Iblis Berkabung
tanztj
January 27, 2013
INDEX AJI SAKA | |
89.Tombak Panca Warna --oo0oo-- 91.Sapu Jagad |
AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cetakan pertama, Penerbit Cintamedia, Jakarta. Penyunting : Tuti S. Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Seekor kuda coklat berpacu cepat melintasi jalan berumput di kaki gunung. Penunggangnya seorang gadis cantik berpakaian hijau yang bertingkah seperti orang kesetanan. Kendati binatang tunggangannya telah berlari demikian cepat, tetap saja cambuk yang tergenggam di tangan berkali-kali dilecutkan pada bagian belakang kuda coklat!
Saat itu matahari bersinar dengan terik. Ketidak-adaan awanawan di langit membuat suasana siang itu panas bukan main. Angin yang bertiup pun tak membuat kulit dan tubuh terasa nyaman. Namun keadaan itu tampaknya tak dipedulikan oleh si gadis.
Sekarang dia tengah melalui jalan selebar dua tombak yang di kanan kirinya terhampar rumput setinggi satu tombak. Kecepatan lari kuda coklat tetap tak berubah. Debu mengepul tinggi tercipta di tempat yang ditinggalkan kuda itu.
Sing, sing, singng...!
Tiba-tiba bunyi berdesing nyaring yang mengiringi meluncurnya benda-benda berkilat mengejutkan si gadis. Apalagi ketika diketahuinya benda-benda berkilat yang bukan lain pisaupisau tajam itu meluncur ke arah kuda tunggangannya,
Gadis berpakaian hijau semakin mempergencar lecutannya untuk mendahului agar serangan pisau-pisau tak mengenai sasaran. Tapi ketika disadari tindakannya tak akan membawa hasil, karena pisau-pisau yang meluncur terlalu banyak dan sebagian me-luncur ke arah yang akan dilalui kuda coklat, si gadis segera melakukan tindakan lain.
Gadis berusia sekitar dua puluh tahun dan berwajah cantik itu mengepitkan kedua kakinya ke perut binatang tunggangannya. Lalu, mulutnya yang memiliki sepasang bibir merah basah mengeluarkan lengkingan tinggi. Maka... kuda coklat terbawa naik ke atas dan meluncur ke depan seperti terbang. Kuda coklat itu baru mendarat kembali di tanah setelah melayang-layang di udara sejauh lima tombak. Belasan batang pisau meluncur di bawah kaki binatang itu. Seakan-akan binatang tunggangan si gadis melompati pisau-pisau.
Begitu kuda coklat berhasil mendarat tanpa menimbulkan bunyi gaduh si gadis tak segera memacu binatang tunggangannya. Dia malah menarik tali kekang kuda. Sementara kuda coklat yang menyadari adanya bahaya mengancam bermaksud untuk melarikan diri sejauh-jauhnya dari tempat itu. Namun betapa pun keras usahanya untuk kabur binatang itu tak mampu bergeming dari tempatnya!
Melalui nalurinya akhirnya kuda coklat pun mengerti kalau penunggangnya memiliki kekuatan jauh di atas bahaya itu. Jadi tak ada gunanya bersikeras. Maka meski ringkikan-ringkikan ketakutan dikeluarkan binatang itu tak memaksakan diri untuk kabur lagi. Baru saja kuda coklat itu tenang, dari balik kerimbunan semak keluarlah puluhan sosok yang didahului dengan bunyi riuh-rendah rerumputan disibakkan.
Si gadis tampak tetap tenang duduk di atas kuda coklatnya.
Dengan sepasang matanya yang bening diperhatikannya sosoksosok yang membentuk lingkaran untuk mengurungnya. Sosoksosok yang jumlahnya tak kurang dari dua puluh lima orang itu rata-rata bersikap liar dan berwajah kasar. Di tangan mereka tergenggam senjata yang terhunus siap untuk dipergunakan.
"Sungguh tak kusangka gerombolan tikus-tikus buduk kembali muncul di tempat ini!" dengus gadis berpakaian hijau. "Rupanya waktu lima tahun telah cukup untuk membuat tempat ini kalian jadikan daerah untuk melakukan tindakan keji!"
"Ha ha ha...!"
Bagai telah disepakati sebelumnya puluhan orang kasar itu tertawa bergelak. Ucapan si gadis mereka anggap seperti hal yang lucu dan mengundang kegelian di hati.
Seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam legam melangkah maju menghampiri si gadis.
"Rupanya kau cukup tahu daerah ini, Anak Manis? Sayangnya kau ketinggalan berita. Tempat ini telah menjadi wilayah kekuasaan kami sejak beberapa bulan lalu. Tak boleh seekor makhluk pun lewat tempat ini tanpa perkenan dari kami!" tandas lelaki hitam yang merupakan pimpinan rombongan penghadang.
"Kalian mencari penyakit sendiri dengan berani menghadangku!" sahut si gadis penuh keyakinan akan kemampuan diri.
..... Kemudian, gadis berpakaian hijau itu melompat turun dari punggung kuda. Mulutnya berdecak pelan memberikan perintah pada binatang tunggangannya. Kuda coklat yang memang sejak tadi sudah gelisah itu segera berlari congklang meninggalkan tempat itu. Rombongan penghadang menyibak memberi jalan setelah melihat isyarat dari lelaki tinggi besar. Kuda coklat itu pun melaju tanpa mendapatkan gangguan.
"Sekarang aku ingin tahu maksud kalian menghadang perjalananku. Asal kalian tahu saja aku tak senang dengan gangguan ini. Karena saat ini aku mempunyai keperluan yang amat penting!" tegas gadis berpakaian hijau. "Perbuatan kalian cukup untuk membuatku bertindak keras!"
"Wanita sombong! Kau akan menyesali uca-panmu itu. Mulutmu yang lancang itu akan membuatmu ku perkosa habishabisan!" Lelaki berkulit hitam menghardik dengan tak kalah sengitnya. Didahu-lui geraman keras bagaikan binatang buas terluka, lelaki itu kemudian meluruk ke arah si gadis. Kedua tangannya terkembang dan digerakkan untuk meringkus lawannya.
Gadis berpakaian hijau mengerutkan sepasang alisnya melihat cara penyerangan yang kurang ajar itu. Tentu saja dia tak ingin tubuhnya dipeluk lelaki tinggi besar yang bau badannya apek. Si gadis segera menggenjot kan kaki sehingga tubuhnya melayang ke atas. Lelaki berkulit hitam pun hanya memeluk angin kare-na orang yang dijadikan sasaran telah berada beberapa jari di atasnya.
Kenyataan itu saja sudah membuat lelaki tinggi besar menjadi geram. Dan kegeraman itu semakin menjadi-jadi ketika mengetahui tingkah si gadis. Gadis berpakaian hijau itu mempergunakan kesempatan di saat berada di atas lawannya untuk mendorong kepala lelaki tinggi besar. Kemudian, dia bersalto beberapa kali dan menjejak tanah dengan mantap sekitar satu tombak di belakang sang pemimpin para penghadang.
Berbeda dengan si gadis. yang mendarat dengan nyaman, lelaki berkulit hitam terhuyung-huyung ke depan akibat serangan gadis berpakaian hijau. Dorongan itu keras bukan main. Untungnya dia mampu mematahkan kekuatan adu dorong itu.
Kalau tidak wajahnya pasti akan terjerembab mencium tanah. "Setan!" maki lelaki tinggi besar penuh geram. Tubuhnya segera dibalikkan menatap ke arah si gadis yang berdiri tenang seakan menunggunya. Sepasang mata lelaki itu menyiratkan kemarahan yang sangat.
"Kau harus menebus mahal kelancanganmu ini, Perempuan Setan! Tak seorang pun boleh mempermainkan Bangkalan!"
Lelaki tinggi besar yang bernama Bangkalan ini mencabut golok besar yang tergantung di punggung. Diawali teriakan keras yang membuat sebagian besar anak buahnya mendekap telinga. Bangkalan men-gayunkan goloknya.
Wusss!
Lagi-lagi serangan Bangkalan mengenai tempat kosong! Golok besar yang diayunkan ke arah pinggang si gadis berhasil dielakkan lawan. Begitu serangan le-wat, kaki kiri si gadis bergerak mencuat ke arah perut. Cepat bukan main serangan itu dilancarkan.
Bukkk!
"Hugh...!"
Keluhan tertahan keluar dari mulut Bangkalan. Kaki mungil lawannya ternyata mendarat telak di sasaran yang dituju. Seketika tubuh lelaki ini terhuyung-huyung ke belakang bagaikan ditumbuk seekor kerbau.
Kenyataan pahit ini membuat Bangkalan semakin mata gelap. Dia tahu kalau si gadis memiliki kepandaian tinggi. Tapi hal itu tetap tak membuatnya mundur. Begitu berhasil tegak kembali dengan sedapat mungkin dia menyembunyikan rasa sakit yang mendera. Kemudian buru-buru dikeluarkannya perintah yang menggeledek.
"Bereskan perempuan liar itu!"
Tanpa menunggu perintah dua kali puluhan anak buah Bangkalan meluruk ke arah gadis berpa-kaian hijau. Senjata beraneka ragam pun terayun mencari sasaran empuk di tubuh gadis itu.
Gadis berpakaian hijau tetap berdiri bertolak pinggang. Dia tak kelihatan khawatir sama sekali. Yang ada di benak gadis ini adalah sedikit keheranan melihat Bangkalan masih mampu berdiri tegak. Pa-dahal tendangannya itu cukup untuk membuat seekor badak roboh. Tapi Bangkalan tidak! Ini berarti lelaki hitam itu memiliki kulit tubuh yang kuat.
Serangan-serangan berbagai senjata dari segala arah yang semakin dekat membuat si gadis segera melupakan masalah Bangkalan. Lagi-lagi kelihayannya dipertunjukkan. Lincah laksana kera dan gesit laksana bayangan tubuhnya berkelebatan ke sana kemari. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun gadis berpa-kaian hijau menyelinap di antara kelebatan serangan lawan.
Jerit-jerit kesakitan diikuti dengan bermentalannya tubuhtubuh para penghadang tercipta ketika si gadis mulai balas menyerang. Setiap kali tangan atau kakinya bergerak seorang lawan terpental keluar dari kancah pertarungan. Orang yang sial itu roboh dan tak melanjutkan pertarungan lagi. Memang tak tewas, namun luka yang mereka derita cukup parah!
Bangkalan menggeram melihat nasib yang menimpa anak buahnya. Tapi apa dayanya? Disadarinya kalau saat ini dia dan gerombolannya keliru memilih korban. Gadis berpakaian hijau terlalu tangguh untuk dihadapi. Bangkalan tahu jika perlawanan ini terus dilakukan hanya akan merugikan diri sendiri.
Karena itu Bangkalan segera mengeluarkan siulan nyaring. Sebuah isyarat pada anak buahnya untuk bergerak mundur. Anak buah Bangkalan yang memang sudah merasa gentar melihat banyaknya rekan-rekan mereka yang roboh, buru-buru meninggalkan kancah pertarungan. Mereka lalu menyelinap masuk di kelebatan hamparan rumput.
Hanya dalam waktu sebentar saja suasana gaduh yang semula melanda tempat itu kini hening kembali. Yang tinggal di situ hanya gadis berpakaian hijau dan hampir separo anak buah Bangkalan. Si gadis menyusut peluh didahinya dengan sapu tangan hijau. Dia tak melakukan pengejaran sama sekali terhadap lawan-lawannya. Malah kemudian ditinggalkannya tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya yang tadi tertunda.
***
"Keparat!"
Suara makian keras penuh kemarahan dan kegeraman terdengar menggelegar. Atap dan dinding serta lantai ruangan di mana sosok pemilik seruan itu berada sampai tergetar keras.
Sosok yang memaki itu adalah seorang gadis cantik jelita berkulit putih dan halus. Tubuhnya yang padat ramping terbungkus pakaian hijau. Seorang gadis yang menarik!
Gadis berpakaian hijau ini adalah gadis yang beberapa waktu lalu menghajar Bangkalan dan gerombolannya. Di hadapan si gadis yang hanya terpisah oleh meja berbentuk persegi panjang duduk dua orang lelaki berusia tiga puluhan.
Lelaki ini sama-sama bersikap dan berwajah gagah. Pakaian keduanya berwarna putih yang pada dada sebelah kiri atas terdapat sulaman telapak tangan dengan benang merah. Pada wajah yang menyi-ratkan kejantanan itu tampak kesedihan besar.
"Mengapa aku tak diberitahu mengenai kejadian ini, Kak Sandaka?!" tanya si gadis penasaran sambil menatap lelaki yang berkumis melintang.
Sandaka terdengar menghela napas berat seakan-akan tengah berusaha membuang ganjalan yang menyesakkan dadanya.
"Maafkan kalau tindakan yang kami ambil ini salah, Inani. Tapi percayalah, kami bermaksud baik. Kami tak ingin membuatmu memikirkan kejadian ini yang akan mengganggu latihanmu. Lagipula kami pikir tak lama lagi kau akan menyelesaikan latihanmu dan kembali ke sini," jawab Sandaka lirih karena merasa bersalah.
Inani hanya terdiam. Agaknya bisa diterimanya alasan yang dikemukakan Sandaka.
"Ada hal lain yang membuat kami mengambil keputusan seperti itu, Inani," tambah lelaki gagah satunya yang berwajah persegi mirip muka singa.
Inani mengalihkan pandangannya ke arah lela-ki bermuka singa.
"Tolong beritahukan padaku, Kak Kalaban. Dan juga tolong ceritakan semua kejadian yang kalian ketahui hingga ayahku diculik orang. Andaikata berita ini terdengar sampai di dunia persilatan, bukankah akan membuat nama Perkumpulan Tapak Darah jadi bahan tertawaan?"
"Itulah alasan yang kami maksudkan, Inani," jawab Kalaban. "Karena itu meskipun dengan berat hati masalah itu kami usahakan untuk tidak sampai di telingamu sebelum kau sendiri tiba di sini. Biarlah peristiwa ini hanya diketahui oleh perkumpulan kita saja."
"Sebagai tambahan, Inani," sela Sandaka. "Kami tak berdiam diri saja. Beberapa murid yang memiliki kepandaian cukup telah kami utus untuk mencari tahu nasib ayahmu. Tapi beberapa hari yang lalu hanya seorang di antara mereka yang kembali dalam keadaan terluka parah. Sebelum tewas dia sempat memberitahukan kalau rombongan mereka dihadang oleh gerombolan golongan hitam yang dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama Bangkalan. Lawan yang lebih banyak jumlahnya membuat murid-murid yang kami utus tak mampu bertahan."
"Keparat! Kalau ku tahu hal itu sebelumnya tak akan kuampuni mereka semua!" desis Inani sambil mengepalkan jarijari tangannya yang halus dan lentik. Kelihatan jelas kalau gadis ini merasa geram.
"Kau telah berjumpa dengan mereka, Inani?!" Hampir berbarengan Sandaka dan Kalaban mengaju-kan pertanyaan tanpa menyembunyikan rasa kaget-nya.
"Benar," Inani mengangguk. "Mereka mencoba menghadang perjalananku. Tapi kemudian mereka melarikan diri ketika tahu aku bukan tokoh yang bisa mereka buat permainan."
Sandaka dan Kalaban tak merasa heran mendengar Inani mampu membuat rombongan Bangkalan kocar-kacir. Mereka bisa memperkirakan ketinggian tingkat kepandaian yang dimiliki Inani. Gadis itu menjadi murid seorang tokoh golongan putih yang memiliki kepandaian amat tinggi dan berjuluk Singa Berbulu Emas. Sedangkan dari ayahnya, Ketua Perkumpulan Tapak Darah, Inani hanya mempelajari dasar-dasar ilmu silat saja. Ketua Perkumpulan Tapak Darah memang memiliki kepandaian amat tinggi. Tapi tentu saja tidak dapat dijajarkan dengan Singa Berbulu Emas yang merupakan salah seorang datuk golongan putih.
Inani sendiri tampak bersikap tak peduli dengan kekaguman kedua lelaki yang terhitung kakak seperguruannya itu. Benaknya masih dipenuhi pikiran mengenai kejadian yang menimpa ayahnya.
"Kalau menurut pendapatku, maaf, bukannya hendak meremehkan kemampuan Kak Sandaka dan Kak Kalaban, gerombolan Bangkalan akan bisa dimusnahkan. Keberadaan gerombolan itu di sana akan membuat tercemarnya perkumpulan kita. Bukankah tempat yang dijadikan daerah kekuasaan gerombolan itu tak jauh dari perkumpulan ini? Apa kata orangorang persilatan nanti? Aku yakin mereka akan menganggap Perkumpulan Tapak Darah takut atau tak mampu membasmi mereka. Padahal aku yakin tak demikian adanya," sambung Inani.
Sandaka dan Kalaban saling berpandangan.
"Memang demikian kenyataannya, Inani," ujar Sandaka pelan.
Inani terjingkat kaget mendengar jawaban yang tak disangkasangkanya itu.
"Apa maksudmu, Kak Sandaka?! Kalian tak mampu melenyapkan atau setidak-tidaknya mengusir gerombolan Bangkalan?!" Inani kelihatan begitu heran dan penasaran.
Sandaka dan Kalaban tampak menganggukkan kepala.
"Tidak mungkin!" sentak Inani keras sehingga membuat seisi ruangan bergetar. Debu-debu berjatu-han dari atap ruangan pertemuan.
"Memang kedengarannya tak masuk akal, Inani," kilah Sandaka dengan sabar. "Tapi itulah kenyataannya. Apakah kau tak melihat kehadiran kami di sini hanya berdua?"
Wajah Inani tampak pias. Dia tahu murid utama ayahnya memang bukan hanya Sandaka dan Kalaban. Masih ada dua orang lagi. Tapi kejadian yang menimpa ayahnya membuat gadis itu tak sempat memikirkan dan melihat keanehan yang terjadi. "Maksudmu, Kak Sandaka...?" ujar Inani dengan suara kering. Ia mulai bisa menduga-duga nasib yang telah menimpa dua murid utama yang lainnya. "Mereka berdua tewas?"
"Mereka berdua tewas bersama dengan belasan murid perkumpulan ini sewaktu hendak membasmi gerombolan Bangkalan, Inani," jawab Kalaban lirih tanpa menyembunyikan kedukaan yang melanda hatinya.
"Begitu tinggikah kemampuan Bangkalan?" gumam Inani seperti bicara pada dirinya sendiri. "Padahal baru kemarin aku mengalahkannya secara mudah. Dan ku nilai kemampuannya biasa-biasa saja."
"Kepandaian Bangkalan memang tak terlalu tinggi, Inani. Salah seorang di antara kami pun akan mampu mengimbangi atau mungkin mengalahkannya," timpal Sandaka cepat "Hanya saja yang tak mampu kami hadapi adalah tokoh yang berdiri di belakang Bangkalan."
"Ahhh...! Jadi Bangkalan bukan pimpinan gerombolan itu?!" Inani terkejut bukan main. Sekarang murid tunggal Singa Berbulu Emas ini maklum mengapa dua murid utama ayahnya tewas.
"Justru tokoh di belakang Bangkalan yang membuatnya berani menantang secara terang-terangan. Perlu kau ketahui Inani, di dunia persilatan telah muncul tokoh-tokoh hebat golongan hitam. Kemunculan mereka membuat orang-orang semacam Bangkalan merasa memiliki pelindung, sehingga mereka berani muncul dan mengacau," jelas Sandaka.
"Begitukah, Kak Sandaka? Sayang aku belum pernah mendengarnya. Aku yakin guruku pun tidak mengetahuinya. Bisa kau beritahukan tokoh-tokoh hitam itu, Kak?"
"Tentu saja, Inani. Hanya saja sepanjang yang kuketahui. Tapi kurasa itu telah cukup. Karena tokoh-tokoh golongan hitam yang akan kusebutkan ini begitu muncul telah merajai golongan itu dengan kemam-puannya yang luar biasa. Celakanya lagi tokoh-tokoh hitam ini tak hendak berdiri sendiri, melainkan hendak menjadi pemimpin bagi golongannya. Dengan demikian kekuatan yang terhimpun akan semakin kuat bukan main. Dan bila itu terjadi celaka besar akan menimpa golongan kita dan dunia persilatan. Kekacauan dan angkara murka akan merajalela di mana-mana!"
Sandaka menghentikan keterangannya seben-tar untuk mengatur napas. Wajah lelaki ini tampak menyiratkan kegentaran dan kengerian.
"Tokoh-tokoh itu berjuluk Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan. Raja Laut Bermuka Setan begitu muncul langsung menundukkan tokoh-tokoh golongan hitam yang selama ini melakukan kejahatan secara sembunyi-sembunyi. Tokoh sesat itu kemudian mengangkat dirinya sebagai pemimpin. Kemudian dengan tokoh-tokoh hitam yang telah ditaklukkan nya, diserbunya perkumpulan-perkumpulan golongan putih dan para pendekar. Tingkat kepandaiannya yang tinggi membuat banyak pendekar dan tokoh-tokoh persilatan golongan putih ditewaskannya. Raja Laut Bermuka Setan muncul dari daerah selatan."
Sandaka kembali menghentikan ceritanya. Diteguknya air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Kalaban segera memutuskan untuk menggantikan saudara seperguruannya bercerita.
"Sedangkan Raja Serigala Hitam muncul dari daerah utara. Tindakannya sama dengan Raja Laut Bermuka Setan. Mungkin jika terjadi pertemuan antara mereka akan tercipta pertarungan untuk memperebutkan kedudukan sebagai pimpinan tunggal bagi semua tokoh aliran hitam. Dan Bangkalan serta gerom-bolannya termasuk tokoh-tokoh hitam taklukan Raja Serigala Hitam."
"Apakah Kak Sandaka dan Kak Kalaban pernah menyaksikan sendiri kelihaian tokoh-tokoh hitam itu?" tanya Inani ingin tahu.
"Hanya Raja Serigala Hitam, Inani," jawab Sandaka. "Raja Laut Bermuka Setan belum kami saksikan. Kau tahu sendiri tempat kita termasuk dalam wilayah Raja Serigala Hitam, lagi pula Laut Selatan jauh dari tempat ini."
"Bagaimana, Kak? Maksudku kepandaian Raja Serigala Hitam. Apakah benar tingkat kepandaiannya amat tinggi?"
Sandaka menganggukkan kepala. "Raja Serigala Hitam menyerbu tempat ini seorang diri, Inani. Beberapa murid menjadi korban amukannya. Namun ayahmu keburu menghadangnya. Ayahmu dan tokoh lihai itu bertarung. Tak ada yang menang atau kalah. Raja Serigala Hitam yang tahu kedudukannya tak menguntungkan karena dia datang sendirian kabur meninggalkan tempat ini. Sepeninggal Raja Serigala Hitam ayahmu jatuh sakit. Rupanya beliau terluka parah. Dan kurasa tokoh hitam itu pun demikian. Beberapa hari setelah itu ayahmu menghilang. Padahal beliau belum sembuh dari lukanya. Mengingat keadaannya kami tahu kalau beliau tak menghilang atas kemauannya sendiri. Apalagi pada malam lenyapnya ayahmu beberapa murid tewas dibunuh oleh penyerang gelap."
Inani tercenung. Cerita tentang lenyapnya ayahnya dan tokoh hitam berjuluk Raja Serigala Hitam membuatnya berpikir keras. Gadis ini sekarang telah bisa memperkirakan ketinggian ilmu Raja Serigala Hitam. Harus diakuinya kalau tingkat kepandaian tokoh hitam itu amat tinggi. Ayahnya sendiri sampai terluka parah. Padahal hanya bisa dihitung dengan jari tokoh golongan putih yang memiliki kepandaian setingkat dengan ayahnya. Tentu saja gurunya, Singa Berbulu Emas, tak masuk dalam hitungan.
"Yang kami khawatirkan," lanjut Sandaka tanpa peduli pada Inani yang tengah tercenung sehingga terpaksa gadis itu membuyarkan lamunannya. "Kedatangan Raja Serigala Hitam kembali. Ketidak-beradaan ayahmu akan membuat perkumpulan ini hancur. Dan bila hal itu terjadi tokoh-tokoh golongan hitam semakin leluasa menyebar angkara murka. Apalagi yang mereka takuti kalau Perkumpulan Tapak Darah saja dapat dihancurkan?!"
Inani terdiam. Disadarinya kekhawatiran Sandaka beralasan. Perkumpulan Tapak Darah memang merupakan perkumpulan aliran putih terbesar. Kehancuran perkumpulan ini akan menimbulkan pukulan berat bagi golongan putih. Sebaliknya, golongan hitam akan semakin berbesar hati. Itu berarti mereka akan semakin berani menyebar angkara murka di ma-na-mana.
"Kurasa hal itu tak perlu terlalu kalian risaukan, Kak Sandaka. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mencegah tindakan Raja Serigala Hitam. Demi Perkumpulan Tapak Darah dan terutama sekali demi tegaknya kebenaran dan keadilan, akan ku pertaruhkan nyawaku untuk menentang Raja Serigala Hitam!" tegas Inani penuh semangat.
"Syukurlah kalau demikian, Inani. Tenagamu memang amat berarti. Kaulah yang menjadi andalan kami untuk menghadapi keangkaramurkaan Raja Serigala Hitam," sahut Sandaka sambil mengembangkan senyum gembira.
Inani tak memberikan tanggapan. Sementara kendati di wajah dan mulut Sandaka serta Kalaban menampakkan kegembiraan, namun di dalam hati mereka timbul kekhawatiran besar. Apakah Inani akan mampu menghadapi Raja Serigala Hitam yang demikian lihai. Memang mereka tahu guru Inani,
Singa Berbulu Emas, merupakan tokoh golongan putih yang memiliki tingkat kepandaian tak terukur tingginya. Tapi Inani? Gadis itu tak akan mungkin sehebat gurunya. Dan lagi sebagai seorang gadis muda yang baru tamat berguru pengalaman bertarungnya boleh dibilang tak ada. Padahal kemenangan dalam pertarungan tak hanya didasarkan pada ketinggian ilmu. Pengalaman bertarung pun amat menentukan.
Sandaka dan Kalaban tahu, sebagai datuk kaum sesat wilayah utara Raja Serigala Hitam, sebagaimana tokoh sesat lainnya, memiliki sifat licik. Pertarungan yang dilakukannya penuh dengan siasat dan tipuan. Mampukah Inani yang masih hijau itu me-nangkalnya?
Kalau saja Singa Berbulu Emas yang turun tangan, dua murid utama Perkumpulan Tapak Darah ini akan merasa yakin Raja Serigala Hitam tak akan mampu bertindak seenaknya. Sayangnya tokoh golongan putih yang telah merasa dirinya tua itu tak mau ikut campur lagi dalam kancah kerasnya dunia persilatan.
"O ya Kak Sandaka, Kak Kalaban," ujar Inani setelah terdiam beberapa lama. Ucapan ini membuat Kalaban dan Sandaka menghentikan alun pikiran mereka. Perhatiannya kini dialihkan pada Inani.
"Ada apa, Inani?" Kalaban yang mendahului mengajukan pertanyaan.
"Selama menunggu Raja Serigala Hitam menyerbu tempat ini, aku bermaksud memberikan petunjuk-petunjuk pada muridmurid. Bagaimana, Kak?" usul Inani dengan mata berbinar-binar. Gadis itu terlihat penuh semangat.
"Sebuah gagasan yang bagus sekali!" puji Sandaka dan Kalaban berbarengan dengan perasaan gembira yang tampak jelas pada wajah dan sorot mata mereka.
"Apakah kami pun termasuk dalam orang-orang yang akan kau beri petunjuk itu, Inani?" tanya Kalaban setengah bercanda.
"Tentu saja!" tandas Inani cepat dengan sikap bersungguhsungguh.
Kalaban dan Sandaka mengeluh dalam hati. Ini adalah salah satu sifat pada diri Inani yang sangat mereka sayangkan.
Inani terlalu menganggap dirinya berkemampuan tinggi. Gadis itu memiliki watak angkuh. Padahal sifat seperti ini seharusnya tak ada pada diri seorang pendekar. Karena keangkuhan dan memandang tinggi diri sendiri akan membuat sikap hati-hatinya berkurang. Dan lagi sifat itu dapat mengurangi kesungguhan nya dalam berlatih.
Kendati demikian Kalaban dan Sandaka tak berani mengutarakan perasaannya itu. Mereka khawatir Inani akan tersinggung. Biarlah pengalaman yang akan membuka mata gadis itu kalau di bumi ini banyak tokoh-tokoh lihai. Kalaban dan Sandaka malah menunjukkan sikap gembira atas jawaban yang diberikan Inani.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Inani," ujar Kalaban. Yang disambut dengan anggukan kepala oleh Sandaka sebagai tanda menyetujui ucapan Kalaban.
––––––––
2
Glarrr!
Untuk yang kesekian kalinya halilintar menggelegar di angkasa. Beberapa saat lamanya suasana siang yang agak kelam, karena sinar sang surya terhalang gumpalan awan hitam pekat yang memenuhi angkasa menjadi terang-benderang. Titik-titik hujan perlahan turun membasahi bumi dengan diiringi hembu-san angin dingin yang membekukan tulang.
Dalam suasana seperti itu rasanya orang lebih suka tinggal di dalam rumah. Tapi tak demikian halnya dengan sosok bayangan serba hitam yang tengah berlari di bawah curahan air hujan. Tubuhnya kecil kurus namun gerakannya cepat bukan main, sehingga tak terlihat bentuk tubuhnya selain bayangan tak jelas!
Sosok bayangan hitam itu ternyata seorang ka-kek berusia sekitar enam puluh tahun. Kulitnya hitam legam bagaikan arang. Tubuhnya yang kecil kurus dibungkus pakaian hitam pekat, Kakek ini kelihatan angker bukan main. Apalagi dengan adanya dua buah taring di sisi-sisi kiri dan kanan mulutnya.
Kakek berpakaian hitam itu ternyata tak hanya sendirian berlari di waktu keadaan alam sedang tak menyenangkan seperti itu. Di belakangnya berkelebatan puluhan sosok yang mengenakan pakaian aneka ragam dan bentuk tubuh bermacammacam, namun rata-rata memiliki gerakan gesit.
Kakek berpakaian hitam berlari terus tanpa mempedulikan puluhan sosok di belakangnya. Sepasang matanya menatap tajam di depan. Tampak sebuah bangunan besar dan megah yang dikelilingi pagar kayu bulat. Pada bagian atas pintu gerbangnya terdapat sebuah papan tebal berukir yang bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 'Perkumpulan Tapak Darah'.
Kakek berpakaian hitam ini rupanya tengah menuju bangunan itu. Demikian juga dengan puluhan sosok yang menilik sikap mereka agaknya berasal dari golongan hitam. Di antara mereka tampak Bangkalan!
Kakek berpakaian hitam merupakan orang per-tama yang mendekati pintu gerbang. Sayang kedatangannya telah diketahui oleh murid-murid Perkumpulan Tapak Darah di saat si kakek dan rombongannya masih jauh di luar pagar.
Dari dalam bangunan-bangunan yang terdapat salam markas Perkumpulan Tapak Darah berkelebatan belasan orang. Di antara mereka terdapat Kalaban dan Sandaka. Karena telah terlebih dulu diketahui, begitu kakek berpakaian hitam menjejak tanah setelah melompati pagar kayu bulat, di depannya telah berdiri puluhan murid Perkumpulan Tapak Darah.
Kakek berpakaian hitam segera mengedarkan pandangan memperhatikan satu persatu wajah-wajah di depannya. Ada sesuatu yang tengah dicari si kakek
"Mengapa hanya keroco-keroco seperti kalian yang muncul? Mana Sokapanca? Suruh dia keluar!" seru kakek berpakaian hitam keras.
"Beliau tengah mempunyai satu urusan. Tapi andaikata kau bersedia menunggu tak lama lagi pun beliau akan menjumpaimu," jawab Sandaka dengan berusaha bersikap tenang.
Lelaki berkumis tebal ini diam-diam merasa tegang dan gelisah bukan main. Kakek berpakaian hitam yang bukan lain dari Raja Serigala Hitam telah muncul. Tapi Inani yang dijadikan andalan saat ini tengah mandi. Dia dan seluruh murid Perkumpulan Tapak Darah hanya bisa berharap agar murid Singa Berbulu Emas itu segera selesai dengan urusannya. Atau, setidaktidaknya Raja Serigala Hitam bersedia menunggu.
Raja Serigala Hitam mendengus. Tarikan wa-jahnya menyiratkan ketidaksabaran. Kelihatan jelas kalau tokoh ini merasa bimbang untuk bertindak. Saat itulah terdengar bunyi derap kaki bergemuruh menghantam bumi. Sesaat kemudian puluhan rombongan tokoh hitam di bawah pimpinan Bangkalan meluruk masuk ke halaman Perkumpulan Tapak Darah.
Melihat kenyataan ini murid-murid Perkumpulan Tapak Darah tak bisa tinggal diam. Mereka segera menghunus senjata masing-masing dan menyambut serbuan Bangkalan dan gerombolannya.
Dentang senjata beradu pun mulai menyema-raki suasana yang semula hening. Sesekali terdengar jerit tertahan dari sosoksosok yang terkena serangan lawan. Darah mengalir membasahi halaman Perkum-pulan Tapak Darah. Tubuh-tubuh bertumbangan ke bumi. Tak hanya di pihak Perkumpulan Tapak Darah, tapi juga korban dari pihak rombongan Bangkalan. Je-ritan kematian terdengar paling susul-menyusul.
Raja Serigala Hitam yang semula hanya me-nyaksikan jalannya pertarungan dengan tenang tampak mengernyitkan alis. Kakek ini segera tahu kalau tingkat kemampuan anak buah Bangkalan masih be-rada di bawah murid-murid Perkumpulan Tapak Darah.
Hanya Bangkalan seorang yang memiliki kemampuan di atas tingkat rata-rata murid Perkumpulan Tapak Darah itu. Tapi kelebihan Bangkalan pun tak berarti. Karena baru saja dia mengamuk Sebentar segera dihadang oleh Kalaban. Dua pentolan kelompok masing-masing ini dalam waktu singkat telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Raja Serigala Hitam menggeram keras. Kakek ini kelihatan marah bukan main. Sekejap kemudian tubuhnya melesat ke dalam kancah pertarungan. Raja Serigala Hitam mengamuk. Dan akibatnya memang mengiriskan hati. Ke mana saja tangan atau kakinya bergerak sudah dapat dipastikan ada murid Perkumpulan Tapak Darah yang roboh tanpa nyawa. Hanya dalam waktu sebentar saja telah lima orang tewas di tangannya.
"Keparat Keji...! Akulah lawanmu...!"
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu sekelebatan bayangan hijau melesat masuk ke dalam kancah pertarungan. Sosok hijau itu langsung menyerang Raja Serigala Hitam dengan serangan-serangan dahsyat.
Raja Serigala Hitam mengenal serangan berbahaya. Dia tahu ada lawan tangguh yang menyerangnya. Maka buru-buru kakek ini melompat mundur menjauhi kancah pertarungan. Serangan sosok hijau itu pun mengenai tempat kosong.
"Siapa kau?!" tanya Raja Serigala Hitam ketika melihat jelas penyerangnya dan mendapati dia adalah seorang gadis berpakaian hijau.
Semula Raja Serigala Hitam menyangka penyerangnya adalah Sokapanca, Ketua Perkumpulan Tapak Darah. Sungguh pun bentakan yang mengawali serangan itu dikenalinya sebagai suara seorang perempuan!
Inani menentang pandang mata Raja Serigala Hitam dengan berani. Dadanya dibusungkan ketika memberikan jawaban.
Tindakan itu membuat bukit kembar yang menonjol di dada Inani semakin terlihat jelas.
"Kau ingin tahu siapa aku? Aku adalah putri tunggal dari Ketua Perkumpulan Tapak Darah!" tandas Inani mantap.
"Ha ha ha,..!"
Raja Serigala Hitam tertawa terbahak-bahak. Kakek ini merasa geli setelah tahu siapa yang akan menghadapinya.
"Lucu sekali! Apakah si keparat Sokapanca sudah kehabisan orang untuk menandingiku sehingga mengutus bocah yang masih bau kencur seperti kau? Bocah, cepat kau panggil Sokapanca keluar dan menghadapiku sebelum aku lupa kalau kau hanya seorang gadis muda!"
"Menghadapi orang seperti kau tak perlu ayah-ku. Aku sendiri yang akan mengirim nyawamu ke akhirat, Serigala Hangus!" sesumbar Inani.
Gadis itu menutup ucapannya dengan persiapan untuk menyerang. Jari-jari tangannya terkembang membentuk cakar. Kemudian dengan didahului lengkingan keras tangan kanannya meluruk ke arah ulu hati. Sementara cakar tangan kiri menempel di pergelangan tangan. Kedudukan tangan kiri terpalang di depan dada.
Raja Serigala Hitam terperanjat ketika menden-gar bunyi bercicitan tajam yang mendahului serangan Inani. Kakek yang telah kenyang pengalaman ini segera tahu kalau lawannya yang masih muda ini memiliki tenaga dalam kuat. Hanya orang yang memiliki tenaga dalam kuat saja mampu menimbulkan bunyi bercicitan nyaring dalam serangannya.
Kenyataan ini menyadarkan Raja Serigala Hitam kalau Inani memiliki kemampuan tinggi. Maka, datuk kaum sesat ini tak bertindak setengah-setengah lagi. Dengan pengerahan tenaga dalam penuh dipapa-kinya serangan putri Sokapanca.
Prattt!
Tubuh Inani terhuyung dua langkah. Sementara Raja Serigala Hitam hanya terdorong satu langkah.
Inani dan Raja Serigala Hitam segera memperbaiki kedudukan yang tak menguntungkan itu. Kendati demikian keduanya tak saling bergebrak kembali. Baik Inani maupun Raja Serigala Hitam masih terperanjat dengan hasil benturan yang terjadi.
Raja Serigala Hitam tak menyangka lawannya yang masih muda ternyata memiliki tenaga dalam demikian kuat. Rasanya sulit untuk dipercaya kalau Sokapanca mampu mendidik putrinya sampai memiliki kepandaian seperti ini.
Di lain pihak Inani tak kalah terkejutnya. Gadis ini tak menyangka Raja Serigala Hitam demikian lihai. Sehingga dalam adu tenaga mampu mengunggulinya. Kenyataan ini memukul perasaan Inani yang selama ini mengira kepandaiannya sulit menemukan tandingan. Gadis ini baru percaya kalau Sandaka dan Kalaban tak melebih-lebihkan berita mengenai kemampuan Raja Serigala Hitam.
Meskipun demikian Inani tak merasa gentar sedikit pun. bagaikan macan luka gadis ini mendahului menyerang Raja Serigala Hitam, Inani mengerahkan seluruh kemampuannya. Bahkan ilmu andalan gurunya langsung dipergunakan. Pertarungan sengit pun terjadi ketika Raja Serigala Hitam menyambutinya.
Hanya dalam waktu sebentar saja sepuluh jurus telah terlampaui.
Lewat lima belas jurus Inani mulai terdesak. Gadis ini memang bukan tandingan Raja Serigala Hitam. Tak hanya dalam tenaga Inani harus mengakui keunggulan lawannya, tapi juga dalam pengalaman bertempur. Untungnya putri Sokapanca itu masih memiliki kelebihan dalam ilmu meringankan tubuh. Mutu ilmu silatnya pun setingkat di atas lawan. Itu se-babnya Inani masih mampu mempertahankan diri.
"Gadis Liar! Apa hubunganmu dengan Singa Berbulu Emas?!" tanya Raja Serigala Hitam sambil te-rus melancarkan desakan-desakan berbahaya.
Kakek berpakaian hitam ini berhasil mengetahui kalau Inani tidak menggunakan ilmu-ilmu Soka-panca. Selewat sepuluh jurus Raja Serigala Hitam mempunyai dugaan tentang pemilik ilmu yang dimain-kan Inani. Gerakan-gerakan Inani mengingatkannya pada tokoh persilatan aliran putih yang telah beberapa tahun ini tak terdengar lagi beritanya.
"Untuk apa kau bertanya-tanya tentang guruku, Serigala Hangus? Apakah kau ingin nyawamu lepas dari badan?!" sahut
Inani masih ketus kendati keadaannya sudah terhimpit "Ha ha ha...!"
Raja Serigala Hitam memperdengarkan tawa mengejek.
"Kalau tua bangka tolol yang menjadi gurumu itu tak keburu menyembunyikan diri sudah lama nyawanya kukirim ke neraka!"
"Tutup mulutmu, Keparat!"
Baru saja Inani mengeluarkan makian menden-gar ucapan Raja Serigala Hitam terhadap gurunya, sebuah pukulan si kakek bersarang di perutnya.
"Hugh...!"
Sambil memperdengarkan keluhan tertahan tubuh Inani terjengkang ke belakang. Cairan merah kental mengalir dari sudut mulutnya.
Raja Serigala Hitam benar-benar tokoh kawakan berdarah dingin. Inani yang telah tak berdaya akibat serangannya bergegas diburunya. Kakek ini bermaksud mengirim nyawa gadis itu ke neraka agar bisa segera membantu gerombolan Bangkalan yang tengah terdesak.
Raja Serigala Hitam melompat memburu Inani yang masih terhuyung-huyung. Di pertengahan jalan tubuhnya dibalikkan sambil mengirimkan kibasan kaki ke arah pelipis. Kakek ini ingin menghancurkan kepala putri Sokapanca!
Wuttt!
"Heh...?!"
Raja Serigala Hitam mengeluarkan seruan. Kibasannya mengenai tempat kosong! Inani telah tak berada di tempatnya lagi ketika kaki kakek ini melayang.
Raja Serigala Hitam murka bukan main. Dia tahu ada seseorang yang telah menyelamatkan calon korbannya. Dugaan si kakek memang tak salah. Sebelum kepala Inani hancur terhantam kaki Raja Serigala Hitam, sehelai sabuk melayang dan melilit tubuh Inani lalu menariknya ke belakang. Tarikan sabuk ini yang membuat serangan Raja Serigala Hitam mengenai tempat kosong.
Raja Serigala Hitam menatap dengan sorot mata penuh kemarahan pada tokoh yang telah menolong Inani. Tokoh itu terlihat duduk mencangkung di atas genting salah satu bangunan. Sang penolong yang ternyata seorang pemuda berpakaian abuabu balas menatap Raja Serigala Hitam sambil menggulung sabuk yang tadi dipakai membelit tubuh Inani.
Inani sendiri berdiri bersandar di dinding bangunan tepat di bawah penolongnya. Gadis itu tampak tak berdaya. Serangan Raja Serigala Hitam memang dahsyat bukan main. Inani agaknya terluka parah!
"Siapa kau, Monyet Kurap?! Sungguh berani mencampuri urusan Raja Serigala Hitam!" bentak Raja Serigala Hitam seraya memperhatikan pemuda berpakaian abu-abu lekat-lekat.
Raja Serigala Hitam tak segera melancarkan serangan. Kakek ini tak berani memandang rendah pemuda itu setelah menghadapi kenyataan kalau Inani yang demikian muda telah memiliki kepandaian tinggi. Bukan tak mungkin pemuda berpakaian abuabu itu memiliki kepandaian tinggi pula. Raja Serigala Hitam rupanya kini bertindak hati-hati.
"Mengapa harus takut terhadap tua bangka yang beraninya hanya terhadap seorang gadis?" ejek pemuda berpakaian abu-abu.
Usai berkata demikian pemuda itu melayang turun dari atas genting. Raja Serigala Hitam sampai membelalakkan mata karena kaget melihat cara pemuda itu turun. Kedua tangannya hanya dikibaskan ke belakang tanpa adanya gerakan pada tubuh atau kaki. Tapi toh tubuh pemuda itu meluncur turun dengan sangat ringannya.
"Kalau begitu kau harus mampus!" bentak Raja Serigala Hitam. Bersamaan dengan ucapan itu dia mengirimkan gedoran kedua tangan terbuka ke arah dada pemuda berpakaian abu-abu yang baru saja menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ganas sekali...!" ucap pemuda berpakaian abu-abu dengan wajah memancarkan kengerian yang di-buat-buat.
Pemuda itu lalu melompat tinggi ke atas. Lagi-lagi gerakan itu dilakukannya tanpa menjejakkan kaki yang berarti. Raja Serigala Hitam hanya melihat sekelebatan bayangan menyambar ke atas dan serangan yang dilancarkannya pun mengenai tempat kosong.
Raja Serigala Hitam marah karena merasa dipermainkan. Dengan amarah meluap-luap kembali di-kirimkannya serangan lanjutan. Serangan ini lebih dahsyat daripada sebelumnya.
"Jangan! Tolong...! Tolooong...!" Seperti layaknya orang ketakutan pemuda berpakaian abu-abu menjerit-jerit dengan sikap ngeri. Wajahnya kelihatan kebingungan ketika serangan Raja Serigala Hitam menyambar ke arahnya.
Raja Serigala Hitam merasa heran melihat tingkat pemuda itu. Apalagi ketika melihat sampai serangan yang dikirimkannya hampir mengenai sasaran si pemuda belum mengelak atau menangkis, setidak-tidaknya membuat persiapan. Pemuda itu malah menutupi wajahnya seperti orang yang merasa ngeri. Baru ketika serangan hampir mendarat di sasaran, dengan gerakan seperti tak disengaja dan asal-asalan serangan Raja Serigala Hitam dibuat punah!
Raja Serigala Hitam jadi penasaran. Benaknya digayuti pertanyaan besar. Benarkah pemuda ini tak memiliki kepandaian yang berarti? Rasa penasaran menyebabkan Raja Serigala Hitam terus melancarkan serangan.
Sampai lima jurus Raja Serigala Hitam melancarkan serangkaian serangan dahsyat susul-menyusul. Tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Pemuda berpakaian abu-abu selalu berhasil mengelakkan setiap serangan kendati dengan gerakan seperti asal-asalan. Sementara mulutnya senantiasa menyerukan teriakan ketakutan.
Raja Serigala Hitam pun sadar kalau pemuda itu seorang tokoh berkepandaian tinggi. Hanya saja kemampuannya disembunyikan dengan tingkahnya yang aneh. Tiba-tiba, masih dengan serangan yang terus dilancarkan, Raja Serigala Hitam teringat akan se-suatu yang membuat detak jantungnya bertambah cepat.
Tokoh hitam itu teringat pada datuk golongan putih yang setingkatan dengan Singa Berbulu Emas. Tokoh ini terkenal akan ilmu-ilmunya yang aneh dan wataknya yang ganjil. Di samping tokoh aneh ini memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepatan gerak yang luar biasa. Itulah sebabnya dunia persilatan menjulukinya Dewa Gila Tanpa Bayangan! Mungkinkah pemuda ini mempunyai hubungan dengan datuk yang aneh itu? Tanya Raja Serigala Hitam dalam hati.
"Hey, Pemuda Gila! Apakah kemampuanmu hanya bergerak ke sana kemari seperti monyet lapar? Apakah kau tak mempunyai kemampuan lain? Ataukah kau takut bertempur denganku?!"
Raja Serigala Hitam memanas-manasi agar pemuda yang menjadi lawannya mau melakukan perlawanan. Dengan demikian dia dapat menilai kemampuan lawan. Setelah itu bisa diketahui apakah pemuda berpakaian abu-abu ini mempunyai hubungan dengan Dewa Gila Tanpa Bayangan.
Raja Serigala Hitam melambung tinggi ke udara. Kemudian dari atas dia menukik turun menyerang ubun-ubun si pemuda dengan jari-jari tangan terpentang lebar.
"Gila! Raja Serigala Hitam, seharusnya kau mengganti julukanmu dengan burung hitam! Hi hi...!"
Pemuda berpakaian abu-abu masih sempat tertawa-tawa. Sebelum melakukan tindakan yang sejak tadi tak dilakukannya. Dia memapaki serangan Raja Serigala Hitam!
Plakkk!
Benturan yang menimbulkan bunyi keras terjadi. Tubuh Raja Serigala Hitam terpental balik ke udara sedangkan si pemuda tak bergeming sedikit pun. Tapi, kedua kakinya amblas ke dalam tanah sampai melewati mata kaki! Rupanya tekanan dari atas yang terlalu dahsyat tak mampu ditahan oleh tanah.
"Hi hi hi...! Kau hebat, Burung Hitam. Sekarang ganti aku yang menyerang!"
Gema ucapannya belum habis tapi tubuh pemuda berpakaian abu-abu telah melesat ke arah Raja Serigala Hitam yang baru saja menjejak tanah. Tubuh pemuda itu seperti berubah menjadi bayangan. Namun Raja Serigala Hitam sempat melihat pemuda berpakaian abu-abu mengirimkan serangan dengan gedoran kedua tangan terbuka.
Raja Serigala Hitam masih penasaran dengan benturan yang baru saja terjadi. Dia tak yakin lawannya memiliki tenaga dalam yang demikian kuat dan mampu mengimbangi tenaga dalamnya. Ketidakpuasan dan ketidakyakinan itu mendorongnya untuk melakukan tindakan nekat!
Sambil mengeluarkan teriakan yang menggetarkan sekitar tempat itu Raja Serigala Hitam melesat menyambuti kedatangan lawannya. Kedua tangan kakek ini pun didorongkan ke depan.
Bresss!
Benturan yang kedua kalinya ini jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Getaran yang terjadi terasa oleh semua orang yang berada di situ, juga bangunan-bangunan bergetar keras. Namun akibat yang lebih hebat diterima oleh Raja Serigala Hitam dan pemuda berpakaian abu-abu. Tubuh kedua tokoh itu sama-sama terhuyung-huyung empat langkah ke belakang dengan kedua tangan terasa nyeri.
Sekarang Raja Serigala Hitam sadar kalau lawannya benarbenar tangguh bukan main. Maka ketika dilihatnya Inani berhasil memulihkan kekuatannya Raja Serigala Hitam mengeluarkan pekikan yang merupakan isyarat pada gerombolan Bangkalan untuk meninggalkan tempat itu.
Raja Serigala Hitam sendiri melesat cepat lebih dulu. Bangkalan dan gerombolan sesaat kemudian melakukan hal yang sama. Untuk itu anak buah Bangka-lan harus membuka jalan darah. Beberapa di antara mereka yang tak mampu melakukan tindakan itu ak-hirnya harus menemui nasib sial tewas di tangan mu-rid-murid Perkumpulan Tapak Darah. Yang berhasil lolos hanya Bangkalan dan hampir separo anak buah-nya. Sisanya tewas dalam pertempuran.
"Ayo mau lari ke mana kau, Burung Hitam? Sampai ke mana pun kau lari akan kukejar! Ayo...!"
Pemuda berpakaian abu-abu berlari-larian di tempatnya hingga membuat tanah tergetar hebat. Mulutnya tak hentihentinya mengeluarkan seruan untuk menakut-nakuti lawan.
Raja Serigala Hitam hanya bisa menahan kemarahan di hati. Dia tahu pemuda itu tak mengejarnya. Tapi ucapan-ucapan yang dikeluarkannya membuat kakek itu seperti berlari karena ketakutan! Di dalam hatinya Raja Serigala Hitam berjanji akan membuat perhitungan dengan pemuda aneh itu.
Sebenarnya kalau saja Inani tak ada atau gadis itu terluka parah Raja Serigala Hitam tak akan kabur. Tapi karena luka Inani ternyata tak begitu parah sementara pemuda aneh itu amat tangguh, sudah pasti dibutuhkan waktu cukup lama bagi Raja Serigala Hitam untuk mengalahkannya.
Apabila hal itu terjadi dan Inani ikut terjun dalam kancah pertarungan Raja Serigala Hitam yakin di-rinya akan berhasil dikalahkan sepasang muda-mudi itu. Maka tokoh sesat yang cerdik ini memutuskan un-tuk kabur. "Masih banyak waktu dan kesempatan un-tuk membuat perhitungan," hibur kakek itu dalam hati.
Sandaka dan Kalaban menghela napas lega melihat keberhasilan mereka mengusir penyerbuan Raja Serigala Hitam. Keberuntungan mereka tak lepas dari pertolongan pemuda aneh. Maka setelah memerintahkan adik-adik seperguruan mereka untuk membe-reskan halaman dari mayat-mayat dan darah, kedua murid utama Perkumpulan Tapak Darah ini mendekati pemuda berpakaian abu-abu.
"Terima kasih atas pertolongan Anda, sahabat muda yang perkasa. Tanpa pertolonganmu mungkin gerombolan penjahat itu tak akan dapat kami usir demikian mudah. Boleh kami tahu namamu, Sahabat?" tanya Sandaka penuh hormat.
Pemuda itu terlihat tersenyum-senyum sendiri sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Apa yang kulakukan? Aku hanya meladeni monyet hitam tadi bermain-main. Jadi, tindakanku itu merupakan pertolongan pada kalian? Syukurlah kalau demikian," jawab pemuda itu. "Mengenai nama panggillah aku Banterang."
"Jangan kau besar kepala, Banterang!" sergah Inani seraya mengayunkan kaki mendekati. "Aku pun belum tentu kalah oleh Raja Serigala Hitam. Sayang kau keburu datang dan menggempurnya. Padahal aku belum mengerahkan seluruh kemampuanku!"
Sandaka dan Kalaban hanya bisa mengeluh dalam hati melihat tingkah Inani. Mereka merasa tak enak pada Banterang. Tapi untuk menegur Inani mereka lebih tak berani lagi. Maka, kedua murid utama ini hanya bisa berharap Banterang tak tersinggung.
Harapan Sandaka dan Kalaban ternyata terpenuhi. Banterang tak merasa tersinggung atas ucapan Inani. Pemuda itu malah tersenyum lebar.
"Benar-benar pemuda yang memiliki watak aneh!" ucap Sandaka dan Kalaban dalam hati.
"Kau benar, Nona," sambut Banterang dengan ringannya. "Burung hitam tadi memang hampir berhasil kau kalahkan. Lagi pula apa susahnya mengalahkan burung?"
"Tak usah berbelit-belit bicara, Banterang!" sergah Inani ketus. "Benarkah kau murid Dewa Gila Tanpa Bayangan?!"
"Luar biasa! Kau ternyata tak hanya lihai saja, Nona. Tapi juga cerdik. Aku memang murid Dewa Gila Tanpa Bayangan."
"Buang puji-pujian kosong itu, Banterang! Ketahuilah, aku bernama Inani. Guruku adalah Singa Berbulu Emas. Kurasa kau tahu apa artinya bukan?" sela Inani lagi seraya menatap wajah Banterang lekat-lekat. Sinar mata gadis ini terlihat penuh tantangan.
"Tentu saja, Inani," jawab Banterang masih kalem, kendati Inani selalu bicara dengan nada tinggi dan ketus. "Bukankah kau, aku dan murid datuk-datuk lainnya harus bertarung untuk menentukan guru siapa yang lebih unggul?"
"Benar!" jawab Inani cepat "Dan waktunya adalah dua minggu lagi di Puncak Dunia. Aku harap kau tak lupa untuk pergi ke sana agar bisa ditentukan siapa yang lebih unggul!" Banterang hanya tertawa.
"Waktunya masih cukup lama, Inani. Aku akan pergunakan sisa waktu itu untuk bermain-main dulu menikmati dunia indah ciptaan Tuhan ini; Tapi apabila waktunya tiba, aku akan datang!"
Ucapan Banterang masih terdengar. Tapi tubuhnya sudah tak berada di situ lagi. Sandaka dan Kalaban tanpa sadar berdecak kagum melihat kenyataan ini. Mereka tak melihat Banterang bergerak tapi tahu-tahu pemuda itu sudah tak ada di situ lagi! Inani sebenarnya terkejut juga. Tapi keangkuhan mendorong-nya untuk tak memperlihatkan perasaan itu. Bahkan gadis itu malah mendengus.
"Kemampuan seperti itu saja dipamerkan di depanku!" ucap gadis berpakaian hijau ini sambil membalikkan tubuh dan melangkah pergi.
Sandaka dan Kalaban saling berpandangan. Kedua murid utama Perkumpulan Tapak Darah ini sangat menyayangkan sikap tinggi hati Inani. Sayangnya mereka merasa tak enak hati untuk menegurnya. Sandaka dan Kalaban hanya bisa menatap punggung putri ketua mereka dengan sorot mata penyesalan.
––––––––
3
Lelaki itu berusia sekitar lima puluh lima ta-hun. Tubuhnya kurus dengan kumis tipis dan jarang-jarang menghiasi wajahnya yang berbentuk tirus mirip tikus. Hidungnya memiliki ujung yang melengkung sedikit ke bawah mirip paruh burung. Lelaki ini kelihatan angker bukan main. Apalagi karena sepasang matanya yang sipit menyorot tajam dan memancarkan kekejaman.
Lelaki yang mengenakan pakaian rompi dari benang emas ini tengah duduk di atas sebuah kursi indah. Kepalanya disandarkan pada sandaran kursi yang layaknya hanya dimiliki seorang raja, karena tangan-tangan kursi dihiasi taburan permata.
Di kanan-kiri lelaki kurus itu berdiri dua orang wanita muda berwajah cantik. Keduanya hanya mengenakan penutup tubuh ala kadarnya untuk menutupi dada dan bagian bawah pusar sehingga kelihatan jelas kulit tubuhnya yang putih halus.
Dua wanita muda itu memegang kipas bertangkai panjang. Kipas yang terbuat dari bulu-bulu burung itu digerakkan tak henti-hentinya mengipasi lelaki berompi indah. Beberapa kali dua wanita muda ini tam-pak menggigit bibir ketika tangan-tangan lelaki kurus merayapi tubuh mereka. Mereka hanya diam membisu tak bisa bertindak apa pun. Hanya sorot sepasang mata keduanya yang menyatakan kalau tindakan lelaki kurus tak berkenan di hati mereka.
Di sudut ruangan besar dan megah itu duduk seorang wanita muda yang juga berpakaian ala kadar-nya. Wanita ini tengah memainkan kecapi. Petikan na-da-nadanya terdengar merdu di telinga.
Tok, tok, tok...!
Bunyi ketukan pelan pada daun pintu ruangan itu membuat lelaki berompi indah menegakkan kepala. Sepasang matanya terlihat menyiratkan kemarahan karena keasyikannya merasa terganggu.
"Apakah kau sudah tak sayang nyawa lagi sehingga berani mengganggu istirahatku?!" dengus lelaki kurus pada orang yang mengetuk daun pintu.
"Ampunkan hamba, Yang Mulia Raja Laut," jawab suara dari balik daun pintu penuh rasa takut. "Hamba tak bermaksud mengganggu. Tapi...."
"Kalau begitu, cepat menyingkir dari sini sebelum kesabaranku hilang dan kau mendapat hukuman yang besar!" potong lelaki kurus yang bukan lain dari Raja Laut Bermuka Setan.
Ucapan datuk sesat wilayah selatan ini membuat sekitar ruangan itu bergetar keras. Akibat yang tak kalah dahsyat terjadi pada tiga wanita muda yang berada di ruangan itu. Tubuh mereka menggigil keras sehingga kipas-kipas di tangan lepas dari cekalan dan bahkan salah satu tali kecapi putus!
Raja Laut Bermuka Setan tahu hal itu. Tapi dia sama sekali tak peduli. Sepasang matanya yang menyorot penuh kemarahan tetap tertuju pada daun pintu.
"Ka belum beranjak dari tempatmu, Keparat! Apakah kau tak sayang nyawamu?!" seru Raja Laut Barmuka Setan dengan suara semakin meninggi.
Datuk sesat yang sebelumnya merupakan kepala bajak laut ini dengan pendengarannya yang tajam tahu kalau pengetuk pintu belum beranjak dari tem-patnya. Hal itu yang membuat kemarahannya semakin berkobar.
"Hamba mohon ampun, Yang Mulia Raja Laut," ujar sosok dari balik daun pintu dengan suara menggigil. "Tapi di luar ada orang yang hendak bertemu dengan Yang Mulia."
"Goblok! Tolol! Tidak bisakah kau menyuruhnya menunggu, Bego?!" bentak Raja Laut Bermuka Setan. "Aku sedang istirahat!"
"Orang itu tak mau menunggu, Yang Mulia. Hamba telah menyuruhnya menunggu, tapi dia tetap berkeras hendak menjumpai Yang Mulia. Maka...."
"Bodoh! Manusia tak berotak!" Lagi-lagi Raja Laut Bermuka Setan memotong dengan makian. "Kalau orang itu tak mau menunggu usir saja! Kalau perlu bunuh!"
"Orang itu lihai sekali, Yang Mulia. Saat ini dia tengah dikeroyok. Tapi kawan-kawan roboh di tangannya," jawab pemilik suara dari balik daun pintu.
"Keparat! Kau tahu siapa orang yang tak tahu diri dan mencari penyakit itu?!"
"Dia memperkenalkan diri sebagai Raja Serigala Hitam, Yang Mulia!"
Raja Laut Bermuka Setan terdiam. Keningnya berkernyit dalam. Dia telah mendengar berita kalau di wilayah utara telah muncul tokoh sesat yang berjuluk Raja Serigala Hitam. Raja Laut Bermuka Setan pun tahu kalau Raja Serigala Hitam mempunyai maksud yang sama dengannya, merajai dunia kaum sesat dan mengangkat diri sebagai datuk. Namun sungguh tak disangka secepat ini Raja Serigala Hitam bertindak menyatroni tempat kediamannya.
"Kembali ke tempatmu, Manusia Tolol! Aku akan ke sana dan mengambil nyawa tokoh tak tahu diri itu!"
Terdengar langkah-langkah kaki menjauhi daun pintu. Raja Laut Bermuka Setan bangkit dari kursinya lalu mengambil dayung baja berlapis emas. Kemudian, dia melangkah meninggalkan ruangan.
Di halaman depan bangunan megah dan indah milik Raja Laut Bermuka Setan memang tengah terjadi pertarungan sengit.
Raja Serigala Hitam mengamuk menghadapi keroyokan anak buah Raja Laut Bermuka Setan yang sebagian besar adalah para bajak laut. Sekitar dua puluh orang yang mengeroyok Raja Serigala Hitam. Tapi tokoh ini tak tampak terdesak, bahkan beberapa lawannya telah bergeletakan di tanah.
Raja Laut Bermuka Setan berdiri tegak di ambang pintu bangunan tempat tinggalnya yang besar. Dayung yang menjadi senjata andalannya dipegang oleh lelaki bermata satu di sebelah kirinya. Raja Laut Bermuka Setan memperhatikan jalannya pertarungan sebentar dengan sepasang alis berkerut.
Kepala bajak laut selatan ini harus mengakui kalau Raja Serigala Hitam memiliki kepandaian tinggi. Dia merasa tidak yakin akan mampu mengalahkan tokoh wilayah utara itu. Namun tentu saja. Raja Laut Bermuka Setan tak menjadi gentar karenanya. Dengan langkah lebar diayunkan kakinya menuruni tangga ba-tu yang menuju ke halaman luas di depannya.
"Mundur semua...!" seru Raja Laut Bermuka Setan keras begitu telah berada di halaman.
Belasan anak buah Raja Laut Bermuka Setan berlompatan mundur dan menjauhi Raja Serigala Hitam. Raja Laut Bermuka Setan menatap wajah tamu tak diundang itu tajam-tajam. Raja Serigala Hitam tak mau kalah. Dia balas menatap dengar tak kalah ga-rangnya. Untuk sesaat kedua pimpinan kaum sesat dari wilayah yang berbeda ini saling bertatapan, seakan-akan tengah mengadu kekuatan melalui sinar mata.
"Kau terlalu lancang, Serigala Hitam," dengus Raja Laut Bermuka Setan. "Di wilayahmu boleh kau bertingkah seenakmu. Tapi di wilayah ini, apalagi di tempat kediamanku, kau sama saja dengan mengantar nyawa bila melakukan tindakan seperti ini!"
"Kau terlalu sombong, Muka Setan!" sahut Raja Serigala Hitam tak mau kalah gertak. Saingannya menyapanya dengan membuang gelar raja. Maka dia pun melakukan hal yang sama. "Perlu kau ketahui, aku tak takut terhadapmu! Tapi perlu kukatakan kalau kedatanganku kemari tak bermaksud untuk mencari per-musuhan denganmu!"
Raja Laut Bermuka Setan tersenyum mengejek.
"Tak ingin mencari permusuhan katamu, Serigala Hitam? Tapi di sini kau menyebar kekacauan, melukai banyak anak buahku! Dan katamu bukan hendak mencari permusuhan? Ucapan macam apa itu?!"
"Kalau saja anak buahmu tak terlalu berkeras mencegahku tentu aku tak perlu melakukan tindakan ini, Muka Setan!" tandas Raja Serigala Hitam. "Namun perlu kau catat keteranganku ini bukan berarti aku membela diri. Aku tak takut terhadapmu, Muka Setan!"
"Aku pun tak takut, Serigala Hitam!" balas Raja Laut
Bermuka Setan tak mau kalah. "Kau ingin bertarung sekarang?!"
Raja Laut Bermuka Setan segera melangkah untuk mengatur jarak bertarung. Tapi Raja Serigala Hitam tetap diam di tempat. Lelaki berompi hitam ini malah menggelengkan kepala.
"Bertarung itu mudah, Muka Setan. Kapan pun kau inginkan aku siap, tapi tidak sekarang! Bukan karena apa-apa. Aku datang kemari membawa urusan penting. Urusan yang menyangkut golongan kita," kilah Raja Serigala Hitam.
Raja Laut Bermuka Setan mengendurkan kembali urat-urat sarafnya yang tadi menegang. Dilihatnya ada kesungguhan yang besar dalam ucapan kakek be-rompi hitam itu.
"Urusan apa, Serigala Hitam?"
"Kurasa kau tak keberatan kalau kita bicara di dalam saja, Muka Setan," Raja Serigala Hitam mengajukan usul. "Makan waktu yang cukup panjang untuk mengatakannya. Atau kau lebih suka kita bicara di sini sambil berdiri? Barangkali saja kau takut mengajakku ke dalam istanamu."
Sepasang mata Raja Laut Bermuka Setan berkilat-kilat penuh kemarahan. Dia merasa tersinggung dikatakan takut oleh Raja Serigala Hitam. Kendati demikian kalau langsung diturutinya perkataan datuk sesat wilayah utara itu, apa kata anak buahnya?
"Masuk dan berbicara soal gampang. Tapi aku ingin tahu persoalan apakah yang akan kau bicarakan. Tidak semua persoalan dapat dengan mudah dibicarakan di istanaku. Ingin kuketahui dulu pantas tidaknya persoalan yang kau bawa itu," ujar Raja Laut Bermuka Setan dengan nada meremehkan.
Raja Serigala Hitam merasakan hatinya terbakar. Dia merasa terhina sekali oleh sikap Raja Laut Bermuka Setan.
Kedudukannya tak kalah tinggi dengan kepala bajak laut itu. Tapi perlakuan yang diterimanya amat merendahkan dirinya. Kalau menuruti perasaan Raja Serigala Hitam ingin menerjang saingan beratnya memperebutkan kedudukan sebagai datuk kaum sesat itu. Tapi mengingat pentingnya urusan yang dibawa maka maksudnya cepat-cepat diurungkan.
"Kau tentu mendengar tentang datuk-datuk persilatan pada puluhan tahun yang lalu," ujar Raja Serigala Hitam separo mengingatkan.
"Tentu saja," jawab Raja Laut Bermuka Setan kalem. "Lalu mengapa?"
Raja Serigala Hitam menggertakkan gigi karena geram melihat sambutan Raja Laut Bermuka Setan yang dingin. Ingin diludahinya wajah lelaki kurus itu kalau tak mengingat akibat yang terjadi.
"Datuk-datuk persilatan itu ternyata mempunyai muridmurid, Muka Setan. Dua di antara mereka telah kutemui. Entah datuk-datuk lainnya apakah mereka mempunyai murid atau tidak aku belum tahu..."
"Ha ha ha...!"
Raja Laut Bermuka Setan memotong ucapan Raja Serigala Hitam dengan tawa bergelak bernada merendahkan.
"Kukira persoalan apa, tak tahunya hanya masalah bocahbocah yang baru kemarin kenal dunia persilatan. Ha ha ha...! Lucu sekali, Kau katakan ini persoalan penting, Serigala Hitam? Jangankan hanya murid-muridnya, biar datuk-datuk persilatan itu sen-diri yang keluar dari tempat persembunyiannya dan sekaligus mengeroyokku, Raja Laut Bermuka Setan tak akan mundur selangkah pun. Mereka akan ku basmi. Ha ha ha...!"
Wajah Raja Serigala Hitam tampak merah padam. Kemarahan yang sejak tadi sudah melanda makin bergolak. Namun dengan sekuat tenaga amarah yang hendak terlontar itu ditahannya.
"Serigala Hitam," ucap Raja Laut Bermuka Setan lagi setelah puas mengumbar tawa. "Kalau belum apa-apa kau sudah ketakutan setengah mati, copot saja gelar raja dari julukanmu. Setelah itu mundurlah kau dari dunia persilatan. Kau tak pantas menjadi datuk kaum sesat wilayah utara!"
Terdengar bunyi berkerotokan dari sekujur tubuh Raja Serigala Hitam. Padahal kakek ini tak menggerakkan anggota tubuhnya sama sekali. Aliran tenaga dalamnya yang menyebar sendiri karena kemarahan yang melanda menyebabkan bunyi itu terjadi.
"Sungguh tak kusangka tanggapan seperti ini yang ku peroleh darimu, Muka Setan," agak bergetar ucapan Raja Serigala Hitam karena menahan kemarahan. "Ucapan dan sikap yang kau pertunjukkan selayaknya keluar dari mulut bocah ingusan yang baru belajar satu dua macam pukulan. Kau tak ubahnya katak dalam tempurung, Muka Setan! Orang-orang berpikiran kerdil sepertimu yang membuat golongan kita tak pernah berjaya dan selalu menjadi pihak yang dikalahkan!"
"Keparat! Tutup mulutmu, Serigala Hitam!"
Raja Laut Bermuka Setan yang merasa sangat tersinggung dengan ucapan Raja Serigala Hitam lang-sung memuntahkan amarahnya dengan melancarkan serangan. Lelaki kurus ini mengawali serangannya dengan sebuah tendangan lurus kaki kanan ke arah perut.
Raja Serigala Hitam tak menjadi gugup melihat serangan itu. Sejak tadi dia memang sudah bersiap siaga menghadapi hal-hal seperti ini. Maka tanpa ragu-ragu ditangkisnya tendangan itu dengan sabetan tangan kanan.
"Heh?!"
Raja Serigala Hitam mengeluarkan seruan kaget melihat Raja Laut Bermuka Setan menarik pulang serangannya di tengah jalan. Secara cepat dan tak terduga-duga kemudian pimpinan tokoh sesat wilayah selatan ini menggantikannya dengan tendangan miring ke arah dada.
Serangan ini memaksa Raja Serigala Hitam mencondongkan tubuh ke belakang, sehingga seran-gan lawan hanya mengenai tempat kosong. Saat itulah tangan kanannya bergerak cepat melakukan totokan ke arah mata kaki Raja Laut Bermuka Setan. Totokan yang mengeluarkan bunyi bercicitan nyaring bagaikan belasan ekor tikus mencicit.
Raja Laut Bermuka Setan tak menginginkan mata kakinya hancur oleh totokan Raja Serigala Hitam. Buru-buru kakinya ditarik pulang. Namun Raja Seriga-la Hitam tak berhenti sampai di situ saja. Begitu se-rangan pertamanya tak mengenai sasaran segera diki-rimkannya serangan bertubi-tubi dengan gedoran tangan kanan dan kiri.
Kali ini Raja Laut Bermuka Setan tak mengelak. Dengan kedua jari-jari tangan terbuka dipapakinya serangan-serangan itu.
Plak, plakkk!
Berturut-turut serangan itu tertangkis hingga menimbulkan bunyi riuh rendah. Akibatnya, tubuh kedua tokoh itu terhuyunghuyung tiga langkah ke belakang.
"Dengan kemampuan seperti ini kau berani meremehkan datuk-datuk persilatan? Hanya menghadapi salah satu dari murid datuk itu saja kau tak akan mampu menang, Muka Setan?!" ejek Raja Serigala Hi-tam setelah berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Raja Laut Bermuka Setan memberikan isyarat dengan suitan nyaring. Lelaki bermata picak yang se-jak tadi menggenggam dayung pimpinannya segera melemparkan senjata itu. Tanpa membalikkan tubuh dan bahkan tanpa melihatnya sedikit pun Raja Laut Ber-muka Setan menangkapnya dengan tangan kiri!
"Kalau kau mampu bertahan menghadapi senjataku ini selama lima puluh jurus, maksudmu menemuiku akan kudengar dan kupertimbangkan. Tapi bila tidak, menggelindinglah dari sini dengan selamat apa-bila kau berhasil melakukannya!" tandas Raja Laut Bermuka Setan.
Wuk, wuk, wukkk!
Deru angin yang menyakitkan telinga langsung terdengar ketika kepala bajak laut selatan itu memutar dayungnya. Cepat bukan main sehingga membuat ben-tuk dayung lenyap. Yang kelihatan hanya cahaya kee-masan melingkar di seputar tubuh lelaki kurus.
"Keluarkan senjatamu, Serigala Hitam!" sera Raja Laut Bermuka Setan di tengah kesibukannya memutar dayung.
Raja Serigala Hitam tersenyum pahit Bukannya mencabut atau mengeluarkan senjatanya dia malah membuang ludah ke tanah dengan sikap kasar. Cairan kental itu menghantam tanah dan tembus ke dalam!
"Simpan senjatamu, Muka Setan! Kemampuanmu itu hanya akan berarti bila kau pertunjukkan pada keroco-keroco dan anak buahmu. Aku tak kerasan berlama-lama berdekatan dengan orang berpikiran kerdil sepertimu. Kelak setelah sarangmu diobrakabrik mereka, kau akan mengerti!"
Setelah berkata demikian Raja Serigala Hitam membalikkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu. Kakek ini tak hendak meladeni keinginan lawan-nya. Karena bila hal itu dilakukan menurutnya sama saja dengan merendahkan diri. Padahal kedudukannya setingkat dengan Raja Laut Bermuka
Setan.
"Jangan lari kau, Pengecut...!" bentak Raja Laut Bermuka Setan seraya bergerak mengejar.
Tapi Raja Serigala Hitam tak mempedulikan makian saingannya. Kakek itu terus berlari. Tindakan itu memaksa Raja Laut Bermuka Setan yang terlanjur murka terus mengejarnya. Pemimpin bajak Laut selatan ini baru menghentikan pengejarannya setelah ratusan tombak mengejar dan jarak antara dirinya dengan buruannya tetap tak berubah. Dengan hati dongkol lelaki kurus ini kembali ke tempat tinggalnya. Disadarinya tak akan mungkin bisa menyusul Raja Seri-gala Hitam. Ilmu lari cepat tokoh Wilayah utara itu tak berada di bawahnya.
––––––––
4
"Iblis Berhati Manusia! Berhenti...!"
Bentakan keras penuh kemarahan membuat lari Raja Laut Bermuka Setan tertahan. Dia merasa seruan dari arah belakangnya itu ditujukan untuk di-rinya. Dengan kemarahan yang memuncak segera di-balikkan tubuhnya.
Tampak sesosok tubuh tengah berlari menuju ke arahnya. Gerakannya cepat. Sehingga dalam waktu sebentar saja sosok yang ternyata seorang gadis berpakaian merah telah berada tiga tombak di depan Raja Laut Bermuka Setan.
Amarah Raja Laut Bermuka Setan berkurang banyak ketika melihat orang yang mengeluarkan bentakan. Gadis berpakaian merah itu memiliki wajah yang luar biasa cantik. Kulitnya halus putih. Bentuk tubuhnya ramping padat dan begitu menawan. Raja Laut Bermuka Setan yang gemar pada perempuan cantik langsung tertarik.
"Siapa kau, Nona Cantik? Apakah aku orang yang kau minta untuk berhenti?" tanya Raja Laut Bermuka Setan dengan pandang mata seperti hendak menelan bulat-bulat sosok di depannya.
"Tidak salah!" sahut gadis cantik itu mantap. "Bukankah kau orang yang berjuluk Raja Laut Bermuka Setan? Orang yang gemar menculik gadis-gadis untuk memenuhi keinginan terkutukmu!"
"Ha ha ha...!"
Raja Laut Bermuka Setan tertawa. Dia tidak marah mendengar ucapan gadis berpakaian merah yang ketus dan kasar.
"Aku memang orang yang kau maksudkan itu. Nona Cantik? Dan aku memang gemar dengan gadis-gadis cantik sepertimu. Tentu saja kalau kau bersedia ikut denganku aku tak perlu menyuruh anak buahku untuk menculik mu. Nah, bagaimana? Apakah kau bersedia ikut denganku?"
"Tutup mulutmu yang kotor itu, Binatang! Ketahuilah, aku datang untuk melenyapkan kau dari muka bumi ini agar kekejian yang kau lakukan hilang dari mayapada. Sebetulnya aku bermaksud menyatroni tempat tinggalmu. Tapi karena kau telah kutemukan, maka di sini pun kurasa cocok untuk menjadi tempat akhir hidupmu. Bersiaplah untuk menjumpai malaikat maut, Manusia Binatang!"
Seiring dengan selesainya ucapan itu gadis berpakaian merah melompat. Dari atas tangan kanannya yang berbentuk cakar meluncur ke arah ubun-ubun Raja Laut Bermuka Setan, sementara tangan kirinya diletakkan di pinggang.
Raja Laut Bermuka Setan tampak terperanjat kaget. Dia tak berani memandang remeh gadis cantik itu lagi. Dari bunyi bercicitan nyaring yang mengiringi serangan itu bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Lelaki kurus ini tahu apabila serangan mengenai sasaran nyawanya akan melayang ke alam baka!
Buru-buru Raja Laut Bermuka Setan melangkah mundur setindak seraya menarik kepalanya ke belakang. Sederhana saja gerakan yang dilakukan lelaki kurus itu. Kendati demikian, serangan maut lawan jadi lewat di atas kepalanya. Seluruh rambut dan pakaian pimpinan bajak laut selatan ini berkibaran keras ketika serangan cakar lawannya lewat.
Tapi serangan si gadis tak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan pertamanya lolos kaki kanannya menyambar cepat ke arah dada. Tidak ada pilihan lain bagi Raja Laut Bermuka Setan kecuali melempar tubuh ke belakang lalu berputaran beberapa kali di udara. Tindakan ini membuat serangan gadis berpakaian merah kembali lolos.
Gadis cantik itu ternyata benar-benar luar biasa. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah langsung dijejakkan lagi hingga tubuhnya kembali melesat ke arah lelaki kurus. Kedua tangan yang jari-jarinya terbuka lurus ditotokkan bertubi-tubi ke arah ulu hati dan dada. Sebuah pertarungan aneh pun terjadi. Gadis berpakaian merah yang terus memburu dengan serangan-serangan maut sementara Raja Laut Bermuka Se-tan tak henti-hentinya bersalto ke belakang untuk menyelamatkan diri.
Raja Laut Bermuka Setan akhirnya menyadari jika keadaan seperti ini tak segera diubahnya dia bisa celaka. Diserang terusmenerus tanpa mempunyai kesempatan untuk menangkis atau balas melancarkan serangan akan mencelakakan dirinya.
Sungguh tak disangkanya seorang gadis muda mampu memiliki kepandaian demikian tinggi!
Sekelebatan dugaan mencuat di benak Raja Laut Bermuka
Setan. Gadis inikah yang dimaksud Ra-ja Serigala Hitam? Ataukah gadis lainnya lagi yang me-rupakan murid salah satu dari empat datuk golongan putih?
Sekarang pikiran Raja Laut Bermuka Setan baru terbuka. Kalau gadis ini saja sudah selihai ini bagaimana pula dengan ayah atau guru yang mendidiknya? Benarkah tingkat kepandaian datuk-datuk golongan putih demikian tinggi?
"Kraaakh...!"
Sambil bersalto untuk menyelamatkan nyawanya Raja Laut Bermuka Setan memekik bagai seekor burung garuda yang tengah murka. Bukan sembarang teriakan, melainkan didasari dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Lenguhan tertahan dikeluarkan gadis berpakaian merah. Tubuhnya yang tengah melayang mengikuti ke mana lawannya bergerak terhenti di tengah jalan dan melayang turun. Gadis berpakaian merah ini merasakan telinganya sakit bukan main seperti ditusuki jarum-jarum panas yang amat banyak. Dadanya pun bergetar hebat sehingga membuat aliran tenaga dalamnya terganggu. Untungnya dia masih memiliki kemampuan cukup hingga mampu mendarat di tanah dengan kedua kaki. Memang agak terhuyung-huyung, tapi tak terjerembab di tanah.
Raja Laut Bermuka Setan yang telah kenyang pengalaman bertarung segera mengetahui lawannya belum mampu mengusir pengaruh teriakannya. Maka begitu berhasil tegak di tanah dayungnya dibolang-balingkan di depan dada. Bunyi mengaung timbul mengiringi lenyapnya bentuk dayung. Sinar kuning keemasan seakan membungkus tubuh datuk Wilayah selatan ini saking cepatnya dayung berputar.
Gadis berpakaian merah meski memiliki kemampuan tinggi rupanya belum mempunyai pengala-man bertarung, sehingga pengaruh teriakan Raja Laut Bermuka Setan tak segera mampu diusirnya. Saat itu justru datuk wilayah selatan ini kembali melancarkan serangan melalui bunyi dayungnya.
Bunyi mengaung meluncur masuk ke telinga si gadis. Sakit bukan main kedua telinganya seperti ditusuk-tusuk paku berani. Rasa yang sama melanda bagian dalam tubuh gadis itu.
Gadis berpakaian merah menggeliat-geliat dalam cekaman rasa sakit yang mendera. Sesaat kemudian ketika rasa yang diderita semakin menggila dia duduk bersila mengerahkan tenaga dalam untuk membendung pengaruh bunyi dayung lawan.
Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan wajah yang memiliki kulit halus. Raja Laut Bermuka Setan sendiri merasa gembira bukan main melihat tindakan yang diambil gadis itu. Tindakan itu menandakan gadis berpakaian merah belum berpengalaman bertempur.
Tindakan yang dilakukan si gadis andaikata tenaga dalamnya setingkat dengan Raja Laut Bermuka Setan tetap akan menimbulkan kerugian pada dirinya. Gadis cantik itu hanya bertahan. Lain halnya apabila gadis berpakaian merah menghadapi serangan Raja Laut Bermuka Setan dengan bunyi pula. Akibat yang diterima tidak hanya tertuju pada diri gadis itu tapi ju-ga pada Raja Laut Bermuka Setan.
Baru sebentar merebahkan tubuh
Baru sekejap memicingkan mata
Keributan dan keonaran telah tercipta Tak dapatkah aku beristirahat sebentar saja?
Kata-kara gerutuan yang dikeluarkan secara berirama itu sebenarnya pelan. Tapi mampu mengatasi kegaduhan yang ditimbulkan oleh bunyi dayung Raja Laut Bermuka Setan.
Kenyataan ini saja sudah membuat Raja Laut Bermuka Setan terperanjat setengah mati. Yang lebih mengejutkan adalah ketika mengetahui getaran-getaran yang keluar dari gerutuan menimbulkan pengaruh dahsyat yang membendung bunyi putaran dayungnya. Malah, getaran yang terkandung dalam gerutuan itu mampu menekan bunyi dayung!
Meski tahu ada tokoh pandai yang telah membantu lawannya, Raja Laut Bermuka Setan tak mundur. Sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam putaran tongkatnya diperdahsyat. Bunyi yang ditimbulkan pun semakin keras.
Seperti hendak mengimbangi bunyi dayung, gerutuan yang terdengar dari salah satu pohon di dekat Raja Laut Bermuka Setan terus terdengar. Isi gerutuan itu sama dengan sebelumnya. Hanya saja pengaruh yang muncul jauh lebih dahsyat. Raja Laut Bermuka Setan menggertakkan gigi dan memaksakan diri untuk terus bertahan melakukan perlawanan. Tapi keadaan itu tak berlangsung lama.
"Huakh...!"
Raja Laut Bermuka Setan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang. Dayung yang tergenggam di tangan hampir-hampir lepas dari cekalan.
Bunyi gerutuan pun terhenti. Raja Laut Bermuka Setan mendekap dadanya yang dirasakan sakit dan nyeri bukan main. Lelaki kurus itu sadar kalau di-rinya telah terluka dalam. Pemilik gerutuan yang berada di atas pohon ternyata memiliki tenaga dalam di atasnya. Pimpinan bajak laut selatan ini menjadi ge-ram sekali. Raja Laut Bermuka Setan segera menga-rahkan pandangan ke tempat suatu gerutuan berasal.
"Kalau bukan pengecut tunjukkan wajahmu, Orang Usilan!" seru Raja Laut Bermuka Setan sambil mendekap dadanya yang terasa semakin sakit karena memaksakan diri berbicara.
Dari atas pohon sesaat kemudian tampak melayang turun sesosok bayangan ungu. Sosok itu menjejak tanah sekitar dua tombak di depan Raja Laut Bermuka Setan. Raja Laut Bermuka Setan memperha-tikan sosok di depannya dengan penuh selidik.
"Kau... kau Dewa Arak...?!" tanya Raja Laut Bermuka Setan dengan suara tercekat di tenggorokan.
Lelaki kurus ini sedikit pun tak menyangka sosok di atas pohon adalah seorang pemuda berwajah tampan dan berambut putih keperakan. Tubuh pemuda yang tegap dan kekar itu terbungkus pakaian warna ungu. Di punggungnya tergantung guci arak yang terbuat dari perak.
Raja Laut Bermuka Setan memang telah mendengar kabar tentang Dewa Arak yang menggegerkan dunia persilatan. Maka sekali melihat ciri-cirinya datuk sesat wilayah selatan ini telah bisa menduga, Kendati demikian ketika melihat betapa tokoh yang meng-gemparkan itu demikian muda, Raja Laut Bermuka Setan jadi tak yakin juga.
Sosok yang bukan lain Dewa Arak alias Arya Buana tersenyum lebar tanpa memberikan jawaban. Tapi hal itu sudah cukup bagi Raja Laut Bermuka Se-tan.
"Kali ini aku mengaku kalah, Dewa Arak. Tapi lain kali apabila berjumpa kembali kekalahan ini akan ku tebus!"
Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak, Raja Laut Bermuka Setan berlari terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu. Arya tak berusaha mengejarnya. Dia tak tahu urusan yang terjadi antara dua orang yang bertempur itu. Ikut campurnya Arya karena tak ingin melihat gadis berpakaian merah tewas.
Karena menilik dari ciri-ciri dan sikap keduanya, Arya sedikit banyak bisa memperkirakan gadis itu berada di pihak yang benar.
––––––––
5
"Huakh...!"
Gadis berpakaian merah memuntahkan darah segar ketika Arya baru saja mengayunkan kaki menghampirinya. Buru-buru pemuda itu mempercepat langkah. Tapi tepat ketika Arya berada di dekatnya gadis itu mengeluh tertahan. Tubuhnya lalu terkulai lemas.
Arya segera memeriksanya karena merasa heran. Kalau gadis berpakaian merah itu memuntahkan darah, bukan persoalan. Barangkali saja sewaktu bertarung dengan Raja Laut Bermuka Setan gadis itu mengerahkan tenaga yang melampaui batas. Tapi mengapa harus pingsan?
Arya tiba-tiba berseru kaget ketika melihat wajah si gadis bersemu kehijauan. Sebelum sebuah dugaan sempat didapatkan pemuda ini merasakan kepalanya pusing. Tubuhnya pun lemas dan pandangan matanya mulai berkunang-kunang. Sebagai pendekar muda yang telah kenyang pengalaman Arya segera tahu apa artinya semua ini.
"Racun," desis Arya dalam hati. Pemuda be-rambut putih keperakan ini buru-buru duduk bersemadi. Hawa murninya dikerahkan untuk mengusir racun di dalam tubuh. Meski hanya mempunyai waktu sebentar dia segera tahu racun itu menyebar melalui udara. Racun yang cepat daya kerjanya tapi tidak tera-sa dan berbau. Keracunan itu baru ketahuan setelah tanda-tanda muncul.
Arya bersemadi beberapa saat lamanya. Uap berwarna kehijauan pun keluar dari lubang hidung. Baru ketika dirasakan racun itu telah terusir dari tu-buh Arya menghentikan semadinya.
Pemuda berambut putih keperakan ini bangkit dari duduknya dan memeriksa keadaan gadis berpakaian merah. Benak Arya bertanya-tanya sendiri tentang asal racun itu. Mungkinkah Raja Laut Bermuka Setan yang menyebarkannya sebelum melesat pergi meninggalkan tempat itu?
Tapi Dewa Arak tak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun pikirannya. Gadis berpakaian merah bisa melayang nyawanya apabila tidak lekas-lekas ditolong. Maka tanpa membuang-buang waktu Arya menempelkan kedua tangannya ke tubuh si gadis. Dia mengerahkan hawa murninya untuk mendorong ke-luar racun yang masuk ke dalam tubuh gadis berpa-kaian merah.
Sebentar kemudian dari hidung, mulut, dan telinga gadis ini keluar uap berwarna hijau. Mula-mula tipis dan sedikit tapi lamakelamaan menebal dan akhirnya menipis lagi sampai akhirnya tak ada lagi uap hijau yang keluar.
Arya segera menghentikan penyaluran hawa murninya. Pemuda ini kemudian bangkit berdiri. Tapi baru saja tegak tubuhnya limbung karena sekujur tu-buhnya seperti lunglai tak bertenaga. Arya pun sadar kalau racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum seluruhnya terusir keluar. Dan itu berarti demikian pula dengan gadis berpakaian merah.
Kenyataan ini benar-benar mengejutkan Dewa Arak. Sama sekali tak disangka akan didapatkannya racun seperti ini. Maka buru-buru diteguk araknya yang mampu menawarkan berbagai macam racun. Kendati demikian dalam pengalamannya Arya mendapati banyak racun yang tak berhasil dipunahkan oleh araknya.
Seteguk Arya menenggak araknya. Dan sesaat kemudian dirasakan sebagian besar tenaganya kembali. Arak dalam gucinya ternyata mampu memunahkan racun tersebut.
Tentu saja Arya tak berani meminumkan arak pada gadis berpakaian merah. Di samping khawatir akan menimbulkan urusan dengan gadis itu juga karena nyawanya telah berhasil diselamatkan, kendati pengaruh racun masih bercokol di dalam tubuhnya.
Mereka berdua agaknya harus menemukan orang yang mempunyai ilmu pengobatan tinggi agar dapat mengusir racun seluruhnya. Dan hal itu bukan merupakan masalah. Arya memang bermaksud untuk menemui tokoh yang di samping mahir dalam ilmu pengobatan juga memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dewa Arak tengah dalam perjalanan untuk men-jumpai tokoh yang berjuluk Malaikat Obat Sakti!
Malaikat Obat Sakti adalah termasuk salah satu dari empat datuk golongan putih yang telah mengundurkan diri dari dunia persilatan. Arya ingin menemui datuk itu karena puluhan tahun yang lalu ayahnya, Tribuana yang berjuluk Pendekar Ruyung Maut, mendapat pertolongan dari Malaikat Obat Sakti sewaktu terluka keracunan akibat bertarung menghadapi seorang tokoh sesat.
Maka tanpa membuang-buang waktu, karena menyadari akan bahayanya racun itu, Dewa Arak segera membopong tubuh gadis berpakaian merah dan membawanya melesat meninggalkan tempat itu. Tak sampai seribu tombak berlari Arya mengalami kejadian yang mengejutkan. Tenaganya terus menyusut secara cepat. Rasa lemas kembali menyerangnya. Arya tahu keadaan ini akibat pengaruh racun. Ini berarti arak yang diminumnya tak mampu memunahkan racun secara keseluruhan!
Namun karena untuk mencapai tempat tinggal Malaikat Obat Sakti dibutuhkan kemampuan dengan pengerahan tenaga dalam, Arya menenggak araknya sekadar untuk memulihkan sebagian besar tenaganya. Setiap kali tenaganya menyusut dan rasa lemas menyerang Dewa Arak menenggak araknya kembali. Hanya itu yang bisa dilakukan Dewa Arak sebelum tiba di tempat tinggal Malaikat Obat Sakti.
Arya bersyukur setelah melewati hutan karet matanya melihat pondok yang atapnya berbentuk setengah lingkaran. Arya tahu pondok itu adalah tempat tinggal Malaikat Obat Sakti karena ayahnya pernah menceritakannya. Melihat pondok itu semangat Arya yang semula mengendur timbul kembali. Pemuda be-rambut putih keperakan ini menggertakkan gigi untuk mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa agar dapat segera mencapai pondok.
Saat itu keadaan Dewa Arak memang mengkhawatirkan. Tenaganya terus menyusut padahal arak dalam gucinya telah habis. Maka, pemuda be-rambut putih keperakan ini berusaha sekuat tenaga agar bisa mencapai pondok yang jaraknya masih ratu-san tombak.
Lari Dewa Arak sudah tak sewajarnya lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini berlari terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Arya sampai menggigit bibir erat-erat karena usahanya yang keras untuk mengerahkan tenaga yang tersisa.
Brukkk!
Arya tak mampu lagi bertahan ketika pondok yang dituju tinggal lima belas tombak. Pemuda itu jatuh terjerembab dengan membawa serta tubuh gadis berpakaian merah. Seperti disengaja, tubuh gadis itu berada di bawah dalam keadaan telentang dan Arya berada di atas menindih tubuhnya. Memang tidak ter-lalu tepat benar tapi wajah Dewa Arak berada di atas dada si gadis.
Karuan saja hal ini membuat Arya kelabakan. Dia adalah seorang pemuda. Darahnya masih panas. Kenyataan seperti ini membuat darahnya bergolak. Apalagi ketika mencium keharuman khas tubuh wani-ta yang memabukkan.
Kalau saja saat itu Arya masih memiliki tenaga pemuda ini akan segera bangkit berdiri. Arya khawatir gadis berpakaian merah keburu sadar. Apabila hal itu terjadi kesalah-pahaman tak akan mungkin bisa dihin-darkan lagi. Arya berusaha sekuat tenaga agar bisa bangkit. Tapi ketidakadaan tenaga dan lemasnya selu-ruh otot dan urat tubuhnya membuat usaha pemuda berambut putih keperakan itu sia-sia. Kenyataan ini membuat Arya gelisah bukan main.
"Apa yang tengah kau lakukan di sini, Anak Muda Berambut Aneh?!"
Kalau saja Arya mampu bergerak teguran itu akan membuatnya terjingkat. Arya tak mendengar bunyi apa pun tapi tahu-tahu tepat di depannya telah berdiri sepasang kaki. Pemuda berambut putih kepe-rakan ini bisa memperkirakan ketinggian ilmu merin-gankan tubuh pemilik sepasang kaki itu, hingga kedatangannya tak tertangkap telinga Arya yang memiliki pendengaran luar biasa tajam.
Arya ingin mendongakkan kepala untuk dapat melihat wajah pemilik sepasang kaki itu. Tapi otot-otot lehernya tak mempunyai daya sama sekali. Jangankan menggerakkan leher, ujung jari kelingking pun Arya tak mampu!
"Ahhh...!"
Pemilik sepasang kaki ternyata seorang kakek berjenggot putih yang panjang sampai ke dada. Kakek yang memiliki wajah segar seperti, layaknya kulit wajah orang muda itu mengeluarkan seruan keterkejutan ketika melihat wajah gadis berpakaian merah. Dia ba-ru melihat wajah gadis itu karena tadi perhatiannya ditujukan pada Arya. Lagi pula wajah gadis berpakaian merah sebelumnya tertutup oleh rambut Arya yang tergerai.
Rasa penasaran melihat keberadaan dua sosok yang bertumpukan itu membuat kakek berwajah legar menyibakkan rambut yang menutupi wajah si gadis. Kakek itu hanya menggerakkan tangan seperti orang mengusir nyamuk dan rambut Arya pun tersibak memperlihatkan wajah gadis berpakaian merah.
"Kiranya kalian berdua keracunan hebat," desis kakek berjenggot panjang.
Kakek itu kembali mengibaskan kedua tangannya. Tubuh Arya dan gadis berpakaian merah segera melayang naik ke atas dan diterimanya dengan kedua tangan. Arya di tangan kanan dan si gadis di tangan kiri. Kakek itu tak tampak keberatan seakanakan tubuh sepasang muda-mudi itu segumpal kapas.
Kakek berpakaian putih kemudian melesat ke arah pondok yang atapnya berbentuk setengah lingkaran. Gerakannya cepat bukan main. Keberadaan tubuh Arya dan gadis berpakaian merah sedikit pun tak mempengaruhi kecepatan larinya.
Kakek berjenggot panjang ini adalah tokoh yang hendak ditemui Arya. Dialah yang berjuluk Malaikat Obat Sakti. Salah satu dari datuk-datuk persilatan kaum putih. Hanya dalam sekejapan kakek berwajah segar ini telah berada di dalam rumah. Dengan ceka-tan tubuh Arya dan gadis berpakaian merah diletakkan di atas balai-balai yang ada di ruangan tengah.
Kemudian kakek itu masuk ke ruangan khu-susnya. Dia kembali dengan membawa dua baki berisi ramuan obat-obatan yang masih mengepulkan asap.
***
"Sekarang kalian berdua telah bebas dari mara bahaya," ujar Malaikat Obat Sakti seraya menatap Arya dan gadis berpakaian merah berganti-gantian. Kakek berjenggot panjang ini duduk di sebuah kursi kayu di dekat balai-balai bambu.
Arya dan gadis berpakaian merah menatap Malaikat Obat Sakti dengan sinar mata penuh terima kasih.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ucap Arya dengan suara lemah. Tenaga pemuda berambut putih keperakan ini memang belum pulih benar.
"Aku pun mengucapkan terima kasih, Kek. Aku berjanji apabila mempunyai kesempatan akan berusaha membalas budi baikmu ini," ucap gadis berpakaian merah lirih. "O ya namaku Sumbi, Kek."
Malaikat Obat Sakti terkekeh pelan. "Tak usah kau berjanji demikian, Sumbi. Aku menolong tidak untuk menanam budi atau meminta balas jasa. Ini merupakan kewajibanku selaku manusia.
Kebetulan aku mampu untuk menolong kalian. Bukankah manusia hidup harus tolong-menolong?"
"Aku Arya, Kek," Arya memperkenalkan diri. "Kalau aku tak salah terka bukankah kau Malaikat Obat Sakti? Ayahku banyak bercerita tentang dirimu. Dan aku pun sebenarnya dalam perjalanan untuk mengunjungimu. Sayang, di tengah jalan aku mendapat masalah ini."
"Apakah kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu, Arya?" terka Malaikat Obat Sakti. "Aku telah ba-nyak mendengar tentang dirimu. Tindakan-tindakan terpujimu telah sampai ke telingaku. Aku bersyukur sekali ada tokoh muda yang akan meneruskan tugas orang-orang tua dan sudah tak berguna seperti aku dan sahabat-sahabatku."
"Jadi..., sekarang aku tengah berhadapan den-gan Malaikat Obat Sakti," ujar Sumbi dengan suara bergetar dan terbata-bata karena rasa kagetnya. "Guruku banyak bercerita tentang dirimu, Kek."
"Begitukah, Sumbi?" sambut Malaikat Obat Sakti dengan senyum tersungging di bibir. "Boleh ku tahu siapa gurumu itu?"
"Kau pasti mengenalnya dengan amat baik, Kek. Guruku berkata kalau beliau termasuk salah seorang sahabatmu. Pendekar Seribu Tangan, julukannya," beritahu Sumbi dengan wajah berseri-seri.
"Ahhh...!" seru Malaikat Obat Sakti kaget. "Kau muridnya, Sumbi?"
Sumbi tersenyum lebar dan menganggukkan kepala.
"Betapa beruntungnya Seribu Tangan itu," keluh Malaikat
Obat Sakti dengan wajah mulai dirayapi kedukaan. Helaan napas berat beberapa kali dikelua-rkannya. "Mungkin si Singa dan si Gila pun telah mempunyai ahli waris pula...."
"Apakah kau tidak mempunyai murid, Kek?" tanya Arya yang bisa menerka penyebab kemurungan Malaikat Obat Sakti. "Aku yakin kalau kau mau siapa pun ingin menjadikanmu sebagai guru untuk anak-anaknya."
"Aku terlalu sibuk dengan urusan obat-obatan, Arya. Sehingga tak sempat terpikirkan seorang murid pun untuk kuangkat sebagai pewaris ilmu-ilmuku. Padahal, meski kemampuanku tak seberapa tapi aku tak ingin membawa ilmuilmu ini ke lubang kubur bersama diriku."
Sumbi yang semula terpaku melihat kesedihan Malaikat Obat Sakti terlihat mengernyitkan alis. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tapi sebelum hal itu diutarakan, Arya telah mendahuluinya.
"Menurut pendapatku masih terbuka kesempa-tan bagimu untuk mewariskan ilmu-ilmu yang kau miliki itu, Kek."
"Mungkin kau benar, Arya," jawab Malaikat Obat Sakti bernada tak yakin.
"Kek...!"
Ucapan Sumbi membuat keheningan yang melingkupi tempat itu sesaat setelah Malaikat Obat Sakti memberikan tanggapan, terpecahkan. Malaikat Obat Sakti menoleh ke arah Sumbi. Arya pun mengalihkan perhatiannya pula.
"Kau tadi mengatakan kemampuanmu tak seberapa. Lalu bagaimana pula denganku? Kalau boleh ku tahu, ucapan itu hanya sekadar sikap rendah hati atau karena ada hal-hal lainnya?" Sumbi mengeluarkan perasaan yang mengganjal dadanya. Arya merasa geli di dalam hati mendengar ucapan Sumbi. Sebagai orang yang terbiasa merendahkan diri. Arya lebih condong menduga kalau ucapan Malaikat Obat Sakti se-bagai tanda sifat rendah hatinya. Lagi pula memang harus diakui kalau di dunia persilatan terlalu banyak orang pandai. Sikap yang ditunjukkan Malaikat Obat Sakti adalah sikap yang biasa dimiliki tokoh-tokoh yang tak merasa dirinya besar sendiri.
Malaikat Obat Sakti tak segera memberikan jawaban. Kakek itu malah menatap lekat-lekat wajah Sumbi seperti hendak membaca isi hati gadis itu dengan sepasang matanya yang tajam mencorong bagaikan ma-ta harimau dalam gelap.
"Apakah gurumu tak pernah menceritakan sesuatu yang berkaitan dengan ucapanku ini?" Malaikat Obat Sakti malah balas bertanya.
Jawaban kakek berjenggot panjang membuat Dewa Arak terkejut. Hal ini sama sekali tak disangkanya. Arya jadi merasa tertarik. Ingin diketahuinya rahasia besar apakah yang membuat kakek ahli pengobatan ini merasa kepandaian yang dimilikinya tak berarti. Arya yakin hal ini sebuah rahasia karena Sumbi sendiri tak diberitahu oleh gurunya.
Arya melihat dengan jelas Sumbi menggeleng, Bahkan telinganya menangkap dengan jelas jawaban Sumbi yang bernada keheranan.
"Tidak, Kek. Guru tak pernah bercerita apa-apa sehubungan dengan ucapanmu itu. Guru hanya menceritakan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Juga sahabat-sahabatnya seperti kau,
Singa Berbulu Emas, dan Dewa Gila Tanpa Bayangan.
Diingatkan pula kalau beliau dan sahabat-sahabatnya bersepakat untuk menentukan siapa yang lebih unggul melalui pertarungan murid masing-masing di Puncak Dunia. Lain dari itu tidak!" Malaikat Obat Sakti menghela napas berat. Kakek yang telah berusia hampir sembilan puluh tahun namun masih memiliki kulit segar itu termenung seperti ada sesuatu yang memberatkan pikirannya.
"Apakah gurumu tak bercerita tantang tokoh yang berjuluk Iblis Berkabung?" tanya Malaikat Obat Sakti yang rupanya masih tak yakin dengan jawaban Sumbi.
Sumbi dengan tegas menggeleng.
"Kau pernah mendengar tokoh yang berjuluk Iblis Berkabung, Arya?" Malaikat Obat Sakti mengalihkan pertanyaannya pada Dewa Arak.
"Tidak, Kek. Mendengarnya pun baru kali ini," Jawab Arya sejujurnya.
"Tak aneh kalau kau tak pernah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Iblis Berkabung itu, Arya," ucap Malaikat Obat Sakti setelah menghela napas be-rat. "Karena memang telah hampir seratus tahun julukannya tak pernah terdengar lagi. Mungkin yang masih ingat dengan tokoh yang luar biasa lihai itu hanya aku dan tiga datuk lainnya termasuk gurumu, Sumbi."
"Sudah hampir seratus tahun tak pernah terdengar lagi, Kek?!" Sumbi mengulang sebagian ucapan Malaikat Obat Sakti dengan kening berkernyit dalam. Nada suaranya pun menyiratkan keheranan besar. Sumbi malah menganggap Malaikat Obat Sakti keliru menyebutkan tahun.
"Benar, Sumbi. Seratus tahun," jawab kakek ahli obat itu menegaskan.
"Kalau demikian...," kali ini Arya yang memberikan tanggapan. "Iblis Berkabung telah muncul di dunia persilatan sejak kau masih kecil, Kek?"
"Bukan hanya itu, Arya," kilah Malaikat Obat Sakti. "Iblis Berkabung telah merajalela di dunia persilatan jauh sebelum aku lahir ke dunia ini!"
"Ahhh...!"
Arya dan Sumbi berdesah kaget hampir berbarengan.
"Iblis Berkabung telah membuat kegemparan sekitar dua ratus tahun lalu," tegas Malaikat Obat Sakti, "Ayahku yang menceritakannya. Tepatnya, tokoh yang mengiriskan itu telah malang-melintang di dunia persilatan di masa guru dari ayahku. Saat itu Iblis Berkabung benar-benar di puncak kejayaannya. Tokoh itu bukan hanya menjadi raja kaum sesat tapi juga memiliki kerajaan. Belasan tahun Iblis Berkabung menjadi raja di raja sebelum akhirnya kejayaannya berakhir. Beberapa buah kerajaan bergabung dan ditambah lagi dengan ratusan pendekar menyerbu kerajaannya, membuat Iblis Berkabung terlunta-lunta melarikan diri. Di pelariannya tokoh itu tewas di tangan belasan pendekar yang mengeroyoknya. Dan salah sa-tu pengeroyoknya adalah guru dari ayahku."
"Jadi Iblis Berkabung telah tewas, Kek?!" tanya Sumbi dengan suara bergetar.
"Semula guru dari ayahku dan belasan tokoh golongan putih lainnya menyangka demikian. Memang setelah itu keadaan dunia persilatan tak sekacau sebelumnya. Jarang terjadi tindak kejahatan yang semula terjadi di mana-mana. Tapi lima belas tahun kemudian muncul lagi julukan Iblis Berkabung. Saat itu ayahku masih berguru pada gurunya. Pembantaian terhadap tokoh-tokoh golongan putih terjadi di mana-mana ka-rena balas dendam Iblis Berkabung."
"Apakah Iblis Berkabung yang muncul belakan-gan itu adalah Iblis Berkabung yang telah mati, Kek?" tanya Sumbi lagi. "Bukan."
"Lalu, mengapa julukannya sama dengan tokoh terdahulu yang telah tewas?" desak Sumbi penasaran.
"Karena tokoh yang baru muncul ini memiliki ciri-ciri dan ilmu yang sama dengan Iblis Berkabung sebelumnya. Tokoh ini pun menggelari dirinya sendiri dengan julukan demikian. Mungkin Iblis Berkabung yang kedua ini merupakan keturunan atau murid dari Iblis Berkabung yang telah meninggal!" jelas Malaikat Obat Sakti.
Sumbi mengangguk-anggukkan kepala seperti layaknya orang yang telah mengerti
"Dunia persilatan kembali kacau. Apalagi munculnya Iblis Berkabung membuat tokoh-tokoh hitam yang selama ini merasa gentar untuk membuat kekacauan muncul lagi dan menimbulkan korban di sana-sini. Semula tokoh-tokoh hitam itu melakukan kekacauan secara sembunyi-sembunyi. Tapi kemunculan Iblis Berkabung membuat mereka berani menciptakan kekacauan secara terang-terangan."
Malaikat Obat Sakti menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Guru ayahku kembali turun gunung. Bersama dengan belasan tokoh golongan putih yang dulu mem-bunuh Iblis Berkabung dibuatnya perangkap untuk menjebak Iblis Berkabung yang baru. Jebakan yang dibuat ternyata berhasil. Iblis Berkabung kedua ini pun tewas di tangan belasan tokoh golongan putih."
"Syukurlah kalau demikian," ujar Sumbi den-gan wajah berseri.
"Dunia kembali tenang. Tapi tiga puluh tahun setelah itu kembali muncul Iblis Berkabung. Peristiwa seperti sebelumnya terulang. Tokoh-tokoh golongan putih yang telah bersiap-siap untuk beristirahat kem-bali turun tangan. Kemunculan Iblis Berkabung yang ketiga ini tak beda dengan yang kedua. Tokohtokoh persilatan yang menyebabkan kematian Iblis Berka-bung sebelumnya dibantai. Tokoh yang sudah tak ada lagi yang mendapat pembalasan dendam adalah ketu-runannya. Saat itu guru dari ayahku telah tewas kare-na usia tua. Ayahkulah yang turun tangan. Ayahku bekerja sama dengan enam tokoh golongan putih. Tiga di antaranya adalah guru dari Singa Berbulu Emas, ayah dari Pendekar Tangan Maut, dan guru dari Dewa Gila Tanpa Bayangan."
"Apakah Iblis Berkabung berhasil dibunuh Kek?" Sumbi yang tak sabaran segera mengajukan per-tanyaan ketika dilihatnya Malaikat Obat Sakti terdiam.
Malaikat Obat Sakti mengangguk. "Iblis Berkabung kali ini bernasib lebih sial. Dia belum lama muncul dan merajai dunia kaum sesat. Tapi telah lebih dulu tewas di tangan tujuh tokoh golongan putih yang merupakan pentolan-pentolan dunia persilatan. Sayang tiga di antara mereka harus gugur. Yang berhasil selamat adalah ayah dan guru dari kami berempat," ujar Malaikat Obat Sakti menutup ceritanya.
"Setelah itu apakah Iblis Berkabung muncul lagi?" kali ini Dewa Arak yang bertanya.
"Sampai saat ini belum, Arya," jawab Malaikat Obat Sakti. "Tapi aku yakin tokoh itu akan muncul lagi. Hanya entah kapan waktunya aku tak tahu."
"Menurutmu apakah Iblis Berkabung yang muncul kedua dan seterusnya merupakan keturunan dari Iblis Berkabung yang pertama, Kek?" tanya Arya lagi.
"Entahlah, Arya. Semula guru dari ayahku mengira demikian. Tapi mengapa keturunan itu tak pernah putus? Mungkinkah setiap Iblis Berkabung yang muncul selalu meninggalkan anak atau murid lelaki? Aku sendiri jadi merasa heran. Tapi mudah-mudahan saja demikian dan ketidakmunculan Iblis Berkabung selanjutnya karena tak ada lagi keturunannya," harap Malaikat Obat Sakti.
Suasana menjadi hening setelah Malaikat Obat Sakti selesai berbicara. Masing-masing tenggelam dalam alun pikirannya.
"Itukah alasannya kau menganggap kemampuan yang kau miliki tak seberapa, Kek?" celetuk Sumbi memecahkan keheningan yang mencekik.
"Benar, Sumbi. Kemampuan yang kumiliki terus terang masih belum mencapai tingkatan ayahku. Dan menurut dugaanku tingkat gurumu dan dua datuk lainnya pun demikian. Padahal Iblis Berkabung saja dulu dikeroyok oleh tujuh pentolan persilatan baru bisa dikalahkan. Bagaimana pula jika hanya aku sendiri yang diperbandingkan dengan Iblis Berkabung?" urai Malaikat Obat Sakti.
"Tapi bukan mustahil Iblis Berkabung yang akan muncul ke dunia persilatan nanti kepandaian yang dimilikinya lebih rendah dari yang sebelumnya," Sumbi mengajukan pendapatnya.
"Itulah yang aneh untuk dipikirkan, Sumbi, Arya," keluh Malaikat Obat Sakti. "Tingkat kepandaian Iblis Berkabung dari yang pertama sampai yang terakhir tidak semakin rendah melainkan semakin meninggi. Guru dari ayahku lebih lihai dari gurunya, karena ayah belajar tidak pada satu guru. Mungkin tingkatku hanya menyamai guru ayahku. Kalau Iblis Berkabung muncul lagi dengan kemampuan seperti yang pertama saja aku bukanlah apa, apa baginya."
Sumbi pun diam karena bisa merasakan kebenaran yang tak dapat dibantah dalam ucapan Malaikat Obat Sakti. Arya juga membisu memikirkan ucapan Malaikat Obat Sakti. Tiba-tiba terbersit satu pikiran di benak Arya.
"Kok, tadi kau katakan aku telah bebas dari pengaruh racun. Bagaimana aku bisa yakin kalau ucapanmu benar. Maaf Kek, bukannya aku tak mempercayai ucapanmu atau meragukan kemampuan pengobatanmu. Tapi aku sudah dua kali tertipu." Secara singkat dan jelas Arya kemudian menceritakan keja-dian yang dialaminya.
"Sewaktu tenagamu pulih kembali setelah mengusir racun itu dengan semadi dan juga dengan arak dari gucimu, bukankah kau mengerahkan tenaga dalam?"
Pertanyaan Malaikat Obat Sakti itu dijawab Arya dengan anggukan kepala.
"Apakah kau merasakan adanya denyut di matamu, meski hanya sebentar?"
"Benar, Kek," jawab Arya singkat.
"Nah! Itulah pertanda kalau racun masih bersarang di tubuhmu, Arya. Racun ini memang luar biasa. Tak bisa terusir tuntas oleh pengerahan hawa murni atau sembarang obat. Obat itu harus khusus karena racun ini pun jarang didapat. Adanya hanya di sekitar Laut Selatan dan terdapat pada seekor ikan pari yang muncul setiap lima tahun sekali. Ikan pari merah! Ikan yang mungkin belum pernah kau lihat seumur hidupmu."
Arya dan Sumbi tampak mengerahkan tenaga dalam mereka. Denyut seperti yang dikatakan Malaikat Obat Sakti tak dirasakan lagi.
"Kau harus menunggu beberapa hari agar tenagamu pulih kembali seperti sedia kala, Arya. Racun itu memang tak bisa terusir seluruhnya secara sekaligus. Racun itu keluar sedikit demi sedikit di saat kau bernapas," tambah Malaikat Obat Sakti.
Arya dan Sumbi mengangguk-anggukan kepala mengerti.
"Ah, ya...! Aku hampir lupa akan dirimu, Arya. Apakah maksud kedatanganmu kemari? O ya, aku ingat. Tapi aku masih belum tahu tokoh yang kau maksudkan sebagai ayahmu itu."
"Beliau berjuluk Pendekar Ruyung Maut, tapi namanya adalah Tribuana," beritahu Arya.
"Tribuana?" ulang Malaikat Obat Sakti dengan wajah berseri. "Ah betapa pikunnya aku, Arya. Padahal sejak pertama kali melihatmu aku merasa mengenal dirimu. Wajahmu amat mirip sekali dengan Tribuana. Beliau seorang pendekar yang mengagumkan, Arya. Dulu sebelum meninggalkan tempat ini memintaku untuk memberikan nama pada anaknya jika dia menikah nanti. Lalu ku usulkan saja nama Arya. Tribuana berjanji untuk memenuhi usulku. Malah dia bermaksud menambahkan kata Buana di belakang nama Arya. Apakah kau mempunyai nama lengkap Arya Buana?"
Arya mengangguk seraya tersenyum lebar.
"Sungguh tak kusangka Tribuana akan menepati janjinya," gumam Malaikat Obat Sakti setengah tak percaya. Sepasang matanya dilayangkan ke langit-langit seakan di sana tertera gambar Pendekar Ruyung Maut. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Pendekar Ruyung Maut, silakan baca serial Dewa Arak episode: "Pedang Bintang").
Arya membiarkan saja Malaikat Obat Sakti tenggelam dalam lamunannya.
"Bagaimana kabar Tribuana sekarang, Arya? Ah, betapa rinduku kepadanya. Puluhan tahun la-manya dia meninggalkan tempat ini. Ayahmu seorang yang berwatak baik, Arya. Berbanggalah kau memiliki ayah sepertinya," ujar Malaikat Obat Sakti kemudian setelah tersadar dari lamunannya.
"Beliau telah gugur, Kek," beritahu Arya tenang. Luka hatinya akibat kematian ayahnya telah tak terasa lagi. Kendati memang harus diakui Arya kalau rasa sedihnya sulit untuk dilenyapkan.
Seperti yang telah diduga Arya, Malaikat Obat Sakti tak terlihat menampakkan keterkejutan di wajahnya. Bagi orang seperti kakek berjenggot panjang ini guncangan perasaan yang melanda hati bisa diredam-nya hingga tak tampak di wajah. Tanpa dimintai Arya kemudian menceritakan semua kejadian yang menye-babkan ayahnya tewas. Malaikat Obat Sakti menden-garkannya dengan penuh perhatian (Untuk jelasnya silakan baca episode perdana Dewa Arak: "Pedang Bintang").
"Aku bangga dan merasa ikut bahagia Tribuana bisa menurunkan seorang pendekar muda sepertinya. Kau tak ubahnya dia di waktu muda, Arya," ucap Malaikat Obat Sakti setelah Arya menyelesaikan ceritanya.
Arya hanya tersenyum. Sumbi pun ikut terse-nyum. Kemudian gadis ini mengerling ke arah Arya.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan padaku, Arya," ucap Sumbi.
Murid Pendekar Seribu Tangan ini memang tahu kalau Dewa Arak yang menolongnya dari ancaman maut Raja Laut Bermuka Setan. Hanya saja dia tak tahu kalau wajah Dewa Arak pernah mampir di dadanya!
"Pertolongan macam apa, Sumbi? Aku pun mendapatkan pertolongan yang sama dari Malaikat Obat Sakti. Beliaulah yang patut kau ucapkan terima kasih."
Baru saja Arya menyelesaikan ucapannya, terdengarlah bunyi tawa yang menggelegar. Keras bukan main sehingga mampu membuat pondok tempat Malaikat Obat Sakti, Arya, dan Sumbi berada berguncang bagai digoyang-goyangkan.
Arya saling berpandangan dengan Malaikat Ob-at Sakti. Wajah kedua tokoh ini tampak memancarkan keterkejutan besar. Bunyi tawa yang membuat pondok itu bergoncang keras dan mungkin akan roboh menjadi pertanda kalau pemilik tawa memiliki tenaga dalam sukar diukur. Yang lebih mengagetkan lagi adalah tak adanya pengaruh sedikit pun pada diri mereka bertiga!
Kenyataan ini menunjukkan pada Dewa Arak dan Malaikat Obat Sakti kalau pemilik tawa benar-benar memiliki kepandaian yang tak masuk di akal. Tenaga dalamnya dapat digunakan untuk memporak-porandakan pondok tanpa mengganggu penghuninya!
––––––––
6
Sumbi yang masih kurang pengalaman segera bangkit dari berbaringnya. Wajah gadis ini menampakkan ketegangan hebat. Dia duduk di atas balai-balai dengan kedua kaki terjulur. Ditatapnya Dewa Arak dan Malaikat Obat Sakti. Dua tokoh itu tetap tenang di tempatnya. Arya masih terbaring di balai-balai, sedangkan Malaikat Obat Sakti tetap duduk di kursinya. Kedua tokoh ini bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Sumbi jadi malu hati. Maka maksudnya untuk meninggalkan balai-balai diurungkan. Gadis ini tetap duduk dengan kedua kaki terjulur.
Ketenangan sikap Arya dan Malaikat Obat Sakti karena tahu kalau pemilik tawa hanya bermaksud memporak-porandakan pondok, tapi tidak untuk merobohkannya. Pengalaman yang mengajarkan pada dua tokoh ini untuk bisa mengetahuinya. Rupanya ada tokoh hebat yang hendak menjumpai mereka dengan lebih dulu mempertunjukkan kemampuannya.
Dugaan Dewa Arak dan Malaikat Obat Sakti memang tak keliru. Setelah beberapa saat terguncang-guncang bagian pondok itu beterbangan meninggalkan tempatnya. Mula-mula atap pondok yang terbuat dari rumbia, kemudian disusul dengan dinding-dindingnya yang terbuat dari papan.
Sumbi sampai terlonjak kaget ketika melihat bahan pondok beterbangan. Hal ini membuat Malaikat Obat Sakti dan kedua tamunya tak tertutup pondok lagi. Ketiganya tegap di tempat masing-masing, di ba-lai-balai dan kursi. Hanya saja sekarang sekeliling me-reka adalah hamparan tanah lapang yang luas.
Sumbi tak tahan untuk tidak membelalakkan sepasang matanya. Potongan-potongan pondok yang beterbangan itu membentuk pondok lagi! Jarak pon-dok baru ini sekitar sepuluh tombak dari tempat se-mula.
Dewa Arak dan Malaikat Obat Sakti terlihat tak menunjukkan kekaguman. Padahal, di dalam hati kedua tokoh ini merasa terkejut bukan main. Pertunjukan yang dilakukan oleh pemilik tawa itu memang ter-lalu luar biasa. Dengan hanya mempergunakan tawa mampu memporak-porandakan pondok dan melem-parkannya sejauh beberapa tombak untuk kemudian membentuknya kembali! Benar-benar sebuah pertunjukan tenaga dalam yang amat luar biasa.
Malaikat Obat Sakti merasakan ketegangan besar merayapi hatinya. Harus diakuinya kalau dirinya tak akan sanggup melakukan tindakan demikian. Di lain pihak, Dewa Arak pun merasa ragu akan dapat berbuat seperti itu.
Tempat di mana seharusnya terdapat pintu pondok berdiri sesosok tubuh tinggi kurus. Pakaiannya serba putih dan berkibaran ditiup oleh angin. Sosok yang diyakini Malaikat Obat Sakti, Dewa Arak, dan Sumbi sebagai lelaki ini sukar untuk diterka usianya. Wajahnya terlihat amat putih seperti dicat dengan kapur. Sepasang matanya yang bersinar kehijauan dan menyorotkan sinar tajam menusuk tampak menye-ramkan, karena sepasang alisnya menukik tajam ke tengah-tengah. Lelaki ini kelihatan mengiriskan jan-tung.
Sumbi merasa ngeri melihatnya. Di dalam hati dia hams mengakui kalau bertemu lelaki berpakaian putih ini sendirian di malam hari, akan ketakutan se-tengah mati. Lelaki berpakaian serba putih ini lebih mirip siluman daripada seorang manusia.
"Iblis Berkabung...!" desis Malaikat Obat Sakti dengan suara tercekik di tenggorokan. Nada ucapan kakek ini menyiratkan kegentaran.
Sumbi yang memang sudah merasa gentar me-lihat tindakan dan ciri-ciri pemilik tawa semakin ciut nyalinya begitu mengetahui kalau lelaki berpakaian serba putih ini adalah Iblis Berkabung.
Dewa Arak juga terkejut bukan main mendengarnya. Sekarang baru disaksikan sendiri kebenaran ucapan Malaikat Obat Sakti. Iblis Berkabung memang seorang tokoh sesat yang luar biasa lihai. Pemuda be-rambut putih keperakan ini merasa menyesal saat ini keadaannya tak memungkinkan untuk bertarung. Apa-lagi jika lawan yang dihadapi sehebat Iblis Berkabung. Arya tiba-tiba mengkhawatirkan keselamatan Malaikat Obat Sakti.
"Inikah Iblis Berkabung yang kau ceritakan itu, Kek?" tanya Arya untuk memastikan.
"Benar," jawab Malaikat Obat Sakti dengan su-ara seperti keluhan. "Dialah Iblis Berkabung. Ayahku telah menceritakan semua ciri-cirinya. Selagi masih ada kesempatan segeralah kabur dari sini, Arya. Ajak pula Sumbi. Aku akan mencoba untuk menahannya. Cepat. Sebelum terlambat...!"
"Ha ha ha....!"
Iblis Berkabung tertawa bergelak. Tokoh yang mengerikan ini sejak tadi tak segera melakukan tinda-kan. Dia malah menyapu wajah-wajah yang berada di depannya dengan pandangan mata. Baru setelah dira-sa cukup perhatiannya dialihkan pada Malaikat Obat Sakti seraya mengumbar tawa.
"Apakah kau yang berjuluk Malaikat Obat Sakti? Keturunan dari tokoh-tokoh pengecut yang telah membunuh Iblis Berkabung terdahulu?!"
"Tidak salah!" jawab Malaikat Obat Sakti me-mantapkan suaranya. "Aku memang Malaikat Obat Sakti, dan keturunan dari pendekar yang telah melenyapkan Iblis Berkabung leluhurmu.!"
"Begitukah?!" dengus Iblis Berkabung dengan suara yang tak mirip manusia, tapi seperti hantu penghuni kuburan, "Sekarang kau yang akan menebus kesalahan leluhurmu itu, Manusia Goblok!"
"Kau keliru, Iblis!" sentak Malaikat Obat Sakti tak mau kalah gertak. "Akulah yang akan mengirim kau ke neraka menyusul leluhur-leluhurmu!"
Malaikat Obat Sakti kemudian melompat menerjang. Tapi di pertengahan jalan tubuhnya digulingkan dan begitu bangkit, masih dengan kuda-kuda rendah, dikirimkannya gedoran ke arah pusar Iblis Berka-bung dengan jari-jari terkepal!
Iblis Berkabung yang sejak tadi tak bergeming dari tempatnya mendengus melihat serangan itu. Ke-mudian kepalan tangannya dihentakkan memapaki se-rangan Malaikat Obat Sakti.
Bresss!
"Kek...!"
Seruan bernada kekhawatiran itu keluar dari mulut Dewa Arak dan Sumbi. Mereka melihat tubuh Malaikat Obat Sakti terpental dan terguling-guling ke belakang setelah benturan terjadi. Di lain pihak, Iblis Berkabung sedikit pun tak bergeming!
Arya dan Sumbi bangkit dari balai-balai dan bersiap untuk membantu Malaikat Obat Sakti mela-wan tokoh sesat yang demikian tangguh itu. Kedua muda-mudi ini tak memperhatikan lagi kalau keadaan mereka tak memungkinkan untuk bertarung.
Apalagi menghadapi tokoh selihai Iblis Berkabung. Malah, Sumbi lupa dengan rasa takutnya karena kekhawatiran yang besar terhadap keselamatan Malai-kat Obat Sakti.
"Tidak usah pikirkan aku!" sentak Malaikat Obat Sakti. "Cepat kalian tinggalkan tempat ini!"
Malaikat Obat Sakti kembali menerjang Iblis Berkabung. Kali ini mempergunakan sepasang ka-kinya. Sedapat mungkin kakek ini berusaha untuk menyembunyikan dari pandangan Arya dan Sumbi akan malapetaka yang menimpa tangan kanannya. Tangan itu hancur lebur tulang-tulangnya dan rasa nyeri yang luar biasa mendera. Namun Malaikat Obat Sakti berusaha keras tak mengeluarkan keluhan. Bahkan menyeringai pun, tidak!
Dewa Arak dan Sumbi saling berpandangan.
Sepasang muda-mudi ini teringat kembali dengan keadaan mereka setelah mendengar seruan Malaikat Obat Sakti. Mereka tahu kalau kemampuannya sekarang tak ada artinya sama sekali. Sungguh pun demikian untuk membiarkan saja Malaikat Obat Sakti menentang maut sendirian mereka merasa tak tega. Bagaimana mungkin meninggalkan Malaikat Obat Sak-ti yang telah menyelamatkan nyawa mereka dari ma-laikat maut?
"Kurasa kau saja yang pergi, Sumbi. Akan ku usahakan untuk membantu Malaikat Obat Sakti," ujar Arya memberi saran.
"Enak saja! Kau kira hanya dirimu saja yang berwatak gagah, Dewa Arak? Aku pun bukan seorang pengecut! Kau saja yang menyelamatkan diri biar aku yang membantu Malaikat Obat Sakti!" bantah Sumbi tak mau kalah.
Arya pun terdiam. Disadari tak ada gunanya melanjutkan perdebatan. Pemuda berambut putih keperakan ini segera melesat menghampiri kancah perta-rungan dengan diikuti oleh Sumbi.
Malaikat Obat Sakti tentu saja melihat tindakan itu, namun kakek ini tak berkata apa-apa lagi. Akan sia-sia saja menyuruh kedua muda-mudi itu pergi. Mereka tak akan mau menurutinya. Maka tak dis-erukannya lagi teriakan untuk mencegah. Dia malah kemudian memusatkan perhatian untuk menyerang Iblis Berkabung.
Selama beberapa gebrakan Iblis Berkabung mengelak ke sana kemari. Hanya gerakan-gerakan se-derhana yang dilakukannya karena tanpa berpindah tempat. Tapi tak satu pun serangan Malaikat Obat Sakti yang mengenai sasaran. Semuanya kandas dan menghantam tempat kosong.
"Kuras seluruh kemampuanmu, Tua Bangka? Hanya sampai di sini sajakah kemampuan yang kau miliki?!" ejek Iblis Berkabung sambil mengelakkan setiap serangan yang datang.
Tokoh sesat yang mengiriskan itu rupanya tak ingin segera menamatkan riwayat Malaikat Obat Sakti. Kakek ahli pengobatan itu dipermainkannya lebih dulu sebelum dibunuh, persis tingkah seekor kucing sewak-tu mendapatkan mangsa.
Lima jurus Malaikat Obat Sakti menyerang tanpa hasil. Dan kenyataan ini membuat datuk persi-latan golongan putih ini merasa tersinggung bukan main. Tingkah Iblis Berkabung jelasjelas meremehkan dirinya. Maka serangan-serangan yang dilancarkan kemudian lebih dahsyat. Kakek berjenggot panjang ini tak mempedulikan pertahanan diri lagi, yang dititikbe-ratkan hanya pada menyerang.
Beberapa tombak dari kancah pertarungan Dewa Arak dan Sumbi memperhatikan jalannya pertempuran. Sepasang mudamudi ini belum terjun mem-bantu Malaikat Obat Sakti. Masingmasing mempunyai alasan yang berbeda.
Sumbi tak segera turun tangan karena merasa heran. Menurut penglihatannya, Malaikat Obat Sakti berada di pihak yang mendesak. Pandangan Sumbi memang belum mampu untuk dapat melihat dengan jelas gerakan tokoh-tokoh yang tengah terlibat perta-rungan. Gerakan Malaikat Obat Sakti dan Iblis Berka-bung terlalu cepat untuk diikuti sepasang matanya. Yang dilihatnya hanya bayangan kecoklatan yang terus-menerus bergerak melancarkan serangan.
Tak demikian penilaian yang didapat Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu harus mengakui dalam hati kalau Iblis Berkabung merupakan tokoh yang tak ada taranya. Disaksikannya sendiri kedahsyatan dan kecepatan setiap serangan Malaikat Obat Sakti. Tapi, toh Iblis Berkabung mampu mengelakkannya secara mudah.
Dewa Arak yakin benar dirinya tak akan mampu melakukan tindakan seperti yang diperbuat Iblis Berkabung. Seranganserangan Malaikat Obat Sakti datang terlalu cepat dan penuh gerakan-gerakan lanjutan yang tak terduga. Merupakan hal yang berbahaya mengelakkan serangan-serangan seperti itu tanpa ber-
pindah kedudukan. Namun, Iblis Berkabung mampu melakukannya!
Ketidakadaan serangan balasan dari Iblis Berkabung yang membuat Dewa Arak tak turun tangan membantu. Pemuda ini memperhatikan jalannya per-tarungan dengan sepasang mata hampir tak berkedip.
"Kurasa sudah cukup permainan ini, Tua Bangka!"
Iblis Berkabung berseru keras ketika Malaikat Obat Sakti telah melancarkan serangan sampai sepu-luh jurus. Dan pada jurus ke sebelas Malaikat Obat Sakti mengirimkan bacokan sisi tangan kanan ke arah leher Iblis Berkabung.
Wuttt!
Serangan Malaikat Obat Sakti mengenai angin ketika Iblis Berkabung merendahkan tubuhnya. Gera-kan itu disusuli dengan gedoran tapak tangan kanan terbuka ke arah dada.
Desss!
"Aaaakh...!"
Malaikat Obat Sakti yang tak bisa mengelakkan serangan itu karena terlalu bernafsu menyerang, mengeluarkan jeritan menyayat hati. Gedoran Iblis Berkabung secara telak menghantam dadanya.
Tubuh Malaikat Obat Sakti melayang deras ke belakang laksana daun kering diterbangkan angin. Semburan darah kental muncrat dari mulutnya.
"Kek...!"
Untuk kedua kalinya Dewa Arak dan Sumbi berseru kaget dan khawatir. Seakan berlomba Sumbi dan Dewa Arak melesat mengejar tubuh Malaikat Obat Sakti yang masih melayanglayang. Iblis Berkabung hanya tersenyum mengejek melihat tindakan mereka yang terlalu mengkhawatirkan keselamatan Malaikat Obat Sakti. Tokoh sesat ini tahu pukulannya telah cukup untuk mengirim nyawa Malaikat Obat Sakti ke neraka.
Kendati demikian, Iblis Berkabung yang memiliki watak kejam merasa tidak puas. Kekhawatiran Dewa Arak dan Sumbi yang besar terhadap keselama-tan Malaikat Obat Sakti menimbulkan maksud keji di hatinya. Iblis Berkabung segera mengembangkan jari-jari tangan kanannya, Sekejap jari yang semula berwarna putih seperti dikapur itu merah membara. Tokoh sesat ini kemudian menjentikkan jari-jari itu.
Lima leret sinar kebiruan meluncur dari ujung jari Iblis Berkabung. Cepat luar biasa sinar-sinar itu mengarah ke tubuh Malaikat Obat Sakti yang masih melayang-layang di udara.
Zzzbbb...!
Bunyi letupan tak keras terdengar ketika lima larik sinar kebiruan menghantam tubuh Malaikat Obat Sakti. Kakek berjenggot panjang itu memekik memilukan. Lima bagian depan tubuhnya langsung terbakar seiring dengan bolongnya bagianbagian tubuh yang terkena sinar. Hanya dalam sekejap api yang timbul membakar sekujur tubuh Malaikat Obat Sakti.
"Kek...!"
Kembali jeritan itu dikeluarkan Arya dan Sumbi. Mereka terasa terpukul sekali melihat tubuh Malaikat Obat Sakti telah lebih dulu dibungkus kobaran api sebelum berhasil mereka tangkap.
Dewa Arak benar-benar dilibat penyesalan yang amat besar. Seperti juga Sumbi, pemuda ini menghentikan larinya dan menatap tubuh yang terbungkus ko-baran api itu hingga jatuh di tanah. Arya dan Sumbi terpaku kaku di tempatnya.
"Ha ha ha...!"
Iblis Berkabung tertawa bergelak melihat kesedihan yang diderita kedua muda mudi itu. Maksud hatinya untuk memukul perasaan mereka berhasil dengan baik.
Sekujur tubuh Dewa Arak menggigil keras seperti orang terkena demam tinggi. Pemuda berambut putih keperakan ini geram bukan main melihat keke-jaman Iblis Berkabung. Arya tahu tanpa diberikan se-rangan terakhir tadi nyawa Malaikat Obat Sakti pun belum tentu dapat diselamatkan. Tak selayaknya kalau Iblis Berkabung mengirimkan serangan susulan.
"Terkutuk!" maki Arya dengan wajah merah pa-dam.
"Ha ha ha...!"
Tawa Iblis Berkabung dengan nada yang tak pantas keluar dari mulut manusia menyambuti ma-kian Dewa Arak. Lelaki berpakaian serba putih ini ke-lihatan gembira bukan main melihat Arya tengah mur-ka.
"Kau tak senang kalau kakek yang sudah mau mati itu kubunuh? Mau membalas dendam? Lebih baik kau urungkan saja niatmu. Anjing kecil. Kau tak termasuk orang-orang yang harus menjadi korbanku! Tapi apabila kau memaksa, aku pun tak keberatan mengirim nyawamu ke neraka!"
"Keparat!"
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang tak memungkinkan untuk menghadapi tokoh selihay Iblis Berkabung, Dewa Arak melesat menerjang.
Guci araknya diayunkan siap untuk dihantamkan ke kepala lawan. Melihat Dewa Arak telah mengirimkan serangan, Sumbi tak tinggal diam. Gadis berpakaian merah ini pun meluruk ke arah Iblis Berkabung.
Dengusan merendahkan dikeluarkan Iblis Ber-kabung. Kekuatan dan kedahsyatan serangan sepasang muda-mudi itu amat jauh di bawah serangan Malaikat Obat Sakti. Padahal, kakek berjenggot panjang itu saja serangannya hampir tak berarti apa-apa ba-ginya.
"Cecoro-cecoro seperti kalian tak layak untuk berhadapan denganku!"
Iblis Berkabung mengibaskan tangannya seper-ti orang mengusir nyamuk. Angin keras yang keluar dari gerakannya membuat Arya dan Sumbi terdorong ke belakang dan jatuh terguling-guling. Tapi mereka bukan termasuk orang-orang yang mudah digertak. Begitu kekuatan yang membuat tubuh mereka jatuh terguling-guling habis, keduanya bergegas bangkit berdiri hendak menyerang kembali.
"Huakh...!"
Dewa Arak dan Sumbi memuntahkan darah segar dari mulutnya. Angin serangan Iblis Berkabung telah membuat sepasang muda-mudi ini terluka parah. Maksud hati untuk kembali menyerang pun terpaksa diurungkan.
Kalau mereka memaksakan diri menyerang, luka yang diderita akan semakin parah dan mungkin dapat membawa mereka ke lubang kubur. Sementara untuk mengerahkan tenaga dalam bisa membuat luka itu semakin parah. Yang dapat dilakukan sepasang muda-mudi ini hanya menatap Iblis Berkabung dengan sorot mata dendam.
"Ha ha ha...!"
Iblis Berkabung hanya tertawa bergelak. Dengan sorot mata penuh kemenangan dan ejekan ditatapnya Arya dan Sumbi.
"Kalian beruntung aku telah cukup gembira dengan berhasil menewaskan tua bangka itu. Sehingga, aku tak berselera lagi untuk mengirim kalian berdua ke akhirat. Apalagi aku telah bersumpah untuk lebih dulu mengurus keturunan dan ahli waris pengecut-pengecut yang telah membunuh Iblis Berkabung terdahulu. Kelak apabila seleraku timbul, kalian akan kubunuh!
Ha ha ha...!"
Sambil tertawa-tawa Iblis Berkabung memba-likkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu. Dewa Arak dan Sumbi tak bisa berbuat apa pun untuk mencegahnya. Kedua orang muda yang tak berdaya ini hanya bisa menatap kepergian tokoh sesat mengi-riskan hati itu dengan sorot mata penuh kemarahan!
––––––––
7
Angin malam yang dingin berhembus menusuk sampai ke tulang. Lolong anjing hutan yang mengaung panjang menambah keseraman suasana malam. Saat itu langit cukup cerah. Sang dewi malam yang me-nampakkan diri di langit secara utuh membuat kea-daan di persada kelihatan terang. Bahkan sinar bulan purnama mampu menerangi gelapnya hutan.
Di hutan kecil itu tampak dua sosok tubuh berdiri saling berhadapan dalam jarak sekitar lima tombak.
Yang satu bertolak pinggang, sedangkan yang lain bersedekap. Masing-masing saling menatap sosok di depannya dengan sinar mata yang sulit untuk diter-ka. Yang jelas, mata kedua sosok ini mencorong tajam bagaikan mata harimau dalam gelap.
"Apa maksudmu mengirim utusan untuk memintaku datang ke tempat ini, Muka Setan?" tanya sosok yang bertolak pinggang.
Ucapan ini sebenarnya pelan, tapi ternyata mampu bergema ke seluruh penjuru tempat itu. Bina-tang-binatang malam yang tengah berkeliaran ke sana kemari tampak terkejut. Mereka bergegas menjauhkan diri dari tempat pertemuan kedua tokoh yang sama-sama memiliki ciri-ciri mengiriskan itu.
"Apa maksudmu sewaktu datang ke istanaku Serigala Hitam?" sosok yang bersedekap malah balas bertanya.
"Maksudku memerintahkanmu untuk datang ke hutan ini pun demikian."
Dua sosok itu bukan lain dari Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan. Dua tokoh yang menjadi dedengkot di wilayah masing-masing. Mereka mengangkat diri sendiri di atas pihak yang diajak bicara. Oleh karena Raja Serigala Hitam menggunakan kata Raja Laut Bermuka Setan meminta kedatangannya. Sebaliknya, Raja Laut Bermuka Setan mempergunakan kata memerintahkan.
"Begitukah?!" ejek Raja Serigala Hitam sinis. "Bukankah kau semula meremehkan dan bahkan menolak usulku? Mengapa kau mendadak berubah pen-dirian? Apakah bocah-bocah ingusan yang kau katakan tak ada artinya itu datang menyatroni sarangmu dan mengobrak-abriknya?!" "Ha ha ha...!"
Raja Laut Bermuka Setan meledakkan tawa.
Lelaki kurus ini merasa geli mendengar ucapan saingannya.
"Mana mungkin mereka berani menyatroni istanaku! Apakah mereka sudah mempunyai nyawa rangkap? Jangankan bocahbocah yang belum hilang dari bau kencur itu, setan sekalipun tak akan berani mendatangi sarangku!"
Raja Serigala Hitam mendengus. Tawa mengejek pun dikeluarkannya. Dia tahu Raja Laut Bermuka Setan menyembunyikan sesuatu. Kalau tak ada apa-apanya tak akan mungkin pendirian lelaki kurus itu berubah begitu cepat.
"Aku berubah pendirian karena terpikir olehku dengan penggabungan kita berdua akan bisa lebih menguntungkan. Kedudukan kita semakin kuat. Dan itu berarti kita akan bisa berbuat lebih banyak. Bah-kan, penggabungan kita akan membuat golongan hi-tam berjaya!" lanjut pimpinan bajak laut selatan men-gajukan alasan yang dicari-cari.
Alasan sebenarnya Raja Laut Bermuka Setan ini adalah pertemuannya dengan Sumbi dan Dewa Arak yang mengakibatkan nya terluka dalam beberapa hari yang lalu. Memang benar dia telah menyebarkan racun berbahaya sebelum pergi meninggalkan Dewa Arak. Tapi, lelaki kurus ini tak yakin Sumbi dan Dewa Arak akan mati. Tingkat kepandaian Sumbi membuat Raja Laut Bermuka Setan terbuka pikirannya. Kalau Sumbi saja sudah sehebat itu, bagaimana pula gurunya? Padahal tokoh setingkatan guru Sumbi masih ada tiga orang lagi. Dan tokoh setingkatan Sumbi ke-mungkinan lebih dari satu orang.
Belum lagi diperhi-tungkan keberadaan Dewa Arak. Itulah sebabnya setelah berpikir beberapa hari, Raja Laut Bermuka Satan memutuskan untuk menerima tawaran bergabung dari Raja Serigala Hitam.
"Aku bersedia menerima usulmu itu, Muka Setan...," ucap Raja Serigala Hitam menggantung ucapannya di tengah jalan.
Raja Laut Bermuka Setan mendengus. Lelaki ini tahu ucapan yang dihentikan itu menjadi pertanda kalau usul yang dikemukakannya tak akan demikian mudah diterima oleh Raja Serigala Hitam. Tokoh sesat pimpinan wilayah utara ini rupanya merasa sakit hati dengan sikapnya waktu itu. Dan sikap Raja Serigala Hitam yang berbalik enggan membuat Raja Laut Bermuka Setan merasa geram.
"Rupanya kau mengajukan syarat pula, Serigala Hitam? Kau meniru tingkah ku waktu itu, heh?!"
"Hanya sedikit mirip, Muka Setan," jawab Raja Serigala Hitam kalem. "Hanya saja persyaratannya berbeda denganmu. Nah, dengarkan baik-baik. Aku bersedia untuk bergabung denganmu asal aku yang menjadi pimpinan tertinggi!"
"Syarat gila!" rutuk Raja Laut Bermuka Setan dengan sorot mata berkilat-kilat karena kemarahan yang melanda. "Seharusnya malah sebaliknya, Serigala Hitam. Apabila kita bergabung aku yang harus menjadi pimpinan tertinggi. Dan kau kuberi kedudukan yang terhormat menjadi wakilku. Bagaimana? Enak bukan?"
"Hal itu hanya bisa terjadi apabila aku telah menjadi mayat, Muka Setan!" tandas Raja Serigala Hi-tam keras.
"Apa susahnya melakukan hal itu?!" sergah Raja Laut Bermuka Setan tak kalah kerasnya.
"Kaulah yang akan kubuat menjadi mayat tak berarti, Muka Setan!"
Raja Serigala Hitam yang tak kuasa menahan amarahnya lagi segera melompat, menerjang Raja Laut Bermuka Setan. Di tengah jalan tubuhnya diputar mengikuti putaran kaki kanannya yang laksana baling-baling. Suasana yang semula hening segera terpecahkan oleh deru angin bercicitan tajam dari putaran kaki Raja Serigala Hitam. Dengan tubuh serta kaki berputaran tokoh sesat itu meluncur ke arah lawan-nya. Arah yang dijadikan sasaran serangan adalah kepala Raja Laut Bermuka Setan!
Raja Laut Bermuka Setan mengenal benar suatu serangan maut. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang sehingga serangan perdana lawannya men-genai tempat kosong. Tapi, Raja Serigala Hitam segera menyusulinya dengan serangan lanjutan. Raja Laut Bermuka Setan menyambutnya dengan hangat. Pertarungan antara dua pimpinan wilayah yang berbeda ini pun segera berlangsung.
Hanya berbeda waktu sebentar saja dua datuk sesat yang semula saling berbincang-bincang untuk bersatu kini telah saling serang untuk membunuh. Tak puas hanya dengan bertangan kosong, masing-masing pihak menggunakan senjata andalan. Raja Laut Ber-muka Setan menggunakan dayung. Sementara Raja Serigala Hitam mempergunakan sepasang cakar baja yang memiliki tangkai sebagai pegangan. Dengan adanya senjata andalan di tangan kedua tokoh ini tak ubahnya harimau yang tumbuh sayap. Kedahsyatan serangan mereka berlipat ganda.
Ternyata tingkat kepandaian kedua datuk kaum sesat ini berimbang. Puluhan jurus telah berlangsung namun belum ada pihak yang berhasil men-desak lawan, jalannya pertarungan tetap sengit. Kedua belah pihak saling berganti melancarkan serangan. "Manusia-manusia Goblok...? Mengapa harus saling bentrok sendiri?!"
Tiba-tiba ucapan bernada penuh teguran terdengar mengatasi kegaduhan yang tercipta dari perta-rungan Raja Laut Bermuka Setan dan Raja Serigala Hitam. Kedua tokoh itu tampak terkejut. Ucapan yang diyakini ditujukan untuk mereka itu mampu membuat isi dada tergetar hebat. Bahkan, aliran tenaga mereka pun tersumpal meski hanya sebentar.
Belum lagi lenyap keterkejutan yang mendera hati, terdengar bunyi mendesing nyaring diiringi dengan berkelebatannya sinarsinar kehijauan ke arah mereka. Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan tak mempunyai pilihan lain kecuali menghentikan pertarungan. Sinar-sinar kehijauan itu meluncur ke arah pelipis mereka. Mendengar dari bunyinya, kedua tokoh itu tahu nyawa mereka bisa melayang apa-bila terkena sasaran. Pelipis mereka bisa hancur be-rantakan.
Dua datuk sesat pimpinan wilayah yang berbe-da itu bergegas menggerakkan senjata di tangan untuk memapaki serangan sinar-sinar kehijauan.
Trang, trangng...!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika cakar Raja Serigala Hitam dan dayung Raja Laut Bermuka Setan membentur sinar-sinar. Tubuh kedua datuk sesat itu terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Tangan mereka terasa kesemutan dan lum-puh sesaat. Cakar baja dan dayung kedua datuk kaum sesat itu jatuh ke tanah. Tangan yang lumpuh mem-buat jari-jari mereka tak bisa lagi mencekal senjata.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan terkejut bukan main melihat kenyataan ini. Keduanya segera sadar kalau tokoh yang mencampuri urusan mereka memiliki tenaga dalam amat kuat. Terbukti, benturan yang terjadi membuat senjata mereka lepas dari pegangan dan tangan yang mencekal menjadi lumpuh.
Keterkejutan Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan semakin menjadi-jadi ketika melihat sinar-sinar kehijauan yang telah membuat senjata me-reka lepas. Sinar-sinar itu ternyata hanya daun! Hampir dua datuk sesat ini tak percaya akan penglihatan mereka. Dua helai daun yang besarnya tak lebih dari telapak tangan bayi itu ternyata mampu membuat tan-gan mereka lumpuh. Hati Raja Laut Bermuka Setan dan Raja Serigala Hitam bergidik membayangkan kekuatan tenaga dalam orang yang melontarkannya.
Mereka saling berpandangan sebentar. Tapi dari pertemuan mata itu keduanya telah bermufakat untuk menghadapi tokoh yang mencampuri urusan mereka.
Bagaikan hantu saja, karena tanpa mengeluarkan bunyi sedikit pun, sesosok bayangan putih menjejakkan kaki di tanah. Sekitar dua tombak dari dua datuk sesat. Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan yang tak sadar kalau berdiri berdampingan menatap pendatang baru itu penuh selidik.
"Mengapa harus bertarung dengan orang segolongan?!" tegur sosok yang bukan lain dari Iblis Berkabung sambil merayapi wajah-wajah di depannya. "Sudahi pertarungan kalian. Mulai sekarang kalian adalah sahabat. Meski kepandaian kalian tak seberapa, kalian kuangkat sebagai wakil-wakilku!" lanjutnya dengan si-kap angkuh.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan saling mengerling satu sama lain.
"Siapa kau, Sobat? Apa hakmu sehingga berani mencampuri urusan Kami? Bahkan kau telah berani-beraninya mengatur kami.
Tahukah kau siapa adanya kami?!" bentak Raja Serigala Hitam seraya menatap wajah Iblis Berkabung lekat-lekat.
Di lubuk hatinya Raja Serigala Hitam yang hampir tak mengenal rasa takut itu merasa ngeri juga melihat Iblis Berkabung. Tokoh yang terkenal sejak ra-tusan tahun lalu itu memang memiliki wibawa yang mengiriskan.
"Aku adalah Raja Laut Bermuka Setan!" sambung Raja Laut Bermuka Setan tak kalah keren. Bahkan dadanya dibusungkan ketika mengucapkan kata-kata demikian. Tapi karena memang kurus, yang tampak malah tulang-tulangnya. "Belasan tahun aku dan kelompokku merajalela di Laut Selatan tanpa ada yang mampu menghalangi. Tapi sekarang aku adalah datuk sesat wilayah selatan. Semua tokoh golongan hitam yang berada di wilayah itu mengakuiku sebagai datuk mereka!"
"Dan, aku berjuluk Raja Serigala Hitam! Kekuasaanku adalah wilayah utara. Sebagian besar tokoh-tokoh golongan hitam telah menjadi pengikutnya. Akulah datuk sesat wilayah utara!" Raja Serigala Hitam buru-buru menyambung.
"Pertarungan yang terjadi antara kami adalah untuk menentukan siapa yang lebih berhak menjadi datuk sesat di delapan penjuru mata angin!" beritahu Raja Laut Bermuka Setan.
Iblis Berkabung terlihat hanya tersenyum mengejek.
"Hentikan saja pertarungan tak berguna itu. Aku yang akan menjadi datuk kalian dan semua tokoh golongan hitam. Aku yang akan membuat golongan kita berjaya seperti pada masa dua ratus tahun silam!" tandas Iblis Berkabung mantap.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan merasa heran. Apakah julukan mereka belum pernah didengar oleh Iblis Berkabung sehingga tokoh itu tak menjadi gentar?
"Aku cukup gembira karena kalian telah mempunyai banyak pengikut," lanjut Iblis Berkabung tanpa mempedulikan keheranan kedua datuk di depannya. "Tapi jangan berpuas diri dulu. Cari lagi pengikut sebanyak-banyaknya. Bagi yang tak mau bergabung, bunuh saja! Dan apabila kalian menemui kesulitan, aku yang akan turun tangan. Nanti setelah pengikut yang kalian kumpulkan telah banyak, kita serbu kerajaan. Satu demi satu kerajaan kita taklukkan, hingga kita akan mempunyai sebuah kerajaan yang amat be-sar. Kerajaan Setan, demikian namanya! Ha ha ha...!"
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan terpaku keheranan. Mereka tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Merebut kerajaan dan membentuk kerajaan sendiri, kerajaan dari golongan mereka! Luar biasa! Sungguh sebuah usul yang cemerlang. Selama ini mereka hanya berkeinginan untuk mencari pengi-kut yang banyak, agar bisa menekan golongan putih yang menjadi musuh bebuyutan. Usul Iblis Berkabung menimbulkan keinginan di benak kedua datuk sesat itu.
"Kau bicara seakan-akan kami ini bersedia memenuhi keinginanmu, Sobat?" ujar Raja Laut Bermuka Setan dengan suara dan sikap keren. "Kau tahu ucapanmu itu sebenarnya telah cukup menjadi alasan bagi kami untuk membunuhmu. Tapi karena saat ini kami tengah mempunyai urusan lain, kami beri kesempatan padamu meninggalkan tempat ini dengan nyawa di badan!"
Sepasang mata Iblis Berkabung seperti memancarkan api ketika Raja Laut Bermuka Setan menyelesaikan ucapannya. Terlihat sekali tokoh luar biasa ini merasa tersinggung.
––––––––
8
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet Buduk! Mukamu yang sudah buruk itu akan kubuat semakin buruk sebagai ganjaran atas kekurangajaranmu. Setidak-tidaknya hal ini akan menjadi peringatan bagi yang lain untuk tak bertingkah seenaknya!"
Iblis Berkabung menutup ucapannya dengan sebuah lesatan ke arah Raja Laut Bermuka Setan. Datuk wilayah selatan yang diserang memang sudah bersiaga sejak tadi. Dayung yang sudah dipungutnya dari tanah diayunkan ke arah tubuh Iblis Berkabung.
Hati Raja Laut Bermuka Setan agak tercekat ketika dia hanya melihat sesosok bayangan melesat ke arahnya. Lelaki ini tak bisa melihat jelas. Maka, dayung yang dihantamkan digerakkan menurut nalurinya saja.
"Akh...!"
Raja Laut Bermuka Setan memekik ketika merasakan sakit dan nyeri pada telinganya sebelah kanan. Iblis Berkabung sendiri sudah berada di tempatnya lagi. Entah kapan lelaki berpakaian serba putih itu kembali ke tempatnya. Raja Laut Bermuka Setan hampir memekik kaget melihat benda yang dipamerkan Iblis Berkabung. Benda itu diangkat sejajar dengan wajahnya.
"Inilah hukuman atas kelancangan mulutmu, Monyet!" ujar Iblis Berkabung dingin.
Raja Laut Bermuka Setan mengenali benda tersebut. Itu adalah daun telinganya! Sekarang Raja Laut Bermuka Setan tahu kalau rasa sakit yang melanda telinga kanannya adalah karena daun telinga itu telah dibikin penggal! Bergegas Raja Laut Bermuka Setan menotok jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan mengalirnya darah. Kemudian, dengan didahului gertakkan giginya lelaki kurus ini memutar dayungnya, bersiap untuk melancarkan serangan.
Raja Laut Bermuka Setan dilanda amarah yang amat sangat. Hal-hal lain tak dipikirkannya lagi. Yang ada di benaknya hanya membalas perlakuan Iblis Berkabung. Sedikit pun tak terpikirkan olehnya kalau Iblis Berkabung memiliki kepandaian lebih tinggi daripa-danya!
Raja Serigala Hitam tidak demikian. Kakek ini melihat dengan hati ngeri dan telinga Raja Laut Bermuka Setan yang dipertunjukkan Iblis Berkabung. Bukan bendanya yang membuat datuk utara ini merasa ngeri. Tapi, dia tak melihat kapan Iblis Berkabung melakukannya! Padahal Raja Serigala Hitam tak pernah lekang memperhatikan tindak-tanduk Iblis Berkabung.
Memang Raja Serigala Hitam melihat sekelebatan sinar putih, namun bentuknya amat tak jelas. Tak bisa tokoh sesat itu melihatnya. Kalau Iblis Berkabung berkehendak, bukan hanya daun telinga Raja Laut Bermuka Setan yang diambilnya, tapi juga nyawanya. Mudah baginya untuk menghantam pelipis Raja Laut Bermuka Setan dalam sekali serang. Kenyataannya datuk selatan itu tak bisa mempertahankan telinganya. Jangankan mempertahankan, tahu terancam pun tidak.
"Simpan dulu kemarahanmu, Muka Setan," beritahu Raja Serigala Hitam sebelum Raja Laut Bermuka Setan mengirimkan serangan. Raja Serigala Hitam bukan khawatir atas keselamatan Raja Laut Bermuka Setan. Justru dia akan lebih gembira jika datuk sela-tan itu tak ada.
Kalau datuk utara ini mencegah tindakan Raja Laut Bermuka Setan hanyalah karena rasa khawatir hal itu akan menimbulkan kemarahan Iblis Berkabung. Dirinya bisa jadi ikut terancam apabila Iblis Berkabung murka.
Raja Laut Bermuka Setan menoleh dan menatap saingannya lekat-lekat. Lelaki ini baru ingat kalau dia dan Raja Serigala Hitam akan bergabung untuk menentang Iblis Berkabung. Tapi mengapa Raja Serigala Hitam belum bersiap-siap?
"Apakah kau takut, Serigala Hitam?" tanya Raja Laut Bermuka Setan. Sedapat mungkin dia menyem-bunyikan kekhawatirannya kalau Raja Serigala Hitam membenarkan pertanyaan itu.
"Bukan masalah takut atau tidak, Muka Setan," kilah Raja Serigala Hitam. "Kita belum tahu siapa adanya tokoh ini. Aku ingin tahu siapa dia. Orang ini pasti memiliki julukan. Kepandaiannya tinggi!"
"Aku memang lupa menjawab pertanyaan kalian tadi," sambut Iblis Berkabung dengan tenang. "Tapi tak ada salahnya jika jawaban itu kuberikan sekarang. Pernahkah kalian mendengar julukan Iblis Berkabung? Nah, akulah orangnya!"
Kalau saja saat itu ada halilintar menyambar tepat di depan mereka, tak akan Raja Laut Bermuka Setan dan Raja Serigala Hitam seterkejut ini. Kedua datuk sesat itu sampai terlonjak ke belakang bagai di-putar ular berbisa. Keduanya menatap Iblis Berkabung dengan sepasang mata seakan ingin melompat keluar dari rongganya.
"Iblis Berkabung?!" desis kedua datuk kaum sesat itu dengan bibir bergetar dan suara menggigil. Terlihat jelas kegentaran melanda hati.
Memang, Raja Laut Bermuka Setan maupun Raja Serigala Hitam pernah mendengar julukan Iblis Berkabung. Tokoh itu merupakan cerita yang mereka dengar turun-temurun. Hanya saja ketika sampai ke telinga mereka tidak didengar bagaimana ciriciri Iblis Berkabung. Semula kedua datuk sesat ini lebih condong menduga cerita mengenai Iblis Berkabung hanya sebuah dongeng. Sama sekali tak disangka tokoh yang luar biasa itu muncul kembali dan sekarang berada di depan mereka.
"Benar. Akulah Iblis Berkabung. Aku akan memimpin kalian dan pengikut-pengikut kalian serta se-mua kawan-kawan segolongan untuk berjaya seperti pada masa dua ratus tahun lalu!" tandas Iblis Berka-bung.
"Bagaimana kami bisa yakin kau adalah Iblis Berkabung? Sepanjang yang kami dengar Iblis Berka-bung telah lama tewas," ujar Raja Serigala Hitam hati-hati.
"Iblis Berkabung tak akan pernah lenyap dari muka bumi. Iblis Berkabung akan selalu muncul ke dunia persilatan. Memang benar Iblis Berkabung dulu telah tewas. Bahkan tidak hanya seorang, melainkan tiga. Tapi aku, Iblis Berkabung yang keempat, tak akan bernasib seperti mereka. Aku akan membuat kekuasaan Iblis Berkabung lebih jaya dari masa dua ratus tahun silam!" ujar Iblis Berkabung mantap.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan kelihatan bingung. Jawaban Iblis Berkabung hanya sebagian kecil saja yang mereka mengerti. Jawaban itu tak menyingkap rahasia besar yang menyelimuti Iblis Berkabung.
"Untuk lebih meyakinkan kalian kalau aku adalah Iblis Berkabung yang memiliki kepandaian tak ada taranya di muka bumi ini, kalian berdua boleh maju dan menyerangku. Tak sampai tiga jurus kalian dapat kurobohkan!"
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Se-tan hampir memaki mendengar ucapan yang menurut mereka keterlaluan itu. Jangankan bersama, baru seorang dari mereka saja jarang tokoh persilatan yang mampu mengimbangi. Andaikata pun ada belum pernah ada yang mampu mengalahkan dalam tiga jurus. Namun Iblis Berkabung sesumbar akan merobohkan mereka berdua dalam tiga jurus!
"Bagaimana kalau dalam tiga jurus kau belum bisa mengalahkan kami?" pancing Raja Serigala Hitam, ingin tahu tanggapan Iblis Berkabung.
"Itu tak akan terjadi!" tandas Iblis Berkabung penuh keyakinan. "Dan andaikata terjadi, aku akan melupakan semua ucapanku sebelumnya. Aku tak akan pernah mencampuri urusan kalian lagi!"
"Baik! Kami terima janjimu ini, Iblis Berkabung," Raja Laut Bermuka Setan yang memberikan jawaban.
Raja Serigala Hitam langsung menggerak-gerakkan cakar bajanya ketika saingannya telah selesai memberikan sambutan. Raja Laut Bermuka Setan sendiri menggenggam dayungnya eraterat. Kedua datuk kaum sesat ini lebih dulu saling bertukar pandang. Keduanya setuju untuk mempergunakan cara yang lebih aman agar selama tiga jurus pertarungan Iblis Berkabung tak berhasil memenuhi janjinya.
"Kami telah siap, Iblis Berkabung!" beritahu Raja Serigala Hitam.
Iblis Berkabung tertawa bergelak ketika menunggu beberapa saat tak terlihat tanda-tanda dua datuk kaum sesat itu akan menyerangnya. Tokoh sesat yang tak ubahnya dongeng itu segera paham akan tindakan yang diambil lawan-lawannya.
"Buatlah pertahanan yang paling kuat. Akan kubuktikan kalau tak sampai tiga jurus kalian akan berhasil kurobohkan!"
Belum lagi gema ucapannya lenyap. Iblis Berkabung telah melesat menerjang dua lawannya. Lelaki berambut merah darah ini terpaksa menyerang karena Raja Laut Bermuka Setan dan Raja Serigala Hitam mengambil kedudukan bertahan. Rupanya demi untuk memenangkan pertaruhan, kedua datuk kaum sesat itu tak mau melancarkan serangan lebih dulu. Dengan menyerang kemungkinan untuk dirobohkan lawan le-bih cepat. Karena setiap penyerangan menimbulkan celah-celah yang dapat dipergunakan lawan untuk memasukkan serangan.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan terperanjat ketika hanya melihat sekelebatan sinar putih menyambar ke arah mereka. Demikian cepat lesatan sinar putih itu, sehingga jangankan arah serangan yang dituju oleh Iblis Berkabung, bentuk serangan yang dilancarkan pun tak mampu mereka lihat.
Kendati demikian kedua datuk kaum sesat ini tak kehilangan akal. Senjata-senjata yang ada di tangan diputar sekuat mungkin untuk membungkus seluruh tubuh mereka. Seekor lalat pun tak akan bisa me-nembus gulungan senjata mereka tanpa terkena!
"Ha...!"
Iblis Berkabung membentak keras di saat tengah melesat menyerbu lawan-lawannya. Bukan sambaran bentakan. Tapi dialiri tenaga dalam tinggi. Akibatnya memang luar biasa. Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan merasakan dada mereka tergetar hebat. Aliran tenaga dalam keduanya tiba-tiba terhenti. Bahkan tanpa dapat dicegah lagi mereka terhuyunghuyung.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan ternyata mampu mempertunjukkan kalau mereka tak memalukan mendapat julukan datuk-datuk kaum sesat. Keadaan yang tak menguntungkan itu segera mereka perbaiki dengan melempar tubuh ke tanah dan bergulingan menjauh.
Seakan telah dirundingkan lebih dulu sebe-lumnya, dua datuk kaum sesat ini melempar tubuh ke arah yang saling berlawanan. Raja Serigala Hitam ke kiri sedangkan ke kanan diambil oleh Raja Laut Bermuka Setan. Iblis Berkabung tak memusingkan masa-lah itu. Laksana hantu dia mengejar Raja Serigala Hi-tam dan menghujaninya dengan serangan.
Raja Serigala Hitam mengetahui datangnya bahaya. Cakar baja di tangannya diputar untuk melindungi tubuh. Tapi hanya sebentar saja tindakan itu bi-sa dilakukan. Dirasakan ada sesuatu menyentuh belakang sikunya. Siku itu lumpuh sesaat, dan cakar baja datuk utara itu berpindah tangan.
Sebelum Raja Serigala Hitam sempat bertindak lebih jauh, dirasakan bahu kanannya disentuh. Maka seketika itu juga tubuh Raja Serigala Hitam ambruk ke tanah bagai sehelai karung basah. Dengan mempergunakan kecepatan geraknya rupanya Iblis Berkabung telah menotok siku dan bahu kanan Raja Serigala Hitam.
Tanpa mempedulikan Raja Serigala Hitam, Iblis Berkabung melesat ke arah Raja Laut Bermuka Setan yang baru saja bangkit dari bergulingnya. Raja Laut Bermuka Setan berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Namun seperti juga saingannya, lelaki kurus ini dirobohkan secara mudah oleh Iblis Berkabung.
Iblis Berkabung menatap kedua lawannya yang terkapar di tanah. Kedua tangan lelaki berpakaian serba putih ini terlipat di depan dada.
"Bagaimana? Apakah kalian masih meragukan kalau aku adalah Iblis Berkabung? Hanya dalam dua jurus kalian berdua dapat kurobohkan!" dengus Iblis Berkabung.
"Kami mengaku kalah. Sekarang kami yakin kau memang
Iblis Berkabung. Kami bersedia untuk bekerja sama denganmu dan setuju kau menjadi pim-pinan kami," jawab Raja Serigala Hitam.
"Ha ha ha...!" Iblis Berkabung tertawa bergelak penuh kegembiraan. "Sekarang kalian boleh bangkit," ujar lelaki berambut merah darah ini sambil menden-gus.
Raja Serigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan hampir tak percaya akan apa yang mereka alami. Totokan yang membelenggu mereka langsung bebas ketika Iblis Berkabung mendengus. Baru kali ini mereka temui ada tokoh yang mampu membebaskan pengaruh totokan dengan dengusan! Ini berarti dengan cara yang sama Iblis Berkabung dapat melumpuhkan mereka.
Dengan penuh rasa gentar dan takjub Raja Se-rigala Hitam dan Raja Laut Bermuka Setan bangkit berdiri. Mereka telah takluk sepenuhnya. Keduanya merasa yakin dengan pemimpin selihai Iblis Berkabung jalan mencapai keinginan mereka untuk membentuk kerajaan sesat akan terlaksana.
