Life is journey not a destinantion ...

Siasat Dewi Kasmaran

INDEX SUTO SINTING
68.Gairah Sang Ratu --oo0oo-- 70.Hilangnya Kitab Pusaka

SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi


≠ 1 ≠

ENTAH sudah berapa lama Suto Sinting terkapar di dalam ruangan itu, yang jelas keika ia sadar, ia merasa serba bingung dengan keadaan dirinya. Pemuda tampan yang mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih kumal itu memandang keadaan sekelilingnya, ia benar- benar tampak kebingungan dan hatinya bertanya-tanya,
"Mengapa aku ada di sini? Sebuah gua atau ruang bawah tanah tempat ini? Atau...jangan-jangan aku sudah dikubur? Ah, tapi liang kubur kok selebar ini?"
Suto Sinting yang dikenal sebagai Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu, kini bangkit dari rebahannya. Ia duduk sambil pandangi dinding-dinding tanah cadas yang tak rata. Pada dinding tersebut terdapat empat obor dari bambu hitam. Dinding itu mempunyai dua lorong berseberangan, dan setiap jalan masuk ke lorong mempunyai dua obor kanan-kiri. Empat obor itu yang menerangi tempat tersebut.
Tanah ruangan beratap setinggi dua kali tinggi tubuh Suto itu mempunyai lantai dari tanah cadas tanpa tanaman apa pun. Lumut memang ada, tapi hanya sedikit, dan tumbuh di sudut-sudut ruangan. Udara di ruangan tersebut terasa kering, tapi pada tepian dinding terasa ada kelembaban sedikit.
"Kalau aku sudah mati dan terkubur, mengapa tengkuk kepalaku masih terasa sakit. Sakit karena pegal. Mungkin aku terlalu lama berbaring tanpa alas apa pun," pikir Suto Sinting dalam benaknya, hatinya berkecamuk terus sambil mencoba mengingat-ingat sesuatu yang membuatnya sampai berada di ruangan tersebut.
"Biasanya kalau orang sudah mati, atau sudah menjadi roh, tidak akan merasakan pegal pada bagian tubuhnya yang mana pun. Bahkan... coba kucubit lenganku."
Suto mencubit lengannya sendiri. "Aduh!" sentaknya kaget. "Aku masih merasakan sakit," pikirnya kembali. "Berarti aku belum mati. Orang mati kalau dicubit tak akan terasa sakit. Karena itulah jika orang mati dicubit ia tak akan membalas. Hmmm... tapi, kalau melihat empat obor itu, rasa-rasanya aku berada di dalam sebuah gua. Ya, pasti gua! Kalau liang kubur tak mungkin diberi obor segala. Untuk apa? Dan... oh, itu dia bumbung tuakku!"
Bumbung yang biasa berisi tuak dengan panjang lebih kurang satu depa itu tergeletak di salah satu sudut yang lembab. Pendekar Mabuk segera mengambilnya dan ingin meneguk tuak untuk penyegar tubuh. Tetapi alangkah kecewanya ketika ia tahu bahwa bumbung itu tidak berisi tuak. Kosong, tanpa setetes tuak pun di dalamnya.
"Sial!" gerutunya sambil nekat menuang bumbung ke tanah, yang keluar bukan tuak melainkan sebuah benda kecil yang berkilauan. Benda itu tak lain adalah sebuah cincin dengan batuan putih intan. Cincin itu adalah cincin pusaka yang dinamakan 'Cincin Manik Intan'.
Suto memang menyimpan cincin pusaka tersebut di dalam bumbung tuaknya agar tak menjadi incaran para tokoh yang rakus benda pusaka. Di samping itu, kekuatan gaib tuak sakti yang ada di dalam bumbung membuat cincin tersebut terjaga kesaktiannya. Di dalam bumbung itu ada lekukan dari ruas bumbung yang dapat membuat cincin itu terselip dengan sendirinya, sehingga jika tuak dituang sampai habis tidak membuat cincin ikut keluar. Kecuali jika disentak-sentakkan seperti yang dilakukan Suto baru saja itu.
Cincin Manik Intan akhirnya dikenakan oleh Suto dalam keadaan terbalik, batunya ada di telapak tangan, bukan menghadap ke luar. Jika tangan itu menggenggam maka batu putih intan itu tidak akan kelihatan dari luar.
Cincin pusaka itu memang harus dikenakan secara terbalik, karena jika tidak dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain. Sebab cincin itu dapat melepaskan kekuatan tenaga dalam dengan sendirinya dan menghantam apa saja yang ada di depannya, terutama jika pemakai cincin itu sedang dalam keadaan murka. Karena kesaktian Cincin Manik Intan itu sungguh dahsyat, sehingga Suto sendiri jarang menggunakannya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Hati pendekar gagah perkasa itu memendam kejengkelan karena tidak menemukan tuak dalam bumbungnya, ia mencoba mengingat-ingat lagi, mengapa sampai kehabisan tuak? Padahal biasanya sebelum tuak sampai kering, Suto sudah lebih dulu mengisinya dengan tuak baru hingga penuh. Hanya dalam keadaan sangat darurat dan terdesak sekali, Suto tak bisa mengisi bumbungnya dengan tuak.
"Apa yang terjadi pada diriku sebenarnya, sehingga bumbung tuakku sampai kering begini?" gumam Suto dengan bersungut-sungut, karena ia tak berhasil mengembalikan ingatan awalnya.
"Jika bumbung tuak sampai kering, berarti aku sudah berhari-hari berada dalam ruangan ini. Pingsankah aku tadi? Hmmm... rasa-rasanya malah seperti habis bangun tidur. Tak ada rasa kantuk sedikit pun. Bahkan badanku terasa lemas seperti orang terlalu banyak tidur."
Pendekar Mabuk akhirnya mendesah sambil garuk-garuk kepala.
"Ah, sial amat aku ini! Kerongkonganku kering, kepalaku jadi pening karena tak minum tuak. Persendianku mulai terasa sedikit linu."
Umumnya orang terlalu banyak minum tuak dapat mengakibatkan kepala menjadi pening. Tapi Pendekar Mabuk tidak begitu. Justru jika dia kekurangan tuak kepalanya menjadi pening, badan lemas, dan tulang-tulang linu. Tapi jika ia banyak minum tuak, maka badan menjadi segar, kepala tak merasa pening, tulang terasa keras, otot-otot menjadi kekar, dan gerakan menjadi lincah.
"Aku harus segera mencari tuak!" ujarnya dalam hati. "Tapi... di sini ada dua lorong sebagai jalan keluar. Lorong yang mana yang menuju keluar ruangan ini? Yang kiri atau yang kanan?"
Pendekar Mabuk mencoba mendekati lorong yang kiri. Tampaknya lorong itu gelap pada bagian ujungnya. Suto ragu-ragu untuk memasuki lorong tersebut. Lebih ragu lagi setelah ia menemukan tulisan arang di bawah salah satu obor. Tulisan itu berbunyi: Kamar Mandi.
Lorong yang satunya segera diperiksa. Keadaannya juga tak jelas, serba menyangsikan. Lebih sangsi lagi setelah membaca tulisan di bawah obor yang berbunyi: Jamban, alias WC.
"Konyol! Jadi ruangan ini terletak di antara kamar mandi dan jamban?!" ucapnya dengan gerutu kejengkelan. "Benar-benar konyol! Kenapa aku bisa berada di ruangan ini? Apa aku ini sejenis belatung atau kecoa yang harus berada di antara jamban dan kamar mandi?!"
Panjang ruangan itu sekitar delapan langkah, lebarnya mencapai lima langkah. Di ruangan itu hanya ada sebidang batu datar seperti dipan tanpa alas tidur apa pun. Bahkan sampah atau kotoran semak juga tak ada. Melihat padatnya tanah lantai, agaknya ruangan itu sering dipakai orang untuk tidur atau melakukan kegiatan lainnya.
Pendekar Mabuk akhirnya duduk di batu datar yang mirip dipan tak berkasur itu, ia merenung di sana sambil memangku bumbung tuaknya.
"Perutku lapar," gumamnya lirih, bicara pada diri sendiri. "Tak ada warung nasi di sini, ya?" sambil ia clingak-clinguk, seakan tak yakin bahwa di ruangan itu tak ada warung nasi.
"Siapa pemilik ruangan ini? Benarkah sebuah gua tanpa penghuni? Ah, tak mungkin. Pasti ada. Lalu dari mana munculnya?"
Pertanyaan tersebut bagai didengar oleh dewata dan sang dewata menjawabnya melalui kemunculan seorang gadis berparas ayu. Pendekar Mabuk sempat terperanjat dan menjadi tegak dalam duduknya saat melihat kemunculan seorang gadis dari lorong bertuliskan kamar mandi itu.
"Manusia atau peri?" pikir Suto Sinting agak sangsi. Sebab gadis itu memang cantik; hidungnya bangir, bibirnya ranum mungil, matanya sedikit lebar tapi agak nakal. Menggemaskan.
Gadis itu berambut panjang, tapi digulung asal-asalan, seakan memamerkan lehernya yang indah berkulit kuning langsat. Mulus tanpa cupangan, ia mengenakan kebaya biru yang ketat dengan tubuhnya. Padahal tubuhnya sekal dan mempunyai dada membusung padat, walau tak terlalu montok. Sedangkan kain kebaya itu mempunyai belahan tengah yang lebar, sehingga sebagian bukit dadanya tampak tersumbul menggetarkan hati.
Selain kebaya biru, gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu mengenakan kain batik warna coklat muda bermotif bunga-bunga merah dan kuning. Kain batik penutup bagian bawahnya itu hanya setinggi betis, bahkan sebelah kiri lebih tinggi hingga nyaris menampakkan lututnya. Kain batik itu dililitkan begitu saja dengan kedua ujungnya saling diikatkan, simpulnya ada di perut kiri.
Dilihat dari penampilannya yang berpakaian sederhana, lugu, tanpa perhiasan apa pun, gadis itu berkesan seperti seorang pelayan. Apalagi ia datang sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman, persis sekali seorang pelayan.
"Atau mungkin memang benar-benar pelayan?" pikir Suto Sinting sambil memperhatikan gadis itu.
Ketika si gadis memandang Suto Sinting, ia memberi senyum dan sedikit menganggukkan kepala sebagai tanpa hormat dan sikap ramahnya. Bahkan ketika ia ingin meletakkan nampan di batu datar mirip ranjang itu, ia berjalan dengan terbungkuk-bungkuk dan sangat hati-hati sekali.
Suto Sinting berdiri sambil masih memandangi gadis itu. Sang gadis meletakkan nampan di batu datar, setelah itu tiba-tiba ia memberi sembah kepada Suto Sinting, lalu berjalan mundur dalam keadaan setengah jongkok. Menyembah lagi, kemudian berdiri dan bergegas pergi.
"Tunggu...!" sergah Suto yang merasa heran sekali melihat gadis itu menyembahnya dengan kedua tangan merapat di depan hidung.
Suara sedikit keras itu membuat si gadis hentikan langkah, ia berdiri dengan sedikit membungkuk dan wajah tertunduk. Sikapnya benar-benar penuh hormat dan seolah-olah merasa takut kepada Suto.
"Mengapa kau memberi sembah padaku?" tanya Suto dengan nada suara tak sekeras tadi.
Gadis itu justru berlutut, badannya tegak, namun memberi sembah lagi. Setelah itu diam dan menunduk kembali.
"Aku bertanya padamu, mengapa kau memberi sembah kepadaku?" ulang Suto sambil makin mendekat. Si gadis tetap tundukkan kepala. Tapi gerakan matanya tampak gusar dan cemas.
"Dia sepertinya sangat takut kepadaku. Ada apa sebenarnya?" pikir Suto Sinting sambil memperhatikan penuh rasa heran. Kini Suto pun ikut-ikutan berlutut di depan gadis itu. Sang gadis bertambah waswas dan tingkah.
"Jangan takut padaku," kata Suto pelan dan mulai menampakkan kelembutan sikapnya. Kini dengan pelan-pelan sekali dagu gadis itu dipegang Suto dan diangkat agar wajah si gadis bisa bertatap muka dengannya. Si gadis tak menolak dan tak mengelak, ia menurut saja dengan sikap patuh, walau masih tampak menyembunyikan kecemasan.
"Kau mendengar pertanyaanku tadi?" tanya Suto Sinting dengan nada lembut kembali.
Gadis itu mengangguk tipis karena dagunya disangga jari telunjuk Suto. Matanya berkedip untuk memperkuat anggukan kepalanya. Kedipan mata itu sungguh indah, berkesan polos dan lugu. Hati Suto bergetar oleh keindahan mata tersebut.
"Mengapa kau tak menjawab pertanyaanku tadi?"
Gadis itu diam, tampak mulai gelisah kembali, seakan bingung menjawabnya. Walaupun Pendekar Mabuk berkata, "Jangan takut. Katakan saja apa alasanmu tidak menjawab pertanyaanku." Tetapi si gadis tetap tampak kebingungan.
"Pandanglah aku," ucap Suto lirih, dan jari yang menyangga dagu itu dilepaskan. Wajah si gadis tetap memandang Suto, menunjukkan kepatuhannya terhadap orang yang tadi disembahnya.
"Kau seorang pelayan?"
Gadis itu mengangguk lagi dengan pelan dan penuh kesungguhan.
"Siapa yang menjadi tuanmu?"
Gadis itu bersuara dengan tangan bergerak-gerak.
"Uh, ah, uah... uuh, uah, uah...!"
"Hah...?! Jadi... jadi kau tak bisa bicara. Kau bisu?!"
"Uah...!" gadis itu mengangguk, tangannya memegang mulut, lalu jari tangan itu bergerak-gerak akhirnya tangan itu menggeleng ke kanan-kiri bersamaan dengan kepala yang menggeleng pula.
"Ooo... maksudmu, kau memang tidak bisa bicara?"
"Uah...!" ia mengangguk lagi. Kemudian menunduk bagaikan menahan rasa malu.
Pendekar Mabuk menarik napas, menahan keharuan. Hatinya iba setelah mengetahui gadis ayu itu ternyata tunawicara alias bisu.
"Sungguh kasihan gadis ini," ucapnya dalam hati.
"Namamu siapa?" tanya Suto semakin lembut dan lebih hati-hati.
Tangan gadis itu bagaikan memegang gelas, lalu menuang sendok berisi gula, dan seolah-olah mengaduk gelas itu, kemudian meminumnya.
"Ooo... namamu Minuman?"
"Uah, uah...!" gadis itu menggeleng dengan tangan digoyangkan ke kiri-kanan.
"Bukan? Jadi siapa namamu?"
Dengan bahasa isyarat seperti tadi; memegang gelas, mengaduknya dan meminumnya, sang gadis berharap sekali bahasa isyaratnya dipahami oleh Suto. Pendekar Mabuk bingung hingga berkerut dahi. Tangannya ikut-ikutan memperagakan bahasa isyarat tadi.
"Pegang gelas, tuang gula, diaduk, lalu diminum.... Apa artinya, ya?" gumam Suto Sinting.
"Auh, auh...!" si gadis minta diperhatikan lagi. Setelah dipandangi Suto, ia memperagakan minum sesuatu, kemudian mulutnya mengecap-ngecap dengan lidah menyapu bibir sekilas dan senyum tipis sebagai tanda rasa senang. Suto Sinting justru terkesima memandangi gerakan lidah dan bibir ranum yang menggemaskan itu.
"Minum teh...?"
"Auh...!" gadis itu menggeleng, ia mengecap-ngecapkan mulut bagai merasakan sesuatu dengan senang.
"Ooo... manis?"
"Haaa...!" ia mengangguk-angguk kegirangan, pertanda membenarkan pengertian Suto.
"Jadi namamu: Manis?"
Gadis itu mengangguk lagi.
"Manis saja atau ada nama belakangnya?"
Gadis itu melayangkan tangannya sambil menggumam panjang. "Hemmm...huummm...."
"Apa itu?" gumam Suto lirih.
Gadis itu mengulangi bahasa isyaratnya: melayangkan tangan sambil mengumam. Jari tangannya bergerak-gerak seperti sayap.
"Huuummm... huuummm...."
"O, tawon?"
"Haaa...!" gadis itu mengangguk senang.
"Jadi namamu: Manis Tawon?"
"Uaah...!" ia menggeleng dengan wajah kecewa.
Lalu mengulangi gerakan tadi. Suto menebak dengan bingung.
"Tawon...? Lebah?"
"Haaa...!" si gadis mengangguk.
"Manis Lebah?!"
"Uaaah...!" ia menggeleng kembali. Lalu melayangkan tangan sambil mengaum lagi, tapi tangan yang satu bergerak seperti meneteskan sesuatu. Suto tambah bingung lagi.
"Lebah... lebah bertelur?"
"Uaaah...!"
"Bukan...? Habis apa, ya? Ooo... Lebah beranak?"
"Uaah...!"
"Bukan juga?" gumam Suto. Si gadis segera melakukan gerakan menghirup sesuatu dari yang dikeluarkan lebah.
"Madu...?!"
"Haaaa...!" gadis itu anggukkan kepala dengan wajah gembira.
"Ooo, jadi namamu Manis Madu?"
"A-ah... a-ah...!" ia mengangguk-angguk tampak senang sekali.
"Huuff...!" Suto Sinting menghembuskan napas. "Menanyakan namanya saja capeknya bukan main. Apalagi menanyakan alamat rumah dan hari kelahirannya, sampai rambutku beruban semua baru bisa mengartikan bahasanya!" gerutu Suto lirih, tapi didengar oleh Manis Madu, membuat Manis Madu tundukkan kepala dengan wajah murung.
Suto segera menyadari ucapannya telah menyinggung perasaan gadis cantik itu, ia buru-buru meminta maaf dengan lembut.
"Uuah, uuah...!" Manis Madu menyuruh Suto makan dengan tangannya bergerak-gerak ke mulut. Suto mengerti maksudnya.
"Aku mau makan, tapi maukah kau menemaniku makan?"
"Uuh, akh oeh... akh oeh...."
"Tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan?!"
Manis Madu diam, matanya melirik ke arah lorong tempatnya muncul tadi dengan waswas. Suto hanya bisa berkerut dahi dengan heran.

*
* *

≠ 2 ≠

RASA yang tumbuh di dalam hati bercampur aduk; ada jengkel, ada heran, ada geli dan juga ada rasa penasaran. Sebab sampai dua kali ia disuguh makan oleh Manis Madu, ia belum bisa mendapatkan keterangan secara jelas; mengapa ia berada di tempat itu dan siapa yang menempatkannya di situ.
"Tolong panggilkan seseorang yang bias kumintai keterangan!" perintah Suto Sinting dengan sikap ramah. Manis Madu hanya menganggukkan kepala. Tapi kali ini ia sudah berani tersenyum tipis saat ingin tinggalkan tempat tersebut.
"Senyumannya sungguh manis menawan hati. Sayang sulit diajak bicara," gumam Suto dalam hati.
Ia melirik nampan berisi makanan dan minuman. Hati pun bergumam kembali.
"Kalau dilihat jenis makanan yang disajikan untukku, sepertinya orang yang menaruhku di sini adalah orang yang cukup berada. Makanannya lezat-lezat, ada buahnya segala sebagai cuci mulut. Oh, kali ini malah dilengkapi dengan jamu pasak bumi. Puih...! Untuk apa jamu pasak bumi?! Memangnya aku lelaki yang loyo?!" gerutu Suto sambil memeriksa kembali isi nampan itu.
"Tak ada tuak?! Sial! Sudah kubilang kalau datang kemari bawakan aku tuak, tapi tetap saja tak ada tuak. Aku disuruh minum teh poci terus. Puih...! Bikin aku semakin lemas saja kalau begini."
Tiba-tiba terbersit dalam pikirannya untuk tidak tinggal diam di ruangan tersebut.
"Bodoh amat aku ini! Mengapa aku tidak mengikuti jalan keluar yang dilalui Manis Madu? Setidaknya lorong itu dapat membawaku ke tempat lain!"
Maka bergegaslah si murid sinting Gila Tuak itu untuk meninggalkan tempat tersebut, ia memasuki lorong yang dipakai keluar masuk si Manis Madu tadi. Karena keadaannya gelap, terpaksa Suto mengambil salah satu dari kedua obor yang ada di kanan-kiri jalan masuk ke lorong tersebut.
Beberapa saat kemudian, Pendekar Mabuk dibuat bingung oleh keadaan lorong tersebut. Ternyata lorong itu mempunyai beberapa lorong lain yang sama-sama gelap dan tak ada tanda-tanda bekas dilalui orang. Jumlah lorong lain yang ada di situ sekitar sepuluh lorong lebih. Lorong yang mana yang menuju ruangan lain, tak bisa dipastikan.
"Kucoba masuk ke salah satu lorong di saping kiriku itu!" pikir Suto Sinting.
Tetapi lorong tersebut berkelak-kelok membingungkan, bahkan mempunyai beberapa lorong lain juga.
"Mati aku kalau begini!" gerutunya dengan jengkel. "Mau kembali ke tempat semula saja belum tentu bisa!"
Usaha untuk kembali ke tempat semula ternyata memakan waktu tidak sebentar. Pendekar Mabuk merasa semakin dibuat jengkel oleh lorong-lorong yang membingungkan. Rasa-rasanya sejak tadi ia hanya memutar di daerah itu-itu saja. Keringat sampai bercucuran, tapi ruangan lebar berpenerangan obor belum ditemukan kembali.
"Kunyuk mabuk!" geram Suto Sinting. "Yang jelas aku berada di dalam gua gila! Lorong-lorong ini memancingku untuk marah. Kalau aku mengamuk sendiri di sini, atap lorong akan runtuh dan akhirnya aku akan mati tertimbun atap lorong. Percuma saja marah-marah sendiri di sini! Sebaiknya kucoba lagi mencari jalan ke ruangan yang terang tadi...."
Rasa-rasanya Suto telah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan. Ketika ruangan terang itu ditemukan kembali, ia sudah lelah dan sekujur tubuhnya bermandi keringat.
"Monyet salto!" makinya dalam hati. "Jangankan jalan keluar menuju ruangan lain, kamar mandi pun tak ada. Lalu apa maksudnya di situ ditulis 'kamar mandi' dan di sebelah sana ditulis 'jamban' segala?! Benar-benar tempat yang sinting ini!"
Rasa lelahnya membuat Suto Sinting akhirnya tertidur di atas batu datar selebar ranjang itu. Entah berapa lama ia tertidur di situ, tahu-tahu ketika bangun, pandangan mata Suto menemukan sesosok tubuh kurus mengenakan rompi merah dan celana hitam. Tubuh kurus itu berwajah kekanak-kanakan dengan rambutnya yang kucai dan tipis, serta sepasang mata milik seorang bocah.
Setelah Suto mempertegas penglihatannya, ternyata yang duduk di pinggir lorong sebelah kiri itu memang seorang bocah lelaki berusia sekitar sepuluh tahun. Bocah itu segera berlutut dan memberi sembah kepada Suto Sinting. Melihat sikap itu, Suto hanya mendesah memendam rasa kesal di hati, karena ia tak pernah tahu apa sebabnya ia dihormati dengan sembahan.
"Sini kau!" panggil Suto Sinting sengaja dipertegas suaranya. Bocah itu berjalan jongkok mendekati Suto yang duduk di atas batu datar. Ketika ingin duduk bersila di tanah, bocah itu memberi sembah lagi dengan sikap menghormat dan patuh.
"Siapa namamu?"
"Congor...."
"Husy! Ditanya namanya kok malah nyongor-nyongorkan orang?!"
Bocah itu menyembah lagi satu kali.
"Maaf, nama saya sejak dulu memang Congor, Gusti Pangeran."
"Congor...?! Congor apa? Congor ayam apa Congor kambing?"
"Congor Bagus Wijanarko, Gusti Pangeran."
"Bagus amat nama belakangmu?!"
"Terima kasih atas pujiannya, Gusti Pangeran."
Suto terperanjat seakan baru menyadari ada kejanggalan yang terjadi saat itu.
"Pangeran?! Kau memanggilku Gusti Pangeran? Apa tidak salah itu, Cong?!"
"Tidak, Gusti Pangeran," jawab bocah berhidung pesek itu dengan polos dan jelas.
"Namaku Suto Sinting; Pendekar Mabuk. Tak perlu kau panggil Gusti Pangeran."
"Saya...," bocah itu menunduk takut. "Saya tidak berani, Gusti Pangeran. Sebab...sebab Gusti Pangeran memang sesembahan kami. Saya hanya kawula alit, rakyat kecil yang harus selalu hormat terhadap junjungannya, yaitu Gusti Pangeran sendiri."
Kerutan dahi Suto semakin tajam. Hati pun membatin, "Tambah gila lagi ini! Aku dipanggil Gusti Pangeran?! Apa-apaan sebenarnya? Dan bocah ini... agaknya bocah ini termasuk bocah yang cerdas dan pandai bicara. Tutur katanya sudah seperti anak dewasa saja." 
Pendekar Mabuk terpaksa menarik napas untuk menahan rasa serba bingungnya itu.
"Siapa yang bilang kalau aku junjunganmu? Ini membuatku bingung sekali, Congor!"
Bocah itu menunduk penuh rasa hormat dan takut.
"Apa yang kau ketahui tentang diriku, Cong?"
"Gusti adalah Pangeran Ranggawita yang baru saja pulang dari peperangan dan terkena racun gila milik lawan. Dan...."
"Tunggu, tunggu...!" sergah Suto memotong kata-kata Congor.
"Ranggawita itu siapa?! Namaku bukan Rangg awita, tapi Suto Sinting!"
"Maaf, Gusti Pangeran... sejak dulu yang saya tahu, Gusti adalah Pangeran Ranggawita yang selalu membangga-banggakan kesaktian Pendekar Mabuk bernama Suto Sinting. Sebelum Gusti maju berperang, Gusti Pangeran sering bercerita kepada anak-anak seusia saya tentang kehebatan dan kesaktian tokoh pujaan Gusti yang bernama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk."
"Konyol!" sentak Suto jengkel sendiri, ia bersungut-sungut sejenak, sementara Congor tak berani teruskan kata, ia tetap duduk bersila dengan wajah tertunduk.
"Teruskan ceritamu itu!" perintah Suto, karena ia menjadi lebih penasaran lagi dengan keanehan yang dialaminya itu.
"Gusti Pangeran sedang menderita sakit dan...."
"Sakit apa aku?"
"Terkena racun dari lawan yang dinamakan...." Congor diam sejenak, mengingat-ingat sesuatu, lalu melanjutkannya lagi. "Yang dinamakan racun 'Guntur Edan'...."
"Apa akibat terkena racun itu?" potong Suto didesak rasa ingin tahu begitu besar.
"Akibatnya... Gusti Pangeran menjadi gila."
"Apa...?!" Suto terpekik.
"Maaf, mohon ampun, Gusti.... Memang itulah yang saya ketahui tentang Gusti Pangeran Ranggawita. Gusti terkena racun 'Guntur Edan' dan menjadi gila. Oleh sebab itu, Gusti Pangeran diasingkan kemari agar lekas sembuh dan ingat kepada jati dirinya."
"Siapa yang mengarang cerita seperti itu?!"
"Ampun, Gusti... bukan saya yang mengarang cerita, tapi memang begitulah adanya."
Bocah itu diperhatikan Suto. Kesungguhan dalam bicaranya tampak jelas. Suto merasa bocah itu tidak sedang main-main, sehingga rasa heran yang ada di dalam hati Suto semakin bertambah besar lagi.
"Jadi, sekarang aku ada di mana ini?"
"Di dalam Gua Lacak Silang, Gusti."
"Gua Lacak Silang...?!" gumam Suto Sinting, merasa asing dengan nama tersebut.
"Sejak kapan aku diasingkan di s ini?"
"Dua minggu yang lalu, Gusti."
"Edan!" geram Suto Sinting, hatinya diguncang oleh kejengkelan yang menyesakkan dada.
"Mengapa aku tak tahu kalau aku dibawa kemari?"
"Waktu itu Gusti Pangeran dalam keadaan pingsan, setelah terkena racun 'Guntur Edan',!" jawab Congor dengan wajah polosnya.
"Siapa yang membawaku kemari?"
"Para prajurit, Gusti."
"Prajurit apa?!" geram Suto lagi, ia tampak gusar, namun segera mengendalikan kegusarannya dan berusaha untuk tetap tenang.
"Jadi para prajurit membawaku kemari dalam keadaan aku masih pingsan?"
"Betul, Gusti Pangeran."
"Siapa yang menyuruh membawa kemari?"
"Gusti Ratu sendiri."
"Gusti Ratu siapa?!" Suto semakin menyentak karena tak tahan memendam rasa jengkelnya. Tapi bocah berkulit hitam itu tetap menjawab walaupun sekarang tampak sedikit gugup karena dihinggapi rasa takut.
"Mak... maksud saya... Gusti Ratu Dewi Kasmaran."
"Ratu mana itu?!"
Congor diam bagai merasa jengkel dengan pertanyaan yang mendesak. Bocah yang tampak bersikap dewasa itu menundukkan kepala lagi sampai beberapa saat lamanya.
Pendekar Mabuk mulai mengerti kejengkelan si bocah itu, seakan ia merasa muak karena menganggap pertanyaan Suto itu adalah pertanyaan yang bodoh dan berpura-pura bingung. Akhirnya Suto mulai merubah sikapnya menjadi lebih akrab dan ramah lagi.
"Congor, terus terang saja kukatakan padamu, sebenarnya aku tidak gila."
Congor mendongakkan wajah dan pandangi Suto dengan wajah mulai tampak berseri. Agaknya bocah itu juga tidak mengharapkan Suto dianggap gila, sehingga ketika mendengar kata-kata Suto itu, ia tampak senang.
"Betulkah Gusti Pangeran tidak gila?"
"Tidak. Aku juga tidak terkena racun apa pun."
"Oh, syukurlah.... Jika begitu Gusti Pangeran tidak sedang sakit. Tapi... mengapa Gusti Pangeran berpura-pura gila dan berlagak tidak mengenali dirinya sendiri?"
"Aku mengenali diriku sendiri, Congor. Aku kenal bahwa diriku adalah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting."
"Oooh...," Congor mengeluh pelan dan wajahnya murung kembali. "Kalau begitu, Gusti Pangeran tetap gila!"
"Sial!" geram Suto Sinting sambil melangkah menjauhi Congor, berhenti di sudut ruangan. Di sana ia diam termenung, tapi hatinya berkecamuk terus.
"Rupanya ada pihak yang memaksaku mengaku sebagai Pangeran Ranggawita. Dengan mengakui sebagai Pangeran Ranggawita maka mereka akan menganggapku waras. Tapi kalau aku mengaku sebagai Suto Sinting mereka menganggapku gila! Benar-benar pengalaman yang sangat pahit dan tak mau kuulangi lagi!"
Pendekar Mabuk kembali dekati Congor yang masih patuh duduk bersila di tanah bagai menunggu perintah.
"Begini saja, Cong... tolong antarkan aku bertemu dengan Gusti Ratu Dewi Kasmaran."
"Apakah Gusti Pangeran tidak tahu jalannya?"
"Aku kan habis terkena racun 'Guntur Edan' dan ingatanku kacau sekali. Mana mungkin aku bisa mengingat jalan menuju kepada Gusti Ratu Dewi Kasmaran. Aku minta tolong padamu agar menjadi pemanduku. Nanti akan kuberi sebuah hadiah."
Bocah itu tampak ragu. "Tapi... tapi pesan dari Gusti Ratu, siapa pun tak boleh mengeluarkan Gusti Pangeran dari Gua Lacak Silang sebelum Gusti Pangeran sembuh dari sakit gilanya."
"Lalu mengapa kau datang kemari kalau tak mau menolongku keluar?"
"Bukankah Gusti Pangeran memerintahkan Biyung Manis Madu untuk mencarikan orang yang bisa diajak bicara?
Maka saya diperintahkan oleh Gusti Ratu Dewi Kasmaran untuk menemani Gusti Pangeran di sini. Tugas saya menemani bicara Gusti Pangeran sambil mengembalikan ingatan yang telah termakan racun 'Guntur Edan' itu."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam, menahan agar jangan sampai kejengkelannya terlepas dalam bentuk kemarahan. Tapi ia mencoba mengancam Congor agar mau menuruti permintaannya.
"Congor, kuminta kau menuruti perintahku agar aku jangan sampai menghajarmu di sini!"
"Saya sudah siap menerima hukuman apa saja, Gusti Pangeran!"
"Sinting!" geram Suto dengan dongkol sekali.
"Apa tugasmu sebenarnya di luar gua ini, Congor?!"
"Membantu ayah saya merawat kuda-kuda istana, Gusti!" jawab Congor dengan tegas.
"Seorang perawat kuda berhadapan dengan seorang pangeran dalam keadaan seperti kau, sama saja menghina pangeranmu sendiri, tahu?!"
"Saya hanya menjalankan tugas, Gusti!"
Suto membatin, "Wah, keras juga sikap anak ini. Mungkin terdidik begitu, sehingga sulit digertak. Jiwanya telah dibentuk sebagai jiwa prajurit pantang menyerah. Entah siapa yang membentuk jiwanya begitu. Mungkin sang Ayah atau leluhurnya yang lain. Sebaiknya kugunakan cara lain!"
"Congor...."
"Daulat, Gusti Pangeran."
"Kau ingin menjadi seorang prajurit?"
"Ingin sekali, Gusti!"
"Menjadi prajurit harus pandai bertempur dan setidaknya mempunyai sebuah pusaka andalan. Kau sudah punya pusaka?"
"Belum, Gusti Pangeran. Kalau param gosok mereknya Pusaka, memang punya Gusti."
Suto menahan tawa dengan menelan napas. "Kau harus punya pusaka. Dan sekarang kau punya kesempatan untuk memiliki sebuah pusaka. Aku akan memberikan pusaka untukmu berupa sebuah pedang pendek yang dinamakan 'Pedang Sumarah'. Jika kau memegang pedang itu, siapa pun lawanmu akan pasrah dan menyembah kepadamu tanpa harus melalui pertarungan berdarah."
Wajah bocah itu berbinar-binar.
"Kau mau memiliki dan merawat pusakaku itu?"
"Mau... mau sekali, Gusti!"
"Antarkan aku mengambilnya, tapi jangan sampai terlihat orang lain. Jika terlihat orang lain, nanti pusaka itu dicurinya setelah kuserahkan padamu!"
"Di mana mengambilnya, Gusti?!" Congor tampak tidak sabar.
Dengan lagak bicara pelan seakan penuh rahasia, Suto Sinting mendekati bocah itu dan berlutut di depannya.
"Pedang itu kupendam di tanah belakang istana."
"Dekat sungai, Gusti?"
"Tepat sekali. Memang dekat sungai!" kata Suto seakan membenarkan, padahal ia tidak tahu sungai yang dimaksud Congor.
"Tak seorang pun tahu aku memiliki 'Pedang Sumarah', bahkan Gusti Ratu-mu pun tidak mengetahuinya," suara Suto semakin berbisik.
"Bagaimana jika sampai ketahuan Gusti Ratu?"
"Aku akan bertanggung jawab. Kalau kau dihukum, aku yang akan membebaskanmu! Percayalah, aku akan melindungimu kapan saja dan di mana saja, karena kita sekarang adalah sahabat!"
"Sahabat?!" Congor berkerut dahi dan tampak heran.
"Apakah kau tak mau bersahabat denganku, Congor?"
"Tentu saja saya bersedia, Gusti. Tapi... apakah untuk selamanya kita bisa bersahabat?! Jika Gusti Pangeran sudah sembuh, apakah Gusti masih mau bersahabat dengan saya?"
"Tentu saja masih!" jawab Suto Sinting meyakinkan.
Congor mulai tersenyum kegirangan.
"Sebelumnya carikan dulu aku tuak dan memenuhi bumbung itu."
"Tuak...?! Sejak kapan Gusti doyan tuak?!"
"Sejak rohnya Pendekar Mabuk masuk ke dalam ragaku!" bisik Suto Sinting biar kelihatan bersungguh-sungguh. Congor terperangah kagum, menatap Suto tak berkedip.
"Jadi, roh Pendekar Mabuk masuk ke dalam raga Gusti Pangeran? Wow... hebat sekali?!" puji Congor dengan sorot pandangan mata berseri-seri menandakan rasa gembiranya.
"Kau tahu tempat penjual tuak, bukan?"
"Tidak tahu, Gusti. Seingat saya di negeri kita tidak ada orang jualan tuak.Bukankah Gusti Pangeran dan Gusti Ratu sendiri yang mengeluarkan larangan menjual tuak di negeri kita?!" ujar Congor membuat Pendekar Mabuk terpaksa diam terpaku di tempatnya berdiri.

*
* *

≠ 3 ≠

TERNYATA untuk mencari jalan keluar dari ruangan tersebut bukan hal yang
sulit. Lorong yang digunakan memang lorong sebelah kiri yang bertuliskan kamar mandi itu. Tetapi untuk mencari jalan menuju ruangan lain tidak perlu sampai sejauh yang dilakukan Suto tadi. Seharusnya Suto cukup berjalan lima langkah dari pintu lorong, lalu menekan sedikit dinding sebelah kanan, maka dinding itu akan bergerak ke samping tanpa suara dan tampaklah celah terang yang merupakan lorong menuju ruangan lain.
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala dan berdecak dalam hati sambil menggerutu tak jelas ketika Congor melakukan hal itu. Ia segera mengikuti langkah Congor yang masuk ke celah selebar satu tombak itu.
Ternyata lorong yang terang itu adalah sebuah ruangan yang dilengkapi dengan dipan, bangku, meja, dan perabot lainnya. Di situ juga terdapat kamar mandi tak tertutup yang mempunyai tempat penampung air berupa kolam. Air tersebut diperoleh dari curah hujan pada musim penghujan. Jadi kolam tersebut termasuk bak besar penampung air hujan.
"Ruangan apa ini?"
"Dapur para prajurit. Apakah Gusti lupa?"
"Seingatku tempatnya tak sekotor ini," ujar Suto berlagak sok tahu.
"Ya, memang seharusnya tempat ini bersih. Tapi para prajurit penjaga gua sudah mulai malas membersihkan tempat ini, sehingga mirip dengan kandang kerbau."
Suto Sinting hanya manggut-manggut. Kemudian ia terperanjat sejenak karena seorang prajurit berpakaian rompi dengan lempengan besi bersusun-susun memasuki ruangan tersebut. Prajurit itu pun kaget, demikian juga Congor. Tapi sang prajurit segera menghaturkan sembah dengan sikap berdiri, kaki merapat dan kepala menunduk sebentar, tangan kanan menyilang ke dada kiri. Kemudian ia tegak lagi dan memandang Suto dengan sikap hormat.
"Maaf, kalau boleh hamba bertanya, hendak ke mana Gusti Pangeran sebenarnya?"
"Mencari udara segar di luar!" jawab Suto dengan sikap tegas, seakan menjadi seorang pangeran yang berwibawa.
"Maaf, menurut peraturan, Gusti Pangeran tidak boleh keluar gua."
"Aku hanya sebentar dan didampingi Congor."
"Hamba tetap tak bisa mengizinkan, Gusti!" kata prajurit itu tetap sopan"Kalau aku nekat mau apa kau?!" Suto berlagak ngotot.
"Apa pun jadinya, hamba tetap akan halangi kepergian Gusti Pangeran, karena hamba ditugaskan menjaga Gusti Pangeran."
"Siapa yang menugaskan?"
"Gusti Ratu Dewi Kasmaran!"
"Persetan dengan dia! Congor, kita jalan sekarang!"
Prajurit itu menghadang langkah Suto. "Maaf, Gusti. Hamba mohon jangan nekat!"
"Kalau aku nekat mau apa kau, hah?!" Suto berlagak berang sambil ingin mengetahui akibat kengototannya itu.
"Ampun, Gusti. Mohon maaf jika hamba sampai menggunakan kekerasan," kata prajurit itu.
Congor diam saja karena dia menjadi bingung dan waswas. Tangannya segera dicekal Suto Sinting dan diajak berjalan menuju lorong depan tempat munculnya prajurit itu. Tetapi tiba-tiba kaki prajurit menendang ke arah perut Suto dengan cepat. Wuuttt...!
Pendekar Mabuk tak menyangka akan ditendang, sehingga tendangan itu kenai perut Suto dengan telak. Bukkh...!
"Heekh...!" Suto Sinting terpekik dengan suara tertahan, ia sempat terhuyung-huyung ke belakang namun tak sampai jatuh.
"Sial! Mules juga perutku. Padahal hanya terkena tendangan seringan itu," pikir Suto Sinting.
"Gusti Pangeran, sebaiknya kita kembali saja ke tempat tadi, demi menjaga kesehatan Gusti sendiri," tutur Congor memberi saran seperti seorang penasihat raja.
"Tidak, aku ingin jalan-jalan menghirup udara di luar. Antarkan aku, Congor!" sambil Suto melangkah lagi. Dan prajurit itu segera menyerang dengan tendangan putar. Wuuuss...!
Kali ini Suto Sinting menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh. Gerakan menggeloyor itu membuat tendangan si prajurit tak kenai sasaran.
Pada saat itu, Suto balas melayangkan tendangnya setengah lingkaran. Wuuttt...!
Dukkh...!
"Aaaukh...!" prajurit itu terlempar setelah punggungnya terkena tendangan Suto. Begitu kerasnya tubuh itu terlempar hingga membentur dinding ruangan yang terbuat dari batuan cadas tak rata.
Brruusss...!
"Aaakkhhh...!" prajurit itu jatuh terkulai dan menyeringai kesakitan. Wajahnya berlumur darah, tulang punggungnya terasa patah.
"Oh, terlalu keras tendanganku," ujar Suto dalam hati. "Kusangka tendanganku sudah tak sekeras biasanya. Ternyata masih keras juga untuk ukuran seorang prajurit seperti dia. Kasihan. Kalau saja bumbung ini ada tuaknya, pasti dia dapat kusembuhkan dengan tuakku. Sayang sekali bumbung ini kosong, sehingga aku tak dapat member pertolongan apa-apa. Hmmm...."
Prajurit itu akhirnya pingsan karena tak kuat menahan rasa sakit. Congor tampak sedikit tegang karena diliputi kecemasan. Tetapi Suto Sinting segera menyuruhnya melupakan persoalan itu. Maka Congor pun segera membawa Suto menyusuri lorong berikutnya.
"Hati-hati, di depan sana ada tiga prajurit, Gusti. Mereka pasti akan menghadang kita dan melarang kita keluar dari gua!" kata Congor.
"Biar kutangani mereka. Kau segera menjauh jika mereka mulai ngotot."
"Baik, Gusti!" jawab Congor dengan patuh.
Ternyata sebelum mereka keluar gua, seorang prajurit sudah masuk lebih dulu secara tidak sengaja, ia berpapasan dengan Suto dan Congor. Prajurit itu ingin menyapa dengan hormat, tapi Suto Sinting tahu akhir dari sapaan sopan itu. Prajurit itu pasti akan melarang Suto keluar gua dengan kekerasan seperti tadi.
Maka sebelum semua itu terjadi, Suto Sinting segera dekati prajurit tersebut, kemudian dengan tiba-tiba menotok jalan darahnya hingga si prajurit tak dapat bergerak lagi. Tebb, dess...!
"Saya tidak melihat tangan Gusti bergerak, tapi kenapa tiba-tiba prajurit itu diam seperti patung?" bisik Congor.
"Tanganku tadi bergerak, tapi mungkin karena terlalu cepat jadi kau tak bisa melihatnya."
Kedua prajurit yang berjaga-jaga di luar pintu gua pun mengalami nasib yang sama dengan praju rit yang baru masuk tadi. Kedua prajurit yang ditotok jalan darahnya serta tak bisa bergerak lagi itu segera diseret masuk ke dalam gua agar tidak menimbulkan kecurigaan siapa pun yang kebetulan lewat di depan gua.
Setelah mengamankan para prajurit penjaga, Suto Sinting pun dapat keluar dari gua dengan bebas dalam panduan Congor, si bocah cerdas itu. Ternyata gua itu terletak di lereng bukit. Bukit itu tak jauh dari pedesaan. Bahkan dari depan gua dapat dilihat pemandangan ramai di sekitar istana yang mempunyai empat menara pengawas menjulang tinggi.
Benteng istana terbuat dari batu bata merah yang tampaknya tertata rapi dan kokoh. Ketebalan benteng mencapai sekitar dua tombak lebih. Sebuah ketebalan yang sukar dirubuhkan atau dijebol.
Pada saat itu, cuaca sedang mendung, matahari sore surutkan sinarnya. Angin berhembus dengan kecepatan sedang. Cukup lumayan jika dipakai untuk menaikkan layangan.
"Kita harus melewati desa itu, Gusti. Tapi saya khawatir."
"Apa yang kau khawatirkan?!"
"Salah satu penduduk desa mengetahui kehadiran Gusti Pangeran, dan melaporkan kepada Ratu Dewi Kasmaran. Habislah kita, Gusti!"
"Itu bisa diatur, Cong." sambil Suto menepuk-nepuk punggung bocah itu.
"Gusti harus mengenakan tudung supaya tidak dikenali oleh para penduduk desa."
"Boleh juga," jawab Suto sambil hatinya membatin, "Memangnya aku ini benar-benar dikenali oleh mereka sebagai Pangeran Ranggawita?! Aneh sekali jika benar-benar begitu. Jangan-jangan wajah Pangeran Ranggawita itu mirip denganku? Serupa? Kembar? Ah... bosan aku menghadapi kemiripan wajah. Bikin pusing terus!"
Rasa penasaran Suto terhadap keanehan itulah yang membuatnya tak segan-segan menuruti saran Congor. Bocah itu dengan mudahnya mendapatkan sebuah tudung hitam saat Suto menunggu di bawah pohon, sebelum memasuki desa tersebut. Dengan mengenakan tudung itu, wajah Suto tak terlalu terpampang jelas. Tetapi bumbung tuaknya yang masih dibawa-bawa itu bisa-bisa menjadi kecurigaan pihak lain.
"Memang seharusnya bumbung itu tak perlu dibawa-bawa lagi, Gusti. Nanti orang akan curiga dan mengetahui bahwa Gusti adalah Pangeran Ranggawita. Sebab bumbung bambu itu yang menjadi ciri gelar Gusti selama ini."
"Gelar apa?"
"Pendekar Bambu Sakti."
"Edan!" geram Suto Sinting merasa dongkol kembali begitu mendengar dirinya juga dijuluki Pendekar Bambu Sakti. Sebenarnya Suto ingin menanyakan kepada Congor, seperti apa rupa Pangeran Ranggawita alias Pendekar Bambu Sakti itu.
Tetapi pertanyaan itu akan mengundang kecurigaan Congor yang menilai penyakit gila Suto semakin parah. Akhirnya Suto hanya diam saja memendam rasa penasaran yang satu itu. Hasrat ingin bertemu muka dengan Pangeran Ranggawita dipendam dalam-dalam, sambil menunggu perkembangan dari hasil keluyurannya itu.
Dua kedai telah dimasuki Suto. Kedua kedai itu mengaku tidak menjual tuak karena dilarang oleh Pangeran Ranggawita dan Ratu Dewi Kasmaran. Suto menjadi sedih dan jakunnya berkali-kali naik turun karena sudah ngiler ingin meneguk tuak.
"Sudah saya katakan, tak ada yang menjual tuak di negeri kita ini, Gusti. Mereka tak ada yang berani melanggar peraturan yang sudah Gusti tetapkan bersama Ratu Dewi Kasmaran itu," kata Congor.
"Kita coba ke kedai yang sebelah sana."
"Apa lagi kedai kecil itu. Jelas tak ada. Gusti!"
"Kita coba saja dulu!" Suto agak ngotot.
Suto sengaja mendekati kedai itu melalui pintu belakang, ia bicara dengan si pemilik kedai yang berbadan bungkuk dengan usia sekitar lima puluh tahun itu.
"Pak Tua, aku membutuhkan tuak. Apakah kau menjualnya?"
"Aku tak menjual tuak, Anak muda! Jangan menuduhku begitu. Kalau didengar punggawa istana bisa-bisa aku diseret dan dikenai hukuman!"
"Aku tidak menuduhmu, Pak Tua. Aku hanya mengharapkan bantuanmu. Sekiranya kau mempunyai tuak, aku ingin membelinya," sambil Suto mengeluarkan sekeping uang yang diperoleh dari Congor. Suto tak tahu bahwa uang itu diperoleh Congor dari mengambil uangnya prajurit yang pertama kali terkena totokan Suto tadi.
Melihat sekeping uang yang bernilai tinggi itu, Pak Tua pemilik kedai menjadi diam dan merenung beberapa saat. Suto Sinting mendesaknya kembali.
"Tolonglah, Pak Tua. Aku sangat membutuhkan tuak."
"Ah, aku tak punya tuak! Pergilah sana!"
"Jangan begitu, Pak Tua. Napasmu sudah menyebarkan bau tuak. Aku mencium aroma tuak dari napasmu, Pak Tua!"
Pak Tua tak bisa mengelak lagi. Akhirnya ia pun melayani Suto dengan mengisi bumbung tuak itu senilai uang yang diserahkan oleh Suto. Walau tak sampai penuh, namun hati Pendekar Mabuk itu amat girang karena bumbung tuaknya sekarang sudah terisi. Cincn Manik Intan pun dimasukkan kembali ke dalam bumbung tersebut, ia segera mendekati Congor yang menunggu di depan kedai.
"Bagaimana, Gusti? Apakah kedai ini menjual tuak?!"
Suto Sinting tertawa pelan. "Ternyata masih ada warga negeri kita yang melakukan pelanggaran secara sembunyi-sembunyi, Congor! Pak Tua itu memang menjual tuak, tapi tidak dijual kepada semba-rangan orang!"
Congor hanya diam saja, seakan tak mau memberi kecaman apa pun. Ia juga membiarkan Suto menenggak tuak sebentar, lalu melangkah lagi menuju istana berbenteng merah itu.
Namun langkah mereka terpaksa terhenti walau belum jauh dari kedai tadi. Karena tiba-tiba mereka mendengar suara orang berteriak di dalam kedai dan suara gebrakan meja yang cukup mengagetkan.
"Jangan banyak bacot kau! Kalau memang merasa punya nyawa rangkap, hadapi aku sekarang juga, Monyet!"
Brrakkk...!
Congor segera berkata dengan sedikit tegang. "Ada yang ribut, Gusti!"
"Hmmm...," Suto Sinting menggumam pendek, ia berbalik arah menghadap ke kedai tersebut. Congor kembali berbisik kepada Suto.
"Sepertinya suara si Marambang, Gusti!"
"Marambang itu siapa, Cong?!"
"Apa Gusti juga lupa? Marambang itu Brandal Pulau Tengik yang gemar memperkosa gadis di pulaunya. Bukankah dulu Gusti Pangeran pernah mengutus tiga tamtama untuk melawan Marambang tapi ketiga tamtama itu tewas dipenggal Marambang?! Sekarang agaknya Marambang sudah mulai berani menginjakkan kakinya ke pulau kita, Gusti!"
"Pulau Tengik itu mana?!" pikir Suto Sinting sambil masih berdiri di bawah pohon depan kedai. "Haruskah aku ikut campur urusan mereka itu? Ah, sebaiknya tak perlu. Kutinggalkan saja mereka biar aku cepat bertemu Ratu Dewi Kasmaran!"
Tetapi sebelum Suto bergerak, tiba-tiba sesosok tubuh kurus melayang di depan mata Suto. Orang kurus itu agaknya dilemparkan dari dalam kedai bagai boneka dari jerami saja. Wuutt, brruukkk!
"Wadoww...!" teriak orang itu menyedihkan. Kepalanya menghantam seonggok batu dengan keras hingga berdarah. Tulang pundaknya bagaikan patah karena terbanting cukup keras.
"Bangsat kau! Hiaaah...!"
Weesss...! Brrukk...!
"Aaa...!" Satu lagi lelaki kurus dilemparkan dari dalam kedai dan melayang bagaikan pelepah daun pisang yang sudah kering. Orang itu jatuh tepat di depan kaki Suto Sinting dalam keadaan kepala membentur tanah, dan tulang lehernya terkilir nyaris patah.
Hati Suto tak tega melihat penderitaan dua orang itu. Tubuhnya mulai bergetar karena menahan gejolak amarah yang berusaha untuk tidak dilepaskan. Pendekar Mabuk menahan diri agar tetap tenang dan acuh tak acuh.
"Kau juga mau membelanya, hah?!
Rasakan ini, hiaaah...! Hiaah...!"
"Ampuun...! Ampuun...! Aduuuh, sakiiit...! Aaaakh..."
Plak, plok, bukh, brak, brak, weerss...!
Sesosok tubuh bungkuk terlempar lagi dari dalam kedai, jatuh tersungkur mengenaskan di depan Suto Sinting. Hampir saja kenai tubuh Congor kalau tangan Congor tidak segera ditarik Suto.
"Pak Tua...?!" gumam Suto Sinting dengan suara berat. Rahangnya mulai menggeletuk melihat Pak Tua si pemilik kedai itu babak belur dan bermandi darah akibat dihajar di dalam kedai. Napas ditarik dalam- dalam untuk menahan luapan murka. Pendekar Mabuk hanya melirik sebentar ke arah kedai.
"Itu dia si Marambang, Gusti!" bisik Congor bernada tegang.
Kejap berikut muncul seorang lelaki berbadan besar dan tinggi. Kumisnya lebat, rambutnya panjang sepunggung. Kepalanya mengenakan ikat kain merah. Pakaiannya serba hitam. Bajunya tak dikancing sehingga perutnya yang sedikit buncit itu tampak jelas. Di samping perut itu terselip sebilah golok besar.
"Itu yang namanya Marambang, Gusti. Masih ingat, bukan?!"
"Hmmm...," Suto hanya manggut- manggut seolah-olah baru ingat wajah Marambang, ia sempat berbisik kepada Congor.
"Lalu, dua orang yang di samping kanan-kirinya itu siapa?"
"O, bukankah itu si Cambuk Neraka dan si Kapak Kilat, anak buah Marambang?! Apa Gusti juga lupa dengan mereka?"
"Aku baru ingat lagi sekarang," jawab Suto sambil memperhatikan kedua orang bertubuh kurus dan bertampang licik di kanan-kiri Marambang. Saat itu Marambang sedang memandang ke arah orang pertama yang dilemparkan keluar dari kedai itu. Ia berseru dengan suaranya yang besar.
"Ambil anak gadismu sekarang juga, Kasmo! Kalau tidak, kubunuh kau di depan orang banyak! Ambil anakmu, cepaaat...!"
Orang yang dipanggil Kasmo itu menggeliat sambil mengerang kesakitan, ia memaksakan diri untuk bangkit, padahal sekujur tubuhnya terasa sakit sekali. Pak Tua pemilik kedai berusaha untuk bangkit pula. Dengan berlutut satu kaki, Pak Tua yang sudah berlumur darah itu nekat berseru sambil menuding Marambang.
"Terkutuk tujuh turunan kau, Marambangl"
"Masih berani nyebar bacot juga kau, Tikus kurap!" bentak Marambang sambil matanya melotot lebar. "Cambuk Neraka, habisi dia sekarang juga!"
Yang bernama Cambuk Neraka segera maju dan mencabut cambuknya. Cambuk itu segera dilecutkan ke arah Pak Tua pemilik kedai. Wuuttt...!
"Modar kau!" seru Cambuk Neraka ketika cambuknya melayang ke tubuh Pak Tua pemilik kedai.
Zlapp...! Tiba-tiba Suto melesat dan menyambar tubuh Pak Tua. Gerakannya begitu cepat, melebihi gerakan anak panah melesat dari busurnya. Gerakan itu sempat mengejutkan Congor, karena gerakan cepat Suto yang dinamakan jurus 'Gerak Siluman' itu membuat Suto seperti lenyap begitu saja.
Akhirnya tali cambuk panjang yang ujungnya diberi bandul runcing dari logam putih tajam itu menghantam tempat kosong. Ctarrr...! Tanah menyembur ke atas akibat terkena ujung cambuk. Sedangkan Pak Tua pemilik kedai sudah berada di tempat lain, jauh dari sasaran cambuk.
"Bangsat!" geram si Cambuk Neraka. "Siapa orang bertudung hitam itu, Marambang?! Dia mau ikut campur urusan kita rupanya!"
"Habisi sekalian!" seru Marambang sambil bertolak pinggang.
Cambuk pun segera melayang ke arah Suto Sinting. Weesss...! Tetapi bunyi lecutannya tidak terdengar sedikit pun.
Cambuk Neraka dan yang lainnya segera tertegun bengong dalam dua kejap. Karena tali cambuk itu ternyata sudah digenggam oleh tangan orang bertudung hitam.
Suto Sinting berhasil menangkap cambuk itu. Kemudian dengan satu kekuatan tenaga dalam, tali cambuk itu disentakkan dengan satu larikan cepat. Wuuttt...! Weesss...!
Tubuh si Cambuk Neraka melayang terbawa tarikan cambuk itu. Begitu tubuh itu mendekati Suto Sinting, kaki Pendekar Mabuk segera bergerak menggeloyor ke samping, tahu tahu kaki yang satu berkelebat menjejak dada si Cambuk Neraka dengan telak. Wuuttt...!
Buhgg...!
"Aaakh...!" tubuh Cambuk Neraka terpental kembali ke tempat semula dalam keadaan mulutnya ternganga dan darah segera menyembur dari mulut itu. Wuursss...!
Begitu jatuh berdebam di tanah, Cambuk Neraka tak berkutik lagi kecuali hanya kejang-kejang dalam keadaan sekarat. Darahnya makin banyak tersembur lewat mulut, dan matanya masih mendelik seakan sukar dikedipkan lagi.
Bukan hanya Marambang dan si Kapak Kilat yang terperangah bengong melihat kecepatan gerak pemuda bertudung hitam itu, tetapi para penduduk lainnya yang menonton pertarungan itu dari kejauhan juga ikut terpengarah bengong. Congor Bagus Wijanarko hanya geleng-geleng kepala dari bawah pohon sambil berdecak pelan penuh kekaguman.
"Keparat, bangkai busuk, jahanam rombeng...!" makian Marambang datang secara beruntun. "Berani betul kau melukai anak buahku, hah?! Mau berlagak jadi satria di depan Marambang? Iya...?!"
Suto Sinting diam saja. Matanya memandang tak terlalu nyata karena tertutup tepian tudung hitam. Sikap berdirinya tetap tegak dengan kaki sedikit merenggang, ia tampak gagah dan mengagumkan siapa pun yang memandangnya.
"Kapak Kilat...! Belah kepala bocah kurap itu! Belah sekarang juga! Cepaaat...!" teriak Marambang dengan gusar sekali.
"Heeeahhh...!" Kapak Kilat segera lakukan lompatan bersalto sambil mencabut kapaknya dari pinggang. Kapak bergagang agak panjang itu segera dihantamkan dari atas ke bawah, seakan ingin membelah kepala bertudung hitam.
Tetapi Suto segera mengangkat bumbung tuaknya dan melintangkan bumbung itu dengan kedua tangan. Mata kapak itu akhirnya menghantam bumbung tuak yang mempunyai kekuatan sakti tersebut.
Trangng...! Prrraaakk...!
Pada mulanya benturan kapak dengan bumbung bambu seperti benturan kapak dengan sebatang besi baja. Kemudian disusul bunyi pecahan logam. Ternyata mata kapak yang putih mengkilap itu hancur setelah menghantam bumbung besi dengan memercikkan cahaya api sekejap tadi.
Kapak Kilat terbelalak lebar-lebar. Tubuhnya gemetar melihat senjata kapak andalannya hancur tak berbentuk lagi. Murkanya kian bertambah, sehingga Kapak Kilat segera lakukan lompatan murka dengan kedua tangan membentuk cakar maut.
"Kau harus menebus kehancuran kapakku dengan nyawamu, Setan juling!
Heeaaah...!" Tubuh si Kapak Kilat melayang di udara. Dari telapak tangan kanannya mengeluarkan sinar merah lurus sebesar kelingking.
Claappp...!
Suto segera menangkis sinar itu dengan bumbung tuaknya. Tubb...! Weeess...! Sinar merah itu ternyata membelok dan berbalik arah membentuk sudut kecil. Sinar merah itu jauh lebih cepat dan lebih besar dari aslinya. Yang semula seukuran kelingking, kini berubah menjadi berukuran sebesar jempol kaki.
Kapak Kilat terkejut sekali dan tak sempat menghindar. Akhirnya sinar merah besar itu menghantam bagian bawah pundak si Kapak Kilat.
Jraass...! Wuutt, brruss...!
"Aaaa...!"
Pundak kanan si Kapak Kilat jebol, ia jatuh terkapar setelah membentur dinding kedai yang langsung rusak. Di sana ia masih bisa meraung-raung kesakitan dengan suara keras sekali.
Marambang menggeram melihat kedua anak buahnya tumbang. Dengan mata mendelik, ia segera melompat menyerang Suto Sinting dengan gerakan bersalto di udara sebanyak dua kali.
Wuuk, wuukk...!
Dan ternyata Suto Sinting pun menyambutnya dengan lompatan lurus menerjang tubuh besar itu. Weess...! Bumbung tuaknya dihantamkan ke pinggang Marambang. Buekkh...!
"Huaaa...!" Marambang menjerit sekeras-kerasnya. Karena pada saat itu tubuhnya segera berasap dan mulutnya menyemburkan darah kental.
Buummm...! Tubuh Marambang yang besar itu jatuh berdebam di tanah, ia terkapar dengan napas tersentak-sentak dan mata terbeliak-beliak. Rambutnya segera keriting dan bau rambut terbakar menyebar ke mana-mana. Sesaat kemudian, Marambang hembuskan napas terakhir dalam keadaan sekujur tubuhnya biru legam.
"Oh, dia si Pendekar Bambu Sakti?! Itu dia orangnya si Pendekar Bambu Sakti...!" celoteh para penduduk saling bersahutan.

*
* *

≠ 4 ≠

DERAP kaki kuda terdengar bagai gemuruh ombak di lautan. Suara derap kaki kuda itu sudah tak asing lagi bagi Congor, ia segera menarik tangan Suto Sinting yang ingin membalas salam para penduduk yang sedang mengaguminya.
"Ada apa? Cong?! Wajahmu tegang sekali kelihatannya!"
"Pasukan istana sedang menuju kemari, Gusti! Pasti yang dicari adalah Gusti Pengeran!" Congor bicara dengan terburu-buru hingga mirip orang kumur-kumur.
Pendekar Mabuk hanya menggumam pelan. Matanya memandang ke arah perbatasan desa. Debu-debu beterbangan bagai hamburan mendung di sore hari. Tampak rombongan prajurit berkuda sedang tergesa-gesa menuju ke arahnya.
"Gusti Pangeran, lekas tinggalkan desa ini jika tak ingin dikembalikan ke gua!" kata Congor semakin tegang.
Ingat gua, hati kecil Suto memberontak karena tak ingin dimasukkan ke dalam kamar berdinding cadas itu. Maka tanpa banyak pertimbangan lagi, Suto menyambar tubuh Congor dengan gerakan cepat.
Wuut...! Dalam sekejap Congor sudah berada di pundaknya. Kemudian jurus 'Gerak Siluman' digunakan lagi untuk melarikan diri dari desa tersebut. Zlaappp...! Para penduduk terperangah tegang melihat orang yang dianggapnya Pendekar Bambu Sakti lenyap dari pandangan mata. Tak sampai satu kedipan, si manusia bertudung hitam itu telah sukar diikuti jejak kepergiannya.
"Arahkan ke istana lewat tepian sungai, Gusti!" usul Congor dari atas pundak Suto Sinting.
Usul itu diikuti oleh Suto. Semak ilalang diterabasnya dengan kecepatan sukar digambarkan. Yang jelas dalam waktu singkat semak ilalang telah terbelah menjadi dua bagian karena dilalui Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau mengusulkan ke arah istana?" tanya Suto yang masih belum mempunyai keputusan dalam langkahnya itu.
"Bukankah Gusti Pangeran ingin mengambil pusaka 'Pedang Sumarah' yang Gusti tanam di tepi sungai belakang istana itu?!"
"O, iya...!" Suto buru-buru membenarkan ingatan Congor. Hampir saja ia lupa dengan tipuannya jika tidak diingatkan oleh si bocah cerdas itu. Bahkan kini Suto pun ingat bahwa ia harus segera menemui Ratu Dewi Kasmaran untuk meminta penjelasan tentang dirinya yang dianggap Pangeran Ranggawita dan yang dikenal sebagai Pendekar Bambu Sakti.
"Menurutmu," kata Suto sambil tetap melarikan diri. "... darimana para prajurit istana itu tahu kalau kita berada di desa itu, Cong?"
"Salah satu prajurit penjaga gua pasti sudah sadar dan sudah melaporkan kepergian kita, Gusti. Karenanya, Gusti Ratu pun segera mengerahkan prajurit untuk mengembalikan Gusti Pangeran ke Gua Lacak Silang."
"Benar-benar cerdas anak ini," gumam Suto dalam hati. "Semakin lama agaknya bocah ini semakin enak diajak bersahabat. Hmmm... untung ada dia, kalau tidak aku benar-benar pusing memikirkan keanehan ini. Bisa-bisa aku mati gila di dalam gua itu."
"Gusti, berhenti sebentar! Berhenti, Gusti!" seru Congor tiba-tiba. Anehnya, Pendekar Mabuk menuruti perintah bocah itu. Langkah Suto pun segera dihentikan, Congor diturunkan dari pundaknya.
"Ada apa menyuruhku berhenti, Cong?"
"Kita menghadapi masalah lagi, Gusti!"
"Masalah apa."
"Kita tersesat!"
"Katamu tadi kita harus mengikuti sungai ini?"
"Tapi di sebelah sana tadi sungai ini telah pecah menjadi dua arah, Gusti. Mestinya kita mengambil arah ke kiri."
"Kenapa kau tidak bilang sejak tadi?"
"Saya hampir tertidur di gendongan Gusti Pangeran," jawab Congor sambil nyengir.
"Kalau begitu kita kembali ke arah yang tadi sampai menemukan pecahan anak sungai."
"Terlalu berbahaya, Gusti. Sebentar lagi petang akan tiba. Tak ada cahaya untuk menerangi langkah kita, Gusti."
"Yang penting kita ikuti saja tepian sungai ini!"
"Berbahaya, Gusti. Kita akan menjadi mangsa empuk bagi akar-akar setan." Dahi Pendekar Mabuk berkerut tajam.
"Apa maksudmu, Cong!"
"Kita tadi melalui ladang 'Akar Setan', Gusti. Hanya saja karena tadi masih ada cahaya matahari, maka Akar Setan belum muncul dari kedalaman tanah. Akar Setan hanya akan tumbuh dan menjerat mangsanya hingga terpotong-potong apabila tak ada sinar matahari."
"Astaga! Hampir saja aku lupa tentang Akar Setan itu, Cong!"
"Saya memaklumi, karena Gusti Pangeran baru saja sembuh dari sakit ingatan."
"Lantas bagaimana dengan nasib kita ini, Cong?!"
Congor diam saja. Matanya memandang sekeliling dengan dahi berkerut. Tak lama kemudian ia kembali perdengarkan suaranya.
"Saya masih ingat, Gusti...."
"Ingat apa?!" sahut Suto.
"Di lereng bukit seberang sungai itu ada bangunan kuno yang sudah tidak dipakai lagi. Bangunan itu bekas pesanggrahan Resi Banuraja."
"Ooo... ya, ya, ya... sekarang aku ingat juga tentang bangunan kuno itu. Resi Banuraja memang pernah membangun pesanggrahan di seberang sungai ini."
"Dari mana Gusti tahu?" tiba-tiba Congor ajukan pertanyaan yang membingungkan Suto. Katanya lagi, "Bangunan itu hanya saya yang mengetahuinya, sebab saya pernah tersesat di hutan seberang sungai ini, dan saya belum pernah ceritakan kepada siapa pun, bahkan kepada ayah saya pun belum saya ceritakan, Gusti."
"Mampus aku kalau begini," gumam Suto dalam hati. "Aku mulai terjebak dengan kepura-puraanku sendiri."
Untuk menutupi rasa malunya, Suto pun berkata, "Dulu ada seorang penggembala yang datang padaku dan menceritakan tentang bangunan tersebut. Pada waktu itu ia sedang mencari seekor kambingnya yang hilang."
"Ooo... pantas Gusti Pangeran mengetahuinya. Hmmm... sebaiknya kita menyeberang sekarang saja, Gusti. Sebab tanah yang kita pijak saat ini bisa ditumbuhi 'Akar Setan." Congor mendongak ke langit.
"Sinar matahari semakin tipis, Gusti!"
Karena merasa asing dengan daerah itu tapi harus berlagak cukup hafal, maka Suto Sinting pun segera menyambar tubuh Congor.
Bocah kurus itu ditentengnya seperti membawa bungkusan isi gombal-gombal kumal. Beberapa lembar daun pohon waru segera dilemparkan ke permukaan sungai.
Dengan menggunakan permukaan daun yang mengambang, Suto Sinting menyeberangi sungai lebar berair bening itu. Kakinya menapak pada daun-daun waru tanpa tenggelam sedikit pun. Tab, tab, tab...!
Ilmu 'Layang Raga' dipakai oleh Suto agar ia bisa seperti berjalan di atas air. Tanpa mempunyai ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, mustahil Pendekar Mabuk dapat berjalan di atas air dengan hanya berpijak pada daun-daun pohon waru tadi.
Ketika petang benar-benar mutlak menyelimuti bumi, suasana petang membentang di sana-sini, mereka pun akhirnya tiba di sebuah bangunan kuno yang telah rapuh dan rusak. Dinding-dindingnya berwarna hitam bercampur lumut. Atapnya hancur sebagian, tapi masih ada yang bias dipakai untuk bernaung.
Bangunan bekas pesanggrahan Resi Banuraja itu juga mempunyai ruang bawah tanah yang menurut Congor, dulu ruangan itu sering dipakai untuk melatih para murid sang Resi dalam menuntut ilmu kanuragan.
Congor membawa beberapa potong kayu kering dan membuat api unggun kecil saat Suto Sinting memeriksa keadaan sekeliling.
Suasana di sekitar bangunan kuno itu sepi-sepi saja. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Pendekar Mabuk segera kembali kepada Congor yang nongkrong di depan api unggun di ruang bawah tanah itu.
Ruangan tersebut memang kotor, tapi lebar dan berlantai ubin semen. Pendekar Mabuk sempat membawa daun-daun kering sebagai alas tidur mereka nanti.
"Tempat ini cukup hangat juga, ya?" ujar Suto sambil memanggang tangannya yang tadi saat di luar bangunan terhempas angin dingin.
"Gusti merasa hangat?"
"Ya. Lebih hangat di sini ketimbang di luar sana."
"Tentu saja karena di sini ada api unggun, Gusti."
"O, iya... benar juga kesimpulanmu, Cong! Benar-benar anak yang cerdas kau," sambil Suto Sinting yang jongkok di samping Congor mengusap-usap kepala bocah itu.
Senyum Suto Sinting yang mekar melebar itu tiba-tiba menjadi ciut kembali. Wajah cerah Congor pun mulai susut dan bocah itu tampak sedang kerutkan dahinya.
Krraakk...!
Suara ranting terinjak terdengar jelas setelah suara langkah kaki samar-samar yang tadi mereka dengar bersama itu. Kini mata mereka yang ada di depan api unggun sama-sama melirik ke arah jalan keluar dari ruang bawah tanah itu. Tangga delapan baris panjang-panjang menjadi pusat perhatian mata mereka. Suto Sinting yang tadi telah membuka tudung hitamnya, kini mengenakan lagi dengan gerakan pelan-pelan setelah Congor berbisik lirih kepadanya.
"Ada orang mendekati tempat ini, Gusti."
"Hmmm...," Suto menggumam pelan dan mengangguk kecil.
Rasa penasaran membuat Suto Sinting bangkit dan melangkah pelan-pelan. Congor juga bangkit berdiri, tapi tangan Suto segera memberi isyarat agar Congor tetap di tempat.
Bocah itu ikuti isyarat Suto sesaat. Namun setelah Suto mulai menaiki tangga menuju ke bekas serambi bangunan itu, langkah kaki Congor pun mulai mengikuti Suto.
Cahaya rembulan ternyata menyinari bumi walau hanya separo bagian. Cahaya itu membuat mata Pendekar Mabuk menangkap kelebatan benda mengkilap yang meluncur cepat ke arahnya. Zingng...!
Dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk menyambar tudungnya dan menepiskan ke depan. Trakk...! Benda mengkilap yang meluncur ke arahnya itu terlempar ke arah samping dan menancap pada sebuah tiang penyangga atap yang sudah berlumut. Jrubb...!
Ternyata benda itu adalah sebilah pisau sepanjang satu jengkal. Pisau itu bergagang hitam dengan ujung gagangnya berumbai- rumbai benang kuning emas. Entah siapa pemiliknya, tetapi Suto yakin orang yang memiliki pisau itu pasti bermaksud jahat kepadanya.
Weesss...! Tabb...!
Suto Sinting terkejut karena sekelebat bayangan melintas di atas kepalanya. Bayangan yang berkelebat itu datang dari arah belakangnya, lalu menampakkan diri di depan hidungnya dalam jarak tiga langkah. Jlegg...!
"Cong...?!" ucap Suto dalam nada berbisik.
Ternyata bayangan yang berkelebat tadi adalah gerakan Congor yang melambung di atas kepala Suto. Kini Congor berhadapan dengan Suto. Tangan bocah itu terulur ke depan. Mata si murid sinting Glia Tuak itu terbelalak melihat sebilah pisau terselip di antara jari tengah dan jari telunjuk Congor.
"Seseorang ingin mencelakai Gusti Pangeran!" ucap Congor dengan pelan namun bernada sungguh-sungguh.
"Bocah ini benar-benar gila!" gumam Suto dalam hati. "Kalau dia tak menyambar pisau itu, pasti punggungku sudah menjadi sasaran empuk pisau tersebut. Hmmm... diam-diam si Congor punya mainan juga rupanya."
Pisau yang di tangan Congor itu mempunyai rumbai-rumbai benang merah. Bentuk gagang, warna gagang dan ukuran mata pisaunya sedikit lebih kecil dari pisau yang tadi ditangkis Suto memakai tudung. Dengan lain perkataan, pemilik pisau itu berbeda dengan pemilik pisau yang menancap pada tiang.
"Kalau begitu, ada dua orang yang sedang mengincar nyawa kita, Cong!" ucap Pendekar Mabuk dengan suara pelan, matanya sambil melirik sekeliling dengan tajam. Bumbung tuak yang sejak tadi menggantung di pundaknya kini diambil dan tali bumbung dililitkan pada telapak tangan kirinya.
Congor juga memandang sekelilingnya penuh waspada. Pisau masih ada di tangan, tetap terselip di antara kedua jarinya, seperti saat ditangkapnya tadi. Bocah cerdas yang ternyata punya keberanian dan punya 'simpanan' ilmu itu segera berbisik kepada Suto ketika mereka beradu punggung.
"Gusti, saya kenal pemilik pisau ini."
"Siapa...?" bisik Suto bernada tanya.
"Rikma Wengi."
"Siapa itu Rikma Wengi?"
"Mata-mata dari Muara Sesat."
"Apa lagi Muara Sesat itu? Ah, sial! Aku jadi serba bingung selama di sini," ujar Suto Sinting membatin.
Tiba-tiba matanya menangkap datangnya kilatan cahaya merah yang melesat ke arahnya. Wess...! Cahaya merah itu dating dari atas pohon. Begitu cepat gerakan cahaya itu, hampir-hampir Suto Sinting tak bisa menghindarinya, ia hanya mengibaskan bumbung tuaknya, dan saat itu cahaya merah sebesar lidi itu menghantam bumbung tersebut.
Deesss...! Wuss...!
Cahaya merah itu berbalik arah dengan kecepatan lebih tinggi dan bentuknya yang lebih besar. Kini cahaya merah itu menjadi sebesar kelingking dan menghantam bagian atas pohon. Blegaarrr...!
"Aaakh...!" suara orang terpekik pendek.
Suara itu dikenali Suto sebagai suara perempuan di sela gelegar ledakan. Ledakan yang timbul memang sungguh dahsyat. Alam sekeliling sempat menjadi terang sebentar dalam kilauan cahaya merah. Suto dan Congor sama-sama melihat seorang terlempar dari atas pohon dan pohon itu segera lenyap menjadi serbuk-serbuk hitam berhamburan.
"Cindra...!"
Sebuah suara perempuan lain terdengar menyebut sepotong nama. Bersamaan dengan itu, Suto dan Congor melihat sekelebat bayangan menyambar orang yang terpental dari pohon. Sayang sekali cahaya merah benderang itu segera padam, sehingga Suto dan Congor tak tahu apa yang dilakukan oleh bayangan terbang dan orang yang terpental dari pohon itu. Yang jelas ketika Suto Sinting berkelebat ke arah jatuhnya orang dari atas pohon tadi, tempat itu telah sepi tanpa suara dan bunyi.
"Rupanya orang yang terpental dari atas pohon tadi adalah Cindra Mala, Gusti," ujar Congor setelah mereka berada di dekat api unggun lagi.
"Siapa Cindra Mala itu?"
"Sama dengan Rikma Wengi. Mereka adalah mata-mata dari Muara Sesat, ilmu mereka memang lumayan, Gusti. Mereka sama-sama pandai mainkan jurus pisau terbang. Dan pisau mereka pada umumnya beracun ganas, Gusti Pangeran."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil tertegun sebentar. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya, yaitu tentang pengetahuan yang dimiliki Congor.
"Agaknya kau banyak mengetahui kehidupan di rimba persilatan ya, Cong?" pancing Suto.
"Ayah sering bercerita tentang dunia persilatan, Gusti. Bahkan para prajurit dan punggawa negeri sering membicarakan para tokoh di rimba persilatan dengan kehebatan-kehebatannya. Saya mencuri dengar percakapan mereka, sehingga sedikit banyak tahu tentang tokoh-tokoh di rimba persilatan, Gusti."
Suto menggumam dan manggut-manggut lagi.
"Tapi kulihat tadi kau cukup tangkas menyambar pisau yang hampir merenggut nyawaku itu! Rupanya kau punya ilmu juga ya, Cong?" ujar Suto semakin memancing kejujuran bocah pesek itu.
Congor tersenyum malu dan tundukkan kepaia.
"Ayah mengajarkan cara membela diri dan mempertahankan hidup, Gusti. Yang bisa saya lakukan hanya itu."
"Hanya itu...?!" Suto sengaja berlagak tak percaya.
"Betul, Gusti. Hanya itu dan sebuah jurus yang pernah Gusti ajarkan pada saya beberapa waktu yang lalu, yaitu ketika saya berhasil menjinakkan kuda Gusti Pangeran, lalu saya menerima upah sebuah jurus hebat dari Gusti sendiri."
Pendekar Mabuk berkerut dahi berlagak lupa. "Jurus yang mana, ya? Aku benar-benar lupa, Cong."
"Tentu saja Gusti masih lupa, karena pengaruh racun 'Guntur Edan' masih membuat Gusti lupa ingatan."
Suto Sinting pura-pura merasa geli pada diri sendiri, ia geleng-gelengkan kepala, lalu pandangi kedua tangannya dengan jari-jari dimekarkan.
"Iya, ya... kenapa masih banyak hal-hal penting yang belum kuingat?"
"Sedikit demi sedikit, ingatan Gusti pasti akan pulih kembali."
"Itu jika kau mau membantu mengingatkannya, Cong."
"Saya akan setia membantu mengingatkan apa yang Gusti lupakan," kata Congor dengan sopan sekali, namun berkesan tegas dan layak sebagai kata-kata orang dewasa. Kepandaiannya itu secara diam-diam selalu menjadi kekaguman hati Suto. Bahkan tak bosan-bosannya Suto memuji kecerdasan Congor walau hanya dalam hati.
"Mengenai dua mata-mata tadi, aku pun masih lupa tentang mereka," pancing Suto yang ingin mengetahui lebih banyak tentang seluk-beluk kehidupannya yang asing itu.
"Apakah Gusti Pangeran lupa bahwa pihak Muara Sesat akan menyerang pulau kita dan merebut kekuasaan Gusti Ratu Dewi Kasmaran?"
Suto tersenyum berlagak malu. "Nama pulau ini saja aku masih belum ingat, Cong."
Congor tertawa geli dengan sikap masih tetap menghormat, sehingga mulutnya segera ditutupi dengan tangan. Pandangan matanya lebih sering tertuju ke bawah ketimbang menatap lurus ke wajah Suto. Sang murid sinting si Gila Tuak semakin merasa seperti orang yang punya kharisma tinggi dan sangat dihormati oleh penduduk negeri tersebut.
"Cong, tolong ingatkan padaku, apa nama pulau kita ini."
"Pulau kita ini bernama Pulau Selintang..."
"Pulau Selintang...," gumam Suto bagai mencatat nama pulau itu dalam ingatannya.
"Dikatakan Pulau Selintang, karena pulau kita ini jika dilihat dari ketinggian berbentuk seperti bintang segi enam."
"O, ya... soal itu aku segera ingat. Lalu, mengapa orang-orang Muara Sesat ingin merebut kekuasaan Ratu Dewi Kasmaran dan ingin menguasai pulau kita ini?"
"Muara Sesat sebuah negeri kecil yang penduduknya terdiri dari orang-orang jahat beraliran sesat. Mereka serakah-serakah dan liar-liar, Gusti. Mereka mengincar wilayah kita untuk mendapatkan daerah kekuasaan yang lebih luas lagi. Seingat saya, sudah cukup banyak para ksatria kita yang gugur dalam mempertahankan Pulau Selintang ini agar tak dirampas oleh orang-orang Muara Sesat."
"Hmmm...," Suto Sinting menggumam lirih, manggut-manggutnya tampak samar-samar saja. Ia menyimak betul keterangan dari Congor, karena ia merasa perlu bekal pengetahuan tentang keadaan di sekelilingnya. Tak heran jika batin Suto pun berkecamuk sendiri sambil telinganya mendengarkan kata-kata si bocah cerdas itu.
"Jadi aku berada di Pulau Selintang. Siapa yang membawaku kemari sebenarnya? Ah, kalau kutanyakan pada Congor, pasti jawabannya tidak sesuai dengan yang kuharapkan, sebab Congor tetap menyangka aku adalah Pangeran Ranggawita. Padahal aku sendiri tak tahu, siapa Pangeran Ranggawita itu, dan punya jabatan apa, serta tugas apa di Pulau Selintang ini?"
Congor menceritakan pertarungan-pertarungan yang pernah dilakukan oleh Pangeran Ranggawita yang dalam hal ini dianggap diri Suto sendiri. Tetapi Suto Sinting lebih tertarik dengan kecamuk batinnya yang menuntut penjelasan lebih jujur lagi.
"Rasa-rasanya aku tak akan tahu bagaimana mulanya aku bisa berada di Pulau Selintang ini, semasa tak ada orang yang mau mengakui bahwa diriku adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, bukan Pangeran Ranggawita. Hmmm... ini sebuah peristiwa aneh yang membuatku penasaran, membuatku merasa unik, tapi juga menjengkelkan sekali. Aku membutuhkan alasan-alasan mengenai jati diriku yang diubah seenaknya oleh orang-orang Pulau Selintang. Gelarku sebagai Pendekar Mabuk diubah seenaknya menjadi Pendekar Bambu Sakti.
Apa itu...?!" Suto sempat mencibir dalam hati, karena ia merasa lebih bangga dengan gelar Pendekar Mabuk ketimbang Pendekar Bambu Sakti.
"Yang paling menjengkelkan, aku dianggap gila jika mengaku sebagai Pendekar Mabuk atau Suto Sinting. Benar-benar edan! Siapa yang edan sebenarnya; mereka atau aku?!"
Kecamuk batin meluncur terus tiada henti, sampai kata-kata Congor tak bias masuk dalam telinganya lagi. Pada akhirnya, Pendekar Mabuk tertidur dalam keadaan duduk bersandar dinding dan memeluk bumbung tuaknya. Tudung hitam tetap dipakai di kepala, sekaligus sebagai pelindung bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu.
Malam melintas, pagi mulai datang. Matahari pun kian meninggi. Suto Sinting tergugah dari tidurnya oleh suara denting kecil di depannya, ia segera mengangkat kepala dan terkejut sekali, nyaris menggeragap panik.
Di depannya, di seberang tumpukan bekas api unggun itu, ternyata telah berdiri seorang gadis cantik berkebaya biru dan memegang pisau dapur. Pisau itu tadi jatuh dan berdenting, sehingga Suto pun terbangun.
Gadis ayu berbalut kain batik coklat dengan corak bunga-bunga merah dan kuning itu tak lain adalah si gagu Manis Madu. Sungguh sesuatu yang sangat mengherankan jika Manis Madu tahu-tahu ada di tempat itu. Sedangkan Congor tidak tampak batang hidungnya.
Kebingungan Suto membuatnya seperti pemuda tolol. Ia membuka tudung hitamnya, memandang ke sana-sini, membiarkan Manis Madu berwajah tegang sambil ber-ah-uh-ah-uh tak jelas maksudnya.
Akhirnya Suto Sinting bertanya kepada si pelayan ayu itu.
"Mana si Congor...?!"
"Uh, uah... uh, uah...!" sambil tangan Manis Madu mengembang-ngembang dan wajahnya tampak sedih. Dahi Suto pun semakin berkerut memikirkan terjemahan bahasa isyarat itu.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini, Manis Madu?" Suto mengalihkan pembicaraan sejenak, karena belum bisa menerjemahkan bahasa isyarat tadi.
"A-uh... hai, hai... hai-i hiu," sambil menunjuk Suto setelah memegang dadanya sendiri.
"Maksudmu, dadamu ada ikan hlunya dan aku harus mengusir ikan hlu itu?!"
"Uah, uah...!" Manis Madu menggeleng.
"O, bukan. Lalu, maksudmu apa tadi?"
"A-uh, hai, hai... hai-i, uah, uah, uah...."
Setelah memperhatikan bahasa gerak, Suto pun akhirnya mengerti maksud si pelayan gagu itu.
"Maksudmu, kau lari-lari mencari aku dan tersesat di sini, begitu?"
"Hiaaa...!" Manis Madu mengangguk.
"Haik, hu, hohong, uuah, eeh, eeh, huak, huak, ooo...."
"Maksudmu, Congor itu adikmu?"
"Hiaaa...." Manis Madu mengangguk.
"Hohong uuah, hua, hua... ooh, uhuk, uhuk, uhuk.....
"Lho, kok menangis? Kenapa?!"
"Hohong, eh hahang... uuh, uuh...."
"Congor tertangkap?!" ucap Suto dengan kaget.
Manis Madu menjelaskan bahwa Congor tertangkap dan akan dijatuhi hukuman karena membantu membawa Suto keluar dari gua. Manis Madu menuntut pembelaan kepada Suto, karena Congor adalah adiknya, ia tersesat ketika mencari Suto sampai di tempat itu, justru bisa bertemu dengan Suto.
Menurut Manis Madu, adiknya tertangkap ketika bermaksud mencari makanan untuk Suto. Tapi Congor belum mengaku di mana Suto berada.
"Aoh, uuh, hua, hua... hia aha, uh, ah,auh, auh...."
"Kalau dia tidak mau menunjukkan di mana aku, dia akan disiksa dan dijatuhi hukuman gantung?! Ah, apa benar begitu?!"
"Hiaaa...!" gadis bisu itu mengangguk membenarkan. Suto Sinting menjadi dicekam kegelisahan. Sekalipun Manis Madu mengaku berani melawan siapa saja yang akan mencelakakan adiknya walau hanya bersenjata pisau dapur, namun Suto masih memikirkan langkah yang paling tepat dalam mengatasi hal itu.

*
* *

≠ 5 ≠

BREESSS...! Hujan turun di pagi itu. Pendekar Mabuk baru saja pulang dari sungai untuk mandi dan gosok gigi ala kadarnya. Ketika ia tiba di bangunan tua bekas pesanggrahan Resi Banuraja itu, hujan turun bagai diguyurkan dari langit.
"Kalau tahu begini aku tidak usah mandi tadi!" gerutu Suto di depan Manis Madu. Gadis itu masih tampak murung, sesekali napasnya tersendat karena isak tangis yang tertahan, ia jongkok di sudut ruangan dengan memetak kedua lututnya.
Pandangan matanya datar dan hampa, seakan tak pedulikan Suto lagi. Iba hati sang pendekar membuatnya datang mendekat, lalu ikut rendahkan badan untuk lontarkan bisikan.
"Jangan sedih, Manis. Jangan takut lagi. Tadi hati kecilku sudah putuskan untuk datang temui Ratu Dewi Kasmaran dan menukar diriku sebagai ganti Congor. Jika memang kesalahan Congor membuatnya harus dijatuhi hukuman gantung, biarlah aku yang digantung tapi Congor yang mati, eh... bukan. Maksudku, biarlah aku yang digantung dan Congor yang bebas."
Manis Madu mulai tegakkan badan, pandangi Suto Sinting dengan bola mata indah berkaca-kaca karena genangan air mata yang tipis. Tangan Suto Sinting menjamahnya, mengusap lembut kepala Manis Madu yang rambutnya masih digulung sederhana itu.
"Percayalah, Congor akan selamat. Adikmu itu tetap akan hidup bersamamu, Manis."
"Huah...?!" sambil gadis itu menuding Suto.
"Aku...?! Yah, kalau memang aku harus mati demi membela Congor, aku bersedia. Karena sebelum ia membantuku keluar dari gua, aku sudah berjanji padanya untuk melindungi keselamatan jiwanya walau nyawaku sebagai taruhannya. Congor dan aku sudah menjadi sepasang sahabat yang saling membutuhkan, saling membantu dan saling mengerti."
"Uu, ah... bubih...?"
"Aku mati? O, tak jadi soal kalau aku harus mati asal adikmu selamat."
"Oooh...!" Manis Madu memeluk kedua tangannya sendiri, menggigit jarinya untuk menahan tangis. Suto Sinting tahu, hati gadis itu terharu dan merasa ingin membenamkan tangis dalam pelukan seseorang. Maka, tangan Suto pun meraihnya ke dalam pelukan. Manis Madu semakin merintih dan menglsak.
"Jangan menangis, Manis. Jangan menangis. Hibur hatimu agar tak membuatku terkubur sebelum mati."
Tapi tiba-tiba Manis Madu justru menarik diri dan bangkit berdiri, ia seperti merasa takut berada dalam pelukan Suto. Bahkan ia buru-buru menghaturkan sembah dengan sedikit menekuk kedua lututnya, lalu berdiri dengan sikap membungkuk penuh hormat. Gadis itu seolah-olah segera sadar siapa diri Suto yang menurut anggapannya adalah Pangeran Ranggawita.
"Kau tak perlu takut lagi padaku, Manis. Dekatlah kemari," ujar Suto dengan lembut. "Sesungguhnya aku bukanlah Pangeran Ranggawita. Aku adalah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting."
Manis Madu tegakkan wajah pandangi Suto dengan terperangah. Seakan ia tak percaya dengan pengakuan Suto tadi. Ia menangkap rasa tak percaya dari sorot pandangan mata si gadis, sehingga merasa perlu menjelaskan lebih gamblang lagi.
"Aku bukan keturunan darah biru. Aku bukan seorang pangeran, bukan seorang raja, bukan pula seorang bangsawan yang patut menerima sembahmu. Aku seorang pemuda yang hidupnya berkelana dari sana ke sana. Namaku dikenal sebagai Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk. Bukan Pendekar Bambu Sakti. Dan aku tak tahu mengapa aku bisa berada di Pulau Selintang ini. Benar-benar suatu peristiwa yang aneh dan baru kali ini kualami. Kurasa penduduk Pulau Selintang, termasuk Ratu Dewi Kasmaran, salah duga terhadap diriku. Mungkin wajahku mirip Pangeran Ranggawita, tapi...."
Kata-kata Suto terpaksa berhenti, karena gadis itu belum-belum sudah geleng-gelengkan kepala sambil bergeser jauhi Suto.
Hati sang pendekar tampan itu menjadi dongkol, napasnya terbuang lepas. Hatinya menggerutu, "Sia-sia penjelasanku. Agaknya dia tak mau percaya dan tetap menganggapku Pangeran Ranggawita...."
Tiba-tiba murid sinting si Gila Tuak itu tersentak kaget. Tengkuk kepalanya seperti tertimpa sebatang balok besar, ia tersentak membentur dinding dengan keras, lalu jatuh terkulai dengan pandangan mata berkunang-kunang.
"Aaakkkhhh...!"
Ia mengerang panjang, bumbung tuaknya masih tersangkut di tangan kiri. Dalam keremangan pandang ia melihat sesosok tubuh kekar telah berdiri di sampingnya.
Rupanya karena sibuk meyakinkan Manis Madu, Suto tak menyadari datangnya orang ketiga di tempat itu. Orang tersebut segera lakukan satu lompatan pendek dan melepaskan tendangannya ke tengkuk kepala Suto. Kecepatan geraknya membuat Suto tak dapat menangkap datangnya angin bahaya dari belakang.
"Pantas si Manis Madu tadi menggeleng-gelengkan kepala sambil bergeser menjauhiku. Rupanya ia memberi isyarat datangnya bahaya di belakangku. Kusangka ia tak percaya dengan ompnganku dan menjadi takut padaku," Suto masih sempat memikirkan Manis Madu sebelum orang yang baru datang itu mengangkat kakinya untuk menginjak perut Suto.
Begitu kaki orang tersebut terangkat di atas perut Suto, tangan kiri Suto segera berkelebat menghantamkan bumbung tuaknya. Wuuut...! Prakk...!
"Aaaoowww...!" orang itu menjerit sekeras-kerasnya. Mata kakinya hancur seketika dihantam bumbung tuak tersebut.
Kaki Suto pun segera berkelebat memutar ke atas sambil menjejak perut laki-laki itu. Wuurrss...! Bukkh...!
"Aaakkhh...!"
Brrukk, gleduk...! Lelaki berpakaian serba kuning itu terpental ke belakang dan kepalanya membentur dinding seberang, ia mengerang-ngerang kesakitan. Tubuh dan pakaiannya yang basah kuyup karena kehujanan itu meringkuk seperti seekor trenggiling yang sedang sakit gigi.
Suto segera bangkit, namun segera sempoyongan. Kali ini sempoyongannya bukan karena jurus, tapi benar-benar karena merasa pusing dan lemas setelah tengkuk kepalanya ditendang sekuat itu. Ia sempat berpegangan dinding sebelah. Tapi tangannya segera disahut Manis Madu dan gadis itu menahan tubuh Suto agar tak sampai jatuh kembali.
Suto pandangi orang tersebut. Penglihatannya masih buram, sehingga ia perlu mengibaskan kepalanya beberapa kali dan mengerjap-ngerjapkan mata.
"Gila! Tendangannya nyaris membuat mataku menjadi buta," ucapnya pelan, hanya Manis Madu yang mendengarnya.
"Bubu, bubu, auh, auh...!"
Entah apa yang dimaksud gadis itu, Suto tak sempat memikirkan artinya. Yang jelas ia segera melihat kebangkitan lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun itu secara samar-samar. Pada saat lelaki berbadan sedang itu berdiri dengan merambat dinding, Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya.
Tapi baru saja ia menengadah, tiba-tiba lelaki bersenjata keris di depan perutnya itu melepaskan pukulan jarak jauh berupa seberkas sinar putih sebesar bola bekel. Wuut...! Dess...!
"Aaahg...!" Sinar itu kenai pinggang Suto, membuatnya tersentak dan menjadi kejang, ia masih berusaha menurunkan bumbung tuaknya dan menutup rapat bumbung tuak itu. Ia bermaksud bertahan untuk lakukan serangan balasan. Tetapi tenaganya bagaikan lenyap seketika itu juga.
Pendekar Mabuk akhirnya jatuh pingsan, tak sadar apa saja selanjutnya yang terjadi pada dirinya. Tak ada pandangan mata, tak ada rasa, tak ada suara dan tak ada rasa yang bisa dikenali Suto Sinting.
Suara gelegar guntur menjelang sore tiba-tiba terdengar samar-samar. Agaknya hujan akan turun lagi di sore itu. Suara gelegar guntur itulah yang pertama-tama menggugah kesadaran Pendekar Mabuk dari pingsannya.
Pendekar Mabuk terkejut mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah kamar yang bersih dan berbau harum, ia pun bertambah kaget setelah menyadari bahwa dirinya berada di atas ranjang empuk berlapiskan kain lembut sejenis sutera.
"Edan...! Apa yang terjadi pada diriku ini?!" sentak Suto Sinting yang semakin bertambah kaget lagi setelah mengetahui dirinya tidak mengenakan pakaian sesobek pun. Tubuhnya yang kekar dan tegap itu hanya diselubungi oleh selimut tebal berwarna abu-abu dari bahan kain halus.
"Mati aku kalau begini! Ke mana baju dan celanaku?!" Suto Sinting berdebar-debar pandangi keadaan sekeliling, ia tak melihat pakaiannya ada di kamar itu. Tetapi ia melihat pakaian seorang perempuan dan peralatan kecantikan yang berada tak jauh dari ranjang empuk itu.
"Apakah aku harus mengenakan pakaian perempuan? Ooh... benar-benar dibuat gila otakku kalau begini caranya. Siapa yang membawaku kemari dan kamar siapakah ini?!"
Melihat lantai berubah bersih mengkilap, dinding bersih tanpa lumut, perabot serba bagus, meja, kursi, almari, ranjang, semua terbuat dari kayu jati mengkilap yang tepiannya dilapisi logam kuning emas, maka Suto pun mulai dapat menyimpulkan bahwa dirinya saat itu berada di sebuah kamar milik perempuan bangsawan.
"Mengapa sepi, tak kudengar suara apa pun kecuali suara guntur tadi?" pikir Suto Sinting. "Jendela tertutup, pintu tertutup, tapi tubuhku kenapa tidak tertutup? Siapa yang berani berbuat selancang ini? Lancang atau nakal?!"
Pendekar Mabuk mencoba untuk turun dari ranjang. Rasa sakit di tengkuk telah hilang. Tenaganya mulai pulih kembali. Aroma tuak masih terasa membekas di mulutnya, pertanda ia belum lama telah menenggak tuak.
"Ke mana bumbung tuakku?" Pendekar Mabuk mencari-cari bumbung tuak, ternyata juga tak terlihat ada di kamar itu.
Selimut itu dililitkan ke tubuhnya, seperti pakaian seorang biksu. Dengan menggunakan selimut itu, ia bebas turun dari ranjang dan berjalan memeriksa sekeliling kamar. Cahaya yang tampak menerobos dari kisi-kisi jendela itu menampakkan warna senja.
"Kalau begitu aku pingsan hampir setengah hari penuh?" pikirnya, kemudian perhatiannya dialihkan ke arah lain.
Tiba-tiba suara pintu hendak dibuka mulai terdengar. Suto Sinting cepat-cepat duduk di tepi ranjang. Matanya memandang pintu tak begitu tegang, ia memang berusaha untuk bersikap tenang. Tetapi hatinya berdebar-debar karena ingin tahu siapa orang yang akan masuk ke kamar tersebut. Pintu yang terdiri dari dua daun dengan ketinggian sekitar dua tombak itu mulai terbuka.
Lalu, seraut wajah cantik berhidung mancung dan bermata bening indah muncul dari balik pintu, membuat Suto Sinting terperangah kecil. Seorang perempuan berambut diurai lepas dengan mahkota kecil menghiasi rambut itu kini mulai sunggingkan senyum kepada Suto Sinting.
Setelah menutup pintu kamar kembali, perempuan yang mengenakan jubah tipis sutera warna merah jambu berhias manik-manik emas itu segera perdengarkan suaranya yang jernih.
"Sudah sehatkah kau, hingga berani duduk di tepi ranjang begitu?!" Lidah Suto menjadi kelu. Perempuan itu benar-benar cantik. Badannya sekal, dadanya montok, terlihat separo bagian karena memakai kain penutup dada dari sutera tipis warna hijau. Pinggangnya langsing. Perutnya tampak jelas karena tidak mengenakan kain penutup lainnya kecuali bagian bawahnya yang dilapisi kain hijau muda tipis sekali itu.
Kulit perutnya sama dengan kulit tubuh lainnya yang berwarna kuning mulus. Bentuk lekuk-lekuk pinggulnya pun terlihat jelas dan tampak kencang sekali sehingga Suto menjadi gemas karena menahan rasa ingin meremasnya.
Perempuan itu tampak tenang dan seenaknya saja menengadahkan wajah Suto dengan meraih dagu dan memandanginya. Bahkan anak rambut Suto yang meriap di pipi disingkirkan dengan gerakan tanpa canggung-canggung, seakan sudah terbiasa berbuat begitu.
"Hmmm... badanmu sudah hangat kembali. Berarti kau sudah sehat seperti sediakala." Perempuan itu tersenyum manis tepat di depan wajah Suto. Tangannya masih mengusap-usap kepala dan rambut si tampan yang bengong saja itu.
"Kecemasanku kini telah hilang melihat kau sehat kembali...."
Cuupp...! Sebuah ciuman hangat menempel di pipi Suto. Pemuda tampan berhidung bangir itu tersentak dan segera menarik diri, lalu bangkit dan menjauhi perempuan itu dengan dahi berkerut. Wajahnya penuh dengan rasa heran dan serba canggung.
"Mengapa kau menciumku?" tanya Suto sambil melingkar ke seberang ranjang.
"Apakah seorang istri tak boleh mencium suaminya?" ujar perempuan itu.
"Seorang istri...?!"
"Kakang Ranggawita, tidakkah kau ingat bahwa aku adalah istrimu?!"
"Edan!" sentak Suto sambil menjauhi ranjang dengan wajah tegang. Perempuan itu bergegas mendekatinya. Suto tersudut di depan almari. Jantungnya berdetak-detak karena hatinya berdebar-debar diliputi berbagai rasa tak menentu.
"Rupanya masih ada sisa racun 'Guntur Edan' yang mempengaruhi daya ingatmu, Kakang Ranggawita."
"Aku bukan Ranggawita! Aku tidak terkena racun 'Guntur Edan' atau 'Geledek Gila' atau apa pun! Aku manusia yang sehat...."
"Suamiku, percayalah... kau dalam keadaan kacau karena pertarunganmu dengan orang Muara Sesat tempo hari. Kau terkena racun 'Guntur Edan' dan membuatmu lupa ingatan. Kau selalu merasa sebagai Pendekar Mabuk dan merasa bernama Suto Sinting. Itu akibat kau memang mengagumi kehebatan dan kesaktian tokoh muda dari tanah Jawa itu. Tetapi... oooh...."
Perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu tinggalkan Suto dengan wajah sedih, ia duduk di tepian ranjang dengan kepala tertunduk dan badan terguncang-guncang akibat tangis yang hadir dalam kesedihannya.
"Sekarang aku semakin merasa dibuang oleh suamiku sendiri. Tak ada kasih, tak ada cinta, tak ada kemesraan, semuanya sirna gara-gara racun keparat itu! Oh, Dewa... tak adakah obat yang mampu menyembuhkan suamiku dari racun keparat itu?!"
Pendekar Mabuk masih diam di pojokan dengan dahi berkerut. Matanya memandangi perempuan cantik berjari lentik yang menangis terisak-isak di tepian ranjang. Suara tangisnya yang ditutup dengan kedua tangan terasa semakin menggores hati Suto Sinting. Akibatnya, ketegangan Suto semakin lama semakin susut, desir-desir keharuan mulai menguasai hatinya.
Ia melangkah pelan-pelan mendekati perempuan itu. Suaranya mulai terdengar lembut ketika ajukan tanya sebelum ikut duduk di tepian ranjang.
"Siapa kau sebenarnya, Nyai... eh, Nona... eh... eh...." Suto sempat grogi.
Perempuan itu segera kendalikan tangisnya, ia mulai mengangkat wajah memandang Suto dengan sorot pandangan mata penuh duka. Hati Pendekar Mabuk semakin pilu melihat kecantikan yang tersiksa duka.
"Suamiku...," perempuan itu meremas tangan Suto dengan penuh perasaan lara. "Benarkah kau sama sekali tidak mengenaliku? Benarkah kau lupa dengan seorang perempuan yang kau cintai dan bernama Dewi Kasmaran?"
Suto semakin bingung menjawab, ia hanya menelan ludah beberapa kali dan pandangan matanya menjadi serba salah. Sebab di depannya persis tampak dua gundukan mulus yang begitu sekalnya terpampang di dada perempuan itu. Suto gelisah, lalu mendesah jengkel sendiri di dalam hatinya.
"Suamiku, akulah Dewi Kasmaran yang sejak dulu kau sayangi dan kau cintai. Akulah istrimu yang amat bangga mendapatkan suami seorang lelaki sesetia dirimu."
Hati Suto menjadi masygul mendengar pujian tersebut. Tapi kenyataan yang dialaminya semakin memberontak hati nurani, sebab ia benar-benar tidak merasa mempunyai seorang istri. Jika sekarang ada seorang perempuan yang mengaku sebagai istrinya, bagaimana ia harus bersikap di depan perempuan itu. Apalagi perempuan itu sangat membanggakan dirinya dan benar- benar merasa menjadi istrinya, jelas hal itu semakin memojokkan Suto dalam mengambil sikap.
"Lebih baik aku mati jika harus tersiksa begini selamanya," kata Ratu Dewi Kasmaran. "Aku benar-benar tak bisa menikmati hidup jika kau tak mengakui diriku sebagai istrimu, Kakang Ranggawita."
"Ja... jangan... jangan mati dulu," ucap Suto dengan kaku.
"Aku tak mungkin bisa membalas dendam kepada lawanmu itu, karena ilmuku tidak setinggi ilmunya. Aku juga tak mungkin bisa hidup tanpa diakui sebagai istrimu, karena kaulah satu-satunya orang yang membuatku sampai sekarang masih punya semangat untuk mempertahankan negeri ini, Kakang. Jika kau tak mau mengakuiku sebagai istrimu, sebaiknya bunuh saja aku sekarang juga, Kakang. Bunuh saja aku! Bunuh!" sambil tubuh Suto diguncang-guncang. Akibatnya kain penutup tubuh yang menyilang di pundak kanan itu terlepas dan merosot ke bawah. Srruut...!
"Ooh...?!" Suto terpekik dan segera meraih selimut penutup tubuh itu. Sebab tanpa selimut itu, sama saja ia seperti bayi baru lahir dari kandungan ibunya. Wajah Suto menjadi merah karena menahan malu saat kain itu merosot ke bawah dan mata Dewi Kasmaran tetap memandanginya tanpa mau berkedip atau berpaling ke arah lain.
"Brengsek! Malunya bukan main!" gerutu Suto Sinting, kemudian ia mencoba alihkan perasaannya dengan melanjutkan percakapan tadi.
"Dewi..., cobalah berpikir dengan bijak dan lebih dewasa lagi. Jangan hanya bias menuntut kematian saja, tapi berbuatlah sesuatu yang berguna bagi hidupmu."
"Tak ada gunanya lagi hidup tanpa dirimu, Kakang Ranggawita."
"Aku bukan Ranggawita. Aku adalah Suto Sinting."
"Tidak! Kau adalah Ranggawita suamiku!" bentak Dewi Kasmaran.
"Tanyakanlah kepada semua orang, siapa dirimu sebenarnya. Maka mereka akan menjawab bahwa kau adalah Pangeran Ranggawita, suami Ratu Dewi Kasmaran!"
"Aku bukan suamimu, Dewi!" Suto agak ngotot.
"Lalu bayi siapa yang sekarang kukandung ini?!"
"Hahh...?! Bayi...?!" Suto Sinting terperanjat dengan jantung menyentak sekuat-kuatnya.
"Kau ingin menghindar dari tanggung jawabmu sebagai calon seorang ayah?"
"Ap... apakah... apakah kau sedang hamil, Dewi?"
"Ya," jawab Dewi Kasmaran sambil menunduk dan menangis. "Sekarang usia kandunganku sudah tiga bulan. Dan kala itu kau menyambut kehadiran janin kita dengan gembira sekali. Kau rayakan kehadiran janin dalam kandunganku ini selama tujuh hari tujuh malam, hingga semua rakyat negeri kita tahu bahwa perkawinan kita akhirnya menghasilkan keturunan yang mereka tunggu-tunggu."
"Gila...!" gumam Pendekar Mabuk dengan tegang.
"Kau bersumpah tak akan potong rambut jika bayi kita belum lahir. Itulah sebabnya, maka kau mempunyai rambut panjang. Dan aku sangat bangga pada kesetiaanmu sebagai calon ayah dari bayiku, karena setiap malam menjelang tidur, kau selalu mengusap-usap perutku, menciuminya dan selalu berbisik pada bayimu: 'Jadilah Pendekar Mabuk, agar kelak nama ayah dan Ibumu menjadi harum karena kebajikanmu' atau kata-kata lain yang membuatku sering terharu melihat kebanggaanmu. Tetapi sekarang kau seakan ingin membuang bayi ini dan tetap tak mau mempercayai kata-kataku bahwa kau adalah suamiku, Kakang!"
"Hancur sudah hidupku kalau begini!" gerutu Suto Sinting dalam hati dengan jengkel sekali. "Hancur lebur! Habis sudah kebahagiaanku jika sampai calon istriku; Dyah Sariningrum, mendengar kabar seperti yang diucapkan Dewi Kasmaran itu."
Untuk beberapa saat lamanya Pendekar Mabuk tak bisa bicara apa-apa. Namun hati tetap berkecamuk bagai memaki diri sendiri. "Celaka! Celaka seumur hidup kalau begini! Tidur dengannya belum pernah, sudah dianggap sebagai calon ayah dari bayi yang dikandungnya. Kalau pendapat itu kutentang saat-saat sekarang, bisa-bisa Dewi Kasmaran benar-benar nekat bunuh diri. Tapi kalau kuterima, apa jadinya sejarah hidupku nanti?! Ooh... Dewa Kesialan! Mengapa kau mengikutiku terus pada saat ini?!"
Setelah menarik napas dalam-dalam, hati Suto pun menggerutu lagi. "Sudah dianggap gila, eeh... dituduh menghamili seorang ratu. Benar-benar sinting nasibku ini. Sebenarnya apa yang diinginkan Ratu Dewi Kasmaran dengan caranya ini? Atau... benarkah aku ini Pangeran Ranggawita yang dikenal oleh rakyat negeri ini sebagai Pendekar Bambu Sakti?!"
Suto Sinting mulai limbung. Keyakinannya sempat goyah setelah menghadapi tangis perempuan secantik Ratu Dewi Kasmaran itu.
"Jika aku memang Pangeran Ranggawita, lalu ke mana Suto Sinting?! Di mana sekarang si Pendekar Mabuk itu?!"
Pendekar Mabuk dicekam kegelisahan dan kebimbangan yang membuatnya tak bias tenang. Apalagi ketika ia makan malam bersama Ratu Dewi Kasmaran, para pelayan yang melayani mereka sama-sama menganggap Suto sebagai Pangeran Ranggawita, suami dari Ratu Dewi Kasmaran. Suto punya kesempatan untuk berbisik kepada seorang pelayan tua berusia sekitar empat puluh tahun.
"Apakah kau tak salah lihat dan yakin betul bahwa aku adalah Pangeran Ranggawita?"
"Saya yakin seyakin-yakinnya, Gusti! Jika Gusti Pangeran merasa seperti orang lain, itu karena Gusti Pangeran masih terpengaruh oleh kekuatan gaib dari racun 'Guntur Edan' tempo hari. Hamba tak bias bilang apa-apa lagi kecuali mengatakan sejujurnya apa yang hamba lihat, bahwa Gusti adalah Pangeran Ranggawita, suami tercinta yang sangat mencintai Gusti Ratu Dewi Kasmaran," jawab si pelayan dengan meyakinkan sekali. Hal itu membuat rasa percaya diri Suto menjadi semakin goyah.
"Biyung, sejak tadi aku tak melihat Manis Madu. Di mana si Manis Madu yang sering melayaniku saat aku ada di Gua Lacak Silang itu?" tanya Suto kepada pelayan tadi.
"Manis Madu...?! Oh, hmmm... anu... Manis Madu sedang diutus Gusti Ratu untuk memberi makan Congor dalam penjaranya."
"Congor...?!" Suto Sinting menjadi terkejut, ia ingat kembali tentang si bocah cerdas itu. Maka ia segera menghampiri Ratu Dewi Kasmaran yang sedang bicara dengan beberapa pengawai istana di bangsal paseban.
"Dinda, kumohon Congor dibebaskan dari penjara!"
"Dia bersalah, dan aku sangat kecewa dengan tindakannya."
"Tolong, Dinda! Bebaskan dia, karena semua yang kami lakukan adalah tanggung jawabku. Bukan tanggung jawab Congor! Bocah itu tak bersalah, Dinda Dewi Kasmaran."
"Bukankah kau sendiri yang mendidikku untuk menjadi seorang ratu yang tegas dan adli? Sekarang didikanmu itu kujalankan, Kakang. Siapa salah harus dihukum sesuai dengan ketentuan yang sudah kita tetapkan bersama."
"Kali ini berilah kebijaksanaan untuk Congor. Lepaskan dia dan lupakan tentang pelarianku dari Gua Lacak Silang itu."
Ratu Dewi Kasmaran diam sebentar, kemudian memandang Suto dan berkata dengan nada berwibawa namun pelan.
"Akan kubebaskan dengan satu syarat!"
"Sebutkan syarat itu, aku akan memenuhinya."
"Kembalilah sebagai suamiku yang sangat mencintaiku dan menyayangi bayi dalam kandunganku."
"Wah, kacau kalau begini!" gerutu Suto dalam hati.
"Bagaimana? Kau bisa memenuhi syarat itu?"
Suto Sinting menarik napas. "Beri aku waktu satu malam. Esok kau akan mendapat jawabannya dariku."

*
* *

≠ 7 ≠

MESKI perut sang Ratu tidak tampak membengkak selayaknya orang hamil, tapi Suto dapat mempercayai pengakuan tersebut. Sebab ia sering melihat wanita hamil tiga bulan dalam keadaan perut belum membengkak. Hal yang membuatnya semakin percaya dengan pengakuan Dewi Kasmaran adalah kebiasaan sang Ratu yang gemar memakan buah-buahan asam.
Ketika tadi mereka selesai makan malam, pelayan berusia empat puluh tahun itu menyajikan sepiring rujak berisi buah-buahan kecut. Sang Ratu menikmati buah-buahan kecut itu seperti melalap kacang rebus. Sambil bicara sambil mengunyah buah-buahan tersebut.
"Dia benar-benar sedang ngidam," gumam Suto Sinting, lalu hatinya terharu membayangkan perasaan Dewi Kasmaran yang hamil tanpa mempunyai suami jika Suto tidak mau mengaku sebagai suaminya.
Pada malam hari, Suto merasa tak betah tinggal di dalam kamar Ratu Dewi Kasmaran.Bukan karena tempatnya tak nyaman, tapi gangguan batinnya semakin malam semakin besar. Sang Ratu tidur dengan pakaian sangat tipis dan tanpa mengenakan pakaian pelapis lainnya sehingga perabotnya tampak berhamburan di sana-sini.
Tangan sang Ratu pun sering berlaku nakal. Kadang ia sengaja menggoda Suto yang terpaksa berbaring satu ranjang dengannya, kadang juga bersikap setengah memaksa.
"Sudah cukup lama anakmu tak kau tengok, Kakang," bisik Dewi Kasmaran sambil sebentar-sebentar mencium Suto.
Pada mulanya Suto menolak ajakan bercumbu pada tingkat tinggi. Tetapi Dewi Kasmaran menangis dan Suto tahu perempuan itu tersiksa karena tuntutan batinnya tak terpenuhi.
"Apakah aku tak layak meminta kemesraan dari seorang suami? Bukankah biasanya kau selalu menuruti tuntutan gairahku kapan saja aku menginginkannya, Kakang?"
"Dewi, aku benar-benar sedang kalut dan tidak mempunyai selera sedikit pun untuk lakukan percintaan dengan siapa saja. Pikiranku kacau sekali. Beri aku waktu sampai esok hari. Karena esok hari aku akan mengambil keputusan dan menentukan sikap, apakah aku memang suamimu atau bukan."
"Tapi aku rindu sekali padamu, Kakang," rengek Ratu Dewi Kasmaran dengan manja. Sedangkan Suto sebenarnya paling tak bias jika mendengar rengekan manja seorang perempuan, apalagi secantik Dewi Kasmaran.
Tetapi ia selalu ingat dengan calon istrinya: Dyah Sar iningrum, sehingga senakal-nakalnya Suto, ia tak berani berbuat lebih jauh dari sekadar 'cuci muka' saja.
Rupanya 'cuci muka' yang diberikan Suto dari batas pusar ke atas itu telah sedikit mengobati kerinduan Dewi Kasmaran terhadap kemesraan sang suami. Perempuan itu segera tertidur setelah Suto memeluknya sambil mengusap-usap punggung tanpa kain penutup itu. Sementara itu, Suto hanya mengenakan pakaian model jubah untuk tidur yang terasa sangat tak enak dikenakannya, sebab ia tak terbiasa mengenakan pakaian seperti itu.
Maka ketika Ratu Dewi Kasmaran telah tertidur nyenyak, Suto Sinting turun dari ranjang dengan pelan-pelan, ia mencari pakaian dan bumbung tuaknya. Sebab kekuatan tubuhnya terasa semakin lemah karena sejak sesore tadi tidak meneguk tuak. Jika Suto meminta bumbung tuaknya, Dewi Kasmaran selalu tidak memberikan dengan alasan untuk menghilangkan kebiasaan yang bukan menjadi kebiasaan Pangeran Ranggawita.
"Hilangkan kebiasaanmu minum tuak, nanti kau benar-benar seperti Pendekar Mabuk. Kau adalah Pangeran Ranggawita yang jarang minum tuak atau arak jika tidak sedang dalam acara pesta."
Sikap Ratu Dewi Kasmaran seperti sikap seorang istri kepada suaminya, sehingga tanpa disadari Suto Sinting merasa seperti benar-benar mempunyai istri yang cantik dan punya kharisma tersendiri. Kadang hati Suto merasa bangga, kadang juga merasa sedih karena ingat tentang perjodohannya yang sudah ditentukan oleh garis kehidupan, yaitu menjadi suami Dyah Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Melalui pendekatan dengan seorang prajurit penjaga malam, akhirnya Suto berhasil menemukan pakaian dan bumbung tuaknya yang disembunyikan di lumbung padi. Bumbung itu masih berisi tuak tinggal separo bagian. Tapi seteguk tuak sudah cukup membuat kekuatan Suto pulih kembali, kelesuannya lenyap seketika. Gairah hidupnya mulai menyala-nyala kembali.
"Terima kasih atas bantuanmu. Siapa namamu, Prajurit?"
"Hamba bernama Sindulaga, Gusti."
"Nama yang bagus," puji Suto dengan senyum ramah. "Menurut penglihatanmu, siapa diriku ini, Sindulaga?!"
"Paduka adalah Gusti Pangeran Ranggawita," jawab Sindulaga yang berusia sebaya dengan Suto itu.
"Apakah kau tak melihatku sebagai sosok Pendekar Mabuk?"
"Tidak, Gusti! Sekalipun Gusti mengenakan pakaian yang mirip Pendekar Mabuk dan bumbung tuak yang juga mirip Pendekar Mabuk, tapi hamba tetap tak bias lupa bahwa paduka adalah Gusti Pangeran Ranggawita."
"Apakah wajahku mirip dengan Pendekar Mabuk?" pancing Suto, karena ingin mengetahui seperti apa wajah Pangeran Ranggawita itu.
Tetapi Sindulaga justru tertawa, "Gusti Pangeran Ranggawita jauh lebih tampan dan lebih gagah daripada Pendekar Mabuk."
"Sialan!" gerutu Suto dalam hati. Tapi mulutnya segera perdengarkan kata lain.
"Apakah kau pernah melihat Pendekar Mabuk?"
"Belum, Gusti. Tetapi hamba sering mendengar orang menyebutkan ciri-ciri Pendekar Mabuk atau menceritakan tentang kesaktiannya."
"Di mana kau mendengar orang membicarakan tentang Pendekar Mabuk."
"Di kedai-kedai seluruh tanah Jawa."
"Apakah kau sering ke tanah Jawa?"
"Hamba memang berasal dari tanah Jawa, Gusti Pangeran. Keluarga hamba masih ada yang tinggal di Kadipaten Bumiloka atau di Kotapraja."
"Hmmm...," Suto manggut-manggut, ia jadi ikut jalan keliling istana menemani Sindulaga melaksanakan tugasnya sebagai penjaga malam. Tiga orang temannya berjaga di tempat lain. Delapan orang prajurit berkeliling bagian luar benteng.
"Sindulaga, bagaimana menurutmu jika aku ingin mengetahui di mana penjaranya si bocah cerdas; Congor Bagus Wijanarko itu?"
"O, dia di penjara bawah tanah, Gusti. Karena dia termasuk tawanan berbahaya."
"Berbahaya?!" dahi Suto berkerut karena merasa heran.
"Ayahnya juga dipenjarakan di bawah tanah, Gusti," tambah Sindulaga.
"Ayahnya ikut dipenjara? Lho... kenapa begitu?!"
"Karena ayahnya ikut bertanggung jawab atas segala tindakan anaknya."
"Kasihani Padahal dalam hai ini akulah yang bersalah," ujar Suto pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"O, ya... Sindulaga, apakah kau tak bias mengantarku ke penjara bawah tanah?"
"Maaf, Gusti! Saya tidak berani melanggar larangan yang dikeluarkan oleh Gusti Ratu."
"Larangan apa?"
"Tidak boleh membawa siapa pun ke penjara bawah tanah dan tidak boleh mempertemukan siapa pun dengan Congor!"
"Separah itukah hukuman yang dijatuhkan kepada Congor?! Kurasa ini tak adil, Sindulaga."
"Hmmm... ehh...," Sindulaga cengar- cengir salah tingkah sendiri.
"Kurasa kau bisa menolongku untuk kali ini saja, Sindulaga. Kau tahu siapa aku, bukan? Aku atasanmu, bukan orang lain!"
Sindulaga semakin tak enak hati dan sulit menolak bujukan itu. Akhirnya ia mengajukan usul sebagai jalan tengah pertentangan batin itu.
"Beg ini saja, Gusti.... Hamba akan membawa Congor keluar dari penjara untuk menemui Gusti. Sebaiknya Gusti menunggu di samping Pura Pamujan, nanti hamba akan datang ke sana membawa Congor."
"Baik. Aku setuju. Lakukan yang rapi dan jangan sampai ada yang tahu kecuali penjaga pintu penjara."
"Kebetulan yang bertugas malam ini sebagai penjaga pintu penjara adalah sahabat karib hamba sendiri, Gusti."
Sindulaga bergegas pergi, sementara Suto segera menyelinap di samping Pura Pamujan. Bangunan berbatu menyerupai candi itu digunakan untuk lakukan upacara adat pada saat-saat tertentu. Tempatnya aman dan banyak ditumbuhi pohon berdaun rindang. Suto merasa aman berada di tempat yang remang-remang itu. Lagi pula, dari tempat itu ia bisa pandangi dengan bebas keadaan terang di luar bangunan utama istana.
Tiba-tiba Suto dikejutkan oleh kemunculan sesosok bayangan hitam yang melompat dari perbatasan dinding benteng. Wuuut...! Firasat Suto langsung mengatakan ada yang tidak beres di bagian sudut taman belakang istana itu.
Zlapp...! Suto Sinting berkelebat cepat mengejar bayangan yang melompat dari tembok benteng itu. Rupanya bayangan itu sudah berada di atas atap bangunan yang berfungsi sebagai dapur para prajurit istana.
Wuuut, slaapp...! Suto Sinting pun mengejar ke atap dan sengaja memergoki orang berpakaian serba hitam itu dari depan.
Seett...! Orang berpakaian serba hitam hentikan langkahnya yang mengendap-endap, ia terkejut melihat kemunculan Suto di depannya. Tapi ia tak mau diserang lebih dulu, sehingga dengan gerakan cepat orang yang wajahnya tinggal segaris, khusus di bagian mata saja itu menerjang Suto Sinting sambil mencabut pedangnya. Sreet...!
Wuuut...!
Suto Sinting yang menggunakan ilmu peringan tubuh itu segera sentilkan ujung jempol kakinya ke atap yang dipijak, lalu tubuhnya melayang ke atas dengan cepat dan pedang yang menebas ke arah perutnya itu dapat dihindari.
Weess...!
Pendekar Mabuk bersalto satu kali, lalu dalam gerakan melayang turun, ia melepaskan sentilan jari tangannya yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. Tess...! Debb...!
"Eehk...!" orang itu tersentak mendongak dengan suara pekik tertahan. Sentilan yang mengandung kekuatan tenaga dalam besar itu telah kenai leher orang tersebut.
Akibatnya orang itu pun limbung ke belakang dan kepalanya yang mendongak ke atas itu menyemburkan darah kental. Suto Sinting segera menyambar orang tersebut agar tak timbulkan suara gaduh pada saat jatuh di atas atap tersebut.
"Hheekkrr...!" orang itu kejang-kejang beberapa saat, kemudian melepaskan napas panjang sebagai napas terakhirnya. Rupanya Suto Sinting telah melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya ke titik yang mematikan, sehingga lawannya tak sempat lakukan gerakan lagi. Ia kehilangan nyawa setelahdibaringkan di atap oleh Suto.
Wuuutt...! Tiba-tiba sekilas cahaya putih menyerang Suto Sinting dari belakang. Cahaya putih itu tak lain adalah sekeping senjata rahasia berbentuk bintang segi enam. Suto tak menyadari kehadiran maut di belakangnya, karena ia sedang sibuk memeriksa mayat orang berselubung kain hitam.
Tetapi gerakan senjata rahasia itu tiba-tiba membelok ke arah samping setelah seberkas sinar biru menyerupai tatakan gelas itu menghantamnya dengan tanpa timbulkan suara ledakan keras, selain hanya sebuah letupan kecil. Tarr...! Pendekar Mabuk kaget, menengok ke belakang, dan ia pun segera sadar bahwa nyawanya tadi terancam oleh teman orang yang terbunuh tanpa disengaja itu.
Jruubbb...! Senjata rahasia itu menancap pada sebuah pohon. Tetapi Suto dan si pemilik senjata rahasia sama-sama tertegun memandangi. Suto tak tahu siapa pemilik sinar biru itu. Yang jelas orang berpakaian serba hitam dengan membungkus kepalanya tinggal segaris itu segera lakukan serangan kepada Suto Sinting. Pedangnya dicabut kemudian digunakan menyerang Suto secara bertubi-tubi.
Pada saat itu, Suto sudah menggenggam tali bumbung tuak. Maka tak ayal lagi bagi Suto, bumbung tuak itu dihantamkan ke depan sambil untuk menangkis kibasan pedang lawan. Trang, trang, trakk...!
Pedang itu patah menjadi empat keping. Orang berpakaian hitam menggeram semakin marah, ia segera keluarkan bola besi sebesar bola bekel. Bola itu bermaksud dilemparkan ke wajah Suto. Tetapi dengan lincahnya Suto meliukkan badan mirip orang mabuk mau jatuh. Jurus mabuk itu membuat bola besi tak kenai tubuh Suto Sinting sedikit pun,namun justru menghantam pohon di belakang Suto.
Blubb...! Wuusss...! Asap putih mengepul tebal setelah terdengar suara letupan pelan tadi. Ternyata asap itu membuat pohon yang terkena bola tadi lenyap tanpa bekas sedikit pun kecuali bau kayu terbakar.
Pendekar Mabuk segera lakukan serangan balik kepada lawannya. Namun ebelum Suto bergerak lebih lanjut, seberkas cahaya biru menghantam orang berpakaian hitam itu. Dess...! Blubb...!
Hantaman cahaya biru itu juga tidak timbulkan suara keras. Tetapi orang itu segera terpekik kencang.
"Aaakkh...!"
Suara pekikan itu cukup memecah sunyinya malam. Orang tersebut tumbang dan menggelinding menuruni atap menimbulkan suara gaduh. Suto Sinting berkelebat turun, ia sudah berada di bawah, siap menerima tubuh orang yang menggelinding itu. Zlaappp...!
Orang itu berhasil diterima dengan kedua tangan Suto, tetapi segera dibuang kembali oleh Suto karena tubuh orang tersebut tercabik-cabik dengan sayatan yang amat mengerikan. Tentu saja orang yang sudah tidak bernapas itu segera menjadi kerumunan beberapa prajurit yang mendapat tugas jaga malam. Bahkan beberapa prajurit lainnya yang sudah tertidur pun segera bangun dan bergabung dengan mereka.
"Ada apa ini? Ada kejadian apa?!" suara mereka menghebohkan suasana hingga sang Ratu pun terbangun.
Pada saat itu Suto sempat melihat Manis Madu ikut-ikutan nimbrung menyaksikan mayat dua orang yang berusaha menyelinap ke bangunan utama istana tersebut.
"Mereka orang-orang Muara Sesat!" seru salah seorang prajurit.
"Pasti mereka ingin menyelidiki kekuatan kita!" timpal Sindulaga.
"Tapi untung segera dibunuh oleh Gusti Pangeran!" kata prajurit yang lain. Padahal Suto Sinting sendiri masih bertanya-tanya dalam hati, siapa yang membunuh penyusup kedua dengan sinar birunya tadi?
"Melihat keadaan korban tercabik-cabik mengerikan begitu, pasti orang yang membantuku mempunyai ilmu cukup tinggi. Kurasa orangnya sama dengan yang membelokkan arah senjata rahasia tadi. Hmmm... siapa orangnya? Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya." 
Kemudian di depan sang Ratu, Suto berseru kepada para prajurit.
"Siapa tadi yang membantuku dalam menghadapi dua penyusup dari Muara Sesat itu?!"
Semua prajurit diam. Tak satu pun ada yang mengaku telah membantu Suto. Pendekar Mabuk segera berseru kembali.
"Siapa yang telah selamatkan nyawaku tadi?! Mengakulah! Aku akan memberinya hadiah yang menarik!" Tapi sampai ditunggu beberapa saat, ternyata tak ada yang tampil dan mengaku sebagai orang yang telah selamatkan nyawa Suto. Padahal sang Ratu pun telah berkata, "Siapa yang telah berjasa selamatkan nyawa suamiku, akan kuangkat sebagai pengawal pribadiku!" Tetap saja tawaran itu tak ada yang mau menyahutnya. Suto jadi heran tiada habisnya.

*
* *

≠ 8 ≠

SIANGNYA hal itu dibicarakan lagi. Tetap tak ada yang mengaku siapa orang yang menyelamatkan nyawa Suto. Percakapan lebih menjurus kepada kedua penyusup dari Muara Sesat itu. Suto menanyakan kepada Ratu Dewi Kasmaran tentang perselisihan pihaknya dengan Muara Sesat.
"Muara Sesat ingin kuasai Pulau Selintang ini. Pawang Teluh mengancam akan hancurkan negeri kita jika dalam waktu satu purnama kita tidak menyerahkannya secara baik-baik."
"Siapa Pawang Teluh itu?"
"Apakah kau lupa juga bahwa Pawang Teluh adalah Penguasa Muara Sesat?"
"Aku memang tak pernah kenal nama itu!" jawab Pendekar Mabuk agak dongkol karena masih dianggap suami sang Ratu.
"Sekarang sudah lewat batas waktu yang ditentukan. Agaknya mereka masih mencari kesempatan baik untuk menyerang. Kita pun mempunyai waktu untuk mencari kesempatan baik untuk bertahan. Beberapa waktu yang lalu, Pawang Teluh kirim utusan pada kita. Kau dan aku yang hadapi utusan itu."
"Aku tak ingat. Teruskan ceritamu!" tegas Suto.
"Melalui utusan itu, Pawang Teluh mengajak adu jago dengan kita. Taruhannya negeri ini. Jika jago kita menang, negeri ini tak akan diusik olehnya. Tapi jika jago kita dikalahkan oleh jagonya, maka kita harus rela serahkan negeri ini ke tangannya."
"Dasar otak penjudi!" geram Suto. "Lalu, kau sudah memilih ayam jago yang tahan bantingan?"
"Belum," jawab Ratu Dewi Kasmaran dengan polos, "Itulah yang kucemaskan. Sementara itu, ada kabar dari mata-mata yang kita tugaskan menyusup ke Muara Sesat, bahwa Pawang Teluh sudah memperoleh jago yang bernama Malaikat Jagal."
"Hmmm... memberi nama ayam saja diangker-angkerkan. Biar menyeramkan, ya?"
"Entah, itu urusan si Pawang Teluh. Yang penting bagi kita...."
Tiba-tiba seorang prajurit berkuda menerobos masuk sampai kudanya naik ke serambi paseban. Kemunculan prajurit itu mengejutkan Suto dan Dewi Kasmaran.
"Turun kau!" bentak Ratu Dewi Kasmaran dengan marah.
"Ampun, Gusti Ratu... ampunilah kelancangan saya ini, karena keadaan sangat menegangkan!" ujar si prajurit.
"Apanya yang tegang?" tanya Pendekar Mabuk, sang Ratu melirik ketus, Suto segera sadar bahwa pertanyaannya bisa diartikan tak senonoh bagi yang berotak ngeres. Tapi ia berlagak acuh tak acuh dan tetap tenang.
"Apa yang ingin kau sampaikan padaku sehingga kau menunggang kuda sampai naik ke serambi paseban? Kau pikir paseban ini arena pacuan kuda?!"
"Ampun, Gusti Ratu... hamba baru saja dari pantai dan melihat orang-orang Muara Sesat mulai mendarat. Pawang Teluh sendiri yang memimpinnya. Mereka membawa seorang jago dari Pegunungan Tibet yang bernama Malaikat Jagal."
"Celaka!" gumam Ratu Dewi Kasmaran dengan memandang ke arah Suto Sinting. Wajah sang Ratu tampak tegang. "Pawang Teluh sudah menantang dan membawa jagonya...."
"Ooo... jadi jagonya itu manusia juga? Bukan ayam jago?"
"Begitulah. Sedangkan pihak kita belum punya jago yang bisa diandalkan. Jika kita tidak mengajukan jago, maka kita dianggap kalah dan negeri ini beserta isinya akan menjadi milik si Pawang Teluh."
Suto Sinting tarik napas dengan memandang ke arah jauh. Rupanya ia berpikir dan mempertimbangkan rasa. Ia melihat sang Ratu tampak cemas sekali, ia dapat membayangkan apa jadinya jika sang Ratu berada di pihak yang kalah. Menyedihkan sekali.
Sementara itu sang Ratu berkata kepada si prajurit, "Hei, cepat kau beritahukan kepada Sindulaga untuk bersiap siaga!"
"Daulat, Gusti Ratu...."
"Dan bawa kudamu itu. Aduuuh...! Lihat, kudamu buang kotoran di sini! Celaka tujuh belas kau ini, Sangubion!" bentak sang Ratu dengan jengkelnya melihat kuda itu justru buang kotoran di lantai serambi paseban.
Suto dan Dewi Kasmaran terpaksa pindah tempat perundingan.
"Dewi Kasmaran," ujar Suto Sinting. "Sekarang aku punya tawaran khusus untukmu. Bagaimana jika aku yang maju sebagai jagomu?"
"Jangan! Aku tidak ingin kau mati di tangan mereka. Sebab Malaikat Jagal bukan orang berilmu rendah, Kakang Ranggawita!"
"Kalau begitu kau rela menyerahkan negeri ini ke tangan si Pawang Teluh?"
Ratu Dewi Kasmaran mendesah resah. "Aahh... itulah sulitnya bagi kita, Kakang."
"Aku akan tampil sebagai jago dari Pulau Selintang ini. Jangan khawatir, aku tak akan mati. Paling-paling remuk dalam."
Ratu Dewi Kasmaran mendesah lagi, berpikir sejenak, akhirnya berkata kepada Suto dengan nada pasrah.
"Terserah kau saja, Kakang."
"Tapi aku punya aturan main sendiri denganmu. Kalau aku menang, kau harus mengakuiku sebagai Pendekar Mabuk dan aku tidak berhak menjadi suamimu. Tapi kalau aku kalah, kau boleh menganggapku Pangeran Ranggawita dan aku menjadi suamimu."
Ratu Dewi Kasmaran hanya memandangi Suto dengan mata tak berkedip. Suto menganggap pandangan mata itu sebagai ganti pertanyaan setuju bagi sang Ratu.
"Di mana aku harus bertarung dengan jagonya si Pawang Teluh itu?"
"Di... di Bukit Tawur!" jawab Dewi Kasmaran dengan pelan bernada sedih.
"Kuminta Congor mengantarku ke sana!"
"Congor...?!" sang Ratu menampakkan sikap keberatannya. Tapi akhirnya perempuan itu mengalah juga, ia bergegas pergi ke bangsal pengadilan. Sementara itu, Suto Sinting bergegas menemui Sindulaga yang sedang mempersiapkan para prajurit bersenjata iengkap.
"Sindulaga, aku butuh seekor kuda untuk kupakai ke Bukit Tawur!"
"Baik, Gusti. Akan segera hamba siapkan!"
"Aku juga butuh tiga prajurit sebagai wakil sang Ratu menghadiri pertarungan nanti."
"Hamba sendiri siap mendampingi Gusti Pangeran. Hamba akan pilih dua orang lain!" kata Sindulaga dengan tegas dan penuh keberanian.
Pendekar Mabuk tersenyum melihat Congor berlari menghampirinya.
"Saya telah bebas, Gusti! Maaf, waktu itu saya tak bisa berteriak karena mulut saya disekap oleh para prajurit."
"Lupakan soal itu. Yang penting kau sekarang ikut aku."
"Ke mana, Gusti?"
"Adu jago!"
"Kita tak punya ayam jago yang layak untuk diadu, Gusti!"
"Aku yang menjadi ayamnya!" sahut Suto. "Antar aku ke Bukit Tawur, Cong!"
"Siap, Gusti!" Congor pun segera melompat dan hinggap di pelana kuda di belakang Suto. Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi melihat Congor melompat dengan lincah dan sepertinya sedikit menggunakan ilmu peringan tubuh. Hal itu segera dilupakan, Suto pun segera berangkat ke Bukit Tawur. Dua prajurit mengikuti dari belakang. Satu prajurit ada di depan sebagai petunjuk jalan. Prajurit yang ada di depan adalah Sindulaga.
Rupanya orang-orang Muara Sesat sudah tiba di Bukit Tawur lebih dulu. Mereka berdiri membentuk barisan memanjang. Seorang lelaki kurus bermata cekung dengan wajah sadis berada di punggung kuda. Lelaki yang memakai jubah merah dan berikat kepala lempengan logam kuning berbentuk ular itu tak lain adalah si Pawang Teluh; Penguasa Muara Sesat. Sedangkan lelaki tegap berompi besar warna hitam dengan kepala gundul dan mata kecil itu tak lain adalah si Malaikat Jagal dari Pegunungan Tibet, ia bersenjata pedang besar yang mempunyai gelang-gelang di seberang sisi tajamnya.
"Hati-hati, Gusti! Malaikat Jagal punya ilmu 'Iblis Tiga Rupa', pasti dia akan pergunakan jurus itu!" bisik Congor.
Suto mau menjawab, tapi niatnya diurungkan karena ia melihat rombongan Ratu Dewi Kasmaran datang secara berbondong-bondong. Padahal Suto sudah melarang sang Ratu ikut hadir, tapi agaknya sang Ratu tak bisa biarkan 'jagonya' tarung sendiri tanpa pendukung yang dapat membakar semangatnya.
Kini mereka terbagi dalam dua kelompok. Orang-orang Muara Sesat berada di sisi barat, dan orang-orang Pulau Selintang di sisi timur. Dari sebelah barat terdengar suara Pawang Teluh berseru kepada Ratu Dewi Kasmaran.
"Dewi...! Mana jagomu! Suruh dia maju dan biar dicabik-cabik oleh jagoku!"
Wuuutt...! Malaikat Jagal melompat dari punggung kuda, ia tampil dengan gagah berani walau kepalanya gundul tapi berkumis lebat hingga melengkung ke bawah. Pedang besar siap di tangan kanannya, ia berdiri tegak di pertengahan jarak.
Pendekar Mabuk menenggak tuaknya tiga teguk. Kemudian ia turun dari atas kuda. Kakinya sempat terpeleset sehingga Congor segera menahan pinggang Suto agar tak sampai jatuh.
"Cong, doakan aku menang, ya?"
"Pasti, Gusti! Sebab jika Gusti Pangeran menang, maka Gusti Ratu akan mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Kita bisa bersenang-senang, Gusti!"
Pendekar Mabuk menepuk-nepuk punggung Congor, bocah cerdas itu menepuk-nepuk pantat Suto karena tak bisa mencapai ke punggung. Setelah itu, Suto Sinting pun mulai melangkah ke pertengahan jarak. Langkahnya sudah mulai limbung ke sana-sini seperti orang mabuk.
Pawang Teluh tertawa. "Hua, ha, ha, ha, ha...! Jago penyakitan begitu kau ajukan di arena ini, Dewi?! Apa tak ada yang lebih sekarat lagi dari yang ini?!"
Suto berseru, "Yang penting asyik-asyik saja, Wang! He, he, he, he...!" ia menenggak tuaknya lagi.
"Malaikat Jagal, serang dia sekarang juga!"
"Heaaaahh...!"
Orang tinggi besar berkepala gundul itu melakukan lompatan beberapa kali dan menerjang Suto Sinting dengan ganasnya. Wuuusss...! Suto Sinting menggeloyor bagai mau jatuh. Akibatnya terjangan itu tidak mengenai selembar pun rambut Suto.
Malaikat Jagal menyabetkan pedang lebarnya, wuuung...! Suto Sinting menangkisnya dengan bumbung tuak disangga dua tangan. Trangng...! Prraakk...! Pedang besar itu hancur menjadi kepingan yang jumlahnya lebih dari sepuluh keping. Kejadian itu membuat para pendukung Malaikat Jagal membelalakkan mata dan bergumam cemas. "Uuuhh...!"
Sementara di pihak Ratu Dewi Kasmaran bersorak girang.
"Horeee...!"
Tetapi Suto Sinting yang ikut-ikutan angkat satu tangan dan bersorak 'hore' itu, tiba-tiba terlempar tinggi setelah kaki Malaikat Jagal menendangnya dalam satu tendangan berputar cepat. Bet, duuhk...!
Weeess...!
Pihak dari Muara Sesat bersorak, "Horeee...!" Sedangkan pihak dari Pulau Selintang diam membisu penuh kecemasan.
Suto Sinting jatuh terbanting dengan menyedihkan. Malaikat Jagal segera melompat dan menginjak tubuh Suto yang tengkurap itu. Blukk...!
"Heeegh...!" Suto Sinting mendelik, tubuhnya terasa digencet oleh gunung anakan. Ia nyaris tak bisa bernapas. Untung tangannya masih menggenggam tali bumbung. Tali itu disabetkan dan bumbung tersebut menghantam tulang kering si Malaikat Jagal. Prraaakkk...!
"Aaaow...!" Malaikat Jagal melompat ke belakang sambil pegangi kakinya yang terasa remuk itu.
Pendekar Mabuk segera bangkit, bukan langsung menyerang melainkan langsung menenggak tuaknya. Glek, glek, glek...! Selesai menenggak tuak, ia lakukan satu lompatan berputar cepat. Werrsss...!
Plok, plok, plok, plok, buuueehkk...!
Tendangan beruntun itu kenai wajah Malaikat Jagal dengan telak sekali. Dan yang lebih telak adalah tendangan yang mengenai dada Malaikat Jagal. Tendangan itu membuat Malaikat Jagal terlempar delapan langkah jauhnya dan jatuh berdebum seperti nangka busuk. Bluuukk...!
"Horeee...!" Pihak sang Ratu bersorak kegirangan. Tapi suara mereka segera hilang setelah Malaikat Jagal bangkit dan tiba-tiba menjadi tiga sosok kembar Malaikat Jagal.
"Gawat...!" gumam sang Ratu tampak tegang sekali. Suto Sinting hanya tersenyum melihat Malaikat Jagal menjadi tiga sosok kembar yang saling menyebar ke kanan kiri, yang satu tetap di tengah.
"O, jadi ini yang dikatakan sahabatku tadi sebagai jurus 'Iblis Tiga Rupa'?"
"Maju kau, Bangsat!" sentak Malaikat Jagal yang sebelah kanan.
Suto Sinting segera menggunakan jurus 'Sapta Tingal'-nya. Dalam sekejap, sosok tubuhnya berasap, lalu dari gumpalan asap itu keluar sosok tubuh Suto Sinting dalam kembar tujuh rupa.
"Haaah...?!" para penonton terperangah tegang dan kagum. Malaikat Jagal sendiri juga terpengarah melihat lawannya bisa memecah diri menjadi tujuh manusia kembar. Sedangkan Pawang Teluh hanya bisa menjambak rambutnya sendiri dengan jengkel karena jagonya jelas kalah ilmu dengan jagonya Dewi Kasmaran.
"Heaaat...!" suara itu terlontar dari mulut ketujuh Pendekar Mabuk. Kini setiap dua orang menyerang satu Malaikat Jagal, sedangkan Suto Sinting yang asli diam di tempat, bahkan sempat meneguk tuaknya.
"Heeaaah...!"
Prak, blaarrr...! Bleegaarr...!
Blaammm...! Tiga Malaikat Jagal akhirnya hancur semua. Setiap dua sosok Pendekar Mabuk melepaskan pukulan berbahayanya ke arah satu Malaikat Jagal. Maka dalam beberapa kejap saja, ketiga Malaikat Jagal itu lenyap, tinggal satu yang raganya tercecer di sana-sini. Sementara itu, ketujuh Pendekar Mabuk itu melesat masuk ke raga Suto Sinting, hingga kini tinggal satu Pendekar Mabuk yang asli.
"Horeee...! Hidup Pangeran! Hidup Pangeran...!" pihak sang Ratu bersorak-sorai dengan girang-gemirang. Sementara di pihak Pawang Teluh tampak murung dan lesu.
"Jahanam busuk kau, hiaaahh...!" Pawang Teluh lepaskan pukulan bersinar merah besar yang melesat ke arah Dewi Kasmaran. Melihat keadaan berbahaya itu, Pendekar Mabuk melesat dengan cepat.
Zlaappp...! Tahu-tahu sudah berada di depan kudanya Ratu Dewi Kasmaran. Sinar merah itu mendekatinya. Dan Suto melepaskan jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' yang berupa sinar hijau melesat dari tangan Suto.
Claappp...!
Sinar hijau mampu menembus sinar merah. Blegaarrr...! Ledakan terjadi saat penembusan sinar itu, namun sinar hijau masih tetap menyala dan melesat hingga menghantam dada si Pawang Teluh. Jluubss...! Blaarr...!
Pawang Teluh terlempar dari atas kudanya, ia jatuh terkapar, dan dalam beberapa waktu terkena angin tubuhnya yang memar sudah menjadi busuk dan tak bernyawa lagi.
Pihak sang Ratu semakin bersorak kegirangan. Mereka mengelu-elukan Pangeran Ranggawita, sementara itu orang-orang Muara Sesat pulang dengan saling berlari pontang-panting ketakutan diserang pihak Pulau Selintang.
"Suto... terima kasih! Terima kasih kau telah selamatkan negeriku!" ujar Ratu Dewi Kasmaran sambil berlari dan memeluk Suto tanpa ragu-ragu lagi.
"Hei, kau memanggilku Suto?! Kau sudah mengakui diriku sebagai Suto Sinting; Pendekar Mabuk itu?"
"Kau memang Suto Sinting, si Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak!" kata Ratu Dewi Kasmaran dengan tegas sambil tersenyum ceria.
"Tapi... tapi mengapa kau memanggilku Pangeran Ranggawita?"
"Kubuat suasana menjadi seperti itu biar kau merasa berhak melakukan pembelaan terhadap negeriku. Setiap kepala desa kusuruh memberi penjelasan kepada warga desanya bahwa nanti akan datang seorang pemuda yang bernama Pangeran Ranggawita alias si Pendekar Bambu Sakti. Semua orang di negeri ini kusuruh memandangmu sebagai Pangeran Ranggawita, suamiku! Dan mereka juga kusuruh menghormatimu seperti menghormati seorang pangeran! Semua itu demi menyelamatkan negeri dan pulau ini dari keserakahan si Pawang Teluh."
"Mengapa harus memakai cara seperti itu?"
"Karena aku yakin kau tak akan sudi membantuku jika kau tahu siapa diriku sebenarnya."
"Sekarang aku sudah boleh mengetahui siapa dirimu sebenarnya?"
"Aku adalah keturunan dari musuhmu; seorang perempuan yang bernama Rangis Puji yang kemudian dikenal dengan nama Ratu Danyang Demit."
"Ratu Danyang Demit?" Suto Sinting terkejut.
"Aku adalah anak Ratu Danyang Demit. Tapi aku sendiri tak setuju dengan cara hidup ibuku. Aku segera mengasingkan diri ke Pulau Selintang ini dan membentuk kekuatan sendiri. Aku pernah mendengar kabar bahwa ibuku dibunuh olehmu, aku tak bias mengambil sikap. Bagiku serba salah."
"Hmmm..., ya, ya... aku masih ingat peristiwa itu," kata Suto sambil membayangkan peristiwa pertarungan dengan Ratu Danyang Demit, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gairah Sang Ratu").
"Kuakui otakmu cerdas sekali sehingga kau punya siasat seperti ini, Dewi Kasmaran "
"Semua ini berkat kecerdasan penasihat istana ku."
"Siapa penasihat istanamu itu?"
"Dia...!" sambil Dewi Kasmaran menuding Congor. Bocah itu hanya nyengir ketika Pendekar Mabuk membelalakkan matanya.
"Pantas kau sering menasihatiku. Rupanya kau bocah ajaib yang mempunyai otak ajaib juga, Congor!" Manis Madu tampil dan perdengarkan suaranya dengan senyum ceria.
"Aku pun mengucapkan terima kasih padamu, Suto. Dan... maafkan segala sikapku selama bersamamu."
"Kkau... kau... kau bisa ngomong?!" Suto Sinting mendelik kaget. Ratu Dewi Kasmaran menyahut, "Manis Madu adalah panglimaku. Dia yang membawamu dari tanah Jawa kemari dalam keadaan dirimu dibius dengan tuak saat berada dalam kedai."
"Kau ingat minum tuak bersama seorang perempuan di sebuah kedai?" tanya Manis Madu.
"Iya... benar! Aku ingat, waktu itu aku habis selesaikan masalah dengan Ratu Danyang Demit."
"Itulah aku, Suto. Kutaruh racun yang membuatmu tak sadar di dalam poci tuakmu. Dan ketika kau tak sadar, aku membawamu ke Gua Lacak Silang!"
"Gila! Benar-benar siasat gila!" geram Suto antara jengkel dan geli.
"Lalu, siapa orang yang membuatku pingsan saat bersamamu di rumah tua itu?"
"Orang Muara Sesat. Dia kakaknya Cindra Mata yang kau tewaskan pada malam itu bersama Congor!" jawab Manis Madu.
"Ketika kau pingsan, orang itu kuhabisi nyawanya. Lalu kau kubawa ke istana."
"Pantas...!" sambil Suto manggut- manggut. "Dan yang membantuku menyerang dua penyusup tadi malam itu siapa? Kau juga?"
"Aku, Kang...!" jawab Congor sambil nyengir, Suto Sinting hanya bisa memandang terbengong tanpa kata. Kali ini ia benar-benar terkecoh dan dibikin bodoh oleh orang satu pulau.
"Aku pusing. Aku ingin istirahat di istanamu saja!" kata Suto untuk menutup malu, namun ia toh tetap ditertawakan oleh mereka. Tawa yang penuh persahabatan.

≠ SELESAI ≠



INDEX SUTO SINTING
68.Gairah Sang Ratu --oo0oo-- 70.Hilangnya Kitab Pusaka


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.