Life is journey not a destinantion ...

Golok Kilat

INDEX AJI SAKA
84.Nyawa Kedua Dari Langit --oo0oo-- 86.Penyair Cengeng

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta



Cetakan pertama, Penerbit Cintamedia, Jakarta, Penyunting :Tuti S. Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak, sebagian atau seluruh isi buku ini, tanpa izin tertulis dari penerbit


1
Seorang pemuda kekar terbungkus pakaian merah dengan ikat kepala juga berwarna merah duduk di atas sebongkah batu karang yang berada di pantai Teluk Menjangan. Kedua kakinya menjuntai, ke permukaan laut. Sehingga setiap kali ombak datang, sepasang ka-kinya terhantam air. Namun, semua itu tidak dipedulikannya, sikapnya tetap tenang dengan mata tajam berkilat menatap jauh ke tengah laut.
Dengan pandangan yang tidak beralih sedikit pun, pemuda itu menggerakkan tangannya, menyapu permukaan bongkahan karang yang didudukinya. Gerakan tangan itu terhenti, ketika menyentuh bagian karang yang menonjol. Kemudian dengan gerak pelan, jari-jari tangannya mengepal.
Broll...!
Tonjolan batu karang yang keras itu tanggal. Pemuda berpakaian merah ini membawanya ke depan dada. Sekilas batu itu diperhatikan, lalu dilemparkannya ke atas.
Potongan karang itu meluncur turun kembali, setelah kekuatan lemparan habis. Pada saat yang sama, pemuda ini menggerak-gerakkan tangannya di atas kepala seperti orang tengah memainkan pedang.
Wuk! Wuk!
Terdengar bunyi menderu tajam, ketika tangan pemuda ini bergerak. Dan begitu potongan karang jatuh kembali tepat di atas paha kanannya, telah menjadi beberapa potongan! Seakan-akan telah dibabat pedang pusaka yang amat tajam.
Tepat ketika pemuda ini menatap ke depan kembali, di tengah laut terlihat satu sosok seperti tengah melesat di atas permukaan air yang bergelombang. Dan pandangan matanya yang tajam segera saja mengetahui kalau sosok itu memang tengah melesat. Namun dia tidak terkejut sama sekali, kendati cara berlari sosok itu demikian enaknya, seperti tengah berlari di tanah datar.
Semakin dekat semakin jelas kalau sosok yang melesat di tengah laut itu adalah seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun. Walaupun sudah dimakan usia, tubuhnya masih terlihat kokoh kuat Badannya yang telanjang terlihat kekar. Penuh otot dan bulu-bulu hitam tebal. Celananya hitam. Dan yang lebih menarik perhatian, sebelah matanya tertutup kain hi-tam.
Lelaki tua bertubuh kekar ini sedikit berkerut wajahnya ketika melihat seorang pemuda berpakaian merah di tepi pantai. Meski demikian lesatannya yang ternyata mengenakan dua bilah papan lebar di bawah alas kakinya, tetap diteruskan. Papan-papan inilah yang membuatnya mampu melesat di atas permukaan air.
Begitu dekat pantai, dengan bantuan gelombang lelaki bertelanjang dada itu melompat ke depan.
"Hup!"
Di udara, tubuh lelaki itu bersalto beberapa kali, melewati kepala pemuda berpakaian merah. Dan agaknya dia ingin mendarat di belakang pemuda itu untuk berjaga-jaga dari kemungkinan buruk yang bakal terjadi. Keberadaan pemuda ini dengan sikap seperti itu, telah menimbulkan perasaan curiga di hatinya.
Namun hampir lelaki bertelanjang dada ini terpekik, begitu menjejakkan kaki di tanah. Ternyata, pe-muda berpakaian merah itu sudah duduk dengan tenang di depan. Artinya, lelaki tua itu tidak mampu me-lewati atas kepala pemuda ini. Sikapnya tidak peduli dengan wajah menunduk menekuri tanah. Kini pemuda itu sudah berpindah duduk di batang sebuah pohon kelapa yang tumbang.
Mata lelaki bertelanjang dada yang hanya tinggal sebelah itu menyipit. Bagaimana mungkin pemuda berpakaian merah itu bisa berada di tempat ini tanpa terlihat bergeraknya? Padahal tadi, saat melewati kepa-lanya, pemuda ini masih duduk tenang di tempatnya?
..... Perasaan tidak yakin, membuat lelaki ini menoleh ke belakang, ke tempat tadi pemuda itu berada. Barangkali saja ada dua orang muda yang mirip pakaian dan potongan tubuhnya.
Tapi dugaan lelaki bertelanjang dada ini pupus se-ketika, karena di tempat itu tidak ada apa-apa sama sekali. Kosong! Berarti pemuda ini telah pindah, entah dengan cara bagaimana!
Lelaki bertelanjang dada ini kembali mengalihkan perhatian ke depan. Kewaspadaannya mulai ditingkatkan. Disadari, di samping telah terbukti kalau pemuda yang sikapnya tidak peduli ini memiliki kepandaian tinggi, pasti juga bermaksud tak baik. Kalau tidak, untuk apa mencegatnya?
Sungguhpun demikian, lelaki bertelanjang dada ini pura-pura tidak tahu. Bagaikan orang yang tidak melihat adanya siapa pun di situ kakinya terayun hendak pergi. Pandangannya diarahkan ke depan, lalu terus berjalan secara biasa melewati bagian kanan pemuda ini. Jaraknya sekitar satu tombak dan sisi lelaki bermata satu ini.
Lelaki bertelanjang dada menghela napas lega ketika telah puluhan tindak kakinya melangkah, tidak juga merasakan apaapa. Maka kemampuannya segera dikeluarkan, berlari cepat disertai seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Kini dengan kedua kaki bagai tidak menginjak tanah, tubuh lelaki bertelanjang dada ini jadi tak jelas saat melesat. Yang kelihatan hanya kelebatan bayangan yang bagaikan hantu tengah terbang mencari mangsa!
"Heh?!"
Tapi belum jauh berlari, mendadak lelaki ini berhenti. Matanya langsung menatap terbelalak ke depan, tanpa dapat menyembunyikan sinar keterkejutan dan kengerian. Sekitar sepuluh tombak di depannya, tampak pemuda berpakaian merah yang tadi ditinggalkannya!
Seperti juga sebelumnya, pemuda itu tampak dalam sikap tak acuh! Kali ini tubuhnya rebah miring di atas batang sebuah pohon yang juga telah tumbang di tanah.
Lelaki bertelanjang dada ini merasakan bulu kuduknya berdiri. Dirasakannya adanya ancaman bahaya. Sebagai seorang waras, dia tahu kalau pemuda berpakaian merah itu sengaja mencari urusan dengannya!
Juga amat disadari pemuda ini memiliki kepandaian amat tinggi! Setidak-tidaknya ilmu lari cepatnya!
Sehingga tak heran kalau pemuda itu selalu berada di depannya, tanpa kelihatan melakukan pengejaran! Dan disadari pula, tidak ada gunanya terus menghindari orang yang luar biasa ini.
Dan meski gentar bukan main, lelaki telanjang dada ini mengayunkan kaki mendekati pemuda di depannya. Langkahnya hati-hati, takut membuat pemuda aneh itu marah! Padahal, pemuda berpakaian merah ini tidur miring dengan tubuh memunggungi.

"Bukankah kau orang yang berjuluk Singa Laut?"
Tiba-tiba terdengar suara bernada pertanyaan, membuat lelaki bermata satu ini sampai menghentikan ayunan kakinya. Saat ini jarak antara mereka berseli-sih dua tombak. Meski tidak melihat, lelaki ini yakin kalau ucapan itu keluar dari mulut pemuda di depannya;
"Benar! Akulah orang yang kau maksudkan itu. Dan kau sendiri, siapa Anak Muda?"
Suara lelaki bermata satu ini terdengar kering. Perasaan ngeri yang mencekam semakin besar, begitu mendengar nada suara yang demikian dingin.
"Namaku Lingga. Hm... Apakah kau masih kepingin hidup lebih lama lagi?!" gumam pemuda yang mengaku bernama Lingga. Nada suaranya semakin dingin saja.
Lelaki bermata satu yang berjuluk Singa Laut mengerutkan keningnya. Sepanjang ingatannya, dia belum pernah bertemu dengan pemuda berbaju merah yang bernama Lingga ini. Lalu, kenapa pemuda ini mengajukan pertanyaan yang bernada ancaman seperti itu?
"Apa maksudmu, Anak Muda? Aku yakin, antara kita tidak pernah ada urusan. Jadi, kuharap kau sudi membiarkanku lewat," sahut Singa Laut, setelah menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering karena perasaan tegang.
Singa Laut sebenarnya bukan seorang tokoh kosong. Belasan tahun yang lalu, julukannya amat terkenal sebagai kepala bajak laut yang amat ditakuti. Di samping kepandaiannya tinggi, anak buahnya pun banyak. Tapi keberadaan pemuda berpakaian merah yang demikian luar biasa, serta sikapnya yang berwibawa, mampu membuat ciut nyali orang sekejam dan seberani Singa Laut!
"Cuhhh...!"

Pemuda berpakaian merah itu meludah.
"Apa yang kau katakan itu memang benar, Singa Laut? Di antara kita memang tidak ada urusan. Tapi bisa saja sebaliknya, apabila aku menghendaki. Dan mungkin perlu kuberitahukan, Singa Laut. Setiap orang yang berurusan denganku, pasti akan mengalami kematian mengerikan!" tukas Lingga bernada ancaman.
Suasana menjadi hening sejenak, begitu pemuda berpakaian merah ini menutup pembicaraannya. Singa Laut masih terdiam, tidak mengerti maksud pemuda itu. Tadi memang terdengar antara mereka memang tidak ada urusan. Lalu, untuk apa pemuda ini mencegat perjalanannya? Aneh!
Di samping itu, Singa Laut sadar kalau tengah berhadapan dengan seorang pemuda berwatak kejam! Seorang yang mungkin mampu membunuh manusia, tak ubahnya membunuh nyamuk! Dugaan itu timbul, karena dia pun orang semacam itu dulunya. Maka sikapnya harus berhati-hati terhadap Lingga.
"Aku tahu, kau mempunyai sebuah senjata berna-ma Golok Kilat! Dan aku bersedia untuk meninggalkan tempat ini, tanpa mengganggumu. Tapi serahkanlah pedang itu padaku, Singa Laut! Bagaimana?!" Lingga menawarkan.
Singa Laut sampai terjingkat ke belakang bagai disengat ular berbisa, saking kagetnya. Bukan hanya karena mendengar pemuda berpakaian merah tahu mengenai golok itu. Tapi juga karena melihat kejadian yang baginya amat luar biasa!
Singa Laut melihat jelas kalau Lingga tidak bertindak apaapa. Tapi batang pohon yang ditidurinya langsung hancur berantakan menjadi tepung! Kejadian ini saja sudah cukup membuat hatinya bergidik! Itu pun masih ditambah kejadian menakjubkan, ketika tubuh pemuda berpakaian merah itu mengambang sekitar dua jengkal dari tanah saat batang pohon yang ditidurinya hancur.
***
"Bagaimana Singa Laut?!" tanya Lingga, setelah membalikkan tubuhnya dan berdiri tegak menghadap lelaki bertelanjang dada itu. Kedua orang ini sekarang berdiri berhadapan dalam jarak dua tombak.
Wajah Singa Laut semakin pias. Dirasakan adanya ancaman dalam pertanyaan yang kedengarannya sepele.
"Aku bukan sejenis orang sabar, Singa Laut! Apabila kau tidak memberi jawaban sama sekali, jangan sesali tindakanmu itu!" lanjut Lingga dengan suara tenang bernada semakin dingin.
Singa Laut menelan ludah beberapa kali, untuk membasahi tenggorokannya agar bisa berkata-kata lancar.
"Bukannya aku tidak mau memberi senjata itu padamu, Anak Muda. Tapi, ketahuilah. Aku tidak memilikinya. Senjata itu..."
"Rupanya kau menganggapku bermain dengan ancaman yang kukatakan, Singa Laut?!" selak Lingga membuat kata-kata Singa Laut terhenti. Sepasang ma-tanya beringas seperti mata seekor harimau lapar mencium darah. "Kau berani membohongiku?!
Dikira aku tidak tahu, kalau kau merampasnya dari pasukan kerajaan yang hendak mempersembahkannya kepada kerajaan seberang sebagai hadiah?!"
"Hal itu memang tidak ku sangkal, Anak Muda," kilah Singa Laut, cepat-cepat. "Tapi, senjata itu telah dirampas seorang pendekar..."
"Seorang pendekar...?!" ulang pemuda berpakaian merah ini. "Siapa orang itu?!"
"Raja Golok Bertangan Baja!" jelas Singa Laut, penuh perasaan dendam dan sakit hati.
Lingga tersenyum sinis.
"Apakah kau hendak membalas dendam padanya?!" tanya Lingga.
Singa Laut mengangguk pasti.
"Itulah sebabnya aku keluar dari pulau tempat penyepianku. Lima tahun yang lalu, aku dikalahkan. Golokku pun dirampas. Sesuai perjanjian, sekarang saatnya kami bertarung lagi. Karena, aku telah berjanji untuk menebus kekalahan lima tahun yang lalu," jelas Singa Laut
"Di mana kalian berjanji untuk bertemu?!" desak Lingga, agak bernafsu. Jelas sekali kalau dia sangat menginginkan Golok Kilat itu.
"Di Lembah Iblis," jawab Singa Laut
"Dan..., kau yakin bisa mengalahkannya?!" tanya Lingga bernada mengejek.
Tidak sembarangan Lingga dengan perkataannya. Karena, dia telah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Raja Golok Bertangan Baja, yang merupakan datuknya golongan putih! Mana mungkin tokoh seperti Singa Laut yang hanya pemimpin bajak laut mampu mengunggulinya?! Jangankan berlatih lima tahun. Biar berlatih sampai lima puluh tahun pun, tak akan mungkin bisa menandingi datuk kaum putih itu.
"Tidak," jawab Singa Laut jujur. "Tapi, barangkali saja nasibku tengah mujur. Tambahan lagi..., aku tidak sendirian. Ada beberapa orang kawan segolongan yang bersedia bekerja sama denganku. Mereka juga mempunyai urusan dengan Raja Golok Bertangan Baja yang sombong itu!"
Lingga terdiam sejenak. Dahinya berkernyit dalam. Sepasang matanya yang tajam berputar sebentar.
"Hm.,.. Aku mendengar adanya langkah-langkah kaki mendekati tempat ini. Mungkin mereka orang-orang yang kau maksudkan," gumam Lingga tenang.
Pemuda itu tidak merasa khawatir sedikit pun kalau nanti Singa Laut akan mengeroyok bersama kawan-kawannya.
Wajah Singa Laut berseri bercampur heran. Keterangan pemuda ini jelas membuatnya gembira. Dan senyumnya melebar ketika melihat dua sosok tengah melesat cepat dari bagian depan, atau dari arah belakang Lingga. Dan keheranannya yang bercampur rasa terkejut, ketika melihat dua sosok yang tengah mendatangi itu memang kawannya. Sungguh tidak disangka kalau Lingga bisa mengetahui kehadiran mereka. Padahal, jaraknya masih amat jauh.
"Singa Laut...!"
Dua sosok yang bergerak mendatangi itu langsung berseru, ketika telah berada lebih dari delapan tombak. Sambil terus berlari, dua sosok itu menyempatkan diri untuk melirik pada pemuda berpakaian merah yang sekarang berdiri bersandar pada sebatang pohon den-gan sikap tidak peduli.
"Syukur kalian telah datang, Braja, Gintung!" sambut Singa Laut, gembira.
"Kau meragukan janji kami?" tanya yang berkulit hijau. Suaranya parau. Dan lehernya berkedut-kedut keras, ketika berbicara seperti leher katak! Dialah yang bernama Braja.
"Apa yang dikatakan saudaraku ini benar, Singa Laut! Bagi kami, janji adalah segalanya! Apalagi, bila janji itu sudah menyangkut orang usilan yang berjuluk Raja Golok Bertangan Baja," sahut sosok yang berkulit hitam. Namanya, Gintung.
Gintung mempunyai satu tangan. Sedang tangan yang satu mulai dari pergelangan tangan, diganti baja yang ujungnya berkait. Sehingga penampilannya cukup mengiriskan.
"Tentu saja kau tidak meragukan janji orang-orang seperti kalian?! Mana mungkin pemimpin Perampok Gunung Wilis akan mengingkari janji?! Tunggu apa la-gi?! Mari kita berangkat!" ajak Singa Laut.
Dua lelaki yang merupakan dedengkot Perampok Gunung Wilis saling berpandang dengan senyum mengembang.
Kemudian, seperti diatur, mereka mengangguk bersamaan.
Singa Laut pun tersenyum. Kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi, ketiga dedengkot rampok ini segera melesat meninggalkan tempat itu, didahului Singa Laut. Sedangkan Braja dan Gintung mengikuti di belakangnya.
Sementara itu keheranan mulai menggayuti hati Braja dan Gintung, ketika menyadari kalau hanya mereka bertiga yang berangkat. Sedangkan pemuda berpakaian merah yang berada di tempat itu tidak ikut! Padahal, semula mereka mengira kalau pemuda itu merupakan kawan. Atau paling tidak, murid Singa Laut! Kalau bukan, mengapa pemuda tadi berada di situ, tanpa tindakan apa-apa dari Singa Laut?
Dua pemimpin Perampok Gunung Wilis ini sebenarnya ingin menanyakan. Tapi karena Singa Laut seperti tidak memberikan kesempatan, mereka pun diam.
***

