Life is journey not a destinantion ...

Kabut Di Bukit Gondang

INDEX AJI SAKA
53.Penjarah Perawan --oo0oo-- 55.Perintah Maut

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta

֍ 1 ֍

Hujan lebat turun bagai dicurahkan dari langit, diiringi pula dengan hembusan angin kencang. Semua itu membuat suasana malam terasa dingin menusuk tulang.
Hingga keadaan di persada terasa sangat tidak menyenangkan. Bulan bulat yang tampak di langit tidak berdaya memancarkan cahayanya, tertutup awan tebal dan hitam yang menggantung di sana.
Glarrr! Untuk kesekian kalinya halilintar menyambar bumi. Seketika itu pula suasana terang-benderang. Memang, hanya sesaat. Tapi cukup untuk menampakkan dua sosok tubuh yang berlari-lari cepat menembus lebatnya hujan.
Glarrr! Kembali halilintar menyambar. Terangnya yang hanya sekejap ternyata mampu memperjelas kedua sosok itu.
Sosok yang pertama seorang lelaki tinggi besar berpakaian serba hitam. Kumis, jenggot, dan cambang lebat menghias wajahnya yang terlihat angker karena adanya luka codet. Sedangkan yang satu, berada di belakang lelaki tinggi besar itu, seorang lelaki pendek kekar. Berbeda dengan lelaki tinggi besar, sosok ini memiliki wajah kelimis. Tidak ada kumis, jenggot, atau cambang. Ciri-ciri yang dimilikinya benar-benar bertolak belakang dengan lelaki berwajah codet.
"Cepat, Wulung!" seru lelaki tinggi besar dengan keras untuk mengatasi riuh rendahnya bunyi hujan.
"Aku khawatir mereka telah mengetahui tindakan kita!"
"Larilah lebih dulu, Ketua!" sambut lelaki pendek kekar yang dipanggil Wulung, juga dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya agar bisa terdengar lelaki bercodet. Tanggapan yang diberikan lelaki tinggi besar ternyata sebaliknya. Dia menghentikan larinya dan menunggu kedatangan Wulung yang tertinggal di belakang.
Sebentar kemudian, Wulung telah berada di sebelahnya.
"Mengapa kau menungguku, Ketua"! Bagaimana kalau mereka mengetahui kepergian kita" Itu sangat berbahaya!" ujar Wulung dengan napas terengah-engah.
"Aku tahu, Wulung, " sahut lelaki tinggi besar,
"Tapi, itu tidak menjadi alasan untuk meninggalkanmu! Seandainya usaha ini berhasil, aku tidak mau sendirian saja. Apa artinya aku berhasil kabur jika kau tertangkap!"
"Terima kasih atas perhatianmu, Ketua, " ucap Wulung agak tersendat. Merasa terharu mendapat perhatian begitu besar dari ketuanya.
"Sudahlah. Hentikan kecengengan itu. Sekarang yang penting kita harus lolos dari tempat ini!" potong lelaki bercodet mengalihkan perhatian.
"Kau benar, Ketua. Maafkan kelemahanku."
"Lupakanlah, " lelaki bercodet mengulapkan tangannya.
"Kau masih sanggup berlari"!" .....
"Sanggup, Ketua, " sambut Wulung mantap.
"Kalau begitu, mari lanjutkan perjalanan!" Usai berkara, lelaki bercodet mengayunkan langkah meneruskan larinya yang tertunda. Wulung mengikuti langkah ketuanya. Di malam yang gelap dan dingin itu Wulung dan pimpinannya kembali berlari. Air memercik ke sana kemari ketika kakikaki mereka menapak tanah yang bergenang air.
Mendadak lelaki bercodet menoleh,
"Kau dengar itu, Wulung"!" tanyanya
"Tidak, Ketua. Aku tidak mendengar apa-apa, " jawab lelaki pendek kekar itu.
"Apa kau mendengarnya?"
"Benar, " jawab lelaki bercodet dengan terengah.
"Kudengar derap kaki kuda. Banyak, Wulung!"
"Celaka!" seru Wulung. Napasnya menderu-deru. Lelaki pendek kekar itu keletihan.
"Mereka telah mengetahui pelarian kita, Ketua! Lebih baik kau tinggalkan aku. Tidak usah pikirkan diriku!"
"Wulung!" sentak lelaki bercodet berwibawa,
"Jangan kira aku serendah itu. Apa pun yang terjadi aku akan tetap bersamamu!"
"Tapi, Ketua..., " meski dengan terputus-putus, Wulung masih mencoba membantah.
"Tidak ada tapi-tapian!" tandas lelaki bercodet tegas,
"Tidak usah bicara lagi. Pusatkan seluruh perhatian pada larimu. Ingat! Sebentar lagi kita tiba di pantai!" Wulung terdiam. Dia tidak berani membantah perintah lelaki bercodet. Disadarinya betapa besar perhatian ketuanya pada dirinya. Kalau tidak, dia telah ditinggalkan. Ketuanya memiliki ilmu lari cepat yang berada jauh di atasnya.
Tahu kalau ketuanya telah berkorban, Wulung tidak ingin semakin menyulitkan lelaki bercodet itu. Dikerahkannya seluruh sisa-sisa kemampuan agar bisa berlari secepat mungkin.
Tapi meskipun demikian, berapa cepatnya lari orang yang telah lelah dengan medan yang amat berat. Tanah becek berlumpur sudah cukup menghambat kecepatan lari.
Belum lagi pada beberapa tempat medannya licin. Juga lubang-lubang yang meskipun tidak dalam, tapi cukup untuk membuat kaki terkilir bila terperosok ke dalamnya.
Semua itu cukup untuk membuat kecepatan lari seseorang berkurang. Demikian yang dialami lelaki bercodet dan Wulung!

***


Tentu saja hal seperti itu tidak dialami rombongan kuda yang mengejar Wulung dan ketuanya. Hingga jarak antara mereka semakin dekat. Sampai akhirnya terdengar oleh Wulung. Dan seperti mendukung rombongan pengejar Wulung dan ketuanya, perlahan-lahan hujan mereda. Awan tebal dan hitam yang menutup angkasa tertiup angin. Sehingga sinar sang Dewi Malam berhasil menembusnya sedikit demi sedikit.
Kejadian selanjutnya seperti yang sudah diperhitungkan akal sehat manusia.
Keadaan di persada mulai terlihat. Suasana tidak gelap seperti sebelumnya, tapi remang-remang. Semua itu semakin menguntungkan pihak pengejar. Rombongan yang terdiri dari enam ekor kuda yang ditunggangi lelaki berwajah kasar mulai dapat melihat buruannya. Wulung dan ketuanya berada kira-kira sepuluh tombak di depan mereka.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana, Garang Laksa"! Jangan harap bisa lolos dari sini!" seru seorang lelaki yang berwajah mirip kuda.
"Serang!" Tanpa menunggu perintah dua kali, lelaki-lelaki kasar itu mengibaskan tangan.
Wut, wut, wut! Diiringi bunyi menderu cukup keras, lima batang tombak meluncur ke arah Wulung dan lelaki bercodet yang ternyata bernama Garang Laksa. Garang Laksa dan Wulung mengetahui serangan itu. Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan menunjukkan semua itu. Maka cepat keduanya menoleh ke belakang melihat arah luncuran tombak Lalu, melakukan lompatan harimau ke samping. Kemudian dengan bertelekan kedua tangan, mereka menggulingkan tubuh.
Hasilnya.... Cap, cap, cap! Tombak-tombak menancap di tanah. Garang Laksa dan Wulung berhasil menghindar.
Kesempatan di saat kedua pelarian itu menggulingkan tubuh, dipergunakan sebaikbaiknya oleh lelaki bermuka kuda dan lima rekannya untuk melompat dari punggung kuda. Kemudian melesat menghampiri Garang Laksa dan Wulung. Sambil berlari, mereka menghunus golok besar yang tergantung di punggung.
Srat, srat, srat! Sinar terang berkilat ketika golok-golok besar itu keluar dari sarungnya.
Tapi sebelum para pengejarnya menghunjamkan serangan, Garang Laksa dan Wulung telah bangkit. Dan secepatnya mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Wulung menggenggam sepasang pedang. Sedangkan Garang Laksa sepasang trisula. Sikap mereka terlihat waspada.
Melihat hal ini, lelaki bermuka kuda mengangkat tangan kirinya ke atas. Seketika itu pula, lima rekannya menghentikan serangan.
"Mengapa berhenti, Marangsang"!" ejek Garang Laksa tanpa menghilangkan sikap waspada.
"Takut"!" Sepasang mata lelaki bercodet merayapi enam orang pengejarnya. Meskipun demikian, perhatian paling besar ditujukan pada lelaki bermuka kuda. Pada lelaki bermuka kudalah ejekan itu ditujukan.
"Tidak ada kata takut untuk Marangsang!" seru lelaki bermuka kuda seraya membusungkan dada.
"Kaulah yang pengecut, Garang Laksa! Kalau tidak, mengapa melarikan diri"!"
"Tidak usah banyak bicara, Marangsang! Mampuslah!" seraya mengucapkan katakatanya, Garang Laksa melancarkan serangan ke arah Marangsang. Trisula yang berada di tangan kanannya ditusukkan ke dada lawan.
Marangsang tidak berani bertindak gegabah. Dia telah tahu keampuhan senjata itu.
Dengan trisula itu, Garang Laksa dapat membuat lawan melepaskan senjatanya secara mudah. Biasanya itu terjadi ketika lawan melakukan tangkisan. Garang Laksa menjepit senjata lawan di antara celah-celah barang trisulanya, kemudian menggerakkannya sedemikian rupa sehingga senjata lawan terlepas dari genggaman.
Marangsang tahu karena telah sering melihat. Bukan hanya keistimewaan trisula Garang Laksa, tapi juga kelihaian lelaki bercodet itu. Sebab Garang Laksa adalah ketuanya. Pimpinan seluruh anggota gerombolan. Sedangkan dia adalah wakilnya! Itu sebabnya Marangsang tidak berani menangkis serangan itu. Yang dilakukannya melompat ke belakang sehingga serangan Garang Laksa mengenai tempat kosong, beberapa jengkal di depan tubuhnya. Dan sebelum Garang Laksa sempat mengirimkan serangan susulan, Marangsang memberi isyarat pada kelima anak buahnya untuk menyerang lelaki bercodet itu.
Sing, sing, sing! Terdengar bunyi-bunyi mendesing ketika mata-mata golok membeset udara dalam perjalanannya menuju berbagai bagian tubuh Garang Laksa! Serangan itu membuat Garang Laksa tidak berani melanjutkan serangan susulannya. Lelaki bercodet itu melompat ke belakang mengelakkan serangan.
Jliggg! Begitu kedua kaki Garang Laksa hinggap di tanah, di sebelahnya telah berdiri Wulung. Lelaki pendek kekar itu siap bertarung.
"Kita tidak bisa terlalu lama di sini, Ketua. Bahaya!" bisik Wulung di telinga Garang Laksa.
"Nanti yang lainnya keburu tiba di sini!"
"Kau benar, Wulung!" sambut Garang Laksa berbisik,
"Pantas, kelihatannya Marangsang mengulur-ulur waktu. Kalau begitu, jangan beri kesempatan. Mari kita labrak mereka!" Belum juga gema ucapan itu lenyap, Garang Laksa dan Wulung telah menghambur ke arah lawan-lawannya. Senjata di tangan mereka langsung digunakan! Wuttt! Garang Laksa menusukkan trisulanya ke leher Marangsang. Sementara Wulung menyerbu salah seorang lawan dengan tusukan kedua pedangnya, ke arah dada kanan dan kiri. Sing, sing, sing! Meskipun dilakukan agak mendadak Marangsang dan lima anak buahnya tidak terkejut. Mereka memang telah bersiap menghadapi hal seperti itu. Bahkan kali ini Marangsang menangkis tusukan trisula Garang Laksa. Goloknya dibabatkan dari kanan ke kiri mematahkan serangan maut itu.
Trangngng! Bunga api berpijar ketika golok dan trisula berbenturan keras. Marangsang menggigit bibir merasakan telapak tangannya pedas dan sakit. Goloknya hampir terlepas dari pegangan.
Kenyataan ini menusukkan tenaga dalamnya berada di bawah Garang Laksa.
Di saat itulah serangan susulan Garang Laksa meluncur. Trisula di tangan kirinya ditusukkan ke arah perut. Karena untuk menangkis tak mungkin lagi, Marangsang melompat ke belakang. Tapi, Garang Laksa bukan orang yang mudah putus asa. Terus dicecarnya Marangsang dengan tusukan-tusukan trisulanya. Hingga lawan dipaksa bermain mundur.
Lelaki bermuka kuda itu benar-benar tidak diberi kesempatan memperbaiki kedudukan. Untung saja empat orang anak buahnya tidak tinggal diam. Serentak mereka menyerang Garang Laksa dari berbagai arah. Tapi Garang Laksa sudah memperhitungkan hal itu. Ketika serangan-serangan lawan hampir tiba, kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya melambung ke atas. Di udara tubuhnya berputar ke belakang melewati kepala para penyerangnya. Saat itu kedua trisulanya dikelebatkan! Crat, crat!
"Akh, akh...!"
Kejadian berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu tubuh dua orang penyerangnya tersuruk. Bagian belakang kepala mereka robek terkena babatan trisula. Setelah menggelepar sesaat, keduanya diam tidak bergerak lagi.
Jliggg! "Hih!" Begitu kakinya menyentuh tanah, Garang Laksa mengibaskan tangan.
Singngng! Sebatang pisau meluncur ke arah lawan Wulung. Entah kapan lelaki bercodet ini mengambilnya. Tindakannya demikian mendadak dan sulit diduga. Bahkan setelah melontarkan pisau, dia menerjang Marangsang dan dua anak buahnya yang masih tersisa. Semua itu dilakukan dalam waktu singkat Sementara itu, anak buah Marangsang yang menjadi lawan terkejut bukan main melihat pisau meluncur deras ke kepalanya. Sebab pada saat yang hampir bersamaan Wulung melancarkan serangan. Ini membuat lawan Wulung gugup. Akhirnya diambil keputusan mematahkan serangan pisau terbang Garang Laksa. Golok diayunkan untuk memapaki. Wuttt! Trangngng! Pisau itu langsung terpental. Tapi karena kuatnya tenaga luncuran pisau, lawan Wulung terhuyung. Saat itulah pedang Wulung membabat lehernya! Cappp! Anak buah Marangsang yang sial ini tidak sempat berteriak. Babatan golok Wulung memisahkan kepalanya. Dia tewas seketika itu juga. Darah segar menyembur deras dari bagian yang terluka.
Tanpa mempedulikan keadaan lawan, Wulung melesat ke arah pertarungan Garang Laksa dan Marangsang serta anak buahnya. Tapi sebelum Wulung ikut campur dalam kancah pertarungan, Garang Laksa telah mencegahnya.
"Tinggalkan tempatini, Wulung! Cepat...! Nanti aku menyusul! Cepat...!" Seketika itu pula gerakan Wulung terhenti. Dirasakannya ada tekanan yang tidak menghendaki bantahan dalam perintah Garang Laksa. Maka, meskipun dengan berat hati tubuhnya dibalikkan. Kemudian berlari meninggalkan tempat itu.
Melihat Wulung memenuhi perintahnya, Garang Laksa menghela napas lega. Tapi bukan berarti kewaspadaannya mengendur. Seluruh perhatiannya tetap dipusatkan untuk merubuhkan lawan-lawannya dengan segera.
Namun harapan demikian lebih mudah direncanakan daripada dilaksanakan.
Sekarang Marangsang dan dua anak buahnya bertindak hati-hati. Mereka tidak ingin kejadian yang menimpa dua rekan mereka terulang. Akibatnya, Garang Laksa menghadapi perlawanan sengit. Ketiga lawannya menerapkan siasat saling bantu.
Sampai sepuluh jurus lebih pertarungan berlangsung belum terlihat siapa yang akan menang. Bahkan tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Garang Laksa pun sadar untuk mengalahkan lawan-lawannya membutuhkan waktu yang panjang. Padahal, kesempatan yang dimilikinya hanya sedikit! Kalau sampai para pengejar lainnya tiba, dia akan celaka.
Menyadari kenyataan ini, Garang Laksa memutuskan untuk kabur. Toh, sekarang tidak ada beban karena Wulung telah berangkat lebih dulu. Bukan hal yang sulit baginya meninggalkan lawan-lawannya. Ilmu lari cepatnya di atas mereka. Dan begitu mendapat kesempatan, lelaki bercodet itu melesat kabur. Hingga para pengeroyoknya, terutama Marangsang, sangat geram.
"Garang Laksa...! Keparat pengecut...! Jangan lari kau...!" sambil mengeluarkan teriakan-teriakan kalap, Marangsang mengejar. Kedua anak buahnya mengikuti.
Harapan Marangsang dengan makian-makian yang diucapkannya Garang Laksa akan tersinggung kehormatannya dan balik kembali. Tapi ternyata tidak! Garang Laksa terus berlari tanpa menghiraukan makian-makian itu. Terpaksa dia berlari mengejar. Tapi Marangsang tidak berani mengerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya. Jika itu dilakukan, kedua anak buahnya akan tertinggal jauh. Kalau tiba-tiba Garang Laksa membalikkan tubuh dan menyerangnya, dia akan celaka! Marangsang jengkel bukan main dengan kegagalannya. Yang dapat dilakukannya hanya memaki panjang pendek. Memaki kuda-kudanya yang kabur karena takut melihat pertempuran. Dan kesembronoan dua anak buahnya yang menyebabkan kematian mereka.
Kalau tidak, pasti Garang Laksa berhasil diringkus! Karena Marangsang tidak mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya, jarak antara dirinya dengan Garang Laksa semakin jauh. Sementara beberapa tombak di belakangnya terlihat puluhan sosok tubuh. Mereka adalah bekas anak buah Garang Laksa. Dan sekarang menjadi anak buah Marangsang! Terpaksa Marangsang menunggu rombongan anak buahnya. Kemudian dengan berbondong-bondong mengejar. Tapi hanya kekecewaan yang didapatkan. Beberapa tombak sebelum mencapai pantai, dilihatnya Garang Laksa dan Wulung telah mengayuh perahu ke tengah laut. Kepergian mereka tak mungkin dapat dicegah lagi.
Marangsang menatap kepergian kedua buruannya dengan geram.

