Life is journey not a destinantion ...

Hilangnya Kitab Pusaka

INDEX SUTO SINTING
69.Siasat Dewi Kasmaran --oo0oo-- 71.Perempuan Jahanam

SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi


:: ① ::

HEMBUSAN angin yang semilir dan tempat yang teduh merupakan obat tidur yang cukup ampuh. Buktinya, .baru beberapa saat Pendekar Mabuk duduk di bawah pohon rindang matanya sudah terpejam dan hawa kantuk menyerangnya begitu kuat. Hembusan angin semilir semakin membius kesadaran Suto. Tanpa merasa malu dan sungkan, akhirnya sl pemuda tampan berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu tertidur nyenyak sambil memeluk bambu bumbung tuak.
Murid si Giia Tuak yang akrab dipanggii Suto Sinting itu sama sekali tak menyadari bahwa di baJik kerimbunan semak di depan terdapat sepasang mata yang memperhatikannya. Sepasang mata itu datang ke semak-semak tanpa disengaja. Artinya, bukan bermaksud membuntuti Suto. Kebetuian saja ia lewat tepian hutan tersebut dan meiihat ada seorang pemuda duduk di bawah pohon dengan setengah merebah. Ketika diperhatikan, ternyata pemuda itu sedang tertidur.
Sepasang mata itu ingin meiihat wajah si pemuda lebih dekat iagi. Oieh sebab itu ia mengendap-endap dan sampailah di baiik semak-semak, laiu mengIntip di sana.
"Ganteng sekail dia," pikir si pemilik sepasang mata itu. "Wah, hidungnya bangir, bibirnya indah, badannya kekar, dan tampak gagah. Oh, mengagumkan sekaii pemuda itu. Hatiku tiba-tiba berdesir-desir seteiah meiihat dari sini. Ck, ck, ck... dia benar-benar seperti Arjuna beium cuci muka. Hebat. Belum cuci muka saja sudah setampan itu, apaiagi kaiau sudah cuci muka, aku yakin dia punya wajah akan semakin mengkiiap, mirip keiereng raksasa. Hi, hi, hi....”
Kaiau ditilik dari kecamuk hatinya, dapat disimpulkan bahwa si pemilik sepasang mata itu pasti seorang perempuan. Sebab wajah Suto memang sering membuat kaum wanita bicara sendiri mengungkapkan rasa kagumnya. Maka tak heran jika banyak wanita menjadi giia karena teriaiu sering mengkha-yaikan ketampanan dan kegagahan Suto.
Pemuda itu memang sering disangka keturunan Arjuna, tokoh dunia pewayangan yang paiing ganteng di antara wayang-wayang. Waiaupun hanya mengenakan pakaian sederhana; baju tanpa iengan warna cokiat dan ceiana putih kusam diiiiit ikat pinggang kain merah, Suto tampak memancarkan daya tarik yang mempunyai daya getar dapat meiumpuh-kan wanita.
Kembaii pada wanita pemiiik sepasang mata itu, rasa Ingin memandang Suto iebih jelas iagi membuatnya keiuar dari baiik semak-semak. Langkahnya sangat pelan, karena takut timbuikan suara yang dapat membangunkan tidur si tampan itu. Selangkah demi selangkah ia dekati Suto seperti pencuri mau nyoiong ayam.
Ternyata la adaiah seorang gadis yang berusia sekitar dua puiuh tiga tahun, ia memiliki wajah mungil yang cantik menggemaskan. Bibirnya juga mu* ngii dan bikin setiap ieiaki geregetan ingin menggigitnya. Matanya bundar bening dengan bulu mata lebat dan lentik. Hidungnya kecii tapi mancung, enak dipencet sambil menggeram girang, la mempunyai rambut tergolong pendek dengan potongan shaggy. Manis sekali.
Gadis itu mengenakan rompi panjang warna merah tua. Rompinya itu diikat dengan ikat pinggang sabuk hitam. Rompi itu tidak tertutup semua pada bagian depannya, tapi tampak terbuka sebagian, membuat bentuk gumpaian dadanya tampak mengintip separoh bagian. Gumpaian dadanya itu keiihst-an bengkak kencang dan sepertinya jarang diremas oleh seorang ieiaki. Masih muius dan bersih dari kuman-kuman tangan ieiaki. Entah benar begitu atau tidak, yang jeias dada itu sangat menggiurkan lawan jenisnya, ia tidak memakai peiapis iain kecuaii hanya rompi merahnya itu.
Ceiana yang dikenakan berwarna merah kehitam-hitaman, iebih tua dari warna rompinya. Ceiana itu ketat dengan tubuh, tampak ientur seperti karet, sehingga bentuk lekuk-lekuk pinggang dan pinggulnya terlihat dengan jeias. Pingguinya itu juga kencang, seakan beium pernah diremas atau ditabok oieh seorang ieiaki, kecuali bapaknya saat menghajarnya waktu kecii.
Sebuah pedang bersarung perak terseiip di sabuk hitamnya. Pedang itu mempunyai gagang ber-bentuk ukiran kepaia burung, entah burung apa. Sepertinya burung onta, tapi bisa saja dikatakan burung merak atau yang iainnya. Yang jeias pedang itu bukan pedang murahan yang dijual di pasar dengan harga murah.
Diiihat dari penampiiannya, gadis itu tampak sebagai gadis yang lincah dan konyoi. la mengenakan anting satu, yaitu sebeiah kiri. Kalungnya terbuat dari taii hitam dengan bandui iogam putih perak berbentuk tengkorak merokok. Konyoi, kan?
Gadis itu tersenyum centii ketika sudah berada di depan Suto. Muianya ia hanya berdiri sambii ber-toiak pinggang sebelah. Sebentar-sebentar berdecak iirih sambii geieng-geieng kepaia tanda sangat kagum meiihat ketampanan Suto. taiu ia melangkah peian-peian mengelilingi Suto sambii memperhatikan penuh rasa terpesona.
"Tubuhnya kekar sekail, tapi ototnya tidak sampai bertonjol-tonjoi seperti binaragawan," ucap si gadis daiam hati sambil kembaii ke depan Suto. “Biar tanpa kumis, tapi pemuda ini memancarkan daya pikat yang luar biasa. Hmmm... jangan-jangan dia pakai susuk untuk memikat iawan jenisnya? Hmmm... mungkin susuk yang dipakai di bibirnya bukan terbuat dasi emas atau intan beriiasi, tapi... tapi sepertinya dia memakai susuk dari iinggis. Habis, daya tarik pada bibirnya kuat sekali, bikin aku seialu deg-degan jika memandang bibirnya.”
Gadis itu menengok ke kanan-kiri sebentar, la takut diiihat orang iain. Seteiah ciingak-ciinguk sesaat dan merasa aman, si gadis pun berkata daiam batinnya.
"Akan kubuat tunduk dia padakul Kapan lagi bisa gunakan kesempatan seperti ini kaiau tidak sekarang. Hi, hi, hi...."
Sang gadis segera meiuruskan tangan kanannya ke atas, bagai ingin menggapai langit. Tangan kirinya tegak di depan dada. Matanya terpejam sebentar, kemudian tangan kanan yang lurus ke iangit itu bergerak turun peian-peian sambii menggenggam, seakan sedang menarik sesuatu dari iangit.
Setelah tangan yang menggenggam itu sampai di dada, tangan tersebut segera menyentak ke depan dengan jari-jari terbuka.
Wuuut, wuuuussss...!
i eiapak tangan itu semburkan asap yang memancarkan cahaya hijau indah. Asap itu menerpa wajah Suto Sinting. Yang diterpa tetap tertidur sehingga asap hijau Itu terhirup ke dalam pernapasannya.
'Beres sudah...," ujar si gadis daiam hatinya. Senyumnya mengembang sebagai tanda hatinya diliputi rasa senang dan iega.
Suto Sinting tak tahu kaiau dirinya teiah dibius oieh sebuah ilmu tangka yang dinamakan ’Aji Kiim-pang Kiimpung’, yang dapat menundukkan jiwa seseorang. Asap itu mengandung racun halus yang membuat korbannya merasa takut dan tunduk terhadap si pemiiik ilmu ’Aji Kiimpang Kiimpung’ itu.
Dengan konyolnya, si gadis membangunkan tidur Suto memakai kakinya. Kaki Suto ditendang-tendang peian sambii suaranya berlagak gaiak.
"Hei, bangun, bangun...!"
Pendekar Mabuk menggeragap, ia cepat-cepat bangun dan memeiuk bumbung tuaknya. Matanya terbeiaiak ketika meiihat seorang gadis di depannya.
“Hai.-I" sapa gadis itu kepada Suto dengan senyum sinis, ia sok beriagak angkuh, karena menurutnya gadis yang angkuh tidak akan diniiai sebagai gadis murahan.
“Giia! Cantik sekaii gadis ini?" gumam Suto dalam hatinya. "Jantungku berdetak-detak begitu memandangnya. Dia cantik tapi seperti memancarkan kewibawaan yang tinggi, sehingga aku merasa takut berhadapan dengannya. Oh, mungkinkah dia bidadari yang turun dari kayangan? Kharismanya begitu tinggi, aku jadi tak enak hati bersikap tak sopan di depannya. Aduh, ceiakal Kenapa perasaanku jadi begini, ya? Padahai kaiau dipikir-pikir dia hanyaiah seorang gadis biasa yang tidak punya tanda-tanda sebagai dewa wanita aiias dewi yang patut dihormati?! Jangan-jangan aku sekarang sedang di aiam mimpi?"
Gadis itu segera iontarkan suara yang sedikit membentak.
"Apa kerjamu di sini, hah?!” sambil bertolak pinggang dan mata diiebarkan.
"Ak... aku... aku sedang istirahat...."
"istirahat apa tidur?!" bentak si gadis.
"Is... istirahat sambii... sambii tidur...."
"itu tidak boleh! Kaiau istirahat ya istirahat, kaiau tidur ya tidur. Tidak boieh istirahat sambii tidur. Mengerti?!”
"Mmme... meng... mengerti, Nona," jawab Suto dengan sedikit membungkuk penuh rasa hormat dan takut.
"Jangan panggii aku: Nona. Namaku bukan Nona, tapi Mega Jeiital Paham?!"
"Pah... pah... paha, eh... paham!" jawab Suto dengan gugup. Hatinya heran sekaii menyadari kegugupan dan sikap iunaknya yang seiarna ini tak pernah d'iakukan. Namun keheranan itu masih tetap disimpan daiam hati saja dan belum dibahas oieh batinnya.
"Siapa namaku tadi?i“ uji si gadis.
"Me... Meg... Meg...."
"Apa itu Meg-Meg...?! Ngomong yang betui!"
’ mmm... eeh... iya, anu... nama Nona... Mega... Mega Siivia, eh... Mega Jei.... Jeiek, eh.... Jeiital"
Kini batin Suto mengeiuh sedih.
"Ya, ampun... kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa aku segugup ini menghadapi gadis yang satu ini?l Kena kutuk siapa aku ini, sehingga terhadap seorang gadis bisa merasa serba takut dan tak bisa tenang seperti biasanya?i"
Waktu Suto hendak menenggaktuaknya, tiba-tiba Mega Jeiita membentak dengan tangan menuding tegas.
"Hei, jangan minum tuak!"
Suto hentikan gerakannya dengan rasa takut.
"Hmmm... eh... cuma sedikit kok."
'Tidak boiehl*
Tapi.... 1 '
"Kataku; tidak boiehi Kau dengar itu?l”
"iiy... isya... aku dengar...," jawab Suto dengan iemah, iaiu ia menutup bumj^ung tuaknya yang tak jadi diangkat ke atas itu. Dengan wajah sedih, Pendekar Mabuk akhirnya menggantungkan bumbung tuak itu di pundaknya. Tangannya garuk-garuk ke-paia, merasa jengkei namun tak bisa diiampiaskan.
"Siapa namamu?"
"Namaku Suto Sinting aku ber...."
"Cukupi Tak perlu banyak-banyak!" potong Mega Jeiita. Suto Sinting jadi terbengong melihat keberanian seorang gadis cantik mungii yang memotong kata-katanya dengan tegas dan tampak sangat wibawa.
"Guruku saja berani kubantah, kenapa terhadap gadis ini aku tak berani membantahnya?!" pikir Suto Sinting masih diilputi oieh keheranan yang amat besar.
"Dengar kataku, Suto...."
"Baik, Mega...," jawab Suto sambii merapatkan kaki dan sedikit membungkuk, kedua tangannya sa-iing bergosokaridi depan perutnya.
Muiai sekaran 9 kau menjadi budakku. Menger-
"Mengerti, Mega."
"Apa yang kuperintahkan padamu harus kau iakukan. Kaiau tidak, tahu sendiri akibatnya. Mengerti?"
"Mengerti, Mega Jeiita."
"Kau tidak boieh jauh-jauh dariku. Tugasmu adaiah meiayani keperiuanku dan meiindungiku. Jelas?"
"Jeias, Mega."
lanya namaku yang ada daiam hati dan otakmu. Hanya nama Mega Jeiita yang kau kenai dari se-iuruh penghuni bumi ini. Kau tak akan mengenai siapa pun kecuali nama Mega Jeiita! Ucapkan nama itu berkaii-kaii dalam hatimu. Paham?!"
"Paham, Mega."
Sekarang...," gadis itu muiai berpikiran nakai Waiau hatinya tertawa geii. ' Sekarang dekatlah kemari."
Perintah itu dikerjakan oieh Suto. ia mendekat dengan iangkah sopan.
“Ciumiah akui" perintah Mega Jeiita dengan suara agak peian tapi mempunyai nada membentak, uto Sinting menjadi ragu dan hanya memandang si gadis.
“Kenapa malah meiotot begitu?! Ayo, cium aku...!" sambii Mega Jeiita menyodorkan pipinya.
Suto Sinting merasa tak bisa menolak perintah itu. Rasa takut membuatnya terpaksa meiakukan apa yang diperintahkan Mega Jeiita.
Gadis itu diciumnya. Cup...l Tapi bukan dl pipi, melainkan di bibirnya yang kecii ranum dan menggemaskan itu. Bahkan Suto sempat meiumat bibir itu dengan gerakan iembut dan sangat hangat. Si gadis memejamkan mata dan tak bisa berbuat apa-apa ke-cuaii membalas iumatan bibir Suto dengan sedikit beringas.
Dengan peian sekaii akhirnya Suto Sinting me-iepaskan kecupan bibirnya. Terasa masih menem-pei bibir hangat Suto, membuat Mega Jeiita masih pejamkan mata dan menggerak-gerakkan iidahnya.
"Aku sudah menjauh, Mega," ucap Suto pelan, membuat gadis itu kaget dan segera membuka matanya.
"Kurang ajar!" bentaknya, iaiu meiayangkan tamparan ke wajah Suto. Plaaak...!
"Kau kusuruh mencium pipiku, kenapa kau kecup bibirku?!” gadis itu mendeiik galak.
"Maaf, aku tidak tahu kaiau kau menyuruhku mencium bagian pipi. Jadi...."
"Jangan aiasan! Ayo. ulangi iagi di bibir...."
Perintah itu pun akhirnya dipenuhi oieh Suto Sinting. Si gadis merasakan kenikmatan yang mendebarkan hati, sehingga tangannya akhirnya memeiuk tubuh Suto dan ia bekerja iebih giat dari Suto sendiri.
Sebuah uji coba teiah diiakukan oieh Mega Jeiita, dan ternyata memang berhasii. Segaia perintahnya dituruti oieh Suto dengan taat. Berarti ’Aji Klim-pang Kiimpung’ sudah berhasii tundukkan jiwa dan pikiran si pemuda tampan itu. Mega Jeiita menjadi sangat senang dan bangga terhadap kehebatan ilmunya, teriebih ia bangga terhadap apa yang didapatkannya hari itu, yakni seorang pemuda tampan, gagah perkasa, dan sangat menawan hati setiap wanita. Setidaknya Mega Jeiita tak merasa maiu jika berjaian bersama pemuda tampan itu.
Kalau saja tidak ada haiangan yang datang, mungkin Mega Jeliia masih betah beradu bibir dan saiing melumat dengan Suto Sinting. Sayang sekaii haiangan itu segera datang daiam bentuk suara cekikikan yang memanjang seperti tawa kuntiianak sedang bermesra-mesraan.
"Sedot terus, Megaaa...! Hik, hlk, hik, hik...."
Mendengar suara itu. Mega Jeiita segera tarik diri dan lepaskan peiukan Suto. Mereka berdua sama-sama memandang ke arah kanan, dan ternyata di atas sebuah pohon teiah berdiri seorang perempuan tua berjubah abu-abu dengan rambut diguiung asai-asaian.
“Siapa nenek itu. Mega?" tanya Suto Sinting yang merasa dongkoi karena kemesraannya di-ganggu oieh tawa si nenek yang diperkirakan berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Mega Jeiita beium mau jelaskan siapa nenek berjubah abu-abu bertongkat hitam dengan kepaia tongkat berbentuk tengkorak monyet itu. Mega Jeiita segera berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang. Laju, suaranya yang iantang itu diion-tarkan untuk menggertak nenek itu.
"Kuntiianak peotl Turun kau dan kita seiesaikan urusan kita!"
"Hik, hik, hik... tantanganmu sering bikin aku ingin buang gas saja, Mega Jeiital Kau pikir dapat dengan mudah mengalahkan diriku? Oh, gadis to-ioi... aiangkah sia-sianya nyawamu jika tetap ingin melawanku, Nakl"
"Cerewet!" geram Mega Jeiita. ia berkata kepada Suto, “Kau berani meiawannya, Suto?"
“Berani!" jawab Suto tegas seakan hanya mengikuti kehendak si gadis dengan rasa patuhnya.
Nenek di atas pohon itu tertawa iagi.
"Hik, hik, hik, hik.... Anak Muda yang tampan, jangan mau diperbudak cieh gadis toioi itul Kau pasti sudah terkena ’Aji Kiimpang Klimpung’-nya, sehingga kau menurut saja dengan perintahnya. Sadariah, bahwa kau punya kepribadian sendiri dan pendirian yang tidak sama dengan orang iain. Jangan mau diperintah dan diperbudak oieh gadis itu. Bertahaniah agar harga dirimu tidak jatuh diinjak-injak oieh gadis itu meialui perintahnyal”
"Serang dia, Sutoi"
Tanpa banyak berpikir iagi, Suto Sinting segera lakukan satu lompatan yang mempunyai kecepatan dan keringanan tubuh meiebihi angin. Jurus 'Gerak Siluman’ yang kecepatannya meiebihi anak panah teriepas dari busur itu digunakan untuk mencapai ketin'ggian sang nenek berjubah abu-abu itu.
Ziasap...i Traaak...l Bruuuss .,.1
Bumbung tuak dihantamkan tapi ditangkis oleh tongkat si nenek. Tangkisan itu menimbuikan cahaya merah sekejap. Kemudian tahu-tahu tubuh sang nenek terjungkal jatuh dari atas pohon akibat tendangan kaki Suto. Untung sang nenek cepat kuasai keseimbangan tubuhnya, sehingga ia dapat bersalto satu kaii dan mendaratkan kakinya ke bumi dengan sigap. Jleeg...!
Sementara itu, Suto Sinting sendiri berbalik arah seteiah menjejak pundak sang nenek tadi, ia juga bersaito mundur satu kaii, kemudian kakinya menapak di tanah persis di depan nenek tersebut. Mereka beradu pandang beberapa saat. Keduanya sama-sama siap menerima serangan lawan.
Mega Jeiita masih beium bisa mengatupkan mulutnya. ia terperanjat meiihat Suto Sinting bagaikan ienyap diteian bumi pada saat menggunakan jurus 'Gerak Siluman’. Kecepatan gerak itu yang membuat Mega Jeiita terbengong-bengong dicekam rasa kagum dan takjub.
"Tak kusangka ia mampu bergerak secepat itu," pikir Mega Jeiita. "Kusangka dia pemuda biasa yang punya iimu pas-pasan. Ternyata... dari meiihat gerakan cepatnya yang dapat membuat nenek peot itu terjungkai dari atas pohon, aku dapat memastikan bahwa Suto punya iimu yang cukup bisa diandaikan. Setidaknya ia punya iimu sejajar dengan iimu yang kumiiikil Tapi apakah dia bisa mengaiah-kan kekuatan Nyai Tawang Sangit?!"
Pandangan mata si gadis segera tertuju pada tongkat Nyai Tawang Sangit. Nenek berambut putih itu mengibaskan tongkatnya bagai ingin menghancurkan kepaia Suto Sinting. Tetapi dengan gerak menggeloyor seperti orang mabuk mau tumbang, Suto dapat hindari hantaman tongkat itu dan bahkan ketika badannya berputar baiik, tahu-tahu kakinya menyepak ke beiakang. Sebuah tendangan telak berhasii kenai perut Nyai Tawang Sangit.
Buuuhk...l
”Heeekkhh...i"
Nenek berjubah abu-abu itu terpentai ke beiakang dan jatuh terduduk daiam jarak enam langkah dari tempatnya semuia. Wajah nenek itu menjadi pucat karena menahan rasa sakit akibat tendangan bertenaga daiam dari Pendekar Mabuk. Namun agaknya ia bisa kuasai rasa sakit itu hingga daiam waktu singkat ia sudah bangkit kembaii dan iakukan serangan baiasan kepada Suto.
Sebuah pukuian jarak jauh tanpa sinar diiepas-kan oieh Nyai Tawang Sangit. Wuuut...l Karena gerakan tangannya yang menyodok ke depan sepertinya tanpa tenaga, maka Suto Sinting tidak begitu menghiraukan, ia bahkan tersenyum sinis pandangi si nenek. Tetapi tiba-tiba dadanya seperti dihantam memakai kayu baiok besar, yang membuat Suto megap-megap dan terpentai ke beiakang.
Uuuhhkk...r Suto Sinting akhirnya mengerang sambii menyeringai sakit, ia buru-buru membuka penutup bumbung dan nekat meneguktuak saktinya waiau hanya dua tegukan.
'Jangan sambii minum, Toioil Tumbangkan duiu Nyai Tawang Sangit itu, Toioir suara Mega Jeiita terdengar lantang dan jelas.
Suto Sinting segera bangkit karena tenaganya sudah puiih kembaii. Sejak ia meneguk tuak, rasa sakitnya berkurang dan keberaniannya terhadap ia-wan menjadi berkobar-kobar.
Maka dengan cepat Pendekar Mabuk menggerakkan bumbung tuak ke depan dadanya ketika Nyai Tawang Sangit meiepaskan pukuian cahaya merah iurus. Ciaaap...!
Deeb, wuuusss.,.!
Cahaya merah itu mengenai bumbung tuak. Bumbung itu tidak pecah, meiainkan justru memantulkan sinar merah tersebut menjadi kembaii ke arah pemliiknya daiam keadaan iebih besar dan iebih cepat dari asilnya.
"Ceiaka?i Maiah baiik ke sini?i" gumam Nyai awang Sangit dengan kebingungan, ia segera iakukan iompatan ke samping untuk hindari sinarnya sendiri. Tetapi baru saja meiompat, sinar merah itu teiah menghantam pohon di beiakangnya yang berada dalam jarak dekat.
Blegaaarr...!
Dentuman dahsyat terdengar menggema ke mana-mana. Pohon-pohon bergetar dan daun-daun berguguran. Gelombang ledakannya mempunyai daya sentak yang luar biasa, sehingga tubuli Nyai Tawang Sangit sendiri terlempar ke atas dan jatuh dengan punggung lebih dulu sampai di bumi.
Blaaak...!
"Aaoow...l" nenek itu memekik kesakitan.
“Hajar dia, Sutol Hajar dlal” perintah Mega Jelita, dan perintah itu segera dilakukan oleh Suto dengan taatnya.
Tapi sebelum Suto Sinting lepaskan pukulan mautnya, tiba-tib a Nyai Tawang Sangit lebih dulu lepaskan pukulan, dengan menyodokkan tongkatnya ke perut Suto.
Wuuut...l Sodokan Itu sangat cepat dan sukar dilihat oleh nvata manusia biasa. Sodokan itu tepat kenai ulu hati Suto, sehingga pemuda tampan Itu terlempar ke berlakang dan jatuh terkapar kembali.
Brruuk...!
"Uuuhk....r Suto Sinting mengerang kesakitan. Mega Jelit a menjadi cemas dan segera menolong Suto.
"Ban gun, Suto! Bangun...!"
Nyai Tawang Sangit segera serukan kata kepada kedua lawannya itu.
"Tunggu saatnya tiba. Aku memang akan bikin perhitungan tersendiri denganmu. Selamat tinggal sejenakl"
Weees...l Nyai Tawang Sangit pergi dengan begitu saja. Gerakannya pun termasuk cepat, sehingga dalam sekejap Nyai Tawang Sangit sudah lenyap dari tempat tersebut. Kini tingga! Suto yang menderita luka dalam akibat sodokan tongkat bertenaga racun Itu, dengan Mega Jelita yang merasa cemaskan jiwa Suto Sinting, la tak Ingin Pendekar Mabuk tewas dl tangan orang lain, la masih ingin menikmati keindahan yang dikagumi dl daiam diri sang Pendekar Mabuk Itu.
"Ak... aku butuh obat," ucap Suto.
Mega Jelita kebingungan. "Pengobatan macam apa yang kau Inginkan, Suto?!"
Kini Suto Sinting diam tak bergerak. Bukan karena Suto Sinting tewas, tapi karena Suto berusaha menahan rasa sakit di daiam ulu hatinya secara mati-matian.
Dapatkah s! gadis konyol; Mega Jelita itu, menyembuhkan dan mengembalikan kesehatan Suto Sinting?

