Life is journey not a destinantion ...

Dewi Kembang Maut

INDEX JOKO SABLENG
Tarian Maut --oo0oo-- Rahasia Kitab Hitam

JOKO SABLENG
Pendekar Pedang Tumpul 131
Karya: Zhaenal Fanani
------------------------------------------
SATU
------------------------------------------
MATAHARI sudah lama turun. Lintasan buml dibungkus gelap dan sunyl. Arakan awan hitam yang datang laksana gulungan ombak menam
bah pekatnya suasana. Malah berklblalnya deruan angln yang datang menyusull membuat suasana berubah jadl angkerl
Dalam suasana menakutkan begitu rupa, terllhat dua sosok tubuh tegak dl atas sebuah batu karang yang menjorok ke laut. Kedua sosok Inl pentangkan pandangan lurus ke tengah laut seolah tldak peduli dengan keadaan. Malah mereka sepertlnya tldak terganggu dengan gemuruh gelombang ombak yang abadl menghantam lamping batu karang di mana mereka berpijak. "Nyal Sekarpatl.... Sepertinya maiam inl akan sama dengan malam-malam sebelumnya. Aku tidak mellhat landa-tanda kedatangan mereka!" Mendadak hingar blngarnya suasana dlpecah dengan terdengarnya suara darl salah satu sosok dl atas batu karang.
Vang buka suara adalah sosok sebelah kanan. Dia adalah seorang gadls muda berparas cantlk jellta. Rambutnya hltam lebat. Sepasang matanya bulat sedikit sayu namun tajam. Kulitnya putih bersih dengan biblr morah tanpa polesan. Pada kepalanya tampak melingknr untaian bunga dengan sebuah batu agak besar tpnl pada bagian keningnya. Batu itu berwarna putih pancarkan kilatan-kilatan terang. Gadis ini mengenakan pukalan berupa kain panjang kembang-kembang ymug dllapls dengan jubah putih sebatas lutut.
"Dewi Atas Angin.... Kuharap kau menahan dirl. Kita tidak blsa berbuat banyak. Yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu dan menunggu! Jika malam lni mereka tldak muncul, kita akan kemball besok malam!" Terdengar suara sahutan.
Yang menyahut adalah sosok di sebelah kirl gadls berpakaian kembang-kembang dilapis jubah putih panjang. Dla adalah seorang perempuan berusia lanjut. Rambutnya yang putih dibiarkan bergerai ditlup angln laut. Nenek ini memillkl sepasang mata besar yang menjorok masuk ke dalam dua cekungan dalam. Raut wajahnya sudah keriput dan hanya dilapis kullt tlpls hlngga yang terlihat jelas adalah tonjolan tulang-tulang wajahnya. Nenek inl memakai pakaian berwarna putih dilapls sebuah jubah panjang berwarna hitam.
"Nyai Sekarpatl...! Jika malam Ini mereka tldak muncul, aku sudah memutuskan untuk berangkat sendlri! Tidak munculnya mereka satu buktl kalau mereka mendapat halangan!" Gadls berjubah panjang putlh kemball angkat suara dengan pandangan mata terus iurus ke tengah laut yang berwarna hitam.
Nenek berjubah hitam panjang yang dipanggll dengan Nyai Sekarpati berpaling ke arah sl gadis. "Dewl Atas Angin.... Jangan cepat menduga. Perjalanan mereka sangat jauh dan mungkin akan mendapatl banyak halangan. Tapi aku percaya mereka mampu melewati setlap hadangan! Kalaupun sampal saat inl mereka belum muncul, aku menduga hanya soal waktu sajal'
Kali ini gadis berjubah putih yang dipanggil dengan Dewi Atas Angin menoleh.
"Nyai Sekarpati.... Kita belum tahu keadaan kawasan yang didatangi mereka. Lebih dari itu, tugas yang mereka emban bukan urusan kecil. Mungkin saja dugaanmu benar, tapi dari lewatnya waktu, aku lebih percaya kalau penanllan kita ini bukan soal waktu saja!" "Tapl keputusanmu untuk berangkat sendiri kurasa bukan satu keputusan yang baik! Kau baru blsa mengambll keputusan setelah mendengar keterangan dari mereka!"
DewI Atas Angin lepas pandangan ke arah laut lagl. Lalu berkata......
"Nyal.... Kau harus ingat! Urusan Inl tldak tergantung pada keterangan siapa pun! Benda itu harus kita dapatkan atau kita akan menjalanl hldup seperti sekarang Inil".
"Benar! Tapl klta harus memperhitungkan setiap Jengkal langkah yang kita jejakil Jika tidak, bukan saja klta harus terus menjaianl hldup sepertl sekarang ini, leblh darl itu kita akan mendapetkan naslb buruk! Celaka sebelum mampu menyelesalkan urusan!"
Dewl Atas Angln menghela napas panjang lalu tcrtawa pendek dan berucap.
"Nyai.... Kurasa mampus leblh baik darlpada hidup aeperti yang kita jalani saat Ini...."
Mendengar ucapan Dewl Atas Angin, Nyal Sekarpatl tengadahkan kepala tembusl kelamnya angkasa, Tlba-tlba nenek ini tertawa panjang sebelum akhirnya borkata.
"Dewi.... Aku mendengar nada putus asa dalam cnpanmu! Padaha! uslamu belum seperempat dari umurkul'
"Kita berbeda, Nyal!" sahut Dewi Atas Angin.
"Beda usia benari Tapi tidak beda urusan! Dan kau tahu sendiri, aku berhasil melewatinya hingga usiaku emput kull lpat usiamu!" Nyai Sekarpati hentikan ucapaniya uosuat lalu menyambung. "Terus terang.... Aku sering dihadang perasaan putus asa sepertimu! Tapi aku cobu menindlhnya dengan berpiklr jauh! Aku tidak w t inemolong takdirku dengan mengambll keputusn gila! Karena kita belum tahu apa yang keiak akan terjadi!"
Dewi Atas Angln lerdlam beberapa lama. Gadls lnl coba simak balk-baik ucapan orang. Sementara Nyal Sekarpatl raplkan kibaran rambutnya lalu berkata lagl.
Dewi.... Untuk sementara waktu harap tldak ambil keputusan dahulu sebelum klta peroleh keterangan darl utusan klta!"
Tapi sampai kapan kita akan mendapat keterang­
an ltu?!"
"Aku tak bisa menentukan waktunya. Yang jelas ki­
ta tunggu sampai beberapa purnama mendatang!"
Dewl Atas Angin geleng kepala. "Nyal.... Kurasa waktu itu terlalu lama. Padahal kalaupun ada halangan, seharusnya mereka sudah datang dalam harl-hart [nil" "Dewi.... Klta tidak tahu halangan apa yang menghadang mereka hingga kedatangannya terlambatl Kita bisa memperkirakan, tapl kenyataan tidak selalu sama dengan perkiraanl Jadi harap bersabar.... Kita tinggal­
kan tempat Ini. Kita akan kemball besok malam...!"
Nyal Sekarpatl ballkkan tubuh. Namun karena tahu Dewl Atas Angin tidak membuat gerakan apa-apa, sl nenek tldak lanjutkan gerakan berkelebat.
Dewl.... Malam Inl udara sangat buruk. Tak lama lagl hujan akan turun," ujar Nyal Sekarpatl dengan kepala dlpalingkan sedlkit dan ekor mata mellrik.
Dewi Atas Angin tetap tegak tak bergeming. Malah saat laln kepala gadls cantik Ini bergerak ke depan dengan mata dlpentang besar-besar.
Sikap si gadls membuat sl nenek curiga. Dia sen­
takkan kepala berpaling seraya berkata. "Kau meiihat sesuatu?!"
Yang ditanya tldak menyahut. Seba!lknya makin sorongkan kepalanya ke depan dan kejap laln kakinya bergerak maju.
Tak sabaran, Nyal Sekarpati segera putar dlri. Lalu bergegas menjajarl Dewi Atas Angln dengan kepala lkul dlsorongkan dan sepasang mata dibeilakkan ke tengah laut.
Dalam gelapnya suasana dan besarnya gelombang laut, sl nenek melihat gerakan-gerakan sebuah perahu. "Dari perahu yang bergerak, aku bisa memastikan itu bukan perahu mereka! Berarti slapa pun penumpang dl atasnya bukan orang yang kutunggu! Tapl.... Darl arah gerakan perahu, sepertinya si penumpang tahu tengah ditunggu kedatangannya di tempat Inil" Nyal Sekarpati membatin seraya terus tembusi pekatnya suasana dan taburan gelombang simak balk-baik perahu di tengah laut yang terus bergerak ke arahnya. "Dewi...," kata Nyai Sekarpati setelah beberapa
lama terdiam. "Sebaiknya kita mencari tempat lain!" Kepala sl nenek berputar menyiasati keadaan sekitar plnggls an iaut yang banyak dltebari tonjolan batu karang. "Aku menangkap gelagat tldak baik!"
Tanpa berkata tangan Dewi Atas Angin bergerak cekal lengan Nyai Sekarpatl. Si nenek memandang ke arah sl gadls lalu berkata.
"Dewi.... Perahu itu bukan perahu utusan kita! Semontara arahnya jelas kemarl!"
"tu bukan satu gelagat tidak baik, Nyal!"
'Tapl itu satu tanda penumpangnya bukan orang yang aelama ini kita tunggu!"
"Nyal.... Malam Ini aku mendengar nada takut pada ucapanmu!"
Nyal Sekarpati tertawa pendek. "Kau jangan salah lugn dongan ucapanku! Dalam usia yang sudah hamplr borakhlr begini, terlambat untuk merasa takut dengan k•111<1lhml Aku hanya ingln membuktlkan dahulu slapa adanya manusia penumpang perahu! Dengan begltu setidaknya kita bisa ambil keputusan tepat!"
Kepala Dew Atas Angin menggeleng. "Nyal.... Slapa pun adanya penumpang perahu, manusia itu harus memberl keterangan! Aku tldak akan pergl sembunyil Jika kau ingin mencarl tempat laln sllakan!"
"Aku telah mengasuhnya sejak bayi.... Aku tahu bagaimana sifatnya! Percuma aku memaksanyal" Nyai Sekarpati membatin. Lalu arahkan pandang matanya ke arah perahu yang makin mendekat. Sementara Dewl Alas Angln segera lepaskan cekalan tangannya pada lengan si nenek. Lalu sekaii membuat gerakan, sosoknya telah tegak di dekat lamping jorokan batu karang.
Dewi Alas Angin tidak peduli dengan hantaman gelombang yang mendera lamping batu karang hingga alr laut muncrat bertabur membasahi sebaglan pakalannya.
"Hem.... Gelapnya suasana membuatku sulit untuk menentukan siapa manusia di alas perahu itul Tapl darl arahnya, Jeias penumpang itu tahu keberadaanku di tempat inil" Dewi Atas Angin bergumam lalu berpaling pada Nyai Sekarpati.
Ada yang hendak kau katakan?!" tanya sl nenek. Sebenarnya mulut Dewl Atas Angin sudah bergerak membuka. Namun entah mengapa mendadak gadis ini urungkan blcara, malah saat ltu Juga kembali kepalanya dlpallngkan ke tengah laut.
Saat itulah dl antara taburan gelombang air laut, Dewl Alas Angln menangkap gerakan tegak satusosok tubuh dl atas perahu. Lalu terilhat lambaian tangan.
Dewi Atas Angin sunggingkan senyum. Laliu angkat tangan kanannya. Namun belum sempat membuat gerakan balas lambaian tangan dl atas perahu, tangan Nyal Sekarpati mendahulul mencegah seraya berkata.
"DewI.... Harap tldak gembira dahuiu! Kita belum blsa memastlkan slapa adanya orang dl atas perahu!"
Sesungguhnya Dew» Atas Angin ingin tepiskan tangan Nyal Sekarpatl. Tapi setelah diplkir akhirnya gadls inl diam tldak membuat gerakan apa-apa.
Beberapa lama kemudian, Nyal Sekarpati maju menjajarl Dewi Atas Angin begitu gerakan perahu sudah tidak jauh darl lamping Jorokan batu karang dl mana dla tegak. Sambll pentangkan mata mendadak si nenek berterlak.
Manusla di atas perahu! Setan laut sekalipun kau adanya, cepat sebutkan dlri!"
Walau saat itu suara gelombang laut memekakkan tellnga, tapl sosok dl atas perahu jelas dapat menangkap teriakan sl nenek. Terbukti sosok Inl buru-buru hentlkan lambalan tangannya. Lalu balas berteriak.
"Aku Uwe Ladaml! Aku datang bersama Uwe Kasumil
Nyal.... Bedanya perahu bukan saja jaminan kalau yang datang orang lain!" ujar Dewi Atas Anglin. Ketegang@an pada raut wajahnya lenyap seketlka.
Tapl benar sebutkan nama juga bukan satu jaminan kalau yang muncul adalah orang yang kita tunggu!" Kenlng Dewi Atas Angin mengernyit. "Kau masih helum percaya jika orang dl atas perahu adalah Uwe Ladamil dan Uwe Kasuml?["
"LIhat baik-baikl Yang tampak hanya satu orang! Dan slkapnya mencurigakan!"
Dowl Atas Angin kembali pentangkan mata. Apa yang dlkatakan sl nenek benar adanya. Dla hanya melilat satu sosok dl atas perahu. Sementara sosok Inl sepr tinya berusaha menutupl raut wajahnya dengan baglen bawah bajunya meskl hal itu tampak sepertj tidak heengala karena saat itu angin laut berhembus kencang kibarkan pakalan yang dikenakan.
"Tapi pakalan yang dikenakan adalah pakaian Uwe
Ladaml! Aku tahu betuli" kata Dewi Atas Angin. "Dewi.... Kita tldak usah berdebar! Kita tunggu saja
hingga dla mendekat! Tapi harap berhati-hati, aku me­
nangkap ada hal yang tidak beres!"
Mungkin karena tak mau berdebat, sementara dla tidak melihat Uwe Kasumi, Dewl Atas Anglin buru-buru berterlak.
"Kau bllang datang bersama Uwe Kasuml. Tapi aku tidak melihatnyal"
"Per[alanan ini sangat jauh. Uwe Kasuml kelelahani Dia tldur dl lantal perahu!" terdengar sahutan darl atas perahu. Bersamaan dengan itu Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati mellhat sosok yang sebutkan dlrl sebagal Uwe Ladaml bungkukkan tubuh. Lalu tangannya menggapal ke bawah. SI gadls dan sl nenek di lamping batu karang mellhat dua tangan terangkat darl atas lantal perahu.
"Uwe Ladami!" terlak Dewi Atas Angin. "Percepat laju perahumu!"
Sosok dl atas perahu kembali bungkukkan tubuh. Saat dla tegak lagl, tangan kirlnya sudah memegang sebuah dayung. Saat lain sosok Inl mendayung dengan tangan kiri sementara tangan kanannya sesekall pegangl kibaran pakaiannya yang menutupi sebaglan wajahnya.
Begltu dua puluh tombak !agl perahu mencapai lamping tonjolan batu karang, mendadak sosok di atas perahu sentakkan dayung dl tangan kirinya ke atas lantal perahu.
Brakkkl
Hampir bersamaan dengan beradunya ujung dayung menghantam lantal perahu, sosok di atas perahu melesat laksana setan gentayangan. Dewl Atas Angin dan Nyal Sekarpatl mendengar deruan gelombang angln lewat di atas kepala masing-maslng.
Tersentak kaget, DewI Atas Angln dan Nyal Sekarpat! rundukkan kepala lalu berpaling menglkutl gerakan sosok yang melesat dari alas perahu.
Sosok yang tadi di alas perahu tahu-tahu sudah tegak beberapa langkah dar! tempat tegaknya Dew Atas Angin dan Nyal Sekarpatl dengan membelakangl. Tangan kiri masih memegang dayung sementara tangan kanan pegangi pakaiannya yang menutupi wajahnya.
Dewi Atas Angin dan Nya! Sekarpatl cepat ballkkan tubuh. Sesaat keduanya saling berpandangan. Walau l!dak ada yang buka suara, namun jelas tampang mereka membayangkan rasa curlga dengan sosok yang tegak di hadapan mereka.
"Harap sebutkan diri terus terang!" Nyai Sekarpatl langsung buka suara.
"Pakaian yang kaukenakan jelas pakalan millk Uwe I ndami! Tapl jelas kau bukan Uwe Ladamll" Dewl Atas Angln ikut buka mulut.
Sosok dl depan yang mengenakan paka!an putihputlh tldak menyahut atau membuat gerakan. Kalaupun lla nembuat gerakan, dia ketuk-ketukkan ujung dayung ke atas batu karang. Hebatnya baik Dewl Atas Angln maupun Nyal Sekarpatl rasakan batu karang ywng dlp!jaknya bergetar keras! Malah ketukannya mmpu meredam suara gemuruh geiombang yang uneuqhant am iamping batu karang!
"Ilwe Ladami berilmu tinggi. Topi dia belum mampu mhuut hal seperti orang itu! ini satu petunjuk siapa pun adnnya orang itu, dia membekal ilmu sangat tinggi. blh dart itu, Uwe Ladami dan Uwe Kasuml mengalami nasib buruk!" Nyal Sekarpatl bergumam.
"Tapi bagalmana dia blsa tahu semua perihal Uwe Ladami dan Uwe Kasuml?!"
"Jawabannya hanya bisa dikorek dar! mulut orang itu!" jawab si nenek. Lalu berteriak.
"Harap suka unjuk muka! Kami butuh beberapa keterangan!"
Orang yang tadl berada di atas perahu perdengarkan tawa pendek. Bersamaan itu dia membuat gerakan berbal!k dengan bertumpu pada ujung dayung.

