SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi
҂: 1 :҂
PANTAI Dahaga dikenal orang belum lama ini. Semula pantai itu tidak punya nama tetap. Ada yang menyebutnya Pantai Sepi, karena memang tempatnya sepi. Ada yang menyebutnya Pantai Anak Tiri, sebab jarang ada yang menyambangi. Ada yang menyebutnya Pantai Merana, Pantai Terkucil, Pantai Melamun, ada pula yang menyebutnya Pantai Tok.
Di pantai itu banyak tumbuh bunga karang dan gugusannya. Bunga kamboja tidak ada di sana. Bahkan salah satu sisinya mempunyai tebing curam dengan ketinggian sekitar dua puluh lima tombak, walau belum pernah ada yang benar-benar mau mengukurnya dengan tombak.
Di atas tebing karang berkemiringan tegak lurus itu, terdapat sebuah bangunan memanjang dan berlantai dua. Bangunan itu dikelilingi oleh tembok abu-abu, seperti Tembok Cina. Tapi tembok ini tidak termasuk tujuh keajaiban dunia.
Bangunan itu dianggap istana oleh para penghuninya. Bermula bangunan itu dipakai untuk mengajar Sebuah perguruan. Tapi perguruan itu bangkrut, karena gurunya berhasil dibunuh oleh seorang perempuan berilmu tinggi dan masih muda. Perempuan itulah yang kemudian menamakan dirinya Ratu Sendang Pamuas.
"Tubuhku ibarat genangan air sendang yang dapat memuaskan setiap lelaki dahaga," ujar si perempuan cantik berhidung kecil tapi mancung itu. "Siapa yang dahaga, silakan datang padaku. Reguklah air sendang kenikmatan dari tubuhku sepuas-puasnya. Karena akudilahirkan memang untuk memuaskan lelaki yang dahaga, dan aku sendiri juga butuh kepuasan sepanjang masa. Sebab itulah, maka mulai sekarang aku menamakan diriku Ratu Sendang Pamuas!"
Palu diketok tiga kali. Dok, dok, dok.! Palu itu diketok bukan di meja sidang, tapi untuk memaku pintu gerbang baru yang lebih kokoh dari pintu yang lama.
Di dalam istana itu, Ratu Sendang Pamuas selalu mengumbar kencan dengan pemuda mana pun, yang tergolong tampan, gagah, bebas penyakit dan perkasa.
Di istana itu pula, keringat sang Ratu mengucur deras hampir setiap saat, karena ia termasuk perempuan yang tidak pernah merasa 'kenyang' terhadap kehangatan seorang pria. lbarat orang makan, baru makan sampai nambah, eeh... lima menit sudah lagi. Baru saja minum sepuas-puasnya, eh... sudah dahaga lagi.
Maka sejak itu pula pantai tersebut dinamakannya: Pantai Dahaga. ada Peluhku ibarat samudera luas. Tak pernah orang yang bisa mengurasnya," ujar sang Ratu menyombongkan dirinya di depan para pengikutnya.
Ujarnya lagi, "Jika ada orang dahaga yang ingin menguras peluhku, maka ia harus menguras lautan lebih dulu sebagai bukti kesanggupannya menguras peluhku."
Salah seorang pengikutnya ada yang berbisik, "Lagian siapa yang mau menguras lautan. Kok seperti tidak ada pekerjaan lain; lautan mau dikuras?"
"Ssst..! Apa yang dikatakan Nyai Ratu tadi hanya perumpamaan," bisik temannya.
"Ooo... kukira dia benar-benar suruh orang menguras lautan?!"
"Edan apa?! Lautan kok mau dikuras?! Terus ikan-ikan dan kapal-kapalnya mau ditaruh di jidatmu, gitu?!"
Bisik-bisik konyol itu tak mendapat perhatian dari siapa pun. Orang-orang lebih suka memperhatikan Nyai Ratu, sebab Nyai Ratu adalah perempuan yang cantik dan sekal, termasuk seksi pembantaian segala.
la mempunyai tubuh yang sekal, padat dan berisi. Pinggul belakangnya mencuat bagaikan boncengan sepeda. Tiap lelaki kepingin meremasnya, tapi mereka takut ada bisul di situ, bisa-bisa dibunuh oleh Nyai Ratu jika bisul itu sampai ikut diremas.
Nyai Ratu juga punya dada yang montok kencang dan membusung ke depan. Walau ia mengenakan jubah tertutup dan berkesan sok Alim, tapi kemontokan dada nya itu masih saja terlihat dari luar.
Sebab jubahnya yang berwarna biru bunga-bunga putih itu sangat tipis, transparan. Apa yang ada di dalam nya tampak membayang dari luar, Tapi usus, limpa, jantung, dan tetek-bengeknya tidak ikut kelihatan. Justru yang tidak pakai 'bengek' kelihatan jelas.
Nyai Ratu mempunyai seorang penasihat, yaitu perempuan separo baya. Perlu dicatat, usia sang Ratu sendiri sekitar dua puluh delapan tahun. lbarat singkong rebus; masih hangat-hangatnya. Ngebul terus.
Penasihatnya itu bernama Mak Comblang. Tidak seperti ratu-ratu lainnya, Mak Comblang diangkat sebagai penasihat sang Ratu khusus untuk menasihati urusan kencan, cumbuan, pacaran... termasuk urusan busana, berhias, potongan rambut, wewangian, dan sebagainya.
"Mak Comblang, bagaimana kalau rambutku dipotong pendek saja. Cepak, tapi depannya agak panjang sedikit?!"
"Hamba rasa kurang menarik, Gusti Ratu. Kaum lelaki zaman sekarang menyukai wanita berambut panjang, Gusti Ratu."
"Masa' begitu, Mak?"
"Iya. Kata mereka, perempuan rambut panjang biasanya hebat di ranjang. Hik, hik, hik.."
"Ah, apa iya begitu menurut anggapan mereka?"
"Betul, Gusti. Perempuan rambut panjang dianggap perempuan hebat di ranjang, selalu bergerak terus....membetulkan rambutnya. Hik, hik, hik.."
Mak Comblang tertawa cekikikan mirip kuntilanak Gila.
"Tapi kata guruku, rambutku lebih cantik kalau di potong pendek."
"Ah, guru Gusti Ratu kan tidak kenal gaya hidup zaman sekarang. Cara berpikirnya sudah ketinggalan zaman."
"Yah, maklum saja. Mungkin hal itu disebabkan Eyang Guru sudah tua, sudah termasuk manusia langka."
"Ngomong-ngomong, kapan Gusti Ratu bertemu Eyang Guru?"
"Waktu aku pergi ke Pulau Macan, kusempatkan singgah ke pertapaan Eyang Guru."
"Ooo.. waktu itu hamba tidak ikut, ya? Habis hamba sedang sibuk menundukkan si Karso Tingal. Hi, hi,hi, hi...!"
Ratu Sendang Pamuas ikut tertawa.
"Eh, bagaimana si Karso Tingal itu?! Kau berhasil menundukkannya, bukan?"
"Tentu, Gusti. Mantra pemikat dari Gusti Ralu hamba gunakan, si Karso Tingal langsung sujud di depan hamba, padahal hamba lupa belum kencangkan kain. Akibatnya kain hamba terlepas dan Karso Tingal kecil tapi hebat lho...?! Hik, hik, hik, hik...!"
"Ah, yang benar, Mak?!"
"Iya! Hamba saja sampai tak tahan akhirnya berteriak kok."
"Berteriak bagaimana?!"
"Bukaaaaan... basa-basi!"
Tawa riang berhamburan. Tawa riang itu sering terjadi apabila Ratu dan sang penasihatnya membicarakan tentang kehangatan seorang lelaki. Sebab, biar usia sudah mencapai empat puluh lima tahun, tapi Mak Comblang adalah perempuan yang masih doyan kumis lelaki. Mak Comblang punya banyak pengalaman tentang menghadapi kemesraan seorang lelaki, karena dulunya ia bekas seorang mucikari di kota Bandar.
Nyai Ratu sering ajukan tanya tentang seorang lelaki kepada Mak Comblang. Seperti hari itu, Nyai Ratu kedatangan tamu tak diundang yang bikin ribut di depan gerbang. Tamu yang bikin ribut itu adalah seorang lelaki berusia sekitar dua puluh tahun, berbaju tanpa lengan warna hijau dan celananya warna hitam.
Lelaki itu dianggap sebagai seorang pemuda bagi sang Ratu. Wajahnya tampan, tapi berkesan bengis. Alisnya lebat, kumisnya juga lebat, tapi tertata rapi. la bersenjata pedang kembar. Masing-masing pedangnya berukuran satu lengan.
Pemuda itu bukan tak punya ilmu. Terbukti ketika ia dihadang oleh dua penjaga gerbang dan tidak izinkan masuk, ia hanya tersenyum dingin. Tapi kejap kemudian kakinya berkelebat cepat bagaikan tak pernah bergerak. Wuuus...! Kedua pemuda itu diam saja, Tidak lakukan tangkisan atau gerakan menghindar,
Karena mereka merasa tidak diserang. Hanya saja empat hitungan kemudian mereka baru rasakan napasnya sesak, ulu hatinya bagai membengkak.
Tubuhnya tersentak ke belakang, dan keduanya sama tumbang.
"Heeehk...!!"
Bruuk...! masih tidak mengerti mengapa mereka tiba-tiba jatuh terbanting sekeras itu. Mereka tidak tahu bahwa pemuda berbaju hijau itu telah melepaskan tendangan beruntun sebanyak dua kali dengan kecepatan tendang tak bisa dilihat oleh mata orang berilmu rendah. Kedua penjaga itu hanya menduga perut mereka tiba-tiba sakit akibat terlalu banyak makan.
Pemuda itu segera mendobrak pintu gerbang dengan satu sentakan tangan kanan dari jarak lima langkah. Gelombang hawa padat yang keluar dari telapak tangannya mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar dan membuat pintu gerbang yang tebal dan tinggi itu tersentak membuka.
Blaaak.....!
Dua orang penjaga yang ada di balik pintu itu tiba-tiba gepeng dan pingsan karena wajah mereka dihantam daun pintu yang tebal dan besar itu.
Kejadian itu membuat beberapa pengawal sang Ratu mulai berhamburan mengepung pemuda berbaju hijau. Salah seorang yang berilmu agak tinggi segera hadapi pemuda tersebut. Si pemuda masih tampak Tenang walau dikepung sembilan orang bersenjata tombak. Matanya melirik ke sana-sini dengan tajam dan berkesan sadis. Kedua tangannya menyilang, masing-masing pegangi gagang pedang yang ada di pinggang
kanan-kiri itu. la siap mencabut kedua pedang sewaktu-waktu.
"Berani-beraninya kau bikin keributan di sini?! Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak seorang pengawal yang ilmunya agak tinggi itu.
"Katakan kepada ratumu, Laksana datang mau bawa pulang adiknya! Jika tak diizinkan, tempat ini akan kubuat tumpukan kayu arang!"
"Adikmu tidak ada di sini!"
"Ada...!" sentaknya, mengagetkan seorang pengepung yang ada di sampingnya, sampai tombaknya jatuh dari tangan karena groginya.
"Siapa adikmu itu?!"
"Salendra!" kali ini jawabannya kalem dan berkesan dingin.
Rupanya Laksana mendapat kabar dari seseorang bahwa adiknya ditawan oleh Ratu Sendang Pamuas.
Laksana segera melabrak Ratu Sendang Pamuas untuk bebaskan adiknya. Tekadnya, jika sang adik tidak segera dibebaskan, ia akan beradu nyawa dengan Ratu Sendang Pamuas dan seluruh jajarannya.
"Aku sudah siap mati untuk membebaskan adikku!" ujar Laksana ketika ia ditemui oleh Ratu Sendang Pamuas.
"Kita bicara di dalam saja, jangan di luar begini, banyak pengawalku yang akan salah duga dengan sikapmu!" Bujuk nyai ratu dengan sikap kalem dan senyum keramahan.
"Persetan dengan salah duga orangorangmu. Jika perlu, kubantai habis mereka!"
"Jangan begitu. Laksana. Nanti orang-orangku borokan semua jika kau bantai. Kita bicarakan di dalam saja, di ruang pertemuan!"
Ratu Sendang Pamuas sengaja menanggapi dengan kalem dan berwajah ramah, karena sebelumnya ia telah berkasak-kusuk dengan Mak Comblang ketika mereka mengintip si tamu berang dari balik tiang penyangga ruang pertemuan.
"Rupanya dia seorang pemuda yang ganteng juga, Mak. Badannya tinggi, gagah, berotot dan matanya,Wow.. tampak galak sekali, ya Mak? Bagaimana menurutmu?!"
"Hamba setuju dengan pendapat Gusi Ratu. Dia memang pemuda yang galak. Biasanya pemuda bermata seperti itu kalau sedang bercumbu lupa daratan."
"Maksudmu, yang diingat cuma lautan saja, begitu?"
"Bukan, Gusti! Maksud hamba, pemuda bermata tajam dan dingin begitu kalau bercumbu tidak pernah ingat waktu dan tak kenal lelah."
"Panas sekali dia, ya?"
"Betul, Gusti! Lebih panas dari Salendra. Juga lebih ganas dari Salendra maupun Wijarsa. Lihat saja dadanya yang berotot kekar itu, dia pasti akan sanggup menyangga tubuh Gusti Ratu selama seperempat hari.
Dan lengan serta kakinya yang kokoh itu akan membuatnya sanggup memangku Gusti Ratu dalam keadaan berdiri."
"Oh, benarkah begitu?! Hatiku jadi berdebar-debar membayangkannya, Mak Comblang! Hik, hik, hik...."
"Jangan buat dia mengamuk, Gusti!! Tundukkan dia agar mau diajak masuk ke kamar dan setelah itu Gusti Ratu akan tahu sendiri kehebatan gairahnya dalam
mengarungi samudera cinta. Pasti Gusti Ratu akan lupa memanggil hamba. Hik, hik, hik, hik...!"
"Ah, kau bisa saja, Mak!" sambil sang Ratu tertawa kecil dengan hati berbinar-binar.
"Lelaki bermata dingin seperti itu, biasanya akan menjadi lemah dengan keramahan dan kesabaran, Gusti."
"Begitukah? Kalau begitu akan kutanggapi dengan kalem dan sabar, Mak Comblang."
"Tapi jangan lupa, Gusti... Tatap terus matanya dengan iembut dan sunggingkan senyum tipis yang bikin dia penasaran. Suara Gusti Ratu juga sedikit mendesah jika bicara. Lelaki berwajah seperti itu biasanya cepat bergairah jika mendengar suara perempuan mendesah."
"Baik, akan kulakukan seperti saranmu, Mak, kebetulan sudah tiga hari ini Salendra pergi dan Aku tak ada yang memeluknya. Hik, hik, hik...."
Apa yang dikatakan Mak Comblang memang benar, Kemarahan pemuda itu segera padam Ketika sang Ratu bicara dengan sedikit mendesah. Senyumnya pun tidak diumbar seperti biasa, namun sedikit jual mahal.
Mata sang Ratu menatap dengan lembut saat menjelaskan tentang Salendra.
"Salendra bukan tawananku, Laksana. Kami justru bersahabat. Sekarang Salendra sedang ku utus ke Hutan Malaikat untuk temui seorang sahabatku yang menjadi kepala suku Mabayo. Mungkin sehari lagi ia baru pulang. la tidak sendirian, Laksana. ia bersama dua pengawalku sebagai teman di perjalanan. Kalau kau tak percaya, tunggulah sehari lagi, pasti Salendra pulang."
"Dapatkah kau menjamin ucapanmu sendiri?!"
"Kau boleh perlakukan diriku apa maumu jika ucapanku tadi hanya dusta belaka, laksana! Mau kau bunuh, boleh. Mau kau cium, boleh... mau kau apakan saja aku pasrah padamu, Laksana."
Suara lembut bercampur desah ilu membuat ketegangan di wajah Laksana mulai mengendur, tapi ketegangan di sisi lain mulai tampak bereaksi. Senyum pelit
yang dipamerkan oleh sang Ratu pun menjadi buah pandangan mata Laksana kala mereka berbicara. Bahkan tatapan mata sang Ratu yang mempunyai kelembutan menggemaskan itu senmpat membuat Laksana akhirnya berdebar-debar digelitik bayangan mesum.
"Salendra pasti akan senang jika bertemu denganmu la juga sering membicarakan kakaknya yang amat dicintainya. O, ya... kata Salendra kau sudah berkeluarga Apa benar, Laksana?" pancing sang Ratu.
"Memang. Tapi sudah lama aku bercerai dengan istriku. Kami berbeda aliran!"
"Ooh...?! Kasihan sekali kau. Kalau begitu kau seorang duda yang... yang hidup dalam kesepian, Laksana?!"
Pemuda itu mulai tersenyum malu. Sang Ratu memancingnya terus, sekingga akhirnya tak terasa Laksana terbuai oleh rayuan sang Ratu. Mak Comblang tertawa cekikikan ketika sang Ratu berhasil menuntun Laksana masuk ke kamar. la segera masuk ke kamarnya sendiri, lalu menggeser pot bunga yang berukuran besar itu. Kamarnya bersebelah dengan kamar sang ratu, bahkan punya pintu tembus ke Kamar Ratu untuk panggilan sewaktu-waktu.
Rupanya di balik pot bunga itu Mak Comblang sudah siapkan lubang intip anti colok, karena dilapisi dengan anyaman kawat anti nyamuk. Lubang itu berukuran satu bata, jadi tak perlu pakai pejamkan salah satu mata jika sedang mengintip.
"Wow...! Betulkan apa kataku?! Dia ganas di ranjang! Tuh.... Gusti Ratu sampai kerepotan menghadap serangannya. Hik, hik, hik, hik..." Mak Comblang berceloteh sendiri dalam hatinya ketika melihat Ratu Sendang Pamuas akhirnya kerepotan menghadapi gairah Laksana.
Pada mulanya hanya sebuah ciuman lembut yang diberikan oleh sang Ratu di tangan Laksana.
Tetapi duda yang sudah empat bulan tidak menyentuh wanita Segera membalas ciuman sang Ratu di kening. Ciuman itu juga lembut, namun merayap pelan-pelan sampai ke hidung, ke pipi, akhirnya sang Ratu rasakan bibirnya lenyap di telan Laksana. Bibir sang Ratu bagaikan jembatan menuju surga. Bibir itu dilumat habis-habisan oleh Laksana, sambil tangan pria itu melepaskan kancing jubah sang Ratu.
"Laksana.... Laksana tunggu sebentar, akan kubantu melepaskan kancing jubahku. Laksana, ooh...kau.."
Sang Ratu tak bisa menahan gejolak hasrat Laksana. Pria itu menciumi leher sang Ratu dengan sesekali memagut leher tersebut. Desir keindahan dirasakan oleh sang Ratu sampai ke ujung kaki. Akhirnya ia tak jadi membantu melepaskan kancing jubahnya, tapi justru menarik ikat pinggang Laksana.
Tangan sang Ratu menelusup ke balik baju hijau Laksana sambil duduk di tepian ranjang. la merayapkan Kedua tangannya di punggung Laksana pada waktu Laksana menciumi lehernya.
Tangan Laksana telah berhasil melepas kancing Jubah, dan sesuatu yang membengkak kencang di dada sang Ratu itu pun segera dijamahnya.
"Ooh, Laksana... ooh, tanganmu nakal sekali, Laksana! Uuhhh...!" sang Ratu mengerang dan mendesah tiada henti.
Laksana berlutut pada saat sang Ratu masih Duduk di tepian ranjang. Kemudian ciuman Laksana diarahkan ke sekitar pertengahan dada. Laksana memainkan lidahnya sambil merayapkan ciumannya ke dada kiri. Lalu, lidah itu menemukan ujung keindahan yang ada di dada. Lidah itu menari dengan lincah dan nakal membuat desah sang Ratu semakin berkepanjangan. Bahkan ketika ujung keindahan itu disantap oleh Laksana, sang Ratu terpekik kaget menerima kenikmatan sehebat itu..
