Nyawa Kedua Dari Langit
tanztj
January 27, 2013
INDEX AJI SAKA | |
83.Irama Maut --oo0oo-- 85.Golok Kilat |
AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cetakan pertama, Penerbit Cintamedia, Jakarta, Penyunting :Tuti S. Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak, sebagian atau seluruh isi buku ini, tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Seorang lelaki gagah berkumis tipis dan beralis tebal tengah duduk sambil memeluk lutut di pinggir Sungai Serayu yang cukup lebar ini. Tubuhnya yang kekar, terbungkus pakaian putih. Usianya sekitar lima puluh lima tahun. Sejak matahari muncul dia bersikap seperti itu. Sepasang matanya tertuju ke permukaan air. Tapi, bola matanya tidak bergerak-gerak sama sekali.
Lelaki ini tetap tidak bergeming dari tempatnya, kendati pendengarannya menangkap adanya suara langkah kaki mendekati. Bahkan, ketika langkah di be-lakangnya telah berhenti, tubuhnya masih belum ber-geming.
"Kak Gandrung...." Terdengar suara panggilan dari belakang laki-laki itu. Asalnya, dan mulut seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik manis dengan tubuh sintal. Penampi-lannya begitu menarik!
"Hmmm...!"
Lelaki berkumis tipis hanya menggumam pelan, tanpa menoleh sama sekali. Apalagi sampai mengge-mingkan tubuhnya. Dia tak ubahnya patung batu!
"Kucari kemana-mana, kiranya ada di sini. Mari, Kak. Kita pulang. Makan siang telah kusiapkan. Kalau keburu dingin, tidak enak menikmatinya," ajak wanita berpakaian serba hijau itu. Sedikit pun tidak merasa tersinggung atau kecil hati melihat tanggapan laki-laki berkumis tipis yang dipanggil Gandrung, atau bernama lengkap Kebo Gandrung.
"Aku belum lapar, Cempaka. Kalau kau sudah lapar, makan duluan saja," tukas Kebo Gandrung, tetap tidak menoleh. Nada suaranya masih tetap seperti semula. Datar, dan tidak bersemangat
Wajah wanita berpakaian serba hijau yang dipanggil Cempaka sejak datang memang tidak kelihatan berseri-seri. Dan kini dia semakin gelap. Meski demikian, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Apa-lagi ketika mengukir senyum di bibirnya, walau terasa dipaksakan.
"Mungkin kau tidak tahu, Kak Gandrung. Aku telah membuat masakan kegemaranmu. Ikan mujair panggang. Aku yakin kau pasti akan ketagihan karena bumbunya pun istimewa. Mari, Kak. Bukankah kau sudah lama tidak menikmati masakan kegemaran-mu?!" Cempaka masih berusaha membujuk.
"Pulanglah, Cempaka. Makan saja duluan. Saat ini aku tengah tidak ingin makan. Aku ingin sendirian...," desah Kebo Gandrung.
"Kalau begitu, aku juga tidak ingin makan!" sentak Cempaka, agak keras. "Aku pun ingin di sini! Barangkali enak memandang permukaan Sungai Serayu sambil melarikan diri dari kenyataan!"
Tanpa menunggu tanggapan Kebo Gandrung, wanita cantik ini duduk memeluk lutut di sebelah Kebo Gandrung, terpaut jarak sekitar dua tombak.
Kebo Gandrung hanya menghela napas berat. Namun, tetap tidak berkutik dari tempatnya.
Sementara Cempaka, hanya sebentar dapat bertahan duduk memeluk lutut. Dia segera bangkit dan pindah, lalu duduk di sebuah batu sebesar kamb-ing yang ada di situ. Tanpa menoleh pada Kebo Gan-drung, dipungutnya batu sebesar kepalan bayi yang berserakan di tepian Sungai Serayu ini. Lalu, dilemparlemparkannya ke dalam sungai.
Plung!
..... Mula-mula Kebo Gandrung tidak peduli. Tapi, ketika batu-batu itu terus saja menghunjam ke permukaan sungai, hatinya mulai merasa tidak nyaman. Padahal saat ini hatinya ingin suasana tenang dan hening. Tak heran kalau bunyi-bunyi itu benar-benar mengganggunya.
"Bisakah kau biarkan pikiranku tenang sebentar, Cempaka?!" tegur Kebo Gandrung. Kali ini kepa-lanya menoleh, menatap Cempaka yang berada di se-belahnya.
"Kau tidak adil, Kak Gandrung!" sambut Cempaka, agak keras. "Kau pikir hanya kau saja yang membutuhkan ketenangan?! Aku pun demikian!"
"Tapi, tidak harus dengan menggangguku, Cempaka," bantah Kebo Gandrung.
"Aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi, memang beginilah caraku mencari ketenangan."
Kebo Gandrung tidak menanggapi lagi. Dia malah berdiri, kemudian melangkah meninggalkan tempat ini.
Cempaka ikut bangkit, tapi tidak bergerak mengejar.
"Kau mengecewakanku, Kak Gandrung! Kau bukan seperti Kebo Gandrung yang dulu! Kau lemah! Cengeng! Pengecut!" sembur Cempaka berapi-api.
Langkah Kebo Gandrung kontan terhenti. Tubuh kekarnya berbalik. Sepasang matanya yang tajam, menatap Cempaka.
"Bukankah sudah kukatakan sejak dulu, sebelum kita memutuskan untuk menjadi suami istri, Cempaka?! Sudah kukatakan, akhirnya kau akan kecewa. Tapi kau keras kepala! Sekarang, kekhawatiranku terbukti, bukan?"
"Masalah ini tidak ada hubungannya dengan hal-hal di waktu dulu, Kak Gandrung! Aku yakin, pandanganmu tidak picik untuk
mengetahuinya. Dan...."
"Aku memang picik pandangan, Cempaka!" potong Kebo Gandrung. "Aku tua bangka tak tahu diri! Pengecut! Lemah! Cengeng! Orang sepertiku, mana pantas menjadi suami dari wanita muda dan cantik sepertimu...!"
"Kak...! Kak Gandrung...!"
Cempaka memanggil-manggil, ketika melihat Kebo Gandrung berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia cepat mengejar, tapi tak sampai lima puluh tombak segera dihentikan. Lari Kebo Gandrung terlalu cepat untuk dapat disusulnya.
Wanita itu hanya bisa berdiri memandangi, hingga tubuh Kebo Gandrung lenyap di kejauhan. Beberapa saat dia bersikap seperti itu, lalu dengan lang-kah gontai kakinya melangkah meninggalkan tempat ini. Dia segera kembali ke pondoknya, yang selama ini menjadi tempat tinggal bersama Kebo Gandrung, suaminya.
***
Bunyi berderit terdengar, ketika Cempaka men-dorong daun pintu pondoknya yang tertutup tapi tidak terkunci. Wajahnya menunduk menekuri tanah.
Namun mendadak saja, wanita ini baru terjingkat ke belakang, begitu mengangkat wajah seiring ayunan kakinya saat memasuki ambang pintu. Sepasang matanya terbelalak lebar, seperti melihat hantu siang bolong.
"Kau...?!" seru Cempaka dengan suara tercekat. Tenggorokannya mendadak kering, melihat sosok di hadapannya.
Di ruangan tengah duduk seorang pemuda berpakaian serba hitam di sebuah kursi. Kaki kanannya ditumpangkan pada paha kirinya. Pemuda ini menyunggingkan senyum lebar sambil mengunyah.
Semula, Cempaka tidak begitu mengetahui apa yang dikunyah pemuda ini. Tapi ketika pandangannya beralih pada seekor dari dua ekor ikan panggang di atas meja yang sisinya telah koyak-koyak, Cempaka langsung tahu. Jelas, yang dikunyah pemuda ini adalah ikan panggang mujair yang semula disediakan untuk suaminya!
"Untuk apa kau kemari, Jahanam...?! Dan, mengapa berani lancang mengambil masakan itu?! Masakan itu kusediakan untuk suamiku, tahu?!"
"Untuk si tua bangka yang tidak punya malu itu...?!" ejek pemuda berpakaian hitam sambil mengunyah potongan ikan yang baru saja diambilnya lagi.
"Keluar kau, Jahanam...! Tinggalkan tempat ini...! Cepat...! Jangan tunggu kesabaranku habis.
Atau, nyawamu kulenyapkan...!" ancam Cempaka, keras. Wanita ini begitu marah mendengar hinaan yang ditujukan pada suaminya.
Pemuda berpakaian hitam ini hanya tertawa sinis. Dia tidak merasa gentar sedikit pun, meski mendapat ancaman yang jelas bukan ancaman kosong belaka.
"Sama sekali tidak kusangka kalau kau akan betah hidup dengan tua bangka bau tanah, Cempaka. Apa yang kau harapkan dari tubuh renta itu?! Kau tidak usah berpura-pura, Cempaka. Kau rindu belaian bukan? Katakan saja. Aku tidak akan sungkan-sungkan memberikannya padamu. Dan..."
"Tutup mulutmu yang kotor itu, Jagalpati...!" potong Cempaka marah bukan main.
Cempaka cepat mengambil jarum-jarum yang tersimpan di buntalan kain kecilnya.
Wrettt!
Set! Set!
Sekali Cempaka mengibaskan lengannya, maka meluncurlah jarum-jarum itu ke arah pemuda berpakaian hitam yang ternyata bernama Jagalpati.
Sementara Jagalpati hanya tersenyum mengejek. Ditunggunya hingga jarum-jarum itu menyambar dekat. Kemudian....
"Phuhhh!"
Sekali Jagalpati meniup, deru angin keras langsung menyambar. Maka jarum-jarum itu berguguran ke tanah, seperti membentur dinding tidak nampak
Melihat hat ini Cempaka menggertakkan gigi. Hatinya geram melihat serangannya berhasil dikandaskan. Seketika dicabutnya kipas baja hitam yang terselip di pinggang. Sebuah kipas yang ujungnya terbuat dari baja runcing. Dan bila dikebutkan, baja-baja runcing itu akan melesat ke arah sasaran.
Hnging! Hnging!
Maka ketika Cempaka mengebutkannya, seketika terdengar bunyi berdesing nyaring dari baja-baja runcing meluncur mengancam keselamatan Jagalpati.
Namun, pemuda itu seperti tak peduli sama sekali. Padahal, baja-baja runcing itu meluncur menuju bagian-bagian yang berbahaya, terutama leher dan da-da. Sehingga....
Tap! Tap!
Cempaka sudah tersenyum lebar ketika bajabaja runcing itu mendarat telak di sasaran. Tapi, senyumnya langsung lenyap ketika Jagalpati malah bi-asa-biasa saja. Sepertinya tak ada sesuatu yang terjadi pada di dirinya,
"He he he...!"
Pemuda berpakaian hitam ini malah tertawa gembira yang terdengar aneh di telinga. Mungkin karena leher dan dadanya yang tertembus bajabaja runcing, sehingga kemungkinan besar menghalangi suaranya yang keluar.
Namun yang membuat Cempaka lebih terbelalak, tidak setetes pun darah yang mengalir dari tubuh Jagalpati. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Apakah Jagalpati tidak memiliki darah dalam tubuhnya?
"Kaget, Cempaka?!" ejek Jagalpati, penuh kemenangan. "Ini belum seberapa. Masih banyak kemampuan dahsyat lain yang kumiliki. Dan dengan semua itu, akan kutebus penghinaan yang diberikan Kebo Gandrung padaku!"
"Kau datang dengan maksud keji itu?!" tanya Cempaka, terbata-bata.
"Tentu saja!" tandas Jagalpati, mantap. "Kau pikir untuk apa aku kemari? Tentu saja tidak lain untuk menghukum tua bangka yang berkhianat itu!"
"Untuk itu kau harus melangkahi mayatku, Jagalpati...!" tandas Cempaka, gagah.
"Tentu saja, Cempaka. Tapi perlu kutambahkan sedikit kata-katamu. Mayatmu akan kulangkahi, tapi setelah tubuhmu kugerayangi. Apakah kau tidak rindu untuk mengulang kemesraan yang dulu kuberikan?!"
"Keparat!"
Sekujur tubuh Cempaka kontan menggigil keras bersama keluarnya ucapan itu. Dia kelihatan berang, mendengar kata-kata Jagalpati.
Kata-kata Jagalpati mengingatkan Cempaka saat dirinya hampir digauli secara paksa oleh pemuda itu. Tepatnya, lima tahun lalu. Untungnya Kebo Gandrung yang sebenarnya masih satu komplotan dengan Jagalpati, sadar dari kesesatannya. Cempaka segera dibawanya kabur sebelum kegadisannya hilang.
Lelaki gagah berkumis tipis yang waktu itu berusia lima puluh tahun, tidak sampai hati melihat nasib yang diderita Cempaka, sehingga segera membebaskannya. Kebo Gandrung membuat kekacauan di saat Jagalpati tengah berusaha memperkosa Cempaka. Dia membakari bangunan markas dan membunuhi anak buahnya sendiri. Usaha Kebo Gandrung menarik perhatian Jagalpati, sehingga usahanya untuk memperkosa Cempaka tertunda dan dia segera keluar untuk melihat kekacauan. Maka kesempatan itu digunakan Kebo Gandrung untuk menolong Cempaka dan membawanya kabur.
Sayang, usaha Kebo Gandrung tidak berhasil mulus ketika Jagalpati memergokinya. Maka pertarungan antar dua tokoh sesat yang semula kawan itu pun terjadi.
Kebo Gandrung memang bukan tandingan Jagalpati. Untung baginya saat itu Cempaka ikut turun tangan. Jagalpati yang tidak sanggup melawan dua orang, berhasil kabur meski menderita luka-luka cukup parah.
Karena terharu melihat pengorbanan dan ketulusan cinta kasih Kebo Gandrung, Cempaka menerima sebagai suaminya. Pasangan yang mempunyai perbedaan usia menyolok ini pun menikah dan tinggal di lereng Gunung Karang. Sebuah tempat terpencil yang panas. Tak heran kalau orang jarang menyukainya.
"Aku yakin, permainan asmara yang kuberikan jauh tebih nikmat daripada yang diberikan si tua bangka Kebo Goblok itu!" sambung Jagalpati, mengusir lamunan Cempaka akan masa lalunya.
Sambil berkata demikian, dengan tenang Jagalpati mencabut baja-baja runcing yang menghunjam leher dan dadanya. Tampak garis tipis bekas hunja-man baja-baja runcing. Tapi anehnya, tidak ada setitik darah pun yang keluar. Luar biasa!
Pemandangan itu saja sudah membuat Cempaka terkejut bukan main. Tapi lebih terkejut lagi ketika melihat tanda hunjaman pada leher dan dada langsung lenyap, ketika Jagalpati mengusapnya.
***
Jagalpati terkekeh penuh rasa puas melihat sikap Cempaka. Dia tahu, wanita muda ini merasa takjub dan ngeri melihat keanehankeanehan yang diperlihatkannya. Dan masih dengan kekeh yang terus berhambur, pemuda ini bangkit berdiri.
"Oh...!"
Cempaka tak kuasa untuk menahan jeritan kaget, melihat meja di depannya terangkat pelanpelan begitu Jagalpati bangkit. Bahkan ketika, Jagalpati telah berdiri tegak, meja itu masih terus bergerak naik!
Gerakan meja itu baru berhenti, ketika telah mencapai jarak satu tombak dari lantai.
Dengan sikap tidak peduli melihat keterkejutan Cempaka, Jagalpati bergerak menghampiri. Pemuda itu berjalan melalui bawah meja yang tetap melayang. Baru ketika telah tidak berada di bawahnya, meja itu bergerak turun pelan-pelan. Bahkan ketika keempat kakinya menyentuh tanah, sedikit pun tidak menimbulkan bunyi.
Tepat ketika meja itu mendarat di lantai, Cempaka sadar dari terkesimanya. Seketika langsung dikeluarkannya kipas berujung baja runcing lainnya yang berwama merah darah! "Hiaaat...!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring melengking, Cempaka menerjang Jagalpati!
Jagalpati sebenarnya memang memiliki watak keji. Ketika di atas angin saat berhadapan dengan lawan, dia tak pernah buru-buru membunuh. Sang lawan dipermainkan dulu, seperti halnya seekor kucing yang mempermainkan dulu tikus sebelum dimakan. Tindakan itu pula yang dilakukan Jagalpati terhadap Cempaka.
Sebenarnya bisa saja Jagalpati bertindak cepat dengan mengandalkan tubuhnya yang tidak bisa dilu-kai senjata, untuk merobohkan Cempaka. Tapi, itu ti-dak dilakukannya. Seolaholah yang dihadapinya ada-lah lawan tangguh.
Pemuda ini cepat mengelakkan setiap serangan Cempaka, namun cepat pula membalasnya. Dan tindakannya tidak pantas disebut serangan, karena tidak membuat lawan terluka atau terbunuh. Serangan-serangan aneh Jagalpati ini ditujukan pada bagian-bagian tertentu di tubuh Cempaka, seperti payudara atau bawah pusar.
Karuan saja Cempaka menjadi berang bukan main. Beberapa kali makiannya terlontar, ketika jari-jari tangan Jagalpati meremas dua bukit indahnya atau mengusap bagian selangkangannya.
Ingin rasanya Cempaka menjerit-jerit dan menangis. Dia telah berusaha sedapat mungkin agar dapat mengelakkan dari serangan cabul
Jagalpati, tapi tetap saja selalu gagal.
Jagalpati terkekeh-kekeh gembira dengan permainannya. Tapi kian lama, kekehnya diiringi deru napas memburu. Birahinya telah terangsang oleh permainan yang dibuatnya sendiri.
Ketika pertarungan telah berlangsung dua puluh jurus, Jagalpati mendengus.
"Kurasa permainan ini harus segera diakhiri, Cempaka. Aku yakin kau sudah merindukan belaianku...!" Ujar Jagalpati, dengan napas memburu.
Berbareng keluarnya ucapan itu, ia tiba-tiba menjulurkan tangannya, merenggut pakaian Cempaka di bagian dada.
Brett!
"Aaaww!"
Tanpa dapat dicegah lagi, Cempaka memekik kaget bercampur malu dan marah ketika pakaiannya di bagian dada koyak. Seketika bukit kembarnya yang indah berkulit putih mulus, mencuat seperti hendak melompat keluar.
Jagalpati langsung menelan ludahnya dengan susah payah. Jakunnya bergerak turun naik dengan cepat. Napasnya memburu. Sepasang matanya terbela-lak. Biji matanya seperti hendak keluar dari rongganya.
"Keparat! Cabul!"
Cempaka melompat mundur disertai makian tak karuan. Dengan sebisa-bisanya payudaranya beru-saha ditutupi agar tidak menjadi santapan mata Ja-galpati yang liar.
"Hih...!" Bret! Brettt!
Tapi hanya sebentar saja hal itu bisa dilakukan, karena Jagalpati telah kembali melancarkan serangan berupa renggutanrenggutan. Cempaka beru-saha keras menangkal, tapi tetap sia-sia belaka.
Tak sampai sepuluh jurus pertarungan berlangsung, Cempaka telah berdiri di hadapan Jagalpati dalam keadaan tanpa benang sehelai pun! Jagalpati beberapa kali menelan ludah.
Sekarang Cempaka kebingungan, berusaha menutupi tubuhnya yang terlarang dengan kedua tangannya. Namun tetap saja keadaan ini membuat Ja-galpati berkali-kali menelan ludahnya dengan tatapan liar.
Jagalpati kembali terkekeh. Tiba-tiba ujung kaki kanannya dibenturkan ke lantai. Pelan saja, seperti tidak mengandung arti. Tapi, tidak demikian halnya yang dirasakan Cempaka. Mendadak saja tubuhnya terasa mendapatkan daya tarik luar biasa. Tarikan yang membawa tubuhnya meluncur ke arah Jagalpati.
Cempaka tidak tinggal diam. Dicobanya untuk bertahan, tapi sia-sia belaka. Karena di samping tari-kan Itu amat kuat, kedua tangannya yang berada da-lam sikap melindungi bagian tubuhnya yang terlarang, membuat segi-segi yang menguntungkan Jagalpati semakin besar.
"Aaah...!"
Cempaka menjerit tertahan ketika tubuhnya sudah hampir jatuh ke pelukan Jagalpati. Tapi, pemuda itu rupanya tidak menginginkan hal demikian. Tangan kirinya cepat dikibaskan maka tubuh Cempaka kembali melayang.
Saat tubuhnya melayang untuk kedua kali ini, Cempaka berusaha mempergunakan sebaik-
baiknya. Wanita itu melihat arah jatuh tubuhnya adalah di atas meja, di mana masih terdapat ikanikan panggang.
Cempaka berpikir cepat. Dia telah memutuskan untuk menggulingkan tubuh bila jatuh di meja, kemu-dian melesat cepat meninggalkan tempat ini. Disadari, menentang Jagalpati hanya akan merugikan diri sendiri.
Tapi harapan hanya jatuh di angan-angan. Beberapa saat sebelum tubuh Cempaka jatuh di atas meja, Jagalpati meniup.
"Fhuhh...!"
Cempaka tidak melihat apa pun, kecuali sesuatu yang menyentuh salah satu tubuhnya. Saat itu juga sekujur tubuhnya langsung lemas. Meski belum pernah menemukan sendiri, tapi disadari kalau Jagalpati telah menotoknya dari jarak jauh dengan mempergunakan tiupan.
Begitu selesai meniup, Jagalpati mengejangkan sekujur tubuhnya. Sementara Cempaka yang sempat melihat, merasa ngeri bukan main. Karena begitu sekujur tubuh Jagalpati kembali melemas, tak sehelai pakaian pun yang melekat. Semuanya tergolek di lantai!
Tanpa menjejakkan kaki atau menekuk lutut, tubuh Jagalpati melayang bagai seekor burung me-nyusul tubuh Cempaka yang sudah hampir menimpa meja. Sedangkan di atas meja masih tergolek ikan-ikan panggang di baki.
Dalam keadaan masih melayang di udara, Jagalpati mengibaskan tangan.
Wutt!
Prang!
Seketika baki yang berisi ikan-ikan panggang pun melayang jauh, membentur dinding. Sekejap ke-mudian, tubuh Cempaka tiba di atas meja.
Bruk!
Disusul tubuh Jagalpati yang tepat di atasnya, menindih.
"Oh...!"
Jagalpati benar-benar ingin menikmati permai-nannya. Begitu menindih, totokan pada Cempaka dibebaskannya. Karuan saja hal ini membuat wanita itu meronta-ronta. Akibatnya, dua tubuh tanpa busana pun bergulat di atas meja.
"Lepaskan aku, Bangsat Terkutuk! Bunuh saja aku!" teriak Cempaka.
Wanita ini berjuang keras untuk mempertahankan kehormatannya. Di lain pihak, Jagalpati berusaha keras merenggutnya. Perlawanan mati-matian Cempaka membuat usaha pemuda itu mengalami hambatan.
Cukup lama hal itu berlangsung, sebelum akhirnya Cempaka kehabisan tenaga. Jagalpati terlalu kuat untuk ditahan. Apalagi dalam keadaan diamuk nafsu yang membuat kekuatannya seperti berlipat ganda.
Jagalpati tersenyum penuh kemenangan, ketika Cempaka tidak mengadakan perlawanan lagi. Disertai nafsu birahi yang bergolak semakin hebat, dipermain-kannya gadis itu dengan buas.
***
Cempaka hanya bisa merintih dalam hati ketika Jagalpati mulai menjarah sekujur tubuhnya. Jagalpati benar-benar telah kerasukan setan. Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak liar menjarah tapi juga mulutnya.
Dengan nafsu menggebu-gebu dan napas menderu-deru, Jagalpati menciumi sekujur wajah Cempaka.
Tidak puas hanya dengan menciumi, tangannya meremas-remas ke sana kemari.
Jagalpati tidak mempedulikan sama sekali rintihan Cempaka yang memohon agar Jagalpati tidak menyetubuhinya. Tapi, justru hal itu semakin menambah semangat pemuda ini. Bagi Jagalpati, rintihan Cempaka, bagaikan yang menambah besar nafsu birahinya yang meletupletup menuntut pelampiasan.
Tak lama kemudian, Jagalpati terperanjat, ketika merasakan adanya sesuatu yang lain. Sesuatu yang sama sekali tidak diduganya, tapi jelas dirasakannya.