*
* *

------------------------------------------
DUA
------------------------------------------
KARENA sebagian wajahnya tertutup bagian bawah pakaian yang dikenakan, baik Dewi Atas Angin maupun Nya! Sekarpati tidak bisa menge­
nall orang di hadapannya meski orang ini telah berbalik menghadap.
"Aku minta kau buka penutup wajahmu!" seru Nyai Sekarpati dengan pentang mata.
"Permintaan mudah! Tapi kuminta kalian nanti juga mudah penuhi permintaanku!" kata sosok dl depan seraya perlahan turun tangan kanannya yang pegang! baglan bawah pakalannya yang menutupl sebagian wajahnya.
Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati melihat seorang perempuan setengah baya berwajah agak lonJong. Sepasang matanya agak slpit dltingkah dua alls nta mencuat ke atas.
"Nyai.... Kau pernah me!lhat tampang orang ini?!" bowi Atas Angin berbisik.
"Baru kali inl aku mellhatnya! Tapl yang jelas dla bukan berasal dari negeri inii"
"Hem.... Berartl dia berasal darl negeri yang dikunJungi Uwe Ladam! dan Uwe Kasumli Apa maksud orang h ?I Mungkinkah Uwe Ladaml dan Uwe Kasuml membat ulah macam-macam di negerl asing?!" bisik Dewi Alas Angin.
Dewl.... Di mana-mana dunla persilatan tidak jauh berbeda! Urusan kecil saja kadangkaia membuat tumpahnya darahi Bahkan sering kali orang alirkan darah tapsosuatu yang jelas! Jadi jangan heran dengan sla orang Inii"
Baru saja Nyal Sekarpatl berucap begltu, mendadak perempuan setengah baya dl depan keluarkan suara.
"Benar kalian Dewl Atas Angin dan Nyal Sekarpatl?!"
Setelah saling lontar lirlkan, Dewl Atas Angln dan Nyal Sekarpati anggukkan kepaia.
"Kau sendlrl siapa?! Lalu mana Uwe Ladaml dan Uwe Kasumi?! Yang ajukan tanya Dewl Atas Angln.
Yang ditanya dongakkan kepala. Lalu berucap. "Aku Pang Bing Nlo! Tapl seluruh daratan Tibet mengenolku dengan Dewi Kembang Maut!"
Perempuan setengah baya yang memperkenalkan diri dengan Pang Bing Nio atau Dewi Kembang Maut gerakkan tangan kanannya membuka bagian depan pakaian yang dikenakan.
Dewi Atas Angln dan Nyal Sekarpati sama hendak palingkan kepala. Tapi mereka segera urungkan nlat begitu yang terlirk mata mereka bukannya dada dan perut orang melainkan untaian kembang mlrip bunga mawar berwarna merah. Rangkaian kembang ltu dlbuat beruntal demlkian rupa saling menyatu sama lain hingga kulit dada dan perut Pang Bing Nio tidak kellhatan sama sekali! Hebatnya, meski kembang-kembang ltu ditutup pakaian dan ditekan, kembang-kembang ltu tldak semburat berhamburan atau layu! Kembang-kembang itu segar seolah masih tumbuh darl akarnyal
Pang BIng Nio allas Dewi Kembang Maut tutupkan kembali pakaiannya. Lalu berkata.
"Aku datang tidak berbekal maut! Tapl membawa beberapa pertanyaani Tapi kalau kallan berbelit, pertanyaan bisa berubah jadi maut! Kalian paham?l"
Aku tanya di mana Uwe L.adaml dan Uwe Kasuml!"seru Dew Atas Angin. Karena terkejut dengan munculnya orang serta keanehannya, balk Dewl Atas Angin / maupun Nyal Sekarpatl lupa jlka Pang Bing Nio tadl sempal angkat dua tangan orang saat maslh di atas perahu.
"Kallan berdua tak usah cemas dengan kedua gadls itu! Mereka baik-balk saja! Sekarang jawab pertanyaanku! Benar Pedang...."
Belum habis pertanyaan Dewi Kembang Maut, Nyal Sekarpatl sudah menukas.
"Silakan kau ajukan tanyal Tapl jangan punya harapan akan mendapat jawaban!"
Pang Bing Nlo allas DewI Kembang Maut tertawa.
Lalu berkata.
"Jangan mengubah pertanyaan Jadi maut!"
"Kau yang membuka urusan maut! Kau datang tanpa dlundang! Bahkan telah membuat celaka dua oahabat kamii" bentak Nyal Sekarpatl. Tidak munculnya Lwe Ladaml dan Uwe Kasumi serta pakalan Uwe Ladaml yang ternyata telah dikenakan Dew Kembang Maut sudah cukup membuat Nyal Sekarpati makium jlka Uwe Ladaml dan Uwe Kasumi mengalami hal buruk. Dan Ilba-tiba saat itulah si nenek terlngat akan dua buah tangan di atas perahu yang sempat diangkat oleh awl Kembang Maut.
Kepala Nyai Sekarpatl cepat berpaling ke arah perahu yang masih terombang-ambing dl dekat lamping jorokan batu karang. Lalu berteriak.
Uwe Ladami! Uwe Kasumii Kalian bisa dengar eraku?l"
Si nenek menunggu, Namun hingga agak lama tlak juga terdengar sahutan. SI nenek hendak bertetk lagl. Namun keburu dldahulul Dewi Kembang Mout.
Kau tldak akan dengar jawaban sebelum Jawab pertanyaanku!"
"Dewl! Selldlki perahu! Aku akan meladeni perempuan tak diundang ltu!" bisik si nenek.
Baru saja Nyai Sekarpati berblsik dan Dewl Atas Angin belum bergerak, Dewl Kembang Maut sudah perdengarkan suara lag!.
"Kuulangl pertanyaanku! Benar Pedang Keabadian tengah kailan car?!"
"Itu urusan kaml!" sentak Nyal Sekarpatl. "Dan sekarang jadi urusanku pula!"
"Katakan apa maksudmu sebenarnyal" Yang membentak Dewl Atas Angin dengan dada berdebar tldak enak.
"Aku datang dengan beberapa pertanyaani Bukan untuk menjawab! Jadl sekarang jawab lagl pertanyaankui Benar Pedang Keabadian tldak berada dl tangan kalian?l"
Balk Dewi Atas Angin maupun Nyai Sekarpati sama kancingkan mulut. Pang Bing Nio alias Dewi Kembang Maut tertawa. Lalu berkata iagi.
"Kalau kallan tldak ada yang menjawab, berartl Pedang Keabadlan ada dl tangan kalian! Kumlnta kallan serahkan padaku sekarang jugal" Tangan kiri Dewl Kembang Maut yang memegang dayung bergerak. Dayung dl tangannya lurus bergerak pulang balik ke arah Dewi Atas Anglin dan Nyal Sekarpati member! lsyarat meminta.
"Apa pun maksud manusia ini, yang jelas dla punya tu]uan sama dengan kita! Klta belum mendapatkan pedang itu, jadl harap tidak membuat urusan barul Apalagl manusia Ini berasal dari negerl asal Pedang Keabadian!" Nyai Sekarpati kemball berbisik seolah tahu jika dada Dewi Atas Angin sudah panas dan Ingn membuat perhitungan.
Habis berbislk, Nyal Sekarpatl segera buka mulut.
"Pedang Keabadian tldak berada dl tangan kaml!"
Dewi Kembang Maut tarik pulang dayungnya. Memandang slllh bergantl pada dua orang dl hadapannya lalu berkata.
Sementara Inl aku percaya dengan ucapan kallan! Dan sebelum aku pergl, aku Ingatkan kalian berdua untuk hentikan usaha memburu pedang itu! Jka kallan teruskan nlat, berarti kailan memutus langkahkul Dan tu adalah malapataka bagl kallanl"
Ucapan Dewl Kembang Maut tampaknya membuat Dewi Alas Angln lidak mampu lagl membendung hawa kemarahan dl dadanya karena dipandang sebelah mata. Dengan alhkan pandangan gadls cantlk Inl berkata. "Kau boleh bicara seenakmu sendirl di negeri asal­
mul Tapl harap kau Ingat! Saat Inl kau berada dl negerl
aalng! Kau belum tahu dalamnya laut tingginya langit di negerl orang!"
"Dalamnya laut tingginya langit negerl asing bukan hal yang kutakutkan! Aku punya kekuatan untuk meuyolam dan menggapainya! Jika tidak, tldak mungkin aku sekarang tegak dl hadapan kaliani"
"SImpan dulu mimpl-mimpi congkakmu itu, Manuslal" bentak Dewl Atas Angin.
"Aku tidak bicara m!mpl-mimpl! Jika kalian tidak percaya, aku blsa tunjukkan! »
"Tahan!" Nyai Sekarpati berseru katlka mendapatl
Dewl Kombang Maut putar dayung dl tangan klrinya. "Au tahu kau membekai Iimu tinggl! Tapl jangan luge kami ngeri! Kaml hanya tldak Ingin terjadi salah paham gara-gara urusan kecil! Kami tahu. Kau inginkan tang Keabadian. ltu hakmu dan kaml tldak akan men@thalangl! Tapi sebalknya kau harus pula mengerti hak-hak kaml jlka kaml Inginkan Pedang Keabadlani Kita sekarang hanya berebut takdlr! Jika kau yang beruntung, maka pedang itu akan jatuh ke tanganmu! Demiklan pula sebaiiknya!"
Dewl Kembang Maut tertawa dengan geleng kepala. "Silakan kau buat aturan. Tapl aku tetap memakai aturanku sendiri. Slapa pun yang berlat memlllkl pedang ltu berartl memutus langkahku! Dan itu berarti pula harus berhadapan denganku!"
"Aku menangkap beberapa hal aneh dalam diri manusia Ini!" Nyai Sekarpatl berblsik.
"Tak ada hal aneh dalam dirl manusia glla seperti dla!" Dewi Atas Angin balas berbislk dengan mata menatap tajam pada orang di hadapannya.
"Dengar, Dewi.... Dia inginkan Pedang Keabadian! Padahal pedang itu jelas berada dl negerinya!"
"Aku tidak mengerti maksudmu!"
"Kalau dla sampal jauh-jauh datang ke sinl, berarti Pedang Keabadlan sudah tidak ada lagi dl negerl asainyal Dan darl negeri mana dla saat lnl berada, jetas satu petunjuk jika pedang ltu sekarang berada di negeri klta sendlrl!"
"Bagaimana hal itu blsa ter]adl?l"
"ltulah yang harus kita selldikii Mungkln Uwe Ladaml dan Lwe Kasuml blsa memberi sedikit keteranganl Cepat selldikl perahu dan pastlkan siapa adanya pemilik tangan yang tadi diangkat perempuan dl hadapan kita inl!"
Waiau enggan lakukan ucapan Nyai Sekarpati, namun setelah diplklr-pikir akhirnya Dewi Atas Angin pu tar dirl. Lalu berkelebat ke arah pinggiran batu karang. Namun gerakan Dewl Atas Angin tertahan ketika tibatiba terdengar suara Dewl Kem bang Maut.
Au tidak akan memblarkan kallan bergerak sebelum aku mendapatkan kepastlan!"
"Kepastlan apa?!" sentak DewI Atas Angln tanpa ballkkan tubuh.
Kalian tldak akan teruskan niat memburu Pedang Keabadian!"
Dengan pasang lampang angker Dewl Atas Angin putar dlri. "Jangankan hanya kau! Seribu manusla sepertimu lidak akan blsa menghadang niat kaml!"
Wuutt!
Tangan kanan Dew! Kembang Maut bergerak. Satu gelombang dahsyat berklblat perdengarkan deruan menggidikkan.
Mendapatl orang sudah lepas pukulan, Nyai Sekarpatl tldak tinggal dlam. Sebelum Dewi Atas Angin sempnt membuat hadangan, nenek Ini mendahulul dengan entakkan kedua tangannya.
Blammm!
Batu karang menjorok itu bergetar keras. Bahkan ujung jorokan langsung berantakan. Sosok Dewl Kemtang Maut tersurut dua tindak dengan paras berubah. Dl depannya selain berubah pucat pasl, kaki Nyai Sekrpatl mundur dua langkah.
Pang Bing Nlo allas Dewl Kembang Maut tatapi eat sosok Nyai Sekarpati dan Dewl Atas Angln yang udah angkat kedua tangannya tinggi-tinggl. Perempan dari tanah Tibet ini menyeringai dingin. Saat lain ta-lba dia hentakkan ujung dayung ke atas batu kata Sosoknya berkelebat ke depan.
togltu tiga iangkah lagl mencapai Dewi Atas Angin dn Nyal Sekarpati, untuk kedua kalinya Dewi Kemug Mnut hentakkan ujung dayung. Kelebatan sosokya rhentl. Kini bertumpu pada dayung yang lurus di uwnhnya, dia rentangkan kaki membuat tendangan kearah Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati.
Karena sudah waspada, Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati cepat rundukkan kepala masing-masing seraya hadang tendangan dengan tangan.
Bukkk! Bukkk!
Dua benturan keras terdengar. Sosok Dewi Kembang Maut tersentak baiik dengan dayung terjajar beberapa iangkah. Hebatnya saat ltu juga Dewl Kembang Maut cepat tekankan dayung di tangan kirinya.
Biesss!
Ujung dayung langsung ambias masuk ke daiam batu karang. Sosok Dewi Kembang Maut terhenti di atas udara dengan tangan kiri tetap bertumpu pada pangkai dayung.
Di lain pihak, sosok Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati sama terhuyung dengan tangan masing-masing terpenta!. Dan mungkin sadar yang dihadapl bukan orang sembarangan, keduanya cepat iipat gandakan tenaga daiam. Laiu arahkan pandang matanya ke depan.
Sesaat mata si gadis dan si nenek sempat terbaliak mendapati bagaimana ternyata Dewi Kembang Maut sudah tegak dengan tangan kiri kanan berkacak pinggang. Bukan tegak di atas batu karang, melainkan di atas pangkal dayung dengan kaki kanan iurus sementara kaki kiri disiiangkan pada kaki kanan!
Dari atas dayung, Dewi Kembang Maut arahkan matanya pada Dewi Atas Angin. Diam-diam dia membatin.
"Aku saiah duga! Kukira gadis itu tidak ada apaapanya! Ternyata tenaga daiam yang dimiiiki iebih kuat dari si nenek! ini satu peiajaran bagiku! Aku tidak boleh memandang rendah pada orang muda!"
Habis membatin begitu, Dewi Kembang Maut tarik kedua tangannya iaiu dirangkapkan di depan dada. Saat iain dia hentakkan kaki kanannya yang bertumpu pada pangkai dayung. Sosoknya membai ke atas. DI atas udara dia membuat sikap duduk bersiia. Laiu periahan turun dan kejap iain sudah duduk bersiia di atas pangkai dayung!
Pang Bing Nio tidak menunggu. Begitu pantatnya berada di atas pangkai dayung, kedua tangannya bergerak iepas pukuian!
Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati seoiah sudah tahu apa yang hendak dilakukan orang. Hingga hampir bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan Dewi Kembang Maut, keduanya hantamkan tangan masingmaslng.
Bumm! Bummm!
Suara abadi gemuruh ombak yang menghantam lamping-lamping batu karang pecah tenggeiam oieh aura debuman keras bentroknya pukulan Dewi Kembang Maut dan Dewi Atas Angin serta Nyai Sekarpati.
Sosok Dewi Kembang Maut iangsung mental darl pengkai dayung iaiu jungkir baiik di atas udara sebeium akhirnya roboh terduduk di atas batu karang dengan muiut semburkan darah. Tubuhnya bergetar keras dengan mata terpejam terbuka!
Di iain pihak, sosok Dewi Atas Angin dan Nyai Sekrpati terpentai dan terbanting dua kaii di atas udara ebium akhirnya terhuyung dan roboh bersimpuh di pinggiran jorokan batu karang dengan muiut masingmasing teteskan darah! Untung kedua orang ini cepat b!ea kuasai diri. Kaiau tidak, niscaya tubuh masing-masing akan ambias tercebur ke daiam iaut!
Hem.... Keterangan Uwe Ladami dan Uwe Kasumi hensr adanyai Mereka berdua belum memegang Pedang Keabadian! Dan berarti pedang itu masih di tangan manusia bergeiar Pendekar Pedang Tumpui 131 Joko Sabieng! Turut kemauan ingin rasanya aku menghabisi dua manusia itu. Namun urusanku masih panjang! Aku tak mau berhadapan dengsn Pendekar 131 Joko Sabieng daiam keadaan tertuka!" Pang Bing Nio alias Dewi Kembang Maut membatin. Laiu bangkit seraya rapikan rambutnya. Saat iain dia berteriak.
"Dewi Atas Angin! Nyai Sekarpatii ini hanya peringatan bagi kaiian berduai Sekaii kaiian teruskan niat, maut akan menjemput kaiian berdua! Dan jangan harap urusan ini akan pulus sampai di sini!"
Habis berteriak begitu, Dewi Kembang Maut putar diri. Laiu berkeiebat. Namun bersamaan dengan itu kedua tangannya menyentak ke beiakang!

*
* *

------------------------------------------
TIGA
------------------------------------------
DEWI Atas Angin dan Nyai Sekarpati yang sudah tegak di pinggir jorokan batu karang meiihat dua kuntum bunga berwarna merah pancarkan cahayaterang dan perdengarkan desingan dahsyat meiesat ke arah merekai
Anehnya, Nyai Sekarpati tldak membuat gerakan untuk menghadang. Sebaiiknya hanya berpaiing pada Dewi Atas Angin. Saat yang sama Dewi Atas Angin tekuk kedua iututnya hingga sosok gadis ini sedikit melorot. Kedua tangannya ditarik ke atas menakup di depan dada. Sepasang matanya dipentang besar-besar pandangi dua kuntum bunga. Saal iain dia kedipkan matanya dua kaii.
Seandainya Dewi Kembang Maut tidak meiesat tlnggaikan tempat itu, niscaya dia akan tersentak kaget. Dua kuntum bunga miiiknya mendadak bersatu di udara lalu periahan-lahan melesat menuju batu putih di kening Dewi Atas Angin!
Dua jengkai iagi dua kuntum bunga yang bersatu esmpa! di batu putih, Dewi Atas Angin kembaii kedipkan sspasang matanya.
Wuutt!
Darl batu putih menderu satu iarik sinar putih. Laiu tetiengar ietusan kecii. Dua kuntum bunga berantakan «ewmnburat ke udaral
lumpir bersamaan dengan bertaburnya dua kuniu Inga, Dewi Atas Angin jejakkan kaki. Sosok gadis l lssat. Dewi Atas Angin sudah memutuskan untuk ngejar Dewi Kembang Maut.
Namun beium sampai Dewi Atas Angin membuat gerakan iebih lanjut, Nyai Sekarpati sudah bergerak meiompat memotong dan tegak di hadapan si gadis seraya berkata.
"Biarkan dia pergi mencari haknya! Bagi kita masih ada yang iebih penting!"
Waiau tidak senang dengan tindakan si nenek, tapi akhirnya Dewi Atas Angin urungkan niat mengejar Dewi Kembang Maut. Dia tembusi kegeiapan pandangi sosok Pang Bing Nio yang sudah ienyap di depan sana. Laiu putar diri dan sekaii membuat gerakan sosoknya teiah meiesat melewati jorokan batu karang meiayang di atas air iaut sebeium skhirnya mendarat di iantai perahu!
Setelah edarkan pandangan ke kanan kiri perahu, Dewl Atas Angin arahkan pandang matanya ke satu hamparan kain iayar di iantai perahu. Tanpa membuka, si gad!s sudah bisa menduga jika di bawah kain iayar tu terdapat sosok manusia, karena kain layar itu mengembung besar.
Karena tak mau bertindak ayai, Dewi Atas Angin angkat tangan kanannya. Laiu disentakkan. Satu geiombang angin berkibiat. Kain iayar di iantal perahu langsung lersapu ambias.
"Uwe Ladami! Uwe Kasumi!" Dewi Atas Angin berteriak tegang begitu meiihat dua sosok tubuh teientang di iantai perahu.
Teriakan Dewi Atas Angin terdengar Nyai Sekarpatl yang tegak di pinggiran jorokan batu karang. Si nenek cepat berteriak.
"Dewi! Rapatkan perahu ke iamping batu karang!" Dewi Atas Angin tahan gerakan kakinya yang hendak mendekati dua sosok di depannya. Sebaiiknya die menyahut dayung yang tergeietak di buritan. Seknll ayunkan dayung, perahu itu me!esat menuju lamping batu karang.
Beium sampai perahu merapat, Nyai Sekarpati sudah meiompat dan tegak menjajari Dewi Atas Angin di iantai perahu. Sepasang matanya iangsung tertuju pada dua sosok yang teientang beberapa langkah di depannya.
Dewii Kau bawa Uwe Ladami! Uwe Kasumi aku yang membawanya!"
Suaranya beium habis, Nyai Sekarpati sudah meiompat. Tangan kanannya menyahut. Tahu-tahu sosok sebeiah kanan sudah berpindah ke atas pundak kanannya.
Dewi Atas Angin tidak menunggu. Dia segera membuat gerakan seperti yang diiakukan si nenek. Kejap lain dengan pundak masing-masing membawa satu soaok tubuh, kedua orang ini meiesat ke atas.
Begitu tegak di atas batu karang yang menjorok ke lout, Dewi Atas Ang!n dan si nenek turunkan sosok di atas pundak masing-mas!ng.
"Luka yang diaiami keduanya tidak parah.... Mereka cuma tertotok hingga tak bisa bergerak atau beruara!" kata Nyai Sekarpati seteiah memeriksa sesaat dun sosok di hadapannya.
Nyai Sekarpati kerahkan tenaga daiam pada kedua tungannya. Saat iain si nenek tusukkan jsri teiunjuk tangnn kanannya pada beberapa bagian tubuh dua sosok il iudapannya.
Begltu Nyai Sekarpati tarik puiang kedua tanganya, terlihat dua sosok di hadapannya membuat gerakn Lulu terdengar suara.
"Dowi.... Nyai...!"
UJwe Ladami! Uwe Kasumi! Dudukiah.... Aku periu horapa keterangan dari kaiian!" kata Dewi Atas Antin
Dua sosok yang tergeietak di atas batu karang periahan-iahan bergerak duduk. Sebeiah kanan adaiah seorang gadis muda berparas cantik. Sepasang matanya bundar ditingkah bulu mata ientik. Pada pipi kanannya terdapat tahi iaiat. Gadis ini memakai baju panjang berwarna merah. Siapa pun orang yang berasal dari tanah Jawa bisa memastikan jika pakaian yang dikenakan si gadis bukan pakaian yang biasa dikenai di tanah Jawa.
Sementara sosok sebeiah kiri adaiah seorang gadis yang juga berparas menarik. Raut dan sosok gadis ini tidak jauh berbeda dengan gadis sebeiah kanan. Yang membedakan keduanya adalah tahi ialat. Kaiau gadis sebeiah kanan bertahi iaiat di pipi, gadis sebeiah kiri tidak memiliki tahi laiat. Sedang gadis sebeiah kiri ini mengenakan baju terusan berwarna putih. Pada bagian batisnya dibuat membelah panjang hingga sepasang pahanya bisa teriihat jeias. Bagian dadanya ditat sedikit rendah seolah ingin tunjukkan sepasang dauanya yang mencuat kencang.
Waiau kedua gadis di hadapan Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati berwajah menarik dan masih muda, namun ada sedikit keanehan. Rambut kedua gadis ini berwarna putih! Demikian puia seiuruh bulu yang ada pada tubuhnyai
Dewi.... Nyai...! Harap maafkan kami...." Gadis sebeiah kanan yang bertahi ialat di pipinya angkat suara dengan memandang siiih berganti pada Dewl Atas Angin dan Nyai Sekarpati. Pandangannya jeias pancarkan rasa takut dan geiisah.
"Uwe Ladami! Lupakan basa-basi! Aku ingin mendengar keterangan soai tugas yang kau emban beraama Uwe Kasumi!" kata Dewi Atas Angin.
Gadis bertahi iaiat yang dipanggii dengan Uwe Ladami iontar iirikan pada gadis di sebeiahnya dan bukan iain adalah Uwe Kasumi, saudara kembarnya.
Dewi.... Nyal.... Kami berdua mendarat di tanah Tibet dengan selamat!" Yang buka suara adaiah Uwe Kasumi. "Seteiah itu kami berdua mencari keterangan tentang Pedang Keabadian. Ternyata kedatangan kami teriambat...."
"Teriambat bagaimana maksudmu?i" sahut Dewi Atas Angin dengan dada berdebar.
Dewi.... Nyal...." Yang buka muiut kaii ini adaiah Uwe Ladami. "Beberapa hari sebeium kami datang, teiah terjadi kegegeran besar di tanah Tibet. Kegegeran ini ada kaitannya dengan Pedang Keabadiani Malah kegegeran ini meiibatkan Yang Muiia Penguasa tanah Tibet dan beberapa tokoh dari Perguruan Shaoiin serta tokoh-tokoh dunia persiiatan tanah Tibet!"
"Laiu...7!" tanya Dewi Atas Angin begitu Uwe Ladami putuskan keterangan.
Menurut keterangan seseorang yang kami percaya, kegegeran itu berakhir dengan ienyapnya Pedang Keabadian dari tanah Tibeti"
Ke mana ienyapnya?! Siapa pula yang berhasii mndapatkannya?!" sahut Dewi Atas Angin.
"Sulit memastikan ke mana ienyapnya pedang u...."
Ceiaka! Tampaknya takdir kita tidak akan putus!
Kita akan terus mengaiami hidup seperti sekarang ini!" Dwi Atas Angin bergumam. Paras wajahnya membayngkan rasa kecewa.
Dewl...," kata Uwe Kasumi. "Walau suiit memasln ke mana ienyapnya pedang itu, tapi dari orang yang mendapatkannya, kita bisa mencari jejaknyai"
Paras kecewa pada raut Dewi Atas Angin aedikitn. Seolah tak sabaran, gadis ini segera bertanya.
"Katakan siapa orang yang teiah mendapatkan pedang itu!"
"Dia seorang pemuda yang dikenai bergeiar Pendekar Pedang Tumpui 131 Joko Sabieng! Dan dari penyeiidikan yang kami iakukan, ternyata pemuda itu berasa! dari tanah Jawal"
Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati tersentak kaget. Malah sang Dewi iangsung jongkok dan cekai iengan Uwe Kasumi seraya berkata.
"Kau benar-benar te!ah seiidiki urusan ini dan tidak keiiru mendapat keterangan?"
"Pada muianya kami memang tidak percaya! Tapi seteiah kami mendapat keterangan dari beberapa orang dan keterangan yang kami dengar sama, kami muiai percaya! Namun begitu bukan berarti kami terus percaya begitu saja. Kami menyeiidiki iagi hingga pada akhirnya kami benar-benar percaya jika yang mendapatkan Pedang Keabadian adaiah Pendekar Pedang Tumpui 131 Joko Sabieng dari tanah Jawa!"
"Nyai.... Kau kenai dengan Pendekar Pedang Tumpui 131 Joko Sabieng?"
Nyai Sekarpati geleng kepaia. "Aku hanya pernah dengar namanya.... Tapi kaiau benar pemuda itu yang mendapatkan Pedang Keabadian, bukan hai suiit untuk menemukannya! Apaiagi pemuda itu...." Nyai Sekarpati mendadak putuskan ucapan. Dia jongkok menjajarl Dewi Atas Angin yang maslh pegangi lengan Uwe Kasumi. Laiu berkata.
"Uwe Kasumi! Apa kau jugateiah menyelidik di mana pemuda itu saat ini2?
Yang ditanya anggukkan kepaia. "Dia teiah kembll ke tanah Jawa...."
Nyai Sekarpati tarik tangan Dewi Atas Angin hingg keduanya bergerak tegak. "Aku percaya dengan keterangan Uwe Kasumi! Jika tidak, mana mungkin Dewi Kembang Maut sampai datang ke tanah Jawa?"
Begitu Nyai Sekarpati sebut nama Dewi Kembang Maut, Dewi Atas Angin jadi ingat akan Pang Bing Nio alias Dewi Kembang Maut. Gadis berjubah putih panjang ini cepat berkata.
Uwe Ladami! Uwe Kasumii Sekarang beri penjeiasan bagaimana kaiian bisa teientang tak berkutik dan dibawa perempuan dari tanah Tibet itul"
"Kami berdua berjumpa dengan perempuan itu ketika hendak kembaii ke tanah Jawa. Saat itu kami sudah berada di pesisir. Tiba-tiba muncui seorang nenek bungkuk. Kami tidak ambii peduii dengan kemunculannya. Tapi begitu nenek itu mendekat dan bicara sepertl orang peramai, kam! berdua muiai tertarik. Isengiseng kami berdua bertanya. Pertanyaan kami tak jauh eakitar Pedang Keabadian dan Pendekar Pedang Tumpui 131...." we Ladami hentikan keterangannya beberapa saat.
Setelah mengheia napas, gadis bertahi iaiat ini
truskan keterangan. "Ternyata semua jawaban yang dlbar!kan tidak jauh berbeda dengan penyelidikan kaml. Setiah itu kam! hendak teruskan perjalanan. Saat ltiah tiba-tiba nenek itu terkeiebat dan sarangkan tolokan padaku dan Uwe Kasumi. Karena kami tidak menhga anma sekaii, kami tidak bisa berbuat banyak. Belhkm! tidak berdaya, din membawa kam! ke perahu nnltknyn Di sanaiah kemudian kaml baru tahu. Ternyata
I ininh Dowi Kembang Maut."
Mnluk kedua kaiinya Uwe Ladami hentikan keten abolum akhirnyameianjutkan. "Seteiah berada d a t u m porahunya, dia mengajukan beberapa perta Kam! tarpaksa menjawab karena tak ingin celaka hingga tidak bisa bertemu dengan Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpati yang pasti mengharap keterangan!" Dia juga banyak bertanya perihai Pendekar Pedang Tumpui 131 Joko Sabieng...." Kali ini Uwe Kasumi yang menyahut. "Karena kami tidak mengenainya, kami jawab apa adanya. Tampaknya dia tidak percaya. Hingga kami harus menerima beberapa pukuian.... Mungkin karena kami tetap tldak mau menjawab, akhirnya dia muiai percaya jika kami tidak mengenai Pendekar 131 Joko Sabieng."
Dan di tengah iaut, dia mengganti pakaianku dengan pakaian yang dikenakan." Uwe Ladami kembaii buka mulul.
Seteiah memberi keterangan Uwe Ladami dan Uwe Kasumi bergerak bangkit.
"Sebeium kejadian itu apakah kaiian pernah dengar nama Pang Bing Nio atau Dewi Kembang Maun?!" Yang bertanya Nyai Sekarpati.
"Beberapa orang yang kutemui memang ada yang sebut-sebut nama perempuan itu!" kata Uwe Ladami.
Dewi Atas Angin menoieh pada Nyai Sekarpati. Lsiu berucap.
"Nyai.... Sekarang apa yang harus kita iakukan?! Karena kita belum tahu di mana keberadaan pemuda bergeiar Pendekar 131 Joko Sabieng, terpaksa kita harus memberi tugas pada beberapa orang untuk menyeiidik!"
"Aku slap iakukan tugas itu, Dewi!' kata Uwe Ladami.
"Au juga siapl Dan tugas inl juga sebagai penebus kesaiahan kami yang menyebabkan Dewi dan Nyai Sekarpati hampir saja ceiaka!" Uwe Kasumi menyahut.
"Kaiian tidak usah menyalahkan diri sendiri. Hanyn saja kalian harus iebih hati-hati!" ujar Nyai Sekarpati. "Uwe Ladami! Uwe Kasumi! Sebenarnya aku ingin agar kaiian istirahat. Tapi jika kaiian...." , Dewi.... Kami berdua sudsh tahu banyak perihal Pedang Keabadian. Lagi pula penyeiidikan ini hanya berk!sar di tanah Jawa. Rasanya kami tidak periu iagl istirahat!" Uwe Ladami memotong ucapan Dewi Atas Ang!n.
"Kaiau begitu mau kaiian, aku tidak bisa mencegah," berkata Dewi Atas Angin.
Uwe Ladami dan Uwe Kasumi bungkukkan tubuh dengan kedua tangan menakup di depan dada. Hampir bersamaan mereka berkata.
"Dewi.... Nyai.... Kami berangkat!"
Dewi Atas Angin dan Nyai Sekarpatl anggukkan kepala.
"Tapi ingat. Satu purnama depan kalian berdua ha rus sudah kembali! Berhasii atau tldak! Dan jangan coba-coba mengadu jiwa dengan tokoh yang kalian udah memastikan tidak mampu menghadapinya!" Yang berucap Nyai Sekarpati.
Uwe Ladami dan Uwe Kasumi anggukksn kepala.
L alu sama balikkan tubuh. Saat iain kedua gadis ini bertobat tinggaikan batu karang.
Begltu Uwe Ladam! dan Uwe Kasuml beriaiu, PNyal okrpati angkat suara. "Dewi.... Agar kita cepat mendpat kepastian, kita harus memerintahkan dua orang laul untuk menyelidik." ..
Dewi Atas Angin mengangguk. "Tspi bukan berarti Ila hurus berdiam diri, Nyai."
tonur... . Kita pun akan segera menyeiidik. Apalagl inn lnl sudah berpindah ke tanah Jawa!"
Kita sekarang kembaii duiu ke lstana. Seteiah kita pastikan dua orang untuk menyeiidik, kita berangkati" kata Dew, Atas Angin.
Tanpa menunggu sahutan, Dewi Atas Angin berkeiebat. Nyai Sekarpati edarkan pandangan berkeiiling sesaat. Laiu berkeiebat menyusui meninggaikan batu karang yang makin bergemuruh karena air iaut muiai pasang.