"Aoow..! Uuuh...! Laksana.. Laksana... oouh, nikmat sekali kenakalanmu, Laksana. Ooohh...."
"Ayolah, Sayang... berlayarlah sekarang juga, Laksana..."
"Kau sudah siap, Ratu?"
"Ouh, sudah sangat siap, Sayang. Sudah mengharapkan sejak tadi. Oh, mari mendekatlah, mari mendekat dan kupeluk, Laksana. Tapi... tapi jangan lupa yang itu.."
Laksana pun mendekatkan wajah, ia melumat bibir sang Ratu lagi walau masih berdiri di lantai merapat dengan tepian ranjang. Sang Ratu justru geserkan pinggulnya agar lebih ke tepi ranjang lagi. Dan pada saat itulah sang Ratu memekik.
"Aaaahhh...!" jeritan sang Ratu dibarengi remasan kedua tangannya pada pundak Laksana. Jeritan itu membuat Mak Comblang jatuh terduduk karena tak kuat berlutut sejak tadi. Lututnya bagal keropos gemetaran setelah melihat kehebatan Laksana mencumbu sang Ratu.
Dia lebih hebat dari adiknya; Salendra," ujar hati Mak Comblang, karena ia sering mengintip ratunya menerima kehangatan gairah Salendra.
Sebenarnya pemuda yang bernama Salendra bukan sebagai utusan sang Ratu saja, tapi juga pelayan kehangatan bagi sang Ratu.
Hampir setiap saat Mak Comblang mendengar suara rintihan mesra dan teriakan kenikmatan sang Ratu dari Salendra melalui lubang intip itu. Jika ia mendengar suara seperti itu, maka pot bunga segera digeser dan mulailah matanya mengintip di depan lubang intip itu, sehingga ia tahu sebesar apa keganasan Salendra dalam mencumbu sekujur tubuh sang Ratu. Mereka sering bercumbu di lantai. Dengan begitu keringat yang mengucur deras dari tubuh sang Ratu tak sampai membuat seprai basah dan tak sering membuat kasur harus dijemur.
Pada saat Laksana bercumbu dengan Ratu Sendang Pamuas, si utusan tampan itu sedang dalam perjalanan pulang dari Hutan Malaikat dengan menunggang kuda, didampingi oleh dua pengawalnya sang Ratu yang terdiri dari dua gadis berjiwa pemberani.
Perjalanan itu membutuhkan waktu satu setengah hari untuk sampai di Pantai Dahaga.
Tugas Salendra adalah merebut batu selaput dara yang dijadikan kalung peri jenaka, si kepala suku Mabayo itu. Banyak orang mengincar Batu Selaput Dara, terutama kaum wanita. Karena batu itu mempunyai khasiat yang menggiurkan tiap wanita. Batu tersebut dapat membuat si pemakainya tetap perawan walau sudah melahirkan anak berkali-kali. Selaput kesucian nya akan kembali utuh jika kulitnya menyentuh Batu
Selaput Dara.
Batu itu juga dapat membiaskan cahaya hijau seperti warna batunya. Cahaya itu jika kenai kulit seorang lelaki, maka lelaki itu akan tunduk dan patuh kepada perempuan pemakai batu tersebut, sehingga untuk dijadikan budak cinta pun sangat mudah. Terlebih jika bias cahaya batu keramat itu kenai pusar seorang lelaki, maka lelaki itu akan selalu merindukan si perempuan pemakai batu tersebut, lelaki itu akan selalu bergairah terhadap perempuan pemakai batu itu.
Karenanya, Ratu Sendang Pamuas ingin memiliki batu itu agar setiap kali ia berkencan dengan seorang pria, maka pria itu akan merasa sangat bahagia dan memujinya karena dianggap masih tetap perawan.
Sang Ratu juga ingin tundukkan setiap lelaki yang diincarnya dengan menggunakan kekuatan bias cahaya batu tersebut.
Maka dikirimlah Salendra untuk merampas batu itu dari tangan Peri Jenaka. Salendra tak keberatan mendapat tugas itu, karena iming-iming dari sang Ratu yang membuai hatinya.
"Jika aku nemiliki Batu Selaput Dara, maka kau akan selalu merasa berkencan dengan seorang gadis Jika kita sedang bercumbu. Kau akan merasa mendapat kenikmatan lebih besar dariku, Salendra," ujar Ratu Sendang Pamuas yang membangkitkan semangat Salendra untuk pergi ke perkampungan Suku Mabayo.
Namun di perkampungan Suku Mabayo ada seorang yang berwajah tampan. Pemuda tampan berbaju buntung coklat dan celana putih lusuh itu adalah murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang; dua tokoh tua yang namanya dalam urutan teratas dari daftar orang-orang berilmu tinggi di dunia persilatan. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Mabuk atau yang ngetop dengan nama Suto Sinting.
Keberadaan Pendekar Mabuk di perkampungan Suku Mabayo bukan karena sedang menikmati masa Cutinya, tapi karena ditawan oleh salah satu prajurit Suku Mabayo. Penawan itu berdasarkan tuduhan sebagai mata-mata dari Pantai Dahaga. Padahal waktu itu, Suto Sinting belum tahu banyak tentang Pantai Dahaga atau Ratu Sendang Pamuas.
Tapi karena ia terbukti tidak bersalah, akhirnya oleh si kepala suku dibebaskan. Mereka justru bersahabat dengan Pendekar Mabuk. Dan saat itulah muncul seorang yang mengaku pemuda sebagai utusan Ratu Sendang Pamuas. la dikenal dengan nama Salendra.
Si kepala suku yang cantik itu bersedia serahkan batu Selaput Dara jika Salendra dapat tumbangkan 'Tawanan' sang kepala suku itu. Maka, mereka pun segera Membuat lingkaran sebagai arena pertarungan antara Salendra si jago pedang melawan Suto Sinting si jago mabuk. Artinya, Suto tak pernah bisa mabuk walau minum sampai beberapa liter, apalagi yang diminumnya air putih. (Untuk mengenang perjalanan Suto Sinting hingga sampai di perkampungan Suku Mabayo, dapat diikuti dalam serial Pendekar Mabuk dalam episode:Tawanan Bermata Nakal").
Kala itu Pendekar Mabuk hadapi lawannya dengan menggunakan pedang milik Peri Jenaka. Gadis cantik itu yang menghendaki Suto melawan Salendra dengan menggunakan pedang. Sebab secara diam-diam Peri Jenaka ingin tahu, apakah ilmu pedang Pendekar Mabuk dapat untuk mengalahkan ilmu pedang nya Salendra yang terkenal maut itu? Selama ini, banyak kabar yang didengar oleh Peri Jenaka, bahwa Pendekar Mabuk selalu tumbangkan lawannya dengan bambu bumbung tuaknya yang sakti itu. Bagaimana jika Pendekar Mabuk bertarung dengan senjata pedang? Akan unggul atau justru akan kecolok matanya sendiri? Begitu Kira-kira pertanyaan hati si kepala suku yang cantik itu.
*
* *
҂: 2 :҂
PERKAMPUNGAN Suku Mabayo kebanyakan dihuni oleh kaum wanita. Sekalipun demikian, tidak menutup kemungkinan kaum lelaki pun boleh tinggal di perkampungan itu asal sudah berusia tujuh belas tahun dan tidak boleh lebih dari tiga puluh tahun. Mereka yang berusia di bawah tujuh belas tahun dan lebih dari tiga puluh tahun tinggal di luar perkampungan, atau mengembara entah ke mana. Upaya itu, menurut leluhur mereka dimaksudkan agar orang-orang Suku Mabayo menyebar di seluruh pelosok penjuru dunia.
Oleh sebab itu, di perkampungan tersebut tidak ada orang tua dan anak-anak. Jika di perkampungan itu banyak kaum wanita mudanya daripada kaum lelakinya, itu hanya disebabkan oleh faktor kebetulan saja. Kebetulan para orangtua suku tersebut banyak melahirkan Bayi perempuan daripada bayi lelaki. Status seorang wanita di perkampungan itu lebih tinggi daripada kaum lelakinya. Karena itu, para pemuda yang tinggal di perkampungan tersebut selalu tunduk dan hormat kepada para gadisnya.
Mereka bukan orang-orang yang kosong ilmu. selain bekal dan ilmu titisan dari leluhur mereka, juga diberi kesempatan kepada mereka untuk berguru di tempat lain asal beraliran putih. Karenanya, para wanta di perkampungan tersebut pada umumnya mempunyai ilmu yang tidak mudah diremehkan. Mereka yang kesehariannya bersenjata pedang di punggung adalah para prajurit siap tempur demi membela martabat dan kelangsungan hidup generasi Suku Mabayo.
Maka tak heran jika dalam pertarungan antara Suto Sinting melawan Salendra dikelilingi oleh banyak wanita berpedang, Mereka membentuk lingkaran besar yang menjadi batas arena pertarungan. Siapa yang terlempar keluar arena, dialah yang kalah. Siapa yang tumbang dan tak bisa lakukan perlawanan lagi, dia pula yang kalah. Siapa yang mati, dia juga yang tak boleh lanjutkan pertarungan.
Salendra yang berompi merah dengan celana merah pula itu memainkan pedangnya dengan lincah. Tebasan pedang itu sangat cepat.
Untung matahari belum tenggelam, sehingga mata Suto Sinting masih bisa melihat ke mana gerakan pedang lawannya melalui pantulan sinar matahari pada pedang itu yang berkilauan. Pendekar Mabuk tetap berdiri tenang dengan pedang digenggam kedua tangan, berdiri tegak di samping dada kanannya. Salendra memutari Pendekar Mabuk sambil kibaskan pedang ke sana-sini. la mencari saat yang tepat untuk me nyerang Pendekar mabuk dengan pedangnya. Mereka yang menyaksikan tontonan gratis Itu cukup tegang. Peri Jenaka sendiri sempat meremas-remas tangannya kare menahan ketegangan. la takut pendekar Mabuk terĆuka atau bahkan tewas. di ujung pedang lawannya.
"Mengapa dia tidak bergerak? Padahal lawannya sudah ada di belakangnya?!" bisik imang kepada Madesya, keduanya adalah orang yang rnenjadi wakil para Prajurit dalam berhubungan dengan sang Ketua.
"Entah apa maunya si tampan itu. Mungkin ia mau bunuh diri, sehingga diam saja tidak bergerak lagi."
"Atau dia sedang berpikir bagaimana c:ara menggunakan pedang?"
"Kita lihat saja apa maunya si mantan tawanan kita itu," bisik Madesya dengan hati berdebar-debar pula.
Wik, wik, wik, wik...! Pedang Salendra terdengar Samar-samar di telinga Suto Sinting. Sekalipun suara itu terdengar ada di belakangnya, tapi Pendekar Mabuk
Tetap diam, berdiri dengan kaki rapat dan sedikit ditekuk, dengan pedang di kanan dan digenggan kuat-kuat dengan kedua tangannya. Pandangan mata si Pendekar mabuk tidak melirik sana-sini walaupun di sekelilingnya penuh gadis-gadis cantik berpakaian primitif. Hanya menggunakan penutup dada dan penutup bawah seminim mungkin dan dari serat kayu atau kulit binatang. Mata itu memandang lurus bagai menerawang.
Tapi ketika Salendra tiba-tiba sentakkan kakinya dan tubuhnya melayang dari belakang Suto sambil tebaskan pedang yang ingin memenggal leher, Suto Sinting segera putar tubuhnya dengan cepat Dan pedangnya berkelebat menebas pula.
Wuuussss...!
Traang..!
Bunyi pedang beradu cukup keras. Perpaduan kedua pedang itu memercikkan bunga api dalam sekejap Sabetan pedang Suto membuat pedang Salendra terpental ke samping dengan kuat. Karena genggaman
tangan Salendra pada pedangnya juga kuat, maka tubuh pemuda itu ikut terbawa ke samping.
Wees...! Brruuk...! Salendra terpelanting jatuh.
"Serang dia! Cepat serang dial" seru Madesya dengan gemas, emosinya ikut terpancing. Tapi ternyata Pendekar Mabuk tak mau segera menyerang. la hanya mengacungkan pedangnya ke depan agak ke bawah dengan kaki sedikit merenggang. la bagai menunggu lawannya bangkit dan siap bertarung kembali.
"Gila! Kusangka dia tadi tidur, tak tahunya memusatkan kepekaan seluruh inderanya, sehingga dapat menangkis serangan lawan dari belakang," bisik Peri Jenaka kepada Jenda, anak buahnya. Salendra bangkit dengan wajah merah karena merasa malu oleh wanita-wanita yang memandangi kejatuhannya tadi. Pedangnya kembali dimainkan dengan lincah. la bergerak menyamping memutari Suto Sinting
dengan langkah pelan-pelan.
Weess...! Tiba-tiba tubuhnya melesat dengan pedang menghujam ke depan. Gerakannya tak terlihat oleh para penonton. Pinggang Pendekar Mabuk menjadi sasaran ujung pedang Salendra.
Tetapi yang hendak ditikam dengan pedang Justru diam tak menghindar.
Namun pedang nya segera berkelebat ke samping dalam keadaan bagai melilit di tangan kanan.
Pedang yang menyatu dengan lengan kanan suto itu berhasil menangkis hujaman pedang Salendra. Traak...!
Suto geser kakinya ke depan dan berbalik sedikit, lalu tangan kirinya yang tidak pegang pedang itu menyentak ke depan dengan kuat. Prraak...!
"Aoouh..!" Salendra memekik di luar kesadarannya, karena rahangnya terkena sodokan telapak tangan Pendekar Mabuk. Rahang itu terasa pecah seketika. Sakitnya bukan main. Salendra merasa seperti
dihantam dengan besi padat yang di luar perhitungannya. Pada saat Salendra tersentak akibat sodokan telapak tangan Pendekar Mabuk, pedang yang semula bagai menyatu dengan lengan kanan itu segera berkelebat berputar hingga kini tergenggam lurus di tangan Suto. Saat itulah Suto Sinting pergunakan jurus pedang yang dinamakan jurus 'Ekor Petir.
Bet, bet, bet...! Wuut, crass...!
Semua mata mendelik melihat gerakan Suto Sinting yang sukar diketahui ke mana arahnya. Salendra juga ikut mendelik, karena ia tak bisa menangkis tebasan pedang lawannya. la hanya bisa melompat mundur dengan sedikit menggeloyor, namun segera tegak lagi dengan pedang digenggam kedua tangan dan diangkat hingga berada di atas pundak kiri.
"Majulah kalau kau mau kehilangan kepala Aku akan memakai jurus 'Pedang Penyapu Awan'! Majulah...!" bentak Salendra.
Tapi Suto Sinting tetap diam tak bergerak dengan kaki kiri ditarik ke belakang, kaki kanan merendah, pedangnya terangkat dengan tangan kanan di atas kepala, tangan kirinya juga ke atas kepala namun tidak menyentuh pedang, hanya mengeras dengan jari-jari membentuk seperti cakar elang.
Mata Suto memandang tajam tak berkedip ke wajah Salendra. Wajahnya tampak serius, tapi beberapa saat kemudian wajah Suto Sinting mnenjadi tak seserius tadi Bahkan senyum tipisnya mulai tampak mengembang.
Matanya memang lurus ke depan, tapi yang dipandang sebenarnya wajah si Peri Jenaka yang posisinya ada di belakang Salendra.
Ketika Salendra bergerak ke samping kanan, pandangan mata Suto Sinting masih tertuju lurus dan senyumnya kian lebar.
"Sial! Rupanya dia tersenyum kepada si Peri Jenaka?!" gerutu Salendra dalam hati sambil mencari kesempatan bagus untuk melepaskan jurus 'Pedang Penyapu Awan'nya itu.
"la berlagak lengah. Pasti hanya berlagak lengah untuk memancing gerakanku," ujar Saiendra membatin. "Sebaiknya aku jangan bergerak menyerang dulu Sebab kalau... aduh, kenapa perutku terasa perih!?"
Salendra membatin demikian, Suto Sinting Lepaskan ketegangan di seluruh tubuhnya. kini ia berdiri lengan napas terhembus lepas bagai mengalami kelegaan. la bahkan berjalan santai ke arah Peri Jenaka.
"Hei, mau ke mana kau?!" sentak Salendra. Suto Sinting hanya perlebar senyum seraya berpaling menatap lawannya sebentar, lalu dengan tetap berjalan mata dan senyumannya ditujukan pada si Peri Jenaka.
"Hei, kita lanjutkan pertarungan ini! Aku belum merasa...," seruan Salendra terhenti dengan sendirinya. la segera memandang ke arah perutnya.
"Ooh...?!" matanya Salendra mendelik meiihat darah mengalir dari perutnya. la segera memegang darah itu.
"Auh...!" ia memekik pelan karena rasakan perihpada perutnya. Setelah diperiksa, ternyata perut itu telah robek. Robek sepanjang satu jengkal lewat sedikit.
Rupanya ketika Suto Sinting menyerang dengan jurus pedang Ekor Petir, ia telah berhasil melukai perut Salendra dengan ujung pedangnya. Tapi kecepatan gerak yang amat tinggi membuat Salendra tak merasa dilukai. Tahu-tahu perutnya merasa dingin, lalu Perih, dan... begitulah keadaannya. Perut itu robek cukup lebar. Untung saja isi perutnya tak sampai berhamburan keluar.
"Aaahk..!" Salendra ingin mengejar Suto, tapi langkahnya terhuyung dan ia jatuh berlutut. Pandangan matanya menjadi berkunang-kunang seperti di tengah sawah pada malam hari. Sekujur tubuhnya mulai rasakan gemetar dan dingin.
"Celaka! Pedang itu pasti beracun dan racun nya mulai bekerja dalam tubuhku!" gerutu hati Salendra
"Aduh, panas sekali bagian dalam tubuhku ini, seperti disembur dengan api. Aauh...! Aku tak kuat! Tak mungkin kulanjutkan pertarungan ini. Aku harus segera mencari penangkal racun ini. Ooh... kepalaku seperti hilang. Seluruh tubuhku bagaikan semutan dan... dan..Iho, kok jadi gelap, ya?! Oouh... aku telah buta?! Pasti aku telah buta akibat racun pedang itu. Celaka!"
Kedua gadis yang ditugaskan oleh Ratu Sendang Pamuas untuk dampingi Salendra segera mengangkat tubuh Salendra yang terkulai lemas itu. Salendra di
naikkan ke atas punggung kuda. Kemudian kedua gadis itu dibiarkan oleh orang-orang Suku Mabayo untuk segera pergi membawa Salendra pulang ke Pantai Dahaga.
"Tolong cari daun... daun 'Sisik Naga' untuk... untuk menangkal racun ini sementara...," ujar Salendra kepada kedua gadis yang mendampinginya.
"Akan kuusahakan setelah kita keluar dari wilayah Hutan Malaikat ini!" kata Miranti, gadis berpakaian abu-abu dengan ikat kepala merah yang menjepit rambut panjangnya itu.
"Aku melihat daun itu di tanah seberang sungai Kita harus menyeberangi sungai dulu! Lekas pacu kudanya supaya cepat sampai ke sana!" sahut hastari gadis berpakaian kuning yang berambut pendek Sepundak dan berikat kepala biru.
Kemenangan Pendekar Mabuk disambut meriah oleh para keturunan Suku Mabayo. Sampai malam hari, ketika mereka mengadakan pesta, nama Suto Sinting
Masih hangat menjadi bahan pembicaraan mereka. Masing-masing mempunyai pujian sendiri terhadap Pendekar Mabuk. Masing-masing juga mempunyai julukan sendiri untuk si murid sinting Gila Tuak itu.
"Gerakan pedangnya begitu cepat, hampir saja aku mencibir karena kurasa ia tak berhasil kenai lawannya. Eh.. ternyata ia berhasil robekkan perut Salendra. Gila
betul Dia pantas dijuluki 'Sang Perobek Perut'."
