Life is journey not a destinantion ...

Pertarungan Dewi Ranjang

INDEX SUTO SINTING
92.Darah Pemuas Ratu --oo0oo-- 94.Bibir Penyebar Maut

SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi


[:: 1 ::]

RASA heran yang cukup membingungkan di alami oleh seorang pemuda tampan berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala. Pemuda berbaju buntung warna coklat dengan celana warna putih kusam berikat pinggang warna merah itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk, murid sintingnya si Gila Tuak yang bernama Auto Sinting. Sambil pegangi tali bumbung tuanya yang terbuat dari bambu sepanjang satu depa itu,Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan pandangi alam sekelilingnya."Aneh," gumamnya dalam hati, "mengapa aku jadi menuju ke lereng gunung itu? Bukankah tujuan ku adalah ke balik gunung seberang sana,ke pondoknya si Kusir Hantu yang dinamakan lembah seram itu? Bukankah aku ingin jumpa dengan si Tenda Biru ,Panji Klobot , dan kedua cucu Kusir Hantu yang cantik-cantik itu; Pematang Hati dan Mahligai Sukma?! Tapi ?!"
Suto Sinting hentikan celoteh batinnya sebentar. Matanya tertuju pada sebuah Gua yang ada di balik bebatuan besar, tepat di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan berdaun seperti daun beringin itu. Di depan gua tersebut terdapat pula sepotong kayu yang menyerupai papan penunjuk jalan.
Tertarik dengan papan di atas tiang dari dahan pohon kering yang lurus itu, Suto Sinting segera membatin, 
"Ada tulisan apa di papan itu?! Aneh sekali. Hatiku jadi tertarik untuk mengetahuinya?! Lereng gunung ini benar-benar mendatangkan keanehan bagiku. Sepertinya aku dituntun oleh sesuatu untuk menuju kemari."
Papan yang ada di atas sebuah tiang itu bagian salah satu sisinya berbentuk runcing, seperti tanda panah yang mengarah ke mulut gua. Di papan itu terdapat tulisan tangan dari getah yang telah mengering dan berwarna abu-abu. Tulisan itu berbunyi; "YANG TIDAK BERKEPENTINGAN DILARANG MASUK" . Mau tak mau senyum geli Suto Sinting pun mengembang tipis.
"Pasti ini kerjaan orang iseng," ujar Suto dalam hatinya.
Sebenarnya Pemuda bertubuh gagah,kekar dan tampak jantan sekali walau tanpa kumis sehelai pun itu ingin tak pedulikan tulisan yang seolah-olah melarang orang masuk ke dalam gua tersebut. Tetapi tiba-tiba hatinya merasa ingin sekali masuk ke dalam gua. Rasa ingin masuk kedalam gua itu timbulkan kegelisahan dan keresahan yang menambah nya merasa heran.
"Mengapa aku penasaran sekali ingin masuk ke dalam gua itu?! Ah menurut dugaan ku tak ada yang istimewa di dalam gua tersebut. Tetapi hati kecilku seakan mengharuskan aku masuk ke depan gua.bahkan rasa penasaran ini mendesakku Dengan kuat?! Hmmm.... baiklah akan ku coba masuk ke sana daripada nanti tak bisa tidur karena rasa penasaranku ini"
Gua tersebut mempunyai lorong membelok ke kiri. Dari mulut gua ke tikungan lorong tak terlalu jauh, sekitar delapan langkah, tikungan itu terlihat jelas karena ada bias cahaya yang samar-samar. Cahaya itu berasal dari kedalaman lorong tersebut.
Pendekar mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya lebih dulu. Tindakan itu dimaksudkan sebagai sikap jaga-jaga kalau sampai ada sesuatu yang membahayakan dirinya,dapat segera ditangkal oleh tuak sakti yang baru saja di minum nya itu.
"Oh, ternyata bias cahaya ini semakin terang jika aku membelok ke kiri?!" Gumam hati si murid sinting Gila Tuak itu.
Maka ia pun melangkah menyusuri lorong yang ujungnya membelok ke kiri . Semakin dalam, bias cahaya yang ada semakin lebih terang lagi. 
Akhirnya pemuda berhidung Bangir dengan kulit warna sawo matang itu tiba di sebuah ruangan yang terang. Ruangan itu ternyata ujung dari lorong gua. Tak ada lorong lagi di sekitar ruangan lebar berlangit-langit tinggi itu.
Langkah yang terhenti ternyata di barengi oleh sepasang mata yang membelalak lebar. Pendekar mabuk terperangah saat pertama kali temukan ruangan lebar tersebut. Ternyata ruangan itu mempunyai puluhan lilin yang dipasang di sana-sini, terutama pada ujung-ujung bebatuan yang makin merapat ke dinding semakin berbentuk tinggi menyerupai pilar.
Bau lilin panas tidak seperti bau lilin terbakar biasanya. Bau lilin itu menyebarkan aroma yang aneh, semacam rempah-rempah yang lembut sedikit berbau kayu Cendana.
Lilin itu berwarna merah besarnya seukuran dengan besar cangkir teh. Tingginya satu jengkal, tapi mungkin sebelum meleleh mempunyai ketinggian lebih dari satu jengkal,karena bagian dasar tiap lilin penuh dengan gumpalan lilin yang meleleh, jumlah lilin tersebut lebih dari dua puluh batang. Nyala apinya tampak tenang, tidak terganggu hembusan angin.
Hal yang membuat Suto Sinting terperangah lebih lebar lagi adalah sosok Tua yang duduk di atas batu di kelilingi oleh lilin-lilin tersebut. Sosok lelaki tua itu duduk bersila dengan mata terpejam. Ia mengenakan kain putih yang menyelubungi tubuh kurusnya.
"Siapa kakek yang duduk di sana itu?" Tanya hati sang pendekar mabuk. Ia belum berani melangkah karena takut terkena jebakan. Matanya memandang sekeliling sebentar, memeriksa tempat itu demi keselamatan jiwanya.
Kakek berpakaian putih itu mempunyai rambut tipis warna putih, bahkan berkesan botak karena rambut nya bisa di hitung. Suto memperkirakan rambut itu hanya delapan belas lembar. Tetapi kumis dan jenggotnya lebat, juga berwarna putih rata. Dalam perkiraan Suto,kakek itu berusia sekitar delapan puluh tahun. Bahkan bisa lebih dari delapan puluh tahun.
Dilihat dari sikapnya duduk bersila nya yang memejamkan mata dan kedua tangannya ada di dada saling merapatkan telapak tangan, Suto Sinting yakin si kakek tua itu pasti sedang bertapa. Oleh sebab itu,
Suto Sinting tak berani menganggunya, tengkuk Kepala yang merinding seperti ditiup perawan itu membuat Pendekar mabuk segera undurkan langkah. Ia bermaksud keluar dari gua tersebut dengan mata masih pandangi si Petapa tua itu.
Tetapi ketika ia Balikan badan untuk melanjutkan langkah keluar gua, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang berseru kepadanya dengan nada datar. Suara itu tak lain adalah suara si Petapa tua.
"Jangan pergi dulu, anak muda!"
Pendekar mabuk kaget. Lalu berpaling pelan-pelan dan menatap si Petapa tua itu. Hatinya seperti ditendang seekor kuda saat itu merasa terkejut melihat si Petapa tua membuka mata. Ternyata bola mata si petapa tua itu berwarna putih seluruh nya. Tak mempunyai manik hitam di tengah Masing-masing bola matanya.
"Apakah dia buta?!" tanya Suto dalam hati,karena ia sering jumpai orang buta yang bisa membuka kelopak mata, tapi pada masing-masing bola mata nya tak mempunyai manik hitam seperti manusia normal.
"Dari jauh Kupanggil dirimu, mengapa setelah sampai dirimu akan tinggalkan daku, anak muda?"
Pendekar mabuk ingin tertawa mendengar gaya bahasa yang di gunakan oleh si petapa tua itu. Terdengar janggal, atau berkesan jenaka. Tetapi wajah si Petapa tua itu tidak punya senyum seujung jarum pun. Matanya yang putih menatap lurus ke dinding seberang nya, bukan ke arah Suto. maka hati Pendekar tampan itu bertanya-tanya, akhirnya pertanyaan itu di lontarkan melalui Mulutnya dengan lembut dan sopan.
"Apakah kau bicara denganku. Eyang?"
"Mana mungkin aku bicara dengan batu-batu ini, Anak muda?!"
Suto Sinting hanya tersenyum dalam hati, menertawakan pertanyaan bodohnya. Tentu saja Petapa tua itu bicara dengannya karena di sekitar tempat itu tak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Mendekatlah kemari, Anak muda. Jangan takut, aku tidak akan menggigitmu."
Kali ini si Petapa tua sunggingkan senyum berkesan ramah dan bersahabat. Ketegangan hati Pendekar Mabuk mengendur. Mata putih si Petapa tua itu mengarah kepada Suto. Murid sinting si gila tuak itu merasa dipandang oleh Petapa tua dan benar-benar diharapkan untuk mendekatinya. Maka dengan langkah hati-hati tapi sikap gagahnya masih tampak jelas, Pendekar mabuk pun mendekat. Melewati jajaran lilin-lilin merah yang seperti membentuk pagar sebuah jalan setapak itu.
Sampai didepan batu besar yang dipakai duduk bersila oleh si Petapa tua itu, Pendekar Mabuk hentikan langkahnya. Ia segera dapatkan kedua kakinya dan tundukkan kepala dengan punggung sedikit membungkuk, sebagai sikap memberi hormat kepada si petapa tua itu. Dan senyum si Petapa tua semakin lebar, tampak senang menerima sikap hormat pendekar mabuk.
"Jangan heran kalau kau tiba-tiba berada di sini di luar kesadaranmu, Suto Sinting. Akulah yang memanggil hatimu untuk datang ke lereng gunung Brahmana ini," ujar si Petapa tua dengan suara yang semakin lama terdengar semakin jernih. Tidak seserak waktu pertama ia perdengarkan suaranya.
"Pantas aku tahu-tahu mengarahkan langkah kakiku ke sini. Rupanya orang ini yang memanggil hatiku dan menarik rasaku untuk datang kemari?!"
Ujar Suto Sinting dalam hatinya. Tapi di mulutnya ia bicara lain dengan hatinya.
"Aku memang sudah menduga ada yang tak beres pada kendali rasa batinku, Eyang. Tetapi sampai sekarang aku aku belum tahu, apa maksud Eyang menarik kendali rasaku untuk datang ke gua ini?! siapakah Eyang sebenarnya?!"
Sebelum menjawab, bisa Petapa bermata putih itu tersenyum dulu. Senyum tua Yang mempunyai kesan bersahabat itu terasa menyejukkan hati Suto dan menentramkan baginya.
"Jika kau ingin tahu namaku, tanyakan pada Sabawana gurumu, yang berjuluk Gila Tuak itu. Tanyakan kepadanya, siapa orang yang mempunyai tato dewa berbentuk bintang di kedua telapak tangannya...."
Petapa itu kini menghadapkan kedua telapak tangan nya ke arah depan. Pendekar Mabuk melihat jelas bahwa telapak tangan itu mempunyai Tato berbentuk bintang. Tato itu aneh; karena menyala biru remang seperti mengandung cahaya fosfor.
"Gurumu pasti mengenali dua bintang di telapak tanganku ini, dan dia akan berkata:' Ooo....itu bekas sahabatku yang bernama si Tapak Lintang'. Lalu dia akan ceritakan siapa diriku."
Kedua tangan itu kini turun ke pangkuan dan telapak tangannya ditempelkan ke paha kanan-kiri.
"Jangan lupa, tanyakan namaku kepada gurumu, Anak Bagus! Sebab kalau kau tidak tahu namaku, kau akan penasaran dan makan apa pun terasa tak enak."
Senyum keramahan Suto Sinting membias di wajah tampannya yang lembut itu.
"Tanpa bertanya kepada Guru pun aku sudah tahu bahwa Eyang bernama Tapak Lintang."
"Ooh....?! Alangkah saktinya kau, Nak!?. Belum bertanya sudah tahu namaku?!"
"Karena tadi Eyang sebutkan nama Eyang sendiri."
"Ooh... alangkah jujurnya kau. Ternyata kau tetap bersikap rendah walau kusanjung."
Suto Sinting tersenyum kecil, ia sempatkan diri memandang ke samping kanan kiri sambil menunggu penjelasan Eyang Tapak Lintang lebih lanjut. Beberapa kenal kemudian, suara si Petapa bermata putih itu terdengar lagi.
"Sebelum aku memilihmu dan menarik kendali rasaku, lebih dulu aku telah meminta izin kepada Sabawana untuk memanggil muridnya. Bahkan aku telah meminta izin juga kepada Gusti Kartika Wangi, calon mertua mu itu, untuk meminjam panglima perangnya alias Manggala Yudha Kinasih bernama Suto Sinting."
Dalam hati Suto agak kaget mendengar nama Gusti Kartika Wangi itu disebutkan. Setidaknya batin Suto yakin bahwa Eyang Tapak Lintang Itu adalah orang berilmu Tinggi, terbukti dapat mengetahui bahwa jabatan Suto Sinting di negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib yang di perintah oleh Ratu Gusti Kartika Wangi.
Seperti Kata Eyang Tapak Lintang, penguasa Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib itu memang calon mertua Suto Sinting. Sebab anak gadis ratu itu, yang juga menjadi ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi alam nyata , yang bernama Dyah Sariningrum alias Gusti Mahkota Sejati itu, adalah calon istri Suto menurut garis kehidupan si pemuda tanpa pusar itu. Tentunya si Petapa tua itu melihat noda merah kecil di kening Suto Sinting yang hanya bisa di lihat oleh orang-orang berilmu Tinggi.
Noda merah itulah Tanda bahwa Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, adalah panglima perang dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam Gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
"Kau adalah orang yang terpilih dan layak menjadi penolongku, Bocah Bagus!" Ujar Eyang Tapak Lintang.
"Menolong Dalam Hal Apa, Eyang?! Tanya Suto Sinting dengan dahi berkerut menandakan keheranannya di dalam Hati.
"Aku hanya ingin memintamu membantu titisan ku yang sedang mencari pedang pusakaku. Pedang itu bernama Pedang Jagal Keramat, terbuat dari besi anti karat dan tinggi nya setinggi tubuhmu, Bocah Bagus!pedang itu semula ada di sini,kutancapkan ditambah belakangmu itu...."
Pendekar Mabuk segera menengok ke belakang. Kerutan dahi nya semakin kuat ketika melihat tanah berlubang besar, garis tengah nya sekitar dua langkah, mirip sumur yang telah tertimbun tanah sebagian. Di kanan kiri lubang itu terdapat bebatuan yang telah berlumut.
"Di tanah berlubang itukah pedang tersebut ditancapkan?!" Tanya Suto Sinting dalam hati. "Besar sekali bekas tancapan nya?! Jangan-jangan lubang itu bekas sumur tua?!"
Ketika Suto Sinting berpaling ke arah semula, ingin menanyakan kesangsian hatinya itu, tiba-tiba matanya menegang dan hatinya tersentak kaget. Ternyata si Petapa tua yang mengaku bernama Tapak Lintang itu sudah tidak ada. Tapi lilin di sekitarnya masih tetap menyala.
Pendekar Mabuk lebih terkejut lagi dan Mulutnya terbengong melompong dengan mata sulit sikedipkan. Bahkan ia Nyaris tak percaya pandangan matanya sendiri ketika melihat ke arah batu yang dipakai duduk bersila si Petapa tua tadi. Diatas batu itu hanya ada kerangka manusia yang mengering dan berserakan. Sebagian kerangka tampak bersandar pada dinding batu di belakang nya. Benang laba-laba dan debu nyaris membungkus kerangka tersebut, menandakan usia kerangka yang sudah sangat tua.
"Gila! Mengapa jadi begini?! Ke mana Eyang Tapak Lintang tadi?!" Gumam Suto Sinting dengan Tegang , karena bulu kuduk nya segera merinding.
"Oh, lubang yang dikatakan bekas pedang menancap itu juga sudah berlumut semua?! Nyaris menjadi rapat ?!" ujar hati Suto penuh keheranan.
"Lumut ada dimana-mana?!" Gumamnya dengan menatap ke sana-sini. "Hmm...! Bau debu dan udara pengap terasa kuat sekali? Sepertinya gua ini sudah lama tidak di huni orang?! Sebaiknya aku lekas-lekas keluar dari gua ini!"
Langkah Pendekar tanpa pusar itu dipercepat. Namun bias cahaya lilin-lilin itu masih menerangi lorong menuju keluar. Hanya saja. Kali ini semakin mendekati pintu gua Suto Sinting dibuat semakin heran. Karena lantai dan dinding lorong tidak sebersih tadi, melainkan banyak rumput dan lumut yang tumbuh liar dari situ.
"Edan! Kenapa lumut dan tanaman ini dapat tumbuh sebegitu cepatnya?! Tadi waktu ku susuri lorong ini, tampak bersih dan tak ada sehelai rumput pun?!" gerutu Suto Sinting dalam hati. Jalannya semakin sulit karena semakin dekat dengan pintu Gua semakin banyak tanaman rambat sejenis rumput ilalang.
"Astaga...?!" Suto Sinting terpekik kaget ketika mengetahui pintu gua hanya tampak sedikit sekali. Sisanya tertutup oleh ilalang yang tumbuh subur dan merimbun. Tinggi ilalang itu nyaris menyamai tinggi tubuh Suto Sinting sendiri.
Pendekar Mabuk terpaksa berjalan sambil menyingkap ilalang ke kanan-kiri, bagaikan ingin berburu kelinci hutan.
Duuurrr!
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Tanah tempat nya berpijak mulai terasa bergetar. Dinding gua itu pun tampak bergetar dan langit-langitnya meruntuhkan tanah serta bebatuan kerikil lembut.
"Celaka! Gua ini akan runtuh dan aku akan tertimbun di dalamnya kalau tak lekas-lekas keluar dari sini?!" Ujar Suto Sinting, bicara sendiri sambil menghibur hatinya yang sempat tegang, sebab suara gemuruh itu terdengar lagi dan langit-langit gua semakin banyak meruntuhkan tanah dan batuan kecil.
Getaran yang dirasakan sudah berubah menjadi guncangan. Pendekar mabuk terpaksa harus berlari menerabas ilalang Tinggi, berusaha mencapai luar gua sebelum gua itu benar-benar Runtuh dan menguburnya hidup-hidup.