*
* *

------------------------------------------
EMPAT
------------------------------------------
LAKSANA kesetanan, bayangan itu berkeiebat tanpa peduiikan ranggasan iiaiang dan semak beiukar. S! bayangan baru memperiambat iarinya dan berhenti ketika meiewati sebuah kawasan terbuka dan hanya ditumbuhi beberapa pohon besar. Saat itu mata hari baru saja unjuk diri.
"Hem.... Nyatanya negeri ini tak jauh beda dengan negeri asaiku!" Si bayangan yang ternyata seorang perempuan setengah baya bergumam sendiri. Sepasang matanya yang agak sipit dibeiiakksn. Laiu iepas pandangan berkeiiiing.
Perempuan setengah baya ini mengenakan pakaian terusan warna putih. Pada bagian betisnya dibuat membeiah panjang hingga kedua pahanya yang sudah sedikit mengeriput teriihat jeias. Bagian dadanya dibunt rendah hingga dadanya yang tidak kencang lagi bisa terlihat. Paras wajahnya sedikit !onjong dengan dua nils mata mencuat.
"Di sini tidak ada orang yang kukenai! Terpaksa ku akan bertanya pada siapa saja yang kutemui!" Perompuan setengah baya yang bukan iain ada!ah Pang fling Nio aiias Dewi Kembang Maut teruskan gumaman. L nlu seraya tadangkan teiapak tangan untuk menepis elluunya matahari, dia meiangkah mendekati sebuah johon.
Pendekar 131 Joko Sabieng.... Hem.... Sebagai orang pendekar pasti banyak orang yang mengenai ! i Ian berarti aku tidak akan menemui kesuiitani"
Jar iewi Kembang Maut seraya sandarkan punggung ln hatang an pohon dengan membeiakangi matahari.
Dia edarkan pandangan sekali iagi seraya teruskan gumaman.
"Sayang sekaii aku teriambat keiuar! Kaiau tidak, tidak mungkin aku sampai jauh-jauh ke negeri ini memburu Pedang Keabadian! Herannya, bagaimana mungkin seorang pemuda bisa mendapatkan pedang itu! Padahai dari apa yang kudengar, saat itu banyak tokoh yang meiibatkan diri! Termasuk beberapa tokoh dari Perguruan Shao!in! Hem.... lni satu bukti waiau dia seorang pemuda, namun ilmunya sudah sangat tinggi!Lebih dari itu pasti dia sangat cerdik. Kaiau tidak, dari mana dia tahu tentang Pedang Keabadian yang ada jauh di seberang iaut?! Tapi aku juga harus tetap berhatihati pada kaum dunia persiiatan negeri ini. Dua perempuan yang sempat bentrok denganku di peslsir iaut menunjukkan kaiau tokoh dunia persi!atan negerl ini tidak bisa dianggap sebeiah mata!"
Pang Bing Nio alias Dewi Kembang Maul rapikan pakalan yang dikenakan dan bukan lain adalah pakaian mlllk Uwe Ladami. Perempuan dari negeri Tibet ini tersenyum sendiri mendapati paha dan dadanya teriihat.
"Aku harus segera mendapatkan pakaian pengganti! Aku tak mau dikira nenek-nenek yang masih suka pamer paha dan...."
"Nang ining inang inung, nang ining inang inung.... ini anak siapa, ini anak s!spa...." Tibs-t!ba terdengar orang bersuara. Dari nada bicara orang. jeias orang ini tengsh menimang bayi.
Terdengarnya suara membuat Dewi Kembang Maut putuskan gumaman. Dia simak balk-baik suara yang terdengar beberapa saat seolah ingin meyakinkan. Saat iain dia sentakkan kepaia mendongak karena jelas suara orang menimang itu terdengar dari atas pohon di
mana dia tengah bersandar.
Daiam kagetnya Dewi Kembang Maut meiihat seorang nenek duduk ongkang-ongkang kaki di atas sebuah dahan tidak begitu besar. Nenek ini mengenakan pakaian warna hitam. Sebuah seiendang warna merah meiingkari pundak dan perutnya. Nenek ini berwajah buiat dengan mata besar. Rambutnya putih awut-awutan.
Dewi Kembang Maul bukan hanya heran, namun juga merasa aneh dengan si nenek. Nenek ini duduk ongkang-ongkang kski dengan dua tangan terapung di udara dan digerakkan puiang baiik iayaknya orang tengah menimang bayi. Padahai tidak teriihat seorang bayi di tangan si nenek!
"Aneh.... Jangan-jangan dia orang giia! Seiendang di pundak dan gerakan tangan serta nada suaranya tadi jeias satu petunjuk jika dla memiiiki seorang bayii Namun aku tidak meiihat bayi itu! Atau jangan-jangan...." Dewi Kembang Maut edarkan pandangan siasati keadaan di sekitar tempat si nenek. Namun sejauh ini dia tidak meiihat adanya seorang bayi.
"Ah.... Tidak ada gunanya peduiikan nenek gila seperti dia! Bisa-bisa aku jad! ikut giia!" desis Dewi Kembang Maut. Dia meiangkah hendak tinggaikan batangan pohon. Namun mendadak iangkah perempuan dari negeri Tibet ini tertahan katika dia ingat.
Dia ongkang-ongkang kaki di atas pohon. Tapi aku lidak meiihat adanya gerakan pada dahan atau dedaunan pohon itu! Lebih dari itu aku tidak bisa menyiasati koberadaannya di tempat itu! Padahai dia berada tepat ii atasku! Kaiau bukan orang beriimu tinggi, mana mungkin bisa meiakukan hai seperti itu?i"
Berpiklr sampai di situ Dewl Kembang Maut urungan niat untuk tinggaikan tempat itu. Dia hanya meiangkah sedikit menjauh iaiu tengadah dan simak baik-baik nenek di atas pohon yang seoiah acuh dengan kehadirannya.
"Aku akan ajukan beberapa pertanyaan untuk memastikan dia nenek giia atau manusia waras!" gumam Dewi Kembang Maut. Laiu berteriak.
"Hail Aku datang darl jauh. Boieh aku tahu apa nama kawasan ini?i"
Nenek di atas pohon seoiah tidak mendengar teriakan orang. Dia kembaii gerakkan kedua tangannya yang terapung di depan dadanya seolah tengah menimang bayi seraya berucap.
"Nang ining inang inung, nang ining inang inung.... Yang berhidung mancung ini anak siapa. Yang berambut ikai hitam ini anak siapa...."
Dewi Kembang Maut kernyitkan dahi. Kini sepasang matanya tertuju pada dahan dan r!mbun dedaunan pohon. Ternyata waiau si nenek terus gerakkan kakl ongkang-ongkang dan kedua tangannya juga bergerak puiang balik, tapi baik dahan yang diduduki dan rimbun dedaunan pohon tidak bergeming sama sekaii!
"Mungkin dia nenek tuii! Aku akan coba iimunya!" Rasa penasaran DewI Kembang Maut membuatnya aiihkan perhatian dari ingin bertanya menjadl ingin coba iimu si nenek. Hingga seraya kerahkan sedikit tenaga dalam pada kedua tangannya dia menghantam ke atas.
Wuutti Wuuttti
Dua gelombang berklblat menerabas dedaunan pohon di mana si nenek berada.
Prakki Prakk! Prakk!
Terdengar beberapa kaii patahan dahan dan cabang pohon. Dedaunan pohon bertaburan iuruh. Anehnya meski tersambar gelombang, dahan di mana sinenek duduk, tetap tak bergeming! Maiah begitu terdengar patahan beberapa dahan dan cabang pohon, si nenek perdengarkan suara.
Nang ining inang inung, nang ining inang inung.... Cupp! Cupp! Jangan teruskan menangis.... itu tadi hanya suara kicauan burung. Lihat.... Lihat itu buian sudah muncuii Ayo biiang.... Bulan.... Aku minta cantiknya...." Si nenek gerakkan tangan kanan membuat sikap seperti orang tengah menepuk-nepuk bayi. Laiu tangannya menunjuk ke atas.
Apa yang terjadi membuat Dewi Kembang Maut makin penasaran dan bertambah yakin si nenek bukan manusia sembarangan. Namun sekaligus dadanya mulai didera rasa marah karena sikap sinenek yang bukan saja tidak jawab pertanyaan tapi juga seoiah tidak peduii dengan kemuncuiannya. Hingga dia lipat gandakan tenaga daiamnya.
Namun beium sampai Dewi Kembang Maut bertindak lebih !anjut, terdengar ucapan si nenek.
"Nang ining inang inung, nang lnlng inang inung .... Tampaknya ada yang tak suka dengan keberadaan kita di tempat inll Ayo kita cari tempat ialn...."
Suara si nenek beium habis, sosoknya sudah melayang turun dan tegak hanya beberapa iangkah di hadapan Dewi Kembang Maut. Anehnya si nenek bukannya memandang ke arah orang, melainkan arahkan pandang matanya ke atas bagian tangan kirinya yang terus bergerak-gerak seoiah tengah menimang bayi. Saat iain dia meiangkah sambii tertawa-tawa.
Sikap si nenek makin membuat hawa amarah Pang Bing Nio membuncah. Seraya bantingkan sebeiah kaki dla membentak.
"Berhenti!"
Si nenek hentikan iangkah seraya berucap. "Nangining inang inung, nang ining inang inung .... Cuppi Cupp! Tutup teiingamu...."
Dewi Kembang Maut meiompat dan tegak di depan si nenek dengan pasang tampang angker. Lalu membentak.
"Hentikan tindakan giiamu! Aku tahu kau hanya beriaku seperti orang giia!"
"Kau dengar, Anakku.... Ada orang mengatakan kita bertindak giia. Maiah beriaku seperti orang giia! Aneh bukan...2?! Padahai seiama ini tidak ada orang yang berkata begitu meski kita berdua tertawa-tertiwi sendirian!"
"Bagus! Berarti kau bukan orang giiai Dan berarti puia kau bisa jawab pertanyaankui" Kata Pang Bing Nio alias Dewi Kembang Maut.
Untuk pertama kaiinya si nenek arahkan pandangannya pada Dewi Kembang Maut. Dla simak baik-baik orang di hadapannya dengan kepaia diteiengkan. Sementarakedua tangannya terus bergerak-gerak seoiah menimang bay!. Laiu berkata.
Tampang timpingmu, nada bicaramu menunjukkan kau bukan iahir di tanah ini.... Hanya pakaian yang kau kenakan yang membuktikan kau orang negeri ini! Aku jadi serba suiit menentukan.... Dib!iang orang negeri ini tampang timpingmu iain, dibiiang bukan orang negeri ini tapi pakaianmu pakaian orang negeri ini...."
"Hem.... Kau pandai mendugai Tapi jangan coba jawab pertanyaanku nanti dengan menduga-duga!"
Si nenek tertawa panjang. Sambii membuat gerakan mengeius dia berkata.
"Harap tidak salah paham.... Apalagi sampai saiah pihimi Selama ini kemampuanku hanya menduga-dugal ingat kali ini aku bilang menduga-duga! Bukan mendugi-dugi! Karena keduanya berbeda!"
Aku benar-benar akan ikut gila jika terus bicara dengan manusia satu ini! Tapi aku akan tetap bertanyai iimu yang dimiiiki memberi petunjuk kalau dia dari kaiangan dunia persiiatani" Dewi Kembang Maut membatin. Laiu berkata.
Kau kenai dengan seorang pemuda bergeiar Pendekar Pedang Tumpui 131 Joko Sabieng?!"
Joko Sableng.... Joko Sabieng...." Si nenek bergumam seraya tengadah. Laiu geieng-geleng kepala. "Sepertinya aku tidak kenai.... Tapi mungkin anakku mengenalinya...."
Dewi Kembang Maut sudah hendak membentak. Tapl beium sampai suaranya keiuar, si nenek sudah berucap. "Nang ining inang inung, nang ining inang inung.... Kau kenai dengan Joko Sabieng...2 Kepaia si nenek iurus ke arah tangan kirinya yang terus bergerak-gerak membuat sikap iayaknya orang menimang. Lalu kepaianya disorongkan mendekati tangan kirinya dengan diteiengkan. Laiu mengangguk-angguk.
Dewi Kembang Maut memperhatikan dengan kening berkerut tapi dada makin didera hawa amarah. Saat itulah terdengar si nenek berkata.
"Kau tidak saiah sebut geiar orang?i" Aku tidak tuiii"
Kau juga tidak keiiru sebut nama orang?!" Keparat! Jangan bikin kesabaranku habis!" "Hati-hati bicara caci maki, Sahabatku...."
Apa maksudmu?i" sentak Dewi Kembang Maut.
Kau bukan orang negeri ini, bukan?!" tanya si nenek.
Dewi Kembang Maut jawab dengan isyarat anggukan kepalanya. Si nenek ikut mengangguk-angguk.Latu berkata.
"Kau harus lahu.... Kala makian di negerl ini bukan keparatl Tapl kepiritl Kalau kau sampal ucapkan kata keparat di hadapan perempuan lain, pastl kau akan kena gamparl Keparat flu ucapan porno! Kau tahu porno, bukan?!"
Aku Ingln jawaban darl pertanyaankul"
"Aku tldak mengenal orang yang kau tanya. Tapl anakku mengenallnya!"
Waiau tidak mengertl siapa yang dimaksud anak oleh sl nenek, namun Dewl Kembang Maut teruskan pertanyaan.
Di mana aku dapat bertemu dengannya?l"
Sahabat...."
"Aku bukan sahabatmu! Aku Pang Bing Nlo! Tapi orang leblh mengenalku dengan julukan Dewl Kembang Maut!" Dewi Kembang Maut menukas ucapan sl nenek.
Si nenek tersenyum. "Dewl Kembang Maut.... Pertanyaanmu sulit dlcarl jawabannya. Karena manusla lerus bergerakl Apalagl menurut anakku, orang yang kau tanyakan adalah seorang pemudal Pemuda zaman sekarang sulit dipegang ekornyal Dla bilang ke utara, eh... tak tahunya muncul di selatan! Dia berkata ke barat, tahu-tahu nongol dl ... ."
"Cukup!" potong Dewl Kembang Maut. "Sekarang katakan bagalmana ciri-clrl pemuda itul"
"Aku tidak mengenalnya, mustahil aku blsa memberl jawaban tepatl"
"Anakmu?I" kata Dewl Kembang Maut seraya memandang ke arah dua tangan sf nenek yang lerus membuat sikap layaknya orang menlmang.
Anakku maslh bayl.... Bagaimana mungkln blsa mengenali clrl-clri seorang pemuda?l"
"Ucapan nenek glla lnl memblngungkanl Tapl aku blsa menangkap satu hal! Dia mengenall Pendekar 131 Joko Sablengl"
Berpikir sampal ke sana, Dewl Kembang Maut segera buka mulut.
"Aku tahu.... Kau kenal dengan orang yang kutanyakanl Tapi kau sengaja menutup-nutupll Sekarang aku tanya. Kau mau jawab atau terus berslkap sepertl orang glla?l
"Kalau boleh memlllh, aku tldak memlllh keduanya.•.."
"Berartl kau pillh mampusl"
Dewl Kembang Maut tldak member! kesempatan pada sl nenek untuk buka mulut. Begitu habls ucapannya, kedua tangannya sudah terangkat tinggl-tlnggt.
Anehnya sl nenek tldak pedull dengan gerakan orang. Dia makin keraskan gerakan kedua tangannya yang menlmang-nimang.
Kesabaran Pang Bing Nlo alias Dewi Kembang Maul pupus. Kedua tangannya segera dlkelebatkan lepas pukulan bertenaga dalam tinggl.
Tahan gerakan!" Satu terlakan terdengar. Satu bayangan putlh berkelebat.
Dewl Kembang Maut tldak pedull. Dla teruskan hantaman kedua tangannya.
Saat ltulah Dewl Kembang Maul merasakan sambaran angtin dl sebelah ,kirinya. Saat laln satu gelombang angin berkiblat darl bawah ke arah kedua tangannya.
Waiau darl kedua tangan Dewl Kembang Maut melesat dua gelombang dahsyat, namun karena kedua tangannya terpental ke atas aklbat sambaran gelombang angin darl bawahnya, maka gelombang pukulannya menghantam udara kosong di atas sana.
Dalam marahnya, Dewl Kembang Maut cepat sapukan kakl kanannya ke samplng kiri dart mana gelombang angln yang membelokkan pukulannya bersumber.
Bukkkl
Terdengar suara benturan. Kakl kanan Dewi Kembang Maut terpental balik. Sosoknya sedlklt terhuyunghuyung. Memandang ke kiri dia melihat satu sosok tubuh bergullngan dl atas tanah.
KIra-kira empat tombak darl tempat tegaknya Dewl Kembang Maut, sosok yang bergulingan hentlkan gerakan lalu terbungkuk-bungkuk bangkit.

