Life is journey not a destinantion ...

7 Tumbal Perawan

INDEX PENDEKAR GILA
Kemelut Di Karang Galuh --oo0oo-- Sepasang Maling Budiman

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja

«¦::::::¦ 1 ¦::::::¦»

Sore yang indah melingkupi bumi. Cahaya merah tembaga di kaki langit sebelah barat menandakan bahwa sang Raja Siang belum sampai di peraduannya. Bekas perjalanannya masih jelas membias dalam bentuk lembayung.
Sementara itu di Desa Karang Bale pun suasana tampak cerah. Desa yang subur dan makmur itu terletak di antara Pegunungan Sarangan dan Bukit Kundang. Sehingga wajar kalau tak jauh di sebelah selatan desa itu terdapat telaga yang sangat bening airnya. Apalagi pada suasana senja yang cerah seperti sekarang ini.
Ketika langit membiaskan cahaya merah lembayung, air telaga tampak begitu indah.
Berkilauan karena tertiup angin yang menimbulkan riak-riak kecil di tengahnya.
Seperti biasanya, di suasana senja seperti itu gadis-gadis Desa Karang Bale menikmati air telaga.
Mereka mandi dan mencuci sambil bercanda ria, sesuka hati. Sore itu tampak lima orang gadis berusia dua puluh tahunan tengah mandi sambil bersenda gurau di air telaga. Lima gadis desa yang tengah mandi itu, tak menduga kalau tingkah laku mereka dalam pengawasan sepasang mata tajam. Sepasang mata milik sesosok tubuh yang bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari telaga itu.
"Hm.... Rupanya di sini gadis-gadis mandi," gumam pemilik sepasang mata merah yang terus mengawasi tingkah laku kelima gadis itu. Di bibir lelaki berbadan tinggi besar dan berwajah garang itu tersungging senyuman.
"Hm... Akan tercapai cita-citaku menjadi orang tersakti di rimba persilatan! He he he...!" Lelaki berwajah garang dengan cambang bauk lebat itu terus bersembunyi sambil mengawasi kelima gadis yang sedang asyik mandi di telaga. Matanya kini tertuju pada gadis yang sedang asyik mandi di telaga.
Matanya kini tertuju pada seorang gadis berkain warna hijau daun. Gadis itu tampak cantik sekali.
"Sss...," lelaki bertubuh kekar berpakaian jubah abu-abu itu mendesis. Seakanakan desakan nafsu yang menggebu-gebu, menyaksikan kemolekan tubuh gadis berkain hijau itu. Beberapa kali lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang sosoknya masih gagah itu menelan ludah, berusaha menahan gejolak birahinya.
"Sungguh menggairahkan...!" Kelima gadis Desa Karang Bale itu masih mandi dengan tenang, tak tahu kalau mereka dalam pengawasan sepasang mata tajam. Apalagi gadis berkain hijau yang menjadi tatapan utama lelaki garang itu, nampak sangat riang. Senyumnya yang indah, tersumbar lepas.
"Wirani, kau tak pulang?" tanya gadis berkain lurik merah yang tampak sudah naik ke darat. Gadis itu segera membuka kainnya yang basah tanpa canggung-canggung.
Dia tak menduga kalau ada sepasang mata dan balik semak-semak belukar, yang memandang dengan melotot penuh nafsu.
"Nanti saja! Aku masih ingin mandi...," sahut gadis berkain hijau yang dipanggil Wirani. Dia masih berendam di telaga bersama tiga orang temannya.
"Kalau begitu, aku pulang dulu," ujar gadis berkain lurik merah, lalu melangkah meninggalkan keempat temannya yang masih mandi.
"Hati-hati, Watiri...!" seru Wirani mengingatkan sambil tertawa riang.
"Memangnya ada apa...?" tanya gadis yang dipanggil Watiri.
"Siapa tahu ada genderuwo yang suka jahil...!" ambut gadis berkain biru. Kemudian keempat gadis itu tertawa lepas, ketika melihat Watiri melotot.
Watiri terus melangkah meninggalkan telaga.
Hatinya agak cemas setelah mendengar godaan keempat temannya. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang diri, berjalan di senja dan harus melintasi ladang yang penuh dengan pepohonan.
Watiri melangkah tergesa-gesa. Hatinya tiba-tiba berubah takut atas ucapan teman-temannya.
Matanya memandang ke sekeliling yang sepi, karena sebentar lagi suasana akan gelap. Dengan langkah-langkah cepat, Watiri terus berjalan melintasi ladang yang di sekitarnya ditumbuhi pepohonan besar.
Ucapan keempat temannya dirasakan seperti sebuah peringatan baginya. Hatinya semakin tercekam, ketika tiba-tiba nalurinya mengatakan ada seseorang yang menguntit di belakang.
Watiri menengok ke belakang. Namun matanya tak melihat siapa pun. Sepi sekali.
Keadaan di sekelilingnya semakin meremang gelap, karena tertutup rimbun pepohonan. Berkali-kali matanya mengawasi ke sekeliling dan memberanikan diri menengok ke belakang dengan perasaan takut.
"Oh, mengapa bulu kudukku meremang?" keluh Watiri sambil memegangi tengkuknya yang terasa sangat dingin. Matanya masih menyapu ke sekeliling yang gelap dan sepi. Rasa takut pun semakin mencekam. Angin senja berhembus perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk ke kulit. Namun tubuh Watiri justru mengeluarkan keringat, bercampur air telaga yang belum kering benar dari kulitnya.
Langkahnya kembali terhenti, ketika merasakan ada seseorang yang mengikuti.
Kembali dia menyapukan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Namun tetap tak dilihatnya orang atau apa saja yang menguntit di belakang. Hanya kesunyian dengan hembusan angin yang semakin membuat Watiri bertambah tercekam rasa takut.
Gadis itu tidak berlari. Seakan hatinya menuntut agar tetap berada di tempat itu, untuk mengetahui siapa yang sejak tadi menguntitnya.
"Mungkinkah teman-teman yang sedang menggoda dan menakut-nakutiku?" tanya Watiri dalam hati menduga-duga. Matanya kembali memandang ke sekeliling, berusaha meyakinkan diri kalau di sekitar tempat itu memang tidak ada apa-apa.
Watiri hendak melanjutkan langkahnya pulang.
Namun tiba-tiba terdengar suara gemeresak, seperti kaki seseorang yang menginjak daun kering. Kresek! Watiri tersentak. Langkahnya langsung terhenti.
Kemudian kepalanya menoleh ke belakang. Lagi-lagi tak ada siapa-siapa di belakangnya. Sepi! Tak ada seorang manusia pun di tempat itu selain dirinya.
Perasaan takut semakin mencekam jiwa gadis itu.
Tanpa berteriak atau berlari, Watiri membalikkan tubuh ke belakang, lalu berdiri mematung sambil mengawasi tempat asal suara tadi. Dia tahu pasti, kalau kebun karet itu tak ada apa-apanya. Hampir setiap sore selama bertahun-tahun dilewatinya tempat itu. Tak pernah terjadi sesuatu yang aneh dan menakutkan.
"Ah, mungkin hanya angin atau binatang," gumam Watiri berusaha menghibur diri.
Gadis itu kemudian melanjutkan langkah kakinya. Namun tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat muncul dari balik pohon karet besar. Watiri tersentak kaget. Dia hendak menjerit tapi sosok bayangan besar itu telah mendahului menotok tubuh Watiri. Tuk! Tuk! "Ukh!" Keluhan kecil terdengar dari mulut Watiri.
Kemudian tubuh gadis berkain lurik merah itu terkulai pingsan tak sadarkan diri.
Secepat itu pula, sosok tubuh besar menyambar tubuh Watiri dan membawa pergi menuju selatan.

***

Empat gadis cantik warga Desa Karang Bale yang masih di telaga bergerak naik, ketika suasana mulai menggelap. Tanpa menaruh curiga, kalau ada orang yang mengintip, mereka langsung membuka kain basahan. Kemudian segera berganti dengan gaun mereka.
"Kita pulang, yuk!" ajak gadis bergaun jingga.
"Ayo! Sebentar lagi gelap," timpal gadis bergaun biru.
Dengan diselingi canda ria, keempat gadis itu meninggalkan telaga untuk kembali ke rumah masing-masing. Tentu saja mereka pun melintasi jalan di ladang Kemudian masuk ke perkebunan karet, sama dengan yang dilewati Watiri. Karena hanya jalan itulah yang terdekat sampai di kampung mereka.
Suasana sudah mulai gelap. Apalagi di dalam perkebunan karet itu, cahaya lembayung di langit barat benar-benar tertutup rimbun dedaunan karet.
"Tentunya Wati ketakutan mendengar gurauan kita, Wirani," ujar gadis bergaun coklat.
"Hi hi hi..., kasihan dia, ya?" sahut Wirani, sepertinya merasa bersalah telah menakut-nakuti temannya.
"Ah, tapi kau tak ada apa-apa," selak gadis bergaun kuning.
"Ya. Memangnya ada apa" Setiap hari kita lewat sini, tak ada gendaruwo seperti yang kamu katakan." Keempat gadis itu terus melangkah sambil bercanda ria penuh kebahagiaan, melintasi kebun karet yang telah mulai gelap dan sepi.
"Sebentar lagi gelap. Kita harus segera sampai di rumah," ajak Wirani pada ketiga temannya. Mereka pun melangkah semakin cepat, sampai akhirnya tiba di kampung. Keempatnya saling berpisah untuk menuju rumah masing-masing.

***

Kegelisahan seketika melanda kedua orang tua Watiri, setelah sejak sore menanti, anaknya belum juga pulang. Padahal biasanya Watiri telah pulang sejak sore tadi.
Bahkan gadis itu biasanya sudah tidur.
"Kang, kenapa anak kita belum pulang?" tanya seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun dengan wajah cemas, sambil melangkah mendekati sang Suami yang sedang duduk di dipan ruang tamu rumahnya. Lelaki setengah baya itu pun, nampaknya sedang menunggu anaknya. Hari telah malam.
Biasanya saat seperti ini Watiri sudah tidur di kamarnya.
"Iya, ya" Ke mana tuh anak?" gumam lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan wajah gelisah. Nampaknya lelaki ini sangat mencemaskan k-selamatan putrinya.
"Apa tidak sebaiknya kau tanyakan pada Wirani atau Rumi, Kang?" saran istrinya.
Ayah Watiri diam. Ditariknya napas dalam-dalam seakan berusaha membuang perasaan yang meng-gelisahkan jiwanya. Betapa tidak! Malam telah semakin larut. Suasana kian sepi, tapi Watiri, anaknya belum juga sampai di rumah.
"Baiklah. Aku akan menanyakan pada anak Ki Lurah Sentana," ujar ayah Watiri.
"Hati-hati di rumah, Rah! Aku pergi dulu untuk mencari Watiri."
"Hati-hati, Kang! Sebaiknya kau bawa golok," ujar Nyi Samirah menyarankan.
"Meskipun Desa Karang Bale aman, hal-hal yang tak terpikirkan, bisa saja terjadi. Bisa saja ada binatang malam yang ganas.
Bukankah dengan membawa senjata bisa jaga diri?" pikir ibu Watiri. Itu sebabnya perempuan itu menyarankan suaminya agar membawa golok.
"Ya ya, kau benar. Tolong ambilkan goloknya!" pinta lelaki kurus dengan tubuh jangkung itu.
Nyi Sumirah bergegas mengambilkan golok suaminya. Tak lama kemudian telah keluar dengan membawa golok.
"Ini, Kang." Dimasukkan golok itu ke ikat pinggangnya.
Kemudian lelaki setengah baya berpakaian coklat itu melangkah meninggalkan rumah untuk mencari tahu, di mana anaknya berada.
Dengan langkah tergesa-gesa, ayah Watiri menuju rumah Ki Lurah Sentana. Saat itu di rumah Kepala Desa Karang Bale tampak masih terang. Sepertinya di rumah Ki Lurah Sentana sedang kedatangan tamu.
"Selamat malam...!" sapa ayah Watiri pada kedua penjaga rumah Ki Lurah Sentana.
"Selamat malam," sahut kedua penjaga itu hampir bersamaan.
"Ada apa, Ki Pardi?" tanya salah seorang dari kedua penjaga yang berbadan tegak tinggi dengan alis mata tebal.
"Sepertinya ada keperluan penting, Ki. Tak seperti biasanya malam-malam begini kau datang."
"Ah, tidak, Ki Barman. Aku hanya ingin bertemu Ki Lurah," jawab ayah Watiri yang ternyata bernama Pardi.
"Sebentar, aku sampaikan pada Ki Lurah," jawab Ki Barman. Kemudian lelaki berusia lima puluh tahun berpakaian loreng itu melangkah meninggalkan serambi rumah, untuk menemui Ki Lurah Sentana.
"Suruh dia masuk, Barman!" dari dalam terdengar suara Ki Lurah Sentana memerintah centeng itu.
Ki Barman melangkah keluar untuk menemui tamu Ki Lurah itu. Ki Pardi mengangguk dengan mulut mengurai senyum, karena tadi mendengar suara Ki Lurah Sentana dari dalam rumahnya.
"Ki Pardi, kau disuruh masuk," ujar Ki Barman.
"Terima kasih," jawab Ki Pardi. Kemudian setelah memberi hormat pada kedua jawara penjaga rumah Ki Lurah Sentana lelaki setengah baya itu masuk.
Di dalam rumah Kepala Desa Sentana saat itu ada seorang tamu yang tak lain adik Ki Lurah Sentana sendiri. Kedua kakak beradik itu tengah berbincang-bincang.
Seketika mereka menghentikan obrolan, ketika Ki Pardi masuk.
"Selamat malam, Ki Lurah!" sapa Ki Pardi sambil menjura hormat pada Ki Lurah Sentana dan adiknya, Ki Tunjung Melur atau yang dikenal dengan sebutan Pendekar Kali Bengawan. Lelaki bertubuh tegap itu mengurai senyum menerima kedatangan penduduk desa itu.
"Selamat malam," jawab Ki Lurah Sentana.
"Silakan duduk, Ki!" Ki Pardi pun menurut duduk.
"Ada apa malam-malam begini kau datang, Ki?" tanya Kepala Desa Karang Bale itu.
"Maaf, Ki Lurah! Apakah Nini Wirani sudah pulang?" Ki Pardi balik bertanya.
Mendengar pertanyaan aneh itu Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur mengerutkan kening. Ki Lurah Sentana langsung menatap lekat wajah Ki Pardi yang menunduk, sepertinya merasa keheranan dan tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
"Sudah. Ada apa, Ki?" tanya lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan wajah nampak tenang penuh wibawa. Mata Ki Lurah Sentana tetap menatap wajah Ki Pardi, seakan ingin menyelidik apa yang sesungguhnya terjadi.
"Anak saya belum pulang, Ki," ujar Ki Pardi, menjawab pertanyaan Ki Lurah Sentana.
"Hah"! Anakmu, Watiri belum pulang?" ulang Ki Lurah Sentana. Matanya terbelalak kaget mendengar pemberitahuan Ki Pardi.
"Benar, Ki," jawab Ki Pardi sambil menganggukkan kepala. Tidak hanya Ki Lurah Sentana, adiknya Ki Tunjung Melur pun membelalakkan mata karena terkejut.
"Kau tak bergurau, Ki Pardi?" tanya Ki Lurah Sentana.
"Mana mungkin saya berani bercanda padamu, Ki Lurah?"
"Hm," gumam Ki Lurah Sentana. Wajahnya seketika berubah kelabu.
"Sebentar, kupanggil Wirani dulu..., Wirani...!"
"Saya, Ayah...!" sahut Wirani dari dalam.
"Kemari sebentar!" perintah Ki Lurah Sentana.
Dari dalam, muncul Wirani dan ibunya. Keduanya mendekat dan duduk di kursi yang masih kosong.
"Ada apa, Ayah?" tanya Wirani dengan kening mengerut, melihat ayah Watiri ada di rumahnya. Gadis itu tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Apakah kau tadi mandi bersama Watiri?" tanya Ki Lurah Sentana seraya menatap wajah putrinya.
"Benar, Ayah." Wirani mengangguk seraya menoleh ke wajah Ki Pardi.
"Pulangnya..." Apa kau bersama dia?"
"Tidak, Ayah. Watiri lebih dahulu pulang," jawab Wirani, "Memangnya ada apa, Ayah?"
"Dia belum pulang," sahut Ki Lurah Sentana.
"Hah"!" Wirani tersentak kaget, mendengar jawaban ayahnya.
"Bagaimana mungkin?" pikir Warani.
"Bukankah Watiri pulang lebih dahulu" Bahkan hari belum begitu petang. Masa dia tersesat?"
"Kau tahu ke mana dia, Wirani?"
"Tidak, Ayah. Kami semua tahu kalau dia telah pulang lebih dahulu. Dan kami pikir Watiri telah sampai di rumah, ketika kami naik dari telaga," tutur Wirani masih dengan kening mengerut. Gadis itu seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Mungkinkah ucapanku yang hanya bergurau benar terjadi?" tanya Wirani dalam hati.
"Apakah benar ada. gendruwo yang suka menculik gadis" Ah, aneh sekali...! Ke mana Watiri sebenarnya?" Semua yang ada di dalam terdiam dengan perasaan yang masih bergelut di hati masing-masing.
Mereka heran, mengapa Watiri yang pulang lebih awal justru belum sampai di rumah" Mungkinkah Watiri tersesat" Rasanya aneh, kalau sampai tersesat. Karena Watiri sejak kecil hidup di Desa Karang Bale. Seperti gadis-gadis desa atau warga yang lain, telah belasan tahun lamanya Watiri memahami benar daerah sekitar telaga. Sejak umur lima atau tujuh tahun mereka telah akrab dengan tempat itu. Sungguh aneh dan tak masuk akal kalau Watiri tersesat! "Apakah Ki Pardi telah mencari ke rumah tetangga terdekat?" tanya Ki Tunjung Melur memecahkan kesunyian.
"Belum," sahut Ki Pardi.
"Cobalah Ki Pardi! Kalau memang tak ada dan belum juga pulang, tabuhlah kentongan dua kali.
Kami akan segera ke rumah Ki Pardi," saran Ki Tunjung Melur.
"Baiklah kalau begitu, saya mohon diri!"
"Silakan!" sahut Ki Lurah Sentana.
"Selamat malam...!"
"Selamat malam!" sahut Ki Lurah Sentana dan keluarganya.
Ki Pardi pun segera melangkah keluar dengan perasaan yang semakin tak menentu.
Hatinya gelisah dan diliputi kecemasan, karena tak tahu ke mana anak gadisnya hingga malam begini belum juga pulang. Apa lagi setelah mendengar penuturan Wirani bahwa anaknya telah pulang lebih dulu daripada teman-temannya.
"Jangan-jangan, anakku diculik," pikir Ki Pardi semakin gelisah. Langkah kakinya semakin cepat, seakan tak sabar untuk segera sampai di rumah.
Hatinya berharap benar sampai di rumah Watiri telah kembali.
Malam yang gelap, semakin terasa mencekam jiwanya yang sedang dilanda kegelisahan. Langkah-langkah kaki Ki Pardi semakin cepat, bahkan kini mulai berlari. Hatinya berharap segera sampai di rumah dan menemukan anaknya pulang.
Ki Pardi sampai di rumah dengan napas terengah-engah dan tubuh basah berkeringat setelah menghela napas agar tak tersengal-sengal, tangannya mengetuk pintu.
"Siapa...?" terdengar Nyi Sumirah dari dalam bertanya.
"Aku...," sahut Ki Pardi.
Tak lama kemudian, pintu sudah terbuka. Dari dalam muncul istrinya.
"Bagaimana, Kang?" tanya Nyi Sumirah penuh harap.
"Hh, Nini Wirani telah pulang. Katanya anak kita malah pulang lebih awal," desah Ki Pardi seraya menghempaskan napas panjang-panjang.
"Ke mana anak kita ya, Kang?"
"Itulah yang tak kumengerti. Jangan-jangan..."
"Jangan-jangan kenapa, Kang?" tanya Nyi Sumirah semakin bertambah cemas.
"Anak kita diculik, Rah."
"Kang...," desis Nyi Sumirah semakin cemas.
Ki Pardi segera berjalan mendekati kentongan di depan rumahnya. Segera dipukulnya kentongan itu.
Terdengar bunyi keras kentongan sebanyak dua kali.
Tong! Tong...! Tak lama kemudian, Ki Lurah Sentana dan adiknya serta Ki Barman, salah seorang jawara penjaga rumah Ki Lurah telah datang.
"Bagaimana, Ki, apakah sudah kau temukan?" tanya Ki Lurah Sentana.
"Belum, Ki Lurah. Saya menduga, anak saya diculik," ujar Ki Pardi.
"Jangan menduga yang tak baik, Ki! Sebaiknya kita panggil warga untuk mencari Watiri," ujar Ki Lurah Sentana.
"Barman, kau tabuh tiga kali kentongan agar warga keluar!"
"Baik, Ki Lurah." Tong! Tong! Tong...! Ki Barman menabuh kentongan sebanyak tiga kali, sesaat kemudian terdengar suara kentongan lain saling menyambut. Warga Desa Karang Bale bergegas keluar dan langsung menuju rumah Ki Pardi, tempat awal kentongan pertama terdengar. Wajah warga Desa Karang Bale diselimuti ketidakmengertian, untuk apa Ki Pardi memanggil mereka.
"Ada apa, Ki Lurah?" tanya warga ingin tahu.
"Saudara-saudaraku, anak Ki Pardi belum pulang! Untuk itu, sebagai saudara sedesa, kita patut membantu mencarinya!" seru Ki Lurah Sentana.
"Siapkan obor, kita akan mencari anak Ki Pardi!" Tanpa diperintah dua kali, warga Desa Karang Bale pun segera menjalankan perintah kepala desa.
Tidak lama kemudian, warga desa yang dipimpin langsung kepala desa berusaha mencari Watiri.
Mereka mengelilingi Desa Karang Bale dengan membawa obor. Namun setelah seluruh penjuru desa dikelilingi, mereka tak menemukan gadis itu.
"Mungkin diculik gendruwo, Ki Lurah!" seru salah seorang warga nyeletuk.
"Ngawur!" bentak Ki Lurah Sentana.
"Kita ke telaga! Siapa tahu dia kembali ke telaga." Mereka pun segera berjalan menuju telaga tempat tadi sore Watiri dan teman-temannya mandi.
Namun, sampai di sana, mereka tak menemukan siapa-siapa.
"Tak ada siapa-siapa, Ki Lurah," lapor salah seorang warga.
"Hm, apa benar diculik gendruwo?" gumam Ki Lurah Sentana setengah percaya, setengah tidak.
Rasanya aneh, kalau gendruwo menculik gadis. Lagi pula, kalau memang ada gendruwo, bukankah sejak dulu ada kejadian seperti sekarang ini"
"Bagaimana, Ki Lurah" Apa kita akan terus mencari?" tanya warga desa.
"Tidak! Kita pulang saja!" jawab Ki Lurah Sentana.
Dengan tanpa hasil, warga desa dan Ki Lurah Sentana kembali ke desa. Malam semakin kelam, menjadikan suasana kian mencekam.

