Rahasia Kitab Hitam
INDEX JOKO SABLENG | |
44.Dewi Kembang Maut --oo0oo-- 46.Payung Pelindung Dewa |
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
SATU
------------------------------------------------------
PENDEKAR 131 Joko Sableng pentang mata sekall lagl lalu putar pandangan berkellling. Namun sekali lagl dia tldak melihat slapa-slapat
"Jangan-jangan suara tadl dlperdengarkan nenek berjubah hitam yang mengaku Nenek Ken Cemara Wangit" gumam murid Pendeta Sintlng dengan kuduk dlngin. ”Tapl suara itu jelas suara Bibi Emban...-
Sepertl diketahul, Pendekar 131 bertemu dengan Uda Kalaml dan Uml Karanl. Dengan mengaku sebagal pengembara jalanan yang tahu banyak masalah Pedang Keabadlan, akhirnya Uda Kalamt dan Uml Karanl mengatakan apa maksud mereka mencarl Pedang Keabadlan. Tapi belum sampal keterangan Uml Karanl dan Uda Kalaml tuntas, ttba-ttba muncul seorang nenek berjubah hitam panjang yang mengaku sebagal Nenek Ken Cemara Wang'. Paras dan sosok sl nenek memang tak beda dengan Nenek Ken Cemara Wangt. Joko tldak percaya karena belum lama berselang Nenek Ken Cemara Wangi tewas ak!bat bentrok dengannya.
Setelah ucapkan ancaman, nenek berjubah hitam penjang yang mengaku Nenek Ken Cemara Wangi berkolebat pergl. Saat itutah mendadak murid Pendeta Sintlng mendengar suara yang dlyaklnlnya suara Bibi Emban, Tapl walau dla sudah dua kali edarkan pandangan
Karena tak mau terus menduga-duga, akhtrnya Joko berteriak..„
”Bibi Emban! Kaukah yang bersuara?! Kita sudah bersahabat. Mengapa masih malu unjuk gigi!"
Tldnk terdengar suara sahutan atau munculnya seseorang.
'Eibl Emban! Aku menunggu keputusanmu! Kita terus ke Lembah Hijau atau bagaimana?t" Joko kemball berteriak.
Karena ttdak juga ada suara sahutan atau munculnya orang yang diteriakl, dengan dada dipenuhi tanda tanys, Joko kembali berteriak.
'Kau tak mau uniuk glgi tak apa! Tapi perlu kukatakan padamu. Aku akan laniutkan perjalanan ke Lembah Hijaul Semoga kita nantl bisa sating unjuk gigi di sana!"
Habis berteriak begitu, sambil putar tirlkan Pendekar 131 melangkah seolah hendak tinggatkan tempat itu. Dan begitu dapat lima belas tindak, sekonyong-konyong dia putar dtri dengan kepala disentakkan berputar. Namun dia kecewa, karena tetap tidak melthat siapa-siapa
"Ah..„. Mungktn tetlngaku yang sa!ah dengar!" ujar murid Pendeta Sinting. Lalu batikkan tubuh dan teruskan langkah. Tapi gerakannya tertahan ketika tiba-tiba ekor matanya menangkap berkelebatnya satu sosok tubuh dari samping kiri.
Khawatir yang muncut adatah nenek berjubah hitam yang mengaku Nenek Ken Cernara Wangi, murld Pendeta Sinting melompat mundur dengan kerahkan tenaga datam pada kedua tangannya. Pendekar 131 tidak mau berlaku ayal. sadar nenek berjubah hitam membekal Ilmu ssngat tlnggi.
Memandang ke kirl, pendekar 131 metihat seorang kakek berambut putth. Kulit wajahnya tipis hlngga yang menonjol ketlhatan hanyalah tulang-tulang wajshnya. Sepasang bola matanya besar dan menjorok masuk ke dalam tulang dua rongga yang sangat cekung. Dua alis matanya yang putih mencuat ke atas dan menjulai panjang. Kakek ini! mengenakan pakaian tambal-tambal dllapls dengan jubah berwarna-warni dari tambalan beberapa kain. Kakek Inl tegak dengan tubuh baglan atas doyong ke depan. Jelas jika dia bungkuk.
Murid Pendeta Slntlng simak balk-baik orang dengan membatin. "Mungklnkah kakek Inl yang tadl perdengarkan suara?! Ah.... Mengapa aku masih memlklr suara itu?!"
Katau diam-dlam murid Pendeta Slntlng membattn begitu, ternyata kakek berjubah tambal-tambal darl beberapa kaln juga membatin setelah memandang sesaat pada sosok Pendekar 131.
'Slapa tahu dia orangnyal"
Habls membatin begitu, tanpa memandang lagl pada murld Pendeta Sintlng dla terbungkuk-bungkuk melangkah ke arah Joko. Joko menunggu dengan sungglngkan senyum walau dla tahu sl kakek tldak melihat ke arahnyal
Namun senyuman Joko pupus bergantl kerutan dahi saat mendapati sl kakek bukannya berhentl dt hadapannya, melainkan terus melangkah tanpa memandang. Bahkan buka mulut pun ttdak!
Begltu st kakek melewati sosoknya dan tidak juga buka suara, tanpa berpaling murid Pendeta Sinting berkata.
'Kek...?t Boteh aku ajukan tanya?"
SI kakek berhenti. Latu balikkan tubuh seraya angkat kepalanya slmak baglan belakang sosok murid Pendeta Sinting. Lalu berkata.
"Anak muda.... Hampir seluruh uslaku habis di jalanan. Rasanya tak layak buatku menolak pertanyanmu... Apa yang ingtn kau tanyakan?!'" "Hem.... Nyatanya dia pengembara sejati. Kuharap dia tahu letak Lembah Hijau,” kata Joko dalam hati lalu baikkan tubuh dia berkata......
"Kau tahu letak Lembah Hijau?"
Si kakek bungkuk berjubah tambal-tambalan tertaw mengekeh beerapa saat sebelu menjawab.
Maksudmu lembah yang dlhuni seorang tokoh dunla perslatan yan dikenal dengan Malaikat Lembah Hijau?"
Hem...Selain pengembara sejati, dia ternyata juga orang rimba persilatan. Kalau tidak, mana mungkin mengenal Malaikat Lembah Hljau?" Joko membatin.
Ternyata bukan hanya murid Pendeta Sinting yang membatin. Sambil buka mulut Si kakek juga berkata dalam hati. "Darl pertanyaannya, jelas menunjukan kalau pemuda ini darr kalangan rimba persilatan!, Hem.... kuharap dialah orangnya!"
"Kek...," kata Pendekar 131. "Aku belum bisa memastlkan siapa penghuni lembah hijau. namun dari beberapa keterangan yang kudengar, penhuninya meman Malaikat Lembah Hijau. Kau mengenalnya?"
Yang ditanya tertawa mengekeh hingga baglan atas tubuhnya yang doyong kedepan bergoyang-goyang ke samping klri kanan. Lalu terdengar ucapannya.
Walau aku tidak mengenalnya, tapl karena hampir seluruh hidupku berada di jalanan, aku hampir tahu semua orang dan tempat! Masih ada yang ingin kau tanyakan?"
Pendekar 131 anggukkan kepala seraya berkata "Kau tahu arah mana yang harus kuambil jika hendak ke Lembah Hijau?"
Sl kakek pandangi tampang murid Pendeta Sintng sesaat. Lalu putar diri setengah Iingkaran mengadap arah selatan. Tangan kanannya diangkat menunjuk sanbll berucap.
"Berjalanlah terus kearah selatan hingga kau menemukan sebuah hutan. Setelah itu ambllah arah terbitnya matahari hingga kau bertemu dengan kawasan tanah lapang berumput tebal. Darl situ ambil lagi arah selatan kira kira seratus tombak hingga kau mendapati sebuah buklt gundul. Nah, darl bukit Itu kau berjalan lagi ke arah terbltnya mataharl. Kau nanti akan menemukan lembah yang hampr seluruh kawasannya berwarn hijau...."
"Terlma kaslh, Kek...!
SI kakek tertawa anggukan kepala seraya tertawa mengekeh.. Lalu putar diri membelakangt murid Pendeta Sinting dan lanjutkan langkah.
"Kek...?1 tunggu!"
Si kakek hentikan langkah. Lalu buka mulut tanpa berpaling.
"Maslh ada yang harus ku jawab?t"
"Kau telah memberi keterangan. Tldak keberatan sebutkan diri? Siapa tahu kelak kita bertemu lagi ? Karena aku juga seorang pengembara jalanan meski tidak ada apa apanya dibandlng dirimul"
"Anak muda ... Seorang pengemba sejati tidak akan pernah sebutkan siapa dirinya. Namun satu hal yang pasti, setiap makhuk yang ditemuinya adalah sahabat! Dan aakan jawab semua pertanyaan kecuali yang ada kaltannya dengan siapa dirinya.... Kuharap kau ttdak kecewa...l" (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
Hem.... lalu apakah berarti kau juga tidak akan pernah bertanya slapa orang yang kau temui?!"
"Itu memang tidak pernah kulakukanl"
"Selaln pengembara sejati, ternyata dia pengembara aneh" kata Joko dalam hati. Lalu balikkan tubuh tanpa berkata apa apa lagi.
Beum sampai sosok Pendekar 131 benar-benar membelakangl orang, mendadak kakek berjubah tambal-tambalan dari kain berwarna-warni sentakka n baglan atas tubuhnya hingga tegak lurus. Saat bersamaan sosoknya berkelebat kedepan. Kedua tangannya membuat gerakan menghantam ke arah kepala murid Pendeta Sinting.
Karena tidak menduga, terlambat bagi Joko untuk menghadang pukulan orang. Namun dia masih mampu selamatkan kepalanya dengan disentakkan menunduk.
Bukk! Bukkk!
Pendekar 131 berseru tertahan. Sosoknya melipat lalu roboh terjungkal dengan kepala menghantamt tanah terlebih dahulu hingga tanah di bawahnya melesak satu jengkal.
Tampaknya si kakek tidak memberi kesempatan. Begitu sosok murid Pendeta Sinting terjungkal, dla cepat melompat. Kini kaki kannnya bergerak menendang. Dari deruan gelomtbang yang menyambar bersamaan dengan gerakan kakl, jelas tendangan itu bertenaga dalam tinggi.
Cepat gerakan sl kakek membuat murid Pendeta Slnting terlambat lagi untuk menghadang.
Desss!
Untuk kedua kalinya mulut Joko keluarkan seruan tegang. Sosoknya mencelat mental beberapa puluh langkah ke samping sebelum akhirnya roboh terkapar di atas tanah dengan mata terpejam-peam rasakan hampir seluruh aliran darahnnya laksana tersumbat.
Karena tidak mau lagi didahului orang, murid Pendeta Sinting cepat kerahkan setengah dari tenaga dalamnya. Saat lain seraya menahan rasa nyeri pada tengkuk dan lambungnya yang baru terhajar pukulan orang, dia bangkit.
"Orang tua! mengapa kau membekal niat membunuhku?! Ternyata semua ucapanmu tidak sesuai dengan kenyataan!"
Mendapati murid Pendeta Sinting sudah bangkit tegak, si Kakek batalkan niatnya berkelebat. Sesaat pandangi tampang murid Pendta Sinting. Lalu alihkan pandangan matanya sambil tertawa mengekeh.
"Busyet betul! Ternyata dia tldak bungkuk! Aku terkecoht" gumam Joko begitu melihat kakek di seberang depan tetap tegak dengan baglan atas tubuhnya lurus ke atas.
Puas tertawa, kakek berjubah tambal-tambalan buka mulut.
"Kau perlu tahu, anak manusia! Aku membunuh tidak perlu bekal niat!"
"Lalu apa maksudmu?!"(tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
"Biasanya, aku baru bicara maksud setelah orang terbunuh!"
"Gila!" Desis murid Pendeta Sinting. Lalu berkata.
"Lalu apakah kau membunuh begitu saja setiap orang yang kau temui?!"
"Itu baru orang gila!"
"Lalu jenis bagaimana yang selalu kau bunuh?!t"
"Itu tergantung seleraku! Dan hari ini kau harus menerima takdir burukmu!"
"Jadi harl kau punya selera padaku?!" tanya murid Pendeta Sinting lalu tertawa panjang meski harus menahan rasa sakit pada lambungnya. Namun laksana dlrenggut setan, tlba-tba Joko putuskan tawanya ketlka ia merasakan perutnya mual dan dadanya terasa disentak-sentak. Saat lain mendadak mulutnya mengembung. Joko buru buru lipat tubuhnya kedepan dengan mulut dibuka.
Kakek berjubah tambal-tambalan kembali dengarkan tawa mengekeh begitu mellhat murld Sintlng semburkan darah dengan kepala (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj) tersentak-sentakt
"Anak manusla! Biasanya, aku selalu penuhi Inginan orang Yang hendak mampus! Kalau kau punya keinginan, katakan!" berkata sl kakek.
Sambll usap darah pada mulutnya murld Pendeta Slnttng tegakkan tubuh. D!a mak!um kakek di hadapannya bukan orang sembarangan. Maka dia lipat gandakan tenaga dalamnya lalu berkata.
"Selama Ini banyak gadis dan nenek-nenek Yang Ingin clum pantat kananku! Aku sendiri tak habls pikir mengapa mereka punya hasrat begitu! Kini kumlnta kau melakukan kelnginan merekat!"
Habis berkata begitu Pendekar 131 ba!ikkan tubuh seraya menungging dengan kedua kakl direnggangkan. Sepasang matanya dibeliakkan dl antara dua renggangan kakinya.
"Ingat, Kek! Pantat sebelah kanan! JIka kau salah cium, kau akan menyesal!"
Sikap murid Pendeta Slnting bukannya membuat kakek berjubah tambal-tambalan iadt berang. dla perdengarkan kekehan tawa panjang. Saat Iain enak saja dla melangkah mendekati Pendekar 131 !
Kinl balik murid Pendeta Slnttng yang jadl kalang kabut. Dia buru-buru melompat seraya membuat putaran tubuh di atas udara. Saat itulah sl kakek kedua tangannya lepas pukutan jarak jauh!
Joko tidak tinggal diam. Karena tahu gelombang pukulan orang dtmuatl tenaga datam tinggi, darl atas udara dia langsung lepas pukulan sakti 'Lembur Kuring'
Dari tangan Pendekar 131 melesat gelombang dahsyat dtsertai larlkan slnar kunlng yang membawa hawa panas Iuar blasa.
Bummm! Bummm!
Baik sosok murld Pendeta Slntlng maupun kakek berjubah tambal-tambatan mencelat Iaiu sama roboh terduduk dl atas tanah dengan tubuh bergetar keras. Mulut masing-maslng muncratkan darah. Tampang keduanya Pias taksana tidak berdarah. Hebatnya jubah tambal-tambatan si kakek ttdak berubah sama sekall meski tadi sempat tersambar hawa panas pukulan 'Lembur Kuntng'.
Hebatnya tagi, begitu mulutnya semburkan darah, st kakek mendadak gulingkan dirinya ke samping. Saat Iain tangan kirlnya bergerak ke arah salah satu tambalan pada jubahnya.
Brett!
Salah satu kain tambalan jubah si kakek yang berwarna merah terenggut robek hingga jubah tamtampak bertobang. Anehnya, meski tangan si kakek merenggut robek tanpa memandang, namun robekan kain itu tepat pada satu tambalan!
Begitu kain tambalan berwarna merah terenggut, sekonyong-konyong si kaKek sentakkan kaln merah tambalan di tangan kirinya.
Werrr! Laksana anak panah, kain merah tambalan melesat Pendeta Sinting. Joko tersentak kaget t!ba-tiba robekan kain merah kiblatkan bersitan cahaya berwarna merah redup!
Pendekar 131 rasakan sepasang matanya silau hingga dia cepat cepat pejamkan kedua matanya. Saat bersamaan kedua tangannya disentakkan menghadang lesatan renggutan kain merah.
Robekan kaln merah tersapu ambtas lalu tercabikcablk di atas udara!
*
* *
------------------------------------------------------DUA
------------------------------------------------------
PENDEKAR 131 buka matanya kemball. Tapl dia terlengak mendapatl sepasang matanya tetap sllau laksana masth terkena cahaya kiblatan warna merah! Hingga dta buru-buru pejamkan kembatl kedua matanya.
Namun baru saja Joko pejamkan kedua matanya, mendadak dla mendengar deruan hebat darl samplng kanan. Tanpa buka matanya murid Pendeta Sinting cepat jatuhkan dlrl sejajar tanah. Latu kakl kiri kanannya ditendangkan.
Joko tersentak kaget. Ternyata tendangannya menghajar udara kosong. Dan teblh terlengak ketlka ttba-tlba darl arah kiri dia merasakan sambaran angin dahsyat. Karena tak mau terkecoh tagi, dia cepat putar kedua kakinya lalu ditendangkan ke arah ktrl dengan mata dlpentangkan.
Dla merasa lega karena kedua matanya tldak sllau lagl. Tapi lagt-lagi dla terkecoh, karena tendangannya ttdak menghantam apa-apat Justru saat itulah dla mendcngar deruan ttdak begltu keras darl arah belakang.
Merasa terkecoh dua kali, kali ini murid Pendeta Sinting hanya berpaling tanpa membuat gerakan apa-apa meskl tetap waspada dengan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Bola mata murld Pendeta Sinting laksana mencelat kaluar saking kagetnya begitu mendapati dua tangan kakek berjubah tambal-tambal sudah satu jengkal di belakangnya! Apa pun gerakan yang dtbuat Joko sudah sangat terlambat.
Pondekar 131 merasakan beberapa kali tusukan pada beberapa baglan betakang tubuhnya. Bersamaan dengan itu dia tidak kuasa untuk gerakkan anggota tubuhnya!
"Kek...!" Hanya itu suara yang terdengar darl mulut Joko, karena hampir bersamaan dengan bersarangnya beberapa totokan d! tubuhnya, kakek berjubah tambal-tambalan kelebatkan salah satu kaklnya.
Bukkk!
Sosok murld Pendeta Sintlng ter!empar satu setengah tombak dan tersungkur dl atas tanah. Joko rasakan pandang matanya berkunang-kunang. Lalu gelap dan saat lain dia tidak Ingat apa-apa !agi!
Kakek berjubah tambal-tambal yang klnl (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj) terllhat menganga pada satu baglan tertawa mengekeh. Sekali berkelebat sosoknya sudah tegak di samplng sosok murld Pendeta Stntlng yang jatuh pingsan.
SI kakek memperhattkan sesaat sosok Pendekar 131 yang tergetetak telungkup. Latu enak saia dengan kakt klrlnya dta sentakkan sosok murtd Pendeta Sintlng hingga tersentak telentang.
SI kakek putuskan kekehan tawanya. Memperhatlkan paras wajah murid Pendeta Slntlng beberapa lama sebelum akhlrnya bergerak jongkok. Belum sampai kedua kakinya melipat, kedua tangannya sudah bergerak ke arah dada Pendekar 131 dengan dtsentakkan ke samplng kiri kanan.
Bersamaan dengan jongkoknya sosok kakek berjubah tambal-tambal, ternyata pakaian atas murld Pendeta Sintlng sudah terbuka hlngga perut dan dadanya terllhat.
Sepasang mata besar kakek berjubah tambal-tambal sedikit menylpit ketika melihat sebuah pedang di Iambung sebelah klrl dan sebuah kotak beruklr warna kunlng yang salah satu slsinya dltancapl gagang pedang di Iambung kanan Pendekar 131.
Anehnya s! kakek tldak begitu tertartk dengan dua senjata yang terlthat dan bukan Iain adalah Pedang Tumpul 131 dan Pedang Keabadian. Seballknya dla segera althkan pandang matanya pada baglan ketlak murid Pendeta Slntlng. Tldak hanya sampai dl situ. Begitu tidak metlhat apa-apa dl baglan ketiak Joko (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj), dla segera balikkan sosok Pendekar 131 hingga tetungkup. Kedua tangannya segera bergerak ke balik pakatan baglan belakang Joko.
"Hem.... Anak manusla int bukan orang Yang kucari! Keparat betul! Sudah hamptr lima tahun aku berjalan! Sudah berputuh-puluh pemuda yang mampus dt tanganku! Namun orang yang kucari belum juga kutemukan! Berapa tahun lagl aku harus teruskan perja!anan dan berapa puluh pemuda tagl yang harus kubunuh hingga kutemukan orang Itu?!" desls kakek berjubah tambal-tambal dengan tampang dingln. Dia dongakkan kepala seraya mengheta napas panjang. Lalu mendesis lagi.
"Sayang.... Dalam tullsan wasiat itu hanya dljelaskan seorang pemuda. Sementara dalam beberapa kali mtmpiku, aku tldak blsa dengan jelas metlhat wajah pemuda yang beberapa kall terlihat muncul.... Hem.... Apa boleh buatt Beberapa pu!uh tahun pun akan kujalani!! Aku tak pedutl berapa puluh. pemuda !agl yang harus kubunuh untuk menemukan pemuda yang kucari!"
Habts mendesls begitu, mungktn karena tenggelam datam kecewa si kakek melangkah begitu saja Ilnggalkan sosok Pendekar 131. Dia tak ambil peduli murld Pendeta Slnting sudah tewas atau belum.
Beberapa saat setelah kakek berjubah tambal-tambal berlalu, Pendekar 131 siuman. "Apa yang terjadl dengan diriku?!" gumamnya. Dia Duka sepasang matanya seraya bergerak bangkit.
Joko terkejut mendapatl dlrihya telungkup di atas tanah. Dan tebih terkejut lagi saat mendapatl anggota tubuhnya tidak b!sa dlgerakkan.
Pendekar 131 coba menglngat-ingat. Beberapa saat kemudlan tampangnya berubah seraya berkata dalam hau.
"Mungkinkah kakek itu maslh ada di sini?!"
Joko menunggu beberapa saat dengan tajamkan tellnga dan coba metlrik kanan kiri. Setelah agak lama dan tidak mendengar adanya suara serta ekor matanya tidak menqngkap adanya orang, Joko kerahkan tenaga dalam untuk lepaskan dlri darl totokan yang disarangkan kakek berjubah tambat-tambal.
Tapi murtd Pendeta Slntlng kecewa karena meskl telah kerahkan hamplr segenap tenaga datam yang ada, dla tidak mampu untuk bebaskan dtrit Saat itulah dia baru merasakan kalau dadadan perutnya terbukat Dan saat itu puta dia teringat akan dua senjata miliknya.
Karena tldak bisa melihat ke bawah, murid Pendeta Slntlng tidak bisa melthat apa kedua senjatanya masth ada atau sudah lenyap.
"Celaka kalau sampal kakek itu mengambll Pedang Tumput 131 dan Pedang Keabadian! Inl gara-gara kaln merah yaqg membuat mataku silau! Siapa sebenarnya kakek itu? Apa pula maksud dan tujuannya?!"