*
* *

------------------------------------------
LIMA
------------------------------------------
Dewi Kembang Maut pentang mata besar-besar pandangi sosok di depan sana dengan tubuh bergetar keras. Saat laln dia membentak.
"Beranl kau ikut campur urusanku! Siapa kau?l" Sosok yang baru bangklt dan ternyata adalah ae­
orang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian
putlh-putih sunggingkan aenyum seraya celingukan arahkan pandang matanya allih bergantl pada Dewl Kembang Maut dan nenek yang terus membuat slkap sepertl orang tengah menlmang-nlmang bayi.
"Aku belum pernah jumpa dengan keduanya.... Tapi aatu hal yang pasti, dari paras dan bicaranya, perempuan berpakalan putih seronok itu bukan berasal darl negeri inll Paras wajahnya mengingatkan aku pada satu negerl yang belum lama kukunjungl!" SI pemuda membatin seraya rapikan rambutnya yang panjang sedlkit acak-acakan.
Di laln plhak, seraya menunggu jawaban orang, Dewl Kembang Maut simak baik-baik sosok sl pemuda darl ujung kaki hingga ujung rambut.
"Sayang sekall aku belum mengenall tampang Pendekar 131 Joko Sablengl Tapi pemuda lni memillki tenaga dalam tinggl! Hem.... Mudah-mudahan dari mulutnya blsa keluar keterangan yang kulnginkan!" Dlamdiam perempuan dart tanah Tibet Inf juga membatln.
"Kau tldak tull! Mengapa tidak jawab pertanyaanku?I Jangan buat aku berubah niat dengan membunuhmu tanpa bertanya slapa adanya dirlmul" Dewi
Kembang Maut kemball buka mulut dengan suara keras.
"Sekarang aku yakin dia berasal dari tanah Tlbet.... Hem.... Apa maksud orang lnl datang ke tanah Jawar: Mungkinkah maslh ada kaitannya dengan....
SI pemuda putuskan membatin ketlka mendadak Dewi Kembang Maut sudah melompat dan tegak llma langkah dl depannya seraya membentak.
"Kau tak mau jawab tanyaku. Berartl kau sudah mati! Tlnggal bagaimana caranyal"
Aku.... Aku O-beng...."
Dewi Kembang Maut kernyltkan dahl mendengar sl pemuda sebutkan dirinya. Sementara sl nenek berpa ling lalu tertawa bergelak. Puas tertawa dia menyahut. "Pastl kau masih ada hubungannya dengan Tangdan Seng...!"
"Mereka berdua sahabat-sahabatku, Nekl
Sambll menyahut, si pemuda berpaling ke arah slk dan memperhalikan dengan sekaama. 'Aneh.... Dneneari tadi dla seolah menlmang-n,imang. Pa'adahal tldak ada yang ditimangl Siapa nenek ini?! Siapa pula perempuan berpakaian putlh itu?! _
Kalau si pemuda membatin begltu, dlam-diam Dewi Kembang Maut juga berkata dalam hatl. "Sikap pemuda in sepertl manusia bodoh.... Sementara tidak ada pendekar yang berslkap seperti orang bodoh. Berarti pemuda ini bukan pemuda yang kucari!
Membatin begitu, Dewl Kembang Maut segera buka mulut.
"Anak muda! Kulngatkan kau untuk segera enyah darl hadapanku! Dan ingat. Inl nasib balk buatmu! Jika tidak, sudah kulepas selembar nyawamu karena kau telah lancang tangan campuri urusankul"
SI pemuda yang memperkenalkan dlrl dengan Obeng anggukkan kepala. Lalu melangkah. Bukan tinggalkan tempat ltu, melalnkan mendekati si nenekt
"Nek.... Kita belum sallng kenal. Tap! tak ada salahnya bukan kalau kita bersama-sama enyah darl tempat inl?!" SI pemuda berblslk begitu dekat dengan si nenek. "Nang lning inang inung, nang Inlng lnang inung....
Ada pemuda tampan ajukan tawaran bagus mengajak u pergl bersama-sama.... Bagalmana menurutmu, Anakku?]" ujar sl nenek seraya telengkan kepala dan didekatkan pada tangan kirlnya yang terus menimang nimang.
"Hem.... Mungkln nenek ini pernah punya seorang anak atau cucu yang sangat dlsayangl.... Lalu...." "Pemuda bernama O-beng...," kata sl nenek membuat si pemuda putuskan kata hatinya. "Kau beruntung.... Anakku setuju dengan tawaranmu.... Ayo kita enyah darl tempat ini. Nang ining inang inung, nang inlng Inang lnung...." Si nenek mulai melangkah. SI pemuda segera mengikutl di belakangnya. Dan entah karena apa, begitu melangkah di belakang si neneke, O-beng segera angkat kedua tangannya dlapungkan df depan dada. Lalu kedua tangannya digerakkan pulang ball layaknya orang tengah menimangl Malah kepalanya dllkutkan bergerak seirama gerakan maju mundur dua tangannyal Lalu terdengar suara.
"Nang ining lnang lnung, nang ining lnang lnung...." "Gilal Gilal Ternyata negerlini banyak dlpenuhi manusla-manusla gilal" desls Dew! Kembang Maut Latu berterlak.
"Nenek glla! Aku tldak memintamu enyah dari tem.. pat lni! Jangan berani melangkah pergl tanpa permintaankul"
SI nenek berhentl. Berpallng pada sl pemuda dan borblsik.
Dla tldak mengizinkan aku pergl.... Bagalmana enaknya?l"
"Kau punya ganjalan sengketa dengannya?!" tanya si pemuda.
Yang ditanya geleng kepala. "Aku baru mengenalnya dl tempat ini!"
"Lalu mengapa dla tadl hendak memukulmu?l"
"Dia ajukan beberapa pertanyaan. Aku hanya bisa menjawab sebaglan. Lainnya tldak bisa kujawab!"
"Apa yang ditanyakan?l"
Aku sudah lupa. Yang jelas pertanyaan itu erat kaltannya dengan Pendekar 131 Joko Sableng...-" Tampang si pemuda langsung berubah. Kedua tangannya yang sesaat tadl menglkutl gerakan kedua tangan sl nenek langsung terhentl.
Si nenek putar tubuh menghadap sl pemuda. Lalu berucap. "Nang Inlng inang inung, nang Ining Inang Inung.... Aku menangkap perubahan pada raut wajahnya.... Ada yang salah dalam ucapanku, Anak Muda...2!'
O-beng gelengkan kepala dan coba sembunylkan rasa tegang dengan sungglngkan senyum. Lalu berkata allhkan pemblcaraan.
Nek.... Kau telah tahu namaku.... Keberatan kalau aku Ingin tahu namamu?l"
"Aku tidak keberatan. Tapl jangan menyesal kalau kau tidak akan pernah dengar siapa namaku! Karena aku sendirl saja sudah lupa slapa namaku!"
"Lalu selama lnl kau dlkenal dengan nama siapa?l
Kalau tidak salah dengar, orang-orang menyebutku Blbi Emban...."
Blbi Emban.... Sekarang coba kau Ingat lagl, apa saja yang ditanyakan perempuan baju putlh tadl!"
Si nenek yang sebutkan dlrl dengan Bibl Emban tengadahkan kepala dengan kedua tangan terus menlmang-nimang. Beberapa saat dahlnya berkerut seolah menglngat. Tapl saat lain dla gelengkan kepala sambll berucap.
"Aku benar-benar lupa dengan pertanyaan yang dlajukan. Kalau kau lng!n tahu, mengapa tidak tanya saja pada yang bersangkutan?! Bukankah manuslanya maslh ada di tempat inl?l"
Belum sampal O-beng menyahut, BIbl Emban sudah berterlak.
Pang Bing Nlol Pemuda Inl Ingin tahu pertanyaan yang tadi kau ajukan padaku! Tolong ulangi pertanyaanmu tadi. Aku sudah lupal"
Mungkin karena membutuhkan keterangan dan tldak punya kenalan, akhirnya Dew Kembang Maut ajukan tanya juga.
Anak muda! DI mana aku dapat bertemu dengan Pendekar 131 Joko Sableng?l"
O-beng ballkkan tubuh menghadap Dewl Kembang Maut. Lalu berkata.
"Sebelum kujawab, aku Ingin tahu.... Benar kau berasal darl daratan Tlbet?I"
"Kau mampu dengan tepat sebut negerl asalku!" "Pertanyaan selanjutnya. Katakan apa maksudmu bertemu dengan orang yang kau sebutl" kata O-beng.
Yang ditanya tldak segera menjawab. Seballknya terdlam beberapa lama dengan mata memandang tak berkeslp pada sosok sl pemuda.
O-beng tertawa pendek. "Kau tldak akan mendapat jawaban jika merasa berat jawab pertanyaankul Perlu kau tahu.... Aku kenal balk dengan Pendekar 131 Joko Sablengl Dan ingat.... Jangan coba-coba tldak berterus torang. Karena aku tahu semua permaaalahan yang berhubungan dengan Pendekar 131!
"Aku akan jawab dengan jujur! Tapi jika nantlnya kau memberl keterangan dusta, kematlan belum setimpal dengan balasannyal Kau dengar?!" ancam Dewl Kembang Maut.
"Aku bukan orang yang pandai mengarang cerlta dusta!"
"Bagus! Aku ingin dengar keterangan darl Pendekar 131 mengenal Pedang Keabadianl ltulah maksudku datang jauh-jauh darl tanah Tlbetl"
O-beng perdengarkan seruan kaget dengan surutkan langkah hingga tegak berjajar dengan Bibl Emban. "Nang lning lnang inung, nang ining inang lnung.... Untuk kedua kalinya aku melihat tampang tegang pada dirlmu, Anak Muda! Sepertinya kau tahu betul masalah Pedang Keabadianl" ujar Blbl Emban seraya bungkukkan tubuh dan keraskan gerakan kedua tangannya yang menimang-nlmang.
"Kau berseru kaget! Katakan ada apal" Dewl Kembang Maut membentak.
"Tadi sudah kukatakan aku tahu semua permasalahan yang berhubungan dengan Pendekar 131l Termasuk Pedang Keabadlan!"
Dewl Kembang Maut menyeringai dingin. Tampangnya jelas membayangkan orang yang tidak percaya dengan ucapan yang didengarnya.
O-beng tersenyum dan sepertinya dapat menangkap artl slkap orang, pemuda lni berkata. "Sllakan dengar.... Pedang Keabadlan adalah sebuah pedang hebat berasal darl daratan Tlbet! Bentuknya aneh.... Berupa kotak beruklr warna kunlng, sementara pedang itu sendlrl hanya terllhat baglan gagangnya sajal Pedang itu sempat menjadi barang buruan beberapa tokoh daratan Tibet, malah melibatkan Penguasa dan tokoh-tokoh kesohor dari Perguruan Shaolln! Bagalmana...?! Ada yang salah dalam keteranganku?!"
Walau tersentak kaget, tapl Dewl Kembang Maut tak mau tunjukkan rasa kejutnya. Dla hanya mengangguk dan berkata dalam hati.
"Slapa pemuda lni sebenarnya?I Dla dapat menebak tepat asal negeriku. Bahkan juga blsa menerangkan dengan benar perlhal Pedang Keabadian! Mungkinkah benar kalau dia banyak tahu semua yang berhubungan dengan Pendekar 131?1
"Kau be!um jawab tanyaku. Apa ada yang salah dalam keteranganku?!" O-beng ulangl pertanyaan karena Dewl Kembang Maut tldak segera menyahut.
"Keteranganmu tidak ada yang salah, Anak Muda!" O-beng memandang ke arah Blbi Emban. Saat laln pemuda Ini berjingkrak-jlngkrak keglrangan. BIbI Emban kerutkan dahi. Namun cuma sesaat. Kejap lain mendadak nenek Inf lkut berjlngkrak dengan berterlak.
"Nang Inlng Inang lnung, nang ining lnang lnung." Waiau sudah panas d!ngin karena hawa amarah mellhat tingkah dua orang di hadapannya, tapl kall lnl Dewl Kembang Maut coba menindlh hawa amarahnya karena dia masih berharap banyak beberapa keterangan dari O-beng.
Namun setelah agak lama menunggu, ternyata balk Obeng maupun Bibl Emban bukannya hentlkan jlngrakannya melainkan makin keraskan gerakan bahkan klnl kedua orang Inl berjingkrak dengan berputarl
Dewi Kembang Maut tldak mampu lagl membenlung kesabaran. Seraya bantingkan kaki, perempuan pro baya darl daratan Tlbet inl berterlak.
Hentlkan ulah kalian!"
Sorentak O-beng dan Bib! Emban hentikan jlngkrakan. Keduanya sallng pandang beberapa saat. Saat lal Blbl Emban sudah menlmang-nlmang sementara
0-beng celingukan seolah lak tahu apa yang harus dlperbuat.
"Anak mudal" teriak Dewi Kembang Maut setengah menjerit. "KInl tlba gillranmu menjawab pertanyaankul" Dan mungkin khawatir O-beng pura-pura lupa dengan pertanyaannya, Dewi Kembang Maut sambungl ucapannya. Di mana aku dapat bertemu dengan Pendekar 131 Joko Sableng?!
pertanyaanku masih adal Harap tidak keburu minta jawaban!" ujar O-beng dengan gerakkan kepala pulang batik lkuU gerakan kepala Bibl Emban yang bergerak-gerak seirama timangan kedua tangannyal
"Keplritl Beranlnya kau mengulur waktul" Dewi Kembang Maut membentak.
O-beng hentikan gerakan kepalanya. Saal lain mendadak tawanya meledak. Bibi Emban lkut henllkan gerakan kepala dan kedua tangannya. Kejap laln tawa nenek inl ikut pula membuncah!
"Keplrit! Mengapa kallan tertawa?! Apa yang lucu?l" Dewl Kembang Maut kemball membentak.
Bentakan orang bukan membuat O-beng maupun Blb! Emban putuskan ledakan tawanya, melalnkan makin keraskan geraian tawa merekal
Dewi Kembang Maut menggembor marah. Kedua tangannya diangkat tlnggl-tlnggl. Namun belum sampal kedua tangannya bergerak lepas pukulan, di seberang depan Blbi Emban berblsik pada sl pemuda.
Hentlkan tawamul Dla hendak lepaskan pukulan!" Serta-merta O-beng putuskan ledakan tawanya. Demiklan pula Bibl Emban. DewlKembang Maut urungkan nlal !epas pukulan namun tetap angkat kedua tangannya.
"Pemuda gilal Apa yang lucu?I Jawabl" sentak DewI Kembang Maut.
"Kata caclanmu...," ujar si pemuda terus terang. Mendengar jawaban O-beng, tampang Blb! Emban jadl berubah. Sementara DewI Kembang Maut pentang mata beaar-besar pandangi sl nenek. Bibl Emban tersenyum dan buru-buru mendekati O-beng seraya berblsik.
"Celaka, Anak Mudal"
Belum sampal O-beng bertanya, Blbi Emban sudah sambungl blslkannya.
"Kau tahu, Anak Muda.... Aku tadI telah menipunya! Kujelaskan kata caclan di negerl Inl bukan keparatl Tapl keplrltl Kata keparat di negerl inl berarti porno!"
Aduh.... Mengapa kau tldak bilang sejak tadl, Nek?I"
"Mana sempat?l"
"Betul.... Mana sempat?! Sejak ladl kita tidak singgung soal cacl-caclan!" gumam O-beng seraya menghela napas panjang.
"Untuk selamatkan aku, sekarang kau allhkan perhatlannya pada persoalan yang ada hubungannya dengan Pendekar 131! Dengan begltu mungkin dia blsa melupakan urusan keparat-keplrt Itul" kata Bib! Emban.
Obeng anggukkan kepala membuat Bibl Emban menghela napas lega.
Dewl Kembang Maut...," kata O-beng seraya menlongak. "Sebenarnya maslh ada pertanyaan yang haus kau jawab. Tapl melihat waktu, tampaknya lldak ada tkup jlka pertanyaan itu kuajukan. Kau bernasib balk Karena aku akan jawab pertanyaanmu tanpa harus mengajukan pertanyaan lan]utan.... "
Dugaan Bibl Emban benar. Begitu mendengar ucapan si pemuda, Dewi Kembang Maut langsung allh- \ kan pandang matanya ke arah O-beng. Dan aeolah melupakan kegeramannya pada Bibl Emban, perempuan dart daratan Tibet Inf berkata.
"Cepat katakan jawaban ltu!"
Pendekar 131 bisa kau temukan di sebuah lembah yang dikenal orang dengan Lembah Pangkuan Bumll"

