Life is journey not a destinantion ...

Sapu Jagad

INDEX AJI SAKA
90.Iblis Berkabung --oo0oo-- 92.Memperebutkan Batu Kalimaya

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta


Cetakan pertama, Penerbit Cintamedia, Jakarta, Penyunting :Tuti S. Hak cipta pada Penerbit, Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit



1
Sebuah rakit melaju cepat membelah permukaan air sungai. Pemuda berpakaian kuning yang berada di atas rakit itu mengayuhkan bambu sepanjang satu tombak. Tidak terlihat pemuda itu mengerahkan tenaga, tapi rakitnya melaju kencang bak anak panah lepas dari busur!
Pemuda itu bertubuh tegap dan kekar. Wajahnya yang tampan semakin menarik dengan adanya sebaris kumis tipis. Sepasang matanya bersinar lembut. Terkadang mencorong kehijauan seperti mat a seekor macan dalam gelap.
Pemuda yang duduk seenaknya di tengah rakit selebar empat kaki itu tampak mengerutkan sepasang alisnya. Pandangannya ditujukan lurus ke depan. Terlihat sesosok manusia tengah berenang menentang arus sungai.
Sosok berpakaian putih itu berenang menuju ke arah si pemuda. Pemuda berpakaian kuning semakin mengerutkan sepasang alisnya, ketika melihat rona merah membasahi sekujur pakaian sosok itu. Rona merah tersebut adalah darah! Rasa ingin tahu mendorong si pemuda untuk mempercepat laju rakitnya.
Ketika jarak antara keduanya tinggal dua tombak, sosok berpakaian putih tak mengayuhkan kedua tangannya lagi. Arus sungai yang cukup deras membuat tubuhnya terbawa kembali ke arah datangnya.
Pemuda berpakaian kuning bertindak cepat. Bambu di tangannya dipukulkan pada permukaan sungai. Seketika, timbul gelombang di tempat pukulan bambu itu dan terus menuju ke depan, ke arah sosok berpakaian putih berada.
Begitu gelombang air menghantam, tubuhnya terlempar ke atas dan melambung ke arah si pemuda. Pemuda berpakaian kuning cepat mengulurkan tangan dan menerima tubuh itu dengan kedua tangan. Pemuda berpakaian kuning lalu merebahkan tubuh sosok itu di atas rakit. Sementara rakit dibiarkannya melaju sendiri dibawa arus sungai.
Sosok berpakaian putih ternyara seorang kakek. Tubuhnya jangkung kurus. Tidak ada jenggot yang menghias dagunya. Yang ada hanya sebaris kumis putih menjuntai hingga ke bawah bibir.
Kakek berusia tujuh puluh tahun itu terluka parah. Meski tak terlihat adanya bekas luka akibat senjata tajam, tapi dari mulut, hidung, dan telinga terdapat bercak-bercak darah yang telah mengering. Agaknya kakek ini terluka akibat pukulan atau s erangan yang mengandung tenaga dalam dahsyat!
Pemuda berpakaian kuning segera menempelkan kedua telapak tangannya di dada kakek itu. Dia hendak menyalurkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita si kakek. Cukup lama pemuda itu sibuk dengan usahanya. Wajahnya sampai memerah dan peluh membasahi dahi. Sampai di sini dirasakan adanya gerakan dari tubuh si kakek. Pemuda berpakaian kuning menghentikan penyaluran tenaganya dan menarik pulang kedua tangannya.
Pemuda ini kemudian memperhatikan arus sungai dan keadaan di sekitar tepi sungai. Setelah dirasakannya tak ada gangguan, dia duduk bersila untuk bersemadi menghimpun kembali tenaga dalamnya yang telah terkuras. Sebentar kemudian pemuda berpakaian kuning telah tenggelam dalam semadinya. Sementara rakit melaju terbawa arus air sungai. Bunyi rakit yang membelah permukaan air seperti mengimbangi desah napas si pemuda. Suara napasnya yang tetap dan berirama teratur.
Ketika diras akan semedinya sudah cukup, pemuda berpakaian kuning membuka matanya. Dilihatnya kakek berpakaian putih sudah duduk bersila di depannya. Si kakek tengah memperhatikannya dengan senyum mengembang di bibir.
"Kau sudah sadar, Kek? Bagaimana dengan lukamu?" tanya pemuda berpakaian kuning. Kemudian diambilnya bambu yang tadi digeletakkan di pinggir rakit. Bambu itu dipergunakan lagi untuk mengayuh. Rakit pun melaju dengan kecepatan penuh.
"Jauh lebih baik dari sebelumnya, Anak Muda. Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Boleh aku tahu siapa nama atau julukanmu?"
"Namaku Antareja, Kek. Aku belum punya julukan apa pun," jawab pemuda berpakaian kuning, jujur.
"Berarti kau belum lama terjun ke dalam kancah dunia persilatan, Reja," sambut si kakek. "Tapi dengan kepandaian yang kau miliki dunia persilatan akan gempar. Setelah itu julukan akan segera kau dapat."
"Kau terlalu memuji, Kek," timpal Antareja, malu. Wajah pemuda ini terlihat memerah. "Memang aku belum lama keluar dari tempat tinggalku. Kendati demikian tak menjadi penyebab aku belum memperoleh julukan. Menurut guruku, di dunia persilatan banyak sekali orang sakti." "Kau percaya?" desak si kakek.
Antareja mengangguk.
"Syukur kalau demikian," ujar kakek berpakaian putih. "Gurumu benar. Dan kau pun luar bi asa, Reja. Tak banyak orang seusia kau yang berpendirian demikian. Biasanya, begitu memiliki sedikit kepandaian telah merasa menjadi tokoh tak terkalahkan. Bersyukurlah kau tak memiliki sifat seperti itu."
"Wah, wah...! Lama-lama kepalaku bisa pecah karena terusmenerus mendapat pujian darimu, Kek," kilah Antareja dengan wajah semakin memerah.
"Aku senang berkenalan denganmu, Reja. Namaku Sukra Dilaga.
..... Orang-orang lebih sering memanggilku Sukra," beri tahu kakek berpakaian putih. "O ya, boleh kutahu ke mana tujuanmu? Apakah hanya sekadar turun gunung setelah kau s elesai berguru, atau mempunyai urusan lain? Mungkin kau hendak mengamalkan ilmu-ilmu yang kau miliki untuk membela kebenaran?"
Antareja tak segera menjawab pertanyaan itu. Yang dilakukannya malah mengarahkan pandangan ke angkasa, seakan jawaban yang akan diberikannya berada di sana. Sukra Dilaga tak mengganggunya. Dengan sabar kakek itu menunggu jawaban Antareja. Sementara itu rakit terus melaju dengan kecepatan tinggi.
"Aku memang mempunyai urusan, Kek."
Jawaban itu diberikan Antareja seraya mengalihkan pandangannya pada Sukra Dilaga. Sukra Dilaga mendengarkan dengan penuh minat.
"Beberapa tahun yang lalu kakakku meninggalkan perguruan. Dia pergi tanpa pamit, baik pada guru maupun padaku. Aku dan kakakku memang berguru pada orang yang sama. Kepergi annya yang tanpa izin itu membawa sert a pusaka milik guru. Kalau menuruti perasaan, waktu itu juga akan kususul dia dan kuajak pulang. Tapi guru melarangku. Kata beliau, aku belum saatnya terjun ke kancah dunia persilatan yang keras. Itulah sebabnya baru sekarang ini aku mencarinya setelah seluruh kepandaian guru diwariskannya padaku."
Sukra Dilaga menghembuskan napas berat. Kakek itu merasa ikut prihatin dengan masalah yang menimpa Antareja.
"Apakah kakakmu mempunyai sifat yang berbeda denganmu?" tanya Sukra Dilaga ingin tahu. "Ataukah, ada masalah di antara kalian? Barangkali saja gurumu bersikap tak adil, misalnya."
"Sama sekali tidak," jawab Antareja cepat seraya menggeleng.
"Guru tak membeda-bedakan antara kami. Hanya saja kakakku memang mempunyai watak yang keras. Apa yang diinginkannya harus didapatkan, walau apa yang akan terjadi."
"Aku turut prihatin dengan masalahmu itu, Reja. Percayalah, aku tak akan tinggal diam Akan kubantu kau untuk menemukan kakakmu itu. O ya, siapa namanya?"
"Terima kasih atas maksud baikmu, Kek. Tapi aku tak ingin merepotkanmu. Biarlah aku sendiri yang akan mencarinya," tolak Antareja.
"Siapa bilang hal itu akan merepotkanku, Reja? Sama sekali tidak! Aku justru merasa senang jika bisa menolongmu. Kau sendiri telah menolongku. Meskipun belum lama mengenalmu, aku merasa kau telah menjadi sahabatku. Dan di antara sahabat tak ada istilah merepotkan, bukan?" kilah Sukra Dilaga tak kurang akal untuk memaksa.
Antareja menghel a napas berat. Pemuda ini akhirnya menganggukkkan kepala.
"Nama kakakku itu Bogadenta, Kek. Dia gemar berpakaian yang indah-indah dan biasanya berwarna merah. Celananya hitam," beri tahu Antareja.
"Hanya itu?" Sukra Dilaga tampaknya kurang puas dengan petunjuk yang diberikan Antareja. "Tidak ada ciri-ciri lainnya yang menonjol?"
Antareja kelihatan ragu. Sorot sepasang matanya memancarkan kebimbangan. Sukra Dilaga melihat hal itu.
"Kalau kau merasa berat mengatakannya, tak perlu kau utarakan, Reja. Kurasa dengan petunjuk itu sudah cukup. Mudahmudahan aku bisa menemukan Bogadenta."
Tanggapan Sukra Dilaga membuat Antareja merasa tak enak. Kakek itu telah dengan tulus hati menawarkan bantuan, tapi malah kecurigaan yang mencuat di hatinya. Benar-benar keterlaluan! Antareja memaki dirinya sendiri.
"Maafkan aku yang telalu curiga, Kek. Memang masih ada ciri lainnya. Di tangannya, maksudku di pergelangan tangannya, terbelit gelang dari akar bahar," tambah Antareja untuk menghilangkan rasa tak enak di hatinya.
Sukra Dilaga mengangguk-anggukkan kepala. Matanya mengerling pada pergelangan tangan Antareja. Di sana dijumpainya akar bahar pula. Hanya pada tangan kirinya.
Antareja sempat melihat kerling mata si kakek. Dan dia tahu tak ada gunanya menyembunyikan hal itu. Tangan kirinya malah diangsurkan.
"Padaku juga terdapat gelang akar bahar yang sama dengan kepunyaan kakakku. Guru memberikan pada kami sepasang akar bahar.
Aku mengenakannya di kiri, sedangkan kakakku di pergelangan tangan kanan," jelas Antareja tanpa diminta.
"Mengapa demikian? Apakah hanya kebetulan saja kau mengenakannya di kiri dan kakakmu di kanan, atau karena perintah gurumu?"
"Bukan hanya kebetulan, Kek," jawab Antareja. "Guru yang menyuruhnya. Hanya saja beliau tak menjelaskan apa alasan beliau. Tapi aku yakin ada sebuah rahasia yang disembunyikan." "Aku sependapat denganmu, Reja," Sukra Dilaga memberikan dukungan. "Ada rahasia yang terkandung dalam gelang akar bahar itu. Apakah kau tak pernah menanyakan keanehan itu?"
Antareja menggeleng.
Sukra Dilaga tak mengajukan pertanyaan lagi. Suasana menjadi hening ketika mereka saling berdiam diri. Belasan tombak rakit meluncur dalam keheningan yang melingkupi, yang terdengar hanya riak air dan bunyi laju rakit membelah permukaan sungai.
"Kau sendiri..., apa yang terjadi denganmu Kek sehingga kau menderita luka cukup parah?"
Antareja memecahkan keheningan. Sebenarnya sejak tadi dia ingin menanyakan hal itu. Tapi karena merasa tak enak dan takut dianggap terlalu mau tahu urusan orang, ditahannya rasa ingin tahunya.
Wajah Sukra Dilaga kelihatan berubah muram. Melihat itu Antareja semakin merasa tak enak. Tanggapan yang diberikan Sukra Dilaga menjadi pertanda kalau pertanyaannya tak menyenangkan hati kakek itu.
"Maafkan aku Kek, kalau pertanyaan yang kuajukan tak berkenan di hatimu. Aku benar-benar tak tahu dan tak menginginkan hal ini," ucap Antareja penuh rasa bersalah.
Sukra Dilaga menggelengkan kepala dan tersenyum. Tapi hanya mulutnya yang tersenyum. Sorot wajahnya tetap menyiratkan kegundahan.
"Kau tak perlu merasa bersalah, Reja. Aku memang harus menceritakannya padamu. Kau harus tahu mengapa aku sampai terluka hingga kau terpaksa menolongku," Sukra Dilaga menghel a napas sebelum melanjutkan ucapannya "Seperti juga kau, aku jarang sekali keluar dari tempat tinggalku. Kalau sekarang aku keluar, karena aku mendapat tugas dari majikan sekaligus guruku sebelum beliau meninggalkan dunia ramai."
"'Ah...! Jadi guru sekaligus majikanmu itu telah meninggal dunia?" cetus Antareja.
Sukra Dilaga menggeleng.
"Aku tak berani memastikan hal itu, Reja. Beliau hanya menutup hubungan dari dunia ramai dengan menyepi di sebuah tempat yang sangat terpencil. Dan beliau menyuruhku menunggu seseorang di sebuah tempat yang telah ditentukannya."
"Siapakah orang yang harus kau tunggu kedatangannya itu, Kek?" tanya Antareja lagi, tak sabar menunggu Sukra Dilaga melanjutkan ceritanya.
"Aku sendiri tak tahu, Reja. Majikanku tak memberitahu siapa orang itu dan kapan dia akan muncul. Aku hanya diperintahkan untuk menunggunya."
Antareja mengernyitkan dahi. "Bagaimana kalau orang yang kau tunggu-tunggu itu tak pernah muncul, Kek?"
"Majikanku mengatakan orang itu akan muncul. Dan aku yakin beliau tak salah!" tandas Sukra Dilaga penuh keyakinan.
"Sudah berapa lama kau menunggunya?" kejar Antareja. "Sebulan? Dua bulan?"
Sukra Dilaga terkekeh. Kakek itu kelihatan geli bukan main. Sesaat kemuraman dan kegundahan hatinya lenyap.
"Aku yakin kau tak akan mampu menebaknya, Reja!" tandas Sukra Dilaga kemudian. "Ketahuilah, aku telah menunggu orang yang dimaksud majikanku itu selama dua puluh lima tahun!" "Gila!" tanpa sadar Antareja berseru saking kagetnya. "Dan kau masih tetap melaksanakan perintah majikanmu itu, Kek? Bagaimana kalau dia keliru?!"
"Aku yakin tidak, Reja! Meski kutahu setiap manusia bagaimanapun tinggi kepandaiannya tak akan luput dari kekeliruan, tapi aku yakin ucapan majikanku ini tak keliru."
"Tapi kau telah menunggu selama dua puluh lima tahun, Kek.
Kurasa telah cukup untuk membuktikan kalau ucapan majikanmu itu salah!" bantah Antarej a tak mau kalah.
"Belum bisa dipastikan demikian, Reja,"
"Mengapa Kek?"
"Karena belum melewati batas waktu yang ditetapkannya," jawab Sukra dilaga, tenang. "Beliau mengatakan kalau selama tiga puluh tahun orang tersebut tak kunjung datang, aku baru bebas dari tugas yang diberikannya."
Antareja terdiam. Benak pemuda ini berpikir keras. Kalau tak ada masalah besar tak mungkin majikan Sukra Dilaga demikian mementingkan orang itu, pikir Antareja.
"Lalu..., bagaimana kau bisa tahu kalau orang yang nanti datang adalah yang kau tunggu-tunggu, Kek? Apakah ada ciri-ciri tertentu dari orang tersebut?" tanya Antareja lagi.
Sukra Dilaga mengangguk
"Sayang, aku tak bisa memberitahukannya, Reja. Majikanku berpes an keras agar aku merahasiakannya"
"Aku bisa mengerti, Kek," Antareja berusaha untuk memaklumi. "Tapi bagaimana kau bisa terluka dan berada di sini?"
"Itulah yang membuatku berduka, Reja," keluh Sukra Dilaga setelah menghembuskan napas berat. "Yang datang ternyata bukan orang yang kutunggu-tunggu. Malaikat yang kuharap, tapi iblis yang datang. Seorang tokoh muda berkepandaian tinggi yang ingin mengambil pusaka milik majikanku."
"Apakah dia seorang pemuda yang usianya kira-kira beberapa tahun di atasku, Kek?" kejar Antareja. Dia merasa khawatir kalau tokoh muda itu adalah kakak kandungnya.
Sukra Dilaga tersenyum, Kekek itu mengerti apa yang dipikirkan Antareja.
"Kau tak usah khawatir, Reja," hibur Sukra Di laga, "Tokoh muda yang datang untuk merampas pusaka majikanku itu bukan kakakmu. Tokoh muda itu seorang wanita. Gadis yang amat cantik, tapi berwatak keji. Mungkin lebih tepat kalau gadis itu mendapat julukan Iblis Berwajah Bidadari!"
Wajah Antareja yang semula menegang kini tenang kembali. Jawaban Sukra Dilaga benar-benar melegakan hatinya.
"Perempuan berwatak keji itu memaksaku untuk memberikan pusaka milik majikanku. Tentu saja aku tak memberikannya. Pertarungan antara kami pun terjadi. Dia ternyata lihai bukan main. Aku berhasil dikalahkannya. Beruntung sebelum nyawaku melayang di tangannya, aku berhasil melarikan diri. Untuk membuatnya kehilangan jejak aku terjun ke dalam sungai. Dan kesudahannya kau yang lebih tahu Reja. Kau telah menolongku."
"Bagaimana dengan orang yang tengah kau tunggu-tunggu, Kek? Dan bagaimana pula dengan pusaka milik majikanmu? Apakah kau biarkan gadis jahat itu mengambilnya?"
"Justru karena memikirkan orang yang kutunggu-tunggu itulah aku memutuskan untuk melarikan diri. Kalau tidak, aku lebih rela mati dari pada melarikan diri seperti anjing hendak dipukul!" tandas Sukra Dilaga dengan penasaran.
Kakek berpakaian putih ini teringat kembali akan pengalamannya yang lalu. Dia berlari terpontang-panting agar bisa sel amat dari maut. Jika mengingat itu semua, rasa malu pun menyeruak hatinya.
"Mengenai pusaka milik majikanku, aku tak khawatir gadis jahat itu akan mampu mengambilnya," sambung Sukra Dilaga dengan suara penuh keyakinan. "Majikanku tak akan menyimpan pusakanya secara sembarangan. Jadi, aku yakin tak seorang tokoh pun bisa mendapatkannya. Apalagi hanya seorang wanita muda!",
Antareja mengangguk-anggukkan kepala. Alasan yang dikemukakan Sukra Dilaga memang dapat diterima akal.
"Kurasa sudah waktunya kita berpisah, Reja," ucap Sukra Dilaga, pelan.
"Mengapa demikian terburu-buru, Kek? Kau belum sembuh benar. Lagi pula, kita baru berbincang-bincang sebentar. Tidakkah kau bisa tinggal lebih lama lagi?" Antareja kelihatan kecewa dengan keputusan Sukra Dilaga.
"Terima kasih atas tawaranmu, Reja. Sayang sekali aku tak bisa memenuhinya. Aku harus kembali ke tempatku. Mudahmudahan gadis jahat itu sudah tak ada lagi. Dan siapa tahu orang yang kutunggu-tunggu telah datang. Tak mengapa tubuh tua yang sudah reot ini kupaksa berjalan jauh. Hanya inilah yang bisa kulakukan di sisa umurku, Reja."
Antareja bisa menerima jawaban Sukra Dilaga. Tapi, rasa sukanya untuk melakukan perjalanan bersama kakek itu mendorongnya mencari jalan agar si kakek bisa tinggal lebih lama.
"Aku bisa memaklumi tugasmu, Kek. Tapi tidak bisakah kau memberikan sedikit waktu lagi?" Sukra Dilaga menggeleng.
"Di kelokan sungai nanti aku harus turun, Reja. Dari tempat itu aku bisa segera tiba di tempatku dengan cepat. Bila kupaksakan turun jauh dari kelokan, perjalanan yang kutempuh akan jauh lebih lama. Aku tak berani bermain-main dengan waktu, Reja. Jadi dengan berat hati terpaksa permohonanmu kutolak."
