Life is journey not a destinantion ...

Istana Durjana

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Bunga Neraka --oo0oo-- Susuk Ratu Setan



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: ISTANA DURJANA

Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


--| { 1 } |--

Malam ini langit tak menampakkan keindahannya. Jutaan bintang di angkasa tersaput gumpalan mega kelabu. Arakan awan tambun merayap tersendat memamerkan bentuknya yang menyebalkan, dan justru menghalangi keindahan yang mestinya terlihat.
Pada tanggal-tanggal seperti ini semestinya cakrawala bertabur cahaya bulan penuh. Sayangnya keharusan itu tak selamanya berlaku. Karena, bulan purnama bernasib sama dengan gugus gemintang.
Mungkin suasana itu sudah biasa bila terjadi pada setiap musim penghujan. Arakan awan pekat, udara dingin menggigit, gelap yang meraja, adalah hal biasa. Tapi, akan jadi tak biasa bila nyatanya suasana seperti sekarang ini justru terjadi pada musim-musim kering. Apakah ada yang tak beres dengan alam" Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya amat pantas dipertanyakan siapa pun dan oleh manusia dari mana pun.
Kecuali, seorang lelaki tua yang kini berjalan sendiri di satu dataran kerontang. Lelaki tua itu berambut amat panjang. Hitam bergelombang kasar. Ujung rambutnya hampir-hampir menyentuh betis. Seperti tidak ingin sedikit pun memperlihatkan wajahnya, rambut depannya dibiarkan menjuntai liar.
Wajah orang ini bisa dibilang mirip suasana malam. Dingin, penuh kegelapan. Sepertinya memang pancaran kehitaman jiwanya. Kulit wajahnya pucat, seakan darahnya telah terperah sekian puluh tahun lalu. Bibirnya kerontang, pecah-pecah seperti tanah di bawah kakinya. Malah, terlalu tipis untuk bisa dikatakan memiliki bibir. Sepasang matanya selalu melesatkan pandangan menikam. Besar dan berwarna hitam di sekujur kelopaknya.
Pakaian lelaki ini tak mengisyaratkan apa-apa, kecuali sebongkah kesan kematian. Dengan kain hitam kelam panjang yang tergerai begitu saja, seluruh tubuhnya tertutupi.
Di pusat dataran tandus yang dikepung bukitbukit tanah berpasir ini, lelaki itu memantek kaki. Di-am mengarca. Tangannya menjuntai, tanpa kehendak.
Angin membekukan mengusik rambut dan pakaiannya. Sikapnya tetap tak peduli. Dia sungguh tak peduli apa-apa. Tak peduli pada suasana mencekam. Atau bahkan seperti tak peduli pada diri sendiri.
Yang ingin dilakukan lelaki ini agaknya hanya mendongak kaku-kaku ke angkasa, tepat mengarah pada gumpalan-gumpalan awan pekat kelabu yang membiaskan cahaya tipis bulan. Wajahnya yang lurus sepintas menampakkan susunan tulang pipi yang menonjol bengis. Jika ada yang melihatnya, maka akan sulit menentukan, apakah dia manusia atau mayat hidup.
Pada saatnya, gumpalan awan tambun mulai tergebah angin. Perlahan-lahan awan-awan itu menyingkir. Purnama di atas sana sejenak punya kesempatan meneroboskan cahayanya, yang kemudian cahaya pucat itu jatuh ke tempat yang tak kalah pucat wajah si lelaki tadi.
Mendapati siraman cahaya bulan, lelaki ini seperti mendapat limpahan kepuasan ganjil. Ditariknya napas dalam-dalam. Seakan dia hendak menghirup rasa dari cahaya bulan. Setelah bertahan beberapa saat, barulah dadanya dihempos kembali. Seperti sebelumnya, dada lelaki itu mencekung kembali.
Awan pekat rupanya memberi kesempatan cukup lama pada bulan untuk menampakkan keindahan cahayanya ke bumi. Waktu pun merayap. Lewat titik tengah malam, bulan bulat perlahan-lahan ditelan bayangan. Bukan, bukan oleh awan. Tapi oleh Sang Batara Kala. Gerhana tengah malam berlangsung.... Tepat ketika bulan tertelan penuh oleh sang Batara Kala, lelaki tadi mendengking-dengking seperti seekor anjing ter-siksa. Tubuh kurusnya tersentak-sentak, terhenyak ke belakang. Lalu, rubuh.
Matikah dia" Tidak! Bukankah tidak pernah ada orang mati yang dapat menggeser-geserkan tubuhnya pada tanah kerontang" Ya! Sungguh mengherankan! Dengan punggungnya, lelaki itu menyapu permukaan tanah tandus. Tubuhnya merayap-rayap ke belakang, tak bedanya ular ajaib yang berjalan telentang! Setelah merayap dengan cara terlalu aneh, tubuh lelaki itu berhenti di bagian lain dari dataran tandus.
Sejenak dia terdiam, kemudian bangkit mendadak sekali. Belum lagi cukup lama kaki kurusnya menjejak, lelaki ini sudah tersungkur lagi. Tidak. Sesungguhnya tak tersungkur. Sengaja kedua lututnya dijatuhkan.
Selanjutnya dengan tangan yang berkuku panjang, dia mulai menggali, mengais, mendongkel sarat kejalan-gan. Tingkahnya mirip anjing malam yang hendak menggali pendaman tulang.
Caranya menggali lelaki ini tak lagi seperti manusia biasa, Tangannya mengais amat kuat. Seakan, ada tenaga yang berasal dari puluhan makhluk-makhluk gaib dalam dirinya. Setiap kali tangannya mencakar tanah, maka bongkahan besar tanah terhambur keluar. Tak memakan waktu lama, sudah terbentuk semacam kubangan kering besar pada dataran tadi. Lebar lingkarannya sekitar sembilan kaki dengan kedalaman tak kurang dari lima depa! Di dasarnya mencuat semacam benda tumpul dari batu.
Mendapati benda tersebut, kesibukan menggali si lelaki berambut panjang di dasar kubangan terhenti sejenak. Diamatinya benda itu tanpa kedip. Bagai seorang yang memendam kerinduan asing, diusap- usapnya tonjolan benda tumpul tadi. Dienyahkan pula debu di permukaannya. Bahkan diciuminya benda itu dengan garis bibir yang sulit diartikan.
Selang sekian waktu berikutnya, lelaki ini sudah mulai mengais-ngais lagi. Sepertinya dia hendak mencoba mengeluarkan benda menonjol tadi. Jika melihat bentuknya, masih sulit diduga benda apa gerangan. Namun yang jelas bukan sekadar benda biasa. Ukuran yang tampak sekarang pun bukanlah ukuran sesungguhnya. Karena, benda yang menonjol seperti batu tumpul di permukaan lubang yang dibuat si lelaki kurus, sesungguhnya adalah ujung stupa. Dan melihat corak serta ukiran yang ada, lelaki ini yakin kalau itu adalah istana yang pernah hilang selama ratusan tahun! Bangunan yang dikenal sebagai Istana Durjana! "Ha ha ha ha...! Hanya dengan menyusun satu batu bagian istana ini, guruku akan menjadi penguasa jagat yang tak pernah mati!" pekik si lelaki kurus me-nyaingi sentakan petir.
"Jadi, aku tinggal mencari batu yang tertinggal dan tersimpan entah di mana...." Ya! Lelaki. ini telah mendapatkan sesuatu yang begitu meluapkan perasaannya! Betapa tidak" Sebab, baru tiga hari yang lalu lelaki ini bangkit dari tapa selama setahun lebih. Dari tapanya di puncak Gunung Mayit, sesosok makhluk yang tak tergambarkan wujudnya mendatangi. Dan diperintahkannya lelaki itu untuk menggali tempat yang kini sedang dikangkanginya.
Dalam mimpi dikatakan, lelaki ini akan menemukan sebuah istana yang tak terlalu besar. Dan jika ia berhasil menyempurnakan bangunan istana itu dengan meletakkan batu terakhir ke tempatnya, maka makhluk dari alam kegelapan akan memberi apa yang diminta! Lelaki ini terus menggali, dan menggali Sampai akhirnya tercipta sebuah kubangan sangat besar yang di tengah-tengahnya terdapat bangunan megah yang disebut Istana Durjana.
Sesungguhnya, bagaimana asal-usul Istana Durjana"

***

Konon ratusan tahun yang lampau, pernah hidup seorang berhati amat kelam. Namanya Durja, seorang yang tak pernah puas pada kehidupan. Dari hari ke hari hatinya makin mengeras dan mengeras. Sampai akhirnya, hatinya benar-benar bagai batu. Dalam dirinya yang ada hanya mimpi untuk berkuasa. Keinginan untuk sepenuhnya menguasai manusia lain selamanya di dunia.
Durja sadar, dirinya tak bisa mewujudkan mimpi itu.
Maka jalan sesat diambilnya. Dia mencoba bersekutu dengan makhluk-makhluk alam kegelapan. Iblis terkutuk diundangnya datang untuk memberi padanya janji kekuasaan dan keabadian.
Iblis datang memenuhi undangan. Namun untuk mengabulkan keinginan Durja, iblis meminta satu syarat yang teramat berat bagi manusia mana pun di muka bumi. Durja diminta untuk membangun satu istana untuk sang iblis dalam waktu dua purnama, menjelang matahari terbit.
Istana itu harus dibangun dari tumpukan batu Gunung Mayit. Setiap batu, mesti dipindahkan Durja dengan tangannya sendiri. Tanpa bantuan orang lain! Namun bukan itu sesungguhnya yang tersulit. Selain memindahkan batu gunung satu persatu lalu disusun menjadi istana, Durja juga harus memandikan setiap potongan batu dengan darah manusia! Hati Durja memang sudah mati. Maka, persyaratan yang amat berat sekaligus mengerikan pun disetu-juinya. Dan mulai hari itu, dia bekerja memindahkan sepotong demi sepotong batu Gunung Mayit. Dipindahkan, lalu disusun di sebuah dataran amat kering yang jaraknya memakan waktu setengah hari dari Gunung Mayit. Setengah hari sisanya digunakan untuk mencari darah manusia.
Sejak saat itu, desa-desa di sekitar Gunung Mayit menjadi tidak tentram. Setiap hari selalu ditemukan seseorang menemui ajal secara menggidikkan. Lehernya tergorok, sementara darahnya telah terperas habis.
Tak peduli lelaki wanita, tak peduli tua muda.
Hari berganti hari. Setiap hari, istana persembahan Durja pada iblis laknat makin memperlihatkan bentuknya. Sepanjang itu pula, korban terus berjatu-han. Penduduk sendiri tak pernah tahu, siapa yang telah melakukan perbuatan keji di tempat mereka, Dari hari ke hari mereka terus dihantui ketakutan. Bila sore terpuruk dan malam menjelang, semua penduduk mengunci diri di rumah masing-masing. Namun begitu, tetap saja ada korban untuk yang kesekian.
Benak mereka mulai menerka-nerka kalau semua kekejian itu adalah kerja semacam dedemit. Makhluk halus yang meminum darah manusia! Hari terus bergulir. Purnama kedua telah hampir tamat. Sementara Durja terus menyempurnakan istana persembahannya. Sedangkan penduduk makin tak sanggup menghadapi ketakutan. Satu demi satu, keluarga demi keluarga di desa-desa sekitar Gunung Mayit akhirnya mengungsi ke daerah lain. Mereka tak peduli bila mesti berjalan sejauh apa pun. Tak juga di-pedulikan rintangan yang harus dihadapi selama perjalanan. Yang mereka inginkan hanya secepatnya menyingkir dari desa.
Menjelang satu hari sebelum purnama kedua, seluruh desa di sekitar Gunung Mayit benar-benar menjadi desa mati. Tak ada kehidupan di sana. Mereka semua telah pergi meninggalkan onggokan-onggokan sisa kehidupan.
Durja sendiri pada saat itu nyaris menyelesaikan kerja laknatnya. Tinggal tersisa batu terakhir yang harus ditempatkan di bagian pintu istana kecilnya.
Malam nanti adalah purnama kedua. Tadi Durja telah mendapatkan bongkahan batu terakhir dari Gunung Mayit. Berarti malamnya, dia harus segera berangkat ke desa terdekat. Hatinya sudah tak sabar untuk me-nyiramkan darah pada batu terakhir, seperti tak sabarnya menantikan janji Iblis Durjana. Terbayang sudah di benaknya kekuasaan tak terbatas dan keabadian baginya. Dia akan menjadi raja di raja dunia.
Menjadi penguasa tak terbantah! Bayangan di benak lelaki ini terberangus ketika mendapati desa sudah tak berpenghuni lagi. Padahal, belum lama dia masih sempat membantai seorang bocah kecil untuk diambil darahnya! Durja mencoba menghibur diri. Kalau desa ini tak ada, pasti desa yang lain masih berpenghuni. Begitu pikirnya. Segera dia pergi ke desa sebelah. Nyatanya, di sana tak juga ditemuinya seorang pun. Juga, di desa-desa lain yang berada di sekitar Gunung Mayit.
Durja menjadi gusar teramat sangat. Dia harus mendapatkan darah manusia sebelum pagi menjelang. Jika ayam jantan berkokok dan darah belum didapat, maka hancurlah harapannya. Iblis telah memberinya batas waktu hanya sampai matahari membuka cahaya di ufuk timur di purnama kedua! Dengan kegusaran meletup-letup, Durja pergi ke desa yang lebih jauh dari Gunung Mayit. Lelaki ini memang berhasil mendapatkan darah manusia. Seorang petani desa yang pulang kemalaman telah diterkamnya dari belakang.
Tergesa-gesa, Durja kembali ke tempat istana persembahan. Sampai di sana, ternyata matahari telah tercukil ke angkasa. Sinarnya menerobos mata Durja, seperti hendak mengoyak isi kepalanya! Durja menjerit-jerit sejadinya. Dia telah gagal.
Sementara, perjanjian dengan iblis terkutuk telah tergurat. Bukanlah kekuasaan dan keabadian yang dida pat, tapi malah kematian! Sehimpun lidah petir yang ganjil di tengah hari cerah, mendadak menghantami tubuhnya, tepat di saat tangannya hendak menyiramkan darah manusia ke batu terakhir.
Durja mati seketika. Sambaran petir bertubi-tubi yang menghantami tubuhnya tak berhenti meski lelaki ini sudah tersungkur tanpa nyawa. Petir baru menghilang, manakala tubuhnya sudah tuntas menjadi hangus.
Abu jenazahnya tersapu angin ke mana-mana.
Sekitar tiga ratus tahun berlalu sejak peristiwa itu, Gunung Mayit mendadak meletus. Lahar panas mengalir merajalela. Istana persembahan Durja pun terkubur. Sementara, batu terakhir yang tersisa, konon ditemukan oleh seorang laki-laki berilmu tinggi, yang mengerti sejarah Istana Durjana. Dengan alasan akan terjadi malapetaka bila batu itu terpasang di Istana Durjana, maka dia menyimpannya di suatu tempat yang tersembunyi.

***

Di sebuah telaga yang letaknya tak begitu jauh dari Gunung Mayit, seorang perempuan sedang asyik menjala. Usianya memang tidak muda. Mungkin sudah memasuki usia kepala empat. Meski begitu, bukan berarti wajah dan tubuhnya tidak menarik lagi. Wajahnya justru memancarkan kecantikan yang berkesan matang. Dan tubuhnya yang terbungkus pakaian merah jambu begitu berisi. Potongan pinggangnya padat dengan pinggul molek.
Kulitnya agak kecoklatan. Bisa jadi karena sering tersengat matahari.
Telah beberapa kali perempuan itu melempar jala ke telaga, kemudian menariknya. Cara memainkan jalanya tak seperti cara seorang nelayan biasa. Perempuan berambut ikal mengembang sepunggung itu bukan saja sangat lihai, tapi juga amat memukau orang awam.
Ketika melempar jala, perempuan ini menjentikkan satu bandul pemberat disalah satu jala. Kekuatan jentikan jari halus yang terlihat remeh, ternyata sanggup membuat jala besar tadi membentang lebar-lebar di udara. Sebentar benda itu melayang dalam gerak berputar, selanjutnya menyergap permukaan air tela-ga! Pyarrr...! Sementara untuk menariknya, perempuan itu menyentak ujung jala seketika. Itu pun dilakukannya hanya dengan menggerakkan jari telunjuk! Dari bawah permukaan telaga, jala seperti hendak mencuat ke langit. Air bertebaran tak karuan. Tepat ketika jala tadi melayang di atas, telunjuk perempuan ini membuat sentakan kembali. Maka, jala pun jatuh tepat di lambung perahu bersama puluhan ikan air tawar yang menggelepar-gelepar tentunya! Dari caranya menjala, agaknya perempuan itu memiliki kepandaian tak sembarangan. Paling tidak, berada beberapa tingkat dari orang-orang dunia persilatan kalangan bawah.
Begitu matahari condong sepenggalan, ikan yang didapat sudah cukup melimpah. Sambil melihat hasil tangkapannya, perempuan itu menyeka peluh dengan ujung tangan baju.
"Kurasa cukup," katanya pada diri sendiri.
Si perempuan berpakaian merah jambu meletakkan jala di sudut perahu kecil. Dijemputnya kayu besar yang sejak tadi tergolek minta disentuh tangan molek. Perlahan, dikayuhnya perahu kecil itu ke tepian.
"Mau ke mana kau"!" hardik seseorang yang tiba-tiba telah berada di tepian telaga, Suaranya terlalu berat berdegam untuk seorang berusia muda.
Wanita tadi mengangkat kepala. Disaksikannya seorang lelaki tua. Tak ada kumis, jenggot, rambut, bahkan sekadar alis di wajah keriput yang memucat.
Dengan pakaian putih mengabur sepucat wajahnya, lelaki tua itu menaikkan pangkal hidung. Kemarahan diperlihatkan dari caranya mendengus.
Tiba-tiba, lelaki tua berpakaian putih kusam itu melompat ringan. Jarak yang cukup jauh antara tepian telaga dengan perahu, dilaluinya hanya dua lompatan.
Sekali kakinya menyentak permukaan air, lalu melenting kembali seperti seekor burung camar menyambar ikan. Usai berjumpalitan, tangan si tua berpakaian putih itu melepaskan ikatan kain panjang dari pinggang.
Masih di udara, dilepaskannya satu lecutan tajam ke kepala perempuan di perahu.
Ctar! Dari bunyi dan angin yang tercipta, terlihat jelas tenaga dalam yang terbawa bersama lecutan kain tadi begitu tinggi. Jika ada sebongkah batu sebesar kerbau melayang di depannya, bisa dipastikan saat itu juga akan hancur lebur berkepingkeping! Kepala si perempuan di atas perahu tentu tak sekeras batu. Dia sadar akan hal itu. Maka harus dilakukan tindakan segera untuk menyelamatkan batok kepalanya.
"Heaaa!" Teramat gesit, si perempuan di atas perahu berjumpalitan ke belakang. Di ujung perahu kakinya hinggap bertengger sebentar. Dan dengan tangkas tangannya meraih ujung jala.
Wishhh! Tepat ketika jarak lecutan kain putih lelaki tua yang menyerangnya tinggal berjarak dua jengkal lagi, jala perempuan itu menyongsongnya.
Slet! Dua benda itu seketika saling pagut. Pada saat bersamaan, perempuan di atas perahu menyentak ujung jala. Bettt! Seketika itu juga terdengar bunyi kebatan kain putih milik lelaki tua di udara. Menyusul, tersentaknya tubuh si lelaki tua ke arah perahu. Luncuran deras tubuhnya ternyata disambut perempuan berpakaian merah jambu dengan satu tendangan kaki kanan lurus ke depan. Deb! Dada si lelaki tua terancam.
Tapi dengan sangat mengagumkan, orang tua berpakaian putih ini hanya membuat sedikit sentakan di udara. Luar biasa! Dia telah memanfaatkan udara di bawah telapak kakinya untuk menyentak tubuhnya ke atas! Dengan begitu, terlihat betapa tinggi tingkat ilmu meringankan tubuhnya.... Hebatnya lagi, kaki orang tua itu hinggap di betis lawannya. Tep! "He he he! Kemajuanmu boleh juga, Seruni!" puji si orang tua, masih di atas kaki perempuan tadi.
Tanpa berniat menurunkan kaki kanannya cepatcepat, bibir perempuan yang dipanggil Seruni tersenyum.
"Terima kasih, Guru!" ucapnya seraya menarik kakinya.
Orang tua berpakaian putih yang ternyata gurunya sendiri hinggap di atas perahu.
"Ayo cepat kayuh perahu ke tepi! Kita harus membakar ikan untuk makan siang.
Tamu-tamu kita sudah menunggu dengan. perut keroncongan di gubuk!" perintah lelaki tua seraya membuat berang wajahnya.
Seruni hanya bisa tertawa sambil mendekati kayuh.

