Life is journey not a destinantion ...

Bibir Penyebar Maut

INDEX SUTO SINTING
93.Pertarungan Dewi Ranjang --oo0oo-- 95.Dalam Pelukan Musuh

SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi


ǂ: 1 :ǂ

KICAU burung pagi telah hilang sejak tadi. Mereka sudah malas berkicau jika matahari mulai tinggi, karena merasa dicuekin oleh sesama penghuni bumi, termasuk manusia. Hilangnya kicau burung membuat hutan di kaki Bukit Jelaga itu menjadi sunyi. 
Di sela-sela sunyi itu ada suara tangis mengharukan hati orang yang mau terharu. Suara tangis itu terdengar samar-samar, seakan diredam oleh kerimbunan semak serta pepohonan hutan. Entah apa alasan suara tangis itu ada di hutan tersebut,yang jelas suara tangis itu datang dari mulut seorang perempuan. Belum diketahui, apakah perempuan itu muda atau tua, cantik atau keriput, tapi sepasang telinga lelaki sedang menyimaknya dari kejauhan.  
Suara tangis itu lebih mengharukan hati si pemilik telinga lelaki, karena di sela-sela tangis terdapat syair tembang yang merobek hati. Syair duka itu tersusun dengan sendirinya, karena curahan hati yang meratap pilu.
"Sunyi sepi sendiri, sejak ditinggal mati. Tiada kawanku lagi, hidupku sendiri Sahabat karibku, telah meninggalkan daku, Kudoakan semoga masuk surga,
Hampa kini harapan, Kekasih tak bernyawaYang kuterima sengsara, esok siapa yang bayar hutang....."
Ada senyum trenyuh di wajah si pendekar gelap. Senyum haru itu memaksa si pendekar Untuk makin dekati ratap tangis itu. Semakin menuju ke tepian hutan semakin Jelas isak tangisnya. Namun isak tangis yang meratapkan tembang itu segera hilang ketika mendengar langkah kaki menginjak ranting kering.
"Ooh..?! Sii... siapa itu?!" si penyandang tangis terkejut dan menjadi takut. 
Matanya yang basah oleh air mata dan keringat itu memandang ke arah semak-semak dengan tegang.
Ternyata si penyandang tangis adalah seorang gadis cantik berwajah mungil dengan rambut dikepang duą. Gadis itu mengenakan gaun bawah merah jambu yang dirangkap jubah lengan panjang warna kuning kembang-kembang merah. Dengan giwang merah sekecil biji ketimun, dan kalung emas berliontin batu merah cabe, gadis itu tampak lebih cantik dan menawan.
Krusakk, kusak, kraakkk....!
"Sssi.. siapa... siapa di situ?! Maa...manusia apa singa?!"
Sapanya dengan suara bergetar. Ia melangkah mundur hingga merapat dengan sebatang pohon, bersiap untuk larikan diri.  
"Jawablah, hai makhluk di balik semak. Siapakah kau? Manusia atau kera?!"
"Kera...!" jawab suara si makhluk di balik semak.
"Oh, jangan... jangan mendekatiku! Aku takut kera! Pergilah sana ke bangsamu, sesama kera!"
Tapi si makhluk di balik semak justru nekat keluar dari persembunyiannya. Bruuss...! la menerabas dedaunan semak, lalu sunggingkan senyum tipis yang mengejutkan hati si gadis.
"Ooh...?!" si gadis segera menutup mulutnya dengan jari tangan yang lentik setelah ia memekik. Matanya semakin lebar dan tampak bundar indah.
"Ampun, Kera. Ampuuun... aku tidak bermaksud mengganggu tidurmu, Kera."
Lelaki muda yang punya wajah ganteng dan postur tubuh atietis itu dongkol-dongkol geli. Akhirnya pemuda itu berkata dengan suara agak keras, namun berkesan kalem.
"Aku bukan kera! Aku manusia sepertimu juga yang punya nama Suto Sinting!"
"Manusia?" gumam lirih si gadis. "Suto Sinting?!, Ooh... apakah... apakah kau juga ingin membunuhku?!"
Pemuda tampan yang ternyata Suto Sinting si Gila Tuak alias si Pendekar Mabuk itu segera gelengkan kepala sambil lebarkan senyum agar tak kelihatan menyeramkan. la sendiri heran, mengapa gadis cantik berusia sekitar dua puluh dua tahun itu merasa takut, sedangkan saat itu Suto sudah hadir bersama senyum yang sering menggetarkan hati para wanita.
"Apakah wajahku sudah seangker kuburan keramat?!" pikir si Pendekar Mabuk sambil menggantungkan bambu sedepa yang disebut sebagai bumbung tuak sakti itu.  
"Nona manis, aku bukan seorang pembunuh, darahku bukan darah pembunuh. Kau tak perlu takut padaku," ujar Pendekar Mabuk dengan tutur kata dan suara yang lembut menenangkan hati si gadis. Hati itu menjadi lebih tenang lagi setelah memperhatikan Suto cukup lama.
Hati si cantik akhirnya mengakui, pemuda berbaju buntung warna coklat dan celana putih kusam itu memang tidak pantas untuk ditakuti. Wajah ganteng dengan rambut sepundak lurus tanpa ikat kepala dan sorot mata yang lembut itu akhirnya membuat ketegangan si gadis pun surut.
Pendekar Mabuk sendiri menatap si gadis tiada berkedip, karena kecantikan gadis itu adalah kecantikan yang alami, polos, dan punya nilai orisinil sekali. Tanpa make-up, tanpa operasi plastik, dan tanpa mantra-mantra pemikat apa pun. Wajah itu adalah wajah imut-imut yang enak dipandang dan indah dikhayalkan.
"Gadis ini pantas meniadi buah khayalan menjelang tidur. Hmmm... tambah satu lagi bahan khayalanku sebelum aku tidur nanti," Suto Sinting membatin sambil makin dekati gadis itu. Si gadis diam saja, karena ia sudah yakin bahwa yang mendekat bukan jenis kera atau monyet.
"Mengapa kau ada di tempat ini, Nona?"
"Aku... hmmm.. aku... aku menangis," jawab sigadis dengan gugup, karena seperti baru sadar dari mimpinya. Mimpi bertemu dewa ganteng yang pantas dinamakan dewa slebor.
"O, jadi kalau kau mau menangis, kau lari ke hutan ini, baru bisa menangis?!"
Si gadis menggeleng, ia menengok ke arah belakang, menatap pada sebongkah batu besar yang memanjang seperti punggung kerbau tanpa kaki itu.
Kemudian menatap Suto lagi dengan air mata bergulir membasahi pipinya yang berwarna merah dadu. la tampak sedih, dan senyum Suto pun dikurangi
agar tak berkesan menertawakan kesedihan si gadis. 
"Apa yang terjadi sebenarnya, Nona?!" tanya suto dengan serius.
"Kedua sahabatku... hancur bersama..Lesmana. Ooh...Hik, Hik, Hik ,Hik...."
Gadis itu akhirnya menangis lagi secara terang-terangan. Naluri kejantanan Suto segera menggerakkan tangannya dan meraih gadis itu dalam pelukan. Si gadis tak malu-malu lagi untuk curahkan tangis dukanya di dada bidang si pemuda tampan itu.
Pendekar Mabuk mengusap-usap kepala si Gadis dengan bujukan-bujukan bersuara lembut. Sambil memeluk si gadis, mata Suto pun tertuju pada batu yang mirip punggung kerbau itu. Dahi Suto Sinting berkerut melihat tiga gundukan abu dan arang seperti bekas api unggun.
"Apa yang aneh? Apa yang membuat gadis ini menangis melihat ke arah sana?" pikir Suto Sinting. walau mulutnya meluncurkan kata-kata lembut untuk menenangkan tangis si gadis.
 Setelah ratap tangis itu mereda, tinggal isaknya yang sesekali menyentakkan dada mengguncang kepala, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu akhirnya ajukan tanya kembali tentang sepotong nama yang tadi disebutkan si gadis.
"Siapa Lesmana itu, Nona?"
"Putra dari Paman Tumenggung."
"Ada apa dengan Lesmana?"
"Dia... dia hancur. Hancur bersama Siswatama dan Sukesni."
"Hancur bagaimana? Hmm.. oh, ya.., duduklah Sini dulu dan jelaskan maksudmu, Nona."
Gadis itu didudukkan pelan-pelan disebatang pohon yang telah lama tumbang. Di situ si gadis mengeringkan air matanya dengan kain lengan bajunya yang longgar.
Sebenarnya Suto Sinting ingin sekali mengeringkan air mata ltu. Tapi karena baru kenal, bahkan belum tahu nama si gadis, maka Suto tak berani lakukan hal itu. Takut dinilai kurang ajar. menggunakan kesempatan dalam kedukaan.
"Nona kalau boleh kutahu, siapa namamu dan dari mana asalmu?"
"Satu-satu dulu, ya?" ujarnya dengan nada manja, wajah sedikit terdongak mata memandang Suto yang berdiri di depannya. Suto Sinting mengangguk dengan senyum geli tertahan.
"Mau menjawab pertanyaan saja pakai minta satu-satu jawabannya. Tak usah minta begitu juga memang harus dijawab satu persatu!" gumam Suto dalam hati setengah menggerutu.
"Kau mau tahu namaku lebih dulu atau asalku?"
"Terserah, kau lebih suka menyebutkan nama atau asalmu lebih dulu. Yang jelas, tadi aku sudah memperkenalkan diri sebagai manusia yang bukan kera dan punya nama Suto Sinting.".
"lya, aku masih ingat," ucap si gadis bernada manja-manja duka. 
"Aku berasal dari Kadipaten Buranang, namaku... ah, namaku jelek sekali. Lebih baik tak usah disebutkan saja, ya?"
"Harus kau sebutkan, karena aku tadi sudah menyebutkan namaku. Itu tandanya kita bersahabat, bukan bermusuhan. Apakah kau tak mau bersahabat denganku?"
"Mau, mau...! Mau sekali" sergah si gadis, tapi akhirnya buru-buru diam dan surutkan wajah, karena segera sadar bahwa kegirangannya bertemu Suto tak boleh ditonjolkan senorak itu.
 "Baiklah, akan kusebutkan namaku, tapi ka kau harus berjanji tak akan menertawakan namaku atau kau menghinanya."
"Aku berjanji!" tegas Suto Sinting.
Gadis itu segera tundukka kepala sambil sebutkan namanya.
"Namaku... Dianti Anggraini."
"Hahh...?!" Suto terperangah. "Nama sebagus itu kok dikatakan jelek?! Edan apa kau ini?!"
"Benarkah namaku bagus?" si gadis bertanya dengan hati berbunga-bunga, karena ia mencoba melupakan tentang dukanya tadi.
"Oh, nama itu adalah nama yang paling bagus dari sekian nama yang pernah kudengar. Berani sumpah ketiban pohon duit! Itu nama yang paling bagus bagiku!" ujar Suto Sinting, walau dalam hatinya berkata, "Tapi biar bagaimanapun aku tetap menyukai dan memuji nama Dyah Sariningrum, karena nama itu adalah nama agung dan suci bagiku. Siapa lagi orang yang akan mengagungkan dan menyucikan nama calon istrinya kalau bukan si calon suami teladan sepertiku ini?!"
Gadis itu berkata dengan senyum masih kaku karena masih ada sisa duka di ujung bibirnya.
"Kau bisa memanggilku: Dian saja."
"Dian...?! Hmmm... Dian itu pelita, lampu, penerang, dan... dan itu berarti kau akan menjadi gadis yang mampu menerangi hati kekasihnya. Misalnya,
menerangi hatiku dan pemuda lain yang kau sukai."
"Tapi... tapi...," Dian mulai merengek sedih lagi. Mana mungkin aku bisa menerangi hati Lesmana, karena dia sudah tidak punya hati lagi. Dia sudah hancur menjadi debu dan arang, oooh...."
Dianti Anggraini menangis lagi. la segera tundukkan kepala dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Suto Sinting terpaksa membujuknya kembali, namun separo hatinya mulai mengupas tentang kata-kata 'hancur menjadi debu dan arang' itu. Pandangan mata Suto pun terlempar ke arah tiga gundukan abu hitam seperti arang sisa api unggun yang ada di dekat batu itu.
"Benarkah Lesmana menjadi abu?" tanya Suto masih sangsi dengan pengakuan Dian.
"Lihatlah sendiri di bawah batu besar itu. Lesmana, Siswatama dan Sukesni.. mereka menjadi abu dan arang setelah bertarung beradu debat dengan orang itu."
Dian hanya gelengkan kepala karena mulutnya tersumbat isak tangis yang menyedihkan.
"Orang siapa?!"
Pendekar Mabuk penasaran, maka segera memeriksa tiga gundukan abu dan arang itu. Ternyata dari setiap gundukan abu itu terdapat sisa-sisa kain yang terbakar dengan motif masih tampak membayang, menandakan sebagai pakain yang hangus terbakar bersama orang yang memakainya. Pada dua gundukan abu juga terdapat arang berbentuk seperti bekas pedang walau sudah menyatu dengan serbuk hitam lainnya yang diduga adalah tulang manusia yang menjadi arang.
Gila! Siapa yang membakar mereka bertiga sekeji ini?!" gumam Suto Sinting, kali ini hatinya terpukul serius melihat kebenaran kata-kata Dian.
"Siapa yang melakukannya, Dian?! Katakan padaku, siapa orang yang sekeji itu?!" sambil Suto Sinting hampiri gadis itu lagi.
"Aku... aku tak tahu. Aku tak kenal dengan orang itu...!" jawab Dianti sambil mengisak karena masih dibayang-bayangi rasa takut dan duka."
"Bagaimana ciri-ciri orang itu?!"
"Galak, ganas, kejam, sadis, ooh... pokoknya menyeramkan!"
"Maksudku, ciri-ciri pakaiannya atau tubuhnya!?"
"Pakaiannya... pakaiannya kalau tak salah berwarna abu-abu kumal. la mengenakan jubah lengan panjang berwarna abu-abu kumal, sepertinya jarang dicuci. Kukunya panjang-panjang berwarna hitam kusam. Ooh... aku ngeri membayangkannya, karena kulihat sendiri dari tempat persembunyianku saat bayangan orang itu menampar siswatama dan Sukesni."
"Bayangan orang itu?! Maksudmu bayangan bagaimana?!"
"Orang itu mempunyai bayangan, dan... dan bayangannya bergerak sendiri menampar Siswatama dan Sukesni. Seketika itu pula mereka berdua menjadi abu. Sedangkan orang itu sendiri saat itu sedang menangkis serangan Lesmana. Tap... tapi akhirnya Lesmana diterjang oleh bayangan orang itu dan ia memekik sambil berasap. Setelah itu menjadi abu seperti itu. Oooh... aku.takut, Suto! Aku takuuut..!"
Gadis itu akhirnya memeluk Suto Sinting dan tak berani duduk sendiri di atas pohon tumbang. la menangis dalam pelukan Suto. Kali ini tangisnya lebih berkesan sebagai tangis ketakutan.
Pendekar Mabuk hanya bisa memeluk tanpa berucap kata sepatah pun. Jiwanya masih terpukul oleh pengakuan Dianti tentang bayangan yang dapat menampar sendiri sementara si pemilik bayangan sedang melakukan hal lain.
"Mana mungkin bayangan bisa bergerak tidak sesuai dengan si pemilik bayangan?!" pikir Suto Sinting sambil la memperhatikan bayangan dirinya ditanah yang sedang memeluk Dianti. 
Ia mencoba bergerak ke kiri, bayangan itu ikut bergerak ke kiri. la sengaja olengkan sedikit badannya ke kanan sambil tetap memeluk Dianti, bayangannya pun ikut bergerak ke kanan.
"Mustahil sekali pengakuan gadis ini. Jangan - Jangan.. dia gadis tak waras otaknya?!" Pikir Suto Sinting mulai sangsi dengan kewarasan otak Dianti.
Pengakuan itu dinilai sebagai celoteh orang gila yang tak pernah berpikir mustahil atau masuk akal.
"Dian, tolong hentikan tangismu dulu. Kita bicara dengan...."
Kata-kata Pendekar Mabuk terhenti seketika, karena tiba-tiba matanya melihat sekelebat bayangan yang bergerak di balik semak-semak seberang.
Suto Sinting mulai curiga dan berbisik kepada Dianti.
"Tetaplah di sini, aku akan kembali setelah pesan-pesan berikut, eeh... aku akan kembali setelah urusan kecil ini!"
"Apa... apa maksudmu?" tanya Dianti dengan cemas.
"Aku mau ke sana sebentar."
"Aku ikut, Suto!" rengek Dianti dengan manja. la memegangi tangan Suto Sinting, takut ditinggal kabur.
"Aku hanya sebentar, Dianti. Kau tetap di sini dulu!""Aku takut..," rengek gadis itu lagi. "Aku Ikut denganmu, Suto! Aku ikut...."
Pendekar Mabuk menarik napas, membuang Kekesalan hatinya dengan hembusan napas panjang. Matanya sesekali. melirik ke arah semak-semak mak seberang. Di sana masih tampak seseorang sedang mengawasinya. Orang itu bersembunyi di balik dua batang pohon yang tumbuh merapat, bagaikan
pohon kembar siam.
"Dianti, aku ke sana untuk satu urusan penting dan berbahaya. Aku tak bisa membawamu!"
"Tidak mau, tidak mau... aku tidak mau ditinggal!" rengek Dianti lagi sambil kedua kakinya menghentak-hentak seperti anak kecil. Rengekan itu membuat Suto merasa ingin membentaknya, tapi ia tak tega lakukan hal itu. Suto hanya menggeram dengan gigi menggeletuk, sementara matanya melirik ke arah semak-semak seberang.
Akhirnya pendekar tampan itu berbisik, "Dianti, di sana ada orang yang mengintai kita. Aku ingin menangkap orang itu dan menanyai apa maunya."
"Hahhh...?! Ada orang mengintai kita?!" Dianti justru berteriak keras-keras dengan wajah menegang takut. Tentu saja teriakan itu didengar oleh sipengintai. 
Akibatnya, mata Suto Sinting melihat bayangan si pengintai melesat ke arah lain. Mungkin berpindah tempat, mungkin pula melarikan diri.
"Sial!" gerutu Suto dengan gigi terkatup rapat.
la menahan jengkel karena tak bisa menyingkirkan kedua tangan Dianti yang berpegangan baju buntungnya kuat-kuat. Bisa saja Suto menyentakkan tangan itu, tapi ia takut membuat si gadis menjerit dan sakit hati. Juga takut kalau bajunya robek tanpa ada penambalnya.
Karena itu, Suto Sinting hanya mengikuti gerakan bayangan itu sejauh mata memandang, tanpa menghiraukan rengekan Dianti yang bernada manja itu.
"Suto, aku di sini sendirian. aku takut sekali. Tolong jangan tinggalkan aku, Suto. Bawalah aku pergi jika kau ingin pergi. Nanti kalau aku sudah pulang ke Kadipaten Buranang, silakan kau pergi sendirian. Tapi untuk sementara ini, tolong....tolong, Suto. Jangan tinggalkan aku sendirian, Suto. Aku tidak
mau menjadi abu seperti merekal"
Rengekan manja dan permintaan yang mengharukan itu hanya bisa dijawab oleh Suto dengan tarikan napas panjang. Tapi dalam hatinya ia masih menggerutu jengkel menghadapi kemanjaan seperti itu. 
"Sial betul! Orang itu telah kabur ke timur! Hmmm... sebaiknya aku harus mengejarnya biar hatiku tak sepenasaran ini. Tapi... ah, bagaimana mungkin aku mengejar orang itu jika harus membawa Dianti?! Pasti aku harus mengimbangi kelambanan gerak larinya, dan itu sama saja membiarkan orang tersebut minggat lebih jauh lagí?!"
Tiba-tiba timbul gagasan di benak Suto. Gagasan itu membuat tangan Suto Sinting bergerak cepat, menotok jalan darah Dianti. Desss....! Dianti terkena totokan Suto Sinting di bawah ketiaknya.
Seketika tu juga si gadis jatuh terkulai bagai tak bertulang lagi. Suto Sinting menangkapnya, lalu segera memanggul tubuh si gadis di pundak kiri, dan ia pun melesat mengejar si pengintai yang bergerak ke timur.
Zlaapp, zlaapp, zlaap..!
Jurus ' Gerak Siluman' yang berkecepatan seperti gerakan cahaya itu dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Kecepatan gerak itu diharapkan dapat menyusul si pengintai yang melarikan diri. Tapi agaknya si bayangan yang lari ke timur itu juga punya kecepatan gerak yang lumayan, sehingga Suto tak bisa mengejarnya dalam waktu singkat.
"Untung aku tadi sempat melihat pakaiannya yang berwarna kuning dan... oh, agaknya dia mengenakan jubah abu-abu juga! Apakah orang itu yang dikatakan Dianti sebagai orang yang mempunyai bayangan bisa bergerak sendiri?!" ujar Suto dalam hatinya sambil mencari arah orang yang dikejarnya. la tak ingin salah arah, sehingga pengejarannya akan sia-sia. 

* * *

ǂ: 2 :ǂ

WAJAH angker muncul di lereng perbukitan Wajah angker yang mirip kuburan tak terawat itu berhadapan dengan wajah cantik yang mirip rembulan berhias. Mereka saling berhadapan dengan tegang. Tatapan mata mereka saling memancarkan permusuhan. Seakan masing-masing saling ingin mengirimkan lawannya ke neraka dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Wajah angker itu milik seorang lelaki berjubah abu-abu dengan rambut putih sebahu tanpa ikat kepala. la adalah tokoh tua yang dikenal darl Pulau Wingit Tongkat merah berukir kepala naga mengangakan mulut ke langit mirip asbak, adalah ciri-ciri yang dikenal oleh para tokoh rimba persilatan. tongkat Seper itu hanya satu pemiliknya, yaitu si Jahanam Tua, kakek berusia tujuh puluh tahun yang tergolong tokoh aliran hitam.
"Sangat kebetulan sekali kau kutemukan di sini! Dengan begitu aku tak perlu lagi menunggu kelengahan si Pendekar Mabuk. Satu kali gebrakan kau pasti akan modar, Anak Iblis!" ujar si Jahanam Tua kepada lawannya yang masih muda,
Berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Gadis yang digertak tidak merasa takut sedikit pun. Gadis ltu sudah mencabut pedangnya dan siap pergunakan Jurus pedang 'Satria Lintah' yang menjadi andalannya.
Si Jahanam Tua agaknya tahu kalau gadis itu punya jurus pedang yang cukup berbahaya, karena itu la selalu menjaga jarak agar tak mudah dijangkau oleh si gadis berjubah tanpa lengan warna jingga, dengan kutang dan celana komprangnya berwarna biru. Siapa lagi yang memiliki jurus pedang 'Satria Lintah' jika bukan si Burung Bengal dan murid perempuannya yang bernama Karina Larasita.
"Kali ini kau akan salah duga, Jahanam Tua. Nyawamu yang akan kukirim ke neraka tanpa ragu-ragu lagi!" ujar Karina dengan mata mengecil memancarkan kebencian dan dendam. Sebab dari dulu si Jahanam Tua selalu ingin mencelakakan dirinya.
Bahkan terakhir kali Jahanam Tua nyaris berhasil membunuh Karina bersama sang guru; si Burung Bengal itu. Beruntung waktu itu Pendekar Mabuk segera datang menolong, Jahanam Tua larikan diri dalam keadaan luka, dan si pemuda tampan itu akhirnya berkenalan dengan sang gadis dan gurunya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:Pertarungan Dewi Ranjang).
Jahanam Tua memutar separo lingkaran, mencari kesempatan bagus untuk lepaskan serangan yang mematikan. Sambil mereka bergerak penuh waspada, si Jahanam Tua serukan kata dengan pandangan matanya yang dingin.
"Kali ini aku tak akan gagal! Kali ini hancurlah kau, Karina! Musnah sudah keturunan si keparat Rukmina yang menjadi ibu harammu!"
"Tutup mulutmu, Jahanam Tua!" bentak Karina. Sekali lagi kau sebut-sebut nama mendiang ibuku, pedangku akan merobek mulutmu dan kubiarkan terbenam di tenggorokanmu!!"
"Jangan sesumbar dulu, Anak lblis! Terimalah ajalmu sekarang juga! Heaaah..!"
Jahanam Tua sentakkan kaki kirinya ke tanah.
Deess..! Tubuhnya melesat seperti anak panah dengan tongkat dihantamkan ke kepala Karina.
Wuuut....! Weeess....!
Karina nyaris tak melihat gerakan si JahanamTua. Gerakan pedangnya yang terangkat ke atas adalah gerakan naluri yang di luar pemikirannya. Pedang itu beradu dengan kepala tongkat merah.
Trakkk..!!! duaaarrr..!!! Benturan tongkat dengan pedang menghasilkan satu ledakan yang memancing perhatian seseorang di balik perbukitan itu.
Rupanya tenaga dalam yang disalurkan tongkat itu lebih besar daripada yang disalurkan dalam pedang, sehingga Karina terlempar ke samping dan berguling-guling. Pedangnya terlepas dari genggaman tangan dan jatuh dalam jarak tiga langkah darinya Jahanam Tua mengejarnya dengan menggu-
nakan tongkatnya sebagai tumpuan. Tongkat itu di sentakkan ke tanah dan tubuh Jahanam Tua yang baru saja mendarat sudah melambung kembali, bersalto dua kali ke arah Karina.
"Heeeaaah...!"
Teriakan liarnya membuat Karina bagai diperintah untuk segera lepaskan pukulan jarak jauh dalam keadaan duduk di tanah. Tangan Karina menyentak ke depan, dan dari kedua jarinya keluar sinar biru muda yang melesat lurus tanpa putus ke arah tubuh Jahanam Tua.
Tokoh dari Pulau Wingit itu masih berada di atas pada saat sinar biru muda itu menyerangnya. Dengan cepat ia gerakkan tongkatnya untuk menahan datangnya sinar biru muda sebesar lidi itu. 
Wuutt..! Jgaaarrr..!
Ledakan dahsyat akibat sinar biru menghantam kepala tongkat merah menyebarkan sinar ungu dalam sekejap. Bersama menyebarkan sinar ungu, menyentak pula gelombang padat yang sangat kuat dan membuat Jahanam Tua bagaikan dihantam batu terbang sebesar kuda. Baaahk...! Weess....! Tubuh itu pun terlempar sejauh lima langkah, lalu jatuh terbanting tanpa bisa menjaga keseimbangan gerak.
Brrukk..!
Melihat lawannya jatuh, Karina cepat berdiri dan maju menyerang dengan gerakan plik-plak sangat cepat. Tubuhnya berjungkir balik bagai baling-baling dengan menggunakan kedua tangan dan kaki sebagai alat penopang tubuh.
Wut, wut, wut, wut, wut, wut..!
Begitu tiba di depan Jahanam Tua yang baru mau berdiri, kaki Karina menendang wajah lelaki tua itu. Beet...! Tapi tendangan tersebut berhasil ditangkis memakai tangan kiri oleh Jahanam Tua, sementara tangan kanannya segera sodokkan ujung tongkat ke perut Karina. Plaakk...! Suuut...!
"Uuhk..!" pekik Karina sambil tubuhnya terpental balik ke tempat tadi. 
Sodokan itu membuat Karina mendelik, jatuh terduduk dengan mulut ernganga.
Hampir saja ia menjatuhi pedangnya yang tergeletak di tanah. Maka pedang itu pun segera dlambil dan digenggam kuat-kuat.
Tapi ternyata sodokan si Jahanam Tua mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Karina jadi sukar bernapas, bahkan sekujur tubuhnya mengejang tak bisa digerakkan lagi.
"Modar kau sekarang, Anak Iblis! Heeeaaah...!"
Jahanam Tua melesat dengan niat hantamkan tongkat ke kepala gadis tu. Tapi baru saja tongkatnya terangkat ke atas, tiba-tiba seberkas sinar merah besar seperti bola api datang dari arah kiri si Jahanam Tua. Wuuusss...! Sinar merah seperti bola api itu langsung menghantam pinggang si Jahanam Tua. Karena itu, tongkat tak jadi dihantamkan ke kepala Karina, melainkan justru dipakai untuk menghantam sinar merah seperti bola api itu.
Wuuut, wees...! Blegaaaaarr.!
Sekali lagi ledakan dahsyat terjadi ketika tongkat itu menghantam bola api hingga pecah ke mana-mana. Ledakan itu membuat si Jahanam Tua terhempas dan berguling-guling beberapa kali. 
Pada saat ia sudah bangkit kembali, ternyata Karina sudah tidak ada di tempat. Ada seseorang yang menyambarnya, dan orang itu sekarang berada di bawah pehon, membaringkan Karina. Jaraknya dengan si Jahanam Tua sekitar lima belas langkah lebih.
Si penyambar itu ternyata seorang pemuda berambut pendek yang tak lain adalah Santana, yang sudah mengenal Karina sejak peristiwa pertarungan nya si Dewi Ranjang dengan Pendekar Mabuk itu.
"Monyet burik! Kau mau ikut campur urusan ini, Anak sapi?! Kuhancurkan kau bersamanya!?"
Jahanam Tua memutar tongkatnya sesaat, lalu "Hieaah...!" tongkat disentakkan ke depan dengan mulut naga menghadap lurus ke depan. Dari mulut ukiran naga itu keluar sinar merah berbentuk piringan yang meluncur secara beruntun.
Clap, clap, clap, clap...!
Santana memutar toya bambu kuning menjadi seperti baling-baling. 
Weeerrs...! 
Putaran cepat itu memercikkan bunga api dan sinar kuning terang Ketika toya dihentikan mendadak, sinar kuning itu masih diam di tempat membentuk lingkaran lebar menutupi tubuh Santana.
Pada saat itu pula Santana menyambar Karina lagi dan berkelebat pindah tempat. Wuuuss Sedangkan sinar kuning itu segera dihantam oleh sinar merah berbentuk piringan.
Jlegaar... Blaaar, blaaarr, blaarr..!
Pohon-pohon hancur dihantam sinar merah berikutnya. Bumi berguncang dan sebagian tanah menjadi retak membentuk celah lebar dan dalam Gelombang ledakan tersebut menyebarkan hawa padat ke berbagai arah, sehingga Santana sendiri jatuh tersungkur akibat gelombang sentakan tersebut Hampir saja la mati ditembus pedang Karina yang masih ada dalam genggaman Karina dengan
jari-jari kaku.
Si Jahanam Tua pun terpelanting memutar beberapa kali, sampai akhirnya jatuh terkapar di bawah pohon. Punggungnya membentur akar pohon yang bertonjolan menyerupai batu. la mengerang keras-keras antara berang dan sakit.
Sebelum si Jahanam Tua bangkit lagi, di sisi barat, muncul Pendekar Mabuk yang memanggul Dianti. Langkah pendekar tampan itu terhenti di tanah lebih tinggi, sehingga ia bisa memandang keadaandi tempat Santana dan Karina jatuh bersama. la juga melihat si Jahanam Tua menggeliat bangkit dengan suara menggeram penuh murka.
"Jahanam Tua...?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya. "Dia berjubah abu-abu? Hmm... apakah dia yang tadi mengintaiku?! Dan apakah dia yang punya bayangan bisa bergerak sendiri? Oh, sebaiknya Dianti kubebaskan dari totokannya agar dia bisa pastikan apakah si Jahanam Tua itu yang membunuh Lesmana dan kedua temannya?!"
Jahanam Tua masih memandang Santana dan Karina dengan sorot pandang mata semakin liar dan buas. Tongkatnya siap digunakan untuk menyerang kembali. la melangkah dekati Santana dan Karina.
Saat itu, Santana sedang menggeliat bangkit sambil menyeringai menahan sakit, karena rupanya ketika ia jatuh tulang rusuknya membentur batu sebesar kepala bayi.
"Oh...?! Apa yang kau lakukan pada diriku, Suto?! Kau memperkosaku?!"
"Husy!" hardik Suto tak enak hati. 
"Aku hanya menotokmu agar bisa pergi bersamaku."
"Kau menotokku?! Oh, kurang ajar sekali kau?!" ujar si gadis manja dengan cemberut.
"Maafkan aku. Tapi sekarang lihatlah dulu ke bawah sana. Ada orang berjubah abu-abu. Apakah dia yang mempunyai bayangan bisa bergerak sendiri itu??"
Dianti memandang ke arah si Jahanam Tua. Gadis itu segera terperanjat kaget dan memekik dengan mulut segera ditutup memakai tangannya.
"Ooh...?! Dia...?! Diia..."
"Jadi benar dia orangnya?!"
"Dia si Jahanam Tua, bukan?!"
"Benar. Dia memang si Jahanam Tua. Apakah dia yang membunuh Lesmana?!"
"Bukan. Bukan dia," Dianti menggeleng manja. Tapi aku kenal dia! Dia orang jahat! Dia pernah ingin membantai keluargaku jika kakek tidak mau menunjukkan siapa titisan Eyang Tapak Lintang itu."
"Hahh...?!" Suto Sinting justru kaget mendengar Karina menyebut-nyebut titisan Tapak Lintang Suto Sinting tahu bahwa Jahanam Tua ingin membunuh titisan Eyang Tapak Lintang, petapa sakti yang mempunyai Pedang Jagal Keramat. Si Jahanam Tua juga harus hancurkan orang yang akan melindungi titisan Tapak Lintang. Sedangkan orang yang ditugaskan untuk melindung titisan Tapak Lintang adalah Suto Sinting sendiri. Tapi sampai saat itu Suto belum tahu siapa yang dimaksud titisan Eyang Tapak Lintang itu.
"Mengapa Jahanam Tua memaksa kakeknya Dianti dalam perkara titisan Eyang Tapak Lintang? Berarti kakeknya Dianti tahu siapa sang titisan tersebut?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya. "Suto, kita pergi saja dari sini! Jahanam Tua pasti akan menggangguku jika ia tahu aku ada di sini!" .
"Tunggu sebentar, Dian...."
"Ayolah, Suto.." rengek Dianti dengan manja.
Pendekar Mabuk kibaskan lengan Dianti yang dipegang tangannya, karena pada saat itu ia melihat Jahanam Tua hendak membunuh Santana dengan tongkatnya yang sudah menyala merah seperti besi membara. Dengan cepat Pendekar Mabuk sentakkan tangannya dan lepaskan sinar hijau dari tangan itu. Jurus 'Pecah Raga' yang bersinar hijau itu segera menghantam tongkat si Jahanam Tua.
Claap. Blegaarr...!
"Aaauuu...." Jerit Dianti sambil lari ke balik pohon dengan ketakutan, karena pada saat sinar hijau kenal tongkat ke atas kepala si Jahanam Tua, bumi menjadi guncang kembali seperti akan dilanda kiamat kecil-kecilan. Dianti takut tubuhnya tertimpa langit. Karena langit pun bagai memancarkan sinar merah ketika ledakan itu menyebarkan sinar merah di angkasa.
Jahanam Tua terlempar berjungkir balik di udara akibat daya ledak yang juga memancarkan hawa panas cukup tinggi tu. Sedangkan Santana tersungkur kembali dengan tubuh menimpa Karina.
Keadaan Karina sendiri hanya bisa mendelik dan tak bisa bergerak maupun bersuara, Tapi ia masih sadar akan segala yang terjadi di sekitarnya.
Zlaap, zlaaap...! 
Suto Sinting berkelebat hampiri si Jahanam Tua dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Tak heran jika dalam dua kejap Suto Sinting sudah berada di depan si Jahanam Tua dalam jarak enam langkah. Jahanam Tua baru mau bangkit,
la dongakkan kepala memandang ke depan dan segera terkejut melihat sosok muda berdiri tegak dengan gagah dan tampak perkasa.
"Edan! Dia sudah ada di sini?!" gumam si Jahanam Tua dalam hatinya sambil menahan rasa sakit, karena kini wajahnya menjadi biru memar, bahkan kedua lengan dan dari dada sampai leher juga tampak biru memar agak kemerah-merahan seperti kepiting rebus. Rupanya hawa panas tadi menyiram tubuhnya dan tak mampu ditahan dengan hawa saktinya.
Dengan bantuan tongkat ia masih bisa bangkit dan pandangi Suto dengan sorot pandangan mata penuh kebencian. Yang dipandang tetap berdiri tenang dengan senyum tipis berkesan sinis.
Mengapa kau lari dari tempat pengintaianmu tadi, Jahanam Tua?! Bukankah kau mencari orang yang telah membunuh Hartu Urat lblls?! Bukankah kau juga tahu bahwa akulah orang yang kalahkan si Hantu Urat Iblis?! Kurasa kau Juga tahu bahwa akulah orang yang akan menjadi pelindung titisan Eyang Tapak Lintang."
"Bangsat busuk kau!" makinya dalam geram.
"Kau selalu ikut campur dalam urusanku, Tikus lumbung! Kali ini kau sudah kelewat batas dan harus kuhancurkan, karena kutahu kau yang bernama Pendekar Mabuk dan Raja Gundalana telah memberiku penjelasan, memang kaulah yang kalahkan si Hantu Urat Iblis! Aku memang tahu kau yang akan menjadi pelindung sang titisan itu menurut wangsit yang kuterima dari dewata dalam mimpiku!"
"Lakukanlah! Kau tak perlu mengganggu kedua sahabatku; Santana dan Karina itu. Langsung saja hadapi aku"
"Sutooo.. seru Dianti sambil berlari menuruni lereng perbukitan itu.
"Sutooo... tungggu aku...!"
Bruuss...!
"Dianti?!" pekik Suto kaget melihat Dianti Jatuh terguling-guling. la pun segera berkelebat hampiri Dianti yang masih terguling-guling.
"Aaaaoow....!" Jerit Dianti dengan suara manjanya. Pendekar Mabuk berhasil menyambar tubuh yang terguling-guling dan segera membawanya ke tempat aman.
"Dian, seharusnya kau tetap di atas sana. Jangan Ikut turun!"
"Ouuh. tanganku.. tanganku perih, Suto!
Aduuh.. tulang kakiku bengkak. Bagaimana ini, Suto..?!". rengek Dianti manja sekali. la menangis sambil memegangi bagian yang sakit.
"Minumlah tuakku biar rasa sakitmu hilang!"ujar Suto Sinting, lalu segera menyodorkan bumbung tuaknya.
"Aku. aku tidak boleh minum tuak, Nanti aku mabuk!" ucap si gadis dengan kemanjaan yang menjengkelkan sekali.
"Ini bukan tuak biasa yang mudah memabukkan, ini tuak obat, bisa untuk sembuhkan luka."
"Tapi kalau aku nanti mabuk, bagaimana?"
"Masa bodohlah!" ujar Suto Sinting akhirnya tak bisa sembunyikan kekesalan hatinya
la segera memandang ke arah Jahanam Tua. Matanya segera terbelalak kaget karena si Jahanam Tua sudah tak ada. Mata lebar itu memandang sekeliling, ternyata Jahanam Tua sudah sampai ke puncak bukit, Jauh dari tempat itu.
Rupanya saat Suto Sinting menolong Dianti, Ia memperoleh kesempatan emas untuk melarikan diri secepat mungkin. 
Dalam waktu beberapa kejap, ia sudah sampai di tempat jauh tanpa pedulikan Suto Sinting dan Santana serta Karina. Mungkin juga karena la terluka bakar cukup parah, sehingga ia perlu menyingkir lebih dulu agar kelak dapat hadapi Pendekar Mabuk dalam keadaan segar dan siap betul.
"Sial! Dia melarikan diri sejauh itu!" gerutu Pendekar Mabuk sambil bertolak pinggang.
"Syukurlah dia telah lari," ujar Dianti dengan suara manjanya yang membuat Suto menggeramn dongkol itu.
"Sutooo...! Tolong si Karina ini!" teriak Santana dari tempatnya.
Dianti memandang ke arah Santana dan mena tap seraut wajah cantik milik Karina. la segera ajukan tanya dengan masih menyeringai kesakitan. "
Siapa gadis itu, Suto?"
"Sahabatku!" Suto Sinting bergegas hampiri Santana.
"Suto, kau ingin tinggalkan aku lagi di sini?!" seru Dianti.
"Kalau kau mau kenal sahabat-sahabatku, ikutlah aku!" kata Suto Sinting dengan suara sedikit ketus karena menahan kejengkelan dalam hatinya.
"Bawa aku ke sana, Suto. Aku tak bisa Jalan. Pergelangan kakiku terkilir.
"Uuuh..!" geram hati Suto Sinting. Geregetan sekali dengan kemanjaan seperti itu.

* * *

ǂ: 3 :ǂ

SEANDAINYA Dianti belum terlanjur bicara menyinggung tentang titisan Eyang Tapak Lintang, mungkin Suto Sinting tak keberatan jika harus tinggalkan Dianti. Terus terang saja, Suto tak tahan dengan kemanjaan dan kecengengan Dianti Anggraini itu. Muak, tapi terpaksa harus ditelan terus kemuakannya itu, karena ia butuh informasi dari gadis itu tentang siapa sang titisan yang berhak memegang pusaka Pedang Jagal Keramat itu. Sekarang, pedang tersebut masih dititipkan di Lembah Seram, dalam penjagaan si Kusir Hantu, yaitu seorang tokoh tua berilmu tinggi yang mempunyai dua cucu cantik; Pematang Hati dan Mahligai Sukma. Sedangkan di pondok itu juga tinggal si Tenda Biru dan Panji Klobot.
Bahkan tempo hari, setelah Pedang Jagal Keramat berhasil direbut Pendekar Mabuk dari tangan Dewi Ranjang, mereka segera pergi ke pondok si Kusir Hantu, kecuali Pandawi yang memisahkan diri. Santana akhirnya ikut tinggal di pondok itu bersama Karina, sebab Karina merasa ikut bertanggung jawab menjaga Pedang Jagal Keramat yang pernah diimpikan oleh mendiang ibunya yang bernama Rukmina itu. 
Kini setelah Suto Sinting mengobati Karina, menyegarkan kembali tubuh Santana bahkan Dianti akhirnya mau meminum tuak itu walau terbatuk-batuk tapi menjadi sehat kembali, mereka segera menuju ke Lembah Seram. Karina sempat melirik sinis kepada Dianti, karena diam-diam Karina menaruh simpati kepada Pendekar Mabuk. Namun ia tak mau dinilai sebagai gadis murahan, sehingga rasa simpatinya itu tak diwujudkan dalam kata, dan ia berusaha agar kelihatan biasa-biasa saja terhadap Pendekar Mabuk.
"Semula aku ingin pulang sebentar, memberitahu guru bahwa aku ada di pondok Ki Kusir Hantu. Tapi di perjalanan aku kepergok si Jahanam Tua dan ia ingin membunuhku dengan alasan yang dari dulu tak pernah kuketahui," ujar Karina.
Santana menimpali, "Perasaanku tak enak ketika kau pergi, maka aku segera menyusulmu. Ternyata benar juga, nyawamu hampir saja dicabut se enaknya oleh si Jahanam Tua tadi. Aku tak bisa biarkan hal itu. Lebih baik cabut dulu nyawaku baru cabut nyawamu. tapi lebih baik lagi kalau nyawa kita Tak perlu dicabut-cabut olehnya, seperti sekarang ini."
"Sebuah pembelaan yang perlu mendapat penghargaan istimewa, seharusnya!" ujar Suto Sinting sambil melirik Karina yang ada di sebelah kirinya dan Dianti ada di sebelah kanannya. Karina yang dilirik hanya mencibir angkuh tanpa komentar apa pun.
Kedatangan mereka ke Lembah Seram disambut oleh wajah mendung si Pematang Hati dan Mahligai Sukma. Sekalipun si Kusir Hantu kaget melihat Suto Sinting membawa Dianti Anggraini, tapi justru kehadiran gadis itu yang membuat kedua cucu Kusir Hantu bersikap ketus dan dingin kepada Pendekar Mabuk.
Ternyata si Kusir Hantu mengenal siapa Dianti Anggraini itu.
"Kalau tak salah kau adalah cucu dari Ki Ageng Marning?!"
"Betul. Aku memang cucunya Ki Ageng Marning dari Kadipaten Buranang," jawab Dianti.
"Ooo, rupanya kau kenal dengan kakeknya Dianti, Ki Pujasera?" ujar Suto yang sesekali gemar memanggil nama asli si Kusir Hantu.
"Aku kenal baik dengan kakeknya Dianti. Pepatah mengatakan; 'karena nilai setitik rusak susu Keduanya', artinya, perbuatan jelek sedikit akan menghapus seluruh jasa baik kita. Maka aku tak Pernah lakukan perbuatan jelek sedikit pun terhadap Ki Ageng Marning, sehingga kedua susunya tak sempat rusak!" ujar si Kusir Hantu yang gemar bermain peribahasa dan pepatah yang kadang tidak ada hubungannya sama sekali dengan yang dibicarakan. Apa hebatnya orang yang bernama Ki Ageng Ki Ageng Marning itu? Kurasa dengan ilmu yang dimiliki kakek masih hebat kakek," ujar Pematang Hati kepada adiknya; Mahligai Sukma. Kata-kata itu sengaja agak keras supaya didengar oleh Dianti. 
Tapi ucapan itu tidak membuat Dianti berpaling kepada Pematang Hati. Dianti sibuk bercerita tentang keadaan kakeknya pada saat-saat sekarang. Justru Suto Sinting yang memandang ke arah Pematang Hati dengan hati kesal. Sedangkan Tenda Biru masih diam di pojokan mendengarkan percakapan tersebut bersama Panji Klobot. Di sisi kanannya tampak Karina sedang berkasak-kusuk dengan Santana.
Pendekar Mabuk membawa keluar Pematang Hati. Lalu ketika tiba di bawah pohon samping rumah, Pendekar Mabuk menggeram jengkel dalam ucapannya.
"Kau Kelewatan! Mengapa kau bersikap seburuk itu terhadap Dianti?! Kelihatannya kau tak suka kalau aku datang kemari, ya?!"
Pematang hati cemberut memandang ke arah lain sambil bicara dengan nada seperti orang menggerutu.
"Setiap kali kau ke sini selalu membawa gadis baru! Kau pikir rumah kakekku ini tempat penampungan para gundikmu?!"
"Husy! Tak baik bicara dan beranggapan begitu, Pematang Hati!" sergah Suto Sinting sambil memutar tubuh si gadis berbaju hijau lengan pendek dengan krah kaku.
"Mengapa aku tak boleh beranggapan begitu jika kenyataannya memang begitu?!" debat Pematang Hati yang kini berhadapan dengan Suto Sinting. 
Lanjutnya lagi,
"Kau datang bersama Panji Klobot dan Tenda Biru yang ternyata juga naksir dirimu. Aku diam saja, dan kucoba untuk bersahabat saja dengan mereka, sampai akhirnya aku dan dia seperti saudara sendiri. Lalu kau datang lagi bersama Santana dan Karina. Aku tak tahu Karina naksir dirimu atau kau yang naksir dia. Sekarang kau datang lagi bersama Dianti yang manja sekali padamu itu! Sementara aku di sini sudah lama tak pernah kau hiraukan lagi. Kau sibuk mengumpulkan gadis-gadis cantik dan ditampung di sini, lalu mau diapakan mereka, hah? Mau dibungkus daun satu persatu dan dijadikan pepes campur daun kemangi?!"
Pendekar Mabuk geli sendiri mendengar omelan si cantik bermata bundar itu. Suto mencoba memahami kejengkelan hati Pematang Hati. Mungkin karena la tak pernah memberikan perhatian kepada gadis itu, sedangkan si gadis sangat mengharap perhatian dari Suto, maka hati pun menjadi muak melihat Suto selalu datang dengan membawa gadis lain.
Pendekar Mabuk segera tertawa seperti orang menggumam. Tangannya merangkul Pematang Hati dari samping. la mengajak gadis itu melangkah, tanpa sadar arah mereka ke pohon rindang berdahan rendah yang ada di belakang rumah.
"Seharusnya kau berpandangan lebih luas lagi dan jangan mempunyai dugaan-dugaan buruk tentang mereka, Pematang Hati. Mereka kubawa kemari karena beberapa urusan penting yang menurutku dapat diatasi oleh kakekmu."
"Dan siapa yang mengatasi urusan hatiku Ini?!"
"Urusan hati yang bagaimana?!" sambil Suto hentikan langkah dan memegangi kedua pundak Pematang Hati dengan wajah saling beradu pandang Katakan, urusan hati yag bagaimana? Kau tak pernah berpikir bahwa aku rindu padamu, ingin bicara, ingin bercanda dan sebagainya kau... kau sudah tak punya erasaan manis lagi seperti dulu saat kita beriumpa!" makin lama suara Pematang Hati semakin parau. Rupanya gadis itu menangis karena jengkel menahan rindu terlalu lama.
"Pematang Hati, aku masih memperhatikan dirimu."
"Mana buktinya?!" potong Pematang Hati dengan tangis kian nyata. "Selama ini kau sibuk dengan urusanmu, pulang-pulang membawa gadis baru! Apakah itu bukti kau memperhatikan diriku?! Kapan kau mengajakku bercanda? Kapan kau mengajakku jalan-jalan? Kapan kau melibatkan diriku untuk membantu urusanmu? Tidak pernah, Suto! Semua itu tidak pernah! Padahal aku sangat berharap mendapatkan hal itu darimu! Kau suruh aku diam di rumah, menjaga kakek, aku sudah menurut Tapi kau tidak memberikan pujian terhadap sikap
baikku itu! Kau justru bersikap tak peduli lagi padaku!"
"Pematang Hati!" sergah Pendekar Mabuk.
"Aku benci padamu, Suto! Aku benci padamu! Benci, benci, benci...!" sambil Pematang Hati memukul-mukul dada Suto. Dada bidang itu dianggap beduk yang dipukul dengan pukulan seorang gadis lugu, bukan pukulan bertenaga dalam.
Pendekar Mabuk akhirnya meraih gadis itu dalam pelukan, mendekapnya kuat-kuat sambil membenamkan wajah cantik itu ke dadanya, untuk meredam suara tangis si gadis agar tak didengar oleh pihak mana pun baik golongan putih maupun golongan hltam.
Akhirnya si gadis gelagapan, sukar bernapas. Kemudian ia merontak lepas darl pelukan Suto Sinting dan berlari jauhi Suto. la berhenti di dekat pagar dan memunggungi Suto Sinting, seperti romantika dalam film India saja. Jika sudah begitu, si pemuda pun mendekatinya dari belakang. Pas seperti adegan dalam film. Padahal mereka belum pernah nonton film, karena memang saat itu belum musim film.
Pendekar Mabuk pegangi kedua pundak Pematang Hati dari belakang. Suaranya terdengar lembut, sangat menyentuh hati si gadis, seakan meniupkan angin keteduhan dan buaian kemesraan.
"Sayang...."
"Hmm...." si gadis mencibir sambil mendengus kesal.
"Baiklah, kalau begitu tak perlu pakai kata 'sayang' biar kau tak tampak sebal," ujar Suto Sinting sengaja mengarahkan percakapan ke dalam canda, biar kedongkolan si gadis dan tangisnya ltu lenyap tak berbekas.
"Pematang Hati... mungkin apa yang kau katakan memang benar. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, sehingga perhatianku tidak bisa kau rasakan karena amat kecil bagimu," sambil berkata begitu Pendekar Mabuk memutar tubuh gadis itu Pelan-pelan. 
Si gadis akhirnya menatap Suto dengan saling berhadapan. Kedua bola matanya yang basah oleh air mata itu tampak membening dan menghibakan hati Suto yang paling dalam.
"Jangan menangis lagi, Pematang Hati.," sambil Suto Sinting menyusutkan air mata yang membasah ke pipi dengan punggung jari-jari tangannya.
"Besarkan hatimu dan maklumilah keadaanku. Kalau tak ingin menjadi orang sibuk, tentunya aku tak mau menyandang gelar sebagai pendekar. Kalau kau tak ingin punya sahabat yang sibuk ke sana-sini membela kebenaran, menegakkan keadilan dan menolong kaum yang lemah, ya jangan mau punya sahabat seorang pendekar."
"Pendekar tidak selalu sibuk. Adakalanya pendekar beristirahat dan...."
"ltu kalau sedang cuti!" sahut Suto Sinting lalu tertawa pelan, menjengkelkan hati si gadis, menggelikan, namun juga menggemaskan. Akhirnya sigadis buang muka sembunyikan senyum.
"Satu saat nanti, aku pasti menyediakan waktu untukmu, Pematang. Untuk jalan-jalan, untuk bercanda, untuk... untuk apa lagi, ya?"
Senyum si gadis mulai mekar tak tersembunyi walau hanya kecil sekali. la menatap Suto Sinting dan bibirnya yang ranum itu berucap lirih.
"Untuk memanjakan diriku?"
"O, ya... untuk memanjakan dirimu juga. Kau senang kumanjakan?"
Pematang Hati mengangguk. Suto melebarkan senyumnya.
"Kau memang layak dimanjakan oleh Seorang kekasih," ucap Suto lirih. .Punggung tangannya meraba pipi si gadis lagi, bergerak pelan dan lembut mendekati mata, lalu turun dengan pelan juga, mendekati bibir.
"Aku kangen," bisik Pematang Hati sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Aku tahu apa yang dapat menghibur hatimu saat-saat seperti ini."
Si gadis tak bicara. Dadanya bergemuruh bagai ada karnaval di dalamnya. Semakin keras gemuruh dalam dada semakin dekat wajah si pemuda tampan ltu.
Pematang Hati tak mampu menatap Suto Sinting lagi, karena jaraknya semakin dekat. la memejamkan mata samar-samar, dan kejap berikutnya ia rasakan ada sesuatu yang menghangat di bibirnya. setelah sesaat baru ia sadar bahwa sesuatu yang hangat di bibirnya adalah bibir Suto Sinting yang mengecupnya dengan sangat lembut. 
Lembuuuut.. sekali. Sampai-sampai sukma si gadis merasa dicabut pelan-pelan dan diajak dolan ke langit-langit tinggi. Jiwanya melayang-layang dalam curahan Rasa bahagia ketika bibirnya dilumat oleh Suto Sinting.
Pematang Hati tak bisa cuek saja. la pun melumat bibir Suto, membalas dengan tarian lidahnya yang menggelitik timbulkan desir-desir keindahan dihati Pendekar Mabuk.
Tangan pun akhirnya memeluk. Pematang Hati meremas punggung Suto Sinting ketika dirasakan rabaan tangan Suto mencapai pinggangnya. Baju cekak yang tak sampai menutup perut seluruhnya itu membuat kulit pinggang terasa disentuh oleh sejuta keindahan. Usapan tangan Suto yang bergerak lembut itu terasa menghangat di sekujur tubuh Pematang Hati.
Usapan itu membuat Pematang Hati semakin dikejar oleh tuntutan batin yang menghendaki seluruh keindahan menjadi miliknya. Tak heran jika bibir
si gadis akhirnya merekah bersama desah yang menggetarkan jiwa manakala lehernya dipagut-pagut oleh Suto Sinting.
"Oouhh... oouh, Suto... uuuh...."
Pagutan di leher merayap naik kembali. Dagu Pematang Hati menjadi sasaran lidah Suto yang menyapu dalam kelembutan. Sapuan lidah itu terasa membekas sampai ke dasar hati yang paling dalam.
Gadis itu pun mulai sedikit luruskan kepalanya, dan bibir mereka saling bersentuhan kembali. Cuup...!
"Uuhhmmm... uuhhmm... Pematang hati mengerang, namun karena mulutnya sibuk, sibuk mebalas lumatan bibir Suto Sinting, maka ia hanya dapat mengaum bagai singa sakit gigi.
Toh Suto tak pedulikan jenis suara erangan itu Yang ia resapi adalah gigitan kecil yang dilakukan Pematang Hati pada bibirnya. Kadang bibirnya merasa dihisap oleh Pematang Hati dengan tarikan lembut, membuat jantungnya bagai ingin tersedot naik ke mulut. 
Akibatnya tangan Suto Sinting pun mulai beroperasi ke tempat-tempat rawan. Si gadis membiarkan, karena ia merasa memperoleh keindahan lebih besar lagi atas keberanian tangan Suto yang beroperasi ke tempat rawan sendirian itu.
Namun tiba-tiba hati mereka bagaikan dipatuk bangau ketika tiba-tiba mereka mendengar suara orang batuk-batuk kecil alias berdeham beberapa kali.
"Ehhem... ehem, ehem, ehem...."
Mereka buru-buru melepaskan kecupan, juga melepaskan pelukan. Wajah mereka sempat menjadi merah dadu karena melihat Tenda Biru menghampiri mereka dengan kalem, berjalan dengan kedua tangan ke belakang.
"Ehm... ada yang bisa saya bantu?!" ujar Biru dengan kalem dan sok formil, padahal dalam dadanya juga bergemuruh bagai ada jembatan runtuh. Karena la pun sebenarnya suka kepada Suto, namun tak terlalu mengumbar keinginannya. Bisa mendapat kemesraan dari suto ya syukur, tidak Dapat ya sudah. Itulah prinsip si cantik Tenda Biru yang dulu pernah kehilangan raganya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Tanpa Raga").
Tentu saja pasangan yang sedang asyik-asyik kan panen keindahan itu menjadi gondok, tapi malu untuk diperlihatkan di depan si pengganggu. Bahkan Pematang Hati segera berkata dengan nada ketus samar-samar.
"Apakah kau tak tertarik pembicaraan kakekku dengan gadis manja itu?!"
"Justru kakekmu menyuruhku untuk memanggil kalian berdua."
"Katakan kami sedang berembuk tentang siapa sebenarnya titisan Eyang Tapak Lintang itu," ujar Suto Sinting berlagak serius. Tentu saja keseriusan
itu membuat Tenda Biru tersenyum sinis.
"Kalian saling berbisik terlalu dekat, sampai-sampai tak tahu kalau aku sudah berada di bawah pohon samping rumah," ujar Tenda Biru bernada datar. 
"Sebaiknya lekaslah temui kakekmu, Pematang Hati! Beliau ingin bicara tentang rencana memindahkan Pedang Jagal Keramat ke tempat persembunyian yang lebih aman."
Mengapa harus dipindahkan?!" sergah Pematang hati.
"Jahanam Tua pasti akan mengincar pedang itu. Ditambah lagi, bayangan yang bisa membunuh sendiri seperti diceritakan Dianti, juga pasti mengincar Pedang Jagal Keramat."
"Apakah... apakah Ki Pujasera sudah mengetahui siapa orang yang mempunyai ilmu segila itu?"
"Kau bisa tanyakan sendiri pada Ki Kusir Hantu, Suto. Kurasa ada sesuatu yang amat penting kau ketahui dari apa yang diketahui oleh kakeknya Pematang Hati itu," ujar Tenda Biru sambil tetap bersikap dingin.

* * *

ǂ: 4 :ǂ

KUSIR HANTU perintahkan Suto Sinting untuk mengantar Dianti Anggraini pulang ke kadipaten, karena gadis itu ternyata putri seorang adipati. Dalam kesempatan itu, Karina ajukan tanya kepada si Kusir Hantu.
"Apakah Suto harus antar Dianti sendirian?! Maksudku, apakah tak perlu ada yang mendampingi Supaya saat Suto kembali ada temannya?"
Usul berbentuk tanya itu mempunyai arti tersendiri yang bersifat pribadi. Tentu saja Tenda Biru,Pematang Hati dan Mahligai Sukma menangkap makna pribadi di balik usul itu. Bahkan Pematang Hati segera perdengarkan suaranya yang dingin sebelum kakeknya menjawab pertanyaan Karina.
Memang kurasa perlu juga ada pendamping lain yang mengantar pulang Dianti. Menurutku, akuah yang akan mendampingi Suto Sinting."
Tenda Biru hanya sunggingkan senyum kalem yang berbau sinis. Mahligai Sukma hanya diam cemberut, menampakkan sikapnya yang tidak setuju
Dengan usul kakaknya. Sementara itu, Santana yang nama aslinya adalah Sandhi Tanayom hanya geleng-geleng kepala sambil sunggingkan senyum geli melihat tingkah ekspresi para gadis di situ.
Kusir Hantu akhirnya memutuskan, "Tak perlu ada pendamping. Pepatah mengatakan: Jauh di mata dekat di hati".
"Apa maksudnya, Ki?" tanya Santana.
"Begitu saja kok ditanyakan. Jauh di mata dekat di hati ya paru-paru! Dengan mata jauh, dengan hati dekat!"
Pendekar Mabuk menertawakan kebengongan Santana. Tapi bagi yang cerdas dapat mengartikan bahwa mereka tak perlu berpura-pura mau mendampingi Suto dalam perjalanan. Sebenarnya Kusir Hantu mengetahui di hati kedua cucunya dan Tenda Biru serta Karina, sama-sama mempunyai keinginan untuk berdekatan dengan Suto Sinting. 
Karenanya, agar tak timbulkan rasa iri, Kusir Hantu putuskan agar Suto mengantar Dianti sendirian saja, sementara Tenda Biru menemani Karina untuk pulang ke bukit Semayam. Menemui Si Burung Bengal. Guru Karina. Mereka harus bicarakan tentang pedang pusaka dan sang titisan Eyang Tapak Lintang ke kepada si Burung Bengal.
Sementara itu, Pedang Jagal keramat agar tak menjadi bahan incaran orang akan di buat tiruan nya.
Sedangkan yang asli akan disembunyikan di suatu tempat yang aman dari jangkauan tangan orang sesat. Kusir Hantu yang akan membawa pedang tersebut dengan dikawal oleh Santana dan Pematang Hati.
"Lalu aku bagaimana?" tanya Mahligai Sukma kepada sang kakek.
"Kau di rumah bersama Panji Klobot. Tugasmu mengalihkan praduga tamu siapa saja yang datang kemari mencariku. Katakan aku sedang pergi menemui Eyang Sanupati, si Tua Bangka itu! Kita harus selalu menjaga kemungkinan. ibarat pepatah mengatakan: 'sedia payung sebelum hujan'..Artinya...?" tanya Santana lagi.
"Artinya, kita harus bawa payung jika cuaca mendung?" jawab Kusir Hantu lurus saja, dan memang begitulah si Kusir Hantu jika bermain pepatah sekenanya saja, mengartikannya juga seenak udelnya sendiri.
Pedang Jagal Keramat dibawa ke Lembah Sunyi, untuk dititipkan kepada Resi Wulung Gading yang punya hubungan baik dengan si Kusir Hantu, Juga sangat erat dengan Pendekar Mabuk. Sebab tokoh tua yang bernama Resi Wulung Gading adalah keponakan dari Nini Galih, yaitu gurunya Bidadari Jalang. Sedangkan Bidadari Jalang termasuk guru kedua dari si Pendekar Mabuk.
Hanya Resi Wulung Gading dan suto Sinting yang mengetahui di mana letak Gua Getah Tumbal.
Di dalam gua itulah Pedang Jagal Keramat akan akan disembunyikan sampai tiba saatnya akan diserahkan kepada sang titisan Eyang Tapak Lintang.
Bagi Suto, mengantar pulang Dianti Anggraini adalah suatu hal yang sangat diinginkan. Bukan karena ia ingin bersama dengan gadis cantik yang manjanya selangit itu, tapi karena ia ingin bertemu dengan Ki Ageng Marning, kakeknya Dianti itu. Sebab jika Suto bisa bertemu dengan kakeknya Dianti, maka dia dapat membujuk si kakek itu untuk memberi tahu siapa orang yang menjadi titisan Eyang Tapak Lintang.
"Apakah si Jahanam Tua waktu itu sudah diberi tahu oleh kakekmu tentang siapa titisan Eyang Tapak Lintang?!"
"Aku tidak tahu. Mungkin sudah, mungkin juga belum," jawab Dianti. "Kakek tidak pernah katakan hal itu kepada keluargaku."
"Tapi... tapi kau yakin orang yang mempunya bayangan bisa membunuh itu bukan si Jahanan Tua?"
"Bukan!" gadis itu menggeleng. Langkahnya segera dihentikan begitu melihat sebuah sendang yang berair jernih tak jauh dari tempatnya berhenti.
"Suto, aku ingin mandi dulu di sendang itu sambil beristirahat."
"Kita beristirahat di desa seberang bukit itu, Dian."
"Aah... aku lelah sekali, Suto," rengek Dianti.
"Aku mau istirahat sekarang saja. Aku mau ke sendang itu, ya?"
"Dianti, kalau kita berhenti sekarang, maka kita akan kemalaman di perjalanan."
"Aah, aku capek, Suto! Capek sekali!" 
Dianti ngotot sambil merengek seperti anak kecil. Suto dongkol sekali, tapi ia tak berani kasar-kasar mengingat gadis itu ternyata adalah putri seorang adipati.
"Dianti," ujar Suto pelan seperti berbisik. "Sebenarnya ingin kukatakan hal yang sebenarnya tentang sendang itu, tapi aku takut kau kecewa dan..."
"Ada apa dengan sendang itu?!" sergah Dianti.
"Sendang itu adalah sendang siluman. Siapa yang masuk ke dalam sendang itu tak akan pernah muncul kembali. Karena sendang itu adalah mulut siluman yang sengaja mencari mangsa dengan mengubah diri menjadi sendang."
"Ooh...?! Benarkah begitu?!" Dianti membelalakkan mata dengan wajah menegang takut. Kalau kau tak percaya, mari kubuktikan!"
Suto Sinting membawa gadis itu mendekati sendang berair jernih. la mengambil sebongkah batu seukuran kepala bayi. Batu itu dilemparkan ke dalam sendang. Jebuur...!
"Lihat, batu saja ditelannya, apalagi manusia?"
"lya, ya...?! Hiii...!" Dianti bergidik sambil bergerak mundur.
"Kau ingin coba mandi di sendang itu?"
"Tidak mau! Tidak mau!" Dianti geleng-geleng kepala dengan wajah memancarkan perasaan ngeri.
"Kalau begitu, kita lanjutkan saja perjalanan kita, Suto! Ayo, lekas jauhi tempat ini!"
Dianti melangkah lebih dulu, Suto Sinting segera menyusul sambil menahan rasa geli dalam hatinya.
"Cantik-cantik tapi otaknya otak udang. Hmm..kasihan sekali kau, Dianti! Batu tenggelam kok dipercayai sebagai batu ditelan mulut siluman?! Hi, hi,hi, hi...!" ujar Suto dalam hatinya sambil segera dampingi langkah putri sang adipati itu.
"Kalau tidak karena mengikuti bujukan Sukesni, tak mungkin aku bersusah payah begini," gerutu Dianti.
"Sudah kehilangan kuda, kehilangan pula sahabat-sahabatku. Ooh... aku sedih sekali Jika ingat mereka, Suto!" Dianti mulai ingin menangis lagi.
"Jangan ingat-ingat kematian mereka, Dianti. Kematian itu hanya akan menghadirkan tangis. Jika kau banyak menangis dan air matamu habis, maka kau tak akan bisa menangis jika kau sendiri yang tewas."
"lya, ya..," ujarnya dengan menahan tangis. la menarik napas dalam-dalam untuk menekan perasaan sedih. "Nanti kalau aku mati, aku tak bisa menangis, ooh... alangkah bertambah sedihnya hatiku," ujarnya lagi.
Suto Sinting hanya tersenyum prihatin mengetahui pemikiran bodoh si cantik mungil imut-imut itu. Dianti segera menceritakan tentang hal yang membuat la keluar dari istana kadipaten.
"Aku terkungkung di istana. Aku tak boleh berhubungan dengan Lesmana. Akhirnya, Sukesni berpura-pura mengajakku pergi ke rumah pamannya,
padahal la sendiri membawa Siswatama, pemuda yang sedang menjadi idaman hatinya itu."
"Jadi.. kau kekasih Lesmana dan Sukesni kekasihnya Siswatama, begitu?"
"Hmmm.. belum. Kami belum resmi menjadi kekasih. Hanya saling taksir-taksiran seperii barang mau dilelang," 
Dianti tertawa kecil. Manis sekali gadis itu kalau sedang tertawa tanpa kemanjaan begitu. Secara jujur Suto mengakui, hatinya terpikat jika melihat Dianti tersenyum semanis itu. Tapi jika Manjanya sedang kambuh, Suio ingin muntah saja rasanya.
"Kami bermaksud mencari hiburan dan kebebasan. Tapi tiba-tiba Lesmana diserang oleh orang berjubah abu-abu itu dari atas bukit. Kami melarikan diri. Akhirnya melepas kuda kami untuk alihkan perhatian orang tersebut. Kami bersembunyi di batu, batu tempat kau menemukan diriku. Ternyata orang itu tahu, ia menyerang Lesmana lebih dulu, dan aku berlari bersembunyi. Tapi Sukesni dan Siswatama segera membantu Lesmana, karena mereka punya ilmu silat dan sama-sama pernah berguru pada satu guru."
"Apa alasan si jubah abu-abu menyerang Lesmana?"
"Lesmana disangka Pendekar Mabuk, maka ia diserang!"
Seperti ada petir menyengat lubang hidung, Suto Sinting tersentak kaget mendengar jawaban itu.
"Kenapa terkejut?" tanya Dianti.
Suto Sinting segera sadar bahwa sejak awal Jumpa dengan Dianti, gadis itu belum pernah mendengar orang memanggil Suto dengan nama Pendekar Mabuk. Mungkin saja sudah pernah mendengar ada yang menyebut Suto sebagai Pendekar Mabuk, tapi tak dihiraukan atau tak disadari. Yang jelas, si gadis tampak masih belum mengetahui bahwa Suto Sinting itulah si Pendekar Mabuk.
"Teruskan ceritamu tadi," ujar Suto dengan masih tetap sembunyikan nama besarnya itu.
"Lesmana sudah ngotot bahwa dia bukan Pendekar Mabuk, tapi orang itu tak percaya dan tetap bermaksud membunuh Lesmana."
"Mengapa orang itu ingin membunuh Pendekar Mabuk?"
"Entahlah! Dia tidak sebutkan alasannya, atau.. aku tak dengarkan alasan itu, karena aku diliputi rasa takut yang sangat besar."
"Hmmm... Suto Sinting menggumam sambil manggut-manggut.
Lesmana mencoba melawan dengan dibantu Siswatama dan Sukesni, tapi akhirnya... yah, seperti yang kukatakan tadi... mereka menjadi abu setelah bayangan hitam orang itu bergerak sendiri menyerang mereka satu persatu," wajah duka kembali selimuti kecantikan Dianti. Suto Sinting hanya menarik napas sambil membisu seribu kata. Karena sekarang la baru sadar bahwa ia ternyata dicari-cari oleh si pemilik ilmu aneh itu.
Suto Sinting lupa menceritakan tentang ilmu aneh itu kepada si Kusir Hantu. Dianti sendiri hanya menceritakan kematian ketiga sahabatnya tanpa menjelaskan bagaimana proses kematian ketiga temannya itu, sehingga Kusir Hantu tak sempat mengetahui adanya ilmu aneh yang bisa menggerakkan bayangan diri seseorang itu.
Langkah mereka berdua berhenti secara tiba-tiba begitu sampai di bawah kaki bukit cadas tanpa nama. Berhentinya langkah mereka itu dikarenakan oleh seruan seseorang yang ada dl atas bukit cadas itu.
"Sutooo..! Sutoo...! Berhenti sebentar, Suto..."
Teriakan itu datang dari orang pendek berkumis seperti kelelawar. la mengenakan celana dan baju hitam bersabuk kain merah. Orang itu berlari menuruni bukit itu dengan lompatan-lompatan seperti anak kijang baru bisa jalan. Rambutnya yang botak tengah dari kening sampai ke belakang memantulkan cahaya matahari hingga tampak kemilauan.
"Sawung Kuntet...?" seru Suto Sinting dengan tegang, karena ia melihat tangan Sawung Kuntet berlumur darah.
"Siapa dia, Suto?!" tanya Dianti.
"Sahabatku; Sawung Kuntet namanya," jawab Suto sambil terkenang sepintas masa pertemuan nya dengan Sawung Kuntet, sama dengan pertemuannya dengan Santana juga itu, (Baca Serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Penakluk Cinta")
Lelaki pendek berusia sekitar empat puluh tahun itu tampak pucat dan terengah-engah. Kedua tangannya berlumur darah yang tampak mulai mengering.
"Apa yang terjadi, Sawung Kuntet?!"
"Mirah... Mirah Cendani... Oooh... uhuk, huk,huk, huk...."
"Lho, ditanya kok malah menangis?" gumam Dianti.
Sawung Kuntet benar-benar menangis. la tak pedulikan usianya sudah empat puluh tahun, tak pedulikan wajahnya yang jelek walau memelihara kumis seperti kelelawar nungging itu, yang penting isi hatinya tercurah saat itu juga. la sudah tak tahan membendung duka yang amat menyakitkan dada itu.
"Ada apa dengan Mirah Cendani?! Katakan, Sawung...! Katakan ada apa dengan Mirah Cendani?"desak Suto Sinting menjadi tegang, sebab ia segera teringat pertemuannya dengan Mirah Cendani, adik dari si Candu Asmara. Keduanya adalah murid dari Eyang Cakraduya yang tinggal di Lembah Sutera,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tantangan Anak Haram").
Setelah orang pendek itu menenggak tuaknya Suto, maka guncangan jiwanya pun menjadi berkurang. Duka dan tangis mulai surut. Pendekar Mabuk mulai dapat mengajaknya bicara. Sekalipun duka itu tak lenyap sama sekali, masih tersisa dalam bentuk kemurungan wajah tuanya, namun Sawung Kuntet sudah dapat menjelaskan sesuatu yang terjadi di Lembah Sutera.
"Aku habis anu dengan seseorang," ujar Sawung Kuntet yang jika bicara selalu menggunakan kata 'anu' sebagai ganti kata yang tak tersebutkan.
"Anu apa maksudmu?" desak Suto.
"Bertarung," jawab Sawung Kuntet. "Orang itu masih mengejarku walaupun dia sudah meng-anu Mirah Cendani."
"Meng-anu ltu apa?! Yang jelas bicaramu!"
"Dia... dia telah membunuh Mirah Cendani!"
"Oh..?" Suto Sinting kaget. "Siapa orang itu Katakan, siapa orang yang mengejar Mirah Cendani itu?!" suara Suto lebih lantang lagi. la menjadi berang, karena hubungannya dengan Mirah Cendani dan Candu Asmara sudah cukup baik. Akrab sekali.
Juga terhadap Eyang Cakraduya cukup baik. Hati si Pendekar Mabuk tak bisa rela begitu saja mendengar Mirah Cendani si gadis cantik mungil itu dicelakai tangan seseorang.
"Ak... aku tak tahu siapa anu-nya.. maksudku Siapa namanya," tutur Sawung Kuntet dengan masih terengah-engah dan sesekali terhenti karena sisa tangis menyesak di dada.
Katanya lagi, "Tapi dia telah membuat Mirah Cendani menjadi terancam maut. Bayangan orang itu bergerak tidak sesuai dengan anu-nya... eh, maksudku.. tidak sesuai dengan gerakan badannya. Anu-nya orang itulah yang meng-anu Mirah Cendani hingga terluka parah, nyaris jadi abu!"
"Nyaris menjadi abu?! Ooh.?!" Dianti tercengang. "Pasti... pasti orang itu berjubah abu-abu!"
"Benar! Benar sekali," jawab Sawung Kuntet bersemangat. "Anu-nya orang itu memang berwarna abu-abu."
"Bukan anu-nya yang abu-abu, tapi jubahnya!"
"lya, maksudku memang jubahnya yang abu-abu!"
Pendekar Mabuk menarik napas panjang dan lemparkan pandangan ke arah lain. Dadanya bagai dipanggang api mendengar Mirah Cendani dalam bahaya maut. la tak sadar bahwa di dalam dirinya terdapat kesaktian dari 'Napas Tuak Setan', yang dapat semburkan badai dahsyat jika ia sedang marah. Maka saat itu rumput dan ilalang yang tumbuh di depannya bergerak-gerak bagai dihembus angin kencang. Angin yang menggoyang daun-daun ilalang maupun rumput di tanah itu adalah akibat terkena napas yang keluar dari hidung Suto Sinting.
Wuuurs, Wuuurs, wuuurs...!
Dianti memandang dengan heran, sempat melongo setelah sadar ilalang dan rumput terhempas karena hembusan napas dari hidung Suto. Sawung Kuntet sendiri juga merasa heran, tapi untuk sementara itu ia lupakan dulu keheranan tersebut.
"Suto.." ujar Dianti dengan suara manjanya.
"Mengapa napasmu kencang sekali?! Apakah lubang hidungmu berubah menjadi besar?!"
Pertanyaan polos berkesan bodoh itu membuat Suto Sinting segera sadari keadaan dirinya. Reaksi yang ada pada dirinya dapat mendatangkan bencana bagi orang lain yang tidak tahu menahu tentang masalah itu. Maka dengan pejamkan mata sesaat dan tundukkan kepala, Suto Sinting berusaha meredakan kemarahan dalam hatinya dan berusaha bersikap tenang kembali.
"Sawung, mengapa orang itu menyerang Miran Cendani?"
"Bukan hanya Mirah Cendani yang diserang tetapi temanku dari Lembah Layon yang bernama Bajak Ningrat juga menjadi di-anu oleh orang ber anu abu-abu itu."
"Bajak Ningrat...?" Suto Sinting memandang heran, karena baru sekarang mendengar nama Bajak Ningrat.
"Aku dan Mirah Cendani diutus Eyang Cakraduya untuk mencari dan menyuruh pulang Candu Asmara. la pergi beberapa anu yang lalu untuk mencarimu. Ia kepingin beranu denganmu. Maksudku, kepingin bertemu denganmu," Sawung Kuntet menjelaskan dengan pandagan mata penuh kecemasan, sebentar-sebentar memandang ke arah atas bukit cadas tak bernama itu.
Waktu aku dan Mirah Cendani mencari Candu Asmara, aku bertemu dengan anu-ku dari Lembah Layon, yaitu si Bajak Ningrat. Rupanya ia juga sedang mencariku, karena guruku mengharap aku pulang ke Lembah Layon. Pada saat kami sedang bicara itulah, si anu abu-abu muncul."
"Si jubah abu-abu, maksudmu?!" tanya Dianti yang menjadi ikut tegang juga.
"Benar. Lalu... lalu orang itu menyangka Bajak Ningrat sebagai Pendekar Mabuk."
"Ooh...?!" Suto Sinting terperanjat.
"Benar. Bajak Ningrat disangka dirimu, sebab wajahnya memang tampan dan masih muda. Anu-nya kuat dan.."
"Anu-nya kuat bagaimana?!" sergah Dianti.
"Daya tariknya kuat!" sentak Sawung Kuntet merasa jengkel karena bicaranya dipotong terus oleh Dianti.
"Orang itu ingin membunuhmu, Suto. Karena dia menganggap Bajak Ningrat adalah dirimu, maka dia berusaha membunuh Bajak Ningrat. Tentu saja
aku membela Bajak Anu. Mirah Cendani akhirnya turun anu juga... maksudku, turun tangan juga. Bajak Ningrat terluka saat tubuhnya menimpaku. Karena itulah, tanganku masih beriumur darah."
"Lalu, bagaimana dengan Mirah Cendani?!"
"Kulihat bayangan orang itu bergerak sendiri tidak sama dengan anu-nya. Bayangan itu mau menerjang Mirah Cendani, tapi kenai si Bajak Ningrat
yang telah berdiri itu dan kulihat sendiri Bajak Ningrat menjadi abu dalam sekejap. Mula-mula meleleh dan kurang dari tiga hitungan segera menjadi abu berarang hitam. Ooh... aku tak tahan melihat anu nya Bajak Ningrat. Maksudku... melihat kematiannya Bajak Ningrat. Aku segera larikan diri bersama Mirah Cendani. Tapi rupanya nasib malang menimpa
pula pada si Mirah Anu... dia dikejar oleh bayangan orang itu, lalu entah ke mana karena aku lari ke arah lain. Aku merasa kalah anu dan harus melarikan anu.. maksudku, melarikan diri. Ooh...mengerikan sekali, Suto! Mirah pun lari dalam keadaan luka."
"Paman." Ujar Dianti.
"Katamu tadi orang berjubah abu-abu tadi menyangka temanmu sebagai Suto?"
"Memang... memang begitu."
"Salah, Paman! Yang di cari orang berjubah bu-abu itu bukan Suto, tapi si Pendekar Mabuk"
"Lha, lya!" sentak Sawung Kuntet. "Suto ini kan si Pendekar Mabuk!"
"Bukan! Suto ya Suto, Pendekar Mabuk ya Pendekar Mabuk! Kau keliru, Paman!"
"Bocah edan!" gerutu Sawung Kuntet. Perdebatan itu dibiarkan oleh Suto Sinting, sampai akhirnya Dianti mempercayai bahwa Suto Sinting tu adalah si Pendekar Mabuk.
Suto tak pedulikan perasaan apa yang ada dihati gadis itu ketika mengetahui sejak kemarin ia sudah bersama-sama Pendekar mabuk. Hal yang dipikirkan Suto adalah tentang si Jubah abu-abu itu. Siapa orang tersebut dan mengapa selalu menyangka setiap pemuda tampan seperti Pendekar Mabuk, lalu membunuhnya?
"Agaknya dia punya dendam kesumat kepadaku,sehingga banyak pemuda tampan Yang di jadikan abu olehnya! Gila salah apa aku padanya?!".
Suto Sinting benar-benar dibuat bingung Oleh tindakan keji si jubah abu-abu. bahkan ia menjadi jengkel ketika Sawung Kuntet yakinkan diri bahwa si jubah abu-abu itu bukan si Jahanam Tua yang pernah bertemu dengannya beberapa tahun yang silam.

* * *

ǂ: 5 :ǂ

SAWUNG Kuntet merasa dirinya sedang dikejar oleh si jubah abu-abu itu. Karena nya Pendekar Mabuk diliputi kebimbangan, teruskan perjalanan ke kadipaten, atau mencari si jubah abu-abu dulu?
"Sekalipun sekarang aku tahu kau adalah Pendekar Mabuk," kata Dianti. "Tapi aku tidak ingin kau sengaja mencari si jubah abu-abu. Kau tak perlu mencari jubah abu-abu, di istanaku banyak jubah abu-abu, kau bisa ambil sendiri dan tinggal pilih mana yang cocok dengan ukuran tubuhmu."
Sawung Kuntet menggerutu tak jelas sambil bersungut-sungut mendengar kata-kata itu. Pendekar Mabuk sebenarnya ingin tertawa, tapi karena ia sedang diliputi kemarahan yang terpendam, maka kata-kata Dianti yang diucapkan dengan polos tanpa merasa bersalah itu hanya membuatnya mual. Namun demikian, Suto Sinting menghargai rasa takut yang ada pada diri Dianti, yaitu takut melihat Suto celaka dan bernasib seperti Lesmana atau yang lainya.
Darah pendekar Suto Sinting tak bisa hanya menerima kecemasan. Darah Pendekar itu tak pernah pedulikan dirinya mati atau hidup dalam berhadapan dengan lawan setinggi apa pun ilmunya. Justru yang bergolak di dalam dada Pendekar Mabuk adalah rasa penasaran, ingin segera jumpa dengan si pemilik bayangan aneh itu.
"Sawung Kuntet," ujar Suto ingin memutuskan langkahnya. "Sebenarnya aku sedang menuju ke Kadipaten Buranang mengantarkan pulang Dianti, Tapi tindakan si jubah abu-abu itu harus segera dihentikan agar tidak timbul korban tak bersalah. la harus segera berhadapan denganku. Karenanya, kulimpahkan tugas mengantar Dianti kepadamu, dan aku akan mencari si jubah abu-abu itu!"
"Baiklah jika begitu anu-mu, aku bersedia!"
"Aku tidak!" sahut Dianti. "Lebih baik aku pulang sendirian daripada harus diantar olehnya, Suto!"
"Jangan keras kepala begitu, Dianti."
"Tidak blsa! Aku tidak ingin pulang bersama siapa pun kecuali bersamamu!" tegas gadis itu.
"Aku tak mau pulang tanpa membawa kebanggaan! Apa yang bisa 
kubanggakan jika pulang bersamanya? Jelas akan lebih bangga jika pulang bersamamu, Suto."
Sawung Kuntet tersinggung. la pun berkata
"Aku Juga merasa dapat musibah jika harus pergi denganmu! Lebih baik aku mengantar anu Daripada mengantarmu.
"Anu nya siapa yang mau kau antar, hah?" ledek Dianti.
"Maksudku, lebih balik aku pergi mengantar setan daripada mengantarmu!"
"Eh, jengan bicara sembarangan, ya? Kau ku anggap telah menghinaku dan..."
"Dianti..!" sentak Pendekar Mabuk agak kasar, matanya memandang tajam, kedongkolan hatinya semakin mendesak amarahnya terhadap si jubah abu-abu. Gadis itu memandang sebentar, lalu tundukkan kepala dengan wajah murung. la ingin menangis karena merasa sakit hati dibentak Suto Sinting.
Si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu segera menarik napas panjang-panjang mencoba sabarkan hati melihat dalam menghadapi sikap Dianti Anggraini. Gadis itu segera diusap dengan kelembutan, diajak menjauh dari Sawung Kuntet.
Dengan tutur kata yang lembut pula Suto mencoba membujuk Dianti.
"Aku menghadapi masalah cukup rumit, Dianti. Kumohon kau dapat memahami kesulitanku."
"Aku bisa memahami," ujarnya sambil cemberut manja, Tapi aku minta diantar pulang olehmu. Bukan oleh orang lain!"
"Dianti, kalau keadaan tidak segenting ini, aku mau saja mengantarmu pulang. Justru kebetulan, karena aku dapat bertemu dengan kakekmu Eyang Ageng Marning. Tapi aku harus hentikan kegananasan si jubah abu-abu itu! Kalau tidak segera kuhentikan maka banyak pemuda yang akan menjadi korban
ilmu gilanya itu, Dianti. Di samping itu aku juga harus menemui gurunya Mirah cendani dan menyampaikan kabar duka cita. ini!"
"Tapi... tapi kalau aku di jalan ada apa-apa bagaimana?"
"Untuk itulah kuminta Paman Sawung Kuntet mengawalmu!"
"Kalau dia sendiri mati di perjalanan, bagaimana? ujar si gadis dengan manja.
"Tidak, Dianti. Paman Sawung Kuntet tidak akan mati, sebab setan tidak ada yang doyan nyawanya, El Maut pun jijik mencabut nyawa orang itu,Dianti."
Bujukan demi bujukan dilakukan Suto, akhirnya Dianti dengan terpaksa mau pulang dengan dikawal oleh Sawung Kuntet. Padahal Sawung Kuntet sendiri merasa waswas, takut berpapasan dengan Si jubah abu-abu dalam perjalanan nanti.
"Tak mungkin hal itu terjadi, Sawung kuntet. Sebelum ia berpapasan denganmu, pasti dia sudah ada dalam jangkauanku!" ujar Suto memberi semangat dan memperbesar nyali si Sawung Kuntet.
Maka berpisahlah mereka dari tempat itu. Pendekar Mabuk berkelebat menuju ke tempat datangnya Sawung Kuntet. Jika si jubah abu-abu masih mengejar Sawung Kuntet, berarti la akan berpas-pasan dengan Pendekar Mabuk. 
Sementara itu putri adipati melangkah ke arah yang berlawanan dengan Suto, Sawung Kuntet mendampinginya dengan lebih sering menahan diri karena korban perasaan. 
Ternyata mencari orang yang memiliki bayangan bisa bergerak sendiri bukan hal yang mudah. Sampai menjelang petang, Suto tidak berhasil temukan orang tersebut.
Namun sebelum petang tiba, Suto Sinting masih Punya kesempatan hentikan langkahnya karena ia mendengar suara pertarungan. Sebuah ledakan yang menggelegar terdengar berasal dari kaki sebuah bukit tanpa nama. Pendekar Mabuk segera menuju ke kaki bukit itu dengan harapan dapat temukan pertarungan si jubah abu-abu dengan seseorang.
Ketika sampai di kaki bukit itu, ternyata yang ia temukan adalah pertarungan dua orang yang tidak berjubah abu-abu. Suto jengkel dalam hati, bahkan sampai berharap, "Mudah-mudahan si jubah abu-abu telah salin busana dan mengenakan jubah merah saga itu!" sambil matanya memandang pemuda berjubah merah saga. 
Pemuda itu tampak gagah dan punya wajah lumayan ganteng, terutama karena kumis tipisnya yang tumbuh dengan rapi itu. Suto Sinting merasa belum pernah melihat pemuda berjubah merah saga yang rambutnya panjang sebahu di ikat memakai ikat kepala dari logam emas berhias batuan sejenis intan.
Jubah tanpa lengan yang terbuat dari kain sejenis satin, dan celana serta baju dalamnya yang terbuat dari kain mahal berwarna biru muda itu, membuat si pemuda berkesan sebagai orang golongan menengah ke atas. Bukan dari rakyat jelata, Apalagi ia mengenakan cincin berlian di tangan kirinya, setiap orang pasti menilai pemuda tu adalah pemuda dari keluarga kaya. Mungkin anak saudagar, atau anak seorang pejabat istana. Bisa jadi anak seorang raja atau adipati.
Pedang yang disandang di pinggangnya juga berkesan mewah. Sarungnya dari logam putih seperti perak, anti karat, berukir, dan berhias batu-batuan warna-warni. Gagang pedangnya pun di hiasi batuan merah dan biru muda. Sangat bagus. Yang lebih menarik perhatian Suto Sinting adalah lawan si pemuda berjubah merah saga.
Ternyata lawan pemuda ltu adalah seorang perempuan berusia sekitar dua puluh enam tahun, mempunyai rambut panjang disanggul ke atas sisanya dibiarkan berjuntai seperti ekor kuda. Perempuan itu mengenakan jubah jingga tanpa lengan dengan kain bawah longgar berwarna jingga pula.
Perempuan itu dikenal Suto sebagai mantan pengikut Ratu Ladang Peluh yang bernama Jerami Ayu. Dialah orang yang melarikan pedang pusaka milik sang ratu yang kemudian berusaha direbut kembali oleh Mustikani, Cucu tokoh tua yang bernama Ki Belantara, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Penakluk Cinta").
Pendekar Mabuk tidak ikut campur dalam pertarungan itu, karena ia belum tahu harus bersikap bagaimana terhadap kedua belah pihak. la hanya bisa menjadi penonton setia dari balik semak ilalang yang tumbuh melebihi tinggi badannya. Jaraknya yang tak seberapa jauh dari pertarungan itu membuat Suto Sinting dapat dengarkan suara mereka yang dilontarkan dengan lantang.
"Kau tak akan unggul melawanku, Jerami Ayu.! Sebaiknya pergilah dan jangan ganggu aku lagi!"
Sambil pemuda berjubah merah saga itu siap-siap nencabut pedangnya. Perempuan cantik bermata jalang itu justru sunggingkan senyum yang menantang.
"Sudah kukatakan padamu, aku tak akan mundur sebelum dapat menundukkan kekerasan hatimu nanggala! Seperti apa katamu tadi, kau akan mengabdi padaku dan menuruti perintahku jika aku bisa tundukkan dirimu. Maka akan kubuktikan kemampuanku di depanmu, Nanggala!"
"Memang. Tapi baru satu jurus kau sudah terluka, Jerami Ayu. Tak perlu kau tutupi, aku tahu bagian dalam dadamu terasa panas bagai ingin meleleh setelah kita beradu pukulan tenaga dalam tadi. Ledakan yang timbul akibat benturan tenaga dalam kita sebarkan angin panas yang langsung masuk ke pori-pori kulit tubuhmu dan membakar bagian dalam tubuhmu, karena aku tadi menggunakan jurus 'Bayu Bara'. Sebentar lagi kau akan lemah dan tak mampu
menahan rasa panas di dalam sekujur tubuhmu, Jerami Ayu!"
Pendekar Mabuk menggumam dalam hati, "Pukulan 'Bayu Bara'...?! Benarkah pukulan itu menghasilkan angin ledakan yang langsung menembus pori-pori tubuh dan membakar dari dalam?! Jika begitu, pemuda itu pasti mempunyai jurus api yang cukup tinggi. Jika benar begitu, berarti kelak dia akan mencapai tingkatan yang dapat melumerkan tubuh manusia dan menjadikan korbannya sebagai tumpukan abu jika terkena pukulannya?! Hmmm... Jangan-jangan pemuda berjubah merah saga itu punya hubungan dengan si pemilik bayangan aneh tersebut?!"
Jerami Ayu masih tetap tak mau kalah gertak, ia pun berseru dengan penuh keberanian dan keyakinan akan mencapai kemenangan dalam pertarungan itu.
"Dengan orang lain kau boleh banggakan jurusmu tadi. Tapi di depanku, jurusmu hanya merupakan pukulan tanpa arti. Kau lihat saja, aku tak jatuh dan tak merasa sakit. Tak ada bagian tubuhku yang terbakar oleh pukulanmu tadi, Nanggala. Kau telah kalah satu langkah 
"Kita buktikan saja siapa yang tumbang dan mengaku kalah atau memilih mati!" ujar Nanggala sambil melangkah ke samping dan mulai mencabut pedangnya. Sraaang...! Jerami Ayu masih belum mau mencabut pedang, walau ia pun menyelipkannya di pinggang kiri.
Nanggala tiba-tiba melesat dengan tubuh berputar cepat dalam keadaan tegak lurus. 
Weeerrss...!
Jerami Ayu ingin diterjang dengan gerakan memutar Sangat cepat itu, hingga ke mana arah sabetan pedang Nanggala tak dapat dilihat oleh siapa pun.
Namun perempuan cantik berbibir mesum itu segera cabut pedangnya dan menebas di sekeliling tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Gerakan pedang itu pun sulit dilihat oleh lawannya.
Trang..Trangg..!
Kedua pedang itu beradu dalam kecepatan tinggi hingga tak terlihat seperti apa jurus yang dipakai mereka. Yang bisa dilihat hanya percikan bunga api pada saat pedang mereka saling beradu.
Wut, wut, wes...!
Wut, wut, wut, wut, wuung...!
Pertarungan jurus pedang sama-sama mempunyai kekuatan yang sukar dipatahkan dan pertahanan yang sukar ditembus. Pendekar Mabuk menggeram jengkel karena ia tak bisa melihat jurus-jurus yang mereka pakai karena mereka selalu menggunakan gerakan cepat, sepertinya serabutan dan tidak mempunyai aturan gerak.
Cras....!
"Aauw.." pekik Nanggala. Tiba-tiba Jerami Ayu lakukan gerak tipuan yang membuat Nanggala terkecoh, akibatnya lengan kirinya tersabet pedang si jerami Ayu. Lengan kiri itu koyak, darah mengalir deras dari luka memanjang nyaris sampai siku belakang itu. Jubah si Nanggala yang tanpa tengan mem-
buat luka tersebut dapat dilihat dari tempat Suto Sinting bersembunyi.
Nanggala segera melompat satu kali dan menebaskan pedangnya ke kiri bagai ingin memenggal leher Jerami Ayu. Tapi perempuan itu berhasil hindari pedang itu dengan menarik diri ke belakang, kemudian meliukkan tubuh dengan merunduk ketika pedang Itu berkelebat kembali ke arah semula.
"Hiaaah..!" Nanggala memutar tubuh dan Kakinya melayang cepat dalam tendangan putar. 
Plakk-plakk...! 
Tendangan kaki itu berhasil ditangkis Jerami Ayu. Tapi pedang Nanggala segera dihujamkan ke dada perempuan tersebut. 
Suuutt...!
Jerami Ayu bergerak lincah hindari datangnya pedang dengan geser ke kiri, lalu kakinya menyentak dengan tendangan samping. 
Wuut...! Plakk..!
Nanggala menangkis dengan kibasan tangan. Tahu-tahu tubuh Nanggala melambung naik dan bersalto hingga lewati atas kepala Jerami Ayu. Pedang pun berkelebat disabetkan dengan cepat, dan pada saat itulah Jerami Ayu terlambat menghindar.
Craas....!
"Aaahk...!" 
Jerami Ayu segera lompat ke depan dan berguling ke tanah satu kali. Wuus...! Jleeg...!
Dalam sekejap la sudah berdiri tegang kembali. Jerami Ayu melirik ke pundak kirinya yang robek karena tebasan pedang Nanggala. Tapi agaknya luka itu tak terlalu parah. Jerami Ayu masih bisa menahan rasa sakit, bahkan masih bisa bergerak dengan kelincahan yang sama seperti tadi.
Wes, wes...!
Kali ini la tebaskan pedang untuk menakut-nakuti serangan Nanggala. Pemuda tampan itu hanya Sunggingkan senyum sambil bergerak ke samping perlahan-lahan. 
"Sudah kubilang, Kau tak akan mampu tumbangkan diriku, Jerami Ayu! Sebaiknya lekaslah pergi sebelum nafsu membunuhku semakin besar."
"Tak puas hatiku jika belum tundukkan dirimu dan menjadikan kau sebagai pelayan cintaku, Nanggala!"
"Carilah pemuda lain, Jerami! Aku tak akan bersedia melayani gairahmu!"
"Akan kubuat menjadi bersedia dengan pedangku ini! Hiaaat..."
Wees. trang, trang, tring, trang...!
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya bagai membuang rasa kesal dihati. la pun menggerutu pelan di balik semak itu.
"Sialan! Rupanya mereka bertarung hanya untuk masalah cumbuan! Jerami Ayu tampaknya bernafsu sekali untuk tundukkan Nanggala supaya Nanggala mau melayani gairahnya. Ah, urusan seperti itu saja sampai harus cabut pedang adu tenaga dalam segala?! Wuh... dasar perempuan rakus! Sebaiknya kutinggalkan saja pertarungan ini! Aku tak mau kehilangan buronanku semakin jauh."
Pendekar Mabulk pun segera pergi dari tempat itu. Namun beberapa langkah sebelum ia menjauh, Ia sempat mendengar suara Jerami Ayu berteriak keras-keras.
"Jangan ikut campur urusanku! Aku tak punya urusan denganmu!"
Suto Sinting hentikan langkah, kerutkan dahi namun tak kembali memandang ke pertarungan. Pendekar Mabuk hanya menyimak suara itu dengan rasa curiga.
"Sepertinya ada yang datang?!" gumam hati Suto. Lalu, ia mendengar suara Jerami Ayu berseru dengan berang.
"Bukan! Dia bukan Pendekar Mabuk! Hei."
"Aahhk...!" suara Nanggala terdengar memekik pendek, kemudian lenyap.
"Jahanam kauuu.." maki Jerami Ayu.
"Ada yang tak beres! Aku harus kembali ke sana!" ujar Suto membatin, lalu ia pun berkelebat kembali ke tempat semula. Mengintai dari balik daun-daun ilalang.
"Hahh...?!" hati Suto memekik kaget, matanya membelalak tegang.
Jerami Ayu tergeletak bagai habis diterjang sesuatu yang membuatnya sekarat. Mulutnya mengeluarkan darah dengan wajah memar. Tapi pemuda tampan berjubah merah saga itu tidak kelihatan.
Pendekar Mabuk mencari dengan pandangan matanya, lalu menemukan setumpuk abu dan arang hitam yang masih kepulkan asap.
"Edan! Apa yang terjadi di sana?! Apakah abu yang masih mengepulkan asap itu adalah Nanggala?!"
Pendekar Mabuk berkelebat keluar dari balik Semak ilalang. Zlaap..! Dalam sekejap ia sudah berada di dekat Jerami Ayu yang napasnya tersendat-sendat dengan darah mengalir dari lubang hidung juga itu.
"Ooh..?! Itu pedang si Nanggala?" gumam hati Pendekar Mabuk dengan tegang. "Agaknya pedang itu terlepas dari tangan Nanggala saat terjadi sesuatu. Dan... dan tumpukan abu dan arang hitam itu sepertinya adalah tubuh Nanggala yang terbakar hangus?! Ooh... celaka! Pasti si bayangan aneh itu lewat sini dan menyangka Nanggala adalah diriku?! Gila! Ke mana perginya orang itu tadi?!"
Pendekar Mabuk mulai memandang sekeliling dengan hati berdebar-debar. la tak melihat seseorang berlari di sekitar tempat itu. Bahkan la sempat mencari di sekeliling tempat itu dengan gerakan cepat. Namun akhirnya ia kembali ke tempat abu dan arang tersebut.
"Jerami Ayu harus kusembuhkan dari lukanya supaya bisa memberikan keterangan padaku!" gumam Suto dalam hatinya. Maka ia pun segera menolong Jerami Ayu dengan meminumkan tuaknya perlahan-lahan.

* * *

ǂ: 6 :ǂ

JERAMI Ayu terkejut setelah sadar dan memandang wajah yang iebih tampan dari Nanggala, tubuh yang lebih gagah dan tampak lebih perkasa dari Nanggala. ia juga sadar dirinya sembuh karena pemuda tampan berbaju buntung warna coklat itu. ingatannya segera meiayang ke saat-saat bertarung melawan Mustikani. Maka ia pun segera mengenali siapa pemuda tampan yang menenteng bumbung tuak itu.
"Mengapa kau selamatkan nyawaku?! Bukan kah kau tahu aku musuh Mustikani?!" ujar Jerami Ayu berlagak dingin kepada Suto Sinting.
"Apakah kau tak suka jika aku menyelamatkan nyawamu?! Kalau kau tak suka, aku bisa membuat mu sekarat lagi. Mau kubuat sekarat sekarang juga?!" Suto Sinting mengangkat tangannya, berlagak ingin lepaskan pukulan mautnya.
Jerami Ayu hanya menarik napas, memandang ke arah tumpukan abu dan arang yang asapnya mulai menipis itu. la seakan tak pedulikan ancaman Suto, karena ia yakin Suto tak akan melakukannya.
"Terima kasih atas penyelamatanmu," ujar Jerami Ayu dengan nada masih terasa datar dan dingin Pendekar Mabuk akhirnya hempaskan napas panjang, mengendurkan ketegangannya.
Jerami Ayu berkata lagi, "Aku hanya tak menyangka kalau akhirnya kaulah orang yang datang dan menolongku."
"Aku ingin tahu tentang Nanggala! Benarkah abu dan arang ini adalah nasibnya?" sambil Suto memungut pedang Nanggala dan mengamati kemewahan pedang itu sesaat.
Jerami Ayu pandangi Suto dengan mata tak
berkedip. Mata itu sebenarnya indah, namun sayang berkesan nakal dan jalang.
"Tak kusangka Nanggala bernasib semalang itu," Jerami Ayu berkata seperti orang menggumam.
"Siapa yang melakukannya, Jerami Ayu?"
"Bayangan itu!" jawab Jerami Ayu dengan mata memandang datar ke arah abu dan arang. Jantung Suto seperti ada yang menendang ketika mendengar jawaban itu.
"Bayangan siapa maksudmu?" desak Suto.
"Apakah kau belum mengetahuinya atau berlagak bodoh?!" Jerami Ayu menatap setelah memasukkan pedangnya.
"Jelaskan semuanya, Jerami Ayu! Aku tidak sedang berpura-pura."
"limu 'Gerhana Senyawa' hanya dimiliki satu
orang. ilmu itu dapat membuat bayangan orang tersebut bergerak sendiri dan mempunyai hawa panas sangat tinggi. Besi yang tersentuh oleh bayangan itu dapat lebur menjadi cairan panas, apalagi manusia."
"Siapa pemilik ilmu Gerhana Senyawa' itu, Jerami?!"
Mata indah si perempuan jalang itu memandang Suto lagi dengan lebih tegas, lebih punya maksud tersembunyi di balik wajahnya yang tanpa senyum itu.
"Tolong jelaskan! Aku telah selamatkan nyawamu, kau juga harus menolongku dengan memberikan keterangan siapa pemilik ilmu 'Gerhana Senyawa itu, Jerami!" pinta Suto setengah membujuk,
Karena ia sangat penasaran dengan si pemilik ilmu aneh itu.
"Rupanya kau perlu banyak penjelasan dan kabar tentang nasibmu sendiri yang sedang dicari-cari Oleh si pemilik ilmu 'Gerhana Senyawa' itu," ujar jerami Ayu.
"Keteranganku ini lebih berharga dari sebuah nyawa. Oieh sebab itu, aku akan jelaskan jika kau mau penuhi syaratnya dan adakan perjanjian denganku." 
"Jerami Ayu, jangan macam-macam! Aku bisa saja melenyapkan nyawamu sekarang juga kalau kau inginkan!"
"Lenyapkanlah!" tantang Jerami Ayu dengan kesan sombong. "Kau akan kehilangan penjelasan tentang orang yang memburu Pendekar Mabuk Jika nyawaku melayang saat ini juga! Ayo, lenyapkanlah aku kalau kau sanggup"
Pendekar Mabuk menggeram sambil hembuskan napas panjang. Hatinya dongkol sekali. la segera sadar, si Jerami Ayu berani menantang begitu karena tahu bahwa Suto sangat membutuhkan keterangannya. Jerami Ayu yakin tak akan dibunuh oleh Suto, karena ia mempunyai kunci yang dibutuhkan oleh si Pendekar Mabuk itu.
"Keparat kau!" geram Suto Sinting. "Syarat apa yang kau minta dalam perjanjian kita nanti!?!"
Perempuan itu melirik nakal, senyumnya mulai tampak menggoda.
"Aku butuh kehangatan seorang ielaki. Aku telah gagal memperolehnya dari Nanggala. Hidupku tak bisa tenang jika tak mendapatkan kehangatan seorang lelaki. Jadi kuminta, kau harus berjanji menjalin hubungan mesra denganku setelah kuberitahukan siapa pemilik ilmu 'Gerhana Senyawa' ltu."
"Kau memerasku, Jerami Ayu?!" geram Suto Sinting mulai berang.
"Aku tidak memerasmu," iawab Jerami Ayu dengan santai. "Aku hanya memanfaatkan kesempatan ini untuk menolong diriku sendiri. Barangkali jika aku terluka atau sekarat bisa kau tolong dengan Tuak saktimu. Tapi jika batinku meratap dan jiwaku terguncang karena tak mendapat kehangatan seorang lelaki, mampukah kau menolong dengan tuakmu?"
Pendekar Mabuk membuang napas lagi dengan hati kesal. Jerami Ayu lanjutkan ucapannya dengan acuh tak acuh.
"Kalau kau bersedia mengikat perjanjian mesra denganku, aku bersedia membantumu kalahkan orang berilmu 'Gerhana Senyawa' itu. Karena dulu
nenekku pernah bercerita tentang ilmu tersebut dan memberi tahu kelemahannya."
Perempuan itu diam sesaat, menunggu reaksi dari Pendekar Mabuk. Namun si tampan berdada bidang dan tampak perkasa itu hanya diam saja, memandang ke arah lain dan menimbang keputusannya. Pada saat benak Suto dipenuhi oleh pertimbangan yang meragukan, Jerami Ayu memberinya Bumbu semacam bujukan yang sama sekali tak membuat pemuda itu merasa terbujuk.
"Orang itu tahu siapa aku. Dan kalau saja aku tadi tidak segera menggunakan sisi kelemahannya, Maka nasibku pun akan menjadi seperti Nanggala."
Kini perempuan itu sengaja mendekat dan menatap lekat-lekat dalam jarak dua langkah dari depan Suto Sinting.
"Kurasa kerja sama kita akan membuat orang itu tumbang tak berkutik. Setinggi apa pun ilmumu, tak akan mungkin bisa kalahkan bayangan hitam milik orang itu jika tak tahu rahasia kelemahannya, Akan kuberikan rahasia kelemahan itu kepadamu, tapi berikan aku kehangatanmu untuk menenangkan jiwaku yang guncang ini."
Jerami Ayu melangkah makin dekat lagi dan suaranya mulai berbisik.
"Aku sangat membutuhkannya, Pendekar tampan! Sangat membutuhkan kemesraan itu walau hanya sekali."
"Hanya sekali...?!" Gumam Suto Sinting sambil menatap Jerami Ayu. 
Perempuan itu sunggingkan senyum penggugah gairah. la mengangguk dengan pandangan mata berbinar-binar sayu.
"Hanya sekali saja, lalu kau mendapat kunci rahasia itu dariku. Kau bisa kalahkan orang itu, bila perlu aku akan mnembantumu dari belakang. Kurasa imbalan itu cukup memadai untuk sebuah rahasia yang tidak dimiliki oleh siapa pun, kecuali si pemilik ilmu 'Gerhana Senyawa' itu."
Pendekar Mabuk semakin resah. Batinnya diguncang oleh keragu-raguan. la pun sadar, memaksa perempuan itu dengan kekerasan tidak akan berhasil mengorek keterangan dari mulutnya. Agak nya Jerami Ayu sangat membutuhkan kehangatan seorang lelaki, sehingga dengan cara apa pun akan
ditempuhnya.
"Haruskah aku mengikat perjanjian mesra dengannya?" Pikir Suto Sinting.
"Tapi jika tidak dengan cara begitu,terlalu sulit melacak si pemilk ilmu Gerhana Senyawa itu, apalagi mendapatkan rahasia kelemahannya, tentu akan lebih sulit lagi."
Jerami Ayu mulai berani mengusap lengan kekar Suto Sinting. Usapan lembut itu dibarengi kata-kata yang semakin berkesan membisik penuh desah menggoda birahi.
"Aku punya tempat yang sangat indah untuk memadu kemesraan. Tak seorang pun tahu tempat itu. Apakah kau tak ingin menengoknya ke sana?"
"Tapi aku bukan budak nafsu, Jerami Ayu!"
"O, aku tidak menganggapmu begitu. Kau tetap seorang pendekar yang gagah perkasa dan punya Keberanian tinggi!. Justru jika tanpa tunjukkan kemampuanmu dalam bercinta, rasa-rasanya kau seperti pendekar yang kurang perkasa," sambil tangan perempuan itu mulai meraba punggung Suto Sinting. Kuku-kuku jarinya mencakar lembut di permukaan punggung berlapis baju coklat itu. Cakaran kuku yang merayap samar-samar itu bagaikan gelitik
penggugah hasrat bercumbu bagi si Pendekar Mabuk yang masih dikerumuni pertimbangan dalam benaknya.
"Haruskah aku luluh dengan perjanjian seperti itu? Haruskah kukorbankan kesetiaanku terhadap Dyah Sariningrum demi dapatkan rahasia kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa itu? Bagaimana jika kulawan sendiri dengan ilmuku? Hmmm... mungkin aku bisa hancurkan si pemilik ilmu itu, tapi bagaimana dengan bayangannya? Tentu bayangan hitamnya sulit kuhancurkan. Dan... 
Jerami Ayu agaknya mengetahui betul kelemahan melawan bayangan itu. Buktinya ia bisa lolos dari maut, tak senasib dengan Nanggala. Tapi... haruskah kutebus dengan kehangatan darah kemesraanku?"
Jerami Ayu mendesak terus secara halus. la menempelkan bibirnya ke lengan Suto setelah berkata lirih dengan suara agak parau.
"Sebentar lagi petang datang, lebih indah lagi jika kita nikmati rembulan tipis di langit dengan kemesraan yang hangat. Aku yakin kau mempunyai kehebatan dalam bercumbu. Aku yakin kau mampu membuatku menjerit ditikam kenikmatan darimu. Hik, hik, hik, hik...."
Pendekar Mabuk mulai rasakan sentuhan hangat bibir Jerami Ayu di lengannya. Perempuan ltu sengaja membuat darah kemesraan Suto terbakar dengan gunakan mulutnya yang sesekali menggigit Kecil lengan itu, bagai membangkitkan kejantanan si pendekar tampan itu.
"Tubuhmu kekar,berisi pasti cumbuan mu lebih dahsyat dari semua lelaki yang ada di bumi ini. Apakah kau tak merasa sayang membuang waktu hanya dengan diam begini. sementara si pemilik ilmu Gerhana Senyawa itu telah lari lebih jauh dari kita?"
Suto Sinting hempaskan napas, bagai menahan gejolak hasrat untuk saling berpelukan. la tetap berdiri tegak tanpa memberikan reaksi apa pun kecuali ucapan lirih yang didengar oleh Jerami Ayu.
"Aku tak sanggup mengikat perjanjian mesra denganmu."
"Ah, kau pasti sanggup! Kau punya kemampuan yang hebat kok. Tuh... benar, kan?!" ujar Jerami Ayu sambil mengikik, karena tangannya segera menyentuh sesuatu yang dimiliki Suto, dan sesuatu itu kini dalam keadaan penuh tantangan, bagai pendekar yang siap hadapi pertarungan kapan saja.
"Atau kau ingin kita bermalam di bawah pohon sebelah sana? Rindang dan terlindung dari akar-akarnya yang mirip bilik kamar itu? Kurasa tempat
Itu Juga indah dan membangkitkan gairah juga. Sebentar lagi rembulan tipis akan muncul, dan tentu Saja kemesraan kita akan semakin tambah menggelora, bukan? Hik, hik, hik, hik, hik!"
"Tidak, Jerami Ayu! Aku tidak ingin melakukannya.!"
"Aku tidak percaya. Kau pasti ingin melakukan nya, tapi kau malu kepadaku. Ooh... tak usah malu, Pendekar tampan. Kita saling..."
"Hentikan rayuanmu, Perempuan lblis!" sentak sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari belakang mereka. Suara lantang itu sangat mengejutkan Suto maupun si Jerami Ayu. Mereka cepat berpaling dengan wajah menegang.
"Pandawi...?!" sapa Suto Sinting dengan suara bernada heran.
Rupanya orang yang tiba-tiba muncul di belakang mereka adalah si Pandawi, mantan prajurit wanita Ratu Kehangatan yang pernah jumpa dengan Suto dalam memperebutkan Pedang Jagal Keramat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan Dewi Ranjang").
Rupanya si Jerami Ayu juga mengenal gadis bertubuh tinggi, berperawakan kekar dan sekal itu. Gadis itu masih tetap mengenakan pakaian prajurit walau sudah bukan lagi seorang prajurit. Rompi zirah anti senjata tajam dikenakan dalam keadaan ketat dengan tubuh, hingga membentuk keelokan tubuhnya yang sekal dan berdada montok. Belahan depan rompi itu menampakkan sebagian gumpalan dada yang berwarna putih mulus itu.
Gadis yang mengenakan bawahan semacam rok dari campuran tembaga yang anti goresan senjata tajam itu melangkah lebih dekat lagi. Rambut Yang tergerai melewati pundak Dengan bagian depan diponi itu tampak bergerak-gerak sesuai irama Langkahnya yang tegar. Pisau-pisau kecil yang terdapat di kedua kaki, tangan, pundak, dan sekeliling sabuk, membuat ia tampak seperti panglima berpedang besi warna hitam panjang.
"Ini bukan urusanmu, Pandawi! Pergilah sana, dan biarlah aku selesaikan urusan pribadiku dengan pemuda tampan ini!" ujar Jerami Ayu dengan tegas.
"Kudengar rayuan licikmu akan menjeratnya dalam pergumulan mesummu! Aku tahu siapa dia, dan hatiku tak rela jika dia menjadi korban gairah binatangmu, Jerami Ayu!"
"Pandawi!" sentak Jerami Ayu dengan berang.
la melangkah maju tinggalkan Suto, sementara itu Suto sendiri hanya menjadi penonton perdebatan kedua wanita itu sambil bertanya-tanya dalam hati,
"Apa maksud Pandawi menghalangi niat Jerami Ayu?!"
Wajah Suto menatap tak berkedip kepada kecantikan Pandawi yang beralis tebal, berhidung mancung, bermata biru, dan berbibir sensual itu.
Sesekali gerakan tatapan mata Pandawi tertuju kepada Suto, namun segera berpindah ke arah Jerami Ayu jika tatapan itu beradu pandang dengan tatapan Suto Sinting.
"Kapan kau menjadi perempuan Suci Pandawi?! Jangan berlagak suci di depanku, karena aku tahu kau mantan pengikut ratu bejat juga! Kuharap kau tak mengganggu urusan pribadiku. Kita sama-sama bukan perempuan suci, Pandawi!"
"Aku tidak setuju dengan caramu menjeratnya, Kau dustai dia dengan mengaku orang yang tahu rahasia ilmu 'Gerhana Senyawa' itu, padahal pengetahuanmu tentang ilmu itu sangat cetek dan tak bisa untuk menolong dirimu sendiri!"
"Bungkam mulutmu, Jahanam!" sentak Jerami Ayu tak sabar bicara halus lagi.
Pandawi berseru kepada Pendekar Mabuk, "Sutooo...! Pergilah, dan jangan dengar bujukan perempuan rakus ini! Dia tak tahu tentang rahasia ilmu 'Gerhana Senyawa'! Kau akan dibohonginya, Suto. Pergilah sana, lekas!"
Pendekar Mabuk sempat bimbang walaupun Ia bergerak mundur. Tapi langkahnya itu terhenti karena jeritan Jerami Ayu yang memekik sambil lepaskan murkanya kepada Pandawi.
"Heeeaaah...!"
Weesss..! 
Jerami Ayu menerjang Pandawi dengan pedang tahu-tahu sudah di tangan dan berkelebat menebas leher. Pandawi berlutut satu kaki dan menghadangkan pedangnya ke atas. Trrang...! Pedang Jerami Ayu tertangkis, kejap berikutnya Pandawi berguling di tanah dan menyamparkan kakinya.
Wuuut...! Plaakk...! 
Kaki Jerami Ayu disambar kaki Pandawi.
Sambaran kuat itu membuat Jerami Ayu jatuh.
Brruuk...!
Pandawi segera hujamkan pedangnya ke dada Jerami Ayu. Suuut...! Traang...! Jerami Ayu masih bisa menangkis. Tapi ketika tiba-tiba kaki Pandawi menendang dalam posisi tetap duduk, Jerami Ayu tak bisa menangkisnya. Tendangan yang tak diduga-duga itu kenai lengan Jerami Ayu dengan kuat, karena tendangan itu bertenaga dalam cukup besar.
Buuhk..!
Wuuurs...! 
Jerami Ayu terguling-guling ke samping. Pandawi punya kesempatan bangkit secepatnya. Jleeg...!
Namun ternyata Jerami Ayu lakukan sentakan dengan tangannya ke tanah. Sentakan bertenaga dalam itu melambungkan tubuhnya dalam sekejap.
Wuuut..! Jleeg...! Jerami Ayu pun berdiri tegak kembali dengan pedang terangkat di samping kanan,
Siap menebas lawan jika sang lawan mendekat.
"Hebat juga si Pandawi," ujar Suto Sinting yang merasa senang melihat gerakan jurus pedang Pandawi. "Tapi si Jerami Ayu boleh juga gerakannya. Kalau ia tak segera bangkit, pasti Pandawi sudah menyerangnya lagi dengan pedang. Bisa buntung kepala si Jerami Ayu itu!"
Suto Sinting masih membiarkan kedua perempuan itu beradu pedang. Suto sendiri masih pegang pedang milik Nanggala yang ujungnya ditancapkan di tanah dan gagangnya sesekali menjadi tempat sandaran tangan Suto. la menyaksikan pertarungan itu dengan santai, bahkan sempat membuatnya lupa dengan kematian Mirah Cendani. Pertarungan jurus pedang kedua perempuan itu sungguh mengasyik kan untuk ditonton, sehingga Pendekar Mabuk benar-benar menikmati tiap jurus yang dipertarungkan itu.
Namun tiba-tiba ia menjadi tegang ketika melihat Pandawi berhasil menangkis pedang Jerami Ayu, kemudian tubuhnya berputar cepat dan pedangnya menyambar perut Jerami Ayu. Wuuss,craas..!
"Aaaaaakh..." Jerami Ayu memekik sambil tersentak mundur dengan tubuh terbungkuk ke depan.
"Bangsat kau!" geram Jerami Ayu setelah mengusap tangan kirinya ke perut yang terluka itu. la memandangi tangan kirinya yang penuh darah dari luka itu. Mata Jerami Ayu memancarkan dendam dan kebencian.
Rupanya luka itu tak terlalu dalam, walau cukup berbahaya. Ada racun di ujung pedang Pandawi dan racun itu mulai bekerja menyatu dengan darah Jerami Ayu. Pandangan mata Jerami Ayu mulai kabur.
"Celaka! Bisa habis riwayatku kalau kuteruskan pertarungan ini!" gumam hati Jerami Ayu.
Pandawi melompat dan sebuah tendangan tepat kenai wajah Jerami Ayu ketika perempuan itu melangkah mundur dengan oleng.
Wuuut, plook...!
"Aaauh.." 
Jerami Ayu terlempar jatuh akibat wajahnya terkena tendangan keras lawan.
Pandawi mengejar dan segera mengangkat pedangnya untuk memenggal leher Jerami Ayu. Namun saat itu juga, Pendekar Mabuk bergerak cepat ke arah mereka. 
Zlaap..!
Pedang milik Nanggala dipakai Suto untuk Menahan ayunan pedang Pandawi. Pedang itu bukan hanya menahan, tapi Suto juga lakukan sentakan untuk membuat pedang Pandawi menyingkir dari atas Jerami Ayu.
Pandawi terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung beberapa langkah. Pendekar Mabuk segera mendekatinya agar Pandawi tidak menyerang Jerami Ayu lagi. Tentu saja Pandawi terkejut dan memandang Suto Sinting dengan tajam.
"Pandawi, jangan bunuh dia! Dia tahu tentang rahasia kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa', karena ia tadi selamat dari bayangan hitam yang mengerikan itu!" ujar Suto Sinting dengan mata menatap penuh harap.
"Tahu apa dia tentang ilmu itu?! Kau hanya akan dibodohi olehnya, diperas kemesraanmu untuk memuaskan gairahnya! Dia tidak tahu apa-apa tentang ilmu itu. Suto!" sentak Pandawi dengan jengkel.
"Tapi ia tadi selamat dari terjangan bayangan hitam itu, Pandawi!"
"Karena orang itu memang tidak ingin membunuhnya! Kaulah yang dicari oleh orang itu dan akan dijadikan abu seperti pemuda-pemuda tampan yang disangka dirimu!"
Pendekar Mabuk bagai kehilangan kata. Kebimbangannya semakin menjengkelkan hati, sehingga ia hanya bisa membuka mulut tanpa berkata sepatah kata pun.
"Pandawi! Tunggu pembalasanku nanti, Keparat!" seru Jerami Ayu yang segera berkelebat pergi tinggalkan Suto dan Pandawi.
"Hei, selesaikan dulu urusanmu denganku, Setan betina!" seru Pandawi, lalu bergegas mengejar Jerami Ayu. Suto Sinting melompat ke depan Pandawi, menghalangi langkah Pandawi.
"Biarkan dia lari! Dia tak akan berani macam-macam lagi jika bertemu denganmu!"
"Sial.!" maki Pandawi dengan napas terengah - engah la memandang ke arah lain dengan matanya yang tampak liar, memancarkan kemarahan dan rasa penasarannya.
Tindakan melindungi nyawa Jerami Ayu dilakukan Suto Sinting dengan maksud menjaga kemungkinan kebenaran kata-kata Jerami Ayu tadi. Suto Sinting memang ragu-ragu untuk mempercayai kata-kata Jerami Ayu atau Pandawi. Jika benar Jerami Ayu hanya mengelabuhinya untuk dapatkan kemesraan yang diharapkan, suatu saat toh Suto dapat bikin perhitungan sendiri terhadap perempuan itu.
Tapi jika ternyata Jerami Ayu memang mengetahui rahasia kelemahan ilmu tersebut, alangkah sayangnya jika perempuan itu sampai terbunuh sebelum
membeberkan rahasia itu. Karenanya, Suto Sinting mengambil sikap melindungi nyawa Jerami Ayu. Namun ia sendiri juga berharap mendapat penjelasan dari Pandawi tentang itmu 'Gerhana Senyawa' itu.
"Jika kau bisa mengatakan Jerami Ayu hanya mendustaiku, tentunya kau tahu tentang ilmu 'Gerhana Senyawa' itu, Pandawi?!"
"Ya, memang aku tahu!" jawab Pandawi sambil melangkah dekati pohon. la menyarungkan pedangnya di sana. Suto Sinting mengikutinya. Pandawi duduk di atas akar yang melintang setinggi pinggulnya.
"Kau mau jelaskan tentang ilmu itu?" pinta Suto secara tak langsung.
Pandawi diam saja. Ia justru melamun beberapa saat dengan pandangan ke arah
larinya Jerami Ayu.
Karena lama menunggu tak ada jawaban. Pendekar Mabuk segera erdengarkan suaranya lagi. Kali ini ia ikut duduk di samping Pandawi agar lebih akrab lagi.
"Pandawi, apakah kau juga tahu mengapa orang itu mencariku dan ingin membunuhku?"
Pandawi menjawab dengan suara datar, "Dendam!"
"Dendam...?! Apakah... apakah aku pernah bertemu dengan orang itu? Tapi mengapa orang itu tidak mengetahui siapa Pendekar Mabuk, sehingga banyak pemuda yang disangka diriku dan menjadi korbannya?"
Pandawi menarik napas. la tampak gelisah. Bahkan sekarang berdiri dan melangkah ke samping dengan bertolak pinggang satu tangan. Tapi dari sorot matanya yang tak berani menatap Suto Sinting, Pandawi kelihatan sembunyikan sesuatu yang amat meresahkan jiwanya.
"Pandawi, ada apa dengan dirimu? Kau tampak gelisah sekali, Pandawi," ujar Suto Sinting tetap duduk di atas akar itu.
"Aku harus pergi!" tiba-tiba Pandawi berkata dengan suara datar. la melangkah mundur sambil pandangi Suto Sinting.
"Pandawi...!" Suto bangkit ingin mengejarnya tapi tertahan oleh ucapan tegas Pandawi.
"Jangan mendekatiku, Suto!"
Langkah Suto pun terhenti ketika tangan Pandawi terulur ke depan memberi peringatan serius. Tapi hati Suto menjadi lebih penasaran lagi melihat sikap Pandawi seperti itu.
"Tinggalkan aku dan hindari orang berjubah abu-abu yang mempunyai bayangan bisa bergerak sendiri itu! Kau tak akan mampu melawannya, Suto!"
"Aku harus melawannya, Pandawi! Karena.."
Blaass...! Pandawi melesat larikan diri dengan cepat. Suto Sinting segera mengejarnya sambil berseru, "Pandawi, tunggu dulu...! Hei, berhentilah dulu, Pandawi...!

* * *

ǂ: 7 :ǂ

PELARIAN Pandawi semakin menerobos keremangan petang. Sekalipun cahaya matahari hanya tersisa biasnya dari cakrawala, namun mata jeli si gadis berkulit kuning langsat itu masih bisa melihat dengan jelas siapa orang yang menghadang langkahnya.
Orang itu berjubah abu-abu dengan wajah angker melambangkan statusnya sebagai tokoh aliran hitam. Pandawi sendiri sebenarnya juga ikut aliran hitam. Tapi sejak kematian Ratu Kehangatan dan hancurnya istana Kematian akibat amukan Pendekar Mabuk, maka lambat laun jiwa gadis itu pun mengalami perubahan. Sepertinya ia telah bosan hidup sesat dan iri dengan mereka yang hidup damai dalam aliran putih.
Maka ketika ia berhadapan dengan tokoh hitam berjubah abu-abu itu, ia sudah siap hadapi kemungkinan pertarungan menjelang petang. Karena tokoh itu pernah terlibat perkara dengan pihak istana Kematian, dan Pandawi pernah menyerang orang itu atas perintah mendiang Ratu Kehangatan. Tak heran jika tokoh berambut putih itu akan menuntut balas kepada Pandawi.
"Sungguh keberuntungan yang luar biasa dapat bertemu denganmu dalam perjalananku memburu titisan Tapak Lintang ini!" ujar si jubah abu-abu dengan suaranya yang berkesan angker.
"Aku tak mau campuri urusanmu. Tapi jika kau mengusikku aku tak segan-segan mencabut nyawamu, Jahanam Tua!"
Tokoh angker itu memang si Jahanam Tua.
Agaknya ia sudah berhasil sembuhkan lukanya dalam waktu semalam. Kini tubuhnya telah sehat kembali dan mampu berdiri tegar di depan prajurit wanita
yang pernah berurusan dengannya itu.
"Aku hanya ingin menuntut balas atas kematian muridku; si Prajadipa! Tentunya kau masih ingat Prajadipa yang kau penggal seenaknya dengan pedangmu itu, Perempuan keparat?"
"Aku masih ingat semuanya! Dan aku siap hadapi dendammu, Jahanam Tua!"
"Bagus!" ia melangkah ke samping dengan mata tajam penuh hasrat membunuh. "Bersiaplah untuk mati, Gadis keparat!"
Tiba-tiba si Jahanam Tua layangkan tongkatnya dari samping kanan. Tongkat itu dihantamkan dengan satu lompatan pendek. Wuuut..! Ternyata tongkat itu hanya melintasi atas kepala Pandawi, lewat dari atas kepala, tongkat itu membalik arah dan menghantam pelipis kanan Pandawi. 
Wuuut...!
Deess...! 
Pandawi menangkisnya dengan lengan kanan. Tapi ia segera menyeringai dan terpekik pelan.
"Aauh...!" Pandawi merunduk sambil mundur tiga langkah. Tulang lengannya bagai diadu dengan besi baja. Sakitnya bukan main. Mungkin juga tulang itu menjadi remuk dan kehilangan tenaga.
Slap, slap...! Pandawi lemparkan pisaunya dengan tangan kiri. Lemparan dua pisau itu segera ditangkis oleh Jahanam Tua dengan kibasan tongkatnya. Trak, trak...! Kedua pisau itu melesat berbeda arah. Namun keduanya menancap di batang pohon secara tak sengaja.
"Heeaah...!" Jahanam Tua sodokkan tongkatnya setelah tongkat itu berhasil menangkis kedua pisau.
Sodokan itu sangat di luar dugaan, sehingga Pandawi terkejut dan tak sempat menghindar. Perut gadis itu menjadi sasaran tongkat berukiran kepala naga.
Buuhk...!
"Uuhkk...!" 
Pandawi terlempar ke belakang membentur pohon. la jatuh terduduk dengan mata masih mendelik dan napas sukar dihela.
"Uuhoekk...!" Pandawi akhirnya memuntahkan darah segar. Sodokan itu timbulkan luka berbahaya di bagian dalam perut Pandawi. Tenaga dalam besar
yang disalurkan melalui tongkat itu bagaikan merusak jaringan dalam tubuh Pandawi.
Namun gadis itu masih berusaha untuk bangkit dan mencabut pedangnya. Sayang tangan kanannya telah cedera, Sehingga ia tak kuat mengangkat Pedang Besi itu. Pedang tersebut akhirnya jatuh ditanah sebelum disambar memakai tangan kirinya.
Trang...!
Pada saat itulah, Jahanam Tua melompat dengan tongkat diputar di atas kepala. Putaran tongkat itu hadirkan angin besar yang membuat rambut Pandawi meriap-riap dan matanya terpaksa menyipit menahan hembusan angin.
"Heaaaahh...!"
Teriakan si Jahanam Tua yang terdengar liar itu membuat Pandawi segera sadar bahwa ia harus pindah tempat dalam sekejap. Maka ketika tongkat itu menghantam ke depan, Pandawi telah lebih dulu lakukan lompatan berjungkir balik di tanah sambil menyambar pedangnya dengan tangan kiri.
Wuuut...!
Blaarr..! 
Pohon yang tadi ditabrak Pandawi Menjadi sasaran tongkat si Jahanam Tua. Pohon itu rompal karena terkena hantaman bertenaga dalam besar. Ledakan itu menimbulkan getaran pada tanah dan sebagian daun-daun pohon berguguran.
Pandawi segera bangkit dengan pedang siap di tangan kiri. Tapi tiba-tiba napasnya tersentak, mulutnya terbuka dalam keadaan badan membungkuk.
"Huuhk..." Pandawi keluarkan darah segar lagi dari mulutnya.
Saat ia terbungkuk, Jahanam Tua menerjang dengan tongkat siap dihantamkan ke kepala gadis itu. Weess...! Namun ketika tubuh itu melayang di udara, sesosok bayangan menyambarnya dari samping kiri. 
Zlaaap.! Brruuss...!
Jahanam Tua terlempar jatuh di semak-semak berduri. Bayangan yang menyambarnya itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk yang mengejutkan Jahanam Tua. Bumbung tuak si Pendekar Mabuk sudah ada di tangan kanan, talinya dililitkan dalam genggaman. la berdiri tegak sedikit merenggang dan posisinya ada di depan Pandawi, seakan siap menjadi perisai bagi gadis itu.
"Uuhf...! Perutku seperti hancur!" geramnya dalam hati. "Kalau aku tak memakai rompi zirah ini, mungkin perutku sudah jebol terkena sodokan tongkatnya. Ooh... dia berhasil menyusulku?!" sambil matanya memandang punggung Pendekar Mabuk.
"Untung dia segera datang. Kalau tidak, aku bisa terdesak oleh serangan si Jahanam Tua yang jauh lebih cepat dan lebih hebat dari yang dulu. Bisa-bisa aku mati di tangannya kalau dia tak muncul disini!"
Sementara itu, Jahanam Tua menggeram penuh kebencian. "Sekarang saatnya kau kuhancurkan,Keparat! Jangan harap kau bisa lolos atau melukaiku lagi!"
"Boleh saja kau hancurkan diriku!?" Ujar Suto dengan kalem.
"Tapi jelaskan dulu, mengapa kau menghendaki kematianku, Jahanam Tua?!"
"Kalau aku bisa membunuh titisan Tapak Lintang, dan menewaskan pelindungnya, yaitu kau! Maka pusaka Pedang Jagal Keramat akan datang sendiri kepadaku dan mengabdi padaku!"
"O, jadi itu maksudmu memburuku?!"
"Benar! Sekarang bersiaplah untuk mati!"
"Tunggu sebentar. Mati itu mudah, nguburnya yang kadang susah!" ujar Suto Sinting berkesan santai. la sengaja tak mau tegang, karena takut memancing emosinya secara berlebihan. 
"Satu lagi yang ingin kutanyakan padamu sebelum kau berhasil membunuhku, Jahanam Tua! Katakan Siapa titisan Eyang Tapak Lintang itu sebenarnya?!".
"Calon jenazah tak boleh cerewet! Sebaiknya jemputlah ajalmu ini! 
Heeaaaahhhhh...!!"
Jahanam Tua melompat dengan tongkat disodokan kuat-kuat ke arah kepala pendekar mabuk. Tapi dengan tetap berdiri di tempat, Suto Sinting melintangkan bambu tuaknya dan bambu itu menjadi Penangkis serangan tongkat si Jahanam Tua.
Blegaaarr.....!
Ledakan dahsyat terjadi saat bambu tuak sakti beradu dengan ujung kepala tongkat si Jahanam Tua.
Jahanam Tua terlempar mundur, demikian pula Suto Sinting. Namun dengan sentakan kaki pelan, tubuh Suto segera terlempar ke depan sambil bumbung tuaknya disodokkan. 
Bumbung tuak itu meluncur bagaikan terbang dan membawa tubuh Suto
Sinting melayang lurus. Jahanam Tua sedang kebingungan menjaga keseimbangan akibat terlempar oleh gelombang ledakan tadi. Namun begitu ia baru saja berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba bumbung tuak Suto datang menyodok dadanya dengan telak.
Blaamm...!
Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' yang digunakan Suto telah membuat si Jahanam Tua tak bisa terpekik sedikit pun. Dari dada sampai wajah menjadi biru legam. Darah hitam keluar dari mulutnya yang ternganga kaku itu. Mata sangarnya mendelik tak bisa berkedip. Rambutnya mulai rontok tertiup angin menjelang petang.
Kejap berikut, si Jahanam Tua tumbang ke belakang, berdebam tanpa gerakan lagi. Warna biru legam semakin menghitam. Akhirnya si Jahanam Tua diam tak bergerak tanpa napas dalam keadaan sekujur tubuhnya menjadi biru legam. Rambutnya rontok habis dan tubuhnya tetap kaku bagaikan patung.
"Edan! Sodokan bambunya ternyata mempunyai kekuatan sakti yang membahayakan lawan?" ujar Pandawi dalam hatinya. la berlutut satu kaki karena menahan sakit di perutnya. Hampir saja tak mampu berdiri, karena jaringan tubuh di dalamnya semakin seperti dihancurkan oleh tenaga yang tak bisa dilawan.
Pendekar Mabuk segera memberinya minum tuak sakti tersebut. Dengan menenggak tuak itu, rasa sakit yang diderita Pandawi mulai reda. Kekuatannya pulih kembali, dan makin lama tubuh Pandawi semakin segar, seakan tak pernah terluka sedikit pun. Darah yang membekas di sekitar bibirnya pun lenyap bagai diserap angin.
"Kau telah membunuhnya!"
"Terpaksa," ujar Suto Sinting. "la benar-benar ingin membunuhku. Dan aku sedang malas dibunuh, maka aku harus hentikan niatnya dengan cara seperti itu!"
Pandawi memandangi mayat Jahanam Tua, demikian pula Suto Sinting. Tapi suara Pendekar Mabuk segera terdengar membisik di telinga Pandawi.
"Sayang dia tak sempat sebutkan siapa titisan Eyang Tapak Lintang. Kematiannya masih membuatku penasaran, karena aku ditugaskan melindungi Sang titisan itu."
Pandawi melangkah sedikit jauhi Suto Sinting, matanya memandang langit berwarna merah tembaga. Dari tempatnya berdiri, Suto mendengar suara Pandawi bagai bicara pada diri sendiri.
"Sebaiknya segeralah mencari Karina!"
"Siapa?! Karina...?! Mengapa kau menyuruhku mencari Karina?" sambil Suto Sinting maju dekati Pandawi.
"Dialah titisan Eyang Tapak Lintang, pewaris Pedang Jagal Keramat?!"
"Hahh...?!" Pendekar Mabuk sengaja bergeser hingga berhadapan muka dengan Pandawi. Wajah gadis itu dipandangnya tajam-tajam. Wajah cantik
berkesan penuh keberanian itu menatap Suto juga dengan bola matanya yang berwarna biru di bagian tengahnya.
"Karina adalah orang yang harus kau lindungi sampai Pedang Jagal Keramat menjadi miliknya."
"Dari mana kau tahu?!"
"Nyai Dupa Mayat, guru si Dewi Ranjang, adalah orang yang mencuri Pedang Jagal Keramat itu. Selama empat puluh hari pedang itu tak bisa diangkat olehnya, maupun oleh Dewi Ranjang. Selama empat puluh hari itu pula, Nyai Dupa Mayat selalu bermimpi didatangi Eyang Tapak Lintang yang menyuruhnya menyerahkan pedang itu Kepada Karina, sebab Eyang Tapak Lintang menitis dalam hidup Karina.
Pandawi bicara dengan serius. Suto Sinting melihat jelas kesungguhan sikap si gadis itu dari pancaran bola matanya.
"Kau... kau mengetahui semua itu? Dari mana? kau mengetahuinya?"
Pandawi menyingkir dari depan Suto Sinting, pandangan matanya diarahkan ke tempat lain. Tapi suaranya segera terdengar dengan jelas.
"Aku bermaksud bergabung dengan Nyai Dupa Mayat untuk berguru padanya. Aku ingin kalahkan dirimu, sebagai balas dendamku terhadap Istana Kematian yang kau hancurkan itu. Tapi... bayangan wajahmu tak bisa hilang dari ingatanku. Hati kecilku menentang rencana-rencana busukku itu."
Pandawi diam sesaat. Kini la berpaling, sengaja menatap Pendekar Mabuk dalam jarak empat langkah.
"Akhirnya kuputuskan untuk menghapus seluruh dendamku, karena kusadari bahwa hati kecilku mulai bosan menjadi orang sesat. Aku merindukan kedamaian dan ketenteraman yang manusiawi. Hal itu bisa kuperoleh jika aku masuk ke aliran putih.?"
"Penilaianmu memang benar, Pandawi"
"Tapi aku sudah telanjur mengatakan kepada Nyai Dupa Mayat bahwa orang yang membunuh Dewi Ranjang dan merampas Pedang Jagal Keramat adalah Pendekar Mabuk."
Ucapan itu bernada penuh sesal. Gadis itu sedikit tundukkan kepala, tapi segera tegak memandang langit yang makin kelam itu dengan tarikan napas dalam-dalam.
"Pandawi, lupakan tentang apa yang sudah telanjur kau perbuat. Walaupun sebenarnya bibirmu itu telah menyebarkan maut bagiku. Aku tak menaruh dendam dan kemarahan padamu, sekalipun kau sudah jelaskan kepada Nyai Dupa Mayat bahwa akulah si perampas pedang pusaka itu. Lupakanlah, Pandawi!"
"Tak bisa, Suto! Aku merasa dibayang-bayangi dosaku sendiri. Karena sekarang kau menjadi buronan Nyai Dupa Mayat."
"Jika memang terpaksa keadaan sudah begitu, aku akan menghadapi Nyai Dupa Mayat!"
"Berbahaya, Suto!" ujar Pandawi sambil menatap Pendekar Mabuk. Kini gadis Itu sendiri yang mendekat.
"Nyai Dupa Mayat itulah orang yang memiliki ilmu 'Gerhana Senyawa'!"
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk terkejut dan terbungkam seketika.
"Kau bisa melawan orangnya, tapi tak bisa melawan bayangannya!"
Setelah diam beberapa saat, Suto pun berkata,
""Akan kucoba melawan bayangannya."
"Kau bisa mati, Suto!"
"Jika memang itu sudah menjadi kodratku, aku tak akan menyesal!"
"Tapi aku menyesal sekali jika kau sampai mati di tangannya."
"Mengapa harus merasa begitu?!"
"Karena untuk apa aku ingin pindah ke aliran putih jika kau tiada!"
Suto berkerut dahi. "Apa maksudmu?"
"Aku ingin tetap bersamamu," ucap Pandawi dengan lirih sekali. Suto Sinting hanya tertegun bagai patung bernyawa. Pandawi maju lebih dekat lagi.
Bola matanya yang biru pandangi Suto tak berkedip.
"Aku ingin bersamamu, walau harus berada dalam satu liang kubur, Suto!"
"Pandawi...?!"
Gadis itu meredupkan mata, lalu bibirnya menyentuh bibir Suto Sinting dengan lembut sekali.
Ceess...! Hati Suto Sinting bagai disiram air surgawi. Teduh dan damai. Demlkian pula yang dirasakan Pandawi.
"Ternyata dia punya kelembutan yang menggetarkan jiwaku. Ooh... sayang sekali aku harus berhadapan dengan Nyai Dupa Mayat. Apakah Pandawi tahu rahasia kelemahan bayangan hitam yang mematikan itu? ujar Suto Sinting dalam hatinya."
Sambil membiarkan bibirnya dilumat dengan lembut sekali oleh Pandawi. Kelembutan itu melebihi kelembutan putri keraton yang mampu melayangkan jiwa Suto Sinting bagai di langit-langit tertinggi.

ǂ: SELESAI :ǂ



INDEX SUTO SINTING
93.Pertarungan Dewi Ranjang --oo0oo-- 95.Dalam Pelukan Musuh


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.