"Aneh...."
Sebuah suara mendesah bernada heran meluncur dari mulut seorang kakek tinggi kurus berpakaian abu-abu. Kepalanya menengadah, memandang langit. Kedua tangannya di belakang punggung.
"Benarkah pusaka yang kudapatkan itu golok Kilat?! Kalau benar, mengapa tidak kutemukan kedahsyatannya seperti yang dulu tersisa? Apakah ini golok palsu??" lanjut kakek tinggi kurus ini, seperti bertanya sendiri.
Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa. Maka golok di dalam sarung yang tersampir di punggung pun melesat ke atas. Seketika, kakek itu mengulurkan tangan, menangkap begitu senjata tajam itu meluruk turun. Tindakannya bagaikan tanpa melihat sama sekali.
Kakek berpakaian abu-abu itu mendekatkan golok ke wajahnya, mencium beberapa saat. Kemudian diperhatikannya adanya ukiran-ukiran di bagian sisi ka-nan dan kiri batang golok. Cukup lama.
"Tidak salah lagi," desah kakek ini lagi, penuh keyakinan. "Inilah Golok Kilat itu. Aku bisa merasakan pengaruhnya. Tapi, mengapa kedahsyatannya tidak pernah muncul?!"
Setelah menutup ucapan dengan pertanyaan yang entah kapan bisa terjawabnya, golok itu ditudingkan pada sebatang pohon yang berada dalam jarak lima belas tombak darinya. "Tidak terjadi apa-apa," keluh kakek ini sambil menurunkan tangannya yang memegang golok ke sisi pinggang. "Ataukah, kedahsyatan yang dikatakan itu hanya sekadar desas-desus belaka? Ataukah..., ada rahasia yang harus kupecahkan di sini?!"
"Katakili...!"
Mendadak terdengar seruan keras, membuat kakek berpakaian abu-abu menoleh ke kanan, arah asal suara itu. Sebentar sepasang matanya terbelalak ketika mengetahui pemilik suara. Ternyata sosok itu adalah kakek berpakaian coklat dengan jenggot panjang men-juntai.
"Malimbong...," desis kakek berpakaian abu-abu yang dipanggil Katakili. "Apa maksudmu datang kemari?! Jangan katakan kalau si Golok Emas yang menyuruhmu. Ataukah, dia telah begitu tak tahu malu. Se-hingga, dia berani mengingkari janji yang telah dibuatnya sendiri?"
Kakek berpakaian coklat berjenggot panjang yang dipanggil Malimbong tersenyum sambil mengelus jenggotnya.
"Tidak ada yang menyuruhku untuk datang kemari, Katakili. Dan tidak akan pernah ada yang akan menyuruhku!" tandas Malimbong, mantap.
"Apa maksudmu, Malimbong?!" tanya Katakili sambil mengerutkan sepasang alisnya. Heran. "Kedatanganmu kemari tanpa sepengetahuan si Golok Emas?!"
"Tanpa sepengetahuan si Golok Emas!" ulang Malimbong sambil tertawa terkekeh. "Kau lucu sekali, Ka-takili! Apakah kau tidak melihat ini?!"
Malimbong langsung menghunus golok yang terselip di pinggang.
Sring!
Terdengar bunyi nyaring, begitu muncul sinar kekuningan yang menyilaukan mata.
"Golok Emas...?!" desis Katakili kaget, sambil menatap tangan kanan Malimbong yang menggenggam golok berbatang kuning. Golok Emas!.
"Syukur kau masih mengenalnya, Katakili. Dan agar kau tidak semakin larut dalam kebingungan, perlu kuberitahukan bahwa orang yang berhak memegang golok emas ini adalah aku! Malimbong! Si Golok Emas yang dulu kau kalahkan, telah kukalahkan! Jadi, aku sekarang yang berhak menyandang julukan si Golok Emas! Akulah yang menjadi Ketua Perguruan Golok Maut!"
Katakili menghela napas berat, tidak merasa heran lagi sekarang. Dia telah tahu kalau Perguruan Golok Maut mempunyai peraturan aneh. Setiap anggota perguruan dapat menjadi ketua bila mampu mengalahkan sang ketua. Bila sang ketua dapat dikalahkan, golok emas akan jatuh di tangan si pemenang. Yang nantinya juga akan berjuluk si Golok Emas, sekaligus menjadi ketua baru Perguruan Golok Maut (Untuk jelasnya, silakan baca episode: "Memburu Putri Datuk").
"Jadi..., kedatanganmu sekarang untuk menantangku bertarung, Malimbong?!" tanya Katakili dengan nada pahit.
"Lalu..., kau pikir apa?! Berbincang-bincang denganmu? Buang-buang waktu saja! Aku datang untuk membuktikan, siapa di antara kita yang patut bergelar Raja Golok! Hai, Raja Golok Bertangan Baja! Siapkah kau menerima tantanganku ini?!"
"Tentu saja, Golok Emas!" sambut Katakili yang berjuluk Raja Golok Bertangan Baja dengan mantap. Kali ini Malimbong pun dipanggil dengan julukan, ka-rena kakek jenggot panjang itu memanggilnya demi-kian.
"Kalau begitu, bersiaplah, Raja Golok! Aku ingin membuktikan, kalau Ketua Perguruan Golok Maut lebih berhak menyandang julukan Raja Golok daripada kau! Akan ku tebus kekalahan Golok Emas terdahulu!"
"Tunggu sebentar, Golok Emas!" cegah Raja Golok, ketika melihat Malimbong sudah bersiap membuka serangan.
Si Golok Emas mengurungkan maksudnya. Ditatapnya wajah Katakili lekat-lekat.
"Ada apa lagi, Raja Golok?! Jangan katakan kalau kau belum siap menghadapiku!"
––––––––
2
Raja Golok Bertangan Baja menatap wajah si Golok Emas tak kalah tajam. Dua pasang mata yang sama-sama berkilatan mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi, saling bentrok. Seakan-akan mereka hendak mengadu kekuatan melalui pandang mata.
"Aku bukan seorang pengecut, Golok Emas! Setiap tantangan yang tertuju padaku, pasti akan ku sambut! Tapi perlu kau ketahui. Kedatanganmu tanpa perjanjian. Padahal, sekarangsekarang ini ada tokoh hitam yang juga ingin membalaskan kekalahannya padaku. Dia berjuluk Singa Laut. Jadi, kuharap kau sabar menunggu sebentar. Dan..."
"Aku tidak peduli dengan urusanmu, Raja Golok!" potong si Golok Emas, cepat sambil mengibaskan tan-gan kirinya. "Jangankan hanya Singa Laut. Biar Malai-kat Laut pun, aku tidak akan mau mengalah. Aku datang duluan. Jadi, akulah yang lebih dulu bertarung. Kecuali..., bila kau mengaku kalah dan menyerahkan Julukan Raja Golok padaku...."
"Pandanganmu benar-benar picik, Golok Emas. Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa. Apalagi nyawaku! Yang ku takutkan, hanya apabila Singa Laut menarik keuntungan dalam hal ini! Di saat kau dan aku telah lelah bertarung, dia datang. Maka dengan mudah kau dan aku akan habis digilasnya. Apalagi kalau dia datang bersama kawan-kawannya. Pikirkanlah, Golok Emas?!" Ketua Perguruan Golok Maut itu terdiam sebentar.
"Apa boleh buat, Raja Golok! Bila itu terjadi, anggap saja satu kesialan. Biar bagaimanapun juga, itu lebih baik daripada pertarungan kita nanti tak seimbang. Sebab, kau kehabisan tenaga, setelah melawan Singa Laut!" tandas si Golok Emas.
"Kalau begitu keinginanmu, apa boleh buat! Aku sudah siap, Golok Emas!" sambut Raja Golok, merasa tak ada pilihan lain lagi.
Baru saja kata-kata Raja Golok Bertangan Baja selesai, si Golok Emas telah menerjangnya.
"Hiaaat..!"
Golok di tangan Ketua Perguruan Golok Maut itu lenyap bentuknya ketika diputar-putar. Yang terlihat hanya segulungan sinar kuning keemasan yang meluncur ke arah Raja Golok.
"Ilmu golok yang bagus sekali...!" puji Raja Golok Bertangan Baja, tulus. Golok baja yang tadi telah dimasukkan, kembali dikeluarkan dan dipergunakan untuk menangkis serangan.
Trang! Trang!
Terdengar bunyi berdentang nyaring beberapa kali ketika dua batang golok berbenturan.
Si Golok Emas menggeram penuh perasaan penasaran ketika tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah dengan tangan bergetar hebat. Sementara, Raja Golok Bertangan Baja tampak hanya bergeming sedikit.
"Kau memang hebat, Katakili. Tak aneh kakak seperguruanku dulu kalah di tanganmu. Tapi, aku belum kalah!" dengus Golok Emas.
"Chiaaa...!"
Begitu gema ucapan itu lenyap, si Golok Emas kembali menerjang. Gerakannya lambat, tapi penuh tenaga seperti gerak seekor gajah! Tapi anehnya, batang goloknya kelihatan jadi banyak! Bahkan itu pun ditingkahi bunyi mendesing nyaring melengking, sebagaimana bunyi yang keluar dari seruling.
Untuk kesekian kalinya Raja Golok Bertangan Baja merasa kagum. Dia sadar, Malimbong jauh lebih lihai daripada si Golok Emas yang dulu dikalahkannya. Batang golok yang seperti berjumlah banyak dan bunyi seruling, seharusnya akan terjadi bila Malimbong menggerakkan goloknya dengan cepat! Tapi nyatanya, dia mampu melakukannya dengan gerakan lambat.
Tapi Katakili tidak akan mendapat gelar Raja Golok bila mendapat serangan seperti ini saja sudah kelabakan. Dia hanya berdiri tegak dengan golok diacungkan ke atas tinggi-tinggi. Sepasang matanya terpejam. Tidak terlihat kakek ini menggetarkan tangan, tapi ba-tang goloknya bergetar keras hingga memperdengarkan bunyi mengaung.
Dan bunyi mengaung ini langsung menindih bunyi melengking yang timbul dari getaran golok Malimbong. Sedangkan serangan-serangan si Golok Emas sendiri, berhasil dipunahkan Raja Golok Bertangan Baja tanpa menggeser kedudukan sama sekali. Dan masih dengan mata terpejam, kakek bernama Katakili itu mengelakkan setiap serangan. Tubuhnya doyong ke kanan dan kiri, sehingga belum ada satu serangan pun yang mendarat di tubuhnya.
***
Sementara itu si Golok Emas dan Raja Golok Ber-tangan Baja sama sekali tidak tahu kalau saat perta-rungan dimulai, telah ada beberapa sosok tengah mengawasi. Tiga sosok berada di kerimbunan semak-semak. Sedangkan satu sosok lagi, berada di atas sebatang pohon. "
Dan disaat terdengar bunyi mendesing akibat serangan si Golok Emas, tiga sosok yang tak lain dari Singa Laut, Braja, dan Gintung yang merupakan pemimpin Perampok Gunung Wilis ini merasa tersiksa bukan main. Mereka sampai duduk bersila dan mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk melawan pengaruh yang menyakitkan. Tapi, toh mereka tetap kewala-han.
Sekujur tubuh mereka menggigil keras. Peluh sebesar biji jagung telah membanjiri wajah yang menyeringai kesakitan. Apabila siksaan ini terus berlangsung, Singa Laut dan kedua kawannya akan terluka dalam yang amat parah! Bahkan, bukan tidak mungkin akan tewas!
"Auuung... "
Di saat yang mengkhawatirkan, mendadak terdengar bunyi mengaung, menekan bunyi desingan yang menyiksa. Singa Laut dan kedua kawannya langsung merasakan kalau pengaruh yang membuat penderitaan hebat, semakin berkurang. Dan kini berganti rasa nyaman yang membuat mereka terbuai nikmat!
Singa Laut dan dua Pemimpin Perampok Gunung Wilis tidak segera menyadari akan kedahsyatan pengaruh bunyi mengaung. Mereka tidak melakukan perlawanan sama sekali. Rasa yang diterima demikian nikmat, sehingga membuat mereka malah mengikuti.
Ketiga tokoh sesat ini baru menyadari ketidakberesan ini ketika merasakan sekujur otot-otot dan urat-urat syaraf terasa lelah bukan main. Demikian pula mata mereka. Tidak ada keinginan lain lagi bagi mereka, kecuali merebahkan diri dan tidur. Hanya itu yang dibutuhkan, karena mata sudah hampir tidak dapat lagi dibuka!
Penderitaan yang sama juga dialami si Golok Emas! Dicobanya sekuat tenaga untuk semakin memperkuat bunyi desingan goloknya. Tapi, ternyata dia tidak kuasa! Bunyi mengaung yang ditimbulkan Raja Golok benar-benar tidak mampu ditanggulangi, dan merasuk tanpa bisa tertahan. Halus tapi pasti. Dan anehnya, langsung menyerang bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan syaraf istirahat!
Kini serangan-serangan si Golok Emas mengendur dengan cepat. Bahkan terlihat ngawur karena rasa kelelahan yang amat sangat. Dan bila hal ini terus berlangsung, Ketua Perguruan Golok Maut ini akan roboh.
Meskipun demikian, bila dibandingkan Singa Laut dan kedua kawannya, keadaan si Golok Emas jauh lebih baik. Ketiga tokoh sesat itu telah rebah di tanah berumput, setelah beberapa kali menggeliat dan menguap! Mereka telah tertidur!
Tak, tak, takkk...!
Mendadak terdengar bunyi bergemeletak seperti ada dua batang logam beradu, saat keadaan si Golok Emas telah semakin mengkhawatirkan. Bunyi yang diyakini berasal dari campur tangan orang lain, menyeruak mengatasi bunyi mengaung yang timbul dari getaran golok si Raja Golok! Bunyi itu bahkan mampu menekan pengaruh bunyi mengaung. Sehingga, keadaan si Golok Emas berangsur-angsur pulih. Serangan-serangan pun semakin menghebat
Raja Golok menyadari kalau ada orang yang telah ikut campur tangan dalam pertempuran. Rasa tidak senangnya pun timbul. Apalagi, karena mengetahui kalau orang usilan itu membantu si Golok Emas.
Sambil melempar tubuh ke belakang, Raja Golok mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Dia tahu kalau orang yang membantu Ketua Perguruan Golok Maut itu memiliki kepandaian tinggi. Hal ini bisa dike-tahui tak hanya dari bunyi bergemeletak yang telah mampu menekan bunyi aungan goloknya, tapi asalnya pun tidak bisa dilacak. Itu berarti orang yang ikut campur tangan memiliki ilmu 'Memindahkan Suara'. Padahal, ilmu itu hanya bisa dimiliki tokoh yang memiliki tenaga dalam sukar diukur.
Jantung Raja Golok berdetak lebih cepat, ketika akhirnya berhasil mengetahui orang usil yang ikut campur tangan dalam urusannya. Orang itu ternyata duduk bersila di atas sebatang cabang pohon, tiga tombak di depannya. Tapi hebatnya, cabang yang hanya sebesar ibu jari kaki itu tidak melengkung sama sekali! Seakan-akan yang berada di atasnya adalah seekor burung gereja!
Dari sini saja bisa diketahui kalau sosok usilan itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat luar biasa. Dan keterkejutan Raja Golok makin bertambah ketika melihat sosok yang ternyata seorang pemuda tampan berpakaian merah dengan ikat kepala juga me-rah itu, tengah membenturkan dua helai daun. Ru-panya, bunyi gemeletak keras berasal dari benturan dua helai daun itu. Gila!
Sementara itu, pemuda berpakaian merah yang tak lain Lingga hanya tersenyum dingin ketiga beradu pandang dengan Raja Golok Bertangan Baja. Senyumnya hanya sebentar saja, karena Raja Golok Bertangan Baja telah kembali disibukkan oleh serangan-serangan si Golok Emas yang semakin gencar.

Pemuda berpakaian merah itu kembali tersenyum dingin. Sementara matanya tak lepas dari pertarungan yang tengah berlangsung, tangan kanannya menjulur ke atas dengan jari-jari terbuka.
Brrr...!
Bagaikan dihembus angin keras, puluhan daun pohon yang berada di atas kepala Lingga berguguran. Tapi, semuanya melayang ke arah tangannya yang ter-buka dan jatuh bertumpuktumpuk!
Masih tanpa mengalihkan pandangan, pemuda ini mengibaskan tangannya.
Wesss...!
Seketika, puluhan daun itu melayang dengan ke-cepatan tinggi, sampai menimbulkan bunyi berdesing nyaring. Arah yang dituju kali ini adalah si Golok Emas.
Si Golok Emas terkejut bukan main, ketika menyadari adanya serangan gelap. Buru-buru dipapaknya daun-daun itu dengan golok!
Brettt...! Brettt...!
Bunyi sayatan keras terdengar berkali-kali ketika batang golok si Golok Emas berbenturan dengan daun-daun yang bertubi-tubi meluncur ke arahnya secara satu persatu. Setiap terjadi benturan, tangan si Golok Emas kontan bergetar hebat Bret!
"Aaakh...!"
Pada benturan kelima jari-jari tangan si Golok Emas tak kuat lagi mencekal golok, hingga terlepas da-ri pegangan. Dan ini sampai membuat seruan tertahan dari mulutnya. Sementara serangan daun-daun itu masih meluncur ke arahnya.
Cepat bagai kilat Ketua Perguruan Golok Maut ini membanting tubuhnya ke tanah, lalui menjauhkan diri dengan bergulingan.
Sementara itu si Raja Golok Bertangan Baja sendiri tidak luput dari serangan. Begitu melihat adanya se-rangan, segera dia melompat ke belakang.
"Heaaat...!"
Saat itu Singa Laut dan dua kawannya yang sudah terbangun dari tidurnya melompat keluar dari semak-semak dan langsung mengirimkan serangan.
Singa Laut mempergunakan golok bermata gergaji. Sedangkan Braja dan Gintung memakai tombak pendek dan trisula.
Raja Golok Bertangan Baja cukup terkejut mendapat serangan mendadak ini. Maka cepat goloknya bergerak memapak bertubi-tubi.
Trang, trang, trang!
Tangkisan Raja Golok Bertangan Baja membuat tubuh para penyerangnya terhuyung-huyung ke belakang, karena kalah tenaga dalam.
Namun sebelum kedua belah pihak saling gebrak kembali, Lingga telah lebih dulu melayang turun, lalu hinggap di tengahtengah,
"Monyet-monyet kecil! Lebih baik kalian menyingkir, sebelum aku lupa diri!" dengus Lingga dingin pada Singa Laut, Braja dan Gintung tanpa menoleh sedikit pun.
Singa Laut tahu diri. Telah dirasakannya sendiri kehebatan pemuda berpakaian merah ini. Maka buru-buru dia melompat mundur. Tapi, tidak demikian halnya Braja dan Gintung. Mereka malah marah mendengar kata-kata yang diucapkan seorang pemuda kema-rin sore. Siapa yang tidak menjadi kalap?
"Pemuda gila! Mampuslah kau...!" bentak Braja.
Hampir berbareng dengan keluarnya bentakan penuh kemarahan, dua Pemimpin Perampok Gunung Wilis itu menyerbu. Golok dan trisula mereka meluncur ke arah dada dan perut Lingga.
Wut, wuttt!
Namun pemuda berpakaian merah ini tidak menge-lak sama sekali. Akibatnya, serangan-serangan itu mendarat telak dan keras.
Buk! Duk!
Trak! Trak!
Tapi, malah dua senjata itu yang patah-patah. Lingga tersenyum mengejek melihat keterkejutan dua orang yang menyerangnya. Kemudian....
"Cuhhh, cuhhh...!"
Begitu Lingga meludah, dua gumpalan yang sebenarnya adalah cairan menjijikkan, meluncur ke arah dua Pemimpin Perampok Gunung Wilis itu.
Braja dan Gintung tahu akan bahaya. Maka mereka segera melompat menyamping, agar serangan ludah itu lolos dari sasaran.
"Heh?!"
Jantung dua tokoh rampok ini seperti berhenti berdetak, ketika melihat ludah-ludah itu bagaikan bernyawa! Cairan-cairan menjijikkan yang menggumpal itu ikut berbelok arah, tetap mengancam keselamatan mereka.
Kejadian yang tidak terduga ini membuat dua ka-wan Singa Laut ini kelabakan. Mereka terpontang-panting untuk mengelak. Tapi, gumpalan-gumpalan ludah itu tetap mengikuti. Padahal kini, keadaan mereka benar-benar terpojok. Sehingga....
Cras, cras!
"Aaa...! Aaakh...!"
Keduanya hanya menjerit tertahan, ketika dahi mereka ambrol ditembus gumpalan ludah yang sebenarnya mampu menembus batu karang.
***
Singa Laut, si Golok Emas yang telah bebas dari kejaran daun, dan Raja Golok, terkesima melihat kejadian itu. Apa yang terlihat merupakan bukti nyata dari kekuatan tenaga dalam tak terukur milik pemuda berbaju merah ini. Sampai-sampai mampu membuat gumpalan ludah seperti, mempunyai nyawa!
Singa Laut semakin mundur. Dia khawatir, menjadi korban pemuda yang bersikap dingin tapi berhati keji. Lelaki bertelanjang dada ini sempat menghembuskan napas lega ketika melihat Lingga tidak memperhatikannya sama sekali. Karena yang dijadikan sasaran perhatian adalah Raja Golok Bertangan Baja!
Raja Golok Bertangan Baja tahu, pemuda itu men-gincarnya. Disadari betul kalau nyalinya tidak ciut. Bahkan begitu tahu pemuda ini tidak bersenjata, senjatanya segera dimasukkan kembali ke warangkanya.
"Berikan senjata itu, Raja Golok! Dan aku berjanji tidak akan mengambil nyawamu!" gertak Lingga, Datar dan dingin suaranya.
"Aku hanya akan memberikannya, apabila nyawaku telah terlepas dari badan, pemuda keji!" balas Katakili, tak mau kalah gertak. "Hih...!" Wuttt...!
Raja Golok Bertangan Baja langsung mengirimkan tamparan tangan kanan ke arah pelipis. Serangan yang akan mampu mengirim nyawa tokoh berkepandaian rendah ke alam baka, walaupun hanya terkena sedikit saja!
"Huh...!"
Namun Lingga hanya mendengus. Tangan kanan-nya pun diayunkan untuk memapak serangan.
Melihat hal ini, Raja Golok Bertangan Baja tersenyum, mengejek dalam hati. Pikirnya, pemuda ini benar-benar masih hijau, dan hanya mengandalkan kesombongan belaka. Tidak tahukah pemuda itu kalau di samping berjuluk Raja Golok, Katakili pun mendapat gelar Bertangan Baja, karena memiliki tangan amat kuat?
Plak!
"Heh?!"
Kegembiraan Raja Golok Bertangan Baja mendadak sirna, ketika tangan pemuda ini tidak patah sama se-kali. Bahkan, justru Raja Golok Bertangan Baja sendiri yang mengalami kejadian mengejutkan! Tangannya seakan berbenturan dengan gumpalan kapuk! Sehingga, tenaganya menjadi lenyap entah ke mana!
Belum lagi keterkejutannya sirna, Katakili telah menerima kenyataan yang mengagetkan. Ternyata tangannya yang berbenturan tidak bisa ditariknya kembali, melekat dengan tangan pemuda ini.
Raja Golok Bertangan Baja terkejut bukan main. Diusahakannya sedapat mungkin untuk menarik, tapi tetap siasia. Hatinya menjadi cemas bukan main. Apalagi ketika tiba-tiba merasakan adanya aliran hawa panas dari tangan pemuda itu yang amat dahsyat. Seakan-akan tangannya diletakkan dalam bubur besi yang membara!
Hanya dalam waktu sebentar saja, wajah Raja Golok Bertangan Baja merah padam seperti udang rebus. Peluh sebesar biji jagung menetes-netes dari wajahnya.
"Hih!"
Katakili mencoba mengirimkan serangan lain, menggunakan tangan yang masih bebas, dan juga kaki.
Tapi sebelum maksud itu berhasil, hanya dengan tudingan jari tangan kiri....
Tuk, tuk!
Lingga telah membuat bagian tubuh yang hendak digerakkan Raja Golok Bertangan Baja lumpuh. Rupanya pemuda berpakaian merah ini menggunakan totokan jarak jauh.
Raja Golok Bertangan Baja gelisah bukan main. Rasa panas yang diderita telah semakin dahsyat. Dan dia mulai tidak tahan lagi. Sepasang matanya bahkan telah merah seperti orang sakit mata. Tak lama lagi, tokoh golongan putih ini akan tewas secara mengerikan!
Kejadian ini pun diketahui si Golok Emas. Dan dia pun tidak sampai hati membiarkannya. Antara si Go-lok Emas dengan Raja Golok Bertangan Baja memang ada urusan. Tapi bukan berarti membenci, mendendam, apalagi memusuhi. Urusan yang ada hanya memperebutkan gelar. Maka melihat keadaan Raja Golok Bertangan Baja, Ketua Perguruan Golok Maut ini berani membantu. Karenanya bukan tidak mungkin, apabila berhasil membunuh Raja Golok, pemuda itu akan membunuhnya pula. Si Golok Emas sadar kalau pemuda berpakaian merah ini memiliki watak keji!
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Golok Emas tahu bagaimana caranya menyelamatkan Raja Golok Bertangan Baja. Maka dengan tenang, dihampirinya dua tokoh yang tengah berkutat itu.
Kalau saja si Golok Emas memiliki watak licik, kesempatan seperti itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengirim serangan. Tapi, dia tak melakukan. Bertindak seperti ini saja, hatinya malu. Hanya saja perasaan itu ditekan dengan bantahan, kalau tindakan yang hendak dilakukannya semata-mata untuk menolong Raja Golok!

