Life is journey not a destinantion ...

Perempuan Jahanam

INDEX SUTO SINTING
70.Hilangnya Kitab Pusaka --oo0oo-- 72.Gadis Tanpa Raga

SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi


:#: 1 :#:

SEBUAH kedai yang mempunyai dua iantai menjadi kebanggaan masyarakat Desa Cacaban. Kedai itu kedai terbesar dibanding kedai kedai di empat desa dalam wiiayah Kadipaten Suryatama.
Pemiliknya bekas saudagar yang bangkrut akibat perjudian sabung ayam. Saudagar itu bernama Kopayah, dulu sering di panggil Tuan Ko. ia berdarah campuran; ibunya bakui pecel dari Tanah Jawa dan ayahnya pengeiana dari Tiongkok. Keduanya sudah meninggai, dan Kopayah tidak ikut meninggal. ia punya pendirian sendiri, sehingga sampai usia enam puluh lima tahun masih tetap awet hidup.
Kedai itu cukup ramai. Setiap hari banyak pengunjung yang berdatangan siiih berganti. Selain memang harga makanan dan minuman di situ memang lebih murah dibanding harga pasar, bangunan tinggi itu ternyata juga bukan untuk usaha kedai saja, meiainkan mempunyai kamar-kamar sewaan. Lantai atas adalah iantai kamar sewaan, sedangkan lantai bawah khusus untuk kedai. Jadi bangunan itu seiain kedai juga merangkap penginapan, lengkap dengan surat Izinnya yang dipasang di pintu masuk kedai.
Desa Cacaban merupakan pintu gerbang menuju Kadipaten Suryatama. Bukan hal aneh jika usaha penginapan di desa itu cukup laris. Sebab Kadipaten Suryatama adalah pusat perdagangan dimasa itu. Para pendatanag dari arah laut selalu melewati desa tersebut.Atau orang yang mau tinggalkan Suryatama untuk menyeberang pulau selelau melewati desa itu.
Selain para pedagang yang makan dan bermalam di kedainya Kopayah, para tokoh dunia persilatan juga banyak yang singgah, baik hanya sekedar untuk makan dan minum atau untuk bermalam Sekalian.
Salah satu tamu yangduduk di kedai pada hari itu adalah seorang pemuda tampan berambut lurus tapi lemas sepanjang pundak. Rambut itu dilepas tanpa ikat kepala, sehingga jika menunduk sedikit beberapa helai rambut meriap menutupi wajah tampan si pemuda.
Dengan mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih berlilit ikat pinggang merah, bentuk tubuh pemuda tersebut kelihatan kekar dan tegap. Sebatang bambu tempat tuak berada di sampingnya. Bumbung tuak itulah yang menjadi ciri khas penampilan si pemuda, sehingga dikcnal oleh banyak orang, walaupun si pemuda itu sendiri belum tentu mengenal mereka.
Pemuda itu tak lain adalah Si Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, muridnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Sebagian orang menjulukinya si Tabib Darah Tuak, karena setiap tuak yang masuk dan tersimpan di dalam bumbungnya itu akan berubah menjadi obat mujarab, sehingga dapat untuk sembuhkan orang sakit; baik sakit karena senjata tajam, pukulan tenaga dalam, maupun sakit karena racun. Tapi untuk orang menderita sakit hati, tak bisa disembuhkan dengan tuak sakti tersebut.
Bumbung tuak sudah terisi penuh, namun Suto Sinting masih memesan sepoci tuak untuk diminum di situ. Selain minum tuak di situ, Suto juga menyantap ketan bakar, pisang goreng, tahu isi, nasi jagung, ubi rebus, singkong goreng, tempe bacem, kerupuk udang, pepes teri, dan... pokoknya apa saja yang ada di meja disikatnya, termasuk onde-onde, bakpau serta kue pancong.
"Rakus amat?” gerutu seorang pembeii kepada temannya sambil meiirik ke arah Pendekar Mabuk.
"Mungkin perutnya terbuat dari karet, jadi mampu menampung makanan sebanyak itu," ujar temannya dengan pelan juga.
Persoalannya bukan karena Pendekar Mabuk adalah pemuda yang rakus, tapi makanan sebanyak itu sangat dibutuhkan oleh tubuhnya yang sudah lima hari tidak menelan makanan apa-apa. Makium, Suto habis terserang sakit panas-dingin yang tak bisa disembuhkan memakai tuak saktinya, sebab panas-dinginnya itu akibat rasa rindu yang tak tersampaikan.
Rasa rindu kepada kekasihnya; Dyah Sariningrum, yang menjadi ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi dengan gelar Gusti Mahkota Sejati itu, menimbulkan kegelisahan besar yang melemahkan kesehatannya. Rasa rindu itu juga mengakibatkan Suto Ingin pergi ke Puri Gerbang Surgawi, tetapi di perjalanan ia bertemu dengan seor ang gadis yang wajahnya sangat mirip dengan Dyah Sariningrum. Bahkan dulu Suto hampir saja jatuh cinta kepada gadis itu karena kemiripannya dengan Dyah Sariningrum itu.
Gadis tersebut tak iain adalah Salju Kelana. ia adalah gadis cantik berpikiran dewasa. Usianya sekitar dua puluh empat. 5 tahun, tapi penampilannya mirip janda genit dan nienggairahkan. Salju Kelana menyukai pakaian jubah putih sutera dengan pinjung penutup dada yang montok itu berwarna ungu. Jika tersenyum ada lesung pipit di sudut bibirnya, persis Dyah Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Rencong Pemburu Tabib").
Sebelum Suto Sinting tiba di kedainya Kopayah, ia sempat terlibat perkara dengan Salju Kelana. Perkaranya ringan-ringan saja, tapi bikin hati Suto jengkel setengah mati.
Salju Kelana bertarung dengan dua lelaki bertampang angker. Mereka adalah Gadaloya dan Paludoya. Kakak-beradik itu mempunyai badan besar dan perangai yang kasar. Mereka-adalah murid murid Perguruan Sayap Kiri, yang baru saja diwisuda sebagai Ksatria Tanpa Tanding.
Hanya gelarnya saja yang ksatria, tapi sikap dan perilakunya sama sekali non-ksatria alias brengsek, ilmunya memang cukup lumayan. Keduanya sama sama sukar dibunuh. Jika yang satu mati, maka yang satunya lagi meludahi, dan yang mati itu bisa hidup kembali. Tak heran jika Gadaloya dan Paludoya sama-sama sering menyebut diri mereka sebagai Malaikat Ludah Bacin, dan ternyata sebutan itu lebih dikenal ketimbang gelar Ksatria Tanpa Tanding-nya.
Melihat Salju Kelana bentrok dengan Malaikat Ludah Bacin, Suto Sinting merasa seperti melihat kekasihnya; Dyah Sariningrum, diganggu orang. Maka timbullah hawa marah Suto kepada Malaikat Ludah Bacin.
Dari ketinggian tebing, Suto Sinting nekat terjun ke bawah menggunakan jurus ’Gerak Siluman’-nya yang kecepatannya melebihi anak panah lepas dari busur itu. Z!aaap...l
Padahai tebing itu sangat tinggi, tapi Suto nekat melompat turun tanpa memikirkan bahaya apa pun. Memang begitulah Suto, sering nekat tanpa pikir panjang. Sebab kalau tidak berani begitu dan terlalu banyak perhitungan, bukan 'Suto Sinting’ namanya, tapi 'Suto Perhitungan’.
Malaikat Ludah Bacin hampir saja celakakan nyawa Salju Kelana. Paludoya berhasil menghantam punggung Salju Kelana dengan toya besi berujung bundar seperti tiang bendera itu. Toya besi yang dialiri tenaga dalam menyodok punggung Salju Kelana, ketika gadis itu kerepotan menghadapi tendangan beruntun si Gadaloya.
Duuhk...i
Begitu ujung bundar toya tersebut menyodok punggung Salju Kelana, kontan tubuh gadis itu mengepulkan asap putih, tepat di bagian yang terkena sodokan tersebut. Jubah putih suteranya juga membekas hitam hangus. Salju Kelana tersentak ke depan, mulutnya ternganga sambil semburkan darah kental.
"Modar kau, Perempuan Tengik!" Gsram Paludoya.
Kemudian, saat tubuh itu tersentak ke depan, Gadaloya menghantamkan pukulannya ke arah dada Salju Kelana, tepatnya di bawah leher. Deees..!
Bruuus...i
Salju Kelana semakin semburkan darah lebih banyak lagi. Pandangan matanya muiai kabur dan ia kehilangan keseimbangan. Akhirnya ia roboh sebelum Paludoya menghantamkan toya besinya ke kepala Salju Kelana.
"Cukup, Paludoya...! Jangan buang-buang tenagamu Sebaiknya kita seret dia ke semak-semak balik pohon itu. Kita sedot seluruh ilmunya biar kita semakin sakti!"
"Tapi mestinya dia tak boleh sampai pingsan, Gadaloya. kalau dia pingsan, percuma saja kita perkosa karena dia tak akan bisa mencapai puncak keindahan. Apabiia dia tak mencapai puncak keindahan, maka ilmunya tak bisa tersedot oleh kita!"
"Kita buat sadar dulu perempuan ini. Tapi sebelumnya, kaki dan tangannya kita ikat dalam keadaan terentang, sehingga pada waktu dia siuman kita tinggal memanfaatkan kemontokannya ini. Hah hak hah, hah...!“ ’ ’
"Gagasan yang bagus itu, Gadaloyai Huah, hah,hah, hah...!"
Pada saat mereka tertawa itulah, Pendekar Mabuk datang dan tahu-tahu menyambar kepala mereka secara beruntun dengan tendangan kaki yang tak dapat ditangkis dan dihindari lagi itu.
Wuuut, des, desss...!
"Aaaaow...!" kedua kakak-beradik itu saling memekik keras dan tubuh mereka sama-sama terpelanting jatuh dalam jarak masing-masing lima langkah dari Salju Kelana.
"Bangsat!" maki Gadaloya sambil kedua tangan masih pegangi kepalanya.
"kepalaku seperti ketiban batu segunungl Kampret bisulan! Benda apa yang menyambar kita tadi, Paludoya?!"
"Bacotmu burik!" umpat Paludoya dengan kasar sekali.
"Apakah kau tak tahu kalau kepalaku sendiri hampir pecah seperti semangka jatuh dari menara?! Mengapa kau tanyakan hai itu padaku? Mana aku tahu, Tolol!"
Kedua orang bertubuh besar dan sama-sama kenakan baju hitam dan celana merah itu kini berdiri memandangi sekeliling sambil cengar-cengir menahan rasa sakit di kepala. Pendekar Mabuk telah lepaskan tenaga dalamnya melalui tendangan ganda yang seharusnya membuat kepala itu hancur. Setidaknya retak dan iubang-iubang di kepala keluarkan darah.
Tetapi ternyata Gadaloya dan Paludoya tidak berdarah sedikit pun. Ini menandakan keduanya mempunyai ilmu cukup tinggi hingga dapat menahan tendangan sekuat tadi. Pendekar Mabuk terpaksa harus hati-hati dalam menghadapi Malaikat Ludah Bacin itu.
"Oh, itu dia makhluk keparatnya!" sentak Paludoya sambil menuding Suto Sinting yang berdiri tegak dengan kaki sedikit merenggang. Gadaloya segera menengok ke arah belakangnya, lalu matanya yang lebar memancarkan dendam dan kebencian kepada si pendekar tampan berhidung bangir itu.
"Keparat? Rupanya kau yang mengganggu kesibukan kami, Bocah kolong jembatan?! Hhrrrmm...l" Gadaloya menggeram dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat.
Malaikat Ludah Bacin dekati Suto Sinting. Yang didekati tetap tenang, tanpa menampakkan rasa takut atau gentar sedikit pun, ini membuat Paludoya dan Gadaloya sama-sama semakin benci kepada Suto. Sebab mereka mau siapa pun yang didekati mereka dalam keadaan marah harus taktut atau gemetar. Ternyata Suto tidak sesuai dengan harapan mereka, sehingga mereka menjadi bertambah benci dan bernafsu sekali untuk membunuhnya.
"Bocah panuan! Apa maksudmu menyerang kami tanpa persetujuan lebih dulu, hah?!" sentak Gadaloya yang masih menggenggam gada besinya. Gada besi itu ditumbuhi dengan duri-duri runcing. Ukurannya sebesar betis Gadaloya sendiri, panjangnya setengah depa. kepala siapa pun kena senjata itu akan hancur, setidaknya ditanggung pasti bonyok.
Tapi Pendekar Mabuk tidak takut dengan gada berduri itu, juga tidak merasa ngeper dengan toya sebesar lengan dan sepanjang tombak itu. Dengan bumbung tuak sudah di tangan kanannya, Suto Sinting tetap tampak tegar dan gagah dalam menghadapi kedua lawannya. "Kumohon kalian berdua segera tinggalkan gadis itu!" kata Suto dengan tegas dan berwibawa. Tak ada kesan konyol yang tampak pada dirinya. Lagak tegas dan berwibawa makin membuat Malaikat Ludah Bacin dongkol sekali. Paludoya maju selangkah, "Hei, Kecubung garing...!" ujarnya sambil menuding Suto. "Jangan beriagak menjadi jagoan di depan kami! Apakah kau belum kenal siapa kami?"
"Namaku Suto Sinting alias Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak dan Bidadari jalang. Aku tak punya tempat tinggal yang tetap, tidak punya rumah sewaan atau kontrakan. Aku masih bujangan tapi sudah punya kekasih. dulu aku...."
"Diaaam...!" bentak Gadaloya dengan keras, seakan mulutnya sengaja ingin dirobekkan melalui teriakan kerasnya tadi. "Ditanya apakah belum kenal kami kok malah memperkenalkan diri! Dasar bocah klobot!" gerutu Paludoya. "Apa itu klobot?!" tanya Gadaloya. "Kulit jagung yang kering. Bunyinya kresekkresek. Kebanyakan suara tapi disentil sedikit robek!" Paludoya menjelaskan. Maka Gadaloya pun kembali memandang Suto dengan galak dan berkata keras.
"Iya, memang dasar bocah klobot! Apakah kau sudah bosan hidup, hah?!"
"Belum," jawab Suto cepat.
"Tapi aku tidak takut mati demi membeia gadis itu!"
"Huah, hah, hah, hah...!!"' Gadaloya tertawa terbahak-bahak. mulutnya dibuka lebar-lebar.
Pendekar Mabuk segera sentlikan jarinya. Teees...! Jusus 'Jari Guntur’ yang digunakan itu melepaskan tenaga dalam sebesar tendangan kuda jantan. Gumpalan tenaga dalam yang terlepas dari sentilan Suto masuk ke mulut Gadaloya.
"Hhahhkkk...i Kkkkhh...! 1 '
Gadaloya mendeiik sambil pegangi lehernya Tubuhnya yang besar itu terdorong mundur beberapa langkah. Lehernya menjadi biru lebam dan mulutnya tak bisa tertutup lagi.
"Gadaloya...?! Kenapa kau?!”
"Kkkrrrkhh...! Kkkrrhh...!" Gadaloya menuding nuding mulutnya maksudnya mau minta bantuan agar Paludoya mengatupkan mulutnya dan membantu menghilangkan rasa sakit akibat sentiian tenaga dalam tadi. Tetapi Paludoya salah tanggap.
"iya, aku sudah tahu kalau mulutmu bau. Untuk apa kau pamerkan di depan lawan kita? Tutup mulutmu!"
"Kkkrr... kkrrhh...i"
Wajah Gadaloya semakin merah, lehernya pun membengkak besar dan klan membiru. Paludoya segera tahu bahwa kakak kembarnya itu terkena pukulan lawan. Maka, Paludoya segera menyerang Suto Sinting tanpa hiraukan penderitaan Gadaloya.
"Kau memang bocah yang perlu ditumbuk sehalus garam! Heeeaaahh...i"
Paludoya mainkan toyanya sebentar. Tahu-tahu toya itu menyabet ke belakang pada saat ia berbalik memunggungi Suto Sinting. Datangnya sabetan toya sangat tak diduga-duga, sehingga iengan Suto Sinting terhantam. Piaaak...i
Brrruuus...!
Pendekar Mabuk terlempar ke samping dan jatuh mencium tanah.
"Gila! Sabetan tongkat besinya itu sungguh luar biasa. Sekujur badanku menjadi sakit semua. Uuukh...i Tulang-tulangku terasa remuk dan sukar dipakai berdiri," ujar Suto membatin. Tapi ia segera tarik napas panjang-panjang untuk puiihkan kekuatannya.
Kekuatan puiih sedikit, yang penting bisa untuk bangkit. Namun tepat pada saat Suto bangkit dan beriutut satu kaki, tiba-tiba Paludoya menyodokkan ujung toya besinya yang bundar itu. Suuut...!
“Modar kau...!"
Traaang...!
Wuuusss...!
Toya itu membentur bambu bumbung tuak. Akibatnya, tenaga dalam yang tersaiur melalui toya memantul balik dan melemparkan tubuh Paludoya sendiri. Tubuh itu melayang melewati Salju Kelana yang masih terbujur pingsan, dan menabrak Gadaloya yang sedang sibuk mengatupkan mulutnya.
Bruuus, brruuuk...!
Keduanya sama-sama jatuh. Gadaloya memekik dengan suara tersumbat, sedangkan Paludoya memekik keras-keras.
"Aaaoow...!"
Rupanya gada berduri itu mengenal punggungnya ketika Paludoya menabrak saudara kembarnya. Duri-duri beracun menancap di punggung itu, membuat Paludoya bagai dibakar sekujur tubuhnya. Ia keiojotan dan berguling-guling tanpa nyala api yang berkobar.
Jeritannya itu makin lama semakin mengecil dan akhirnya hilang tanpa suara. Paludoya pun diam tanpa nyawa lagi.
Rupanya racun pada duri gada besi Itu sangat berbahaya dan membuat bagian tubuh orang yang terkena racun tersebut menjadi hangus dalam waktu singkat dan kering seperti dibakar dengan ap! yang amat panas. Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi pandangi Paludoya yang sudah tidak bergerak lagi itu.
"Benar-benar mati atau hanya pura-pura mati?" pikir Pendekar Mabuk dalam kebimbangan.
Gadaloya makin terbeiaiak, mulutnya yang sejak tadi terbuka semakin bergerak lebar ketika melihat Paludoya tidak bergerak lagi.
"Hhkkrrrrh...i"
ia menggerang keras-keras dengan tubuh gemelar karena iuapan amarahnya. Kedua tangannya segera disentakkan, satu tangan dari atas kepala, satu tangan lagi dari bawah dagu. Kedua tangan itu menyentak kuat-kuat dalam satu gerakan serempak.
Praaak...!
Maka mulut pun terkatup kembali. Tapi suara geraham Gadaloya menjadi berbeda dengan saat mulutnya ternganga tadi.
,, Hhhrrmmmm...i"
Matanya mendeiik menyeramkan, memandang Suto dan Paludoya berganti-gantian, ia tampak bimbang antara meiampiaskan murkanya kepada Suto atau membangkitkan Paludoya lebih dulu.
Akhirnya, la memilih membangkitkan Paludoya dengan meiudah satu kali ke mayat Paludoya.
"Hrrmmm... cuuih!"
Piok...! Ludah itu kenai iengan Paludoya. dalam lima hitungan, Paludoya muiai bergerak sedikit demi sedikit, lama-lama tampak menarik napas dan hidup kembali.
"Kutumbuk kau. Keparat...!" teriak Gadaloya kepada Suto dengan suara serak sekali, ia tak pedulikan suaranya menjadi serak, yang penting ia segera lakukan satu lompatan menerjang Suto dengan gada besi berduri dihantamkan ke kepala Suto.
Wuuus...I Beeeet...!
Pendekar Mabuk segera menyilangkan bumbung tuaknya di atas kepala. Gada berduri itu akhirnya menghantam bumbung tuak itu. Praaang...! Suaranya seperti menghantam besi baja. Bumbung dari bambu itu tidak pecah, bahkan lecet sedikit pun tik. Tetapi tubuh Gadaloya terlempar ke belakang karena tenaga dalamnya balik dengan lebih besar dari yang dikeluarkan.
Wuuut...! Buuummm...!
Ia jatuh terbanting begitu kerasnya hingga tanah menjadi bergetar. Sementara itu Suto Sinting jatuh terjengkang karena hantaman gada yang ditangkis dengan bumbung tuaknya Itu.
Ketika si Pendekar Mabuk bangkit kembali, Paludoya telah memainkan toyanya. Kemudian dari jarak tujuh langkah toya itu disodokan kedepan.
Wuuttt..! Dan keluarlah sinar merah seperti cakram yang melesat dalam gerakan berputar memercikan bunga api. Craaap...! Wessss...!
Pendekar mabuk segera lepaskan pukulan 'Guntur Perkasa' dari tangan kirinya. Claaap ! Sinar hijau melesat dari tangan kiri Suto, menembus sinar merah Paludoya. Zluuub...!
Blegaaar...!
Walau sudah terjadi ledakan yang mengguncang bumi dan alam sekitarnya, tapi sinar hijau itu masih tetap melesat lurus dan mengenai dada Paludoya. Zluuub...!
Blaaar...!
Paludoya terlempar dan jatuh terkapar. Sementara itu sinar hijau tadi juga masih bisa tembus dan kenai tubuh Gadaloya yang baru saja bangkit dari jatuhnya.
Zluuuub...!
Blaaarrr..!
Gadaloya pun terlempar dan jatuh terkapar jauh dari saudara kembarnya. Tubuh Malaikat Ludah Bacin sama-sama memar membiru, mereka sama-sama tak bisa saling meludahi. Akibatnya, angin yang berhembus saat itu membuat tubuh mereka menjadi cepat membusuk, karena memang begitulah nasib orang yang terkena pukulan 'Guntur Perkasa’; memar dan cepat membusuk. Akhirnya mereka sama-sama menghembuskan napas terakhir dan diam tak berkutik tanpa nyawa lagi. "Cuih, cuih...l" Suto Sinting mencoba meludahi keduanya, tapi ternyata tidak membuat mereka bangkit karena Suto memang tidak mempunyai jurus 'Liur Dewa’, seperti yang mereka miliki. Jurus 'Liur Dewa’ hanya bisa membangkitkan orang yang juga memiliki jurus tersebut. Tetapi bagi yang tidak memiliki itu, walau meiudaSii mayat selama tujuh hari tujuh malam tetap tidak akan membangkitkan mayat tersebut. Apalagi jika mayat itu bukan mayat orang yang memiliki jurus ’Liur Dewa’ juga, tentu saja akan membuai sang mayat basah kuyup dan tetap tak bernyawa. Pendekar Mabuk merasa iega melihat kedua tawannya tak berkutik lagi. ia segera menenggak tuaknya untuk sembuhkan luka dan rasa sakit akibat pertarungan tadi. Tetapi ia segera terkejut setelah menyadari bahwa Salju Kelana ternyata sudah tidak ada di tempatnya. Pendekar Mabuk menjadi tegang, memandang ke sana-sini, namun tak menemukan gadis yang mirip Dyah Sariningrum itu.
"Salju Kelanaaa...! Saljuuu.,.!" teriak Suto Sinting sambil clingak-clinguk ke sana-sini, tapi seruannya itu tak mendapat jawaban dari siapa pun. Alam tetap sepi, hanya suara deru angin samar samar yang terdengar saat itu.
"Aneh?! Ke mana si Salju Kelana?! Padahal dia tadi pingsan di situ dalam keadaan terluka parah. Tapi... kenapa sekarang bisa hilang tanpa jejak?!" pikir Suto Sinting dengan bingung.
"Mungkinkah dia melarikan diri? Oh, tidak! itu tidak mungkin dilakukan Salju Kelana, karena aku tahu lukanya sangat parah dan membahayakan keselamatannya. Laiu, mengapa ia bisa lenyap? Siapa yang membawanya pergi?"
Suto Sinting memang tak tahu, bahwa sekelebat bayangan hitam telah menyambar tubuh Salju Kelana ketika Suto Sinting melepaskan jurus pukulan Guntur Perkasa' tadi. Tetapi siapakah bayangan hitam yang membawa lari Salju Kelana dengan kecepatan tinggi itu?
"Kedua orang kembar tadi kudengar ingin menyedot seluruh ilmu Salju Kelana dengan cara memperkosanya. Mereka tahu, bahwa Salju Kelana gadis berilmu tinggi. Jika begitu, seandainya ada orang yang membawa lari Salju Kelana, berarti orang itu juga tahu bahwa Salju Kelana berilmu tinggi dan ingin menyedot ilmu itu dengan cara seperti yang diucapkan oleh si kembar tadi! Hmmm... aku harus bisa selamatkan Salju Kelana sebelum niat busuk orang itu menjadi kenyataan! Aku harus mencarinya dan harus segera menemukan mereka! Tapi ke mana aku harus mencarinya? Ke utara, selatan, timur, atau ke barat?!"
Akhirnya Pendekar Mabuk bergerak mengikuti perintah nalurinya. ia berkelebat ke arah utara, sampai akhirnya tiba di kedai Kopayah, dan di situ dia belum menemukan tanda-tanda di mana Salju Kelana berada.
Tetapi di kedai itu Suto mendengar percakapan dua orang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Mereka duduk di bangku belakang Suto.
"Kudengar para murid Perguruan Sayap Kiri sedang mencari mangsa, ya?"
"Mangsa apa?"
"Mereka mencari orang sakti, terutama lawan jenisnya. Lalu, mereka menguras habis kesaktian lawan jenisnya itu dengan cara melalui kencan asmara."
"Ah, siapa bilang? Mana mungkin dengan kencan asmara saja bisa menyedot ilmu lawan jenisnya?"
"Maksudku... berhubungan badan seperti suami-istri."
"O, ya...?! Wah, enak sekali?! Apakah semua murid perguruan itu berbuat begitu?"
'Tidak semua. Terutama yang sudah memiliki ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’,"
Dahi pemuda tampan murid si Gila Tuak itu segera berkerut. Batinnya menyebut ulang kata-kata orang tersebut.
"Ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’? Hmmm... aneh sekali ilmu itu. Benarkah dapat menyerap seluruh kesaktian sawan melalui cara kencan asmara dengan lawan jenisnya?"
Pendekar Mabuk mulai penasaran. Rasa Ingin tahunya mendesak batin untuk mencari kebenaran kabar tersebut.