֍ 2 ֍

"Ah...! Segarnya...!" Ucapan itu dikeluarkan seorang pemuda berpakaian ungu. Ditariknya napas dalamdalam. Dan kedua tangannya direntangkan ke samping kanan dan kiri, agar udara yang diisapnya masuk ke seluruh bagian dadanya.
Gerakan serupa dilakukan sosok yang berjalan di sebelahnya. Dia seorang gadis berwajah cantik jelita. Kulitnya putih dan halus. Rambutnya yang panjang, hitam, dan tebal dibiarkan terurai menambah kecantikannya. Kesan itu semakin menyolok karena pakaian serba putih yang dikenakan.
"Lega rasanya menghirup udara segar kembali, setelah beberapa hari ditimpa sinar sang Surya di tempat yang tandus. Bukankah demikian, Kang Arya?" ujar gadis berpakaian putih meminta pendapat.
"Benar, Melati, " jawab pemuda berpakaian ungu mengangguk.
Sepasang muda-mudi ini memang Arya Buana yang dikenal dengan julukan Dewa Arak dan Melati, kekasihnya.
"Perjalanan yang jauh dan melelahkan, Kang. Hhh...! Hampir aku tak kuat menempuh hamparan padang pasir yang tidak ditumbuhi pohon sama sekali!" ujar Melati.
"Tapi sekarang sudah berakhir. Tak lama lagi kita akan tiba di sebuah desa. Bukankah menurut berita yang kita dapat Desa Sampan berada di Bukit Gondang ini"!"
"Benar, Kakang, " Melati mengangguk.
"Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar di tempat ini. Aku ingin menghirup udara segar pagi ini sepuas-puasnya."
"Sebuah usul yang baik, Melati, " Arya lang-sung menyetujui,
"Tapi kita harus mencari tempat yang benar-benar nyaman." Pemuda berambut putih keperakan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat dan terkadang mencorong kehijauan laksana mata harimau dalam gelap merayapi jajaran pohon dan semak yang tumbuh di tempat itu.
"Rasanya di sana cukup nikmat, Melati, " tunjuk Arya pada sebuah tempat di bawah jajaran pohon pinus dekat dengan kerimbunan semak.
"Itu pun boleh, Kang, " Melati mengangguk.
Sepasang muda-mudi itu melangkahkan kaki menuju tempat itu. Dalam beberapa tindak, keduanya telah sampai dan menghempaskan diri di atas rumput "Kakang...!"
"Hm..., " sambut Arya bergumam.
"Kau belum mengatakan alasan kita mengunjungi Desa Sampan. Apakah aku tidak boleh mengetahuinya"!" tanya Melati setengah merajuk
"Tentu saja boleh, Melati, " jawab Arya mantap,
"Nah! Dengarkan baik-baik. Kepergianku ke Desa Sampan adalah untuk memenuhi janji."
"Janji, Kang"!" Melati mengernyitkan dahi,
"Siapa yang kau beri janji" Seorang gadis cantik"!"
"Ha ha ha...!" Arya tergelak mendengar ucapan kekasihnya. Pemuda itu tahu Melati tengah menggodanya.
"Untuk apa aku mengikat janji dengan gadis lain" Bukankah aku telah memiliki seorang bidadari?"
"Ah...! Rupanya sekarang kau sudah pandai merayu, " goda Melati dengan senyum mengembang.
"Sungguh tidak kusangka. Tapi lupakanlah. Sekarang lebih baik kau ceritakan tentang janjimu." Arya terdiam. Kening pemuda itu berkerut berusaha mengingat-ingat kepada siapa janjinya diucapkan.
"Aku mengikat janji dengan tiga orang pemburu. Salah satu di antara mereka bernama Benggala. Dalam perjanjian itu aku bersedia mengajarkan mereka sedikit ilmu silat, " beri tahu Arya.
"Mengapa kau bisa terlibat perjanjian seperti itu, Kang"!" tanya Melati dengan alis berkerut.
"Itu berarti kau guru mereka. Mengapa malah kau yang mencari mereka" Bukan sebaliknya."
"Karena aku lebih sulit dicari daripada mereka, Melati,
" jelas Arya tenang, "Aku terlibat perjanjian itu agar dapat menyelamatkanmu. Saat itu kau berada dalam ancaman maut. Bila tidak bertindak cepat, mungkin aku harus kehilanganmu selamanya. Kau ingat kejadian di Perguruan Pedang Ular"!" Melati tercenung sejenak sebelum mengangguk. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episade: "Perkawinan Berdarah.") "Sekarang kau mengerti mengapa aku terlibat perjanjian itu"!" tanya Arya.
"Mengerti, Kang, " jawab Melati.
"Syukurlah.kalau begitu. Dan...."
"Aaa...!" Sebuah lolongan panjang dan menyayat hati menghentikan ucapan Arya. Dipandangnya Melati.
Pada saat yang sama gadis berpakaian putih itu pun menatapnya.
"Kau dengar jeritan itu, Melati?" tanya Arya.
"Dengar, Kang,
" seperti jeritan orang yang berada di ambang maut."
"Mari kita ke sana!" Arya segera bangkit. Diikuti Melati. Sesaat kemudian sepasang pendekar muda berwajah elok itu telah melesat menuju asal jeritan. Tapi pohon-pohon dan semak belukar serta keadaan tanah yang bertingkat-tingkat menyulitkan mereka untuk segera tiba di tempat tujuan. Padahal, arahnya sudah mereka ketahui. Sepasang pendekar muda itu menghentikan larinya di sebuah tempat yang agak lapang dan ditumbuhi rumput-rumput cukup panjang.
"Aku yakin dari sinilah jeritan itu berasal, Melati, " ujar Arya seraya mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Benar, Kang, " dukung Melati. Mata gadis itu pun merayapi tanah lapang itu.
"Kakang...! Lihat...!" Seruan Melati membuat Arya mengarahkan pandangan ke tempat yang ditunjuk gadis berpakaian putih itu. Terlihat olehnya dua buah tong kayu kecil dan sebuah kayu cukup panjang sebesar pergelangan tangan. Tanpa menunggu lebih lama, Arya dan Melati menghampiri kedua benda yang tergolek sembarangah di tanah. Sepasang muda-mudi itu membungkukkan tubuh untuk memeriksanya.
"Dugaan kita tidak salah, Melati. Teriakan itu memang berasal dari sini.
Sepertinya yang menjadi korban penduduk desa.
Melati mengangguk-angguk. Tong-tong dan bambu yang digunakan sebagai pikulan itu telah menjadi bukti pemiliknya seorang penduduk. Tong-tong itu dipergunakan untuk mengambil getah. Dan ketika mereka memeriksa lebih seksama rumput di tempat itu, bukti lain segera diketemukan.
"Kau lihat itu, Melati, " Arya menudingkan telunjuknya pada cairan merah yang menempel di rumput.
"Darah..., " desis Melati seraya menghampiri.
Dugaan Melati tak meleset. Percikan-percikan cairan merah di rumput itu memang darah. Dan ternyata tidak sedikit. Hanya saja tadi terhalang rumput. Arya dan Melati menatap genangan darah yang belum sempat mengering itu.
"Berarti di sini... pencari getah pohon itu dibunuh, Kang, " duga Melati yakin.
"Benar. Tanda-tanda ini menunjukkan mayat orang yang malang itu diseret ke sana." Arya menyambung ucapan Melati seraya mengerahkan pandangan ke arah tetesan darah dan rumput-rumput yang tidak berdiri tegak. Kedudukan rumput menunjukkan ada sesuatu benda telah menggilasnya. Melati melayangkan pandang ke arah yang ditunjuk kekasihnya. Kemudian bergegas menuruti tindakan Arya menyusuri ceceran darah.

***


Sepasang pendekar muda itu tak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui nasib orang malang itu. Ceceran darah yang mereka ikuti berakhir di sebuah dataran yang menurun curam. Arya dan Melati menghentikan langkah. Keduanya melayangkan pandangan.
Tampak pohon-pohon pinus yang menjulang dan semak-semak "Itu dia, Kang!" seru Melati menunjuk ke satu arah.
Arya mengikuti dengan pandang matanya. Pemuda itu pun melihatnya. Sesosok tubuh tergolek di batang pohon pinus. Agaknya tubuh itu tersangkut di sana ketika dibuang pembunuhnya.
"Kau tunggu di sini, Melati. Aku akan turun dan memeriksanya." Arya segera bersiap menuruni tebing curam itu. Kemiringan tebing sangat curam, hampir tegak lurus! "Hih!" Sambil menggertakkan gigi, Arya melompat ke atas. Tubuhnya berputaran di udara.
Dan meluruk turun ke dataran yang jauh di bawah.
Melati yang melihat tindakan Arya hampir terpekik kaget. Tubuh pemuda itu akan hancur luluh bila jatuh ke dataran di bawah sana. Tapi, dia percaya tindakan itu sudah diperhitungkan masak-masak oleh kekasihnya. Hingga gadis itu sedikit tenang. Dugaan Melati memang tepat. Dewa Arak telah memperhitungkan tindakannya masakmasak. Maka begitu tubuhnya meluncur turun, kedua tangannya ditusukkan.
Jreb, jrebbb! Kedua tangan Dewa Arak amblas ke dalam tanah yang tak ubahnya dinding menjulang. Dengan sendirinya luncuran tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terhenti. Sesaat Arya berdiam diri membiarkan kedudukannya seperti itu. Baru kemudian tangan kanannya dicabut. Lalu ditempelkan ke dinding tanah. Dengan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, tidak sulit membuat tangan itu menempel. Hal yang sama dilakukan pada tangan kirinya. Arya bertahan di dinding tanah itu dengan tempelan kedua telapak tangannya.
Kemudian bagai seekor cecak Dewa Arak merayap turun! Sungguh sebuah pertunjukan tenaga dalam yang menakjubkan! Karena hanya orang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi saja yang dapat melakukannya.
Semua kejadian itu tak luput dari pandangan Melati. Gadis berpakaian putih itu menghela napas lega. Namun rasa khawatir masih meliputi hatinya. Perbuatan Dewa Arak membutuhkan pengerahan tenaga penuh dan terus-menerus. Padahal jarak yang ditempuhnya cukup jauh. Apakah Dewa Arak akan sanggup" Melati terus memperhatikan kekasihnya. Dilihatnya Dewa Arak setapak demi setapak turun ke bawah. Tapi kesibukan Melari terpaksa dihentikan. Saat itu dia mendengar suara langkah-langkah kaki. Dari semakin jelasnya suara itu terdengar agaknya mereka tengah menuju ke arahnya.
Melati berusaha keras memutar otaknya. Gadis itu tidak ingin pemilik langkahlangkah kaki menemukannya dalam keadaan seperti ini. Bila hal itu terjadi mereka akan mengetahui keberadaan Dewa Arak. Jika bukan musuh, mungkin tidak masalah.
Tapi bagaimana kalau sebaliknya" Dewa Arak akan celaka! Tapi otaknya tidak mau diajak berpikir. Sampai capek berpikir, gadis itu tidak berhasil menemukan jalan keluar yang baik. Akhirnya Melati memutuskan duduk di salah satu akar pohon yang menyembul dari dalam tanah.
Baru saja Melati menghempaskan tubuhnya, pemilik langkah-langkah kaki muncul dari balik belokan. Sikap duduk Melati memang tidak menghadap jalan tempat munculnya sosok-sosok itu. Tapi, dengan sudut matanya Melati bisa melihatnya.
Seperti dugaan Melati, pemilik langkah kaki itu tidak hanya satu. Mereka cukup banyak. Belasan orang! Bahkan hampir dua puluh. Berwajah dan bersikap kasar.
Melati pura-pura tidak melihatnya.
Sementara itu, rombongan orang kasar telah melihat Melati. Mereka menghampiri gadis berpakaian putih itu. Derap langkah mereka lebih keras dari sebelumnya.
Kelihatannya itu memang disengaja agar kedatangan mereka dilihat Melati.
Tentu saja itu diketahui dengan pasti oleh Melati. Gadis itu menoleh ke arah rombongan orang kasar. Sikapnya tampak tenang. Tidak kelihatan terkejut atau khawatir. Bahkan dia tetap duduk di tempatnya.
Dalam waktu singkat belasan orang kasar telah berada di dekat Melati. Dengan raut wajah dan sorot mata menyiratkan kekurangajaran, mereka mengelilingi Melati membentuk setengah lingkaran.
"Tak kusangka ada bidadari tersesat ke tempat ini,
" ucap lelaki yang berdiri paling depan. Dia seorang lelaki bermuka kuda. Siapa lagi kalau bukan Marangsang"! Dan tentu saja belasan orang kasar yang bersamanya adalah anak buahnya. Memang semula mereka anak buah Garang Laksa. Tapi, sekarang Marangsanglah yang menjadi pimpinan.
"Benar, Ketua!" sambut seorang lelaki kasar yang berwajah bopeng seraya menatap Melati. Bukan hanya lelaki berwajah bopeng itu saja yang bersikap demikian. Mereka menatap Melati seperti serigala kelaparan mengincar anak domba yang gemuk! Penuh nafsu! Kalau tidak ada Marangsang, pemimpin mereka yang baru, belasan orang kasar itu pasti sudah saling berebut untuk lebih dulu mendapatkan. Tapi karena takut pada Marangsang, keinginan itu hanya mereka pendam.
Sebenarnya bukan hanya anak buahnya dilanda perasaan itu. Marangsang pun demikian! Namun lelaki bermuka kuda itu tidak terlalu menuruti keinginannya.
Sebab saat ini mereka tengah menghadapi persoalan yang amat penring dan harus diselesaikan secepatnya, yaitu menangkap Garang Laksa! Hingga meskipun sorot kekurangajaran tampak jelas pada tarikan wajah dan sinar matanya, dia mampu berbicara dengan tenang.
"Boleh kami bertanya sesuatu, Nisanak"!" tanya Marangsang lembut.
"Silakan. Bila tahu pasti aku akan menjawabnya, " jawab Melati tenang.
"Begini. Kami tengah menuju Desa Sampan. Bisa kau tunjukkan arah yang harus kami tempuh"!"
"Jalan terus saja ke utara. Nanti kalian pasti akan menemukannya." Seperti orang yang tahu pasti, Melati memberikan jawaban. Padahal sebenarnya dia tidak tahu arah ke desa itu. Tapi untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan diberikannya jawaban itu.
Marangsang melayangkan pandangan ke arah yang disebutkan Melari. Memang, di sana terben-tang jalan. Tanpa berkata apa pun tubuhnya dibalikkan, dan mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Melihat tindakan Marangsang, anak buahnya merasa tidak puas. Tapi, apa yang dapat mereka lakukan selain mengikuti" Dengan lesu mereka membalikkan tubuh dan meninggalkan Melati.
Tapi tidak semuanya berlalu. Ada seorang yang merasa sangat tidak puas dengan tindakan Marangsang. Dia adalah lelaki berwajah bopeng. Untuk melakukan tindakan kurang ajar dengan perbuatan dia tidak berani, takut dihukum Marangsang, maka diputuskan mengganggu Melati dengan ucapan untuk melampiaskan nafsunya yang menggelegak "Apa aku boleh bertanya, Nisanak"!" tanya lelaki berwajah bopeng dengan wajah sungguh-sungguh.
Melati tidak menanggapi. Dengan sikap tidak peduli, dihempaskannya kembali tubuhnya ke tempat duduknya tadi. Karuan saja sikap Melati membuat lelaki berwajah bopeng merasa tersinggung. Kemarahannya timbul.
"Aku hanya ingin tanya, apa benda yang menyembul di dadamu itu"!" tanya lelaki berwajah bopeng keras.
Sungguh hebat akibat pertanyaan anak buah Marangsang itu. Melati langsung mendongakkan wajah yang semula ditundukkan. Tampak jelas kemarahan pada wajah dan sepasang matanya. Gadis berpakaian putih itu murka.
"Keparat!" Makian keras penuh kemarahan meluncur dari mulut Melati. Dan seiring dengan terlontarnya ucapan itu Melati mengirimkan tendangan ke arah lutut lelaki berwajah bopeng.
Wuttt, Tukkk! "Akh!" Lelaki berwajah bopeng menjerit tertahan. Kaki Melari mendarat telak di lutut kanannya. Padahal dia telah mencoba untuk mengelak. Tapi kalah cepat! Tubuh lelaki itu terhuyung-huyung ke belakang. Sambungan tulang lututnya terlepas!