"Bagaimana kalau aku ikut denganmu?" Antareja mengajukan usul setelah tercenung sebentar.
"Itu berarti kau akan mengetahui tempat yang kujaga," keluh Sukra Dilaga, "Padahal majikanku telah berpesan agar selain orang yang kutunggu-tunggu, tak boleh ada seorang pun menginjakkan kaki di tempat itu."
"Termasuk aku?"
Sukra Dilaga mengangguk pasti.
"Percayalah, Reja. Aku berjanji apabila tugasku telah selesai dan kita bersua lagi, dengan senang hati aku akan memenuhi permintaanmu. Kita akan merantau bers ama, mengarungi kerasnya kancah dunia persilatan," janji Sukra Dilaga.
Antareja tak mempunyai alas an lagi untuk menahan kakek itu lebih lama. Pemuda ini mengembangkan senyum di bibir.
"Selamat jalan, Kek. Semoga kau berhasil menyelesaikan tugasmu dengan baik."
"Selamat tinggal, Reja. Kau pemuda yang baik. Mudahmudahan kita bisa berjumpa lagi," balas Sukra Dilaga seraya tersenyum.
Kakek berpakai an putih ini melompat ke pinggir sungai di saat rakit membelok. Laju rakit tetap tinggi. Tapi Sukra Dilaga tak mengalami kesulitan. Laksana seekor burung, tubuh kakek ini melayang meninggalkan rakit dan menjejak tanah berbatu di pinggir sungai.
Sukra Dilaga langsung berlari cepat meninggalkan tempat itu, tanpa menol eh-noleh lagi. Sementara Ant arej a tetap duduk di rakitnya dan mengayuhnya cepat mengikuti arus sungai.
––––––––
2
Sukra Dilaga melakukan perjalanan dengan cepat Seluruh ilmu lari cepatnya dikeluarkan agar bisa segera tiba di tempat tinggalnya. Tindakan ini membuat kedua kakinya bagai tak menglnjak tanah karena saking cepatnya digerakkan.
Tak lama kemudian, kakek ini berada di hamparan padang rumput yang luas membentang. Tinggi tanaman sekitar dua tombak. Jarak tanaman yang begitu rapat membuat pemandangan di seberang padang rumput ini tak terlihat.
Sukra Dilaga kelihatan bimbang. Semula karena keinginannya untuk segera tiba membuatnya mengambil jalan pintas ini. Tapi ketika berhadapan dengan hamparan padang rumput keraguan merayapi hatinya.
Tempat yang dituju Sukra Dilaga memang harus melalui padang rumput dan rawa-rawa. Setelah itu, jalan yang ditempuhnya akan menanjak. Di balik bukit yang dipisahkan oleh sungai itulah tempat tinggalnya berada.
Meski Sukra Dilaga hampir tak pernah turun gunung, namun majikannya banyak bercerita tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia persilatan.
Termasuk tokoh-tokohnya. Dan, salah satu tokoh yang diceritakan majikannya adal ah tokoh yang bertempat tinggal di padang rumput dan rawa-rawa. Majikan Sukra Dilaga tel ah berpes an agar di a jangan sampai memasuki tempat itu. Maut mengintai di sana. Maut yang diciptakan pemilik tempat itu!
Sekarang, begitu berhadapan dengan tempat ini, Sukra Dilaga baru teringat kembali akan cerita majikannya. Tokoh penghuni rawa-rawa dan padang rumput ini menyimpan dendam pada majikan Sukra Dilaga karena dulu pernah dikalahkan. Telah dua kali tokoh aliran sesat itu bentrok dengan majikan Sukra Dilaga. Beruntung di a selalu berhasil menyel amatkan diri sebelum maut yang datang dari tangan majikan Sukra Dilaga menjemputnya.
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa bergel ak membuat Sukra Dilaga membalikkan tubuh. Wajah kakek ini terlihat menegang.
Pemilik tawa itu ternyata seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun. Wajahnya tampan. Tapi, sorot matanya liar. Tubuhnya yang cukup kekar dibungkus pakaian tanpa lengan yang terbuat dari kulit buaya.
Sukra Dilaga tak merasa ngeri melihat pemuda itu. Yang membuat bulu kuduknya meremang adalah makhluk-mahkluk yang berada di depan si pemuda. Makhluk-makhluk yang jumlahnya puluhan itu tengah menatap Sukra Dilaga dengan sinar mata buas. Buaya!
"Peruntungan kalian rupanya sedang baik Anak-anak!" seru pemuda berompi kulit buaya sambil melecutkan cambuk untuk menggiring buaya-buaya itu. "Tanpa dicari santapan telah datang sendiri. Walaupun mungkin agak alot, tapi kurasa cukup untuk mengenyangkan perut kalian semua!"
Sukra Dilaga melangkah mundur dengan hati ngeri. Kakek ini memang memiliki kepandaian tinggi. Tapi, rasa ngeri membuatnya agak gentar juga. Kendati demikian akal sehatnya masih mampu bekerja. Cepat diloloskannya sabuk untuk dipakai sebagai senjat a menghadapi serbuan puluhan buaya.
Sementara itu, buaya-buaya yang panjangnya hampir lima tombak itu mulai membuka moncongnya lebar-lebar. Tampak deretan gigi-gigi yang tajam. Buaya-buaya itu agaknya sudah tak sabar untuk menyerang Sukra Dilaga. Mereka tengah menunggu perintah dari pemuda berompi kulit buaya.
Sukra Dilaga memperhatikan buaya-buaya dengan seksama. Ingin diketahuinya kelemahan binatang melata itu. Dia tak yakin hantaman sabuknya akan berpengaruh bila mengenai punggung buaya-buaya tersebut.
Kulit mereka kelihatan demikian keras. Punggungnya pun bergerigi. Dan semakin mendekati ekor, geriginya itu semakin panjang.
Ekor binatang itu amat berbahaya karena merupakan alat penyerangan yang dahsyat!
"Rupanya kalian sudah tak sabar lagi untuk mencabik-cabik daging tua bangka yang alot itu, Anak-anak? Kalau begitu, nikmatilah hidangan kalian!"
Pemuda berompi kulit buaya melecutkan cambuknya. Bunyi aneh terdengar ketika cambuk itu melecut. Berbeda jauh dengan bunyi lecutan yang pertama kali tadi. Puluhan buaya langsung meluruk ke arah Sukra Dilaga. Binatang-binatang yang memiliki indra tajam ini seperti berlomba untuk lebih dulu menikmati daging alot Sukra Dilaga!
Pertarungan unik pun terjadi. Sukra Dilaga tak ingin dagingnya direncah-rencah segera menggerakkan sabuknya. Senjata
lemas itu meluncur ke arah buaya-buaya kelaparan.
Dengan tenaga dal amnya yang kuat, Sukra Dilaga mampu membuat sabuk menegang kaku laksana sebat ang tombak. Dalam keadaan seperti itu tusukan dan babatannya tak ubahnya senjata taj am! Tidak hanya itu saja. Kakek berpakai an putih ini pun mampu membuat sabuk mematuk-matuk laksana seekor ular.
Ctar, ctar, ctarrr!
Empat ekor buaya langsung terlecut punggungnya! Tapi, binatang itu memang memiliki kekebalan luar biasa. Serangan Sukra Dilaga tak sedikit pun mempengaruhi gerakan mereka.
Sukra Dilaga tak terkejut melihat kenyataan ini. Dia memang telah menduga sebelumnya. Maka, kegagalan tersebut tak membuatnya gugup.
Sabuknya kembali dilecutkan. Kali ini bagian yang diserangnya adalah sepasang mata buaya-buaya itu. Sukra Dilaga yakin penglihatan binatang yang mampu hidup di dua alam ini tak sekuat anggota tubuh lainnya.
Dan seperti juga sebelumnya, Sukra Dilaga menunjukkan serangan sabuknya sekaligus pada empat ekor buaya. Sabuk itu meluncur dengan diawali bunyi ledakan nyaring. Ternyata buayabuaya itu mengetahui adanya bahaya mengancam. Serangan Sukra Dilaga kali ini tak dibiarkan mereka. Ujung sabuk yang mengancam mata dipapaki binatang-binatang itu dengan sabetan ekor!
Prattt!
Sabetan ekor buaya-buaya ternyata kuat bukan main.
Serangan Sukra Dilaga sampai terpental balik ke belakang! Untungnya, berkat tenaga dalam kakek itu s abuk tak koyakkoyak akibat papakan ekor yang mampu menghancurkan sebatang pohon besar.
Sukra Dilaga hampir tak percaya akan kenyataan yang dialaminya. Buaya-buaya yang dihadapinya bukan binat ang sembarangan, melainkan telah dilatih ilmu silat. Terbukti, binatang itu mampu menangkis serangan!
Kegagalan serangannya membuat Sukra Dilaga semakin didekati rombongan buaya. Kakek yang tak ingin mati secara menyedihkan itu berjuang keras menghalau penyerbunya. Tak hanya sabuk yang dipergunakan, tapi juga tangan dan kakinya. Tangan-tangannya dipergunakan untuk mengirimkan dorongandorongan yang mengandung tenaga dalam tinggi dan hembusan angin keras.
Sukra Dilaga berharap hembusan angin akan melemparkan buaya itu. Tapi, binatang bermoncong panjang ini seperti melekat dengan tanah!
Tak seekor pun di antara puluhan ekor binatang itu yang terlempar. Padahal, angin yang, berhembus membuat batu-batu besar kecil yang ada di tempat itu melayang!
Buaya-buaya itu terus merangsek maju. Mereka mengirimkan serangan dengan gigitan dan lecutan ekornya. Pertarungan ganjil yang terjadi disaksikan oleh penonton yang amat bersemangat. Pemuda berpakaian rompi kulit buaya tak henti-hentinya dia bersorak memberikan semangat pada binatangbinatang peliharaannya.
Kedudukan Sukra Dilaga memang tak menguntungkan. Buaya-buaya yang dihadapinya selain berjumlah banyak juga cukup mengerti ilmu silat. Hal ini membuat serangan-serangan kakek itu senantiasa kandas.
Sabuk si kakek selalu berbenturan dengan ekor buaya di saat meluncur ke arah mata. Sukra Dilaga terpaksa bermain kucingkucingan. Dengan mengandalkan kecepat an gerak dan ilmu meringankan tubuhnya, kakek ini berhasil menyelamatkan selembar nyawanya. Dia berlompatan dari punggung satu ekor buaya ke punggung buaya lainnya. Begitu seterusnya.
Tapi baru beberapa belas jurus pertarungan unik itu berlangsung, Sukra Dilaga meras akan pusing pada kepalanya. Perutnya pun terasa mual.
Tenaganya menyusut secara cepat. Sukra Dilaga yang telah cukup lama hidup di dunia bisa memperkirakan apa yang terjadi. Dia pasti keracunan.
Dilihatnya dari mulut buaya-buaya keluar asap tipis, yang terlihat oleh Sukra Dilaga setelah memperhatikannya baik-baik.
Di saat keadaan Sukra Dilaga semakin mengkhawatirkan, melesatlah sesosok bayangan serba hijau. Sosok bayangan ini langsung menyambar tubuh Sukra Dilaga. Dibawanya tubuh kakek itu meninggalkan buaya-buaya yang telah yakin mangsa mereka akan berhasil direncah-rencah dagingnya.
Pemuda berompi kulit buaya menggertakkan gigi. Kelihatan dia geram bukan main. Matanya yang mempunyai sorot aneh mengikuti gerak lesatan sosok serba hijau.
Ctar, ctarrr, ctarrr!
Pemuda berompi kulit buaya kemudian melecutkan cambuknya. Lagi-lagi bunyi yang aneh terdengar. Akibatnya, buaya-buaya mengejar sosok serba hijau dengan cara yang luar biasa. Binatang-binatang berkaki pendek itu melesat bagai terbang!
Begitu sosok serba hijau menjejakkan kaki di tanah, buayabuaya itu telah meluncur dengan moncong-moncong terbuka lebar, siap merencah-rencah!
Sosok serba hijau yang memanggul tubuh Sukra Dilaga ternyata seorang gadis berwajah cantik luar biasa. Kulitnya putih halus. Tubuhnya yang dibungkus pakaian serba hijau terlihat begitu menawan. Si gadis yang berusia sekitar dua puluh dua tahun itu tak terlihat cemas melihat ancaman maut dari mulutmulut buaya beracun. Bahkan ketika binatang-binatang buas itu telah menjejak tanah dan beramai-ramai menghampirinya!
"Permainan anak-anak seperti ini kau pamerkan padaku, Bonggala?!" dengus si gadis sambil mencibirkan bibir, membentuk senyum sinis.
Gadis berpakaian hijau kemudian membentak nyaring. Dari balik punggungnya dikeluarkan sebatang pedang. Badan pedang tampak mengeluarkan sinar terang yang menyilaukan mata. Gerakan buaya-buaya langsung terhenti ketika melihat pedang bersinar kehijauan itu. Mereka kelihatan gentar! Hal ini membuat Bonggala menjadi geram. Sambil menggertakkan gigi, cambuknya dilecutkan lagi. Pengaruh perintah yang terkandung di dalamnya lebih kuat dari sebelumnya.
Gerombolan buaya itu kelihatan gelisah bukan main. Binatang-binatang itu tahu kalau majikan mereka memerintahkan untuk menyerang.
Tapi, keberadaan pedang bersinar kehijauan di tangan si gadis membuat gerombolan buaya tak berani bertindak.
Bonggala menggertakkan gigi. Sepasang matanya seperti mengeluarkan api karena amarah yang melanda. Dia tahu binatang peliharaannya tak mau mematuhi perintahnya karena takut dengan pedang si gadis.Tapi amarah yang bergolak membuat Bonggala tak ambil peduli.
Bonggala melecutkan cambuknya. Bunyi riuh rendah terdengar ketika puluhan ekor buaya saling serang satu sama lain. Lecutan cambuk itu ternyata mengandung perintah penyerangan. Buaya-buaya menjadi buas dan liar karena urat-urat syarafnya terangsang oleh bunyi lecutan. Kebuasan dan keliaran itu sebenarnya tertuju pada gadis berpakaian hijau. Tapi karena si gadis mempunyai benda yang ditakuti gerombolan buaya, maka binatang-binatang itu tak berani melakukan penyerangan. Akibatnya, pertempuran antara masing-masing buaya pun tak bisa dihindarkan.
Bonggala kebingungan melihat akibat tindakannya. Amarahnya yang tadi menggelegak segera susut. Buaya-buaya yang telah terlibat perkelahian tak mau mendengarkan perintahnya lagi. Bunyi cambuk yang berkali-kali dilecutkannya sama sekali tak dipedulikan. Padahal, bunyi cambuk mengandung perintah agar binatang-binatang melata tersebut menghentikan perkel ahiannya.
Gadis berpakaian hijau tertawa bergelak melihat pemandangan di hadapannya. Bibirnya yang tipis dan merah, dicibirkan ketika menatap Bonggala yang kebingungan.
Saat pertarungan antar binatang melata itu semakin sengit, terdengar suara bentakan keras menggelegar. Bentakan yang disusul dengan gumaman-gumaman tak jel as. Bunyi perkataannya sulit ditangkap. Dan ketika gumaman itu selesai diucapkan, bentakan keras menggel egar kembali terdengar. Buaya-buaya yang tengah berkelahi langsung berhenti! Mereka masing-masing menjauhi lawan tarungnya. Sikap buaya-buaya itu kelihatan ketakutan bukan main.
Bonggala dan gadis berpakaian hijau mengarahkan pandangan ke tempat suara keras itu terdengar. Dua sosok bayangan berkelebat dan mendarat tidak jauh dari mereka. Dua sosok bayangan itu mengenakan pakaian yang berbeda dari orang kebanyakan. Yang mengeluarkan bentakan tadi adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun. Matanya yang sebelah kiri membelalak lebar, tapi yang kanan seperti terpejam. Kepalanya botak. Bagian yang ditumbuhi rambut hanya pada bagian kanan dan kiri saja. Itu pun hanya beberapa helai saja.
Kakek bermata picak ini mengenakan pakaian coklat. Tapi bukan warnanya yang menjadikan pakaian itu aneh. Baik baju maupun celana yang dikenakan si kakek tak s ama panjangnya. Lengan baju dan celananya antara yang kanan dan kiri tak sama panjang!
Sosok yang satu lagi tak kalah anehnya. Pakaian yang dikenakannya bermodel biasa. Tapi, baik baju maupun celanannya tersusun dari bahan yang berbeda warnanya. Baju sebelah kanan berwarna putih, sedangkan bagian kiri berwarna hitam. Warna yang sama menghias celananya. Hanya saja dengan susunan sebaliknya. Sosok yang kedua ini seorang nenek. Usianya tak kurang dari tujuh puluh tahun. Sebagian besar kulitnya telah keriput. Sungguh pun demikian nenek ini kelihatan genit.
Wajahnya dilapisi pupur tebal, sehingga kelihatan seperti memakai topeng. Dua sosok yang kelihatan aneh ini bukan orangorang yang dapat membuat orang tertawa. Malah sebaliknya jika orang telah mengetahui siapa mereka. Kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh kawakan beraliran hitam. Mereka mampu membunuh orang secara keji sambil tertawa-tawa gembira.
Kakek picak itu berjuluk Buaya Gila Bermata Tunggal! Dedengkot kaum sesat yang telah menggegerkan dunia persilatan dengan tindakannya keji dan kepandaiannya yang amat tinggi. Sejak tiga puluh tahun yang lalu kakek ini merajalela tanpa ada seorang tokoh pun mampu menandinginya.
Namun tak seorang tohoh pun yang tahu kalau Buaya Gila Bermata Tunggal memendam perasaan gentar terhadap seorang tokoh. Majikan dari Sukra Dilaga!
Buaya Gila Bermata Tunggal datang dari wilayah timur. Satu demi satu tokoh-tokoh persilatan di wilayah itu dirobohkannya. Bagi tokoh aliran putih tak ada ampun sedikit pun. Sedangkan bagi tokoh aliran hitam yang mau tunduk di bawah kekuasaannya akan diampuni. Bagi yang tak mau tunduk, dibasmi oleh Buaya Gila Bermata Tunggal.
Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persilat an yang tewas di tangannya. Buaya Gila Bermata Tunggal tak hanya mengobrakabrik wilayah timur, selatan dan utara. Barat pun menj adi incarannya. Kakek ini bermaksud menjadikan dirinya datuk nomor satu untuk golongan hitam!
Berkat kepandaiannya yang tinggi, Buaya Gila Bermata Tunggal tak mengalami hambatan yang berarti. Timur, selatan, dan utara berhasil dikuasainya. Tapi usahanya untuk menguasai daerah barat kandas.
Di wilayah ini Buaya Gila Bermata Tunggal bertemu dengan tokoh aliran putih yang terkenal. Pertarungan antara mereka pun terjadi. Kali ini Buaya Gila Bermata Tunggal habis menelan kenyataan pahit. Tokoh aliran putih yang dihadapinya itu tak mampu dikalahkan. Hasil pertarungan mereka adalah seri. Tak ada yang menang atau yang kal ah. Peristiwa itu terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Buaya Gila Bermata Tunggal tak bisa menerima kegagalannya. Dia berlatih lebih keras selama lima tahun. Kemudian, tokoh aliran putih itu disatroninya kembali. Tapi maksud hatinya tak kesampaian. Tokoh yang diincarnya itu telah tak ada di tempatnya. Dia sudah pergi entah ke mana.
Buaya Gila Bermata Tunggal merasa tak puas. Anak buahnya disebar untuk mencari tahu di mana tokoh itu berada. Tapi hasilnya sia-sia. Jejaknya bagai lenyap ditelan bumi!
Buaya Gila Bermata Tunggal kembali ke tempat tinggalnya. Bertahun-tahun kemudian dia berhasil menemukan jejak tokoh yang pernah mengalahkannya. Yakin kalau kepandaiannya telah meningkat pesat.
Majikan Sukra Dilaga pun ditemuinya lagi. Mereka bertarung. Tapi seperti juga pertemuan pertama, dalam perkelahian kali ini pun kakek picak ini menderita kekalahan. Untung nyawanya masih bisa selamat.
Kekalahan kedua kali Buaya Gila Bermata Tunggal terjadi tiga tahun yang lalu. Nenek berpakaian hitam putih yang berdiri di sebelahnya juga bukan orang sembarangan. Nenek ini dulunya termasuk salah satu pentolan kaum hitam. Waktu itu belum ada seorang tokoh pun yang berminat mengangkat diri sebagai datuk. Nenek ini dikalahkan oleh Buaya Gila Bermata Tunggal. Berbeda dengan pentolan-pentolan kaum hitam lainnya, nenek ini bersedia takluk sehingga nyawanya selamat. Nenek ini dikenal dengan julukan Dewi Pesolek!
