Gairah Sang Ratu
tanztj
January 31, 2010
INDEX SUTO SINTING | |
67.Tapak Siluman --oo0oo-- 69.Siasat Dewi Kasmaran |
SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi
└ 1 ┘
Kapal Itu tampak tenang mengikuti hembusan angin, gerakannya cukup laju bagal didorong oleh tangan-tangan raksasa. BI bagian buritan tampak sesosok bayangan yang berdiri tegak menyandang sebilah pedang besar. Bi bagian haluan juga tampak bayangan hitam berdiri tegang bersenjata pedang besar. Mereka adalah dua penjaga sekaligus penentu arah kapal yang sedang mendekati sebuah daratan. Baratan Itu tak lain adalah pantai utara tanah Jawa yang dikenal padat penduduknya.
"Celakai Ada kapal asing mendekati kemari, Kang!" ujar seorang nelayan muda kepada kakaknya yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
Sang kakak memandang ke arah yang ditunjukkan oleh adiknya. Cahaya rembulan memperjelas penglihatannya. Hembusan angin mengibarkan bendera di atas tiang layar kapal itu. Sang kakak pun mulai tampak menegang.
"Angkat jala, MardunI Angkat semual"
"Apakah kapal Itu benar-benar berbahaya, Kartg?"
"Berbahaya atau tidak, yang Jelas kalau kapal itu menabrak perahu kita, bisa hancur berkeping-keping!"
"Kapalnya yang hancur. Kang?"
"Perahu kita. Gobloki" sentak sang kakak kepada Mardun yang berusia dua puluh lima tahun.
"Kita mendarat sekarang Juga, Mardun."
"Tapi Ikan masih ramai. Kang. Sayang sekail kalau Ikan-ikan itu dibiarkan bersantai. Kang."
“Sudahlah, Jangan banyak bicara! Nanti kujelaskan kalau sudah sampai di daratan!" desak sang kakak semakin tampak panik.
Kakak-beradik itu menyeret perahu sampai di daratan pantai. Kemudian perahu mereka'ditutupi dengan dedaunan kering hingga menyerupai gundukan batu. Mardun ditarik kakaknya untuk naik ke dataran yang lebih tinggi, sebuah gugusan karang pantai yang gelap karena daun-daun pohon kelapa merimbun di ketinggian, sehingga cahaya rembulan tak dapat menembus ke permukaan gugusan karang pantai Itu. Bari sana sang kakak memandang ke utara, memperhatikan gerakan kapal berbendera putih dengan gambar kupu-kupu merah di tengahnya.
"Kita harus segera menghadap kepaia desa, MardunI"
"Jelaskan dulu apa bahayanya kapal itu. Kang?"
“Lihat bendera kapal yang bergambar kupu-kupu merah Itul"
“Menurutku itu bukan gambar kupu-kupu, tapi gambar daun pisang. Kang."
"Tololi" bentak kakaknya. "Baun pisang buat bungkus kepalamu itu, ya?!" Sang kakak kelihatan Jengkel dengan kebodohan adiknya.
Sang adik bersungut-sungut dan menggerutu, "Memangnya kepalaku Ini lontong? Kok mau dibungkus pakai daun pisang segala?!"
"Itu Jelas gambar kupu-kupu, MardunI Bendera putih bergambar kupu-kupu merah adaiah sebuah lambang yang ditakuti oleh para nelayan!"
"Memangnya kapal Itu mlllk siapa. Kang?"
"Kapal itu pasti mlllk Ratu Danyang Demit."
"Siapa Ratu Danyang Demit itu. Kang?"
"Dia kakaknya Bewi Geiadak Ayu, si bajak laut wanita yang sudah mati Itu. Ratu Danyang Demit lebih ganas dan iebih sakti dari adiknya, sebab dia adalah Ketua Perampok Wanita."
"Wanita kok Jadi ketua perampok ya. Kang?"
"Itu urusan dia, bukan urusan kita! Yang harus kita lakukan adalah melaporkan kedatangan kapal Nyai Danyang Demit kepada Ki Lurah Purjosuro. Ayo, kita menghadap beliau malam ini Juga!"
Mardun dan kakaknya hanyalah seorang nelayan biasa dari sebuah desa di tepi pantai. Tetapi sang kakak yang sering bergaul dengan para pelaut kawakan Itu telah mendapat pengetahuan tentang adanya seorang wanita yang amat berbahaya dibanding Bewi Geladak Ayu. Wanita Itu bernama Ratu Danyang Demit, sebagai tokoh wanita yang ditakuti oleh para perempuan yang bekerja sebagal perampok, (Tentang BewI Geladak Ayu bisa dibaca dalam serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa").
Kabar tentang kedatangan Nyai Danyang Demit mulai menyebar dengan cepat. Para tokoh di rimba persilatan membicarakan kedatangan Ratu Danyang Demit dengan kecemasan tersimpan di hati mereka masingmasing. Beberapa tokoh tingkat tinggi memang tidak mempunyai kecemasan akan jiwanya, tapi mereka cemas jika kedatangan Ketua Perampok Wanita itu akan menimbulkan korban bagi rakyat jelata yang tak tahu tentang dunia persilatan.
Memang tidak semua tokoh dunia persilatan mendengar kabar tersebut. Beberapa tokoh yang tak mengetahui kedatangan Ratu Danyang Demit adalah sl Kusir Hantu, yang tinggal di sebuah pondok di Lembah Seram. Kusir Hantu mempunyai nama asli Kl Pujasera. Jokoh beraliran putih itu mempunyai dua cucu gadis yang cantik-cantik, yaitu Pematang Hati dan Mahligai Sukma, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Cendana Sutera" dan "Hulubalang Iblis").
Tetapi kala itu si Kusir Hantu tidak sedang bersama kedua cucu gadis kesayangannya. BI pondok itu si Kusir Hantu sedang menerima tamu seorang pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala. Pemuda Itu mengenakan celana putih kusam dan baju coklat tanpa lengan, ikat pinggangnya kain merah.
Melihat buigbung tuak yang selalu dibawaoleh pemuda itu, dia tak lain adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, muijd dari sl Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Pendekar Mabuk sudah dua hari tinggal di pondoknya Kl Pujasera alias sl Kusir Hantu. Kedatangan Pendekar Mabuk ke Lembah Seram bukan semata-mata Ingin bertemu dengan cucu cantiknya sl Kusir Hantu, melainkan mempunyai keperluan sendiri kepada tokoh tua berusia enam puluh tahun yang menjadi sahabat gurunya itu.
"Aku benar-benar sudah meminta Izin kepada Guru, dan Guru mengizinkan aku mempel^ari Ilmu Timbal Rasa’ yang kau mlllkl itu. Pak Tua," ujar Suto Sinting menegaskan keinginannya untuk mempelajari ilmu tersebut.
Lelaki berambut merah jagung dengan jenggot pendek itu hanya tertawa terkekeh tak jelas artinya. Setiap kali Suto Sinting menyinggung tentang niatnya mempelajari ilmu ’TImbal Rasa’, selalu saja si Kusir Hantu hanya terkekeh membuat wajahnya mirip sebuah celengan.
"Apakah kau keberatan menurunkan Ilmu itu padaku, Pak Tua?"
"Dibilang keberatan, ya keberatan. Bibllang tidak, ya tidak," jawab Kusir Hantu. "Pepatah mengatakan, ’Bi mana bumi berpijak di situ kita beranak’. Jadi...."
"Maksudnya apa. Pak Tua?" sahut Suto.
"Maksudnya, setiap Ilmu yang kumiliki wajib diturunkan pada anak-cucuku jika saatnya telah tiba. Atau setidaknya kuturunkan kepada muridku, jika aku punya ’ murid. Sedangkan kau bukan muridku dan bukan anakcucuku. Bagaimana mungkin aku bisa menurunkan II;; mu ’TImbal Rasa' kepadamu, Nak?" i.
"Bulu kau pemdh berkata padaku. Pak Tua... kau Ingin membalas budi baikku yang telah menyelamatkar^, nyawamu dari ancaman maut siapa pun dengan menurunkan Ilmu 'Timbal Rasa' kepadaku. Karena itu aku sekarang menagih janji," bujuk Suto, padahal Kusir Hantu tak pernah berkata begitu. Tapi karena Kusir Hantu rada pikun, maka la pun merasa pernah berkata begitu.
"O, jadi aku pernah bilang begitu, ya?"
"Pernah, Pak Tual"
"Kalau begitu, kata-kata itu dicabut. Anggap saja aku tidak pernah bilang begitu padamu. Pepatah mdngatakan: 'Tak ada gading yang tak laku dijual’. Lagi pula, bukankah kau pernah mengaku punya jurus seperti Ilmu 'Timbai Rasa’-ku itu? Kurasa itu audah cukup hebat. Kau sudah menjadi pendekar sinting. Nak. Ilmu yang kau miliki adalah Ilmu gila-gilaan yang tak perlu ditambah gila lagi, nanti kau benar-benar menjadi gllal"
Pendekar Mabuk tersenyum malu. "Memang, Pak Tua. Tetapi aku Ingin sekali memiliki ilmu ’TImbal Rasa' itu sebagal pelengkap Ilmuku."
"Jadi orang itu jangan lengkap-lengkap, nanti sulit dicari kelemahannya," kata Kusir Hantu seenaknya saja-
Agaknya Kusir Hantu tetap tidak Ingin menurunkan Ilmu ’TImbal Rasa’ kepada Suto Sinting. Berbagal bu'jukan dilakukan Suto tapi tidak berhasil meluluhkan hati Kusir Hantu.
Ilmu ’TImbal Rasa’ adalah Ilmu aneh yang jarang dimiliki orang. Bengan menggunakan Ilmu 'Timbal Rasa’, Kusir Hantu akan membiarkan dirinya dipukul oleh lawannya. Jika lawan memukul kepala Kusir Hantu, -maka yang akan merasa sakit adalah kepala orang yang memukul sendiri. Jika dij>ukul perutnya, maka yang akan merasa sakit adalah perut orang yang memukul itu.
Sedangkan limu yang dimiliki Suto Sinting yang dikatakan mfi'Ip dengan ilmu ’TImbal Rasa’ itu bernama Ilmu 'Alih Raga’, pemberian dari sl Gila Tuak, gurunya. Ilmu tersebut termasuk Ilmu yang langka dan aneh. Rasa sakit yang seharusnya diderita Suto dapat dialihkan ke orang lain. Sehingga, jika Suto dihajar oleh lawannya, maka yang akan babak belur adalah teman sang lawan sendiri.
Ilmu itu sering pula disebut Ilmu gila oleh sebagian orang yang tidak tahu-menahu tentang kesaktian Suto Sinting. Beberapa Ilmu gila lainnya dimiliki oleh Suto, sehingga ia dikenal dengan nama Suto Sinting. Bukan otak Suto yang sinting, namun ilmunya yang glla-gllaan itu dianggap sinting oleh hampir setiap lawannya.
Percakapan Pendekar Mabuk dengan Kusir Hantu akhirnya terhenti karena saat itu Kusir Hantu kedatangan seorang tamu lain yang usianya sedikit lebih tua darinya. Orang tersebut datang ke pondok sl Kusir Hantu riengan wajah tegang. Kemunculannya diawali dengan hembusan angin kencang yang mendobrak pintu dan membuat barang-barang lainnya berhamburan, Blsusul kemudian oleh bau wangi setanggi yang mulai menyebar ke seluruh ruangan.
Pendekar Mabuk sempat melompat dan pasang kuda-kuda untuk menghadapi bahaya. Tetapi Kusir Hantu justru terkekeh-kekeh melihat Suto mencakmencak sendiri.
'Tenang, tenang... kalem saja. Nak," ujar Kusir Hantu. "Ini bukan bahaya. Angin Ini adalah tanda kedatangan seorang sahabatku yang mempunyai cirl-cirl brengsek seperti Ini. He, he, he...l"
Pendekar Mabuk pandangi Kusir Hantu dengan dahi berkerut.
"Aku mencium bau setanggi, Pak Tua."
"Memang. Setanggi dan angin menjadi satu ciri bagi kedatangan sl Kapas Mayat."
“Kapas Mayat...?!" gumam Suto dengan wajah heran.
Kusir Hantu aegera berseru, "Kapas Mayat...i Tampakkan batang hidungmu biar tamu mudaku Ini tidak penasarani"
"Aku di sinll"
Suto Sinting dikejutkan oleh suara yang datang dari belakangnya. Padahal ia merasa sudah merapat pada dinding papan, tapi ternyata masih ada tempat untuk kemunculan seorang lelaki berambut abu-abu dengan tubuh kecil lebih pendek dari Kusir Hantu. Suto Sinting melompat ke depan karena kagetnya, dan Kapas Mayat terkekeh bersama sl Kusir Hantu.
"Ini bukan leluconi" kata Suto Sinting dengan nada jengkel, wajahnya cemberut karena merasa dipermainkan oleh dua orang tua tersebut.
Kapas Mayat berusia sekitar enam puluh lima tahun, sedangkan Kusir Hantu berusia enam puluh tahun. Kapas Mayat termasuk manusia tua yang kerdil dengan wajah keriputnya yang kelihatan murah senyum dan mirip bocah. Tingginya hanya sebatas perut Suto Sinting, la mengenakan pakaian jubah warna abuabu dengan celana komprang abu-abu juga. Jubahnya tak pernah dikancingkan sehingga kekurusan badannya terlihat jelas dari tulang Iganya yang bertonjolan.
Manusia kerdil Itu mempunyai senjata sebuah tongkat yang panjangnya sebatas leher. Tongkat kayu mengkilap Itu mempunyai cabang di ujungnya. Cabang itu mempunyai dua karet yang membentuk ketapel. Selain bisa untuk memukul, juga bisa untuk melontarkan batu dari ketapelnya. Agaknya kayu tongkatnya Itulah yang selalu menyebarkan aroma wangi setanggi, sehingga menjadi ciri kemunculannya.
"Apakah kau sudah mengenal tamu mudaku Ini, Kapas Mayat?"
"Hmmm...?l" Kapas Mayat berjalan mendekati Kusir Hantu sambil memperhatikan Suto Sinting. "Kalau melihat cirl-cirinya, mudah-mudahan aku tak salah duga bahwa tamu mudamu ini adalah muridnya sl Gila Tuak yang bernama Gila Sinting!"
"Husyi Bukan Glla Sinting, tapi Suto SIntIngI"
"O, Iya... he, he, he, he...! Suto Sinting. Kalau tak salah dugaanku, dia yang bergelar Pendekar Gila, bukan?"
"Pendekar Mabuki"
"O. Iya, he, he, he.... Pendekar Mabuki"
Sebagai perkenalan. Kapas Mayat menyodokkan tongkatnya ke arah perut Suto Sinting. Dengan sigap Suto Sinting menghadang sodokan Itu memakai bumbung tuaknya. Wuut, trrakk...!
Gusraakk...i
Kapas Mayat terlempar ke belakang jatuh di atas dipan bambu bertikar. Tikarnya terangkat dan membungkus tubuh kerdil Kapas Mayat. Sodokan tongkatnya yang mengenai bumbung tuak sakti Pendekar Mabuk itu telah memantulkan tenaga dalamnya sendiri, sehingga dipan bambu itu menjadi berantakan.
"Kapas Mayati" bentak Kusir Hantu. "Apa maksudmu datang-datang merusak dipanku?!"
Sambii keluar dari gulungan tikar. Kapas Mayat cengar-cengir kepada Kusir Hantu yang cemberut dongkol.
"Kalau tak salah duga, aku tadi terpental karena tenaga dalamku berbalik arahi" kata Kapas Mayat. "Berarti pemuda tampan Itu memang murid si Gila Tuak yang benar-benar gila itu!"
"Apa maksudmu bicara begitu. Kapas Mayat?l" hardik Suto Sinting agak Jengkel.
"He, he, he, he... Jangan marah. Anak muda! Kalau tidak salah dugaanku, aku tadi hanya bercanda dan mengakui kehebatanmu sebagal murid sl Gila Tuak."
Kusir Hantu berkata kepada Kapas Mayat, "Kalau kau tak mau menata kembali tikar dan dipanku, kurubuhkan rumah ini!"
"Kalau tak salah dugaanku, rumah Ini adalah rumahmu sendiri. Kusir Hantu. Jadi Jika kau Ingin merubuhkannya, kurasa aku tak keberatan ikut membantu merubuhkannya!"
"Kecoa kempot kau ini. Kapas Mayat!" Kusir Hantu bersungut-sungut, lalu la segera mengibaskan tangannya bagai menampar nyamuk dari kanan ke kirl. Wuuutt...!
Wuuurrss...i
Angin kencang dalam sekejap membuat tikar menjadi rapi kembali dan barang-barang yang berantakan tadi menjadi tertata dengan sendirinya. Kusir Hantu setengah pamer kehebatan Ilmunya di depan Suto Sinting dan Kapas Mayat. Tetapi hai Itu hanya ditertawakan oleh Kapas Mayat dengan nada mengejek.
"Itu masih belum seberapa," ujar Kapas Mayat. "Aku bisa membuat atap rumahmu terbang ke seberang pulau dengan sekail kibasan tongkatku! Mau coba...?l"
"Cukup!" bentak Kusir Hantu.
"He, he, he, he...l" Kapas Mayat hanya terkekeh, membuat Suto Sinting mengulum senyum geli melihat dua orang tua saling nakal-nakalan sendiri.
Brraakkk...! Kusir Hantu menggebrak dipannya.
"Apa maksudmu datang ke pondokku. Kapas Mayat? Apakah kau Ingin bagi-bagi hasil panen udang-mu?!"
"Kalau tak salah dugaanku, bulan Ini aku tak panen udang, Kusir Hantu."
"Lalu, panen apa?!"
"Kalau tak salah dugaanku, bulan Ini aku panen muslbahl" jawab Kapas Mayat dengan serius, tapi dianggap lucu oleh Pendekar Mabuk, sehingga pemuda tampan Itu buang muka untuk sembunyikan senyumnya. la berdiri di pintu sambil menyimak percakapan kedua tokoh tua yang menjadi sahabat gurunya Itu.
"Kalau panen musibah jangan kau bawa kemari. Pepatah mengatakan: 'Air susu dibalas air tajin’. Dulu aku datang ke pondokmu di Selat Buntu membawa panenan buah jambuku, sekarang kalau kau kemari membawa panen musibah. Itu namanya bikin susah!"
Wut, biuk...i Kapas Mayat melompat dan duduk di atas meja kayu. Wajahnya masih tampak murung tanpa senyum, membuat Suto merasa penasaran dalam hatinya.
"Musibah apa yang kau dapatkan. Pak Cilik?!" tanya Suto yang mempunyai sebutan sendiri bagl^j Kapas Mayat.
"Kalau tak salah dugaanku..., sumurku kering, jambanku penuh, atap pondokku bocor, tambakku jebol, selimutku bolong, emberku bocor dan...."
"Kepalamu juga Ikut bocor?I" sahut Kusir Hantu dengan rasa dongko! tertahan.
"Kalau tak salah dugaanku, kepalaku belum bocori Tapi satu musibah lagi kualami membuat hatiku sangat sedih dan perutku menjadi lapar."
"Musibah apa itu. Pak Cilik?"
"Cucuku hilang!"
"Apa hubungannya dengan perutmu yang lapar?!"
"Karena tak ada yang menanak nasi atau memasakkan makanan untukku," jawab Kapas Mayat dengan nada menyedihkan.
Kusir Hantu memandang dengan dahi berkerut, la mendekati si Kapas Mayat yang menunduk sambil bersila di atas meja.
"Cucumu hilang...?! Makaudmu, sl Kelambu Petang?!"
Kapas Mayat angkat wajah pandangi Kusir Hantu, "Kalau tak salah dugaanku. Iya!"
Pendekar Mabuk menggumam, "Kelambu Petang...?!"
Kusir Hantu berkata kepada Suto, "Kelambu Petang adalah cgcu keaayangannya. Gadis Itu lebih tua usianya dari Pematang Hati."
"Alpakah Pematang Hati pergi bersama Kelambu Pelang?" sahut Kapas Mayat.
'Tidak. Pematang Hati dan Mahligai Sukma pergi menengok kakakku; sl Tua Bangka. Mereka hanya pergi berdua, tanpa Kelambu Petang."