*
* *

------------------------------------------
ENAM
------------------------------------------
Dewi Kembang Maut melirik pada Bibl Emban. Latu kemball memandang ke arah sf pemuda. Mungkin belum yakin benar, perempuan darl daratan
Tibet lni berkata.
"Ulangl jawabanmu!"
"Pendekar 131 berada dlLembah Pangkuan Buml!" "Anak muda! Kau tahu. Aku berasal darl negerl jauh. Belum kenal kawasan negerl Inil Sekarang katakan arah mana dan berapa jauhnya jlka menuju ke lembah itu!"
"Perjalanan dua harl dua malam ke arah utara.... Di sana nantl semua orang sudah banyak yang tahul"
Dewi Kembang Maut putar dlrl ke arah utara. Lalu berucap.
"Anak muda! Keteranganmu adalah jaminan nyawamu! Sekall keteranganmu mengada-ada, berartl kau hldup sudah tanpa nyawal Kau paham maksudku?t"
Belum sampai O-beng menyahut, Dewl Kembang Maut sudah melangkah tlnggalkan tempat tu. "Tunggul" Mendadak si pemuda menahan.
Dewl Kembang Maut hentikan langkah. Tanpa berputar perempuan setengah baya Inl berkata. "Ada keterangan tambahan?l"
"Kau punya maksud memillkI Pedang Keabadlan?!"
Dewi Kembang Maut tertawa panjang. "Pertanya- anmu tldak membutuhkan jawaban. Yang pastl, darl tanah akan kemball ke tanah! Pedang Keabadlan beranal darl daratan Tlbet, negerlmu tldak berhak memlllklnynl"
"Tapl darl yang kudengar, pedang itu diclptakan bukan semata-mata untuk daratan Tibet! Tapi untuk semua umat manusla yang ditakdlrkan berjodoh memillklnyal'
Anak muda! Kalau kau lngin berdebat, tunggulah setelah aku kemball darl Lembah Pangkuan Buml!"
Habls berucap begitu, Dewi Kembang Maut teruskan langkah seraya perdengarkan tawa panjang hlngga kedua bahunya berguncang.
Setelah perempuan darl daratan Tibet berlalu, Bibi Emban mendongak. Seraya terus membuat gerakan menlmang-nimang nenek Inl berkata.
Anak muda! Hingga seusiaku Inl baru pertama kali Inl aku dengar ada lembah bernama Lembah Pangkuan Buml.... Pengetahuanmu sungguh luas sekalil Bahkan kau blsa memberl keterangan tanpa salah perlhal Pedang Keabadlan!"
Nek.... Aku hanya mengarang cerlta!"
"Apa...?I Cuma mengarang cerita?! Celakal Berartl meskl kau masih hldup, namun nyawamu sudah lenyap!"
"Apa boleh buat, Nekl Darlpada celaka sekarang...••
"Tap! bagalmana karangan ceritamu masalah Pedang Keabadlan blsa benar?!"
Kall lnlsl pemuda tidak segera menyahut. SI nenek tertawa. Lalu berkata lagl.
Kau tldak menyahut. Inf satu bukti kalau masalah Pedang Keabadlan itu bukan hanya sekadar karangan cerita dustal Dan Ini membuktikan pula satu hal. Sebenarnya kau .•..•
Nek.... Sekarang kau hendak ke mana?l" SI pemuda sudah memotong ucapan sf nenek.
Yang dltanya menyahut dengan suara tawa panjang. Baru berkala.
Aku tahu .... Kau alihkan pembicaraanku! Tak apa.... Soal aku hendak ke mana. Aku tanya dulu. Apa kau ada minal untuk ikut?l"
"Tergantung dulu ke mana kau akan pergll"
"Aku hendak mengunjungi seorang sahabat. Dia bertempat tinggal dl Lembah Hijaul"
Si pemuda unjuk tampang terkejut. Sementara Bbl Emban palingkan wajah seraya berkata. "Untuk keseklan kallnya kau unjuk tampang kaget. Kall Inf kumlnta kau member! penjelasan!"
"Waiau aku belum pernah ke lembah itu, tap! satusatunya orang penghuni lembah itu adalah Malaikat Lembah Hljau! Orang yang beberapa tahun berselang pernah terjerumus bersamaku ke Jurang Tlatah Perak. Dan akhirnya dari orang itu pula aku mendapatkan Pedang Tumpul 131l Hem.... Pada awalnya aku masih menaruh sedikit curlga dengan nenek Inf. Tapl kalau dla sahabat Malalkat Lembah Hljau, kurasa tak perlu lagl aku menaruh curlga!" SI pemuda membatin. Lalu berkata.
Kalau benar kau hendak ke Lembah H!jau, aku Ikut!"
"Soal lkut masalah mudah. Tapl aku perlu jawaban mengapa kau berminat?!"
"Aku kenal dengan penghunl lembah itu!" kata si pemuda terus terang. "Darl dia aku sempat mendapat petunjuk meski tidak secara langsung...."
"Hem.... Pada beberapa puluh lahun sl!am, penghunl lembah tu pernah menjadi orang buruan beberapa tokoh dunia persilatan karena diduga dla menyimpan ebuah petunjuk tentang sebuah senjata saktl.... Kalau oteranganmu benar, berartl kaulah orang bernaslb balk] Dan sekarang aku yakin siapa kau adanya!" kata BIb Emban.
SI pemuda yang tadI sebutkan dlri bernama O-beng putar pandangan berkelilfng. Lalu berkata. "Nek.... Terus terang saja.... Sebenarnya aku Joko Sablengl"
Bibi Emban pandangl sl pemuda tampan dengan seksama. "Kau tldak tengah mengarang cerita duata?l" "Nek.... Terserah kau mau percaya atau Udakl Ha­
nya kalau kau tldak percaya, lalu kau yakin aku inl slapa?l"
"Murld Pendeta SIntlngl" sahut Bib! Emban.
Si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng adanya tertawa panjang. Saat lain dla mendekatl Blbl Emban. Tanpa ragu-ragu lagl dla pegang lengan sl nenek. Beberapa saat kemudlan keduanya melangkah tinggalkan tempat itu. Pendekar 131 melangkah dengan terus tertawa, Bibl Emban melangkah dengan kedua tangan terus membuat gerakan layaknya orang tengah menlmang bayl.
Setelah seharl semalam, Joko dan Bibl Emban tlba di ebuah kawasan tanah berbatu.
"Nek.... Maslh jauhkah letak lembah itu?!" Joko bertanya seraya mellrlk. Bibi Emban tidak segera menjawab. Seballknya tertawa-tawa sambll gerak-gerakkan kepala seolah tengah bercanda dengan anak bayi dl pangkuannya.
Nek.... Kau dengar kataku?1
"Perjalanan yang klta tempuh belum sepertlganya. Jadl simpan dulu pertanyaanmu!"
"Kau tldak salah jalan?!"
Jangan harap jawaban. Karena aku sendlrl tak tahu, salah jalan atau tidakt"
Celaka...! Kalau beginl kapan sampalnya?!
"Aku sendiri juga blngung kapan sampalnya...l" enak saja Bibi Emban menyahut membuat murld Pendeta Slntlng hent!kan langkah.
"Blbi Emban.... Agar kita tak salah jalan, sebalknya klta bertanyal"
Seraya terus menlmang-nlmang, Bibi Emban lkut berhenti. "Kau benar.... Sebalknya kita bertanyal"
Joko menghela napas panjang dengan tampang kusut. 'Kukira dla sudah tahu letak lembah !tu..•. Tak tahunya dla maslh juga blngung dan meraba-rabal Tahu beglni urusannya, tak bakalan aku ikut! Leblh baik menuju Jurang Tlatah Perak menemul Eyang Guru...."
Baru saja murld Pendeta Sintlng membatln begitu, mendadak darl arah depan terllhat dua sosok bayangan berkelebat. Joko cepat melompat dan tegak menjajarl Blbi Emban dengan kepala diluruskan ke depan.
Dua sosok bayangan darl arah depan buru-buru memper!ambat larlnya begltu mereka mellhat dua orang tegak dl arah depan. Keduanya baru berhentl begitu empat tombak di depan murld Pendeta SIntlng dan Bibi Emban.
Beberapa saat dua sosok bayangan di depan yang ternyata adalah dua gadls muda yang sama-sama berparas cantik saling pandang. Sebelah kanan mengenakan pakaian warna merah. Gadls Inl bermata bundar. Sebuah tahi lalat terlihat menghlas plpl kanannya.
Sementara gadls sebelah klrl parasnya hamplir sama dengan gadis sebelah kanan. Hanya saja dla tldak hortahi lalat. Sedang pakalan yang dikenakan berupa baju terusan warna putlh. Baglan betlsnya dlbuat memholnh panjang hingga sepasang pahanya yang mulus lan padat terlihat jelas. Bagian dada pun dlbuat renah, hingga dadanya yang membusung kencang terllht hampir setengahnya!
Waiau kedua gadls inf berparas cantlk dan masih muda, tapi ada sedlkll keanehan pada keduanya. Rambut kedua gadis Inl berwarna putlh. Begltu pula bulu mata dan bulu pada sekujur tubuhnya!
"Uwe Kasuml! Kita teruskan saja perjalanan! Mereka pasti orang gfla!" kala gadis baju merah setelah simak sfkap Bibi Emban.
Gadls baju putlh terusan dan bukan lain memang Uwe Kasuml adanya anggukkan kepala. Namun gadis inf lldak segera beranjak mesk! gadls berbaju merah yang tak fain adalah Uwe Ladaml sudah bergerak melangkah.
"Uwe Kasuml! Apa yang kau tunggu?! Apa kau menangkap sesuatu yang mencurigakan?!" kata Uwe Ladaml seraya berhenlf dan berpaling.
Uwe Kasumi yang sedarl tadi arahkan pandang matanya pada sosok murld Pendeta Slnting buru-buru affhkan pandangan seraya mefangkah dan berkata.
"Ucapanmu benar. Mereka pastl orang gilal Kita teruskan saja perjalanan!"
Habls berkata begltu, kedua gadls anak buah Dewl Atas Angln fni mefangkah. Sementara begitu melihat dua gadls dl depan, Pendekar 131 membatin.
"Baju merah yang dlkenakan gadis sebelah kanan mengingatkan aku pada pakalan yang banyak dlkenakan oleh gadls darl daratan Tlbet! Dan pakaian putlh terusan yang dikenakan gadis sebelah kiri lldak ada bedanya dengan pakaian yang dikenakan DewI Kembang Maul! Hem.... Sfapa pun mereka adanya, pastl maslh ada hubungan dengan perempuan setengah baya dari daratan Tibet !tu! Anehnya.... Dari paras wajah keduanya, uyakin mereka berasal dari lanah Jawal Bagalmana mungkin blsa berhubungan dengan Dewl Kembang Maut?! Mungklnkah Dew! Kembang Maut sudah lama berada di tanah dawa?! Ah.... ltu tak mungkin! Urusan Pedang Keabadlan belum lama berlalu.... Aku harus tahu hubungan Inl! Karena bagalmanapun juga aku terflbal dl dalamnyal"
Habls membatln begitu, murld Pendeta SInting angkat kedua tangannya dl depan dada. Lalu membuat gerakan yang sama dengan Bibl Emban yang sedarf tadl terus menimang-nimang seolah tldak pedull dengan pandangan dua gadis dl seberang depan. Malah begitu membuat gerakan menlmang-nimang, Joko ikut lkutan berucap.
"Nang lning fnang fnung, nang inlng inang inung ...." Uwe Ladaml dan Uwe Kasumi terus meiangkah. Keduanya sama kancingkan mulut. Hanya mata mereka yang sesekall sallng lontar Ilrlkan. Dan begitu mereka dekat dengan tempat tegaknya Joko dan Blb! Emban, keduanya sama pallngkan kepala memandang jurusan lain.
Kalau Joko sesekall masfh lempar llrikan pada dua gadls yang mefangkah, tfdak demikian halnya dengan Blbl Emban. Nenek Ini acuh saja. Malah seolah merasa lldak ada orang yang melangkah mendekatinya!
Begltu Uwe Ladaml dan Uwe Kasuml mefewalf sosok Blb! Emban dan dirinya, murid Pendeta Sinting keraskan ucapan.
"Nang fning lnang lnung, nang infng inang fnung ....
Bnju dari Tlbat tapi wajah dari Jawa.... Ini bukan satu kebetulan. Wajah dari Tibet tapl baju darl Jawa .... fni mungkfn baru satu kebetulan....•
Uwe Ladami hentikan fangkah dengan tangan cekul lengan Uwe Kasumi. Dahl gadls berbaju merah yang hukan lain pakaian m!lik Dewl Kembang Maut inl berrut.
"Kau dengar ucapan itu?l" bislk Uwe Ladaml.
Yang dltanya anggukkan kepala. Uwe Ladaml perhatikan pakalan yang dikenakan beberapa saat. Laiu berbisik iagi.
"Ucapan itu pasti ditujukan pada diriku!"
"Jangan buru-buru mengambii kesimpuian! Siapa tahu ucapan ltu hanya kebetuian saja! Lagi pula untuk apa kita hiraukan kata-kata orang giia?! ujar Uwe Kasuml.
"ini bukan ucapan orang giia! Dia tahu betui baju yang kupakai berasai dari Tibeti Kaiau orang giia mana mungkin bisa tahu?i"
Seteiah berbisik begitu, Uwe Ladami baiikkan tubuh. Uwe Kasumi ikut putar diri. Beberapa saat kedua gadis ini pandangi bagian beiakang sosok Bibi Emban dan murid Pendeta Sinting yang terus gerakkan tangan puiang baiik seoiah menimang.
Kau berhasret bicara dengannya?!" tanya Uwe Kasumi dengan meta diarahkan pada Pendekar 131. "Kita tengah menyeiidik. Daiam keadaan seperti saat ini, keterangan orang giia pun periu klta dengar!
Apalagi aku menangkap hai iain pada pemuda itu!" "Apa hai iain itu?i"
"Selain kata-katanya berkaitan dengan baju yang kukenakan, sosoknya sebaya dengan orang yang tengah kita carii
Tapi aku tak percaya dia orang yang kita cari! Mana ada seorang pendekar bertingkah mirip orang giia begitu rupa?!" ujar Uwe Kasumi.
"Kaiau dia bukan orang yang kita cari, setidaknya kita blsa minta keterangan darinya! Aku percaya.... Kata-katanya tadi bukan tidak disengaja!"
Habis berkata begitu, Uwe Ladami berseru. "Boieh kami tahu siapa adanya kaiian berdua?!" "Nang lning inang inung, nang ining inang inung....
Bukan kami yang harus ditanya. Tapi kami yang periu bertanya...!" Yang menyahut Bibi Emban.
"Nang ining inang inung, nang ining inang inung.... Betuii Kami tengah tersesat. Mohon diberi petunjuk mana arah Lembah Hijau?!" sahut murid Pendeta Sinting.
Uwe Ladami menoieh pada Uwe Kasumi. "Sikapnya memang mirip orang giia. Namun ucapan keduanya membuktikan mereka bukan orang giia!"
"Tapi dari ucapan mereka puia aku menduga kita tak akan mendapat keterangan apa-apa!" sahut Uwe Kasumi.
"Kita tidak bisa menduga sebeium membuktikan!" ujar Uwe Ladami. Laiu berseru.
"Kami tahu tempat yang kaiian cari! Tapi kami tidak akan memberi tahu sebelum kaiian mau sebutkan diri!" Hampir bersamaan Bibi Emban dan murid Pendeta Sinting hentikan gerakan tangannya. Saat iain keduanya putar diri menghadap Uwe Ladami dan Uwe Kasumi. Namun begitu tegak berhadap-hadapan, Joko dan Bibi Emban kembaii gerakkan kedua tangan masing masing iaksana orang tengah menimang!
Uwe Ladami dan Uwe Kasumi perhatikan dua orang di hadapannya dengan seksama. Uwe Kasumi sorongkan kepaia ke arah Uwe Ladami dan berbisik.
"Benar kau tahu iembah yang ditanyakan keduanya?!'
"Dalam menyeiidik, kadangkaia kita harus berdustai"
"Tapi hal itu keiak akan menimbuikan masaiah!" Kau tak periu geiisah, Saudaraku.... Tak mungkin kita ada kesempatan iagi untuk bertemu dengan merekn!'
Baru saja Uwe Ladami menjawab begitu, murid Pendeta Sinting sudah buka muiut.
"Kurasa tidak begitu penting kaiian tahu siapa adanya kami berdual Karena kaiau kami mau, kami bisa sebutkan nama siapa saja yang kami suka!"
Hem.... Begitu?! Baik.... Tapi sebagai gantinya kami minta kau beri penjelasan mengenai kata-katamu tadi! Kau seoiah tahu baju yang kukenakan adaiah baju dari tanah Tibet!"

*
* *

------------------------------------------
TUJUH
------------------------------------------
MURID Pendeta Sinting tersenyum. Laiu berkata. "Aku iahir di tanah Jawa. Tapi sejak usia deiapan tahun hingga iima beias tahun aku sempat lkut
dengan seorang paman yang tinggai di daratan Tibet! Yang aku herankan.... Bagalmana mungkin kau bisa mengenakan pakaian perempuan daratan Tibet sementara aku yakin kau adaiah asii gadis Jawa! Atau barangkaii kau punya saudara yang tinggai di sana?!"
Uwe Ladaml tidak segera menyahut. Murid Pendeta Sinting tersenyum iagi sebeium akhirnya sambungi ucapan.
"Aku tidak iancang bicara. Tapi siapa pun kaiian adanya, kaiian punya hubungan dengan seseorang dari daratan Tibet!"
"Mengapa kau punya keyakinan begitu? Yang buka suara Uwe Kasumi.
"Nang ining inang inung, nang ining inang inung.... Beium iama berselang kami bertemu dengan seseorang.... Pakaian yang dikenakan sama persis dengan pakaian yang dikenakannya...!" Yang berucap Bibi Emban dengan mata terarah pada Uwe Kasumi.
Uwe Ladami dan Uwe Kasumi terkejut dan saiing pandang.
Dewi Kembang Maut!' desis Uwe Ladami dan Uwe Kasumi hampir berbarengan. Uwe Ladami maju satu tindak. Laiu berseru keras.
"Apa hubungan kaiian dengan perempuan keparat itu?1
"Kami yang periu tahu. Apa kaitan kaiian dengan perempuan itu?! tanya Joko. "Mustahii kaiian tidak punya hubungan apa-apa! Sementara baju saja kalian sudah saiing bertukar!"
"Kami tidak saiing bertukar!" sentak Uwe Ladami. Murid Pendeta Sinting geieng kepaia dengan tertawa pendek. Aku sudah kenai betui pakaian iuar dan
pakaian daiam perempuan dari daratan Tibet! Jangan harap bisa mengecohku.... Aku yakin pakaian yang kau kenakan adaiah pakaian perempuan Tibet. Sementara pakaian yang dikenakan perempuan Tibet tadi adaiah pakaian dari Jawa!"
Maksud kami.... Saudaraku ini t!dak saiing bertukar. Tapi dipaksa bertukar!" kata Uwe Kasumi.
Ah.... Dipaksa bertukar.... Berarti saat itu dia daiam keadaan tidak berdaya!" ujar Joko seraya arahkan pandang matanya pada Uwe Ladami. Jika tidak, kurasa suiit hai itu diiakukan!"
"Kami memang punya siiang sengketa dengannya!" kata Uwe Kasuml.
Joko pasang tampang kaget iaiu tertawa dan berkata. "Kaiian di tanah Jawa. Perempuan itu dari daratan Tibet. Bagaimana bisa terjadi siiang sengketa antara kaiian dengannya?
Entah karena apa Uwe Kasumi memutuskan untuk bicara terus terang. Hingga begitu dengar ucapan murid Pendeta Sinting, gadis ini segera menyahut.
"Beium iama berseiang kami pergi ke daratan Tibet. Saat kami puiang, tiba-tiba perempuan itu membuat masaiah. Karena kami tidak menduga sebeiumnya, kami bisa dibuat lidak berdaya! Saat ituiah dia memaksa menukar pakaiannya dengan pakaian saudaraku ini!"
Cerita bagus.... Dan pergi jauh sampai daratan Tibet pasti punya maksud penting!"
Jangan teruskan bicara menjawab semua pertanyaannya!" bisik Uwe Ladami dengan nada tidak senang. "Kita beium tahu siapa adanya mereka berdual" "Tapi daripada dikira kita punya hubungan dengan perempuan bangsat itu, lebih baik kita bicara apa adanya!" sahut Uwe Kasumi.
"Tapi keterus-terangan yang tidak pada tempatnya bisa membuat iangkah kita terhadangi Sudahi saja bicara soai yang ada kaitannya dengan tanah Tibet!" kata Uwe Ladami.
Sementara Uwe Ladami dan Uwe Kasumi saling berbisik, diam-diam murid Pendeta Sinting membatin. "Mereka baru berkunjung ke Tibet. Laiu punya siiang masaiah dengan Dewi Kembang Maut. Sementara perempuan dari Tibet itu tengah memburu Pedang Keabadian. Berat dugaan kunjungan mereka ada kaitannya dengan pedang itu! Hem.... Aku harus hati-hati. Kini sudah banyak tokoh yang tahu masaiah pedang itu! Termasuk tokoh dari tanah Jawa sendiri...."
Habis membatin begitu Joko berkata, karena ucapannya tidak disahut Uwe Ladami dan Uwe Kasumi. "Sekaii iagi aku tidak iancang bicara. Tapi aku bisa menduga apa tujuan kaiian berkunjung ke daratan Tibet...."
Mendengar kata-kata murid Pendeta Sinting, Uwe Ladami yang sebenarnya tidak ingin bicara iebih jauh yang ada kaitannya dengan tanah Tibet jadi penasaran. Hingga dia segera menyahut.
"Coba katakan apa dugaanmu itu!" Kaiian mencari Pedang Keabadian!"
Baik Uwe Ladami maupun Uwe Kasumi sama teriengak kaget. Tapi Uwe Ladami segera buka muiut. pasti kau mendengarnya dari perempuan itu!"
Joko geieng kepaia. "Sebeium ini aku tidak kenal atau pernah bertemu dengan kaiian. Bagaimana mungkin perempuan itu membicarakan kaiian berdua?! Kaiian tak usah kaget kaiau aku dapat menduga tepat apa maksud kunjungan kaiiani" Murid Pendeta Sinting hentikan ucapannya sesaat. Seteiah meiirik pada Bibi Emban dia teruskan ucapan.
Aku sudah beberapa tahun tinggai di Tibet. Seiama ini aku tahu banyak orang asing berkunjung. Maksud mereka semata-mata mencari Pedang Keabadian yang sudah jadi buah biblr di kaiangan orang-orang Tibet! Kallan berhasii mendapatkan pedang itu?!"
Uwe Ladami tidak menyahut atau memberi isyarat. Namun tidak demikian hainya dengan Uwe Kasumi. Gadis baju putihterusan ini meski tidak buka muiut, tapi geiengkan kepaia.
Pendekar 131 anggukkan kepaia. "Aku tidak heran kalau kaiian tidak berhasii.... Tapi bukan berarti aku menganggap rendah bekai iimu yang kaiian miiiki. Semua itu karena bukan hanya tokoh dunia persiiatan yang meiibatkan diri daiam urusan pedang itu, tapi pihak penguasa pun ikut campur! Justru yang membuatku heran adaiah kunjungan perempuan dari daratan Tibet itu ke tanah Jawal Kalau dla menginginkan Pedang Keabadian, rasanya saiah besar jika dia mencarinya di daratan Jawa...." Habis berkata, murid Pendeta Sinting tertawa.
"Tampaknya kau beium tahu!" Mendadak Uwe Ladami menyahut.
Beium tahu apa?!" tanya Joko.
Pedang Keabadian saat ini berada di tanah Jawa! Karena itu tidak saiah kalau perempuan jahanam itu berkunjung kemari!"
Mendengar kata-kata Uwe Ladami, Joko makin keraskan tawanya. Sementara kepaianya digoyang-goyangkan pulang baiik ke kanan kiri. "Au bukan hanya tidak percaya. Tapi seratus kali tidak percaya! Aku tahu betul kegegeran pedang itu di daratan Tibet. Bagaimana kalian bisa mendapatkan pedang itu saat ini berada di tanah Jawa!"
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting kini
ganti Uwe Ladami yang tertawa. Laiu bertanya. "Sejak kapan kau tinggaikan daratan Tibet?!"
Joko mendongak sesaat. Laiu menyahut. "Kira-kira
tiga atau empet tahun...."
Hem.... Pantas kaiau kau seratus kaii tidak percaya! Kau tahu, Orang Muda! Daiam dunia persiiatan waktu beberapa kejap sudah cukup membuat satu perubahan besar! Apaiagi sampai tiga atau empat tahun!"
Maksudmu...2!'
Beium iama berseiang di daratan Tibet muncui seorang pemuda berasal dari Jawa. Entah bagaimana caranya, yang jelas pemuda itu akhirnya berhasil mendapatkan Pedang Keabadian!"
Mendengar penuturan Uwe Ladami, lagi-iagi murid
Pendeta Sinting tertawa bergeiak. Maiah dia segera mencekai tangan kiri Bibi Emban yang seoiah tenggelam dengan keasylkan timangannya tidak peduii dengan pembicaraan orang.
"Bibi.... Kau dengar cerita mustahii itu?! Seorang pemuda dari daratan Jawa muncul di tanah Tibet dan berhasii mendapatkan Pedang Keabadian...! Padahai aku paham benar, pedang itu diperebutkan banyak tokoh daratan Tibet. Beium iagi teriibatnya pihak penguasa! Bagaimana mungkin orang asing enak saja bisa mendapatkannya?! Seorang pemuda iagi! Untuk yang ini aku bukan hanya seratus kaii tidak percaya. Tapi seribu kaii tidak percaya!"
"Nang ining inang inung, nang ining inang inung.... ltu urusanmu.... Mau percaya siiakan, tidak percaya seribu kaii iipat pun aku tak peduii...." Enak saja Bibi Emban menyahut.
"Kau boieh tidak percaya! Yang jeias ituiah kenyataan yang kami dapati! Kaiau tidak, kau pikir jauh-jauh dar1 Tibet kemarl perempuan bangsat itu hanya periu juai tampang?i" kata Uwe Ladami yang muiai kesai dengan ucapan murid Pendeta Sinting.
"Baikiah.... Sekarang anggap saja aku percaya dengan keteranganmu. Laiu katakan padaku siapa adanya pemuda mujur itu?i"
"Pendekar Pedang Tumpui 131 Joko Sabiengi"
Yang menjawab Uwe Kasumi.
Ah.... Aku tidak pernah dengar nama itui Kau pernah dengar, Bibi. ..?i" kata Joko seraya berpaiing pada Bibi Emban.
"Nang ining inang inung, nang ining inang inung.... Jangan iibatkan aku daiam pembicaraan ini.... Dan jangan usik keasyikanku!" jawab Bibi Emban tanpa memandang pada murid Pendeta Sinting apaiagi pada Uwe Ladami dan Uwe Kasumi.
"Uwe Ladami.... Rasanya tidak ada gunanya iagi kita berada di sini! Lama-iama kita bisa makan hati sendiri!" kata Uwe Kasumi.
Sebenarnya Uwe Ladami tidak setuju dengan ucapan Uwe Kasum i. Dia masih ingin cari keterangan tentang Dewi Kembang Maut. Tapi sebeium dia sempat buka muiut, Uwe Kasumi sudah seret tangannya laiu memutar diri hingga sosok Uwe Ladami mau tak mau ikut berputar membaiik.
Tunggu duiu!" seru Pendekar 131.
Uwe Kasumi iepaskan tangannya yang memegangtangan Uwe Ladami. Tanpa membaiik dia berkata. "Bicara saja kaiau ada yang ingin kau katakan!" "Anggap saja Pendekar Pedang Tumpui 131 itu
ada...," ujar Joko. "Laiu apakah berarti saat ini kaiian
berdua tengah mencarinya?! Bukankah kunjungan kaiian ke tanah Tibet untuk mencari Pedang Keabadian, sementara menurut kaiian saat ini pedang itu ada di tangan Pendekar Pedang Tumpui 131!
"itu memang tujuan kami. Tapi bukan berarti kami akan membiarkan perempuan dari seberang itu enak saja maiang meiintang di negeri ini!" kata Uwe Kasumi. Tangan kanan kiri gadis ini tampak mengepai tanda dadanya didera hawa kemarahan.
Habis menjawab, Uwe Kasumi kembaii seret tangan Uwe Ladami. Keduanya meiangkah tinggaikan tempat itu.
Namun baru beberapa iangkah keduanya bergerak, murid Pendeta Sinting sudah meiompat meiewati keduanya dan tegak menghadang di hadapan mereka dengan bibir sunggingkan senyum.
"Manusia ini bersikap aneh.... Apa maunya?i" bisik Uwe Kasuml pada Uwe Ladami.
Tanpa menunggu sambutan dari Uwe Ladami, Uwe Kasumi sudah buka muiut.
Kau tegak menghadang! Apa maumu sebenarnya?! Jangan berani haiangi iangkah kami!"
"Harap tidak keburu menduga yang bukan-bukan.... Aku tidak bermaksud...."
"Jangan banyak muiut!" tukas Uwe Kasumi. "Katakan saja maumu! Atau barangkaii kau masih kerabatnya perempuan darl Tibet itu?
Nang ining inang inung, nang ining inang inung....
Bukan hanya sekadar kerabat. Tapi kekasih gelap!" Bibi Emban menyahut.
"Hem.... Begitui Tak heran kau tahu banyak tentang Pedang Keabadian dan tanah Tibet!" ujar Uwe Ladami dengan seringai dingin.
"Perempuan itu teiah berhutang urusan pada kltai Tak ada saiahnya kalau klta menagih pada dia sebagai bunganya!" timpai Uwe Kasumi.
"Tunggu! Tunggu! Jangan percaya dengan ucapan bibiku itu. Dia suka bercanda! Aku hanya ingin bertanya. Pedang Keabadian itu cuma satu. Sementara kaiian berdua. Seandainya kaiian nanti mendapatkan pedang itu, siapa di antara kaiian yang memiiiki?!"
"itu urus an kamil" kata Uwe Kasumi.
"Betui! Tapi kadangkaia benda berharga membuat putusnya tali persaudaraani Maiah tak jarang menlmbuikan bencana pembunuhan antar saudara!"
"Ucapanmu saiah besar! Bukan bencana yang akan kami hadapi, tapi ienyapnya maiapetakai "
Kening murid Pendeta Sinting membuat beberapa kerutan. "Aneh.... Dari ucapannya aku menduga pedang itu tidak semata-mata untuk dlmlllki tapi untuk kepentingan iain .... Seandainya mereka mau mengatakan...."
Habis membatin begitu, Joko berkata. "Kaiian hendak mempergunakan pedang itu untuk satu kepentingan2
Aku tanya!" kata Uwe Ladami. "Kau bertanya atau menyelidik?!"
"Aku hanya ingin tahu .... Siapa sangka aku bisa membantu!"
Uwe Ladami dan Lwe Kasumi sama-sama sunggingkan senyum seringai. "Bantuan apa yang bisa kau berikan, hah?! Dan kaiau kau bantu, kau pikir kami percaya?i" ucap Uwe Ladami.
Pendekar 131 terdiam beberapa iama. Uwe Kasumi dan Uwe Ladami saiing pandang. Laiu memberi isyarat dengan anggukan. Uwe Ladami sudah hendak teruskan iangkah, tapi mendadak Uwe Kasumi berbisik.
"Bagaimana urusan pemuda ltu?I Bukankah menurut neneknya dia kekasih gelap perempuan dari daratan Tibet itu?!"
Hem.... Aku kurang yakin kebenaran kata-kata nenek itui Lihat saja tingkahnya! Nenek sepertl itu mana bisa ucapannya dipercaya?!"
Uwe Kasumi anggukkan kepaia. Saat iain kedua gadis ini ter' skan iangkah seraya menyisi.
"Kaiian tidak mau mengatakan untuk kepentingan apa pedang itu?i" Murid Pendeta Sinting kembaii ajukan tanya begitu Uwe Ladami dan Uwe Kasumi sejajar dengan tegaknya.
"Kalau kau tidak ada pekerjaan iain, siiakan menyeiidik sendiri!" ujar Uwe Ladami seraya memberi isyarat dengan anggukan kepala. Saat iain kedua gadis ini berkeiebat. Tapi seraya berkeiebat, Uwe Ladami masih sempat berteriak.
"Kau kekasih geiap perempuan dari Tibet itu atau bukan. Tapi jika kau bertemu dengannya, sampaikan salam kematian untuknya!"
Murld Pendeta Sinting putar diri pandangi sosok Uwe Kasumi dan Uwe Ladami hlngga ienyap di seberang depan sana. "Seandainya mereka mau mengatakan, mungkin aku bisa memberi jaian keiuar, asaikan pedang itu tidak sampai berpindah tangan! Tapi aku percaya, satu saat keiak mereka akan mencariku! Hem.... Aku sampai iupa bertanya siapa nama mereka dan mana arah Lembah Hijau!"
Habis bergumam begitu, Joko baiikkan diri. Lalu meiangkah ke arah Bibi Emban dengan kedua tangan di depan dada membuat sikap seperti orang tengah menimang seraya terus berucap.
"Nang ining inang inung, nang ining inang Inung, nang ining inang inung...."
 