***



«¦::::::¦ 2 ¦::::::¦»

Watiri menggeliat. Tubuhnya dirasakan lemas seperti tak bertulang, setelah semalaman pingsan karena keadaan tertotok. Mata gadis itu perlahan-lahan membuka, memandang ke sekelilingnya yang terasa sangat asing. Di sekelilingnya hanya dinding-dinding batu cadas. Dingin dan lembab.
"Uh...!" Watiri melenguh ketika dirasakan tangan dan kakinya tak dapat digerakkan. Ternyata tangan dan kakinya diikat pada ujung-ujung sebuah meja batu.
"Oh, di mana aku" Mengapa tangan dan kakiku diikat?" Watiri kembali memandang ke sekeliling tempat itu, berusaha mengetahui di mana dirinya berada.
Matanya hanya melihat dinding-dinding batu cadas.
"Goa..." Oh, mengapa aku berada di dalam goa?" keluh Watiri dengan perasaan cemas dan takut, karena suasana yang sangat sunyi di goa itu. Apalagi ketika Watiri menengadahkan kepala, tubuhnya bergidik. Di atas kepalanya, tampak sebuah golok besar dan tajam. Golok itu terletak di atas dua buah batu, menghadap ke kepala Watiri.
"Oh, untuk apa golok itu?" pikir Watiri, semakin dilanda kecemasan.
"Mungkinkah aku akan disembelih" Oh, tidak...! Aku tak mau, disembelih!" Watiri semakin dicekam perasaan takut, ketika terlintas dalam benaknya bahwa mungkin dirinya akan dijadikan korban persembahan. Dia tak tahu, siapa orang yang telah membawanya ke goa itu. Yang sempat diingatnya hanya sesosok tubuh tinggi dan besar yang melesat mendekati tubuhnya. Namun setelah itu tak ingat apa-apa lagi karena tubuhnya tertotok.
Tiba-tiba dari dalam goa muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian abuabu. Matanya yang tajam memandang penuh nafsu. Dengan bibir mengurai senyum menyeringai, lelaki bertubuh tinggi besar itu melangkah menghampiri Watiri yang semakin ketakutan.
"Siapa kau, Ki?" tanya Watiri dengan ketakutan, memandang tajam wajah lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang tampak masih gagah.
"He he he...! Sungguh menggiurkan! Kau memang seorang gadis yang sangat menggiurkan. Aku Datuk Raja Beracun.... He he he!" ujar lelaki tua itu sambil tertawa terkekeh-kekeh. Matanya tak berkedip merayapi tubuh Watiri yang dalam keadaan setengah telanjang.
Watiri kian ketakutan melihat kebuasan yang tersirat dalam tatapan tajam lelaki bernama Datuk Raja Beracun itu.
"Siapa kau"! Kenapa kau ikat aku seperti ini?" bentak Watiri dengan suara bergemetar. Matanya yang bening melotot penuh kebencian setelah dapat menduga kalau lelaki tua berpakaian abu-abu itu tentu hendak berbuat jahat terhadapnya.
"Kembalikan aku pada orangtuaku!"
"He he he..., nanti akan kukembalikan, Manis.
Tenanglah dahulu! Kita akan menikmati sesuatu yang belum pernah kau alami," ujar Datuk Raja Beracun sambil tertawa terkekeh. Kemudian tanpa menghiraukan Watiri yang meronta-ronta, berusaha melepaskan diri, Datuk Raja Beracun berlalu meninggalkan tempat itu. Sambil tertawa terbahakbahak lelaki tua itu terus melangkah ke ruangan dalam.
Watiri semakin tegang dan gelisah, setelah mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan Datuk Raja huracun. Hatinya semakin benci bercampur marah dan ketakutan. Ucapan lelaki tua itu dianggapnya sangat menjijikkan. Namun bagaimana harus menghindarinya. Dirinya tak sudi melayani nafsu datuk tua itu.
Sementara tangan dan kaki terbelenggu di meja batu. Untuk bergerak saja sulit, apalagi melepaskan diri. Jelas tak mungkin.
Berapa besar kekuatan seorang wanita seperti dirinya. Rasa putus asa pun mulai menjalar di hati gadis cantik itu.
"Hyang Widi, lindungilah hambamu ini!" seru Watiri dengan suara lirih.
Ditengadahkan wajahnya, memandang langit-langit goa. Tidak terasa air matanya meleleh. Watiri merasa sedih, cemas dan takut saat itu. Apalagi setelah mendengar ucapan lelaki tua yang sama sekali belum pernah dikenalnya itu.
Sementara itu, di dalam goa Datuk Raja Beracun nampak tengah duduk bersila. Di hadapannya, terdapat sebuah perapian yang mengepulkan asap lebat. Rupanya sang Datuk tengah melakukan upacara, memanggil arwah yang menjadi sesem-bahannya.
Matanya terpejam. Bibirnya bergerak, mengucapkan mantera-mantera yang sulit untuk diikuti. Sesaat kemudian dari perapian mengepul asap yang semakin lama semakin tebal, seiring dengan kecepatan mantera yang dirapalkan Datuk Raja Beracun. Dari kepulan asap tebal itu samar-samar muncul sebuah bayangan. Lama kelamaan bayangan itu semakin membesar dan membentuk sosok manusia. Namun bukan sosok manusia biasa.
Melainkan manusia berkepala serigala.
Dan anehnya lagi di kepala terdapat tiga buah tanduk. Dua tanduk di sisi kanan dan kiri, sedangkan sebuah lagi di atas.
"Auuu...!"
"Ada apa kau memanggilku, Raja Beracun?" suara keras bergetar dan parau terdengar dari mulut manusia serigala itu. Kepala yang hitam dengan sorot mata tajam tampak menatap Datuk Raja Beracun yang tengah menyembah.
"Ampun, Guru! Sengaja saya mengundang Guru, semata-mata karena hendak melakukan penyempurnaan ajian 'Walik Akal'," jawab Datuk Raja Beracun penuh hormat "Hua ha ha...! Jadi kau ingin memiliki ajian itu, Raja Beracun..." Bukankah kau telah memiliki ajian 'Serigala Hitam'" Masih belum cukupkah?" tanya manusia berkepala serigala sambil tertawa terbahak-bahak. Suaranya bergema keras memenuhi ruangan dalam goa itu.
Datuk Raja Beracun hanya mampu menundukkan kepala. Sepertinya lelaki tinggi besar bermuka garang dihiasi cambang bauk tebal itu tersindir oleh ucapan makhluk berkepala serigala.
"Itu kalau Guru berkenan," desah Raja Beracun lirih dengan kepala masih tertunduk.
"Hua ha ha...! Aku sebagai gurumu, tentu saja mendukung keinginanmu...," ujar manusia berkepala serigala.
"'Tapi, apa sebenarnya maksudmu mem-pelajari ajian 'Walik Akal'" He he he...! Apa yang sedang kau cita-citakan, Raja Beracun?" Datuk Raja Beracun terdiam. Namun kepalanya tampak terangguk-angguk.
"Hm, katakanlah!"
"Sebenarnya, saya ingin menjadi orang yang paling sakti di rimba persilatan, Guru," jawab Datuk Raja Beracun.
"Hanya itu?" tanya manusia berkepala serigala.
Sesaat Datuk Raja Beracun terdiam. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan ingin membuang perasaan di dalam hatinya yang bergejolak. Ada keinginan lain yang sebenarnya tersembunyi di hati kecilnya. Dirinya ingin menjadi pimpinan para pendekar, sekaligus orang yang ditakuti setaraf dengan raja, baik oleh para pendekar maupun orang biasa.
"Ada lagi, Guru."
"Katakan, apa lagi?" tanya manusia berkepala serigala.
"Saya ingin menjadi pimpinan di rimba persilatan," jawab Raja Beracun.
"Hua ha ha...! Sebenarnya, tanpa ajian 'Walik Akal' pun, kau akan mampu melakukan semua yang kau inginkan," tutur manusia berkepala serigala.
"Belum, Guru. Karena masih banyak pendekar aliran lurus yang memiliki ilmu tinggi. Mereka tak mudah untuk ditaklukkan," ujar Datuk Raja Beracun tetap dengan kepala tertunduk, tak berani beradu pandang dengan manusia serigala di hadapannya.
"Auuu...! Jadi kau tetap bertekad mendalami ajian itu, Raja Beracun?" tanya manusia berkepala serigala.
"Benar, Guru."
"Hm...! Apakah kau tahu, apa yang harus dilakukan untuk menyempumakan ajianmu?" tanya manusia serigala itu dengan suara menggeram keras.
"Tahu, Guru."
"Tujuh gadis tumbal. Sanggupkah kau mendapatkan gadis-gadis itu?" Tampaknya manusia berkepala serigala pun merasa khawatir kalau-kalau muridnya, Datuk Raja Beracun akan mengalami kesulitan. Menculik tujuh perawan bukanlah pekerjaan mudah.
"Sanggup, Guru."
"Hm, kalau begitu, aku tak bisa menolak permintaanmu. Siapkanlah tujuh orang perawan. Dan yang harus kau ingat, jangan mengambil gadis yang lahir pada malam satu Sura," ujar manusia berkepala serigala mengingatkan, menjadikan Datuk Raja Beracun tersentak dan mengerutkan kening.
"Kenapa, Guru?" tanya Datuk Raja Beracun.
"Ketahuilah olehmu! Kalau kau menggeluti gadis yang lahir malam satu Sura, maka bukan ilmu 'Walik Akal' yang kau dapatkan! Malah kau akan kehilangan segalagalanya," kata manusia berkepala serigala menjelaskan.
"Bukan itu saja. Penguasa alam kegelapan akan murka sekali."
"Baik, Guru. Segala petuah yang Guru berikan, akan saya ingat selalu," jawab Datuk Raja Beracun.
"Nanti malam, tepat Bintang Pari berada di tengah-tengah, lakukanlah pengorbanan itu," perintah manusia berkepala serigala.
"Sekarang aku pergi. Ingat baik-baik pesanku tadi...!" Datuk Raja Beracun mengangguk-angguk tanda menyetujui persyaratan yang diajukan gurunya. Manusia berkepala serigala itu pun perlahan-lahan berubah samar-samar, kemudian menyatu dengan asap perapian yang tebal.
Datuk Raja Beracun melakukan sembah, kemudian bangun dan segera melangkah dari ruangan pemujaan, menuju tempat Watiri berada.
Gadis itu nampak semakin ketakutan, menyaksikan lelaki bertubuh besar itu mendekatinya. Apalagi melihat senyum menyeringai di bibir sang Datuk, membuat Watiri semakin gemetar tak karuan.
"Lepaskan aku! Kembalikan aku pada orang tuaku," pinta Watiri setengah mengiba dengan lelehan air mata membasahi kedua pipinya. Gadis itu tampak berusaha meronta, tetapi tak mampu karena kedua tangan dan kakinya diikat.
"He he he... Sabar, Cah Ayu! Besok, kau akan kembali. He he he!" Datuk Raja Beracun melangkah mendekati tubuh Watiri yang hanya terbungkus kain lurik merah sampai ke dada. Matanya merah penuh nafsu, memandang lekat tubuh Watiri yang mulus itu. Jakunnya turun naik. Beberapa kali lelaki tua berwajah beringas itu, menelan ludah. Tampaknya tak mampu menahan gejolak birahi yang menggebu-gebu.
Perlahan-lahan, tangan sang Datuk menjulur ke dada Watiri yang menonjol.
Kemudian dengan nakal, meraba kedua buah dada gadis itu.
"Iblis! Lepaskan aku...!" Watiri berteriak-teriak memaki. Namun Datuk Raja Beracun tak meng-hiraukannya. Dengan bibir masih mengurai senyum, tangannya terus menjamah tubuh gadis itu. Diremas-remasnya kedua buah dada Watiri. Gadis itu tampak kian marah. Wajahnya memerah. Namun seketika itu juga, tiba-tiba dirasakan ada suatu hawa aneh menjalar di dalam tubuhnya. Napasnya memburu.
Sedangkan kepalanya terasa pening dengan pandangan berkunang-kunang. Semakin lama tubuhnya semakin tegang, gemetaran, dan bergairah.
"He he he...!" Datuk Raja Beracun yang terus meremasi buah dada Watiri, sambil terkekeh senang.
Ternyata Racun Birahi yang disalurkan melalui telapak tangannya, telah bekerja sebagaimana yang diharapkan. Terbukti gadis montok itu kini mendesis dengan mata mengerjap-ngerjap. Bahkan kini tak terdengar caci-maki dari mulutnya. Gadis itu seperti dilanda nafsu birahi yang bergejolak hebat.
"Aaah...! Oh,..!" Hanya lenguhan dan desisan yang keluar dari mulut Watiri, yang membuat nafsu Datuk Raja Beracun semakin menggebu-gebu. Bergejolak, laksana api yang membakar tubuhnya. Tangan Datuk Raja Beracun merobek kain yang masih menutupi tubuh Watiri. Bret! Kini tubuh Watiri polos, tak tertutup sehelai benang pun. Gadis itu semakin mendesis keras, dengan mata terpejam.
"Oh, Ki...!"
"He he he Sabar, Cah Ayu! Belum saatnya kita melakukan apa yang kau harapkan.
Tunggulah nanti malam!" ujar Daluk Raja Beracun sambil terkekeh-kekeh. Dan tibatiba lelaki tua itu melepaskan remasan tangannya, kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Tinggal Watiri yang tersiksa dengan gejolak birahi yang membakar jiwanya.

***

Malam yang dinantikan oleh Datuk Raja Beracun akhirnya datang. Berarti upacara tumbal perawan sebagai syarat utama untuk mendapatkan ajian Walik Akal sebentar lagi akan berlangsung, saat Bintang Pari tepat berada di atas kepala.
"Auuu...! Auuu...!" Lolongan anjing hutan terdengar bersahutsahutan. Seakan binatang-binatang itu merasakan adanya sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu kejadian yang sangat mengerikan. Anjing-anjing itu seperti tengah memberi peringatan kepada manusia. Suara-suara lolongan itu terasa mampu membuat merinding tubuh orang yang mendengarnya.
Begitu pula dengan Watiri yang kini terkapar di atas altar batu. Gadis itu semakin ketakutan. Namun hatinya telah pasrah karena tak mampu berbuat apa-apa.
Watiri merasakan hawa dingin yang menggigilkan.
Bulu kuduknya semakin meremang berdiri, mendengar lolongan anjing hutan. Apalagi suasana di dalam goa itu sangat sepi, tak ada siapa-siapa. Hanya dirinya sendiri, dengan tangan dan kaki terbelenggu pada meja batu.
"Oh Hyang Widi, apa yang akan terjadi pada diriku?" keluh Watiri dengan suara bergetar karena kedinginan dan rasa takut. Sementara itu lolongan anjing terdengar semakin bersahutan. Sepertinya binatang-binatang itu memberi tahu akan terjadi sesuatu pada dirinya. Air mata gadis itu meleleh, sedih, dan takut beraduk menjadi satu di dalam dadanya. Matanya yang menangis, memandang ke atas, pada langit-langit goa yang gelap. Tangisnya semakin berderai keras, merasakan takut yang tiada terkira.
Malam semakin larut, dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang sumsum.
Suasana di dalam goa tempat Watiri berada, semakin mencekam. Gadis itu pun semakin merasakan ketakutan. Tangisnya semakin keras, terdengar. Gemanya berputar-putar dipantulkan dinding goa.
"He he he...!" Dari dalam goa, muncul Datuk Raja Beracun.
Matanya yang merah, menatap penuh nafsu pada gadis yang semakin bertambah ketakutan itu. Lelaki tua bertubuh tinggi itu, melangkah mendekati Watiri yang terbaring dan terikat di atas batu.
"Tidak! Jangan dekati aku...! Lepaskan ikatan ini!" teriak Watiri sambil berusaha membuka. Namun tangan dan kakinya yang terikat, membuat tubuhnya tak mampu bergerak apalagi bangkit dari ter-baringnya. Semakin keras dia meronta, semakin terasa sakit pergelangan tangan dan kakinya yang terikat.
"He he he...! Percuma kau meronta-ronta, Cah Ayu!" ujar Datuk Raja Beracun sambil melangkah mendekati batu besar itu. Matanya yang merah, tak berkedip menatap tubuh Watiri yang dalam keadaan telanjang bulat.
Perlahan-lahan Datuk Raja Beracun membuka pakaiannya. Kemudian dengan bibir mengurai senyum, mendekati tubuh Watiri yang telanjang.
"Tidak! Jangaaan...!" teriak Watiri berusaha menolak apa yang akan dilakukan Datuk Raja Beracun terhadap dirinya. Dilempar-lemparkan kepalanya, berusaha menolak perbuatan lelaki tua itu. Namun percuma saja melakukan itu, karena Datuk Raja Beracun bagaikan tak peduli. Lelaki berusia enam puluh tahun yang masih gagah itu, kini tampak semakin buas. Tubuhnya yang juga telanjang, menindih tubuh Watiri.
"He he he...! Sebentar lagi, kau akan merasa kenikmatan, Cah Ayu," desisnya sambil terus merayap naik.
"Lepaskan...! Oh.... Ah... Sss...!" Watiri kini benar-benar merasakan gejolak birahi yang menggebu-gebu.
Rupanya Racun Birahi yang dilancarkan Datuk Raja Beracun melalui remasan dan usapan tangan pada buah dadanya telah bekerja. Hal itu yang membuat Watiri mulai terseret ke dalam gelombang nafsu meluap-luap. Tak ada lagi perasaan marah yang melekat dalam hatinya. Yang ada hanyalah perasaan nafsu yang menggebu-gebu.
Datuk Raja Beracun semakin menjadi-jadi, merasa Racun Birahi yang dijalankan lewat usapan dan remasan tangannya telah mempengaruhi Watiri.
Kini dengan penuh kebuasan, lelaki tua berwajah beringas itu menggumuli tubuh Watiri. Gadis itu kian menggerinjang dengan desahan-desahan lirih.
"Ah...! Oh...! Sss...!" Datuk Raja Beracun kian cepat bergerak.
Matanya yang merah, semakin membara penuh birahi. Sementara Watiri dalam keadaan tak sadar, menerima perbuatan Datuk Raja Beracun. Matanya mengerjap-ngerjap, dengan desisan-desisan penuh kepuasan.
"Ukh...!"
"Ahk...!" Keduanya mengejang dengan mata membeliak, lalu terkulai penuh kepuasan.
Setelah pingsan beberapa saat, terdengar isak tangis dari mulut Watiri. Kemudian perlahan-lahan matanya membuka jalang. Dari mulutnya keluar pekikan keras, menyesali apa yang telah terjadi terhadap dirinya. Kehormatannya telah direnggut lelaki berbadan tinggi besar yang kini tersenyum menyeringai.
"Tidak...! Bajingan! Lebih baik aku mati!" teriak Watiri sambil berusaha bunuh diri dengan membantingkan kepala, namun karena kaki dan tangannya terikat, gerakannya sangat sulit Gadis itu benar-benar merasa putus asa, setelah menyadari kalau keperawanannya telah terenggut Sementara Datuk Raja Beracun yang telah mendapatkan semuanya, terkekeh senang.
Perlahan bangun dari duduknya. Dikenakan kembali pakaiannya.
"He he he...! Bagaimana, Cah Ayu?"
"Kurang ajar! Iblis...! Laknat...!" maki Watiri di sela isak tangisnya. Namun Datuk Raja Beracun tak marah meski dicaci maki begitu rupa. Bahkan, lelaki tinggi besar bermuka garang itu semakin tertawa terkekeh.
Kemudian, tanpa menghiraukan Watiri yang menangis penuh penyesalan, Datuk Raja Beracun berlalu meninggalkan ruangan itu menuju keluar goa untuk melihat Bintang Pari.
Datuk Raja Beracun berdiri di depan pintu goa.
Wajahnya menengadah ke langit yang bening.
Bintang-gemintang tampak berkerlap-kerlip. Bintang Pari yang dijadikan pedoman, nampak telah berada di atas kepalanya. Berarti dirinya harus segera menjalankan upacara persembahan itu.
"He he he...! Akulah yang akan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan," ujar Datuk Raja Beracun sambil tertawa terbahak-bahak. Datuk Raja Beracun melangkah ke dalam goa. Sesaat berhenti di dekat altar batu, tempat Watiri masih menangis sambil mencaci maki.
"Iblis! Lepaskan aku! Atau bunuhlah aku...!" teriak Watiri kalap. Dia berusaha meronta sekuat tenaga-nya, dengan kepala dicobanya untuk dibenturkan pada alas altar. Namun tak juga sampai, karena kaki dan tangannya terpentang.
"He he he...! Sabar, Cah Ayu! Sebentar lagi kau akan pulang," ujar Datuk Raja Beracun sambil melangkah menuju dua batu tinggi, tempat sebuah golok besar tergantung. Diambilnya golok itu.
Mulutnya menyeringai seperti mengejek Watiri.
Ditimang-timangnya golok besar dan tajam itu.
"He he he...!" Mata Watiri membuka lebar menyaksikan golok besar dan tajam kini telah terangkat di tangan Datuk Kaja Beracun. Golok itu tampak mengerikan, seakan-akan menyimpan hawa pembunuhan.
"Tidak...!" jerit Watiri dengan mata membeliak ketakutan, menyaksikan golok besar dan tajam terayun ke lehernya. Watiri berusaha mengelak, tapi karena tangan dan kakinya diikat dan direntang, sulit baginya untuk mengelak.
Hingga.... Wrt! "Aaa...!" Crak! Watiri hanya sempat berteriak pendek, karena golok itu telah menebas lehernya.
Seketika kepalanya lepas dan menggelinding di lantai goa. Darah muncrat dari leher gadis itu. Dengan mata terpicing, Datuk Raja Beracun mendekati tubuh Watiri yang sudah tak berkepala lagi. Diraupnya darah yang tergenang di sekitar rubuh gadis itu, lalu digunakan untuk mencuci wajahnya. Bahkan kemudian diminumnya darah yang masih mengalir lewat leher yang buntung itu.
"Nyem nyem...! Hua ha ha...! Akulah yang akan menjadi orang paling sakti di rimba persilatan ini!" Datuk Raja Beracun tak puas hanya sampai di situ. Dengan kuku-kukunya yang panjang, dibelahnya dada Watiri. Kemudian bagaikan tak mengenal belas kasih, dicopotnya jantung Watiri, lalu dimakan sampai habis.
Bersamaan dengan habisnya jantung Watiri, tubuh Datuk Raja Beracun nampak merah membara.
Mulutnya menyeringai penuh kepuasan. Matanya yang merah, semakin membara, menatap sosok mayat Watiri yang terkapar bersimbah darah.
"Hua ha ha...!" Datuk Raja Beracun tertawa terbahak-bahak bagaikan orang tak waras. Kemudian dibukanya ikatan di tangan dan kaki mayat Watiri. Lalu diangkatnya tubuh Watiri. Setelah mengambil kepalanya yang tadi menggelinding, Datuk Raja Beracun melesat meninggalkan goa tempatnya berdiam diri. Angin malam menghembuskan hawa dingin diikuti dengan lolongan anjing hutan yang mampu membuat bulu kuduk berdiri.
Datuk Raja Beracun terus berkelebat pergi menembus kegelapan malam sambil memanggul mayat Watiri. Sedangkan tangan kiri menenteng kepala gadis itu yang matanya membelalak.
"Hua ha ha...!" Dengan tertawa-tawa bagaikan orang gila, Datuk Raja Beracun terus berlari menuruni lereng Gunung Welirang. Larinya yang begitu cepat, menunjukkan kalau Datuk Raja Beracun pun menguasai ilmu silat yang cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari betapa ringan kakinya menuruni lereng pegunungan sambil memanggul tubuh Watiri. Datuk Raja Racun terus berlari ke utara, menuju Desa Karang Bale. Malam semakin mencekam, dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang sum-sum.