Begitu berada di dekat dua tokoh yang tengah ber-seteru, si Golok Emas meluruskan dua jarinya. Kemu-dian jari-jarinya digerakkan.
Bagian yang dituju si Golok Emas adalah bawah siku, untuk membuat tangan kanan Raja Golok Bertangan Baja lumpuh sejenak. Dengan demikian aliran tenaga dalam dari pemuda itu putus. Bila hal ini terjadi, maka kekuatan yang menyedot tangan Raja Golok Bertangan Baja terlepas!
––––––––
3
Tuk, tukkk!
Telak dan keras sekali jari-jari tangan si Golok Emas mendarat di sasaran. Namun kesudahannya, dia sendiri yang menjadi kaget. Ujung-ujung jarinya seakan menghantam karet yang keras dan kenyal. Sehingga membuat tenaganya seperti tenggelam.
Sementara, Lingga hanya melirik. Terlihat adanya ancaman yang mampu membuat detak jantung orang seperti si Golok Emas terasa bertambah cepat.
"Kau mencari penyakit sendiri, Tua Bangka Dungu! Kau akan menerima balasannya, setelah kakek ini kubereskan!"
Usai berkata demikian, Lingga segera mengerahkan tenaga dalamnya. Akibatnya, tubuh Raja Golok Bertangan Baja terjengkang ke belakang. Darah menyembur deras dari mulutnya. Ketika jatuh mencium tanah, tubuhnya tak bergerak lagi.
Pemuda berpakaian merah ini mengeluarkan tangannya. Kemudian dibuatnya gerakan menarik secara keras.
Srang.
Wesss!
Seketika golok yang berada di punggung Raja Go-lok Bertangan Baja melayang keluar dari rongganya, langsung meluncur ke arah Lingga bagai ditarik tangan tak nampak!
Saat golok itu tengah melayang, si Golok Emas melancarkan babatan dengan senjata andalan ke arah leher Lingga. Dan diyakininya betul kalau pemuda berpakaian merah itu mendengar kedatangan serangannya. Tapi yang diherankannya, pemuda itu tidak hendak untuk mengelak atau menangkis.
Kenyataan ini membuat si Golok Emas merasa heran. Dalam hatinya, bergayut pertanyaan. Apakah pemuda itu demikian yakin akan kekuatan tenaga dalamnya, sehingga tidak mau mengelakkan serangan?
Takkk!
Si Golok Emas baru yakin dengan kekuatan tenaga dalam si pemuda ini ketika mata goloknya tidak mam-pu membuat leher itu buntung. Goloknya kontan terpental kembali. Bahkan tangannya bergetar hebat.
Si Golok Emas kaget. Tapi lebih kaget lagi ketika golok milik Katakili berhasil ditangkap Lingga. Bahkan pemuda berpakaian merah itu menyerang tiba-tiba. Goloknya langsung diayunkan ke arah perut. Begitu cepat gerakannya sehingga....
Brettt!
"Aaakh...!"
Si Golok Emas memekik memilukan ketika ujung golok Lingga merobek lebar perutnya secara mendatar. Darah segar langsung memancur deras. Golok Emas limbung mendekap luka dengan mata terbelalak memancarkan ketidak-percayaan.
Sementara pemuda berpakaian merah tidak mempedulikannya. Bahkan tangan kirinya cepat mengibas.
Wesss!
Plak!
"Aaakh!"
Si Golok Emas mengeluh kesakitan ketika tangan-nya yang menggenggam golok seperti terhantam baja! Dia tahu, itu akibat pukulan jarak jauh yang dilepaskan pemuda ini lewat kibasannya.
Si Golok Emas yang telah jatuh terbaring di tanah tidak teringat lagi akan golok emasnya yang terpental akibat pukulan jarak jauh pemuda itu. Goloknya sendiri melayang deras bagai dilemparkan. Dan arah yang ditujunya adalah tempat Singa Laut berdiri
Singa Laut cepat menyadari akan adanya bahaya. Maka dia cepat melompat ke samping untuk menyela-matkan diri. Tapi betapa kaget hatinya ketika menyadari tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali! Pa-dahal, dia tidak melihat Lingga menggerakkan tangan ke arahnya. Memang, dengan gerakan yang sukar diikuti mata, pemuda ini telah mengirimkan totokan jarak jauh terhadapnya, sehingga tubuhnya tak bisa di-gerakkan lagi.
Dan Singa Laut hanya bisa menatap dengan mata terbelalak lebar, menanti datangnya maut melalui go-lok emas milik Malimbong! Dan....
Crap!
"Aaakh...!"
Tak bisa dihindari lagi golok emas itu menancap di dahi Singa Laut. Begitu ambruk di tanah, tubuhnya menggelepar bergelimang darah. Kemudian, diam tidak bergerak lagi untuk selamanya! Mati!
"Ha ha ha...!?
Lingga tertawa bergelak penuh kegembiraan. Pandangannya dilayangkan pada mayat-mayat dengan wajah menyiratkan kepuasan.
"Dewa Arak...! Di mana pun kau berada..., dengarlah. Kau akan mati di tanganku! Tunggulah saat kematianmu...!"
Pemuda berpakaian merah ini mengeluarkan tan-tangan dengan menghadapkan wajah ke empat penju-ru.
Setelah unek-uneknya keluar, Lingga menyelipkan golok milik Raja Golok di pinggang. Kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat ini.
*** Derrr!
Getaran keras pada tanah yang dipijak, membuat seorang pemuda berambut putih keperakan menautkan alisnya. Wajahnya yang tampan dihadapkan ke depan, tempat asal getaran pada tanah. Langkahnya yang semula lambat, kini agak dipercepat, semakin memasuki kawasan hutan yang cukup lebat ini.
Pemuda bertubuh kekar terbungkus pakaian ungu ini yakin getaran sedahsyat tadi tidak akan terjadi begitu saja. Yang jelas, ada penyebabnya. Kalau tidak ada pohon tumbang, pasti ada batu sebesar gajah yang jatuh ke tanah. Atau mungkin juga, jejakan kaki seorang tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam amat tinggi.
Saat ini, jarak pemuda berpakaian ungu ini dengan penyebab getaran itu cukup jauh juga. Rimbunnya semak-semak dan onak duri beberapa kali harus dile-wati dan disibaknya. Baru kemudian dia menemukan penyebabnya.
Sekitar lima tombak di depan pemuda ini, tampak beberapa pohon yang batangnya tak kurang dari tiga pelukan tangan orang dewasa tergolek. Satu di antaranya masih utuh, tapi yang lain tengah dikerjakan so-sok tubuh tinggi besar terbungkus pakaian sederhana berwarna gelap, untuk dijadikan potongan kecil.
Sosok tubuh tinggi besar ini berdiri membelakangi pemuda berpakaian ungu. Dan rupanya, telinganya tidak mendengar kedatangan pemuda itu. Dia terus sibuk mengurusi pohonpohonnya.
Melihat pakaiannya, pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau sosok itu adalah seorang penduduk biasa saja. Tapi, tindakan yang dilakukan mem-buat pemuda ini tahu kalau sosok tinggi besar itu bukan orang biasa.
Ternyata sosok tinggi besar. itu membelah-belah batang pohon dengan cara luar biasa. Kaki kanannya mencungkil batang pohon itu, sehingga terlempar ke atas. Kemudian batang pohon itu disampok dengan kedua sisi telapak tangan;
Cepat bukan main gerakan tangan sosok itu, sehingga yang terlihat hanya bayangan tak jelas diikuti dengan bunyi bergemuruh. Sekejap kemudian batang pohon itu telah jatuh ke tanah dalam bentuk potongan-potongan berbentuk tongkat pendek. Bertumpuk seperti diatur tangan terampil.
Pemuda berpakaian ungu ini mendesah kagum dalam hati. Tindakan ini saja sudah membuktikan kelihaian sosok tinggi besar di depannya. Dan ini membuat sikapnya waspada. Dia belum yakin, dari golongan mana sosok tinggi besar itu. Seketika jalannya diperlambat kembali, seperti jalan biasa.
Sosok tinggi besar itu rupanya merasakan kehadiran orang lain. Seketika tubuhnya berbalik ketika pe-muda berpakaian ungu itu baru saja berhenti tiga tindak di belakangnya.
Pemuda berambut putih menatap wajah sosok tinggi besar yang juga menatapnya. Kini dua pasang mata yang sama-sama tajam saling menatap penuh selidik.
"Ah!"
Kedua belah pihak sama-sama mendesah begitu saling beradu pandang. Sorot mata masing-masing pihak menyiratkan keterkejutan yang besar.
"Dewa Arak...?!" sebut sosok tinggi dengan kepala botak itu.
Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Arya Buana atau Dewa Arak ini masih menatap sosok lelaki berwajah bersih tanpa kumis, jenggot, atau cambang. dahinya berkerut, karena merasa pernah mengenalinya. Maka dicobanya untuk mengingat-ingat.
"Ha ha ha...!"
Lelaki berkepala botak itu tertawa bergelak penuh rasa gembira. Tawanya keras dan lepas, namun sama sekali tak ada nada ejekan atau permusuhan di dalamnya.
"Menakjubkan sekali! Kau telah lupa padaku, Dewa Arak?! Kau yang telah pikun atau aku yang terlalu banyak berubah! Ingat-ingatlah, Dewa Arak...!"
Alis Dewa Arak makin bertaut dalam. Suara itu pun seperti pernah didengarnya. Berarti dia telah pernah bertemu dan bercakap-cakap dengan lelaki berkepala botak ini.
"Ha ha ha...! Rupanya kau perlu bantuanku untuk mengingatingat, Dewa Arak. Baiklah. Aku akan sedikit membantu ingatanmu!"
Lelaki berkepala botak ini segera menggerakkan tubuhnya, seperti seekor ayam membersihkan debu yang melekat di tubuhnya. Pakaiannya lepas dari tubuh dan melayang ke atas.
Sehingga tubuhnya yang kekar dan dipenuhi otot-otot melingkar terlihat. Kelihatan kokoh kuat, laksana batu karang!
"Ah..!"
Sepasang mata Arya terbelalak semakin lebar. Tapi, wajahnya berseri-seri dan senyumnya mengembang.
"Setan Kepala Besi rupanya.... Luar biasa.... Kau telah sangat berbeda, Kek. Aku sampai pangling. Kau benar-benar berubah jauh...," desah Arya, setelah teringat siapa lelaki botak di depannya.
Lelaki tinggi besar yang ternyata Setan Kepala Besi tertawa bergelak. Suaranya keras, sehingga membuat sekitar tempat ini bergetar keras. Daun-daun sampai berguguran dari pohonnya.
"Syukur kau masih mengingatku, Dewa Arak, Ku-pikir kau telah lupa. Lagi pula, apa untungnya mengingat-ingat orang sepertiku. Tidak ada yang luar biasa," sambut Setan Kepala Besi, tenang. Arya ikut tertawa.
"Bagaimana mungkin aku bisa mengingat, kalau kau telah berubah demikian jauh, Kek. Perbandingannya bagaikan bumi dan langit. Kau telah berubah demikian jauh! "
"Kau masih saja tidak berubah, Dewa Arak. Pandai merendah. Ha ha ha....!"
Dua tokoh yang saling mengenal itu tanpa sadar teringat kembali akan masa perkenalan mereka (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Setan Kepala Besi silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Memburu Putri Datuk" dan "Jamur Sisik Naga').
"Beginilah keadaanku sekarang, Dewa Arak," Setan Kepala Besi kembali membuka percakapan, setelah cukup lama termenung. "Aku telah menjauhkan diri dari kancah persilatan.
Hidup di tempat ini menjadi seorang penebang kayu agar bisa hidup. Hasil dari usahaku ini kujual dan ku belikan makanan. Terkadang, aku mencari binatang-binatang untuk disantap. Menggelikan, bila mengingat dulu aku tidak perlu repot seperti ini hanya untuk makan saja. Tapi, yahhh.... Nikmat sekali hidup seperti ini. Batin jadi terang tenang."
Arya mengangguk-angguk. Hatinya merasa bahagia mendengar tokoh yang dulu merupakan pentolan dunia hitam, dan telah hampir membuatnya kelabakan untuk mengalahkannya, sekarang telah sadar dan menjauhi jalan sesat. Dewa Arak kagum bukan main. Disadari betul kalau untuk melakukan hal demikian, bukan suatu yang mudah.
"Apakah ada keperluan, sehingga kau bisa berada di daerah ini, Dewa Arak?!" tanya Setan Kepala Besi, ingin tahu. Sepasang matanya tetap tajam mencorong, namun telah kehilangan sinar kebuasannya. Ditatapnya wajah Arya penuh selidik. Seakan-akan ingin dibaca, apa yang tersembunyi di hati pemuda berambut putih keperakan di depannya.
"Sama sekali tidak, Kek. Aku di sini hanya mengikuti kemauan kakiku saja. Meneruskan pengembaraan...."
"Memberantas kejahatan dan tindak ketidakadilan di muka bumi ini. Bukankah demikian, Dewa Arak?!" Sambung Setan Kepala Besi, memotong ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
Arya hanya tersenyum, tanpa memberi jawaban sama sekali.
"Karena tidak mempunyai urusan yang penting dan mendesak, aku ingin kau sudi mampir di tempatku, Dewa Arak. Kita rayakan pertemuan ini. Bagaimana? Ingat, apa pun pilihan mu aku tidak peduli. Apa pun jawaban yang kau berikan, setuju atau tidak, kau tetap harus mampir ke tempatku. Akan kusediakan makanan dan hidangan istimewa!" desah Setan Kepala Besi.
Arya menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir mengulum senyum.
"Ternyata masih ada sifatmu yang belum berubah, Setan Kepala Besi," kata Arya merubah sapaannya.
Lelaki berkepala botak yang sebenarnya telah berusia sekitar enam puluh tahun tapi masih memiliki tubuh kekar itu menatap Dewa Arak dengan sinar mata penuh selidik.
"Kau masih suka memaksakan keinginanmu sendiri."
Wajah Setan Kepala Besi berseri-seri mendengar jawaban itu.
"Tidak ada salahnya kan, Dewa Arak? Toh, aku memaksakan kehendak untuk membuat hal yang baik," kilah lelaki berkepala botak itu, membela diri.
Arya mengangkat kedua bahunya. Dan Setan Kepala Besi pun tersenyum lebar. Baginya, jawaban Dewa Arak itu telah lebih dari cukup sebagai tanda persetujuan.
"Mari, Dewa Arak. Aku yakin Nuri akan gembira melihatmu. Aku banyak cerita tentangmu padanya," ajak Setan Kepala Besi.
"Nuri?!" Arya mengernyitkan dahi, bingung dan heran.
"Muridku, Dewa Arak," jawab Setan Kepala Besi sambil tertawa bergelak. "Tidak usah kau pikirkan, karena sebentar lagi akan melihatnya. Ayo!"
Arya tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena Setan Kepala Besi telah melesat cepat meninggalkan tempat ini. Dia tidak membawa kayu-kayu yang telah selesai dibelah-belahnya.
Mungkin lupa. Arya hanya mengangkat bahu, kemudian melesat menyusul.
––––––––
4
"Nah! Inilah muridku, Dewa Arak. Nuri, yang ku ceritakan padamu itu," jelas Setan Kepala Besi begitu mereka tiba di pondok. Sebuah rumah sederhana berdinding papan dan beratap rumbia.
Sementara itu seorang gadis cantik berpakaian serba merah tampak tersenyum manis. Dialah Nuri. Tahi lalat di bawah hidung sebelah kiri menambah manis wajahnya kala tersenyum.
Arya balas tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya ke atas sedikit.
"Inilah tokoh besar yang sering kuceritakan itu, Nuri. Dia adalah pendekar yang memiliki kepandaian amat tinggi, tapi memiliki watak rendah hati. Dewa Arak!" kata lelaki berkepala botak itu, ganti memperkenalkan Arya pada muridnya
Nuri menatap Arya tanpa menyembunyikan sinar kekaguman yang memancar pada wajahnya. Dan ini membuat selebar wajah pemuda berpakaian ungu itu seperti panas.
"Setan Kepala Besi memang pandai memuji, Nuri. Padahal, apalah artinya kepandaianku bila dibanding dengannya," timpal Arya merendah.
Setan Kepala Besi tertawa bergelak.
"Sekarang, kuharap kau bersedia menunggu di sini sebentar, Dewa Arak. Aku akan mencarikan hidangan yang istimewa untukmu. Kalau perlu apa-apa, bilang saja pada Nuri. Dan kau, Nuri. Layani baik-baik tamu agung ini," pesan Setan Kepala Besi pada muridnya.
Nuri mengangguk, mengiyakan. Tapi, Setan Kepala Besi tidak melihat anggukannya karena telah keburu melesat meninggalkan tempat ini. Yang tinggal hanya Arya dan Nuri.
"Biar ku ambilkan minuman dulu untukmu, Dewa Arak," kata Nuri, segera berbalik dan masuk ke dalam.
Arya tidak sempat menimpali, dan hanya sempat melihat bagian belakang tubuh gadis itu. Tak sengaja Dewa Arak memandang pinggul Nuri. Sehingga tanpa sadar, dia menelan ludahnya sendiri melihat pinggul padat yang bergerak naik turun, ketika gadis berpa-kaian merah itu berjalan. Hanya sebentar saja Nuri lenyap ke dalam, tak lama sudah kembali dengan mem-bawa sebuah guci kecil dan gelas bambu. Arya saat ini sudah duduk di kursi dengan kedua tangan terletak di meja. Pandangannya tertuju ke bagian dalam ruangan. Begitu melihat Nuri, jantungnya kontan berdenyut ke-tika terbentur pada dua buah tonjolan di bagian dada. Gadis ini terlihat manis dan menggiurkan. Buru-buru Arya mengalihkan pandangan ke lantai.
"Sudah lama kau menjadi murid Setan Kepala Besi, Nuri?!" tanya Arya, begitu gadis itu meletakkan guci dan gelas.
Kini Nuri duduk di depan Arya, dibatasi meja berbentuk empat persegi panjang. Meja sederhana dari kayu biasa.
"Hampir lima belas tahun, Dewa Arak," jawab Nuri sambil menatap wajah Arya. Sikapnya tenang, tidak malu-malu dan penuh percaya diri.
Arya mengangguk-angguk kepala lebih dulu. Entah apa arti anggukannya. Yang jelas, pertanyaannya tidak langsung disambung.
"Mungkin kau kenal tokoh yang berjuluk Dewi Pencabut Nyawa?!" tanya Arya lebih jauh. "Oh, ya. Hampir aku lupa. Tolong panggil aku dengan nama saja, Nuri. Bukankah sapaan Arya lebih mengandung keakraban daripada Dewa Arak?"
Nuri tersenyum. Manis sekali. Bibirnya yang mungil dan merah membasah jadi terlihat menggiurkan.
"Aku tidak keberatan dengan usulmu itu, De..., eh! Arya. Tapi, aku pun punya usul juga untukmu."
"Apa itu, Nuri?!"
"Kau meminum apa yang tersaji di meja, tapi ada syaratnya. Tentu saja kalau kau setuju," ujar Nuri, menggantung lanjutan perkataan di tengah jalan.
"Katakan saja, Nuri. Kalau tidak berat, bukan tidak mungkin ku penuhi," jawab Arya, tak berani menjanjikan. Terhadap gadis yang bersikap terbuka tapi tenang seperti Nuri, Dewa Arak memang tidak berani berkata sembarangan.
"Aku ingin kau meminum arak ini tidak secara biasa. Maksudku minum dengan cara tidak bisa dilakukan sembarang orang," jelas Nuri.
Arya terdiam sebentar, kemudian tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau tidak berbeda dengan gurumu, Nuri. Benar kata pepatah. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya" kata Dewa Arak, seperti meledek.
"Apa maksudmu, Arya?" tanya Nuri sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk indah. Dia masih belum paham maksud perkataan pemuda ini.
"Tidak ada maksud apa-apa," jawab Arya, kalem. "Aku hanya sedikit kagum dengan kesamaan sikapmu dengan Setan Kepala Besi. Begitu bertemu, gurumu kan mengujiku. Dan kau pun bertindak serupa. Tapi..., tak apalah. Hitung-hitung menikmati hidangan sambil mengadakan pertunjukan."
Wajah Nuri berseri. Dan Arya harus mengakui kalau gadis ini jadi bertambah cantik. Kulit wajahnya yang putih, halus, dan mulus, jadi terlihat semakin cemerlang.
"Sekarang, lihatlah baik-baik, Nuri. Aku ingin meminum jamuan yang kau berikan."
Arya segera meruncingkan mulutnya. Sementara Nuri memperhatikan penuh perhatian dengan sepa-sang mata tanpa berkedip. Sepertinya, gadis ini merasa khawatir, bila matanya berkejap, tidak akan melihat pertunjukan yang luar bisa dan menakjubkan. Dan....
"Sruppp...!"
Sepasang mata Nuri yang bening indah jadi terbelalak lebar, menampakkan keterkejutan ketika dari da-lam guci meluncur keluar arak yang disediakan. Ben-tuknya memanjang, hingga kelihatan seperti sehelai tambang, mulai dari bibir guci sampai mulut Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu sendiri dengan nekatnya merubah bentuk mulutnya untuk menerima luncuran arak.
Gluk! Gluk!
Terdengar bunyi tegukan seiring bergerak turun naiknya tenggorokan Arya saat menelan yang masuk ke dalam mulutnya.
Dan tak lama, arak pun tandas.
Dewa Arak segera mengusap mulut dengan punggung tangannya.
"Hebat! Kau benar-benar, hebat, Arya. Pantas guru amat kagum terhadapmu," puji Nuri, tulus. "Tapi, apakah hanya cara itu saja? Apa tidak ada cara lainnya?"
Arya tidak berkata apa-apa. Hanya saja, tangannya yang tidak tergantung di sisi pinggang diletakkan di bagian pinggir.
Dan lagi-lagi mata Nuri membelalak. Bahkan sekarang lebih lebar dari sebelumnya. Gadis ini melihat arak itu melayang naik ke atas perlahan-lahan, bagai diangkat tangan kasat mata. Setelah mencapai keting-gian tiga jengkal dari daun meja, guci itu terdiam. Kemudian, guci berisi arak ini bergerak miring dengan ujung atas mengarah pada cangkir bambu. Begitu ujung guci menyentuh bibir bambu, dari dalamnya keluar arak dan langsung masuk ke dalam cangkir bambu.
Nuri menatap penuh tidak percaya. Apalagi ketika melihat guci itu kembali tegak, setelah arak di dalam cangkir bambu telah penuh. Dengan cara sama guci ini kembali ke daun meja. Pelan bagai diletakkan tangan manusia.
Sekarang ganti cangkir bambu itu yang terangkat naik, melayang menghampiri Dewa Arak, lalu bergerak miring bagai dilakukan tangan. Maka arak yang berada di dalam cangkir meluncur turun ke mulut Arya yang terbuka dengan kepala menengadah.
Plok, plok, plok...!
Nuri tak kuasa untuk tidak bertepuk tangan, ketika Dewa Arak menyelesaikan pertunjukannya dengan cara luar biasa. Sorot kekaguman yang memancar dari sepasang matanya pada Dewa Arak semakin bertam-bah besar.
"Kau benar-benar hebat, De, eh, aa...," puji Nuri sambil menggeleng-geleng kepala.
Arya hanya tersenyum, tapi langsung dihentikan. Kini ganti sepasang alisnya yang dikerutkan. Nuri menjadi heran melihatnya. Tapi sebelum gadis itu sempat berkata, Dewa Arak telah lebih dulu memberi isyarat untuk diam.
"Waspadalah, Nuri. Aku mendengar adanya langkah-langkah kaki yang mendekati tempat ini. Gerakan mereka hampir tidak tertangkap telingaku. Jelas, mereka orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi."
Penjelasan Arya terdengar Nuri di pinggir telinganya. Gadis ini tahu kalau Arya memberitahukannya lewat ilmu mengirim suara. Karena pemuda itu tidak terlihat menggerakkan bibir sama sekali.
Sedangkan Arya sendiri, sudah langsung mengalihkan perhatian pada daun pintu yang tertutup. De-mikian pula Nuri, hati gadis ini tegang bercampur gembira. Ingin disaksikannya Dewa Arak yang sakti itu bertempur.
***
"Setan Kepala Besi...! Keluarlah kau, Pengecut..! Tidak ada gunanya lagi bersembunyi! Kami telah mengetahui kalau kau berada di dalam...! Keluar...! Jangan tunggu sampai kesabaran kami habis...!"
Seketika terdengar suara keras bagai halilintar. Bahkan Nuri yang telah bangkit berdiri kontan terhuyung dan jatuh terduduk kembali di atas kursinya. Teriakan yang berasal dari luar itu menyelusup ke dalam telinga, menimbulkan rasa sakit dan nyeri.
Bahkan di kursinya pun, gadis itu masih mendekapkan kedua tangannya pada telinga. Pengaruh teriakan itu memang hebat bukan main. Bahkan, rumah tempat Arya dan Nuri berada bergetar hebat seperti di-guncang gempa!
"Cepat keluar, Setan Kepala Besi...! Turuti perintah kawanku...! Atau... kami bertindak kasar dengan mengobrakabrik rumahmu...!"
Kali ini suara lain menyambung. Namun tak kalah keras dan dahsyat akibatnya dari sebelumnya. Nuri yang telah mendekapkan kedua telinga masih menggeliat pertanda terkena pengaruh suara yang benar-benar menggetarkan.
Tentu saja pengaruh teriakan itu tidak menimpa Dewa Arak yang telah memiliki tenaga dalam sukar diukur, saking kuatnya. Hanya dengan mengerahkan tenaga dalamnya, pengaruh itu pupus.
Meski perhatiannya ditujukan pada pemilik suara di depan rumah, Arya tidak lupa membagi perhatian terhadap Nuri. Maka begitu melihat kejadian yang menimpa gadis ini, tanpa membuang-buang waktu. Tangan kanannya dijulurkan ke depan ke arah Nuri.
Nuri yang melihat tindakan Arya, mendadak mera-sakan adanya sesuatu yang kasat mata merayap di se-kujur tubuhnya. Sekejap kemudian, telah dirasakan adanya kenyamanan di dalam dirinya. Lenyap sudah siksaan yang tadi menyergap dada dan telinganya.
"Kau menghabiskan kesabaran kami, Setan Kepala Besi...." Kembali terdengar suara, lebih lantang dari sebelumnya. Tapi sekarang, Nuri tidak merasa tersiksa sama sekali. Perasaan nyaman tetap melindunginya.
Di dalam hatinya, Nuri berterima kasih sekali pada Arya. Karena dia tahu, lenyapnya siksaan dan timbulnya rasa nyaman, adalah dari tangan Dewa Arak yang dijulurkan padanya.
Kekagumannya terhadap pemuda berambut putih keperakan itu semakin menggebu-gebu.