֍ 3 ֍

Kejadian yang menimpa lelaki berwajah bopeng mengejutkan rekannya. Marangsang dan rekan-rekan lelaki berwajah bopeng membalikkan tubuh.
"Ada apa, Bagor"!" tanya Marangsang bengis seraya menatap wajah lelaki berwajah bopeng dan Melati bergantian.
"Wanita itu, Ketua. Dia menyerangku...!" jawab lelaki berwajah bopeng yang bernama Bagor agak terbata-bata, takut melihat sikap bengis pimpinannya.
"Keparat!" Marangsang menggeram,
"Berani kau bertindak seperti itu padanya, Wanita Liar"! Kau tahu siapa kami"! Dengar...! Kami adalah Gerombolan Perompak Laut Hitam! Kau akan menerima ganjaran yang setimpal atas tindakanmu!"
"Hmh!" Melati mendengus,
"Jangankan Gerombolan Perompak Laut Hitam. Biar kalian Gerombolan Ibiis-Iblis Laut Hitam pun aku tak gentar!" Marangsang menggertakkan gigi mendengar ucapan Melati yang dirasakan menyinggung kehormatannya. Dengan raut wajah bengis pandangannya dialihkan ke arah anak buahnya. Lalu....
"Tangkap dia!" perintah lelaki bermuka kuda lantang.
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang kasar anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam segera bergerak. Mereka mengurung Melati yang telah bersikap waspada. Rupanya gadis berpakaian putih itu sudah siap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Belasan anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam mendekati Melati dalam bentuk setengah lingkaran. Dan ketika dirasakan jaraknya telah cukup dekat, mereka menerjang Melari. Rupanya gerombolan itu masih menganggap ringan Melari. Mereka tidak menggunakan senjata dalam penyerangan itu. Semua serangan dilakukan dengan tangan kosong."Hih!"
"Hiyaaat...!"
"Hiyaaa...!" Teriakan-teriakan keras mengiringi meluncurnya serangan mereka. Serangan itu dilancarkan secara bersamaan. Tapi Melati tetap tenang. Ditunggunya hingga dekat. Baru setelah itu kakinya dijejakkan. Tubuh gadis itu melambung ke atas melewati kepala para pengeroyoknya. Lalu....
Jiiggg! Ringan laksana daun kering, Melati mendaratkan kedua kakinya di luar kepungan.
"Apa yang kalian kerjakan di sana, Badut-Badut Jelek"! Aku disini!" ejek Melati.
Kedua tangannya melipat di depan dada.
Ucapan Melati membuat lawan-lawannya membalikkan tubuh. Semula mereka heran melihat gadis berpakaian putih itu mendadak lenyap. Memang, gerakan Melati ketika melompat terlalu cepat. Sehingga tidak terlihat mata mereka.
"Keparat!" Anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang berhidung besar memaki.
Kemudian.... Srattt! Sinar terang berkilat ketika golok besar yang tergantung di punggungnya dicabut "Kucincang kau, Wanita Sundal!" teriak lelaki berhidung besar.
"Haaat..!" Didahului teriakan keras dan panjang, lelaki berhidung besar meluruk ke arah Melati. Golok besarnya dibabatkan secara mendatar ke arah leher.
Wuttt! "Heaaat!" Didahului teriakan panjang, lelaki berhidung besar itu meluruk ke arah Melati. Golok besarnya dibabatkan mendatar ke arah leher.
Wuttt! Rambut Melati berkibaran ketika golok itu lewat beberapa jari di atas kepalanya.
Itu terjadi ketika Melati mengelakkan serangan dengan mendoyongkan tubuhnya ke samping kanan. Rambut dan pakaian Melati berkibaran keras ketika golok itu lewat beberapa jari di atas kepalanya. Itu terjadi ketika Melati mengelakkan serangan dengan mendoyongkan tubuhnya ke samping kanan.
Dan sebelum anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam itu berbuat sesuatu, Melati telah menggerakkan tangan kanannya. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga....
Tappp! "Eh..."!" Lelaki berhidung besar berseru kaget ketika tahu-tahu pergelangan tangannya dicekal Melati. Seketika itu pula tangannya ditarik untuk melepaskan cekalan.
Tapi betapa kagetnya lelaki berhidung besar. Tindakannya sia-sia. Jangankan menarik pulang tangannya, bergeming pun tidak. Tangannya seperti bukan dijepit tangan manusia.
Tapi sebuah jepit baja! Meskipun demikian, anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam itu tidak putus asa.
Tetap saja diusahakan melepaskan tangannya dari cekalan Melati.
Di saat lelaki berhidung besar berusaha keras, Melari melakukan gerakan. Gadis berpakaian putih itu ingin memberi pelajaran pada semua anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam. Terutama lawannya ini. Maka tanpa menunggu lebih lama, Melati menggerakkan jari-jari tangannya. Meremas! Krrrkkkhhh! "Aaakh...!" Lelaki berhidung besar melolong kesakitan. Tulang pergelangan tangannya hancur diiringi bunyi bergemeretak keras.
Tindakan Melati tidak terhenti sampai di situ. Sekali sentak tubuh anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang sial itu tertarik ke arahnya. Dan kaki kanan Melati diluncurkan ke arah perut.
Bukkk! "Hukh!" Sepasang mata lelaki berhidung besar membelalak. Wajahnya merah padam. Kaki Melati mendarat telak di perut, hingga membuatnya sesak napas.
Melati baru menghentikan tindakannya. Cekalannya dilepaskan. Tubuh lelaki berhidung besar itu pun ambruk ke tanah. Anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam itu pingsan.
"Siapa lagi yang ingin mendapat hajaranku" Majulah!" tantang Melati. Tangannya dilipat di depan dada.
Ucapan Melati membuat Marangsang dan gerombolannya tersentak Memang, sejak tadi mereka terpaku melihat betapa mudahnya Melati mengalahkan kawan mereka. Lebih tepatnya lagi mempermainkan.
Dan seiring dengan itu kemarahan mereka timbul. Marangsang tampak sangat geram.
"Cincang wanita liar itu!" perintah lelaki bermuka kuda itu. Terasa jelas nada kemarahan yang sangat dalam suaranya.
Bagai kucing yang dibawakan sapu, belasan lelaki kasar itu langsung bertindak Srat, srat, srat! Sinar-sinar terang berkilauan ketika belasan anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam mencabut senjatanya.
Kemudian dengan senjata terhunus, mereka meluruk ke arah Melati. Ketika tiba dekat, senjata-senjata itu diayunkan. Tak pelak lagi hujan senjata yang terdiri dari pedang, golok, ruyung, dan senjata lainnya meluncur ke arah gadis berpakaian putih.
Tapi Melati tetap tenang. Tingkat kepandaian lawan-lawannya terpaut jauh dengannya. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ditunggunya hingga serangan lawan menyambar dekat. Lalu dengan mengandalkan kecepatan geraknya semua serangan itu dielakkan. Gesit laksana kera dan cepat bagai bayangan, tubuh Melati menyelinap di antara kelebatan senjata lawan. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi tidak sulit Melari melakukan semua itu.
Rupanya Melati bermaksud mempermainkan lawan-lawannya. Sampai sepuluh jurus gadis itu hanya mengelak. Tidak melancarkan serangan balasan satu pun. Bahkan menangkis pun tidak! Dan kegagalan demi kegagalan membuat Gerombolan Perompak Laut Hitam semakin kalap. Mereka tidak pernah mimpi seorang wanita muda mampu melakukan hal ini.
Menghadapi keroyokan mereka tanpa melakukan tangkisan atau balasan sampai sepuluh jurus! Kalau gerombolan lelaki kasar itu tersinggung, apalagi Marangsang! Kepala Gerombolan Perompak Laut Hitam itu mencak-mencak seperti kakek-kakek kebakaran jenggot.

***

Bagor yang ikut dalam pengeroyokan, meskipun dengan terpincang-pincang, tak tahan lagi menahan kedongkolannya.
"Apa kau tidak mampu membalas, Wanita Sundal"! Apa yang kau bisa hanya mengelak saja" Hati-hati! Bila berhasil kami tangkap, kau akan kami telanjangi, lalu kami perkosa sampai mati!" Untuk kedua kalinya Bagor melakukan kesalahan berat. Bahkan kali ini lebih besar. Ucapan itu membuat kemarahan Melati naik ke ubun-ubun. Akibatnya sungguh menggiriskan! Saat itu juga Melati menghentikan elakkannya. Tanpa ragu-ragu dipapakinya ayunan senjata yang tertuju ke arahnya dengan tangan dan kaki.
Tak, tak, tak! Bunyi berdetak keras seperti logam beradu terdengar ketika tangan Melati berbenturan dengan senjata lawan. Jeritan-jeritan pendek membumbung. Disusul dengan berpentalannya senjata-senjata yang tergenggam di tangan anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam. Tubuh mereka terhuyung-huyung dengan tangan terasa sakit Dan sebelum mereka bertindak, tangan dan kaki Melati bergerak. Cepat bukan main.
Anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam tidak mampu melihatnya. Tahu-tahu....
Buk, buk, buk! Terdengar bunyi berdebuk keras berturut-turut. Tubuh-tubuh anggota gerombolan terpentalan dengan nyawa melayang meninggalkan raga. Pukulan maupun tendangan Melati telah membuat nyawa mereka melayang. Setiap bagian tubuh yang terkena serangan hancur! Rupanya di dalam kemarahan yang bergelora Melati mengeluarkan seluruh kemampuannya. Dan dalam menjatuhkan serangan semua tenaga dalamnya dikerahkan.
Hasilnya memang menggiriskan! Hanya dalam segebrakan lima orang anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam bergeletakan di tanah tanpa nyawa. Mereka tewas setelah mengeluarkan jeritan menyayat. Bagor termasuk di antara mereka.
Kejadian itu membuat anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam lainnya gentar.
Mereka menghentikan serangan dan melangkah mundur. Sementara Melati semakin beringas. Tewasnya kelima lawannya tidak membuat gadis itu puas. Dengan wajah beringas dan sorot mata penuh ancaman dihampirinya sisa gerombolan.
"Orang-orang seperti kalian harus dilenyapkan dari muka bumi!" desis Melati, "Telah kuusahakan sedapat mungkin untuk mengalah, tapi kalian terlalu memaksa.
Kalianlah yang telah menyebabkan terjadinya peristiwa ini, bukan aku. Sekarang aku tidak bertindak tanggung-tanggung lagi."
"Sombong!" Teriakan keras penuh kemarahan menyambut ucapan Melari. Gadis berpakaian putih itu menoleh. Dilihatnya Marangsang dengan wajah merah padam menahan marah.
Marangsang murka bukan main melihat kematian anak buahnya. Lelaki itu tidak gentar melihat hasil tindakan Melati. Dia pun mampu melakukan tindakan seperti itu. Tidak ada susahnya membunuh gentong-gentong kosong"
"Jangan berbangga hati karena berhasil membinasakan mereka, Wanita Sundal! Mereka hanya tong-tong kosong! Akulah lawanmu! Hih!" Srattt! Marangsang mencabut golok besarnya. Lalu sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring, diterjangnya Melati.
Golok besarnya diputar di atas kepala bagai kitiran, hingga bentuknya lenyap.
Marangsang baru melancarkan serangan ketika telah berada dekat. Golok besarnya ditusukkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan leher.
Melati tahu serangan kali ini tidak bisa disamakan dengan serangan-serangan sebelumnya. Yang menyerangnya adalah Marangsang, sang Pimpinan. Tentu saja jauh lebih dahsyat dari serangan anak buahnya. Tapi walaupun begitu, Melati tidak gentar. Gadis berpakaian putih itu bermaksud menghadapinya dengan tangan kosong! Melati memusatkan perhatiannya pada gerakan golok lawan. Dan ketika telah menyambar dekat, ditangkisnya tusukan Marangsang dengan kedua telapak tangan yang dirangkapkan.
Kreppp! Tindakan Melati berhasil. Batang golok Marangsang terjepit di antara kedua telapak tangannya. Ujung golok hanya berjarak beberapa jari dari dada Melati.
Hasil serangan itu membuat Marangsang penasaran. Dengan sebuah tekanan, ujung goloknya akan menembus dada Melati. Maka seluruh tertaga dalamnya dikeluarkan agar bisa mendorong ujung golok itu ke dada lawan.
Tapi seperti juga anak buahnya, Marangsang mengalami hal yang sama. Betapa pun telah dikerahkan seluruh tenaganya, goloknya tidak mau maju. Marangsang segera sadar tidak ada gunanya lagi usahanya diteruskan. Maka diputuskan untuk menggunakan cara lain. Marangsang menggunakan tangan yang lain untuk melaksanakan rencananya. Tangan kirinya mencabut golok pendek yang terselip di pinggang. Kemudian mengayunkannya ke leher Melati.
Cepat tindakan Marangsang. Tapi masih lebih cepat tindakan Melati. Dengan kedua tangan tetap menjepit batang golok, Melati mendorongnya! Marangsang terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan.
Melihat Marangsang terguling-guling, anak buahnya tidak bisa tinggal diam.
Mereka bersiap melancarkan serangan.
"Hmh!" Melati mendengus melihat kenekatan mereka. Setelah terdiam sesaat, gadis berpakaian putih itu mengeluarkan siulan. Mula-mula pelan. Semakin lama semakin tinggi. Dan seiring dengan semakin meningginya siulan Melati, Marangsang dan anak buahnya merasakan sakit pada telinga. Semakin lama rasa sakit itu makin menjadijadi. Bukan hanya telinga, tapi juga dada dan kepala. Seperti ada jarum yang menusuknusuk. Gerombolan Perompak Laut Hitam kelabakan. Buru-buru senjata yang tergenggam di tangan dibuang. Kedua tangan mereka digunakan untuk mendekap telinga, berusaha mencegah masuknya suara siulan Melati.
Tapi usaha mereka tidak terlalu membuahkan hasil. Siulan Melati mampu menyelusup, meski kedua telinga mereka telah didekap. Akibatnya, belasan orang Gerombolan Perompak Laut Hitam berkelojotan seperti cacing kepanasan. Di saat yang gawat itu, mendadak...
Bangngng, bangngng! Bunyi berdentam-dentam keras memendam suara siulan Melati. Saat itu juga, pengaruh siulan Melari lenyap.
Marangsang dan anak buahnya segera bangkit. Kemudian tanpa menunggu lebih lama, melesat kabur meninggalkan tempat itu. Gerombolan Perompak Laut Hitam sadar Melati bukan tandingan mereka. Kalau tetap bersikeras melawan, itu sama dengan mengantarkan nyawa sia-sia.
Tindakan gerombolan itu tidak luput dari perhatian Melati. Namun, gadis berpakaian putih itu tidak mempedulikannya. Melati lebih memusatkan perhatian pada orang yang telah menimbulkan bunyi riuh, hingga menghilangkan pengaruh siulannya. Melati tidak perlu menunggu lama. Sesaat kemudian, melesat sesosok tubuh ke arahnya. Melati hampir tidak bisa menahan rasa gelinya ketika melihat gerakan sosok itu. Berlari atau menggelindingkah dia" Tanya gadis itu dalam hati.
Tidak salah kalau Melati mengeluarkan pertanyaan itu. Sosok yang tengah menuju ke arahnya memang tidak seperti berlari, tapi menggelinding! "Hup!" Hanya sekejap sosok itu telah berjarak tiga tombak dari Melati. Lalu menghentikan gerakannya. Kesempatan itu dipergunakan Melati untuk memperhatikannya.
Kembali Melati hampir tidak kuat menahan rasa geli. Sosok yang berdiri di hadapannya hampir tidak mirip manusia. Sosok itu bertubuh pendek gemuk. Malah terlalu pendek dan gemuk. Kedua kaki dan tangannya pendek-pendek! Ciri-ciri itu saja sudah membuat sosok itu mirip bola. Masih ditambah lagi dengan bentuk anggota tubuhnya yang serba bulat. Matanya, hidungnya, mulutnya, juga kupingnya.
Yang lebih gila lagi, sosok itu sepertinya ingin memamerkan bentuk tubuhnya.
Pakaiannya yang berupa rompi putih terlalu kecil, sehingga mencetak tubuhnya.
Bahkan bagian perutnya tidak tertutup sama sekali.
"Mengapa tersenyum-senyum, Anak Manis"! Apakah ada yang lucu?" tanya sosok pendek gemuk itu seraya mengembangkan senyum.
Senyuman pada wajahnya membuat sosok pendek gemuk terlihat lebih muda.
Meskipun demikian, sulit memperkirakan usianya. Wajah dan potongan tubuhnya masih padat. Apalagi tidak ada kumis, jenggot, atau cambang.
Belum sempat Melati memberikan jawaban terdengar suara serak dan keras menyahuti. Suara itu lebih pantas keluar dari mulut seekor burung gagak.
"Monyet Busuk! Kadal Buduk! Anjing Kurap! Lagi-lagi aku kalah cepat denganmu, Setan Tertawa! Tapi, jangan harap aku akan mengalah!" Dan sebelum gema ucapan yang mampu membuat tempat itu dan dada Melati bergetar hebat lenyap. Berkelebat sesosok bayangan hitam.
Jliggg! Ringan tanpa suara sosok bayangan hitam mendarat di depan Melati. Juga dalam jarak tiga tombak. Bedanya sosok pendek gemuk yang dipanggil Setan Tertawa di sebelah kanan, sedang sosok hitam itu di sebelah kiri.
Melati mengarahkan pandangan ke arah sosok hitam yang baru tiba. Kening gadis itu langsung berkerut. Sosok itu memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan Setan Tertawa. Sosok hitam itu bertubuh tinggi kurus. Bahkan terlalu tinggi dan kurus, hingga tak ubahnya tangga. Wajahnya yang dihiasi kumis dan jenggot jarang-jarang kelihatan muram.
Bibirnya selalu bergerak-gerak seperti orang menangis. Aneh sekali! Tapi rasa heran yang melingkupi Melari langsung lenyap ketika mendengar ucapan Setan Tertawa.
"Aku pun tidak mengharapkan kau mengalah, Dewa Pencabut Nyawa! Kita lihat saja siapa yang berhasil mendapatkannya!" seru Setan Tertawa gembira.
"Setan Tertawa" Dewa Pencabut Nyawa?" tanya Melati dengan hati berdebar tegang.
Dua julukan itu pernah didengarnya. Menurut berita Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa adalah datuk-datuk golongan hitam yang berkepandaian sangat tinggi. Setan Tertawa merajai bagian utara, sedang bagian selatan dikuasai Dewa Pencabut Nyawa.
Kabarnya telah ratusan kali dua datuk itu bertarung. Tapi tak ada seorang pun pernah mengalahkan mereka. Jangankan mengalah, menandingi saja tidak mampu.
Semuanya roboh! Selama puluhan tahun keduanya merajalela di dunia persikitan tanpa ada yang menghalangi. Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa memang sangat tinggi ilmunya. Beberapa kali mereka bertarung untuk menentukan siapa yang lebih pandai dan parut menyandang gelar tokoh nomor satu. Tapi, selalu saja hasil pertarungan berakhir seri. Walaupun begitu, yang membuat tokoh-tokoh persikitan baik golongan hitam maupun putih merasa ngeri bukan kepandaiannya. Tapi kekejamannya. Kekejaman kedua datuk sesat itu mampu membuat tokoh yang paling kejam sekalipun bergidik ngeri! Dan sekarang dua datuk yang menggiriskan itu berada di hadapan Melati! Sungguh pun perasaan tegang melanda Melati mampu bersikap tenang. Gadis itu tahu kedua kakek di hadapannya berkepandaian tinggi. Suatu tindakan yang bijaksana bila menjauhkan terciptanya masalah. Apalagi saat itu Dewa Arak berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan! Maka dengan sikap tidak peduli dan seakan-akan tidak mengenal kedua kakek itu, Melati mengayunkan langkah ke tempatnya semula. Lalu duduk di akar pohon yang melintang.

