat bertutur kata dengan baik. Bahkan berbicara dengan menggunakan filsafat.
"Kisanak, didengar dari tutur katamu, kau orang yang bijaksana," ujar Pangeran Prapanca polos.
"Namun, mengapa kau sepertinya hendak menghalangi kami" Kami melakukan semua ini, untuk menolong orang yang menderita. Kami mencuri pun bukan pada sembarang orang. Kamu mencuri pada orang-orang yang kaya namun kikir. Atau pada pembesar yang culas, yang suka memakan uang rakyat."
"Aku tak percaya!" seru Mei Lie.
"Itu terserah kalian. Mau percaya atau tidak pada kami, tetapi Hyang Widhi-lah yang tahu semuanya," jawab Pangeran Prapanca tenang.
"Nisanak, kau dan kekasihmu boleh mengikuti kami, jika belum juga percaya," Pranala yang sedari tadi diam, kini angkat bicara.
"Benar! Jika belum juga yakin apa yang kami katakan, kalian boleh mengikuti kami! Itu pun kalau kalian benar-benar orang bijaksana, yang senantiasa mementingkan keadilan dan kebenaran," sambung Pangeran Prapanca, setelah yakin kalau kedua pendekar itu tak bermaksud menangkap mereka atas perintah kerajaan. Terbukti Pendekar Gila malah mencegah Mei Lie meneruskan pertarungan.
"Aha, kalian jangan takut! Kami bukanlah orang-orang yang berkepala dua," ujar Sena sambil masih cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hm, baik. Mari ikut kami, untuk membuktikan kalau kami bukanlah berbuat atas dasar keserakahan!" ajak Pangeran Prapanca. Kemudian dengan diikuti Pendekar Gila dan Mei Lie. Pangeran Prapanca dan Pranala pun melesat menuju Desa Sawangan. Mereka segera menaruh harta curian di depan pintu rumah semua penduduk Desa Sawangan.
***
"Berhenti...!" Keempat orang itu seketika berhenti, membalikkan tubuh memandang ke tempat asal suara. Nampak sepuluh orang berkuda mendekati mereka. Tiga di antara mereka, merupakan orang-orang persilatan.
Tentunya mereka diutus Baginda Raja Awangga untuk menangkap kedua maling budiman.
Tiga orang penunggang kuda itu, satu di antaranya seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya masih cantik, matanya memandang dengan genit pada Pendekar Gila. Hal itu membuat Mei Lie cemberut, cemburu, dan jengkel atas tingkah laku wanita genit itu.
"Rupanya kita akan menemukan kedua maling ini, Kakang Gagak Selo," ujar Gagak Praja, dengan bibir mengurai senyum kecut senyum merendahkan kedua lelaki bercadar yang diketahui sebagai maling budiman.
"Benar, Adik. Rupanya keberuntungan ada di tangan kita," sahut lelaki beralis naik dengan mata lebar.
"Nyi Roro Cenil kau kenalkah dengan kedua pemuda itu?"
"Tidak! Lagi pula, kita tak punya urusan dengan mereka. Kita hanya akan menangkap kedua maling itu," ujar Nyi Roro Cenil dengan senyum merekah di bibirnya. Matanya masih memandang dengan genit Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kalian semua. Bagaimanapun kami ini teman kedua Maling Budiman.
Kalau kalian mau menangkap keduanya, bukankah itu sama saja kalian berurusan dengan kami"!" ujar Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya melirik Mei Lie yang kelihatannya sudah jengkel atas tingkah laku Nyi Roro Cenil yang genit dan nampaknya senang pada Pendekar Gila.
"Benar! Dan kalau kalian hendak menangkap keduanya, berarti kalian tak punya perasaan dan hanya mementingkan diri sendiri!" dengus Mei Lie sengit. Matanya kini memandang tajam penuh kebencian pada Nyi Roro Cenil yang genit. Mei Lie benar-benar tak suka pada wanita yang genit, karena khawatir kekasihnya akan dapat dirayu wanita genit itu.
"Tapi, Kisanak. Kalian tak tahu apa-apa. Kami yang berbuat," selak Pangeran Prapanca seakan-akan menolak maksud Pendekar Gila.
"Aha, kau keliru, Kisanak. Bukankah dengan menunjukkan apa yang kalian lakukan, berarti secara tak langsung kalian telah percaya pada kami?" sahut Sena sambil masih cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap wajah Pangeran Prapanca dan Pranala.
"Bagus! Jadi kalian pun rupanya sama-sama maling yang harus ditangkap juga," bentak Gagak Selo.
"Prajurit, tangkap mereka...!" Mendengar perintah Gagak Pelo, tujuh orang prajurit langsung mengurung keempat orang pendekar.
Serentak mereka menyerang dengan pedang dan tombak yang menjadi senjata mereka.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!" Mendapat serangan dari tujuh orang prajurit itu, keempat pendekar itu tak mengalami kewalahan.
Meski masih mengandalkan tangan kosong, mereka dapat menghadapi ketujuh orang lawannya yang bersenjata.
"Hea! Hea...!"
"Hi hi hi...!" Dengan tertawa cekikikan Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan para prajurit. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan menari, kemudian tangannya menepuk dengan pelahan ke tubuh lawan.