*
* *

------------------------------------------
DELAPAN
------------------------------------------
BIBI Emban.... Bagaimana sekarang?! Tanpa petunjuk jeias, percuma kita teruskan perjaianan ini!" Joko berkata begitu mereka telah meiewati
kawasan tanah berbatu seraya hentikan iangkah dan gerakkan kedua tangannya yang ikut-ikutan menimang.
"Siaian betui! Jadi kau tadi tidak minta petunjuk pada dua gadis itu?!" Bibi Emban baiik bertanya.
Murid Pendeta Sinting garuk-garuk dagunya dengan tangan kanan. Sedang teiunjuk tangan kirinya dimasukkan ke iobang teiinga iaiu digerak-gerakkan hingga keparanya sempat tersentak-sentak dengan mata terpejam terbuka keenakan. Lalu menyahut.
"Aku iupa, Bibi...."
"Hem.... Kaiau begitu percuma kau bertanya bagaimana sekarang! Yang pasti terpaksa kita menunggu sampai ada petunjuk!"
"Bibi.... Sebenarnya kau pernah berkunjungke Lembah Hijau atau beium?!"
Si nenek geieng kepala. "Aku iupa pernah ke iembah itu atau beiumi"
Waiau sedikit jengkei dengan jawaban Bibi Emban,
tepi Joko ianjutkan ucapan.
"Sekarang Bibi ingat-ingat! Siapa tahu mendadak
kau bisa mendapat satu kepastian!
Si nenek bukannya memenuhi permintaan murid Pendeta Sinting, meiainkan makin asyikkan diri dengan gerakkan kedua tangan dan kepaianya seoiah menimang-nimang. Seteiah agak iama baru berkata.
percuma aku mengingat-ingat, Anak Muda! Karena tak mungkin aku ingat!"
"Kaiau begitu, sebaiknya kita istirahat dulu!" ujar Pendekar 131. Tanpa menunggu sambutan si nenek, dia mendekati sebuah pohon besar. Laiu duduk sandarkan diri dengan mata dipejamkan.
Bibi Emban memandang sesaat. Lalu ikut mendekati pohon di mana Joko duduk bersandar. Saat iain nenek ini juga duduk sandarkan diri dengan mengambii tempat beriawanan. Joko menghadap ke utara, sl nenek ke seiatan. Seraya duduk si nenek berucap tiada henti.
Nang ining inang inung, nang ining inang inung.... Nang ining inang inung, nang inlng inang inung.•.."
"Bibi.... Sejauh ini aku beium tahu siapa kau sebenarnya. Tidak keberatan kau memberi tahu?I Joko buka muiut dengan suara sedikit dikeraskan. Sepasang matanya terus dipejamkan.
Bibi Emban putuskan ucapan timangannya. Laiu terdengar dia menyahut.
"Percuma kau bertanya. Karena kau pasti seratus kali tidak percaya!"
Sambii terus pejamkan mata Joko berucap iagi. "Katakan saja, Bibi .... Apa pun ceritamu, aku akan percaya!"
"Kau percaya kaiau kukatakan, aku sendiri iupa siapa diriku sebenarnya?!"
Murid Pendeta Sinting tidak menjawab. Tapi diamdiam dia berkata daiam hati. "Begitu sudah bertemu Maiaikat Lembah Hijau, aku harus segera pisahkan diri darinya. Kaiau tidak, jangan-jangan aku bisa lupa puia siapa diriku sebenarnya!"
"Hai.... Mengapa kau tidak menyahut?! Kau percaya?! tanya Bibi Emban.
"Bibi.... Kau tahu artinya kepirit?I"
Bibi Emban tidak menjawab, sebaiiknya tertawa ngakak panjang. Joko iorotkan diri. Laiu letakkan kepaia pada tangan kirinya yang ditekuk. Sementara tangan kanan ditakupkan pada telinga. Kedua kakinya ditarik ke atas meringkuk. Saat lain dia keiuarkan dengkurani Sebenarnya murid Pendeta Sinting hanya pura pura tidur. Namun entah karena ieiah ditambah dengan berhembusnya semiiir angin, akhirnya dia terielap.
Pendekar 131 Joko Sableng tidak tahu berapa lama dia terieiap tidur, yang pasti begitu terjaga, dia masih mendengar suara tawa.
"Busyet betui! Apa yang membuatnya terus ngakak?i" gumam murid Pendeta Sinting tanpa buka mata atau luruskan kedua kaki.
Karena suara tawa itu terus berkumandang maiah makin iama makin keras dan panjang, akhirnya Joko tidak bisa membendung rasa jengkei. Seraya terus pejamkan mata dia buka muiut membentak.
"Bibii Kukira tidak ada hai yang iayak untuk ditertawakanl Tapi mengapa kau terus ngakak?i"
Laksana direnggut setan, suara tawa putus. Saat itulah murid Pendeta Sinting baru sadar. "Aku yakin betuii Suara tawa itu tadi bukan suara Bibi Embanl Lagl puia suara tawa itu tadi tidak diperdengarkan satu orang, tapi paiing tidak dua orang.... Jangan-jangan...." Sambii buka sepasang matanya Pendekar 131 luruskan kedua kakinya. Joko tersentak kaget karena kedua kakinya jeias menyentuh kaki iain. Hingga dia buru-buru tarik puiang kembaii kedua kakinya. Laiu angkat tubuhnya ke atas bersandar lagi pada batangan pohon.
Memandang ke depan, Pendekar 131 teriengak. Hanya beberapa langkah di hadapannya tegak dua sosok tubuhi Sebeiah kanan seorang nenek berambut putih panjang tergerai. Sepasang matanya melotot besar. Nenek ini mengenakan pakaian hitam-hitam. Sementara di sebelah kiri adalah seorang pemuda berusla klra-kira dua puiuh tujuh tahunan. Parasnya tampan. Rahangnya kokoh dengan mata tajam dan rambut hitam iebat dikuncir ekor kuda. Pemuda ini mengenakan pakaian berupa baju warna putih dan ceiana panjang warna hltam.
"Aku beium pernah bertemu mereka! Tapi aku menangkap geiagat tidak baik dengan sikap mereka! Hem.... Siapa kedua orang ini?!" Sambii membatln begitu, murid Pendeta Sinting pasang teiinga baik-baik. "Hem.... Aku tidak iagi mendengar suara timangan Bibi Emban ...."
ingat akan Bibi Emban, tanpa berpaiing ke arah baiik pohon di mana tadi Bibi Emban duduk sandarkan diri, Joko berseru.
"Bibi.... Kau masih ada di situ?y
Tidak terdengar suara sahutan. Joko menunggu beberapa saat. Lalu uiangi seruan. "Bibi.... Kau dengar suaraku?i
Manusia akan mampus kadang-kadang cari daiih tak karuanl" Terdengar suara menyahut. Tapl bukan suara Bibi Emban, meiainkan diperdengarkan sl nenek berpakaian hitam-hitam di hadapan murid Pendeta Sinting.
"Hem.... Rupanya nenek itu sudah minggat dari tempat ini!" kata Joko daiam hati iaiu simak baik-baik sekali iagi dua orang di hadapannya dan berkata.
Aku mencari bibiku. Kaiian meiihatnya?!"
"Hem.... Sepasang mata manusia inl tampaknya sudah puiih kembaii. Jadi tidak saiah berita yang kudengar! Tapi ltu tidak penting. Yang kuharap apa : yang kuinginkan masih di tangannya!" Nenek berbaju hitam-hitam membatin seteiah memandang tak berkesip pada kedua boia mata murid Pendeta Sinting.
Karena tidak ada yang menyahut pertanyaannya, Pendekar 131 tersenyum. Laiu enak saja dia bergerak bangkit dan meiangkah hendak putarl batangan pohon.
Namun gerakan Joko tertahan ketika mendadak saja nenek berbaju hitam-hitam buka mulut membentak.
"Kita punya urusan yang beium seiesai, Pendekar 131 Joko Sabieng! Jangan cari alasan untuk tinggaikan tempat ini!"
"Aneh.... Dia mengenaiiku! Dan biiang punya urusan iagi!" gumam murid Pendeta Sinting seraya sandarkan diri pada batangan pohon. Laiu coba mengingat-ingat.
Tampaknya nenek berbaju hitam-hitam dapat menangkap sikap Pendekar 131. Dia dongakkan kepaia iaiu berkata.
"Pendekar 131! Kau iupa dengan diriku?I Hi.... Hik.... Hik...!"
"Aku bukan hanya iupai Tapi tidak ingat sama sekaii!"
"Kaiau tidak ingat sama sekaii, setidaknya kau tidak iupa dengan suaraku!"
"Tampangnya saja tidak ingat, apalagi suaranyal sahut murid Pendeta Sinting dengan raba-raba batangan pohon di beiakangnya ingin yakinkan diri tentang keberadaan Bibi Emban.
"Kaiau kau tidak ingat suaraku, sekarang aku ingin tahu. Apakah kau ingat suara gadis yang mengenakan baju terusan warna hitam bercadar putih serta gadis cantik berbaju merah bergeiar Putri Kayangan?i"
Pendekar 131 sempat tersentak kaget. "Hem.... Dia juga mengenaii Mawar Jlngga dan Putrl Kayangan! Siapa pun nenek ini adanya, urusannya pasti masih ada hubungannya dengan Darah Keramati Ah.... Mengapa urusan yang menimpaku tidak ada habis-habisnya?!" Joko membatin bisa menebak siapa yang dimaksud si nenek dengan gadis berbaju terusan hitam bercadar putih dan bukan iain memang Mawar Jingga. Gadis yang pernah menoiongnya saat pertama kaii terkena racun hingga sepasang matanya tldak bisa meiihat.
"Bagaimana?! Kau ingat?i" tanya si nenek.
Nek...'?! Harap tidak tersinggung kaiau kukatakan, jika suara gadis, apaiagi yang wajahnya cantik, seumur-umur aku tidak mungkin iupal"
"Bagus! Berarti kau pasti ingat akan dirikui"
Murid Pendeta Sinting geieng kepaia. "Aku tetap tidak ingat!"
Si nenek menyeringai. "Kau ingat siapa yang mem­
bawamu kabur dari tangan gadis baju merah itu?!" Joko tarik puiang kedua tangannya dari batangan pohon. Laiu tubuh bagian atasnya didorong ke depan dengan sedikit membungkuk. Sepasang matanya pandangi sosok si nenek dari ujung rambut sampai ujung kaki. Muiutnya perdengarkan desisan.
"Nenek Ken Cemara Wangi!"
Nenek berbaju hitam-hitam tertawa panjang. "Bagusl Sekarang aku tak periu iagi memperkenaikan dlrii" "Hem .•.. Saat itu mataku tidak blsa meiihat. Jadi aku tidak bisa mengenaii wajahnya!" gumam Joko ingat akan peristiwa di mana saat itu dia tengah berbincang dengan Putri Kayangan mengenal Mawar Jingga yang tampaknya tidak suka dengan kemuncuian Putri Kayangan. Tapi sebeium mereka sempat bicara lebih jauh, mendadak terdengar satu deruan berkibiatnya pukuian bertenaga daiam tinggi. Saat iain terdengar iedakan keras. Beium habis suara iedakan, murid Pendeta Sinting merasakan sosoknya dibawa kabur seseorang yang akhirnya memperkenaikan diri dengan Ken Cemara Wangi. Untung saat itu muncui Tabib Suci Deiapan Arah, hingga Joko bisa seiamat.
"Nek...!" kata Joko. "Sebenarnya di antara kita tidak ada masa!ah! Dan sekarang kau pasti sudah tahu kaiau aku bukan murid Mutiara Dari Seiatan sepertl yang kau duga sebeium ini!"
Seperti diketahui, ketika Nenek Ken Cemara Wangi membawa kabur murld Pencieta Sinting dari Putri Kayangan, si nenek menanyakan di mana keberadaan Mutiara Dari Seiatan yang dikatakannya sebagai guru Pendekar 131.
"Siapa biiang di antara kita tidak ada masaiah meski kau bukan murid perempuan iiar itu?!" bentak si nenek yang bukan iain memang Ken Cemara Wangi adanya.
"Hem.... Laiu apa masalah di antara kita?!"
"itu bisa kau tanyakan nanti pada setan neraka! Tapi kaiau kau tidak ingin bertemu setan neraka, aku punya jaian keiuarnyal"
Hem.... Coba katakan!"
"Serahkan padaku dua senjata di tanganmu!" "Yang dimaksud nenek ini pasti Pedang Tumpui 131 dan Pedang Keabadian. Dia sempat meiihatnya
bahkan hendak mengambiinya jika tidak keburu muncul Tabib Suci Deiapan Arah yang menyeiamatkan kedua senjata itu!" kata Joko daiam hati kembaii ingat pertomuannya dengan Nenek Ken Cemara Wangi.
Kau dengar ucapanku?! tanya Nenek Ken Cemara Wangi.
"Nek.... Saat inl kau pasti masih ingat. Ada seseorang yang muncul hampir bersamaan denganmu!" Tabib Suci Delapan Arah!"
Betuii Kau tahu di mana Nenek Tabib itu berada?I
Dialah yang mengambii kedua senjatakui Aku telah lama mencarinya! Tapi hingga kini beium juga kutemukan!"
"Aku tidak percaya ucapanmu!" sentak Nenek Ken Cemara Wangi.
"Aku hanya memberi tahu. Tidak emintamu percayal"
Pendekar 131i Aku paling tidak suka blcara dua kaii! Pikirkan sekaii iagil"
"AkKu paling tidak suka berpikir dua kalil" sahut murid Pendeta Sinting.
"Bagus.... Berarti kau memintaku untuk mengambil di antara cincangan tubuhmu!"
"Nek?i Kau ini mengherankan! Siapa yang meminta?1
"Sikapmu!" bentak Nenek Ken Cemara Wangi dengan angkat kedua tangannya.
Tunggu! Tahan dulu.... Kita teiah lama berbincang, tapi aku beium kenai siapa adanya pemuda yang bersamamu...," kata Joko seraya alihkan pandang matanya ke arah pemuda di sebeiah kiri yang sedari tadi kancingkan muiut. Namun begitu murid Pendeta Sinting tidak berani berbuat ayal. Dia tetap waspada dengan gerak-gerik si nenek.
"Mau sebutkan diri?i" Joko bertanya pada sl pemuda dengan bibir tersenyum.
Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya buang muka seraya meiudah ke tanah. Joko tertawa lalu alihkan perhatiannya pada Nenek Ken Cemara Wang! dan berkata.
Nek.... Dia malu memperkenaikan diri. Kau mau mewakillnya?i"
Aku akan memperkenaikan padamu saat kau sekarat nantl!"
Ah.... Rupanya kau juga maiu memperkenaikan dirlnya. Tak jadi apa. Tapi satu hai yang pasti kau sungguh pandai mencari gandengan! Ini juga satu bukti, uaia bukan haiangan bagi orang yang sudah kasmaran•... "
Wuutti Wuutt!
Hampir bersamaan dengan habisnya ucapan Joko, kedua tangan Nenek Ken Cemara Wangi bergerak lepas pukuian bertenaga daiam tinggi. Hingga saat itu juga menderu dua gelombang angin luar biasa dahsyat.
Sebenarnya murid Pendeta Sinting bergerak hendak hindarkan diri. Namun mendadak pemuda dl sebelah kiri ikut sentakkan kedua tangannya seoiah tahu Jika Joko akan menghindar. Hlngga dari arah kiri meieeat puia geiombang pukuian.
Karena tidak ada tempat untuk menghindar, terpaksamurid Pendeta Sinting hantamkan kedua tangannya. Dan karena melihat ganasnya gelombang pukulan yang datang, begitu menghantam, murid Pendeta Sinting iangsung lepas pukuian sakti 'Lembur Kuning'!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang menderu hebat disusui berkibiatnya sinar kuning terang yang membawa suara gemuruh <Ian hawa panas menyengat.
Bummmi Bummm!
Dua iedakan menghentak berturut-turut. Sosok Nenek Ken Cemara Wangi langsung terpentai seraya koluarkan seruan tegang tertahan. Lalu jatuh terbanting di atas tanah dengan mulut semburkan darah. Kedun tangannya bergetar keras. Baju bagian atasnya hangus.
Tampaknya Nenek Ken Cemara Wangl salah duga. Saat lepas pukulan dia hanya kerahkan satengah tenaga daiamnya. Dia sudah memperhitungkan kalau murid Pendeta Sinting akan menghindar. Dia sama sekaii tidak mengira kaiau pemuda di sebeiah kiri akan ikutikutan iepas pukuian yang menyebabkan Joko urungkan niat menghindar dan sebaiiknya hadang pukuian dengan iepas pukuian 'Lembur Kuning' karena harus menghadapi dua pukuian sekaligus.
Saiahnya perhitungan Nenek Ken Cemara Wangi berakibat fatal. Karena begitu terjadi bentrok pukuian, sosoknya langsung terbanting ke tanah dengan muiut semburkan darah. Jeias nenek in! sudah terluka daiam cukup parah.
Di lain pihak, si pemuda di sebeiah kiri sendiri juga saiah perhitungan. Pertama karena beium tahu siapa yang dihadapi. Kedua karena Nenek Ken Cemara Wangi sudah iepas pukulan, dia juga hanya kerahkan setengah tenaga daiamnya saat lepaskan pukuian. Hingga begitu terdengar ledakan, sosoknya mencelat sebeium akhirnya terjengkang roboh di atas tanah dengan muiut teteskan darah!
Sementara itu, sosok murid Pendeta Sinting tampak tersentak begitu bentrok pukuian terjadi. Karena di belakangnya tegsk batangan pohon, tak ampun iagi sosok Joko tersentak menghantam batangan pohon hingga batangan pohon itu bergetar keras. Saat lain tubuh murid Pendeta Sinting melorot dan jatuh terduduk dengan punggung bersandar dan mulut megap-megap.
Seteiah dapat kuasai diri Pendekar 131 bergerak bangkit. Dia arahkan pandangan ke depan. Terlihat si pemuda yang teriuka daiam tidak begitu parah sudah bangkit dan periahan mendekati Nenek Ken Cemara Wangl.
Dengan ulurkan kedua tangannya sl pemuda membimblng si nenek bergerak duduk. Si nenek menggereng dengan mendelik angker pada murid Pendeta Sinting. Lalu kembaii kerahkan tenaga dalam. Saat laln berkata.
"Rambu Basa.... Jika terjadi apa-apa dengan diriku, kau tahu apa yang harus kau iakukan! ingat.... Jangan sampai kau terluka parah apalagi sampai tewasi Hai itu akan memutus dendamku! Ingat sekali lagi.... Saat ini kau bukan iawan pemuda jahanam itu! Kelak jika kau teiah iakukan pesanku, kau baru bisa menghadapinyai" Guru.... Bukankah lebih baik kita tinggalkan tempat ini?l"
Nenek Ken Cemara Wangi geieng kepala. "Rambu Basa.... Aku bukan manusla pengecuti Bagiku iebih baik mampus dalam bentrok daripada lari seiamatkan dirii"
Habis berkata begitu mendadak saja Nenek Ken Cemara Wangi sentakkan kedua tangannya ke arah murid Pendeta Sinting.
Karena mendadaknya pukulan yang dilepas Nenek Ken Cemara Wangi, tidak ada kesempatan bagi murid Pendeta Sinting untuk bergerak menghindar, hingga terpaksa dia menghadang pukuian dengan dorong kedua tangannya.
Untuk kedua kaiinya tempat itu dihentak suara ieiakan. Untuk kedua kaiinya pula sosok Pendekar 131 tersentak menghantam batangan pohon di beiakangnya. Namun karena pukuian si nenek diiepas daiam koadaan sudah teriuka daiam, sosok murid Pendeta inting hanya terhuyung ke samping seteiah menghantnm batangan pohon.
Di iain pihak, Nenek Ken Cemara Wangi tersapu hingga beberspa iangkah sebeium akhirnya terkapar di atas tanah dengan mata terpejam terbuka dan tubuh mengejang. Kedua tangannya terangkat seolah menggapai-gapai. Dari muiutnya menyembur darah kehitaman. Tanda luka daiam nenek ini sudah sangat parah.
Si pemuda yang dipanggii dengan Rambu Basa iuga sempat terhuyung dua iangkah terkena bias bentroknya pukuian. Sebenarnya pemuda ini sudah nekat hendak iepas pukuian ke arah Pendekar 131. Namun begitu mendapati keadaan si nenek, pemuda ini bataikan niat. Saat iain dla berlari ke arah Nenek Ken Cemara Wangi.
ambu Basa...," kata Nenek Ken Cemara Wangi dengan susra tersendat parau. Tangannya diietakkan di atas tangan Rambu Basa yang sudah jongkok di sampingnya. "Cepat tinggaikan tempat ini! Lakukan apa yang kupesankan padamu! Jangan hiraukan diriku!"
Tapi...."
"Kau tak periu aiasanl Aku tidak mau mendengarnya.... Cepat tinggai.... Tinggalkan tempat ini...."