*
* *

:#: 2 :#:

DARI arah pintu depan kedai masuk seorang gadis berpakaian serba merah. Bajunya beriengan pendek dan nyaris tanpa lengan. Baju itu tampaknya terbuat dari bahan tebat yang ketat dengan tubuh, mempunyai belahan dada agak lebar, sehingga sebagian gumpaian dadanya tampak tersumbui; montok dan kencang.
Gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu mengenakan celana ketat dari bahan yang sama. celana tersebut panjangnya hanya sebatas betis, dirangkap kain pembaiut pinggul warna biru muda. Kain itu tipis, sehingga pinggulnya yang meiiuk kencang itu tetap saja tampak menggiurkan mata lelaki.
Sebiiah pedang bersarung iogam putih berukir terseiip di pinggangnya yang bersabuk hitam itu. Pedang itu berkesan mewah, sehingga dapat disimpuikan gadis itu bukan sekadar gadis desa atau gadis pengembara, meiainkan mempunyai kedudukan tersendiri dalam sebuah goiongan.
Gadis yang berambut panjang sepundak iewat sedikit dengan bagian depannya diponi rata itu mempunyai wajah yang cantik dan sangat menawan. Hidungnya kecii mancung, matanya bundar bening dan bibirnya mungii menggemaskan. Dari sorot pandangan matanya yang menatap ke sana-sini dengan tegas itu, ia tampak sebagai gadis pemberani yang punya kesan ketus kepada siapa pun.
Begitu pandangan matanya menemukan Pendekar Mabuk yang sedang duduk sendirian, gadis itu segera menghampirinya dengan langkah berkesan tergesa-gesa. ia tak peduli beberapa mata para pengunjung kedai memperhatikannya.
"Kau yang bernama Suto Sinting, Pendekar Ma buk?!" tegurnya kepada Suto dengan nada tak berkesan ramah.
Tentu saja teguran itu mengejutkan Pendekar Mabuk, sehingga pemuda tampan itu segera berpaling menatapnya dengan pandangan mata penuh curiga. Tetapi beberapa kejap kemudian Suto tampak tenang dan mengulangi minum tuaknya yang ada di cangkir, ia seolah-olah tidak menghiraukan teguran tersebut, sehingga gadis itu menjadi berang.
Braaak .,.!
Meja digebrak oleh gadis itu. Benda apa pun yang ada di atasnya terlonjak terbang ke atas, termasuk poci isi tuak itu.
"Aku bertanya kepadamu, Tuli!" bentaknya dengan keras, semakin memancing perhatian orang.
Pendekar Mabuk segera menyentakkan lututnya ke atas dari kolong meja. Drraakk...! Meja itu pun terbang ke atas dalam keadaan tetap datar.
Meja itu seakan menyusui benda-benda yang terbang akibat gebrakan si gadis. Ketika benda benda itu bergerak turun, meja itu menyambutnya dalam jarak sangat dekat, sehingga benda-benda itu tidak menjadi berantakan. Meja pun bergerak turun dan diterima oleh lutut Suto dengan ayunan tersendiri, sehingga ketika kaki meja menyentuh lantai, benda benda yang di atasnya tidak ikut bergerak ataupun tumpah. Teeb...! Suara meja menyentuh lantai hampir tidak terdengar oleh orang yang berada dalam jarak lima langkah dari tempat duduk Suto.
Gadis berpakaian serba merah terperanjat, namun rasa kaget dan kagumnya hanya disimpan dalam hati. Pendekar Mabuk menampakkan sikap acuh tak acuh dan tidak peduli dengan gadis yang berdiri di sampingnya, ia menuang tuak dari poci ke cangkir, kalem dan tenang sekali sikapnya.
"Manusia sombong!" geram gadis itu sambil melolos pedang bersama sarungnya dari pinggang. Pedang itu belum dicabut dari sarungnya, tapi sudah siap disambar gagangnya.
"Sekali lagi kalau kau tak mau menjawab pertanyaanku, pedangku yang akan bicara padamu. Manusia Sombong!" ancam si gadis. Tapi Suto Sinting tidak melayani ancaman itu, bahkan berlagak tidak mendengar kata-kata tersebut.
Pedang benar-benar dicabut. Gadis itu menghujamkan pedang ke tangan Suto. Tetapi Suto tetap diam, tanpa rasa kagei atau menghindar sedikit pun. Ternyata itu sebuah gertakan belaka. Gadis itu menghujamkan pedang ke permukaan saja, dan pedang itu pun menancap dengan kuat. Jaaab...! Jarak pedang dengan tangan Pendekar Mabuk sangat dekat, hanya terdapat jarak satu lebar kelingking.
Orang-orang terperanjat dan beberapa sempat berdiri tegang. Namun Suto Sinting tidak menyingkirkan tangannya. Ia meneguk tuak dari cangkir dengan tangan kiri yang bebas dari ancaman pedang. Namun setelah itu lengan Suto yang kanan menghentak ke meja dengan gerakan cepat.
Draakk...!
Wuutt..! Pedang itu terlempar ke atas, bahkan terlepas dari genggaman s gadis. Sepertinya ada sebuah tenaga besar yang menyentak dari bawah meja dan membuat pedang itu terpental.
Wuuuut...! Teeb...!
Si gadis lakukan lompatar, ke atas dan tangannya menyambar gagang pedangnya kembali dengan tangkas. Ia pun segera melayang turun dengan menepakkan kakinya di lantai tanpa goyang sedikitpun. Jleeeg...!
Tetapi alangkah kagetnya ia begitu melihat Suto ternyata sudah tidak ada di tempat duduknya semula. Mata bunder si gadis berkulit kuning langsat dan bertubuh tinggi sejajar dengan tinggi tubuh Suto itu segera jelalatan mencari perginya si Pendekar Mabuk.
Ternyata Suto sudah pindah tempat duduk di sudut ruangan dengan poci dan cangkir serta bumbung tuaknya ikut dibawa ke sana. Gadis itu bergumam heran dalam hatinya.
“Cepat sekali ia pindah tempat! Nyaris tak lebih dari sekejap tahu-tahu sudah ada di sana! Hmmm... rupanya ia pun unjuk kebolehan di depanku. Dasar sombong!".
Gadis itu pun segera lakukan iompatan menyeberangi empat meja yang penuh dengan pengunjung. Wuuus.,.! Tubuh si gadis melayang di atas para pengunjung dalam gerakan bersalto. Para pengunjung bergumam seperti lebah menampakkan rasa kagumnya terhadap kelincahan dan ilmu peringan tubuh si gadis.
Braaak.,.!
Meja tempat minum Suto yang baru menjadi tempat berpijak kedua kaki si gadis. Kaki itu segera menendang ke wajah Suto Sinting. Bett...!
Tapi kepala Suto segera tersentak ke samping seperti orang mabuk tumbang karena kebanyakan minum tuak. Akibatnya tendangan itu tidak mengenai Suto sedikit pun. Namun justru telapak kaki si gadis yang mengenakan alas kaki bertali lilit itu disodok oleh Suto menggunakan ujung mulut poci yang mirip mulut bebek itu. Deess...!
Wuuut...! Brraaak...!
Rupanya sodokan itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup besar. Gadis itu terlempar dan membentur dinding kedai, lalu jatuh di meja yang kebetulan kosong. Sementara itu, Suto Sinting segera pergi dengan satu gerakan cepat yang sukar diketahui orang iain. Ziaaap.,.!
Dua keping uang melayang bertepatan dengan kepergian Suto. Dua keping uang itu jatuh di depan Kopayah yang sejak tadi hanya terbengong meiompong dt balik meja dagangannya. Sedangkan Suto Sinting tahu-tahu sudah berada di luar kedai, di bawah sebuah pohon, merapikan pakaiannya dan membetulkan letak tali bumbung tuaknya yang di-gantungkan di pundak kanan.
"Tunggu...!” seru suara seorang perempuan yang tak lain adalah gadis berbaju merah itu. ia segera lakukan lompatan bersalto dua kali, sehingga tahu-tahu sudah berada di depan Suto, membuat langkah pertama Suto dibatalkan.
"Manusia sombong!" ia menuding dengan pedangnya.
"Aku datang menemuimu bukan untuk bermusuhan dan pamer ilmu, tahu?!"
"Aku bosan ribut dengan perempuan!"
"Kau yang mengajak ribut lebih dulu!" bentak gadis itu. Orang-orang dari dalam kedai keluar semua, dan memperhatikan ke arah mereka.
Pendekar Mabuk menjadi malu. ia segera tinggalkan gadis itu dengan bergerak cepat bagaikan menghilang dari hadapan si gadis. Zlaaap...!
Kurang ajar! Minggat lagi dia!" geram si gadis sambil clingak-clinguk mencari arah kepergian Suto. Pandangan matanya menemukan bayangan Suto sudah di ujung sana, mendekati perbatasan desa. Si gadis pun segera mengejarnya dengan gerakan lari yang tergolcng cepat juga. Weess...!
Agaknya gadis itu mempunyai kclincahan yang tidak disangsikan lagi. Lompatannya begitu cepat dan gesit, ia mendaki gundukan tanah yang membukit, lalu menuruninya hingga dalam beberapa waktu saja sudah tiba di depan langkah Suto.
diecer. !
"Dia lagi...!" keluh Suto dalam hati.
“Sayang sekali dia tidak tahu kalau aku sedang rindu kepada Dyah Sariningrum, dan kerinduan ini ingin kulampiaskan kepada Salju Kelana. Jika ia selalu muncul di depanku, dia akan menjadi sasaran kerinduanku nanti. Apakah dia sanggup menerima kerinduanku yang kadang-kadang memang sinting ini?!"
Gadis itu sengaja sunggingkan senyum sinis, seakan merasa lebih hebat dari Suto karena mampu menghadang gerakan Suto berkali-kali. Pedangnya sudah dimasukkan ke dalam sarung pedang, tapi sarung pedang itu masih.ditenteng dengan tangan kirinya yang bergelang kerincing dari logam anti karat berjumiah tiga buah.
“Kau tak akan bisa lolos dari buruanku!" ujar si gadis.
"Aku tahu kau adalah Pendekar Mabuk, bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak. Mataku tak bisa ditipu lagi begitu melihat ciri-cirimul"
Suto Sinting memperlihatkan sikap kalemnya. Senyumnya tersungging tipis, tanpa kesan bermusuhan. Senyum itu sempat membuat hati sang gadis berdesir dan mendesah jengkel oleh tumbuhnya rasa indah yang tak diharapkan itu.
"Apa maumu sebenarnya, Nona yang tak kutahu namanya?!"
"Namaku: Bara Perindu. Catat dalam otakmu yang dungu itu!"
"Bara Perindu...?!" gumam Suto mengulang, lalu senyumnya kian dilebarkan.
"Sebenarnya itu nama yang sangat indah dan langka. Sayang sekali sikapmu tak seindah namamu!"
"Persetan dengan penilaianmu!" sahut si gadis Bara Perindu.
"kalau bukan karena diutus aku tak sudi menemui tampangmu!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi tipis.
"Siapa yang mengutusmu menemuiku?"
'Tuanku!"
"Siapa tuanmu?i“
"Adipati Mancanagari yang berjuluk Kanjeng Purwtahta!"
Sekalipun jawaban demi jawaban dari Bara Perindu masih tetap berkesan ketus, namun kali ini Suto Sinting menanggapi dengan serius, ia muiai membungkam diri dan termenung beberapa saat. Batin nya berkecamuk setelah mengetahui gadis cantik yang bertubuh tinggi dan sekal itu, ternyata utusan seorang adipati. Tetapi Suto Sinting merasa tidak kenal dengan adipati yang berjuiuk Kanjeng Purwatahta itu. Bahkan ia tidak merasa punya urusan apa pun dengan sang Adipati.
"Apa maksudya Kanjeng Adipati Purwatahta mengutusmu menemuiku. Bara Perindu?!" tanya Suto dengan nada pelan dan dahi berkerut.
"Ikuti aku saja, jangan banyak tanya!"
"Kalau kau tetap keras kepala, aku akan melawanmu dengan sungguh-sungguh!" ujar Suto bernada mengancam namun halus didengarnya.
Bara Perindu menarik napas dan menghempaskannya dalam satu sentakan, ia tampak kesal menghadapi sikap Suto yang ternyata tidak mudah menuruti perintahnya. Wajah gadis itu masih cemberut dan berkesan judes. Agaknya ia masih mempertimbangkan langkahnya untuk bertindak kasar lagi atau
menjelaskan apa saja yang ingin diketahui Suto.
Pada saat itu, Suto Sinting sengaja berdiri dengan bersandar pada sebatang pohon, ia bersikap menunggu tindakan Bara Perindu dengan tenang dan acuh tak acuh. Hai itu membuat Bara Perindu menjadi dongkol dan membuang napas beberapa kali.
"Aku paling malas dengan tugas membujuk seperti inil" gerutu Bara Perindu dalam hatinya.
"Sebenarnya tugas ini bukan tugaskui Kanjeng Adipati saiah memberi tugas. Tugas yang layak kuterima adalah menumbangkan musuh atau menangkap pencuri. Kurasa lebih gembira hatiku jika mendapat tugas membalas dendam kepada seseorang daripada harus membujuk pemuda tengik semacam ini! Hatiku tak kuat memandang ketampanannya itu. Kurang ajar! Sial amat aku kali ini!"
Setiap matanya berpapasan dengan pandangan mata Suto, hati Bara Perindu selalu berdesir seakan ulu hatinya teriris dengan pisau salju yang lembut dan indah. Perasaan seperti inilah yang tidak ingin dirasakan oleh Bara Perindu, ia berusaha membuang perasaan itu dan berusaha bersikap acuh tak acuh terhadap ketampanan serta kegagahan Pendekar Mabuk. Namun ternyata usaha itu lebih sulit daripada memanjat tebing karang berlumut.
Kali ini Bara Perindu memberanikan diri memandang Suto dan ingin katakan sesuatu dengan ketus. Tetapi lidah Suto menyapu bibirnya sendiri dengan sorot pandangan mata yang lembut dan menembus ke relung hati. Bara Perindu menjadi kikuk, lidahnya kclu, akhirnya mendesah sambil buang muka kembali.
"Aaaahhh...! Setan bejat!" gerutunya dalam hati.
Wajahnya berpaling dengan cepat dan menyentak ke arah Suto.
“Jangan pandangi aku dengan begitu!"
Suto Sinting terlonjak kaget dengan Wajah menegang sekilas. Posisi berdirinya sempat nyaris terpelanting karena rasa kagetnya yang tidak dibuat-buat itu. Suto akhirnya geli sendiri dan gadis itu menahan tawa geii puia dengan membuang muka dan mengulum senyum.
Sebelum percakapan berlanjut, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas cepat menerjang Bara Perindu dari belakang. Wuuut...! Bruuus...!
Gadis itu tersentak ke depan karena punggungnya ditendang oleh sebuah kaki bertenaga dalam besar. Tubuh yang terlempar ke depan itu akhirnya menabrak Suto Sinting dan Suto sendiri jatuh terjengkang hingga si gadis menelungkup di atas tubuh Suto Sinting.
"Heeegh...!“ Suto Sinting sempat terpekik dengan suara tertahan, namun kedua tangannya segera memeluk si gadis secara naluriah.
"Uuuhh...!" Bara Perindu mengerang kesakitan, tanpa disadari wajahnya menempei di pipi Suto Sinting. Bau harum wewangian si gadis sempat dinikmati oleh pendekar tampan itu dengan kesan mendebarkan hati penuh keindahan sekejap.
“Memang jahanam kalian berdua!" bentak suara seorang lelaki yang membuat Suto Sinting segera menyingkirkan tubuh Bara Perindu, lalu bangkit berdiri sebelum suara yang memaki itu melepaskan tendangan kembali.
Ketika tendangan yang kedua diarahkan ke wajah Suto, gerakan tubuh Pendekar Mabuk pun meliuk ke samping dan memutar cepat. Tangannya menangkis tendangan itu, tapi kejap kemudian kaki Suto menyepak ke belakang.
Buuuekh...i
"Huuuukh...!"
Tendangan itu kenai dada orang tersebut dengan teiak. Tak ayai lagi orang yang baru datang itu terpental ke belakang dan jatuh berguling-gultng sesaat. Tapi dengan satu sentakan kaki ia berhasil melenting ke atas dan menapak ke tanah kembali dengan tegak. Tarikan napas membuat dadanya membusung kekar.
"Minggir, biar kutangani dia!"
Rupanya Bara Perindu sudah bisa berdiri dan merasa sanggup menghadapi pemuda berbaju kuning satin itu. Tetapi Suto tahu bahwa Bara Perindu menahan luka dan rasa sakit di bagian dalam tubuhnya, terutama pada bagian punggung. Suto sengaja mundur menyerahkan persoalan itu kepada Bara Perindu.
Pemuda berpakaian kuning mengkilap dengan celana cokiat muda Itu memandang geram kepada Bara Perindu. Menurut dugaan Suto, pemuda berambut panjang sepunggung yang diikat ke belakang itu berusia sekitar dua puluh empat tahun. Tubuhnya memang tampak tegap dan kekar, sama seperti Suto. Tapi ketampanannya masih tebih unggui ketampanan Suto Sinting. Hanya saja, pemuda itu mempunyai kuiit bers h dan kuning. Matanya sedikit lebih besar dari mata iembutnya Suto Sinting, ia tergoiong pemuda yang rupawan, karena hidungnya pun lebih mancung dari hidung Suto.
Pemuda itu menyeiipkan senjata seperti tanduk, atau lebih mirip seperti buian sabit dari logam putih mengkilap. Kedua ujung iengkungan iogam anti karat itu tampak runcing dan tajam. Senjata itu bergagang kayu cokiat mengkiiat sepanjang satu iengan.
Tapi Bara Perindu agaknya tak merasa takut atau gentar sedikit pun. ia justru melangkah maju dengan tangan kiri masih menenteng pedangnya yang sewaktu-waktu siap dicabut dan dipergunakan. Dengan suara iantang dan bernada ketus seperti biasanya, Bara Perindu berkata kepada pemuda berkalung tari hitam dengan bandul batuan iiijau buram sebesar buah paia.
"Keparat betul kau, Wicaksaral Beraninya menyerangku dari belakangi Apakali kau sudah tak punya nyaii iag! untuk berhadapan denganku, hah?!"
“Wicaksara tak pernah merasa takut dengan siapa pun, tahui” sambil pemuda berbaju kuning itu menepuk dada.
"Lebih-lebih melawan gadis jalang seperti kau, Bara Perindu! Terkutuk tujuh turunan kalau sampai Wicaksara mundur menghadapi gadis binai semacam kau!"
"Hmmm...!" Bara Perindu mencibir sinis.
"Buktinya tempo hari kau lari terbirit-birit seteiasi merasa terdesak oleh seranganku!"
"Aku lari bukan karena takut menghadapimu, tapi karena memang perutku sedang sakit akibat terlalu banyak makan cabe sebeiurnnyal Jangan salah paham dulu, Bara Perindu!"
"Aiasan yang sangat murahi" Bara Perindu mencibiir kembali. “Mengakuiah bahwa kau tak mampu menghadapi ilmuku, Wicaksara. Tak perlu berdalih seperti anak kecii begitu!"
Suto sejak tadi berkerut dalil, karena ia merasa pernah mendengar nama Wicaksara. Tetapi agaknya ia sulit mengingat-ingat nama itui. Sampai akhirnya, ketika Wicaksara menuding ke arahnya sambil berseru kepada Bara Perindu, ingatan Suto'pun berhasil diperolehnya kembali.
"Jadi begundal macam dia itu yang sedang kau gandrungi selama ini, Bara Perindu?!"
"Sekali lagi mulutmu bicara larioang, kurobek sampai ke belakang!" semak Bara Perindu dengan mata mendeiik garang.
Suto pun berucap dalam batinnya, "Sekarang aku baru ingat siapa Wicaksara. Ka iau tak salah nama itu adalah nama kekasihnya Dewi Kejora yang membuat Kejora tak pernah pulang dan Menik mencari-carinyal Hmmm... rupanya seperii In! tampang pemuda yang membuat Kejora k asmaran hingga memburunya?" (Baca seria! Pendei car Mabuk dalam episode: "Tapak Siluman").
Bara Perindu perdengarkan suaranya yang galak.
"Buka matamu selebar perlukan pemuda ini adalah Pendekar Mabuk yang sedang dibutuhkan tenaganya oleh Kanjeng Adipati Purwa tahta! Aku hanya ditugaskan mencari dan membawa: nya ke kadipaten, tanpa maksud-maksud seronok seperti bayangan ngeresmu itu, Wicaksara!"
"Hmmm... Wicaksara mendengus dan mehcibir. Kemudian ia memandang Suto dengan sikap tidak bersahabat dan serukan kata dari tempatnya.
"Apa benar kau Pendekar Mabuk yang sering minum comberan itu, hah?!"
Suto Sinting menjawab dengan kaiem, "Aku bukan siapa-siapa. Gadis ini saja yang menganggapku berlebihan."
“Mengakulah, ToiolI” bentak Bara perindu dengan jengkel.
“Tak perlu aku mengaku siapa diriku. Yanq penting kalau bisa membuatnya jungkir balik seperti penyu mau bertelur, tentunya dia bisa menyimpulkan sendri siapa diriku sebenarnya," jawab Suto masih dengan kaiem.
“Mulutmu terlalu kotor, Sobati Kurasa perlu disumpal dengan jurus 'Angin Murka’ ini. Hhiaaah!"
Siaaab...!
Dari tangan Wicaksara yang menyentak ke depan secara tiba-tiba itu keluar gumpaian asap bercahaya biru terang sebesar buah kedondong. Gumpaian asap biru terang itu meiesat menghantam wajah Suto Sinting.
Tetapi dengar santainya Suto Sinting meliukkan tubuh ke samping lalu ke depan dan tegak lagi sehingga jurus Angin Murka’ itu akhirnya menahantam pohon, jauh di belakang Suto.
Biegaaar...»
Pohon pun menjadi hitam hangus tanpa dedaunan lagi. Asap sisa pembakaran mengepui membubung tinggi ke udara. Pendekar Mabuk hanya tersenyum memandangi pohon bernasib siai itu.
"Wicaksarai” Bara Perindu tampii ke depan menghaiangi Suto Sinting, ia tampak berang sekali kepada Wicaksara sehingga tangan kanannya segera mencabut pedang. Sreeet...!
"Sekali lagi kau membahayakan dia, tak kan kubiarkan kau hidup sampai senja nanti!"
"Hah, hah, hah...! Kau membeianya supaya dia jatuh cinta padamu, ya?! Uuhf...I Mana sudi dia dengan gadis jalang sepeftimu, Bara Perindui"
Gadis itu menggeram. Tangannya yang memegang pedang sudah muiai gemetar.
"Biarpun kau berpura-pura menjadi utusan sang Adipati, pemuda ingusan itu belum tentu mau mengikuti bujukanmui"
"Keparat kau, hiaaah...!"
Weesss...i
Pedang disentakkan ke depan, dari ujung pedang keluar percikan bunga api merah yang bagaikan menyembur deras ke arah Wicaksara.
Craaakkss...!
Wicaksara meicmpat ke samping dalam gerakan bersalto cepat. Begitu menapakkan kaki ke bumi, la melepas jurus seperti tadi, tapi mengarah tubuh Suto Sinting.
Siaaap...! Weess...!
Suto Sinting segera menangkis dengan bumbunci tuaknya. Deeb, woooss...l
Gumpaian asap biru itu memantul balik ke arah pemiliknya dalam keadaan sudah berubah menjadi lebih besar, sebesar jeruk Bali, dam gerakannya lebih cepat iagl.
Wicaksara terkejut dan sempat panik menghadapi serangannya yang memantul balik itu. ia meiompiit kembais Ike ssamping, tapi pohon besar di belakangnya menjadi sasaran gumpaian asap biru itu, dan timbulkan ledakan yang gelombang ledaknya melemparkan tubuh Wicaksara sendiri.
Blegaaarr.!
"Uuuahkk...i" pekik Wicaksara saat terlempar. Kepalanya membentur pohon lain dengan keras.
Prraalk...! Sedangkan pohon yang terhantam gumpalan asap biru itu pecah berkeping-keping dalam keadaan menjadi arang.
Wicaksara mengerang! kesakitan. Bukan saja kepalanya bocor, tapi punggungnya pun terasa seperti terbakar.
"Oooh, luka dalamku ini berbahaya sekali! Aku tak sanggup jika harus keluarkan tenaga untuk melawan mereka!" keluh batin Wicaksara.
Pemuda itu segera bangkit dan menggunakan sisa tenaganya meiesat tinggalkan tempat setelah berseru kepada Bara Perindu dan Suto Sinting.
“Tunggu tanggai mainnyal Aku akan bikin perhitungan dengan kalian!"
Bukan kata-kata itu yang menjadikan Suto Sinting termenung dan berpikir serius, tapi kata-kata Wicaksara ketika Bara Perindu mencabut pedang nya.
"Biarpun kau berpura-pura menjadi utusan sang Adipati, pemuda ingusan itu belum tentu inau mengikuti bujukanmu...."
Batin Suto pun berkata, "Siapa gadis' ini sebenarnya jika bukan utusan sang Adipati yang sesungguhnya, dan apa maksud sebenarnya ingin membawaku pergi?"