Kapas Mayat menaikkan kaki kanannya. Bagunya diletakkan di !utut kaki kanan itu. ia melaimun sedih seperti boneka rusak matanya.
"Sejak tersebarnya berita kedatangan kapal sl Ratu ianyang »emit, cucuku tak pernah kembali lagi. Bahkan perginya ke mana, aku tak tahu. Kalau tak salah dugaanku, Kelambu Petang aelalu pamit jika ia Ingin pergi ke mana saja."
"Tunggu dulul" sergah Kusir Hantu. "Kau tadi menyebut nama sl Ratu 68.Gairah Sang Ratu?l"
"Kalau tak salah dugaanku, memang aku mendengar kabar tentang kedatangan si Ketua Perampok Wanita itul"
"Celakai Aku baru dengar kalau Ratu Banyang Bemit datang ke tanah Jawal" ujar Kusir Hantu dengan nada cemas.
"Siapa Ratu 68.Gairah Sang Ratu itu. Pak Tua?"
"Ketua Perampok Wanita. Bla punya adik yang bernama Dewi Geladak Ayu."
"Oh, aku kenal nama itu. Tapi setahuku, BewI Geladak Ayu sudah tewas di tangan Rangkak BulangI" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Titisan Peri").
"Kalau tidak salah dugaanku, aku juga pernah mendengar kabar kematlan Bewi Geladak Ayu," sahut Kapas Mayat. "Tapi yang membuatku cemas adalah keperglan cucuku yang sudah empat hari tak pulang ke rumah itu. Aku khawatir jika ia menjadi korban sl Ratu 68.Gairah Sang Ratu, karena ilmunya 68.Gairah Sang Ratu lebih tinggi dari sl Kelambu PetangI"
"Apakah antara kau dan Ratu 68.Gairah Sang Ratu punya permusuhan masa lalu?' tanya Kusir Hantu.
"Kalau tak salah dugaanku, kami tidak pernah bentrok. Hanya saja, cucuku sl Kelambu Petang punya keblasaan buruk, yaitu suka menjajal Ilmu orang yang berlagak di depannya. Jangan-jangan Kelambu Petang menjajal ilmunya Ratu 68.Gairah Sang Ratu dan dicabut habis nyawanya oieh sl Ratu 68.Gairah Sang Ratu!"
"Mengapa tak kau cari sl Ratu dan menanyakannya langsung?" kata Kusir Hantu.
"Justru itulah aku datang kemari untuk meminta bantuanmu. Kusir Hantu."
"Bantuan apa?"
"Mencarikan cucuku sl Kelambu Petang. Karena aku tak tahu di mana Ratu 68.Gairah Sang Ratu berada saat Ini."
Kusir Hantu menarik napas. "Aku tak keberatan. Tapi aku sendiri harus menjemput kedua cucuku esok hari. Apalagi sekarang kudengar si Ratu 68.Gairah Sang Ratu telah mendarat di tanah Jawa. Aku pun khawatir kalau kedua cucuku menjadi korban kekejian sl Ratu 68.Gairah Sang Ratu. Aku harus mendampingi kedua cucuku. Pepatah mengatakan: 'Seberat mata memandang lebih berat bahu dibacok’. Kurasa kita punya kepentingan masing-masing dan belum bisa saling membantu, setidaknya untuk saat Ini, Kapas Mayat."
"Kalau tak salah dugaanku, aku kecewa dengan kejujuranmu Ini, Kusir Hantu. Padahal aku sudah sediakan hadiah khusus bagi siapa pun yang bisa menemukan cucuku dalam keadaan selamat."
"Apa hadiahnya?" tanya Kusir Hantu.
"Kelak jika aku sudah mati, rohku akan mendampingi orang yang menemukan dan menyelamatkan cucuku itu!"
"Apakah usiamu sudah tak iama iagi. Pak Ciiik?" tanya Suto Sinting.
"Kaiau tidak salah dugaanku, aku masih bisa hidup sampai usia seratus tahun."
"Uuh... masih iama matinya!" gerutu Suto Sinting dengan maksud berkelakar.
"Kaiau tak salah dugaanku, Nak... jika kau bisa menemukan cucuku dan berhasil membawanya puiang dengan seiamat, maka apa pun yang kau inginkan akan kuusahakan untuk memenuhi permintaanmu itu, Naki"
"Jangan mudah percaya dengan omongan si Kapas Mayat," kata Kusir Hantu terang-terangan.
"Kaiau tak saiah dugaanku, aku mempunyai sebuah kitab pusaka yang duiu pernah diperebutkan oieh para pendekar. Kitab itu masih ada dalam penyimpanannya dan belum sempat kupeiajari sepenuhnya. Siapa pun yang bisa temukan dan selamatkan cucuku, dia akan kuberi hadiah kitab pusaka itu. Nak."
"Kau bersungguh-sungguh. Pak Ciiik?!" Pendekar Mabuk tampak tertarik dengan hadiah tersebut. Tetapi Kapas Mayat berubah menjadi ragu-ragu menjawabnya.
*
* *
└ 2 ┘
Padahai mencari di mana kapal berbendera kupukupu itu bersandar saja sudah sulit, apaiagi mencari sosok manusia bernama Ratu Danyang Demit. Tak banyak yang tahu bahwa kapal berbendera putih dengan gambar kupu-kupu merah itu ternyata bersandar di sebuah teiuk yang bernama Teluk Pancung. Teluk itu dalam kekuasaan seorang tabib perempuan yang bernama Tabib Sekat Seruni.
Perempuan berusia sekitar empat puiuh tahur itu mempunyai murid sejumlah dua belas orang, semuanya terdiri dari gadis-gadis berusia tanggung-tanggung, sekitar dua puiuh dua tahun. Para murid di samping belajar pengobatan juga mempelajari iiipu kanura: gan sebagai bekai perisai diri dalam mencari renipah-rempah yang dibutuhkan dalam pengobatan nantinya.
Ketika kapal berbendera kupu-kupu merah mendarat di pantai Teiuk Pancung, pihak Tabib Sekat Seruni segera bergegas menghadapi Ratu Danyang Demit. Seorang murid yang melaporkan kedatangan kapal tersebut segera diperintahkan mengumpulkan kesebelas rekan-rekannya. Di depan dua beias muridnya. Tabib Sekat Seruni menjelaskan siapa pemiiik kapal tersebut.
"Ratu Danyang Demit adalah Ketua Perampok Wanita. Kabar terakhir yang pernah kudengar tentangnya adalah pertarungan di Laut Berhala yang membuat hampir seiuruh anak buah Ratu Danyang Demit tewas."
"Apakah ia masih mempunyai kekuatan untuk menguasai wilayah kita. Guru?" tanya Puspitaloka yang berhidung bangir dan bertahi ialat kecil di ujung dagunya.
"Kudengar memang kekuatan awak kapai Itu sudah menipis. Tetapi perlu kaiian waspadai bahwa Ratu Danyang Demit mempunyai ilmu yang tidak boleh disepelekan. Kalian harus hati-hati jika berhadapan dengannya, terutama menghadapi ilmu sihirnya," tutur Tabib Sekat Seruni yang berwajah anggun dan bijaksana itu.
"Kita harus bisa mengusirnya, Gurui" kata Ragi Setangkai yang berkulit sawo matang dengan semangatnya.
"Kita lihat dulu apa keperluannya mendarat di wilayah kita ini. Jika maksudnya ingin menguasai wilayah kita, tak kuiarang kaiian mengusirnya. Tapi jika maksudnya ingin berobat dengan kita atau bersahabat, terlmalah dengan senang hati dan penuh persahabatan."
'Ada baiknya jika Guru saja yang menemuinya dan bicara secara balk-balk lebih dulu. Jika memang ia bermaksud Jahat kepeda kita, kami para murid siap menyerangnya. Jika perlu menghancurkan kapalnya itui" kata Sungging Pualam yang berpotongan rambut seperti lelaki dan berbadan tinggi sekai itu.
Maka ketika Ratu Danyang Demit menapakkan kakinya di pasir pantai Teluk Pancung, pihak Tabib Sekat Seruni telah siap menyambutnya dengan berjajar di tepian hutan pantai. Kedua belas murid tabib perempuan berjubah putih Itu berbaris menyamping di belakangnya. Masing-masing memandang ke arah kapal tersebut dengan penuh waspada.
"Tampaknya sepi-sepi saja," bisik Puspitaloka kepada Layung Suil yang berpedang kembar itu.
"Mungkin karena Ratu Danyang Demit kehabisan anak buah, sehingga ia tampak turun hanya didampingi dengan dua orang perempuan bermata jalang," balas Layung Suli dalam bisikan.
Ratu Danyang Demit memang turun dari kapai hanys bertiga. Dua ielaki hitam bertubuh tinggi besar dan berkepala gundui itu masih tetap di atas kapai. Sementara Itu sang Ratu menghampiri Tabib Sekat Seruni bersama dua perempuan bermata nakal di kanan-kirinya. Kedua perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun itu mengenakan celana ketat warna biru tua, tetapi pinjung penutup dada mereka berbeda warna. Yang bersenjata pedang di punggung berpinjung dada warna merah menyaia, sedangkan yang bersenjata tombak berujung pedang besar itu berpenutup dada warna kuning kunyit.
Mereka berdua sama-sama tidak mengenakan ju-^ bah maupun rompi, sehingga kulit tubuh mereka dari perut sampai punggung terlihat jeias berwarna kuning iangsat. Rambut mereka sama-sama diriap sebatas pundak namun masing-masing mempunyai ikat kepaia yang sama dengan penutup dadanya yang montok itu. Mereka Juga sama-sama cantik dan bertubuh sekai, tampak gesit dan tahan bantingan. Dari caranya memandang mereka sama-sama kelihatan penuh keberanian dan siap menjalankan perintah sang Ratu waiau harus korbankan nyawa.
Sedangkan yang bernama Ratu Danyang Demit itu berpakaian tipis dalam bentuk Jubah tak dikancingkan warna hijau muda. Pakaian dalamnya serba tipis dan ionggar warna putih berhias benang-benang emas. Rambutnya disanggul rapi dengan sisa rambut dibiarkan berjuntai seperti ekor kuda. Senjata kipas terselip di ikat pinggangnya yang terbuat dari kain selendang warna hitam.
Pakaian serba tipisnya itu membuat bayangan jeias tubuh sang Ratu yang sekai dan menggiurkan dengan kuiit putih muius bagai tanpa cacat sedikit pun. Dadanya yang montok seakan melambai penuh tantangan terhadap setiap ieiaki yang dihadapinya.
Ratu Danyang Demit berhidung mancung, caijtik, berbibir sedikit tebal menggemaskan. Matanya beningdan berbulu lentik, dengan sorot pandangan mata agak sayu, bagai selalu menggoda hasrat kaum lelaki, la masih tampak muda, seperti berusia dua puluh lima tahun lebih sedikK. Padahal ia sudah berusia cukup tua, hanya saja karena mempunyai aji pengawet muda maka ia tampak jauh iebih muda dari usia sebenarnya.
Dengan mengenakan perhiasan iengkap yang menambah daya tarik pada dirinya. Ratu Danyang Demit rnelangkah penuh wibawa mendekati Tabit Sekal Seruni. Gerakan matanya tak terlihat menyapu seluruh barisan anak buah Tabib Sekat Seruni. DI wajahnya tak tampak rona permusuhan, bahkan lebih cenderung memamerkan senyum tipisnya waiau terlihat sinis dan menyimpan kelicikan.
"Selamat datang di wiiayah kami. Teluk Pancungi" sambut Tabib Sekal Seruni dengan keramahan yang ada.
O, jadi ini wilayahmu? Hmmm... siapa namamu, aku belum pernah bertemu denganmu, Sobat."
“Aku yang dikenal dengan nama Tabib Sekal Serunii" jawab tabib perempuan bertongkat kayu putih seperti tulang kering itu.
"Apakah kau pernah mendengar nama Tabib Sekat Seruni, Karang Betina?" tanya sang Ratu kepada pengawalnya yang bersenjata tombak berujung pedang iebar dengan roncte-ronce benang merah Itu.
"Nama yang sangat asing bagiku, Gurui"
"Bagaimana denganmu. Camar Cumbu?i" tanya sang Ratu kepada pengawalnya yang bersenjata pedang.
"Sepertinya nama Sekat Seruni pernah kudengar. Guru. Tapi bukan sebagai tabib, melainkan sebagai nama sebuah tanaman iiar yang tumbuh di rawa-rawa. Guru."
“O, barangkali memang nama tansman itu hampir mirip dengan namaku," kata Tabib Sekal Seruni sambil tersenyum, walau hatinya sedikit tersinggung oieh ucapan Camar Cumbu.
Diam-diam Puspttaioka melepaskan pukulan tenaga dalam meialui dengusan napasnya. Suuutt...! Tenaga dalam itu menyerang Camar Cumbu dengan cepat.
Tetapi Camar Cumbu merasa dihempiri angin padat yang ingin menerjangnya. Maka dengan cepat Camar Cumbu menghentakkan Jkakinya ke tanah. Dugg...! Dan dari tanah yang dihentak kaki itu keiuar gelombang tenaga dalam ke arah Puspitaloka, sehingga kedua tenaga dalam itu saling berbenturan di pertengahan |a' rak.
Duarr...!
Yang iain terkejut mendengar ledakan kecii yang segera memercikkan bunga api itu. Tabib Sekat Seruni segera memandang ke arah Puspitaloka dengan dahi berkerut. Ratu Danyang Demit cepat memandang ke arah terjadinya percikan bunga api tadi, iaiu ia sungglngkan senyum tipis berkesan meremehkan iawan.
"Rupanya muridmu ingin unjuk gigi di depan kami, Tabib Sekat Seruni," ujarnya dengan kaiem tapi berkesan sinis.
"Barangkali ia bermaksud memberi pelajaran kepada muridmu agar tahu sopan daiartAbicaranya," balas Tabib Sekat Seruni.
"Kuingatkan, kailan akan binasa jika mencoba bersikap keras kepadaku, Tabib Sekat Seruni."
"Kuingatkan puia jika kaiian bertindak tak sopan di wilayahku, maka kami akan bersikap kasar kepada kalian, Ratu Danyang Demit."
"Hmmm...i" Ratu Danyang Demit sunggingkah senyum dingin dan pandangan matanya bagai membekukan darah tiap orang yang ditatapnya.
Pandangan mata yang tak berkedip itu ternyata telah membuat keanehan yang mengejutkan Tabib Sekat Seruni dan para muridnya. Karena dalam beberapa kejap berikutnya, tongkat yang digenggam Tabib Sekat Seruni tiba-tiba terbakar dan apinya menyembur ke mana-mana. Wooorrss...!
Tabib Sekat Seruni tersentak kaget dan melompat sambli melepaskan tongkatnya. Hai itu ditertawakan oieh Camar Cumbu dan Karang Betina. Tawa mereka membuat hati para murid Tabib Sekat Seruni menjadi panas dan siap menyerangnya. Tetapi tangan sang tabib merentang memberi Isyarat agar para murid jangan lakukan tindakan balasan.
Tongkat putih Itu masih berkobar-kobar dalam keadaan tergeletak di tanah. Tabib Sekat Seruni segera menghampirinya. Kakinya menyaruk tanah dan tanah dihamburkan ke arah tongkat yang terbakar. Srrask...! Srrubb...!
Api padam seketika tanpa timbuikan asap sisa pembakaran. Bahkan tongkat itu menjadi iebih panjang dari ukuran sebelumnya. Sang tabib segera menghentakkan kaki ke tanah, duhkk...l
Weess...i Tabb...l
Tongkat itu meiesat terbang dan ditangkap oieh tangan Tabib Sekat Seruni. Begitu tongkat berada di tangan sang tabib, tiba-tiba dari ujung tongii^t bagian atas tumbuh pupus daun hijau yang bergerak lamban makin lama semakin lebar.
Hai itu membuat Camar Cumbu dan Karang Betina terperangah. Bahkan beberapa murid sang tabib sendiri terperangah melihat keajaiban yang dilakukan oieh gurunya. Tetapi bagi Ratu Danyang Demit, keajaiban itu dianggap suatu hal yang biasa-biasa saja, la tidak tampak terkejut atau kagum sedikit pun. ia tetap tenang dengan senyum dinginnya yang memuakkan beberapa murid sang tabib.
"Apakah dengan begitu kau merasa iebih unggul dariku, Tabib Sekat Seruni?!" ujar Ratu Danyang Demit.
"Aku tidak memulainya. Kau yang mengawali ketegangan di antara kita, Ratu Danyang Demit," jawab sang tabib dengan wibawa dan tenang.
Tiba-tiba tangan Ratu Danyang Demit menyentak ke depan. Ciapp...! Sinar merah pendek meiesat c^pat menghantam iijung tongkat sang tabib. Biubb...i
Asap tebai meletup membungkus tongkat putih berdaun hijau itu. Ketika asap tersebut hliang, Tabib Sekat Seruni dan para muridnya terperanjat kaget melihat tongkat sudah berubah menjadi seekor ular hitam berkepala merah. Daun yang tadi tumbuh di ujung tongkat itu menjadi kepala ular dengan matanya yang liar dan ganas.
WOOSSS...I
Mulut uiar itu menyemburkan uap beracun yang tak sempat dihindari sang tabib. Waiau tangan yang memegang tongkat teiah dilepaskan dan kepala telah ditarik mundur, tetapi uap beracun itu tetap mengenal wajah Tabib Sekat Seruni.
Aauh...!" pekikan peian sang tabib membuat para muridnya kian tegang dan segera menjadi berang.
"Ooh, ooh... wajahkul Wajahku...?!" sang tabib merundukkan kepala menutup wajah dengan kedua tangannya. ia tampak kesakitan seperti orang tersiram minyak goreng yang mendidih.
"Ceiaka! Larikan Guru secepatnyai" teriak Layung Suli. "Serang mereka bertigal"
"Heeaat...!" sepuiuh murid Tabib Sekat Seruni menyerang Ratu Danyang Demit bersama kedua muridnya. Sementara dua murid sang tabib segera meiarikan gurunya ke pondok untuk lakukan pertolongan. Sedangkan uiar jeimaan tadi tiba-tiba ienyap tanpa bekas, tak berubah menjadi tongkat kembail.
"Mundur...!" seru Ratu Danyang Demit kepada kedua muridnya. Mereka melompat mundur sejauh empat langkah. Laiu sang Ketua Perampok Wanita itu bertepuk tangan satu kaii. Piokk...i Krdiia iaiigon yang telah saling merapat itu segera disentakkan ke depan.
Wuuul;..! Maka dari ma^ng-masing teiapak tangan keluar sinar pecah-pecah warna biru terang yang menyebar ke segaia arah.
Claasss...! Wuursss...!
''Aaaaaa....r‘ kesepuiuh para murid Tabib Sekat Seruni menjerit dengan badan terbungkuk. Mereka terkena sinar-sinar biru dari keduatangan Ratu Danyang Demit tadi. Mereka jatuh beriutut dengan tengkuk mengeiuarkan asap tipis. Tak ada suara lagi yang bisa mereka serukan, tak ada tenaga iagi yang bisa mereka pakai untuk iakukan gerakan. Akhirnya kesepuluh murid Tabib Sekat Seruni itu terkuiai tanpa daya, namun masingmasing masih bernapas waiau dengan tersendat-sendat.
“Angkut mereka ke kapai!” perintah sang Ratu kepada kedua muridnya.
Sementara itu, di kedalaman hutan tiba-tiba terdengar suara teriakan yang menyeramkan hingga bergema ke mana-mana.
''Aaaaa...r'
“Guru, jangan...! Jangan...! Aaaaa-.l'’
Ratu Danyang Demit tersenyum senang mendengar teriakan kedua murid Tabib Sekat Seruni yang bermaksud membawa iari gurunya ke pondok. Para murid iainnya tak mengetahui bahwa saat itu kedua temannya itu mengaiaml nasib yang mengerikan. Leher mereka robek, terkoyak-koyak oieh tangan gurunya sendiri, yang terkena limu sihir Ratu Danyang Demit.
Tabib Sekat Seruni berubah menjadi manusia ganas dan buas dengan wajah penuh belatung busuk. Kuku-kuku di jari tangannya tumbuh dengan cepat dan menjadi runcing setajam ujung pisau, la iupa diri dan mengamuk dengan ganas merobek ieher muridnya sendiri sambii mengerang-ngerang bagaikan ibils rakus.