*
* *

------------------------------------------
SEMBILAN
------------------------------------------
RAMBU Basa tegakkan wajah memandang angker pada sosok murid Pendeta Sinting. Sebenarnya Pendekar 131 sudah buka mulut hendak bicara.
Tapi sebeium suaranya sempat terdengar, Rambu Basa
yang sudah menangkap keadaan kritis Nenek Ken Cemara Wangi bergerak bangkit dengan dua tangan membopong sosok si nenek yang ternyata sudah tewas.
Rambu Basa tarik tangan kirinya iaiu diiuruskan dengan telunjuk mencuat ke arah murid Pendeta Sinting. Entah karena tak kuasa buka mulut atau bagaimana, yang jeias Rambu Basa menunjuk pada murid Pendeta Sinting tanpa berucap apa-apa. Saat iain pemuda ini putar diri iaiu perlahan tinggalkan tempat itu dengan membopong sosok mayat Nenek Ken Cemara Wangi.
Pendekar 131 mengheia napas panjang. "Aku tidak mengharapkan itu terjadi. Tapi.... Ah. Semua sudah terjadi...," gumamnya seraya terus memandang hingga Rambu Basa ienyap di kejauhan.
Begitu sosok Rambu Basa tidak kelihatan, Joko mendongak. "Hem.... Ternyata iama juga aku tertidur. Sayangnya mengapa Bibi Emban tidak membangunkani" Joko putar pandangan berkeiiiing. Mungkin menduga Bibi Emban masih ada di sekitar tempat itu, dia eegera berteriak.
"Bibi! Kau masih di sini?i Bibi kau dengar suaraku?i"
Murid Pendeta Sinting putar pandangan sekaii lagi noraya pasang teiinga baik-baik. Tapi sejauh ini dia tidak mendengar atau melihat tanda-tanda keberadaan si nenek.
Ah.... Apa yang harus kuiakukan sekarang?! Meneruskan perjaianan ke Lembah Hijau atau menuju Tlatah Perak menemu! Eyang Guru...?i Sebaiknya kupikir sambii jaian saja...."
Mengambii keputusan begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting meiangkah tinggalkan tempat itu dengan kepala sesekaii diputar dan mata dijerengkan besarbesar berharap menemukan Bibi Emban.
Begitu melangkah kira-kira dua puluh iima tombak, mendadak Joko hentikan iangkah dengan kening berkerut dan teiinga ditajamkan.
"Sepertinya ada yang mengikuti langkahku.... Mungkinkah pemuda yang bersama Nenek Ken Cemara Wangir?! Atau jangan-jangan Bibi Emban...."
Untuk menangkap basah orang yang mengikuti, murid Pendeta Sinting sengaja teruskan langkah. Maiah kaii ini bersamaan dengan bergeraknya kaki, kedua tangannya diangkat diapungkan di depan dada. Lalu membuat gerakan seperti orang menimang.
Begitu meiewati kawasan terbuka dan hanya ditumbuhi beberapa pohon tidak begitu besar, laksana disentak tangan setan, murid Pendeta Sinting ballkkan tubuh dengan mata dipelototkan. Siasat Joko membawa hasii. Meski dia tidak jeias melihat siapa adanya orang, namun dia masih bisa meiihat berkeiebatnya dua sosok bayangan yang sembunyikan diri di balik dua batangan pohon yang tegak berjajar.
Hem.... Aku beium tahu siapa mereka. Yang pasti mereka bukan pemuda yang muncul bersama Nenek Ken Cemara Wangi atau Bibi Emban.... Untuk apa mereka mengikutiku? ini gara-gara Bibi Emban. Kaiau saja dia tidak mengajakku ke tempat yang belum diketahuinya, tak mungkin aku menemui banyak masalah seperti ini!" Joko mengeiuh sendiri. Lalu arahkan matanya ke dua batangan pohon di mana dua sosok tubuh sembunyikan diri.
"Siapa pun mereka adanya, aku harus tahu apa maksud tujuannyai" gumam Joko laiu berteriak.
"Dua orang di baiik pohoni Jika punya maksud,
mengapa sembunyikan diri?!"
Murid Pendeta Sinting tidak menunggu iama. Begitu teriakannya habis, terdengar gumaman tak jelas dari saiah satu batangan pohon. Saat iain dua sosok tubuh muncui unjuk diri.
Joko kerutkan kening. "Mereka pasti masih ada kaitannya dengan dua gadis yang kutemui beberapa saat berseiang!" gumamnya begitu meiihat dua sosok tubuh dl seberang depan.
Yang muncul dari balik batangan pohon sebeiah kiri ternyata seorang gadis muda berkuiit sedikit hitam namun berparas manis. Sepasang matanya bundar. Dia mengenakan pakaian panjang warna hitam yang bagian betisnya dibuat membelah panjang hingga sepasang pahanya bisa terlihat jeias. Bagian dada pun dlbuat membelah rendah hingga cuatan sebagian dadanya yang membusung kencang terpampang.
Sementara yang keiuar dari balik batangan pohon sebeiah kanan adalah juga seorang gadis muda. Kuiitnya kuning iangsat. Paras wajahnya mempesona. Matanya tajam. Dia mengenakan pakaian berwarna kuning yang potongannya sama persls dengan pakaian gadis sebeiah kiri.
Yang membuat Pendekar 131 bisa menduga kedua gadis di seberang depan masih ada kaitannya dengan dua gadis yang ditemuinya beberapa saat berseiang dan bukan lain adaiah Uwe Ladami dan Uwe Kasumi adalah rambut kedua gadis yang muncui dari baiik batangan pohon. Meski kedua gadis itu tampak masih mud a, tapi rambut keduanya sudah berwarna putih!
"Kaiau kedua gadis yang kutemui beberapa saat yang iaiu tengah mencari Pedang Keabadian, berat dugaan kedua gadis ini tak jauh berbedal Tapi.... Mengapa mereka mengikuti iangkahku...?! Mungkinkah mereka sudah tahu jika pedang itu ada di tanganku?!" Joko membatin dengan dada berdebar. Namun sejauh Ini dia menahan diri untuk tidak buka mulut. Dia menunggu seraya simak baik-baik tampang dua gadis di seberang depan.
Karena ditunggu agak iama dua gadis di depan tidak juga ada yang buka suara, Joko kembaii berkata dalam hati.
"Mereka yang mengikuti langkahku. Berarti mereka puia yang punya maksud! Jika mereka tidak mau bicara, untuk apa aku memulai?i"
Habis membatin begitu, tanpa buka muiut murid Pendeta Sinting putar diri. Laiu enak saja dia teruskan iangkah malah seraya bersiui-siu! dendangkan nyanylan.
Tunggu!" Mendadak terdengar suara menahan. Pendekar 131 berhenti. Laiu putar diri iagi menghadap dua gadis yang muncul dari baiik batangan pohon. Tapi Joko menahan diri tidak buka suara. Dia hanya memandang siiih berganti dengan bibir sunggingkan senyum.
"Kau yakin..2?!" Gadis baju hitam berkata dengan suara ditekan.
Gadis baju kuning anggukkan kepaia. "Dari keterangan pemuda itu tadi, aku hampir bisa memastikan diaiah orangnyal Lagi pula di sekitar kawasan ini tidak ada pemuda lain!"
"Tap! apakah tidak lebih baik ksiau kita bertanya dulu?l'
Gadis baju kuning kembali anggukkan kepaia. Laiu buka mulut.
"Kau tahu mengapa kami ikuti?i"
Murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya pada gadis berbaju kuning. Laiu geiengkan kepala sambii berkata.
"Itu yang ingin kuketahuil"
Karena kaml yakin kau Pendekar 131 Joko Sabiengi" kata gadis baju kuning.
Walau sebenarnya terkejut mendapati orang sudah tahu siapa dirinya, namun Joko tidak mau unjuk rasa kaget. Dia tertawa pendek-pendek dengan bahu sengaja disentak-sentakkan. Laiu berujar.
Hari ini tampaknya aku mendapat satu kehormatan besar.... Dikira seorang pendekar! Ha.... Ha.... Ha...l Padahai banyak orang yang mati-matian ingin dikira sebagai seorang pendekar namun banyak orang yang tidak ambii peduii! Terima kasih.... Terima kasih...."
Dua gadis di depan saling pandang. Jeias wajah mereka membayangkan rasa bimbang.
Sementara seraya bertanya-tanya dari mana orang tahu siapa dirinya, murid Pendeta Sinting teruskan berucap begitu mendapati kebimbangan sudah mendera dua gadis di seberang depan.
Ada iagi kehormatan yang akan kalian berikan padaku?l"
"Bagaimana In!?I Mungkinkah pemuda yang membawa nenek tadi bicara dusta?!" tanya gadis baju kuning.
Gadis baju hitam geieng kepaia. "Sekarang aku sendiri bingung.... Mana yang benar! Ucapan pemuda tadi atau keterangan pemuda ini!"
Rupanya Joko mendengar apa yang dibicarakan gadis di seberang depan. Maka dia segera menyahut. "upanya kalian terkecoh dengan keterangan temanku itu! Ha.... Ha.... Ha...i Coba katakan apa lagi
yang diucapkan temanku itu?I
Ucapan Pendekar 131 membuat dua gadis di seberang depan makin tampak bimbang. Malah gadis baju hitam segera perdengarkan ucapan.
"Uda Kaiami.... Kita ianjutkan saja perjaianan! Dari sikap dan ucapannya, aku tidak yakin dia pemuda yang kita cari!"
Habis berkata begitu, gadis baju hitam putar diri. Laiu melangkah hendak tinggaikan tempat itu. Sementara gadis baju kuning yang dipanggii dengan Uda Kaiami masih tegak dengan memandang tak berkesip pada sosok murid Pendeta Sinting. Tiba-tiba dia aiihkan tubuh dan berteriak.
"Umi Karani! Tunggu! Ada yang hendak kubica­
rakan!"
Gadis baju hitam yang dipanggil dengan Umi Karani hentikan iangkah. Uda Kalami iangsung melompat dan tegak menjajari Umi Karani dan berbisik.
"Kta tidak boieh cepat mengambii keputusan!" "Maksudmu...2?l"
"Kau tadi iihat sendiri bagaimana raut waiah pemuda yang memberi keterangan! Juga sosok mayat yang dibawanya! Jeias wajahnya mengandung rasa dendam! Mana mungkin dia memberi keterangan dusta?! Jadi pemuda di beiakang kita ini yang pandai main sandiwara! Maiah mengaku-aku sebagai teman pemuda yang membawa mayat tadil'
Tapl..."
Beium sampai Umi Karani teruskan bicara, Uda
Kaiami sudah buka muiut.
"Sebagai orang yang saat ini membawa pedang berharga, tidak mungkin dia mau berterus terang pada orang yang beium dikenainyai Kita harus buktikan kebenaran ucapannya!"
Caranya?l" tanya Umi Karani.
"Kita paksa dia buka muiut. Jika membangkang, membunuh pun tak jadi masaiah! Karena daiam urusan ini kita juga pertaruhkan nyawal"
Umi Karani anggukkan kepaia. Kejap kemudian kedua gadis ini baiikkan tubuh. Memandang ke depan, keduanya terkejut karens murid Pendeta Sinting sudah Jauh di depan sana.
Laksana terbang Umi Karani dan Uda Kaiami berkeiebat mengejar. Baru setengah jaian Uda Kaiami sudah berseru setengah menjerit.
'Haii Tunggu!"
Sambil tertawa Pendekar 131 iangsung baiikkan tubuh. Umi Karani dan Uda Kalami berhent! tujuh iangah di hadapan Joko. Beberapa saat kedua gadis ini memperhatikan dengan seksama.
Karena sudah bisa menduga siapa yang memberi kcterangan pada dua gadis di hadapannya, Pendekar I31 segera berkata.
"Kalian saiah besar jika menduga diriku Pendekar
131 Joko Sabieng! Dan kaiian boleh percaya atau tidak, pemuda yang memberi keterangan pada kaiian ituiah sebenarnya Pendekar 131 Joko Sabieng! Kaiian terkecoh...."
Kebimbangan kembaii mendera Umi Karani dan Uda Kaiami. Keduanya saiing lontar iirikan lalu sama arahkan pandangan kembaiil pada Pendekar 131.