Pemuda berpakaian hitam ini bergegas bangkit dari tubuh Cempaka yang ditindihnya. Dengan penuh rasa penasaran, dipandangnya bagian bawah tubuh wanita itu. Dan, dia langung terkejut ketika melihat jelas pada daun meja cairan merah segar. Darah. Dan, darah itu berasal dari celah-celah paha Cempaka!
Jagalpati terkesima. Apa yang tadi dirasakan sebelum mencapai puncak pelampiasan nafsunya, ternyata tidak salah. Bukti jelasnya telah disaksikannya sendiri. Cempaka masih perawan! Dan dialah yang telah merobek selaput dara Cempaka pertama kali! Di-alah yang merampas kegadisan Cempaka!
Di saat Jagalpati terkesima menerima kenyataan yang tidak disangka-sangkanya,
Cempaka tenggelam dalam alun kesedihannya.
Wajahnya basah oleh air mata bening yang mengalir deras.
"Ha ha ha...!"
Jagalpati tertawa bergelak. Kelihatan gembira sekali. Dia tertawa dalam keadaan berdiri mempergu-nakan kedua lututnya di atas meja.
"Kiranya tua bangka itu banci, Cempaka?! Kasihan sekali! Pasti selama ini kau kesepian...! Kau pasti sangat kehausan...! Mari kita ulangi kenikmatan itu...!"
––––––––
2
Kebo Gandrung berdiri di pinggir sungai, yang masih satu aliran dengan Sungai Serayu tempatnya duduk termenung. Hanya saja, jaraknya telah ribuan tombak dari tempat semula. Di tempat ini beberapa kali, lelaki yang masih kelihatan gagah dan tampan ini menarik dan menghembuskan napas. Tingkahnya sea-kanakan tengah membuang ganjalan dalam dadanya.
"Istriku benar...!" desis Kebo Gandrung, terdengar tajam. Ucapan yang ditujukan untuk dirinya sendi-ri. "Aku tidak hanya cengeng, pengecut, dan lemah! Aku juga bodoh! Ah...! Semua ucapanmu benar sekali, Cempaka. Aku memang picik! Aku hanya mementingkan diriku sendiri. Tidak pernah kupikirkan kalau kau juga menanggung perasaan sama. Ah..., aku tua bangka yang tidak punya pikiran! Hih!"
Kebo Gandrung baru saja hendak mengeluarkan uneg-unegnya lagi, tiba-tiba terdengar bunyi langkah-langkah kaki. Cepat kepalanya menoleh. Wajahnya seketika berseri, ketika melihat seorang kakek cebol berkepala besar. Sehingga, yang terlihat hanya kepalanya saja.
"Bagaimana, Tunggul?! Apakah kau berhasil memenuhi permintaanku...?! Apakah bahanbahan untuk ramuan telah berhasil kau temukan?!" tanya Kebo Gandrung pada lelaki cebol yang dipanggil Tunggul.
Kakek cebol itu tersenyum lebar, merasakan adanya harapan besar dalam pertanyaan Kebo Gan-drung. Buktinya langkah kaki lelaki gagah itu lebar-lebar ketika menghampirinya.
"Ucapkan syukur pada Tuhan, Gandrung," ujar kakek cebol bernada menggurui. "Bahanbahan yang aku inginkan, berhasil kutemukan. Dan dengan demikian, aku pun berhasil meramunya!"
"Apakah sekarang kau membawanya,
Tunggul?!" desak Kebo Gandrung, penuh harap.
Kakek cebol itu mengangguk, kemudian mengambil sebuah kendi kecil dari selipan pinggangnya. Tanpa basa-basi sama sekali dilemparkannya pada Kebo Gandrung.
"Selamat bermalam pengantin, Gandrung. Ingat! Jangan terlalu rakus. Nanti kau dan istrimu tidak bisa bangun" gurau Aki Tunggul sambil berbalik dan meninggalkan tempat itu. Tawanya yang bernada can-da terdengar terus sepanjang ayunan kakinya mening-galkan tempat ini.
Kebo Gandrung merasakan selebar wajahnya panas. Tapi untungnya, Aki Tunggul tidak memperha-tikannya lebih lanjut. Meskipun demikian, rasa ma-lunya tidak sebesar perasaan gembiranya melihat pemberian Aki Tunggul.
Dengan wajah berseri-seri dan khayalan tinggi, Kebo Gandrung berlari meninggalkan tempat itu. Dia ingin segera tiba menjumpai Cempaka, istrinya. Akan ditunjukkan pada istrinya kalau dirinya adalah seorang lelaki sebagaimana lelaki lainnya.
"Cempaka...!"
Dua tombak sebelum mencapai pintu pondok, Kebo Gandrung telah memanggil-manggil istrinya. Lembut dan sarat kasih sayang yang besar. Di dalamnya pun telah tersirat permintaan maaf.
Ketika tidak ada sahutan sama sekali, Kebo Gandrung tidak kecil hati. Dugaannya, mungkin Cem-paka masih marah atas kejadian yang belum lama ber-langsung.
Kebo Gandrung menghentikan larinya. Kini dia berjalan pelan-pelan mendekati daun pintu.
"Cempaka.... Istriku sayang. Ini aku datang...! Aku...."
Kata-kata itu dikeluarkan Kebo Gandrung sambil mendorong daun pintu. Kakinya terayun masuk ke dalam, namun langsung tertahan di tengah jalan.
Mendadak saja, kedua kaki Kebo Gandrung menggigil keras. Sepasang matanya terbelalak lebar begitu melihat pemandangan yang terpampang di depannya.
Di ruang tengah, di atas meja tergolek sesosok tubuh mulus dan putih milik Cempaka dalam keadaan tanpa busana, tak bergerak sedikit pun.
Saat itu juga Kebo Gandrung merasakan tubuhnya limbung. Terpaksa tangannya berpegangan pada ambang pintu agar bisa berdiri tegak. Wajahnya pucat laksana mayat. Mulutnya mengeluarkan rinti-han-rintihan tak jelas, walau sebenarnya berusaha menggulirkan nama istrinya.
Kebo Gandrung tahu kalau Cempaka telah meninggal dunia. Pergi meninggalkan secara amat mengerikan! Sebagai tokoh yang telah kenyang pengalaman dia tahu kalau Cempaka telah diperkosa sebelum di-bunuh secara amat mengerikan.
Beberapa saat, setelah berhasil mengusir guncangan perasaannya, Kebo Gandrung menghampiri mayat Cempaka. Rasa sesal dan dendam bercampur jadi satu. Dia merasa malapetaka itu terjadi karena sikapnya. Itu yang membuatnya menyesal. Sedangkan rasa dendam terhadap pelakunya, karena istrinya diperkosa dan dibantai demikian keji.
Sepasang mata Kebo Gandrung seperti memancarkan api ketika melihat pisau berbatang merah dan bergagang ukiran tengkorak manusia! "Jahanam...! Akan kubalaskan kekejian ini...! Tunggulah kedatanganku, Keparat...!" desis Kebo Gandrung penuh dendam dan sakit hati.
Lelaki gagah ini amat mengenal benda itu yang merupakan senjata rahasia khas milik Pimpinan Gerombolan Setan Merah. Kelompok kaum sesat yang hancur lima tahun lalu, karena serbuan para pendekar.
Perlahan sekali lelaki ini menutupi tubuh Cempaka yang bugil. Dengan hati-hati seakan memegang benda dari bahan yang mudah hancur, Kebo Gandrung mengangkat tubuh wanita ini.
Kebo Gandrung mencium kening Cempaka. "Maafkan aku, Cempaka. Kalau tidak karena sikapku, peristiwa ini tak akan terjadi. Tapi, percayalah. Ke mana pun pelaku ini lari, akan kucari! Hanya ada satu pilihan, kalau tidak penjahat itu, aku yang mati," janji lelaki gagah ini di tetinga istrinya, nadanya tajam pe-nuh dendam.
Kebo Gandrung melangkah hati-hati meninggalkan pondoknya. Setibanya di luar, tubuh itu digeletakkan di tanah. Lalu digalinya sebuah lubang kuburan untuk tempat peristirahatan istrinya yang terakhir. Di tempat yang jauh lebih tinggi dari sekitarnya.
"Tenanglah kau di alam baka, Cempaka. Aku yang akan membalaskan semua sakit hatimu," tandas Kebo Gandrung, tanpa menghentikan kesibukannya membuat lubang kuburan.
***
Bunyi kecipak air mengiringi langkah kaki seorang gadis berpakaian kuning dengan dua buah tong dari kayu pada bahunya. Rasanya tidak tepat bila disebut langkah, karena kakikakinya yang mungil mendarat pada rantingranting sebesar ibu jari tangan yang ditancapkan secara teratur di tanah.
Tong-tong yang mempunyai pegangan itu terus berkecipak saat gadis ini melangkah. Karena, tong-tong yang cukup besar itu dipikul hanya dengan ranting sebesar ibu jari kaki.
Ranting yang dipijak dan yang dijadikan piku-lan langsung melengkung, setiap kali kaki mungil ga-dis ini menjejak. Meski demikian, tak setetes air pun yang memercik dari tong-tong kayu yang penuh terisi air itu.
Setelah menempuh perjalanan sejauh tiga puluh tombak, di kanan kiti gadis itu terhampar tanaman cabai yang tingginya tak sampai seperempat tombak! Pohon-pohon cabai telah berbuah. Namun anehnya cabai itu sebagian berwarna putih dan sebagian lagi hi-tam!
Ranting-ranting yang ditancapkan di tanah itu ternyata berakhir pada tanaman cabai yang terakhir. Dan begitu tiba, gadis ini menyiramkan air dari tong-tong kayu itu. Dan baru sebagian tanaman cabai dis-iram, mendadak....
"Rajin sekali...."
Terdengar sebuah ucapan pelan, namun membuat gadis ini terjingkat ke belakang bagai disengat ka-lajengking. Kepalanya langsung menolehkan ke sebe-lah kanan, tempat asal suara yang bernada ejekan. Ternyata di samping kanannya telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba hitam.
"Sayang, kerajinan ini tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kelelahan dan onggokan sampah tidak berguna...," sambung pemuda itu.
Sepasang mata gadis berpakaian kuning ini kontan berkilatan. Dirasakan adanya ancaman dari mulut pemuda itu.
"Siapa kau, Manusia lancang...?! Apa maksud-mu datang kemari? Hm.... Kau tahu, tempat ini bukan untuk bersenang-senang?!" tegur gadis itu dengan na-da tinggi, tanpa ada keramahan sedikit pun.
Tapi pemuda yang tak lain Jagalpati hanya ter-senyum. Tidak kelihatan tersinggung sama sekali.
"Siapa bilang bukan tempat untuk bersenangsenang?!" kilah Jagalpati kalem. "Kedatanganku kema-ri justru untuk bersenang-senang. Semula..., yahhh.... Hanya bersenang-senang dengan tanaman-tanamanmu. Tapi sekarang? Malah bertambah senang bila kau terus di sini. Aku yakin gadis cantik dan sintal sepertimu memiliki kenikmatan tersendiri untuk dija-dikan kawan bermain asmara. Ha ha ha...!"
"Manusia berotak kotor...!" bentak si gadis.
Selebar wajah gadis ini merah padam karena malu dan marah mendengar ucapan dan sikap Jagal-pati yang jelas-jelas menyiratkan otaknya yang kotor.
"Orang sepertimu yang hanya akan mengotori dunia, tidak patut dibiarkan hidup lama! Biarlah aku yang akan turun tangan melenyapkanmu!" Seketika gadis ini mengayunkan pukulannya.
Wuttt!
Tong yang berada di salah satu ujungnya me layang deras ke arah kepala Jagalpati. Namun pemuda cabul ini hanya tertawa. Sekali lututnya ditekuk, se-rangan itu hanya lewat di atas kepalanya.
Si gadis semakin kalap melihat serangannya gagal. Apalagi secara demikian mudah dan penuh hi-naan sehingga, dia merasa diremehkan. Kini pikulan sederhana yang ditangannya bisa menjadi senjata ber-
bahaya, digerakkan kalang-kabut
Wutt! Wutt!
Bunyi menderu-deru terdengar ketika tong itu lenyap dari pandangan saking cepatnya berputar. He-batnya, tong-tong itu tidak terlempar. Padahal hanya dltempelkan begitu saja!
"Aih.,.! Kiranya kau galak juga, Nona Manis. In-gin kurasakan kegalakanmu ini dalam permainan cinta kita. Pasti menyenangkan sekali...!" leceh Jagalpati.
Kata-kata ini membuat amarah si gadis sema kin berkobar-kobar. Serangan-serangannya semakin dahsyat. Tapi, Jagalpati tetap dapat menanggulan-ginya. Beberapa kali serangan gadis ini dielakkan. Na-mun, tak jarang dibiarkan saja mengenai tubuhnya.
Jagalpati yang memiliki watak keji dan gemar mempermainkan orang, kembali menunjukkan kepan-daiannya. Kalau dia mau, tong itu bisa dihancurkan. Namun ketika mengenai tubuhnya, dia segera mem-pergunakan tenaga lembut. Sehingga, tong itu seperti bertemu kapas saja layaknya tanpa pengaruh apa-apa terhadap tubuh Jagalpati.
Seperti korban-korban lainnya, si gadis ini pun diperlakukan sama oleh Jagalpati. Wataknya yang ca-bul dan gemar mempermainkan orang, membuatnya bertindak demikian. Beperapa kali, gadis berpakaian kuning terpekik karena kaget dan marah, ketika tan-gan-tangan Jagalpati hinggap di bagian-bagian tubuh-nya yang terlarang.
Jari-jari tangan Jagalpati mencolek dan mere mas buah dada gadis itu dengan gerakan yang sulit tertangkap mata. Tak luput, selangkangannya pun mendapat bagian. Jari-jari tangan pemuda cabul itu mengusapnya. Tindakan-tindakan ini menimbulkan rasa marah dan malu!
Karena beberapa kali kecolongan, gadis ini me-lompat ke belakang. Tubuhnya bersalto beberapa kali, sebelum menjejak tanah. Dia hinggap sekitar lima tombak di depan Jagalpati.
Bukannya mengejar, Jagalpati malah terkekeh-kekeh penuh ejekan. Dibalasnya tatapan penuh kema-rahan dan kebencian gadis itu dengan mencium-cium jari-jari tangannya sendiri yang tadi menjarah bagian-bagian rawan yang dimiliki seorang wanita.
***
Seketika gadis itu mengeluarkan sapu tangan dari balik bajunya yang berbau harum. Gerakannya di-lakukan seperti sengaja, agar
Jagalpati mengikuti ge-rak-geriknya tanpa berkedip.
Gadis itu mengebutkan sapu tangannya.
Pletar!
Mendadak terdengar bunyi nyaring seperti ada ledakan, ketika sapu tangan itu terlecut.
Disertai senyum mengejek yang tidak lepas dari mulut, Jagalpati memperhatikan semua gerak-gerik si gadis. Dia masih tidak mengerti, apa yang dilakukan gadis itu.
Ctar! Pletaar!
Pemuda cabul ini baru merasa terkejut, ketika letupan yang terdengar kian lama kian terasa nyaring. Seakan-akan di dalam telinganya terdengar ledakan-ledakan keras bagai halilintar. Bahkan rasa pusing mulai mendera.
Jagalpati bukan orang bodoh. Sebaliknya, pemuda ini telah kenyang pengalaman dan memiliki ke-cerdikan matang. Maka langsung disadari kalau bunyi letupan itu bukan sembarangan.
Jagalpati tahu ada pengaruh gaib yang mempengaruhi dalam letupan sapu tangan tadi. Maka sege-ra dikerahkannya kekuatan batin untuk melawannya. Kendati demikian Jagalpati tidak berani bertindak ge-gabah.
Usaha Jagalpati tidak sia-sia. Sedikit demi sedikit, pengaruh ledakan itu mulai berkurang. Bahkan akhirnya, terusir sama sekali. Pemuda cabul ini mem-buka matanya yang tadi terpejam. Dia langsung meng-geram ketika gadis berbaju kuning tidak berada di de-pannya lagi.
Kini baru disadari Jagalpati kalau gadis yang hampir menjadi korbannya telah kabur meninggalkan tempat itu. Sungguh gadis yang cerdik! Jagalpati me-muji dalam hati, kendati bercampur rasa geram. Dag-ing yang telah berada di mulut dan tinggal dikunyah, ternyata harus lepas dari cengkeraman!
Jagalpati mengedarkan pandangan berkeliling! Kesibukannya untuk melawan pengaruh sapu tangan tadi, membuatnya tidak bisa mengetahui arah yang di-tempuh gadis itu saat kabur.
Tapi, Jagalpati ternyata tidak bisa menentukan sama sekali ke arah mana gadis itu pergi. Untuk per-tama kalinya, wajah yang biasanya dihiasi senyum mengejek, terlihat masam. Terlihat jelas kalau hatinya tengah jengkel.
"Biarlah untuk kali ini kau lolos, Betina Jalang. Tapi lain kali, jangan harap akan seberuntung ini," de-sis Jagalpati penuh ancaman.
Sekarang, pemuda cabul ini mengarahkan pan-dangan ke arah deretan tanaman cabai.
"Untuk kali ini, tak kudapatkan apa yang kutu-ju sejak semula," gumam Jagalpati lagi, sendirian.
Kemudian sambil menatap ke satu arah, pemu-
da ini mengeraskan suaranya. Tidak terlihat bibirnya berkemik. Namun, bunyi yang terdengar keras bukan main. Hingga sampai ke tempat amat jauh.
"Tua Bangka Gila! Guru dungu! Saksikanlah sendiri.... Benda-benda yang akan membuat ilmuku punah, menghancurkan keistimewaan ilmuku, akan ku musnahkan! Dan aku tidak akan mempunyai lawan lagi di dunia ini. Ha ha ha...!"
Jagalpati tertawa-tawa gembira. Kedua tangan-nya disangga di pinggang. Wajahnya mendongak ke langit, terlihat angkuh!
"Kau saksikanlah ini, Tua bangka bau tanah...! Hih!"
Begitu selesai kata-katanya, Jagalpati memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Tangan kiri di bawah tangan kanan dengan arah putaran dari luar ke dalam.
Tidak terdengar deru angin sama sekali. Tapi sesaat kemudian, tanaman cabai di kedua sisi ranting-ranting yang menancap berputaran keras seperti di-hempas angin badai. Dimulai dari tanaman yang pal-ing dekat. Sesaat kemudian, tanaman itu tumbang be-rikut akar-akarnya saling susul hingga berserakan.
Jagalpati tertawa bergelak. Dan masih dengan tawanya yang menggiriskan- tubuhnya melesat pergi.
––––––––
3
Seorang pemuda berpakaian ungu duduk di se-buah batang pohon sebesar pelukan orang dewasa yang tengah mengapung di permukaan sungai berarus deras. Namun batang pohon tempat pemuda itu bera-
da meluncur berlawanan dengan arus sungai.
Si pemuda berambut putih keperakan itu menggunakan kedua kakinya untuk mengayuh. Dan nyatanya, batang pohon itu melaju cepat membelah permukaan air seperti anak panah lepas dari busur.
Pemuda yang tak lain dari Arya Buana alis si Dewa Arak ini mengarahkan pandangannya ke depan. Namun pikirannya menerawang jauh.
Kali ini Arya agaknya ingin menikmati. Memang melakukan perjalanan melalui sungai yang penuh ti-upan angin sepoi-sepoi. Mungkin saja, otaknya ingin disegarkan lewat hawa sungai.
Namun baru saja Arya melewati sungai yang membelok, alisnya berkerut. Ternyata di permukaan air sungai tampak mengapung sesuatu. Pandangan matanya yang tajam, segera dapat mengenali kalau yang tengah mengapung adalah manusia. Arus air yang deras membuat tubuh yang mengapung itu me-luncur cepat. Maka hanya dalam sekejapan, tubuh itu mulai mendekati tempat Dewa Arak berada.
Begitu berpapasan, bagaikan memungut sehelai kain basah, Dewa Arak mengangkat tubuh yang tera-pung itu. Lalu, cepat diletakkannya secara metintang pada batang pohon yang diduduki.
Sekali menyentuh tubuh di depannya, Arya langsung tahu kalau sosok yang malang ini masih hi-dup. Detak jantungnya memang sudah tidak terdengar lagi, tapi denyut nadinya masih ada. Meskipun, lemah.
Sambil tetap mengayuhkan kedua kakinya, Dewa Arak memberi pertolongan. Disadari kalau sosok yang ternyata seorang kakek kecil kurus ini terluka da-lam amat parah. Tapi pemuda berambut keperakan ini yakin, nyawa si kakek masih bisa ditolong.
Diam-diam Arya bersyukur, karena si kakek
sebelum tak sadarkan diri masih sempat meraih ba-tang pisang yang hanyut di air. Benda itulah yang membuatnya tidak cepat mati. Tuk! Tuk!
"Ahhh...!"
Hanya beberapa kali totokan dan urutan, si ka-kek telah mengeluarkan keluhan. Bulu matanya berge-rak-gerak, disusul gerakan kelopak mata.
Si kakek bergerak hendak bangkit, tapi cepat dihentikan. Saat itu dadanya terasa sakit bukan main. Mulutnya menyeringai.
"Jangan banyak bergerak dulu, Kek," ujar Arya, lembut "Luka-lukamu amat parah. Kau pun baru saja sembuh. Banyak-banyaklah istirahat."
Si kakek menatap wajah Arya. Ada sorot kehe-ranan dan kebingungan pada sinar matanya. Kemu-dian pandangannya beredar ke sekeliling, menatap permukaan air sekilas. Dan kini perhatiannya dialih-kan lagi pada Arya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pemuda Ga-gah. Aku sekarang telah ingat akan apa yang telah ter-jadi. Kalau tidak karena pertolonganmu, mungkin saat ini aku telah menghadap malaikat maut," ucap kakek kecil kurus ini
"Allah-lah yang membimbing langkahku kemari Kek. Kalau tidak karena kehendak-Nya, mana mung-kin aku bisa memberikan sedikit pertolongan?" elak Dewa Arak, halus.
Si kakek tersenyum. Sorot matanya memancar-kan perasaan suka terhadap pemuda ini. Rupanya, si-kap Arya yang rendah hati dan tidak menonjolkan per-tolongan, sangat menarik hatinya,
"Apa yang kau katakan itu benar, Cah Bagus. Sayangnya, jarang orang yang bisa berkata seperti itu.
Orang-orang cenderung lebih menonjolkan diri sendiri, setiap kali membuat jasa," urai si kakek panjang lebar, bernada menggurui.
Dewa Arak menganggukkan kepala. Dia tahu kalau yang dikatakan kakek ini sebagian besar benar.
"Namaku Dipangga. Kalau boleh tahu namamu, Anak Baik?! Aku yakin, kau tidak seperti muridku yang murtad!"
"Namaku Arya Buana, Kek," jawab Arya, sopan. "Maaf. Kalau boleh kutahu, mengapa Kakek menyama-kan aku dengan muridmu?"
Kakek yang mengaku bernama Dipangga ini ti-dak langsung memberi jawaban. Dia malah menghela napas berat, seperti membuang ganjalan dalam batin-nya.
"Kau benar-benar ingin mendengarkan ceritaku, Cah Bagus? Apakah kau tidak akan bosan nan-tinya?!" Kakek Dipangga malah balas bertanya. "Mungkin kuberitahukan padamu kalau cerita ini tidak menarik. Lagi pula cukup panjang. Tapi kalau kau be-nar-benar ingin mendengarnya, akan kucoba untuk
menyingkatnya."
Sebentar kakek ini tercenung. Agaknya tengah berpikir untuk memulai ceritanya.
"Sejak puluhan tahun yang lalu, sejak masih remaja aku telah gemar menyepi. Aku memang me-nyukai keheningan. Kendati demikian, aku juga suka kesaktian. Maka selama puluhan tahun, hidupku kuisi dengan kesaktian dan bertapa. Entah berapa banyak guru yang kumiliki. Aku tidak ingat lagi," Kakek Di-pangga mulai dengan kisahnya.
Arya diam. Di dalam hati, dia merasa kagum terhadap kakek kecil kurus ini. Bisa dibayangkan be-tapa tinggi ilmu yang dimilikinya. Dan bukti yang pal-
ing jelas telah dirasakannya.
Tadi, sewaktu memberi urutan dan beberapa totokan, Dewa Arak hampir gagal dengan usahanya. Arya merasakan ada getaran-getaran hawa di balik ku-lit Kakek Dipangga yang memberi perlawanan. Demi-kian kuatnya, sehingga hanya dengan memaksakan di-ri Dewa Arak berhasil melakukan tugasnya.