"Aha, kura-sa kalian harus istirahat, Kisanak! Tidurlah...!" Dengan gerakan aneh, Pendekar Gila menepukkan kedua tangannya ke dada kedua orang prajurit kerajaan. Kedua orang prajurit tersentak. Mereka berusaha mengelak, tetapi gerakan aneh yang dilakukan Pendekar Gila ternyata datang begitu cepat. Padahal mereka baru saja melihat gerakan Pendekar Gila itu sangat pelan. Plak! Plak! "Ukh!" Kedua prajurit terpekik, kemudian terdiam mematung tak mampu bergerak sedikit pun. Sementara Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak dengan tingkah lakunya yang konyol, menggelitik.
"Kurang ajar! Rupanya bocah gila itu bukan sembarangan, Kakang! Kita harus menangkapnya," ka-ta Gagak Sura. Kemudian kakinya melompat dari kuda, langsung menghadang dan menyerang Pendekar Gila.
"Heaaa...!" Mendapat serangan dari Gagak Sura, Pendekar Gila dengan cepat berkelit ke samping. Kemudian dengan masih cengengesan, dibalas dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari sambil sesekali menyodokkan telapak tangan.
Gerakan tarian dan tepukan tangannya nampak pelan, lemah, dan seperti tak bertenaga. Namun kenyataannya, cukup membuat Gagak Sura tersentak kaget bukan kepalang.
"Gila...!" pekik Gagak Sura sambil melompat mundur. Matanya membelalak, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja hampir terjadi. Tepukan tangan Pendekar Gila nampak pelan dan lemah, tetapi mampu mengeluarkan angin keras yang hampir menerjangnya.
"Celaka! Dia bukan pemuda gila biasa...!" gumam lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan muka garang. Matanya mengerut, dengan alis terjungkit ke atas.
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Tingkah lakunya yang bertambah konyol, menjadikan lawan semakin mengerutkan kening.
"Aha, kau sangat lucu, Kisanak. Mu-kamu pucat seperti mayat" Diejek begitu rupa, Gagak Sura menggeram marah. Kemudian dengan geram, dicabutnya pedang yang bertengger di punggungnya.
Srattt! "Bocah gila, jangan kira kau mampu mengalahkanku! Cabut senjatamu!" tantang Gagak Sura dengan penuh kemarahan, membuat Pendekar Gila kian tertawa terbahak-bahak.
"Hua ha ha...! Senjata" Ah, kedua tanganku adalah senjata. Kurasa kedua tangan dan kakiku, mampu menghadapimu," sahut Sena sengaja berusaha terus memancing kemarahan lawan.
"Sombong! Jangan salahkan kalau nyawa gilamu tercabut oleh pedangku!" dengus Gagak Sura sengit. Kemudian dengan cepat bergerak menyerang Pendekar Gila dengan pedangnya.
"Hi hi hi...!" Sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila segera mengelitkan serangan pedang Gagak Sura. Tubuhnya melenting ke atas, kemudian menyambar ke bawah sambil menukik. Itulah jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', sebuah jurus yang menggunakan ilmu meringankan tubuh sempurna, disertai tenaga dalam yang tinggi. Kalau tidak, maka tubuhnya akan menukik dan jatuh ke tanah.
Semakin tersentak kaget Gagak Sura, mendapatkan serangan yang sangat aneh itu. Hampir saja tubuhnya terkena sambaran tangan dan jejakkan kaki Pendekar Gila, kalau tidak cepat melompat ke belakang.
"Gila! Benar-benar jurus gila!" rutuk Gagak Su-ra sambil berjumpalitan beberapa kali, mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun ternyata jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', sangat cepat. Di mata lawan gerakan itu tampak lamban dan lemah. Hingga....
Degkh! "Ukh!" Gagak Sura memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata terbelalak.
Dari mulutnya, menyembur darah segar pertanda mengalami luka dalam. Dadanya yang terkena jejakkan kaki Pendekar Gila terasa sangat sesak.
"Kau.... Hkkk.... Ukh!" Gagak Sura ambruk pingsan. Sementara itu, di pihak Pangeran Prapanca dan Pranala yang dibantu Mei Lie pun dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya. Lima orang prajurit dan Gagak Selo serta Nyi Roro Cenil dapat didesak. Bahkan lima orang prajurit, kini telah mengalami luka dalam akibat pukulan dan hantaman ketiga orang pendekar.
Gagak Selo dan Nyi Roro Cenil yang merasa tak mungkin menandingi, segera meninggalkan tempat itu.
Keduanya membiarkan teman-temannya berjatuhan.
Digebah kuda mereka dengan cepat, berusaha secepatnya meninggalkan tempat tersebut.
"Aha, kurasa kita harus segera pergi dari sini," ajak Sena setelah kepergian dua orang kerajaan, yang dapat mereka kalahkan.
"Mereka pasti akan mengundang bala bantuan."
"Lalu, bagaimana dengan para prajurit ini, Kakang?" tanya Mei Lie.
"Ah ah ah, biarkan saja! Ayo kita pergi!" ajak Sena yang segera diikuti Mei Lie dan Pangeran Prapanca serta Pranala. Mereka lari ke arah barat, menembus kegelapan malam
***
¦≈ȸ| 8 |ȸ≈¦
Lelaki muda yang berusia sekitar dua puluh empat tahun ini pun berwajah tampan. Hidungnya mancung, dengan lesung pipit pada kedua pipinya. Senyumnya menawan. Namun nampak ketegasan dari sorot matanya.
"Kami merupakan kawan akrab sejak kecil, yang juga saudara seperguruan," kata Pangeran Prapanca membuka pembicaraan, setelah Pendekar Gila dan Mei Lie bertanya siapa mereka sebenarnya, "Lima belas tahun yang lalu, ketika ayahku masih bertahta sebagai raja, aku dititipkan pada Resi Sureng Pari untuk dididik dari diajarkan ilmu." Pangeran Prapanca pun dengan nada sendu, akhirnya menceritakan semua yang terjadi dan mengapa dirinya bersama Pranala melakukan tindakan yang telah diketahui Pendekar Gila.