*
* *

:: ② ::

SEKALIPUN Mega Jelita sudah salurkan hawa murninya ke tubuh Suto, tetapi agaknya Suto Sinting masih tetap menderita cukup parah. Wajahnya klan memucat dan tubuhnya dingin sekail. Mega Jelita menjadi cemas dan kebingungan sendiri.
"Oh, tidak...! Kau tidak boleh mat!,Sutol Kau belum mengenalku lebih lama, alangkah bodohnya jika sekarang kau mati, Sutol Bangkit... bangkit, Suto! Aduuuh... celaka, napasnya sudah hampir habis," Mega Jelita meraba hidung Suto dan hembusan napas yang dirasakan semakin melemah. Sebentar lagi akan hilang.
"Kulihat tadi dia menenggak tuak. Setelah itu, dia seperti orang tidak menderita sakit dan menyerang Nyai Tawang Sangit lagi. Hmmm... apakah kekuatannya memang ada d! tuak Ini?" sambi! Mega Jelita memandangi bumbung tuak yang klnl ada d! tangannya.
“Kalau memang begitu, akan kucoba menuangkan tuak ke dalam mulutnyal Siapa tahu bisa membuatnya sehat kembali....”
Mulut pemuda tampan itu ternganga sedikit.
Mega Jelita menuangkan tuak pelan-peian hingga air tuak dapat mengucur ke mulut Suto dan langsung masuk ke tenggorokan. Suto Sinting tersedak karena napasnya terganggu oleh kucuran tuak. Tap! Mega Jelita justru merasa senang melihat Suto tersedak, berarti ada tenaga yang keluar dari dalam tubuh pemuda itu. Maka, sekal! iagl tuak pun dituangkan ke mulut Suto. Kail Ini Suto menerimanya dengan tegukan pelan-pelan.
Mega Jelita tak tahu bahwa tuak Itu adalah tuak sakti yang mampu sembuhkan berbagai macam penyakit dan luka. Bahkan banyak racun yang dapat dilenyapkan oieh kekuatan sakti tuak dari bumbung tersebut.
Karenanya, tak heran jika dalam beberapa kejap saja, tenaga dan kesehatan Suto pulih kembali, la dapat bernapas dengan longgar dan mampu berdiri dengan tegak kembali, ia seperti tak pernah mengalami iuka apa pun, baik luka beracun maupun luka tak beracun. Suto sehat dan benar-benar sehat.
Tetapi pengaruh dari ’Ajl Kllmpang Klimpung’ belum bisa hilang. Agaknya 'Aji Kilmpang Klimpung’ tak bisa dilawan dengan kesaktian tuak tersebut, sehingga perasaan takut dan patuh terhadap Mega Jelita masih tertanam di jiwa Pendekar Mabuk.
Bahkan ketika Mega Jelita memanggilnya, Suto Sinting buru-buru lepaskan diri dari sebuah lamunan yang berkecamuk tentang keanehan dirinya Itu.
"Suto, rupanya kau mempunyai Ilmu yang lumayan tinggi ya?!"
"Hmmm... hmmm... tidak begitu tinggi kok. Masih tinggi Ilmu yang kau miliki, Mega."
"Ya, memang masih tlngg! Ilmuku. Tapi kulihat kau bisa membuat Nyai Tawang Sangit lari terbirit-birit itu sudah termasuk iSmu yang lumayan. Padahal Nyai Tawang Sangit jarang mau melarikan dlrl jika sudah masuk ke dalam pertarungan."
• Siapa Nyai Tawang Sangit Itu, Mega?"
"Dia musuhkul* jawab Mega Jeilta dengan nada ketus. "Aku bosan melawannya. Karena aku tahu, tak urung dia akan melarikan dlrl iagl dariku. Maka-nya kusuruh kau yang menghadapinya. T oh ternyata melawanmu saja dia tetap lari terbirit-birit."
Mega Jelita yang tadinya bicara sambil memandang ke arah lain, kini menatap Suto dan mendekatkan diri.
"Kapan saja jika kau ilhat Nyai Tawang Sangil muncul di dekatku, sikat habis nenek tua itul Mengerti?"
"Mengerti," sambil Suto mengangguk patuh.
"Jangan beri kesempatan padanya untuk mela¬rikan dlrl lagi. Lumpuhkan seketika itu juga. Paham?"
"Paham, Mega,” jawab Suto dengan mengangguk penuh hormat.
“Sebab, Nyai Tawang Sangit tetap akan memburuku dan berusaha melumpuhkan diriku."
"Boieh kutahu apa sebabnya?"
"Hmmm...!" Mega Jelita buang muka, tapi tetap menjawab pertanyaan itu.
"Nyai Tawang Sangit menghendaki sebuah kl-;ab peninggalan mendiang guruku. Kitab pusaka itu bernama Kitab Kidurig Bencana. Ada dua orang yang mengincar kitab tersebut; satu, Nyai Tawang Sangit, dan kedua Kl perak Porong."
Pendeka Mabuk manggut-manggut mengingat kedua nama Itu, terutama nama terakhir yang baru kail itu didengarnya: Ki Porak Porong. Sebenarnya Suto ingin ajukan tanya tentang siapa orang yang rernama Ki Porak Porong itu. Tetapi Mega Jeiita ie-blh dulu berkata kepadanya dengan nada tegas.
"Sekarang yang penting kau ikut aku dulu.”
"Baik. Ke mana kita akan pergi!. Mega?"
Mencari pembunuh mendiang guruku."
"O, jadi gurumu tewas karena dibunuh orang?"
"Benar. Sebab kutemukan luka beracun di bagian punggungnya. Pasti seseorang tteiah menyerangnya dengan senjata tajam atau senj[ata tumpul, yang jelas senjata itu mengandung racun yang mematikan."
"Kau sudah tahu siapa pembunuhnya?"
"Secara tepat memang belum. Tapi aku mempunyai beberapa orang yang patut dicurigai. Tugasmu adalah mendesak orang itu agar mengakui perbuatannya. Jika sudah mengakui, lumpuhkan dia. Jika sudah kau lumpuhkan, baru akap kubabat habis nyawanya sebagai balas dendam atas kematlan guruku!"
"Baik, aku akan kerjakan perintahmu. Mega Jelita," kata Suto seperti seorang prajurit bicara dengan seorang ratu.
"Kita pergi sekarang menc.arl perempuan yang bernama Nyai Sedap Malam."
'Baik, kita cari perempuan yang bernama...." Suto Sinting tak jadi lanjutkan ucapannya, la segera Ingat akan nama Nyai Sedap N!alam. Bahkan la tampak terkejut setelah menyadari bahwa Nyai Sedap Malam adalah kenaian baiknya; istri sahabat gurunya yang bernama K1 Paiang Renggo. Suto pernah ditolong oleh Nyai Sedap Malam dan K1 Palang Renggo ketika terkena racun ’Bayi Panggang' saat melawan Awan Setangkai, (Baca seria! Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu Darah Satria").
"Kenapa tiba-tiba diam?" tegur Mega Jelita.
"Aku... aku sepertinya kenal dengan Nyai Sedap Maiam."
"Kebetulan sekali jika begitu. Kau tahu di mana tempat tinggalnya?"
"Ya, sangat tahu. Sebab aku pernah dirawat di pondoknya."
"Kalau begitu, cepat bawa aku ke pondoknya sekarang juga!"
"Baik, Mega. Mari Ikuti akui" jawab Suto dengan tegas, namun dalam hatinya sempat berkecamuk perang rasa antara ingin mematuhi perintah dan menentang perintah itu.
"Desak dia dan pastikan dia bersalah atau tidak. Jangan langsung dibunuh sebelum kita yakin bahwa dia bersalah. Paham?"
"Ya, aku paham," jawab Suto masih dengan tegas. Mereka melangkah menyusuri lembah menuju ke pondok Nyai Sedap Malam dan Ki Palang Renggo. Sambil melangkah cepat, Mega Jeiita sempat jelaskan kematian gurunya yang bernama Nlnl Keru-dung Lawu Itu.
“Guru punya beberapa musuh yang pernah dikalahkan. Guru memang tidak pernah mau membunuh lawannya jika tidak benar-benar kepepet Para musuh yang pernah dikalahkan Itu masih saling menyimpan dendam, sehingga ia mencari kelengahan Guru untuk melampiaskan dendamnya itu."
"Apakah mereka ada kaitannya dengan pencurian Kitab Kidung Bencana itu?"
"Kurasa tidak," jawab Mega Jelita. "Sebelum Gu-u dibunuh, kitab pusaka Itu sudah hilang iebih dulu. Lalu, aku dan Guru mencarinya berpencar arah. Beberapa waktu kemudian, barulah kutemukan Gsj-ru sudah tidak bernyawa."
"Hinmm... jadi pembunuhnya bukan Nyai Talang Sangit atau Ki Porak Porong?!"
"Bukan! Sebab...."
Mega Jelita hentikan kata-katanya, karena tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya benda hitam yang melayang dl udara. Benda hitam Itu menyerukan suara menclclt seakan jeritan kematian yang saling bersahutan.
"Suto, kita diserang puluhan kelelawar!" Mega Jelita langsung mencekal lengan Suto dan bicara agak erpeklk karena kagetnya. Pendekar Mabuk pun terperanjat dan diam beberapa kejap pandangi puluhan keleiawar yang datang dari depan mereka dan membentuk barisan menggerombol mirip layar hitam melayang layang.
"Kita lari sajal" usul Suto.
"Percumal Kita tetap akan dikejarnya," sambil berkata begitu, Mega Jelita segera mencabut pedangnya dari pinggang. Sreet...l Suto Sinting segera menyambar bumbung tuaknya. Tali bumbung tuak dililitkan di telapak tangan kanan dan siap dipakai untuk menghantam rombongan keleiawar liar itu.
Cllliett... cliit... cliiet... clilit, clilt, cliit...!
Jerit para kelelawar itu semakin terdengar jelas sebab gerakan mereka semakin dekat. Suto Sinting segera maju d! depan Mega Jelita dan berseru kepada gadis itu.
"Mundur, biar kuhadapi sendiri mereka!"
Kelelawar-kelelawar bermata merah Itu segera menerjang Suto Sinting setelah Mega Jelita mundur empat langkah. Wuuurrss—1 Suto Sinting pun segera memutar bumbung tuaknya di atas kepala. Wuuung, wuung, wuuuung...!
Ketika pasukan kelelawar itu mendekatinya, maita beberapa dari binatang hitam itu tersapu oleh kibasan bumbung tuak tersebut.
Praak, prrus, proook, brruuus...!
Clllaaat...! Beberapa yang terkena hantaman bumbung tuak bertenaga dalam tinggi itu menjerit menyeramkan, bagaikan jerit pengantar kemailan. Tetapi anehnya setiap kelelawar yang terkena hantaman bumbung tuak dan jatuh ke tanah, ia segera lenyap dengan menimbuikan asap dalam sekejap. Sehingga, dl tanah tak terdapat bangkai kelelawar satu pun.
Sementara sl Pendekar Mabuk sibuk menghantam keleiawar-keleiawar bermata merah itu, Mega Jelita juga sibuk menebas dengan pedangnya. Kele-awar yang tak sempat menyerang Suto mengarah kepada Mega Jelita dan dibabat habis oleh kecepatan gerak pedang gadis itu.
Wut, cras, wut, cras, wut, cras...! Dan para kelelawar yang terpotong oleh pedang tersebut juga tidak meninggalkan bangkai dl tanah. Mereka jatuh ke tanah lalu, bluub...! Berubah menjadi asap dari sebuah letupan kecil, setelah Itu lenyap tanpa sisa dan bekas sedikit pun.
Ciiieet...!!
"Aaaow...!" Suto Sinting memekik karena beberapa kelelawar iolos dari hantaman bumbung tuaknya. Mereka menyergap tengkuk kepala Suto dan menggigitnya. Namun dengan tangan kirinya Suto neraih binatang itu dan membantingnya ke tanah. Plok...! Buuas...! Begitu menyentuh tanah binatang itu lenyap dalam bentuk asap yang mengepul dan sirna dalam sekejap.
Pendekar Mabuk segera lakukan iompatan mundur dengan cepaL ia bersaito mundur beber apa kali, dan yang terakhir meiesat dengan gunakan jurus 'Gerak SHuman’-nya.
Ztaaap...!
, Pendekar Mabuk tiba dl salah satu tempat yang lebih tinggi, la segera menenggak tuaknya. Tapi tuak tidak ditelan semua, sebagian disisakan dl mulut hingga pipi Suto menjadi mengembung.
' Kusembur memakai jurus 'Sembur Bromo WI-waha s , biar tahu rasa hewan-hewan ganas Itu!" ucapnya dalam hati, lalu Ia lakukan gerakan cepat kembail. ZIaaap...I
Dalam keadaan melayang menerjang barisan kelelawar Itu, Suto Sinting menyemburkan tuaknya dari daiam mulut. Brruuusss...! Brrruuuss...!
Semburan itu menimbulkan percikan api ke mana-mana membakar keleiawar-kelelawar tersebut, hingga suara jerit dan pekik si kelelawar terdengar saling bersahutan.
Dengan beberapa kail sembur, akhirnya binatang-binatang Itu berkurang dan menjadi tinggal beberapa ekor saja.
Wuuut, cras, cras, wuuut, cras, cras...!
Sisanya dihabisi oleh Mega Jelita yang tadi sempat digigit oleh beberapa kelelawar dari belakang. Punggung gadis Itu pun terasa perih dan sakit karena terluka gigitan kelelawar.
"Auuuh...!" Mega Jelita mengaduh ketika semua kelelawar telah terbabat habis tanpa tinggalkan bangkai, la merasakan lukanya di punggung semakin lama semakin melebar, bagai mempunyai keku-atan untuk merobek kulit dan daging yang semula masih utuh itu. Sedangkan luka gigitan pada tengkuk dan leher Suto sudah merapat dan menjadi seperti tak pernah digigit oleh siapa pun, karena ia sudah menenggak tuaknya.
Maka Mega Jelita segera mendapat pertolongan dari Suto meiaiui minum tuaknya. Mulanya Mega Jelita menolak, tap! setelah didesak Suto akhirnya la pun mau meneguk tuak yang belum pernah dirasakan itu.
Giek, glek, glek, glek...l ernyata iuka dl punggung Mega Jelita bisa pulih kembali seperti tak pernah mengalami luka apa pun. Bahkan noda darah pun lenyap bagal terhisap habis oleh kekuatan tuak saktinya Pendekar Mabuk itu.
"Apakah kau punya permusuhan dengan binatang-binatang itu tadi?" tanya Suto Sinting kepada Mega Jeiita. Gadis itu malahan bereungut-sungu! dan menggerutu dengan hati kesal.
"Memangnya kau pikir aku jenis kelelawar, kok punya permusuhan dengan mereka?”
"Aku hanya bertanya."
"Tidak!" jawab Mega Jelita. "Aku tidak punya permusuhan dengan seekor kelelawar pun. Tetapi aku tahu persis siapa yang mengirimkan keleiawar-kelelawar tadi.”
'Siapa menurutmu?" tanya Suto dengan rasa ingin tahu.
"Siapa iagi kalau bukan Ki Porak Porongl"
"Dari mana kau tahu?"
"Hanya dia yang bisa memanggil puluhan kelelawar seperti tadi. Hanya Ki Porak Porong yang punya pasukan kelelawar. Nyai Tawang Sanglt maupun guruku tidak kuasai ilmu memanggil keleiawar."
"Apakah mereka dulunya satu saudara?"
"Mereka dulu satu perguruan; Nyai Tawang Sanglt, Ki Porak Porong, dan Nlni Kerudung Lawu, guruku!"
"Ooo..l pantas mereka memburu kitab itu. Tapi...."
Tiba-tiba Suto Sinting terpaksa diam seketika karena seberkas sinar hijau pijar-pijar sebesar jeruk peras melesat mendekati mereka berdua. Sinar hijau itu meiuncur dengan cepatnya, sehingga Suto Sinting tak sempat menghantam dengan jurus bersinarnya.
Pendekar Mabuk hanya lakukan lompatan cepat ke arah belakang, lalu bumbung tuaknya menghantam sinar hijau yang melintas dl depannya.
Duaaar...!
Ledakan cukup dahsyat terjadi dengan menyebarkan gelombang sentakan begitu besarnya. Pendekar Mabuk dan Mega Jelita terlempar berbeda arah dalam jarak masing-masing sepuluh langkah dari tempat mereka semula.
Jelas sinar hijau itu datang dari orang berilmu tinggi, karena sinar itu tak mampu berbalik arah seperti biasanya jika sebuah sinar kenal bumbung tu¬ak. Sinar tersebut hanya mampu meledak tanpa lukai bumbung tuak. !tu menandakan sinar tenaga da!am lers ebut mempunyai kekuatan yang cukup besar dan sangat berbahaya jika harus ditangkis te-rus-menerus.
Pe dekar Mabuk menyeringai kesakitan karena tulang lehernya bagal mau patah akibat teriempar tinggi-tinggi tadi, la segera meraih bumbung tuaknya yang ier epas dari genggaman «angannya. Sementara Itu, Mega Jelita juga berusaha bangkit de-ngan mulut berdarah-
Pendekar Mabuk baru akan hamplrl Mega Jelita, tiba-tiba dari arah kirinya ia melihat pelepah daun kelapa terbang melayang dengan cepat ke arahnya. D atas pelepah daun kelapa yang masih hijau itu berdiri seorang kakek berambut abu-abu dengan kumis dan jenggotnya juga berwarna abu-abu.
"Suto, awaaass...!" teriak Mega Jelita dengan emas. Padaha! tanpa diteriaki begitu Suto sudah tahu datangnya bahaya dari selembar pelepah daun kelapa itu.
Pendekar Mabuk segera melompat ke arah depan dalam gerakan piik-plak menggunakan satu tangan. Wut, wut. wut...i
Werrsss.,.1
Pelepah daun kelapa Itu melintas tak jauh dari epala Suto Sinting. Hembusan anginnya membuat '“dekat Mabuk terpenta! karena pada saat itu Suto Sinting segera memainkan jurus mabuknya dengan tubuh meliuk ke sana-sini, akhirnya terhempas oleh angin kibasan daun kelapa itu.
"Heh, heh, heh, heh...!" kakek tua yang berdiri di atas pelepah daun kelapa itu menertawakan Suto.
Pelepah daun kelapa itu segera berbalik arah dengan cepat Suuut, weeerss...! Lalu meiuncur lagi dengan kecepatan tinggi menuju ke arah Pendekar Mabuk.
Kali ini Suto Sinting penasaran dan gemas dengan tingkah si kakek berjubah biru tua itu. la segera pergunakan {urus yang jarang dipakai; jurus ’Ba-ngau Mabuk'. Jurus ini pernah dipergunakan ketika melawan tokoh cantik yang dikenal dengan nama Perawan Sesat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat").
Bumbung tuaknya dlsodokkan dengan kekuatan penuh. "Heeeah...!"
Bumbung itu segera melesat cepat ke udara dan tubuh Suto Sinting terbawa terbang dalam keadaan kedua tangan berpegangan ujung beiakang bumbung.
Weeesss...!
Kakek berjubah biru Itu terperanjat melihat Suto terbang mendekatinya. Padahal kecepatan pelepah daun kelapa itu sangat tinggi. Sang kakek sempat tegang sesaat.
"Wah, kalau tabrakan bisa berkeping-keping tubuhku," pikir sang kakek. Lalu, serta-merta la melompat turun dari pelepah daun kelapa itu dan membiarkan pelepah tersebut meluncur sendiri tanpa penumpang. Tepas pada saat itu Suto dan bumbungnya meiuncur di atas daun kelapa itu dalam jarak sekitar satu kaki. Wuuuess...!
Kalau saja kakek berjubah biru itu tidak segera melompat turun dari atas pelepah daun kelapa, maka perutnya akan menjadi sasaran empuk ujung de-pen bumbung tuak Suto. Untung saja ia segera menghindar, sehingga Suto dan bumbungnya tidak temukan sasaran apa-apa.
Heh, heh, heh, heh... kecele kau! Kecele kau, heh, heh, heh...!" Suto Sinting ditertawakan oleh sang kakek. Kemudian tawa sang kakek terhenti -egitu matanya memandang ke arah tempat berdiri Vtega Jelita. Ternyata gadis itu sudah hilang dari tempat tersebut.
" latih..,?i Kabur...??” ucapnya dengan mata ter-belalak. Kemudian mata tuanya yang kecil Itu memandang ke arah timur. Ternyata Mega Jelita sudah sampai di sana dan sedang mendaki perbukitan.
" /lega Jeiltaaaa...? Jangan lari kau. Kucing Nakal! Ke mana pun kau lari akan kukejar, Mega," seru kakek tua yang tak iain adalah Ki Poi ak Porong Itu.
Pendekar Mabuk mendengar seruari tersebut dan segera memandang ke arah Mega Jelita.
"Wah, dia melarikan dir! dan dikejar oleh pak tua itu! Gawat! Aku harus lindungi Mega Jelita seperti perintahnya tadi. Kuhambat pengejaran pak tua itu biar Mega Jelita tidak tertangkap?"
Zlaaap...!
Suto Sinting gunakan jurus ’Gerak Siluman’ ketika dilihatnya Kl Porak Porong mengejar Mega Jelita dengan tongkatnya yang berbentuk kepala naga di bagian ujungnya itu. Tongkat tersebut dilemparkan ke udara dalam keadaan datar, kemudian Kl Porak Porong melompat dan kedua kakinya hinggap dl batang tongkat yang datar itu. Dengan tenaga dalam dan Ilmu kesaktiannya, tongkat itu terbang mengejar Mega Jelita membawa sl kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun itu.
Weesss...!
Tapi sebelum berhasil mengejar Mega Jelita, Suto Sinting telah menerjangnya dari belakang dengan jurus 'Gerak Siiuman’-nya Itu. Wuuuut, breess...!
"Aow...!' 1 sang kakek terpekik ketika tubuhnya ditabrak dari belakang, la melayang dan jatuh dari atas tongkatnya. Sementara Suto Sinting segera berhenti dalain jarak delapan langkah dari tempat jatuhnya Kl Porak Porong. ia berdiri dengan tegak menghadap ke arah lawannya yang sedang berusaha untuk bangkit lagi itu.
Tetapi tanpa diduga-duga, tiba-tiba tongkat Kl Porak Porong yang sudah telanjur meluncur meninggalkan pemiliknya Itu kembali ke arah semula dan menyodok punggung Suto Sinting.
Duuuhk—l
“Aakh...!" Suto Sinting terpekik dengan tubuh melengkung ke depan, lalu la jatuh terpelanting sambil menyeringai kesakitan.
"Heh, h eh, heh, heh... rasakan pembalasan tongkatku!" Kl Porak Porong tertawa terkekeh-kekeh, tap; segera berhenti setelah merasakan tulang
punggungnya terasa patah dan sukar dipakai untuk berdiri.
"Uuhk...; Celaka! Punggungku seperti tak bertulang la gl . Aduh, sakitnya! Rupanya anak muda Bu punya nrau yang mampu tandingi kekuatanku Uuuh siai, sial...!"
Kl Porak Porong punya cara sendiri untuk tanggulangi rasa sakitnya. Dengan menggunakan per-maman napasnya, Ki Porak Porong dapat mengusir rasa sakit dan sembuhkan Suka dalain, terutama dl bagian punggungnya. Ha! itu dilakukan dengan waktu cukup singkat. Sementara Ku, Suto Sinting mengobati iuka dan menghilangkan rasa sakitnya dengan menenggak tuak saktinya.
Kini mereka beradu pandang dalam jarak tujuh langkah. Tongkat sang kakek sudah melesat kem-bah ke angan pemiliknya ketika Suto Sinting menenggak tuak tadi. Dengan pandangan mata tajam Ki Porak Porong dekati Suto sambi! tongkatnya dk pakai berjalan dengan tenang. Daiam jarak tiga langkah Ki Porak Porong berhenti, ialu tertawa terkekeh-kekeh tanpa diketahui penyebabnya.
"Heh, heh, heh, heh, heh...!"
Suto pun membalas dengan tawa peian. "Hah hah, hah, hah...."
Huuub...i Keduanya sama-sama berhenti mendadak dan wajah mereka memancarkan per-musuhan kembali; saling cemberut, saling berkerut dan saling menataptajam-tajam. Mereka sama-sama diam selama tiga helaan napas.
pada waktu itu, Mega Jelita sudah jauh dan tak terlihat lagi oleh mereka. Tapi agaknya mereka pun tak pedulikan sampai dl mana pelarian Mega Jeiita itu. Agaknya mereka Ingin selesaikan urusan mereka sendiri yang tadi saling serang tanpa banyak bicara itu.
"Mengapa kau memihak Mega Jeiita, Anak Muda?!” tegur Kl Porak Porong setelah mengendurkan ketegangannya dan bersikap kaiem kembali.
"Aku hanya menjalankan perintahnya, yaitu perintah untuk melindungi Mega Jelita dari gangguan siapa pun. Termasuk dari gangguanmu, Kakek Nakal!”
"Heh, heh, heh, heh...l Siapa yang memerintahkan kau menjadi pelindung Mega Jelita?"
"Dia sendiri!" jawab Suto tegas.
"Heh, heh, heh, heh.... Kalau begitu aku tahu sekarang, kau telah terkena ’Aji Kiimpang Kllmpung’ darinya, yang membuat kau tunduk dengan segala perintahnya dan takut kepadanya.”
"Aku tidak terkena apa-apa! Aku hanya merasa sayang dan kasihan kepadanya, sehingga harus melindunginya dan menuruti apa keinginannya."
"Hueh, heh, heh, heh...." Ki Porak Porong semakin terkekeh. "Itu yang namanya terkena pengaruh ’Aji Kiimpang Klimpung’, Goblok! Memang orang yang kena aji itu merasa kasihan dan sayanq kepadanya! Aku yakin kau tidak punya hubungan apa-apa dengan Mega Jeiita!"
“Tidak ada hubungan apa-apal"
“Bukan kekaslhmukah dia?"
"Bukan!"
"Nah, sekarang coba renungkan. Mengapa kau membelanya, melindunginya, menuruti perintahnya, sedangkan kau dan dia tidak punya hubungan apa-apa. Jika bukan karena pengaruh gaib dari ’Aji Kiimpang Kllmpung’, lantas apa alasanmu bersikap demikian?!”
Suto Sinting diam beberapa saat. Batinnya berkata pada diri sendiri, "Iya, ya...?! Kenapa aku bersikap begitu kepadanya? Dia bisa bertindak seenaknya terhadapku. Perintah inl-itu dan aku selalu menurutinya tanpa berpikir benar atau salah. Hmmm... sepertinya apa kata pak tua Ini memang benar. Aku terkena pengaruh gaib yang membuatku takut dan menuruti segala perintahnya.”
k, . ’’ heh ’ heh ’ heh ’ ! Bin 9ung sendiri kau,
Nak. Memang itulah saiah satu akibat terkena ’Aji Kiimpang Klimpung'. Tak seberapa dahsyat, tapi menjengkelkan korbannya."
Lalu, apa yang harus kulakukan jika sudah begini, Kek?”
"Ikutlah aku dan tangkap gadis nakal itu."
"Apa kesalahannya?"
"Dia sembunyikan kitab pusaka warisan guru kami."
"Maksudmu Kitab Kidung Bencana itu?"
"Benar. Oh, rupanya Mega Jeiita sudah banyak bicara tentang kitab itu kepadamu, ya?"
"Beium teriaiu banyak. Dia hanya sebutkan nama kitab tersebut."
"Dia teriaiu banyak membuai. Dia pasti meian-carkantipu musiihatyang jitu kepadamu hingga kau semakin tertarik untuk memihaknya. Untuk membuktikan siapa yang benar daiam hai ini, kau harus bantu aku menangkapnya, Nak! Mega Jeiita sangat berbahaya jika dia sampai menguasai iimu yang ada di daiam Kitab Kidung Bencana itu.“
Pendekar Mabuk diam daiam kebimbangan.Separuh hatinya ingin menuruti saran Ki Porak Po-rong; mengejar dan menangkap Mega Jeiita. Tetapi separuh hatinya iagi masih cenderung memihak Mega Jeiita dengan cara meiindungi gadis itu dari jamahan siapa pun. Pendekar Mabuk merasa jengkei sendiri dengan kebimbangan tersebut.

*
* *

:: ③ ::

AKHiRNYA Suto memutuskan untuk mencari Mega Jeiita sendiri tanpa disertai Ki Porak Po-rong. Tetapi rupanya Ki Porak Porong sengaja memancing Suto agar mengejar Mega Jelita sendiri. Diam-diam ia membuntuti dari beiakang.
Tetapi Pendekar Mabuk bukan orang bodoh. Ketajaman teiirsganya menangkap gerakan yang mengikuti dari beiakang. Pendekar Mabuk segera sembunyikan diri di ceiah-ceiah bebatuan cadas. Sleeb...! ia diam di sana sambii menunggu orang yang mengikutinya.
Beberapa saat ia menunggu, namun orang yang menguntitnya beium juga muncui. Suto muiai curiga, "Jangan-jangan dia tahu kaiau kujebak?"
Ceiah bebatuan cadas itu mempunyai ketinggian yang cukup iumayan. Celah tersebut membentuk iorong sempit yang tembus ke sisi iain. Tetapi panjang iorong sempit itu hanya sekitar enam langkah.
Pandangan Suto Sinting yang tertuju pada jalanan tadi masih beium menemukan gerakan yang mencurigakan. Hanya saja, ketika ia memandang ke ceiah cadas di beiakangnya.'ia nyaris memekik ka-get karena seraut wajah tua ada di sana.
“Ki Porak Porong...?i"
“Ssstt...!" kakek berjubah biru yang ternyata sudah ada di beiakang Suto itg justru memberi iaya-rat agar Suto tidak banyak bicara. Rupanya !a justru ikut bersembunyi di ceiah itu. Suto Sinting menjadi geii-geii dongkoi.
"Ada apa kau di sini?" tanya Suto.
“Ada bahayai" jawab Ki Porak Porong.
“Bahaya apa?"
"Bukankah kau lebih tahu dariku?”
"Maksudmu bagaimana, Ki?"
"Lho, jadi kau bersembunyi di slnl karena apa? Karena ada bahaya, bukan? Makanya aku segera ikut bersembunyi."
“Ooh... konyol!" Suto Sinting menepak jidatnya sendiri, lalu menghempaskan napas. Hatinya ingin tertawa geli menyadari kesaiahpahaman Ki Porak Porong itu.
Suto membatin, "Geblek juga pak tua ini. Aku sembunyi untuk menjebaknya malah dia ikut sembunyi di belakangku menyangka ada bahaya. Huuuhh... dasar orang tua pikuni"
KI Porak Porong sendiri menjadi heran melihat senyum Suto yang tampak mengendurkan ketegangannya itu. Bahkan ia bertambah heran ketika Suto keluar dari celah tersebut sambil geleng-geleng kepaia.
“Lho... kenapa kau justru keluar dari persern-btmyian? Hel, masukiah! Nanti kau diserang baha-
Suto Sinting kini tertawa iepaa waiaupun tak sampai terbahak-bahak. Tetapi tawa itu tiba-tiba terhenti karena mendadak Suto merasa seperti ditabrak sebongkah batu besar yang menghantam punggungnya.
Buuuhk...!
"Uuuhk...!" Suto Sinting mendelik dan aegera jatuh tersungkur. Brruuus...i
"Apa kubilang?! Ada bahaya. Nak! Bodoh kaul"
Suto Sinting nyaris tak bisa bernapas, ia mencoba bangkit, tapi sekujur tubuhnya bagaikan tak ber-tuiang iagi. la tak tahu bahwa tadi ada seseorang yang melepaskan pukuian tenaga dalam jarak jauh dan mengenai punggungnya. Akibat pukulan itu seluruh tuiang Suto bagaikan remuk tanpa bisa dk gerakkan iagi. la memaksakan diri untuk menuju ke celah tersebut dengan merayap mirip ular. Tapi hai itu pun terasa sangat berat dilakukannya.
Weees...i Ki Porak Porong menyambarnya dan segera membawa masuk ke celah sempit itu. Karena ceiah Itu sempit dan KI Porak Porong tergesa-gesa akibatnya kepala Suto terbentur tepian dinding ce-lah cadas Itu. Duukh...i
’Aauh-.!" Suto terpekik di luar kesadarannya.
"Bodohi Disembunyikan malah berteriak, ya ketahuan musuh kalau begini caranya!" gerutu Ki Po-rak Porong.
"Kl... tol... toiong mindinkan tuakku," ucap Suto Sinting dengan susah payah.
“Kau ini sudah tahu terluka dan sakit malah masih mau minum tuak. Jangan duiu. Nanti saja kalau sudah sembuh baru minum tuak lagi."
"Tooloong... toicngiah, Ki...."
“Dasar anak bodohi" umpat Ki Porak Porong dengan jengkei. Tetap! akhirnya ia mau menuangkan tuak ke mulut Suto dengan pelan-pelan. Begitu tuak diteguk, maka sedikit demi sedikit tenaga Suto puiih kembali.
Pada saat itu, Ki Porak Porong meninggalkannya karena orang yang menyerang Suto itu sudah menampakkan diri dan mengetahui letak persembunyian tersebut. Ki Porak Porong terpaksa harus menghadapi orang tersebut, karena secara jujur hatinya masih mengharapkan bantuan Suto untuk temukan Mega Jelita. Paiing tidak Ki Porak Porong dapat memanfaatkan Suto sebagai umpan pancingan bagi Mega Jeiita. Jadi ia merasa harus melindungi pemuda tersebut, seteiah ia yakin si pemuda terkena ’Aji Kiimpang Kiimpung’-nya Mega Jelita.
Orang yang menyerang Suto tadi ternyata seorang ieiakl bertubuh tinggi-besas dan kumisnya ie-bat, tapi kepaianya gundul poios. Usianya sekitar empat puiuh tahun iewat sedikit, 'a mengenakan baju hitam dan ceiana hitam. Baju hitamnya tak dikancingkan, sehingga perutnya yang buncit tampak membusung dengan pusar yang bodong. Di bawah pusar terdapat sabuk hitam besar untuk selipkan cambuk yang ujungnya berduri.
Leiaki bermata iebar itu mempunyai tangan berbulu. Agaknya tubuhnya cukup subur untuk tumbuhnya buiu, sehingga dada dan perutnya pun tampak berbulu samar-samar. Tak heran jika telaki Itu sebetulnya juga brewokan, tapi agaknya ia tak suka pelihara brewok, sehingga selalu dicukurnya.
Hei, Tikus Tua.... Mau apa kau menghadang di depanku?! Mana anak muda yang membawa bumbung tuak Itu! Akan kuhancurkan sekujur tubuhnya sekarang juga!"
"Heh, heh, heh, heh..,.“ Ki Porak Porong justru menertawakan dengan kaiem. "Sabarlah duiu. Orang Besar.... Sebelum kau meremukkan tubuh nya, jeiaskan duiu persoaiannya padaku. Apa yang membuatmu bernafsu untuk meremukkan tubuhnya? Apakah kau memang punya kegemaran meremuk tubuh orang? Kalau memang kau punya kegemaran meremuk tubuh orang, mbok ya tubuhku ini diremuk sekalian, mumpung sudah tua."
“Gggrrrmmm...! Keparat iaknat kau. Tikus Tuai Kau beium tahu siapa aku, hah?i"
"Karau sudah tahu, tentu saja akan kusebut namamu," jawab Ki Porak Porong dengan kaiem sambil terkekeh-kekeh berkesan meremehkan sekail.
"Akulah yang dikenal dengan nama Hantu Td-ngan Seribu."
"Mana...? Tanganmu cuma ada dua kok bilangnya Tangan Seribu? Ngibu! kamu, ya?”
"Ggrrmm...! Memuakkan seka'i bicara denganmu. Minggir kau, biarkan aku berurusan dengan pemuda yang membawa bumbung tuak itui"
“Kaiau aku tak mau minggir, bagaimana?"
"Kusedot nyawamu sekarang juga!"
“Heh, he, he, he... kok maiah seperti penyedot tinja," iedek Ki Porak Porong. "Kalau memang kau bisa menyedot nyawaku, siiakan saja! Asai jangan sampai nyawamu yang tersedot oiehku, Hantu Tangan Seribu!"
"Keparat...! Hiaaah...!"
Hantu Tangan Seribu segera iepaskan pukulan sambii iakukan satu lompatan cepat ke arah KI Porak Porong. Pukulan itu datang beruntun dengan kecepatan tinggi dan sukar diikuti sehingga ia mirip bertangan seribu.
Wut, wut, wut, wut, prok, prok, prok...l
Wajah tua Ki Porak Porong akhirnya bonyok seketika karena mendapat pukuian beruntun. Dari sekitar dua puiuh pukulan, setidaknya delapan pukuian mengenai wajah Ki Porak Porong.
Kakek tua itu terpental jatuh di depan celah cadas. Di sana Suto Sinting telah berdiri dalam keadaan siap tanding.
Tapi karena meiihat Ki Porak Porong jatuh, Suto terpaksa menolong bangkit si kakek berjubah biru itu.
"Kenapa begitu saja tumbang, KI?"
"Aku tidak melawannya dengan sungguh-sung¬guh. Aku hanya Ingin mencicipi kekuatannya, ternyata... bonyok juga, ya? Heh, heh, heh....”
Mundurlah dulu, Ki. Biar kuhadapi orang itu. Agaknya akulah yang diharapkan tampii melawannya."
Lakukan saja. Lagi puia siapa yang akan maju lagi kalau sudah bonyok begini?" sambiiVi Porak Porong mundur ke tepian celah cadas itu. Kini Suto Sinting segera maju menghadapi Hantu Tangan Se-ribu itu.
"Kudengar namamu Hantu Tangan Seribu."
"Benari Dan perlu kau ketahui, Bocah Dungu... hari Ini aku datang sebagai maiaikat pencabut nyawa untukmu! Bersiaplah kau menyusul adikku ke akhirat!"
“Adikmu...?!" Suto Sinting berkerut dahi. "Siapa nama adikmu Hu, Hantu Tangan Seribu?!"
"Buka matamu iebar-iebar! Akulah kakak Ma-rambang yang kau bunuh di Pulau Seiintang!"
“Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut tanpa ada raaa takut sedikit pun. laiu benaknya terbayang sesosok manusia tinggi-besar yang ditumbangkan di Puiau Selintang. Orang tersebut adaiah Maram-bang, yang, dikenal dengan nama Brandal Puiau Tengik, {Baca seria! Pendekar Mabuk daiam episode: "Siasat Dewi Kasmaran").
Pendekar Mabuk yakin, nyawanya benar-benar dibutuhkan oleh Hantu Tangan Seribu untuk meie-gakan dendamnya. Namun ia berusaha untuk hin-dari pertarungan tersebut, karena menurutnya dendam tidak akan membawa kebenaran, dan dendam hanya akan timbuikan korban lagi. Tetapi si Hantu Tangan Seribu ngotot untuk tetap bertarung melampiaskan dendamnya. Baginya lebih baik mati terhormat daiam pertarungan daripada membiarkan adiknya dibunuh orang tanpa pembelaan.
"Kaiau memang itu maumu, apa boieh buat! Akan kuiayani kemauanmu!" kata Suto Sinting dengan tetap tenang, ia meiangkah ke samping dengan pandangan mata tetap tertuju pada lawannya.
"Bersiapiah untuk mati menyusui arwah adikku, Bangsat! Hiiaah...!"
Hantu Tangan Seribu meiesat dengan tendangan sampingnya. Pendekar Mabuk meliuk ke beia-kang seperti orang mabuk mau tumbang. Weess...i Hantu Tangan Seribu meiintas di depan hidung Suto. Ternyata gerakannya itu mengandung tenaga dalam, sehingga angin iompatannya menghempas tubuh Suto. Weess...i
Suto Sinting terjengkang ke belakang dan jatuh berguiing-guiing. Tapi hai itu tidak membuat Suto menjadi teriuka, sehingga dalam sekejap saja ia sudah berdiri kembali dengan bumbung tuak dl tangan kanan.
“Heeeaaat...i"
Hantu Tangan Seribu meiepaskan pukulan beruntun dengan kecepatan tinggi seperti yang dilakukan Ki Porak Porong.
Bet, bet, bet, bet, bet...!
Pukuian secepat kiiat hanya dihindari oieh Suto dengan meliuk-liukkan tubuhnya seperti sedang mabuk. Gerakan Suto yang menggetoyor patah-patah ke sana-sini membuat tak satu pun pukulan Hantu Tangan Seribu kenai sasaran.
Tetapi ketika Suto merundukkan kepaia dan ba-dan, tiba-tiba lutut besar si Hantu Tangan Seribu itu menyodok naik, sehingga wajah Suto menjadi sasaran empuk lutut itu. Prrok...!
"Aaukh...i" Suto terpekik dengari tubuh terdongak. Sentakan badan yang menjadi tegak itu ingin dimanfaatkan oieh Hantu Tangan Seribu, la melayangkan genggamannya yang sudah dialiri tenaga daiam.
Tetapi Suto Sinting yang masih sadar akan bahaya kedua mengancam wajahnya itu segera ber-keiit dengan satu iompaian jungkir balik ke belakang. Weeet...!
Kaki Suto sempat menendang iengan si Hantu Tangan Seribu yang menghantamkan kepaiannya tanpa kenai sasaran itu. Dees...!
"Aauh!" Hantu Tangan Seribu terpekik karena iengan yang terkena tendangan Suto itu terasa seperti remuk. Rupanya kekuatan tenaga daiam tersalur di kaki Suto, sehingga tendangan yang sebenarnya tak seberapa itu membuat Hantu Tangan Seribu mundur tiga langkah, ia mendekap lengannya dengan wajah menyeringai kesakitan.
"Babi alas! Tendangannya seperti besi meng-hantam lenganku. Uuh...! Ngiiu sekail sekujur tubuhku gara-gara kena tendangan itu! Bangsat tengik itu harus kuhajar pakai cambuk pusakaku ini!"
Taab...! Hantu Tangan Seribu mencabut cambuknya. Cambuk yang ujungnya berduri itu segera diputar-putar di atas kepaia. Wajahnya tampak kian buas dan matanya memandang dengan ganas.
"Mampus kau, Bocah ingusan! Heeeeaaah...!"
Cambuk pun djiecutkan ke arah Suto Sinting. Taaarrr...! Pendekar Mabuk cepat berkelit hindari ujung cambuk tersebut dengan melesat ke atas dan berjungkir baiik ke belakang. Akibatnya cambuk itu tak kenal sasaran.
Tapi rupanya HantuTangan Seribu menjadi tambah penasaran karena baru sekarang iecutan cambuknya tidak mengenai iawannya. Maka dengan suara menggeram menyeramkan, cambuk itu disabetkan kembali ke tubuh Suto Sinting yang menggeio-yor ke sana-sini seperti orang mabuk.
Ctaar, duaaar...!
Ujung cambuk itu keiuarkan cahaya biru yang segera menyambar kepala Suto Sinting. Dalam keadaan mata setengah terpejam seperti orang mabuk, ternyata Suto Sinting melihat kilatan cahaya biru Itu, sehingga bumbung tuaknya segera berke-iebat menghantam datangnya sinar biru itu.
Wuuuuk...! Biegaaar...!
Sinar biru membentur bumbung tuak. Maka terjadilah iedakan yang cukup mengguncangkan tanah di sekelilingnya. Gelombang iedakan itu mempunyai kekuatan yang menyentak kg sekeiiiing. Sentakannya cukup kuaj, sehingga dinding cadas itu bergetar dan sebagian tanah serta batuan cadasnya menjadi rontok.
Pendekar Mabuk sendiri teriempar oieh geiom-bang ledakan tadi. Begitu kerasnya ia teriempar sampai tak bisa kuasai diri. Akhirnya tubuh Pendekar Mabuk membentur dinding cadas dekat tempat Ki Porak Porong berdiri.
Bruuusss.,.1
Aaooh...i" Suto mengerang kesakitan. Tapi Ki Porak Porong menertawakan terkekeh-kekeh tanpa ada tindakan menoiong Suto.
"Mau-maunya dilemparkan begitu. Sakit itu Nak...!" ujar Ki Porak Porong.
Suto merasa maiu ditertawakan begitu. Maka dengan menarik napas daiam-daiarn ia berhasii bangkit kembaii. Tetapi cambuk lawan tiba-tiba teiah datang dan menghajar punggungnya. Ctaarr ! Duaar...!
Kiiatan cahaya biru keluar dari ujung cambuk. Kali ini Pendekar Mabuk tidak mau menangkis dengan bumbung tuaknya, ia menghindari cahaya biru itu dengan lompatan seperti singa menerkam mang-sanya.
Blegaar...i Sinar biru itu menghantam dinding cadas, dan dinding cadas pun runtuh sebagian. Suara gemuruh menggema di mana-mana membuat alam bagal mengalami bencana yang menyeramkan.
“Sepertinya dia tak bisa dijinakkan lagi. erpa -sa aku melawannya sungguh-sungguh," pikir Suto Sinting.
Ketika Hantu Tangan Seribu ingin iepaskan cambuknya kembali, Suto Sinting justru melangkah mendekatinya dengan gerak sempoyongan yang cepat. Teb, teb, teb, teb...!
Begitu menggeioyor di depan Hantu Tangan Seribu, tiba-tiba bumbung tuaknya menyodok perut lawan dengan telak. Duuuuhk...!
“Huukh...!" Hantu Tangan Seribu mendelik dengan tubuh melengkung ke belakang.
Jurus 'Mabuk Lebur Gunung’ telah membuat tubuh Hantu Tangan Seribu menjadi biru legam. Rambutnya yang ikal panjang itu rontok dengan sendirinya. Lalu la tumbang ke beiakang. Buumm...! Dalam beberapa saat kemudian, tubuhnya yang biru iegam menjadi semakin iegam. Kepalanya mengepulkan asap dan rambutnya rontok semua. Akhirnya a menghembuskan napas panjang. Setelah itu tak mau bernapas iagl alias mati.
"Hebat juga jurus mabukmu, Nak. Apakah kau murid si Gila Tuak yang bernama asli Sab awana tu?
Pendekar Mabuk terperanjat dan berkerut dahi.
“Kau kenal dengan guruku, Ki?”
“O, ya... duiu aku bersahabat dengannya. Tapi karena sekarang sudah tua, aku jarang jumpa dia, jadi persahabatan kami menjadi renggang. Benarkah kau murid si Gila Tuak?"
"Betui, Ki. Akuiah yang bernama Suto Sinting si Pendekar Mabuk," tutur Suto menjelaskan.
Ki Porak Porong manggut-manggut sambil menggumam.
"Kalau begitu kebetuian sekail."
"Apanya yang kebetulan, Ki."
"Tak ada jeleknya jika kau membantuku menemukan Kitab Kidung Bencana itu, Nak. Sebab, kurasa gurumu juga sependapat denganku, bahwa kitab tersebut tak boleh jatuh di tangan orang-orang tak bertanggung jawab. Jadi sekarang, kita harus bersama-sama mencari Mega Jeiita dan merampas kitab itu darinya."
Pendekar Mabuk, diliputi kebimbangan lagi. Mendengar nama Mega Jeiita, rasa pengabdiannya tumbuh kembali dengan membara. Rasa ingin membela Mega Jeiita membuat Suto menjadi diam dan pandangi Ki Porak Porong dengan tatapan mata aneh.

*
* *

֍↨:: ④ ::↨֎

RUPANYA Hantu Tangan Seribu mengikuti Suto sejak Suto tinggaikan tempat pertemuannya ® f dengan Ki Porak Porong. Saat itu Hantu Tangan Seribu meiihat pemuda membawa bumbung tuak berwajah tampan, ta ingin dekati dan menyerangnya, tapi Suto sudah teianjur pergi tinggalkan Ki Porak Porong. Lalu, Hantu Tangan Seribu mengejar Suto dengan memotong jalan. Tetapi gerakannya diketahui oleh Ki Porak Porong, sehingga kakek tua itu semakin waspada daiam mengawasi gerakan Pendekar Mabuk.
"Kurasa tak perlu direnungkan lagi hai itu. Toh sudah berlaiu," pikir Suto Sinting. "Yang periu kupikirkan adaiah di mana Mega Jelita berada, dan benarkah dia sendiri yang mencuri Kitab Kidung Bencana itu?" .
Ki Porak Porong yang berjaian d! samping Suto segera hentikan iangkahny a: Tangan Suto dicekal membuat iangkah pemuda tampan itu pun berhenti.
"Ada apa?" tanyanya kepada Ki Porak Porong dengan suara pelan.
“Aku seperti mendengar suara orang merln i samar-samar.”
"Di mana?" sambil Suto mulai menyimak suara di sekelilingnya.
"Arahnya di sebelah barat. Suara itu seperti suara rintihan seorang wanita."
"Sudah tua apa masih muda?”
"Pas-pasan," jawab Ki Porak Porong seenaknya, matanya masih tetap meiirik ke arah barat, teiinganya dipertajam untuk menangkap suara yang dimaksud. Sedangkan Suto Sinting justru tidak mendengar suara rintihan tersebut. Yang didengar hanya suara desau angin dan gemerisiknya dedaunan.
"Aku yakin di sebeiah barat ada seorang perempuan yang butuh pertolongan," ujar Ki Porak Porong.
' Aku belum yakin," kata Suto. "Karena aku sudah menggunakan jurus ’Sadap Suara’ yang mampu mendengar suara dari kejauhan. Tetapi aku tetap tidak mendengar suara yang kau maksud, Ki Porong."
"Dasar tuli!" gerutu Ki Porak Porong, kemudian ia bergegas ke arah barat. Suto Sinting terpaksa mengikutinya karena hatinya menjadi penasaran.
Perjalanan menuju ke arah barat ternyata cukup jauh. Ketika hari muiai sore, mereka tiba di sebuah perbukitan yang ditumbuhi hutan renggang. Di sanalah Suto Sinting baru mendengar suara orang merintih kesakitan.
"Gila! Sejauh inikah dia mampu mendengarkan suara orang merintih?! Oh, jauh sekali! Hampir seperempat hari menempuh perjalanan baru menemukan sumber suara .merintih itu," pikir Suto Sinting penuh keheranan. Daiam hatinya ia mengakui bahwa jurus 'Sadap Suara’-nya masih kaiah tinggi dibanding jurus ketajaman pendengaran yang dimiliki Ki Perak Porong.
"Suara itu ada di baiik bukit pendek itu, Nak!" ujar Ki Porak Porong.
“Kita tengok ke sana apa yang terjadi!"
Bukit pendek itu ditumbuh! tanaman semakin jarang. Banyak tempat lega karena jarak pohon ke pohon cukup renggang. Sedangkan di bagian puncak bukit pendek itu hanya ada tiga pohon kedaung. Di bawah saiah satu pohon kedaung itu terdapat sebongkah batu besar seukuran rumah. Dan di baiik batu besar itulah Pendekar Mabuk dan Ki Porak Porong temukan seorang wanita yang terkapar berlumur darah.
"Ya, ampun...! Kasihan sekali dia, Ki?!" ujar Suto dengan terperanjat.
"Agaknya iukanya sangat parah, ia bukan saja terkena iuka senjata tajam, tapi juga iuka pukuian dalam dan, hmrnm... ada luka beracun yang membuatnya sekarat," sambii Ki Porak Porong memperhatikan wanita Itu dengan hati iba.
"Hei, sepertinya aku kenai dengan perempuan ini!" ucap Ki Porak Porong tjba-tiba. ia bagai menemukan sesuatu yang tertangkap oieh ingatannya, la semakin menunduk memperjeias pengiihatannya. Wanita yang wajahnya beriumur darah itu masih bisa buka mata walau hanya sedikit. Bibirnya bergerak-gerak sambi! keiuarkan suara peian.
"Toii... iong... akuuu...."
"Nak, toiong berikan tuakmii. Kurasa tuakmu !eb.h cepat mengembalikan kekuatannya dan menyembuhkan iukanya daripada jurus ’Kawarasan'-ku," ujar Ki Porak Porong kepada Suto yang sedang terbengong memperhatikan wanita berambut panjang itu.
Tuak pun segera dituangkan ke muiut perempuan itu dengan hati-hati. Sedikit demi sedikit tuak tertelan. Tubuh yang terluka parah, penuh dengan tusukan dan bekas tebasan pedang itu akhirnya ke-puikan asap tipis.
Perempuan itu mulai menghembuskan napas panjang-panjang. Tubuhnya masih melemas. Tapi luka-lukanya yang sebegitu parah muiai bergerak gerak mengering dan menutup. Bahkan darah-darah yang berceceran bagai menguap diserap angin.
Dasam beberapa waktu, wanita itu muiai dapat bangkit. Luka-iukanya lenyap, darah pun hiiang tanpa bekas. Tubuh wanita itu menjadi bersih, mulus dan berwarna kuning langsat.
Ketika ia mulai bangkit, mata Suto tak berkedip memandanginya. Wanita itu kenakan jubah ungu dan pinjung penutup dada warna kuning kunyit. Pin-jung penutup dadanya terbuat dari kain tipis dan kecil, sehingga sebagian gumpalan dadanya tampak
tersumbui, sekai dan padat, la termasuk perempuan yang montok.
Dengan rambut terurai i'epas sebatas punggung, mengenakan lilitan mahkota kecil di tengah kepala, ia tampak anggun dan cantik. Suto menak-sirkan usia perernpuan itu berkisar tiga puiuh tahun. Tapi ia masih tampak cantik. Pingguinya meiiu dengan tajam, sehingga Ieiaki mana pun yang memandang pinggulnya akan tergoda oieh bayangan cumbu.
Ki Porak Porong segera ingat tentang sesuatu yang tadi 'membuatnya sempat bingung. Ki Porak Porong mengenali perempuan itu, sehingga ia segera menyapa dengan suara tersentak karena girang teiah menemukan ingatannya.
"Ratu Mawar...?!"
"Syukurlah jika kau masih ingat padaku, Ki Po-rakPorong!" jawab wanita yang ternyata berjuluk Ratu Mawar itu.
"Kenapa kau bisa menjadi seperti tadi, Ratu Mawar? Siapa iawanmu sebenarnya?!"
“Lawanku adaiah musuh iamaku sendiri; Bandar Dayui” jawab Ratu Mawar sambii sesekali pandangan matanya meilrik ke arah Suto Sinting.
"Siapa pemuda yang teiah menolongku dengan tuaknya ini, Ki Porak Porong?"
"Aku yang bernama Suto Sinting!" t!ba-tiba Suto menyahut dengan suara tegas namun bernada ramah.
Perempuan berwajah buiat teiur dengan hidung mancung dan mata membeialak nakai-nakai indah itu segera sunggingkan senyumannya. Senyuman itu mempunyai daya tarik tersendiri yang dapat membuat para ieiaki berdebar-debar diliputi khayalan indah. Bibir itu memang pulen; sedikit tebal tapi bentuknya indah dan tak membosankan jika dipandang sampai tujuh hari-tujuh maiam tanpa berkedip.
"Sepertinya aku pernah dengar nama Suto Sinting, tapi aku tak ingat siapa yang menyebutkannya dan di mana saat itu aku mendengarnya," ujar Ratu Mawar.
"Dia adalah...," kata-kata Ki Porak Porong terhenti karena sengaja dipotong oieh Suto Sinting.
"Siapa Bantar Dayu itu. Ratu Mawar? Mengapa dia setega itu melukaimu hingga ajalmu datang pe-ian-peian?"
"Bantar Dayu murid dari Perguruan Cakra Wija-ya yang memang menaruh dendam tujuh turunan terhadapku. Rupanya dia sekarang sudah bertambah hebat, limunya makin tinggi, sehingga aku sempat dibuat tercabik-cabik dan sekarat seperti tadi. Kurasa sekarang dia sudah puiang ke negeri asai-nya; Margadwipa, di Puiau Peiatuk."
"Apakah kau masih ingin mengejarnya ke sana?" tanya Suto.
"O, ya! Aku harus bikin perhitungan dengan si Bantar Dayu! Akan kuobrak-abrik perguruannya, bila periu gurunya sendiri akan kukirim ke neraka."
"Heh, heh, heh...." Ki Porak Porong tertawa geli sendiri. "Tadi saja kau hampir dibuat tak bernyawa, kok sekarang kau mau meiawan gurunya Bantar Dayu segaia?! Apa tidak keliru jalan pikiranmu, Ratu Mawar!"
"Aku beium menggunakan jurus andalanku. Aku kaiah cepat daiam bertindak. Sekarang aku harus menemui Bandar Dayu dan meiepaskan jurus andalanku!"
"Kuingatkan, tak perlu baias dendam begitu. Ratu Mawar," ujar Suto dengan kafem.
'Tidak bisa!" kata Ratu Mawar dengan tegas, walau matanya tertuju kepada Suto dengan cahaya berbinar-binar.
"Kuucapkan banyak terima kasih kepada kalian berdua yang telah menyambung nyawaku," tambah Ratu Mawar.
"Heh, heh, heh... itu hal yang wajar, Ratu Mawar. Suto Sinting ini memang seorang pemuda dermawan, mau menolong kesulitan orang iain. Bahkan kuminiai bantuan untuk mencari Mega Jelita saja ia tak keberatan sama sekail."
“O, kalian mencari Mega Jelita? Untuk apa gadis itu kalian cari?"
”lni persoalan kitab pusaka peninggalan mendiang gurunya Mega Jelita," sahut Suto Sinting. Ki Po-rak Porong menimpali juga.
'Tentunya kau pernah dengar bahwa Nfnf Kerudung Lawu menyimpan kitab warisan guru kami yang dinamakan Kitab Kidung Bencana, bukan?"
"Hmmm... ya, ya! Aku memang pernah dengar soai itu."
"Mega Jeiita ingin kuasai kitab tersebut, padahal yang berhak mendapat warisan tersebut adaiah aku," kata KI Porak Porong.
"Apakah kau meiihat Mega Jeiita iewat daerah sini?" Suto ajukan tanya kepada Ratu Mawar.
"Hmmm... ya! Saat aku bertarung melawan Bantar Dayu tadi, Kulihat sekelebat wajah Mega Jelita melesat ke aarah selatan sana!"
"Hmmm... kalau begitu kita harus mengejarnya ke selatan, Suto!"
Pendekar Mabuk memandang arah selatan sambil manggut-manggut. Tak lama kemudian Ratu Mawar perdengarkan suaranya.
"Kejarlah dia ke arah selatan, aku mohon pamit pergi ke Pulau Pelatuk! Suatu saat kelak, jasa baik kalian ini akan kubalas dengan caraku sendiri!"
"Ratu Mawar...!" Suto ingin mencegah, tapi perempuan itu telah berkelebat tinggalkan tempat menuju ke arah timur. Weees...! Dan Ki Porak Porong hanya geleng-geleng sambil terkekh sendiri.
"Siapakah si Ratu Mawar itu sebenarnya, KI?!"
"Dia putri Adipati Marandika yang di buang oleh keluarga karena hamil tanpa suami. Saat dia di buang oleh keluarganya, ia ditampung oleh saudara seperguruanku, yaitu Nyai Tawang Sangit. Tapi ketika kandungannya berusia lima bulan, Ia keguguran pada saat ingin menuntut ilmu kepada Nini Kerudung Lawu, gurunya Mega Jelita."
"O, kalai begitu dia muridnya mendiang Nini Kerudung Lawu juga, Ki?"
"O, bukan! Ratu Mawar tak sempat mempelajari ilmu-ilmunya si Kerudung Lawu, karena setelah keguguran ia dirawat oleh Nyai Tawang Sangit dan sedikit banyak mendapat ilmu dari Nyai Tawang Sangit. Tapi sebelum itu, Ratu Mawar memang sudah berilmu lumayan tinggi. Dia mantan muridnya mendiang Resi Basudana. Meskipun akhirnya ia menetap bersama si Tawang Sangit, tetapi hubungannya denganku dan dengan si Kerudung Lawu tetap baik. Itulah sebabnya aku tadi terkejut begitu melihat wajahnya dari dekat.",
Pendekar Mabuk manggut-manggut Merekapun bergegas menuju ke selatan mengejar pelarian Mega Jelita. Di daiam hati Suto sudah mengatur rencana jika nanti ia melihat Mega Jelita akan disambar dan dibawanya lari demi meiindungi paksaan kasar K! Porak Porong yang ingin dapatkan Kitab Pusaka tersebut. Karena bagaimanapun juga pengaruh kekuatan 'Aji Klimpang Kiimpung' masih bekeija daiam jiwa dan pikiran Suto, sehingga rasa ingin meiindungi dan membela Mega Jelita masih bermekaran daiam hatinya.
Belum lama mereka menuju ke arah selatan mendadak keduanya sama-sama terpekik dengan suara berat Tubuh mereka sama-sama mengejang kaku beberapa kejap. Bahkan Ki Porak Porong, tumbang ke depan dan tak bergerak lagi. Pendekar Mabuk masih bisa menggeliat limbung dengan padangan mata menjadi buram.
Ternyata seseorang teiah melepaskan pukulan iarak jauh dari tempat tersembunyi. Pukulan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup membahayakan. Tetapi agaknya orang tersebut tidak menghendaki kematian Suto maupun Ki Porak Porong. pukulan itu sengaja diarahkan dibagian yang tidak mematikan namun melumpuhkan.
Pendeka Mabuk masih mampu bertahan beberapa kejap. Ketika tubuhnya berputar dengan limbung, pandangan matanya sempat melihat seraut wajah cantik secara samar-samar. Seraut wajah cantik itu muncul dari balik pohon dengan senyum tersungging di bibirnya yang menggemaskan. Bahkan Suto Sinting sempat menyebut nama wanita Hu dengan iirih.
"Ratu... Mawar...," setelah itu ia pun tumbang tak sadarkan diri, sama seperti Ki Porak Porong.
Perempuan yang menyerang mereka dari belakang ternyata adaiah Ratu Mawar, yang agaknya punya maksud tertentu sehingga tega melepaskan pukuian yang melumpuhkan. Perempuan itu segera mendekati Pendekar Mabuk, diperhatikan sebentar dengan senyum berseri-seri.
"Berhasii! Pasti aku berhasil memiiiki pemuda tampan dan kekar ini. Ooh... kau tak tahu Ki Porak Porong, sejak tadi aku tergiur oleh ketampanan si Suto ini. Terpaksa kuiakukan semua ini karena tak ada jaian iain untuk mendapatkannya. Maaf, aku terpaksa mengganggu perjalanan kalian."
Kemudian dengan sentakkan satu kaki, tubuh Pendekar Mabuk yang masih menyandang bumbung tuak di punggungnya itu terangkat terbang dan ditangkap oieh pundak Ratu Mawar. Daiam keadaan memanggul Suto Sinting, perempuan itu segera melesat pergi meninggalkan Ki Porak Porong yang tak berdaya.

*
* *

֍↨:: ⑤ ::↨֎

NYALA api unggun menerangi gua berfangft-iangit tinggi. Gua itu mempunyai ruangan ie-bar berbentuk setengah iingkaran. Jarak kedalamannya sekitar dua puluh langkah dari pintu masuk gua.
Gua buntu itu juga mempunyai beberapa lantai yang data di samping tonjolan batu-batu hitam yang mirip sebagal penghias Isi gua. Dan di saiah satu fantai yang datar, terdapat sesosok tubuh kekar dalam keadaan berbaring dengan kedua tangan rapat dengan tubuh di kanan-kfri. Tubuh kekar berwajah tampan itu tak ialn adaiah murid sinting si Glia Tuak; Pendekar Mabuk.
Napasnya muiai tampak teratur, dan ia seperti sedang teriidur nyenyak. Kepucatan di wajahnya teiah hilang, badannya tak iagl dingin. Ratu Mawar eiah berhasil pulihkan kesehatan Suto dengan kekuatan hawa saktinya. Tetapi keadaan Suto masih beium sadar daiam arti tertidur nyenyak. Sementara itu, bumbung tuak yang menjadi satu-satunya senjata bagi Pendekar Mabuk berada di samping kirinya, tergeletak sejajar dengan tubuhnya. Sementara itu, di samping kanan Suto terbaring sesosok tubuh sekal berdada montok. Tubuh itu tak lain adaiah Ratu Mawar, yang tampak kegirangan seteiah berhasii membawa Suto ke gua tersebut.
"Aku kasmaran padanya. Sumpah mati, aku kasmaran padanya!" ucap Ratu Mawar dalam hati. Ia sengaja berbaring di samping Suto Sinting denqan tangan sesekali memeluk tubuh Suto, sesekali pula meraba-raba dada kekar si pemuda tampan itu.
Makin lama rabaan tangan Ratu Mawar semakin berani. Pendekar Mabuk tersentak, namun masih malas untuk bangun. Akhirnya ia tetap memejamkan mata dan berlagak tidur nyenyak.
‘Hmmm... rupanya si Ratu Mawar terpikat padaku. Hmmm... sebaiknya kubiarkan duiu apa yano ingin la lakukan padaku. Aku penasaran sekali."
Ratu Mawar berkata dalam hatinya. "Pemuda ini benar-benar membuatku cepat terbuai. Yang seperti inilah yang kudambakan dari dulu. Mengapa baru sekarang kutemukan pria dambaanku? Oh, aku bergairah sekali. Sudah lama aku tidak mendapatkan kehangatan seorang lelaki. Sayang sekali dia dalam keadaan tertidur nyenyak. Tapi... ah, mumpung dia tertidur, aku ingin menikmati kehangatannya. OOooh... Suto sayang..."
Hati mendesah tangan menjarah. Ratu mawar semakin dibakar oleh gairah. Bibirnya yang sedikit tebal itu mencium pipi Suto dengan pelan agar tak membangunkan tidur Suto. Ciuman itu merayap kekening, lalu kembali lagi ke pipi. Ratu Mawar merasa seperti terbang di awang-awang.
Dada Suto yang diusap-usapnya kafi ini mendapat giiiran untuk diciumi. Bahkan ciuman pelan itu merayap di seiuruh permukaan dada si Pendekar Mabuk. Kadang-kadang muiut Ratu Mawar memagut dada Suto, menggigit peian sekaii, menimbuikan de-bar-debar keindahan bagi si Ratu Mawar sendiri.
"Oh, nikmat sekali menciumi orang yang sedang tak sadar begini," ujar Ratu Mawar dafam hatinya. Tangannya masih merayap di tempat-tempat yang menimbuikan rasa syuur bag! sang iefaki.
Kini ciuman Ratu Mawar merayap kembaii, dari dada ke ieher Suto. fa mengecup peian feher pemuda tampan itu. Puas mengecupi leher Suto, ciuman itu pun merayap ke dagu dan akhirnya menyentuh bibir Suto. Bibir itu diiumatnya dengan peian agar tak membuat Suto terbangun.
Kecupan bibir yang peian justru berkesan lem-but dan nikmat. Ratu Mawar kian dfbakar oleh gai-rahnya. Kecupan di bibir Suto semakin kencang.
"Ooh...?!" Ratu Mawar terkejut bukan main, karena ternyata Suto memberi perlawanan. Bibirnya ganti melumat bibir Ratu Mawar deraan gerakan yang menimbuikan keindahan begitu tinggi.
"Orang tak sadar ternyata masih bisa membalas ciuman juga, ya?" pikir Ratu Mawar kegirangan. ia bagai tak mau meiepaskan kecupan bibir itu karena Suto pandai menyapu dengan lidahnya yang membuat Ratu Mawar bagai diterbangkan tinggi-tinggi. Napas perempuan berhidung mancung itu su-dah tak teratur iagi. Tangannya semakin kurang ajar. Bahkan ia menuntun tangan Suto untuk meremas sesuatu pada tubuhnya sendirf. Suto meiakukannya dengan gerakan iemah, seakan tenaganya belum puiih. Tapi justru gerakan peian tangan Suto itu menimbuikan dehar-debar yang begitu nikmatnya, sehingga Ratu Mawar semakin mengeluh panjang, merengek dengan suara lirih, dan sesekaii mendesis karena ditikam sejuta kenikmatan.
Pada saat Ratu Mawar sudah di puncak harapan, tiba-tiba Suto Sinting segera membuka mata, la berlagak kaget dengan membelaiakkan matanya dan menyingkirkan tubuh Ratu Mawar yang ada di atasnya. Suto bangkit terduduk dengan wajah ber-iagak tegang dan kebingungan. Ratu Mawar menjadi malu sekaii dan buru-buru berkeiebat ke balik sebongkah batu besar. Di sana ia membetulkan pakaiannya sambil menahan kedongkolan yang membuatnya ingin menangis.
Pendekar Mabuk sengaja membiarkan perempuan itu bersembunyi di balik batu, la hanya tersenyum geli, dan berlagak seperti orang ilngiung.
Ketika Ratu Mawar keluar dari baiik batu, Suto pura-pura memandang penuh keheranan. Ratu Mawar sendai berlagak tenang seperti tidak pernah lakukan apa-apa terhadap diri Suto. ia mendekati Suto dengan senyumannya yang memang menambah cantik paras ayu wajahnya itu.
"Ratu Mawar...?" Suto menyapa dengan nada bingung.
''Ya, memang aku yang membawamu kemarf, Su-
to."
"Oh...?!" Suto cffngak-cfinguk klan mirip orang bego. "Sepertinya aku tadi bermimpi sedang bercumbu dengan seorang wanita."
"Mungkin itu hanya khayalanmu yang hadir dl dalam mimpi."
' Iya. Mungkin memang begitu. Tapi... tapi pakaianku kenapa jadi morat-marit begini, Ratu Mawar?"
“Kau terfuka saat kubawa kemarf. Sepertinya kau diserang seseorang dan membuat pakafanmu morat-marit. Maka ketika kau kubawa kemarf, keadaanmu kubiarkan begitu, karena aku tak berani merapikan pakaianmu; takut kau sangka aku perempuan iancang dan nakal."
Suto Sinting tersenyum kaku, fa segera meng-ambii bumbung tuaknya dan meneguk tuak beberapa ka!i. Ratu Mawar semakin dekat dan duduk dl batu pendek tak jauh dari Suto.
"Bagaimana keadaanmu, Suto? Sudah merasa segar?"
"Hmmm... iya, badanku sudah merasa segar dan sepertinya aku tidak mengaiami luka apa pun."
"Syukurlah. Itu berarti pengobatanku tidak sfa-
sla."
"Oh, jadi kau yang mengobati iukaku?”
Ratu Mawar mengangguk dengan senyum dan pandangan mata masih memancarkan bayang-bayang gairahnya yang tertunda. Suto Sinting pun se-gera berdiri dan mencoba menggerakkan kaki dan tangannya setelah merapikan pakaiannya.
'Hei, di mana Ki Porak Porong? Apakah kau meiihatnya. Ratu Mawar?!"
Perempuan cantik itu geiengkan kepaia.
“Setahuku, kau terkapar sendirian tanpa Ki Porak Porong."
"Oo, begitu?" Suto Sinting berlagak mengingat-ingat kejadian yang membuatnya tak sadar. Padahal dia sebenarnya sudah tahu bahwa penyerangnya adalah Ratu Mawar sendiri. Tapi la tak tahu kaiau Ki Porak Porong tidak ikut dibawa ke gua tersebut, fa bermaksud mencari Ki Porak Porong, tetapi ternyata malam sudah menyelimuti bumi dan hawa dingin begitu mencekam bagai ingin membekukan darah manusia. Akhirnya ia kembal! ke tempat semuia.
"Kau sudah mempunyai kekasih, Suto?" tariya Ratu Mawar dengan cara memandang penuh tantangan bercumbu.
"Sudah," jawab Suto kalem. "Eahkan aku sudah mempunyai calon istri,"
"Bohong," Ratu Mawar mencibir seakan tak mau mempercayai jawaban itu.
“Aku tidak bohong. Calon istriku adalah penguasa Puri Gerbang Surgawi yang dikenai dengan juiuk-an Gusti Mahkota Sejati. Nama sebenarnya; Dyah Sarlningrum."
"Hmmm... ya, aku pernah mendengar nama itu. Tapi aku yakin itu hanya khayaianmu beiaka. Kau punya harapan menjadi suami Dyah Sariningrum dan itu hanya sekadar harapan yang menyatu dengan setiap khayalanmu. Tapi sebenarnya Dyah Sa-riningrum sendiri tidak mencintaimu."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kecut. "Kau beium tahu siapa dia sebenarnya, Ratu Mawar."
"O, aku justru pernah jumpa dengannya beberapa waktu yang laiu. Aku berkunjung ke Puri Gerbang Surgawi bersama Mini Kerudung Lawu, ketika Ninf Kerudung Lawu masih hidup."
"O, kau pernah menghadap Dyah Sariningrum?" Suto muiai percaya.
"Aku hanya mengantarkan Nin! Kerudung Lawu yang ingin bicara tentang sebuah kitab pusaka...."
"Kitab pusaka apa?!” sergah Suto memotong kata-kata Ratu Mawar, ia tampak sedikit tegang dan rasa ingin tahunya begitu besar.
Ratu Mawar diam sejenak, kemudian menjawab pertanyaan'tadi.
"Maaf, soai nama kitab pusaka aku diwanti-wanti oieh Gusti Mahkota Sejati untuk tidak bicara kepada siapa pun. Jadi aku tak bisa sebutkan nama kitab itu, Suto."
"Tap... tapi aku adaiah calon suaminya. Kurasa tak jadi masafah jika kau sebutkan nama kitab itu kepadaku."
Ratu Mawar tersenyum tipis sambi! geleng-geleng kepala, la pindah dari tempatnya, dan berdiri bersandar pada sebongkah batu besar dengan ke¬dua tangan bersedekap di dada!
‘ Aku tak yakin, bahkan tak percaya bahwa kau adaiah caion suaminya. Aku bukan anak kecii yang mudah dikeiabuhi, Suto.
"Sumpah dem! dewa apa saja. Terkutuklah aku seumur hidup jika aku berkata bohong padamu, Ratu Mawar. Aku adaiah caion suami Dyah Sarinfng-rum. Perkawinan kami akan berlangsung seteiah aku datang kepadanya membawa maskawin berupa penggalan kepaia si tokoh sesat yang terkutuk itu; Sifuman Tujuh Nyawa!"
Pendekar Mabuk tampak bernafsu sekaii meya-klnkan kata-katanya. Tetapi Ratu Mawar tetap ge-ieng-ge eng kepaia pertanda tidak percaya. Senyum tipis Ratu Mawar adaiah senyi im meremehkan pengakuan Suto. Hai itu membuat Suto menjadi dongkol sendiri.
"Kau tahu mengapa Gusti Mahkota Sejati tidak ingin nama kitab diketahui oieh setiap orang?"
Mata yang memandang tajam pada Ratu Mawar itu tak mau berkedip. Pendekar Mabuk bahkan ganti bertanya.
"Mengapa...?"
“Karena Gusti Mahkota Sejati takut kena marah suaminya."
"Suaminya...?!" Suto Sinting tambah berkerut dahi. "Ah, dia beium punya suami!"
"Apakah kau tidak mendengar hari perkawinannya yang beriangsung tiga purnama yang ialu?"
Suto Sinting tertegun, jantungnya berdetak-detak dengan napas muiat berat.
"Kau sengaja mengacaukan pikiranku, Ratu Mawar."
"Oh, kasihan sekail. Jadi kau benar-benar belum dengar bahwa Dyah Sariningrum sudah menikah? Kau tidak berpura-pura tidak tahu, Suto?"
Suto muiai gugup. 'Ttid... tidak... tidak..."
Ratu Mawar berdiri tegak, tampak semakin bersungguh-sungguh. ia dekati Suto Sinting yang berwajah tegang, dan pada saat jarak mereka tinggal dua iangkah, Ratu Mawar segera berkata dengan suara jelas.
"Dia sudah resmi menjadi suami Raden Guna Caraka!"
"Sssi... siapa... siapa Raden Guna Caraka itu?!"
"Putra kesultanan Mancanagari. Dia muridnya Ki Porak Porong!"
"Ooh...?i" Pendekar Mabuk kian mendeiik tegang. Wajahnya menjadi merah bagai mau terbakar.
"Aku bicara apa adanya, supaya kau tidak berkhayal menjadi kekasih Dyah Sariningrum iagi. Kurasa Ki Porak Porong mengetahui persis hai itu, karena diafah yang menjodohkan muridnya dengan Dyah Sariningrum. Sementara Nyai Tawang Sangit yang mencarikan beberapa syarat dan yang menyiapkan maskawinnya," tambah Ratu Mawar untuk Sebih meyakinkan kata-katanya.
Suto Sinting diam di kejaunan iangkah. Sekitar iima langkah jaraknya dari Ratu Mawar, pemuda itu memandang ke arah iuar dengan kulit wajah semakin merah. Sekujur tubuhnya gemetar, bahkan napasnya muiai berubah menyeramkan. Tentu saja Suto menjadi marah mendengar keterangan tersebut. fa merasa dikhianati oieh Dyah Sarinihgrum.
Kemarahan yang sungguh-sungguh, yang tumbuh dari dasar hati kecfinya, akan menghadirkan bencana sendiri bagi aiam sekitarnya. Jika Sujo sedang marah, maka napasnya akan berubah menjadi napas badai yang mengerikan. Sebab dufu fa pernah meminum Tuak Setan yang merupakan pusaka berbahaya yang seharusnya dilenyapkan, (Baca serfai Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Maka dafam keadaan diam dan menghadap ke arah pintu gua, napas Suto Sinting muiai menampakkan kedahsyatannya. Satu hembusan pelan saja dapat membuat batu-batu di sekitar-bagian depannya bergetar. Bahkan beberapa batu berukuran sedang mulai bergerak menggeiinding ke iuar gua. Semakin napas ditarik dan dihembuskan panjang, dinding pintu gua muiai bergerak dan timbulkan suara bergemuruh. Getaran dinding dan iantai gua menyerupai datangnya gempa secara periahan lahan.
Ratu Mawar terperanjat dan muiai tegang, ih .menghampiri Suto dan mengguncang-guncangkan tubuh pemuda yang sedang tertegun itu dari depan.
”Suto...l Suto, cepat keiuar dari sini. Gua Ini akan runtuh. Ada gempa di sekitar gua ini, Sutoi Kita keiuar sekarang juga...."
Wiiuus...! Napas Pendekar Mabuk terhempas peian, namun yang keluar dari hidungnya berupa angin kencang yang hampir membuat tubuh Ratu Mawar terhempas mundur. Rambut perempuan itu beterbangan bersama Jubahnya akibet hembusan napas Suto. Akhirnya Ratu Mawar tahu dari mana asai getaran dan angin bergemuruh yang lama kelamaan dapat membuat fanglt-langit gua itu runtuh sendiri. Ratu Mawar segera menyingkir ke samping Sambil membatin penuh kekaguman.
"Napasnya seperti badai kecil! Gila betui! Rupanya dia benar-benar marah mendengar kata-kataku tadi?! Kemarahannya ternyata dapat membuat na-pasnya sekencang ltu?!“
Mata tajam itu segera memandang Ratu Mawar dan suara Suto terdengar datar serta bernada dingin.
“Benarkah yang bernama Raden Guna Caraka itu murid Ki Porak Porong?!"
"Be... be... benari Apakah kau belum mengetahuinya?"
"Aku akan temui KI Porak Porong. Jika dia tak bisa mengatasi persoaian Ini, aku terpaksa menantang adu nyawa dengan muridnyal" ucap Suto Sintlng dengan nada menggeram. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Nspasnya makin berhembus seperti badai menghantam dinding gua.
Duuurrr...t
Langit-langit gua mulai rontok. Suto Sinting melesat keluar dari gua itu tanpa peduli keadaan di f uar geiap. Sementara itu. Ratu Mawar menjadi mengge-ragap panik dan segera Ikut beriarf mengejar Suto.
"Tunggu, Sutooo...! Tunggu aku...i"
Zlaasap...i
Suto gunakan 'Gerak Siluman’, sehingga Ratu Mawar tertinggal jauh.

*
* *

֍↨:: ⑥ ::↨֎

MATAHARI muiai pancarkan sinarnya ke bumi, panasnya sang surya itu mulai terasa menyengat kulit manusia. Tetapi Suto Sinting masih beiurn mau berhenti dari usahanya mencari Ki Porak Porong.
“Bagaimanapun juga pak tua itu teriibat daiam perkawinan Dyah dengan Raden Guna Caraka. Dia harus bertanggung jawab dan menerima upahnya sebagai orang tua yang periu diberi pelajaran!" geram suto Sinting. Tapi nafsu amarahnya sudah tidak sebesar ketika masih berada di daiam gua, sehingga napasnya sudah kembaii sebagal napas manus.a biasa. Tanpa mengeluarkan napas badai yang roe-ngerikan itu.
"Nyaf Tawang Sangit juga perlu mendapat hajar-an karena dia yang membantu terlaksananya perkawinan tersebut. Dan ielaki yang bernama Raden Guna Caraka itu periu bikin perhitungan denganku secara jantan! Tak peduii dia anak Suitan Mancans-qarf, ia harus kusingkirkan karena menentang jaiur sejarah yang sudah ditakdirkan oieh Hyang Widhi Wasa dengan mengawini Dyah Sariritngrumi
Pendekar Mabuk berkaii-kai! menarik napasnya untuk menahan rasa sakit di hati. Pada saat itu hati Pendekar Mabuk bagai disayat-sayat dengan sem-biiu. Perih sekali dan membuat sekujur tubuhnya bagai dibakar bara api amat panas.
Cintanya kepada Dyah Sarfningrum begitu besar, penuh harapan Indah dan rangkaian kebahagiaan di masa datang. Tetapi harapan itu bagaikan ter--bakar hangus ofeh kemarahannya. Cita-cita dan khayalannya akan hidup damai dan bahagia bersama Dyah Sarlningrum menjadi hancur begitu mendengar Dyah Sarlningrum sudah menikah dengan Raden Guna Caraka.
Seiuruh afarn terasa ingin diobrak-abrik oieh Suto Sinting. Lautan Ingin dijungkirbalikkan, dan fangit ingin digempur hingga hancur. Bagi Suto, hidup tanpa Dyah Sariningrum adalah kiamat yang tiada kunjung reda. Perkawinan Dyah Sariningrum telah membuatnya tampak muiaf iiar dan ganas. Caranya memandang penuh permusuhan. Bahkan seekor landak yang bersembunyi di semak-Semak segera iari menyingkir danTnenguncupkan duri-durinya begitu meiihat Suto iewat tak jauh darinya. Pandangan mata Suto seakan ingin menembus setiap pohon yang diiewati, ingin puia menghancurkan setiap dinding tebing ataupun iereng bukit yang dipandangnya.
Sampai tiba langkahnya ditepian sebuah danau berair bening daiam hutan. Pendekar Mabuk dikejutkan oieh kemunculan aesosok bayangan yang lang-sung menghadangnya. Jleeg...! Seseorang telah tu-run dari atas pohon dan sengaja menghadang dl depan Suto Sinting.
"Hai...!" tegur orang itu dengan senyum ceria.
"Mega Jelita!" geram Suto Sinting dengan pandangan mata tidak bersahabat sama sekali. ia tetap melangkah tegap sampai mendekati gadis yang rambutnya potongan shaggy itu.
"Suto, apakah K! Porak Porong sudah kau tumbangkan?!"
"Mengapa kau tanya padakui" jawab Suto dengan tegas.
Mega Jelita tak iagl tersenyum. Dahinya berkerut pertanda memendam keheranan. Hati pun bertanya-tanya pada diri sendiri, "Mengapa Suto menjadi ketus dan tidak menghormat lagi padaku? Apakah kekuatan pengaruh ’Aji Kiimpang Klimpung' sudah tidak menguasai jiwa dan pikirannya lagi?"
Mega Jeiita maupun Suto sendiri tidak mengetahui bahwa kemarahan yang berkobar dari daiam hati Suto itu teiah menghancurkan kekuatan 'Aji Kiimpang Klimpung’, sehingga Suto tidak mempunya! rasa takut dan penurut iagi kepada Mega Jelita. Seandainya ia tidak dibakar ofeh murkanya, seandainya ia tidak mendapat kabar dari Ratu Mawar tentang perkawinan Dyah Sariningrum dengan Raden Guna Caraka, maka kekuatan 'Aji Kiimpang Klimpung’ masih berpengaruh daiam jiwa dan pikirannya.
Gadis murid mendiang Nini Kerudung Lawu pun menjadi heran sekali, sebab selama ini tak ada orang yang mampu terlepas dari pengaruh ’Ajl Klimpang Klimpung’ jika bukan dari Mega Jelita sendiri yang melepaskannya. Oleh sebab itu, Mega Jelita masih sangsi dengan dugaannya sendiri.
"Suto, dekatlah kemari dan peluklah aku. Aku rindu padamu, Suto!" Mega Jeiita sengaja mendekati Suto untuk mencoba kekuatan ’Ajl Klimpang Klimpung’-nya.
"Kau tak periu menggangguku lagi, Meqa Jeiita! Kau urus urusan sendiri dengan Ki Porak Porong!"
Seteiah bicara begitu, Suto Sinting bergegas meneruskan iangkahnya. Tetapi Mega Jeiita sengaja makin menghadang di depan Suto.
"Berhenti! Turuti dulu perintahku Suto!"
Plaaaak...!
Sebuah tamparan meiayang ke pipi Mega Jeiita. Tamparan itu cukup keras membuat Mega Jeiita terlempar ke samping dan jatuh berlutut. Sedangkan pendekar Mabuk teruskan langkahnya tanpa pedulikan keadaan gadis itu lagi.
“Sutooo...i" seru Mega Jeiita dengan suara membentak. Tetapi Suto Sinting tetap melangkah menjauhinya.
Gadis itu penasaran, di sampitu ia juga merasa takut kehilangan Suto. Maka ia pun segera mengejarnya dengan lakukan lompatan beberapa kali, lalu bersaito melintasi kepafa Pendekar Mabuk.
Wuuut, wuuut, jieeg...!
Ia tiba di depan Suto dan menahan langkah pemuda itu lagi.
"Suto, dengar kataku...."
Beet...! Buuhk...!
"Aaakh...!" Mega Jelita terlempar ke samping ketika lengannya ditendang keras oieh Suto. Setelah gadis itu tersingkir. Suto teruskan langkahnya dengan wajah tetap keras dan tanpa persahabatan sama sekali.
"Celaka! Kekuatan ’Aj! Klimpang Kiimpung sudah tidak berpengaruh lagi padanya. Apa yang membuatnya bisa terhindar dari ’Ajl Klimpang Kiimpung -ku itu?! Oh; tidak! Aku tidak mau jika ia pergi darlku dan memusuhiku! Aku harus lepaskan kembali ’Aji Klimpang Klimpung’ supaya ia tunduk kembali padaku!”
Mega Jelita segera lari mengejar Suto. Bahkan la memotong jaian menerabas semak belukar, sampai akhirnya tiba di jaianan depan Suto Sinting. Kemunculannya membuat Pendekar Mabuk hentikan langkah dan memandang dengan tajam, suaranya menggeram pertanda menahan kejengkelannya.
Tiba-tiba Mega Jelita meluruskan tangannya ke langit, kemudian seperi! menarik sesuatu dari langit ke dalam genggamannya. Genggaman, tangan kanannya Itu segera dihantamkan ke depan dan menyemburlah asap hijau menyala-nyala dari telapak tangan tersebut.
Wuuuus...!
Kali !n! Pendekar Mabuk tidak dalam keadaan tidur. Begitu melihat tangan Mega Jelita menghentak ke depan, Pendekar Mabuk lebih dulu sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melenting tinggi dan bersalto melintasi kepala Mega Jelita.
Begitu tiba dl belakang Mega Jelita, kaki Suto segera menyepak ke belakang. Beet, duuuukh...!
"Heehg...!" punggung Mega Jelita tertendang sepakan kak! Suto Sinting. Tubuh gadis Itu terlempar ke depan dan jatuh tersungkur dengan menye dlhkan. Pendekar Mabuk masih diam, berballk arah dan kini pandangi Mega Jelita yang mengerang lirih dengan napas menjadi sesak. Pandangan mata Suto masih tetap setajam ujung tombak, tak ada senyum dan keramahan sedikit pun di wajah tampan itu.
Mega Jelita segera mencabut pedangnya setelah ia berhasil tegak kembali. Suto Sinting tetap tenang, tak kelihatan gentar sedikit pun. Sementara si gadis mula! tampak berang dan bermaksud membalas kekerasan Suto.
Aku Ingin melihat kehebatanmu melawan jurus pedangku, Suto! Hlaaah...!"
Mega Jelita melesat bagaikan terbang dengan pedang siap dihunjamkan ke leher Suto Sinting. Tetapi pada saat Itu, Suto Sinting menggeloyor ke klrl seperti orang mabuk mau tumbang dan tangannya lakukan sentilan satu kail. Tees...!
Sentilan Itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang besarnya seperti tendangan seekor kuda jantan. Bet, buuhk...! Tenaga dalam dar! jurus ’Jarl Gurrtur’ Itu tepat kenai pinggang Mega Jelita.
"Aukh...!" Mega Jelita tersentak berguling ke samping dalam keadaan masih melayang, la kehilangan tenaga dan keseimbangan, akhirnya jatuh berdebam dl tanah dengan mengenaskan. Bruuk...!
"Aaaow...!" la memekik panjang karena tulang lengan kirinya bagaikan patah akibat terbanting dari ketinggian Itu. Namun dalam beberapa kejap saja la sudah bisa bangkit kembali dan lakukan gerakan jurus pedang yang membuat pedangnya bagai melilit di sekujur tubuhnya.
Wut, wut, wut, wut...!
Kelebatan pedang yang cepat sekali itu memancarkan cahaya biru petir. Kilatan cahaya biru yang meliuk-liuk seperti cacing Itu jumlahnya cukup banyak dan saling berlompatan ke sana-sini. Hal Itu membuat Pendekar Mabuk sukar lakukan serangan ke arah Mega Jelita. Karena ketika dicobanya melepaskan jurus ’Jar! Guntur’-rrya, ternyata tenaga dalam yang terlepas tidak dapat menembus kilatan cahaya biru itu. Bahkan memantul balik dan nyaris kenal Suto Sinting sendiri.
Pendekar Mabuk segera mundur beberapa langkah dan membiarkan gadis itu memainkan jurus pedang anehnya itu. la yakin gadis Itu akan lepaskan serangan dari jarak jauh menggunakan pedangnya. Dan ternyata keyakinan Itu memang benar.
Mega Jelita tiba-tiba menyentakkan pedangnya ke depan. Suuuut...! Laludari ujung pedangnya keluar puluhan sinar biru yang meluncur cepat ke arah Suto Sinting. Zraaabb...!
Puluhan sinar biru Itu membentuk seperti sapu lidi yang mekar membentuk jaringan sasaran cukup lebar, pendekar Mabuk harus bergerak lebih cepat dari gerakan sinar tersebut. Maka jurus 'Gerak Siluman’ segera dimanfaatkan. Zlaaap...!
Dalam sekejap la sudah berada dl samping Mega Jelita, sementara sinar-sinar biru dari ujung pedang gadis Itu menghantam sebuah pohon besar.
Jgeaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan bumi. Pohon yang terhantam sinar-sinar biru Itu tlba-tlba lenyap, berubah menjadi serpihan debu coklat yang menyebar ke mana-mana.
Mega Jelita setengah terkejut melihat Suto Sinting dapat hindari jurus pedangnya yang selama Ini tak pernah meleset dari sasaran. Kini la clingak-cll-nguk mencari Suto, dan begitu menemukan dl sebelah kirinya, pedang pun segera ditebaskan ke arah kiri. Claaap...! pedang itu melepaskan sinar merah dalam bentuk pedang juga yang meluncur ke arah Suto.
Pendekar Mabuk lakukan satu lompatan kecil sambil menyambar bumbung tuaknya dari pundak. Bumbung tuak itu segera disentakkan ke depan dan sinar merah berbcntuk pedang menghantam bumbung tersebut. Duub...!
Wuuueess.,.!
Sinar merah berbentuk pedang berbalik arah dengan kecepatan lebih tinggi dan bentuk lebih besar lag!. Mega Jelita terperangah kaget melihat sinar merahnya berbalik arah dalam kecepatan lebih tinggi. Tak mungkin la lakukan gerakan menghindar karena akan kalah cepat dengan kedatangan sinar merahnya itu. Maka satu-satunya jalan la harus menghancurkan sinar merahnya sendiri dengan jurus lain.
Telapak tangan kirinya menyentak ke depan, dan dari telapak tangan kiri itu keluar sinar hijau besar membentuk seperti perisai terbang. Wuuus...! Lalu sinar merah tersebut menghantam sinar hijau tad! dan terjadilah ledakan yang mengguncangkan bumi kembali.
Blegaaarrr...!
Gelombang ledakan Itu menyentak kuat, membuat tubuh Mega Jelita terlempar ke belakang dan membentur sebatang pohon dengan kerasnya. Bruuuss...!
"Aaakh...!" Mega Jelita terpekik lalu jatuh terbanting ke tanah berakar keras, la semakin mengerang kesakitan. Bahkan mulutnya tampak mulai berdarah, demikian pula lubang hidungnya tampak melelehkan cairan yang tak lain adalah darah kental.
Sementara itu, Pendekar Mabuk hanya terpelanting ke belakang dan terhuyung-huyung seperti orang mabuk, la tak sampai jatuh, dan dapat berdiri dengan leher terlipat sedikit dan mata menjadi sayu, kedua kakinya saling rapat dan berjingkat salah satu. Jurus mabuk menahan tubuh Suto hingga tak sampai tumbang.
Tiba-tiba terdengar suara bertepuk tangan dari atas pohon.
Piok, plok, piok, plok...!
Pendekar Mabuk cepat layangkan pandangan matanya ke atas pohon di sebelah kirinya. Ternyata d! sana sudah berdiri seorang perempuan tua berambut putih dengan jubah abu-abu dan badan kurus. Nenek itu menggamit tongkatnya di ketiak sementara tangannya bertepuk-tepuk bagal penonton yang bersorak di akhir pertarungan. Nenek itu tak lain adalah Nyai Tawang Sangit.
Melihat kemunculan Nyai Tawang Sangit, Suto Sinting menjadi menggeram karena Ingat bahwa nenek tua itu ikut andil dalam perkawinan Dyah Sari-nlngrum dengan Raden Guna Caraka. Maka, kedua jari tangan Suto segera mengeras dan kedua jar! itu disabetkan ke depan. Claap...! Sinar ungu dari jurus 1 urangga Laga’ melesat meialui ujung kedua jari tersebut.