*
* *

------------------------------------------
SEPULUH
------------------------------------------
SEBELUM kita lanjutkan apa yang akan terjadi antara murid Pendeta Sinting dengan Uda Kaiami dan Umi Karani, kita ikuti apa yang terjadi hing­
ga Umi Karani dan Uda Kalami menduga pemuda yang mereka ikuti adalah Pendekar 131 Joko Sableng.
Seteiah tunjuk dengan jari tangan kiri pada Pendekar 131 tanpa buka muiut, Rabu Basa yang ternyata adaiah murid Nenek Ken Cemara Wangi baiikkan tubuh dan tinggaikan tempat itu dengan membopong sosok mayat Nenek Ken Cemara Wangi.
Melangkah kira-kira lima puluh tombak, mendadak dua sosok bayangan terlihat berkeiebat dari arah depannya. Dua sosok bayangan yang ternyata bukan iain adaiah Umi Karani dan Uda Kaiami iangsung hentikan keiebatan masing-masing sejarak sepuiuh iangksh dl hadapan Rambu Basa.
Rambu Basa ikut berhenti. Sepasang matanya yang tajam memandang dingin siiih berganti pada Umi Karani dan Uda Kaiami. Saat lain tanpa buka muiut pemuda ini terusksn iangkah.
"Mungkinkah dia?!" Umi Karani ajukan tanya.
"Dar! sosok yang terluka parah di pangkuannya, mereka pasti dari kaiangan persiiatan. Kita tanya siapa mereka sebenarnyal" sahut Uda Kaiami.
Begitu Rambu Basa iima iangkah di hadapan mereka, Uda Kaiami segera buka mulut. Tapi beium sampai euaranya terdengar si pemuda sudah mendahuiui.
"Harap tidak menghaiangi langkahku! Siapa pun kailan adanya!"
"Kami tengah mencari seseorang! Kami tidak akan menghaiangi jika kau mau sebutkan diri!"
Rambu Basa berhenti. Dengan aiihkan pandang matanya ke jurusan iain dia berkata setengah membentak.
Kaiian mencari seseorang. Berarti kaiian tahu siapa yang kaiian cari! Apa aku orangnya?!"
"itu tergantung jawaban yang kau ucapkan!" sambut Uda Kaiami.
Rambu Basa mendengus. Hawa kemarahan akibat kematian Nenek Ken Cemara Wangi membuat pemuda ini memutuskan nekat akan menghadapi siapa saja yang coba menghadang. Maka begitu dengar ucapan orang, pemuda ini segera membentak keras.
"Menyingkiriah dari hadapanku! Kalian tidak akan mendapat jawaban apa-apa!"
Jawaban Rambu Basa membuat Umi Karani dan Uda Kaiami muial geram. Uda Kaiami maju dua iangkah. Memandang sesaat pada sosok mayat Nenek Ken Cemara Wangi ialu berkata.
"Jika kami tidak mendapat jawaban, tidak suiit bagi kami membuatmu seperti nenek di pangkuanmu!" Mungkin agar tidak dikira main-main, seraya berkata, Uda Kaiami angkat kedua tangannya. Laiu dihantamkan dengan putar tubuhnya setengah lingkaran.
Bummm\ Bummm!
Batu besar iima beias iangkah dari tempat tegaknya Hambu Basa tampak semburat berantakan lalu mencelat bertabur ke udara.
Tubuhmu lebih keras dari batu itu?!" tanya Uda Kaiami seraya menghadap iagi pada Rambu Basa.
Rambu Basa menyeringai dingin. Perlahan dengan kancingkan muiut dia bungkukkan tubuh hendak ietakkan sosok mayat Nenek Ken Cemara Wangi. Umi Karani dan Uda Kaiami saling pandang sesaat ialu memberi isyarat dengan anggukkan kepala.
Namun mendadak Rambu Basa bataikan niat untuk ietakkan sosok gurunya begitu ingat akan ucapan Nenek Ken Cemara Wangi.
Guru berpesan agar aku tidak sampai tewas sebelum iakukan apa yang diucapkan! Tampaknya mereka membekal ilmu tinggi. Sementara aku baru saja menimba ilmu.... Daripada harus mampus lebih baik aku menJawab apa pertanyaan merekal Hem.... Hal ini memang memalukan! Tapi keiak jika aku sudah lakukan pesan Guru, mereka termasuk manusia yang harus membayar tindakannya sekaiian dengan bunganyal"
Habis membatin begitu, RHambu Basa arahkan pandangannya siiih berganti pada Uda Kaiami dan Umi Karani. Laiu berkata.
Seandainya aku tidak menghormati mayat guruku, apa pun mau kaiian akan kuiadeni! Sekarang apa yang akan kaiian tanyakan?l"
"Kaiau takut, mengapa cari daiih aiasan?!" ujar Umi Karani.
Meski panas mendengar ucapan orang, tap! Rambu Basa coba menindih hawa kemarahan. Dla berpaiing eeraya berkata.
"Kaiian periu jawaban atau ingin terus biears tak karuan?l"
Waisu juga makin geram dengan jawaban RHambu lasa, namun karena Uda Kaiami dan Umi Karani memeriukan keterangan, kedua gadis ini juga menahan diri. Lalu Umi Karani berucap.
"Siapa nenek di pangkuanmu itu?!' Guruku!"
Tampaknya dia tewas. Apa penyebabnya?i" Sebagal orang dunia persllatan, kalian pasti sudah tahui"
Kami tidak Ingin menduga-duga! Kami ingin jawaban! sentak Umi Karani.
"Dia baru saja mengadu jiwal"
Umi Karani tersenyum mengejek. "Kau tidak malu mendapati gurumu terbunuh di tangan orang sementara kau sendlri selamat?
"Kali ini aku harus selamat! Jika tidak dendam ini akan terputusl Tapi haiini tidak akan iama!" ujar Rambu Basa seraya ganti sunggingkan senyum ejekan pula.
"Kalau gurumu tewas, pasti iimu iawannya lebih tinggil Katakan siapa yang baru dihadapi gurumu!"
"Pemuda jahanam bergelar Pendekar 131 Joko Sableng!" kata Rambu Basa dengan tangan mengepai dan rahang mengembung besar. Suaranya terdengar serak parau.
Umi Karani dan Uda Kalami seoiah tidak percaya dengan jawaban yang mereka dengar. Laksana terbang Umi Karani berkeiebat iaiu tegak dua langkah di hadapan Hambu Basa dan iangsung buka mulut.
"Katakan sekaii iagi siapa yang baru bentrok dengan gurumu!"
Sikap dua gadis di hadapannya, membuat Rambu Basa jadi tak enak sekaiigus bertanya-tanya. Hingga untuk beberapa saat dia tidak segera menjawab sampai akhirnya Umi Karani buka mulut lagi.
"Kau dengar ucapanku! Katakan siapa yang baru bentrok dengan gurumu!"
·pendekar 131 Joko Sabieng bangsat!"
DI mana pendekar itu sekarang?!" sahut Uda Kaiaml seolah tak sabar.
Karena tak blea menemukan jawaban dari berbagai pertanyaannya, juga tak mau terus bicara menJawab pertanyaan orang, Rambu Basa segera putar diri setengah lingkaran dengan tanpa ditarik dari bawah sosok Nenek Ken Cemara Wangi dan ditunjukkan ke satu arah. Laiu berkata.
"Kallan bisa menemukan bangsat itu beberapa tombak dari tempat inil"
Uda Kaiami yang tidak sabaran segera berkelebat. Namun gerakannya tertahan ketika Umi Karani berteriak. "Tunggu duiul"
Yang diteriaki urungkan niat. Umi Karani memandang tajam pada Rambu Basa lalu buka mulut iagi. "Kau tldak berbohong?!"
"Kailan tidak tahu namaku! Tapi kaiian tahu bagalmana tampangku! Jlka keteranganku bohong, pasti kalian tidak akan lupa dengan tampang ini!"
Umi Karani yang tegak hanya dua langkah di hadapan Hambu Basa simak baik-baik tampang pemuda dl hadapannya. Saat iain berpaiing pada Uda Kaiami dengan kepaia dianggukkan. Kejap iain iaksana orang kesurupan kedua gadis ini berkeiebat tinggaikan Rambu Basa yang berpaiing ke arah keiebatan orang dengan mendesis.
"AkKu tak tahu apa tujuan kaiian! Tapi jika keiak aku dengar kaiian putus dendam ini dengan membunuh i'endekar 131 Joko Sableng, kalian berdua akan kubunuh peian-pelan!"
Kita kembaii pada Pendekar 131. Begitu meiihat wbimbangan kembali membayang pada raut wajah Umi Karani dan Uda Kalami, diam-diam murid Pendeta Sinting membatin.
"Dua gadis yang kutemul pertama beberapa saat berselang tengah mencari Pedang Keabadian. Kini muncui lagi dua gadis yang kuyakin masih ada kaitannya dengan dua gadis yang pertama. Sekarang aku bisa menebak satu hai. Mereka mencari pedang itu karena disuruh seseorang!"
Seiagi Joko membatin begitu, Uda Kalami berblslk pada Umi Karani. "Aku tidak percaya dengan keterangan pemuda ini. Kaiau pemuda yang membawa mayat tadi Pendekar 131 Joko Sabieng tak mungkin dla unjuk rasa takut melihat aku memukul batu!"
"Jadi kau yakin pemuda ini Pendekar 131?i" sahut Umi Karani.
"Sayang kita tak tahu persis bagaimana sosok orang yang kita caril Jadi meski aku tidak percaya dengan keterangan pemuda ini, bukan berarti aku bisa memastikan dia Pendekar 131 Joko Sablengi"
Umi Karani mengheia napas panjang. Joko tersenyum iaiu berkata.
"Aku seorang pengembara jaianan.... Dalam pengembaraanku aku sempat jumpa beberapa orang sahabat. Saiah seorang di antaranya ada yang memberi cerita bagus. Kaiian mau dengar?!"
Umi Karani dan Uda Kaiami hanya memandang tanpa ada yang menyahut. Joko kembaii tersenyum laiu ianjutkan ucapan.
"Dari sahabatku itu aku dengar dia pernah jumpa dengan dua gadis yang rambutnya berwarna putlh. Aku tak tahu pasti. Siapa dua gadis itu. Mungkin saja kalian tapi bisa juga orang iain...." '
Paras Umi Karani dan Uda Kalami tampak berubah dan sallng menoieh. Namun sejauh ini keduanya tidak ada yang buka mulut hlngga murid Pendeta Sinting sambungi ucapannya.
Dari keterangan sahabatku, kedua gadis itu tengah mencari Pedang Keabadian.... Sebagai pengernbara aku tahu banyak hal, termasuk Pedang Keabadian. Menurut kabar yang kusirap, pedang itu sebenarnya berada di daratan Tibet! Tapi...."
Kau salah menangkap berital" Uda Kalami sambuti ucapan murid Pendeta Sinting.
Ucapanku beium selesai.... Harap tak memotong, karena aku dikenal sebagai pengembara uiung. Jika tidak percaya silakan tanya pada siapa saja yang nanti kallan jumpai!" Joko putuskan kata-katanya sesaat dengan tersenyum pasang tampang percaya diri sebelum akhirnya melanjutkan.
Pedang itu sebenarnya berada di daratan Tibeti Tapl belum iama berseiang, teiah terjadi peristiwa mengherankan. Seorang pemuda dari tanah Jawa dikabarkan telah membawa pedang itu ke tanah dawa. Pemuda itu adalah Pendeksr 131 Joko Sabieng. Kalian tahu...?i Sebagai pengembara aku sering ksli mendapat berita yang mustahii.... Tapi baru kali ini aku mendengar berlta yang mustahil sekaiigus tidak akan pernah kupercayal Jadi sudah mustahil maslh tidak akan pernah kupercaya lagil"
"itu hakmu! Dan setiap orang punya hak sendiri sendirl untuk percaya atau tidaki" sentak Uda Kalami.
Baik.... Baik! ltu hak kita maslng-masing. Tapi satu iai yang sangat tidak mustahil dan pasti kupercaya kobenarannya, Pedang Keabadian bisa dibuat untuk entu kepentingan!"
Kepentingan apa?l" tanya Uda Kalami. Tergantung kebutuhan apa yang dikehendaki!"
"Coba katakan satu contoh!" ujar Umi Karani. "Sebagal pengembara aku tahu banyak kepentingan apa saja yang blsa dlperbuat dengan pedang ltu.
Tapl seorang pengembara punya satu aturan...l" "Aturan apa?! bentak Uda Kalaml dengan pelototkan mata karena tldak percaya dengan ucapan murid Pendeta Sintlng.
"Tldak boleh mengatakan sesuatu pada orang yang tldak punya kepentingan! Alasannya, dlkhawatlirkan akan menyeret orang bertlndak di luar jalan karena Ingin coba-coba dan lseng!"
"Kami punya kepentingan dengan pedang itul" kata Uda Kalaml.
"Uda Kaiami! Harap tldak mengatakan apa kepentingan kita! Jika didengar orang lain, bukan tak mungkln akan dlbuat satu kesempatanl Juga bisa menambah terhalangnya perjalanan kital" blslk Uml Karanl.
"Umi Karanll Tidak ada salahnya kita mengatakan padanya! Siapa tahu apa yang selama inl dipercaya oleh Dewi Atas Angin dan Nyal Sekarpatl hanya...."
Belum sampal habls ucapan Uda Kalaml, dan Uml Karanl sudah menukas.
"Kau tldak percaya dengan DewI Atas Angin dan Nyal Sekarpatl?i"
"Bukan tldak percaya. Tapi kalau apa yang dlkatakan pemuda Inl sesual dengan kepercayaan Dewi Atas Angin dan Nyal Sekarpatl, tidak sia-sia kita menjalankan tugas lnl! Kalaupun tldak sesuai, nantinya klta bisa melapor! Siapa tahu memang ada jalan keluar lain! Ini deml kepenllngan kita bersama...."
"Kau percaya dengan semua keterangan pemuda int2?1
"Keterangan yang dikatakannya tidak salah! Jadl tidak ada alasan untuk tldak percayai"
Habls berkata begitu, Uda Kalaml buka mulut dengan arahkan pandangannya pada murld Pendeta Sinting.
Kaml punya kepentingan dengan pedang itul
"Hem.... Begitu?i" ujar Pendekar 131 dengan memandang slllh bergantl.
"Sekarang katakan apa saja kepentingan yang blsa dlperbuat dengan Pedang Keabadlanl" kata Uda Kalaml.
Kepala murid Pendeta Sinting menggeleng. "Karena pedang ltu pedang hebat, maka banyak sekali kepentingan yang blsa diperbuat. Kalau kukatakan satu persatu, rasanya terlalu makan waktu sementara aku harus segera melanjutkan pengembaraan Inl.... Maka kuminta kallan saja yang mengatakan apa kepentingan kallan hingga mencarl pedang ltu! Aku yang akan memberi kepastian, kepentingan kallan termasuk apa yang blsa dlperbuat dengan pedang itu atau tldak!" Seraya berkata Joko tengadahkan kepala seolah orang yang dlburu waktu.
"Ucapan pemuda inl tldak blsa dlpegang. Tadl akan mengatakan semua kepenllngan yang blsa dlperbuat dengan pedang itu. Sekarang ganti minta dlberl tahu kepentingan yang akan kuperbuat.... Tapl daripada tak mendapat keterangan, leblh balk kukatakan sajal Uda Kaiami membatin. Setelah berpaling pada Um! Karanl dln berkata.
"Kami tengah terkena malapetaka...."
Joko sorongkan kepala ke depan dan digerakkan ko samping kanan kiri dengan mata dipentang pandngl sosok Umi Karani dan Uda Kalaml siilh berganti. Lnlu berucap.
"Kallan gadis berwajah cantlk dan manls.... Rasanya aku kurang yakin kallan ditimpa malapetaka.... Aku tldak melihat tanda-tanda malapetaka itu.... Harap tidak mengelabulku hanya karena ingin tahu!"
Walau sesaat kedua wajah gadls di hadapan Pendekar 131 berubah sedikit malu mendengar pujian orang, namun saat laln wajah keduanya sudah berubah sepertl semula, Malah Uda Kalaml segera membentak. "Jaga ucapanmui Kaml tldak pernah berkata dusta!
Kaml memang tengah ditimpa maiapetaka!"
Mungkin untuk membuktikan kebenaran ucapan orang, Pendekar 131 segera berkata.
"Kalian tadi telah dengar ceritaku bahwa salah seorang sahabatku pernah bertemu dengan dua gadls yang dari clrl-clrinya sepertl kalian. Apa yang bertemu sahabatku itu kalian adanya?!"
"Siapa sahabatmu itu?!" tanya Umi Karani.
"Seorang nenek berbaju hitam. Di pundaknya mellngkar sebuah selendang warn a merah•... Nenek lnl...." "Kami tldak pernah berlemu dengan nenek yang clrinya kau sebutkan!" Umi Karanl menukas ucapan Joko.
Pendekar 131 anggukkan kepala. "Hem.... Jadl mereka tldak berdusta.... Sekarang tinggai rencana selanjutnyal" katanya dalam hatl. Lalu berkata.
"Sahabatku bertemu dengan dua gadis yang cirinya mlrlp dengan kalian. Harl Inl aku bertemu pula dengan kallan. Sementara kepentingannya sama yakni mencarl Pedang Keabadlan. Dari hal dl atas aku blsa menarik satu keslmpulan. Kalian mencarl pedang itu atas suruhan orang! Benar bukan ...?!"
"Int bukan suruhan! Tapi tugas!" sentak Uda Kalami.
"Tugas...?! Ah.... Berartl orang yang memberi tugas pastl orang yang kalian hormati! Guru...?! Orangtua... ?!
Kakek...2i Nenek...?I Bibl...?I"
Meski makin jengkel dengan ucapan murid Pendeta SInting, tapi tak urung Uda Kaiami dan Umi Karani sunggingkan senyum. Lalu Uml Karani buka mulut.
"Yang memberi tugas lebih dari sekadar beberapa orang yang au sebut!"
"Dla adaiah Ratu kaml!"
"Blsa katakan siapa Ratu kalian?!
"Kau jangan alihkan pembicaraani" bentak Umi Karanl.
"Aku tak bermaksud begltu. Tapi jika kalian menganggap begitu, aku tak akan teruskan bicara soal Ratu kallan itu. Sekarang katakan malapetaka apa yang menlmpa kailan...!"
Umi Karani sudah buka mulut. Tapl belum sampai terdengar suaranya mendadak satu bayangan berkelebat di tempat itu. Umi Karani kanclngkan mulut. Lalu berpaling. Uda Kalaml sentakkan kepala menoleh seraya pentang mata. Sementara Pendekar 131 Joko Sableng menghela napas seraya menggumam tak jelas. Lalu lkut-ikutan gerakkan kepala.

*
* *

------------------------------------------
SEBELAS
------------------------------------------
SOSOK yang dlpandangl tegak dengan kepala berputar ke arah Uda Kalami dan Uml Karani. Dua gadis ini yang temyata bukan laln maslh anak bu­
ah Oewi Atas Angln dan Nyai Sekarpati unjuk slkap tldak senang dengan pasang tampang dingin. Lalu alllhkan pandangan tanpa buka mulut.
Sosok yang baru muncul tak ambil pedull meskl perdengarkan gerengan tanda hawa amarah mulal mendera dadanya. Dla sentakkan kepala ke arah murid Pendeta Sinting.
Kalau Uda Kalami dan Uml Karanl tidak unjuk paras berubah begitu melihat tampang orang malah pasang raut dingin, tidak demlklan halnya dengan Pendekar 131 Joko Sableng.
Begitu orang berpaling, Pendekar 131 langsung surutkan langkah dengan tampang tersentak kaget. Sepasang matanya mementang tak berkeslp. Lalu memejam beberapa saat sebelum dibuka lagl seraya makin dibeliakkan. Mulutnya komat-kamit seolah hendak bicara, tapi hingga agak lama tidak juga terdengar sepatah katal
Sosok yang baru muncul tertawa bergeral panjang.
Kedua tangannya ditarik lalu dipasang pada pinggang kanan kiri. Saat lain terdengar suaranya.
"Apa yang kau ilhat, Anak Muda Keparat?l"
Murid Pendeta Sintlng bukannya menyahut ucapan orang, meiainkan geieng-geieng kepala dengan bergumam. "Mustahil...! Muetahil! Mungkin mataku yang menlpu! Atau dia yang salah punya tampangl"
Aku tanya! Apa yang kau Ilhat, Anak Muda Keparat?!" Sosok yang baru muncul kemball angkat suara dengan membentak garang.
Mungkin untuk yakinkan penglihatan, murid Pendeta SInting pandang sekall lagl sosok di hadapannya dart ujung rambut ke bawah.
"Rambut dan wajahnya sama! Yang membedakan hanya jubah panjang yang dikenakan! Orang Ini mengenakan jubah hitam panjang, sementara dla tldakl Ah.... Mungkin Ini hanya satu kebetulan sajal Tampang kadang-kadang blsa sama tapi orangnya lainl Tapl.... Mengapa dia sepertinya mengenaliku?! Nada ucapannya pun jelas seperti orang yang punya satu sllang sengketa denganku! Astaga...I Mungkinkah orang yang sudah mati blsa hidup lagl dl alam dunla yang sama...?i" Pendekar 131 membatin dengan kuduk merinding dan mata terpejam terbuka. Dadanya berdebar
keras.
Sosok yang baru muncul dongakkan kepala. Lalu kembali tertawa ngakak. Sosok Inl adalah seorang nenek berambut putlh panjang bergeral. Sepasang matanya melotot besar. Slapa pun yang pernah bertemu dengan Nenek Ken Cemara Wangi, pastl tldak blsa membedakan tampang dan sosok di hadapan Joko dengan Nenek Ken Cemara Wangl. Yang membedakan keduanya hanyalah pakalan yang dikenakan. Kalau Nenek Ken Cemara Wangi mengenakan pakaian hitam-hitam, nonek ini mengenakan jubah hitam panjang hingga menutupi kedua kakinya dan sediklt menyapu tanahl Jubah yang dlkenakan nenek ini sudah tampak kusut dan dl oana-slnl terlihat beberapa bercak tanah yang ditumbuhl sedikit lumut hijau kecok!atan.
"Untuk sementara aku harus menghindar. JIka dla ampal sebut slapa dlrlku, akan beraklbat celakal Setelah ltu aku akan mencarl tahu siapa nenek Ini sebenarnya! Tampangnya jelas adalah tampang Nenek Ken Cemara Wangi! Padahal aku yakin nenek itu sudah berplndah ke alam laln! Mustahll sebagal manusla blasa dia punya nyawa rangkapi"
Setelah membatin begltu, Pendekar 131 ballkkan tubuh. Saat lain laksana dlkejar setan dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
'Tunggu!" Hampir bersamaan Uda Kalami dan Umi Karani berterlak.
Walau dengar terlakan orang, namun karena yang berteriak adalah Uda Kalaml dan Uml Karanl, murid Pendeta Sinting tidak ambil pedull. Dla teruskan kelebatan. Namun Joko tersentak kaget dan buru-buru tahan kelebatan begitu telinganya mendengar suara tawa nenek berjubah hltam. Suara tawa ltu bukan bersumber dari arah belakang, melalnkan kini terdengar dart arah depanl
Memandang ke depan, Joko kemball seolah tldak percaya dengan yang tlillhat. Nenek berjubah hflam panjang yang wajahnya sama dengan Nenek Ken Cemara Wangl tegak empat tombak di seberang depan dengan kepala mendongak dan mulut semburkan tawal Merasa maslh kurang yakin, Pendekar 131 berpaling ke belakang. DI seberang belakang yang terllhat hanya Uda Kalaml dan Uml Karanl yang memandang ke arahnya dengan paras keheranan.
"Anak muda keparat! Kau tak mungkin blsa lolos sebelum jawab tanyaku! Katakan apa yang kau Ilhat!" bentak nenek berjubah hitam panjang setelah putuskan tawanya.
Setelah dapat kuasai dlri, Joko buka mulut. "Kau sama seperti Nenek Ken Cemara Wangl...."
"Bagus! Berartl kau tidak lupa dengan urusanmu!" "Slapa kau sebenarnya?!" tanya murld Pendeta Sintlng.
"Kau baru saja menyebutnyal" "AkKu tidak percayal"
"tu urusanmu! Yang jelas dan pastl aku tahu slapa dirtmu!"
"Celaka kalau sampai dla sebutkan slapa dlrikul Dua gadis itu pasti akan membuat urusan dl kemudlan hart karena kudustall Apa yang harus kulakukan?I Dari sikapnya jelas nenek itu berilmu sangat tinggll"
Selagi Joko membatin begitu, dl sebelah belakang Umi Karanl mendekatl Uda Kalaml dan berkata. "Uda Kalaml! Kau llhat wajah nenek Itu?l" "Blcaramu aneh.... Dar! tadl aku mellhatnyal" "Sekarang aku baru sadar... l"
"Sadar apa?!" kata Uda Kalaml seolah penasaran. "Wajahnya mengingatkan aku pada seseorang! Dia belum lama kita temui!"
"Aku tak mau berpikIr. Katakan saja slapa?l
"Nenek yang tewas di pangkuan pemuda yang sempat memberl keterangan pada kital"
Uda Kalaml sedlkit terkejut lalu arahkan pandangan pada nenek berjubah hitam panjang. "Astagal Aku Juga baru sadarl Tak heran kalau nenek flu terus bertanya pada pemuda itu dengan pertanyaan aneh!"
"Dan jawabannya sama dengan dugaan klta!" sahut Umi Karani.
"Leblh darl itu dia juga berilmu sangat tinggll Kau tahu sendiri bagalmana tahu-tahu dla sudah tegak menghadang dl seberang depan sana!"
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat Ini!" ajak Umi Karanl.
"Soal keterangan lanjutan pemuda itu?!' tanya Uda Kalaml.
"Lupakan urusan itul Siapa pun adanya nenek berJubah hitam itu, yang jelas dia punya urusan dengan pemuda yang mengaku pengembara ltul Keberadaan klla di tempat ini blsa menyeret kita terllbat dalam urusan mereka! Lagi pula mereka berdua tidak ada kaitannya dengan pemuda yang lengah klla earl!"
Uml Karani tldak menunggu sambutan Uda Kala- ml. Dla cepat cekal lengan gadis dl sampingnya. Sekall membual gerakan sosok Uda Kalami Ikut berballk. Sesaat kemudian kedua gadis Ini sudah berkelebat tinggalkan tempat itu.
Walau tahu kepergian Uda Kalaml dan Umi Karanl, namun nenek berjubah hltam panjang hanya memandang tanpa buka mulut atau membuat gerakan menahan. Sementara karena tegak membelakangi, Pendekar 131 tidak tahu kepergian dua gadls dl belakangnya, hingga dia tegak dengan terus berpikir bagalmana mencart jalan keluar. Saat ltulah nenek berjubah hitam panjang bukamulut.
Pendekar 131 Joko Sabieng! Membunuhmu saat Ini bukan hal sulitl"
Murld Pendeta SInting pejamkan sepasang matanya, bukan takut ancaman orang melainkan berpikir apa yang harus dlkatakan pada Uda Kalaml dan Umi Karanl. Saat laln dla putar dlri seraya berkata.
"Kallan...." Hanya sampai dl situ suara yang keluar darl mulut murid Pendeta Sinting. Karena begitu dia buka matanya, dia tidak lagl melihat sosok Uda Kalami dan Um! Karani. "Hem.... Bahaya satu sudah berlalu.... Kini linggal bahaya satunya lagl!" gumamnya seraya putar pandangan berkelllling khawatir Uda Kalami dan Uml Karanl sengaja sembunylkan dlri tak Jauh darl tempat itu.
Setelah yakin dua gadls Itu tldak ada di sekitar tempat itu, pedahan Pendekar 131 putar kepala menghadap nenek berjubah hitam panjang. Saat bersamaan terdengar sl nenek sambungi ucapannya.
"Nasibmu maslh balk, Pendekar 131 ! Karena aku lerbelenggu dengan sumpah! Namun bukan berarti kematianmu akan tertunda lama!"
"Nek...?! Aku tldak mengerti maksudmu!"
"TIdak lama lagl kau akan mengerti! Dan saat itulah kematlanmu datang!"
"Anggap itu benar! Sekarang yang tldak benar mengenal dirimu sendiri yang mengaku sebagal Nenek Ken Cemara Wangi!"
"Slapa mengaku?! Aku memang Ken Cemara Wangll
Nenek Ken Cemara Wangi sudah...."
Belum sampai Joko lanjutkan ucapan, nenek berjubah hitam panjang sudah menyahut dengan gelakan tawa. Laiu berkata.
"Matamu boleh melihat Ken Cemara Wangi sudah mampus! Tapi yang pasti di hadapanmu tegak Ken Cemara Wangl! Hat!mu silakan yakin Ken Cemara Wangl sudah berkalang tanah! Yang jelas hatlmu tidak b!sa dusta dan mengatakan dl hadapanmu adalah Ken Cemara Wangi!"
Balklah.... Sekarang apa maksudmu?!"
Si nenek berjubah hllam panjang yang sebutkan diri sebagai Ken Cemara Wangi tertawa dahulu sebelum berkata.
"Aku muncul cuma ingin memberi tahu. Bahwa Ken Cemara Wangl tidak akan pernah mati!"
Habis berkata begitu, si nenek baiikkan tubuh. Masih dengan tertawa bergeral dia membuat gerakan. Sosoknya melesat dan kejap lain sudah tldak kelihatan laksana ditelan bumi! Yang tertinggal hanyalah suara geralan tawanyal
"Mustahll! Mustahll Ini semua terjadl! AkKu...." Pendekar 131 Joko Sableng putuskan gumaman begitu tlba-tlba terdengar suara.
"Nang inlng inang Inung, nang Inlng inang Inung.... Tldak ada lstllah mustahil dalam dunla Ini jlka Sang Pencipta sudah berkehendakl Malah sesuatu yang tldak mustahll blsa jadi mustahll kalau Sang Maha Pencipta menghendakinya.... Kemustahllan itu hanya ada satu.... Yaknl adanya slfat yang berlawanan dengan sifat yang dlmlllkl Sang Pencita Alam Semesta...• Nang lnlng inang inung, nang ining lnang lnung....•
"BIbi Emban..." desls Pendekar 131 mengenall sl pemilik suara.
Murid Pendeta Slntlng tersenyum seraya berpallng ke arah sumber terdengarnya suara. Senyumnya pupus laksana direnggut setan. Dia tldak melihat slapasiapa!

SELESAI

PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG


Segera Menyusul :
RAHASIA KITAB HITAM


INDEX JOKO SABLENG
Tarian Maut --oo0oo-- Rahasia Kitab Hitam

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers