Life is journey not a destinantion ...

Penjarah Perawan

INDEX AJI SAKA
52.Manusia Kelelawar --oo0oo-- 54.Kabut Di Bukit Gondang

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta


1

"Benarkah... penjahat terkutuk itu memiliki ilmumenghilang, Kang?" sebuah suara lembut menguakkeheningan malam yang sudah mendekati dini hari.Sosok berpakaian ungu yang diajukan pertanyaantidak segera menjawab. Kakinya terus saja dilangkahkan.Saat itu dia dan temannya, seorang wanita muda berpakaian putih, tengahmenyusuri Jalan tanah di luar sebuah desa.Tampaknya mereka tidak sedang tergesa-gesa.
"Entahlah, Melati. Aku tidak bisa memastikan. Tapi kalau menurut pendapatku,tidak," jawab pemuda berpakaian ungu yang berambut putih keperakan serayamenoleh. Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati tidakmemberi tanggapan. Pandangannya diarahkan ke tanah,seperti tengah menghitung langkahnya.Sekarang dapat diduga siapa sepasang muda-mudiitu. Ya! Mereka adalah Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak, dan Melati. Di bahukanan Melati terpanggul tubuh seorang wanita berpakaian biru. Wanita itu adalahTrijati. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak episode 'ManusiaKelelawar'). "Kalau tidak menghilang, bagaimana mungkin diabisa lenyap begitu saja, Kang"!" tanya Melati setelah beberapa saat tercenung.
"Aku sendiri belum bisa menduganya, Melati," Arya mengangkat bahu. "Hhh...!Kalau nanti bertemu lagi, tak akan kubiarkan dia lolos!"
"Benar, Kang! Makhluk keji seperti dia sudahsepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" sambung Melati geram.
Arya diam. Pemuda itu tidak menanggapi ucapankekasihnya. Dan karena Melati tidak melanjutkan ucapannya, suasana pun jadihening. Yang terdengar hanya suaraserangga malam. Sepasang muda-mudi itu mengayunkanlangkah tanpa berkata-kata. Mendadak...
"Kakang...! Lihat...!" seru Melati menudingkan jari telunjuknya ke depan.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sebenarnyatanpa diberitahu pun dia telah melihatnya. Yang ditunjukkan kekasihnya adalah serombongan orang yang tengah bergerak menuju ke arah mereka berdua. Sekali lihat, Arya dan Melati dapat menduga jumlah rombongan itu tak kurang dari dua puluh orang. Beberapa di antara mereka membawa obor.
"Apakah mereka orang-orang yang melakukan pengejaran terhadap penjahat keji itu, Kang"!" tanya Melati meminta kepastian.
"Kurasa demikian, Melati," jawab Arya, "Bukankah berkat petunjuk mereka kita dapat menemukan penjahat keji itu"!"
"Aku agak ragu, Kang. Tadi jumlah mereka tidak sebanyak itu. Bahkan tidak ada yang membawa obor," bantah Melati.
"Barangkali tadi kejadiannya belum diketahui banyak orang," jelas Arya.
Melati mengangguk-angguk. Rupanya gadis itu menerima penjelasan kekasihnya. Tidak ada lagi pertanyaan yang diajukan. Maka dengan berdiam diri, Arya dan Melati melanjutkan perjalanan. Pasangan pendekar muda itu menempuh arah yang tengah ditinggalkan rombongan di depan. Sedangkan rombongan itu menempuh arah sebaliknya. Tampaknya mereka saling mendekati. Kedua kelompok itu akhirnya bertemu di tengah perjalanan.
"Maaf, benarkah wanita ini yang dibawa kabur penjahat itu, Ki?" dengan sopan Arya mengajukan pertanyaan pada salah seorang di antara dua kakek yang berada di baris terdepan dalam rombongan yang cukup besar itu. Pandangan anggota rombongan itu serentak mengarah pada Arya. Untung Melati cepat tanggap. Gadis itu menurunkan tubuh
Trijati dari panggulannya. Maka orang-orang itu pun mengarahkan pandangannya pada Trijati yang masih tak sadarkan diri.
"Benar," jawab orang yang ditanya sambil menganggukkan kepala. Dia seorang kakek bertubuh tinggi besar dan terlihat
angker karena kumis, jenggot, dan cambang bauknya yang lebat. Siapa lagi kalau bukan Jayeng Praja.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda," ujar kakek berkumis melintang yang berdiri di sebelah Jayeng Praja. Dia adalah Pendekar Tinju Maut.
"Lupakanlah, Ki," jawab Dewa Arak bijaksana.
"Merupakan kewajiban kita semua untuk tolong-menolong.
Kebetulan aku lewat tempat ini dan mendengar penculikan mempelai wanita."
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut menganggukangguk membenarkan ucapan Arya. Kemudian keduanya
..... saling bertukar pandang. Hanya sebentar saja. Tapi sudah cukup untuk mengetahui perasaan masing-masing.
Ternyata perasaan yang bergayut di hati mereka sama. Keduanya heran melihat Arya dan Melati berhasil membawa pulang Trijati. Sebab Jayeng Praja maupun Pendekar Tinju Maut tahu Sangkala tidak akan mungkin merelakan Trijati dibawa begitu saja oleh pasangan muda-mudi itu. Arya dan Melati pasti membawa Trijati dengan kekerasan! Mungkinkah itu" Pertanyaan itu bergayut di benak Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Kalau benar, berarti Arya dan Melati telah berhasil mengalahkan Sangkala!
Rasanya mustahil! Kedua kawan Ki Ageng Sora tidak percaya pasangan muda itu mampu mengalahkan Sangkala. Mereka saja, ditambah murid-murid Perguruan Banteng Putih, tidak mampu menghalangi kepergian Sangkala. Mungkinkah Arya dan Melati mampu"

* * *

"Maaf, Ki. Kurasa sudah saatnya kami mohon diri. Perjalanan yang akan kami tempuh masih jauh," ucap Arya ketika telah menyerahkan Trijati pada Jayeng Praja.
"Ah! Mengapa terburu-buru, Anak Muda," ujar Ki Rawung. "Kalian berdua baru saja tiba. Tentu masih lelah. Apakah tidak sebaiknya tinggal dulu di desa kami untuk beberapa hari?"
"Benar, Anak Muda," sambung Jayeng Praja,
"Rasanya tidak pantas menerima pertolongan tanpa memberikan balasan."
"Maaf, Ki. Kami memberikan pertolongan dengan ikhlas. Tidak terbersit sedikit pun keinginan untuk mendapat balasan," jelas Arya sopan tapi tegas.
"Kami pun tidak menganggap kau memberikan pertolongan dengan pamrih, Anak Muda," lanjut Jayeng Praja cepat karena menyadari kesalahan ucapnya. "Tapi..., maksud kami begini, Anak Muda. Hm....
Rasanya tidak pantas Jika kami tidak mengenalmu, orang yang telah memberikan pertolongan pada kami. Aku, Jayeng Praja."
"Aku Loka Arya," sambung Pendekar Tinju Maut.
"Dan aku, Rawung, Kepala Desa Kawung," sambut Ki Rawung.
"Namaku Arya dan kawanku ini, Melati," balas Arya memperkenalkan diri.
"Arya...."
Hampir bersamaan Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut menggumamkan nama itu seraya berpandangan satu sama lain. Dahi keduanya berkerut dalam seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. Dan rupanya Pendekar Tinju Maut berhasil mengingatnya.
"Arya..."! Rasanya aku pernah mendengar nama itu.... Kalau tidak salah Arya Buana...," Pendekar Tinju Maut
menggantung ucapannya.
"Memang itulah namaku selengkapnya, Ki," terpaksa Arya mengakuinya.
"Ah...! Jadi..., sekarang kami berhadapan dengan seorang pendekar muda yang julukannya telah membuat
persada ini gempar...!" ujar Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut bersamaan.
"Bukankah kau Dewa Arak..."!"
Seketika itu pula wajah Arya merah padam karena malu dan tidak enak.
"Rasanya berita itu terlalu berlebihan, Ki. Dan...."
"Berlebihan atau tidak yang penting sekarang kau harus tinggal di desa ini dulu, Dewa Arak," potong Pendekar Tinju Maut yang memang mempunyai watak sangat terbuka.
"Banyak hal yang ingin kami perbincangkan denganmu. Kami yakin kau akan berminat mendengarkannya. Sebab ini ada hubungannya dengan tugasmu sebagai seorang pendekar! Bagaimana" Kau setuju"!"
Dewa Arak tidak segera memberi tanggapan. Pemuda itu tercenung sebentar mempertimbangkannya. Tapi sesaat kemudian kepalanya dianggukkan. Wajah Pendekar Tinju Maut, Jayeng Praja, dan Ki Rawung berseri-seri mendengar persetujuan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas kesediaanmu memenuhi ajakan kami, Dewa Arak,'' ujar Jayeng Praja gembira.
"Lupakanlah, Ki."
"Kalau demikian, mari ikut kami, Dewa Arak," lanjut Jayeng Praja.
Sesaat kemudian rombongan dari Desa Kawung bergerak ke arah semula. Kali ini jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Rombongan itu bertambah dua orang. Arya dan Melati.

* * *

"Ki...."
Arya membuka pembicaraan ketika dirinya, Melati,
Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, Ranjita, dan dua orang murid utama Perguruan Banteng Putih telah
duduk bersila di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih.
"Ada apa, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja pelan Ucapan Arya memang ditujukan pada Ketua Perguruan Harimau Terbang. Meskipun demikian, semua yang hadir ikut memasang telinga. Mereka ingin mengetahui masalah yang akan
dibicarakan Dewa Arak dengan Jayeng Praja. "Boleh aku mengajukan pertanyaan?" tanya Dewa Arak hati-hati.
''Tentu saja boleh, Dewa Arak," jawab Jayeng Praja cepat, "Dengan senang hati aku akan menjawabnya. Tapi..., tentu saja sebatas pengetahuanku...."
' Terima kasih, Ki. Ucapanmu akan kuperhatikan,"
janji Arya. "Begini, Ki.... Dalam perjalanan kami berdua menemukan beberapa mayat yang masih baru. Kalau tidak
salah... sembilan orang! Ya, sembilan orang! Mereka mengenakan pakaian yang warna dan lambangnya sama
dengan pakaianmu. Aku tidak tahu... apakah ini hanya kebetulan... atau memang ada hubungannya?"
"Apakah kau menemukan mayat-mayat itu di dalam Hutan Sawan, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja meminta penegasan setelah termenung sejenak. "Benar, Ki!" sambut Arya bersemangat. "Kau juga mengetahui kejadian itu?"
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat. Membuang beban yang mengganjal hatinya.
"Mayat-mayat yang kau temukan itu memang ada hubungannya denganku, Dewa Arak. Mereka muridmuridku," kemudian dengan singkat tapi jelas, Ketua Perguruan Harimau Terbang itu menceritakan tentang usaha sampingan perguruan silat yang dikelolanya.
"Jadi..., begitulah akhirnya, Dewa Arak. Putri saudagar itu lenyap. Kami tidak tahu nasib yang dialaminya.
Tapi menurut Sangkala, gadis itu telah mati. Sangkala yang membunuhnya. Begitu pengakuannya," tutur Jayeng Praja mengakhiri kisahnya.
"Sangkala..."!" Arya mengernyitkan kening.
Pemuda itu memang tidak tahu orang yang dikejarkejarnya bernama Sangkala.
"Orang yang menculik mempelai wanita itu bernama Sangkala, Dewa Arak," kali ini Pendekar Tinju Maut yang memberikan jawaban.
Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Rupanya kalian mengenalnya dengan baik?" Melati ikut berbicara.
"Aku dan dia tidak," jawab Jayeng Praja menunjuk Pendekar Tinju Maut, "Kami bukan penduduk sini. Tapi kenalan Ki Ageng Sora yang kebetulan datang karena mendapat undangan untuk menghadiri pesta pernikahan."
"Jadi..., Sangkala... penduduk desa ini"!" Arya melanjutkan pertanyaan kekasihnya. "Begitulah, Dewa Arak!" Ki Rawung menyambuti,
"Dia adalah murid Ki Ageng Sora, Ketua Perguruan Banteng Putih."
Lalu Kepala Desa Kawung itu menceritakan semua kejadian mengenai Sangkala. Arya dan Melati mendengarkan dengan penuh perhatian.
Mereka tidak memotong hingga Ki Rawung menyelesaikan ceritanya.
Sementara itu di luar bangunan Perguruan Banteng Putih, murid-murid perguruan itu tampak berjaga-jaga. Sikap mereka sangat waspada. Terlihat jelas kesungguhan murid-murid Perguruan Banteng Putih. Padahal saat itu suasana di persada terasa panas. Matahari yang berada tepat di atas kepala memancarkan sinarnya dengan garang.
Meskipun wajah mereka memancarkan kegarangan, tapi raut kesedihan yang mendalam tetap terlihat! Semalam Ketua Perguruan Banteng Putih tewas di tangan Sangkala.
Baru tadi pagi mereka memakamkan nya. Kekhawatiran akan terulangnya peristiwa semalam menyebabkan murid-murid Perguruan Banteng Putih berjaga-jaga, meskipun di siang hari. Sebab tindakan Sangkala tentu tidak akan berhenti sampai di situ. Pemuda berwajah bopeng itu pasti akan terus merongrong hingga sakit hatinya terbalas.
Karena itu mereka terus berjaga-jaga. Mata mereka diedarkan ke sekeliling tempat itu. Bahkan di kejauhan. Tapi kelihatannya keadaan aman. Tidak terlihat tanda-tanda akan ada orang menyatroni Perguruan Banteng Putih. Karena terlalu memusatkan perhatian pada sosok manusia, murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak menaruh perhatian ketika sesosok bayangan hitam sebesar kepalan tangan melesat masuk wilayah perguruan. Padahal, beberapa di antaranya melihat sosok hitam itu adalah kelelawar! Tapi guncangan perasaan akibat kematian guru sekaligus ketua membuat mereka tidak menyadari keanehan itu. Mana ada kelelawar berkeliaran siang hari"
Maka leluasalah kelelawar yang merupakan penjelmaan Sangkala melaksanakan keinginannya. Lagi-lagi keuntungan berpihak pada Sangkala. Dengan bentuknya yang kecil, pemuda itu tidak mengalami kesulitan memasuki setiap kamar melalui jendela. Baik yang terbuka lebar maupun yang terkuak sedikit. Entah untuk ke berapa kali menyelusup ke dalam ruangan-ruangan yang ada. Kelelawar penjelmaan Sangkala akhirnya menjumpai ruangan yang dihuni Trijati. Kilatan aneh tampak pada sepasang mata kelelawar jadi-jadian itu melihat Trijati terbaring lemas di pembaringan. Rupanya guncangan batin yang dialami karena kematian ayahnya cukup berat. Sejak kemarin malam hingga sekarang Trijati belum juga sadarkan diri. Bluppp! Begitu telah berada di dalam ruangan, kelelawar itu berubah bentuk menjadi... Sangkala! Kepulan asap tipis menyebar.
Baru saja Sangkala hendak beranjak mendekati pembaringan, tiba-tiba kelopak mata Trijati bergerak membuka. Bulu mata lentik itu pun mengerjap-ngerjap pelan. Sepasang mata Trijati terbuka. Namun seketika itu pula
membelalak lebar memperlihatkan keterkejutan yang sangat. Sebelum mulut mungil itu mengeluarkan jeritan, Sangkala telah lebih dulu bertindak. Jari telunjuk kanannya ditudingkan! Dan....
Tukkk! Sekujur tubuh Trijati yang menegang langsung lunglai. Dengan jitu dan dari jauh, Sangkala berhasil
menotoknya hingga lemas! Sungguh sebuah ilmu yang mukjizat. Inilah salah satu keistimewaan jurus 'Kelelawar'.
He he he...! Sangkala tertawa dalam hati melihat rencananya berjalan dengan baik. Kemudian tanpa menunggu lebih lama, mengingat kesempatan yang tidak memungkinkan, dihampirinya Trijati dengan sorot mata liar.
Trijati hanya bisa menatap dengan ngeri. Hanya itu yang dapat dilakukannya. Sangkala telah menotok urat bicaranya, sehingga gadis itu tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun.
"Trijati...," terdengar Sangkala berdesis pelan,"Sungguh tidak kusangka bisa menikmati tubuhmu..."
Usai berkata, pemuda berwajah bopeng itu menindih Trijati. Dengan kasar dan buas diciuminya wajah putri Ki Ageng Sera. Tidak hanya itu. Bagaikan bermata, kedua tangannya menanggalkan pakaian calon korbannya satu persatu. Dengan mulut mengulum bibir Trijati dengan buas, Sangkala berhasil melucuti pakaiannya dan pakaian Trijati.
Sekarang tubuh keduanya telah polos sama sekali, tanpa selembar benang pun menutupi. Seperti juga waktu menjarah tubuh Wulan dan Widuri, kali ini pun Sangkala terlihat demikian bersemangat.
Tidak hanya wajah Trijati saja yang dicium. Dengan ganas, kasar, dan penuh nafsu diciuminya juga leher Trijati, terus turun ke dada. Ingin rasanya Trijati menjerit sekeras-kerasnya agar ada yang datang menolong. Tapi ada daya" Tidak ada sedikit pun suara keluar dari kerongkongannya. Karena takut dan ngeri akan bahaya yang tengah mengancam,
Trijati menangis tanpa suara. Hanya linangan air mata yang menjadi tanda ke hancuran hatinya.