***
Hembusan angin siang yang panas menerbang-kan debu tebal di sebuah dataran luas di atas puncak sebuah gunung. Tempat ini dinamai Puncak Dunia!
Dari lereng sebelah barat dan timur berkelebat sesosok bayangan. Cepat bukan main gerakannya sehingga membuat bentuk tubuhnya tak terlihat jelas. Hanya kelebatan bayangan kuning dan bayangan biru dalam bentuk yang samar. Dua sosok bayangan itu bergerak lincah melalui medan yang sulit. Beberapa kali dua sosok itu melompat-lompat tinggi tak jarang pula melompat jauh menyeberangi jurang-jurang yang tak begitu lebar. Tak lama kemudian kedua sosok itu telah berada di puncak gunung. Mereka bertemu di hamparan tanah lapang yang berdebu.
Sosok bayangan coklat ternyata seorang kakek berpakaian coklat. Usianya sekitar enam puluh tahun, tapi tubuhnya yang pendek masih terlihat kekar. Wajahnya yang agak kecoklatan mempunyai sebelah mata yang selalu berkedip-kedip. Hal ini membuat kakek itu kelihatan lucu. Padahal dia adalah seorang tokoh besar golongan putih. Pendekar Seribu Kepalan, julukannya.
Sosok bayangan kuning memiliki ciri-ciri yang mengiriskan hati. Dia juga seorang kakek. Wajahnya persegi dan ditumbuhi kumis. Serta cambang lebat. Pakaiannya serba kuning keemasan. Sekujur tubuh-nya yang tak tertutup pakaian terlihat ditumbuhi bulu-bulu agak kekuningan. Karena inilah kakek ini dijuluki orang sebagai Singa Berbulu Emas.
"Mengapa kau kelihatan gelisah, Singa?" tanya Pendengar Seribu Kepalan. "Apakah kau khawatir muridmu akan dapat dikalahkan oleh muridku?"
"Lupakan soal pertandingan itu dulu, Kepalan," sahut Singa Berbulu Emas dengan menyiratkan kegelisahan besar di wajahnya. "Ada masalah yang lebih penting dan gawat."
"Masalah apa, Singa? Merupakan sebuah masalah besar kukira sehingga mampu membuat orang sepertimu gelisah. Sayang, aku terlalu banyak bersembunyi di sarang hingga tak mengetahui atau terlihat masalah apa pun. Apalagi tempat tinggalku tak jauh dari tempat ini. Jadi tak bisa mengetahui masalah apa yang terjadi di tengah jalan."
"Iblis Berkabung muncul lagi," desis Singa Berbulu Emas dengan suara lirih seakan-akan takut terdengar orang lain. "Apa?!" Pendekar Seribu Kepalan terjingkat kaget seperti disengat ular berbisa. Ucapan lirih Singa Berbulu Emas di telinganya tak kalah mengejutkan dari meledaknya halilintar.
"Kudengar dan kulihat sendiri bukti-bukti kemunculan tokoh yang mengerikan itu. Beberapa perkumpulan telah dihancurkannya. Tentu saja perkumpulan golongan kita. Kekacauan terjadi di mana-mana. Pengikut-pengikut iblis itu telah tak terhitung lagi jumlahnya," urai Singa Berbulu Emas.
"Tak kusangka...," desah Pendekar Seribu Ke-palan setengah tak percaya. "Padahal kukira iblis itu tak akan muncul lagi. Oleh karena itu Sumbi, murid-ku, tak kuceritakan dengan tokoh ini."
"Aku pun menduga begitu, Kepalan. Tak kuceritakan juga pada Inani, muridku," sambut Singa Berbu-lu Emas.
"Mudah-mudahan saja si Obat dan si Gila mengetahui hal ini lalu menceritakan pada murid-muridnya," harap Pendekar Seribu Kepalan.
"Itulah sebabnya aku bergegas ke tempat ini untuk memberitahukanmu dan juga mengusulkan agar pertandingan untuk sementara ditunda. Aku yakin kau telah berada di sini, Kepalan. Kau yang mem-punyai tempat ini dan sudah pasti akan memper-siapkannya agar dapat terpakai untuk pertandingan."
"Kalau demikian halnya kurasa tempat ini akan menjadi kuburan kita semua, Singa. Iblis Berkabung pasti telah mengetahui rencana kita dan berencana menyerbu tempat ini. Mudah-mudahan saja mereka lebih dulu datang agar kita dapat bersama-sama menyusun kekuatan untuk menghadapinya. Bila mereka tiba cepat, kita harus segera meninggalkan tempat ini dan menentukan tempat-tempat yang dapat kita jadikan pemusatan kekuatan."
"Aku pun bermaksud demikian, Kepalan," sambut Singa Berbulu Emas. "Setelah selesai mengambil kata sepakat, kita semua pergi sebelum Iblis Berkabung menyatroni tempat ini."
"Sebuah rencana yang bagus sekali. Sayang, tak berjalan sesuai kehendak kalian...!"
Suara yang terdengar jelas di tempat itu menyambuti ucapan Singa Berbulu Emas.
Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Kepalan terkejut. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mengetahui orang yang telah berbicara. Tapi tak ada seorang pun yang mereka jumpai. Hanya ada sesosok tubuh yang belum terlihat jelas di kejauhan dan tengah melesat menuju tempat mereka.
Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Ke-palan saling berpandangan. Jantung keduanya berdetak kencang karena hati mereka dilanda ketegangan. Berbagai pertanyaan bergayut di benak kedua datuk golongan putih ini.
Benarkah sosok itu yang berbicara? Berbicara dari jauh sekali tapi terdengar jelas bukan hal yang mengejutkan bagi Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Kepalan, tapi mendengar ucapan orang dari jarak yang masih amat jauh merupakan hal yang menge-jutkan!
Bila benar sosok yang tengah melesat ke arah mereka yang berbicara, berarti sosok itu mendengar pembicaraan mereka. Inilah hal yang membuat kedua datuk golongan putih itu merasa tegang. Begitu sosok itu terlihat jelas, wajah Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Kepalan langsung berubah hebat.
"Iblis Berkabung!" desis kedua pendekar tua ini tanpa menyembunyikan keterkejutan yang melanda hati.
Iblis Berkabung sendiri menghentikan lari ketika telah berjarak tiga tombak dari dua datuk golongan putih itu. Tokoh sesat yang penuh rahasia ini menatap kedua pendekar di depannya sambil tertawa bergelak.
"Kalian kaget?" dengus Iblis Berkabung penuh ejekan. "Kalian pasti tak menyangka aku akan muncul lagi. Si tua bangka tukang obat pun demikian sebelum nyawanya kukirim ke neraka!"
Deggg!
Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Ke-palan bagai ditubruk kerbau mendengar berita itu. Ke-duanya tahu tukang obat yang dimaksud Iblis Berka-bung itu pasti rekan mereka, Malaikat Obat Sakti.
"Kalian kaget?" Ejekan itu dikeluarkan lagi oleh Iblis Berkabung. Keterkejutan kedua kakek itu keliha-tan menggembirakan hatinya. "Kalian akan lebih kaget lagi kalau kukatakan tokoh-tokoh yang akan bertemu di tempat ini tak akan pernah ada yang sampai. Sekitar jalan menuju tempat ini telah dijaga oleh pengikut-pengikutku. Tentu saja secara sembunyisembunyi. Betapapun hebatnya mereka tak akan mampu menghadapi ratusan pengikutku!"
"Keparat!" maki Singa Berbulu Emas murka.
"Terkutuk!" geram Pendekar Seribu Kepalan.
"Ha ha ha...! Iblis Berkabung malah mengumbar tawa gembira. "Di sana murid-murid kalian dibantai, dan di sini kalian akan kujadikan kerak neraka!"
Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Kepalan yang tak kuasa lagi menahan amarah langsung melesat menerjang. Iblis
Berkabung sambil tertawa ter-lihat mengelak. Lelaki berambut merah darah ini menghadapi kedua lawannya seperti ketika mengha-dapi Malaikat Obat Sakti. Dia tak sungguh-sungguh bertarung. Kedua lawannya dipermainkan dulu seenak hatinya.
***
"Kau lihat itu, Pemuda Ajaib?!" Pertanyaan itu dikeluarkan oleh seorang kakek kecil kurus berpakaian lusuh dan kumal. Wajahnya yang kotor berdebu dan rambutnya yang berantakan membuat si kakek tak ubahnya orang gila.
Keadaan kakek itu sudah mengherankan. Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah sepasang matanya. Biji matanya yang kiri tertuju lurus ke depan. Sedang yang kanan berkeliaran ke sana kemari. Itu pun masih ditambah dengan adanya asap dua warna yang mengepul dari atas kepala. Sebelah kiri putih dan sebelah kanan merah. Asap yang kanan meluncur ke arah dinding ruangan di mana si kakek berada. Di dinding yang dituju oleh asap merah tampak terlihat gambar. Puncak Dunia, di mana saat itu Iblis Berkabung tengah terlibat pertarungan dengan Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Kepalan.
"Kedua orang yang tengah bertarung dengan Iblis Berkabung itukah yang berjuluk Singa Berbulu Emas dan Pendekar Seribu Kepalan, Kek?" tanya pemuda yang disapa si kakek sebagai pemuda ajaib.
Pemuda itu bukan lain dari Arya Buana alias Dewa Arak. Di sebelah kiri si kakek, Arya duduk bersila. Sedangkan di sebelah kanan duduk Sumbi. Seperti juga Dewa Arak, Sumbi tengah mengarahkan pandangan pada dinding di mana terpampang pertarungan Iblis Berkabung dan dua datuk golongan putih.
"Benar," jawab si kakek yang tak hentihentinya tersenyum. "Sekarang jangan sampai kau lengah dari pertarungan itu sekejap pun. Tunggu hingga Iblis Berkabung menyerang, dan akan kau lihat di mana kelemahannya."
Arya tak berani menjawab. Dia hanya men-gangguk untuk menunjukkan pada kakek itu kalau dia mengerti. Sepasang matanya tak berkedip memperhatikan jalannya pertarungan di dinding ruangan. Ruangan itu sebenarnya adalah sebuah gua di dalam tanah, di atas Puncak Dunia.
Sumbi pun menujukan pandangan dengan penuh rasa tertarik pada gambar-gambar di dinding gua. Tapi, sesekali dengan sembunyi-sembunyi matanya dikerlingkan pada Dewa Arak. Gadis berpakaian merah ini telah jatuh hati pada Arya. Semula memang hanya tertarik saja. Tapi semakin lama setelah mengenal sifat dan pribadi Arya, Sumbi tak bisa mengelak dari serbuan panah-panah asmara! Setiap kali mengerling di benak Sumbi terbayang semua pengalamannya. Terutama sekali ketika mereka berdua terluka parah oleh Iblis Berkabung. Pengalaman ini dan seterusnya tercatat di benak Sumbi.
"Kau tak apa-apa, Sumbi?"
Masih terngiang di telinga Sumbi pertanyaan yang diajukan Dewa Arak ketika Iblis Berkabung telah lenyap dari pandang mata mereka.
Sumbi hanya mampu menggeleng. Perhatian yang diberikan Arya menimbulkan rasa aneh di hatinya. Sumbi merasa tersanjung. Dan saat memberikan jawaban dia menatap Arya yang saat itu tengah me-mandangnya untuk menanti jawaban.
Sumbi baru sadar kalau Arya memiliki wajah tampan dan terlihat jantan. Rambut pemuda itu yang putih panjang dan tergerai di mata Sumbi semakin membuat Arya menarik. Rambut itu membuat Arya kelihatan matang.
"Syukurlah," hanya itu yang dikatakan Arya. Tapi Sumbi merasakan dalam ucapan itu terpapar rasa lega.
Usai berkata demikian Arya lalu duduk berse-madi. Sepasang matanya dipejamkan dan kedua tan-gannya yang terbuka dipertemukan di depan dada. Sumbi mempergunakan kesempatan itu untuk mem-perhatikan Arya secara leluasa. Wajah Sumbi bagaikan ter-bakar ketika tengah larut memperhatikan, orang yang diperhatikan membuka matanya. Sumbi buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. Dia merasa malu sekali karena tertangkap basah tengah memperhatikan Arya dengan penuh minat
"Kau tak bersemadi untuk mengobati lukamu, Sumbi? Setelah pulih kita cari Iblis Berkabung dan kita balaskan kematian Kakek Malaikat Obat Sakti," ujar Arya seakan tak merasakan sikap Sumbi sebagai hal yang aneh.
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Arya. Aku memang masih terkenang akan kematian Malaikat Obat Sakti. Dan aku benci sekali terhadap Iblis Berkabung," timpal Sumbi sekenanya.
"Aku bisa mengerti apa yang tengah kau rasakan, Sumbi," sahut Arya, "Aku pun demikian. Tapi kalau kita hanya bersikap begitu saja, kapan akan dapat membuat perhitungan dengan Iblis Berkabung? Iblis itu akan menyebar bencana lebih banyak. Obati dulu lukamu Sumbi, setelah itu baru kita pikirkan hal lainnya."
Tanpa banyak bicara Sumbi segera bersemadi. Sikap Arya yang seakan tak tahu tingkah Sumbi dan justru mengalihkan pada persoalan lain membuat kekaguman Sumbi semakin membesar. "Benar-benar seorang pemuda yang bijaksana," puji Sumbi dalam hati.
Cukup lama sepasang muda-mudi ini bersema-di. Semadi itu baru terhenti karena ada ucapan yang masuk ke telinga mereka. Ucapan yang diselingi tawa mengekeh.
"Luar biasa...! Luar biasa...! Tak kusangka ada sepasang muda-mudi yang memiliki wajah elok lebih suka bersemadi ketimbang bermesraan. He he he...!"
Arya dan Sumbi membuka mata. Di depan mereka yang duduk bersemadi bersebelahan berdiri seorang kakek kecil kurus. Kakek ini menatap Arya dan Sumbi berganti-ganti. Kepalanya digeleng-gelengkan dengan senyum terkembang di bibir.
Arya terkejut bukan main melihat kenyataan ini. Kakek yang kelihatannya kurang waras itu mampu berada di depannya tanpa dia mendengar kehadiran-nya. Padahal dalam semadi pendengarannya jauh lebih tajam! Toh, si kakek mampu ada di dekatnya tanpa di-dengar langkahnya.
Kenyataan ini mengingatkan Arya pada Malaikat Obat Sakti, Kakek yang ahli pengobatan itu pun mampu berada di dekatnya tanpa dia ketahui. "Apakah kakek kecil kurus ini salah satu dari datuk-datuk go-longan putih?" tanya Arya dalam hati.
"Kalau aku tak salah menebak...." tanpa peduli pada keheranan Arya juga kemarahan yang terpancar dari sepasang mata Sumbi, si kakek terus bicara dengan senyum-senyum memamerkan giginya yang telah banyak tanggal. "Iblis Berkabung yang telah datang kemari dan menyebarkan kejadian ini, bukan? Dan aku yakin sahabatku si tukang obat itu sekarang tentu telah mengadakan perjalanan ke nirwana. Bukankah demikian, Pemuda Ajaib?"
Arya hampir tersenyum mendengar panggilan yang ditujukan padanya. Tapi pemuda ini mampu me-nahannya. Sebuah dugaan melintas di benaknya tentang siapa adanya kakek itu.
"Apakah aku tengah berhadapan dengan tokoh yang berjuluk Dewa Gila Tanpa Bayangan, yang merupakan salah satu datuk golongan putih?" tanya Arya.
"He he he...! Julukan kentut. Pemuda Ajaib, mana mungkin manusia seperti aku kau anggap dewa. Lagi pula mana ada dewa yang gila dan tak mempunyai bayangan? He he he...! Sungguh lucu...!"
Arya dan Sumbi saling berpandangan melihat tanggapan kakek yang memang berjuluk Dewa Gila Tanpa Bayangan. Tak heran kalau ada kata-kata gila untuk julukan kakek itu. Sikapnya memang tak layak seperti manusia waras.
"Pemuda Ajaib dan kau juga Nona yang tengah kasmaran, kita tak mempunyai waktu banyak. Dunia persilatan tengah berada dalam bahaya besar. Golongan hitam tak lama lagi akan berjaya. Cepat ikut aku...!"
Kakek kecil kurus lalu membalikkan tubuh dan melesat ke arah dari mana tadi dia datang. Hanya dalam sekejapan tubuhnya telah mengecil sebesar ibu jari.
Arya dan Sumbi kembali saling berpandangan. Hampir tawa keduanya meledak. Bagaimana mungkin mereka mengikuti si kakek kalau dalam sekejapan saja telah tertinggal demikian jauh. Dalam keadaan tenaga mereka pulih seluruhnya pun mereka tak akan bisa mengikuti lari kakek itu yang luar biasa cepatnya. Tak heran jika julukan yang didapatnya tanpa bayangan!
"Hey...!"
Bentakan itu membuat Arya dan Sumbi hampir terlempar karena kagetnya. Si kakek tadi telah berada di depan mereka lagi. Kedua tangannya berkacak di pinggang dan wajahnya dipasang seangker mungkin. Sepasang matanya tampak dibelalakkan selebar-lebarnya seperti tingkah orang dewasa yang sedang memarahi anak kecil.
"Mengapa kalian malah bengong? Ah! Kalau menuruti kalian berdua urusan ini tak akan pernah selesai!"
Setelah berkata demikian Dewa Gila Tanpa Bayangan mengulurkan tangan dan membawa Arya dan Sumbi melesat. Pasangan muda-mudi ini ingin meronta, tapi begitu si kakek berdehem, sekujur tubuh mereka langsung lemas bagai tertotok.
Sumbi sampai memejamkan mata karena merasa ngeri melihat betapa cepatnya si kakek berlari. Entah berapa lama berlari, gadis ini tak tahu. Matanya baru dibuka ketika tak ada lagi angin keras menerpa tubuhnya. Mereka rupanya telah sampai di tempat yang dituju si kakek.
"Lihat, Pemuda Ajaib...!"
Seruan Dewa Gila Tanpa Bayangan membuat Sumbi tersadar dari lamunannya. Dilihatnya Iblis Ber-kabung tengah melancarkan serangan. Tentu saja pa-da gambar di dinding. Terlihat pula Pendekar Seribu Kepalan berhasil mengelak. Tapi tak demikian halnya dengan Singa Berbulu Emas. Tokoh itu terkena gedo-ran pada dadanya.
Singa Berbulu Emas ambruk ke tanah dan diam tak bergerakgerak lagi. Mati. Gedoran pada dada itu rupanya membuat tulang-
tulangnya hancur berantakan dan nyawanya melayang meninggalkan raga.
"Kau lihat itu, Pemuda Ajaib?" tanya Dewa Gila Tanpa Bayangan untuk memastikan.
Arya mengangguk.
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Datangi tempat itu lalu bereskan Iblis Berkabung dengan menyerang kelemahannya!" sentak Dewa Gila Tanpa Bayangan.
Dewa Arak tidak membantah sedikit pun. Dia segera melesat meninggalkan tempat itu. Sumbi ingin ikut bergerak menyusul, tapi dicegah oleh Dewa Gila Tanpa Bayangan. Sumbi pun membatalkan maksud-nya. Gadis itu mengarahkan pandangan lagi pada dinding. Tak lama kemudian dilihatnya Dewa Arak tengah bertarung dengan Iblis Berkabung untuk membantu Pendekar Seribu Kepalan.
Masuknya Dewa Arak dalam kancah pertarungan membuat kedudukan Iblis Berkabung terdesak. Berkali-kali Iblis Berkabung mengeluarkan seruan kaget ketika melihat serangan Dewa Arak tertuju pada kelemahannya. Rasa khawatirnya semakin memuncak ketika Pendekar Seribu Kepalan mengikuti tindakan Dewa Arak. Iblis Berkabung terus-menerus didesak. Tokoh sesat yang mengiriskan hati ini tak mempunyai kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang.
Saat itu di dinding tampak pasangan muda-mudi melesat menuju kancah pertarungan. Sumbi tak mengenalnya. Tapi tidak demikian halnya dengan Dewa Gila Tanpa Bayangan. Kakek itu terlihat tersenyum lebar. "Syukurlah muridku yang gendeng itu, si Banterang, mengingat pesanku," gumamnya dengan gembi-ra.
"Pesan apa, Kek?" tanya Sumbi ingin tahu.
"Tentang adanya penyerbuan besar-besaran ke tempat ini. Jauh-jauh hari ku pesan padanya untuk mencari pendekarpendekar guna menentang rombon-gan hitam itu," beritahu Dewa Gila Tanpa Bayangan yang rupanya sudah menduga akan terjadi penyerbuan ini.
Pemuda yang dilihat Sumbi dan kakek itu memang Banterang. Sedangkan si gadis adalah Inani, putri Ketua Perguruan Tapak Darah. Pasangan muda-mudi ini bertemu di kaki gunung saat terlibat perta-rungan dengan rombongan Iblis Berkabung. Inani dan Banterang segera melesat ke puncak ketika dilihatnya rombongan pendekar ada di atas angin. Keduanya tiba pada saat pertarungan tengah berlangsung.
"Haat...!"
Tendangan Pendekar Seribu Kepalan ke pinggang sebelah kiri membuat Iblis Berkabung melempar tubuh ke belakang. Kesempatan ini yang ditunggu-tunggu Dewa Arak. Pemuda itu melompat menerjang. Guci araknya diayunkan ke arah pinggang sebelah kiri.
Blarrr!
Bunyi keras seperti halilintar menyambar ter-dengar begitu guci menghantam pinggang Iblis Berkabung. Baik tubuh Dewa Arak maupun Iblis Berkabung terpental ke arah yang berlawanan. Sedangkan tempat di bawah tubuh Iblis Berkabung semula tampak sebuah gambar kepala manusia bertanduk. Pada kedua sisinya dililit rantai sepanjang kira-kira satu tombak. Gambar dari logam dan rantai itu hancur berantakan!
Rantai bergambar manusia bertanduk itulah yang dilihat
Arya di saat Iblis Berkabung menyerang. Itulah kelemahan Iblis Berkabung. Arya segera bangkit berdiri dengan lunglai. Akibat benturan tadi membuatnya merasa lemas sekali.
Kendati demikian Arya merasa lega. Dia terse-nyum. Tapi bukan pada Pendekar Seribu Kepalan. Pemuda ini tersenyum untuk Dewa Gila Tanpa Bayangan yang diyakininya melihatnya dari gambar di dinding gua. Tapi Arya melongo dan merasa malu.
Dewa Gila Tanpa Bayangan dan Sumbi tengah berlari menuju ke arahnya!
Senyum Arya yang lenyap segera terganti den-gan helaan napas berat begitu didengarnya jeritan pilu.
"Ayaaah...!"
Inani yang mengeluarkan seruan itu. Gadis ini menghambur ke arah tubuh Iblis Berkabung sambil menangis terisak-isak. Dipeluknya mayat Iblis Berka-bung yang ternyata adalah Sokapanca, Ketua Perguruan Tapak Darah yang lenyap secara aneh!
Arya tak merasa heran karena Dewa Gila Tanpa Bayangan telah memberitahukannya. Rantai bergambar manusia bertanduk itulah yang menciptakan Iblis-Iblis Berkabung. Rantai yang mengandung roh jahat dan selalu berkelana mencari tokoh yang tengah sekarat untuk dijadikan Iblis Berkabung! Dan kali ini yang menjadi korban adalah Sokapanca.
Banterang, Sumbi, Dewa Gila Tanpa Bayangan, dan Dewa Arak hanya bisa diam. Mereka ikut merasakan kesedihan. Mereka bahkan hanya mengerling ketika sisa rombongan kaum pendekar yang bertarung bergerak mendatangi tempat itu. Pertarungan rupanya telah selesai dengan kemenangan di pihak pendekar. Tak terdengar lagi dentang senjata beradu atau jerit kemarahan dan pekik kematian. Yang terdengar sekarang hanya tangisan sedih Inani. ––––GS––––
SELESAI
INDEX AJI SAKA | |
89.Tombak Panca Warna --oo0oo-- 91.Sapu Jagad |