Hari demi hari Pangeran Prapanca dan Pranala dididik dan digembleng oleh Resi Sureng Pari. Semua ilmu yang dimiliki Resi Sureng Pari, diturunkan pada Pangeran Prapanca dan Pranala. Baik ilmu bela diri, ilmu tata negara, maupun ilmu kesusastraan.
Sampai pada suatu hari, ketika Resi Sureng Pari pulang dari Kota Praja, wajahnya tampak bermuram durja. Keadaan yang tak seperti biasanya itu membuat Pangeran Prapanca heran. Kemudian dengan penuh hormat, pemuda itu memberanikan diri bertanya kepada sang Guru.
"Ampun, Guru! Jika Guru berkenan, aku hendak bertanya." Resi Sureng Pari memandang dengan tatapan iba pada muridnya yang sudah berusia dua puluh tahun. Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala, sepertinya sang Resi sangat berat untuk menuturkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Guru, kalau pertanyaanku membuat Guru sedih, aku siap dihukum," kata Pangeran Prapanca sambil menyembah, menunjukkan betapa hormat Pangeran Prapanca terhadap Resi Sureng Pari.
"Tidak, Anakku. Bangunlah dan duduklah!" ka-ta Resi Sureng Pari sambil memegang pundak Pange- ran Prapanca dan membantu pemuda itu duduk di hadapannya.
"Guru, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Pangeran Prapanca semakin ingin tahu, mengapa gurunya yang baru datang dari Kota Praja tiba-tiba bermuram durja. Sepertinya ada berita buruk yang dibawanya dari kota.
"Anakku tabahkanlah hatimu!" hanya kata itu yang terucap dari mulut Resi Sureng Pari. Mata lelaki tua berjenggot panjang itu tampak mulai berkaca-kaca, berusaha menahan tangis.
"Guru, katakanlah, apa yang sebenarnya terjadi!" pinta Pangeran Prapanca semakin penasaran ingin tahu, apa yang terpendam dalam hati gurunya.
Resi Sureng Pad membelai-belai jenggotnya.
Kemudian dipegangnya pundak Pangeran Prapanca, seraya menarik napas dalam-dalam, seakan hendak membuang kegundahan di hatinya. Matanya yang bening menatap lurus ke depan, menyiratkan kebimbangan di hatinya. Bibirnya bergerak-gerak, sepertinya hendak berbicara. Namun nampaknya sulit. Seakan ada ganjalan yang menyumbat mulutnya untuk membuka kata. Pangeran Prapanca yang menyaksikan kesedihan di wajah gurunya, hanya mampu diam membisu.
Matanya memandang lekat ke wajah gurunya. Ingin sekali Pangeran Prapanca bertanya. Namun dirinya pun merasa tak kuasa. Hatinya melarang untuk bertanya. Hatinya memerintahkan agar diam, menunggu apa yang akan dikatakan sang Guru.
Lama Pangeran Prapanca menunggu apa yang bakal dikatakan Resi Sureng Pari. Suasana hening menyelimuti kedua guru dan murid itu.
"Anakku, kuharap kau tabah mendengar berita yang baru saja kuterima di Kota Praja," kata Resi Sureng Pari masih dengan wajah duka. Hal itu membuat Pangeran Prapanca mengerutkan kening, tak mengerti mengapa dengan gurunya. Dan bertanya apa yang disampaikan sang Guru padanya.
"Guru, kalau boleh aku tahu, berita apa yang Guru terima" Apakah mengenai ayahanda" Atau ibunda dan adik-adik di istana?" tanya Pangeran Prapanca tak sabar ingin segera tahu. Resi Sureng Pati menganggukkan kepala.
"Kenapa mereka, Guru?" desak Pangeran Prapanca ingin tahu.
"Anakku, di kerajaan telah terjadi pemberontakan oleh orang-orang yang tak suka terhadap kepemimpinan ayahandamu. Menurut kabar, keluargamu mati semua. Beruntung pamanmu dapat segera menangani kakacauan itu. Pamanmu dengan dibantu Perdana Menteri Giri Gantra, segera melakukan penumpasan terhadap para pemberontak. Maka dalam waktu singkat pemerintah dapat diambil alih dari para pemberontak," tutur Resi Sureng Pari dengan sedih.
"Jadi...," Pangeran Prapanca belum selesai berbicara, ketika Resi Sureng Pari telah mendahuluinya.
"Benar, Anakku," selak Resi Sureng Pari, "Namun, aku merasa belum yakin dengan berita yang disampaikan Perdana Menteri Giri Gantra itu."
"Mengapa, Guru?" tanya Pangeran Prapanca ingin tahu. Ditatapnya wajah sang Guru dengan penuh harap, agar mau menceritakan segalanya secara gamblang. Pangeran Prapanca mengharap, gurunya mau membuka tabir rahasia yang nampaknya tengah menyelimuti Kerajaan Surya Langit Kalau memang sang Ayah masih hidup, dia akan berusaha mencarinya.
Namun jika telah mati, maka dia pun harus melihat kuburannya.
"Ada keanehannya," gumam Resi Sureng Pari.
"Maksud Guru?"
"Makam keluargamu tak ada."
"Apakah paman tak mengetahui mayat keluargaku?"
"Entahlah, Anakku. Itulah yang kumaksudkan.