"Grrrhhh... hhhrrr...i Hoorrrggg...i"
Kemudian ia mencakar-cakar tubuhnya sendiri seperti orang kesetanan, ia mengamuk sebegitu rupa, sampai akhirnya Tabib Sekat Seruni tewas oleh tangannya sendiri dalam keadaan sekujur tubuhnya koyak bagai dimangsa beruang lapar.
Suara gaduh dan ietusan tadi terdengar sampai di balik sebuah bukit tak jauh dari Teluk Pancung. Di lembah bukit ituiah Suto Sinting sedang melepaskan ieiah dari perjalanan panjangnya. Begitu mendengar suars teriakan yang menggema kecil.dan letusan yang samarsamar, Pendekar Mabuk segera berlari mendaki bukk.
*
* *
└ 3 ┘
NAMUN apa yang terjadi ternyata sangat membingungkan Pendekar Mabuk. Pemuda tampan bertubuh tegap dan kekar itu hanya menemukan tempat kosong. Tak ada sisa-sisa pertempuran di bailk bukit tersebut. Bahkan ketika ia tiba di pantai yang sebenarnya merupakan wiiayah Teluk Pancung, ia tidak menemukan apa-apa di sana.
Pendekar Mabuktaktahu bahwa pada saat seiuruh murid Tabib Sekat Seruni sudah diusung ke atas kapai dan dimasukkan dalam sebuah barak, sang Ratu Dayang D.emit segera meiapisi kapai tersebut dengan selubung gaib. Kapai itu tiba-tiba memancarkan sinar biru terang pada tiap tepiannya sampai pada tepian bendera kapai.
Sinar biru terang yang berpijar-pijar ituiah yang dinamakan ‘Seiubung Gaib’, membuat kapai tak dapat dilihat oleh siapa pun. Tetapi dua ieiaki gundui yang menjaga di geiadak kapai meiihat kedatangan Pendekar Mabuk di pantai itu. Mereka meiihat pemuda tampan membawa bumbung bambu tampak curiga di perairan pantai, menatap dengan penuh keraguan. Tapi kedua pengawal geiadak itu tidak menangkap Suto Sinting karena tak ada perintah dari Ratu Danyang Demit. Sedangkan sang Ratu sendiri kala itu tidak berada di atas geiadak, sehingga tak mengetahui kehadiran pemuda tampan tersebut
"Anehi" gumam Suto Sinting dalam hatinya. “Aku tak meiihat asap atau sisa ledakan apa pun. Tapi aku mencium bau aneh, seperti bekas benda terbakar dan... dan sepertinya ada bau amis darah di sekitar sini?!"
Pendekar Mabuk segera memeriksa ke dalam hutan. Bau amis darah semakin tajam, ia melangkah mengikuti hidungnya yang mengendus-endus seperti anjing pelacak itu. Sampai akhirnya ia terkejut karena menemukan dua mayat gadis cantik terkapar di samping semak-semak. Kedua mayat itu tak iain adaiah mayat kedua murid Tabib Sekat Seruni.
“Leher mereka robek secara mengerikan. Sepertinya mereka habis diterkam binatang buas berkuku panjang? Hmmm... seekor singa, harimau atau beruang?" pikir Pendekar Mabuk sambil memeriksa mayat tersebut.
“Oh, sekarang aku mencium bau busuk. Hmmm... arahnya semakin ke dalam hutan?!“
Pendekar Mabuk muiai melangkah ke dalam hutan mengikuti indera penciumannya. Bau busuk itu semakin iama bertambah semakin tajam dan memuaikan perut. Suto Sinting nyaris tak kuat mengendus iagi. ia meludah beberapa kaii untuk menahan rasa ingin muntahnya.
“Sebaiknya tak perlu kulacak! Aku tak kuat iagi. Rasa ingin muntah makin memuaikan perutku!" pikir Suto. Tetapi tiba-tiba langkahnya yang ingin berbalik arah itu terhenti oleh pemandangan di alas akar pohon besar. Di sana ia meiihat seonggok bangkai manusia yang menjijikkan dalam keadaan berbelatung. Pakaian mayat itu masih utuh, dalam arti hanya rusak karena cakaran yang mencabik-cabiknya. Tapi tubuh mayat sudah menghitam dan membusuk di bungkus ratusan belatung.
"liih..,!" Suto Sinting bergidik merinding. Ia buru-buru menenggak tuaknya untuk menghilangkan rasa mualnya. Dengan menelan tuak beberapa teguk, rasa mual memang hilang dan bau busuk bagai tersaring di bulu hidungnya.
Suto tak tahu kalau mayat busuk itu adalah mayat Tabib Sekat Seruni, ia hanya mengeluh sedih melihat mayat perempuan bernasib semalang itu.
"Aku tak kenal siapa dia. Untnk npa ku selidiki. Sebaiknya kutinggai pergi saja!" pikirnya. kemudian Pendekar Mabuk pun meninggalknnya.
Kala itu, ia belum bermalam di pondok Kusir Hantu. Justru perjalanannya itu, di samping memburu Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi musuh utamany, juga bertujuan ke Lembah Seram untuk menemui Kusir Hantu. Jadi sang Pendekar Mabuk belum mengetahui kehadiran kapai Ratu Danyang Demit, walau sebenarnya ia sudah berada di depan kapal itu.
Karenanya ketika ia pergi meninggalkan mayat Tabib Sekat Seruni, alam pikirannya dipenuhi oleh bayangan wajah Kusir Hantu dan ilmu 'Timbal Rasanya'. Sampai-sampai kewaspadaan Suto menjadi berkurang dan ia tak dapat merasakan datangnya sebuah serangan dari arah belakang.
Behkk, brrruss...i
"Aoow...!" Suto Sinting memekik kesakitan, tubuhnya terpental ke depan dan berguling-guling di rerumputan. la bagaikan diterjang seekor banteng yang sedang mengamuk. Tulang punggungnya terasa patah dan tak bisa dipakai untuk berdiri.
Untung ia dapat memaksakan tenaganya untuk menenggak tuaknya tiga teguk. Baru saja bumbung tuaknya ditunggingkan di atas mulut, tiba-tiba sebuah bayangan teiah menerjang bumbung tuak itu. Wuutt...i Prakkk...!
Bumbung tuak pun terpentai jatuh dengan tuak tumpah ke tanah. Suto Sinting buru-buru kerahkan tenaga untuk lakukan lompatan seperti seekor singa menerkam mangsa. Tapi yang diterkam bukan lawan yang menerjangnya, melainkan bumbung tuak tersebut, ia tak ingin tuak dalam bumbung itu tertuang habis, sehingga biar susah seperti apa pun terpaksa harus segera diiakukan penyelamatan.
Wuurss...i Blukk...!
Bumbung tuak itu berhasil diselamatkan. Masih ada beberapa tuak yang tersisa dalam bumbung bambu yang berwarna cokiat kehitaman itu.
"Kambing borok! Hampir saja tuakku habis secara sia-sia!" gerutu Suto Sinting dalam hatinya.
ia segara bangkit setelah menemukan tutup bumbung dan menutupkannya dengan rapi. Tuiang punggungnya yang tadi terasa sakit bagaikan terpatah-patah itu kini sudah sehat kembali. Tuak dari dalam bumbung itu memang mempunyai kesaktian khusus yang dapat menghilangkan rasa sakit atau menyembuhkan iuka dan penyakit cukup parah. Siapa pun yang meminum tuak dari bumbung bambu itu, badannya akan merasa sehat dan segar, seakan tak pernah mengalami luka atau kelelahan sedikit pun.
“Keparat busuk kau, Sutor Tentu saja Pendekar Mabuk terkejut mendengar makian seperti itu. ia segera berpaling ke arah samping kirinya. Ternyata di sana berdiri seorang pemuda yang cukup dikenalnya. Pemuda ituiah yang tadi menerjangnya dua kaii dengan gerakan cukup cepat.
Pemuda yang punya ketampanan lumayan itu mengenakan pakaian serba ungu. Potongan bajunya mirip Suto, tanpa lengan, tapi dari bahan iebih bagus ketimbang baju cokiatnya Suto. Rambut pemuda Ru pendek iurus setengkuk, ia memakai ikat kepala kain merah berhias benang emas. Sebuah pedang di punggungnya segera dicabut untuk menghadapi Suto Sinting.
Tetapi Pendekar Mabuk tidak segera memberi perlawanan. Bahkan ia berusaha untuk menenangkan hati pemuda itu yang tampak gusar dan marah kepadanya, “inupaksi..., tenanglah duiu!" inupaksi, adik dari Kertapaksi, anak Prabu digdayuda dari kerajaan Bumiloka itu hanya menggeram dengan pandangan mata penuh dendam.
"Kau teiah membunuh bibiku yang menjadi tabib di wilayah inii Sekarang aku menuntut balas padamu. Kau harus membayarnya dengan nyawamu sendiri Suto!"
“inupaksi, aku tidak membunuh siapa pun di sini!"
"Omong kosong! Kau tak bisa memungkiri diri sendiri, Suto. Kulihat kau baru saja beriari meninggalkan mayat Bibi Sekat Seruni yang teiah menjadi beiatung itu! Padahal jauh-jauh aku datang kemari untuk meminta bantuan Bibi untuk mengobati ayahandaku yang sedang sakit...."
"Sakit apa ayahandamu, inupaksi?"
"Kau tak perlu tahui Yang jeias, dengan kau bunuh Bibi Sekat Seruni, sama saja kau menghendaki kematian ayahandaku. Sebab hanya Bibi Sekat Seruni yang mempunyai obat untuk sembuhkan penyakR ayahandaku. Karena Itu, sekarang tak ada iagi persahabatan di antara kita. Kau harus menebus nyawa bibiku, Suto!"
Pendekar Mabuk menjadi cemas. Bukan karena ia takut menghadapi inupaksi, melainkan karena dia merasa sayang jika persahabatannya menjadi putus karena saiah paham itu.
Suto mencari cara untuk hindari pertarungan dengan inupaksi. Sebab ia teringat saat dibantu oieh inupaksi dalam suatu pertarung^ melawan orang-orangnya Raden Prajita, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bayi Pembawa Petaka").
Tetapi agaknya inupaksi tidak mau percaya dengan pengakuan Pendekar Mabuk, ia tahu Pendekar Mabuk tokoh berilmu tinggi yang mampu membuat lawannya mati membusuk dalam beberapa kejap. Sedangkan saat Suto barada di dekat jenazah Tabib Sekat Seruni, inupaksi dalam perjaianan mendekatinya. Dan ketika ia tiba di tempat tergeletaknya mayat itu, Suto Sinting sudah pergi dari tempat tersebut. Dugaan kuat inupaksi, pembunuh bibinya adaiah Suto Sinting.
Karenanya inupaksi segera membuka jurus pedangnya dengan hasrat membunuh Suto semakin besar.
“inupaksi, jangan saiah paham duiu. Aku benar-benar tidak membunuh bibimu. Aku bahkan tak kenai yang mana bibimu dan seperti apa wajahnya. Aku tak punya hubungan apa pun dengan perempuan yang kau sebutkan namanya sebagai Tabib Sekat Seruni itu!"
"Tutup mulutmu!" bentak inupaksi. "Aku bukan anak kecii yang bodoh dan mudah kau keiabul, Suto. Sekarang juga terima saja pembalasan dariku ini, heeeah...r'
Inupaksi iakukan satu lompatan dengan pedang menebas ke ieher Suto Sinting. Tetapi si Pendekar Mabuk tidak balas menyerang atau menangkis, la hanya menggeioyor ke belakang seperti orang mabuk atau tumbang. Dengan begitu pedang Inupaksi menebas tempat kosong di depan leher Suto. Weeesss...!
Tetapi tanpa diduga-duga kaki inupaksi berkelebat menendang dada Pendekar Mabuk. Wuuuttt...i Dengan tubuh semakin meliuk ke belakang, Suto Sinting hanya iakukan tangkisan dengan tangan kirinya yang menepis bagai menampar nyamuk di depannya. Piaakkk...!
Tendangan Inupaksi terbuang, tubuh inupaksi tersentak karena tangkisan tangan Suto itu ternyata mengandung tenaga dalam yang dapat untuk memecahkan sebatang bambu.
Inupaksi terpelanting dan jatuh, namun ia segera bangkit dengan pedangnya yang menyentak ke tanah membuat tubuhnya melesat ke atas dan bersalto dalam satu gerakan cepat. Wuuukkk, jieeggg...! ia berdiri di samping Pendekar Mabuk dalam keadaan sigap dan siap menerima serangan balasan.
Ternyata Pendekar Mabuk tidak mau balas menyerang. ia bahkan bicara dengan tenang dan dengan sikap tidak bermusuhan.
"Inupaksi, justru aku kemari karena mendengar suara jerit pertarungan dan ledakan kecii. Tapi aku tidak mendapatkan apa-apa kecuali tiga mayat perempuan, termasuk mayat yang membusuk itul"
"^u pun tahu di sini tidak ada orang lain kecuali kau! Maka tak saiah lagi dugaanku, bahwa kaulah pembunuh Bibi Tabib Sekat Seruni. Dan terimalah jurus 'Pedang Jalang’ ini, heeaaahh...!"
Wuk, wuk, wuk, wuk, wuk...! inupaksi menebaskan pedangnya dengan kecepatan tinggi. Pendekar Mabuk segera bersalto ke belakang satu kali. Wuuuttt...! Dengan begitu ia selamat dari tebasan pedang itu yang memancarkan gelombang panas yang membuat tubuh Suto Sinting bagaikan disembur dengan uap lahar gunung berapi.
"Aauh...l Suto tersentak kaget dan mengetahui kulit lengannya melepuh karena gelombang panas dari pedang tersebut.
"Hiah... !" Suto menyentakkan tubuhnya hingga melesat ke atas dan hinggap di sebuah dahan pohon, la buru-buru menenggak tuaknya sedikit untuk mengobati rasa panas yang membuat kulit lengannya meiepuh itu.
"Heeeaah...!" inupaksi pun melesat bagaikan terbang dengan pedang iurus ke arah uiu hati Suto Sinting. Pada saat itu Suto baru saja seiesai menenggak tuak. Tahu-tahu ia harus berhadapan dengan ujung pedang inupaksi.
"Tak ada jaian lain...!" gumamnya dalam hati, laiu ia mengibaskan bumbung tuaknya untuk menangkis pedang inupaksi.
Wuuutt...!
Trang...i
Pedang itu teriempar, iepas dari genggaman inupaksi. Sedangkan tubuh inupaksi masih meluncur menerjang Suto Sinting. Maka dengan jari tangan kirinya, Suto Sinting mengeluarkan jurus sentilan yang bernama jurus ’Jari Guntur’.
Tess...! Duuhkk...!
"Heeeegk...!" inupaksi tersentak dengan suara terpekik berat. Tubuhnya bagaikan ditendang seekor kuda jantan yang sedang mengamuk. Dadanya terasa ingin jeboi, sehingga tubuh inupaksi akhirnya teriempar mundur dan kehilangan keseimbangan di udara.
Brrukkk...!
"Aaauhh...!" ia memekik kesakitan ketika jatuh berdebam di tanah. Pendekar Mabuk segera turun dari dahan pohon seperti seekor garuda perkasa ingin menghampiri mangsanya. Wuuultt...!
Tepat di atas ranting kering sebesar iidi yang ada di samping inupaksi Pendekar Mabuk menapakkan kakinya. Ranting kering itu tidak patah tian bahkan tidak melengkung sedikit pun walau mendapat beban tubuh Suto yang kekar. Itu pertanda Suto Sinting menggunakan jurus peringan tubuhnya yang bernama jurus 'Layang Raga’, mampu berdiri di atas ranting kering, bahkan mampu berdiri di atas selembar iiaiang.
Ketika inupaksi bangkit dengan mata berkunangkunang, kaki Suto Sinting segera menendang wajah inupaksi dengan tendangan tamparan. Plaakkk....
Pipi pemuda berpakaian ungu itu menjadi merah dan ia terpelanting ke arah samping, lalu terguiing-guilng sambii mengaduh. Pendekar Mabuk segera turun dari ranting kering tanpa suara sedikit pun.
Napas inupaksi terengah-engah menahan rasa sakit dan iuka dalam akibat sentilan jurus ’Jari Guntur itu. Pendekar Mabuk sengaja memberi kesempatan Inupaksi untuk perbaiki diri dan mengubah jaian pikirannya.
"inupaksi, kau tahu sendiri, jika aku mau kau dapat kubunuh dengan mudah sekarang juga. Tetapi aku tak mau membunuh seorang sahabat hanya karena salah paham. Kita akan sama-sama rugi jika saiah satu ada yang mati!"
inupaksi yang setengah berlutut itu tiba-tiba menyentakkan tangannya dan dari telapak tangan pemuda itu keiuar sinar iurus warna hijau muda. Ciaappp...!
Pendekar Mabuk segera meiiukkan badan seperti orang mabuk. Bumbung tuaknya terangkat bagai ingin menenggak tuak. Dan pada saat ituiah sinar hijau itu tertangkis oieh bumbung tuak. Tubb...! Weesss...!
Sinar tersebut berbalik ke arah inupaksi dengan lebih cepat dan iebih besar dari aslinya, inupaksi terkejut meiihat pukuian bersinarnya berbalik arah, ia segera meiompat dan berguiing-guiing di semak ilalang. Brruss...! Sementara itu sinar hijaunya yang berubah menjadi lebih besar itu menghantam akar sebuah pohon. Biegaarrr...!
Pohon tersebut bukan hanya tumbang, melainkan juga hancur menjadi beberapa keping panjang. Bumi pun berguncang bagai diianda gempa.
Sepotong dahan pecahan pohon itu yang besarnya seukuran paha kerbau jatuh menimpa punggung inupaksi, Buuhk...l
"Aaahk...!'' inupaksi memekik kesakitan. Namun ia segera kerahkan tenaga simpanannya untuk bisa bangkit menghadapi Pendekar Mabuk iagi.
Suto Sinting menghempaskan napas, merasa kewalahan menyadarkan inupaksi, tapi juga bimbang untuk meiawan sahabat sendiri. Pada saat ituiah rasa ingin memiliki ilmu ’Timbai Rasa’ semakin besar. Karena dengan memiliki ilmu ’Timbai Rasa’ ia tidak perlu meiawan sahabatnya, melainkan dengan diam saja maka sang sahabat akan menjadi jera dengan sendirinya.
Tetapi kaia itu Pendekar Mabuk terpaksa harus hadapi kemarahan inupaksi yang tak tanggung-tanggung ingin membunuhnya. Dengan satu sentakan tangan merentang dan kemudian menghentak ke depan, inupaksi melepaskan sinar merah berekor panjang seperti meteor.
'Terimalah jurus ’Anak Lintang’ ini, heeaah...!"
Wuusss...!
Sinar merah seperti meteor itu meiesat cepat ke arah Pendekar Mabuk yang berdiri dalam jarak sepuiuh iangkah darinya. Pendekar Mabuk bersiap mengadu kekuatan jurus ’Anak Lintang’ dengan jurus ’Turangga Laga’-nya.
Tetapi sebelum Suto Sinting keluarkan jurus ’Turangga Laga’ tiba-tiba gerakan sinar merah berekor panjang itu membelok di arah iain bagai terhisap oieh suatu kekuatan di seberang sana. Wuueess...! Pandangan mata inupaksi dan Pendekar Mabuk sama-sama mengikuti gerakan sinar merah dari jurus ’Anak Lintang’ itu. Mereka sama-sama terkejut ketika meiihat sinar merah berekor panjang itu tersedot oieh telapak tangan seorang ieiaki tua berpakaian serba putih. Zuurrrb...i
"Guru...?!" iontar suara Inupaksi sambii terengahengah.
Pendekar Mabuk menghembuskan napas iega meiihat sinar merah itu masuk ke dalam tangan tokoh tua berbadan gemuk yang mempunyai rambut pendek putih serta jenggot dan kumis yang putih pula. Leiaki itu memegang tongkat kayu hitam yang ujungnya berbentuk cakar lima jari sebagai ciri senjatanya. Orang tersebut tak iain adaiah si Jubah Kapur, guru dari inupaksi yang menjadi Ketua Gelandangan beraliran putih.
"Mengapa Guru membeia dia?! Guru tidak tahu bahwa dia teiah membunuh bibiku: Tabib Sekat Seruni!" inupaksi marah kepada gurunya sendiri. Sang guru menanggapi dengan kalem namun penuh wibawa.
"Kau teriaiu gegabah, Muridku!" sambil melangkah mendekati sang murid. Suto Sinting justru melangkah mendekati si Jubah Kapur.
"Syukurlah kau segera datang, Ki Jubah Kapur" ujar Suto Sinting yang membual Jubah Kapur memandangnya sebentar, kemudian menatap muridnya kembali.
"Tahan nafsu amarahmu, inupaksi. Jangan mencari sasaran secara sembarangan untuk melampiaskan kekecewaanmu. Aku tahu kau kecewa melihat bibimu teiah tewas. Tapi tidak selayaknya kau lampiaskan kepada si Pendekar Mabuk.
"Memang dia yang membunuh bibiku, Guru!" inupaksi masih ngotot.
Jubah Kapur geieng-geiengkan kepaia.
"Sekalipun aku tak melihatnya sendiri, aku tetap tidak bisa percaya kaiau Pendekar Mabuk membunuh bibimu, sebab bibimu bukan dari aliran hitam."
"Guru teriaiu membanggakan dia!" gerutu inupaks! dengan gusar. "Biarkan aku melawannya, Guru!"
"Kaiau kau sudah bosan hidup, jangan meiawan dia. Lawan aku saja, inupaksi!"
"Guru sangka aku tak akan bisa mengalahkan dia?!"
'Tak akan bisa!" tegas Jubah Kapur. Laiu ia memandang Pendekar Mabuk dengan sikap memohon kesabaran sang pendekar tampan itu.
"Maafkan muridku. Kurasa kau bisa merasakan betapa kecewanya Inupaksi melihat bibinya tewas seperti itu. Aku te!ah memeriksanya sebelum akhirnya menengahi pertarungan kalian ini!"
Pendekar Mabuk bicara dengan menghormat.
"Aku dapat merasakan kekecewaan inupaksi, apalagi ayahandanya sedang sakit. Aku memang tidak bermaksud melawannya, Ki Jubah Kapur. Aku hanya memberi pelajaran padanya agar lain kali tidak sembarangan menuduh orang berbuat salah."
"Guru...i" sentak inupaksi masih belum sadar akan kekeliruannya. "Biarkan aku bertarung sampai mati dengannya, Guru!"
Jubah Kapur tiba-tiba sodokkan tongkatnya ke belakang. Duhkkk...!
"Uuhk...i" Tongkat itu kenai perut Inupaksi, dan seketika itu puia inupaksi tak bisa bergerak, akhirnya Jatuh terkulai dengan iemas bagai kehilangan tenaga. Jubah Kapur hanya melirik muridnya yang terkulai di rerumputan, kemudian bicara iagi dengan Pendekar Mabuk.
"Kurasa kau bisa meneruskan perjalananmu. Pendekar Mabuk. Sampaikan saiamku kepada gurumu; si Gila Tuak. Tentang muridku inibiar kuurus sendiri supaya persahabatan kita tidak putus sampai di sini."
"Terima kasih, Ki Jubah Kapur," ucap Suto Sinting sambil sedikit membungkuk sebagal tanda memberi hormat kepada tokoh yang gemar berkelana itu.
"Aku akan menyelediki sendiri, siapa pembunuh Tabib Sekat Seruni itu! Firasatku mengatakan, ada sesuatu yang aneh di tempa ini," tambah Jubah Kapur.
"Sesuatu yang aneh?!" gumam Suto dengan dahi berkerut.
"Lanjutkanakan perjalananmu, Nak. Aku akan memeriksa daerah pantai sana!"
Pendekar mabuk hanya bergumam dalam hati, "Daerah pantai...?! Hmmm... memang benar, aku tadi juga curiga pada daerah pantai. Tapi aku tidak menemu-
kan apa-apa disana. Tak ada Sesuatu yang mencurigakan di pantai, walau firasatku pun mengatakan ada sesuatu yang aneh. Hmmm... Apakah Jubah Kapur akan berhasil menemukan rahasia keanehan di pantai tadi?!"
Sambil meninggalkan tempat itu, Pendekar Mabuk masih diliputi kebimbangan. Bahkan di tengah perjalanan ia sempat berhenti sejenak karena tergoda oleh niatnya untuk menyelidiki daerah pantai lagi.
"Haruskah aku Peduli dengan keanehan di daerah pantai itu? Haruskah aku kembali lagi ke sana dan bergabung dengan si Jubah Kapur?"
*
* *
└ 4 ┘
Di dalam kapal besar itu, ternyata terdapat ruangan iebar yang menyerupai bangsal sebuah Istana. Tempat tersebut dilengkapi dengan perabot mewah dan kamarkamar yang mempunyai kenyamanan serta daya pikat tersendiri bagi penghuninya.
Di depan para murid barunya. Ratu Danyang Demit sering memamerkan kesaktiannya. Akibatnya, para calon murid terpikat dan ingin sekali mendapatkan ilmu seperti yang dipamerkannya.
Bangsai iebar itu bukan saja sebagai tempat pertemuan, melainkan juga merupakan tempat latihan menempa jiwa raga para murid Ratu Danyang Demit. DI bangsai berlantai kayu mengkiiat itu, Ratu Danyang Demii meletakkan sebuah peti dari besi berukuran cukup besar. Para murid mengelilinginya dengan mata berbinar-binar memandangi peti besi tersebut.
"Siapa yang kuat mengangkat peti besi ini sendirian." tanya Ratu Danyang Demit.
Sungging Puaiam maju dan mencoba mengangkat peti besi itu dengan kekuatan tenaga dalamnya. Tetapi berutang kali gadis itu gagal mengangkatnya, bahkan tulang pinggangnya sempat terkiiir karena memaksakan diri mengangkat benda tersebut Yang lainnya pun mencoba, etapl juga tak berhasil mengangkat peti besi itu. Maka sang Batu pun berkata kepada para murid barunya,
Bukan dengan tenaga mengangkatnya, tetapi dengan kekuatan batin, maka setiap orang akan da at mengangkat peti besi itu setinggi mungkin.”
Ratu Danyang Demit segera mengeraskan leiunjuknya dari jarak empat iangkah. Mata memand: ng tajam «e arah peti besi tersebut. Jari bergerak pelan-pelan ke atas, dan peti besi itu terangkat hingga melayang-layang di udara, bahkan mampu ,erada dalam ketinggian di atas kepala Ratu Danyang Demit.
Para murid memandang kagum hingga terbengong bengong. Akhirnya mereka bertepuk tangan menunjukkan rasa kagum dan memuji kesaktian sang Ratu.
"Siapa yang bisa memecahkan peti besi ini, akan kuberi hadiah seperangkat perhiasan berbatu belian Im,” sambil ia menunjukkan kalung dan gelang berlian yang dipakainya.
Para murid barusaiing mencoba memecahkan peti besi tersebut. Tapi tak satu pun berhasil menggores peti itu.
Ratu Danyang Demit maju, sedikit berlutut dan meietakkan telapak tangannya di atas peti tersebut tanpa tenaga sedikit pun.
Dalam waktu dua helaan napas, tiba-tiba peti besi itu hancur dengan sendirinya. Prrraaakkk...i Semua mata terbelalak lebar.
”Oooh...?i" mereka tersentak kaget melihat peti besi hancur dengan hanya dipegang oleh satu teiapak tangan tanpa tenaga.
"Pukulan paiing dahsyat akan keluar dari iubuk batin kitai" ujar Ratu Danyang Demit.
“Guru, bagaimana cara mengendaiikan kekuatan batin kita. Mohon kami diberi pelajaran menggunakan kekuatan batin seperti itu. Guru!" ujar seorang murid.
Ratu Danyang Demit tersenyum bangga.
"Kalian semua akan mendapatkan Ilmu semacam itu dariku jika kailan mau mengabdi kepadakui"
"Kami akan mengabdi dengan setia. Guru...! Kami akan mengabdi selamanya, Guru...i Kami akan tunjukkan pengabdian kami, Guru...!" mereka berseru saling bersahutan.
"Baik. Buktikan duiu pengabdian kalian. Sekarang, siapa yang bisa mendapatkan seorang pemuda yang mampu melayaniku, maka dia akan memperoleh satu ilmu dariku. Setelah aku selesai bercinta dengan pemuda itu, aku tetap mengizinkan jika kalian ingin pemuda itu untuk bercinta pula. Yang penting, jangan sampai mereka keluar dari kapal ini dalam keadaan hidup-hidup!"
"Seorang pemuda...?!" gumam mereka saiing bersahutan juga.
"Ya, seorang pemuda!" sahut Karang Betina. "Sebab ilmu itu hanya bisa ditebus dengan kehangatan seorang pemuda yang menyenangkan hati Guru. Karena itu, cari dan pikat pemuda sebanyak-banyaknya, maka kalian akan mendapatkan ilmu dari Guru lebih banyak iagi!"
Mereka dibekali suatu kekuatan yang dapat untuk melihat di mana kapal tersebut berada. Sebuah tenaga 'inti Candera’ diberikan oieh Ratu Danyang Demit kepada para murid, sehingga sekaiipun kapal tersebut dilapisi perisai gaib, namun mereka dapat meiihatnya dengan jeias. Kekuatan ’lnti Candera’ itu hanya sebatas satu hari satu malam. Jika matahari terbit kembali mereka belum kembali ke kapal maka mereka tak dapat meiihat kapai tersebut.
Bagi seorang pemuda yang berhasil dibawa ke kapai itu, muianya mengalami kebingungan yang tiada habisnya. Mereka bagaikan diajak menuju ke perairan pantai tanpa dasar dan landasan apa-apa. Tetapi ketika mereka sudah masuk dalam iingkaran cahaya perisai gaib, maka mereka akan segera sadar bahwa diri mereka sudah berada di sebuah kapal besar.
Seianjutnya mereka dihadapkan kepada Ratu Danyang Demit yang sudah siap di kamarnya dalam keadaan busana serba menantang gairah. Pemuda mana pun yang sudah meiihat sosok kemolekan tubuh dan kecantikan Ratu Danyang Demit, tak akan mampu menolak ajakan bercumbu sang Ratu. Bahkan adakaianya pemuda itu tak bisa menahan kesabarannya, sehingga ia segera menyerang sang Ratu dengan ciuman yang membara ketika sang Ratu mulai memanggilnya ke dalam peiukan.
Ada yang sampai tiga atau empat malam disekap dalam kamar Ratu Danyang Demit dan dijadikan pemuas gairah sang Ratu. Ada puia yang hanya satu malam, kemudian diberikan kepada Camar Cumbu atau Karang Betina. Jika kedua murid asii Ratu Danyang Demit itu merasa tidak berseiera, baruiah para murid baru diizinkan berkencan dengan pemuda tersebut. Jika tak ada iagi yang berselera menikmati kehangatan pemuda itu, maka tanpa banyak pertimbangan iagi, mereka membunuh dan membuang mayat pemuda tersebut ke iautan. Mayat tersebut sebelum dibuang ke lautan diberi beban pemberat, diikat dengan batu atau besi, sehingga ketika dibuang ke iautan mayat itu akan tenggeiam ke dasar iaut dan menjadi santapan ikan-ikan yang doyan pepes manusia.
Para murid yang semula berasal dari aliran putih, kini menjadi penganut aiiran hitam. Mereka yang semuia tahu susiia menjadi buta susila. Yang semula pendiam kini menjadi liar dan ganas terhadap ieiaki. Dan hai itu membuat Ratu Danyang Demit menjadi bangga serta gembira, la tak segan-segan menurunkan beberapa kesaktiannya kepada mereka yang setia.
"Kenapa tidak dari dulu saja kita menjadi murid Ratu Danyang Demit, ya?" ujar Puspitaloka kepada Layung Suli.
“Barangkali memang nasib kita sudah ditentukan harus meialui menjadi murid tabib payah itu dulu, baru ditemukan oleh dewata dengan Guru Agung kita yang sekarang ."
Percakapan itu terjadi ketika kedua mantan murid Tabib Sekat Seruni itu meninggalkan kapai berbendera kupu-kupu merah untuk mencari mangsa yang ketiga kalinya. Puspitaloka sudah mendapatkan mangsa tiga kaii, tapi Layung Suli sudah hampir empat kali. Hanya saja mangsa yang keempat tidak mendapatkan hasil apa-apa, karena pemuda yang keempat diserahkan kepada sang Ratu ternyata pemuda yang tak mempunyai daya sebagal seorang lelaki. Pemuda itu lemah gairah, ibarat orang tidur tak bisa bangun lagi hingga menjengkelkan sang Ratu. Akhirnya pemuda itu dibunuh di kamar sang Ratu, kemudian baru dibuang ke laut.
"Aku sama sekali tidak menduga kalau pemuda yang mengaku bernama Londang itu ternyata tak mempunyai kemampuan berkencan. Bahkan kata Guru Agung, menggeliat saja tak bisai Hik, hik, hik...."
"Makanya sekarang kalau kita mendapatkan mangsa harus dicoba dului" ujar Puspitaloka.
"Dicoba dulu?i Oh, itu gagasan yang bagusi" wajah Layung Sull berseri-seri. "Dulu aku punya niat seperti itu, tetapi tak berani meiakukannya, karena aku takut diketahui Guru Agung, bisa-bisa Guru Agung marah karena merasa diberi santapan sisa kita."
"Tak mungkin Guru Agung mengetahuinya. Terbukti sudah tiga kali kudapatkan mangsa lumayan, dua di antaranya sudah kucoba lebih duiu baru kuserahkan kepada Guru Agung. Toh enak-enak saja, Hik, hik, hik...." Puspitaloka tertawa, demikian juga Layung Suli.
Tawa dan langkah mereka terhenti ketika pandangan mereka menangkap sekelebat bayangan seorang pemuda melintas di kerimbunan hutan depan. Puspitaloka segera berbisik kepada Layung Suli.
"Ssst...i Ada rezeki lewat!"
"iya. Aku juga melihatnya. Dia bergerak ke timur. Kita cegat ke kaki iembahi"
"Aku setuju!"
Weesss...! Kedua perempuan montok itu melesat dengan cepat mengambii jalan pintas menuju lembah. Koiika sampai di lembah, mereka muiai berkasak-kusuk mengatur rencana.
"Kita pura-pura bertarung," kata Layuing Suli. "Aku akan berpura-pura kalah dan berteriak minta tolong. Jika dia datang menolongku, kau berpuratpura kaiah dan iari, biar aku punya aiasan memberikan kemesraanku sebagai imbalan jasa baiknya."
"Kau yang enak kalau begitu. Aku dapat apa?" Puspitaioka bersungut-sungut.
"Mangsa berikutnya kau yang berpura-pura kaiah, lalu aku yang iari. Kita kerja sama secara bergantian begitu saja, Puspitalokal"
"Baikiah, aku setuju. Betsiaplah uutuk kuserang."
Dan tiba-tiba Ruspitaloka memekik sambil lepaskan tendangan ke arah lengan Layung Suli,
,, Hlaaatt...i“
,, Aaaa...i ,, jerit Layung Suli sambil tubuhnya teriempar akibat tendangan Puspitaloka. ia jatuh tergulingguiing di tanah keras berbatu cadas.
'Tendanganmu jangan keras-keras, Toiol!" bentak Layung Suli dalam suara berbisik.
"Maaf, tidak sengaja! Hiaaat...!"
Piak, piak, plak, piak... buhkk...i
"Uuhk...! M Layung Suli terpekik dan menyeringai kesakitan karena membiarkan pukuian Puspitaloka mengenai perutnya. Ketika Puspitaloka ingin menyerangnya kembali, Layung Suli menahan dengan kedua tangan dan berkata pelan,
“Tunggu. Perutku benar benar rnules. Uuuh...i Sial! Kau merliukul terlalu keras, Tololi”
"Berteriaklah! Cepat berteriak, kulihat dia muiai berlari ke arah kita."
"Bagaimana aku bisa berteriak, perutku benar-benar muies dan napasku sesak!”
"Aaaa...!“ Puspitaloka yang berteriak bagai terkena pukuian maut.
"Jangan kau yang berteriak. Tolol!"
•Habis kau teriaiu lama!" bisik Puspitaloka sambii menyerang bagian yang tidak berbahaya dengan pukulan dan tendangan.
"Babi kau, Puspitaloka! Uuhk...!" Layung Suli memaki karena tubuhnya dibanting seenaknya oieh Puspitaloka! hingga terhempas di tanah keras. Brrruss...i Srreott...l Puspitaloka mencabut pedangnya setelah la tahu pemuda tersebut berada di beiakangnya. i’u pltaloka beriagak membentak Layung Suli dengan pedang Tap ditebaskan.
"Sekarang saatnya kucabut nyawamu, Jahanam! !liuaah...i"
"Tunggui" seru pemuda tersebut, dan Puspitaloka hentikan gerakannya sambil membatin,
"Untung ia cepat berseru, kalau tidak pedsng ini linnar-bcnar kutebaskan, entah mengenai Layung Suli Tu tidak."
'Nona, kuharap hentikan marahmu. Kulihat lawanmu sudah tidak berdaya begitu, Nona!" ujar pemuda tersebut. Puspitaloka beriagak berang ke'pada pemuda
!lu
"Kau ingin membeianya, hah?! Kuhabiskan masa hidupmu sekalian kau, hiaaah...i“
Puspitaloka berlagak menyerantj dengan pedangnyn. Pemuda tersebut menyangka mendapat serangan sscara bersungguh-sungguh. Malta dengan cepat ia Inkukan lompatan bersaito di udafa. Wuukk...! Dan kakinya tiba-tiba menendang ke belakang mengenai punggung Puspitaloka. Duuuhk...i
"Aaahk. J" Puspitaloka terpekik, darah segar keiuir dari muiutnya sambil tubuhnya terlempar ke depan dan jatuh tersungkur mencium tanah. Bruusss...i
"Uuuhk...!'’ Puspitaloka mengerang kesakitan. Layung Suli sebenarnya ingin membantu Puspitaloka, tetapi ia segera ingat bahwa ia harus berpura-pura tak berdaya dan harus tetap berpura-pura bermusuhan dengan Puspitaloka.
Tetapi begitu meiihat pemuda tersebut ingin meiepaskan pukuian tenaga dalamnya ke arah Puspitaloka, Layung ^uii segera berseru dengan suara tertahan.
"Tahan...! 1 ’
Perrui.da itu berkerut dahi memandang Layung Suli. Karena takut sandiwaranya diketahui si pemuda, maka Layung Suli beriagak paksakan diri untuk bangkit dan berkata keppda si pemuda.
"Biar kulpalas sendiri kekejaman si perempuan sesat itu!"
Layung Suli bergegas dekati Puspitaloka dan menjambak rambut temannya sendiri itu hingga berdiri.
Piokk...i Sebuah tamparan keras diiepaskan ke pipi Puspitaloka sambil Layung Suli berbisik, "Lari sekarang juga, Goblok!"
Tuiang punggungku patahi" bisik Puspitaloka sambil sempoyonghn dalam cengkeraman Layung Suli.
"Usahakan iari sebisa mungkin. Aku akan mengalihkan perhatian peinuda itu!"
Piaakkk...i Layung Suli menampar wajah temannya iagi sambil beriagak membentaknya.
"Kau cari mampus di sini, hah?! Sekali iagi kaiau kau berani mengusikku, kuhabisi nyawamu saat itu juga! Pergi sana!"
Puspitaloka dilemparkan oleh Layung Suli dengan sentakkan kaki yang mengganjal perut. Tubuh Puspitaloka melayang jauh dan jatuh di semak-semak. Saat itu Puspitaloka sempat berseru,
"Kau benar-benar mendendam padaku, Layung Suli .!"
Toloi, pakai berteriak begitu segala!" batin Layung Suli, walau mulutnya berseru, "iya. Memang aku menyimpan dendam padamu. Biiang sama gurumu kalau kau merasa tak puas dengan perlakuanku ini!"
Hari semak-semak, Puspitaloka masih berseru, Tinggu pembalasanku, Layung Suli!"
"Jahanam! Kuhabisi kau sekarang juga, Perempuan jalang! Hiaaah...!"
Layung Suli berlagak ingin lepaskan pukuian jarak jauhnya Tapi tiba-tiba ia mendengar suara seorang pemuda ynng berseru kepadanya.
"Tahan! Biarkan dia iari. Dia akan mati sendiri."