֍ 4 ֍

"He he he...! Hati-hati, Anak Manis. Jangan duduk di situ. Kadang-kadang dari atas pohon ada ular menyerang!" ujar Setan Tertawa sambil terkekeh.
Sepintas tidak ada yang aneh dalam ucapan Setan Tertawa. Kakek gemuk pendek itu bermaksud baik dengan memberi nasihat. Tapi Melati bukan gadis yang masih hijau.
Dia telah cukup kenyang merasakan kerasnya dunia persikitan. Ditambah dengan pengetahuan yang didapatnya dari Dewa Arak. Maka, Melati dapat merasakan kelainan dalam ucapan Setan Tertawa. Ada getaran aneh di dalamnya. Bahkan sepasang mata kakek gemuk pendek itu berkilat-kilat aneh! Melati bersikap waspada. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada telinga dan mata.
Saat itulah....
Ssszzz...! Bunyi mendesis keras dari atas pohon membuat Melati terperanjat. Apalagi ketika mendengar desir angin menyambar ke arahnya. Melati segera mengetahui ada bahaya mengancam. Maka tubuhnya buru-buru direbahkan. Pada saat yang bersamaan pedangnya dicabut Srattt! Sinar terang berkilau ketika pedang itu terhunus.
Wusss! Singngng! Crottt! Rentetan kejadiannya demikian cepat. Dari atas pohon seekor ular melesat cepat hendak mematuk Melati. Tapi sebelum binatang melata itu berhasil melaksanakan maksudnya, pedang Melati telah lebih dulu berkelebat dan memutuskan tubuhnya.
Plukkk! Begitu jatuh ke tanah, tubuh ular itu lenyap. Yang terlihat di sana potongan ranting.
"Permainan anak-anakmu tidak berguna, Setan Tertawa,
" celetuk Dewa Pencabut Nyawa dengan bibir bergerak-gerak seperti orang hendak menangis.
"Biarlah aku yang meneruskannya,
" usai berkata, kakek tinggi kurus itu melambaikan tangan kanannya pada Melati. Gadis berpakaian putih itu merasa heran. Apa maksud Dewa Pencabut Nyawa" Dan sesaat kemudian, pertanyaan itu terjawab. Melati terkejut bukan main. Sebuah kekuatan aneh yang tak nampak menarik tubuhnya ke arah Dewa Pencabut Nyawa! Kejadiannya berlangsung demikian cepat. Melati yang tengah berdiri dengan pedang melintang di depan dada langsung tertarik ke arah kakek tinggi kurus. Namun di saat tubuhnya melayang ke arah Dewa Pencabut Nyawa, Melati tidak ringgal diam.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk bertahan. Usahanya tidak sia-sia. Laju tubuhnya menurun jauh! Meskipun demikian, tubuh Melati tetap tertarik. Hanya saja dengan cara yang tidak mudah. Kedua kaki Melati seperti berakar dalam tanah. Sehingga meskipun tetap tertarik, akibatnya menimbulkan guratan yang dalam pada tanah. Debu mengepul tinggi ke udara.
Melati menggertakkan gigi dalam usahanya mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Wajahnya merah padam. Namun daya tarik aneh itu sangat kuat. Sehingga betapa pun Melati telah mengerahkan seluruh kemampuannya tetap saja tubuhnya meluncur ke arah Dewa Pencabut Nyawa.
Melati pun sadar tidak ada gunanya melawan. Kekuatan lawan terlalu kuat. Tapi meskipun begitu, gadis berpakaian putih itu tidak putus asa. Dalam waktu yang sangat sempit benaknya diputar untuk mencari jalan meloloskan diri.
Beruntung cara itu segera ditemukan. Melati memutuskan memanfaatkan serangan unik Dewa Pencabut Nyawa. Melari langsung menghentikan perlawanannya. Akibatnya, tubuh gadis berpakaian putih itu melayang deras ke arah Dewa Pencabut Nyawa. Hal inilah yang ditunggu-tunggu Melati. Melayangnya tubuhnya ke arah lawan dipergunakan sebaik-baiknya.
Wungngng! Bunyi menggerung keras seperti naga mengamuk terdengar ketika Melari menusukkan pedangnya ke arah leher Dewa Pencabut Nyawa. Inilah 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang menjadi andalan Melati. Melihat dari langsung dikeluarkannya ilmu ini, bisa diketahui Melati menyadari Dewa Pencabut Nyawa seorang lawan yang sangat tangguh! "Hmh!" Dewa Pencabut Nyawa mengeluarkan dengusan mengejek untuk menutupi keterkejutannya melihat Melati mampu mempergunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangan mematikan.
Seiring keluarnya dengusan itu Dewa Pencabut Nyawa langsung mengibaskan tangan.
Sama seperti sebelumnya, gerakan itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga sama sekali. Tapi hasilnya luar biasa! "Uh!" Keluhan tertahan keluar dari mulut Melati ketika dirasakan ada kekuatan tak nampak melempar tubuhnya ke belakang. Gadis berpakaian putih itu tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Yang diketahuinya dia merasa seperti menabrak dinding kasat mata. Kemudian ada sebuah kekuatan tak terlihat melemparkan tubuhnya! Tapi, untuk yang kedua kalinya Melati berhasil mematahkan gebrakan aneh Dewa Pencabut Nyawa. Melati menggunakan kekuatan tak nampak itu untuk bersalto di udara beberapa kali. Dan di saat tubuhnya berada di udara tangan kirinya dihentakkan! "Hih!" Wusss! Serentetan angin keras menghambur dari telapak tangan Melati. Dan meluncur ke arah Dewa Pencabut Nyawa. Inilah jurus' Naga Merah Membuang Mustika'! "Hehhh..."!" Seruan kaget langsung terdengar. Dewa Pencabut Nyawa sedikit pun tidak menyangka akan terjadi seperti ini. Apalagi ketika menyadari serangan jarak jauh Melati sangat dahsyat.
Namun kakek tinggi kurus tidak gentar. Kemenangan demi kemenangan yang diperolehnya selama ratusan kali bertarung membuatnya yakin akan kemampuan diri.
Maka tanpa ragu-ragu dipapakinya serangan itu dengan bentakan tangan kirinya! Wusss! Blarrr! Terdengar ledakan keras laksana halilintar menyambar. Akibatnya menggiriskan hati. Getaran dahsyat yang melanda membuat daun-daun berguguran! Akibat yang lebih hebat dialami dua tokoh yang saling melancarkan pukulan jarak jauh. Baik Melati maupun Dewa Pencabut Nyawa terdorong ke belakang. Hanya saja keadaan yang dialami Melati jauh lebih parah. Gadis berpakaian putih itu tidak hanya terjengkang lebih jauh, bahkan sampai terguling-guling ke tanah.
Tapi bukan berarti Melati sudah tidak berdaya. Diakui dadanya terasa sesak, namun itu tidak menghalangi tindakan selanjutnya. Dengan gerakan manis Melari melentingkan tubuh dan mendarat dengan kedua kaki lebih dulu.

***

"Sudah terlalu lama kau bermain-main dengannya, Dewa Pencabut Nyawa. Sekarang biarkan aku yang melayaninya!" Setan Tertawa langsung bertindak. Laksana sebuah bola, tubuhnya digelindingkan. Bunyi riuh rendah seperti batu-batu besar bergelinding mengiringi menggelindingnya tubuh kakek gemuk pendek itu.
Melati mengernyitkan dahi melihat cara penyerangan yang unik itu. Begitu terdengar teriakan Setan Tertawa, Melati memang segera mengalihkan perhatiannya dari Dewa Pencabut Nyawa. Dan sekarang gadis berpakaian putih itu menatap Setan Tertawa tanpa berkedip.
Sementara itu, setelah jaraknya semakin dekat dengan Melati, Setan Tertawa melenting ke atas. Gerakan yang dilakukannya seperti loncatan seekor katak.
Tapi, jangan coba-coba memandang rendah. Akibatnya akan membuat nyawa melayang! Itu disadari oleh Melati. Maka begitu tubuh Setan Tertawa melenting, kewaspadaannya semakin ditingkatkan. Dia tahu Setan Tertawa telah mulai menyerang. Dugaan Melati tepat.
Begitu tubuhnya berada di udara, Setan Tertawa melancarkan serangan. Tangan kanannya disampokkan ke arah pelipis gadis itu.
Wuttt! Angin menderu keras begitu tangan Setan Tertawa meluncur. Ini menjadi pertanda sampokan itu mengandung tenaga dalam kuat. Dan memang, jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur bila terkena sampokan Setan Tertawa. Tentu saja kenyataan demikian disadari Melati. Hingga gadis itu tidak berani bertindak gegabah. Seraya menarik kaki kanannya, tubuhnya dicondongkan ke belakang. Pada saat yang bersamaan pedangnya dibabatkan untuk memapaki serangan lawan. Menurut perkiraan Melati, Setan Tertawa akan membatalkan serangannya. Sebab bila kakek gemuk pendek itu meneruskan maksudnya, pergelangan tangannya akan berbenturan dengan pedang Melati. Tapi betapa kagetnya Melati ketika melihat Setan Tertawa tidak melakukan tindakan seperti yang diperkirakannya. Setan Tertawa tidak menarik serangannya! Sudah gilakah kakek ini" Kalau tidak, mana mungkin menangkis babatan pedang dengan tangan telanjang" Dewa Arak saja tidak berani melakukan hal seperti itu! Ataukah Setan Tertawa memiliki tenaga dalam melebihi Dewa Arak"! Wungngng! Takkk! "Ikh!" Tanpa sadar Melati menjerit kaget. Dengan mata kepala sendiri dilihatnya pedang berbenturan dengan pergelangan tangan Setan Tertawa. Tapi, tangan kakek gemuk pendek itu tidak apa-apa. Jangankan putus, tergores pun tidak! Lain halnya dengan Melari. Benturan itu mengakibatkan telapak tangan kanannya terasa pedas. Rasa linu melanda sekujur tangannya. Bahkan dia tidak mampu menahan tubuhnya yang terhuyung.
Sementara itu, tindakan Setan Tertawa tidak berhenti sampai di situ. Tangan kirinya dengan jari-jari terbuka membentuk cakar dilayangkan ke arah perut Melati. Melati terperanjat. Cepatnya serangan susulan itu meluncur membuatnya tidak sempat menggerakkan pedang atau mengelak. Jalan satu-satunya hanya menangkis dengan tangan kiri. Itulah yang dilakukannya! Melati memapaki serangan itu dengan kedudukan jari-jari tangan sama dengan lawan.
Prattt! Kembali benturan terjadi. Kali ini antara dua tangan yang dialiri tenaga dalam kuat! Akibatnya tubuh Melati terjengkang ke belakang, dan mungkin jatuh kalau tidak segera mematahkan kekuatan daya dorongnya. Setan Tertawa pun demikian. Tapi, kakek gemuk pendek itu hanya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
"He he he...! Luar biasa...! Luar biasa...! Baru sekarang kutemukan seorang wanita muda memiliki kemampuan luar biasa! Kau tidak terlalu mengecewakan untuk dijadikan lawan bertarung, Nisanak! Sayang, aku tengah mempunyai urusan yang amat penting di Desa Sampan. Lain kali kita akan jumpa lagi! He he he...!" Melati yang sudah bersiap menghadapi serangan lanjutan Setan Tertawa tidak segera mempercayai ucapan itu. Gadis itu tetap melintangkan pedangnya di depan dada. Siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan. Sepatah pun tidak disambutinya ucapan Setan Tertawa. Yang menyambuti celoteh Setan Tertawa justru Dewa Pencabut Nyawa.
"Hmh...! Sejak dulu watakmu masih belum juga berubah, Setan Tertawa. Manis di mulut, tapi pahit dirasakan. Mana mungkin wanita ini akan bertemu denganmu lagi! Dasar ular kepala dua!" Wajah Dewa Pencabut Nyawa yang sudah muram itu semakin bertambah layu.
Memang, aneh untuk dilihat! Kalau Setan Tertawa bila bicara raut wajahnya penuh seri kegembiraan, membuat usianya seperti bertambah muda. Tidak demikian dengan Dewa Pencabut Nyawa. Setiap kali bicara raut wajahnya yang sedih bertambah muram. Hingga terlihat bertambah tua dan seperti orang hendak menangis! Setan Tertawa tidak menanggapi ucapan kawannya. Dia melesat meninggalkan tempat itu. Aneh sekali caranya berlari. Setan Tertawa berlari seperti bola menggelinding. Melihat hal itu, Dewa Pencabut Nyawa tidak berdiam diri. Sekali kakinya dijejakkan tubuhnya melesat ke depan mengejar Setan Tertawa. Caranya berlari tak kalah aneh. Kakek tinggi kurus itu tidak hanya menggunakan kaki, tapi juga tangan! Namun anehnya justru dengan cara itu kecepatan larinya jadi luar biasa.