Arya bisa memperkirakan, betapa kuatnya tenaga dalam kakek ini. Bila dalam keadaan tidak sadar saja tenaga dalamnya demikian kuat, bagaimana pula jika dalam keadaan sadar?
"Tapi, mungkin memang sudah garis nasibku untuk tidak bisa lepas sepenuhnya dari dunia," lanjut Kakek Dipangga dengan suara mengandung keluhan. "Di waktu tengah mencari makanan, kutemukan seo-rang pemuda tergolek dalam keadaan luka parah. Ka-rena kasihan, kubawa dia ke tempatku dan kuobati sampai sembuh."
Arya merasa kasihan terhadap Kakek Dipangga. Sudah bisa diperkirakan kalau awal malapetaka yang menimpa kakek itu, bermula dari pemuda yang dito-longnya. Padahal, di usia yang uzur seperti itu, Kakek Dipangga seharusnya dapat hidup tenang.
"Pemuda yang kuangkat murid itu mengaku bernama Jagalpati. Menurut ceritanya, dia terluka ka-rena dikeroyok dua tokoh sesat angkara murka yang hendak dibasminya, karena telah membantai semua keluarganya," lanjut si kakek dengan kepahitan yang terasa jelas dalam suaranya. "Tapi ternyata, hanya ke-licikan yang kudapatkan."
"Apakah Jagalpati itu jahat, Kek?!" Arya mem-beri tanggapan, merasa tidak enak karena sejak tadi hanya berdiam diri saja.
"Itu sudah pasti, Cah Bagus!" sahut Kakek
Di-
pangga, cepat "Aku saja yang bodoh, sehingga dapat ditipu pemuda kemarin sore. Jagalpati ternyata tak le-bih dari serigala berbulu domba. Di usiaku yang telah mendekati lubang kubur, terpikir olehku untuk mewa-riskan ilmuilmuku pada seseorang agar tidak ter-buang percuma. Menurut pikiranku, Jagalpati adalah pemuda baik-baik. Maka kemampuanku
kuwariskan padanya."
"Dan balasannya adalah perlakuannya yang membuatmu hampir menemui malakaikat maut, Kek?!"
Kakek Dipangga mengangguk.
"Selama lima tahun dia menuntut ilmu. Balasannya yang diberikan adalah kelicikannya. Aku dira-cuni dan dianiaya dengan hajaran-hajaran untuk membinasakanku. Untungnya aku hanya terluka pa-rah, namun masih mampu terjun ke sungai. Dan keuntungan yang kedua, aku bisa bertemu denganmu, Cah Bagus. Hhh...! Aku menyesal sekali. Aku tidak akan tenang dl alam kubur, karena yakin kalau ilmu-ilmu yang kuwariskan dipergunakan murid murtad itu untuk mengacaukan dunia persilatan...."
"Tenangkanlah hatimu, Kek," hibur Arya. "Per-cayalah. Aku akan berusaha untuk mencegah sepak terjang Jagalpati dengan seluruh kemampuanku."
"Aku percaya akan janjimu, Nak. Bahkan aku yakin, nyawamu akan kau pertaruhkan untuk meme-nuhi janjimu. Aku bisa merasakan kesungguhan uca-panmu. Tapi, mungkin perlu kuberitahukan. Kuharap kau tidak salah mengerti dan menganggapku menga-gungkan
kemampuanku."
"Sama sekali tidak, Kek. Justru aku merasa berterima kasih sekali kalau kau mau memberi petun-juk untuk mengalahkan Jagalpati," jawab Arya, bijak-
sana.
"Syukurlah kalau demikian, Nak," desah Kakek Dipangga lega. "Ketahuilah. Jagalpati telah menerima Ilmu mengerikan yang kuciptakan, namun belum sem-pat kuberi nama! Ilmu itu membuatnya tidak bisa di-lukai lawan."
"Mungkin seperti ilmu.'Tameng Waja' Kek?!" duga Arya.
"Mirip itu, Nak. Tapi, ini lebih mengerikan," sa-hut Kakek Dipangga. "Kelemahan ilmunya adalah, ra-muan campuran antara tanaman cabai hitam dan ca-bai putih. Kudengar tanaman aneh ditanam seorang nenek aneh. Entah, untuk apa aku tidak tahu. Mung-kin, dia mendapat petunjuk Allah, agar murid murtad itu bisa dibinasakan."
Kening Arya berkernyit. Telinganya baru men-dengar ada cabai yang memiliki warna seperti itu. Tapi dia tahu, kakek ini tidak berbohong. Apalagi, Dewa Arak sendiri juga banyak menyaksikan tanaman dan hewan-hewan aneh di dunia ini.
"Di mana aku bisa menemukan tanaman itu, Kek?!"
Kakek Dipangga menggeleng.
"Sayang sekali, Cah Bagus. Aku tidak mengeta-huinya. Yang kutahu, nenek itu tinggal di sekitar Gu-nung Karang. Hanya itulah yang bisa kuberitahukan padamu."
"Itupun sudah cukup, Kek," hibur Arya, untuk menenangkan keresahan hati kakek kecil kurus ini. "Akan kuusahakan semampuku untuk menemukan-nya."
Kakek Dipangga tersenyum.
"Mungkin bisa sedikit kutambahkan, Nak. Jagalpati juga telah kuwariskan pula ilmu yang mem-
buatnya dapat mengetahui apa-apa yang mengancam dirinya. Aku yakin, dia telah mengetahui akan tana-man-tanaman yang kumaksudkan. Dan lebih cela-kanya lagi berkat ilmunya itu, dia seperti mempunyai pelacak yang menunjukkan keberadaan hal-hal yang membahayakan dirinya. Aku khawatir, tanamantanaman itu telah dimusnahkannya."
Kali ini Arya diam. Dewa Arak tahu tidak ada lagi kata-kata yang bisa diberikannya untuk mene-nangkan hati Kakek Dipangga.
"Tapi aku tahu, Anak Baik. Allah itu Maha Adil. Setiap ilmu pasti ada penangkalnya. Dan bukan tidak mungkin, kalau pada dirinya ada sesuatu yang mem-buat keistimewaannya pupus. Selamat tinggal, Cah Bagus. Selamat bertugas. Semoga kau berhasil."
Kakek kecil kurus itu bangkit dari duduknya lalu melangkah. Arya hampir berseru untuk mengin-gatkan Kakek Dipangga kalau tempat kakinya berpijak adalah permukaan air. Tapi seruan itu cepat ditelan lagi ketika melihat kedua kaki kakek ini tidak tengge-lam.
Sepasang telapak kaki Kakek Dipangga seperti mendarat di tanah. Dan dengan sikap seperti berjalan biasa, kakinya terus melangkah meninggalkan Arya.
Dewa Arak hanya melongo. Kekagumannya ter-hadap kakek itu semakin bertambah. Kakek Dipangga benar-benar memiliki kepandaian sukar diukur. Arya jadi khawatir bila mengingat Jagalpati. Pemuda yang telah mewarisi kepandaian kakek itu pun, pasti memi-liki kepandaian menggiriskan.
Sambil terus melajukan perahu sederhananya, Arya menatap Kakek Dipangga sampai tubuhnya le-nyap di kejauhan. Pemuda berambut putih keperakan ini menghela napas berat. Disadari kalau untuk kese-
kian kalinya dia akan menghadapi lawan amat berat.
***
"Bagaimana, Taruna?! Kau sudah siap?!" Sebuah suara bernada pertanyaan keluar dari mulut seo-rang lelaki berkumis tebal bertubuh pendek kekar. Di pinggangnya melilit rantai baja yang pada ujungnya terdapat bola berduri sebesar kepalan.
Sementara itu sosok yang dipanggil Taruna adalah seorang pemuda tampan berpakaian kuning. Kepalanya mengangguk, tapi sinar kegelisahan tampak di wajah dan sorot matanya.
"Ha ha ha...!"
Lelaki pendek kekar berusia sekitar lima puluh tahun itu tertawa bergelak. Dia tahu, jawaban yang di-berikan tidak sesuai kenyataannya.
"Kau tahu, ke mana arah pertanyaanku, Taruna?!"
Taruna lagi-lagi mengangguk.
"Tentu saja berkenaan dengan urusan yang akan kita tuju ini, Ayah. Bukankah demikian?!" tanya Taruna.
"Benar," jawab lelaki pendek kekar dengan se-nyum geli menghias bibir. "Bagaimana? Kau siap? Maksudku, bukan siap untuk berangkat. Tapi, kekua-tan hatimu menghadapi urusan ini." "Aku siap, Ayah," sahut Taruna, cepat.
"Kalau memberikan jawaban, jawablah sebagaimana seorang lelaki, Taruna!" ujar lelaki pendek ke-kar dengan suara keras. "Jawabanmu ini tidak sesuai dengan kedudukanmu sebagai putra tunggalku, si Rantai Penggulung Jagad yang disegani kawan dan di-takuti lawan! Jawaban dengan suara seperti itu, ha-
rusnya keluar dari mulut seorang perawan
yang di-tanya pelamar!"
Kali ini, lelaki kekar berjuluk si Rantai
Penggu-lung Jagad bersikap sungguh-sungguh. Gurauan dan senyuman yang menghias mendadak lenyap.
"Maafkan aku, Ayah," ucap Taruna. Mukanya memerah karena malu mendapat teguran. Kemudian dadanya dibusungkan. Rahangnya mengembung. "Aku siap, Ayah!"
Wajah si Rantai Penggulung Jagad berseriseri. Senyuman pun timbul lagi.
"Ini baru jawaban putra si Rantai Penggulung Jagad!" ujar lelaki itu sambil menepuk-nepuk bahu Ta-runa.
Kelihatan pelan saja tepukan si Rantai Penggu-lung Jagad, tapi lain lagi yang dirasakan Taruna. Tu-buhnya seakan-akan dijatuhi seekor gajah besar. Te-naganya cepat dikerahkan untuk melindungi tubuhnya agar tulang-tulangnya tidak remuk. Dia berhasil. Tapi, tanah yang dipijak amblas hingga semata kaki!
Si Rantai Penggulung Jagad tertawa gembira. Dia sengaja menguji putranya, dan hasilnya cukup menggembirakan dan memuaskan hatinya.
"Yang perlu kau ingat, Taruna," lagi-lagi si Ran-tai Penggulung Jagad bersikap sungguhsungguh. "Jangan sampai kau memalukanku di depan si Ular Angkasa. Tunjukkan kalau kau lebih dari pantas un-tuk menjadi muridnya!"
"Akan kuingat nasihatmu ini, Ayah!" sahut Ta-runa mantap.
"Bagus!" seru si Rantai Penggulung Jagad, gembira, "Aku yakin! Dengan memandang mukaku, Ular Angkasa pasti akan menerimamu! Mari berang-kat!"
Si Rantai Penggulung Jagad melompat ke atas, lalu hinggap mantap di punggung kudanya. Sekali le-laki ini menggeprakkan tali kekang, kuda coklat itu melesat ke depan laksana anak panah lepas dari bu-sur. Taruna tidak ingin tertinggal. Pemuda ini pun me-lompat ke atas kuda putihnya. Seketika binatang itu pun berlari cepat menyusul kuda si Rantai Penggulung
Jagad.
Si Rantai Penggulung Jagad benar-benar tidak khawatir kalau putranya tertinggal jauh. Binatang tunggangannya terus dipacu. Bahkan ketika ada po-hon besar melintang di tengah jalan, kecepatan lari kudanya tidak dikurangi. Justru cambuknya terus me-lecut-lecut, agar kudanya berlari semakin cepat dan melompati rintangan itu.
Seperti yang diharapkan si Rantai
Penggulung Jagad, kuda coklat itu sama sekali tak mengalami ke-sulitan saat melompati pohon yang melintang. Tapi ke-tika berada di udara, si
Rantai Penggulung Jagad yang kenyang pengalaman, merasakan adanya kelainan. Lalu....
"Uts...!"
Lelaki pendek kekar ini melompat dari punggung kuda coklatnya. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya menjejak tanah secara mantap. Sedang-kan kudanya kontan ambruk ke tanah dan bergulin-gan.
Taruna yang melihat kejadian itu segera meng-hentikan lari tunggangannya. Kuda putih itu berhenti tepat di depan pohon yang melintang jalan.
"Hati-hati, Taruna...!"
Si Rantai Penggulung Jagad berteriak mempe-ringatkan pada putranya sebelum pemuda itu menga-jukan pertanyaan. Sikap lelaki itu kelihatan hati-hati
sekali. Pandangannya beredar ke sekeliling
tempat itu.
"Pengecut Hina...! Keluar kau...! Jangan hanya berani bertindak curang menyerang binatang. Keluar dan hadapi aku! Aku, si Rantai Penggulung Jagad, ti-dak menerima perlakuan ini! Keluar atau semua se-mak-semak yang ada di sini kuporak-porandakan,..!" teriak si Rantai Penggulung Jagad.
Taruna segera melompat dari punggung kuda lambil mengedarkan pandangan. Sekarang dia tahu, kuda tunggangan ayahnya diserang orang. Pantas saja kuda itu tidak mampu mendarat dengan baik. Pemuda ini merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia tahu, penyerang gelap itu memiliki kepandaian tinggi. Tidak adanya senjata rahasia pada tubuh kuda coklat ini, menjadi pertanda kalau penyerang gelap itu menggu-nakan pukulan atau totokan jarak jauh. Padahal, urat-urat kuda berbeda dengan manusia! Keberhasilannya merobohkan kuda dengan sekali serang, telah mem-buktikan kelihaiannya. "Kau masih saja seperti dulu, Rantai Rapuh! Besar mulut dan sombong! Tapi, semua lagakmu ini akan berakhir di sini! Niatmu tidak akan pernah ter-sampaikan! Justru aku yang akan menikmati tubuh Putri Ular Angkasa yang denok itu. Ha ha ha...!"
Sekarang, tidak hanya si Rantai Penggulung Jagad yang mengedarkan pandangan ke sana kemari. Taruna pun demikian. Ayah dan anak itu mencari-cari asal suara yang tidak ketahuan dari mana.
Jantung Taruna berdetak lebih cepat. Meski menjadi putra si Rantai Penggulung Jagad, sifatnya memang tidak menuruti ayahnya. Pemuda ini memiliki hati kecil. Pemalu dan mudah gentar.
Sementara si Rantai Penggulung Jagad tidak merasa gentar sama sekali. Meski tahu kalau penye-
rang gelap itu memiliki kepandaian tinggi. Yang timbul di hatinya malah perasaan marah, karena tersinggung telah dipermainkan. "Pengecut Hina...! Aku tahu kau seorang lelaki! Tapi aku tidak yakin, apakah kau lelaki sungguhan! Mungkinkah kau takut menunjukkan diri karena kau banci?!" tantang lelaki pendek kekar ini
Si Rantai Penggulung Jagad sengaja memanasi hati pemilik suara tanpa wujud itu, agar mau keluar dari tempat persembunyiannya. Disadari kalau ma-kiannya yang pertama tidak membuahkan hasil sama sekali.
"Keparat kau, Rantai Karatan! Kau akan menyesal seumur hidupmu, karena berani mengucapkan kata-kata demikian terhadapku!" geram pemilik suara tanpa wujud.
Si Rantai Penggulung Jagad tahu kalau pemilik suara akan keluar dari persembunyiannya. Buktinya makiannya mengenai sasaran. Maka, rantai bajanya segera diloloskan. Lelaki kekar ini sadar kalau lawan yang akan dihadapi tangguh bukan main!
Sementara, Taruna pun menghunus senjatanya berupa pedang berbentuk indah. Pemuda ini memang tidak suka bersenjata rantai.
Maka, si Rantai Penggu-lung Jagad terpaksa menurunkan ilmu-ilmu pedang yang digubahnya dari ilmu rantainya.
Waktu berlalu demikian lambat bagi Taruna dan ayahnya. Mereka, terutama sekali Taruna, telah berkeringat dingin. Keduanya menunggu ketuarnya pemilik suara tanpa wujud dengan hati tegang.
Sambil mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri, si Rantai Penggulung Jagad memakimaki di da-lam hati. Dia tahu, pemilik suara itu sengaja memper-lambat kemunculannya untuk menimbulkan ketegan-
gan. Dan mendadak.... Brolll!
"Heh?"
Si Rantai Penggulung Jagad terkejut bukan main, hingga sampai terlonjak ke belakang ketika ta-nah di depannya yang berjarak satu tombak berham-buran ke atas. Sebuah kejadian yang sama sekali tidak disangka-sangka! Kalau si Rantai Penggulung Jagad saja terkejut, apalagi Taruna yang memiliki watak pen-gecut. Wajahnya kontan pucat seperti tidak berdarah. Bahkan pedangnya sampai diputar-putar kalang kabut di depan dada, seperti layaknya orang yang tengah menghadapi serangan gencar.
Kini si Rantai Penggulung Jagad dan Taruna menatap dengan mata terbelalak pada gumpalangumpalan tanah yang berhamburan ke atas. Bukan hamburan tanah itu yang menjadi perhatian mereka, tapi kemunculan sebuah kepala milik seorang pemuda. Sebentar kamudian pemuda itu telah mencelat ke permukaan tanah dengan pakaiannya yang hitam. Ja-galpati.
"Kiranya kau...!" desis si Rantai Penggulung Ja-gad, kaget tapi tidak kelihatan gentar.
"Hmh...."
Jagalpati yang sekarang telah berdiri tegak di tanah mengeluarkan deheman, membuat tanah dan debu-debu yang menempel terusir dari sekujur tubuh-nya. Sama sekali tidak dipedulikan ucapan lelaki pen-dek kekar di hadapannya.
Rantai Penggulung Jagad menggeram keras. Hatinya benar-benar tersinggung melihat sikap Jagal-pati yang meremehkannya. Dia tahu, Jagalpati adalah lawan tangguh. Kira-kira lima tahun lalu, dia pernah bertarung melawan Jagalpati. Dan penyebabnya, pe-
muda itu dipergoki tengah menculik seorang gadis. Sayang, pemuda itu terlalu lihai untuknya. Jagalpati berhasil lolos setelah melukainya.
Si Rantai Penggulung Jagad harus bersyukur bisa selamat, karena Jagalpati tengah tidak berselera untuk bertarung. Pemuda itu ingin segera bermain-main dengan gadis yang diculiknya. Sedangkan waktu itu Rantai Penggulung Jagad segera kembali ke tempat tinggalnya dengan membawa dendam.
Dan sekarang, si Rantai Penggulung Jagad ber-temu lagi dengan Jagalpati. Dendam lamanya pun ber-kobar kembali. Dia bertekad untuk mengirim pemuda berpakaian serba hitam ini ke alam baka.
––––––––
4
"Kukira Kau sudah mampus ditelan setan neraka, Pemuda Iblis! Aku mencari-carimu untuk mene-bus kekalahanku. Tapi, tak kutemukan! Di mana kau bersembunyi setelah gerombolanmu dihancurkan kaum pendekar di bawah pimpinan Ular Angkasa?"
Jagalpati tersenyum mengejek.
"Kau sudah tahu, tapi masih berpura-pura bodoh, Rantai Karatan! Kalau aku ada di tempat, mana mungkin Gerombolan Setan Merah dapat dihancur-kan?! Keberhasilan Ular Angkasa dan para pendekar keparat itu karena aku tidak ada! Aku mempunyai urusan lebih penting saat itu! Sekarang, urusanku te-lah selesai. Dan orangorang yang telah bertindak lan-cang itu akan menerima balasannya. Beberapa dari mereka telah kukirim ke neraka! Dan sekarang, kau pun akan pergi ke sana pula!" kilah Jagalpati.
"Jangan mimpi, Pemuda Sombong!" bentak si Rantai Penggulung Jagad, keras. "Kaulah yang akan binasa di tanganku! Hiyaaat...!"
Begitu selesai kata-katanya, si Rantai Penggu-lung Jagad memutar-mutar rantai bajanya di atas ke-pala hingga mengeluarkan bunyi menderu-deru keras.
Wuttt!
Ketika senjatanya itu terayun, bola berduri sebesar kapalan tangan meluncur ke arah kepala Jagal-pati!
Namun Jagalpati tersenyum mengejek tanpa bergerak sama sekali dari tempatnya. Bahkan keliha-tannya tak ingin mengelak atau menangkis.
Si Rantai Penggulung Jagad merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, melihat tindakan Jagal-pati. Benarkah pemuda itu membiarkan serangannya mengenai sasaran?
Sementara Taruna merasa gembira melihat Ja-galpati diam saja. Menurut pikirannya, ayahnya telah bertindak demikian cepat, sehingga Jagalpati tidak memiliki kesempatan untuk mengelak.
Werrr...!
"Heh?"
Dan Taruna baru melongo ketika melihat bola berduri milik ayahnya yang jelas sekali menghantam kepala Jagalpati. Tapi, anehnya bola berduri itu lewat begitu saja tanpa terdengar adanya benturan, seperti menghantam asap!
Si Rantai Penggulung Jagad yang sempat terpe-rangah menarik kembali senjatanya, tanpa melancar-kan serangan susulan. Dia memang masih terperanjat melihat kenyataan ini.
Perasaan yang mencekam itu baru menguap, ketika Jagalpati mengeluarkan tawa mengejek
"Kaget, Rantai Karatan? Kalau kurang puas, si-
lakan pilih bagian yang kau sukai! Agar kau tidak mati penasaran, kini kuberi kau kesempatan menyerang se-puas hati!"
Geraham si Rantai Penggulung Jagad berkerut-kerut geram, mendengar ejekan dan sikap jumawa Ja-galpati.
Lelaki kekar ini kembali memutar-mutar senja-ta andalannya, kemudian melontarkannya ke arah Ja-galpati.
Wuttt!
Kali ini benturan bandul berduri itu lebih dahsyat. Seperti juga serangan pertama, seranganserangan si Rantai Penggulung Jagad kali ini pun tidak berarti sama sekali! Lelaki pendek kekar ini seperti menyerang bayangan.
"Ha ha ha...!" Di lain pihak Jagalpati terus mengumandangkan tawa mengejek.
Setelah sepuluh jurus menyerang tanpa hasil sama sekali, si Rantai Penggulung Jagad pun tahu ka-lau Jagalpati tak akan bisa dirobohkan. Kemungkinan besar malah dirinya yang akan tewas.
Bagi orang persilatan macam si Rantai Penggu-lung Jagad, mati dalam pertarungan adalah suatu ke-banggaan. Tapi, ada sesuatu yang memberatkan ha-tinya. Taruna! Dia tidak ingin, putranya yang masih muda itu mati, sebelum cita-citanya tercapai.
"Taruna...! Cepat pergi dari sini...! Cepat, sebe-lum terlambat..!" ujar Rantai Penggulung Jagad, penuh tekanan melalui ilmu pengirim suara dari jauh.
Lelaki kekar ini sebenarnya lebih suka berteriak blasa. Tapi menyadari watak tokoh seperti Jagalpati yang telengas dan suka kesengsaraan orang lain, ter-paksa dia menggunakan ilmu itu.
Sayangnya maksud si Rantai Penggulung
Jagad
ini tidak berjalan mulus. Taruna yang memang men-dengar pemberitahuan tadi, bukannya melarikan diri tapi malah ikut terjun bertarung membantu ayahnya. Taruna memang pengecut. Tapi, hatinya tidak tega membiarkan ayahnya menentang maut sendirian. Tampak jelas, ayahnya tidak berdaya dalam menekan
Jagalpati!
Si Rantai Penggulung Jagad hanya bisa mengu-rut dada dalam hati melihat akibat nasihatnya. Kenda-ti demikian, di lubuk hatinya timbul perasaan bangga. Putranya yang memiliki sifat agak bodoh ini ternyata berani ikut bertarung membelanya.
"Aku tidak mau pergi, Ayah. Biarlah kita mati atau hidup bersama!" kata Taruna gagah, sambil me-nusukkan pedangnya ke ulu hati
Jagalpati.
Seperti juga ayahnya, hasil yang didapat Taru-na hanya seperti menusuk asap!
***
Jagalpati tersenyum keji. Sekarang pemuda ini tahu kalau tadi secara diam-diam, si Rantai Penggu-lung Jagad telah memerintahkan Taruna pergi. Berarti lelaki kekar ini mengkhawatirkan keselamatan pu-tranya.
Jagalpati memaki dalam hati. Mengapa begitu pelupa? Mengapa repot-repot membunuh si Rantai Penggulung Jagad, meski dengan menyiksanya habis-habisan? Ada hal yang lebih menarik! Menyiksa pera-saan lelaki kekar itu dengan mempermainkan Taruna habis-habisan.