***

--| { 2 } |--

Aduh Emak..., aduh Bapak... Langit bumi mengabarkan tangisnya Di hulu tiap pergantian hari...
Senandung enteng meluncur dari mulut seseorang di jalan setapak. Seperti tanpa beban di wajahnya, orang itu melenggang seringan senandungnya. Utara tujuannya. Apa yang hendak dilakukan di sana, cuma dia yang tahu. Dia seorang pemuda, berambut gondrong tak bertata. Garis wajahnya mengisyaratkan kejantanan dengan mata sembilu dan alis menukik. Pakaiannya hijau pupus. Sementara dada bidang dan bahu kekarnya tertutup kain bercorak catur.
Diselingi siulan, si pemuda meneruskan senandungnya. Langit tangisi bumi, bumi tangisi diri Sebab disini, kian banyak terkapar Mata hati yang terjangkit... E, copot-copot! Senandung penuh hikmah si pemuda diakhiri kalimat yang tak mengenakkan telinga, ketika kakinya tersandung sesuatu. Pemuda tampan tapi berpenampilan sembarangan itu mencak-mencak sambil menyemburkan makian pedas tak terperikan.
"Sompret! Mentang-mentang bumi luas, tidur sembarangan saja!" rutuknya pada seseorang yang ba-ru saja mengusik langkahnya.
Orang itu terbaring pulas sembarangan di pinggir jalan setapak. Kakinya melintang sembarang pula.
Si pemuda berpakaian hijau pupus tak bisa mengenali orang yang terpulas. Karena tidurnya tertelungkup. Yang terlihat hanyalah pakaian berwarna kuning dari bahan yang tergolong mewah.
Menilik penilaiannya, si pemuda berpakaian hijau pupus mau tak mau menjadi heran. Orang yang tidur pulas ini jelas dari kalangan berada. Setidak-tidaknya, bangsawan yang sanggup membeli pakaian dengan bahan yang dipakainya. Kalau benar dia bangsawan, kenapa tidur seenaknya di jalan berdebu" Sungguh itu sesuatu yang di luar kebiasaan kaum berada.
"Hei, Saudara!" tegur si pemuda agak sengit. Tak terlihat orang yang tertelungkup hendak menanggapi teguran si pemuda.
"Saudara!" ulang si pemuda sedikit dongkol. Memang, kaum bangsawan banyak yang bertingkah memuakkan. Mereka sering tak menganggap pada orang bawah. Mentang-mentang bisa hidup lebih baik dari yang lain! Karena jengkel, si pemuda menyepak kaki orang tertelungkup tadi.
Pak! Sekali.. Kedua.. Sampai ketiga kali, orang itu tetap tak bergerak. Sudah aneh seorang bangsawan berbar-ing sembarangan, tambah aneh lagi kalau sudah disepak tiga kali tetap tak bergerak.
Si pemuda mulai curiga.
"Jangan-jangan...," bisik si pemuda menduga-duga, seraya berjongkok. Dengan tangannya dibalikkannya tubuh orang tadi.
Sekarang persoalan jadi jelas. Orang itu memang tidak pernah berniat tidur sembarangan di pinggir jalan. Lebih dari itu, dia 'tertidur' untuk selamanya! Mati den- gan amat mengerikan. Sekujur tubuh bagian depan, dari kaki sampai wajah, membengkak biru legam seperti digilas sesuatu. Wajahnya sudah sulit dikenali.
Bahkan hidung dan bibirnya sudah tak berbentuk lagi, karena kulitnya sudah kelewat menggelembung! Mual seketika memutar-mutar perut si pemuda berpakaian hijau pupus. Bukan cuma keadaan si mayat yang sudah demikian menjijikkan, juga karena dari bagian yang membengkak keluar bau busuk menyengat! "Biang monyet!" maki si pemuda seraya cepat membalikkan kembali tubuh mayat tadi. Pemuda tampan ini cepat berdiri. Kakinya mundur beberapa langkah.
"Apa yang terjadi padanya?" bisiknya setelah agak jauh. Si pemuda seperti berpikir sejenak. Ditelitinya segenap tempat itu. Tak ada secuil pun sesuatu yang mencurigakan. Cuma ada sebuah sumur. Bentuknya tidak berbeda dengan sumur biasa, dibangun dari beton. Lucunya, sumur itu dikelilingi pagar besi berukir.
Padahal, untuk apa dipagar kalau dibuat di tempat terbuka seperti itu" Bukankah sumur di tempat terbu-ka, biasanya dibuka untuk para petualang yang kehausan di jalan" Lagi pula, apa gunanya dipagari besi mahal" Dia jadi tak habis pikir.
"Sumur kok diperlakukan seperti kuburan!" Karena begitu penasaran, anak muda itu mencoba meneliti. Ditengoknya juga mulut sumur, setelah melompati pagar besi mewah tak berpintu. Di dalam sana tak ada apa-apa. Seperti sumur biasa, bau tanah. Cu-ma tak ada air di dasarnya.
Mau tak mau si anak muda jadi garuk-garuk kepala. Selanjutnya bahunya mengedik. Bibirnya mencibir.
"Kenapa pusing-pusing memikirkannya. Nanti ju-ga aku tahu!" tukasnya enteng. Si pemuda pun melanjutkan langkah. Melanjutkan senandungnya pula.
Kini, pemuda berbaju hijau pupus ini sampai di dekat sebuah gubuk cukup besar di bahu bukit sebelah telaga. Hidungnya langsung kembang-kempis tak karuan, mencium aroma ikan panggang. Dengan sedikit mengendus-endus, hendak dipastikan apakah bau mengundang perutnya itu berasal dari gubuk.
Melihat asap tipis putih melayang di atap gubuk, pemuda itu semakin yakin ada orang yang sedang berpesta panggang ikan di sana. Dan perutnya pun berkukuruyuk, menghasutnya untuk mendatangi gubuk itu.
"Mudah-mudahan ada sepotong ikan bakar besar yang sudi menjadi penghuni perutku.. Nyam, nyam!" seloroh pemuda ini seraya mengeluarkan kecapan.
Si pemuda kian mendekat, lalu mengetuk pintu.
Tok.... Tok.... tok....
Karena terlalu dipengaruhi 'seradak-seruduk' cacing dalam perut, ketukan si pemuda jadi terlalu kencang. Malah, terdengar seperti hendak membegal.
"Siapa"!" tanya suara di dalam. Suara orang tua.
"Aku.. Seorang pengelana!" sahut si pemuda.
"Apa maksudmu datang ke gubuk ini"!"
"Lapar! Eh! Anu..., maksudku, aku hendak numpang berteduh di tempatmu. Apa boleh?"
"Tentu saja boleh!" Sahutan terakhir dibarengi dengan terbukanya pintu gubuk. Tampak orang tua berpakaian putih muncul.
"Ayo masuk, Anak Muda!" Si pemuda masuk. Di dalam sana, terlihat sudah banyak orang berkumpul. Ada sekitar tiga orang duduk membentuk setengah lingkaran dekat tungku pe manas gubuk yang dijadikan tempat membakar ikan.
Satu di antaranya seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun berpakaian merah jambu. Dia tak lain dari Seruni. Semuanya duduk pada bangku kecil pendek tanpa penyanggah punggung.
"Waduh.... Sudah banyak yang antri. Kira-kira, apa aku akan kebagian jatah?" kasak-kusuk hati si pemuda.
"Jangan berdiri saja seperti itu, Anak Muda! Ayo bergabung!" ajak lelaki tua, berpakaian putih, guru Seruni. Didahuluinya pemuda berbaju hijau pupus menuju kumpulan.
"Berapa ikan yang dibakar?" tanya pemuda berpakaian hijau pupus tanpa malu-malu.
Biar saja dianggap muka tembok. Yang penting, tak kelaparan. Dengan mulut terus mengecap-ngecap, didekatinya orangorang yang berkumpul itu.
Di antara mereka, hanya Seruni yang begitu berminat mengawasi wajah sang tamu muda. Tampan juga, bisik hati Seruni. Dia tahu, usianya tentu terpaut lebih tua beberapa tahun dari pemuda itu. Tapi, usia toh tak akan pernah menjadi kendala bagi ketertarikan hatinya.
Sewaktu mendapati mata bergaris tegas berkesan tegar si pemuda, Seruni merasakan desir halus di dadanya. Mata itu demikian menggetarkan! Hanya di dalam hati Seruni bisa berkata.
Lain yang sungguh-sungguh memperhatikan, lain juga orang yang diperhatikan. Entah sadar atau tidak kalau sedang diperhatikan seorang wanita matang mempesona, pemuda berambut gondrong justru mulai sibuk menghitung ikan bakar.
"Satu, dua, tiga..., sembilan, sebelas. Wah, banyak juga! Mujair besar itu boleh buatku"!" Seruni tersenyum. Rasanya, sulit dipercaya menyaksikan seorang pemuda yang tak hanya tampan tapi gagah ternyata mempunyai sikap rada memalukan.
"Silakan!" guru Seruni menjulurkan telapak tangannya menuju ikan-ikan bakar. Pemuda berpakaian hijau pupus lantas saja menyambar mujair besar yang sudah diincar-incarnya.
Acuh saja! Tak perlu heran. Karena, dia memang salah seorang paling acuh di atas jagat.... Siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor"! "Sebenarnya, siapa yang tengah disunat sehingga kalian berkumpul seperti ini?" Didahului sendawa santer seenaknya, Pendekar Slebor yang mempunyai nama asli Andika bertanya pada lelaki tua berpakaian putih. Anak muda itu cuma mau berbasa-basi dengan orang-orang yang telah begitu baik padanya. .
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bolehkah kami tahu siapa namamu" Juga, julukanmu jika kau punya?" tanya lelaki tua, guru Seruni .
Andika cengengesan. Dia paling tak suka kalau julukannya dikutak-kutik.
"Namaku Andika...," akunya. Sementara, julukannya tak ingin disebutkan.
"Kau orang persilatan, bukan?" cukil guru Seruni lagi. Andika cengengesan lagi.
Mau berbohong tak terlalu pandai. Mau menjawab, nanti-nantinya malah akan didesak untuk menyebutkan julukannya. Jadinya, memang serba salah.
"Jadi kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya Andika, berusaha mengalihkan persoalan. Guru Seruni mengalah. Lelaki tua berbaju putih ini cukup maklum tamunya tak ingin diketahui lebih jauh. Khususnya, soal julukan. Di dunia persilatan, julukan terkadang mempengaruhi sikap seseorang pada yang lain. Orang persilatan seringkali menyanjung berlebihan, jika seseorang memiliki julukan besar. Sikap mereka terkadang terlalu merendah, kalau tahu nama besar orang itu. Golongan hitam akan mengangkatangkat tokoh berpamor hebat yang berdiri di golongan mereka. Golongan putih pun sering kali terjebak pada hal seperti itu. Dan pemuda ini nampaknya tak begitu suka. Begitu pikir guru Seruni.
Lelaki itu melirik yang lain, meminta pertimbangan. Tampak sekali dia tak mau sembarangan membicarakan alasan berkumpul. Apalagi, pada seorang tamu yang tak dikenal.
Selain Seruni, lima lelaki lain tampaknya tak setuju Andika tahu urusan mereka. Guru Seruni bisa menyimpulkan itu dari isyarat garis wajah mereka.
"Sayang sekali, Anak Muda. Kami tak bisa menga-takannya padamu...," sesal guru Seruni. Dari hanya berbasa-basi, Andika malah jadi benar-benar penasaran. Apa-apaan" Masa memberitahu alasan berkumpul saja pelit sekali" Pasti ada sesuatu yang disembunyikan! Pasti ada sesuatu yang amat penting, sehingga mereka harus bersikap hati-hati! Ha-ti anak muda dari Lembah Kutukan itu berkecamuk.
Apa akalnya supaya mereka mau buka mulut" Mereka rata-rata berusia lebih tua. Tiga lelaki itu berusia paling tidak sekitar tujuh puluhan. Termasuk, guru Seruni. Cuma Seruni yang berusia empat puluhan.
Kalau orang-orang tua seperti mereka sedikit diusili, apa nanti tidak kualat" Bisik hati Andika. Pikiran urakannya mulai menjangkit.
Ah, peduli setan! "Wadoo, wadoo, wadooo...!" Mendadak sontak anak muda brengsek itu menjerit-jerit kalang-kabut. Tangannya mendekap perut kencang-kencang, seolaholah isi perutnya, hendak ditahan agar tidak brojol! "Kenapa, Anak Muda"!" sentak guru Seruni kaget.
Mata keriputnya membeliak.
"Ada yang telah meracuni ku! Ada yang telah meracuni ku!" erang Andika dengan wajah dibuat seme-melas mungkin. Raut wajahnya seribu kali lebih menyedihkan daripada seorang perempuan tua yang terlambat melahirkan. Bayangkan! Yang lain, ikut kaget. Mereka saling menoleh. Saat itu juga mulai terbersit kecurigaan di mata masingmasing antara satu dengan yang lain.
Dalam hati, Pendekar Slebor cekikikan. Perutnya jadi mulas sungguhan, karena terlalu menahan tawa yang hendak meledak saat itu juga.
Karena keempat orang itu hanya saling melirik, Andika merasa harus memperseru sandiwaranya. Badannya segera disentak-sentakkan seperti kuda lumping kerasukan. Bola matanya mendelik dengan warna hitam melejit-lejit ke atas. Makin gila dia! "Kalian..., ugh!" bual Andika meyakinkan sekali.
"Kkkh..., kalian kenapa begitu tega meracuni ku" Apa salahku" Ap..., ap...." Andika megap-megap. Persis seperti ikan mujair besar yang sudah menjadi penghuni perutnya..
"Ap..., apa hanya karena aku dianggap terlalu banyak ta... tahu, sehingga kal...
kal, ugh! Kalian hendak menyingkirkan ak..., ku?" Sambil terus sungsang-sumbel menahan geli, Andika pura-pura terhuyung limbung. Sebentar lagi, dia pura-pura tak sadarkan diri. Kalau sudah begitu, dia ingin tahu apa tanggapan mereka. Dalam keadaan saling curiga, biasanya kegusaran yang bakal mencuat.
Kalau mereka semua gusar, biasanya bicara pun sering tak terpikirkan. Mudah-mudahan mereka akan mengocehkan rencana secara tak sadar saat saling tuding. Dan Andika makin geli.
Bruk! Andika menjatuhkan tubuhnya. Biar lebih terlihat sungguh-sungguh, sengaja badannya dijatuhkan keras-keras. Sakit sedikit tidak apa-apa, yang penting rencananya berhasil.
Bibirnya meringis, tetapi yang penting hatinya puas.
Perangkap Andika mulai mengena. Orangtua berpakaian putih terdengar mendengus.
"Ada apa sesungguhnya ini" Apakah di antara kita telah ada yang lancang main hakim sendiri?" desisnya dengan mata merah terbakar. Ditatapnya dua lelaki tua sebayanya, seakan ingin menyudutkan. Bahkan muridnya sendiri, Seruni.
"Guru menuduhku?" tukas Seruni, tersinggung melihat tatapan gurunya.
"Kau pun mencurigai aku, Senta!" tukas orang tua berjubah serba merah. Ucapannya tak begitu jelas.
Terdengar bagai desisan ular yang melilit di tangan kanan.
Sementara orang tua berpakaian hitam terus memainkan dua bola baja di tangannya. Biar pun terlihat tenang, wajahnya tak bisa menyembunyikan kegusaran..
"Jadi, apa maksudnya?" desak orang tua berpakaian putih yang dipanggil Senta.
"Apa maksudmu"!" ledak orang tua berpakaian kelam. Daya tahan kesabarannya hanya sampai di situ.
"Aku tahu, kita sedang menghadapi persoalan besar. Tapi, bukan berarti aku menghalalkan kalian berbuat sekehendak hati dengan meracuni anak muda tak berdosa ini!" hardik Senta bertekanan, berkekuatan.
"Hei"! Kau sudah kelewatan, Senta! Aku memang tidak setuju anak muda ini mengetahui masalah besar yang sedang kita hadapi.
Tapi, bukan berarti aku akan tega meracuninya!" sangkal orang tua berpakaian hitam. Kalimatnya menyerocos lancar seperti ada mercon dalam mulutnya.
Diremasnya geram-geram dua bola baja di kedua tangannya. Ditantangnya tatapan memberangus Senta.
"Jadi siapa?" desis Senta, terseret "Siapa yang telah lancang meracuni anak muda ini"!" Kalimat Senta tua menanjak tajam. Urat lehernya menggelembung, menahan kegusaran.
"Yang jelas bukan aku," tandas orang tua berjubah merah. Tetap dengan suara terdengar samar mendesis.
"Aku belum mengatakan kau yang melakukannya, bukan" Kenapa tiba-tiba merasa harus membela diri, Danji?" desis Senta.
Kecurigaannya beralih pada Danji, orang tua berpakaian merah.
Danji tua tergelak. Mungkin hanya saat tertawa suaranya jelas terdengar.
"Kau benar-benar tak waras, Senta! Jangan mentang-mentang aku ahli dalam racun, tiba-tiba kau seenaknya menuduhku. Persoalan terbongkarnya Istana Durjana adalah tanggung jawabku. Tanggung jawab kita. Kita sama-sama tahu, ada orang yang berhasil me-nemukannya. Orang itu akan amat berbahaya jika telah menempatkan batu terakhir yang hilang ke tempatnya. Tapi, aku tak pernah berpikir bahwa anak muda ini orangnya...," desisnya berliku-liku.
"Kau jangan mencoba mengelak dari tanggung jawab, Danji! Mengakulah! Kau mencurigai anak muda ini sebagai orang yang telah menemukan Istana Durja-na. Kau merasa harus membunuhnya, karena kau begitu takut...," Senta kian memojokkan.
Danji terbahak lagi. Ada bara kegusaran yang ditahan-tahan pada kerut wajah dengan tawanya.
"Katakan padaku, bagaimana aku mencurigai anak muda ini sebagai orang yang telah menemukan rahasia tempat Istana Durjana" Apakah dia memperlihatkan tanda-tanda mencurigakan?" kelit Danji.
Sekarang, ganti Senta yang tersudut. Danji tua memang benar. Tak ada secuil pun yang bisa dicurigai pada diri pemuda berpakaian hijau pupus. Tidak wajah tampannya yang lebih banyak memperlihatkan ketololan, tidak sifatnya. Juga, tidak ada benda-benda dari Istana Durjana yang dibawanya. Jadi, tak ada kemungkinan bagi siapa pun di antara mereka yang bisa mencurigai si pemuda.
"Ukh! Ukh! Ukh!" Kecamuk kekalutan Senta diberantas habis seketika manakala, pemuda 'biang kerok' di lantai gubuk, terbatuk-batuk.
"Debu sial! Kalian pasti tak pernah membersihkan lantai gubuk ini!" Kedok pemuda brengsek itu mesti dibuka sekarang! Kepepet!

***

--| { 3 } |--

Danji adalah lelaki tua berperawakan aneh untuk seorang berusia lanjut seperti dia. Kesan yang paling lekat adalah lehernya yang terlalu pendek. Bukan karena gemuk. Badannya justru cenderung kurus. Di lain sisi, tulang dadanya malah terlalu mencembung keluar. Dengan begitu, dagunya menjadi rapat dengan dada. Untuk menoleh sedikit saja, mau tak mau harus memiringkan badan. Namun, di antara yang lain, di-alah yang paling pendek.
Untuk wajah, Danji tak terbilang istimewa. Parasnya bahkan terbilang terlalu kampungan.
Keanehan lain, tangan Danji tak pernah lepas dari seekor ular pohon berbisa berwarna hijau terang.
Binatang itu selalu melilit di pergelangan tangan kanannya seperti gelang hidup.
Danji sebenarnya termasuk salah seorang tokoh persilatan yang menguasai berbagai jenis racun. Terutama, segala jenis racun ular berbisa. Meski wajahnya tak mirip ular, giginya justru seperti taring seekor ular sendok. Begitu akrabnya Danji dengan berjenis-jenis ular, tak heran kalau dunia persilatan menjulukinya Moyang Ular.
Orang tua ini sangat jarang berbicara. Rupanya dia sadar, suara dan ucapannya tidak jelas terdengar.
Orang sering kali menganggapnya sedang berdesis ketika berbicara.
Danji adalah adik seperguruan Senta, guru Seruni. Di samping Danji, Senta memiliki adik bungsu seperguruan. Namanya, Moja.
Orang tua ini senang mengenakan pakaian kelam.
Usia Moja lebih muda empat tahun daripada Danji. Perawakannya tak ada yang menarik. Biasa-biasa saja. Wajahnya berkerut, berhias jenggot tipis kemera-han seperti serabut jagung. Yang menarik perhatian dari Moja justru sifat dan kebiasaannya. Mulutnya terlalu cerewet. Apa saja yang tidak disukai akan diceletukinya. Seperti juga jika sedang menyenangi sesuatu.
Kalau Moja berbicara, maka mulutnya akan melilit-lilit simpang-siur. Pantasnya dia adalah seorang nenek-nenek yang mulutnya disumpal sirih! Kebiasaan aneh dan satu-satunya hanya memainkan dua buah bola baja di tangannya. Sebentar bolabola itu dipilin-pilin dengan telapak tangan. Di lain waktu, dilempar-lemparnya.
Di waktu lain, dibentur-benturkannya hingga menimbulkan bunyi menyebalkan. Senta, Danji, dan Moja semasa muda dikenal sebagai Tiga Penunggu Telaga Larang. Sebuah telaga yang berada tak jauh dari gubuk mereka. Menurut cerita, batu terakhir Istana Durjana terlempar ke telaga ketika terjadi letusan Gunung Mayit. Guru mereka menugasi ketiga tokoh tua untuk menjaga agar tak ada seorang pun yang mengambil batu dari dasar telaga. Jika batu ditemukan dan dapat ditempatkan kembali ke bagian lowong Istana Durjana, kiamat dunia persilatan akan segera terjadi! Iblis akan memiliki kesempatan untuk membuka gerbang kekuatan gelapnya, dan mengambil seorang manusia berhati mati untuk dijadikan penguasa kebatilan, sebagai wakil iblis di bumi.
Seruni yang telah mendapat gemblengan matang dari ketiga lelaki uzur itu, nantinya akan meneruskan tugas Tiga Penunggu Telaga Larang. Dan ketika mengetahui ada seseorang telah berhasil menemukan letak Istana Durjana, mereka pun segera mengatur pertemuan guna membicarakan masalah teramat besar yang siap menerkam dunia persilatan! "Siapa kau sebenarnya" Kau pasti telah menipu kami dengan bualan tengik mu!" maki Moja sengit, begitu menyadari mereka baru saja 'dikadali' Pendekar Slebor.
Andika bangun dari pingsan buatannya. Bibirnya cengar-cengir menyebalkan.
"Kalau kalian menghadapi masalah besar yang menyangkut nyawa banyak orang, kenapa mesti disembunyikan?" tukas anak muda acuh itu.
"Kalian tentunya butuh banyak tenaga untuk itu, bukan?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Tengik!" te-rabas Moja lagi.
Bibir lelaki tua ini kemudian melintir-lintir. Andi-ka sampai pegal sendiri menyaksikannya.
"Pertanyaan yang mana?" tanya Andika, berlagak bodoh.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" sela Senta, mengulang pertanyaan adik bungsu seperguruannya.
Bertolak belakang dengan sikap Moja, Senta jauh lebih ramah.
"Aku suka kau, Orang Tua. Dengan tata krama seperti itu, kau pantas dituakan...," puji Andika, nge-lantur. Lain yang ditanya, lain yang dijawab.
"E.... Kau menghinaku, ya"!" ketus Moja berang.
"Cukup, Moja!" bentak Senta.
Biar pun sudah maklum dengan sifat adik seperguruannya, tetap saja orang tua berpakaian putih itu kesal juga melihat sikap Moja yang dianggap kekanak-kanakan.
"Terima kasih..., terima kasih!" hatur Andika, merasa telah dibela.
Pendekar Slebor menjura. Bukan untuk menghormat. Namun, sekadar untuk mengolok-olok Moja.
"Sekarang, kuharap kau sudi menjelaskan siapa dirimu sebenarnya...," lanjut Senta.
Andika masih mau mengulur-ulur persoalan. Hatinya masih belum puas dalam menggoda Moja.
"Sebentar!" sela Seruni.
Setelah lebih banyak diam, perempuan itu mendadak berbaur dalam suasana kacau.
"Rasanya aku ingat sekarang!" sambungnya nyaris berseru. Wajahnya menampakkan garis keterkejutan.
Terkejut karena apa" Masih belum jelas. Yang pasti, dia telah ingat sesuatu.
Maka dihampirinya Pendekar Slebor. Mata jelinya terus mengawasi potongan wajah dan tubuh Andika. Pakaiannya pun tak luput.
Andika jadi risih juga diteliti dalam jarak dekat oleh seorang perempuan yang memiliki kematangan, baik pada wajah atau tubuh. Terlebih, waktu hidungnya mengendus aroma tubuh Seruni. Hmmm... Andika menarik napas panjang-panjang dan dalam-dalam....
"Nona.... Apa ada yang kurang padaku" Hidungku kebanyakan lubang" Atau, daguku pindah ke jidat?" oceh Andika.
"Ya, benar!" cetus Seruni tiba-tiba. Wajahnya ber-binar gembira. Dia benar-benar yakin pada ingatannya sekarang.
Tololnya, Andika malah salah tanggap. .
"Astaga! Jadi benar"! Benar lubang hidungku sudah bertambah" Dan jidatku...." Andika cepat meraba hidung dan dahinya. Kok masih sama seperti kemarin"
"Aku tahu siapa dia, Eyang Guru!" lapor Seruni bersemangat pada Senta.
"Dia Pendekar Slebor!"

***

Satu pertarungan sedang berkecamuk sengit jauh di sebelah tenggara Gunung Mayit. Dua orang yang sedang bertukar jurus sama-sama berilmu tinggi.
Salah seorang adalah lelaki berambut sepanjang betis, yang terlihat di dataran kering beberapa waktu lalu. Sedangkan lawannya, seorang lelaki tua berusia sembilan puluhan. Usia yang terlalu tua untuk bertarung melawan musuh berusia tak lebih dari empat puluh tahun. Meski demikian, pertarungan tidak berarti dikuasai lelaki berambut panjang. Sebab, si tua bangka itu tampaknya mempunyai ilmu olah kanuragan tak sembarangan. Ibarat tua-tua keladi, ketuaannya justru menyempurnakan kematangan kesaktiannya.
Si orang tua mengenakan cawat dari akar tumbuhan. Tubuhnya tidak ditutupi apa-apa lagi. Pun, untuk penutup dada yang kurusnya kelewatan. Rambut keri-tingnya memutih rata sampai batas. Jenggotnya yang terlalu panjang, dililitkan ke leher.
Kakek Penjaga Makam, sebutan orang tua itu.
Dalam menghadapi lawan, Kakek Penjaga Makam menggunakan sebilah batu nisan besar sebagai senjata. Beratnya jangan dikira. Jauh lebih berat dari tubuh si tua itu sendiri.
Lebarnya saja sudah setengah meja.
Tebalnya, tak kurang dari setengah jengkal. Makam orang edan mana yang mau memakai nisan sebongsor itu" Kakek Penjaga Makam sendiri tak memusingkan itu. Hanya saja, siapa yang tak jadi berdecak heran" Bagaimana seorang jompo seperti Kakek Penjaga Makam mau-maunya bersenjatakan benda menyusahkan" Tapi di tangannya batu nisan itu justru menjadi senjata mematikan! Dengan amat mudah senjata itu dikebutkan, diputar, dan dibabatkan sekehendak hati.
Yang jadi masalah sekarang, apakah senjata serampangan itu bisa meruntuhkan kehebatan lelaki pucat berambut panjang" Sementara sudah lewat seratus jurus, Kakek Penjaga Makam menggenjot kesaktian dalam usaha menjatuhkan lawan. Hasilnya" Tidak bisa dibilang menggembirakan.
Biar pun lawan cukup kerepotan, tapi tetap belum menjamin bisa melumpuhkannya. Wukh, wukh, wukh! Kakek Penjaga Makam memutar-mutar batu nisan raksasa di tangannya, ketika keprukan terakhir luput mendarat di kepala lawan.
Putaran senjata anehnya bukan cuma untuk menangkis sodokan jari yang melebihi kecepatan patukan ular sekalipun. Selain itu, Kakek Penjaga Makam memang sudah mulai bosan dengan pertarungan yang dianggap tak ada juntrungannya. Dia hendak membuat benteng yang memungkinkannya mengambil jarak.
"Tak ada angin tak ada hujan, kenapa kau tibatiba menyerangku, Kutu Busuk"!" maki Kakek Penjaga Makam, muak bukan main dengan perbuatan lawannya, sesudah berhasil mundur beberapa depa.
"Aku hendak menggali makam itu!" sahut lelaki pucat, langsung ditunjuknya makam tua tak jauh dari tempat mereka bertarung.
Agak menyimpang dari kuburan biasa, makam itu terletak di batang sebuah pohon beringin besar. Itu sa-ja sudah cukup ganjil.
Tapi yang lebih ganjil lagi, makam tua itu bukan terletak melebar, tapi tegak lurus pada sisi batang pohon. Seolah-olah, menempel begitu saja bagai cecak raksasa di badan pohon! "Hmmm..
" gumam Kakek Penjaga Makam.
"Pantas saja kau bernafsu sekali ingin membuatku mampus. Rupanya kau ingin menggali makam ini. Kalau kau tak membunuhku, maksudmu tentu akan ku halangi.... Hm hm hm...." Kepala Kakek Penjaga Makam terangguk-angguk.
"Kalau kau sudah tahu, kuperintahkan menyingkir dari sini! Jika bersikeras menghalangiku, kau akan cepat masuk lubang kuburmu!" ancam lelaki pucat tak main-main.
"Aa hi hi hi!" Kakek Penjaga Makam terkikik seperti nenek keropos. Tubuhnya terguncang-guncang menahan geli.
"Aku tanya kau sedikit, Kutu Busuk! Apa kau mau kuperintahkan meninggalkan kepalamu"!" Lelaki bertubuh kurus sepucat mayat mendengus.
Pertanyaan Kakek Penjaga Makam tak perlu dijawab.
"Nan, makam itu...." Kakek Penjaga Makam menunjuk dengan jempol ke arah makam. Sikapnya khidmat sekali.
"Makam itu ibarat kepalaku sendiri. Mana mau aku meninggalkan kepalaku" Sableng sekali kau ini!" lanjut Kakek Penjaga Makam, merutuk.
"Kalau menyayangkan makam yang kau ibaratkan sebagai kepalamu, maka kau akan segera kehilangan kepalamu yang sesungguhnya!" tandas lelaki pucat, berkawal suara gemeletuk dari rahang. Tangan Kakek Penjaga Makam menepis udara.
"Kau pikir aku ini tikus bengek yang bisa dibikin mampus sekali kepruk"! Kau ngelindur, Kutu Busuk! Sana, lebih baik cuci muka biar pikiran waras mu bi-sa...." Tak sempat menyelesaikan kalimatnya, Kakek Penjaga Makam Sudah dikejar serangan lawan! Wrrr! Untuk serangan baru, lelaki pucat pun mengeluarkan simpanan baru pula. Satu ajian pamungkas dikeluarkannya. Dia tak ingin lebih banyak buang waktu.
Pertarungan mesti cepat dituntaskan. Dengan begitu, makam di pohon beringin bisa secepatnya dibongkar.
Apa yang dicarinya" Masih belum jelas. Hanya dia yang tahu. Serangan sambungan lelaki pucat tak bisa dianggap remeh. Betapa pun Kakek Penjaga Makam sulit untuk memperkirakan bahaya sebesar apa yang mengikuti sampokan rambut panjang lelaki pucat.
Maka ketika rambut panjang itu berseliwer deras menuju dada kurusnya, kakek ini dengan gesit memapak. Trash! Getar berdesir tajam terhentak ke udara, begitu rambut panjang lelaki pucat tertahan nisan di tangan Kakek Penjaga Makam. Hawa berbau sangit menyusul.
Sepersekian kejap kemudian, memporakkan udara di sekitarnya. Kenyataan itu mengejutkan Kakek Penjaga Makam. Pertama karena merasakan nyeri menjalar di kedua tangannya. Kedua, karena mencium bau sangit tadi. Tahulah si tua bangka yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan itu, kalau lawan ternyata memiliki rambut beracun.
Dari baunya saja sudah tergambar seberapa ganas racun tersebut! Wukh wukh wukh! Wrrr! Diawali putaran rambut liar bersama kayuhan menggila kepala, lelaki pucat mengejar terus lawan bangkotannya. Satu sabetan dilakukan.
Wusss...! Rambut lelaki pucat mendesis di udara luruslurus ke arah kening si tua bangka penjaga makam.
Luar biasa! Jika semula rambut itu terlihat gemulai, saat itu juga mengejang amat tegang. Sepertinya, rambut itu telah berubah dalam sekedipan mata menjadi bilah-bilah baja halus! Siapa yang mau keningnya dilubangi" Maka seraya mengempos tenaga dalam lebih kuat, tangan kurus Kakek Penjaga Makam menyorongkan nisan besar di depan kepala. Dikiranya, rambut maut lawan bakal terjegal lagi. Nyatanya, tidak sekali ini.
Traaakh! Nisan raksasa di tangan Kakek Penjaga Makam kontan terbelah. Wajah lelaki tua itu terlihat pucat se-kilas di antara belahan batu nisan. Matanya membeliak, tak mempercayai apa yang terjadi!

***

--| { 4 } |--

"Kalau nyatanya batu itu sebagai kunci bencana, kenapa tidak dimusnahkan saja" Kita ambil batu itu dari dalam telaga, lalu hancurkan!" usul Andika pada Tiga Penunggu Telaga Larang dan Seruni. Pendekar muda kesohor itu baru saja mendengarkan kisah Tiga Penunggu Telaga Larang tentang Istana Durjana. Termasuk, bahaya amat besar yang mengancam dunia dengan ditemukannya kembali istana tersebut. Ketiga lelaki tua bangka di dekat Pendekar Slebor tersentak. Mereka seperti baru siuman, setelah meng-habiskan hampir seluruh hidup untuk menjaga Telaga Larang. Kenapa tak terpikir sejak dulu" Bisik hati masing-masing.
"Bagaimana?" cetus Andika, ingin jawaban.
Pendekar Slebor tak mau lebih banyak menunggu.
Waktu terus menggilas, ditunggu atau tidak. Dalam hal ini, kalah cepat menyiasati waktu, dengan orang sesat yang menginginkan batu di dasar telaga, bisa berarti kebodohan besar! Keangkaramurkaan punya kesempatan untuk jadi raja dunia! "Aku setuju," sambut Senta cepat. Dua adik seperguruannya mengangguki putusan Senta. Andika mengedipi Seruni dengan sebelah mata.
"Aku setuju!" jawab perempuan itu cepat.
Wanita ini mengira Andika hendak meminta pertimbangannya juga. Julukannya saja Pendekar Slebor.
Tak terlalu luar biasa kalau dia meminta persetujuan dengan cara yang sedikit keblinger! "Bagus! Kalau kau setuju, besok kita bisa menikah!" ucap Andika ngawur, seraya melangkah ke luar gubuk seenaknya pula.
Tinggal Seruni menjadi merah padam.
Tanpa memusingkan rupa Seruni yang tak karuan lagi, pendekar muda pemilik nama besar di dunia! persilatan itu ngeloyor ke luar gubuk. Tiga orang tua satu perguruan mengikuti di belakang. Sementara, Seruni memilih berjalan paling akhir. Dia masih belum bisa membenahi perasaan kacaunya.
Seperti telah disepakati, mereka akan menuju ke Telaga Larang. Karena tak begitu jauh, tak lama mereka sudah sampai dan di tepi telaga, anak muda dari Lembah Kutukan itu berjongkok.
Dicelupkannya tangan ke permukaan telaga.
"Hiiyyy...!" Seketika pemuda itu berjingkat. Bahunya menyusut cepat seperti kucing tertimpa hujan.
"Sial! Dingin sekali air telaga ini," rutuknya meng-gumam.
Senta tak bisa menahan geli, hingga terpaksa mengeluarkan kekehannya.
"Satu kelebihan telaga ini adalah airnya yang amat dingin. Meski hari sedang membakar sekalipun, airnya tetap bisa membuat beku!" jelasnya seperti membanggakan benda miliknya.
Andika melirik.
"Kau tampaknya bangga sekali dengan telaga sial ini...."
"Tentu saja! Berpuluh tahun kami menunggu tela-ga ini sebagai satu kehormatan besar dari guru kami!" sahut Moja, mewakili Senta.
Ringisan Andika terungkit.
"Kalau begitu, sebaiknya satu di antara kalian saja yang menyelam, ya?" usul Pendekar Slebor, lebih mirip mengejek.
Seruni mendeliki Andika. Tega-teganya pemuda ini meminta orang setua mereka menyelam ke dasar danau yang bukan hanya dalam, tapi juga dingin membekukan" Seruni mangkel dalam hati.
Danji yang lebih banyak diam malah menanggapi sungguh-sungguh kalimat main-main Andika. Tanpa banyak basa-basi, jubahnya dibuka.
"Hei, hei! Memang kau hendak berbuat apa, Pak Tua?" tahan Andika.
"Aku hendak menyelam," jawab Danji, tak mau banyak cincong. Dia tak suka ucapan mendesisnya lebih sering terdengar.
Andika mau tak mau terbahak.
"Kalian kira aku tak punya perasaan membiarkan badan keropos kalian jadi tiang kaku di dasar telaga sial ini?" Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan kepala.
Dibukanya baju atas dengan sikap acuh saja.
Seruni terkesiap. Cepat-cepat wajahnya dibuang ke arah lain. Siapa tahu pemuda brengsek itu lupa kalau Seruni berdiri di sana.
Lalu membuka semua pakaiannya. Bisa berabe! "Seruni!" panggil Andika.
"Apa"!" sahut Seruni ketus, tanpa mau menoleh.
"Hei"! Kalau ada seorang memanggilmu, kau mesti menoleh. Jangan cuma menyahut.
Itu baru namanya tata krama!" omel Andika sok berkhotbah. Padahal, dia sendiri lupa pada tata krama dengan membuka baju sembarangan. Tapi yang dibuka Pendekar Slebor cuma pakaian atas.
Jadi, apa salahnya"
"Seruni!" ulang Andika setengah jengkel karena perempuan itu tetap tak ingin menoleh. Sambil membuang napas, Andika melempar pakaian atasnya ke bahu perempuan itu.
"Au!" pekik Seruni, kaget bukan main. Sedang tegang begitu, mana tidak kaget" Byur! Sebentar kemudian, tubuh tegap Andika sudah tertelan ketenangan permukaan telaga.
"Phuah!" Anak muda dari Lembah Kutukan itu membuang sisa udara, lalu menghirup yang masih segar di atas permukaan telaga. Rambut gondrongnya basah kuyup.
Sekuyup sekujur tubuhnya bersimbah air telaga. Selama lebih dari sepenanakan pemuda ini berusaha mencari batu yang dimaksud Tiga Penunggu Telaga Larang. Hasilnya, nihil. Padahal hampir seluruh dasar telaga yang cukup luas itu telah dijelajahi dengan dada hampir meledak! "Tidak ada!" kata Andika, ke arah Senta.
"Mungkin kau belum menyisir seluruh dasar tela-ga!" sahut Senta ragu dari tepi Telaga Larang.
"Jangan menyiksaku, Orang Tua! Sudah lima kali aku mondar-mandir di dasar telaga ini. Seluruh dasarnya tak luput kujelajahi. Bisa-bisanya kau tak percaya pada kerja ku?" gerutu Andika mangkel.
"Barangkali kau kurang teliti?" sela Moja. Tak puas dengan satu kalimat, tua bangka bermulut rewel semerdu kaleng rombeng itu menambah ucapannya.
"Siapa tahu matamu tersamar. Banyak batu serupa di dasarnya. Kau pasti kurang teliti. Apa kau benar-benar yakin tak menemukan batu sebesar setengah badan manusia berukir halilintar."
"Aku belum rabun. Tentu saja aku yakin!" jawab Andika.
"Yakin benar?" Andika mencibir.
"Kalau tak yakin, kenapa bukan kau saja yang menyelam"!" sungut pendekar muda yang mulai bere-nang ke tepian itu. Biar kulit kendor dan daging pahit mu jadi beku sekalian! Begitu umpatan Andika dalam hati.
"Tapi bagaimana mungkin?" ujar Senta begitu Andika beranjak dari permukaan, naik ke darat "Kau yang mesti menjawabnya. Bukan aku. Bagaimana mungkin batu itu tidak ada, sementara kalian telah menjaga telaga ini selama puluhan tahun. Bhuh!" Acuh saja, Andika menjentikkan jarinya pada Seruni. Seruni datang membawakan pakaian atas pemuda itu. Darah wanita empat puluhan itu berdesir deras, menyaksikan bentuk dada berotot Andika yang mengkilat di bawah siraman sinar matahari. Malah dia sampai merasa harus membuang wajah.
Andika tak terlalu peduli. Diambilnya baju yang disodorkan Seruni. Dengan baju itu, disapunya sisa air di wajah.
"Aku jadi tak mengerti," gumam Senta.
Andika ngeloyor. Perutnya jadi lapar lagi, karena serangan dingin air telaga. Seingatnya, dia gubuk masih banyak tersisa ikan bakar. Bakal disikat semuanya! Tubuh Pendekar Slebor yang basah kuyup menghilang di balik pintu gubuk. Tak lama, pemuda ini berlari-lari keluar sambil membawa sepotong ikan bakar besar.
"Apa kalian tak merasa aneh dengan tidak ditemukannya batu itu?" Tanpa peduli pada mulut yang masih sesak, pemuda urakan itu berusaha memancing tanggapan Tiga Penunggu Telaga Larang.
Senta mengangguk lamat. Pikirannya diusik kecamuk pertanyaan. Bagaimana mungkin batu itu tak ada" Sementara, guru mereka telah menugasi untuk menjaga telaga agar batu tak diambil seorang pun.
Kerja puluhan tahun seperti itu bukan hal kecil.
Tangan lelaki tua berpakaian putih kusam itu mengusap dagu tak sadar.
"Mhh, glek! Aku bertanya pada kalian, lho.. Bukan pada dedemit...," cetus Andika, merasa pertanyaannya diacuhkan.
"Kau benar, Anak Muda. Ada sesuatu yang tersembunyi selama puluhan tahun. Dan itu luput dari pengamatan kami," tutur Senta.
"Jangan salahkan aku!" tukas Andika, sambil mencukil tulang ikan yang terselip di giginya.
"Tapi yang jelas, kalau mau tahu soal senjata, kita mesti datangi seorang empu...." Tiga Penunggu Telaga Larang mengernyitkan kening. Rasanya anak muda satu ini sudah mulai ngelantur lagi. Mata mereka mengeroyok Andika.
"Aku tak sedang bergurau!" tandas Andika.
Mata melotot Andika menghujam pada tiga lelaki tua itu bergantian.
"Maksudku, kita harus mencari tahu sesuatu dari sumbernya. Jadi, sebaiknya kita berangkat ke Istana Durjana. Bukankah dari sana batu itu berasal" Aku yakin, di sana ada hal yang bisa memperjelas teka-teki ini...," papar Andika, sok tahu. Baru tiga prang tua di dekatnya manggutmanggut.

***

--| { 5 } |--

Istana Durjana masih berdiri megah, kaku dan bisu. Sebuah istana yang menyimpan keangkeran di antara luncuran angin menggiring debu.
Andika, Senta, Danji, Moja, dan Seruni tiba disana. Dalam jarak sekitar dua puluh lima tombak dari bangunan kuno itu mereka berdiri berjajar. Beku tanpa gerak. Sepertinya, mereka sedang dilingkupi tenung. Mata kelima orang itu pun tertancap lurus-lurus ke arah Istana Durjana.
"Luar biasa.... Setelah empat puluh tahun lebih aku hanya pernah mendengar cerita tentang istana ini, baru kali ini bisa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri," cetus Moja dengan suara cemprengnya yang menyakitkan telinga.
Senta hanya tampak mengangguk-anggukkan kepala samar. Sedangkan Danji mendesis-desis tak ta-hu juntrungan. Baik Senta, Danji, atau Moja, samasama baru kali itu menyaksikan Istana Durjana yang telah menjadi cerita dongeng di benak masing-masing.
Lebih dari empat puluh tahun lalu, guru besar mereka menceritakan tentang hal itu.
"Aku tak mengira kalau aku masih sempat menyaksikan istana ini..." sambung Moja, belum puas.
"Bukan begitu, Senta"!" Senta berdehem saja.
Moja tak puas mendapat jawaban ala kadarnya.
"Bukan begitu, Danji?" tanya Moja, kali ini dialihkan pada Danji.
Danji cuma mendesis.
Moja jengkel. Dia baru mau menggerutu, tapi....
"Mulutmu pasti kesemutan kalau tak diam sebentar saja...," celetuk Andika, mendahului.
Moja menggeram. Sehimpun sumpah serapah rasanya mau dimuntahkan begitu saja di depan wajah anak muda itu. Eit! Jangan berani-berani! Andika mungkin punya dua himpun sumpah serapah untuk membalasnya! "Sebaiknya kita memeriksa istana itu, Orang Tua," ajak Andika meminta persetujuan Senta.
"Ayo," ajak Senta.
Lelaki berbaju putih ini pun sebenarnya sudah begitu ingin meneliti Istana Durjana. Setidak-tidaknya bisa mencari tahu, kenapa istana itu begitu istimewa.
Bukan hanya dari cerita yang pernah didengarnya.
Kelima orang itu mulai melangkah lagi.
Pada langkah kesekian.... Srrraattt...! Mereka semua disentak oleh sambaran lidah petir.
Kekuatan alam raksasa itu seperti membelah jalan di depan Tiga Penunggu Telaga Larang dan Seruni sampai nyaris berseru berbarengan karena begitu terkejut.
Dengan sigap tangan mereka melindungi mata dari terkaman sinar menyilaukan. Bahkan Andika yang biasa dengan serbuan petir di Lembah Kutukan pun seperti hendak rontok jantungnya! Untuk beberapa saat, kembali mereka semua seperti dikuasai tenung kuat. Mereka terpaku diam kembali.
"Sebaiknya kita terus melangkah," ujar Senta, seperti menyadarkan.
Didahului saling pandang, hendak meyakinkan satu dengan yang lain, mereka mulai melangkah lagi.
Anehnya, baru saja satu jejakan mencoba meneruskan langkah....
Sraaat...! Glarrr...! Kilat kembali berkelebat, menyusul guntur di belakangnya. Seperti sebelumnya, mereka merasa hantaman petir melintas amat dekat di depan.
Dalam ketercengangan, hati mereka bertanyatanya, apa alam telah murka" Bukankah mereka sedang menuju tempat terkutuk yang diminta makhluk terkutuk" Dua kali mendapat kejadian tak terduga, membuat telinga mereka seperti tuli sejenak. Dan untuk kali yang kedua ini, Seruni tak bisa lagi menguasai di-ri. Wanita tetaplah wanita. Kodratnya memang membutuhkan perlindungan seorang pria. Manakala petir menyalak, disergapnya dada bidang Andika. Dia ingin bersembunyi sampai setenang mungkin dalam pelukan pemuda perkasa itu.
Dalam keadaan begitu rupa, sempat-sempatnya Andika cengengesan. Rezeki nomplok, kicau hatinya mekar. Tahu kalau Seruni butuh ditenangkan, Andika mendesis-desis seperti seorang bapak menenangkan bayinya. Ditepuk-tepuknya bahu perempuan itu. Kalau tidak dalam keadaan seperti itu, maunya sih menepuk-nepuk pantat padat Seruni saja! Anak muda itu menggeleng-gelengkan kepala, heran pada pikiran dekilnya sendiri yang masih bisa gentayangan ke mana-mana.
"Bagaimana, Anak Muda?" tanya Senta, membegal keasyikan Andika.
Andika berdehem. Urusan tak akan beres tentunya kalau Seruni masih melekat erat di dadanya.
Dengan wajah sematang-matangnya, wanita itu buru-buru mengangkat wajah dari dada Andika.
"Kita tak punya pilihan, kecuali tetap menuju istana itu. Tapi karena alam tampaknya tak begitu suka, sebaiknya aku saja yang ke sana. Kalian tunggu di sini...," tandas Andika, mencoba memutuskan. Menurutnya, cukup bijaksana untuk tidak menyertakan tiga orang tua dan perempuan ke Istana Durjana.
"Eit, kau pikir kami takut?" elak Moja, gusar. Bibirnya menari maju-mundur, kiri-kanan. Senta berdehem.
"Beri kesempatan pada yang muda, Moja...," ujar-nya mengingatkan adik seperguruannya.
Moja cemberut. Wajah keriputnya jadi mirip gombal. Andika tersenyum, merasa menang.
Lalu dengan nyali tetap kembang kempis, anak muda itu menyiagakan diri sepenuhnya. Seluruh kemampuan kecepatan warisan Pendekar Slebor dikerahkan pada satu kewaspadaan puncak.
Kaki Pendekar Slebor pun melangkah. Amat pelan, amat hati-hati.
Satu langkah, dua, tiga, empat..., sampai Pendekar Slebor tiba di Istana Durjana, nyatanya sambaran petir tak kunjung datang. Andika lega....
Mungkin itu tadi hanya gejala alam biasa, simpul Andika akhirnya.
Mulailah anak muda itu meneliti. Pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah lubang besar di sisi pintu. Otak encernya bisa cepat menduga, kalau batu di bagian itulah yang menjadi pangkal perkara.
Selanjutnya, Pendekar Slebor meneliti lebih seksama. Tak terlalu sulit. Sebentar saja ditemukannya satu yang menarik perhatiannya lagi. Pada dinding sebelah timur istana, ada semacam gambar timbul yang menggambarkan tentang air, memenuhi satu bagian batu dinding saja.
Andika mencari petunjuk lain ke sisi dinding barat. Di sana, ditemukan gambar timbul pula. Seperti bagian timur, ada satu batu dinding yang dipenuhi gambar akar yang menghujam bumi.
Sementara di dua sisi lain, selatan dan utara, Andika menemukan hal yang sama.
Bedanya satu batu besar di dua bagian ini, menggambarkan semburan api besar ke angkasa. Satunya lagi, menggambarkan semacam liang dalam.
"Apa arti ini semua?" desis Andika terdiam di tempat. Teka-teki ini masih terlalu samar buatnya. Itu saja masih kabur. Belum lagi jika memeriksa bagian dalamnya.... Pendekar Slebor masuk ke dalam istana yang sebenarnya lebih tepat disebut puri dari bentuknya yang tak terlalu besar. Di dalam dadanya, ketegangan kian menjadi-jadi.
Ketidaktahuan memang seringkali menjadi biang keladi dari kecemasan berlebihan. Itu dialami pendekar muda ini.
Andika tidak tahu, ada apa di dalam sana. Tidak tahu pula, apa yang akan menimpanya di dalam sana. Jika diperhatikan dari sebutan angker Istana Durjana, sudah menggerayang di segenap bagian benaknya bahwa di dalam bangunan kuno itu bakal berhadapan dengan bahaya maut. Setidak-tidaknya bisa saja menghadapi sosok jadi-jadian. Siluman mengerikan yang memiliki jasad kasar! Membayangkan hal itu, Pendekar Slebor jadi ingat bagaimana saat dulu menghadapi lawan-lawan yang bersekutu dengan makhluk kegelapan. Seorang lawan yang paling diingatnya adalah Manusia Dari Pusat Bumi. Untuk menghadapi orang itu, Pendekar Slebor mesti memasuki satu alam yang selama hidup baru kali itu diinjaknya. (Untuk lebih jelas, bacalah tiga epi-sode: 'Manusia Dari Pusat Bumi', 'Pengadilan Perut Bumi', dan 'Cermin Alam Gaib'!).
Apakah sekarang ini dia pun akan terperosok dalam keadaan serupa" Sementara itu, di luar istana empat orang lain terseret ketegangan masing-masing. Mereka melihat tubuh pendekar muda dari Lembah Kutukan telah ditelan pintu masuk yang menguak lebar, seperti mulut sosok dedemit raksasa.
Benarkah hanya Senta, Danji, Moja, dan Seruni yang menyaksikan itu" Tidak! Di kejauhan sana sekitar lima puluh tombak dari tempat mereka berdiri, seorang lelaki bermata satu ikut juga mengawasi seluruh kejadian. Dia mengintai di kungkungan kegelapan, di balik sebuah gundukan tanah besar yang menyerupai bukit kecil....
Si pengintai berperawakan tinggi besar. Satu matanya telah cacat. Dari bekas lukanya, tampak ada benda tajam telah mendongkel sebelah matanya beberapa tahun lalu.
Wajah lelaki mata satu ini terlalu bengis. Mulutnya lebar seperti ikan mujair. Hidungnya selalu kembang-kempis layaknya kelinci.
Rambutnya pendek dan berdiri kaku. Pada seluruh dagu perseginya, tumbuh brewok tipis kehijauan.
Pakaian si pengintai ini gelap, hingga tersamar oleh malam yang meraja saat ini. Sebagian pakaian atasnya tidak tertutup rapat, memperlihatkan otot-otot keras di bagian dadanya yang selalu bersimbah keringat. Meski bermata satu, lelaki ini ternyata memiliki ketajaman pandangan luar biasa daripada orang lain.
Meski hari saat itu terbilang gelap, matanya masih bisa meneropong di kejauhan.
Bahkan dengan sedikit me-najamkan pandangan, bisa disaksikannya secara jelas seluruh gambar timbul di dinding Istana Durjana! Padahal jaraknya dengan bangunan sudah tidak memungkinkan lagi bagi mata biasa untuk melihatnya.
"Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda membahayakan, Senta," cetus Danji, melantakkan kebisuan dengan suara mendesis-desis.
"Apa tak sebaiknya kita menyusul anak muda itu?"
"Kau tak percaya pada pendekar muda itu?" tukas Senta.
"Bukan! Aku cuma khawatir. Bukankah kita belum sempat menceritakan padanya tentang keadaan di dalam istana itu?" sergah Danji mendesis lagi.
Dengan tangan kanan yang selalu dililit ular pohon kecil, Danji menunjuk tegas-tegas ke Istana Durjana. Wajah Senta berubah.
Benar, kata adik seperguruannya. Dia baru ingat, ada hal yang luput diceritakan pada anak muda yang kini berada di dalam sana, "Gusti...! Kenapa aku jadi begitu bodoh?" bisik Senta. Kekhawatiran menyelinapi wajahnya cepat.
"Sebaiknya aku menyusul dia ke dalam sana. Sementara, kalian tetap waspada di sini. Siapa tahu ada orang yang tidak kita kehendaki." Secepatnya, lelaki tua berpakaian putih kusam itu berlari ke arah Istana Durjana.

***

Apa yang sesungguhnya dikhawatirkan Senta tua" Menurut cerita guru besar Tiga Penunggu Telaga Larang, dalam Istana Durjana terdapat ancaman maut.
Siapa pun, orang yang memasukinya, akan ditunggu bahaya. Tak terkecuali, Pendekar Slebor. Di dalam sa-na setidaknya ada empat penunggu untuk empat ruang berbeda. Ruang pertama yang terletak di bagian timur, kini sedang dipandangi Pendekar Slebor. Ada pintu masuk besar yang bergambar sama dengan dinding luar sebelah timur Istana Durjana. Bedanya, gambar ini dibuat dari cairan logam.
"Air bah...?" gumam Pendekar Slebor. Apa artinya" Terbersit tanya di hati anak muda itu. Tanpa sadar, kepalanya menggeleng. Gambar itu masih tetap samar maknanya. Cuma satu yang mesti dilakukan untuk bisa mengerti. Memasuki ruang itu! Sebelum sempat Andika menjamah badan pintu....
"Anak Muda, tunggu!" Senta sudah datang dan mencegahnya.
Niat Andika terjegal. Semula hatinya terkesiap mendapati seruan lelaki tua yang tiba-tiba di belakangnya. Keadaan dirinya saat itu sedang berada di puncak ketegangan. Barangkali, sedikit jawilan kecil di belakangnya bisa membuatnya meruntunkan serangan seketika. Tapi karena telinganya sudah cukup terlatih untuk mengenali suara apa pun, terlebih suara seseorang, Andika hanya sempat sedikit terlonjak.
"Ada apa, Orang Tua" Kenapa menyusul ku" Apa ada sesuatu terjadi di luar"!" tanya Andika beruntun.
Wajahnya yang sudah tegang, kian menegang.
Senta sampai di dekat Andika.
"Tenang.... Tak ada apa-apa di luar sana. Aku hanya ingin memberitahukan kau tentang cerita yang luput," jelas Senta satu-satu.
Dari wajahnya terlihat kalau orang tua itu pun tegang. Berkali-kali matanya melirik cepat ke ruang utama serta empat ruang yang memagarinya.
Takut-takut ada sesuatu yang tiba-tiba menyerang.
"Sebaiknya kau cepat menceritakan kepadaku," pinta Pendekar Slebor bergegas.
"Kita tak cukup punya waktu untuk itu."
"Tapi setidaknya, kau memberitahukan aku satu bagian yang paling penting!" tandas Andika bersikeras.
Senta mengangkat tangan.
"Sebentar," katanya. Lalu dia pun mengingat-ingat.
"Menurut guruku, kita tak perlu memasuki Istana Durjana untuk mengetahui rahasia yang tersembunyi. Kalau tak salah, dia memberi ungkapan, 'untuk mengetahui isi manggis, cukup melihat kulitnya'." Otak seencer bubur bayi pendekar muda dari Lembah Kutukan itu berputar tangkas. Direka-rekanya maksud ucapan mendiang guru besar Senta.
"Kau ingin mengatakan aku tak perlu memasuki empat ruangan dalam istana itu?" tebak Andika kemudian. Senta mengangguk.
"Dan, maksud kulit manggis seperti kata guru besarmu, tentu semacam lambang untuk...." Andika berpikir sejenak.
"Dinding luar bangunan ini!" lanjutnya.
"Tepat, Anak Muda!" timpal Senta Tua.
"Sompret! Untung saja kau cepat datang memperingati. Kalau tidak, aku akan lebih lama berkutat dalam empat ruang yang sudah pasti siap merepotkan ku. Sementara waktu terus berjalan, orang yang menemukan Istana Durjana bisa-bisa lebih dahulu menemukan batu yang hilang daripada kita!" cerocos Andika, seperti bergumam pada diri sendiri. Semuanya telah jadi jelas kini.
Tanpa banyak tanya lagi, Pendekar Slebor langsung menggerakkan kaki diikuti Senta. Mereka keluar dari dalam Istana Durjana yang sesungguhnya tak lebih dari perangkap.
Di luar, mereka dikejutkan laporan Danji dan Moja.
"Seruni menghilang!" seru mereka berbarengan pada Andika dan Senta.
Hilang" Bagaimana mungkin"
"Bagaimana kau ini, Orang Tua"! Katamu tadi, tak ada apa-apa di luar!" sahut Andika pada Senta Tua.
Seruni" Perempuan molek itu hilang" Bagaimana pemuda itu jadi tidak sewot" Kalau saja Moja atau Danji yang hilang atau ditelan bumi sekalipun, Andika tak begitu ambil pusing! "Ah! Dasar brengsek!" maki Pendekar Slebor. Di-maki Andika, Senta cuma bisa melotot.

***

Di tempat yang sudah cukup jauh dari Istana Durjana, Seruni terlihat sedang menghadang seseorang.
"Kau tak bisa menyingkir begitu saja tanpa memberitahukan alasanmu padaku, kenapa kau mengintai kami!" Seruni berbicara lantang pada lelaki tinggi besar.
Ternyata, lelaki itulah yang mengawasi dari balik bukit kecil di sekitar Istana Durjana. Lelaki itu diam saja. Diawasinya Seruni seperti seekor rubah jantan mengawasi seekor anak rusa. Binar matanya tergabung dari bersit kebengisan dan naf-su.
"Hei"! Aku bertanya padamu! Apa kau tuli"!" bentak Seruni kembali.
"Kenapa kau pikir aku akan mengatakan alasan ku padamu?" tukas lelaki itu, baru buka suara.
Seruni jadi gusar mendapat jawaban demikian rupa. Sudah tatapannya demikian kurang ajar menggerayangi sekujur tubuhnya, berani-beraninya pula berkata meremehkan seperti itu.
Seruni mendengus. Geram terikut hempasan nafasnya.
"Kalau tak ingin mengatakan alasanmu, maka kau perlu ku curigai." Lelaki itu mengangkat kedua tangannya. Telapak tangannya terbuka lebar.
"Silakan...," katanya. Tetap dengan raut wajah mencemooh.
"Aku malah lebih suka kau tidak hanya mencurigaiku. Tapi, lebih dari itu. Kau tahu maksudku?" Bola mata lelaki ini bergulir genit, memuakkan Seruni.
"Kau memang lelaki kurang ajar yang perlu kuhajar!"
"Aku menunggumu, Nona Manis!" sambut lelaki ini, kian mengarah pada kecabulan.
"Keparat! Hia!" Kemarahan yang terus menjangkit ke ubun-ubun, tak bisa lagi ditahan Seruni Perempuan berusia matang itu menerjang calon lawannya dengan wajah amat murka.
Jep! Satu tendangan terbang dilakukan Seruni. Kaki kanannya mengarah ke kepala.
Namun tanpa kesulitan lelaki ini menepis ke sisi.
Meski punya kesempatan untuk melakukan serangan balasan, tidak dilakukannya. Sepertinya, dia mencoba mengejek Seruni.
Seruni membuat serangan susulan. Kakinya yang lain berputar setengah lingkaran. Lagi-lagi, kepala lawan hendak dihantanmya.
Namun lagi-lagi, lelaki itu berhasil mementahkan tanpa kesulitan dengan merunduk sedikit. Maka sapuan tinggi Seruni pun luput.
"Jangan diam saja seperti itu! Lawan aku!" ledak Seruni, merasa diremehkan.
Lelaki bermata satu menertawainya. Terdengar meremehkan.
"Terlalu menyedihkan kalau tubuhmu yang menggiurkan terluka, Kalau kau terluka, nanti aku tak begitu bisa menikmatinya, bukan"!"
"Busuk!" Seruni makin murka.
"Heaaah!" Tangan perempuan berusia empat puluhan itu mencecar habis bagian dada. Tinjunya menderu bertubi-tubi. Satu pukulan yang dikawal angin kencang meluncur dengan tenaga dalam ditingkatkan menuju puncak. Deb, deb, deb! Seruni sudah terperangkap dalam nafsunya sendiri. Dia terlalu ingin melenyapkan lawan sesegera mungkin. Padahal, itu sangat membahayakan diri sendiri. Lelaki ini bisa memanfaatkan kecerobohan yang terlahir akibat nafsu tarungnya!

***

--| { 6 } |--

Seruni ternyata bukan tandingan lawannya. Memang, perempuan itu telah dididik sekaligus oleh tiga orang tua yang tergolong sakti. Memang, gurunya Senta telah menganggapnya sudah cukup sempurna. Tapi bukan berarti cukup pantas memenangkan pertarungan. Lawan yang dihadapi di samping memiliki pengalaman lebih kental dalam dunia persilatan, bahkan ju-ga salah satu dari tokoh teras dunia hitam. Namanya mulai santer selama tiga tahun belakangan. Dia adalah, Kumbang Mata Tunggal! Kumbang Mata Tunggal turun ke dunia persilatan tiga tahun lalu. Tak seorang pun mengetahui secara jelas asal-usulnya. Banyak yang berpendapat begini, dan tak sedikit yang berpendapat begitu. Semuanya serba simpang siur. Jika asal-usulnya samar, maka tindak-tanduknya sejak turun ke dunia persilatan begitu jelas. Dia seperti mengumumkan kemunculannya sebagai salah satu batu penguat dari benteng golongan hitam.
Baru menjejakkan kaki di dunia persilatan saja, Kumbang Mata Tunggal telah menggagahi seorang pendekar wanita yang cukup disegani di golongan putih. Setelah puas melampiaskan hawa nafsu binatangnya, tanpa perasaan si pendekar wanita dihabisinya secara telengas.
Sepekan kemudian, Kumbang Mata Tunggal membuat kegemparan lagi dengan menculik anak perawan salah seorang tokoh sesepuh golongan putih! Berhari-hari tokoh hitam ini dicari dan diburu.
Kesaktian membuatnya tak pernah bisa diringkus. Banyak orang bilang, dia memiliki ilmu menghilang. Banyak juga orang tak mempercayai. Bisa saja dia hanya menggunakan akal licik. Begitu bantah mereka.
Sekian lama semenjak kejadian itu, Kumbang Mata Tunggal terus saja membangun kekacauan demi kekacauan. Di mana pun ulahnya, seorang perempuan akan menjadi korban birahi tak terkendalinya.
Ada satu kekhasan dari perilaku sesat Kumbang Mata Tunggal. Perempuan-perempuan yang digagahinya rata-rata dari warga dunia persilatan. Orang sering bertanya, kenapa hanya perempuan warga persilatan" Mengapa tak pernah memilih korban perempuan biasa" Bukankah mereka pun tak kalah cantik" Tak kalah menggiurkan" Sementara itu, anak sesepuh golongan putih yang pernah diculiknya tak pernah lagi terdengar kabarnya.
Perawan itu seperti menghilang tanpa rimba. Hanya kenihilan yang ditemui para pencari.
Sampai kini, sesepuh golongan putih yang kehilangan anak perawannya masih terus memburu Kumbang Mata Tunggal.
Dan, bukti keunggulan kesaktian tokoh bejat itu dibuktikan kembali hari ini. Pada jurus-jurus ke delapan puluh, dia berhasil mendongkel pertahanan Seruni. Wanita itu terdesak, terdesak, dan terdesak. Sampai akhirnya.... Plak! Satu tamparan keras menghantam rahang kanan perempuan itu. Amat keras. Bukan sekadar perih yang diderita, tapi juga rasa mual tak terhingga disertai pandangan gelap.
Hanya dengan satu tamparan itu, Seruni dibuat tersungkur ke belakang. Telentang. Tenaganya bagai baru diisap bumi.
"Sudah kubilang, aku tak mau melukai tubuhmu.
Sayangnya, kau terus saja ngotot...," oceh Kumbang Mata Tunggal.
Mata satu-satunya lelaki ini menjilati tubuh Seruni yang telentang. liar sekali.
"Coba kalau kau mau berbaik-baik padaku. Kita bisa membangun satu kemesraan yang melangit!" tam-bahnya ceriwis.
"Cuih!" Seruni membuang ludahnya sendiri ke tanah. Lelaki di depannya dianggap tak lebih berharga daripada ludah itu. Meski kesadarannya nyaris terlempar Seruni tetap memelihara kegeraman. Kemuakan yang me-muncak.
"Kau pikir aku akan sudi!" hardiknya melengking.
"Tentu saja kau akan sudi. Kalau pun tidak, aku akan membuatmu terpaksa melakukannya. Ha, ha, ha, haaa!" Lalu meledaklah tawa Kumbang Mata Tunggal terbahak. Bergejolak.
"Kau...," desisan Seruni terpancung.
Merasa sudah kepepet, Seruni mengambil jalan nekat. Tangannya terangkat ke atas dengan telapak terbuka. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan mata terpejam. Lalu....
Crottt...! "Aaa...!" Didasari tak ingin kehormatannya terkoyak wanita itu menghujamkan tangannya ke perutnya sendiri. Suatu tindakan yang tak diduga Kumbang Mata Tunggal.
Dikiranya, Seruni hendak mengerahkan ajian atau ju rus lain. Tak tahunya, bunuh diri! "Sial!" dengus Kumbang Mata Tunggal, tepat ketika Seruni melepas nyawanya.
Tanpa belas kasihan lagi, bagai serigala lapar Kumbang Mata Tunggal mencabik-cabik mayat Seruni.
Dia benar-benar kesal, karena santapannya lebih memilih bunuh diri. Tak selera bagi Kumbang Mata Tunggal untuk mencumbui mayat.
Padahal, birahinya sudah bergolak. Kekesalan itu dilampiaskan dengan mencabikcabik mayat Seruni. Benar-benar biadab dia!

***

Sampai saat itu, Andika masih digayuti sekian pertanyaan yang belum terjawab. Tentang bagaimana mereka bisa melacak tempat tergoleknya batu terakhir Istana Durjana. Tentunya saat ini, orang yang menemukan bangunan tua terkutuk itu sedang menyusuri petunjuk yang dapat mengantar ke batu tersebut.
Sementara itu, gambar timbul di empat penjuru dinding luar Istana Durjana belum cukup dapat disingkap oleh keenceran otak si pemuda tampan itu.
Belum lagi teka-teki bisa tersingkap, sudah digerecoki perkara lain. Seruni menghilang! Karena tak ingin nyawa Seruni terancam, Pendekar Slebor dan Tiga Penunggu Telaga Larang memutuskan untuk mencari terlebih dahulu.
Mereka semua, khususnya si pemuda 'mata bongsang' Andika, tentu saja khawatir Seruni mengalami sesuatu yang membahayakan jiwanya. Bisa saja tanpa diketahui, wanita itu telah berurusan dengan orang yang menemukan kembali Istana Durjana. Itu bahaya paling besar, mengingat Istana Durjana adalah kunci rahasia untuk bisa menyerap kekuatan alam kegelapan! "Seruni! Oiii, Seruni!" Andika berteriak-teriak di dataran kering sebelah utara, berbatasan dengan kaki Gunung Mayit.
Mereka sebelumnya memutuskan untuk berpencar. Karena mereka berempat, maka masing-masing bisa menuju empat penjuru angin. Pendekar Slebor ke utara, Senta ke selatan.
Sedangkan Danji dan Moja ke barat dan timur.
"Seruniii! Di mana kauuu!" Andika mengulang teriakannya. Rasanya sudah nyaris terkoyak urat lehernya karena berteriak seperti itu. Tapi, orang yang diteriaki tetap tak tampak batang hidungnya. Yang terdengar di telinga anak muda itu justru pantulan balik suaranya. Menjengkelkan! Menyebalkan! "Ke mana lagi aku harus mencari perempuan bahenol itu"!" rutuk hati Pendekar Slebor, mulai digelitik kedongkolan.
Andika berhenti di tengah-tengah arus angin kencang yang melarikan sehimpun debu. Menurutnya, perlu dipikirkan kemungkinan ke mana Seruni pergi.
Ah! Bagaimana Pendekar Slebor bisa membuat dugaan, sementara Seruni menghilang tanpa jejak, tak beda air menguap di luasnya Sahara..." Artinya, cuma keberuntungan saja yang bisa diandalkan untuk menemukan Seruni. Dalam adukan rasa kebingungan, Andika dipanggil seseorang dari jauh.
"Anak Muda! Seruni telah kami temukan!" Andika mengenali suara tadi. Itu panggilan Senta.
Dari suaranya, telinga tajamnya menangkap kegetiran.
Ah! Ada apa dengan Seruni" Andika berbisik dalam hati. Lantas tubuhnya digenjot ke arah panggilan Senta.
"Apa yang terjadi pada Seruni, Orang Tuaaa?" lemah Pendekar Slebor bertanya setibanya di tempat kejadian.
Tiga Penunggu Telaga Larang sudah berdiri di sana. Masing-masing menahan kekakuan, memerani kebisuan. Mereka hening, menyaksikan bagaimana mengenaskan keadaan perempuan yang pernah dianggap anak mereka sendiri.
Ketiganya tidak menyahuti pertanyaan Andika barusan. Bukan tak mau menjawab, tapi memang tidak bisa berkata apa-apa. Lidah mereka kelu oleh pemandangan menyakitkan yang disaksikan.
Hanya mata mereka yang menatap nanar ke arah jasad Seruni, mewakili kata yang tak terucap.
Di atas tanah, Seruni sudah kehilangan nyawa.
Pada beberapa bagian tubuhnya terlihat koyakan seperti baru saja dicakari sekawanan serigala.
Mereka tahu, bukan serigala yang telah melakukan itu. Serigala hanya akan membunuh jika lapar.
Kalau benar binatang itu, tentu sebagian tubuh Seruni sudah dibawa lari.
"Biadab! Perbuatan siapa ini"!" geram Pendekar Slebor.
Dalam dada si pemuda seperti diguncang gempa saat itu. Terasa mau meledak. Nafasnya terombangambing. Luapan kemurkaan itu membuatnya tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala.
"Akan ku rencah siapa pun manusia busuk yang telah melakukan ini!" jerit Pendekar Slebor mengoyak langit malam. Wajahnya sulit tergambarkan. Seakan ada yang tergarang di sana.
Anak muda dari Lembah Kutukan itu tak bisa lagi menatap tubuh Seruni yang terkoyak. Dilemparnya pandangan ke arah lain. Sementara, suasana dirinya tetap seperti neraka.
"Pasti akan ku rencah kau...," desisnya seperti bersumpah pada semesta.

***

--| { 7 } |--

Jasad perempuan malang Seruni, baru selesai dikuburkan di bumi yang sama tempat dia menjemput ajal. Gundukan tanah kering dikelilingi empat orang yang tertunduk dalam, sedalam kedukaan atas per-ginya Seruni.
Andika meski belum cukup lama mengenal perempuan itu, dapat merasakan pula segala apa yang dirasa Tiga Penunggu Telaga Larang.
Kematian memang terkadang terlalu menyakitkan.
Apalagi, jika si mayat adalah orang terdekat. Lebih menyakitkan dari itu semua bagi Tiga Penunggu Telaga Larang adalah, bagaimana Seruni menemui ajal. Si pembunuh mencabik-cabik mayatnya. Bagaimana mereka tidak teramat sakit membayangkan hal itu" Doa dipanjatkan dalam kebisuan, dengan patah demi patah kata hati masing-masing. Angin malam tetap memburu ke segenap arah. Tak peduli pada kedukaan, debu tetap beterbangan menerpa pakaian mereka yang berkibaran.
Mereka semua yakin, Seruni telah dibunuh orang yang kini dicari. Manusia yang juga telah menemukan kembali Istana Durjana.
Mereka menduga, tentu sang musuh berusaha membunuh mereka satu persatu. Setidaknya, membuat gentar tekad mereka untuk menggagalkan dikembalikannya batu terakhir ke Istana Durjana.
"Kita tak bisa lebih lama di sini," Senta membuka kesunyian mereka.
Danji dan Moja menatap Senta. Wajah mereka seperti ingin meminta pada kakak seperguruannya untuk tinggal lebih lama. Kalau mungkin, ingin menghabiskan malam menyakitkan itu dengan berdiri diam di sisi makam Seruni.
"Aku tahu, aku pun ingin lebih lama berdiri di tempat ini. Rasanya, aku masih tak percaya kalau muridku yang sudah seperti anakku, telentang kaku di dalam gundukan ini...," desah Senta. Matanya nanar menatap gundukan tanah kering berdebu.
"Tapi kita mesti sadar. Dunia sedang terancam satu malapetaka besar, jika orang terkutuk itu menemukan kembali ba-tu terakhir Istana Durjana...."
"Aku tak peduli!" sentak Moja tiba-tiba. Wajahnya menegang seketika.
"Aku tak bisa meninggalkan Seruni di sini sendiri!" Suara Moja dibayangi getaran mirip isak. Rupanya lelaki tua bermulut cerewet itu tetap menganggap Seruni masih hidup.
Senta menggeleng-geleng. Sementara Andika menatap iba. Sudah sebegitu dekatnya mereka pada Seruni, hingga kematiannya pun sulit dipercaya.
"Seruni sudah mati, Moja!" tandas Danji dengan kalimat mendesisnya.
Moja menggeleng-geleng kuat-kuat. Sepertinya kepalanya sendiri hendak dilepaskan dengan gelengannya.
"Aku tak percaya! Aku tak percaya!" pekik Moja Senta dan Danji yang masih mampu bertahan dari rasa kehilangan yang luar biasa, saling berpandangan.
Keduanya sadar, bahwa tak bisa lebih lama di tempat itu. Yang mati akan tetap menjadi mayat, meski me-nunggui makam sampai kiamat. Tapi entah di mana, seseorang siap meletuskan petaka besar! Danji yang berdiri di sisi Moja seperti mengerti isyarat mata Senta. Hati-hati, didekatinya Moja yang menutup wajah. Tiba di dekatnya.... Tuk! Moja dilumpuhkan dengan satu totokan.
"Bagaimana?" tanya Andika, ketika berhasil memapah tubuh Moja agar tak tersungkur.
"Kita terpaksa membawanya...," keluh Senta. Wajah Pendekar Slebor mulai berubah kecut. Kalau begitu urusannya, sudah pasti si anak muda yang bakal membopong tubuh Moja. Padahal biar tua, lelaki itu lebih berat daripada anak kerbau. Malah baunya tak karuan lagi! "Dasar nasib apes!" gerutu Andika dalam hati.
Mereka pun meninggalkan makam Seruni.
"Ke mana harus mencari orang durjana itu, Anak Muda?" tanya Senta.
"Sementara harus segera mene-mukannya, kita malah tidak tahu ke mana harus memburu. Ini sama artinya mencari jarum dalam tumpukan jerami."
"Yaaa...," timpal Danji mendesis.
Andika meletakkan tubuh Moja ke tanah. Sebenarnya, lebih tepat dikatakan 'membanting'. Habis..., badan Pendekar Slebor sudah pegal-pegal setelah sekian lama membopong orang tua berpakaian hitamhitam itu. Pendekar muda itu melepas napas sarat-sarat.
Dihenyakkannya badan ke sebatang pohon besar yang tumbang. Membopong Moja membuatnya nyaris modar kecapek-an. Sompret sekali! "Menurutku, kita harus lebih dahulu memecahkan teka-teki yang ada di empat penjuru dinding luar Istana Durjana," cetus Andika setelah napas seninkemisnya sudah tak terlalu merongrong.
Senta dan Danji menunggu ucapan si pendekar muda kesohor Tanah Jawa lebih lanjut.
Dipandangi begitu, wajah simpang siur Pendekar Slebor makin berantakan.
"Kenapa kalian menatap ku seperti itu" O, kalian pikir aku juga yang harus memikirkan teka-teki yang ada di dinding istana sial itu?" omelnya sewot.
"Huh..
rumit! Rumit...!"
"Tapi, kami mengandalkan kau, Anak Muda. Kami dengar, kecerdikan dan kepandaianmu seringkali mampu memecahkan teka-teki yang orang persilatan lain sulit menduganya," sanjung Senta.
Sebenarnya, lelaki tua itu bersungguh-sungguh.
Dia sudah kehabisan akal. Di samping sudah terlalu tua untuk memecahkan teka-teki, pikirannya masih tak bisa disatukan. Otak tuanya masih sering diusik bayangan Seruni.
"Kalau soal itu, aku sudah tahu dari dulu," Andika mencibir. Diam-diam, hidungnya jadi kembang kempis juga mendapat sanjungan tadi.
"Kalau begitu, tolonglah kami...," pinta Senta. Terselip getar memelas pada suaranya, meski lelaki tua itu berusaha tegar.
Pendekar Slebor mengangkat bahu. Kalau ada orang yang memelas seperti itu, Andika pasti tak ber-kutik. Padahal, jengkelnya masih tersedak di tenggorokan. Andika diam. Keningnya berkerut. Alisnya bertaut.
Dia berkutat, memikirkan teka-teki gambar timbul di dinding Istana Durjana.
Sekian lama berpikir, otaknya jadi memanas. Tapi, tak berarti ada percikan jalan keluar. Apa maksudnya dengan gambar air yang tergurat di dinding utara Istana Durjana" Apa pula maksud gambar lain di dinding berbeda"
"Sompret! Buntu! Buntu!" maki si pemuda, sewot sendiri. Sambil memaki dilepasnya tinju ke sebuah pohon cemara kering besar.
Dukh! Praaak! Bruk! Dini hari menjelang pagi, dikotori suara riuh tumbangnya a pohon kering itu. Ujung pohon yang meruncing, jatuh ke arah semburat sinar merah tembaga sinar matahari muda.
Menyaksikan hal itu, benak Andika terusik. Dahan cemara kering memberinya ilham.
"Arah! Arah!" pekik Pendekar Slebor, seperti orang gila.
"Arah"! Arah apa maksudnya"!" tanya Senta, terbelalak.
Pendekar Slebor menandak kian kemari.
"Setiap gambar di Istana Durjana diletakkan pada sisi berbeda, bukan?" tukasnya kemudian, setelah ke-sintingannya mendadak reda.
"Iya," Senta dan Danji membenarkan.
"Lalu"!" Jari telunjuk si pemuda berontak encer berputarputar di udara.
"Artinya, batu itu kemungkinan ada di empat penjuru berbeda!" jelas Andika menggebu-gebu.
"Sekarang aku ingin bertanya padamu, Orang Tua!"
"Tanyalah!," sambut kedua lelaki tua itu, berbarengan lagi. Sepertinya, mereka adalah dua orang bocah yang baru belajar bicara.
"Telaga Larang terletak di sebelah mana dari Istana Durjana?" Senta dan adik seperguruannya saling berpandangan.
"Timur," jawab mereka, lagi-lagi berbarengan.
"Nah!" Kontan dua tua bangka yang sedang sungguhsungguh memperhatikan wajah Andika terlonjak mendengar gebahan begitu. Nyaris saja mereka melompat.
"Apa"!" desis Danji, tak sabar.
"Bukankah dinding sebelah timur menggambarkan air" Itu artinya, Telaga Larang adalah salah satu tempat di mana batu itu kemungkinan berada," papar Andika.
"Tapi, kenapa batu itu malah tidak ada sewaktu dicari?" tukas Senta ingin tahu.
Penasaran dia.
"Itu untuk sedikit mengelabui orang yang hendak mencari batu. Setidak-tidaknya, pencariannya akan terhambat. Atau malah, tidak mendapatkan sama sekali, kalau sampai terbunuh penjaga tempat."
"Jadi kami hanya menunggu telaga yang sesungguhnya hanya pancingan untuk mengalihkan perhatian?"
"Nah! Betul! Dan kalau di empat bagian dinding istana sial itu ada empat gambar berbeda, artinya batu itu mungkin berada di salah satu dari empat tempat berbeda pula. Lalu kalau telaga ditunggu oleh kalian, tentu tiga tempat lain pun dijaga pula."
"Kenapa begitu?" tanya Danji, tak jelas.
Andika menyumpahi dalam hati. Dasar tua bang ka. Otaknya pasti sudah setumpul pantat wajan! "Tentu saja agar orang yang berusaha mendapatkan batu itu akan dihalangi mereka yang menjaga keempat tempat yang dimaksud. Seperti kalian menjaga Telaga Larang. Sementara, meski sudah berhasil mengalahkan para penjaga tempat, belum tentu pemburu batu akan mendapatkannya! Karena, batu itu hanya ada di salah satu dari empat tempat!" papar Pendekar Slebor, sambil menelan kejengkelannya.
Bibir Danji melekuk.
"Ah, aku belum paham juga!" cetusnya.
Andika makin kenyang menelan kejengkelan. Benar-benar bebal! "Kalau begitu, ke mana sekarang kita harus memburu orang itu?" sela Senta.
"Karena telaga tak didatangi seorang pun sampai saat kita berangkat, sebaiknya cari ke arah lain."
"Bagaimana cara menentukan tempat yang kita tuju, sementara kita punya tiga pilihan?" tanya Danji.
"Kalau Telaga Larang di sebelah timur, berarti ada tiga arah lagi. Utara, barat, dan selatan.... Lalu, apa artinya gambar di tiga bagian itu?" Andika menekan kening dengan telunjuk. Wajahnya berkerut. Jelek sekali.
"Wah iya, ya...," bisiknya samar.
Pendekar Slebor lantas menatap pada dua orang tua di depannya. Sebuah tatapan penuh binar.
"Eh, tunggu!" cetus Andika setelah berpikir sejenak.
"Sebelum sampai ke gubuk kalian, aku menemukan mayat yang tergeletak di dekat sebuah sumur aneh. Sumur itu dipagar besi berukir. Sementara, di dasarnya tidak ada air sama sekali. Aku jadi ingat pa-da gambar liang dalam yang tergurat di dinding sebelah utara. Sumur itu pun berada di sebelah utara Istana Durjana. Bukankah sumur bentuknya seperti hang dalam?" gumam Andika sendirian. Seperti orang linglung. Di depan Pendekar Slebor, dua lelaki jompo sibuk mengangguk-anggukkan kepala. Mengerti tidak mengerti, pokoknya mengangguk! Andika berjalan hilir-mudik.
"Itu artinya, si pemburu batu telah mendatangi tempat di sebelah utara. Mungkin, lelaki perlente berpakaian ningrat itulah yang menjadi penunggu sumur.
Dia mati di tangan si pemburu batu, karena mempertahankan sumur aneh itu.... Ya..ya..ya.... Kalau si pemburu batu sampai saat ini belum juga tiba, artinya batu itu belum didapatkan.
"Hei, Anak Muda! Jangan terus mondar-mandir saja! Ayo, katakan! Apa yang mesti kita lakukan"!" Maksud Danji mau menghardik. Tapi karena suaranya tak begitu jelas, malah terdengar seperti geru-tuan.
"Kalau begitu, kita tinggal menentukan dua arah lagi. Selatan, atau barat!"
"Tentukanlah" paksa Senta.
"Kalian orang tua, kenapa hanya bisa mengaturatur anak muda saja"!" kilah Pendekar Slebor. Hatinya dongkol terus didikte seperti itu.
"Mana mungkin aku bisa memastikan ke mana orang hendak pergi!"
"Lalu, apa usulmu?" desak Senta.
"Mau tak mau kita harus membagi tugas!"
"Nah begitu...," desis Danji, ingin memuji.
Andika malah menyangka dia menggerutu lagi.
"Aku akan melacak ke sebelah barat. Sedangkan kalian berangkat ke selatan!" putus Pendekar Slebor, cepat.
"Tempat apa yang harus kami tuju?" tanya Senta.
Andika memikirkan kembali gambar timbul dinding sisi-sisi selatan. Di sana, ada gambar semburan api besar ke angkasa "Semburan api besar ke angkasa?" gumam Andika. Sulit juga Andika memecahkanhya.
Karena sulit, pandangannya diarahkan ke selatan. Gambar itu memang berada di dinding selatan. Jadi arah itu yang dimaksud.
Sinar mentari yang kian berani memancar, menyapu puncak Gunung Mayit yang menjulang kokoh di sebelah selatan. Dan puncak gunung kini jadi pusat perhatiannya.
"Gunung itu!" ledak Andika pasti.
"Gambar di dinding selatan hendak menggambarkan gunung bera-pi itu!" Menyaksikan bagaimana cepat otak pemuda brengsek itu berputar, Senta dan Danji nyengir berbarengan. Kepala mereka menggeleng-geleng.
"Kalian tunggu apa lagi"!" bentak Pendekar Slebor.
Dasar pemuda tak tahu adat! "Tapi, bagaimana dengan Moja?" kilah Senta.
Wajah Andika kontan berantakan. Sudah pasti dia juga yang mesti membopong orang tua bau itu! Ya..., apes lagi.

***

--| { 8 } |--

"Hum!" Takdes! Pagi damai dilantak hentakan-hentakan berirama maut, tepat di ubun-ubun Gunung Mayit. Tepat di sisi kawah besar berisi gejolak lahar panas, dua lelaki ter-libat pertarungan ganas.
Seorang dari mereka adalah lelaki berambut panjang. Sementara lawannya melihat ciri-cirinya yang khas berupa matanya yang cuma satu, jelas dia adalah si Kumbang Mata Tunggal. Setelah mencabik-cabik mayat Seruni, Kumbang Mata Tunggal langsung menuju ke puncak Gunung Mayit. Memang, selama ini dia telah menguntit lelaki berambut panjang sejak Istana Durjana ditemukan, hingga memergoki rombongan Pendekar Slebor meneliti Istana Durjana.
Lelaki itu rupanya tahu hikayat purba tentang berdirinya Istana Durjana. Dalam hatinya sudah terpe-ram demikian lama keinginan untuk menemukan bangunan itu, sekaligus mengembalikan batu terakhirnya.
Jiwa laknatnya pun mendambakan keabadian dan kekuasaan tanpa batas. Seperti juga, setiap manusia di muka bumi. Bedanya, setiap manusia punya tingkat kekuatan batin berbeda untuk menghadapi godaan seperti itu. Dengan akal liciknya, Kumbang Mata Tunggal membiarkan si lelaki berambut panjang menyusuri tempat batu terakhir berada. Bila tiba saatnya nanti, tinggal direbutnya dari si lelaki gondrong tanpa harus menghadapi seluruh penjaga empat tempat yang ditunjuki di dinding Istana Durjana. Tanpa menanam, dia ingin memetik buahnya.
Untuk beberapa lama, rencana licik Kumbang Mata Tunggal berjalan mulus. Sampai akhirnya, lelaki berambut panjang memergokinya sedang mengintai dari kejauhan. Maka meledaklah kemarahan si lelaki gondrong. Bagaimana mungkin dia akan membiarkan orang lain mendapatkan batu dari nasi perjuangannya" Seperti tidak mungkinnya seekor anjing ingin berbagi tulang dengan anjing lain.
Maka pertarungan pun tak bisa dihindari lagi.
Malah kini, baku hantam di antara mereka telah memasuki jurus-jurus paling mematikan. Si lelaki berambut panjang telah pula mengandalkan rambutnya sebagai senjata. Jika rambut itu sudah berubah menjadi senjata maut, artinya tidak ingin mengulur waktu lebih lama. Lawan akan dihabisi secepatnya.
Menjelang pendakian ke puncak pertarungan dua orang lain sampai di tempat itu. Mereka tak lain dari Senta dan adik seperguruannya, Danji.
"Hentikan pertarungan!" teriak Senta, sarat wibawa bercampur kemurkaan.
Mata lelaki berbaju putih kusam itu berkilat-kilat menerkam bergantian dua lelaki yang langsung menghentikan pertarungan.
"Jawab pertanyaanku! Siapa di antara kalian yang telah lancang mengusik Istana Durjana?" teriak Senta, meledak-ledak. Ketuaan pada wajahnya tidak berarti mengurangi keberingasan. Dia laksana seekor naga tua yang siap memangsa.
Dua lelaki di sana tidak ada yang berniat menjawab.
"Ku ulangi! Siapa di antara kalian yang telah lancang mengusik Istana Durjana"!" ulang Senta lebih menggelegar.
"Aku...," sahut lelaki berambut panjang. Wajah amat pucatnya tidak menampakkan perubahan sama sekali. Teramat dingin, seperti tak pernah lagi memiliki rasa.
"Bagus...!" geram Senta terseret. Mata lelaki ini semakin menyorot tajam, menyiratkan kemurkaan.
"Kalau begitu, pasti kau pula yang telah memperlakukan muridku demikian biadab!" tandas Senta kembali.
Mungkin tak salah bila Senta memusuhi si lelaki berambut panjang. Sebab biar bagaimanapun, orang itu berdiri di barisan tokoh sesat. Tapi untuk melem-parkan tuduhkan kedua, Senta jelas keliru. Si lelaki berambut panjang tak pernah melakukan apa pun terhadap Seruni. Bertemu saja belum.
"Aku tak ada waktu untuk mendengar bualan mu, Orang Jompo!" tepis lelaki berambut panjang amat kasar.
"Heh"!" dengus Danji tak kentara.
"Enak sekali kau mau lari dari tanggung jawab, setelah puas menghambur-hamburkan kelaknatan mu!" hardik Senta.
"Kau harus membayar nyawa murid kami!" timpal Danji mendesis-desis.
Lalu....
"Huaaa!" Berbarengan, dua orang tua kalap itu meluruk ke arah lelaki berambut panjang. Selaku orang yang sudah terlalu kenyang menelan garam dunia persilatan, tidak sepantasnya mereka segelap mata itu. Karena kemungkinan besar, justru akan rugi sendiri.
Cuma karena mereka benar-benar tidak bisa menerima keadaan Seruni, perempuan yang telah dianggap seperti anak sendiri, membuat pikiran waras jadi mengabur.
"Pergilah kau ke neraka!" Wush! Sambaran tangan kanan Danji datang hendak mematuk wajah lawan. Tak hanya tangan itu. Ular pohon berbisa yang melilitnya pun siap mengirim bisanya. Lelaki berambut panjang hanya menggelengkan kepala ringan ke samping.
Pada saat nyaris bersamaan, Senta melancarkan sambaran cakar dari samping ke wajah lawan pula.
Dari serangan awal itu saja, tampak sekali bagaimana dua lelaki tua sudah terbiasa menyiapkan jurus gabungan. Jika satu orang menyerang ke satu arah maka yang lain akan menyerang dari arah lain. Dengan begitu, ruang gerak lawan bisa terkunci.
Namun meski usia lelaki berambut panjang bertaut jauh dengan kedua lawan, bukan berarti bakal terkecoh. Tanpa terlihat kelimpungan, dipapakinya sambaran cakar Senta dengan siku.
Debs! Hebatnya lagi, ujung siku itu tepat menghantam bagian tengah telapak tangan Senta. Padahal sikunya meleset sedikit saja, maka jari tangan sekeras baja Senta akan mengoyaknya. Kejelian mata lelaki berambut panjang rupanya bisa menangkap keampuhan jari Senta. Itu sebabnya, sikunya ditempatkan tepat di tengah telapak tangan lawan.
"Pintar juga kau, Bocah!" Selesai menyanjung yang sesungguhnya tak lebih dari cemoohan, cakar Senta merenggut cepat. Siku lawan masih menempel di telapaknya. Dan dia ingin merontokkannya dalam sekali cengkeram! Crep! Cuma bunyi itu yang tercipta. Sementara, cengkeraman jari Senta tak berhasil meremukkan tulang siku lawan, karena maksudnya terlalu cepat terbaca.
Pecahnya pertarungan antara Senta dan Danji melawan lelaki berambut panjang, membuka peluang amat lebar bagi Kumbang Mata Tunggal untuk menggulirkan rencana liciknya. Betapa mekar hati busuknya mengetahui dua lelaki tua telah menimpakan semua perbuatan yang dilakukannya pada lelaki berambut panjang! Sungguh, ini di luar rencananya.
Meski begitu, tidak ada yang ingin disiakan Kumbang Mata Tunggal. Sementara tak ada seorang pun mempedulikannya lagi, akan didahuluinya lelaki berambut panjang untuk mengambil batu. Dia sendiri kini tahu tempat batu itu, ketika menguntit.
Sebelumnya, lelaki berambut panjang bersemedi cukup lama di tepian kawah Gunung Mayit. Usai menyelesaikan tapa singkatnya, dia berjalan dengan mata terpejam. Seolah, ada yang menuntunnya untuk menuruni lereng kawah. Di depan salah satu bagian lereng yang mencekung ke dalam, barulah matanya dibuka. Saat itu bibirnya melengkung. Entah menyeringai, entah pula tersenyum. Sesudahnya, dia terbahak tergelak-gelak.
Kumbang Mata Tunggal pun yakin, lelaki berambut panjang telah berhasil menemukan tempat terkuburnya batu terakhir Istana Durjana, sebelum akhirnya tertangkap basah oleh lelaki berambut panjang.
"Bertarunglah kalian sampai mampus!" serapah-nya mendesis. Bibirnya menyeringai memendam ke- menangan. Mengendap-endap, Kumbang Mata Tunggal menuruni lereng kawah. Di seberang sana, bagian mencekung terlihat. Kalau berjalan dari atas, maka orang yang bertarung di sana akan melihatnya. Satu-satunya jalan, harus beringsut menyusuri lereng kawah. Namun kendalanya, sedikit saja salah pijak, tubuhnya tak ayal lagi akan ditelan gelegak lahar di bawah sana! "Ah, peduli setan!" Kumbang Mata Tunggal tak lagi peduli. Yang menari-nari dalam benaknya hanya janji sang Durjana untuk memberinya keabadian dan kekuasaan tak terhingga! Perlahan dan hati-hati, kaki Kumbang Mata Tunggal menjejaki satu bagian demi bagian lereng yang menonjol. Setiap bagian, teramat rapuh. Berat seekor kucing saja sudah bisa menggugurkannya. Kalau saja tingkat ilmu meringankan tubuhnya tang-gungtanggung, jangan harap bisa tiba di seberang lereng dengan selamat! Dengan menguras segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, Kumbang Mata Tunggal terus menyusuri lingkaran lereng. Jarak yang mesti ditempuh cukup jauh. Dengan jalan perlahan-lahan seperti itu, akan memakan waktu cukup lama. Tapi, dia tetap yakin kalau pertarungan di atas sana akan berlangsung alot. Dua lelaki tua bukan orang sembarangan.
Sementara, lawannya pun sudah membuktikan kedigdayaannya ketika bertarung dengan Kumbang Mata Tunggal. Jadi, tak ada yang perlu dirisaukan. Kumbang Mata Tunggal tetap yakin bisa memetik keuntungan tanpa harus banyak mengeluarkan keringat. Satusatunya yang mesti diusahakan kini adalah, bagaimana agar perhatiannya benar-benar terpusat pada lereng. Tidak sulit kalau lereng itu memiliki pijakan cukup luas. Kalau yang mesti dijadikan pijakan hanya tonjolan sebesar telapak tangan, apa itu tidak jadi masalah" Di tengah jalan, mendadak tonjolan lereng yang dipijak lelaki ini berguguran. Bagian itu rupanya terlalu rapuh, meski Kumbang Mata Tunggal telah menguras ilmu meringankan tubuhnya.
Gruuuk! Wrrr! Pecahan rapuh bagian lereng berguliran cepat menuju gelegak kawah. Kumbang Mata Tunggal terkesiap. Keseimbangannya saat itu juga tak terkendali.
Tubuhnya limbung ke arah mulut kawah. Mata lelaki itu mendelik. Uap panas di bawah sana menerpa wajahnya. Keringat sebesar biji jagung yang telah berbaur uap kawah, sepertinya terasa mengering tiba-tiba begitu tubuhnya bergulingan di lereng menurun, menuju mulut kawah yang meletup-letup!

***

--| { 9 } |--

Sepanjang perjalanan ke arah barat, benak Pendekar Slebor terus berkutat. Semua gambar di empat sisi dinding Istana Durjana diingatnya, terpatri jelas-jelas dalam ingatannya, Termasuk, gambar di dinding sebelah barat.
Persoalannya sekarang, Pendekar Slebor masih belum bisa menemukan titik terang maksud gambar timbul tersebut.
"Akar menghujam bumi?" gumamnya mengingat gambar itu.
Kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari seratus kali menyebut-nyebut gambar itu. Dia bingung, tapi merasa harus memecahkannya. Jadinya, malah mirip orang linglung yang mengulang-ulang ucapan serupa, selagi terus berlari. Apalagi, di punggungnya ada beban berat menjengkelkan! "Kutu Buduk! Tikus Borok!" maki Pendekar Slebor keras-keras.
"Kenapa aku selalu mendapat bagian paling menyusahkan"!" Karena merasa tak berguna hanya memikirkan arti gambar timbul di benaknya, anak muda itu memutuskan untuk tetap berlari ke arah timur. Berlari saja," pikirnya. Tak peduli pada Moja tua yang terguncangguncang tak karuan. Siapa tahu, secara kebetulan bisa menemukan jawaban di jalan! Setelah cukup lama berlari ke arah barat, anak muda buyut Pendekar Lembah Kutukan ini tiba di sebuah hutan yang membentang di ujung barat Gunung Mayit.
"Hutan?" gumam Pendekar Slebor seperti baru tersadar dari mimpi.
Andika mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kegelapan hutan. Sinar sengit siang tak berdaya di dalam sana. Pohon-pohon tumbuh terlalu bongsor.
Daunnya memadati angkasa, seolah menjadi benteng terhadap serbuan sinar matahari.
Sampai di situ, bibir Pendekar Slebor terungkit.
Ada yang membuatnya terasa tertimpa berkah melimpah ruah.
"Pohon!" pekiknya seperti perawan tua bertemu perjaka tampan. Kakinya melonjaklonjak kegirangan.
Merasa kegirangannya, tak akan sempurna kalau masih membopong tubuh Moja. Maka, anak muda itu melempar tubuh tua bangka itu seenaknya.
Bruk! Kalau saja si tua bangka itu sedang siuman, sudah pasti bakal dilabraknya Pendekar Slebor sampai terkencing-kencing! Dari lonjakan-lonjakannya, Pendekar Slebor mendadak pula berhenti. Dia terdiam lagi. Wajahnya terlipat rapat-rapat.
"Kalau gambar itu adalah perlambang pohon, bagaimana aku bisa menemukan pohon yang dijadikan tempat menyembunyikan batu dari istana sial itu, sementara di tempat ini ada sekian ratus pohon besar!" gerutu Andika, menyadari ketololannya sendiri.
Dan sumpah serapah paling meriah pun tersemprot dari mulutnya.
Tak lama berikutnya, sikap si anak muda urakan ini berubah mendadak lagi. Seperti sebelumnya, tubuhnya terdiam. Bola matanya terangkat, memikirkan sesuatu.
"Tapi, tentu pohon yang dijadikan tempat menyembunyikan batu memiliki ciri tertentu," bisiknya.
"Pohon itu pasti berbeda dengan yang lain. Ah! Aku harus mulai mencari satu pohon yang berbeda!" Dari bersemangatnya, secepat itu pula wajah Andika terlipat kembali.
"Tapi..., sompret! Pohon sebanyak ini"!" maki Pendekar Slebor dengan mata terbelalak. Dia hendak men-gajukan ketidaksenangannya, tapi pada siapa" Andika tak peduli. Pemuda itu hanya tahu kalau saat ini dongkol besar! Besuaaar! Sambil terus memaki-maki, Pendekar Slebor mengangkat kembali tubuh Moja. Lalu pencariannya dilanjutkan.
"Mudah-mudahan ada dedemit hutan yang sudi memungut tua bangka ini menjadi menantunya!" gerutu si pemuda tak kentara saat mulai berlari. Selang sepeminum teh, langkah lari Pendekar Slebor mendadak dihadang satu terjangan.
Wusss...! "Hah"!" Si penyerang menyeruak ganas dari semak-semak lebat. Andika tahu, kalau saat ini tidak sedang diterkam binatang buas. Ada seseorang yang tidak menyukai bila pencariannya dilanjutkan. Yang tidak diketa-huinya, siapa orang itu" Pendekar Slebor cepat berjumpalitan. Gerakannya lincah, biar pun ada beban seberat anak gajah di pundaknya.
"Heaaa!" Tep! Anak muda sakti itu hinggap di sebatang ranting! sebesar jari kelingking, di atas pohon randu besar.
"Siapa kau"!" bentak Andika bertanya.
Pendekar Slebor melihat seorang tua berdiri di bawah sana. Dari cara berdirinya yang agak limbung, bisa ditebak kalau orang itu sedang menderita luka dalam parah.
"Kau siapa"!" orang itu balik bertanya.
"Eee.... Belum menjawab sudah bertanya pula"! Aku tanya, siapa kau"!"
"Hmm.... Kau yang mesti menjawab, siapa kau"!" Andika menarik napas dalam-dalam. Kalau terusterusan berebut pertanyaan seperti itu, urusan bakal tidak selesai sampai kiamat! "Baik! Aku Pendekar Slebor! Kedatanganku ke sini karena satu urusan yang teramat genting!" jelas Andika, mencoba mengalah.
Si penyerang yang ternyata Kakek Penjaga Makam memaksakan diri untuk tertawa. Meskipun, yang muncul malah ringisan menahan sakit.
"Kau pikir, kalau aku tahu kau pendekar muda yang sedang melangit itu, lalu membiarkan mu kelayapan seenaknya di dalam hutan ku"! Beh! Tak usah, ya...!" cibir Kakek Penjaga Makam.
Andika geleng-geleng kepala. Sedang runyam urusan, ada lagi 'setan hutan' yang bikin kacau! Serapah-nya dalam hati.
"Kalau begitu tolong katakan padaku, bagaimana agar aku bisa mendapatkan izinmu, Orang Tua"!" bu-juk Andika.
"Tidak!"
"Tidak apa"!"
"Tidak akan kuizinkan! Memang kau pikir apa"!"
"Sebaiknya kau mengizinkan," paksa Andika. Dia jadi rada runyam juga.
"Kau mengancamku, heh"! Hua ha ha... ugh..
ugh!" Lelaki ini cepat memberesi batuk yang mengeluarkan darah. Diusapnya sudutsudut bibirnya yang ber-lendir merah.
"Jangan mentang-mentang kau sudah punya nama besar di dunia persilatan! Aku tak gemetar mendengar namamu! Pendekar Slebor.... Huh! Apa itu"!" sambung Kakek Penjaga Makam.
"Sompret!" desis Andika.
Anak muda itu melayang turun dari atas pohon.
Keadaan sudah begitu mendesak. Dia tidak bisa membuang-buang waktu lagi melayani kesintingan orang tua satu ini.
"Jadi, apa maumu sebenarnya, Orang Tua"!" bentak Pendekar Slebor, ngotot.
Semena-mena dibantingnya tubuh Moja ke tanah.
Bruk! Paling tidak, si anak muda urakan ini bisa sedikit melampiaskan kedongkolan....
Moja telentang pasrah di tanah. Mulutnya menganga, lupa dikunci ketika terkena totokan. Menyaksikan wajah Moja, Kakek Penjaga Makam terpana. Mulutnya ikut ternganga, seperti Moja.
"Moja"!" seru Kakek Penjaga Makam.
"Kau kenal dia, Orang Tua"!"
"Kau apakah dia, haaah"!" teriak Kakek Penjaga Makam kalap.
Saking kerasnya lelaki ini berteriak, dedaunan berguguran. Bumi bergetar. Yang paling kasihan, ya Moja. Badan bongsornya tersentak mendadak. Ah! Sial lagi dia..., "Aku tak berbuat apa-apa padanya, Orang Tua! Sumpah mampus dicium bidadari!" sangkal Andika mendelik, ketika Kakek Penjaga Makam memelototi.
Tangan anak muda itu terangkat ke depan, mencoba menyabarkan Kakek Penjaga Makam.
"Aku tak percaya!" sentak lelaki tua itu.
"Ah! Aku percaya!" balas Andika.
"Kalau begitu, katakan padaku! Kau apakan dia"!"
"Kalau kau bisa tenang sedikit, baru akan ku jelaskan," ujar Andika, setengah mengancam. Mestinya tidak pantas kalau orang setua Kakek Penjaga Makam merajuk seperti bocah ingusan. Namun, dia memang benar-benar merajuk saat itu.
"Baik," katanya.
Andika pun mulai menceritakan semuanya.

***

--| { 10 } |--

"Apa"!" Moja yang baru siuman dari tidur panjangnya berteriak kalap.
"Kau jangan main-main, Danggi!" semprotnya lagi pada Kakek Penjaga Makam.
"Aku tak main-main, Tolol! Aku mengenal benar, bagaimana jurus-jurusnya.
Bagaimana keampuhan racun pada pukulannya...!" Kakek Penjaga Makam yang rupanya bernama Danggi balas menyemprot. Dia baru saja menceritakan pada Moja kejadian yang belum lama dialaminya. Tentang seseorang yang datang hendak membongkar makam aneh di atas pohon yang selama ini dijaga olehnya. Sesungguhnya, siapakah Kakek Penunggu Makam" Bagaimana dia kenal Moja" Seluruh penjaga tempat yang dilambangkan dengan gambar pada dinding Istana Durjana sebenarnya berasal dari satu perguruan. Guru besar mereka telah menugaskan untuk menjaga tempat masing-masing.
Satu dengan yang lain tidak pernah diberitahu, tempat mana yang dijaga.
Terkadang mereka sering bertemu, tanpa pernah tahu tugas apa yang diemban masing-masing.
Dari keempat tempat tersebut, hanya kawah Gunung Mayit yang tidak dijaga. Itu memang mengundang teka-teki. Bukankah jika batu benar-benar bera-da di puncak gunung, pemburunya akan mudah sekali mendapatkan kalau tak ada penjagaan" Dan itupun tak pernah diketahui baik oleh Tiga Penunggu Telaga Larang, Kakek Penjaga Makam, atau Penunggu Sumur Kering yang berasal dari kalangan berada. Lelaki terakhir jelas ditemukan Andika dalam keadaan tewas secara mengerikan. Badan bagian depannya membusuk! Maka, tak begitu aneh kalau Kakek Penjaga Makam mengenali Moja ketika masih tertidur pulas dari menerima pelampiasan kejengkelan Pendekar Slebor berkali-kali. Setelah Andika berhasil menjelaskan duduk perkaranya pada Danggi yang berjuluk Kakek Penjaga Makam, barulah orang tua itu mulai jinak. Moja pun dibebaskan. Belum lagi Moja sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya, Danggi sudah mengatakan sesuatu yang sulit dipercaya.
"Aku tak mungkin bisa percaya kalau si Danji telah berkhianat pada kita. Bahkan telah berkhianat pu-la pada amanat Guru Besar!" tolak Moja mencakmencak di depan Kakek Penjaga Makam.
Andika duduk membiarkan kedua tua bangka itu mengomel-ngomel. Bacot meski sudah kiwir-kiwir seperti popok bayi, masih tetap selincah mulut perawan.
Mereka membuat anak muda itu jadi pusing tujuh keliling jagad! Andika akhirnya hanya bisa memperhatikan polah mereka sambil bertopang dagu..
Kakek Penjaga Makam tak mau kalah mencak.
Padahal, dia masih menderita luka dalam akibat pukulan lelaki berambut panjang beberapa waktu lalu, setelah terjadi pertarungan.
"Lalu kau mau berkata apa pada luka yang ku derita sekarang"! Luka ini akibat pukulan beracun 'Pembusuk Daging'! Kau tahu, siapa yang telah diwari-si pukulan itu oleh Guru Besar" Danji!"
"Tapi selama beberapa hari belakangan, Danji selalu bersama kami! Tak mungkin dia datang ke sini tanpa sepengetahuan kami!" sanggah Moja.
"Kau memang berotak kerupuk! Aku tak mengatakan Danji yang telah melukai ku!" dengus Danggi.
"Tapi, tadi kau bilang itu pukulan Danji!" Teriakan-teriakan kedua tua bangka itu makin melengking-lengking, kian mendengking-dengking. Mereka sudah seperti dua ekor anjing memperebutkan tulang yang tersimpan dalam tanah! Pendekar Slebor tak tahan lagi. Bisa kena serangan darah tinggi kalau telinganya terus dirasuki suara cempreng mereka.
"Cukup, cukup, cukup!" hardik Andika seraya bangkit.
Dua kakek yang sedang berbaku bacot langsung berhenti. Andika dipelototi.
"Sekarang, jelaskan perlahan! Mulai dari kau, Orang Tua!" ujar Andika, menengahi. Ditunjuknya Kakek Penjaga Makam.
Kakek Penjaga Makam menghempas napas sesaknya. Dada kerempeng itu kembang-kempis. Di samping pengaruh luka dalam, juga terlalu gusar dengan Moja.
"Dua hari lalu, aku didatangi seorang lelaki berusia sekitar tiga puluhan. Dia berambut panjang...," tutur Danggi setelah mengatur napas.
"Apa perlunya dia datang ke tempat ini"!" susul Andika.
Kakek Penjaga Makam mendengus. Matanya berkilat-kilat, gusar mengingat kejadian dua hari lalu.
"Dia mau membongkar makam itu!" jelasnya sambil melirik makam ganjil yang menempel di batang pohon beringin besar.
"Seenaknya saja dia mau membongkar.
Padahal, aku sudah dipercaya Guru Besar untuk menjaganya dengan nyawaku sendiri! Aku lantas bertarung dengannya. Ketika aku berhasil dilukai dan tak mampu melanjutkan pertarungan secara aneh dia menatap makam Guru. Sekian lama menatap, tak banyak yang dilakukan. Hanya mengangguk, lalu berlalu begitu saja. Sepertinya dia sudah bisa menduga tentang makam."
"Kuburan siapa yang seaneh itu?" Andika berbisik.
Kalau tak diberitahu Kakek Penjaga Makam, Andika tak pernah sadar di dekatnya ada makam.
"Tentu saja makam guruku!" bentak Kakek Penjaga Makam.
"Guru dimakamkan di sini"! Apa yang telah kau lakukan"! Apa kau sudah sinting, Danggi"! Kau mau menghina Guru"!" cerocos Moja bertubi-tubi.
Sungguh! Moja sendiri baru tahu kalau gurunya telah dimakamkan seperti itu.
Andika tak cepat percaya. Bukan tidak percaya pada Kakek Penjaga Makam. Dia hanya tidak yakin apakah guru besar mereka benar-benar dimakamkan di tempat itu. Sebab kalau teringat pada gambar timbul di dinding barat Istana Durjana, mestinya makam itu adalah salah satu kemungkinan tempat batu terakhir.
Bukan tempat peristirahatan terakhir seseorang.
"Kau yakin?" tukas Andika, mencoba mengorek lebih jauh.
Mata Kakek Penjaga Makam melotot besar.
"Bheh! Pertanyaan macam apa itu"!" cibirnya.
"Jawab saja pertanyaanku, Orang Tua...."
"Tentu saja aku yakin!" tandas Kakek Penjaga Makam jengkel.
"Bagaimana kau bisa yakin"!" sela Moja. Mulutnya mulai gatal lagi.
Kakek Penjaga Makam mau berbicara lagi. Tapi, dia terjebak pertanyaan Moja. Dengan kepala bergerak kian kemari, dia tergagap.
"Yaaa, aku yakin saja...," kilahnya, asal bisa menjawab.
"Jawab yang benar, Orang Tua. Kita sedang bera-da dalam keadaan amat genting! Jangan main-main!" omel Pendekar Slebor, tegas.
Danggi terbatuk-batuk.
"Baik, baik.... Aku tidak yakin makam itu adalah tempat peristirahatan terakhir Guru Besar. Aku cuma mendapat amanat dari beliau, untuk menjaga makan aneh ini. Puas"!" Pendekar Slebor mengangguk-angguk. Ada yang mulai jelas sekarang. Kalau kuburan itu kini masih utuh, tentu si pemburu batu telah mengetahui benda yang dikehendakinya tidak ada di sana. Kini, yang tersisa hanya satu tempat...
puncak Gunung Mayit! Andika menjentikkan jari.
"O, ya! Kau bilang tadi, terkena pukulan beracun" Apakah pukulan itu mengakibatkan tubuh korbannya menjadi membusuk?" tanya Pendekar Slebor pada Kakek Penjaga Makam. Dia ingin menyakinkan dugaan pada mayat yang ditemukan di dekat sumur.
"Dari mana kau tahu?" tanya Kakek Penjaga Makam, terperangah.
Andika tak peduli pada pertanyaan tadi.
"Lalu, kenapa kau tidak tewas?"
"Bangsaaat! Kau menyumpahiku, Anak Muda"!"
"Aku cuma ingin tahu!"
"Aku tidak mati, karena hanya aku yang diberikan penangkal pukulan itu oleh Guru Besar!" Kakek Penjaga Makam mau juga menjawab.
"Kau bilang juga tadi, cuma Danji yang diwarisi pukulan itu. Tapi tadi katamu, kau bukan dilukai olehnya?" Untuk bagian ini, Kakek Penjaga Makam menjadi bersemangat. Dia merasa mendapat dukungan Andika, setelah sebelumnya ditentang Moja.
"Ya..ya..betul!"
"Lalu kau berpendapat Danji telah mendidik seseorang. Dan, muridnya itulah yang telah melukaimu?"
"Ya..ya..ya, betul! Betuuul!" wajah Kakek Penjaga Makam makin meriah. Diliriknya Moja dengan sinar mata mengejek. Sementara kedua orang tua itu bermain liriklirikan, tubuh Andika malah mengejang. Dadanya bagai disentak sesuatu. Dia ingat, Senta kini berada di puncak Gunung Mayit bersama Danji. Sementara, si pemburu batu pun tentu sudah pula ke sana. Kalau benar Danji telah berkhianat dan si pemburu batu adalah muridnya, maka Senta berada di ujung taring maut! "Astaga! Aku harus cepat-cepat ke sana!" desis Pendekar Slebor.
Andika lantas menatap kedua orang tua di depannya.
"Kita harus ke Gunung Mayit, Orang Tua!" se-runya pada Moja dan Kakek Penjaga Makam.
"Aku tidak bisa.... Aku harus menunggu makam ini!" semprot Kakek Penjaga Makam.

***

Gelegak lahar kawah Gunung Mayit nyatanya luput memamah tubuh Kumbang Mata Tunggal. Lelaki itu berhasil menguasai keseimbangan lagi. Sewaktu tubuhnya berguliran menuruni lereng kawah, tangannya membuat satu hentakan kuat. Dan hentakan itu dimanfaatkan untuk membuat putaran tubuh, hingga kakinya bisa menjejak pada tonjolan batu yang cukup kuat.
"Fhuhhh....".
Kumbang Mata Tunggal membuang napas lega.
Bulir-bulir keringat sudah tercelup dalam gelegak lahar di bawah sana. Untung cuma keringat. Coba kalau tubuhnya yang masuk ke cairan merah bara itu" Sulit dibayangkan! Usai menenangkan diri, lelaki bermata satu itu melanjutkan penyusuran mautnya. Kakinya menjejak tonjolan demi tonjolan rapuh kembali. Satu demi satu.
Perjuangan lelaki ini tidak sia-sia. Akhirnya, dia tiba juga di seberang lereng kawah. Bagian yang mencekung ke dalam ditengoknya. Rupanya, ada sebuah gua kecil di dalam sana.
"Bagus! Tampaknya aku akan segera mendapatkan batu itu!" pekiknya dalam hati.
Kumbang Mata Tunggal pun masuk.
Belum lama tubuh lelaki ini menghilang di mulut gua yang setinggi setengah badan manusia, mendadak saja.... Bekhr! "Aaa!" Dari mulut gua kecil, tubuh Kumbang Mata Tunggal termuntah deras. Ada satu tenaga amat kuat yang telah menghempasnya demikian kuat. Lelaki ini bukan orang sembarangan. Tingkat tenaga dalamnya pun tidak diragukan. Maka kalau ada tenaga yang berhasil melempar tubuhnya tak bedanya kerikil, tentu tenaga itu berkekuatan luar biasa.
Kalau sebelumnya Kumbang Mata Tunggal masih bisa menyelamatkan diri dari gelegak cairan merah ba-ra di bawah sana, kali ini tidak! Tenaga dorongan itu terlalu hebat dalam mengendalikan arah luncuran tubuhnya. Begitu melewati batas lereng, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mempertahankan nyawa.
Dan.... Blep, blep, blep! Tubuh lelaki berhati busuk itu ditelan perlahan oleh lahar menyala. Dia menjerit-jerit, meraung-raung.
Tapi manusia mana yang bisa meluputkannya dari jemputan tangan maut" Tak terlalu lama, beriring gemeritik daging matang, Kumbang Mata Tunggal tertelan permukaan kawah. Di atas sana, pertarungan masih berlangsung sengit. Kalau semula lelaki berambut panjang dikeroyok dua orang, kini justru Senta yang ditekan dua lawan sekaligus! Benar kecurigaan Kakek Penjaga Makam, Danji telah berkhianat. Lelaki pewaris Ilmu Pukulan Pembusuk Daging itu rupanya tergiur selentingan kabar tentang Istana Durjana.
Maka selama dua puluh tahun Danji merencanakan untuk mendapatkan batu terakhir! Langkah awalnya, diangkatnya seorang murid untuk membantu menjalankan rencana.
Sang murid bernama Mutaka, anak seorang dukun ilmu hitam yang telah lama mati. Terpilihnya Mutaka menjadi murid, karena anak itu mewarisi sebagian kekuatan ayahnya. Sejak muda, dia sudah menguasai beberapa kekuatan. Terutama, kekuatan batin.
Dengan kekuatan itu, Danji berharap suatu hari Mutaka berhasil melacak letak Istana Durjana.
Mutaka memang tak lain lelaki berambut panjang yang kini membantu Danji dalam melenyapkan Senta.
Mendapat tekanan yang semula tak pernah diduga, Senta tua jadi cepat terdesak. Di samping harus kerepotan menghadapi terjangan-terjangan dua lawannya, harus pula menghadapi terjangan ketidakpercayaan pada perbuatan Danji di hatinya. Perhatiannya jadi tak terpusat. Dia terus terdesak, terus tertekan.
Sampai.... Desssh! Satu tendangan lelaki berambut panjang telak bersarang di ulu hati lelaki tua itu. Tubuhnya terje-rembab, lalu terseret ke tepi kawah. Kalau saja tangannya tak sempat meraih tepian tebing kawah, tentu akan langsung meluncur ke dalam kubangan besar lahar mendidih! "Kenapa..." Kenapaaa kau lakukan ini, Danji?" keluh Senta pada Danji.
Tubuh lemah orang tua itu menggelantung di tebing kawah. Cuma satu tangan yang diandalkan untuk menahan tubuhnya.
Danji mendekati tebing. Ditatapnya kakak seperguruannya dengan sinar mata dingin. Mutaka di sisinya..
"Kekuasaan, Senta.... Kekuasaan.... Dan Satu lagi, keabadian! Guru tak bisa memberikan itu padaku. Tapi Sang Durjana bisa!" kata Danji, mendesis.
"Kau tertipu, Danji! Tak ada satu makhluk yang bisa memberikan keabadian, kecuali janji kosong!" lirih Senta. Nyawanya tak dipikirkan. Dia hanya tak sampai hati menyaksikan saudara seperguruan yang sudah seperti saudara kandung sendiri telah diperdaya tipu manis iblis.
"Itu menurutmu, bukan" Aku tetap percaya Sang Durjana sanggup membuatku menjadi abadi dan memberikan kekuasaan tak terbatas padaku.... Hsss, hsss, hsss...." Danji tertawa. Namun lebih mirip desis ular.
"Jadi, aku tak perlu minta maaf padamu, jika aku harus membunuhmu, Senta. Karena kau telah menghalangi jalanku...," desis Danji lagi.
"Temuilah Guru di alam kubur!" Danji segera menurunkan tangannya yang dililit ular kecil paling berbisa ke tangan Senta. Jika bisa ular teratuk ke tangan, lelaki itu akan mengalami sik-saan paling menyakitkan sebelum menemui ajal di da- lam lahar panas yang menanti.
Danji rupanya telah benar-benar menjadi sekutu sejati Sang Durjana! Sebelum sempat ular kecil itu mematuk tangan Senta yang meregang menahan berat tubuhnya, sekelebat bayangan mencelat dari gua di seberang lereng: Bayangan itu amat cepat bergerak ke arah dua guru murid berhati busuk di atas Senta. Amat cepat, seolah hantu pencuri hari.... Desh! Desh! "Wuaaa!" Berbarengan, Danji dengan ular kecil di tangan dan muridnya seketika terlempar deras ke tengahtengah kawah, Di udara mereka bergelinjang-gelinjang liar, meronta dari panggilan mulut Gunung Mayit. Ta-pi, lagi-lagi tak seorang pun bisa lari dari maut bila waktunya tiba.
Dan.... Bup, blup! Mereka tertelan lahar membara. Tubuh mereka dimatangkan di sana, dengan gemeritik ramai mengawal lepasnya nyawa.
Senta menatap tertelannya dua wajah meregang maut di bawah sana. Wajahnya pucat. Namun, hatinya lebih pucat mengingat Danji telah mati sebagai manusia durjana! Lamat-lamat, mata Senta menyaksikan sesosok tubuh berdiri di antara layangan uap kawah. Berdiri di bagian yang mencekung lereng kawah. Sosok berpakaian putih terang. Sosok yang dikenal sebagai, guru besarnya.... Bagaimana dengan nasib Istana Durjana" Tanpa sepengetahuan murid-muridnya, sang Guru Besar dengan kesaktiannya telah menguruk kembali kubangan amat besar, sehingga Istana Durjana terpendam kembali. Entah sampai kapan. Mungkin bila ada sosok yang terhasut iblis durjana, istana itu akan muncul kembali.
Tepat ketika Pendekar Slebor dan Moja tiba di puncak Gunung Mayit, Senta telah berhasil naik ke bibir kawah.
"Kau tak apa-apa, Pak Tua?" tanya Andika.
"Semuanya sudah berakhir, Anak Muda," sahut Senta.
"Mana Danji keparat dan muridnya?" susul Moja.
"Mereka terkubur di kawah bersama nafsu iblis mereka...."
"Lantas, bagaimana kau bisa mengalahkan mereka, Pak Tua?" kali ini Andika agak heran, sekaligus me-nyangsikan kemampuan Senta.
"Nanti sajalah kuceritakan di gubukku...." Hanya itu yang terucap dari mulut Senta, lalu berlalu dari tempat ini. Sementara Pendekar Slebor dan Moja mengikuti, setelah saling berpandangan tak mengerti.

SELESAI



INDEX PENDEKAR SLEBOR
Bunga Neraka --oo0oo-- Susuk Ratu Setan


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.