Setelah berkall-kaii gagal bebaskan dlrl, sementara dia tidak btsa melihat keberadaan orang, akhirnya murtd Pendeta Sintlng berterlak.
"Kek?! Kau masih ada di slni?!"
Joko tidak mendengar sahutan atau merasakan deruan angin tanda gerakan orang. Merasa kurang yakin, Kemball Joko berterlak.
"Kek?l Jika kau maslh dl sint, harap bebaskan akut Marl kita bicara baik-baik"
Murld Pendeta Sintlng menunggu dengan dada berdebar. Namun sejauh Inl dla tldak mendengar sahutan atau tanda-tanda gerakan orang.
"Hem.... Mungkin dla menduga aku sudah mampus! Tapi mungkin juga dia tahu aku belum tewas dan sengaja meninggalkan aku dalam keadaan beglnl! Tanpa bisa membuat gerakan dl tempat sepl beginl, cepat atau Iambat dia menglra aku pastl akan tewast Hem.... Apa yang harus kulakukan?l Tanpa perto!ongan orang lain, mustahil aku bisa bebaskan dlrll (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)Apalagl aku maslh terluka dalam akibat bentrokan tadi...."
Murld Pendeta Sintlng mengheta napas. "Ah.... Aku dapat akal. Aku akan berterlak. Siapa tahu ada orang yang mendengar dan memberi...."
Pendekar 131 putuskan gumaman ketlka dla merasakan gelombang kelebatan orang Yang jelas menderu ke arahnya. "Jangan-jangan kakek itu.... Tapl aku btsa merasakan gelombang angtn darl dua slsl. Berartl slapa pun yang muncut dt tempat Int, pastl lebth darl satu orangl" Joko membatin lalu pentangkan mata mellrlk ke samplng kanan kiri.
"Busyett Pandanganku terbatas hingga aku tldak blsa mellhat sosok orangt" Joko mengeluh dalam hati. Tapi dia tidak tinggal diam. Dia beberapa kall putar bola matanya coba siasati keadaan.
Saat Itulah terdengar suara orang berucap.
"Dewi.... Kita teruskan saja perjalanan! Kukira anak manusia ini sudah tak bérnyawa lagi!"
"Sudah tidak bernyawa atau masih hldup, kita pastikan slapa dla sebenarnya, Nyai!" Terdengar suara menyahut. Lalu beberapa saat kemudlan suasana sepi.
Murld Pendeta Sinting menghela napas lega. "Ternyata bukan kakek itul Dan yang lebih pentlng lagi, mereka perempuan! Dan dari ucapan yang terdengar, salah satu dari mereka adalah perempuan muda! Hem.... Tapi aku harus tetap waspada! Ucapan perempuan yang dlpanggil Dewl (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj) membuktikan mereka tengah menyelidiki! Malah kalau perlu aku...."
Joko putuskan Iagi kata hatinya begitu terdengar lagl suara.
"Dewi.... Kalau manusia sudah mampus, percuma saja kita...."
Suara yang terdengar belum habis, terdengar suara memotong.
"Nyai! Aku tahu maksudmu.... Tapi apa pun alasannya, tldak ada ruginya kita mengetahul siapa adanya orang ini! Lakukan sesuatu, Nyai...!"
Begitu habis suara yang memotong, murid Pendeta Slnting merasakan satu sosok tubuh mendekatl dan jongkok dl sebelahnya. Saat lain dia merasakan sentuhan tangan pada tubuhnya. Lalu terdengar ucapan.
"Dewi.... Ternyata dla maslh bernyawa! Kalau dia tidak bergerak, karena dia dalam keadaan tertotokl"
"Bebaskan dia, Nyai!"
Suara sahutan orang betum habls, murld Pendeta Slntlng sudah merasakan beberapa kali tusukan pada beberapa bagian belakang tubuhnya. Saat laln dia sudah merasakan atiran darahnya normal kemball, satu petunjuk kalau dia sudah mampu bergerak.
"Siapapun adanya kalian, aku mengucapkan terima kaslh...." Pendekar 131 buka mulut. Namun dia tidak segera bergerak membalik untuk mellhat siapa adanya orang. Melalnkan cepat gerakkan kedua tangannya ke arah lambung kirl kanan. Seketika Joko menghela napas begitu kedua tangannya masih menyentuh Pedang Tumpul 131 dan Pedang Keabadlan.
"Walau mereka telah menanam budl padaku, bukan berartl aku bisa tunjukkan kedua senjata Ini pada mereka!" kata murld Pendeta Slnting dalam hatl. Lalu cepat gerakkan kedua tangannya lagl raih pakaian atasnya yang terbuka. Secepat kilat dla menutup perut dan dadanya yang terbuka. Lalu per!ahan-lahan gulingkan dlrl dengan mata dlpejamkan.
Pendekar 131 tersentak dan sekonyong-konyong jerengkan sepasang matanya ketlka sosoknya terasa menyentuh kakl orang hingga gullngan tubuhnya terhenti.
Memandang ke atas, sepasang mata murid Pendeta Slnting membentur pada bola mata bulat dan sedlkit sayu namun tajam mitik seorang gadis muda berparas cantik. Rambutnya hitam lebat dihias untalan bunga yang mellngkar dan berpangkal pada sebuah batu agak besar berwarna putlh tepat pada kenlng si gadis. Gadls ini mengenakan pakalan berupa kain panjang kembang-kembang yang dilapis dengan jubah putih sebatas lutut.
Murld Pendeta Sintlng takupkan kedua tangannya di depan dada seraya sungglngkan senyum. Lalu perlehan bergerak bangkit lalu mundur beberapa langkah dan berkata.
"Harap dimaafkan.... Dan seka!i Iagi aku menguapkan terima kaslh...."
Gadis berkaln panjang yang dilapls jubah putlh sebatas lutut pandangl sosok murid Pendeta Slntng dengan seksama. Mulutnya bergerak hendak bicara. Narnun sebelum suaranya terdengar, dari arah lain terdengar suara mendahulul.
"Katakan siapa dirimu, Anak Muda!"
"Ah.... Aku iupa kaiau masih ada orang iagi di tempat inii Dan juatru dia yang membebaskan dirikui" Pendekar 131 berkata pelan lalu putar diri ke arah sumber suara yang baru terdengar.
Joko meiihat seorang nenek berambut putih bergerai. Nenek ini memiiikl sepasang mata besar yang menjorok masuk ke daiam cekungan daiam. Raut wajahnya sudah mengeriput dan tipis, hingga dari wajahnya yang teriihat jeias adaiah tuiang-tulang wajah. Nenek ini mengenakan pakaian wama putih diiapis dengan jubah panjang warna hitam.
"Hem.... Yang tadi dipanggii Nyai pasti nenek ini. Sementara yang dlpanggii Dewi adaiah gadis cantik berjubah putih itui" Joko menduga.
"Aku bertanya, Anak Muda! Aku menunggu jawaban!" Si nenek berjubah hitam kembali buka muiut.
Pendekar 131 tersenyum ialu bungkukkan tubuh menjura hormat.
"Aku bertanya, Anak Muda! Lupakan segala macam sikap basa-basi!" Si nenek kembaii bersuara. Kali ini agak keras dan nadanya ketus.
"Nyai.... Aku seorang pengembara sejati.... Dan begituiah takdir seorang pengembara. Kadang-kadang mendapat rezeki bagus, tapi lebih banyak mengalami musibahi Tapi aku tidak putus...."
"Aku tanya namamu! Tidak tanya apa yang kau lakukan!" potong si nenek. Jeias sikapnya menunjukkan kaiau dadanya muiai didera rasa jengkei.
"Dengan beberapa kejadian yang akhir-akhir ini kutemui, aku harus waspada pada satiap orang! Aku tidak akan sebutkan diri sebeium aku yakin bahwa orang yang bertanya tidak membekal niat buruk!"
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting buka suara. "Aku Bayu Kelana.... Bayu adalah angin, Kelana adalah...." Joko putuskan ucapan. "Waduh.... Aku tidak tahu apa artinya Kelana. Tapi kata-kata itu mirip dengan pengelana. Mungkin artinya tidak jauh berbeda." Joko membatin dengan tersenyum. Lalu ianjutkan ucapan. "Kelana adalah seorang pengembara...."
*Hem.... Pantas kalau selama ini kau banyak mendapat musibah!" sahut si nenek.
"Mengapa begitu, Nyai...?!" ujar murid Pendeta Sinting.
Nenek berjubah hitam tidak sambuti lagi kata-kata Joko. Sambii memandang ketus dia meiangkah mendekati gadis cantik berjubah putih.
"Dewi Atas Angin...," bisik si nenek begitu keduanya tegak bersisihan. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)"Tampang pemuda inl memang boieh.... Tapi kurasa dia beginii" Si nenek paiangkan jari telunjuk tangan kanannya melintang mirip di depan
Si gadis sunggingkan senyum. Gadis ini yang bukan iain ternyata Dewi Atas Angin anggukkan kepaia. Lalu berkata.
"Nyai Sekarpati.... Masih ada yang hendak kau tanyakan padanya?!"
Si nenek yang bukan iain memang Nyai Sekarpati adanya gelengkan kepala. "Percuma bicara dengan pemuda begini! Yang kita dapat cuma rasa jengkel! Sebaiknya kita segera pergi dari sini...!"
Nyai Sekarpati tidak menunggu lama. Begitu suaranya habis, tangannya segera pegang tangan kanan Dewi Atas Angin. Saat iain kedua orang ini sudah melangkah tinggalkan tempat itu.
"Nyai! Dewii Tunggu dulu" Joko berteriak.
"Meladeni pemuda itu hanya buang-buang waktu sajai Jangan hiraukan teriakannyai" kata Nyai Sekarpati begitu dapat menangkap sikap Dewi Atas Angin yang sepertinya akan tahan gerakan kedua kakinya.
Entah karena takut diduga macam-macam, walau sebenarnya ingin sekaii berhenti namun Dewi Atas Angin coba tindih keinginannya. Dia teruskan langkah dengan mata meiirik ke samping.
*
* *
------------------------------------------------------TIGA
------------------------------------------------------
KARENA tidak suka diikuti, Nyai Sekarpati berhenti. Dewi Atas Angin ikut hentikan iangkah. Tanpa berpaiing si nenek membentak.
"Pengembara! Kami paling tidak senang diikuti! Kaiau ingin bicara cepat buka muiut!"
Walau dengar ucapan Nyai Sekarpati, tapi murid Pendeta Sinting terus saia melangkah tanpa menyahut.
Nyai Sekarpati putar diri. Dengan memandang angker si nenek kembaii membentak.
"Aku tanyai Kau ingin kubuat seperti saat kutemukan?l"
Pendekar 131 berhenti. Memandang aneh pada si nenek seraya berkata.
"Kau bertanya padaku?!" Kepaia murid Pendeta Sinting memutar dengan lepas pandangan berkeliling sebelum akhirnya terhenti pada sosok Dewi Atas Angin yang masih tega membeiakangi.
"Dasar manusia giiai" Desis Nyai Sekarpati. Lalu buka mulut. "Aku bicara padamu! Sekarang jawab apa maumu?! ingin kubuat seperti saat kutemukan atau minta yang lebih dari itu?!"
"Nyai.... Harap tidak salah menilai.... Orang jalan satu arah bukan berarti mengikuti! Lebih dari itu aku tldak akan memilih dua tawaran yang kau ajukan! Aku sudah terlalu kenyang dengan malapetaka jalanan!"
Nyai Sekarpati pandangi sosok murid Pendeta Sinling dengan seksama. Joko balas memandang dengan tersenyum. Lalu berkata.
"Nyai.... Kau tahu !etak Lembah Hijau?"
"Aku bukan tempat untuk bertanya!"
"Hem.... begitu?!" Bagaimana aengan putrimu?" Joko arahkan pandang matanya pada Dewi Atas Angin.
Si nenek meiotot angker, Sekali membuat gerakan sosoknya sudah tegak lima tindak di hadapan murid Pendeta Sinting. Laiu membentak.
"Jaga muiutmu! Aku tidak main-main! Kalau...."
"Nyai.... Kita lanjutkan perjaianan...." Dewi Atas Angin menukas bentakan Nyai Sekarpati masih tanpa menoleh.
Si nenek menyeringai dingin. Tanpa buka muiut iagi dia balikkan tubuh lalu melompat menjajari Dewi Atas Angin seraya berkata.
"Dewi..„ Manusia macam dia terialu enak kalau dikasih hati!"
Dewi Atas Angin hanya tersenyum. Tanpa sambuti ucapan Nyai Sekarpati dia muiai melangkah. Sesaat Nyai Sekarpati masih tegak. Saat iain berpaiing seraya berkata.
"Jika kau searah dengan kami, berjaianlah di depan! Aku tahu apa tujuanmu melangkah di belakang kami!"
"Apa susahnya menuruti permintaanmu, Nek?" ujar Pendekar 131 iaiu bergegas melangkah. Begitu sejajar dengan Dewi Atas Angin kepalanya dipalingkan. Dia sudah buka muiut. Tapi sebeium suaranya terdengar, terdengar satu suara mendahuiui.
"Kau tengah mencari tempat. Harap tidak membuat masaiah jika ingin selamat sampai tujuan!" Yang berucap adaiah Dewi Atas Angin.
"Saranmu kudengar, Dewi.... Tapi boleh aku tahu ke mana kalian ini?!"
"Seandainya kami tahu tujuan perlaianan ini, pasti aku akan memberi tahu!" Entah karena apa Dewi Atas
Angin bicara terus terang meski jawaban itu membuat murid Pendeta Sinting mau tak mau merasa aneh sekaiigus kurang percaya. Hingga dia segera menyahut.
'Dewi.... Berjalan tanpa tujuan adalah satu hal aneh...." (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
"Tapi sering kali manusia meiakukannyal Bahkan tak bisa dipungkiri. Kebanyakan manusia suka dengan hai yang aneh-aneh! Dan aku yakin termasuk dirimu!"
Murid Pendeta Sinting tertawa. "Neneknya galak dan cerewet! Tidak seperti...." Joko pandangi paras sang Dewi beberapa saat. Lalu teruskan kata hatinya. "Apa hubungan gadis ini dengan nenek itu?! Dari usia keduanya sepintas mereka memang seperti nenek dan cucu. Tapi dari wajahnya mereka tidak ada kemiripan sama sekaii...."
Habis membatin begitu, Joko buka mulut. 'Dewi.... Apa hubunganmu dengan nenek di belakang itu?"
"Pertanyaan berani dan aneh...," gumam Dewi Atas Angin. Lalu teruskan gumaman dengan bertanya baiik. "Kalau dia nenekku mengapa?! Kaiau kami tidak punya hubungan apa-apa mengapa?!"
"Aku hanya merasa aneh.... Nada bicaranya selalu curiga dan galak! Sedang kau enak diajak bicara!"
Dewi Atas Angin tertawa. Tanpa sadar kepalanya bergerak berpaling. Untuk sesaat boia matanya bentrok dengan boia mata murid Pendeta Sinting. Tapi cuma sekejap. Sang Dewi buru-buru alihkan pandang matunya ke jurusan iain dengan paras sedikit berubah.
Sementara di seberang belakang, melihat sikap [)cwi Atas Angin, Nyai Sekarpati jadi tidak enak. Dia coba tajamkan telinga mencuri dengar pembicaraan kedua orang di depan. Tapi karena keduanya bicara perlahan, si nenek tidak bisa jeias mendengar apa yang dibicarakan keduanya.
"Hem.... Seiak dia tahu apa yang menimpa dirinya, baru pertama kali ini aku mendengar tawanya yang lepas. Dia seolah lupa dengan bebannya.... Dan baru pertama kali ini pula dia teriihat ramah pada iaki-laki! Apa yang terjadi dengan dirinya...? Jangan-jangan dia tertarik dengan pemuda setengah gila itu! Celaka...! ini tak boieh terjadi! Perasaan cinta membuat orang lupa akan tugas Yang diembannya! Apaiagi cinta pertama! Aku harus mencegah hal ini sebeium terlambat!"
Membatin sampai ke sana, Nyai Sekarpati segera melompat dan tegak di belakang Dewi Atas Angin seraya berbisik.
"Dewi.... Harap jangan memberi peluang padanya! Perjalanan kita belum mendapatkan titik terang! Lagi pula laki-laki akan kurang ajar kaiau diberl kesempatani"
"Tapi, Nyai.... Kami hanya...."
Belum tuntas suara Dewi Atas Angin, Nyai Sekarpati sudah memotong.
"Setiap manusia memang punya hak untuk berbagi perasaan. Apaiagi kau sudah muiai dewasa. Namun kurasa dia bukan orang yang pantas untuk diberi kesempatan! Lain daripada itu kita beium tahu siapa dia sebenarnyai ingat, Dewi....! Laki-iaki paiing pandai sembunyikan niat dl baiik ucapan!"
Paras wajah Dewi Atas Angin berubah merah. Entah karena apa untuk pertama kalinya gadis ini merasa tidak senang dengan ucapan Nyai Sekarpati. Namun dia tidak berani ungkapkan perasaan. Dia hanya mengangguk, lalu tanpa sambuti ucapan si nenek dia teruskan langkah dengan mempercepat tindakan.
Nayi Sekarpati mendelik angker pada Pendeka 131 yang tetap tegak dan kini balas memandang pada Nayi Sekarpati, membuat si nenek menjadi geram dan langsung membentak
"Ingat, Pengembara Jaianan! Aku tak ingin meiihatmu dekat dengan gadis itu! Kau langgar ucapanku, membunuhmu tidak ada beban bagiku! Dengar dan ingat baik-baik ucapanku!"
"Nek.... Nada ucapanmu berisi perasaan cemburu.... Seandainya kau tahu, aku yakin kau tidak akan jatuhkan ancaman maut padaku...."
"Keparat! Tahu apa, hah?!" sentak Nyai Sekarpati. Tuiang-tulang wajahnya bergerak-gerak.
"Aku mendekatinya karena ingin dekat denganmu.... Karena terus terang aku tidak berani iangsung mendekatimu.... Bagiku kau teriaiu gaiak!"
"Kurang ajar!" teriak Nyai Sekarpati setengah menjerit. Kedua tangannya diangkat. Saat Iain serta-merta disentakkan ke arah murid Pendeta Sinting.
Tapi dua gelombang yang meiesat keiuar menghajar tempat kosong karena sosok murid Pendeta Sinting sudah berkeiebat dahuiu jauh di seberang belakang.
Mendengar bentakan dan suara deruan geiombang, di bagian depan Dewi Atas Angin segera berpaiing dengan dada berdebar. Entah karena apa dada gadis ini merasa lega begitu mendapati Pendekar 131 tidak mengalami apa-apa dan tegak di seberang belakang dengan tangan kanan !urus ke atas dan meiambai-iambai ke arahnya!
"S!apa pun dia adanya, yang jelas ucapan-ucapannya bisa mlienyapkan rasa dukaku.... Seandainya dia tidak bicara lancang, mungkin Nyai Sekarpati bisa mengerti...Tapi...tampaknya Nyai Sekarpati sudah tidak suka begitu bertemu!"
Dewi Atas Angin menghela nfas panjang dan tersenyum. Namun senyumnya pupus begitu si nenek berpaling padanya setelah melihat lambaian tangan murid Pendeta Sinting.
Mungkin untuk menepis dugaan Nyai Sekarpati, Dewi Atas Angin segera buka muiut.
"Nyai.... Perjaianan ini akan terhaiang kaiau meladeninya.
Nyai Sekarpati sentakkan kepaia memandang pada Pendekar 131. Lalu berteriak.
"Ingat baik-baik ucapanku! Aku tidak akan pernah main-main jika kau !anggar pesanku!"
Nyai?!...Aku akan ikuti pesanmu! Tapi katakan duiu siapa nama cucumu itu! Juga namamu!" Joko balas berteriak.
Nyai Sekarpati bukan sambuti ucapan Joko dengan teriakan, melainkan kembaii pukuikan kedua tangannya!.
Tapi untuk kedua kaiinya geiombang pukulan si nenek menggebrak udara kosong karena Pendekar 131 sudah berkelebat mendahuiui sebeium akhirnya lenyap di seberang be!akang
Nyai Sekarpati yakinkan pandang matanya hingga sosok murid Pendeta Sinting tidak berada di sekitar tempat itu. kau bisa bayangkan sendiri apa yang akan terjadi!'t Dewi Atas Angln mengheia napas panjang dengan tempat itu. Seteiah itu berkeiebat ke arah tegaknya Dewi Atas Angin dan iangsung berkata.
Dewi...! Aku memang bukan orangtuamu! Tapi aku berhak memberi nasihat, karena kau teiah kuangkat sebagai anakku! Aku...."
"Nyai.... Harap tidak masukkan hati apa yang baru saja terjadi... Aku...." Suara memotong Dewi Atas Angin belum habis, Nyai Sekarpati sudah baias memotong.
"Dewi.... Jika perasaan seorang gadls sudah tertanam pada seseorang, dTa tidak akan peduii slapa yang menarik hatinya! Bahkan mungkin bisa iupa siapa dirinya! Aku tak mau hal itu terjadi padamu! Kau harus ingat, Dewi! Beban dipundakmu masih berat! Kau jangan menangkap lain ucapanku ini! Ini semata-mata demi kelangsungan hidupmu kelak! Aku yang sudah tua bangka begini tak berharap apa-apa dari apa yang tengah kita lakukan! Malah kalau tidak ada kau, aku memilih mati"
"Nyai!... Jangan ucapkan itu lagi... Aku percaya padamu...," ujar Dewi Atas Angin dengan sedikit murung.
Nyai Sekarpati tersenyum. Seraya gandeng tangan si gadis, si nenek berkata. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
"Kau jangan salah paham dengan maksudku...Aku tidak melarang kau menanam perasaan pada seorang laki-laki. Karena hal itu tetap akan terjadi dan dialami setiap orang. Hanya aku meminta kau memilih laki-laki yang jelas juntrungannya. Lebih dari itu, dahulukan apa yang selama ini masih belum selesai. Setelah itu barulah memilih pendamping! Kalau tidak, kau bisa bayangkan sendiri apa yang akan terjdai!"
Dewi Atas Angin menghela nafas panjang dengan anggukan kepala. Saat lain kedua orang ini sudah lanjutkan langkah. Tapi baru mendapat beberapa tindak, Dewi Atas Angin sudah buka pembicaraan lagi.
"Nyai... Harap tidak marah kalau aku ingin tanya..."
"Dewi... Mana aku pernah marah denganmu? Apalagi jika hanya sekedar tanya.... Apa yang ingin kau tanyakan?!"
"Mungkinkah keterangan Eyang Agung Reksaluka bisa dipercaya? Lalu apakah mungkin tidak ada jalan lainnya?!"
Nyai Sekarpati hentikan langkah. Setelah memandang beberapa lama pada Dewi Atas Angin dia berkata.