Kalau saja Jagalpati tidak terlalu memusatkan perhatian pada si Rantai Penggulung Jagad, pasti Ta-runa juga akan terpikirkan. Dan akan ditemukannya
cara nikmat dengan membuat permainan menarik.
Hanya sekali pikir, Jagalpati telah menemukan permainan menarik.
Tappp!
Si Rantai Penggulung Jagad telah lebih dulu menangkap pergelangan tangan kiri Taruna. Sekali disentakkan, tubuh pemuda itu terjengkang ke bela-kang.
"Cepat pergi, Taruna! Jangan bertindak bodoh! Penjahat keji ini tak akan bisa kita kalahkan!" ujar si Rantai Penggulung Jagad tanpa menoleh di depan pu-tranya.
Lelaki kekar ini berdiri berhadapan dengan Ja-galpati yang sejak tadi berdiam diri. Pemuda ini me-mang belum memberi serangan balasan!
"Tapi, Ayah...."
"Tidak ada bantahan!" potong si Rantai Penggu-lung Jagad tanpa menoleh. "Kalau kau masih ingin kuanggap anak, cepat tinggalkan tempat ini!"
Taruna jadi melongo. Sungguh tak terduga ucapan ayahnya. Otaknya yang kurang, tidak bisa me-nangkap maksud yang terkandung dalam ancaman itu. Pemuda ini merasa terpukul bukan main! Dan, pe-rasaan ini yang membuat tubuhnya berbalik dan mele-sat meninggalkan tempat itu.
Si Rantai Penggulung Jagad bukannya tidak tahu, tapi mencoba untuk tidak peduli! Dia lebih suka dibenci putranya daripada membiarkannya mati ko-nyol di tangan Jagalpati yang menggiriskan!
Sementara kening Jagalpati mengernyit, melihat kepergian Taruna. Dan dia mengambil keputusan untuk membuat hati si Rantai Penggulung Jagad ter-siksa melalui Taruna. Seketika itu juga pemuda berpa-kaian hitam ini melesat mengejar.
Si Rantai Penggulung Jagad tidak tinggal diam. Dengan berani, dihadangnya lesatan Jagalpati Rantai bajanya diayunkan laksana baling-baling di sekitar tu-buhnya.
Jagalpati murka bukan kepalang karena tindakannya dihalangi. Dengan berani, disampoknya bola berduri yang berputaran itu dengan tangannya. "Hih!" Prak!
Si Rantai Penggulung Jagad kontan melotot ke-tika bola berduri yang tersampok, balik berputaran ke arahnya. Dicobanya untuk mempertahankan, tapi te-tap tidak mampu! Sampokan itu kuat bukan main Tanpa ampun lagi, tubuh si Rantai Penggulung Jaga terlilit rantai bajanya sendiri, mulai dari betis sampai ke dada. Bahkan kedua tangannya pun ikut terlilit.
"Aaah...!"
Seringai kesakitan muncul di bibir si Rantai Penggulung jagad ketika rantai berhenti melilit, begitu bola berdurinya menghantam punggung.
Belum juga si Rantai Penggulung. Jagad berbuat sesuatu, Jagalpati terus melesat ke depan.
Arah-nya lurus! Padahal, si Rantai Penggulung Jagad berada tepat di depannya, sehingga besar kemungkinan akan tertabrak!
Tapi sebelum terjadi benturan, tubuh si Rantai Penggulung Jagad terjengkang ke belakang.
Buk!
Kecuali melesat, Jagalpati tidak bertindak apa-apa! Seakan-akan dari tubuhnya keluar kekuatan dahsyat yang melontarkan si Rantai Penggulung Ja-gad!
Jagalpati tidak mempedulikan keadaan lelaki kekar itu sama sekali. Tubuhnya terus melesat, men-
gejar Taruna yang terus berlari meneruskan perjala-nannya. Kuda putihnya tidak teringat lagi!
"Taruna...! Awas di belakangmu...!" Si Rantai Penggulung Jagad yang masih terperangkap senja-tanya sendiri masih sempat memberi peringatan den-gan suara keras. Sehingga Taruna mendengarnya.
Taruna menoleh. Wajahnya langsung pias, ke-tika melihat Jagalpati mengejarnya. Perasaan takut membuat kecepatan larinya bertambah.
Jagalpati jengkel bukan main melihat jarak yang semula sudah semakin dekat tidak berubah sama sekali. Padahal menurut perkiraannya Taruna akan bi-sa disusulnya. Rasa takut rupanya, membuat kecepa-tan lari Taruna bertambah!
Kejengkelan membuat Jagalpati tidak sabar la-gi. Cepat sabuk yang melilit pinggang diloloskan dan dilemparkannya. Sabuk itu bagaikan hidup, melayang-layang mengejar Taruna dan berusaha membelit!
Jagalpati mengembangkan senyum ketika ujung sabuknya telah hampir melilit pinggang Taruna. Dia yakin akan berhasil menangkap putra si Rantai Penggulung Jagad.
"Heh?"
Namun senyum Jagalpati lenyap dan berubah keterkejutan ketika dari arah samping kanan depan melesat cepat sebuah benda berwarna hijau yang lang-sung membentur ujung sabuknya.
Splash!
Bunyi benturan sabuk dengan benda hijau keras. Dan sabuk itu pun gagal melilit sasaran, karena ujungnya terpental balik akibat benturan barusan.
"Keparat...!"
Jagalpati menggeram, seperti binatang buas kehilangan buruan. Pemuda ini marah bukan main
melihat usahanya yang telah hampir berhasil
digagal-kan.
Jagalpati tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui orang yang berani bertindak usil. Dari tempat sinar hijau berasal kini melesat sesosok bayan-gan ungu, yang kemudian menjejak tanah tempat Ta-runa tadi hampir terbelit sabuk.
Taruna sendiri sudah jauh meninggalkan tempat itu. Sedangkan Jagalpati tidak mengejarnya, kare-na telah memutuskan untuk memberi hajaran terha-dap sosok yang usilan di depannya. Sebentar matanya melirik ke arah benda hijau yang telah membuat ujung sabuknya terpental.
Hati Jagalpati agak bergetar ketika melihat benda hijau itu ternyata adalah sehelai daun. Luar bi-asa! Lontaran sehelai daun telah membuat ujung sa-buknya terpental. Dan bahkan tangannya bergetar he-bat! Jagalpati tahu kalau sosok yang usilan itu memi-liki tenaga dalam amat kuat.
***
Sosok berpakaian ungu yang telah menyelamatkan Taruna tak lain dari Arya Buana alias Dewa Arak
Dan agaknya dia tidak mau kalah gertak. Lang-sung dibalasnya pandangan penuh selidik dari Jagal-pati. Dua tokoh muda yang sama-sama memiliki ke-pandaian tinggi ini saling pandang, seperti dua ekor ayam jago hendak bertarung. "Sungguh berani kau mencampuri urusanku, Anjing Kecil?! Akan kau rasakan akibat perbuaranmu itu!" desis Jagalpati penuh hawa amarah.
"Kau Jagalpati, bukan?!"
Arya mengajukan pertanyaan setengah menebak, setelah memperhatikan sekujur tubuh Jagalpati. Kakek Dipangga yang ditemukannya dalam keadaan terluka dl sungai, telah memberikan ciri-ciri jelas men-genai pemuda berpakaian serba hitam ini.
"Kau telah mengenalku. Tapi, masih berani mencampuri urusanku?! Sungguh berani kau, Anjing! Sedikit perlu kutambahkan, aku dulu bekas pimpinan Gerombolan Setan Merah. Mungkin kau pernah men-dengarnya."
"Sedikit," jawab Arya, kalem. Tapi, dalam ha-tinya kaget. "Jadi kau pemimpin gerombolan sesat yang telah dihancurkan kaum pendekar lima tahun yang lalu?!"
Sekarang Arya telah jelas dengan masalah yang melibat Kakek Dipangga. Benar. Ternyata kakek itu te-lah salah mengambil murid. Pemuda yang dididiknya mati-matian, ternyata memang bejat! Bukan lagi seri-gala berbulu domba, tapi iblis!
Dewa Arak bisa menduga kalau terlukanya Ja-galpati bukan karena dikeroyok orang jahat seperti ce-ritanya, tapi pasti sebaliknya. Jagalpatilah yang jahat!
"Benar. Tapi perlu kau tahu, Anjing! Jika saat penyerbuan itu aku ada di tempat, jangan harap anak buahku dapat dihancurkan! Mereka licik! Saat aku ti-dak ada, baru melakukan penyerbuan!" kutuk Jagal-pati, berapi-api.
"Tidak usah menyembunyikan kejadian sebenarnya, Jagalpati. Aku tahu, kaulah yang pengecut! Kau justru melarikan diri, saat gerombolanmu mende-kati kehancuran. Kuakui, kau hebat. Meski terluka pa-rah tapi masih sanggup melarikan diri!"
"Dari mana kau mendapatkan cerita keliru itu, Anjing Goblok?!" bentak Jagalpati, geram. "Tidak dari siapa-siapa. Hanya perkiraanku sa-ja! Bukankah kau mengaku, kalau luka-luka yang kau derita karena keroyokan dua tokoh sesat?! Karena kau sendiri sesat, aku yakin tokoh yang kau anggap sesat adalah para pendekar! Kapan lagi kau dikeroyok dua pendekar kalau tidak saat terjadi penyerbuan terhadap kelompokmu?! Sederhana bukan?! Mudah sajakan un-tuk menerkanya?" urai Arya panjang lebar.
Wajah Jagalpati menegang. Jelas, uraian Arya mengena tepat di hatinya. Suaranya terdengar penuh ancaman ketika dikeluarkan.
"Dari mana kau tahu aku pernah terluka?!"
"Dari seorang kakek yang telah kau perlakukan secara keji. Padahal, beliau telah mewariskan seluruh ilmunya padamu, Babi Buduk!" tandas Arya, mantap.
"Kiranya tua bangka bau tanah itu belum mati?!" gumam Jagalpati, pelan. Seperti bicara pada diri sendiri. Kepalanya mengangguk-angguk.
"Benar, Babi Busuk! Bahkan seekor babi masih bisa membalas budi! Tapi kau lebih busuk daripada seekor babi yang paling busuk dan kotor!" maki Arya, tak sanggup menekan kemarahan yang sejak tadi dita-han-tahan. "Allah belum mengizinkan beliau mati! Aku menemukan dan menolongnya. Dari beliaulah aku ta-hu tentang kau, Jagalpati. Dan, beliau telah memberi amanat padaku untuk membunuhmu!" jelas Dewa Arak.
"Ha ha ha...!"
Jagalpati tertawa bergelak. Kelihatan geli sekali.
"Membunuhku? Jangan mimpi kau, Anjing Ku-rap! Tidak ada satu orang pun yang akan mampu membunuhku! Apalagi orang sepertimu. Tua bangka bau tanah itu sendiri, tidak mampu membunuhku! Aku tidak akan bisa dibunuh! Kau hanya akan men-
gantarkan nyawa percuma, Anjing! Ha ha ha...!"
"Mungkin kau benar, Babi Sombong!" sahut Arya kalem. "Tapi, aku tetap tidak akan mundur!
Aku tidak takut mati, apalagi untuk menentang angkara murka!" balas Arya mantap.
Tawa Jagalpati semakin keras. Ucapanucapan Arya yang dikeluarkan secara mantap dan penuh ke-gagahan sepertinya dianggap sesuatu yang menggeli-kan!
"Apakah tua bangka itu tidak memberitahukan padamu mengenai ilmu-ilmu yang kumiliki? Ilmu-ilmu dahsyat yang membuatku tidak bisa dilukai atau di-bunuh?!" kilah Jagalpati, setelah menutup tawanya se-cara mendadak. Dan kini berganti dengan dengus penuh ejekan. "Aku yakin sudah!"
Arya diam, tidak memberikan tanggapan sama sekali. Jagalpati sedikit kecewa melihatnya. Tapi, dia memiliki kartu mati untuk Arya.
"Kau masih mencoba menyimpan rahasia terhadapku, Anjing?! Sayang sekali! Mungkin, kau kira aku akan mengorek rahasia dirimu? Tidak! Tldakkah tua bangka itu bercerita, kalau aku memiliki kemam-puan untuk mengetahui adanya bahaya yang mengan-cam keselamatanku?! Apakah kau tidak diberitahu, kalau aku memiliki pelacak untuk mengetahui di mana adanya bahaya itu, kemudian menangkalnya?! Kau tidak diberitahu?!"
Arya tetap diam. Dia tidak mau terpancing un-tuk membuka rahasia. Kendati menilik sikapnya, keli-hatannya Jagalpati tidak tengah mengorek rahasia. Tapi, Arya tetap tidak berani gegabah!
"Baiklah, Anjing!"
Jagalpati yang terpaksa mengalah. Dia tidak marah melihat sikap diam Arya, karena memang tidak
membutuhkan jawaban dari pemuda berambut putih keperakan ini.
"Karena kau tidak mau bicara, biar aku yang bicara! Tua bangka itu pasti menyuruhmu untuk men-cari tanaman cabai hitam dan putih, bukan?! Aku ta-hu! Karena, naluriku membisikkan adanya ancaman dari tanaman itu. Ayo kalau kau bukan pengecut, ka-takan benar tidak
jawabanku?!"
Arya tetap berdiam diri sambil berpikir. Ternya-ta kekhawatiran Kakek Dipangga benar! Jagalpati tahu tentang ancaman terhadap dirinya.
Jagalpati tertawa bergelak
"Kau boleh cari sampai ke ujung dunia, Anjing. Pphon-pohon terkutuk itu sudah kumusnahkan sebe-lum sempat menjadi cabai beberapa hari lagi. Kalau ti-dak percaya, silakan kau cari sebuah dataran yang bernama Lembah Api Abadi! Di sana, kau akan jumpai kebenaran ucapanku! Tapi, dengan syarat. Beritahu-kan dulu arah yang dituju tua bangka itu, ketika pergi. Dan, di mana kau menemukannya. Kalau tidak, jan-gan harap kau bisa menuju tempat yang kumaksud! Bagaimana, Anjing?!"
"Aku tidak sudi membuat perjanjian dengan ib-lis macam kau, Jagalpati!" tandas Arya. "Bersiaplah! Aku akan berusaha mengirim nyawamu ke akhirat!"
"Dasar, Anjing Buduk! Dikasih tulang, malah minta tai! Kupenuhi permintaanmu! Ayo, tunggu apa lagi?! Serang aku! Ingin kulihat, apakah kau pantas mendapatkan perlawanan dariku," balas Jagalpati dengan sikap memandang rendah.
Sementara, Arya tidak berani memandang remeh. Tantangan Jagalpati yang bernada meremehkan, pembuatnya mengambil keputusan untuk sekali me-nyerang dengan
mempergunakan seluruh kemam-
puannya.
Dep!
Arya menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seluruh tenaganya, 'Tenaga Dalam Inti Matahari' dikerahkan untuk melancarkan pukulan jarak jauh mempergunakan jurus 'Pukulan
Belalang'!
Wusss!
Saat itu juga angin keras berhawa panas menyengat, meluruk ke arah Jagalpati. Tapi, pemuda be-rilmu menggiriskan ini tidak bergeming dari tempat-nya. Bahkan kelihatan mudah saja menerima serangan yang dilancarkan Dewa Arak. Meski demikian, mulut-nya berkeming mengeluarkan pujian.
"Sebuah serangan hebat! Rupanya kau memiliki kepandaian boleh juga, Anjing! Pantas, tua bangka itu mempercayakan padamu untuk menumpasku!"
Hampir berbareng dengan selesainya ucapan Jagalpati, pukulan jarak jauh Arya menghantam tu-buhnya. Namun, ternyata hasilnya membuat Dewa Arak tercengang.
Brakk!
Justru, pohon besar di belakang Jagalpati yang berjarak sekitar dua tombak yang hancur berantakan, tumbang mengeluarkan bunyi hirukpikuk! Daun-daunnya kering, hangus bagai tersambar petir!
Dewa Arak hampir tidak percaya. Mengapa pu-kulan jarak jauhnya seperti menembus asap? Apakah yang diserangnya hanya berupa hasil sihir Jagalpati?
Arya mengerahkan kekuatan batinnya untuk memunahkan pengaruh sihir, jika Jagalpati benar mempergunakan sihir. Tapi, tetap saja Jagalpati masih ada. Kini Dewa Arak baru yakin, Jagalpati tidak mem-pergunakan sihir.
Dugaan kedua muncul di benak Dewa Arak.
Mungkinkah Jagalpati menggunakan sejenis ilmu se-perti 'Pecah Raga' yang dimiliki Kuntilanak Alam Ku-bur? (Untuk jelasnya silakan baca episode: "Prahara Hutan Bandan".)
Tapi, dugaan itu pun pupus. Karena di samping Jagalpati yang ada hanya seorang, Jagalpati yang dis-erang pun bukan bayangan belaka. Terlihat jelas, so-sok Jagalpati mempunyai bayangan di tanah. Saat ini, hari sudah agak siang. Matahari telah naik cukup tinggi, memancarkan sinarnya yang terik ke bumi.
Arya menjadi bingung mendapati kenyataan ini. Ilmu apakah yang dipergunakan Jagalpati?! Pantas sa-ja Kakek Dipangga demikian khawatir! ––––––––
5
"Bingung, Anjing?!" ejek Jagalpati yang menge-tahui perasaan yang berkecamuk di hati Dewa Arak. "Kalau mau, dengan cara ini aku bisa mengalahkanmu tanpa membuang tenaga sama sekali. Kubiarkan saja kau menghabiskan tenagamu melancarkan serangan-serangan terhadapku! Setelah kau kehabisan tenaga aku yang ganti menyerang. Mudah saja bagiku untuk membunuhmu, bukan?"
Arya diam saja, tanpa memberi tanggapan. Di-akui ada benarnya ucapan Jagalpati. Tapi dia yakin, tak akan mudah bagi Jagalpati untuk membunuhnya. Dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya, Dewa Arak masih mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nya-wanya.
"Tapi seperti yang telah kukatakan tadi," lanjut Jagalpati. "Aku tidak mau menjilat ludahku sendiri. Karena kau memiliki kepandaian, aku akan memberi
perlawanan agar pertarungan berlangsung adil!"
Sementara itu angin dingin berhembus ketika Jagalpati baru saja menyelesaikan ucapannya. Di lan-git awan hitam dan tebal tampak bergumpalgumpal menutupi sang surya. Agaknya hujan tak akan lama lagi segera turun.
Tapi, keadaan alam seperti itu tidak membuat
Jagalpati dan Dewa Arak urung untuk meneruskan maksud! Kedua tokoh sakti berusia muda ini saling melangkah mendekati. Sikap masing-masing penuh kewaspadaan.
"Heaaat...!"
Dewa Arak memulai serangan disertai bentakan keras. Guci arak di tangannya, diayunkan ke arah ke-pala Jagalpati.
Namun pemuda berwatak cabul ini dengan be-rani memapak!
Prattt!
Guci arak milik Dewa Arak kontan terpental ba-lik ke arah semula. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun terhuyung-huyung agak terputar, terbawa kekuatan sampokan tangan
Jagalpati.
"Chia...!"
Namun Jagalpati tidak memberikan kesempatan lama sekali. Pemuda ini segera lompat menyerang dengan dahsyat!
Dewa Arak meski dalam keadaan kurang men-guntungkan, masih mampu membuktikan kalau di-rinya bukan tokoh yang mudah dipecundangi. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' serangan Jagalpati dielakkan.
Pertarungan sengit antara kedua tokoh muda ini pun berlangsung. Dewa Arak harus mengakui, ka-lau tenaga dalam pemuda berbaju serba hitam itu be-
rada di atasnya. Namun berkat keajaiban ilmu 'Belalang Sakti'nya, keunggulan Jagalpati dalam ilmu meringankan tubuh pun dapat ditanggulanginya.
Jagalpati yang semula sudah merasa gembira dengan beberapa keunggulannya mulai kehilangan ra-sa sabar ketika Dewa Arak tetap mampu menangkal-nya.
Sampai dua puluh jurus bertarung, dia belum mampu mendesak. Apalagi merobohkan pemuda be-rambut putih keperakan ini.
Jagalpati mulai naik darah ketika menginjak jurus kedua puluh lima, pertarungan belum mengala-mi perubahan. Dia dan Dewa Arak masih saling ber-gantian melancarkan serangan. Kemarahan yang men-guasai hati, membuatnya memutuskan untuk meng-gunakan ilmu-ilmu yang menggiriskan!
"Uh...!"
Sebuah keluhan keluar dari mulut Dewa Arak, ketika Jagalpati tidak berusaha mengelak dari seran-gan yang dilancarkannya. Pemuda berpakaian hitam itu malah balas melancarkan serangan.
Sikap waspada membuat Dewa Arak memutuskan untuk membatalkan serangan.
Sebelumnya te-lah disaksikan kalau Jagalpati memiliki ilmu-ilmu aneh. Siapa tahu, kali ini pemuda itu menggunakan ilmunya, yang menggiriskan.
Jagalpati memaki dengan kata-kata kotor meli-hat Dewa Arak menarik kembali serangannya. Tinda-kan pemuda berambut putih keperakan itu membuat serangan yang dilancarkannya hanya menyambar tempat kosong! Kemarahan yang melanda Jagalpati pun bergolak semakin hebat! "Hiaaa...!"
Jagalpati semakin memperhebat serangannya.
Bahkan pertahanannya tidak dipedulikan sama sekali. Yang ada dalam pikirannya adalah menyerang terus!
Arya dibuat kelabakan. Serangan Jagalpati yang bertubi-tubi, membuatnya tidak mempunyai ke-sempatan balas menyerang. Beberapa belas jurus, De-wa Arak hanya mengelak. Terlihat olehnya banyak ce-lah pada pertahanan Jagalpati yang rapuh. Tapi gen-carnya serangan, membuat Arya tidak mempunyai ke-sempatan untuk memasukkan serangan.
Namun Dewa Arak tidak hilang kesabarannya. Ditunggunya hingga keadaan menguntungkan. Dan ketika Arya melihat celah kosong saat Jagalpati me-nyerang, tubuhnya cepat bergeser ke kanan. Kemudian dengan kecepatan dahsyat, guci araknya dikibaskan.
Dan...
Desss!
Hantaman guci arak yang sebenarnya mampu menghancurkan batu karang yang paling keras, den-gan telak menghantam dada Jagalpati. Tubuh pemuda ini terjengkang ke belakang dan terguling-guling, hing-ga beberapa tombak.
Dewa Arak telah menghembuskan napas lega. Bisa diperkirakan kalau hantaman serangannya paling tidak akan membuat Jagalpati tidak berdaya. Jika ti-dak tewas, dia akan tergeletak dengan luka parah!
Namun Arya jadi melongo, kaget dan heran. Ternyata tubuh Jagalpati mampu melenting, sebelum gulingannya berakhir. Lalu mantap sekali kedua ka-kinya menjejak tanah. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau serangan Dewa Arak berpengaruh terha-dap dirinya!
"Jangan harap akan mampu membunuhku, Anjing kecil! Kaulah yang akan mati di tanganku seca-ra mengerikan! Seluruh anggota tubuhmu kuceraibe-
raikan dan kuberikan pada anjing kurap!"
desis Jagal-pati, penuh geram.
"Heaaat...!"
***
Dan seperti hendak membuktikan ancamannya, disertai teriakan keras Jagalpati melompat mener-jang Dewa Arak. Serangannya dahsyat dan menggi-riskan. Dewa Arak tidak mempunyai pilihan lain, ke-cuali meladeninya. Kini pertarungan sengit pun ber-langsung kembali,
Dewa Arak benar-benar dipaksa untuk menge-rahkan seluruh cara, guna mengalahkan Jagalpati yang berkepandaian luar biasa. Sampai saat ini semua cara yang dipakai Dewa Arak selalu gagal.
Begitu tahu kalau gucinya tidak berguna menghantam dada, Dewa Arak menyarangkannya ke arah kepala. Tapi tetap saja kepala Jagalpati tetap utuh. Perasaan penasaran membuat Arya mencoba menghantam bagian tubuh Jagalpati dengan bacokan sisi tangannya.