Layung Suli menyimpan rasa kagetnya.
"Mati sendiri?!"
"Aku telah melepaskan hawa racun ’Sepak Kobra’ melalui tendanganku tadi. Racun itu akan membusukkan jantungnya."
Layung Suli diam memendam ketegangan.
*
* *
└ 5 ┘
Dilihat dari pakaiannya yang berkesan mewah, pemuda itu tampak bukan pemuda sembarangan. Setidaknya mempunyai suatu kehormatan tersendiri dalam hidupnya. Sebab ia memang seorang putra raja yang tingkahnya sedikit siebor. Pemuda itu tak lain adaiah murid dari Resi Pakar Pantun yang bernama Kertapaksi, yaitu kakaknya inupaksi.
dalam perjaianan mencari gurunya, Kertapaksi sempat mendengar suara jeritan seorang wanita yang segera dihampirinya. ia tidak tahu bahwa pertarungan Layung Suii dengan Puspitaioka adaiah pertarungan paisu. la menyangka Puspitaioka di pihak yang jahat, sehingga ia melepaskan tendangan beracun berbahaya itu.
Layung Suii sendiri sempat saiah tingkah menghadapi pemuda berusia sekitar dua puluh iima tahun itu.
lu i< i|ii>nona memandang ketampanan Kertapaksi, namun Hhjji memikirkan nasib temannya yang menderita lukn nu un Itu. Sedangkan di depan Kertapaksi, ia haiiin k nSntnn tidak mengkhawatirkan Puspitaioka agar ii< mu lic nur tampak bermusuhan dengan Puspitaioka.
"Per««*tan dengan Puspitaioka, ah!" pikir Layung mil "Aku yakin ia akan puiang ke kapai jika merasa lupnya sangat parah. Guru Agung pasti akan mengobati luku Itu dun mampu menawarkan racun tersebut."
Solojah membuang kecemasannya, Layung Suii miiliil memusatkan perhatiannya kepada Kertapaksi.
"Wow...i ini benar-benar pemuda keias kakap. Pasii utiru Agung sangat kegirangan jika kuberi santapan
• mewah ini," pikir Layung Suii. "Oh, aku sendiri tergiur i* h ketampanan dan kegagahannya. Dia memang gai n lupi apakah dia gemar menggagahi wanita? Ah,
n kupancing seleranya agar aku tidak keceie iagi
• • mlnpatkan pemuda yang mirip karet direndam miny »k Innah itu. Loyoi"
»* inentara itu, tanpa diketahui Layung Suii mau, un Kertapaksi, keadaan Puspitaioka memang benarnair parah, la tak dapat berjalan tegak iagi, dan beruisfliin menuju ke kapal dengan terhuyung-huyung dari |t'»hon ke pohon.
Ternyata keadaan seperti itu dipandangi oieh seimuniig mata bening berwajah tampan. Sepasang mata lln miilk seorang pemuda yang mengenakan celana pulih dan baju tanpa lengan warna cokiat. Siapa lagi dia halau bukan si Pendekar Mabuk, murid sinting si Gila Tuak.
Tubuh sintal berpakaian kuning terang Itu akhirnya tak kuat menegakkan kedua kakinya walau berpegangan pohon, la jatuh terkulai dafam keadaan wajah pucat membiru. Namun sebelum tubuh itu jatuh ke tanah, sepasang tangan telah menyambarnya. Wwesss...! Pendekar Mabuk menarik tubuh itu ke dalam pelukannya, kemudian merebahkan di rerumputan dengan pelanpelan.
"Kasihan sekait. Agaknya la terluka parah bagian dalamnya. Oh... sepertinya la menderita luka racun?!" pikir Pendekar Mabuk sambil bergegas mengambil bumbung tuaknya yang menyilang di punggung.
Puspitaloka masih bisa bernapas tersendat-sendat. Matanya mulai terbeilak-bellak dengan mulut ternganga. Rupanya dalam beberapa waktu lagi la akan mengalami naas jika tidak segera tertolong.
Pendekar Mabuk menuangkan tuaknya pelan-pelan ke mulut yang ternganga Itu. Sedikit demi sedikit tuak tertelan oieh Puspitaloka. Hal Itu melegakan hati Pendekar Mabuk, karena la yakin dengan menelan tuaknya maka gadis yang berbibir agak tebal tapi menggiurkan itu akan terhindar dari bahaya racun yang dapat merenggut nyawanya.
"Aku yakin la habis bertarung. Tapi siapa lawannya dan di mana lawan Itu sekarang?!" sambil mata Suto Sinting memandang! alam sekelilingnya, la tak menemukan siapa pun di sekitar tempat itu.
"Hmmm... pedangnya telah kosong. Ke mana pednnrinyn?" kata Suto membatin sambil memperhatikan sarung pedang yang telah kosong, la tak tahu bahwa pedang Itu terpental lepas dari genggaman Puspitaloka ketika lerkena tendangan Kertapaksi tadi. Pedang itu tak sempat diambil oleh Puspitaloka, karena rasa sakit di punggung dan di bagian dada membuatnya tak peduli lagi dengan pedang tersebut.
Napas gadis itu mulai terhempas panjang-panjang, luonnndukan bahwa pembusukan jantung terpaksa ba lal karnna racun 'Sepak Kobra’ berhasil dilumpuhkan oleh kekuatan tuak sakti Suto yang ditelannya. Bahkan makin lama Puspitaloka merasa semakin segar, tubuhnya tak merasakan sakit sedikit pun. la dapat bangkit sendiri dengan ringan dan merasakan betul bahwa pernapasannya kini sangat longgar.
Puspitaloka terpana memandang seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya, bersandar pada sebuli pohon seakan sedang menunggu kesadarannya. Puspitaloka Ingin bersorak dalam hati, namun ia mampu menguasai diri.
"Oh, Dewa... ganteng amat dia? Lebih ganteng dari pemuda yang telah menjadi mangsa Layung Sull tadi. i immm... rupanya dia yang menolong mengobati lukaku?! Alangkah mujur nasibku hari Ini, mendapat mangsa seistimewa itul"
Pendekar Mabuk sengaja sungglngkan senyum tipis yang membuatnya lebih menawan lagi. Senyum Itu sebagal sambutan perkenalannya dengan Puspitaloka, ckatlgus merupakan rasa bersyukur karena bantuannya berhasii menyelamatkan jiwa si gadis.
Tetapi senyuman itu ternyata semakin mendebat kan hati Puspitaloka, sehingga gadis itu semakin bor sorak dalam hatinya dan lekas-lekas berdiri lalu meng hamplrlnya, sambil berkata membatin dalam hatinya
"Oh, luar biasa sekali ketampanannya. Badannya pun tegap, kekar dan tampak perkasa. Guru Agung pasti akan kegirangan jika kuberi selimut kemesraan sehangat Ini. Ah, tapi... jangan-jangan dia tak mampu berdiri tegak sebagal seorang satria ranjang?! Tak ada salahnya bila kucicipi dulu sebelum kusajikan kepada Guru Agung."
Langkah gadis itu berhenti di depan Suto Sinting dalam jarak kurang dari satu tombak. Mata mereka saling beradu pandang, dan hati pun sama-sama berdesir bagai dikerumuni semut-semut nakal.
"Kaukah yang menolongku?" Puspitaloka berlagak pilon.
"Kira-kira begitu," jawab Suto Sinting sengaja samar-samar.
"Terima kasih atas pertolonganmu."
"Terima kasihmu sebaiknya disimpan saja. Yang perlu kuketahui adalah siapa orang yang telah melukaimu dengan racun berbahaya itu?"
"Entahlah. Aku tak mengenalnya," jawab Puspitaloka sambil kian mendekat walau pandangan matanya tertuju ke arah lain.
'Tiba-tiba saja dia menyerangku dan membualku terluka separah tadi," lanjut Puspitaloka. "Kalau kau tidak lewat daerah Ini, mungkin ragaku sudah tidak bernyawa lagi. Rasa-rasanya patut kubalas budi baikmu tadi dengan sesuatu yang setimpal. Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan padamu. Ksatria gagah!"
"Kau bisa membalas budi baik dengan menyebutkan namamu sebagai perkenalan kita berdua," ujar Suto Sinting sambil memandang diiringi senyum menawan ynng tak pernah lenyap dari bibirnya.
"Namaku... oh, ya... namaku Puspitaloka, dan kau ..?"
"Aku biasa dipanggil: Suto."
"Suto...?l Hmmm... sepertinya aku memang pernah dengar nama itu, tapi... tapi entah miilk siapa dan siapa yang mengucapkannya."
"Kurasa itu tak perlu kau ingat-ingat.”
‘Memang betul. Yang perlu lebih kuketahui adalah pribadimu."
"Apa maksudmu?" sambil Suto Sinting masih pandangi gadis cantik bertahi lalat di dagunya itu.
Apakah... apakah kau sudah mempunyai kekasih?"
Senyum pendekar tampan itu semakin mekar. "Kalau sudah, kenapa?"
"Aku hanya Ingin tahu nama kekasihmu," jawab Puspitaloka dengan sedikit menekan rasa kecewanya.
"Kekasihku bernama Dyah Sariningrum; Gusti Mahkota Sejati yang menjadi penguasa di negeri Puri Gcrbang Surgawi."
"Oooo...,” Puspitaloka manggut-manggut.
"Kau mengenalnya?'
"Tidak," jawabnya polos sambil menggeleng. Pendekar Mabuk tertawa geli, dan Puspitaloka pun mengikik semakin ganjen.
"Tapi... tapi maukah kau menerima balasan budi baikmu dariku, Suto?"
"Berupa apa?” pancing Suto karena Puspitaloka semakin mendekat. Bahkan tangannya berani menggenggam tangan Suto.
"Berupa... berupa... berupa-rupalah pokoknya," jawab Puspitaloka dengan salah tingkah sendiri. Pendekar Mabuk memperpanjang tawanya yang mirip orang menggumam. Puspitaloka berlagak malu sambil memukul pelan dada Suto Sinting. Tangan itu segera ditangkap oleh Suto, lalu dengan lembut ia berbisik di dekat telinga Puspitaloka
"Aku tahu apa yang kau inginkan dariku."
“Apakah kau Ingin memberikannya?"
"Kalau kau berani memegang apa yang kau inginkan dariku, akan kuberikan," pancing Suto Sinting sekaligus Ingin mengetahui sampai di mana keberanian gadis itu terhadap seorang lelaki.
"Harus kupegang?!" gumam Puspitaloka sambil malu-malu
"Ya, peganglah apa yang kau inginkan dariku."
Puspitaloka memandang dengan hati berdebardebar. Tangannya mulai melepaskan genggaman Suto Sinting. Tangan itu gemetar ketika hatinya berkata,
"Akan kubuktlkan bahwa aku berani memegangnya!"
Suto Sinting tetap sunggingkan senyum sambil menunggu keberanian gadis itu. Tapi si gadis semakin gemetar ketika jari-jari tangannya mulai bergerak-gerak ingin memegang apa yang diinginkan. Pendekar Mabuk memejamkan mata, memancing lebih dalam lagi agar sl gadis lebih berani. Tangan itu bertambah gemetar, getarannya terasa sampai di sekujur tubuhnya.
Akhirnya tangan itu nekat bergerak pelan-pelan dan jari-jarinya memegang apa yang diinginkan oleh hatinya.
Plek...! Bibir Suto dipegangnya. Hati Suto sempat berdesir semakin keras. Tapi lebih keras lagi desiran hati Puspitaloka, karena ia merasakan kehangatan dari bibir Itu yang seakan mengalir ke seluruh tubuhnya. Suto Sinting segera merenggangkan bibirnya, lalu jari jari tangan Puspitaloka menerobos masuk ke mulut dengan pelan-pelan. Pendekar Mabuk menghisap jari-jari itu, dan Puspitaloka mendesis dengan mata terpejam dan tangan yang satunya meremas lengan baju Suto, sepertinya ada sesuatu yang amat indah ditahannya mati-matian agar tak sampai menyembur keluar dan menjadi mubazir.
Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba sekelebat bayangan datang melintas di depan Pendekar Mabuk yang sedang pejamkan mata menikmati jari telunjuk Puspltaioka. Wess.,.1
Craasss...!
"Aaahk...!" Puspitaloka memekik tertahan, tubuhnya mengejang seketika. Pendekar Mabuk membuka mata dan melihat wajah Puspitaloka menjadi tegang, matanya mendeilk, mulutnya ternganga.
"Puspitaloka..,?!" Pendekar Mabuk menggenggam tangan gadis itu. Punggung pun disangganya. Oh, ternyata punggung gadis itu telah berdarah. Suto Sinting semakin membelaiakkan mata memandangi tangannya yang berlumur darah.
Bayangan yang berkelebat tadi ternyata telah menyabetkan pedangnya dan mengenai punggung Puspitaloka. Tapi agaknya Puspitaloka masih mampu bertahan dengan memandang ke arah orang yang menyerangnya itu.
"Keparat! Perempuan jahanam kau...!" geram Puspitaloka kepada seorang gadis mengenakan rompi panjang berwarna merah muda dengan celana ketat dari bahan mengkilap.
Gadis itu mengenakan penutup dada dari kain sutera warna hitam, berlawanan sekail dengan warna kulitnya yang kuning langsat dan mulus itu. Kain sutera penutup dadanya itu sangat tipis, sehingga bentuk dadanya yang montok tampak membayang penuh tantangan bercumbu.
Ditambah lagi, gadis itu mempunyai paras yang jauh lebih cantik dari Puspitaloka. Wajah mungil, hidungnya bangir, bibirnya kecil ranum, dengan rambut diponl sepanjang pundak, la mempunyai mata bundar bening dan bulu mata yang lentik menawan. Tak terlihat kekejian di wajah mungilnya itu. Tapi mengapa la tega melukai Puspitaloka dengan pedangnya yang tadi disarungkan di pinggang itu.
Rupanya Puspitaloka mengenali gadis yang berusia sekitar dua puluh dua tahun itu. la segera melompat menjauhi Pendekar Mabuk sambil menahan rasa sakitnya di punggung. Ketika Suto Sinting ingin bergerak maju, gadis berompi merah muda itu berseru kepada Suto.
"Jangan Ikut campuri Ini urusan perempuan!"
Kata-kata itu membuat langkah Suto Sinting terhenti. la sempat dibuat bimbang sejenak. Tetapi agaknya Puspitaloka juga tidak membutuhkan bantuannya dan Ingin menyelesaikan sendiri urusannya dengan gadis berompi merah muda itu.
"Murid baru mau jual lagak kau, hah!" Hlaaah...!" Puspitaloka melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar kuning berbentuk seperti bintang. Cfapp...!
Dengan lincah si gadis berompi merah jambu itu melesat ke atas dan bersalto menghindari sinar kuning tersebut. Wuuttt...! Sinar kuning itu menghantam pohon dan pohon tersebut pun pecah menjadi dua bagian.
Blaarrr.,.1
Pada saat gadis berwajah mungil itu bergerak turun dan masih melayang di udara, la segera melemparkan pedangnya yang runcing dengan kecepatan tinggi. Wuuttt...! Pedang itu dilemparkan bagaikan tombak yang terlepas dari anak panah. Puspitaloka tidak menduga kalau pedang itu akan meluncur ke arahnya, la sempat panik dan berusaha menghindarinya dengan satu Eompatan. Namun fuka di punggungnya membuat gerakannya lamban dan akhirnya pedang itu menghujam ulu hatinya. Jrrub...l
,, Aaakh...l“ Puspitaioka tersentak kejang, tubuhnya melengkung ke belakang. Kedua tangannya berusaha mencabut pedang yang menembus dari ulu hati ke punggung Itu. Tapi sepertinya sudah tak ada tenaga lagi untuk melakukan hal itu. Akhirnya Puspitaioka tumbang dan menghembuskan nyawa terakhir.
Brrrukk...!
"KeJI...I" geram Suto Sinting dalam kebimbangan rasa; antara ngeri dan ngeres.
Dengan sikap tenang, seakan tak peduli akan kecaman Suto, gadis Itu melangkah hampir! mayat Puspitaioka lalu mencabut pedangnya sambil menjejak mayat lawan. Sluub...!
Masih dengan sikap acuh tak acuh, gadis itu membersihkan pedangnya dari darah memakai pakaian mayat Puspitaioka. la bagal tak peduli dipandangi oleh pemuda tampan yang berdiri empat langkah darinya. Pedang itu segera dimasukkan ke dalam sarungnya yang kini ditenteng dengan tangan kiri. Traakkk-.l
Lalu ia memandang Suto dengan bertolak pinggang.
“S apa kau sebenarnya, Nona?"
"Kau tak perlu tahu namaku. Yang perlu kau ketahui, aku telah selamatkan jiwamu dari ancama’n Ratu Danyang Demit!"
Pendekar Mabuk terperanjat, segera menatap rnayat Puspitaioka dengan dalhl berkerut. Kemudian ia memandang gadis mungil lagi dan ajukan tanya dengan suara seperti orang menggumam.
"Apakah gadis yang kau bunuh itu adalah Ratu Danyang Demit?l"
"Bukan," jawab sl gadis mungil dengan tegas. 'Tapi dia adalah murid sl perempuan keparat itul"
"Bukankah kau juga murid satu guru dengan Puspitaioka?" sambil Suto menuding mayat yang tergeletak tak jauh darinya.
"Dari mana kau tahu?"
"Puspitaioka tadi menyebutmu murid barui"
Gadis mungil itu menarik napas, ia melangkah mendekati pohon dan salah satu tangannya bersandar pada pohon itu sedangkan tangan yang satunya masih bertolak pinggang setelah menyelipkan pedangnya di pinggang.
"Aku memang murid baru, tapi aku tidak bersungguh-sungguh menjadi murid Ratu Danyang Demit itu," ujarnya dengan penuh ketegasan. "Aku adalah murid yang terbodoh dan tak pernah berhasil menyerahkan seorang pemuda untuk sang Ratu!"
Pendekar Mabuk makin tertarik dengan kata-kata Itu, kemudian mendekati al gadis mungil dan ajukan tanya kembali.
“Slapn yang harus diserahkan?!"
"Seorang pemuda, Congek!" bentak si cantik mungil. "Setiap murid yang ingin mendapatkan Ilmu dari Ratu Danyang Demit harus menyerahkan seorang pemuda untuk dijadikan pemuas gairah sang Ratu. Satu pemuda bayarannya satu ilmu diturunkan oleh sang Ratu. Dan aku adalah murid yang tak pernah berhasil membawa seorang pemuda, sehingga tak satu pun ilmu yang diberikan padaku."
“Kalau begitu...."
"Puspltaioka tadi mencoba merayumu. Jika kau terpikat padanya, kau akan dibawa ke kapal dan diserahkan kepada sang Ratu. Setelah sang Ratu puas dan para murid lainnya puas memakaimu, maka kau akan dibunuh dan mayatmu ditenggelamkan ke dalam laut."
Pendekar Mabuk sempat tertegun bengong.
"Kau hampir saja terjerat oleh rayuannya," tambah si gadis mungil. "Kalau aku tidak segera membunuhnya, kau akan mati di tangan Ratu Danyang Demit atau murid-murid lainnya."
"Mengapa kau membunuhnya? Apakah kau ingin merebutku untuk dijadikan upeti kepada Ratu Danyang
Demit?"
Gadis mungil mencibir. "Kaiau kumau, seratus lelaki bisa kujerat dalam rayuanku dalam sekejapi Apalagi hanya kau yang bertampang mata keranjang, hmmm... dalam sekejap akan bertekuk lutut di depanku dan menuruti apa perintahku!"
Pendekar Mabuk tertawa diremehkan demikian. Kau belum tahu kalau aku mempunyai jurus 'Senyuman Iblis’, yang dapat membuatmu ’celeng' jika sudah terkena kekuatan gaib senyumankul" pikir Suto Sinting.
"Lalu, apa maksudmu membunuhnya, Mungil?!" tanya Suto dengan memanggil 'Mungil' kepada gadis yang tak mau menyebutkan namanya itu.
"Aku Ingin membantai mereka satu persatu. Ajaran dari Ratu Danyang Demit sangat menyesatkan pikiran para gadis yang jika dibiarkan akan membuat kacau seluruh penghuni bumi!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut dengan tersenyum. Senyumnya berkesan sinis, karena dalam hatinya Suto tak percaya akan ucapan dan cita-cita si Mungil itu.