"Dewi... Seharusnya pertanyaan itu kau ucapkan di hadapan Eyang Agung Reksaluka. Hingga kau tak perlu tanaya banyak menduga-duga!. Tapi satu hal yang perlu kau pahami, seandainya keterangan Eyang Agung Reksaluka tidak bisa dipercaya, mana mungkin dia bisa memberi keterangan tentang di mana keberadaan Pedang Keabadian saat itu!"
"Nyai... Mungkinkah kita akan mendapatkan pedang itu?! Eyang Agung Reksaluka tidak pernah singgung soal itu!"
"Seandainya aku tahu takdir manusia, Dewi... Mungkin aku bisa menjawab pertanyaanmu! Demikian pula Eyang Agung Reksaluka. Dia hanya bisa memberi keterangan apa yang harus kita lakukan serta di mana keberadaan Pedang Keabadian. Urusan kita kelak mendapatkan pedang itu atau gagal, mungkin tidak seorangpun bisa memastikan!"
"Seharusnya kita bertanya tentang jalan keluar lain seandainya Pedang Keabadian gagal kita dapatkan! Dengan begitu kita masih punya harapan! Dari penuturan Uwe Ladami dan Uwe Kasumi, kurasa saat ini bukan hanya kita berdua yang membutuhkan pedang itu! Belum lagi jika kalangan dunia persilatan tahu keberadaan pedang itu. Sebagai senjata sakti, lambat atau cepat kalangan persilatan akan dapat mengetahuinya! Dan jika itu tejadi, langkah kita tidak akan mudah!"
Nyai Sekarpati menhela napas panjang. Lalu berkata lirih.
"Dewi... kau harus jalani takdirmu dengan dada lapang! Percayalah... Kita akan berhasil mendapatkan pedang itu! Dalam setiap langkah rasa percaya diri diperlukan! Kalau tidak, jangan harap kau mendapatkan yang kau inginkan meski itu persoalan sepele!"
Habis berkata begitu, Nyai Sekarpati lanjutkan langklah. Dewi Atas Angin mengikuti. Begitu Dewi Atas Angin melangkah menjajari, si nenek buka mulut.
"Dewi... Sekarang aku yang akan tanya. Kuharap kau tidak marah..."
Dewi Atas Angin tersenyum. "Katakan saja Nyai..."
"Apa yang kalian bicarakan dengan pemuda setengah gila tadi?!"
Walau sempat terkejut dengan pertanyaan Nyai Sekarpati, tapi Dewi Atas Angin segera menyahut.
"Dia bertanya kemana tujuan kita."
"Lalu apa jawabmu?!" kata si nenek seolah tidak sabaran.
"Aku jawab seandainya aku tahu ke mana tujuan ini, pasti akan memberi tahu!" kata Dewi Atas Angin terus terang. "Tapi jika aku benar-benar tahu tujuan langkah kita, aku tidak akan mengatakan padanya!"
"Bagus...! Apa lagi yang ditanyakan?!"
"Dia tanya apa hubungan antara kita?!"
"Kau jawab bagaimana?!"
"Aku belum sempat menjawab karena kau sudah
mendekatiku!"
"Sekarang seandainya aku tidak mendekatimu, apa yang akan kau katakan?!"
"Kau akan kukatakan sebagai nenekkui"
Hem.... Aku menangkap hai tidak beres pada pemuda setengah giia itul Tampaknya dia tengah menyeiidiki Kaiau tidak, untuk apa bertanya masaiah hubungan antara kita?! Aku menyesai tidak menyadari sebeiumnya!"
"Tapi, Nyai.... Apa masalahnya dia hendak menyeiidik?! Padahai kenal pun tidak! Lagi puia seiama ini kita tidak punya urusan dengan orang iain!"
"Kita memang punya perasaan begitul Tapl bukan aneh kalau ada orang punya perasaan lain! Dalam dunia persiiatan, fitnah dan dendam sudah bukan barang baru lagi!"
Seraya terus berbincang Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati teruskan iangkah. Mungkin karena asylknya, mereka tidak sadar jika sepasang mata miiik satu sosok tubuh terus memperhatikan seraya coba curi dengar pembicaraan.
*
* *
------------------------------------------------------EMPAT
------------------------------------------------------
SANG malam sudah hampir berujung tatkaia satu sosok tubuh itu meiintasi sebuah kawasan yang berbatasan dengan sebuah bukit kecii. Saat itu rembuian tampak mengambang di antara geromboian awan putih h!ngga sinarnya sesekaii redup, namun tidak membuat hamparan bumi tergenggam geiap guiita, karena saat iain sang rembulan sudah muncui iagi pancarkan sinarnya, hingga meski jaianan yang diiewati banyak ditumbuhi i!aiang dan semak serta tonjoian batu padas, si sosok dapat teruskan iangkah meski kadangkaia harus berhenti ketika cahaya rembulan terhaiang awan.
Begitu mencapai kaki bukit, si nenek hentikan langkahnya seraya tengadah. Raut waiahnya ieias membayangkan rasa leiah iuar biasa, namun bayangan itu sepertinya ienyap tiba-tiba tatkaia wajahnya menunduk dan memandang pada satu sosok tubuh yang berada di pangkuan kedua tangannya. Maiah kejap lain tampang sosok yang tegak dan ternyata kedua tangannya membopong satu sosok yang meiintang di atasnya, berubah beringas. Pancaran dendam teriintas jeias pada waiahnya!
"Guru.... Aku teiah iakukan pesanmu! Ma!am ini aku campai pada bukit yang kau katakan!" Sosok yang togak perdengarkan suara serak parau- Dia adaiah seorang pemuda berwajah tampan berusÃa dua puiuh lujuh tahunan. Rahangnya kokoh ditingkah mata taiarn 'fan rambut lebat dikuncir ekor kuda. Pemuda Tri menqnnakan baju putih dan celana panjang warna hitam.
SI pemuda menghe!a napas panjang. Laiu edarkan pandangan berkeiiiing sebeium akhirnya kembaii pandangi sosok yang berada di pangkuan kedua tangannya. Sosok di pangkuan si pemuda adaiah seorang nenek berpakaian hitam-hitam dan sebagian teriihat hangus. Rambutnya putih bergerai- Sepasang matanya yang tenggeiam daiam cekungan daiam tampak terpejam rapat- Pada sekitar muiut dan hidungnya terlihat bercakan darah mengering. Dari sosoknya yang tidak bergerak-gerak serta bercakan darah pada sebagian wajahnya menunjukkan kaiau sosok ini sudah tidak bernyawa iagi.
Seteiah pandangi sosok nenek berpakaian hitamhitam dan bukan iain adalah Nenek Ken Cemara Wangi adanya, si pemuda yang juga tidak iain adaiah Rambu Basa, iepaskan pandangan ke arah puncak bukit.
"Guru tidak berpesan aku harus menuju puncak bukit. Dia hanya berpesan agar aku menunggu di kaki bukit.... Hem,-.- Sayang Guru tidak pernah mau mengatakan siapa yang harus kutunggu! Sebenarnya ada apa ini?! Laiu siapa puia yang harus kutunggu?! Lebih dari itu, tahukah orang yang kutunggu itu iika aku sudah berada di tempat ini? Kalau tidak, sampai kapan aku harus berada di tempat ini?!" Rambu Basa berkata daiam hati- Laiu periahan ietakkan sosok Ken Cemara Wangi yang sudah tidak bernyawa iagi di atas tanah.
Rambu Basa tegak seraya rentangkan kedua tangannya iaiu usap wa}ahnya yang berkeringat. Saat iain sekali iagi dia iepas pandangan berkeiiiing. Namun sejauh ini dia be!um meiihat tanda-tanda adanya orang !ain di sekitar tempat itu. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
Seperti diketahui, ketika Pendekar 131 Joko Sabieng terjaga dari tidurnya, tiba-tiba di samping kiri kanannya teiah tegak Nenek Ken Cemara Wangi dan Rambu Basa. Nenek Ken Cemara Wangi minta agar murid Pendeta Sinting serahkan dua senjata yang pernah diiihatnya saat Joko masih daiam keadaan tidak bisa meiihat.
Karena murid Pendeta Sinting tidak turuti permintaan si nenek, teriadiiah bentrok- Akhirnya Nenek Ken Cemara Wangi tewas di tangan Pendekar 131. Namun sebeium nyawanya iepas, Nenek Ken Cemara Wangi sempat berpesan agar Rambu Basa segera lakukan apa yang pernah dipesan.
Rambu Basa segera iakukan pesan Nenek Ken Cemara Wangi. Dia sudah tiga hari dua maiam habiskan waktu hingga sampai kaki bukit di mana saat ini dia berada. Pada muianya dia hendak menguburkan Nenek Ken Cemara Wangi teriebih dahulu. Namun seteiah dipikir bahwa orang yang hendak ditunggunya beium dikenai dan takut mendapat dugaan macam-macam, akhirnya dia memutuskan untuk membawa serta sosok mayat gurunya meski dia harus tabahkan diri, karena sosok mayat Nenek Ken Cemara Wangi sudah keiuazkan bau tak sedap.
Seteiah ditunggu agak iama dan tidak ada tandatanda muncuinya seseorang, Rambu Basa menggumam iagi.
"Diiihat dari keadaannya, mungkin aku hanya bisa bertahan beberapa hari di tempat ini! Ini memang tidak sesuai dengan pesan Guru. Tapi bagaimana Iagi?! Aku bukannya tidak percaya dengan keterangan Guru, tapi kaiau aku sendiri tak dapat menentukan sampai kapan harus menunggu, rasanya percuma terus berada di icmpat ini! Mungkin aku harus menunggu hingga matahari terbit. Dengan begitu aku dapat menyiasati kawasan ini.... Kaiau tidak ada tanda-tanda kemunculan..."
Rambu Basa putuskan gumaman ketika tiba-tiba matanya yang menangkap gerakan satu sosok tubuh yang melangkah periahan-iahan dari arah bukit.
Dengan dada berdebar Rambu Basa pentangkan mata. Paras wajahnya berubah tegang dengan kuduk merinding. "Aneh.... Aku tidak menangkap gerakannya ketika turun dari bukit. Tiba-tiba dia muncui begitu saja dan tahu-tahu sudah berada di arah bukit! Mungkinkah orang ini yang harus kutunggu dan kutemui?! Siapa dia...?!"
Karena jaraknya masih agak iauh, meski saat itu pancaran sinar rembuian tidak tertutup awan, Rambu Basa tidak bisa mengenaii wajah orang. Yang jeias teriihat adaiah sosok itu mengenakan pakaian hitam panjang dan rambut putihnya yang berkibar-kibar tertiup angin dini hari.
Rambu Basa aiihkan pandang matanya pada mayat Nenek Ken Cemara Wangi. Cuma sesaat. Keiap iain dia kembaii arahkan pandangan ke arah bukit di mana tadi dia meiihat muncuinya satu sosok tubuh.
Bersamaan dengan bergeraknya kepaia Rambu Basa, mendadak sepasang kaki pemuda ini tersurut beberapa tindak dan hampir saia tertekuk. Sepasang matanya terpentang besar. Muiutnya ternganga dengan tubuh bergetar keras.
Ternyata hanya beberapa iangkah di hadapannya sudah tegak satu sosok tubuh miiik nenek berambut putih bergerai mengenakan iubah panjang sedikit menyapu tanah berwarna hitam.
"Jangan-jangan dia bukan manusia! Baru saja dia berada di arah bukit sana. Tahu-tahu sekarang muncui di hadapankui" Membatin Rambu Basa dengan dada berdebar dan tubuh berkeringat.
Karena sesaat tadi terkejut besar, Rambu Basa beium sempat meiihat jeias waiah orang yang kini tegak beberapa tindak di hadapannya. Dan begitu dapat kuasai diri, dengan tabahkan diri periahan-lahan Rambu Basa angkat wajahnya memandang pada sosok di hadapannya.
Kalau saat meiihat muncuinya orang tadi ia hanya surutkan iangkah terkejut dan tegang, kini Rambu Basa bukan hanya tersurut. Namun iaksana meiihat setan gentayangan, dia baiikkan tubuh iaiu kaiang kabut beriari tinggaikan tempat itui
"Kau akan menyesal, Anak Muda!" Mendadak sosok yang muncul di hadapan Rambu Basa perdengarkan suara.
Walau jelas mendengar ucapan orang, tapi Rambu Basa seolah tidak peduli. Dia teruskan larinya, maiah tak acuh dengan iiaiang dan semak beiukar. Hingga beberapa kaii dia sempat terjatuh.
Beriari kira-kira sepuiuh tombak, mendadak teiinganya mendengar suara lagi- Jeias suara itu laksana diucapkan di depan telinganya.
"Mengapa kau takut, Anak Muda?i Aku sudah menunggumu beberapa ratus tahunl Jika kau tak kembaii, aku terpaksa membunuhmu!"
Rambu Basa hentikan iarinya. Dia sadar, meiihat kemuncuian dan aikap orang, ieias ancamannya tidak suiit untuk diiakukan. Apaiagi dia makium tentang ilmu yang dimiiiki. Maka seteiah berpikir beberapa saat, murid Nenek Ken Cemara Wangi ini baiikkan tubuh namun tanpa beranl arahkan pandangan pada sosok di seberang depan.
"Mendekatiah, Anak Muda!" Terdengar suara perintah.
Waiau sudah memutuskan untuk menghadapi apa yang akan terjadi, namun Rambu Basa masih teriihat bimbang hingga beberapa saat dia masih diam tak bergerak dari tempatnya. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
"Jangan membuatku berubah niati Cepat mendekatlahl" Terdengar lagi suara perintah disertai ancaman.
Perlahan Rambu Basa melangkah maju. Laiu tegak satu setengah tombak di depan sosok yang muncui dari arah bukit.
"Mendekatiah ke hadapanku!" Sekaii iagi terdengar perintah.
Rambu Basa turuti perintah orang. Saat lain dia sudah beberapa iangkah di hadapan nenek berjubah hitam panjang berambut putih.
"Pandang wajahku!" Si nenek berkata setengah membentak.
Rambu Basa tak mau orang ulangi ucapan meski dadanya makin berdebar dan wajahnya menegang kaku. Dia segera angkat wajahnya pandangi wajah orang.
"Apa yang ingin kau katakan?!"
"Kau.... Kau...." Hanya itu suara yang keiuar dari muiut Rambu Basa. Pandangannya tak beraiih dari paras wajah orang di hadapannya.
Terdengar suara kekehan tawa panjang. "Aku tanyai Apa yang ingin kau katakan?!"
Seteiah meneian iudah, Rambu Basa aiihkan pandang matanya pada sosok mayat Nenek Ken Cemara Wangi. La!u berkata iirih.
"Kau mirip dengan guruku...."
"Siapa gurumu?!"
"Nenek Ken Cemara Wangi...."
NamamuQ!!
"Rambu Basa...."
"Kau tahu apa tujuanmu muncul di tempat ini?!"
Rambu Basa geiengkan kepala. "Aku hanya turuti pesan Guru...."
Nenek berambut putih berjubah panjang hitam arahkan pandang matanya pada sosok mayat Nenek Ken Cemara Wangi. Wajahnya teriihat sedih malah kedua tangannya serentak terangkat mengusap genangan air pada kedua sudut matanya.
"Kau sendiri sebenarnya siapa...?!" Rambu Basa beranikan diri ajukan tanya setelah saiing diam beberapa lama.
Yang ditanya aiihkan pandangan pada Rambu Basa Seteiah mengheia napas dia menyahut.
"Aku adaiah generasi ketiga di atas Ken Cemara Wangi!"
Kalau tidak meiihat keadaan, tentu Rambu Basa akan tertawa bergeiak. Dia pentangkan mata pandangi sosok si nenek lalu geieng-geieng kepala.
"Rambu Basa! Aku tidak akan memberi keterangan. Karena keterangan apa pun yang nanti terdengar dari muiutku, kau tidak akan bisa mengerti! Lagi puia aku menunggumu tidak untuk memberi keterangan! Sementara sebentar lagi sang matahari akan segera muncul.!"
Habis berucap begitu, si nenek yang bukan iain adaiah nenek yang sempat menemui Pendekar 131 saat seteiah terjadi bentrok dengan Nenek Ken Cemara Wangi, seiinapkan kedua tangannya ke baiik jubah hitam panjangnya.
Begitu kedua tangan si nenek ditarik keiuar, Rambu Basa meiihat sebuah kertas agak tebal berbentuk segi empat berwarna hitam.
"Mendekatiahi" kata si nenek.
Perlahan Rambu Basa bergerak maju. Si nenek uiurkan kedua tangannya yang memegang kertas tebal berwarna hitam seraya berkata.
"Inl adalah kitab pusaka peninggaian empat generasi di atasku! Terlmalah! Kau adalah anak manusla yang dimaklumkan untuk memillklnya! Karena kau adalah murid darl keturunan generasl ketujuh!"
Rambu Basa seolah tidak percaya dengan apa yang didengar. Hlngga beberapa saat dla tldak membuat gerakan apa-apa! Dia hanya memandang dengan dua tangan bergetar.
"Kau dengar, Rambu Basa?! Terlmalah!"
Rambu Basa ulurkan kedua tangannya yang bergetar. Lalu per!ahan sambutl kitab hitam dari tangan sl nenek.
"Aku tak akan memberl keterangan! Kau nantl akan tahu sendirii Yang jelas begitu matahari tenggelam esok harl, kau bukan lagl Rambu Basa seperti malam inll Sekarang berlututlah! Dan angkat kltab itu dl atas kepalamu!"
Dengan tubuh maslh bergetar, Rambu Basa berlutut seraya angkat kedua tangannya yang memegang kitab hitam.
"Begitu aku pergl, kau boleh tinggalkan tempat Inii"
Kata sl nenek 'alu mendekatl mayat Nenek Ken Cemara Wangi. Sekali tubuhnya membungkuk dan kedua tangannya bergerak, mayat Nenek Ken Cemara Wangi sudah berplndah pada pangkuannya.
"Rambu Basa! Mulal besok ma'am, kau tentu tahu tugasmu! Selamat tinggal!" Kata sl nenek lalu melangkah ke arah bukit.
Rambu Basa hanya memandang keperglan orang tanpa buka mulut. Begltu sosok nenek yang waiahnya sama dengan Nenek Ken Cemara Wangl tidak kelihatan, dia bergerak bangkit. Pandangi kitab hitam di tangannya beberapa saat 'alu bergumam.
"MungkInkah hanya satu harl aku telah berubah...?! Lalu pelajaran apa yang blsa kuambil darl kitab Ini jlka jangka waktunya hanya satu harl?! Ah.... Itu urusan nanti. Yang pastl, klni aku tahu apa maksud pesan Guru sebenarnya! Dan jlka dalam waktu satu harl aku benar-benar bukan Rambu Basa sepertl malam Inl, aku tahu apa saja yang harus kulakukan!"
Habls bergumam begitu, Rambu Basa slmpan kitab hitam ke ballk pakaiannya- Memandang ke arah lenyapnya sosok sl nenek dl arah bukit, lalu ballkkan tubuh. Namun dia tldak segera melangksh pergi, seballknya bergumam lagi seraya pandangl rembulan yang sudah berada di ufuk tlmur dan perlahan cahayanya mulal meredüp tertlmpa blas cahaya kekunlngan sang mataharl yang tldak lama lagi akan unjuk dirl.
"Dia sebutkan dir' sebagal generasl ketlga dl atas Guru.... Mungk!nkah?! Jadl berapa uslanya?l Tapl mengapa wajahnya masih sebaya dengan usia Guru...?! Lebih dari itu, bagaimana wajahnya tidak blsa dlbedakan dengan wajah Guru...?l Ah.... Apa tldak mungkin jlka sesungguhnya yang muncul itu adalah roh Guru sendlrl kemudian mengarang cerita?!" Rambu Basa terus menduga-duga hingga mataharl benar-benar muncul darl lamping bukit sebelah tlmur.
"Apa pun yang terjadl, yang jelas sekarang aku sudah punya bekal! Rambu Baaa akan menjadl ma•nusia hebati Manusia yang di tangannya memegang kekuatan!"
Habls berkata begltu, Rambu Basa hentakkan kaki dan berke!ebat tingga!kan kakl buklt yang sudah terang benderang.
*
* *
------------------------------------------------------LIMA
------------------------------------------------------
SAKING gemblranya, Rambu Basa berlari laksana orang kesurupan. Rasa penat dan lelah setelah berjalan tlga malam dua hari dengan mendukung sosok mayat Nenek Ken Cemara Wangl seolah lenyap.
Begitu memasukl kawasan yang berujung pada sebuah jurang, Rambu Basa memperlambat larlnyaLalu berjalan menuju arah iurang. Dia tegak beberapa lama pada bibir iurang dengan lepas pandangan ber-
pada wajah dan rambutnya. Saat laln pemuda murld Nenek Ken Cemara Wangi Inl mengambil ialan setapak. Beberapa saat kemudian dla sudah berada dl baglan jurang yang ternyata tidak begltu dalam bahkan dl lamping sebelah kanan jurang terdapat sebuah mulut goa.
Dari slkapnya jelas kalau Rambu Basa sudah kenal betul lamplng jurang dl mana dla berada, Karena tanpa ragu-ragu lagl dla sudah memasukl goa. Goa Itu tldak begitu besar. Goa itu diterangl obor yang ditancapkan pada SISI samplng kanan. Tepat dl bawah obor terdapat batu altar agak besar.
Tanpa menylasatl keadaan, Rambu Basa melangkah menuju aitar batu. Lalu duduk di atas batu altar dengan sandarkan punggung pada dinding goa tepat dl
mana obor menancap.
Rambu Basa dongakkan kepala memperhatlkan obor dl atasnya seraya menghela napas panjang. Lalu dengan dada berdebar dan tubuh bergetar dla sellnapkan kedua tangannya ke balik pakaian. Perlahan dla tarlk keluar kedua tangannya yang sudah memegang kltab bersampul hitam.
Beberapa saat Rambu Basa memperhatikan sampul kitab. Sampul itu polos hitam tanpa ada tulisan. Murld Nenek Ken Cemara Wangl ini menghela napas beberapa saat begitu tangan kanannya mulal bergerak membuka kitab yang dipangku di tangan kirlnya.
Begltu sampul kitab terbuka, Rambu Basa memperhatikan dengan seksama. Dla aediklt heran, karena ternyata dia juga tidak menemukan tulisan pada lembar pertama-
Setelah yakin tidak adanya tullsan pada lembaran pertama, Rambu Basa teruskan membuka. Klni lembar kedua sudah terbuka di hadapannya. Paras wajah pemuda Inl berubah dengan mulut bergumam tak ielas ketlka mendapati lembar kedua ternyata juga tidak ada tullsan atau gambari
Khawatir dan tidak percaya, Rambu Basa angkat kitab dl tangannya sedikit ke atas hingga cahaya obor ieblh terang menerpa iembaran kitab kedua. Namun setelah dltelitl ternyata lembar kedua itu memang tldak ada tulisan atau gambar. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
"Aneh.... Mungkln tulisan itu ada pada lembar ketlga!" kata Rambu Basa dalam hatl. Laksana tak sabar dla segera membuka lembar ketiga. Kini d!a t!dak bisa !agl membendung rasa kaget dan kecewa begitu mendapatl ternyata di lembar ketiga juga tidak ada tulisan atau gambar!