"Ah, menurutku dia pantas dijuluki 'Satria Cengar-Cengir, soalnya habis robek perut lawan dia berjalan santai dan cengar-cengir."
Tawa sekelompok gadis cantik itu terdengar bersahutan dengan kelompok lain. Karena kelompok wanita lain pun mempunyai pembicaraan yang menggelikan tentang kehebatan Suto dalam bermain ilmu pedang Itu.
"Kau tahu, waktu dia menyerang. Kupikir dia sedang mabuk habis gerakan nya seperti orang mabuk. Eeh...ternyata bikin jebol perut si Salendra hebatkan?! Kupikir dia pantas dijuluki 'Dewa Jebol'. Hik, hik,hik.!"
"Ah itu tak cocok! Menurutku karena gerakannya tadi seperti orang mabuk menyambar jemuran. maka la pantas berjuluk 'Pendekar Sambar Jemuran'."
"Bukan, bukan...! Bukan julukan itu yang pantas untuknya. Gerakannya yang begitu cepat hampir membuatku pusing melihatnya, seperti orang sedang mabuk arak. Maka ia pantas diberi julukan: 'Pendekar Mabuk'. Bagus kan itu?!"
"Memang dia berjuluk Pendekar Mabuk! Huuh....!"
temannya itu menjulekkan kepala gadis yang mengusulkan julukan Pendekar Mabuk untuk Suto. Maka tawa pun meledak di antara mereka. Peri Jenaka semakin merasa bangga berada disamping Pendekar Mabuk. Sang kepala suku yang merupakan.satu-satunya gadis memakai jubah di perkampungan Suku Mabayo itu, tak henti-hentinya hamburkan tawa di tengah canda dan pujiannya terhadap Pendekar Mabuk. Sebentar-sebentar matanya pandangi Suto dengan penuh arti. Seakan ia menembus ke dalam hati Pendekar Mabuk dan menggelitik hati itu
dengan senyumnya yang beriesung pipit itu.
Suto Sinting sendiri merasa senang dan sering berdesir indah manakala melihat gadis berjubah buntung warna emas itu sunggingkan senyum padanya,
karena lesung pipit itu mengingatkan Suto Sinting pada seorang gadis yang kelak akan menjadi istrinya. Maka tak heran jika Suto Sinting sering menggumam kagum dalam hatinya sambil pandangi senyum si Peri Jenaka.
"Gadis ini bukan saja lucu, tapi juga mengingatkan hatiku pada Dyah Sariningrum. Aku jadi kangen pada Dyah-ku dan ingin segera ke Pulau Serindu menemuinya."
Lamunan itu segera buyar karena teguran lembut dari Peri Jenaka.
Kurasa pesta ini sudah cukup memuaskan. Kau pasti lelah, Suto. Sebaiknya kuantar beristirahat ke kamarmu."
Pendekar Mabuk pandangi rumah-rumah berbentuk kerucut yang terbuat dari rumbia itu. la coba-coba menebak rumah mana yang akan dijadikan sebagai tempat beristirahat. la menyangka rumah kerucut yang atapnya diberi hiasan tanduk rusa jantan itu. Karena rumah tersebut adalah tempat tinggal si kepala suku cantik itu.
"Di mana aku harus beristirahat?!"
"Kami sudah siapkan tempat khusus agar kau merasa nyaman dan betah tinggal di sini.".
"Tinggal di sini?! Aku bukan dari Suku Mabayo, Peri Jenaka! Mana mungkin aku bisa tinggal di sinĂ?"
"Sebagai tamu kehormatan apa salahnya ika kau tinggal di sini selama satu purnama?!"
"Satu purnama?! Wow... ?!" Suto Sinting mendelik dalam canda. Peri Jenaka tertawa kecil. Tenang saja. Kau sebagai tamu kehormatan kami akan kami layani sebaik mungkin. Tempat istirahatmu kami pilihkan tempat yang nyaman dan menyenangkan.
Makan-minummu kami sediakan sesuai seleramu. Pakaian kami cucikan. Nanti setelah genap tiga puluh hari tinggal dihitung saja berapa jumlah biayanya."
"Sial! Kusangka cuma-cuma? Rupanya kau buka penginapan juga, ya?"
Tawa mereka berdua saling berhamburan,
jika sang kepala suku ceria, maka para rakyatnya juga ikut gembira. ltu sudah merupakan kebiasaan turun-turun. Jika sang kepala suku berduka, maka para rakyat pun ikut berduka. Jika sang kepala Suku bercinta, para rakyat pun baru berani bercinta... itu kalau ada pasangannya. Kalau tak punya pasangan ya melompong dongkol.
"Jika kau mau tinggal di sini berhari-hari, kau boleh pilih pasangan yang sesuai dengan seleramu,"ujar Peri Jenaka.
"Maksudmu pasangan cinta?"
"Pasangan sandal yang harus kau pakai. Kami punya beberapa pasang sandal atau alas kaki yang khusus disediakan untuk tamu," jawab Peri Jenaka sambil tertawa geli, dan Suto Sinting bersungut-sungut seraya menahan tawa.
"Aku heran, kayaknya wanita Suku Mabayo tak ada yang punya selera bercinta, ya? Kulihat dari tadi siang mereka tak ada yang tampak berduaan dengan lawan jenisnya, atau bergandengan tangan dengan suaminya?"
Peri Jenaka menjawab, "O, kami tidak terbiasanya kencan di sembarang tempat, dan itu pantangan bagi suku kami."
"Begitukah?! Jadi kalau kalian mau bercinta bagaimana?"
"Ada tempat tersendiri. Di rumah kami, atau di ruang Kemesraan."
"Ruang Kemesraan?! Aneh sekali kedengarannya. Dimana ruang kemesraan itu, dan seperti apa keadaan nya?"
"Kau ingin melihatnya?"
"Tak bolehkan aku melihatnya?"
"Untuk seorang tamu yang berjasa terhadap suku kami, kurasa tak ada pihak yang keberatan.jika kau melihat Ruang Kemesraan kami," jawab Peri Jenaka.
Gadis cantik berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu menatap dalam senyum yang amat manis dan berkesan anggun. Suto Sinting juga memandang gadis itu dengan senyum yang menawan. Tapi pandangan mata Suto tu segera melirik turun ke dada Peri Jenaka. Dada yang tertutup kulit macan tutul dalam keadaan seperti Tabir yang bawahnya bisa disingkapkan itu sempat membuat hati Suto herdebar-debar. Pakaian penutup bawah si kepala suku juga terbuat dari kulit macan tutul. Cara memakainya seperti rok yang pendek sekali.
Bahkan mirip celana hotpant yang bagian bawahnya tidak tertaut. Dan mata Suto sempat melirik ke sana Sebentar, karena saat itu Peri Jenaka duduk dengan kaki kanan ditumpangkan ke kaki kiri, sehingga pahanya yang coklat sawo matang itu terlihat dengan jelas.
"Ikut aku..!" ujar Peri Jenaka membuat Suto Sinting menggeragap dan menjadi malu sendiri. Tapi la segera mengikuti langkah si Peri Jenaka yang menuju ke rumah kerucut berhias tanduk rusa di bagian puncak atapnya.
Rumah kerucut itu mempunyai perabot alami, termasuk ranjang berkasur jerami yang terbuat dari kayu-kayu pohon. Salah satu kaki ranjang masih ada yang bercabang.
Di ruangan itu terdapat sebuah meja lebar berkaki rendah. Sekeliling meja diberi tikar sebagai tempat duduk bersila sambil minum teh atau entah apa lagi.
Melihat meja seperti itu, Suto Sinting jadi ingat saat bermalam di rumah pengemis kecil bernama Badrun.
Di rumah gubuk reot itu juga ada meja pendek seperti serupa itu. Semula Suto menyangka Badrun tak bisa memiliki meja bagus karena daya belinya tidak ada atau karena kemiskinannya yang memprihatinkan itu. Tetapi setelah dijelaskan oleh Peri Jenaka bahwa Badrun adalah adik bungsunya, maka Suto Sinting tidak terlalu prihatin dengan kehidupan Badrun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "
Tawanan Bermata Nakal").
Peri Jenaka segera menggeser meja berkaki rendah itu. Ternyata di balik tikar yang ada di bawah meja itu terdapat pintu menuju ruang bawah tanah. Pintu itu
berbentuk persegi empat dan membukanya dengan cara diangkat ke atas. Pintu dibuat sedemikian rupa dari lempengan baja yang rata dengan permukaaan lantai.
Pintu itu mempunyai tangga batu yang menuju ke bawah, seperti menuruni sumur Pendekar Mabuk disuruh turun ke ruang bawah tanah itu lebih dulu. Peri Jenaka menyusul, lalu menutup pintu itu lagi dengan menguncinya dari daĆam. Orang tak akan mudah membuka pintu tersebut dari atas.
Ruang bawah tanah itu ternyata menyerupai lorong lebar yang diterangi oieh obor-obor berbahan bakar batu bara. Obor itu tak bisa padam karena selain batu baranya setiap beberapa hari sekali ditambahkan, juga karena di ruangan itu tak ada angin yang berhembus kencang, sehingga nyala api obor tetap menerangi ruangan tersebut.
Lorong panjang dan lebar itu mempunyai kamar-kamar mirip asrama putri. Setiap kamar mempunyai pintu dari lempengan batu granit. Cara membuka pintu kamar itu dengan memiringkan obor baja yang ada di tiap samping pintu.
Lorong berkamar-kamar itu juga mempunyai ruangan khusus, semacam ruang tamu atau ruang keluarga lantainya terbuat dari lempengan batu marmer putih yang cukup mengagumkan. Di lorong itu juga ada beberapa pelayan yang siap melayani siapa saja yang berada di ruangan tersebut.
"Inilah yang kami namakan Ruang Kemesraan" ujar Peri Jenaka.
Ia tak pedulikan tamunya sedang memandangi dengan mulut terbengong dan mata tercengang.
Ruangan itu bukan saja terang, namun juga bersih dan berhawa sejuk. Rupanya dinding lorong itu mempunyai Rembasan air tertentu yang dapat menyejukan seluruh lorong tersebut.
Peri Jenaka memiringkan obor yang ada di depan kamar berpintu putih dengan gambar bunga mawar di tengahnya. Itulah kamar si kepala suku.
"Masuklah kalau kau ingin melihat Ruang Kemesraan Pribadi ini lebih jelas lagi," sambil tangan Peri Jenaka melambai, membuat Suto Sinting seperti robot
tanpa senyum yang menuruti perintah majikannya. la pun melangkah memasuki kamar tersebut.
"Wow...?!" gumam hati Suto Sinting mulai sunggingkan senyum kekaguman. Ternyata perabot di dalam kamar itu lebih bagus dan berkesan mewah ketimbang perabot yang ada di rumah kerucut di atas tadi.
Ada almari berkaca lebar, ranjang berseprai lembut, selimut berbulu halus, meja rias berkaca oval, dan aroma wangi menyebar memenuhi ruangan tersebut.
Aroma lembut itu memancing khayalan seseorang kealam kemesraan. Kamar yang diterangi oleh obor-obor kecil itu bersuasana redup dan romantis sekali.
"Inilah yang dinamakan Ruang Kemesraan Pribadi," ujar Peri Jenaka sambil menutup pintu dengan cara memiringkan obor kecil di samping pintu tersebut
"Hanya di tempat ini kami boleh bercinta, bermesraan dan saling memadu kasih dengan pasangan nya"
"Hebat sekali?!" gumam Suto Sinting dengan mata masih pandangi sekeliling kamar yang tergolong cukup lebar itu. Peri Jenaka tersenyum bangga.
"Kau boleh memilih tidur di kamar yang mana saja. Tapi masing-masing kamar mempunyai penghuni sendiri-sendiri Seperti misalnya, kamar sebelah kiri ini kamarnya Jenda, kamar sebelah kanan adalah kamar Madesya, kamar ujung sana adalah kamarnya Sahara. dan begitu seterusnya. Kau tidak diharuskan tidur dikamar Jenda atau dikamar sahara atau dikamar siapa saja. Kau..."
"Bagaimana kalau aku tidur di kamar ini?!" sahut Suto Sinting membuat gadis itu terhenti dari bicaranya.
Gadis itu menatap Suto Sinting dengan senyum ceria, seakan tak pernah mengalami duka apa pun.
"Mengapa kau diam saja, Peri Jenaka?!"
"Hmm, ehh... kau mau tidur di kamar ini?!"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala setelah mendekat, dan berdiri dalam jarak tak ada setengah langkah. si gadis berwajah semburat merah dadu menahan desiran malu dan perasaan bangganya. Adu pandangan mata itu semakin membuat Peri Jenaka salah tingkah, akhirnya ia berpaling memandang barang-barang sebelah kanannya sambil berkata,
"Kalau kau bosan tidur di sini, esok malamnya boleh saja tidur di kamar lain. Tapi jika gadis itu sampai hamil kau harus mengawininya sesuai tata cara Kehidupan Suku Mabayo, dan kalian harus hidup di luar Perkampungan kami. Karena memang.."
"Aku akan tidur di sini selama empat malam!" sahut Pendekar Mabuk yang membuat kata-kata peri jenaka terpotong lagi. Gadis itu menatap Suto kembali dengan bola matanya yang bening dan indah itu.
"Tak bolehkah aku tidur di kamar yang sama selama empat hari?" desak Suto Sinting.
"Selama-lamanya pun boleh, asal kita, segera bikin kamar sendiri di luar perkampungan. Tapi.. tapi mengapa kau memilih kamar ini, Suto?"
"Karena di kamar ini ada gadis cantik yang menggemaskan hatiku," Jawab Suto Sinting pelan namun jelas terdengar oieh Peri Jenaka.
Gadis itu mulal grogi. "Tapi... tapi aku... aku belum ingin hamil, Suto."
"Aku pun belum ingin hamil," balas Suto Sinting yang membuat senyum mereka bermekaran.
"Suto...,". Peri Jenaka meremas tangan Pendekar Mabuk yang mengusap pipinya perlahan-lahan itu.
Suara mendesah yang amat kecil itu membuat jiwa Pendekar Mabuk mulai hanyut dalam keromantisan Bibir gadis itu disentuh dengan jari tangan Suto bagai
diraba pelan-pelan. Si gadis hanya memandang semakin sayu.
Mulut si gadis terbuka dan segera menggigit kecil jari tangan Suto Sinting. Suto membiarkan dengan tangan kiri mulai mengusap lengan kanan sigadis. Namun lidah si gadis yang memagut-magut jari tangan Suto itu telah membuat gairah Suto terbakar semakin nyata.
Gadis itu menarik kepalanya ke belakang dengan pelan-pelan, sehingga jari telunjuk Suto yang masuk ke mulutnya itu menjadi terlepas secara perlahan sekali.
Gerakan Kepala itu timbulkan desiran yang membuat jantung Suto Sinting bergemuruh.
"Sssshh, aaahh..."Peri Jenaka mendesis
mendesah, kemudian kepalanya sedikit mendongak dan dengan mata terpejam samar-samar. la sedang merasakan sentuhan tangan Pendekar Mabuk yang bermain dengan nakalnya di permukaan dada. Tentu saja Suto Sinting mudah mencapai gumpalan dada yang padat dan masih kencang itu, karena kain penutup dada itu tak terikat di bagian bawahnya. Suto bagaikan menyusupkan tangannya ke balik tirai, lalu menemukan gumpalan padat yang mengencang hingga di bagian pucuknya.
Suto Sinting akhirnya tak tahan, kemudian dekatkan wajahnya dan tempelkan bibirnya pelan-pelan ke bibir Peri Jenaka. Bibir gadis itu dikecupnya dengan lembut sekali. Pagutannya sangat pelan dan timbulkan desir-desir keindahan yang membuat darah Peri Jenaka mengalir deras dari kepala sampai kaki.
Suto melepas kecupan itu, dan pandangi wajah halus cantik berkulit halus bagai kulit bayi itu. Pada umumnya wanita suku Mabayo memang berkulit lembut, selembut kulit bayi.
Gadis itu membuka mata pelan-pelan, lalu berucap sangat lirih, "Lakukan lagi...."
Permintaan itu dituruti oleh Suto Sinting. Bibir sigadis dipagut pelan-pelan. Bahkan lidah Suto bermain lembut di permukaan bibir Peri Jenaka. Membuat dahi gadis itu berkerut tajam dan mata terpejam kuat dengan tangan meremas tangan suto.
Akhirnya ia tak tahan, maka ia pun segera memeluk tubuh Suto Sinting dan membalas lumatan bibir Suto.
"Aahhhh...!" Peri Jenaka mendesah panjang ketika bibir mereka saling terlepas. la merapatkan pelukannya, mendusalkan wajah di leher Suto seraya berbisik lirih. "Tinggallah di sini selama satu purnama, Suto. Aku bahagia sekali bersamamu saat ini...."
"Satu purnama?! Selama tiga puluh hari aku tinggal di kamar ini bersamamu?!"
"Kau keberatan?!"
Suto Sinting tidak menjawab, ia bahkan menjadi resah oleh pertimbangan benaknya. Lebih resah lagi setelah tangan Peri Jenaka mulai berani mengusap pahanya, dan tangan Suto pun secara naluri mengelus paha gadis itu. Ternyata tangan tersebut bergerak naik
sampai menyingkapkan penutup dari kulit macan tutul itu dan menemukan sesuatu yang lebih hangat lagi
"Uuuhk, uhhuk.... Sutoo...," Peri Jenaka merengek manja karena dibuai kenikmatan dari sentuhan tangan Suto itu.
*
* *
҂: 3 :҂
LORONG bawah tanah yang menjadi Ruang Kemesraan itu mempunyai cabang ke beberapa arah. Masing-masing cabang lorong mempunyai pintu tembus sendiri. Agaknya lorong itu sengaja dibangun oleh para leluhur Suku Mabayo sebagal Jalan melarikan diri jika terjadi bahaya sewaktu-waktu.
Peri Jenaka membawa Suto Sinting menelusuri lorong itu sambli berangkulan mesra. Ternyata cabang lorong yang disusuri mereka berdua itu menembus ke sebuah rumah gubuk yang reot dan miring, hampir roboh. Suto terperangah menyadari dirinya ternyata muncul di rumah miskin yang tak lain adalah rumahnya Badrun, si pengemis cilik itu. Mereka pun bertemu dengan bocah berusia tiga belas tahun yang mengenakan pakaian bertambal-tambal itu.
"Akhirnya kau bertemu juga dengan kakakku, Kang," ujar Badrun sambil nyengir membuat Suto Sinting dan Peri Jenaka pun ikut tersenyum sedikit malu.
"Mengapa kau tidak katakan dari dulu bahwa penunggang kuda putih itu adalah kakakmu, Drun?!"
"Aku takut kau tak percaya, Kang."
Peri Jenaka menyahut, "Yang jelas Badrun tak akan mudah membuka rahasia suku kami!"
"Lalu, Peri Jenaka bicara pada adiknya sambil mengusap-usap kepala sang adik kurus itu.
"Bagaimana keadaanmu, Drun?"
"Sama seperti biasa, Kak. Kurus dan kumal begini"
"Dari dulu memang kau mirip handuk tidak dicuci." ujar kakaknya dengan canda. "Suasana di luar bagaimana, Drun?!"
"Kudengar orang-orang Pantai Dahaga masih berusaha ingin merebut batumu itu, Kak. Tapi agaknya mereka tunda dulu niat ltu, karena mereka tahu bahwa Pendekar Mabuk ada di perkampungan klta, Kak. Kabar kekalahan Salendra dalam pertarungan dengan Kang Suto menyebar ke mana-mana, Kak."
"Mereka akan tuntut balas?"
"Soal itu aku tak dengar, Kak," jawab Badrun yang mengabdikan diri kepada sukunya dengan menjadi mata-mata kecil.
Badrun berkata lagi, "Justru kabar yang kudengar adalah keganasan Ratu Sendang Pamuas itu, Kak."
"Keganasan bagaimana?" tanya Suto Sinting.
"Hmmm... kabar yang baru kemarin dibicarakan orang lewat itu adalah keberhasilan Ratu Sendang Pamuas yang telah menculik seorang wanita bekas
prajurit. Wanita itu bernama Denaya dan..."
"Siapa...?!" potong Suto Sinting dengan terkejut
"Denaya...?!"
"Benar, Kang! Wanita itu bernama Denaya."
"Edan!" geram Pendekar Mabuk. "Untuk apa Denaya diculik?"
"Untuk sandera, Kang! Kudengar, Ratu Sendang Pamuas sedang mengincar lelaki muda yang berwajah tampan. Lelaki-muda itu bernama Buyut Batara..."
"ltu kekasih Denaya! Mungkin mereka sekarang sudah menikah dengan resmi!" sahut Suto lagi agak beremosi. Lalu dalam benaknya terbayang seorang wanita berpakaian perang dengan rompi zirah anti senjata tajam yang pernah membantunya dalam menghancurkan Istana Kematian, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "
Darah Pemuas Ratu").
Kabar yang didengar Badrun dalam penyamarannya sebagai pengemis cilik itu, Ratu Sendang Pamuas bukan menculik Denaya saja, namun juga beberapa
pemuda yang tak berilmu dan mudah dirayu untuk dijadikan pasangan kencannya. Hal itu dilakukan sang Ratu sebelum kedatangan Laksana.
Namun ketika Laksana keluar dari istananya, sementara Salendra dikecam habis-habisan karena tak bisa dapatkan Batu Selaput Dara sampai pemuda itu diusir, maka sang Ratu pun mulai mencari mangsa baru. la sempat melihat Buyut Batara sedang berjalan bermesraan dengan Denaya, istrinya. Kesempatan itu digunakan Ratu Sendang Pamuas untuk membawa lari Buyut Batara. Tetapi perlawanan Buyut Batara dan Denaya cukup berat, sehingga sang Ratu akhirnya memutuskan untuk menculik Denaya di lain kesempatan
Kini Denaya telah diculik oleh sang Ratu dan akan dilepaskan jika Buyut Batara mau menebusnya dengan kehangatan.
Sebab sang Ratu sangat tertarik melihat ketampanan Buyut Batara yang tubuhnya berpostur atletis itu. Mak Comblang juga yang membujuk Ratu Sendang Pamuas agar dapatkan Buyut Batara, dengan alasan lebih hebat dari Laksana, maka sang Ratu pun nekat memancing kedatangan Buyut Batara.
"Peri Jenaka, aku harus bebaskan Denaya, karena Buyut Batara dan Denaya adalah sahabatku.., ujar Suto Sinting, kemudian ceritakan sedikit tentang peristiwa penyerangan di lstana Kematian Itu.
Peri Jenaka tak bisa berkata apa-apa lagi, karena Suto Sinting berkemauan keras untuk melabrak Ratu Sendang Pamuas. Bahkan adik sang kepala suku itu mendukung rencana Suto Sinting.
"Biar niat si Ratu jahat itu tak berani berusaha merebut batu keramatmu, Kak! Bukankah kau juga ingin melumpuhkan si Ratu jahat itu, Kang?"
"Benar! Setidaknya dia jera dan tak berani mengganggumu lagi, Peri Jenaka!"
"Tapi.. tapi jika kau ke sana sendiri berbahaya Suto. Sebab..."
"Aku yang temani, Kak!" sahut Badrun. "Aku
Berani menemani Kang Suto. Kalau ada apa-apa, aku tahu jalan pintas melarikan dirl menuju ke Hutan Malaikat!"
Hal yang dikhawatirkan Peri Jenaka adalah kekuatan daya pikat Ratu Sendang Pamuas. Daya pikat itu dapat melemahkan jiwa Suto, sehingga si pendekar tampan itu akhirnya menjadi budak nafsu sang Ratu.
Peri Jenaka tak ingin Pendekar Mabuk jatuh dalam pelukan Ratu Sendang Pamuas, sebab selama tiga hari ini ia telah rasakan betapa indahnya kemesraan Pendekar Mabuk walau tanpa melalui pelayaran ke samudera cinta. Namun Peri Jenaka merasa seperti sudah mengarungi lautan cinta dan mencapai puncak keindahan berkali-kali dalam setiap bercumbu dengan Suto Sinting itu.
Peri Jenaka mengakui, bahwa ternyata Suto bukan saja sining ilmunya, tapi juga sinting kemesraannya.
Peri Jenaka sangat menyukai kelembutan asmara Pendekar Mabuk, karenanya ia takut kehilangan Suto. Namun kabar penculikan atas diri Denaya itu tak bisa membuat Suto Sinting luluh dengan bujukan dan nasihat Peri Jenaka. ia tetap akan melabrak ke Pantai Dahaga dan membebaskan Denaya sebelum Buyut Batara menjadi santapan empuk gairah si ratu hipper itu.
Semula Peri Jenaka ingin pergunakan Batu Selaput Dara untuk membuat Suto bertekuk lutut dan patuh pada perintahnya. Tapi gadis itu tak tega, mengingat Suto Sinting pernah berjasa menyelamatkan Batu Selaput Dara dari niat Salendra. Terlebih setelah yang kecil tapi berotak cerdas itu membujuk kakaknya, akhirnya sang kakak pun melepaskan kepergian Pendekar Mabuk.
"Kau tak perlu ikut, Badrun!"
"Aku harus ikut, Kak! Kalau terjadi sesuatu pada diri Kang Suto, siapa yang akan membantunya? Siapa yang akan mengabarkan padamu?"
"Hahhh... terserah kau sajalah!" Peri Jenaka akhirnya benar-benar pasrah, sekalipun ia mencemaskan sang adik juga.
"Kalau terjadi bahaya sewaktu-waktu, kau harus cepat lari dan bersembunyi, Drun!"
"lya, ya, Kang!" jawab Badrun sambil melangkah mendampingi Suto. Bocah itu justru merasa menjadi pengawalnya Pendekar Mabuk. Langkahnya ditegap
kan, dadanya yang tulang-belulang melulu itu dibusungkan.
"Sebagai keturunan Suku Mabayo aku tak boleh takut menghadapi bahaya apa pun, walau sebenarnya aku juga setuju dengan saranmu untuk lari dan sembunyi itu, Kang!"
Ada rasa senang juga membawa Badrun dalan perjalanan itu. Celoteh si Badrun yang sok tua itu sering mendatangkan kegelian di hati Pendekar Mabuk, sehingga perjalanan menuju Pantai Dahaga tak terasa tegang.
Hanya saja, ketika mereka menuruni sebuah lembah yang berhutan renggang, Suto buru-buru menyambar tubuh Badrun yang melangkah sedikit lebih ke depan darinya. Wuuut...! Zlaaap..!
Ia terbang Badrun menggeragap, dirinya terasa bagai terbang dalam sepintas. Tahu-tahu ia sudah berada di tempat lain, di bawah ohon yang berakar seperti rambut raksasa turun dari langit itu.
"Hpp, haah, huuh, Kang... Kang... ada apa tadi, Kang?" bocah itu gelagapan.
"Lihat orang di seberang sana! Suto Sinting menuding tempat mereka melangkah tadi. Ternyata di depan sana sudah berdiri dua orang berpakaian serba hitam. Seorang lagi tampak berpakaian putih kusam agak kecoklat-coklatan. Di samping dua orang berpakain hitam itu ada pohon tak seberapa besar. Di pohon itu tertancap sebilah pisau bergagang hitam. Pisau itu tadi
yang melesat hampir kenai Badrun, untung bocah itu segera disambar oleh Pendekar Mabuk.
Tiga orang tak dikenal oleh Suto segera melangkah mendekatinya. Badrun berwajah tegang, ia bergeser ke belakang Suto Sinting.
"Kang.. Kang itu orang Waduk Bangkai! yang pada malam itu kau hajar! Aku mengenali wajah dua orang berpakaian hitam itu, Kang."
"Hmm... ya, benar! Orang yang berkunis lebat itu memegang cambuk pada malam itu," gumam Suto Sinting irih.
"Menyingkirlah ke balik pohon, Drun. Kalau bisa sembunyilah agak jauh."
Tapi anak itu hanya mundur beberapa langkah dan berlindung di balik akar pohon yang terjulur dari atas ke bawah. Suto Sinting maju tiga langkah sebagai tanda Bahwa la tak merasa gentar dihampiri oleh tiga orang Itu.
Yang mengenakan pakain putih kusam tampak lebih tua dari kedua orang yang berpakaian serba hitam itu. Si baju putih mempunyai janggut dan kumis abu-abu dengan rambut tipis abu-abu berkesan botak. Tubuhnya kurus dan tulang pipinya bertonjoĆan. la mempunyai sepasang mata cekung yang memancarkan kebengisan. Di tangan kirinya menenteng cambuk hitam yang tempo hari digunakan oleh si kumis lebat untuk menyiksa wakil lurah Desa Bumireja, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "
Tawanan Bermata Nakal").
Mereka berhenti lima langkah di depan Suto Sinting. Orang berpakaian putih kusam yang usianya sekitar enam puluh tahun itu ajukan tanya kepada sl kumis lebat.
"Benar dia orangnya, Sumalong?!"
"Ya, memang dia orangnya, Ketua!"
"Hmmm...," gumam si orang tua yang ternyata adalah ketua mereka.
Orang Waduk Bangkai adalah para pembunuh bayaran yang berdarah dingin, sadis dan tak pandang bulu dalam bertindak. Mereka pernah dibayar oleh Ratu
Sendang Pamuas untuk menangkap gadis berkuda putih alias si Peri Jenaka. Tetapi usaha mereka buyar di tengah jalan karena berhadapan dengan Pendeka Mabuk. Mereka pulang babak belur, dan mungkn Sekarang akan melanjutkan ke babak berikutnya.
"Apakah kau yang bernama Suto Sinting?!" ujar sang Ketua, karena Suto pernah sebutkan namanya didepan si kumis tebal itu sebelum mereka tinggalkan Desa Bumireja.
"Benar. Aku yang bernama Suto Sinting. Tapi aku merasa tidak kenal denganmu, Pak Tua!" ujar Suto dengan kalem. Bumbung tuaknya masih menggantung di pundak kanan, sewaktu-waktu dapat disentakkan ke depan dan dalam sekejap akan berada di tangan.
"Perlu kau ketahui! aku adalah Balung Wirok, Ketua Jagal Tega dari Waduk Bangkai!"
"Lalu apa maksudmu melemparkan plsau ke arah kami berdua?!"
"Tentu saja aku ingin melihat seberapa hebat orang yang berani lancang mengacaukan pekerjaan anak buahku?"
"Lalu, menurutmu apakah aku hebat? Toh pisaumu sudah bisa kuhindar!"
"Rupanya mulutmu perlu diremukkan dulu baru bisa dibilang hebat!" geram Balung Wirok, kemudian la melecutkan cambuknya dengan cepat ke arah Pendekar Mabuk.
Settt...! Pendekar Mabuk sentakkan bumbung tuaknya ke depan.
Taaar...!
Cambuk itu kenai bumbung tuak.
Duuarr...!
Rupanya cambuk itu dialiri tenaga dalam oleh si balung wirok.
Tenaga dalam itu menghantam bambu bumbung tuak yang punya kekuatan sakti tersendiri Akibatnya, timbul ledakan yang menyentak kuat membuat Suto Sinting mundur satu langkah dan si Balung Wirok terpelanting ke belakang, hampir jatuh kalau tak disangga kedua tangan si kumis tebal itu.
"Serang dia!" perintahnya kepada kedua anak buahnya. Maka kedua orang berpakaian hitam itu bergegas maju untuk menyerang Pendekar Mabuk.
Tapi tiba-tiba Badrun berseru dari tempatnya. Sebelumnya bocah itu telah tempelkan kedua telunjuknya ke pelipis kanan-kiri dan pejamkan mata beberapa saat.
"Hei, kalau kalian merasa orang berilmu, coba lawan aku!"
Pendekar Mabuk terperanjat karena cemas. ia ingin cegah Badrun yang melangkah keluar dari balik akar-akar pohan itu, tapi Badrun segera berseru kepada kedua orang berpakaian hitam itu.
"Jika kalian bisa menjawab pertanyaanku, berarti kalian memang orang berilmu dan cukup hebat! Akan kuperintahkan Kang Suto untuk berlutut meminta ampun kepada kalian!"
"Jangan hiraukan bocah itu!" sentak si Balung Wirok. Tapi Badrun segera lontarkan pertanyaan, "Telur apa yang tidak bisa menetas?!"
Kedua orang berpakaian hitam itu tetap akan maju serang Suto. Tapi Suto segera ingat bahwa Badrun mempunyai ilmu titisan dari kakeknya yang beilmu 'Kedung Getih'. iImu itu tersalurkan melalui tebakan. Jika jawaban orang itu salah, maka ia akan celaka. Tapi jika jawaban itu benar, maka ia akan selamat. Karenanya, Suto Sinting segera mundur dua langkah dan berseru, "Hei, jawab dulu pertanyaan sahabat kecilku ini! Kalau kalian bisa menjawab, aku bersedia berlutut di depan kalian meminta ampun. Mau kalian apakan saja aku bersedia! Jawablah pertanyaannya!!"
Badrun mengulang pertanyaan tebakannya, "Telur apa yang tidak bisa menetas?!"
Si kumis lebat menggeram jengkel, namun akhirnya menjawab pula tanpa berpikir panjang.
"Telur busuk!"
"Salah!" seru Badrun lalu nyengir.
Orang yang satunya lagi ikut menjawab, "Telur gajah"
"Salah! Mana ada gajah bertelur?! Kalau gajah bertelur, apa telurnya seperti rupamu?!" ujar Badrun seenaknya.
"Bangsat kau, Bocah Babi! Hiiaaah...!"
Orang yang tadi menjawab 'telur gajah' itu berang dan segera melangkah ingin menampar Badrun. Tetapi langkahnya terhenti seketika, karena ia mendengar si Kumis tebal tersedak, lalu memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Hoooeek...! Hooooeeek...!"
"Sumalong...?! Kenapa kau?!" seru orang yang mau menampar Badrun. Tapi kejap berikut ia sendiri segera terbungkuk dan memuntahkan darah segar cukup banyak.
"Hooeek...! Hoouk, hoouk, hooooeeek..!"
"Paran.?! Kenapa kau ikut-ikutan muntah, hah?!"
bentak si Balung Wirok. Tapi orang yang bernama Paran dan Sumalong itu cuek dengan bentakan sang Ketua. Mereka asyik memuntahkan darah segar beberapa kali. Sang Ketua tak tahu bahwa muntah darah Itu akibat jawaban mereka salah.
Balung Wirok menyangka kedua anak buahnya diserang Pendekar Mabuk dengan ilmu semacam guna-guna. Maka si mata cekung itu segera lecutkan cambuknya ke arah Pendekar Mabuk secara bertubi-tubi.
"Kau memang harus kuhancurkan dengan cambuk ini, Keparat! Heaah...! Heeeaah...!"
Tar, tar, tar, tar, tar, tar...!
Pendekar Mabuk melompat ke sana-sini dan menggeloyor seperti orang mabuk mau Jatuh. Ternyata tak satu pun lecutan cambuk si Balung Wirok yang kena tubuh Suto Sinting. Sekalipun tiap cambukan keluarkan percikan api, namun gerakan gesit si Pendekar Mabuk yang mirip pemabuk mau tumbang itu berhasil hindari cambukan beruntun itu. Badrun segera berlari ke balik pohon, mengintai dari sana dengan wajah tegang. Pendekar Mabuk merasa lega melihat Badrun bersembunyi di balik pohon. Ia segera pergunakan Jurus 'Gerak Slluman' untuk pindah tempat. Gerakan yang menyerupai perpindahan cahaya ltu membuat Balung Wirok terperangah Sesaat dan hentikan cambukannya.
Ziaaap....!
"Hahh..?! Hilang...?!"
"Aku di sini, Pak Tua!" ujar Suto Sinting yang tahu-tahu sudah ada di belakanng Balung Wirok.
Maka cambuk pun berkelebat kembali dilecutkan ke arah kepala Suto. Sebenarnya saat itu Suto Sinting Sudah siap dengan jurus 'Jari Guntur', yaitu sebuah sentilan jari yang mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar. Tapi sebelum jurus itu dilepaskan, tiba-tiba sekelebat bayangan menerjang tengkuk kepala Balung Wirok.
Brusss....!
"Aaaahk...!" Balung Wirok terjungkal dan berguling-guling bagai gulungan kapas dihempas badai. Batu dan akar diterjangnya tanpa peduli hal itu menyakitkan atau tidak. Terjangan yang mengenainya bertenaga dalam besar, sehingga Balung Wirok tak dapat menahan hempasannya.
"Aaaaoooww...!!" Ia mengerang di kejauhan sana dalam keadaan meringkuk seperti pistol. Wajahnya babak belur, penuh luka memar, kulit tubuhnya yang kurus itu pun mengalami luka-luka membaret. Bahkan sikunya koyak dan berdarah.
Orang yang menerjang dengan tenaga dalam itu berdiri tegak dengan kaki sedikit merenggang dan tangngan kiri pegangi gagang pedang yang masih terselip di pinggangnya.
Pendekar Mabuk terkejut melihat si penerjang tadi ternyata seorang perempuan berpakaian primitif, mengenakan penutup dada dan penutup bagian bawahnya dari serat-serat kulit pohon berwarna abu-abu.
Tubuhnya tinggi, sekal, berwajah cantik namun tampak galak. Rambutnya keriting lembut dengan panjang sepundak, mengenakan ikat kepala dari tali rami putih yang panjangnya sampai lewat pundak.
"Sahara...?!" seru Badrun dari balik persembunyianya.
Anak itu sangat mengenali perempuan muda itu, karena Sahara memang prajuritnya Peri Jenaka. Dialah orang yang menangkap Suto dengan tuduhan sebagai
mata-mata dari Pantai Dahaga. Dia yang membuat Suto Sinting akhirnya berkenalan dengan Peri Jenaka dan hati si kepala suku terkesan oleh kemesraan Suto Sinting.
"Sahara, mengapa kau menyusul kami?!"
"Ketua menyuruhku membawa pulang Badrun!"
Jawab Sahara dengan tegas. Matanya melirik ke Suto Sinting sebentar, lalu memandang ke arah Balung Wirok.
"Tapi izinkan kubereskan dulu orang Waduk Bangkai itu!"
Sreet...!
Sahara mencabut pedangnya dan berlari hampiri Balung Wirok.
"Gadis bangsat itu telah membuat tulang
punggungku patah begini geram Balung Wirok . Kurasa aku harus hindari dia! Luka ini harus kusembuhkan dulu, baru bikin perhitungan lagi dengan gadis bangsat itu!" Blaass...! Balung Wirok kerahkan tenaga penghabisan untuk dapat berlari dengan cepat. Sahara mengejarnya dengan pedang tetap terhunus. Blaass....!
"Hei, Sahara... tinggalkan dia!" seru Pendekar Mabuk, tapi tak dihiraukan oleh Sahara.
"Kaang..!" seru Badrun. "Kedua orang itu mati, Kang?
Pendekar Mabuk terbelalak kaget. Ternyata kedua anak buah Balung Wirok itu terkapar tak bernyawa dalam keadaan darahnya menggenang di tanah sekitarnya. Paran dan Sumalong sejak tadi muntah darah terus, seakan seluruh darahnya terkuras habis, dan akhirnya kedua orang itu tak bernyawa lagi.
"Edan! Ganas juga ilmu 'Kedung Getih'-mu,
Drun?"
"Karena yang kugunakan adalah jurus kedua," ujarnya datar, seperti orang bicara sendiri, matanya masih pandangi Sumalong dengan tak berkedip.
"Jurus kedua?!" gumam Suto Sinting sambil berpikir "jadi jurus pertama adalah tebakan tentang mana yang lebih hebat bulan atau matahari? Lalu jurus kedua lebih berbahaya lagi yaitu telur apa yang tidak bisa menetas?! Aneh sekali ilmu itu! Apakah orang-orang Suku Mabayo memang diwarisi oleh leluhur mereka dengan llmu-llmu aneh!"
Badrun berkata lirih di samping Suto, "Kalau saja mereka menjawab, telur yang tidak bisa menetas adalah telur mata sapi, pasti. mereka tak akan celaka begini."
"Oh, jadi... jadi jawabannya adalah telur mata sapi? Badrun hanya tersenyum getir, lalu memandang ke arah kepergian Sahara. Wajah anak itu tampak menyimpan kecemasan terhadap diri Sahara.
"Kita, susul Sahara itu, Kang. Kasihan dia kalau sampai terjadi sesuatu yang membahayakan."
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Hati merasa tak enak sejak melihat Sahara mengejar Ketua Waduk Bangkai itu!" jawab Badrun yang mampu mempengaruhi hati Suto Sinting, menjadi resah
memikirkan Sahara.
*
* *
҂: 4 :҂
BADRUN nyaris tertinggal jauh karena la tak dapat berlari cepat. Pendekar Mabuk terpaksa menggendong bocah ltu agar bisa berlari cepat menyusul Sahara.
"Kang, jangan cepat-cepat! Aku masih ingin hidup, Kang! Awas, nanti nabrak lho, Kang! Jangan ngebut,Kang! Kang...!"
"Diam kau, ah! Kecepatan segini belum ngebut!" sentak Suto Sinting sambil menggendong Badrun di punggungnya.
"Kalau kau takut, pejamkan matamu"
"Kalau mata kupejamkan, nanti kau nabrak apa-apa aku tidak bisa melihatnya, Kang," ujar Badrun dengan suara gemetar, karena ia merasa seperti terbang. Padahal Suto hanya menggunakan kecepatan separo dari kecepatan 'Gerak Siluman' yang sebenarnya.
Wess, wees, wees...!
"Kang.! Awas pohon..!"
"Aku tidak buta, Tolol!" sentak Suto Sinting dengan jengkel.
Suto Sinting berlari cepat menyelinap, membelok kesana-sini hindari pohon.
"Kalau aku menabrak pohon, pasti yang bonyok aku, Drun! Bukan kau!"
"lya, tapi kalau...," kata-kata Badrun terhenti tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan cukup keras dari arah barat, sebelah kiri mereka.
Blaaarrr...!
"Kang, ada gempa bumi, Kang!"
"Itu bukan gempa bumi, Bodoh!"
"Tapi pohon-pohon itu bergetar, Kang Pasti ada pertarungan di sana! Mungkin pertarungan Sahara melawan si Balung Wirok!, Sebaiknya kita ke sana saja, Kang"
"Cerewet kau ini, Drun!" gerutu Suto Sinting segera bergegas menuju tempat datangnya suara ledakan tadi Ternyata dugaan Suto salah. Pertarungan itu bukan pertarungan antara Sahara dengan Balung Wirok.
Pertarungan itu terjadi antara dua wanita, yang satu masih muda, berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Pendekar Mabuk terperanjat kaget melihat gadis cantik yang mengenakan baju tanpa lengan warna kuning gading dengan celananya yang berwarna sama. la sangat kenal dengan gadis berjubah merah beludru Jubahnya bisa dilepas sewaktu-waktu, modelnya seperti jubah Superman atau jubah Drakula.
"Tirai Surga...?!" batin Suto menyebut nama Itu penuh kenangan, yaitu kenangan ketika ia diburu oleh mendiang Nyai Dupa Mayat. Tirai Surga sebenarnya utusan Nyai Dupa Mayat yang bertugas menangkap Pendekar Mabuk dan menyerahkannya kepada sang Nyai. Tapi gadis itu tidak tahu. yang mana pendekar Mabuk itu. la justru lengket dengan Suto, terkesan oleh kemesraan suto, di mana saat itu adalah saat pertama kali ia menerima kemesraan dari seorang pemuda.
Akhirnya la melarikan diri setelah tahu bahwa Suto itulah si Pendekar Mabuk yang seharusnya diburu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "
Dalam Pelukan Musuh).
Kini pandangan mata Suto Sinting tertuju pada wanita yang satunya. Wanita yang menjadi lawan Tirai Surga itu adalah wanita separo baya, berusia sekitar empat puluh tahun. la mengenakan jubah hitam, pakaian dalamnya warna merah. Rambutnya terurai sepunggung tanpa ikat kepala tanpa sanggul secuil pun.
Wajahnya sering tak kentara karena rambutnya sering meriap ke wajah karena hembusan angin.
Namun wanita berjubah hitam itu masih mampu bergerak lincah dan cepat. Sesekali wajahnya memang terlihat jelas karena rambutnya meriap ke arah samping. Pada saat wajahnya terlihat jelas itu, Suto Sinting berkerut dahi merasa tak kenali wanita itu.
Sekalipun sudah berusia sekitar empat puluh tahun. Tapi agaknya la masih punya sisa kecantikan, terlihat dari hidungnya yang bangir, bibirnya yang sensual dan matanya yang agak besar namun bermata jalang.
Ia menyelipkan samurai panjang berwarna hitam di pinggang nya.
"Siapa wanita jubah hitam itu?"
Gumam Suto bagai bertanya pada dirinya sendiri. Tapi Badrun mendengarnya, dan agaknya anak Itu mengenali si jubah hitam itu sehingga la pun berkata membisik dalam keadaan masih berada di gendongan Suto.
"Kang, wanita berjubah hitam itu orang Jahat. Dia juga mengincar Batu Selaput Dara milik kakakku"
"Siapa nama wanita itu?"
"Nama sebenarnya aku tak tahu, Kang. Tapi nama julukannya aku tahu. Dia berjuluk si Beruang lblis!"
"Hahh...?! Maksudmu, dia yang menjadi ketua Perguruan Pintu Neraka itu?!"
"Benar, Kang! Pintar sekali kau!" Badrun menepuk pundak Suto Sinting memberi pujian. Badrun tak tahu bahwa Suto Sinting sudah pernah mendengar nama
Beruang lblis, namun belum pernah bertemu dengan orangnya. ia mendengar nama Beruang lblis yang pertama kali dari mulut Tirai Surga. Karena menurut Tirai Surga, lawannya yang terberat adalah Ketua Perguruan Pintu Neraka yang berjuluk si Beruang iblis. Pada waktu itu, Suto tidak menduga kalau Beruang Iblis itu seorang wanita separo baya dan masih punya sisa
kecantikan serta keelokan tubuh seperti yang dilihatnya sekarang itu.
"Hei, kau enak-enakan saja menclok di punggungku terus badrun. Turun!" sentak Suto dalam bisikan.
Badrun tertawa kecil dengan menutup mulutnya memakai tangan. Ia pun turun dari gendongan Suto Sinting.
"Kau mau apa, Kang?!"
"Aku harus lindungi gadis berjubah merah beludru itu!"
"Kau naksir dia, ya Kang?"
"Naksir gundulmu!" ujar Suto sambil bersungut-sungut. " Dia sahabatku. Aku pernah punya janji padanya untuk membantunya melawan si Beruang Iblis!
Waktu itu, kusangka Beruang lblis adalah lelaki, karena baru sekarang kulihat rupa si Beruang lblis itu!".
"Gila?! Beruang iblis kena tendangan gadis itu, Kang? Lihat, dia jatuh terguling-guling?" tuding Badrun ke arah pertarungan. Wajah anak itu tampak tegang.
Suto Sinting hanya memandang agak tenang. Karena Tirai Surga tampak masih segar dan belum ada luka di tubuhnya. Kelincahan geraknya masih bisa menyamai kelincahan gerak si Beruang iblis.
wanita separo baya itu segera bangkit dan menggeram penuh dendam. la mencabut samurainya.
Sreet....! Tirai Surga juga keluarkan senjatanya, berupa dua lingkaran seperti gelang pipih yang tepiannya sangat tajam. Namun gadis itu punya cara sendiri dalam memegang kedua gelang-gelang lempengan baja itu Hingga tangannya tak terluka oleh ketajamannya.
"Bersiaplah minggat ke neraka sana, Gadis jalang!" Teriak beruang iblis dengan sangar. la segera maju selangkah demi selangkah dengan samurai diacungkan ke depan, agak ke bawah. Langkahnya menyamping. Sehingga kentara sekali kalau akan lakukan tebasan beruntun setelah dekat dengan lawannya.
Tirai Surga tak mau mendekat. Justru dari tempatnya ia lemparkan gelang-gelang tajam itu ke arah lawannya.
Ziinggg....!
Gelang tajam mirip piring beriubang tengah itu melayang di udara. dengan cepat, bagaikan meteor yang menyambar leher Beruang iblis. Weesss...!
Beruang Iblis rundukkan kepala, sehingga senjata itu tak kenai kepalanya.
Trang, triing, wees...!
Rupanya senjata itu mempunyai gerakan seperti bumerang. la mampu memantul balik setelah membentur batu dua kali. Senjata itu menyambar Beruang lblis
dari belakang.
Angin gerakannya terasa di tengkuk Beruang lblis, sehingga wanita itu cepat berguling ke samping dan bangkit kembali, lalu menebaskan samurainya bagai
ingin membelah lempengan baja bundar itu.
Trang, trring..!
Benda itu mental ke arah lain, setelah memercikkan bunga api dua kali ketika ditebas samurai. Gerakan terpentalnya justru menjadi cepat dan menerjang dahan pohon. Craas...! Brruk...! Dahan betis itu terpotong dengan seketika itu dan benda baja itu melayang gerakan berputar akhirnya mengarah kepada pemiliknya. Taab...! Tirai Surga menangkapnya Dengan satu lompatan.
Pada saat ia melompat itulah. Beruang iblis melesat pula dengan samurai dihujamkan ke arah punggung Tirai Surga.
Wees..!
Traang..! Tirai Surga menangkis gerakan samurai itu dengan gelang baja yang ada di tangan kiri. Kemudian gelang itu dikibaskan bagai ingin menyayat wajah Beruang lblis.
Wes, wes, wea, wes, trang, trang, crass...!
"Aahk...!" Tirai Surga terpekik pelan dan tersentak mundur. Adu senjata itu membuat lengan Tirai Surga terkena tebasan samurai lawan. Beruang iblis mempunyai gerak tipuan yang mencengangkan wajah Suto Sinting. Karena gerak tipuan itu tak bisa diduga-duga Ke mana. arah sebenarnya. Samurai tersebut tampak dihujamkan ke dada, namun sebenarnya menyabet lengan dalam satu putaran ke samping.
"Hebat! Gerak tipuannya cukup hebat dan membahayakan Tirai Surga," ujar Pendekar Mabuk dalam hatinya.
"Heeaaat...!" Beruang lblis maju menyerang lagi dengan gerak tipuan beruntun yang membuat Tirai Surga kecele beberapa kali. Selain sabetan samurainya sangat cepat. gerakan kakinya pun sulit diduga akan melangkah kemana.
Wuuuuttt...!
Tahu-tahu si Beruang lblis melompat ke atas dan bersalto satu kali pada saat punggung Tirai Surga sudah hampir menyentuh batang pohon. Gerakan bersalto yang melayang di atas kepala Tirai surga membuat gadis itu cepat berbalik, karena ia yakin akan datang nya serangan dari arah belakangnya.
Tapi ternyata kaki Beruang iblis menjejak pohon dan tubuhnya meluncur ke arah semula.
Wuutt..!
Jleeg...! Tiba-tiba ia sudah berdiri di tempat semula Tirai Surga kecele, dan segera berbalik arah. Pada saat ia berbalik, Beruang iblis hujamkan samurainya ke arah
perut. Suuut..!
Tirai Surga menangkis dengan gelang-gelangnya.
Traang..! Tapi samurai justru melesat naik dalam gerakan merobek leher. Wut, crass..!
"Aaow..!" Tirai Surga sedikit terlambat. Gerakan menarik tubuh ke belakang masih bisa dijangkau oleh ujung samurai. Akibatnya dada kanan Tirai Surga koyak
lebar dan darahnya mengucur deras. Untung bukan gumpalan yang kencang itu yang tergores ujung samurai.
Tirai Surga sempat limbung, dan pada saat itulah kaki Beruang iblis menendang ke samping dengan cepat. Beet...! Buuhk...!
"Heehk..!" Tirai Surga terpental ke belakang. Beruang Iblis mengejarnya dengan samurai siap diayunkan memenggal leher.
Tapi pada saat itu, Suto Sinting bergerak menerjang Beruang iblis dari arah samping. Zlaaap...!
Brrruuuss...!
"Aaaow...!" pekik Beruang Iblis sambil terpental delapan langkah jauhnya dari tempat semula.
Tubuh wanita berjubah hitam itu terbanting keras diatas tanah berbatu-batu.
Brrak...! Traak...!
Samurainya nyaris patah akibat membentur batu sebesar anak kambing. la mengerang kesakitan menggeliat dengan susah payah, karena tulang-tulangnya terasa remuk setelah terkena terjangan kuat yang mirip hantaman batu gunung itu.
"Tirai...!" Suto Sinting segera membantu Tirai Surga untuk bangkit.
"Uuhk...! Sut.... Suto...?!" gadis itu hanya bisa duduk di tempat dengan mulut keluarkan darah akibat tendangan tadi.
Pendekar Mabuk segera meminumkan tuaknya kepada Tirai Surga. Gadis itu tidak menolak, karena ia tahu betul khasiat tuak dalam bumbung bambu itu. Maka ia pun meminumnya beberapa teguk.
"Istirahatlah dulu, biar kuhadapi si Beruang lblis itu!" ujar Suto Sinting tanpa menunggu jawaban dari sigadis. la segera berdiri memandang ke arah Beruang Iblis, karena saat itu Beruang Iblis pun sudah bisa berdiri dan mampu menahan rasa sakitnya.
"Jahanam dari mana kau, beraninya mencampuri urusanku hah?!" bentak Beruang lblis dengan wajah garang. Pendekar Mabuk sengaja menjauh dari Tirai
Surga supaya jika datang serangan dari lawan dan ia menghindar, maka serangan itu tidak kenai Tiral Surga.
Kuharap hentikan pertarungan inil" ujar Suto Sinting.
la bermaksud mencegah Beruang Iblis agar tidak membunuh Tirai Surga. Tapi rupanya kebencian Beruang lblis terhadap Tirai Surga sudah mendarah daging, hingga tak mungkin bisa dihentikan dengan ucapan. Beruang iblis justru lontarkan sumbarnya.
"Kalian berdua silakan maju bersama! Tak mungkin kalian dapat menembus jurus 'Samurai benteng Neraka'! Majulah berdua sekalian!"
"Jika aku mampu tumbangkan dirimu, mengapa Tirai Surga harus ikut serta?!" ujar Pendekar Mabuk tak mau kalah sumbar.
"Biadab kalian berdua! Kuhabisi kau, Begundal Busuk! Heeeaaaat...!!"
Beruang iblis segera angkat samurainya dan menebas ke sana-sini dengan cepat bagaikan membentengi tubuhnya sambil bergerak maju dalam satu lompatan. Namun Pendekar Mabuk tak tinggal diam. la juga melesat nemapasi serangan lawan dengan bumbung tuaknya dihantamkan ke depan.
Zlaap...! Wuuut...!
Praak, biaarr...!
Tebasan Samurai beruntun yang kenai bumbung tuak timbulkan ledakan agak keras, karena samurai itu Telah dialiri tenaga dalam, hingga tenaga dalam Tersebut beradu dengan hawa sakti yang ada pada Bambu Bumbung Tuak.
Hantaman Bumbung Tuak membuat beruang iblis terpental dan jatuh berguling-guling.
Samurai nya juga ikut terpental. Seandainya samurai itu tidak dialiri tenaga dalam cukup besar, pasti sudah hancur oleh bumbung tuak Suto.
Samurai itu jatuh ke tanah tak jauh dari tempat beruang iblis terkapar. Wanita itu segera berguling satu kali dan menyambar samurainya kembali.
Tess, Tess, Tess..!
Tiga sentilan Jari Guntur dilepaskan Suto Sinting ke arah punggung Beruang Iblis, pada saat wanita itu bergegas bangkit berdiri. Wanita itu terpental lagi bagaikan ditendang tiga seekor kuda Jantan secara serempak.
"Uuhaak..!" suara pekikannya cukup keras, karena darah menyembur dari mulutnya sebelum la jatuh berguling-guling kembali.
la berpaling ke belakang dalam keadaan merangkak dari jatuhnya, napasnya terengah-engah dan pandangan matanya tampak bernafsu sekali ingin membunuh Pendekar Mabuk. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Beruang iblis segera sentakkan tangannya yang membentuk cakar beruang. Wuut...! Maka
Lima sinar merah berkelok-kelok bagaikan lima sinar Petir itu melesat bersamaan menerjang Pendekar Mabuk.
Crraaalap...! Zrraaalp...!
Bumbung tuak segera dilepaskan, kedua tangan Suto pun menyentak ke depan. Wuuuk...! Jurus 'Tangan Guntur' itu mengeluarkan sinar biru besar dari telapak tangan Pendekar Mabuk. Sinar biru itu akhirnya menghantam lima sinar merah di pertengahan jarak.
Craaallp...! Blegaaaarrrrr..!!
Bumi berguncang, pohon-pohon pun bergetar .
Beberapa dahan yang agak rapuh patah akibat gelombang ledakan yang menyentak ke berbagai penjuru itu cukup kuat. Pendekar Mabuk sendiri terpelanting ke samping namun tak sampai jatuh. la hanya berlutut satu kaki dan segera menyambar bumbung tuaknya, lalu berdiri tegak menatap lawannya kembali.
Agaknya ledakan yang terjadi di pertengahan jarak delapan langkah itu membuat Beruang iblis terluka parah. Hampir seluruh wajahnya menjadi biru memar akibat gelombang ledakan yang menyentak kuat tadi. Kedua matanya mengeluarkan darah dari sudut kelopak.
Tapi agaknya wanita itu cukup kuat dan keberaniannya sangat tinggi. la tak mau menyerah begitu saja. ia masih mencoba bangkit sambil mengangkat samurainya.
Namun pada saat itu Tirai Surga telah menjadi sehat. Lukanya lenyap akibat menelan tuak Suto. la bisa memandang jelas ke arah Beruang iblis. Maka, sebelum Beruang lblis bergerak iebih lanjut, Tirai Surga lemparkan dua senjatanya sekaligus ke arah Beruang iblis.
Ziiing, ziiing...!
Gelang-gelang lempengan baja tajam itu bergerak saling silang hingga membingungkan Beruang Iblis.
Samurai si Beruang iblis berkelebat menangkis.
Traaang...! Tapi hanya satu senjata gelang-gelang itu bisa ditangkisnya. Senjata yang ditangkisnya terlempar ke arah lain, senjata yang tak tertangkis segera menerjang lehernya. Craas...!
Ziiing...! Senjata itu melayang dalam gerakan melingkar. Kemudian meluncur ke arah kiri Tirai Surga.
Taab..! Gadis itu menangkapnya. Senjata yang terpental pun membalik arah dalam gerakan melingkar dan berhasil ditangkap kembali oleh Tirai Surga.
Tetapi senjata yang pertama tertangkap oleh tangannya itu ternyata sudah berlumur darah. Sementara itu, Suto Sinting memandang Beruang lblis dengan
berkerut dahi. Wanita itu berdiri mematung dan diam tak bergerak. Samurainya terlepas dari genggaman, dan ia masih diam saja bagai terpaku memandangi Suto Sinting Ketika Suto ingin mendekatinya, tiba-tiba kepala Beruang Iblis jatuh menggelinding dari lehernya.
Bluk....!
"Ooh...?!" Suto Sinting terperanjat kageet. "Rupanya sejak tadi ia sudah terpenggal?!"
Brrruk..! Tubuh yang sudah tanpa kepala itu akhirnya roboh ke belakang dan dengan begitu berakhirlah masa hidup si Beruang Iblis.
Tirai Surga hembuskan napas lega. Musuhnya yang terberat ternyata sudah berhasil di lenyapakan, walau menggunakan bantuan Pendekar Mabuk.
"Tirai Surga..Kau telah.."
"Jangan dekati aku, suto!."
Tirai Surga mundur Matanya memandang dengan berkaca-kaca, hati nya masih terluka oleh kenangan masa lalu, ketika ia melihat Suto Sinting bersama Pandawi.
"Tirai, ada apa denganmu?"
"Tidak apa-apa! Terima kasih atas bantuanmu. Kau menepati janjimu, tapi kau tak tahu perasaanku yang sebenarnya!" ujar si gadis sambil menahan tangis.
Pendekar Mabuk mendekatinya, tapi si gadis justru berkelebat pergi tinggalkan sang pendekar tampan.
Blaasss...!
"Tiraaai...!" seru Pendekar Mabuk, namun gadis itu tak hiraukan seruan tersebut. Namun di kejauhan ia sempat berseru dengan suara parau menandakan sedang menahan tangis.
"Kembalilah kepada Pandawi! Agaknya dialah yang mendapat tempat di hatimu, Suto..!"
Blasss..! Tirai Surga bagaikan lenyap karena ia pergunakan gerakan cepat untuk segera lanjutkan pelariannya. la tak mau bertemu Suto Sinting karena merasa tak mendapat tempat di hati sang Pendekar tampan itu. Pendekar Mabuk hanya bisa memandang dengan mulut terbengong melompong dan hati tersiram keharuan.
"Ternyata dia sangat mencintaiku," gumam hati Suto Sinting. "Belum sempat aku datang menengoknya kejadian ini sudah terjadi di sini. Harus bersikap Bagaimana aku terhadapnya?!"
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam,
Kemudian matanya pandangi Badrun yang berlari-lari menghampirinya.
"Kang...! Kang, aku mendengar suara pedang beradu di seberang sana, Kang! Mungkin itu pertarungan Sahara!"
"Hahh...?!" wajah duka itu pun segera menegang kembali.
*
* *
҂: 5 :҂
PENDENGARAN anak itu ternyata tidak salah. Bahkan firasatnya juga tidak salah. Dalam hatinya Pendekar Mabuk memuji ketajaman firasat anak keturunan Suku Mabayo itu.
Mereka berdua temukan Sahara terkapar dalam keadaan luka bakar di perutnya. Luka bakar diduga akibat pukulan tenaga inti api yang dimiliki oleh Balung Wirok.
Sekitar dalam jarak sepuluh langkah darl tempat Sahara terkapar, tampak sosok tubuh tua yang tersandar di bawah pohon dalam keadaan tak bernyawa. la adalah si Balung Wirok. Ketua persatuan pembunuh bayaran dari Waduk Bangkai itu tewas dalam keadaan mengerikan. Pedang Sahara masih tertancap di dada Balung Wirok. Pedang itu tembus ke belakang, walau
tak sampai setengah jengkal!
"Pasti telah terjadi pertarungan seru antara Sahara dengan orang itu, Kang," ujar Badrun.
"Kurasa memang begitu, Badrun. Tapi... tapi agaknya Sahara masih bisa kutolong dengan tuakku, " ujar Suto Sinting tampak bersemangat. "Denyut nadinya masih ada, Drun! Bantu aku, buka mulut Sahara.
akan aku tuangkan tuak ke dalam mulutnya.!"
Badrun pun berusaha merenggangkan mulut Sahara. Kedua tangannya dipakai untuk merentangkan rahang Sahara melalui gigi depan gadis itu.
"Hati-hati, Drun! Jangan kasar begitu! Kau pikir dia buah durian?!" omel Suto Sinting melihat Badrun tampak kasar, tapi sebenarnya anak itu merasa panik melihat keadaan Sahara.
Mulut yang terbuka sedikit itu memberi peluang bagi Pendekar Mabuk untuk menuangkan tuaknya.
Krucuk, krucuk, krucuk...!
Tuak memang berceceran di sekitar wajah Sahara, tapi sebagian ada yang masuk ke tenggorokan. Pendekar Mabuk segera angkat tubuh Sahara untuk duduk.
Dengan begitu maka tuak dalam tenggorokan akan mengalir ke dalam tubuhnya dan menjadi penyembuh ajaib terhadap luka-luka Sahara.
Hal itu diulangi sampai tiga kali, hingga akhirnya Sahara tersedak, lalu terbatuk-batuk. Badrun yang sudah mau bersedih karena takut nyawa Sahara tak tertolong, kini menjadi tersenyum nyengir sambil garuk-garuk kepala. Sahara mulai tampak bernapas walau masih belum lancar. Tapi Pendekar Mabuk sendiri tampak lega dan bisa tersenyum sambil membawa Sahara ke tempat teduh. la pun menenggak tuaknya sedikit.
"Aku minta, Kang," Ujar Badrun, maka anak itu pun menenggak tuak Suto Sinting dan debar-debar kecemasan nya lenyap sama sekali.
"Untung kita datangnya tidak terlambat, ya Kang?! Kalau kita terlambat datang, Sahara akan menjadi mayat seperti orang Waduk Bangkai itu!"
"Berkat usahamu Juga, Drun! Kau termasuk anak yang sudah bisa menyelamatkan anggota sukumu sendiri."
"Kelak kalau aku sebesar dirimu, aku akan menjadi penyelamat Suku Mabayo, Kang!"
"Bagus, bagus...!" sambil Suto Sinting menepuk-nepuk bahu anak itu.
"Tapi apakah menjadi penyelamat suku harus berlatih renggangkan mulut seperti tadi??"
Suto Sinting tertawa geli Pipi anak Itu dipukul pelan.
"Aku tadi membayangkan sedang membuka jepretan tikus, Kang!"
"Husy! Sembarang saja kau kalau blcara," ujar Suto sambil tertawa. "Kalau Sahara dengar mulutnya diibaratkan Jepretan tikus, dia bisa marah, kau akan ditamparnya!"
"Tak mungkin berani. Kan ada Pendekar Mabuk?!"
"Aku tak mau membelamu."
"Jadi kau membela Sahara?! Kuadukan kepada kakakku kau, Kang!"
"Husy...I" Suto Sinting menepiskan tangan sambil tersenyum geli.
"Kang, kau suka dengan kakakku apa tidak?" Tanya anak itu polos.
"Memangnya kenapa?"
""Kawini saja dia, Kang! Aku mau punya kakak ipar sepertimu!"
"Enak saja kau..." Suto Sinting masih tertawa setengah malu.
"lya, Kang! Kawini saja kakakku itu. Biar anakmu nanti jadi kepala Suku Mabayo juga, Kang!"
Pikiran anak itu kadang terasa sangat polos dan lugu. Tapi sesekali anak itu kelihatan cerdas dan pandai bersiasat. Pendekar Mabuk menyimpan kekaguman terhadap Badrun. Suto yakin, kelak jika anak itu besar, ia akan benar-benar menjadi pembela dan penyelamat bagi rakyat Suku Mabayo.
Kini perhatian Suto Sinting tertuju pada Sahara yang sudah bisa bangkit sendiri. Luka bakar di perutnya hilang. Badannya terasa lebih segar lagi. la segera
mencabut pedangnya dari dada mayat Balung Wirok setelah menceritakan pertarungannya tadi.
Saat ia kembali, ia segera berkata kepada Badrun.
"Kau harus pulang ke rumahmu. Kakakmu menunggu di sana, di bawah meja!"
Suto Sinting dapat memahami maksud Sahara, bahwa Peri Jenaka menunggu Badrun di lorong bawah tanah yang pintu masuknya ada di bawah meja dalam
rumah Badrun. Tapi agaknya anak itu tidak setuju.
"Aku mau ikut Kang Suto! Mau menyerang Pantai Dahaga!"
"Tidak bisa! Kau harus pulang. Ini perintah kepala suku!" tegas Sahara.
"Tidak, aku tidak mau!" sentak Badrun sambil melangkah mundur.
"Drun... kalau kau jadi kepala suku, apakah kau senang jika perintahmu ditentang?" ujar Suto Sinting. Pulanglah, Drun! Kakakmu menunggu, dan dia bukan sekadar kakak, tapi kepala sukumu!"
"Aku mau ikut kau, Kang!" Badrun bersungut-sungut.
"Aku mau cari pengalaman, biar kelak bisa jadi penyelamat Suku Mabayo!"
"Seorang penyelamat suku harus taat pada perintah kepala sukunya, Drun!"
Bujukan Suto tak mempan. Badrun tetap ngotot ingin ikut ke Pantai Dahaga. Akhirnya Sahara ambil tindakan tegas. Anak itu disambarnya dalam satu lompatan. Wuuut...! Kemudian dibawanya lari secepat mungkin tanpa pamit kepada Suto Sinting.
"Kaang...! Kang Suto, tolong aku, Kang...."
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli, kemudian ia teruskan langkah menuju ke Pantai Dahaga sesual jalur yang sudah pernah dijelaskan oleh Peri Jenaka. Sang Pendekar Mabuk kini melangkah sendiri, dan ia tak canggung lagl karena memang ia sudah terbiasa hidup sendiri, berjalan sendiri, tidur sendiri, bangun berdua... dengan bayangannya.
Dalam perjalanan Itu, benak Suto Sinting dibayang-bayangi oleh wajah Denaya dan Buyut Batara. Suto ingat saat bertemu dengan mereka dalam penyerangan ke istana Kematian. Denaya, Buyut Batara, Rembulan Senja, dan Suto sendiri, saling bekerja sama dalam menumbangkan kekuasaan Ratu Kehangatan itu.
Denaya sendiri sebenarnya adalah prajuritnya Ratu Kehangatan, namun ia segera melarikan diri dari pemerintahan Ratu Kehangatan setelah sang Ratu mengalihkan kekejamannya ke Tanah Leluhur. Padahal di Tanah Leluhur ada Buyut Batara, pria yang menjadi incaran hatinya, walau mereka bermusuhan. Maka demi buyut Batara, Denaya pun akhirnya bergabung dengan orang-orang Tanah Leluhur.
Sama halnya dengan Pandawi, gadis yang dicemburui oleh Tirai Surga tadi. Pandawi juga orangnya Ratu Kehangatan, dan juga seorang prajurit wanita yang memiliki keberanian tinggi seperti Denaya.
Pada waktu Suto Sinting menghancurkan Istana Kematian, Pandawi masih menjadi prajuritnya Ratu Kehangatan. Bahkan ia sempat punya dendam kepada Pendekar Mabuk.
Namun ketika ia bertemu dengan Pendekar Mabuk dalam peristiwa rebutan Pedang Jagal Keramat, hatinya menjadi berubah. Dendamnya kepada Suto terkikis sedikit demi sedikit. Lebih-lebih setelah Suto berhasil selamatkan nyawa Pandawi dari ancaman maut si Jahanam Tua, pandangan Pandawi mengenai Suto Sinting menjadi berubah. Bahkan ia bertekad untuk menjadi tokoh aliran putih dan meninggalkan aliran hitamnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
Pertarungan Dewi Ranjang" dan "
Bibir Penyebar Maut).
Pendekar Mabuk tidak tahu bahwa Denaya akhirnya menikah dengan resmi secara adat Tanah Leluhur dengan Buyut Batara. Pada waktu pernikahan mereka. Suto Sinting dicari-cari oleh Rembulan Senja, kakak Buyut Batara, namun tak ditemukan. Akhirnya, mereka menikah tanpa kehadiran Pendekar Mabuk.
Tak heran jika Buyut Batara menjadi panik setelah tahu istrinya ditawan oleh Ratu Sendang Pamuas. Pada mulanya Buyut Batara ingin menyerang Pulau Dahaga bersama orang-orang Tanah Leluhur. Tetapi setelah diperhitungkan masak-masak, pihak Tanah Leluhur kalah kuat dan akan timbul korban sia-sia jika penyerangan itu dilakukan.
Seorang sesepuh Tanah Leluhur mengetahui siapa Ratu Sendang Pamuas itu sebenarnya. Menurut sesepuh itu, Ratu Sendang Pamuas bukan sekadar ratu berilmu rendah. la mempunyai guru seorang petapa sakti berasal dari Teluk Setan, yang dikenal dengan nama: Resi Belah Nyawa. la seorang tokoh tua aliran hitam yang usianya sudah sekitar seratus tahun dan sudah lama mengasingkan diri di Teluk Setan.
Perhitungan kekuatan yang tidak memadai, membuat Buyut Batara akhirnya temui Ratu Sendang pamuas secara damai. Mau tak mau ia pasrah kepada sang Ratu supaya Denaya dibebaskan. Karena menurut pengakuan Denaya, ia sudah mulai hamil dengan usia kandungan dua bulan. Buyut Batara tak ingin Kandungan istrinya gugur hanya karena ulah si Ratu hipper itu.
Di depan Ratu Sendang Pamuas, Buyut Batara bicara dengan tegas tentang perjanjian yang harus mereka buat bersama.
"Aku bersedia melayanimu, tapi istriku harus dibebaskan!"
"Apakah... apakah kau benar-benar mencintai istrimu?" tanya sang Ratu dengan lirikan mata jalangnya dan pamerkan senyum binalnya.
"Kalau aku tak mencintai istriku, aku tak mau temui dirimu, Nya! Ratu!"
"Tapi kau bisa ceraikan istrimu jika sudah menjadi teman kencanku, Buyut Batara. Sebab..."
perempuan berjubah biru bunga-bunga putih itu kian sunggingkan senyum nakalnya.
"Sebab kau akan tahu, bahwa aku lebih hebat dari istrimu. Aku lebih hangat dari istrimu. Dan aku lebih memuaskan dari wanita mana saja. Apakah kau sudah
persiapkan diri untuk menceraikan istrimu?"
"Aku tak akan ceraikan dia!" sentak Buyut Batara dengan berangnya. Tangannya gemetar, ingin segera hancurkan wajah sang Ratu. Namun hal itu tak mungkin
dilakukan. la harus menahan kemarahannya sendiri. Karena jika ia lakukan kekerasan, maka Denaya akan menerima akibatnya.
Perempuan yang dalam sepintas tampak kalem dan tidak seronok itu gemar mengisap tembakau menggunakan pipa panjang. Pipanya terbuat dari gading
berukir dan berlapis emas. Panjang pipanya sekitar satu hasta. Tembakau yang dihisapnya tu menyeberkan aroma wangi menyerupai cendana bercampur wewangian bunga. Aroma wangi itu dapat merangsang gairah seorang lelaki, sehingga mudah terbujuk oleh rayuan sang Ratu.
Ketika ia menemui Buyut Batara di ruang pertemuan, pipa itu disangga dengan tangan kanannya. Sesekali la menghisap tembakau sambil berjalan pelan mengelilingi Buyut Batara. Aroma wangi tembakau Itu terhirup oleh Buyut Batara sejak tadi. Namun plkiran nya yang tertuju pada keselamatan Denaya, maka gairah lelaki muda bertubuh tegap dan kekar tu tidak
terangsang oleh aroma wangi tersebut.
"Mestinya kau tahu, Buyut. Kalau aku sampai menawan istrimu, berarti aku benar-benar suka padamu.
Aku benar-benar membutuhkan dirimu, sampai-sampai aku tega lakukan hal itu terhadap Denaya. Aku tahu, dia bekas prajuritnya si indudari allas Ratu Kehangatan.
Karenanya, aku harus gunakan jarum pembius untuk melumpuhkan Denaya. Dan utusanku memang Jago dalam meniupkan jarum pembius melalui bambu sumpitnya itu. Tapi seandainya.."
"Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan padaku!"
sentak Buyut Batara memotong pembicaraan sang ratu. la jengkel sekali dan tak sabar lagi, ingin melihat lstrinya dibebaskan.
Ratu Sendang Pamuas berdiri di depan Buyut Batara dalam Jarak satu langkah. Asap tembakau dikepulkan dan meronai wajah tampan Buyut Batara.
"Kau benar-benar mau melayaniku?"
"Asal kau bebaskan istriku!"
"Baik. Akan kubebaskan dla!"
"Berapa lama aku harus menjadi budakmu?!
"Selamanya," Jawab sang Ratu sambil Jarinya merayapi dada Buyut Batara yang kekar dan bidang itu.
"Tidak bisa! Tidak mungkin aku menjadi budak nafsumu selamanya. Perlu kau ketahui, aku bukan pria yang baik."
"Oh..? Apa maksudmu berkata begitu?" sambil sang Ratu bernada ramah, murah senyum, namun sebenarnya berhati iblis.
"Aku bukan prla yang mampu memberikan keindahan yang berlebihan. Dan... dan aku tidak bisa bertahan. Kemesraanku cepat meledak, dan cepat selesai."
"Hik, hik, hik, hik...! Kau tak perlu takut cepat selesai Buyut! Aku adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatmu bertahan. Aku punya cara sendiri untuk membuatmu menjadi perkasa! Kau tak perlu khawatir akan hal itu, Buyut"
Lelaki muda berompi cekak Itu terpaksa tarik napas. Usahanya membuat sang Ratu agar tidak bergairah padanya ternyata gagal.
"Baik, Tapi kuminta tentukan, berapa lama aku menjadi budak gairahmu?!"
"Hmmm... satu purnama?! Bagaimana kalau satu purnama? Terlalu pendek, ya? Hmm..."
"Baik. Satu purnama saja aku jadi budakmu!" potong Buyut Batara, karena ia tak ingin waktu itu lebih panjang lagi.
"Tapi kalau ternyata kau membuatku ketagihan, mungkin akan lebih, Buyut."
"Tidak! Kita harus saling tepati janji. Satu purnama aku menjadi budakmu. Dan kumohon padamu, jangan bicarakan hal ini kepada Denaya! Kau harus bisa simpan rahasia ini, Nyai Ratu!"
"Aku yang tentukan perjanjian!" bentak Ratu Sendang Pamuas setelah sadar dirinya diatur oleh Buyut Batara.
"Kau harus melayaniku sampai aku bosan padamu, tak terbatas waktu! Jika kau melarikan diri, aku akan mengejarmu dan membunuhmu, lalu kucari pula istrimu dan kubunuh bersama keluargamu lainnya!" tegas
sang Ratu. Buyut Batara menjadi bungkam, ia kalah kuasa di situ. Ratu Sendang Pamuas berkata lagi sambil berjalan mengelilingi Buyut Batara.
"Selama kau menjadi budakku, kau tak boleh menolak ajakanku! Tugasmu adalah memuaskan batinku dengan kehangatan dan kemesraanmu! Aku setuju untuk merahasiakan kesanggupanmu ini agar tak di dengar oleh istrimu itu!"
"Bagaimana tentang kebebasan istriku?!"
"Istrimu akan kubebaskan kalau aku merasa bosan padamu."
"Tidak bisa! Dia harus bebas dan...."
"Dia tidak akan terluka sedikit pun jika kau bersikap mesra padaku! Kehidupannya, kesehatannya, keselamatannya, akan kujamin selama berada dalam penjara. Dia tidak akan kupertemukan denganmu, agar dia tak tahu kalau kau ada di sini!"
"Tapi sekarang aku ingin melihat keadaannya!"
"Silakan! Tapi itu akan menyakiti hati istrimu! Denaya bukan perempuan bodoh. Jika kau bisa menjenguknya dalam penjara, berarti kau sudah ada main denganku. Kalau kau mau istrimu lebih sakit hati lagi, silakan tengok di kamar tahanan!"
Buyut Batara akhirnya kendurkan ketegangannya. Apa yang dikatakan sang Ratu itu memang benar. Denaya pasti akan curiga.
"Dia pasti tak akan percaya kalau kukatakan bahwa Hatu Sendang Pamuas mengizinkan diriku menengoknya dalam penjara. Pasti dia tahu kalau Ratu keparat itu mendapat hadiah kemesraan dariku!" pikir Buyut Batara saat ia sendirian.
Sang Ratu sedang bicara dengan seorang pengawalnya yang berdiri di samping Mak Comblang. Mereka bicara di serambi samping. Dari tempatnya berdiri, Buyut Batara masih bisa pandangi tiga orang yang berkasak-kusuk itu.
Agaknya aku harus menggunakan cara halus supaya Denaya selamat!.
Mau tak mau aku harus bersikap lembut, mesra dan patuh kepadanya, Jika aku sudah bersikap begitu, maka akan kubujuk la untuk bebaskan Denaya. Jika Denaya sudah dibebaskan, tinggal menunggu saat yang baik untuk melarikan diri.
Ratu keparat ini tak bisa digertak atau diancam dengan cara apa pun!"
Buyut Batara menarik napas dalam-dalam. Ada penyesalan yang menggumpal di dadanya. Batin pria tampan itu pun akhirnya berkata dalam nada duka.
"Maafkan aku, Denaya! Semua yang kulakukan nanti bukan semata-mata aku mengkhianatimu, tapi karena demi menyelamatkan dirimu, dan janin yang mulai tumbuh dalam kandunganmu itu. Semoga dewata memberimu ketabahan, dan pandangan yang luas tentang apa yang kulakukan nanti. Biarlah harga diriku Jatuh di telapak kaki Ratu bejat itu, asal kau dan bayimu nanti selamat.."
Wajah dukanya segera disembunyikan, karena mata sang Ratu melirik ke arahnya.
"Aku harus bisa bersikap manis padanya! Harus bisa! Aku tak boleh terpaku pada dendam. Aku harus bisa singkirkan dulu dendam ini, dan akan kulayani dia
Sepuas mungkin, supaya dia bergantung padaku, lalu apa pun permintaanku akan diturutinya," ujar Buyut Batara dalam hatinya. Rencana dan pertimbangan sudah diatur sedemikian rupa, sehingga langkahnya tak ragu lagi.
Andai saja Buyut Batara mendengar kasak-kusuk antara sang Ratu, pengawalnya dan Mak Comblang, mungkin la akan mengubah rencana seketika itu juga.
Karena kedatangan Mak Comblang dan Hastari pengawalnya Juga dulu mendampingi Salendra ke Hutan Malaikat itu, adalah untuk melaporkan situasi gawat di kamar tahanan. Hastari bicara pelan namun bernada tegang.
"Nyai, Denaya telah berhasil melarikan diri dengan membawa pedang dan pisau-pisaunya."
"Jahanam!" geram Ratu Sendang Pamuas.
"Kapan la melarikan diri?!"
"Baru saja, Nyai Ratu! Dia melompati benteng melalui pohon beringin di belakang dapur."
"Bagaimana dia bisa lolos semudah itu?! Siapa yang mendapat giliran tugas jaga di ruang bawah tanah?"
"Prembani, Nyai!"
"Bunuh Prembani!"
"Sudah dibunuh oleh Ragita, Nyai!"
"Keparat betul perempuan satu itu!"
Mak Comblang segera ikut bicara.
"Gusti Ratu, sebaiknya segera saja bawa masuk ke kamar lelaki tu sebelum la mendengar kabar ini Kalau dia mendengar kabar ini, dia bisa berbuat semaunya disini!"
"Hmmm..! Ya, gagasanmu itu bagus sekali, Mak," ujar sang Ratu, kemudian la bicara kepada Hastari Kau dan lima orang lagi, "kutugaskan mengejar Denaya! Tangkap dia, dan bila perlu habisi nyawanya di tempat! Tapi ingat... Jangan banyak yang tahu tentang ini. Jangan ada yang bicara tentang pelariannya, supaya Buyut Batara tidak mendengar dan merasa istrinya masih dalam tawanan kita!"
"Baik, Nyai Ratu!" jawab Hastari dengan tegas.
"Mak Comblang, tugasmu membungkam para pelayan baik yang di dapur, di bangsal pengawal, di kebun dan di mana saja! Jangan sampai mereka bicara tentang pelarian Denaya. Bila perlu, mereka tak usah mengetahuinya!"
"Baik, Gusti Ratu...!"
Perempuan cantik bermahkota kecilI itu segera temui Buyut Batara lagi, sedangkan Hastari dan Mak Comblang pergi kerjakan tugas. Buyut Batara mulai sunggingkan senyum tipis ketika sang Ratu mendekatinya.
Sebaiknya kita bicara di kamar saja, Buyut."
"Aku tak keberatan, Nyai Ratu," jawab Buyut Batara mulai dibiasakan ramah, lembut, dan romantis. Pria itu pun segera dibawa masuk ke kamar sang Ratu sebelum Hastari tampak keluar dengan lima orang anak buahnya dengan menunggang kuda.
*
* *
҂: 6 :҂
DARI sore hingga menjelang pagi Denaya bersembunyi dalam sebatang pohon. Begitu keluar dari benteng istana sang Ratu Sendang Pamuas, Denaya tidak berlari ke arah pantai, melainkan menerobos masuk ke hutan.
la temukan pohon besar yang berongga menyerupai gua. Maka ia pun masuk ke dalam gua tersebut begitu mendengar derap kaki kuda berada di belakangnya. Di depannya ada dahan kering yang berdaun kering juga. Dahan itu ditariknya dan sebagian dibawa masuk ke dalam rongga pohon sebagai penutup rongga tersebut.
Pada mulanya Hastari lakukan pengejaran dengan membawa lima anak buahnya. Tapi setelah dipertimbangkan banyaknya kemungkinan arah yang bisa dicapai denaya.
Maka ia keluarkan sepuluh orang lagi untuk menyisir pantai dan hutan timur dan selatan.
Denaya tak bisa keluar dari rongga tersebut, karena derap kaki kuda masih terdengar mondar-mandir di sekitar tempat persembunyiannya.
Bahkan pada malam hari, Hastari kerahkan lima orang lagi sebagai tenaga tambahan. Ada yang berjalan kaki, ada yang menunggang kuda, Mereka mencari
dengan penerangan obor.
"Dia pasti belum jauh dari sini! Cari di atas pohon-pohon!" seru Hastari yang didengar Denaya dari dalam rongga pohon tersebut.
"Kekuatanku tak seimbang jika harus melawan mereka sebanyak itu," ujar Denaya dalam hatinya. Mau tak mau ia tetap mendekam di dalam rongga pohon dalam posisi tetap duduk. Sebab rongga pohon itu rendah dan tak bisa untuk berdiri.
Wanita cantik berambut pendek cepak itu masih kenakan pakaian perang; rompi zirah dari campuran serat tembaga dan rok setinggi separo paha juga dari kain berserat tembaga. Selain pedang besi berukuran panjang dan besar itu, ia juga bersenjata pisau terbang yang banyak terdapat di sekitar pinggangnya.
Udara malam yang dingin terasa menembus baju zirahnya. Untung Denaya dalam posisi duduk dengan kedua lutut dilipat ke atas, hingga ia dapat memeluk kedua kakinya sebagai upaya melawan hawa dingin.
Angin di daerah pantai itu berhembus sangat kuat, sekalipun demikian tidak membuat Hastari dan orang orangnya itu hentikan pengejaran.
Cukup lama Denaya menunggu suasana menjadi aman, sampai akhirnya ia tertidur di dalam rongga pohon tersebut dengan pegangi pedang yang sejak semula sudah dicabut dari sarungnya. Pedang mengarah ke depan, di sela-sela dahan kering. Jika ada yang memeriksa tempat itu, Denaya dapat hujamkan pedang secepat mungkin ke arah lawannya.
Sang istri tertidur dalam kedinginan dan ancaman bahaya, sementara sang suami terbaring di atas ranjang berkasur empuk dan berseprai halus dengan aroma wangi yang menyebar memenuhi kamar tersebut.
Buyut Batara tidak tahu bahwa istrinya menderita didalam rongga pohon. Seandainya ia tahu, tak akan mungkin ia mau berbaring di atas ranjang semewah itu.
Ratu Sendang Pamuas yang menyuruhnya berbaring dengan santai setelah perempuan itu melepasi pakaian Buyut Batara dan pakaiannya sendiri.
"Kau tak perlu capek-capek bekerja. Biar aku saja yang bekerja," ujar Ratu Sendang Pamuas yang disambut oleh Buyut Batara dengan senyuman. Tangan sang Ratu mengusap-usap rambut kepala Buyut Batara sambil memandanginya penuh rasa bangga.
"Ternyata kau memang lebih ganteng dari Salendra ataupun Laksana. Kurasa jika dari dulu kutemukan dirimu, lebih baik kupenggal kepala Salendra dan Laksana itu."
"Jangan sekejam itu terhadap lelaki," ujar Buyut Batara dalam senyuman kecil. "Nanti jika seluruh lelaki di dunia mati semua, kau jadi sangat tersiksa."
Ratu Sendang Pamuas yang berhidung bangir dan berbibir sensual itu tertawa kecil. Tangannya mencubit Pipi Buyut Batara.
"Kau pintar bicara rupanya," puji sang Ratu.
"Waktu aku kecil, ibu dan ayahku mengajariku bicara,sekarang setelah besar aku pintar bicara."
"Selain bicara apa lagi kepintaranmu?"
"Hanya itu," jawab Buyut Batara pelan dan pendek.
"Bagaimana dengan bercinta atau bercumbu?"
"Aku tak pintar."
"Kalau begitu kau perlu belajar dariku," bisik sang Ratu sambil mencium kening Buyut Batara. Pria itu menerima saja demi keselamatan sang istri. Bahkan untuk membuat hati sang Ratu senang dan permohonannya tentang pembebasan diri Denaya nanti dapat dikabulkan, Buyut Batara memberikan reaksi kecil-kecilan. Tangannya mencapai ke bukit dan bermain dengan nakal di sana.
Sang Ratu menciumi wajah Buyut Batara, sampai akhirnya menyentuh bibir dan melumat bibir itu dengan melahapnya. Gairah pria itu akhirnya benar-benar terbakar, dan ia memberi lumatan balasan yang tak kalah hangatnya dengan lumatan sang Ratu.
Tetapi sang Ratu tetap melarang Buyut Batara untuk bangkit. Sang Ratu ingin menciptakan kesan indah di hati pria tampan itu. Karenanya, sang pria diperintahkan untuk tetap berbaring, sementara sang Ratu menciumi leher sang pria. Kecupan-kecupan itu merayap sampai ke dada dan memagut-magut kedua noda hitam di dada yang bidang itu.
"Oh, aah, hhhhmmh...," hanya itu yang terdengar dari mulut Buyut Batara sambil kepalanya sesekali menggelinjang dan mata terpejam, karena kecupan sang Ratu merayap ke bawah terus. Lidah sang Ratu bagaikan seekor induk kucing yang memandikan anaknya. Sapuan lidah itu sampai ke jari-jari kaki, bahkan jari-jari kaki Buyut Batara dibenamkan dalam mulutnya
satu persatu dan dipagutnya pelan-pelan. Hal itu timbulkan desiran yang teramat indah dan menggemaskan bagi si pria.
"Kau suka, Buyut?"
"Oouh....!"
"Kau suka?"
"Yaah.."
"Hik, hik, hik...! Apakah istrimu pandai menciptakan kenikmatan seperti ini?"
"Hmmm... tidak," jawab Buyut Batara lirih dengan napas terengah-engah. Sang Ratu merasa bangga dan cekikikan, kemudian mengulangi kecupan itu dari kaki merayap ke atas.
Pada saat napas Buyut Batara sudah terengah-engah, di mana gairah telah membakar seluruh jiwa raganya dan menuntut pelayaran yang lebih nikmat lagi,
tiba-tiba pintu kamar seperti ada yang mendobrak. Suaranya sangat mengagetkan sang Ratu yang sudah bersiap-siap menaiki perahu cintanya.
Braaak..!
"Setan! Ada apa itu?" geram Nyai Ratu. Maka ia pun segera turun dari ranjang, bergegas mengenakan pakaian alakadarnya, lalu membuka pintu kamar. Ternyata seorang anak buahnya sedang terkapar di sana.
Anak buah yang lain sedang bertolak pinggang di depan orang yang terkapar itu.
"Setan kau Sayekti! Ada apa ribut-ribut di depan kamarku, hah?!"
"Ragita inilah pengkhianatnya, Nyai Ratu!" jawab Sayekti.
"Ada apa dengan Ragita?"
"Rupanya yang membantu Denaya melarikan diri adalah gadis ini! Dia yang menjaga pintu belakang benteng sehingga tawanan kita bisa lolos dari pintu belakang. Rupanya dia adalah bekas teman Denaya semasa menjadi prajuritnya Ratu Kehangatan!"
"Bunuh dia!"
Sayekti mengambil pedangnya dan menebaskan ke leher Ragita. Tetapi rupanya suara Sayekti sempat didengar oleh Buyut Batara. Pemuda itu kini mengetahui bahwa istrinya telah larikan diri dan berhasil lolos lewat pintu belakang benteng. Maka dengan cepat-cepat Buyut Batara mengenakan pakaiannya, walau tak serapi semula.
"Istriku telah lolos! Syukur, syukur...! Untung aku belum sempat berzina dengan sang Ratu! Aku harus segera lari dari sini!"
Pada saat itulah, Buyut Batara segera lakukan lompatan cepat, menerjang sang Ratu yang ada di depan pintu. Tubuh sang Ratu pun terhempas oleh terjangan Buyut Batara. Brruus..! la terpental ke depan, menabrak tubuh Sayekti yang hampir mengayunkan pedangnya. Keduanya jatuh berguling-guling, dan Buyut Batara cepat larikan diri, keluar dari istana.
"Jahanam kau, Buyut! Kukejar kau sampai di manapun juga!" teriak sang Ratu. "Sayekti, ambil kudaku! Lekas!" perintah sang Ratu dengan berang. Setelah itu ia sempatkan diri menghantam dada Ragita dengan pukulan yang menghanguskan. Ragita pun akhirnya tak bernyawa lagi dalam keadaan dadanya menjadi hangus.
Demi kebebasan sang istri, hampir saja Buyut Batara menodai kesetiaannya dengan melayani gairah sang Ratu. Untung ia segera mendengar kabar lolosnya sang istri, hingga ia cepat-cepat pertahankan kembali kesetiaannya.
*
* *
҂: 7 :҂
SAAT itu Denaya masih tetap bersembunyi di dalam rongga pohon hingga akhirnya ia tertidur sampai fajar menyingsing. Saat ia terbangun bayang-bayang matahari mulai terang dan suara derap kaki kuda sudah tak terdengar, langkah pengejarnya pun juga telah menghilang.
Denaya yakin para pengejarnya sudah kembali ke istana Pantai Dahaga dan sedang tidur kecapekan.
Maka pelan-pelan ia pun keluar dari lorong itu dan segera berlari menuju ke Tanah Leluhur. la berharap dapat segera bertemu sang suami tercinta dan memeluknya erat-erat, melepas kerinduan selama dua hari dalam penjara Pantai Dahaga.
Tetapi agaknya dugaan Denaya agak meleset, Tidak semua pengejar pulang ke Istana Pantai Dahaga, melainkan ada tiga orang yang masih mencoba berkeliaran mencarinya. Dan ketiga orang itu adalah Hastari, Bintan, dan Rukmala. Ketiganya bersenjata pedang dengan kesigapan dan kelincahannya sebagai seorang prajurit istana.
Mereka lakukan pengejaran cukup jauh dan tidak temukan buronannya, maka mereka pun segera pulang untuk menghadap sang Ratu. Dalam perjalanan pulang itulah, mereka melihat sekelebat bayangan berwarna merah tembaga.
"Tak salah lagi, pasti dia perempuan itu.! Kejaar.!"
perintah Hastari. Maka mereka pun memacu kudanya lebih cepat lagi, lakukan pengejaran terhadap diri Denaya.
Menyadari hanya tiga orang pengejar yang ada dibelakangnya, Denaya tak ingin beradu kecepatan dengan kuda, ia sengaja hentikan langkah dan mencabut pedangnya. Sraang..! Denaya menghadang mereka dengan perasaan sebagai seorang prajurit yang siap tempur.
Gadis berusia sebaya dengan Denaya yang bernama Bintan itu lebih dulu tiba di tempat Denaya. Kudanya segera diterjangkan ke arah Denaya, tapi Denaya menghindar dengan satu lompatan ke samping
Wuuut..! Pedangnya pun berkelebat ke leher Bintan. Wuus...!
Traang..! Bintan menangkis dengan pedangnya pula. Tangan kiri Denaya mencabut pisau terbangnya.
Slaaap..! Jreeb..!
"Aaahk...!" Bintan memekik ketika pisau terbang beracun ganas itu menancap di tengkuknya. Gadis penunggang kuda coklat itu jatuh terjungkal, lalu terkapar dalam keadaan sekarat.
Belum habis Denaya pandangi keadaan Bintan, seorang gadis yang tampaknya sedikit lebih muda dari Denaya datang menyerang bersama lompatan kudanya. Weeess...!
"Iiiheeeehhk...!" ringkik sang kuda.
Denaya bersalto mundur satu kali untuk hindari terjangan kuda tersebut. Wuuuk...! Namun begitu kakinya menapak ke bumi, Hastari yang ada di belakang Rukmala segera lemparkan senjata rahasianya berupa sekeping logam putih mengkilap berbentuk segitiga sama sisi. Ziing..!
Denaya tak menduga akan datangnya senjata rahasia itu. Begitu ia berpaling menghadap ke arah Hastari, senjata rahasia itu tepat berada di depan hidung.
Kecepatan terbang senjata tersebut membuat Denaya terlambat menghindar. Jeeb...!
"Uuhk...!" Denaya tersentak mundur karena kagetnya. Senjata rahasia itu menancap di lengan kirinya, karena pada waktu itu Denaya hanya sempat mengangkat tangan kiri. Logam segitiga yang juga mempunyai racun berbahaya itu menancap pada kulit lengan
yang tidak tertutup lempengan tembaga.
Sleep..! Denaya segera mencabut senjata rahasa itu dengan menggunakan giginya, karena pada saat itu Rukmala datang lagi menyerangnya dengan pedang dan masih berada di punggung kuda.
Trang, trang, buuhk...! Kaki Rukmala menendang keras ke pundak Denaya, membuat Denaya terpelanting jatuh. Namun dengan cepat Denaya mengambil senjata rahasia yang masih digiginya itu, dan tangan kirinya masih sanggup bergerak cepat lemparkan senjata milik Hastari itu.
Zaaap..! Jruub...!
"Aaaow..!" Rukmala terpekik, ia segera jatuh dari atas punggung kuda karena senjata rahasia yang di kembalikan oleh Denaya itu menancap di leher kiri Rukmala.
"Ooh... badanku terasa panas?! Pasti karena racun dalam senjata rahasia yang kenai lenganku ini! Aduh, celaka! Panas sekali tubuhku?!" Denaya membatin dengan tegang. Melihat kuda yang tadi ditunggangi Bintan masih ada di tempat, sementara penunggangnya sudah tak bernyawa lagi, maka Denaya pun lakukan iompatan cukup tinggi dan bersalto dua kali sambill hindari lemparan senjata rahasia yang datang lagi dari Hastari.
Ziing, ziing...!
Wut..! Wuuk, wuuk...! Jleek...!
Denaya berhasil meluncur turun dan tepat duduk di atas pelana kuda. Maka dengan menggunakan tangan kiri yang terasa semakin lemas dan panas itu,
Ia memacu kuda tersebut untuk tinggalkan tempat.
Hastari mengejarnya, ia tidak pedulikan Keadaan Rukmala yang mengerang Karena rasakan panas sekujur tubuhnya, hingga wajah gadis itu merah matang, seperti merahnya lengan kiri Denaya.
"Jangan lari kau pengecut!" teriak Hastari sambil mengejar dengan kuda hitamnya.
Denaya mencari sesuatu yang dapat untuk atasi luka beracunnya itu. la bukan takut hadapi Hastari, tapi ia butuh sesuatu yang dapat selamatkan jiwanya dari racun tersebut.
Tanpa disadari, Denaya berlari ke arah gugusan bukit cadas yang tak seberapa tinggi. Di atas bukit cadas itu ada sepasang mata yang memperhatikan dari balik batu besar.
"Denaya...?!" sepasang mata itu menegang dan menyebutkan nama Denaya dalam desah. Sepasang mata itu adalah milik seorang pemuda berambut panjang sepundak, lurus pada ikat kepala, sementara dipunggungnya tampak sepotong bambu coklat kehitaman menyilang sebagai bumbung tuak. Orang tersebut tak lain adalah si Pendekar Mabuk yang sedang menuju ke Pantai Dahaga.
la menjadi girang bercampur tegang melihat Denaya berlari memacu kuda dengan cepatnya. Sementara jauh di belakang Denaya tampak seseorang sedang mengejar, dan orang tersebut pernah dilihatnya saat bertarung melawan Salendra.
"Tak salah lagi, Denaya pasti telah berhasil meloloskan diri dan kini dalam pengejaran! Sebaiknya ku biarkan Denaya melewati jalan bawah itu, lalu aku akan menghentikan kuda si pengejar itu!"
Namun sebelum rencana itu dijalankan, Pendekar Mabuk dikejutkan kembali oleh kemunculan seorang gadis berusia sekitar dua puiuh empat tahun yang mengenakan pakaian serupa dengan Denaya.
Mulut Suto Sinting terbengong melompong melihat kemunculan gadis berpakaian perang dengan pedang hitam panjang serupa dengan pedangnya Denaya itu.
Gadis cantik berambut selewat pundak dengan bagian depannya di poni itu segera berseru kepada Denaya yang sudah tampak semakin lemah karena luka beracun di lengannya itu.
"Terus lari! Terus...! Biar kuhadang dia di sini, Denaya!"
"Pandawi...?!" Denaya pun terkejut mengetahui bekas sahabat sesama prajurit Istana Kematian tahu-tahu muncul dari balik pepohonan rindang. Pandawi sengaja menyongsong kehadiran kuda Hastari. la segera lemparkan dua pisau terbangnya yang dicabut dari paha kanan-kiri.
Slap, slaap...!
Hastari melaju terus dengan kudanya. Kehadiran dua pisau yang mengarah ke dadanya itu ditangkis dengan tebasan pedang dua kali. Tring, tring...! Kedua pisau itu melesat berbeda arah. Salah satunya membentur batu tempat Suto Sinting bersembunyi.
Traang....!
"Edan" Suto Sinting tarik kepala dengan terkejut
"Hampir saja mataku kecolok pisau?!" gumamnya lirih,
lalu ia segera kembali perhatikan Pandawi, sementara Denaya justru berhenti di tempat agak jauh, di bawah pohon rindang. la terkulai lemas di atas punggung kuda. "Rupanya Denaya terluka?! Sebaiknya aku segera ke sana mengobati lukanya!" pikir Suto Sinting.
Namun pada saat itu ia sempat terpaku melihat gerakan Pandawi yang melambung tinggi dan bersalto satu kali. Pedangnya ditebaskan ke bawah ketika Hastari meluncur di bawahnya di atas punggung kuda.
Wees...! Traang...! Hastari sendiri cukup cekatan menghadapi bahaya seperti itu. la berhasil menangkis tebasan pedang Pandawi. Namun karena Pandawi kerahkan tenaga dalam juga dalan menebaskan pedang tadi, maka tangkisan Hastari membuat tangan gadis itu tersentak ke belakang. Hastari kehilangan keseimbangan dan jatuh dari punggung kuda. Brruk...! Kudanya terus saja berlari dengan cuek, tanpa pedulikan penunggangnya jatuh berguling-guling.
Begitu Pandawi daratkan kakinya ke tanah, Hastari baru saja akan bangkit berdiri dengan berlutut satu kaki. Tapi pedang Pandawi lebih dulu dilemparkan dan
meluncur cepat ke arahnya.
Wuuus..! Jraab..!
"Aaaaaaa...!!"
Hastari menjerit keras dan panjang. la berusaha pegangi pedang Pandawi yang menancap di perutnya hingga tembus ke belakang. Pandawi segera berjungkir balik sambil hampiri Hastari. Plak, plak, plak...!
Begitu tiba di depan Hastari yang masih membungkuk dengan mata mendelik dan tangan pegangi pedang di perutnya itu, Pandawi segera menyambar pedangnya itu dan dicabutnya pedang tersebut dari perut Hastari sambil kakinya menjejak dada Hastari.
Buuhk, slaap...!
Dengan gagah seperti seorang panglima perang peroleh kemenangan, Pandawi pandangi lawannya yang kini terkapar dan tak bernyawa lagi itu. Wajah cantiknya masih pancarkan murka yang cukup mengerikan. Murka itu segera surut dan berubah kecemasan ketika ia melihat Denaya terpuruk di atas punggung kuda dengan kedua tangan terkulai lemas di samping kanan-kiri punggung kuda. Pedang Denaya jatuh di tanah dan dibiarkan saja.
"Denayaaa...!" seru Pandawi yang segera berlari ke arah teman lamanya itu.
"Denaya...?! Denaya kau terluka?!" Pandawi segera turunkan Denaya dan menggotongnya ke rerumputan, lalu Denaya dibaringkan dalam keadaan wajahnya telah membiru. Pandawi memeriksa tubuh Denaya dan ia temukan luka menghitam di lengan sahabat lamanya itu.
"Pan.... Pandawi..," Denaya tampak sulit bicara.
Pandawi rasakan tubuh Denaya telah dingin semua seperti es. Kecemasan pun makin bertambah dalam hati Pandawi.
"Denaya, bertahanlah! Bertahanlah sebentar, aku akan mencari..."
Zlaapppp...!
Kata-kata Pandawi terhenti seketika setelah sekelebat bayangan tampak menuju ke arahnya dan menampakkan sosoknya.
"Sutoo...?!" pekik Pandawi antara girang dan tegang.
"Lekas usahakan buka mulutnya! Biar ku tuangkan tuak ini ke dalam mulutnya!"
"Suto, ia terluka dan..."
"Tak perlu panik! Lakukan saja apa yang seharusnya kita lakukan!" ujar Suto Sinting yang yang sebenarnya panik juga melihat keadaan Denaya sudah Separah itu.
Tapi untung mereka berdua bekerja dengan cepat.
Sehingga tuak berhasil terminum oleh Denaya, dan beberapa saat kemudian kepucatan Denaya pun mulai hilang.
"Biarkan dulu ia berbaring di situ sampai lukanya menutup sendiri dan hilang!"
Ujar suto sinting kepada Pandawi, kemudian ia meminum tuaknya juga beberapa Teguk.
"Suto, Aku mencarimu kemana-mana tapi kau tak Kutemukan. Kemana saja kau Sebenarnya?"
"Aku ada di hutan malaikat, menolong seorang sahabat."
"Hutan Malaikat!?!" Pandawi terperanjat dan berkerut dahi. Tapi Suto Sinting tak hiraukan perubahan ekspresi wajah si cantik berhidung mancung dan bermata biru itu.
"Mengapa kau mencariku?" tanya Suto Sinting.
"Bukankah setelah peresmian penyerahan Pedang jagal Keramat, kau kusuruh tinggal di Lembah Sunyi bersama Eyang Resi Wulung Gading untuk pelajari jiwa-jiwa aliran putih?!"
"Benar. Tap... tapi Eyang Resi mengizinkan aku pergi mencarimu. Eyang Resi tahu persis perasaanku"
"Perasaan apa?"
"Rindu.," jawab Pandawi pelan. Suto Sinting tertawa pendek, alihkan pandang ke arah mayat Hastari.
"Eyang Resi mengatakan, perasaan rinduku ini adalah hal yang sangat manusiawi, Suto!" sambil perempuan itu mengusap punggung Suto Sinting dan menyandarkan kepalanya di lengan kanan pemuda tampan itu.
"Ya, memang sangat manusiawi," gumam Suto Sinting. "Tapi dari mana kau tahu kalau aku ada di daerah ini?!
"Aku tidak tahu kau ada di sini. Aku hanya mendengar percakapan orang di kedai tentang Denaya yang disandera oleh Ratu Sendang Pamuas karena sang Ratu inginkan suaminya. Maka aku pun menuju kemari,
karena aku tahu siapa si Sendang Pamuas itu!"
"O, kau kenal dengannya?"
"Denaya pun kenal dengan Sendang Pamuas, karena sewaktu kami menjadi prajurit Ratu Kehangatan, kami sering diutus temui Sendang Pamuas untuk sampaikan pesan."
"Hmmm..." Suto manggut-manggut.
"Tapi.. kau tadi mengatakan dari Hutan Malaikat?. Apa betul?!" tanya gadis bertubuh tinggi, sekal dan berkesan kekar dengan dada montoknya yanig bikin Suto Sinting sering melirik nakaĆ itu. Si mata biru tampak memandang Suto dengan simpan kesangsian dalam hatinya.
"Ya, memang aku dari sana! Secara tak sengaja aku ditangkap dan dituduh sebagai mata-matanya Sendang Pamuas, kemudian..."
"Siapa yang menangkapmu?!"
"Orang Suku Mabayo!"
"Ooh...?!" Pandawi terperangah. "Jadi kau bertemu dengan.. dengan Peri Jenaka, si kepala suku itu?"
Kini dahi Suto yang ganti berkerut menatapnya.
"Apakah kau kenal dengan Peri Jenaka?!
Pandawi hempaskan napas kendorkan ketegangan. Lalu ia tersenyum tipis yang membuat wajah cantiknya semakin tampak menawan hati.
"Aku adalah orang Suku Mabayo!"
"Hahh...?!" Suto Sinting terperanjat kaget.
"Aku dan Denaya dari Suku Mabayo. Tapi karena kami masuk dalam aliran hitam, maka kami tak diakui sebagai masyarakat Suku Mabayo."
"O, jadi Denaya juga orang Suku Mabayo?!"
"Benar. Dan... salah satu keperluanku menemuimu adalah ingin minta pendapatmu, bagaimana jika aku
kembali ke perkampungan Suku Mabayo? Karena aku sudah tak punya tempat tinggal yang tetap?"
"Kurasa ltu langkah yang paling baik."
"Tapi... tapi menurutmu apakah mereka mau menerima diriku yang dianggapnya telah menyimpang jauh dari tata cara kehidupan suku?!"
"Itu hal termudah. Aku sendiri yang akan bicara dengan Peri Jenaka!"
Pandawi ingin bicara lagi tapi tak jadi, karena dilihatnya Denaya telah mampu berdiri dan lukanya di lengan itu telah hilang. Denaya tampak sehat dan segar,
seperti tak pernah menderita luka apa pun.
"Pandawi...?"
Denaya segera memeluk Pandawi, lalu mereka saling pandang dan tertawa ceria. Pendekar Mabuk hanya pandangi.
mereka sambil sunggingkan senyum kelegaan. Denaya juga segera memeluk Pendekar Mabuk karena ia yakin kesembuhannya berkat tuak si Pendekar Mabuk itu.
"Terima kasih, Suto...."
"Hampir saja kulabrak si Sendang Pamuas itu," ujar Suto Sinting.
"Kudengar kau ditawan hanya gara-gara
si Ratu jalang itu memburu gairahnya pada Buyut Batara!"
"Benar. Tapi aku berhasil loloskan diri setelah selama dua hari pelajari kelemahan pertahanan mereka!"
"Aku tak heran kau mampu pelajari kelemahan pertahanan pihak lawan, karena kau dan Pandawi tentunya sudah terbiasa untuk pekerjaan seperti itu."
Denaya hanya tertawa kecil. Pandawi segera angkat bicara.
"Aku sendiri sebenarnya.," kata-kata itu terhenti.
Pandawi terbengong dengan mata tak berkedip memandang ke satu arah. Suto dan Denaya menjadi heran.
"Ada apa, Pandawi?" tanya Suto Sinting.
Ada orang berlari di sebelah sana. Lihat.. itu dia orangnya....
"Hahh..?!" Denaya terperanjat seketika.
"ltu suamiku!" tambahnya dengan tegang.
"Benar! ltu si Buyut Batara!" tegas Pendekar Mabuk.
"Buyuut..! Buyuuut..!" seru Pendekar Mabuk. Mereka bergegas hampiri tempat yang akan dituju Buyut Batara. Pada saat itu Buyut Batara mendengar seruan Suto, sehingga ia pun segera belokkan arah.
"Buyut.." seru Denaya sambil berlari, lalu mereka berpelukan dalam jarak tujuh langkah dari Suto dan Pandawi.
"Mereka mengejarku!" kata Buyut Batara sambil menarik istrinya untuk hampiri Suto dan Pandawi. Melihat pakaian Pandawi, Buyut Batara langsung dapat menebak bahwa gadis itu adalah bekas sahabat istrinya. Denaya sempat perkenalkan Pandawi saat Buyut Batara masih terengah-engah dan berwajah tegang.
"Ada apa, Buyut?!" tanya Suto kalem.
"Mereka mengejarku ketika aku lari dari istana!"
"Mereka siapa?!"
"Ratu Sendang Pamuas dan beberapa pengawalnya. Mereka berkuda dan..."
"Kau ada di sana?! Kau dari istana itu, Buyut?!" Denaya mulai curiga.
"Aku.. aku bermaksud membebaskanmu, Denaya! Jangan curiga dulu!" ujar Buyut Batara.
Rupanya kabar pelarian Denaya akhirnya sampai pula ke telinga Buyut Batara. Seorang pelayan bicara hal itu kepada temannya ketika Buyut Batara bangun
pagi-pagi dan ingin menghirup udara segar di taman, Mendengar istrinya telah lolos dari istana, Buyut Batara pun segera larikan diri. Sang Ratu dan empat pengawalnya mengejarnya.
Pendekar Mabuk segera berkata, "Kalau begitu, biar kuhadapi perempuan itu!"
Baru saja Suto Sinting berhenti bicara, mereka segera mendengar derap kaki kuda. Ratu Sendang Pamuas muncul bersama empat pengawalnya bersenjata pedang dan panah. Pandawi segera mencabut pedangnya seraya berseru,
"Menyebar...!"
"Kalian jangan ikut! Biar aku sendiri yang hadapi mereka!!" ujar Suto. Tapi Pandawi tetap berlari ke seberang dengan pedang siap di tangan. Denaya pun mencabut pedangnya. Sraaang...!
"Saatnya untuk mengirim perempuan itu ke neraka!" geram Denaya. Melihat istrinya mencabut pedang, Buyut Batara pun segera mencabut pedang pendeknya. Sreet...!
Kini tiga orang berdiri merentang jalanan. Pendekar Mabuk ada di depan mereka dalam jarak empat langkah. Denaya, Pandawi, dan Buyut Batara berjaga-jaga di belakang Suto Sinting dengan wajah-wajah siap perang.
Ratu Sendang Pamuas segera beri isyarat agar para pengawalnya hentikan kuda masing-masing. Sang Ratu pandangi Pendekar Mabuk yang lebih tampan dan
lebih gagah dari Buyut Batara. Benaknya mulai membayangkan kemesraan cumbuan Pendekar Mabuk, sehingga ia berkata dengan nada sinis.
Ternyata ada yang lebih unggul darimu, Buyut Batara!"
Pendekar Mabuk segera perdengarkan suaranya dengan tegas, namun tetap kalem.
"Turunlah, dan kita selesaikan urusan ini secara terhormat!"
"Hei, kau menantangku, Pemuda Ganteng?!"
"Ya. Lawanmu bukan mereka yang di belakangku, tapi akulah lawanmu! Jangan lagi kirim orang seperti Salendra, akan buang-buang waktu bagiku! Kita berhadapan secara langsung saja, Nyai Ratu!"
"Kalau aku bisa tumbangkan dirimu, kau harus mau jadi budakku selama-lamanya!"
"Aku bersedia, semasa kau masih mau bernapas dan punya nyawa!" jawab Suto Sinting. Sang Ratu merasa sangat ditantang dan bernafsu ingin tundukkan Suto Sinting. Maka dari atas kuda itu tiba-tiba tubuhnya melayang bagalkan terbang dengan cepat ke arah Pendekar Mabuk.
"Hiaaat..!"
Wuuus....! Pendekar Mabuk segera menerjang maju dengan lompatan setinggi gerakan terbang Ratu Sendang Pamuas. Mereka bertemu di udara dan saling
beradu pukulan telapak tangan.
Plaak, blaaaarr...!
Keduanya sama-sama terpental mundur. Namun Pendekar Mabuk masih mampu turun dalam keadaan tetap berdiri tegak, sedangkan Ratu Sendang Pamuas jatuh terpelanting.
Perempuan itu menjadi berang. Malu diihat para pengawalnya. Maka ia segera bangkit dan menyerang Suto Sinting dengan tendangan beruntun dalam satu lompatan.
Plak, plak, plak...!
Suto Sinting berhasil menangkis tendangan beruntun tu. Tapi tulang lengannya terasa remuk semua. Kedua tangan Suto terasa sulit diangkat dan sepertinya segera menjadi lumpuh. Tendangan itu bukan saja bertenaga dalam tinggi, namun juga disertai hawa panas pelebur besi. Kedua tangan Suto pun menjadi hangus.
Ratu Sendang Pamuas sunggingkan senyum sinis melihat Suto Sinting menahan sakit. la segera lepaskan pukulan bercahaya kuning. Claap...! Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya melambung di udara. Cahaya kuning itu lolos melewati samping kiri Buyut Batara dan menghantam pohon. Duaaaarr...! Pohon itu rompal Tapi Pendekar Mabuk sudah lebih dulu lakukan gerakkan bersalto di udara dan kakinya segera menendang
Ke belakang ketika tubuhnya melewati atas kepala Sang Ratu. Bet..! Buuhk...!
"Aaahk...!" Sang Ratu tersentak. Suto Sinting daratkan kaki ke tanah. Namun cepat-cepat melompat dalam gerakan bersalto lagi. Wuuk, wuuk...!
Sebelum sang Ratu siap, kaki Suto sudah lebih dulu menghajar dada sang Ratu dengan telak. Beet,uuhk...!
"Oohk...!" darah keluar dari mulut Ratu Sendang Pamuas. Agaknya Suto tak memberi kesempatan bagi sang Ratu untuk lepaskan jurus-jurus mautnya.
Kini Suto memutar tubuhnya sambil lepaskan tendangan kaki kanan-kiri secara beruntun.
Duuhk,duuhk, duuhk....!
Ploook...! Weessss...!
Sang Ratu terlempar dengan. mulut dan hidung semburkan darah segar. la jatuh tersungkur membentur akar pohon.
"Heeaaaaaahh...!!"
Weess, crras...!
Denaya melompat saat Ratu Sendang Pamuas hendak bangkit dari jatuhnya. Pedang Denaya lebih dulumenyambar leher sang Ratu sehingga perempuan berjubah biru itu akhirnya roboh kembali ke tanah dalam keadaan leher nyaris putus.
Mellhat keadaan ratunya separah itu, keempat pengawal berkuda itu segera larikan diri dan takut dikejar oleh keempat lawannya. Sementara itu, Pendekar Mabuk hanya bisa tertegun di tempat pandangi Ratu Sendang Pamuas hembuskan napas terakhir dalam keadaan tergeletak bermandi darah.
"Kau telah mengakhirinya, Denaya!"
"Karena aku tahu, Suto...." Denaya tampak mulai ingin titikkan air matanya.
"Aku yakin.. suamiku telah dipaksa melayaninya dengan ancaman diriku dalamtawanan..."
Denaya akhirnya menangis, dan ia segera dipeluk oleh Buyut Batara yang kedua matanya menjadi merah karena menahan keharuan dalam hatinya.
"Maafkan aku, Denaya..."
"Kau tetap suamiku, Buyut..," ucap Denaya di sela tangis.
҂: SELESAI :҂