2

Napas Sangkala memburu seperti habis berlari jauh ketika menciumi sekujur tubuh Trijati. Tangannya sibuk bergerilya. Meraba dan meremas apa yang dapat diremas. Tak lama kemudian, sekujur tubuh Sangkala menegang beberapa saat sebelum akhirnya mengendur kembali. Sangkala tersenyum puas seraya bangkit dari tubuh Trijati. Dihapusnya peluh yang membasahi sekujur tubuh, tanpa mempedulikan Trijati yang merasa dunia mendadak gelap. Linangan air mata pada kedua pipinya menjadi tanda kehancuran hati putri Ki Ageng Sora. Tapi, di saat Sangkala tengah sibuk dengan pekerjaannya, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah-langkah kaki mendekati tempat itu. Walaupun dari bunyi langkahnya Sangkala tahu kepandaian pemiliknya tidak perlu dikhawatirkan, tapi pemuda itu tidak berani enganggap remeh. Jika keberadaannya diketahui, bahaya besar mengancamnya. Di situ ada Dewa Arak dan kawannya! Kalau mereka mengeroyoknya pasti dia akan dapat dirobohkan! Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, Sangkala buru-buru memberesi pakaiannya dan mengenakan dengan tergesa-gesa. Kriiittt...! Bertepatan dengan selesainya Sangkala berpakaianterdengar bunyi bergerit nyaring diiringi membukanya daun pintu kamar.
Sangkala terkejut. Saat itu juga dia sadar tidak ada kesempatan baginya untuk kabur atau bersembunyi. Dugaannya tidak keliru. Di ambang pintu berdiri sesosok tubuh kekar seorangpemuda. Ranjita!
"Kau...! Keparat...!"
Ranjita bukan main terkejutnya melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Saat itulah Sangkala mengibaskan tangan kirinya.
Wusss! Serangkum angin dahsyat menyambar ke arah Ranjita. Tibanya begitu mendadak, sangat cepat. Padahal saat itu putra Ki Rawung sedang tidak bersiap. Maka....
Desss! "Aaakh...!"
Pekikan menyayat keluar dari mulut Ranjita. Tubuhnya terlempar ke belakang. Darah segar memancar deras dari mulut, hidung, dan telinga. Seketika itu pula nyawa Ranjita melayang ke alam baka. Tapi Sangkala hanya memperhatikan sekilas.
Pemuda itu menyadari keadaannya yang tidak menguntungkan, maka tubuhnya segera berbalik. Sangkala bermaksud melarikan diri. Dasar Sangkala memang memiliki watak keji! Dalam kedudukan seperti itu, masih sempat juga dikirimkan totokan jarak jauh ke arah Trijati. Cittt, tasss! Tanpa mampu menjerit karena urat bicaranya telah ditotok, Trijati terkulai lemas. Nyawanya telah melayang. Totokan jarak jauh Sangkala memecahkan ubun-ubunnya!
Saat itulah Dewa Arak muncul di ambang pintu.
Jeritan menyayat Ranjita terdengar jelas olehnya dan yang lainnya, yang masih terlibat percakapan. Serempak mereka melesat ke arah asal suara. Dewa Araklah yang tiba lebih dulu.
Sekarang, begitu berada di ambang pintu dan melihat Sangkala melesat keluar, kedua tangannya segera dihentakkan. Dewa Arak mengirimkan serangan pukulan jarah jauh. Wusss! Gelombang angin dahsyat meluncur ke arah Sangkala. Pemuda berwatak bejat itu tampak sangat terkejut.
Disadarinya betapa berbahaya serangan jarak jauh Dewa Arak. Tangannya segera dikibaskan memapaki serangan itu
dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga....
Blarrr! Bunyi menggelegar seperti halilintar menyambar terdengar begitu dua pukulan jarah jauh berbenturan.
Ruangan itu bergetar hebat seperti akan runtuh. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang. Demikian pula Sangkala.
Benturan dahsyat itu mengakibatkan tubuhnya terpental ke depan menabrak sebagian jendela. Brakkk! Tubuh Sangkala terus meluncur ke bawah. Kamar Trijati memang berada di lantai dua.
Rupanya nasib buruk masih menyertai Sangkala. Di saat tubuhnya melayang ke bawah, murid-murid Perguruan Banteng Putih yang sudah mengetahui ada keributan di dalam bangunan menyambut luncuran tubuh Sangkala
dengan tusukan senjata.
Sangkala kelihatan tidak gugup. Tanpa ragu dipapakinya tusukan beraneka ragam senjata itu dengan tangan dan kaki telanjang!
Tak, tak, takkk!
Bunyi berdetak keras terdengar ketika tangan dan kaki Sangkala berbenturan dengan senjata-senjata itu. Tubuh murid-murid Perguruan Banteng Putih terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan terasa sakit.
Sedangkan Sangkala mempergunakan tenaga benturan itu untuk bersalto beberapa kali. Kemudian mendarat di luar kepungan. Dan dengan secepatnya melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak membiarkannya. Mereka bergegas mengejar. Tapi, mereka kalah cepat dengan Dewa Arak!
Laksana bayangan, pendekar muda yang julukannya menggemparkan dunia persilatan itu menguntit di belakang Sangkala.
Di belakang Dewa Arak, Melati, Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya ikut mengejar. Meskipun kecepatan lari mereka tidak seperti Dewa Arak maupun Sangkala, tapi tetap saja pengejaran terus dilakukan.
Semua itu diketahui dengan pasti oleh Sangkala. Itu sebabnya kecepatan larinya ditambah. Dewa Arak mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat Sangkala melesat ke belakang. Mengapa penjahat keji itu tidak melesat ke
depan" Pemuda berambut putih keperakan itu tidak menduga Sangkala mempunyai rencana lain sehingga memilih melarikan diri melalui jalan belakang.
Sebagai bekas murid Perguruan Banteng Putih Sangkala tentu saja mengetahui seluk-beluk bangunan.
Pemuda itu tahu di belakang terdapat gudang. Sebuah tempat yang kumuh karena jarang dibersihkan. Malah dibiarkan begitu saja. Ke sanalah Sangkala menuju!
Masih berjarak beberapa tombak dari pintu gudang, Sangkala telah menghentakkan kedua tangannya.
Wusss! Brakkk! Daun pintu gudang langsung hancur berantakan.
Serpihan kayu berpentalan tak tentu arah. Tak mampu menahan pukulan jarak jauh Sangkala yang dahsyat.
Tanpa menunggu lebih lama, Sangkala melesat ke dalam dan menyelinap! Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah dengan begitu saja masuk. Bukan tidak mungkin Sangkala telah menunggu dan akan membokongnya. Pemuda
itu tampak sangat hati-hati ketika melesat masuk ke dalam gudang. Tapi sikap Dewa Arak sia-sia. Tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan saat telah berada di dalam. "Hm...."
Dewa Arak menggumam pelan seraya merayapi tempat itu dengan pandang matanya. Terlihat jelas tempat itu sudah lama tidak terurus. Debu tebal memenuhi ruangan. Bahkan sarang laba-laba tersebar di setiap sudut. Gudang itu berbentuk persegi panjang. Ukurannya kurang lebih tiga kali dua tombak. Cukup luas. Bahkan kelihatan terlalu luas. Karena isinya tidak banyak dan tidak ada yang tinggi atau besar. Jadi, tak ada yang dapat dijadikan tempat untuk bersembunyi.
Demikian kesimpulan pemuda berambut putih keperakan itu. Arya menjadi penasaran. Itu berarti Sangkala
berhasil mengecoh dirinya lagi. Sangkala lenyap kembali seperti sebelumnya!
"Apa yang terjadi, Kang?" tanya Melati yang telah berada di belakang Arya.
"Si keparat itu lenyap lagi, Melati," jawab Arya putus asa.
Bisa dimaklumi perasaan hati Arya saat itu. Di gudang tidak terlihat Sangkala. Padahal, pintu dan jendela tertutup rapat serta dipenuhi debu tebal. Ini membuktikan tidak ada seorang pun yang telah keluar dari dalam gudang.
"Lalu ke mana perginya, Sangkala?" pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak.
"Bagaimana, Dewa Arak?" begitu tiba, Jayeng Praja mengajukan pertanyaan.
Sementara pandangannya diedarkan ke sekeliling ruangan. Dewa Arak hanya mengangkat bahu.
"Mustahil!" desis Pendekar Tinju Maut yang juga telah tiba. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan,
"Mungkinkah dia bisa menghilang atau menembus dinding?"
"Apa pun caranya, yang jelas Sangkala mampu meloloskan diri dari kejaran kita!" timpal Ki Rawung tanpa menyembunyikan rasa takut dan ngeri yang mencekam hatinya. "Maaf, Ki. Kalau menurut pendapatku... tidak
mungkin Sangkala meloloskan diri dengan menembus dinding atau menghilang," ujar Dewa Arak.
Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan Ki Rawung segera mengalihkan tatapannya.
"Mengapa kau berpendapat demikian, Dewa Arak?"
tanya Pendekar Tinju Maut tidak sabar. Sementara Jayeng Praja dan Ki Rawung menganggukkan kepala mendukung
pertanyaan itu.
Arya tidak segera menjawab. Pemuda itu terdiam beberapa saat "Memang aku mempunyai alasan yang cukup kuat,"
ujar pemuda berambut putih keperakan itu, "Pertama, berdasarkan pengalamanku sendiri ketika untuk pertama kali dia berhasil menyelamatkan diri secara aneh. Kedua adalah sifat ilmu yang disebutkan Pendekar Tinju Maut. Maaf, bukan maksudku menggurui."
"Buang jauh-jauh perasaan tidak enak itu, Dewa Arak. Dan jelaskan maksud ucapanmu. Aku belum mengerti maksudmu!" sergah Pendekar Tinju Maut.
"Baiklah, Ki. Aku akan menjelaskannya. Pertama kali Sangkala berhasil meloloskan diri dariku adalah ketika dia menyelinap ke balik semak-semak. Berdasarkan itu rasanya tidak mungkin dia menggunakan ilmu yang dapat membuat raganya menembus dinding! Sebab untuk apa ilmu itu digunakan" Tubuhnya tetap terlihat. Jadi, kemungkinan dia menggunakan ilmu 'Halimun'."
Sampai di sini Dewa Arak menghentikan uraiannya.
Dilihatnya Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, dan yang lainnya mengangguk-angguk membenarkan
pendapatnya. "Tapi, pendapat ini pun kurasa tidak benar. Bila Sangkala memiliki ilmu 'Halimun' pasti digunakannya dalam pertarungan. Dengan tubuh yang tidak terlihat, lebih mudah baginya untuk mengalahkan lawan," lanjut Arya. "Rasanya hal itu mustahil bila melihat keadaan di sini. Tidak mungkin lenyapnya Sangkala karena menggunakan ilmu 'Halimun'."
"Jelaskan alasan ketidaksetujuanmu dengan dugaan itu, Dewa Arak!" sergah Pendekar Tinju Maut
"Karena... sepengetahuanku..., ilmu 'Halimun' tidak membuat raga kita menghilang. Tapi hanya menipu
pandangan orang. Dengan kata lain, orang yang bersangkutan tetap berada di tempat itu. Hanya mata orang lain tidak melihatnya.
Jadi... bila Sangkala mempergunakan ilmu 'Halimun', dia masih berada di sini! Apakah kalian semua yakin dia masih berada di sini"!"
Arya menutup penjelasannya dengan pertanyaan.
Pandangannya diedarkan berkeliling ingin melihat tanggapan orang-orang yang hadir. Tapi semuanya terdiam. Tak satu pun memberikan tanggapan.
"Menurutku, Sangkala tidak berada di sini. Kalau dia ada..., tentu kita akan diserangnya. Dengan keadaannya yang tidak terlihat sangat mudah baginya membunuh kita satu persatu," sambung Arya menguatkan pendapatnya.
Tanpa sadar semua yang berada di situ kembali mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu..., bagaimana penjahat bejat itu bisa berada di kamar Trijati, Dewa Arak"! Padahal, penjagaan sangat ketat. Kami yakin bila Sangkala melakukan cara yang wajar akan diketahui kedatangannya," ujar Bongara.
Murid-murid Perguruan Banteng Putih tampak mendukung ucapan Bongara. Pandangan mereka mengatakan semua itu. Mereka merasa telah menunaikan tugas dengan baik. Tapi, mengapa Sangkala dapat masuk
juga" Itu yang tidak mereka mengerti.
"Hal itulah yang ingin kutanyakan pada kalian," ujar Dewa Arak cepat, "Perlu kalian ketahui, menurut dugaanku kemungkinan besar ini benar. Sangkala masuk ke tempat ini dengan tidak wajar. Apa ilmu yang digunakannya, belum bisa ditebak.
Yang pasti jenis ilmu di dunia persilatan sangat beragam. Banyak! Bahkan tidak terhitung. Banyak di antaranya yang tidak masuk akal! Karena itu, aku ingin mengajukan pertanyaan pada para penjaga. Apa kalian tidak melihat sesuatu selama berjaga-jaga. Apa saja, masuk akal maupun tidak!"
Suasana langsung hening ketika Dewa Arak menyelesaikan perkataannya. Murid-murid Perguruan
Banteng Putih saling berpandangan. Dahi mereka berkernyit mencoba mengingatingat "Ah...! Aku ingat...!" ucap salah seorang dari mereka yang bertubuh kecil kurus.
Ucapan yang dikeluarkan setengah berteriak itu membuat semua orang menoleh ke arahnya. "Katakan, Tambu...!" perintah Ki Rawung tak sabar.
"Di saat tengah berjaga aku melihat sosok hitam sebesar kepalan tangan melesat masuk. Tapi, aku tidak peduli. Saat itu pikiranku hanya tertuju pada Sangkala.
Seorang manusia! Bukan binatang!" jelas murid Perguruan Banteng Putih yang bernama Tambu. "Sosok hitam sebesar kepalan tangan"! Apa kau tidak melihat dengan lebih jelas, Tambu?" tanya Arya meminta penegasan.
Tambu terdiam. Laki-laki itu kelihatan ragu-ragu untuk mengatakannya.
"Katakanlah, Tambu. Jangan ragu-ragu. Percayalah. Sedikit apa pun keterangan yang kau berikan akan berguna
banyak untuk melenyapkan Sangkala selama-lamanya,"
dukung Arya. "Apa yang dikatakan Dewa Arak benar, Tambu.
Katakanlah. Jangan ragu-ragu," timpal Jayeng Praja ikut memberi semangat.
"Aku tidak yakin akan penglihatanku.... Sosok hitam itu terbang sangat cepat. Tapi, dari cara terbangnya bisa kutebak sosok hitam itu adalah kelelawar!"
"Kelelawar"!"
Ucapan itu serempak keluar dari mulut semua orang yang berada di situ. Tak terkecuali Dewa Arak dan Melati.
"Apa kau tidak salah lihat, Tambu"!" sergah Ki Rawung. "Kelelawar" Di siang hari seperti ini"! Ah! Kurasa kau mengada-ada!"
Seketika itu pula wajah Tambu merah padam menahan malu. Tapi sebelum sempat menyesali keterangan yang diberikannya, dukungan untuknya pun datang.
"Kurasa dia tidak mengada-ada, Ki! Aku yakni Tambu tidak salah lihat! Sosok hitam yang dilihat Tambu mungkin saja kelelawar.
Sedang kemunculannya pada waktu yang tidak tepat karena binatang itu bukan kelelawar biasa.
Kelelawar itu merupakan penjelmaan Sangkala!" urai Arya.
"Kau mempercayai keterangannya, Dewa Arak?" tanya Kepala Desa Kawung setengah tak percaya.
"Benar!" Mantap dan tegas jawaban pemudi berambut putih keperakan itu. "Tidak ada alas an bagiku meragukannya, Ki. Buktibukti yang kutemukan cukup mendukung keterangan Tambu!"
"Bisa kau jelaskan bukti-bukti yang kau maksud, Dewa Arak?" kejar Ki Rawung masih tak percaya.
"Tentu, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala,
"Pertama, waktu Sangkala lenyap ketika menyelinap di balik semak-semak dan pepohonan aku menemukan beberapa ekor kelelawar. Aku yakin satu di antaranya merupakan jelmaan Sangkala. Kedua, lenyapnya Sangkala di sini. Kalian saksikan sendiri, hanya binatang kecil seperti kelelawar yang mampu melewati lubang kecil di atas pintu itu"
Ki Rawung terdiam. Demikian pula Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya. Sesaat kemudian, beberapa murid Perguruan Banteng Putih yang bertugas di bagian belakang angkat bicara.
"Dugaan Dewa Arak benar! Kami melihat seekor kelelawar keluar dari dalam gudang ini. Sayang kami tidak tahu kelelawar itu penjelmaan Sangkala. Kalau tidak... sudah kami sate dia!" geram lelaki bertahi lalat besar di pipi kanan.
"Ah...! Benar demikian"!" tanya Arya penuh semangat. "Benar!" jawab laki-laki bertahi lalat sambil menganggukkan kepala.
"Kalau demikian, sekarang telah kita ketahui cara Sangkala menghilang. Tapi, ingat jangan ada seorang pun yang membocorkannya.
Bila hal ini sampai terdengar Sangkala, pasti dia akan bertindak lebih hati-hati!" ujar Dewa Arak mengingatkan. "Apa yang kau katakan benar, Dewa Arak. Lebih baik kita bersikap seolah-olah tidak mengetahui cara dia meloloskan diri. Mau tidak mau ini akan membuat kewaspadaannya berkurang. Dengan demikian, kesempatan meringkusnya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat!"
dukung Pendekar Tinju Maut, "Bukankah demikian, Jayeng"''
"Benar," Jayeng Praja mengangguk, "Tapi...kemungkinan besar aku tidak bisa ikut membantu meringkus penjahat keji itu...."
"Mengapa, Jayeng" tanya Pendekar Tinju Mau heran.
"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas, "Kau kan tahu, Loka. Perguruanku tengah dilanda musibah. Aku harus kembali ke perguruan dan mengabarkan kepada saudagar itu akan kejadian yang menimpa putrinya. Entah bagaimana
jadinya...."
Seketika orang-orang pun terdiam. Mereka bisa menerima alasan yang dikemukakan Ketua Perguruan Harimau Terbang. Mereka tahu tidak mungkin menahannahan kepergian Jayeng Praja.
"Lagi pula... di sini tenagaku tidak berarti. Berbeda dengan di perguruanku. Di sana kehadiran dan tenagaku sangat dibutuhkan! Dengan keberadaan Dewa Arak di sini, sepuluh orang sepertiku pun sudah tidak berarti. Sekarang juga aku mohon diri kepada kalian semua...,"
usai berkata, Jayeng Praja mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu.
Sementara semua yang hadir hanya bisa menatap kepergiannya. "Hhh...!"
Terdengar helaan napas berat. Ternyata Ki Rawung yang mengeluarkannya, "Aku pun tidak bisa berlama-lama di sini. Ranjita anakku, telah meninggal. Aku harus mengurus pemakamannya."
"Sabar, Rawung," cegah Pendekar Tinju Maut, "Lebih baik kita mengurusnya bersama-sama. Bukan hanya Ranjita yang tewas di tangan Sangkala. Trijati pun demikian. Biarlah aku mewakili kawanku, Ki Ageng Sora, untuk mengurus
perguruannya. Kurasa dia tidak keberatan."
Sesaat kemudian dengan didahului Pendekar Tinju Maut dan Ki Rawung, rombongan itu bergerak meninggalkan gudang. Tujuan mereka jelas. Tempat pemakaman.

3

Sementara itu, jauh dari Perguruan Banten Putih,
orang yang tengah dibicarakan sedang terbaring lemah
dilantai sebuah rumah kosong yang sudah tidak berpenghuni.
Tampaknya Sangkala terluka.
''Keparat! Kalau tidak ada kawan-kawannya, sudah
kuhancur lumatkan pemuda berambut setan itu'' Desis
Sangkala sangat geram. Kemudian pemuda berwatak bejat itu mengusap dadanya.
Bagian itu terasa sesak akibat
berbenturan pukulan jarak jauh dengan Dewa Arak.
Tapi ini tidak menjadi bukti tenaga dalam Sangkala
berada di bawah Dewa Arak. Yang jelas kedudukan Dewa
Arak lebih menguntungkan. Sangkala tidak sempat
mengerahkan seluruh tenaganya ketika mengadu benturan
dengan lawan. Sebab waktunya tidak memungkinkan.
''Kelak akan kucari pemuda berambut setan itu. Akan
kubuktikan siapa di antara kami yang paling hebat!'' Desis Sangkala penuh
dendam. "Hhh...!"
Sangkala menghela napas berat. Dibiarkannya
angan-angannya melayang ke masa beberapa bulan lalu.
Sewaktu dirinya belum memiliki kekuatan seperti ini. Saat itu dia sedang
dikejar-kejar rombongan dari Desa Kawung yang dipimpin Ki Ageng Sora.
Sangkala tidak tahu Ranjita dan Bongara ikut terjun
ke dalam danau untuk menangkapnya. Sayangnya Ranjita
tidak berani meneruskan pencariannya karena lubang
dinding danau yang mempunyai daya tarik luar biasa.
Rombongan dari Desa Kawung pun gagal menangkapnya.
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Manusia
Kelelawar")
Sebenarnya ke manakah perginya Sangkala"
Benarkah seperti yang diduga Ranjita" Benarkah Sangkala masuk ke dalam rongga di
salah satu dinding danau"
Kesimpulan yang didapat Ranjita memang tidak
keliru! Sangkala berenang melalui rongga itu. Bukan karena sengaja, tapi secara
kebetulan! Kalau Ranjita langsung mundur begitu melihat
keanehan pada lobang itu, tidak demikian dengan Sangkala!
Ketidakinginan mati secara menyedihkan membuat Sangkala bertindak nekat. Tanpa
kenal takut didekatinya lubang itu.
Luar biasa! Meskipun jaraknya masih dua tombak,
tubuh Sangkala terseret ke arah lubang. Sangkala yang telah nekat dan lebih rela
mati di danau itu tidak melakukan perlawanan. Maka dengan mudah tubuhnya
tertarik ke lubang hingga masuk ke dalamnya.
Ternyata kekuatan yang ada di balik lobang itu lebih
dahsyat. Sangkala yang telah lelah karena pengaruh luka-lukanya tidak kuat
bertahan. Dia pingsan!
Entah berapa lama pemuda itu tidak sadarkan diri.
Yang diketahuinya begitu sadar dia telah berada di sebuah ruangan berhawa
lembab. Di dekatnya terdapat sebuah
sumur yang airnya bergolak ke atas.
Dari keadaan ini Sangkala segera dapat menarik
kesimpulan. Tubuhnya dilemparkan ke sini oleh air yang bergolak ke atas itu.
Sangkala memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Lumut dan tumbuhan air menghiasi sekeliling ruangan.
"Akh...!"
Sangkala memekik kesakitan ketika berusaha
bangkit. Pemuda itu segera teringat akan luka-luka yang dideritanya. Ya! Pada
empat bagian tubuhnya telah
menancap pisau-pisau Ki Ageng Sora.
Teringat akan hal itu Sangkala mengarahkan
pandangan ke belakang pahanya. Pemuda berwajah bopeng
itu terkejut. Tidak dijumpainya pisau-pisau itu ada di sana.
Sangkala terheran-heran. Bukankah dia belum mencabutnya"
Mengapa pisau-pisau itu tidak ada lagi"
Rasa penasaran membuatnya memeriksa punggungnya. Hasil yang didapatkan Sangkala tak berbeda. Pisau-pisau yang menancap
punggung kanan dan kirinya juga
sudah tidak ada, walaupun rasa sakit masih mendera.
Mungkinkah pisau-pisau itu terlepas sendiri ketika tubuhnya tertarik ke rongga
dinding danau kecil itu" Tanya Sangkala dalam hati. Atau ada kemungkinan lain"
Tapi hanya sebentar Sangkala membiarkan benaknya
dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Sesaat kemudian
dilupakannya. Dia tahu pertanyaan itu tak bisa dijawabnya.
Sangkala memutuskan untuk memeriksa ruangan
tempatnya terdampar. Meskipun rasa sakit mendera sekujur tubuh dan tenaga yang
ada hanya tinggal sisa-sisa, pemuda itu berusaha bangkit. Dengan tertatih-tatih
dan lebih mendekati merangkak
daripada berjalan, Sangkala
meninggalkan tempatnya berbaring. Pemuda itu mulai
memeriksa sekitar ruangan. Hasil yang didapatkannya benar-benar mengejutkan!
Ruangan itu ternyata tidak mempunyai jalan keluar.
Tapi ada dua buah lubang. Yang satu sebuah lubang bergaris tengah hampir satu
tombak dan berjarak sekitar enam
tombak dari sumur aneh itu. Tapi lubang itu tertutup batu besar dari luar. Besar
dan tampak kokoh.
Sementara lubang yang lain tidak menghubungkan
tempat itu dengan dunia luar. Lubang yang ukurannya lebih kecil dari yang
pertama menghubungkan ruangan tempat
Sangkala berada dengan ruangan lain yang lebih kecil, berbentuk persegi panjang.
Ukurannya tak lebih dari tiga dua tombak.
Tapi justru karena tempat yang kecil itu Sangkala
terpekik kaget. Langkahnya terhenti di pinggiran lubang.
Sepasang matanya hampir tidak berkedip. Sangkala menatap ke salah satu dinding
ruangan itu. Pemandangan yang
mengejutkan memang berada di sana. Tampak sebuah
kerangka manusia dalam keadaan duduk bersila. Kedua
tangannya dengan jari-jari terbuka berada di atas lutut.
Setelah berhasil menguasai perasaan, baru Sangkala
mengayunkan langkah mendekat. Rasa kagum dan sangat
ngeri menggayuti hatinya. Sangkala tahu kerangka itu pasti milik seorang tokoh
persilatan. Yang aneh, mengapa meski telah mati tengkoraknya tidak rubuh" Ini
merupakan peristiwa yang mengejutkan. Sangkala menduga tokoh itu
sangat pandai dan berilmu tinggi. Tapi mengapa dia tewas
dalam keadaan seperti itu"
Sambil terus melangkah, Sangkala mengedarkan
pandangan berkeliling. Pada dinding yang berada di sebelah ruangan dilihatnya
guratan-guratan berbentuk tulisan.
Perasaan ingin tahu membuat Sangkala
mengarahkan langkahnya ke tempat guratan berada. Hanya
dalam beberapa tindak, dia telah berada di dekat dinding itu.
Seperti yang diduganya semula, guratan-guratan itu memang berupa tulisan. Bekas
murid Perguruan Banteng Putih itu sempat kaget ketika mengetahui tulisan itu
dibuat dengan jari tangan manusia!
Sangkala semakin bertambah yakin orang yang telah
menjadi tengkorak itu memang seorang tokoh tingkat tinggi.
Sebab membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk
mengguratkan jari pada dinding ruangan yang terbuat dari batu keras itu.

* * *

Dengan penuh minat, Sangkala membaca tulisan
yang tertera di dinding.
Belasan tahun menanggung rindu
Menyiksa diri untuk menuntut ilmu
Semua itu demi si dara ayu
Yang menembakkan panah asmara di hatiku
Harapan hanya tinggal angan
Si dara ayu menolak pinangan
Tak ada guna semua kepandaian
Lebih baik kutemui kematian
"Hhh...!"
Sangkala menghela napas selesai membaca tulisan
itu. Kini telah diketahuinya sedikit riwayat hidup tokoh yang telah menjadi
tengkorak itu. Tokoh itu ternyata mencintai seorang wanita. Untuk
menarik hatinya, ia berkeras sampai memiliki ilmu yang
tinggi. Tapi sayang cintanya ditolak si dara ayu. Tokoh itu patah hati. Putus
asa. Lalu bunuh diri. Rasa simpati muncul di hati Sangkala. Nasib tokoh itu sama
benar dengan dirinya.
Teringat akan tokoh yang telah menjadi tengkorak
membuat Sangkala mengalihkan pandangan; ke arahnya.
Diperhatikannya beberapa saat sebelum kakinya
dilangkahkan mendekat.
"Kasihan kau, Kisanak," desis Sangkala penuh haru ingat akan dirinya sendiri.
"Kau hidup sendirian. Tidak ada yang menemani. Bahkan sampai mati kau masih
tersiksa. Tidak ada yang menguburmu. Tunggulah sebentar. Akan
kubuatkan tempat beristirahat yang layak untukmu. "
Sangkala lalu menggali sebuah lubang di dalam
ruangan. Untung pemuda itu menemukan sebuah pedang.
Dengan senjata itu, dia membuat lubang kuburan. Susah
payah Sangkala melakukan sema itu. Keadaan dirinya
memang tidak memungkinkan. Ditambah lagi tanah di
tempat itu keras bukan main.
Akhirnya setelah memakan waktu cukup lama
terbentuk juga sebuah lubang untuk mengubur kerangka itu.
Semangat Sangkala pun bangkit. Tanpa disadari tubuhnya
mulai agak segar karena terbawa semangat. Sangkala
kemudian beranjak menghampiri tengkorak tokoh yang
malang itu. Untuk terakhir kali, dipandanginya kerangka itu.
Setelah merasa cukup, Sangkala mengulurkan tangan
ingin mengangkat kerangka itu dan menguburkannya.
Khawatir akan menyebabkan kerusakan, Sangkala bertindak hati-hati sekali.
Dicarinya bagian yang sekiranya tidak menimbulkan kerusakan bila kerangka itu
diangkat. Dan ketika sudah merasa yakin akan pilihannya,
Sangkala menjulurkan tangan. Dengan hati-hati dicekalnya kerangka itu dan
diangkatnya. Tapi baru saja kerangka itu terangkat sedikit, tiba-tiba....
Grrrggghhh...! Bunyi berderak terdengar keras. Sangkala terperanjat
dan melangkah mundur. Ruangan itu terasa bergetar.
Dengan rasa tegang, Sangkala menunggu kejadian
selanjutnya. Ternyata bunyi berderak keras dan bergetarnya ruangan itu terjadi
karena bergesernya lantai ruangan
sehingga tercipta rongga! Di dalamnya tampak sebuah peti kecil berwarna hitam
dan berukir. Pemandangan yang terpampang di hadapannya
membuat Sangkala merasa heran. Apa isi peti itu"
Pertanyaan itu bergelayut di benaknya. Tapi Sangkala tidak memikirkan lebih
jauh. Diputuskannya untuk mengubur
kerangka itu lebih dulu. Seperti sebelumnya, Sangkala
memasukkan kerangka itu dengan hati-hati.
Saat itulah terjadi peristiwa yang mengejutkan. Dari
bagian atas ruangan yang tepat berada di atas lubang tempat peti hitam berada
meluncur puluhan batang tombak! Bunyi mendesing nyaring mengiringi luncuran
tombak-tombak hingga menancap di dasar lubang. Beberapa di antaranya
mengenai peti! "Ah...!"
Sangkala bergidik melihatnya. Kalau tadi dia
bertindak ceroboh dan langsung memutuskan mengambil
peti itu, pasti sudah tewas tersate. Lubang berbentuk bujur sangkar dengan
panjang sisi satu tombak itu dipenuhi
luncuran tombak dalam jumlah tak kurang lima puluh
batang! Bagaimana dia bisa selamat"
Sangkala lalu melanjutkan pekerjaannya yang
tertunda. Ditimbuninya lubang yang baru dibuatnya dengan batu-batu dan tanah.
Tak lupa dipasangnya sebuah batu
berbentuk persegi sebagai nisannya. Setelah itu, Sangkala mengalihkan perhatian
pada lubang tempat peti hitam
berada. Tapi lubang tidak bisa dimasuki lagi. Karena
dipenuhi tancapan tombak.
Namun itu tidak menjadi halangan bagi Sangkala.
Tanpa menemui kesulitan dicabutnya tombak-tombak itu.
Satu persatu! Berdiri bulu kuduk pemuda berwajah bopeng itu melihat ujung tombak
bersemu kehijauan pertanda
mengandung racun! Sangkala ngeri membayangkan dirinya
menjadi sasaran tombak-tombak itu.

* * *

Dalam waktu singkat semua tombak-tombak itu
berhasil dicabut Sangkala. Sekarang lubang itu terlihat lagi.
Demikian pula peti kecil berukir itu.
"Hhh...!"
Sangkala menghela napas lega. Tubuhnya direbahkan
sebentar untuk beristirahat. Tampaknya pemuda berwajah
bopeng itu telah banyak mengeluarkan tenaga. Padahal, saat itu keadaannya kurang
menguntungkan. Tak heran bila dia dilanda rasa lelah yang sangat. Sangkala tidak
terlalu lama beristirahat. Ketika rasa lelah mulai berkurang,
diputuskannya untuk meneruskan maksudnya.
"Hih!"
Jliggg! Meskipun dengan agak terhuyung, Sangkala berhasil
hinggap di dasar lubang tempat peti berada. Diambilnya peti itu, dan dibawanya
naik ke atas. Apa isi peti kecil ini"
Pertanyaan itu kembali muncul di benaknya.
Karena dorongan rasa ingin tahu yang memuncak,
Sangkala membukanya. Peti kecil itu ternyata tidak dikunci.
Sehingga Sangkala tidak menemui kesulitan.
Klakkk! Tutup peti berhasil dibukanya. Tampak setumpuk
lembaran kulit binatang berisikan tulisan. Sangkala
mengambil lembar pertama dan membacanya.
Muridku... Apabila surat ini telah kau baca, berarti kau telah menjadi muridku. Kuucapkan
selamat! Karena kau akan mewarisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dengan berhasilnya
kau membaca surat ini, kau telah lulus dari dua buah ujian yang kuberikan.
Sekali lagi, selamat.
Tertanda: Gurumu.
Sangkala mengangguk-angguk tanda mengerti.
Diam-diam pemuda berwajah bopeng itu kagum akan siasat
yang dipergunakan tokoh misterius itu. Jika tadi dia bersikap tidak peduli pada
kerangka nya, pasti tidak akan menjadi murid tokoh itu.
Tapi hal yang lebih menyeramkan akan dialami bila
dia melupakan kerangka yang akan dikuburnya. Bila saat itu dia sampai
terpancing, mungkin sekarang Sangkala telah
menjadi sate. Sangkala kembali mengulurkan tangan
mengambil lembaran yang kedua. Kemudian dibacanya.
Muridku.... Telah kuputuskan untuk mewariskan sebuah ilmu
yang lebih pantas dikatakan ilmu mukjizat. Ilmu ini kunamakan jurus 'Kelelawar'.
Karena kuambil dan
kuciptakan berdasarkan perilaku binatang itu dalam
mempertahankan hidupnya. Baik ketika menghadapi musuh maupun calon korbannya.
Ilmu ini kuciptakan bertahun-tahun. Bahkan
belasan tahun. Tapi untukmu telah kubuat sedemikian rupa sehingga kau hanya
membutuhkan waktu empat puluh satu hari untuk menguasainya.
Caranya adalah dengan bertapa. Selama empat
puluh satu hari kau harus bertapa di tempat aku dulu duduk
bersemadi sampai ajal menjemputku.
Muridku... perlu kau ketahui, di waktu kau bertapa
akan terdapat cobaan-cobaan. Hanya dua macam. Setiap kali lulus dari satu
cobaan, kau akan mendapat ganjaran.
Akhirnya kuucapkan selamat berjuang, muridku.
Kudoakan kau berhasil menyelesaikan tapamu.
Gurumu. Sangkala merapikan kembali lembaran-lembaran
kulit binatang itu. Kemudian ditutupnya peti itu, dan
dikembalikan ke tempat semula.

4

Sejak saat itu Sangkala melaksanakan petunjuk yang
diberikan guru tanpa nama itu. Sangkala mulai bertapa.
Dibentuknya sikap seperti orang hendak bersemadi. Duduk bersila dengan punggung
lurus. Tapi kedua tangan Sangkala tidak diletakkan di depan dada. Melainkan
ditaruh di atas kedua lututnya. Napasnya pun biasa. Tidak menuruti aturan
seperti orang bersemadi.
Pemberitahuan yang diberikan gurunya ternyata
bukan hanya bualan. Cobaan mulai datang. Tapi Sangkala
tidak tahu setelah bertapa berapa lama cobaan itu datang.
Cobaan itu terasa aneh bagi Sangkala. Pemuda
berwajah bopeng itu memejamkan mata, tapi dia seperti
melihat jelas cobaan yang melanda.
Cobaan pertama, muncul kobaran api di sekitar
tempatnya bertapa. Dia seperti berada di tengah-tengah.
Sangkala merasakan sekujur tubuhnya panas bukan main.
Semakin lama rasa panas yang mendera semakin menjadijadi. Bahkan Sangkala merasakan tubuhnya seperti terbakar.
Kalau menuruti perasaan, mungkin Sangkala sudah
menyerah. Tapi teringat akan dendamnya pada orang-orang yang mengucilkan
kehidupannya membuat semangatnya
berkobar. Hingga bekas murid Perguruan Banteng Putih itu memutuskan tidak akan
menyerah. Betapapun rasa panas mendera dan dalam pikiran
terlihat tubuhnya ditelan api sehingga tidak terlihat lagi, Sangkala terus
bertahan. Entah berapa lama siksaan api itu melanda, Sangkala tidak tahu. Yang
dirasakan hanya satu, rasa panas yang sangat. Sampai akhirnya api itu mengecil
dan padam sama sekali.
Tapi itu tidak berarti ujian telah berakhir. Sama
sekali tidak! Begitu api padam, muncul cobaan lain. Angin puyuh datang dan
menyergap Sangkala. Kemudian
menerbangkannya ke sana kemari sekehendak hati.
Hampir saja Sangkala menjerit dan membatalkan
tapanya. Tapi kembali ingatan akan dendamnya membuat
pemuda itu berusaha bertahan. Dan seperti juga sebelumnya, angin topan itu
akhirnya lenyap. Seiring dengan lenyapnya angin topan, Sangkala merasakan
dirinya berada di sebuah tempat yang asing. Semua serba putih. Tidak kelihatan
bukit, gunung, batu, pohon maupun rumput. Yang ada hanya
hamparan tanah berwarna putih. Tidak ada sesuatu pun di atas tanah itu.
Sejenak Sangkala kebingungan. Kemudian tanpa
diketahui dari mana datangnya, di hadapan Sangkala telah berdiri seorang kakek
bertubuh sedang berpakaian coklat.
Sebenarnya perawakan tubuh kakek berpakaian coklat itu
gagah. Dadanya bidang, kekar, dan tegap berisi. Tapi, semua itu tertutup oleh
keadaan wajahnya. Wajah kakek itu penuh bopeng seperti bekas kena penyakit
cacar! "Bersiaplah, Sangkala," ujar kakek berpakaian coklat.
Nada suara kakek bopeng itu begitu dingin. Demikian
pula tarikan wajah dan sorot matanya. Sepertinya bukan
milik manusia! Sangkala agak bergidik juga melihatnya. Apalagi
ketika melihat gaya bicara kakek berpakaian coklat itu. Kedua bibirnya tidak
bergerak sedikit pun ketika berbicara. Sesuatu yang unik dan tidak masuk akal.
Demikian pendapat
Sangkala. "Mengapa bengong, Sangkala"!" tegur kakek bopeng tetap dengan nada dingin,
"Jangan membuang-buang waktu.
Aku akan mewariskan jurus 'Kelelawar' andalanku. Kau siap menerimanya?"
"Si... siap, Guru!"
Sangkala berusaha memantapkan jawabannya. Tapi
karena rasa takut masih melanda, suaranya gemetar seperti orang demam.
Namun rupanya kakek berpakaian coklat tidak
mempedulikan perasaan yang bergayut di hati Sangkala.
Begitu dilihatnya pemuda itu menyatakan kesediaan,
langsung saja diberikan petunjuk-petunjuk mengenai jurus
'Kelelawar'. Maka tanpa disadari Sangkala, meskipun pada lahirnya dia bertapa,
tapi badan halus atau apa pun namanya tengah mendapat bimbingan gurunya.
Aneh lagi di tempat yang unik itu Sangkala tinggal
selama sepuluh tahun! Selama itu dia berlatih keras
mempelajari jurus 'Kelelawar'. Hingga Sangkala dapat
mengubah dirinya menjadi kelelawar. Tepat sepuluh tahun, ketika dirasakan
Sangkala telah menguasai jurus 'Kelelawar'
dengan baik, kakek bopeng mengajaknya bicara empat mata.
"Sangkala...!"
"Ya, Guru," jawab Sangkala penuh rasa hormat.
"Kau telah menguasai jurus 'Kelelawar'. Itu berarti waktu perpisahan telah tiba.
Jagalah dirimu baik-baik,
Sangkala. Sekarang tapamu telah selesai. Selamat tinggal..!"
kakek berpakaian coklat yang selama ini telah
membimbingnya kemudian lenyap dari pandangan.
Sangkala yang tidak menyangka perpisahan akan
terjadi secepat ini tampak kaget bukan main,
"Guru...!" seru Sangkala kalap, "Jangan tinggalkan
aku, Guru! Kembalilah, Guru! Guru...!"
Sangkala berlari ke sana kemari memanggil gurunya.
Tapi usahanya sia-sia. Gurunya tetap tidak menunjukkan diri.
Namun Sangkala tidak putus asa. Terus dicarinya kakek
bopeng itu. Tenggorokan dan kakinya sampai lelah tetap saja tidak terlihat
tanda-tanda gurunya akan muncul.
"Ah...! Guru...! Kembalilah, Guru...!" keluh Sangkala setengah putus asa.
Pemuda berwajah bopeng itu menutup wajahnya
dengan kedua belah tangan. Cukup lama dia bersikap
demikian, sebelum akhirnya menyadari kenyataan gurunya
telah pergi. Maka diputuskan untuk menghentikan usahanya.
Kedua tangannya dijauhkan dari wajahnya. Kejadian
selanjutnya benar-benar membuat Sangkala membelalakkan
mata. Dia telah berada di tempat semula. Ruangan tempat dia menemukan kerangka.
Bahkan masih duduk tempat
kerangka itu semula berada.

* * *

"Ahhh...!"
Sebuah keluhan keluar dari mulut Sangkala. Keluhan ketidak mengertian. Sungguh tidak dimengertinya semua
kejadian yang dialami. Apakah semua itu bukan mimpi dan benar-benar nyata"
Benarkah dia telah mempelajari jurus
'Kelelawar' dari seorang kakek bopeng selama sepuluh tahun di sebuah tempat yang
aneh" Tapi, mengapa sekarang dia berada di tempat ini"
Sangkala menggoyang-goyangkan kepala membuang
semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Kemudian
dicobanya untuk mengingat-ingat. Sangkala pun teringat.
Dirinya sedang bertapa agar mendapat ilmu dahsyat dalam waktu singkat. Apakah
ini berarti tapanya telah selesai dan dia telah mendapat jurus 'Kelelawar'"
Seketika itu pula timbul keinginan di hati Sangkala
untuk membuktikannya. Dan betapa gembiranya pemuda itu
ketika dirasakan di bawah pusarnya ada hawa aneh yang
berputaran keras. Sebagai seorang pesilat Sangkala tahu hawa yang berputar itu
adalah tenaga dalam.
"Benarkah aku telah memiliki ilmu yang tinggi?"
Karena penasaran, dicobanya bangkit berdiri. Ingin
dibuktikan sendiri benarkah dia telah menguasai jurus
'Kelelawar' dengan cara yang aneh"
Tapi Sangkala segera mengurungkan niatnya ketika
melihat keadaan dirinya. Tubuhnya kurus kering seperti tidak berdaging. Hanya
tinggal tulang dibungkus kulit!
Hampir saja Sangkala menjerit kaget. Pemuda itu
baru sadar telah sekian puluh hari tidak makan! Empat puluh satu hari hanya
bertapa tanpa makan dan minum. Itu
sebabnya, Sangkala membatalkan maksudnya. Khawatir
dirinya tidak akan sanggup melatih ilmunya.
Sangkala merubah keputusannya. Pemuda itu ingin
mencari makanan untuk mengembalikan keadaan tubuhnya
seperti semula. Tapi ternyata di tempat itu tidak ada sesuatu yang dapat
dimakan. Betapapun Sangkala berusaha mencari, tetap saja tidak diketemukan. Maka
dengan terpaksa
dilahapnya lumut dan jamur yang tumbuh di situ.
Selama beberapa hari Sangkala harus menghilangkan
rasa jijiknya untuk memakan tumbuh-tumbuhan itu.
Sebelum akhirnya dia berhasil keluar dari sana dengan cara menghancurkan batu
besar yang menutup lubang keluar
ruangan itu.

* * *

"Hhh...!"
Sangkala menghela napas berat ketika teringat
kembali akan nasibnya sekarang. Dia berlari tungganglanggang menyelamatkan selembar nyawanya. Itu terjadi
karena Dewa Arak ada di tengah-tengah musuhya.
Sangkala sadar selama ada Dewa Arak di Desa
Kawung sulit baginya untuk membalas dendam dengan
leluasa. Dewa Arak memiliki kepandaian yang tinggi dan
tidak berada di bawahnya. Padahal pemuda berambut putih keperakan itu tidak
sendiri, masih banyak kawan-kawannya yang lain. Kalau mereka semua turun tangan,
pasti dia akan celaka.
Sangkala tidak ingin pengalaman seperti itu terulang
lagi. Dia benci menjadi orang kalah. Sejak dulu dirinya selalu kalah. Sekarang
pemuda itu tidak ingin kalah lagi. Maka otaknya diputar mencari jalan keluar
memecahkan masalah ini.
Cukup lama Sangkala berpikir keras. Sampai
akhirnya dia berhasil menemukan cara yang dianggapnya
sangat jitu. Kalau Dewa Arak mempunyai pengikut, mengapa dia tidak" Ya! Dia
harus mempunyai pengikut agar dapat mengimbangi kedudukan!
Puas akan keputusannya Sangkala tersenyum. Tapi
untuk mencari pengikut, luka dalamnya harus disembuhkan lebih dulu. Memang,
tidak parah. Tapi Sangkala tidak mau meremehkan. Sesaat kemudian, bekas murid
Perguruan Banteng Putih itu terlelap dalam semadinya.

* * *

Sang Surya baru saja menampakkan diri di ufuk
timur dalam bentuk bola raksasa merah yang menyorotkan sinar lembut ke bumi.
Tiupan angin semilir, kicau burung, serta kokok ayam jantan menyemaraki suasana
pagi yang sejuk. Tapi kesejukan pagi itu tidak dirasakan orang-orang
yang berada di depan pintu gerbang Perguruan Harimau
Terbang. Sorot ketegangan tampak pada wajah kelima sosok tubuh itu. Dua di
antara mereka berpakaian kuning kentang dengan sulaman kepala seekor harimau di
bagian dada kiri.
Agaknya dua orang itu murid-murid Perguruan Harimau
Terbang. Sedangkan yang tiga orang adalah seorang laki-laki setengah baya
bertubuh kecil kurus dan berpakaian indah, didampingi dua orang bertubuh tinggi
besar dan bertampang seram.
"Sayang sekali, Tuan. Aku tidak bisa memberikan
keterangan. Kami harap sabar menunggu hingga Ki Jayeng Praja kembali," kata
murid Perguruan Harimau Terbang yang berambut kemerahan.
"Apa kau bilang?" sambut lelaki berpakaian indah dengan nada tinggi. "Aku harus
menunggu"! Hey! Dengar baik-baik! Bila sampai siang nanti tidak juga kudapatkan
jawaban mengenai keadaan putriku, jangan salahkan jika aku bertindak sendiri!"
"Keparat!"
Murid Perguruan Harimau Terbang yang lain
menggertakkan gigi mendengar ancaman itu. Tampak dia
sangat marah dan merasa tersinggung. Sepasang matanya
yang sipit semakin tidak terlihat karena kebiasaannya
menyipitkan mata jika sedang marah.
"Hehhh"! Kau berani memakiku"!" sergah lelaki berpakaian indah. Lelaki setengah
baya itu adalah saudagar yang menitipkan putrinya pada pengawalan murid-murid
Perguruan Harimau Terbang.
"Bodong! Beri dia pelajaran!"
Bodong, salah satu dari dua lelaki bertubuh tinggi
besar dan bertampang seram, mengepal-ngepalkan kedua
tangannya hingga terdengar bunyi berkerotokan keras. Itu dilakukan sambil
mengayunkan kaki lebar-lebar ke arah
murid Perguruan Harimau Terbang yang bermata sipit.
Tapi lelaki bermata sipit sedikit pun tidak merasa
gentar. Tanpa ragu disambutnya kedatangan Bodong dengan hangat. Dia ikut
melangkah maju. Hingga mereka saling
mendekati. Sementara saudagar itu, rekan Bodong, dan
murid Perguruan Harimau Terbang yang lain menonton.
Mereka ingin melihat kejadian selanjutnya.
Dengan mata hampir tidak berkedip, ketiga orang itu
menyaksikan Bodong dan murid Perguruan Harimau
Terbang telah siap bertarung. Kedua orang itu saling tatap sejenak dalam jarak
satu tombak. Mereka seperti sedang mengadu kekuatan pandang
mata. Dan sesaat kemudian, Bodong membuka serangan
dengan teriakan keras membahana.
Wuttt! Angin menderu cukup keras ketika Bodong
mengayunkan kepalanya yang besar. Arah yang dituju ulu hati!
"Hmh!"
Murid Perguruan Harimau Terbang mendengus.
Sikapnya menunjukkan dia tak menganggap serangan
Bodong suatu ancaman yang membahayakan.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, lelaki bermata sipit itu
menarik kaki kanannya mundur. Pada saat yang bersamaan
tangan kirinya diayunkan menetak serangan lawan dengan
gerakan dari luar ke dalam! Maka,
Takkk! Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam
tidak dapat dihindarkan lagi. Tubuh mereka terhuyung
mundur. Bodong terhuyung dua langkah. Sementara
lawannya empat langkah. Seringai kesakitan terukir di wajah murid Perguruan
Harimau Terbang. Tenaga dalam Bodong
ternyata lebih unggul. Juga dalam kekuatan tulang
tangannya. "Ha ha ha...!" Bodong tertawa tergelak menyadari kelebihannya. "Sebentar lagi
bukan tanganmu, tapi kepalamu yang akan kuhancurkan!"
Usai berkata, Bodong melancarkan serangan bertubitubi dengan pukulan kanan kiri. Kali ini bagian yang
diserangnya adalah wajah. Rupanya Bodong ingin
membuktikan sesumbarnya.
Murid Perguruan Harimau Terbang itu kelihatan
tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau lawan
memiliki kelebihan, baik dalam tenaga maupun kekuatan
tubuh. Maka diputuskannya untuk menghadapi dengan cara
lain. Lelaki bermata sipit itu pun melaksanakan
rencananya. "Hih!"
Serangan-serangan Bodong hanya mengenai tempat
kosong. Lewat beberapa jengkal di bawah kaki murid
Perguruan Harimau Terbang itu. Rupanya, lelaki bermata sipit itu melompat ke
atas untuk mengelakkan serangan
lawan. Tidak hanya itu. Begitu tubuhnya berada di atas, kakinya dijejakkan ke
arah kepala Bodong.
Wuttt! Bodong menyadari akan bahaya yang mengancam.
Lelaki tinggi besar itu tahu jejakan kaki murid Perguruan Harimau Terbang bisa
menghancurkan kepalanya. Maka
buru-buru dielakkannya serangan itu dengan melakukan
lompatan harimau.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada kedua tangan, Bodong
menggulingkan tubuhnya di tanah. Dan segera bangkit
dengan cepat. Bertepatan dengan berhasilnya Bodong memperbaiki
kedudukan, laki-laki bermata sipit itu telah siap melancarkan serangan susulan.
Keduanya bertukar pandang sekilas
dengan sikap waspada karena tahu lawan yang dihadapi tidak dapat dipandang
ringan. Sesaat kemudian, dengan diawali teriakan keras yang
memecahkan keheningan suasana pagi, kedua orang itu
saling terjang. Pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan lagi. Kedua belah
pihak tampak memiliki kemampuan
seimbang. Masing-masing mempunyai kelebihan yang
berlainan. Bodong memiliki kelebihan pada tenaga dalam dan
kekuatan tubuh. Tapi dalam hal kelincahan lawannya lebih unggul. Dan karena
kedua belah pihak menyadari
kelebihannya dan mempergunakannya dengan penuh, maka
pertarungan pun berlangsung seimbang.

5

Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa pertarungan
sudah memasuki jurus kedua puluh lima. Selama itu belum tampak tanda-tanda siapa
yang akan keluar sebagai
pemenang. Padahal di luar kancah pertarungan telah terjadi perubahan yang cukup
menyolok. Orang yang menyaksikan
jalannya pertarungan tidak hanya tiga orang, tapi belasan orang. Riuhnya bunyi
pertarungan mengundang murid-murid Perguruan Harimau Terbang lainnya untuk
mendatangi tempat itu.
"Kalau dibiarkan terus, pertarungan ini tidak akan pernah berakhir," ujar murid
Perguruan Harimau Terbang yang berjenggot panjang. Sambil berkata demikian,
lelaki itu mengelus-elus jenggotnya. Kemudian dengan sekali genjot tubuhnya
melayang memasuki kancah pertarungan. Dan....
Jliggg! Ringan laksana sehelai daun kering, lelaki berjenggot
panjang mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tepat di
tengah-tengah arena pertarungan.
Tampak lelaki berjenggot panjang melakukan
tindakan yang tepat. Keberadaannya tepat pada saat Bodong dan laki-laki bermata
sipit tengah berjauhan. Agaknya dia telah memperhitungkan tindakannya.
Keberadaan lelaki itu membuat mereka yang bertarung tidak dapat bergerak lagi.
"Kakang Subali..!" seru laki-laki bermata sipit terkejut.
Lelaki berjenggot panjang yang ternyata bernama
Subali tidak bisa memberikan tanggapan. Sebab...,
"Ooo...! Rupanya kalian ingin mengeroyok"!'' ejek Bodong. "Silakan! Silakan...!
Jangan kalian kira aku akan gentar!"
"Tutup mulutmu, Kerbau Goblok!" maki Subali
geram. Lelaki itu tersinggung mendengar tuduhan Bodong.
"Aku bukan orang sepertimu! Cepat menyingkir dari sini sebelum hilang
kesabaranku!"
"Ha ha ha...!"
Bodong menanggapi peringatan Subali dengan tawa
tergelak sambil bertolak pinggang. Tampaknya dia tidak
memandang sebelah mata pun pada Subali.
"Kau kira aku gampang ditakut-takuti"! Ho ho ho...!
Kau keliru, Kambing Tua! Jangankan hanya gertak sambal, ancaman maut sekalipun
aku tidak gentar!"
Hebat bukan main pengaruh ucapan Bodong. Wajah
Subali merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat
menyiratkan kemarahan. Dan bunyi gemeretak keluar dari
mulutnya. "Ingat, Kerbau Goblok! Aku telah memberimu
kesempatan! Tapi kau menyia-nyiakan. Jangan salahkan aku jika bertindak keras
terhadapmu!"
"Diam, Kambing Tua! Jangan mengembik-ngembik
terus! Aku bosan mendengarnya! Hiyaaat...!"
Diiringi teriakan keras, Bodong meluruk ke arah
Subali. Kedua tangannya yang terkepal dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada
lawan. Bet, bet, bet! Bunyi cukup keras yang mengiringi datangnya
pukulan menunjukkan serangan itu dilancarkan dengan
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi!
Tapi Subali tetap tenang. Ditunggunya hingga
serangan Bodong semakin dekat. Ketika hal itu terjadi, lelaki berjenggot panjang
itu baru bertindak. Kakinya dilangkahkan ke kanan sambil mendoyongkan tubuh.
Hasilnya memang
jitu! Serangan-serangan Bodong menyambar lewat beberapa jari di sebelah kirinya.
Saat itulah Subali bertindak! Tangan kirinya
diletakkan ke arah kuduk lawan. Bodong terkejut bukan
main. Sebisanya lelaki tinggi besar itu berusaha mengelak.
Dukkk! "Uh...! ''
Bodong mengeluh tertahan sebelum ambruk ke
tanah. Dia tidak berhasil mengelakkan serangan Subali.
Gerakan lelaki berjenggot panjang itu terlalu cepat

* * *

Sekilas Subali menatap Bodong yang pingsan.
Kemudian pandangannya dialihkan pada laki-laki berpakaian indah dan rekan Bodong
yang sejak tadi hanya menonton.
"Apa arti semua ini, Juragan Bilawa?" tanya Subali seraya menghampiri mereka.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Subali!" sergah laki-laki berpakaian indah.
"Cepat beritahukan kedatanganku pada Jayeng Praja!"
"Sayang sekali, Juragan Bilawa! Guruku sedang tidak berada di tempat. Mari kita
ke dalam dan membicarakan
urusan ini!"
"Aku tidak sudi ke dalam, Subali! Aku ingin bicara di sini! Cepat, panggil
Jayeng Praja kemari! Tak kusangka dia akan bertindak sepengecut ini! '' seru
Juragan Bilawa dengan suara semakin meninggi.
Wajah semua murid Perguruan Harimau Terbang
tampak merah padam menahan marah. Beberapa di antara
mereka telah mencabut senjata dan siap memenggal kepala orang yang telah
mengeluarkan hinaan kotor terhadap ketua
perguruan mereka.
Rupanya Subali cukup tanggap akan hal itu. Karena
dia pun didera perasaan yang sama. Tapi laki-laki berjenggot panjang itu tidak
mau bertindak sembrono. Tangan kanannya segera diangkat untuk menenangkan rekanrekannya. "Juragan Bilawa! Ku mohon tarik kembali katakatamu, atau kau ingin ku lemparkan ke luar seperti anjing buduk"!" ujar Subali
dengan suara bergetar.
Juragan Bilawa tahu Subali tidak main-main dengan
ancamannya. Maka meskipun amarah yang hebat bergolak di dalam dada, diputuskan
untuk sedikit menenangkan diri.
Laki-laki berpakaian indah itu tidak ingin dilemparkan Subali
"Sudah kukatakan padamu, Subali. Aku tidak ingin
berurusan denganmu. Aku hanya mempunyai urusan dengan
Jayeng Praja, ketuamu!" tandas Juragan Bilawa tetap dengan nada tinggi.
"Harus berapa kali kukatakan padamu, Juragan
Bilawa"! Guruku sedang pergi karena suatu urusan. Aku,
murid kepalanya, ditugaskan untuk menggantikan mengurus perguruan ini. Apa pun
masalah pribadi guruku!" jelas Subali.
"Hhh...!"
Juragan Bilawa menghembuskan napas berat.
Kelihatan jelas dia sangat kecewa mendengar keterangan
Subali. Laki-laki berpakaian indah itu tercenung di
tempatnya. Kelakuan Juragan Bilawa menjadi perhatian muridmurid Perguruan Harimau Terbang, dan tukang pukulnya.
Tapi mereka membiarkan saja. Sesaat kemudian...,
"Baiklah kalau memang demikian, Subali. Aku datang untuk mengetahui nasib
putriku...."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Juragan Bilawa?"
tanya Subali pura-pura tidak tahu.
"Kau tidak usah berpura-pura, Subali!" tuding Juragan Bilawa. "Aku datang kemari
untuk menanyakan bagaimana pekerjaan kalian. Apa yang terjadi dengan
putriku"! Mengapa dia tidak pernah sampai ke tempat yang dituju"!"
"Hhh...!"
Subali menghela napas. Disadari tidak ada gunanya
lagi menyembunyikan masalah itu. Dia terpaksa harus
memberitahu dengan sejujurnya. Subali lalu menceritakan semua yang diketahuinya
tanpa ada yang disembunyikan.
"Jadi... putriku belum ditemukan"! Ohhh...!" keluh Juragan Bilawa. Wajahnya
pucat pasi, "Sutini..., apa yang terjadi dengan dirimu...?"
Namun hanya sesaat Juragan Bilawa larut dalam
kesedihan. Sebentar kemudian dia telah berhasil menguasai perasaan. Dengan wajah
beringas, pandangannya diedarkan berkeliling.
"Harus kalian ketahui... aku tidak bisa menerima hal ini! Kalian harus
bertanggung jawab atas lenyapnya putriku!"
Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Juragan Bilawa
membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak cakap, tukang pukulnya mengikuti sambil
memanggul tubuh Bodong. Mereka menuju kereta kuda.
Sesaat kemudian, debu mengepul tinggi mengiringi kepergian kereta kuda yang
bagus dan indah milik Juragan Bilawa.
Subali dan adik-adik seperguruannya memandang kereta
hingga lenyap di kejauhan.
"Hhh...!"
Subali menghela napas. Ditatapnya satu persatu
adik-adik seperguruannya. "Perguruan kita berada dalam kesulitan besar. Aku
tidak yakin guru dapat menemukan
putri Juragan Bilawa," ujar Subali prihatin.
Tidak ada tanggapan atas ucapannya. Murid-murid
Perguruan Harimau Terbang terdiam. Seperti juga Subali, mereka merasa prihatin
dengan musibah yang menimpa
perguruannya. "Semoga guru berhasil menemukan putri Juragan
Bilawa. Dan mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang
menimpa dirinya," Subali melanjutkan kata-katanya.
Ucapan itu dikeluarkan sambil mengayunkan kaki
memasuki bangunan perguruan. Di dalam ucapannya
memang terkandung harapan. Tapi semua murid Perguruan
Harimau Terbang tahu Subali sendiri tidak yakin dengan
ucapannya. Nada ketidakyakinan dapat ditangkap jelas dalam perkataannya.
Meskipun demikian, tak satu pun di antara mereka
membuka suara. Takut salah bicara. Lagi pula rasa prihatin membuat mereka
kehilangan semangat untuk berbicara.
Yang dapat dilakukan murid-murid Perguruan
Harimau Terbang hanya bisa berharap agar putri Juragan Bilawa selamat. Walau
mereka tahu harapan itu sangat kecil.
Tewasnya seluruh rombongan murid Perguruan Harimau
Terbang yang mengawalnya sudah merupakan pertanda
buruk. Dengan benak diliputi masalah putri Juragan Bilawa,
murid-murid Perguruan Harimau Terbang kembali ke
tempatnya masing-masing. Dalam sekejap suasana hirukpikuk pun lenyap. Yang tersisa hanya keheningan. Apalagi ketika pintu gerbang
Perguruan Harimau Terbang ditutup.

* * *

"Hiya...! Hiyaaa...!"
Ctarrr! Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan untuk
memacu semangat kudanya, Jayeng Praja mengayunkan
pecut ke bagian belakang tubuh binatang itu. Usaha Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu tidak sia-sia. Lari kuda
hitam tunggangannya jauh lebih cepat dari sebelumnya.
Jayeng Praja terpaksa menggunakan kuda karena
ingin cepat tiba di Perguruan Harimau Terbang. Dia ingin segera menjelaskan
permasalahan sebenarnya kepada
Juragan Bilawa. Terserah bagaimana tindakan yang akan
dilakukan orangtua Surini itu padanya.
Karena ingin buru-buru tiba, Jayeng Praja memacu
kudanya seperti orang kurang waras. Perjalanan yang
dilakukannya hampir tanpa henti. Dua hari kemudian, dia telah keluar dari Desa
Karang Gantung. Itu membuat
semangatnya bertambah. Dia hanya tinggal melewati sebuah hutan kecil. Setelah
itu, Desa Karang Awang akan
dimasukinya. Itulah desa tempat perguruannya berada.
Sang Surya telah hampir mencapai titik tengahnya
ketika kuda Jayeng Praja memasuki hutan kecil. Hutan yang dikenal dengan nama
Hutan Kapur. Meskipun di dalam
hutan, Jayeng Praja tidak mengendurkan lari kudanya.
Dengan kecepatan tinggi, binatang tunggangan berwarna
hitam itu menapaki jalan tanah di dalam hutan yang
ditumbuhi sedikit rumput. Mendadak...
Rrrttt! "Hieeeh...!"
"Hey!"
Jayeng Praja berseru kaget ketika tiba-tiba kudanya
terjungkal ke depan seperti terkait sesuatu. Tubuh Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu pun ikut terjungkal ke
depan. Tapi dengan sebuah salto yang manis dan indah
dilihat, Jayeng Praja berhasil mematahkan daya dorong
tubuhnya. Dan....
"Hup!"
Dengan mantap Jayeng Praja berhasil mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Dan secepat itu pula dia memasang sikap waspada.
Lelaki itu melempar pandang ke arah binatang
tunggangannya. Kudanya tergeletak di tanah. Tampaknya
binatang itu mengalami luka yang cukup parah.
"Paling tidak beberapa kakinya patah!''
Hanya sekilas Jayeng Praja memperhatikan.
Kemudian pandangannya dialihkan pada tempat kuda hitam
itu terjungkal. Dan..., kewaspadaannya pun semakin
ditingkatkan! Di tempat kuda hitam itu terjungkal terentang seutas tambang.
Ujung-ujung tambang sebesar ibu jari itu diikatkan pada dua batang pohon yang
mengapit jalan yang dilalui kuda Jayeng Praja.
Melihat kenyataan itu, Jayeng Praja segera
mengetahui kejadian yang menimpa dirinya telah di
rencanakan. Ada seseorang atau mungkin lebih yang sengaja ingin menghalangi
perjalanannya. Yakin dengan kesimpulan yang didapatnya, Jayeng Praja mengedarkan
pandangan ke arah timbunan semak-semak dan pepohonan yang berada di
sekitar tempat itu.
"Keluar kau, Pengecut! Jangan beraninya hanya
bermain kucing-kucingan. Ayo, hadapi aku secara terangterangan. Keluar kau...!" ucapan Jayeng Praja menggema ke seluruh penjuru hutan.
Ketua Perguruan Harimau Terbang itu mengerahkan tenaga dalamnya.
Hasilnya langsung terlihat. Semak-semak da
pepohonan itu bergerak-gerak diiringi bunyi berkeresekan.
Sesaat kemudian, muncul sosok-sosok tubuh yang memiliki perawakan dan raut wajah
kasar. Begitu muncul, sosok-sosok kasar itu langsung berpencar. Hanya dalam
sekejap Jayeng Praja telah terkurung. Lelaki itu mengedarkan pandangan
berkeliling menghitung jumlah mereka.
Lima belas orang, ujar Jayeng Praja dalam hati.
Sadar kalau orang-orang kasar itu tidak bermaksud
baik, Ketua Perguruan Harimau Terbang tampak bersikap
waspada. Urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang.
Siap digunakan bila menghadapi hal-hal yang tidak
diinginkan. Tapi kelima belas orang kasar itu tidak
menampakkan tanda-tanda akan melancarkan serangan.
Mereka berdiam diri saja. Semula Jayeng Praja heran melihat tingkah para
pengepungnya. Mengapa mereka tidak
menyerang" Tapi sesaat kemudian, Jayeng Praja mendapat
jawabannya. "Ha ha ha...!"
Sebuah tawa keras menggelegar membuat sekitar
tempat itu bergetar hebat. Pertanda pemiliknya memiliki tenaga dalam yang sangat
kuat. Dan sebelum gema tawa itu lenyap, sesosok bayangan kuning berkelebat.
Tahu-tahu di belakang belasan orang kasar itu berdiri angker sesosok tubuh.
"Ha ha ha...! Mengapa tergesa-gesa sekali, Jayeng"!
Adakah urusan penting yang ingin kau selesaikan?" ejek sosok yang bam datang
Sosok itu seorang lelaki berwajah kuning. Tubuhnya
yang kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular
berwarna kuning coklat.
"Ular Muka Kuning...! '' desis Jayeng Praja kaget.
Agaknya mengenal tokoh itu.
Ular Muka Kuning adalah seorang seorang kepala
rampok yang memiliki kepandaian tinggi. Namun bukan hal itu yang menyebabkan
setiap orang takut kepadanya. Tapi tindakannya yang keji dan telengas!
Sepengetahuan Jayeng Praja, kepala rampok itu tidak beroperasi di wilayah ini.
Mengapa dia berada di sini"
"Mengapa, Jayeng" Kau kaget"!" tanya Ular Muka Kuning. Nada suaranya terdengar
merendahkan lawan
bicaranya. Pertanyaan itu membuat alun pikiran Jayeng Praja
terputus. "Dengan terus terang kukatakan aku memang terkejut. Sepengetahuanku
tempat ini tidak termasuk daerah jarahanmu."

6

"Ha ha ha...!"
Ular Muka Kuning tergelak. Sebuah tawa penuh
kegembiraan. "Ucapanmu tidak salah, Jayeng. Daerah ini memang bukan wilayahku.
Aku juga tidak berminat menjarah daerah-daerah di sekitar tempat ini! Apa yang
akan kudapatkan di tempat yang hanya ditinggali penduduk
miskin"!"
"Lalu..., mengapa kau dan rombonganmu berada di
sini?" "Karena sebuah pekerjaan yang menjanjikan hadiah
besar," jawab Ular Muka Kuning tenang.
"Pekerjaan dengan imbalan besar?" Jayeng Praja mengernyitkan dahi.
"Jangan berpura-pura bodoh, Jayeng!" sergah Ular Muka Kuning. "Apa kau tidak
dapat menerka pekerjaan yang kumaksud?"
Wajah Jayeng Praja langsung berubah. Melihat sikap
Ular Muka Kuning dan penghadangan yang mereka lakukan,
sudah dapat diperkirakan pekerjaan itu. Tapi, Jayeng Praja belum yakin. Benarkah
pekerjaan itu ada hubungannya
dengan dirinya" Kalau benar, mengapa"
"Apakah pekerjaanmu ada hubungannya dengan
diriku, Ular Muka Kuning?"
"Ha ha ha...! Kau lucu sekali, Jayeng!" Ular Muka Kuning tertawa geli. "Bukan
hanya berhubungan. Tapi memang menyangkut dirimu! Pekerjaan dengan imbalan
besar itu adalah membawamu hidup-hidup ke perguruanmu
untuk menyaksikan Perguruan Harimau Terbang lenyap dari muka bumi! Ha ha ha...!"
"Gila!" Tanpa sadar Jayeng Praja menyerukan kata itu.
"Kau kaget, Jayeng?"
"Bukan hanya kaget, Ular Muka Kuning. Tapi juga
heran. Aku tidak menyangka kau dan rombonganmu tak
ubahnya budak-budak yang dapat disuruh melakukan apa
saja. Katakan padaku, siapa yang menyuruhmu"!"
"Rupanya kau termasuk orang yang tidak mempunyai
penghargaan atas sebuah tugas, Jayeng!" rutuk Ular Muka Kuning. "Sebagai seorang
pemilik jasa pengawalan,
seharusnya kau tahu, tidak pantas memberitahu orang yang telah memberi tugas!
Apalagi bila yang menanyakan calon korban itu sendiri!"
Jayeng Praja terdiam. Disadari ada kebenaran yang
tidak bisa dipungkiri dalam pernyataan Ular Muka Kuning.
"Sekarang bersiap-siaplah, Jayeng Praja. Aku akan
memulai tugas yang diberikan padaku!" kali ini ucapan Ular Muka Kuning terdengar
penuh wibawa. "Anak-anak! Tangkap dia!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang
kasar yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan
pembicaraan itu langsung bertindak.
Srat, srat! Bunyi terhunusnya senjata gerombolan Ular Muka
Kuning menyakitkan gendang telinga. Mereka bersenjata
golok! "Uh!"
Jayeng Praja menundukkan wajah. Batang-batang
golok yang putih berkilat itu tertimpa sinar matahari dan memantul ke wajahnya.
Sinarnya menyilaukan mata. Yang
lebih menjengkelkan, anak buah Ular Muka Kuning
membolak-balik batang golok mereka. Hingga pantulan sinar sang Surya mendarat
tepat di wajah Jayeng Praja.
"Cepat lumpuhkan dia, anak-anak!"
Ular Muka Kuning yang sudah tidak sabar lagi segera
mengeluarkan perintah susulan.
Mendengar perintah itu, rombongan orang kasar
yang mengenakan rompi kulit ular berwarna kuning coklat
meluruk ke arah Jayeng Praja. Dari mulut mereka keluar
teriakan-teriakan keras membahana.
Sing sing sing!
Diiringi bunyi mendesing nyaring, golok-golok itu
menyambar ke berbagai bagian tubuh Jayeng Praja.

* * *

Jayeng Praja tetap bersikap tenang. Perhatiannya
dipusatkan pada pendengaran. Sebab lawan menyerang dari berbagai arah. Malah
sebagian dari belakang, tempat yang tak terjangkau sepasang matanya. Kalau
mengandalkan penglihatan saja, pasti dia akan celaka.
Begitu serangan-serangan lawan menyambar dekat,
Jayeng Praja bertindak cepat. Tanpa ragu-ragu senjata
andalannya yang selalu terselip di pinggang dikeluarkan.
Sebuah ruyung baja berbatang dua yang antara ujung satu dengan lainnya disambung
dengan sebuah rantai baja.
Jayeng Praja memutar senjatanya.
Wuk, wuk, wuk! Bunyi menderu-deru seperti angin ribut segera
terdengar. Memang hebat tenaga dalam yang dimiliki Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu. Trang, trang, trang!
Terdengar bunyi berdentang nyaring ketika golokgolok yang mengancam tubuh Jayeng Praja tertangkis batang ruyung.
Teriakan-teriakan kaget keluar dari mulut anak buah
Ular Muka Kuning. Tangan yang menggenggam golok terasa
panas dan sakit. Bahkan senjata mereka hampir terlepas dari genggaman.
"Menyingkirlah kalian...! Yang pantas menjadi
lawanku adalah pimpinan kalian, Ular Muka Kuning," ucap Jayeng Praja penuh
wibawa. Sambil memberikan peringatan, Jayeng Praja memutar-mutar ruyungnya.
"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tergelak, "Jangan terlalu cepat berbangga diri,
Jayeng! Asal kau tahu saja... itu belum apa-apa. Yang mereka lakukan baru
sebagian kecil dari kemampuan yang dimiliki. Sabarlah! Tak lama lagi kau akan
melihat kedahsyatan anak buahku yang terkenal dengan
julukan Gerombolan Ular Maut! Ayo, Anak-anak! Tunjukkan kemampuan kalian!"
Baru saja Ular Muka Kuning mengakhiri ucapannya,
anak buahnya yang berjuluk Gerombolan Ular Maut telah
bergerak. Terdengar sebuah siulan nyaring pendek. Jayeng Praja tidak mengetahui
dari mana asalnya. Yang jelas dari salah seorang di antara anggota gerombolan
itu. Begitu bunyi siulan lenyap, terjadi perubahan besar
dengan tindakan Gerombolan Ular Maut. Semua anggota
meninggalkan tempatnya masing-masing dan berkumpul di
depan Jayeng Praja.
Semula Jayeng Praja menduga siulan itu sebagai
tanda dimulainya serangan. Apalagi ketika sesaat kemudian, terlihat ada gerakangerakan dari para pengeroyoknya. Ketua Perguruan Harimau Terbang itu pun
langsung waspada.
Ruyung di tangannya siap dilayangkan. Tapi, Jayeng Praja menghentikan
tindakannya ketika mengetahui lawan-lawannya tidak menyerang. Malah berkumpul di
depannya. Sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman,
Jayeng Praja segera mengetahui lawan mengubah taktik
pertarungan. Itu bisa diketahui oleh Jayeng Praja dari kedudukan yang dibentuk
lawan-lawannya. Belasan orang
kasar itu menyusun diri menjadi dua baris.
Jayeng Praja tidak perlu menunggu terlalu lama
untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Sekejap
kemudian, dilihatnya sendiri kenyataan itu.
"Haaat...!"
Didahului teriakan nyaring lelaki berkulit
kemerahan, serangan perdana mereka meluncur.
Memang pantas dipuji bentuk penyerangan belasan
anak buah Ular Muka Kuning itu. Barisan depan menerjang Jayeng Praja. Dari atas,
golok yang tercekal diayunkan ke bagian tubuh atas lawan.
"Hmh...!"
Jayeng Praja mendengus, mengejek bentuk penyerangan itu. Apakah hanya seperti ini kemampuan yang
dibanggakan Ular Muka Kuning"! Kalau benar, betapa picik pandangannya!
Tapi Jayeng Praja tidak mau membiarkan benaknya
dikungkung pikiran-pikiran itu. Maka buru-buru diusirnya!
Kemudian perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi
keroyokan lawan.
"Hih!"
Wuttt! Trangngng!
Bunyi berdentang keras terdengar ketika batang
ruyung Jayeng Praja berhasil mematahkan serangan lawan.
Kemudian seperti sebelumnya pun terjadi. Tubuh tujuh
anggota Gerombolan Ular Maut terjengkang ke belakang
dengan tangan terasa sakit. Sementara Jayeng Praja tidak bergeming sedikit pun.
Tapi sebelum Ketua Perguruan Harimau Terbang itu
berbuat sesuatu, serangan susulan telah meluncur datang. Itu berasal dari
delapan orang yang berada di baris kedua!
Berbeda dengan tujuh rekannya, delapan anggota Ular Muka Kuning itu melancarkan
serangan lewat bawah. Dengan
bersamaan tapi teratur baik, mereka menggulingkan tubuh.
Delapan anak buah Ular Muka Kuning bam bangkit
berdiri setelah berada di dekat lawan. Seketika itu pula mereka melancarkan
serangan. Yang lebih gila sebagian dari mereka menyerang kaki. Sedangkan sisanya
melancarkan serangan ke bagian sekitar perut.
Karuan saja Jayeng Praja terperanjat bukan main.
Tibanya serangan itu hanya berselisih waktu sedikit sekali dengan serangan
pertama tadi. Akibatnya, Jayeng Praja tidak mempunyai kesempatan untuk
menangkis. Terpaksa dia
melompat mundur menyelamatkan diri.
Usaha yang dilakukan Ketua Perguruan Harimau
Terbang memang tidak sia-sia. Serangan lawan berhasil
dipunahkan semua. Tapi seperti juga kejadian sebelumnya, ketika Jayeng Praja
belum sempat berbuat lebih jauh,
serangan berikutnya muncul. Kali ini dari tujuh orang
penyerang pertama. Demikian seterusnya, silih berganti.
Sekarang Jayeng Praja baru mengerti mengapa Ular
Muka Kuning begitu membanggakan anak buahnya. Ternyata
pimpinan rampok itu tidak membual! Gerombolan Ular Maut memang sungguh luar
biasa. Mereka mampu bekerja sama
dengan baik. Jayeng Praja benar-benar kewalahan. Sekali pun tidak diberi
kesempatan untuk melancarkan serangan
balasan. Jayeng Praja hanya dapat mengelak. Paling jauh menangkis. Yang jelas,
dia terus dipaksa mundur!
Jayeng Praja menggertakkan gigi. Jika keadaan
seperti ini dibiarkan terus dia akan rugi. Robohnya dia hanya tinggal menunggu
waktu. Sayang dirinya tidak mampu
berbuat sesuatu. Lawan-lawannya tidak memberi kesempatan padanya untuk
memperbaiki diri.
Tidak sampai tiga puluh jurus bertarung, napas
Jayeng Praja telah memburu. Ini tidak aneh. Usianya telah lanjut dan dari sejak
jurus pertama terus dipaksa
mengerahkan seluruh kemampuan secara penuh. Pada jurus
ke tiga puluh tujuh....
Srat, sret! "Akh!"
Jayeng Praja mengeluh tertahan. Dua serangan
lawan tidak dapat dielakkan. Golok-golok itu menyerempet pahanya.
Darah tampak merembas keluar dari bagian yang
terluka. Dengan sendirinya, gerakan Jayeng Praja agak
terhambat. Ketua Perguruan Harimau Terbang memang
berhasil mengelakkan serangan golok yang mengancam
bagian atas tubuhnya. Tapi, serangan lanjutan yang berupa
tendangan dan pukulan tidak mampu dielakkan.
Buk, buk, buk! Bunyi berdebuk keras mengiringi terjengkang nya
tubuh Jayeng Praja ke belakang. Sesaat tubuh itu terhuyung-huyung sebelum
akhirnya jatuh terduduk di tanah.
"Cukup...!"
Bentakan keras Ular Muka Kuning membuat Jayeng
Praja selamat dari serangan Gerombolan Ular Maut. Serentak mereka menghentikan
gerakan. "Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tertawa ketika telah berada di dekat Jayeng
Praja. "Bagaimana, Jayeng"! Apakah kau masih meragukan kemampuan anak buahku"
Masih banyak kemampuan lain yang mereka miliki!"
"Aku sudah kalah, Ular Muka Kuning! Mau bunuh"
Silakan!" ujar Jayeng Praja tanpa rasa takut sedikit pun.
Padahal, saat itu keadaannya sangat tidak menguntungkan.
Jayeng Praja sudah tidak berdaya. Tubuhnya
terbaring di tanah. Tidak mampu bangkit lagi. Luka-luka yang dideritanya cukup
parah! "Sayang sekali, Jayeng. Aku tidak dapat
melakukannya. Biarlah orang yang meminta jasaku yang
melakukannya," sahut Ular Muka Kuning ringan.
"Sungguh tidak kusangka kau seorang pengecut, Ular Muka Kuning. Siapa orang yang
telah menyuruhmu, sehingga kau sangat takut kepadanya?" sindir Jayeng Praja
seraya tersenyum mengejek
"Tutup mulutmu, Bangsat! Hih!"
Tukkk! "Akh!"
Jayeng Praja memekik kesakitan ketika Ular Muka
Kuning yang geram mendengar ejekannya menendang
mulutnya. Kelihatannya pelan saja. Tapi akibatnya hebat!
Beberapa buah gigi Jayeng Praja copot. Tak pelak lagi, darah mengalir keluar.
Meskipun demikian, Jayeng Praja tidak menjadi
gentar. Walaupun dari sudut-sudut mulutnya mengalir darah, dipaksakan juga untuk
mengulas senyum mengejek.
"Perlu kau ketahui, Manusia Dungu!" lanjut Ular Muka Kuning dengan nada tinggi,
"Aku adalah orang yang sangat menghargai janji. Aku telah berjanji membawamu
hidup-hidup dan menyerahkan padanya! Kau dengar itu,
Manusia Dungu"!"
Kemudian tanpa memberi kesempatan pada Jayeng
Praja untuk memberikan tanggapan, Ular Muka Kuning
mengalihkan perhatian pada anak buahnya.
"Bawa dia!" perintah pimpinan Gerombolan Ular Maut itu penuh wibawa.
Salah seorang anak buahnya segera mendekati
Jayeng Praja. Saat itulah Ular Muka Kuning menotok Ketua Perguruan Harimau
Terbang untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan. Seketika itu pula tubuh Jayeng Praja lemas.
"Mari kita tinggalkan tempat ini..!" usai berkata, Ular Muka Kuning mengayun
langkah meninggalkan tempat itu.
Diikuti semua anak buahnya.
Tempat itu kembali dikungkung kesunyian. Tidak
ada lagi kegaduhan. Yang tinggal hanya kesunyian semata.

* * *

Jayeng Praja merasa heran melihat rombongan yang
dipimpin Ular Muka Kuning menempuh jalan yang akan
dilaluinya. Semakin lama hati Jayeng Praja semakin berdebar tegang. Dia merasa
pasti tempat yang dituju rombongan Ular Muka Kuning adalah Perguruan Harimau
Terbang! Dugaan Jayeng Praja tidak keliru. Ular Muka Kuning
memang membawanya menuju Perguruan Harimau Terbang.
Itu sudah bukan dugaan lagi. Sebab saat ini mereka setelah berada di luar bangunan perguruan.
Apa yang akan dilakukan Ular Muka Kuning dengan
mendatangi perguruannya" Jayeng Praja bertanya dalam
hati. Bukankah keberadaan mereka di depan pintu gerbang akan menarik perhatian
murid-murid Perguruan Harimau
Terbang" Tapi betapa kagetnya Jayeng Praja melihat Ular
Muka Kuning dan rombongannya memasuki bangunan
perguruan. Apakah ini tidak salah" Tindakan ini akan
menyulut sebuah pertarungan!
Namun tampaknya kekhawatiran Jayeng Praja tidak
beralasan. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun Ular Muka Kuning dan rombongannya
berhasil memasuki Perguruan
Harimau Terbang.
Jayeng Praja terkejut bukan main melihat tidak ada
seorang pun di dalam perguruan. Ke mana murid-muridnya"
Apa yang telah terjadi" Pertanyaan-pertanyaan itu
menghinggapi benak Ketua Perguruan Harimau Terbang.
Sementara itu rombongan Ular Muka Kuning terus
mengayunkan kaki semakin masuk ke dalam bangunan.
Tidak berapa lama kemudian mereka berhenti.
"Ah...! Kiranya kalian...! Bagaimana, berhasil"!"
terdengar sebuah suara menyambut kehadiran rombongan
Ular Muka Kuning.
Cukup keras juga ucapan itu dikeluarkan. Suaranya
menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Tentu saja Jayeng Praja mendengarnya.
Sepasang alisnya tampak berkerut.
Suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi dia lupa, kapan dan di mana.
Meskipun demikian, Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu tidak putus asa. Dicobanya untuk mengingatingat. Barangkali saja akan berhasil

* * *

7

Di saat Jayeng Praja tengah berpikir keras, terdengar
tawa khas Ular Muka Kuning.
"Ha ha ha...! Tentu saja berhasil.... Asal kau tahu saja, tidak ada kata gagal
bagi Ular Muka Kuning. Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus! Memang sudah kuduga kau akan berhasil, Ular Muka
Kuning," sambut pemilik suara pertama yang sekarang diketahui Jayeng Praja
sebagai orang yang telah menyewa Ular Muka Kuning.
"Ha ha ha...! Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan. O... ya, Ludira!
Cepat berikan hasil pekerjaan kita...!"
perintah Ular Muka Kuning pada anak buahnya yang
memanggul Jayeng Praja.
"Baik, Ketua...!" lelaki kasar yang bernama Ludira melemparkan tubuh Jayeng
Praja. Brukkk! Seringai kesakitan tersungging di mulut Jayeng
Praja. Tubuhnya membentur tanah dengan keras. Namun
tidak sedikit pun keluar keluhan dari mulutnya.
Sebuah kebetulan terjadi. Jayeng Praja tergeletak di
tanah dengan wajah menghadap tempat pemilik suara itu
berada. Akibatnya benar-benar luar biasa. Sepasang mata Jayeng Praja membelalak
lebar. Tarikan wajahnya
menyiratkan keterkejutan yang sangat
"Kaaau..., kau...!" terbata-bata Jayeng Praja mengeluarkan kata-kata karena
lidahnya mendadak kelu.
"Benar, aku! Mengapa kaget"!" tanya si pemilik suara mengejek.
Jayeng Praja menelan ludah untuk membasahi
tenggorokannya yang mendadak kering.
"Mengapa kau lakukan semua ini, Juragan Bilawa"!
Apa artinya"!" terdengar jelas, nada penasaran dalam pertanyaan Ketua Perguruan
Harimau Terbang.
"Kau tidak usah berpura-pura, Jayeng!" sergah orang yang menyewa rombongan Ular
Muka Kuning, yang ternyata
Juragan Bilawa. "Mana anakku"!"
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas. Sungguh tidak
disangka Juragan Bilawa telah mengetahuinya lebih dulu.
"Kau tidak bisa berbohong, Jayeng Praja!" ujar
Juragan Bilawa lagi sebelum lawan bicaranya sempat berkata.
"Aku telah tahu semuanya! Beberapa hari yang lalu utusan orangtuaku datang
menanyakan Sutini! Akhirnya aku tahu
telah terjadi sesuatu atas dirinya!"
Lelaki berpakaian indah itu menghentikan
ucapannya sebentar untuk mengambil napas, "Itu saja sudah cukup untuk membuatku
sakit hati! Apalagi ketika kutahu kau tidak memberitahukannya padaku. Kau malah
menyembunyikannya, Jayeng Praja!"
"Itu tidak benar!" bantah Jayeng Praja cepat,
"Bukannya aku tidak mau memberitahukan mu, Juragan!
Tapi, aku sendiri belum mengetahuinya secara jelas. Aku sedang mencari
kepastiannya!"
"Ooo.... Begitu," ejek Juragan Bilawa, "Lalu...
bagaimana hasilnya"!"
Jayeng Praja tidak segera menjawab. Lelaki itu
tercenung seperti sedang mempertimbangkan.
"Tanpa kau beritahukan pun aku bisa menduganya,
Jayeng! Putriku tidak selamat kan"!"
Perlahan-lahan kepala Jayeng Praja mengangguk
"Keparat!" Juragan Bilawa menggeram seperti
harimau murka. "Kau telah menyebabkan kematian putriku, Jayeng! Tak akan
kubiarkan kau hidup. Kau harus mati.
Tentu saja tidak dengan cara yang enak. Kebetulan hanya tinggal kau saja yang
belum mendapat giliran. Semua
muridmu telah ku binasakan!"
"Apa"!" jerit Jayeng Praja kaget.
Kini dia mengerti mengapa suasana perguruannya
begitu sunyi. Rupanya mereka telah dibinasakan Juragan
Bilawa. Jayeng Praja merasa sangat terpukul mendengarnya.
Dia tahu mengapa Juragan Bilawa dapat melakukan semua
itu. Pasti karena mendapat bantuan Ular Muka Kuning.
"Sekarang terimalah kematianmu, Jayeng Praja!"
Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Juragan
Bilawa mencabut goloknya. Kemudian diayunkan ke batang
leher Jayeng Praja!
Wuttt! Crasss! "Aaakh...!"
Jayeng Praja menjerit memilukan ketika golok
Juragan Bilawa membabat lehernya hingga putus. Saat itu juga, nyawanya melayang
ke alam baka. Juragan Bilawa menatap mayat Jayeng Praja sekilas.
Ada sorot kepuasan pada wajah dan sinar matanya. "Sutini..., tenanglah kau di
alam baka. Dendammu telah berhasil
kubalaskan," ucap Juragan Bilawa pelan seraya mengedarkan pandangan ke langit.
Keadaan di tempat itu menjadi hening. Yang tinggal
hanya Juragan Bilawa. Ular Muka Kuning dan anak buahnya telah meninggalkan
tempat itu.

* * *

"Rasanya keadaan sudah aman, Ki. Mungkin
Sangkala telah pergi dari sini"
Ucapan itu dikeluarkan Arya. Pagi hari itu dia berada
di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih. Di dekat pemuda berambut putih
keperakan itu duduk Melati, Ki
Rawung, dan Pendekar Tinju Maut. Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tampak saling
bertukar pandang.
"Aku tidak yakin, Dewa Arak," jawab Pendekar Tinju Maut "Memang beberapa hari
ini tidak ada kejadian yang dibuat Sangkala. Tapi menurut ku itu tidak menjadi
tanda keadaan sudah aman."
"Barangkali dia telah meninggalkan desa ini, Ki,"
Melati ikut membuka suara, "Beberapa hari ini semua tempat yang sekiranya
dijadikan persembunyian Sangkala telah kita periksa. Tapi tetap saja tidak kita
temukan dirinya."
Arya mengangguk menyetujui pendapat kekasihnya.
"Aku tidak sependapat denganmu, Melati," Ki
Rawung membela Pendekar Tinju Maut "Aku lebih condong pada pendapat Pendekar
Tinju Maut"
"Dengan kata lain, Sangkala sedang menanti saat
yang tepat untuk bertindak Begitu, Ki?" duga Arya.
"Benar, Dewa Arak," Pendekar Tinju Maut
mengangguk "Aku mempunyai alasan kuat tindakan Sangkala
tidak berhenti sampai di sini saja!" Ki Rawung menimpali.
Dewa Arak dan Melati menatap wajah Ki Rawung
lekat-lekat. Memang tidak ada kata-kata yang diucapkan.
Tapi, Ki Rawung tahu sepasang pendekar muda itu tengah
menunggu jawaban.
"Sangkala memiliki watak pendendam," ucapan Ki Rawung memulai penjelasannya.
"Aku yakin dia tidak menghentikan tindakannya sampai di sini. Pasti semua yang
telah membuatnya sengsara akan dijadikan sasaran
pembalasan."
Kepala Desa Kawung menghentikan ucapannya.
Sekilas ditatapnya Dewa Arak dan Melati, ingin melihat
tanggapannya. Tapi, tidak ada ucapan yang dikeluarkan
mereka. Kelihatannya pasangan muda itu akan
mendengarkan penjelasan Ki Rawung hingga tuntas.
"Aku yakin Sangkala mempunyai dendam pada
semua orang di Desa Kawung ini. Tapi, bisa kupastikan sakit hatinya yang paling
besar hanya ditujukan pada empat orang!
Sebab merekalah penggeraknya!" sambung Ki Rawung.
"Empat orang, Ki"!" akhirnya Melati tak kuat
menahan sabar. "Bisa kau beritahu siapa mereka?"
Ki Rawung melepaskan senyum getir. "Dua di antara
empat orang itu telah berhasil dibunuh Sangkala, Melati.
Bahkan baru-baru ini! Kau bisa menerka siapa"!"
Melati mengernyitkan dahi. Gadis berpakaian putih
itu tengah berpikir, "Maksudmu..,, Ranjita, Ki"!" duga Melati agak ragu.
"Benar," Ki Rawung menganggukkan kepala, "Dan
yang satunya Ki Ageng Sora."
Melati dan Arya bertukar pandang. Mereka telah
mengetahui siapa Ki Ageng Sora. Juga Sangkala. Ki Rawung telah menceritakan
semua kejadian itu.
"Lalu... yang dua lagi, Ki"!" desak Melati.
"Bongara dan aku sendiri," jawab Ki Rawung
menunjuk dadanya.
"Ah...!"
Seruan kaget itu keluar dari mulut Arya dan Melati.
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu tidak menyangka Ki Rawung termasuk orang
yang diincar Sangkala. Berbeda
dengan Arya dan Melati, Pendekar Tinju Maut tidak merasa kaget sedikit pun. Dia
telah mendengar cerita itu sebelumnya dari Ki Ageng Sora.
Sekarang Dewa Arak dan Melati mengerti mengapa
Ki Rawung bersikeras mengatakan keadaan masih belum
aman. Tapi, mungkinlah tidak adanya tindakan dari Sangkala hanya karena menunggu
kesempatan" Tak adakah
kemungkinan lain"
"Bisa kuterima alasanmu, Ki. Bukan tidak mungkin
dugaanmu benar. Tapi..., apakah hanya karena menunggu
kesempatan Sangkala harus berdiam diri selama beberapa hari" Rasanya dugaan ini
kurang masuk akal!" ujar Arya.
Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tercenung.
Mereka merasakan ucapan tokoh muda yang
menggemparkan dunia persilatan itu ada benarnya. Memang rasanya hampir tidak
masuk akal. "Kau mempunyai dugaan lain, Dewa Arak"!" tanya Pendekar Tinju Maut.
"Benar, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Katakanlah, Dewa Arak. Kami ingin mendengarnya.
Barangkali saja dugaanmu benar," timpal Ki Rawung.
Arya tidak segera mengutarakan pendapatnya.
Pemuda itu terdiam sejenak memikirkan kata-kata yang
tepat. "Dari kedatangannya yang bertubi-tubi kemari, bisa kuperkirakan besarnya
keinginan Sangkala untuk
melampiaskan dendam. Kejadian yang menimpa Trijati pun
menurutku sebagian kecil dipengaruhi dendam. Tapi,
kenyataan telah menunjukkan pada Sangkala bahwa pihak
yang akan menjadi pelampiasan dendamnya terlalu kuat
untuknya. Karena itu, dia bermain kucing-kucingan. Sangkala melakukan siasat
menyerang lalu lari."
Arya menghentikan ucapannya. Dilihatnya Pendekar
Tinju Maut dan Ki Rawung mengangguk-angguk. Mungkin
mereka telah dapat menebak kelanjutan ucapannya.
"Sekarang aku mengerti, Dewa Arak," potong
Pendekar Tinju Maut sebelum Arya menyambung ucapannya.
"Kalau aku tidak salah terka, kau menduga tidak ada teror Sangkala karena dia
sedang mencari tambahan kekuatan!
Bukankah begitu maksudmu, Dewa Arak"!"
"Benar, Ki!" jawab Dewa Arak mantap, "Aku yakin Sangkala tengah mencari
pengikut. Tapi, mudah-mudahan
saja dugaanku salah. Dan..," Dewa Arak menghentikan ucapannya ketika melihat
seorang murid Perguruan Banteng Putih bergegas masuk
"Ki...!" ucapan Bongara, terdengar panik.
"Bongara...," tegur Ki Rawung, "Mengapa kau...."
"Maaf, Ki," potong Bongara cepat, "Sangkala sedang menuju kemari!"
Serentak semua orang yang hadir saling
berpandangan. Mereka tampak sangat terkejut. Bahkan Ki
Rawung yang sempat tersinggung karena ucapannya
dipotong Bongara langsung terlupa.
"Sangkala"!" desis Ki Rawung, "Terang-terangan"!"
"Benar, Ki," Bongara mengangguk
"Ooo.... Rupanya dia telah berani muncul secara
terbuka...."
"Sangkala tidak datang sendirian, Ki."
"Maksudmu.."!"
Ki Rawung meminta penegasan. Sementara Dewa
Arak, Melati, dan Pendekar Tinju Maut menatap Bongara
tajam-tajam. Baru saja mereka bicarakan kemungkinan itu, tahu-tahu Sangkala
telah muncul dengan membawa
rombongan! Apakah ini merupakan kebetulan"
"Dia datang bersama serombongan orang-orang
wajah kasar, Ki. Jumlah mereka tak kurang dari lima puluh orang. Kulihat
sebagian di antara mereka berpakaian kulit ular," jelas Bongara.
"Mungkinkah itu Gerombolan Ular Maut"!" celetuk Pendekar Tinju Maut.
"Gerombolan Ular Maut"!" ulang Dewa Arak seraya mengarahkan tatapannya pada
Pendekar Tinju Maut
"Rombongan perampok yang mempunyai pemimpin
seorang tokoh golongan hitam. Ular Muka Kuning
julukannya," jelas Pendekar Tinju Maut
"Kalau begitu mari kita keluar, Ki! Kita harus
bersiap-siap sebelum korban di pihak kita berjatuhan,"
sambil berkata, Dewa Arak mengayunkan kaki ke luar.
Langkahnya segera diikuti semua orang yang berada di situ.
"Dewa Arak...," tanpa menghentikan ayunan kakinya, Pendekar Tinju Maut
menyempatkan diri menyapa Arya.
"Ada apa, Ki"!" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu seraya terus mengayunkan kaki.
'"Apakah kau tidak memikirkan kemungkinan buruk
bagi pihak kita"!"
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Aku memikirkannya, Ki," jawab pemuda itu,
"Melihat keberanian Sangkala menunjukkan diri agaknya dia merasa pihaknya lebih
unggul. Kurasa sikap yang
ditunjukkannya tidak berlebihan. Jumlah mereka di luar perkiraanku. Tapi..., apa
yang dapat kita lakukan"! Mencari bala bantuan untuk mengimbangi kekuatan lawan"
Rasanya sudah tidak mungkin. Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali menghadapi mereka,
Ki!" "Aku dapat menyediakan bala bantuan itu, Dewa
Arak," ujar Pendekar Tinju Maut yakin. "Malam ini mungkin rekan-rekanku telah
tiba. Maaf, aku lupa
memberitahukannya padamu. Beberapa bulan yang lalu, aku dan beberapa kawan
segolongan mempunyai sebuah
gagasan." Pendekar Tinju Maut menghentikan ucapannya
sejenak, "Gagasan itu adalah menjalin persaudaraan dalam tokoh golongan putih.
Mengenai pemimpinnya belum
dipastikan. Menunggu hasil pertemuan malam ini. Sekarang memang seharusnya aku
pergi ke sana. Tapi, dengan
kedatangan Sangkala terpaksa aku mengurungkan
maksudku."
"Benar demikian, Ki"!" Dewa Arak memekik gembira.
Namun sesaat kemudian seri wajahnya memudar. "Kalau boleh kutahu, di mana tempat
berkumpulnya?"
"Legakan hatimu, Dewa Arak. Tempat mereka
berkumpul tidak jauh dari sini. Di sebuah tanah lapang luas di dalam Hutan
Kawung." "Tapi..., bagaimana caranya kau menghubungi
mereka, Ki"! Kurasa tidak mungkin jika kau harus
mendatangi tempat itu dan kembali lagi kemari."
"Memang tidak, Dewa Arak. Aku tinggal melepas
sebuah tanda minta bantuan kepada mereka. Ah...! Aku
sungguh tidak menyangka semua ini akan sangat berarti.
Kalau begitu, sekarang juga akan kukirim tanda pada
mereka." Pendekar Tinju Maut lalu mengeluarkan sebuah
busur kecil dari balik bajunya. Beberapa batang anak-anak panah kecil tergenggam
di tangannya. Tanpa menunggu lebih lama, rekan Ki Ageng Sora itu memasang anakanak panah itu pada tali busur. Dan....
Twang, twang, twang...!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika anakanak panah itu meluncur ke angkasa.
Sebuah peristiwa yang menakjubkan pun terjadi.
Entah bagaimana caranya, begitu kekuatan yang mendorong anak panah itu habis,
muncul bunga api berwarna-warni.
Tidak hanya sekali anak-anak panah itu diluncurkan
Pendekar Tinju Maut Tapi berkali-kali dengan selang waktu tertentu. Saat itulah
Dewa Arak memerintahkan Bongara
untuk menyambut kedatangan Sangkala dan gerombolannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Bongara segera
melesat cepat. Lalu memerintahkan rekan-rekannya untuk
mempersiapkan diri. Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak tinggal diam. Mereka
ikut maju. Di saat semua orang yang berada di Perguruan
Banteng Putih tengah dilanda kesibukan, di sebuah tanah lapang luas yang
terletak di dalam hutan pun terjadi
kegemparan. Itu terjadi ketika salah satu dari belasan orang yang ada di situ
menunjukkan jarinya ke angkasa.
"Aneh...! Apa yang terjadi" Mengapa di langit sana berpercikan bunga-bunga api
beraneka warna"! Sepertinya...
bunga api itu merupakan isyarat..."
Ucapan sosok tinggi kurus yang berpakaian merah
menarik perhatian sosok-sosok tubuh lainnya yang semula duduk bersila membentuk
lingkaran. Sementara tak jauh dari tempat mereka terpancang obor-obor di tiangtiang kayu. "Ah!"
Seruan kaget dikeluarkan seorang kakek berperut
gendut. "Kau lihat itu, Pedang Kilat"!" tanya kakek berperut gendut menudingkan jari
telunjuknya.

8

Sosok yang disapa Pedang Kilat, yang sebenarnyamempunyai julukan Pendekar Pedang Kilat, melayangkan pandangan ke arah yang ditunjuk kakek gendut. Seketika itu pula wajahnya berubah. "Gajah kecil! Bukankah itu isyarat meminta bantuan. Aku yakin yang melepaskan Pendekar Tinju Maut. Berarti dia berada dalam bahaya.Kita harus cepat menolongnya. Kau bisa menebak dari mana arahnya"!"
Kakek gendut yang berjuluk Gajah Kecil menganggukkan kepala setelah tercenung sesaat. "Kalau tidak salah, dari Desa Kawung!"jawab Gajah Kecil mantap.
"Kalau begitu, mari kita ke sana! Kita selamatkan Pendekar Tinju Maut!" ajakPendekar Pedang Kilat penuh semangat
"Akur!" sambut Gajah Kecil, "Mari, kawan-kawan.Kita selamatkan rekan kita yang sedang berada dalam bahaya. Ayo!"
Belasan orang yang terdiri dari tokoh-tokoh silataliran putih itu pun bangkit dari duduknya. Sesaat kemudian rombongan itu, dengan dipimpin Gajah Kecil dan Pendekar Pedang Kilat, berbondong-bondong menuju Desa Kawung.

* * *

Ternyata bukan hanya rombongan Gajah Kecil yangmelihat percikan bunga api berwarna-warni di angkasa.
Rombongan yang dipimpin Sangkala pun demikian"
"Apa arti semua itu, Ular Muka Kuning"!" tanya Sangkala tidak mengerti.
''Itu merupakan isyarat Ketua," jawab Ular MukaKuning penuh hormat "Isyarat yang ditujukan pada kawan si pelepas isyarat.
Banyak artinya. Bisa merupakan tanda untukmenyerang atau membatalkannya. Bisa juga berarti permintaan bantuan."
"Keparat!" maki Sangkala sangat geram, "Kalau begitu, itu isyarat untuk memintabantuan. Aku yakin! Asal tanda itu menurut dugaanku dari Perguruan Banteng Putih!" "Kalau demikian, kita harus bergegas, Ketua!" sergah seorang lelaki berkulit hitam kelam. Pakaian yang terbuat dari kulit buaya membungkus tubuh kekarnya.
"Sebelum bala bantuan itu tiba, kita hancur leburkan Perguruan Banteng Putih."
"Kau benar, Buaya Kulit Besi!" puji Sangkala.
"Usulmu bagus. Mari kita bergegas!"
Cuping hidung lelaki berkulit hitam legam kelihatankembang-kempis. Dia merasa bangga mendapat pujian dari
pemimpinnya. Sangkala rupanya telah berhasil mendapatkanpengikut. Tidak hanya Ular Muka Kuning dan rombongannya. Tapi juga gerombolan bajak sungai yang berada di bawah pimpinan Buaya Kulit Besi. Jumlah anak buah Buaya Kulit Besi jauh lebih banyak dari anak buah Ular Muka Kuning.
Rombongan Sangkala mempercepat langkahnya. Takberapa lama kemudian, bangunan Perguruan Banteng Putih telah terlihat. Ini membuat semangat Sangkala dan rombongannya semakin besar! Seraya mengeluarkan teriakan-teriakan keras, gerombolan golongan hitam itu menyerbu. Serbuan rombongan Sangkala mendapat sambutan hangat dari murid-murid Perguruan Banteng Putih yang dibantu Dewa Arak, Melati, Pendekar Tinju Maut dan Ki Rawung. Bagai telah diatur sebelumnya, masing-masing tokoh langsung memilih lawan-lawannya. Dewa Arak bertemu dengan Sangkala, Melati menghadapi Buaya Kulit Besi, dan Pendekar Tinju Maut berhadapan dengan Ular Muka Kuning.
Sedangkan murid-murid Perguruan Banteng Putih yangdibantu Ki Rawung berhadapan dengan gerombolan rampok
dan bajak sungai.
"Sangkala! Manusia Biadab! Sudah saatnya manusiakeji sepertimu dilenyapkan dari muka bumi!" seru Dewa Arak lantang.
"Ha ha ha...! Jangan mimpi dapat mengalahkanku,Dewa Arak! Kaulah yang akan kukirim ke neraka. Sekarang tidak ada lagi orang yang akan menghalangiku untuk melenyapkanmu. Bersiap-siaplah, Dewa Arak!" sambut Sangkala tak kalah garang.
Selesai berkata, Sangkala melancarkan serangan.Tahu akan kelihaian lawan, tanpa ragu-ragu dikeluarkannya jurus 'Kelelawar'
andalannya. "Hih!"
Ringan dan cepat laksana bayangan, tubuh Sangkalamelayang. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh meluncur menuju leher pemuda berambut putih keperakan itu! Cit, cit, cit! Bunyi mencicit terdengar seiring meluncurnya serangan Sangkala. Nyaring dan menyakitkan telinga! Bunyi itu tidak hanya keluar karena jari-jari tangan Sangkala yang merobek udara. Tapi juga berasal dari mulutnya. Inilah ciri khas penggunaan jurus 'Kelelawar' Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Telah dirasakannya kepandaian Sangkala. Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja sudah cukup untuk melayangkan nyawanya. Tentu saja bila mengenai bagianyang mematikan seperti lehernya!
Itu sebabnya, Dewa Arak segera melompat kesamping kanan dengan lompatan harimau. Hasilnya memang tidak sia-sia. Serangan Sangkala mengenai tempat kosong. Di saat serangan itu tiba, Dewa Arak sudah tidak berada ditempatnya. Pemuda berambut putih keperakan itu sedang melayang di udara.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada kedua tangan, Dewa Arakmenggulingkan tubuhnya di tanah. Beberapa gulingan dilakukan Arya sebelum akhirnya bangkit berdiri Dan secepat itu pula arak yang berada di dalam guci dituangkan ke mulut. Entah kapan dan bagaimana guci itu diambil dari pinggangnya, sulit untuk dilihat. Yang jelas....
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melaluitenggorokan Arya dalam perjalanan ke lambung. Hawa hangat berputar di bawah pusarnya. Lalu perlahan-lahan merayap naik ke kepala. Hasilnya kedua kaki Dewa Arak tidak menapak dengan mantap di tanah. Kelihatannya lucu dan menggelikan sikap pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, jangan dipandang remeh. Saat itulah ilmu 'Belalang Sakti'nya siap dipergunakan! Dan serangan susulan Sangkala kembali
meluncur ketika Dewa Arak tengah terhuyung ke sanakemari. Kali ini Sangkala melancarkan sampokan dengan
tangan kanan ke pelipis Dewa Arak.
Wusss! Kembali serangan Sangkala kandas. Sampokannya lewat beberapa jari di depan wajah Dewa Arak. Itu terjadi karena Dewa Arak menarik mundur kakinya dengan gerakanseperti orang mau jatuh.
Meskipun demikian, akibat sampokan Sangkala cukup menggiriskan hati! Rambut dan pakaian Dewa Arak berkibaran keras seiring lewatnya sampokan itu. Tapi serangan Sangkala tidak terhenti. Begitu sampokannya gagal, segera disusuli dengan serangan lanjutan. Tangan kirinya ditusukkan ke arah ulu hati lawan. Memang hebat serangan ini. Bila mengenai sasaran, sudah dapat dipastikan nyawa Dewa Arak melayang ke alam baka. Namun, lagi-lagi Dewa Arak berhasil menunjukkan kehebatan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Tanpa gugup sedikit pun, punggungnya ditekukke belakang sampai bagian pinggang ke atas mendatar. Maka, tusukan tanganSangkala menggapaiangin beberapa jari di atas dada Dewa Arak! Dan sebelum Sangkala sempat bertindak, Dewa Arak telah mendahului. Masih dengan kedudukan seperti itudikirimkannya serangan pada Sangkala. Kaki kanannya dilayangkan ke dada pemuda berwajah bopeng itu.
Wuttt! "Hehhh"!"
Sangkala terpekik kaget. Sungguh tidak disangkanyadalam keadaan seperti itu Dewa Arak mampu mengirimkan
serangan yang sangat berbahaya. Sangkala tahu tendangan Dewa Arak mampumenghancurkan tulang-tulang dadanya.
Walaupun terkejut, bukan berarti Sangkala tidakmampu berbuat sesuatu. Meski serangan itu meluncur tiba-tiba dan tidak disangkasangka. Ditambah dengan jaraknya yang sangat dekat. Tapi pemuda berwatak bejat itu sanggup menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah dipecundangi. Dalam keadaan terjepit, Sangkala menjejakkan
kakinya untuk melempar tubuhnya ke belakang. Gerakan itu membuat serangan Dewa Arak tidak berhasil mendarat di
tempat yang semestinya.
Jliggg! Begitu Sangkala mendaratkan kedua kakinya ditanah, Arya telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Sesaat kedua tokoh muda itu bertukar pandang. Sekejap kemudian, Dewa Arak dan Sangkala kembali terlibatpertarungan sengit.

* * *

Pertarungan yang berlangsung bukan saja antaraDewa Arak dan Sangkala. Yang lain pun demikian. Riuh rendah suara pertempuran memenuhi tempat itu. Untung saja halaman depan Perguruan Banteng Putih luas, sehingga cukup untuk menampung mereka. Padahal, beberapa kelompok yang bertarung. Namun di antara kelompok-kelompok itu yang paling menarik dan seimbang adalah pertarungan Dewa Arak dan Sangkala. Pada kelompok lain pertarungan berlangsung tidak seimbang. Meskipunmenarik untuk disaksikan.
Di kancah pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besiterlihat tidak seimbang. Keduanya telah mengeluarkansenjata dan ilmu andalan masing-masing. 'Ilmu Pedang Seribu Naga' Melati terlalu kuat untuk ditahan Buaya Kulit Besi dengan tongkatnya. Kepala bajak sungai itu terus-menerus didesak dan dihimpit. Padahal, pertarungan belum sampai lima belas jurus!
Ular Muka Kuning lebih beruntung. Pendekar TinjuMaut, meskipun tangguh, dapat diimbanginya. Seperti juga pertarungan Dewa Arak, pertarungan kedua tokoh tuaberbeda aliran ini pun berlangsung seimbang.
Yang paling sial adalah Ki Rawung dan murid-muridPerguruan Banteng Putih. Memang lawan yang dihadapi berkepandaian setingkat dengan murid-murid Ki Ageng Sora. Tapi karena jumlah gerombolan tokoh hitam itu jauh lebih banyak, bahkan lebihdua kali lipat, mereka terdesak hebat.Dan itu terjadi hanya dalam beberapa gebrakan.Ketika pertarungan telah berlangsung lima belas jurus, di pihak Perguruan Banteng Putih sudah tewas beberapa orang. Sementara di pihak lawan hanya satu. Itu pun hasil kerja keras Ki Rawung. Sudah dapat dipastikan tak lama lagi murid-murid Perguruan Banteng Putih dan Ki Rawung akan binasa. Mereka semua sudah terdesak hebat.
Tapi di saat itulah Buaya Kulit Besi yang terdesakhebat oleh Melati memanggil anak buahnya.
"Hey! Manusia-manusia tolol...! Cepat bantu aku!
Betina ini alot juga...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, gerombolanbajak sungai segera meninggalkan lawan mereka. Kemudian terjun ke dalam kancah pertarungan Melati. Dan memang dengan munculnya bala bantuan itu Buaya Kulit Besi mulai bisa bernapas lega. Karena Melati menghentikan desakannya. Gadis berpakaian putih itu terpaksa melakukannya.
Bila hal itu tidak dilakukan, niscaya dia akan tewas.Sebab begitu terjun dalam kancah pertarungan, gerombolan bajak sungai langsung melancarkan serangan ke Melatidengan senjata di tangan.
Dengan ikut campurnya gerombolan bajak sungai,pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi tidak berat sebelah lagi. Sekarang pimpinan bajak sungai dapat melancarkan serangan balasan. Tidak hanya menghindar seperti tadi. Sementara itu murid-murid Perguruan Banteng Putih tetap tidak mampu menandingi lawan-lawannya, meskipun jumlah mereka sekarang berimbang. Itu karena Gerombolan Ular Maut bekerja sama dengan baik. Semula, dengan keberadaan anak buah Buaya Kulit Besi, Gerombolan Ular Maut tidak bisa melakukan kerja sama. Maka, begitu gerombolan bajak sungai meninggalkan kancah pertarungan,mereka menggunakannya.
Hasilnya memang luar biasa! Murid-muridPerguruan Banteng Putih tidak bisa unjuk gigi. Bahkan Ki Rawung pun tidak mampu. Jadi, kepergian anak buah Buaya Kulit Besi tidak berarti sama sekali! Muridmurid Perguruan Banteng Putih tetap terdesak hebat. Bahkan sekarang keadaan jauh lebih mengkhawatirkan. Ki Rawung tidak mampu berbuat sesuatu. Jatuhnya korban di pihak murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak bisa dihindarkan lagi. Mereka saling berlomba untuk mengeluarkan lolong kematian.
"Aaa...!"
Untuk yang kesekian kali seorang murid PerguruanBanteng Putih mengeluarkan jeritan menyayat. Golok anak buah Ular Muka Kuning menebas batang lehernya hingga putus! Darah menyembur dari luka babatan, dan membasahi persada. Melati, Dewa Arak, dan Pendekar Tinju Maut geram bukan main. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mereka terjun ke dalam kancah pertarungan itu. Tapi apa daya"
Mereka sendiri sedang berjuang keras agar tidak mati konyol di tangan lawan.Di antara ketiga orang itu, Pendekar Tinju Mautlah yang paling terpengaruh. Wataknya yang berangasan membuatnya berang. Hingga mempengaruhi pemusatan pikirannya. Dia mulai dapat didesak Ular Muka Kuning. Bahkan pada jurus ketiga puluh tiga....
Bukkk! "Akh...!"
Pendekar Tinju Maut memekik kesakitan ketikapukulan Ular Muka Kuning menghantam bahunya. Tubuh lelaki tua itu terjengkang ke belakang.
''Terimalah kematianmu, Tua Bangka!" seru Ular Muka Kuning seraya melompat menerjang lawan yang masih
terhuyung. Goloknya ditusukkan ke arah dada PendekarTinju Maut. Pendekar Tinju Maut membelalakkan mata. Dia
memutuskan menghadapi maut dengan mata terbuka.Karena menyadari tidak ada kesempatan baginya untuk
mengelak maupun menangkis.
Di saat gawat itulah Melati melejit ke atas keluar dari kepungan lawan. Danselagi tubuhnya melayang, tangan
kirinya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Naga MerahMembuang Mustika'
Wusss! Bresss! "Aaakh...!"
Jeritan memilukan keluar dari mulut Ular MukaKuning. Pukulan jarah jauh Melati mengenai dadanya dengan telak. Darah segar menyembur dari mulut, hidung, dan telinga. Pimpinan Gerombolan Ular Maut itu tewas seketika!
Memang mengenaskan sekali kematian Ular MukaKuning. Munculnya serangan yang tidak disangka-sangka
dan di saat tubuhnya tengah berada di udara menyulitkannya untuk mengelak.Akibatnya, tokoh golongan hitam itu tewas mengerikan!
"Ketua...!"
Desakan atas murid-murid Perguruan Banteng Putihlangsung sirna. Gerombolan Ular Maut memburu tubuh ketuanya. Sedangkan Melati sudah disibukkan kembali oleh lawan-lawannya.Namun begitu melihat Gerombolan Ular Maut
meluruk ke arah mayat Ular Muka Kuning, Pendekar TinjuMaut menghadangnya. Pertarungan pun tidak bisa dielakkan. Seru dan semakin ramai ketika Ki Rawung dan murid-murid Perguruan Banteng Putihikut ambil bagian.
Mendadak terdengar bunyi riuh rendah. Sesaatkemudian, Pendekar Pedang Kilat, Gajah Kecil, dan rombongannya tiba. Tanpa banyak bicara mereka segeraterjun ke dalam kancah pertarungan.Suasana di arena pertempuran pun berubah hebat.Sebagian dari mereka membantu Pendekar Tinju Maut. Sedangkan sisanya membantu Melati. Hingga Buaya KulitBesi terpaksa menghadapi Melati seorang diri lagi.
Ternyata rombongan yang baru tiba terdiri daritokoh-tokoh yang berkepandaian setingkat dengan Pendekar Tinju Maut. Jumlah mereka pun cukup banyak. Dengan mudah rombongan itu mematahkan perlawanan gerombolan
perampok dan bajak sungai. Kerja sama Gerombolan UlarMaut tidak berguna. Rombongan Pendekar Pedang Kilat, dengan cerdik membuat mereka terpisah-pisah. Kemudiandengan mudah mereka dirobohkan.
Tak sampai dua puluh jurus pertarungan terhenti.Sisa gerombolan perampok dan bajak sungai menyerah. Karena hanya tinggal beberapa orang. Sebagian besar dari mereka tewas. Baru saja rombongan golongan hitam itu meletakkan
senjata, terdengar lolongan panjang menyayat hati. Ternyata suara itudikeluarkan oleh Buaya Kulit Besi. Pimpinan bajak sungai itu tewas dengan tulang dada hancur terkenatendangan Melati.
Sekarang hanya tinggal satu pertarungan lagi.Pertempuran Dewa Arak dan Sangkala yang masih berlangsung sengit. Tak heran jika semua mata menatapjalannya pertarungan tanpa berkedip.
"Terima kasih atas bantuanmu beserta rombongan,Gajah Kecil," Pendekar Tinju Maut mengucapkan rasa syukurnya.
"Lupakanlah," sahut Gajah Kecil tanpa mengalihkan pandangan dari pertarungan.
Sementara itu di arena pertempuran, Sangkala tahuhanya tinggal dirinya yang masih melakukan perlawanan.
Kenyataan ini membuatnya gugup. Apalagi ketika menyadari Dewa Arak tidak akanmungkin dapat dikalahkan. Telah
seratus lima puluh jurus berlalu, Dewa Arak tetap tidak dapat didesak. Bahkandia yang mulai berhasil dijepit lawan.
Kenyataan ini membuat Sangkala tidak bersemangat
lagi melanjutkan pertarungan. Pemuda berwajah bopeng itu memutuskan untuk kabur.
Namun sayang kesempatan itutidak pernah didapat. Dan sepertinya tidak akan mungkin didapatkan bila tidak dia sendiri yang membuatnya. Berpikir demikian, Sangkala bertindak nekat. Mendadak dilancarkannya pukulan bertubi-tubi ke dada lawan. Pemuda itu berharap Dewa Arak akan mundur untuk mengelak. Dengan demikian, dia mempunyai kesempatanmelarikan diri.
Sangkala salah duga! Dewa Arak tidak mundur, tapimelompat ke atas melewati kepalanya. Dari atas, pemuda berambut putih keperakan itu mengayunkan tangan kanannya. Sangkala kaget bukan main! Rasa kalap membuatnya tidak sempat memikirkan hal itu. Begitu menyadari adanya ancaman, diusahakan sebisa-bisanya mengelakkan serangan lawan. Tapi....
Plakkk! "Ukh!"
Hanya keluhan tertahan yang dapat diperdengarkanSangkala. Nyawanya melayang ke akherat saat itu juga. Tamparan Arya telah membuat kepalanya retak-retak. Jliggg! Bertepatan dengan mendaratnya kedua kaki Dewa Arak, tubuh Sangkala ambruk ke tanah.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan napas berat. Sekarangperasaannya sudah lega. Tidak ada ganjalan lagi di dalam dada. Sumpahnya pada Sutini telah ditunaikan. Dia tidak mempunyai hutang lagi.
"Kakang...!"
Suara panggilan yang sangat dikenalnya membuatpemuda berambut putih keperakan itu menoleh. Dilihatnya Melati, kekasihnya, tersenyum. Arya balas tersenyum. Sementara di kejauhan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Tak lama lagi sang Surya akan muncul di ufuk timur. Sebuah lembaran hidup baru siap dimulai.

SELESAI


INDEX AJI SAKA
52.Manusia Kelelawar --oo0oo-- 54.Kabut Di Bukit Gondang
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.