Dalam pengerahan tenaga dalam tinggi Dewa Arak mampu membuat sisi tangannya tak kalah tajam bagai pedang. Memang bacokan sisi tangannya mampu mendarat di bagian yang dipapas. Tapi bagian tubuh itu tidak terpisah! Padahal, Dewa Arak merasa yakin kalau sisi tangannya berhasil menebas, tapi rasanya hanya seperti menebas asap saja. Tidak ada anggota tubuh Jagalpati yang terpisah!
Dewa Arak terkejut bukan main melihatnya. Il-mu apakah yang dimiliki Jagalpati, sehingga tidak ter-pengaruh sama sekali oleh seranganserangannya.
Tak sampai dua puluh lima jurus pertarungan berlangsung, Dewa Arak telah dibuat kelabakan dan terdesak hebat! Serangan-serangan Jagalpati mem-buatnya terpontang-panting. Kini pemuda berambut putih keperakan ini seperti terjepit dan terhimpit!
Tap!
Sukma Dewa Arak bagaikan melayang ke alam baka, ketika tangan jagalpati berhasil menangkap per-gelangan tangannya. Dalam waktu yang demikian singkat, benaknya segera berputar mencari jalan un-tuk meloloskan diri. Disadari betul kalau keadaannya amat berbahaya! "Hiahhh...!" Klak!
Tiba-tiba Dewa Arak menarik sambil memutar tangannya dengan pergelangan sebagai porosnya. Ja-galpati sendiri sebenarnya kuat mencekal dengan jari-jari tangannya. Tapi cara yang dilakukan Arya benar-benar mengagumkan. Pemuda berambut putih kepera-kan itu berhasil menarik tangannya lepas dari cekalan. Sungguh pun demikian usahanya tidak terlalu mulus, karena disadari kalau sambungan tulangnya lepas!
Bibir Arya menyeringai menahan rasa nyeri yang mendera tangannya. Tindakan itu bahkan mem-buat tubuhnya terhuyung-huyung. Di lain pihak, Ja-galpati menggeram. Dia bukan tidak tahu kalau Dewa Arak telah cedera. Tapi hatinya tidak puas.
"Sekarang, terimalah akibat kelancanganmu, Anjing Dungu!" Begitu selesai kata-katanya, Jagalpati bergerak menerjang.
Dewa Arak terkesiap. Kedudukannya saat ini memang tidak menguntungkan. Dan dia telah bersiap untuk mengadu nyawa kalau saat itu memang harus terjadi. Seluruh kekuatannya dikumpulkan pada ke-
dua tangan
Tapi, ternyata serangan Jagalpati tidak kunjung datang. Pemuda yang memiliki ilmu menggiriskan hati ini malah menghentikan serangan secara tiba-tiba.
Arya jadi heran. Dan keheranannya kian bertambah ketika melihat sikap Jagalpati yang tampak ge-lisah! Seakan-akan ada sesuatu yang ditakutinya!
Dewa Arak sekilas merayapi keadaan sekelilingnya, mencoba mencari sesuatu yang ditakuti Ja-galpati. Tapi sekitar tempat itu kelihatannya sepi saja. Hujan memang telah turun dengan deras, tepat ketika Jagalpati bersiap mengirimkan serangan susulan.
Hujan lebat yang diikuti deru angin kencang turun mengguyur bumi. Halilintar pun tak ketingga-tan, beberapa kali menyalak ke bumi!
Persada kembali bergetar ketika halilintar kem-bali menyalak, setelah terlebih dulu diawali sinar te-rang dari langit. Arya melihat jelas tubuh Jagalpati menggigil keras. Dan dia yakin, bukan air hujan yang dingin, atau hembusan angin yang membuat Jagalpati bersikap seperti dilanda takut yang hebat!
Sebuah dugaan langsung berkelebat di benak Arya. Jagalpati yang seperti terkesima membuat Dewa Arak mempunyai kesempatan berpikir.
Halilintarkah yang membuat Jagalpati ketakutan? Tapi, rasanya tidak mungkin juga!
Bukankah se-jak sebelum hujan turun, halilintar telah menyalak be-berapa kali. Buktinya pemuda itu tidak terlihat terpen-garuh sama sekali! Apalagi ketakutan! Jadi, rasanya tidak mungkin halilintar! Lalu, apa?
Di saat pertanyaan yang belum terjawab itu bergayut di benak, Jagalpati terlihat sadar dari terke-sima dan perasaan gelisahnya. Sedangkan Arya bersi-kap waspada. Bukan tidak mungkin kalau Jagalpati
sekarang, akan melanjutkan serangan.
Tapi kekhawatiran Dewa Arak ternyata keliru, Jagalpati tidak melanjutkan serangan. Pemuda ini ma-lah berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Melihat hal ini, Dewa Arak heran bukan main! Jagalpati kelihatan ketakutan sekali! Apa yang ditaku-tinya?
Menyadari tidak ada gunanya memikirkan jawaban itu, Dewa Arak cepat menepisnya. Ditatapnya tubuh Jagalpati hingga lenyap di kejauhan. Arya tahu, tak ada gunanya mengejar.
Apalagi dia tak akan mam-pu berbuat banyak untuk menangkal serangan Jagal-pati! Dalam keadaan biasa saja, pemuda berpakaian serba hitam itu tidak mampu ditandingi. Apalagi, tangannya yang sebelah tidak berguna!
"Ehemm...!"
Bunyi deheman membuat Arya sadar dari terkesimanya. Begitu perhatiannya beralih, tampak seo-rang lelaki pendek kekar berdiri bersandar pada seba-tang pohon.
***
"Kau hebat, Anak Muda."
Lelaki pendek kekar yang tak lain si Rantai Penggulung Jagad memuji penuh kagum sambil men-gayunkan kaki menghampiri Dewa Arak. "Kau mampu menanggulangi iblis keji itu!"
"Apanya yang hebat, Paman?" sahut Arya ber-nada tidak setuju. "Nyawaku hampir saja melayang di tangannya. Untungnya saja, sebelum itu terjadi ada sesuatu yang membuatnya gelisah dan ketakutan! Mungkinkah kau yang menyebabkannya, Paman?"
"Ha ha ha...!"
Si Rantai Penggulung Jagad malah tertawa, tapi bukan karena gembira. Terasa ada nada kepahitan di sana.
"Aku membuatnya takut, Anak Muda?! Kau bercanda! Kau tahu, baru saja Jagalpati si iblis keji itu mencundangiku dengan mudah! Kalau saja karena ti-dak ingin menyelamatkan putraku, mungkin saat ini aku hanya tinggal nama saja!"
"Jadi..., pemuda berpakaian coklat yang dikejar Jagalpati tadi putramu, Paman?!"
Si Rantai Penggulung Jagad mengangguk. "Oleh karena itu, Anak Muda. Aku amat berterima kasih pa-damu. Kalau tidak karena pertolonganmu, entah apa yang akan terjadi pada kami. Kau benar-benar luar bi-asa, Anak Muda! Boleh kutahu, julukanmu di dunia persilatan? Melihat sikapmu yang tenang dan matang, aku yakin kau telah cukup lama berkecimpung di dunia persilatan!"
"Dunia persilatan menjulukiku Dewa Arak, Pa-man. Tapi nama asli pemberian orangtuaku adalah Arya Buana," jelas Arya.
Sepasang mata si Rantai Penggulung Jagad ter-belalak lebar.
"Jadi, kau tokoh yang mempunyai julukan itu, Anak Muda?! Sayang sekali, aku telah mengundurkan diri, dari dunia persilatan. Sehingga aku banyak ter-tinggal dengan berita mengenai perkembangan dunia persilatan. Tapi, julukanmu sempat mampir ke telin-gaku. Kau mengagumkan, Anak Muda. Semuda ini te-lah mengukir nama besar! Aku yang tua ini pantas me-rasa malu padamu...."
Wajah Arya kontan merah. "Apalah artinya di-bandingkan dirimu, Paman?!" tukas Arya untuk meng-
hilangkan rasa risih akibat pujian si Rantai Penggu-lung Jagad. "Pengalamanmu di dunia persilatan jauh lebih matang dibandingkan denganku. Dan aku yakin, sebelum mengasingkan diri, kau merupakan tokoh persilatan golongan putih yang amat terkenal! Dan aku yakin akan pernah mendengar julukanmu, apabila kau sudi
memperkenalkannya padaku, Paman."
Si Rantai Penggulung Jagad tersenyum pahit meski memang sebelumnya ada kilatan rasa bangga dari sepasang matanya. "Sebelum mendapat malu ka-rena dirobohkan Jagalpati, aku memang mempunyai kedudukan lumayan di persilatan, Dewa Arak. Tokoh-tokoh persilatan menjuluki aku, si Rantai Penggulung Jagad. Sebuah julukan yang berlebihan, karena Jagalpati berhasil membuktikan kalau rantaiku tumpul, ka-ratan, dan rapuh!" Jelas si Rantai Penggulung Jagad, dengan sikap merendah.
"Kau terlalu merendahkan diri, Paman. Aku ternyata tidak keliru. Kau memang seorang tokoh be-sar. Aku telah mendengar berita mengenai tokoh-tokoh terkenal belasan tahun lalu. Di antaranya adalah kau dan Ular Angkasa. Dan aku tidak menganggap kau ka-lah terhadap Jagalpati. Karena, pemuda itu menggu-nakan ilmu iblis!" hibur Arya, sekenanya.
"Apa yang kau katakan itu sebagian benar, De-wa Arak," si Rantai Penggulung Jagad mengganti sa-paannya. "Dulu, aku dan Ular Angkasa memang cukup terkenal. Tapi mungkin perlu kau tahu, Jagalpati me-mang terlalu kuat untukku. Tidak hanya sekarang. Tapi juga bertahun-tahun yang lalu, sebelum iblis itu mendapatkan ilmu luar biasa...."
Arya pun diam. Pemuda ini tidak mempunyai kata-kata untuk menghibur hati si Rantai Penggulung Jagad yang tengah terpukul.
"Kau hendak pergi ke mana, Dewa Arak?!" tanya si Rantai Penggulung Jagad, ingin tahu.
"Entahlah, Paman," desah Arya. "Kalau menu-ruti keinginan, aku ingin segera memburu Jagalpati. Aku ingin melenyapkannya, sebelum malapetaka baru dibuatnya. Tapi...,
kemampuanku tidak berarti ba-ginya...."
Si Rantai Penggulung Jagad tahu Arya tidak berkata bohong. Telah dilihatnya sendiri kalau Dewa Arak tengah cedera.
"Lalu..., keputusanmu bagaimana, Dewa Arak?!" kejar si Rantai Penggulung Jagad.
"Mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk memunahkan ilmu Jagalpati, Paman. Tapi..., rasanya harapan ini kecil sekali. Aku tidak yakin berhasil," ja-wab Arya, ragu-ragu.
"Dari mana kau tahu kalau ilmu Jagalpati memiliki kelemahan, Dewa Arak?! Dan lagi, apakah kau tahu sesuatu yang dapat membuat
kedahsyatan ilmu iblis keji itu hilang?"
Si Rantai Penggulung Jagad kelihatan tertarik sekali. Pertanyaan-pertanyaan yang dikeluarkannya bertubi-tubi penuh semangat.
Tanpa ragu-ragu, Arya menceritakan ikhwal pertemuannya dengan Kakek Dipangga yang menjadi guru Jagalpati. Semuanya diceritakan, tak ada yang disembunyikannya sedikit pun.
"Aku yakin, ilmu Jagalpati mempunyai penang-kal, Paman. Karena menurut guruku, Allah mencipta-kan untuk alam ini berpasangpasangan. Ada jahat, ada baik. Ada penjahat, ada pendekar. Ada racun, ada obat. Ada kelebihan dan ada kekurangan. Maka, aku yakin ilmu Jagalpati pun ada penangkalnya," ujar Arya menutup kisahnya.
Si Rantai Penggulung Jagad menganggukangguk menyatakan persetujuannya.
"Apa yang kau katakan itu memang benar, De-wa Arak. Allah Maha Adil! Aku yakin penangkal ilmu milik Jagalpati ada. Tapi, bukankah penangkalnya te-lah dimusnahkan Jagalpati sendiri? Berarti pemunah ilmunya sudah lenyap! Kudengar, cabai hitam dan pu-tih itu tumbuh tiap dua belas purnama sekali. Berarti kau mesti menunggunya, apabila ingin melenyapkan Jagalpati, Dewa Arak!" kata lelaki pendek kekar ini dengan kening berkerut
"Mungkinkah ucapan Jagalpati tentang telah dimusnahkannya tanaman itu hanya bualan belaka, Paman?!" Arya mengajukan pendapatnya.
"Jadi, kau ingin melihat tanaman itu, Dewa Arak?" tanya si Rantai Penggulung Jagad. Arya men-gangguk.
"Lebih baik urungkan niatmu, Dewa Arak!" ujar si Rantai Penggulung Jagad, memberi nasihat. "Kalau aku menjadi Jagalpati pun, hal pertama yang akan ku-lakukan adalah memusnahkan tanaman-tanaman itu. Jadi, aku yakin tanaman-tanaman itu telah punah! Dan andaikata hal itu belum dilakukannya, tak akan mungkin diberitahukannya tempat tanaman itu pada-mu, Dewa Arak!"
"Aku pun berpikir demikian, Paman. Hanya sa-ja, aku tidak mempunyai pilihan lain! Menunggu dua belas purnama, akan menimbulkan banyak korban di tangan Jagalpati! Sementara menghadapi tanpa per-siapan, sama saja bunuh diri! Dan aku yakin, itu bu-kan tindakan tepat!" sanggah Dewa Arak, halus.
Suasana menjadi hening ketika Arya selesai berbicara. Kini mereka sama-sama diam. Masing-masing merenung, seakan-akan tengah memikirkan ja-
lan untuk memecahkan masalah rumit ini.
"Aku mempunyai saran, Dewa Arak," cetus si Rantai Penggulung Jagad memecahkan keheningan. "Kurasa tidak ada salahnya kalau kau mencobanya."
"Apa saranmu itu, Paman?!"
"Kau tadi menceritakan tentang nenek yang menanam cabai-cabai ajaib itu, bukan?!"
"Benar, Paman. Guru Jagalpatilah yang mence-ritakannya padaku," sahut Arya, setengah memperbai-ki ucapan lelaki pendek kekar itu.
"Ya. Tapi tahukah kau, siapa nenek yang dimaksudkan guru Jagalpati itu?!" Arya menggeleng.
"Nenek itu, sebelumnya merupakan tokoh rahasia. Tidak ada yang tahu namanya. Tapi menurut kabar, hampir seratus tahun yang lalu, nenek itu ting-gal di sebuah tempat bernama Istana Iblis. Sejak ma-sih kecil, dia tinggal di sana."
Si Rantai Penggulung Jagad memulai ceritanya. Sementara Dewa Arak ganti mendengarkan penuh perhatian.
"Istana Iblis itu sering didatangi orang-orang persilatan tingkat atas. Mereka tertarik untuk men-gungkap tempat yang penuh rahasia itu. Tapi tak seo-rang pun ada yang kembali. Karena hal tersebut sering terjadi, Istana Iblis menjadi tempat yang ditakuti. Me-nurut kabar, istana itu dihuni sepasang suami istri yang sama-sama berwatak aneh. Dan nenek yang di-maksud guru Jagalpati, menurut berita adalah ketu-runan
terakhir dari Istana Iblis."
Rantai Penggulung Jagad menghentikan ceritanya. Sedangkan Dewa Arak dengan sabar menunggu kelanjutannya.
"Berbeda dengan orangtuanya, nenek itu tidak
betah tinggal di Istana Iblis yang sepi. Dia sering ke-luar. Kepandaiannya memang luar biasa. Hanya saja, dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Kege-marannya adalah menanam. Dan anehnya tanaman-nya selalu aneh-aneh, seperti cabai-cabai tak lumrah itu. Kau boleh percaya boleh tidak, Dewa Arak. Aku pernah berjumpa dengannya. Nenek itu ternyata amat menyukai bayi-bayi mungil. Namun bukan untuk dija-hati. Dia sering mendatangi kampungkampung hanya untuk memandangi bayi yang tidur di samping ibunya. Anakku sendiri, Taruna, mendapat giliran. Karena mengalami sendirilah aku tahu kegemarannya. Dia da-tang ke rumahku, langsung mengawasi Taruna yang tidur di samping ibunya. Karena asyiknya mengintai Taruna, nenek itu tidak tahu kalau aku memperhati-kannya. Sampai menjelang subuh, nenek itu pergi. Hanya itulah yang bisa kuceritakan padamu, Dewa Arak."
"Apakah nenek itu masih tinggal di istananya, Paman?!" kejar Dewa Arak.
"Benar. Padahal, bangunan itu sudah tidak pa-tut lagi dinamakan istana. Yang tinggal hanya puing-puing, sedikit tembok yang mengelilingi dari reruntu-han bangunan. Apakah kau ingin ke sana, Dewa Arak?!" sahut si Rantai Penggulung Jagad.
Arya mengangguk mantap.
"Barangkali saja nenek itu punya cadangan ta-naman cabai hitam dan putih, Kek," desah Dewa Arak.
"Aku bangga padamu, Dewa Arak!" ucap si Ran-tai Penggulung Jagad. "Kau benar-benar seorang pen-dekar tulen! Hanya pesanku, hatihatilah. Meski sudah berupa puing, Istana Iblis bukan tempat sembarangan! Menurut berita, jalan menuju Istana Iblis itu dikelilingi maut. Lumpur hidup, rawa beracun, tanaman-
tanaman beracun dan binatang-binatang berbisa. Bahkan ada taman yang membuatmu tidak bisa keluar lagi setelah memasukinya. Camkan itu baik-baik, De-wa Arak"
"Terima kasih atas nasihat yang kau berikan, Paman. Apakah Paman tidak ingin ikut pergi bersama-ku?!"
"Sayang sekali, Dewa Arak," desah si Rantai
Penggulung Jagad, disertai helaan napas berat. "Aku mempunyai urusan lain yang cukup penting. Aku mengkhawatirkan keselamatan Taruna, anakku. Aku cemas, kalau-kalau Jagalpati mengejarnya dan mem-bunuhnya."
"Tak apa, Paman. Dan lagi urusan kita samasama penting," timpal Arya. "O, ya. Boleh kutahu, mengapa kau yang telah mengasingkan diri, sampai keluar kembali ke dunia persilatan, Paman?!"
Si Rantai Penggulung Jagad tersenyum simpul. "Urusan anak dan tanggung jawab orangtua, Dewa Arak."
Arya mengernyitkan kening. Kelihatan bingung. "Taruna akan kukawinkan dengan Putri Ular Angkasa, Dewa Arak! Setelah itu, aku dapat tenang di pengasin-gan!"
"Ah...!"
Arya berseru gembira.
"Kalau begitu, selamat, Paman. Percayalah. Bila sempat, aku akan datang untuk menghadiri pernika-han itu," janji Dewa Arak, tulus.
"Terima kasih, Dewa Arak. Selamat tinggal.
Dan, selamat bertugas!"
Si Rantai Penggulung Jagad seketika melesat. Sementara Arya menunggu hingga tubuh itu mengecil di kejauhan. Kemudian, dia sendiri melesat menempuh arah yang berlainan. ––––––––
6
"Bagaimana, Ular?"
Pertanyaan itu datangnya dari mulut si Rantai Penggulung Jagad, yang ditujukan pada seorang lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun di depannya. Sedangkan lelaki bertubuh tinggi kurus yang menda-pat pertanyaan hanya tercenung. Sinar mata dan raut wajahnya menyiratkan berbagai macam perasaan. Ada penyesalan dan kedukaan yang sarat di sana.
Si Rantai Penggulung Jagad tampak dudul geli-sah, seperti tidak sabar. Duduk di sebelahnya adalah Taruna. Pemuda ini duduk bagaikan patung batu. Wa-jahnya menunduk dalam-dalam ke lantai, seakan-akan di sana ada yang menarik perhatiannya.
Lelaki bermuka kuning yang dipanggil Ular memang berjuluk Ular Angkasa. Dia bukannya mem-beri jawaban, tapi malah menghela napas berat.
Sikap Ular Angkasa membuat kesabaran si Rantai Penggulung Jagad jadi hilang. Wajahnya agak menegang. Suaranya bergetar menahan perasaan ter-singgung ketika berkata lagi.
"Kalau menolak tawaranku, katakan saja, Ular. Wajar saja bila kau menolak tawaranku. Aku tidak akan marah. Tapi bila kau bersikap seperti ini, kesaba-ranku bisa hilang! Bila menerima, katakan. Dan bila tidak, kemukakan saja. Aku lebih menyukai keterus-terangan! Dan aku yakin, kau tahu hal itu!"
Ular Angkasa tidak langsung memberi jawaban. Ditatapnya wajah si Rantai Penggulung Jagad lekat-lekat. Sementara itu seorang wanita berusia tiga pulu-
han tahun yang duduk di sebelah Ular Angkasa tam-pak merah padam wajahnya. Wanita itu kelihatan can-tik. Apalagi dengan bentuk tubuh yang padat menggi-urkan dan kelihatan matang. Mendengar kata-kata si Rantai Penggulung Jagad, dia bangkit dari kursinya. Ditudingnya wajah lelaki pendek kekar itu.
"Kau hendak meminang atau hendak mengajak bertarung?!" sembur wanita berpakaian biru langit itu, keras.
Si Rantai Penggulung Jagad sampai memundurkan tubuhnya karena khawatir wajahnya terkena tudingan jari telunjuk yang runcing dan lentik itu. "Ka-lau ingin putramu menjadi menantu di sini, bersikap-lah sopan! Kalau tidak suka dengan cara kami, silakan angkat kaki! Kami pun tidak butuh kehadiranmu!"
Wajah si Rantai Penggulung Jagad kontan me-negang. Ucapan wanita itu dinilainya keterlaluan. Tapi mengingat orang yang memakinya ini seorang wanita yang diyakini mempunyai hubungan erat dengan Ular Angkasa, kemarahannya ditahan. Juga diyakini, Ular Angkasa tidak akan tinggal diam.
Dugaan si Rantai Penggulung Jagad memang tidak meleset. Wajah Ular Angkasa berubah hebat. Ke-lihatan jelas kalau ia merasa tidak enak hati melihat sikap wanita berpakaian biru langit
"Harap jangan dimasukkan dalam hati ucapan istriku ini, Rantai. Maklumlah...," ujar Ular Angkasa buru-buru.
Ketegangan di wajah si Rantai Penggulung Ja-gad seketika mengendur. Kemarahannya pun pupus.
Namun tidak demikian halnya wanita berpakaian biru langit. Dengan sinar mata memancarkan kemarahan besar, ditatapnya Ular Angkasa.
"Kalian berdua memang tua-tua bangka tidak
tahu diri!"
Kemudian wanita itu bangkit dari kursinya. Kakinya dibanting dengan perasaan kesal, kemudian berjalan cepat meninggalkan ruang tengah di salah sa-tu bangunan dari sekian banyaknya bangunan yang ada. Tempat ini memang sebuah perguruan bernama Perguruan Ular Sakti. Ular Angkasa sendiri adalah ke-tua perguruan itu.
Ular Angkasa hanya mengangkat kedua bahunya; Dia tidak berkata apa pun. Sementara si Rantai Penggulung Jagad mengawasi wajah ketua perguruan itu lekat-lekat.
"Istrimu, Ular...?!" tanya si Rantai
Penggulung Jagad, hati-hati.
Ular Angkasa menghela napas berat lebih dulu sebelum memberikan jawaban. Kepalanya mengangguk pertanda membenarkan pertanyaan lelaki pendek ke-kar yang telah sangat dikenalnya.
"Sekitar enam tahun yang lalu dia kunikahi. Mulanya, sifatnya tidak seperti ini. Tapi.... Sudahlah, Rantai. Kurasa sebaiknya kita tidak membahas masa-lah yang bukan menjadi tujuanmu."
"Kau benar, Ular!" sambut si Rantai Penggulung Jagad, tersentak. "Hampir saja aku lupa dengan tuju-anku semula. Syukur kau mengingatkan!"
"Begini, Rantai," Ular Angkasa memulai. "Sebe-narnya aku gembira mendapat tawaran dari seorang sepertimu. Aku menerima putramu. Tapi sayang. Aku tidak bisa melakukannya..."
"Mengapa, Ular?!" desak Rantai Penggulung Ja-gad, tak menyembunyikan keheranannya. Senyumnya mendadak lenyap. "Apakah karena putraku tidak pan-tas?"
"Bukan karena itu, Rantai," kilah Ular
Angkasa
menggoyang-goyangkan tangannya.