Sementara di luar rumah, kesabaran sosok-sosok yang menyatroni rumah Setan Kepala Besi agaknya sudah habis.
Maka....
Blarrr, blarrr!
Saat itu juga terdengar bunyi menggelegar, mirip bunyi geledek.
Kendati demikian, baik Arya maupun Nuri bisa tahu kalau bunyi itu berasal dari benturan telapak tangan sosok-sosok yang berada di luar. Nuri sampai merinding bulu kuduknya ketika melihat meja dan kursi yang tidak diduduki terguncang-guncang turun naik. Rumah itu semakin bergetar. Gadis ini sadar betul, bila Dewa Arak tidak menolongnya, pasti telah pingsan! Memang pengaruh kali ini lebih dahsyat daripada sebelumnya.
Blarrr!
Daun pintu hancur berantakan bagai ditabrak gajah liar ketika berbenturan telapak tangan itu berlang-sung tiga kali. Nuri sampai terlonjak dari duduknya Karena rasa kaget melihat kejadian yang mengiriskan hatinya.
"Sobat-sobat di luar... Harap hentikan permainan tidak lucu itu...!" teriak Dewa Arak.
Dewa Arak sadar kalau keadaan ini terus dibiarkan akan semakin tidak karuan. Belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuhnya telah berada di luar. Arya berdiri berhadapan dengan dua sosok yang berdiri berjarak empat tombak dari pintu rumah Setan Kepala Besi.
Dua sosok yang ternyata dua lelaki tua berpakaian hitam bergambar bola-bola merah itu agak terperanjat ketika melihat kehadiran Dewa Arak. Tadi mereka hanya melihat kelebatan bayangan ungu yang tak jelas. Dan kini tahu-tahu telah berdiri seorang pemuda berpakaian ungu di depan mereka dalam jarak dua tombak
Dewa Arak dan dua kakek berpakaian hitam saling pandang penuh selidik. Namun Arya agak heran melihat pakaian aneh yang dikenakan dua sosok itu. Teru-tama sekali coraknya. Bahkan ciri-ciri mereka pun aneh, saling berlawanan.
Yang seorang bertubuh pendek gemuk dengar kulit merah. Mirip seekor babi. Jenggotnya panjang sampai melewati pusar, juga berwarna merah. Sementara kakek yang satunya lagi bertubuh tinggi kurus dengan kulit putih. Jenggotnya pendek dan putih warnanya.
"Siapa kau, Anak Muda?! Aku yakin kau bukan orang yang kami maksud," tegur kakek cebol berkata tenang. Suaranya yang parau bernada dingin.
Arya tersenyum, seraya menganggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan itu memang tidak salah Kek. Namaku Arya. Aku hanya sekadar mampir di sini dan memang bukan orang yang kau cari," jawab Arya, sopan. "Oh, ya. Kakek berdua sendiri siapa?"
"Kuharap, setelah mendengar julukan kami, pergilah secepatnya dari sini. Aku Kumbayan. Sedangkan temanku Sembada. Kami berdua berjuluk Sepasang Malaikat Maut. Nah, sekarang menyingkirlah, Arya," ujar kakek kurus berkulit putih yang mengaku Kumbayan. Suaranya kering dan melengking seperti suara kuda meringkik
"Kami tidak ingin kesalahan tangan dan membunuhmu!" "Benar!" sambung kakek pendek gemuk yang ber-nama Sembada. "Kami hanya mencari Setan Kepala Besi. Kami mempunyai urusan dengannya. Menyingkirlah. Kami akan lewat."
Arya tersenyum dan mengangguk sekali lagi. "Maaf, Kek. Bukannya aku bermaksud mencampuri urusan kalian. Tapi, percayalah. Orang yang kalian cari tidak berada di sini. Setan Kepala Besi sedang pergi. Dan sebelum itu, dia berpesan padaku untuk tunggu di tempatnya. Jadi, aku memiliki kekuasaan atas rumah itu. Dengan demikian, sebelum ada perkenan dari Setan Kepala Besi siapa pun tidak akan kubiarkan masuk!" tandas Arya, mantap.
Dua kakek berpakaian hitam berjuluk. Sepasang Malaikat Maut menatap Arya. Sepasang mata mereka seperti hendak mencari kebenaran dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Jadi..., benar Setan Kepala Besi tidak berada di sini...?!" tanya Sembada.
Arya mengangguk mantap. Sepasang Malaikat Maut saling berpandangan sebentar.
"Kau sendiri..., apa hubunganmu dengan Setan Kepala Besi?! Sepertinya kau dipercaya sekali?!" tanya kakek pendek gemuk yang rupanya lebih cerdik daripada kawannya.
"Hanya sekadar kenalan," jawab Arya sambi men-gangkat kedua bahunya. "Beberapa waktu yang lalu, kami pernah terlibat pertarungan. Dan Setan Kepala Besi akhirnya merasa senang padaku. Pertarungan terhenti. Dan kami menjadi sahabat."
"Boleh ku tahu, masalah apa yang menyebabkan hal itu terjadi!" desak Sembada.
"Dia hendak mencelakai kawanku," jawab Arya setengah benar.
Kakek pendek gemuk itu terdiam. Jawaban bagi pertanyaannya rupanya telah cukup memuaskan hatinya.
"Dan..., setelah kau menjadi kawannya..., apakah dia tidak bercerita sesuatu padamu...?!"
Kali ini Kumbayan yang mengajukan pertanyaan. Nadanya penuh selidik.
Arya mengernyitkan kening.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek...."
"Kalau begitu..., lupakan saja, Arya. Dan, ketahuilah. Kami akan pergi dari sini. Tapi syaratnya, kau harus menahan serangan kami. Bagaimana? Kalau kau tidak mau menerimanya, menyingkirlah dari situ. Apabila kau pernah berhadapan dengan Seta Kepala Besi tanpa kehilangan nyawa, berarti kau telah cukup berharga untuk kami. Kau menerimanya bukan?!"
Arya terdiam sejenak, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Kaku dan pelan-pelan. Karena memang pemuda berambut putih keperakan itu merasa berat menerimanya.
"Bagus!" sambut Sembada, gembira. "Biarlah sekarang giliranku sebagai penyerang pertama. Bersiap-siaplah, Arya.
Buktikan kalau kau berhasil lolos dari tangan maut Setan Kepala
Besi."
"Aku siap!"
Kakek pendek gemuk itu berjongkok, seperti seekor katak. Tenggorokannya menggembung.
"Kok! Kok!"
Terdengar bunyi berkokokan seperti ayam betina tengah bertelur.
Melihat hal ini, Arya bersikap waspada. Pengala-mannya yang segudang, membuatnya langsung mengetahui kalau kakek pendek gemuk itu hendak mengeluarkan ilmu andalan. Maka sikapnya hati-hati.
Sembada segera mendorongkan kedua tangannya, secara bergantian. Maka dari kedua tangannya meluncur angin berciutan.
Wesss! Wesss!
Dewa Arak bersikap tenang. Kemudian, kedua tangannya dihentakkan untuk memapak.
Prat!
"Uh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengeluh tertahan, ketika merasakan hawa pukulan jarak jauh kakek pendek gemuk tidak meluncur secara lurus, tapi berputaran. Hal itu membuat papakan pukulannya lenyap bagai ditelan sesuatu yang tidak tampak. Pukulan jarak jauh yang meluncur secara berputar itulah yang menyebabkan pukulan jarak jauh Dewa Arak seperti lenyap.
Arya terkejut bukan main. Apalagi ketika pukulan jarak jauh kakek bernama Sembada terus meluncur ke arahnya, tetap dalam keadaan berputaran seperti angin puting beliung.
Lebih terkejut lagi ketika Arya merasakan, sekujur tubuh otot-ototnya terasa ngilu sebelum serangan lawannya tiba. Tenaga dalamnya sendiri seperti lenyap!
Tapi, Dewa Arak adalah pendekar yang telah kenyang pengalaman. Maka menghadapi keadaan seperti ini, dia tidak menjadi gugup. Dan dia cepat sadar kalau serangan kakek pendek gemuk itu tidak berbahaya. Paling tidak hanya untuk melempar tubuhnya saja. Dari sini bisa ditebak kalau kakek bernama Sembada bukan tokoh jahat.
––––––––
5
Dewa Arak segera bertindak cepat. Dengan sebuah sentakan, tenaganya yang telah lenyap jadi timbul kembali. Kemudian dikeluarkan ilmu 'Pasak Bumi'nya yang membuat kedua kakinya seakan-akan bersatu dengan bumi.
Tepat pada saat yang bersamaan, serangan kakek Sembada tiba dan menghantamnya dengan telak Wesss...!
Arya merasa seakan tubuhnya dihantam pusaran angin puting beliung yang kemudian membelit dan membawa tubuhnya berputar.
Ilmu 'Pasak Bumi' memang hebat Namun, sergapan yang menyelubungi Dewa Arak pun dahsyat bukan main! Arya memang tidak sampai terpental. Tapi tanah tempatnya berpijak tidak mampu menahan dua kekuatan dahsyat yang bertemu. Dan ini membuat Dewa Arak berputar, meski dengan kedudukan seperti semula. Dan putarannya baru terhenti, ketika kedua kakinya terbenam sampai mata kaki!
"Luar biasa...!"
Kakek Sembada berseru penuh kagum, sambil berdiri tegak kembali. Pandang matanya memancarkan kekaguman. Sementara sorot yang sama memancar dari mata Kumbayan,
"Kau benar-benar luar biasa, Arya. Tidak banyak orang yang mampu berdiam di tempatnya terhadap seranganku ini. Pantas kau mampu mempertahankan nyawamu, meski telah berhadapan dengan Setan Ke-pala Besi. Aku mengaku kalah," kata Sembada.
Arya hanya mengangguk.
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Kek. Kalau kau bertindak sungguh-sungguh, mana mungkin saat ini aku masih bisa hidup?" kata Dewa Arak, merendah.
"Tidak usah banyak bicara, Anak Muda," potong Kumbayan. "Kau boleh berbangga hati atas keberhasilanmu bertahan dari serangan rekan ku. Tapi, bukan berarti akan menang pula terhadapku!"
"Silakan, Kek. Aku sudah siap!" jawab Arya. Kata-katanya mantap, sambil berpindah dari tempatnya semula. Karena dia sudah tidak mungkin lagi berdiri tenang, akibat lubang yang tercipta.
Dewa Arak kali ini bersikap lebih waspada. Dia tahu, kakek tinggi kurus ini tidak kalah lihai dibanding rekannya. Dan yang lebih mengkhawatirkan, kakek tinggi kurus ini memiliki watak kasar. Mungkin tidak kejam, tapi yang jelas tidak akan bertindak lunak seperti rekannya.
Kumbayan menatap tajam Arya. Pada saat yang sama, pemuda itu pun menatapnya. Dua pasang mata bertemu. Kakek tinggi kurus menyeringai bersiap menyerang. Sedangkan Arya bersiap menghadapinya.
"Siapa itu?!"
Pertanyaan yang dikeluarkan Sembada secara pelan, membuat Kumbayan mengurungkan maksudnya. Pandangannya seketika diarahkan ke rumah Setan Kepala Besi.
Arya pun ikut memandang ke sana. Dia tidak khawatir bila kakek tinggi kurus akan membokong. Dewa Arak tahu, sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi tidak akan mungkin melakukan tindakan rendah. Apa-lagi terhadap seorang tokoh muda yang belum diketahui secara pasti tingkat kepandaiannya.
Arya merutuk dalam hati ketika melihat Nuri berdiri di ambang pintu yang sudah tidak berdaun lagi. De-wa Arak tidak menyalahkan gadis itu. Dialah yang salah, karena tidak melarangnya. Walaupun Arya tidak yakin kalau Nuri akan mematuhinya.
"Siapa gadis itu, Anak Muda?!" tanya kakek Kumbayan penuh tuntutan. Sepasang matanya yang sipit menatap wajah Arya seperti hendak mengupas kulit wajah dan menguaknya.
Arya menghela napas berat. Pantang baginya untuk berbohong. Maka meskipun berat dia harus mengatakannya.
"Dia murid Setan Kepala Besi," jelas Arya, pelan dan tidak bersemangat.
Sepasang Malaikat Maut saling berpandangan. Wajah mereka mendadak berubah. Arya jadi tidak enak melihatnya.
"Perjanjian batal, Anak Muda. Ada hal-hal yang tidak terduga. Aku tidak perlu lagi berurusan dengan-mu," ujar Kumbayan dengan nada dingin.
"Begitu mudahnya, Kek?!" kata Arya, seperti ingin ketegasan.
"Benar!" sahut Sembada menambahkan. "Karena, ada orang lain yang mempunyai hubungan dengan Setan Kepala Besi. Kami yakin, apabila tahu muridnya ada pada kami, Setan Kepala Besi akan mencari. Tidak seperti sebelumnya, kami yang pontangpanting mencarinya."
Sementara Kumbayan tidak mempedulikan Arya sama sekali. Di saat pemuda berambut putih keperakan itu tengah mendengarkan ucapan rekannya, dia menghampiri Nuri. Hanya dengan sekali ayunan kaki, dia telah mencapai jarak tiga tombak di depan Nuri. Dari sini bisa dilihat betapa tingginya ilmu meringan-kan tubuh Kumbayan.
Arya bertindak cepat. Dia tahu maksud kakek tinggi kurus itu. Apalagi kalau bukan ingin menjadikan Nuri sebagai sandera? Dan Dewa Arak tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sekali menggerakkan kaki, maka Arya telah berada di depan kakek tinggi kurus itu lagi.
Sembada menggeram, tak menyukai hadangan yang dilakukan terhadapnya. Keberadaan Dewa Arak di depannya, membuat langkahnya terhalang.
"Apa maksudmu, Anak Muda?!" tanya kakek ini keras, penuh ancaman.
Arya tahu kakek inilah yang memiliki suara paling menggelegar. Berarti dialah yang telah menghancurkan daun pintu, mengingat wataknya yang tidak sabaran.
"Apakah kau hendak menghalangi kami? Kau hendak ikut campur dalam urusan ini?!" lanjut Kumbayan.
"Maafkan kalau aku bertindak lancang, Kek. Sebenarnya aku tidak bermaksud ikut campur. Tapi apabila kau dan rekanmu ini bermaksud menyandera gadis itu, terpaksa aku tidak tinggal diam. Sebelum pergi, Setan Kepala Besi telah menitipkan muridnya padaku. Jadi, aku berkewajiban menjaganya. Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan satu orang pun mencelakainya. Nyawaku adalah taruhannya!" tandas Arya, tenang dan mantap.
"Kalau begitu..., kaulah yang lebih dulu harus kusingkirkan! Hih!"
Kakek Kumbayan menutup ucapannya dengan se-buah cengkeraman tangan kanan ke arah ubun-ubun. Arya cepat melompat ke belakang.
"Hih?!"
Betapa kaget Dewa Arak melihat serangan itu terus mengejarnya. Padahal, kakek itu tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Arya langsung menyadari kalau tangan kakek ini bisa mulur! Sebuah ilmu aneh! Mau tak mau Dewa Arak cepat menggerakkan tangannya, menangkis.
Plak!
Tangkisan Dewa Arak ternyata membuat kakek tinggi kurus mengkerut kembali. Namun tak urung Arya merasakan tangannya bergetar hebat.
Arya semakin terkejut ketika bermaksud balas menyerang. Mendadak, tangannya yang berbenturan tadi tidak bisa digerakkan sama sekali. Lumpuh! Segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk memulihkan. Tapi, bagian yang lumpuh malah bertambah. Malah, kini rasa pusing pun menyerangnya. Demikian hebatnya, sehingga pemuda berambut putih keperakan ini tidak bisa berdiri tegak lagi.
Tubuh Arya terhuyung-huyung ke sana kemari sambil memegangi kepala. Semua yang terlihat seperti berputar. Pemuda ini tidak kuasa bertahan, lalu ambruk di tanah.
Meski pandangannya berkunang-kunang dan tubuhnya terasa lemas bukan main, Arya masih sempat melihat kakek Kumbayan yang menjadi lawannya melangkah menghampiri. Arya yakin, kakek itu hendak melancarkan pukulan terakhir tanpa bisa dicegahnya. Dan dia akan mati konyol di tangannya.
"Kurasa tidak ada gunanya membunuh pemuda itu. Dia memiliki kepandaian tinggi. Berarti, gurunya pun mempunyai kesaktian luar biasa. Matinya pemuda ini, hanya akan membuat kita terlibat dalam permusuhan dengan tokoh tingkat tinggi. Bukankah kita hanya berurusan dengan Setan Kepala Besi?! Dan se-karang, muridnya akan berhasil kita dapatkan."
Meski samar-samar, Arya dapat menangkap ucapan-ucapan kakek Sembada yang ditujukan pada re-kannya. Tampak, kakek Kumbayan yang tadi seperti banyak menoleh ke arah kakek Sembada. Sepasang Malaikat Maut ini saling tatap sebelum akhirnya, ka-kek Kumbayan membantingkan kaki ke tanah karena kesal.
"Sebenarnya..., sikap usilnya saja sudah cukup beralasan untuk membunuhnya! Tapi, biarlah, sekarang kuampuni. Dan apabila kelak kujumpai dan masih menentangku, aku tidak mempunyai pilihan lain lagi!" desis Kumbayan.
Kakek Sembada hanya mengangkat bahu. Sikap-nya tidak peduli.
"Nuri...! Cepat pergi...!Tinggalkan tempat ini...!"
Arya bermaksud berteriak. Bahkan seluruh tena-ganya dikerahkan untuk berteriak. Tapi karena saat itu keadaannya lemah, sehingga yang terdengar hanya seruan tak ubahnya keluhan. Meski demikian, Nuri yang memiliki kepandaian tinggi mendengarnya.
Nuri yang sejak tadi terpaku kontan tersadar begitu mendengar teriakan Dewa Arak yang lirih. Sesaat ditatapnya Arya dan dua kakek sakti yang memiliki ciri-ciri aneh itu. Disadari betul kalau dirinya bukan tandingan dua kakek yang memiliki maksud tidak baik. Dewa Arak saja tidak berdaya. Apalagi dirinya. Maka Nuri segera berbalik dan berlari masuk ke dalam rumah. Gadis ini bermaksud untuk kabur melalui pintu belakang. Tapi, Nuri jadi terperanjat ketika mengetahui dirinya hanya berlari-lari di tempatnya. Betapapun seluruh kemampuannya telah dikerahkan, tetap saja kenyataan itu tidak bisa dirubah.
Murid Setan Kepala Besi ini menjadi heran bercampur ngeri. Kepalanya cepat ke belakang. Dan matanya jadi terbelalak, ketika melihat kakek pendek gemuk itu mengulurkan kedua tangan ke arahnya. Seakan ada kekuatan menarik yang amat kuat muncul dari kedua tangan yang terjulur, membuat Nuri tak mampu meninggalkan tempat.
"Mau lari ke mana, Cah Ayu? Jangan harap kau bi-sa meninggalkan tempat ini," ejek Sembada.
Nuri tidak putus asa. Seluruh kemampuannya di-kerahkan, tapi keadaan tidak berubah. Bahkan ketika kakek pendek gemuk itu menggerakkan tangan me-lambai, tubuhnya kontan tertarik ke belakang tanpa mampu dicegah.
"Aaauuu....'"
Nuri menjerit tertahan begitu tubuhnya melayang keras ke arah kakek Sembada. Sementara Arya yang melihat hanya bisa mengeluh dalam hati. Saat ini dia memang tidak mampu berbuat apa-apa, karena pengaruh yang menimpa masih mengungkungi.
Nuri memaki-maki sambil meronta-ronta. Bahkan sambil memanggil-manggil gurunya. Tapi sekali tangan kakek pendek gemuk menyentuhnya, semua tindakannya terhenti. Gadis ini tertotok, sampai pingsan.
Sembada menyerahkan Nuri pada rekannya. Kemudian kepalanya menoleh pada Arya.
"Dengar, Arya. Kalau Setan Kepala Besi kembali, katakan kalau muridnya berada di tangan kami. Mu-ridnya tidak akan kami celakai. Tapi kalau muridnya ingin dikembalikan, dia harus menyerahkan benda yang diambilnya. Katakan, agar dia pergi ke Gua Ayam. Kami menunggu di sana. Selamat tinggal, Arya."
Kakek Sembada berbalik, lalu melesat meninggal-kan tempat itu. Di belakangnya, kakek Kumbayara berkelebat menyusul.
Sementara Arya hanya menghela napas berat. Di-ingatnya baik-baik semua perkataan kakek Sembada untuk disampaikan pada Setan Kepala Besi.
Arya berdiam diri di tempatnya, tanpa berani bergerak atau mengeluarkan tenaga dalam. Dia tahu se-mua ini akan membuat pengaruh ilmu kakek tinggi kurus itu semakin menjadi-jadi. Kalau dibiarkan saja pengaruhnya akan lenyap sendiri. Meskipun memang harus diakui membutuhkan waktu lama. Tapi, memang tidak ada pilihan lain baginya.
***
Arya berdiri penuh perasaan tidak sabar. Sebentar-sebentar, kakinya melangkah mondar-mandir di tem-patnya. Sepasang matanya sudah tidak terhitung lagi, diarahkan ke tempat lenyapnya Setan Kepala Besi.
Dewa Arak memang sudah sejak tadi berhasil bebas dari pengaruh ilmu kakek Kumbayan. Dan sekarang dia tengah menanti kembalinya Setan Kepala besi untuk mengabarkan peristiwa yang menimpa Nuri. Arya yakin Setan Kepala Besi tahu letak Gua Ayam itu.
Wajah Arya berseri, ketika melihat adanya sesosok tubuh di kejauhan yang tengah meluncur ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan Setan Kepala Besi. Demikian dugaan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi sesaat kemudian, dugaan itu pupus dari benak Arya. Sosok yang bergerak cepat mendatangi itu ternyata mengenakan pakaian merah! Padahal, Arya yakin kalau Setan Kepala Besi tadi tidak mengenakan pakaian berwarna demikian.
Semakin dekat sosok itu, Dewa Arak semakin yakin kalau dia bukan Setan Kepala Besi. Sosok itu adalah seorang pemuda yang cukup dikenal Arya. Ternyata sosok itu memang seorang berpakaian merah dengan ikat kepala juga berwarna merah.
Jantung Arya berdetak jauh lebih cepat, ketika lari pemuda berpakaian merah itu berhenti berjarak lima tombak di depannya. Seperti juga dirinya, pemuda itu tampak kaget. Kendati demikian tidak terlihat pera-saan itu pada bias wajah maupun sorot matanya. Wa-jah dan sorot mata pemuda itu kelihatan dingin, me-mancarkan sesuatu yang mengerikan!
"Dewa Arak...!"
Pemuda berpakaian merah mendesis, setelah berhasil menguasai perasaannya. Terasa benar adanya kebencian dalam nada ucapannya.
"Sama sekali tidak kusangka akan jumpa denganmu di sini,
Orang Usil! Aku memang tengah mencari-carimu. Kelancanganmu mencampuri urusanku akan kau tebus mahal, Pemuda Sombong!" lanjut pemuda berpakaian merah itu.
"Atau kau yang akan menggeletak tak bernyawa di sini, Manusia Biadab! Orang bejat sepertimu, seharusnya menyusul gurumu ke neraka, Lingga! Dan kali ini, kau tak akan seberuntung dulu. Sekarang kau tidak akan bisa meloloskan diri sambil terkaing-kaing seperti dulu!" desis Dewa Arak, tak kalah tajam.
Pemuda berpakaian merah itu ternyata memang Lingga. Dan Arya memang mengenalnya karena pernah bertarung dengan pemuda kejam dan berhati keji ini, Sayangnya, waktu itu Lingga lolos dari tangannya. Waktu itu Lingga sempat digagalkan Dewa Arak ketika hampir menggarap kegadisan putri Pendekar Tangan Sepuluh, Sri Kunti (Untuk jelasnya, silakan baca epi-sode: "Petualang-petualang dari Nepal").
"Kau bermimpi, Dewa Usil. Kaulah yang akan binasa di tanganku!"
Lingga menjejakkan kaki kanannya ke tanah sekali. Sementara Arya heran melihatnya. Apa maksud tindakan pemuda berhati keji itu? Apalagi ketika melihat tidak adanya akibat apaapa pada tanah yang di jejak Lingga. Tapi....
"Ukh!"
Mendadak Arya mengeluarkan keluhan tertahan ketika merasakan dadanya sakit bukan main seperti ditumbuk sebatang tongkat besi. Seketika pemuda ini tahu kalau Lingga telah menyerang mempergunakan ilmu gaib! Seringnya Arya menemukan hal-hal aneh dalam petualangan, membuatnya segera bisa menduga demikian.
Arya bertindak cepat. Tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk melenyapkan rasa sakitnya. Namun dia menjadi kaget bukan kepalang, ketika merasakan sakit yang menyerang dadanya jadi menyebar! Keja-diannya hampir mirip yang dialaminya ketika bertemu dengan kakek tinggi kurus.
"Ha ha ha..!"
Lingga tertawa terbahak-bahak, ketika melihat De-wa Arak menyeringai dan kelihatan kaget. Pemuda ini yakin, sekarang Dewa Arak telah tidak berdaya. Serangan gaibnya diketahui betul keampuhannya. Maka dia tidak buru-buru melancarkan serangan. "Bagaimana, Dewa Sombong?! Masih yakinkah kau akan kemenanganmu kali ini?!" ejek Lingga penuh kemenangan.
Arya tidak menanggapi. Perhatiannya dipusatkan pada luka aneh yang dideritanya. Pemuda itu teringat akan kejadian yang dulu dialami ketika menghadapi Setan Merah. Gurunya, Ki Gering Langit, memberi cikal bakal ilmu gaib. Dan dengan diiringi beberapa kali masuknya belalang raksasa ke dalam dirinya, mem-buat pemberian itu semakin menampakkan kegunaannya. Jauh lebih berarti dibanding ketika pertama kali diberikan gurunya (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Penganut Ilmu Hitam").
Sewaktu pertama kali diberikan Ki Gering Langit, kegunaan yang dapat dilakukan Arya hanya menangkal serangan gaib lawan. Memang pemberian ilmu itu tidak membuat Arya jadi mampu menghilangkan pengaruh serangan gaib lawan.
Dan di saat Lingga tengah tertawa-tawa penuh gembira, Arya tengah menumbuhkan cikal bakal ilmu gaib yang diberikan gurunya. Perhatiannya segera dipusatkan untuk menyembuhkannya.
Lingga yang masih tertawa-tawa kontan terdiam ketika melihat Arya tersenyum. Perasaan curiganya timbul. Matanya menyiratkan tanda tanya besar ketika menatap musuh bebuyutannya.
Arya sekarang ganti yang tersenyum mengejek.
Pemuda berambut putih keperakan ini telah bisa mengetahui, mengapa Lingga kelihatan menatapnya lekat-lekat.
"Kau kelihatan kaget bukan main, Lingga. Apakah ada perubahan pada diriku? Wajahku yang menjadi lebih tampan, barangkali?!" seloroh Arya untuk mema-nas-manasi.