"Guru...!"
"Nenek...!"
Seruan itu keluar hampir berbarengan. Bonggala yang lebih dulu berseru dan berhambur ke arah kakek picak. Sekejapan kemudian, gadis berpakaian hijau berlari ke arah Dewi Pesolek sambil memanggul tubuh Sukra Dilaga.
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek tak membalas seruan sepas ang muda-mudi itu. Wajah kedua tokoh sesat ini terlihat tidak senang.
"Padmini, bagus sekali kelakuanmu! Ataukah kau ingin menjadi tamu yang kurang ajar! Tamu yang tak menghargai tuan rumahnya?! Cepat kau minta maaf pada Bonggala atas kelancanganmu!" cetus Dewi Pesolek.
"Tapi, Nek...," gadis berpakaian hijau ingin membantah.
"Tidak ada tapi-tapian kalau kau masih menganggapku sebagai nenek!" bantah Dewi Pesolek tak kalah keras.
Sikap Dewi Pesolek ini mengherankan hati Padmini. Mana pernah nenek itu mempedulikan segala sopan santun lagi? Pula tak biasanya dia berkeras dengan pendapatnya yang sudah-sudah yaitu si nenek selalu mengalah terhadap Padmini.
Dari rasa heran otak Padmini yang cerdas segera dapat menduga hal-hal lain yang tersembunyi di balik sikap aneh itu. Setelah lebih dulu menindas rasa tak senangnya, pandangannya diarahkan pada Buaya Gila Bermata Tunggal. Rasa tak mau mengalah terhadap Bonggala membuat Padmini memutuskan untuk bicara dengan kakek picak itu dari pada dengan muridnya.
"Maafkan at as kelancanganku, Kek. Sikapku telah membuat banyak binatang peliharaanmu tewas," ujar Padmini lirih. Tapi nada ucapannya tak seperti orang yang menyesal, melainkan seperti orang terpaksa. "Meskipun sebenarnya aku tak tahu mengapa harus meminta maaf, tapi karena nenekku memaksa, aku tak mempunyai pilihan lain..."
Dewi pesolek menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Padmini. Ucapan yang menunjukkan sikap keras gadis berpakaian hijau itu.
Dewi Pesolek sebenarnya mempunyai alasan kuat menyuruh Padmini meminta maaf. Sekali lihat saja nenek ini telah bisa memperkirakan apa yang terjadi. Dan Dewi Pesolek tahu betapa sayangnya Buaya Gila Bermata Tunggal pada binatang-binatang peliharaannya. Kakek itu bisa meledak amarahnya melihat buayanya tewas atau terluka.
Apabila tokoh seperti Buaya Gila Bermata Tunggal murka tak ada istilah teman atau rekan lagi baginya. Siapa pun yang telah menyulut amarahnya akan diberinya hajaran keras. Dan itu bisa berarti maut!
Dewi Pesolek tentu saja tak menginginkan Padmini celaka. Karena itu, meski terpaksa dan berlawanan dengan suara hati, dipaksakannya bersikap keras terhadap Padmini. Untungnya gadis itu mau mendengar dan mematuhi perintahnya.
"Ha ha ha...!"
Buaya Gila Bermata Tunggal tertawa bergelak. Tawa yang bebas bagai orang yang tengah gembira.
"Kau tak perlu meminta maaf padaku atau pada muridku, Cah Ayu!" lanjut kakek picak setelah puas tertawa "Justru aku seharusnya berterima kasih padamu. Kau tahu mengapa?"
Padmini menggeleng. Gadis ini memang t ak tahu mengapa Buaya Gila Bermata Tunggal malah mengucapkan terima kasih atas tindakannya.
Dewi Pesolek merasa gembira sekali melihat tanggapan Buaya Gila Bermata Tunggal. Apa pun penyebab kegembiraan kakek picak itu dia tak peduli. Yang penting dedengkot kaum sesat itu tak marah atas kematian binatang peliharaannya.
"Memang sudah kuduga kau tak akan mengetahui jawabannya, Cah Bagus! Jangankan kau, muridku itu pun tak akan mengetahui jawabannya. Maka, agar kau dan muridku yang goblok itu tak berlama-lama kebingungan, lebih baik jawaban pertanyaan itu segera kuberikan!"
Buaya Gila Bermata Tunggal menghentikan ucapannya. Kakek picak ini malah menatap lekat-lekat pada tiga sosok yang ada di dekatnya satu per satu.
Padmini yang memiliki hati besar dan ketabahan cukup merasakan kengerian ketika pandangannya beradu dengan kakek picak. Sinar mata kakek itu demikian tajam, seperti mampu membaca apa yang berkecamuk di hati dan pikirannya. Mata Ruaya Gila Bermata Tunggal ini jauh lebih tajam dan mengerikan dari pada mata Dewi Pesolek, gurunya.
"Karena, muridku yang goblok tapi tinggi hati ini jadi tahu dengan dangkalnya ilmu yang dimilikinya!"
Akhirnya, keluar juga jawaban yang dimaksud Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Padahal telah berkali-kali kukatakan tentang kedangkalan ilmunya itu. Tapi murid goblok ini tetap tak mau mengerti. Sekarang aku yakin dia telah tahu dengan kemampuannya yang tidak seberapa itu. Dan aku yakin, murid goblok ini akan segera meminta petunjuk padaku!"
Padmini mendapat kesempatan lagi untuk mengejek Bonggala. Seulas senyum sinis yang ditutup dengan cibiran bibirnya dilontarkan pada pemuda itu.
Tentu saja tidak hanya Bonggala yang melihatnya. Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal pun melihat. Dewi Pesolek mengeluh dalam hati melihat tingkah muridnya. Nenek ini tahu tokoh seperti Buaya Gila Bermata Tunggal, seperti juga dirinya, memiliki watak aneh yang sukar untuk diterka. Bukan tak mungkin keinginan untuk membunuh mendadak muncul karena sikap Padmini.
Lagi-lagi kekhawatiran Dewi Pesolek tak beralasan. Buaya Gila Bermata Tunggal tak marah sama sekali. Jangankan murka, mempedulikan hal itu saja tidak. Hanya Bonggala yang terlihat menampakkan kemarahan dan kegeramannya. Pemuda ini memang dongkol bukan main. Setelah dicerca gurunya kemudian diledek oleh Padmini.
Keadaan yang tak memungkinkan untuk membalas perlakuan Padmini membuat Bonggala menyimpan rasa sakit hatinya. Hanya sorot matanya yang menyiratkan ras a dendam dan sakit hati. Bukan hanya Padmini saja yang mengetahui perasaan dalam sorot mata Bonggala. Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek pun melihatnya. Hanya, kalau kakek picak bersikap tak peduli dan Padmini menganggap ancaman itu secara sepele, tak demikian halnya dengan Dewi Pesolek. Si nenek merasa khawatir bukan main!
"Berhati-hatilah, Padmini. Aku yakin Bonggala tak akan menyudahi urusan ini begitu saja. Bukan tak mungkin kau akan dicelakainya secara licik," beritahu Dewi Pesolek melalui ilmu mengirimkan suara dari jauh, hingga yang mendengar ucapannya hanya Padmini seorang.
Padmini menatap wajah Dewi Pesolek lekat-lekat. Ingin dilihatnya tanggapan yang lebih jelas dari nenek itu.
"Bersikaplah biasa, Padmini. Jangan tunjukkan sikap yang mencurigakan. Kau harus waspada penuh terutama terhadap Bonggala. Si picak ini pun meski kelihatannya baik hati, tapi di dalam lubuk hatinya tersembunyi kekejian yang tak terbayangkan pikiranmu. Aku menyesal membawamu kemari, Padmini."
Hati Padmini tercekat. Gadis yang telah lama tinggal dengan Dewi Pesolek itu bisa merasakan kalau si nenek khawatir sekali. Dan kekhawatiran si nenek membuat Padmini menjadi tegang. Belum pernah dilihatnya Dewi Pesolek kelihatan demikian bingung.
"Kurasa...," Buaya Gila Bermata Tunggal membuka pembicaraan, memecahkan keheningan yang melingkupi tempat itu. "Lebih baik kita ke istanaku, Dewi. Di sana kita bisa berbincang-bincang secara leluasa, guna merundingkan rencana kita selanjutnya. Bagaimana, Dewi?"
"Aku setuju saja, Buaya," jawab Dewi Pesolek tanpa berpikir panjang lagi. Dan saat itu juga dia menyambung ucapannya dengan mengirimkan suara dari jauh pada Padmini. "Kau ikut dengan aku, Padmini. Cepat kau ajukan diri padaku agar aku mempunyai alasan untuk membawamu..."
Pada saat yang bers amaan, Buaya Gila Bermata Tunggal pun mengirimkan suara pula pada Bonggala.
"Pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk membalas sakit hatimu, Murid Dungu! Terserah apa hukuman yang hendak kau timpakan pada gadis montok itu. Aku tak peduli. Tapi ingat, hal itu baru boleh kau lakukan apabila aku sudah membawa gurunya ke dalam. Bukannya aku takut terhadapnya. Tapi saat ini tenaganya kuperlukan untuk menghadapi musuh besarku. Pergunakan ke sempatan ini sebaik-baiknya, Bonggala!"
"Aku ikut, Nek," ujar Padmini, bertepatan dengan selesainya Buaya Gila Bermata Tunggal mengirim pemberitahuan pada muridnya.
Sambil berkata demikian, Padmini mengayunkan kaki mendekati gurunya. Tubuh Sukra Dilaga yang berada di bahunya tak dilepaskan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Bonggala yang nadanya sarat dengan ejekan lebih dulu menyambuti ucapan Padmini, sebelum Dewi Pesolek memberikan tanggapan.
Wajah Padmini langsung merah padam karena malu dan tersinggung. Wajah Dewi Pesolek pun berubah. Nenek ini merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Padmini yang berwat ak keras pasti akan terkena pancingan Bonggala.
Dewi Pesolek mengerling ke arah Buaya Gila Bermata Tunggal. Hendak dilihatnya tanggapan kakek itu atas sikap muridnya. Tapi kakek picak itu bersikap tak peduli.
Melihat hal ini semakin tak enak rasa hati Dewi Pesolek. Segumpal pertanyaan bergayut di benaknya. Apakah kejadian ini telah direncanakan oleh Buaya Gila Bermata Tunggal? Bukan tak mungkin kakek picak itu yang mengatur semuanya.
––––––––
3
"Sungguh tak kusangka betina bermulut tajam ini ternyata memiliki hati yang kecil! Rupanya kau masih belum lepas menetek dengan nenekmu, Wanita Liar?!"
Ejekan itu dikeluarkan Bonggala sebagai lanjutan atas gelak tawanya. Kelicikannya membuat pemuda ini bersikap seperti orang bingung dan tidak percaya. Kepal anya digelenggelengkan. Dari mulutnya dikeluarkan sebaris kalimat yang diulang-ulang.
"Tak kusangka.... Tak kusangka...."
Seperti yang dikhawatirkan Dewi Pesolek, tanggapan Padmini memang sesuai dengan harapan Bonggala.
"Tutup mulutmu, Pemuda Iblis! Siapa bilang hatiku kecil?
Melawan kau pun aku tak takut. Ataukah kau ingin melihat buktinya? Majulah! Akan kuhadapi kau sampai salah seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!" sembur Padmini berapiapi, penuh dengan semangat yang meluap-luap.
Dewi Pesolek hanya bisa menghela napas berat. Kenyataan yang dikhawatirkannya tak bisa dihindarkan l agi. Keributan antara Padmini dengan Bonggala pasti akan terjadi.
Kegelisahan Dewi Pesolek semakin bertambah-tambah ketika Buaya Gila Bermata Tunggal malah mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Si kakek picak ini menuju istananya. Rasa gelisah yang besar membuat Dewi Pesolek kebingungan di tempatnya.
"Sudahlah, Dewi, segala urusan anak-anak tak usah direpotkan. Nanti pun mereka akan baik kembali," ucap Buaya Gila Bermata Tunggal dengan sikap tak peduli.
Dewi Pesolek tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ucapan Buaya Gila Bermat a Tunggal merupakan sindiran tajam. Kalau dia bersikeras untuk bertahan di tempat itu, sama saja dengan tak mempercayai si kakek pi cak. Dan Dewi Pesolek tahu, akibatnya akan sangat gawat bagi dirinya.
Dengan hati gelisah kakinya diayunkan mengikuti langkah Buaya Gila Bermata Tunggal. Si kakek itu sendiri yang berada beberapa langkah di depan Dewi Pesolek, tiba-tiba membalikkan tubuh. Dewi Pesolek sampai terkesiap karenanya. Perasaan gelisah membuatnya mudah menaruh curiga.
Buaya Gila Bermata Tunggal, ternyata tak hendak menyerangnya. Kakek picak itu menatap Sukra Dilaga yang berada di bahu Padmini.
"Aku sampai lupa dengan orang itu...," ucap Buaya Gila Bermata Tunggal. "Aku ingin tahu siapa yang telah berani mati mengunjungi tempatku."
Buaya Gila Bermata Tunggal kemudian melambaikan tangan, kelihatan seperti tengah memanggil seseorang. Gerakannya pun tak terlihat mengerahkan tenaga. Padmini terkejut bukan main ketika merasakan ada kekuatan dahsyat berusaha merebut tubuh Sukra Dilaga. Gadis ini tak mau membiarkan tubuh itu terampas. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk mempertahankan Sukra Dilaga.
Padmini tahu kalau kekuatan dahsyat itu berasal dari tangan Buaya Gila Bermata Tunggal. Tokoh itu sendiri berjarak beberapa tombak darinya.
Tapi, lambaian tangannya dirasakan bagai tangan raksasa tak nampak. Urat-urat Padmini terlihat seperti akar pohon. Semuanya bertonjolan keluar s aking kerasnya gadis ini berusaha mempertahankan tubuh Sukra Dilaga. Hanya sekejapan saja pertarungan tenaga dalam itu terjadi. Begitu jari-jari Buaya Gila Bermata Tunggal dijentikkan, Padmini merasakan sekujur tubuhnya lemas. Gadis ini terkena totokan jarak jauh.
Totokan yang membuat aliran tenaga dalamnya terhenti. Dengan terhentinya aliran tenaga Padmini, Buaya Gila Bermata Tunggal tak mendapatkan perlawanan lagi. Tubuh Sukra Dilaga langsung melayang ke arahnya. Padmini yang mendapatkan kembali tenaga dalamnya sesaat kemudian, hanya bisa mengepalkan tinju melihat tubuh Sukra Dilaga telah tergolek di tanah, di depan Buaya Gila Bermata Tunggal. Kakek itu membolak-balikkan tubuh Sukra Dilaga dengan mempergunakan kakinya.
"Binatang tak tahu diri ini adalah pelayan dari Empu Sapu Jagad, Dewi," ujar Buaya Gila Bermata Tunggal. "Entah ada urusan apa pelayan goblok ini bisa berada di sini. Kuras a lebih baik kalau Sapu Jagad mengetahui pelayannya menjadi umpan buaya. "
Usai berkata demikian, dengan tingkah orang yang merasa jijik, Buaya Gila Bermata Tunggal mengibaskan tangan kiri ke arah tubuh Sukra Dilaga. Tubuh kakek yang malang itu meluncur ke arah gerombolan buaya.
Padmini yang gemar mencampuri urusan orang lain tak bisa tinggal diam. Dia hendak menyambar tubuh Sukra Dilaga sebelum jatuh ke tempat kerumunan buaya kelaparan. Tapi, sebelum itu terlaksana Buaya Gila Bermata Tunggal telah membentak keras.
"Diam kau...!"
Kalau menuruti perasaan, Padmini tak ingin mengikuti perintah itu.
Tapi pengaruh yang terkandung dalam bentakan itu memang luar biasa. Sekujur tubuh Padmini lemas tak berdaya. Buaya Gila Bermata Tunggal kemudian kembali mengibaskan tangan. Kakek pi cak berwatak kejam ini tak mau membiarkan Sukra Dilaga di rencah-rencah buaya dalam keadaan pingsan. Kibasan itu dilakukan untuk menyadarkan Sukra Dilaga.
Maksud Buaya Gila Bermat a Tunggal memang terlaksana. Sukra Dilaga langsung tersadar. Dan, kakek itu terkejut ketika mengetahui tubuhnya melayang. Kekagetannya semakin menjadijadi ketika melihat tempat yang akan dijatuhi tubuhnya adalah kerumunan buaya-buaya lapar!
Sukra Dilaga tak ingin mati percuma. Tenaga dalamnya dikerahkan untuk menyelewengkan arah luncuran tubuhnya. Sukra Dilaga menjadi panik ketika tak meras akan putaran tenaga dalam di pusarnya. Buaya Gila Bermata Tunggal memang telah menghilangkan tenaga dalamnya, meski hanya untuk sementara.
Buaya Gila Bermata Tunggal tersenyum puas ketika melihat nasib yang menimpa Sukra Dilaga. Bonggala sendiri tertawatawa gembira. Dewi Pesolek yang sejak tadi berdiam diri tetap membisu. Sebaliknya, Padmini merasa muak melihatnya. Bahkan, gadis ini hampir muntah-muntah melihat Sukra Dilaga yang malang jadi rebutan buaya-buaya kelaparan!.
Buaya Gila Bermata Tunggal baru mengayunkan kaki meninggalkan tempat setelah sekujur tubuh Sukra Dilaga tak berbentuk lagi.
Dewi Pesolek tanpa banyak kata mengikutinya. Sebelum hal itu dilakukan, masih sempat dilontarkan kerlingan pada muridnya. Kerlingan yang mengandung arti agar muridnya berhati-hati. Dan, Padmini tahu hal itu.
Padmini ikut meninggalkan tempat itu ketika Buaya Gila Bermat a Tunggal dan Dewi Pesolek baru melangkah beberapa tindak. Padmini menempuh arah yang berlainan dengan mereka.
Semula Padmini mengayunkan langkah seenaknya. Sikapnya menunjukkan kesan tak peduli. Padahal sebenarnya tak demikian. Padmini memasang kewaspadaan penuh terhadap gerak-gerik Bonggala!
Gadis ini tahu kalau Bonggala mengikutinya. Pemuda bermata liar itu juga mengayunkan langkah seenaknya. Padmini yang teringat pesan gurunya berusaha untuk menahan diri. Gadis ini malah berlari mempergunakan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Tindakan itu dilakukan Padmini secara tiba-tiba. Karuan saja hal ini mengejutkan Bonggala. Kaburnya gadis itu memaksa Bonggala berlari dan mengejar Padmini secara terang-terangan.
Kejar-mengejar pun terjadi. Masing-masing mengerahkan seluruh kemampuannya. Seketika tubuh keduanya lenyap. Yang terlihat hanya dua kelebatan bayangan kuning dan kehijauan melayang-layang bagai tak menyentuh permukaan tanah.
Gerakan kedua orang muda itu cepat bukan main. Dalam waktu sebentar saja tempat mereka s emula berada tel ah jauh ditinggalkan. Dan ketika jarak yang ditempuh telah lebih dari seribu tombak, Bonggala yang sejak tadi menyusul sedikit demi sedikit bergegas melompat, melewati atas kepala Padmini. Pemuda ini bersalto beberapa kali dan menjejak tanah di depan Padmini. Hanya berjarak empat tombak!
Padmini tak mempunyai pilihan lain kecuaii menghentikan larinya dan menatap Bonggala dengan sengit.
"Mau apa kau mengejar-ngejarku terus, Pemuda ceriwis?! Kalau tak mengingat larangan guruku, sudah kuterjang kau dan kucincang dagingmu!" tandas Padmini penuh kemarahan.
Bonggala malah tertawa-tawa. Hal ini membuat kemarahan Padmini semakin memuncak. Sepasang mata gadis itu mencorong tajam yang ditujukan pada murid Buaya GilaBermata Tunggal.
"Aku tak akan mengejarmu apabila kau tak mencari-cari urusan denganku, Wanita Liar!" tandas Bonggala sambil tersenyum aneh. "Tanpa kuperkenankan sama sekali, kau mencampuri urusanku dengan pelayan Sapu Jagad. Kau pula yang membuat guru menegurku. Kau telah membuat aku terhina dua kali. Maka, sudah selayaknya kalau aku memberi hukuman padamu!"