"Aku melihat kelicikan di balik sikapnya yang tegas dan berlagak suci itu," pikir Suto Sinting. Namun di mulutnya ia berkata dengan penuh ketenangan.
"Cita-citamu sungguh luhur. Tapi tentunya kau mau menyebutkan di mana Ratu Danyang Demit itu berada sekarang Ini?"
"Dia ada di sebuah kapal. Kapal Itu berlabuh di Teluk Pancung."
"Di mana Teiuk Pancung itu?"
"Ada di arah utara kita. Tapi kau tak akan bisa temukan kapal itu, karena Ratu Danyang Demit melapisi kapalnya dengan 'Perisai Gaib’ yang membuat mata manusia tak dapat melihatnya."
"Agaknya dia bersungguh-sungguh," Suto Sinting muiai berubah pikiran.
Si Mungil berkata lagi setelah memandangi Suto dari atas ke bawah, seperti memperhatikan benda langka peninggalan zaman purba. Pendekar Mabuk sempat kikuk dipandangi demikian. Tapi la tak bisa menolak karena jaraknya cukup dekat dengan gadis mungil itu.
"Apakah kau Ingin menemui Ratu Danyang Demit?"
"Kalau kau tak keberatan, antarkan aku kepadanya," jawab Suto.
"O, kau Ingin merasakan cumbuan hangat sang Ketua Perampok Wanita itu?!" sindir sl Mungil dengan senyum sinis yang membuat wajahnya semakin manis.
Suto Sinting gelengkan kepala. "Aku hanya ingin menjajai kesaktiannya."
"Kau tak akan berhasil! Kau akan mati sia-sia, sama halnya dengan Tabib Sekat Serunil"
"Hei, aku pernah mendengar nama itu?!" potong Suto dengan terkejut. "Kalau tak salah... kalau tak salah Tabib Sekat Seruni adalah bibinya Inupaksl, sahabatku. Tapi... tapi aku pernah menemukan mayat tabib tersebut tak jauh dari pantai."
"Aku pun pernah mendengar cerita kematlan Tabib Sekat Seruni dari mantan muridnya, termasuk sl Puspetaloka itu. Tabib tersebut mati tak jauh dari Pantai Teluk Pancung."
"Hmmm,..," Suto Sinting bergumam sambil mengerutkan dahi, ia mengingat-ingat pantai yang membuat firasatnya menemukan suatu keanehan.
Setelah mereka sama-sama bungkam beberapa saat, sl Mungil mulai perdengarkan suaranya kembail.
"Kudengar kabar dari para murid baru sang Ratu seorang tokoh berjuluk Jubah Kapur pernah berhasil melihat kapal tersebut. Namun la segera dikalahkan Oleh Ratu Danyang Demit. Jika Jubah Kapur tak segera larikan diri, ia pun akan mati seperti nasib Tabib Sekat Seruni."
"Jubah Kapur...?l" Pendekar Mabuk menggumam lagi, la Ingat kembali pertemuannya dengan sl Jubah Kapur saat berada tak jauh dari pantai aneh itu.
"Sebaiknya urungkan saja niatmu untuk menjajai Ilmu Ratu Danyang Demit," ujar sl Mungil setelah menarik napas dan bersiap untuk pergi. Sa melanjutkan katakatanya ketika Suto memandanginya dalam satu renungan batin.
"Jangan ganggu rencanaku dengan rencana bodohmu Itu! Akan kutumbangkan sendiri si perempuan jahanam itul"
"Apakah kau punya dendam padanya?i" Pendekar Mabuk buru-buru ajukan tanya sebelum gadis itu .pergi.
"Ibuku pernah berhadapan dengannya dan tewas di tangan sl jahanam jalang itul”
Setelah menjawab demikian, gadis mungil itu melesat pergi tinggalkan Suto. Padahal Suto masih Ingin bicara lagi dengannya. Mau tak mau Pendekar Mabuk pun segera mengejar keperglan si Mungil, walau untuk sesaat la terpaksa kehilangan jejak karena si Mungil mampu bergerak cepat, hampir menyamai jurus ’Gerak Siluman’-nya.
*
* *
└ 6 ┘
Tetapi gubuk itu masih bisa punya arti tersendiri bagi Layung Suli dan Kertapaksi. Tubuh Layung Suil yang sekai dan montok serba memancing gairah seorang lelaki itu tak bisa dihindari oleh Kertapaksi. Apalagi ketika Kertapaksi mengajak Layung Suil singgah ke gubuk itu dan perempuan tersebut tampak tak keberatan, maka sebuah peluang tebar bagai dibuka tanpa hambatan untuk Kerl-.pakal.
"Dulu aku pernah punya kekasih, tapi aku dikhianati," tutur Layung Suli ketika berada di dalam gubuk itu. la masih berdiri di depan Kertapaksi dan membiarkan tangan Kertapaksi memainkan rambutnya.
"Kekasihku dulu juga tegap dan tampan sepertimu, Kertapaksi. Tetapi hatinya ternyata penuh duri. Setelah segalanya kuserahkan kepadanya, ia pergi begitu saja bersama perempuan iain. Hatiku luka, dan sejak itu aku tak mau mengenai lelaki lagi."
Kertapaksi tertarik dengan kisah tersebut, walau sebenarnya kisah itu tak pernah ada dan hanya rekayasa Layung Suil untuk menawan hati pemuda tersebut. Kertapaksi sempat berkata dengan suara lembutnya.
"Kasihan sekali nasibmu, Layung Suil."
"Entahlah, mungkin memang begini takdirku; harus dikecewakan dan sakit hati oleh seorang lelaki."
"Tidak semua laki-laki begitu," ujar Kertapaksi.
"Benarkah tidak semua lelaki begisu?" sambil Layung Sul' menatap iembut kepada Kertapaksi, dan pemuda itu menganggukkan kepala seraya mengulang kata-katanya yang mirip sebuah syair itu.
''Tidak semua laki-laki, bersalah kepadamu
Contohnya aku, mau mencintaimu
Tapi mengapa, engkau masih ragu...."
Layung Suli terpesona oleh kata-kata manis Kertapaksi. Karenanya, sambil membiarkan dirinya dipeluk oleh Kertapaksi, ia membalas untaian kata Indah itu dalam sebuah bisikan lembut.
"Hari ini, aku bersumpah
Akan kubuka, pintu hatiku....
Hari ini, aku bersumpah
Izinkanlah aku, untuk mencintaimu...."
Pelukan pun semakin dieratkan. Kertapaksi seakan Ingin membenamkan tubuhnya ke badan sekai Layung Suli. Tetapi gadis itu sengaja merenggangkan diri, lalu menatap Kertapaksi dengan mata sayu.
Pandangan mata sayu itu membuat darah kemesraan Kertapaksl kian terbakar. Bibir yang merekah pun segera didekatinya, kemudian dikecupnya pelan-pelan. Ternyata kecupan itu mendapat balasan hangat dari Layung Sull. Bahkan lebih dari hangat, karena Layung Suli melakukannya dengan kedua tangan berusaha melepasl pakaian Kertapaksi.
Tak heran jika Layung Suli pun membiarkan tangan Kertapaksl menjelajahi tubuhnya hingga menyelinap di tempat-tempat yang menghadirkan keindahan jika terkena sentuhan. Dalam sekejap saja, Layung Sull sudah kedodoran. Sepasang pedang kembarnya dilepas dan tergeletak di tanah sampingnya, la tidak segera membenahi busananya itu, melainkan justru meionggarkan sehingga Kertapaksl semakin bebas menjamahnya.
"Oh, Kertapaksl... renggutlah aku lebih dalam lagi. Renggutlah aku, Kertapaksl. Oooh... aku menyukainya, Sayang,” celoteh Layung Suli dengan napas terengahengah dan suara mengerang terpatah-patah, ia semakin kegirangan ketika Kertapaksl berlutut di depannya dan menyapu tubuhnya dengan ciuman lebih hangat lagi.
Akhirnya Layung Sull merengek merasa tak mampu menahan diri lagi. Layung Sull menuntut keindahan yang lebih dalam iagi, sehingga Kertapaksl pun melakukannya sesuai keinginan Layung Suli.
Kedua tangan Layung Sull berpegangan pada bambu dinding gubuk, la membiarkan Kertapaksl menerkamnya dari belakang. Hanya saja, keindahan itu tak bisa dinikmati oleh mereka hingga berulang kail. Karena setelah mereka sama-sama memekik di puncak keindahan yang pertama, tlba-tlba mereka sama-sama melihat seberkas sinar melesat ke arah mereka.
Sinar hijau sebesar buah kecapi itu melayang cepat dari arah samping, sasarannya adalah wajah Layung Sull. Weesss...!
Kertapaksi dan Layung Suli tak sempat bergeser sedikit pun dari tempat mereka. Bahkan mereka tak sempat saling merenggang jarak, karena sinar hijau itu sudah sangat dekat dengan mereka. Mau tak mau Layung Suli dan Kertapaksl melepaskan pukulan [arak jauhnya dalam Keadaan sama-sama tegang. Layung Sull melepaskan sinar merah dan Kertapaksl melepaskan sinar biru. Ketiga sinar itu saling bertabrakan pada saat sinar hijau sudah hampir masuk ke dalam gubuk.
Clap, clap...!
Jlegaaarrr...!
Ledakan sangat dahsyat terdengar menggema ke mana-mana. Ledakan itu bukan hanya mengguncangkan bumi dan merubuhkan pepohonan, tapi juga membuat tubuh mereka sama-sama terpental ke atas menjebol atap gubuk. Brrruuusss...!
Keduanya saling berpisah, tak lagi saling merapat diri. Keduanya sama-sama memekik panjang karena gelombang panas dari ledakan tersebut menyengat kulit tubuh mereka yang hanya mengenakan pakaian tak serapi biasanya itu.
Wuuut...l Jleeg...l
Sesosok bayangan melesai dan segera menampakkan diri ketika kedua kaki bayangan itu menapak di tanah. Ternyata orang tersebut adalah si Mungil yang melepaskan pukulan tenaga dalamnya dalam bentuk sinar hijau tadi.
"Keparat kau, Iblis betina! Heeeah...!''
Kertapaksl mengamuk, melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar merah patah-patah yang menyebar lebar bagai bunga-bunga api. Si Mungil segera lakukan lompatan ke belaksng dengan plik-ptak cepat untuk hindari serangan sinar merah tersebut. Lalu ketika kakinya berlutut satu, si Mungil pun melepaskan pukuian balasan ke arah sinar merah itu berupa semburan asap hijau dari telapak tangannya. Wuuurrss...!
Asap hijau itu membungkus sinar merah yang memerelk-mercik. Bahkan sinar hijau itu membentuk gumpalan makin lama semakin besar, membubung naik menembus dedaunan. Akhirnya di atas pepohonan tinggi, asap yang membungkus sinar merahnya Kertapaksi Itu meiedak dengan menggelegar mengerikan.
Btegaaarr...!
Bumi berguncang lagi. Langit menjadi merah tembaga bagal terpanggang bara. Matahari surutkan sinarnya dan awan hitam mulai berdatangan di sana sini, bergumpal-gumpai membentuk lapisan mendung yang membuat bumi menjadi temaram. Sedangkan daun-daun pohon yang berada tak jauh dari tempat itu segera berhamburan dalam keadaan kering. Pohon-pohon menjadi gundul kehilangan daun dan ranting kecil.
Bahkan burung-burung yang sedang terbang jatuh dalam keadaan tak bernyawa dan tanpa bulu lagi.
Kertapaksl terperangah tegang melihat kenyataan itu. Ternyata lawannya mempunyai iimu yang dianggap ieblh tinggi darinya. Sementara itu, Layung Suli sudah sejak tadi berkemas membenahi busananya. Begitu merasa sudah cukup rapi walau secara sederhana, Layung Suli segera lakukan lompatan dengan cara menjejak batang-batang pohon yang belum tumbang.
Des, des, des, des...!
Krak, krak, krak, brruukkk.,.1
Pohon-pohon yang terkena jejakan kaki Layung Suit menjadi patah dan tumbang. Tapi dengan cara begitu, gerakan Layung Suli yang menyilang ke sana-sini sukar dihantam oieh si Mungfi. Dalam beberapa kejap saja Layung Suli telah berada di dekat si Mungil dan menyambarnya dengan sebuah tendangan berputar.
Wut, wut, wut, plaakkk...i
Si Mungil terlempar jatuh dan berguling-guling. Wajahnya menjadi merah karena terkena tendangan Layung Suli yang mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi itu.
Si Mungil bagaikan tak bisa melihat apa-apa lagi. Pandangan matanya menjadi geiap setelah terkena tendangan lawan, la mencoba untuk bangki:, tetapi tibatiba Layung Suli telah berada di sampingnya dan menghantamkan pukulannya yang bertubi-tubi dan cepat sekail itu.
Wut, wut, wut, wut...!
Piak, plak, plak, plak...!
Si Mungil masih bisa menangkisnya. Tapi ketika kaki Layung Sull tiba-tiba menendang dengan tubuh berputar ke belakang, si Mungil tak bisa menangkisnya lagi. Akibatnya tendangan putar itu mengenai ulu hati si Mungil dengan cukup keras.
Duuuhk...!
Heeggh...!" si Mungil mendelik dengan muiut mulai keluarkan darah kental. Tubuhnya terlempar mundur dan membentur pohon, l.ayung Sull yang murka karena kebahagiaan bercumbunya terganggu segera lakukan lompatan cepat dengan kaki siap melepaskan tendangan samping. Wuuukkk...!
1 api pada Saat Itu, penglihatan si Mungil mulai tampak samar-samar, sedikit terang namun masih buram. Hanya saja, untuk melihat datangnya sebuah serangan baru itu si Mungil dapat menghindarinya dengan berkelit ke samping, lalu kedua tangannya saling merapatkan pergelangan tangan. Kedua tangan Itu segera menyentak ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka. Wuuut..!
'Hlaaah...!“ pekik sl Mungil.
Weeesss.,.1 Angin kencang keluar dari kedua telapak tangan tersebut. Angin Itu terasa padat dan menghantam tubuh Layung Suli. Akibatnya tubuh itu terlempar mundur dan menerjang tubuh Kertapaksi yang baru saja habis memungut pedangnya.
Grrruukkk...!
"Aaauh...!” pekik Kertapaksi yang jatuh teientang dalam keadaan tertindih tubuh Layung Sull.
Keduanya bergegas bangkit dengan menggeragap. Tetapi baru saja Layung Sull tegak kembali, sekeiebat angin menyambarnya. Weess...l Craaass...!
''Aaaa...r Layung Suli memekik panjang. Karena pada saat Itulah sl Mungil berkelebat menyambarnya dengan pedang ditebaskan ke arah samping. Pedang Itu langsung kenal tengkuk kepala Layung Sull. Darahnya memercik mengenal wajah Kertapaksi yang sedang mau berdiri tegak.
"Bangsat kaul Hiaaat...!” Kertapaksi murka melihat pasangan kencannya tergeletak tanpa nyawa lagi daiam keadaan leher hampir putus. Serta-merta Kertapaksi lepaskan pukulan dahsyatnya bertubl-tubl ke arah sl Mungli. ia mengamuk membabl buta, sehingga pukulan bersinar yang bertubl-tubl Itu semaklrt menghancurkan alam sekelilingnya.
Blarr...l Duaarr.,.1 ,legaarrr...l Blegaarr...! Bluum...! Giegaarr...!
Tanah retak di sana-sini, pohon-pohon hancur dan tumbang. Bebatuan pun melayang pecah berhamburan, serpihannya mengenai sl Mungil yang melompat ke sana-sini. Bahkan ketika si Mungil jatuh tersungkur, sepotong pecahan pohon jatuh menindih punggungnya. Bruukk...!
"Aaakh...r' sl Mungil pun memekik dalam keadaan tengkurap dan kedua tangan masih menyangga tubuh, kepala terdongak, wajah menyeringai kesakitan.
Melihat keadaan si Mungli terjepit begitu, Kertapaksi segera mengangkat sebongkah pecahan batu sebesar kepala kerbau iaiu dihantamkan ke kepala sl Mungil dar' belakang.
"Modar kau sekarang, Jahanaaam.,.1 Heeaaahh...l“
Pruuusss.-.l
Tlba-ilba batu yang belum sempat dihantamkan itu pecah menjadi debu dan menghujani kepala Kertapaksl sendiri. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Kertapaksl dan membuatnya semakin berang. Matanya memandang sekeiliing dengan jelafatan, liar dan ganas. Suaranya menggeram menyeramkan. Kepala dan wajah menjadi abu-abu karena bermandi keringat dan serbuk batu tad!.
"Bangsaaat...! Siapa yang ikut campur urusanku, hahh...?! Hrrrmmm...!"
"Aku yang ikut campur, Kertapaksl!"
Terdengar suara lantang di atas pecahan pohon yang belum tumbang. Pohon tersebut patah di bagian ujungnya dan menjadi hangus serta masih mengepulkan sisa asap. Tapi ada sebatang r mting sebesar kelingking yang masih menempel di pohon tersebut Dan di atas ranting itulah sesosok tubuh kekar dan tegap berdir' dengan bumbung tuak ditenteng tangan kiri. Orang itu tak lain adaiah si Pendekar Mabuk yang menemukan arah pelarian si Mungil dari suara dentuman pertama tadi.
"Keparat busuk kau, Suto!" geram Kertapaksl “Lagi-lagi kau mengganggu urusan pribadiku!"
Kertapaksl masih ingat, dulu urusan pribadinya juga terhalang oleh kemunculan Pendekar Mabuk, ia sudah mencoba meiawannya, tetspl tak berhasii melumpuhkan Suto Sinting. Bahkan gurunya sendiri; Resi Pakar Pantun, memihak Suto dan ikut menyalahkan sikap dan tindakannya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Asmara Berdarah Biru" dan "Penguasa Teluk Neraka"),
Pendekar Mabuk segera turun dari ranting dengan gerakan cepat yang melebihi kecepatan anak panah itu. Zlapp...! Tahu-tahu ia sudah berada di samping kiri Kertapaksl yang sedang terengah-engah diburu amarah.
"Kau benar-benar jahanam !aknat, Suto!" geram Kertapaks". Lalu, sebuah pukulan bertenaga dalam tinggi dilepaskan Kertapsksl. WuuuMi...!
Pukulan bersinar merah menyata itu menghantam dada Suto Sinting. Tetapi gerakan Suto yang meliuk limbung bagaikan orang mabuk mau jatuh itu membuat sinar merah tersebut melesat lurus dan mengenai sisa pecahan pohon di belakang Suto.
Blegaar...!
Suto Sinting lakukan ompatan berputar sambil melepaskan jurus 'Jari Guntur’-nya. Tes, tes, tes, tes...! Sentilan berturut-turut yang mengandung kekuatan tenaga dalam sebesar kekuatan tendangan kuda jantan Itu mengenal punggung, dada, pinggang, perut, dan kepala Kertapaksi. Akibatnya, Kertapaksi terlempar-lempar bagai boneka tanpa daya lagi. Yang terakhir kepalanya membentur pohon hangus dengan keras, Pross...! Pohon itu pun hancur. Wajah Kertapaksi menjadi hitam. Hidungnya berdarah dan bibirnya tampak robek.
"Ggrrhh...!" Kertapaksl menggeram antara sakit dan memendam murks.
Pendekar Mabuk segera membantu sl Mungil yang terhimpit pecahan pohon besar Itu. Tulang punggung gadis Itu agaknya patah total, sehingga la tidak bisa berdiri tegak dan tak mampu menggerakkan badannya. Pendekar Mabuk segera memapahnya, dibawa ke tempat yang lega dan aman.
"Minumlah tuakku," kata Suto sambil membantu menuangkan tuak.
"Ak... aku... aku tak pernah minum tuak," ucap sl Mungil tampak berkeras kepala tak mau ditolong Suto. "Tlng... tinggalkan saja aku. Per... pergilah...!"
"Mungil, minumlah tuakku, maka tulang punggungmu Itu akan pulih kembali. Percayalah padaku, Mungil!"
Setelah beberapa kail membujuk, akhirnya tawaran Suto diterima oleh sl Mungil. Gadis itu tertegun ketika rasa sakitnya merasa berkurang.
"Mengapa sampai terjadi begini, Mungil?"