––––––––
6
Lingga menggeram bak seekor harimau luka. Sepasang matanya memancarkan sinar kebencian, ketika menatap Dewa Arak.
"Rupanya kau memiliki kemampuan untuk bebas dari pengaruh ilmuku, Orang Usil. Tapi jangan berbangga hati dulu! Masih banyak ilmuku yang dapat dipergunakan untuk mengirim nyawamu ke akherat!" desis Lingga.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan menggelegar, Lingga membuka serangan dengan sebuah tendangan terbang.
Namun Arya tidak mau kalah dengan orang yang dibencinya. Begitu Lingga melompat dan menerjang ke arahnya, disambutnya dengan tendangan terbang pula.
Blarrr...!
Benturan dua kaki yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. Bunyi keras menggelegar terdengar. Tubuh masing-masing terjengkang ke belakang. Namun dengan manis, kedua pemuda perkasa itu mampu mematahkan daya luncuran lalu menjejak tanah secara manis.
Arya terkejut bukan main. Dalam benturan yang terjadi dirasakan betapa kuat tenaga dalam Lingga. Kakinya sampai bergetar hebat begitu menjejak tanah. Padahal, dalam bentrokan kaki, seluruh tenaga dalamnya telah dikerahkan. Tidak salahkah yang dirasakannya?
Dewa Arak benar-benar tidak yakin akan hasil yang didapat, karena telah pernah bertarung melawan Lingga sebelumnya. Dan telah bisa diketahui, sampai di mana kemampuan pemuda bengis ini. Dan kenyataan kalau Arya sendiri yang terlempar lebih jauh, be-nar-benar membuatnya kaget bukan kepalang. Mung-kinkah Lingga mendapatkan kemajuan tenaga dalam waktu yang demikian singkat? Rasanya mustahil!
"Heaaat..!"
Arya benar-benar tidak diberi kesempatan untuk berpikir lebih lama. Lingga yang juga merasa penasa-ran, telah meluruk maju melepaskan serangan-serangan mematikan!
Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi, kecuali mengelak dan balas menyerang. Pertarungan sengit antara kedua pemuda sakti itu pun terulang. Dan ka-rena sama-sama tahu kelihaian satu sama lain, ilmu-ilmu andalan pun langsung dikeluarkan.
Dewa Arak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Sedangkan Lingga mengeluarkan ilmu 'Dewa Mabuk'nya. Kedua ilmu itu boleh dibilang mirip, membuat pertarungan terlihat aneh. Sepertinya bukan dua orang sakti yang tengah bertempur, tapi dua orang mabuk yang tengah berjoget!
Sebenarnya, ilmu Dewa Arak jauh lebih sempurna, karena selaras dengan senjata gucinya. Bahkan juga karenanya adanya semburan arak di sela-sela pertarungan.
Tapi kesempurnaan ilmu Dewa Arak tertutupi oleh keunggulan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh Lingga. Arya sendiri masih bingung memikirkan, mengapa pemuda kejam ini dapat meningkatkan ke-mampuan demikian cepat?
Desss!
Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak berhasil menghantamkan gucinya ke dada Lingga. Begitu keras dan telaknya, sehingga tubuh pemuda itu terlempar jauh ke belakang.
Arya menghela napas lega. Sudah terbayang di benaknya kalau Lingga akan tergolek tanpa daya di tanah dengan luka parah yang tidak bisa membuatnya bangun lagi.
Tapi kelegaan pemuda berambut putih keperakan itu langsung sirna, ketika melihat Lingga tidak mengalami kejadian seperti yang dibayangkan. Tubuh pemuda berpakaian merah itu memang terbanting di tanah, tapi langsung bergulingan menjauh. Kemudian, dia bangkit dan siap bertarung lagi.
Arya menatap Lingga dengan sepasang mata terbe-lalak lebar. Ilmu apa lagi yang dimiliki pemuda berhati keji ini? Bulu tengkuk Dewa Arak langsung meremang. Begitu banyak kemajuan yang diperoleh pemuda telen-gas itu dalam waktu singkat.
"Ha ha ha...!"
Lingga malah tertawa terbahak-bahak melihat De-wa Arak kebingungan
"Heran, Dewa Sombong?! Kau kira akan begitu mudah membunuhku?! Jangan mimpi! Kau tahu, seranganmu tak ubahnya belaian tangan seorang nenek yang tidak kuat lagi menyirih!" ejek Lingga.
Gluk! Gluk! Gluk!
Arya menenggak araknya untuk meredakan kegalauan hatinya. Benaknya digayuti pertanyaan mengenai kekuatan tubuh Lingga yang menakjubkan. Namun Dewa Arak yakin, kekebalan Lingga tidak berhubungan dengan tenaga dalam. Dengan kata lain, tidak dari hasil latihan. Arya merasakan, kalau kekebalan itu ada unsur gaibnya.
Dan ketika kedua tokoh itu hendak saling gebrak, mendadak...
"Hey...!"
***
Sebuah teriakan melengking keras terdengar jelas oleh Dewa Arak dan Lingga. Seketika kedua tokoh sakti yang masih muda itu mengurungkan niat, dan menoleh ke arah teriakan tadi.
Lingga tersentak. Disadari kalau orang yang berteriak memiliki kepandaian tinggi. Ini dibuktikan dengan kekuatan suaranya. Seakan-akan, orang yang berte-riak berada dekat, padahal masih berada amat jauh. Karena jauhnya, sehingga sulit dikenali.
Sementara Arya tidak merasa terkejut. Dari suara tadi, dia yakin kalau yang datang adalah Setan Kepala Besi.
"Arya...! Dewa Arak...! Apa yang terjadi...?!"
Seruan yang kedua, kali ini tidak bisa disangsikan Dewa Arak, kalau yang datang adalah Setan Kepala Besi. Arya merasa gembira. Bukan karena akan men-dapatkan bantuan, tapi karena akan segera memberi-tahukan tentang kejadian yang menimpa
Nuri.
Tapi Arya tahu, penjelasannya hanya akan dapat diberitahukan apabila telah berhasil mengalahkan Lingga.
Pikiran ini membuat Dewa Arak bermaksud menerjang pemuda berpakaian merah itu. Namun maksudnya tertunda, karena Lingga telah lebih dulu melesat meninggalkan tempat ini. Pemuda yang memiliki watak cerdik ini tahu kalau keberadaannya di tempat ini sudah tidak menguntungkan. Ada seorang lawan kuat yang berdiri di pihak Dewa Arak. Jadi bila terus berada di situ, hanya akan mencelakakan diri sendiri.
"Lagi-lagi kau bernasib baik, Dewa Arak. Tapi, Ingat. Keberuntungan tidak akan sampai tiga kali. Apabila kita bertemu lagi, berarti akhir ajalmu telah tiba! Kau akan menghadap malaikat maut! Selamat tinggal, Dewa Arak! Kutitipkan dulu nyawa itu padamu!" kata Lingga sambil berlari.
"Hey! Mau lari ke mana kau...?!" Sosok yang memang Setan Kepala Besi langsung berseru keras dan mengejar Lingga. Tapi.... "Kek...!"
Baru beberapa tombak, terdengar seruan Dewa Arak. Seketika langkahnya berhenti dan langsung berbalik.
"Tidak usah dikejar, Kek! Ada masalah lain yang lebih penting!" ujar Arya.
Setan Kepala Besi menatap Arya dan menghampirinya. Pandang matanya penuh pertanyaan.
"Apa artinya, Dewa Arak?! Apa yang terjadi?! Siapa orang itu?! Dan apa yang terjadi pada pintu rumahku?! Bagaimana dengan Nuri? Mana dia, Dewa Arak? Mana Nuri?!" berondong Setan Kepala Besi.
Arya menghela napas berat. Kemudian secara sing-kat dan jelas diceritakan semuanya. Setan Kepala Besi mendengarkan penuh perhatian. Beberapa kali dia berseru kaget dengan wajah berubah. Ada kemarahan, kegeraman, tapi juga penyesalan.
Setan Kepala Besi menundukkan kepala sambil mengepal tinju, ketika Arya menyelesaikan ceritanya. Dia tampak bingung bukan kepalang. Berulang-ulang ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan-lahan.
"Apakah kau tahu, di mana tempat yang dimaksudkan mereka, Kek?!"
Arya tidak tahan untuk berdiam diri melihat Setan Kepala Besi tidak segera melakukan sebuah tindakan. Sedang lelaki botak itu mengangguk lemah. Bahkan tanpa mengangkat wajah sama sekali.
"Tampaknya Sepasang Malaikat Maut mengenalimu, Kek. Apakah kau mempunyai urusan dengan mereka?!" tanya Arya lebih jauh.
Lagi-lagi Setan Kepala Besi hanya mengangguk sambil mengepal-ngepalkan kedua tangannya. Arya ja-di tidak sabar melihatnya. Meski disadari kakek itu ti-dak kalah khawatir dengan dirinya. Tapi kenyataannya tindakan lelaki berkepala botak itu membuatnya pena-saran dan kecewa bukan main.
"Apakah ada hal lain yang kau lakukan, Kek? Terutama yang lebih baik dan berarti daripada hanya berdiam diri?"
Setan Kepala Besi sampai terlonjak dan mengangkat kepala mendengar kata-kata Dewa Arak yang tajam bukan main. Apalagi keluar dari hati yang penasaran dan dicekam kekhawatiran. Hanya sebentar Setan Ke-pala Besi menatap, lalu kembali menunduk. Dia melihat sepasang mata pemuda itu begitu tajam menusuk, penuh teguran.
"Tentu saja ada, Dewa Arak," desah Setan Kepala Besi, lirih seperti orang yang merasa bersalah. "Tapi, itu berarti aku akan melibatkan diri dalam kancah dunia persilatan lagi...."
"Aku rasa tidak sampai demikian, Kek," sergah Arya mengajukan keberatan pendapatnya setelah termenung sejenak.
"Dua orang kakek itu sepertinya tidak menyukai kekerasan. Aku yakin tindakan mereka karena terpaksa. Kalau aku tidak salah dengar, mereka bertindak demikian untuk meminta padamu agar menyerahkan sesuatu benda. Sayangnya, ketika kutanyakan mereka tidak mau memberitahukannya...."
"Itulah, Dewa Arak. Peristiwa ini mau tidak mau akan menyeretku ke dalam kancah persilatan lagi," timpal Setan Kepala Besi bernada pahit. "Benda yang mereka maksudkan, sudah tidak ada di tanganku. Padahal, mereka amat bernafsu untuk mendapatkannya. Keterangan yang kuberikan tak akan dipercaya. Mereka pasti akan menganggapku berdusta."
Arya kontan terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau persoalan akan menjadi pelik begini. Semula dikira akan mudah saja. Maka sekarang ganti Dewa Arak yang tercenung bingung.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Kek?!" tanya Arya memecahkan kebisuan yang mencekam.
"Aku belum tahu, Dewa Arak," jawab Setan Kepala Besi, ragu. "Mungkin akan kusatroni tempat mereka dan meminta membebaskan muridku. Toh, Nuri tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kami."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Memang bisa diterima usul Setan Kepala Besi. Agaknya ini jalan yang paling baik.
"Maaf, Kek.... Bukannya hendak ikut campuri urusan atau ingin mau tahu. Hanya saja mungkin aku bisa membantu. Maksudku..., benda apakah yang dimaksud Sepasang Malaikat Maut? Dan sebenarnya siapakah pemiliknya?!"
Setan Kepala Besi tidak segera memberi jawaban. Dia malah menghela napas berulang-ulang sambil mengepal-ngepalkan tangan.
"Sebenarnya aku malu menceritakannya, Dewa Arak. Karena ini menyangkut masa laluku. Masa yang tidak menyenangkan untuk diingat..."
"Maaf, Kek. Bukannya aku bermaksud menggurui. Tapi kurasa, saat ini yang paling penting adalah keselamatan muridmu. Tidak ada salahnya kalau kau buang dulu rasa malumu. Sementara ini saja, demi muridmu! Bagaimana, Kek?!" usul Arya.
Setan Kepala Besi mengangguk-angguk setelah terlebih dulu tercenung seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan.
"Kurasa kau benar, Dewa Arak. Barangkali saja kau bisa menolongku untuk menemukan kembali benda yang dimaksudkan dua kakek itu," kata Setan Kepala Besi.
Arya diam. Ditunggunya kelanjutan ucapan Setan Kepala Besi yang hendak menceritakan masa lalunya
"Puluhan tahun yang lalu, aku terkenal sebagai datuk kaum sesat yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persilatan yang tewas di tanganku. Aku memang gemar mengadu kesaktian."
Setan Kepala Besi memulai ceritanya. Sementara, Arya mendengarkannya tanpa memberi tanggapan. Dia tidak heran mendengar awal cerita lelaki berkepala botak ini, karena memang telah mengetahui sebelumnya.
"Tapi aku menelan kenyataan pahit, ketika menga-cau di Perguruan Pedang Ular. Aku yang sudah merasa sebagai tokoh tak terkalahkan, telah dikalahkan seorang pentolan dunia hitam. Kami, aku dan tokoh itu, memang berasal dari tempat yang jauh berbeda. Aku di barat, dan tokoh itu di timur. Antara kami tak pernah ada silang sengketa sebelumnya, sehingga tak pernah terjadi bentrokan. Baru di Perguruan Pedang Ular aku dan tokoh itu bentrok. Dan aku dikalahkan. Itu untuk pertama kalinya aku menderita kekalahan. Beruntung, aku berhasil menyelamatkan diri sehingga tidak tewas percuma."
"Apakah tokoh yang kau maksudkan itu Kalapati, Kek?!" tanya Arya, setengah menduga. Dia memang telah mendengar cerita seperti itu sebelumnya, dari putri Kalapati sendiri. Karmila, namanya (Untuk jelasnya, si-lakan baca episode: "Memburu Putri Datuk").
"Rupanya kau telah mendengar cerita itu, Dewa Arak?!" Setan Kepala Besi tersenyum pahit. "Apakah Karmila yang menceritakannya padamu?!"
Arya terse-nyum dan mengangguk. "Kekalahan untuk pertama kalinya itu, membuatku penasaran bukan main," lanjut Setan Kepala Besi. "Aku bertekad menebusnya. Maka aku segera mengundurkan diri dari dunia persilatan untuk menambah kepandaian. Bertahun-tahun aku merambah ke seluruh tempat. Sampai akhirnya, ku pilih Gunung..., sayang sekali aku lupa namanya. Di sana aku menggembleng diri dan mempertinggi kepandaian."
Sampai di sini, Setan Kepala Besi menghentikan ceritanya. Sedangkan Arya tidak memberi tanggapan, tetap seperti semula. Diam dan mendengarkan.
"Aku sama sekali tidak tahu kalau di tempat itu ada tokohtokoh lain yang menyepi. Hanya bedanya, mereka berada di situ memang untuk menjauhi kerasnya kancah dunia persilatan. Mereka mengira kalau aku bermaksud demikian. Maka dengan tangan terbuka, aku diperlakukan sebagai kawan. Dua di antara mereka, adalah orang-orang yang memiliki ciri-ciri seperti yang kau sebutkan, Dewa Arak. Sedangkan yang satunya lagi, seorang ahli nujum. Tokoh yang terakhir ini ternyata memiliki pengetahuan luas. Terutama, di bidang pusaka-pusaka persilatan ampuh yang jarang tandingannya dan masih beredar di dunia persilatan. Salah satu di antaranya adalah Golok Kilat. Hanya saja menurut ahli nujum itu, golok ini mempunyai sebuah kelemahan. Yaitu apabila lama tidak dipergunakan, meski kekuatannya tidak berkurang, tapi keistime-waannya akan lenyap. Ahli nujum itu menuliskan di dalam lembaran-lembaran daun lontar, mengenai keis-timewaan pusaka ini. Kau tahu keistimewaan Golok Kilat itu, Dewa Arak?!"
Arya menggeleng.
"Tidak bisa memperkirakan sama sekali?!" desak Setan Kepala Besi, ingin tahu.
"Sedikit," jawab Arya, setelah terlebih dulu berpikir. "Mungkin dari ujung golok itu keluar cahaya kilat yang menghanguskan seperti halnya kilat."
"Itu hanya salah satunya, Dewa Arak," sambung Setan Kepala Besi penuh semangat. "Keistimewaan lainnya, mampu menyedot tenaga dalam lawan. Sehingga, lawan akan cepat lelah. Bisa juga untuk menangkal sihir. Dapat pula untuk menarik keluar racun dari dalam tubuh. Dan yang lebih mengerikan lagi, go-lok itu konon dapat berubah menjadi lidah kilat yang dapat terbang sendiri menyerang lawan."
Jantung Arya seperti berhenti berdetak. Sungguh sebuah pusaka yang amat berbahaya. Apalagi, bila jatuh ke tangan orang yang berwatak telengas. Jelas, akan membuat dunia persilatan kacau!
"Aku merasa tertarik mendengar penuturan ahli nujum itu. Maka ku putuskan untuk mendapat catatan ahli nujum itu mengenai Golok Kilat. Jika meminta, jelas tidak mungkin. Maka jalan satu-satunya adalah mencuri. Dan itulah yang kulakukan. Di tengah jalan catatan itu ku baca. Tapi, malang. Sebelum tuntas, aku terlibat pertarungan dengan seorang tokoh persila-tan yang memiliki watak aneh. Tokoh itu memiliki tangan amat kuat, mungkin lebih kuat daripada baja. Setiap kali berbenturan, tulang-tulangku terasa ngilu."
Setan Kepala Besi menyeringai. Seakan-akan rasa ngilu yang melanda itu terasa kembali,
"Pertarungan dengan tokoh aneh itu membuatku menyesal bukan kepalang. Catatan di daun lontar yang kubawa terjatuh ke dalam laut. Memang, waktu itu aku bertemu di tengah laut. Asal mulanya, perahu yang ku kemudikan patah layarnya akibat angin keras. Sehingga laju perahu ku tak terkendalikan lagi, lalu menabrak perahunya. Saat itu, badai memang baru saja reda. Pertarungan kami mungkin akan berlangsung lama. Namun ketika mendengar tangisan bayi, perhatian tokoh aneh itu jadi beralih. Dan dia lebih mementingkan sang bayi. Pertarungan pun terhenti. Dia sibuk mengurus bayi itu. Sedangkan aku sibuk mencari-cari kitab daun lontar yang hanya beberapa lembar itu. Sialnya, tak pernah kutemukan."
Arya tersenyum kecut. Sekarang, bisa mengerti mengapa Setan Kepala Besi kebingungan. Bagaimana mungkin catatan daun lontar itu dikembalikan, kalau sudah tidak berada di tangan lelaki berkepala botak itu?!
"Hilangnya catatan itu, membuat kesadaranku sedikit timbul. Aku membatin dalam hati. Mungkin ini hukuman atas tindakanku. Maka, aku kembali memu-tuskan untuk menjauhkan diri dari kancah persilatan. Segera ku pilih tempat ini, sebagai tempat tinggalku. Dan aku hidup tenang sebagai pencari kayu bakar.
Tapi seperti sudah merupakan hukum alam, sebagai seorang ahli silat duniaku tidak bisa ditinggalkan. Ada saja penyebab yang membuatku menggunakan kekerasan. Di waktu aku mencari kayu bakar, kudengar suara ribut-ribut. Ternyata, rombongan bangsawan tengah terlihat keributan dengan rombongan perampok yang mengingini hartanya. Pertarungan antara para prajurit dengan kelompok perampok ku saksikan tanpa ada maksud mencampuri. Bahkan ketika semua pengawal dan suami istri keturunan bangsawan itu terbunuh, aku tidak bertindak apaapa. Tapi, ketika seorang anak perempuan berusia sekitar tiga tahun hendak dibantai pula, aku tidak bisa tinggal diam. Aku turun tangan dan langsung mengamuk. Semua perampok kubunuh. Anak itu langsung kubawa dan kuangkat sebagai muridku sendiri. Nuri, nama yang kuberikan padanya."
Arya melongo. Pengalaman Setan Kepala Besi ini benarbenar menakjubkan.
"Aku hidup tenang bersama Nuri sampai dua puluh tahun lebih. Hanya sampai di situ, karena aku tertarik lagi untuk terjun ke dunia persilatan begitu mendengar adanya benda mukjizat yang bernama Jamur Sisik Na-ga. Sebelumnya, sekitar tiga tahun sebelumnya, hatiku telah goncang karena berkelana dengan seorang tokoh hitam wanita setengah tua yang berjuluk Dewi Penca-but Nyawa. Hanya saja, aku masih mempunyai pertimbangan. Baru ketika mendengar tentang Jamur Sisik Naga, aku tidak tahan lagi untuk terjun ke dunia persilatan. Ku tinggalkan Nuri. Apalagi Dewi Pencabut Nyawa juga punya andil besar dalam menarik aku ke dunia persilatan setelah jadi istriku. Dia sering mem-bujuk ku. Dan karena aku suaminya, aku berhasil dibujuk. Maksudku bercabang, ketika mengetahui Jamur Sisik Naga itu berada di tempat kediaman Kalapati. Aku ingin membalas dendam. Maka kufitnahlah dia melalui perantara Waji. Kurasa sampai di sini kau telah tahu kelanjutannya, Dewa Arak" Arya mengangguk.
"Sekarang, apa yang hendak kau lakukan, Kek?!" tanya Arya, ingin tahu. "Mungkin tenagaku bisa disambungkan."
Setan Kepala Besi diam. Lelaki ini berpikir keras untuk menemukan cara paling baik
"Bagaimana kalau kita satroni dulu tempat pencu-likpenculik Nuri itu, Kek," usul Arya.
"Kurasa tidak ada salahnya. Toh, di sana bisa kita pikirkan cara selanjutnya untuk menolong Nuri," sambut Setan Kepala Besi, menyatakan persetujuannya.
––––––––
7
Tang, ting, tang...!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika seorang kakek berkain lusuh yang dilibat-libatkan ke sekujur tubuh, menghantamkan penggada pada sebatang besi yang telah berbentuk golok. Batang besi itu tampak merah membara.
"Uh...!"
Namun, pandai besi bertubuh kurus kering berku-lit coklat kemerahan itu mendadak mengeluh tertahan, sarat keterkejutan dan kesakitan. Pergelangan tangan kanannya terasa sakit bukan main, ketika ada sesuatu yang menghantam secara keras. Bahkan penggadanya terlepas dari pegangan dan terlempar jauh.
Pandai besi itu melayangkan pandangannya ke tanah, mencari-cari sesuatu yang mungkin telah menghantam pergelangan tangannya. Tapi dia tidak menemukan apa-apa, sehingga membuatnya heran. Bagai-mana mungkin tangannya terbentur sesuatu, tapi tidak terlihat yang membenturnya?
"Apa yang kau cari, Tua Bangka?! Aku tidak membutuhkan apa-apa untuk membuat gada milikmu, terlempar. Bahkan untuk mematahkan tanganmu sekalipun!"
Tiba-tiba terdengar suara bernada dingin dan berkesan menyeramkan. Seketika kakek pandai besi ini mengalihkan pandangan ke pintu tempat suara itu berasal. Dua tombak di depan pintu, tampak berdiri angkuh sesosok tubuh kekar seorang pemuda berpakaian merah dengan ikat kepala berwarna merah juga. Siapa lagi kalau bukan Lingga.
"Siapa kau, Anak Muda? Apa maksud kedatanganmu kemari dengan cara sedemikian lancang?! Kau kira bisa menggertak ku dengan permainan konyol itu?!" sambut kakek pandai besi berani, tanpa bergem-ing dari sikapnya. Tangan kirinya masih menggenggam golok yang belum selesai dibuat. Wajah Lingga yang dingin tidak bergeming sama sekali. Tapi pada sepasang matanya tampak kilatan hawa maut.
"Rupanya kau membutuhkan bukti kalau tindakan yang kulakukan sesuai yang kuucapkan?!" desis Lingga.
Seketika pemuda berbaju merah ini menjentikkan jari telunjuknya.
Sing...!
"Aaakh...!"
Bunyi mendesing seperti ada benda meluncur terdengar, lalu disusul pekikan si pandai besi. Saat itu juga, kakek ini merasakan pergelangan tangannya seakan terhantam sesuatu seperti batu kecil. Karena kali ini yang terkena tangan kiri, maka golok dalam genggaman yang belum selesai kontan terlepas.
"Sudah percaya, Tua Bangka Sombong?!" dengus Lingga, dingin.
"Pemuda telengas!" maki kakek ini tajam dan lantang. Tidak terlihat adanya kegentaran sedikit pun. Baik pada wajah maupun sorot matanya
"Kau kira permainan konyol mu ini membuatku takut?! Kau mimpi, Anak Muda! Jangan dikira aku takut mati! Apalagi di tangan orang konyol sepertimu! Mau bunuh, silakan bunuh!" Lingga menyeringai kejam.
"Kau keliru, Tua Bangka! Kau tahu, aku memang haus darah! Aku gemar membunuh! Tapi, tidak dengan cara mudah! Jangan dikira aku akan menewaskan mu begitu saja! Mungkin kau akan mati di tanganku, tapi setelah mengalami siksaan yang mengerikan. Bahkan siksaan yang akan membuatmu menyesal bertemu denganku!"
Kakek kurus kering ini kontan merasakan bulu kuduknya berdiri. Dirasakan adanya nada kesunggu-han dalam ucapan pemuda itu. Sebagai orang yang te-lah banyak makan garam kehidupan, pandai besi ini tahu kalau pemuda di hadapannya tidak main-main. Sorot mata pemuda itu yang memancarkan sinar men-gerikan, semakin memperjelas dugaan si pandai besi akan kesungguhan ancaman yang diterimanya.
"Tapi, aku mungkin akan mencabut ancaman itu apabila kau bersedia memenuhi permintaanku," tam-bah Lingga lagi, tetap dingin dan datar.
Si kakek diam, tidak memberi jawaban apa-apa.
Lingga mengambil sebatang golok sekaligus sarungnya dari belakang punggung. Bagian bawah sa-rung golok itu dipegang dengan tangan kanan, agak jauh dari wajah.
"Aku hanya menginginkan agar kau menerima pusakaku ini.
Dan, katakan pendapatmu!" ujar Lingga, "Bagaimana?!"
Si Kakek diam sebentar, kemudian perlahan-lahan kepalanya mengangguk. Usul yang dikemukakan Ling-ga disetujui, kendati dengan perasaan terpaksa. Anggukannya saja terlihat kaku. Malah tidak berseri di wajahnya.
Tapi, pemuda itu rupanya tidak peduli. Yang penting adalah keinginannya terlaksana. Masalah si pandai besi rela atau tidak, bukan jadi masalahnya.
Dengan raut wajah masih dingin, Lingga meniup golok yang masih diacungkan sejajar wajahnya. "Phuih!" Srang!
Seketika golok itu melesat keluar dari sarung, me-luncur ke arah kakek kurus kering dalam keadaan berputaran.