Tanpa Bonggala menjelaskan keluhan yang dimaksudnya, dengan naluri kewanitaannya Padmini bisa memperki rakan. Sikap Bonggala ketika menutup ucapannya telah memberitahukan gadis itu. Sepasang mata Bonggala menjilati sekujur tubuh Padmini penuh gejolak nafsu birahi!
Tahu kalau Bonggala mengincar kemolekan tubuhnya, Padmini jadi berang. Gadis ini marah bukan main. Dengan diawali teriakan keras yang mengget arkan jantung, Padmini meluruk ke arah Bonggala. Tinju kanan dan kirinya diluncurkan berganti-ganti.
Bonggala tersenyum mengejek. Sikapnya kelihatan memandang remeh serangan yang dilancarkan Padmini. Padahal, di lubuk hatinya pemuda ini terkesiap melihat kedahsyatan serangan itu. Serangan Padmini di samping cepat bukan main, sehingga tak terlihat jelas gerakan kedua tangannya, juga menimbulkan bunyi berdesing nyaring.
Bonggala memang seorang pemuda tinggi hati. Dia malah menyangka di dunia ini untuk golongan pemuda, hanya di rinya yang memiliki tingkat kepandaian tertinggi. Maka meski mengetahui kedahsyatan serangan itu, tanpa ragu-ragu lagi dipapakinya dengan sikap tangan yang sama.
Buk, bukkk!
Benturan bertubi-tubi antara dua pasang tinju yang mengandung tenaga dalam kuat tak bisa di elakkan. Get aran yang tercipta sampai pada kedua belah pihak. Terutama sekali terhadap Padmini. Tubuh gadis itu terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah. Roman wajahnya menyiratkan kenyerian. Sakit dan ngilu mendera kedua t angannya yang berbenturan dengan tangan Bonggala.
Di lain pihak, Bonggala hanya terhuyung dua langkah. Seringai kesakitan yang tampak di wajah Padmini tidak terlihat di wajah pemuda ini.
Padmini geram bukan main melihat hasil benturan itu, sementara Bonggala justru tert awa-tawa gembira. Pemuda ini sengaja bersikap demikian untuk membuat hati Padmini bertambah kalap. Hasil benturan itu saja sudah cukup memukul perasaan Padmini. Apalagi jika ditambah dengan ejekan yang diberikannya.
Dugaan Bonggal a memang tidak keliru. Padmini semakin uringuringan. Dengan didahului teriakan melengkingnya nyaring, gadis ini menerjang Bonggala dengan serangan-serangan dahsyat.
Bonggala segera menyambutinya. Dalam sekejapan tubuh pasangan muda-mudi yang s aling bermusuhan ini telah lenyap. Yang tampak hanya dua kelebat an bayangan kuning dan kehijauan yang saling belit. Bunyi mendesing dan mengaung mengiringi gerakan keduanya.
Tingkat kepandaian Bonggala sebenarnya lebih tinggi. Tapi karena pemuda ini bertarung hati-hati agar tak kesalahan tangan membunuh atau melukai terlalu berat, kemampuan tertingginya tak dikeluarkan semua.
Sebaliknya, Padmini bertarung mempertaruhkan nyawa. Serangan-serangan gadis ini selalu membawa maut. Bahkan tak jarang serangannya mengandung ajakan untuk mengadu nyawa.
Bonggala sama sekali tak meladeni. Pemuda itu telah terpincuk dengan kecantikan Padmini. Dia ingin merobohkan gadis itu tanpa melukai, agar dapat menikmati tubuhnya. Sudah terbayang di benak Bonggala nikmatnya menggeluti tubuh montok gadis itu.
Karena terlalu berhati-hati Bonggala jadi mengalami kesulitan untuk membekuk Padmini. Jalannya pertarungan malah berimbang. Bahkan, karena terlalu nekatnya Padmini, Bonggala jadi kelihatan terdesak.
Keadaan tak menguntungkan ini malah dimanfaatkan Bonggala.
Pemuda yang licik itu mendapat gagasan ketika melihat bersemangatnya Padmini untuk merobohkannya. Bonggala kemudian memperlihatkan keadaan yang semakin terdesak.
Seperti yang sudah diduga Bonggala, Padmini memang semakin bersemangat melancarkan serangan. Kewaspadaan gadis itu menyusut karena terbawa dorongan untuk s egera dapat merobohkan lawannya. Dan secara tak terduga-duga, Bonggala mengibaskan tangan kiri, setelah terlebih dulu memasukkan tangannya ke balik baju. Tindakan itu dilakukannya dengan cepat dan hanya sekejapan saja. Padmini kelabakan ketika dari tangan Bonggala tersebar bubuk-bubuk halus. Tidak tercium bau tajam sebagaimana biasanya bubuk racun.
Rasa gugup dan belum banyaknya pengalaman membuat Padmini mengambil tindakan berbahaya. Gadis itu memej amkan mat a agar bubuk yang disebarkan tak mengenai matanya. Pada saat yang bersamaan. Karena memang telah dinanti-nantikan Bonggala, segera dikirimkan tendangan kaki kanan ke arah perut Padmini.
Deru angin yang mengiringi meluncurnya serangan tersebut terdengar oleh Padmini. Gadis ini menyadari adanya bahaya. Meski tak melihat, tapi bisa memperkirakan bagi an mana yang dituju. Dengan sepasang mata masih terpejam Padmini melompat ke belakang untuk menghindar.
Bukkk!
"Hubh...!"
Keluhan tertahan itu keluar dari mulut Padmini. Tendangan Bonggala mendarat secara telak di perutnya. Bonggala tak kalah cerdik.
Serangan yang dilancarkannya tak hanya dengan kaki kanan. Tapi, disusulinya secara cepat dengan kaki kiri. Arah yang ditujunya tetap sama.
Siasat Bonggala berhasil. Padmini yang tak mengira tindakan ini langsung terjengkang ke belakang. Wajah gadis itu menegang karena rasa sesak yang mendera perutnya.
Saat yang baik itu tak disia-siakan Bonggala. Pemuda bermata liar ini menerjang maju dengan totokan bertubi-tubi. Sementara Padmini sudah membuka matanya kembali. Gadis ini bermaksud mengelakkan serangan.
Tapi kecepatan serangan Bonggala terlalu luar biasa. Padmini hanya mampu mengelakkan beberapa totokannya. Totokan yang ketiga tak dapat dielakkan lagi. Padmini roboh ke tanah seperti sehelai kain basah ketika jari Bonggala menyentuh bahu kanannya.
"Ha ha ha...!"
Tawa bergelak penuh perasaan gembira dikumandangkan Bonggala atas keberhasilannya. Sekejap pemuda ini menatap tubuh molek yang tergolek di tanah dengan mata berkilat-kilat penuh nafsu.
Padmini merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat. Gadis ini merasakan adanya ancaman yang mengerikan. Padmini hanya dapat menatap tingkah Bonggala dengan sorot mata takut dan ngeri!
Bonggala tentu saja tahu arti sorot mat a Padmini. Kenyataan ini membuatnya semakin gembira. Langkah-l angkahnya semakin diperlambat.
Sepasang matanya yang menatap Padmini semakin diperliar untuk lebih menimbulkan rasa takut pada gadis itu. Diiringi geraman bagai seekor harimau lapar menerkam mangsa, Bonggala menerkam tubuh Padmini. Dengan buas wajah gadis itu diciuminya. Padmini hanya bisa memejamkan mata dan merintih di dalam hati.
Tak puas hanya dengan menciumi selebar wajah, Bonggala mulai menjarah pakaian si gadis. Tangannya yang berjari-jari kuat dan mampu menghancurkan batu karang paling keras bersiap mencabik-cabik pakaian Padmini.
"Kau renggut pakaian gadis itu, akan kuhancurkan batok kepalamu, Manusia Jahanam!"
Bonggala langsung menahan maksudnya. Suara yang terdengar amat dekat itu menghentikan gerakannya. Pemuda ini bergegas bangkit berdiri dan bersiap untuk bertarung.
Bonggala tahu ada seseorang yang melihat perbuatannya. Kendati demikian, pemuda ini tak merasa gentar. Dari suara yang ditangkap telinganya agaknya pemilik suara itu masih muda. Sampai di mana sih tingginya kepandaian seorang muda! Ucap Bonggala dalam hati dengan nada meremehkan.
Bonggala mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sulit baginya memperkirakan di mana pemilik suara itu berada. Di sekitar tempatnya berada hanya semak-semak dan pepohonan bes ar. Bonggala dan Padmini memang berada di dalam sebuah hutan lebat.
"Siapa kau, Orang Usilan?! Tunjukkan rupamu kalau kau bukan seorang pengecut!" teriak Bonggala lantang, set elah mencari-cari dengan penuh perhatian tak juga bisa memperkirakan di mana pemilik suara itu.
"Aku di sini, Sobat. Dekat denganmu...."
Bonggala menggertakkan gigi. Pemuda ini merasa dipermainkan.
Bonggala yang memiliki watak tinggi hati tetap tak mau berpikir jernih. Kalau saja hatinya tak penuh dengan kesombongan, dari tidak dapat dilacaknya di mana pemilik suara itu saja telah dapat diketahui ketinggian ilmunya.
Bonggala mengibaskan kedua tangan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Deru angin keras berhembus. Beberapa batang pohon berpatahan ketika terlanda angin serangan. Semaksemak pun porak-poranda.
Malah, sebagian besar tercabut sampai ke akarnya. Bonggala memperhatikan kembali sekelilingnya yang sebagian besar telah terbuka. Tapi tetap saja pemilik suara yang mengancam dirinya tak terlihat. Bersembunyi di mana si keparat sialan itu? Maki Bonggala dalam hati.
"Keluar kau, Pengecut! Jangan hanya bisa bersembunyi saja! Kalau memang memiliki keberanian, keluar...!"
"Sejak tadi pun aku sudah menunjukkan diri, Manusia Tak Bermata!" sahut pemilik suara. "Dongakkan kepalamu, dan lihat baik-baik!"
Bonggala mendongakkan kepalanya dan tanpa sadar pemuda ini terjingkat ke belakang. Sesosok tubuh terbungkus pakaian ungu tergantung di atas kepalanya. Sosok itu tergantung dengan kepala di bawah.
Rambutnya yang putih keperakan terjurai ke bawah. Sosok yang ternyata seorang pemuda tampan itu tergantung pada salah satu cabang pohon yang besar bukan main. Letaknya di dekat Bonggala berdiri.
Bonggala hanya terkejut sebentar. Sesaat kemudian, sifat liciknya membuat pemuda itu segera mengambil keputusan. Kedua tangannya dihentakkan. Seketika itu juga, serangkum angin berciutan meluruk ke arah pemuda berpakaian ungu. Bonggala telah memperhitungkan serangan itu akan membuat pemuda usilan ters ebut melompat ke bawah. Dan bila itu terjadi, serangan susulannya telah dipersiapkan.
Tapi, apa yang diperkirakan Bonggala ternyata tak sesuai dengan kenyataan. Pemuda berpakaian ungu tak berusaha melompat untuk mengelakkan serangan. Dengan kedua kaki masih terkait pada cabang pohon, tubuhnya diayunkan sehingga pukulan jarak jauh Bonggala mengenai tempat kosong.
Kenyataan ini saja sudah mengejutkan Bonggala. Tapi, keterkejutan yang lebih besar melandanya ketika melihat akibat ayunan pemuda berpakaian ungu. Daun-daun pohon berguguran dan meluncur turun dengan memperdengarkan bunyi bercicitan nyaring. Bunyi yang terdengar seakan-akan timbul dari meluncurnya anak panah!
Bonggala membentak keras. Kedua tangannya segera dihentakkan untuk mengirimkan pukulan jarak jauh. Daun-daun itu bagaikan membentur dinding yang tak nampak, roboh sebelum berhasil mengenai tubuh Bonggala. Pada saat yang bersamaan pemuda berpakaian ungu berhasil menjejak tanah. Bonggala hanya bisa menggertakkan gigi, geram melihat keberhasilan orang usilan itu mendarat di tanah tanpa sempat dikirimkan serangan.
Bonggala menatap pemuda berpakai an ungu dengan sinar mata penuh hawa pembunuhan. Orang yang ditatapnya terlihat tenang-tenang saja. Dibalasnya tatapan bonggala.
"Siapa kau, Anjing Kurap?!" teriak Bonggala, keras. "Sungguh berani kau mencampuri urusanku! Tidakkah kau tahu siapa aku?!"
Pemuda berpakaian ungu yang bukan lain Arya Buana atau lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak, tersenyum tenang. Dia tak kelihatan marah atau tersinggung.
"Aku tak ingin tahu siapa kau, Manusia Hina! Tapi yang perlu kau tahu, siapa pun adanya asal orang itu kulihat melakukan tindak kejahatan akan kutentang. Aku tak peduli siapa pun orang itu. Jelas?!"
"Kalau begitu, kau ingin mampus ..!"
Bonggala yang telah murka langsung mencabut cambuknya, kemudian dilecutkan. Dal am sekali lecut dikirimkannya serangan ke arah ubun-ubun Dewa Arak. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bonggala mampu membuat senjata lemas itu meliuk-liuk bagai ular.
Dewa Arak bersikap tenang. Bonggala tampaknya lawan yang amat tangguh. Sungguh pun demikian, ditunggunya hingga dekat serangan yang dilancarkan pemuda itu. Baru kemudian kepalanya digoyangkan!
"Ah...!"
Seruan kaget tercetus dari mulut Bonggala. Sepasang mata pemuda ini membelalak lebar melihat rambut Dewa Arak berpencar menjadi dua gumpal. Gumpalan yang pertama meliuk liuk mengikuti gerak cambuk
Bonggala. Sedangkan gumpalan yang lain menegang kaku bak tongkat, kemudian meluncur ke arah pergelangan tangan Bonggala yang memegang cambuk. Murid Buaya Gila Bermata Tunggal ini segera tahu rambut Dewa Arak bermaksud menotok pergelangan tangannya.
Bonggala sadar keadaannya tak menguntungkan. Jika serangan diteruskan dia malah yang akan mendapat kerugian. Di samping serangannya kemungkinan bes ar tertangkis, dia pun akan celaka oleh gumpalan rambut Dewa Arak yang satu lagi.
Tanpa ragu-ragu Bonggala pun melompat mundur sehingga serangan Dewa Arak kandas. Bonggala jadi semakin yakin Dewa Arak memiliki kepandaian amat tinggi. Kekuatan tenaga dalamnya pasti berada di atas dirinya. Bonggala tak sembarangan dalam menilai demikian. Tindakan pemuda berambut putih keperakan itu membagi rambutnya menjadi dua gumpalan memang tak aneh. Tapi membuat yang satu gumpal menegang, dan yang lain meliuk liuk merupakan hal yang teramat sulit.
Kendati demikian. Bonggala tak menjadi gentar. Begitu selesai menghindar pemuda ini kembali melancarkan s erangan jauh lebih dahsyat.
Dewa Arak bergegas menyambutinya.
Jalannya pertarungan disaksikan oleh satu-satunya penonton, Padmini. Gadis ini semula merasa khawatir Dewa Arak tak mampu menghadapi Bonggala. Tapi ketika bergebrak beberapa kali, harapan untuk mendapatkan pertolongan dari pemuda berambut putih keperakan itu membesar.
Padmini memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh minat. Semakin lama kekagumannya terhadap Dewa Arak semakin besar.
Wajah Arya yang tampan dan sikapnya yang tenang membuat Padmini semakin tertarik. Tanpa dapat dicegahnya lagi, bersemilah perasaan suka terhadap penolongnya ini.
Sementara itu Bonggal a semakin sadar kalau Dewa Arak terlalu tangguh. Setelah bergebrak belasan jurus, dia senantiasa didesak dan dihimpit. Benturan yang terjadi beberapa kali membuat Bonggala selalu terhuyung-huyung dengan langkah lebih banyak dari lawannya.
Bonggala memang pemuda sombong dan keras hati. Kendati demikian, dia cerdik. Karena itu Bonggala tahu kalau melawan terus hanya akan mencelakai dirinya sendiri. Bisa-bisa dia akan tewas di tangan Dewa Arak.
Ctarrr!
Pertemuan antara gumpalan rambut Dewa Arak dan cambuk Bonggala membuat pemuda bermata liar itu terhuyung-huyung dua langkah.
Ini terjadi entah untuk yang ke berapa kalinya.
"Tahan...!"
Bonggala berseru keras ketika Dewa Arak hendak menerjangnya lagi.
Dewa Arak memenuhi seruan Bonggala. Bukan karena seruan itu, tapi karena Arya seorang berjiwa kesatria. Merupakan pantangan besar bagi seorang gagah untuk menyerang lawan yang belum siap. Dewa Arak menatap Bonggala lekat-lekat. Dengan sabar Arya menunggu hingga Bonggala siap untuk bicara.
"Kali ini aku mengaku kalah, Kunyuk Kurap!" ujar Bonggala.
Sorot matanya memancarkan sakit hati yang besar. "Perkenalkan dirimu agar kelak aku dapat mencarimu untuk membalas kekalahanku ini! Tentu saja kalau kau tak takut untuk membiarkanku pergi!"
Arya hanya tersenyum mendengar ucapan Bonggala. Pemuda bermata liar itu sengaja menekannya dengan kata-kata yang menyinggung harga dirinya sebagai orang gagah.
"Aku bukan seorang pengecut, Manusia Hina! Kalau kau masih merasa penasaran, kelak kau boleh mencariku. Namaku Arya Buana. Orang-orang Persilatan memberiku gelar Dewa Arak! Jelas?!" sahut Arya tenang.
Bukan hanya Bonggala saja yang terkejut mendengar pemberitahuan Arya. Padmini pun dilanda perasaan yang sama. Julukan Dewa Arak telah lama mereka dengar. Inikah orangnya yang menggemparkan dunia persilatan itu? Pikir mereka.
"Kiranya kau tokoh yang menggemparkan itu? Baik! Akan kucatat nama dan julukanmu, Dewa Arak. Kelak kita akan bertemu lagi. Dan, saat itu berarti waktunya kau untuk menghadap malaikat maut !" ancam Bonggala dengan suara bergetar.
"Akan kutunggu pelaksanaan janjimu itu! Tapi perlu kau ingat, bukan hanya kau saja yang bisa berjanji, aku pun demikian!'' timpal Arya penuh tekanan. "Apabila kita bertemu lagi dan kulihat kau masih menyebar kekacauan, aku akan membuat perhitungan denganmu. Camkan itu!"
Bonggala membuang ludah dengan sikap kasar. Tubuhnya kemudian dibalikkan dan melangkah meninggalkan tempat itu. Pemuda bermata liar itu pergi tanpa menoleh-noleh lagi.
"Hhh...!"
Setelah menghela napas berat, Arya memutar-mutar rambutnya di atas kepala. Bunyi berdesing disertai angin yang cukup keras pun berhembus.
Padmini semakin kagum ketika merasakan totokan yang membelenggunya punah oleh angin putaran rambut Dewa Arak. Gadis itu buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan aliran darahnya.
Sekejapan kemudian Padmini telah berdiri tegak di tanah.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, Dewa Arak. Tanpa adanya kau mungkin aku hanya tinggal nama," ucap Padmini penuh rasa terima kasih. Ditatapnya Arya tanpa menyembunyikan sorot kagum dalam sinar matanya.
"Lupakanlah, Nona. Sudah selayaknya orang hidup tolongmenolong," kilah Arya sambil mengulapkan tangan. "Mengapa kau bisa bentrok dengan pemuda tadi?"
"Bonggala maksudmu, Dewa Arak?" tanya Padmini setengah memberi tahu nama murid Buaya Gila Bermata Tunggal itu. "Karena aku benci dengan kelakuannya!"
Arya sebenarnya telah berada di atas pohon sebelum Bonggala dan Padmini tiba. Pemuda itu tengah beristirahat ketika Padmini dan Bonggala ribut mulut. Dewa Arak pun melihat jelas jalannya pertarungan muda-mudi itu. Dari gerakan keduanya, Arya bisa tahu kalau Bonggala dan Padmini mempunyai ilmu golongan hitam. Serangan-serangan mereka yang liar dan selalu mengancam keselamatan nyawa menjadi ciri utama ilmu golongan hitam. Maka, pemuda ini tak merasa kaget ketika mendengar Padmini mengenal Bonggala.
"Panggil saja aku Padmini, Dewa Arak."
"Sebaiknya kau sapa aku dengan namaku saja, Padmini. Arya namaku," balas Arya.
Padmini tersenyum.
"Kau suka kalau kuceritakan mengapa aku bisa berkenalan dengan pemuda ceriwis dan kurang ajar, Arya?"