"Hlaaahhh...!" Nya! Tawang Sangit sempat menggeragap, karena tak menyangka akan mendapat serangan secara tiba-tiba, la lakukan satu lompatan yang membuatnya turun dari atas pohon sambil menghindari sinar ungu tersebut.
Duaaar...! Sinar ungu itu menghantam sebuah dahan dl seberang pohon tersebut, lalu dahan itu pun patah dan tumbang ke tanah. Brruuss...!
Tapi tubuh Nya! Tawang Sangit sudah berdiri dalam jarak lima langkah dari Suto Sinting dan memutar-mutar tongkatnya dengan satu tangan dl samping kanannya.
Wuuk, wuuk, wuuk, wuuk...l
"Dl pihak mana Itau sebenarnya, Bocah Keropos?! Mega Jelita kau serang sebegitu rupa, sekarang aku pun kau serang juga. Apa maumu sebenarnya, hah?!"
"Menghukum kelancanganmu, Nenek Tua!" geram Suto Sinting.
"Kelancangan apa maksudmu?!"
Pendekar Mabuk belum sempat menjawab, tiba-tiba Mega Jelita bangkit dengan berlutut satu kaki, ia berseru kepada Suto Sinting sambii menahan rasa sakitnya.
"Bunuh dia, Suto...! Bunuh dia...!”
Nya! Tawang Sangit segera menoleh ke samping, dan tlba-tlba tongkatnya yang sejak tadi berputar Itu melayang bagal baling-baling menuju ke arah Mega Jelita. Gadis Itu segera melompat dan ber-jungkir balik di rerumputan. Tetapi ketika la hendak lakukan jungkir balik, ternyata tongkat Itu datang lebih dulu dan ujung tongkat menghantam pelipisnya. Piook...!
"Aaauw...!" pekik Mega Jelita, kemudian la roboh ke tanah dengan telinga mengucurkan darah dan tak mampu mengangkat kepala lagi. Sementara itu, tongkat sang Nya! masih berputar dan melayang balik ke arah pemiliknya. Teeeb...! Nyai Tawang Sangit menangkap tongkat Itu dengan tangkasnya.
Dukh...! Tongkat diberdlrlkan dl tanah dengan tangan kiri memegangi kepala tongkat. Kini pandangan matanya tertuju pada Suto.
"Sekarang apa maumu. Anak Konyol?!" geram Nyai Tawang Sangit. “Kau sangka kemarin aku telah jera melawanmu?! Hmmm...! Ketahuilah, Bocah Ku-rapan.... Aku tak pernah merasa kalah melawan siapa pun walau aku terpaksa melarikan dlrl. Aku hanya mengatur siasat untuk menyusun kekuatan kembali, karena waktu itu aku habis lakukan pertarungan dengan musuh lamaku yang tak perlu kukenalkan padamu! Tenagaku memang berkurang, tapi sekarang tenagaku sudah pulih kembali dan kujamln kau tak akan bisa menyentuh seujung rambut pun!"
"Kita buktikan!" kata Suto dengan tegas.
Dasar bocah bandel! Terimalah jurus 'Tongkat Janda’-ku ini, hiaaah...!"
Nya! Tawang Sangit menyentakkan tongkatnya lurus ke depan dengan kedua tangan. Kakinya merenggang rendah dalam keadaan menghadap Suto menyamping.
Dari ujung tongkat yang menghadap ke Pendekar Mabuk keluar sinar biru sepanjang tongkat itu. Sinar itu bukan hanya satu, melainkan beberapa sinar meluncur deras menyerang Suto secara berturut-turut.
Wuuus, wuuus, wuuus, wuuus, wuuus...!
Pendekar Mabuk segera sentakkan bambu tuaknya dengan kedua tangan memegangi bagian atas dan bawah. Kedua kakinya juga merenggang, membentuk kuda-kuda menyamping sehingga tampak berdirinya cukup kokoh.
Sinar biru itu menghantam bumbung tuak ber-kali-kail. Sinar itu tidak membalik arah, melainkan meledak begitu menghantam bumbung tuak.
Duar, duarr, duuar, dduar, duuuar...!
Dalam posisi kuda-kuda rendah, tubuh Suto selalu terseret mundur jika sinar, biru itu menghantam bumbung tuaknya. Tetapi bumbung tuak itu sendiri tidak mengalam' luka sedikit pun. Hanya mengalami sentakan kuat yang membuat kedua telapak kaki Suto terdesak mundur.
"Bambu apa Itu sebenarnya?!" geram Nyai Tawang Sanglt setelah hentikan serangan jurus 'Tongkat Janda’-nya. "Lecet sedikit pun tidak, apalagi hancur?! Kurasa ia harus kulawan dengan jurus ’ApI Neraka’, tak mungkin tak akan lebur menjadi debu!"
Pendekar Mabuk segera mainkan jurus mabuknya yang meliuk ke sana-sini dan sempoyongan bagai mau jatuh, la masih bersifat menunggu serangan lawannya untuk menguji setinggi apa jurus andalan nenek berjubah abu-abu itu.
Nyai Tawang Sangit menancapkan tongkatnya ke tanah. Jruub...! Lalu la memainkan jurus dl belakang tongkat itu dengan kedua tangan berkelebat ke sana-sini dan posls! kaki selalu merendah.
Bagian atas tongkat yang berbentuk kepala monyet Itu menghadap ke arah Suto Sinting. Tiba-tiba tangan kanan Nya! Tawang Sangit menyentak ke de¬pan dan berhenti dalam jarak satu jengkal dari kepala tongkatnya. Menyusul kemudian dari mulut kepala monyet itu menyembur api yang begitu deras ke arah Suto Sinting. Derasnya api membuat cahaya mes ah kebiruan bergerak lurus bagai lidah ap! yang meliuk berkobar-kobar.
Jooosss...!
Semburan itu sangat panjang dan mencapai tempat Suto Sinting berdiri. Pendekar Mabuk sudah siap hadapi jurus Itu. la akan menggunakan jurus Bambu Perawan' yang dapat menyedot sinar tenaga dalam lawan melalui bumbung bambu yang dibuka tutupnya. Tetapi sebelum jurus itu digunakan, ilba-tlba sekelebat bayangan melesat menghadang di depan Suto Sinting bertepatan dengan datangnya semburan ap! yang dapat melelehkan baja Itu.
Wuuut, jleeeg...!
Bayangan Itu ternyata adalah Kl Porak Porong. la langsung menyentakkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah datangnya semburan api tersebut. Dari telapak tangan klrl itu menyembur pula asap putih dengan derasnya yang kemudian menyebarkan hawa dingin di alam sekitar mereka.
Wooossss...!
Asap putih Itu ternyata mengandung busa-busa salju. Asap putih Itu membungkus semburan api tersebut, sehingga dalam beberapa kejap saja semburan api Itu padam dan asap putih pun menyebar bersama hawa dingin yang membuat daun-daun di sekl-tarnya menjadi putih karena ditabur! busa-busa salju.
"Keparat kau, Porak Porong! Mengapa kau lindung! bocah Itu dengan jurus 'Kerak Salju'-mu, hah?!" Nyai Tawang Sangit marah kepada Kl Porak Porong.
"Heh, heh, heh, heb...! Tentu saja aku mengam-b!! sikap seperti ini, karena kau t!dak tahu siapa sebenarnya si bocah tampan ini, Tawang Sangit!" kata Kl Porak Porong dengan mengusap-usap jenggotnya yang panjangnya mencapai dada.
"Apa maksudmu berkata begitu, Porak Porong! Tidakkah kau tahu bahwa bocah itu hampir mencelakaiku?!"
"Tentu saja, karena dia dalam pengaruh kekuatan ’Aji Kllmpang Klimpung’-nya sl Mega Jelita."
"Dia juga menghajar Mega Jelita! Lihat bocah gadis !tu dl sana!" sambil Nyai Tawang Sangit menuding Mega Jelita yang masih tergeletak di rerumputan daiam keadaan pingsan.
“O, kalau begitu Suto Sinting sudah terhindar dari pengaruh ’Aji Klimpang KHmpung’-nya s! Mega Jelita."
"Ya. Dan d!a pun menyerangku dengan sungguh-sungguh!"
Kl Porak Porong segera berbalijc menghadap -Suto Sinting. Saat itu Pendekar Mabuk memandang dengan sorot pandangan mata bermusuhan. Ki Porak Porong agak curiga, di sempat kerutkan dahi dalam memperhatikan raut wajah Pendekar Mabuk.
"Ada apa dengan dirimu. Nak?"
Suto Sinting masih diam. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Napasnya mulai meng-nembuskan napas badai samar-samar, sehingga rumpui d! depannya tercabut dari akarnya. Wuurs...!
Ki Porak Porong terkejut melihat rumput-rumput beterbangan, tanah menjadi berongga, batu-batuan pun bergeser dari tempatnya.
"Wah, kesurupan setan mana kau ini. Nak? Tidakkah kau Ingat padaku?!"
"Aku Ingat! Kau adalah orang tua pikun yang
layak kuhukum!"
Heh, heh, heh, heh... mengapa kau mengigau sebeium waktunya tidur, Nak? Apakah kau sangka orang yang kemarin menyerangmu itu adalah aku? Oh, tidak begitu, Suto Sinting.
Nyai Tawang Sangit menyahut, "Porak Porong apa kau bilang tadi? Suto Sinting?! Bukankah Suto Sinting itu nama muridnya Kakang Gila Tuak?”
"Memang benar, Perempuan Rabun! Dia adalah muridnya Sabawana alias si Gila Tuak. Cleh sebab itulah kutahan seranganmu tadi. Kalau Gila Tuak sampai tahu, mampuslah kita berurusan denqan-nya!"
K! Porak Porong segera menatap Suto kembali.
“Suto, ketahuilah bahwa saat Itu aku pun menerima serangan yang melumpuhkan seluruh jalan darahku dan hilangnya kesadaranku. Untung saja seorang temanku yang gemar berkeiana; si Jubah Kapur, lewat dan mengetahui keadaanku. Kemudian la menyembuhkan lukaku dan aku menjadi sehat kembali. Tapi saat itu aku tak melihat kau berada dl mana, Suto. Jubah Kapur sarankan agar aku segera mengejar Mega Jelita untuk urusan kitab pusaka Kidung Bencana itu, sedangkan ia akan mencarimu ke arah lain. Jadi jangan kau sangka aku yang menyerangmu dari belakang, walaupun saat sebelum aku tumbang aku juga sempat melihatmu melintir karena serangan itu."
Tutup mulutmu, Kakek Tual" gertak Suto Sinting. "Aku harus bikin perhitungan denganmu tanpa alasan itul"
"Heh, heh, heh, heh...l Kenapa kau jadi galak padaku, Nak?"
"Jangan berlagak dungu kau, Porak Porong!" sentak Suto membuat Ki Porak Porong terkekeh kembali sambil menengok kepada Nyai Tawang Sa-nglt.
"Heh, heh, heh, heh...! Dia mengatakan aku berlagak dungu. Padahal tak perlu berlagak dungu memang sudah benar-benar dungu, ya?! Heh, heh, heh...!"
“Hajar saja dia! Biar tahu sopan kepada orang tua!" geram Nyai Tawang Sanglt.
Sebelum KI Porak Porong bicara lagi kepada Suto, ternyata Nyai Tawang Sangit sudah tak sabar lagi, la segera melepaskan pukulan bersinar merah ke arah Pendekar Mabuk. Weees...!
Tangan kiri Suto pun segera berkelebat melepaskan pukulan bersinar hijau yang dinamakan jurus ’Pukulan Guntur Perkasa’ itu. Claaap...!
Kedua sinar bertabrakan dl pertengahan jarak.
Blaaar...!
Pendekar Mabuk terhuyung ke belakang, namun cepat tegak kembali. Nyai Tawang Sangit dan KI Porak Porong juga tersentak ke belakang tiga tindak, namun mereka segera sigap kembali.
"Bocah ini memang perlu diberi pelajaran!" gumam K! Porak Porong.
"Heeeaah...!" K! Porak Porong melesat bagaikan terbang. Tongkatnya dipegang dengan dua tangan, atas dan bawah.
Seketika itu pula Suto Sinting lakukan lompatan maju menyongsong serangan Ki Porak Porong. la pun menggenggam bumbung tuaknya dengan kedua tangan dalam keadaan melayang cepat ke udara. Wuuut...!
Di pertengahan jarak, tongkat Ki Porak Porong beradu dengan bumbung tuak Suto Sinting.
Traaak...! Blaarrr...!
Rupanya tongkat Ki Porak Porong juga berisi tenaga dalam cukup besar, sehingga ketika beradu dengan bumbung tuak sakti yang berisi tenaga dalam besar itu, memerciklah cahaya merah tembaga bersama bunyi ledakan yang menggelegar. Gelombang ledakan itu menyentak kuat, membuat KI Porak Porong terlempar kehilangan kendali dan membentur sebatang pohon besar. Brruuuss...!
Sedangkan Suto Sinting juga terlempar, namun la bisa kendalikan keseimbangan tubuhnya, sehingga m^mpu bersalto satu kali. Kemudian la mendaratkan kakinya dl tanah dengan tegak, setelah itu baru melengkung ke kanan seperti orang mabuk mau tumbang.
"Porak Borong...!" seru Nyai Tawang Sangit. "Mengapa kau sampai berdarah begitu?!"
"Ssa... sakiiiit...," rintih Ki Porak Porong.
"Kalau begitu, kuhabisi saja nyawa anak Itu. Keparat! Hiaaah...i"
Suto Sinting mundur dua langkah sambil meng-geloyor, lalu tegak dan mendongak. Tuak dituang ke mulutnya. Glek, glek, glek...! Seakan acuh tak acuh akan datangnya serangan dari Nyai Tawang Sangit.
Lompatan Nya! Tawang Sangit tanpa tongkat itu berhasil dihindari Suto dengan berkelit memutar tubuh ke samping. Wuuuus...! Tendangan Nya! Tawang Sangit melesat dari sasaran, sementara Suto Sinting lanjutkan menenggak tuaknya. Glek, glek, glek...!
Bumbung tuak diturunkan dan ditutup. Dari belakang melesat tubuh Ki Porak Porong bersama ujung tongkat yang siap disodokkan ke tengkuk kepala Suto. Tetapi tengkuk itu bagaikan punya mata. Suto segera limbung ke depan seperti orang mabuk Ingin tersungkur. Bumbung tuaknya digunakan untuk menahan tubuh yang melengkung rendah itu. Akibatnya sodokan tongkat bersama terjangan tu-buh KI Porak Porong lewat d! atas punggung Suto Sinting. Wuuuss...!
Suto tegak kembali. Punggung Ki Porak Porong yang berada dalam satu jangkauan itu segera dihantam dengan pangkal telapak tangan. Duuuhk...!
"Uuukh...!" KI Porak porong tersentak ke depan, menggeioyor tanpa keseimbangan badan. Lalu menabrak tubuh Nyai Tawang Sangit sambil memuntahkan darah segar.
Bruuus...!
"Hooeek...!"
"Bangkai busuk! Kenapa kau muntah dl depan wajahku, Tololi" bentak Nyai Tawang Sangit sambil membuang tubuh Ki Porak Porong ke samping.

*
* *

֍↨:: ⑦ ::↨֎

MEGA JELITA siuman dengan sendirinya. Tapi la masih merasa berat mengangkat kepalanya yang berdarah, la memaksakan diri karena penasaran setelah mendengar ledakan beberapa kali.
Dengan bantuan batang pohon, Mega Jelita berhasil menegakkan badan walau dalam keadaan duduk. Kepalanya disandarkan pada batang pohon tersebut. Matanya memandang dengan samar-samar, namun ia segera tahu apa yang terjadi di depan sana.
"Ya, ampun...! Suto bertarung melawan Ki Porak Porong dan Nyai Tawang Sangit?! Ooh... curang sekali kedua orang tua itu! Anak semuda Suto dikeroyok berdua, tentu saja Suto jadi babak belur! Aku harus membantunya!"
Mega Jelita Ingin berdiri, tapi ia tak mampu dan jatuh terkulai kembali. Brruk...!
"Ooh... kekuatanku benar-benar hilang bagaikan tak tersisa lagi. Apa yang harus kulakukan jika begini? Tenagaku tak mampu untuk menyangga tubuhku sendiri. Sebaiknya kucoba mengendalikan hawa murniku untuk memberi tenaga baru dalam tubuhku!"
Sementara itu, Pendekar Mabuk masih tetap bertahan hadap! kedua lawannya yang berilmu cukup tinggi. Agaknya Suto masih mampu menghadapi kedua ilmu yang menjadi satu itu, walau akhirnya kedua lawan menjadi babak belur, dan Suto Sinting sendiri juga babak belur.
“Hentikaaan...!” seru Ki Porak Porong sambil menyemburkan darah lag! dari mulutnya. Lagl-lagl Nyai Tawang Sangit terima apes; terkena semburan darah dari belakang dl bagian kondenya. BruuuSs...!
"Dasar bodong!"
Ploook...|
K! Porak Porong terkena tamparan tangan Nya! Tawang Sangit. la terpelanting jatuh, karena tubuhnya telah iemas sejak berkaii-ka!l terkena pukulan Suto Sinting. Jika bukan Ki Porak Porong, mungkin orang Itu sudah mati sejak tadi karena menerima pukulan Pendekar Mabuk yang membahayakan itu.
Kini kedua orang tua itu saling hentikan serangan. Mereka sama-sama ngos-ngosan. Nyai Tawang Sangit masih berdiri sambil berpegangan pohon. Ki Porak Porong terkapar d! tanah, lalu berusaha bangkit dan hanya bisa sampai duduk bersandar pada pohon. Sedangkan Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya yang tinggal sedikit itu. Dengan menenggak tuak, maka luka-lukanya akan hilang dan kekuatannya pulih kembali.
Ki Porak Porong dan Nyai Tawang Sangit terpe-rangah tegang ketika Suto Sinting menghampiri mereka dalam keadaan segar bugar.
"Mati kita Ini, Tawang...," bisik K! Porak Porong.
"Aku masih sanggup melawannya...," ujar Nyai Tawang Sangit sambil terengah-engah.
Suto berhenti dalam jarak empat langkah dl depan mereka. Pandangan matanya masih memancarkan permusuhan yang sengit. Kl Porak Porong akhirnya berseru dengan jengkel.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan darlku, hah?! Apa salahku hingga kau menyerangku dengan jurus-jurus mautmu itu, Suto?l"
"Temukan aku dengan muridmu, dan aku akan mengadu nyawa dengannya. Dia atau aku yang mati!" kata Suto Sinting dengan tegas.
"Muridku...?! Muridku siapa?!' 1
"Raden Guna Caraka!"
Ki Porak Porong dan Nyai Tawang Sangit saling pandang dengan bingung.
"Aku semakin membencimu j!ka kau masih berpura-pura bodoh. Kakek Tua!"
"Dia memang bodoh!" potong Nyai Tawang Sangit.
"Nanti dulu, Suto... aku memang mempunyai seorang mur!d, tapi murid perempuan yang bernama Galuh Tanjung."
Pendekar Mabuk d!am sebentar. Matanya mas!h tertuju tajam kepada Ki Porak Porong.
Nyai Tawang Sangit berkata lirih kepada KI Porak Porong.
"Agaknya terjadi kesalahpahaman, Porong...!"
Suto segera perdengarkan suaranya yang masih bernada geram.
"Kau telah mengawinkan muridmu dengan Dyah Sar!n!ngrum; penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi itu! Apakah kau tak tahu bahwa dia adalah calon Istriku?"
"Heh, heh, heh...," Kl Porak Porong terkekeh lemas. "Kau Ini lucu, Nak. Mana mungkin aku mengawinkan muridku dengan seorang perempuan, sedangkan muridku sendiri adalah seorang perempuan. Aku tidak punya murid yang bernama Raden Guna Caraka!"
Nyai Tawang Sangit segera menimpali, "Setahuku, nama Guna Caraka adalah nama putra dari Ke-suitanan Mancanagari...."
"Memang benar!" sahut Suto tegas.
"Raden Guna Caraka adalah orang yang menghamili Ratu Mawar dan tidak mau bertanggung jawab. Akhirnya Ratu Mawar diusir dari kadipaten, tak diakui anak lagi oleh sang Adipati," ujar Nyai Tawang Sangit.
"O ya, ya... aku baru Ingat. Guna Caraka memang anak dari Sultan dl Kesuitanan Mancanagari. Tapi dia bukan muridku. Bahkan aku hanya kenal nama saja. Belum pernah melihat orangnya," timpal Kl Porak Porong.
Kedua keterangan Itu membuat Suto Sinting jadi tertegun dan mengendurkan ketegangannya.
"Siapa yang mengatakan bahwa aku me-ngawinkan muridku dengan Dyah Sariningrum yang kukenai dengan nama Gusti IVlahkota Sejati itu, Nak?" tanya Ki Porak Porong.
Seteiah meianju kan masa bungkamnya beberapa saat, akhirnya Suto Sinting pun menjawab sambi! memandang Ki Porak Porong.
"Ratu Mawar sendiri."
"Keparat bocah itu!" geram Nyai Tawang Sangit. "Sudah mengadu domba aku dengan Nyimas Gandrung Arum, sekarang memfitnahmu, Porak Po-rong!"
"Heh, heh, heh...," Ki Porak Porong justru tertawa di seia kesakitannya. "Kita ternyata dibuat mainan anak kemarin sore, Tawang Sangit."
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya, “Jadi... kau tidak mengawinkan muridmu dengan Dyah Sari-ningrum?"
"Heh, heh, heh...! Kau pikir aku orang tua yang giia, mengawinkan Gaiuh Tanjung dengan seorang perempuan juga?!"
Jantung Suto musai berdetak-detak karena mengaiami keiegaan. la merasa iebih baik tertipu begitu ketimbang cerita Ratu Mawar menjadi kenyataan. Napas pemuda tampan itu akhirnya terhembus iepas tanpa mempunyai kekuatan badai seperti tadi, sebab kemarahannya segera reda seteiah menyadari bahwa ia teiah tertipu oieh Ratu Mawar.
“Barangkaii Ratu Mawar sengaja membuai begitu supaya aku tidak keberatan melayani gairahnya pada masam itu," ujar Suto Sinting seteiah menjelaskan perkara sebenarnya kepada Ki Porak Porong dan Nyai Tawang Sangit.
“Heh, heh, heh...! Perempuan kaiau sudah punya gairah memang suka bikin uiah yang bukan-bukan!"
"Tidak semua perempuan begitu!" sentak Nyai Tawang Sangit kepada Ki Porak Porong, saudara seperguruannya.
"Memang tidak semua perempuan begitu. Tapi perempuan yang tidak begitu justru sudah pada mati, yang hidup tinggai perempuan yang begitu!"
"Enak saja!"
Piaaak...! Nyai Tawang Sangit menendang pinggang Ki Porak Porong. Kakek tua itu menyambar dengan tangannya, hingga kaki Nyai Tawang Sangit tersentak oieh tangkisan dan hiiangiah keseimbangan nenek berjubah abu-abu itu. Akibatnya sang nenek pun terpeianting jatuh menindih tubuh Ki Porak Porong yang masih duduk itu. Brruus...!
"Aaaiyaaow...!" Ki Porak Porong memekik kesakitan karena iuka di perutnya yang memar akibat pukuian Suto tadi terasa semakin sakit saat kejatuhan tubuh Nyai Tawang Sangit.
Suto Sinting mulai dapat tersenyum geii meiihat kedua orang ianji.it usia saiing bergeiut sendiri. Tapi tawa 'tu segera lenyap se eiah ia mendengar suara dentuman menggeiegar.
Pendekar Mabuk segera memandang ke arah datangnya suara iedakan. Ki Porak Porong dan Nyai Tawang Sangit juga segera terperanjat dan memandang ke arah utara.
"Ada sebuah pertarungan!" pikir Suto Sinting. Sebagai kebiasaan si Pendekar Mabuk, seiaiu ingin tahu jika mendengar suara pertarungan. Maka pemuda tampan itu pun segera bergegas untuk menuju ke utara.
Tetapi iangkahnya terpaksa dibatalkan karena dari arah utara segera muncui Ratu Mawar yang ber-iari dengan kecepatan tinggi. Di beiakang Ratu Mawar tampak seorang perempuan berjubah kuning satin dengan penutup dada serta ceiana ketat sebatas betis berwarna biru. Perempuan itu berambut panjang sepundak dengan sebagian rambut digu-iung di tengah, la menghunus pedang, sama seperti Ratu Mawar.
"Ke mana pun larimu akan kukejar, Ratu Mawar!" seru perempuan berjubah kuning itu.
Pendekar Mabuk cepat sentiikan jarinya ke arah Ratu Mawar. Tess...! Jurus Jari Guntur' kenai iam-bung Ratu Mawar. Akibatnya perempuan yang teiah mendustai Suto Sinting itu terjungkai dari pelariannya dan hampir saja pedangnya menggores ieher sendiri.
Bruuus...!
Perempuan berjubah kuning mempercepat pengejarannya, hingga daiam waktu singkat ia sudah berhasii menendang kepaia Ratu Mawar yang ingin segera bangkit itu. Dees...!
"Aaakh...i“ Ratu Mawar terlempar dan berguiing-guiing.
Pedang si perempuan berjubah kuning segera ditebaskan ke arah ieher Ratu Mawar. Tetapi daiam keadaan setengah berdiri itu. Ratu Mawar berhasil menangkis tebasan pedang dengan menggunakan pedangnya sendiri. Traaang...i Kemudian ia bergu-iing satu kali ke tanah dan menyambar kaki si perempuan berjubah kuning dengan pedangnya. Wees...!
Wuuut...! Perempuan berjubah kuning melompat satu sentakan sehingga kakinya lolos dari ancaman maut pedang Ratu Mawar.
Daiam keadaan setengah terbaring, Ratu Mawar sentakkan pedangnya ke atas, ingin menusuk bagian bawah si jubah kuning. Tetapi pada waktu itu si jubah kuning segera mengadu ujung pedangnya dengan ujung pedang Ratu Mawar.
Traaak...! Ujung pedang yang saling bertemu membuat si jubah kuning menyentakkan tangan yang memegang pedang. Wuuut...! Dengan begitu tubuhnya dapat melambung lebih tinggi dan bersalto di udara satu kali. Wuukkk...!
Jieeeg...l
Si jubah kuning berhasii daratkan kakinya ke tanah dengan sigap. Ratu Mawar segera bangkit dan membabatkan pedangnya membeiah punggung si jubah kuning. Tetapi pedang sl jubah kuning segera berkeiebat ke belakang. Dengan begitu tebasan pedang Ratu Mawar membentur pedang lawannya. Traaang...!
Jubah kuning berkeiebat cepat memutar tubuhnya. Bersamaan dengan itu pedangnya pun menebas dari kiri ke kanan. Beet, craa-ss.. J
"Aaakh...!" Ratu Mawar terpekik sambit tersentak mundur. Rupanya perut Ratu Mawar mulai terkena tebasan pedang si jubah kuning. Waiau tak seberapa parah lukanya, namun cukup mengguncangkan ketenangan Ratu Mawar, sehingga ia terpaksa meiarikan diri iagi.
Tetapi Suto Sinting segera menghadang langkah pelariannya. Ratu Mawar terpaksa hentikan iangkahnya setelah tiba-tiba wajah Suto tampak dl depannya.
,, Suto...! ,, sapanya dengan tegang.
"Kau punya perhitungan sendiri denganku. Ratu Mawar! Hampir saja aku membunuh kedua orang tua itu gara-gara cerita busukmu itu!"
Jubah kuning segera menerjang Ratu Mawar dari beiakang. Pedangnya teiah terjulur ke depan. Satu terjangan membuat punggung Ratu Mawar terhunjam pedang si jubah kuning.
Tetapi Ki Porak Porong segera berseru* 'Tahan, Gaiuh Tanjung...!"
Ternyata si jubah kuning Itu adalah Galuh Tanjung, murid Ki Porak Porong yang tadi dibicarakan di depan Suto. Gerakan perempuan muda yang berusia sekitar dua puluh empat tahun itu segera terhenti karena ia mengenali suara gurunya.
"Guru... biarkan aku membunuh perempuan ja-hat itu, Guru!"
"Tahan duiu amarahmu, Gaiuh Tanjung. Apa persoalannya sehingga kau bernafsu sekail untuk membunuh sl Ratu Mawar?i"
Suto Sinting sendiri begitu mendengar nama Galuh Tanjung disebutkan, matanya meiirik ke arah si jubah kuning. Laiu, daiam hatinya ia berkata pada diri sendiri.
"O, itu yang namanya Gaiuh Tanjung? itu yang menjadi murid Ki Porak Porongl Hmmm... cantik juga, ya?!"
Perhatian Suto kepada Galuh Tanjung segera buyar, karena Ratu Mawar berkeiebat ingin larikan diri seteiah tahu di situ ada Ki Porak Porong dan Nyai Tawang Sangit. Pendekar Mabuk segera menyambar kaki Ratu Mawar, akibatnya perempuan itu jatuh tersungkur tak jadi meiarikan diri. Gaiuh Tanjung menyergap dan mengacungkan pedangnya ke tengkuk kepala Ratu Mawar.
"Bergerak sedikit saja kuhunjamkan pedangku ini ke lehermu. Keparat!"
Nyai Tawang Sangit berseru puia kepada Galuh Tanjung.
"Lepaskan ancamanmu, biar kutangani dia kalau macam-macam iagi, Gaiuh Tanjung!"
Gaiuh Tanjung sungkan menentang Nyai Tawang Sangit. Tapi ia segera menginjak tangan Ratu Mawar dengan keras. Kraaak...!
“Aaakh...!" Ratu Mawar terpekik daiam keadaan tengkurap. Tuiang tangan kanannya terasa patah.
Genggaman pedangnya menjadi mengendur, dan kaki Gaiuh Tanjung menyampar pedang itu. Beeti Zraaak...! Pedang itu meiuncur di tanah dan menancap pada akar sebatang pohon yang menjuiang bagaikan batu. Jruub...!
"Bangun kau, Ratu Mawar!" gertak Nyai Tawang Sangii yang sudah merasa kehabisan kesabaran karena uiah si Ratu Mawar.
Dengan peian-peian dan penuh kecemasan, Ratu Mawar akhirnya bangkit berdiri dan sekeiiiingnya dijaga oieh mereka. Pendekar Mabuk ada di beia-kangnya dengan penuh waspada.
“Tingkahmu makin iama semakin memuakkan kami. Ratu Mawar!" gertak Nyai Tawang Sangit. "Apa maumu sebenarnya, hah?!"
Ratu Mawar beium menjawab, tiba-tiba Ki Porak Porong sudah ajukan tanya kepada Gaiuh Tanjung,
"Muridku, kau beium menjawab pertanyaanku yang tadi. Mengapa kau bernafsu sekali membunuhnya, Gaiuh Tanjung?"
"Guru, ketika aku mencarimu, aku memergoki pertemuan Ratu Mawar dengan Raden Guna Caraka. Aku mendengar percakapan mereka dengan je-ias. Guru."
"Apa yang mereka percakapkan?"
"Ratu Mawar tetap ingin dinikahi oieh Raden Guna Caraka. Tetapi pemuda itu tetap menoiak sebelum Ratu Mawar berhasii serahkan Kitab Kidung Bencana yang asii kepadanya."

"Oh, jadi kau yang mencuri Kitab Kidung Bencana itu, Ratu Mawar?!" bentak Nyai Tawang Sangit.
"itu fitnah!" Ratu Mawar juga membentak dengan tak kaiah keras. "Aku tidak bicara begitu kepada Raden Guna Caraka!"
"Heh, heh, heh, heh.... Bicara atau tidak yang jelas kau teiah memfitnahku dan mengeiabuhi Suto Sinting. Aku bisa menghukummu dengan caraku sendiri karena aku merasa kau adu domba dengan Suto Sinting. Bahkan Nyai Tawang Sangit pun kau adu domba dengan Nyimas Gandrung Arum. Untung semua itu tak sampai memakan korban nyawa. Jadi sebaiknya mengakulah secara terus terang, apa kesalahanmu dan apa yang teiah kau perbuat, supaya kami bisa memaafkanmu tanpa harus memberi hukuman berat padamu, Ratu Mawar!"
"Aku memang tidak berbuat kesalahan!" Ratu Mawar ngotot.
"Mengakuiah, Keparat!" bentak Galuh Tanjung dengan matanya yang indah itu membeiaiak iebar, menambah wajahnya semakin cantik. Pendekar Mabuk memperhatikan secara sembunyi-sembunyi dan berdecak kagum di dalam hati.
Ratu Mawar memandang Gaiuh Tanjung dengan mata mengecil menampakkan kebencian yang daiam. Dengan suara menggeram ia berkata kepada Gaiuh tanjung.
"Tentukan siapa yang benar di antara kita berdua daiam suatu pertarungan sampai mati! Jika kau yang mati, kauiah yang menyebar fitnah itu. Jika aku yang mati, maka aku memang berada dl pihak yang saialii"
"Baik!" jawab Gaiuh Tanjung dengan tegas. "Mari kita tentukan dalam pertarungan nyawa!"
"Tidak!" sergah Ki Porak Porong. “Ada jalan yang terbaik untuk mengetahui siapa yang benar dalam hal ini!"
Tiba-tiba jari tangan Ki Porak Porong menyentak ke depan dan eeberkas sinar putih sebesar lidi melesat menghantam ieher Ratu Mawar.
Claaap...! Deees...i
Ratu Mawar tersentak dan berusaha merunduk walau terlambat. Tapi ia tak merasakan sakit sedikit pun. la hanya pegangi lehernya dan melihat tangannya ternyata tidak ada bekas darah di tangan itu. Berarti lehernya tidak teriuka, dan memang ieher itu tetap muius tanpa luka sedikit pun.
Tapi Ki Porak Porong segera berkata sambil memandang Suto Sinting.
"Dengan menanamkan 'Racun Kejujuran’, dia tak akan bisa berbohong sedikit pun kepada kita."
Ratu Mawar tegak kembaii, setiap wajah dipandangi kecuaii wajah Suto yang ada di belakangnya. Nyai Tawang Sangit eegera ajukan pertanyaan dengan suara tegasnya.
“Benarkah kau bertemu dengan Raden Guna Caraka?!"
Ratu Mawar menjawab pelan, "Ya, memang aku bertemu dengan Guna Caraka!"
Suto membatin, "Benar-benar mujarab 'Racun Kejujuran’ itu. Agaknya Ratu Mawar tak bisa berbohong lagi dalam menjawab pertanyaan siapa pun."
KI Porak Porong ajukan tanya, "Benarkah kau yang mencuri Kitab Kidung Bencana itu?!"
"Benar. Memang aku yang mencurinya, karena aku ingin berdekatan dengan Raden Guna Caraka. Syaratnya aku harus bisa serahkan padanya kitab pusaka Kidung Bencana. Maka kucuri kitab itu."
"O, jadi memang benar, kau yang mencuri kitab itu?!" suara Galuh Tanjung terdengar iantang. "Laiu, mengapa Raden Guna Caraka tadi mengatakan bahwa kitab itu palsu?!"
"Karena... karena kitab itu tidak ada tuiisan apa-apa. Hanya lembaran-iembaran kosong belaka."
"Heh, heh, heh...! Kau benar-benar bodoh, Ratu Mawar. Tak tahukah kau bahwa kitab Itu tak boleh dimiiiki oleh orang ialn kecuali tiga murid Eyang Sanggah Wedi, yaitu guru kami bertiga?!" ujar Ki Porak Porong.
"Sekarang dl mana kitab itu?!" tanya Nyai Tawang Sangit.
Ratu Mawar tetap tak bisa berbohong. "Kubuang ke daiam Sumur Naga. Aku benci dengan kitab itui Benci sekali! Aku merasa tertipu telah mencuri kitab itu. Karenanya.diam-diam kubunuh Nlni Kerudung Lawu untuk melampiaskan kebenclanku terhadap kitab itu!"
"Hahhh...?! Jadi, kau yang membunuh Nlni Kerudung Lawu?!" seru Galuh Tanjung yang terkejut mengingat hampir saja mereka saling bunuh gara-gara fitnah si Ratu Mawar.
Suto pun segera memberi minum mereka dengan sisa tuaknya, termasuk Mega Jeiita. Luka-luka mereka menjadi lenyap dan kekuatan mereka pulih kembail setelah menenggak tuak sakti tersebut.
Galuh Tanjung mendekati Suto dengan senyum manisnya.
"Aku beium dapat bagian tuakmu," katanya.
"Tuaknya habis!" sahut Mega Jelita sambil cemberut. Suto Sinting hanya bisa tertawa melihat nada-nada cemburu si Mega Jelita itu.

SELESAI

PENDEKAR MABUK

Segera terbit!!!
PEREMPUAN JAHANAM


INDEX SUTO SINTING
69.Siasat Dewi Kasmaran --oo0oo-- 71.Perempuan Jahanam


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.