Semuanya sangat aneh dan tak masuk akal. Kulihat, keadaan Kota Praja masih seperti dulu, tenang. Rasanya sangat sulit, kita bayangkan kalau telah terjadi pemberontakan," gumam Resi Sureng Pari sambil membelai-belai jenggotnya yang panjang.
"Lalu apa yang meski kulakukan, Guru?" Resi Sureng Pari sesaat terdiam. Sepertinya sang Resi sedang memikirkan bagaimana untuk mencari jalan guna menyingkap rahasia yang menyelimuti Kerajaan Surya Langit.
"Anakku...," desis Resi Sureng Pari.
"Saya, Guru."
"Sebagai putra mahkota, kau tak boleh tinggal diam mendengar kejadian ini. Kau harus berusaha mencari tahu, apa sebenarnya yang terjadi. Namun, kurasa kau akan mengalami kesulitan. Maka itu, jika kau hendak turun gunung dan berusaha mencari bukti, kau harus hati-hati. Menyamarlah! Bantulah rakyatmu yang kau lihat sangat menderita."
"Menderita"!" pekik Pangeran Prapanca tanpa sadar dengan mata membelalak, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan gurunya. Wajahnya seketika membara. Matanya berlinang-linang sedih.
"Ya, menderita."
"Bagaimana mungkin, Guru" Ketika ayahanda masih bertahta, rakyat sangat makmur. Kemiskinan dapat diberantas. Mengapa sekarang justru sebaliknya?" tanya Pangeran Prapanca sambil berlinang air mata. Kepalanya menggelenggeleng, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Begitulah keadaannya, Anakku. Aku pun tak tahu, mengapa begitu," gumam Resi Sureng Pari setengah mengeluh, diikuti desah nafasnya yang berat.
"Hhh...! Kasihan!" gumam Pangeran Prapanca lirih.
"Bukan hanya kasihan, Anakku. Tetapi sangat menyedihkan," kata Resi Sureng Pari dengan suara lirih pula.
"Kini rakyat sangat mengharapkan kehadiran penolongnya."
"Apa yang sebenarnya telah terjadi, Guru?"
"Penyiksaan. Penindasan terhadap rakyat," jawab Resi Sureng Pari masih dengan mata berkaca- kaca. Orang tua berjubah putih ala resi ini, tak sanggup menyaksikan penderitaan rakyat Kerajaan Surya Langit, "Memang sepintas orang akan melihat bahwa kerajaan makmur, karena banyaknya pembangunan.
Tetapi kenyataannya, rakyatlah yang menderita. Mereka dipaksa untuk menjual tanahnya dengan harga yang serendah mungkin. Rakyat diperintah untuk hidup hemat, sementara orang-orang besar hidup bermewah-mewah. Bahkan mereka bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Mereka memelihara gunduk bukan hanya satu, tetapi empat atau lima." Pangeran Prapanca tanpa sadar mengepalkan tinjunya. Jiwanya menggelora, setelah mendengar penuturan sang Guru. Hatinya benar-benar marah. Kalau saja hanya keluarganya yang menjadi korban, mungkin tidaklah seperti itu kemarahannya. Namun ini rakyat, yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban. Keji! Sangat keji perbuatan itu. Di atas penderitaan rakyat, orang-orang yang mengaku sebagai pemimpin, dan orang pintar, justru berpesta-pora. Menghambur-hamburkan uang mereka, untuk bersenangsenang dengan gundik-gundik jelita.
"Guru, izinkanlah aku turun! Bagaimanapun aku tak tega jika rakyat harus menderita seperti itu.
Ini harus dihentikan, Guru"
"Aku tahu, Anakku. Tetapi, kita tak mungkin melakukan seorang diri. Kita lemah," desah sedih Resi Sureng Pari, "Kalau kau memang mau turun gunung, aku merestui. Tolonglah rakyat Kerajaan Surya Langit yang menderita. Tegakan kebenaran dan keadilan. Satu hal yang harus kau ingat, jangan kau menampakkan diri. Karena hal itu akan membahayakan dirimu."
"Kenapa, Guru?" tanya Pangeran Prapanca ingin tahu.
"Dengan kehadiranmu, rakyat tentu sangat mengharapkan kau mau menjadi raja. Ketika itu bukan tak mungkin ada orang yang menginginkan kematianmu, Anakku," kata Resi Sureng Pari menasihati sang Murid.
"Baiklah, Guru. Muridmu akan selalu ingat."
"Satu hal lagi yang harus kau perhatikan, Anakku."
"Kalau aku boleh tahu, apa itu, Guru?" tanya Pangeran Prapanca.
"Menurut kabar yang kudengar, sekarang telah muncul seorang pendekar yang usianya sebaya dengan usiamu, Anakku. Dia terkenal dengan sebutan Pendekar Gila. Dia penegak kebenaran dan keadilan. Selain itu, ada seorang wanita yang mungkin usianya sebaya denganmu dan dia merupakan kekasih dari Pendekar Gila. Dia bernama Mei Lie, atau lebih dikenal dengan sebutan Bidadari Pencabut Nyawa. Kalau kau bertemu dengan mereka, usahakan jangan sampai bentrok. Karena ilmu mereka sangat tinggi. Bahkan aku pun belum apa-apa dibandingkan dengan mereka. Mintalah bantuan mereka! Kuharap mereka akan mau membantumu."
"Baiklah, Guru. Semua petuah yang Guru berikan, akan aku ingat" Keesokkan harinya, Pangeran Prapanca bermaksud meninggalkan perguruan. Saat itu, Pranala yang melihat kakak seperguruannya hendak pergi, meminta pada Resi Sureng Pari agar diizinkan ikut ser-ta.
"Guru, izinkanlah murid menemani Kakang Prapanca!"
"Kalau memang itu kehendakmu, ikutlah! Temani kakakmu dalam suka dan duka," pesan Resi Sureng Pari.
"Baik, Guru." Hari itu, kedua kakak beradik seperguruan pun melakukan perjalanan untuk melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di Kerajaan Surya Langit "Apa yang dikatakan guru, ternyata benar," desah Pangeran Prapanca mengakhiri ceritanya.
"Penindasan, dan kesewenang-wenangan terjadi di sana sini.
Akhirnya, kami bersepakat mencuri, lalu hasilnya kami bagikan pada rakyat yang menderita." Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Ada perasaan sedih di wajahnya. Namun tingkah lakunya yang konyol, kembali muncul. Mulutnya cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Mei Lie, kini kelihatannya terhanyut dalam cerita yang tadi disampaikan Pangeran Prapanca.
"Aha, jadi kalian murid Resi Sureng Pari?" tanya Pendekar Gila, dengan tingkah lakunya yang masih konyol. Mulutnya cengengesan, sedangkan jari tangannya menyentil-nyentil serabut tikar yang mencuat ke atas.
"Begitulah, Tuan," jawab Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, jangan kau sebut aku 'tuan'. Namaku Sena," sahut Pendekar Gila memperkenalkan diri.
"Oh, sudah kuduga, kalau Tuan-lah Pendekar Gila yang dimaksudkan guru. Dan tentunya, Nisanak ini pasti Mei Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa," kata Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi...! Dan tentunya, kau Pangeran Prapanca, bukan?" tebak Sena.
"Pranala. Hua ha ha...!" lanjutnya sambil menuding Pranala.
Betapa senangnya Pangeran Prapanca, setelah tahu kalau kini sedang berhadap-hadapan dengan Pendekar Gila. Tak terkira rasa terharu, di dalam hati putra mahkota itu.
Dipeluknya Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tuan Pendekar, tolonglah rakyatku!" harap Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, mengapa kau seperti anak kecil, Pangeran" Bangunlah! Lucu sekali, kalau seorang pendekar menangis seperti anak kecil. Tak layak, meratap memelas meminta dikasihani," ujar Pendekar Gi-la sambil berusaha membantu Pangeran Prapanca bangun.
"Pangeran, kebenaran dan keadilan, senantiasa dalam lingkungan Hyang Widhi. Aku, dan Mei Lie akan membantumu. Kau tetaplah berjuang, membantu rakyat yang menderita! Kami berdua, akan turut di belakangmu. Kita bangkitkan semangat rakyat!"
"Oh, terima kasih, Tuan."
"Sena," sahut Pendekar Gila.
"Terima kasih, Sena, Mei Lie. Sungguh tak terkira bahagianya hatiku, mendengar kalian bersedia membantuku," ujar Pangeran Prapanca sambil menggeleng-gelengkan kepala. Matanya menatap penuh persahabatan pada Pendekar Gila dan Mei Lie, yang tersenyum saling pandang.
"Kurasa, bukan kami berdua saja yang akan membantumu, Pangeran. Buto Gege pun, akan kuminta bantuannya. Kuharap dia bersedia membantu kita! Mei Lie dan aku, akan berusaha menghimpun para pendekar," ujar Sena.
"Terima kasih..., terima kasih...."
"Eh eh eh, aku bukanlah raja yang harus disembah," kata Sena sambil membangunkan Pangeran Prapanca dan Pranala yang hendak menyembah.
"Sebagai kawan, sepantasnya aku berjuang demi rakyat kerajaan mu, tanpa pamrih," ujarnya kemudian.
Pangeran Prapanca dan Pranala terpaku mendengar penuturan Pendekar Gila. Mata mereka memandang pemuda bertingkah seperti orang gila itu.
Sedangkan mulut mereka melongo bengong. Tak menyangka, kalau mereka akan mendengar petuah yang begitu bijaksana dari seorang pemuda sebayanya yang bertingkah laku gila.
"Oh, kau benar-benar seorang kawan sejati, Sena. Betapa kecil dan tak berartinya diriku, dibandingkan dengan kalian," kata Pangeran Prapanca dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Ah..., tidak Pangeran," kilah Mei Lie yang sedari tadi masih diam dengan senyum mengembang, yang menjadikannya semakin bertambah cantik.
"Semua manusia sama, ada kelebihan dan ada kekurangannya."
"Benar apa yang kau katakan, Mei Lie. Sungguh beruntung sekali, aku menemukan kawan-kawan yang berjiwa besar," gumam Pangeran Prapanca sambil melirik pada Pranala yang juga tersenyum.
"Kurasa, ki-ta harus merayakan pertemuan ini. Pranala, apakah arak masih ada?"
"Masih, Kakang," jawab Pranala.
"Ambillah! Kita rayakan persahabatan ini," perintah Pangeran Prapanca pada saudara seperguruannya yang juga merupakan sahabat sejak kecil itu.
"Baik, Kakang." Pranala pun segera berlalu meninggalkan mereka untuk mengambil guci-guci arak.
Tidak lama kemudian, Pranala telah keluar membawa empat guci yang berisi arak. Ditaruhnya keempat guci itu di atas tikar daun pandan.
"Mari, saudara Sena dan Mei Lie! Sebagai tanda persaudaraan kita, kita rayakan dengan meminum arak!" ajak Pangeran Prapanca.
"Mari!" jawab Mei Lie dan Sena bareng.
Namun tiba-tiba dari luar terdengar bentakan keras, yang menyebabkan mereka mengurungkan meminum arak.
"Orang-orang pengacau! Keluar kalian! Tempat kalian telah kami kepung...!"
"Heh"!" Sena tersentak.
"Hah"!"
***
¦≈ȸ| 9 |ȸ≈¦
"Hua ha ha...! Orang-orang tolol yang ada di luar. Kalau kalian mau ikut pesta, masuklah!" seru Sena sambil memberi kode pada ketiga orang temannya yang mengangguk mengerti.
"Cuih! Bocah gila dari mana yang berani berkoar"!" terdengar suara mendengus marah.
"Prajurit, serang mereka!" Sena cengengesan dengan tangan menggarukgaruk kepala.
"Aha, kita akan berpesta besar, Kawan. Bersiaplah menyambut lalat-lalat sombong itu!" ujar Sena.
Srt! Srt! Pangeran Prapanca dan Pranala segera mencabut pedang mereka. Sementara Pendekar Gila dan Mei Lie nampak masih tenang, mengintai keluar. Nampak sepuluh prajurit dengan senjata siap di tangan, berlari ke gubuk tempat keempat pendekar muda berada.
"Seraaang...!" Terdengar seruan dari luar, memerintah pada prajurit untuk melakukan serangan.
"Aha, kita akan mulai pesta, Kawan!" Dengan cepat Pendekar Gila membuka pintu itu. Kemudian dengan cepat pula dihantamkan pukulan jarak jauh. Begitu pula dengan Mei Lie, langsung menghantamkan pukulan jarak jauhnya yang tak kalah dahsyat.
"Hea!"
"Yea!" Angin kencang melesat cepat memburu sepuluh prajurit yang hendak menyerang ke gubuk. Angin itu, keluar dari pukulan yang dilontarkan Pendekar Gila.
Dibarengi larikan sinar merah kuning yang panas, yang keluar dari hantaman tangan Mei Lie.
Zrt! Srt! Prattts! "Akh...!" sepuluh orang prajurit langsung memekik. Ada yang terpental ke belakang kemudian membentur pepohonan. Ada yang terbakar dan hangus. Dalam sekejap saja, tubuh mereka berhamburan tak menentu arah. Hal itu membuat Perdana Menteri Giri Gantra yang memimpin langsung penyerbuan dengan dibantu beberapa tokoh hitam, semakin bertambah marah.
"Kurang ajar! Seraaang...!" teriak Perdana Menteri Giri Gantra sambil menggerakkan tangan. Seketika para prajurit kerajaan yang berjumlah dua puluh orang melakukan serangan susulan.
Kedua puluh orang prajurit itu, langsung menyerbu dengan senjata diayun-ayunkan. Sementara Perdana Menteri Giri Gantra, dengan senyum sinis seperti yakin akan menang duduk di atas kuda dengan angkuhnya. Di samping kanan dan kirinya, duduk di punggung kuda dua tokoh aliran hitam. Keduanya tak lain Ki Naga Wilis dan Panglima Utama Rawa Sekti.
Di belakang mereka, juga menunggang kuda empat tokoh dunia persilatan. Mereka tak lain, Nyi Ro-ro Cenil, Tirta Kayonan atau si Pisau Maut, Gagak Selo, dan Resi Wisangkara. Sementara Buto Gege tak nampak bersama mereka. Nampaknya sejak pertemuan dengan Pendekar Gila, manusia raksasa itu tak mau lagi membantu pihak kerajaan. Karena dirinya tahu, akan berhadapan dengan Pendekar Gila yang ilmu kesaktiannya tentu sama dengan kesaktian gurunya, Singo Edan.
Sementara Pendekar Gila yang melihat dua puluh prajurit menyerang, tak mau diam begitu saja. Segera dicabutnya Suling Naga Sakti. Begitu juga dengan Mei Lie. Gadis itu segera mencabut Pedang Bidadarinya.
"Aha, mendekatlah, Tikus-tikus Tolol! Kita pesta bersama!" seru Sena.
"Kita harus menghadang mereka, Kakang!" ujar Mei Lie.
"Kau takut?" tanya Sena.
"Tidak!" jawab Mei Lie.
"Aha, bagus! Sebagai calon istriku, kau tak boleh takut," kata Sena yang membuat pipi Mei Lie me-rona merah karena malu. Sebab di situ ada Pangeran Prapanca dan Pranala, yang tampak tersenyumsenyum mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Sena, mereka semakin dekat!" seru Pangeran Prapanca mengingatkan.
"Aha, kita ladeni mereka!" sahut Pendekar Gila dengan cengengesan dan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan berjingkrak seperti seekor kera Pendekar Gila, melangkah keluar diikuti Mei Lie dan Pangeran Prapanca dan Pranala.
"Heaaa...!" Trang! Trang! Prakkk! Pertarungan seru antara keempat pendekar melawan para prajurit kerajaan pun tak terelakkan. Dalam sekejap saja, mereka telah terlibat dalam pertempuran sengit. Suasana hutan bambu yang semula sepi, seketika berubah hiruk-pikuk. Suara jeritan dan pekikan keras terdengar ditingkahi pula dentangan nyaring pedang dan golok atau tombak saling beradu. Pepohonan bambu morat-marit bertumbangan terterjang dan terbabat senjata yang saling dikerahkan dengan tenaga dalam.
"Heaaa...!"