Mata kakek pandai besi terbelalak ketika melihat golok itu hinggap dalam keadaan tegak di atas tonggak besi yang menancap di tanah. Tonggak yang besarnya tak lebih dari jari kelingking! Golok itu berdiri dengan ujungnya, tapi hanya menempel saja, tidak jatuh ke tanah.
"Periksalah, Tua Bangka! Dan katakan pendapatmu mengenai pusakaku. Tapi, ingat! Jangan coba-coba mempermainkan! Kau tahu, akibatnya. Aku tidak mau dipermainkan orang! Mengerti?!" ujar Lingga, sarat ancaman.
Si kakek tidak memberi jawaban sama sekali. Dengan sikap masih angkuh, dihampirinya tempat golok Lingga bertengger. Dicekalnya gagang golok dan ditariknya.
Tapi, lagi-lagi keterkejutan dialami si kakek pandai besi. Golok yang kelihatan jelas hanya menempel bagian ujungnya pada tongkat, ternyata tidak mampu ditariknya. Seakan-akan senjata tajam itu telah bersatu dengan tonggak besi!
Kakek kurus kering tidak putus asa. Tenaga dalamnya dikerahkan untuk menarik. Tapi sampai selebar wajahnya merah padam, golok itu tetap tidak bergeming. Dan dia pun menyerah.
Lingga mendengus, terlihat penuh nada meremehkan. Tangan kanannya yang masih menggenggam sarung golok digerakkan ke samping, sehingga sarung golok memalangi,
"Hih!"
Kakek pandai besi yang masih bersikeras menarik kontan terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. Karena golok yang semula seperti menyatu dengan tonggak besi, dapat dicabutnya dengan mudah!
Namun, kakek ini ternyata bukan orang sembarangan. Kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang dan hampir menabrak tembok mampu dipatahkan dengan sebuah gerakan kaki sederhana.
Kakek pandai besi menatap Lingga dengan sorot mata menyiratkan kebencian. Tapi yang ditatap malah menatap dengan sinar mata penuh ejekan.
Kemarahan kakek tinggi kurus tidak bisa ditahan lagi. Tindakan pemuda ini telah melampaui batas. Maka dengan penuh kegeraman yang tidak bisa disembunyikan, golok milik Lingga dibantingkan keras ke lan-tai.
Jleb!
Golok itu kontan amblas ke lantai sampai hampir setengahnya! Padahal, lantai itu tersusun dari batu padas yang amat kuat!
Sementara sepasang mata Lingga seperti memancarkan api ketika menatap kakek pandai besi. Kemarahan yang amat sangat memancar jelas di sana.
"Pungut kembali golok itu. Periksa dan berikan pendapatmu. Atau kau akan menyesal karena melakukan tindakan seperti itu terhadapku!" perintah Lingga dalam kemarahannya.
Cuhhh!
Si kakek pandai besi yang telah dikuasai marah karena perasaan tersinggung, memberi tanggapan dengan meludah ke tanah. Sebuah tantangan telah dilakukan!
Maka dengan wajah dingin, Lingga menudingkan dua jari tengahnya.
Kakek kurus kering itu mencoba mengelak atau menangkis. Tapi sayangnya, dia tidak tahu bagian yang diserang. Walaupun demikian dia tetap berusaha mengelak, meski secara sembarangan. Namun Tuk!
"Aaakh...!"
Kakek kurus kering menyeringai ketika merasakan ada rasa sakit sesaat, seperti kena totok. Rasa nyeri yang amat sangat langsung mendera. Tubuhnya yang terjatuh di tanah menggeliatgeliat bagaikan ayam disembelih.
Lingga tertawa bergelak. Suaranya sarat kegembi-raan. Sepasang matanya pun berbinar-binar, seakan-akan tengah melihat pemandangan yang menarik dan menyenangkan.
Tubuh kakek pandai besi ini terus menggelepar-gelepar ke sana kemari. Tak peduli keadaan sekitarnya. Bahkan ketika beberapa kali tubuhnya berbentu-ran dengan dinding, sama sekali tidak dirasakan! Wa-jahnya menyiratkan kenyerian hebat
Lingga memang mulai membuktikan ancamannya. Kakek kurus kering itu ditotok dari jarak jauh pada bagian yang membuat sekujur tubuh sakit dan nyeri tak tertahan, bagaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum berkarat!
"Bagaimana, Tua Bangka Sombong?!" tanya Lingga dengan nada dingin tanpa gambaran perasaan apa-apa. "Apakah kau masih bersikeras untuk menentangku?! Syarat yang ku ajukan mudah saja. Dan perlu kau ingat, Kakek Dungu! Ini tawaran terakhir! Bila kau masih tidak mau mendengarnya, aku akan pergi. Tapi kau akan tewas dengan cara menyedihkan dan sangat tersiksa. Bagaimana?!"
"Kau memang bukan manusia! Kau iblis yang ber-hati keji! Kau tidak memberi ku pilihan lain!" desis kakek kurus kering dengan susah-payah karena rasa sakit masih menderanya.
Lingga tidak memberi tanggapan apa-apa. Tapi sorot sepasang matanya terlihat jelas memancarkan si-nar kemenangan. Meski, kakek ini belum memberi ja-waban pasti, tapi perkataannya telah menunjukkan kalau tawarannya diterima.
Tik!
Lingga menjentikkan jari telunjuknya. Maka rasa nyeri yang mendera tubuh kakek pandai itu pun lenyap. Geleparnya pun terhenti. Meski demikian, tubuhnya terlihat lunglai ketika bangkit. Peluh sebesar biji-biji jagung tampak membasahi wajahnya, akibat rasa nyeri yang hebat.
"Kudengar kau seorang pembuat senjata yang terpandai. Kau mengenal banyak senjata pusaka dan bisa tahu dengan memperhatikannya. Kau orang yang dikenal dengan nama Empu Lahang Samedi, bukan?!" Lingga membuka suara.
Kakek kurus kering mengangguk tanpa menoleh. Masih dengan langkah limbung, kakinya terayun menghampiri tempat golok Lingga yang tertancap di lantai. Dengan kedua tangan, karena masih lemah akibat siksaan tadi, golok itu berusaha dicabut. Tapi ternyata, si pandai besi yang bernama Empu Lahang Samedi ini tidak mampu! Tenaganya telah terkuras habis. Bahkan golok itu tidak bergeming sama sekali.
Melihat hal ini, Lingga menjadi tidak sabar. Maka tangan kanannya cepat dikibaskan.
Werrr...!
Seketika angin keras menderu. Sehingga tidak hanya golok yang tertancap, tubuh Empu Lahang Samedi pun terlempar. Sedangkan golok yang tercekal erat dengan kedua tangannya tetap tergenggam, sampai tubuh kakek itu menubruk dinding.
Empu Lahang Samedi merayap lemah. Kendati lahir dan batinnya sakit akibat perlakuan Lingga, namun dia tidak berani lagi membangkang. Golok yang berada di tangan diperhatikannya penuh selidik.
Sepasang mata Empu Lahang Samedi berbinar-binar. Wajahnya menyiratkan keterkejutan dan keti-dakpercayaan. Kedua tangannya tampak menggigil ke-ras, ketika berbicara.
"Tidak salahkah penglihatanku...?! bukankah ini Golok Kilat yang ajaib itu?!" gumam Empu Lahang Samedi sarat keterkejutan. Bahkan suaranya terdengar bergerak.
"Kau memang tidak salah, Empu Lahang!"
Untuk pertama kalinya, Lingga menyapa kakek ku-rus kering itu dengan namanya. Tidak dengan panggilan penuh hinaan.
"Golok itu memang golok keramat yang tadi kau sebutkan. Sekarang katakan, apa lagi pendapatmu mengenai Golok Kilat itu?!" sambung Lingga.
Empu Lahang Samedi kelihatan bingung untuk mengutarakan pendapatnya. Sementara Lingga yang memang berwatak pemarah, kesabarannya habis.
"Apakah aku perlu melakukan kekerasan seperti tadi,
Empu?!"
Empu Lahang Samedi menghela napas berat
"Golok Kilat ini telah kehilangan keistimewaannya. Telah kehilangan kedahsyatannya, kendati kekuatannya tidak lenyap..."
"Aku juga telah mengalaminya sendiri, Empu, Dan bagaimana caranya untuk membuat pusaka itu kembali seperti semula?! Maksudku..., keampuhan dan kedahsyatannya."
Kembali Empu Lahang Samedi terdiam. Kali ini Lingga tidak memberi ancaman dan hanya menunggu. Tapi, ternyata diamnya Empu Lahang Samedi kali ini lebih lama daripada sebelumnya.
"Kau jangan mencoba mempermainkan ku, Empu. Ingat! Aku bukan sejenis orang yang mudah dipermainkan. Apabila kesabaranku hilang, aku bisa-bisa tidak membutuhkan mu lagi. Toh, masih banyak ahli senjata lain yang bisa kuminta pendapatnya mengenai pusakaku. Ini peringatan terakhir, Empu. Mau mengatakan apa pendapatmu..., atau..., semuanya berakhir di sini?!" desak Lingga.
Empu Lahang Samedi yang sejak tadi hanya menunduk, menatap Lingga dengan sinar mata tajam. Penuh tantangan!
"Kau boleh bunuh aku, Pemuda Gila! Siksa aku sepuas hatimu! Tapi, Ingat! Kau tidak bisa memaksakan untuk melakukan perintahmu! Nah! Tunggu apa lagi?! Cepat lakukan hal yang kau inginkan!"
Sepasang mata Lingga kontan mengeluarkan sinar berkilatan yang sarat ancaman. Pemuda ini memang memiliki watak aneh, tidak suka kalau keinginannya dibantah. Apabila menginginkan sesuatu, orang harus melakukannya
Tapi, kali ini Empu Lahang Samedi ternyata sudah nekat. Dibalasnya tatapan pemuda itu dengan berani. Kakek ini ternyata lebih suka mati secara mengerikan daripada memberi pendapat mengenai Golok Kilat.
***
"Ayah...!"
Sebuah panggilan nyaring melengking membuat suasana tegang antara Empu Lahang Samedi dan Lingga yang tengah saling tatap sedikit terpecahkan. Wajah kedua tokoh itu berubah. Bila Lingga kelihatan gembira dengan sepasang mata berbinarbinar, tapi Empu Lahang Samedi sebaliknya.
"Priyani...! Pergi dari sini...! Cepat..!" seru Empu Lahang Samedi yang membaui adanya bahaya atas diri gadis bernama Priyani yang ternyata putrinya. Nadanya menyiratkan kekhawatiran yang besar.
Kalau menuruti keinginan, ingin rasanya pandai besi ini melesat ke tempat putrinya berada, dan membawanya kabur meninggalkan tempat itu. Paling tidak menjauhi Lingga yang ganas dan keji.
Sayangnya, niat itu lebih mudah dipikirkan daripada dilaksanakan. Untuk menuju ke tempat Priyani, harus melalui Lingga lebih dulu. Karena pemuda itu lebih dekat pintu daripada dirinya.
Sementara di luar sana gadis berpakaian kuning, melangkah memasuki rumah Empu Lahang Samedi ini. Rambutnya sebahu, dengan tahi lalat kecil di pipi sebelah kiri.
Priyani tadi memang mendengar seruan Empu Lahang Samedi, dan sempat membuat langkahnya ter-henti. Bisa dirasakan adanya kekhawatiran yang besar dalam seruan tadi. Dia tahu, Empu Lahang Samedi ti-dak akan mengeluarkan peringatan seperti itu, kalau memang tidak ada sesuatu yang tidak berbahaya.
Sungguhpun demikian, gadis ini tidak segera me-nuruti anjuran ayahnya untuk meninggalkan tempat itu selekasnya. Rasa ingin tahu sampai ayahnya demikian khawatir, membuatnya masih tetap ingin memasuki ruangan tempat pembuatan senjata milik ayahnya. Dan lagi, Priyani memang tidak ingin pergi. Andaikata benar ada bahaya yang mengancam, mana mungkin ayahnya ditinggal sendirian menghadapinya.
"Ayah...? Apa yang terjadi...?! Apakah Ayah baik-baik saja?!"
Priyani tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Dia langsung bertanya, sebelum memasuki ruangan ayah-nya.
"Aku baik-baik saja, Priyani.,.! Kau masuklah...! Tadi, Ayah hanya bergurau. Ayah hanya ingin melihat bagaimana kalau ada bahaya mengancam. Apakah kau akan meninggalkan Ayah. Atau, bersama-sama melawan bahaya itu?"
Seruan ini membuat keragu-raguan Priyani pupus. Dengan langkah-langkah lebar, maksudnya diteruskan untuk masuk ke dalam ruangan khusus ayahnya,
Begitu masuk, seketika itu juga wajah Priyani yang berseriseri berubah. Dia melihat Empu Lahang Samedi menempel di dinding dengan kedua tangan dan kaki terentang. Semula, disangka ayahnya bergurau lagi.
Tapi ketika melihat wajah dan sinar matanya, Priyani bisa menduga akan adanya hal-hal yang tidak beres. Tanpa menyadari adanya kehadiran sosok lain di ruangan ayahnya ini, Priyani mendekati Empu Lahang Samedi.
"Ayah...! Apa yang terjadi...?!" tanya Priyani kaget, sambil menghampiri.
Namun mendadak langkah Priyani terhenti satu tombak di depan Empu Lahang Samedi, yang berarti telah melewati sosok Lingga yang berdiri di belakangnya. Pemuda itu hanya tersenyum dengan tangan bersedekap. Dan berhentinya Priyani bukan karena kemauannya, tapi karena kedua kakinya tidak bisa dige-rakkan. Sepasang kakinya tidak mampu diangkat, seakan-akan digayuti batu sebesar gajah. Amat berat!
"Aku tidak apa-apa, Priyani. Aku hanya bergurau saja."
Priyani yang terkejut bukan main, makin terperangah ketika mendengar ucapan terhadapnya. Jelas ter-dengar bahwa suara itu milik ayahnya. Tapi, mulut Empu Lahang Samedi tidak berkemik sama sekali.
Priyani memang gadis gemblengan dengan kepan-daian cukup tinggi. Dan dia tahu, ayahnya juga berkepandaian tinggi. Dia pun telah mendengar tentang il-mu yang membuat orang berbicara tanpa menggerak-kan bibir. Tapi, disadari betul kalau ayahnya tidak memiliki ilmu ini karena tingkat kepandaiannya tidak setinggi itu. Ini berarti bukan ayahnya yang berbicara.
Yang lebih mengejutkan suara itu ternyata berasal dari belakang Priyani. Dengan gerakan perlahan-lahan, gadis ini berbalik. Kalau saja gadis ini mampu mengge-rakkan kaki, tentu sudah terlompat ke belakang. Tapi karena tidak, tubuhnya saja yang terlonjak.
Di depan Priyani, tampak Lingga berdiri dengan wajah dingin sambil menyeringai keji.
Priyani sekarang mengerti, dua ucapan terakhir ta-di keluar dari mulut Lingga. Sedangkan Ayahnya hanya bicara sekali.
Setelah itu, Lingga yang bicara. Tentu saja setelah lebih dulu membuat Empu Lahang Samedi tidak berkutik.
Kakek kurus kering itu tak mampu berbuat apa-apa, karena kaki, tangan, maupun mulutnya seperti lumpuh. Entah dengan cara bagaimana, Priyani tidak tahu. Yang jelas, gadis ini tahu kalau Lingga memiliki kepandaian tinggi. Ayahnya yang dilumpuhkan oleh pemuda itu, menjadi bukti nyata kebenaran dugaannya.
Kendati demikian, Priyani tidak menjadi gentar. Dengan sorot mata penuh kebencian, ditatapnya Lingga. Namun yang ditatap malah tenang-tenang saja, membuat kemarahan gadis itu berkobar hebat.
––––––––
8
"Manusia jahat! Apa salah ayahku, sehingga kau berlaku kejam terhadapnya?! Kalau memang jantan, bebaskan dia! Lepaskan juga aku dari pengaruh sihir-mu ini! Kita bertarung sampai salah satu ada yang menggeletak tak bernyawa!" desis Priyani, kalap.
Lingga tidak menunjukkan gambaran perasaan apa-apa mendengar kata-kata gadis itu yang lantang dan keras berisi jiwa ksatria! Kalau menuruti keinginan, Lingga malas meladeninya. Yang penting baginya adalah Golok Kilat harus segera mampu mengeluarkan kedahsyatannya lagi. Sesegera mungkin! Agar dia dapat pula melenyapkan Dewa Arak, orang yang paling dibencinya.
Tapi, Lingga memang berwatak keji. Tantangan yang diberikan Priyani, membuat benaknya berputar. Dicarinya cara mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap gadis berpakaian kuning itu.
"Kalau itu yang kau mau, ku penuhi permintaanmu, Nona Manis," sambut Lingga, tenang dan datar.
Pemuda itu kemudian mengepretkan jari-jari kedua tangannya, Seperti orang yang membuat tetesan air yang menempel.
Tes! Tes!
Baik Empu Lahang Samedi, maupun Priyani seketika merasakan beberapa bagian tubuh mereka seperti tersentuh jarijari tangan. Kini mereka pun mampu bergerak kembali seperti sediakala.
"Priyani! Cepat pergi dan selamatkan dirimu! Biar Ayah yang mencoba menahannya!" ujar Empu Lahang Samedi, keras sarat kekhawatiran.
Berbareng keluarnya ucapan itu, Empu Lahang Samedi melompat ke depan. Dia berdiri di depan putrinya. Sikapnya terlihat melindungi sekali.
"Tapi, Ayah...," Priyani mencoba untuk membantah. "Aku telah berjanji bertarung dengannya sampai mati. Tidak mungkin aku mengingkari janji yang telah kubuat sendiri."
"Jangan bodoh, Priyani! Bagi orang jahat seperti pemuda itu, janji tak ubahnya kotoran! Tak ada harga lagi! Cepatlah pergi tinggalkan tempat ini!" sergah Empu Lahang Semadi, tak sabar.
Priyani bimbang. Hatinya berperang antara memegang janji dengan memenuhi perintah ayahnya..!
Sementara Lingga yang melihat dan mendengar pertengkaran ayah dan anak itu menatap wajah dan sinar mata dingin, bagaikan patung batu. Dia tidak khawatir kalau Priyani kabur dari situ. Karena Lingga yakin, akan dapat mencegahnya.
Empu Lahang Samedi semakin merasa khawatir akan nasib putrinya. Maka kesabarannya jadi hilang melihat gadis itu malah berdiam diri. Dan....
"Heaaat...!"
Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, kakek ini melompat menerjang Lingga, setelah menyambar sebatang tombak pendek.
Namun Lingga tidak mengelak sedikit pun. Maka....
Tak!
Telak sekali ujung tombak baja hitam yang kuat milik Empu Lahang Samedi mendarat telak di dada pemuda itu.
Empu Lahang Samedi dan Priyani yang semula gembira melihat keberhasilan serangan itu, berganti kaget ketika melihat serangan tidak berpengaruh apa-apa terhadap Lingga. Ujung tombak yang tajam itu ti-dak mampu menembus kulit tubuhnya, kecuali hanya menempel saja!
"Heh?!"
Empu Lahang Samedi cepat sadar dari kagetnya. Dia tahu, pemuda ini memiliki kekebalan. Entah karena kuatnya tenaga dalam yang dimiliki, atau karena memang mempunyai ilmu aneh!
Maka tanpa menunggu lebih lama, kakek kurus kering ini menggerakkan tangan.
Empu Lahang Samedi bermaksud menyerang bagian pelipis kiri melalui sebuah babatan. Namun, maksudnya tidak kesampaian. Tombaknya bagai menyatu dengan dada Lingga. Jangankan bisa dibabatkan. Untuk digerakkan pun tidak dapat!
"Heaaat...!"
Empu Lahang Samedi masih nekat. Dipaksakannya juga untuk meneruskan maksudnya. Tapi, kegagalan pula yang didapatkan.
Lingga menyeringai kejam. Empu Lahang Samedi jadi gentar bukan main. Pegangannya terhadap gagang tombak segera dilepaskan untuk dapat menyela-matkan diri. Tapi....
"Heh?!"
Empu Lahang Samedi kebingungan ketika telapak tangannya tidak bisa dilepaskan dengan batang tombak. Maka hatinya, mulai merasakan adanya bahaya besar. Tampak perut pemuda itu mulai bergolak. Naik turun bergelombang. Karena tangannya menempel dengan tombak, Empu Lahang Samedi mulai menerima akibatnya. Tubuhnya kontan berguncang-guncang.
"Huk! Uhugkh!"
Guncangan itu ternyata membuat Empu Lahang Samedi terbatuk-batuk. Dan pada setiap batuk yang keluar, memercikkan darah segar. Jelas, dia telah terluka dalam.
Priyani kaget, melihat betapa mudahnya Lingga melumpuhkan ayahnya. Dia terkesima di tempatnya tak tahu harus bertindak bagaimana.
Sementara guncangan pada Empu Lahang Samedi semakin keras.
"Ohhh...!"
Dan bertepatan dengan terdengarnya keluhan tertahan dari mulut Priyani, tubuh Empu Lahang Samedi terlempar deras ke belakang, langsung menghantam dinding dengan keras.
"Ayah...!"
Priyani berseru kaget, berniat menghambur menuju ayahnya. Tapi maksudnya kandas, ketika Lingga mengembangkan kedua tangan. Tindakannya seperti orang tengah menarik. Maka seketika tubuh gadis berpakaian kuning itu tertarik ke arah Lingga.
"Auuu www.,.!"
Priyani meronta-ronta ketika tubuhnya tahu-tahu telah berada dalam rangkulan Lingga. Tapi tindakannya langsung berhenti, ketika Lingga menekan bahunya. Tubuhnya langsung lunglai.
"Lepaskan dia, Pemuda Telengas! Dia tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kita!" teriak Empu Lahang Samedi berusaha bangkit dengan limbung. Langkahnya gontai ketika berusaha berjalan.
"Bagiku tidak demikian, Empu Lahang!" ejek Lingga penuh kemenangan. "Mungkin menurutmu, gadis ini tidak ada urusannya dengan kita. Tapi bila aku menganggap sebaliknya, kau mau apa Tua Bangka?!"
"Biadab!" desis Empu Lahang Samedi penuh kegeraman. Hanya sampai sebatas demikian tindakan yang dilakukannya.
"Kau boleh bicara apa saja, Empu Lahang! Tapi, ingat! Keselamatan putrimu ini berada di tanganmu. Apabila kau mau memenuhi permintaanku, mengata-kan apa yang kau ketahui tentang golok di tanganmu, aku akan membebaskannya. Kubiarkan dia pergi dari sini dalam keadaan hidup!" ancam Lingga.
Lingga menutup ucapannya dengan mengeratkan pelukan tangan kiri. Wajahnya disusupkan di leher Priyani, menciumi leher mulus berkulit putih halus itu.
Empu Lahang Samedi menggertakkan gerahamnya melihat pemandangan ini. Dia tahu Priyani terancam bahaya mengerikan. Gadis itu sendiri tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah selain keluhan-keluhan lirih.
Tingkah Lingga semakin menggila. Hanya sekali renggut.
Brettt!
Pakaian Priyani di bagian dada sampai ke perut koyak lebar. Seketika bukit kembar yang berbentuk indah menggiurkan dengan puting susu merah segar segera menyembul keluar.
Lingga semakin buas dalam cekaman nafsunya. Wajahnya disusupkan di antara dua bukit kembar yang berbentuk indah menggiurkan itu.
"Hentikan...!" teriak Empu Lahang Samedi, tak kuat lagi bertahan.
Maksud hati kakek ini hendak berteriak keras. Tapi karena keadaannya memang tengah payah, teriakannya tak ubahnya keluhan lirih orang menjelang ajal.
Meski demikian, Lingga mendengar. Dan tindakan-nya pun dihentikan. Sepasang matanya yang memerah dan napasnya yang memburu, menjadi pertanda kalau nafsunya tengah bergolak.
Tapi keinginannya yang le-bih besar untuk mengetahui pendapat Empu Lahang Samedi mengenai Golok Kilat, membuatnya mampu meredamnya.
"Bagaimana, Empu?! Kau masih bersikeras menolak?!" tanya Lingga, mengambang.
"Kau memang licik, Pemuda Telengas!" Empu Lahang Samedi malah memaki. Tidak mempedulikan ucapan Lingga. "Kau tidak memberi ku pilihan lain! Tapi, apakah kau bisa memegang janji?"
"Tentu saja!" tandas Lingga, mantap. "Aku berjanji akan membebaskan Priyani jika kau mau memberi pendapat mengenai
Golok Kilat!"
Empu Lahang Samedi tercenung setelah menden-gar janji Lingga. Dia tahu betul, orang macam apa Lingga ini. Tindakannya harus sangat hati-hati kalau tidak ingin tertipu mentah-mentah!
"Masih kurang, Manusia Keji! Ucapkan juga sangsinya, apabila kau melanggar!"
Sepasang mata Lingga berkilat penuh hawa maut Pemuda ini memang paling tidak senang diatur. Tapi perasaan ingin tahu atas pendapat Empu Lahang Samedi tentang Golok Kilat, membuatnya mampu menelan perasaan marah.
"Baik!" geram Lingga. "Apabila aku melanggar janji dengan tidak membebaskan Priyani, maka leherku akan kugorok sendiri. Janjiku ini kubuat berdasarkan kehormatanku!"
Empu Lahang Samedi tersenyum puas. Dia tahu, betapapun bejatnya Lingga, tidak akan mungkin melanggar janjinya yang bersangsi mengerikan!
Dan memang, Lingga langsung membuktikannya. Pemuda ini langsung mendorong tubuh Priyani ke arah orang tuanya, setelah membebaskan totokan yang membuat gadis itu lemas.
Empu Lahang Samedi buru-buru mengulurkan tangan, menangkap tubuh putrinya.
Priyani yang telah berhasil bebas dari totokan, hanya membiarkan tubuhnya dipeluk ayahnya sebentar. Namun dengan halus tapi penuh tekanan gadis ini meronta.
Empu Lahang Samedi tidak menghalangi sama sekali.
Dibiarkan saja ulah putrinya. Tapi tindakan Priyani ternyata tidak berhenti hanya sampai di situ. Pisau putih berkilat yang terselip di pinggangnya lang-sung dicabut. Kemudian dia hendak bergerak ke arah Lingga.
"Hih...!" .
Keinginan Priyani ternyata tidak sesuai perkiraan nya. Sebelum maksudnya terlaksana, Empu Lahang Samedi yang meskipun telah melepaskan putrinya dari pelukan, tapi tidak mengendurkan kewaspadaan. Begitu melihat Priyani bergerak, lebih dulu tangannya ce-pat mencekal pergelangan tangan putrinya ini.
"Lepaskan, Ayah...! Lepaskan...! Biar kubunuh pemuda jahanam itu...!" jerit Priyani sambil meronta-ronta.
"Tidak akan kulepaskan kau, Priyani. Kecuali kalau menginginkan ayahmu menjadi seorang pengecut hina yang menjilat ludahnya sendiri. Apabila kau suka, dengan senang hati maksudmu ku penuhi," sahut Empu Lahang Samedi, tenang. Kendati demikian di dalam ketenangan itu terkandung ketegasan.
Mendengar ucapan ayahnya, Priyani pun lemas. Urat-urat dan otot-ototnya yang tadi menegang kaku melemas kembali. Tentu saja dia tidak ingin ayahnya jadi seorang pengecut. Maka meski dengan hati berat, maksudnya diurungkan.
"Ayah tidak memberi ku pilihan lain," keluh Priyani, bernada menyalahkan.
"Lebih baik kau segera tinggalkan tempat ini, Priyani. Aku masih mempunyai urusan lain dengannya," perintah Empu Lahang Samedi, meski diusaha-kan tidak kentara. Maksudnya tentu saja untuk menyelamatkan Priyani. Karena, meski percaya kesung-guhan janji Lingga, kakek kurus kering ini tidak berani mengambil bahaya terlalu besar.
"Apakah Ayah tidak suka aku berada di sini...?! Ayah lebih suka aku pergi dari sini?!"
Priyani menatap wajah ayahnya lekat-lekat sambil mengucapkan perkataan demikian. Sengaja digunakannya kalimat demikian, untuk membuat ayahnya mati kutu. Priyani ingin menemani ayahnya. Dia ingin tahu, urusan apa yang menyebabkan Lingga begitu bersemangat memaksa ayahnya berbicara.
"Mengapa kau bisa menarik kesimpulan seperti itu, Priyani?!" tanya Empu Lahang Samedi sambil menge-rutkan kening. Heran atas dugaan putrinya terhadap-nya.
"Kalau tidak, tentu Ayah akan membiarkanku di sini. Ayah, seharusnya merasa senang ku temani," sahut Priyani, cepat.
Empu Lahang Samedi tidak bisa memberi banta-han lagi, kecuali mengangkat kedua bahunya. Dia ka-lah pandai bicara.
Memang, Priyani bukan jenis gadis yang pandai berbicara. Tapi bila dibandingkan Empu Lahang Sa-medi, tentu saja gadis itu lebih unggul.
Lingga tidak memberi gambaran perasaan apa-apa melihat akhir silang pendapat antara Empu Lahang Samedi dengan putrinya. Sejak tadi dia malah menunggu berakhirnya adu pendapat itu dengan perasaan sabar.
"Sudah selesai urusan kalian?!" tanya Lingga setelah Priyani dan ayahnya tidak bersuara lagi. Nadanya datar dan dingin. "Kalau memang sudah selesai, seka-rang penuhi janjimu, Lahang!"
Sambil menghela napas berat beberapa kali, Empu Lahang Samedi mulai memperhatikan Golok Kilat di tangannya. Hanya sebentar saja, kemudian pandangannya dialihkan pada Lingga.
Lingga sendiri sejak tadi memang memperhatikan semua gerak-gerik Empu Lahang Samedi. Terlihat jelas adanya sorot keingintahuan dalam pandang mata pemuda berpakaian merah itu.
"Golok Kilat ini telah kehilangan keistimewaannya. Hal seperti ini terjadi, karena telah lama tidak dipergunakan," jelas Empu Lahang Samedi, satu-satu.
"Aku telah mengetahui hal itu, Empu Lahang," sa-hut Lingga, dingin. "Lalu, yang lainnya...?"
Empu Lahang Samedi kelihatan bingung.
"Katakan cepat, Empu! Atau..., kau lebih suka melihat kesabaranku hilang? Begitu?!"
"Untuk memulihkan kembali keistimewaannya, dibutuhkan polesan yang mempergunakan campuran otak bayi dan darah perawan. Polesan terus dilakukan sampai khasiatnya muncul. Dan itu bisa diketahui dengan adanya bunyi guntur di langit!"
Lingga mengangguk-angguk, merasa puas dengan keterangan yang diberikan. Sekali tangannya diulurkan, golok yang berada di tangan Empu Lahang Samedi melayang ke arahnya. Dan dengan enaknya pemuda ini menangkapnya.
"Apakah keterangan yang kuberikan cukup?!" tanya Empu Lahang Samedi sambil tersenyum pahit.
Di dalam hati, kakek kurus kering ini merasa me-nyesal telah memberi keterangan itu. Hal ini berarti ancaman maut bagi bayibayi dan perawan-perawan, mengingat Lingga memang berwatak keji!
Lingga hanya mengangguk kaku.
"Berarti urusan antara kita sudah selesai bukan?" tanya Empu Lahang Samedi, meminta kepastian.
"Siapa bilang?!" kilah Lingga, membuat Empu Lahang Samedi terlonjak kaget bagai disengat kalajengk-ing. "Urusan kita tetap ada! Bahkan terhadap nona cantik itu."
Wajah Empu Lahang Samedi berubah. Gigi-giginya bergemelutuk, menahan geram karena merasa diper-mainkan. Di lain pihak, Priyani mendelik! Sekujur otot-otot dan urat tubuhnya menegang kembali.
"Kau hendak mengingkari janjimu, Anak Muda?! Apakah sangsi yang kau tujukan atas dirimu sendiri hanya omong kosong belaka?! Haruskah aku men-ganggap ucapanmu tak ubahnya salakan seekor anjing buduk?!" Lingga mendengus.
"Rupanya kau tidak menyimak ucapanku, Tua Bangka! Ingat-ingatlah semua ucapanku!"
"Aku bukan bocah kemarin sore yang tidak mengerti perkataan orang, Pemuda Sombong! Jelas terdengar dan tertangkap telingaku, kau mengatakan akan membebaskan putriku apabila bersedia menuruti perintahmu!"
"Itu memang benar!" sambung Lingga, cepat
"Lalu, mengapa kau sekarang hendak melanggar janjimu sendiri?!" desak Empu Lahang Samedi, tanpa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Aku tidak melanggar janjiku, dan tidak akan pernah! Putrimu sesuai perjanjian, akan kubebaskan! Hanya saja waktunya tidak sekarang! Nanti setelah urusanku dengannya selesai, baru dia kulepaskan! Apakah itu artinya aku melanggar janji?! Tidak bukan?! Kau saja yang tidak teliti!"
"Keparat licik! Aku akan mengadu nyawa dengan-mu!
Hiaaat..!"
Empu Lahang Samedi melompat menerjang, dis-usul Priyani di belakangnya.
"Hih!"
Tapi hanya dua kibasan tangan, Lingga mampu membuat tubuh Empu Lahang Samedi terjengkang ke belakang. Sedangkan tubuh Priyani tertarik ke depan.
Tepat ketika tubuh Empu Lahang Samedi memben-tur dinding, tubuh Priyani terjatuh ke dalam pelukan Lingga. Gadis berpakaian kuning ini meronta-ronta, namun hasilnya sia-sia belaka.
Rontaan Priyani berhenti ketika tangan Lingga me-nekan bahunya.
"Chuh!"
Sambil membuang ludah, pemuda berpakaian merah itu melesat meninggalkan tempat ini.
"Penjahat keji! Hendak lari ke mana kau...?! Jangan harap aku akan membiarkanmu bertindak seme-na-mena...!" teriak Empu Lahang Samedi, terhuyung-huyung ketika bangkit
Empu Lahang Samedi tak mempedulikan kepalanya yang masih pening dan pandangannya yang masih berkunang-kunang. Segera, dikejarnya pemuda yang menculik putrinya.
Empu Lahang Samedi tak menghentikan pengeja-rannya, kendati tubuh Lingga semakin mengecil di kejauhan. Sambil mengejar, dia memaki-maki tak ka-ruan.
***
9
"Itulah Gua Iblis, Dewa Arak!"
Seruan bernada pemberitahuan yang diikuti tudingan jari keluar dari mulut Setan Kepala Besi. Saat itu, lelaki berkepala botak itu bersama Dewa Arak berada berjarak sepuluh tombak dari sebuah tebing berbentuk tengkorak yang mempunyai sebuah gua yang kelihatan gelap pekat.
Arya harus mengakui kalau nama Gua Iblis tidak terlalu berlebihan. Sesuai sekali nama dengan kenya-taannya. Di sinikah tempat tinggal dua kakek penculik Nuri? Begitu batin pemuda ini.
"Apa yang akan kau lakukan, Kek?!" tanya Arya, ingin tahu.
"Aku akan masuk ke dalam sana. Kau tunggu saja dulu di sini. Aku ingin mencoba membujuk mereka untuk tidak membawa-bawa Nuri dalam masalah ini. Kau tidak keberatan, Dewa Arak?!" sahut Setan Kepala Besi.
Arya tersenyum dan menggeleng. Dalam hati, pemuda berambut putih keperakan ini merasa kagum bukan main dengan kemajuan Setan Kepala Besi! Le-laki ini benar-benar telah berpaling dari jalan sesatnya. Sampai-sampai, sifatnya demikian berubah. Hanya un-tuk menyuruhnya menunggu, lelaki ini menanyakan lebih dulu!
"Terima kasih, Dewa Arak! Percayalah, aku tidak akan lama...!"
Gema suaranya masih terdengar, tapi tubuh Setan Kepala Besi telah melesat cepat mendekati mulut gua!
Arya memperhatikan hingga Setan Kepala Besi le-nyap di dalam gua. Ketajaman sepasang telinganya dikerahkan, agar bisa mendengar bunyi-bunyi tak wajar dari dalam gua. Apabila itu terjadi, Dewa Arak tidak bisa tinggal diam lagi. Terpaksa kesepakatan yang di-buatnya bersama Setan Kepala Besi tadi dilanggar.
Kening Arya berkerut. Keheranan melingkupi ha-tinya, ketika melihat Setan Kepala Besi keluar dari da-lam gua. Padahal, dia baru saja masuk.
Meski merasa ingin tahu, pemuda berambut putih keperakan ini tetap diam. Bahkan ketika akhirnya Se-tan Kepala Besi berhenti didekatnya, Arya tidak men-gajukan pertanyaan sama sekali.
"Benarkah mereka mengatakan tempat ini, Dewa Arak? Apakah bukan tempat lain?!" tanya Setan Kepala Besi sambil menatap wajah Arya penuh selidik.
"Aku tidak keliru, Kek. Jelas sekali kutangkap perkataannya. Gua Iblis! Apakah saya yang salah?!" Arya ganti bertanya, meski telah bisa memperkirakan akan apa yang telah terjadi.
"Gua itu kosong, Dewa Arak! Tidak ada siapa pun di dalamnya!" sahut Setan Kepala Besi tandas dengan suara kering.
Wajah Arya tidak berubah sungguhpun perasaan kaget yang luar biasa menyergapnya. Pemuda ini me-mang pandai menguasai perasaan. Sehingga apa yang bergejolak di hati, tidak terlihat pada wajahnya.
"Mungkinkah mereka sengaja berbohong?!" duga Arya.
Setan Kepala Besi menggeleng lemah.
"Mereka bukan sejenis orang-orang berwatak se-perti itu."
Suasana hening. Masing-masing tenggelam dalam alun pikirannya. Pada wajah Setan Kepala Besi terlihat jelas adanya gambaran kecemasan.
"Hanya ada dua kemungkinan, Kek," ujar Arya memecah keheningan. "Pertama, mereka berubah pikiran. Sedangkan yang kedua, ada halangan yang menghadang mereka. Memang, kedua kemungkinan itu pun rasanya mustahil. Tapi, tidak ada jawaban lainnya."
Setan Kepala Besi diam. Di lubuk hatinya, harus diakui kalau kemungkinan yang diberikan Dewa Arak bisa saja terjadi.
"Kurasa rencana mereka berubah, Dewa Arak. Aku tidak bisa berdiam diri menunggu di sini tanpa adanya kepastian mengenai keadaan muridku. Aku akan mencari tahu keadaannya sekarang juga!"
"Boleh aku menyumbang tenaga, Kek?!" tanya Arya, karena melihat lelaki berkepala botak itu seperti tidak memerlukannya.
"Tentu saja, Dewa Arak! Tapi kurasa, lebih baik kita berpencar agar kemungkinan untuk menemukannya menjadi lebih besar. Kau boleh melakukan tindakan apa saja. Yang penting, Nuri selamat! Aku pergi dulu, Dewa Arak!"
Arya hanya bisa mengangguk. Namun Setan Kepala Besi tidak bisa melihatnya, karena telah berada bebe-rapa tombak di depan.
Arya memandangi hingga tubuh Setan Kepala Besi sudah tidak terlihat lagi. Kemudian, setelah menghela napas berat, tubuhnya berbalik dan melesat ke arah yang berbeda.
***
Aduhai dunia
Dari dulu sampai sekarang
Kau tidak pernah berubah
Selalu bergolak tak pernah tenang
Angkara murka merajalela
Hawa maut melingkupi bumi
Akankah sang Pendekar Perkasa
Mampu mempertunjukkan gigi
Nyanyian yang didendangkan berirama dengan nada enak didengar menyelusup masuk ke dalam telinga Dewa Arak. Tidak keras bunyinya, tapi pemuda berambut putih keperakan ini terkejut bukan main.
Keterkejutan Arya karena bunyi yang tidak keras itu mampu membuat dadanya bergetar. Setiap kata dalam nyanyian, menimbulkan getaran pada dada sebagaimana layaknya jika orang mendengar bunyi beduk! Kalau bunyi pelan saja dapat menimbulkan pengaruh seperti ini, apa pula akibatnya bila bunyi itu keras?!
Arya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Pemuda ini yakin pasti pemilik nyanyian itu memiliki tenaga dalam amat kuat. Dan seketika pendengarannya dipusatkan untuk bisa mengetahui asal bunyi itu. Tapi walau telah seluruh kemampuannya dikerahkan, yang dapat ditangkap benarbenar tidak masuk akal! Bunyi itu berasal dari atas!
Dewa Arak sadar, pemilik nyanyian itu sengaja mengecoh. Dan kenyataan ini semakin menambah keterkejutannya. Pemuda ini semakin yakin, pemilik nyanyian itu memiliki tenaga dalam luar biasa kuat. Karena hanya tokoh yang memiliki kekuatan tenaga dalam sukar diukurlah yang dapat memindahkan suara.
"Mengapa harus menujukan pandangan ke tempat yang tidak mungkin? Teruskan langkahmu. Dan, tujukan pandanganmu ke arah langkah kakimu. Maka kau akan menemukan apa yang kau cari, Pendekar Muda."
Wajah Arya memerah karena malu mendengar teguran itu. Kepalanya memang menengadah untuk melihat ke langit. Dia menduga barangkali pemilik nyanyian itu menaiki burung. Namun sama sekali tidak disangka kalau tingkahnya diketahui. Secara membuta Arya mengikuti petunjuk itu yang diyakini berasal dari mulut yang sama dengan suara nyanyian itu.
Seraya mengayunkan kaki, benak Dewa Arak men-dugaduga siapa pemilik nyanyian itu. Dia memang merasa telah mengenal atau setidak-tidaknya telah pernah mendengar suara seperti itu. Bukan dalam bentuk nyanyian, tapi dalam percakapan biasa, seperti teguran yang berisi petunjuk tadi.
Mendadak saja Arya sampai terjingkat ke belakang, tanpa sadar ketika menatap lurus ke depan dengan mata terbelalak. Sorot keterkejutan tampak jelas pada sinar matanya.
Sekitar empat tombak di depan Arya, tampak sesosok tubuh kurus terbaring membelakangi. Dan yang membuatnya kaget bukan main, sosok yang terbungkus pakaian abu-abu itu berbaring di atas selembar daun pisang yang kebetulan pohonnya tidak terlalu tinggi.
Untuk kedua kalinya Arya terkejut. Dan dia yakin, sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang demikian tinggi, sampaisampai daun pisang yang ditidu-rinya tidak melengkung sama sekali! Seakan-akan yang berada di atasnya hanyalah sehelai daun kering
Dan Arya semakin yakin kalau pernah bertemu, ketika memperhatikan lebih seksama sosok di atas daun pisang itu. Hanya saja kapan dan di mana, dia lupa.
Dengan pandang mata tak lepas dari sosok abu-abu itu, Arya terus melangkah mendekat. Dan ketika jaraknya tinggal tiga tombak lagi...
Tas!
Pelepah daun pisang tempat tubuh sosok abu-abu berada putus seperti terbabat benda tajam.
Arya terpaksa menghentikan langkahnya ketika melihat pelepah daun pisang itu melayang membawa sosok abu-abu, ke arahnya.
Seperti memiliki nyawa, daun pisang itu mendarat di tanah dalam keadaan berdiri mempergunakan ujung pelepahnya.
Hal ini membuat sosok abu-abu yang rebah miring, jadi ikut berdiri.
"Ki Jaran Sangkar...!" seru Arya gembira, begitu melihat wajah sosok abu-abu itu.
Arya bisa mengenali setelah sosok itu menghadapnya.
Sosok abu-abu yang ternyata seorang kakek yang selama ini dikenal Dewa Arak sebagai Jaran Sangkar, tersenyum getir.
"Selamat berjumpa lagi, Dewa Arak. Mudah-mudahan saja kau tidak jemu bertemu denganku," sambut kakek berpakaian abu-abu ini sambil tersenyum. Senyum khasnya yang telah amat dikenal Dewa Arak.
"Kau pandai bergurau, Ki. Pantas dalam usia setua ini kau tetap kelihatan sehat," balas Arya berbasa-basi. "O, ya. Aku hampir tidak pernah menyangka-nyangka kalau kau pandai bersyair...."
"Sayangnya suaraku jelek. Bukan begitu, Dewa Arak?!"
"Sama sekali tidak, Ki!" sergah Arya menggeleng. "Bahkan sebaliknya. Indah. Kalau saja aku tidak mengenalmu lebih dulu, mungkin kau yang kuanggap sebagai si Penyair Cengeng...." "Aku memang orang yang kau maksudkan itu, Dewa Arak" Wajah Arya berubah hebat.
"Apakah aku tidak salah dengar, Ki?! Kau.... Mak-sudku..., kau tokoh yang berjuluk si Penyair Cengeng itu?!"
Pemuda berambut putih keperakan ini memang pernah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Penyair Cengeng. Seorang tokoh sakti yang julukannya lima puluh tahun menjulang tinggi di dunia persilatan. Tokoh berkepandaian tinggi itu senantiasa menden-dangkan syair-syair sedih, sehingga dijuluki Penyair Cengeng. Tapi julukannya langsung lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Tidak ada seorang pun yang tahu, ke mana perginya tokoh aneh itu. Dan sekarang Jaran Sangkar mengaku kalau dirinya yang berjuluk Penyair Cengeng!
"Benar, Dewa Arak," sahut Jaran Sangkar mengangguk. "Akulah tokoh yang kau maksudkan. Karena merasa tua dan jemu dengan dunia persilatan yang selalu berbau darah, aku mengundurkan diri ke Gunung Jawul. Dan aku menamakan diri sebagai Jaran Sang-kar yang kau kenal. Masalahnya, aku telah lupa dengan nama asliku sendiri...."
Arya diam, karena terlalu kaget mendengar kete-rangan yang sama sekali tidak disangka-sangka.
"Lalu.... Maksud kedatanganmu ke tempat ini...? Dan, keberadaanmu yang aneh itu, Ki.... Eh! Bagaimana aku harus menyebutmu?! Jaran Sangkar atau Penyair Cengeng?!" tanya Dewa Arak, agak terpatah-patah.
"Aku sebenarnya tidak terlalu mementingkan masalah sebutan, Dewa Arak. Apa pun jadi," jawab si Pe-nyair Cengeng sambil menghela napas berat "Tapi untuk menghilangkan kesan pengecut karena selama ini aku menyembunyikan julukan, dan juga karena aku mencoba jujur, tidak hanya padamu, tapi lebih khusus pada diriku sendiri..., lebih baik kau sapa aku dengan panggilan Penyair Cengeng."
Arya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Kedatanganku kemari hanya untuk memberitahukan mu, Dewa Arak," tambah Penyair Cengeng. "Sebuah pusaka yang dulu dibuat seorang pandai besi yang sesat, dan selama ini berada di tangan seorang pendekar golongan putih, telah jatuh ke tangan seorang yang berwatak keji. Banjir darah kembali akan berlangsung, Dewa Arak. Kau harus mencegahnya!"
"Tentu saja, Penyair Cengeng. Itu sudah merupakan kewajibanku selaku seorang pendekar. Aku akan berusaha mencegah terjadinya angkara murka di dunia persilatan. Hanya saja, aku belum jelas dengan pernyataan yang kau berikan. Bisa lebih diperjelas?!" tandas Dewa Arak, mantap.
"Begini. Puluhan tahun lalu, seorang pandai besi membuat sebuah pusaka yang diberinya nama Golok Kilat. Sesuai namanya, golok itu benar-benar mengerikan. Bahan dasar pusaka itu sebenarnya biasa saja. Namun campurannya, membuat golok itu menjadi senjata pusaka yang ampuh! Kau tahu apa campurannya, Dewa Arak?" Arya menggeleng.
"Darah wanita yang masih perawan dan otak bayi!" tandas Penyair Cengeng, setengah mengutuk.
Arya kontan menahan rasa mual mendengarnya.
"Golok Kilat itu," sambung Penyair Cengeng, tak sabar. "Selama beberapa belas tahun terakhir, berada di tangan Raja Golok Bertangan Baja. Tapi beberapa waktu yang lalu, seorang pemuda berpakaian merah dan ikat kepala merah telah merampasnya."
Wajah Arya berubah hebat. Ciri-ciri seperti yang disebutkan Penyair Cengeng, tidak asing baginya.
Penyair Cengeng melihat perubahan muka pendekar muda itu. Dan bibirnya tersenyum dikulum.
"Aku yakin kau mengenal pemuda itu, Dewa Arak. Bukankah demikian?!" tebak Penyair Cengeng.
"Benar, Penyair Cengeng. Bahkan dia menjadi musuh besarku. Lingga namanya. Kepandaiannya luar biasa! Ah! Aku ingat, Lingga membawa sebuah golok yang kelihatannya ampuh. Tapi..., seingatku tidak ada pengaruh seperti yang kau maksudkan itu, Penyair Cengeng."
"Itu hanya sementara saja, Dewa Arak," tukas Penyair Cengeng. "Tak akan lama lagi, Lingga akan mampu membuat golok itu memiliki keistimewaan seperti dulu. Dan caranya, adalah dengan campuran seperti yang dulu dibuat penciptanya?"
"Maksudmu...?!" tanya Dewa Arak, merasakan tenggorokannya tercekat.
"Benar," Penyair Cengeng yang bisa menduga arah jawaban Arya, segera mengangguk. "Golok itu sebentar lagi akan kembali kedahsyatannya! Dan hingga saat ini tengah memburu bayi-bayi dan perawan-perawan!"
"Biadab...!" desis Arya penuh perasaan geram. Terdengar bunyi berkerotokan nyaring ketika tenaga da-lam pemuda ini bergerak dengan sendirinya. "Tak akan kubiarkan dia melakukan kekejian seperti itu."
"Sudah kuduga, kau akan mengucapkan kata-kata seperti itu. Selamat bertugas, Dewa Arak!"
Penyair Cengeng mengedipkan sebelah matanya. Kepalanya digerakkan sedikit. Maka pelepah daun pisang itu bergerak naik membawa tubuh Penyair Cengeng yang punggungnya seperti menempel dengan daun. Setelah mencapai ketinggian setengah tombak, pelepah daun itu berbalik sampai mendatar. Dan den-gan cara yang luar biasa, tubuhnya berhasil dibuat da-lam keadaan duduk bersila di atas pelepah daun pisang.
Meski kagum, Arya tidak merasa kaget lagi. Telah diketahuinya sendiri kepandaian Penyair Cengeng yang sangat tinggi. Dan dia tetap tidak kelihatan terkejut, ketika Penyair Cengeng mampu membuat pelepah daun pisang itu meluncur terbang ke depan setelah mengibaskan tangannya.
"Penyair Cengeng...," gumam Arya pelan sambil terus menatap tubuh kakek yang mengagumkan itu sampai tidak terlihat.
Seperti memberi tanggapan terhadap ucapan Dewa Arak, di sekitar tempat itu terdengar nyanyian lantang. Tapi, tetap saja tidak mampu menyembunyikan nada sedih. Cengeng!
Arya menggeleng-geleng tanpa sadar. Penyair Cen-geng itu sendiri sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Tapi, nyanyiannya malah terdengar demikian lantang. Pemuda ini mendengarkannya dengan seksa-ma, karena merasa tertarik.
Ribuan tempat kujelajahi
Ribuan syair ikut menemani
Ribuan penjahat telah kubunuhi
Ribuan mulut si tertindas mensyukuri
***
"Oaa...!"
Tangis bayi berkepanjangan menguak dari sebuah rumah sederhana yang letaknya agak terpencil dari pe-rumahan penduduk di Desa Sangiran. Demikian nyar-ing melengking, tanpa terputus-putus.
Seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun, sambil menggendong berusaha sekuat tenaga menghentikan tangisan bayinya. Tapi hasilnya sia-sia.
"Barangkali dia ingin tidur, Lastri," kata seorang le-laki berumur tiga puluh tahun. Wajahnya persegi. Ka-ta-katanya ditujukan pada wanita yang menggendong bayi. Lelaki ini duduk di dekat wanita yang tak lain is-trinya, di sebuah bangku panjang.
Di depan kedua orang yang sebenarnya sepasang suami istri itu, hanya dipisahkan sebuah meja, duduk sepasang muda belia. Seorang pemuda berkumis tipis, dan seorang gadis bertahi lalat di ujung hidungnya.
Wanita yang menggendong bayi dan bernama Lastri rupanya bisa menerima saran suaminya. Setelah lebih dulu mengangguk dan memberi senyuman sebagai permintaan maaf, dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke dalam.
"Ada-ada saja...," ujar lelaki wajah persegi sambil mengalihkan perhatian pada dua orang muda di de-pannya.
"Percakapan kita jadi tertahan..."
"Hanya tertahan sebentar, Kak Wiryadi. Bukan masalah. Lagi pula, menurut pendapatku, wajar saja bila seorang bayi sering-sering menangis. Bukankah menu-rut kata orang tua tangisan bayi berarti ada sesuatu yang diminta?"
Laki-laki berwajah persegi yang dipanggil Wiryadi tertawa ganda.
"Rupanya kau telah siap untuk menjadi seorang ayah, Gurit? Kapan hubunganmu dengan Linasih ini diresmikan?!" sambut Wiryadi sambil tersenyum menggoda.
Wajah pemuda berkumis tipis bernama Gurit, dan gadis bertahi lalat yang bernama Linasih tampak me-nyemburat merah. Kelihatan jelas kalau mereka masih risih.
"Kak Wiryadi memang pintar menggoda orang. Lagi pula, siapa orangnya yang sudi menikah denganku?!" kata Gurit, seraya melirik Linasih.
Wiryadi batuk-batuk untuk menghilangkan kecanggungan akibat gurauannya.
"O, ya. Hampir aku lupa, Gurit."
Wiryadi buru-buru bersuara begitu sebuah bahan pembicaraan melintas di benaknya. Dia ingin secepatnya menepis suasana yang tidak nikmat.
"Perlu kau ketahui, anakku itu bukan tergolong bayi cengeng. Dan andaikata menangis karena ingin tidur, lapar, ataupun buang air, tangisnya tidak keras. Hm.... Aku menduga ada sesuatu yang aneh di sini," sambung Wiryadi, menduga.
Linasih saling berpandangan dengan Gurit. Wajah mereka mulai cerah kembali. Sebuah pertanda kalau kata-kata Wiryadi, berhasil mengusir kecanggungan. Malah wajah Linasih kelihatan amat sungguh-sungguh.
"Kalau benar demikian..., berarti ada hal aneh di sini, Kak Wiryadi...," kata Linasih agak ragu-ragu men-gutarakannya.

***
10
Wiryadi terdiam. Tapi nyata kalau perkataan Lina-sih sangat dipikirkannya. Dia mengerti maksud gadis itu. Tangis anaknya merupakan firasat akan adanya sesuatu yang akan terjadi. Bayi memang memiliki batin yang masih bersih, sehingga mempunyai perasaan tajam. Bukan tidak mungkin kalau bayi akan mampu membaui adanya bahaya yang mengancam.
Sementara Gurit merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ucapan Linasih dan sikap Wiryadi, mem-buatnya merasa tegang. Semua itu ditambah masih terdengarnya tangisan bayi. Tangis yang melengking keras dan panjang. Sedangkan suara-suara Lastri yang berusaha meredakan tangis si jabang bayi jadi tenggelam.
Suasana jadi terasa menyeramkan, penuh ketegan-gan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Wiryadi yang dikeluarkan secara tiba-tiba, membuat Linasih dan Gurit terlonjak kaget bukan main. Tapi hanya sebentar, karena mereka segera bisa menekan perasaan itu. Dengan pandangan heran, keduanya menatap Wiryadi.
"Mengapa kita jadi seperti sekumpulan bocah pengecut?! Andaikata firasat bayi itu benar, apa yang harus ditakuti?!" kata Wiryadi mantap.
Linasih dan Gurit saling berpandangan, lantas ter-senyum. Ucapan Wiryadi membuat mereka ingat kalau ketakutan itu hampir tidak beralasan. Karena mereka bukan orang-orang lemah! Masing-masing memiliki kepandaian tinggi. Jika benar ada bahaya mengancam, mungkinkah mereka bertiga tidak mampu mengha-launya?!
"Apa yang kau katakan itu benar, Kak Wiryadi. Kita di sini bertiga. Belum terhitung Lastri, istrimu. Siapa yang akan berani mati mengacau?!" sahut Gurit.
Wajah Gurit yang penuh ketegangan dan pucat telah mengendur. Keberaniannya telah muncul kembali. Di akhir ucapan, kepalan tangan kanannya kontan secara keras.
Dan baru saja salah seorang hendak bicara lagi, mendadak....
"Omongan kosong tanpa bukti sama sekali...!"
Tiba-tiba terdengar suara melecehkan, membuat Wiryadi, Gurit, dan Linasih terkejut bukan main.
Serentak ketiga orang itu menengok berbareng, dengan arah berlainan. Suara yang terdengar dan sea-kan berasal dari delapan penjuru mata angin, mem-buat mereka semuanya kebingungan.
"Siapa kau...?! Kalau bukan pengecut, cepat munculkan wujud mu! Hadapilah kami secara jantan. Dan, jangan bermain gelap-gelapan Seperti itu!" seru Wiryadi keras, seraya bangkit dari kursinya.
Gurit dan Linasih segera menyadari kalau orang yang tadi menyahuti percakapan mereka memiliki kemampuan tinggi. Tanpa pikir panjang lagi mereka telah siap mencabut golok yang terselip di pinggang.
"Hmh...!"
Suara tanpa wujud itu memberi sambutan berupa dengusan bernada mengejek.
Tapi, ternyata dengusan itu membuat Wiryadi dan kedua tamunya terhuyung-huyung ke belakang. Seke-tika tangan kanan masing-masing mendekap dada yang terasa seperti ditumbuk kerbau liar. Sakit bukan main.
Terdengar suara Wiryadi dan kedua tamunya lang-sung merasa gentar. Dengan dengusan saja, sudah mampu membuat mereka terjajar. Bagaimana pula ka-lau serangan yang dilancarkan?!
"Kalian ingin aku menampakkan diri?! Baik! Keinginan kalian ku penuhi!"
Kali ini tidak ada sedikit pun pengaruh atas Wiryadi, Gurit, dan Linasih. Rupanya pemilik suara tanpa wujud itu, tidak lagi melancarkan serangan dengan mempergunakan suara.
Krittt...!
Bunyi bergerit pintu, membuat pandangan Wiryadi dan kedua tamunya diarahkan ke sana. Dan mata me-reka pun terbelalak ketika melihat pintu tidak terbuka ke samping, tapi terbuka ke atas. Seakan-akan engsel daun pintu ada di atas.
Begitu pintu bergerak membuka perlahan-lahan, meluncur sesosok tubuh kekar milik seorang pemuda berpakaian merah dalam keadaan duduk bersila. Wa-jahnya dingin, menyiratkan kebengisan. Siapa lagi ka-lau bukan Lingga!
Kembali Wiryadi dan dua tamunya terkejut! Tubuh Lingga dalam keadaan duduk bersila, meluncur berja-rak satu tombak dari lantai dengan kedua tangan dilipat di depan dada.
Begitu tubuh Lingga melewati ambang pintu, baru daun pintu itu bergerak menutup. Pelan-pelan seperti digerakkan tangan kasatmata.
"Sekarang aku telah berada di depan kalian. Nah! Lakukanlah apa yang kalian kehendaki!" tantang Ling-ga, setelah berdiri tegak di lantai.
"Kami bukan orang-orang yang gemar mencari urusan, Sobat!" sambut Wiryadi, tenang. Walaupun jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya. Malah, dia khawatir kalaukalau Lingga mendengarnya.
"Hm..., jadi bagaimana maksudmu...?!" desis Lingga, dingin. Nadanya memandang remeh sekali.
Sikap Lingga membuat wajah Gurit dan Linasih merah padam. Mereka merasa marah bukan main. Kalau saja tidak ingat Wiryadi yang lebih berhak bersikap terhadap tamunya yang tidak diundang, mungkin mereka telah menerjangnya.
Wiryadi pun terbangkit amarahnya, tapi tetap men-coba menahan diri. Disadari, tidak ada gunanya menu-ruti kemarahan semata. Selama jalan kekerasan belum terlalu mendesak, tak akan digunakannya.
"Maksudku begini, Sobat! Kalau kau tidak bermaksud menimbulkan keributan di sini, tentu saja kami tidak akan bertindak aneh. Sebaliknya dengan kedua tangan terbuka, kau kuterima sebagai tamu istimewa," jelas Wiryadi sambil mengembangkan senyum di akhir ucapannya.
Cuhhh!
Jleb!
Lingga meludah dengan sikap kasar, membuat lantai langsung amblas. Gurit, Linasih, dan terutama Wiryadi, melihat.
Tapi kemarahan yang hebat membuat pamer kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi itu tidak sempat diperhatikan.
Wiryadi menggertakkan gigi.
"Rupanya kedatanganmu kemari hanya untuk mencari keributan, Sobat! Kalau itu maumu, dengan senang hati akan ku penuhi. Aku, Wiryadi, tidak akan sudi dihina demikian. Majulah kau...!"
Lingga tersenyum dingin, tidak kelihatan marah atau tersinggung. Hanya saja sepasang matanya seper-ti mengeluarkan sinar berapi.
"Aku tidak ingin membuat keributan di sini, Wiryadi. Bahkan kedatanganku dengan niat baik. Kalau saja kau mau memenuhi permintaanku, dengan tenang aku akan pergi, setelah memberi tanda mata pada kau dan dia!" tuding Lingga pada
Gurit.
Gurit sampai melangkah maju karena geram melihat tudingan terhadapnya yang jelas merendahkannya! Tapi langkahnya terhenti, ketika Wiryadi memberi isyarat padanya untuk menahan sabar.
"Katakan permintaanmu, Sobat. Kalau saja bisa, pasti akan kuberikan," ujar Wiryadi yang lebih suka ti-dak terjadi keributan. Suaranya lebih lunak dari sebe-lumnya.
"Tidak banyak," jawab Lingga dengan senyum dingin, menyiratkan kekejian. "Aku hanya minta otak anakmu. Dan, gadis itu ikut denganku. Aku yakin, tubuhnya yang hangat akan membuat malam-malam yang dingin tidak terlalu menyiksaku lagi."
"Keparat!" bentak Wiryadi keras.
Amarah lelaki ini langsung meluap. Disadari kalau Lingga memang memperhatikannya. Berbareng bentakannya, dia melompat menerjang dengan pukulan kanan kiri bertubi-tubi.
Buk! Buk!
"Aaakh...!"
Bunyi keras terdengar dua kali, ketika kepalan Wi-ryadi tepat mendarat di sasarannya, karena Lingga ti-dak mengelak sama sekali. Akibatnya, justru Wiryadi yang memekik. Pekikan kaget dan ngeri.
***
Gurit Dan Linasih menatap terbelalak, antara he-ran dan ngeri. Semula sepasang kekasih ini mengira Lingga yang mengeluarkan jeritan. Tapi sama sekali ti-dak disangka kalau1 Wiryadilah yang menjerit-jerit.
Tampak Wiryadi meronta-ronta seperti hendak me-lepaskan diri. Tapi, kedua tangannya seakan telah me-lekat dengan tubuh Lingga.
Wiryadi tampak terkesiap bukan main. Lelaki ini merasakan tenaga dalamnya membanjir ke arah Lingga tanpa bisa dicegahnya sama sekali.
Hanya dalam waktu sebentar saja, Wiryadi merasa lemas. Dan kalau dibiarkan terus, dia akan mati lemas kehabisan tenaga.
Gurit dan Linasih bisa memperkirakan, apa yang tengah terjadi terhadap Wiryadi yang semakin lemas. Kedua kakinya telah menggigil hebat. Dan mereka ti-dak mau membiarkan Wiryadi mati lemas.
Hampir berbareng, Gurit dan Linasih mencabut pedang yang tersampir di punggung.
Sring! Sring!
Mereka langsung melompat dan mengayunkan sen-jata ke arah Lingga. Dalam kecemasan melihat kesela-matan Wiryadi terancam sampai terlupakan kalau tin-dakan mereka tidak layak sebagaimana orang-orang golongan putih.
Tak, takkk!
Pedang Gurit tepat menghantam batang leher Lingga. Sedangkan ujung pedang Linasih menghujam ulu hati. Tapi kedua senjata pusaka itu tidak mampu me-lukai Lingga sedikit pun. Seakan-akan tubuh Lingga terdiri dari batu karang!
Tidak hanya itu saja. Kejadian yang menimpa Wiryadi pun terjadi pula pada Gurit dan Linasih. Pedang mereka menempel di tubuh Lingga. Betapapun seluruh tenaga dalam dikerahkan, usaha mereka tidak berhasil untuk melepaskan pedang.
Sementara, Lingga tenang-tenang saja. Tidak terli-hat sedikit pun tanda-tanda kalau mengerahkan tenaga dalam. Wajahnya pun dihiasi senyum ejekan penuh hawa maut ,
"Menyingkirlah kalian...!"
Lingga menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa, seperti ayam membersihkan tubuh sehabis bermandi abu. Akibatnya, tubuh Wiryadi, Linasih, dan Gurit, terpental ke belakang seperti daun-daun kering diter-bangkan angin.
Brak! Brak! Brak!
Luncuran tubuh mereka baru berhenti ketika me-nabrak dinding ruangan. Linasih, Gurit, dan Wiryadi menyeringai kesakitan. Tidak hanya nyeri dan linu yang dirasakan, tapi juga lemas yang amat. Seluruh urat-urat mereka seakan dilolosi.
Lingga tidak mempedulikan tiga pengeroyoknya sama sekali. Kini kakinya terayun menuju sebuah ruangan lain yang digunakan Lastri untuk mendiamkan bayinya.
Sementara tangis bayi itu tetap terdengar semakin keras. Apalagi ketika Lingga mengayunkan kaki menu-ju ke sana. Rupanya naluri sang jabang bayi yang ma-sih suci membisikkan adanya ancaman.
Wiryadi bukannya hendak mendiamkan saja. Tapi dia sudah tidak berdaya lagi. Seluruh tenaganya telah lenyap. Memang dialah yang paling parah menderita serangan Lingga.
Meskipun demikian, kekhawatiran yang amat san-gat akan keselamatan bayinya, membuat Wiryadi men-dapat tenaga bantuan entah dari mana. Dia yang tadi tidak mampu berkutik sedikit pun, sekarang mampu berdiri. Bahkan, mampu menerjang Lingga.
"Lastri...! Cepat tinggalkan tempat ini...! Pergi...!" seru Wiryadi ketika tubuhnya melayang menerjang Lingga.
Lingga yang mengetahui akan adanya serangan dari belakang, tidak mempedulikannya sama sekali. Baru ketika serangan telah menyambar dekat, tanpa mem-balikkan tubuh sedikit pun tangan kirinya mengibas!
Plak!
Brak!
Untuk yang kedua kalinya, tubuh Wiryadi terhempas ke belakang. Kali ini lebih keras dari sebelumnya dan menabrak dinding!
Tapi, Wiryadi benar-benar tidak mempedulikan keadaan dirinya. Begitu tubuhnya menyentuh lantai, dia berusaha menghalangi Lingga. Keadaannya yang tidak memungkinkan, membuatnya merayap seperti ular.
Gurit dan Linasih hanya bisa menatap tingkah Wi-ryadi dengan hati trenyuh. Mereka tidak mempunyai daya sedikit pun untuk memberikan pertolongan.
Keadaan mereka sendiri pun, belum tentu aman dari bahaya. Terutama sekali Linasih!
Sementara itu, teriakan Wiryadi memang terdengar Lastri di dalam kamar. Sejak tadi pun, wanita itu mendengar akan adanya keributan. Bahkan sejak terjadinya ribut-ribut mulut. Hanya saja, dia tidak mempe-dulikannya. Pikirnya, suaminya ada. Itu pun ditambah Linasih dan Gurit. Dan mereka juga tak kalah lihai. Jadi apa lagi yang dikhawatirkan? Lastri pun menenggelamkan diri dengan urusan pada bayinya.
Ibu muda ini baru terkejut ketika mendengar se-ruan suaminya yang sarat kekhawatiran. Sambil menggendong tubuh bayinya yang masih menangis keras, Lastri berlari keluar kamar.
"Ohhh...?!"
Tapi langkah Lastri langsung terhenti di ambang pintu, ketika di depannya telah berdiri Lingga yang pe-nuh ancaman. Lastri berdiri terpaku dengan wajah pucat. Apalagi ketika melihat suaminya, Gurit, dan Lina-sih tergolek tanpa daya. Lastri tahu ketiga orang itu te-lah dikalahkan pemuda di depannya.
"Berikan bayi itu padaku," perintah Lingga, beringas sambil mengulurkan tangan seperti orang memin-ta.
Bukannya memenuhi permintaan itu, Lastri malah mundurmundur dengan wajah pucat sambil tetap memegangi bayinya. Melihat ini, Lingga jadi kehabisan sabar. Wajahnya berubah, bengis penuh hawa maut.
Tangan Lingga yang terjulur, digerakkan secara. ti-ba-tiba dengan gerakan menarik.
"Auuuw...!"
Lastri menjerit ketika bayi di tangannya seperti ditarik tangan raksasa kasatmata. Bayi itu kontan terlepas dari pelukannya dan melayang ke arah Lingga!
"Kembalikan, Anakku...!" jerit Lastri kalap sambil menghambur ke arah Lingga dengan kedua tangan terkembang, siap menerima bayinya kembali. "Hih...!"
Lingga mendengus sambil mengibaskan tangan kirinya.
Buk!
Tubuh Lastri melayang ke atas dan menempel langit-langit kamar. Dan sekali lagi tangan pemuda keji ini bergerak. Maka tiga batang pedang yang tergeletak di lantai melayang ke arah tangan kiri Lingga.
Dengan tangan kanan telah memegang bayi secara sembarangan, Lingga meniup tiga batang pedang itu.
"Phuh...!"
Bagai dilemparkan tangan terlatih, pedang-pedang itu melayang ke atas dan menancap di tubuh Lastri.
Crap! Crap! Crap!
"Aaakh...!"
Lastri memekik tertahan. Sedangkan Wiryadi memaki-maki Lingga dengan keras, setelah terlebih dulu meratap-ratap memanggil istrinya yang malang itu.
Lastri menggelepar sejenak, kemudian diam untuk selamanya. Darah pun mengucur ke bawah dengan deras.
Lingga tidak mempedulikan Lastri lagi. Dia malah masuk ke ruangan dalam. Namun baru beberapa langkah…

Ribuan tempat telah kujelajahi
Ribuan syair ikut menemani
Ribuan penjahat telah kubunuhi
Ribuan mulut si tertindas mensyukuri


Tiba-tiba terdengar bunyi syair yang dikeluarkan dengan penuh perasaan sedih dan meratap-ratap itu. Seketika suasana terobek. Semua kepala menoleh ke arah daun pintu, karena asal suara dari sana.
"Penyair Cengeng...!" desis Wiryadi. Ada harapan membayang pada sepasang matanya yang berselaput duka tebal.

Benarkah Penyair Cengeng yang datang? Benarkah Linasih akan lolos dari kekejian Lingga?

––––GS––––

SELESAI


Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
PENYAIR CENGENG


INDEX AJI SAKA
84.Nyawa Kedua Dari Langit --oo0oo-- 86.Penyair Cengeng
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.