"Putramu lebih da-ri pantas dan patut untuk menjadi menantuku. Aku justru bangga! Dan, aku merasa lebih berhahagia dan bangga apabila Arimbi menjadi menantumu."
"Lalu..., mengapa kau tidak menerimanya, Ular?! Kuharap kau tidak menyimpan laki-laki lagi! Apakah putrimu itu sudah menjadi murid orang lain?!"
"Tidak, Rantai. Dugaanmu keliru," sahut Ular Angkasa dengan wajah muram. "Aku tidak bisa mene-rima tawaranmu, karena Arimbi tidak berada di sini."
Wajah si Rantai Penggulung Jagad kembali ce-rah. Bila itu masalahnya, berarti masih ada harapan baginya.
"Kalau hanya itu masalahnya, tidak mengapa, Ular. Wajar saja toh, seorang wanita dewasa berilmu tinggi seperti putrimu itu pergi mengembara. Biar pen-galamannya luas! Sekarang, bisa saja kau putuskan, bagaimana tanggapanmu atas tawaranku. Nanti, sete-lah Arimbi kembali, kau beritahukan masalah ini.
Gampang, kan?" usul si Rantai Penggulung
Jagad.
"Tidak gampang, Rantai," bantah Ular Angkasa. "Aku tidak berani memutuskan tawaranmu karena aku tidak yakin, apakah Arimbi akan kembali. Hampir enam tahun dia pergi meninggalkan tempat ini. Entah dia mau kembali atau tidak. Aku ragu. Aku malah ya-kin, dia tidak ingin kembali lagi!"
Rantai Penggulung Jagad tercenung. Dirasaka adanya nada kedukaan dan penyesalan yang besar da-lam ucapan Ular Angkasa. Sikap lelaki ini seperti ten-gah menanggung beban batin berat, karena merasa bersalah!
"Sekarang begini saja, Rantai," ujar Ular Angka-sa hati-hati seperti khawatir Rantai Penggulung Jagad akan tersinggung. "Putramu tinggal saja dulu di sini.
Mudah-mudahan Arimbi cepat kembali. Bagaimana Rantai? Kau setuju?!"
Rantai Penggulung Jagad dengan tegas mengge-leng. Lelaki ini memang memiliki harga diri tinggi. Pan-tang baginya menunggu tanpa kejelasan.
"Apakah Arimbi minggat dari rumah ini..?!" tanya Rantai Penggulung Jagad hampir tidak terdengar mengalihkan masalah.
Ular Angkasa mengangguk sambil menghela napas berat.
"Kepergiannya mengapa seperti itu, Ular?!
Maaf, bila aku terlalu lancang."
"Tidak, Rantai. Kau sahabatku. Tidak ada salahnya kau tahu masalah ini. Mungkin kau bisa mem-beri pertimbangan, apakah aku salah atau benar da-lam hal ini," tukas Ular Angkasa. "Kalau kau tidak keberatan, apa boleh buat?!" Rantai Penggulung Jagad mengangkat bahu. "Dia pergi karena aku yang mengusirnya, Rantai," ke-luh Ular Angkasa. "Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Keputusan itu kuberikan, karena rasa sayangku pa-danya. Dia telah melanggar peraturan berat, karena memasuki tempat larangan di perguruan ini! Padahal, jauh sebelum itu, telah kuberitahukan pada semua murid perguruan ini. Tak seorang pun boleh memasuki ruang larangan. Apabila kedapatan ada di sana, siapa pun akan mendapatkan hukuman berat! Sama sekali tidak kusangka kalau Arimbi yang melanggarnya. Rasa sayang, membuatku memilih mengusirnya di hadapan murid-murid perguruan. Daripada, dia kuhukum ma-ti!"
Rantai Penggulung Jagad menghela napas berat. Keputusan Ular Angkasa memang tidak bisa dis-alahkan. Lelaki itu telah bertindak adil! Seorang ksa-
tria lebih mementingkan ucapan dan kehormatan dari-pada hal lainnya. Dan tindakan Ular Angkasa benar.
Taruna yang sejak tadi menunduk, mengangkat wajah. Sinar matanya berbalur kekecewaan. Sama se-kali tidak disangka kalau Arimbi bernasib demikian menyedihkan.
"Apakah kau tahu penyebab Arimbi bertindak demikian, Ular?! Aku yakin ada yang mendorongnya, sehingga berani melanggar laranganmu. Padahal, hu-kumannya berat!" kata si Rantai Penggulung Jagad, hati-hati.
"Memang dia mengatakannya. Dan hal inilah yang sejak dulu mengganggu pikiranku, Rantai," kata Ular Angkasa. Semakin terasa nada kekecewaan besar dalam ucapannya.
"Menurutnya, dia berani melanggar larangan karena hendak menyelamatkan pusaka-pusaka perguruan. Memang, sudah menjadi rahasia perguruan, kalau di tempat larangan itu terdapat ba-nyak harta, senjata-senjata pusaka, dan kitabkitab ilmu kesaktian! Dan menurut Arimbi, orang yang hen-da mengambilnya adalah istriku yang tadi! Ibu tirinya! Aku, jadi bingung. Tapi, kemarahan dan kekecewaan karena keberanian Arimbi melanggar larangan, tamba-han lagi berani menyalahkan ibu tirinya, dia kujatuh hukuman! Aku bahkan tidak mengakuinya sebagal anak! Arimbi tidak kuperbolehkan menginjak halaman perguruan!"
Rantai Penggulung Jagad terdiam.
"Jadi..., minggatnya putrimu setelah adanya is-trimu yang baru itu, Ular?" tanya si Rantai Penggulung Jagad, tetap berhati-hati.
Ular Angkasa hanya menghela napas. Dia tidak memberi jawaban sedikit pun. Tapi Rantai Penggulung Jagad tahu, lelaki bermuka kuning itu mengakuinya.
Rantai Penggulung Jagad mengernyitkan kening. Nalurinya mulai membaui adanya hal-hal yang mencurigakan di sini. Dugaannya ingin diutarakan, tapi khawatir kalau Ular Angkasa salah terima.
"Mengapa, Ular?!" tanya Rantai Penggulung Ja-gad ketika melihat Ular Angkasa menyeringai sambil memegangi dadanya.
"Tidak apa-apa," jawab Ular Angkasa, berbohong. "Hanya sakit sedikit."
"Boleh kuperiksa?!" Rantai Penggulung Jagad menawarkan. "Barangkali saja kau
menderita luka da-lam."
Ular Angkasa tertawa yang tampak paksaan. Mulutnya tertawa, tapi wajahnya tidak. Bahkan sinar sepasang matanya, berbalur kekecewaan dan kedu-kaan besar.
"Luka dalam?! Ada-ada saja dugaanmu, Rantai! Bagaimana mungkin aku terluka, kalau tidak pernah bertarung?! Asal kau tahu saja, selama lima tahun le-bih ini aku tidak pernah berlatih! Bahkan tidak pernah bersemadi sama sekali. Hati dan pikiranku risau jika mengingat Arimbi. Aku merasa bersalah padanya. Kau tahu, Rantai. Setahun setelah Arimbi kuusir, kuhabiskan waktu dua tahun lebih untuk mencarinya.
Tapi, hasilnya sia-sia. Bocah itu lenyap begitu saja, bagaikan ditelan bumi!"
Kembali Ular Angkasa menyeringai. Kali ini ke-lihatan lebih parah daripada sebelumnya. Dia keliha-tan tersiksa sekali. Wajahnya menegang, merah pa-dam. Kemudian, batuk-batuk kecil keluar dari mulut-nya.
Ular Angkasa menutupi mulutnya dengan kedua tangan, demi kesopanan. Baru setelah batuknya reda, kedua tangannya diturunkan kembali.
Wajah Ular Angkasa bembah, ketika melihat cairan merah kehitaman pada kedua telapak tangan-nya. Parah! Tapi, lelaki ini tidak ingin Rantai Penggu-lung Jagad tahu penderitaannya. Maka buru-buru tangannya disembunyikan di bawah meja.
"Kau tidak bisa menipuku lagi, Ular," desah Rantai Penggulung Jagad, tenang. "Tanganmu bisa kau sembunyikan. Tapi darah di pinggir mulutmu, telah menceritakan semuanya. Kau terluka, Ular. Tidak hanya luka dalam, tapi juga luka karena keracunan. Darahmu tidak merah segar, tapi merah kehitaman. Darah yang tercipta karena luka beracun!"
Ular Angkasa tidak bisa mengelak lagi. Dengan punggung tangan, dicobanya membersihkan luka-luka pada pinggir mulutnya.
"Masih mencoba menyembunyikan peristiwa yang terjadi pada dirimu, Ular?!" desak Rantai Penggu-lung Jagad lagi.
"Terserah kau mau bilang apa, Rantai. Kau mau percaya atau tidak. Aku tak pernah bertarung denga siapa pun! Apalagi sampai terkena pukulan be-racun. Juga aku sudah tidak peduli lagi akan kesela-matanku. Perasaan bersalahku pada Arimbi, telah membuatku tidak betah hidup lebih lama! Aku me-mang tidak pernah mengurus diri lagi! Entah bagai-mana aku memperi tanggungjawabkan masalah ini pada mendiang ibu Arimbi!" tukas Ular Angkasa.
Rantai Penggulung Jagad memegang kedua ba-hu Ular Angkasa, seraya mengguncangkannya sediki keras.
"Kau boleh tidak peduli pada dirimu, Ular. Tapi kau harus ingat! Keadaan yang kau derita sekarang ini, berarti disebabkan perbuatan seseorang yang telah meracunimu tanpa kau tahu! Apakah kau tidak ingin
mencari tahu pelakunya?!"
Ular Angkasa menggeleng. Lemah dan tanpa semangat.
"Kau tidak boleh bersikap seperti itu, Ular!" ser-gah Rantai Penggulung Jagad, keras. "Kalau kau se-perti aku, boleh saja bersikap seperti itu! Tapi, kau lain! Nasib puluhan orang berada di tanganmu! Apa jadinya kalau kau mati nanti?!"
"Aku tidak khawatirkan hal itu, Rantai! Aku ya-kin, sepeninggalku keadaan akan aman-anan saja! Perguruan Ular Sakti yang kupimpin mempunyai mu-rid-murid kepala. Merekalah yang akan mengganti-kanku sebagai pimpinan! Lagi pula, masih ada istriku. Dia memiliki kepandaian tidak rendah! Selama menjadi istriku, dia giat berlatih. Malah, tingkat kepandaiannya tak akan kalah dengan muridku yang terlihai!" sang-gah Ular Angkasa.
"Kalau begitu, celakalah Perguruan Ular Sakti, Ular! Tidakkah kau bisa berpikir jernih?! Apakah kau tidak bisa menduga orang yang telah meracunimu?!"
Wajah Ular Angkasa berubah hebat
"Jadi..., kau menuduh istriku yang membuatku seperti ini?! Kau gila bila berpikir demikian, Rantai! Hati-hati ucapanmu! Atau..., kau akan berhadapan denganku sebagai lawan!" desis Ular Angkasa tidak se-nang.
"Aku yakin, istrimulah pelakunya, Ular! Aku yakin betul. Percayalah, Ular! Ingat, baik-baik! Bukan-kah kau tahu, kalau aku memiliki naluri tajam?! Juga kalau kau amati, bisa ditemukan hal-hal yang janggal! Nasib yang menimpa putrimu, aku yakin sudah diren-canakan istrimu! Dia ingin menyingkirkan Arimbi, agar bisa menguasai perguruan ini! Aku yakin, racun yang mengalir di tubuhmu hasil perbuatannya. Mungkin
yang digunakan racun tidak berwarna, berasa, atau berbau. Racun itu dicampurkan dalam minumanmu. Dan..." Brakkk!
Pembicaraan si Rantai Penggulung Jagad kon-tan terhenti, ketika Ular Angkasa menggebrak meja dengan keras. Meja itu bergetar, tapi tidak hancur sa-ma sekali. Retak pun tidak!
"Tutup mulutmu, Rantai!" bentak Ular Angkasa keras dibarengi hantaman pada daun meja. "Atau, aku terpaksa akan menyerangmu! Ucapanmu sudah keter-laluan!"
"Kau yang buta karena cinta tuamu itu, Ular!" bentak Rantai Penggulung Jagad, tak kalah keras. "Ti-dakkah kau sadar, kalau kau tengah dibunuh pelan-pelan. Asal tahu saja, sekarang kau tidak lebih dari seorang kakek-kakek jompo! Tenaga dalammu telah lenyap! Tidakkah kau sadari meja yang kau hantam, jangankan hancur, retak pun tidak! Lihat baik-baik! Buang dulu perasaan cintamu yang berlebih-lebihan itu!"
Ular Angkasa terdiam. Baru disadari kalau me-ja yang digebrak tidak hancur sebagaimana biasanya. Kata Rantai Penggulung Jagad rupanya masuk akal-nya. Kembali dicobanya untuk mengerahkan tenaga dalam. Tapi, tidak dirasakan adanya putaran tenaga dalam di pusarnya.
Ular Angkasa merasa penasaran. Dicobanya untuk mengalirkan ke tangan. Tapi seperti hasil sebe-lumnya kali ini pun kekecewaan yang didapat. Benar perkataan Rantai Penggulung Jagad! Tenaga dalamnya telah lenyap!
"Bagaimana?! Benar kan ucapanku, Ular?!" tanya Rantai Penggulung Jagad dengan suara lebih pe-
lan.
"Mungkinkah itu, Rantai?! Mungkinkah
istriku bertindak demikian keji?!"
Seperti layaknya seorang anak kecil, Ular Ang-kasa mengajukan pertanyaan terbata-bata. "Mungkinkah racun dibubuhkan dalam makanan dan minumanku?!"
"Mungkin saja, Ular," sahut Rantai Penggulung Jagad mengangguk, mantap. Tapi, ketika pandangan-nya berbentur pada makanan dan minuman di meja yang telah disantapnya bersama Taruna dan Ular Ang-kasa, wajah lelaki pendek kekar ini memucat!
Ular Angkasa melihat arah pandangan Rantai Penggulung Jagad. Dan wajahnya pun berubah hebat.
Meja empat persegi panjang kini menjadi sasa-ran pandangan dua lelaki setengah baya yang terkenal sebagai pendekar besar. Meja berwarna coklat itu, pa-da beberapa bagian tampak hangus! Dan bagian yang hangus adalah bagian di mana percikan-percikan mi-numan terdapat! Tanpa berpikir lebih lama lagi, Rantai Penggulung agad dan Ular Angkasa tahu penyebab me-ja itu bernasib demikian mengerikan! Apalagi kalau bukan racun yang amat ganas?
"Apakah istrimu yang menyediakan makanan dan minuman ini, Ular?!" tanya Rantai Penggulung Ja-gad dengan suara seperti tercekik di tenggorokan.
Ular Angkasa tidak memberi jawaban, Rahang-nya menggembung. Wajahnya pun menegang penuh kemarahan, ketika mengeluarkan kata-kata yang be-rupa desisan!
"Wanita iblis!"
"Hi... hi... hi...!"
Seperti menyambut makian Ular Angkasa, ter-dengar tawa mengikik. Nadanya mengejek dan mere-
mehkan. Kemudian disusul tawa bergelak. Nadanya sama, mengejek dan penuh kemenangan.
Serentak Ular Angkasa, Rantai Penggulung Ja-gad, dan Taruna menoleh ke arah pintu yang menghu-bungkan ruangan tempat mereka berada dengan ruang dalam. Tak lama dari ruang dalam muncul dua sosok
"Kau...!?"
Mata Ular Angkasa kontan terbelalak lebar, se-perti tengah melihat hantu. Sosok yang berada di sebe-lah istrinyalah yang membuatnya terperanjat kaget. Sosok itu adalah seorang lelaki kurus dengan kumis tipis dan mata sipit.
"Kaget, Tua Bangka Jompo?!"
Lelaki bermata sipit itu tersenyum mengejek. Kemudian tangan kirinya dilingkarkan ke leher istri muda Ular Angkasa. Bahkan jari-jari tangannya tanpa tahu malu mengusap-usap pipi dan tengkuk wanita itu. Sedangkan istri muda Ular Angkasa menggeliat-geliat keenakan seperti seekor kucing dibelai!
Sepasang mata Ular Angkasa bagaikan hendak melompat keluar dari rongganya ketika melihat pe-mandangan itu. Hatinya mendidih oleh amarah me-luap-luap!
"Murid murtad! Jahanam! Mau apa kau kemari heh?!"
Dalam cekaman amarah yang menggelegak,
Ula Angkasa bangkit dari kursinya. Hendak menghampiri lelaki bermata sipit ini. Sikapnya penuh ancaman.
Rantai Penggulung Jagad tahu maksud Ular Angkasa. Buru-buru dicekalnya pergelangan tangan le-laki muka kuning itu, untuk mencegah maksudnya. Disadari Ular Angkasa hanya akan mencari penyakit bila meneruskan maksudnya.
"Mau apa aku kemari?!" ulang lelaki bermata
sipit ini bernada mengejek. "Lucu sekali pertanyaan itu. Aku sudah lama di sini, Tua Bangka Jompo! Aku sudah hampir enam tahun di sini. Aku tinggal di ruang larangan itu. Dan mungkin perlu kutambahkan, wani-ta yang kau akui sebagai istrimu ini adalah kekasihku! Ha ha ha..,!"
Andaikata ada petir menyambar di dekatnya, Ular Angkasa tidak akan terkejut seperti ini. Tubuhnya kontan limbung. Untung, Rantai Penggulung Jagad memeganginya.
"Sebagai tambahan, perlu kukatakan. Semua dugaan kawanmu itu benar! Aku yang menyebabkan Arimbi minggat dari sini. Akulah yang menjebaknya, agar tidak lagi jadi penghalang bagiku! Dan kau pun telah kuracuni sejak lama. Sedikit demi sedikit. Hanya saja, racun yang kuberikan tidak keras. Karena, aku masih butuh bantuanmu. Sedangkan racun yang ka-lian tenggak bersama-sama, adalah racun yang memi-liki daya kerja cepat. Kalian bertiga akan mati! Hi hi hi...!" timpal wanita berpakaian biru langit penuh ke-gembiraan. "Dan, aku pula yang menyelundupkan ke-kasihku ini ke dalam ruang larangan itu."
––––––––
7
"Jahanam...!"
Kali ini Rantai Penggulung Jagad yang menge-luarkan seruan kemarahan. Saat itu juga lelaki ini me-lesat ke depan. Tapi baru juga setindak, langkahnya terhenti. Tangannya yang semula siap dilayangkan kini dipergunakan untuk mendekap dada yang mendadak terasa sakit.
"Hihihik...!"
Wanita berpakaian biru langit kembali tertawa gembira.
"Jangan coba-coba mengerahkan tenaga dalam kalau masih sayang nyawa, Tua Bangka bau tanah! Racun yang mengendap dalam tubuhmu akan menye-rang setiap kali kau mengerahkan tenaga dalam! Dan itu berarti kau akan mati jauh lebih cepat! Menurutku tidak perlu buru-buru menemui malaikat maut. Tenang-tenang saja, Tua Bangka! Nanti pun saat yang kau inginkan akan tiba! Hi hi hik...!"
Rantai Penggulung Jagad mengerti betul ucapan istri muda Ular Angkasa yang bukan sekadar ger-takan. Bukti ancaman itu telah dirasakan sendiri. Dengan wajah pucat, ditatapnya Ular Angkasa.
Ketua Perguruan Ular Sakti itu sendiri terdiam tempatnya. Lelaki itu tahu, tidak ada hal apa pun yan bisa dilakukan!
"Mengapa kau tega bertindak sekeji ini, Wardi-ni?!" tanya Ular Angkasa menyebut nama istrinya, tan-pa menyembunyikan keheranan dan penasaran. "Apa-kah selama ini aku kurang baik terhadapmu?!"
Wanita berpakaian biru langit yang bernama Wardini tersenyum mengejek.
"Kau memang cukup baik hati, Tua Bangka! Meskipun, permainan cintamu membuatku muak. Dan aku tak akan melakukan seperti ini, kalau kau tidak bertindak jahat terhadap Salangi kekasihku!" jawab Wardini sambil bergelayut manja di pundak laki-laki bermata sipit yang dipanggil Salangi.
"Siapa yang bertindak jahat, Wardini?!" bantah Uiar Angkasa, penasaran. "Aku justru masih bertindak baik hati. Salangi, kuhukum usir dari perguruan, ka-rena kerap mengganggu istri orang! Dia pun tak se-
gan-segan menggunakan kepandaiannya untuk me-nimbulkan kekacauan di kaki gunung. Makanya dia kuusir dan tak kuanggap sebagai murid! Tujuh tahun lalu hal itu kulakukan! Sebenarnya, hatiku berat me-lakukannya. Karena, dia muridku yang paling berba-kat.
Bahkan kuharapkan menjadi pimpinan perguruan ini sepeninggalku!"
"Saat ini pun, aku bisa menjadi Ketua perguruan ini, Tua Bangka!" ejek Salangi penuh perasaan menang. "Setahun lebih setelah kau usir, aku dapat masuk ke tempat ini dengan perantara kekasihku ini! Dia menjadi istrimu, atas siasat kami bersama. Kau tahu, Tua Bangka. Saat menjadi istrimu, dia telah menjadi kekasihku selama empat bulan. Dia kutemui di perjalanan. Dan sifat kami saling cocok satu sama lain!"
Ular Angkasa membisu. Di dalam hatinya, lela-ki ini malu bukan main terhadap Rantai Penggulung Jagad, karena ditipu mentahmentah! Ular Angkasa marah bukan main! Tapi, apa yang bisa dilakukan-nya?! Terbayang kembali di benaknya pertemuannya dengan Wardini! Wanita itu ditemukan salah seorang muridnya, ketika tergolek di dekat pintu gerbang da-lam keadaan terluka! Sama sekali tidak disangka kalau luka itu merupakan siasat licik!
Siapa lagi yang melu-kainya kalau bukan
Salangi?!
"Kurasa semuanya sudah jelas, Tua Bangka! Sekarang, sudah tiba saatnya bagiku untuk mengi-rimmu ke neraka! Aku akan menjadi Ketua Perguruan Ular Sakti, seperti yang selama ini kuimpikan! Dengan adanya murid-murid perguruan sebagai anak buahku, kedudukanku akan lebih kuat! Ha ha ha...!"
"Mereka tak akan sudi menjadi anak buahmu, Salangi!" desis Ular Angkasa, tajam.
"Siapa bilang, Tua Bangka?! Aku akan bertin-dak tegas! Siapa yang tidak ingin menjadi anak bua-hku akan mati mengerikan! Aku yakin, mereka lebih tahu cara hidup yang lebih baik! Ha ha ha!"
Ular Angkasa dan Rantai Penggulung Jagad hanya dapat mengeluh dalam hati. Tidak ada yang bisa melakukan apa-apa. Taruna sendiri berdiri di belakang ayahnya. Mereka bertiga hanya menunggu datangnya maut dengan hati berdebar tegang!
***
"Anjing-anjing rakus seperti kalian, jangan mimpi untuk bisa menjadi pemimpin di
Perguruan Ular Sakti..,!"
Ular Angkasa, Rantai Penggulung Jagad, Taru-na, tak terkecuali Salangi dan Wardini, mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan itu. Semuanya mencari asal suara yang diutarakan secara pelan, tapi mengan-dung pengaruh yang membuat bulu kuduk berdiri!
Wardini yang memiliki watak berangasan kon-tan merah padam mukanya. Dia marah bukan main mendapat hinaan seperti itu. Dengan mata penuh an-caman pandangannya diedarkan ke sekeliling.
Rantai Penggulung Jagad dan Taruna hanya menunggu dengan perasaan ingin tahu. Mereka, seper-ti juga yang lain, tidak bisa mengira-ngira dari mana asal suara itu yang seperti dari segala arah! Rantai Penggulung Jagad tahu, sang pemilik suara memiliki tenaga dalam amat kuat!
Di antara semua orang yang ada di situ, hanya Salangi dan Ular Angkasa yang memberikan tanggapan lain. Dahi kedua orang ini, terutama sekali Ular Ang-kasa, berkernyit dalam.
Tindakan mereka ini seperti
orang yang tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Kalian mencari siapa?! Aku sejak tadi di sini! Tidakkah kau melihat?!"
Suara dingin tanpa nada apa pun terdengar lagi. Kali ini, rupanya si pemilik suara itu tidak menge-luarkan ilmunya yang istimewa.
Sehingga, semua orang yang berada di situ bisa memperkirakan asal-nya. Mereka semuanya mengarahkan pandangan ke bawah meja tempat makan dan minuman berada.