"Layung Sull mencoba merayu pemuda Itu. Mereka sempat saling bercumbu. Tapi aku yakin pemuda itu nantinya akan dibawa ke kapal dan dipersembahkan kepada sang Ratu. Aku bermaksud menyerang Layung Sull, tetapi pemuda Itu marah dan gant i menyerangku."
"Lain kali kalau mau menyerang lawan jangan sedang bercumbu. Tunggu sampai selesai, sampai berslh-berslh, baru diserang. Kau cari penyakit saja, Mungil!" ujar Suto Sinting sambil tersenyum tipis. Gadis Itu melengos menahan gejolak rasa yang tak menentu di dalam hatinya.
Pendekar Mabuk pergi hampirl Kertapaksi, gadis mungil itu membatin dalam hatinya dengan mata memperhatikan sang pendekar tampan Itu.
"Tuak apa yang kuminum tadi? Ajaib sekali! Rasa sakitku berkurang banyak. Bahkan tulang punggungku sudah mulai bisa untuk duduk tegak. Hmmm..., rupanya pemuda Itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi tiariku. Benar-benar menawan hati. Bukan saja wajahnya, tapi kesaktiannya pun menawan hati. Anak siapa dia sebenarnya? Murid siapa dia?l"
Pada saat itu Kertapaksi memandang dendam kepada Suto Sinting. Tetapi sikap Suto cukup tenang, bahkan berkesan bersahabat sekali. Senyumnya mekar ketika sampai di depan Kertapaksi yang masih duduk bersandar potongan pohon yang tak hangus.
Bumbung tuak disodorkan oleh Suto.
"Minumiah tuakku biar lukamu cepat hilang."
Kertapaksi diam saja, namun masih memandang dengan pancaran mata penuh permusuhan.
"Kalau kau tak mau meminum tuakku, maka kau akan menderita lebih dari tujuh hari."
Kertapaksi mencoba bangkit, namun la jatuh kembali karena kakinya terasa lemas. Akhirnya ia memukul batang kayu yang keropos dengan penuh kejengkelan. Suto Sinting bahkan menertawakannya.
"Kaiau aku bermaksud jahat kepadamu, aku tak akan mau memberikan tuak saktiku untuk mengobati lukamu. Kuingatkan padamu, Kertapaksl... gadis mungil isu sebenarnya tidak bermaksud jahat kepadamu. Dia ingin selamatkan dirimu dari cengkeraman maut Ratu Danyang Demit."
"Ratu... Ratu Danyang Demit?!” Kertapaksi tampak terperanjat mendengar nama itu. Pandangan matanya masih tertuju pada Suto. Tapi kejap berikutnya la palingkan wajah dan berkata lirih seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Benarkah Ketua Perampok Wanita Itu ada di tanah Jawa?!"
"Dia mendarat di Teluk Pancung!" ujar Suto Sinting. “Apakah kau mengenalnya?"
Kertapaksl tidak menjawab. Tapi ia segera menyambar bumbung tuak. Suto sengaja melepaskannya. Kertapaksi menenggak tuak beberapa teguk. Seteiali itu ia melepaskan napas panjang sambil mengembalikan bumbung tuak kepada Suto.
"Akan kubuktikan kebenaran ucapanmu. Jika ternyata bohong, kuhancurkan kau dan si gadis mungil itu!"
"Aku tak akan melawanmu jika terbukti aku dusta padamu, Kertapaksi!"
Pendekar Mabuk segera tinggalkan Kertapaksi. la hampiri si Mungil yang sudah mula! berdiri dan menggerak-gerakkan tangan serta kakinya. Gadis itu masih diliputi rasa heran setelah menyadari bahwa tubuhnya terasa lebih ringan dan lebih segar ketimbang sebelum lakukan pertarungan dengan Puspitaloka tadi.
"Bagaimana rasanya? Masih sakit?"
Gadis mungii gelengkan kepala.
“Terima kasih atas pertolonganmu," ucapnya pelan sambil memasukkan pedangnya ks sarung pedang. Traakk...!
"Aku hanya membalas pertolonganmu tadi. Kslau kau tidak datang dan menyerang Puspitaioka, mungkin nyawaku sedang dalam genggaman Ratu Danyang Demit."
"Tak mungkin akan kubiarkan!"
"Maksudmu...?!"
Gadis mungil itu menjadi gugup, la baru sadar bahwa seharusnya ia tidak berkata demikian. Kini ia menjadi bingung jika ditanya maksudnya. Padahal maksud itu hanya tersimpan dalam hati dan merupakan rahasia pribadinya, tak mungkin bisa diiontarkan di depan sl tampan yang kini sedang menggelisahkan itu.
”Hei, pemuda itu pergil” ucapnya sedikit mengagetkan sambil bermaksud mengaiihkan pertanyaan Suto tadi. Mereka memandang kepergian Kertapaksi yang tanpa pamit Itu.
"Kau tak ingin mengejarnya?!" tanya si Mungil agar Suto lupa dengan pertanyaannya tadi.
"Biarkan! Sebenarnya dia murid dari sahabatku. Dia tak mengerti maksud tindakanmu, wajar saja kaiau dia marah."
"Kau pun tadi hampir marah saat berada dalam kemesraan Puspitaloka, bukan?'
"O, tidak. Aku hanya kaget Baja," jawab Suto sambil tersipu malu.
"Aku tak percaya. Sebab tadi...."
Tiba-tiba ucapan si Mungil terhenti karena sekelebat benda mengkilap datang menyerangnya dengan kecepatan tinggi. Zllng...! Gadis mungil melihat gerakan benda mengkilat itu melalui ekor matanya. Mau tak mau la sentakkan kaki dan melompat menghindari benda tersebut sambil tangannya mendorong dada Suto Sinting.
"Awaaas...!"
Wuuut, brrukkk...l
Pendekar Mabuk terpelanting jatuh.
Zebb...l Benda Itu menancap di sebatang pohon tak jauh dari mereka. Ternyata sebuah pisau berekor benang merah. Pisau kecil itu tampaknya mengandung racun cukup ganas. Terbukti pohon yang dikenalnya menjadi berasap, kulit pohon segera bergerak-gerak keriput, daun-daunnya cepat menjadi layu.
“Keparat!" geram si Mungil memandang ke arah sekelebat bayangan yang pergi meninggalkannya di kejauhan sana.
"Aku akan mengejar orang Itui"
“Tunggu...!" Suto Sinting ikut bergegas pergi.
"Siapa orang yang ingin membunuhmu itu?l"
"Sungging Pualam, mantan murid Tabib Sekat Seruni yang kini menjadi pengikut setia Ratu Danyang Demit," jawab si Mungil sambil berlari mengejar lawannya, sementara Suto Sinting berhasil mengimbangi kecepatan gerak si Mungil.
"Rupanya dialah orangnya yang sejak tadi menguntitkui" tambah sl Mungil. "Kupikir katika aku bertarung melawan Puspitaloka ia akan muncul, ternyata baru sekarang la membokongku."
"Kenapa kau tidak bilang padaku kalau ada yang menguntitmu sejak tadi?"
"Kau mau ke mana? Pulanglahl" si Mungil berlagak tak mendengar pertanyaen Suto. "Pulangiah, dan biarkan aku mengejar Sungging Pualam sendiril ini urusan perempuan!"
Pendekar Mabuk tersenyum. "Aku senang melihat perempuan punya urusanl Aku tidak akan mencampuri urusanmu. Percayalah!"
"Kau berani bersumpah?!"
"Ya, aku bersumpah tak akan mencampuri urusanmu, kecuali kau dslam bahaya!"
"Biar aku dalam bahaya kau tak boleh mencampuri urusanku."
"Itu tak mungkin."
"Kenapa?"
"Karena... karena aku tak Ingin kehilangan seorang ahabat secantik kau. Mungil"
Gadis mungil itu mencibir. Tapi jantungnya berdehnr-debar. Bahkan begitu kuatnya' debaran jantung, langkahnya sempat kehilangan keseimbangan. Mungil sempat terpelanting jatuh menyampar seutas akar yang mirip tambang itu. Brruuuss...!
"Oh, siali Kenapa aku jadi segugup lnl?i" ucapnya
tak sadar.
"Apa...? Kau gugup?! Kenapa menjadi gugup?!" tanya Suto Sinting semakin membuat si Mungil berwajah merah karena menahan rasa malu.
*
* *
└ 7 ┘
"Camar Cumbu, Karang Betina... serang sl gadis keparat itu dan hancurkan dia. Tapi tangkap pemuda yang bersamanya, serahkan dia padaku!" perintah Ratu Danyang Demit kepada kedua murid andalannya Itu.
Slssat Ratu Danyang Demit mulai terpikirkan oleh si Mungli.
"Sungging Pualam pasti sudah lebih dulu sampai di kapal dan melaporkan apa yang diketahuinya tentang diriku. Ratu Danyang Demit pastji.akan segera membunuhku, tapi dia akan menangkapmu hidup-hidup untuk dijadikan pemuas gairahnya. Mungkin kau akan menjadi ielakl terlama dalam pelukannya. Bukan hanya duatlga hari saja kau akan di^e&ap dalam kamar sang Ratu, barangkali lebih dari satu tahun, atau mungkin seumur hidupmu akan menjadi pemuas gairahnya."
'Aku akan menolak."
' Kau tak mungkin bisa menolak karena Ratu Danyang Demit sangat cantik dan mempunyai daya tarik yang mampu melumpuhkan kesombongan lelaki mana pun. 11
Pendekar Mabuk tersenyum meremehkan. "Aku tetap akan menolak. Aku lebih baik memilih kau ketimbang Ratu Danyang Demit."
‘Hmmiti...l" gadis mungil itu mencibir.
"Aku suka bersahabat dengan gadis secantik kau, semungil kau dan kulitnya sehalus kau."
“Pantas kau tadi mengurut kakiku. Padahal kau bisa menyembuhkannya dengan memberiku minum tuakmu itu."
Pendekar Mabuk tertawa panjang walau bernada peian. Tawa Itu pun segera terhenti ketika sl Mungil menahan tangan Suto dan memandang ke arah depan dengan wajah tegang.
Di depan sana tampak dua perempuan sedang berdiri menunggu kehadiran mereka. Dua perempuan cantik ftu berada di pasir pantai yang akan dilalui sl Mungil dan Suto Sinting.
"Siapa mereka?" tanya Suto.
"Murid asli Ratu Danyang Demit. Mereka adalah Karang Betina, yang bersenjata tombak, dan Camar Cumbu, yang bersenjata pedang. Oh, aku sampai lupa memberitahukanmu bahwa kita sudah sampai di wilayah Pantai Teluk Pancung."
"Kau terlena olehku?"
"h'mm...I" sl Mungil mencibir sambil menahan malu karert* sebenarnya ucapan Suto itu memang betul, la terlena dettgan debar-debar Indahnya sampai lupa memberi tahu bahwa keadaan mereka sudah memasuki wilayah Teluk Pancung.
Si Mungil segera mengalihkan pembicaraan. "Diamlah di sini, aku akan menghadapi kedua murldsi keparat itu!”
“Kau yakin sanggup mengalahkan mereka?"
"Kalau tak sanggup berarti aku mati! Dan aku sudah siap untuk mati demi menebus dendamku atas kematian ibuku saat berlayar bersama Paman ke Semenanjung Badai."
Tetapi tiba-tiba para murid baru Ratu Danyang Demit muncul secara serempak dan mengepung Suto dan si Mungil.
"Suto, aku akan menerobos kepungan ini untuk melawan Karang Betina dan Camar Cumbu. Kau lumpuhkan para pengepung ini. Sanggup?!"
"Terpaksa sanggup, daripada kau tak bisa menghadapi kedua murid asli sang Ratu itu!" jawab Suto Sinting sambil cengar-cengir.
"Seraaang...l" teriak Karang Betina, maka para murid baru sang Ratu segera menyerang Suto dan si Mungil.
"Heeaaatti,..!”
Hanya saja, si Mungil segera lakukan lompatdn cepat melintasi atas kepaia para pengepungnya. Wut, wuEjtt, wuuttt...! dalam sekejap la sudah berada di depan Karang Betina dan Camar Cumbu. Sedangkan pendekar tampan itu menghadapi para pengepung dari berbagai arah. Namun sebelumnya beberapa orang di pandangi oleh Suto Sinting dengan gerakan memutar. Pada saat Itulah sebenarnya Suto Sinting melepaskan jurus ’Aiih Raga’ yang mirip ilmu Timbal Rasa’-nya sl Kusir Hantu Itu.
Maka ketika mereka menyerang Suto Sinting dengan tangan kosong, Suto hanya diam saja. Bak, buk, bak, buk...! Pendekar Mabuk terkena pukulan beberapa kali. Tetapi yang menjerit kesakitan adalah beberapa orang yang tadi dipandanginya. Rasa sakit Suto teiah dipindahkan kepada orang-orang yang dipandanginya, sehingga para penyerang saling kebingungan sendiri.
"Ganteng-ganteng menjengkelkan juga orang Inll Hiaaah...!" Sungging Pualam melemparkan pisau kecilnya. Ziiing...i Jrrub...! Pisau itu tepat kenai bagian jantung Suto.
"Aaaa...!"
Mereka terkejut, karena yang menjerit bukan Suto Sinting, melainkan saiahseorangteman mereka. Orang itu tumbang dan tak bernyawa lagi dalam keadaan tubuhnya berasap. Hal itu membuat mereka semakin penasaran dan marah.
"Cabut senjatal Bunuh dia!" seru Sungging Pualam yang segera diikuti oieh gerakan mencabut senjata masing-masing.
"Heeeaaat...! 11
Cras, crok, jrubb, crak, bress, crak...!
pendekar Mabuk dihujani senjata bertubi-tubi. Tetapi jeritan kematian keiuar dari muiut beberapa gadis pengepung itu.
"Aaaa...! Aoow...! Huaaah...!"
Jeratan mereka sailng bersahutan, sementara Suto Sinting hanya tersenyum-senyum sambil limbung ke sana-sini seperti orang mabuk. Dalam waktu singkat sudah delapan orang yang tumbang, sebagian tak bernyawa lagi, sebagian luka parah.
"Hentikanlah serangan kalianl" kata Suto kepada lima orang ieblh yang tidak mengalami luka. Tapi masing-masing orang dipandang! oieh Suto Sinting. Jurus ’Aiih Raga' dilemparkan kepada mereka secara diamdiam. Anjuran Suto itu tidak dihiraukan oleh mereka. Sungging Pualam menyerukan perintah menyerang, sehingga lima orang lebih itu maju serempak menerjang Suto Sinting dengan senjata masing-masing.
"Aaaa...[ Aaauu...! Haaahg...! Aaaa...!"
Mereka saling menjerit lagi, sampai akhirnya semuanya tumbang dalam keadaan luka parah dan sebagian tak bernyawa. Sementara itu, tubuh Suto masih tetap utuh tanpa luka satu gores pun. Tiap luka yang terkoyak segera terkatup setelah seseorang dari mereka menjerit dan tumbang.
Suto Sinting menenggak tuaknya dengan santai, la tak pedulikan lagi pasir pantai Teluk Pancung bersimbah darah. Kini perhatiannya tertuju pada si Mungli yang sedang bertarung matl-matlan melawan Karang Betina dan Camar Cumbu.
"Hmmm... jurus pedang sl Mungii ternyata memang cukup hebatl Gerakannya seperti angin yang sukar di lihat iawan. Hjnmm... murid siapa dia sebenarnya?" ujar Suto dalam hati.
"Hiaaah...r teriak Karang Betina sambi! iakukan lompatan dan tebaskan tombak berujung pedang besar itu. Tapi si Mungil segera lakukan iompatan cepat. Kakinya berhasil menapak pada batang tombak itu dan berlari cepat mendekati tangan Karang Betina, lalu pedangnya berkelebat cepat membelah kepala Karang Betina. Crraakkk...!
“Aaaa...!" jer'rt Karang Betina melambangkan kematlan yang mengerikan.
Camar Cumbu terperanjat melihat rekan seperguruannya tewas di tangan si Mungil. Dengan nafsu membunuh semakin berkobar-kobar, Camar Cumbu menyerang si Mungil menggunakan jurus pedangnya yang memancarkan sinar merah.
"Heeeaaah...!" teriaknya dengan Siar.
"Hiaaah...!" si Mungii pun memekik sambii melesat bagaikan terbang menyambut lawan. Mereka beradu pedang di udara.
Trang, trang, trang...!
Duaaar...!
Pertarungan pedang itu menimbulkan iedakan cukup keras. Ledakan tersebut memancarkan cahaya merah api yang segera padam, tapi kedua perempuan itu sama-sama terlempar ke beiakang, jatuh berdebam dengan menyedihkan. Pendekar Mabuk sempat buang muka dan pejamkan mata, tak tega mejihat sl Mungil jatuh dari ketinggian terbangnya.
"Uuuhg...l" sl Mungil mengerang dengan suara tertahan. Pendekar Mabuk membelalakkan mata melihat sl Mungil terkapar dalam keadaan leher sampai dada memar membiru. Bahkan sebagian rahangnya pun mengalami memar membiru akibat terkena gelombang iedakan tadi. Mulut sl Mungil melelehkan darah kental, dan agaknya la kehilangan tenaga, sehingga ketika berusaha mengangkat kepalanya, la jatuh terkulai kembali.
Sedangkan Camar Cumbu hanya mengalami luka kecil di lengannya. Tapi pedangnya patah menjadi tiga bagian, la masih tampak kuat. Ketika melihat si Mungil terkulai di tanah. Camar Cumbu menjadi febih beringas lagi.
Sebongkah batu karang diangkat dengan kedua tangan. Batu karang itu seukuran kepala kerbau dan mempunyai keruncingan cukup banyak. Camar Cumbu berlari mendekati sl Mungil sambil mengangkat batu karang dengan kedua tangan di atas kepala.
,, Heaaaah...P'
Pendeksr Mabuk yakin si Mungil tak akan dapat menghindari hantaman batu karang Itu jika Camar Cumbu membanting batu tersebut ke kepala si Mungil. Maka dengan cepat Pendekar Mabuk lepaskan jurus 'Pukulan Gegana’ dengan menyentakkan kedua jarinya bagai melemparkan pisau. Dari dua jari Itu keluar sinar kuning lurus dan menghantam batu karang di tangan Camar Cumbu.
Ciaapp...! Pruuss.,.1
Batu karang Itu pecah seketika, bahkan menjadi debu lembut setelah terkena sinar kuning. Rupanya jurus itulah yang digunakan Suto Sinting pada saat menghancurkan batu di tangan Kertapaksi tadi.
Kepala Camar Cumbu dihujani debu karang yang hancur Itu. Wajahnya menjadi putih bagai mengenakan bedak, ia menggeram memandangi Suto Sinting dengan mata berkedip-kedip karena kelillpan debu.
"Bangsat kau, Jahanam! Heeeaaah...!"
Camar Cumbu berbalik menyerang Pendekar Mabuk. Sebuah lompatan menyerupai singa menerkam mangsanya dilakukan oleh Camar Cumbu. Tetapi tibatiba sl Mungil kerahkan tenaga terakhirnya untuk melemparkan pedang ke arah Camar Cumbu. Wuuuttt...!
Dalam keadaan setengah bangkit, pedang Itu berhasil dilempar dalam kecepatan tinggi. Camar Cumbu sudah telanjur memusatkan murkanya kepada Suto Sinting, sehingga kehadiran pedang cepat Itu tak dihiraukan. Akibatnya pedang si Mungil menancap dengan telak di leher kiri hingga tembus leher kanan Camar Cumbu. Jrrub...!
"Aaahhkk...!"
Beruk.. J Camar Cumbu pun tumbang tak bernyawa lagi. Gadis mungil itu terhempas kembaii dengan napas menghembus panjang, ia sangat lemas dan tak berdaya iagl.
Pendekar Mabuk segera menghampirinya, takut kalau sl Mungil kehilangan nyawanya. Dengan sedikit gugup, Pendekar Mabuk menuangkan tuaknya ke mulut si Mungil. Hal Itu dilakukan dengan sangat hati-hati, sehingga tuak dapat tertelan oleh sl Mungil dan rasa sakit pun mulai berkurang.
Ombak di lautan berdebur, namun riak ombak tak sampai menyambar tubuh si Mungil yang terkapar di pasir pantai. Pendekar Mabuk pandangi si Mungil dengan senyum lega. Luka memar di leher sl Mungil telah hilang. Makin lama si Mungil mampu bangkit kembali, dan kini ia menjadi sehat seperti sediakala.