*
* *

[:: 2 ::]

ADA langkah kaki yang agak terburu-buru. Langkah kaki itu milik seorang pemuda tampan. Pemuda itu mengenakan Rompi warna putih dan celana coklat, kebalikan dari Pendekar Mabuk. Kemana pun pemuda itu pergi selalu membawa Bambu, seperti Suto Sinting. Tapi bambunya berwarna kuning dan panjang seperti tongkat pramuka dari gugus depan mana pun. Bambu yang mirip tingkap Pramuka itu dinamakan Toya. Itulah senjata si pemuda yang dikenal Suto Sinting Bernama Santana.
Sebenarnya ia bukan bernama Santana. Nama itu hasil singkatannya sendiri dari nama aslinya: Sandhi Tanayom. Ia memang pemuda yang kalem tapi konyol. Sepertinya tak pernah marah, tapi tahu-tahu lawannya dibuat tak berdaya dengan jurus andalannya.
Pemuda itu jika ditanya, jawabannya selalu tulalit' alias tidak nyambung. Suto Sinting sering dibuat jengkel jika berbicara dengan Santana. Ia dulu pernah mau membunuh Pendekar Mabuk karena dibayar oleh seorang ratu sesat. Tapi murid si Gila Tuak mengalahkannya dengan kecerdasan otaknya,(Baca serial pendekar Mabuk dalam episode : "kematian sang Durjana").
Pemuda yang berasal dari pulau parang itu sebenarnya ingin menuju ke gunung Pare untuk menemui mantan musuhnya yang menjadi Sahabat nya, yaitu mendung merah. Tetapi ketika ia melewati kaki bukit, tiba-tiba diserang oleh seseorang dengan sebongkah batu yang melayang dengan sendirinya. Batu itu semula ada di tanah yang menggunduli tinggi, mirip anak bukit. Tiba-tiba saja batu tersebut Melayang cepat dari arah depan Santana. Wuuusss...!
"Babi!" Pekik Santana dengan kaget "Eh, bukan...! Batu?!" Tongkat bambu kuning segera bertindak. Sambil lakukan lompatan kesamping untuk hindari batu tersebut, tongkat bambu kuning nya dihantamkan ke arah batu tersebut. Wuuut...! Duaaar....!
Batu itu pecah menjadi empat bongkah. Hantaman Toya ke batu timbulkan suara ledakan,karena Toya itu selalu dialiri tenaga dalam yang cukup besar.
"Untung aku waspada, kalau tidak waspada bisa wassalam nyawaku....," Ujarnya bersuara lirih. Santana geleng-geleng kepala pandangi batu yang nyaris merenggut nyawanya. Setidaknya membuat kepala nya pecah berkeping-keping.
"Siapa yang melempar kan batu ini padaku?" ujar batin nya sambil memandang ke arah datang nya batu tersebut. Di gundukan tanah yang mirip anaknya itu tak ada orang sepotong pun. Hidung orang saja tak terlihat di sana, apalagi seluruh sosok tersebut. Tapi Santana yakin kalau batu itu pasti dilemparkan oleh seseorang.
"Tak mungkin anak kecil bermain katapel dengan batu sebesar kepala babi itu. Pasti orang dewasa yang konyol, atau memang sengaja ingin membunuhku dengan batu itu. Hmmm..!" Santana tersenyum kalem dengan mata melirik kanan kiri , ia berlagak melangkah lagi bagai tak pedulikan batu tersebut.
Lima langkah kemudian batu yang telah di tinggalkan dan pecah menjadi empat bongkahan itu tiba-tiba mencelat sendiri secara serentak. Weers...! Keempatnya mengarah ke punggung dan kepala Santana. Dua bongkahan batu saling berserempetan bagai berebut ingin dulu-duluan kenai kepala Santana. Traakk...! Suara itu yang mengandung kecurigaan Santana dan dengan cepat berbalik ke belakang.
"Edan!" Pekiknya kaget melihat keempat batu menyerang bersama. Maka dengan cepat Santana jatuhkan diri ke tanah. Brukkk...! Wuuusss..! Keempat batu itu kenai sasaran kosong. Tapi Santana menyeringai kesakitan, karena ia jatuhkan diri bertiarap, ternyata ulu hatinya terganjal sebongkah akar pohon yang muncul dari dalam tanah berbentuk seperti ujung tombak tumpul. Karuan saja napas Santana menjadi sesak karena ulu hatinya seperti di sodok dengan kuat. Perut pun terasa mulas.
Dengan tarikan napas panjang. Rasa sakit di ulu hati dapat sedikit teratasi. Ia segera bangkit dan memandang sekeliling lagi. Ia yakin ke empat bongkahan itu tak mungkin bisa bergerak sendiri. Pasti ada yang menggerakkan dan melemparkannya dengan kekuatan batin. Mungkin dari jarak jauh , atau dari tempat terdekat yang bersembunyi.
"Siapa yang usil padaku?! Silakan keluar dan tunjukkan tampangmu biar aku bisa ganti usil padamu!" seru Santana dengan suara lantang, tapi wajah nya kelihatan berang. Ia masih sempat tersenyum walau berkesan Sinis.
"Kalau kau tak berani tampakkan batang hidungmu, berarti kau banci! Kalau kau perempuan berarti perempuan ganjen yang tak laku walau jual diri!"
Santana sengaja memancing dengan hinaan supaya orang yang usil padanya itu mau tampakan diri. Ia penasaran dan ingin tahu siapa sebenarnya orang itu.
"Ayo tampakan batang hidungmu! Eh, kalau bisa jangan batang hidung saja yang nongol. Aku bisa lari ketakutan jika batang hidung mu saja yang nongol. Ayo , tongolkan wujudnya!"
Weeees....! Bruuuuuusss.....!
"Aaaow...!" Santana memekik sambil melayang bagai dilemparkan oleh kekuatan badai besar. Tubuh itu melayang sejauh delapan langkah dan jatuh terbanting setelah membentur pohon, Bruuukkk....!
*Aauuuuuuh....!" Rengek Santana dengan suara berat. Ia segera bangkit dengan menggunakan tongkat nya sebagai penumpu tubuh. Kepalanya sempat berdenyut-denyut bagai ingin meledak karena benturan keras dengan pohon tadi. Namun Santana merasa masih sanggup menahan rasa sakit di kepala nya itu. Ia lemparkan pandangan ke arah datangnya terjangan tadi.
Pada saat itu sebenarnya Pendekar Mabuk tiba di tempat tersebut. Ia terpancing oleh suara ledakan saat Santana menghantam batu dengan bambu kuning nya tadi, tetapi Suto hanya berada di atas pohon rindang, karena ketika ia tiba di situ, ia melihat sekelebat bayangan menerjang santana. Santana jatuh, Suto Sinting melihat bayangan yang menerjang itu menjelma dalam bentuk seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Santana juga segera memandang ke arah lelaki tua berjubah abu-abu dengan rambut putih sepanjang bahu tanpa ikat kepala itu. Pakaian dalam yang di bungkus jubah berlengan panjang itu berwarna kuning, dengan ikat pinggang dari kain merah. Lelaki tua bertubuh kurus itu memandang Santana dengan mata cekung nya yang memancarkan ketajaman melebihi ujung pedang.
Rupanya pemuda itu mengenal siapa tokoh tua bertongkat merah ujung atasnya membentuk ukiran kepala naga sedang menganga ke langit itu, hiasan rumbai-rumbai benang putih pada kepala tongkat membuat Santana yakin betul bahwa tokoh yang menerjangnya tadi adalah tokoh aliran hitam dari pulau wingit.
"O, rupanya kau usil yang usil padaku, Jahanam Tua?!" sapa Santana dengan senyum pahitnya. Mendengar nama Jahanam Tua di sebutkan Santana, ingatan Pendekar Mabuk segera melayang pada seorang pemuda berambut kucai dan berwajah tampan. Pemuda itu mengenakan pakaian serba merah dengan punggung bajunya bergambar Tengkorak. Ia dikenal dengan nama Tengkorak Tampan itu adalah murid dari si Jahanam Tua.
Pemuda itu telah tewas saat lakukan pertarungan dengan Hantu urat Iblis untuk merebut putri Raja Gundalana. Si Hantu Urat Iblis sendiri tumbang ditangan Suto Sinting . (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tantangan Anak Haram").
"Sebaiknya kuikuti saja percakapan Santana dengan Si Jahanam Tua itu, supaya aku tahu apa persoalan sebenarnya sehingga Jahanam Tua menyerang Santana?!" Ujar Suto Sinting dalam hati.
Sekalipun usianya sudah mencapai sekitar tujuh puluh tahun, tapi si Jahanam Tua tampak masih tegar dan gesit. Langkahnya belum terhuyung-huyung. Ketika ia mendekati Santana , langkah itu masih kelihatan gagah dan penuh semangat. Bahkan berkesan ganas. Suaranya pun masih terdengar lantang, tidak serak atau berat seperti suara seorang kakek pada umumnya.
"Santana!" sapa si Jahanam Tua 
"Jahanam Tua!" Balas Santana sambil tersenyum sinis. Balasan itu menunjukkan bahwa Santana tak merasa gentar berhadapan dengan si tokoh hitam dari pulau wingit itu.
"Apakah kau ikut dalam pertarungan di bukit kecubung itu?!"
"Bukit kecubung terletak tak jauh dari negeri Bardanesya. Pertarungan yang terjadi di sana adalah kehendak dari si Hantu Urat Iblis yang menculik Putri Raja Gundalana. Muridmu itu mati ditangan Hantu urat Iblis!"
"Yang kutanya, apakah kau ikut dalam pertarungan di bukit itu, tolol!" Bentak si Jahanam Tua dengan jengkel, karena jawaban Santana tidak sesuai dengan Pertanyaan nya.
"O, ya! Tentu aku hadir disana" jawab Santana sambil tersenyum kalem. " Aku hadir sebagai penantang si Hantu Urat Iblis. Tapi yang membunuh muridmu bukan aku, melainkan si Hantu Urat Iblis itu!"
"Kau tak perlu menggurui ku, Santana! Aku tahu murid ku memang tumbang di tangan Hantu Urat Iblis, Tapi yang ingin kutanyakan, apakah kau yang disebut-sebut sebagai pemuda tampan yang menewaskan Hantu Urat Iblis Itu?!"
"Terimakasih atas pengakuan mu, Jahanam Tua. baru sekarang kudengar ada orang jujur yang mengakui Ketampanan ku!"
"Aku bertanya, apakah kau pemuda tampan yang membunuh Hantu Urat Iblis itu?!" Gertak Jahanam Tua.
Jika sudah digertak begitu, Santana segera betulkan jawabannya. Walaupun ia menjawab sambil tersenyum, tapi jawaban itu tepat seperti apa yang diharapkan oleh pertanyaan si Jahanam Tua.
"Ya , memang aku yang membunuh Hantu Urat Iblis ! Kau mau memujiku sebagai pemuda tampan yang hebat? Oh , kurasa itu tak perlu. Aku tak butuh pujian mu, Jahanam Tua!"
Wuuut....! Jahanam Tua mengibaskan tongkatnya secara tiba-tiba. Tongkat itu menyambar kepala Santana. Untung pemuda murah senyum itu segera rundukkan kepala hingga sabetan tongkat tersebut tak kenai kepalanya.
Santana tak mau tinggal diam. Ia sodokkan tongkat bambu kuning nya di perut si Jahanam Tua. Suuut...! Sodokan itu ditahan dengan telapak tangan Jahanam Tua. Deees... !
Telapak tangan itu berasap, karena tenaga dalam Santana yang di salurkan dalam tongkat bambu kuning nya beradu dengan tenaga dalam yang ada di telapak tangan kiri Jahanam Tua. Santana mencoba mengarahkan tenaga dalam nya sambil lakukan dorongan. Tapi si jubah abu-abu itu bagaikan gunung yang sulit ditembus atau di dorong oleh tongkat bambu kuning tersebut.
Tanpa di duga-duga Jahanam Tua kelebatan kan kakinya dan tendangan itu tepat kenai lengan Santana. Bruuuhkkk....! Tubuh Santana terlempar ke samping dan terguling-guling.
Bruuukkk...!
"Edan!" Tendangan nya berat sskali. Lengan ku seperti dihantam pakai besi besar. Uuuuh....! Tulang lenganku terasa remuk kalau begini!" Sambil menyeringai menahan rasa sakit pada lengannya, Santana mencoba bangkit dengan bantuan tongkat bambu kuning nya. Tangan kirinya lemah, tak bisa digerakkan lagi. Sepertinya seluruh urat di tangan kirinya putus akibat tendangan yang tadi kenai lengan Santana tampak mengepulkan asap putih tipis.
"Keparat kau , Jahanam Tua! Mengapa kau menyerang ku tanpa berunding lebih dulu , hah?!" Santana berang, tapi seperti anak kecil yang sedang bersungut-sungut karena ngambek.
"Kalau begitulah kaulah yang harus ku musnahkan!" Tuding Jahanam Tua dengan pandangan mata kian tajam.
"Mengapa kau ingin memusnahkan diriku?!" Sambil Santana bergerak mundur, sebab Jahanam Tua mendekati nya dengan pancaran Pandangan mata tampak bernafsu sekali untuk membunuhnya. "Ku terima wangsit dari Dewata di dalam mimpiku, bahwa orang yang bisa menyelamatkan Titisan Tapak Lintang adalah pemuda tampan yang berhasil membunuh Hantu Urat Iblis! Oleh sebab itu, aku harus membunuh mu sebelum kau selamatkan titisan Tapak Lintang!"
Suto Sinting berkerut dahi. Ia ingat kembali tentang pertemuan nya dengan Eyang Tapak Lintang di dalam Gua aneh itu. Ia memang di minta membantu titisan Eyang Tapak Lintang yang berusaha temukan kembali Pedang Jagal Keramat. Tetapi ia tak tahu siapa Titisan Eyang Tapak Lintang Itu dan siapa pencuri Pedang Jagal Keramat. Sekarang ia justru mendengar si Jahanam Tua ingin membunuh orang yang akan menyelamatkan nyawa Titisan Eyang Tapak Lintang itu. Sungguh hal yang aneh bagi Pendekar Mabuk, mengapa si Jahanam Tua bernafsu ingin membunuh orang yang akan lindungi titisan Eyang Tapak Lintang?
Ternyata bukan hanya Suto Sinting yang mendengar perkataan Jahanam Tua. Ada sepasang telinga yang mendengar ucapan itu. Sepasang teringat tersebut berada di balik kerimbunan semak dan mengintai dari sana. Ia baru saja tiba di tempat itu karena suatu hal yang kebetulan dalam perjalanannya yang ingin menemui sang guru dipantai Tangkur.
Orang yang berada di balik kerimbunan semak itu segera muncul setelah Santana diserang oleh Jahanam Tua dengan Jurus yang mematikan. Jurus itu berupa semburan api yang keluar dari mulut ukiran naga di kepala tongkat si Jahanam Tua.
Tongkat berkepala ukiran naga itu di sodokkan ke depan, dan semburan api keluar dari tongkat itu menyambar Santana. Wooos...! Santana tak mau mati terbakar. Ia segera menghindar dengan lakukan lompatan yang menggunakan Toya nya alat pelempar tubuh , mirip seorang Atlet lompat galah. Wuuuus...!
Akibatnya api yang menyembur itu mengenai sebatang pohon, Zuuurb! Pohon itu segera terbakar. Dalam tiga helaan napas pohon itu menjadi Arang, seakan panas api yang keluar dari tongkat si Jahanam Tua itu bekerja dengan cepat hingga dalam tiga helaan napas pohon tersebut sudah menjadi arang sendiri.
"Gila! Tinggi sekali saya panas api itu?!" Gumam Suto Sinting. "Rasa-rasanya Santana tak akan mampu hadapi si Jahanam Tua. Dasar pemuda konyol pakai mengaku sebagai pembunuh si Hantu Urat Iblis segala! Aku harus segera menolongnya!"
Namun sebelum Pendekar mabuk Bergerak menolong, orang yang mengintai dari balik semak itu sudah lebih dulu berkelebat dan menerjang si Jahanam Tua dengan kecepatan gerak yang cukup membingungkan. Orang tersebut bergerak ke sana-sini bagai bola memantul dari pohon ke pohon. Kehadirannya bukan tidak di ketahui oleh si Jahanam Tua, Tapi sangat di ketahui, karena Jahanam Tua segera Bersiap hadapi orang tersebut. Tapi gerakannya yang mencelat kesana-sini itu membingungkan mata si Jahanam Tua.
Orang tersebut akhirnya menggunakan pundak Santana sebagai tempat berpijak sekejap, lalu tubuh nya meluncur ke arah Jahanam Tua dengan bersalto satu kali. Ia melayang melewati kepala Jahanam Tua, dan ketika hendak mendarat kakinya menendang ke belakang seperti seekor kuda. Wuuut, buuuuhk....!
Tendangan itu tepat kenai punggung Jahanam Tua. Orang tersebut tersentak ke depan, terhuyung-huyung menahan keseimbangan tubuhnya. Pada saat itulah kaki Santana berkelebat menendang ke atas. Prrook...! Dagu orang tua itu terkena tendangan telak Santana hingga wajahnya terdongak dan tubuh nya melengkung ke belakang.
Santana segera sodokkan Toya ke ulu hati Jahanam Tua. Suuut....! Tapi gerakan tanpa melihat dari Jahanam Tua masih sempat menangkis sodokan Bambu kuning itu dengan menggunakan tongkat merahnya. Traaak...! Duaaarr...!
Ledakan keras terdengar mengejutkan. Tenaga dalam yang tersalur dalam tongkat masing-masing timbulkan ledakan keras yang mempunyai gelombang sentakan cukup kuat. Akibatnya pemuda itu terlempar ke belakang dan Jahanam Tua tumbang ke belakang pula, Namun hanya dua langkah dari tempat nya berdiri, sedangkan Santana Jatuh sejauh enam langkah dari tempat nya berdiri.
"Bangsat!" Teriak jahanam tua sambil segera bangkit dan membuka jurus siap perang. Ia memandang ke arah si pendatang yang ternyata adalah seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun.
"Hei, sepertinya aku pernah melihat perempuan itu?!" Ujar batin Suto sambil memandang heran ke arah perempuan berjubah hijau muda dengan kutang dan kain bawahan yang tipis warna merah jambu. Perempuan itu berwajah cantik, dengan tahi lalat di sudut dagu kirinya. Tubuhnya tampak sekali dan berdada montok.
"O, ya... Aku ingat Siapa dia!" Ujar Suto masih dalam batinnya. "Tapi apakah ia mampu kalahkan si Jahanam Tua?!"

*
* *

[:: 3 ::]

PEREMPUAN cantik yang rambutnya disanggul dan sisanya berjuntai di kanan-kiri telinga itu tak lain adalah Dewi Ranjang. la pernah dipergoki Suto Sinting sedang bercumbu dengan seorang pemuda belasan tahun ketika Suto dan Candu Asmara menuju ke kotaraja. Dewi Ranjang, yang dijuluki oleh beberapa orang sebagai janda liar pemburu kehangatan' itu juga hadir dalam pertarungan di Bukit Kecubung. sehingga ia tahu persis siapa orang yang berhasil tumbangkan si Hantu Urat Iblis itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: Tantangan Anak Haram").
Apa maksudmu ikut campur urusanku, Dewi Ranjang?!" bentak Jahanam Tua dengan wajah semakin berang. Karena kau terlalu bodoh, Jahanam Tua!" jawab Dewi Ranjang dengan berani, karena ia merasa gurunya berilmu lebih tinggi dari Jahanam Tua. 
Dulu nyawa si Jahanam Tua pernah diselamatkan oleh Nyai Dupa Mayat, gurunya Dewi Ranjang. Sampai sekarang Jahanam Tua sungkan dengan Nyai Dupa Mayat dan secara tidak langsung mengakui keunggulan ilmu Nyai Dupa Mayat. 
Jahanam Tua menggeram penuh kemarahan yang terpendam. Kalau saja Dewi Ranjang bukan muridnya Nyai Dupa Mayat, perempuan itu pasti telah dirobek mulutnya pelan-pelan tanpa dibius dulu karena telah mengecamnya sebagai orang bodoh. Jahanam Tua hanya memandang garang kepada Dewi Ranjang. Yang dipandang sempat melirik Santana. Pemuda itu masih menyeringai sambil duduk dibawah pohon, memangku tangan kirinya yang lumpuh akibat tendangan lawan tadi.
"Dewi Ranjang!" geram Jahanam Tua. "Kalau kau bukan murid si Dupa Mayat, kutumbuk hancur mulutmu dengan tongkatku, mengatakan 'bodoh' pada orang tua seenaknya saja!"
"Memang kau bodoh! Kau menyerang orang yang salah!"
"Apa maksudmu mengatakan aku menyerang orang yang salah?!" sentak Jahanam Tua.
"Kau ingin membunuh orang yang berhasil kalahkan si Hantu Urat Iblis?! Hmmm..! Bukan dia orangnya!" sambil Dewi Ranjang menuding Santana dengan senjata kipasnya yang sejak tadi berada ditangan. Kipas itu dalam keadaan terkatup dan sesekali dipakai mainan, dipukul-pukulkan ke telapak tangan kirinya.
"Aku tahu persis siapa yang tumbangkan si Hantu Urat Iblis, karena aku hadir dalam pertarungan diBukit Kecubung itu!"
"Dia mengaku sebagai orang yang berhasil tumbangkan si Hantu Urat Iblis!" sambil Jahanam Tua menuding Santana.
"Dia bohong! Mungkin hanya menggertakmu saja! Orang yang berhasil tumbangkan si Hantu Urat Iblis adalah seorang pendekar tampan yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk alias Suto Sinting!
Carilah orang itu jika kau ingin membunuh si penumbang Hantu Urat lblis!"
"Haruskah aku percaya dengan mulut dustamu itu, Dewi Ranjang?
"Tanyakan sendiri kepada Raja Gundalana atau putrinya yang bernama Rara Ayu Kumala itu!"
Setelah diam sesaat sambil memandang angker kepada Santana, Jahanam Tua akhirnya berkata kepada Dewi Ranjang.
"Memang sebenarnya aku ingin menuju ke kota raja untuk menanyakannya kepada Raja Gundalana. Tetapi tadi kulihat pemuda tampan itu dan kucoba seberapa tinggi ilmunya dengan melemparkan batu ke arahnya. Ternyata ia mampu hancurkan batu itu dengan bambu kuningnya itu. Kupikir dia berilmu lumayan dan memungkinkan sekali menjadi pembunuh si Hantu Urat iblis. Karena aku tahu, gurunya Santana juga bermusuhan dengan Hantu Urat iblis. Maka ketika dia mengaku sebagai pembunuh Hantu Urat Iblis, aku tak sangsi lagi dengan pengakuan nya!"
"Hmm.." Dewi Ranjang, sunggingkan senyum sinis. "Tua-tua masih saja bisa dikelabuhi kau!"
"Hentikan kecamanmu, Perempuan liar!" bentak Jahanam Tua.
Tapi Dewi Ranjang tak merasa gentar dan bahkan la ganti menggertak si Jahanam Tua dengan nada ketus dan sikap yang angkuh.
"Tinggalkan pemuda itu, dan jangan coba-coba ganggu dia lagi! Pergilah ke kotapraja dan tanyakan sendiri kebenaran kata-kataku tadi kepada raja dinegeri Bardanesya itu!"
Agaknya si Jahanam Tua tidak mau membuang- buang waktu. la segera pergi ke kotaraja untuk temui Raja Gundalana. la tak pedulikan lagi keadaan si murid Nyai Dupa Mayat dan Santana.
Tetapi bagi Pendekar Mabuk yang merasa jiwanya terancam oleh Jahanam Tua menjadi penasaran dan ingin menyusul si Jahanam Tua untuk tanyakan siapa yang dimaksud titisan Tapak Lintang itu? Setidaknya Suto ingin tahu, mengapa ia akan dibunuh, Hanya saja, perhatian Pendekar Mabuk segera tertuju pada si Dewi Ranjang dan Santana.
"Mengapa Dewi Ranjang membela Santana?!
Ada hubungan apa mereka sebenarnya?" tanya batin Suto Sinting. la tetap di atas pohon, di balik kerindangan daun pohon tersebut. Jaraknya tak terlalu jauh dari mereka, sehingga percakapan mereka dapat didengarnya tanpa menggunakan ilmu 'Sadap Suara' yang biasanya untuk menyadap pembicaraan orang dari jarak jauh itu.
"Siapa kau? Aku belum mengenalmu," ujar Santana sambil tersenyum kecut sambil menahan rasa sakit pada tangan kirinya.
"Aku sudah mengenalmu. Kau bernama Santana!!" jawab Dewi Ranjang dengan senyum menawan nya. Santana menatap mata Dewi Ranjang yang memandanginya tanpa berkedip itu.
"Da.. dari mana kau tahu namaku?"
"Jahanam Tua tadi menyebutkan namamu: Santana. Lalu, otakku mencatat nama bagus itu". 
Santana merasakan debaran aneh dalam Hati nya Debaran itu membuat hatinya ditaburi bunga-bunga indah. la semakin lebarkan senyum walau masih sambil menahan rasa sakit ketika Dewi Ranjang bersimpuh di sampingnya. "Tanganmu cedera! Jahanam Tua memang mempunyai tendangan maut. Tapi sebenarnya ia tidak sebanding jika melawanmu. Kau akan mudah dibunuh oleh si Jahanam Tua itu."
"Aow...!" Santana memekik ketika tangan kirinya dipegang dan sedikit diangkat oleh Dewi Ranjang. Melihat keadaan seperti itu, Dewi Ranjang tak jadi mengangkat tangan Santana yang maksudnya ingin diurut. Akhirnya ia hanya pandangi tangan itu sambil geleng-geleng kepala.
"Parah sekali! Jahanam Tua telah hancurkan urat-urat tanganmu ini. Tak akan bisa sembuh kecuali cacat seumur hidup."
"Jahanam Tua memang manusia cacat jiwa"
"Yang kumaksud, tanganmu itu yang akan cacat kalau tak segera disembuhkan sekarang juga."
"Betulkah begitu?!
"Aku tahu banyak tentang ilmu si Jahanam Tua.
Kalau gagal membunuh lawan, ia akan membuat lawan cacat seumur hidupnya. Tapi aku sanggup memulihkan tanganmu dan mengobatinya agar tak menjadi cacat!"
"Kau sanggup?! Oh, kalau begitu, tolong lakukan penyembuhan untukku, Dewi Ranjang. Dari mana kau tahu namaku Dewi Ranjang?
"Namamu memang indah dan mendesirkan hatiku." 
"Yang kutanyakan, dari mana kau tahu namaku Dewi Ranjang?!"
"Kudengar si Jahanam Tua menyebutkan namamu, dan hatiku segera mencatat nama indah itu"
jawab Santana menirukan pujian Dewi Ranjang tadi. Jawaban itu membuat Dewi Ranjang tertawa kecil dan mencubit pipi Santana.
"Apakah kau mengobati orang dengan cubitan seperti yang baru saja kau lakukan tadi?"
"Oh, bukan!" Dewi Ranjang kian mengikik geli.
"Aku hanya merasa gemas denganmu. Kau pemuda yang menggemaskan hatiku, Santana!"
"Aku juga gemas dengan tanganku ini Ingin ku buntungi saja rasanya," ujar Santana seakan tak pedulikan ucapan Dewi Ranjang tadi.
"Lepaskan rompimu!" perintah Dewi Ranjang
"Apa maksudmu, Dewi Ranjang?!"
"Aku akan salurkan hawa murniku untuk hilangkan rasa sakitmu dan pulihkan urat-urat lenganmu yang putus itu. Untuk salurkan hawa murniku, telapak tanganku harus ditempelkan ke punggungmu. Jangan ada pembatas apa pun. Karenanya, bukalah rompimu sekarang juga."
Santana mau melepaskan rompi, tapi ragu-ragu ia sempat nyengir dan berkata, "Malu, ah...."
"Kalau begitu, buka saja di balik semak sana. Mari kubantu jalan ke sana," ujar Dewi Ranjang setelah mendesak. Karena ia sudah berdiri lebih dulu dan mengulurkan tangannya, maka Santana pun menyambut tangan itu dan bangkit berdiri. Padahal tanpa bantuan tangan Dewi Ranjang ia masih bisa bangkit sendiri.
Dewi Ranjang menuntun Santana melangkah ke balik semak. Tempat itu memang tersembunyi, tak terbuka ngablak seperti di bawah pohon tadi. Tetapi Justru di balik semak itu mereka berada dalam jarak dekat sekali dengan pohon tempat Suto bersembunyi. Dari atas pohon Pendekar Mabuk dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukan Santana dan Dewi Ranjang.
Perempuan itu membantu melepaskan rompi dari belakang. Senyum yang tersungging di bibirnya yang sedikit tebal tapi menggairahkan itu mempunyai arti yang tidak sewajarnya. Senyum itu berkesan senyum kegirangan, seperti seekor kambing menemukan padang rumput yang hijau segar.
"Badanmu bagus sekali, Santana. Putih bersih dan.. tentunya sangat hangat," ujar Dewi Ranjang sambil mengusap pelan punggung pemuda itu.
Pendekar Mabuk sempat berdebar-debar melihat tangan Dewi Ranjang mengusap lembut punggung Santana, seakan setiap sentuhan kulit mereka diresapi betul oleh Dewi Ranjang maupun Santana.
"Santana tadi telah memandang mata Dewi Ranjang. la tidak tahu bahwa pandangan mata Dewi Ranjang mempunyai daya pikat tinggi yang mampu membuat lawan jenisnya tunduk dan menuruti gairahnya. Buktinya Santana tak menolak usapan lembut itu dan bahkan meresapinya. Berarti Santana telah dikuasai oleh daya pikat yang terpancar dari bola mata Dewi Ranjang. Pantas dulu Candu Asmara melarangku menatap kedua mata Dewi Ranjang. Rupanya siapa pun yang telah terkena ilmu pemikat dari mata Dewi Ranjang tak akan bisa menolak ajakan untuk bercumbu. Bahkan menjadi budak yang patuh menuruti perintah perempuan itu."
Pendekar Mabuk akhirnya putuskan untuk menyusul si Jahanam Tua. Karena dalam benaknya segera terlintas ingatan tentang 'wangsit' yang diterima Jahanam Tua melalui mimpinya. Suto ingin tanyakan, mengapa orang yang akan menyelamatkan titisan Eyang Tapak Lintang harus dibunuh? Rasa ingin tahu hal itu menjadi besar dan menyingkirkan hasrat ingin menonton adegan mesra Dewi Ranjang dengan Santana.
"Sialan! Ternyata mereka tak punya hubungan yang berkaitan dengan titisan Eyang Tapak Lintang. Ternyata Dewi Ranjang hanya ingin bercumbu dengan Santana." Suto pun mengeluh dalam hati. "Percuma saja aku melarang Santana untuk lakukan percumbuan.
Tampaknya dia juga tertarik dengan kecantikan Dewi Ranjang sebelum ia menatap mata perempuan itu Masalah ini tak terlalu penting, lebih penting mengejar si Jahanam Tua!" pikir Suto Sinting yang segera melesat tinggalkan tempat itu tanpa timbulkan suara. Zlaaap...!
la tidak melihat saat Dewi Ranjang mengobati Santana Telapak tangan perempuan itu ditempelkan di punggung Santana yang tak berompi.
Telapak tangan itu segera mengepulkan uap putih samar-samar seperti uap dingin dari sebalok es.
Santana sendiri duduk bersila dengan tegak dan pejamkan mata sambil tarik napas pelan-pelan, karena Dewi Ranjang memang menyuruhnya begitu.
Punggung putih itu menjadi berembun bagaikan keringat Makin lama punggung itu ditumbuhi busa es yang mengelilingi telapak tangan Dewi Ranjang.
Beberapa saat kemudian, Dewi Ranjang lepaskan tangannya. la menghembuskan napas panjang dan sedikit terengah-engah seperti habis melakukan perjalanan jauh. la duduk bersandar pada batang pohon Terkulai lemas di sana sambil masihpandangi Santana.
Pemuda itu berpaling ke belakang sambil menggerak-gerakkan tangan kirinya. Tanpa memandang Dewi Ranjang ia berkata,
"Lumayan juga..."
"Kalau kulanjutkan tenagaku bisa habis untuk mengganti kekuatan di lenganmu," ujar Dewi Ranjang.
"Kurasa urat-uratnya telah menyambung lagi. Dipakai bergerak tidak sesakit tadi. Tapi masih terasa ngilu."
"Butuh waktu beberapa hari untuk pulih seperti sedia kala"
Santana ingin mengenakan rompinya iagi, tapi Dewi Ranjang segera maju dalam keadaan berlutut.
"Tunggu sebentar. Kucoba untuk memasukkan hawa murniku lewat dadamu," ujarnya, kemudian ia menempelkan telapak tangannya ke dada bidang Santana Mata mereka saling beradu pandang.
Tatapan mata itu membuat Santana semakin berdebar-debar. Sepertinya ia sangat berhasrat sekali untuk mencium wajah Dewi Ranjang dan mengecup bibir perempuan itu. Santana akhirnya sunggingkan senyum yang enak dipandang oleh seorang perempuan sebaya Dewi Ranjang.
Telapak tangan yang semula ingin menjadi penyalur hawa murni itu akhirnya berubah fungsi. Tangan itu meraba lembut dada Santana. Pemuda itu ngan itu meraba lembut dada Santana. Pemuda itu membiarkannya karena merasakan desiran lebih indah ketika dadanya diraba pelan-pelan.
"Kau sudah beristri?" tanya Dewi Ranjang.
"Kau memang pantas menjadi seorang istri yang setia dan hangat," jawab Santana 'tulalit'.
"Jawablah pertanyaanku, kau sudah punya istri atau belum?"
"O, hmmm... belum. Aku belum punya istri."
"Punya kekasih?"
Hmmm... ya, memang seharusnya seorang kekasih melakukan hal seperti ini."
"Sudah punya kekasih atau belum?!" ulang Dewi ranjang sedikit kesal hati.
"Oh, anu... belum. Aku belum sempat punya kekasih. Tapi.. tapi ingin sekali punya kekasih."
"Untuk apa kau ingin punya kekasih?"
"Yaaah.. setidaknya secantik dirimu dan....
"Untuk apa kau ingin punya kekasih?!" ulang Dewi Ranjang lagi memperjelas pertanyaannya.
"Oh, hmmm..," Santana nyengir. "Untuk... yah, tentunya untuk bisa menjadi penghibur hatiku, penenang jiwaku, dan... dan untuk kunikmati kehangatan cintanya."
"Nikmatilah aku," Dewi Ranjang akhirnya berkata lirih dengan senyum kian menggoda. Tangannya bukan merayap ke dada lagi, tapi sudah turun ke perut. Ia mendekatkan diri dengan duduk bersimpuh di depan Santana.
"Nikmatilah aku, Santana. Kau tak ingin merasakannya?"
"Hmmm.. eehh... hhmm... iya, eh, anu... hmm...." Santana mulai gugup karena jantungnya berdetak keras dan cepat. Dadanya bergemuruh timbulkan getaran pada napas dan tubuh.
la masih dipandangi oleh sepasang mata sayu itu. Tatapan mata itu bagai membuatnya seperti patung bernyawa. Santana diam saja ketika sabuknya dilepaskan oleh Dewi Ranjang. Bahkan ketika tangan Dewi Ranjang menelusup lebih dalam lagi dan menemukan sesuatu yang hangat digenggam, Santana nyaris tak bisa bersuara sedikit pun. la hanya menggigit bibirnya sendiri dengan mata ikut menjadi sayu menikmati genggaman lembut tangan perempuan itu.
"Cium aku, Santana...," bisik Dewi Ranjang sambil lebih mendekat lagi.
Santana segera mencium pipi Dewi Ranjang.
Ciuman itu dilakukan dengan lembut dan hati-hati karena seluruh tubuh Santana semakin bergetar.
Namun agaknya si janda liar pemburu kehangatan itu tidak cukup hanya ciuman pipi. la pun segera menyodorkan bibirnya yang direkahkan sambil matanya terpejam samar-samar dan suaranya terdengar mendesah lirih.
"Kecup aku, Sayang... kecup aku.
Santana tidak bisa menolak. Walau hati kecilnya ingin hindari tantangan bercumbu itu, namun jiwa nya yang telah terjerat oleh ilmu pemikat si janda cantik itu membuatnya menjadi patuh dengan perintah tersebut.
Maka pelan-pelan Santana menempelkan bibirnya ke bibir Dewi Ranjang. Bibir itu dipagut dengan lembut, seakan dengan takut-takut. Sikap seperti itu membuat Dewi Ranjang makin kegirangan. Hatinnya kian menuntut pagutan yang lebih hangat.
Akhirnya ketika Santana memagut bibirnya dengan pelan sekali, bibir itu justru menyambar bibir Santana dan memagutnya dengan penuh gairah Santana tak bisa menghindari, seakan hanya bisa membiarkan bibirnya dilumat habis oleh Dewi Ranjang. Bahkan ketika tangan Dewi Ranjang meremas sesuatu yang sejak tadi dielusnya, Santana hanya bisa pejamkan mata kuat-kuat menahan desir kenikmatan yang sangat tajam itu.
"Kecup leherku.. lekas, kecup leherku, Santana.. pinta Dewi Ranjang sambil sodorkan leher dengan kepala mendongak. Tangan kirinya meraih kepala Santana dan sedikit menekan, hingga akhirnya Wajah Santana pun mendusal di sekitar leher Dewi Ranjang
"O0ouh.. indah sekali, Santana! Uuuh...! Teruskan ke bawah, Sayangku. Teruskanlah... jangan takut. Aku tak marah padamu. Aku justru menyukainya. Oouh..."
Dewi Ranjang justru melebarkan dada dan melepaskan kain penutup dada montoknya itu. Kepala Santana sedikit dipaksa agar menunduk dan akhirnya wajah Santana merapat di dada Dewi Ranjang. 
Perempuan itu berdiri dengan kedua lututnya sambil menuntun kepala Santana agar bergeser ke sana-sini dipermukaan dadanya. Salah satu ujung dada yang membengkak itu dipagut Oleh Santana. Suut..! Dewi Ranjang pun memekik keras dalam bentuk erangan kenikmatan.
"Ooouuuh.... Indah sekali, Santana! Uuuhhh,uuuh, uuuuhhhh...!" suara Dewi Ranjang meraung-raung ditikam seribu kenikmatan, karena Santana selalu melakukan apa yang diinginkan Dewi Ranjang.
Sayang sekali Suto Sinting tak sempat menyaksikan cumbuan panas kedua orang itu. Seandainya Suto melihat Santana akhirnya menikam Dewi Ranjang dengan senjata kemesraannya, mungkin Suto Sinting juga akan dapat rasakan desiran indah yang terjadi di dalam dadanya. 
Suto juga akan menilai Dewi Ranjang sebagai perempuan penuh fantasi, seandainya ia melihat Dewi Ranjang tak segan-segan merangkak sambil sesekali menengok ke belakang memandang wajah Santana yang dibungkus gairah menggebu-gebu itu. Keringat si pemuda mengalir keras membanjiri tubuhnya, dan Dewi Ranjang memacu semangat pemuda itu dengan celoteh dan erangan yang dilontarkannya.
Pada saat itu, yang ada dalam semangat Pendekar Mabuk hanya memburu Jahanam Tua sebelum tokoh aliran hitam itu tiba di kotaraja. Tetapi mampukah Suto Sinting mengejar Jahanam Tua jika Jahanam Tua sendiri menggunakan ilmu peringan tubuh hingga dapat melesat bagaikan badai berhembus?

*
* *

[:: 4 ::]

RUPANYA si Jahanam Tua memang belum sampai ke perbatasan negeri Bardanesya. la sengaja hentikan langkahnya di perjalanan karena melihat seorang gadis berjalan bersama guru nya. Jahanam Tua mengenali kedua orang tersebut.
Dari atas bukit cadas yang tak seberapa tinggi itu, Jahanam Tua lepaskan serangan jarak jauh dengan menyodokkan tongkatnya ke arah kedua orang tersebut. Wuuut..! Dari mulut ukiran naga yang. ada di tongkat itu melesat tiga keping benda mengkilat yang menerjang si gadis baju jingga. 
Zing zing, zing...!
Tiga keping logam putih itu bergerak memutar memercikkan cahaya merah samar-samar. Punggung si gadis berbaju buntung warna jingga itulah sasaran utama tiga keping logam itu. 
Namun sang guru yang berusia sekitar tujuh puluh tahun itu mendengar desing benda aneh mendekati punggung muridnya yang berjalan di samping kanannya.
Sang guru segera menarik lengan gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu. Wuuut....! Si Gadis bertukar tempat dengan gurunya, tapi ia terpelanting memutar di depan sang guru. Brruk...! Gadis itu pun jatuh terduduk dengan sangat terkejut . Sementara itu sang Guru memutar tubuh ke belakang dan hadangkan tongkatnya. Tiga benda yang mengarah ke dadanya berhasil ditangkis. Jrub,Jrub...! Dua keping logam itu menancap di tongkat sang guru, tapi yang satu keping melesat dari tongkat dan menancap di bawah pundak sang guru.
Zreb...!
"Aaakh..!" sang guru tersentak ke belakang, terhuyung-huyung sesaat sambil menahan sakit, kemudian jatuh terkapar dengan mulut ternganga bagai kehabisan napas.
"Guru...?! Oh, bertahaniah, Guru!" seru si gadis dengan wajah tegang, antara sedih dan berang.
Ketika Pendekar Mabuk tiba di tempat itu, si gadis telah terluka akibat bertarung melawan si Jahanam Tua. Dari mulutnya yang berbibir mungil indah itu mengeluarkan darah kental setelah dadanya berhasil disodok dengan ujung tongkat si Jahanam Tua. Gadis itu jatuh terpuruk di bawah pohon. Pendekar Mabuk memandang dengan tegang.
"Celaka! Gadis itu tak mampu lagi hadapi serangan si Jahanam Tua! Wah... matilah dia! Pasti mati sebelum rasakan ciumanku!"
Jahanam Tua tak memberi ampun kepada gadis itu. la mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi sambil berteriak dengan liarnya.
Habislah riwayatmu, Karina! Heeaaah.."
Tongkat berkepala naga itu memancarkan cahaya merah seperti besi membara. Pendekar Mabuk segera bertindak sebelum tongkat itu hancurkan Kepala gadis yang ternyata bernama Karina itu.
Zlaaap.....!
Claaap.....!
Sinar hijau dari tangan Pendekar Mabuk menghantam ujung kepala tongkat si Jahanam Tua. Blegaaarr....! Ledakan dahsyat terjadi dan membuat tubuh Jahanam Tua terpental sejauh tujuh langkah.
Tubuh itu melayang-layang dan jatuh terbanting dalam posisi telentang. 
Brrruuuk...!
"Aaaakhh...!"
Tubuh tua itu mengejang kaku sambil wajahnya menyeringai kesakitan. Tetapi tongkatnya masih tetap utuh, hanya saja sinar merah şeperti besi membara itu menjadi padam karena kalah tangguh de-
ngan jurus pukulan 'Guntur Perkasa'-nya Pendekar Mabuk tadi.
Rupanya yang membuat Jahanam Tua kesakitan bukan karena tubuhnya terbanting di tanah berbatu, melainkan karena sinar ledakan yang menyebar tadi telah timbulkan daya hentak cukup besar.
Dada si Jahanam Tua seperti dihantam dengan sebongkah besi baja sangat keras. Tulang dadanya terasa remuk dan kulit dadanya bagai ingin meleleh karena panas. Napas si Jahanam Tua pun menjadi
sangat sesak, nyaris tak dapat dihela lagi.
"Keparat busuk! Siapa pemuda itu?! Tenaganya besar sekali. Uuuhf..., pandangan mataku jadi buram. "Celaka! Sebentar lagi aku tak bisa bernapas Karena bagian dalam dadaku rusak oleh daya ledak tadi!" gerutu Jahanam Tua dalam hatinya. la memandangi Suto Sinting dengan mata dikerjap-kerjapkan. "Ouuhf... darahku terasa berhenti mengalir. Bahaya! Aku harus segera pulihkan keadaanku Ini! Tak mungkin lepaskan balasan sekarang! Kekuatan tenaga dalam ku pada tongkat telah memantul balik dan menghantamku lebih besar dari aslinya. Aakh...Gila! Aku harus segera pergi dari sini sebelum ia menyerangku lagi!"
Blaasss...! 
Jahanam Tua melesat tinggalkan tempat dengan kerahkan seluruh tenaganya yang tersisa. Kepergian itu hanya dipandangi oleh Suto Sinting, karena dalam pertimbangannya, jika ia mengejar si Jahanam Tua maka gadis bernama Karina itu akan kehilangan nyawa. Karena menurut dugaan Suto, gadis itu terluka parah bagian dalam tubuhnya. 
Mau tak mau ia harus menolong Karina lebih dulu sebelum mengejar Jahanam Tua.
Namun setelah Suto Sinting nanti berhasil selamatkan nyawa Karina, apakah ia tetap lanjutkan pengejarannya kepada si Jahanam Tua? Hati kecil Suto sendiri tak dapat memastikan, sebab gadis itu mempunyai raut wajah yang cantik jelita bagai boneka kencana. Hidungnya kecil tapi mancung, bibirnya juga mungil menggemaskan bak kuncup mawar. Matanya bundar indah dengan bulu mata yang lentik dan lebat.
Karina mempunyai rambut sedikit ikal yang panjangmya sepunggung. Tadi rambut itu digulung naik dan dijepit dengan tusuk konde dari kayu coklat muda. Kayu ltu menyebarkan aroma cendana. Ketika ia
Jatuh akibat tendangan Jahanam Tua, jepitan rambutnya terlepas dan meriap menutupi sebagian wajahnya.
"Ia Justru tampak lebih cantik dalam keadaan rambutnya acak-acakan begitu. Menggarahkan!" Ujar Suto Sinting dalam hatinya sambil meminumkan Tuak ke mulut Karina.
Mulanya gadis itu menolak, tapi setelah dibujuk oleh Suto Sinting, ia mau juga meneguk tuak tersebut. la tak yakin kalau tuak itu dapat sembuhkan luka seperti kata-kata Suto dalam bujukannya.
"Minumlah tuak ini, maka lukamu akan sembuh dan kau akan menjadi sehat dalam waktu singkat!
Hatinya mengatakan, "Terlalu tinggi bualanmu!"
Tapi setelah ia meneguk tuak Suto tiga kali, dalam lima hitungan saja ia sudah mulai dapat rasakan khasiat tuak saktinya Suto itu. Rasa panas di dadanya cepat menjadi reda. Napasnya yang tadi sesak menjadi longgar. Pandangan matanya yang sedikit buram segera terang kembali dalam sepuluh hitungan.
Pendekar Mabuk tak melihat saat gurunya Karina terkena senjata rahasia yang keluar dari tongkat si Jahanam Tua itu. Tahu-tahu ia ingat seorang kakek berjenggot dan berkumis putih yang terkapar di depan semak belukar itu. Maka Suto pun segera hampiri orang tua berjubah lengan panjang warna hijau kusam itu.
Pendekar Mabuk berjongkok dan memeriksa denyut nadi di bagian leher sang guru itu. Pada saat bersamaan, Karina sudah dapat berseru dan segera berlari ke arah gurunya.
"Guruuu..!".
Gadis tu berwajah tegang ketika tiba di Samping gurunya yang tak bergerak sedikit pun. Mata nya menatap Pendekar Mabuk yang sedang Memandanginya sambil masih memegang denyut nadi di leher sang Guru.
"Dia... hmmm... dia terkena senjata rahasia beracun ganas!" ujar Karina dengan gusar.
"Ya, aku melihat luka di bawah pundaknya itu. Mungkin senjata itu terbenam seluruhnya ke dalam tubuh... tubuh... dia gurumu?!"
"Ya, dia guruku!"
"Denyut nadinya masih ada."
"Oh, tolonglah dia! Tolong sembuhkan dia seperti kau menyembuhkan diriku ini!" pinta Karina dengan mendesak.
"Mulutnya terkatup, mana bisa menerima tuakku?"
"Hmmm..., eeeh...," gadis itu tampak panik. "Bagaimana kalau dingangakan?! Aku yang mengangakan kau yang menuangkan tuakmu itu!"
"Tapi keadaannya pingsan. Tak bisa menelan tuak."
"Ooh... lalu harus bagaimana?! Tegakah kau biarkan guruku tewas karena racun ganas itu?"
"Biar saja. Dia kan gurumu, bukan guruku," jawab Suto Sinting seenaknya, sengaja menggoda sigadis dengan jawaban konyolnya.
"Manusia kejam kau!" geram Karina yang membuat Suto Sinting berdebar senang melihat wajah berang si cantik berbibir menggemaskan itu.
"Aku hanya bercanda!" ujar Suto Sinting. "Kurasa gagasanmu itu memang benar. Kau buka mulutnya dan kutuangkan tuak ke dalam mulut itu! Lakukanlah sekarang juga sebelum racun itu merenggut nyawanya!"
Karina buru-buru membuka mulut gurunya seperti membuka besi jebakan rusa. Kraakk..!
"Husy! Jangan keras-keras nanti tulang rahang nya lepas!" ujar Suto Sinting sambil tertawa geli melihat gadis itu terlalu kasar mengangakan mulut gurunya akibat rasa paniknya.
Mulut sang guru telah terbuka sedikit. Suto Sinting segera menuangkan tuaknya pelan-pelan. Tuak mengucur jatuh ke dalam mulut. Si gadis mengguncang-guncang kepala sang guru.
"Kenapa kau guncang-guncang kepalanya?
"Biar tuaknya mengalir masuk ke dalam kerongkongannya!" jawab si gadis dengan cepat tampak gugup sekali. la bahkan mengangkat tubuh gurunya agar bisa duduk, lalu tubuh itu diguncang-guncang nya lagi. Bruuuk, ubruk, ubruk...!
"Hei, hei... bisa rontok tulang gurumu kalau kau guncang-guncang begitu!" cegah Suto Sinting.
"Biar tuaknya masuk ke dalam tubuhnya!"
"Kau ini seperti orang sedang mencuci botol kosong saja?!" gerutu Suto Sinting sambil membaringkan si guru. "Buka lagi mulutnya, akan kutuangkan kembali tuakku biar banyak yang tertelan oleh beliau."
Karina yang cemas sekali itu lakukan hal yang sama seperti tadi. Jari tangannya mendesak masuk ke mulut sang guru, meraih gigi dan merenggangkan. Tuak segera dituangkan kembali oleh Suto
Sedikit demi sedikit. Setelah mulut itu penuh tuak penuangan pun dihentikan. Karina melepas mulut gurunya, mulut itu terkatup kembali. Kluuuk.....!
"Aaaoww...!" Karina memekik keras.
"Kenapa?!" tanya Suto sambil tertawa walau ia tahu apa yang terjadi.
"Ouh...! Tolong ini... jariku tergencet gigi Guru!"
sambil Karina tak berani dicabut tangannya begitu saja. Suto Sinting semakin geli pandangi jari telunjuk Karina yang tergigit gigi sang guru bagai terkena jepretan tikus.
"Makanya... lain kali minta maaf dulu kalau mau memegang mulut Guru," ujar Suto setelah berhasil melepaskan jari Karina. "Kau sembarangan saja. Tahu-tahu kedua tanganmu merenggangkan mulut guru sendiri. Itu namanya kualat! Mulut Guru diobok-obok seenaknya."
Karina ingin membantah, bahwa ia sudah minta maaf dan minta izin dalam hatinya sebelum lakukan hal itu. Tetapi niatnya membantah diurungkan karena ia melihat luka sang guru mengepulkan asap tipis. Kejap berikutnya sekeping logam yang terbenam di tubuh sang guru itu meloncat keluar. Pluuk...!
Logam berbentuk piringan bergerigi sebesar tutup botol itu jatuh di lengan sang guru hingga dapat dilihat dengan jelas. 
Tapi yang menjadi pusat pandangan mata Karina adalah luka sang guru yang segera mengatup dan darahnya bagaikan menguap dengan sendirinya, lalu darah yang berceceran itu pun lenyap dan luka tersebut menjadi rapat. Makin lama makin tak terlihat. Akhirnya sang guru seperti tak pernah terluka sedikit pun.
Setelah siuman, sang guru mengaku badannya terasa lebih segar dari sebelum terkena senjata rahasia tadi. Sang Guru yang mengaku bernama Ki Dharmapala segera pandangi Suto dan ia mulai kenali siapa pemuda tampan yang membawa bumbung tuak. la kenali ciri-ciri itu, sehingga ia dapat menerka bahwa pemuda yang menyelamatkan muridnya dan dirinya sendiri itu adalah si Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting.
Ki Dharmapala yang mempunyai julukan: si burung Bengal segera berkata Kepada Suto Sinting,
"Beruntung sekali kau lewat sini, Suto. Jika tidak, mungkin aku dan muridku mati di tangan si Jahanam Tua itu. Kami merasa berhutang budi padamu dan tak tahu dengan apa harus membalasnya.
"Dengan sendirinya saja, Ki," ujar Suto Sinting sengaja berkelakar untuk menutupi rasa tak enaknya menerima sikap serendah itu dari orang setua Ki Dharmapala alias si Burung Bengal itu.
"Mungkin Kakek Sabawana atau si Gila Tuak masih ingat padaku, karena kami dulu pernah saling membantu dalam mengusir Rampok Laut Mati dari Pantai simbaran," ujar si Burung Bengal. "Waktu itu, aku masih berusia dua puluh delapan tahun. Bukan hanya kami berdua yang mengusir Rampok Laut Mati. tapi juga beberapa tokoh seangkatan; seperti Sanupati alias si Tua Bangka, Cakradayu, Parangkara, yang sekarang menjadi Resi, juga si Pakar Pantun yang menjadi Resi pula dan beberapa orang lainnya.
"Kebetulan nama-nama yang kau sebutkan Adalah orang-orang yang ku kenal semua,Ki Dharmapala," Sahut Suto Sinting.
Kalau begitu sampaikan salamku kepada beliau jika kalian bertemu dengan mereka."
"Pasti akan kusampaikan, Ki," ujar Suto Sinting sambil sebentar-sebentar melirik ke arah Karina yang diam-diam sering mencuri pandang dari balik pundak gurunya.
"Tapi kalau boleh kutahu, mengapa Ki Dharmapala dan Karina terlibat bentrokan dengan si Jahanam Tua itu?" tanya Suto Sinting.
"Dia tetap menganggapku anak iblis," sahut Karina dengan wajah menampakkan dendamnya kepada si Jahanam Tua.
"Persoalannya bukan hanya itu saja, Muridku," ujar si Burung Bengal. "Hmmm... sebaiknya kita bicara di pondokku saja, Pendekar Mabuk. Kebetulan juga hari sudah mulai senja. Barangkali kau butuh istirahat untuk lanjutkan perjalanan ke...."
"Aku hanya ingin memburu si Jahanam Tua itu tadi" sahut Suto Sinting. "Kalau bukan karena melihat Karina terluka berbahaya dan Ki Dharmapala dalam keadaan tubuh gawat sekali, mungkin orang itu sudah kukejar!"
"O, rupanya kau punya masalah dengan si Jahanam Tua?!" si Burung Bengal merasa heran. "Kalau boleh kutahu, persoalan apa hingga kau bermasalahbdengan si Jahanam Tua itu, Suto?!"
"Dia ingin membunuhku sebagai orang yang
menurutnya akan menjadi penyelamat bagi titisan Eyang Tapak Lintang."
"Ooh...?!" Karina dan gurunya terkejut, pandangan mata mereka semakin tajam.
Suto masih cuek dengan keterkejutan kedua orang itu. la lanjutkan ucapannya yang tak ingin terpotong oleh suara apa pun. Padahal aku sendiri tak tahu, siapa orang yang dimaksud sebagai titisan Eyang Tapak Lintang yang sedang mencari Pedang Jagal Keramat itu. Sebab...."
"Tunggu dulu!" sergah Ki Dharmapala dengan wajah semakin tegang.
"Kumohon jangan keras-keras menyebutkan nama pedang pusaka itu, Suto."
"Mengapa kau tampak cemas sekali, Ki?"
"Hmmmm, ehh, persoalan..."
"Sebaiknya kita segera pulang ke pondok saja Guru!" potong Karina dengan nada berkesan cemas.
Akhirnya sang guru pun menawarkan hal serupa kepada Pendekar Mabuk.
"Memang sebaiknya kita bicara di pondok saja, Suto. Mungkin banyak yang akan kita bicarakan. Di sana kita bisa bicara dengan aman."
"Dengan aman?!" gumam hati Suto. la merasa heran, mengapa kelihatannya Karina dan Gurunya menyimpan kecemasan yang dirahasiakan? Ada Apa sebenarnya dengan mereka berdua ini.

*
* *

[:: 5 ::]

PONDOK Ki Dharmapala dibangun dengan kayu-kayu sebesar paha. Mempunyai pagar keliling menyerupai benteng dari kayu yang di tata rapi dan rapat. Berkesan Kokoh. Halamannya cukup luas, dan mempunyai tempat berlatih silat bagi muridnya.
Menurut pengakuannya, si Burung Bengal pernah mempunyai tiga orang murid, dua lelaki dan satu perempuan. Yang perempuan adalah Karina Larasita, dan merupakan satu-satunya murid yang masih hidup. Kedua murid lelaki si Burung Bengal tewas
di tangan tokoh aliran hitam dari seberang. Tokoh tersebut telah tewas juga oleh pihak lain. Kini tinggal Karina Larasita sebagai murid sekaligus dianggap cucu sendiri bagi Ki Dharmapala.
Hampir seluruh ilmu si Burung Bengal selesai dipelajari oleh Karina. Tak heran jika gadis semuda itu sudah mempunyai ilmu yang cukup tinggi untuk ukuran gadis seusianya. Setidaknya begitulah pendapat si Burung Bengal membanggakan muridnya.
Pondok yang dibangun dua lantai itu mempunyai penerangan dari bahan bakar minyak jarak dan minyak kelapa. Kebetulan di kaki Bukit Semayam terdapat banyak pohon jarak di sela-sela pohon kelapa, sehingga buah kedua pohon itu dapat dijadikan minyak untuk penerangan pada malam hari.
Pondok itu bukan pondok yang terpencil. Kaki Bukit Semayam merupakan pedesaan yang tak bertuan. Sebuah desa yang tidak punya kepala desa dan tidak masuk wilayah kadipaten atau negeri mana pun. Mereka yang tinggal di kaki Bukit Semayam pada umumnya adalah orang-orang pendatang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, dan akhirnya membangun rumah di tanah tak bertuan itu.
Sekalipun jarak dari rumah ke rumah cukup jauh, namun mereka saling kenal satu dengan yang lain. Dan mereka menaruh hormat kepada Ki Dharmapala yang tidak mau sembarangan mengangkat murid dan mewariskan ilmunya. Tetapi jika terjadi suatu bahaya, pada umumnya mereka meminta bantuan si Burung Bengal atau murid cantiknya; Karina Larasita.
Ruang bawah mempunyai dipan lebar setinggi satu betis. Biasa untuk mewejang diri bagi Ki Dharmapala, tapi juga sering berubah fungsi sebagai tempat tidur si Burung Bengal itu. Sedangkan ruang di lantai atas dipakai untuk kamar pribadi Karina. Disanalah Karina sering merenung seorang diri, bak seorang gadis merindukan datangnya seorang kekasih yang sesuai dengan harapan hatinya. Namun sampai sekarang, gadis itu tak pernah mendapatkan pria yang benar-benar tuius mencintainya dan sesuai dengan harapan hati. Bahkan ia pernah dua kali dikecewakan oleh seorang pemuda yang sampai sekarang meninggalkan dendam di hatinya.
Di ruang bawah itulah, Pendekar Mabuk duduk bersama Ki Dharmapala, sementara Karina yang cantik jelita itu sibuk menyiapkan hidangan malam di dapur.
"Pertemuan kita ini seperti sudah diatur oleh dewata. Pada saat Karina butuh seorang pelindung yang sebayanya, kau muncul di antara kami. Dan kurasa memang hanya kaulah orang yang cocok mendampingi Karina."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kikuk.
"Aku tak mengerti maksudmu, Ki Dharmapala."
"Karina butuh seorang pendamping dalam mencari Gua Perawan Maut."
Dahi pemuda itu berkerut heran. "Gua Perawan Maut?!" gumamnya lirih sepertí bicara pada diri sendiri. Tanpa diminta si Burung Bengal jelaskan tentang tempat yang dimaksud.
"Karina kehilangan seorang ayah ketika ia masih berusia tiga bulan di dalam kandungan seorang ibu. Ayahnya seorang putra raja Mandalika, yang tewas di dalam pertempuran memperebutkan wilayah kekuasaan negeri Mandalika. Pada waktu itu, si Jahanam Tua masih menjabat sebagai penasihat raja Mandalika. Ketika diketahui bahwa menantu perempuan sang raja hamil, mereka menyangka kehamilan itu akibat perbuatan zina Rukmina dengan seorang lelaki tak dikenal."
"Siapa Rukmina itu?"
Nama ibunya Karina," jawab si Burung Bengal dengan suara pelan. "Rukmina membantah tuduhan itu. Mereka tidak percaya bahwa Rukmina hamil pada saat suaminya gugur di pertempuran. Akibatnya, Rukmina diusir dari istana dan dianggap sebagai Rerempuan yang mengandung bayi iblis. Pengusiran itu akibat bujukan Jahanam Tua kepada sang Raja.
la pandai mempengaruhi sang raja, Sehingga apa yang dikatakannya selalu dituruti dan dipercaya oleh sang raja. Di balik fitnah tentang si anak iblis itu, ternyata Jahanam Tua menaruh hati kepada Rukmina dan ingin menjadikan Rukmina sebagai perempuan pemuas gairahnya."
"Bejat juga si Jahanam Tua itu!" geram Suto Sinting.
"Memang sejak muda, sejak ia masih memakai nama aslinya sebagai Burangrang, ia sudah berjiwa sesat, berwatak licik dan dengki."
Suto Sinting menggumam lirih dan manggut-manggut tak kentara. "Lalu, bagaimana dengan nasib Rukmina itu, Ki?" tanyanya, mengembalikan percakapan semula.
"Rukmina kutemukan terkapar dalam keadaan mau melahirkan. Akhirnya kubawa ke seorang kenalanku yang menjadi dukun bayi. Rukmina melahirkan bayinya dengan selamat, dan bayi itu diberi nama: Karina Larasita. Sejak itu Rukmina dan bayinya hidup bersamaku. Dia kuanggap cucuku Sediri. Pada usia empat tahun, Karina kehilangan ibunya. Sang ibu tewas terkena senjata beracun. Dan tak diketahui siapa pembunuhnya. Tapi dugaanku pembunuhnya adalah si Jahanam Tua itu, karena dia pandai bermain racun ganas. Tapi karena tak ada bukti dan saksi yang kuat, aku tak berani memastikan dialah pembunuhnya. Dan hal itu tak pernah kuceritakan kepada Karina." suara Ki Dhara semakin lirih.
"Lalu apa hubungannya dengan Gua Perawan Maut itu?" tanya Suto setelah Ki Dharmapala Hentikan ceritanya sesaat.
"Rukmina perempuan yang gemar lakukan semadi. Hampir tiap malam, setelah Karina tertidur, Sang ibu segera mandi dan lakukan semadi di dalam kamar atau di luar rumah. Sebelum fajar menyingsing, ia baru hentikan semadinya."
Pandangan mata Ki Dharmapala tampak menerawang, bagai mengenang masa hidup ibu Karina. Suto Sinting sengaja diam tak memotong kata sedikit pun, karena ia ingin menyimak baik-baik tentang Gua Perawan Maut itu.
"Tujuh hari sebelum kematian Rukmina, ia berkata padaku, bahwa ia selalu mendengar suara orang yang memerintahkan datang ke Gua Perawan Maut. Tak diketahui siapa pemilik suara itu, tapi pada hari kelima ia mendengar suara tersebut mengaku bernama si Tapak Lintang...."
Suto Sinting terperanjat, duduknya menjadi tegak. Matanya menatap Ki Dharmapala dengan tajam. Pak tua itu hanya melirik Suto sebentar, lalu lanjutkan ceritanya lagi.
"Hari ketujuh, Rukmina mengaku sukmanya bagai dibawa terbang oleh seorang lelaki tua, lebih tua dariku. Lelaki itu mempunyai tato bintang di kedua telapak tangannya. Rukmina merasa seperti dibawa
ke sebuah gua penuh cahaya lilin.. Di dalam gua itu ada sebilah pedang panjang yang ditancapkan di tanah. Pedang tersebut tingginya melebihi tinggi Rukmina sendiri. Rukmina mendengar lelaki tua yang mengaku bernama Tapak Lintang, itu menyebutkan nama pedang tersebut adalah Pedang Jagal Keramat."
Jantung Suto Sinting semakin berdetak-detak keringat dingin mulai keluar karena sangat tegang.
"Satu hari setelah Rukmina ceritakan hal itu padaku, ia kudapatkan tewas di kaki bukit ini. Lalu kubangun pondok di dekat makamnya..."
"Di mana makamnya?"
"Di belakang rumah ini," jawab Ki Dharmapala membuat Suto Sinting makin terperanjat. Suto Sinting merasakan ada getaran aneh yang membangkitkan rasa takutnya. Rasa takut itu tak pernah ada pada diri pendekar muda tersebut. Namun sekarang rasa takut itu tumbuh membayang-bayangi jiwanya, membuat hati kecilnya sendiri merasa heran, "Mengapa aku tiba-tiba menjadi takut?"
Sebenarnya yang tumbuh di hati Pendekar Mabuk bukan rasa takut seperti layaknya orang takut dengan setan, tuyul, atau sebagainya. Rasa takut itu timbul akibat ia mulai mendekati pertanyaan batin tentang misteri si Tapak Lintang itu. Ketika pertanyaan batin itu sudah hampir mendekati jawaban, maka debar-debar yang hadir adalah debar-debar ketegangan. Dan ketegangan yang bercampur dengan harapan menggebu-gebu itulah yang menibulkan rasa aneh. Rasa aneh itu dipahami nya sebagai rasa takut. Ki Dharmapala berkata lagi sebelum Karina muncul
"Malam sebelum Rukmina meninggal, ia sempat berkata kepadaku, bahwa ia bertekad untuk mencari Gua Perawan Maut yang menjadi tempat kediaman si Tapak Lintang itu. Jika ia gagal, anaknya kelak jika sudah mencapai usia tujuh belas tahun lebih harus Mencari Gua Perawan Maut itu, karena di dalam gua tersebut ada pedang pusaka yang ingin diwariskan kepadanya. Jika ia gagal, maka anaknya yang akan menjadi pewaris pedang tersebut." 
Suto Sinting menggumam dalam hati, "Menarik sekali peristiwa ini!"
"Pada mulanya kuanggap Rukmina mengigau, dalam arti; hanya berandai-andai. Tetapi setelah aku bertemu dengan seorang sahabatku yang bernama Jumantara alias si Jambul Haha...."
"Siapa, Ki? Jambul Haha...?! Apakah maksud Ki Dharmapala adalah tokoh berambut hitam yang bagian depannya berwarna putih dari Pantai Porong itu?!" sergah Pendekar Mabuk, karena ia ingat nama itu pernah menjadi masalah baginya. Masalah misterius yang membuatnya kala itu sempat menjadi bingung sendiri.
Benar. Apakah kau pernah bertemu dengannya?"
"lyy... iya, pernah. Belum lama ini. Tapi...."
"Aneh. Belum lama ini?!" Ki Dharmapala menerawang dalam keheranannya. Suto Sinting mengetahui keheranan itu dan segera jelaskan bahwa ia pun mendapat penjelasan dari Eyang Panembahan Panca Lingga adik si Jambul Haha, bahwa tokoh berambut putih bagian depannya itu sudah meninggal tujuh tahun yang lalu. Ki Dharmapala membenarkan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Cantik").
Si Burung Bengal segera menyimpan keanehan itu dalam hatinya. la lanjutkan kata-katanya tadi. Waktu itu si Jambul Haha masih hidup, dan kutanyakan tentang Gua Perawan Maut itu Menurutnya, gua itu memang ada. Tapi ia tak tahu di mana letaknya. Hanya saja, ia pernah jumpa dengan si Tapak Lintang yang juga disebut si Mata Putih, karena kedua matanya tak mempunyai manik hitam, tapi ia bisa melihat dengan jelas, seperti halnya kedua mata kita ini."
Pendekar Mabuk terbayang wajah Eyang Tapak Lintang. la pun ingat bahwa kedua bola mata petapa tua itu tidak mempunyai manik hitam sehingga seperti orang buta. Namun sebenarnya kedua mata itu dapat digunakan secara normai.
"Jambul Haha juga mengatakan bahwa Tapak Lintang mempunyai sebuah pusaka bernama Pedang Jagal Keramat. Maka kusimpulkan, apa yang dikatakan Rukmina sebelum tewas itu memang sesuatu yang benar. Karenanya, kami berdua tadi terkejut ketika kau menyebutkan nama Eyang Tapak Lintang dan Pedang Jagal Keramat. Sebab menurut keterangan dari Jambul Haha, Tapak Lintang adalah petapa sakti yang sudah tidak pernah tampil dirimba persilatan. Dalam silsilahnya, Jambul Haha mengtakan bahwa Tapak Lintang adalah kakek buyutnya seorang raja."
"Ooo...." Suto Sinting manggut-manggut lalu keduanya diam beberapa saat sampai munculnya Karina yang membawa hidangan untuk santap malam. Sambil menikmati santap malamnya, 
Suto Sinting sering terlihat melamun, pandangan matanya kosong bagai sedang menerawang ke suatu tempat. Karina sering menegur dengan colekan tangan kirinya atau teguran pendek yang membuat Pendekar Mabuk tampak tersipu berkali-kali.
"Ketika kami bertemu dengan.Jahanam Tua tadi," ujar Ki Dharmapala, "Kami baru pulang dari kediaman sahabatku; si Jalu Kuping, menanyakan tentang letak Gua Perawan Maut. Tapi ternyata Jalu Kuping tidak mengetahui tempat itu, namun mengakui bahwa dulu pernah ada seorang tokoh petapa sakti yang bernama Tapak Lintang."
"Aku juga kenal dengan Ki Jalu Kuping yang tinggal di Lereng Kunyuk, di Gunung Dara," ujar Suto Sinting membuat si Burung Bengal dan Karina memandang dan manggut-manggut dengan rasa kagum. Ternyata pendekar muda itu punya pengalaman cukup luas, menurut mereka. Suto pun menceritakan secara singkat pertemuannya dengan Ki Jalu Kuping, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Jarum Surga").
Kini giliran Karina yang perdengarkan suaranya setelah acara santap malam bersama itu usai. Gadis itu ikut duduk bersila di atas balai-balai bambu berukuran lebar itu. la berbicara kepada gurunya.
"Guru, kalau menurut dugaan Ki Jalu Kuping, kita disarankan untuk mencari Gua Perawan Maut ke lereng Gunung Kundalini. Kurasa aku harus mencobanya mencari ke sana, Guru!"
"Kau akan gagal, Karina!" sahut Pendekar Mabuk.
Karina memandang dengan dahi berkerut. SiBurung Bengal segera ajukan tanya,
"Dari mana kau yakin kalau dia akan gagal jika mencari di Gunung Kundalini?!".
"Gua itu tidak ada di sana. Karina hanya akan bertemu dengan seorang wanita petapa Juga yang bernama Betari Ayu!
"Kau kenal dengan petapa itu?" tanya Karina.
"Sangat kenal, sebab.." Suto Sinting tak Jadi lanjutkan kata-katanya, ia takut membuat hati Karina kecewa.
Betari Ayu bukan orang asing lagi bagi Pendekar Mabuk. Perempuan cantik yang mengasingkan diri menjadi petapa di Gunung Kundalini itu adalah kakak kandung dari Dyah Sariningrum, calon istrinya. Karena itu, Suto tak mau sebutkan siapa Betari Ayu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode "Murka Sang Nyai"). Akhirnya agar tidak menimbulkan kecurigaan batin, Suto tetap lanjutkan kata-katanya dengan kalimat sederhana.
"Sebab aku pernah bertemu dengan Betari Ayu, ketika aku melewati lereng Gunung Kundalini."
"Hmmm.," Karina menggumam dan angguk-anggukkan kepala. "Tapi kurasa tak ada jeleknya jika kutanyakan tentang gua itu kepada beliau?!"
Suto Sinting gelengkan kepala. "Gua Perawan Maut tak ada di mana-mana. Gua itu hanya ada di lereng Gunung Brahmana."
Si Burung Bengal kerutkan dahi. "Dari mana kau tahu?"
Pendekar Mabuk semula ragu menceritakan pengalaman misterlusnya itu,. la takut kata-katanya tak dipercaya, dan dianggap Pembual Mabuk, bukan Pendekar Mabuk. Namun setelah dipertimbangkan beberapa saat, akhirnya ia mencoba memancing keyakinan mereka dengan suara pelan.
"Aku pernah masuk ke gua tersebut."
"O, ya...?!" sergah Karina dengan pandangan mata berbinar-binar namun wajahnya tampak tegang. "Apakah kau menemukan pusaka Pedang Jagal Keramat di dalam gua itu?!"
Pertanyaan itu menunjukkan rasa percaya dihati Karina terhadap apa yang dikatakan Suto. Karenanya, Suto Sinting pun berani lanjutkan penjelasannya dan tak keberatan untuk ceritakan kembali pengalaman anehnya di dalam gua tersebut.
Aku hanya bertemu dengan Eyang Tapak Lintang. Beliau sempat bicara padaku."
"Tentang pedang itu?!"
"Pedang itu telah hilang, dicuri seseorang"
"Tunggu dulu," sergah si Burung Bengal. "Kau bertemu dengan si Tapak Lintang?! Rasa-rasanya itu tak mungkin. Rukmina pernah mengatakan padaku, bahwa Tapak Lintang bicara padanya tentang alam kelanggengan. Tapak Lintang mengaku sudah berada di alam keabadian, dan itu berarti dia sudah meninggal dunia. Tidak hidup lagi di alam kita ini!"
"Aku percaya, Ki! Aku sependapat denganmu. Karena setelah kulihat bekas tempat pedang ditancapkan yang membentuk lubang besar itu, aku segera, berpaling ke arahnya untuk mengatakan sesuatu. Tetapi pada saat itu pula aku terkejut sekali. Eyang Tapak Lintang sudah tidak ada, yangada hanya tulang belulang yang telah dililiti benang laba-laba"
"Ajaib sekali!" gumam Ki Dharmapala dengan wajah penuh kekaguman yang menegangkan.
"Antarkan aku ke sana, Suto!" tiba-tiba Karina bicara penuh semangat. "Aku harus menggantikan ibuku untuk datang ke Gua Perawan Maut itu!"
"Untuk apa?" tanya Suto Sinting dengan kalem.
"Kau tidak akan menemui apa-apa di sana, selain hanya kerangka lapuk dan lubang bekas pedang menancap. Pedang itu telah dicuri orang."
"Siapa pencurinya?!"
Itu yang belum kuketahui!".ujar Suto Sinting.
Tapi yang jelas, beliau mengharap agar aku membantu titisannya untuk dapatkan Pedang Jagal Keramat itu."
"Titisannya?" gumam Ki Dharmapala bersama-sama dengan muridnya. Lalu, sang murid lanjutkan kata dalam bentuk tanya kepada Pendekar Mabuk.
"Siapa titisannya itu, Suto?"
"Kalau kutahu, aku tak akan mengejar Jahanam Tua. Karena agaknya Jahanam Tua mengetahui siapa titisan Eyang Tapak Lintang itu."
"Benarkah dia mengetahuinya?"
"Kusadap percakapannya ketika berhadapan dengan Santana, sahabatku! Dia mencari orang yang berhasil membunuh Hantu Urat Iblis di Bukit Kecubung. Menurutnya, ia mendapat wangsit dari dewata bahwa orang yang berhasil membunuh Hantu Urat Iblis itu adalah orang yang akan menjadipenghalang bagi titisan Eyang Tapak Lintang. Karenanya, ia ingin membunuh orang itu agar dapat hancurkan hidup si titisan tersebut."
"Mengapa ia ingin hancurkan titisan Eyang Tapak Lintang?!" tanya Karina dengan serius sekali.
"Itu yang perlu kuselidiki. Ada apa di balik niatnya menghancurkan titisan petapa sakti itu?!" ujar Suto Sinting membuat si Burung Bengal dan muridnya tertegun dalam kebisuan.
"Karena itulah aku ingin mengejar si Jahanam Tua dan bila perlu bertarung dengannya, jika benar dia ingin membunuhku."
"ingin membunuhmu?"
"Ya, karena akulah orang yang membunuh Hantu Urat lblis di Bukit Kecubung itu!"
"O0o." Karina dan gurunya sama-sama bengong dan manggut-manggut. Lalu, Karina tiba-tiba ajukan Usul dengan wajah penuh semangat dan matanya berbinar-binar menunjukkan kesungguhannya. "Aku ingin ikut denganmu, Suto. Apakah kau keberatan?!"
Pendekar Mabuk tak bisa menjawab seketika itu pula. la memandang si Burung Bengal bagaikan minta pertimbangan sang guru. Tetapi sang guru hanya angkat pundak pertanda pasrah dengan keputusan si Pendekar Mabuk sendiri. Suto menjadi tambah bingung dan sulit memutuskannya.

*
* *

[:: 6 ::]

KALAU bukan karena wajah cantik yang murung menahan kesedihan, Suto Sinting masih tetap ingin pergi temui si Jahanam Tua sendirian. Tapi rasa iba melihat wajah cantik melenturkan kekecewaan yang tampak mendalam, akhirnya Pendekar Mabuk terpaksa izinkan si cantik Karina Larasita ikut pergi pada keesokan harinya.
"Kau boleh ikut, tapi tak boleh bikin masalah apa-apa!". ujar Suto Sinting bagai mengadakan perjanjian sebelumnya.
"Aku dapat mengatasi masalahku sendiri," balas si cantik Karina.
"Kau pun harus menurut dengan perintahku, jangan membandel, nanti bikin repot aku saja"
"Apakah kau suka jika aku menjadi gadis penurut?!"
"Kau akan semakin cantik jiką menjadi gadis penurut."
"Baik. Aku akan menuruti apa katamu!" jawab Karina dengan tegas.
"Sekali kau tidak menurut apa kataku, aku akan meninggalkanmu di tengah hutan!"
"Aku sudah biasa hidup di hutan. Kurasa aku tak keberatan dengan peraturanmu!!" ujar Karina dengan nada ketus karena hatinya merasa jengkel terhadap aturan-aturan dari pemuda yang dianggapnya cerewet itu.
"Setahuku mulut perempuan tidak secerewet mulutmu," gerutunya pelan, membuat Suto Sinting berpaling menatapnya sambil sunggingkan senyum geli, tapi Karina berlagak tidak mengetahui pandangan mata Suto Sinting.
Arah mereka tetap ke negeri Bardanesya, karena Pendekar Mabuk yakin si Jahanam Tua tetap Ingin temui Raja Gundalana untuk menanyakan kebenaran keterangan Dewi Ranjang tentang si penakluk Hantu Urat Iblis itu. Mulanya Karina mengusulkan untuk langsung mendatangi tempat tinggal si
Jahanam Tua dl Pulau Wingit, tapi Suto tidak setuju dengan gagasan itu.
"Hanya buang-buang waktu saja," ujarnya sambil teruskan langkah menuju ke wilayah negeri Bardanesya.
"Suto, berhenti sebentar!" seru Karina yang sempat tertinggal tiga langkah di belakang Pendekar Mabuk. Seruan gadis itu terasa menegangkan, sehingga Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget dan buru-buru berpaling menatapnya dengan pandangan mata cukup tajam.
"Ada apa, Karina?!"
"Pandanglah ke arah sana, di belakang batu besar berlumut itu!" sambil Karina menuding arah yang dimaksud. Pendekar Mabuk pun segera lemparkan pandangan matanya ke arah batu besar berlumut.
Di bawah batu itu tampak sepasang kaki terbujur kaku. Badan si pemilik sepasang kaki itu tertutup batu besar itu. Melihat warna pucat pada telapak kaki bercelana hitam itu, Suto dan Karina pendapat bahwa kaki itu adalah kaki orang yang telah tewas. Maka mereka pun bergegas dekati batu besar berlumut itu untuk melihat siapa orang yang tewas di balik batu itu.
"Oooh...?!" Suto Sinting setengah terpekik begitu melihat sosok mayat yang tergeletak di balik batu besar berlumut itu. Karina hanya tersentak tanpa suara, napasnya bagaikan terhenti di kerongkongan. Tapi gadis itu segera berkerut dahi pertanda merasa asing dengan mayat tersebut. Sedangkan Suto Sinting justru berwajah tegang dan pandangi seluruh tubuh mayat itu, agaknya ia mengenali siapa orang yang tewas di balik batu besar berlumut itu.
Pendekar Mabuk tak bisa lupa dengan wajah tua berusia sekitar enam puluh tahun itu yang mempunyai rambut abu-abu, jenggot dan kumis pendek abu-abu, jubah biru dan celana hitam membungkus tubuh kurusnya. Hati pendekar muda itu trenyuh dan segera dirundung kesedihan, karena ia tahu persis sosok mayat itu adalah si Wabah Langit, yang pernah membantu Suto ketika Suto mengejar seorang wanita cantik, tokoh aliran sesat yang tempat persembunyiannya sukar ditemukan siapa pun, kecuali Suto Sinting dan Nirwana Tria, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Rahasia Bayangan Setan").
"Kau kenal dengan mayat pak tua ini?!" tanya Karina dengan suara lirih.
"Sangat kenal! Dia bernama Wabah Langit. Aku pernah bermalam di gubuknya saat lakukan pengejaran terhadap si Bayangan Setan alias Peri Kahyangan." jawab Suto dengan suara bergetar dan menahan kesedihan.
Orang yang tampaknya galak dan ganas tapisebenarnya berhati baik itu sempat melekat dalam ingatan Suto. Bahkan Suto punya rencana untuk berkunjung menengok tokoh aliran putih itu sambil mengenang masa-masa pengejaran si Bayangan Setan. Hubungan baik Suto dengan Wabah Langitsempat membuat Suto terkesan oleh jiwa tokoh tersebut. Karenanya, kematian si Wabah Langit membuat Suto Sinting merasa kehilangan sesuatu yang cukup menyedihkan.
Pertanyaan dalam batin Suto yang paling dominan bukan 'mengapa Wabah Langit dibunuh', tapi siapa pembunuhnya?' Sebab keadaan mayat Wabah Langit tampak masih segar, masih belum membusuk. Dugaan Suto, orang itu dibunuh sekitar beberapa waktu sebelum ia dan Karina tiba di tempat itu. "Aneh. Darahnya berbau wangi?" gumam Karina.
Pendekar Mabuk juga sebenarnya mencium bau wangi seperti aroma rempah-rempah bercampur wangi pandan. Tetapi perhatian Pendekar Mabuk tidak tertuju pada aroma wangi itu. la lebih Tertarik memandangi keadaan mayat tersebut.
Mayat si Wabah Langit tak mempunyai luka sedikit pun. Tetapi darah keluar dari sekitar leher seperti orang habis dipenggal. Darah wangi pandan itu berceceran mengelilingi bagian leher dan membasahi sekitar dada pula. Tapi di leher maupun di dada tak ada luka seujung jarum pun.
"Aneh sekali luka ini?!" gumam Suto Sinting sambil memeriksa dengan membolak-balikkan badan mayat. Matanya memandang sejelas-jelasnya, karena hatinya sangsi dengan penglihatannya sendiri.
"Coba kau periksa, Karina. Benarkah mayat ini tanpa luka sedikit pun?!"
Karina tak mau memeriksa, ia hanya berkata, "Dari tadi aku sudah merasa heran. Kusangka mata ku yang bodoh tak bisa melihat luka. Ternyata kau pun tak menemukan luka di tubuh mayat ini."
"Tapi darahnya yang keluar cukup banyak dan ia seperti..."
"Seperti dipenggal lehernya!" sahut Karina.
"Ya. Dan... kau lihat sendiri, kepalanya masih menempel dengan raganya, bukan?"
"Itu yang membuatku sejak tadi diam sambil memendam keheranan."
Pendekar Mabuk menarik napas panjang. Akhir nya ia putuskan untuk memakamkan jenazah Wabah Langit di bawah batu besar berlumut itu. Tetapi benak Suto masih diliputi tanda tanya besar dan hatinya diresahkan oleh rasa penaşaran terhadap misteri kematian si Wabah Langit itu.
"lImu apa yang bisa membunuh lawan tanpa luka tapi darah korban bisa keluar sebanyak itu?"
suara Suto Sinting terdengar seperti menggumam. Karina yang berjalan di samping kanan Pendekar Mabuk itu segera menimpali kata-kata tersebut.
"Aku pernah mendengar Guru bercerita tentang ilmu 'Saka Badai' yang bisa membuat lawan tewas seketika tanpa timbulkan luka. Tapi tidak keluarkan darah seperti mayat tadi! Wmu 'Saka Badai' hanya membuat lawan mati seketika tanpa luka."
"Siapa pemilik ilmu itu?"
"Ratasewakota, penguasa Teluk Boleng.! ia tokoh aliran hitam. Tapi sekarang sudah tewas di tangan ksatria dari Tanah Gangga."
"Apakah dia punya murid?"
"Entah, Guru tidak singgung-singgung tentang murid si Ratasewakota. Tapi yang jelas..."
"Ssst...!" potong Suto.
Karina segera memandang dengan dahi berkerut, karena saat itu Suto Sinting tampak sedang menyimak sebuah suara yang ditangkap oleh pendengarannya. Tapi Karina merasa tidak mendengar apa-apa, karena itulah ia segera ajukan tanya kepada Suto.
"Ada apa?!"
"Aku mendengar jeritan seseorang."
"Aku tidak," tegas Karina.
"Tadi," jawab Suto sambil masih menelengkan kepala mencari sumber datangnya suara jeritan yang didengarnya tadi. "Suara itu seperti suara jeritan seorang wanita. Hanya sekejap dan cepat menghilang."
"Aku tidak mendengar suara apa-apa!" Karina agak ngotot.
Tentu saja, sebab suara itu bertumpuk dengan suara bicaramu tadi."
Karina akhirnya diam, matanya memandang ke sana-sini sambil mencoba menangkap suara sejauh mungkin. Tapi yang didengarnya hanya suara hembusan angin dan gemerisiknya dedaunan.
"Suara itu sepertinya dari arah barat sana!"
Mata mereka memandang ke arah barat. Suto menyambung ucapannya.
"Mungkin dari balik bukit yang ada di sana itu!"
"Jauh sekali?!" ujar Karina dengan mata memandang sebuah bukit kecil yang letaknya memang cukup jauh dari tempatnya berdiri.
"Kurasa tak mungkin di balik bukit itu, Suto."
"Sebaiknya kita periksa dulu!"
Pendekar Mabuk segera berkelebat tanpa menunggu persetujuan dari Karina. Mau tak mau gadis itu mengikutinya walau hatinya setengah tak setuju, karena dianggap membuang-buang waktu. Suto Sinting berlari cepat, 'namun tidak menggunakan jurus 'Gerak Siluman', sehingga Karina bisa mengimbangi kecepatan lari si pendekar tampan itu. 
Sebelum mencapai bukit yang dituju, mereka menuruni lembah. Saat mereka menuruni lembah itulah langkah mereka terhenti. Tangan Karina menahan lengan Pendekar Mabuk sambil memandang ke arah kiri mereka.
"Lihat, ada seseorang yang tergeletak di sebelah sana, di balik semak itu!"
"Oh, benar..! Mungkin orang itulah yang kudengar jeritannya tadi"
Suto Sinting lebih dulu bergerak ke arah semak-semak tersebut, Karina segera mengikutinya. Ternyata orang yang tergeletak di balik semak itu adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun, juga mengenakan pakaian ketat warna biru mengkilap, rambutnya dikepang dua. Gadis itu telah tak bernyawa dengan leher penuh darah hingga sampai ke dadanya.
"Lembah Wulung...?!" ucap Suto yang merasa kenal dengan gadis itu.
"Siapa gadis ini?"
"Bekas lawanku yang memihak Pangeran Cabul," jawab Suto Sinting, lalu bercerita sedikit tentang Pangeran Cabul dan Ratu Lembah Girang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Buronan Cinta Sekarat").
Pandangan mata pemuda tampan itu setajam saat memandang mayat Wabah Langit. la juga merasa heran seperti tadi. Tatapan mata yang tertuju pada leher membuat pemuda itu akhirnya menggumam seperti bicara sendiri.
"Darahnya masih segar, bahkan masih mengalir sebagian...."
"Kurasa pembunuhnya belum jauh dari sini," timpal Karina Larasita. "Darahnya juga berbau harum"
"Ya. Bahkan bau harumnya lebih jelas lagi, seharum seperti tadi."
"Seperti bau rempah-rempah bercampur daun pandan."
"Coba periksa bagian leher yang berdarah itu,apakah ada luka atau tidak!" usul Karina setengah memerintah. Tanpa sadar Suto pun lakukan hal itu karena hatinya sendiri memang penasaran. Dengan sehelai daun lebar, Pendekar Mabuk mengusap darah di sekitar leher mayat. Ternyata leher itu tak terluka seujung jarum pun. Bahkan seluruh tubuh si mayat diperiksa, dijamah, disingkapkan pakaiannya, sampai Karina menjadi kesal melihatnya.
"Sudah, jangan menggunakan kesempatan dalam kesempitan! Dasar mata keranjang!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli yang tampak kaku sekali. Tubuhnya sempat tersentak naik karena tangan Karina menarik lengannya.
Gadis itu menampakkan sikap tak suka melihat Suto Sinting memeriksa keadaan mayat seperti itu. Tak ada luka, tapi ada darah. Penasaran sekali aku jadinya, ingin berhadapan dengan pemilik ilmu aneh itu!" ujar Suto Sinting seperti bicara sendiri. la masih pandangi mayat Lembah Wuyung.
Karina tiba-tiba berbisik dalam nada tegang.
"Ada orang mengintai di balik pohon belakang kita!!"
Suto Sinting melirik ke arah Karina, kepalanya sengaja tidak bergerak agar tak timbulkan curiga bagi sang pengintai.
"Di pohon sebelah mana?"
"Paling kiri dari tiga pohon yang berjajar di belakang kita, dekat batu setinggi pinggul. Dia mengintai kita sejak tadi rupanya," bisik Karina.
"Hmmm...," Suto Sinting tampak tenang, memindahkan bumbung tuaknya dari punggung ke pundak. Lalu ia berbisik lagi dengan mata seakan memandang jauh.
"Bergeserlah ke kanan, agak jauh!"
Karina melangkah ke kanan, seakan ingin mengelilingi mayat Lembah Wuyung itu. Setelah jarak mereka berjauhan, Pendekar Mabuk cepat putar tubuhnya sambil sentakkan dua jari tangannya yang mengeras bagai pisau itu. Weees...! Claaap...
Duuaaarrr...!
Sinar ungu dari jurus "Turangga Laga' menghantam pohon di balik batu. Ledakan cukup keras mengagetkan si pengintai. Pohon itu rompal, dan si pengintai melompat kelabakan, takut terkena sinar ungu tadi. 
Brrruus...!
Orang itu jatuh di semak-semak berduri. Suara erangan kesakitan terdengar pelan sekali. Suto Sinting segera berseru keluarkan ancaman yang bersifat menakut-nakuti saja.
"Keluar kau, atau kuhancurkan tubuhmu dari sini?!"
Suara lantang itu membuat si pengintai menjadi gemetaran. Akhirnya orang itu muncul dengan wajah tegang penuh ketakutan. Langkahnya pelan-pelan sekali dan masih berusaha berlindung di balik pohon walau ia berseru kepada Pendekar Mabuk.
"Aku kok, Suto...! Aku.. Jangan serang aku,ya"
"Setan!" sentak Suto Sinting sambil hembuskan napas lega, tapi hatinya sempat merasa dongkol akibat mengetahui siapa pemuda berambut kucai pendek dengan ikat kepala merah dan baju tanpa lengan biru. Pendekar Mabuk kenal betul dengan tokoh pemuda berusia dua puluh tahun yang berwajah polos dan berbadan kurus itu akhirnya mendekati Suto sinting.
"Mengapa kau mengintip di situ, Panji lobot! Kemarilah."
Panji Klobot tokoh berbadan kurus dan lugu itu akhirnya mendekati Suto Sinting Dengan rasa takut.
Akhirnya Pendekar Mabuk tersenyum geli sendiri melihat wajah takutnya Panji Klobot yang pernah mengikuti Suto Sinting saat mencari Bunga Kecubung Dadar, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga"). Suto pun akhirnya jelaskan kepada Karina siapa si Panji Klobot itu sebenarnya.
Tetapi alasan Panji Klobot berada di tempat itu masih menjadi tanda tanya bagi Karina. Bahkan ia sempat berbisik kepada Suto Sinting dengan suara nya yang mirip orang menggumam itu.
"Jangan-jangan dia yang .membunuh gadis itu dengan ilmu anehnya?!"
"Hmm... kurasa... kurasa tak mungkin. Karena aku tahu dia tak mempunyai ilmu apa pun kecuali ilmu Tendangan Cuci Perut pemberian pamannya. Tapi..."
Pendekar Mabuk hentikan bisikannya, karena ia segera ingat bahwa selama Panji Klobot ditinggalkan di pondoknya si Kusir Hantu bersama Tenda Biru, Mahligai Sukma, dan Pematang Hati, pemuda itu berguru kepada Tenda Biru. Sedangkan gadis bernama Tenda Biru itu bekas muridnya mendiang Nyai Garang Sayu yang berilmu tinggi.
"Apakah mungkin Panji Klobot menguasai Ilmu seaneh itu dari Tenda Biru?!." tanya Suto Membatin, namun tak pernah mendapat jawaban pasti dari batinnya sendiri.
"Mengapa kau berada di tempat ini, Panji Klobot?!"
"Hmmm, eeh... kebetulan saja aku lewat tempat ini, Suto. Sebenarnya aku disuruh Tenda Biru untuk mencarimu. Ki Kusir Hantu sakit, dan butuh bantuanmu, Suto. Kau diminta pulang ke Lembah Seram.
"Kusir Hantu sakit?! Sakit apa?!"
"Terluka saat bertarung melawan seseorang yang mempunyai pedang panjang."
Pendekar Mabuk mulai tertarik dengan keterangan lugu si Panji Klobot. la sempat memandang Karina yang berdiri di samping kirinya. Ternyata gadis itu juga sedang menatapnya dengan wajah sedikit tegang.
"Pedang panjang?!" gumam Suto Sinting lirih dan datar.
"Sampai sekarang Ki Kusir Hantu belum siuman, Suto," tambah Panji Klobot.
"Pedang panjang bagaimana maksudnya?" tanya Suto dengan rasą ingin tahu sangat besar.
"Saat kakeknya Pematang Hati dan Mahligai Sukma itu ditemukan kedua cucunya dalam keadaan belum pingsan, ia hanya sempat mengatakan tentang lawannya yang berpedang panjang, berwarna putih mengkilat, panjangnya lebih dari satu depa. Tapi dia tidak sebutkan siapa orangnya karena keburu tak sadar diri."
"Jangan-jangan orang itu menggunakan Pedang Jagal Keramat?" bisik Karina. Suto Sinting hanya menggumam karena ia pun mempunyai dugaan seperti itu.
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera ke Lembah Seram, temui si Kusir Hantu. la harus kusembuhkan dulu, baru bisa kutanya siapa lawannya yang berpedang panjang itu."
Panji Klobot segera berkata, "Tapi aku tadi melihat orang itu berlari ke arah selatan,Suto."
"Orang siapa?!" sergah Suto sedikit menegang lagi. 
"Orang yang membunuh gadis itu!" Panji Klobot menuding Lembah Wuyung.
"Apa maksudmu? Jelaskan!" Karina mendesak.,karena tak bisa menyimpan rasa penasarannya.
"Tadi aku melihat gadis itu bertarung dengan seseorang.."
"Lelaki atau perempuan?!" potong Suto.
"Aku tak sempat melihat jenisnya karena ia tidak telanjang. Aku hanya melihatnya dari belakang. la berambut panjang disanggul, mengenakan jubah hijau muda. Mungkin ia seorang perempuan, tapi bisa saja seorang lelaki, karena banyak lelaki yang rambutnya disanggul juga. Yang jelas ia memegang sebuah pedang yang panjang, tingginya sama dengan tinggi tubuh orang itu."
"Pedang Jagal Keramat!" Gumam Karina seketika itu juga. Tapi Panji Klobot tidak terpengaruh gumaman itu, ia lanjutkan kata-katanya yang dituturkan dengan penuh semangat.
"Orang itu memenggal leher lawannya. Kulihat pedangnya berkelebat menebas leher. Jelas sekali Dan gadis itu roboh setelah memekik satu kali. Kemudian.. kemudian orang itu lari ke arah selatan. Aku tak sempat melihat wajah atau bagian depannya, karena mataku terpukau pada gadis malang itu. Anehnya, ketika pedang itu berkelebat memenggal leher si gadis, kepala gadis itu tidak putus. Bahkan ketika ia tumbang dan menghembuskan napas terakhir, kulihat kepalanya masih ada. Masih menempel di lehernya seperti... yah, seperti itulah, kau bisa lihat sendiri," sambil Panji Klobot menuding mayat Lembah Wuyung.
"Tak salah lagi, pasti pedang itu yang dinamakan Pedang Jagal Keramat!" gumam Karina seperti bicara sendiri.
"Jubah hijau...?!" Pendekar Mabuk pun menggumam sambil mencoba mengingat-ingat siapa saja tokoh yang mengenakan jubah hijau.

*
* *

[:: 7 ::]

CUKUP sulit melacak pembunuh berpedang panjang, karena Panji Klobot tak kenali wajah pemegang pedang panjang yang diperkirakan sebagai Pedang Jagal Keramat itu. Pendekar Mabuk akhirnya putuskan untuk segera ke Lembah Seram.
Harapan satu-satunya adalah mendapat penjelasan dari si Kusir Hantu yang terluka saat bertarung melawan orang berpedang panjang itu. Jika si Kusir Hantu segera dapat disembuhkan, maka misteri pemegang pedang panjang itu dapat terungkap dengan jelas.
Karina sendiri tak punya plihan lain kecuali ikuti langkah Suto Sinting. la tak mau membantah apa kata si pemuda tampan itu, sebab takut tak diizinkan ikut lagi. Dengan mengikuti si pemuda tampan murid
si Gila Tuak itu, maka Karina dapat selalu memandang ketampanan Suto dan hatinya merasa diselimuti kabut keindahan.
Panji Klobot sendiri merasa girang karena sudah temukan Pendekar Mabuk dan segera membawanya pulang. la sangat berharap si Kusir Hantu dapat segera sembuh. Karena sejak ia tinggal bersama keluarga Kusir Hantu, ia telah dianggap seperti cucu sendiri oleh si tokoh tua yang gemar bermain pepatah tah dalam setiap bicaranya itu.
Tiba-tiba langkah mereka bertiga terpaksa harus berhenti karena kemunculan seseorang yang berlari dari arah timur. Orang itu berlari dengan cepat hingga menyerupai bayangan berkelebat.
"Suto...!" seru orang tersebut, lalu' ia hentikan langkah di depan Pendekar Mabuk dengan napas terengah-engah dan wajah memancarkan ketegangan. Karina memandangi orang tersebut dengan perasaan asing, karena merasa baru kali ini melihat pemuda itu.
"Santana...?!"
"Suto, hmmm.. celaka! Aku celaka! Mati aku, Suto!"
"Hei, hei... tenanglah dulu, Santana!" Pendekar Mabuk menepuk-nepuk kedua pundak Santana. Wajah pemuda berbambu kuning itu masih tampak tegang walau ia berusaha menenangkan napasnya.
"Kalau aku mati, tolong bawa mayatku pulang ke Pulau Parang," ujar Santana yang biasa murah senyum, kali ini ia bagaikan Iupa caranya tersenyum.
Panji Klobot ikut bicara kepada Santana yang belum dikenalnya.
"Kapan kau mau mati, Kang? Maksudku, supaya kita punya persiapan membawamu ke Pulau Parang. Atau sebaiknya kau mati di pantai saja, supaya lebih dekat dengan Pulau Parang."
"Husy...!" hardik Pendekar Mabuk kepada Panji Klobot. Kemudian murid si Gila Tuak itu kembali bicara kepada Santana.
"Ada apa sebenarnya, Santana?"
"Tolong selamatkan aku, Suto! Aku terancam maut."
"Maut bagaimana?!" desak Suto.
Karina ikut angkat bicara juga, tapi ditujukan kepada Pendekar Mabuk.
"Siapa dia, Suto?"
"Hmmm, sahabatku! Santana, namanya!" Lalu Suto berkata kepada Santana.
"Santana, ini Karina, sahabat baruku. Karina adalah murid si Burung Bengal dari Bukit Semayam. Kami sedang menuju ke Lembah Seram."
"Tundalah dulu kepergianmu ke sana, Suto. Suto. Tundalah dulu!" Santana bicara dengan mata sesekali melirik ke arah datangnya tadi dengan diliputi perasaan cemas yang menakutkan.
"Seseorang ingin membunuhku, Suto! Aku tak sanggup menghadapinya!"
"Siapa yang ingin membunuhmu?!"
"Dewi Ranjang!" jawab Santana, dan Suto Sinting hanya tersenyum. Terbayang kemesraan dalam cumbu antara Santana dan Dewi Ranjang yang pernah dilihatnya dari atas pohon.
"Aku bersungguh-sungguh, Suto!" ujar Santana yang sepertinya tak rela jika penjelasannya ditertawakan.
"Bukankah kalian tampak mesra-mesra saja Kulihat dia membelamu saat diserang si Jahaman Tua dan kalian...."
"Dari situlah awalnya!" potong Santana. la melirik Karina sesaat dengan hati risi. Lalu ucapannya dillanjutkan dengan suara pelan. Sekalipun demikian, Karina masih bisa mendengar apa yang dikatakan Santana kepada Pendekar Mabuk.
"la ketagihan dengan kemesraanku. la ingin mengajakku bercumbu lagi. Tapi aku segera sadar bahwa hal itu tak mungkin kulakukan lagi padanya. Aku tak tertarik padanya, sama sekali tak suka."
"Kau telah terkena ilmu pemikatnya yang dipancarkan melalui pandangan matanya, Santana."
"Kurasa memang begitu. Karena setelah kami selesai bercinta pada waktu itu, di hatiku timbul rasa sesal dan malu pada diriku sendiri, juga malu padanya. Maka ketika ia membujukku lagi, aku hanya bisa menundukkan kepala, malu memandangnya, sambil kukatakan bahwa aku tak bersedia lagi untuk melakukannya. Aku pun segera pergi menghindarinya."
"Kalau saat itu kau pandang lagi matanya maka kau akan menuruti perintahnya dan bergairah lagi untuk mencumbunya. Beruntung kau merasa malu kepadanya dan malu menatap wajahnya."
"Mungkin begitu. Tapi yang jelas hari ini aku dikejar-kejar olehnya. Dia merasa sakit hati atas penolakanku."
"Apakah kau tak berani melawannya?"
"Aku tak mau melawannya. Aku masih malu jumpa dengannya. Apalagi dia membawa pedang panjang dengan maksud untuk membunuhku. Kurasa aku lebih baik kabur dan mencari orang untuk melindungiku. Aku malu sekali telah berbuat hina dengannya! Malu pada diriku sendiri dan...."
"Sebentar...!" sergah Karina memberanikan diri memotong ucapan Santana. Pemuda itu hanya melirik sebentar, lalu tak berani memandang Karina. Ia alihkan pandangan mata dengan rasa malu. Rupanya ia juga malu kepada Karina karena tanpa sadar suaranya tadi menjadi keras saat menceritakan perbuatan hina yang dilakukan bersama Dewi Ranjang
"Santana, benarkah perempuan yang mengejarmu itu bersenjata pedang panjang?!"
"Benar," jawab Santana sambil menatap Suto Sinting. "Aku tidak bohong, Suto!"
Karina bertanya lagi, "Pedang panjang bagaimana maksudmu?"
Santana menjawab sambil menatap Suto Sinting.
"Sangat panjang, Suto! Pedang itu berwarna putih mengkilat, jika ditancapkan di tanah mungkin tingginya hampir menyamai tinggi tubuhmu. Yaaah...setidaknya sepundakmulah.."
"Dia telah menggunakan pedang itu untuk menyerangmu?" tanya Karina lagi.
"Belum sempat, Suto! Aku sudah lari lebih dulu dan.."
"Karina yang bertanya padamu. Jangan menjawab padaku. Jawablah kepada Karina!"
"Ooh, Suto... aku malu melihat perempuan!" bisiknya dengan gelisah.
Karina beradu pandang dengan Pendekar Mabuk.
"Tidakkah kau dapat menyimpulkannya, Suto? Pedang panjang, berwarna putih mengkilat dan.."
"Dewi Ranjang berjubah hijau!" sahut Pendekar Mabuk secara tiba-tiba, seakan ia baru saja ingat dengan ciri-ciri pembunuh Lembah Wuyung yang diceritakan Panji Klobot tadi. la menjadi mulai tegang setelah memadukan keterangan Panji Klobot dengan Santana.
"Di mana si Dewi Ranjang itu, Santana?!"
"la sedang mengejarku. Kalau ia tak salah arah, ia sedang menuju kemari. Mudah-mudahan ia tak salah arah."
"Kok malah diharapkan kemari?!" gerutu Panji Klobot dengan rasa takut. la segera bergeser ke belakang Karina, karena takut diserang si pembawa pedang panjang dari belakang, tempat Santana muncul tadi.
Pendekar Mabuk diam sesaat, memandang ke arah datangnya Santana. Santana bergeser mendekati pohon. Sewaktu-waktu datang bahaya ia bermaksud berlindung di balik pohon itu.
Karina tampak tegang. Tak merasa takut sedikitpun. Bahkan ia berkata kepada Pendekar Mabuk dengan suara jelas, tanpa bisik-bisik atau merasa takut didengar orang lain.
"Kita tunggu saja di sini. Kalau memang dia muncul dan membawa Pedang Jagal Keramat, biar aku yang menghadapinya!"
"Kau yakin mampu menghadapinya?!" tanya Suto. "Aku bukan pengecut seperti temanmu yang satu ini," sambil Karina melirik Santana. Pemuda itu bersungut-sungut dan bicara sambil memandang Panji Klobot.
"Aku bukan pengecut! Aku hanya merasa malu kepada perempuan, terutama perempuan yang pernah begitu padaku."
"Begitu bagaimana?!" sergah Panji Klobot.
"Tak perlu kujelaskan. Pokoknya aku tak berani berhadapan dengan perempuan yang pernah kupeluk dan kucium tanpa cinta!"
"Makanya jangan rakus!" sahut Karina sambil melirik sinis dan bernada ketus. Santana diam tak mau menanggapi kecaman itu.
Beberapa saat mereka menunggu kemunculan Dewi Ranjang. Tapi perempuan itu tak kunjung tiba.
Akhirnya, Suto Sinting memutuskan untuk mencari, bukan menunggu.
"Kurasa memang harus kita cari. Kalau kita hanya begini saja, buang-buang waktu!"
"Kau tetap bersama Panji Klobot dan Santana disini, aku akan mencari di sekitar sini!"
"Aku ingin berhadapan dengannya, Suto!"
"Kau tetap di sini, kataku!" tegas Suto Sinting.
"Yaaah.," Karina mengeluh kecewa.
"Ingat peraturan ikut denganku! Harus menurut apa perintahku!"
Karina diam, wajahnya murung menahan kedongkolan. la tak mau memandang Pendekar Mabuk. Bibirnya yang mungil tampak sedikit meruncing dan justru kelihatan semakin cantik.
"Kau sudah sepakat dengan perjanjian kita sebelum berangkat, Karina!"
"lya, iya..! Pergilah sana, dan aku akan tetap disini" sentak Karina dengan sewot. Pendekar Mabuk justru tersenyum ceria. la menjentik hidung mancung Karina dengan usil. Tuuus..!
"Kau memang gadis yang baik dan menyenangkan, Karina!"
"Persetan dengan pujianmu!" gerutu Karina dan segera buang muka.
Pendekar Mabuk segera tinggalkan tempat itu.
Namun baru saja empat langkah ia sudah harus berhenti karena ia melihat benda melayang cepat meluncur ke arah Karina. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan ke samping sambil berseru,.
"Karinaaa..."
Gadis itu terkejut, segera menatap ke arah Suto dan melihat Suto telah melayang di atas semak-semak. Karina segera melompat ke arah lain karena ia sempat melihat kilatan cahaya matahari yang memantul dari benda terbang itu.
Bruuuuss,..! 
Pendekar Mabuk jatuh berguling-guling di semak ilalang. Kejap kemudian ia melompat keluar dari kedalaman semak. Wuuss...! Jleeg...!
Kedua kakinya mendarat dengan tegak di depan Panji Klobot dan Santana memandang Karina dengan
tegang, keduanya sama-sama membelalakkan mata.
Bahkan Karina sendiri ikut terbelalak begitu memandang ke arah tangan kiri Suto yang diangkat setinggi pundak. Jari tangan itu sudah menjepit sebilah pisau kecil bergagang logam putih mengkilat juga. Pisau runcing itu panjangnya dari ujung gagang sampai ke pucuk ketajamannya sekitar satu jengkal kurang. Agaknya Karina mengenali si pemilik pisau beracun itu.
"Pandawi...," sebut Karína dalam gumam yang lirih. Wajahnya segera berubah menjadi garang dan ia berseru sambil memandang ke arah datangnya pisau tadi.
"Pandawi...! Keluar kau, Pengecut!"
Suto Sinting segera berbisik, "Siapa itu Pan. Pandawi?" sambil ia memandang sekeliling dengan gerakan tubuh memutar pelan.
Namun sebelum Karina menjawab, sesosok tubuh berbaju tembaga melompat dari semak di balik pohon. Wuuus...! Dua pisau dilemparkan dalam gerakan cepat. Slaap, slaaap..! Kedua pisau itu mengarah kepada Karina.
Gadis berjubah jingga lakukan lompatan menghindar sambil cabut pedangnya. Bet, bet..! Tring,tring...! Gerakan cabut pedang dan kibasan pedang itu sendiri nyaris tak bisa dilihat oleh Santana dan Panji Klobot. Tahu-tahu kedua pisau telah terpental ke lain arah. Salah satu jatuh, ke semak-semak, satu lagi menancap di sebatang pohon dengan kuat. Jrraab...
Jleeg..! Sepasang kaki beralas tebal dengan tali melilit betis telah menapak ke tanah dalam keadaan tegak, sedikit merenggang. Pendekar Mabuk tak berkedip pandangi seraut wajah si pemilik sepasang kaki yang mempunyai pisau di dekat kedua lututnya.
Pisau kecil-kecil bukan saja ada di dekat lututnya. namun juga di paha kanan-kiri, di pangkal lengan kanan kiri, dan paling banyak di pinggangnya menyatu dengan sabuk dari logam tembaga. 
Pendekar Mabuk semakin tak bisa berkedip setelah sadar bahwa pemilik pisau-pisau kecil itu ternyata adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun dan mempunyai wajah cantik berkesan liar. Hidungnya mancung, alisnya tebal, matanya menantang penuh keberanian, tapi bulu matanya lentik. Gadis itu mempunyai bibir yang sedikit tebal, namun punya daya pikat sangat tinggi dan membuatnya semakin cantik. Rambutnya jatuh di pundak, ujungnya bergelombang, bagian depan diponi sebatas kening.
Gadis berperawakan tinggi, sekal, dan tampak kuat itu mengenakan rompi zirah dari bahan kain bercampur tembaga, anti senjata tajam. Rompi ketat itu mempunyai belahan tengah yang membuat gumpalan dadanya tampak membusung dan tersumbul sebagian. Sexy sekali. la mengenakan semacam rok yang tak sampai menutup lututnya, hahkan hanya separuh paha. Rok itu pun terbuat dari kain bercampur rajutan benang tembaga yang lentur namun tak mudah ditembus senjata tajam.
Melihat jenis pakaian perang yang dikenakan Pandawi, dan perawakan yang layak sebagai seorang prajurit perang, Pendekar Mabuk segera ingat dengan para prajurit dari Istana Kematian, seperti Denaya dan yang lainnya. Sekalipun Istana Kematian sudah dihancurkan dan ratunya sudah ditumbangkan, tapi tidak menutup kemungkinan para prajuritnya yang melarikan diri masih hidup dan sekarang muncul di depannya.
Pandawi juga menatap Pendekar Mabuk dengan mata beningnya yang mempunyai warna biru samar-samar di bagian manik hitamnya. Mata itu memang sangat bagus dan mengagumkan, namun Sayang memancarkan keganasan yang tajam. 
Ditambah dengan sosoknya yang tinggi dan berkesan alot, Pendekar Mabuk yakin bahwa gadis itu bukan tandingan Karina. Pedang panjang di pinggang yang bergagang besi hitam dengan sarungnya yang terbuat dari lempengan besi pula itu, terasa tak sebanding jika diadu dengan pedang Karina yang berkesan lembut serta lunak.
Namun murid si Burung Bengal ternyata tak punya rasa takut sedikit pun berhadapan dengan lawan seperti itu. Karina justru berseru dengan suara lantang sambil melangkah dekati Pandawi.
"Rupanya kau masih penasaran dan menyangkaku masih berhubungan dengan Aryaseta?!
Hmmm...! Ketahuilah, Pandawi... hubunganku dengan Aryaseta hanya sebatas teman biasa! Kau tak perlu cemburu padaku. Kalau kau suka padanya, bawalah pergi ke mana kau suka dan kawinilah dia!, Aku tak pernah ambil pusing dengan kalian! Jangan anggap aku tertarik dengan pemuda culas macam dia!"
"Aryaseta mati!"
Ucapan datar penuh tekanan dendam itu sempat menyentak hati Pendekar Mabuk, walau ia belum kenal siapa Aryaseta namun sudah dapat menerka apa persoalan kedua gadis tersebut. Demikian hal nya dengan Karina, sempat terperanjat mendengar ucapan pandai tadi.
"Tentu saja kau tak akan tertarik padanya, karena Kau telah membunuhnya dengan ilmu pedang kejimu itu, Karina!"
"Apa maksudmu berkata begitu, Pandawi?!"
"Tak perlu kujawab kau pasti sudah tahu maksudku, Keparat! Hiaaah.."
Pandawi berlari tiga langkah, lalu melepaskan tendangan ke arah Karina dengan sangat cepat. Beet...! Pedang Karina berkelebat, selain menangkis juga bermaksud memotong pergelangan kaki Pandawi. Namun pedang itu tak berhasil kenai kaki Pandawi, karena kaki Pandawi segera ditarik dengan cepat pula, dan satu lompatan kecil melayangkan kaki satunya ke arah wajah Karina. Wuuuut, beeekh...
"Eeekh...!" Karina terpental ke belakang dengan terhuyung-huyung. la menahan rasa sakit karena gerakan menghindarnya sedikit terlambat, sehingga kaki Pandawi kenai bagian atas dada kirinya dengan telak. Kalau saja tangan Pendekar Mabuk tidak menahan, maka tubuh Karina akan jatuh terbanting dengan cukup keras. Pandawi tampak semakin bernafsu untuk membunuh Karina. Pedang pun dicabut dari sarungnya, Sraaang..!
"Kubalas kematian Aryaseta dengan pedang ini, iblis ganjen! Heeeah..!"
Wik, wik, wik, wik...! Wuuus...! Beet...!
Pedang itu sempat dimainkan dengan satu tangan.
Traaang...!
Setelah diputar-putar sebentar, Pandawi melesat dalam satu lompatan rendah dan menebaskan pedangnya ke arah leher Karina. Tetapi pedang itu tertahan oleh bumbung tuak Suto yang tiba-tiba berkelebat di depan Karina. Benturan bumbung tuak dengan pedang Pandawi timbulkan suara denting seperti besi bertemu besi. Pedang.itu terpental ke belakang, ditambah putaran tubuh Suto hasilkan tendangan balik yang kenai perut Pandawi dengan kuat.
Buuukh...!
"Uuukh..! Pandawi terpekik sambil terlempar
ke belakang dan membentur pohon dengan cukup keras. Bruuk...! Bluuuk...! la jatuh terduduk sambil menyeringai menahan sakit di perutnya.
Pendekar Mabuk segera maju dua langkah setelah Karina sudah mampu berdiri sendiri. Mata pemuda tampan murid si Gila Tuak itu tertuju kepada Pandawi, tapi sorot pandangan mata itu tidak memancarkan permusuhan. Justru senyum kelembutan Suto Sinting bagai dipamerkan di depan gadis berang itu.
"Barangkali kau salah sangka, Pandawi!" ujar Suto Sinting, sok akrab.
Pandawi bangkit dan menggeram lirih, memancarkan permusuhan.
"Kau mau ikut campur urusan ini, hah?! Kau sudah hancurkan tempatku mengabdi sebagai prajurit Ratu Kehangatan, sekarang kau ingin campur urusan pribadiku dengan gadis gila itu?!"
Senyum si murid sinting Gila Tuak semakin lebar, sambil benaknya mengingat hancurnya Istana Kematian itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Darah Pemuas Ratu").
Pandawi menuding dengan pedangnya ke arah Suto, "Kali ini kalau kau ikut campur urusanku, kau akan berhadapan langsung denganku, Keparat! Aku akan melawanmu tanpa menunggu perintah ratuku, Karena sudah tak ada orang yang memerintahku lagi!"
Pandawi bergerak ke kiri dengan badan sedikit membungkuk dan pedang siap hadapi serangan lawan. Tapi Pendekar Mabuk tetap sunggingkan senyum dengan tenang dan pandangi si gadis berpakaian anti senjata tajam itu. Suto Sinting justru membuka bumbung tuak, dan mengangkat bumbung itu dengan tangan kanan untuk kemudian menenggak tuaknya sebanyak tiga teguk.
Glek, glek, glek...!
"Gila! Dia justru minum tuak seenaknya begitu?!" gumam hati Santana yang sejak tadi hanya berani mengintai dari balik pohon, karena ia masih merasa malu memandang seorang wanita, siapa pun orangnya.
"Minggirlah, Suto! Akan kuhadapi sendiri perempuan liar itu!" ujar Karina dengan tegas.
Pandawi semakin berang mendengar ucapan Karina. la segera bergerak menyerang Karina melintasi Pendekar Mabuk. 
Pada saat itulah, Suto Sinting Lepaskan sentilan bertenaga dalam dengan jarinya. Teees...! Jurus 'Jari Guntur' lepaskan tenaga dalam sebesar tendangan kuda jantan. Hawa padat itu tepat kenai rahang Pandawi. Deees...!
"Aaaow..!" Pandawi memekik sambil terlempar ke samping, jatuh berguling-guling dengan napas tertahan untuk atasi sakitnya. la merasakan rahang nya bagai pecah saat itu juga.

*
* *

[:: 8 ::]

GADIS mantan prajurit yang masih gemar mengenakan pakaian perangnya itu, akhirnya hentikan serangannya setelah berhadapan langsung dengan Pendekar Mabuk. Setiap kali la Ingin maju, sentilan jurus 'Jarl Guntur' selalu dilepaskan Suto Sinting. Hawa padat selalu menghantamnya hingga gadis ltu terpaksa jatuh bangun dan mengalami memar di beberapa bagian tubuhnya.
"Kalau kau tak mau jelaskan persoalan sebenar nya aku tetap akan memihak Karina!" ujar Suto, pada akhirnya Pandawi terengah-engah, bicara sambil menahan sakit.
"Dia membunuh kekasihku yang bernama Aryaseta!"
"Benarkah, Karina?"
"Dusta!" sentak Karina dengan keras. "Dia dusta dua kali padamu, Suto! Aryaseta bukan kekasihnya,melainkan hanya seorang pemuda yang ditaksirnya, tapi Aryaseta tak pernah mau membalas cintanya yang berlumur nafsu itu! Kedua, aku tidàk membunuh Aryaseta dengan pedangku atau tanpa pedangku. Justru aku baru tahu sekarang kalau Aryaseta tewas!"
"Kau yang dusta! Siapa lagi yang mampu membunuh tanpa luka tapi membuat darah korban berceceran jika bukan kau! Kau punya jurus pedang 'Satria Lintah' dari si Burung Bengal! Pedangmu bisa
menyedot darah lawan tanpa harus lukai tubuh lawanmu itu!"
"Jurus pedang 'Satria Lintah' hanya bisa menyerap darah lawan, tapi tidak membuat darah itu berceceran, Tolol!" bentak Karina.
"Kau pikir aku..."
"Tunggu!" potong Pendekar Mabuk. "Kurasa ada sesuatu yang perlu kau jelaskan lebih rinci lagi Pandawi. Bagaimana keadaan mayat Aryaseta itu?"
Pandawi mendenguskan napas, merasa muak dengan pertanyaan itu. Tapi ia merasa dipaksa untuk turuti keinginan Suto Sinting, karena ia melihat Jari tangan Suto sudah siap lakukan sentilan maut lagi.
"Kutemukan mayatnya tadi malam di atas tanggul sungai dalam keadaan berlumur darah di bagian leher. Tapi leher Aryaseta tidak terluka sedikit pun,
dan bagian tubuh lainnya juga tak ada Iuka. Dia dibunuh dengan jurus pedang 'Satria Lintah' yang.."
"Bukan!" sahut Santana dengan emosi yang membuatnya berdebar-debar. la tak berani memandang Pandawi atau Karina. Tapi pada saat ia berseru demikian, mata Pandawi dan Karina, juga Suto Sinting dan Panji Klobot, menatap ke arahnya dan menunggu lanjutan kata-katanya.
"Aku juga melihat kematian seperti itu tadi pagi. Mendung Merah melihatku saat aku dikejar Dewi Ranjang. Ia ingin melindungiku dari kejaran Dewi Ranjang. Pertarungan singkat terjadi, dan kulihat sendiri Dewi Ranjang tebaskan pedang panjang itu Ke leher Mendung Merah. Tapi kepala Mendung Merah tak putus. Hanya semburkan darah dan jatuh tak bernyawa lagi. Padahal kulihat jelas saat pedang itu masuk ke dalam leher kiri dan tembus ke leher kanan Mendung Merah!"
Pendekar Mabuk langkahkan kaki cepat-cepat dengan wajah tegang. la dekati Santana dan memutar tubuh Santana agar berhadapan dengannya.
"Mendung Merah tewas di tangan, Dewi Ranjang?"
"Benar, Suto! Ak... aku tadi lupa menceritakan nya padamu, karena... karena aku gugup sekali!" jawab Santana yang membuat Pendekar Mabuk segera tertegun dibayang-bayangi duka.
Mendung Merah pernah bertemu dengan Suto Sinting. Sekalipun gadis itu juga pernah ingin membunuh Suto karena hasutan dari Ratu Ladang Peluh, namun akhirnya mereka bersahabat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode t"Kematian Sang Durjana"). Oleh sebab itu hati Suto menjadi berkabung duka mendengar Mendung Merah tewas di tangan Dewi Ranjang. Geram kemarahan hanya tersimpan dalam hati si Pendekar Mabuk.
"Jika begitu," ujarnya sambil memandang Pandawi. "Aryaseta juga dibunuh oleh Dewi Ranjang. Rupanya perempuan itu mulai gila-gilaan setelah memegang Pedang Jagal Keramat!"
Karina dekati Suto dan berkata pelan, "Aryaseta pernah bercerita padaku, dia diburu-buru seorang Janda liar yang selalu memburu kehangatan pemuda sepertinya. Tapi ia berhasil menghindar. Janda liar itukah si Dewi Ranjang?!"
"Tepat sekali!" jawab Pendekar Mabuk.
Pandawi segera perdengarkan suaranya yang masih bernada penuh keberanian.
"Kalian tak perlu alihkan pembicaraan ke dongeng kuno tentang Pedang Jagal Keramat! Pedang itu tak pernah ada, hanya sebuah dongeng yang tak layak untuk dipercaya!"
"Pedang Jagal Keramat memang ada,Pandawi!" tegas Pendekar Mabuk.
"Tidak ada! Menurut mendiang Ratu Kehangatan, pedang itu hanya sebuah dongeng masa lalu."
"Apa yang kau tahu tentang dongeng pedang itu?!" sahut Karina.
"Hemmm...!" Pandawi sunggingkan senyum sinis. "Kau kira aku tak pernah mendengar dongeng murahan itu? Pedang Jagal Keramat milik seorang petapa dari Gunung Brahmana yang bernama Tapak Lintang"
"Benar, dan aku sudah pernah...."
"Ada dua petapa sakti bernama Tapak Lintang sahut Pandawi yang menandakan ucapannya tak mau dipotong oleh kata-kata Suto tadi.
"Di Gunung Rangkas juga ada petapa sakti yang bernama Eyang Tapak Lintang alias si Rambut Hijau. Sedangkan petapa sakti Eyang Tapak Lintang yang ada di Gunung Brahmana dikenal pula dengan nama
si Mata Putih. Keduanya adalah saudara kembar yang mempunyai seorang adik perempuan dari aliran hitam, tak kutahu siapa namanya. Menurut dongeng yang pernah dituturkan oleh mendiang ratuku, Tapak Lintang si Mata Putih punya pedang pusaka bernama Pedang Jagal Keramat, yang mampu bekerja sendiri jika pemegangnya sudah marah. Pedang itu punya gerakan seperti kecepatan cahaya, dan selalu memenggal kepala lawan. Jika lawan terpenggal Pedang Jagal Keramat, maka kepalanya tak akan terpisah dari lehernya, tapi darahnya menyembur ke mana-mana. Kecepatan dan ketajaman pedang itu membuat kepala tetap terpasang pada tempatnya. Karena menurut dongeng itu, kesaktian Pedang Jagal Keramat tak sempat timbulkan kengerian siapa pun. Bahkan darah korban akan berbau harum bagai taburan bunga aneka warna. Tetapi itu hanya sebuah dongeng yang.."
"Apakah keadaan mayat Aryaseta tidak demikian? Tanpa luka, tapi ada darah, dan darah itu berbau harum?!" sahut Karina dengan lantang dan cepat.
Pandawi diam tertegun. Dalam benaknya teringat ciri-ciri yang ditemukan pada mayat Aryaseta; berdarah tanpa luka, dan darah itu berbau wangi pandan. Akhirnya Pandawi berdebar-debar dalam kesangsiannya.
"Tapi... tapi menurut mendiang ratuku, Pedang jagal Keramat hanya ada dalam dongeng masa lalu yang sering dikisahkan kembali oleh para orangtua pada anaknya saat menjelang tidur?!"
Pendekar Mabuk berkata dengan tenang, "Pedang itu memang ada, Pandawi. Eyang Tapak Lintang di gunung Brahmana juga ada walau tinggal tulang belulang dan berada di dalam gua yang mungkin dikenal dengan nama Gua Perawan Maut.
Sedangkan petapa sakti di Gunung Rangkas yang menurutmu tadi adalah saudara kembar Eyang Tapak Lintang dari Gunung Brahmana itu, juga ada dan sudah tewas. Seorang sahabatku bernama Tenda Biru pernah berguru kepada Eyang Tapak Lintang yang tinggal di Gunung Rangkas!" sambil Suto teringat penjelasan Tenda Biru saat bertemu dengannya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode ("Gadis Tanpa Raga").
Si cantik bermata biru terbungkam seribu kata, seratus bahasa. Ketegangannya mengendur, tapi wajah galaknya masih tampak sebagai wajah seorang prajurit pemberani.
Suto Sinting berkata kepada Pandawi, "Kurasa kau hanya salah paham terhadap..."
Kata-kata itu terpotong oleh teriakan Panji Klobot yang mengejutkan semua orang di situ.
"Awaaas..." sambil Panji Klobot sendiri berlari dengan ketakutan hingga menabrak pohon seberangnya.
Peringatan itu ditujukan kepada Santana yang segera melompat dan berguling-guling di tanah beberapa kali, karena sekelebat bayangan menerjang nya dari belakang. Wuuus...! Andai saja Santana terlambat bergerak, entah apa jadinya. Karena orang yang menerjangnya dari belakang itu adalah seorang perempuan berjubah hijau yang tak lain adalah si Dewi Ranjang. Kemunculan Dewi Ranjang membuat mereka bergerak ke satu sisi membentuk kelompok dengan masing-masing memasang kuda-kuda.
Kecuali Panji Klobot. Santana sendiri segera melepaskan kuda-kuda nya dan berlari ke balik semak. Grusaak..!
Ia bersembunyi di sana, disusul oleh Panji Klobot yang juga merasa takut melihat Dewi Ranjang, sebab perempuan itu memanggul pedang panjang di pundaknya. Pedang itu berwarna putih tanpa karat dan dipanggul dengan Satu tangan memegangi gagangnya.
"Kenapa kau bersembunyi di sini?" tanya Panji Klobot kepada Santana.
"Aku takut... takut dan malu pada perempuan itu karena.. karena.... Kau sendiri mengapa bersembunyi di sini?"
"Aku juga malu pada perempuan itu."
"Apakah kau pernah bercumbu dengannya?"
"Belum," jawab Panji Klobot dengan polos dan kepala menggeleng lugu.
Sementara itu, Dewi Ranjang sunggingkan senyum menatap ke arah Pendekar Mabuk dengan sorot pandangan mata menggoda. Pendekar Mabuk memang memandang ke depan dengan sikap yang segera ditenangkan, bumbung tuak berada di tangan kanan. Tetapi pandangan mata Suto tidak tertuju ke mata Dewi Ranjang, sebab ia tak mau terkena pengaruh kekuatan ilmu pemikat dari perempuan itu yang bisa dilepaskan sewaktu-waktu. Pandangan mata Suto tertuju pada dedaunan yang ada jauh di belakang telinga Dewi Ranjang.
Sedangkan Pandawi dan Karina sempat terperangah sesaat dengan mata tertuju pada pedang yang yang dipanggul Dewi Ranjang itu. Hati mantan prajurit wanita Istana Kematian itu pun segera menggumam kagum.
"Benarkah pedang itu yang bernama Pedang Jagal Keramat?! Oh, kalau begitu apa yang pernah dituturkan oleh mendiang Ratu Kehangatan itu bukan sekadar dongeng. Mungkin ia katakan sebagai dongeng supaya tak ada orang yang berusaha ingin memiliki pedang tersebut?!"
Karina berbisik kepada Suto Sinting, "Aku yang hadapi dia! Minggirlah, Suto..!"
"Mundurlah! Biar aku yang hadapi!"
"Tak bisa! Aku yang hadapi dia!" Karina ngotot.
"Kuperintahkan kau, mundur!" tegas Pendekar Mabuk. Karina ingat perjanjian semula, akhirnya ia mendengus kesal dan undurkan diri.
"Pandawi, mundurlah kau!"
"Aku ingin membalas kematian Aryaseta!"
"Kau akan membuang nyawa sia-sia! Mundurlah!" Suto tampak berkasak-kusuk. Pandawi ingat sentilan maut Suto yang membuat tubuhnya sampai saat itu masih memar dan nyeri semua. Dengan hati dongkol dan kecewa, akhirnya Pandawi mundur ke bawah pohon. Tapi pedangnya masih digenggam kuat-kuat untuk hadapi bahaya sewaktu-waktu.
Pendekar Mabuk maju tiga langkah dengan tenang. Senyumnya menghiasi wajah tampan dan wajah tampan itu mendebarkan hati Dewi Ranjang. Apalagi pandangan mata Suto sering tertuju ke arah lain, seperti pemuda angkuh, maka sikap itu membuat Dewi Ranjang kian berdebar-debar dan berhasrat ingin bercumbu dengan pemuda tampan tersebut.
"Tentunya kau masih ingat padaku, Pendekar Mabuk?!" Dewi Harjang mulai perdengarkan suaranya. Tentu saja aku masih ingat padamu, karena kau sudah lama mengincarku, mulai dari alun-alun istana Bardanesya sampai ke Bukit Kecubung!"
"Benar! Tapi karena saat itu kau ada bersama Candu Asmara, maka aku tak ingin memburumu. Aku tak ingin berselisih dengan Candu Asmara, sebab ia hanya akan membuat tanganku kotor!"
"Katakan saja, kau takut berhadapan dengan Candu Asmara!" 
"Hmmm," Dewl Ranjang mencibir sinis. "Apa yang perlu kutakuti dari gadis binal itu?! Apalagi sekarang pedang ini ada di tanganku, tak ada satu pun manusia yang kutakuti di muka bumi ini! Siapa pun akan kutundukkan dengan kalem. Pedang Jagal Keramat ini, termasuk keangkuhanmu, Pendekar Mabuk!"
Suto membalas senyuman sinis itu dengan kalem.
"Boleh saja kau menundukkan diriku. Tapi jelaskan dulu dari mana kau peroleh pedang pusaka itu?!"
"Guruku telah berhasil menemukan Gua Perawan Maut dan berhasil pula mencuri pedang Ini!"
"Dan pedang itu pun kau curi dari tangan gurumu?!"
"Kupinjam untuk menundukkan dunia!!" Jawab Dewi Ranjang berkesan sombong.
Kau bukan orang yang berhak memiliki pedang pusaka itu, Dewi Ranjang," sambil Suto berlagak memeriksa daun-daun semak, tapi perhatiannya tertuju ke arah gerakan si Dewi Ranjang yang tersenyum mendengar ucapan Suto tadi.
"Jika aku bukan orang yang berhak memiliki pedang ini, mengapa pedang ini bisa di tanganku, ini menunjukkan bahwa aku adalah calon penakluk dunia yang tak ada tandingannya lagi, Pendekar Mabuk! Kau pun harus tunduk padaku jika tak ingin mati seperti Wabah Langit, Aryaseta, Mendung Merah, Lembah Wuyung, dan yang lainnya."
"Mengapa kau bunuh Wabah Langit?"
"O, dia orang tua yang tak tahu diri! Dia ingin mencuri pedang ini saat ku sembunyikan di balik batu berlumut. Tapi aku lebih dulu mendapatkannya. Dia ingin merampas, dan aku merenggut nyawanya. Lembah Wuyung juga ingin merampas pedang ini, dan aku merampas nyawanya lebih dulu."
"Juga Aryaseta dan Mendung Merah?"
"O, tidak! Mendung Merah hanya ingin menjadi pahlawan di depan pemuda yang sedang kugandrungi. Tapi akhirnya ia menjadi mayat di ujung pedang ini. Aryaseta menyakiti hatiku dengan penolakannya, maka kukirim ke neraka agar bisa menyakiti hati para perempuan penguni neraka! Sebentar lagi kalian yang ada di sini juga akan kukirim ke neraka jika coba-coba melawanku. Terutama Santana akan kujadikan seperti Aryaseta, karena ia telah berani menolak kasmaranku!"
Santana gemetar di balik semak saat mendengar kata-kata Dewi Ranjang. Getaran tubuhnya Membuat daun-daun semak ikut bergetar pula hingga timbulkan suara gemerisik.
"Kau boleh bangga bisa menumbangkan si Hantu Urat iblis, tapi jangan harap kau dapat menundukkan diriku. Pendekar mabuk!." Ujar Dewi Ranjang
"Kurasa kita memang tak perlu saling unjuk kekuatan." Suto sinting membalas kata-kata itu dengan kalem, "Yang kita perlukan adalah kesepakatan"
"Kesepakatan untuk menjadi pelayanku? Oh, itu Yang kuharapkan! Sejak dari alun-alun istana Bardanesya, aku memang sudah ingin dilayani olehmu,Pemuda tampan! Kebetulan kau berada di sini, dan kurasa ada baiknya jika sekarang juga kita berdua pergi dari sini! Aku punya tempat yang sangat indah untuk berkencan."
"Perempuan mesum!" geram Karina.
Mendengar ucapan Karina Dewi Ranjang pun segera lakukan lompatan dengan pedang panjang ditebaskan menggunakan kedua tangannya.
Hiaaaat....!
Pendekar Mabuk segera berkelebat dengan satu lompatan cepat ke arah Dewi Ranjang. Zlaaap..!
Bumbung tuaknya digunakan menangkis datangnya pedang tersebut.
Jeggarrr...!
Ledakan begitu dahsyat nya mengguncang kan tanah serta pohon di sekitar tempat itu. Pedang sakti beradu dengan bumbung tuak sakti, ternyata mengakibatkan alam sekitar tempat itu menjadi seperti di Landa kiamat.
Sentakan gelombang ledak itu menumbangkan beberapa pohon dan meretakkan tanah hingga longsor ke dalam. Semua yang ada di tempat itu terpental, termasuk santana dan Panji Klobot yang bersembunyi di balik semak - semak.
Pendekar Mabuk sendiri terlempar hingga menabrak pohon dengan keras. Pohon itu langsung tumbang dan nyaris menimpa tubuh Panji Klobot. Untung anak muda lugu itu segera ditarik Santana. sehingga ia lolos dari tumbangan pohon yang lumayan besar itu.
Karina dan Pandawi juga terlempar berbeda arah, namun mereka segera bangkit walau sambil menahan sakit. Karina mencemaskan keadaan Suto Sinting, sehingga ia segera hampiri pemuda itu. la dan Pandawi sama-sama menyimpan keheranan dalam hatinya melihat bumbung tuak Suto tidak menjadi hancur walau telah beradu dengan pedang pusaka tersebut. Bahkan lecet pun tidak. 
Sementara itu, Pedang Jagal Keramat sempat terlepas dari tangan Dewi Ranjang yang terlempar sejauh sepuluh langkah dari tempatnya semula. Tubuh perempuan itu terbanting cukup keras, hingga tulang-tulang tubuhnya terasa lepas dari engsel.
Perempuan itu mengerang lirih sambil merangkak dan meraih pedang panjang lagi.
"Uuukh...!" Dewi Ranjang tersentak ke depan,terbungkuk Sesaat, dan darah kental keluar dari mulutnya walau tak seberapa banyak.
"Setan! Ledakan itu membuat dadaku terasa Sakit sekali! Uuuh...! Bambu apa yang dipakai si Pendekar mabuk tadi, hingga membuat aku dan pedang ini terpental begitu jauh. Uuuuh...! Dadaku...."
Dewi Ranjang segera tarik napas pelan-pelan dan salurkan hawa dingin ke dalam dadanya. Kejap berikut ia merasa sudah agak lumayan dan mampu berdiri dengan tegak walau belum berarti,bebas dari rasa sakit dan luka.
"Suto, kau tak apa-apa?!" Karina membantu Pendekar Mabuk berdiri. Tapi sebelum tangan Karina menariknya, pemuda itu sudah tebih dulu bangkit, karena ia merasa malu jika tampak lemah di depan gadis-gadis seperti Karina danPandawi yang ikut memandanginya.
"Aku tak apa-apa, Mundurlah lagi kau, Karina!"
ujar Suto Sinting, kemudian ia menenggak tuaknya dua teguk, sehingga kekuatannya pulih kembali.
Pada saat itu, Dewi Ranjang serukan pekik kemurkaannya.
"Hiaaat..."
Tubuhnya melayang bagaikan terbang terbawa pedang pusaka itu, karena pedang itu meluncur lurus ke arah dada Suto dengan dipegangi oleh kedua tangan Dewi Ranjang.
"Suto, awaaass...!" teriak Karina sambil melompat ke balik pohon yang masih tidak ikut-ikutan tumbang seperti yang lain.
Pendekar Mabuk segera melompat lurus pula Setelah bumbung tuaknya diputar satu kali. Bumbung tuak itu pun bagai membawa terbang Suto Sinting, meluncur lurus dengan ujung bawah bumbungmengarah ke depan. Wuuuusss....!
Jurus 'Bangau Mabuk' dipakai Suto untuk melawan kekuatan Pedang Jagal Keramat. Ujung bumbung itu diadu dengan ujung pedang yang keluarkan sinar ungu saat ingin berbenturan.
Claapp...!
Jlegaaarr...!
"Aaakh...!" keduanya sama-sama memekik. Ledakan dahsyat terjadi lagi dengan timbulkan gelombang badai yang memutar di tempat pertemuan bambu tuak dengan pedang tersebut. Gelombang badai itu memutar sangat kuat, sehingga keduanya sama-sama terpental berbeda arah dan jatuh terbanting kehilangan keseimbangan tubuh. 
Wuuurrss...!
Bumbung tuak Suto terlepas dari tangannya berjarak sekitar tujuh langkah dari tempatnya jatuh. Tetapi pedang pusaka itu masih tergenggam kuat-kuat di tangan Dewi Ranjang. Bahkan sekarang pedang panjang itu bagai mempunyai kekuatan yang mampu membuatnya bergerak sendiri. Dewi Ranjang hanya mengikuti gerakan itu, bahkan lebih tepatnya terbawa ke mana pedang itu pergi.
Weeess...! Pedang itu meluncur kembali ke arah Suto Sinting dan bergerak meliuk-liuk dengan menyeret tubuh Dewi Ranjang yang tak menyentuh tanah itu.
Pada saat itu Suto Sinting baru saja bangkit sambil menahan rasa perih di sekujur tubuhnya yang seperti disayat-sayat oleh senjata tajam itu. Ia terbelalak kaget melihat pedang panjang telah bergerak ke arahnya. Maka dengan cepat ia pergunakan kan jurus 'Gerak Siluman' untuk menghindarinya.
Tapi pedang itu ternyata bisa membelok secara patah dan mengejar Suto Sinting. Dewi Ranjang masihh tetap terbawa oleh gerakan pedang itu seperti ekor naga berkelebat mengikuti kepalanya.
Zlaaal,zlaaap....!
"Ambil pedangku Inil!" teriak Pandawi, lalu melemparkan pedangnya ke arah Suto Sinting. Wuut...!
Sebenarnya Suto tak ingin pergunakan pedang itu, karena la ingin lepaskan jurus 'Pukulan Gegana'-nya. Tapi berhubung pedang Pandawi sudah terlanjur melayang ke arahnya, maka Suto Sinting melompat dan menangkap pedang itu. Wees...!
Taab....!
Begitu pedang kekar Pandawi berada di tangannya, maka Suto pun segera pergunakan jurus pedang yang bernama jurus 'Cakar Maut'. Jurus itu mempunyai kecepatan gerak yang sukar dilihat mata manusia biasa.
Wut, wut, wut, wut, wut...!
Dar, dar, dar, darrr...!
Setiap benturan dengan Pedang Jagal Keramat selalu keluarkan ledakan walau tak sekeras tadi. Percikan bunga api pun menyebar ke mana-mana.
Sementara itu, pedang panjang tersebut bagai bergerak sendiri melawan jurus pedang 'Cakar Maut'.
"Heeeeaaaah...!"
Pendekar Mabuk berteriak keras dan panjang. Kini la pergunakan jurus 'Pedang Siluman' yang sangat dahsyat. Bukan saja mata manusia yang tak dapat melihat gerakan itu, tapi juga mata sakti pedang Jagal Keramat sulit mengikuti gerakan Pedang Siluman hingga tak bisa lakukan tangkisan.
Slap, slap, slap..! Craasss...!
"Aaaaa...!" Dewi Ranjang memekik keras-keras Tubuhnya terlempar ke belakang dan Pedang Jagal Keramat jatuh ke tanah, karena saat itu pedang yang dipakai Suto telah berhasil memotong kedua pergelangan tangan Dewi Ranjang. dan tebasan terakhir merobekkan dada perempuan itu dari perut sampai ke leher.
Bruuuk..! Dewi Ranjang jatuh terkapar bermandi darah. Matanya terbeliak-beliak sesaat, kemudian diam tak bergerak dalam keadaan mendelik tak bernyawa lagi.
"Huuuufffh...!" Pendekar Mabuk hempaskan napas lega dengan kendurkan kėtegangannya. Pedang milik Pandawi yang digenggam dengan kedua tangan dan berdiri tegak di dada kanannya itu telah diturunkan.
Pandawi ingin memungut Pedang Jagal Keramat yang tergeletak di tanah. Tapi baru saja ia bergerak, Karina lemparkan pedangnya ke arah Pandawi.
Wuuut...! Jruuub...! Pedang Karina menancap ditanah depan kaki Pandawi.
"Jangan kau sentuh pedang itu!" sentak Karina dengan mata mendelik. Pandawi hentikan langkah menahan kedongkolan. Pedang Jagal Keramat segera dipungut Pendekar Mabuk.
Pandawi menerima pedangnya kembali dari tangan Pendekar Mabuk, "Terima kasih atas kebaikanmu meminjamkan pedangmu itu. Pandawi."
"Ternyata kau pun pandai bermain pedang, suto," ujar Karina sambil mencabut pedangnya yang menancap di tanah.
"Sedikit bisa," Jawab uto merendah. Lalu, ia pandangi Pedang Jagal Keramat itu.
"Aneh. Mengapa psdang ini tidak menjadi liar di tanganku? la tidak bergerak sendiri seperti tadi?!"
"Mungkin pedang itu akan kergerak sesuai dengan hati pemegangnya," ujar Karina, Jika pemegangnya sedang marah, maka pedang itu akan bergerak murka. Tapi jika hati pemegangnya sedang kasmaran, la pun akan diam dengan kelembutannya tersendiri..."
"Kasmaran...?!" pendekar tampan itu berkerut dahi menatap Karina, Ialu tersenyum kecut. Karina buang muka dan merah wajahnya. Pandawi menyahut dengan kata sinis.
"Kau yang kasmaran atau dia? Kalau dia, tak mungkin kasmaran padamu, Karina!"
"Diam kau!" sentak Karina, dan terdengarlah tawa Pendekar Mabuk yang mirip orang menggumam.
Santana dan Panji klobot muncul dari samping Suto. Suara pemuda itu segera terdengar.
Lalu, akan kau kemanakan pedang itu, Suto?
"Kuserahkan kerpada titisan Eyang Tapak Lintang alias si Mata Putih dari Gunung Brahmana itu.
"Siapa titisan tersebut??"
"Mungkin aku??" sahut Panji Kiobot sambil acungkan jarinya ke atas dan wajahnya tampak polos tanpa senyum. Mereka mencibir geli dan saling melengos.
"Sampai sekarang aku tak tahu, siapa titisan Eyang Tapak Lintang itu? Aku juga tak tahu, mengapa si Jahanam Tua ingin menghancurkan titisan tersebut?" ujar Suto Sinting sambil memandang jauh bagai menerawang. Pedang Jagal Keramat dipanggul dengan tangan kiri, setelah bumbung tuak diambil dan digantungkan di pundak kanannya.

[:: SELESAI ::]

92.Darah Pemuas Ratu --oo0oo-- 94.Bibir Penyebar Maut

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.