Di bawah meja, duduk bersila sesosok tubuh ramping menggiurkan dan enak dipandang. Kepalanya bertempelan dengan bawah daun meja. Wajahnya ti-dak tampak jelas, karena terhalang kursi-kursi.
Bulu kuduk semua tokoh yang berada di situ terasa meremang! Bagaimana mungkin sosok ramping itu bisa berada di bawah meja, tanpa seorang pun yang tahu?! Padahal, sewaktu semua masih ada di kursi, mereka yakin sosok ramping itu tidak ada di situ. Lalu, bagaimana sosok itu bisa berada di bawah meja tanpa menimbulkan bunyi sama sekali?!
Sebelum tokoh-tokoh itu semuanya sadar dari perasaan kaget dan bingung, meja itu melayang ke atas membawa sosok ramping yang masih duduk ber-sila dengan kepala masih menempel pada bawah daun meja!
Semua tokoh terkejut bukan main. Pemandangan yang disaksikan merupakan pameran tenaga da-lam luar biasa. Dengan mata membelalak, kelima orang yang semula saling bertentangan, memperhati-kan peristiwa yang masih terus berlangsung dengan perasaan takjub.
Sementara itu meja terus melayang naik sampai setinggi satu tombak lebih. Baru setelah itu me-layang ke arah empat orang yang tengah berdiri berha-
dap-hadapan.
Di tengah-tengah dua pihak yang berdiri berhadapan, meja itu melayang turun perlahanlahan. Tanpa bunyi sedikit pun, sosok ramping itu menda-ratkan pantatnya pada lantai! Bahkan meja di atas ke-palanya tidak bergeming sama sekali!
Tidak kelihatan tubuh sosok ramping itu berge-rak, tapi meja itu melayang naik ke atas dan kembali ke tempat semula. Dan semua itu tanpa bunyi sama sekali! Seakan-akan, meja itu diangkat, dibawa, dan diletakkan seseorang yang tidak tampak.
Sosok ramping itu kemudian bangkit, berdiri tegak. Semua yang melihat terkesima, seakanakan tengah melihat hantu!
Sosok ramping yang diduga adalah gadis beru-sia paling banyak dua puluh lima tahun itu memang benar-benar menggiriskan. Sekujur tubuh yang tidak tertutup pakaian, ditumbuhi bulu-bulu berdiri mirip bulu landak! Rambutnya pun berdiri! Untung saja, rambutnya pendek! Wajahnya pun pucat pasi bagaikan tak berdarah! Tapi, sepasang matanya lebih mengeri-kan! Tidak memiliki biji mata hitam! Bahkan bagian mata yang seharusnya berwarna putih pun berwarna merah membara!
"Sss... siapa kau...?!" tanya Ular Angkasa, meskipun tidak lancar. "Sepertinya..., aku tidak asing denganmu...,"
Sosok ramping bermata merah membara itu tersenyum. Tapi hal itu justru membuatnya terlihat semakin mengerikan! Senyumnya dingin, tanpa mem-beri jawaban sama sekali.
Sosok bermata merah itu lantas mengalihkan perhatian pada Wardini. Matanya yang merah memba-ra seperti mengeluarkan api, ketika menatap kekasih
Salangi.
Ucapan Ular Angkasa membuat Salangi mengernyitkan alis. Memang, sosok ramping itu wajahnya kelihatan mengerikan. Tapi lelaki yang berusia sekitar tiga puluh tahun ini yakin, pernah melihat sebelum-nya. Baik bentuk wajah, maupun potongan tubuhnya.
Perasaan ini juga menghantui Rantai Penggulung Jagad. Lelaki ini merasa pernah melihat sosok ramping itu. Hanya saja, dia tidak mengingat lebih jauh.
"Wanita berhati busuk!" desis sosok ramping itu tajam, tapi tanpa mengemikkan bibir. "Dulu dengan siasat licikmu, kau berhasil membuatku terusir dari tempat ini! Tempat di mana aku dibesarkan! Dulu kau berhasil lolos dan menang! Tapi sekarang, kau akan binasa di tanganku!"
Meski ucapan itu tidak keras, tapi membuat semua yang berada di situ seakan mendengar petir menggelegar. Kalau Wardini dan Salangi hanya terke-jut bercampur ngeri karena tahu akan adanya anca-man, Ular Angkasa merasakan dadanya sesak oleh ra-sa haru yang menyeruak. Rasa bersalah pun semakin besar. Ucapan itu telah membuatnya langsung bisa mengetahui sosok ramping yang menggiriskan hati ini.
"Ya, Allah...," desis Ular Angkasa dengan suara terbata-bata. Bibirnya bergetar hebat. "Kau... Arim-bi...?! Kau, Anakku,..?! Apa yang terjadi dengan diri-mu, Nak?!"
Ular Angkasa dengan raut muka sulit dilukiskan, melangkah mendekati sosok ramping yang ter-nyata Arimbi.
Arimbi sendiri tidak mempedulikan sama sekali keadaan Ular Angkasa. Sosok ini berdiri dengan tata-pan tajam menusuk pada Wardini.
Rantai Penggulung Jagad yang juga merasa terkejut ketika mengetahui sosok ramping itu adalah Arimbi, terkesima di tempatnya. Tapi langsung disadari ketika melihat tindakan Ketua Perguruan Ular Sakti itu.
Rantai Penggulung Jagad tahu, Arimbi yang se-karang kemungkinan besar berbeda jauh dengan Arimbi yang dulu. Bukan tidak mungkin, tindakan Ular Angkasa akan membuat sosok yang dulu cantik itu akan membunuhnya. Maka lelaki pendek kekar ini segera bertindak cepat. Langsung dicekalnya pergelan-gan tangan Ular Angkasa.
Kali ini Ular Angkasa meronta. Lelaki bermuka kuning kini tidak ingin dihalangi.
"Tenangkan hatimu, Ular," ujar Rantai Penggu-lung Jagad, memberi nasihat "Lebih baik tunda dulu niatmu. Kita belum tahu, bagaimana Arimbi sekarang. Biarkan dia melakukan apa yang diinginkannya. Aku khawatir, tindakanmu disalahartikan. Bukan tidak mungkin dia akan membunuhmu, karena dianggap merintangi maksudnya."
"Tapi dia anakku, Rantai," bantah Ular Angka-sa.
"Itu memang benar. Tapi tidakkah kau lihat, dia telah berubah dahsyat! Siapa tahu dia tidak menge-nalmu lagi sekarang. Bagaimana?!"
"Tidak mungkin!" Ular Angkasa masih bersike-ras. "Kenyataannya dia masih mengenal Wardini. Pasti, dia mengenalku. Aku lebih lama hidup bersamanya...!"
"Bisa saja dia lupa padamu. Tapi, ingat pada Wardini! Bisa jadi karena perasaan dendam, membuat dia teringat pada Wardini! Perhatikan baik-baik, Ular. Aku tidak yakin, Arimbi masih hidup. Maksudku..., aku lebih percaya kalau dia Arimbi yang bangkit kem-
bali dari kematian! Entah bagaimana itu bisa
terjadi, tapi aku yakin betul. Tidakkah kau lihat keadaannya?! Tidak mungkin seorang manusia memiliki ciri-ciri de-mikian mengerikan!" papar si Rantai Penggulung Ja-gad.
Di saat Ular Angkasa dan Rantai Penggulung Jagad terlibat pertengkaran, Wardini melompat ke be-lakang sejauh dua tombak diikuti Salangi. Sepasang kekasih ini sama-sama mencabut senjata masing-masing. Salangi menghunus golok besar, sedangkan Wardini sepasang tusuk konde bergagang kepala ular kobra. Ruangan itu memang luas sekali, sehingga me-mungkinkan untuk menggelar pertarungan.
Berbeda dengan Wardini dan Salangi yang telah siap sedia, Arimbi sendiri tidak bergeming dari tempat-nya. Tetap diam bak patung batu.
Dan mendadak Salangi mengirimkan serangan dengan tusukan bertubi-tubi!
Wutt! Wutt!
Batang golok lelaki itu seperti berjumlah bela-san, saking cepatnya digerakkan. Dan semua serangan itu tertuju pada Arimbi.
Namun Arimbi tetap tidak bergeming dari tem-patnya. Tidak juga terlihat melakukan gerakan apa-apa, kecuali hanya membenturkan telapak tangannya satu sama lain!
Splash...!
Semua pasang mata terbelalak lebar ketika me-lihat kilatan cahaya menyilaukan laksana halilintar muncul dari kedua telapak tangannya yang dibentur-kan.
Cahaya menyilaukan itu terus meluncur ke arah tubuh Salangi yang masih berada di udara.
"Heh?!"
"Akhhh...!"
Wardini sampai terpekik kaget. Namun lain halnya Salangi. Pekikan yang keluar dari mulutnya terdengar menyayat hati ketika cahaya menyilaukan itu menerpa tubuhnya tanpa sempat dielakkan.
Tubuh Salangi langsung terlempar laksana daun kering dihembus angin. Bau sangit daging yang terbakar menyebar di sekitar tempat itu seiring me-layangnya tubuh lelaki itu dalam keadaan hangus menghitam!
Semua pasang mata yang berada di situ kontan terpaku. Tidak terkecuali Wardini. Baru ketika tubuh Salangi menimpa lantai, wanita ini menjerit penuh ke-sedihan.
"Kubunuh kau...!"
Wardini yang kalap menghambur ke arah Arimbi. Tapi langkahnya langsung terhenti, ketika Arimbi membenturkan jari tangan kiri dan kanannya.
Splash!
"Aakh...!"
Wanita culas ini kontan terjatuh sambil menje-rit kesakitan. Cahaya menyilaukan itu menerpa paha kanan dan menghanguskannya.
Arimbi rupanya benar-benar hendak melampiaskan sakit hatinya. Sasaran yang dituju tidak ba-gian yang mematikan. Dan sadar kekuatan sinar me-nyilaukannya pun tidak terlalu dahsyat. Wardini benar-benar bagaikan ayam disembelih. Tubuhnya menggeliat-geliat ke sana kemari, ketika cahaya menyilaukan dari Arimbi mengenai bagian-bagian tubuhnya bertubi-tubi.
Rantai Penggulung Jagad, Ular Angkasa, dan Taruna, bergidik melihat pemandangan ini. Mereka ti-dak sampai hati melihat Wardini demikian menderita.
Menggeliat-geliat sambil merintih-rintih memohon di-bunuh! Keringat sebesar biji-biji jagung tampak meng-hiasi sekujur wajahnya.
Arimbi berdiri tegak bagai patung memperhati-kan tingkah laku lawannya yang telah sekarat. Selu-ruh anggota tubuh Wardini, kecuali wajah dan badan, hangus menghitam. Tapi anehnya, wanita itu tidak mati. Kecuali merasakan panas luar biasa yang me-nyiksa dirinya.
"Bunuh saja aku, Arimbi. Jangan kau siksa aku seperti ini," ratap Wardini lirih.
Arimbi tidak bergeming. Sementara Ular Angka-sa yang sejak tadi seperti terpengaruh sihir sehingga membuatnya berdiri diam bagai patung, tersadar. Dia tidak sampai hati melihat keadaan Wardini.
"Lupakan dendammu, Arimbi. Kau telah mem-balasnya. Sekarang, penuhilah keinginannya, Nak! Bunuhlah dia...! Bukan watak seorang pendekar, me-nyiksa lawannya!" ujar Ular Angkasa.
Arimbi yang sejak tadi membeku, berbalik. Dengan sinar mata merah, ditatapnya Ular Angkasa. Lelaki gagah yang tidak pernah merasa gentar itu un-tuk pertama kalinya mundur selangkah tanpa sadar melihat tatapan Arimbi yang benar-benar menggi-riskan!
Setelah melempar tatapan seperti itu, Arimbi melesat meninggalkan tempat ini. Ular Angkasa, Ran-tai Penggulung Jagad, dan Taruna bergidik ketika me-lihat Arimbi tidak menjejakkan kaki atau menekuk lu-tut untuk melompat!
Bertepatan dengan perginya Arimbi, belasan murid Perguruan Ular Sakti muncul, setelah menden-gar bunyi gaduh. Semula mereka ragu, karena Ular Angkasa telah berpesan agar jangan diganggu sedikit
pun.
Tapi karena bunyi gaduh itu semakin menjadi-jadi, mereka nekat mendatangi tempat ini setelah me-rundingkannya lebih dulu.
Kini mereka terperangah ketika melihat pemandangan yang terpampang. Apalagi, ketika melihat Ular Angkasa membunuh istri mudanya dengan menu-suk ulu hatinya.
––––––––
8
Dewa Arak kebingungan sampai-sampai alisnya berkernyit. Kakinya yang kokoh kini berdiri di tanah berumput hijau segar yang terawat baik. Beberapa tombak di depannya terdapat hamparan rumput yang juga hijau, tapi tingginya sekitar satu tombak. Sekeli-lingnya tanaman bunga. Di antara tanaman-tanaman itu, membentang jalan setapak.
Telah cukup lama pemuda berambut putih keperakan ini berada di sini. Sekarang ini Dewa Arak tengah dalam perjalanan menuju Istana Iblis. Tapi ba-ru pada pintu pertamanya di bagian taman ini, dia ti-dak bisa berbuat banyak.
Pemuda ini hanya berputar-putar di tempat yang sama dan kembali di tempat itu tanpa tahu lagi jalan kembali. Sedangkan jalan yang dicari pun, belum juga didapatkan.
Arya menghapus peluh yang membasahi kening. Perasaan khawatir mulai menyergap hatinya. De-wa Arak tahu, bila jalan keluar tetap tidak diketemu-kan, bisa mati di tempat ini! Apalagi juga dirasakan adanya hawa beracun di sini! Mungkin berasal dari sa-lah satu tanaman yang ada.
Sekarang Arya baru mengerti, mengapa banyak
tokoh persilatan yang tidak kembali dalam perjalanan menuju Istana Iblis. Mungkin, sebagian besar tewas di tempat ini. Buktinya, hidungnya masih bisa membaui mayat! Tengah Dewa Arak berpikir lebih jauh lagi mendadak...
"Dari tempatmu berdiri, maju ke depan lurus! Berdirilah tepat di depan rumput yang pada bagian ujungnya menempel belalang kecil.
Belalang itu palsu. Dari situ melangkah ke kanan tiga tindak..."
Terdengar suara nyaring merdu khas suara seorang wanita muda, merasuk ke dalam telinga Arya.
Dewa Arak berpikir sejenak, tidak langsung menuruti pemberitahuan yang dikirim melalui ilmu pengirim suara dari jauh itu. Dia mempertimbangkan-nya, sebelum mengambil keputusan.
Arya yakin, petunjuk itu benar. Kalau tipuan dengan maksud untuk membuatnya tewas rasanya ti-dak mungkin. Tanpa ditipu pun, dia memang sudah tersesat. Hanya kebetulan saja dia belum celaka di tempat-tempat salah yang diambilnya.
Maka Arya mengambil keputusan, mengikuti petunjuk itu. Tanpa banyak pertimbangan, diikutinya secara membuta. Terkadang menabrak tanaman, ber-jalan mundur, melingkar, dan melompat-lompat. Tapi, hebatnya, tak lama kemudian dia telah sampai di tem-pat kedatangannya semula.
Dewa Arak tidak kecewa dengan kegagalannya menemukan Istana Iblis. Di tempat jalan-jalan aneh menuju istana rahasia itu, di luarnya Dewa Arak meli-hat dua sosok. Yang seorang gadis muda, sedangkan yang lainnya seorang nenek!
Dua sosok yang berdiri berjarak lima tombak di depan Dewa Arak itu mengangguk. Sifat mereka tam-pak ramah. Arya balas mengangguk. Sebentar dia ter-
senyum, lalu menghampiri.
"Terima kasih atas pertolongan kalian berdua. Perkenalkan, namaku Arya. Tanpa kalian, mungkin aku telah menjadi mayat," ucap Arya sambil mengem-bangkan senyum lebar.
"Lupakanlah, Arya," ujar gadis berpakaian kun-ing. Gadis ini diyakini Arya sebagai orang yang mengi-rim petunjuk. Tapi dugaannya tidak dikatakannya.
"Aku Sumarni. Dan ini guruku," lanjut gadis yang mengaku bernama Sumarni.
"Selamat berjumpa, Nek," tegur Arya, sopan.
Si nenek bongkok. Dia mengenakan pakaian hi-tam dengan jubah putih. Bibirnya yang keriput men-gembangkan senyum. Giginya ternyata telah tanggal semua. Usianya tentu telah amat tua.
"Maaf kalau aku berlaku lancang, Nek. Apakah Nenek yang disebut-sebut orang sebagai permilik Ista-na Iblis?!" ucap Arya sopan.
Si nenek mengangguk.
"Benarkah banyak orang yang tewas sebelum mencapai Istana Iblis, Nek?!"
Kali ini si nenek tidak memberi jawaban lang-sung. Malah ditatapnya Arya.
Pemuda ini terkesiap melihat mata nenek itu mencorong tajam. Sorotnya lebih terang dibanding to-koh mana pun yang pernah dijumpainya!
Arya sudah merasa khawatir kalau nenek ini marah dan menyerangnya. Sementara Sumarni keliha-tannya gelisah. Dengan bahasa isyarat, dipintanya Arya untuk tidak banyak bertanya.
Arya menarik napas lega ketika mata nenek itu meredup kembali. Dan Sumarni pun tenang. Wajahnya bahkan berseri ketika melihat gurunya mengangguk.
"Kau hendak bertanya lagi kan, Dewa
Arak?!"
tukas nenek itu, tapi tidak terasa adanya nada
kema-rahan di dalamnya.
Arya diam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk.
"Bukankah kau hendak mengajukan pertanyaan, mengapa orang-orang itu tidak kutolong?!"
Untuk kedua kalinya Dewa Arak mengangguk. Diam-dilam pemuda ini merasa takjub, menyadari ka-lau nenek ini bisa membaca pikirannya. Dugaan yang
dilontarkannya memang tepat
"Kau tidak usah merasa takjub, Dewa Arak. Aku memang mempunyai kemampuan membaca piki-ran orang lain," jelas si nenek lagi. "Ketahuilah. Ada dua hal yang membuatku tidak membiarkan kau mati di sana, sebagaimana orang lain!"
Si nenek mengarahkan pandangan ke lereng gunung. Sikapnya seperti orang yang tengah menung-gu sesuatu. Kesempatan itu dipergunakan Arya untuk mengerling ke arah gadis berpakaian kuning yang ber-nama
Sumarni.
Arya harus mengakui, Sumarni amat cantik. Kulit wajah dan tubuhnya putih, halus, dan mulus. Bentuk tubuhnya sintal. Indah dan menggiurkan. Sungguh seorang gadis yang amat menarik!
"Hal pertama," suara si nenek membuat Arya mengalihkan perhatian kembali.
Arya sudah merah wajahnya karena khawatir perbuatannya dipergoki. Tapi hatinya lega ketika ne-nek itu masih tetap menerawang ke depan.
"Karena kau adalah tokoh yang berjuluk Dewa Arak"
Arya melongo. Nenek ini tahu tentang Dewa Arak?! Berarti dia masih suka terjun ke dunia persila-tan!
"Dari mulut muridku, yang mendengar berita mengenaimu di luaran, aku tahu kau terhitung pende-kar berhati lurus. Aku tahu kedatanganmu menempuh bahaya ke Istana Iblis, tidak untuk nafsu serakah se-bagaimana orang lain."
"Aku datang kemari untuk meminta petunjuk, mengenai cara membunuh seorang lawan yang amat sakti dan memiliki ilmu aneh, Nek," jelas Arya, buru-buru
"Aku tahu itu, Dewa Arak. Kulihat sendiri di benakmu. Bahkan sepotong-potong, kulihat apa yang kau lihat mengenai tokoh luar biasa itu. Kedatangan-mu hendak meminta cabai putih hitam bukan?! Sayang, aku tidak menyimpannya," terabas si nenek.
Arya menghela napas berat. Harapannya ternyata pupus.
"Ada pun hal kedua," sambung si nenek. "Kare-na permintaan muridku yang kau anggap amat mena-rik hati! Dialah yang memintaku untuk mengampuni tindakanmu. Dia melihatmu terancam, dan ingin me-nolongmu...!"
Dua wajah anak muda langsung merah padam, Jika Arya merasa rahasianya terbongkar, karena men-gerling ke arah Sumarni yang dilakukan diam-diam. Sedangkan Sumarni, dibuka isi hatinya!
"Oleh karena itu, Dewa Arak," si nenek terus saja berbicara, tak peduli perasaan sepasang anak muda itu. "Kuminta kau membawa Sumarni dari sini. Aku tidak ingin dia celaka di tangan tokoh luar biasa itu. Syukur-syukur, aku bisa mengalahkannya. Se-hingga, kau tidak perlu membawanya kabur. Tapi, in-gat. Kalau bisa, sebelum meninggalkan tempat ini, be-rikan kesempatan bagiku untuk memberitahukanmu mengenai kelemahan tokoh itu."
"Jadi kau telah mengetahui kelemahan Jagalpati, Nek?!" tanya Arya, mempunyai bahan mengatih-kan persoalan.
"Sekarang belum," jawab si nenek.
"Nanti, setelah bertarung dengannya dan mem-perhatikan ilmunya, mungkin bisa kuketahui kelema-hannya. Itu baru kemungkinan. Tapi kemungkinan itu besar. Karena aku sudah mempunyai sedikit gambaran penangkalnya, berdasarkan gerakan dan pameran ilmu yang sempat kulihat di benak Sumarni dan kau! Mu-dah-mudahan saja."
***
"Jadi, Jagalpati akan menuju kemari, Nek?!"
Lagi-lagi Arya mengajukan pertanyaan, setelah membiarkan suasana hening.
"Begitulah menurut dugaanku, Dewa Arak. Ja-galpati ingin bersembunyi. Dan tidak ada tempat yang lebih baik, selain Istana Iblis. Bisa kurasakan, kalau saat ini dia tengah dilanda ketakutan hebat Dia ber-lomba dengan waktu, untuk mencari keselamatan. Aku tidak tahu, mengapa dia sampai demikian takut," jelas si nenek, mendesah.
"Jagalpati tengah ketakutan, Nek?!" ulang Arya ingin jawaban yang lebih jelas. "Mungkinkah hal yang ditakutinya ketika hampir berhasil membunuhku?!"
Si nenek bagaikan disengat kalajengking hingga terjingkat. Suaranya penuh tekanan, ketika berkata pada Arya. Sehingga, tidak hanya Arya saja yang kaget Sumarni pun demikian. Gadis ini sampai mengangkat wajahnya yang sejak tadi ditundukkan. Dia merasa he-ran. Biasanya gurunya bersikap tenang, bahkan terkesan dingin. Tapi mengapa sekarang demikian kalap?!
"Coba kau bayangkan wajah Jagalpati ketika ketakutan di saat hendak membunuhmu, Dewa Arak!" perintah si nenek, setelah lebih dulu menyuruh Arya menceritakan pertemuannya dengan Jagalpati.
Otak Arya yang cerdas dapat menangkap mak-sud perintah itu. Keturunan terakhir pemilik Istana Ib-lis ini, ingin membaca pikiran Jagalpati saat tengah ke-takutan!
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa
Arak memusatkan pikiran untuk membayangkannya. Tidak terlalu sukar, karena sikap Jagalpati amat menarik perhatiannya sehingga terekam erat di otaknya.
Si nenek menatap Arya tajam-tajam beberapa saat sambil mengernyitkan kening. Membaca pikiran orang yang berupa gambaran pikiran seseorang, ter-nyata menguras kemampuannya. Jauh lebih sukar da-ripada membaca pikiran orang yang ada di hadapan-nya.
"Aneh...," gumam si nenek sambil menghapus keringat yang membasahi kening, karena cukup ba-nyak mengerahkan kemampuan.
Saat itu, sebuah pertanyaan sudah berada di ujung lidah Dewa Arak dan Sumarni. Namun karena perasaan tidak enak, membuat keduanya menekan pe-rasaan. Dan pertanyaan itu tidak terlontar keluar.
Nenek penghuni Istana Iblis itu sendiri seperti tidak tahu perasaan yang bergolak di hati Arya dan Sumarni. Dia malah mengelus-elus dagu sambil meng-geleng-gelengkan kepala. Seakanakan, jawaban yang didapat mengherankan hatinya.
"Rasanya tidak masuk akal, Dewa Arak...."
"Mengapa, Nek?" tanya Arya ketika memperoleh kesempatan dan keberanian.
"Hasil yang kudapat dari hasil pemusatan per-
hatianmu terhadap wajah Jagalpati,
menunjukkan ka-lau dia takut pada halilintar!"
Sumarni melongo. Heran. Sedangkan Arya me-longo sebentar, tapi tidak heran.
"Kurasa itu tidak mungkin, Nek?!" bantah Arya, yakin. "Kalau petir yang ditakutinya, mengapa tidak sejak sebelumnya! Perlu kau ketahui, Nek. Di saat dia hendak menjatuhkan pukulan menentukan padaku, petir telah beberapa kali meledak. Sebelum aku dirobohkannya, beberapa kali petir telah menyambar bu-mi! Kalau dia memang takut pada petir, kenapa tidak sejak pertama kali petir menyalak. Maaf, Nek. Bukan-nya tidak percaya. Aku pun semula menduga sama denganmu. Tapi sangkalan yang kudapat kemudian amat kuat. Bukan petir yang menyebabkannya takut, Nek." "Tidak kusalahkan kalau kau berpendapat demikian, Dewa Arak. Tapi, ketahuilah. Jawaban itu sa-tu-satunya yang kudapatkan dari bayangan khayal Ja-galpati melalui alam pikiranmu! Terlihat jelas! Bahkan ketika kuulang untuk lebih meyakinkan, jawaban sa-ma yang kuperoleh!"
Dewa Arak diam. Benaknya diputar keras untuk mencoba memecahkan masalah yang aneh ini. Se-benarnya dia tidak merasa aneh mendengar jawaban yang diberikan si nenek. Hanya yang menjadi pikiran-nya, hanya sangkalan yang diberikannya! Benarkah petir yang ditakuti Jagalpati?! Tapi, mengapa bukan petir pertama yang ditakutinya? Ataukah petir yang meledak di saat serangan menentukan terhadap Dewa Arak dilancarkan, berbeda dengan petir-petir sebelum-nya?
Arya yang hendak membuka mulut untuk men-geluarkan buah pikirannya, segera menahan ucapan-
nya ketika melihat penghuni Istana Iblis itu memper-hatikan lereng gunung dengan sikap amat tertarik. Pandangannya pun dialihkan.
Tampak di kejauhan, sesosok tubuh meluncur dengan kecepatan menakjubkan ke arah mereka. Na-mun, Arya hanya memperhatikannya sebentar.
. "Aku yakin, dia bukan Jagalpati, Nek!" ujar Arya setengah memberitahukan.
"Hmmm...!"
Si nenek mengeluarkan gumaman sebagai tanggapan. Tapi pandangannya tetap tidak dialihkan sama sekali. Hatinya masih belum yakin kalau belum membuktikannya sendiri. Sayang, jarak masih terlalu jauh untuk bisa melihat sosok itu secara jelas
"Jagalpati tidak mengenakan pakaian putih, Nek. Dia berpakaian serba hitam," tambah Arya untuk menguatkan keterangannya.
Seperti juga si nenek, Dewa Arak pun belum melihat jelas wajah sosok yang bergerak cepat menuju tempat mereka. Tapi, dari warna pakaiannya, Arya bisa menduga.
"Kau kenal siapa dia, Dewa Arak?!"
Arya memperhatikan sosok yang tengah mele-sat dengan kecepatan tinggi beberapa saat sampai wa-jahnya terlihat cukup jelas. Pelan dan mantap kepa-lanya digelengkan.
"Aku belum pernah melihatnya, Nek"
Jawaban itu meski agak berputar, tapi telah memberi petunjuk pada penghuni Istana Iblis.
"Mau apa dia kemari?! Apakah ingin menyatro-ni Istana Iblis?! Rasanya, tidak mungkin! Sudah bela-san tahun Istana Iblis tidak didatangi orang," gumam si nenek seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Kau pernah melihatnya, Sumarni?!"
Sumarni menggeleng.
"Tidak, Guru."
***
Sosok yang menarik perhatian penghuni Istana Iblis, Dewa Arak, dan Sumarni menghentikan larinya berjarak lima tombak.
Sosok itu ternyata seorang lelaki berusia setengah abad lebih. Kumisnya tipis, dengan wajah masih kelihatan tampan. Dia balas memperhati-kan sosok-sosok di depannya, karena tahu kalau ke-hadirannya sejak tadi telah menarik perhatian mereka.
Sesaat dua belah pihak saling memperhatikan satu sama lain. Tapi, lelaki berpakaian putih yang tak lain Kebo Gandrung tersenyum dan menganggukkan kepala. Rasa hormat dan sopannya hanya ditujukan pada nenek berjubah putih.
"Namaku Kebo Gandrung. Kalau aku tidak sa-lah mengenali orang, Nenek pasti yang dulu disebut-sebut sebagai penghuni Istana Iblis itu, kan?!" kata Kebo Gandrung membuka percakapan.
"Untuk apa kau datang kemari, Kebo Gandrung?!" tanya si nenek dingin, tanpa menjawab perta-nyaan lelaki yang baru saja ditinggal mati istrinya.
Kebo Gandrung tidak menjadi tersinggung atau kecil hati mendapat tanggapan seperti itu. Senyum terkembang masih menghjas bibirnya.
"Mungkin kedatanganku ini tidak menyenang-kan hatimu, Nek. Kedatanganku karena ingin memin-tamu untuk mengangkatku sebagai murid. Aku berse-dia menjadi budakmu,
Nek. Asalkan, kau mau meme-nuhi
permintaanku ini."
"Orang setua kau untuk apa belajar kepandaian lagi, Kebo Gandrung?!" tukas penghuni
Istana
Iblis, mulai ramah melihat sikap Kebo Gandrung yang merendahkan diri itu. "Kulihat kau telah memiliki ke-pandaian cukup! Tak sembarang orang yang mampu memiliki tingkat kepandaian sepertimu!"
"Tapi kepandaian yang kumiliki sekarang tidak ada artinya, jika dipergunakan untuk menghadapi mu-suh besarku, Nek. Dia memiliki kepandaian tinggi. Dan dengan kepandaiannya, dia telah membunuh istriku secara kejam!" jelas Kebo Gandrung.
Si nenek terdiam sebentar, seperti berpikir.
Se-pasang matanya menatap lekat-lekat wajah Kebo Gan-drung. Sesaat kemudian, dia melepaskan napas berat.
"Aku tidak yakin akan bisa memenuhi permin-taanmu, Kebo Gandrung. Musuh yang kau maksud memiliki kepandaian teramat tinggi. Jangankan hanya kau mempelajari ilmu dariku. Aku sendiri belum tentu mampu mengalahkan musuhmu itu!"
"Kau tahu siapa musuh besarku itu, Nek?!" tanya Kebo Gandrung kaget setengah tidak percaya.
Sementara Arya dan Sumarni segera tahu kalau si nenek telah menggunakan ilmunya yang khas. Membaca pikiran orang lain! Dan dengan ilmu itu, mu-suh besar Kebo Gandrung diketahui.
Sebuah dugaan muncul di benak Arya dan Su-marni begitu mendengar ucapan penghuni
Istana Iblis. Mungkinkah musuh besar Kebo Gandrung adalah Ja-galpati pula?! Rasanya memang tidak salah lagi!
Si nenek mengangguk, membenarkan pertanyaan Kebo Gandrung. "Musuh besarmu Jagalpati bu-kan?!" tebak si nenek, penuh keyakinan.
Kebo Gandrung melongo mendengar jawaban penghuni Istana Iblis yang demikian tepat. Si nenek sendiri bersikap tidak peduli.
"Lebih baik kau tunggu di sini. Aku yakin, mu-
suh besarmu itu akan tiba di sini tak lama lagi. Pera-saanku mengatakan demikian. Dan biasanya, pera-saanku tidak salah. Mudahmudahan saja, ditempat ini Jagalpati harus terkubur!" lanjut si nenek penghuni Istana Iblis.
Kebo Gandrung semakin bingung. Ditatapnya Arya dan Sumarni. Orang yang ditatap tersenyum. Meski masih bingung, lelaki setengah baya yang masih ganteng ini ikut tersenyum pula. Senyum yang terhias kesan bingungan.
***
"Aku yakin Jagalpati yang tengah menuju kemari...," desah si nenek dengan pandangan mata tidak berkedip ke depan.
Arya, Sumarni, dan juga Kebo Gandrung mela yangkan tatapan ke bawah lereng. Mereka melihat se-sosok hitam tengah melesat cepat. Arah yang dituju adalah tempat mereka semua berada.
"Benar! Dia Jagalpati...."
Jawaban itu keluar secara bersamaan dari mulut Arya dan Sumarni. Kebo Gandrung masih memper-hatikan penuh perhatian. Sudah cukup lama pemuda cabul itu tidak dijumpai. Maka dia cukup menemui ke-sulitan untuk segera mengenalnya.
"Ha ha ha...!"
Jaraknya masih belasan tombak. Tapi sosok hi-tam yang memang Jagalpati itu telah tertawa bergelak. Seperti juga keempat orang itu, Jagalpati telah melihat keberadaan orang-orang yang memperhatikannya pe-nuh minat!
"Mimpi apa aku semalaman, sehingga orangorang yang kucari semuanya berkumpul di sini! Apa-
kah kalian semua memang telah bersepakat untuk ma-ti bersama-sama di tempat ini?! Ha ha ha...!"
"Jagalpati...! Manusia berhati binatang...! Syu-kur kau datang kemari! Kau harus menebus kematian Cempaka, istriku!" dengus Kebo Gandrung, langsung melompat menerjang dengan satu tendangan terbang ke arah dada.
Jagalpati yang telah menghentikan larinya ter-tawa ganda. Padahal saat itu serangan Kebo Gandrung tengah meluncur ke arahnya.
Begitu serangan Kebo Gandrung tiba, Jagalpati mengulurkan tangan. Kelihatan tak bertenaga dan sembarangan. Dan....
Tap!
Tapi pergelangan kaki Kebo Gandrung telah berhasil dicekal Jagalpati.
Kebo Gandrung kaget, tapi tidak mempunyai banyak waktu lagi. Jagalpati yang berhati keji lang-sung melancarkan gerakan lanjutan. Tangannya berge-rak menekuk, sehingga...
Krak!
"Aaakh...!"
Seketika tulang kaki Kebo Gandrung pun patah! Laki-laki ini meringis kesakitan!
Sementara Jagalpati tidak peduli. Dengan senyum kejinya, dibantingnya tubuh Kebo
Gandrung ke tanah dengan keras.
Bruk!
Tubuh Kebo Gandrung kontan menghantam tanah. Laki-laki ini menyeringai. Tapi, tidak terdengar keluhan sedikit pun dari mulutnya. Tanah yang ter-hantam tubuhnya sampai amblas beberapa jari.
"Orang sepertimu harus mati secara mengerikan, Kebo!" desis Jagalpati penuh kemarahan sambil
melayangkan kaki untuk menjejak bahu!
Kebo Gandrung ingin mengelak, tapi rasa sakit dan nyeri yang melanda membuatnya sulit untuk ber-gerak.
Melihat ancaman bahaya terhadap Kebo Gandrung, Dewa Arak tidak bisa berdiam diri lagi. Tubuh-nya cepat melompat sambil mengayunkan guci ke arah Jagalpati!
"Huh!"
Jagalpati mendengus. Serangan Dewa Arak membuatnya membatalkan serangan terhadap Kebo Gandrung. Secepat kilat tangannya disampokkan un-tuk memapak serangan yang mengancam kepala.
Prang!
Benturan keras terdengar ketika guci pusaka dan tangan berbenturan. Namun tubuh Jagalpati tidak bergeming. Sebaliknya, Dewa Arak terlempar dan ter-putar. Percikan-percikan arak bertumpahan dari da-lam guci.
Jagalpati tidak mempedulikan Dewa Arak lagi. Rupanya, dia amat dendam terhadap Kebo Gandrung. Begitu berhasil menyingkirkan Dewa Arak, serangan-nya terhadap Kebo Gandrung kembali dilanjutkan! "Chiaaat... Heh?"
Tapi lagi-lagi Jagalpati harus bisa menahan di-ri, karena maksudnya tak terlaksana. Tanpa diduga, nenek penguni Istana Iblis telah membuat serangan-nya gagal.
Nenek itu menyerang dengan sodokan tongkat ke arah ulu hati. Serangannya jauh lebih dahsyat dari-pada serangan Dewa Arak.
Kendati demikian, Jagalpati tidak menjadi gen-tar. Segera disambutnya serangan itu dengan cara sa-ma.
Tap!
Tongkat itu ditangkap Jagalpati. Tangan pemu-da ini sampai bergetar ketika maksudnya kesampaian!
Jagalpati benar-benar yakin akan kemampuan diri sendiri. Meski tahu kalau penghuni Istana Iblis memiliki tenaga dalam tidak lumrah manusia, tongkat yang ditangkap pun ditariknya.
Sementara nenek berjubah putih tentu saja tidak menginginkan hal itu terjadi. Dia pun balas mena-rik. Sehingga tarik-tarikan tongkat pun tidak bisa di-hindari lagi.
Dewa Arak, Kebo Gandrung, dan Sumarni, memperhatikan dengan perasaan tegang. Mereka se-mua tahu, pertarungan seperti ini amat berbahaya. Bi-la salah satu pihak ada yang kalah, lawan akan mudah membunuhnya dengan perantaraan tongkat.
Tenaga dalam dua tokoh luar biasa sakti yang berbeda jauh dalam usia itu ternyata berimbang. Ka-rena sampai sekian jauh, adu tarik-tarikan itu masih berlangsung sengit.
Yang kalah kuat adalah tongkat yang tengah diperebutkan! Karena....
Krakkk!
Senjata itu patah dua tepat di tengah-tengah. Hal ini membuat kedua tokoh yang sama-sama tengah mengerahkan seluruh kekuatan menarik, kontan ter-jengkang ke belakang terbawa tenaga tarikan sendiri.
Jagalpati memang pemuda culas yang memiliki watak licik. Dalam keadaan terjengkang, dia masih sempat melancarkan serangan. Seketika kepalanya di-goyangkan. Rambutnya yang panjang sampai ke ping-gang putus di tengah-tengah.
Wess...! Wess...!
Rambut yang jumlahnya tak terhitung itu me-
luncur ke arah si nenek. Semula berkelompok, tapi kemudian di tengah jalan memecah menjadi beberapa bagian. Dan rambutrambut itu menegang kaku laksa-na jarum.
"Hiaaa...!"
Penghuni Istana Iblis membentak keras. Akibatnya, rambut-rambut yang menegang kaku itu kem-bali melemas seperti semula dan berjatuhan ke tanah, seperti membentur dinding tidak tampak.
Dewa Arak, Sumarni, dan Kebo Gandrung yang semula merasa khawatir, menjadi lega bercampur ka-gum. Tapi perasaan itu kembali pupus, ketika melihat Jagalpati menerkam laksana macan luka ke arah ne-nek berjubah putih ini.
Si nenek yang baru saja memunahkan serangan rambut, tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Serangan susulan Jagalpati memang berse-lisih sebentar dengan serangan rambut, setelah pemu-da itu dapat mematahkan kekuatan yang membuat tu-buhnya terpental.
Tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan diri, membuat penghuni Istana Iblis ini memutuskan untuk memapak serangan Jagalpati! Sementara Jagalpati memang luar biasa cerdik. Begitu serangan tangannya hampir mencapai sasaran, kaki kanannya pun ikut pula dilayangkan!
Plak, plak, desss, desss!
Hampir berbarengan dengan benturan dua pasang tangan, kaki kanan Jagalpati berhasil menghan-tam paha kanan si nenek.
Sementara nenek berjubah putih yang menyadari keadaannya kurang menguntungkan itu memang sengaja membiarkan serangan mendarat. Di saat yang bersamaan, kaki kirinya dilayangkan ke arah dada.
Sudah terbayang di benaknya kalau dada Jagalpati akan hancur berantakan!
Akibat masing-masing serangan, membuat tubuh Jagalpati dan penghuni Istana Iblis melayang jauh ke belakang. Tapi kalau Jagalpati mampu menjejak ta-nah secara mantap, tubuh nenek itu justru terbanting keras di tanah dan langsung memuntahkan darah se-gar. Penghuni Istana Iblis ini terluka dalam yang amat parah! "Nenek...!"
Sumarni langsung meluruk ke arah gurunya.
Tanpa memikirkan keselamatannya kalau-kalau Ja-galpati menyerang lagi, dia duduk bersimpuh di dekat si nenek.
Dewa Arak memperkirakan hal ini. Maka segera kakinya melangkah maju dan berdiri di antara Jagal-pati dan penghuni Istana Iblis.
Sikapnya terlihat penuh kewaspadaan.
Namun, Jagalpati tidak mempedulikannya. Pe-muda ini malah bertolak pinggang, seraya memperden-garkan tawanya yang sarat kesombongan.
"Sebentar lagi, kalian semua akan kukirim ke neraka! Kau, Dewa Arak! Kalau masih ingin hidup, tinggalkan tempat ini! Kau tidak mempunyai urusan denganku! Aku tidak terlalu berselera membunuhmu! Pergilah cepat!"
Ucapan Jagalpati memang tidak sepenuhnya bualan. Penghuni istana Iblis telah tidak mampu memberi perlawanan lagi. Nenek ini tergolek lemah. Tak berdaya.
"Marni, muridku...," ucap nenek berjubah putih, terputus-putus,
"Segeralah pergi tinggalkan tempat ini. Tidak ada gunanya, melawan Jagalpati. Iblis itu tidak akan
bisa dibuhuh, kecuali oleh orang yang ada pertalian batin dengannya. Tidak hanya saudara, istri, maupun kekasih. Tapi, orang yang telah dicabuli olehnya. Itu saja pun tidak cukup. Orang itu harus mempunyai se-suatu di dalamnya. Sesuatu dari alam yang akan men-jadi kekuatan besar di dalam dirinya. Sesuatu itulah yang akan dapat digunakan untuk membunuh Jagal-pati.
Katakan, hal ini pada Dewa Arak!"
"Akan kusampaikan, Nek," sahut Sumarni patuh, terbata-bata.
Sebenarnya, Sumarni tidak perlu menyampaikan hal itu. Karena meski diucapkan secara terputus-putus dan lemah, telinga Arya masih mampu menang-kapnya. Meski saat itu, Dewa
Arak sibuk memperhati-kan gerak-gerik
Jagalpati.
Karena memperhatikan gerak-gerik Jagalpati itu, Dewa Arak segera melihat keanehan sikapnya. Ja-galpati yang tadi bersikap pongah, mendadak gelisah. Perhatiannya tidak ditujukan lagi pada Arya.
"Hi hi hik...!"
Seperti menyambuti kegelisahan Jagalpati, mendadak terdengar tawa mengikik. Tinggi, melengk-ing, dan mengerikan. Dan sebelum gema tawa itu le-nyap, berkelebat sesosok tubuh ramping dan mendarat di situ. Kulit wajahnya yang pucat kelihatan mengeri-kan dengan sepasang matanya yang merah membara. Bulubulu di tubuhnya yang tidak tertutup pakaian tampak berdiri!
Sosok ramping itu tak lain daripada Arimbi! Pu-tri Ular Angkasa, Ketua Perguruan Ular
Sakti.
Kehadiran Arimbi yang tertawa-tawa ini menge-jutkan semua orang. Hanya saja, ada dua orang yang memiliki keterkejutan bercampur perasaan lain. Orang pertama adalah Jagalpati! Keterkejutan yang diala-
minya, bercampur ketakutan dan kegentaran hebat. Perasaan itu tampak jelas pada wajah dan sinar ma-tanya.
Orang kedua adalah penghuni Istana Iblis. Ne-nek ini dengan kemampuannya membaca pikiran, se-gera mengetahui kalau Arimbi adalah orang yang dapat membinasakan Jagalpati. Hal inilah yang membuat wajahnya berseri-seri.
Kebo Gandrung adalah orang terakhir. Keterke-jutan yang dialaminya bercampur ketegangan. Tegang, karena yakin sekali mengenal sosok ramping bermata merah darah itu.
Tapi, Kebo Gandrung tidak yakin. Maka dengan jantung memukul keras, ditunggunya kejadian selan-jutnya.
Di lain pihak, Jagalpati berusaha berbalik dan berlari. Tapi ketika Arimbi mengaum laksana harimau murka, kedua kaki pemuda ini menggigil. Rasanya, apabila Arimbi mengaum sekali lagi, Jagalpati akan ja-tuh!
"Manusia berhati binatang!" desis Arimbi, penuh kebencian. "Sudah saatnya kau harus menebus kekejianmu terhadap diriku! Kau akan menemui rohku di alam baka! Ayo, Jagalpati! Ini aku, Cempaka. Wanita yang kau gandrungi, peluk aku! Cium aku! Perlakukan aku semaumu!"
"Tidaaak...!" teriak Jagalpati, keras.
Teriakan itu rupanya membuat tenaganya tim-bul kembali. Jagalpati kemudian menghentakkan ke-dua tangannya, melakukan pukulan jarak jauh amat dahsyat.
"Hi... hi... hi...!"
Namun Arimbi tertawa mengikik. Dengan kedua tangan terbuka, disambutnya serangan itu.
Pletak! Tar!
"Aakh...!"
"Aakh...!"
Terdengar bunyi letupan yang aneh ketika dua pukulan jarak jauh itu bertemu di udara, disusul dua jeritan nyeri pun berkumandang. Jeritan susul-menyusul yang keluar dari mulut Jagalpati dan Arim-bi. Di saat lengkingan sekarat itu semakin meninggi....
Blarr!
Blarrr!
Terdengar bunyi ledakan, disusul tubuh Jagalpati dan Arimbi yang langsung hancur.
Dewa Arak yang berdiri paling dekat, melompat mundur agar tidak terkena percikan darah dan caca-han-cacahan daging. Pada saat yang hampir bersa-maan, Kebo Gandrung menjerit memilukan, langsung berhambur ke arah Arimbi yang mengaku bernama Cempaka. Keadaannya tidak memungkinkan, mem-buat lari lelaki ini terhuyung-huyung.
"Cempaka...! Istriku...!"
Kebo Gandrung bersimpuh di tempat Arimbi tadi berdiri. Dengan penuh penyesalan, dipukulnya ta-nah bertubi-tubi. Mulutnya mengemikkan perkataan maaf.
"Apa yang terjadi, Nek?! Itukah gadis yang me-nurut pendapatmu mendapat kekuatan dari alam?!" tanya Arya, setengah menebak.
Penghuni Istana iblis mengangguk.
"Gadis itu, ternyata istri Kebo Gandrung. Seper-ti katanya, istrinya telah mati oleh Jagalpati. Mungkin telah dikuburkannya. Tapi entah dengan cara bagai-mana, mayat Cempaka yang kemungkinan besar telah dikubur Kebo Gandrung tersambar petir. Jelas itu ka-rena kuasa Allah. Kalau pada orang lain tidak terjadi
apa pun, tidak demikian mayat Cempaka. Entah den-gan cara bagaimana, petir mampu membuat Cempaka hidup kembali. Mungkin karena pengaruh ilmu Jagal-pati," jelas si nenek panjang lebar.
Dugaan si nenek memang benar. Tapi ada sua-tu rahasia yang belum diketahui mereka, kecuali Kebo Gandrung. Cempaka sebenarnya Arimbi yang terpukul akibat sikap ayahnya yang mengusirnya.
Arya menghela napas berat melihat Kebo Gan-drung tetap meratap-ratap dalam dukanya. Tapi per-hatiannya terusik, karena merasa ada orang yang memperhatikannya. Pemuda ini menoleh. Tampak wa-jah manis milik Sumarni menyemburat. Arya jadi bin-gung. Tapi, penghuni Istana Iblis malah terkikik.
"Mungkin kalian harus diikat tali perkawinan agar tidak saling malu-malu lagi! Hi hi hik...!"
Tawa si nenek mengendur dengan sendirinya. Tampak ada seraut wajah jelita di benak Dewa Arak. Berarti, pemuda ini telah mempunyai tambatan hati. Dan kelanjutannya, Sumarni pasti akan patah hati.
Arya tersenyum penuh permohonan maaf pada penghuni Istana Iblis. Sengaja benaknya membayang-kan Melati agar si nenek tahu, kalau dia sudah punya kekasih.
––––GS––––
SELESAI
INDEX AJI SAKA | |
83.Irama Maut --oo0oo-- 85.Golok Kilat |