“Hati-hati, kita berada tak jauh dari kapal itu," kata sl Mungil setelah mencabut pedangnya dari leher Camar Cumbu.
Seettt...!
"Apakah kau bisa melihat letak kapal itu?" tanya Suto.
"Aku bisa melihatnya dengan jelas. DI sebelah sana!" tudingnya ke suatu arah. Tempat Itu memang kosong, tapi Pendekar Mabuk berusaha untuk bisa melihatnya.
"Kau tidak akan bisa melihatnya," kata sl Mungil. "Tapi aku yakin. Ratu Danyang Demit pasti akan segera muncul. Dia pasti tahu kaiau dua murid andalannya telah terbunuh olehku."
"Kita mendekat ke sanal" kata Pendekar Mabuk sambil mendahului melangkah.
"Percuma," ujar si Mungil sambii Ikut melangkah juga. "Walaupun dari dekat, kau tetap tak akan bisa melihat kapal Itu, karena ada ’Perlsal Gaib’ yang membuatnya tak bisa ditembus pandang oleh mata manusia biasa."
Gadis mungii itu tak tahu bahwa Suto mempunyai noda merah sebesar biji jagung di keningnya. Noda merah itu merupakan tanda kehormatan dari Gusti Ratu Kartika Wangi, caion mertunya sebagai Manggaia Yud ha Kinasih alias Panglima Utama sang Ratu Kartika Wangi. Titik merah itu tak bisa diiihat oleh siapa pun kecuaii orang beriimu tinggi atau anak buah Ratu Kartika Wangi.
Suto mengusap keningnya dengan tangan kanan. Maka pengiihatannya menjadi berubah, la bisa meiihat kehidupan di alam gaib. Dengan begitu, la bisa melihat bentuk kapai bertiang iayar dua dengan bendera putih bergambar kupu-kupu merah. Pendekar Mabuk segera menggumam dan manggut-manggut begitu bisa meiihat kapai tersebut.
"Hmmm... besar juga kapai itu?"
’Hmmm...," si Mungii mencibir. ' Apakah kau bisa meiihatnya?"
"Kuiihat dua penjaga berkepaia gundui dan berkuiit hitam sedang berdiri di buritan dan haiuan."
Si Mungil yang dibekaii pengiihatan gaib oieh Ratu Danyang Demit Itu menjadi terkejut mendengar ucapan Suto.
"Oh, rupanya kau ini benar-benar giia, Suto! Kau benar-benar bisa meiihat kapai itu?!"
"Akan kucoba menghancurkannya dari sini!" ujar Suto dengan kaiem. Si Mungii semakin tegang memperhatikan pemuda tampan itu.
Suto Sinting menenggak tuaknya beberapa teguk.
Setelah itu, bumbung tuak digantungkan di pundak, ia melangkah maju dua tindak. Kemudian tangan menyentak ke depan dan seberkas sinar hijau meiesat dari teiapak tangan. Ciapp...!
Jurus itu dinamakan jurus ’Pecah Raga’. Kedahsyatannya sungguh mengagumkan sl Mungil. Karena ketika sinar hijau itu menghantam lambung kapai, tibatiba kapal pun tersentak pecah dalam keadaan serpihannya melambung ke udara. Tubuh dua penjaga berkuiit hitam pun pecah menjadi satu dengan serpihan papan geladak.
Blegaarr...!
Tapi pada saat itu segenggam sinar merah berekor terbang meiesst saat kapai belum meledak dan pecah. Sinar merah Itu meiayang berkeiok-kelok mirip kepaia seekor naga yang kemudian hinggap di atas gugusan karang di pantai kering.
"Kau benar-benar sinting, Suto!" gumam si Mungii dengan rasa terheran-heran begitu besar.
"Aku hanya memaksa si Ratu keparat itu keiuar dari kapainya," kata Suto Sinting dengan kaiem.
Riubb...! Asap mengepui di atas gugusan karang. Lalu tampaklah sosok wanita cantik yang berpakaian seronok mengguncangkan iman tiap lelaki. Si Mungii terkejut dan segera menuding ke arah perempuan cantik berjubah hijau tipis itu.
"itu dia Ratu Danyang Demit!" ucapnya menyentak kaget, ia bergegas maju, tapi tangan Suto meiintang menghaianginya.
"Kaii ini izinkan aku yang menanganinya, Mungii. 1 '
‘Tapi kau sudah berjanji....“
"Kau sudah terancam bahaya tadi, kaiau tidak kutolong dengan tuakku, kau tak akan mampu menghadapinya. Aku sudah menepati janji!"
Gadis mungii ingin membantah tapi tak menemukan aiasan apa pun dalam benaknya. Pendekar Mabuk segera berkata iagi kepadanya dengan tetap berkesan kalem dan iembut.
"Sekarang izinkan aku menghadapi dia, karena dia memang bukan tandinganmu!"
"Terserah kau!" si Mungii cemberut, lalu menyingkir, tepat ketika Ratu Danyang Demit meiesat turun dari atas gugusan karang seperti menghiiang. Biabb...! Tahu-tahu ia sudah berada di depan Pendekar Mabuk dengan senyum menawan yang mendebarkan hati Suto.
"Hat!-hati dengan senyumannya!" seru si Mungil terang-terangan.
"Tutup muiutmu, Peiacur ingusan!" bentak Ratu Danyang Demit sambii menuding ke arah si Mungil. Jari telunjuk yang menuding itu tiba-tiba iepaskan seberkas sinar biru yang segera meiesat ke arah si Mungii. Ciapp...!
Pendekar Mabuk segera meiesat ke samping dan menghadang sinar itu dengan bumbung tuaknya. Z!app...i Debb...l
Biaarr...!
Sinar biru itu jeias mempunyai kekuatan sakti cukup tinggi. Jika tidak, sinar itu akan berbalik arah menjadi ieb!h cepat dan iebih besar dari aslinya, Tapi kaii ini sinar b!ru itu meiedak ketika menghantam bumbung tuak. Gelombang ledakannya mementaikan tubuh Suto yang kekar ke belakang hingga teriungkal-jungkai beberapa kaii. Sementara itu geiombang iedakan tersebut juga menghantam tubuh Ratu Danyang Demit, membuat sang Ratu terlempar ke belakang, jatuh terduduk dengan kedua kaki mengangkang
"Wow...!" gumam Suto dalam hati, waiaupun kepaianya sedikit pusing tapi pandangan matanya masih tetap tertuju ke arah jatuhnya sang Ratu. Pandangan mata nakai itu diketahui oleh si Mungii, membuat gadis itu mendengus benci.
Kini kedua orang beriimu tinggi itu sa!!ng berhadapan dalam jarak tujuh langkah. Pandangan mata mereka pun saiing beradu tajam, tapi mempunyai bias-bias senyum menawan.
"Kau telah meiedakkan kapaiku. Pendekar tampan!"
"Memang," jawab Suto dengan kaiem.
"Aku teiah kehilangan kapai. Bagaimana jika kau kujadikan pengganti kapalku? Mungkin kita bisa beriayar setiap saat ke iautan cinta yang pasti penuh keindahan bersamamu, Pendekar tampan."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sinis. "Aku akan beriayar dengan si Mungil itu."
Mata sang Ratu melirik ke arah si Mungii dengan benc!. Ciapp...! Tlba-tlba dari sinar mata yang melirik itu meiesat sinar merah iurus seukuran keiingking.
Pendekar M abuk cepat kibaskan kedua jarinya dnn sinar kuning seperti tadi melesat menghantam sinur merah tersebut. Biegarr...!
Jurus ’Pecah Raga’ mengguncang bumi kembali, membuat air laut beriimbah naik. Bergolak bagai ingin dituangkan ke cakrawaia. Si Mungii sempat terpcntai dan jatuh terduduk di samping gugusan batu karang
"Keparat!" gerutunya namun masih membiurknn tindakan Suto dalam menghadapi Ratu Danyang Demit
"ilmumu cukup dahsyat juga, Anak muda," kata sang Ratu dengan kaiem.
“Yah, lumayanlah...," jawab Suto seenaknya.
"Aku menawarkan perdamaian denganmu, asai kau mau menjadi pendampingku."
"Aku bersedia berdamai tapi tidak bersedia menja di pendampingmu. Karena sesungguhnya aku adainii caion suami dari Gusti Mahkota Sejati."
Ratu Danyang Demit terbelaiak kaget. “Bangsati" geramnya mulai tampak beringas. “Jadi kau kekasih Dyah Sariningrum dari Puri Gerbang Surgawi itu, hah?!"
"Ya, aku caion suaminya!"
"Jahanam itu teiah menghabisi murid-muridku! Sekarang kau pun ikut membantu pelacur ingusan itu menghabisi murid-muridku! Tak ada ampun lagi kniian! Kuhancurkan kau sekarang juga, Biadab! Hiaaaii .!"
Ratu Danyang Demit berubah menjadi segenggam sinar merah berekor, ia!u meiesat menghantam Suto Sinting. Dengan cekatan Suto melompat ke samping dan bumbung tuaknya dihantamkan ke sinar tersebut. Buusssh...! Sinar itu terpentai namun tak pecah, ia jatuh dekat perairan pantai dan berubah wujud menjadi seekor naga bertanduk satu.
Blubbss...!
“Grrrhh...!" naga besar itu keiuarkan suara menyeramkan. Hidungnya semburkan uap panas yang sempat membuat karang di sekeliiingnya menjadi hangus. Pendekar Mabuk cepat-cepat menenggak tuaknya.
"Suto, awaaaass...!" teriak si Mungil, karena ia meiihat naga besar itu terbang me!iuk-iiuk ke arah Pendekar Mabuk.
Seruan si Mungii membuat Suto Sinting buru-buru menutup bumbung tuaknya. Tapi kepaia naga sudah sampai di depan mata. Mau tak mau Suto segera menjatuhkan diri hingga naga itu terbang meiintasi bagian atasnya. Weesss...!
Tanpa disangka-sangka, ekor naga mengibas dan mengenai punggung Suto Sinting. Wess...! Buuukh...!
"Aaakh...!" Pendekar Mabuk teriempar cukup jauh dan bumbung tuaknya terlepas dari genggamannya.
Bruuss...! ia jatuh tersungkur, wajahnya terbenam di pasir pantai. Keadaan Hu membuat s! Mungii menjadi gugup dan tak tahu harus berbuat apa kepada Suto. Karena ia sendiri tak menyangka kaiau Ratu Danyang Demit bisa berubah menjadi seekor naga besar yang mengerikan jika dipandang, apaiagi diiawan.
"Bangun, Suto...! Banguun...!" teriak si Mungiisambii beriari mundur mencari tempat beriindung.
Naga itu meiayang iagi menghampiri Suto Sinting dengan enam kaki pendeknya yang berkuku tajain. Pendekar Mabuk sedang mengibaskan pasir yang mengganggu pandangan matanya. Tiba-tiba mulut naga itu terbuka dan menyemburkan api ke arah Suto.
Woooss...!
Pendekar Mabuk sentakkan tangannya ke tanah, maka tubuhnya melesat ke atas dengan cepat. Weet...! !a melambung tingg! melebihi kepaia naga. Tetapi ekor naga itu berkelebat menekuk ke depan dan menyabet tubuh Suto Sinting kembaii. Buukh...!
"ftaakh...!" Suto Sinting terpekik di udara. Tubuhnya melayang tanpa keseimbangan badan, laiu jatuh di perairan pantai.
Jebuuarrr^..!
Si Mungil beriari ke arah Suio sambii mencabut pedangnya.
"Sutooo...i" teriaknya. Ketika Sutd muncui ke permukaan air laut, pedang itu dilemparkan oleh si Mungii. Weess...! Suto menangkapnya dengan cekatan. Teeb...!
Si Mungil berlari menjauh, beriindung di balik gugusan batu. Sementara itu, Pendekar Mabuk sedang didatangi naga terbang kembaii. Gerakan naga itu meliuk zigzag, membingungkan pandangan mata Suto.
"Hiaah...!" Suto melompat kembali, kali ini ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman’ yang mempunyai kecepatan melebihi anak panah itu.
Zlaaap...!
Pedang itu ditebaskan ke ieher naga tersebut. Craaass...!
"Grraaaoow...!" Naga Ku keluarkan suara mengerikan sebelum kepaianya jatuh ke tanah. Tapi kepaia naga itu lenyap begitu menyentuh tanah, dan pada bagian leher naga tumbuh kepaia iagi. Bahkan kini leher itu mempunyai dua kepala yang sarha besar dan sama bentuknya.
"Grraaooowwss...i Grrraooowss...!"
Wut, wut, wut...i Suto Sinting memainkan pedangnya, sambii berpikir mencari kelemahan naga jeimaan Itu.
"Kaiau kupenggai iagi kepaianya, maka akan tumbuh tiga kepaia atau empat kepala. Oh, berbahaya sekali!" pikir Suto Sinting.
Naga itu menyerang dengan meiuncur cepat di atas tanah. Zroooss...! Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya meiambung ke atas. Wesss...!
Tubuh naga yang sebesar badan buaya itu berhasii ditebas dengan pedang. Tubuh naga berwarna hitam kehijauan itu koyak, tapi dari koyakannya itu keluar daging besar yang kemt^dian membentuk ieher dan kepaia naga.
Ziuubb...!
"Grrraaaoowss...!" kepala naga yang baru itu mengeluarkan suara menyeramkan. Laiu muiutnya menyemburkan api besar. Wooorss...!
Untung Suto Sinting teiah bersalto beberapa kali dari ketinggiannya dan kin! hinggap di atas bongkahan batu karang setinggi kepsia manusia dewasa, sehingga ia iuput dari semburan api tersebut.
"Ceiaka! Kurasa naga ini hanya bisa kuhancurkan dengan bumbung tuakku!" ujarnya membatin, setelah beberapa kaii melepaskan jurus bersinar, tapi se'Jaiu berhasii dihindari oieh gerakan naga yang iincah Itu.
Pendekar Mabuk segera meiesat menyambar bumbung tuaknya. Tetap! ekor naga berkeiebat menampar perutnya hingga Suto pun teriempar ke belakang dan berguiing-guiing.
Buukhi..!
"Aaaukh...!" Pendekar Mabuk jatuh terbanting dengan menyedihkan. Pedang di tangannya terlepas dan terpenta! entah ke mana. Sementara itu, ekor naga segera berkeiebat kembaii baga! membuang bumbung tuak tersebut. Weess...! Piaaakk.,.1
Wuuss...! Bumbung tuak itu meiayang di udara tak sampai pecah. Pada saat itu sekeiebat bayangan meiesat dari ba!ik kerimbunan hutan tepi pantai. Wuuut, teeb...! Bayangan itu menangkap bumbung tuak yang meiayang di udara.
Pendekar Mabuk segera bangkit karena tiga kapa!a naga datang menghampirinya. Weess...! Dengan satu iompatan bersaito tinggi, Pendekar Mabuk berhasii hindari semburan dari tiga kepaia naga tersebut. Wooorsss...!
Pada saat ia meiambung di udara* tiba-tiba sebuah suara memanggilnya.
"Heiii...!"
"Kertapaksi...?!" ucap batin Suto.
Rupanya Kertapaksi ituiah yang menyambar bumbung tuak Suto saat meiayang di udara. Bumbung tuak tegera dilemparkan kepada Suto. Wuutt...! Dan Suto pun segera menangkapnya. Teeb...!
Tepat ketika itu kepala naga berbalik arah dan terbang menyerangnya.
Dengan gerakan seperti orang mabuk mau jatuh, Suto Sinting meiiukkan badannya, kakinya menjejak tonjolan batu karang, tubuhnya meiayang tinggi meiintasi tiga kepala naga. Pada saat ituiah bumbung tuaknya dihantamkan dengan kuat.
"Heaaahh...!"
Biegaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi seketika itu juga. Pendekar Mabuk terlempar jauh dan jatuh di perairan pantai. Tetapi tiga kepala naga itu pecah seketika bersama badannya. Meiedak menjadi serpihan daging yang berasap dan lenyap di udara. Hanya bagian ekornya yang tidak ikut meledak. Bagian ekor naga bersisik teba! itu jatuh di pasir pantai dan mengepuikan asap tebai. Ketika asap itu ienyap, tampakiah sosok tubuh moiek berwajah cantik terkapar tak bernyawa. Sosok tubuh itu tak iain adaiah Danyang Demit yang mengeluarkan darah dari mulut, hidung dan telinganya.
Pendekar Mabuk naik ke permukaan pantai, ia berjaian sempoyongan menghampiri jasad yang terkapar tak bernyawa iagi Itu. Kemudian si Mungli pun beriar! menghampirinya seteiah teriebih dulu memungut pedangnya. Disusui kemudian Kertapaksi ikut mendekati sang Ratu yang sudah menjadi mayat.
"Mampus sudah si Ketua Perampok Wanita inii” geram gad!s mungi! d! samping Suto Sinting yang masih ngos-ngosan. Sang pendekar segera menenggak tuaknya untuk memulihkan tenaganya.
Kertapaksi memandangi mayat Ratu Danyang Demit sambii berkata seperti bicara pada diri sendiri.
"Hampir saja aku jatuh dalam peiukan naga berwajah perempuan secantik ini!' 1
Suto menyahut, "Terima kasih atas bantuanmu. Untung kau datang tepat waktu, Kertapaksi!"
"Aku sudah sejak tadi di atas pohon kelapa itu," kata Kertapaksi sambii menuding pohon kepaia yang agak jauh dari tempat tersebut.
Kertapaksi menyambung ucapannya, "Semula aku hanya ingin memetik buah keiapa muda untuk kuambii airnya. Tap! kulihat kau dikurung oieh gadis-gadis jeiita, dan kusaksikan sendiri Ratu Danyang Demit muncui dalam bentuk sinar merah. Laiu... agaknya apa yang kau katakan tadi memang benar, aku tidak sedang kau dustai, maka aku pun bergegas membantumu untuk kaiahkan Ketua Perampok Wanita yang cukup sakti ini!”
"Kau memang punya i!mu sinting sekaii, Suto," ujar si Mungii. Suto Sinting hanya tertawa kecil.
Kertapaksi berkata, "Agaknya sekarang waktumu untuk bersenang-senang dengan gadis mungiimu itu i Aku permisi, lain ka!i kita bertemu, entah sebagai musuh atau sebagai sahabatl"
Biaass...! Kertapaksi pergi begitu saja. Suto Sinting geieng-geieng kepala sambii pandangi keperglan Kertapaksi.
Gadis mungii segera berkata, "Aku pun akan segera pergi, lain ka!i bertemu iag!, entah sebagai sahabat atau sebagai...."
"Kekasih...," sahut Suto sambii tersenyum. Gadis mungil akhirnya tersenyum puia dengan mengaiihkan pandangan mata.
"Kau mau ke mana, Mungi!?"
"Pulang ke rumah. Kakekku pasti sudah kebingungan mencariku."
"Siapa kakekmu itu?"
"Kapas Mayat."
"Hahh...?l" Pendekar Mabuk terbelaiak kaget. "Kalau begitu kau adalah... si Kelambu Petang?!"
"Benar!" jawab si Mungii dengan terkejut. "Kau mengenai kakekku?"
"Justru aku diminta bantuannya mencarimu. Keiambu Petang!"
"Oooh...." Keiambu Petang melemas. Entah apa maksudnya.
"Kalau begitu, tak ada salahnya aku mengantarmu puiang ke rumah, Kelambu Petang. Aku harus menerima hadiah dari kakekmu, sebuah kitab yang bernama ’Kitab Tanggul Murka’ itu."
"Hah...?l" Keiambu Petang terbelaiak, lalu tertawa
geli.
"Kenapa kau tertawa?"
"Kitab Tanggu! M urka adaiah kitab yang berisi peia|aran membaca bagi mereka yang buta huruf, seperti kakekku duiu!"
"Siai...!" Suto Sinting pun bersungut-sungut sambil meiangkah pergi, Keiambu Petang segera mengikuti dengantawanya yang terkikik-kikik menjengkeikan hati Suto Sinting.
└ PENDEKAR MABUK┘
SIASAT
DEWI KASMARAN
INDEX SUTO SINTING | |
67.Tapak Siluman --oo0oo-- 69.Siasat Dewi Kasmaran |