"Mengapa tidak, Padmini?" sambut Arya kalem. "Tapi kurasa sebaiknya kita bercakap-cakap sambil duduk, akan lebih nyaman."
Tanpa menunggu tanggapan Padmini, Arya menghampiri sebatang pohon yang akarnya menyembul ke tanah. Di situ pemuda ini meletakkan pantatnya. Padmini mengikuti tanpa banyak bicara.
"Aku kenal Bonggala karena guruku, Arya. Guru yang yang telah lama kuanggap sebagai nenekku sendiri."
Sampai di sini Padmini menghentikan ceritanya untuk melihat tanggapan Arya. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu tenang-tenang saja. Arya malah menunggu kelanjutan cerita Padmini dengan sabar.
"Guruku mendapat undangan dari guru Bonggala. Guru pemuda ceriwis itu adalah seorang datuk sesat yang amat lihai dan kejam. Wajahnya persis sama dengan Bonggala. Julukannya adalah Buaya Gila Bermata Satu..."
"Ah...!"
Seruan kaget Dewa Arak membuat Padmini menghentikan cerita. Ditatapnya wajah Arya penuh selidik
"Kau mengenalnya, Dewa Arak?" tanya Padmini ingin tahu. Gadis ini lupa menyebut Arya dengan julukannya, bukan nama.
Arya menggelengkan kepala.
"Aku hanya mengenal julukannya saja. Itu pun dari berita yang tersebar di dunia persilatan dan dari seseorang yang dekat hubungannya denganku."
"Apakah orang itu seorang wanita? Gadis, Arya?" desak Padmini.
Ada rasa panas menjalari hati gadis itu begitu membayangkan seorang gadis mempunyai hubungan dekat dengan Dewa Arak.
Arya melongo. Pemuda ini masih belum mengerti arah pertanyaan Padmini.
"Apa maksudmu, Mini? Aku belum mengerti?" tanya Arya, bingung.
Wajah Padmini memerah. Pertanyaannya terlalu bersifat menyelidik pribadi Dewa Arak. Dia malu ketika teringat janggalnya pertanyaan itu. Tapi sudah telanjur diucapkan dan tak mungkin ditariknya kembali.
"Kau tadi mengatakan tahu tentang Buaya Gila Bermata Tunggal dari seseorang yang hubungannya dekat denganmu, bukan? Yang kutanyakan, apakah orang yang kau maksud itu seorang wanita?"
"Bukan," jawab Arya. "Dia seorang kakek. Mungkin kau tak mengenalnya, Padmini. Namanya Jaran Sangkar. Ki Jaran Sangkar," jelas Arya.
Dewa Arak sengaja hanya menyebut nama kakek itu. Jika julukannya diberitahukan, pemuda ini khawatir Padmini pernah mendengarnya. Julukan Ki Jaran Sangkar adalah Penyair Cengeng (Untuk jelasnya, silahkan baca episode "Golok Kilat").
Sinar mata Padmini kembali berbinar-binar mendengar jawaban Arya. Dengan penuh semangat ceritanya kemudian dilanjutkan.
"Kuakui guruku bukan termasuk orang baik-baik. Beliau masuk golongan sesat, kendati aku sebenarnya menyayangkan hal itu. Tapi aku tak berani menasihati guruku. Aku hanya berusaha agar tak tersesat jalan sepertinya. Dan guruku tak keberatan jika aku mengambil jalan yang berbeda dengannya. Kau mungkin pernah mendengar julukan guruku, Arya."
"Mungkin, Padmini. Coba kau beritahukan julukan gurumu itu. Barangkali saja aku pernah mendengarnya." "Julukan beliau adalah Dewi Pesolek." Arya mengangguk-anggukkan kepala.
"Tentu saja aku pernah mendengarnya, Padmini. Menurut berita yang sampai telingaku, gurumu itu dikalahkan oleh Buaya Gila Bermata Tunggal. Demikian juga pentolan-pentolan kaum sesat lainnya. Apakah benar demikian?"
"Benar," jawab Padmini sambil tersenyum pahit. "Kekalahan yang diderita membuat guruku menjadi anak buah Buaya Gila. Dan celakanya, guruku menerima saja perlakuan si kakek picak itu. Bahkan undangan kakek itu dipenuhinya. Beliau dimintai bantuannya menghadapi lawan tangguh Buaya Gila. Guru mengajakku ke tempat si Buaya Gila. Dan, di tempat itulah aku bertemu Bonggala!"
"Kau tahu tokoh yang akan dilawan oleh Buaya Gila dan gurumu itu, Mini?"
Padmini merasakan adanya rasa ingin tahu yang besar dalam pertanyaan Dewa Arak. Gadis ini menjadi gembira karena ceritanya membuat Dewa Arak tertarik.
"Tentu saja, Arya. Aku mendengarnya ketika Buaya Gila bercakap-cakap dengan guruku."
"Siapa dia, Mini?" desak Arya tak sabar.
"Sapu Jagad! Kau pernah mendengar julukannya, Arya?"
Arya menggeleng. Wajahnya yang semula menegang dan penuh harapan kini mengendur kembali. Tidak terlihat gambaran apa pun pada roman mukanya. Melihat sikapnya, Padmini tahu kalau Arya kecewa.
"Memangnya kau kira siapa tokoh yang menjadi musuh Buaya Gila Bermata Tunggal itu Arya?" tanya Padmini ingin tahu.
––––––––
4
Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan Padmini. Kelihatan sekali pemuda ini merasa berat untuk mengutarakannya. Padmini pun bisa merasakan. Dan, gadis ini merasa kecewa sekali karena Arya tak mempercayainya.
"Kalau hal itu memang rahasia sekali, kurasa kau tak perlu menjawabnya, Arya," ujar Padmini dengan suara sendu.
Arya tahu perasaan yang bergolak di hati gadis itu. Dia jadi merasa tak enak. Dihelanya napas berat beberapa kali sebelum berbicara.
"Maukah kau berjanji merahasiakan apa yang akan kukatakan, Mini? Yang tahu hal ini hanya kau dan aku. Bagaimana, kau bersedia?"
Seketika wajah Padmini jadi berseri-seri.
"Tentu saja, Arya," jawab gadis itu, mantap. "Aku berjanji tak mengatakannya pada siapa pun. Tak terkecuali pada guruku sendiri."
"Bagus!" puji Arya. "Kalau demikian, aku merasa lega untuk mengatakannya padamu. Dengarlah baik-baik. Kukira orang yang hendak ditemui Buaya Gila dan gurumu itu adalah tokoh luar biasa yang amat aneh dan penuh rahasia. Tokoh inilah yang tengah kucari-cari, Mini. Menurut petunjuk Ki Jaran Sangkar, kalau aku ingin bertemu dengan tokoh itu aku harus menemui Buaya Gila Bermata Tunggal."
"Mengapa harus demikian, Arya?" tanya Padmini.
"Menurut Ki Jaran Sangkar, Buaya Gila Bermata Tunggal itulah dari sekian banyak orang yang mendapat keberuntungan. Buaya Gila itu akan bertemu dengan tokoh penuh rahasia tersebut."
"Siapa tokoh penuh rahasia itu, Arya?"
"Dewa Berhati Emas," jawab Arya dengan suara lirih seperti takut didengar orang lain. Padahal, pemuda ini yakin di sekitar tempat itu tak ada orang lain.
"Dewa Berhati Emas?" ulang Padmini dengan sepasang alis berkerut
"Kau pernah mendengarnya, Mini?"
Perlahan-lahan Padmini menganggukkan kepala.
"Guruku pernah menyebut-nyebutnya," jawab gadis itu dengan suara mengambang. "Tapi menurut beliau, Dewa Berhati Emas bukan manusia, maksudku... tak patut disebut manusia.
Kata beliau tokoh itu tak pernah mati sejak ratusan tahun lalu. Konon Dewa Berhati Emas selalu memberikan ilmu pada orangorang yang kebetulan bertemu dengannya.
Tak dipedulikan apakah orang itu berasal dari golongan putih atau hitam."
"Apa yang dikatakan gurumu itu sama persis dengan yang dikatakan Ki Jaran Sangkar, Mini," sambut Arya. "Bedanya, Ki Jaran Sangkar mengatakan kalau Dewa Berhati Emas benar-benar ada. Bahkan beliau menyuruhku untuk sedapat mungkin bertemu dengan tokoh penuh rahasia itu."
"Kau percaya dengan keterangan Ki Jaran Sangkar, Arya?"
"Tentu saja, Mini. Beliau tak pernah bicara yang tak benar!" tandas Arya.
"Lalu..., apa lagi dikatakan Ki Jaran Sangkar mengenai Dewa Berhati Emas itu, Arya?" desak Padmini setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Menurut Ki Jaran Sangkar, saat-saat ini Dewa Berhati Emas telah keluar lagi ke dunia persilatan. Dan biasanya tokoh yang tak ubahnya dewa itu berkelana selama tiga purnama. Orang yang kebetulan bertemu dengannya di waktu-waktu tertentu akan diturunkannya ilmu. Satu macam ilmu.Tapi, luar biasa dahsyatnya!"
"Berapa hebatnya orang yang hanya mendapat pelajaran beberapa bulan?" timpal Padmini setengah meremehkan.
"Siapa bilang beberapa bulan, Mini?" sergah Dewa Arak, cepat.
"Menurut Ki Jaran Sangkar hanya sesaat saja. Jangankan berbulan-bulan, sehari pun tidak. Bahkan tak sampai sesiangan! Entah bagaimana caranya aku juga tak mengerti. Tapi begitulah cerita Ki Jaran Sangkar!"
Padmini terdiam. Gadis ini masih belum bisa mencerna keterangan Dewa Arak. Bagaimana mungkin orang mempel ajari ilmu hanya sesaat dan langsung menjadi orang sakti?
Arya membiarkan saja tingkah Padmini. Pemuda ini malah mempergunakan kesempatan itu untuk mengawang-awangkan alam pikirannya. Suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam alun pikiran sendiri-sendiri.
"Kalau aku pribadi, Arya," celetuk Padmini memecahkan keheningan. "Tak berminat sama sekali untuk bertemu dengan Dewa Berhati Emas, apalagi mendapatkan ilmunya. Menurut pendapatku, semakin tinggi dan dahsyat sebuah ilmu semakin sulit untuk mempelajarinya. Kalau waktu yang diperlukan hanya sekejap, ilmu apakah yang akan diberikan?"
Arya diam. Bisa diterimanya alasan Padmini. Kendati demikian Arya tak membenarkannya pula. Dewa Arak tahu banyak ilmu-ilmu dahsyat di dunia ini. Pemuda ini sendiri telah beberapa kali menghadapi ilmu-ilmu seperti itu. Jadi, meski keterangan Ki Jaran Sangkar banyak yang tak masuk akal, pemuda ini tak menolak kebenaran ucapan Padmini mentahmentah.
"Aku pun bukan karena rakus ilmu mencari tokoh rahasia itu, Mini. Tapi, karena ini permintaan kawan dekatku. Biasanya ucapan Ki Jaran Sangkar selalu berisi hal-hal yang penting."
"Jadi kau tetap berminat untuk mencari Dewa Berhati Emas?"
Arya mengangguk.
"Pantas kau merasa kecewa ketika tahu Buaya Gila Bermata Tunggal bukan hendak menemui Dewa Berhati Emas," ujar Padmini.
"Tapi sekarang tidak lagi, Mini," kilah Arya. "Pokoknya, kemana pun Buaya Gila pergi, aku akan terus mengikutinya. Jadi andaikata tokoh itu bertemu Dewa Berhati Emas, aku pun akan bertemu dengannya pula."
Padmini hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Di dalam hati gadis ini membenarkan keputusan yang diambil Dewa Arak.
"Karena itu aku membutuhkan bantuanmu, Mini. Kaulah orang yang tahu ke mana gurumu dibawa pergi Buaya Gila
Bermata Tunggal."
"Kapan kau akan memulai penguntitan ini, Arya?" "Lebih cepat lebih baik, Mini!" tandas Arya.
"Jadi...," Padmini menggantung ucapannya.
"Kalau kau bersedia, sekarang juga kita akan berangkat! Bagaimana?"
"Tapi aku belum selesai dengan ceritaku?" bantah Padmini.
"Tinggal sedikit lagi, Arya."
"Kalau demikian kita lanjutkan cerita itu sambil berjalan!"
"Terserah kau sajalah, Dewa Arak! Padmini mengangkat kedua bahunya.
Arya tersenyum simpul. Sebentar kemudian sepasang mudamudi ini telah berlari cepat untuk menguntit kepergian Buaya Gila Bermata Tunggal. Sambil berlari Padmini menyambung ceritanya.
****
"Itu dia tempatnya, Dewi...!"
Buaya Gila Bermata Tunggal menudingkan telunjuknya ke sebuah gua yang di depannya terhampar hal aman cukup luas. Halaman itu sebenarnya indah. Di sana-sini banyak tumbuh tanaman bunga aneka warna.
Sayangnya, keadaan taman itu porak-poranda. Taman bunga tak terlihat rapih. Tanah gembur berserakan di sana-sini. Beberapa batang pohon bunga tercabut bers ama akar-akarnya.
Dewi Pesolek hanya menggumam tak jelas menyambuti ucapan Buaya Gila Bermata Tunggal. Gua ters ebut adalah tempat tinggal Sapu Jagad. Tempat yang bernama Gua Api. Dewi Pesolek dan bahkan Buaya Gila Bermata Tunggal tak tahu mengapa tempat itu mempunyai nama demikian.
Pikiran nenek ini masih tersangkut pada Padmini. Dia tak sempat lagi melihat keadaan muridnya. Karena setelah diajak ke istananya, Buaya Gila Bermata Tunggal langsung mengajaknya menemui musuh besar yang dicarinya.
"Apa yang telah terjadi? Mengapa keadaan di sini berantakan sekali?" sambung Buaya Gila Bermata Tunggal. Heran melihat keadaan tempat itu yang berantakan.
Rupanya tadi, karena terlalu memusatkan perhatian pada gua, kakek picak ini tak melihat keadaan halaman yang porakporanda. Lagi-lagi Dewi Pesolek hanya memberikan gumaman pelan. Buaya Gila Bermata Tunggal bergegas mel esat mendekati halaman gua yang berantakan. Hanya dengan sekali lesatan kakek ini telah berada di depan gua.
"Bekas-bekas pertempuran," desis Buaya Gila Bermata Tunggal. Dilihatnya halaman gua yang porak-poranda bagai telah dibajak puluhan kerbau liar. "Siapa yang telah berani lancang membuat kekacauan di tempat ini? Sungguh berani mati orang itu. Berani mendahului si Buaya Gila!"
Dewi Pesolek yang telah berada di dekat Buaya Gila tak memberikan sambutan. Nenek ini bersikap tak ambil pusing pada kakek picak yang tengah mengomel panjang pendek. Buaya Gila Bermata Tunggal sendiri sepertinya memang tak butuh kata sambutan. Dengan wajah berang dan sikap penuh ancaman, kakek picak ini mengarahkan pandangan ke arah gua.
Gua itu cukup besar. Garis tengah lingkarannya tak kurang dari satu tombak. Sebuah ukuran yang cukup bagi seseorang untuk masuk ke dalamnya secara wajar. Keadaan bagian dalam gua tampak hitam pekat. Tak terlihat apa pun di sana oleh mata Buaya Gila dan Dewi Pesolek.
Buaya Gila Bermata Tunggal yang tengah diamuk amarah bermaksud untuk masuk ke dalam gua. Tapi baru saja kakinya digerakkan, di ambang pintu gua telah muncul sesosok tubuh.
Sosok itu mengenakan pakaian serba putih. Pakaian itu terlihat longgar membungkus tubuhnya yang kecil kurus serta agak bungkuk.
Kumis, jenggot, jambang, alis, serta rambutnya telah putih semua. Seimbang dengan kulit tubuhnya yang keriput.
Sosok berpakaian serba putih itu memang seorang kakek yang usianya seratus tahun lebih. Kulit wajahnya yang keriput terlihat memancarkan sesuatu. Wajah kakek ini pun seperti bersinar dan menimbulkan kesejukan bagi yang melihatnya. Kakek berpakaian putih ini tersenyum lebar. Ditatapnya Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek bergantian. Tapi, tak satu pun dari kedua tokoh itu yang menyambuti keramahtamahannya.
Terutama sekali Buaya Gila Bermata Tunggal. Kakek yang memang tengah dilanda amarah itu justru semakin bergejolak amarahnya melihat senyum yang dipamerkan kakek berpakaian putih. Sebuah dugaan muncul di benak kakek picak itu. Bahwa, kakek berpakaian putih orang yang telah membuat kekacauan di depan gua.
"Siapa kau, Monyet Cilik? Apa kerjamu di tempat ini? Kaukah yang telah menimbulkan kekacauan di tempat ini?!" tanya Buaya Gila Bermata Tunggal dengan suara keras.
Kakek berpakai an putih sama sekali tak marah mendengar pertanyaan yang dilontarkan dengan nada tinggi itu. Dia malah tersenyum lebar.
"Tua bangka tak tahu diri! Jawab pertanyaanku, atau kau memiliki akal yang tak sehat sehingga sejak tadi hanya tersenyum-senyum saja?!"
"He he he...!" kakek kecil kurus itu malah terkekeh. "Tahukah kau tanda-tanda orang yang berakal itu, Sobat?" si kakek balas bertanya. Wajahnya kelihatan gembira bukan main.
Buaya Gila Bermata Tunggal melongo sebentar. Sekejap kemudian, perhatiannya dialihkan pada Dewi Pesolek. Tapi nenek itu malah mengangkat bahu. Buaya Gila Bermat a Tunggal terpaksa mengalihkan perhatiannya lagi pada kakek kecil kurus.
"Tentu saja aku tahu, Monyet Goblok! Yang jelas, ciri-ciri utamanya adalah tak pernah tersenyum-senyum sendiri, apalagi ketika ditanya!" tandas Buaya Gila Bermata Tunggal.
Sebenarnya di lubuk hatinya tokoh sesat itu merasa heran terhadap sikapnya. Mengapa dia malah meladeni percapakan kakek kecil kurus ini?
Bahkan Dewi Pesolek pun tak luput dari perasaan itu. Pertanyaan yang diajukan kakek kecil kurus membuatnya memutar otak untuk mencari jawabnya. Sungguh suatu hal yang mengherankan mereka.
"Jawaban yang sungguh menyimpang jauh dari pertanyaannya," sahut kakek berpakaian putih dengan sikap sabar. "Jawaban itu hanya mengenai kulitnya saja. Kalian ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya?"
Lagi-lagi, meski merasa heran akan kakek kecil kurus, kedua pentolan kaum sesat itu menganggukkan kepala. Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek seperti orang terkena pengaruh sihir. Padahal, jelas-jelas keduanya merasa yakin saat itu mereka dalam keadaan sadar sepenuhnya.
"Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang itu berakal," ujar kakek berpakaian putih seperti seorang guru memberikan keterangan pada murid-muridnya. "Yang pertama, bersikap lemah lembut. Kedua, tahu diri. Ketiga, tahu di mana tempat membuka rahasia dan cara membukanya. Keempat, pandai berlaku hormat. Kelima, mampu memelihara rahasia diri sendiri dan orang lain. Keenam, mampu menguasai lidah dengan tidak mengeluarkan kata-kata yang menimbulkan bahaya. Dan yang terakhir, tak menjawab lebih dari yang ditanyakan orang.
Itulah tanda-tanda yang harus ada pada orang yang berakal. Jelas?!"
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa arti anggukan mereka.
"Sekarang kalian berdua kembalilah. Renungkan tanda-tanda orang berakal yang kusebutkan tadi. Apakah kalian berdua termasuk di dalamnya. Kalau tidak, berarti kalian belum termasuk orang yang berakal."
Tanpa banyak bicara dan bagai kerbau dicocok hidungnya, Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek membalikkan tubuh. Mereka bergegas mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Tatapan mata kakek berpakaian putih mengiringi kepergian dua dedengkot kaum sesat tersebut.
––––––––
5
"Tak kusangka demikian mudahnya kau mengusir dua dedengkot persilatan itu, Dewa Berhati Emas," ujar sebuah suara parau dari dalam gua.
Kakek berpakaian putih yang berjuluk Dewa Berhati Emas hanya terkekeh pelan seraya membalikkan tubuh. Dilihatnya dari dalam gua berjalan keluar sesosok tubuh gempal penuh otot. Tubuh kekar itu hanya tertutup rompi dan celana pendek hitam. Pada bagian pinggangnya terlilit rantai baja yang di ujungnya terdapat bola berduri.
"Kau terlalu yakin, Sapu Jagad. Kurasa dua tokoh itu hanya pergi sesaat saja. Tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti mereka hanya akan terpengaruh sebentar. Tapi waktu yang demikian singkat cukup bagi kita untuk berbincang-bincang. Kau tak keberatan bukan! Kita hanya bisa bercakap-cakap sebentar?
Padahal penantian yang kau lakukan bertahun-tahun,"
"Mengapa harus kecewa, Dewa?" timpal Sapu Jagad. "Waktu yang hanya sekejap pun kurasa cukup. Belum pernah kudengar kau berduaan dengan seseorang dalam waktu lebih dari seperempat hari."
Dewa Berhati Emas hanya terkekeh.
"Puluhan tahun aku menanti kedatanganmu, Dewa. Bahkan aku sampai berpesan pada s eorang yang dekat denganku, yang kini entah ada di mana. Maksud penantianku itu hanya untuk meminta pendapatmu," ujar Sapu Jagad membuka pembicaraan.
Dewa Berhati Emas hanya tersenyum. Lembut dan penuh kesabaran.
"Sejak puluhan tahun lalu di benakku berkecamuk suatu pemikiran. Ada beberapa hal bisa menjadi tujuan hidup seseorang. Tiga perkara yang kurasa akan menimbulkan kebahagiaan itu adalah: harta, nama besar, dan kesenangan."
Sapu Jagad menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Dewa Berhati emas menunggu dengan sabar. Tak sedikit pun dipotong cerita rekannya.
"Dengan kepandaian yang kumiliki, aku berhasil mendapatkan harta yang berlimpah dan nama besar. Aku hidup dalam kesenangan. Tapi itu hanya berlangsung belasan tahun. Semua yang kudapatkan ternyata tak membuatku bahagia. Kemudian hidupku justru jauh dari bahagia. Aku tak bisa hidup tenang. Meski telah menyepi, orang-orang yang pernah kurugikan tetap menyatroniku. Padahal aku telah jemu bertarung. Aku ingin menghabiskan usia tuaku dengan ketenangan. Aku mohon petunjukmu, Dewa."
"Itu semua terjadi karena nafsu yang kau turutkan, Sapu Jagad. Nafsu yang diperturutkan hanya akan menimbulkan ketidaktenangan. Alangkah malangnya bila itu terjadi. Padahal dunia ini isinya hanya kesusahan semata-mata. Sejak dari dalam kandungan hingga datang ajal manusia berenang dalam lautan kesusahan. Masa kecil kalau lapar tidak bisa mencari makan. Kalau haus tak bisa mencari minum, dan kalau sakit tak tahu obat."
Dewa Berhati Emas menatap Sapu Jagad yang mendengarkan uraiannya. Kakek berotot itu kelihatan tertarik sekali.
"Lepas dari asuhan ibu mulai ditimpa keberatan belajar. Macam-macam penyakit menerpa. Di waktu dewasa sibuk mengurus anak. Dan seterusnya. Akibat yang kau terima sekarang adalah buah dari perbuatanmu.
Tapi kalau kau memang berkehendak menjauhkan diri dari dunia persilatan, kau boleh ikut denganku. Kau bersedia, Sapu Jagad? Syaratnya hanya menjauhi kekerasan." "Aku bersedia, Dewa!" jawab Sapu Jagad, mantap.
Dewa Berhati Emas tersenyum.
"Kau akan mendapat ujian berat, Sapu Jagad."
Sapu Jagad menyernyitkan alis. Tapi hanya sesaat.
Pendengarannya yang tajam segera menangkap bunyi langkah-l angkah kaki mendekati tempatnya dan Dewa Berhati Emas berada. Langkah-langkah yang amat ringan dan halus, pertanda pemiliknya orang-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh amat tinggi.
Sekejapan kemudian, pemilik langkah itu telah muncul di depan Dewa Berhati Emas dan Sapu Jagad. Pemilik-pemilik langkah itu adalah Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek!
Perkiraan Dewa Berhati Emas ternyata tak meleset. Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek segera tersadar dari pengaruh aneh yang ditimbulkan Dewa Berhati Emas. Kedua dedengkot kaum sesat yang menyadari kejanggalan tindakan mereka bergegas kembali. Kali ini kekuatan batin mereka dikerahkan agar tak mudah terpengaruh.
"Sungguh tak kusangka kau telah menjadi seorang pengecut, Sapu Lidi! Sehingga, kau berlindung di belakang punggung orang lain!" dengus Buaya Gila Bermata Tunggal.
Kakek bermata picak ini menatap Sapu Jagad dengan sinar mata penuh dendam. Di sebelah datuk sesat ini Dewi Pesolek berdiri diam tak berkata apa pun.
Sapu Jagad merasakan dadanya panas oleh perasaan hati yang terbakar. Hampir saja mulutnya terbuka membalas makian Buaya Gila Bermata Tunggal. Untung dia teringat akan janjinya.
Sapu Jagad kemudian memutuskan untuk berdiam diri. Diserahkannya persoalan itu pada Dewa Berhati Emas.
Dewa Berhati Emas rupanya mengerti keinginan sahabatnya. Kakek ini terkekeh lebih dulu sebelum berkata-kat a.
"Kiranya kau, Buaya Gila. Begitu besarkah sakit hatimu sehingga terus memburu Sapu Jagad? Tidakkah persoalan lama dihabiskan begitu saja? Bukankah banyak jalan lain untuk menyelesaikan persoalan selain dengan kekerasan?"
"Tutup mulutmu, Peot!" bentak Buaya Gila Bermata Tunggal.
Mata kakek ini yang tinggal sebelah seperti hendak melompat keluar karena kemarahannya.
"Kau tahu apa mengenai urusan kami?!" sentaknya dengan nada jengkel.
"Aku memang tak tahu pasti mengenai urusan kalian. Tapi bisa kuterka. Apalagi kalau bukan urusan dendam?" sahut Dewa Berhati Emas.
Suaranya tetap lembut, sedikit pun tak t erpengaruh ol eh sikap kasar Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Syukur kalau kau telah mengetahuinya. Menyingkirlah kau!
Urusan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa Sapu Lidi itu!" sergah Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Kalau kau melakukan hal itu, sama saja dengan menghendaki masalah ini tak pernah selesai, Buaya," kalem saja ucapan Dewa Berhati Emas. "Andaikata kau berhasil membunuh Sapu Jagad, pasti keturunan Sapu Jagad atau sahabat-sahabatnya tak akan tinggal diam. Mereka akan mencarimu untuk menuntut balas. Keturunan atau kawan-kawanmu pun tak tinggal diam pula jika kau tewas. Mereka akan menuntut balas juga. Balasmembalas ini tak akan pernah selesai...."
"Aku tak peduli!" sentak Buaya Gila Bermat a Tunggal. "Yang penting, Sapu Lidi itu harus mati di tanganku! Kalau kau masih tak mau menyingkir dari tempat ini, kau pun akan kukirim ke neraka!"
"Lagakmu seperti Tuhan saja, Buaya. Apakah kau menentukan usia manusia? Tidakkah kau tahu kalau usia manusia hanya Tuhan yang menentukan? Kalau Dia belum menghendaki, biar ada seribu orang sepertimu dan ingin membunuhku, tak akan aku terbunuh!"
"Tak usah mengguruiku, Peot!"
"Bagaimana kalau kita bertaruh, Buaya?" Dewa Berhati Emas tak peduli pada tanggapan kakek bermat a picak itu. "Kau boleh memukulku tiga kali. Aku tak akan melawan. Bila aku tewas karena itu, kau boleh berbuat apa saja. Tapi jika kau gagal, kau harus pergi dari sini dan melupakan urusanmu dengan Sapu Jagad."
Buaya Gila Bermata Tunggal tak segera memberikan tanggapan. Dia malah berpikir. Datuk Sesat ini merasa heran melihat sikap lawan bicaranya. Kakek kecil kurus itu sedikit pun tidak teriihat gentar padanya.
Padahal, hanya mendengar julukannya saja tokoh-tokoh persilatan yang lihai pun akan berpikir berkali-kali untuk berhadapan dengannya.
Apakah kakek ini tokoh yang terkenal bagai dalam dongeng itu? Diakah Dewa Berhati Emas?! Benaknya digayuti pertanyaan demikian, tapi di mulutnya Buaya Gila Bermata Tunggal berkata lain.
"Mengapa kau mencampuri urusanku? Apakah kau
mempunyai hubungan dengan si Sapu Lidi itu?!" Dewa Berhati Emas tertawa lunak.
"Aku sebenarnya tak berniat untuk ikut campur. Tapi, aku orang yang paling tak suka dengan terjadinya tindak kekerasan. Terlepas dari masalah siapa yang salah atau yang benar. Namun karena kebenaran sulit untuk disimpulkan, setiap yang berseteru selalu menganggap dirinya benar. Karena itu, aku tak bermaksud memihak salah satu di antara kalian. Yang menjadi tujuanku adalah menghindari terjadinya pertarungan."
"Kau... Dewa Berhati Emas?!" cetus Dewi Pesolek yang sejak tadi berdiam diri. Nada ucapan wanita tua ini sarat dengan keterkejutan.
Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal memang telah mendengar berita santer tentang adanya tokoh yang tak menyukai kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah. Kesukaan tokoh ini adalah memberikan ilmu pada orang yang kebetulan ditemuinya. Tokoh itu berjuluk Dewa Berhati Emas. Dijuluki Berhati Emas karena tak pernah ada keinginan untuk menjahati orang lain.
"Sebuah julukan yang terlalu berlebihan, bukan?" ujar Dewa Berhati Emas. "Julukan Dewa saja sudah terlalu luar biasa. Masih ditambah Jagi dengan Berhati Emas. He he he...! Aku merasa geli sendiri mendengar julukan yang diberikan orang padaku."
"Tak usah berbicara panjang lebar, Dewa Berhati Emas!" tandas Buaya Gila Bermata Tunggal. "Aku bersedia menerima taruhan yang kau ajukan. Tapi, aku mempunyai syarat pula. Bagaimana apa kau berani menerima syaratku?!"
"Katakan saja, Buaya. Apa pun syaratmu akan kupenuhi," jawab Dewa Berhati Emas, kalem. Tak terlihat nada khawatir dalam ucapan dan roman wajahnya.
Sapu Jagad hampir berseru memperingatkan Dewa Berhati Emas.
Tapi segera ditahannya ketika teringat akan janjinya terhadap kakek itu.
Paras Sapu Jagad tampak menegang, menunjukkan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Mengapa Dewa Berhati Emas menerima saja syarat yang diajukan si Buaya Gila? Bagaimana kalau syarat yang diajukan terlalu aneh-aneh? Desah hati Sapu Jagad.
"Syaratku ringan saja, Dewa," ujar Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Pertama, aku akan melancarkan serangan sebanyak tiga kali. Kedua, kau tak boleh menangkis atau mengelak. Jadi kau harus menerima setiap serangan yang kulancarkan."
"Hanya itu saja syarat yang kau ajukan, Buaya?"
"Untuk sementara, iya," jawab Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Bagaimana, kau bisa menerima usul yang kuajukan?"
"Mengapa tidak?" Dewa Berhati Emas balas bertanya. "Aku setuju sekali dengan syarat tersebut, Buaya. Itu sesuai dengan keinginanku pula."
"Bagus! Kalau begitu aku akan memulainya, Dewa...."
Tiga raut wajah tampak menyiratkan ketegangan yang luar biasa.
Tak hanya Sapu Jagad. Buaya Gila Bermata Tunggal maupun Dewi Pesolek. Hanya, ketegangan melingkupi hati mereka agak berbeda. Kalau Sapu Jagad tegang karena perasaan khawatir. Sedangkan dua dedengkot kaum sesat itu merasa tegang karena ingin cepat mengetahui hasil pertaruhan tersebut.
Sapu Jagad bergerak mundur menjauhi tempat yang akan dijadikan arena pertempuran. Sementara Dewa Berhati Emas tetap berdiri dengan sikap tenang. Bahkan, senyum lembut tersungging di bibirnya. Di depan kakek ini Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek tampak bersiap-siap.
Memang, kendati kakek picak itu mengatakan akan menyerang sendiri, diberikan isyarat juga pada Dewi Pesolek untuk membantunya. Dan, Dewa Berhati Emas kelihatan tidak ingin menegur sikap lawannya.
Buaya Gila Bermata Tunggal telah bersiap untuk melancarkan serangan. Kedua telapak tangannya yang terbuka digosok-gosokkan satu sama lain. Semula tak terjadi apa pun. Tapi sesaat kemudian, kedua tangan itu tampak merah! Hawa panas mulai menyebar seiring dengan semakin merahnya tangan kakek picak itu. Hawa panas menyebar dari sekujur tubuh Buaya Gila Bermata Tunggal. Asap tipis pun melingkupi sekitar tempat itu.
"Hiyaaa...!" Diawali teriakan keras menggeledek yang menggetarkan sekitar tempat itu, Buaya Gila Bermata Tunggal mengirimkan serangannya. Kakek picak itu mengawali serangan dengan sebuah gedoran ke arah dada. Kedua tangan tokoh sesat ini terbuka jari-jarinya.
Angin yang luar biasa panas menderu. Beberapa tanaman yang berada di sekitar goa l angsung mengering karena tak tahan menahan panas.
Sapu Jagad sendiri yang berada lima tombak di belakang
Dewa Berhati Emas merasakan hawa panas menyengat. Hawa yang membuatnya harus mengerahkan tenaga dal am untuk melindungi kulit.
Dewa Berhati Emas tetap tersenyum. Tak kelihatan kakek itu mengerahkan tenaga, tapi sekujur tubuhnya mengepulkan uap tebal. Uap yang seharusnya terdapat di puncak-puncak gunung yang amat tinggi. Uang itu menyebarkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum.
Pertemuan kedua hawa yang berbeda itu menimbulkan bunyi nyaring, seperti besi panas dimasukkan ke dalam air. Bunyi itu terus terdengar sebelum terjadi pertemuan antara kedua telapak tangan Buaya Gila Bermata Tunggal dengan dada Dewa Berhati Emas.
Desss!
Telak dan keras sekali kedua tangan Buaya Gila Bermata Tunggal mendarat di sas aran. Bunyi seperti besi panas diceburkan ke dalam air dingin terdengar jauh lebih nyaring. Uap berwarna-warni terlihat menyebar ke udara.
Tubuh Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewa Berhati Emas terhuyung ke belakang. Dewa Berhati Emas terhuyung lebih jauh karena kakek itu hanya bertahan. Kendati demikian, lawannya tetap menerima akibat yang cukup berat. Kedua tangannya dirasakan sakit bukan main.
Dadanya pun terasa sesak. Buaya Gila Bermata Tunggal buru-buru mengatur napas. Itu dilakukan untuk mencegah terjadinya luka dalam di tubuhnya. Dengan geram di lihatnya Dewa Berhati Emas melangkah maju dengan senyum terkembang di bibir. Pakaian kakek itu hancur di bagian yang terhantam kedua tangannya dengan melukiskan gambar dua tapak tangan. "Kau hebat, Dewa. Tapi jangan berbesar hati dulu. Masih ada dua serangan lagi. Dan, dua serangan itu yang akan menghantarkan aku pada kemenangan."
Buaya Gila Bermata Tunggal kemudian memberikan isyarat pada Dewi Pesolek untuk ikut menyerang. Tanpa banyak cakap nenek itu terlihat bersiap-siap.
Tak cukup hanya dengan tindakan itu, Buaya Gila Bermata Tunggal mengirimkan pemberitahuan mengenai siasat yang harus dilakukan Dewi Pesolek. Kakek picak itu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Dewi Pesolek mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
Kakek picak yang melihat hal ini tersenyum puas. Apalagi ketika dilihatnya Dewi Pesolek bergerak menjauhi.
Semua tingkah kedua dedengkot kaum sesat itu dilihat jelas oleh Dewa Berhati Emas. Namun kakek ini diam saja. Malah, senyum yang terkembang semakin lebar dibibirnya. Tak jauh di belakang kakek ini, Sapu Jagad merasakan jantungnya berdetak lebih cepat karena perasaan tegang.
Dia tak yakin Dewa Berhati emas bisa seberuntung sebelumnya. Penyerangan serent ak dua datuk kaum sesat itu amat berbahaya. Sapu Jagad sendiri tak akan berani menerima serangan gabungan itu.
Penyerangan yang kedua kali terhadap Dewa Berhati Emas pun segera terjadi. Buaya Gila Bermata Tunggal menyerang dari sebelah kanan.
Sedangkan Dewi Pesolek dari sebelah kiri. Kedua dedengkot kaum sesat ini menyerang dengan pengerahan tenaga berhawa panas.
Dewa Berhati Emas segera mengerahkan tenaga berhawa dinginnya. Tak tanggung-tanggung dikerahkan, sampai ke puncak. Kekuatan tenaga panas yang meluruk ke arahnya memang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.
Kakek ini sama sekali tak tahu kalau Buaya Gila Bermata Tunggal memiliki siasat licik. Begitu serangan yang dilancarkan melampaui separuh jaraknya dengan Dewa Berhati Emas, tokoh sesat itu memekik keras. Pekik yang merupakan isyarat untuk Dewi Pesol ek. Guru Padmini ini segera mengganti aliran tenaganya. Tak lagi berhawa panas, melainkan dingin menggigit tulang. Tenaga tersebut langsung dikeluarkan sampai ke puncak kekuatannya. Sementara itu Buaya Gila Bermata Tunggal tak merubah aliran tenaganya.
Dewa Berhati Emas terkejut bukan main melihat kenyataan ini. Bahaya tengah menghadangnya. Serangan dua jenis tenaga yang berlainan akan memporak-porandakan isi dadanya kalau di a tak bertindak cepat membagi dua macam tenaganya.
Sayangnya kakek ini telah mengerahkan tenaga dalam sampai ke puncak. Membutuhkan waktu yang cukup untuk merubah jenis tenaganya.
Kendati demikian, Dewa Berhati Emas melakukan pula. Dengan kepandai annya yang luar biasa dia berhasil memecah tenaganya untuk menghadapi s erangan tenaga dalam yang berlainan itu. Tapi waktu yang terlalu sempit membuatnya tak sempat mengerahkan tenaga sampai ke puncak.
Desss, desss!
Bunyi riuh rendah terdengar ketika dua pasang tangan mendarat di tubuh Dewa Berhati Emas. Kakek itu terjengkang ke belakang. Tubuhnya melayang-layang bak daun kering dihempaskan angin keras.
Pada saat yang bersamaan, tubuh Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek juga terjengkang. Jarak kedua datuk itu terlempar tak sejauh yang dialami Dewa Berhati Emas. Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek telah menjejak tanah cukup lama ketika Dewa Berhati Emas baru mendarat. Kakek itu ternyat a masih mampu mendarat di t anah dengan kedua kaki lebih dulu.
Malah seperti juga sebelumnya, wajah Dewa Berhati Emas tetap berseri-seri. Mulutnya menyunggingkan senyum. Tapi, wajah Dewa Berhati Emas tak sesegar sebelumnya. Bahkan dari sudut bibirnya mengalir cairan merah kental. Darah!
––––––––
6
Sapu Jagad merasa cemas bukan main melihat keadaan Dewa Berhati Emas. Kalau menuruti keinginan, Sapu Jagad sudah terjun ke dalam kancah pertarungan. Dewa Berhati Emas sendiri melempar senyum tenang kepada sahabatnya itu. Diayunkannya kaki melewati kakek berotot itu untuk mendekati lawan-l awannya lagi.
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek yang memiliki mata tajam segera mengetahui apa yang tengah dialami Dewa Berhati Emas. Keduanya merasa yakin kalau sekali serang lagi kakek itu tidak akan mampu bertahan.
Dugaan ini memang masuk akal, Buaya Gila Bermata Tunggal yang memiliki watak licik segera menghitung untung rugi di benaknya.
Kelicikan membuatnya memutar akal untuk mencari siasat yang menguntungkan dirinya.
"Aku masih mempunyai sebuah serangan lagi, Peot!" seru Buaya Gila Bermata Tunggal kemudian dengan senyum tersungging di bibir.
Kakek picak ini telah berhasil menemukan cara untuk melaksanakan rencananya.
"Tentu, Buaya. Tentu," jawab Dewa Berhati Emas seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Aku masih belum pikun untuk menghitung jumlah dengan benar. Tunggu apa l agi? Lancarkan serangan mu yang terakhir, dan kita buktikan siapa yang akan memenangkan taruhan ini."
Buaya Gila Bermata Tunggal hanya terbahak Dewi Pesolek berdiam diri s aja. Dia belum mendengar isyarat untuk menyerang dari Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Tidak usah terburu-buru, Dewa! Aku yakin kau masih ingat kalau syarat yang kuajukan belum lengkap. Masih ada satu syarat yang belum kuajukan. Bukankah demikian?"
Sapu Jagad mengutuk di dalam hati. Buaya Gila Bermata Tunggal mencoba untuk kembali bertindak licik. Tapi seperti juga sebelumnya, apa dayanya? Apalagi ketika dilihatnya Dewa Berhati Emas mengiyakan saja ucapan datuk sesat itu.
"Kemukakan saja syaratmu yang terakhir itu, Buaya," ujar Dewa Berhati Emas, tenang.
"Kau berani bersumpah akan menyetujuinya?" desak Buaya Gila Bermata Tunggal seraya menatap waj ah Dewa Berhati Emas lekat-lekat.
Kakek yang licik ini sengaja menampakkan sikap tak percaya akan kesediaan lawan bicaranya.
"Aku tak pernah bersumpah, Buaya. Tapi kau tak perlu khawatir. Sekali kukatakan setuju, apa pun syaratmu itu akan kupenuhi!"
"Bagus!" puji Buaya Gila Bermata Tunggal. Gembira karena siasatnya berhasil. Di mulut dia memuji, tapi di hati tidak demikian. "Kau boleh menerima kematian yang tak nyaman akibat kesombongan sikapmu, Peot!" umpatnya dalam hati.
"Katakan syarat yang kau maksud Buaya," desak Dewa Berhati
Emas yang tak tahu perkataan dalam hati kakek licik itu, "Biarlah kukemukakan bersama syarat sebelumnya, Peot. Pertama, aku melancarkan serangan sebanyak tiga kali. Kedua, kau tak boleh menangkis atau mengelak. Yang terakhir, kau tak boleh mengerahkan tenaga dalam ketika aku melancarkan serangan. Jelas, Peot?!"
Sapu Jagad dan Dewi Pesolek sampai terkejut mendengar syarat yang diajukan Buaya Gila Bermata Tunggal. Sungguh sebuah syarat yang gila!
"Keji...!" pekik Sapu Jagad. Tak kuat menahan luapan perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Syarat yang diajukan kakek picak itu benar-benar teramat licik.
Tapi Dewa Berhati Emas sebagai orang yang akan menjadi sasaran kelicikan lawan tak kelihatan terkejut sedikit pun. Kakek ini malah mengembangkan senyum di bibir. Anggukan kepalanya menjadi pertanda dia menyetujui usul yang dilontarkan Buaya Gila Bermata Tunggal.
"Ingat, Peot! Kau tak boleh mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Jika kau langgar itu, akulah yang memenangkan pertaruhan ini!"
Buaya Gila Bermata Tunggal kembali memperingatkan. Dewa Berhati Emas hanya tersenyum. Buaya Gila Bermat a Tunggal tak menunggu lebih lama. Kakek ini kembali mengirimkan serangan kedua tangan dengan jari-jari terkepal.
Untuk ke sekian kalinya deru angin panas melanda!
Desss!
Tubuh Dewa Berhati Emas bagaikan sehelai daun kering dihembus angin keras. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah segar.
Sungguh pun demikian kakek ini tak mengeluh. Tiga pasang mata mengikuti ke arah melayangnya tubuh Dewa Berhati Emas. Di benak mereka bergayut sebuah pertanyaan besar. Apakah Dewa Berhati Emas tewas?
Cukup lama mata Sapu Jagad, Dewi Pesolek, dan Buaya Gila Bermata Tunggal memperhatikan. Tubuh Dewa Berhati Emas memang cukup lama melayang-layang di angkasa. Sepanjang tubuhnya melayang darah berceceran membas ahi tanah. Ketiga tokoh itu kemudian membelalakkan mata ketika melihat kejadian sel anjutnya. Tubuh Dewa Berhati Emas meliuk-liuk, melakukan salto di udara beberapa kali, menjejak tanah dengan kedua kaki.
Tiga dedengkot dunia persilatan itu bagai terkena sihir melihat pemandangan yang terjadi. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, mereka tahu apa yang mereka saksikan ini terlalu luar bi asa. Dewa Berhati Emas masih mampu menjejak tanah meski agak limbung. Padahal menurut perhitungan akal, jangankan berdiri, bernapas pun kakek itu tak akan mampu. Tapi, kenyataan berbicara lain!
"Bagaimana, Buaya? Aku masih mampu berdiri tegak, bukan? Kau kalah bertaruh. Kurasa sudah waktunya kau meninggalkan tempat ini dan menuntaskan persoalan dengan Sapu Jagad," lembut ucapan Dewa Berhati Emas. Tapi, semua yang berada di situ tahu dalam ucapan itu terkandung tekanan yang tak menghendaki bantahan.
Buaya Gila Bermata Tunggal tak segera menanggapi ucapan Dewa Berhati Emas. Kakek bermata picak ini masih terkesima melihat kenyataan yang tak diduganya itu. Bagai mimpi rasanya melihat Dewa Berhati Emas masih segar bugar, tak kurang suatu apa.
Dewa Berhati Emas rupanya memahami gejolak perasaan lawannya. Dengan sabar dia menanti jawaban. Buaya Gila Bermata Tunggal akhirnya mampu menguas ai perasaannya. Beberapa kali dihembuskannya napas berat.
"Kau memang hebat, Dewa," keluh kakek pi cak itu. "Kuakui kaulah yang menang. Kau berhasil memenangkan pertaruhan ini. Dengan demikian, sesuai perjanjian, aku akan melupakan urusanku dengan Sapu Jagad. Tapi, sebelum pergi aku ingin melihat kekuatan tenaga dalammu yang luar biasa itu. Tentu saja tak perlu kau tujukan padaku atau kawanku. Cukup pada bendabenda yang ada di sekitar sini."
Di mulutnya Buaya Gila Bermata Tunggal berkata demikian, padahal di pikirannya jauh berbeda. Apa yang ada di pikirannya sangat bertentangan dengan ucapannya.
"Ingin kuketahui apakah si Peot ini masih tangguh. Kalau dia sudah tak berdaya, betapa bodohnya aku kalau mau meneruskan perjanjian itu. Dengan adanya Dewi Pesolek bers amaku, kurasa Sapu Lidi keparat itu akan dapat kubinasakan!"
Sapu Jagad mengernyitkan kening. Kakek berotot ini mendengar Buaya Gila Bermata Tunggal mempunyai maksud lain dengan pernyataannya. Sayang, dia tak tahu maksud kakek picak itu.
Dewi Pesolek tentu saja tahu kalau Buaya Gila Bermata Tunggal mempunyai maksud lain dengan permintaannya. Tapi seperti juga Sapu Jagad, dia tak tahu maksud yang diinginkan kakek licik itu. Yang pasti ini merupakan siasat licik.
Dewa Berhati Emas seperti biasa hanya terkekeh. Pelan dan lembut,
"Kalau menuruti perasaan, aku lebih suka menolaknya, Buaya. Tapi biarlah. Hitung-hitung untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu. Aku bersedia memenuhi permintaanmu itu."
Setelah berkata demikian, Dewa Berhati Emas kemudian menjulurkan kedua t angannya dengan jari-jari terbuka ke arah sebatang pohon besar yang ada di situ. Jaraknya dari kakek ini sekitar lima tombak.
Pohon itu besar dan tinggi serta rimbun daunnya. Besar batangnya tak kurang dari dua pelukan orang dewasa.
Semula tak terlihat kejadian apa pun. Tapi sesaat kemudian pohon itu bergetar keras. Dengan diiringi bunyi keras dan berhamburannya tanah pohon itu tercabut bersama akar-akarnya!
Buaya Gila Bermata Tunggal, Dewi Pesolek, dan Sapu Jagad sampai tak sadar membuka mulutnya lebar-lebar. Mereka terlalu kaget melihat pemandangan yang terpampang di depan mata. Penglihatan yang ada terlalu menakjubkan!
Dengan perasaan setengah tak percaya, ketiga dedengkot persilatan itu memperhatikan pertunjukan yang dilakukan Dewa Berhati Emas. Pohon besar yang terangkat bagai dicabut tangantangan raksasa tak tampak itu melayang naik sampai seluruh akarnya terlihat!
Setelah itu, pohon ini melayang sejauh lima tombak sebelum akhirnya amblas ke dalam tanah kembali, beberapa tombak dari tempatnya semula. Dan sejak pohon itu tercabut, hingga tertanam kembali, Dewa Berhati Emas tidak melakukan tindakan apa pun. Kakek itu hanya menjulurkan kedua tangannya.
Begitu Dewa Berhati Emas menarik tangannya kembali, baru ketiga datuk persilatan yang sejak tadi seperti tersihir sadar dari terkesimanya. Sorot kekaguman tak bisa mereka hilangkan dari tatapan mata ketiganya. Kekaguman yang bercampur dengan perasaan tak percaya.
Ketiganya tahu kalau tindakan yang dilakukan Dewa Berhati Emas sulit untuk dilakukan. Mereka sendiri yakin tak akan mampu melakukan hal demikian. Apalagi dalam keadaan terluka. Tapi, kenyataannya Dewa Berhati Emas mampu melakukannya!
"Bagaimana, Buaya? Kurasa sudah cukup, bukan?" cetus Dewa Berhati Emas dengan tetap tenang. Tidak terlihat gambaran perasaan bangga atau gembira di wajahnya.
Buaya Gila Bermata Tunggal tak memberikan tanggapan. Tanpa berkata apa-apa kakek picak ini melangkah ke samping, memberikan jalan untuk Dewa Berhati Emas dan Sapu Jagad.
Dewa Berhati Emas melangkah dengan tenang. Kakek itu tak kelihatan khawatir sama s ekali. Bahkan ketika lewat di sebelah Buaya Gila Bermata Tunggal, dia tak nampak berwaspada. Tak demikian halnya dengan Sapu Jagad. Kakek bertubuh penuh otot ini menampakkan kewaspadaan besar ketika lewat di sebelah Buaya Gila Bermata Tunggal.
Melihat kawannya tak bertindak apa-apa, Dewi Pesolek pun tak berbuat banyak. Nenek yang berdandan terlalu mencolok ini hanya berdiam diri pula.
Dewa Berhati Emas dan Sapu Jagad meninggalkan tempat itu tanpa bicara sama sekali. Baru ketika ratusan tombak ditinggalkannya gua, Dewa Berhati Emas membuka pembicaraan. "Apakah ada orang yang datang menjumpaimu sebelum aku, Sapu Jagad?"
"Benar, Dewa. Seorang wanita muda. Tapi itu hanya perkiraanku saja. Maksudku..., suaranya yang membuatku menduga begitu. Dia merusak tempat tinggalku setelah gagal untuk menemukanku. Kalau saja dia tahu gua itu mempunyai tempat tersembunyi yang hanya bisa dibuka dengan alat rahasia, kejadiannya mungkin akan lain," jelas Sapu Jagad.
Dewa Berhati Emas hanya tersenyum.
"Kalau saja kau datang terlambat sedikit saja, kau akan melihat Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek kebingungan mencariku.
Aku yakin mereka tak akan bisa menemukan alat rahasia untuk menuju tempat persembunyianku. Tentu saja semua itu tak ada artinya untukmu, Dewa," lanjut Sapu Jagad bernada memuji Dewa Berhati Emas.
Dewa Berhati Emas tak memberikan sahutan. Kakek ini malah terdiam. Wajahnya membesi dan sepasang bola matanya berputar liar. Sapu Jagad merasa heran melihatnya.
"Apa yang...."
Ucapan Sapu Jagad hanya sampai di situ. Dengan kecepatan yang menakjubkan Dewa Berhati Emas telah menghantam pelipisnya. Hanya sebuah jari Dewa Berhati Emas yang menghantam pelipis Sapu Jagad. Tapi, itu telah cukup untuk mengirim nyawa kakek itu ke akhirat. Kakek berotot kekar ini tewas seketika dengan tulang pelipis retak!
Dewa Berhati Emas tertawa. Nadanya terdengar aneh dan ganjil di telinga. Apalagi sepasang bola matanya berputaran liar ketika dia tertawa.
Cukup lama Dewa Berhati Emas bertingkah seperti itu, sebelum akhirnya berdiam diri. Wajahnya kembali lembut seperti sediakala. Bibirnya mengulum senyum. Serta, sorot keramahan terpancar dari sinar matanya.
Tanpa mempedulikan mayat Sapu Jagad, Dewa Berhati Emas melesat pergi menuju Gua Api. Tempat yang baru saja ditinggalkannya.
***
"Hey...! Siapakah yang tidur di tengah jalan, Arya?!" tanya
Padmini setengah memberitahukan. Jari-jari gadis itu ditudingkan ke depan. "Entahlah, Mini,"
Arya menggel engkan kepala. Pemuda ini pun sejak tadi telah melihat keberadaan sosok tubuh yang tergolek di depan mereka, berjarak belasan tombak. Dan sebelum Padmini mengajukan pertanyaan, Arya telah memperhatikannya dengan penuh selidik. Sosok itu hanya mengenakan rompi dan celana pendek hitam.
Dengan mata tertuju pada sosok yang kelihat an tak bergerak-gerak lagi, Arya dan Padmini terus melangkah menghampiri. Begitu berada dekat sosok itu keduanya duduk bersimpuh hendak memeriksa keadaannya.
"Hhh...!"
Seraya mengeluarkan helaan napas berat, Dewa Arak bangkit berdiri. Pemuda berambut putih keperakan ini tak membutuhkan waktu lama untuk memeriksa. Sekali lihat saja telah diketahuinya kal au sosok yang ternyata seorang kakek itu telah tewas. Pelipisnya retak! Darah yang telah mengering tampak di sudutsudut mulut, di bawah hidung, dan telinga.
"Kau mengenalnya, Mini?" tanya Arya ketika murid Dewi Pesolek itu telah bangkit berdiri.
Padmini menggeleng. Tapi sesaat kemudian dia tercenung, seperti tengah memikirkan sesuatu. Lambat-lambat keluar ucapan dari celah-celah bibirnya yang indah dipandang.
"Mungkinkah dia... Sapu Jagad? Mengingat ciri-ciri yang diberikan guruku, rasanya tak salah lagi. Tapi, bukankah tokoh itu terkenal memiliki kepandaian amat tinggi dan merupakan salah satu dedengkot persilatan. Bagaimana mungkin dia bisa tewas, dan siapa yang telah membunuhnya?"
"Apakah bukan tak mungkin kalau gurumu dan Buaya Gila Bermata Tunggal? Bukankah keduanya telah bersepakat untuk menghadapi Sapu Jagad bersama-sama?" pikir Arya di dal am hati. Tapi ucapan yang dikeluarkannya berbeda. Pemuda itu khawatir akan menyinggung perasaan Padmini.
"Ilmu yang dipergunakan si pembunuh agaknya merupakan ilmu khas. Tak sembarang tokoh persilatan memilikinya. Membutuhkan tenaga dalam yang tinggi untuk bisa melakukan serangan seperti ini. Dan, kurasa sangat sedikit orang yang mampu melakukannya."
Padmini hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Luka pada pelipis itu memang menunjukkan kalau sosok yang mereka duga sebagai Sapu Jagad tewas karena totokan satu jari. Totokan yang hanya dapat dilakukan seorang yang amat ahli. Dengan sekali serang mampu menjatuhkan sasaran secara tepat, dan menewaskan orang yang dijadikan sasaran tanpa luka yang berarti.
"Apakah tempat tinggal Sapu Jagad dekat dari sini, Mini?" tanya Arya lagi, mengingatkan Padmini pada gurunya dan Buaya Gila Bermata Tunggal yang bermaksud membuat perhitungan dengan Sapu Jagad.
"Aku kurang pasti, Arya. Tapi kurasa tak akan melebihi sepuluh ribu tombak. Dan..., mengapa aku bisa lupa, Arya? Mungkinkah Sapu Jagad tewas oleh Buaya Gila? Aku yakin bukan guruku yang melakukan pembunuhan ini. Beliau tak mempunyai ilmu seperti ini. Aku yakin betul. Seluruh ilmunya telah diwariskan kepadaku, dan tak ada yang demikian. "
"Rasanya memang Buaya Gila Bermata Tunggal satusatunya orang yang menjadi tertuduh. Tapi, mengapa Sapu Jagad harus tewas di sini? Di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggalnya?"
"Itu keanehan pertama, Arya," timpal Padmini. "Keanehan lainnya adalah, tak adanya tanda-tanda pertempuran di tempat ini. "Mungkinkah Sapu Jagad dibunuh di tempat tinggalnya kemudian mayatnya dibuang ke sini?"
Arya tak memberikan tanggapan. Pemuda ini sibuk memutar benaknya untuk mencari jawaban. Suasana menjadi hening karena Padmini pun melakukan hal yang sama.
"Kehendak Tuhan memang tak selalu sesuai dengan keinginan manusia. Betapapun hebatnya manusia dan kerasnya usaha, kalau Tuhan menghendaki lain, maka kejadian yang tak diharapkan akan terj adi."
Ucapan itu pelan saja dan nadanya lembut. Tapi, Arya dan Padmini sampai terjingkat bagai disengat kala jengking. Pasangan muda-mudi ini segera membalikkan tubuh dan bersikap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan.
Di belakang Arya dan Padmini tampak berdiri dengan sikap tenang seorang kakek berpakaian putih bersih. Rambut, kumis dan jenggotnya telah memutih. Kendati demikian, pancaran wibawa terpancar jelas pada sorot air mukanya.
Padmini, terutama sekali Arya, tahu kalau kakek berpakaian putih ini seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Keberadaan si kakek di belakang mereka tanpa diketahui telah menunjukkan ketinggian ilmu meringankan tubuhnya.
Padmini memandang dengan sorot curiga dan sikap siap tempur.
Tak demikian halnya dengan Dewa Arak. Pemuda ini langsung tahu kalau kakek berpakai an putih ini bukan orang yang patut di khawatirkan. Setidak-tidaknya, kakek ini tak akan bermaksud kurang baik. Kalau tidak, tentu sudah sejak tadi dikirimkan serangan tanpa mereka menyadarinya.
"Maaf, bolehkah kutahu siapa adanya kau, Kek? Dan apakah maksud ucapanmu itu?" tanya Arya, sopan.
Kakek berpakaian putih menatap Arya dengan lembut. Kendati demikian, pemuda berambut putih keperakan itu merasakan hatinya tergetar.
"Gila!" desis Arya di dalam hati. "Sepasang mata kakek ini luar biasa tajam! Seakan mampu menjenguk sampai ke lubuk hati. Siapa kakek ini? Mungkinkah beliau yang dijuluki Dewa Berhati Emas?"
"Apalah artinya sebuah nama atau julukan, Anak Muda? Hanya buatan manusia, bukan? Di setiap waktu dan kesempatan bisa saja seseorang mengganti nama dan julukannya. Aku adalah aku. Dan aku bukanlah kau atau kalian," jawab si kakek.
"Lalu..., apa artinya ucapanmu yang tak kami mengerti itu? Bahkan sampai membawa-bawa nama Tuhan segala?!" ceteluk Padmini yang merasa penasaran dengan jawaban yang diberikan si kakek.
"Hanya sekadar mengingatkan diriku, bahwa kehendak Tuhan tak selalu sama dengan kehendak kita. Betapapun kehendak kita dirasakan baik dan benar. Mungkin baik dan benar menurut pendapat ku dan pendapat Sapu Jagad, tapi tak benar dan baik menurut pendapat Tuhan."
Sepasang alis Padmini sampai melengkung mendengar jawaban yang lebih tak memuaskan hatinya itu. Perasaan tak sabar semakin terlihat di wajahnya. Dan, Arya mengetahuinya. Maka sebelum Padmini semakin meluapkan ketidaksabarannya, buru-buru didahuluinya.
––––––––
7
"Maaf Kek, kami belum mengerti dengan ucapanmu itu? Barangkali kau bisa menjelaskannya lebih jauh agar kami bisa mengerti?"
"Kau termasuk pemuda yang luar biasa, Dewa Arak," ujar si kakek. Tidak ada nada kekaguman pada ucapannya yang memuji Arya.
"Semuda ini kau telah memiliki kepandaian tinggi. Bahkan, mampu mendapatkan makhluk alam gaib sebagai pelengkap ilmu-ilmu yang kau miliki. Kau pun mempunyai kemampuan untuk menahan diri dan tak mengikuti luapan hati semata. Meski demikian, tak ada salahnya kalau aku menunjukkan pengertian mengenai jalan hidupmu. Agar kau bisa mendengarkan uraianku dengan jelas, maka pertanyaanmu akan lebih dulu kujawab." Kakek berpakaian putih menghentikan ucapannya sejenak, seperti hendak mencari kata-kata yang tepat.
"Aku selalu berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Tapi aku selalu mengambil tempat-tempat yang jarang dilalui orang. Terkadang, bila menemukan sebuah tempat yang menurutku nyaman untuk ditinggali, aku tinggal sampai belasan tahun lamanya. Pada saat-saat tertentu aku menurunkan semacam ilmu pada orang yang kutemui dalam pengembaraanku. Begitu pula dengan pengembaraanku kali ini, setelah meninggalkan tempat yang kutinggali selama hampir dua puluh lima tahun."
Padmini saling berpandangan dengan Arya. Dalam benak kedua orang muda itu bergaung satu pertanyaan. Jadi, inikah Dewa Berhati Emas?
Tokoh yang keberadaannya telah menjadi legenda di kalangan rimba persilatan.
"Aku terpaksa meninggalkan tempat yang kusukai itu karena menangkap adanya keinginan hati seseorang untuk mengikuti jalan hidupku. Getaran keinginannya sampai padaku sejak puluhan tahun lalu.
Tapi untuk lebih meyakinkan hatiku akan kesungguhannya, kubiarkan dia menunggu. Aku ingin tahu sampai di mana kekerasan tekadnya," lanjut kakek berpakaian putih. "Setelah dua puluh lima tahun, baru kutinggalkan tempat tinggalku dan menemuinya. Sayang, Tuhan telah berkehendak lain. Maut telah lebih dulu menemui Sapu Jagad sebelum aku sempat menjumpainya."
Padmini mengernyitkan alisnya. Ucapan kakek itu dirasakannya berbeda dengan kenyataan. Ucapan yang berisi kesedihan, namun tak terlihat di wajah maupun nada suara kakek itu.
"Dalam perjalanan menuju tempat tinggal Sapu Jagad aku bertemu dengan dua orang pemuda. Ke-duanya bertemu denganku pada saat yang tepat, saat di mana aku membagibagikan ilmu yang kumiliki. Dua bulan yang lalu aku keluar dari tempat tinggalku yang nyaman dan beberapa hari kemudian bertemu dengan seorang pemuda. Belum sehari, aku bertemu lagi dengan pemuda lain. Pemuda yang menyamar sebagai wanita. Dan sekarang aku bertemu dengan kalian berdua," lanjut kakek berpakaian putih itu.
"Sekarang, aku mengajakmu untuk mengikuti jalan hidupku, Dewa Arak. Menjauhi kekerasan dan berkelana menyebarkan ilmu pada orang-orang yang berjodoh denganmu. Tak peduli dia orang jahat atau baik. Pada setiap orang kau harus berlaku adil, tak peduli dia dari golongan hitam atau putih.
Jauhi perasaan perasaan yang tak baik, seperti marah, dendam dan sakit hati. Jauhkan tindak kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain. Isi hatimu dengan kesabaran dan rasa kasih terhadap seluruh manusia. Bagaimana, Dewa Arak? Apakah kau bersedi a menempuh jalan ini?"
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, Kek. Bolehkah kutahu siapa dirirnu?" ujar Arya untuk meyakinkan kebenaran dugaannya. "Benarkah kau tokoh yang berjuluk Dewa Berhati Emas?"
"He he he...!" kakek berpakai an putih terkekeh. "Mungkin benar itu julukan yang diberikan orang padaku. Tapi, apa artinya sebuah julukan?"
"Hanya untuk lebih melegakan hatiku, Kek, Dan ternyata dugaanku tak keliru. Mengenai tawaran yang kau ajukan padaku, aku belum bisa menjawabnya sekarang. Mungkin setelah kupikirkan dan kita bersua lagi, dapat kuberikan jawaban."
"Aku mengerti, Dewa Arak," jawab Dewa Berhati Emas. Yang meski selama dua puluh lima tahun tak pernah turun dari tempat tinggalnya, tapi bisa mengetahui siapa adanya Arya. Padahal mereka baru kali itu bertemu. "Pesanku, berhati-hatilah, Dewa Arak. Aku khawatir kau akan keliru mengenali orang."
"Apa maksudmu, Kek? Aku tidak mengerti," timpal Arya, cepat.
"Sejak puluhan tahun lalu aku mempunyai seorang pengikut. Dia bersedia mengikuti jalan hidupku. Hanya dalam beberapa tahun saja seluruh kemampuanku telah diserapnya. Pada dasarnya dia berhati baik. Tapi, dia belum siap untuk menjadi seseorang yang rela menjauhi gemerlapnya dunia.
Alam bawah sadarnya menolak cara hidup yang dijalaninya. Dia berkeras untuk bertahan. Peperangan dalam hatinya itu membuatnya tak waras.
Waktu memutuskan untuk mengikuti jalan hidupku, dia memang tengah putus asa. Jadi keputusan itu di anggapnya sebagai pelari an. Sayang, aku tak bisa bicara banyak, Dewa Arak. Tapi perlu kuberitahu kalau pengikutku itu sering menyamar sebagai diriku. Luka pada pelipis kukenal sekali terjadi karena salah satu jenis ilmu yang kumiliki, yang juga dimilikinya. Kematian Sapu Jagad sepenuhnya karena tindakannya. Aku yakin, perasaannya telah menangkap getaran keinginan yang memancar dari hati Sapu Jagad. Dan dia lebih dulu menemuinya sebelum aku. Inilah yang dinamakan kehendak Tuhan, Dewa Arak. Kuharap kau berhati-hati kalau bert emu dengannya. Sedapat mungkin jauhi dirinya."
"Bagaimana aku bisa membedakan antara kau dan pengikutmu itu, Kek? Bukankah dia dapat menyamar seperti dirirnu?" celetuk Padmini yang mendengarkan perbincangan itu.
"Kalau hanya Dewa Arak sendiri, akan sulit baginya untuk mengetahui. Tapi dengan adanya kau, Nona Muda, segalanya akan menjadi mudah. Kaulah orang yang dapat menghentikan semua tindakannya."
"Mengapa bisa demikian, Kek?" kali ini Arya yang mengajukan pertanyaan. Karena Padmini merasa jengah mendapat pujian dari Dewa Berhati Emas. Padahal, sejak tadi di a bersikap kurang baik terhadap kakek itu.
"Karena wajah Nona Muda ini mirip dengan kekasih pengikutku itu. Bersedianya dia mengikuti jalan hidupku pun karena ada hubungannya dengan kekasihnya itu. Sayang, ini merupakan rahasia yang tidak boleh, diceritakan pada orang lain "
Tanpa berbasa-basi lagi kemudian Dewa Berhati Emas mengayunkan kaki meninggalkan Dewa Arak dan Padmini. Bagai tak memiliki berat, kakek itu melangkah demikian ringan. Sepintas terlihat seperti melayang saja.
Dewa Arak dan Padmini hanya bisa menatap kepergi an Dewa Berhati Emas dengan hati takjub. Bahkan, Padmini merasakan tengkuknya terasa dingin ketika melihat kepergian kakek itu.
"Mau apa kau kemari lagi, Dewa Usilan?!"
Pertanyaan yang diucapkan dengan penuh nada penasaran itu keluar dari mulut Buaya Gila Bermata Tunggal. Kakek yang tengah duduk di halaman gua bersama Dewi Pesolek itu segera bangkit berdiri dengan paras membesi.
Kakek yang dipanggil Dewa Usilan terlihat menyeringai. Sepasang matanya yang memancarkan sinar tajam berkilat bergerak-gerak liar, seperti mata orang yang kurang waras. Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek merasa heran melihat keanehan ini.
Dewa Berhati Emas kemudian terkekeh. Nadanya terdengar menyeramkan.
"Kau bertanya mengapa aku kemari? Sungguh aneh! Apakah kau tak ingat apa yang telah kau lakukan? Kau telah merampas Suntari dari tanganku! Dan, kedatanganku tentu saja untuk memberikan hukuman yang setimpal padamu! Juga pada wanita berhati landung itu!"
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek saling berpandangan dengan rasa heran. Mereka sama sekali tak tahu siapa yang dimaksud kakek itu.
"Apa maksudmu, Tua Bangka? Aku tak mengerti sama sekali dengan semua yang kau ucapkan!" rutuk Buaya Gila Bermata Tunggal heran bercampur geram.
"Aku tak peduli kau mengerti atau tidak, Guntara! Yang penting, bersiaplah kau untuk menerima pembalasan dendamku yang bertumpuk!"
Belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuh kakek yang bukan lain pengikut Dewa Berhati Emas ini telah melesat menerjang Buaya Gila Bermata Tunggal. Kecepat an gerakannya benarbenar menakjubkan.
Bahkan, Buaya Gila Bermata Tunggal sendiri hanya melihat sekel ebatan bayangan putih.
Kakek picak ini merasakan deru angin keras tertuju ke pelipisnya. Bagian itu selalu yang diincar Dewa Berhati Emas palsu. Sedapat mungkin, Buaya Gila Bermata Tunggal menggerakkan tangan untuk menangkis.
Prattt!
Buaya Gila Bermata Tunggal mengeluarkan jeritan tertahan.
Tubuhnya terjengkang akibat benturan itu. Sekujur tangan yang dipergunakan untuk menangkis mendadak lumpuh.
Dewa Berhati Emas Palsu tak berhenti bertindak sampai di situ. Serangan-serangan lanjutan segera dikirimkannya. Dan hanya dalam beberapa gebrakan Buaya Gila Bermata Tunggal telah terdesak. Kakek picak ini hanya bisa mengelak ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Dewi Pesolek semula hanya memperhatikan saja. Sampai tiga jurus lebih dan keadaan Buaya Gila Bermata Tunggal semakin mengkhawatirkan. Tapi, sesaat kemudian selintasan pikiran bermain di benaknya. "Kakek ini sepertinya tak waras. Dia tak hanya membenci Buaya Gila Bermata Tunggal yang dianggapnya Gunt ara. Tapi juga aku yang dipanggilnya dengan nama Suntari. Jadi, kemungkinan besar setelah berhasil membunuh Buaya Gila aku pun akan mendapat giliran. Menilik tingkat kepandaiannya, jangankan aku, Buaya Gila Bermata Tunggal pun tak akan mampu menghadapinya. Mungkin kalau kakek itu kuhadapi bersama-sama dengan si Buaya Gila akan dapat diatasi."
Dewi Pesolek yang memiliki watak cerdik segera dapat mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya.
"Jangan khawatir, Buaya Gila, aku membantumu...!"
Dewi Pesolek terjun ke dalam kancah pert arungan dengan langsung mengirimkan s erangan. Karena serangan itu, terpaksa Dewa Berhati Emas Palsu membatalkan serangannya terhadap Buaya Gila Bermata Tunggal.
Masuknya Dewi Pesolek sedikit banyak menguntungkan Buaya Gila Bermata Tunggal. Gencarnya s erangan Dewa Berhati Emas palsu jadi jauh berkurang. Kenyat aan ini melegakan tokoh sesat itu.
Dewi Pesolek mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah kipas indah yang terbuat dari bulu burung merak. Sedangkan Buaya Gila Bermata Tunggal telah menggunakan cambuk berekor tiganya.
Pertarungan berlangsung sengit. Namun, hal itu hanya berlangsung beberapa belas jurus. Begitu menginjak jurus kedua puluh Dewa Berhati Emas palsu berada di at as angin. Di samping karena kakek ini memiliki kepandai an yang jauh lebih tinggi, setiap serangan kedua dedengkot kaum sesat itu pun sama sekali tak berarti baginya.
"Ilmu apa yang dimiliki tua bangka ini?!" cetus Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek dalam hati.
Kedua dedengkot kaum sesat ini tak tahu kalau Dewa Berhati Emas palsu memiliki ilmu "Mengo-songkan diri". Ilmu yang dimiliki karena berhasil menekan keinginan duniawi. Ilmu itu membuat pemiliknya tak merasakan apa-apa kendati dihujani serangan.
Di jurus kedua puluh tiga Dewa Berhati Emas palsu mampu melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya. Kakek ini sengaja bergerak lambat sehingga serangan-serangan kedua lawannya mengenai sasaran. Dan, pada saat yang bersamaan serangan balasan dikirimkan.
Desss! Bukkk!
Hampir berbarengan Dewi Pesolek dan rekannya menjerit kesakitan. Buaya Gila Bermata Tunggal terkena tendangan di paha kanan, sedangkan Dewi Pesolek terpukul di bahu kirinya. Tubuh kedua dedengkot kaum sesat ini terjengkang ke belakang, kemudian terbanting di tanah dengan keras. Dari mulut keduanya tersembur darah kental.
Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal bukan termasuk orang yang mudah menyerah. Karena itu, keduanya berusaha untuk bangkit dan melakukan perl awanan kembali. Tapi mereka terkejut ketika mengetahui tak mampu menggerakkan tubuhnya. Begitu dahsyatkah akibat serangan kakek itu?
Dewa Berhati Emas palsu terkekeh menyeramkan. Dengan mata liar kakinya diayunkan menghampiri kedua lawannya yang tergeletak tak berdaya.
"Rasakan akibat tindakan kalian yang berani menyakiti hati Prajola!"
Kakek yang ternyata bernama Prajola menghentikan langkahnya dua tombak di depan Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal.
Kedua tangannya digerakkan sejajar dengan bahu. Hendak dilancarkannya serangan yang dapat mengakhiri kedua dedengkot kaum sesat itu, yang hanya bisa menatapnya dengan pasrah.
"Tahan...!"
Bentakan nyaring mengiringi melesatnya sesosok bayangan ke arah Prajola. Sosok bayangan yang baru datang itu bermaksud menghalangi tindakannya. Maka, serangannya dibatalkan dan dialihkan pada sosok bayangan ters ebut.
Wusss!
Angln menderu keras ketika Prajola menghentakkan kedua tangannya. Angin itu meluncur ke arah sosok bayangan ungu. Pukulan jarak jauh yang amat berbahaya! Sosok bayangan yang bukan lain dari Dewa Arak mengetahuinya dengan pasti.
Pemuda berambut putih keperakan itu tak berani menyambuti.
Kekuatan serangan lawan belum diketahuinya. Segera dibantingnya tubuh ke tanah dan bergulingan menjauh. Tapi, sebuah kejadian aneh membuatnya terkejut bukan main! Angin pukulan itu tidak lewat di atas tubuhnya, melainkan berputar dan berbalik arah lalu kembali menyerang Dewa Arak!
Angin pukulan yang tak berwujud itu seperti memiliki pikiran. Dia tahu di mana sasaran yang harus diserangnya.
Kenyataan ini membuat Dewa Arak kelabakan. Arya tak mungkin bisa mengelak. Serangan itu menutup semua jalannya untuk menyelamatkan diri. Maka, dengan pengerahan seluruh tenaga Dewa Arak melancarkan pukulan jarak jauh. Ditangkisnya serangan angin pukulan lawan itu.
Blarrr...! Blaaar...!
Bunyi keras terjadi ketika pukulan-pukulan jarak jauh itu berbenturan. Tubuh Dewa Arak melayang ke belakang dan terbanting keras di tanah. Arya merasakan dadanya sesak bukan main.
Arya berusaha untuk bangkit. Aneh ternyata dia tak mampu. Dewa Arak tak tahu kalau setiap serangan Prajola akan menyebabkan tenaga lawan tersedot. Dari, hal itu sekarang yang dialami Arya Buana.
Prajola tertawa bergelak.
"Si keparat Guntara dan si pengkhianat Sunlari ternyata mempunyai banyak kawan. Biarlah! Atas kelancangan mereka mencampuri urusan ini, akan kuberi hukuman yang setimpal!"
Prajola menggerakkan tangannya hingga sejajar dengan bahu. Kakek ini ingin melancarkan s erangan "Dewa Api Membakar Gunung".
Serangan yang akan membakar hidup-hidup orang yang dijadikan sasaran.
"Hentikan, Prajola. Hilangkan nafsu amarah dan dendam di hatimu."
Suara itu terdengar demikian sejuk, bak segayung air es yang diguyurkan ke atas api yang tengah membara. Entah darimana datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah berdiri Dewa Berhati Emas. Kakek ini menatap Prajola dengan penuh kelembutan.
Prajola mengeluarkan keluhan. Terlihat kakek ini merasa malu begitu menyadari tindakannya. Tanpa berkata apa pun tubuhnya segera di balikkan dan melesat pergi meninggalkan itu. Dewa Berhati Emas membalikkan tubuh menatap tiga sosok yang tergolek di tanah.
"Maafkanlah muridku. Dia tak sadar dengan apa yang dilakukannya. Hatinya sedang terguncang. Selamat tinggal...!"
Dewa Arak, Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek hanya bisa menatap kepergian Dewa Berhati Emas. Mereka tak bisa memberikan tanggapan apa pun. Malah, Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek kelihatan bingung melihat ada dua orang Dewa Berhati Emas.
Bunyi langkah-langkah kaki mendekati tempat itu membuat ketiga orang yang masih terbaring di tanah mengalihkan perhatian.
"Nenek...!" seru pemilik langkah yang ternyata Padmini.
"Padmini...!"
Dewi Pesolek tak kalah terharu. Suaranya terdengar gemetar. Dia tak menyangka muridnya itu bisa selamat Padmini berlari mendekati gurunya. Dipeluknya Dewi Pesolek dengan penuh rasa haru dan kegembiraan.
Dewa Arak gembira melihat pertemuan Padmini dengan gurunya.
Dengan langkah agak terhuyung ditinggalkannya tempat itu. Sesaat kemudian, hanya tinggal Buaya Gila Bermata Tunggal yang masih berada di situ. Meski telah bisa berdiri dan bahkan berjalan, kakek itu t ak mau bangkit dari berbaringnya. Tampaknya dia masih terpukul dengan kejadian-kejadian yang dialami.
Buaya Gila Bermata Tunggal tetap tak bergeming kendati mendengar suara langkah-langkah kaki mendekati tempatnya.
"Buaya Gila! Aku datang untuk membuktikan padamu kalau Malaikat Tombak Sakti lebih unggul dari padamu. Aku, Bogadenta, anak Malaikat Tombak Sakti datang untuk membuktikan keunggulan keluarga kami! Bersiaplah kau...!"
Buaya Gila Bermata Tunggal sama sekali tak memberikan tanggapan. Bahkan, karena tak mempedulikan luka-luka yang diderita, kakek ini terbatuk-batuk keras. Darah memercik berhamburan dari mulutnya. Sepasang mata pendatang baru yang ternyat a seorang wanita berpakaian merah dan bercelana hitam memandang dengan penuh rasa kecewa.
"Kiranya kau terluka?! Sayang sekali! Kau beruntung, Buaya Gila! Biar lain kali saja kutemui kau lagi," ucap Bogadenta, yang meniliknamanya adalah seorang lelaki. "Nasibku memang kurang beruntung. Aku tak pernah mempunyai kesempatan untuk mencoba kedahsyatan ilmu yang kuterima dari Dewa Berhati Emas. Sapu Jagad yang katanya merupakan tokoh amat sakti tak kutemukan. Bahkan, pusaka-pusaka miliknya pun tidak. Sekarang kau pun tengah terluka. Sial!"
Buaya Gila Bermata Tunggal tetap tak memberikan tanggapan.
Bahkan ketika Bogadenta melesat meninggalkan tempat itu, dia tetap tak mengalihkan perhatian.
Sementara itu di tempat yang cukup jauh dari tempat ini dan terpisah satu s ama l ain, dua orang pemuda tengah berlari cepat. Yang seorang adalah Antareja. Dia tengah berusaha mencari jejak kakaknya.
Bogadenta yang sebenarnya berjenis kelamin lelaki itu pandai sekali menyamar sebagai wanita, hingga banyak orang yang tertipu.
Pemuda yang satu lagi berlari dengan mulut tak hentihentinya menggumamkan ancaman.
"Tunggu saja kematianmu, Dewa Arak! Pertemuan antara kita nanti akan mengirim nyawamu ke neraka! Aku, Bonggala, akan membunuhmu dengan ilmu-ilmu yang kuterima dari Dewa Berhati Emas!
Tunggu saja saatnya...!"
Ikuti kelanjutan. kisah ini dalam.episode :
MEMPEREBUTKAN BATU KALIMAYA

––––GS––––

SELESAI


INDEX AJI SAKA
90.Iblis Berkabung --oo0oo-- 92.Memperebutkan Batu Kalimaya
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.