*
* *

:#: 3 :#:

RUPANYA luka dalam yang diderita Bara Perindu akibat menerima tendangan Wleaksara tadi membuat tenaganya mulai berkurang. Bara Perindu sempat oieng saat melangkah dan hampir saja jatuh jika tidak berpegangan pada sebatang pohon.
"Qoh...i" Bara Perindu diam sebentar egmbl! pejamkan mata dalam keadaan tubuh bersandar pada pohon.
“Kenapa? Kau masih terluka akibat tendangan Wicaksara tadi?!“
“Tidak," jawab Bara Perindu. “Aku hanya punya penyakit kambuhan sejak kecil.”
'Maksudmu... sejenis penyakit ayan?"
"Jaga mulutmu!" gertak Bara Perindu.
Pendekar Mabuk tersenyum geli.
“Minumiah tuak ini. Tak usah malu. Aku tahu kau terluka karena tendangan Wicaksara tadi. Tapi... anggap saja aku tidak tahu hal itu, yang penting minumiah tuak ini untuk memulihkan kesehatanmu!" "Aku bukan seorang pemabuk!"
“O, tuak ini tidak mudah memabukkan. Tapi pemilik tuak ini memang ser ng memabukkan kaum wanita," kata Suto sambli cengar-cengir. Bara Perindu memandang dengan sorot pandangan mata yang tajam, tanpa senyum dan tanpa kesan damai.
"Maaf, aku hanya bercanda. kalau kau tak mau bercanda, sebaiknya kau ikut Wicaksara saja!"
"Kambing kau!" makinya sambil menyambar bumbung tuak, lalu ia menenggak tuak itu tiga teguk.
"Rupanya kau kenai dengan Wicaksara!" ujar Bara Perindu sambil kembalikan bumbung tuak tersebut.
"Hanya pernah mendengar namanya saja," jawab Suto.
"Apakah kau dan dia punya hubungan pribadi?!"
"Tak sudi aku punya hubungan pribadi ciengan si mata keranjang iaknat itu!" ketus Bara Perindu menampakkan kebenciannya terhadap Wicaksara.
Suto hanya manggut-manggut sambil tersenyum.
"Kukira dia adalah kekasihmu yang cemburu melihat kita berdua di sini."
Bara Perindu menyelipkan pedang dan sarung pedangnya ke pinggang.
"Dia memang berusaha mendekatiku, dua kali merayuku dengan kata-kata cinta."
"Laiu, kau menerimanya?" pancing Suto.
"Aku meludahinya."
”Wow,..i Gaiak banget kau ini?i Jadi perempuan itu jangan galak-gaiak nanti tak iaku kawin iho," Suto sengaja menggoda agar suasana tak setegang tadi.
"Pemuda seperti dia memang patut mendapatkan perlakuan serendah mungkin, sebab dia juga memandang rendah setiap wanitai" ujar Bara Perindu, matanya tak mau tertuju pada Suto, melainkan memandang ke sana-sini dengan wajah tanpa senyum.
"Dua kali aku menolak cintanya, akhirnya dia sakit hati padaku dan ingin menundukkan diriku dengan kekerasan. Tapi ilmunya kupandang masih rendah sekali, sehingga la tak pernah berhasil menaklukkan diriku."
"kalau begitu, serangannya tadi memang mempunyai nada-nada cemburu karena melihat kau bersamaku. Bagaimana menurutmu?"
"Persetan dengan kecemburuannya! Setahuku dia punya rasa iri karena aku diangkat menjadi prajurit istana di Kadipaten Mancanagari. Sedangkan dia sendiri justru terusir dari kadipaten walau mendiang ayahnya bekas pangiima kadipaten."
"O, jadi dia adalah anak mantan pangiima kadipaten?!"
“Ya," jawab Bara Perindu dengan tetap ketus.
"Raden Gantar adalah tokoh tua di Kadipaten Mancanagari, sebagai pangiima yang punya keberanian tinggi. Tapi belakangan, sebelum ia tewas di tangan musuh, Raden Gantar melakukan tindakan yang memalukan, yaitu memperkosa adik ipar sang Adipati. Perbuatan itu dipergoki oleh Gusti Permesuari dan sang adik pun sangat malu, akhirnya bunuh diri. Raden Gantar dipecat, sekaligus diusir dar! kadipaten, dan anak cucunya tak diizinkan menginjak wiiayah Kadipaten Mancanagari. oleh sebab stu, Wicaksara merasa iri melihatku dia gkat menjadi prajurit ista¬na, yang merupakan prajurit pilihan yang terhormat di mata para punggawa negeri iainnya. Padaha! sewaktu kecii aku dan Wicaksara belajar ilmu kanuagan kepada mendiang pamannya. Boleh dikatakan, kami dulu teman sepermainan semasa kecilnya."
Pendekar Mabuk hanya mariggut-manggut sambil menilai kebenaran cerita tersebut. Bagaimanapun juga, kata-kata Wicaksara tadi masih membayang-bayangi benak Suto menimbulkan keraguan terhadap jatidiri si gadis cantik itu.
''Kita harus segera berangkat menghadap sang Adipati!" kata Bara Perindu dengan kaku.
"Ya, karena sang Adipati membutuhkan bantuanmu!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum berkesan tak percaya.
'jelaskan sejujurnya, apa yang kau inginkan dariku sebenarnya, Bara Perindu?"
Gadis itu berpaling cepat menatap Suto'dengan dahi berkerut.
"Rupanya kau sangsi padaku! Kau belum percaya siapa diriku sebenarnya?!"
"jelaskanlah...," pinta Suto dengan kaiem.
Bara Perindu tarik napas panjang-panjang, eeakan sedang menahan perasaan dongkolnya terhadap sikap tidak percaya Pendekar Mabuk itu. Lalu, dengan satu tangan menopang ke batang pohon dan satunya lagi bertolak pinggang, gadis yang tingginya sejajar dengan Suto Sinting itu menjelaskan maksudnya dengan wajah masih tanpa senyum.
“Kurasa kau sudah mendengar kabar bahwa sebagian murid Perguruan Sayap Kiri sedang mencari mangsa untuk melengkapi ilmu 'Lintah Tampak Cumbu’ mereka itu."
“Aku baru mendengar soai itu di kedai, sesaat sebelum kau datang," potong Suto Sinting. “Toiong jelaskan dulu soai ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ itu dan siapa ketua Perguruan Sayap Kiri tersebut!"
"Ketuanya adalah Nyai Mata Bina!, ia menemukan jurus itu dalam sebuah kitab kuno peninggalan ieiuhurnya. ilmu 'Lintah Tambak Cumbu' dapa! untuk menyerap sebuah !imu lawan jenisnya jika mereka melakukan... melakukan... begituan!"
"Begituan bagaimana?" Suto tersenyum geli.
"Ya, pokoknya begituani" Bara Perindu bersungut-sungut.
"Bercumbu dengan mesra, maksudmu?"
"Sudah jelas masih minta dijelaskan!"
"Memang sudah jelas, lapi belum tahu caranya," pancing Suto semakin konyol.
"Kenapa tidak kau peiajari sendiri?"
"Mana bisa? Harus ada pasangannya!"
"Carilah pasangannya!"
"Bagaimana jika kau yang menjadi pasanganku?"
Piaaak...! Tiba-tiba gadis itu menampar pipi Suto.
Suto tidak terkejut karena sudah menduga, ia hanya berkata, "Terima kasih. Mungkin memang beginiiah pelajaran pertamanya."
"kalau kau bicara meiantur aku tak akan jelaskan semuanya."
"O, jangan! Jangan marah begitu. Hmmm... baiklah, aku tidak meiantur. Laiu, bagaimana dengan maksud adipatimu?"
Bara Perindu kurangi cemberutnya.
"Kanjeng Adipati Purwatahta mengutusku untuk mencarimu, dan meminta kesediaanmu menjadi pengawal Gusti Rara Mustika."
“Siapa itu Rara Mustika?!" sambil Suto berkerut dahi.
"Putri bungsu sang Adipati yang ingin pulang dari Lembah Camar, d! Pantai Seiatan. Tugasmu hanya mengawai Gusti Rara Mustika selama dalam perjalanan dari Lembah Camar sampai rumah "
"Mengapa Adipati inginkan diriku yang mengawainya? Bukankah p!hak kadipaten sendiri punya pengawai banyak yang tentu saja berilmu tinggi?!"
"Rara Mustika sendiri juga berilmu tinggi."
"La!u, kenapa harus dikawal?"
"Justru karena berilmu tinggi itu, Kanjeng Adipati khawatir jika putrinya menjadi sasaran ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’i"
"Hm... ya, masuk akai juga aiasan itu," gumam Suto Sinting dalam hatinya.
Bara Perindu menambahkan kata, "Sang Adipati kurang percaya pada kemampuan putrinya dan para pengawainya. Sebab, jika sampai para pengawai dan sang putri sendiri gagai mempertahankan serangan dari orang-orang Perguruan Sayap Kiri, maka mahkoia kesucian Gusti Rara Mustika akan hilang bersama ilmu yang dimiiikinya. Dengan kata :ain, Kadipaten Mancanagari ternoda di mata dunia. oleh sebab itu, sang Adipati jatuhkan piiihan untuk menyewamu sebagai pengawai sang putri. Namamu sudah dikenai di mana-mana bersama kisah-kisah kesaktianmu. Kanjeng Adipati Furwatahta ieblh percaya pada Pendekar Mabuk ketimbang kepada para pengawainya."
Suto Sinting diam sejenak, mempertimbangkan jangkahnya lebih matang iagj. Sedangkan Bara Perindu tampak menunggu dengan berharap-harap cemas.
"Berapa upah yang kau inginkan, sang Adipati akan membayarnya tunai, tanpa dicicii atau diangsur sepuluh kali'!" tambah Bara Perindu, tapi Pendekar Mabuk justru tertawa kecii, tampak geii mendengar ucapan tersebut.
"Kau pikir aku ini perabot dapur yang beiinya harus dicicii segaia?!" gerutu Suto di seia tawanya.
"Artinya, kami menyediakan upah sesuai dengan permintaanmu. Jika memang karr.i rasa terlalu tinggi, maka kami akan menempuh jalan iain."
Setelah menarik napas, Suto pun menganggukkan kepala.
"Baikiah, kuterima pekerjaan itu. Tapi aku ingin menghadap sang Adipati dulu!"
"itu memang tugasku; membawamu menghadap Kanjeng Adipati!"
Pertimbangan demi pertimbangan, Suto tidak melihat adanya sesuatu yang mencurigakan. Apa yang dituturkan oleh Bara Perindu tampak polos dan asli, bukan rekayasa sebuah maksud iicik yang tersembunyi di hati si gadis judes itu. Setidaknya, Suto Sinting melihat sisi kebenaran dalam langkahnya, yaitu melindungi pihak yang iemah dan menghancurkan rencana-rencana sesat. Maka mereka pun segera bergegas menuju Kadipaten Mancanagari sambil saling lebih memperkenalkan pribadi masing-masing.
dalam perjalanan itu, mereka sempat melihat suatu pertarungan yang cukup seru antara seorang perempuan cantik melawan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh iima tahun.
Pertarungan itu terlihat oleh Suto dan Bara Perindu saat mereka menuruni sebuah iereng bukit cadas. Pertarungan itu tampak jelas karena berada di kaki bukit yang ingin diiewati.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat melihat gadis berusia dua puluh iima tabun juga itu sempat kewalahan hadapi pukulan bercahaya biru dari pemuda lawannya. Padahal Suto Sinting sangat kenai dengan gadis berjubah ungu yang mengenakan kutang merah bintik-bintik putih bening itu. Kaiung rantai putih berbatu hijau giok, dan pedang kuning emas berukir yang ada di punggung membuat Suto yakin bahwa gadis itu adalah Dewi Hening, yang akrab dipanggil Hening saja. Dewi Hening adalah kakak dari Dewi Kejora dan Dewi Menik, yang pernah dibantu Suto dalam memperebutkan sebuah pusaka ieiuhur mereka, {Baca seria Pendekar Mabuk elakan episode: "Utusan Raja Ibiis").
Tetap! Bara Perindu memusatkan perhatiannya bukan pada Dewi Hening, meiainkan kepada si pemuda yang mengenakan rompi biru berhias sisik warna perak, sama dengan celana ketatnya. Pemuda itu berambut panjang hingga diguiung di tengah kepala. Gulungan rambutnya dihiasi dengan iempengan iogam perak berhias manik-manik warnawarni. Pemuda itu juga berbadan tinggi, tegap, dan tampak gagah. nilai wajahnya setara dengan ketampanan Wicaksara. Hanya saja, pemuda bersenjata pedang di pinggangnya itu mempunyai kuiit sawo matang dan tangan serta dadanya ditumbuhi buiu agak jebat.
"Naga Langit...?!" gumam bernada heran dari mulut Bara Perindu membuat Suto Sinting berpaling memandangnya sekejap dengan dahi berkerut.
"Kau mengena: pemuda itu?"
"Ya. Dia yang berjuiuk Naga Langit, putra bangsawan dari Tanah Seior. Mendiang ayahnya pernah menjabat sebagai patih di tanah Seior. Setahuku dia punya guru bernama Begawan Girimaya dari Gunung Pantura."
"Kau kenai baik dengannya?"
"Tidak sebaik mengenaimu," jawab Bara Perindu tanpa memandang Suto.
"Aku pernah bentrok dengannya lebih dari tiga kali."
"Siapa yang unggui? Dia atau kau?"
"Kucium telapak kakinya kalau dia bisa mengungguiikui" ucap Bara Perindu dengan angkuhnya.
Dewi Hening terlempar dari sebuah jedakan adu kekuatan tenaga dalam. Naga Langit pun terpentai dan jatuh berguling-guling. Agaknya keduanya sama kuat, selama Dewi Hening belum gunakan jurus dahsyatnya yang dinamakan ilmu 'Getar Swara’ itu.
Naga Langit tampak masih penasaran sekali. Tapi ia belum mau mencabut pedangnya, walau saat itu Hening sudah mencabut pedang dan memainkannya dengan gerakan iemah gemuiai seperti orang menari.
"Kau tak akan berhasil melukaiku, Nona Cantik!" seru Naga Langit.
"Sebaiknya menyerahlah padaku dan kita bisa sama-sama saling menikmati kebahagiaan yang sejati."
Naga Langit melangkah dengan santai dekati Hening.
"Aku reia memberimu kepuasan lebih dulu. Setelah kau puas, barulah aku akan mencapai puncak kebahagiaanku. Dekatiah padaku dengan damai, Nona. Aku bukan pria yang mau menangnya sendiri. Percayalah, kau akan ketagihan jika sudah merasakan keindahan yang begitu hangat dariku. Nona...."
Tiba-tiba Dewi Hening meiesat dalam satu sentakan kaki kiri ke tanah. Kaki kanannya teriipat dalam keadaan tubuhnya terbang bersama pedang mengarah iurus ke dada Naga Langit.
Weeesss...!
Tetapi ujung pedang itu hanya ditahan dengan telapak tangan terbuka oleh Naga Langit. Taaab...!
Gerakan gadis berjubah ungu itu terhenti seketika. Telapak tangan yang menahan ujung pedang menjadi menyala hijau pijar-pijar.
Dewi Hening tersentak kejang, laiu tubuhnya bergetar kuat, seakan sukar mencabut pedang dari telapak tangan Naga Langit. Tubuh sekal berdada montok itu semakin berkeicjotan dengan tetap memegang" gagang pedangnya.
Bara Perindu terkejut sekali.
"Gila! Dari mana dia memperoleh jurus Tapak ibiis' itu?! 1 '
"Apa itu jurus ’Tapak ibiis’, Bara Perindu?!"
"Jurus merontokkan urat-urat dalam tubuh melalui tenaga inti yang keluar dari telapak tangan dan tersaiur lewat benda apa pun yang menempei di tubuh lawan. Seperti yang kita lihat sekarang ini! Dan... dan setahuku Naga Langit tidak memiliki jurus itu. Sebab jurus ’Tapak ibiis’ hanya dimliiki oleh murid-muridnya Ratu Peri Cabui. Sedangkan si Naga Langit itu bukan muridnya Ratu Per! Cabui! Kenapa dia bisa memiliks jurus itu?!"
Suto Sinting tak sempat bertanya lagi, karena keadaan Dewi Hening semakin membahayakan. Sebuah pukulan jarak jauh bersinar kuning patah-patah meiesat dari kedua jari yang disentakkan ke depan. Ciap, ciap, ciap, ciap...! Jurus ’pukulan Gegana’ itu segera menghantam tangan Naga Langit yang masih memancarkan cahaya hijau itu.
Zrraab...! Blaaarrr...!
Naga Langit terlempar dalam keadaan meiambung tinggi dan jatuhnya bagai dibanting dari iangit.
BuumrnmJ Sementara itu. Dewi Hening juga terlempar dan membentur sebatang pohon. Bruuss...i
Pendekar Mabuk berkelebat lebih dulu, Bara ,Perindu segera menyusulnya. Sasaran pertama bagi Suto adalah menoiong Dewi Hening yangterkuiai di bawah pohon tanpa daya lagi itu. Sedangkan Naga Langit segera bangkit, lalu menjadi semakin berang setelah melihat hidungnya melelehkan darah kenta!.
"Bangsat tengik! Hiaah...!” ia melepaskan pukulan bercahaya merah berbentuk seperti mata tombak ke arah Suto Sinting.
Bara Perindu menyentakkan tangan kanannya dengan jari iurus. Ciaap...! Sinar biru melesat dari ujung jar! dan menghantam sinarnya Naga Langit.
Jegaarrr...!
Sinar merah itu hancur di pertengahan jarak. Naga Langit semakin menggeram begitu melihat Bara Perindu muncul di tempat itu. ia segera menghampiri Bara Perindu dengan wajah penuh murka. Sementara Ku, Pendekar Mabuk sibuk memberi pertolongan kepada Dewi Hening dengan tuaknya.
"Bara Perindu! Kau bikin gara-gara lagi rupanya. Kau pikir aku benar-benar kalah melawanmu, hah?!"
"Jangan banyak bicara kau, Naga Langit! Aku hanya tidak menginginkan Pendekar Mabuk kau ceiakai dengan cara apa pun! kalau kau mau mencelakai dia, lenyapkan dulu nyawakui"
"Setan iaknati Kau belum tahu siapa aku yang ekarang. Hiiaahh...!"
Naga Langit menyentakkan kedua tangannya secara tiba-tiba dengan telapak tangan membentuk cakar. Wuuut...! Tiba-tiba tubuh Bara Perindu ter-
meieiehkan baja.
Weesss...!
"Aaaa...!" Bara Perindu berteriak kesakitan. Sekujur tubuhnya bagaikan api yang sukar dipadamkan.
Melihat keadaan seperti itu. Pendekar Mabuk yang sudah seiesai memberi minum tuak kepada Dewi Hening segera bangkit. Kemudian ia berkelebat cepat menggunakan jurus ’Gerak Siluman’-nya.
Zlaaaap...i
Breeess...!
"Aaahg...!" Naga Langit memekik kesakitan karena kepalanya ditabrak dengan bumbung tuak. Rasa sakitnya melebihi ditabrak seekor banteng yang sedang mengamuk.
Naga Langit terpentai dan berguling-guling. mulutnya segera semburkan darah, dadanya terasa panas sekali, bahkan sukar dipakai untuk bernapas. kepalanya terasa seperti remuk dalam. Pandangan matanya menjadi kabur.
Ziaap...! Suto Sinting segera dekati Bara Perindu, kemudian ia memberi minum tuak ke muiu! Bara Perindu yang ternganga mengerang-erang itu.
"Bangsaaat...! Aku akan datang lagi menuntut baias padamu! ingat, aku akan datang lagi dan mencabik-cabik sekujur tubuhmu!” teriak Naga Langit, kemudian ia segera meiesat pergi. Tapi karena pandangan matanya buram, ia tak tahu di depannya ada pohon besar. Maka ia pun menabrak pohon besar itu. Brreess...!
“Aaaoww...!" teriaknya semakin keras, karena memang semakin kesakitan, la berusaha bangkit, dan dengan penuh hati hati segera mencari jalan untuk larikan diri. Pendekar Mabuk sengaja tidak mengejarnya. Baginya yang penting Dewi Hening telah tertoiong dan Bara Perindu muia! sehat kembaii.
"Siapa gadis itu? Kekasihmukah?" tanya Bara Perindu dengan nada ketus dan memandang Dewi Hening dengan sikap sinis.
“Dia sahabatku. Dewi Hening namanya. Mari kuperkenalkan dengannya."
"Tak perlu!" sambil Bara Perindu kibaskan tangannya, tak mau ditarik Suto. ia bangkit sendiri dengan tetap memandang sengit kepada Dewi Hening. Yang dipandang hanya diam saja dan menampakkan ketenangannya.
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya kepada Dewi Hening.
"Mengapa kau terlibat pertarungan dengan pemuda itu tadi, Hening?"
Dewi Hening memberi isyarat dengan jarinya agar Suto mendekatkan telinganya. Maka teiinga Pendekar Mabuk pun disodorkan ke dekat mulut perempuan itu.
"Dia ingin memperkosakii," ucap Dewi Hening riengan suara berbisik iirih.
"D!a ingin memperkosamu?i Oh, sudah kena apa belum?"
Dewi Hening geiengkankepala.
"Hei, ditanya hanya geieng saja. Jawab dengan suara, jangan seperti gadis gagu begitu! 11 sentak Dara Perindu.
Suto berkata kepada Bara Perindu, "kalau kau dengar dia bersuara, teiingamu bisa pecah! Dia menguasai jurus 'Getar Swara’, sehingga kalau bicara hanya berbisik atau memakai isyarat gerak."
"Hmm...! Omong kosong! Mengapa tadi tak digunakan saat melawan Naga Langit?6"
Pendekar Mabuk bingung menjawabnya, karena dalam hatinya juga mempunyai pertanyaan begi-/ tu. Dew! Hening segera memberi isyarat dengan jariy nya agar Suto mendekat. Suto pun dekatkan telinganya ke mulut Dewi Hening yang berbibir indah dan menggemaskan sekali itu.
"belum sempat," ucap Dewi Hening.
"O, dia tadi belum sempat gunakan ilmu ’Getar Swara’ tapi sudah teianjur dilumpuhkan oleh Naga Langit!" kata Suto menjelaskan kepada Bara Perindu.
"Hmmm... aiasan saja!" Bara Perindu mencibir sambil buang muka.
Kemudian wajah cantik dan tubuh sekai Dewi Hening menjadi sasaran pandangan mata Pendekar Mabuk. Pemuda tampan itu sunggingkan senyum, merasa senang bisa berjumpa kembali dengan Dewi Hening setelah sekian lama mereka saling tak berjumpa.
"Mengapa kau bisa berada di tempat ini, Hening?"
"Memburu seseorang," bisik Dewi Hening.
"Siapa yang kau buru?"
'Wicaksara!" jawabnya tegas masih dalam suara bisikan yang iembut sekali.
Pendekar Mabuk terperanjat, kemudian ia memandang Bara Perindu. Yang dipandang mencibir sinis dan berkata,
"Hmmm...i Leiaki seperti Wicaksara saja diburu. Bikin gede kepala sajai kalau aku jadi kau, lebih baik leiaki macam dia dibunuh saja, atau dikubur hiduphidup, daripada hidup tidak dikubur-kuburi"
Bara Perindu bicara seenaknya saja. Dewi Hening memandang dengan dingin. Pendekar Mabuk cemas kalau sampai terjadi perseiisihan antara kedua gadis itu. Karenanya, ia segera menengahi dengan mengajukan tanya lagi kepada Dewi Hening.
"Mengapa kau memburu Wicaksara, Hening? Apakah demi cinta Kejora yang mungkin menangis terus karena rindu kepada pemuda itu?"
Bibir indah itu tampak bergerak menyebut sepasah kata walau tanpa suara.
"Bunuh...!"
"Hahh...?!" Suto Sinting mendelik dengan mulut ternganga.
"Jadi, kau mengejar Wicaksara untuk dibunuh?"
Dewi Hening anggukkan kepala.
"Mengapa kau jadjjngin membunuh Wicaksara?! Bukankah menurut Menik, adik bungsumu itu, Wicaksara adalah kekasih Kejora, kakak si Menik itu?!"
Dewi Hening geiengkan kepala. ia memberi isyarat dengan [ari agar Suto mendekatkan teiinga ke muiuinya.
"Wicaksara telah nodai Kejora...."
"Ya, ampun...?!" Suto terpekik dan berwajah tegang. Bara Perindu jadi penasaran dan ajukan tanya kepada Suto.
"Ngomong apa dia?!"
"Wicaksara menodai Kejora, adiknya'" sambil menuding Dewi Hening.
Ternyata Dewi Hening tambahkan bisikannya lagi kepada Suto.
"Kejora bukan saja kehilangan mahkota kesuciannya, namun juga kehilangan seiuruh ilmunya!"
"Hahhh...?!" Suto terpekik lagi.
Bara Perindu jengkel. “Hah-hoh, hahrhoh... seperti sapi ompong! Bicara apa dia?! Katakan padaku!"
"Ap... apakah... apakah Wicaksara mempunyai ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’?!" Suto justru bertanya kepada Bara Perindu.
"Seingatku dia bukan orang Perguruan Sayap Kiri, [adi... kurasa dia tak punya. Kenapa?"
"Kejora bukan saja kehilangan kesuciannya, namun seiuruh ilmu yang dimiliki juga lenyap setelah dinodai Wicaksara."
Kini gadis berpakaian merah yang menjadi utus¬an sang Adipati itu menjadi terbungkam. Pandangan matanya menerawang jauh sebagai tanda sedang merenungi dugaan Suto tadi.
Sementara itu. Dewi Hening sempatkan berbisik lagi kepada Suto.
"Kudengar, dia memang punya ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ itui"
"Wicaksara memang mempunyai ilmu itu?!' 1 Suto mengulang supaya Bara Perindu mengerti apa yang dibisikkan Dewi Hening.
"Sama halnya dengan pemuda yang tadi mengajakku berkencan."
' Naga Langit, maksudmu?"
Dewi Hening anggukkan kepala.
Suto berkata kepada Bara Perindu, "Katanya, f laga Langit juga memiliki ilmu 'Lintah Tambak Cumbu'."
"Mungkin juga," ucap Bara Perindu dengan nada agak ragu.
"Dari mana kau tahu kalau Naga Langit mempunyai ilmu itu. Hening?" tanya Suto.
Dewi Hening berbisik, "Aku mendengar percakapan dua muridnya Ratu Peri Cabui yang sedang mencarinya untuk dibunuh karena Naga Langit telah berhasil bercumbu dengan saiah seorang murid Ratu Peri Cabui yang bernama Kerang intani. Dan menurut kedua murid Ratu Peri Cabui yang kudengar percakapannya itu, Kerang intani sudah lakukan bunuh diri karena kehilangan seiuruh ilmunya sejak !> rcumbu dengan Naga Langit."
Suto menyampaikan kata-kata itu kepada Bara Perindu.
"Pantas...!" ujar Bara Perindu.
"Berarti kecurigaanku tadi sudah mempunyai jawaban yang pasti. Jika kutahu dia mempunyai ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ dan telah berhasil bergumui dengan saiah satu murid Ratu Peri Cabui, maka aku tak heran lagi jika ia memiliki ilmu 'Tapak ibiis’ yang kuceritakan tadi!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil hatinya membatin, "Bagaimana cara melawan ilmu itu? Dengan membunuh para pemiliknya? Setelah pemilik ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ mati, apakah ilmuilmu yang telah terserap mereka bisii kembali dengan sendirinya ke pemilik seben; rnya?!"
Sebelum hai itu dibicarakan lebihilanjut, tibatiba pandangan mata Suto Sinting menangkap gerakan cepat yang melintas di seia-seia pepohonan. Bayangan yang berkelebat itu berwarna putih. Ingatan Suto segera tertuju pada seorang gadis yang mempunyai wajah dan potongan tubuh rrjirip dengan Dyah Sariningrum itu. i
"Salju Kelana...?!" seru Suto dengan sentakan menandakan terkejut. Maka tanpa pamit dengan kedua gadis di sampingnya, Suto Sinting segera melesat mengejar Salju Kelana.
Ziaaap...!
"Sutooo...!" teriak Bara Perindu, lalu mengejarnya tanpa bicara apa pun kepada Dewi Hening.
“Untuk sementara biarkan Suto seiesaikan urusannya sendiri, aku harus bisa menemukan Wicaksara dan bikin perhitungan dengan pemuda keparat itu!" pikir Dewi Hening, kemudian pergi ke arah yang berlawanan dengan Suto dan Bara Perindu.