«¦::::::¦ 3 ¦::::::¦»

Pagi-pagi sekali, warga Desa Karang Bale tiba-tiba digegerkan dengan ditemukannya mayat Watiri di depan rumahnya. Kepala mayat itu tergeletak di samping tubuhnya. Dan yang lebih mengerikan, dada gadis itu berlubang dengan jantung sudah tak ada lagi. Darah kering berserakan di tubuhnya.
Nyi Sumirah menjerit sejadi-jadinya, ketika mendapati anaknya sudah menjadi bangkai dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Sedangkan Ki Pardi hanya dapat meneteskan air mata duka.
"Benar-benar perbuatan biadab!" pikirnya dengan hati kesal.
Ki Lurah Sentana ketika mendengar kabar tentang peristiwa itu, langsung berangkat menuju rumah Ki Pardi. Adiknya, Ki Tunjung Melur pun tak mau ketinggalan, segera mengikuti, berangkat ke rumah ayah Watiri. Mereka sebagai orang-orang yang dipercaya untuk memimpin Desa Karang Bale, merasa bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa warganya.
"Biadab!" dengus Ki Sentana dengan mata membeliak, menyaksikan keadaan mayat Watiri.
"Jelas ini bukan tindakan dedemit atau iblis. Ini tindakan manusia yang sangat biadab!"
"Kakang, nampaknya sebelum dibunuh, Watiri di-perkosa dahulu," ujar Ki Tunjung Melur, ketika matanya menyaksikan sesuatu kerusakan pada kemaluan Watiri. Napas Ki Tunjung Melur terasa berat. Bagaimana pun sebagai adik Ki Sentana, Kepala Desa Karang Bale, dirinya merasa ber-kewajiban membantu dalam keamanan desa itu. Ki Sentana mencoba membuktikan dugaan adiknya. Dan memang benar, matanya dapat melihat ada bekas-bekas tindak perkosaan. Hal itu membuat Ki Lurah Sentana semakin bertambah geram terhadap pelaku yang sampai saat ini belum diketahui orangnya.
"Bedebah! Ini benar-benar penghinaan bagi kita! Rupanya ada orang yang hendak menggunting dalam lipatan," ujar Ki Sentana dengan wajah memerah marah. Namun, dirinya tak dapat berbuat apa-apa, karena tak tahu orang yang harus dicurigai. Kepala desa itu pun tak tahu siapa sebenarnya pelaku pembunuhan secara keji itu. Peristiwa itu telah membuat gempar warga desa. Desa Karang Bale yang selama ini tenang dan damai, tiba-tiba saja dikejutkan dengan adanya pembunuhan keji itu.
"Apakah kita tak pantas mencurigai seseorang, Ki?" tanya Ki Pardi. Sebagai seorang ayah, dirinya benar-benar sedih, melihat kejadian yang menimpa anaknya.
Ki Sentana terdiam dengan mengulum bibir.
Pandangan matanya kosong sepertinya tengah berpikir dan mencoba mereka-reka siapa yang pantas untuk dicurigai. Dihelanya napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa bergemuruh.
"Sepuluh tahun sudah peristiwa seperti ini berlalu. Ketika Ki Boleng menghilang, kejadian semacam ini pun ikut hilang. Namun kini, tiba-tiba peristiwa yang pernah terjadi, kembali muncul," gumam Ki Sentana dengan suara berat.
"Mungkinkah Ki Boleng muncul kembali, Kang?" tanya Ki Tunjung Melur.
"Entahlah," sahut Ki Sentana.
"Menurut kabar, Ki Boleng telah mati di tangan Singo Edan, si Pendekar Gila dari Goa Setan." Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi yang mendengar Ki Boleng telah mati mengerutkan kening, "Kalau Ki Boleng penganut ilmu setan dengan cara mengorbankan gadis telah mati, lalu siapa yang kini melakukan pembunuhan ini?" pikir hati mereka bertanya-tanya heran.
"Mungkin muridnya, Kang?" tanya Ki Tunjung Melur mencoba mereka-reka.
"Tidak," sahut Ki Lurah Sentana.
"Kenapa, Kakang" Bukankah mungkin saja sang Murid mewarisi ilmu gurunya...?" tanya Ki Tunjung Melur.
"Ki Boleng tak punya murid," sahut Ki Sentana.
Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi terdiam mendengar ucapan Ki Sentana. Kalau benar Ki Boleng tak memiliki murid, lalu siapa lagi yang melakukan kekejian itu" Hati mereka diliputi ketidakmengertian.
Jelas orang-orang yang mengorbankan perawan untuk tumbal, pasti orang-orang yang menganut aliran seperti Ki Boleng.
"Atau mungkin saudara seperguruannya, Kang," ujar Ki Tunjung Melur.
Ki Sentana terdiam. Keningnya berkerut, seolah-olah, tengah mencoba berpikir.
Kalau memang saudara seperguruan Ki Boleng, jelas hal itu bisa saja terjadi.
Tetapi, siapa saudara seperguruan Ki Boleng" Selama mi, Ki Sentana tak pernah mendengar kalau Ki Boleng memiliki saudara seperguruan.
"Kurasa Ki Boleng tak memiliki saudara seperguruan," desah Ki Sentana.
"Ki Boleng murid tunggal Ki Persasi, seorang resi sakti. Ki Persasi sebenarnya berhaluan lurus, itu sebabnya dirinya sangat murka ketika mengetahui sang Murid berlaku sesat. Bahkan muridnya melebihi iblis. Dan oleh karena itu pula, Ki Persasi akhirnya meminta tolong pada Singo Edan, Pendekar Gila dari Goa Setan untuk menghentikan sepak terjang sang Murid.
Dan setelah muridnya binasa, Ki Persasi pun menghilang entah ke mana." Secara singkat dan jelas, Ki Sentana menuturkan kisah tentang Ki Boleng, tokoh yang sepuluh tahun silam pernah menggemparkan Desa Karang Bale dengan perbuatannya yang keji. Kini, setelah sepuluh tahun tokoh sesat itu binasa di tangan Singo Edan, muncul lagi kejadian yang hampir sama.
"Mungkinkah arwahnya bangkit kembali?" tanya Ki Tunjung Melur semakin penasaran.
Karena kejadian itu sama persis dengan tindakan Ki Boleng.
"Bisa jadi," gumam Ki Sentana.
"Tapi..."
"Tapi apa, Kang?"
"Apa mungkin?" tanya Ki Sentana seperti tak percaya kalau semua kejadian yang dialami Watiri merupakan perbuatan arwah Ki Boleng.
"Mengapa Kakang berkata begitu?" tanya Ki Tunjung Melur dengan kening mengerut. Matanya menatap wajah Ki Sentana, seakanakan ingin mengetahui apa yang sebenarnya tersimpan dalam benak kakaknya.
"Kurasa arwah tak akan memperkosa," sahut Ki Sentana, membuat Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi manggut-manggut. Apa yang dikatakan kepala desa itu tidak salah.
Arwah merupakan makhluk gaib tak mungkin melakukan perkosaan. Apalagi terhadap manusia. Namun seandainya benar yang melakukan arwah, mungkin kemaluan Watiri tak akan sampai hancur seperti itu. Semua terdiam, tak ada yang bisa menjawab keganjilan itu.
Sementara itu, warga Desa Karang Bale nampak mulai berdatangan ke rumah Ki Pardi untuk melayat. Di wajah mereka tercermin iba bercampur takut, terhadap kejadian aneh itu.
Apalagi para warga yang memiliki anak gadis, lebih merasa cemas dan ketakutan.
Mereka khawatir kalau-kalau anak perawan mereka menjadi korban selanjutnya dari perbuatan penculik gelap itu.

***

Siang yang panas, cahaya matahari terasa sangat menyengat. Angin yang berhembus pun meniupkan hawa yang kurang nyaman di kulit. Dari arah utara tampak sesosok lelaki muda berambut gondrong tengah melangkah memasuki mulut Desa Karang Bale.
Pemuda tampan berpakaian rompi terbuat dari kulit ular itu bertingkah laku seperti orang gila.
Mulutnya tampak cengengesan. Lalu terdengar bernyanyi-nyanyi sendirian sambil berjingkrak-jingkrakan. Sebentar kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala seperti kegatalan. Mulutnya terus cengar-cengir. Tingkah lakunya yang aneh itu tentu saja membuat setiap orang yang melihat atau berpapasan merasa heran. Atau bahkan mungkin ada pula yang menaruh rasa curiga terhadap tingkah lakunya yang konyol itu.
"Pemuda gila...," gumam salah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh tinggi tegap.
"Kasihan, pemuda setampan dia harus gila! "Iya, ya" Sayang sekali, pemuda tampan begitu jiwanya tak waras!" sambung rekannya. Lelaki berusia sekitar lima puluh tahun berbadan tinggi kurus dengan kumis panjang.
Kedua lelaki setengah baya itu tak henti-hentinya menatap pemuda gila yang tak lain Sena Manggala atau lebih terkenal dengan julukan Pendekar Gila.
"Ah ah ah, panas sekali!" gumam Sena dengan mulut cengengesan.
Sejenak Pendekar Gila menghentikan langkahnya.
Memandang dengan mata menyipit dan mulut nyengir ke sekelilingnya. Seakan-akan tengah mencari tempat untuk berteduh dari panasnya mentari.
Kedua orang lelaki setengah baya itu masih memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila yang lucu.
Bahkan tingkah lakunya semakin lucu dan konyol ketika hendak menghindar dari panas matahari.
"Aha, Kisanak sekalian, di manakah ada kedai sekitar sini...?" tanya Sena setelah menyadari sejak tadi dirinya menjadi perhatian kedua lelaki setengah baya itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala, mulutnya cengengesan. Kemudian kakinya melangkah mendekati kedua lelaki tua itu, yang tersentak kaget dan berlari terbirit-birit ketakutan.
"Orang gila itu mengejar kita!"
"Cepat lari!" Kedua orang tua itu lari tunggang-langgang, takut kalau-kalau pemuda bertingkah laku gila akan mengamuk. Biasanya memang mereka melihat orang gila mengamuk jika diperhatikan. Itu sebabnya mereka langsung kabur ketika Pendekar Gila menghampiri.
Pendekar Gila tertawa cekikikan menyaksikan kejadian lucu itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan.
"Ah ah ah, lucu sekali! Aneh memang dunia ini.
Kadangkala, orang gila menjadi sasaran tuduhan. Hi hi hi...!" gumamnya sambil menggeleng-geleng kepala.
Setelah memperhatikan kedua orang tua yang lari terbirit-birit, dengan masih cengengesan sambil bernyanyi-nyanyi Pendekar Gila meneruskan langkahnya.

***

Pendekar Gila yang sedang mencari sebuah kedai untuk beristirahat, seketika menghentikan langkah ketika lima orang lelaki bermuka garang berdiri menghadang di hadapannya. Kelima lelaki berpakaian sama dan bersenjata golok terselip di pinggang itu, menatap tajam wajahnya. Satu orang yang berkumis tebal dengan rambut terurai lurus, melangkah maju.
"Desa ini sedang tak aman, siapa kau"!" bentak lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan tegas. Matanya yang lebar, menatap tajam pada Pendekar Gila penuh selidik.
"Hi hi hi..., lucu sekali!" gumam Sena seperti tak menghiraukan pertanyaan lelaki ini. Mulutnya cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat lelaki berpakaian biru mengkilap seperti beludru itu semakin gusar.
"Bocah Gila, katakan siapa kau sebenarnya"!" bentak Walang Kejer dengan gusar, karena merasa pertanyaannya tak dihiraukan.
"Hi hi hi..a Gila..." Aha, memang aku gila. Tetapi aku tidak segila kau, yang main bentak pada orang," sahut Sena disertai tawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala, yang membuat Walang Kejer berserta keempat walang lainnya bertambah geram.
"Bocah Edan! Ditanya malah cengengesan!" sentak Walang Kerik.
Nampaknya lelaki bertubuh kurus dengan kumis tipis itu, tak sabar melihat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu, melangkah maju sambil tangannya meraba gagang golok.
"Aha, beginikah sambutan pendekar Desa Karang Bale?" gumam Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang Walang Kerik yang sedang meraba gagang golok.
"Ah ah ah! Kurasa tak sepantasnya kalian berbuat seperti itu. Bukankah warga Desa Karang Bale terkenal dengan keramahannya?" Kelima Walang Sakti itu saling pandang, mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Ah, aku mendengar warga Desa Karang Bale sangat menghormati tamunya. Mengapa kini kulihat lain?" tanya Pendekar Gila seperti bergumam.
Kemudian dengan mulut cengengesan, digeleng-gelengkan kepalanya.
"Bocah Gila, katakan siapa kau sebenarnya dan ada maksud apa kau datang ke desa ini?" tanya Walang Kejer. Amarahnya agak mereda, setelah memperhatikan gerakgerik dan penuturan Pendekar Gila, nampaknya Walang Kejer mengetahui suatu kekuatan yang dimiliki diri pemuda bertingkah laku gila itu.
"Aha, aku hanya seorang pemuda gila yang tak tentu arah. Kemana pikiran gilaku mengajak, ke sana aku melangkah," tutur Pendekar Gila setengah berfilsafat yang menjadikan Walang Kejer semakin mengerutkan kening. Pikirannya semakin bersungguh-sungguh menyelidik Pendekar Gila yang nampak masih cengengesan.
"Kau petualang?" tanya Walang Kejer memastikan.
"Hi hi hi...! Kau tahu dari mana, Kisanak?" tanya Sena sambil cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Dasar bocah gila! Bukankah tadi kau yang mengatakannya"!" bentak Walang Kerik dengan geram. Matanya melotot memandang penuh kebencian pada Pendekar Gila.
"Aha, kau nampaknya pemarah, Kisanak" Ah ah ah, sangat berbahaya! Kurasa, tak sepantasnya kau marah. Sebagai pendekar desa kau haruslah sabar dan berjiwa besar," ujar Pendekar Gila bernada menggurui.
Mendengar ucapan Pendekar Gila barusan, kelima Walang Sakti tersentak marah. Mereka sepertinya merasa tersinggung.
"Kurang ajar! Lancang sekali kau mengguruiku, Bocah Gila!" dengus Walang Kerik seraya melangkah maju dengan tangan kanan siap mencabut golok.
Namun dengan cepat, Walang Kejer sebagai orang tertua di dalam Lima Walang Sakti segera mencegahnya.
"Sabar! Apa yang dikatakannya memang benar.
Kita tak boleh sembarangan mencurigai seseorang."
"Tapi nampaknya dia perlu kita curigai, Kang," kilah Walang Kerik.
"Hm, kurasa memang begitu, karena dia orang asing di Desa Karang Bale ini.
Namun, keramah-tamahan dan sikap sopan santun yang sudah dikenal banyak orang tak boleh kita lupakan. Sabarlah dulu!" usai menenangkan adiknya, Walang Kejer mendekati Pendekar Gila yang masih cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Aneh..., aneh...! Dunia ini memang aneh," gumam Pendekar Gila.
Kemudian tanpa menghiraukan kelima Walang Sakti, dia bernyanyi-nyanyi sendiri.
Sambil mendongak, memandang langit biru Pendekar Gila melolos Suling Naga Sakti yang terselip diikat pinggangnya. Lalu dengan enaknya ditiupnya suling itu, mengalunkan nyanyian yang merdu.
Lima Walang Sakti hanya bisa bengong menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. Walang Kerik yang paling tak suka tampak geram dengan wajah merah. Hatinya benar-benar jengkel melihat tingkah laku Pendekar Gila yang baginya menyebal-kan. Ditanya benar-benar justru dengan enakenakan bernyanyi sambil meniup sulingnya.
"Bocah Edan! Hentikan tiupan sulingmu yang sumbang itu!" bentak Walang Kerik.
Pendekar Gila menghentikan tiupan sulingnya.
Matanya menoleh ke wajah Walang Kerik. Mulutnya cengengesan. Kemudian setelah menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggang, tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya kau tak suka bernyanyi, Kisanak" Pantas..., pantas kalau kau pemarah," sindir Pendekar Gila dengan tingkahnya yang konyol. Hal itu tentu saja membuat Walang Kerik semakin marah.
"Kurang ajar! Dia memang perlu dihajar, Kakang! Biarkan aku menghajarnya!" dengus Walang Kerik sambil mencelat maju dengan tangan menarik gagang golok.
Srt! "Kuhajar kau, Bocah Gila! Hea...!" tangan Walang Kerik membabatkan goloknya dengan gerakan melengkung. Wrt! Mendapat serangan begitu cepat, Pendekar Gila segera berkelit dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Ditundukkan tubuhnya ke bawah, kemudian meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri dengan gerakan lemah gemulai.
Wut! Golok yang dibabatkan Walang Kerik menderu hanya beberapa jari di sebelah kanannya. Dengan cepat, Pendekar Gila mengibaskan kaki kanannya menendang kaki kiri Walang Kerik yang menekuk dan berada di depan.
"Hea!" Wrt! Dengan cepat Walang Kerik bergerak sambil membabatkan goloknya. namun....
Plak! Bugk! "Aduh!" Walang Kerik terpekik keras. Tubuhnya yang belum mantap setelah menyerang, tanpa ampun lagi harus terjengkang jatuh karena sambaran kaki Pendekar Gila. Walang Kerik meringis, ketika dirasakan tulang mata kakinya sakit. Sedangkan Pendekar Gila kini berjingkrakan sambil terkikik nyaring dengan tangan menggaruk-garuk kepala, persis seekor kera kegirangan.
Keempat Walang Sakti lainnya yang menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila, terperangah kagum bercampur keheranan. Mereka tak menyangka kalau dalam satu jurus saja, pemuda bertingkah gila itu dapat menjatuhkan Walang Kerik.
"Kurang ajar! Jangan kau girang dulu, Bocah Gila! Aku akan mengadu nyawa denganmu!" dengus Walang Kerik semakin marah, karena merasa diejek begitu rupa di depan keempat saudaranya. Tubuhnya segera bangkit berdiri. Kemudian dengan cepat mengatur kedudukan kuda-kudanya. Matanya menatap penuh amarah pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Tahan!" tiba-tiba dari arah barat, terdengar suara seseorang berseru. Bentakan keras itu membuat Walang Kerik yang hendak menyerang, seketika menghentikan geraknya. Serentak mereka semua menoleh ke tempat asal suara tadi.
Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan pakaian warna merah bata lengan panjang melangkah menghampiri Lima Walang Sakti yang seketika menjura memberi hormat. Di belakangnya lelaki berwajah tenang dan berwibawa berjalan mengiringi.
"Ampun, Ki Lurah! Ada seorang pemuda berpura-pura gila hendak membuat onar di Desa Karang Bale ini," tutur Walang Kerik sambil menjura pada Ki Lurah Sentana yang datang bersama adiknya Ki Tunjung Melur.
Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur seketika memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila. Kening keduanya mengerut, apalagi setelah melihat Suling Naga Sakti terselip di ikat pinggang pemuda berompi kulit ular itu. Tanpa disadari mata Ki Lurah Sentana terbelalak. Begitu pun Ki Tunjung Melur yang seolah telah mengenal betul jati diri pemuda gila itu. Dengan suara lirih Kepala Desa Karang Bale itu berdesis.
"Suling Naga Sakti...!" Kelima Walang Sakti yang belum mengetahui siapa pemuda gila itu pun turut terperanjat mendengar nama suling milik pemuda gila berpakaian rompi kulit ular itu.
"Kisanak, ada hubungan apa kau dengan Singo Edan, Pendekar Gila dari Goa Setan?" tanya Ki Lurah Sentana dengan mata memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila yang konyol.
"Hi hi hi..., lucu sekali! Dunia ini memang aneh.
Atau memang sudah menjadi peradatan, kalau yang masih muda akan bertingkah ugalugalan?" gumam Sena, seakan tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan kepala desa itu. Namun nampaknya Ki Sentana memahami tutur kata Pendekar Gila. Hal itu terlihat dari tatapan mata lelaki tua itu pada Lima Walang Sakti yang serentak menundukkan kepala.
Mereka berlima seolah-olah merasa bersalah.
"Maafkan atas kesalahan mereka, Kisanak! Mereka hanya menjalankan tugas, menjaga keamanan desa ni yang baru saja tertimpa kemalangan," ujar Ki Sentana membuka percakapan.
Suaranya begitu tenang ian berwibawa.
"Kalau boleh kami tahu, ada hubungan apa Kisanak dengan Singo Edan sahabat kami?"
"Aha, aku murid tunggalnya, Ki," jawab Sena dengan tingkah laku yang masih konyol. Tangannya kembali manggaruk-garuk kepala.
"Heh..."!" Tersentak Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur setelah tahu kalau pemuda bertingkah gila itu murid Singo Edan. Pantas kalau pemuda ini memiliki Suling Naga Sakti, senjata sakti yang sampai saat ini belum ada tandingannya.
"Oh, maafkan kami, Tuan Pendekar! Kalau begitu, Tuanlah yang bergelar Pendekar Gila," ujar Ki Sentana sambil menjura hormat pada Pendekar Gila.
"Ah ah ah, mengapa kau panggil aku Tuan Pendekar" Lucu sekali! Sangat lucu...!" gumam Sena sambil cengengesan dengan kepala menggeleng.
"Kalau kau dan guruku bersahabat, maka tak sepantasnya menyebut diriku Tuan Pendekar. Namaku Sena Manggala." Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur, serta Lima Walang Sakti terperangah mendengar jawaban Pendekar Gila. Pemuda gila itu ternyata memiliki budi pekerti yang luhur.
"Baiklah, Sena. Kuanggap kebetulan sekali, kau datang ke desa kami," kata Ki Sentana sambil menarik napas dalam-dalam. Wajahnya seketika berubah muram, membuat Pendekar Gila mengerutkan kening dan memandang keheranan.
"Aha, kalau boleh aku tahu, apa sebenarnya yang telah menimpa desa ini?" tanya Pendekar GUa ingin tahu.
"Kalau kau berkenan, singgahlah dulu di rumahku. Nanti akan kuceritakan apa yang telah terjadi...," ajak Ki Lurah Sentana.
"Aha, baiklah. Aku pun sebenarnya ingin melepas lelah," jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala, yang membuat Walang Kerik tampak jengkel. Hal itu terlihat dari tatapan mata yang sinis, penuh kebencian.
"Huh, bertingkah!" sungut Walang Kerik dalam hati.
"Siapa pun kau, aku tak suka! Hm, tunggu saja saatnya." Pendekar Gila pun melangkah, mengikuti Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur meninggalkan mulut desa tempat Lima Walang Sakti masih berdiri.

***



«¦::::::¦ 4 ¦::::::¦»

Siang itu Ki Lurah Sentana mengajak Pendekar Gila untuk bersantap di rumahnya.
Sambil menyantap makanan, kepala desa itu pun menceritakan peristiwa yang baru saja dialami di desanya.
Diceritakan bahwa setelah hampir sepuluh tahun Ki Boleng mati di tangan guru Pendekar Gila, peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap perawan-perawan desa tak ada lagi. Namun tiba-tiba hari ini, Desa Karang Bale dikejutkan dengan kematian Watiri secara mengerikan.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan tangan kiri. Mulutnya nyengir, seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Setelah itu kembali mengunyah makanan yang baru saja dimasukkannya ke dalam mulut.
"Aha, aneh sekali," gumam Sena dengan mulut nyengir.
"Apakah kau tak mencurigai seseorang, Ki?"
"Itulah yang sulit, Sena. Kami tak pernah mencurigai seseorang, karena sejak dulu kami berusaha menunjukkan keramahan dan itikad baik pada siapa pun yang datang ke desa ini," sahut Ki Sentana setengah menyesal. Pendekar Gila sesaat terdiam. Tangan kirinya kembali menggaruk-garuk kepala.
Kemudian nampak mulutnya yang nyengir, seperti orang tolol sedang kebingungan.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Sena?" tanya Ki Tunjung Melur.
Mendengar pertanyaan itu Pendekar Gila semakin cengengesan dengan tangan kian cepat menggaruk.
Dirinya pun sedang bingung untuk mencari jejak pertama guna memperkirakan siapa sebenarnya pelaku dari kejadian yang dialami anak Ki Pardi.
"Huh, tolol sekali aku ini!" gumam Pendekar Gila sambil menepuk-nepuk keningnya dengan tangan kiri.
"Ah, kenapa aku bodoh" Hm..., sulit amat...!" Ki Lurah Sentana dan adiknya tampak tersenyum keheranan melihat tingkah laku pemuda di hadapan mereka.
"Apakah kau tak memiliki pandangan, Sena?" tanya Ki Sentana.
Pendekar Gila tercenung diam. Keningnya mengerut, kemudian mulutnya cengengesan.
"Pandangan" Aha, kau benar kita memang harus memiliki pandangan," sahut Sena.
Kemudian nampak dirinya kembali tercenung, lalu cengengesan sambil menggarukgaruk kepala. Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur hampir tertawa melihat tingkah laku Pendekar Gila. Kalau saja mereka tak segera sadar bahwa tamunya Pendekar Gila, mungkin Ki Lurah pun sudah meninggalkan pemuda yang bertingkah konyol itu.
Pendekar Gila tak meneruskan kata-katanya, melainkan terus menyantap makanannya dengan lahap. Hal itu membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur tersenyum-senyum.
Mereka senang menyaksikan Pendekar Gila lahap menyantap hidangan yang telah disajikan.
"Aha, aku ada akal!" seru Sena tiba-tiba dengan mulut masih mengunyah makanannya. Suara keras itu membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur tersentak kaget. Ki Tunjung Melur dan Ki Sentana kembali tersenyum sambil menarik napas dalam-dalam.
"Apa itu, Sena?" tanya Ki Sentana.
"Ya, katakanlah! Kami memang sangat mengharapkan buah pikirmu, juga bantuanmu," tambah Ki Tunjung Melur.
"Ah ah ah, tanpa kalian minta pun, aku akan berusaha membantu kalian," sahut Sena, "Kalian teman-teman guruku. Sudah sepantasnya kalau aku turut membantu."
"Terima kasih atas kesediaanmu, Sena," ujar Ki Lurah Sentana.
"Ah, sudahlah, Ki! Kini kita harus berpikir mencari jalan, bagaimana untuk dapat mengetahui siapa sebenarnya pelaku dari pembunuhan keji itu," usul Pendekar Gila sambil menyantap makanan.
"Ya ya, kau benar," sahut Ki Tunjung Melur, "Kita memang harus secepatnya membekuk pelaku keji itu.
Sebelum ada korban lain yang jatuh ke tangannya."
"Aha, tepat sekali. Kurasa, aku harus menyelidiki semuanya," kata Pendekar Gila.
"Kau akan pergi?" tanya Ki Sentana, kaget.
"Begitulah," sahut Pendekar Gila.
"Mengapa harus pergi" Bukankah lebih baik kau tinggal di rumahku?" saran kepala desa itu berusaha mencegah agar Pendekar Gila tak meninggalkan Desa Karang Bale.
"Ah, terlalu merepotkan, Ki," sahut Pendekar Gila.
"Biarlah aku menyelidiki semuanya dari jauh! Maksudku agar gerak-gerikku labih bebas." Ki Sentana terdiam beberapa saat, berusaha mencerna ucapan Pendekar Gila. Memang benar apa yang dikatakan pemuda itu. Dengan kehadiran Pendekar Gila di Desa Karang Bale, pelaku pembunuhan itu tentu akan menahan diri, jika ada rencana untuk berbuat lagi.
Sebab bukan tak mungkin kalau pelaku itu telah mengenal siapa Pendekar Gila sebenarnya. Seorang tokoh muda yang namanya telah kesohor di kalangan rimba persilatan.
"Benar katamu, Sena. Kurasa kalau kau berada di sini terus, penjahat itu akan tahu," tukas Ki Tunjung Melur.
"Ya ya, kau benar. Tetapi, kuharap kau tidak melepaskan begitu saja, Sena," harap Ki Sentana.
"Aha, aku akan berusaha, Ki. Ah ah ah, kenyang sekali perutku! Wah, bisa-bisa aku ketiduran, Ki," ujar Sena berseloroh sambil mengelus-elus perutnya yang terasa kenyang, setelah menyantap makannya.
"Kalau memang kau ngantuk, tidurlah di sini, Sena!" ujar Ki Sentana menawarkan.
"Aha, terima kasih, Ki. Kau telah berbaik hati padaku. Izinkanlah aku meneruskan perjalananku dulu," sahut Sena.
"Kau jadi pergi juga, Sena?" tanya Ki Sentana dengan kening mengerut, seakan tak percaya kalau Pendekar Gila akan meneruskan perjalanannya.
Padahal Desa Karang Bale sedang membutuhkan Pendekar Gila.
"Aha, jangan khawatir, Ki! Kurasa kalian mengerti maksudku," ujar Pendekar Gila.
Kemudian setelah bangun dan memberi hormat pada Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur, Pendekar Gila melangkah keluar untuk meneruskan perjalanannya.
"Jangan lupa, Sena!"
"Aha, akan kuingat!" sahut Pendekar Gila sambil menoleh pada Ki Sentana.
"Titip salam pada gurumu," ujar Tunjung Melur pura-pura sambil melambaikan tangan, yang dibalas Pendekar Gila dengan lambaian tangan pula.
Pendekar Gila terus melangkah, seakan tak tahu ada sepasang mata mengikuti langkah kakinya dengan pandangan penuh kebencian. Di bibir orang itu, tersungging senyum sinis dan dendam.
"Tunggulah saatnya, Pendekar Gila!" dengus pemilik senyum bengis dengan tatapan tajam penuh dendam. Sekejap kemudian sesosok bayangan berkelebat meninggalkan semak belukar tempat dirinya mengintip Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang sebenarnya tahu hanya tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dengan tangan menggarukgaruk kepala, dirinya terus melangkah meninggalkan Desa Karang Bale.
"Aha, kurasa orang itu bukan orang baik-baik. Hm, kulihat saja nanti," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kakinya melangkah cepat, seakan-akan ingin segera meninggalkan Desa Karang Bale.

***

Mentari mulai condong ke barat, menandakan bahwa hari menjelang senja. Empat orang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan tampak melintasi hutan karet.
Sambil bercanda ria mereka berjalan menuju telaga yang terletak di selatan Desa Karang Bale. Nampaknya mereka hendak mandi sore. Di perbatasan desa, mereka bertemu dengan dua jawara pengawal Ki Sentana.
"Mau ke mana, Den Putri?" sapa Ki Barman pada Wirani, anak Ki Lurah Sentana yang berjalan bersama ketiga gadis temannya.
"Mau ke telaga, Paman," sahut Wirani.
"Hati-hati, Den Putri! Kalau ada apa-apa di telaga, berteriaklah agar kami cepat mendengar!" saran Ki Sobrah.
"Memangnya kenapa, Paman?"
"Tidak apa-apa. Bukankah Den Putri melihat sendiri kejadian yang dialami anak Ki Pardi?" tanya Ki Barman setengah mengingatkan.
"Baiklah, Paman. Saya pergi dulu!"
"Ya ya, hati-hati...," kata Ki Sobrah kembali mengingatkan.
Keempat gadis itu menganggukkan kepala, kemudian meneruskan perjalanan ke telaga.
Sementara Ki Barman dan Ki Sobrah masih memperhatikan keempatnya yang terus melangkah.
Sepertinya ada sesuatu yang dikhawatirkan kedua jawara desa itu.
Keempat gadis itu terus melangkah sambil terus berbincang-bincang.
"Kasihan ya Watiri" Aku tak menyangka, kalau dia akan mengalami hal semacam itu," ujar Wirani membuka percakapan. Wajahnya kini menggambarkan kesedihan.
Antara dia dan Watiri memang sangat akrab.
"Iya ya?" sambung gadis berkain kuning.
"Coba saja kalau waktu itu dia tak pulang dahulu, tentunya tak akan terjadi hal seperti itu."
"Namanya saja sudah suratan takdir," selak gadis berpakaian coklat.
"Bagaimanapun juga, kalau yang kuasa menghendaki, kita tak bisa lepas."
"Tapi nampaknya itu bukan kehendak Hyang Widi, Serani. Hyang Widi tak akan setega itu, melepaskan nyawa manusia dengan menghancurkan raganya," bantah Wirani tak setuju dengan pendapat temannya yang mengatakan kematian Watiri karena sudah kehendak Hyang Widi.
"Bukankah kita diciptakan untuk berusaha?"
"Ya ya ya, kau benar, Wirani. Ah, sudahlah! Jadi merinding bulu kudukku," tukas Serani berusaha mengakhiri pembicaraan mereka terhadap Watiri.
Ketiga temannya tertawa, melihat Serani takut.
Namun keempatnya menurut diam. Mereka pun terus berjalan. Kini mereka telah semakin dekat dengan telaga.
Sambil bercanda ria, keempat gadis itu segera menceburkan di ke telaga. Pecahlah suara tawa mereka. Bermain siram-siraman sambil menikmati hangatnya air telaga yang bening itu.
Sementara mentari sore mengawasi gadis-gadis cantik itu bahkan menjilati kulit tubuh-tubuh mulus itu. Mereka tak mempedulikan keadaan di sekitar telaga yang tampak sunyi. Mereka tak tahu kalau dari balik semak-semak di sekitar telaga ternyata ada sepasang mata durjana tengah mengawasi. Sepasang mata merah, karena menahan nafsu yang bergejolak di hatinya.
"Hm, sangat menggairahkan anak Ki Lurah itu," gumam pemilik sepasang mata merah membara sambil terus memandangi tubuh Wirani yang mulus dan menggiurkan.
"Aha, rupanya ada buaya yang mengintai gadis-gadis mandi!" Tiba-tiba terdengar seruan yang cukup mengejut-kan pemilik sepasang mata merah itu. Seketika sesosok tubuh melesat meninggalkan semak-semak di tepian telaga.
"Aaa...!" Bukan hanya lelaki bertubuh tinggi besar yang kaget, tetapi keempat gadis yang tengah bersendau gurau di telaga pun terperanjat. Mereka tak menyangka sejak tadi ada yang mengawasi.
"Tolong...! Tolooong...!" teriak keempat gadis itu.
"Hai, jangan lari!" teriak Pendekar Gila sambil melesat cepat memburu sesosok tubuh tinggi besar berpakaian abu-abu.

***

Pendekar Gila menduga orang bertubuh tinggi besar dan berpakaian abu-abu itu pasti punya maksud jahat terhadap gadis-gadis yang sedang mandi. Itulah sebabnya pendekar muda itu terus mengejarnya.
"Aha, mau lari ke mana kau, Buaya!?" teriak Pendekar Gila sambil terus mengejar sosok tinggi besar berpakaian abu-abu yang terus melesat meninggalkan telaga.
Kejar-mengejar antara Pendekar Gila dengan lelaki tinggi besar berpakaian abuabu pun terus berlangsung. Sena hampir saja mampu mencapai lelaki itu. Namun tiba-tiba lelaki berambut putin terurai panjang itu melemparkan sesuatu dari tangannya. Wusss! Glaaar...! Ledakan keras terdengar, disusul kepulan asap tebal berwarna hijau. Melihat asap tebal itu mengepung dirinya, Pendekar Gila terkejut. Dengan gerakan cepat tubuhnya melompat menghindar dari sergapan asap beracun itu. Namun ketika terbebas dari kepungan asap, Pendekar Gila sudah tak melihat lagi lelaki berpakaian abu-abu yang dikejarnya.
"Ah, tolol sekali aku ini!" gumam Pendekar Gila dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari ke mana lelaki berbadan tinggi besar lari. Namun tetap tak ditemukannya lelaki berambut putih panjang tadi.
Dipasangnya mata dan telinga dengan sikap waspada penuh. Dipusatkan seluruh kemampuan untuk mengawasi tempat itu. Namun ternyata tak ada suara apapun, kecuali desau angin menerpa dedaunan dan beberapa kicau burung pulang ke sarangnya.
"Aha, kurasa ada baiknya aku menyelidiki di dalam hutan ini. Siapa tahu ada yang mencurigakan," pikir Sena. Kakinya segera melangkah masuk ke hutan. Mata dan telinganya dipasang tajam-tajam dan waspada.
Swing! Tiba-tiba, sebuah belati kecil melesat kencang ke arah kepalanya.
"Aits!" dengan cepat Pendekar Gila memiringkan tubuh ke samping kiri, mengelakkan sambaran pisau itu. Sehingga benda itu hanya beberapa jari melesat di samping kanan kepalanya.
Jrabs! Pisau itu menancap di batang pohon tak jauh dari tempat Pendekar Gila.
"Edan! Hi hi hi...! Rupanya kau mau main-main, Setan Belang!" teriak Pendekar Gila seraya melesat ke tempat asal pisau itu. Tubuhnya melesat cepat.
Namun baru beberapa langkah dia berlari, seketika langkahnya terhenti. Di hadapannya berdiri dengan garang sesosok serigala hitam bertubuh sangat besar.
Serigala itu luar biasa besarnya. Matanya yang merah kehitaman mencorong tajam memperlihatkan kebuasan.
"Auuu...! Grrr...! Aaauuung...!" Pendekar Gila kaget dan keheranan melihat kehadiran serigala besar yang secara tiba-tiba.
Dengan kening berkerut dan mata terus mengawasi makhluk aneh itu, Pendekar Gila melangkah mundur beberapa tindak. Hatinya kembali tersentak kaget ketika serigala hitam itu mengeluarkan suara keras menggelegar dan memekakkan telinga.
Tampak gigi-giginya yang runcing ketika moncongnya terbuka.
"Aauuu...! Grrr..! Aaauuu...!"
"Aha rupanya kau hendak main-main denganku, Raja Hutan" Hi hi hi...!" Pendekar Gila cekikikan dengan kaki masih melangkah mundur. Matanya masih menatap tajam kepada serigala itu. Binatang buas itu terus membuka mulutnya yang mengeluarkan cairan bening, lidahnya menjulur-julur seolah-olah menjanjikan kematian bagi siapa pun yang berani melawannya.
Merasa mendapat tantangan dari Pendekar Gila, binatang itu tampak kian marah.
Kepalanya yang besar digetar-getarkan, hingga air liur dari mulutnya terciprat ke rerumputan. Kemudian, dengan cepat tiba-tiba serigala hitam itu melompat menyerang Pendekar Gila. Kedua kaki depan, dengan kuku-kukunya yang tajam siap menerkam kepala pemuda itu. Dan moncongnya pun membuka lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing.
"Aits! Hea...!" Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke samping. Dilebarkan kaki kirinya, sementara kaki kanannya ditekuk. Lalu dengan cepat, tangan kanannya menghantam perut serigala yang melompat di samping tubuhnya.
"Hih...!" Begk! "Auuu! Grrr...!" Serigala besar itu menggeram sengit. Tubuhnya terpental ke depan, karena terkena hantaman tangan Pendekar Gila. Setelah bergulingan, dengan penuh amarah serigala besar itu kembali berdiri siap menerkam. Mulutnya dibuka, menunjukkan gigigiginya yang runcing. Sedang sepasang matanya yang merah kehitaman menyorot tajam mangsanya.
"Auuu! Grrr...! Aauuu...!"
"Aha, rupanya kau kuat juga, Kawan! Hi hi hi...! Baiklah kalau kau mau main-main denganku," gumam Sena sambil cengengsan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Dengan cepat Pendekar Gila membuka jurusnya yang bernama 'Kera Gila Menari Mencengkeram Mangsa'. Gerak-gerik tubuhnya seperti seekor kera gila, menari-nari dengan kedua tangan bergerak mencengkeram dan mencakar.
"Auuu! Grrr..! Aaauuu...!" Dengan penuh amarah, serigala besar itu kembali melompat. Namun dengan gerakan aneh, Pendekar Gila segera meliukkan tubuh. Tingkah lakunya persis seperti seekor kera.
"Hi hi hi...! Nguk.... Nguk" Sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat, Pendekar Gila mengejek lawannya. Hal itu membuat serigala besar itu bertambah marah. Dengan menggeram keras, binatang itu melompat hendak mencengkeram Pendekar Gila.
"Auuu...! Grrr! Auuu...!" Wrrr! "Aits! Hi hi hi...! Tak kena, Binatang Tolol!" ejek Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol.
Mulutnya cengengesan, tangannya bergerak-gerak seperti seekor kera yang kegirangan dengan kaki berjingkrakan.
Serigala besar itu tampaknya sangat marah melihat tingkah laku Pendekar Gila. Sepertinya binatang buas itu, ada yang memerintah atau dalam pengaruh sihir. Hal itu dapat dilihat dari sikap dan gerak-geriknya yang mirip makhluk berakal. Binatang itu seakan menaruh dendam dan rasa benci terhadap Pendekar Gila.
"Aha, kurasa ada yang menyuruh kau, Binatang Tolol! Baiklah, aku akan meladenimu," tantang Pendekar Gila sambil membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
"Grrr...! Auuu...!" Binatang besar itu melompat dengan cakaran kuku-kukunya yang tajam. Namun dengan cepat, Pendekar Gila melompat pula ke samping. Tangannya bergerak menepuk ke kepala binatang besar dan ganas itu.
"Heaaa!" Plak! "Auuu...! Grrr!" Serigala itu seketika melolong keras kesakitan.
Tubuhnya terpental ke belakang. Kepalanya hancur, terhantam telapak tangan Pendekar Gila. Binatang itu terus melayang, dan baru berhenti ketika menghantam pohon, dan jaruh dengan menimbulkan suara gedebum yang sangat keras.
Buggg! Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Kepalanya digeleng-gelengkan. Seakan dirinya merasa tak tega untuk membunuh binatang itu. Namun jika tak dibunuh, dialah yang menjadi mangsa binatang buas itu.
"Ah, kasihan sekali kau, Binatang malang! Tuanmu memang jahat, menyuruhmu menghantar nyawa. Ah ah ah, tuanmu itu pengecut sekali," gumam Sena. Matanya menatap bangkai serigala yang tubuhnya hancur. Kemudian dengan menggeleng kepala, Pendekar Gila segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Mentari telah tenggelam di bumi sebelah barat, menjadikan keadaan di sekitar Desa Karang Bale gelap. Di telaga yang tadi tampak beberapa gadis-gadis Desa Karang Bale, kini telah sepi. Hanya air telaga yang masih mengerucuk dari pancuran.

***



«¦::::::¦ 5 ¦::::::¦»

Malam terus merayap dengan kegelapan yang menyelimuti bumi. Suasana Desa Karang Bale nampak sepi. Pintu rumah-rumah penduduk sudah tertutup. Warga Desa Karang Bale dicekam rasa takut. Terutama mereka yang memiliki anak perawan.
Mereka takut kalau anaknya diculik seperti yang terjadi pada Watiri, anak Ki Pardi. Namun meski rumah-rumah penduduk nampak sepi, di pos-pos ronda, beberapa warga desa nampak melakukan penjagaan.
Setiap gardu, nampak lima orang berjaga-jaga.
Kegiatan itu memang diperintah kepala desa mereka, agar tak terulang kembali kejadian yang menimpa keluarga Ki Pardi. Bahkan anak-anak gadis, sejak sore telah dilarang keluar dari rumah.
Malam semakin larut, dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang. Rasa kantuk pun mulai menyerang para petugas ronda. Namun mereka tetap berusaha untuk melek, agar tidak tertidur dalam nienjalankan ronda.
"Huah, kenapa mataku ngantuk sekali?" keluh Walang Keket.
"Ya, aku pun merasakan hal itu," sambung Walang Kadut. Kelima Walang Sakti seketika merasakan hawa kantuk yang tak terkira. Namun salah seorang di antara mereka, ada yang nampaknya berpura-pura mengantuk. Walang Kerik memang berpura-pura mengantuk.
Sebenarnya lelaki itu belum mengantuk sama sekali, nampaknya ada sesuatu yang hendak direncanakannya.
Satu persatu, keempat saudara seperguruannya pun tertidur lelap tak tahan diserang kantuk. Walang Kerik tampak tersenyum penuh kemenangan. Dengan tenang, dirinya melangkah meninggalkan gardu tempat keempat saudara seperguruannya tertidur.
"Pendekar Gila, kini terimalah pembalasanku!" dengus Walang Kerik penuh dendam. Rupanya kejadian siang tadi, masih terus melekat di dalam dadanya. Dirinya merasa dipermalukan di depan orang oleh Pendekar Gila.
Dengan langkah mantap, Walang Kerik menuju sebuah rumah seorang saudagar.
Matanya memandang ke sekelilingnya, berusaha meyakinkan diri kalau malam itu tak seorang pun yang melihat perbuatannya.
Sesaat Walang Kerik menyelinap di semaksemak. Matanya terus memperhatikan rumah Juragan Kanca. Kemudian setelah tak nampak tanda-tanda adanya tanggapan pemilik rumah, Walang Kerik keluar. Kemudian dengan menggunakan golok, dicongkelnya pintu rumah Juragan Kanca.
Ternyata tadi Walang Kerik melemparkan tanah yang telah dijampi-jampi dengan ilmu sirep 'Siti Silem' yang membuat penghuni rumah terlelap dalam tidurnya. Dengan bebas, Walang Kerik pun segera bergerak menggasak harta milik Juragan Kanca tanpa ada seorang pun yang memergoki.

***

Sementara itu, sesosok bayangan tinggi besar berkelebat cepat dengan tenangnya.
Bayangan abu-abu itu, sepertinya tak mengalami kesulitan sedikit pun untuk masuk ke Desa Karang Bale. Bahkan sambil tertawa terbahak-bahak terus melangkah menuju sebuah rumah penduduk.
"Hua ha ha...! Orang-orang bodoh! Mereka kira Datuk Raja Beracun tak akan mampu masuk ke Desa Karang Bale," ujar sosok bayangan itu yang ternyata Datuk Raja Beracun. Langkah kakinya lebar-lebar, menuju rumah Ki Palongan.
Desa Karang Bale bagaikan tertidur. Tak ada seorang pun yang masih terjaga.
Semua warga desa terkena ajian sirep yang dilancarkan Datuk Raja Beracun. Bahkan Walang Kerik yang semula hendak bermaksud jahat terhadap Pendekar Gila, kini nampak tertidur pulas di bawah sebatang pohon asam yang tumbuh di tepi jalan.
Datuk Raja Beracun terus melangkah menyelusuri jalanan Desa Karang Bale dengan aman. Di bibirnya tersungging senyum, ketika melihat seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan pakaian seorang pesilat berwarna biru mengkilap tertidur pulas. Di sampingnya tergeletak barang-barang berharga.
"Maling tolol!" gumam Datuk Raja Beracun.
"Hm, tapi kurasa dia orang Desa Karang Bale juga. Biar lebih baik nanti kubawa saja." Setelah memperhatikan Walang Kerik sesaat, lelaki bertubuh tinggi besar itu meneruskan langkahnya. Tak lama kemudian, Datuk Raja Beracun telah sampai di rumah yang dituju. Perlahan Datuk Raja Beracun mengintai lewat celah bilik rumah itu. Bibirnya tersenyum, menyaksikan seorang gadis tertidur dengan pakaian tersingkap. Sehingga pahanya nampak terbuka, mengundang rangsang kelelakiannya.
"Hm," gumam Datuk Raja Beracun tersenyum.
Perlahan-lahan kuku jarinya yang panjang, men-congkel daun jendela kamar itu.
Kemudian dengan tenang, Datuk Raja Beracun melangkahi jendela kamar Serani.
Sementara gadis itu masih tertidur dengan pulas. Pahanya yang terbuka, menjadikan mata Datuk Raja Beracun yang merah melotot tak berkedip. Beberapa kali lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu harus menelan ludah.
Dengan senyum terulas di bibir, perlahan-lahan Datuk Raja Beracun mengangkat tubuh Serani. Kemudian dengan cepat, melesat meninggalkan rumah Ki Palongan. Namun tibatiba....
"Aha, rupanya kau iblisnya!" terdengar suara sapaan keras dari arah barat.
Bersamaan dengan itu, muncul seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tingkah lakunya seperti orang gila. Mulutnya cengengesan, sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala.
Datuk Raja Beracun tersentak kaget. Matanya yang merah, menatap dengan tajam pada Pendekar Gila.
"Bocah Gila, kau selalu ikut campur urusanku!" bentak Datuk Raja Beracun geram. Gigi-giginya saling bergemeratukan menahan marah. Matanya yang merah membara, tampak semakin garang bagaikan mengandung bara api.
"Hi hi hi..., lucu sekali! Bagaimana aku tak ikut campur, Iblis Cabul"! Tentunya kaulah yang telah membunuh salah seorang gadis desa ini serta memperkosanya," tukas Pendekar Gila dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Apa urusanmu!" bentak Datuk Raja Beracun sengit.
"Aha ha ha, bukankah sudah kukatakan, aku tak suka dengan perbuatanmu!" balas Sena tak mau kalah.
"Hm, kalau begitu kau harus mampus! Hea...!" dengan penuh amarah, Datuk Raja Beracun segera menyerang Pendekar Gila. Dirinya menyangka kalau Pendekar Gila, tak ubahnya orang-orang gila yang sering dilihatnya. Itu sebabnya Datuk Raja Beracun menyerang dengan tak sepenuhnya.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan cepat Pendekar Gila bergerak menghindar. Diguna-kannya jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, kemudian setelah lepas dari serangan lawan, Pendekar Gila menepuk-kan tangannya.
"Hats! He...!" Wrt! "Heh"!" Datuk Raja Beracun tersentak kaget dengan mata semakin melebar. Kumisnya yang tebal, tampak naik turun karena keheranan bercampur geram menyaksikan kejadian aneh. Gerakan liukan dan tepukan yang dilakukan pemuda gila itu, kelihatan pelan dan lemah. Namun kalau saja Datuk Raja Beracun tak segera melompat, niscaya dadanya akan jebol terkena tepukan itu.
"Hm, rupanya pemuda ini bukan sembarangan gila. Dari gerak-geriknya, mengingatkan aku pada seorang pendekar yang puluhan tahun pernah malang-melintang tak terkalahkan. Hm, ada hubungan apa dia dengan Pendekar Gila dari Goa Setan itu?" tanya Datuk Raja Beracun dalam hati dengan tatapan mata tajam pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bocah Gila, siapa gurumu!" bentak Datuk Raja Beracun.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Mengapa kau mesti bertanya tentang guruku" Hm, kalau guruku yang melihat perbuatanmu, maka guruku tak akan mengampunimu!" balas Pendekar Gila membentak keras. Namun tingkahnya masih tetap gila.
Cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sombong! Kau kira gurumu akan berani meng-hadapiku!" dengus Datuk Raja Beracun pongah.
"Tak ada yang berani menghadapi Datuk Raja Beracun di rimba persilatan!"
"Aha, kurasa kaulah orang yang paling sombong, Datuk Iblis! Baiklah, kukatakan padamu bahwa aku murid Singo Edan atau cucu murid Pendekar Gila dari Goa Setan!" ujar Sena tegas. Hal itu membuat mata Datuk Raja Beracun membelalak kaget.
Perlahan kakinya melangkah mundur beberapa tindak, setelah mendengar siapa sebenarnya pemuda gila di hadapannya.
"Heh"! Kau..."!"
"Hua ha ha...! Kurasa kau harus segera sadar, Datuk Iblis! Lepaskan gadis itu, lalu ikut aku!" ajak Pendekar Gila.
"Cuih! Walau kau cucu murid Pendekar Gila dari Goa Setan, aku Datuk Raja Beracun tak akan mundur! Hea...!" Dengan masih memanggul tubuh Serani, Datuk Raja Beracun menyerang Pendekar Gila.
Tangannya yang berkuku panjang hitam mengandung racun, bergerak mencakar dan menusuk dada serta wajah Pendekar Gila.
Wrt! "Uts! Aha, kau memang manusia jorok, Datuk Iblis! Sampai kuku-kuku saja tak kau urus!" ledek Pendekar Gila dengan harapan Datuk Raja Beracun akan marah sekali, sehingga dia akan terus mengulur waktu sampai semua warga Desa Karang Bale terjaga.
"Cuih! Jangan banyak mulut! Terimalah jurus 'Sengatan Kala'ku ini! Hea...!" meski dengan tangan satu, Datuk Raja Beracun terus bergerak menyerang Pendekar Gila. Namun dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila terus bergerak meliuk ke sana ke mari menghindari serangan kemarahan Datuk Raja Beracun.
"Cuih! Sayang aku tak ada waktu untukmu, Bocah Gila! Terimalah ini!" bersamaan dengan habisnya kata-kata itu, tangan Datuk Raja Beracun melemparkan tiga buah benda ke arah Pendekar Gila.
Wrt Wrt! Wrt! "Uts!" Dengan cepat Pendekar Gila melompat dan ber-jumpalitan beberapa kali ke belakang menghindari serangan rahasia itu itu.
Dar! Dar! Glarrr! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar. Dan seketika di sekitar tempat Pendekar Gila berada tertutup asap merah yang pekat dan mengandung racun.
"Uh! Hea...!" Pendekar Gila segera menarik napas dalam-dalam, kemudian diangkatnya kedua tangan ke atas. Lalu ditarik dan diletakkan di pinggang.
Kemudian dengan cepat, didorongkan kedua telapak tangan mengerahkan ajian 'Inti Bayu' ke arah kabut tebal yang menyelimuti sekelilingnya.
Wus! Angin kencang bergulung-gulung seketika keluar dari kedua telapak tangannya.
Dalam sekejap kabut merah beracun telah tersapu bersih. Namun kembali Pendekar Gila tak menemukan Datuk Raja Beracun.
"Ah, setan! Dia lepas lagi!" geram Sena. Dua kali dia mengalami kegagalan mengejar Datuk Raja Beracun.
"Hi hi hi..., tolol sekali aku ini!" Dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila melangkah meninggalkan tempat itu. Namun baru saja dia melangkah, dia bertemu dengan Ki Tunjung Melur dan Ki Lurah Sentana.
"Oh, kau rupanya, Sena. Tadi kudengar ada pertarungan. Kaukah yang bertarung?" tanya Ki Sentana.
"Aha, aku memang bodoh, Ki. Aku tak dapat menangkap pelakunya. Dia berhasil lolos," geram Sena. Namun mulutnya masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Hanya sorot mata yang memperlihatkan kalau dirinya sedang kesal dan marah.
"Jadi...?" tanya Ki Tunjung Melur. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Kemudian kembali pada tingkah lakunya yang konyol. Bibirnya tersenyum-senyum, dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Kalian kenal Datuk Raja Beracun?" tanya Sena.
"Datuk Raja Beracun"!" desis Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur hampir bersamaan. Mata keduanya membelalak lebar, sepertinya kaget mendengar sebutan itu.
"Aha, benar. Apakah kalian kenal?" tanya Sena menegaskan.
"Tidak. Selama ini, kami tak pernah mendengar seorang datuk berada di desa ini," jawab Ki Lurah Sentana yang menjadikan Pendekar Gila nyengir dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, sulit. Bagaimanapun aku harus bisa menangkapnya. Mungkin kalau tertangkap, kalian akan mengenalnya," ujar Sena dengan nada agak menyesal.
"Tapi kau harus hati-hati, Sena. Datuk bukanlah orang sembarangan," ujar Ki Tunjung Melur mengingatkan.
"Aha, benar. Tetapi sehebat apa pun seorang datuk, jika melangkah di jalan sesat, Hyang Widi tak akan merestui," ujar Sena setengah berfilsafat "Ya ya, kau benar," sahut Ki Sentana.
"Oh ya, apakah dia juga membawa gadis?"
"Benar, Ki. Gadis anak pemilik rumah itu," jawab Sena sambil menunjuk rumah keluarga Ki Palongan.
"Hah"!" Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur terbelalak.
"Ayo kita ke sana!" ajak Ki Sentana.
Mereka pun segera berlari ke rumah Ki Palongan.
Di situ Ki Sentana menemukan bekas ledakan. Hal itu terlihat dari semburatan tanah. Namun mereka tahu, tentunya bekas ledakan itu dilakukan Datuk Raja Beracun untuk menghindar dari kejaran Pendekar Gila.
Malam itu pula, Desa Karang Bale gempar dengan hilangnya Serani. Warga desa yang baru terjaga akibat ajian sirep 'Mega Mendung' yang ditebarkan Datuk Raja Beracun, berbondong-bondong datang ke tempat kejadian.

***

Esok paginya, belum juga selesai masalah hilangnya Serani, mereka digemparkan dengan diketemukannya Walang Kerik mencuri di rumah Juragan Kanca. Hal itu menjadikan Ki Sentana, Ki Tunjung Melur dan Pendekar Gila tersentak kaget.
Mereka yang mendapat laporan dari warga segera berangkat ke balai desa.
Sementara Walang Kerik telah berada di sana bersama beberapa warga yang membawanya. Betapa gusar dan marahnya Ki Lurah Sentana, merasa nama baiknya sebagai Kepala Desa Karang Bale dicemarkan oleh Walang Kerik.
"Kau tahu, apa akibat dari perbuatanmu, Walang Kerik"!" bentak Ki Lurah Sentana di balai desa. Walang Kerik tidak menyahut. Dirinya hanya menundukkan kepala, tak berani bertatap mata dengan Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur.
"Dengan tindakanmu, seorang gadis hilang. Dan kau sudah tahu, apa yang bakal terjadi!" bentak Ki Tunjung Melur geram. Matanya menatap tajam pada Walang Kerik yang masih menunduk, tak berani beradu pandang.
"Memalukan!" dengus Ki Lurah Sentana.
"Maafkan saya, Ki. Sebenarnya bukan maksud saya melakukan hal tercela itu," ujar Walang Kerik penuh rasa sesal. Kepalanya masih menunduk dalam.
"Hm, apa sebenarnya alasanmu melakukan tindakan tercela itu, Walang Kerik"!" bentak Ki Tunjung Melur ingin tahu, mengapa anak buahnya tiba-tiba berlaku pengecut dan melakukan tindakan tak terpuji. Lama Walang Kerik tak menyahuti pertanyaan Ki Tunjung Melur. Perlahan-lahan wajahnya ditengadahkan, kemudian melirik wajah Pendekar Gila yang berdiri di samping Ki Sentana.
"Saya..., saya ingin mencelakakan Pendekar Gila.
Dengan mencuri, lalu mengatakan bahwa Pendekar Gila yang melakukannya...," jawab Walang Kerik yang membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur serta keempat saudara seperguruannya terbelalak kaget.
Bahkan Walang Kejer dengan mendengus, melangkah maju mendekati adik seperguruannya itu.
Tangannya meraba gagang golok.
"Daripada hidup, lebih baik kau mati saja, Walang Kerik! Kurasa kau pun telah meracuni kami semalam, sehingga kami tertidur!" Srt! "Tunggu!" tiba-tiba Pendekar Gila berseru, menghentikan apa yang hendak dilakukan Walang Kejer.
"Kurasa tak baik jika kita saling bantai.
Bukankah kita sedang menghadapi masalah yang cukup berat?"
"Tapi dia benar-benar telah membuat muka kami tercoreng, Tuan Pendekar," kilah Walang Kejer.
"Aha, tidak juga, Kisanak. Kalau Hyang Widi mau mengampuni hambanya yang bersalah, mengapa kita sebagai sesama manusia tidak?" ujar Pendekar Gila yang menjadikan semua orang yang ada di balai desa bengong.
Mereka tak percaya kalau pemuda gila itu mampu berpikir jernih bahkan mengandung filsafat. Seakan pemuda itu bukan pemuda gila. Mereka semua mulai sadar, bahwa pemuda itu berilmu tinggi. Berpikiran bijaksana dan sopan sikapnya. Meskipun kadangkala tampak menjengkelkan.
Pendekar Gila melangkah mendekati Walang Kerik. Dengan bibir masih cengengesan, dipegangnya pundak Walang Kerik.
"Aha, kau tak bersalah, Kisanak. Hawa nafsu telah mempengaruhimu," tutur Sena dengan perasaan penuh persahabatan. Hal itu menjadikan Walang Kerik terkesima, tak percaya kalau Pendekar Gila akan sebaik itu.
"Kau mau memaafkan aku, Tuan Pendekar?" tanya Walang Kerik.
"Aha, mengapa tidak" Sebagai hamba Hyang Widi, sepantasnyalah kita saling memaafkan," sahut Sena seraya menepuk-nepuk pundak Walang Kerik.
Di bibirnya masih mengurai senyum, berusaha meyakinkan Walang Kerik.
Dengan malu-malu, Walang Kerik menjura hormat pada Pendekar Gila.
"Kau sungguh baik, Tuan. Betapa kerdilnya aku ini, yang tak mau melihat kedamaian di hadapanku," desah Walang Kerik sambil memeluk Pendekar Gila.
"Sekiranya aku harus dihukum, aku siap."
"Aha, tak perlu itu terjadi. Bukankah milik Juragan Kanca masih utuh?" tanya Sena.
"Masih. Memang aku tak bermaksud mencuri," jawab Walang Kerik.
"Aha, kalau begitu tak ada masalah. Kini tinggal meminta maaf pada Juragan Kanca." Nampaknya Juragan Kanca yang berada di balai desa, memaafkan tindakan Walang Kerik. Sehingga Walang Kerik pun dibebaskan.
"Kita kini menghadapi masalah yang rumit. Maka itu, kita harus menggalang persatuan dan berwaspada!" kata Ki Lurah Sentana menegaskan.
Pendekar Gila memang telah tahu siapa pelakunya, tapi di mana tempatnya kita belum tahu."
"Kita cari saja!" seru warga desa.
"Ke mana...?" tanya Ki Tunjung Melur.
Semua warga diam. Mereka tak tahu, harus dari mana mencari Datuk Raja Beracun.
Sedangkan kalau ketemu pun, mereka tak mungkin dapat mengalahkan Datuk Raja Beracun. Tentunya Datuk itu bergelar Raja Beracun, karena memiliki ilmu racun yang sangat hebat "Aha, biarlah aku yang akan berusaha mencarinya!" Sena mengusulkan.
"Kurasa, kini tinggal bagaimana memperkuat keamanan Desa Karang Bale ini.
"
"Baiklah kalau begitu. Memang kita harus bisa secepatnya menghentikan sepak terjang Datuk Raja Beracun," sambut Ki Lurah Sentana.
"Aha, kalau begitu aku mohon pamit."
"Hati-hati, Sena! Kami berdoa untukmu. Semoga kau selalu dalam lindungan Hyang Widi, sehingga kita bisa bertemu lagi," ucap Ki Tunjung Melur.
Pendekar Gila tampak menjura hormat pada kepala desa dan seluruh warga yang ada di balai desa itu kemudian melangkah keluar. Setelah sampai di halaman balai desa, tiba-tiba secepat kilat Pendekar Gila melesat meninggalkan tempat itu.
Mata orang-orang yang berada di balai desa terbelalak kaget menyaksikan kepergian pemuda itu.
Mereka menggeleng-geleng kepala karena kagum.
Sebagian dari mereka bahkan ada yang tak sempat melihat gerakan Pendekar Gila.
"Hah! Gila! Manusia apa dia?" gumam yang lain.
"Wuah, dia manusia atau siluman?" tanya yang lain.
"Malaikat kali tuh," sahut rekannya.
Semua benar-benar terperangah, menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah gila itu melesat bagaikan angin. Sehingga dalam sekejap saja telah menghilang. Bukan hanya para warga, tetapi Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur serta Lima Walang Sakti turut menggeleng-gelengkan kepala.
"Benar-benar bukan pendekar sembarangan," gumam Ki Sentana dengan terkagum-kagum.
"Untung dia mau memaafkanmu, Walang Kerik.
Kalau saja dia tak mau, entah sudah menjadi apa kau," jumam Ki Tunjung Melur seraya menarik napas dalam-dalam.
"Saudara-saudara, seperti apa yang dikatakan Pendekar Gila, kita harus meningkatkan keamanan desa kita!" kata Ki Lurah Sentana.
"Kita harus meningkatkan kewaspadaan!"
"Setuju...!" sahut Warga.
"Kita juga harus menyelidiki orang-orang yang pantas kita curigai," kata Ki Tunjung Melur menambahkan.
"Setuju...!" seru warga penuh semangat

***



«¦::::::¦ 6 ¦::::::¦»

Pagi dengan sinar mataharinya yang terasa hangat, menyelimuti Desa Serotan.
Kicau burung yang riang, menambah keindahan suasana pagi. Ditingkahi pula desiran angin yang meniup dedaunan, menghembuskan hawa sejuk.
Pagi itu, Pendekar Gila nampak sedang melangkah di jalan utama Desa Serotan untuk meneruskan perjalanan dalam rangka mencari Datuk Raja Beracun. Sambil bersenandung kecil, Sena terus melangkahkan kakinya.
"Ah, ke mana aku mencari datuk iblis itu?" gumam Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Dua hari sudah dia berusaha mencari tempat persembunyian Datuk Raja Beracun. Tetapi tak juga dapat menemukannya.
Padahal hampir semua bukit dan pegunungan telah didaki. Beberapa desa telah dilalui sambil bertanya pada kepala desa mengenai Datuk Raja Beracun.
Namun anehnya semua tak ada yang mengenai.
Pagi ini, dia telah sampai di Desa Serotan, desa kelima yang menjadi persinggahannya, selama mencari Datuk Raja Beracun. Kalau di Desa Serotan dia tak menemukan persembunyian Datuk Raja Beracun, entah di mana lagi harus mencari. Pendekar Gila terus melangkah menyelusuri jalanan yang membelah Desa Serotan, ketika tiba-tiba matanya melihat orang-orang berkerumun. Nampaknya ada sesuatu yang menjadi perhatian orang-orang itu.
"Heh, ada apa di sana?" gumam Sena dengan kening mengerut. Matanya menyipit, memperhatikan kerumunan orang yang tampaknya tengah melihat sesuatu. Hatinya tertarik untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Pendekar Gila bergegas melangkah mendekati kerumunan orang di bawah sebatang pohon ara di depan sebuah kedai.
"Aha, Kisanak. Kalau boleh kutahu, ada apa gerangan?" tanya Sena pada seorang lelaki muda berpakaian petani yang baru saja keluar dari kerumunan.
"Seorang gadis diketemukan mati dengan keadaan mengerikan," sahut lelaki muda petani dengan wajah meringis, setelah melihat keadaan gadis yang disebutnya.
"Maksud Kisanak?" tanya Sena ingin tahu.
"Ada seseorang yang telah menculik gadis desa ini, lalu menaruh mayat seorang gadis dari desa lain yang keadaannya sangat mengerikan," tutur lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun itu dengan tubuh bergidik.
"Aha, terima kasih." Setelah mengangguk, Pendekar Gila pun segera menuju tempat kerumunan. Dengan menyeruak di sela-sela kerumunan orang, dia berusaha membuktikan sendiri.
"Hah"!" Mata Pendekar Gila membeliak dengan mulut ternganga lebar, setelah mengetahui siapa mayat itu.
Meskipun dadanya berantakan dan kepalanya terpisah dari leher, Pendekar Gila masih mampu mengenalinya. Mayat itu ternyata gadis Desa Karang Bale yang tak lain Serani.
"Ah ah ah, benar-benar biadab! Iblis keparat..!" Sena memaki-maki sendiri. Hal itu menarik perhatian orang-orang yang tengah ramai melihat mayatnya.
Orang-orang Desa Serotan mengerutkan kening, menyaksikan tingkah laku aneh pemuda itu.
"Pemuda gila, mau apa dia?" sungut seorang lelaki berbadan tinggi tegap dengan muka garang. Sepertinya lelaki berusia sekitar lima puluh tahun ini, tak suka dengan tutur kata Pendekar Gila dan sikapnya.
"Bocah gila, pergi sana!" bentak teman lelaki tinggi tegap itu mengusir Pendekar Gila yang justru tertawa cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, galak sekali kau, Ki," ujar Pendekar Gila masih cengengesan.
"Huh, kau tak ada gunanya!" Lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan tubuh gempal serta kepala botak itu berusaha mendorong tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena menggeser kakinya melebar ke samping. Sehingga dorongan tangan orang itu hanya mengenai angin.
Lelaki berpakaian kuning itu terhuyung hampir jatuh karena dorongannya tak mengenai sasaran.
Betapa marahnya dia karena melihat pemuda itu mampu menghindari dorongannya.
"Kurang ajar! Rupanya kau bukan orang gila sembarangan!" bentak lelaki tinggi besar marah, melihat pemuda gila itu mampu mempermainkan temannya.
"Rupanya kau datang ke Desa Serotan mau membuat keributan!"
"Aha, kurasa sebaliknya, Ki. Kalian berdualah yang hendak mengail di air keruh," tukas Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat kemarahan kedua lelaki berwajah jarang itu semakin memuncak.
"Kurang ajar! Rupanya kau harus berkenalan dulu dengan Sepasang Banteng Kuning!" dengus lelaki tinggi tegap beralis tebal.
"Aha, cocok sekali nama kalian banteng. Ah ah ah, tak tahunya kalian memang seperti banteng dungu," ejek Sena sengaja memancing kemarahan kedua orang yang mengaku sebagai Sepasang Banteng Kuning. Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Kau memang harus dihajar, Bocah Gila!" geram lelaki berbadan gempal dan agak pendek. Matanya membelalak marah. Sambil mendengus keras, giginya saling beradu karena menahan amarah.
"Aha, kurasa justru kalian yang perlu dihajar," sahut Sena seraya tertawa cekikikan, yang membuat Sepasang Banteng Kuning bertambah marah.
"Bedebah! Kuremukkan kepalamu, Bocah Gila!" Lelaki tinggi besar itu melesat menyerang dengan menghantamkan pukulan yang dinamakan 'Banteng Menanduk'.
"Remuk kepalamu! Heaaa...!"
"Uts! Hi hi hi...! Belum, Banteng Tolol!" sahut Sena sambil berkelit dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, diikuti gerakan kedua kakinya yang kadang melebar, menekuk, atau menyilang dengan tubuh agak merendah. Sementara tangannya tak tinggal diam, melakukan tamparan dengan telapak tangan ke dada lawan.
Wrt! "Heh"!" Lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget bukan kepalang menghadapi serangan aneh yang dilakukan lawannya. Matanya terbelalak keheranan seakan tak percaya pada gerakan lawan yang baru saja dilihatnya. Gerakan meliuk dan menepuk yang dilakukan Pendekar Gila, nampaknya sangat pelan dan lemah. Namun pukulanpukulan itu ternyata mengandung kekuatan dahsyat yang berbahaya.
"Ilmu gila!" seru lelaki berbadan gempal yang juga terkejut bukan main menyaksikan jurus-jurus yang dilakukan Pendekar Gila. Belum pernah ditemukannya jurus aneh seperti yang sekarang disaksikan.
"Celaka! Dia bukan orang sembarangan, Wungul," ujar lelaki tinggi besar pada temannya.
"Ya. Gerakannya nampak aneh. Sepintas kelihatan pelan dan tak bertenaga, Pulut," sahut Wungul.
"Kita harus berhatihati! Siapa tahu dia yang dimaksud oleh datuk."
"Maksudmu Pendekar Gila?" tanya Pulut.
"Ya. Kulihat dari tadi gerak-geraiknya sama dengan yang dikatakan datuk," jawab Wungul berbisik. Sedangkan matanya masih memperhatikan gerak-gerik Pendekar Gila yang konyol, sepertinya hendak menyelidiki pemuda itu.
"Kau benar, Wungul. Hm, kita harus segera pergi.
Pemuda itu menurut datuk, bukan lawan kita," bisik Pulut mengingatkan temannya.
"Tapi..."
"Ayolah!" ajak Pulut.
"Celaka kalau kita pergi, karena pemuda gila ini tentu mengikuti kita. Bahaya, ini tak boleh terjadi.
Datuk sudah berpesan tak seorang pun boleh tahu tempat persembunyiannya...."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Pulut "Tak ada lain, menyingkirkannya atau kita yang tersingkir dari dunia," sahut Wungul yang membuat Pulut menghela napas berat. Dia menyadari, menghadapi pemuda gila itu bukan hal yang mudah.
Mungkin ilmu mereka masih jauh di bawah lawan yang masih muda belia itu.
"Itu gila!" rungut Pulut.
"Ilmu kita tak sebanding dengan ilmunya!"
"Tapi tak ada jalan lain."
"Itu sama saja kita bunuh diri," Pulut masih bersungut-sungut, tak setuju dengan apa yang diusulkan temannya. Bagaimanapun dia merasa kalau ilmu mereka tak berarti jika dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Pendekar Gila. Jangankan mereka, Datuk Raja Beracun pun mungkin harus berpikir tujuh kali untuk menghadapi pemuda gila ini.
"Ya, kau memang benar. Tapi tak ada cara lain."
"Bodoh! Pakai otakmu, Wungul! Lebih baik kita pergi ke mana saja, asal pemuda ini tak mengejar kita. Meskipun mengejar, dia tak akan tahu di mana datuk berada," kata Pulut.
"Baiklah. Ayo kita pergi!" ajak Wungul.
Tanpa menghiraukan bagaimana tanggapan orang-orang yang ada di tempat itu, Wungul dan Pulut segera melesat kabur meninggalkan Pendekar Gila.
"Aha, kedua orang itu sangat mencurigakan," gumam Sena.
"Kudengar tadi mereka menyebut datuk. Hm, kurasa Datuk Raja Beracun yang disebutnya." Pendekar Gila yang tadi menggunakan ajian 'Penyadap Rungu', tahu apa yang mereka bisikkan.
Namun mulutnya sejak tadi hanya cengengesan, berpura-pura tak tahu apa yang mereka bicarakan.
"Aha, aku harus mengejar mereka," gumam Sena, kemudian secepat kilat tubuhnya melesat meninggalkan Desa Serotan menuju selatan, arah yang dituju Sepasang Banteng Kuning.

***

Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap saja Pendekar Gila dapat memburu kedua orang suruhan Datuk Raja Beracun. Bahkan mampu mendahului di depan mereka.
Sepasang Banteng Kuning terus berlari. Namun tiba-tiba keduanya tersentak dan berhenti, ketika di hadapan mereka telah berdiri Pendekar Gila. Pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu berdiri membelakangi Sepasang Banteng Kuning.
"Heh"!"
"Hah..."!" Sepasang Banteng Kuning tersentak kaget dan saling pandang. Keduanya sungguh tak mengira, kalau Pendekar Gila telah sampai di tempat itu.
Padahal Hutan Barok telah jauh dari Desa Serotan.
Bagaimana mungkin pemuda gila ini tahu-tahu telah berada di Hutan Barok" Pikir keduanya keheranan.
Padahal mereka telah mengerahkan tenaga dalam-nya untuk berlari secepat mungkin.
"Hua ha ha...! Selamat bertemu kembali, Kisanak!" sapa Pendekar Gila sambil membalikkan tubuh dengan tangan menggarukgaruk kepala. Mulutnya cengengesan, semakin membuat Sepasang Banteng Kuning membelalakkan mata.
"Ah"!"
"Uh..."!"
"Aha, mengapa wajah kalian pucat" Apa kalian sedang sakit" Ah ah ah, kasihan...!" seloroh Pendekar Gila sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Sepasang Banteng Kuning tampak semakin tegang menghadapi Pendekar Gila. Keduanya tahu ilmu yang dimiliki pemuda itu jauh lebih tinggi dari mereka. dari ilmu meringankan tubuh yang dikerahkan untuk mengejar, kedua lelaki berpakaian serba kuning itu dapat mengetahui kehebatan lawan.
Betapa tidak! Mereka tak melihat pemuda itu mengejar. Namun tiba-tiba saja telah menghadang di hadapan mereka.
"Bagaimana, Wungul?" tanya Pulut berbisik.
"Tak ada jalan lain," sahut Wungul dengan suara mendesis.
"Kita lawan dia?" tanya Pulut memasukan.
"Ya! Tapi kita harus memanggil teman-teman kita.
Yang jelas kita tak akan mampu menghadapinya," usul Wungul. Kemudian tiba-tiba Wungul mengeluarkan suara mirip lolongan serigala. Begitu juga dengan Pulut.
"Auuu..!"
"Auuu...!" Pendekar Gila tersentak kaget mendengar lolongan keras yang keluar dari mulut Sepasang Banteng Kuning. Namun kemudian kembali bertingkah konyol. Mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, baru kali ini kulihat kerbau bisa melolong seperti serigala," gumam Pendekar Gila yang tertawa-tawa, merasa lucu melihat tingkah kedua orang itu.
"Auuu...!" Srakkk! Dari dalam hutan, tiba-tiba muncul lima ekor serigala besar menuju tempat Sepasang Banteng Kuning dan Pendekar Gila berada.
Pendekar Gila terkejut, tak menyangka kalau lolongan kedua lelaki tinggi besar itu dapat mengundang lima ekor serigala besar.
"Aha, rupanya kalian bangsa binatang juga. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil tertawa cekikikan.
"Auuu! Serang dia...!" Tiba-tiba Pulut berseru sambil mengarahkan telunjuknya menuding Pendekar Gila.
Seketika itu pula, kelima serigala itu berlompatan mengepung Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kaki-kaki kelima serigala itu mencakar-cakar tanah rerumputan, dengan lidah terjulur. Cairan bening pun menetes dari mulut mereka.
"Aha, rupanya kalian binatang-binatang tolol yang mau diperdaya manusia-manusia durjana," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan.
"Auuu! Grrr...!" Lima serigala besar-besar itu terus mengerubungi Pendekar Gila. Mata kelima binatang buas itu, sepertinya menaruh kebencian pada calon mangsa mereka. Namun pemuda berompi kulit ular itu tampak masih tenang. Bahkan mulutnya terus cengengesan.
"Hi hi hi...! Nguk, nguk!" Pendekar Gila mulai meledek dengan tingkah lakunya yang seperti kera.
"Bunuh dia...!" seru Wungul sambil menuding Pendekar Gila.
"Ghrrr...!"
"Auuu..." Kelima binatang buas itu dengan ganas dan penuh amarah bergerak menyerang. Namun dengan cepat Pendekar Gila melenting ke atas, mengelakkan serangan kelima serigala itu.
Wsss! "Hop!" dengan enaknya, Pendekar Gila langsung hinggap di atas cabang sebatang pohon.
"Hi hi hi...! Ayo, siapa yang mau mengejarku, naiklah!"
"Auuu...!" Kelima serigala itu nampak kebingungan. Mereka tampak semakin garang. Suara lolongan dan erangan keras terdengar bersahut-sahutan. Serigala-serigala itu melompat-lompat dan memutari pohon tempat Pendekar Gila bertengger. Dengan lidah terjulur dan mengeluarkan cairan, mereka meraung-raung dan melolong keras.
Seakan-akan tak sabar untuk segera memangsa Pendekar Gila.
"Pengecut! Turun kau, Pendekar Gila"!" teriak Pulut menantang.
"Aha, baiklah!" Dengan cepat Pendekar Gila melompat turun.
Namun tubuhnya langsung melayang ke tempat Pulut dan Wungul. Dicabutnya Suling Naga Sakti dan langsung dikibaskan ke kepala Sepasang Banteng Kuning.
Wrt! "Heh"!"
"Hah"!" Sepasang Banteng Kuning tersentak kaget, ketika Suling Naga Sakti dikibaskan ke arah mereka. Dalam pandangan mereka, suling itu berbentuk seekor ular naga besar yang menyeramkan. Mulutnya menganga lebar, siap memangsa kedua lelaki berpakaian kuning "Wua, tidaaak...!" Sepasang Banteng Kuning menjerit ketakutan dengan mata membeliak. Keduanya lari tunggang-langgang sambil menjerit-jerit. Hal itu membuat Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Kelima serigala besar itu pun langsung kabur setelah kedua tuannya pergi.
"Ah ah ah..., dunia ini semakin aneh saja!" gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala dan melangkah meninggalkan Hutan Barok untuk mengikuti kedua orang yang diduga utusan Datuk Raja Beracun.

***



«¦::::::¦ 7 ¦::::::¦»

Malam berselimut dengan sepi. Kegelapan bagaikan sebuah kelambu hitam raksasa yang mengurung bumi. Lolongan anjing hutan beberapa kali terdengar dari kejauhan, semakin mencekam suasana malam. Sementara angin yang berhembus meniupkan hawa dingin menusuk tulang sumsum.
Di sebuah goa, yang terletak di Gunung Welirang, saat itu nampak seorang gadis cantik terbaring di atas sebuah batu persegi berukuran lebar satu depa dengan panjang dua depa. Tubuh gadis itu dalam keadaan setengah telanjang. Tangan dan kakinya terbentang, dan masing-masing terikat pada sudut batu besar itu. Di atas kepala gadis berambut panjang itu tergantung sebilah golok besar dan tajam.
Cahaya yang berasal dari api obor membuat mata golok besar itu berkilauan.
Gadis cantik itu kelihatan masih dalam keadaan pingsan. Tubuhnya masih terbelenggu oleh totokan Datuk Raja Beracun yang menculiknya.
"Uhhh...!" Terdengar keluhan lirih dari mulut gadis cantik itu.
Perlahan-lahan matanya membuka.
"Oh, di mana aku" Mengapa kedua tangan dan kakiku diikat begini?" Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu mengerjapkan mata, lalu memperhatikan ke sekeliling ruangan goa itu. Matanya semakin membelalak, setelah menyadari kalau dirinya kini berada di dalam sebuah goa yang sangat asing baginya. Goa itu sepi, bagaikan tak ada penghuninya.
"Siapa yang membawaku ke tempat ini?" tanya gadis cantik itu mencoba mengingatingat apa yang telah dialaminya. Pikirannya hanya ingat kalau sore itu dia sedang mandi, ketika tiba-tiba seseorang menotok bagian tubuhnya. Setelah itu, dia tak ingat apa-apa lagi. Dan kini tahu-tahu, tubuhnya telah berada di dalam sebuah goa, yang sangat sepi dan menyeramkan.
Gadis cantik anak Desa Serotan itu masih berusaha mengenali goa tempat dirinya berada saat ini. Namun tetap tak tahu, di mana dia berada.
"Oh, mungkinkah Kang Salim yang membawaku kemari?" gumam gadis itu mencoba menerka-nerka.
"Mungkin Kang Salim sengaja membawaku pergi, agar kedua orangtuaku merestui hubungan kami." Gadis cantik bernama Jariah itu kembali teringat akan kata-kata kekasihnya.
Salim mengatakan akan membawanya pergi, kalau kedua orangtua Jariah tak mengizinkan hubungan mereka. Itu pula yang membuat Jariah menduga-duga kalau Salim-lah yang telah membawanya ke goa itu. Namun, mengapa Salim mesti mengikat tangan dan kakinya begitu rupa" Dan golok itu" Golok di atas kepalanya yang sangat tajam itu, untuk apa..." Bulu kuduk Jariah bergidik merasa takut menyaksikan golok tajam di atas kepalanya. Dia tak tahu untuk apa golok itu.
Siapa sebenarnya yang membawanya ke goa yang sangat sepi dan nampak menyeramkan itu. Belum juga Jariah mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, tiba-tiba dari dalam goa terdengar suara gelak tawa yang membuatnya tersentak. Gadis itu seketika memandang ke arah asal suara tawa itu.
"Hua ha ha...!" Dari dalam goa, muncul sesosok tubuh lelaki bermuka garang berusia sekitar enam puluh tahun. Mata lelaki tinggi besar berpakaian abu-abu itu berwarna merah, menatap tajam tubuh Jariah yang tengah menggeliat-geliat ketakutan.
"Siapa kau, Ki"! Oh, di mana aku?" keluh Jariah dengan mata membeliak tegang memandang dengan penuh rasa takut pada lelaki tinggi besar itu, yang wajahnya dihiasi cambang bauk tebal. Sehingga keadaannya sangat menyeramkan. Terlebih dalam keadaan gelap seperti itu. Karena ruangan goa itu hanya diterangi cahaya obor yang terpancang pada dindingnya.
"Hua ha ha...! Tenang, Anak Manis! Kau berada di tempatku. Kau akan menjadi tumbal ketigaku. Hua ha ha...!"
"Tidak...! Aku tidak mau...!" teriak Jariah ketakutan, mendengar dirinya akan dijadikan tumbal.
Sudah terlintas dalam bayangan, bagaimana nasibnya jika dijadikan korban.
"Hua ha ha...! Percuma kau berteriak-teriak seperti itu, Manis! Tak ada orang yang mendengarnya," ujar Datuk Raja Beracun sambil tertawa-tawa.
Kemudian lelaki tua berambut panjang itu melangkah mendekati Jariah yang kian ketakutan.
Apalagi sorot mata Datuk Raja Beracun yang berselimut hawa nafsu, tak berkedip merayapi tubuhnya. Seakan-akan hendak menelan bulat-bulat tubuhnya yang sudah dalam keadaan setengah telanjang itu.
"Oh, tidak...! Aku tak mau...!" teriak Jariah sambil berusaha meronta. Namun karena kaki dan tangan terikat, menyebabkan dirinya tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya yang terpentang begitu rupa, sulit untuk berontak. Bahkan semakin Jariah berusaha berontak, membuat tubuhnya yang montok tampak lebih menggairahkan. Hal itu semakin membuat mata Datuk Raja Beracun melebar. Jakunnya turun naik, menahan gejolak birahi yang meletup-letup di dalam dadanya.
Datuk Raja Beracun duduk di tepi altar batu tempat tubuh Jariah telentang.
Bibirnya menyeringai.
Tangannya bergerak merayap ke paha gadis itu.
Jariah tersentak kaget. Matanya membelalak ngeri. Ingin sekali muka lelaki bertubuh besar itu diludahinya. Namun karena kedua tangan dan kakinya terikat sehingga membuatnya tak mampu untuk mengangkat kepalanya.
"Kurang ajar! Lepaskan aku..!" teriak Jariah berusaha berontak. Namun Datuk Raja Beracun tak peduli. Bahkan di bibirnya semakin tersungging senyum lebar. Dari usapan tangannya, keluar sinar kuning. Rupanya Datuk Raja Beracun menggunakan 'Racun Birahi' yang mampu membangkitkan nafsu birah seorang wanita.
"He he he...! Kau sekarang bisa memaki, Anak Manis. Tunggulah sesaat lagi," ujar Datuk Raja Beracun sambil terus membelai-belai paha Jariah.
Benar! Tidak lama kemudian, mata Jariah yang semula garang dan penuh amarah, seketika meredup. Mulutnya mendesis, dengan mata mengerjap-ngerjap. Sedang tubuhnya mulai menggeliat halus. Tak ada caci maki keluar dari mulutnya.
Yang terdengar hanya desah dan erangan lirih.
"He he he...!" Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Datuk Raja Beracun terus membelai-belai paha Jariah. Semakin banyak belaian yang dilakukan Datuk Raja Beracun, semakin keras desisan yang keluar dari mulut Jariah.
"Oh.... Uh...!"
"He he he...! Sabar, Manis! Sebentar lagi, kau pasti akan mendapatkan semuanya," ujar Datuk Raja Beracun. Kemudian tangannya bergerak merenggut sisa pakaian yang dikenakan gadis itu.
Bret! "Oh! Cepatlah, Ki...!" rintih Jariah seakan tak kuat lagi menanggung nafsu yang menggebu-gebu. Tubuhnya menggeliat-geliat, bagaikan cacing kepanasan.
Datuk Raja Beracun terkekeh senang, merasa 'Racun Birahi'nya telah bekerja dengan baik. Segera pakaiannya dibuka. Kemudian dengan senyum melekat dibibir, tubuh Datuk Raja Beracun merayap di atas tubuh telanjang Jariah yang masih mendesis dan menggeliat-geliat.
Dalam sekejap saja, pergulatan kedua manusia yang dilanda nafsu itu pun terjadi.
Keduanya saling berpacu untuk mencapai puncak birahi.
Jariah benar-benar tak sadar kalau dirinya kini dalam cengkeraman maut. Yang ada dalam pikiran-nya, hanyalah nafsu menggebu-gebu yang ditumbuhkan oleh Datuk Raja Beracun. Meski tangan dan kakinya terikat, tidak menghalangi gadis itu untuk membalas setiap pacuan Datuk Raja Beracun.
Tubuhnya menggeliat-geliat, seakan tak merasakan sakit akibat tangan dan kakinya diikat. Bahkan gerakan tubuhnya semakin lama semakin bertambah kencang, disertai rintihan-rintihan kenikmatan.
Ssampai akhirnya, tubuh Jariah mengejang disertai jeritan keras. Ada sesuatu yang dirasakan gadis itu, ketika Datuk Raja Beracun menghentakkan tubuhnya ke bawah. Sementara di luar goa, mulai terdengar lolongan anjing-anjing hutan. Seakan-akan binatang-binatang itu turut menyambut atau mengejek kehadiran Jariah di goa itu.

***

Datuk Raja Beracun melangkah ke luar, meninggalkan Jariah yang terkulai pingsan. Di bibir lelaki tua itu tampak terulas senyum. Langkahnya yang lebar, kini menuju ke luar. Sesampainya di luar, wajahnya ditengadahkan memandang ke langit.
"Hua ha ha...! Sesaat lagi, aku akan menjadi orang yang paling sakti di dunia! Tak akan ada yang mampu mengalahkanku!" seru Datuk Raja Beracun, seakan hendak menunjukkan ke seluruh alam kalau dirinya orang yang paling sakti dan tak tertandingi. Malam yang diam membisu, sepertinya tak peduli pada keangkuhan Datuk Raja Beracun. Malam pun sepertinya enggan pada lelaki tua durjana itu. Hanya untuk memenuhi hasratnya yang sesat dan durjana tega melakukan kekejaman. Memperkosa gadis-gadis, kemudian membunuhnya. Bukan itu saja, darah dan jantung gadis yang dibunuhnya dijadikan pencuci muka dan pelepas dahaganya.
Bintang Pari yang menjadi pedoman bagi Datuk Raja Beracun, nampak telah berada di atas ubun-ubun. Hal itu menandakan kalau dia harus melakukan pengorbanan.
Tumbal perawan harus segera dipersembahkan.
"Tiga tumbal telah kudapat, empat lagi aku akan menjadi tokoh maha sakti. Hua ha ha...!" Dengan tertawa terbahak-bahak, Datuk Raja Beracun melangkah masuk ke goa untuk melakukan persembahan dengan mengorbankan seorang gadis. Datuk Raja Beracun melangkah mendekati tubuh Jariah yang masih terkulai pingsan.
Di bibirnya nampak senyum kepuasan. Datuk Raja Beracun memang puas akan segalagalanya. Di samping bisa mendapatkan keperawanan gadis yang hendak dijadikan korbannya, dia pun akan mendapatkan ajian maha sakti yang bernama 'Walik Akal'. Tak seorang pun tokoh yang pernah mendalami ajian kesaktian itu.
Jangankan bangsa manusia, bangsa siluman pun belum ada yang dapat melakukannya.
Hanya bangsa manusia yang separo siluman akan mampu melakukannya. Dan di antaranya, Datuk Raja Beracun, murid Siluman Serigala.
"Hua ha ha...! Datuk Raja Beracun akan menjadi orang paling sakti di rimba persilatan! Tak akan ada yang menandingiku!" seru Datuk Raja Beracun. Suara keras dan bergema itu membuat Jariah terbangun dari pingsannya.
"Bajingan! Iblis...! Kau benar-benar iblis!" maki Jariah penuh amarah, setelah menyadari dirinya telah terpedaya 'Racun Birahi' yang dikeluarkan Datuk Raja Beracun lewat usapan tangannya.
Datuk Raja Beracun menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang kuning kecoklatan.
Matanya yang merah, menatap tajam sosok tubuh telanjang di hadapannya. Kemudian dengan tenang tanpa menanggapi caci maki Jariah, lelaki tua itu mendekati tempat golok besar tajam tergantung. Mata Jariah semakin membeliak, melihat tangan Datuk Raja Beracun kini mengangkat golok besar dan tajam itu. Rasa takut semakin menjadi-jadi, tergambar dari raut wajahnya yang pucat pasi.
"Tidak...!" teriak Jariah, sambil menggeleng-gelengkan kepala, seakan menghiba pada Datuk Raja Beracun agar mengurungkan niatnya.
"Tidak...! Jangan...!"
"He he he...!" Datuk Raja Beracun terkekeh. Matanya yang merah masih menatap tajam sosok tubuh Jariah yang masih telentang tanpa penutup.
Gadis cantik itu kini semakin ketakutan, membayangkan bagaimana golok besar dan tajam akan memenggal kepalanya.
"Kau adalah tumbal ilmuku yang ketiga. Hua ha ha...! Setelah tujuh gadis, aku akan menjadi orang tersakti di rimba persilatan. Tak akan ada seorang manusia atau siluman yang dapat mengalahkanku! Hua ha ha...! Tawa Datuk Raja Beracun menggema di dinding goa, menjadikan suasana di dalam goa itu semakin menyeramkan. Rasa takut Jariah pun semakin menjadi-jadi. Keringat dingin mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. Mata gadis cantik itu membelalak tegang, melihat golok besar yang kini berada di tangan kanan lelaki tinggi besar itu.
"Tidaaak...! Aku tidak mau...!" ratap Jariah menghiba, berusaha meminta belas kasihan dari Datuk Raja Beracun. Namun sepertinya ratapan gadis itu tiada guna.
Datuk Raja Beracun nampaknya tetap akan menjadikan Jariah sebagai tumbal. Hal itu karena akan melancarkan jalan untuk mendapatkan ajian yang sangat didambakannya. Ajian maha sakti, yang selama ini tak seorang pun dapat memilikinya.
"Hua ha ha...! Kau tak dapat membujukku, Manis! Terimalah nasibmu! Kau merupakan pelancar bagi jalanku untuk mendapatkan ajian itu...." Sambil tertawa terbahak-bahak, Datuk Raja Beracun mengangkat kedua tangannya yang menggenggam gagang golok besar itu. Matanya yang merah, semakin berkilat membara dan kelihatan sangat buas.
"Tidaaak...!" Jariah menjerit sekuat tenaga. Rasa takut kian mendera jiwanya.
Matanya yang lentik itu, membuka lebar ketakutan, menatap mata golok besar dan tajam yang telah terangkat.
"Hua ha ha...!" Dengan tertawa terbahak-bahak, Datuk Raja Beracun mengayunkan golok besarnya.
Wut! "Tidak! Jangan...!" teriak Jariah menghiba dengan menggeleng-gelengkan kepala.
Namun golok besar di tangan Datuk Raja Beracun telah melesat cepat.
Dan... Crab! "Akh...!" Kepala gadis cantik itu seketika terpenggal putus dari lehernya. Darah segar mengalir membasahi altar batu. Kepalanya terpental dan jatuh di lantai goa.
Tanpa merasa jijik ataupun iba, Datuk Raja Beracun segera membasuh wajah dengan darah yang keluar dari leher Jariah.
"Hua ha ha...! Guru, terimalah persembahanku! Ini adalah tumbal yang ketiga. Empat kali lagi, maka aku akan menjadi orang yang sangat sakti, tak tertandingi oleh siapa pun! Hua ha ha...!" Sambil tertawa-tawa seperti orang gila, Datuk Raja Beracun terus membasuh wajahnya dengan darah Jariah. Setelah itu dengan bengis lelaki tua itu menghujamkan jemarinya yang berkuku tajam ke dada korbannya.
"Hih...!" Crab! Bagaikan terbuat dari baja, jari-jari tangan Datuk Raja Beracun mampu merobek dada mayat itu.
Kemudian tanpa belas kasihan, dicabik-cabiknya dada Jariah. Dan ketika tampak jantungnya, dengan buas dicabutnya.
"Hih...!" Bret! "Hua ha ha...!" Sambil tertawa-tawa, dimakannya jantung segar gadis itu dengan lahap.
"Nyem..., nyem...! Hua ha ha...!" Bagaikan orang gila, Datuk Raja Beracun tertawa-tawa. Seolah-olah hatinya merasa senang atas apa yang habis diperbuatnya. Jantung gadis itu habis tak tersisa sedikit pun, dimakan dengan sangat lahapnya.
Setelah selesai melampiaskan kepuasannya, Datuk Raja Beracun segera mengambil potongan kepala Jariah. Kemudian dengan cepat membuka ikatan di kedua tangan dan kaki gadis itu. Setelah ikatan lepas, tanpa mengenai jijik dan iba, dipanggulnya mayat gadis malang itu.
"Hua ha ha...!" Sambil masih tertawa-tawa, Datuk Raja Beracun segera melesat meninggalkan goa tempatnya bersembunyi. Lelaki tua itu terus berlari menuruni Gunung Welirang, menembus kegelapan malam.

***



«¦::::::¦ 8 ¦::::::¦»

Desa Karang Bale kembali digemparkan dengan hilangnya seorang gadis. Kali ini tidak tanggung-tanggung lagi, anak Ki Lurah Sentana yang menjadi korban penculikan. Hal itu membuat Kepala Desa Karang Bale semakin bertambah marah.
Selain penculikan itu yang membuat Ki Lurah Sentana merasa terhina ketika di depan rumahnya tergeletak sesosok mayat perempuan yang tak dikenal. Keadaan mayat itu sangat mengerikan. Dadanya tercabik-cabik dan kepalanya terpisah dari tubuh. Namun jelas mayat itu bukan warga Desa Karang Bale.
"Biadab! Datuk Raja Beracun benar-benar biadab! Kita tak bisa berdiam diri dengan kejadian-kejadian seperti ini!" maki Ki Lurah Sentana geram.
"Kita harus mencarinya, Kakang! Biarlah aku dan Lima Walang Sakti yang akan mencari datuk keparat itu!" Ki Tunjung Melur pun kelihatan sangat gusar.
Bagaimanapun Wirani kemenakannya sendiri. Kemenakan tidak ubahnya anak. Siapa pun orangnya, akan marah jika kemenakan atau anaknya diculik, apalagi dijadikan korban secara biadab.
"Licik! Dia benar-benar licik. Tentunya dia sengaja menaruh mayat gadis ini di rumahku, dengan harapan kita dapat diadu domba!" gerutu Ki Lurah Sentana. Gigigiginya saling gemerutukkan menahan amarah. Tangannya mengepal, kemudian meninju-ninju telapak tangan kirinya.
"Kakang, aku akan mencarinya," ujar Ki Tunjung Melur.
"Benar, Ki Lurah. Izinkan kami mencari datuk keparat itu!" geram Walang Kejer, selaku orang tertua di antara Lima Walang Sakti.
"Tapi, Pendekar Gila sedang mencarinya."
"Kita tidak bisa hanya menunggu Pendekar Gila, Kakang. Datuk Raja Beracun bukanlah orang sembarangan. Siapa tahu Pendekar Gila mengalami kematian di tangannya," selak Tunjung Melur. Kelihatannya kepercayaan Tunjung Melur pada Pendekar Gila agak menyusut. Hal itu dikarenakan kemarahan yang tak terbendung lagi, setelah kemenakannya diculik.
"Jangan berkata begitu, Adi Tunjung Melur!" bentak Ki Lurah Sentana. Kepala desa itu, tampaknya tak senang kalau adiknya merendahkan dan tak mempercayai itikad baik Pendekar Gila.
"Aku tahu gurunya."
"Apakah guru dan murid selalu sama, Kakang?" bantah Tunjung Melur sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Mungkin Singo Edan memang orang yang mementingkan darma. Tetapi muridnya, kita belum tahu pasti."
"Diam! Tak sepantasnya kau menuduh murid Singo Edan seperti itu, Tunjung Melur!" sentak Ki Lurah Sentana tak senang.
Matanya menatap tajam wajah adiknya yang seketika menundukkan kepala, tak berani mengadu pandang dengan kakaknya.
Sesaat mereka diam, tak seorang pun yang berani membuat mulut. Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Tunjung Melur tampak gelisah. Entah apa yang menjadikan hatinya tak tenang. Bahkan sekilas kelihatannya merasa cemas. Seakan ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. Seperti ada suatu rahasia tersimpan di hatinya, yang tak seorang pun tahu.
"Datuk Raja Beracun keparat..! Kubunuh kau jika kutemui!" geram Ki Tunjung Melur dalam hati. Dihelanya napas dalam-dalam. Gigi-giginya saling beradu menahan kemarahan.
"Kakang, izinkan kami mencari Datuk Raja Beracun!" pinta Ki Tunjung Melur setengah mendesak. Hati lelaki setengah baya itu sudah tak sabar ingin segera berangkat bersama Lima Walang Sakti untuk menyelamatkan Wirani.
Ki Lurah Sentana terdiam. Hatinya merasa bimbang untuk memutuskan permintaan adiknya.
Bagaimanapun Datuk Raja Beracun bukanlah tokoh sembarangan. Dia mendapat gelar datuk, tentu karena berilmu tinggi. Mungkinkah Tunjung Melur dan Lima Walang Sakti mampu menghadapi Datuk Raja Beracun" Tanya Ki Lurah Sentana dalam hati, khawatir kalau-kalau adiknya dan Lima Walang Sakti yang menyokong kekuatan dan keamanan desa akan kalah. Bukankah itu merupakan usaha sia-sia"
"Kalau memang mau mencarinya, bawa beberapa warga," ujar Ki Lurah Sentana menyarankan.
"Jika terjadi apa-apa pada kalian, usahakan salah satu bisa menyelamatkan diri untuk melapor padaku."
"Baiklah, Kakang." Setelah mempersiapkan segala sesuatu, Ki Tunjung Melur bersama Lima Walang Sakti dan sepuluh warga desa pergi meninggalkan Desa Karang Bale.

***

Sementara itu, Pendekar Gila yang mengejar Sepasang Banteng Kuning, kini telah sampai di sebelah selatan Desa Gegeran. Dilihatnya tadi kedua orang utusan Datuk Raja Beracun itu berlari ke selatan melalui Desa Gegeran.
Sinar mentari pagi terasa mulai menghangatkan.
Dan angin berhembus membelai rambut Pendekar Gila yang terikat kulit ular.
Pemuda tampan berambut gondrong itu tampak menggaruk-garuk kepala.
Sementara mulutnya terdengar menyenandungkan nyanyian riang, sambil sekali cengengesan. Sebentar kemudian wajahnya mendongak, memandang langit biru.
"Ah ah ah, mengapa aku begitu tolol" Mengejar dua ekor tikus saja tak becus," gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kakinya terus menelusuri jalan utama Desa Gegeran yang cukup ramai orang hilir mudik berjalan kaki. Semua orang yang berpapasan dengan Pendekar Gila, seketika menghentikan langkah dan memperhatikan dengan kening berkerut Banyak di antara mereka yang iba melihat pemuda gila itu yang bernyanyi-nyanyi dan cengengesan di jalanan. Namun ada juga yang tertawa merasa lucu menyaksikan tingkah laku Sena yang konyol, persis orang gila.
"Kasihan ya, pemuda setampan dia harus gila." Salah seorang bergumam dengan mata memandang tak berkedip penuh iba pada Pendekar Gila yang terus cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Iya ya" Kasihan sekali. Kalau saja tak gila, aku mau menjadi orangtuanya," sahut temannya yang bertubuh gemuk dengan pakaian seperti seorang juragan.
Kepala lelaki gemuk dan agak pendek itu menggeleng-geleng.
Pendekar Gila yang mendengar pembicaraan kedua lelaki itu hanya tersenyum. Kakinya terus melangkah menyelusuri jalanan di Desa Gegeran untuk mencari kedai, guna mengisi perutnya yang lapar.
Tak lama kemudian, Pendekar Gila menemukan sebuah kedai yang pagi itu nampak sudah ramai. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada dua lelaki berpakaian kuning lengan panjang dengan punggung tersandang pedang.
"Aha, rupanya mereka ada di sini," gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan tingkah lakunya yang konyol, Sena melangkah menuju pintu kedai.
Dua orang lelaki yang tak lain Banteng Kuning, masih tenang ngobrol. Keduanya tak menduga kalau Pendekar Gila yang mengejar mereka telah sampai di Desa Gegeran.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian! Mengapa kalian ada di sini?" tanya Sena sambil cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Pertanyaan lucu Pendekar Gila itu membuat para pengunjung kedai, termasuk Sepasang Banteng Kuning menoleh ke pintu kedai.
"Pendekar Gila...!" pekik Sepasang Banteng Kuning hampir bersamaan. Mata mereka terbelalak kaget, tak menyangka kalau Pendekar Gila telah sampai di kedai itu.
"Apa"! Dia Pendekar Gila...!" Suara ramai para pengunjung kedai terkejut setelah tahu kalau pemuda bertingkah laku konyol dan persis orang gila itu, ternyata Pendekar Gila.
Orang-orang memang sering mendengar sebutan pemuda itu. Namun tak akan pernah menyangka, kalau mereka bakal melihat tampang Pendekar Gila yang sesungguh nya.
"Hi hi hi...! Kuharap semuanya tenang. Aku hanya ingin menangkap kedua tikus tolol itu," ujar Sena berusaha menenangkan pengunjung kedai yang riuh setelah tahu kehadirannya.
"Cuih! Jangan kau kira mudah menangkap kami, Pendekar Gila! Kami bukan bocah yang gampang digertak olehmu!" dengus Pulut sengit.
"Aha, kurasa memang kalian bukan anak kecil.
Tetapi tikus-tikus tolol," ledek Pendekar Gila sambil tertawa terbahak-bahak yang menjadikan Sepasang Banteng Kuning semakin geram dan marah.
"Kurang ajar! Kuremukkan kepalamu, Pendekar Gila!"
"Kusobek mulutmu yang besar itu, Bocah Edan!" Sepasang Banteng Kuning seketika melesat menyerang Pendekar Gila. Keduanya dengan cepat mencabut pedang dan langsung menggempur dengan tusukan dan babatan dalam jurus 'Sepasang Tanduk Merobek Gunung'.
"Hea...!" Srt! Wrt! "Haits! Hea...!" Dengan cepat Pendekar Gila mencelat keluar, mengelakkan tusukan pedang kedua lawannya yang masih memburu. Nampaknya Sepasang Banteng Kuning, tak mau membuang-buang waktu percuma.
Mereka berusaha secepatnya membereskan Pendekar Gila. Hal itu tampak jelas dari serangan keduanya yang langsung menggebrak dengan jurus-jurus andalan.
"Hea!" Wret! Wret! "Mau lari ke mana kau, Bocah Edan!" sentak Pulut sambil terus memburu tubuh Pendekar Gila dengan sabetan dan tusukan pedangnya.
"Hi hi hi...! Kurasa justru akulah yang bertanya pada kalian. Hendak lari ke mana lagi setelah seharian kalian kabur?" sahut Pendekar Gila sambil melompat ke sana kemari menghindari tebasan pedang lawan.
"Kurang ajar! Hea...!" Sepasang Banteng Kuning segera menambah kecepatan babatan pedang mereka dari dua arah.
Namun dengan gerakan aneh, Pendekar Gila mampu mengelak dari serangan. Tubuhnya dibungkukkan ke bawah serendah mungkin. Kemudian kedua tangannya yang terlepas dihantamkan ke kanan dan ke kiri, mencoba membalas serangan lawan.
Wrt! Degk! "Ukh!" Sepasang Banteng Kuning melenguh tertahan. Kedua lelaki berpakaian kuning itu menyurut mundur tiga tindak, setelah terkena pukulan Pendekar Gila. Perut mereka terasa sangat mual. Mata tajam mereka menatap nanar pada Pendekar Gila yang berjingkrakan seperti kera sambil tertawa terbahak-bahak. Sedangkan tangan kanannya menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha...! Lucu sekali...! Lucu sekali kalian!" gumam Sena sambil terus menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar!" dengus Pulut sengit.
"Kubunuh kau, Bocah Edan!" maki Wungul.
"Hea!" Sepasang Banteng Kuning kembali menggebrak dengan ganas. Pedang mereka kembali bergerak membabat dan menusuk dari dua arah. Pulut menyerang dari depan, sedangkan Wungul dari belakang.
"Hi hi hi...!" Dengan cekikikan, Sena segera membuka jurusnya yang dinamakan 'Kera Gila Meledek Ular'.
Gerakannya persis seekor kera gila. Kedua tangannya menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat.
Mulutnya dimonyong-monyongkan, yang membuat kemarahan kedua lawan semakin menggelegak.
"Hea!" Dengan penuh amarah, Sepasang Banteng Kuning bergerak cepat menyerang dengan sabetan dan tusukan pedang, Namun dengan gerakan yang konyol, Pendekar Gila menghindari serangan itu.
Bahkan dengan cepat kaki kanannya menyapu berputar sambil jongkok.
"Hea!" Wrt! Sepasang Banteng Kuning yang tak menduga sama sekali akan mendapat serangan dengan gerakan seperti itu, tersentak kaget. Keduanya berusaha mengelak dari sambaran kaki lawan. Namun ternyata sambaran kaki Pendekar Gila lebih cepat. Tanpa ampun lagi..., Wret! Bruk! Bluk! "Aduh...!" kedua lelaki berpakaian kuning terpekik kesakitan. Tubuh mereka langsung jatuh tertunduk dengan mulut meringis. Sedangkan Pendekar Gila kembali berjingkrakan sambil tertawa cekikikan.
Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu, keheranan melihat tingkah laku Pendekar Gila. Mereka hampir tak percaya, kalau jurus-jurus Pendekar yang seperti bercanda dan main-main, ternyata mampu menjatuhkan kedua lawan dalam sekali gebrakan saja.
"Ck ck ck...! Hebat sekali!" gumam pemilik kedai.
"Ya! Ternyata nama Pendekar Gila bukan nama kosong," sambut seorang pengunjung kedai sambil menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat Pendekar Gila.
Pendekar Gila masih cengengesan dengan tingkah lakunya yang konyol. Dengan langkah perlahan Pendekar Gila menghampiri kedua lelaki berpakaian kuning yang masih meringis-ringis kesakitan. Pulut dan Wungul merasa ketakutan ketika lawannya mendatangi mereka.
"Ampun, jangan bunuh kami!" ratap Pulut mengiba.
"Benar. Ampunilah selembar nyawa kami ini!" tambah Wungul penuh harap.
"Aha, mengapa kalian seperti bocah kecil" Bukankah tadi kalian mengatakan bukan bocah lagi?" tanya Sena dengan cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang tajam wajah Sepasang Banteng Kuning, yang semakin ketakutan melihat tingkah laku Pendekar Gila.
"Ampunilah kami!" pinta Pulut "Hi hi hi...! Baiklah, kalian kuampuni, asal katakan siapa yang menyuruh kalian" Lalu apa yang sebenarnya kalian lakukan?" tanya Pendekar Gila.
Kedua lelaki berpakaian kuning itu, saling pandang seperti kebingungan. Ada sesuatu yang ditakutkan oleh mereka.
Pendekar Gila yang melihat keduanya nampak enggan menjawab pertanyaannya, dengan keras membentak.
"Katakan! Atau kalian kukirim ke neraka, heh"!"
"Ampun..., jangan! Ba... baik, akan kami katakan," jawab Pulut dengan kedua telapak tangan di letakkan di kepala, Wajahnya masih menggambarkan rasa takut.
"Kami sebenarnya bukan diperintah Datuk Raja Beracun."
"Aha, rupanya kalian bosan hidup. Hi hi hi...! Kalian mau membohongiku. Bukankah kalian menyebut sendiri nama Datuk Raja Beracun ketika di Desa Serotan?" tanya Sena tegas.
"Sungguh, kami tidak berbohong. Semua kami lakukan hanya untuk memancing Tuan Pendekar," tutur Wungul.
"Kami sebenarnya diperintah oleh Tunju...!" Belum juga selesai ucapan Wungul, tiba-tiba....
Swing! Swing! Beberapa senjata rahasia berbentuk bintang melesat dari kejauhan. Desingan keras terdengar. Dengan cepat Pendekar Gila melentingkan tubuh ke atas sambil menjulurkan tangan.
"Hea!" Trep! Trep! Pendekar Gila selamat dari terjangan senjata rahasia itu. Bahkan tangannya berhasil menangkap empat buah. Namun, Sepasang Banteng Kuning tampaknya tak mampu bergerak menghindar. Di samping luncuran senjata rahasia itu begitu cepat tubuh mereka yang tertendang Pendekar Gila terasa masih sakit. Sehingga sulit untuk bergerak. Maka...
Jlep! Jlep! "Akh...!" Pendekar Gila tersentak kaget, mendengar jeritan kematian itu. Namun dirinya tetap tak sempat menolong. Tubuh keduanya seketika ambruk, dengan darah hitam meleleh dari mulut. Namun, sebelum mati, Pulut masih sempat berbisik menyebutkan nama seseorang.
"Tunjung... Me... Lur. Akh...!"
"Tunjung Melur...?" gumam Sena dengan mulut nyengir sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya tak mengerti, mengapa Sepasang Banteng Kuning menyebut nama adik Kepala Desa Karang Bale.
"Hm, apa sebenarnya yang dikehendaki Ki Tunjung Melur, sehingga dia memerintah Sepasang Banteng Kuning dengan menyebarkan Datuk Raja Beracun?" gumam Sena bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Gila segera melesat meninggalkan Desa Gegeran. Orang-orang di depan kedai itu tersentak keheranan melihat gerakan Pendekar Gila. Beberapa orang bahkan ada yang mengusap-usap mata, seakan tak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Dalam sekejap saja mata mereka sudah tak mampu melihat sosok tubuh Pendekar Gila.
Nampaknya Pendekar Gila sengaja tak mengejar orang yang telah membunuh Sepasang Banteng Kuning. Dia sengaja lari menuju Desa Karang Bale, untuk menanyakan pada Ki Lurah Sentana tentang Ki Tunjung Melur.

***



«¦::::::¦ 9 ¦::::::¦»

Pendekar Gila yang berlari menuju Desa Karang Bale kini tengah melewati kaki Gunung Welirang. Tiba-tiba langkahnya terhenti, ketika sayup-sayup terdengar suara rintihan seorang gadis yang entah berasal dari mana. Dengan menggunakan ajian 'Pembeda Rungu' Pendekar Gila berusaha memperjelas pendengarannya terhadap suara rintihan itu.
Suara itu tampaknya memang jauh dari tempatnya kini berdiri.
"Ayah..., di mana aku..." Hu hu hu...!"
"Aha, suara manusiakah?" tanya Sena tertegun, setelah jelas sekali suara seorang wanita menangis.
Keningnya berkerut. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Dari mana suara itu berasal?"
"Hu hu hu...! Ayah, Wirani takut...." Suara itu kembali terdengar. Kini menyebut namanya yang menjadikan Pendekar Gila membelalakkan mata.
"Wirani...?" gumamnya lirih.
"Ah, bukankah gadis itu anak Ki Lurah Sentana?" Pendekar Gila yang semula hendak pergi ke Desa Karang Bale, kini mengurungkan niatnya. Dia kini berusaha mencari asal suara tangisan gadis yang menyebut dirinya Wirani. Sekeliling Gunung Welirang dijelajahi, sampai akhirnya Pendekar Gila melihat sebuah goa.
Sesaat Pendekar Gila bimbang. Dipasang pendengarannya dengan tajam. Dari dalam, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
"Manusia lancang mana yang berani datang ke tempatku"!"
"Hua ha ha...! Dari suaramu, tentunya kau Datuk Raja Beracun. Aha, kebetulan sekali!" sahut Pendekar Gila berseru.
"Kebetulan sekali. Datuk dungu, keluar kau!" Mendengar seruan Pendekar Gila, Datuk Raja Beracun seketika melesat ke luar.
Matanya membelalak, ketika tahu siapa yang datang ke tempatnya.
"Kau"!"
"Hi hi hi...! Kenapa kau kaget, Datuk Iblis"! Dosamu sungguh tak terampuni!" dengus Pendekar Gila. Mulutnya masih cengengesan, tapi dilihat dari sorot matanya yang tajam, jelas Pendekar Gila saat itu benarbenar marah.
"Cuih! Berani sekali kau berkata begitu di hadapan Datuk Raja Beracun, Bocah Edan!" bentak Datuk Raja Beracun dengan geram, karena merasa Pendekar Gila selalu ikut campur dengan urusannya.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Datuk Tolol! Mengapa tak berani" Jangankan aku, kebo-kebo dungu saja berani mengentutimu. Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepalanya. Mulutnya dimonyongkan ke depan.
Dan....
"Brut...! Hua ha ha...!" Terdengar suara seperti bunyi kentut dari mulut Pendekar Gila.
Datuk Raja Beracun marah bukan main diejek begitu rupa. Matanya yang merah, semakin membara, menatap tajam penuh kebencian pada Pendekar Gila.
Gigi-giginya saling gemerutuk menahan amarah yang ditahan.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah Edan! Kuremukkan batok kepalamu! Heaaa...!" Dengan penuh ancaman, Datuk Raja Beracun melesat melakukan serangan dengan jurus 'Kala Hitam Menyengat'. Jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan mengandung racun, bergerak mencengkeram dan menusuk ke dada Pendekar Gila.
Dari gerakan kedua tangannya, keluar asap hitam yang mengandung racun.
Wrt! Wrrrt! "Uts! He he he...!" Dengan mulut cengengesan, Pendekar Gila segera merenggangkan kaki kanannya sambil membungkuk. Kemudian dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', diladeninya serangan Datuk Raja Beracun.
Tubuh Pendekar Gila yang meliuk-liuk, kelihatan sangat pelan dan lambat. Namun serangan-serangan maut yang dilancarkan Datuk Raja Beracun, tak mampu mengenai sasarannya. Hal itu menjadikan Datuk Raja Beracun semakin bertambah penasaran, menyangka kalau dengan gerakan seperti itu Pendekar Gila tak akan mampu lepas dari serangannya.
"Kau akan mampus, Bocah Edan! Hea...!" Datuk Raja Beracun merasa akan dapat mengalahkan Pendekar Gila jika menambah kecepatan serangannya. Maka segera dirinya bergerak semakin cepat. Tangannya susul-menyusul mencengkeram ke tubuh Pendekar Gila. Namun setiap kali serangan datang, dengan gerakan aneh Pendekar Gila berkelit. Serangan Datuk Raja Beracun pun dapat dielakkannya. Hal itu tentu saja membuat Datuk Raja Beracun semakin penasaran.
"Kurang ajar! Rupanya kau bukan bocah sembarangan! Tapi, kau tak akan lepas dari Datuk Raja Beracun! Terimalah seranganku ini, 'Lipan Melentik Racun'. Heaaa...!"
"Aha, kurasa jurusmu masih kurang lincah, Datuk Iblis!" ejek Pendekar Gila dengan maksud membakar amarah lawan. Dan rupanya Datuk Raja Beracun terpancing.
Serangannya semakin bertambah dahsyat dan cepat. Bukan hanya tangannya yang bergerak menyerang, tetapi kedua kakinya pun turut bergerak menyapu dan menendang. Menghadapi serangan gencar dan mematikan seperti itu, Pendekar Gila tak kelihatan gugup atau ketakutan. Bahkan dengan cengengesan, pemuda itu segera merubah jurus. Kini dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan', Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya bergerak memutar, menangkis serangan lawan. Gerakan itu sangat aneh.
Meski kelihatannya Pendekar Gila tak melihat gerakan jurus lawannya, tetapi setiap gerakan lawan menyerang dapat ditangkap.
"Heaaa...!" Datuk Raja Beracun mengibaskan kaki kanannya, menendang punggung lawan. Namun dengan tubuh masih berputar, Pendekar Gila dengan cepat menggerakkan tangan kiri ke belakang. Lalu tubuhnya berbalik, disusul dengan tepukan telapak tangan kanan ke dada Datuk Raja Beracun "Yeaaa...!" Wuuut! "Heh"!" Datuk Raja Beracun tersentak kaget, tak menyangka kalau dirinya akan mendapat serangan balasan. Dengan cepat ditangkisnya serangan itu dengan tangan kiri.
Plak! "Ukh!" Datuk Raja Beracun terpekik kaget. Tubuhnya terdorong tiga langkah ke belakang.
Matanya terbelalak kaget, tak percaya kalau tenaga dalam bocah gila yang menjadi lawannya sangat tinggi.
Tangannya yang berbenturan dengan telapak tangan Pendekar Gila, dirasakan berdenyut-denyut sakit.
Bahkan sepertinya tulang pergelangan tangannya retak.
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa cekikikan, tangannya menggaruk-garuk kepala. Nampaknya pemuda itu tak mengalami luka. Melihat sikap lawannya, Datuk Raja Beracun semakin keheranan. Padahal serangan yang dilancarkan tadi disertai dengan pengerahan kekuatan racun 'Menjangan Merah', salah satu racun dahsyat. Namun pemuda gila itu tak mengalami kesakitan. Sepertinya Pendekar Gila kebal terhadap segala macam jenis racun.
Datuk Raja Beracun tak tahu, kalau Pendekar Gila memang kebal terhadap segala macam jenis racun.
Hal itu disebabkan Racun Kabut Ungu dan Darah Ular Putih yang telah menyatu di dalam tubuhnya. Dua racun itu, selama ini belum ada tandingannya. Kedua racun itu pun melindungi Pendekar Gila dari segala macam racun yang menyerang (Mengenai kedua racun itu, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Suling Naga Sakti" dan "Titisan Dewi Kwan Im").
"Heh"! Kau kebal terhadap racunku...?" desis Datuk Raja Beracun dengan mata terbelalak, menyaksikan Pendekar Gila tak mempan racun ganasnya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Datuk Iblis! Kurasa kau tak pantas bergelar Datuk Raja Beracun. Kau lebih cocok bergelar Datuk Raja Tolol!" ejek Sena terus berusaha membangkitkan amarah Datuk Raja Beracun.
"Cuih! Jangan kira kau telah menang, Bocah Edan! Kau kebal terhadap racun, tapi belum tentu mampu mengalahkanku!" dengus Datuk Raja Beracun sengit. Matanya semakin merah membara.
Kakinya melangkah dua tindak ke belakang, kemudian membuka jurus baru yang bernama 'Kelabang Petir'.
"Hi hi hi...!" Dengan tertawa cekikikan sambil menggarukgaruk kepala, Pendekar Gila pun segera membuka jurus 'Kera Gila Meledek Ular'.
Gerakannya seperti seekor kera yang sedang menggoda ular, dengan harapan ular yang diledeknya akan marah. Pantatnya ditunggingkan ke depan Datuk Raja Beracun, sambil dielus-elus dengan tangan kiri. Kemudian dari mulutnya terdengar suara.
"Duuut...! Hua ha ha...!" Datuk Raja Beracun benar-benar bertambah marah diperlakukan seperti itu. Dengan menggeram laksana seekor harimau, Datuk Raja Beracun melompat menyerang.
"Ghrrr! Heaaa...!" Kaki Datuk Raja Beracun berjingkat-jingkat aneh.
Namun jingkrakannya sangat cepat. Kemudian tanpa diduga, tiba-tiba tangannya hampir mencakar wajah Pendekar Gila.
"Uts! Hampir saja! He he he...!" Dengan cepat Pendekar Gila berguling di tanah mengelakkan serangan pertama. Namun kaki Datuk Raja Beracun tiba-tiba telah menendang ke tubuhnya yang berguling.
"Remuk igamu! Heaaa...!" Wrt! "Celaka!" Pendekar Gila kaget, tak menyangka serangan kedua akan datang begitu cepat.
Tubuhnya segera berguling ke samping kiri dan tangannya bergerak menangkap kaki kanan sang Datuk yang hendak menendang iganya.
Trep! "Hih!" Datuk Raja Beracun berusaha menekan kakinya agar dapat menginjak dada lawan.
Namun dengan cepat kaki kiri Pendekar Gila bergerak menendang ke perut Datuk Raja Beracun.
"Yeaaa...!"
"Haits! Hih...!" Datuk Raja Beracun memiringkan tubuh ke samping. Kemudian tangannya bergerak hendak menangkap kaki kiri lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila menarik kaki kirinya ke belakang. Disusul dengan tendangan kaki kanan.
Wrt! Datuk Raja Beracun yang sudah mata gelap, tak dapat mengelakkan serangan itu.
Dengan cepat tangan kanannya dihantamkan untuk menangkis kaki Sena.
Wrt! Plak! "Ukh!" Kembali Datuk Raja Beracun terpekik lirih.
Sekujur tangannya dirasakan gemetaran dan nyeri.
Seperti menghantam logam yang sangat kuat.
"Hih!" Datuk Raja Beracun berusaha melepaskan kaki kanannya dari cengkeraman tangan Pendekar Gila. Sementara tangannya bergerak mengambil sesuatu dari balik pakaiannya, kemudian ditebarkan ke muka Pendekar Gila.
"Aits! Hih...!" Dengan cepat Pendekar Gila melepaskan cengkeraman tangannya, sambil berguling ke samping. Lalu dengan cepat bangkit berdiri dan melenting ke atas. Setelah bersalto beberapa kali di udara, dengan menggunakan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Mangsa' Pendekar Gila melancarkan serangan cepat pada Datuk Raja Beracun.
"Heaaa...!" Wusss! Tendangan Pendekar Gila menerobos asap merah yang ditebarkan Datuk Raja Beracun.
Tak dapat dielakkan, tendangan itu menghantam dada Datuk Raja Beracun.
Wreeet! Dugk! "Ukh...!" Tubuh Datuk Raja Beracun terhuyung-huyung ke belakang. Dari sela bibirnya, meleleh darah segar.
Matanya yang tajam menatap garang pada Pendekar Gila.

***

Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara Datuk Raja Beracun hanya mampu menatap dengan hati jengkel. Dadanya tampak turun naik menahan kemarahan. Dibiarkan saja darah yang terus mengalir lewat bibirnya.
Gigigiginya saling beradu dan napasnya mendengus keras.
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya melompatlompat, seperti seekor kera yang kegirangan. Hal itu membuat kemarahan Datuk Raja Beracun semakin menggelegak. Dan tiba-tiba, dari mulut lelaki tua berpakaian abu-abu itu keluar suara keras mirip lolongan anjing hutan.
"Ghrrr! Auuu...!" Bersamaan dengan suara lolongan itu, Datuk Raja Beracun menjatuhkan tubuh lalu bergulingan ke belakang. Dan saat itu pula, wujudnya berubah menjadi sesosok serigala besar berwarna hitam. Mata binatang itu tampak menyala buas, menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih diliputi perasaan terkejut.
"Heh"!" Pendekar Gila menyurut mundur dua tindak.
Matanya membelalak kaget. Namun kemudian muncul sikap khasnya yang konyol.
"Hi hi hi...! Lucu sekali! Kenapa kau mau menakut-nakuti aku dengan barongan seperti itu?"
"Ghrrr! Auuu...!" Lolongan keras serigala hitam jelmaan Datuk Raja Beracun itu terasa menggetarkan. Bahkan dedaunan di sekitar tempat itu bergetar hebat. Dan pada saat itu pula, dari dalam goa muncul lima orang lelaki gagah. Semua menatap wajah Pendekar Gila yang cengengesan.
"Heh"!" Pendekar Gila tersentak kaget Matanya terbelalak dengan mulut melongo.
Lima lelaki berpakaian biru mengkilap itu ternyata Lima Walang Sakti "Kalian" Ah ah ah, aneh sekali! Kurasa ada yang tak beres."
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Kau benar-benar telah turut campur dengan urusan kami!" suara parau itu terdengar dan mulut serigala hitam itu.
"Bunuh dia! Dia telah tahu semua tentang kita!"
"Aha, kurasa kini kalianlah yang telah membuka kedok kalian sendiri. Rupanya di balik kebaikan kalian, tersembunyi sifat tamak dan keji!" ujar Pendekar Gila sambil tertawa-tawa, tak merasa takut sedikit pun menghadapi Lima Walang Sakti dan serigala jejadian itu.
"Kurang ajar! Bungkam mulutnya!" Kembali serigala jejadian itu berseru memerintah, yang dengan segera dikerjakan Lima Walang Sakti.
"Heaaa...!" Dengan jurus 'Paduan Walang Merambah Hutan' Lima Walang Sakti langsung merangsek Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka bergerak cepat, membabat, dan menusuk tubuh Pendekar Gila dengan cepat dari segala arah.
"Heaaa...!" Wrt! Wut! Dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan kelima lawannya.
Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan menari, sambil sesekali menyerang dengan telapak tangannya ke tubuh lawan.
"Heaaa...!"
"Hea...!" Lima Walang Sakti ternyata bukan orang sembarangan. Apalagi di tangan mereka tergenggam pedang. Hal itu cukup membuat Pendekar Gila harus menguras tenaga. Tubuhnya terus bergerak meliukliuk, mengelakkan serangan yang datangnya susul-menyusul.
"Aha, kalau aku begini terus, kurasa sia-sia tenagaku," gumam Sena sambil terus bergerak merundukkan tubuh, ketika pedang lawan berkelebat cepat membabat ke kepalanya. Namun segera mendoyongkan tubuh ke samping, ketika serangan susulan datang dari depan.
Pendekar Gila yang tak ingin menganggap remeh lawan-lawannya, kini segera mencabut senjata saktinya yang berupa suling berkepala naga. Apalagi ketika melihat serigala jejadian itu melompat masuk ke dalam goa. Dengan cepat Sena melemparkan Suling Naga Saktinya.
"Aha, mau ke mana kau, Serigala Tolol"! Hih...!" Wsss! Suling Naga Sakti melesat ke udara, kemudian jatuh tepat di depan mulut goa.
Saat itu pula, dari Suling Naga Sakti keluar asap tebal berwarna putih.
Kemudian samar-samar muncul sesosok bayangan dari kepulan asap. Setelah asap putih itu hilang, nampaklah sosok ular naga besar berwarna kuning emas.
Wsss! "Ghrrr...!" Serigala jejadian tersentak kaget. Binatang itu mengurungkan langkahnya masuk, karena pintu goa tertutup sosok tubuh panjang dan besar. Mata serigala bertubuh besar itu memandang penuh amarah. Naga Sakti pun melakukan hal sama. Dari mulut keduanya keluar desisan keras dan lolongan menggelegar membahana.
Serigala jejadian itu segera melesat menubruk ke Naga Sakti. Pertarungan kedua binatang sakti itu tak terelakkan. Keduanya saling gulat dan cakar, berusaha membunuh satu sama lain.
Melihat Naga Sakti kini telah menghadapi serigala hitam jelmaan Datuk Raja Beracun, Pendekar Gila pun dengan tertawa terbahak-bahak terus meladeni Lima Walang Sakti. Dengan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa' tubuh Pendekar Gila berkelebat di udara, mengelitkan babatan dan tusukan pedang lawan. Kakinya turut bergerak, menjejak dan menendang kepala lawan.
"Aha, lucu sekali kepala kalian!" seru Sena sambil menjejakkan kakinya ke kepala Walang Kerik, yang menyerangnya dengan penuh nafsu.
Degk! "Waduh...!" Walang Kerik menjerit kesakitan. Kepalanya yang dijejak, bagaikan ditindih batu seberat tubuhnya.
Sehingga kepalanya terasa sangat pening. Tubuh Walang Kerik, nampak sempoyongan seperti menahan beban yang sangat berat. kemudian tubuhnya ambruk pingsan.
Pendekar Gila tertawa cekikikan. Tubuhnya yang baru saja mendarat, langsung berjingkrak-jingkrak sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Walang Sakti yang lain semakin marah, merasa diledek dan diremehkan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila!" dengus Walang Kejer. Kemudian dengan menggerakkan tangan memerintah ketiga adik seperguruannya, melakukan serangan serentak pada Pendekar Gila dari empat arah.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...! Mampus kau, Pendekar Gila...!" Melihat keempat lawan dengan ganas menyerang, Pendekar Gila segera melompat ke atas.
Kemudian dengan enaknya hinggap di atas dahan pohon sambil tertawa terbahakbahak.
"Hua ha ha...! Aku di sini, mengapa kalian seperti orang kebingungan"!" seru Sena ketika melihat keempat lawan yang tengah mencari-cari dirinya.
"Kurang ajar! Pengecut! Turun kau"!" bentak Walang Keket sambil melesat melakukan serangan.
Tubuhnya melesat terbang bagaikan seekor belalang.
Pedang di tangannya siap membabat Pendekar Gila.
Namun dengan cepat, Pendekar Gila melompat sambil bersalto meninggalkan cabang pohon ara itu dan hinggap di pohon lain. Hal itu membuat Walang Keket kehilangan keseimbangan, sehingga menabrak cabang pohon.
Srak! Brak! "Ukh!" Tubuh Walang Keket melayang ke bawah, kemudian jatuh di tanah. Dadanya bolong tertancap sebatang tonggak kayu.
Kejadian itu membuat ketiga Walang Sakti semakin marah.
"Pengecut! Kalau kau benar seorang pendekar, turun dan hadapi kami!" tantang Walang Kejer.
"Aha, kurasa kalianlah yang pengecut. Kejarlah aku. Hi hi hi...!" Sambil tertawa cekikikan, Pendekar Gila menari-nari di atas sebatang cabang pohon besar. Lidahnya dijulur-julurkan, kemudian pantatnya ditepuk-tepuk meledek ketiga lawan agar marah.

***

Sementara itu, pertarungan antara Naga Sakti melawan serigala jejadian masih berlangsung seru Kedua binatang itu saling serang. Naga Sakti mulai dapat membelit tubuh lawan, yang terus berusaha mencakar dan menggigit. Naga Sakti pun tak mau kalah, kaki-kakinya yang juga berkuku tajam mencakar muka dan tubuh serigala siluman.
Tubuhnya berguling-guling dan meliuk sambil terus membelit serigala.
"Auuu...! Hrrr!" Serigala besar itu meraung-raung keras seakan-akan merasa kesakitan karena belitan ular naga.
Namun binatang jelmaan Datuk Raja Beracun itu tak peduli, terus berusaha mencakar dan menggigit tubuh Naga Sakti yang terus meringkus tubuhnya.
Sambil mendesis-desis keras, Naga Sakti pun berusaha mencakar dengan kukukukunya yang tajam dan kuat.
Tampaknya tak sia-sia yang dilakukan Naga Sakti.
Serigala bertubuh besar itu melolong keras ketika cakaran Naga Sakti mencabik wajah dan perutnya.
Darah tampak mengalir dari atas matanya yang menyala. Kedua binatang jelmaan itu terus bergulat mencakar, menggigit, dan bergulingan.
Keduanya terus berguling ke bawah, semakin jauh dari goa tempat pertarungan Pendekar Gila melawan Walang Sakti. Sementara itu, dari arah barat terdengar suara teriakan-teriakan orang penuh amarah.
"Itu mereka, Ki Lurah...!"
"Tangkap pengkhianat-pengkhianat itu...!" seru seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang ternyata Ki Lurah Sentana.
Tiga Walang Sakti yang sedang menunggu Pendekar Gila turun, kini nampak kebingungan.
Mereka hendak lari ke timur, tetapi tiba-tiba Pendekar Gila berteriak dengan suara keras menggelegar.
"Hua ha ha...! Mau lari ke mana, Tikus-Tikus Busuk"!" Tiga Walang Sakti tersentak kaget. Mereka semakin ketakutan, tak tahu harus berbuat apa.
Apalagi dari arah barat teriakan-teriakan warga Desa Karang Bale yang menyertai kepala desa tampak semakin dekat "Tangkap pengkhianat-pengkhianat itu...!" perintah Ki Lurah Sentana penuh amarah.
Warga Desa Karang Bale yang sudah marah karena tahu kalau semua kekacauan di desa mereka akibat tindakan Walang Sakti serta orang yang mengaku bernama Datuk Raja Beracun, segera mengepung ketiga Walang Sakti. Dalam keadaan terpepet, Tiga Walang Sakti tak dapat berbuat banyak menghadapi puluhan warga yang dibantu oleh Pendekar Gila. Dalam sekejap saja, Tiga Walang Sakti dapat dibantai oleh warga Desa Karang Bale.
Sementara itu, jauh di bawah sana, dua makhluk jelmaan masih terus bertarung.
Namun nampaknya serigala jejadian itu mulai kehabisan tenaga, karena belitan kuat Naga Sakti. Tulang-tulang tubuhnya, remuk oleh belitan itu.
"Auuu...!" Terdengar suara keras meraung, bersamaan dengan melayangnya nyawa serigala besar itu. Sesaat kemudian, Naga Sakti kembali berubah menjadi sebuah suling emas dan melesat ke tempat Pendekar Gila berada.
Wusss! "Aha, terima kasih!" Pendekar Gila segera menangkap Suling Naga Saktinya, kemudian diselipkan ke ikat pinggang. Sementara warga desa dan Ki Lurah Sentana yang tadi mendengar raungan keras, segera lari ke tempat asal suara itu, untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi.
Di bawah, di hutan yang mengelilingi kaki Gunung Welirang, tergeletak sesosok tubuh lelaki yang mengaku Datuk Raja Beracun. Warga desa langsung berlarian mendekati sosok tubuh berpakaian abu-abu itu. Tanpa ragu-ragu orang-orang segera mengangkat tubuh Datuk Raja Beracun untuk dibawa naik.
Setelah dibaringkan di tanah, Ki Lurah Sentana segera menghampiri mayat Datuk Raja Beracun. Tangannya tiba-tiba bergerak merenggut wajah mayat itu. Dengan keras, Kepala Desa itu menyentakkan kulit wajah mayat Datuk Raja Beracun.
Bret! "Hah"!" Pendekar Gila terkejut ketika melihat wajah Datuk Raja Beracun yang ternyata tertutup kedok kulit.
Matanya semakin terbelalak setelah tahu siapa sebenarnya datuk itu.
"Ah ah ah, mengapa jadi begini?" Ki Lurah Sentana tersenyum. Dipegangnya pundak Pendekar Gila perlahan.
"Aku pun tak pernah menduga, Sena. Namun salah seorang wargaku yang kutugaskan untuk menguntit gerak-gerik mereka akhirnya melapor, kalau Datuk Raja Beracun tiada lain Tunjung Melur.
Dia bukan adikku, dia sebenarnya pembunuh keji."
"Ah, pusing sekali, Ki. Kalau begitu, siapa dia sebenarnya?" tanya Sena kebingungan.
"Dia anak Ki Boleng, orang sesat yang sepuluh tahun silam pernah menggemparkan Desa Karang Bale dengan perbuatan kejinya," jawab Ki Lurah Sentana.
"Ah ah ah, aku masih bingung, Ki," sahut Sena.
"Baiklah..."
"Ayah!" Belum sempat Ki Lurah Sentana bertutur, tiba-tiba dari dalam goa terdengar suara berseru.
"Hei, Anakku..." Ki Lurah Sentana langsung memburu ke dalam diikuti Pendekar Gila. Dan mereka melihat Wirani dengan tubuh setengah telanjang, terikat pada batu besar. Pendekar Gila segera membantu membuka ikatan pada tangan Wirani.
"Oh, syukurlah! Kau masih dilindungi Hyang Widi." Wirani langsung memeluk ayahnya dan menangis.
"Hampir saja paman memperkosaku, Ayah," ujar Wirani di sela isak tangisnya.
"Kalau saja tak segera datang Kakang Sena, entah aku sudah bagaimana."
"Sudahlah, Anakku! Kau harus berterima kasih pada Sena. Dan perlu kau ketahui, kalau manusia iblis itu bukan pamanmu. Dia anak Ki Boleng," ujar Ki Lurah Sentana menjelaskan.
"Bagaimana Ayah tahu?" tanya Wirani.
"Nanti di rumah aku ceritakan," jawab Ki Lurah Sentana sambil membimbing anaknya keluar dari dalam goa.
Jubahnya dibuka, kemudian dikenakan ke tubuh Wirani.
"Sena, kuharap kau tak menolak untuk menginap di rumah! Akan kuceritakan siapa sebenarnya Datuk Raja Beracun yang mengaku Ki Tunjung Melur."
"Aha, baiklah, Ki. Rasanya aku pun tak bisa menolak ajakanmu," jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Dan ketika matanya melirik Wirani, gadis cantik anak Ki Lurah Sentana itu pun tengah memandang wajahnya.
Bibir gadis itu tersenyum kepada Pendekar Gila. Namun dengan cepat Sena berbisik dalam hati.
"Ingat, Sena! Mei Lie adalah segala-galanya bagimu. Jangan main api, nanti akan membakar hatimu! Mei Lie menanti dirimu, cintamu, serta kasih sayang yang tulus darimu." Sena tertawa terbahak-bahak, kemudian menggaruk-garuk kepala. Semua warga Desa Karang Bale yang tengah melangkah di kaki Gunung Welirang ter-sentak kaget. Mereka langsung menoleh ke wajah Pendekar Gila. Namun kemudian semua turut tertawa terbahak-bahak, memecah keheningan malam. Wirani tersipu-sipu. Pipinya merah merona.
Sesampainya di rumah, Ki Lurah Sentana mengajak Pendekar Gila dan anak gadisnya duduk-duduk di serambi depan. Kemudian kepala desa itu pun mulai bercerita tentang siapa sebenarnya Tunjung Melur.
"Suatu hari, tiga purnama yang lalu kami kedatangan seorang yang mengaku sebagai adikku," kata Ki Lurah Sentana memulai cerita.
"Karena aku memang mempunyai adik yang berpisah semenjak kecil, aku percaya kalau dia memang adikku." Ki Lurah Sentana menarik napas. Sementara Pendekar Gila dan Wirani masih diam mendengar penuturan Ki Lurah Sentana.
"Semenjak kedatangan Tunjung Melur, Desa Karang Bale memang semakin bertambah tenang.
Namun rupanya di balik semua kebaikan Tunjung Melur, tersembunyi dendam. Dendam karena ayahnya, Ki Boleng mati oleh Pendekar Gila dari Goa Setan yang tak lain Singo Edan.
Juga dendam terhadap warga Desa Karang Bale, yang telah membantu Singo Edan menyingkirkan ayahnya.
Suatu hari, Tunjung Melur pergi. Pulangnya membawa Lima Walang Sakti yang katanya teman-teman Tunjung Melur. Katanya, mereka ingin bekerja.
Ternyata Lima Walang Sakti itu, teman-teman Tunjung Melur yang juga hendak membuat kekacauan di Desa Karang Bale. Bahkan Tunjung Melur ingin meng-gulingkan diriku sebagai lurah di desa ini.
"Aku semula tak tahu maksud jahat Tunjung Melur. Sampai akhirnya, semenjak anak Ki Pardi ditemukan mati, aku mulai menyuruh Ki Sobrah untuk menyelidiki secara bersembunyi. Akhirnya diketahui, kalau dalang kejadian-kejadian ini tak lain Tunjung Melur. Lewat teman-teman Ki Sobrah, akhirnya didapat keterangan kalau Tunjung Melur ternyata anak Ki Boleng.
Karena merasa khawatir, kami segera memburu ke arah yang dituju Tunjung Melur.
Dia katanya hendak mencari Datuk Raja Beracun. Akhirnya, kami pun menemukannya." Begitulah kisah yang diceritakan kepala desa itu tentang Datuk Raja Beracun kepada Pendekar Gila.
"Ah ah ah, aku kini tahu. Hm, beruntung sekali kau masih dilindungi Hyang Widi, Wirani. Hi hi hi...! Kalau tidak, tentunya kau sudah menjadi makanan empuk datuk cabul itu," goda Pendekar Gila, yang membuat wajah Wirani bersemu merah. Mata gadis itu melirik wajah Pendekar Gila, kemudian tersipu malu sambil menundukkan kepala.
Ki Lurah Sentana turut tersenyum. Kemudian secara diam-diam kepala desa itu meninggalkan serambi rumah. Membiarkan Pendekar Gila dan anaknya berdua dalam kebisuan.
Sampai akhirnya Pendekar Gila dan Wirani tersenyum, setelah menyadari kalau Ki Lurah Sentana sengaja meninggalkan mereka berdua.

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Kemelut Di Karang Galuh --oo0oo-- Sepasang Maling Budiman


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.