***

"Hhh...!" Melati menghela napas lega melihat kedua datuk sesaat berkepandaian menggiriskan hati itu lenyap di balik kerimbunan semak-semak dan pepohonan lebat. Kemudian gadis itu mengayunkan kaki ke tempatnya menunggu Arya.
Tapi baru saja Melari melongokkan kepalanya, dari tempat itu melesat ke atas sesosok bayangan. Kejadian-kejadian sebelumnya membuat Melati bersikap sangat hati-hati. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang. Dan selagi berada di udara pedangnya dicabut.
Srattt! Jliggg! Begitu kedua kakinya hinggap di tanah di tangan Melati telah terhunus pedang.
Semua urat saraf dan otot tubuhnya menegang waspada, siap menghadapi segala kemungkinan. Tapi begitu melihat sosok yang kini telah berdiri tegak di hadapannya, seluruh otot dan urat saraf Melati mengendur. Sosok yang melesat dari dalam jurang itu ternyata Arya! "Ada apa, Melati?" tanya Arya heran bercampur kaget.
"Ah... tidak Kang, " jawab Melati sambil menyarungkan pedangnya.
Arya menatap wajah kekasihnya penuh selidik seraya berjalan menghampiri. Dia merasa ragu mendengar jawaban Melati. Tidak mungkin Melati akan bertindak seperti itu jika tidak terjadi sesuatu yang luar biasa.
"Ceritakanlah, Melati Apa yang telah terjadi sewaktu aku turun ke bawah"!" desak Arya penasaran.
Pemuda berambut putih keperakan itu merayapi sekujur tubuh Melari dengan sorot matanya. Tampak butiran-butiran peluh di wajah gadis itu. Bahkan cukup banyak. Terutama di dahi dan leher. Kenyataan ini sudah menunjukkan telah terjadi sesuatu sepeninggalnya tadi.
Kecurigaan Arya semakin bertambah ketika melihat pakaian putih kekasihnya kotor.
Jelas, Melati telah bergulingan di tanah. Tapi mengapa"
"Lebih baik kau ceritakan dulu hasil yang kau dapat di bawah sana, Kang. Maaf, aku belum bisa menceritakan peristiwa yang terjadi. Aku masih belum bisa menghilangkan rasa kagetku...!"
"Baiklah kalau begitu, " Arya mengalah.
Pemuda berambut putih keperakan itu menyeka peluh yang membasahi wajahnya sebelum mulai bercerita. Agaknya tindakan yang baru dilakukannya tadi telah menguras seluruh tenaganya.
"Sosok di dalam jurang itu memang pemilik jeritan yang kita dengar, " Arya memulai keterangan-nya.
"Jadi... dia masih hidup, Kang?" selak Melari tidak sabar.
"Semula memang dia masih hidup, tapi sekarang sudah tewas. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah. Dia mampu bertahan hidup sampai aku temukan. Ini merupakan suatu keajaiban. Daya tahan tubuhnya luar biasa sekali!" jelas Arya.
"Lalu..., apakah dia sempat memberitahu penyebab kematiannya, Kang?" kejar Melari. Arya mengangguk,
"Dia hendak mengambil hasil sadapannya. Tapi, serombongan orang berpakaian pasukan kerajaan menghadang. Mereka menanyakan letak Desa Sampan.
Penduduk yang malang itu memberitahukannya."
"Desa Sampan..." Aneh...!" desah Melari dengan kening berkernyit.
"Mengapa, Melati" Apakah ada sesuatu yang aneh"!" tanya Arya ingin tahu melihat tanggapan kekasihnya.
"Aneh sih, tidak. Hanya saja.... Ah! Lebih baik nanti saja kueeritakan. Lalu..., mengapa dia dibunuh, Kang?" terasa jelas nada penasaran dalam ucapan gadis berpakaian putih itu.
"Aku sendiri tidak tahu pasti, Melati. Mungkin karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan selanjutnya. Orang-orang berseragam pasukan kerajaan itu menanyakan tempat tinggal orang yang bernama Garang Laksa."
"Garang Laksa"!" ulang Melati meminta kepastian.
"Benar, Melati. Garang Laksa." Melati terdiam. Mungkinkah ada hubungannya dengan Gerombolan Perompak Laut
Hitam, dan Setan Tertawa, serta Dewa Pencabut Nyawa" Bukankah mereka mencari Desa Sampan" Apakah mereka juga mencari Garang Laksa"
"Ada apa, Melati" Mengapa kau termenung" Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi sepeninggalku?" Ucapan Arya membuyarkan lamunan Melati Gadis berpakaian putih itu menatap wajah kekasihnya sesaat.
"Memang banyak terjadi peristiwa saat kau turun ke bawah, Kang. Anehnya mereka semua menanyakan Desa Sampan"! Mungkinkah yang mereka cari sama dengan yang tengah diselidiki gerombolan orang berseragam pasukan kerajaan?" Lalu Melati menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Arya mendengarkan dengan penuh perasaan tertarik. Tak sekalipun dipotongnya hingga Melati menyelesaikan ceritanya.
"Itulah yang terjadi sepeninggalmu, Kang," tutur Melati menutup ceritanya.
"Setan Tertawa... Dewa Pencabut Nyawa.... Mereka adalah dua datuk sesat yang luar biasa pandai dan kejam. Untung mereka tidak menurunkan tangan jahat kepadamu. Dan.... Melati! Kenapa kau..."!" Arya menghentikan ucapannya. Dilihatnya tubuh Melati mendadak limbung. Wajah gadis berpa kaian putih itu pucat pasi bagai mayat. Jelas, ada sesuatu yang tengah terjadi padanya. Demikian dugaan Arya.
Jawaban bagi pertanyaan Arya adalah robohnya tubuh Melati. Tapi sebelum ambruk ke tanah, Arya telah lebih dulu menangkap tubuh gadis itu.

֍ 5 ֍

Tanpa membuang-buang waktu, Arya segera membopong Melati dan membawanya ke tempat teduh. Di bawah sebatang pohon yang berumput tebal tubuh gadis berpakaian putih itu dibaringkan.
"Mengapa, Melati" Apa yang kau rasakan?" tanya Arya sangat khawatir.
Bisa dimaklumi mengapa pemuda berambut putih keperakan itu demikian khawatir.
Wajah Melari pucat pasi. Keringat sebesar-besar jagung menghias wajahnya. Tapi yang lebih membuat Arya cemas adalah bintik-bintik hitam di wajah Melati.
Bintik-bintik itu semakin banyak! Perlahan-lahan Melati membuka kelopak matanya. Tapi kemudian ditutupnya kembali.
"Aku... aku tidak tahu, Kang. Aku merasa lemas dan pusing. Aku... aku tidak mampu menggerakkan jari-jariku...," terdengar suara Melati terputus-putus seperti orang gagap.
Arya tercenung. Pemuda itu kelihatan sedang berpikir keras hingga dahinya berkerut "Aku yakin kau terkena racun, Melati. Cobalah kau ingat-ingat. Barangkali ada serangan lawan yang mengenaimu.... Atau... ada yang telah menyemprotkan serbuk... Atau...
yang lainnya. Ingat-ingatlah, Melati."
"Akan... akan kucoba, Kang." Melati berusaha keras mengingat-ingat kejadian yang telah dialaminya.
"Apa yang kau duga tidak pernah terjadi, Kang. Tidak ada satu pun serangan lawan yang mengenaiku. Tapi...
aku ingat ucapan Dewa Pencabut Nyawa sebelum pergi."
"Coba ulangi perkataannya, Melati," desak Arya tidak sabar.
Kembali Melati mengernyitkan dahi berusaha mengingat-ingat.
"Hmh...! Sejak dulu watakmu masih belum juga berubah, Setan Tertawa. Manis di mulut, tapi pahit dirasakan. Mana mungkin wanita ini akan bertemu denganmu lagi! Dasar ular kepada dua!" Melati mengulangi ucapan Dewa Pencabut Nyawa.
Arya mengangguk-angguk. Rupanya pemuda itu telah berhasil menarik sebuah kesimpulan.
"Kapan dia mengucapkan pernyataan itu, Melati"!"
"Setelah Setan Tertawa mengucapkan pujiannya padaku, karena berhasil mematahkan serangan-serangan beruntunnya. Ah...! Aku ingat, Kang! Aku telah berbenturan tangan dengan Setan Tertawa!"
"Kalau begitu..., biar kulihat tanganmu!" Dewa Arak segera menggulung lengan baju Melati. Seketika itu pula dia terperanjat. Pada pergelangan tangan Melari tampak bintik-bintik hitam sebesar ibu jari.
Rasa penasaran membuat Dewa Arak menggulung lengan baju yang satu. Hasil yang didapat membuatnya yakin akan kebenaran dugaan Melati. Pada tangan kanan, meskipun terdapat tanda hitam, tapi berupa ritik-titik kecil. Jelas, racun itu berasal dari benturan tangan Melati dengan Setan Tertawa.
"Dugaanmu benar, Melati," ucap Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu menerawangkan pandangannya ke langit.
"Setan Tertawa! Percayalah...! Aku tidak akan melepaskanmu atas kekejian yang telah kau lakukan ini." Arya kemudian menurunkan guci arak dari punggungnya "Tidak ada jalan lain, Melati. Terpaksa kau harus meminum arakku. Buka mulutmu!" Masih dalam keadaan tetap terpejam, Melati membuka mulutnya. Arya segera menuangkan araknya.
Gluk....Gluk.....Gluk..! Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melalui tenggorokan Melati. Kemudian Arya menaruh kembali guci araknya di punggung. Itu semua dilakukan tanpa melepaskan perhatiannya dari Melati.
Tak berapa lama, Arya melihat desah napas Melari mulai teratur. Tanpa memeriksa lagi ia tahu Melati telah tertidur. Agaknya arak Arya tengah menunjukkan khasiatnya. Di saat Melati terlelap Arya menghubung-hubungkan semua kejadian itu. Baik yang dialaminya maupun dialami Melati. Hasilnya adalah munculnya berbagai pertanyaan.
Mengapa tokoh-tokoh persikitan dan orang-orang kerajaan menuju Desa Sampan" Apakah benar untuk mencari Garang Laksa" Lalu, orang macam apakah Garang Laksa itu, sehingga datuk-datuk sesat seperti Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa sampai ikut-ikutan mencari" Dewa Arak tahu tokoh seperti Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa tidak akan melakukan hal seperti itu kalau tidak karena urusan yang sangat penting! Apakah urusan itu" Kembali satu pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
Mendadak Dewa Arak tersentak ketika teringat sesuatu! Bukankah dia tengah menuju Desa Sampan juga" Dan bukankah Benggala dan kawan-kawannya berada di Desa Sampan"! Celaka! Mereka pasti berada dalam bahaya.
"Uh...!" Keluhan Melati menyadarkan Arya dari lamunannya. Buru-buru pemuda berambut putih keperakan itu mengalihkan perhatiannya. Seketika itu pula raut wajahnya menyiratkan kegembiraan. Titik-titik hitam di wajah Melati lenyap! Racun itu telah berhasil dipunahkan.
Rasa penasaran memaksa Arya melihat tangan kiri Melati. Kenyataan yang dilihatnya pun sama. Tangan itu mulus! Tidak ada noda-noda hitam sebesar ibu jari lagi. Semuanya lenyap. Arak Arya ternyata benar-benar manjur dan bekerja cepat. Kegembiraan Arya semakin bertambah ketika melihat Melati membuka matanya.
Bahkan kemudian bangkit dan duduk.
"Syukur racun itu berhasil dipunahkan, Melati," ucap Arya gembira.
"Arakmu memang manjur, Kang," timpal Melati tersenyum manis.
Arya hanya menyunggingkan senyum lebar sebagai jawabannya.
"Kurasa kita harus cepat-cepat ke Desa Sampan, Kang!" sambil berkata demikian, Melati bangkit berdiri.
"Tenanglah, Melati. Tidak usah terburu-buru. Kau belum sembuh benar. Dan...."
"Aku sudah sembuh, Kang," bantah Melati.
"Tapi... wajahmu masih pucat, Melati. Lagi pula...."
"Hanya lemas sedikit. Aku yakin di tengah perjalanan tenagaku akan pulih kembali," timpal Melati.
"Cepatlah kita ke sana, Kang. Aku khawatir mereka telah menyebar onar di sana! Ayolah, Kang! Tunggu apa lagi"!" Dewa Arak tidak segera menanggapi. Pemuda itu tercenung berusaha mempertimbangkan. Dan sesaat kemudian jawabannya diberikan.
"Baiklah kalau kau memang sanggup, Melati," ujar Arya mengalah.

***

Brakkk! Bunyi berderak keras mengawali hancurnya daun pintu sebuah pondok sederhana.
Salah seorang dari rombongan orang berpakaian seragam kerajaan telah menendangnya. Bunyi hiruk-pikuk itu menyebabkan pemilik rumah bergegas keluar ingin melihat penyebab timbulnya bunyi riuh rendah itu.
Tapi sebelum mencapai pintu sang pemilik rumah, seorang lelaki setengah baya berjenggot jarang-jarang, segera membalikkan tubuhnya. Sudah dapat diduga maksudnya. Lelaki itu hendak meninggalkan tempat itu. Sebab dilihatnya pintunya hancur berantakan dan di depan rumah berkumpul banyak orang dengan gelegat mencurigakan.
"Berhenti, Tua Bangka! Atau... kau ingin rumahmu kujadikan lautan api!" Langkah lelaki berjenggot jarang-jarang itu terhenti. Kemudian, dengan tarikan wajah memancarkan rasa takut yang sangat kakinya dilangkahkan ke luar.
"Keparat! Berani kau mempermainkan kami, Tua Bangka"!" Prajurit yang telah menendang hancur daun pintu, seorang lelaki kekar berkumis melintang, rupanya tidak sabar melihat langkah pemilik rumah yang dianggapnya terlalu lambah. Maka dengan penuh kemarahan, dia maju menghampiri. Kemudian tangan kanannya diulurkan. Dan....
Kreppp! Leher baju lelaki berjenggot jarang-jarang telah dicekal prajurit berkumis melintang. Tidak hanya itu. Diangkatnya tubuh pemilik rumah. Lalu dilemparkan keluar! Wuttt! Bukkk! Tubuh pemilik rumah yang sial itu ambruk di tanah dengan menimbulkan bunyi berdebum setelah melayang-layang beberapa saat.
"Aduh...." Lelaki setengah baya itu merintih kesakitan. Dicobanya untuk bangkit, tapi tidak mampu. Rupanya banyak bagian tubuhnya yang terkilir. Dengan menyeringai kesakitan tubuhnya kembali direbahkan. Sementara itu, prajurit berkumis melintang segera menghampiri. Dan hanya dalam beberapa langkah telah berada di dekatnya.
"Aku ingin mengajukan pertanyaan, Tua Bangka! Kuharap kau mau menjawabnya! Dan dengan benar! Kalau tidak.., kau akan tahu sendiri akibatnya! Mengerti"!"
"Mengerti, Tuan," jawab lelaki berjenggot jarang-jarang sambil menganggukkan kepala.
"Bagus...!" puji prajurit berkumis melintang.
"Nah! Sekarang dengarkan pertanyaanku baik-baik! Apa nama desa ini"!"
"Desa Gondang, Tuan."
"Desa Gondang"!" Prajurit itu mengulang ucapan pemilik rumah seraya mengalihkan pandangan ke arah rekan-rekannya yang mengawasi semua peristiwa yang berlangsung.
"Benar, Tuan."
"Hm.... Lalu... bisa kau tunjukkan padaku di mana letak Desa Sampan"!"
"Desa Sampan" Kalau begitu, kau tinggal menempuh arah ke timur, Tuan.
Sekeluarnya dari desa ini. Kau akan memasuki daerah Desa Sampan," jelas lelaki setengah baya. Prajurit berkumis melintang mengangguk-angguk, "Apakah benar orang yang bernama Garang Laksa tinggal di Desa Sampan"!" Pemilik rumah itu tidak segera menjawab. Dia tercenung sejenak sebelum menggeleng.
"Sayang sekali. Aku tidak mengenalnya, Tuan. Dan...."
"Keparat! Kau berani mempermainkan aku, Tua Bangka!" geram prajurit itu, "Apa kau sudah bosan hidup"!" Seketika tubuh pemilik rumah menggigil keras karena rasa takut yang menggelegak.
"Ampun, Tuan. Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku benar-benar tidak mengenal orang itu. Bahkan mendengarnya pun baru kali ini. Itu pun dari mulutmu sendiri, Tuan," ujarnya dengan sangat takut.
"Keparat! Rupanya kau lebih suka dikasari baru mau bicara, Tua Bangka! Hih!" Bukkk! "Akh!" Tubuh lelaki setengah baya itu menggeliat. Lolong kesakitan keluar dari mulutnya. Tendangan prajurit berkumis melintang mengenai perutnya dengan telak. Untung prajurit itu hanya menggunakan tenaga kasar. Kalau tidak, nyawa lelaki berjenggot jarang-jarang telah melayang ke alam baka! "Cepat katakan, Tua Bangka! Atau... kau ingin kusiksa lagi?"
"Ampun, Tuan. Aku sungguh-sungguh tidak tahu.... Akh!" Lagi-lagi lelaki berjenggot jarang-jarang menggeliat kesakitan ketika prajurit itu kembali mengirimkan tendangan. Kali ini ke arah wajahnya, dan mengenai hidungnya. Tak pelak lagi, cairan merah kental mengalir dari kedua lubang hidungnya.
"Ini pertanyaanku yang terakhir, Tua Bangka! Kau mau menjawab pertanyaanku. Atau harus kuhabisi nyawamu! Asal kau tahu saja, kesabaranku telah habis!" sambil berkata demikian, prajurit berkumis melintang meletakkan kaki kanannya di dada lelaki setengah baya yang telentang tak berdaya. Sekali saja tenaga dalamnya dikerahkan, penduduk desa yang malang itu akan tewas dengan tulang dada hancur berantakan. Namun sebelum, lelaki berjenggot jarang-jarang memberikan jawaban, mendadak...
Wuttt! Takkk! "Akh!" Prajurit berkumis melintang melolong kesakitan. Sebuah batu sebesar ibu jari menghantam tulang keringnya. Keras dan telak. Bisa dibayangkan sakitnya. Tak aneh jika prajurit itu menjerit kesakitan sambil melompat-lompat dengan satu kaki. Sedangkan yang satu ditekuk. Sementara tangannya memegang bagian yang sakit. Kejadian yang menimpa prajurit berkumis melintang membuat rekan-rekannya kaget bercampur marah.
"Orang gila dari mana yang berani mencampuri urusan kami"!" seru rekan prajurit berkumis melintang yang bermata sipit.
Belum juga gema ucapan prajurit bermata sipit hilang, melesat dua sosok bayangan. Kemudian, Jliggg! Jliggg! Ringan laksana daun kering jatuh, dua sosok bayangan itu mendaratkan kaki di dekat tubuh lelaki berjenggot jarang-jarang.
"Menyingkirlah, Ki. Biar kami yang akan membereskan manusia-manusia keji ini!" ucap sosok berpakaian ungu dan berambut putih keperakan. Siapa lagi kalau bukan Arya alias Dewa Arak"! "Aku... aku tidak bisa bergerak, Anak Muda," sahut lelaki berjenggot jarangjarang terputus-putus dengan suara aneh, karena batang hidungnya telah remuk.
"Bawa dia menyingkir, Melati," ucap Arya pada sosok berpakaian putih di sebelahnya.
"Baik Kang," sahut Melati patuh. Kemudian dibawanya penduduk desa itu menyingkir.
"Monyet Busuk! Kau harus membayar mahal atas tindakanmu! Hiyaaat...!" Diawali teriakan keras prajurit bermata sipit meluruk ke arah Dewa Arak. Tombak yang tergenggam di tangannya ditusukkan ke arah perut pemuda berambut putih keperakan itu. Wuttt! Dewa Arak tersenyum geli melihat serangan itu. Bagi tokoh sepertinya serangan prajurit itu tidak berarti sama sekali! Dengan tenang ditunggunya hingga serangan itu menyambar dekat. Baru setelah itu, dia melompat ke atas. Tidak tinggi. Lalu....
Tappp! Bagai seekor burung, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di batang tombak lawan.
Lalu mengerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya untuk memberatkan tubuh.
Tentu saja prajurit bermata sipit itu kelabakan. Dirasakannya yang berada di batang tombaknya bukan manusia, tapi seekor gajah! Meskipun begitu, dia tidak mau melepaskan senjatanya. Akibatnya bagian ujung tombak menukik turun terbawa berat tubuh Dewa Arak.
Tapi saat itu juga Arya bertindak. Dengan ujung kaki ditendangnya mata tombak.
Tukkk! Kelihatannya perlahan dan tanpa tenaga. Tapi akibatnya luar biasa. Tombok itu meluncur ke arah prajurit bermata sipit. Padahal, kedua tangan prajurit itu menggengamnya erat-erat. Dan kejadian selanjutnya sudah dapat ditebak.
Crottt! Darah bermuncratan ketika tombak itu menembus perut pemiliknya hingga ke punggung. Tubuh prajurit bermata sipit roboh ke tanah. Menggelepar sesaat, kemudian diam tidak bergerak. Mati dengan kedua tangan masih menggenggam batang tombak

֍ 6 ֍

Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat. Sehingga tak seorang pun dari para prajurit sempat berbuat sesuatu. Baru ketika prajurit bermata sipit roboh dalam keadaan tidak bernyawa amarah mereka meledak
"Keparat! Kau berani membunuh prajurit Kerajaan Pakuan, Monyet Jelek! Serbu...!" seru prajurit berkumis melintang pada kawan-kawannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, rombongan prajurit yang ternyata berasal dari Kerajaan Pakuan meluruk ke arah Dewa Arak dengan tombak di tangan. Prajurit berkumis melintang yang menjadi pimpinan ikut menyerbu. Melihat gerakannya yang tidak gesit, agaknya rasa sakit yang melanda tulang keringnya belum lenyap.
Dewa Arak tetap tenang. Dengan pandang mata dihitungnya jumlah lawan. Lima belas termasuk prajurit berkumis melintang! Jumlah yang terlalu sedikit untuk dapat mengalahkannya.
Dewa Arak menunggu hingga serangan mereka tiba. Telah diputuskan untuk melenyapkan prajurit-prajurit Kerajaan Pakuan. Dewa Arak tahu kalau dibiarkan hidup mereka akan terus menyebar maut. Telah disaksikannya sendiri kekejaman mereka. Sosok yang ditemuinya di jurang kecil adalah salah satu korbannya.
Tidak hanya itu. Kalau dia dan Melati terlambat datang dan menyerang prajurit berkumis melintang dengan batu, mungkin lelaki berjenggot jarang-jarang telah tewas pula. Dengan pertimbangan itu Dewa Arak memutuskan untuk membunuh rombongan prajurit Kerajaan Pakuan.
Namun Dewa Arak tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berpikir, serangan lawan-lawannya telah meluncur tiba. Meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu tidak melakukan tindakan apa pun. Tidak mengelak atau menangkis.
Dia berdiri tegak dengan kedua tangan terkulai di sisi pinggang.
Tentu saja tindakan Dewa Arak membuat lawan-lawannya heran. Namun, hanya sesaat perasaan itu bergayut. Mereka segera membuangnya, dan berharap Dewa Arak tidak melakukan perlawanan agar dapat secepat mungkin membinasakannya! Tetapi kegembiraan itu segera berganti keterkejutan. Karena....
Tak, tak tak! Bunyi berdetak keras terdengar susul-menyusul ketika ujung tombak prajuritprajurit Kerajaan Pakuan mengenai sasaran di berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
Ternyata senjata mereka tidak mampu menembus kulit Arya yang telah dilindungi tenaga dalam. Tergores pun tidak.
Kenyataan ini membuat prajurit berkumis melintang dan rekan-rekannya terkesima.
Raut wajah dan sorot mata mereka memancarkan ketidakpercayaan yang dalam. Untung saja Dewa Arak tidak mempergunakan kesempatan itu untuk mengirimkan serangan balasan. Kalau tidak, pasti mereka semua tewas.
"Bagaimana" Puas?" tanya Arya tanpa ber-maksud mengejek Ucapan itu menyadarkan rombongan prajurit Kerajaan Pakuan dari tertegunnya. Dan seiring timbulnya kesadaran itu mereka kembali meluruk ke arah Dewa Arak.
"Serang bagian-bagian yang lemah!" seru prajurit yang memiliki kumis melintang itu mengirimkan tusukan ke arah mata. Prajurit lainnya mengikuti jejaknya.
Hasilnya, serangan-serangan yang mereka kirimkan selalu ditujukan pada mata, leher, dan ubun-ubun.
Semuanya bagian-bagian terlemah di tubuh manusia.
"Serbu...!" Lima belas prajurit Kerajaan Pakuan meluruk ke arah Dewa Arak dengan tombak di tangan. Melihat serangan itu, Dewa Arak hanya berdiri tegak dengan kedua tangan terkulai di sisi pinggang. Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mengelak maupun menangkis.
Kali ini Dewa Arak tidak berani membiarkan. Betapa pun tinggi tenaga dalamnya, tetap saja tidak membiarkan matanya dijadikan sasaran tusukan tombak! Terpaksa kedua tangannya digerakkan untuk menangkis.
Tak, tak, tak! Kembali bunyi berdetak keras terdengar. Bunyi itu tercipta karena benturan tombak-tombak itu dengan kedua tangan Dewa Arak. Hasilnya jauh lebih dahsyat! Setiap tombak yang berbenturan dengan tangan Dewa Arak langsung berpatahan.
Hanya dalam beberapa saat saja tidak ada satu pun senjata lawan yang utuh.
Malah bukan hanya senjata-senjata itu yang menerima akibatnya. Tubuh prajurit Kerajaan Pakuan terjengkang ke belakang dengan separo tubuh terasa lumpuh. Saat itu kaki Dewa Arak ikut ambil bagian. Dengan ujung kaki ditendangnya patahanpatahan tombak yang berserakan di tanah.
Tuk, tuk, tuk! Sing, sing, sing! Cappp, cappp, cappp! Trang!
"Akh, akh, akh!" Jeritan-jeritan menyayat membumbung ketika patahan tombak mendarat di tubuh prajurit Kerajaan Pakuan. Tubuh mereka roboh di tanah. Mati dengan potongan tombak menancap ke leher atau perut Tapi, tidak semua prajurit tewas. Beberapa di antara mereka berhasil menangkis potongan tombak dengan sisa tombak yang ada. Mereka berhasil menyelamatkan nyawa, sekalipun untuk itu harus terjengkang karena kuatnya tenaga lontaran potongan tombak Kini, begitu potongan-potongan tombak yang berserakan di dekat Dewa Arak habis, tinggal empat orang prajurit yang masih hidup. Prajurit berkumis melintang termasuk di antara mereka.
Sisa prajurit Kerajaan Pakuan itu tahu tidak ada gunanya melawan. Kenyataan yang mereka hadapi telah memberi petunjuk Dewa Arak terlalu tangguh bagi mereka. Maka begitu bangkit berdiri, tanpa ragu-ragu mereka membalikkan tubuh dan berlari pergi. Dewa Arak diam saja. Dibiarkan keempat lawannya melaksanakan keinginannya. Dia tidak mengejar atau berusaha mencegah kepergian mereka. Pemuda berambut putih keperakan itu mempuhyai dugaan kuat prajurit Kerajaan Pakuan jera dan tidak akan meneruskan maksudnya ke Desa Sampan. Apalagi sampai menimbulkan keonaran seperti sebelumnya. Tapi rupanya ada yang merasa tidak puas. Orang itu adalah Melati. Begitu dilihatnya empat prajurit Kerajaan Pakuan melarikan diri, gadis itu bertindak cepat. Ditendangnya empat buah batu sebesar ibu jari yang ada di situ.
Tuk, tuk, tuk! Sing, sing, sing! Bunyi mendesing nyaring yang menyakitkan telinga mengiringi meluncurnya batubatu itu. Dan, Tak, tak, tak! "Akh, akh, akh!" Jerit tertahan keluar dari mulut tiga orang prajurit. Batu-batu itu menghantam kepala mereka. Telak dan keras. Tubuh mereka langsung roboh ke tanah. Tewas dengan kepala pecah! Hanya seorang yang berhasil lolos dari maut. Orang itu adalah prajurit berkumis melintang. Dia berhasil lolos karena sempat merendahkan tubuh ketika mendengar bunyi mendesing nyaring dari belakang. Dan sebelum Melati sempat berbuat sesuatu, prajurit berkumis melintang telah menerobos rimbunan semak-semak lebat "Keparat!" maki. Melati jengkel melihat keberhasilan prajurit berkumis melintang lolos dari ancaman maut.
"Sudahlah, Melati," hibur Arya seraya menghampiri kekasihnya.
"Aku yakin dia jera dan kembali ke tempatnya." "Tapi aku tetap penasaran, Kang," sahut Melati, "Apalagi dialah yang paling kejam." "Dari mana kau tahu dia yang paling kejam, Melati"!" tanya Arya ingin tahu.
"Bukankah dia yang tadi melakukan penyiksaan, Kang"!" jawab Melati cepat.
"Hm...!" hanya gumaman yang diberikan Arya sebagai tanggapan ucapan Melati, "O ya, Melati. Bagaimana luka-lukanya. Apakah dapat disembuhkan?" tanya Arya mencoba mengalihkan persoalan setelah sesaat tercenung.
Dan ternyata usaha pemuda berambut putih keperakan itu berhasil. Melati segera melupakan kejengkelannya, dan memberikan jawaban atas pertanyaannya.
"Sebenarnya cukup parah. Tapi berkat obat-obat peninggalan guruku, dia sudah sembuh sekarang. Hanya perlu beristirahat beberapa hari agar sehat kembali." Arya mengangguk-angguk puas dengan jawaban kekasihnya. Sedangkan lelaki berjenggot jarang-jarang yang kini sudah bisa berdiri segera membungkukkan tubuh.
"Terima kasih atas pertolongan Tuan dan Nona Pendekar. Kalau tidak, mungkin aku telah tewas. Entah bagaimana aku harus membalas kebaikan ini." "Lupakanlah, Ki," jawab Arya sopan dan lembut, "Tolong-menolong antara sesama manusia itu soal biasa. Untung saja kami kebetulan melewati tempat ini. Tapi mengapa prajurit-prajurit Kerajaan Pakuan menyiksamu, Ki"!" "Karena aku tidak bisa menjawab pertanyaan mereka, Tuan Pendekar," beri tahu lelaki berjenggot jarang-jarang.
Arya dan Melati saling berpandangan. Ingatan mereka segera tertuju pada petani penyadap karet yang dibunuh dan dibuang ke dalam jurang.
"Boleh kutahu pertanyaan yang mereka ajukan, Ki"!" "Pertama kali mereka menanyakan letak Desa Sampan. Langsung kutunjukkan. Tapi pertanyaan selanjutnya mereka menanyakan tempat tinggal orang yang bernama Garang Laksa. Karena aku tidak mengenalnya, kujawab apa adanya. Tapi mereka tidak percaya dan terus memaksaku memberikan jawaban," urai lelaki setengah baya itu. Arya mengangguk-angguk. Entah apa maksud anggukannya, hanya dia yang mengerti.
"Maaf, Ki. Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Ada urusan yang harus kami selesaikan. Selamat tinggal! Mari, Melati!" Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. Melati segera menyusul. Hanya dalam beberapa kali lesatan tubuh mereka telah terlihat sebagai benda hitam sebesar ibu jari. Semakin lama semakin kecil dan akhirnya lenyap. Lelaki berjenggot jarang-jarang menggeleng-gelengkan kepala dengan hati dipenuhi rasa kagum.

***

"Ah...!" Tanpa sadar Dewa Arak dan Melati mengeluarkan seruan kaget. Sepasang mata mereka membelalak lebar ke satu arah. Ke depan. Tampak kepulan asap tebal dan hitam membumbung tinggi ke angkasa.
"Apakah asap itu timbul dengan sewajarnya, Kang?" tanya Melati tanpa menghentikan lari.
"Kurasa tidak, Melati," jawab Arya, "Aku yakin asap itu timbul karena kebakaran.
Kau lihat kan" Ada asap merah seperti nyala api sesekali muncul di sela kepulan asap hitam"!" Jawaban Dewa Arak membuat Melati menatap kepulan asap tebal hitam di kejauhan.
Ucapan Arya memang benar. Di sela-sela kepulan asap tebal tampak sinar merah.
Memang, hanya sesekali munculnya. Tapi cukup untuk membuktikan kalau di depan mereka telah terjadi kebakaran.
"Benar, Kang. Aku melihatnya," Melati mengangguk.
"Itu berarti di depan sana telah terjadi kebakaran," ucap Arya menegasi.
"Apa"!" Dewa Arak tersentak. Bahkan sampai mengendurkan larinya. Kepalanya ditolehkan ke arah Melati. Sesaat lamanya dia berbuat seperti itu dengan kedua kaki terus terayun.
"Kau benar, Melati," ucap Arya mengeluh seraya mengalihkan tatapannya ke depan.
"Di depan kita Desa Sampan." "Aku yakin kebakaran itu tidak terjadi secara wajar, Kang. Pasti ada tangantangan jahil yang melakukannya! Siapa lagi kalau bukan orang-orang yang memburu Garang Laksa"!" ujar Melati berapi-api.
"Kalau benar demikian, kita harus bergegas, Melati! Jangan sampai semuanya berlarut-larut!" sambung Arya seraya menambah kecepatan larinya.
Tapi Dewa Arak tidak mengerahkan seluruh kemampuannya. Bila itu dilakukan Melati akan tertinggal jauh. Dewa Arak tidak menginginkan hal itu terjadi. Laksana hantu, Arya dan Melati melesat. Yang ada di benak mereka hanya satu. Tiba di Desa Sampan secepat mungkin.
Saat ini mereka masih berada di wilayan Desa Gondang. Dan mereka tengah berlari cepat di jalan tanah yang kanan kirinya membentang hamparan sawah. Tidak terlihat satu rumah penduduk pun di dekat situ.
Berkat ilmu meringankan tubuh mereka yang tinggi, tak berapa lama kemudian mereka telah melihat tembok batas Desa Sampan. Semangat Dewa Arak dan Melati semakin berkobar. Hingga kecepatan lari mereka makin ditingkatkan. Tapi beberapa saat kemudian...
"Lihat itu, Melati!" Arya menudingkan jari telunjuknya ke depan seraya terus berlari. Sebenarnya tanpa diberitahu pun gadis berpakaian putih itu telah melihatnya.
Yang ditunjuk-kan Arya berada di depan mereka. Dan terlihat sangat mencolok! "Pasti penduduk Desa Sampan." Dewa Arak mengemukakan dugaannya tanpa mengalihkan pandangan. Sepasang matanya terus tertuju ke arah rombongan yang tengah menuju ke arah mereka berdua. Jumlah mereka cukup banyak. Sebagian besar terdiri dari orang tua, wanita, dan anak-anak.
"Benar, Kang. Mereka pasti hendak mengungsi," timpal Melati.
Mendadak dari arah belakang rombongan, melesat sesosok bayangan melewati kepala mereka yang diduga Dewa Arak dan Melati penduduk Desa Sampan. Sosok bayangan hitam itu bersalto beberapa kali. Lalu mendarat di depan rombongan.
Jiiggg! Dengan mantap sosok bayangan hitam berdiri menghadang jalan. Golok besar terhunus di tangan kanannya. Saat itu juga langkah rombongan penduduk berhenti.
"Jangan harap kalian dapat meninggalkan desa sebelum memberitahu tempat tinggal Garang Laksa!" teriak sosok berpakaian hitam dengan lantang. Golok besar di tangannya diacung-acungkan di atas kepala.
Hebat akibat ancaman sosok berpakaian hitam. Rombongan penduduk langsung berbalik dan berlari-lari kembali ke desa. Dewa Arak dan Melati memperhatikan semua itu. Sayang mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Jarak mereka masih cukup jauh, kurang lebih seratus tombak! "Keparat!" geram Melari penuh kemarahan, "Sepertinya aku mengenal lelaki berpakaian hitam itu, Kang." "Ingat-ingatlah. Tapi yang terpenting kita harus bergegas, Melati. Korban akan banyak yang jatuh," sambut Arya.
"Aku ingat, Kang!" ujar Melari ketika jarak mereka tinggal lima puluh tombak lagi.
"Ya.
Dia anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam!" "Celaka! Pasti telah banyak jatuh korban!" ujar Arya khawatir.
Perasaan cemas akan keselamatan penduduk Desa Sampan membuat Dewa Arak dan Melati mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Akibatnya, dalam sekejap Melati tertinggal! Semakin lama semakin jauh. Dewa Arak memutuskan untuk mendahului Melati. Pada saat yang bersamaan lelaki berompi hitam tengah menggiring penduduk yang hendak kabur untuk kembali ke desa.
"Hih!" Dewa Arak bersalto beberapa kali melewati kepala lelaki berpakaian hitam. Dan...
Jliggg! Dengan ringan Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di hadapan lelaki berpakaian hitam. Hingga membuatnya terkejut. Bahkan sampai terjingkat kaget.
"Keparat! Siapa kau, Kambing Buduk"! Sung-guh berani menghadang perjalananku! Pernahkah kau mendengar julukan Gerombolan Perompak Laut Hitam"! Nah! Aku adalah salah satu anggotanya! Cepat berlutut dan bersihkan sepatuku dengan lidahmu.
Barangkali aku akan memberi ampunan padamu!" Wajah Dewa Arak langsung merah padam. Hinaan yang diterimanya telah melampaui batas. Tambahan lagi, lelaki berpakaian hitam yang ternyata Gerombolan Perompak Laut Hitam itu telah menimbulkan malapetaka di Desa Sampan. Tidak ada jalan lain kecuali melenyapkannya dari muka bumi.
"Manusia seperti kau tidak layak dibiarkan hidup! Hih!" Dewa Arak mengibaskan tangannya. Kelihatan pelan dan tanpa pengerahan tenaga.
Tapi akibatnya luar biasa. Dari tangan yang mengibas itu keluar serentetan angin keras meluncur ke arah anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam.
Kejadian itu membuat lelaki berpakaian hitam terperanjat kaget. Sebisanya dicoba mengelakkan serangan. Tapi....
Bresss! "Akh!" Anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang sial itu terjengkang deras ke belakang, terkena serangan jarak jauh Dewa Arak yang menghantam dadanya dengan telak. Darah menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Lelaki berpakaian hitam itu tewas saat itu juga.
Melati tiba. Lalu bersama-sama dengan Dewa Arak melesat ke Desa Sampan. Terpaksa pasangan pendekar muda itu melompati kepala rombongan penduduk desa yang berlari-lari kembali ke desa. Karena kalau mengikuti rombongan penduduk terlalu lama. Jliggg! Begitu mendarat di tanah, Dewa Arak dan Melati melesat cepat. Rumah-rumah terbakar di sana-sini. Tapi, pasangan muda itu tidak mempedulikannya. Mereka terus melesat ke dalam desa.
Langkah Dewa Arak dan Melati terhenti ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapan mereka. Dalam jarak sekitar sepuluh tombak tampak dua sosok berpakaian hitam tengah dikelilingi belasan orang yang mengenakan pakaian bewarna sama. Dewa Arak dan Melati merasa heran. Mengapa orang-orang yang berpakaian sama itu berhadapan sebagai musuh" Karena perasaan heran itulah pasangan pendekar muda berwajah elok ini berdiri terpaku dalam jarak sepuluh tombak. Sepasang mata mereka tertuju ke arah kelompok berpakaian hitam yang sedang ribut. Mendadak...
"Dewa Arak...!"