*
* *

:#: 4 :#:

BARA PERINDU tak berhasil mengejar Suto, sebab Suto menggunakan jurus ’Gerak Siluman\ Tetapi Suto Sinting berhasil dapatkan perempuan yang dikejarnya, yaitu paiju Kelana.
“Suto, oh... syukuriah kau menemuiku," ujar Salju Kelana sambil terengah-engah.
"Salju Kelana...,“ sapa Suto dengan iembut sambil dekati gadis itu, lalu rambut sang gadis yang tergerai di kening disingkapkan oleh jari-jari tangan Suto.
“Apa yang terjadi pada dirimu, Salju Kelana?" "Hmm... eeh... sebaiknya kita cari tempat yang aman, Suto. Aku tak tenang bicara di tempat terbuka begini .' 1
Pendekar Mabuk memandang aiam sekeliling. Kejap berikutnya ia berkata, “Tadi aku melewati sebuah gua saat mengejarmu kemari. Bagaimana kalau kita masuk ke dalam gua itu?"
"Baiklah," Salju Kelana mengangguk.
Mereka bergegas ke sebuah gua di tebing sebuah bukit tak seberapa tinggi. Tetapi ketika mereka ingin dekati pintu gua, tiba-tiba Salju Kelana tarik tangan Suto Sinting ke semak belukar yang cukup rimbun. Keduanya terbenam di sana dengan wajah tegang.
Pendekar Mabuk kebingungan dan sangat terheran-heran dengan tingkah Salju Kelana itu. ia ajukan tanya dalam nada bisik, dekat sekali dengan teiinga Salju Kelana.
"Ada apa sebenarnya? Mengapa kau menarikku bersembunyi di semak-semak ini?"
“Aku sempat melihat bayangan orang baru saja masuk ke dalam gua itu," jawab Salju Kelana dalam bisikan puia.
"Kau kenaii orang itu?"
Salju Kelana anggukkan kepala.
"Siapa orangnya?" desak Suto Sinting.
"Nyai Mata Binai."
"Oh, kau mengenainya?"
"Ya. Aku memang sedang mengincarnya untuk mencari keiemahannya. Dia telah menyebarkan ilmu terjarang yang dulu sudah dibekukan oleh para tokoh rimba persiiatan. ilmu itu bernama 'Lintah Tambak Cumbu’. Kau pernah dengar nama limu itu?"
"Ya, baru saja aku membahasnya dengan Dewi Hening. Dan... kalau tak saiah kau hampir saja menjadi korban ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ dari dua leiaki kembar itu."
"Ya. Aku memang hampir menjadi korban Malaikat Ludah Bacin. Aku sempat melihat kemunculanmu sebelum aku jatuh pingsan. Kau berdiri di atas tebing, dan...."
"Lalu, bagaimana caramu pergi dari tempat itu?" potong Suto untuk mengusir rasa penasaran dalam hatinya.
"Adikku yang membawaku lari dari tempat Itu."
"Angin Batlna...?"
Salju Kelana mengangguk. Matanya yang Indah itu berkedip-kedip dan menimbuikan debar-debar halus di hati Suto Sinting.
"Kau benar-benar mirip dia!" sambil Suto Sinting mencubit pipi Salju Kelana, karena ia ingat kedipan mata Dyah Sariningrum.
"Ah...!" Salju Kelana menepiskan tangan Suto.
"Perhatikan saja gua itu! Mungtan gua itu adalah tempat rahasia yang selama ini dipakai untuk pelajari ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’. Aku ingin memeriksanya lebih dekat iagj." N
"Ssst...i" Suto Sinting segera menutUp mulut Salju Kelana dengan tangannya, padis itu dibekap dengan kepala merapat di dada Suto.
Salju Kelana segera mengerti maksud Suto, karena matanya berhasil menangkap satu gerakan dari sisi iain. Seorang pemuda bergegas masuk ke dalam gua tersebut setelah lebih dulu clingak-clinguk memeriksa keadaan. Setelah merasa keadaan cukup aman, ia pun masuk ke dalam gua. Pintu gua tidak terlalu besar. Hanya cukup diialui oleh dua orang saja.
Pendekar Mabuk sendiri hampir terpekik kaget ketika mengetahui siapa leiakl yang masuk ke dalam gua tersebut, ia sangat mengenaiI pemuda itu. Ternyata Salju Kelana pun juga mengenailnya.
"Kertapaksi...?}" gumam Suto membisik.
"Tak kusangka murid Resi Paksr Pantun itu punya hubungan dengan Nyai Mata Binal," ucap Salju Kelana dalam bisikan.
"Apa tujuan Kertapaksi menjalin hubungan dengan Nyai Mata Binai?"
"Mungkin ia ingin dapatkan ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ itu."
"Hmmm... mungkin juga," Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala.
“Sudah lama kudengar Nyai Mata Binal menawarkan Ilmu itu kepada beberapa orang. Yang berminat segera bersekutu dengannya dan dijadikan muridnya. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara menghentikan ulah Nyai Mata Binai itui"
“Mengapa kau tak bekerja sama dengan Angin Betina untuk menundukkan Nyai Mata Binai?"
"Justru Angin Batina kusuruh menghadap Resi Wuiung Gading untuk menanyakan kelemahan ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ itu. Sebab... kudengar indayanl aiias sl Gadla Dungu, murid Nyai Serat Biru, sudah kehilangan seiuruh ilmunya karena tergoda oleh rayuan Naga Langit dan mereka bercumbu di suatu tempati"
"Gadla Dungu...?! Oh, kasihan sekali dial" Suto Sinting menjadi sedih, karena la sangat kenai dengan Indayanl yang sering dijuiuki si Gadis Dungu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Titlsan Dewa Pelebur Teiuh").
"Juga seorang gadis bernama Pinang Sari, telah kehilangan seluruh kesaktian dan tenaga dalamnya karena berhasil diperkosa oleh Malaikat Ludah Bacin."
"Hah...?! Maksudmu. Pinang Sari murid dari Nyai Pucanggeni itu?"
' Benar," jawab Salju Kelana iirih, membuat Suto Sinting tertegun haru, sebab ia juga kenai baik dengan Pinang Sari, (Baca seriai Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan Tanpa Ajai").
"Jika Nyai Mata Binai semakin banyak turunkan ilmu itu kepada setiap orang, maka kedamaian di bumi kita akan menjadi hancuri"
"Ya, agaknya kita memang harus bergerak cepat menghancurkan ilmu itu!" kata Suto Sinting.
"Berapa jumlah murid Nyai Mata Binai yang telah memiliki ilmu tersebut?"
“Menurut percakapan Paiudbya dan Gadaloya yang kusadap, jumiah murid yang t^emiliki ilmu itu ada sebeias orang. Tapi siapa-siapa^aja namanya, aku tak mengetahuinya." \
Tiba-tiba percakapan kasak-kusuk mereka terhenti, karena mereka mendengar suara tawa yang lepas dari dalam gua tersebut. Suara tawa itu adalah suara tawa wanita bernada manja, yang menghadirkan khayalan mesum bagi siapa pun yang mendengarnya.
"Aku ingin masuk ke dalam gua!" ujar Salju Kelana tak sabar.
"Baikiah, akan kudampingi!" Suto Sinting menampakkan sikap mendukung kuat rencana Salju Kelana. Maka mereka pun bergegas masuk ke dalam gua mengendap-endap dan sangat hati-hati.
Ternyata gua itu mempunyai ruangan yang cukup iega walau tanpa iorong tembus ke mana-mana.
Langit-iangit gua heriubang beberapa tempat, sehingga cahaya matahari dapat menerobos masuk sebagal penerang ruangan gua tersebut.
Beberapa batu bersumbuian dl sana-sini, tingginya ada yang melebihl tinggi manusia dewasa. Batu-batu yang berserakan itu pada umumnya berbentuk pipih seperti dinding penyekat.
"Aku berani bersumpahi Aku tak akan menipumu, Kertapaksi. Hih, hi, hi...!"
Terdengar suara seorang perempuan yang tak lain adalah Nyai Mata Binai. Suara itu ada di kedalaman sana, di tempat yang remang-remang karena bias cahaya matahari yang masuk tidak mencapai tempat itu. Namun demikian, untuk ukuran pandangan mata manusia biasa masih bisa melihat dengan jelas apa yang ada di tempat itu.
"Aku akan lebih dekat lagi ke balik batu berbentuk segi tiga itui" bisik Salju Kelana.
"Majulah, aku akan mengawasimu dari beia-
kangi"
Salju Kelana maju ke batu berbentuk segi tiga, Suto menyusul setelah mengetahui keadaan Salju Kelana aman. Jarak tempat persembunyian mereka dengan tempat Kertapaks! berada hanya sekitar iima tombak. Mereka dapat melihat keadaan Kertapaksi dan Nyai Mata Binai melalui sisi samping batu, atau celah kecil yang ada di pertengahan batu itu.
"Edani Ternyata yang bernama Nyai Mata Binai itu masih muda?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya yang berdebar-debar begitu melihat seraut wajah cantik miiik Nyai Mata Binai.
Perempuan itu masih berusia sekitar dua puluh deiapan tahun. Masih tampak cantik, segar, montok, dan sangat menggairahkan. Matanya membeiaiak indah, jika memandang menimbulkan daya tarik yang luar biasa. Apalagi jika ia memandang dengan sedikit sayu, rasa-rasanya setiap lelaki enggan untuk mengedipkan mata, malas untuk berpaling dan mungkin bahkan malas untuk bernapas.
Nyai Mata Bina! mengenakan jubah biru muda dari kain tipis yang iembut sekali. Tepian jubah diberi renda-renda putih hingga menambah anggun penampiiannya.
Sayang sekali'Nyai Mata Binai enggan mengenakan pelapis tubuh iainnya kecuaii seiembar kain tipis warna kuning sutera untuk menutupi bagian dadanya yang besar dan menantang itu, serta seheiai kain kuning tipis tembus pandang untuk menutupi bagian perut sampai ke bawah. Kain itu sangat ionggar dan berbeiahan tengah dari bawah sampai mendekati pusar.
Kemoiekan tubuhnya dapat dilihat dengan jelas. Kemuiusan kuiitnya yang putih itu seakan mudah diraba dari jarak jauh. Nyai Mata Binai benar-benar wanita yang mampu hadirkan sejuta khayaian bagi seorang pria.
dalam keadaan rambutnya dilepas terurai, dalam keadaan jubahnya dilepas dari tubuhnya, Nyai Mata Binai semakin membakar gairah setiap lelaki yang memandangnya, termasuk yang mengintipnya dari ceiah bebatuan.
Suto Sinting gemetar dan la tak sadar tangan nya jatuh dl pundak Salju Kelana, sehingga getaran tangan itu dapat dirasakan dengan jelas oleh Salju Kelana. Perempuan itu tersenyum kecii membayangkan getaran tangan Suto Sinting. Tapi mata Salju Kelana tetap tertuju ke arah Nyai Mata Binai dan Kertapaksi.
"kalau kau memang benar-benar ingin memiliki ilmu ’Lintah Tambak Cumbu', kau harus memberiku hadiah lebih dulu, Kertapaksi."
“Hadiah apa yang kau inginkan. Nyai?"
"Hik, hik, hik... tak terlalu mahai. Hanya segenggam kehangatan dan kenikmatan asmaramu," jawab sang Nyai dengan tubuhnya semakin merapat kepada Kertapaksi. Saat itu, Kertapaksi beriutut sementara sang Nyai berdiri. Kertapaksi mendongak ke atas ketika ia berkata dengan senyum kegirangan.
"Aku sangat tidak keberatan memberikan hadiah itu padamu, Nyai. Asai kau menepati janjimu."
"O, tentu! Tanyakan kepada Naga Langit, Wicaksara atau yang lainnya; apakah aku ingkar janji kepada mereka atau tidak?"
Nyai Mata Binal bicara sambil melepaskan kain penutup dadanya itu dengan pelan-pelan. Mata Kertapaksi tak bisa berkedip memandang dua gumpaian yang membusung kencang penuh tantangan itu. Bahkan mulut Kertapaksi ternganga bengong sebagai tanda sangat mengagumi keindahan tubuh Nyai Mata Binai.
"Kapan aku harus mengawaiinya. Nyai?" bisik Kertapaksi sambil tangannya muiai merayapi betis sang Nyai.
"Sekarang pun kau telah mengawalinya, Sayang. Hik, hik, hik...." Nyai Mata Binai sengaja membiarkan tangan Kertapaksi merayap naik hingga melepaskan kain penutup bagian bawahnya.
Sang Nyai semakin merapat iagl. Wajah Kertapaksi menempel di perut sang Nyai.
"Lakukaniah, Kertapaksi. Jika ada kekurangannya aku akan membimbingmu, Sayang/ suara Nyai Mata Binai muiai mendesah.
Kertapaksi mencium perut mulus itu. Ciumannya semakin Ynerayap turun, dan Nyai Mata Binal muiai mendesis dengan mata sayunya, seakan sangat meresapi tiap sentuhanJajbir Kertapaksi.
"Kau suka, Nyai?" Kertapaksi berhenti sebentar.
"Sangat suka, Kertapaksi. Lakukanlah lagi, Sayang...
Nyai Mata Binai membuka diri, memberi peiuang bagi Kertapaksi untuk semakin mengganas dengan ciumannya. Sang Nyai memekik iirih sambil meremas-remas kepala Kertapaksi. Berdirinya agak goyah karena hatinya disentak-sentak oleh keindahan yang tiada tara.
"Oooh, Kertapaksi... indah sekali sentuhanmu. Sayangi Oooh, banguniah... bangun sayangku...."
Kertapaksi tidak bangkit berdiri, namun hanya menegakkan badan dalam keadaan tetap beriutut. Nyai Mata Binai sedikit merendah sehingga saiah satu dari dua gumpaian besar di dadanya itu menyentuh mulut Kertapaksi.
Huuup...l
"Aaaoh..., nikmat sekali kenakaianmu, Kertapaksi! Teruskan, Sayangku... teruskan dan jangan berhenti sebelum keringatku mengaiir deras. Oooh.... Kertapaksi..
Gua yang semuia sepi, kini menjadi riuh dan gaduh. mulut sang Nyai tak bisa berhenti berceioteh. Suara rintihan dan desah kenikmatan berhamburan memenuhi gua tersebut, sehingga mempengaruhi aiam pikiran Suto Sinting.
Dengan tak disadari, tangan Suto Sinting meremas pundak Salju Kelana. Gadis itu diam saja, bahkan menggigit bibirnya sendiri sambil matanya sedikit terpejam, merasakan remasan tangan Suto Sinting. Mungkin karena debar-debar keindahan dalam hatinya mendobrak gairah yang tertahan, Salju Kelana akhirnya tak sanggup hanya diam saja. Kini ia menarik tangan Suto Sinting agar beriutut sejajar dengannya.
"Tahan, Salju Kelana... tahan gejoiakmu, jangan sampai ikut-ikutan seperti mereka," bisik Suto Sinting.
"He’eh...," Salju Kelana hanya menjawab iirih sekali.
Tetapi di seberang sana, Nyai Mata Binai merintih panjang dalam satu pekikan keras.
‘Ooohh...!"
Jantung Salju Kelana semakin disentak-sentak oleh gairahnya. Apalagi saat itu kepalanya hampir berdempetan dengan kepala Suto dan mata mereka sama-sama mengintip ke arah Kertapaksi dan sang Nyai, rasa-rasanya Salju Kelana tak mampu menahan siksaan batin itu.
ia berpaling ke kiri, dan mendapatkan wajah Suto Sinting. Pemuda tampan itu juga berpaling dan berkata dalam bisikan sangat lembut.
"Tahan, tahan... jangan terpengaruh....”
"Suto...," Salju Kelana memanggii dengan suara desah membisik. Pandangan matanya tetap beradu iembut dengan tatapan mata Suto.
"Tahan, ya... jangan terpengaruh... jangan terpengaruh...."
"Ooh, Kertapaksii Ooooh...i" sang Myai memekik makin meninggi.
Suara Suto bergetar, "Tahh... tahhan... tahan, jangan... jangan...."
“Ouh, Nyatii...!" Kertapaks! memekik.
Ma... jangan... jangan diam saja, Salju Kelana. Oouh...i"
"Sutooo... uuhmmm...!' 1
Salju Kelana atau Suto Sinting; keduanya samasama tak tahu siapa yang menempeikan bibirnya. Yang jelas mereka tak mampu bertahan lagi, dan bibir mereka saling meiumat dengan iembut. Dari gerakan pelan, makin lama menjadi semakin cepat, dan akhirnya keduanya sama-sama mengganas. Pagutan demi pagutan membuat Salju Kelana ingin menjerit, namun la harus menahannya mati-matian, walau untuk itu terpaksa meremas punggung Suto, memeluk kuat-kuat hingga kulit punggung Suto terasa perih karena cakaran kuku Salju Kelana.
Karena tak tahan lagi, akhirnya Suto Sinting keluar juga. Maksudnya, keluar dari gua. ia terengah-engah diburu gairah yang masih ditahannya mati-matian itu. Matanya segera terbeiaiak ketika menyadari bahwa ternyata bumbung tuaknya ketinggalan. Untung Salju Kelana cepat keluar juga membawakan bumbung tuak, sehingga mereka pun akhirnya sepakat untuk mengatur siasat lebih lanjut di tempat yang lebih aman lagi.