"Hi hi hi...! Kurasa pesta akan semakin meriah, Kawan," kata Pendekar Gila sambil cengengesan. Tangannya yang memegang Suling Naga Sakti, tak hentihentinya menyambar ke tubuh lawan. Ucapannya ditujukan pada Pangeran Prapanca yang sudah mengenakan kembali cadar birunya, sehingga tidak dapat dikenali. Pendekar Gila dengan jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', melesat ke sana kemari sambil membabatkan sulingnya. Sebentar kemudian tampak tubuhnya telah berayun-ayun di pohon-pohon bambu, mirip kera. Sementara tak henti-henti sulingnya dipukulkan ke kepala lawan yang berusaha menyerang.
Mulutnya terus tertawa terbahak-bahak jika melihat lawan terpental lalu pingsan tersambar senjatanya yang terus berkelebat.
"Hi hi hi...! Kawan, puaskan hatimu berpesta!" seru Sena pada Pangeran Prapanca dan Pranala yang menyerang lawan-lawannya tak kalah ganas. Pedang di tangan mereka, bergerak cepat membabat Setiap babatan pedang mereka, membuat nyawa prajurit melayang.
"Hea!" Wrt! Crab! "Akh...!" dua orang prajurit terjungkal terbabat pedang di tangan Pangeran Prapanca dan Pranala.
Mei Lie pun yang dekat dengan Pendekar Gila, bagaikan harimau betina yang garang. Julukannya sebagai Bidadari Pencabut Nyawa ternyata bukan julukan kosong. Sekali tangannya bergerak menggunakan jurus 'Tebasan Bidadari Menyapu Jagad' sangat dahsyat. Sekali pedangnya bergerak, lima prajurit terpekik keras dengan tubuh berlumuran darah.
"Hea!" Wrt! Cras! Cras! Crasss...! "Okh"!" Lima prajurit seketika ambruk, Pangeran Prapanca dan Pranala terbelalak kaget. Mereka baru melihat sebuah jurus ilmu pedang yang sangat dahsyat.
Sekali gerak, lima prajurit terbabat perutnya.
"Hah...! Siapa perempuan itu..."!" Bahkan bukan hanya Pangeran Prapanca dan Pranala saja yang membelalakkan mata, menyaksikan kehebatan jurus pedang Mei Lie. Semua yang ada di hutan bambu terbelalak kaget. Hanya Pendekar Gila yang masih cengengesan dengan tubuh berayun-ayun tak ubahnya seekor kera sambil cengengesan dan terus menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya kau sedang haus darah, Mei! Hi hi hi...!' Resi Wisangkara yang sudah menjajaki ilmu pedang Mei Lie, nampak bergidik menyaksikan bagaimana dahsyatnya ilmu pedang gadis Cina itu. Dia tak dapat membayangkan kalau beberapa waktu lalu ketika mereka bertarung, Mei Lie melakukan hal serupa.
Tentu tubuhnya yang gemuk dan tinggi besar itu akan hancur. Mengerikan! Melihat banyak prajuritnya mati, bukan membuat Perdana Menteri Giri Gantra menyadari kalau lawan tidak enteng. Bahkan Perdana Menteri Giri Gantra semakin marah. Hatinya semakin penasaran, ingin melihat sampai sejauh mana keempat pendekar menghadapi anak buahnya.
"Roro Cenil, Gagak Selo, Tirta Kayon, dan Resi Wisangkara, pimpinan prajurit! Tangkap mereka...!" perintah Perdana Menteri Giri Gantra semakin bertambah gusar, menyaksikan kedua puluh prajuritnya kocar-kacir dan banyak yang mati. Kini tinggal empat orang prajurit Itu pun sudah kelihatan tak bakal hidup lagi, mengingat keempat pendekar bukanlah lawan yang enteng.
"Baik!" jawab Tirta Kayon, merasa yakin akan menang menghadapi keempat pendekar.
Sementara Gagak Selo, Nyi Roro Cenil, dan Resi Wisangkara yang sudah pernah bentrok dengan mereka kelihatan agak ciut nyalinya. Mereka tak berani sesumbar. Keempat tokoh persilatan itu segera melesat dengan diikuti dua puluh orang prajurit lagi untuk menggempur Pendekar Gila dan teman-temannya.
"Seraaang...!" teriak Tirta Kayon memerintah.
"Aha, bagus! Semakin besar pestanya, Kawan!" seru Sena sekaligus sebagai isyarat perintah bagi Pangeran Prapanca dan Pranala serta Mei Lie untuk memapaki serangan prajurit kerajaan yang dibantu keempat tokoh persilatan.
Pertarungan seru berlangsung lagi. Kini Pendekar Gila yang melihat keempat orang persilatan turut serta, tak mau menganggap remeh. Dengan jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', Pendekar Gila bergerak menyerang lawan-lawannya. Suling Naga Sakti di tangan kanannya, bergerak menghantam kepala para prajurit yang mengurungnya.
Tuk! Tuk! Tukkk...! "Aduh!"
"Wuaaa...!" Lima orang prajurit yang terkena patukan kepala Suling Naga Sakti, seketika berputar-putar sempoyongan. Pandangan mereka berkunang-kunang. Kepala mereka berdenyut-denyut sakit, kemudian ambruk ke tanah dan pingsan.
Melihat kelima anak buahnya dalam sekali ge brak dapat dirobohkan oleh Pendekar Gila, si Pisau Maut segera melemparkan puluhan pisau kecil yang menghias di dadanya.
"Hea!" Swing! Swing! Lima pisau kecil beracun melesat ke tubuh Pendekar Gila, namun dengan cepat Pendekar Gila mengelak. Tubuhnya melejit ke atas, kemudian dengan gerakan ringan tangannya mengibaskan Suling Naga Sakti memapak pisau-pisau itu.
Trang! Trang! Pluk! Pluk! Pisau-pisau itu berpentalan jatuh dan patah karena tersambar Suling Naga Sakti. Hal itu membuat Tirta Kayon tersentak kaget dengan mata terbelalak.
Sepertinya tak percaya, kalau pisau-pisau mautnya yang terkenal tak pernah luput memburu lawan, kini dengan sekali kibas saja berguguran ke tanah.
"Heh"!"
"Hua ha ha...! Pisaumu terlalu tumpul, Kawan!" ejek Pendekar Gila dengan tawanya yang nyaring, berusaha membangkitkan amarah lawan. Namun Tirta Kayon yang menyadari kalau pemuda gila itu bukan lawan sembarangan, kini nampak hati-hati.
"Hm, pemuda ini bukan pemuda sembarangan.
Meski tingkah lakunya persis orang gila, ilmunya sangat tinggi. Apalagi suling berkepala naga itu," gumam Tirta Kayon dalam hari.
Matanya memandang tajam menyelidik Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
***
"Hea!" Wrt! Wrt! "Uhhh...!" keluh Nyi Roro Cenil sambil melompat ke belakang dengan mata membelalak. Dirasakan serangan lawan begitu membahayakan dan mengeluarkan hawa panas. Namun baru saja melompat, terdengar olehnya pekikan kematian kelima prajuritnya yang terbabat pedang Mei Lie.
Cras! Cras! Crasss...! "Akh...!" Mei Lie yang sudah menyelesaikan kelima prajurit, segera memburu Nyi Roro Cenil. Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggali Gunung', gadis itu terus menyerang Nyi Roro Cenil yang tampak kelabakan.
"Hea!" Wrt! Wrt! "Celaka!" pekik Nyi Roro Cenil sambil berusaha mengelakkan serangan pedang lawan. Tangannya yang memegang pedang, dengan cepat dibabatkan memapak pedang lawan yang hendak menyerang.
"Tak ada jalan lain. Heaaa...!" Wrt! Trang! Prak! "Hah"!" Nyi Roro Cenil mendelik, mendapatkan pedangnya dapat dibabat pedang lawan. Pedangnya kini patah menjadi dua. Belum juga Nyi Roro Cenil hilang rasa kagetnya, tiba-tiba Mei Lie telah kembali membabatkan Pedang Bidadari-nya yang mengeluarkan sinar kuning keemasan-emasan.
"Hea!" Wrt! Nyi Roro Cenil yang tersentak kaget, dengan cepat berkelit ke samping kanan. Namun gerakan pedang Mei Lie, ternyata jauh lebih cepat. Sehingga....
Cras! "Akh...! Tobat..!" Nyi Roro Cenil memekik, ketika bahu tangan kirinya terbabat Pedang Bidadari. Seketika itu pula, tangan kin Nyi Roro Cenil putus dan jatuh ke tanah dengan darah menyembur keluar. Perempuan setengah baya itu menjerit kemudian lari meninggalkan pertarungan sambil mencaci-maki.
"Tunggulah pembalasanku, Bidadari...," Nyi Roro Cenil terus melesat semakin jauh. Tak menghiraukan ancaman Nyi Roro Cenil yang terus lari meninggalkan hutan bambu, Mei Lie yang melihat Pranala dalam keadaan terjepit diserang Gagak Selo segera membantu. Namun belum juga Mei Lie menyerang, lima prajurit Gagak Selo telah menghadangnya. Sedangkan Gagak Selo kini terus menyerang Pranala, bahkan....
"Heaaa!" Wrt! "Ukh...!" Pranala tersentak, ketika cadarnya terbuka. Seketika semua orang yang melihat tersentak kaget, tak urung Perdana Menteri Giri Gantra sendiri "Kau"!" mata Perdana Menteri Giri Gantra membelalak, setelah mengenali siapa lelaki bercadar ungu. Gagak Selo yang terkesiap setelah tahu siapa maling budiman, tak dapat mengelitkan sebuah pukulan telak yang dilancarkan Pranala. Dan....
Degkh! "Ukh! Hoakh...!" Gagak Selo memuntahkan darah segar, kemudian ambruk pingsan dengan luka dalam. Para prajurit pun mati dengan perut terbabat pedang di tangan Mei Lie. Sementara Pangeran Prapanca yang bertarung menghadapi Resi Wisangkara, nampak masih terus berusaha melepaskan diri dari desakan lelaki tinggi besar itu, yang terus mencecar dengan cakaran tangannya.
"Hea!" kembali Resi Wisangkara mencakar ke wajah lawan. Gerakannya sangat cepat, membuat Pangeran Prapanca tersentak kaget. Pangeran muda itu, berusaha menghindar ke samping sambil membabatkan pedangnya. Namun ternyata serangan Resi Wisangkara itu hanya pancingan. Ketika pedang lawan, membabat tangan kanannya, dengan cepat Resi Wisangkara menarik serangannya. Kemudian dengan cepat menggerakkan tangan kiri, mencakar ke wajah lawan dan merenggut cadar biru yang menutupinya.
"Hih...!" Bret! "Hah..."!" Semua mata terbelalak, menyaksikan siapa sebenarnya maling budiman itu. Bahkan Resi Wisangkara sampai melototkan mata hampir keluar, setelah tahu siapa lawannya. Sedangkan Perdana Menteri Giri Gantra terpaku di punggung kudanya, memandang bagai tak percaya pada apa yang dilihatnya.
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
7 Tumbal Perawan --oo0oo-- Ular Kobra Dari Utara |