"Jangan-jangan ini bukan sebuah kitabi" gumam Rambu Basa. Dengan cepat dia buka lembaran keempat. Rahang pemuda ini terangkat dan mengembung tanda dadanya sudah didera hawa amarah ketika mendapatl lembar keempat juga tidak menemukan adanya tu!lsan atau gambar!
"Pasti nenek berjubah panjang yang wajahnya mirlp dengan Guru Itu seorang penipui" desls Rambu Basa. Tldak sabar dla segera membuka lembar demi lembar dengan cepat.
"Jahanam! Jahanam! Aku tertipu! Inl bukan kitab!" terlak Rambu Basa begitu hlngga lembar terakhir dia tldak menemukan adanya tullsan atau gambar pada salah satu lembaran kitab hitam dl tangannya.
Dengan mata terpentang besar Rambu Basa bergerak bangkit. Kltab dl tangannya diangkat tlnggl-tlngg'. Lalu dengan keluarkan terlakan keras kitab di tangannya dicampakkan ke atas batu aitar!
Brakk!
Kemarahan Rambu Basa tampaknya sudah tak dapat ditahan lagl. Begitu kitab bersampul hitam tercampak dl atas batu altar, pemuda ini langkahkan kakl mendekatl. Dengan sosok bergetar keras kakl kanannya diangkat. La!u disentakkan menghantam kitab dl bawahnya!
Sejengkal Iagi kitab bersampul hitam berantakan terhantam kakl kanannya, mendadak Rambu Basa tahan gerakan kakinya ketika ekor matanya menangkap lembaran yang menyembul keluar darl baglan sampul belakang.
Tanpa tarik pulang kakl kanannya yang mengapung dl atas kitab, Rambu Basa bungkukkan tubuh dengan mata dlpentang besar-besar memperhatikan sembulan yang keluar darl bagian belakang sampul kitab.
Beberapa saat dahl murld Nenek Ken Cemara Wangi itu mengernyit. Saat lain kaki kanannya dlgeser lalu ditegakkan di sebelah kakl klrinya. Tangan kanannya bergerak mengambil kitab yang sesaat tadi hendak diinjak hancur.
Lembaran yang terllhat menyembul pada baglan sampul belakang segera dltarik. Lalu melangkah ke bawah Obor karena iembaran yang ditarlk dari bagian sampul belakang terdapat tulisan.
Dengan sandarkan punggung pada dindlng goa, Rambu Basa mulai membaca lembaran yang ditarik dari bagian belakang sampul kitab.
"Anak manusla. Kitab dà mana kau temukan lembaran Inl adalah sebuah kitab saktl bernama Kitab Tanpa Aksara. Kau tidak perlu belajar untuk mendapat kesaktian dari kitab inl...."
Dada Rambu Basa berdebar keras. Seolah tidak percaya, dia ulangl bacaan pada tuiisan hingga tlga kali. Lalu teruskan membaca.
"Bakar Kitab Tanpa Aksara ini. Abunya kau telan. Lakukan semua itu bersama terbenamnya matahari..„"
Rambu Basa ulangi apa yang tertulls dua kall dengan dada makin berdebar keras dan mata terpentang. Lalu arahkan pandang matanya pada tulisan terakhir yang ada pada bag!an bawah.
"Siapa pun Anak Manusla yang telah lakukan acara pembakaran Kitab Tanpa Aksara dan menelan abunya, maka dia berhak menyandang gelar Utusan dari Masa Lalu!"
Maslh seakan tidak percaya, Rambu Basa kemball membaca mulal dar! awal. Saat ialn dia dekap erat kitab bersampul hitam di tangannya. Lalu dia ber!utut dan angkat tinggi-tinggi kitab di tangannya ke atas kepala. Lalu bergumam
"Wahai Generas' Pendahulu.... Maaf atas kelancangan dan ketidaktahuanku... Aku akan Iakukan apa yang tertulis..."
Habis bergumam begitu, Rambu Basa bergerak bangkit. Lembaran yang tadl menyembul pada baglan belakang sampul dimasukkan kembali ke tempatnya semula. Lalu kitab bersampui hitam dimasukkan ke balik pakaiannya.
"Aku tinggal menunggu saat mataharl terbenam! Setelah itu...." Rambu Basa tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya tertawa bergelak panjang hingga menggaung ke seantero goa.
"Sambil menunggu matahari terbenam, aku akan bersemadl...." Rambu Basa lorotkan tubuhnya lalu duduk bersila dl bawah obor. Beberapa saat kemudlan pemuda murid Nenek Ken Cemara Wangi inl sudah tenggelam pusatkan mata hatinya dengan mata terpejam.
Waktu terus berlalu. Begitu Rambu Basa mulal merasakan perubahan suasana, dia buka sepasang matanya. Memandang keluar goa, cahaya mataharl sudah meredup dan warnanya mulal berubah.
"Inilah saatnya!" desls Rambu Basa. Tangan kanannya menyelinap sesaat ke balik pakaiannya. Lalu bangkit seraya tarik obor dari dinding goa. Kejap lain pemuda Ini meiangkah keluar darl goa dengan obor di tangan kanan.
Setelah melewatl jalan setapak, Rambu Basa tegak di blblr jurang dengan pandangan dilepas ke arah barat. Saat itu mataharl sudah beberapa jengkal Iagl dl atas kaki langit barat.
Seraya menghela napas panjang dan dada berdebar, Rambu Basa duduk bersila menghadap ke arah barat. Obor di tangan kanan dipindah ke tangan klri. Saat laln tangan kanannya menyelinap ke ballk pakalannya mengambii Kitab Tanpa Aksara.
Rambu Basa angkat obor tinggl-tinggi. Sementara tangan kanannya yang memegang Kitab Tanpa Aksara diluruskan tepat sejajar dada. Lalu menunggu beberapa saat dengan mata mementang pandangl matahari.
Hamplr bersamaan dengan tenggelamnya mataharl, Rambu Basa tarik obor dl tangan klrlnya. Sementara Kitab Tanpa Aksara diturunkan hingga hamplr menyentuh batu padas biblr jurang.
Dengan menahan napas, Rambu Basa dekatkan obor pada Kitab Tanpa Aksara. Kejap kemudlan, apl mulal menjilati Kitab Tanpa Aksara.
Rambu Basa tersentak kaget. Jllatan apl Itu hanya menyala aesaat. Saat lain apl itu Iaksana padam meskl jelas adanya kepulan asap pada Kitab Tanpa Aksara!
Rambu Basa dekatkan api obornya ke arah Kltab Tanpa Aksara. Tapi untuk kedua kalinya pemuda Inl terlengak. Belum sampa' nyala api menyentuh Kitab Tanpa Aksara yang terus kepulkan asap mendadak dari arah Kitab Tanpa Aksara menyambar satu gelombang angln dahsyat.
Obor dl tangan Rambu Basa terlepas mental amblas masuk jurang. Sosok si pemuda sendirl tampak tersentak. Saat Itulah kepulan asap lenyap!
Memandang ke arah kitab, sepasang mata Rambu Basa mendelik. Ternyata kitab itu sudah lenyap. Yang tinggal hanya abu berwarna hitam dl atas padas blblr jurang.
Tanpa menunggu lama, Rambu Basa raupkan keaua tangannya ke arah abu dl hadapannya. Lalu dengan buka mulut lebar-lebar, raupan abu Kitab Tanpa Aksara ditelannya hingga tidak terslsa sama sekall.
Begltu abu Kitab Tanpa Aksara tertelan habls, Rambu Basa mulai merasakan hawa panas menjalarl sekujur tubuhnya. Tapi cuma sesaat, kejap laln hawa panas itu sirna.
"Aneh-... Aku hanya merasakan hawa panas beberapa saat saja. Tidak ada perubahan besar dalam dlrikul Mungklnkah aku telah mendapatkan kesaktlan darl kitab itu?l" Dada Rambu Basa didera perasaan bimbang. Dia perlahan bergerak bangkit. Saat itulah dia tengadahkan kepala seraya mendesis.
"Gerakanku begitu enteng.... Jangan-jangan.... Aku harus mencobanya!"
Rambu Basa mundur beberapa langkah dengan kerahkan sedikit tenaga dalamnya pada kedua tangannya lalu dlsentakkan ke arah blblr jurang di seberang depan. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
Rambu Basa terkeslap. Karena dia tldak mendengar adanya deruan melesatnya gelombang angin darl kedua tangannya.
"Keparat! Jangan-jangan tenaga dalamku jadi punah! Tapl....n Gumaman Rambu Basa terputus ketlka tiba-tlba terdengar ledakan keras dl seberang jurang.
Memandang ke depan, mata Rambu Basa terbeIlak. Blblr jurang dl seberang depan sudah ambrol berantakan. Hebatnya, meskl bibir jurang 'tu ambrol berantakan, namun tldak ada batu atau tanah yang semburat ke udara. Tanah dan batu yang laksana terhajar tenaga dalam tlnggi itu langsung luruh amblas masuk ke dalam jurang!
Rambu Basa sunggingkan senyum seraya angkat kedua tangannya tlnggl-tlnggi ke udara. "Aku berhasil memillkl kesaktian 'tui Aku berhaslli Kini aku bukan lagl Rambu Basa! Tapl si Utusan darl Masa Lalul"
Habls bergumam begitu, Rambu Basa balikkan tubuh. "Kedua tangan sudah kucoba, klnl saatnya aku mencoba kedua kakiku! Mungklnkah kedua kakiku memlilkl kesaktian yang sama?!"
Rambu Basa berkelebat ke arah satu batangan pohon agak besar. Seraya berkelebat pemuda Ini membatln. "Aku merasakan gerakanku begltu cepat! Hem.... Berartl Ilmu perlngan tubuhku bertambah!"
Begitu tegak beberapa langkah dl depan sebuah batangan pohon agak besar, tanpa piklr panjang lagi Rambu Basa segera hantamkan kakl kanannya.
Bukkk!
Kakl kanan Rambu Basa tepat menghajar batangan pohon. Sesaat pohon itu tidak bergemlng sama sekali. Namun kejap laln mendadak laksana dihantam kekuatan bertenaga dalam tinggl, pohon itu berderak keras lalu tumbang dengan batang terpotong di bagian mana tadl kakl kanan si pemuda menghantam!
Rambu Basa berjingkrak lalu umbar tawa panjang hingga menggaung dl biblr jurang. Puas tertawa dia tengadahkan kepala 'alu berterlak.
"Wahai Generasl Pendahulu! Aku Siap melakukan tugas!"
Terlakannya beium habis, Rambu Basa membuat satu kali gerakan. Laksana terbang sosoknya melesat sebelum akhlrnya lenyap sepertl setan gentayangan!
*
* *
"Malam-malam beglnl siapa kuslr gila yang kelayapan Inl?l Pastı dia punya satu maksud pentlngl Belum tenang hatlku kalau belum melihat sendirl slapa manuslanya!" Rambu Basa menggumam. Lalü berkelebat menyongsong ke arah datangnya şuara gemeletak roda-roda pedatl dan hentakan ladam kakl-kakl kudaSementara itü darl arah berlawanan, dl bawah cahaya sınar rembulan, terlihatsatu pedatl melaju laksana dikejar setan- Terangnya hamparan buml membuat kuda penarik pedati dapat menylasatl keadaan jalen yang dilewat/nya.
Tegak dl atas pedatl seorang lakl-lakl berusla setengah baya bertubuh tlnggl beşar bertampang angker. Rambutnya yang sudah berwarna dua dlbla*an bergeral ditlup angın. Sepasang matanya yang agak beşar dlpentang besar-besar menylasatl jalanan yang dilewatl dengan kepala dlsentakkan pulang ballk ke samping kanan dan kiri. Lakl-lakl İni berkumis dan berjenggot tebaL Pakalannya yang berupa kain panjang menutupl sekujur tubuh hlngga kakl dan tangannya tidak kellhatan serta berwarna hitam menambah keangkeran penampllan sosok lakl-laki setengah baya İni.
Yang membuat orang menaruh curiga, walau saat itü kuda penarlk pedatl sudah melaju kencang dan tinggalkan şuara gemeletak serta buncahan ladam kaki-kakinya, tapi si lakl-laki bertampang angker dl atas pedatl sepertl belum puas. Dia hantamkan cemetl dl tangan kanannya sementara tangan kirlnya erat-erat tali kekang kuda. Bersamaan dengan gerakan cemeti menghantam tubuh kuda, mulut si lakl-lakl keluarkan bentakan-bentakan garang. Hlngga binatang penarlk pedati itü melaju makin kencangi
Begltu melewatl satu belokan, tlba-tiba lakl-lakl dl ataÅŸ pedatl tarik kuat-kuat tali kekang kudanya. Gerakan tangan kirinya yang hantamkan cemeti dltahan dl atas udara. Sepasang matanya dibellakkan. Mulutnya perdengarkan maklan panjang pendek.
Binatang penarlk pedatl serta-merta tahan lainya dengan kepala tersentak-sentak ke belakang. Darl mu lutnya terdengar ringklkan panjang.
*
* *
------------------------------------------------------ENAM
------------------------------------------------------
MEMANDANG angker ke depan, laki-lakl dl atas pedatl melihat satu sosok tubuh tegak di tengah jalan. Darl sikapnya jelas sosok itu sengaja
menghadang.
"Jahanam! Siapa manusia ini?! Berani betul dia hadang jalanku!" desis lakl-laki dl atas pedatl. Dia pentangkan mata sekail lagi slmak balk-baik tampang sosok di tengah jalan.
Kembali lakl-iakl di atas pedatl keluarkan maklan panjang pendek ketlka mendapatl sosok di tengah jalan tutupl wajahnya dengan dedaunan, hingga paras wajahnya tldak ieias. Dia hanya blsa melihat baju putlh dan celana hitam yang dikenakan sosok di tengah jalan.
"Sepuluh tahun aku memendam dendam pada Ken Cemara Wangi! Sepuluh tahun ialu dia mengalahkan aku! Klni glllran aku hendak memba!as, muncul manusia tak dikenal menghadang jalan! Hem...," laki-laki dl atas pedatl mendongak lalu bergumam.
"Aku harus sampai sebelum matahari terbit! Siapa pun yang berani menghadang, berarti dla carl mam-
"Manusia di tengah jalan! Slapa pun dirimu aku tak peduli! Kuperlngatkan kau untuk ambil jalanmu sendirl! Jangan hadang jalanku!" teriak laki-laki dl atas pedatl. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
Sosok dl tengah jalan tidak sambutl ucapan lakllakl di atas pedatl dengan ucapan, melainkan dengan suara tawa panjang!
"Baik! Aku hanya sekali memberi ingat!" teriak lakilaki di atas pedati. Saat lain dla tarik kekang tall kudanya. Cambuk dl tangan kirl dihantamkan ke punggung kuda. Blnatang itu perdengarkan ringklkan panjang. Kedua kaki depannya terlonjak ke udara. Begitu kedua kaklnya menghantam tanah, kuda itu melaju laksana kesetanan!
Sosok dl tengah jalan tldak membuat gerakan apaapa Sebaliknya makin keraskan gelakan tawanyal
Lakl-laki dl atas pedatl menggembor marah. Begltu pedatinya tujuh tombak dl depan sosok yang mengha• dang dl tengah jalan, dia hantamkan cemetinya beberapa kall dengan mulut membentak. Kuda penarlk pedatl itu makln kesetanan.
Tlga tombak lagi kuda penarik pedatl menghantam sosok di tengah jalan, mendadak sosok dl tengah jalan putuskan ge!akan tawanya. Saat bersamaan kedua tangannya dlsentakkan ke arah kuda. Wuutt! Wuutt!
Tldak terdengar adanya gelombang pukulan yang berkiblat- Namun beberapa kejap kemudian mendadak kuda penarlk pedatl terionjak hebat. Kedua kaklnya terangkat dengan tubuh tersentak ke belakang! Saat lain kuda itu meringklk keras lalu terpental jungklr ballk! Pedati itu terballk dengan roda bermentalanl
Lakl-laki dl atas pedatl keluarkan seruan tegang. Bersamaan dengan terlonjaknya kuda penarik pedatl, dia hentakkan kedua kakinya. Sosoknya melesat be.berapa tombak ke udara. Setelah membuat gerakan jungkir balik beberapa kail dl udara dia melayang turun dan tahu-tahu sudah tegak sepuluh langkah dl hadapan sosok yang menghadang di tengah jalan. Darl gerakan orang, jelas lakl-laki kusir pedatl Inl membekal Ilmu linggi.
Begitu tegak di hadapan orang, lakl-lakl berpakaian panjang hitam campakkan cemetl dl tangan kanannya. Cemeti itu langsung semburat berantakan
begitu menghantam tanah. Saat bersamaan dia mem
bentak.
"Slapa kau?l Mengapa berani menghadang jalan sekallgus membunuh kudaku?l"
Yang ditanya tldak segera menjawab. Seballknya angkat tangan klrinya slbak dedaunan yang menghalangl pandang matanya. Lalu memandang ke arah pedatl. Pedatl Itu terballk- Kuda penarlknya terapung dl atas udara dalam poslsl telentang. Baglan perutnya robek menganga kucurkan darah.
"Aku tanya sekall Iagil Slapa kau sebenamya?!" bentak lakl-lakl kuslr pedatl. Kedua tangannya sudah dlangkat ke atas udara.
Yang ditanya belum juga memberl sambutan. Namun perlahan dla sentakkan dedaunan yang menutupi sebagian wajahnya. Klni lakl-lakl kusir pedatl jelas dapat mellhat tampang orang-
"Hem.... Ternyata manuslanya adalah seorang pemuda tampan! Aku tldak kenal dengannya!" gumam lakl-lakl kuslr pedatl seraya slmak balk-balk wajah
orang.
"Kau mau jawab atau tldak?!" tanya Iakl-lakl kusir pedati.
Sosok yang tegak menghadang dan ternyata seorang pemuda gelengkan kepala beberapa kall dengan kancingkan mulut.
Belurn habls gelengan si pemuda, lakl-lakl kuslr pedatl sudah melesat ke depan. Begltu dua tlndak di hadapan sl pemuda kedua tangannya bergerak lepas pukulan.
Bukkl Bukkk!
Dua benturan keras terdengar begitu sl pemuda angkat pula kedua tangannya menghadang pukulan orang.
Laki-laki bertampang angker si kuslr pedatl surutkan kaki dua tindak dengan dahl berkerut. Kedua tangannya yang baru saia bentrok terasa saklt dan ngilu, satu tanda lawannya bukan orang sembarangan.
SI Iakl-!akl kuslr pedatl lipat gandakan tenaga daIamnya. Saat lain dla melompat. Untuk kedua kailnya dla hantamkan kedua tangan ke arah kepala orang.
Yang dihantam sentakkan tubuh ke belakang. Saat bersamaan dia angkat kakl kanannya lalu dlhadangkan pada kedua tangan orangBukkk!
SI Iakl-lakl kusir pedatl tersentak lalu terbanting menghajar tanah dengan mulut kucurkan darah.
Dengan menyumpah habis-habisan sl lakl-lakl kuslr pedatl terbungkuk-bungkuk tegak. Setelah usap kucuran darah dengan uiung pakalan hitamnya, dla buka mulut.
"Sebelum kita tentukan slapa yang akan berkalang tanah, katakan dulu siapa kau adanyai"
Yang ditanya tertawa dahulu sebelum akhlrnya menyahut.
"Malam masih panjang.... Jurang Babakan Gantung sudah dekat.... Mengapa tergesa-gesa?!"
'Keparat! Siapa manusla inl?! Dia tahu ke mana tujuanku! Jangan-jangan dia utusan yang dlberi tugas menghadangku!" SI Iaki-laki kusir pedatl membatln dengan dada dlbuncah berbagai tanya. DI laln plhak, dlam-dlam Rambu Basa juga berkata dalam hatl, "Darl clrl-cirl manusia dan kendaraan yang dlbawa, tak salah Iagl, dia adalah Setu Kambang. Seorang yang dulu pernah bentrok dengan Nenek Ken Cemara Wangl! Kedatangannya pastl untuk meneruskan silang sengketa dengan Guru! Hem.... Tampaknya dialah manusia pertama yang harus mampus di tanganku!”
Habis membatin begitu, Rambu Basa membentak. "Kau muncul terlambat, Setu Kambang!"
Kalau tadl mendengar orang sebut nama tempat ke mana dia hendak menuiu, sl laki-lakl kuslr pedatl tldak begitu terkejut, kall ini dengar orang sebut namanya dengan benar, dia tak dapat lagl sembunyikan rasa kagetnya. Dla makln dibuncah berbagal tanya. Lalu membatln-
"Dari ucapannya aku menangkap dua hal. Kalau dla tldak mendahuluiku membunuh tua bangka keparat penghunl Jurang Babakan Gantung, berartl tua bangka Itu sudah minggat darl Jurang Babakan Gantung! TaPI.... Aku harus dapat kepastlan dari mulutnya!"
Membatin sampal dl situ, sl lakl-laki kuslr pedatl segera membentak.
"Apa maksudmu terlambat?i"
'Penghuni Jurang Babakan Gantung sudah diambli ôenerasiku.... Tapi kau tak usah kecewa. Aku datang sebagal wakilnyai"
"Apa hubunganmu dengan Ken C pnara Wangl?! Kau murldnya?!"
Kali ini pertanyaan si lakl-lakl kusir pedatl tldak segera dljawab oleh sl pemuda. Dla hanya tertawa panjang.
"Kau tak mau bllang, tak apal Tapi katakan siapa dirimu!"
"Aku Utusan dari Masa Lalu! Datang sebagal wakil Nenek Ken Cemara Wangl sekaligus tujuh generasl sebelumnya!" sambut sl pemuda yang bukan laln adalah Rambu Basa. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
"Ucapanmu aneh.... Apakah kau mlnta mampus secara aneh pula?!"
"Aku yang layak bertanya- Bagaimana mampus yang kau Inglnkan!"
"Keparat! Dia pasti murid perempuan tua itu! Kalau tldak, dari mana dia tahu nama dan tujuanku! Anehnya.... Bagaimana dla blsa memllikl tenaga dalam begitu hebat?! Padahal dua kali pertemuanku dengan Ken Cemara Wangl, perempuan itu kurasa maslh berada di bawah pemuda ini! Ah.... Slapa pun manusia !ni adanya, yang jelas d!a sudah berani menghadang jalanku. Kematian adalah Imbalannya!"
Sete!ah membatin begitu, laki-lak! kus!r pedatl yang dipanggil dengan Setu Kambang kerahkan hamplr segenap tenaga dalam yang dlm!llk! hlngga sosoknya bergetar keras. Saat laln tanpa buka mulut lagi dia hantamkan kedua tangannya lepas pukulan. Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat berkiblat ke arah Rambu Basa atau yang sekarang sebutkan dirl sebagai Utusan dari Masa La!u.
Di seberang depan, Rambu Basa tekuk kedua lututnya. La!u menghantamWuutt! Wuutt!
Tidak terdengar adanya gelombang kiblatan angln puku!an atau suara deruan. Tapl beberapa saat kemudian terdengar debuman keras.
Sosok Rambu Basa terjajar dua tindak ke belakang • dengan paras berubah. Tapi dia cepat dapat kuasal diri. Sementara begitu terdengar suara debuman laksana terjadinya bentrok puku!an bertenaga daiam tinggl, Setu Kambang perdengarkan seruan tertahan. Sosoknya mencelat. Tersentak-sentak beberapa saat di atas udara sebelum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah dengan mu!ut dan hidung kucurkan darah!
Rambu Basa tidak mau memberl kesempatan. Begitu sosok Setu Kambang terpental dl udara, dla berkelebat, Dan begitu sosok Setu Kambang terkapar dl atas tanah, dia hantamkan kaki kanannya!
Luka dalam yang diderita Setu Kambang membuat laki-lakl inl ter!ambat membuat gerakan hadangan.
Bukkk!
Mulut Setu Kambang terbuka semburkan darah. Sosoknya kemball mencelat. DI atas udara sosoknya tersentak mengejang. Lalu sekujur tubuh Iakl-lakl Inl lunglal dl atas udara. Sebelum sosoknya sempat jatuh menghajar tanah, nyawa lakl-lakl kuslr pedati ini sudah melayang!
Rambu Basa menyerlngal dlngln. Lalu gosok-gosokkan kedua tangannya. Memandang sesaat pada sosok mayat Setu Kambang, lalu melangkah tinggalkan tempat itu dengan kepaia mendongak memandang rembulan.
Berjalan kira-klra seratus langkah, mendadak nga Rambu Basa kembali mendengar hentakan ladam kaki-kaki kuda. Rambu Basa berhenti dengan sunggingkan seringai. Saat lain dia meiangkah hagl dengan kepala ditundukkan.
Hamplr bersamaan dengan gerakan kepaia Rambu Basa yang menunduk, dari arah belakang muncul dua penunggang kuda.
Laksana diburu waktu, kedua penunggang ini terus hantamkan tangan kanan masing-masing pada Ieher kuda tunggangannya dengan telapak tangan. Karena hantaman itu bukan hantaman sembarangan, melainkan telah dialiri tenaga dalam, maka begitu tangan orang menghantam, kuda tunggangannya tersentak dan mempercepat larlnya.
Begltu Rambu Basa melihat kemunculan dua penunggang kuda, pemuda ini segera meny's; dengan kepala tetap dltundukkan namun mellrlk tajam.
Dua penunggang kuda seolah tldak pedull dengan orang. Dla terua memacu kudanya maslng-maslng me, lewatl Rambu Basa.
"Hem.... Tak lama Iagi pastl mereka akan kemballl" Rambu Basa menggumam. Lalu tegakkan wajah dan teruskan langkah.
Gumaman Rambu Basa tidak meleset. Belum lama be:jalan, mendadak suara hentakan ladam kakà kaki kuda yang sesaat tadl menjauh di belakangnya, Kini berballk mendekatlnya.
"Berhentl!" Mendadak terdengar suara bentakan.
Rambu Basa tahan gerakan kaklnya.
Hentakan ladam kakl-kakl kuda lenyap. Saat terdengar Iagl satu suara.
"Berballk!"
Rambu Basa tidak menyahut. Namun eepat cla turut' ucapan orang. L)la putar diri. Memandang ke depan, terlihat dua penunggang kuda sudah '7ma belas lang kah di hadapannya. Penunggang kuda sebelah konan adalah seorang perempuan setengah baya berparas bulat. Rambutnya dlgelung ke atas. Blbimya yang tebol dipoles merah menyala. Pada punggungnya terllô?t ga gang dua pedang.
Sementara penunggang sebelah kiri ada'ah
*orang Iaki-laki. Uslanya kira-klra lima puluh tahunan. Rambutnya dipotong pendek. Mata sebelah Olrlnya tampak terpejam. Sedang mata sebelah kanan melotot besar.
"Dl sekitar tempat in! tidak ada manusia laln. Casti pemuda inl yang membunuh sahabat kita, Setu Kam bang!" SI perempuan penunggang kuda berbislk pada
Iakl-laki dl sebelahnya.
"Tapl mungklnkah...?! Setu Kambang berllmu tinggi. Bagamana mungkln secepat Itu dia dihablsl?! Padahal belum lama berselang roda-roda pedatlnya maslh kita dengar! Tapi tak ada salahnya klta mlnta keteranganl" SI lakl-lakl bermata satu menyahut.
Belum habis ucapan Iakl-laki bermata satu SI perempupan sudah berterlak.
"Anak muda! Kau-..."
"Ka!lan hendak menuiu Jurang Babakan Gantung, bukan?!" Rambu Basa sudah menukas ucapan orang.
Dua penunggang kuda di seberang terkeslap kaget dan sesaat sa!ing pandang. SI perempuan kemball berbislk.
"Dia tahu tujuan kita! Berartl memang dla blang-
Selagl si perempuan berblslk, Rambu Basa sudah buka mulut lagl.
"Kallan memang tengah ditunggu Nenek Ken Cemara Wangi! Tapi tidak dl Jurang Babakan Gantung! Dla menunggu di alam laln! Dan aku dlberl tugas untuk mengantar kalian!"
"Siapa kau?! Apa kaitanmu dengan Ken Cemara Wanai?l" sentak s! Iakl-lakl mata satu.
"Aku sl Utusan darl Masa Lalu! Apa kaitanku dengan Nenek Ken Cemara Wangi, kelak kalian akan tahu sendirl jika sudah bertemu dengannyal"
'Kau kenal manusla kurang ajar jahanam Inl?!" tanya sl perempuan.
"Aku tak pernah bertemu sebelumnyal Tapl bukan berartl aku tak tega untuk membunuhnya!"
Habis berkata begitu lakl-lakl bermata satu berteriak.
"Anak manusla! Kau tahu slapa adanya kaml berdua?l" Dua tangan lakl-laki mata satu dlangkat laiu diletakkan di pinggang kanan dan kirl.
"Si Utusan darl Masa Lalu tak perlu tahu mana manusla yang akan dlantar! Kalian sudah siap?!"
Si lakl-lakl mata satu tertawa bergelak. SI perempuan Ikut tertawa. Saat laln lakl-laki mata satu berterlak Iagi.
"Siapa pun dlrimu, dengarkan baik-baik! Aku Maut
Mata Setan! Dl sebelahku Inl saudara angkatku Pedang Mata Setan!"
"Gelar hebat! Sayang gelar kallan berdua tak akan dldengar orang Iagi!"
Habls berkata begltu, Rambu Basa sudah angkat kedua tangannya. Saat laln pemuda murld Nenek Ken Cemara Wangl Inl sudah sentakkan kedua tangannya. Lakl-lakl mata satu yang sebutkan gelarnya Maut
Mata Setan, serta sl perempuan yang disebut Pedang Mata Setan putuskan tawa maslng-maslng. Namun dakan tawa keduanya membuncah !agl begitu darl sentakan kedua tangan Rambu Basa tldak terdengar suara deruan atau adanya gelombang angln yang berklblat.
"Kenclng saja belum lurus sudah lancang mengumbar suara..," Ucapan Pedang Mata Setan tldak berlanjut. Karena mendadak saja kuda tunggangannya tersentak mencelat dengan perut robek menganga dan kucurkan darah.
Maut Mata Setan terkeslap. Namun belum sampa' sempat membuat gerakan, kuda tunggangannya sudah mengalami nasib yang sama dengan kuda tunggangan Pedang Mata Setanl
Maut Mata Setan dan Pedang Mata Setan berterlak keras. Keduanya buru-buru sentakkan kakl maslng-maslng pada punggung kuda tunggangarmya. terguling ke samping sudah tanpa nyawa. Sementara meÅŸki sempat melesat namun tak urung Maut Mata Setan dan Pedang Mata Setan tersambar sentakan kedua tangan Rambu Basa. Hlngga sosok keduanya 'kut tersapu. Turun dl atas tanah, keduanya tampak tergontaigontal.
Rambu Basa tidak mau menunggu. Begitu Maut Mata Setan dan Pedang Mata Setan tergontal-gontal dl atas tanah, kedua tangannya segera diangkat.
Namun Maut Mata Setan dan Pedang Mata Setan cepat sadar- Kini mereka pun yakin slapa yang membunuh Setu Kambang. Hal ini mau tak mau membuat keduanya jadl kecut. Mereka maklum. limu yang dimiliki Setu Kambang maslh dl atas ilmu mereka. Kalau Setu Kambang blsa diblkin tak bernyawa, mereka tahu apa yang akan mereka alamı.
"Saudara angkatku...," ujar Maut Mata Setan. "Sebalknya kita batalkan saja perjalanan ke Jurang Babakan Gantung Ä°ni! Terlambat kita memillh jalan, kita akan mengaiaml nasib yang sama dengan Setu Kambangl"
"Tapi.... Kapan iagl kita akan teruskan hitungan dengan Ken Cemara Wangi?!"
"Sebenarnya yang punya urusan
Satü Kambang! Kita hanya sekadar membantu!"
"Setu Kambang adalah sahabat baik kita! Urusan dia berartl urusan kita!" kata Pedang Mata Setan. "Tapi.... Kita juga harus memperhitungkan
lamatan kita sendir]!"
Baru saja Maut Mata Setan berkata begitu, Rambu
Basa sudah berterlak. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
"Terlambat kallan memperhitungkan dirli"
Terlakan Rambu Basa membuat Maut Mata Setan
cepat ballkkan diri. Tanpa berkata lagi, laki-iaki Ä°ni kalang kabut mengambli langkah serlbu.
Walau nyallnya sudah surut, namun ketika maslh bersama Maut Mata Setan, sebenarnya Pedang Mata maslh punya sedikit keyakinan. Namun begitu mendapatl Maut Mata Setan meiarikan diri, perempuan
Ä°ni jadl ngerl. Dia buru-buru putar diri laiu serabutan langkah Maut Mata Setan.
Rambu Basa tertawa bergeiak- La!u berkelebat mengejar. Setengah jalan kedua tangannya dlsentakkan lepas puku!ani
Wuutt! Wuutt!
DI depan sana, karena tidak mendengar adanya deruan ÅŸuara berklblatnya geiombang pukulan dari arah belakang, Maut Mata Setan dan Pedang Mata Setan teruskan larlnya.
Sesaat setelah kedua tangan Rambu Basa me-
Pedang Mata Setan yang berlari di belakang Setan mendadak perdengarkan seruan tertahan. Sosoknya terjungkal dengan kepa!a leblh dulu menghantam tanah. Darah muncrat darl mulut dan hidungnya. Sesaat perempuan İni mengeluh. Namun tiba-tlba şuara keluhannya !aksana direnggut setan. Bersamaan itü sosoknya lung!al. Nyawanya lepas.
Seruan tertahan Pedang Mata Setan membuat MaSetan pa!lngkan kepala. Sepasang matanya besar. Saat lain dia mak!n mempercepat
Tapi gerakan Maut Mata Setan tertahan, karena tiba-tlba dia merasakan !aksana dihantam kekuatan dahsyat dari arah belakang. Dia coba kuasai diri dan nekat hendak hantamkan kedua tangannya- Tapi be!um sampal kedua tangannya bergerak, sosoknya sudah terbantlng di atas tanah!
Rambu Basa tidak memberi kesempatan. Begitu sosok Maut Mata Setan terbanting di atas tanah, dia sudah tegak hanya beberapa langkah dl sampingnya.
'Kau...." Hanya itu suara yang keluar dari mulut Maut Mata Setan begitu melihat kelebatan kaki kanan Rambu Basa. Saat laln sosoknya mence!at dan terkapar beberapa tombak dengan tubuh sudah tldak bernyawa
lagl!
Rambu Basa mendongak seraya mendesis "Siapa pun yang hendak mendekati Nenek Ken Cemara Wangi berarti mendekatl maut! Walau Guru sudahl tidak ada!"
Habis mendesis begitu, tenang-tenang saja Rambu Basa allas si Utusan darl Masa Lalu ballkkan tubuh. Lalu bergerak lanjutkan langkah.
*
* *
------------------------------------------------------TUJUH
------------------------------------------------------
SAAT itu mataharl sudah hampir mencapai tltlk tengahnya. Pendekar 131 Joko Sableng duduk berteduh di bawah satu gubuk pada tanah agak tinggl. Memandang ke samplng kanan terllhat satu danau agak besar berair jernlh. Lepas pandangan ke samping kirl terllhat hamparan tanah agak luas berumput sedikit tebal yang di kanan kirinya tegak beriajar beberapa batangan pohon plnus.
"Hem..., Sudah beberapa harl aku berjalan. Tapl belum juga kutemukan keterangan yang benar tentang dl mana letak Lembah Hijau.... Beberapa orang yang sempat kutemui tampaknya enggan memberl tahu. Ma[ah ada di antaranya yang menjerumuskanl Hem.... Kaiau dua hari Iagl aku tidak juga mendapatkan keterangan, aku akan cari jalan menuju Jurang Tlatah Perak.... Seandainya aku tidak bertemu dengan Blbl Emban, tak bakalan aku jadi orang tersesat beginl rupa! Sendlrian !agi!" Murid Pendeta Sinting bergumam sendiri seraya lepas pandangan ke arah danau.
"Ke mana perginya nenek itu?! Mungklnkah suara yang kudengar saat perglnya nenek yang wajahnya tak beda dengan Nenek Ken Cemara Wangl beberapa waktu yang lalu bukan suara Blbl Emban...?! Tapi.... itu tidak aneh. Yang membuatku heran, siapa sebenarnya nenek berjubah hitam panjang yang parasnya mirlp dengan Nenek Ken Cemara Wangl Itu?! Aku maslh berplkir bahwa pada saat bertemu Itu aku tengah bermimpi.... Sialnya Iagi, belum bisa kupecahkan misterl slapa ddanya nenek yang parasnya sama dengan Nenek Ken Cemara Wangl, sudah muncul perkara baru. Mendadak
ada seorang kakek yang tanpa ada hujan dan angln hendak membunuhku.... Untung aku ditolong...."
Gumaman Joko terputus, karena tiba-tiba terdengar suara orang sepertl tengah bernyanyl. "Nang ining inang Inung, nang ining Inang inung.... Nang inlng Inang Inung, nang ining inang inung...."
'Blbl Emban.... Jelas Itu adalah suaranyal" Joko mendesls. Secepat kilat dia palingkan kepala ke samping kirl darl mana suara nyanyian terdengar.
Sepasang mata murld Pendeta Slnting sesaat membesar dan menylpit. Dla melihat seorang nenek mengenakan pakalan warna hitam. Pada pundak dan perutnya tampak melingkar sebuah selendang warna merah. Rambutnya putih awut-awutan ditlngkah wajah bulat dan mata besar.
Nenek inl melangkah dengan dua tangan terangkat sejajar dada. Kedua tangannya terus digerakkan pulang balik ke kanan kirl membuat gerakan seperti orang tengah menlmang. Nenek ini bukan lain memang nenek yang dikenal dengan Bibi Emban.
Dl sebelah Bibi Emban, Pendekar 131 mellhat seorang laki-lakl yang uslanya sebaya dengan Blbl Emban. Kakek inl berparas lonjong. Sepasang matanya slpit. Rambutnya yang putih dan panjang dikelabang tiga. Mengenakan pakaian ringkas warna merah menyala. Ada yang aneh pada kakek ini. Pada punggungnya terllhat tujuh obor yang menyala. Dan walau nyala tujuh obor sebagian menempal pada tiga kelabangan rambut si kakek, tapi rambut Itu tldak mengelinting atau terbakarl
"Hem.... Mungkin karena bertemu teman baru dia pergi begitu saja meninggaikan diriku...l" gumam murid Pendeta Sintlng seraya te:us memperhatikan kakek yang punggungnya dlhlas tujuh obor menyaia. Saat
kemudian dla bangkit lalu melangkah songsong Blbl Emban dan kakek yang bersamanya.
Tapl murld Pendeta Slntlng jadl kecewa. Meskl dla sudah tegak dengan slkap menghadang langkah orang, namun Blbl Emban dan kakek berobor seolah tidak mellhat kehadlrannya. Keduanya menylsl ke samping, lalu enak saja keduanya teruskan langkah. Blbi Emban membuat gerakan menlmang-nlmang sementara sl kakek luruskan pandangan tanpa sekali pun berpallng atau memandang ke arahnyal
"Busyet! Mungklnkah Bibl Emban sudah tldak mengenaliku lagl?!" gumam Joko lalu menunggu beberapa saat. Kejap laln dla putar dlrl lalu memperhatikan baglan belakang tubuh dua orang dl hadapannya yang terus melangkah.
Ternyata tujuh obor dl punggung si kakek ditancapkan begitu saja pada satu batangan pohon agak besar. Bagian kedua ujung batangan pohon dlikat dengan tall lalu dillngkarkan pada perutnya.
"Blbl Emban! 'l Murld Pendeta Slnting berterlak meskl dua orang dl hadapannya maslh melangkah beberapa tlndak dari tempat tegaknya.
Blbl Emban hentlkan langkah juga gerakan kedua tangannya yang menlmang- Sementara kakek dl sampingnya terus saja melangkah.
"Hel Aku dengar suara orang memanggll namaku! Aneh.... Padahal aku tldak mellhat slapa-slapa! Apa kau mellhat seseorang?l" Blbi Emban berkata dengan tangan klrl kanan pegangi lengan kakek yang hendak teruskan langkah hlngga tindakan kakek Inl tertahan.
"Kau mellhat seseorang?!" Bibi Emban kemball bertanya.
SI kakek gelengkan kepala- "Tldak!"
"Dengar suara orang memanggil namaku?l"
SI kakek kemball geleng kepala. "Tldak!"
"Hem.... Kalau begitu tellngaku yang salah dengar!" ujar Bibl Emban seraya lepaskan pegangan tangannya. Lalu enak saja dla teruskan langkah. Demlklan pula kakek di sebelahnya.
"Blbl Emban!" Kemball murld Pendeta Slntlng berterlak. Maiah kali ini makln dlkeraskan.
Blbl Emban sekall Iagi pegang tangan kanan si kakek seraya bertanya,
"Kau dengar suara memanggiku?!"
Yang ditanya lagl-lagl menggeleng sambll berucap. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
"Tldak!"
Hampir bersamaan dengan jawaban sl kakek, murld Pendeta Slntlng yang sudah merasa jengkel cepat berkelebat lalu tegak beberapa langkah dl hadapan B lb' Emban dan si kakek.
Di lain pihak, begltu sl kakek gelengkan kepala seraya sambutl ucapannya, Bibl Emban berucap. "Kall Inl aku benar-benar dengar suara memanggll namaku! Belum enak hatlku kalau belum tahu siapa orangnyal"
Habls berucap begltu, Blbi Emban putar dirl. Tangan klrinya yang memegang 'engan kanan sl kakek disentakkan, hlngga tubuh kakek berhlas tujuh obor Ikut terputar-
Bibi Emban pentangkan mata besar-besar. Lalu putar kepala memandang berkeliling.
"Ah.... Ternyata kau yang benar! Aku tidak mellhat slapa-siapa! Telingaku yang Iagl-lagl salah tempat hlngga salah dengar!" kata Blbi Emban.
"Betul-betul busyet! Dlhadang darl depan mereka menylsl. Diterlakl darl belakang mereka tidak mau potar d!r!. Tapi begitu orang tegak menyusul di hadapannya, mereka ballkkan tubuh!" Pendekar 131 mengome' panjang pendek seraya pandangl sosok dua orang di hadapannya yang klnl tegak membelakangl.
"Tapl.... Rasa-rasanya aku dengar suara panggllan itul" Tiba-tiba Blbi Emban berucap. "Ayo kita selidikl ke sana!" Tangan Blbl Emban menunjuk lurus ke depan.
Blbl Emban tldak menunggu sambutan orang, begitu menunjuk dla segera seret kakek di samplngnya. Saat laln keduanya melangkah kejurusan mana mereka tadl muncu!.
Karena sudah jengkel dengan sikap orang, tanpa berkata lagl murld Pendeta Slntlng berkelebat dan tahu-tahu tegak menghadang Blbl Emban dan kakek berhlas tujuh obor.
Blbl Emban hentikan langkah. Begitu juga kakek dl samplngnya. Sesaat Blbl Emban memperhatikan sosok murld Pendeta Slntlng darl ujung rambut hlngga ujung kakl. Lalu edarkan pandangan berkellling dan berhentl saat berpallng pada sl kakek. Bibl Emban tertawa sesaat lalu buka mulut dengan mata terarah pada kakek dl samplngnya.
"Kau melihat seseorang?!"
Walau matanya yang slplt dibeliakkan dan menatap pada bola mata murld Pendeta Sinting, tapl sl kakek geleng kepala seraya menyahut. "Tidak!"
"Aahhh.... Kalau begitu aku yang salah lihat!" ujar Bibl Emban. "Apa sebaiknya kita teruskan saja perlalanan tanpa...."
Suara Bibl Emban belum selesal, si kakek sudah menyahut. "Ya!"
Merasa dlpermalnkan, Pendekar 131 segera melompat. '-alu pegang tangan Blbl Emban dengan kepala disorongkan satu jengkal di hadapan wajah sl nenek.
"Ah.... Kau!" ujar Bibl Emban lalu tertawa panjang h!ngga Joko cepat-cepat lepaskan pegangannya dengan kepala disentakkan ke belakang karena tellnganya laksana ditusuk-tusuk-
'Sepertinya aku pernah melihatmu...." Bibl Emban teruskan ucapan. Lalu berpaling pada si kakek dan bertanya. "Kau juga pernah melihatnya?!"
Si kakek anggukkan kepala. "Mungkln!" 'Dl tanya Bibi Emban.
"Lupa!'l jawab si kakek.
"Glla!'t desis murld Pendeta Sinting. Lalu berteriak karena tak sabar. "Nek?! Aku Joko Sableng! Kita pernah bertemu beberapa waktu yang lalu! Kita punya rencana ke Lembah Hijau menemui Malaikat Lembah Hijau!"
Bibi Emban tepuk jidatnya. Aku Ingat! Aku ingat sekarangi Bagaimana kabarmu, Anak Muda?! Apa yang kau lakukan di tempat
Pendekar 131 paksakan dirl sunggingkan senyum.
Laiu buka mulut.
"Aku menunggumu.... Aku tahu kau akan Iewat tempat ini! Yang tidak kusangka.... Ternyata kau muncul membawa teman baru! Siapa dia, Bibi? Pasangan baru?! Kekasih lama.--?l Atau mungkin orang yang serlng kau ceritakan padaku?!"
Bibi Emban yang hendak membuat gerakan menlmang-nimang tahan gerakan dengan dahl berkerut. Sepasang matanya melotot angker. Mulutnya komat-
kamit.
Dari sikap orang, murid Pendeta Slntlng sudah bisa membaca apa yang melanda dada sl nenek. D'a tertawa pendek laiu sambungi ucapannya.
"Bibi.... Kau tak usah malu-maiu.... Dari seklan banyak teman iaki-laki yang bersamamu, kurasa dia yang paling serasil Boleh tahu siapa namanya?!" Kepala
Joko pulang ballk memandang ke arah Blbl Emban dan kakek dl samplngnya.
•Hatl-hatl blcara, Anak Mudal Slapa pernah bawa teman lakl-lakl?!"
'Aku tak heran kalau kau lupa! Padaku yang baru beberapa saat bertemu saja sudah tidak Ingat, apalagl pada beberapa...."
"Tahan bicaramu, Anak Mudal" potong Bibi Emban"Aku tanya padamu. Apa maumu sebenarnya dengan bicara tak ada juntrungan Ini,
*Ah.... Darlpada carl penyaklt, leblh balk sementara inl aku tidak $lnggung lagl urusan ternan lakl•lakinya! Tampaknya dia benar-benar marah...." Joko membatln. Lalu berkata. "Bibl.... Aku hanya bercanda....
"Hem.... Begltu?! Lain kali lihat-lihat dulu keadaan! Jangan asal blcara!" kata Bibl Emban. Lalu berpallng pada kakek dl samplngnya dan teruskan blcara. "Bukankah begitu?!"
SI kakek anggukkan kepala seraya menyahut. "Betul!"
Bersamaan anggukan kepala sl kakek, ledakan tawa Blbl Emban membuncah tempat 'tu. SI kakek tldak tinggal dlam. Dia ikut-ikutan perdengarkan tawa bergelak!
Murld Pendeta Slnting menunggu hlngga tawa dua orang dl hadapannya selesai. Lalu buka mulut.
"Bibl.... Bagalmana?! Kau sudah mendapat keterangan tentang Lembah Hijau?!"
"Kau sendlrl?l" Bibl Emban ballk bertanya.
Joko gelengkan kepala. "Aku memang berjumpa beberapa orang. Tapi tidak secuil keterangan pun yang kuperoleh! Justru aku mendapat bencanal"
Tanpa disuruh murld Pendeta Slntlng ceritakan
pertemuannya dengan kakek berjubah tambal-tambal hlngga akhlrnya dla ditolong oleh seorang gadis cantik dan seorang nenek.
"Kau tldak bercanda...?!" Blbl Emban ajukan tanya begitu Joko selesal bercerita.
"Nek...?l Harap llhat-lihat dulu kalau akan bertanyal Betulkan, Kek?!" sahut Joko sekaligus ajukan tanya pada kakek yang tegak dl samping Bibi Emban.
SI kakek anggukkan kepala seraya berucap. "Betull"
Blbi Emban tampaknya tldak suka dengan jawaban orang- Dia segera menyahut.
'Sebelum bertanya aku sudah llhat-lihat dulul" Lalu kepalanya berpallng ke arah kakek dl samplngnya. "Kau plkir pertanyaanku tadl salah?!"
Tanpa membuat gerakan, sl kakek menjawab. "Tldakl"
"Wah, susah berhadapan dengan orang macam beglnl! Slapa dla sebenarnya?i Bicaranya pendek-pendek!" Joko berkata dalam hati. Lalu buka mulut.
"Kek.... Boleh tahu slapa dlrlmu?! Aku Joko Sableng. Aku sahabat Blbl Emban...."
SI kakek geleng kepala dengan kanclngkan mulut. Lalu arahkan pandang matanya pada Bibi Emban.
Blbl Emban mendongak seraya berucap. "DI kolong langit Inl tldak ada yang tahu slapa namanya! Yang dlkenal orang hanyalah tujuh obor dl punggungnya! Tujuh obor itu dlkenal dengan Obor Tujuh Bintangl" Kepala sl nenek berpallng pada sl kakek lalu bertanya. "Betulkah ucapanku?!"
Yang dltanya anggukkan kepala. "Betuli"
"Dla tidak tahu arah yang menuju Lembah Hljau?!" tanya murld Pendeta Slntlng.
"Dla tahu...- Tapi dia belum mau mengatakan sebelum menemukan yang dlcari!"
"Slapa yang dicari?!"
"Dla tidak mau mengatakan namanya- Yang jelas seorang cucunya!"
"Hem.... Laki-lakl atau perempuan?!"
Belum sampal Bibl Emban menjawab, SI kakek sudah mendahulul. 'Gadis!"
Bibl Emban tersenyum lalu melangkah mendekatl murld Pendeta Slntlng dan berblslk- "Anak muda.... Darlpada kita mencarl dengan bertanya ke sana kemari, bukankah lebih baik kita ikuti saja ke mana d!a pergl? Begitu dla menemukan cucunya, pasti dla akan memberl keterangan letak Lembah Hijau! Bertanya pada orang laln, selain banyak yang tldak tahu, bukan tak mungkln klta akan mendapat muslbah sepertl ceritamu tadl! Bagalmana...?! Kalau kau tldak setuju dengan usulku, silakan kau pergl sendirl. Aku akan terus berjalan bersamanya mencari cucunya!"
"Kau percaya padanya, Bibi?!"
"Aku pernah bersahabat lama waktu maslh muda dulu..."
Murid Pendeta Slntlng berpiklr beberapa saat. Lalu berkata.
"Baiklah.... Sementara Inl aku setuju dengan usulmu. Tapl jlka dl tengah jalan nantl ada perkembangan baru, terpaksa aku memisahkan dlrl.... Terus terang. Aku tldak bisa lama-lama.... Aku harus segera ke Jurang Tlatah Perak!"
Blbi Emban anggukkan kepala. Lalu hendak me!angkah ba!lk ke arah sl kakek. Tapi Joko segera menahan dengan berkata.
"Bibi.... Ada yang ingln kutanyakan. Harap jujur
jawab tanyaku...."
"Hem.... Apa yang akan kau tanyakan?l"
'Waktu aku habls bertemu dengan seorang nenek berjubah hltam panjang yang wajahnya tldak beda dengan nenek yang baru saja tewas, itu kau tiba-tlba berada aku mendengar suaramu. Apakah saat itu kau berada disana?!!"
Belum sampal Blbl Emban menjawab pertanyaan Pendekar 131, mendadak kakek berhlas tujuh obor pallngkan kepala murld ke kirl Pendeta Slntlng lalu berterlak. "Llhatl"
Serentak sentakkan kepala maslng-maslng ke arah mana sl kakek berhlas obor pallngkan kepala. Dahl murid Pendeta
Slntlng berkerut. Hlngga beberapa saat dla pentangkan mata, dia tldak mellhat apa-apa!
*
* *
------------------------------------------------------DELAPAN
------------------------------------------------------
BIBI Emban.... Kau melihat apa?!" Joko bertanya pada sl nenek.
MApa yang kau lihat, itu pula yang kuiihatl"
"Aku tldak melihat apa-apa!"
"Hem.... Demlklan pula aku!”
Baru saja Bibi Emban menjawab begitu, SI kakek berhlas tujuh obor buka mulut.
"Sembunyi!"
Habis berkata begitu, si kakek berkeiebat ke arah gubuk di mana tadl Pendekar 131 duduk berteduh. Blbl Emban putar dirl setengah lingkaran. Tanpa berkata apa-apa dia berlari-larl menyusul si kakek seraya gerakkan kedua tangannya menimang-nlmang. Dalam beberapa saat, kedua orang inl sudah ienyap masuk ke dalam gubuk.
Karena penasaran, murid Pendeta Sinting tetap tegak dl tempatnya dengan pandangan terus dlarahkan ke mana tadi kakek berhias tujuh obor memandang.
"Aneh.... Apa yang di!ihat kakek itu?l Jangan-jangan dia salah pandangl” ujar Joko begitu agak lama dla tldak juga melihat apa-apa. "Hem.... Mungkln saja...." Ucapan Joko terputus. Dari tempatnya tegak dia mellhat beberapa sosok tubuh jauh di seberang depan sana.
"Apa aku harus sembunyl juga?! Tapi untuk apa...?l Sepertinya aku baru melihat kemunculan orang sepertl mereka! Tapl mengapa kakek itu memberi perlntah eembunyl? Dia sudah bisa melihat akan kemunculan orang sebelum orangnya sendiri terlihat. Jangan-jangan perintahnya memberi isyarat akan terjadl sesuatu..."
Berpikir sampai di situ buru-buru murid Pendeta Sintlng berke!ebat. Tapi gerakannya tertahan ketlka tba-tlba terdengar suara keras membahana.
"Berhenti!"
Berpaling ke samping, Joko terkeslap kaget. Tiga tombak dari tempatnya berdiri dia melihat empat orang gadis berwajah cantik. Dua berjajar di sebelah depan, duanya lagi tegak terjajar di sebelah belakang.
Pada pundak masing-masing gadis melintang sebuah batangan pohon agak besar yang menopang sebuah tandu tepat di tengahnya. Tandu itu berbentuk bangunan kuil empat sisinya terbuka. Tandu itu ditutup kain berlobang-lobang kecil berwarna merah. Di dalam tandu samar samar terlihat satu sosok tubuh duduk bersila.
"Luar biasa sekali gerakan mereka ini! Baru saja mereka berada jauh di ujung sana, sekarang tahu-tahu sudah ada di depan hidungku! Tapi tak ada ruginya aku tegak disini... Bisa melihat pemandangan asyik!" Joko bergumam lalu arahkan pandangannya pada dua gadis yang tegak berjajar di sebelah depan.
Sebelah kanan adalah seorang gadis berwajah cantik berambut hitam lebat. Rambutnya dibiarkan tergerai menutupi sebagian pundaknya yang terbuka karena gadis ini mengenakan pakaian berupa kain terusan. Hanya saja kain itu sebatas menutupi dada dan sedikit pahanya. Bagian dada ke atas dan pahanya kebawah terbuka. Hingga sebagian dadanya yang membusung kencang dan kedua pahanya yang padat dan putih mulus terlihat sangat jelas. Kain itu sangat ketat dan tipis. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
Sementara gadis bagian depan sebelah kiri adalah juga seorang gadis berparas cantik. Pakaian yang dikenakan tidak beda potongannya dengan pakaian yang dikenakan gadis sebelah kanan.
Murid Pendeta Sinting tersenyum-senyum Lalu arahkan pandangan matanya pada dua gadis di bagian belakang. Ternyata mereka juga memiliki wajah cantik. Potongan pakaian yang dikenakan sama dengan pakaian dua gadis di bagian depan. Yang membedakan mereka adalah warna pakaian mereka.
Gadls depan sebelah kanan memakai warna merah. Sedang yang sebelah kiri memakai warna kuning. Sementara gadis belakang sebelah kanan memakai warna hitam, sebelah kiri mengenakan warna putih
Setelah simak baik-baik keempat gadis pembawa tandu, Pedekar 131 arahkan matanya pada sosok didalam tandu. Namun meski telah pentangkan mata besar-besar, dia gagal melihat paras wajah orang.Karena kain tandu itu berlobang kecil-kecil
Pendekar 131 menghela napas panjang, lalu sapukan pandangan pada keempat gadis penghela tandu. Saat lain buka mulut cengar-cengir.
"Boleh tanya siapa kalian adanya serta hendak kemana?!"
"Lakukan tugas kalian!" Mendadak terdengar suara dari dalam tandu. Suara itu keras menggelegar. Dan Joko bosa memastikan suara itu diperdengarkan seorang lelaki.
Bersamaan terdengarnya suara dari dalam tandu, keempat gadls cantik pembawa tandu serentak tekuk lutut masing-masing. Saat lain tiba-tlba tangan mereka menyentak ke atas.
Wuutt! Wuuut! Wuutt! Wuutt!
Batangan pohon yang melintang di atas pundak masing-masing gadls dan menopang tandu melesat ke udara, Dua gadls yang tegak di bagian belakang melompat lalu tegak menjajarl dua gadis yang ada dl bagian depan. Kejap lain keempatnya balikkan tubuh dengan kepala mengikuti gerakan batangan pohon dan tandu yang kinl melayang turun. Hebatnya, dua batangan pohon serta tandu itu melayang laksana ditahan kekuatan dahsyat hingga turun perlahan-lahan sampai di atas tanah.
Begitu tandu dlam dl atas tanah, keempat gadis yang kini tegak membelakangi murld Pendeta Sinting serentak takupkan kedua tangan masing-masing. Lalu bungkukkan tubuh menjura hormat dengan takupan tangan diletakkan di atas kepala.
"Kaml slap lakukan perintah!" hampir berbarengan keempat gadis ltu buka mulut. Lalu tegakkan tubuh dan membalik menghadang Pendekar 131
yang tegak tergagu dengan dada mlai berdebar.
"Jangan-jangan flrasat dan syarat kakek itu ter buktl!" gumam Joko dalam hatl. Lalu memandang ke arah gubuk di mana si kakek dan Bibi Emban mendekam sembunyi.
Gadls berbaju kuning yang sepertlnya jadl pemlmpin di antara keempatnya maju dua tindak. Sepasang matanya yang bulat tajam menatap tak ber
keslp pada sosok murld Pendeta Sinting. Tangan kanannya di ulurkan ke depan. Lalu terdengar bentakan suaranya.
"Serahkan apa yang kau millki!"
Walau tersentak kaget dengan slkap orang, namun Joko coba tersenyum laiu berkata.
"Aku tidak mengerti maksudmu.... Katakan apa sebenarya yang kau minta?l"
"Apa yang kau miliki!" sentak gadis berbaju kunlng.
"Aku tldak memiliki apa-apa!"
"Kalau begitu serahkan selembar nyawamu!" bentak gadis berbaju kuning seraya tarik pulang tangan kanannya.
"Tunggu dulu.... Sebenarnya ada apa Inl?I Kita belum sallng mengenal. Berartl di antara klta tidak ada silang masalah...."
Gadls berbaju kunlng tertawa pendek. Lalu buka mulut lagi.
"Kaml tidak perlu silang masalah untuk mlnta apa yang kau millkl! Termasuk selembar nyawamu! ltu aturan kami!"
"Dan aturanku.... Tldak akan turuti permintaan orang sebelum...."
"Itu malapetaka bagimu!" tukas gadis berbaju kunlng seraya angkat kedua tangannya. Tlga gadls di belakang tak berdiam diri. Mereka lkut angkat kedua tangan masing-masing.
"Tahan gerakan!" Tiba-tiba terdengar suara mengelegar dari dalam tandu. Empat gadis di hadapan murld Pendeta Sintlng sama luruhkan tangan masing-masing.
"Pendekar Pedang Tumpul 131! sambung suara keras dari dalam tandu. "Kaml minta balk-baik! Serahknn senjata yang kau m!llkl! Dengan begitu nyawamu t ldak akan kami usik!"
Terkejutlah Pendekar 131 mendapati orang dalam tandu mengetahul slapa dirinya. Sekali lagi Joko coba jerengkan mata mellhat slapa sosok di dalam tandu.
Saat itulah terdengar ledakan tawa keras membahana dari dalam tandu. Lalu terdengar suara keras.
"Saat inl belum waktunya kau tahu slapa dlrlku, Pendekar 131! Namun kelak kau akan tahu! Dan saat ltu tidak akan lama lagi! Urusannya sekarang turutl permintaan kaml jika kau kelak Ingin tahu siapa kaml adanya! Jika tidak, buang jauh-jauh kelnginanmul"
Murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala beberapa kall. "Kau boleh mlnta seribu permintaan. Aku akan menuruti. Tapi.... Harap tidak minta senjata dan nyawaku!"
"SIndang Kuning! Ambil senjata mll!knya sekallan putus takdlrnya!" Terdengar perintah dari dalam tandu.
"Perintah dilaksanakan!" sahut gadis cantlk baju kunlng yang dlpangg!l dengan Sindang Kuning. Lalu sekall melompat ke arah murid Pendeta Slnting, gadls Inl sudah kelebatkan kedua tangannya ke arah lambung kiri kanan Joko.
Hem.... Seolah mereka tahu kalau aku slmpan dua senjata pada lambung k!ri dan kanan!" kata Joko dalam hatl. Dia berniat untuk bergerak hindarkan dirl. Namun dia terkeslap. Beium sampal bergerak, dua tangan Sindang Kuning sudah menyambar dengan keluarkan deruan dahsyat!
Bukk! Bukk!
Terdengar benturan keras ketlka Joko menghadang kelebatan tangan Slndang Kuning dengan kedua tangannya.
Sindang Kuning terjajar tiga langkah dengan paras berubah. Kedua tangannya bergetar keras. DI depan nya, murid Pendeta Sinting cengar-cenglr meski tahan rasa sakit pada kedua tangannya yang baru saja bentrok.
Sindang Kuning menyerlngai dlngin. DIdahului bentakan keras, gadis In! takupkan kedua tangannya di depan dada. Lalu lorotkan tubuh dan duduk bersila. Saat lain tlba-tlba dia dorong kedua tangannya dengan telapak dibuka.
Wuutt! Wuutt!
Dari dua telapak tangan Slndang Kuning melesat dua larlkan gelombang berwarna kunlng. Joko tldak mau berlaku ayal. Dari bentrokan yang
baru saja terjadl, dla sadar lawan yang dihadapi membekal tenaga dalam tinggl. Maka dla kerahkan hamplr setengah tenaga dalamnya. Lalu sentakkan dua tangannya.
Bumm! Bumml
Terdengar ledakan keras. Joko terhuyung-huyung beberapa langkah dengan wajah plas laksana tak berdarah. Kedua tangannya mental hingga aoaoknya hamplr saja roboh terbanting. Hebatnya, sosok Sindang Kuning tldak bergeming sama sekall!
"Hem.... Aku salah perhltungan!" gumam Pendekar 131 mendapatl apa yang terjadl. Dia cepat llpat gandakan tenaga daiam. Saat ltulah terdengar suara dari dalam tandu.
Sindang Merah! Selesaikan urusan In!!"
Gadls berbaju merah anggukkan kepala. Lalu mendekati Slndang Kuning. Tanpa buka mulut, gadis baju merah yang dlpanggll dengan SIndang Merah duduk berslla menjajarl SIndang Kuning dengan kedua telapak tangan ditakupkan dl depan dada. Di sebelahnya, indang Kuning sudah tarik kedua tangannya yang tadi mondorong. Kinl kedua tangan gadls cantik baju kuning in! sudah menakup di depan dada.
Laksana dikomando, tanpa ada yang buka suara Sindang Kuning dan Sindang Merah sama dorong kedua tangan masing-masing dengan telapak terbuka!
Murtd Pendeta Sinttng buru-buru duduk berslla. Saat lain kedua tangannya dlsentakkan!<
*
* *
------------------------------------------------------SEMBILAN
------------------------------------------------------
DARI dua tangan Sindang Kuning berkiblat dua gelombang iaräkan berwarna kunlng. Sementara dari dua tangan Sindang Merah melesat dua gelombang larlkan berwarna merah. Sedang dari sentakan dua tangan murld Pendeta Sinting menderu dua gelombang dahsyat.
Blamml Blamm!
Kawasaan dekat danau itu laksana dlhantam gempa hebat. Sindang Kuning dan Sindang Merah tersentak mundur hlngga lima langkah. Kedua tangan dua gadls Inl sesaat tadi terpental ballk dengan sosok bergetar keras. Paras wajah keduanya pucat pasi. Hebatnya poslsi mereka tldak bergemlng sama sekalll
Di seberang depan, sosok murld Pendeta Sintlng juga tersentak mundur dengan tubuh berguncang keras. Raut wajahnya makin pucat.
"Sindang Hitaml Slndang Putihl Bantu Slndang Kuning dan Slndang Merah!" Terdengar suara keras dar! dalam tandu.
Tanpa buka mulut gadls berbaju hitam dan gadls baju putih melompat mundur ialu duduk berslla menjajarl Sindang Kuning dan Slndang Merah dengan tangan maslng-masing menakup di depan dada.
Mendapati empat gadls dl seberang depan sudah •nma takupkan tangan mas!ng-masing, murid Pendeta S!nting tak ambll rlslko. Hingga begitu empat gadls di •eberang depan dorong tangan masing-maslng, Joko langsung lepas pukulan saktl 'Lembur Kunlng'!
Dari maslng-maslng gadls berklblat dua golombnng berwarna kunlng, merah, hltam, dan putlh membontuk iarikan pelarigi. Sementara darl kedua tangan murld Pendeta Sintlng melesat dua gelombang yang dlsertal slnar kuning membawa hawa panas luar biasa.
Beberapa saat gabungan beberapa gelombang empat gadis di seberang depan tertahan di udara. Saat lain terdengar gelombang empat gadis dl seberang depan tertahan di udara. Saat lain terdengar !edakan luar blasa dahsyat ketika slnar kuning pukuian sakti 'Lembur Kuning' menghantam.
Gabungan larikan empat gadis di seberang depan semburat mental di udara. Sementara sinar kuning yang berkiblat dari tangan Joko muncrat berantakan. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
Empat gadis dl depan sama terpental dengan keluarkan seruan tertahan. SIndang Kuning dan Sindang Merah jatuh telentang dengan mulut semburkan darah. Sedang SIndang Hitam dan SIndang Putlh tergullng ke tanah. Karena dua gadls lni baru pertama kali bentrok, maka meski dari mulut keduanya muncratkan darah, tapl tldak separah Slndang Kuning dan Sindang Merah yang sudah bentrok terleblh dahulu.
Dl lain pihak, begitu terdengar ledakan sosok murid Pendeta Slntlng laksana tersapu gelombang dahsyat. Tubuhnya tersentak-sentak mundur sebelum akhlrnya jatuh terkapar dengan darah meieleh darl mulutnya!
Cepat habisl jahanam itu! Terdengar lagl suara darl dalam tandu.
Laksana tldak mengalaml cedera dalam, Slndang Kuning dan Sindang Merah bergerak duduk. SIndang Hitam dan Sindang Putlh gullngkan tubuh masing-masing mendekati SIndang Kuning dan Sindang Merah. Saat lain Sindang Hitam dan Sindang Putlh tegak berjajar. SIndang Hitam dl belakang SIndang Kuning, sedang SIndang Putih dl belakang Sindang Merah.
Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga daiam untuk kuasai dlri. Lalu bergerak duduk dengan mata terpejam. Kedua tangan ditarlk ke belakang dengan telapak tangan kanan terbukn. Tangan kanan itu perlahan sudah berubah dlsemburatl sinar blru. Inilah satu tanda jlka murid Pendeta Sinting siap lepas pukulan 'Serat Blru'.
"Pelangl dl Tengah Rembulan!" terdengar suara keras dari dalam tandu.
Sindang Kuning, SIndang Merah, Slndang Hitam, dan SIndang Put!h segera dorong tangan masing-masing. Saat yang sama mendadak darl dalam tandu ber kiblat cahaya putlh kekuningan.
Pentangkan mata, murid Pendeta Slnting mellhat beberapa gelombang berwarna kuning, merah, hltam, dan putih berklblat. Tepat di atas empat gelombang melesat cahaya putih kekuningan.
Tempat di sekitar kawasan danau itu laksana dl buncah gelombang angin prahara. Tanah di bawah mana gelombang pukulan berkiblat tampak amblas tersapu ke udara hingga suasana tempat tu berubah remang-remang.
Dldahulul bentakan keras, Pendekar 131 cepat hantamkan tangan kiri kanan. Dari tangan kanannya melesat beberapa larlkan sinar blru laksana benang yang pancarkan cahaya terang. Sementara darl tangan kirinya berklblat slnar kekunlngan.
Hamplr bersamaan dengan berklblatnya pukulan darl kedua tangan murld Pendeta Slnting, mendadak dart arah gubuk terdengar deruan keras. Atap gubuk Jebol semburat. Lalu terllhat lesatan selendang merah. Pada ujung selendang tampak tujuh buah obor yang torlkat! Selendang merah ini menderu ke arah empat gelombang berwarna kuning, merah, hitam, dan putih sorta cahaya putlh kekuningan.
Obor Tujuh BIntang! Selendang Bayi Junjungan!" Dari dalam tandu terdengar suara keras tertahan.
Baru saja terdengar suara darldalam tandu, terdengar beberapa kall dentuman keras. Empat gelombang pukulan Sindang Kuning, Mer ah, Hitam, dan Putlh serta cahaya putlh kekuningan yang menderu darl dalam tandu pecah berantakan di atas udara terhadang larlkan sinar blru dan slnar kekunlngan pukulan murld Pendeta S!nttng serta tujuh obor dan sambaran selendang merah yang melesat darl arah gubuk.
Slnar biru dan kekuningan pukulan Pendekar 131 sendlrl ambyar berantakan. Tujuh obor yang terlkat pada ujung selendang merah sesaat padam begitu bentrok dengan beberapa gelombang berwarna serta cahaya putih kekuningan darl dalam tandu. Namun saat lain tujuh obor itu menyala kembal! dan langsung membubung ke angkasa. Selendang merah yang menglkatnya melluk perdengarkan deruan keras. Hingga muncratan bentroknya beberapa pukulan saktl dl tempat itu tersapu amblas.
Slndang Kuning, SIndang Merah, SIndang Hitam, dan Sindang Putlh menjerit tinggl. Tubuh keempatnya mencelat hingga tiga tombak dan sama terjengkang roboh dl atas tanah dengan mulut maslng-maslng kucurkan darah. Sebagian pakalan yang mereka kenakan hangus.
Tandu di atas dua batangan pohon yang berbentuk kull tersapu satu setengah tombak. Kain merah berlobang-lobang kecll penutup tandu berkibar menylbak. Sosok yang duduk dl dalam tandu tampak berguncang keras. Tapl beberapa saat kemudlan sudah dlam tak bergerak-gerak.
Sosok muridPendeta Slnting sendlrl tampak mencelat satu tombak dan jatuh bergulingan dl atas tanah.
Joko merasakan aliran darahnya laksana sirap. Sosoknya bergetar keras. Sekitar mulutnya dibercaki muncratan darah.
Mungkin khawatir lawan akan lepas pukufan lagi, murld Pendeta Slnting jerengkan mata memandang kedepan. Saat itu!ah samar-samar dla blsa melihat sosok di dalam tandu yang kain penutupnya tersingkap. Sesaat mata Joko terpentang tak berkesip. Mulutnya menggumam tak jelas. Saat itulah dla mellhat dua sosok tubuh berkelebat. Satu mengenakan pakalan hitam, satunya lagl memakal pakaian. warna merah meyala.
Sosok berpakalan hltam melesat Ke udara lalu menyambar pangkal selendang merah yang ujungnya mengikat tujuh obor menyala. Sementara sosok berpakalan merah berkelebat ke arah murid Pendeta Sinting.
Joko terkesiap. Belum sampai dla berbuat seauatu tlba-tlba dia merasakan sosoknya tersambar tangan orang. Saat laln dla sudah berada dl pundak orang dan dibawa berlarl.
Pendekar 131 tldak tahu berapa jauh dia dlbawa lari orang. Yang jelas dia baru diturunkan dart pundak orang dl satu tempat'sepl. Sekuat tenaga Joko kerahkan tenaga daiam pulihkan diri. La!u bergerak duduk.
Memandang ke samping, dla melihat kakek berpakalan warna merah yang muncul bersama Bibi Emban tengah duduk berselonjor kaki dengan punggung disandarkan pada satu bongkahan batu agak besar. Sepasang matanya terpejaim,rapat.
Pendekar 131 menghela napas lega. Saat itulah dia baru sadar kalau ada yang kurang dalam diri sl kakek.
"Ke mana tu]uh obor di punggungnya?l" Ingat akan obor sl kakek, Joko jadi ingat pada Bibi Emban. Dia segera lepas pandangan berkellllng dengan tangan pegangl dadanya yang mas!h terasa nyeri.
Sebenarnya Joko hendak buka mulut bertanya. Namun karena si kakek terlihat maslh pejamkan mata, sementara sekujur tubuhnya masih terasa sakit, dla segera pejamkan mata. Lalu kerahkan hawa murnl mengatasi Iuka da!am yang menderanya.
Setelah agak lama dan dapat mengurangl rasa sakit pada sekujur tubuhnya, mur!d Pendeta SInting segera buka matanya kemball. Dia tersentak kaget
mendapati si kakek sudah tidak ada lagl d! tempat itu.
"Aku belum sempat mengucapkan terima kaslh.... Tapl orangnya sudah kabur!" Joko bergumam. Lalu gerakkan kedua tangannya ke arah lambung kanan dan klrlnya. Dia menarlk napas lega karena kedua tangannya maslh blsa merasakan keberadaan Pedang Tumpul 131 dan Pedang Keabadian.
"Hem.... Aku tidak menduga kalau orang di dalam tandu adalah seorang gadls muda berparas luar biasa cantik! Aneh.... Padahal jelas suaranya adalah suara lakl-lakl! Siapa dia...?! Mengapa pula memlnta senjataku?! Lebih darl !tu darl mana dia mengnallku?!"
Baru saja murid Pendeta Sinting bergumam begitu mendadak terdengar suara nyanylan.
"Nang inlng inang inung, nang ining inanginung...."
"Bibi Emban... , • ujar Joko dengan kepala disentakkan ke samping kanan. Dia me!lhat Bibl Emban melangkah terbungkuk-bungkuk dengan kedua tangan membuat gerakan menlmang-nimang dl depan dada. Selendang merahnya tampak mellntang di pundak menjulai ke bawah hampir menyapu tanah. Di sebelah Bibl Emban, si kakek melangkah dengan kepala tengadah. Tujuh obor menyala di punggungnya.
Pendekar 131 segera bangkit. Seraya membungkuk hormat dia berkata.
"Bibl Emban.... Kakek.... Terlma kasih atas pertolonganmu...."
Bibl Emban dan kakek berhias tujuh obor berhentl beberapa langkah di hadapan murld Pendeta SInting. Bibi Emban hentlkan gerakan tlmangan kedua tangannya. Lalu berkata.
"Aku tldak berniat menolongmul Tanpa aku ikut campur, kau blsa menghadapl mereka. Aku hanya ingin mengatakan satu hal hlngga mengajakmu ke tempat lni! Bukankah begitu?!' Kepala BIbl Emban berpaling pada kakek berhlas tujuh obor.
Yang ditanya anggukkan kepala seraya menyahut. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
Betul!"
"Akhlr-akhir Inl banyak peristlwa memblngungkan dalam dunia persllatan. Inl mungkin maslh satu permulaan. Pada puncaknya nantl mungkin akan terjadl beberapa peristlwa besar. Maka kuharap kau bertindak hati-hatl.... Jangan terkecoh dengan apa yang terllhat dan terdengar! Kami yang tua-tua In! rasanya sudah bukan saatnya lagi untuk campur tangan kalau maslh ada yang muda dan bisa dlharapkan!"
Pendekar 131 anggukkan kepala. Lalu berkata.
"Bibi .... Kau tahu slapa gerangan adanya orang di dalam tandu tadi?!"
"Kau jangan tertipu, Joko! Apa yang kau lihat sebenarnya hanya tipuan mata!"
Murld Pendeta Sinting terkesiap dengan dahl mengernyit.
"Aku tidak mengertl maksudmu, BIbl...."
"Sekarang aku tanya. Apa yang kau lihat dl dalam tandu?l"
"Seorang gadis muda berparas luar blasa cantlk!"
Kakek berhias tujuh obor yang dalam kancah rimba persilatan dlkenal dengan Obor Tujuh Bintang mendadak tertawa bergelak. BIbl Em ban mendongak. Lalu lkut-lkutan perdengarkan tawa panjang.
"Kek.... Blbi.... Apa yang kallan tertawakan?!"
Kakek berhlas Obor Tujuh BIntang tunjukkan tangan kanan lurus ke arah Pendekar 131. Lalu buka mulut. "Tertipul"
"Pandang matamu tertipu, Anak Muda!" kata Blbl Emban. "Sebenarnya kau tidak mellhat apa-apa!"
"Tapi.... Aku tldak percaya! Mataku benar-benar melihat seorang gadis berparas cantlk!" ujar murld Pendeta Slntlng.
Kakek berhlas Obor Tujuh BIntang dan BIbi Emban kemball tertawa.
"Baiklah.... Anggap mataku tertlpu dan tidak melihat apa-apa! Tapi bagalmana dengan pendengaranku?!
Jelas aku mendengar dia memberl perintah dan dllakukan oleh empat gadls pembawa tandu! Bahkan dia sebut namaku! Apakah pendengaranku juga tertlpu?!'
"Pendengaranmu tldak tertipu, Anak Mudal Yang tertlpu pandang matamu!" kata Blbi Emban.
Joko tertawa dengan kepala menggeleng. "Bagalmana semua lnl blsa dlpercaya?!"
"Memang sulit menerangkan.... Tapi begitulah adanya! Seandainya kau tadi sempat bentrok langsung dengannya, kau baru mengertl tanpa diberl keterangan!"
"Aku makin bingung, BIbl!"
ltu urusanmu! Yang jelas, sosok sebenarnya bukan yang kau lihat! Tapi nun jauh di tempat berbedal
Bukankah begltu?!" Kepala BIbl Emban lag!-lagi berpallng pada kakek berhias Obor Tujuh BIntang.
SI kakek angguk-anggukkan kepala dengan buka mulut. "Benar!"
"Hem.... Mak sud kallan dla ltu sebangsa siluman?!"
"Soal bangsa apa namanya tidak penting! Yang penting dla blsa berada dl mana-mana! Sementara sosok sebenarnya ada pada satu tempat!"
Balk.... Balklah.... Lalu siapa dla sebenarnya?!
"Dalam rimba persilatan dikenal dengan Dewl Angkarani!"
"Hem.... La!u mengapa tldak ada hujan tidak angin tiba-tlba meminta senjataku!"
"Jangan kaget. Dla akan meminta senjata slapa saja yang ditemulnya! ltu sudah berlangsung beberapa puluh tahun! Sampai kini tidak ada yang tahu apa maksud tujuannya! Yang jelas sudah banyak tokoh yang jadl korban! Selaln orangnya tewas, senjata andalannya juga lenyap!"
"Celaka!" gumam murld Pendeta Sinting dengan paras kaget dan kedua tangannya cepat ditekapkan pada bagian bawah perutnya.
Blbl Emban me!otot. "Gila! Bukan senjata butut semacam itu yang lenyap!" bentaknya lalu alihkan pandangan dan teruskan blcara. "Sekarang aku dan dla harus pergi.... Maaf. Kali ini terpaksa aku berdua tldak blsa mengajakmu ikut serta!"
"Bibi.... Bukankah acara semula kita akan mengikutl kakek itu dahulu. Lalu...."
Rencana sewaktu-waktu blsa berubah! Kami tak mau bersamamu lagi! Aku melihat mendung bencana pada kenlngmu! Terus bersamamu akan menyeretku masuk dalam bahaya!"
Habis berkata begitu, Bibi Emban gaet tangan kakek di sebelahnya. Saat iain keduanya berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Bibi.... Kakek...! Aku !kut! Maslh ada beberapa hal yang ingin kutanyakan!" Joko berteriak. Lalu ikut berkelebat menyusul.
BIbi Emban dan kakek berhlas Obor Tujuh Bintang tldak ada yang menyahut atau mencegah tindakan murid Pendeta Sinting. Mereka terus berlarl. Sementara karena tldak dicegah, Joko teruskan kelebatan menyusul.
"Busyet! Hendak ke mana mereka [ni?! Dadaku sudah mula! sakit!" gumam Joko begitu sudah berlarl agak lama namun baik Bibi Emban dan kakek berhias Obor Tujuh Bintang tldak berhenti. Malah jarak antara mereka dan murid Pendeta Sint!ng makin lama makin jauh, karena Joko mulal merasakan nyeri pada dadanya akibat luka dalam yang belum pulih benar.
Pada satu tempat, Joko hentlkan kelebatan. Memandang jauh ke depan, BIbi Emban dan kakek berhlas Obor Tujuh BIlntang sudah hampir lenyap tidak kelhatan.
"Hem.... Tampaknya mereka tahu aku tidak akan mampu lagi mengejar!" desls murld Pendeta Slnting dengan sosok bergetar keras. Saat lain sosoknya melorot jatuh terduduk dengan mulut megap-megap!
* *
Setelah terjadi bentrok beberapa pukulan bertenaga dalam tinggl dl kawasan sekitar danau dan murid Pendeta Sintlng dlbawa larl kakek berhlas Obor Tujuh Bintang, sosok dl daiam tandu membuat gerakan.
Kedua tangannya dlsentakkan sejajar dada dengan telapak terbuka. Saat lain disentakkan lagi kesamping lalu menakup tepat di depan dada dengan
telapak disatukan. Terdengar deruan keras. Penutup tandu yang tersibak mendadak dltarlk gelombang. Saat kemudlan tandu itu sudah tertutupl
Hampir bersamaan dengan menutupnya kaln tandu. mendadak darl dalam tandu melesat keluar empat larlkan cahaya putlh kekunlingan ke arah Sindang Kuning, S!ndang Merah, Slndang Hitam, dan Slndang Putlh yang maslh tergeletak di atas tanah.
Begltu larlkan cahaya putlh kekunlngan menghantam keempatnya, sosok mereka tersentak keras. Lalu terjadllah hal yang hebat.
Walau jelas sesaat tadl keempat gadls cantik Inl terluka dalam akibat bentrok, namun seolah tldak tengah terluka dalam, mereka segera bangklt. Saling pandang aatu sama laln lalu arahkan pandangannya ke arah tandu.
Kita pergl darl tempat lnl!" Mendadak terdengar suara keras dari dalam tandu.
Serentak, Sindang Kuning, Sindang Merah, Sindang Hitam, dan Sindang Putih putar masing-maalng tubuhnya menghadap tandu. Laiu sama membungkuk dengan tangan dltakupkan di depan dada. Saat lain keempatnya ber!ompatan. Sindang Hitam dan Slndang Putlh ke baglan belakang tandu. Sndang Kuning dan Slndang Merah ke baglan depan.
"Ambil arah selatan!" terdengar lagi suara dari dalam tandu begltu keempatnya sudah tegak dengan batangan pohon mellntang dl atas pundak keempat gadis.
Tanpa ada yang buka mulut, Slndang Kuning, Sindang Merah, Sindang Hitam, dan Sindang Putih bergerak melangkah. Anehnya, walau mereka teriihat melangkah, namun dalam beberapa kejap saja sosok-sosok mereka sudah jauh meninggalkan kawasan danau!<
*
* *
------------------------------------------------------SEPULUH
------------------------------------------------------
BEGITU dapat kuasal diri, Pendekar 131 segera bangkit. Memandang berkelillng beberapa saat lalu mendongak seraya berucap.
Bib! Emban dan kakek berhias tujuh obor itu tak mau kulkuti. Sementara aku sendlri kesulitan mencari keterangan letak Lembah Hijau .... Hem .... Darlpada terus-terusan mendapat halangan dan menemul perlstiwa aneh-aneh, leblh balk aku menemul Eyang Guru d! Jurang Tlatah Perak...."
Berpiklr begltu, murid Pendeta Sintlng segera melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Namun tlba-tiba satu bayangan berkelebat. Satu suara terdengar.
"Di cari keman-mana tidak ada! Tak tahunya berada disini!"
Joko hentlkan langkah dengan kening mengernyit dan dada berdebar. Dia sepertinya pernah dengar suara orang. Namun karena tak mau menduga-duga, dla segera pallngkan kepala.
Kaki murld Pendeta Sintlng serentak tersurut dengan mata mementang besar. L!ma belas langkah dar! tempatnya tegak ter!ihat seorang perempuan setengah baya berparas sedlkit !onjong. Kedua alls matanya mencuat ke atas ditingkah mata sipit. Perempuan !nl mengenakan pakaian terusan warna putih. Pada bagian betlsnya dibuat membelah tinggi ke atas h!ngga sepasang pahanya yang sudah sedikit mengeriput terlihat. Bagian dadanya juga dlbuat rendah hingga dadanya yang sudah tidak kencang lagi kelihatan. Rambutnya dibiarkan bergerai menutupi sebagian pundak dan wajahnya.
Celaka kalau dla sampai tahu slapa diriku sebenarnya!" Joko membatln dengan dada tldak enak. Namun Joko tidak mau unjuk rasa kaget. Dia cengar-cenglr lalu berkata.
"Bagaimana kabarmu, Dewl Kembang Maut? Kukira kau sudah kemball ke daratan Tibet...."
Perempuan aetengah baya yang baru muncul dan bukan laln memang Dewi Kembang Maut adanya sunggingkan senyum dingin dengan mata melotot angker.
Untuk beberapa saat perempuan dari daratan Tlbet inl kanclngkan mulut tldak menyahut.
Pendekar 131 makln tidak enak. Sikap orang membuatnya maklum dengan apa yang terjadl. Dla segera buka mulut lagl. Tapi keburu dldahului oleh Dewl Kembang Maut allas Pang Bing Nlo.
"Syukur kau masih bisa mengingatku! Dan pastl masih lngat pula dengan ucapanku tempo haril"
Joko tengadahkan kepala. "Ucapan yang mana?l"
Dewi Kem bang Maut tertawa pendek. Lalu berkata.
Jika kau memberi keterangan dusta, maka kematian belum setimpal sebagal balasannya!"
"Ah.... Aku ingat! Tapi aku belum mengertl maksudmu!"
"Kau telah memberi keterangan dusta! Kau bllang aku blsa bertemu Pendekar 131 Joko Sableng di Lembah Pangkuan Buml! Tapi apa nyatanya?! Tldak seorang pun tahu atau kenal dengan Lembah Pangkuan Bumi! Lembah ltu tidak ada! Tidak ada!" Pang Bing Nlo bantingkan kedua kakinya hingga tanah yang dipljak melesak dan tanahnya semburat.
"Tunggu! Harap tidak marah-marah dahulu.... Marl kita bicarakan baik-balk...."
Dewi Kembang Maut geleng kepaia. "Jangan mimpl aku percaya dengan ucapanmu! Dan kini saatnya kau menerima Imbalannyal"
Tahan...! seru murld Pendeta Slnting begitu mendapati Dewl Kembang Maut angkat kedua tangannya.
"Mungkin kau salah tanya.... Atau barangkali yang kau tanya kebetulan seorang yang tldak tahu..." (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
Dewl Kembang Maut terus angkat kedua tangannya. "Persetan dengan kata-katamu! Yang pastl sekarang aku curlga padamul"
Curiga padaku...?l" Joko arahkan telunjuk tangan kanannya pada dadanya sendirl. Laiu tertawa meskl sekujur tubuhnya muiai dingin.
"Saat jumpa pertama kali, kau mampu dengan tepat sebutkan asal negerlkul ltu tidak penting. Lebih dari ltu.... Kau tahu banyak tentang Pedang Keabadlan!
Kalau bukan orang yang sudah pernah berkunjung ke daratan Tibet, muetahil bisa tahu urusan pedang itul
Dan satu-satunya orang dari tanah Jawa yang berkunJung ke daratan Tibet adalah seorang pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpui 131 Joko Sableng! Jadi sebenarnya kaulah manusla yang kucarl!"
Pendekar 131 tertawa bergelak seraya gelengkan kepala. "Menduga tldak dllarang. Tapi kalau terialu jauh, akan membuat orang tertawa! Mana mungkin manusla sepertlku inl seorang pendekar! Dan sudah pernah berkunjung ke daratan Tibet lagi... ltu dugaan salah .... •
Salah atau benar tidak akan mengubah naslbmu!"
Habis berkata begitu, Dewl Kembang Maut melompat. Kedua tangannya berkelebat menghantam ke arah dada dan kepala murld Pendeta Sinting.
"Apa hendak dlkata. Ucapan Blb! Emban ternyata benar .... Dia mellhat mendung bencana di ken!ngku .. .l " kata Joko dalam hatl seraya rundukkan kepala dan tahan kelebatan orang dengan kedua tangannya.
Bukkkl Bukkkl
Dew! Kembang Maut terkeslap kaget Sosoknya terjajar dua tindak dengan mata dlpentang besar-besar.
Dlam-dlam dia membatin. "Sebenarnya aku hanya menduga-duga saja.... Tidak yakin benarl Tapl melihat tenaga dalamnya, tampaknya dugaanku inl tldak jauh melesetl Mungkinkah manusla Inl Pendekar 131 yang kucari?I Ah.... itu urusan nantll Kaiau dla mampus, mudah mengamb!l pedang itu!"
Dew! Kembang Maut llpat gandakan tenaga dalamnya. Laiu berkata.
"Sekarang jawab jujur pertanyaankul Siapa kau sebenarnya?I Kalau kau Pendekar 131 Joko Sableng, kuminta kau serahkan Pedang Keabadian! Dengan begitu mungkin aku blsa berubah niatl"
"Aku bukan orang yang kau duga!"
"Bagusl" ujar Dewl Kembang Maut. Tangan kiri dan kanannya dlsentakkan.
Wuuttl Wuuttl
Dari kedua tangan Dewi Kembang Maut melesat dua gelombang ganas menggldikkan. Murid Pendeta Sintlng tidak tinggal dlam. Dla segera pula hantamkan kedua tangannya.
Blamml Blamml
Dua iedakan keras terdengar. Murld Pendeta Sinting tersurut dua langkah dengan sosok berguncang. DI seberang depan, Dewl Kembang Maut mencelat mental. Namun dl atas udara mendadak perempuan darl daratan Tlbet lnl sentakkan kedua tangannya. Saat ltu mentalan tubuhnya terhentl. Lalu enak saja dla angkat baglan atas tubuhnya. Kedua kaklnya dltarlk. Saat laln dla sudah duduk berslla di atas udara!.
"Hebatl" seru murld Pendeta Sinting.
"Sekall iagl aku bertanya. Slapa kau sebenarnya?l" Dari atas udara Dew Kembang Maut berterlak.
"Siapa pun aku, yang jelas bukan orang yang kau carll" Dewi Kembang Maut menggembor marah. Sekali membuat gerakan lagi, melesat dua gelombang menggldikkan dari kedua tangannya!
"Aku baru saja pullh darl luka dalam.... Aku harus hemat tenagal Siapa tahu dla maslh menyimpan pukulan andalan!" Joko membatin. Lalu cepat selamatkan dlri dengan jatuhkan dirl bergulingan. Hingga dua gelombang pukulan Dewi Kembang Maut menghajar tanah dl mana tadl Joko tegak.
Namun Dewl Kembang Maut tldak mau menunggu. Begitu pukulannya loios melabrak sasaran, dia sentakkan bahu. Maslh dengan berslla di udara, sosok perempuan darl daratan Tlbet Ini melesat mengejar ke arah mana murld Pendeta SInting jatuhkan dlrl bergullngan.
Lalu kemball iepaskan pukulan.
Untuk kedua kallnya murld Pendeta Sinting selamatkan dlri darl hajaran pukulan orang dengan bergullngan. Hingga kembali gelombang pukuian Dewi Kembang Maut menghajar tanah!
Dewi Kembang Maut jadi marah besar. Seraya llpat gandakan tenaga dalam, dla turun ke atas tanah. Lalu berkelebat dan langsung menghajar dengan sentakkan dua tangan bertubl-tubl! Hingga saat itu juga melesat beberapa gelombang pukulan yang susul menyusul!
Tindakan Dewi Kembang Maut membuat murid Pendeta Slnting mau tak mau harus menghadang dengan pukuian. Maka seraya angkat tubuh bagian atasnya, dia dorong kedua tangannyal
Bummml Bumm
Dua ledakan keras terdengar lagi. Tapl kali lnl masih dlsusul dengan beberapa letusan. Tubuh murld Pendeta S!nting tersentak menghantam tanah lalu teraeret mundur beberapa langkah dan terhent! dengan mulut komat-kamit dan mata terpejam pejam.
Dl pihak lain, sosok Dew Kembang Maut tergontal-gontai beberapa langkah sebelum akhirnya jatuh terduduk di atas tanah dengan bibir digigitkan satu sama lain menahan agar suara seruannya tidak terdengar.
"Jahanam betul! Slapa manusia ini sebenarnya?! kata Dewi Kembang Maut seraya pentang mata menatap tak berkesip pada sosok murld Pendeta Sinting. Lalu tertahan-tahan bergerak bangklt.
"Aku bisa celaka sendirl kalau tidak segera kuhablsl!" Akhirnya Dewl Kembang Maut memutuskan.
Lalu tegak tengadah dengan dua tangan diletakkan dl depan wajah. Mulutnya komat-kam!t. Sosok perempuan dari daratan Tibet ini mendadak bergetar keras.
Pendekar 131 tidak mau berlaku ayal. Dia buru buru bangkit dan siapkan pukulan sakti 'Lembur Kuning'.
Namun belum sampa! keduanya membuat gerakan leblh jauh, mendadak cahaya mataharl berubah redup laksana terhalang awan.
Dewl Kembang Maut yang tengah mendongak tersentak kaget. Sepasang matanya dipentang dlpiclngkan. Murid Pendeta Sintlng arahkan pandangannya ketanah dl mana saat tu terlihat bayangan yang membuat dadanya berdebar tldak enak.
lni bukan bayangan awan! Bayangan inl membentuk sebuah...." Joko cepat mendongak. Dia melihat sebuah tandu berbentuk bangunan kuil tertutup kaln berwarna merah!
"Dewi Angkaran!!" seru murid Pendeta Sinting dalam hat!.
"Kau pik!r kau bisa selamat, Pendekar 131 Joko Sabieng?!" Mendadak terdengar suara keras membahana dari dalam tandu yang mengapung di atas udara.
Yang paling terkejut adaiah Dew! Kembang Maut. Kepaianya segera disentakkan ke arah Pendekar 131 yang mas!h mendongak.
"Jahanam! Seharusnya aku sadar sejak pertama kaii bertemu!" desis Dewi Kembang Maut. "Tampaknya di antara mereka ada urusan nyawai Hem .... Sebelum aku didahului orang, aku harus mendahuluinya!"
Habis mendesis begitu, Dewi Kembang Maut angkat kedua tangannya. Nsmun kembali gerakannya tertahan ketika ekor matanya menangkap kelebatan beberapa sosok tubuh.
Dewi Kembang Maut menoleh. Dia melihat empat orang gadis cantik berlarl cepat. Pada pundak mereka terlihat dua batangan pohon. Sejarak empat tombak dari tempatnya tegak, empat gadis cantik itu hentikan larinya. Lalu mendongak ke arah tandu di udara.
Bersamaan dengan gerakan kepaia empat gadis di bawah, tandu yang mengapung di atas udara bergerak turun. Laiu terhentl tepat dl atas dua batangan pohon yang ada di pundak empat gadls cantik yang bukan laln adalah Sindang Kuning, Sindang Merah, Sindang Hitam, dan Sindang Putih.
*
* *
------------------------------------------------------SEBELAS
------------------------------------------------------
JAHANAM itu bagianku! Kalian menyingkirlah!" Terdengar lagi suara keras dari dalam tandu
Sindang Kuning, SIndang Merah, Sindang Hitam, dan SIndang Putih turunkan batangan dua pohon dl pundaknya. Begitu tandu turun di atas tanah, SIndang Hitam serta Sindang Putih meiompat menjajari Sindang Merah dan Sindang Kuning yang tegak di bagian depan. Saat laln keempatnya balikkan tubuh menghadap tandu seraya bungkukkan tubuh dengan kedua tangan menakup dl depan dada. Lalu Sindang Kuning dan Sindang Merah melangkah ke samping kanan tandu, sementara Slndang Hitsm dan Sindang Putih ke samping kiri tandu.
"Perempuan tak dikenal! Siapa kau?l" Dari dalam tandu terdengar suara teguran.
Dewi Kembang Maut arahkan pandang matanya ketandu. Dia coba tembusi kain penutup tandu dengan pentangkan matanya. Namun tampaknya perempuan ini gagal mengetahui paras wajah orang di dalamnya, hingga dia segera buka mulut.
"Aku tak mau sebutkan dlri pada manusia yang takut unjuk tampang!"
Terdengar suara tawa bergelak panjang dari daiam tandu. Namun laksana disabet setan, suara tawa diputus. Disusui suara keras membahana.
"Nadamu menunjukkan kau bukan manusia negeri ini! Hem .... Apa bekal yang kau bawa hingga berani datang ke neger! ini, Perempuan?!
Dewi Kembang Maut batik tertawa panjang. Lalu berucap
"Kau nantl akan tahul Dan satu hal yang paatl, aku bukan hanya beranl datang ke negerl lnl, tapl juga beranl unjuk tampang!"
"Belum saatnya manusla sepert!mu mengetahul wajahkul Dan kinl kumlnta kau serahkan bekal senjata yang kau bawa!' darl dalam tandu kembali terdengar suara,
"Hem .... Ucapan Bibi Emban benar adanya.... Dia akan memlnta senjata mlllk slapa saja yang d!temulnyal
Apa maksudnya..2?l" Dlam-dlam murld Pendata Sinting membatin.
Mendengar susra orang darl dalam tandu, kemball Dewl Kembang Maut tertawa. Lalu berkata.
"Kalau hanya untuk membungkam manusla negerl Inl, aku tldak butuh segala macam senjata! Kedua tanganku cukup untuk menguasalnya! Kau dengar itu?l"
"SIndang Kuning1 Sindang Merah!" Terdengar suara darl dalam tandu. "Slingklrkan manusla lni dart hadapanku!"
Slndang Kuning dan SIndang Merah bungkukkan tubuh. Sekall membuat gerakan keduanya sudah tegak beberapa langkah di hadapan Dewl Kembang Maul
"Dengar! Kalau kallan lngin buat urusan denganku, tunggu blar aku selesaikan dulu urusan dengan pamuda keparat itul" Tangan kirl Dewl Kembang Maut lurus menunjuk ke arah murid Pendeta Sinting. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
"Nyawa manusla itu mllikku!" sahut suara keras darl dalam tandu.
Kepala Dewl Kembang Maut menggeleng. "Aku datang darl jauh semata-mata mencarlnya! Kalau kallan semua menghadang, berartl kallan berurusan dengan maut darl daratan Tlbet!" Sepasang mata Dew Kembang Maut menyapu ke arah tandu, kemudian pada SIndang Kuning, Sindang Merah, Sindang Hitam, dan Sindang Putlh.
Habls berkata begitu, Dewl Kembang Maut menylsl ke samplng. Namun belum sampal perempuan darl daratan Tlbat inl membuat gerakan, Slndang Kuning dan SIndang Merah sudah melompal. Tangan masingmaaing gadls berkelebat lepas pukulan ke arah kepala dan perutnya.
Seraya menyumpah panjang pendek DewI Kembang Maut mundur satu tlndak. Saat laln tubuh baglan atasnya disentakkan ke belakang. Lalu kaki kanannya dlangkat menghadang pukulan SIndang Kuning dan Slndang Merah.
Bukk! BukkI
Bentrok dua pasang tangan dan kakl timbulkan suara keras. Tangan SIndang Merah dan Slndang Kuning tersapu ke samplng. Sosok keduanya terhuyung hamplr jatuh bertubrukan. Sementara meskl sempat terguncang keras, namun Dewl Kembang Maut cepat melesat ke udara. Darl atas udara perempuan Inl rentangkan kedua kakinya. Lalu ditengadahkan ke arah Sindang Kuning dan SIndang Merah.
Sindang Kuning dan Slndang Merah terkeslap.
Belum sempat keduanya membuat gerakan, kakl Dewl Kembang Maut sudah berkelebat menyambar wajah mereka! Namun sejengkal lagl kaki Dewl Kembang Maut menghantam telak wajah Slndang Kuning dan Slndang Merah, mendadak darl arah samping melesat gelombang berwarna hitam dan putlh.
Dewl Kembang Maut tldak peduli. Dla teruskan tendangan.
Bukkl Bukkl
Slndang Kuning dan SIndang Merah berseru tertehan. Keduanya terjengkang di atas tanah dengan hldung kucurkan darah.
Tapl bersamaan dengan terjengkangnya sosok Slndang Kuning dan Slndang Merah, gelombang warna hitam dan putlh yang ternyata dllepas oleh SIndang Hitam dan Slindang Putlh datang menderu. Terlambat bagl Dewl Kembang Maut membuat gerakan menghadang meskl sesaat tadl dla sempat angkat kedua tangannya.
Dess! Dess!
Sosok Dewl Kembang Maut terpental lalu roboh terkapar dl atas tanah dengan mulut semburkan darah.
Untuk beberapa saat perempuan darl daratan Tibet lnl dlam tak bergerak-gerak coba kerahkan hawa murnl untuk kuasal dlrl.
Saat bentrok dengan SIndang Kuning dan SIndang Merah, tampaknya Dewl Kembang Maut blsa mengukur tenaga dalam lawan, hlngga meskl dla tahu gelombang hilam dan pullh melesat ke arahnya, dla seolah tldak ambll pedull dan memandangnya dengan aebelah mata. Karena dla sudah blsa memperklrakan akan mampu menghadang begitu menghajar Slndang Kuning dan Slndang Merah. Leblh darl itu sebenarnya Dewl Kembang Maut Ingin unjuk dlrl dengan menganggap sebelah mata gelombang pukulan lawan. Hingga berakibat fatal bagl dlrlnya sendlrl.
DI laln plhak, begitu lepas pukulan, Slndang Hltam dan Sindang Putlh segera melesat ke depan. Lalu tahu tahu sudah tegak tldak jauh darl tempat jatuhnya Dewl Kembang Maut dengan kakl lepas tendangan!
Mendapatl Slndang Hltam dan Slndang Pullh lepas tendangan, SIndang Kuning dan SIndang Merah bangkit berdirl. Lalu sekonyong-konyong keduanya lepas pukulan ke arah Dewl Kembang Maut!
Mellhat ganasnya serangan yang datang, mau tak mau membuat Dewi Kembang Maut sedlkit gentar. Karena dia belum sepenuhnya dapat kuasal dlrl. Dia pun tampak dllanda kebimbangan. Antara menghadang dua tendangan yang datang atau menghadang gelombang kunlng dan merah pukulan Sindang Kuning dan Sindang Merah.
Karena bukan tokoh sembarangan, sebenarnya Dewi Kembang Maut sebenarnya mampu sekaligus menghadang dua tendangan dan dua gelombang pukulan yang menghajar ke arahnya. Namun karena dia tengah dllanda keblmbangan, membuat dlrinya terlambat membuat gerakan. Hingga dia hanya mampu menghadang dua gelombang yang diiepas Sindang Kuning dan SIndang Merah dengan sentakkan kedua tangannya.
Bummm! Bummm!
Dua debuman keras membuncah. Sosok Dewl Kembang Maut tersentak-sentak dua kail. Saat itulah gerakannya tertahan karena tendangan Sindang Hitam dan Slndang Putlh datang menghajar!
Bukk! Bukk!
Dewl Kembang Maut menjerlt tertahan. Sosoknya terbanting ke samping kirl !alu terpental ke samping kanan sebelum akhlrnya terjungkai dl atas tanah dengan mulut den hldung kucurkan darah!
Di seberang beiakang, Slndang Kuning dan Sindang Merah terjengkang di atas tanah. Namun dua gadls Inl segera dapat kuasal diri meski tak urung dari mulut keduanya makin semburkan lelehan darah!
Mellhat lawan sudah terjungkal, Sindang Hitam dan Sindang Putih tak menunggu lama. Mereka berdua segera berkelebat lagl mengejar. Begitu tegak di hadapan DewlKembang Maut, keduanya bukan lepas tendangan, namun lepas pukulan bertenaga dalam tinggi dengan dorong tangan masing-masing!
Walau Dewi Kembang Maut masih sempat angkat tangannya untuk menghadang, namun tampaknya dua gelombang hitam dan putih yang dilepas Sindang Hitam dan Sindang Putih leblh cepal datangnya.
Dewi Kembang Maut rasakan darahnya sirap. Hingga dia hanya tercenung diam seolah pasrah menunggu datangnya maut. Satu setengah jengkal iagl gelombang pukulan Sindang Hltam dan Slndang Putlh menghajar telak sosok DewiKembang Maut, mendadak terdengar satu deruan keras. Dua gelombang hitam dan putih tersapu amblas. Malah sosok Sindang Hitam serta SIndang Putih terjajar dua langkah. Tubuh Dewl Kembang Maut
sendirl ikut tersapu mental ke udara.
Saat ituiah tlba-tiba satu sosok tubuh berkelebal ke arah mentalnya Dewl Kembang Maut. Dan belum sampai Dewl Kembang Maut jatuh menghantam tanah, sosok yang berkeiebat mengejar sudah menyambar sosok perempuan dari daratan Tibet itu lalu perlahan melayang turun.
Sindang Kuning, Slndang Merah, Slndang Hltam, dan Sindang Putih pentangkan mata masing-masing memperhatikan sosok yang menyelamatkan Dew Kembang Maut. Saat lain keempatnya sudah berkelebat dan tegak berjajar di hadapan sosok yang baru muncul menyelamatkan Dewl Kembang Maut.
Slndang Kuning dan ketiga temannya melihat seorang gadis berparas cantik jelita mengenakan pakalan hijau. Rambutnya yang lebal disanggul dan diberi tusuk konde. Sepasang matanya bulat tajam. Bibirnya merah tanpa poiesan. Dua alis matanya hitam dan tebal serta mencuat ke atas. Dari cara berpakalan dan parasnya, jelas orang segera bisa menebak jika gadis inl berasal dari negeri seberang.
Sementara itu, begitu Slndang Kuning dan SIndang Merah mulai lepas pukulan ke arah Dew! Kembang Maut tadi, mendadak darl dalam tandu terdengar suara deruan dahsyat. Laiu satu cahaya putlh kekunlngan melesat ke arah murld Pendeta Sinting!
Pendekar 131 tidak tinggal dlam. Dan karena sudah tahu ganasnya pukulan darl orang dalam tandu, dla langsung menghadang cahaya putlh kekunlngan dengan iepas pukulan sakt! 'Lembur Kuning'!
Bummm!
Terdengar gelegar keras. Cahaya putlh kekunlngan semburat dl udara. Sinar uning pukulan 'Lembur Kuning' juga berantakan lalu membubung ke udara.
Pendekar 131 terhuyung beberapa langkah dengan pegangi dadanya yang laksana terhantam batangan pohon besar hlngga jalan napasnya seperti tersumbat. Jalan darahnya tersentak-sentak.
Di seberang, tldak ada tanda-tanda cedera dari orang dalam tandu. Bahkan kaln merah penutup tandu tidak bergeming sama sekail! Yang terdengar justru ledakan suara tawa keras membahana darl dalam tandu!
"Busyet! Jangan-jangan yang kuhadapi Ini siluman betulan! Dla tldak bergeming sama sekali! Padahal dadaku terasa nyerl dan sesak!" gumam murid Pendeta Sinting seraya tatapi tandu di atas batangan pohon.
"Hem.... Aku jadi penasaran! Aku harus tahu slapa sebenarnya gadis cantik dalam tandu ltu!"
Joko melirik ke samping. Saat ltu Dewl Kembang Maut tampak terkapar di atas tanah terkena gelombang pukulan Sindang Hltam dan Sindang Putih. Sebenarnya Joko ingln membantu Dewi Kembang Maut meski dia tahu Dewi Kembang Maut membekal niat buruk padanya. Namun karena percaya Dewi Kembang Maut mampu menghadapi !awan, dia teruskan niat untuk mengetahul slapa gerangan gadls yang sempat dillhatnya saat kain tandu tersingkap dl kawasan dekat danau.
Pendekar 131 kerahkan segenap tenaga daiamnya. Lalu berkelebat mendekatl tandu. Kedua tangannya dlangkat tinggl-tinggl. Namun dia tahan gerakan begitu darl dalam tandu tidak terdengar adanya deruan melesatnya cahaya pukulan atau suara yang terdengar.
"Jangan-jangan orang dalam tandu Inl sudah tak bernyawa! Tapl.... Mengapa sosoknya tidak mencelat keluar?I Tldak pula terdengar adanya seruan tertahanl Leblh darl ltu kaln penutupnya tldak bergerak sama sekalll"
Karena penasaran dan waspada, Joko segera buka mulut berterlak.
"Orang dalam tandu! Kau dengar suaraku?!"
Tldak terdengar suara sahutan atau tanda-tanda mu culnya orang dari dalam tandu.
"Orang dalam tandu! Mari kita selesalkan urusan lni dengan bicara balk-balk...!" Joko berteriak lagl.
Saat itulah telinga murid Pendeta SInting mendengar suara rintlhan dari dalam tandu. Namun Joko tidak mau bergerak mendekat. Dia menunggu beberapa lama simak balk-balk suara yang terdengar. (tanztj.blogspot.com / tantan@tanz.tj)
Suara rintlhan darl dalam tandu makin lama makin lemah sebelum akhirnya tidak terdengar sama sekall. Joko telengkan kepala sejenak seraya mellrik ke arah Dewl Kembang Maut. Saat itu perempuan dari daratan Tibet In! tengah dilanda keblmbangan karena harus menghadapl tendangan Sindang Hltam dan Sindang Putlh serta gelombang pukulan Sindang Kuning dan SIndang Merah.
Sesaat murid Pendeta Sinting ikut dllanda kebimbangan. Antara membantu Dewl Kembang Maut dan teruskan niat mengetahui apa yang terjadi dengan orang di dalam tandu.
Keblmbangan Pendekar 131 membuatnya tak bisa berbuat banyak ketika mendapatl Dewi Kembang Maut terhajar tendangan SIndang Hltam dan Sindang Putih setelah menghadang gelombang puku!an Sindang Kuning dan Sindang Merah.
Dan keblmbangan serta rasa kaget melihat terhajarnya Dewi Kembang Maut membuat murld Pendcta Slntlng lengah. Hingga begitu terdengar deruan dahsyst dari dalam tandu, dla hanya sempat sentakkan tangan klrlnya!
Blarrr!
Gelombang yang keluar darl tangan klrI murld Pendeta Sintlng hanya tlmbulkan satu ledakan keras saat bentrok dengan cahaya putlh kekunlngan yang t!ba-tlba melesat dari daiam tandu.
Saat yang sama, sosok murld Pendeta Slnting terpental melayang dl atas udare dengnn mulut muntahkan darah. Lalu terdengar suara bergelak panjang dart dlam tandu. Saatlain kain merah penutup tandu bergerak menyibak lalu muncul satu kepala mendongak memperhatikan bayangan
sosok murld Pendeta Slnting.
Namun sekonyong-konyong kepala yang muncul darl dalam tandu tersentak dan masuk lagl ketlka tiba tiba terlihat satu payung yang berwarna-warnl mengapung di atas udara.
Payung bercorak warna-warnl itu sesaat berputar putar keluarkan deruan. Kejap lain tiba -tiba menuklk deras ke arah sosok murid Pendetn Sintlng yang tengah melayang terhantam cahayn putlh kekuningan dari dalam tandu.
Waiau tengah meiayang di atas udara dengan muntahkan darah, namun begltu matanya samar-samar menangkap gerakan payung yang mendekati, tanpa piklr panjang lagl Pendekar 131 segera gapalkan kedua tangannya ke arah gagang payung. Joko tldak mau tahu apa gerangan yang digapainya. Yang terplkir saat itu dia bisa selamat dari jatuh terjungkal dl atas tanah karena dia sadar tldak mampu lagi kuasai dirl.
Begitu kedua tangannya terasa menggapal sesuatu, Pendekar 131 cepat eratkan pegangan kedua tangannya. Lalu pejamkan sepasang matanya.
PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG
Segera menyusul :
PAYUNG PELINDUNG DEWA
INDEX JOKO SABLENG | |
44.Dewi Kembang Maut --oo0oo-- 46.Payung Pelindung Dewa |