֍ 7 ֍

Dewa Arak menoleh ke arah asal suara. Tampak seraut wajah yang dikenalnya tergolek di tanah. Agaknya sosok gagah itu terluka.
"Kau..., Benggala...!" seru Arya gembira bertemu dengan orang yang dicarinya.
Pemuda berambut putih keperakan itu segera mengayunkan langkah menghampiri Benggala. Pada saat yang bersamaan, keributan antar kelompok berpakaian hitam semakin menjadi.
"Kuperingatkan sekali lagi, Garang Laksa," ucap lelaki bermuka kuda yang tidak lain Marangsang, seraya menudingkan jari telunjuknya ke arah lelaki tinggi besar.
"Cepat beritahukan di mana harta rampasan itu kau simpan. Kalau tidak, jangan salahkan aku jika bertindak keras terhadapmu!" Garang Laksa, lelaki tinggi besar yang berkumis, jenggot, dan cambang lebat tersenyum mengejek. Lelaki itu tidak merasa gentar mendengar ancaman bekas wakilnya.
"Asal kau tahu saja, Marangsang. Aku tidak gentar dengan ancamanmu. Aku tidak takut mati! Jadi, percuma saja kau mengancamku. Tempat penyimpanan harta itu tetap tidak akan kuberitahu. Harta itu akan kubagikan pada orang-orang miskin yang memerlukannya! Bukan demikian, Wulung"!" tegas dan mantap Garang Laksa mengucapkannya.
Wulung yang berdiri di sebelah pimpinannya mengangguk menyetujui ucapan pimpinannya.
"Kalau begitu, kalian berdua harus mampus!" desis Garang Laksa geram.
"Serbu...!" Tanpa menunggu perintah kedua kali, Gerombolan Perompak Laut Hitam menyerbu Garang Laksa, bekas pimpinan mereka sendiri. Senjata yang tergenggam di tangan dibabatkan ke berbagai bagian tubuh Garang Laksa. Bukan hanya Gerombolan Perompak Laut Hitam yang menyerbu, Marangsang pun ikut terjun ke dalam kancah pertarungan. Melihat adanya ancaman maut, Garang Laksa dan Wulung tidak tinggal diam. Mereka menyambuti serbuan yang datang dengan hangat. Pertarungan pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Di satu arena Garang Laksa dan Wulung berjuang keras mempertahankan nyawa dari ancaman maut Marangsang dan anak buahnya. Di tempat lain Dewa Arak, Melati, dan Benggala terlibat dalam percakapan.
"Apa yang terjadi, Benggala"! Mengapa kau dan yang lainnya terluka?" tanya Arya.
Sebenarnya Dewa Arak sudah mempunyai dugaan. Tapi untuk memastikannya, pertanyaan itu dilontarkan.
"Sederhana saja, Dewa Arak," jawab Benggala.
"Serombongan orang-orang kasar yang mengaku berjuluk Gerombolan Perompak Laut Hitam datang ke desa ini. Mereka mencari seseorang yang bernama Garang Laksa. Karena tidak ada yang dapat menunjukkan tempatnya, mereka mengamuk. Menyebarkan onar dan membakar rumah-rumah." Benggala menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Sementara Dewa Arak dan Melati menunggu dengan sabar. Sekali pun tidak dipotongnya cerita Benggala.
"Tentu saja aku dan pemuda-pemuda desa ini tidak bisa tinggal diam. Dengan bekal senjata di tangan, kami mengadakan perlawanan," lanjut Benggala.
"Tapi ternyata mereka terlalu kuat untuk dilawan. Sekalipun jumlah kami lebih banyak. Kemampuan perorangan mereka jauh di atas kami, terutama orang yang mempunyai wajah seperti kuda." Kembali Benggala menghentikan ceritanya. Kali ini karena luka-luka yang diderita. Bibirnya menyeringai kesakitan.
"Satu persatu di pihak kami korban berjatuhan. Sebagian tewas dan luka berat, sisanya luka-luka cukup parah. Aku mendapat kesempatan roboh paling belakangan.
Di saat mereka hendak membunuh kami semua, muncul dua orang mencegah. Nyawa kami pun tertolong." "Dua orang penolong itu pasti yang tengah bertempur dengan mereka," potong Melati tak sabar untuk mengajukan dugaan.
"Kau cerdik, Nisanak," puji Benggala.
"Kau bisa saja, Benggala. Apa hebatnya" Aku yakin semua orang menebak seperti itu," celetuk gadis berpakaian putih itu untuk menutupi rasa malunya karena mendapat pujian.
"Tapi..., aku tidak menduga seperti itu," goda Arya tersenyum lebar. Karuan saja wajah Melati semakin merah seperti udang rebus.
"Sudahlah," akhirnya Arya juga .yang menghentikan gurauan segar itu, "Sekarang yang masih menjadi pertanyaan, mengapa mereka satu kelompok?" Benggala mengangkat bahu tidak mengerti. Mereka sepertinya memang saling mengenal. Tapi kalau dikatakan mereka satu kelompok, aku tidak setuju. Apa alasanmu menduga demikian" Apakah karena warna pakaian mereka sama?" "Sebagian besar memang karena itu," jawab Arya jujur, "Tapi, sebagian lagi karena ucapan dan tingkah laku mereka. Semuanya menunjukkan mereka berasal dari satu kelompok!" "Lalu... mengapa mereka berselisih"!" tanya Benggala penasaran.
"Jawaban dari pertanyaan itu yang harus kita cari. Yang jelas, satu hal telah kita dapatkan. Mereka berselisih tentang harta yang kelihatannya disimpan lelaki tinggi besar. Rupanya dia yang bernama Garang Laksa," jawab Arya yakin.
Benggala diam. Lelaki itu tidak memberikan tanggapan. Melatilah yang menyambuti ucapan kekasihnya.
"Menurut pendapatku, sekalipun benar mereka berasal dari kelompok yang sama, aku berpihak pada Garang Laksa!" tegas gadis berpakaian putih itu.
"Apa alasanmu berpihak pada Garang Laksa, Melati?" tanya Arya ingin tahu.
"Pertama, Garang Laksa yang menyelamatkan penduduk desa ini," jawab Melati sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Benggala dan kawan-kawannya yang bergeletakan di sekitar tempat itu.
"Hm...," Arya menggumam pelan.
"Ada pertama, pasti ada yang kedua. Apa alasan keduamu, Melati?" "Dari percakapan yang kudengar, jelas Garang Laksa bermaksud baik. Dia akan memberikan harta yang dimilikinya pada orang-orang miskin. Niat itu tidak dimiliki lawan-lawannya. Nah, Kang. Itulah dua alasan yang mendorongku membela Garang Laksa," ujar Melati.
"Alasanmu masuk akal, Melati," puji Arya seraya mengangguk-angguk.
"Tapi...." "Kenapa, Kang" Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Melati mendengar ucapan kekasihnya berhenti di tengah jalan.
"Benar, Melati," Arya membenarkan, "Aku teringat pada rombongan prajurit Kerajaan Pakuan, Setan Tertawa, dan Dewa Pencabut Nyawa. Apakah karena harta juga mereka mengejar-ngejar Garang Laksa" Rasanya tidak masuk akal! Kalau rombongan prajurit Kerajaan Pakuan mungkin juga. Tapi Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa" Rasanya mustahil mereka masih gila harta!" "Kau benar, Kang," sambut Melati mendukung, "Menurutku tak mungkin Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa memburu Garang Laksa karena harta. Pasti ada urusan lain." "Aku pun menduga demikian, Melati. Tapi apa urusannya?" "Nanti pun masalah ini akan terjawab, Kang. Aku yakin Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa akan berada di desa ini," ucap Melati yakin.
Usai berkata, gadis berpakaian putih itu melayangkan pandangan ke arah pertarungan. Terlihat jelas keadaan tidak seimbang. Garang Laksa dan Wulung terus-menerus didesak mundur Gerombolan Perompak Laut Hitam.
Memang sebenarnya kalau dibuat perbandingan tingkat kepandaian Garang Laksa tidak bisa ditandingi lawannya mana pun. Tapi karena lawan yang di hadapi terlalu banyak, tak kurang dari empat belas orang sementara dia hanya berdua Wulung, tak heran jika Garang Laksa dan Wulung terdesak hebat.
Di saat pertarungan berlangsung dengan sengit, Dewa Arak pun dilanda kesibukan.
Dia berusaha keras mengobati luka-luka Benggala dan rekan-rekannya. Beruntung Benggala dan dua kawan pemburunya sewaktu bertemu Dewa Arak dulu berhasil disembuhkan Dewa Arak. Demikian juga beberapa pemuda desa lainnya.
Melati yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan Garang Laksa dan Wulung menghadapi Marangsang dan Gerombolan Perompak Laut Hitam tidak kuasa menahan diri. Apalagi ketika dilihatnya Garang Laksa dan Wulung semakin terdesak. Sebagai tokoh persikitan yang berkepandaian tinggi, Melati tahu robohnya Garang Laksa dan Wulung hanya tinggal menunggu waktu. Kedua orang itu pasti tewas di tangan lawan. Melati tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka....
Srattt! Sinar terang menyilaukan mata, berkilat ketika gadis berpakaian putih itu menghunus pedang. Lalu....
"Hiyaaat...!" Sambil mengeluarkan teriakan keras yang menggetarkan tempat itu, Melati melompat ke atas. Di sana tubuhnya diputar beberapa kali sebelum meluruk ke dalam kancah pertarungan. Trang, trang, trang! Terdengar bunyi berdentang. Melati memapaki beberapa serangan yang ditujukan ke arah Garang Laksa. Akibatnya anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam terhuyunghuyung mundur dengan tangan terasa sakit.
Tidak hanya sampai di situ. Sehabis menangkis, Melati melancarkan serangan terhadap Gerombolan Perompak Laut Hitam. Tidak tanggung-tanggung lagi langsung dikeluarkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.
Wungngng! Bunyi menggerung keras seperti naga murka keluar ketika Melati menggerakkan pedangnya. Akibatnya langsung terlihat. Kepungan Gerombolan Perompak Laut Hitam hancur berantakan! Mereka tercerai-berai saat itu juga.
Seperti telah disepakati saja. Masing-masing orang memilih lawannya. Melati menghadapi keroyokan dua belas orang Gerombolan Perompak Laut Hitam. Marangsang langsung dicegat Garang Laksa. Sedangkan Wulung memaksa seorang anggota gerombolan untuk menjadi lawannya. Akibatnya kancah pertarungan terpecah menjadi tiga. Sekarang keadaan berubah jauh. Semula Marangsang dan gerombolannya berada di atas angin. Tapi sekarang dengan ikut campurnya Melati, ganti pihak Marangsang terdesak Melati, Garang Laksa, dan Wulung berhasil mendesak lawan masing-masing.
Sebenarnya begitu melihat Melati terjun dalam kancah pertarungan, Gerombolan Perompak Laut Hitam langsung gentar. Mereka telah merasakan kehebatan gadis berpakaian putih itu. Tapi apa boleh buat. Keadaan tidak memungkinkan untuk melarikan diri. Yang dapat dilakukan adalah melawan dan terus melawan.
Tapi baru beberapa gebrakan terdengar lolong kematian yang menggiriskan hati.
Suara itu berasal dari anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang menghadapi Melati. Tidak hanya sekali jeritan itu terdengar. Suara lolongan diikuti ambruknya tubuh anggota gerombolan dengan tanpa nyawa.
Memang meskipun Gerombolan Perompak Laut Hitam yang menghadapi Melati berjumlah dua belas orang, tapi tetap saja mereka bukan tandingan gadis berpakaian putih itu. Dalam memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' Melati tak ubahnya seekor harimau yang mempunyai sayap. Trengginas. Ke mana pun pedangnya berkelebat pasti ada sesosok tubuh yang ambruk ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa. Wungngng! Srat, srattt! "Akh, akh!" Dua lolong kematian terakhir membuat Melati memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung. Dengan lenyapnya suara lolongan itu tidak ada lagi lawan yang masih berdiri tegak. Mereka semua telah tergolek di tanah. Pertarungan itu diselesaikan Melati dengan tak lebih dari sepuluh jurus! Melati memandangi sosok anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang bergeletak di tanah. Lalu perhatiannya dialihkan pada dua pertarungan lain yang masih berlangsung.
"Haaat...!" Diiringi teriakan menggeledek, anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang menghadapi Wulung melancarkan tusukan ke arah perut.
Melihat ancaman maut meluncur ke arahnya, Wulung tidak berani bertindak gegabah.
Cepat tubuhnya didoyongkan ke samping kiri. Hasilnya memang tidak sia-sia.
Tusukan lawan mengenai tempat kosong beberapa jari dari pinggang kanannya.
Kesempatan yang baik itu tidak disia-siakan Wulung. Golok besarnya ditusukkan ke pinggang anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam. Lawan Wulung berusaha keras untuk mengelak. Dan...
Cappp! "Akh!" Anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam mengeluarkan jeritan memilukan. Golok besar Wulung menembus pinggangnya. Darah menyembur deras dari bagian yang terluka. Apalagi ketika Wulung mencabut kembali senjatanya.
Tubuh anak buah Marangsang yang sial itu terhuyung-huyung. Sepasang matanya membelalak lebar menyiratkan ketidakpercayaan akan kejadian yang dialaminya.
Sementara kedua tangannya didekapkan pada bagian yang terluka untuk mencegah terus menyemburnya darah.
Tapi hanya sesaat anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam itu meregang nyawa. Dia ambruk ke tanah. Menggelepar-gelepar sejenak. Lalu diam tidak bergerak untuk selamanya. Mati! Kini tinggal Marangsang yang masih hidup dan terus bertarung menghadapi Garang Laksa. Tapi keadaannya pun tidak menguntungkan. Dia terus-menerus didesak dan dihimpit Memang di awal-awal pertarungan berlangsung agak seimbang. Masingmasing pihak silih berganti mengirimkan serangan. Tapi sekarang, menginjak jurus kedua puluh, keadaan sudah jauh berubah. Jangankan menyerang, bertahan saja Marangsang hampir tidak mampu.
Akhirnya Marangsang sadar dirinya tak mungkin mengalahkan Garang Laksa. Apalagi membunuhnya. Maka diputuskan untuk bertindak. Dia bermaksud mengajak lawannya mati bersama! Keinginan itu membuat Marangsang bertindak nekat. Cara bertarungnya dirubah.
Lelaki bermuka kuda itu tidak memikirkan pertahanan lagi. Yang ada di benaknya hanya menyerang dan menyerang.
Tindakan nekat Marangsang memang segera terlihat hasilnya. Serangan membabi buta, Marangsang memaksa Garang Laksa melompat mundur. Sebab kalau dilayani, memang kemungkinan besar Marangsang dapat dibinasakannya, tapi dia sendiri pun tidak akan luput dari serangan Marangsang. Akibatnya paling tidak dia akan terluka parah! Maka Garang Laksa mengalah. Dibiarkan saja Marangsang mengamuk membabi buta, hingga ia terpaksa mengelak terus-menerus. Dengan sabar Garang Laksa menunggu kesempatan yang bagus.
Dan kesempatan itu tercipta di jurus kedua puluh tujuh. Saat itu Marangsang membabatkan goloknya dengan mendatar ke arah leher Garang Laksa.
Wuttt, Golok Marangsang menyambar tempat kosong. Lewat beberapa jari di atas kepala Garang Laksa. Saat itulah Garang Laksa melancarkan serangan balasan. Trisula di tangan kanannya ditusukkan ke arah perut lawan.
Marangsang terkejut bukan main melihat gerakan Garang Laksa. Disadarinya ada bahaya mengancam. Maka dia berusaha mengelak. Hasilnya....
Cappp! "Wuaaa...!" Marangsang melolong keras ketaka trisula Garang Laksa menembus perutnya. Dia gagal mengelakkan serangan itu. Karena sejak tadi memang sudah tidak mempedulikan pertahanan.

