Kutukan Berdarah
tanztj
March 15, 2016
INDEX PENDEKAR GILA | |
Kitab Ajian Dewa --oo0oo-- Kemelut Di Karang Galuh |
SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
::₪| 1 |₪::
Padepokan itu hanya dihuni dua orang, guru dan murid. Sang Guru yang bernama Ki Pramanu berusia sekitar tujuh puluh tahun. Sedangkan murid satu-satunya berusia sekitar dua puluh lima tahun, bernama Sugali. Saat itu, di dalam padepokan, Ki Pramanu tengah duduk menjalani semadi. Lelaki tua berkumis dan berjenggot panjang itu, nampak duduk bersila di atas sebuah batu datar. Matanya terpejam rapat Tampaknya kakek berjubah merah itu, benar-benar memusatkan hati dan pikirannya. Hikmat dan begitu tenang.
Ketika Ki Pramanu sedang khusyuk semadi, Sugali masuk. Kedatangan sang Murid membuat Ki Pramanu menghentikan semadinya.
"Ada apa, Gali" Kulihat wajahmu gelisah. Aku tahu hatimu tak tenang," gumam Ki Pramanu seraya menatap wajah Sugali.
"Hhh...! Aku akan mencari Pendekar Gila, Guru," jawab Sugali dengan dada naik turun, seperti tengah menahan kemarahan.
Dendamnya pada Pendekar Gila berkobar-kobar laksana api. Dendam seorang anak yang ingin menunjukkan bakti kepada kedua orang-tuanya. Tak mampu dilupakan kematian orangtuanya di tangan seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Ki Pramanu masih terdiam, belum memberi tanggapan. Matanya memperhatikan wajah Sugali yang gelisah.
"Dia telah membunuh kedua orangtua ku."
"Hm... aku tahu, Sugali. Namun apa kau telah tahu masalah sebenarnya...?" tanya Ki Pramanu. Lelaki tua itu seakan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana sang Murid. Dirinya tahu benar siapa Sena Manggala sebenarnya. Lebih dari itu, Ki Pramanu tahu benar apa sebenarnya yang telah terjadi pada kedua orangtua Sugali.
"Sudah, Guru," dengus Sugali penuh amarah, yang membuat Ki Pramanu hanya mampu mendesah panjang. Sebenarnya sang Guru tak menghendaki murid satu-satunya itu harus bermusuhan dengan Pendekar Gila. Namun nampaknya keadaan menghendaki lain.
Sugali memang anak sepasang tokoh beraliran sesat.
Ayahnya bernama Prikada. Sedangkan sang Ibu yang juga sealiran dengan suaminya bernama Dripadi.
"Tapi kedua orangtua mu yang salah dalam hal ini, Sugali."
"Memang kedua orangtua ku yang salah," Suga-li menghela napas berat "Nah, mengapa engkau mesti memperuncing permasalahan...?" tanya Ki Pramanu.
"Sebagai seorang anak yang berbakti, tentunya aku harus membela kedua orangtua ku," ujar Sugali masih dengan perasaan marah.
"Walau itu tindakan yang salah?" tanya Ki Pramanu.
"Ya!" tegas Sugali.
"Oooh...!" sang Guru mendesah panjang. Digelengkan kepala, seakan hendak membuang beban berat dalam benaknya.
"Sungguh kau tak memikirkan akibatnya, Gali!" ujar Ki Pramanu.
"Aku sudah memikirkannya, Guru," sahut Sugali ketus.
"Aku sudah mempersiapkan segala akibatnya yang bakal terjadi...."
"Heh, kau memang pemberani! Tetapi keberanianmu tidak pada tempatnya," gumam Ki Pramanu.
"Seharusnya kau bersyukur, ayah dan ibumu dapat mati dengan sempurna. Kalau tanpa bantuan Pendekar Gila, kedua orangtua mu akan menjadi hamba setan untuk selamanya!"
"Guru membela dia?" tanya Sugali dengan nada tak suka.
Ki Pramanu kembali menarik napas panjang.
Ucapan sang Murid seakan menusuk tajam, menghujam di lubuk hatinya. Kini lelaki tua itu, merasa seperti dalam keadaan yang serba salah. Padahal dirinya memperingatkan sang Murid, karena tak ingin Sugali menjadi korban Pendekar Gila. Cukup kedua orangtuanya saja yang menjadi korban.
Sebenarnya Ki Pramanu pun menyimpan dendam terhadap Pendekar Gila. Namun bila dirasa, dendam tak akan pernah habis. Dendam kesumat seperti itu hanya akan menyebabkan pertumpahan darah. Bila ingat dan sadar akan hal itu, maka lelaki tua itu pun segera menguburkannya dalam-dalam.
Kini, Ki Pramanu kembali diingatkan pada masalah adik seperguruannya, yang mati di tangan Pendekar Gila. Namun, seperti kedua orangtua Sugali, adiknya pun merupakan tokoh aliran sesat. Ya, Datuk Raja Beracun adalah orang sesat. Maka sewajarnyalah kalau Pendekar Gila menumpasnya.
Bukan dirinya merasa takut terhadap pendekar muda itu, tapi percuma saja. Bukan kemenangan yang akan diperolehnya, melainkan kebinasaan yang sia-sia.
Ilmu pendekar itu sangat tinggi. Jangankan tokoh seperti dirinya. Para datuk dan siluman pun akan bingung bila harus menghadapi Pendekar Gila, apalagi kalau pendekar yang bertingkah laku seperti orang gila itu telah mengeluarkan senjatanya, berupa suling.
"Aku bukan membelanya, Gali," ujar Ki Prama-nu dengan suara lemah. Dirinya sadar kalau Sugali bukan anak-anak lagi. Muridnya kini telah dewasa.
Berhak menentukan sendiri jalan hidupnya. Namun, bila sang Murid salah melangkah, apakah harus berdiam diri begitu saja" Guru macam apakah dia"
"Aku hanya ingin mengingatkan padamu, siapa sebenarnya Pendekar Gila." Sugali terdiam mendengar ucapan Ki Pramanu.
Seakan ucapan sang Guru menyentakkan dirinya untuk kembali berpikir. Memang kalau dipikir benarbenar, kedua orangtuanya yang salah dalam hal ini.
Kedua orangtuanya yang telah menyebabkan Pendekar Gila melakukan tindakan itu. Karena bila tidak, bencana akan mengancam kehidupan manusia.
Kedua orangtuanya telah bersekutu dengan Buto Ijo, iblis yang mampu memberi kehidupan. Buto Ijo itu dapat memberi kekayaan untuk mencukupi bagi kehidupan pemujanya.
Sebuah persekutuan dengan iblis yang saling keterkaitan. Kedudukan orangtua Sugali harus selalu menyediakan korban yang disebut tumbal untuk sang Buto. Sementara orangtuanya pun mendapatkan imbalan berupa harta kekayaan yang datang sendiri bila telah mempersembahkan tumbal.
Bila hal itu berjalan terus-menerus, kekayaan orangtua Sugali makin menumpuk. Sementara manusia akan makin berkurang, dibunuh sebagai tumbal persembahan bagi Buto Ijo.
Kalau saja Sugali berpikir jauh, bukankah adiknya sendiri telah dijadikan tumbal pertama" Tumbal untuk menentukan kuat tidaknya Prikada dan Dripadi menghadapi ujian. Tumbal inilah yang akhirnya menyebabkan kedua orangtua Sugali itu kuat dan tahan terhadap jeritan kematian para tetangga atau anak-anaknya ketika dimangsa sang Buto Ijo.
Bila mengingat itu semua, seketika Sugali menangis. Menangis meratapi kesesatan yang dilakukan orangtuanya, "Tapi mereka melakukan juga karena aku," gumam Sugali dalam hati.
"Ya, karena akulah kedua orangtua ku harus menyimpang dari keadaan sebenarnya. Aku memang yang menginginkan kedua orangtua ku kaya. Aku malu, bila mendengar segala cemooh dari tetangga yang tak menginginkan diriku main dengan anak-anaknya karena aku miskin.
Oooh...!"
"Sepertinya engkau mengenang sesuatu, Gali?" tanya sang Guru yang melihat perubahan di wajah muridnya.
"Apa yang tengah engkau pikirkan?" Sugali tersentak kaget. Dengan secara tak sengaja matanya menatap wajah tua di hadapannya. Wajah lelaki tua yang seakan mengandung ribuan goresan pengalaman hidup, baik yang senang maupun susah.
Seraut wajah gurunya, yang terselubung dengan kemisteriusan. Sampai sekarang pun sebenarnya Sugali belum mengenal siapa dan dari mana Ki Pramanu. Nama sang Guru, seakan tiada melekat. Aneh memang. Selama lima tahun dirinya berguru pada lelaki tua renta berambut serba putih itu, tapi tak pernah sekalipun mengetahui siapa sebenarnya sang Guru. Sepertinya sang Guru sengaja selalu menyembunyikan jati dirinya. Atau barangkali Ki Pramanu menyimpan rasa takut sehingga menyembunyikan jati dirinya. Namun, takut pada siapa gurunya" Bukankah lelaki tua itu berilmu tinggi"
"Guru, apakah aku bersalah jika membela orangtua ku?" tanya Sugali.
"Apakah salah jika aku mendendam pada orang yang telah membinasakan kedua orangtua ku?" Ki Pramanu kembali tercenung diam. Hatinya menjerit, mendengar pertanyaan Sugali. Dirinya mendadak merasa bersalah, telah mengangkat manusia pendendam dan picik sebagai murid. Seorang anak yang telah tega menjerumuskan kedua orangtuanya, untuk melangkah di jalan yang salah. Jalan yang sesat. Manusia angkuh yang hanya mementingkan diri sendiri, walaupun harus mengorbankan saudaranya sendiri.
"Ooo...!" keluh Ki Pramanu dalam hati. Tak dis-adari, wajahnya kini nampak muram. Segala ingatan pada Datuk Raja Beracun kembali melintas, menguak kalbu untuk mengenang kembali kejadian yang menimpa adik seperguruannya itu.
Adik seperguruannya pun sesat, karena menuruti hasratnya. Datuk Raja Beracun, akhirnya mati di tangan Pendekar Gila setelah malang-melintang di rimba persilatan, sebagai datuk sesat yang banyak membuat keonaran.
"Ya, kau memang salah. Kesalahan pada tindakanmu yang hanya menuruti nafsu setan belaka," ujar Ki Pramanu dengan tegas.
"Kalau saja dulu kau tak merengek-rengek agar kedua orangtua mu kaya, tentu keadaannya tak seperti ini. Hhh...! Nasi sudah menjadi bubur. Segalanya kini kuserahkan kepadamu. Kaulah yang berhak menentukan. Aku tak bisa membantumu." Sugali terpaku diam, tak dapat berkata apa-apa. Harapan agar sang Guru bersedia membela dan membantunya menghadapi Pendekar Gila, seketika pupus. Meski begitu Sugali bertekad harus menghadapi Pendekar Gila. Dirinya harus membalas dendam terhadap Pendekar Gila yang telah membunuh kedua orangtuanya.
***
"Mengapa guru sepertinya takut pada Pendekar Gila?" tanya Sugali dalam hati, merasa heran karena gurunya seperti takut pada Pendekar Gila.
"Apakah Guru mengizinkan ku mencari dia?" tanya Sugali.
"Apakah Guru mengizinkan aku menuntut balas terhadap Pendekar Gila?" ulang Sugali menegaskan.
"Tidak!" sahut Ki Pramanu tegas.
"Kenapa...?" Sugali menatap wajah lelaki tua itu penuh keheranan.
Untuk sekian kalinya, Ki Pramanu menarik napas panjang. Berat rasanya untuk menjawab pertanyaan sang Murid. Dirinya serba terjepit. Ke mana ia melangkah, jelas akan mendapatkan kesalahan. Membela muridnya, jelas dan pasti akan menghadapi kesalahan besar yang berbuntut harus berhadapan dengan Pendekar Gila. Bila diam saja, apa artinya seorang guru yang membiarkan sang Murid harus menghadapi segala masalah hidupnya sendiri.
"Bagaimana, Guru?" desak Sugali.
"Apakah tak ada jalan lain, Sugali?"
"Tidak ada."
"Hm...!" gumam Ki Pramanu.
"Rupanya kau hanya berpikir pada satu jalan, Muridku.
Aku kira, ada jalan lain agar kita tak harus bentrok dengannya."
"Yang Guru maksudkan, kita damai?" tukas Sugali.
"Ya!" jawab Ki Pramanu.
"Ah...!"
"Kenapa, Gali?"
"Tidak! Aku tidak mau!" "Lalu apa yang kau mau, Gali?"
"Kematian! Dia atau aku yang harus mati," Sugali menyeringai, seolah-olah tengah memberikan tanda pada sang Guru, bahwa dirinya telah siap menanggung akibat.
"Ah...!" pekik Ki Pramanu kaget.
"Rupanya Guru takut menghadapinya," sindir Sugali dengan nada sinis.
"Hm, tak kusangka kalau guruku sepengecut itu!"
"Sugali! Lancang kau bicara!" bentak Ki Pramanu marah.
Sugali hanya mencibirkan mulut, seakan memang benar-benar ingin mengejek gurunya yang penakut. Sugali sungguh tak menyangka kalau gurunya sepengecut itu. Ki Pramanu yang telah dianggapnya orang paling sakti, ternyata takut menghadapi Pendekar Gila.
"Aku bicara benar, Guru! Kalau Guru memang tak mau dianggap pengecut, tentunya Guru mau membantuku."
"Bukankah selama lima tahun aku telah membantumu"!" bentak Ki Pramanu geram.
"Mendidik maksudmu?" Sugali kembali mencibir.
"Ya...!"
"Itu sudah kewajiban. Seorang guru wajib mendidik muridnya!" Sugali nampak ngotot bicara, tak mempedulikan dengan siapa dirinya berbicara.
Ki Pramanu tersentak kaget mendengar ucapan muridnya yang sangat keterlaluan. Hatinya kini terbakar amarah yang dinyalakan muridnya. Mata lelaki itu menatap tajam wajah Sugali, seakan-akan hendak menelan bulat-bulat tubuh sang Murid. Nafasnya mendesah berat, terasa sesak di dalam dada. Sebagai seorang guru, jelas dirinya tak mau menerima hinaan seperti itu dari sang Murid "Bagaimana" Apa engkau masih memungkiri?" tanya Sugali, dengan senyum sinis.
Makin terasa menyesak dada Ki Pramanu mendengar ucapan Sugali.
"Murid celaka! Kau tak ubahnya seperti iblis!" dengus Ki Pramanu marah.
"Kaulah yang celaka, Orang Tua!" bentak Sugali tak mau kalah.
"Sekali lagi kau berkata begitu, maka tak segan-segan aku menghajarmu, Gali!" ancam Ki Prama-nu.
Ki Pramanu benar-benar marah mendengar ucapan muridnya yang dirasa sangat menjengkelkan.
"Kalau engkau mau menghajarku, lakukanlah bila berani!" tentang Sugali.
"Iblis!" rutuk Ki Pramanu semakin marah.
"Hm, kau tak berani bukan?" ujar Sugali sinis, melihat gurunya yang sudah mengangkat tangan namun diurungkan.
"Bedebah! Kau berani menentangku, Gali?"
"Huh, kaulah yang mendahului." Ki Pramanu tak mampu menahan amarah. Nafasnya makin memburu. Marah dan kesal melanda hatinya. Mata tuanya kini nampak memerah, seakan hendak menghujam ke dalam kalbu Sugali "Minggat kau dari sini!" seru Ki Pramanu, melihat Sugali masih tersenyum mencibirkan bibir.
"Kau yang harus minggat!" Tak kalah geram, Sugali membentak Ki Pramanu. Kini, kedua murid dan guru itu telah sama-sama berdiri. Di wajah mereka tergambar ketegangan. Mata ke-duanya saling menatap tajam, seakan tak seorang pun yang mau mengalah untuk mengakhiri perselisihan itu. Sugali merasa dirinya telah mampu dan menjadi seorang pendekar. Kini berani merendahkan gurunya yang telah lima tahun mendidik dan membimbingnya sebagai anak dan murid.
"Apa hakmu, Anak Iblis!" bentak Ki Pramanu geram.
"Kalau tak minggat secepatnya, jangan salahkan aku menghajarmu, Orang Tua!" ancam Sugali.
Gusar dan marah hati Ki Pramanu mendengar ucapan muridnya yang kurang ajar itu. Sebagai seorang guru, apalagi sebagai orang tua, jelas dirinya tak mau diperlakukan sekasar itu. Perlakuan yang dirasakan telah menginjak-injak kehormatan sekaligus harga dirinya.
"Setan! Kalau aku tak mau, kau mau apa, Murid Durhaka?" Sugali tersenyum sinis. Matanya yang merah menatap tajam Ki Pramanu.
"Tua bangka cerewet! Kalau kau tetap tak mau, maka kematian untukmu!" Tersentak Ki Pramanu ketika melihat Sugali mencabut pedang yang tergantung di dinding padepokan. Pedang Dewa Naga miliknya yang merupakan pedang pusaka itu, kini tengah ditimang-timbang di tangan Sugali.
"Kau...!" pekik Ki Pramanu dengan mata membelalak kaget, melihat muridnya telah memegang Pedang Dewa Naga.
"Ya! Kau boleh memilih, menurut denganku atau selembar nyawa tuamu harus melayang dari ragamu yang telah bau tanah"!" ancam Sugali dengan tersenyum sinis.
Ki Pramanu menyurut mundur, ketika Pedang Dewa Naga diacungkan ke tubuhnya. Matanya nampak membeliak. Mata tua itu sepertinya menyiratkan rasa takut yang teramat sangat. Bayang-bayang kematian akibat Pedang Dewa Naga kembali tergambar di pelupuk matanya. Kalau sudah keluar dari warangkanya, Pedang Dewa Naga itu mau tak mau harus merenggut nyawa. Ki Pramanu terus menyurut mundur, ketika Pedang Dewa Naga di tangan Sugali semakin diarahkan ke tubuhnya. Di telinganya terdengar seruan seorang lelaki tua yang jelas-jelas dikenalnya. Suara itu seperti mengejeknya.
Pemilik suara itu tak lain Daeng Susukan, Pendekar Tanah Toraja. Seorang daeng aliran lurus, yang dibunuhnya ketika dirinya masih beraliran sesat "Pramanu, bukankah pembalasan itu akhirnya datang" Beruntung kini engkau telah lurus. Kalau tidak, niscaya engkau akan menjadi orang celaka di alam kematian. Alam tempatku kini berada. Terimalah segalanya Pramanu. Karena semua harus berjalan dengan semestinya. Hukum karma akan selalu berbicara. Dulu aku mati di Pedang Dewa Naga milikku. Kini kau pun mengalami hal yang serupa," suara itu terus terngiang-ngiang di telinga Ki Pramanu. Ucapan Daeng Susukan itu telah mengingatkan kembali tentang hukum karma di dunia ini. Ki Pramanu makin ketakutan. Dia semakin mundur, setapak demi setapak menjauhi Pedang Dewa Naga di tangan Sugali. Kemudian, setelah sampai di pintu, dengan cepat lelaki tua itu melompat dan berlari keluar dari padepokannya.
"Mau lari ke mana, Tua Bangka"!" seru Sugali.
Dengan Pedang Dewa Naga masih di tangan, Sugali terus mengejar gurunya.
"Ke mana pun kau lari aku akan mengejarmu!" Ki Pramanu terus berlari tanpa menghiraukan ucapan Sugali. Rasa takut terus membayang di wajahnya. Apalagi suara Daeng Susukan terus terngiangngiang di telinganya. Pendekar dari Tanah Toraja itu seakan-akan terus mengejarnya. Karena rasa takut itu, Ki Pramanu tak memperhatikan di depannya. Sebuah batu sebesar kepala terbentur kakinya. Seketika tubuh lelaki tua berjubah merah itu tersuruk dan jatuh.
Blukkk! "Aduh...!"
"Hua ha ha...! Kini kematianmu sudah di ambang pintu, Tua Bangka!" seru Sugali sambil tertawa terbahak-bahak.
Sugali melangkah mendekati tubuh Ki Pramanu yang masih tergeletak di tanah. Di bibirnya masih tersungging senyum sinis.
Pedang Dewa Naga diangkat tinggi-tinggi, siap menghujam ke tubuh Ki Pramanu.
Namun, pedang itu terus menggantung, seakan ada sesuatu kebimbangan di hati Sugali.
"Jangan lakukan, Gali!" seru sebuah suara yang ada di dalam hatinya, "Kau akan menyesal jika melakukannya! Dia gurumu, yang telah berjasa padamu!"
"Bodoh, jika kau tak melakukannya!" seru suara lain.
"Kalau dia masih hidup, senantiasa akan menjadi penghalang niatmu! Lakukanlah agar kau bebas dari-nya! Dengan Pedang Dewa Naga, kau akan menjadi tokoh sakti!" Sugali nampak masih bimbang. Terlebih ketika menyaksikan gurunya ketakutan, meratap agar dirinya tak melakukan pembunuhan terhadapnya. Namun bisikan iblis untuk membunuh, terus menggelitik batin Sugali. Melihat muridnya masih dalam kebimbangan, Ki Pramanu tak menyia-nyiakan kesempatan. Lelaki tua berjenggot putih itu segera bangkit berdiri, kemudian dengan cepat bergerak menyerang Sugali.
"Mampuslah, Murid Durhaka! Hea...!" Sugali yang tak menyangka kalau gurunya akan menyerang, tersentak kaget. Dirinya berusaha berkelit dari serangan Ki Pramanu. Namun gerakannya terlambat. Tanpa ampun lagi, sebuah pukulan keras yang dilancarkan lelaki tua berjubah merah itu mendarat telak di bawah pundak sebelah kirinya.
Degk! "Ukh...!" keluh Sugali dengan tubuh terhuyung-huyung mundur. Mulutnya meringis kesakitan. Ma- tanya terbelalak menatap Ki Pramanu. Dari sela bibirnya, meleleh darah segar.
"Keparat! Kubunuh kau, Tua Bangka Keparat! Hea...!" Dengan amarah yang meluap-luap, Sugali segera membabatkan Pedang Dewa Naga ke tubuh Ki Pramanu. Wrt! "Aits! Heg...!" Dengan cepat Ki Pramanu melompat ke belakang, mengelakkan sabetan pedang di tangan muridnya. Kaki kanannya ditekuk, sedangkan kaki kiri bergerak cepat menendang ke dada Sugali.
Wrt! "Yeaaa...!" Melihat gurunya menyerang, Sugali yang sudah marah segera merangsek. Pedang Dewa Naga di tangannya bergerak menusuk, kemudian membabat. Sementara tangan kiri dan kaki kanannya pun tak tinggal diam, turut melakukan serangan dengan pukulan dan tendangan.
"Hea!" Pertarungan antara guru dan murid itu semakin seru. Keduanya tak ingin menyia-nyiakan waktu.
Mereka saling mengeluarkan jurus-jurus andalan, yang bernama 'Belitan Naga'.
"Hea!"
"Yea!" Jika sama-sama bertangan kosong, Ki Pramanu mampu mengimbangi serangan muridnya. Bahkan mungkin dapat mengalahkannya dalam waktu tak terlalu lama. Namun kini Sugali memegang Pedang Dewa Naga, yang memiliki kekuatan tersendiri bagi pemegangnya. Pedang itu seakan mampu menambah kekuatan daya serang pemegangnya. Terbukti Ki Pramanu kelihatan mulai terdesak, karena tebasan dan tusukan yang dilancarkan Sugali.
"Hea!"
"Celaka! Dia benar-benar ingin membunuhku," keluh Ki Pramanu sambil berusaha mengelitkan sabetan-sabetan Pedang Dewa Naga yang mampu mengeluarkan hawa panas.
Wrt! Wuttt! "Aits!" Ki Pramanu melompat mundur, mengelakkan serangan yang dilancarkan Sugali. Kemudian dengan sebisanya, Ki Pramanu balas menyerang lewat tendangan kaki kanannya ke dada lawan, "Hea!"
"Mampuslah, Tua Bangka Keparat! Hea...!" setelah berhasil mengelitkan tendangan gurunya, dengan beringas dan diliputi hawa membunuh, Sugali kembali menyerang. Pedang Dewa Naga di tangan kanannya menyambar-nyambar laksana seekor ular naga yang berusaha mematuk mangsanya. Dari setiap sambarannya, keluar angin panas yang menderu-deru.
"Hah"! Celaka...!" Ki Pramanu kembali dikejutkan serangan beruntun dan cepat, yang dilancarkan muridnya. Dirinya berusaha menghindari sabetan dan tusukan pedang Sugali. Namun ke mana tubuhnya bergerak mengelak, Sugali terus memburunya. Seakan pemuda itu tak ingin melepaskan gurunya begitu saja.
"Mampuslah kau, Orang Tua Tolol! Hea...!" Sugali dengan segenap tenaganya memburu tubuh Ki Pramanu. Pedang di tangannya bergerak cepat, menebas dan menusuk.
"Aits! Hyang Widi, haruskah aku mati di tangan murid durhaka ini"!" desis Ki Pramanu sambil terus berusaha mengelakkan babatan pedang Sugali yang memburu cepat ke tubuhnya.
"Hea!" Wuttt! Wrt! Sugali terus merangsek dengan jurus 'Naga Mengamuk Mengarungi Samudera'. Pedang di tangannya bergerak cepat, memburu dengan babatan dan tusukan maut. Kedahsyatan serangan itu membuat hati Ki Pramanu semakin bertambah kecut. Apalagi pikiran-nya terus dibayangi suara Daeng Susukan, yang seperti tertawa kegirangan menyaksikan kutukannya bakal terjadi.
"Pramanu...! Kini tiba saatnya bagimu, menerima hukuman atas perbuatanmu dulu!" terdengar suara Daeng Susukan yang membuat Ki Pramanu bertambah tegang.
"Hea!" Sugali terus memburu dengan pedangnya, mendesak ke tubuh Ki Pramanu. Hal itu membuat lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu kian terjepit. Sehingga ketika Sugali kembali melancarkan serangan, Ki Pramanu telah terpojok. Tubuhnya mem bentur tebing batu tinggi yang ada di tempat itu.
"Uuuh, matilah aku...!"'keluh Ki Pramanu dengan menatap ngeri Pedang Dewa Naga yang melesat ke tubuhnya.
"Mampuslah kau, Orang Tua! Hea...!" Tidak...! Jangan...!" Bagaikan kesetanan, Sugali terus memburu dengan tusukan pedangnya ke tubuh Ki Pramanu yang terkulai ke bawah ketakutan. Dan....
Wrt! Crab! "Akh...!" Ki Pramanu menjerit setinggi langit, ketika Pedang Dewa Naga menghujam punggungnya, tembus sampai ke dada. Darah menyembur keluar, ketika Sugali mencabut pedang itu.
"Kau..., kau benar-benar iblis, Sugali! Kelak kau akan menyesal! Mukamu akan hancur oleh Pendekar Gila...! Kau..., kau akan hidup dengan muka yang hancur. Sampai akhirnya, kau akan mati di tangan seorang wanita jago pedang...." Tubuh Ki Pramanu terkulai dengan nyawa melayang. Darah yang keluar dari dadanya membasahi jubah merah lelaki tua itu.
Sugali sesaat terdiam, memandangi tubuh gurunya yang telah binasa. Kemudian disekanya darah yang membasahi Pedang Dewa Naga dengan pakaian gurunya. Lalu setelah memasukkan pedang itu ke warangka, pemuda bengis berpakaian merah lengan panjang itu melangkah meninggalkan mayat gurunya. Tujuannya hanya satu, mencari teman guna melawan Pendekar Gila.
***
::₪| 2 |₪::
Pendekar Gila hendak menyerahkan Kitab Ajian Dewa yang telah didapatnya kembali, setelah puluhan tahun berada di tangan Kerto Pati. Kitab itu telah dijadikan rebutan kaum rimba persilatan yang tergabung dalam Partai Kera Hitam. (Untuk lebih jelasnya, Ikuti serial Pendekar Gila dalam episode: "Kitab Ajian Dewa").
"Kakang, lihat...!" seru Mei Lie tiba-tiba sambil menunjuk ke tempat sesosok tubuh tua berjubah merah tergeletak.
Pendekar Gila mengarahkan pandangan matanya ke tempat yang ditunjuk Mei Lie. Sikapnya yang semula cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala seketika berhenti. Keningnya mengerut, matanya memandang tajam ke arah yang ditunjuk Mei Lie.
"Orang tua itu sepertinya mati terbunuh, Kakang," tutur Mei Lie.
"Aha, benar, Mei Lie. Ayo kita dekati!" ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie untuk mendekat ke tempat tubuh lelaki tua yang di sekitarnya terdapat genangan darah.
"Hyang Jagat Dewa Batara, dia benar-benar terbunuh!"
"Ya! Kejam sekali orang yang membunuhnya, Kakang," ujar Mei Lie agak geram, turut merasa sedih menyaksikan orang tua terbunuh dengan punggung tembus. Kening Pendekar Gila terkerut. Lalu segera membalikkan tubuh orang tua itu. Seketika matanya terbelalak kaget, setelah mengenali siapa sebenarnya orang tua itu.
"Ki Pramanu...!" desis Sena kaget sambil memperhatikan wajah mayat itu.
"Kau kenal dengannya, Kakang?" tanya Mei Lie ingin tahu.
"Ya!" jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Dia adalah kakak seperguruan Datuk Raja Beracun."
"Siapa Datuk Raja Beracun, Kakang?" tanya Mei Lie semakin ingin tahu.
"Aha, seorang datuk sesat yang kejam," tutur Sena. Kemudian pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu bercerita tentang petualangannya ketika meninggalkan Mei Lie, bahwa ia pernah bertemu dengan Datuk Raja Beracun. Datuk yang sangat kejam dan bengis. Datuk itu suka menculik anak perawan, yang katanya untuk menambah kesaktiannya. Datuk Raja Beracun dendam pada sang Guru, yang telah mengalahkannya. Dengan darah tujuh perawan, Datuk Raja Beracun akan sakti. Dan setelah sakti nanti, dia akan mencari Pendekar dari Goa Setan. Akhirnya Pendekar Gila bertemu dengan Datuk Raja Beracun. Keduanya bertarung, sampai akhirnya Datuk Raja Beracun kalah. Namun dasar Datuk Raja Beracun pengkhianat. Dirinya mengingkari janji. Datuk itu kembali membuat onar, menculik anak gadis.
Hasratnya untuk mendapatkan tujuh gadis hampir terlaksana. Namun, ketika gadis terakhir hendak dipersembahkan sebagai korban, Pendekar Gila datang. Keduanya kembali bertarung sampai akhirnya Datuk Raja Beracun mati.
"Begitu ceritanya, Mei Lie," ujar Sena mengakhiri ceritanya, tentang Datuk Raja Beracun yang juga adik Ki Pramanu serta pernah bertarung melawan Pendekar Gila. Datuk sesat itu bercita-cita ingin menjadi penguasa rimba persilatan. Dan untuk memenuhi hasratnya, Datuk Raja Beracun menculik gadis untuk tumbal ilmunya yang sesat.
Mei Lie terdiam, mendengar penuturan Sena.
Matanya masih memandangi mayat Ki Pramanu yang keadaannya sangat menyedihkan. Pikirannya menduga, "Pasti orang tua itu dibunuh dengan pedang, karena lukanya sampai tembus ke dada. Lukanya pun selebar mata pedang."
"Hm.... Siapa yang telah begitu tega membunuhnya?" gumam Mei Lie bertanya.
Pendekar Gila masih terdiam. Mulutnya cengengesan dengan mata memandangi mayat lelaki tua itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala, seakan ingin berusaha memahami apa yang sebenarnya telah menimpa pemilik Pedang Dewa Naga itu.
"Entahlah, Mei Lie," desah Sena lemah. Diten-gadahkan wajahnya memandang langit, seakan ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Hidup, mati, jodoh, dan rizki ada di tangan Hyang Widi. Hi hi hi...! Semua orang akan mendapatkan semuanya, termasuk kau dan aku, Mei," jawabnya kemudian dengan wajah tampak bersungguhsungguh. Mei Lie terpaku diam, mendengar penuturan kekasihnya. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam, seakan tengah menghayati ucapan Sena. Memang apa yang dikatakan pendekar itu benar adanya.
"Ah ah ah, manusia memang aneh!" gumam Sena.
"Kadang kala, manusia itu seperti orang gila. Hi hi hi..! Mereka yang mengaku sehat, berlaku tak waras. Membunuh, memperkosa, mencuri, dan sebagainya."
"Apa maksudmu, Kakang?" tanya Mei Lie ingin tahu ungkapan yang baru saja diucapkan Pendekar Gila. Mata gadis Cina yang sipit itu, memandang dengan penuh arti ke wajah pemuda tampan namun bertingkah laku seperti orang gila di depannya. Pemuda yang senantiasa mengisi lubuk hatinya paling dalam.
Pemuda yang sangat dicintainya, pemuda yang akan membuat tenang jika berada di sampingnya.
"Hi hi hi., ya, lucu! Lucu sekali perilaku manusia di dunia ini," gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan masih menggarukgaruk kepala. Pandangannya kini menyapu ke sekeliling Padepokan Dewa Naga yang tampak sepi. Kemudian matanya tertuju lekat ke bangunan yang terbuat dari kayu itu. Sepertinya ada sesuatu yang menarik hati Pendekar Gila dari bangunan tersebut Mei Lie turut mengarahkan pandangannya ke bangunan dari kayu itu. Keningnya mengerut, memandang bangunan padepokan yang seakan turut merasakan kesedihan atas kematian Ki Pramanu....
"Apa yang kau perhatikan, Kakang?" tanyanya.
"Aha, mungkin di dalam padepokan itu, kita dapat menemukan petunjuk," jawab Sena seraya melangkah menuju bangunan padepokan, diikuti Mei lie yang belum mengerti maksud kekasihnya.
Pendekar Gila membuka pintu padepokan yang tak terkunci. Matanya menyapu ke dalam padepokan yang sunyi dan sepi. Hanya sebuah batu persegi ada di dalam bangunan itu, dengan sebuah benda terbuat da-ri kayu berbentuk kotak. Tak ada sesuatu baginya untuk dapat menemukan jejak kematian Ki Pramanu.
"Bagaimana, Kakang" Apa kau menemukan sesuatu yang mencurigakan?" tanya Mei Lie dengan kening mengerut, menyaksikan Sena yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandangi sekitar ruangan yang sepi itu.
"Aha, rupanya Ki Pramanu habis ribut, Mei Lie.
Ada seseorang yang datang ke ruangan ini," tutur Sena setelah melihat keadaan ruangan yang agak teracak, sepertinya di ruangan itu awal dari keributan.
Pendekar Gila melangkah mendekati peti kayu yang panjang dan lebarnya sedepa, serta tinggi setengah lengan. Dengan kening mengerut, Sena mengawasi kotak itu. Lalu membukanya. Di dalam peti kayu itu, hanya terdapat benda-benda terbuat dari kain. Tentunya pakaian. Sena mengaduk-aduk pakaian itu. Seketika matanya membeliak, melihat selembar daun lontar. Pendekar Gila mengambil daun lontar itu. Ternyata terdapat tulisan berisi pesan yang keras. Nampaknya ketika menulis, orang itu dalam amarah yang meluap-luap. Mei Lie segera mendekat, kemudian turut membaca tulisan pada lontar yang kini dipaparkan oleh Sena.
"Ayah dan Ibu! Aku tahu dan telah mendengar, bahwa kematian kalian oleh Pendekar Gila. Mesti Ayah dan Ibu yang salah, sebagai anak aku tak akan tinggal diam. Aku akan menuntut balas terhadap Pendekar Gi-la. Nampaknya guru tak merestui, bahkan guru seperti membela Pendekar Gila. Kalau sampai benar guru membelanya, aku tak akan segan-segan menyingkirkan dia! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa! Hutang pati, harus dibayar dengan pati! Tunggulah pembalasanku, Pendekar Gila! Tunggulah...!" Anakmu, Sugali Pendekar Gila dan Mei Lie tercengang, membaca surat itu. Keduanya saling pandang. Kini keduanya tahu siapa pembunuh Ki Pramanu. Mereka tak habis pikir, "Mengapa murid Ki Pramanu sampai hati membunuh gurunya. Pendekar Gila pun tak tahu, siapa sebenarnya Sugali dan mengapa mendendam padanya?"
"Kakang kenal dengan Sugali?" tanya Mei Lie.
"Hi hi hi...! Lucu sekali...! Mendengar namanya saja baru kali ini," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, dendam.... Dendam adalah setan.
Dendam akan menyeret manusia ke dalam kenistaan."
"Cobalah Kakang ingat siapa yang dimaksud oleh Sugali dengan orangtuanya...!" ujar Mei Lie, berusaha mengingatkan Sena pada kejadian yang kini berbuntut dengan dendam.
Pendekar Gila terdiam sambil mengerutkan kening. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya berusaha mengingat-ingat kejadian apa yang pernah dialaminya, hingga menyebabkan seorang anak bernama Sugali mendendam padanya. Namun pikirannya tetap tak ingat dengan kejadian itu. Hatinya juga merasa tak pernah bentrok dengan Sugali.
"Hi hi hi..! Lucu... lucu sekali! Dendam membabi-buta! Ah ah ah, sudahlah...! Kita kebumikan saja, Ki Pramanu. Setelah itu kita kembali meneruskan perjalanan," ujar Sena pada Mei Lie.
Kemudian keduanya kembali melangkah keluar untuk mengubur mayat Ki Pramanu.
Setelah mengubur mayat Ki Pramanu, Pendekar Gila dan Mei Lie memberi penghormatan pada orang tua itu. Ki Pramanu sendiri pernah menjadi orang sesat. Namun, sebelum ajalnya tiba dirinya telah menjadi orang lurus dan bahkan berusaha mengarahkan sang Murid. Itu sebabnya Pendekar Gila dan Mei Lie merasa perlu memberi penghormatan pada orang tua malang itu. Pendekar Gila dan Mei Lie baru saja hendak melangkah meninggalkan makam Ki Pramanu, ketika tiba-tiba terdengar suara tua memanggil namanya.
"Sena...! Pendekar Gila...!" Pendekar Gila menghentikan langkahnya, kemudian membalikkan tubuh, ke tempat asal suara itu.
Matanya seketika membelalak, menyaksikan dari kuburan Ki Pramanu muncul sebuah bayangan lelaki tua itu.
"Ki Pramanu...!" desis kedua pendekar muda itu hampir bersamaan.
Kedua pendekar itu segera menjura hormat, menyaksikan arwah Ki Pramanu.
"Terima kasih, kalian telah mengubur ragaku.
Aku hanya ingin memberi pesan pada kalian," tutur arwah Ki Pramanu dengan suara datar dan pelan.
"Aha, pesan apakah itu, Ki?" tanya Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan. Sedangkan Mei Lie, terdiam dengan mata menatap bayangan arwah Ki Pramanu.
"Hati-hatilah! Ku restui kalian sebagai pasangan yang diberkati oleh Hyang Widi," ujar Ki Pramanu sambil mengangkat tangan kanannya dengan telapak terbuka.
"Pendekar Gila, masih ingatkah kau pada dua orang suami-istri yang bersekutu dengan Buto Ijo?" Pendekar Gila terdiam dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Keningnya mengerut, berusaha mengingat-ingat kejadian yang pernah dialami dengan sepasang suami-istri yang memuja Buto Ijo.
"Aha, yang kau maksud Ki Prikada dan Nyi Dripadi?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan, setelah ingat tentang kedua orang tua itu.
"Benar, Pendekar Gila," sahut Ki Pramanu.
"Ki-ni anak mereka mencarimu." Pendekar Gila terdiam. Ingatannya kembali menerawang pada kejadian yang menghubungkan dengan apa yang dikatakan arwah Ki Pramanu.
Tiga bulan yang lalu, dia memang pernah bentrok dengan Ki Prikada dan istrinya, Nyi Dripadi. Kedua suami-istri itu, telah banyak memakan korban untuk tumbal persembahan. Banyak anak-anak kecil yang dijadikan korban. Mendengar berita itu, Pendekar Gila akhirnya datang ke Desa Tambak Sari. Dan dirinya pun bentrok dengan raksasa-raksasa siluman milik Ki Prikada dan istrinya. Dengan Suling Naga Sak-ti, Pendekar Gila mampu memusnahkan siluman Buto Ijo. Namun, sebagai akibatnya yang mati justru kedua orangtua Sugali.
"Aha, jadi Sugali itu anak mereka, Ki?" tanya Sena ingin memastikan.
"Benar, Pendekar Gila. Hati-hatilah, Pendekar! Semoga kalian senantiasa dilindungi oleh Hyang Widi!" usai berkata begitu, arwah Ki Pramanu menghilang.
Pendekar Gila dan Mei Lie kembali menyembah, lalu keduanya meninggalkan Padepokan Dewa Naga.
Angin sore berhembus, menerpa dedaunan yang gemerisik. Mentari merangkak turun untuk kembali keperaduannya.
***
Krek! "Hm, ada juga kecoa busuk yang berani menggangguku!" geram Sugali dalam hati. Langkahnya berhenti, kemudian mengawasi tempat ke sekeliling dengan tajam. Telinganya pun di pasang dengan tajam, sehingga suara sekecil apa pun akan didengarnya.
Pemuda berpakaian lengan panjang warna merah itu, terus mengawasi sekelilingnya dengan mata tajam. Telinganya yang tadi mendengar suara ranting kering patah, terus dipasang, berusaha mendengar suara di sekelilingnya yang sepi.
"Hm, mungkinkah binatang hutan?" tanya Sugali dalam hati dengan mata dan telinga masih dipasang tajam.
"Kurasa bukan. Jelas itu suara kaki manusia menginjak ranting kering. Tak mungkin binatang berbuat begitu. Kalau binatang tak akan berhenti begi-tu saja. Tapi ini tidak.
Jelas ini manusia!" Kresek! Kresek! Suara itu kembali terdengar dari kanan dan kirinya. Hal itu membuat Sugali semakin yakin, kalau yang sedang mengintainya pasti manusia. Tangannya segera meraba gagang Pedang Dewa Naga. Pedang bergagang kepala naga itu, seakan memberi keyakinan padanya dan rasa percaya diri.
Srt! "Kalau kalian manusia, keluarlah!" seru Sugali menantang. Pedang Dewa Naga yang mengeluarkan sinar hijau, kini telah tergenggam di tangannya. Dari mata pedang itu, keluar sinar hijau yang menerangi sekelilingnya.
"Hea...!"
"Yea...!" Dari balik rimbun pepohonan dan semaksemak, tiba-tiba berlompatan lima sosok tubuh. Wajah sosok-sosok bertubuh tinggi dan tegap itu ditutup kedok warna-warni. Pakaian mereka masing-masing berbeda.
"Siapa kalian"!" bentak Sugali dengan mata memandangi satu persatu kelima orang yang berdiri ti-ga tombak di hadapannya.
Lelaki yang berkedok hitam melangkah dua tindak ke depan. Lalu terdengar suara tawa membahana keluar dari mulutnya yang tertutup kedok.
"Seharusnya kami yang bertanya, bukan kau, Tikus!" bentak lelaki berkedok hitam dengan mata tajam menatap Sugali yang tersenyum kecut.
"Siapa kau"! Dan untuk apa kau masuk Hutan Parang Pasisir ini"!"
"Namaku Sugali. Aku ingin lewat untuk menuju pulau karang," sahut Sugali dengan tanpa rasa takut sedikit pun. Dengan Pedang Dewa Naga di tangannya, Sugali merasa percaya diri. Pedang di tangannya bukanlah pedang sembarangan, melainkan pedang pusaka. Hal itu dapat dirasakan dari getarannya. Getaran yang menuntutnya untuk membunuh.
"Untuk apa kau ke pulau karang"!" tanya Kedok Biru.
"Itu urusanku. Bukan urusan kalian!" sahut Sugali gusar. Matanya merah membara, terpengaruh kekuatan Pedang Dewa Naga yang tergenggam di tangan.
"Kurang ajar! Berani kau lancang di daerah kekuasaan kami, Anak Muda"!" bentak Kedok Coklat marah.
"Rupanya kau belum kenal dengan Lima Hantu Berkedok!"
"Huh! Kalian kira aku anak kecil, yang bisa digertak"!" bentak Sugali sengit.
"Jangankan hanya kalian, Pendekar Gila pun aku tak takut!"
"Sombong! Aku ingin tahu, sampai di mana ucapanmu, Anak Sombong!" dengus Kedok Ungu.
"Serang dia...!"
"Hea...!" Kelima Hantu Berkedok serentak mencabut senjata mereka yang beraneka ragam. Kedok Hitam memegang senjata berupa ranting kayu kecil dengan ujung bercabang tiga. Kedok Biru bersenjatakan sebuah gading gajah yang aneh. Gading gajah itu juga bercabang dua. Kedok Coklat dengan senjatanya berupa bulatan gerigi yang diikat dengan sebuah tali panjang. Kedok Ungu dan Kedok Kuning, bersenjatakan pedang bergerigi dan golok bercabang dua.
"Hea...!" Dari lima arah, mereka menggebrak Sugali dengan senjata masing-masing. Nampaknya Lima Hantu Berkedok merupakan orang-orang yang haus darah.
Sehingga tak segan-segan menyerang dengan ganas.
Sugali merundukkan kepala dengan cepat. Kemudian secara cepat tangannya memutar Pedang Dewa Naga dengan jurus 'Dewa Naga Menebar Maut' "Hea!" Pedang Dewa Naga di tangan Sugali berputar begitu cepat memapaki senjata kelima lawannya, yang menderu ke tubuhnya.
Wrt! Trang! Trang! Trang...! Prak! Prak! Prak...! Suara berdentang dan bergemeretak terdengar keras ketika Pedang Dewa Naga membentur senjatasenjata Lima Hantu Berkedok.
"Heh"!"
"Heh"!" Kelima Hantu Berkedok tersentak kaget sambil melompat mundur, ketika dirasakan senjata mereka patah terbabat pedang di tangan Sugali. Mata kelima lelaki bertubuh tegap itu terbelalak kaget, tak percaya pada apa yang telah terjadi. Selama ini, senjata mereka belum pernah dapat dipatahkan seperti sekarang ini. Bahkan dengan senjata tajam apa pun. Baru kali ini, mereka merasa bertemu senjata yang memiliki kekuatan luar biasa.
"Hua ha ha...! Sudah kukatakan, jangankan kalian. Pendekar Gila pun belum tentu dapat mengalahkan aku!" seru Sugali sombong.
Kelima lawannya terdiam. Mereka sating pandang dengan perasaan takut menyaksikan kehebatan pedang di tangan Sugali.
"Kini, bersiaplah kalian untuk mati!" dengus Sugali, yang membuat Lima Hantu Berkedok tersentak kaget. Keringat dingin keluar dari kening mereka.
"Ampun..., ampunilah kami! Kami siap mengabdi padamu," pinta mereka sambil berlutut mencium tanah. Mereka mengaku kalah, meratap ketakutan.
Hal itu membuat Sugali yang memang tengah mencari kawan untuk melawan Pendekar Gila tersenyum senang.
"Bagus! Memang aku ingin teman seperti kalian! Sejak saat ini, kalian harus memanggilku Ketua! Mengerti"!" bentak Sugali sambil menyarungkan kembali Pedang Dewa Naganya.
"Kami mengerti...," sahut kelimanya bersama.
"Hm, bagus! Kalian dengar baik-baik! Mulai sekarang hutan ini menjadi markas kita. Dan aku adalah pimpinan kalian!"
"Baik, Ketua," sahut kelimanya serentak.
"Di mana tempat kalian?" tanya Sugali semakin bertambah pongah, setelah dapat mengalahkan dan menaklukkan Lima Hantu Berkedok.
"Mari, kami tunjukkan...!" kata Kedok Hitam sambil melangkah mengajak Sugali yang kini menjadi ketua mereka. Sugali pun menurut, mengikuti kelima anak buahnya yang baru. Di hatinya, semakin tertanam dendam pada Pendekar Gila.
Tidak lama kemudian, Sugali dan anak buahnya telah sampai di markas Lima Hantu Berkedok. Sebuah bangunan terbuat dari papan, dengan keadaan yang agak kotor. Nampaknya selama itu, Lima Hantu Berkedok tak mengurus tempat tersebut "Ini tempat kami, Ketua," kata Kedok Hitam.
"Hm!" gumam Sugali dengan mata memperhatikan bangunan dari papan. Kepalanya menganggukangguk, seakan merasa senang.
"Bagus! Tapi besok, kuperintahkan pada kalian untuk membersihkannya.
Aku akan mencari Datuk Raja Karang. Dia akan kuajak bekerja sama."
"Baik, Ketua...!" jawab kelimanya serentak.
Sugali dengan diikuti kelima anak buahnya yang baru kini melangkah memasuki bangunan markas itu. Seketika dari dalam, muncul lima orang gadis cantik jelita. Hal itu membuat Sugali mengerutkan kening. Wajahnya menoleh pada kelima anak buahnya.
"Siapa mereka?" tanyanya.
"Ampun, Ketua! Mereka pelayan kami," jawab Kedok Hitam.
"Pelayan...?" tanya Sugali keheranan.
"Pelayan secantik mereka" Hai, katakan siapa mereka"!"
"Ampun Ketua, mereka...." Belum habis ucapan Kedok Hitam, Sugali telah memotongnya.
"Aku tahu. Tentunya mereka pemuas nafsu kalian!"
"Benar, Ketua...," sahut kelimanya takut-takut "Bagus! Mulai sekarang, kalian jangan berani mengganggu mereka. Kini mereka menjadi pelayanku, mengerti"!" bentak Sugali tegas.
"Mengerti, Ketua," sahut kelimanya bareng.
Sugali tertawa terbahak-bahak. Kemudian tangannya direntangkan. Diajaknya kelima gadis cantik yang hanya memakai kain sebatas dada itu ke dalam sebuah kamar. Kemudian dengan keras ditutupnya pintu kamar. Tinggallah Lima Hantu Berkedok yang hanya saling pandang dengan wajah menggambarkan kejengkelan. Namun untuk melawan, mereka tak berani. Kelima lelaki berkedok itu hanya bisa memejamkan mata, ketika terdengar rintih dan erangan dari dalam kamar.
***
::₪| 3 |₪::
Saat itu Sugali sampai di Desa Gedang Gajah yang terletak di tepi Laut Selatan. Sejenak matanya memandang ke laut yang membentang luas, berusaha mencari Pulau Karang Sundulan yang dihuni Datuk Raja Karang. Namun dia tak melihat adanya pulau karang di laut itu.
"Hm, di manakah tempat Datuk Raja Karang?" gumam Sugali sambil terus memandang ke lautan.
Namun tetap dirinya tak melihat pulau karang yang dijadikan markas Datuk Raja Karang.
Sugali terus menyapukan pandangannya ke laut, berusaha mencari pulau karang yang dimaksud orang-orangnya sebagai tempat persembunyian Datuk Raja Karang. Kini pandangannya diarahkan ke arah barat daya. Tiba-tiba mulutnya tersenyum, ketika matanya melihat sebuah pulau karang di tengah-tengah lautan.
"Hm, tentunya pulau itu tempatnya," gumam Sugali. Kemudian dia pun berlari ke barat. Sesaat Sugali terdiam. Dirinya nampak bingung untuk menyeberangi lautan yang luas itu.
"Hm, bagaimana aku harus menyeberangi lautan yang luas ini?" Belum juga Sugali menemukan cara untuk menyeberangi laut, tiba-tiba dari Pulau Karang Sundulan terdengar suara gelak tawa membahana. Gelak tawa itu, mampu menimbulkan angin yang kencang dan terasa memekakkan telinga.
"Hua ha ha...! Hua ha ha...!" Sugali tersentak kaget ketika dirasakan telinganya sakit dan berdenyut keras. Sungguh tak disangka, kalau suara tawa itu akan mampu membuat gendang telinganya terasa sakit. Bahkan pohon kelapa yang tumbuh di sekitar pesisir, bagaikan diterpa angin badai. Banyak buah kelapa yang berjatuhan. Daun-daunnya berserakan, berterbangan tertiup angin yang ditimbulkan suara tawa penghuni Pulau Karang Sun dulan itu.
"Ukh!" Sugali memekik. Dirinya berusaha bertahan dari suara tawa yang terus mendesak gendang telinganya. Dikerahkan tenaga dalamnya, untuk melindungi suara menggelegar itu. Namun suara tawa itu ternyata lebih kuat dari tenaga dalamnya.
"Eh! Uh...!"
"Hua ha ha...! Bagaimana, Anak Muda"! Masihkah kau belum percaya kehebatanku"!" terdengar suara Datuk Raja Karang berseru dari kejauhan. Rupanya Datuk Raja Karang telah mengetahui kedatangan Sugali. Bahkan maksud kedatangannya.
"Aku percaya!" sahut Sugali.
"Itu sebabnya aku datang, untuk mengajakmu bersamasama menghadapi Pendekar Gila!"
"Hua ha ha...! Bagus! Memang itu yang kuharapkan. Kau memang pemberani, Anak Muda! Tidak seperti gurumu yang pengecut!" seru Datuk Raja Karang dari tempat kediamannya.
"Gurumu memang tia-da gunanya. Dia memang pantas kau singkirkan!"
"Seperti dirinya tak pengecut saja," rutuk Sugali dalam hati, setelah mendengar kata-kata Datuk Raja Karang.
"Buktinya kau bersembunyi dari kejaran Pendekar Gila!"
"Anak muda, kenapa kau masih di situ" Kemarilah...!" seru Datuk Raja Karang.
"Aku tak tahu bagaimana untuk menyeberang ke tempatmu!" seru Sugali.
"Hua ha ha...! Tolol! Kau memang pemberani, tetapi tolol! Gunakan otakmu! Cari ranting kayu! Bukankah kau memiliki tenaga dalam" Atau gunakan pedang di punggungmu!" seru Datuk Raja Karang memberitahukan bagaimana caranya untuk dapat mengarungi lautan yang luas itu.
Kening Sugali mengerut, mendengar seruan Datuk Raja Karang. Kemudian tangannya menarik Pedang Dewa Naga. Dipandangi pedang itu sesaat. Namun belum mengerti, bagaimana caranya menggunakan pedang pusaka itu untuk menyeberangi lautan.
"Anak muda, kau pemberani tapi tolol. Mengapa kau hanya memandangi pedang pusaka itu" Lemparkan pedang pusakamu ke laut, maka kau akan dapat menyeberangi lautan ini!" seru Datuk Raja Karang memberitahukan kegunaan pedang itu. Sugali menurut Dilemparkan Pedang Dewa Naga ke lautan. Seketika itu pula, terjadi sebuah keanehan. Air laut bagaikan membeku. Seakan-akan berubah menjadi daratan yang terbuat dari air.
"Heh"!" Sugali terperangah menyaksikan kejadian aneh itu. Tak pernah dirinya menyangka kalau Pedang Dewa Naga ternyata sehebat itu. Lama sekali Sugali terkesima, menyaksikan keanehan itu. Hatinya baru tersentak sadar, ketika terdengar seruan Datuk Raja Karang.
"Bocah tolol! Jangan hanya mematung di situ, kemarilah cepat!" serunya.
"Waktumu hanya sebentar.
Seperminum teh, air itu akan kembali cair!" Mendengar seruan itu, Sugali segera mengambil pedangnya. Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya yang bernama 'Turangga Sekti', Sugali melesat menuju Pulau Karang Sundulan. Tidak lama kemudian, pemuda berpakaian merah itu telah sampai di tepi pulau karang. Tiba-tiba....
Srt! Srt! Srt! Puluhan senjata rahasia melesat dari dalam tanah, menyerang Sugali.
"Heh"!" dengan masih kaget, Sugali segera melenting dan bersalto di udara, mengelakkan serangan senjata-senjata maut itu. Pedang Dewa Naga dibabatkan memapak puluhan senjata rahasia yang hendak menyerangnya.
"Hea...!" Wrt wrt wrttt..! Trak! Trak! Trak! Puluhan senjata rahasia terpotong-potong, terkena sambaran Pedang Dewa Naga. Senjata-senjata rahasia itu berpentalan ke tanah.
"Hebat! Hebat..!" seru Datuk Raja Karang yang tahu-tahu telah berada di hadapan Sugali. Lelaki tua berjubah hitam dengan rambut terurai lepas berwarna hitam keputihan itu bertepuk tangan. Dari mulutnya terdengar suara tawanya yang lepas.
Sugali segera bersalto, kemudian mendarat dengan ringan tiga tombak di hadapan lelaki tua bermuka garang dan bercambang bauk tebal itu. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu, tersenyumsenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Terimalah hormatku, Datuk!" ujar Sugali sambil menjura.
"Tak usah pakai peradatan, Anak Muda! Katakan, apa maksudmu yang sebenarnya!" pinta Datuk Raja Karang.
"Bukankah Datuk sudah tahu?" tanya Sugali sambil menyarungkan pedang pusakanya ke warangka.
"He he he...! Jadi kau benar-benar ingin membalas kematian kedua orangtua mu pada Pendekar Gila?" tanya Datuk Raja Karang.
"Begitulah!"
"Hm, bagus! Itu baru seorang anak yang baik.
Lalu apa keperluanmu datang ke tempatku?" tanya sang Datuk lagi, seakan merasa belum jelas.
"Aku memerlukan bantuanmu, untuk menghadapi Pendekar Gila," sahut Sugali dengan wajah penuh dendam. Matanya berkilat tajam, seakan menyimpan bara api. Tangannya mengepal, seakan hendak meremukkan kepala Pendekar Gila.
"He he he...! Bagus..., bagus! Kau memang tepat datang ke tempatku. Baiklah kalau itu keinginanmu, Anak Muda. Aku memang mengharapkan bisa menghadapi Pendekar Gila. Selama ini, aku telah memperdalam ilmu-ilmuku, yang sengaja kupersiapkan untuk menghadapinya," dengus Datuk Raja Karang dengan senyum sinis.
"Dengan ajian 'Betara Karang', Pendekar Gila tak akan mampu mengalahkan aku!" Datuk Raja Karang menggeram. Tangannya mengepal keras. Kemudian terdengar suara tawanya yang membahana. Diikuti oleh Sugali. Sehingga Pulau Karang Sundulan yang biasanya sepi, seketika bagaikan hendak pecah karena suara tawa kedua tokoh itu.
"Anak Muda, kau harus tahu. Selama kau menjalin persahabatan denganku, kau harus mengikuti apa yang kukatakan...," ujar Datuk Raja Karang setelah diam dari tawanya.
"Apa itu, Datuk?"
"Pertama, kau harus mencarikan aku wanita."
"Akan ku carikan," jawab Sugali.
"Kedua, kau harus membuat keonaran dengan merampok. Dengan cara itu, kita memancing Pendekar Gila, sekaligus dapat menumpuk kekayaan. Kelak akan kita gunakan kekayaan itu untuk mendirikan suatu perkumpulan besar. Perkumpulan yang tak akan terkalahkan siapa pun...," ujar Datuk Raja Karang menyampaikan gagasan cita-citanya.
"Akan kulakukan," sahut Sugali.
"Dan yang terakhir. Jika Pendekar Gila telah dapat kita binasakan, aku menjadi Raja Diraja. Kau harus mengakui, kalau aku rajamu. Raja rimba persilatan!" lanjut Datuk Raja Karang dengan tegas.
"Baik, aku akan menuruti," tegas pula jawaban Sugali.
"Kapan akan kita mulai?"
"Hari ini juga! Siapkan gadis itu...!" perintah Datuk Raja Karang. Mata Sugali membelalak. Bagaimana mungkin dia harus mempersiapkan permintaan sang Datuk dalam waktu singkat, hanya sehari" Rasanya tak masuk di akal. Mencari seorang gadis, bukanlah pekerjaan yang enteng. Lebih enteng merampok atau membunuh manusia.
"Bagaimana, Anak Muda" Apa kau sanggup"!"
"Aku sanggup!" jawab Sugali.
"Bagus! Laksanakan segera! Kemudian bawalah gadis itu kemari!" perintah Datuk Raja Karang.
"Baiklah." Usai menjura, Sugali pun melangkah meninggalkan Datuk Raja Karang. Dilemparkan pedangnya ke air laut yang seketika membeku diam. Kemudian setelah mengambil Pedang Dewa Naga, tubuhnya melesat meninggalkan Pulau Karang Sundulan, diikuti tatapan mata Datuk Raja Karang. Lelaki tua berjubah hitam itu menyunggingkan senyum penuh kepuasan.
***
"Aha, sebentar lagi akan musim penghujan," gumam Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol. Tangan kanannya menutupi muka, sedangkan tangan kiri menggaruk-garuk kepala.
Gadis cantik yang sikapnya tenang namun agak galak di sampingnya hanya memandangi dedaunan kering berterbangan ditiup angin. Kemudian pandangannya beralih ke wajah pemuda bertingkah laku aneh yang tak lain Pendekar Gila.
"Dari mana Kakang tahu...?" tanya Mei Lie sambil menatap wajah kekasihnya.
"Aha, itu sudah kebiasaan orang-orang Jawa.
Mereka menghitung musim dari angin. Hi hi hi...!" Se-na tertawa cekikikan.
Tangannya masih menggarukgaruk kepala. Sedangkan matanya memandang wajah Mei Lie. Gadis itu tersenyum-senyum melihat tingkah laku kekasihnya yang kadang menggemaskan dan konyol.
"Bagaimana caranya, Kakang?" tanya Mei Lie tertarik ingin tahu.
"Hi hi hi...! Kau ingin tahu...?" goda Sena sambil cengengesan dengan tangan masih menggarukgaruk kepala. Hal itu menjadikan Mei Lie kembali gemas melihatnya.
"Aha, semakin kau cemberut, semakin bertambah cantik saja...." Mei Lie yang semula hendak cemberut, seketika mengurungkan niatnya setelah mendengar selorohan Sena. Kini di bibirnya tampak terurai senyum yang begitu manis. Senyum yang mampu membuat hati Pendekar Gila senantiasa ingin terus bersama gadis Cina itu. Sambil melangkah menyelusuri Desa Keligisan, kedua pendekar sejoli itu bercengkerama. Kadang bercanda ria, ngobrol, dan bermanja-manja. Sepertinya mereka tak ingin membuang kesempatan pertemuan itu begitu saja. Karena setelah keduanya sampai di Goa Setan, maka Mei Lie akan dititipkan pada Eyang Guru Singo Edan. Sekaligus agar Mei Lie dapat mendalami ilmu-ilmu silat dengan tenang, tanpa harus terganggu suasana dunia persilatan.
"Ayolah, katanya mau menceritakan tentang bagaimana orang Jawa menghitung musim dengan berpedoman pada angin," desak Mei Lie Sena masih cengengesan dengan tangan kiri menggaruk-garuk kepala. Ditatapnya wajah gadis Cina yang menjadi kekasihnya itu, Mei Lie pun memandang wajahnya dengan muka cemberut, merasa digoda oleh Pendekar Gila.
"Aha, baiklah akan kuceritakan," sahut Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang wajah Mei Lie yang masih menunjukkan cemberutnya.
"Ayo, mau ceritakan tidak...?" desak Mei Lie setengah merengek, menjadikan Sena semakin cen- gengesan dengan tangan kian keras menggaruk-garuk kepala.
"Aha, baiklah akan kuceritakan, tetapi kita harus mencari kedai dahulu, karena perutku sudah minta diisi. Hi hi hi...!" Tanpa membantah, Mei Lie pun menurut melangkah seiring dengan kekasihnya untuk mencari sebuah kedai. Di samping perut mereka memang lapar, keduanya juga ingin meneduh agar terhindar dari rasa panas yang menyengat. Debu yang berterbangan pun terasa sangat mengganggu perjalanan mereka.
***
"Ouw...!" Sena menguap karena serangan rasa kantuk yang disebabkan terik matahari bercampur hembusan angin.
Mei Lie yang duduk di samping Pendekar Gila hanya mampu memperhatikan tingkah laku kekasihnya yang konyol. Gadis itu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakang, masih jauhkah Goa Setan dari sini...?" tanya Mei Lie. Matanya memandang ke luar kedai. Di sekitar kedai itu pepohonan menghijau nampak sangat subur. Gemerisik angin yang menerpa dedaunan terdengar sampai dalam kedai.
"Aha, rupanya kau sudah ingin bertemu dengan eyang. Hi hi hi...! Lucu sekali! Eyang galak sekali, Mei Lie," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Di bibirnya masih tersenyum cengengesan.
"Ah, kurasa eyang tak sekonyol dirimu, Kakang...," desah Mei Lie dengan mata masih memandang keluar kedai.
"Tolong...! Tolong...!" Tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita.
"Heh..."!"
"Heh!" Mei Lie dan Pendekar Gila yang sedang istirahat, tersentak kaget. Keduanya langsung bangun dari tempat duduk. Mata mereka memandang keluar. Kemudian Pendekar Gila telah melangkah keluar diikuti Mei Lie.
"Tolong...!" dari arah timur, nampak lima orang lelaki berkedok sedang menyeret dan memaksa seorang gadis agar ikut bersama mereka. Gadis itu meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari lelaki berkedok hitam yang membopong tubuhnya. Namun tenaganya yang tidak kuat, membuat dirinya tak mampu lepas dari tangan lelaki berkedok hitam.
"Aha, rupanya ada lima tikus pemalu yang mau menculik seorang gadis. Hi hi hi..., lucu sekali," gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
Hal itu membuat kelima lelaki berkedok yang membawa tubuh gadis cantik jelita berambut panjang, seketi-ka menghentikan langkah mereka.
"Siapa kau..."!" bentak lelaki berkedok hitam.
"Aha, siapa pun aku, yang pasti aku tak suka dengan perbuatan kalian!" sahut Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan Mei Lie nampak masih tenang. Namun, sorot matanya sangat tajam, menatap penuh kebengisan.
"Kurang ajar! Apa kau tak tahu kalau tingkah lakumu yang seperti orang gila itu akan membuatmu menderita"!" bentak Kedok Merah dengan nada tajam dan keras.
"Gila..." Aha, memang dunia ini sudah gila. Di mana-mana orang bertingkah laku aneh-aneh!" ujar Sena dengan tingkah lakunya yang seperti orang gila.
Mulutnya cengengesan, dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala.
"Pemuda gila, minggirlah! Jangan sampai hilang kesabaran kami!" bentak Kedok Hitam dengan garang.
"Enak saja kalian ngomong!" bentak Mei Lie yang sudah tak dapat lagi menahan amarah, mendengar kelima lelaki berkedok itu meremehkan Pendekar Gila.
"Kami mau minggir, asalkan kalian turunkan gadis itu." Kelima lelaki berkedok itu saling pandang, mendengar ucapan Mei Lie. Mereka tak menyangka, kalau gadis Cina yang di punggungnya tersandang pedang itu akan berani membentak begitu tajam dan ketus.
"Siapa kau, Nini" Berani benar kau pada kami," dengus Kedok Ungu geram. Belum pernah ada seorang wanita berani membentaknya seperti itu.
Mei Lie tersenyum sinis, mendengar ucapan lelaki berkedok ungu. Begitu juga dengan Pendekar Gila, mulutnya tampak cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Aha, kenapa kalian tak menculik temanku saja" Bukankah temanku lebih cantik" Hi hi hi..!" ujar Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat kelima lelaki berkedok semakin bertambah marah. Sedangkan Mei Lie kini nampak melototkan mata, membuat Sena semakin keras menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir.
"Pemuda gila! Lancang sekali mulutmu!" dengus Kedok Hitam gusar, sambil menggerakkan tangan kiri memerintah keempat temannya.
"Bereskan mereka...!" Keempat lelaki berkedok lainnya segera maju mengepung Mei Lie dan Pendekar Gila yang telah siap menghadapi serangan lawan.
"Hi hi hi...! Mei Lie, rupanya kita akan mainmain dengan para cecunguk itu," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang dengan sudut mata, seperti orang bermata jereng. Sedangkan mulutnya masih cengengesan.
"Aha, apa kau telah siap, Mei...?"
"Untuk cecunguk macam mereka, aku siap, Kakang," sahut Mei Lie dengan mata menatap tajam pada keempat lawannya yang telah siap untuk menyerang.
"Heaaa...!" dua orang menggebrak Mei Lie dengan tebasan pedang dan golok. Namun secara cepat Mei Lie berkelit dengan membuka kaki kiri ke samping.
Tubuhnya dirundukkan sambil kepalanya bergerak cepat. Serangan mereka meleset, hanya beberapa jari dari kepala Mei Lie.
Rupanya semenjak senjata mereka yang berbentuk ranting bercabang, patah terbabat Pedang Dewa Naga, kini mengganti senjata mereka dengan pedang dan golok. Hal itu karena mereka menyesuaikan diri dengan senjata milik sang Pemimpin, Sugali yang menggunakan ilmu pedang. Tampaknya Sugali pun sebagai pemimpin telah mulai menurunkan ilmu pedangnya kepada kelima anak buah.
"Heaaa...!" dengan cepat Mei Lie menarik kaki kanan ditekuk ke atas, lalu dengan tendangan 'Bidadari Menyapu Awan', gadis itu menendang kedua lawannya dengan cepat. Hal itu membuat kedua lawannya tersentak kaget "Heh"! Awas...!" seru Kedok Ungu berusaha memperingatkan temannya, agar mengelak dari serangan lawan.
"Hah"!" Kedok Merah tersentak kaget. Dirinya berusaha menghindar dengan cara menyurutkan kaki kanan ke belakang. Sementara tubuhnya dimiringkan ke kiri.
"Heaaa...!" Mei Lie terus menggebrak, masih dengan mengandalkan tangan kosong. Namun begitu, serangan Mei Lie yang menggunakan jurus-jurus 'Bidadari Sakti' mampu membuat kedua lawan yang menyerang nampak kewalahan. Mereka harus menguras tenaga, agar dapat mengelakkan serangan-serangan yang cepat dan sangat berbahaya itu.
"Uts! Celaka! Ternyata gadis ini bukan gadis sembarangan," gumam Kedok Merah setengah mengeluh, sambil terus berusaha mengelakkan seranganserangan yang dilakukan Mei Lie. Mata Kedok Merah membelalak, hampir tak percaya melihat gebrakan yang dilancarkan Bidadari Pencabut Nyawa yang sangat cepat dan berbahaya.
"Kedok Merah, rupanya kita menghadapi wanita bukan sembarangan," ujar Kedok" Ungu yang juga merasa kaget, menyaksikan serangan Mei Lie. Dengan pedang di tangan, dirinya tak mampu mendesak Mei Lie yang hanya menggunakan tangan kosong. Gadis itu sangat gesit dalam mengelak maupun melakukan serangan.
"Heaaa...!" Tangan Mei Lie dengan jurus 'Bidadari Melepas Himpitan Karang' bergerak menyerang. Tangan kanan bergerak memukul ke tubuh Kedok Ungu, sementara tangan kiri direntangkan ke atas, lalu memukul Kedok Merah. Wrt! Kedok Ungu dan Kedok Merah benar-benar kewalahan menghadapi serangan yang dilakukan Mei Lie.
Keduanya terus berusaha mengelak dan balas menyerang. Namun rupanya Mei Lie tak mudah untuk didesak. Bahkan keduanya yang terpaksa harus berjumpalitan mengelakkan serangan gencar yang dilancarkan Mei Lie.
***
::₪| 4 |₪::
"Aits! Celaka...! Dia benar-benar bukan gadis sembarangan," keluh Kedok Ungu sambil mengibaskan tangannya, berusaha menangkis serangan Mei Lie yang cepat dan sangat membahayakan. Kedok Ungu segera melakukan salto ke udara, kemudian dengan masih melayang Kedok Ungu berusaha menyerang Mei Lie dengan sabetan goloknya.
Wrt! "Haits...!" Dengan merundukkan tubuh, Mei Lie mengelak dari babatan golok lawan. Kemudian dengan cepat, tangan kanannya meraba gagang pedang yang bertengger di pundak.
Srt! Wrt! Secepat kilat Bidadari Pencabut Nyawa mengibaskan pedang, memapak serangan lawan.
Trang! Prak! "Ikh...!" Kedok Ungu tersentak kaget, dengan tubuh melompat ke belakang. Matanya membelalak kaget, tak percaya kalau goloknya patah terbabat pedang yang mengeluarkan sinar kuning kemerahan di tangan gadis itu.
"Celaka, dia bukan gadis sembarangan Gila...!" Kedok Merah yang juga melihat kenyataan itu, agak ciut juga nyalinya. Dirinya sungguh tak menduga, kalau gadis Cina itu memiliki ilmu silat yang tinggi.
"Heaaa...!" Mei Lie kembali menyerang dengan jurus 'Bidadari Merentang Selendang'. Kedua tangannya bagaikan sepasang selendang, mengibas-ngibas memburu Kedok Merah. Bukan hanya tangannya yang melakukan serangan. Kakinya juga turut bergerak cepat menyerang dengan sapuan dan tendangan keras.
"Aits!" Kedok Merah segera melompat sambil berjumpalitan mengelak dari serangan yang dilancarkan Mei Lie. Hampir saja sambaran kaki dan tangan Mei Lie mendarat di dada dan wajah Kedok Merah, kalau saja Kedok Ungu tak segera membantunya. Serangan bantuan Kedok Ungu membuat Mei Lie harus mengalihkan perhatian kepadanya.
Sementara itu, Pendekar Gila yang sedang menghadapi dua orang berkedok lainnya pun nampak masih bertarung. Dengan mulut cengengesan, Sena melayani dengan menggunakan jurus yang dirasa aneh bagi kedua lawannya. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' Sena terus berkelebat mengelakkan serangan. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari disertai dengan tepukan-tepukan tangannya yang aneh. Meski pukulan telapak tangannya kelihatan pelan, tenaga yang keluar sangat menyentakkan kedua lawannya.
Plak! "Aits...!"
"Heh"!" Kedua lawannya langsung berlompatan mundur, mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Mata keduanya membelalak kaget, mendapatkan serangan yang sangat aneh itu. Mereka seakanakan tak percaya dengan jurus yang dilancarkan lawan. Jurus itu sepertinya hanya main-main. Namun ternyata sangat berbahaya. Pukulan telapak tangan yang kelihatan pelan, tahu-tahu mampu mengeluarkan tenaga dalam yang sangat kuat "Hi hi hi..! Kalian lucu sekali! Tentunya kalian bermuka buruk, sehingga harus bersembunyi di balik kedok. Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan tingkah laku seperti seekor kera, Pendekar Gila kemba-li bergerak menyerang kedua lawannya yang masih keheranan.
"Awas, Kedok Biru...!" seru Kedok Kuning mengingatkan temannya, yang dengan segera melompat ke samping mengelak dari serangan Pendekar Gila. Lalu dengan cepat Kedok Biru dan Kedok Kuning balas menyerang. Pedang dan golok mereka berkelebat cepat memburu Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Pedang dan golok kedua lawannya menderu cepat Namun dengan tak kalah cepat Pendekar Gila segera berkelit. Dirundukkan tubuh, lalu sambil meliuk ditepukkan tangan kanannya ke samping. Sedangkan tangan kirinya, ditepukkan ke depan.
"Heaaa...!" Wrt! "Hah! Celaka...!" pekik Kedok Kuning kaget, sambil menggeser kaki ke kiri.
Kemudian dengan memutar tubuh setengah lingkaran, Kedok Kuning membabatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila.
"Yeaaa...!" Wrt! Merasa ada desiran angin babatan pedang lawan, Pendekar Gila yang sedang menyerang Kedok Biru, cepat menjatuhkan tubuh ke tanah. Sementara tangannya bergerak menyambar kaki Kedok Biru, kaki-nya menendang ke dada Kedok Kuning.
"Heaaa...!" Wrt! Blukkk! Plakkk! Tanpa ampun lagi, Kedok Biru yang kakinya disambar, langsung jatuh terlentang. Sedangkan Kedok Kuning yang terkena tendangan, tampak terhuyung ke belakang dengan mata melotot. Dari selasela bibirnya, melelehkan darah.
"Ukh...!" keluh Kedok Kuning sambil memegan-gi dadanya yang sakit, akibat tendangan kaki Pendekar Gila. Nafasnya tersengal-sengal. Matanya menatap tajam Pendekar Gila yang cengengesan. Sepertinya Kedok Kuning tengah berusaha meyakinkan hatinya, dengan siapa dia kini berhadapan.
"Hi hi hi...! Lucu..., lucu sekali kalian! Mengapa kalian seperti orang-orang yang habis sakit?" tanya Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala. Di bibirnya masih tersungging senyuman.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala yang mendongak menatap langit biru.
Kedua lawannya yang menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila semakin mengernyitkan kening keheranan.
"Pemuda gila, aneh!" gumam Kedok Kuning sambil terus memegangi dadanya yang terasa sakit, akibat tendangan kaki kiri Pendekar Gila. Kedok Kuning masih belum mengerti, siapa sebenarnya pemuda tampan bertingkah laku gila tapi berilmu tinggi itu.
"Hati-hati, Kedok Kuning. Dia bukan pemuda gila sembarangan," ujar Kedok Biru mengingatkan temannya yang nampak terkesima melihat tingkah laku Pendekar Gila.
"Hm, kau benar, Kedok Biru. Dia memang bukan sembarangan pemuda seperti apa yang sering kita temui," sahut Kedok Kuning sambil terus mengawasi tingkah Pendekar Gila, yang persis orang gila. Tertawa-tawa dan cengengesan sendiri. Kemudian menggarukgaruk kepala dengan tangan, atau mengambil sebuah bulu burung di pinggangnya, lalu mengorek kuping dengan mulut cengar-cengir.
"Pemuda gila, kami harap jangan turut campur dengan urusan kami...!" seru Kedok Hitam yang juga kaget, menyaksikan dalam sekali gebrak saja kedua rekannya dapat dijatuhkan. Kedok Hitam sempat melihat bagaimana Pendekar Gila melakukan serangan.
Kalau Pendekar Gila mau, dalam sekali gebrak saja mereka akan dibuat tak bernyawa lagi. Alias mati! "Aha, bagaimana aku tak ikut campur, Kedok Hitam. Hi hi hi..., lucu sekali kau! Enak sekali kau me-larangku ikut campur.
Sedangkan kau telah mencampuri ketenangan keluarga gadis yang kau culik itu," tutur Sena dengan tingkah laku yang semakin bertambah konyol. Tatapannya tampak tak acuh, memandang ke langit lepas. Sepertinya Pendekar Gila, tak peduli dengan lawan-lawannya.
"Bocah edan, tak tahu diuntung!" bentak Kedok Hitam gusar, mereka telah gagal mengajak Pendekar Gila damai.
"Hi hi hi.., Lucu sekali kau! Kurasa bukan aku yang tak tahu diuntung, melainkan kalian!" tukas Se-na seenaknya sambil memonyongkan mulutnya, membuat Kedok Hitam menggeram.
"Kurang ajar!" dengan gusar Kedok Hitam sege-ra melepas tubuh gadis yang diculiknya. Kemudian dengan cepat, tanpa berkata-kata, tangan Kedok Hitam bergerak cepat melempar beberapa senjata rahasia ke tubuh Pendekar Gila.
"Ini untukmu, Bocah Edan! Hih...!" Swing! Swing...! Puluhan senjata rahasia menderu ke tubuh Pendekar Gila, dengan suaranya yang membisingkan telinga.
"Aha, beginikah tindakan seorang pengecut"!" ejek Pendekar Gila sambil melentingkan tubuh ke atas.
Kemudian dengan cepat, dikebutkan Suling Naga Sakti memapak puluhan senjata rahasia yang memburu tubuhnya. Wrt! Trang! Trang! Trang! Puluhan senjata rahasia yang dilemparkan Kedok Hitam, terbabat habis Suling Naga Sakti. Senjatasenjata rahasia itu langsung berpentalan jatuh ke bumi dan berpatahan. Hal itu tentu saja membuat Kedok.
Hitam dan kedua rekannya membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang dilihat. Hanya sebuah suling, mampu menghancurkan senjata-senjata rahasia yang terbuat dari logam murni.
"Hi hi hi...! Masih adakah mainanmu?" ejek Se-na sambil memasukkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggang. Kemudian sambil menggaruk-garuk kepala, Sena tertawa terbahak-bahak. Sepertinya ada hal yang lucu, dan menggelikan. Sikap Pendekar Gila membuat Kedok Hitam dan kedua rekannya kembali membelalak.
"Heaaa...!" Sebelum ketiga lawannya sempat berbuat sesuatu, dengan cepat Pendekar Gila melompat mendekati gadis yang tadi diculik Kedok Hitam. Lalu dengan gerakan cepat, jari telunjuk Sena membuka totokan pada bagian tubuh gadis itu.
Tuk! Tuk! Tuk! Gadis itu pun lepas dari belenggu totokan.
Dengan bergerak perlahan dia bersembunyi di belakang Pendekar Gila. Merasa kalau pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu dapat menolongnya.
"Tuan, tolonglah saya!" pinta gadis itu dengan mata penuh harap menatap wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, tenanglah, Dik! Kurasa mereka hanya kecoa-kecoa yang suka mengganggu. Hi hi hi...!" Sena kembali tertawa cekikikan dan dengan seenaknya ber-celoteh. Hal itu membuat ketiga lawannya semakin bertambah berang.
"Bocah gila, kurang ajar! Kuremukkan batok kepalamu!" dengus Kedok Hitam. Tanpa banyak kata, lelaki berpakaian hitam disertai kedua temannya langsung menggebrak Pendekar Gila. Ketiganya menyerang dari tiga arah.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Kedok Hitam dengan senjatanya yang berupa ranting bercabang, menyerang dari depan. Sedangkan Kedok Kuning bersiap menggebrak dari belakang. Dan Kedok Biru menyerang dari samping kiri.
Mendapatkan serangan serentak dari tiga orang lawan, tak membuat Pendekar Gila kebingungan. Bahkan dengan masih bertingkah laku konyol sambil cengengesan, Pendekar Gila mengelakkan serangan ketiga lawan dengan lincah. Meski gerakan meliuknya nampak lamban, Pendekar Gila mampu mengelakkan serangan cepat yang dilancarkan ketiga lawannya. Bahkan ketiganya tersentak kaget, ketika tiba-tiba tangan Pendekar Gila bergerak menepuk ke tubuh mereka.
"Hea...!" Wuttt! "Gila!" seru Kedok Hitam sambil menarik mundur serangannya, lalu melompat ke belakang dengan tubuh agak gontai. Matanya semakin membelalak, tak percaya kalau tepukan yang tampak pelan bagaikan tak bertenaga itu, mampu menyentakkannya. Hampir saja tubuhnya terkena tepukan Pendekar Gila, kalau tak segera melompat ke belakang.
"Hm, siapa pemuda gila ini?" Kedok Biru dan Kedok Kuning kini nampak kewalahan menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Hal itu menjadikan Kedok Hitam semakin yakin, kalau pemuda gila itu bukan lawan sembarangan. Di sisi lain, matanya melihat Kedok Merah dan Kedok Ungu pun nampaknya terdesak hebat menghadapi gadis Cina yang jelita itu. Pedangnya mengeluarkan sinar kuning kemerahan.
"Celaka kalau dibiarkan!" gumam Kedok Hitam, merasa khawatir terhadap keempat rekannya yang kini dalam desakan kedua anak muda, yang berilmu berada di atas mereka.
"Tak ada pilihan lain, kecuali harus meninggalkan tempat ini.
Mundur...!" Mendengar seruan Kedok Hitam, serentak keempat rekannya yang dalam keadaan terpepet, langsung ambil langkah seribu. Mereka tak memikirkan gadis yang mereka culik, lari tunggang-langgang. Hal itu menjadikan Pendekar Gila yang konyol berteriak menyoraki.
"Hea haaa...! Hi hi hi..!" Sena tertawa-tawa sambil menggeleng-gelengkan kepala, menyaksikan kelima manusia berkedok itu lari tunggang-langgang ketakutan. Mei Lie melangkah mendekati Pendekar Gila, setelah kedua lawannya turut kabur. Dimasukkan Pedang Bidadari ke dalam sarungnya. Bibirnya mengurai senyum, melihat kelakuan sang Kekasih yang persis orang gila. Meski begitu, hatinya sangat mencintai Pendekar Gila.
"Terima kasih, Tuan Pendekar! Terima kasih!" ucap gadis cantik berusia sekitar dua puluh empat tahun yang tadi diculik kelima lelaki berkedok. Gadis itu berlutut di hadapan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa.
"Aha, kurasa kami bukan Dewa, Dik," kata Se-na.
"Benar, Diajeng. Bangunlah, jangan berlaku seperti itu pada kami. Kami bukanlah Dewa yang patut disembah. Kami manusia biasa," sambut Mei Lie sambil membangunkan gadis itu, agar tidak melakukan sembah.
"Tapi..., tapi Tuan berdua telah menolong saya," ujar gadis itu masih berusaha menyembah.
"Eee..., sudahlah, tak perlu kau risaukan masalah itu! Saling menolong merupakan kewajiban setiap manusia. Oh ya, siapa namamu...?" tanya Sena.
"Nama saya, Sulandri. Saya berasal dari desa ini, saya anak Ki Lurah Riwanda," tutur gadis itu menjelaskan dirinya.
"O, rupanya kau anak Ki Lurah. Hm, pulanglah! Kau telah bebas. Berhati-hatilah!" ujar Mei Lie sambil memegang pundak Sulandri sebelah kiri. Mei Lie berusaha menenangkan hati gadis itu.
Sulandri menatap kedua penolongnya. Sementara Pendekar Gila dan Mei Lie tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih," ujar Sulandri sambil menjura hormat pada kedua pendekar muda itu. Sulandri dengan berat hati berlari-lari kecil meninggalkan Pendekar Gila dan Mei Lie yang tetap tersenyum, memandang Sulandri yang sebentarsebentar menoleh. Sulandri melambaikan tangan tinggi-tinggi. Mei Lie menyambutnya dengan senyum "Aha! Mari kita teruskan perjalanan kita!" ajak Sena kemudian.
"Kau belum menjelaskan bagaimana orang Jawa memperhitungkan musim dengan patokan angin, Kakang," desak Mei Lie.
"Aha, sudahlah! Bukankah hal itu tak menjadi persoalan bagimu?" sahut Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie, melangkah meninggalkan tempat itu.
***
Dari dalam sebuah bangunan yang terbuat dari papan kayu keluar seorang pemuda berwajah tampan, tapi agak bengis. Mata pemuda berpakaian merah itu, memandang ke Lima Hantu Berkedok yang berlari-lari tanpa membawa seorang gadis.
"Mana gadis itu, Kedok Hitam"!" bentak Sugali keras dengan mata menyorot tajam ke wajah lima anak buahnya yang langsung terdiam dengan kepala tertunduk.
"Kedok Hitam, mana gadis itu, heh"! Apakah kau sudah bisu"!"
"Ampun, Ketua! Sesungguhnya kami telah mendapatkan gadis yang Ketua kehendaki," tutur Kedok Hitam dengan kepala masih menunduk.
"Lalu...?" tanya Sugali. Nadanya masih menunjukkan kemarahan. Sedang matanya menatap tajam wajah Kedok Hitam.
"Hei, jawab..."!"
"Ampun, Ketua! Sesungguhnya, kami memang telah mendapatkan gadis yang Ketua kehendaki. Namun di tengah jalan, kami dihadang Pendekar Gila," jawab Kedok Ungu dengan suara bergetar. Ada perasaan takut di hatinya.
"Apa"! Pendekar Gila..."!" membelalak mata Sugali mendengar anak buahnya mengatakan telah bertemu dengan Pendekar Gila. Wajah Sugali seketika berubah membara. Tangan kanannya mengepal, memukuli telapak tangan yang kiri.
"Benar, Ketua," timpal Kedok Merah, "Karena Pendekar Gila dan kekasihnya, sehingga kami gagal membawa gadis itu ke hadapan Ketua." Sugali mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah masih menunjukkan kegarangan. Gigi-giginya saling beradu. Telah lama dirinya mencari-cari Pendekar Gila. Kini tak ada pilihan lain, kecuali mencari pendekar itu, untuk menuntut balas atas kematian kedua orangtuanya.
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku!" dengus Sugali marah, ketika tiba-tiba teringat kembali kedua orangtuanya yang mati di tangan pendekar itu.
"Aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kelima anak buahnya hanya diam, tak ada yang berani menanggapi ucapan Sugali. Kelima Hantu Berkedok hanya saling mencuri pandang, mendengar ancaman ketua mereka. Hati mereka bertanya-tanya.
Mampukah pimpinan mereka menghadapi Pendekar Gila yang sakti, karena mereka telah merasakan sendiri kehebatannya. Belum lagi menghadapi gadis Cina yang memiliki pedang sakti itu. Pedangnya mampu mengeluarkan sinar kuning kemerahan yang mampu membuat jantung setiap lawan berdebar keras. Pedang itu seakan memiliki kekuatan gaib, yang mampu membuat lawan bergetar ketakutan serta merasa dibayang-bayangi malaikat pencabut nyawa.
"Kalian nanti malam ikut aku! Kita harus mencari gadis yang diminta Datuk Raja Karang. Kalau kita bertemu dengan Pendekar Gila, akulah yang akan menghadapinya," ujar Sugali dengan tegas. Matanya membelalak dan memerah karena marah.
"Baik, Ketua...!" sahut kelima anak buahnya sambil menjura. Tak seorang pun berani beradu pandang dengan sang Ketua mereka.
"Sekarang kalian boleh pergi! Ingat, malam nanti kita harus mencari seorang gadis!" tegas Sugali mengingatkan pada kelima anak buahnya.
"Baik, Ketua," sahut Lima Hantu Berkedok sambil menjura. Kemudian kelimanya segera meninggalkan markas, untuk mencari makanan. Tampak mereka membuka kedok masing-masing. Seketika terlihatlah wajah-wajah yang sebenarnya. Lima Hantu Berkedok ternyata lima lelaki berwajah buruk. Wajah mereka buruk seperti bekas luka bakar yang daging wajah mereka gosong dan terkelupas. Mengerikan!
***
::₪| 5 |₪::
Meski Mei Lie cukup lama hidup di hutan, Pendekar Gila tak ingin kekasihnya harus tidur menggelantung di pepohonan atau kedinginan diterpa angin malam.
Itu sebabnya Sena berusaha mencari penginapan.
"Kakang, kita teruskan saja perjalanan!" usul Mei Lie. Sena mengerutkan kening dan menghentikan langkahnya. Ditatapnya Mei Lie dalam-dalam. Kemudian dengan bibir tersenyum, pemuda berambut gondrong itu, menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak, Mei! Udara malam terlalu jahat untukmu. Kau harus istirahat, karena perjalanan menuju Goa Setan masih jauh. Kita memerlukan waktu sekitar tiga sampai empat hari," ujar Sena menjelaskan, berusaha memberi pengertian pada kekasihnya.
"Tapi aku kuat, Kakang."
"Aku tahu. Tapi kau perlu istirahat," tukas Sena. Mei Lie hanya diam, dita-tapnya wajah Pendekar Gila yang tampan. Gadis itu terasa damai jika berada di sampingnya. Sebenarnya dia tak ingin berpisah dengan pemuda tampan yang seperti orang gila ini. Namun dirinya tetap harus sabar menunggu sampai habis pengembaraan Pendekar Gila untuk menjalin sebuah rumah tangga yang dicitacitakan.
"Ayo, Mei! Kita harus segera mencari penginapan," ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie.
Gadis itu pun menurut. Keduanya kembali melangkah, menyelusuri Desa Jati Sanga untuk mencari penginapan. Setelah beberapa lama berjalan menyusuri jalan desa, akhirnya Sena menemukan sebuah penginapan yang sederhana. Penginapan itu tak terlalu ramai dan besar. Hanya seukuran rumah biasa, kamarnya pun hanya lima buah. Di sampingnya ada sebuah kedai yang juga tak seberapa luas.
Seorang lelaki berusia setengah baya bertubuh gemuk datang menghampiri Pendekar Gila dan Mei Lie.
Dengan tatapan menyelidik, dipandangi kedua orang tamunya. Seakan lelaki gemuk berkumis tebal itu, tak percaya dengan Pendekar Gila yang cengengesan dengan tingkah laku seperti orang gila.
"Aha, sepertinya kau meragukan kami, Ki," tukas Sena sambil cengengesan dengan tangan mengga- ruk-garuk kepala. Hal itu membuat pemilik kedai dan penginapan semakin menajamkan matanya penuh selidik.
"Kalian mau menginap?" tanyanya dengan nada tak percaya.
"Benar," sahut Mei Lie mendahului. Mulutnya yang tipis tersenyum manis.
"Hm, apakah kalian bawa uang?" Mata Mei Lie membelalak kesal, mendengar pertanyaan yang dilontarkan pemilik penginapan. Dirinya merasa seperti dihina. Mata Mei Lie melotot menentang mata pemilik penginapan yang menatap mereka dengan sikap merendahkan.
"Kau minta berapa"!" tanya Mei Lie dengan suara tajam, membuat pemilik penginapan tersentak. Dirinya tak menyangka, kalau gadis Cina itu berani membentak.
"Kau"!" tergagap ucapan pemilik kedai.
"Ya! Jangan sembarangan, Ki! Berapa pun kau minta, bila perlu penginapan ini kubeli, aku sanggup!" ujar Mei Lie ketus. Ucapan gadis cantik itu membuat pemilik penginapan bertambah kaget "Sombong sekali kau, Nisanak! Lancang benar mulutmu!" bentak pemilik penginapan. Kemudian tangannya bertepuk dua kali. Dari dalam, muncul dua orang lelaki bertelanjang dada dengan tubuh kekar.
Nampaknya kedua lelaki bertampang beringas itu tukang pukul si pemilik penginapan.
"Hi hi hi...! Lucu sekali! Mengapa kau suruh dua ekor kerbau dungu untuk melayani kami?" tanya Sena sambil cengengesan dengan kepala menggeleng-geleng. Sementara tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Bocah gila! Kuharap kau dan gadis Cina ini segera pergi, atau kedua tukang pukul ku akan menendang kalian sampai keluar!" ancam Ki Gendo sambil mengerlingkan mata pada dua orang tukang pukulnya.
Kedua lelaki beringas itu menyeringai, seakan meremehkan Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Aha, sambutanmu tak pantas, Ki. Inikah sambutan pemilik penginapan pada tamunya?" ejek Sena dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Mei Lie kini nampak memasang wajah bengis, kemarahannya sudah memuncak. Nampaknya Mei Lie benar-benar tersinggung mendengar ucapan Ki Gendo.
"Orang tua tak tahu diri!" dengus Mei Lie, "Rupanya kau benar-benar mencari penyakit!"
"Oh..., kau jauh lebih galak daripada pemuda gila temanmu ini, Nisanak! Hm, aku semakin tertarik, apakah di tempat tidur pun kau akan segalak ini?" sahut Ki Gendo dengan senyum sinis mengembang di bibirnya. Matanya memandang nakal ke wajah Mei Lie, membuat gadis cantik itu bertambah geram.
"Orang tua, mulanya aku hendak menghormatimu. Tetapi, rupanya kau lelaki tak tahu malu!" bentak Mei Lie keras dengan mata melotot "Sorpa dan Jawir, kau hadapi dan bereskan pemuda gila itu! Biar aku bisa bermesraan dengan gadis ini," perintah Ki Gendo sambil menatap penuh nafsu pada Mei Lie. Gadis itu tampak tenang dengan mata tajam mengawasi gerak-gerik lelaki gendut yang mata keranjang itu.
"Baik, Juragan!" sahut keduanya. Kemudian dengan mulut menyeringai, Sorpa dan Jawir melangkah mendekati Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Dua kerbau dungu ini, mengapa kau suruh melayani aku, Ki?" tanya Sena sambil tertawa cekikikan dan menggarukgaruk kepala. Betapa marah Sorpa dan Jawir dikatakan kerbau dungu. Napas mereka mendengus. Lalu masingmasing merentangkan tangan ke atas dengan jari-jari siap mencengkeram.
"Grrr! Kubunuh kau, Bocah Edan!" dengus Sorpa dengan mata menatap garang pada Pendekar Gila. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Sorpa bergerak maju. Kedua tangannya yang sudah direntangkan, kini siap menghantam ke tubuh Pendekar Gila.
"Remuk kepalamu! Heaaa...!" Wrt! "Aits...!" Dengan cepat Pendekar Gila merundukkan tubuh. Sehingga pukulan kedua tangan Sorpa melintas di atas kepalanya. Kemudian dengan cepat pula, Pendekar Gila langsung menyerudukkan kepalanya ke perut Sorpa. Dukg! "Ukh!" tubuh Sorpa langsung terhuyunghuyung ke belakang terkena serudukan Pendekar Gila.
Matanya membelalak, melotot semakin garang.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pemuda Gila!" bentak Jawir sambil melangkah maju. Tangannya diluruskan ke depan, kemudian ditarik dengan jari-jarinya.
Lalu setelah diletakkan di pinggang, Jawir langsung menghentakkan pukulan kedua tangannya ke tubuh Pendekar Gila, "Heaaa...!" Dengan cepat Pendekar Gila berkelit ke samping, sambil mengangkat kaki kanan. Kemudian dengan cepat disertai setengah tenaga dalam, ditendangnya perut Jawir. Seketika tubuhnya doyong ke depan.
"Hea!" Begk! "Ukh...!" keluh Jawir sambil terhuyung mundur. Perutnya terasa mual akibat tendangan Pendekar Gila "Hoak! Hoak..!"
"Hi hi hi...! Lucu sekali, ada dua kerbau dungu sedang mabuk," ujar Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Sementara Mei Lie nampak. masih berusaha berkelit dari Ki Gendo yang berusaha merenggut tu buhnya. Bahkan kini lelaki setengah baya berperut gendut itu tampak jatuh tersungkur, mencium tanah karena tak dapat memeluk Mei Lie.
Brak! "Hi hi hi..!" Mei Lie tertawa cekikikan, menyaksikan Ki Gendo terjatuh karena dia mengelit ketika lelaki itu hendak memeluknya. Hal itu menjadikan Ki Gendo semakin penasaran. Lelaki gendut mengenakan pakaian kuning itu, langsung bangun. Kemudian dengan masih beringas, Ki Gendo segera merangsek tubuh Mei Lie, berusaha memeluk Mei Lie.
"Ayo, tangkaplah aku!" tantang Mei Lie dengan senyum meledek di bibirnya. Ki Gendo bertambah nafsu untuk dapat menangkap Mei Lie.
"He he he...! Rupanya kau bukan gadis sembarangan, Nisanak Aku semakin penasaran," ujar Ki Gendo sambil melangkah mendekati tubuh Mei Lie.
Kedua tangannya mengembang, siap untuk memeluk Mei Lie.
"Ayo, Ki! Tangkaplah aku!" tantang Mei Lie dengan senyum masih mengembang di bibirnya. Wajah gadis Cina itu bertambah cantik "Heaaa...!" Ki Gendo langsung menubruk tubuh Mei Lie.
Namun dengan cepat gadis itu berkelit ke samping kiri.
Hal itu membuat tubuh Ki Gendo terhuyung karena meleset tubrukannya. Saat itu pula, Mei Lie mendorong tubuh lelaki setengah baya itu dengan keras dan cepat Tubuh Ki Gendo semakin cepat menyeruduk. Sehingga, karena tak mampu mengatasi dorongan tangan Mei Lie, tubuhnya yang gendut itu menabrak dinding kamar depan penginapannya.
"Aaa...!" Brak! Dinding kayu kamar itu ambruk. Seketika itu pula tampaklah pemandangan di dalam kamar itu. Mata Pendekar Gila dan Mei Lie terbelalak kaget. Di dalam kamar itu, ada lima gadis cantik dalam keadaan telanjang. Kelima gadis cantik yang ditampung di dalam kamar itu, nampaknya sangat tertekan dan ketakutan.
"Aha. Rupanya penginapan ini hanya kedok bagi kalian," ujar Pendekar Gila sambil berkelit mengelakkan serangan kedua orang tukang pukul Ki Gendo.
Kemudian dengan cepat, kedua tangannya bergerak menghantam tubuh kedua lawan.
Degk! "Akh...!" kedua orang tukang pukul Ki Gendo langsung menjerit, terkena pukulan dan tendangan Pendekar Gila. Tubuh keduanya yang mirip dua ekor kerbau, langsung terpelanting dan menabrak dinding papan rumah penginapan itu.
Brak! Suara berderak seketika terdengar disusul hiruk-pikuk orang-orang yang berlarian dari dalam kamar. Beberapa pasang lelaki-perempuan tampak kaget dan berhamburan keluar hanya dengan mengenakan pakaian dalam. Nampaknya mereka tengah melangsungkan perbuatan maksiat di kamar-kamar penginapan itu.
"Aha, rupanya penginapan ini tempat terlak-nat...!" gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya agak terpicing karena keheranan menyaksikan apa yang terjadi di dalam rumah penginapan itu. Dia tidak menyangka, kalau Ki Gendo rupanya seorang germo. Seorang penyelenggara tempat percabulan. Melihat kedua tukang pukulnya dapat dikalahkan oleh Pendekar Gila. Ki Gendo seketika berlutut meminta ampun. Wajahnya pucat-pasi ketakutan, mengharap ampunan dari kedua pendekar muda itu.
"Ampuni nyawaku!" ratap Ki Gendo.
"Aha, kau benar-benar manusia keji, Ki! Menjual kehormatan dan harga diri wanita. Hi hi hi...! Semua terserah pada Mei Lie.
Bagaimana, Mei?" tanya Sena.
"Lelaki seperti ini tak dapat diampuni, Kakang.
Kalaupun kita mengampuni, setelah kita pergi tentu dia akan tetap seperti ini. Dia akan melakukan hal seperti ini juga," jawab Mei Lie dengan senyum sinis.
Mendengar jawaban itu, Ki Gendo tampak semakin ketakutan.
"Ampun, Nisanak! Sungguh aku akan sadar," ratap Ki Gendo sambil terisak. Hatinya benar-benar merasa takut, mendengar ucapan Mei Lie. Bagaimana pun Ki Gendo telah tahu kehebatan kedua anak muda di hadapannya.
"Aha, benarkah ucapanmu bisa kami pegang, Ki?" tanya Sena dengan tingkah laku masih seperti orang gila. Mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Sungguh, Tuan. Saya akan sadar."
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Kau tadi seperti raksa-sa yang punya taring. Kini kau seperti seekor kerbau yang kehilangan tanduk," ujar Pendekar Gila dengan menggeleng-geleng kepala.
Dipandangnya Mei lie, "Bagaimana, Mei?"
"Baik. Untuk kali ini kuampuni. Tetapi, jika kelak kudengar kau masih memperdagangkan kehormatan kaumku dengan cara seperti ini, aku tak akan memberi ampun bagimu!" tegas Mei Lie.
"Terima kasih, Nisanak. Terima kasih...!" Ki Gendo hendak bersujud, tetapi Pendekar Gila dengan cepat melarangnya.
"Ah ah ah, sudahlah, Ki! Kau manusia seperti kami Tak pantas manusia menyembah manusia," kata Pendekar Gila sambil menyuruh Ki Gendo untuk bangun, "Bangunlah, Ki!" Dengan hati masih dilanda ketakutan, Ki Gendo menurut bangun. Kini lelaki setengah baya yang semula sinis itu, hanya mampu menundukkan kepala.
Ki Gendo tak berani beradu pandang dengan kedua pendekar muda itu.
"Baiklah, Ki. Kurasa kami harus pergi," kata Sena, yang membuat Ki Gendo membelalakkan mata.
"Kenapa tak menginap saja, Tuan" Sungguh, kami ingin menimba ilmu dan budi pekerti dari Tuan Pendekar," ucap Ki Gendo penuh harap.
"Aha, ilmu dan akal budi, sesungguhnya ada pada setiap manusia, Ki. Kau pun sebenarnya telah bisa, tinggal bagaimana kau melakukannya," jawab Pendekar Gila seraya tersenyum.
"Camkanlah itu, Ki! Jika kau selalu ingat itu, kau akan tetap pada jalur hidup yang benar."
"Baiklah, Tuan. Segala apa yang Tuan katakan akan saya ingat," sahut Ki Gendo seraya menggaruk-garuk kepala, tanpa menatap wajah Pendekar Gila.
"Aha, kurasa aku dan temanku harus segera pergi, Ki. Ayo, Mei Lie!" ajak Sena.
"Ayo, Kakang!" Kedua pendekar muda itu pun segera beranjak meninggalkan penginapan Ki Gendo yang sekaligus tempat mesum itu. Ki Gendo mengiringi Pendekar Gila dan Mei Lie sampai depan pagar halaman penginapannya. Tatapan mata lelaki setengah baya itu nampak menyiratkan rasa kagum pada kedua pendekar muda itu. Hati Ki Gendo menyesali tindakannya, juga sifatnya. Seharusnya dirinya yang sudah tua, menyadari kalau perbuatannya selama ini merupakan suatu kesesatan.
***
Jeritan keras itu membuat para penduduk Desa Suluh Pring terbangun. Mereka berlarian dari rumah masing-masing membawa obor, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Suara kentongan pun bersahutsahutan, mengisyaratkan kalau malam ini terjadi penculikan di Desa Suluh Pring.
"Tolong...! Culik..!" seorang wanita setengah baya berteriak-teriak, ditingkahi hiruk-pikuk dan bunyi kentongan di kegelapan malam.
"Ada apa, Nyai?" tanya seorang lelaki berbadan sedang dengan wajah nampak penuh wibawa. Lelaki berusia lima puluh tahun yang ternyata Kepala Desa Suluh Pring itu diapit dua pengawalnya.
"Anak saya, Ki Lurah," jawab wanita setengah baya itu terbata di sela tangisnya.
"Kenapa dengan anakmu, Nyai?"
"Santini diculik orang-orang berkedok, Ki," sahut wanita itu masih dengan tangisnya.
"Ke mana mereka pergi?" tanya Ki Lurah Sanu-si.
"Ke sana, Ki."
"Rojak, Sali, kejar mereka! Warga semua, ikut aku!" ajak Ki Lurah Sanusi. Seketika itu pula, Ki Lurah Sanusi dan kedua tangan kanannya serta warga desa memburu ke barat yang ditunjuk wanita setengah baya tadi. Dalam kegelapan malam, Ki Lurah Sanusi melihat enam lelaki berjalan ke barat Salah seorang lelaki memanggul wanita yang tentunya Santini, anak Nyi Darmi. Gadis itu nampak meronta, berusaha melepaskan diri dari lelaki muda yang memanggulnya.
"Berhenti kalian!" bentak Ki Lurah Sanusi dengan keras. Keenam lelaki berkedok itu seketika berhen-ti. Mereka serentak menoleh, memandang tajam pada Lurah Sanusi dan beberapa warga desa yang mengejar mereka.
"Hm, rupanya ada juga orang yang berani menghentikan langkahku," geram salah seorang di antara keenam lelaki yang tak berkedok. Mata lelaki berpakaian merah itu menatap tajam pada Ki Lurah Sanusi dan kedua tangan kanannya.
"Penculik biadab! Lepaskan gadis itu!" bentak Ki Lurah Sanusi tegas, tak takut menghadapi keenam begundal yang telah menculik salah seorang gadis warganya.
"He he he..., berani juga kau membentakku, Ki," gumam Sugali sambil tertawa terkekeh.
"Rupanya kau sudah bosan hidup, berani menentangku."
"Cuih!" Ki Lurah Sanusi meludah.
"Menghadapi iblis macam kalian, mengapa aku harus takut!"
"Oooh, bagus! Dengan begitu, kami tak akan segan-segan mencabut nyawa kalian," ujar Sugali dengan senyum sinis masih melekat di bibirnya. Kemudian dengan menggerakkan tangan, Sugali memerintahkan pada Lima Hantu Berkedok agar menyerang.
"Heaaa...!" Kelima Hantu Berkedok segera melompat ke depan. Mereka dengan beringas langsung melakukan serangan pada Ki Lurah Sanusi dan tangan kanannya yang dibantu para warga desa.
"Tangkap mereka...!" perintah Ki Lurah Sanusi pada kedua tangan kanannya. Rojak dan Sali diikuti para warga Desa Suluh Pring langsung menghadapi serangan Lima Hantu Berkedok "Heaaa...!"
"Heaaa...!"
"Tangkap...! Serang...!" Dengan penuh kemarahan, warga desa dibantu kedua tangan kanan Ki Lurah Sanusi langsung menghadang kelima manusia berkedok. Dengan senjata yang berupa golok, parang, dan lain-lainnya, mereka langsung menggebrak Warga desa bagaikan tak mengenal takut, membabatkan golok dan parang mereka menyerang kelima lelaki berkedok "Hea!"
"Yea!" Serangan warga Desa Suluh Pring tampak menggebu-gebu. Namun karena tidak dilandasi ilmu silat, serangan mereka bagaikan tiada arti. Dengan mudah, serangan warga desa dapat dipatahkan kelima manusia berkedok "Hea...!" Dukkk! Plakkk! "Aaakh...!" Sekali kelima manusia berkedok menggebrak dengan pukulan dan tendangan, beberapa orang warga memekik terkena tendangan dan pukulan mereka.
"Heaaa...!" Wrettt! Trang! "Heaaa...!" Walau telah banyak korban berjatuhan di pihak warga Desa Suluh Pring, nampaknya mereka tak merasa gentar barang sedikit pun. Pertarungan itu semakin seru. Kemarahan warga Desa Suluh Pring bertemu dengan kejengkelan Lima Hantu Berkedok karena merasa terhalangi niat mereka. Namun tiba-tiba....
"Hua ha ha...! Rupanya para kecoa itu ada di sini, Mei!" Suara tawa menggelegar terdengar dari arah selatan. Para warga dan Lima Hantu Berkedok sempat tersentak kaget "Pendekar Gila...!" pekik Lima Hantu Berkedok dengan mata membelalak, setelah tahu siapa pemilik suara tawa itu. Sementara Sugali yang masih memanggul gadis culikannya, seketika menaruh tubuh gadis itu ke tanah. Matanya langsung memandang ke asal suara tawa itu.
***
::₪| 6 |₪::
"Siapa mereka, Kedok Hitam?" tanya Sugali.
"Dia Pendekar Gila, Ketua," jawab Kedok Hitam dengan mata nanar menatap Pendekar Gila. Dirinya kecut karena pernah bentrok dengan pemuda gila itu.
"Hm, kebetulan! Memang dialah yang kucari selama ini," ujar Sugali sambil melangkah maju. Tatapan matanya memancarkan api dendam kepada Pendekar Gila. Nafasnya mendengus keras, bagaikan menyimpan amarah di dadanya. Hal itu karena tiba-tiba teringat orangtuanya mati di tangan pemuda gila itu.
"Pendekar Gila, aku memang sengaja mencarimu!" Pendekar Gila yang belum kenal siapa pemuda sebayanya yang mengatakan mencarinya, mengerutkan kening. Dipandangi Sugali dengan penuh selidik. Kemudian mulutnya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, ada keperluan apa kau mencariku, Kisanak?" tanya Sena masih dengan mata memandang penuh selidik, mengawasi Sugali dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.
"Cuih! Kau masih tak mau menyadari kesalahanmu, Pendekar Gila!" dengus Sugali setelah meludah ke tanah. Matanya bagaikan terbakar, menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kurasa aku tak pernah kenal denganmu," gumam Sena. Tingkah lakunya tampak makin konyol.
Jari telunjuknya memegang kening seakan tengah memikirkan sesuatu. Namun mulutnya cengengesan Sementara itu, Mei Lie tampak tengah membantu warga Desa Suluh Pring menghadapi Lima Hantu Berkedok. Dengan kehadiran Mei Lie, warga desa yang semula terdesak mulai bertambah semangat. Bahkan mereka tampak mulai dapat mendesak Lima Hantu Berkedok.
"Jangan banyak omong, Pendekar Gila! Masih ingatkah kau dengan suami-istri yang kau bantai tiga purnama yang silam di Desa Babakan"!" bentak Sugali sengit. Hatinya tampak jengkel mendengar dan melihat kekonyolan Pendekar Gila.
"Aha, aku ingat. Hi hi hi...! Jadi kau anak mereka?" tanya Pendekar Gila sambil tertawa-tawa lucu.
"Benar! Dan aku hendak menuntut balas atas kematian kedua orangtua ku!" ujar Sugali semakin membara amarahnya. Seakan dendam di dadanya tak akan padam, sebelum dapat membunuh Pendekar Gila yang telah membunuh kedua orangtuanya.
"Aha, kebetulan sekali. Hi hi hi...! Kurasa aku pun sedang mencarimu, Kisanak," sahut Pendekar Gila sambil cengengesan.
"Kau murid yang paling durhaka, Kisanak Baik pada gurumu yang kau bunuh, maupun pada kedua orangtua mu."
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Pendekar Gila! Bersiaplah untuk mati!" dengus Sugali.
Srang! Pedang Dewa Naga dicabut dari warangkanya.
Nampaknya Sugali tak mau menyia-nyiakan pertemuan ini. Pemuda itu, sepertinya hendak menghabisi nyawa Pendekar Gila secepatnya. Pedang yang mengeluarkan sinar hijau bagaikan haus darah.
"Aha, di samping durhaka, kau pun ternyata pencuri, Kisanak," ujar Pendekar Gila yang membuat Sugali bertambah marah.
Matanya menatap semakin tajam pada Pendekar Gila.
"Setan alas! Kubunuh kau, Pendekar Gila! Heaaa...!" dengan menggunakan jurus 'Naga Mengarungi Samudera' Sugali langsung menggebrak Pendekar Gila. Pedang di tangannya bergerak cepat, membabat dan menusuk tubuh lawan.
Wrt! Wuttt! Mendapat serangan begitu cepat, Pendekar Gila tak tampak keder atau kewalahan. Bahkan sambil masih cengengesan, tubuhnya bergerak mengelak. Kali ini gerakannya seperti orang mabuk. Itulah jurus 'Dewa Mabuk Menjerat Sukma' yang membuat lawan penasaran dan ingin terus memburu. Hal itu karena gerakan Pendekar Gila tampak terhuyung-huyung, seperti tak memiliki keseimbangan.
"Heaaa...!" Sugali kembali membabatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila yang masih seperti orang gila. Namun dengan gerakan aneh Pendekar Gila mengelitkan serangan lawan. Sehingga babatan pedang Sugali melesat beberapa rambut di samping tubuh Pendekar Gila. Wrt! "Aha, pedangmu hasil curian, sehingga kau tak becus menggunakannya, Kisanak," ejek Pendekar Gila dengan tingkah laku seperti orang gila. Mulutnya cengengesan dengan tangan sesekali menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa cekikikan, yang membuat kemarahan Sugali semakin menjadi-jadi.
"Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Gila! Heaaa...!" Dengan menggunakan jurus 'Naga Menggeliat Mengulur Raga', Sugali melakukan serangan cepat Pedang Dewa Naga di tangannya bergerak cepat, menusuk, dan membabat. Direntangkan kedua tangan, sehingga jangkauan tusukan dan babatan pedang bertambah dekat dengan sasaran.
"Hi hi hi..!" sambil tertawa cekikikan, Pendekar Gila segera berkelit menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat. Tubuhnya meliuk-liuk dengan lincah bagaikan menari. Sepintas gerakan tariannya sangat pelan dan lemah, tetapi Sugali tak juga mampu menyarangkan serangannya ke tubuh Pendekar Gila.
Bahkan dirinya semakin dibuat penasaran. Pemuda berpakaian merah itu telah mengerahkan setengah lebih tenaganya untuk memburu Pendekar Gila, tapi gerakan Pendekar Gila yang aneh tak mampu dikejar.
"Hih...!" Dengan masih bergerak seperti orang menari, Pendekar Gila melepaskan tepukan tangannya ke tubuh lawan. Tubuhnya agak dibungkukkan dan agak mendoyong ke depan. Gerakan menepuk yang dilakukan Pendekar Gila kelihatan lamban dan lemah, tetapi cukup menyentakkan Sugali.
Plak! "Heh"!" Dengan cepat Sugali menarik serangannya. Dilentingkan tubuhnya ke atas, berusaha mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun ketika kakinya baru saja hendak mendarat di tanah, Pendekar Gila telah memburunya.
"Gila! Dasar gila...!" Sugali mencaci-maki sendiri, karena tepukantepukan tangan Pendekar Gila yang nampaknya tak memiliki tenaga dapat memburu gerakan tubuhnya.
Bukan itu saja, tepukan tangan Pendekar Gila yang tampak pelan, ternyata mampu menimbulkan desiran angin yang sangat keras. Hampir saja Sugali terkena pukulan telapak tangan Pendekar Gila, kalau saja tak segera menarik serangannya dan melentingkan tubuh mengelakkan tepukan itu.
Sugali terus berusaha mengelakkan pukulan telapak tangan Pendekar Gila yang memburunya. Pemuda itu telah berusaha mengeluarkan segenap tenaga untuk mengelak. Namun serangan yang dilancarkan lawan ternyata begitu cepat, walau kelihatannya sangat lambat.
"Hea!" Sugali berusaha membabatkan pedang ke tangan lawan yang melesat ke tubuhnya. Namun dengan gerakan aneh, Pendekar Gila menarik serangannya.
Tubuhnya berputar ke arah kiri lalu dengan cepat kakinya menendang. Itulah jurus 'Gila Melepas Lilitan Benang'.
"Hea!" Wusss! "Heh"!" Sugali tersentak kaget. Dirinya tak menyangka kalau lawan akan mampu membalas serangan dengan begitu cepat Sugali berusaha mengelak ke samping.
Namun tangan kiri Pendekar Gila dengan cepat memapaki tubuhnya. Dan....
Degk! "Akh...!" Sugali menjerit. Tubuhnya terpental ke samping kanan. Dari sela-sela bibirnya, mengalir darah merah. Matanya memandang penuh kemarahan pada Pendekar Gila yang tampak hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Saat itu, tiba-tiba sesosok bayangan merah melesat menuju tempat pertempuran. Ternyata sesosok lelaki tua dengan jenggot putih yang telah begitu dike-nali oleh Sugali.
Bayangan lelaki berpakaian mirip resi dengan rambut digelung ke atas yang tak lain Ki Pramanu tersenyum sinis menatap Sugali. Tentu saja pemuda itu terbelalak kaget melihat sosok bayangan gurunya muncul di depan mata.
"Hukum pertama akan segera tiba, Gali. Kutuk-ku yang pertama, akan menyambutmu," suara itu terdengar dari mulut bayangan Ki Pramanu.
"Kau tentu masih ingat, bukan...?"
"Tidak! Aku tak akan kalah di tangan Pendekar Gila! Hhh..., dialah yang akan mati di tanganku!" dengus Sugali sengit. Matanya yang merah membara menghujam tajam ke wajah bayangan Ki Pramanu yang masih tersenyum.
"He he he...! Kau tak dapat menentang suratan, Gali. Kau tak akan bisa lepas dari kutuk orang yang mengucapkan dalam keadaan sekarat," ujar bayangan Ki Pramanu yang semakin membuat Sugali kalap.
"Orang tua keparat! Minggir! Jangan banyak bacot! Tempatmu bukan di dunia, tetapi di neraka!" dengus Sugali sambil membabatkan pedang memburu Ki Pramanu yang seketika itu pula menghilang dari pandangan. Lenyapnya bayangan Ki Pramanu, menambah kemarahan Sugali. Kini Pendekar Gila jadi sasaran serangannya. Dengan cepat Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan yang dilancarkan Sugali. Direnggangkan kaki kirinya ke samping sambil mendoyongkan tubuh. Pedang Sugali pun meleset menderu di samping kanan.
"Hea!" Dengan cepat Pendekar Gila menarik kaki kanan, lalu diangkatnya ke atas. Sehingga tepat menghantam perut Sugali.
Degk! "Ukh...!" Sugali memekik tertahan. Tubuhnya terpental ke depan dan bergulingan dengan mulut meringis. Perutnya yang terkena lutut Pendekar Gila dirasakan mulas. Namun cepat-cepat Sugali bangkit berdiri. Matanya yang merah menatap tajam pada Pendekar Gila penuh kebencian. Sementara Pendekar Gila justru cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Di pihak lain, Mei Lie yang dibantu Ki Lurah Sanusi dan dua tangan kanannya serta warga desa telah mampu mendesak Lima Hantu Berkedok. Kelima Hantu Berkedok kini hanya dapat bertahan dari gempuran-gempuran yang dilakukan Mei Lie dan Ki Lurah Sanusi serta warga desa.
Kalau saja tak ada Mei Lie, Ki Lurah Sanusi dan warganya mungkin tak akan sanggup mendesak kelima manusia berkedok. Ilmu yang dimiliki Lima Hantu Berkedok ternyata tak bisa dianggap remeh. Jelas jauh lebih tinggi jika dibanding Ki Lurah Sanusi serta kedua orang tangan kanannya.
"Hea...!" dengan jurus-jurus 'Bidadari'-nya Mei Lie terus bergerak menggempur Lima Hantu Berkedok yang kian terjepit. Kelimanya terus berusaha bertahan dari gempuran si Bidadari Pencabut Nyawa bersama warga desa. Namun rupanya serangan Mei Lie dan Ki Lurah Sanusi serta kedua tangan kanannya cukup dahsyat. Sampai akhirnya....
"Hea...!" Cras! "Akh...!" Kedok Biru menjerit keras, ketika pedang milik Ki Lurah Sanusi membabat tangan kanannya, yang seketika buntung. Darah deras keluar dari tangannya yang terpotong.
"Bunuh semuanya...!" seru Ki Lurah Sanusi memerintah pada warga desa serta kedua tangan kanannya.
"Hea!"
"Cincang mereka...!" Seketika terdengar suara hiruk-pikuk, jeritan, dan teriakan kemarahan memecah suasana malam.
Para warga Desa Suluh Pring yang telah marah tampaknya tak mampu lagi menahan kemarahan. Mereka langsung menyerbu Lima Hantu Berkedok. Dengan senjata berupa golok, parang, dan arit para warga menggebrak lawan yang tampak mulai kendor dalam melakukan serangan dan pertahanan.
Wrt wrt wrt..! Jrabs! "Akh...!" Kedok Kuning menjerit, ketika golok di tangan salah seorang penduduk desa menghujam ke perutnya. Sesaat tubuhnya menggelepar, kemudian ambruk bersimbah darah.
Kini Lima Hantu Berkedok tinggal empat orang.
Dengan tewasnya Kedok Kuning jelas mengurangi kekuatan mereka. Namun untuk kabur mereka tak berani, karena warga Desa Suluh Pring telah mengepung.
"Mampus kalian!" dengus Ki Lurah Sanusi sambil menusukkan pedangnya ke dada Kedok Merah.
Sementara dari belakang, penduduk desa pun menyerang dengan membabatkan golok serta arit mereka.
"Hea!" Jrabs! "Akh...!" Kedok Merah menjerit ketika pedang Ki Lurah Sanusi menembus dadanya.
Darah menyembur keluar, ketika pedang itu dicabut. Belum juga pedang Ki Lurah Sanusi tercabut, dari samping kanan dan kiri Kedok Merah, golok dan sabit warga desa berkelebat membabat "Hih...!" Bret! Wrt! Tubuh Kedok Merah menggelepar dengan perut hampir putus terbabat golok dan arit warga desa. Sekejap kemudian tubuh terbalut pakaian merah itu telah tewas. Semakin bertambah ketakutan tiga orang berkedok itu. Apalagi Kedok Hitam kini sudah mulai lemah, karena banyak mengeluarkan darah. Sementara serangan dari Mei Lie yang dibantu warga desa; semakin bertambah cepat dan garang. Sehingga ketiga Hantu Berkedok kian terjepit. Sampai akhirnya....
"Hea!" Wrt! Pedang di tangan Mei Lie yang digerakkan dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung' membabat leher Kedok Ungu.
Cras! "Akh...!" Kedok Ungu memekik ketika Pedang Bidadari Mei Lie menyambar lehernya, hingga hampir putus.
Kini semakin bertambah ciut nyali Hantu Berkedok yang tinggal dua orang. Kedok Biru benar-benar terdesak hebat, sedangkan Kedok Hitam kini menjadi bulan-bulanan kemarahan warga. Mei Lie yang sudah menunjukkan siapa dirinya, terus menyerang Kedok Biru dengan jurus 'Tebasan Bidadari Batin'. Sebuah jurus pamungkas yang sangat dahsyat "Hea!" Wrt! Cras! "Akh...!" Kedok Biru memekik, ketika pedang si Bidadari Pencabut Nyawa Iblis membabat lehernya.
Namun keanehan terjadi Leher Kedok Biru tetap utuh.
Dan beberapa saat kemudian, ternyata tubuh Kedok Biru hancur menjadi debu.
***
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila berkelit.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali tangannya menepuk ke tubuh lawan.
"Hea...!"
"Yea...!" Pertarungan Pendekar Gila melawan Sugali berlangsung seru. Sampai saat itu, dirinya masih mengandalkan tangan kosong. Hal itu menjadikan Sugali tampak bertambah nafsu untuk menyerang dengan tebasan dan tusukan Pedang Dewa Naga-nya.
Dengan jurus 'Naga Merangkak Gunung', Sugali terus bergerak begitu cepat laksana terbang sambil membabatkan pedangnya memburu lawan. Pedang di tangannya, diarahkan untuk membabat dada dan leher Pendekar Gila.
Namun dengan menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', Sena terus bergerak mengelitkan setiap serangan lawan.
Tubuhnya yang meliuk-liuk laksana menari, ternyata mampu mengelakkan serangan gencar pedang lawan yang sangat cepat dan mematikan. Padahal sepintas gerakan meliuk yang dilakukan Pendekar Gila, kelihatan lamban dan lemah. Hal itu membuat Sugali semakin bertambah nafsu, ingin segera mengakhiri pertarungan itu.
"Hea!"
"Uts! He he he...!" dengan tertawa terkekeh, Pendekar Gila berkelit dari tusukan pedang lawan. Tubuhnya merunduk, kemudian dengan cepat tangannya bergerak menepuk lurus ke dada lawan.
Wrt! "Heh"!" Sugali kaget mendapat serangan secepat itu. Dengan mata membelalak, pemuda itu melompat ke samping. Namun dengan cepat pula, Pendekar Gila memburu. Mei Lie dan warga desa yang sudah mengakhiri pertarungan mereka melawan Lima Hantu Berkedok, kini membuat lingkaran menyaksikan pertarungan Pendekar Gila melawan Sugali.
"Hea!" Sugali yang sudah dapat lepas dari kejaran Pendekar Gila, langsung melancarkan serangan. Pedang Dewa Naga di tangan kanannya, menusuk dan membabat dengan jurus 'Naga Hitam Mengibas Ekor'.
Sedangkan tangan kirinya, kini berada di pinggang sebelah kiri dengan jari-jari terbuka siap menyerang.
"Yea!" Sugali menusukkan pedangnya ke dada lawan.
Namun dengan cepat Pendekar Gila mendoyongkan tubuh ke samping. Namun rupanya tusukan itu hanya sebagai pancingan semata. Ketika tubuh Pendekar Gila miring ke kiri, dengan cepat kaki kanan Sugali bergerak menendang ke muka.
"Hea!" Degk! "Ukh...!" Sena memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung tiga tindak ke belakang. Dari bibirnya keluar darah.
"Cuih!" Setelah meludah, membuang darah yang meleleh. Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian dengan cepat, melesat melakukan serangan.
"Hea!" Dengan Suling Naga Sakti di tangannya, Pendekar Gila mengembangkan jurus 'Gila Terbang Mencengkeram Mangsa'. Tubuhnya melayang ke atas. Kemudian dengan cepat menukik sambil memukulkan Suling Naga Sakti ke kepala Sugali.
Wrt! Melihat Pendekar Gila memukulkan Suling Naga Sakti-nya, dengan cepat Sugali mengangkat Pedang Dewa Naga untuk memapaki serangan lawan.
Wuttt! Trang! "Ukh!" Sugali memekik tertahan. Tangannya tergetar hebat, dirasakan seperti dialiri hawa panas.
Pedang Dewa Naga yang tergenggam di tangannya, terpental jauh. Setelah berbenturan dengan Suling Naga Sakti. Hal itu membuat Sugali terkejut dan ketakutan.
Wajahnya seketika berubah pucat-pasi. Sementara itu di telinga terdengar suara gurunya, Ki Pramanu yang telah dibunuhnya.
"Kini saatnya, Sugali! Terimalah kutukku yang pertama!" Bersamaan dengan lenyapnya suara Ki Pramanu, Pendekar Gila tiba-tiba bergerak menyerang dengan pukulan 'Gila Melebur Gunung Karang'.
"Hea!" Sugali yang tersentak kaget, dengan cepat merundukkan tubuhnya untuk mengelak. Namun ternyata pukulan yang dahsyat itu harus mengena bagian mukanya. Tanpa ampun lagi....
Jret! "Akh...!" Sugali menjerit setinggi langit. Wajahnya hancur berantakan. Darah menetes keluar dari wajahnya yang hancur. Bagaikan kesetanan, Sugali melompat menubruk tubuh Pendekar Gila melakukan serangan.
Namun dengan cepat, Pendekar Gila bergerak mengelak. Kemudian, tangan kanannya bergerak cepat dengan telapak tangan memukul ke punggung Sugali.
"Hea!" Degk! "Akh...!" kembali Sugali menjerit Tubuhnya bergulingan ke tanah dengan cepat bagaikan didorong suatu tenaga yang sangat kuat. Tubuh berpakaian merah itu terus berguling hingga belasan tombak jauhnya.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba ada sesosok bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh Sugali dan membawanya pergi.
"Datuk Keparat! Tunggu...!" teriak Pendekar Gi-la sambil melesat untuk mengejar.
Namun sosok berjubah hitam yang ternyata Datuk Raja Karang, telah melemparkan sesuatu ke tempat Pendekar Gila berdiri.
Slats! Glarrr...! Suara ledakan keras terdengar. Bersamaan dengan itu, keluar asap mengepul yang menutupi pandangan Pendekar Gila. Dan ketika asap itu lenyap, Datuk Raja Karang telah tak ada di tempat itu. Tampaknya ketika mata Pendekar Gila terhalangi asap tebal tokoh penolong Sugali telah melesat kabur dari tempat pertarungan.
"Licik!" maki Sena gusar.
"Kita harus mengejarnya, Kakang. Bukankah datuk itu yang telah membunuh Mbakyu Bangil?" desak Mei Lie tak sabar.
"Aha, kau benar, Mei Lie. Dialah yang menjadi sumber petaka di Lembah Lamur," sahut Sena.
"Hhh, rupanya selama ini dia bersembunyi."
"Kita cari dia, Kakang!" ajak Mei Lie.
"Ya," jawab Sena, "Ki Lurah, kurasa kami harus segera pergi dari desamu ini."
"O, mengapa tergesa-gesa, Tuan Pendekar" Sebenarnya kami ingin menjamu kalian barang dua atau tiga hari," jawab Ki Lurah Sanusi.
"Ah, terima kasih! Gampang lain waktu, Ki," sahut Mei Lie. Ki Lurah Sanusi tak dapat memaksa keduanya.
Dirinya menyadari kalau mereka pendekar yang dibu tuhkan banyak manusia.
"Kalau memang begitu, kami tak dapat memaksa. Kami atas warga Dewa Suluh Pring, hanya mampu mengucapkan terima kasih pada kalian," ujar Ki Lurah Sanusi.
"Aha, tak perlu kau berkata begitu, Ki! Izinkan kami pergi!" ujar Pendekar Gila seraya tersenyum.
"Semoga kalian dalam lindungan Hyang Widi." Pendekar Gila dan Mei Lie pun segera pergi dari tempat itu untuk mengejar Datuk Raja Karang yang selama ini juga tengah dicari-cari oleh mereka. (Untuk mengetahui siapa Datuk Raja Karang, silakan ikuti serial Pendekar Gila dalam episode: 'Titisan Dewi Kwan Im'). Pagi telah datang, tak lama setelah Pendekar Gila dan Mei Lie meninggalkan Desa Suluh Pring.
***
::₪| 7 |₪::
Wa- jahnya yang hancur, terus mengeluarkan darah bagaikan tak akan mengering. Kutukan sang Guru, Ki Pramanu benar-benar terbukti. Sugali tak mati terkena hantaman pukulan jurus 'Gila Melebur Gunung Karang'. Hanya wajahnya yang hancur. Namun jelas luka itu merupakan siksaan yang sangat perih sekali.
"Tenanglah, Anak Muda! Aku akan berusaha menolongmu," ujar Datuk Raja Karang berusaha menghibur Sugali yang terus merintih kesakitan.
"Datuk, aku tak berhasil," keluh Sugali.
"Tak perlu kau pikirkan itu! Kini yang harus kau pikirkan, bagaimana membalas semuanya pada Pendekar Gila," sahut Datuk Raja Karang terus berusaha membesarkan hati pemuda itu.
"Dia memang hebat Namun kelak kita akan bahu-membahu mengalahkannya." Lelaki tua berjubah hitam itu dengan ringan melangkah di permukaan air. Aneh! Air laut yang diinjaknya seketika berubah membeku. Sehingga permukaan air bagaikan daratan.
"Kita akan mencari dia, jika kau telah sembuh dari lukamu," kata Datuk Raja Karang.
"Mungkinkah kita mampu menghadapinya, Datuk?" tanya Sugali. Nadanya kurang yakin akan ke-mampuan dirinya, setelah kini mengalami kekalahan yang menyakitkan.
"Jangan berkata begitu, Tolol! Apakah kau akan putus asa dan membiarkan arwah kedua orangtua mu penasaran"!" bentak Datuk Raja Karang.
"Dengan persekutuan kita, maka tak akan ada pendekar yang mampu mengalahkan kita."
"Benarkah itu, Datuk?" tanya Sugali masih belum percaya.
"Ya! Kau telah mewarisi ilmu Ki Pramanu. Sebenarnya ilmu gurumu bukan ilmu sembarangan.
Sayang kau tak dapat menggunakannya dengan baik.
Kalau saja kau dapat menggunakannya dengan baik, kurasa Pendekar Gila tak akan mudah mengalahkanmu," sanjung Datuk Raja Karang, berusaha memulihkan semangat Sugali yang mulai ciut setelah kekalahan ini. Sugali hanya diam. Rasa sakit akibat wajahnya yang hancur dan terus mengeluarkan darah, semakin terasa menyiksa. Dendamnya pada Pendekar Gila semakin membara. Dia harus dapat membalas semua yang dialami olehnya. Juga dendam atas kematian kedua orangtuanya oleh Pendekar Gila.
Datuk Raja Karang telah sampai di tepian pulau karang, tempat persembunyiannya selama ini dari kejaran Pendekar Gila semenjak kejadian di Lembah Lamur. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun yang merupakan tokoh sesat itu, nampak melangkah dengan ringan sambil memanggul tubuh Sugali. Datuk Raja Karang kemudian masuk ke sebuah goa yang ada di pulau karang itu.
Goa karang itu cukup besar. Di dalamnya tak tampak kegelapan sebagaimana layaknya goa, melainkan gemerlapan seperti mengandung emas dan mutiara. Di bagian tengah ruangan goa tampak ada sebuah baru besar berbentuk datar dan panjang. Tampaknya batu itu memang bisa digunakan untuk pembaringan.
Datuk Raja Karang meletakkan Sugali di atas batu datar itu. Setelah membaringkan tubuh Sugali, dan menotok beberapa urat nadi di tubuhnya. Datuk Raja Karang pun melangkah menuju sebuah ruangan lain dalam goa itu. Matanya memandangi satu persatu tabung bambu yang tergantung di dinding goa. Sepertinya tengah mencari sesuatu obat, untuk menghilangkan rasa sakit yang diderita Sugali.
"Hm, ini dia," gumam Datuk Raja Karang sambil mengambil tabung yang berisikan serbuk kunyit ireng. Dibawanya tabung itu keluar. Kemudian Datuk Raja Karang menuju batu datar tempat Sugali masih terbaring dengan rintihan-rintihan kesakitannya.
"Datuk.. o, sakit sekali," rintih Sugali. Darah terus keluar dari luka wajahnya, seakan-akan tak dapat mengering. Sehingga tampak keadaan wajah Sugali semakin bertambah mengerikan.
"Sabar, Anak Muda! Ini sebuah bukti, bahwa Pendekar Gila benar-benar menghinamu," ujar Datuk Raja Karang berusaha menumbuhkan dendam di hati Sugali.
"Tidak, Datuk! Ini sebuah kutukan guruku."
"Hua ha ha...!" Datuk Raja Karang tertawa terbahak-bahak.
"Kutuk" Hm, kau kira gurumu itu orang suci yang bisa mengutuk. Ini bukan kutuk, Sugali. Ini hinaan dari Pendekar Gila. Bukankah dengan keadaan seperti sekarang ini, kau dapat dikucilkan dari pergau-lan?" Sugali menarik napas dalam-dalam. Seakan dirinya berusaha mencerna kata-kata Datuk Raja Karang. Dendamnya pada Pendekar Gila semakin menjadi-jadi. Hati Sugali membenarkan kata-kata lelaki tua yang telah menolongnya itu.
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku! Kalau kau bisa menghancurkan mukaku, maka aku akan menghancurkan tubuhmu!" dengus Sugali dalam hati.
Matanya yang tertutup darah, mengerjap-ngerjap.
"Bagaimana" Apa masih percaya kalau semua yang kau alami merupakan kutukan?" tanya Datuk Raja Karang dengan senyum kecut menghias bibirnya.
"Aku percaya dengan ucapanmu, Datuk. Akan kubalas semua hinaan ini! Akan kuhancurkan dia...!" teriak Sugali dengan keras penuh dendam. Tangan kanannya mengepalkan tinju ke atas, sepertinya bersumpah.
"Hua ha ha...!" Datuk Raja Karang tertawa senang.
"Bagus! Memang itulah yang harus kita lakukan.
Kita harus menyingkirkan Pendekar Gila!"
"Tapi, Datuk..."
"Apa lagi?" tanya Datuk Raja Karang.
"Ilmuku belum seberapa."
"Itu masalah mudah. Setelah kau pulih, aku akan mengajarkan padamu sebuah ilmu silat yang maha sakti," ujar Datuk Raja Karang dengan disertai gelak tawa.
"Terima kasih, Datuk!"
"Kini, gunakan hawa murnimu! Aku akan mencoba mengobati luka di wajahmu," perintah Datuk Raja Karang. Sugali segera menurut. Disalurkan hawa murni ke mukanya, agar bisa menahan rasa sakit.
Melihat Sugali sudah menyalurkan hawa murni, Datuk Raja Karang pun segera menaburkan bubuk kunyit ireng.
"Aaaouw...! Aaakh...! Sakit.. sakit!" Sugali meraung-raung kesakitan, ketika bubuk kunyit itu menempel di lukanya.
"Tenang, Sugali! Hanya dengan kunyit ireng ini, kau akan terbebas dari rasa sakit," ujar Datuk Raja Karang sambil terus menaburkan bubuk kunyit ireng ke luka di wajah Sugali. Hal itu membuat pemuda itu semakin memekik keras. Rasa perih dan sakit, terasa semakin hebat mendera di wajahnya. Dari wajahnya yang ditaburi obat tampak mengepulkan asap.
"Akh...!" Sugali menggelepar-gelepar bagaikan sekarat.
Dari wajahnya semakin bertambah banyak asap hitam mengepul. Sedangkan darah yang mengalir, belum juga mau berhenti, terus keluar dari lukanya.
"Oh, apa aku salah mengambil obat?" tanya Datuk Raja Karang dalam hati bimbang dan cemas, me- nyaksikan bagaimana keadaan Sugali saat itu. Bubuk kunyit ireng yang seharusnya mampu menghentikan aliran darah, ternyata tak berguna sama sekali bagi luka yang dialami Sugali Datuk Raja Karang memperhatikan tabung bambu yang dipegangnya. Namun hatinya merasa yakin, kalau tabung itu memang berisikan bubuk kunyit ireng.
"Obat ini benar. Hai, kenapa kunyit ireng tak berguna?" gumam Datuk Raja Karang nampak cemas, karena Sugali semakin sekarat Beberapa kali Datuk Raja Karang memandangi bergantian ke tabung dan wajah Sugali. Wajahnya menggambarkan kecemasan. Keningnya mengerut, berlipat-lipat. Hatinya masih tak mengerti, mengapa darah yang keluar dari luka di muka Sugali tetap mengalir. Padahal seharusnya mengering setelah ditaburi serbuk kunyit ireng.
"Akh...! Tobat...!" Sugali terus menjerit-jerit, merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar, bagaikan seekor ayam yang disembelih. Jemari tangannya menggenggam, sepertinya berusaha mencari pegangan dan kekuatan. Kemudian diam membisu.
"Mati...?" tanya Datuk Raja Karang dengan kening mengerut. Dirabanya dada Sugali.
"Ah, masih hidup!" Datuk Raja Karang segera meninggalkan tempat itu, untuk melakukan semadi. Dia melangkah menuju sebuah ruangan lain yang tertutup. Di tempat itulah, Datuk Raja Karang melakukan semadi, meminta kekuatan pada arwah-arwah yang dipujanya.
Tangan Datuk Raja Karang bergerak ke kanan dan ke kiri. Seketika itu, pintu batu bergeser membuka. Dan kini nampaklah sebuah ruangan yang cukup luas. Ada sebuah perapian besar, yang di atasnya terdapat sebuah arca berbentuk manusia buaya.
Datuk Raja Karang melangkah mendekat. Pintu kembali bergerak menutup. Sang Datuk kini duduk bersila di dekat perapian, menghadap arca manusia buaya berada. Mulut sang Datuk komat-kamit membaca mantera. Matanya terpejam, dengan kepala agak tertunduk Wesss! Dari arca manusia buaya, keluar asap hitam bergulung-gulung. Perlahan-lahan, dari asap keluar sosok bayangan samar-samar. Lama-kelamaan, terlihat jelas sosok itu. Sosok wanita berkepala buaya.
"Hik hik hik..! Ada apa kau mengundangku, Raja Karang?" terdengar suara wanita. Ucapan itu keluar dari mulut manusia buaya.
"Ampun, Sri Ratu sembahan hamba! Hamba memohon pertolongan darimu."
"Tentang apa?"
"Hamba mempunyai masalah."
"Dengan Pendekar Gila?"
"Itu yang pertama, Sri Ratu."
"Ada lagi...?"
"Benar, Sri Ratu."
"Katakan, apa."
"Hamba memiliki teman yang habis bertarung dengan Pendekar Gila. Dia terluka di wajahnya. Tetapi anehnya, darah terus mengalir. Apa yang sebenarnya terjadi, Sri Ratu?" tanya Datuk Raja Karang meminta petunjuk "Dia mendapat kutuk berdarah dari gurunya.
Dia memang tak akan mati ketika bertarung untuk pertama kali melawan Pendekar Gila. Dia akan mati, oleh kekasih Pendekar Gila," tutur Ratu Siluman Buaya.
"Ampun, Sri Ratu! Lalu bagaimana untuk menghadapi Pendekar Gila dengan kekasihnya?" tanya Datuk Raja Karang.
"Aku akan membantumu."
"Terima kasih, terima kasih, Sri Ratu."
"Ada lagi, Raja Karang?" tanya Ratu Siluman Buaya.
"Bagaimana dengan pemuda itu?"
"Raganya akan kugunakan. Dengan begitu, tak akan ada yang tahu kalau aku hadir ke dunia," ujar Ratu Siluman Buaya.
"Kapan kau akan mencari Pendekar Gila?"
"Jika Sri Ratu berkenan, secepatnya!"
"Aku telah siap. Beri penutup di mukanya. Agar tak diketahui orang," perintah Ratu Siluman Buaya.
"Baik, Sri Ratu." Setelah memberi perintah, Ratu Siluman Buaya pun menghilang. Asap tebal kembali bergulung. Kemudian perlahan-lahan asap itu masuk ke arca manusia buaya yang ada di atas perapian.
Datuk Raja Karang kembali menyembah. Kemudian bangkit dari duduk bersilanya. Kakinya melangkah menuju pintu keluar. Tangannya digerakkan.
Kali ini gerakannya dari kiri ke kanan. Saat itu pula, pintu penutup terbuka.
Datuk Raja Karang segera keluar melangkah menuju tempat tubuh Sugali yang nampak bergerak-gerak. Sepertinya Sugali telah sadar.
"Raja Karang, carikan kain penutup wajah!" perintah Sugali yang kini suaranya telah berubah. Bukan suara lelaki, melainkan suara Ratu Siluman Buaya.
"Daulat, Sri Ratu," jawab Datuk Raja Karang.
Kemudian Datuk Raja Karang bergegas mencari kain yang diminta Ratu Siluman Buaya yang sudah merasuk ke tubuh Sugali. Tak lama kemudian, Datuk Raja Karang telah kembali dengan membawa secarik kain hitam yang cukup lebar dan mampu menutupi seluruh wajah. "Ikatkan ke kepala," perintah Sri Ratu Siluman Buaya. Tanpa membantah, Datuk Raja Karang segera mengikatkan ujung kain hitam itu ke kepala Sugali.
Seketika wajah menyeramkan yang terus mengalirkan darah itu, tertutup kain hitam. Namun darah tetap saja mengalir, keluar dari luka-luka di wajahnya. Sebentar saja kain hitam itu telah basah darah yang terus mengalir.
"Bagus! Dengan begini, kita akan bebas bergerak," ujar Ratu Siluman Buaya.
"Tetapi, darah masih keluar. Dan bau amis masih tercium, Sri Ratu,." sahut Datuk Raja Karang mengingatkan.
"Itu bukan masalah, Raja Karang. Aku akan mengeluarkan ajian 'Raga Wangi', agar bau amis darah akan hilang." Setelah berkata begitu, Ratu Siluman Buaya yang menyusup ke dalam raga Sugali, nampak bersidekap. Tak lama kemudian, bau wangi bunga cendana, menyebar keluar dari segenap tubuhnya.
Dan benar juga, bau amis dan anyir darah hilang. Kini yang tercium hanyalah bau wangi bunga cendana.
"Bagaimana, Raja Karang?"
"Sri Ratu benar-benar sakti. Bau anyir darah, kini telah hilang. Yang tercium, kini bau wangi kembang. Tapi, mengapa mesti bunga cendana" Apakah nanti tak akan membuat orang ketakutan di malam hari, mencium bau seperti ini?" tanya Datuk Raja Karang.
"Tak menjadi masalah.
Ayo kita berangkat!" ajak Ratu Siluman Buaya.
"Baik, Sri Ratu." Datuk Raja Karang pun segera mengiringi langkah Ratu Siluman Buaya yang telah menyusup ke raga Sugali. Keduanya melangkah keluar meninggalkan goa karang. Dengan entengnya, keduanya melangkah menapaki air lautan.
***
Sore itu, Datuk Raja Karang dan lelaki berselubung kain hitam yang dari tubuhnya mengeluarkan aroma wangi nampak melangkah melintasi Desa Alu Lanang. Kehadiran kedua manusia berilmu tinggi itu, telah membuat resah warga Desa Alu Lanang. Warga desa segera berdatangan ke rumah kepala desanya, melaporkan kedatangan dua tokoh sakti itu.
"Ki Lurah, dua orang yang menurut kabar adalah orang-orang jahat dan kejam telah sampai di desa kita," lapor seorang warga berusia sekitar empat puluh tahun. Nafasnya tersengal-sengal, setelah berlari-lari.
"Maksudmu, San?" tanya Ki Lurah Pare Gobang belum mengerti.
"Dua orang tokoh sakti, Ki Lurah. Yang satu berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan jubah hitam, dan seorang pemuda yang wajahnya tertutup kain hitam berlumuran darah," Kasan menjelaskan.
"Hm, mau apa mereka ke desa kita?" gumam KI Lurah Pare Gobang sambil mengeluselus jenggotnya yang telah memutih. Kemudian diliriknya dua orang tangan kanannya, "Depa dan kau Suka! Selidiki, mau apa mereka! Kalau bisa, tangkap mereka!"
"Baik, Ki Lurah," sahut kedua lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh tegap itu. Kemudian dengan diikuti beberapa warga yang melapor, Depa dan Suka melangkah meninggalkan rumah Kepala Desa Alu Lanang itu. Namun belum juga mereka melangkah jauh, tiba-tiba dihadang dua orang manusia yang disebutkan Kasan tadi.
"Tak perlu kalian mencari kami. Kami telah datang, untuk menemui lurah kalian!" sentak Datuk Raja Karang, yang membuat Depa dan Suka serta warga de-sa tersentak kaget dengan mata membelalak "Siapa kalian"! Dan mau apa datang ke desa kami"!" bentak Depa berusaha menunjukkan keberaniannya sebagai seorang jawara di Desa Alu Lanang.
Matanya tajam, menatap penuh selidik pada lelaki tua berjubah hitam dan pemuda dengan muka tertutup kain hitam berbercak darah. Kumis Depa yang lebat, bergerak turun naik Sedang matanya yang tajam terus menatap kedua tamu desa itu.
"Pertanyaan yang bodoh! Kami datang tentunya untuk memerintahkan pada lurahmu agar menyembah dan takluk di bawah kekuasaan kami!" dengus Datuk Raja Karang.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Orang Tua! Jangan harap kami akan membiarkan kalian melakukan hal itu!" dengus Suka tak kalah garang.
"Hm, kau mencari penyakit, Orang Tolol! Sebaiknya katakan saja pada lurahmu, kalau kami memerintahkan padanya agar memberikan upeti!" perintah Datuk Raja Karang.
"Enak sekali mulutmu bicara, Orang Tua! Cuih! Langkahi mayat kami, sebelum kau bertemu dengan Ki Lurah!" tantang Depa.
"He he he...! Rupanya kalian mencari mati.
Baik, bersiaplah untuk mati!"
"Kami telah siap! Hea...!" Depa dengan dibantu Suka serta sepuluh warga desa, serentak bergerak menyerang dengan senjata di tangan masing-masing.
"Hea!"
"Cuih! Kecoa-kecoa busuk macam kalian, berani menantang Datuk Raja Karang!" dengus Datuk Raja Karang sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah orang-orang yang hendak menyerangnya. Seketika itu pula, kedua belas lawannya terpelanting berjatuhan bagaikan dibanting.
Bugk! "Aaakh...!"
"Aduh!" Kedua belas lawannya menjerit dan meringisringis kesakitan. Namun Suka dan Depa cepat segera bangun. Lalu dengan penuh amarah, kedua jawara desa itu langsung menyerang dengan goloknya.
"Hea!"
"Yea!" Melihat kedua orang jawara itu hendak kembali menyerang, Datuk Raja Karang tertawa terkekeh. Dimiringkan tubuhnya ke samping, kemudian dengan cepat mencekal kedua tangan lawan yang memegang golok. Trep! "Hea!" bagaikan mengangkat kapas, Datuk Raja Karang langsung mengangkat tubuh kedua jawara de-sa. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Datuk Raja Karang langsung membanting kedua jawara itu dengan keras.
"Heaaa...!" Brug! Breg! "Akh!" keduanya menjerit Tubuh kedua jawara desa itu seketika meregang sekarat dengan darah muncrat dari mulut Sesaat kemudian, tubuh kedua jawara itu diam, mati! Melihat kedua jawara desa mati dalam sekali gebrak saja, nyali para warga desa seketika menciut Kesepuluh warga desa itu hendak lari, namun dengan cepat lelaki muda yang wajahnya tertutup kain hitam langsung mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh.
"Hea!" Zrttt! Jret! Jret! Jret! "Akh...!" lolongan kematian kembali menggema, memecah kesunyian sore menjelang malam. Kesepuluh warga desa yang terkena hantaman itu, langsung ambruk dengan tubuh menghitam gosong.
Dengan sinis, Datuk Raja Karang memandangi mayat-mayat warga desa yang bergeletakan di tanah rerumputan. Kemudian dengan menendang tubuh salah seorang dari warga desa, Datuk Raja Karang kembali melangkah diikuti manusia yang wajahnya tertutup kain hitam. Langkah keduanya kini menuju rumah Ki Lurah Pare Gobang.
Ki Lurah Pare Gobang yang menyaksikan bagaimana kedua manusia sesat itu membunuh kedua tangan kanannya dan sepuluh warga desa, semakin takut. Apalagi kini kedua orang sesat dan kejam itu menuju rumahnya. Cepat-cepat Ki Lurah Pare Gobang mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Dirinya tak ingin bertemu dengan kedua manusia jahat dan kejam itu.
"Celaka! Mereka bukan orang sembarangan," gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil menyandarkan tubuhnya di pintu yang telah dikunci. Keringat dingin keluar deras membasahi keningnya. Ki Lurah Pare Gobang yang memang tak memiliki ilmu silat gemetaran.
Matanya memandang ke sekelilingnya dengan tegang.
Belum juga rasa takut hilang dari hati Ki Lurah Pare Gobang, tiba-tiba....
"Ki Lurah, keluar kau! Jangan bersembunyi macam tikus tanah yang ketakutan!" terdengar dari luar seruan seseorang lelaki tua tapi tegas dan keras, yang membuat tubuh Ki Lurah Pare Gobang bertambah menggigil ketakutan.
"Celakalah aku!" keluh Ki Lurah Pare Gobang hampir menangis. Matanya berkacakaca. Tubuhnya semakin gemetaran dilanda perasaan takut yang mendera jiwanya.
"Ki Lurah, keluarlah! Atau ku dobrak pintu rumahmu!" kembali dari luar terdengar suara Datuk Raja Karang berseru, yang semakin membuat Ki Lurah Pare Gobang bertambah ketakutan. Keringat dingin semakin deras bercucuran membasahi tubuhnya.
***
::₪| 8 |₪::
"Ki Lurah, cepat keluar! Atau kami terpaksa menghancurkanmu beserta rumah...!" ancam Datuk Raja Karang.
"Hua ha ha...! Lucu sekali. Pucuk dicinta, ulam tiba. Lama sekali kucari kau. Akhirnya kau kutemukan sedang gembar-gembor di sini!" Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara seorang pemuda, diikuti tawa yang keras dan bergema.
Suara tawa itu menyentakkan Datuk Raja Karang, sampai-sampai tanpa sadar dari mulutnya terucap nama gelar pemuda itu.
"Pendekar Gila!"
"Diakah pendekar itu, Raja Karang?" tanya Ra-tu Siluman Buaya yang telah merasuk ke tubuh Suga- li.
"Benar, Sri Ratu. Itu suaranya."
"Kebetulan," gumam Ratu Siluman Buaya.
"Hi hi hi...! Mei Lie, rupanya datuk bangkong ini ada di sini." Suara itu kembali terdengar. Sekejap kemudian, muncul satu sosok lelaki muda berompi kulit ular. Di samping seorang gadis cantik berpakaian hijau. Melihat kedatangan kedua sosok itu mata Datuk Raja Karang terbelalak kaget "Siapa gadis itu, Raja Karang?" tanya Ratu Siluman Buaya.
"Dia Titisan Dewi Kwan Im, yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa," tutur Datuk Raja Karang menjelaskan.
"Kau takut pada mereka, Raja Karang?"
"Tidak," sahut Datuk Raja Karang.
Pendekar Gila yang kini berdiri lima tombak di hadapan Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman Buaya, masih cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Diambilnya Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya, kemudian dengan acuh ditiupnya. Suara Suling Naga Sakti mengalun dengan lembut, mendendangkan syair yang menceritakan tentang perjalanan hidup manusia. Hal itu menjadikan Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman Buaya tersentak.
"Pendekar Gila, apa maksudmu menyindirku"!" bentak Datuk Raja Karang keras. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila yang seketika menghentikan tiupan Suling Naga Saktinya. Pendekar Gila menoleh ke wajah Mei Lie dengan mulut masih cengengesan.
Disimpannya Suling Naga Sakti di ikat pinggang, diganti dengan mengambil bulu burung. Kemudian dikorek telinganya dengan bulu burung itu. Seketika mulutnya cengar-cengir kegelian.
"Hi hi hi... aneh! Aneh sekali...! Kadang orang menyadari kekeliruannya. Tetapi orang itu tak mau mengakui kesalahannya. Hi hi hi... lucu!" gumam Pendekar Gila sambil terus mengorek telinganya dengan bulu burung.
"Pendekar Gila, rupanya kau benar-benar harus kami singkirkan!" ancam Datuk Raja Karang.
"Aha, hebat! Hebat sekali ucapanmu, Datuk Bangkong! Hi hi hi...! Mei Lie, kurasa kita tak akan membiarkan dia melakukannya, bukan?" tanya Pendekar Gila dengan masih cengengesan.
"Bukan kita yang akan tersingkir, tetapi datuk keparat itu yang akan kusingkirkan!" dengus Mei Lie dengan ketus. Matanya menatap penuh kebencian pa-da Datuk Raja Karang, kemudian berganti pada lelaki bercadar hitam.
"Cuih! Meski kau bergelar Bidadari Pencabut Nyawa, aku Datuk Raja Karang tak takut padamu!" dengus Datuk Raja Karang setengah menggeram. Sementara lelaki yang wajahnya tertutup kain hitam, nampak masih tenang.
"Hm, begitu...?" gumam Mei Lie dengan senyum sinis mengembang di bibirnya.
"Ingat Datuk Raja Karang, kau telah membunuh saudara-saudaraku di Lembah Lamur. Bagaimanapun, aku mencarimu untuk menagih hutang itu."
"Wuah, jangan sombong, Bidadari Pencabut Nyawa! Meski nama julukanmu mampu menggetarkan rimba persilatan, tetapi Datuk Raja Karang tak takut padamu!"
"Bagus kalau begitu," sahut Mei Lie.
"Bersiaplah!"
"He he he...! Mari kita mainmain! Hea...!"
"Yea...!" Datuk Raja Karang melesat dengan tangan kanan siap memukul. Begitu pula dengan Mei Lie, tubuhnya melesat memapaki serangan yang dilancarkan Datuk Raja Karang. Kedua tangan Mei Lie terentang dengan tubuh agak miring. Kemudian kedua tangannya digerakkan turun naik, bagaikan kepakankepakan selendang.
"Hea!" Mei Lie kini membuka jurus 'Selendang Bidadari Mengusir Kabut'. Dari kepakan kedua tangannya, menderu angin kencang. Hal itu membuat Datuk Raja Karang tersentak kaget. Dirinya tak menyangka, kalau gadis Cina ini memiliki ilmu silat yang tinggi.
"Yea!" Dengan menggunakan jurus 'Buana Graha' Datuk Raja Karang segera bergerak mengelakkan serangan yang dilakukan Mei Lie. Kemudian dengan cepat, bergerak menyerang. Tangannya yang mengepal, bergerak memukul dari bawah ke atas. Susul-menyusul, yang dilanjutkan dengan gerakan hantaman gencar telapak tangannya. Kaki-kakinya pun tak tinggal diam, bergerak menyapu dan menendang ke kaki Mei Lie.
"Hea!"
"Yea!" Dengan jurus-jurus andalan, mereka terus berkelebat untuk berusaha saling menjatuhkan lawan.
Gerakan keduanya sama-sama lincah dan cepat.
Memburu laksana seekor rajawali dan harimau, dari mengelak laksana burung seriti dan trenggiling.
Sementara itu, Pendekar Gila yang masih mengorek telinga, matanya mengawasi sosok yang wajahnya tertutup kain hitam. Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan kiri sesekali menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Kenapa kau tutupi mukamu?" tanya Pendekar Gila.
"Aha, tapi bagaimanapun, kau tak bisa menyembunyikan siapa dirimu sebenarnya, Murid Durhaka."
"Hhh!" Hanya dengus kecil keluar dari wajah tertutup kain hitam, yang ternoda darah. Sepertinya sosok Sugali tak mau berkata-kata. Ada sesuatu yang tersembunyi. Hal itu membuat Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian dengan melakukan semadi berdiri, dirinya berusaha melihat keanehan itu.
"Aha, kau rupanya Siluman Buaya," desah Sena.
"Ah ah ah! Meski kau menutup wajah barumu, kau tak bisa menyembunyikan batinmu, Siluman!" Tersentak kaget Sugali yang memang dirasuki Ratu Siluman Buaya mendengar seruan Pendekar Gila.
Ratu Siluman Buaya sama sekali tak menyangka, kalau Pendekar Gila akan dapat mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Hi hi hi...! Untuk apa kau main sembunyisembunyian, Siluman?" tanya Pendekar Gila dengan tertawa cekikikan. Tangannya menutupi mulut. Dige-leng-gelengkan kepala, sepertinya melihat hal lucu.
"Keluarlah dari sembunyimu di raga Sugali!"
"Hm, ternyata nama besarmu bukan nama kosong, Pendekar Gila! Karena kau telah tahu siapa aku, maka kini tak ada alasan lain bagiku. Aku memang ingin membantu pemuda yang raganya kupakai, untuk membalas dendam padamu. Bersiaplah, Pendekar Gila! Hea...!" dengan melompat laksana seekor harimau, Ra-tu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali menyerang Pendekar Gila. Tangan-tangannya bergerak mencengkeram dan mencakar ke tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Cakar Buaya Merayap'. Gerakan kedua tangannya bergerak susul-menyusul dari bawah ke atas.
"Hi hi hi..! Hea...!" dengan masih cengengesan, Pendekar Gila bergerak cepat mengelak. Dengan menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' tubuh Pendekar Gila bergerak meliuk-liuk laksana menari, diselingi tepukan-tepukan tangannya yang membuat Ratu Siluman Buaya tersentak kaget Prak! "Heh"!" Ratu Siluman Buaya segera menggeser kaki kirinya ke samping. Kemudian dengan memiringkan tubuh ke kiri, tangannya bergerak memapaki tepukan tangan Pendekar Gila.
"Yea...!" Plak! "Aaakh...!" Dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam itu saling beradu. Tubuh keduanya terdorong mundur ke belakang. Pendekar Gila mundur dua tindak ke belakang. Wajahnya cengengesan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk pantatnya.
Sementara Ratu Siluman Buaya terhuyung lima langkah ke belakang. Tubuhnya agak tergetar, seakan tak mampu menahan getaran kekuatan yang keluar dari telapak tangan Pendekar Gila.
"Kau memang hebat, Pendekar Gila. Tetapi aku tak mungkin kalah olehmu!" dengus Ratu Siluman Buaya geram. Hatinya marah karena ternyata serangannya dapat ditahan Pendekar Gila. Bahkan dadanya terasa sakit akibat benturan keras tadi.
"Hua ha ha...! Kurasa, masalah menang dan kalah dalam bertarung bukan kuasa seseorang, Siluman. Ah ah ah! Aku hanya heran, mengapa kau ikut campur dalam urusan manusia," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan.
"Itu urusanku."
"Aha, baik! Kalau memang itu yang kau kehendaki."
"Cuih! Kau kira kau akan menang, Pendekar Gila! Terimalah jurus 'Buaya Mengibas Ekor'. Hea...!" dengan tenaga dalam penuh, Ratu Siluman Buaya kembali bergerak menyerang. Tangan dan kakinya bergerak memukul dan menyerampang. Namun dengan cepat Pendekar Gila melompat menghindarkan serangan lawan.
"Hea!" Dengan menggunakan jurus 'Gila Terbang Mencengkeram Mangsa' Pendekar Gila berkelebat menyerang. Tubuhnya mencelat ke udara laksana terbang. Kemudian dengan cepat menukik dengan tangan membuat cengkeraman memburu lawan.
"Yea!" Melihat Pendekar Gila menyerang dari atas, Ratu Siluman Buaya segera mencelat ke atas. Kemudian dengan cepat ditangkisnya serangan yang dilancarkan Pendekar Gila dengan kedua tangan yang digerakkan dari pinggang, menyatu dan membelah ke atas.
"Hea!" Trak! "Hea!" dengan cepat Pendekar Gila menarik ka-ki kanannya ke depan, diikuti dengan tangan kanan ditarik ke belakang. Kemudian dengan tubuh bergerak memutar, kaki kirinya menendang lurus ke tubuh Sugali itu.
"Yea!" Plak! "Hih"!" dengan cepat Ratu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali bergerak merunduk. Kemudian tangan kanannya memukul ke selangkangan Pendekar Gila.
"Hea...!"
"Uts! Hih...!" Pendekar Gila segera melemparkan tubuh ke belakang, dan bersalto di udara beberapa kali. Kemudian dengan kembali bersalto, Sena kembali menyerang dengan cengkeraman tangan dan tendangan kaki kanannya.
"Yea!"
"Hea!" Pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ratu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali semakin berjalan seru. Keduanya sama-sama lincah dan gesit dalam menyerang maupun mengelak. Tubuh keduanya bergerak cepat, sehingga kini yang nampak hanya kelebatan bayangan merah dan kekuningan saling kejar di udara.
***
"Hebat! Tak percuma kau menyandang gelar Bidadari Pencabut Nyawa!" seru Datuk Raja Karang sambil bergerak mengelitkan serangan Mei Lie.
"Tapi untuk menghadapi Datuk Raja Karang, ilmumu belum seberapa. Hea...!"
"Jangan banyak omong, Datuk Setan! Hea...!" Keduanya kembali berkelebat cepat untuk menyerang. Tangan dan kaki keduanya turut bergerak, saling pukul dan tendang. Sementara tangan dan kaki yang lain bergerak menangkis serangan dan sapuan kaki dan tangan lawan.
"Hea!"
"Yea!" Trak! Setelah terjadi benturan tenaga, keduanya melentingkan tubuh ke belakang. Berjumpalitan di udara beberapa kali, kemudian turun dengan enteng ke atas tanah. Mata keduanya saling pandang, berusaha menjajaki sampai seberapa ilmu lawan.
"Bagaimana, Bidadari" Apa akan kita teruskan dengan senjata?" tanya Datuk Raja Karang menantang.
"Terserah!" sahut Mei Lie dengan suara dingin.
"He he he...! Kali ini kau akan kukirim ke akherat! Bersiap-siaplah!" Srrt Datuk Raja Karang mencabut senjatanya yang berbentuk arit bermata dua sehingga membentuk hurup Y. Digerakkan senjata itu dengan cepat. Dari mata arit mengeluarkan gulungan asap merah yang mengandung racun.
"Hm...," gumam Mei Lie dengan mata menatap tajam, menyaksikan senjata lawan yang mengeluarkan asap merah. Tangan kanannya bergerak meraba gagang Pedang Bidadari. Kemudian perlahan-lahan ditariknya pedang sakti itu.
Srt! Pedang Bidadari kini telah berada di tangannya.
Seketika sinar kuning kemerahan keluar dari pedang itu. Sementara itu dari rumahnya, Ki Lurah Pare Gobang terbelalak menyaksikan sinar dari pedang Mei Lie.
"Ck ck ck..! Bukan senjata sembarangan," gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil menggeleng- gelengkan kepala. Matanya membuka lebar, memandang pedang di tangan Mei Lie. Hatinya berharap, semoga kedua pendekar muda itu mampu mengalahkan lawan-lawannya yang terkenal kejam dan biadab.
Suasana di pekarangan rumah Ki Lurah Pare Gobang yang semula sunyi, seketika berubah menjadi riuh. Penduduk desa tampak berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mereka segera mengepung halaman rumah kepala desa.
Seperti halnya Ki Lurah Pare Gobang yang mengintip dengan harap-harap cemas, penduduk Desa Alu Lanang pun mengharapkan hal yang serupa. Mereka berharap Pendekar Gila dan Mei Lie akan memenangkan pertarungan itu.
Mei Lie kini telah mengeluarkan pedang sakti, yang sampai saat ini belum ada tandingannya setelah Suling Naga Sakti. Matanya menatap tajam Datuk Raja Karang, bagaikan sepasang mata Pencabut Nyawa.
Dan kini Mei Lie benar-benar telah menjadi Bidadari Pencabut Nyawa, yang siap menyabut nyawa iblis macam apa pun. Hati Datuk Raja Karang tergetar, menyaksikan Pedang Bidadari. Sepertinya sinar kuning kemerahan yang keluar dari pedang itu, menyentakkan hati Datuk Raja Karang. Matanya masih terbelalak.
"Hm, pedang itu bukan pedang sembarangan.
Sinarnya mampu menggetarkan sukmaku," gumam Datuk Raja Karang dalam hati dengan mata menatap tajam Mei Lie yang sedang memegang Pedang Bidadarinya di depan wajahnya.
"Bagaimana, Datuk Iblis?" tanya Mei Lie.
"Hm, jangan kira dengan pedang itu, kau akan mampu mengalahkanku?" dengus Datuk Raja Karang sambil terus menggerakkan arit bermata dua yang semakin bertambah banyak mengeluarkan asap merah.
Asap itu bergulung-gulung, semakin banyak.
"Hea...!" Melihat Datuk Raja Karang melesat menyerang, Mei Lie pun tak mau diam. Dengan menggunakan ju rus 'Tebasan Bidadari Batin', Mei Lie melesat menyerang, memapaki serangan Datuk Raja Karang. Matanya terpejam. Gerakan pedangnya tampak teratur dan berirama.
"Hea!" Tubuh keduanya melesat ke udara, saling menggerakkan senjata masing-masing.
"Hea!"
"Yea!" Wrt! Wrt! Keduanya serentak menggerakkan senjata mereka masing-masing, berusaha membabat tubuh lawan. Kedua senjata di tangan mereka bergerak cepat Trang! Prak! Bret! "Akh...!" jeritan keras membumbung tinggi terdengar dari mulut Datuk Raja Karang ketika Pedang Bidadari di tangan Mei Lie membabat tubuhnya. Semua orang yang melihat membelalakkan mata. Pedang Bidadari di tangan Mei Lie benar-benar membabat pinggang Datuk Raja Karang dari kanan sampai keluar ke kiri. Namun tubuh Datuk Raja Karang tak terpenggal. Tubuh sang Datuk tetap utuh. Terluka pun tidak! "Heh"!"
"Hah"!" Semua warga Desa Alu Lanang keheranan. Mereka tak percaya dengan apa yang terjadi. Rasa tegang menyelimuti hati warga desa, termasuk Ki Lurah Pare Gobang. Mereka mengira kalau Datuk Raja Karang benar-benar sakti, sehingga dibabat pedang Mei Lie pun tak mempan. Namun sesaat kemudian mereka kembali tersentak kaget dan keheranan.
"Heh"!"
"Hah"!" Tubuh Datuk Raja Karang yang semula utuh, seketika hancur menjadi debu. Hal itu pula yang membuat semua warga Desa Alu Lanang dan Ki Lurah Pare Gobang membelalakkan mata, bercampur dengan suka cita dan rasa kagum pada Mei Lie.
"Ck ck ck..! Benarkah apa yang kulihat?" gumam Ki Lurah Pare Gobang dengan mata hampir ke- luar, menyaksikan kejadian yang dilihatnya. Hatinya benar-benar tak percaya, melihat kenyataan yang ada.
Tubuh Datuk Raja Karang yang semula utuh, dalam seperempat minum teh saja telah hancur menjadi debu. Mei Lie segera melangkah mendekat ke tempat pertarungan Pendekar Gila melawan manusia dengan wajah tertutup kain hitam.
"Kakang, apakah aku perlu maju?" tanya Mei Lie.
"Aha, kurasa tak perlu, Mei. Hanya aku pinjam pedangmu. Karena hanya dengan pedangmu, siluman ini dapat dibinasakan!" seru Pendekar Gila.
"Terimalah ini, Kakang!" Mei Lie segera melemparkan Pedang Bidadari pada Pendekar Gila yang dengan cepat melenting ke atas, kemudian dengan cepat menyambar pedang itu.
Trep! "Aha, masihkah kau tetap bertahan, Siluman" Hea...!" dengan menggunakan Pedang Bidadari, Pendekar Gila segera menggebrak Ratu Siluman Buaya yang bercokol di dalam raga Sugali.
"Heh"!" Ratu Siluman Buaya tersentak, menyaksikan pedang bersinar kuning kemerahan di tangan Pendekar Gila. Sepertinya ada sesuatu yang menyentakkannya. Wrt! Bret! "Akh...!" terdengar pekikan menyayat. Namun pekikan itu suara lelaki. Suara Sugali sebenarnya.
Saat itu juga, tubuh Sugali lebur. Kini tinggal sesosok tubuh manusia buaya yang menyeramkan.
"Grrr! Kubunuh kau, Pendekar Gila!" dengus Ratu Siluman Buaya yang telah keluar dari raga Sugali yang hancur menjadi debu.
Dengan penuh amarah, Ratu Siluman Buaya menyerang.
Pendekar Gila tak mau tinggal diam, segera dilemparkan Pedang Bidadari kembali kepada Mei Lie.
Lalu dengan cepat tubuhnya bergerak mengelakkan serangan-serangan Ratu Siluman Buaya yang dahsyat.
Tampaknya Ratu Siluman Buaya telah menggunakan jurus-jurus andalannya. Jurus-jurus pamungkas 'Siluman Buaya'.
"Yea! Grrr...!"
"Aha, rupanya kau pun harus segera pulang ke asalmu, Siluman!" Usai berkata, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Sakti-nya. Kemudian setelah melompat, segera ditiupnya suling itu. Suara suling mulanya mengalun lembut dan mendayu, yang membuat Ratu Siluman Buaya terkesima diam. Matanya menatap sayu pada Pendekar Gila.
Namun alunan Suling Naga Sakti semakin lama semakin keras, melengking. Dan kemudian, dari sepasang mata kepala naga keluar sinar merah. Lankan sinar merah itu, melesat memburu tubuh Ratu Siluman Buaya. Status! Glarrr...! "Wua...!" Ratu Siluman Buaya menjerit. Tubuhnya terbungkus api yang menyalanyala. Kemudian sosok berbentuk manusia buaya itu hilang tanpa bekas.
"Hidup Pendekar Gila!"
"Hidup Bidadari Pencabut Nyawa...!" Sorak-sorai warga Desa Alu Lanang terdengar, menyambut kemenangan Pendekar Gila dan Mei Lie.
Mereka serentak mengerubungi kedua pendekar muda itu.
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Aha, sebentar lagi pagi, Mei! Tuan-tuan, izinkan kami meneruskan perjalanan."
"Apa tak sebaiknya singgah di rumahku dulu, Tuan?" tanya Ki Lurah Pare Gobang.
"Hi hi hi..! Aha, terima kasih, Ki. Sebenarnya aku senang sekali kalau dapat menuruti ajakanmu.
Namun kami harus segera meneruskan perjalanan," kata Pendekar Gila.
"Ayo, Mei!"
"Baiklah kalau memang begitu. Terima kasih atas pertolongan kalian."
"Ah, tak perlu kau pikirkan. Ini sudah menjadi kewajiban setiap manusia," sambut Mei Lie.
Kedua pendekar sejoli itu menjura, kemudian melangkah meninggalkan Desa Alu Lanang diikuti tatapan kagum Ki Lurah Pare Gobang dan warga desanya.
"Benar-benar pendekar utama," gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Matanya memandang penuh kekaguman pada Pendekar Gila dan Mei Lie yang terus melangkah semakin jauh menuju selatan. Sampai akhirnya keduanya menghilang.
"Semoga kalian senantiasa dalam lindungan Hyang Widi" Ki Lurah Pare Gobang pun meninggalkan tempat itu, diikuti warganya.
SELESAI
INDEX PENDEKAR GILA | |
Kitab Ajian Dewa --oo0oo-- Kemelut Di Karang Galuh |