*
* *

:#: 5 :#:

POHON berdaun rimbun dan berdahan lebar " menjadi piiihan bagi mereka. Suto Sinting dan H Salju Kelana berada di atas pohon itu, tak seberapa jauh dari gua tersebut. Dari sana mereka dapat mengintai saat-saat kepergian Kertapaksl dan Nyai Mata Binai meninggaikan gua tersebut.
Ternyata sampai petang menjelang, Pendekar Mabuk dan Salju Kelana terpaksa masih harus tetap idiam di atas pohon, karena Kertapaksi dan Nyai Mata Binal belum keluar dari gua. Salju Kelana tampak beVsungut-sungut kesai dan sejak tadi menggerutu berifang kali. Suto Sinting masih sabar menunggu kemunculan kedua orang dari dalam gua, untuk kemudian 'akan mengikuti dan mengawasi apa saja yang dilakukan oleh sang Nyai.
"Salju Kelana," tegur Suto sambi i memainkan setangkai daun yang diputar-putar dengan jemarinya. “Baru saja aku punya gagasan untuk berpurapura ingin menjadi murid Nyai Mata Binal.* 1
"Apakah kau benar-benar gila?!’ 1 Salju Kelana tampak ketus, agaknya ia tak setuju dengan gagasan Suto itu.
"Kurasa itu jalan terbaik untuk mengetahui rahasia keiemahan ilmu ’ Lintah Tambak Cumbu’. Aku dapat memancing sang Nyai, sehingga sadar atau¬pun tidak ia akan menyebutkan keiemahan ilmu tersebut"
"itu berarti kau harus meiayaninya lebih dulu, seperti dilakukan oleh Kertapaksi tadi!" ujar Salju Kelana semakin jelas-jelas tak setuju dengan rencana Suto Sinting.
"Aku dapat menghindari bujukannya! Aku tidak seperti Kertapaksi. Ada cara sendiri untuk menghindari tuntutan sang Nyai."
"Aku tidak setujui" tegasnya sambil cemberut.
"Mengapa tak setuju?"
"Aku tak rela jika kau dijamah oleh perempuan sesat itui"
Kata-kata Salju Kelana membuat Suto Sinting bagai tak mampu berkutik lagi. Hatinya merasa sedapg membengkak penuh kebahagiaan. Maka dipandangnya Salju Kelana dekat-dekat. Gadis itu pun tak mau mengaiihkan tatapan matanya yang iembut dan menerbangkan khayaian Suto ke Puiau Serindu, tempat Dyah Sariningrum berkuasa sebagai seorang ratu yang diagungkan.
"Kau... kau cantik sekali, Salju Kelana," ucap Suto membisik.
"Jangan berkata begitu, Suto. Nanti aku tak bisa berpisah darimu."
"Lekatkan hatimu saja ke hatiku. sekalipun kita jauh, tapi hati kita merasa selalu dekat dan saling berdekapan."
"Tapi... tapi kau...," Salju Kelana hentikan katakatanya. Matanya beraiih pandang ke arah bawah pohon.
"Kertapaksj...!" ucapnya iirih tapi bernada tegang.
Pendekar Mabuk ikut memandang ke arah yang dipandang Salju Kelana. Ternyata di sana tampak Kertapaksi telah keluar dari gua. Kertapaksi melangkah dengan terburu-buru sambil memandang sekeiilingnya seperti merasa takut dllihat orang iain.
“Dia sendirian, Suto."
"Ya. Agaknya Nyai Mata Binai masih tinggal di dalam gua. Mungkin mereka sengaja tak ingin keluar bersama-sama.' 1
“Kuikuti dulu si Kertapaksi! Kau tetap di sini mengawasi Nyai Mata Binai.*
"Hati-hati, jangan terlalu dekat, nanti Kertapaksi tahu kalau kau mengikutinya," ujar Suto sambil mengusap-usap punggung Salju Kelana.
Gadis itu meiesat dari pohon ke pohon melebihi kecepatan seekor tupai. Kertapaksi tak mengetahui bahwa dirinya diikuti oleh seseorang dari atas pohon. Sementara itu, Pendekar Mabuk masih tinggal dl tempptnya menunggu kemunculan Nyai Mata Binai. I
Sdmakin lama semakin geiap. Pendekar Mabuk mulai cemas dan tak sabar menunggu kemunculan Nyai Mata Binai.
"Jangan-jangan di dalam gua ada jaiars tembus ke tempat iain? Bisa saja ia lolos melalui jalan itu. Ah, penasaran sekali aku jadinya. Sebaiknya kuperiksa saja ke dalam gua. Jika memang ia masih ada di sana, aku akan beriagak ingin menjadi murid-nya. Mumpung Salju Kelana tidak melihatnya," pikir Suto Sinting setelah meneguk tuaknya beberapa ksii.
Keadaan di dalam gua tentunya juga geiap, karena petang telah tiba, bahkan telah bergeser menjadi maiam. Pendekar Mabuk mencoba untuk memeriksa gua itu walau dalam keadaan geiap.
Tetapi saat ia masuk ke dalam gua, ia melihat seberkas sinar. Sinar itu tak iain adalah nyala api yang ada dl tanah. Seseorang telah menyalakan api unggun walau hanya berukuran kecii.
Langkah Suto Sinting berhenti di balik sebong^ kah batu besar. Dari sana matanya mengintai di seberang api unggun. Di sana tampak seorang wanita berpakaian serba merah sedang duduk termenung di atas batu setinggi perut orang dewasa.
Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat perempuan berpakaian serba merah dengan rambut pendek seiewat pundak bagian depannya diponi rata. Bahkan Pendekar Mabuk merasa tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Sudah rabunkah mataku ini?i Mengapa yang kulihat di sana adalah Bara Perindu?!"
Suto menjadi bingung sekali dan tak mengerti harus bersikap bagaimana. Nyai Mata Binai ditunggu-tunggu tapi tak tampak keluar dari gua. Ketika Suto memeriksa isi gua, ternyata Nyai Mata Binal tidak ada. Justru Bara Perindu yang ada di sana. Sungguh sesuatu yang tak mudah dimengerti oleh otak sang Pendekar Mabuk.
Akhirnya Suto Sinting mendekati dengan pelan-pelan. Gadis itu masih merenung bagai sedang menerawang jauh. Bahkan ia tak sadar jika dirinya sedang didekati oleh seorang pemuda tampan yang kini sudah berada di belakangnya, teriindung tumpukan batu setinggi kepala orang dewasa.
Suto Sinting sempat membatin, "Sejak kapan Bara Perindu masuk ke gua ini? Seingatku sejak tadi kuperhatikan pintu gua dari atas pohon, tapi tak ada manusia yang masuk ke sini. Bahkan yang keluar dari sini pun hanya si Kertapaksi. Lalu... lalu siapa gadis ini sebenarnya?!"
Suto sengaja tidak ingin menampakkan dir! dulu. ia ingin tahu apa sebenarnya yang dilakukan Bara Perindu di dalam gua itu. Suto ingin menunggu perubahan berikutnya, siapa tahu Bara Perindu sedang menunggu seseorang masuk ke dalam gua itu.
"Tapi ke mana sang Nyai sebenarnya?! ini yang membuatku heran dan sangat penasaran!" ujar Suto \nembatin dengan jengkel sendiri.
Bara Perindu makin lama semakin larut dalam iamunasinya. Bahkan sekarang tubuhnya tampak bergerak-gerak. Pendekar Mabuk berkerut dahi karena ia tak melihat wajah si gadis. Namun setelah kini Suto mendengar suara isak samar-samar, maka tahilah Suto bahwa gadis itu sedang menangis.
"Gila! Gadis seangkuh dia, segaiak dia, ternyata masih bisa menangis juga. Apa yang membuatnya sampai menangis begitu?"
Pendekar Mabuk mencari tempat agak menyamping sehingga ia dapat melihat wajah Bara Perindu. Ternyata gadis itu benar-benar menitikkan air mata dan terisak-isak iirih sekali. Suto Sinting sempat tersenyum melihat gadis itu menangis.
"Lucu sekali. Gadis galak dan judes kok menangis segaia. Sama sekali tidak pantas. Tapi... sebaiknya ia segera kutemui untuk mencari tahu penyebab tangisnya."
Pendekar Mabuk melemparkan batu kecil ke arah seberang api unggun. Traaak...! Seketika itu puia wajah Bara Perindu terangkat tegang, ia buruburu menghapus air matanya, sepertinya tak ingin ada orang iain mengetahui tangisnya. Maka, dengan mata muiai memandang tajam, Bara Perindu memeriksa tempat itu.
Bara Perindu segera lepaskan suaranya dengan nada membentak,
"Keluar dari persembunyianmu kalau ingin main-main dengan Bara Perindu! Tampakkan batang hidungmu, Setan Belang!"
"Masih ganas juga dia?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya. Laiu ia bergerak cepat menempati batu yang tadi dipakai duduk Bara Perindu.
Zlaaap...!
Bara Perindu masih membelakangl tempat duduknya semula, la mendekati tempat jatuhnya batu kerikii tadi. Suaranya masih terdengar cukup gaiak dan berani.
' Aku tahu ada orang di sinil kalau kau tak mau keluar, aku akan runtuhkan gua ini!" ancam Bara Perindu yang diam-diam ditertawakan oleh Pendekar Mabuk.
"Kuhitung tiga kali kalau kautak mau tampakkan diri akan kuhancurkan gua ini!" seru Bara Perindu semakin berang.
"Satu...! Dua...!"
"Tigaaa...!" Suto menyahut, membuat Bara Perindu terkejut dan segera berpa!ing memandang, ia tambah terkejut setelah mengetahui Suto Sinting sudah duduk di sana.
"Sutooo...!" ia berseru girang. Tapi kegirangannya segera diputus secara mendadak, gerakan Ingin mendekati Suto juga berhenti totai. ia berubah angkuh dan judes kembali.
Senyum Suto mengembang kaiem, samhii berdiri dan melangkah dekati Bara Perindu. Gadis itu semakin gelisah walau tetap menampakkan keangkuhannya.
"Sudah lama kau berada dl dalam gua ini, Bara?"
"Cukup lama juga," jawab Bara Perindu dengan nada dingin.
"Aku ieiah mencarimu, dan secara tak sengaja kutemukan gua ini."
"Bagaimana dengan Kertapaksi?" pancing Suto.
Bara Perindu berkerut dahi, menatap Suto tak • berkedip.
"Siapa Kertapaksi itu?"
Pendekar Mabuk tertawa pelan berkesan meiecehkan pertanyaan itu.
"Kau tak perlu bertanya begitu, karena kau sudah cukup tahu tentang kehangatan si Kertapaksi, Nyaii"
Bara Perindu semakin berkerut dahi.
“Apa maksudmu bicara begitu?!"
"Sudahiah, Nyai. Tak perlu berpura-pura lagi.
Aku tahu kau adalah Nyai Mata Binai yang mampu mengubah wujud menjadi Bara Perindu atau menjadi siapa saja!"
Jaga bicaramu, Suto j sekali perasaanku tersinggung, selamanya aku akan membencimu!" hardik Bara Perindu sambil lebih mendekati Suto. Tapi hardikan itu hanya ditertawakan oleh Suto Sinting. Tawa itu adalah tawa yang berkesan meremehkan hardikan tersebut, sehingga Bara Perindu tampak kian berang.
"Kedokmu sekarang sudah kuketahui, Nyai. Kau tak bisa menipuku lagi dengan penyamaranmu."
"Penyamaran apa?!" sergah Bara Perindu.
"Kau pikir aku mampu mengubah wajahku seperti bungion?i Aku adalah Bara Perindu, dan Nyai Mata Binai adalah bukan Bara Perindu!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sinis, ia sedikit menjauh dan berdiri dengan bersandarsebuah batu tinggi. Bara Perindu menatapnya terus dengan tajam dan berwajah geram.
"Tadi kulihat Nyai Mata Binai bercumbu dengan Kertapaksi di dalam gua ini. Laiu, kulihat Kertapaksi keluar sendirian. Kutunggu Nyai Mata Binai keluar dari gua, ternyata sampai maiam masih belum keiu-> aiv Laiu, aku masuk untuk melihat keadaannya, ternyata justru kau yang kutemukan di dalam gua Ini," tutur Suto menjelaskan dengan masih tetap kaiem.
"Rupanya sang Nyai sudah berubah menjadi Bara Perindu dan beriagak bodoh di depanku. Hmmm...!"
Gadis itu mendekat dengan langkah cepat.
"Jangan menuduh seenaknya. Keparat! Aku masuk ke sini dalam keadaan gua kosong, tapi kutemukan api unggun itu tanpa seorang pun dl sekelilingnya. Lalu kutunggu seseorang datang, karena aku yakin api unggun itu ada yang menyalakannya, bukan menyala dengan sendirinya! Dan ternyata kaulah orang yang kutemukan di dalam gua ini!"
' Aku tidak melihatmu masuk ke dalam gua! kalau memang kau masuk ke sini, tentunya aku melihat gerakanmu karena aku ada di pohon seberang pintu gua!"
“Ak... aku tidak... tidak masuk melaiui pintu gua!" sanggah Bara Perindu dengan wajah tegang.
"Hmmm...! Mau masuk lewat mana lagi? Gua ini tidak mempunyai lorong tembus ke mana-mana, dan hanya satu jalan untuk keluar-masuknya, yaitu jalan melalul pintu sempit itu!"
"Aku memang tidak melalul pintu semp!t itu! Aku... aku sebenarnya masuk tanpa sengaja."
"Tanpa sengaja?!" ujar Suto bernada menyindir dengan senyum sinisnya.
"Aku terperosok ke sebuah iubang saat aku mencarimu. Ternyata iubang itu tembus kemari. Kepalaku hampir saja membentur batu itu saat aku jatuh dari atasi. sambli Bara Perindu menuding iang!t-iangit gua yang memang beriubang. Lubang itu adalah salah satu dar! empat lubang yang membuat sinar matahari dapat menerobos masuk ke dalam gua.
Pendekar Mabuk jadi berpikir merenungkan pengakuan Bara Perindu itu. Dipandanginya iubang yang dikatakan sebagai tempat terperosoknya Bara Perindu. Ukuran lebar iubang memang memungkinkan untuk menjebloskan tubuh Bara Perindu. Tapi benarkah gadis itu terperosok?
"Jika kau memang terperosok dan jatuh ke sini, tentunya kau akan bertemu dengan Nyai Mata Binal."
"Aku tidak menemukan siapa-siapa! Kau dengar, aku tidak menemukan siapa-siapa di sini!" tegas Bara Perindu semakin ngotot.
"Kalau begitu, ke mana Nyai Mata Binal?! Tak kuilhat dia keluar dari pintu gua itu!"
"Ke mana dia, itu bukan urusanku! Bagaimana d!a keluar dari gua ini, itu juga bukan urusanku! Urusanku adalah mencarimu dan membawamu menghadap Kanjeng Adipati!"
Bara Perindu bicara sambil terengah-engah bagai menahan luapan amarah, ia tampak bersungguhsungguh dan merasa bersng atas anggapan Suto. Hai itu membuat sl Pendekar Mabuk menjadi berpikir lagi. Dari wajah dan sikapnya, Suto menemukan kejujuran pada diri Bara Perindu. Gadis itu benar-benar marah menerima tuduhan Suto. Jika Suto masih ngotot juga, maka pertarungan pun dapat terjadi dengan sengit.
Akhirnya Pendekar Mabuk menarik napas dalam-dalam, mencoba merenungi pengakuan Bara Perindu. Tetapi sampai beberapa saat lamanya mereka sama-sama saling membisu, Suto belum menemukan keyakinan sepenuhnya, ia mas!h dihinggapi keragu-raguan, dan tatap menyimpan kecurigaan terhadap Bara Perindu.
"Lalu..., mengapa kau tadi menangis?" Suto mencoba mengaiihkan perdebatan itu.
"Siapa yang menangis?! Tak ada orang menangis!" jawab Bara Perindu dengan palingkan wajah seakan menyimpan rasa malu.
“Aku melihat air matamu meleleh dl pipi. Aku mendengar suara isak tangismu sayup-sayup. Dan aku melihat tubuhmu terguncang-guncang akibat isak tangis itu."
Pendekar Mabuk dekati Bara Perindu dari depan. Dengan lembut dagu gadis galak itu diangkat oleh jari tangan Suto. Wajah mereka kini saling berhadapan dalam jarak dua jengkal.
"Jangan bohongi aku jika kau masih ingin aku ikut denganmu. Katakan dengan sejujurnya, mengapa kau tadi menangis seorang diri, dan membuat hatiku tersayat pilu, Bara? Mengapa menangle, Bara Perindu?!”
Pendekar Mabuk bicara dengan iembut sekali, sehingga Bara Perindu merasakan getaran yang cukup hebat dl dalam hatinya. Gataran Itu membuatnya tak bisa bicara untuk sesaat. Akibatnya Suto mendesak dengan mengulang pertanyaan tadi.
"Mengapa kau menangis, Nona Cantik?"
"Karena ..! karena aku takut tak bisa jumpa denganmu iagl,!" jawab Bara Perindu dengan iirih. Begitu lirihnya hingga nyaris tak terdengar oleh Suto Sinting.
Kini si pemuda tampan itu pamerkan senyumannya. Senyuman yang menawan itu aemakin membuat dada Bara Perindu bergemuruh.
"Haruskah kau menangis untuk seorang ieiakl sepertiku?”
"Tak bolehkah aku menangis?" Bara Perindu ganti bertanya dengan suara parau.
Suto menggeieng pelan.
"Jangan menangis untukku, tapi menangislah untuk kekasih hatimu."
"Aku... tak punya kekasih," jawab gadis itu dengan semakin iirih, mirip sebuah bisikan parau.
"Benarkah kau tak punya kekasih?"
"Tak ada yang berani mendekatiku sepertimu."
“Kau senang jika aku mendekat begitu?"
“Sangat senang jika lebih dekat lagi."
Mata beradu pandang, dagu masih disangga jari tangan Suto. Senyum tipis masih mekar menghiasi bibir Suto. Dan bibir itu akhirnya bergerak mendekat dengan pelan-pelan.
Akhirnya bibir itu menempel di bibir Bara Perindu. Kemudian bibir mereka saling melumat dengan iembut Sekujur tubuh Bara Perindu bagai dialiri gataran gaib yang menerbangkan jiwanya.
Tangan gadis itu pun mulai berani meremas punggung Suto. ia memeluk Pendekar Mabuk dengan kuat, seakan ingin membenamkan seluruh tubuhnya ke tubuh kekar si Pendekar Mabuk itu. Tangan tersebut merayap ke kepala, menelusup di sela-sela rambut panjang Suto, akhirnya meremas kuat-kuat rambut itu ketika tangan Suto ternyata juga merayapi tubuhnya.
“Oooh... Suto...!" rengek Bara Perindu dengan suara parau ketika ciuman Suto mencapai lehernya.
K pala gadis itu sengaja didongakkan supaya ciuman Suto dapat lebih leluasa lagi menyapu seluruh lehernya.
Bahkan kini Bara Perindu sengaja mengeluarkan sesuatu yang sekal dan montok dari pinjungnya. la menyodorkan kepada Suto sambil mengerang samar-samar. Pendekar Mabuk akhirnya melahapnya dengan kelembutan dan kehangatan tersendiri.
"Auuh...! Teruskan, Suto... teruskan...!" pinta sl gadis sambil mendesah-desah, tangannya meremas rambut Suto dengan sedikit menekan, seolah-olah kepala Suto ingin dibenamkan lebih dalam lagi ke dadanya.
Tiba-tiba kemesraan yang luar biasa nikmatnya itu menjadi buyar seketika begitu terdengar auara ledakan di luar gua. Ledakan itu sempat mengguncang dinding gua, merontokkan pasir-pasir dari atap gua.
Blegaaarrr...!
"Suara apa itu?!" sentak Suto Sinting sambil melepaskan buah pagutannya.
"Oh, biarkan saja, Suto! Jangan hiraukan suara itu! Kembalilah ke dalam pelukanku, Suto. Kembalilah...!" pinta Bara Perindu dengan suara rengekan seperti anak kecli. Dalam keadaan sedang begitu. Bara Perindu kehilangan keangkuhannya, kehilangan kejudesannya, dan kehilangan kegalakannya. Kegalakan itu berubah menjadi kegalakan napasnya, kegalakan tangannya, dan kegalakan ciumannya yang memburu dari belakang Suto Sinting, ia merangkul Suto dar! belakang dan menciumi teng¬kuk, telinga, leher, sambil menggeser-geserkan tubuhnya yang merapat dengan badan Suto bagian belakang.
Blegaaarrr...!
Pendekar Mabuk kehilangan perhatian asmara. Suara ledakan itu dikatahui sebagal suara pertarungan. Pendekar Mabuk paling tidak bisa membiarkan pertarungan terjadi begitu saja, ia selalu ingin melihat siapa dan begaimana pertarungan itu. Akhirnya, Suto Sinting pun segera melepaskan dlrl dari pelukan Bara Perindu dengan paksa.
"Oh, Suto... kita lanjutkan saja dan jangan terpengaruh dengan suara itul"
"Aku ingin menengoknya sebentar. Kau tetaplah dl sini!"
"Suto...?!"
"Hanya sebentar, Barai Aku akan kembali ke sini dan melanjutkannya. Hanya sebentar!" kata Suto sambil terburu-buru, kemudian melesat keluar dengan menggunakan jurus ’Gerak Siluman’-nya.
Ziaaap...!
“Oooh... setan!" geram Bara Perindu dengan nada merengek masih terdengar. Akhirnya ia terkulai lemas, duduk bersandar batu tinggi. Napasnya terengah-engah sendiri karena api gairahnya yang menuntut puncak kemesraan semakin berkobar menyengat hati.
"Mudah-mudahan bocah konyol itu tidak lamalama meninggalkanku. Ooh... Indah sekali kemesraan di dalam pelukannya, ia sungguh panda! membakar semangat cintaku hingga menggebu-gebu begltu. Aku suka dengan caranya mencium bibirku dan... oh, tentunya lebih indah jika nanti la mengantarku ke puncak kebahagiaan," renung Bara Perindu dalam harapan dan penantiannya.
Tetapi agaknya harapan itu tak bisa mendapatkan kepastian. Suto Sinting tak hanya sebentar menlngaikan Bara Perindu. Pendekar Mabuk itu lebih tertarik begitu melihat hutan dl sebelah barat gua tersebut telah terbakar. Nyala apinya menerangi alam sekeliling, sehingga suatu pertarungan yang terjadi di situ dapat dilihat dengan jelas. Pendekar Mabuk sengaja menuju ke pertarungan meialul dahan demi dahan, lalu berhenti pada sebuah pohon yang tidak Ikut terbakar.
Suto Sinting membelalakkan matanya begitu melihat siapa yang mengadu kesaktian dl malam itu. Bahkan wajah Suto Sinting tampak sedikit tegang, walau ia tetap di atas pohon eambil mencurahkan segenap perhatiannya ke pertarungan itu.

*
* *

:#: 6 :#:

PERTARUNGAN itu terjadi antara seorang perempuan cantik berdada montok dengan seorang lelaki bertubuh kekar dengan kumis iebat melintang menyeramkan. Lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu tampak ganas sekali, gerakannya serba cepat dan nyaris tak pernah berhenti. Serangannya datang secara bertubi-tubi, membuat sl wanita cantik berjubah biru muda tampak kewalahan menghadapinya.
Wanita cantik yang sekarang rambutnya digulung ke atas asal-asalan Itu tak lain adalah Nyai Mata Binai. Pendekar Mabuk mulai percaya dengan pengakuan Bara Perindu satelah melihat Nyai Mata Binal ternyata berada dl luar gua dan sedang lakukan pertarungan sengit dengan lelaki yang belum dikenai Suto.
"Kau tak akan bisa mengungguli ilmu, Wlrayuda!” seru Nyai Mata Binal kepada lawannya.
"Sebaiknya urungkan saja niatmu membaias dendam atas hilangnya seluruh Ilmu milik Tlrtayuda, adikmu itu!"
"Jangan berkoar dulu, Nyai Mata Binal! Terimalah jurus 'Gelombang Petlr’-ku Ini. Heeeaahhh...!"
WSrayuda yang berpakaian serba hijau dan berambut panjang sepunggung itu melepaskan pukulan dalam satu lompatan melambung ke udara. Kedua tangannya menyentak ke depan, dan dari sepuluh jarinya keluar kilatan cahaya biru yang menyerang Nyai Mata Binal secara serempak.
Trraar...! Tar, tar, tar, tar...!
Cahaya biru berkelok-kelok yang jumlahnya sepuluh larik itu bergerak dengan liar dan bersifat mengejar sasaran. Nyai Mata Binal melompat ke sanasini hindari sepuluh sinar biru itu. Ke mana pun gerakan Nyai Mata Binal selalu dikejar oleh sepuluh sinar biru tersebut, sehingga Nyai Mata Binal merasa kewalahan dan tak punya kesempatah untuk hancurkan sinar-sinar tersebut.
Pendekar Mabuk menggumam dalam hatinya, "Hebat juga si Wlrayuda itu! Sang Nyai benar-benar kewalahan sampai tak punya kesempatan untuk lepaskan serangan balasan. Hmmm... kalau sekarang aku turun tangan membantu Nyai Mata Binal, pasti bantuanku nanti bisa menjadi jembatan untuk mengenainya lebih dekat lagi. Sebaiknya kulumpuhkan Wirayuda asal jangan sampai mati!"
Traaarrr... tar, tar, tar, tar...!
Wirayuda lepaskan jurus 'Gelombang Petir’ kembali, sehingga kini jumlah sinar-sinar biru berkelok-kelok itu menjadi dua puluh larik, dan semuanya mengejar Nyai Mata Binal dengan ganasnya.
"Modar kau, Perempuan Laknati" teriak Wirayuda sambil melompat ke sana-sini menjaga kesempatan melepaskan pukulan lainnya.
Tetapi pada saat itu Pendekar Mabuk segera melepaskan jurus 'Sembur Bromo Wiwaha’ dengan menggunakan tuaknya. Tuak yang diminumnya itu tidak ditelan semua, sebagian besar ditampung di mulut hingga kedua pipi Suto mengembung besar. Kemudian dengan sebuah lompatan kilat. Pendekar Mabuk melesat ke arah sinar-sinar biru itu. Tuak dari mulut disemburkan ke arah sinar-sinar tersebut.
Brruuss...! Brruus .,.1 Brruuuss...!
Duar, dar, dar, dar, blegar.,.1
Semburan tuak yang memercikkan bunga api itu kenal sinar-sinar biru petir hingga terjadi ledakan beruntun yang menghancurkan sinar-sinar tersebut.
Lenyapnya sinar-sinar biru membuat Nyai Mata Binal berhasil hentikan gerakannya. Sementara itu, Wirayuda menjadi berang melihat kemunculan Suto yang memihak Nyai Mata Binal.
"Bangsat kau...!" geram Wirayuda sambil bergerak ke sana-sini.
Pendekar Mabuk tidak berikan kesempatan kepada Wirayuda untuk mengecam dirinya, la segera lepaskan jurus ’Jarl Guntur’ ke arah Wirayuda secara bertubl-tubl melalui sentilan jarinya.
Tes, tes, tes, tes...!
Sentilan yang mengandung kekuatan tenaga dalam itu mengenal Wirayuda berkali-kali. Padahal aatu sentilan mengandung kekuatan tendangan tenaga kuda yang cukup berbahaya. Wirayuda berguling-guling sambil memekik kesakitan. Tubuhnya bagal kapas yang terlempar ke sana-sini hingga akhirnya Wirayuda terkapar tak berkutik lagi, ia bukan mati, melainkan pingsan dengan wajah dan baglan tubuh lainnya mengalami memar membiru.
Nyai Mata Binal tertegun melihat tindakan pemuda tampan yang mampu lumpuhkan Wirayuda dalam waktu singkat. Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Suto Sinting sudah lebih dulu berkata kepadanya.
“Cepat tinggalkan tempat Ini! Nyala api semakin besar. Hutan Ini akan terbakar habis setelah Wirayuda sadar dari pingsannyal"
Suto sengaja bergerak lebih dulu, tapi la tidak gunakan jurus ’Gerak Siluman’ agar dapat diikuti Nyai Mata Binal.
‘Tunggu...!" seru Nyai Mata Binal.
Pancingan Suto ternyata mengenal sasaran. Nyai Mata Binal mengejarnya, dan Suto berlari lebih menjauh lagi. Wanita cantik bermata Indah itu semakin penasaran, sehingga gerakannya dipercepat agar dapat menyusul Suto Sinting.
Pendekar Mabuk sengaja memancing gerakan Nyai Mata Binal ke dalam gua. Ia ingin mempertemukan Bara Perindu yang saat Itu tentunya masih menunggu dl dalam gua.
Tetapi ketika Suto Sinting masuk ke dalam gua tersebut, ternyata Bara Perindu sudah tidak ada di tempat. Suto mencarinya dl balik bebatuan yang ada, ternyata Bara Perindu tetap tidak ada dl gua tersebut.
"Bara...! Bara Perindu...?!" panggil Suto Sinting dengan hati dongkol. Tapi tak ada jawaban dari Bara Perindu.
"Sial...!" Pendekar Mabuk mendongak ke atas, memandang lubang tembus dl langit-langit gua.
"Kurasa dia keluar lewat lubang itu, atau keluar lewat pintu gua dan mencariku!"
Wesss...!
Nyai Mata Binal masuk ke dalam gua tersebut. Pendekar Mabuk memandangnya dengan terkejut karena !upa bahwa dirinya diikuti oleh Nyai Mata Binal.
"Rupanya kau tahu ada gua dl s!nl. Pendekar Tampan?!" ujar Nyai Mata Binal sambil sunggingkan senyumannya yang indah dan mulai menggetarkan hati Suto.
"Aku tadi tersesat dan menemukan gua Ini. Kebetulan di sini ada api unggunyang masih menyala. Semula aku Ingin beristirahat dl sini. Tapi kudengar suara ledakan dahsyat tadi dan aku segera menengoknya ke sana," Suto Sinting bicara dengan pandangan mata tertuju pada keindahan mata sang Nyai.
"Kalau begitu kau sangat beruntung," kata Nyai Mata Binal.
"Beruntung bagaimana?"
"Kau telah memasuki jalan rahasiaku."
"Jalan rahasia...?!" Pendekar Mabuk kerutkan dahi.
"Gua Ini mempunyai jalan tembus menuju ke pesanggrahanku!"
"O, begitu?! Tapi... tapi aku tidak melihat ada Jalan lain kecuali pintu gua itu."
Nyai Mata Binal tersenyum.
"Kautelah membant'.' y melumpuhkan Wlrayuda. Sebagal ucapan terima kasihku, aku Ingin mengenalmu lebih dekat lagi. Maukah kau kubawa ke pesanggrahanku?"
Pendekar Mabuk angkat bahu. “Aku tak keberatan selama kau memperlakukan diriku baik-baik."
'Tentu saja," ucap sang Nyai sambil melangkah dekati salah satu batu tinggi. Batu itu didorongnya dengan satu tangan. Lalu sesuatu yang aneh terjadi. Dinding gua itu merenggang sendiri bagaikan retak. Krraak...! Maka terbentuklah sebuah lorong sempit yang cukup dilalui satu orang. Lorong itu dalam keadaan gelap. Tetapi setelah Nyai Mata Binal mengambil salah satu kayu bakar sebagai pengganti obor, maka iorong itu menjadi terang dan tampak merupakan jalan setapak.
"Cepat ikuti aku. Jalan Ini akan tertutup dengan sendirinya setelah sepuluh hitungan!" kata Nyai Mata Binal. Maka Suto pun segera melangkah mengikuti Nyai Mata Binal.
“Mungkinkah jalan Ini yang digunakan Nyai Mata Binal untuk keluar dari gua tanpa kuketahui?" pikir Pendekar Mabuk sambil tetap melangkah.
"Atau... jangan-jangan Nyai Mata Binal sama dengan Bara Perindu?! Buktinya, setiap kutemukan Nyai Mata Binal, aku tak jumpa dengan Bara Perindu. Setiap kutemukan Bara Perindu, aku tak melihat Nyai Mata Binal. Ah, semuanya serba menyangsikan bagiku. Tapi sebaiknya kuikuti saja dulu kemauan aang Nyai ini. Aku yakin nantinya aku akan menemukan jawaban dari kesangslanku tadil"
Jalan setapak itu makin lama semakin lebar Nyai Mata Binal bisa melangkah sejajar dengan Pendekar Mabuk. Kayu bakar masih menyalakan apinya dan menerangi jalanan tersebut. Ternyata dinding di kanan-kirl jalanan itu mempunyai lorong-lorong kecil seperti lubang ular. Tapi salah satu iorong ada yang berukuran besar dan merupakan jalanan sempit berlumut.
"Jalan in! bisa tembus ke tempat pertarunganku tadi," kata Nyai Mata Binal.
Suto hanya menggumam, tapi hatinya membatin, "O, mungkin tadi setelah bercumbu dengan Kertapaksi, Nyai Mata Binal pergi lewat jalanan ini dan tembus ke luar gua, lalu bertemu dengan Wlrayuda dan terjadilah pertarungan d! sana. Tapi... Bara Perindu apakah juga menemukan jalan !nl, jika memang dia bukan Nyai Mata Binal?”
Langkah mereka terhenti setelah mencapai ruangan besar yang diterangi oleh obor-obor yang diletakkan pada dinding ruangan. Nyai Mata Bina! ’.embuang kayu bakar itu. la segera memandang Suto dengan senyum manis, tapi Suto masih sibuk mengagumi ruangan besar yang mempunyai tangga menuju ke atas itu.
“Tangga ke atas itu menuju ke pesanggrahanku," ujar sang Nyai.
"Ruangan Ini adalah ruangan khusus untuk beberapa keperluan pribadiku."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil matanya tetap memandang berkeliling. Ruang itu dilengkapi dengan tempat tidur dan kaca rias bermeja marmer. Bahkan dl salah satu sudut terdapat rak tempat minuman. DI sisi lain terdapat aitar pemujaan yang dilengkapi dengan tempat pedupaan. Ruangan itu berbau harum setanggi, menimbulkan kesan aneh di dalam hati Suto Sinting.
"Aku menyimpan beberapa guci arak di sebelah sana. Kalau kau suka, ambillah sendiri," kata sang Nyai sambil menunjuk rak tempat minuman. Di sana memang terdapat sekitar delapan guci yang ujungnya masih ditutup dengan kertas merah.
Suto Sinting tersenyum girang melihat guci-guci arak itu. Tapi pada saat itu, Nyai Mata Bina! segera berkata kepadanya.
"kalau kau ingin istirahat, silakan berbaring di ranjangku. Kuizinkan kau berbaring di sana, karena kau telah selamatkan aku dari kecaran jurus 'Gelombang Petir’-nya si Wirayuda."
"Terima kasih. Rasa-rasanya aku masih ingin bicara denganmu."
"Aku pun ingin mengetahui namamu, Pendekar Tampan," sambil pandangan mata sang Nyai tertuju iekat-lekat ke wajah Suto. Senyumnya yang mekar membuat wajahnya klan cantik dan sangat menggoda hati.
"Aku sendiri belum mengetahui namamu," ujar Suto dengan lagak bodohnya.
"Aku dikenal dengan nama Nyai Mata Binal."
"O, jadi kaulah orangnya?!" Suto Sinting beriagak kaget dan terbengong.
"Apa maksudmu? Mengapa kau tampak terkejut?"
"Karena aku memang sedang mencari pfrempuan cantik yang bernama Nyai Mata Binal."
"Begitukah?" sang Nyai tertawa riang, ia mendekati Suto yang berdiri tak jauh dari ranjang.
"Sebutkan dulu namamu, baru kita bicara lebih lanjut."
“Apakah kau belum mengenai ciri-ciriku?"
Nyai Mata Binal memandang dengan senyum ceria. Beberapa saat kemudian ia berkata dengan suara pelan.
"Bumbung tuak itu mengingatkan aku pada ciriciri seorang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Mabuk. Kabar yang kudengar. Pendekar Mabuk mempunyai nama Suto Sinting."
"Akulah orangnya," kata Suto Sinting dengan senyum menawan yang kian mekar di wajahnya.
"Ooh...?! Jadi... jadi kau benar si Pendekar Mabuk itu?"
Suto Sinting anggukkan kepala. Sang Nyai tertawa kegirangan.
"Kalau begitu beruntung sekali aku bertemu denganmu, Suto!"
"Akulah yang beruntung, karena aku memang mencarl-carlmu, tapi aku tak tahu ke mana harus menemukan dirimu, Nyai."
"Hlk, hik, hlk...l Rupanya dewata memang sengaja mempertemukan kita yang sama-sama punya hasrat untuk saling bertemu. Mungkin juga kita ini memang berjodoh, Suto."
"Apa maksudmu berjodoh?" pancing Suto Sinting, tapi sang Nyai hanya palingkan wajah dengan senyum tersipunya.
Perempuan itu duduk di tepian ranjang. Kain kuningnya yang membalut bagian bawah hingga iewat betis itu mempunyai beiahan tengah. Dan ketika ia duduk, beiahan tengah itu menyingkap lebar, menampakkan kemulusan pahanya yang punya kelembutan seperti kuiit bayi. Agaknya perempuan itu tak peduli keadaan pakaiannya, atau memang sengaja memancing gairah lawan jenisnya agar tergoda.
"Duduklah sini, jangan memandangiku terus, Suta."
“Kau sangat cantik. Nyai. Aku merasa kagum padamu dan tak ingin membuang pandanganku ke tempat lain."
Nyai Mata Binal tertawa cekikikan. Tangannya segera meraih tangan Suto dan menariknya pelan, ia mengajak Suto duduk di tepi pembaringan itu. Maka pemuda tampan itu pun mengikuti ajakannya. Mereka duduk dalam jarak dekat, sehingga aroma harum yang menyebar dari tubuh Nyai tercium jelas oleh Suto Sinting.
“Untuk apa kau mencariku, Suto?"
"Kudengar kau mempunyai limu 'Lintah Tambak Cumbu’ yang kau dapatkan dari sebuah kitab kuno."
"Ya, memang benar. Lalu...?"
Dengan iagak tersipu-sipu Pendekar Mabuk pun berkata,
"Kalau boleh dan kalau kau berkenan, aku Ingin Ikut mempelajari Ilmu itu. Aku Ingin mempunya! ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ itu, Nyai. Bisakah aku mendapatkannya, Nyai?"
"Mengapa tidak?” ujar sang Nyai sambi! masih menggenggam angan Suto.
"Siapa pun boleh memiliki ilmu itu, tapi harus dengan satu syarat."
"Apa syaratnya. Nyai?"
Dengan mata sedikit sayu, sang Nyai menjawab, "Dia harus mampu memuaskan gairahku."
Pendekar Mabuk berlagak tertawa malu. Pandangan matanya dialihkan ke arah ialn, namun raut wajahnya tampak berseri-seri, sehingga Nyai Mata Blnai beranggapan bahwa Suto Sinting benar-benar ingin beiajar kepadanya.
“Mauksh kau memuaskan gairahku, Suto?"
"Apakah... apakah aku mampu. Nyai? Aku tidak punya kepandaian dalam bercinta."
"Bagaimana jika aku menuntunmu?" sang Nyai mula! berani mengusap-usap iengan Suto.
"Menuutku, kau cukup mampu meiayani seorang perempuan dan membuatnya terbang di puncak kenikmatan bercinta. Aku tak yakin dengan pengakuanmu. Kau paat! mampu melakukannya, bahkan ieblh mampu dari mereka yang pernah menunjukkan kemampuannya di depanku."
Pendekar Mabuk tertawa kecii.
"Jika aku sudah memberimu kenikmatan, apakah kau tak akan ingkar janji padaku?"
"Omengapa harus Ingkar janji? Aku pantang ingkar janji kepada siapa pun. Kalau ya kubilang ya kalau tidak kubiiang tidak."
Pendekar Mabuk sungglngkan senyum lagi. Matanya memandang lurus ke mata Indah sang Nyai, angan perempuan itu semakin menggerayang lebih berani Sagi. kali ini ia sengaja mengusap bibir Suto dengan punggung jari telunjuknya.
"Kau menawan sekali, Suto," ucapnya dalam desah.
"Kau sungguh memancing gairahku lebih berkobar dari biasanya.”
"Akan kulayanl gairahmu kalau kau benar-benar mau turunkan limu itu kepadaku, Nyai."
"Ah, Suto... akan kuturunkan semuanya padamu. Bahkan bila perlu semua ilmuku akan kuturunkan padamu, asai kau mau berada di sampingku sepanjang masa."
Suto diam dengan senyum masih mengembang. Bibirnya sengaja dibiarkan dipakai mainan jari tangan Nyai Mata Binai. Tangan Suto kini mulai berani meraba paha sang Nyai. Tangan itu menyentuh iangsung kulit paha karena beiahan kain menyingkap semakin lebar. Bahkan tangan Suto Sinting sengaja merayap pelan sekali menuju pusat keindahan sang Nyai.
Sementara itu, jemari tangan Nyai Mata Binal yang bermain di bibir Suto pun semakin mendesak hingga menyentuh gigi Suto.
Tanpa tanggung-tanggung lagi, Suto menggigit kecil jari itu, membuat sang Nyai kian berdesir indah dan matanya semakin sayu. Suto sengaja memancing gairah sang Nyai biar berkobar-kobar dan menjadi penasaran. Maka jari tangan lentik itu pun segera dihisap oleh Suto dengan ildah dimainkan menggeiitik jari tersebut. Semen ara tangan Suto pun mulai berani menggelitik indah, sehingga sang Nyai bagal dihujam sejuta kenikmatan. Mata sang Nyai pun dipejamkan, seakan ia ingin meresapi setiap pagutan lembut dan permainan ildah Suto yang menimbulkan rasa nikmat di jarinya, ia juoa meresapi sentuhan lembut tangan Suto yang menghadirkan debar-debar kenikmatan dalam hatinya.
Terpejamnya mata sang Nyai membuat Suto menjadi berdebar-debar, karena la memandangi bibir legit sang Nyai yang sedikit merekah menantang gairah. Suto tak tahan hanya sekadar memandang, tiaka la pun mendekatkan wajahnya dengan melepas pagutan jari sang Nyai.
Kini bibir itu yang dipagut oleh Suto dengan lembut. Setiap gerakan memagut diserta! sapuan idah yang menggeiitik penuh kenikmatan. Nyai Mata Bina tak mampu lagi bernapas dengan teratur, la membalas pagutan itu dengan lumatan Ildah yang iembut dan membakar seiera cinta sang pendekar.
Gairah yang muial terbakar membuat Suto Sinting berani merayapkan tangannya hingga ke dada. Sang Nyai membiarkan tangan itu menelusup di balik pinjung kain tipis di dadanya. Bahkan ketika Suto Sinting meremas lembut, sang Nyai mengerang dengan mulut masih memagut-magut bibir Suto Sinting. Sementara tangan sang Nyai pun meremas rambut Suto bagian belakang, pertanda la menahan rasa nikmat yang ingin meledak dalam dadanya.
Tapi keindahan dan kenikmatan itu segera dihentikan oleh Suto Sinting. Pemuda itu sengaja menghentikannya agar sang Nyai penasaran kepadanya. Dan ternyata berhentinya cumbuan itu membuat sang Nyai mendesah dan menarik tangan Suto untuk ikut rebah di atas pembaringan bersamanya.
"Lakukanlah aekarang juga, Suto...," ucap sang Nyai dengan suara membisik.
Suto Sinting tetap duduk, tak mau ikut berbaring. Ia memandang dengan wajah penuh senyum yang menawan.
"kalau kita berlayar ke iautan cinta sekarang ini, kau akan kecewa, Nyai."
"Mengapa harus kecewa? Aku telah buktikan kau punya kemampuan yang lebih besar dari pria iainnya, Suto."
"Benar. Tapi keadaan tubuhku sangat ietih. Aku tak dapat meiayanimu seindah mungkin. Kurasa aku butuh istirahat sehari, baru besok kita akan beriayar dari maiam hingga pagi."
"Dari malam hingga pagi?!"
Suto anggukkan kepala.
"Wow...! Indah sekali itui" sang Nyai tampak berbinar-binar.
"oleh sebab itu, bersabarlah dulu, Nyai. Biarkan aku beristirahat malam ini."
Nyai Mata Binal bangkit dari rebahannya. Ia duduk kembali berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Matanya masih memandang dengan sayu.
'Kau janji akan memberikannya esok hari?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala.
"Mungkin esok siang pun aku sudah menjadi sehat dan segar, sehingga kita bisa mengawali peiayaran ke samudera cinta, Nyai."
"Oh, Suto... aku senang sekali kalau kau mau memberiku keindahan itu," sambil sang Nyai sengaja jatuhkan kepala ke dada Suto, lalu Pendekar Mabuk menyambutnya dengan pelukan mesra.
"Nyai, terus terang saja, aku masih ragu padamu. Aku takut, setelah kau kubuat terbang ke puncak-puncak kenikmatan, ternyata kau tidak menurunkan ilmu itu padaku. Bahkan aku khawatir kalau kau menggunakan ilmu itu.pada saat aku bercumbu denganmu. Nyai."
Perempuan itu menarik diri dan memandang Suto.
"Aku bersumpah, tidak akan menggunakan ilmu Itu pada saat kita bercumbu. Aku tidak sejahat dugaanmu, Suto."
"Benarkah kau tulus ingin bercumbu denganku?"
"Aku sudah bersumpah demi dewa segala dewa, terkutukiah aku jika sampai menyerap seiuruh ilmumu dengan ’Lintah Tambak Cumbu’, SutoS" sang Nyai bicara dengan tegas dan meyakinkan.
Sambung sang Nyai lagi, "Jika sampai hai itu terjadi, hantamlah bayangan tubuhku."
"Untuk apa menghantam bayangan tubuhmu?"
"Karena keiemahan orang yang memiiski ilmu ’Lintah Tambak Cumbu’ terdapat pada bayangannya. Jika bayangan orang itu kau hantam dan bayangan tersebut pecah, lenyap, lalu timbui lagi, maka seiuruh ilmu orang itu akan sirna bersama lenyapnya ilmu ’Lintah Tambak Cumbu’. Dan...."
Tiba-tiba kata-kata Nyai Mata Binal terhenti dengan sendirinya, ia segera menyadari keteledorannya. Diamnya sang Nyai membuat Sulo Sinting menjadi ingin tahu.
"Kenapa tak lanjutkan bicara. Nyai?"
"Aku... aku telah teianjur melepaskan rahasia kelemahan ilmu itu. ini berbahaya sekali. Oooh... aku benar-benar terbuai oleh kemesraan malam ini, sehingga tak sadar mengucapkan kata-kata yang belum pernah kuucapkan pada siapa pun."
Pendekar Mabuk meraih kepala sang Nyai dan memeluknya dengan sebuah ciuman di kepala itu.
"Jangan takut, aku bukan orang jahatl Bukankah kau ingin hidup bersamaku selamanya? Tentunya aku pun tak ingin membocorkan rahasia itu kepada siapa pun."
"Aku... aku sekadar ingin meyakinkan kesungguhanki, sampai-sampai aku teiedor melepaskan kata-kata itu."
"Tak apa. Kau tidak kuanggap teledor, Nyai. Toh seandainya limumu hilang, kau bisa mendapatkannya lagi melalui kitab kuno itu. Nyai."
"Kitab kuno itu sudah kubakar, Sulo."
"Hah...?! Kenapa dibakar?"
Aku tak ingin ada orang lain yang merebutnya atau menemukannya. Dengan begitu, hanya aku dan para muridku yang mempunyai ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ itu."
"°oo... Pintar sekali kau rupanya," Suto Sinting menghamburkan tawa kecil, kemudian mengangkat dagu sang Nyai dan mengecup bibirnya. Sang Nyai menyambar dan menjadi ganas kembali.
Tapi di dalam hati Suto telah merasa iega yang amat membahagiakan. Rahasia keiemahan ilmu itu telah diperoleh. Rahasia tersebut terletak pada bayangan s! pemilik ilmu. Jika bayangan itu dihantam dan menjadi hancur, maka ilmu itu pun akan lenyap bersama hilangnya seiuruh ilmu lainnya.

*
* *

:#: 7 :#:

PENDEKAR MABUK benar-benar dihinggapi keietihan tian rasa kantukyang memberat. Pelukan dan ciuman Nyai Mata Binai makin lama semakin meienakan, hingga Suto Sinting akhirnya tertidur dalam pelukan sang Nyai.
Hik, hik. hik...! Rupanya kau benar-benar ielah, Sayang. Untung kau mengatakannya, sehingga aku tak terlalu kecewa untuk menunda kemesraan kita.
Tapi esok kau pasti akan membuatku dihujani kenikmatan dan kebahagiaan, bukan? Oh, Suto sayang... aku yakin kau sangat mampu dan melebihi kemampuan pria yang pernah bercumbu denganku. Hanya dengan ciuman dan pelukanmu saja aku sudah merasakan kenikmatan yang berbeda dari kenikmatan yang pernah kurasakan. Baiklah, sekarang tiduriah dulu, Sayang... esok kita akan beriayar mengarungi samudera cinta sepuas-puasnya. Hik, hik, hik,..!"
Kenyenyakan tidur Suto terputus akibat suara gaduh yang terdengar hingga ke ruangan bawah tanah itu. Suto segera bangun dan sedikit panik.
Suara gaduh apa itu? Hmmm... kedengarannya ada di atas sana. Dan... o, ya... mana Nyai Mata Binai itu?i''
Ternyata sang Nyai sudah tidak ada di tempat. Pendekar Mabuk segera menemukan bumbung tuaknyadan menenggak tuak beberapa teguk. Tubuhnya menjadi segar kembali dan pendengarannya semakin tajam.
"Suara gaduh di atas seperti suara pertarungan?!” pikirnya.
"Akan kucoba menengoknya ke sana."
Laiu, dengan langkah mantap Suto S inting me naiki tangga menuju ke ruang atas. Ternyaia tangga itu menuju ke sebuah ruangan seperti kamar tidur sede hana. Tangga itu mempunyai pintu kayu yang berbentuk datar, menjadi satu dengan lantai kamar tidur sederhana itu.
Suara pertarungan semakin terdengar jelas. Pendekar Mabuk segera keluar dari kamar tidur sederhana. Ternyata ia berada di sebuah ruang pertemuan yang lebar dan berpiiar empat. DI halaman depan ruang pertemuan itulah Suto Sinting temukan pertarungan seru antara murid-murid Nyai Mata Bina dan seorang perempuan berpakaian serba hitam.
"Angin Betina...?!" gumam Suto Sinting dengan nada kaget.
Rupanya Angin Betina menyerang pesanggrahan itu setelah pulang dari kedlaman Resi Wuiung Gading. Gadis berambut acak-acakan namun mempunyai wajah cantik dan bentuk tubuh yang meng giurkan itu bergerak dengan cepat, sehingga dalam waktu singkat beberapa murid Nyai Mata Binai tumbang tak bernyawa. Pedang si Angin Betina sukar ditangkis dan dihindari deh mereka.
"Hentikan...!" seru sebuah suara dari sisi sudut. Ternyata sang Nyai sudah berada di sana Suarn Itu membuat sisa murid yang tinggal dua orang itu segera undurkan diri, kini sang Nyai maju menghadapi Angin Betina.
"Apa makaudmu mengamuk di sini. Perempuan Lacur?!" bentak sang Nyai dengan marah.
"Di mana kakakku s' Salju Kelana?! Kau pasti t e ia i' menangkapnya, Setan Blnaii" eeru Angin Betina tanpa rasa takut sedikit pun.
"O, Angin Betina menyangka Salju Kelana tertangkap atau terbunuh oleh Nyai Mata Binai. Pantas dia mengamuk sedahsyat itu?!" pikir Suto Sinting, lalu ia melangkah maju dengan santai.
“Aku tak kenai dengan nama Salju Kelana!" ujar sang Nyai.
"Tapi kau sudah membunuh murid-muridku dan kau harus menebus dengan nyawamu. Keparat! Hiaaat...!"
Nyai Mata Binai segera lepaskan pukulan jarak jauh berupa sinar merah. Ciaaap...! Angin Betina sentakkan kaki hingga tubuhnya melambung ke udara dan berjungkir baisk di sana. Sinar merah itu akhirnya kenai bangunan di samping ruang pertemuan itu.
Biaaarrr...!
Angin Betina meiesat lagi dengan pedangnya yang siap dihujamkan ke dada Nyai Mata Binai. Wuuut...! Tetapi tiba tiba dari mata sang Nyai keluarkan sinar biru iurus dan pendek. Ciaaap...! Sinar biru itu menghantam dada Angin Betina. Tapi pedang yang bergerak lurus itu segera keluarkan sinar putih perak yang segera menghantam sinar biru tersebut Siaaap...!
Biegaaar...i
Ledakan dahsyat terjadi, tanah berguncang dan atap bangunan mulai rusak oleh getaran tersebut
Tubuh Angin Betina terlempar dan membentur piiar ruang pertemuan itu. Brruuuk.,.!
"Hoooek...!” Angin Betina memuntahkan darah kental dari mulutnya. Suto Sinting terperanjat dan segea menghampirinya.
"Angin Betina...?! Cepat minum tuakkul"
"Suto...," Angin Betina mengerang kesakitan. Tapi tangannya segera menerima bumbung tuak Suto.
"Suto, jangan dekati perempuan itui" seru sang Nyai.
"Sekarang kau berhadapan denganku. Nyai!" Suto Sinting justru menantang dan meninggalkan Angin Betina dengan bumbung tuaknya.
“O, rupanya kau berjiwa jahanam juga, Suto!"
"Apa pun katamu aku tak peduli. Angin Betina adalah sahabatku dan sudah sering menyelamatkan nyawaku. Kini aku mewakiii dia untuk melawanmu, Nyali"
"Keparat..!" teriak sang Nyai dengan murka.
"Hancurkan perempuan jahanam itu, Sutol" seru Angin Betina setelah menenggak tuak.
"Hancurkan bayangannya!"
Rupanya Angin Betina sudah mendapat petunjuk dari Resi Wuiung Gading tentang keiemahan pemilik ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ itu. Sayang sekali Suto sendiri sudah mengetahui keiemahan itu, sehingga seruan terakhir Angin Betina tidak dihiraukan oleh Pendekar Mabuk.
Nyai Mata Binai melepaskan sinar birunya lagi yang meiesat dari mata. Kini sinar biru itu ada dua, sebab keluar dari kedua mata sang Nyai.
Suto Sinting segera menahannya dengan jurus 'Tangan Guntur’. Kedua tangan disentakkan ke depan dan meiesat ah sinar biru juga ukuran besar. Sinar biru besar itu akhirnya terhantam dua sinar biru kecii. Biegaaar...!
Suto Sinting terlempar oleh gelombang ledakan yang cukup dahsyat itu. Tetapi Nyai Mata Binal juga terlempar ke belakang dan jatuh berguling-guling. Namun dalam sekejap ia sudah bangkit lagi dan menyerang Suto yang sedang bergegas bangkit dengan tulang-tulang terasa ngiiu semua.
"Heeeaat...!" Nyai Mata Binal meiesat bagaikan terbang menyerang Suto. Tetapi pada saat itu. Angin Betina bangkit dan melepaskan pukulan bersinar merah kecii ke arah bayangan Nyai Mata Blnai yang ada di tanah. Ciaaap...i
Blaaar...!
"Oooh...?!" pekik sang Nyai. Lalu, ia pun jatuh tak berdaya sebelum mencapai Suto Sinting.
Brruukk...!
"Oouh...!" la mengerang sambil menyeringai, karena bayangannya tadi dihantam oleh Angin Betlna. Bayangan itu sempat pecah, lalu lenyap, kurang dari sekejap muncul kembali.
"Oooh... keparat kalian berdual Benar-benar terkutuk kalian!" sang Nyai menangis, ia merasakan telah kehliangan seiuruh kesaktiannya. Yang teringgai hanya sisa tenaga sebagai manusia bias, tanpa ilmu sedikit pun. la mencoba menyentakkan tangannya, tapi tak keluarkan tenaga dalam raaupun sinar menghancur lawan.
"kalian benar-benar jahat...!" teriak Nyai Mata Binai sambil menangis.
Angin Betina segera mengangkat pedangnya Ingin memenggal kepala Nyai Mata Binai. Tapi sebuah suara terdengar berseru dari atas pagar pelindung pesanggrahan itu.
"Tahaaan...!"
Angin Betina dan Suto sama-sama memandang ke arah orang tersebut. Suto terkejut dengan mata terbelalak.
"Bara Perindu...?!"
"Siapa dia, Suto?!"
"Seorang temani Jangan serang dia!"
Bara Perindu segera mendekati mereka, la terkejut sekali memandang Nyai Mata Binal.
"Rupanya kau yang menjadi dalangnya, Gusti?!" ujar Bara Perindu.
"Kau mengenainya. Bara Perindu?!"
“jelas sangat mengenainya. Dia adalah putri Kanjeng Adipati yang bernama Rara Mustika, yang seharusnya kau kawai dari Lembah Camar."
"Ooh...?5" Suto Sinting terkejut, matanya membelalak memandangi Nyai Mata Binai.
"itulah sebabnya sang Adipati memintamu mengawainya dalam perjalanan pulang dari Lembah Camar, sebab sudah beberapa buian ia pergi dari kadipaten dan pamitnya ke Lembah Camar. Tetapi sang Adipati muiai curiga setelah mengetahui sebuah kitab kuno hilang dari tempatnya. Ternyata dialah pencurinya!”
"Bara Perindu, bunuh mereka!" perintah Nyai Mata Binai.
"kalau perlu kau yang kubunuhl"
"Kuadukan kepada Ayah sikap kasarmu itul"
"Adukanlah, aku tak takut! Sebab kau hanyalah anak pungut yang dianggap sebagai anak bungsu sang Adipatil Tingkahmu semakin membahayakan pihak kadipaten, tapi ayahmu selalu merahasiakan kecemasannya itu. Kurasa sekarang sang Adipati tak akan segan segan menjatuhkan hukuman padamu, Rara Mustika!"
“Oooh... kalian jahat semua! Jahat semua...!" Nyai Mata Binai menangis.
Tangis itu dibiarkan, karena perhatian mereka segera beralih kepada seseorang yang baru saja datang dengan melompati pagar tinggi itu.
Wuuut...i Jieeg...!
"Salju Kelana...?!" Angin Betina terperanjat dan menjadi lega meiiha kakaknya masih selamat.
"Rupanya aku terlambat datang ga a-gara membantu seseorang mengaiahkan pemuda bernama Wicaksara!" ujar Salju Kelana.
“Kau habis membantu Dewi Hening?” tanya Suto.
"Ya, karena pemuda yang bernama Wicaksara itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi! Menurut Dewi Hening, Wicaksara juga menguasai ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’. Tanpa sengaja pukulanku mengenai bayangannya, lalu Wicaksara terkulai iemas tak berdaya, tapi sudah telanjur dihantam sinar beracun oleh Dewi Hening, la tewas beberapa saat seiolah ia kehilangan seluruh kekuatannya!" tutur Salju Kelana.
"Bagaimana dengan Kertapaksi?"
"Dia juga kehilangan ilmunya sejak bercumbu dengan perempuan jahanam inil" sambil Salju Kelana menuding Nyai Mata Binai.
"Sekarang Kertapaksi pulang ke negerinya setelah kulihat ia menjadi babak beiur dihajar seorang lawan tanpa bisa memberi batasan apa-apa.“
Mereka saling manggut-manggut bersamaan. Kejap kemudian Bara Perindu berkata kepada Suto Sinting.
"Aku tak tahu kalau kau sudah sampai di sini, Suto. Waktu aku keluar dari gua, kulihat cahaya hutan terbakar. Tapi ketika aku tiba di sana, yang ada hanya seorang lelaki terkapar dalam keadaan pingsan. Lalu aku mencarimu sepanjang malam, dan kutemukan bangunan ini setelah mendengar suara iedakan beberapa kali tadi."
"Aku berhasil memperdaya si perempuan jahanam inii" ujar Suto.
"Aku akan membawanya pulang ke kadipaten, biar sang Adipati yang menentukan hukuman bagi si pencuri kitab pusaka itu!"
"Aku setuju," kata Suto.
"Aku sendiri akan mencari para murid Perguruan Sayap Kiri ini untuk memusnahkan ilmu 'Lintah Tambak Cumbu’ Itu!"
"Aku ikuti” sahut Angin Betina.
"Aku akan mendampingi kaliani" timpai Salju Kelana.
"Aku akan menyusuimu setelah menyerahkan si perempuan jahanam ini, Suto!" kata Bara Perindu.
"Tak perlu, biar kami yang mendampingi Suto," ujar Salju Kelana.
"Kau pikir hanya kalian berdua yang boleh menikmati kebanggaan bersama Suto? Aku pun merasa berhak!"
"Apakah kau ingin mengadu nyawa denganku?!” Angin Betina tampak muiai berang.
"Hei, hei... cukupi" sergah Suto.
"Tak perlu dipertentangkan. Sekarang kita cari mereka yang punya ilmu ’Lintah Tambak Cumbu’ dan kita hancurkan ilmu tersebut. Rahasianya terletak pada bayangan mereka!"
Matahari pagi itu semakin meninggi, seakan mengiringi tongkah mereka memburu habis para pemilik ilmu ajaran si perempuan jahanam; Nyai Mata Binai aiias Rara Mustika itu. dalam waktu singkat, mereka yang memiliki ilmu 'Lintah Tambak Cumbu' berhasil dimusnahkan seiuruh ilmunya oleh Suto Sinting, Angiri Betina, dan Salju Kelana. Tetapi mereka yang menjadi korban ilmu jahanam itu tetap tak bisa memperoleh ilmunya kembali.

SELESAI

:#: PENDEKAR MABUK :#:

Segera Terbit!!!

GADIS TANPA RAGA



INDEX SUTO SINTING
70.Hilangnya Kitab Pusaka --oo0oo-- 72.Gadis Tanpa Raga


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.