֍ 8 ֍

Tubuh Marangsang terhuyung. Kedua tangannya didekapkan ke perutnya yang robek.
Sementara goloknya terlepas dari pegangan begitu trisula Garang Laksa menembus perut. Saat itulah Garang Laksa kembali meluruk. Lelaki itu mengirimkan serangan dengan trisulanya yang lain. Dengan cepat dan tidak terduga trisula itu ditusukkan ke leher. Crottt! "Aaa...!" Jeritan panjang menyayat keluar dari mulut Marangsang. Senjata andalan Garang Laksa menembus lehernya. Tak pelak lagi, darah menyembur deras dari lukanya.
Marangsang menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih. Kemudian diam tak bergerak. Marangsang tewas dengan sangat mengenaskan.
"Hhh...!" Garang Laksa menghela napas berat. Tidak nampak seri kegembiraan di wajahnya.
Padahal, dia telah berhasil mengalahkan dan membunuh lawan. Memang sebenarnya Garang Laksa tidak sampai hati membunuh Marangsang. Bagaimanapun juga lelaki bermuka kuda itu wakilnya. Tapi keadaan memaksanya bertindak seperti itu. Kalau tidak, Marangsang akan terus merongrongnya.
Setelah puas menatap mayat Marangsang, Ga rang Laksa membersihkan sepasang trisulanya dari noda-noda darah, kemudian menyelipkan lagi ke pinggang. Tapi baru saja Garang Laksa mengayunkan langkah mendekati Wulung.
"He he he...! Mau lari ke mana lagi kau, Garang Laksa"! Ke mana pun kau bersembunyi jangan harap bisa mengelabuiku! He he he...!" Meskipun Garang Laksa yang ditegur, tapi tidak hanya lelaki tinggi besar itu saja yang mengalihkan perhatian ke arah asal suara, Wulung, Dewa Arak, dan Benggala pun demikian.
Namun yang paling terkejut Garang Laksa dan Melati. Mereka mengenal pemilik suara dan tawa itu.
"Ah...!" Tanpa sadar Garang Laksa, Benggala, dan Wulung memekik kaget menyaksikan pemandangan di depan mereka. Di salah satu cabang pohon yang besarnya tak lebih dari ibu jari tampak duduk bersila sesosok tubuh pendek gemuk berwajah ceria.
Cabang pohon itu melengkung tak kuat menahan beban. Tapi anehnya sosok pendek gemuk enak saja melakukan. Padahal, dia berada hampir di ujung cabang! "Setan Tertawa...," desis Melati kaget.
Wajah Dewa Arak berubah begitu mendengar julukan Setan Tertawa. Pemuda itu segera teringat akan janji yang diucapkannya. Maka dengan tatapan tetap tertuju pada sosok yang berada di atas cabang pohon itu, kakinya dilangkahkan menghampiri "Setan Tertawa...! Kalau kau memang bukan seorang pengecut, turun dan hadapi aku!" tantang Dewa Arak.
Sosok yang duduk di atas cabang pohon yang memang Setan Tertawa membuka mulutnya, "Ha ha ha...!" Setan Tertawa terkekeh. Biasa saja. Tidak terlihat keanehan di dalamnya. Tapi sesaat kemudian baru terasa perbedaannya. Tawa Setan Tertawa semakin lama semakin keras. Dan seiring dengan semakin mengerasnya tawa itu, semua orang yang berada di bawah menerima akibatnya.
Mula-mula tawa itu hanya menyakitkan telinga. Itu pun hanya untuk orang-orang yang memiliki tenaga dalam tidak tinggi. Ba gi Melati, apalagi Dewa Arak, sama sekali bukan masalah.
Tapi lama-kelamaan pengaruhnya mulai membesar. Bukan hanya pada telinga, tapi juga kepala dan dada. Tawa itu menyebabkan kepala pusing dan dada terasa sesak.
Orang-orang selain Melati dan Dewa Arak menutup telinga untuk mencegah masuknya tawa itu. Bahkan Melati dan Dewa Arak diam-diam mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya.
Semula Dewa Arak bermaksud membiarkan tindakan Setan Tertawa. Pemuda itu ingin tahu sampai di mana serangan tawa lawan. Tapi ketika melihat keadaan Garang Laksa, Wulung, Benggala, dan yang lainnya, Dewa Arak pun sadar mereka akan celaka. Mereka akan tewas dengan mengenaskan! Maka maksudnya semula terpaksa diu rungkan. Diputuskan untuk melawan sebelum mereka semua celaka. Dewa Arak segera memusatkan tenaga dalamnya. Kemudian dikeluarkan lewat siulan! Sesaat kemudian, terjadi pertarungan yang menegangkan. Pertarungan yang mengandalkan kekuatan tenaga dalam. Tawa Setan Tertawa dan siulan Dewa Arak.
Masing-masing berusaha saling mempengaruhi.
Siulan Dewa Arak ternyata mampu mengimbangi tawa Setan Tertawa. Meskipun tidak dapat menindihnya, siulan itu mampu membuat tawa Setan Tertawa kehilangan pengaruh. Garang Laksa, Wulung, dan Benggala, serta yang lainnya menarik napas lega.
Tapi Setan Tertawa bukan orang bodoh. Dia tahu tawanya tidak dapat diandalkan lagi. Maka diputuskan untuk melompat dari cabang pohon.
Jliggg! Laksana daun kering jatuh di tanah, Setan Tertawa mendaratkan kedua kakinya.
"He he he...! Pantas kau berani menantangku, Anak Muda. Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian! Tapi jangan harap dapat mengungguli Setan Tertawa! He he he...!" Ada nada meremehkan dalam ucapan Setan Tertawa. Tapi Dewa Arak tidak mempedulikan. Pemuda itu tenang. Yang ada di benaknya adalah berusaha untuk memenuhi janji yang telah diucapkan.
"Setan Tertawa...! Aku tidak mengenalmu. Mungkin demikian pula denganmu. Tapi karena tindakan kejimu terhadap temanku dan demi menjaga ketenangan dunia persikitan, terpaksa kau akan kulenyapkan!" mantap dan tegas Dewa Arak mengucapkan kata-katanya.
"Ha ha ha...!" Setan Tertawa terbahak-bahak "Luar biasa! Betapa sombongnya.
Rupanya kau belum mengenal siapa aku, Anak Muda"!"
"Siapa yang tidak mengenal julukan Setan Tertawa" Datuk sesat yang sangat pandai, tapi memiliki watak keji!" jawab Dewa Arak lantang.
"He he he...! Kau benar, Anak Muda. Ha ha ha...! Tak pernah kusangka ada seorang pemuda selihai dan seberani kau. Eh, tunggu dulu! Di dunia persikitan kudengar telah muncul seorang tokoh digdaya. Seorang pendekar yang masih muda dan berjuluk Dewa Arak.
Ciri-cirinya..., ah sama denganmu. Jadi rupanya kau Dewa Arak... sungguh tidak kusangka akan bertemu denganmu. Mari, Dewa Arak. Ingin kubuktikan kebenaran berita yang menggembar-gemborkan julukan itu!" Usai berkata, Setan Tertawa bersiap-siap melancarkan serangan. Lelaki gemuk pendek itu berteriak dengan sepasang mata terpejam. Sementara kedua tangannya disilangkan ke depan dada.

***

Melihat sikap Setan Tertawa, Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Cepat diambilnya guci arak yang bergantung di punggung. Kemudian dituangkan ke mulut.
Gluk... Gluk... Gluk...! Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian hawa hangat merayap naik ke kepala. Kedudukan kaki Dewa Arak mulai tidak menapak tetap di tanah. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu limbung.
Tapi jangan dipandang rendah. Justru pada saat seperti itu Dewa Arak berada dalam puncak kemampuannya. Semua ciri-ciri ini menunjukkan ilmu 'Belalang Sakti' siap dipergunakan.
Setan Tertawa sempat tertegun melihat ilmu yang dikeluarkan Dewa Arak. Tapi hanya sekejap. Buru-buru dibuangnya perasaan itu. Lalu....
"Hiyaaat...!" Diawali teriakan keras yang menggetarkan tempat itu, Setan Tertawa melompat menerjang. Di saat tubuhnya berada di udara, dengan sisi tangan kanan dihantamnya ubun-ubun Dewa Arak Wuttt! Setan Tertawa kecewa. Serangannya mengenai tempat kosong. Tubuh Dewa Arak sudah tidak berada lagi di situ. Setan Tertawa menjadi heran bukan main. Dia tidak melihat Dewa Arak mengelak. Bahkan yang dilihatnya, dengan langkah seperti akan jatuh, Dewa Arak menyambut serangan dengan tubuhnya. Tapi mengapa serangannya tidak mengenai sasaran" Tapi hanya sebentar saja pertanyaan itu bergayut di benak Setan Tertawa. Sesaat kemudian sebagai seorang datuk sesat yang mempunyai pengalaman luas, dia segera mengetahui Dewa Arak menggunakan sebuah ilmu yang unik Meskipun demikian dia tidak menjadi putus asa. Seluruh kemampuan yang dimilikinya dikeluarkan. Dicecarnya Dewa Arak Tapi selalu saja serangannya mengenai tempat kosong. Sebaliknya, setiap serangan balasan Dewa Arak membuat Setan Tertawa kelabakan! Tapi meskipun demikian, kakek pendek gemuk ini mampu memberikan perlawanan yang berarti. Seru dan menarik pertarungan yang berlangsung. Masing-masing mengeluarkan seluruh kemampuannya. Dewa Arak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya menjadi satu kesatuan yang dapat menggilas habis pertahanan lawan! Tapi lawan yang dihadapinya seorang datuk yang sangat tinggi ilmunya. Terlebih Setan Tertawa mengeluarkan ilmu andalan. 'Ilmu Tangan Pasir Besi' yang mampu membuat tangannya kebal dan beracun! Tapi 'Ilmu Tangan Pasir Besi' kehilangan keampuhannya ketika bertemu dengan ilmu 'Belalang Sakti'. Racun yang terkandung dalam setiap serangan Setan Tertawa menguap kedahsyatannya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tak terasa pertarungan telah menginjak seratus dua puluh lima jurus. Dan sampai pada jurus ini Setan Tertawa mulai terdesak dan terhimpit! Setan Tertawa menggertakkan gigi. Rasa penasaran yang amat sangat menggelora di dalam hatinya ketika menyadari kenyataan lawannya jauh lebih unggul. Terpaksa senjata andalannya dikeluarkan. Sepasang kecer.
Blammm, blammm! Bunyi berdentam keras langsung terdengar begitu Setan Tertawa membenturkan sepasang kecernya. Keras bukan main laksana ledakan halilintar. Sehingga semua orang yang berada di situ ambruk ke tanah dengan lutut terasa lemas.
Kini pertarungan kembali berlangsung. Lebih seru dan sengit daripada sebelumnya.
Karena Setan Tertawa telah menggunakan senjata andalannya. Bunyi riuh rendah menyemaraki jalannya pertarungan. Bunyi menderu, mencicit, dan mengaung terdengar silih berganti. Ditimpali dengan bunyi berdentam memekakkan telinga.
Kembali jurus demi jurus berlalu cepat. Tak terasa seratus dua puluh lima jurus lagi telah berlalu. Hingga kedua tokoh ringkat tinggi yang berbeda usia dan aliran itu telah bertarung dua ratus lima puluh jurus.
Sampai di sini jalannya pertarungan mulai berubah. Gerakan-gerakan Setan Tertawa tidak selincah tadi. Bahkan bobot serangannya jauh berkurang. Rupanya kakek pendek gemuk ini sudah kelelahan.
Tidak demikian dengan Dewa Arak Pemuda berambut putih keperakan itu masih tetap seperti semula. Kelincahan dan kekuatan serangannya sedikit pun tidak berkurang.
Karena setiap kali merasa lelah dan tenaganya berkurang, Dewa Arak segera menenggak araknya.
Saat itu juga kekuatannya pulih kembali.
Dengan sendirinya Dewa Arak menguasai pertarungan. Beberapa kali Setan Tertawa terhuyung-huyung ketika benturan terjadi. Di jurus kedua ratus enam puluh satu Setan Tertawa menyerang kepala Dewa Arak dengan kedua kecernya yang saling beradu. Tentu saja untuk melakukannya dia harus melompat ke atas. Karena tinggi tubuhnya hanya sedada Arya.
Blammm...! Kembali serangan Setan Tertawa mengenai tempat kosong. Dewa Arak telah merendahkan tubuhnya. Kedua kecer itu saling berbenturan beberapa jari di atas kepala Arya. Bunyi keras memekakkan telinga.
Saat itu banyak celah-celah terbuka di pertahanan Setan Tertawa, mulai dari dada ke bawah. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Secepat kilat kedua tangannya dihentakkan ke dada lawan.
Wuttt! Hembusan angin dahsyat menderu mengiringi meluncurnya kedua tangan Dewa Arak.
Setan Tertawa terkejut bukan main. Disadarinya ancaman besar. Lelaki gemuk pendek itu mencoba mengegoskan tubuhnya. Tapi....
Bukkk! "Aaa...!" Jeritan menyayat dikeluarkan Setan Tertawa. Tubuhnya melayang ke belakang terdorong kedua tangan Dewa Arak yang mendarat telak di sasaran. Darah segar menyembur dari mulut, hidung, dan telinga. Membasahi tanah sepanjang tubuhnya meluncur. Brukkk! Diiringi bunyi berdebuk keras, tubuh Setan Tertawa mendarat di tanah setelah melayang-layang beberapa tombak. Datuk sesat yang ditakuti kawan maupun lawan itu tewas dengan tulang dada hancur! "Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas lega. Ditatapnya tubuh Setan Tertawa sesaat sebelum diayunkan langkahnya menghampiri Melati. Tapi baru beberapa langkah ayunan kakinya dihentikan. Karena....
"Kau hebat, Dewa Arak. Kau berhasil membunuh Setan Tertawa. Tapi masih ada aku! Kelak aku akan datang mencarimu! Aku tidak mau kau menganggapku bertindak curang, mengajak kau yang telah lelah untuk bertarung! Sampai nanti, Dewa Arak!" Keras dan lantang seruan itu dikeluarkan, sehingga menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Dan sebelum gema suara itu lenyap, sesosok bayangan hitam tinggi seperti galah telah melesat jauh. Larinya tidak hanya mempergunakan kaki, tapi berganti-ganti dengan tangan. Yang luar biasa justru karena itulah kecepatan larinya mengagumkan! "Dewa Pencabut Nyawa...," gumam Arya.
Memang, sekalipun belum bertemu muka, Dewa Arak bisa memperkirakan pemilik suara itu Dewa Pencabut Nyawa. Lalu tanpa memperhartikan lebih lama, Dewa Arak mengayunkan langkah mendekati Melati dan yang lainnya.
"Kuucapkan terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Tanpa bantuanmu mungkin aku sudah tewas di tangan dua datuk sesat itu," ucap Garang Laksa penuh rasa syukur.
"Lupakanlah, Garang Laksa. Kalau boleh kutahu, mengapa mereka mengejarngejarmu" Juga Gerombolan Perompak Laut Hitam dan prajurit Kerajaan Pakuan"!" Arya mengeluarkan ganjalan hatinya.
"Panjang ceritanya, Dewa Arak. Tapi akan kuceritakan dengan ringkas. Sebenarnya aku Pimpinan Gerombolan Perompak Laut Hitam. Tapi, Allah berkenan memberi rahmat-Nya. Sebuah kejadian membuatku sadar. Aku pun bermaksud kembali ke jalan yang benar.
Kudatangi kembali kampung kelahiranku. Desa Sampan. Tapi, anak buahku tidak tinggal diam. Mereka ingin harta rampasan kami yang kusimpan. Maka aku dikejarkejar." Garang Laksa menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Rupanya kepergianku tercium pula oleh Kerajaan Pakuan. Mereka mengirim prajurit-prajurit terbaiknya untuk menangkapku. Mereka ingin aku menyerahkan pusaka kerajaan yang telah kami rampas."
"Lalu..., bagaimana dengan Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa"! Mengapa mereka mengejar-ngejarmu"!" tanya Melati tidak sabar.
"Itu akibat kecerobohanku sendiri. Rupanya pulau tempat harta kusimpan menjadi tempat pertemuan Dewa Pencabut Nyawa dan Setan Tertawa untuk memamerkan ilmuilmu, terbaru. Kunjunganku yang terakhir ke sana bertepatan dengan pertemuan mereka. Aku dipergoki. Padahal, mereka tidak ingin ada seorang pun melihat ketika pertemuan diadakan.
Hukumannya adalah mati! Maka aku dikejar! Dan karena berhasil selamat dari kejaran itu, aku segera insaf!"Dewa Arak dan Melati mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Ada sebuah berita gembira," celetuk Benggala.
"O ya"! Apa itu, Benggala"!" tanya Melati.
"Garang Laksa adalah kakak kandungku yang sejak kecil pergi merantau!"
"Ah! Kalau begitu, kuucapkan selamat berkumpul kembali," ucap Dewa Arak.
Sedangkan Melati mengangguk menyetujui.
Angin berhembus lembut. Seperti ikut merasa berbahagia melihat kegembiraan manusia-manusia yang tengah bercengkerama.


INDEX AJI SAKA
53.Penjarah Perawan --oo0oo-- 55.Perintah Maut

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers