Life is journey not a destinantion ...

Cinta Pertama

INDEX WISANG GENI
25 Tahun Kemudian --oo0oo-- Perpisahan

WISANG GENI
Pendekar Tanpa Tanding
Karya : John Halmahera

--↨֍¦ ¦֍↨--

Padeksa menghela napas, ia gundah. Sampai hari ini, duapuluh lima tahun berlalu, ia belum bisa menyelesaikan tugas yang diembankan Bergawa padanya. Ia belum menemukan adik perguruan Gajah Watu dan juga keturunan Nyi Ageng Kili Suci. Ia belum tahu bagaimana caranya bisa mendapatkan jurus pusaka Garudamukha Prasidha. Ia juga belum menemukan murid pengkhianat yang menabur racun pelemas tulang. Ia belum membalas dendam meski setiap mengingat tragedi berdarah itu, amarahnya berkobar. Cuma satu hal yang membuatnya senang, Wisang Geni telah menguasai seluruh ilmu silatyang dia ajarkan, duabelas jurus Garudamukha yang berintikan tenaga gama (amarah) dan tujuh jurus Garudamukha Prasidha.
Hari itu setelah kejadian di reruntuhan rumah tua, Padeksa menyerahkan Wisang Geni kepada Manjangan Puguh untuk menyempurnakan ilmu andalan Merapi, pukulan Bang Bang Alum Alum dan ilmu ringan tubuh Waringin Sungsang.
"Geni, ada dua murid kakang Bergawayang selamat, namun entah berada di mana sekarang. Lembu Agra, tak mungkin mencapai kesempurnaan ilmu silat lantaran cedera tenaga dalam. Walang Wulan, ia seorang wanita sehingga kemajuannya terbatas. Mereka adalah adik perguruan ayah ibumu Dibanding keduanya, kamu calon paling kuat untuk menjadi ketua Lemah Tulis. Tapi kamu harus berlatih keras. Ingat kamu harus temukan rahasia Kinanti Prasidha yang berada di tangan keturunan Nyi Ageng Kili Suci, kamu gabung dengan tujuh jurus Garudamukha Prasidha yang kuajarkan, maka Garudamukha Prasidha akan sempurna dan menjadi jurus dahsyat, jurus yang menjadi pusaka perguruan kita.
Kamu cari dan temukan pusaka itu!"
Padeksa sebenarnya adalah kakek guru bagi Wisang Geni namun belakangan justru menjadi guru Orangtua Geni, Gajah Kuning dan Sukesih, murid Bergawa yakni kakak perguruan Padeksa. Duapuluh lima tahun lalu, setelah menyelamatkan Geni dari kepungan pasukan Tumapel, Puguh menyerahkan Geni untuk dididik Padeksa. Itu sebab Geni terbiasa memanggil Padeksa dengan kakek meski terkadang menyebutnya guru Jika melihat hubungan lewat orangtuanya, Geni memang pantas memanggil kakek guru Tapi jika melihat bahwa selama duapuluh lima tahun Padeksa mengajarinya ilmu silat, maka Geni boleh saja memanggil guru
"Kakek, kau sudah seperti kakek sungguhan yang memelihara aku sejak kecil, kamu juga guruku, maka sudah kewajibanku melayani dan meladenimu Setelah selesai berlatih dengan guru Puguh aku akan mencarimu Tetapi guru, kamu kan masih ketua Lemah Tulis, kenapa harus mencari ketua lain."
"Aku hanya ketua sementara, itu peraturan perguruan kita bahwa ketua hanya diturunkan dalam setiap generasi. Setelah Bergawa dan aku, maka generasi berikut adalah generasi kamu, Agra dan Wulan. Tapi sudah kukatakan tadi, kamu yang paling berbakat, cerdas dan memang sudah dipersiapkan sejak kecil oleh orangtua dan paman-pamanmu Hanya kamu harus berjuang dan berlatih keras untuk jabatan terhormat itu."
Wisang Geni merunduk. Malu-malu dia berkata lirih, "Aku belum tahu banyak asal-usul perguruan kita juga perihal Eyang Sepuh Suryajagad dan Nyi Ageng Kili Suci, siapa mereka?" dia melanjutkan. Garudamukha Prasidha itu apakah sedemikian hebatnya sehingga menjadi ilmu pusaka perguruan kita. Kek, cerita guru Puguh tentang pertarungan Eyang Sepuh Suryajagad di Ganter itu, tentu beliau menggunakan jurus Prasidha."
"Benar. Itu sebab sangat penting untuk menemukan separuh Prasidha itu, sebab tanpa jurus Garudamukha Prasidha yang utuh sempurna sulit bag; kamu menjadi pendekar utama dan mengangkat kembali nama dan citra Lemah Tulis. Pergilah Geni, jangan ragu, lelaki sejati hanya punya satu tujuan hidup. Pandanganmu harus ke depan, jangan melihat belakang, jangan melihat samping, tetapi pandang ke depan, di situ tujuanmu ke situ kamu pergi Pergilah, gurumu Puguh sudah menantimu di luar. Ada satu yang penting, sekarang ini jangan mengaku murid Lemah Tulis, sebab banyak musuh, aku yakin suatu waktu nanti kita semua akan bangga sebagai murid Lemah Tulis saat di mana kita sudah memiliki seorang ketua yang ilmu silatnya disegani banyak orang. Sekarang pergilah."

* * *



Daerah belahan Timur di kaki gunung Arjuno jarang dikunjungi orang. Hutannya rapat padat dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Pagi itu udara masih dingin. Kabut pun masih tebal. Suasana sunyi dan sepi. Hanya terdengar suara kicau burung dan gemuruh air terjun. Air terjun mencurah dari tempat yang cukup tinggi dan terjal. Curah air itu bagai tonggak langit, membentuk sungai yang airnya mengalir deras. Uap air menutupi pemandangan di sekitar air terjun, sehingga tidak terlihat adanya seorang lelaki sedang berlatih silat di pusaran air terjun. Dia Wisang Geni.
Geni bergerak lincah berloncatan di bebatuan. Sekali-sekali ia menerjang curah air yang bagaikan tembok tebal Menerobos tirai air yang deras, sepertinya ia tak mengalami kesulitan. Padahal air yang terjun dari tebing puluhan tombak tingginya tentu sangat dahsyat kekuatannya. Ia berlatih seharian. Ketika matahari sudah bergeser ke Barat, senja semakin mendekat, Geni melompat ke sebuah batu Ia semedi di tengah uap air yang tebal, basah kuyup. Ia bertelanjang dada, hanya mengenakan celana sebatas lutut.
Setelah berpisah dari Padeksa, Manjangan Puguh membawa Geni berlatih di air terjun. Satu minggu ia mengajarkan ilmunya, Puguh kemudian meninggalkan Geni.
"Kamu tinggal membiasakan jurus-jurus itu menyatu dengan gerakanmu Paling tidak kamu harus berlatih satu bulan lagi di sini. Dan aku tidak bisa menemanimu terus, aku harus pergi mencari Eyang Sepuh Suryajagad dan keturunan Nyi Ageng Kili Suci, jika ketemu, aku akan membawa kamuke sana.
Sekarang kamu berlatih saja, setelah satu bulan berlatih, kamu boleh pergi mengembara ke mana kamu mau. Tetapi ingat pesan kakekmu Padeksa, jangan memperkenalkan dirimu sebagai murid Lemah Tulis."
Batas waktu satu bulan yang diberikan Manjangan Puguh malah menantang Geni untuk menambah waktu latihannya. Dua bulan Geni berdiam di kaki gunung Arjuno. Meskipun tidak sehebat gurunya, tetapi Geni sudah menguasai ilmu ringan tubuh yang tidak ada duanya di kolong langit Waringin Sungsang dan jurus tangan kosong Bang Bang Alum Alum.
Ilmu andalan Manjangan Puguh, yang ditenmanya dari guru Sagotra, pendekar dari gunung Merapi.
Setelah semedi, Geni bangkit lagi meneruskan lalihaiuiya......
Ia tidak melihat kehadiran seorang gadis di tepi sungai.
Gadis itu melangkah santai di tepi sungai. Ia duduk di sebuah batu di pinggir sungai Kakinya dijulurkan ke dalam air. Ia menjerit kecil, dinginnya air terasa nikmat. Ia berdiri sambil merentang tangan, menengadah memandang air terjun dan menikmati pemandangan indah di sekelilingnya. Ia tidak melihat Geni yang berada di dalam kumpulan uap air yang tebal. Gadis itu masih berdiri di batu di tepi sungai merasakan sejuknya angin pegunungan. Wajahnya yang cantik basah dielus angin sepoi yang membawa serta uap air. Hidungnya yang bangir kembang kempis menghirup nafas panjang seakan hendak menelan semua udara basah itu ke dalam parunya. Udara itu dihembuskan dari mulurnya yang indah berbentuk gondewa. Lehernya yang jenjang tertutup rambut yang basah yang terjulai sampai di pundaknya. Ia seorang gadis muda usia sekitar duapuluh tahun, jangkung dengan kaki langsing dan agak panjang. Tubuhnya kuning sawo, tampak langsing, sintal dan berisi. Ia benar-benar cantik alamiah.
Tak ada suara lain kecuali gemuruh air terjun dan suara binatang dari hutan sekitar. Mendadak terdengar suara tertawa keras diikuti kesiuran angin. Sosok bayangan bergerak pesat. Bagai turun dari langit seorang lelaki sudah berdiri di depan si gadis. Ia kurus, kepalanya botak. Kumis dan cambangnya lebat. Sikapnya kurang ajar. Matanya jelalatan menelusuri sekujur tubuh si gadis.
"Wong ayu, wong ayu, sudah lama kubuntuti kamu Nah sekarang hanya kita berdua di tempat sunyi dan sepi ini.
Bagaimana dengan lamaranku tempo hari, kamu jangan malu- malu, apalagi di sini kan tak ada orang, kangmas ini sudah tak sanggup menahan rindu."
Si gadis terkejut sesaat. Tetapi bagai tersentak ia lantas menyerang gencar. Dua jurus berturutan dilepasnya.
"Bangsat keparat busuk, rupanya kamu belum mati waktu itu. Hari ini kubikin kamu menyesali hidupmu, matilah kamu bangsat!" Ia menyerang dengan serentetan pukulan dan tendangan yang mendatangkan angin keras pertanda besarnya tenaga yang digunakan.
Lelaki brewok itu tertawa.
"Ajal belum mau mencabut nyawaku, wong ayu. Dewa maut itu berkata, ia baru akan mencabut nyawaku setelah aku mengawini kamu yang cantik dan montok. Sekarang saatnya aku mengawini dan menikmati tubuhmu, wong ayu"
Gadis itu tidak meladeni omongan lawan. Ia terus mencecer dengan serangan dahsyat. Tetapi lelaki brewok itu berkelit lincah meskipun batu besar tempat ia berpijak, licin dan berlumut. Lelaki itu juga tak bisa berbuat banyak. Tampak ilmu silat keduanya imbang. Si gadis lebih unggul dalam ringan tubuh, namun masih kalah dalam tenaga pukulan.
"Tak usah heran wong ayu, sekarang ilmu silat kangmas- mu ini, Kalamasura, makin maju. Sengaja aku memperdalam ilmu dari Romo Guru, supaya sebagai suami aku bisa meladeni kemauanmu tiap malam, iya kan wong ayu"
Tigapuluh jurus berlalu. Perkelahian berlanjut ke dekat air terjun, namun masih di tepi sungai Keduanya basah kuyup, kecipratan uap air. Baju si gadis basah nempel ketat di tubuh memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Lelaki itu semakin terangsang.
"Hai wong ayu, setahun kita berpisah, ternyata kamu semakin montok, setahun aku kasmaran memikirkan kamu, sekarang aku harus memiliki kamu Harus! Oh wong ayu, aku makin kasmaran."
Dua kali tamparan menerpa bahu dan pundak Kalamasura membuatnya meringis kesakitan. Mendadak ia mengubah jurus silatnya, "Wong ayu, sudah cukup kita main-main."
Berkata demikian ia menyambut pukulan si gadis dengan kepalan. Kalah tenaga dalam, si gadis tak mau adu pukulan. Ia mengubah jurus, kepalan berubah menjadi telapak tangan terbuka. Ia niat menampar pergelangan tangan lawan. Tiba- tiba si gadis melihat sinar gemerlap di tangan Kalamasura Paku yang berkilat oleh matahari senja. Jarak sudah terlampau dekat, ia sulit menghindar.
Si gadis dengan cerdik dan sebat menggerakkan pergelangan tangan ke bawah lalu ke atas, niat menyampok tangan lawan. Kalamasura licik, ia sudah memikirkan perangkap ini. Ia membiarkan gerakan si gadis. Saat yang tepat ia menggentak telapak tangannya, dua paku melayang secepat kilat. Gadis itu tak pernah mengira lawan akan menyambit dengan paku. Ia mengelak, tetapi terlambat. Satu paku lolos, satu lainnya nancap di dada dekat pundak.
Kalamasura berteriak girang, "Kena kamu wong ayu, dan ini paku berikutnya supaya kamu tak bisa lari." Tiga paku melayang ke arah kaki. Si gadis mengelak dengan gerak tubuh limbung. Dua lolos, satu lainnya nancap di paha.
"Tak usah takut wong ayu, itu memang paku racun laba- laba, tapi kangmas punya pemunahnya Tanpa obat pemunah kamu akan mati dalam waktu satu hari. Sekarang, menyerah saja. Memang tidak enak mengawini orang pingsan, tetapi apa boleh buat daripada membiarkan kamu lolos lagi."
Gadis itu merasa gerak kakinya agak kaku, rupanya racun sudali mulai bekerja. Sungguh cepat sekali proses kerja racun itu. Gadis berpikir lebih baik mati daripada diperkosa.
"Aku adu jiwa denganmu, lebih baik aku mati, kamu bangsat biadab." Sambil berkata ia melancarkan dua jurus menyerang tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Tujuannya cuma satu, membunuh lelaki bernama Kalamasura itu.
"Lebih baik mati daripada ternoda," gumamnya.
Meski ilmunya setingkat, mau tak mau Kalamasura terdesak hebat. Ia cuma bisa menangkis. Dua pukulan menghantam telak dadanya Terasa gejolak darah, rasanya mual. Ia tahu ia terluka dalam. Sebenarnya tak semudah itu ia terluka Keduanya imbang, si gadis sudah terluka kena paku beracun namun dengan serangan nekad justru kekuatannya berlipat.
Di lain pihak Kalamasura tarung setengah hati, tak mau menurunkan tangan maut. Lelaki brewok ini terhuyung limbung. Dadanya sakit, nafas sesak. Tapi ia tersenyum, dilihatnya si gadis ikut terhuyung sempoyongan. Racun sudah bekerja.
"Ia segera akan jatuh tak berdaya," gumam Kalamasura dengan menahan sakit di dadanya. Racun sudah bekerja. Gadis itu merasa pusing.
Pandangannya berputar dan kabur. Ia menggigit bibirnya, "Aku tak boleh pingsan, aku harus tetap sadar."
Pada saat kritis bagi si gadis, mendadak sebuah bayangan masuk pertarungan.
"Laki-laki pengecut. Tidak pantas bertarung dengan perempuan, menggunakan cara membokong." Tanpa basa-basi Wisang Geni melancarkan jurus Gora Andaka (Banteng Besar Hamuk) dari Bang Bang Alum Alumyang sudah sempurna ia kuasai.
Hebat! Kalamasarura yang sudah terluka, kaget setengah mati, dia berupaya menangkis serangan Geni. Tetapi sia-sia, pukulan Geni menerpa bahunya. Ia kaget. Belum sempat ia bebenah diri, jurus susulan Geni Nyakra Manggilingan (Selalu Berputar Bagai Kincir) telak menghajar perut dan lengannya.
Kalamasura muntah darah! Seketika nyalinya terbang. Gila! Hanya dalam dua jurus ia dihajar tanpa sempat membela diri. Lawan ini bisa membunuhnya. Ia tak berpikir dua kali lagi, ia kabur secepatnya.
Ada alasan mengapa Geni begitu cepat memetik hasil, hanya dua jurus, Kalamasura langsung terluka dan kabur. Pertama, Kalamasura sudah terluka oleh pukulan si gadis. Kedua, Geni menyerang ganas tanpa memberi kesempatan. Ketiga, hebatnya jurus Bang Bang Alum Alum yang baru selesai ia kuasai.
Wisang Geni terpesona akan ilmunya tadi. Ia baru pertama kali menggunakan jurus ciptaan pendekar Merapi dan hasilnya sungguh luar biasa. Dari gerakannya bisa diukur bahwa lawannya tadi bukan sembarang orang namun toh bisa ia lukai dalam dua jurus. Saat itu Geni melihat si gadis sempoyongan. Sebelum terjungkal ke dalam sungai, Geni sigap menangkap lengannya.
Mendadak gadis itu menyerangnya dengan pukulan ganas, mengarah mata. Geni terkesiap, sama sekali tak menduga akan diserang. Untung saja keracunan membuat pukulan si gadis tak bertenaga. Geni menangkis dengan tenaga ringan, takut si gadis terluka.
Si gadis sempoyongan. Pingsan. Geni meraih pinggangnya, mendudukkannya di atas batu dengan hati-hati Ia menotok beberapa titik jalan darah di punggung dan leher. Gadis itu sadar. Ia berontak. Geni berkata lirih.
"Nona, kamu tenang, aku bukan musuhmu, musuhmu yang tadi sudah kuusir pergi."
Gadis itu masih mengigau, "Aku tak mau pingsan."
Geni menjawab sambil menyalurkan tenaga dalam ke punggungnya.
"Iya, kamu tak boleh pingsan, aku akan membantumu dengan tenaga dalam"
Kesadaran si gadis mulai pulih. Ia mengerti bahwa orang yang berada di belakangnya sedang menolongnya.
Kalamasura sudah pergi. Mendadak ia merasa perutnya mual, pusingnya makin memabukkan. Ia ingat terkena serangan paku Kalamasura "Aku, aku kena senjata rahasia paku beracun, katanya racun laba-laba."
Geni terkejut. Ia melompat ke depan si gadis.
"Di mana ?"
Gadis itu melihat samar-samar seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Ia menunjuk dada dan pahanya. Ia sudah setengah sadar. Bibirnya pucat agak membiru Di bawah pelupuk matanya, agak gelap.
Memegang nadi dan memandang mata si gadis, sekejap saja, Geni mengenal racun yang menyerang si gadis adalah racun ganas.
"Ulurkan dua tanganmu" Katanya dalam nada memerintah. Gadis itu mengikuti perintahnya. Tanpa membuang waktu lagi Geni segera mengempos tenaga dalamnya. Tangannya bergetar penuh tenaga menempel tangan si gadis. Mereka duduk berhadapan di atas batu besar dekat air terjun. Keduanya saling menatap. Lalu Geni memejamkan mata Gadis itu merasa tenaga yang hangat menerobos tangannya. Tenaga itu berputar dan menyelusur seluruh tubuhnya. Tadi agak pusing kini ia merasa lebih baik. Tadi dia sangat berkeinginan untuk tidur, kini rasa kantuknya perlahan- lahan lenyap. Ia melihat darahnya yang warnanya hitam merembes keluar dari lukanya. Tidak lama kemudian senjata semacam paku meloncat keluar dari luka di dadanya. Agak lama kemudian satu paku lagi terlempar keluar dari luka di pahanya. Diam-diam dia memuji hebatnya tenaga dalam laki- laki penolong ini.
Gadis itu meneliti pemuda di hadapannya. Lelaki itu basah kuyup. Ia bertelanjang dada, tampak bulu dadanya yang lebat. Wajahnya penuh keringat bercampur air sungai. Hidung besar agak bangir. Mulurnya lebar, bibirnya tipis. Tanda ia punya semangat tinggi dan agak kejam. Rambut setengah keriting, gondrong sampai leher. Alisnya tebal. Secara keseluruhan ia tidak tergolong tampan, tetapi punya daya tarik. Dan dengan tubuhnya yang kekar atletis, justru lebih nampak jantan.
Geni membuka mata, si gadis menangkap seberkas sinar tajam. Ada kilatan yang membuat si gadis bergidik.
"Orang ini kejam," pikirnya. Sesaat kemudian sinar mata itu kembali ramah dan penuh kedamaian. Ia mengubah penilaian dalam hatinya tadi, "Pemuda ini baik dan luhur budi". Tanpa terasa gadis itu merasa suka, "Terimakasih, pendekar, kamu telah menolong aku," katanya.
"Tunggu dulu, nona, kau belum sembuh Racun masih mengeram dalam tubuhmu, berbahaya. Racun segera mengganas lagi jika tidak cepat ditolong, tetapi... bagaimana ya."
"Kenapa? Katakan saja, aku tidak takut mati, tadi memang aku takut, aku takut diperkosa lelaki bejat itu. Kalau mati, aku tidak takut mati"
"Bukan mati, tetapi kamu bisa lumpuh. Racun itu ganas, harus dikeluarkan dari tubuhmu, setelah itu kamu minum obat untuk membersihkan darahmu"
"Bagaimana mengobatinya, apakah kamu bisa? Apakah kamu punya obatnya?" Saat itu si gadis merasa perutnya mual, "Aku mual, rasanya mau muntah." Saat berikutnya ia muntah. Lendir mengandung sedikit darah.
Geni merasa serba salah.
"Racun mulai mengganas. Aku bisa menolongmu, aku murid seorang ahli pengobatan, tetapi..."
Gadis itu semakin bingung.
"Katakan, apakah ada syarat untuk pertolonganmu? Katakan!"
Wajah Geni memerah, agak tersinggung.
"Kamu salah, nona. Aku menolongmu karena kebetulan ingin menolong, itu saja. Aku tidak minta apa-apa sebagai imbalan, tetapi aku khawatir kamu salah sangka. Soalnya aku harus mengisap darah dari luka kamu, dan luka itu ada di paha dan dada" Waktu menyebut paha dan dada, suara Gali rnenjadi lirih.
"Tetapi kalau tidak ditolong, kamu bisa lumpuh atau mati."
Wajah gadis ini memerah. Malu. Ia baru tahu mengapa pemuda itu kikuk. Lukanya tepat di perbatasan payudara dan bahu, untuk mengisap luka artinya pemuda itu harus meraba dan melihat buah dadanya. Luka di paha tempatnya sejengkal di atas lutut. Ini juga daerah tersembunyi dari kaum wanita. Ia berpikir, "Jika lelaki ini tidak datang menolong tentu aku sudah diperkosa Kalamasura, dan sudah tentu harganya jauh lebihmahal dibanding harus mati. Tetapi memperlihatkan bagian tubuh, itu juga perkara besar, aku bisa malu setiap ketemu dia."
Mendadak suara Geni terdengar tegas.
"Cepat ambil keputusan nona, terlambat sedikit saja, akan semakin sulit menolongmu"
"Keputusan apa?"
"Mau ditolong atau tidak?"
"Mau, aku mau ditolong."
"Tetapi aku harus mengisap lukamu, tidak ada jalan lain."
"Kalau begitu kerjakan cepat." Gadis itu menutup mata.
Geni berkata, "Maaf, aku harus membopongmu ke bawah pohon." Ia menyambar tubuh si gadis, melarikanke tepi hutan. Senja sudah mulai beralih ke malam. Gadis itu bersandar di pangkal pohon, tangannya meraba baju di bagian dada, merobeknya sedikit, Ia menunjuk tempat luka di dadanya, "Lakukan, tepat di sini lukanya."
Geni menoreh luka dengan keris milik si gadis. Tangannya gemetar memegang bagian dekat buah dada, menempelkan mulutnya ke bagian yang terluka kemudian mengisap darahnya. Aroma keringat tubuh gadis itu dan bentuk buah dadanya yang montok kencang membuat perasaan Geni menjadi tidak karuan. Geni memantapkan pikirannya, mengisap dan menyemburkan darah warna hitam dan bau bacin. Dia lakukan itu berulang kali sampai darah beracun itu lenyap berganti darah merah normal. Geni memegang tangan si gadis, "Kau pijat dan urut di bagian ini, supaya sisa-sisa racun keluar semuanya."
Gadis itu memejam mata.
"Lakukan sendiri, kamu lebih tahu caranya, toh kamu sudah melihat semuanya, buat apa aku harus malu-malu lagi. Lakukan saja, eh siapa namamu pendekar."
Geni tanpa sadar menjawab, "Ambara." Geni saat itu sedang menahan gelora birahinya. Ia menyebut asal sebut. Ambara, artinya angkasa.
"Aku sedang melayang di angkasa, memegang dan mengurut luka di bagian buah dada yang kenyal ini," katanya dalam hati.
Gadis itu sedang memejam mata.
"Namaku Sari." Ia berdiam Nafasnya mulai terasa panas. Sari mulai terangsang birahi Ia berusaha memikirkan hal lain untuk mengalihkan pikiran. Tiba-tiba Geni berbisik, "Sudah selesai, kamu tunggu di sini, aku mencari rumput obat, sebelum hari gelap."
Sari melihat lelaki itu pergi. Hari memang sudah hampir gelap. Tak lama lagi malam akan tiba. Sari memejamkan mata. Bagian paling sulit telah dilaluinya. Ia masih merasa mukanya panas, nafasnya juga panas. Dadanya bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang. Ia masih membayangkan wajah pemuda penolong itu.
"Namanya Ambara, orangnya lugu, tidak tampan, tetapi kelihatan jantan, perkasa." Tanpa sadar Sari meraba lukanya, seakan mulut yang panas itu masih menempel di situ dan tangan itu masih menekan buah dadanya. 
Dia mencoba mengusir wajah Ambara dengan menghadirkan wajah pria lain, wajah seorang lelaki berusia limapuluhan.
"Kangmas Agra, di mana kamu sekarang, apakah kamu tidak rindu kepada adikmu ini?" bisiknya dalam hati.
Tetapi sia-sia, sesaat kemudian wajah Wisang Geni hadir kembali mengusir wajah lelaki tadi. Sari menggumam "Untung saja tadi aku belum nyebur mandi, kalau tidak, wuah apa jadinya."
Tiba-tiba saja ia teringat seseorang, muncul wajah lelaki botak, brewok dan berkumis lebat. Kalamasura! Tanpa sadar ia berseru "Laki-laki bejat, aku akan mencarimu, kamu harus membayar perbuatanmu Tak ada ampun, aku akan menggunakan segala macam cara untuk membunuhmu" Ia bicara sendiri untuk mengusir bayangan Geni.
Tak sampai sepenanakan nasi, saat malam sudah mulai gelap, Wisang Geni muncul.
"Aku agak sulit menemukan rumput yang dua jenis, tetapi untunglah masih bisa kutemukan. Ini kamu kunyah, airnya kautelan, ampasnya kamu balur di luka. Sekarang aku akan mengisap luka di pahamu" Tanpa disengaja dua pasang mata saling menatap. Hutan sudah mulai gelap namun keduanya merasa rikuh, jantung berdegup kencang. Ada perasaan tersembunyiyang dirasakan keduanya. Geni mengalihkan bicara, "Aku akan mengobati luka di pahamu"
Berkata demikian, ia merobek celana di batas paha, mengisap lukanya. Seperti cara mengobati luka di dada, setelah menyedot darah beracun, ia melabur dengan obat dedaunan.
"Ki Ambara, kau mahir dalam ilmu pengobatan dan juga ilmu silat, tentu guiumu bukan sembarang orang. Dia pasti pendekar bernama besar."
Geni merasa gugup. Ia masih terpesona setelah memegang paha mulus yang kenyal berotot. Ia berupaya mengendalikan birahinya.
"Iya," jawabnya sembarangan.
"Siapa nama gurumu yang hebat, kalau aku boleh tahu." Tanpa sadar Sari membekap mulutnya. Ia merasa kelepasan bertanya. Pada jaman itu, pergaulan di dunia pendekar tidak terikat norma adat istiadat bahkan juga aturan agama, hubungan intim lelaki dan wanita bisa terjadi begitu saja.
Tetapi menanyakan guru seseorang yang baru dikenal adalah pertanyaan yang janggal dan aneh, bahkan agak tabu "Maaf, tak sengaja," katanya.
"Tidak apa-apa, nona." Mendadak Geni ingat pesan Padeksa.
"Jangan sembarangan memperkenalkan diri, jangan juga memperlihatkan ilmu silatmu Ingat Lemah Tulis banyak diintai musuh gelap, musuh yang kita sendiri tidak tahu."
Tetapi Geni tak mau mengecewakan si gadis, apalagi si gadis merasa bersalah menanyakan hal yang buat sebagian orang, masih tabu "Ilmuku ini kuperoleh dari seorang pendekar aneh, namanya Waragang. Kamu pasti tak pernah tahu nama itu sebab memang guruku tak pernah muncul di muka umum" Ia memang tidak berbohong. Waragang, memang gurunya, seorang tabib ahli pengobatan di istana Kediri. Ia mengajar Geni ilmu pengobatan, meramu dan meminumkan obat padanya sejak bayi Itu sebab ketika dewasa, darahnya mengandung kekuatan anti racun. Karenanya Geni tidak merasa takut mengisap darah beracun dari luka Sari.
Waragang memang tidak terkenal. Tetapi apa yang diajarkan belakangan baru diketahui sebagai ilmu pengobatan kelas atas.
"Kamu sendiri berasal dari perguruan mana?"
Sari merasa rikuh. Ia sedang menyembunyikan jati diri.
"Seorang kakek pertapa dari desa Panawijen, ia yang mengajari ilmu silat padaku." Ia tidak berbohong, ia belajar ilmu Karma Amamadang dari pertapa itu. Tetapi yang tidak ia ceritakan, adalah bahwa ia murid dari perguruan Lemah Tulis.
Suasana menjadi rikuh dan kaku. Dia menyodorkan ramuan, rumput dan daun-daunan.
"Nona, kamu sudah tahu menggunakan obat ini, dua lembar daun bersama satu kumpulan rumput, kamu kunyah, airnya kamu telan dan ampasnya labur ke lukamu Ia akan membersihkan sisa-sisa racun jikalau memang masih ada."
Selesai menolong si gadis, Geni berpikir untuk pergi. Tetapi ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Ia tak tahu apa sebabnya. Namun sepertinya ia merasa berat meninggalkan gadis bernama Sari itu, atau lebih tepatnya ia merasa enggan berpisah.
Tampaknya Sari merasakan hal yang sama, ada rasa enggan berpisah.
"Setelah ini, setelah selesai menolong mengobati aku, apakah dia akan pergi begitu saja?" Pertanyaan ini dijawabnya sendiri.
"Ya tentu saja dia harus pergi, mungkin dia punya urusan yang harus ia selesaikan, sedang di sini tak ada lagi yang harus diperbuatnya, dia sudah selesai menolong aku, tetapikenapa dia harus pergi?" Berpikir begitu wajah Sari memerah. Ia malu. Dalam hatinya ia berharap, lelaki itu tetap di sini, menemaninya. Sari segera sadar dari pengembaraan pikirannya, mendengar suara Geni.
"Nona, seharusnya aku pergi sekarang, tetapi kata guruku, menolong orang itu harus sampai tuntas. Kamu memang sudah sembuh dari keracunan, namun tenaga dalam belum pulih, paling tidak kamu butuh dua hari lagi untuk memulihkan tenagamu Aku khawatir musuhmu akan kembali lagi. Apalagi hari sudah gelap, jadi kupikir aku akan temani kamu sampai besok pagi, asal kamu tidak keberatan dan tidak curiga padaku."
Sari hampir berteriak saking gembiranya. Untung saja karena hari sudah gelap, air mukanya yang girang tidak terlihat. Namun tetap saja Sari merasa malu.
"Ki Ambara aku sangat berterimakasih atas pertolonganmu Jika kamu tidak datang, entah apa jadinya aku diperlakukan penjahat bejat tadi. Terimakasih kamu telah mengobati lukaku dan juga bersedia menemani aku, tetapi apakah tidak mengganggu perjalananmu?"
"Ah tidak, aku tidak terburu waktu. Tak ada sesuatu yang harus kukerjakan dengan segera. Aku bisa menemanimu sepanjang kamu tidak keberatan. Lagipula pertemuan Mahameru masih lama, masih ada waktu lima atau enam purnama lagi."
Sari memandang lekat lelaki di hadapannya.
"Terus terang saja aku sangat menyukai lelaki ini, apakah aku sudah jatuh cinta? Begitu mudahnya, padahal baru pertama kali jumpa?" Pikiran ini membuat wajahnya memerah. Ia merunduk malu. Tiba-tiba ia melihat baju di bagian dadanya robek, hampir separuh payudaranya nyembul keluar. Ia ingin menutup dengan tangannya. Tetapi batal, biarlah, toh lelaki itu sudah melihatnya.
"Apakah ia menyukai aku, jatuh cinta padaku?" Tanpa sadar ia membantah pikirannya tadi, kata-katanya keluar begitu saja, "Gila, mana mungkin!"
Geni terkejut.
"Apanya yang gila?" Sari juga terkejut.
"Tidak, aku t.adi mendengar kamu hendak pergi ke Mahameru, benarkah? Sebab aku juga bertujuan yang sama, ke Mahameru?" Kata-kata itu meluncur begitu saja. Sari menatap tajam mata lelaki itu.
Wisang Geni kaget melihat sinar mata si gadis yang begitu tajam, berkilat di tengah gelapnya malam "Aku memang mau ke Mahameru, benarkah Sari, kamu juga mau ke sana?
Mendadak Sari merasa malu. Itu pertama kali lelaki itu menyebut nama Sari. Dan nama itu diucapkan dengan lancar, seperti sudah akrab.
"Aku memang mau ke Mahameru, apakah kau diundang ke pertemuan itu?"
"Diundang? Aku bukan pendekar yang dikenal orang, siapa yang mau mengundang aku, tetapi Sari apakah semua yang hadir harus orang yang diundang artinya yang tidak diundang tak boleh hadir. Apakah kamu juga diundang, Sari?"
Hatinya berbunga-bunga. Dua kali sudah namanya disebut begitu akrabnya.
"Tidak. Aku tidak diundang, aku juga bukan pendekar terkenal, kalau aku hebat tentu tidak akan terluka sampai begini. Aku mendengar omongan orang, pertemuan Mahameru boleh dihadiri oleh semua orang, tetapi perguruan itu hanya melayani makan minum dan nginap bagi mereka yang diundang. Artinya bagi yang tidak diundang, ya bawa makanan sendiri."
Geni diam. Sari memecah kesunyian "Ambara, hari sudah gelap, apakah tidak lebih baik jika kita menyalakan api." Sari terkejut dengan dirinya sendiri, menyebut nama lelaki itu begitu saja, seperti sudah akrab.
Namun Geni tidak memerhatikan perubahan sebutan itu.
"Kamu benar. Kita memang harus mencari tempat untuk tidur. Di situ di balik air terjun ada sebuah goa, aku sudah menempatinya selama beberapa hari. Kita ke sana saja, ayo."
Sari berdiri, agak lemas ia melangkah tertatih-tatih. Geni tersenyum, menggoda.
"Kelihatannya kamu sulit melangkah, kamu masih luka dan tenaga belum pulih. Biar aku papah saja." Geni membawa tangan Sari ke pundaknya, sedang tangannya memeluk pinggang si gadis. Tiba-tiba Sari berteriak pelan. Rupanya buah dadanya yang masih belum sembuh menimbulkan rasa sakit ketika bersinggungan dengan tubuh Geni. Lelaki itu berpindah, kini Sari di kanan. Tetapi Sari juga kesakitan ketika pahanya bersinggungan dengan paha Geni.
Geni mengeluh, "Sari, kamu tak bisa dipapah, dadamu luka di bagian kanan, pahamu luka di bagian kiri, bagaimanapun juga akan tetap bersinggungan dan akan sakit. Kalau kamu jalan pelan begini, mungkin besok pagi baru sampai di goa, aku bopong saja, mau?"
Godaan Geni memperoleh sambutan. Gadis itu tertawa senang.
"Kalau mau membopong aku, bopong saja, tidak perlu pura-pura bertanya?"
Tidak menunggu lagi, Geni menyambar tubuh Sari.
Membopongnya ke air terjun Keduanya sama merasakan adanya kesenangan dalam persinggungan tubuh. Tanpa sadar Sari merapat tubuhnya ke dada Geni. Lelaki ini memeluk erat. Ada perasaan bahagia nyelip di hati dua insan itu. Tanpa sadar Sari memeluk dada Geni, berbisik, "Aku tak bisa berenang."
Geni memindahkan Sari di punggungnya. Ia merasakan dada Sari yang lunak menghimpit punggungnya. Sari merasa luka dadanya sakit, tetapi kini ia diam. Tangannya melingkar erat di leher Geni.
"Tahan napasmu, kita akan menyelam," teriak Geni di antara gemuruh suara air terjun.
Goa itu cukup besar. Selama dua bulan berlatih di air terjun, Geni telah membersihkan goa itu. Tadinya basah, lembab dan kumuh, Geni menjadikannya tempat tinggal yang bersih dan nyaman. Ada tumpukan kayu kering untuk menghangatkan tubuh. Ada obor damar untuk penerangan. Ada tumpukan jerami di atas papan dirancang untuk tempat tidur. Ia menyalakan obor. Cahaya obor menerangi goa, samar- samar. Geni menatap Sari. Lekuk dan liuk tubuh gadis itu tampak jelas, pinggangnya yang kecil ramping, buah dadanya yang montok dan pinggulnya yang semok, membentuk bayangan indah. Geni tadinya sudah tahu Sari seorang gadis muda yang cantik. Namun di goa ini, segalanya makin jelas. Sari ibarat seorang dewi dengan kecantikan yang membuat lelaki mana pun bisa mabuk kepayang.
Mendadak saja Sari berseru "Ambara, bajuku basah kuyup, tadi gara-gara lelaki keparat itu, buntalan pakaianku jatuh dan hilang di sungai. Sekarang aku perlu api unggun untuk mengeringkan baju ini."
Geni tersadar dari lamunan dan perhatiannya pada tubuh molek Sari.
"Aku punya beberapa baju di sini, kamu boleh pakai salah satunya, sedang kepunyaanmu bisa dikeringkan. Kau mau?"
Gadis itu mengangguk. Geni menuju pojokan goa, membuka buntalan dan mengeluarkan celana panjang sebatas lutut dan baju dari kain kasar. Sari mencium pakaian itu, teruar bebauan lelaki seperti bau yang diciumnya waktu Geni mengisap darah dari luka di dadanya.
"Kamu balik badan, jangan lihat, aku mau ganti baju."
Geni memalingkan tubuh, ia tidak melihat namun pikirannya seakan bisa melihat tubuh Sari. Ia membayangkan tubuh molek gadis itu. Untuk menghilangkan pikiran liarnya, Geni berkata, "Sari, kamu pasti sudah lapar, aku juga lapar, kamu tunggu di sini, aku akan cari makanan untuk santap malam"
"Hei, kamu pergi ke mana, aku tak mau sendirian di sini."
"Aku tidak jauh dan tidak lama. rianya menangkap ikan, di
luar."
Tak lama kemudian Geni kembali ke dalam goa membawa enam ekor ikan yang besarnya setelapak tangan.
"Kamu makan ikan ini, bagus untuk memulihkan tenagamu" Geni memerhatikan. Sari sudah ganti baju. Ia mengenakan baju milik Geni. Tubuhnya lebih kecil, maka pakaian itu nampak besar dan kedodoran. Sari tertawa melihat Geni memerhatikan pakaiannya.
"Pakaianmu besar, lihat, aku kelihatan kecil."
Sari meraut sepotong ranting dengan pisau kecilnya. Geni memerhatikan.
"Mau kau panggang ikannya?" Sari mengangguk.
"Jangan, Sari. Maksudku tadi, kamu makan mentah-mentah saja, rasanya enak, manis dan segar."
Sari memandang Geni dengan perasaan geli.
"Aku belum pernah makan ikan mentah, amis."
"Namanya, ikan marong. Khasiatnya merangsang tubuh memperbanyak darah. Kamu banyak kehilangan darah, itu sebab kamu lemas dan untuk memulihkan tenagamu biasanya perlu waktu cukup lama. Kalau ikan itu kau masak, khasiat ikan marong itu akan hilang. Coba dulu, enak dan segar!"
Geni memberi contoh. Ia mencomot seekor, melahapnya dengan enak. Darah ikan meleleh dari mulutnya. Sudah dua bulan berlatih di air terjun, setiap hari Geni melahap ikan marong. Sari nyengir melihat Geni melahap ikan. Hati-hati dia membawa ikan itu ke mulutnya. Digigitnya dengan enggan.
Rasanya enak. Manis dan hangat. Sari tertawa, Geni pun tertawa.
Ia merasa perutnya hangat Tanpa malu-malu, saking laparnya, ia tertawa lepas sambil melahap tiga ekor ikan. Geni terpesona memandang wajah Sari yang tampak cantik saat tertawa tadi. Cahaya api unggun yang agak redup, sudah cukup untuk menonjolkan kecantikan alamiah itu. Tanpa sadar Geni menghela nafas.
"Kenapa kamu ?" tanya Sari. Geni terkejut. Seakan ia takut isi pikirannya terbaca Sari. Ia menggeleng kepala.
"Tidak ada apa-apa. Tidurlah. Aku akan menjagamu."
Sari merebahkan diri di tumpukan jerami dekat api unggun. Baju Geni yang dikenakannya terlalu besar, menyembunyikan semua keindahan tubuhnya. Tak lama kemudian ia tertidur.
Nafasnya teratur. Lama Geni meneliti wajah cantik itu. Bulu matanya lentik, sepasang matanya agak sipit, alis mata yang juga tipis. Hidungnya bangir dan mungil. Mulutnya berukuran sedang berbentuk busur gendewa dengan bibir penuh dan tebal. Cantik, sangat cantik.
"Ia jujur dan polos, buktinya ia percaya kepadaku, orang yang baru dikenalnya. Ia masih muda dan cantik, alangkah bahagianya aku seandainya bisa menyuntingnya menjadi isteri," bisiknya dalam hati.
Tiba-tiba saja sepasang mata Sari terbuka, menatap Geni dengan sinar yang teduh. Ia tersenyum kemudian merapatkan mata lagi.
"Kamu suka memandangi aku," katanya. Geni tidak tahu apakah gadis itu sedang bermimpi atau dalam keadaan sadar.
"Iya Sari, aku suka menikmati kecantikanmu" Sambil menjawab, Geni melompat ke ayunan yang membentang tegang dari dinding ke dinding lain. Ayunan itu terbuat dari kulit pohon yang keras dan kasar. Ia biasa tidur di ayunan. Pada mulanya ia hampir tak bisa bergerak, sebab begitu bergerak, ia langsung jatuh. Lama kelamaan ia bahkan bisa tidur lelap. Itu memang cara melatih ilmu ringan tubuh Waringin Sungsang.
Sejak mewarisi ilmu itu Geni selalu tidur di atas ayunan atau dahan pohon. Untuk menguasai Waringin Sungsang seseorang harus bisa menyatukan antara syaraf otak, batin dan jasad kasar. Karenanya keseimbangan tubuh harus tetap terpelihara meskipun saat tidur, misalnya. Itu sebab siapa yang sedang memperdalam Waringin Sungsang harus tidur di atas pohon. Keesokan pagi, Geni terbangun. Ia tak melihat Sari di tempatnya. Matanya mencari-cari ketika telinganya mendengar suara. Di antara gemuruh air terjun, ada suara lain. Ia mendengar kecipak air dan lantunan kidung wanita. Suaranya merdu, suara Sari. Diam-diam ia menuju pintu goa. Di mulut goa, di balik air terjun, terdapat kolam. Air kolam beriak dan berkecipak. Pagi itu kolam terselimuti kabut dan uap air. Geni melihat samar-samar tubuh telanjang Sari yang berenang kian kemari.
"Oh, kemarin itu, ia pura-pura tidak bisa berenang, supaya aku menggendongnya. Nyatanya dia mahir berenang." Geni mengintip dan melahap sepuasnya tubuh molek Sari Kulit kuning sawo yang begitu indahnya.
"Ambara, kalau sudah puas ngintip, tolong kamu ambilkan kain sarung milikmu itu," katanya dengan suara cekikikan.
Geni ikut tertawa.
"Sari, kamu cantik dan tubuhmu indah."
Keduanya duduk di mulut goa sambil melahap ikan marong.
Pagi itu matahari bersinar garang. Sinarnya memantul menembus tirai air terjun menerangi goa. Goa itu terasa hangat. Sari menyukai goa tersembunyi ini.
"Eh Ambara, kalau kita hendak keluar goa, bagaimana caranya supaya pakaian tidak basah?"
"Tidak ada jalan lain kecuali berenang. Kamu harus berenang dengan berpakaian, kemudian mengeringkan pakaianmu di panas matahari. Bisa juga kau berenang telanjang, membungkus pakaianmu supaya tidak basah."
Sari termenung. Geni memandang wajah cantik itu. Tiba- tiba terlintas dalam pikirannya, pertemuan Mahameru "Sari, dalam percakapan kita yang lalu, tampaknya kau banyak mengetahui tentang pertemuan Mahameru Aku tidak tahu maksud pertemuan itu, tetapi aku mendengar omongan orang, pertemuan itu akan dihadiri banyak pendekar dengan ilmu silat yang tinggi. Apa tujuan dan maksud pertemuan itu?"
Belum lama berselang tersiar berita ke semua penjuru dunia kependekaran tanah Jawa, bahwa akan ada pertemuan besar di perguruan Mahameru pada hari pertama bulan Bhadrapada. Undangan sudah disebar ke semua pendekar kelas utama tanah Jawa. Semua diundang, tidak peduli apakah dari golongan putih atau golongan hitam Pertemuan itu untuk menentukan dan memilih lima pendekar paling jago di tanah Jawa yang akan mewakili tanah Jawa menghadapi tantangan para pendekar Kuangchou Lima pendekar tanah Jawa lawan lima jagoan Kuangchou, pada tengah bulan Aswina, empatpuluh lima hari setelah pertemuan di Mahameru
Asal muasal tantangan itu menurut cerita dari mulut ke mulut, lantaran orang-orang Kuangchou menuduh para pendekar tanah Jawa bertanggungjawab membunuh dan merampok sekelompok pedagang Kuangchou di dekat desa Bareng sekitar kali Ginting pada bulan Phalguna tahun lalu. Rombongan pedagang Kuangchou dirampok, tujuhbelas orang Kuangchou dibunuh, hanya empat orang yang lolos. Mereka yang lolos pulang membawa berita ke Kuangchou. Di antara yang mati, salah seorangnya adalah pendekar muda, putra tunggal pendekar yang paling dihormati dan disegani di daratan Cina, Sam Hong.
Sampai sekarang ini, para pelaku perampokan dan pembunuhan itu belum ketahuan, siapa dan dari kelompok mana. Lantaran tidak tahu kepada siapa harus menuntut tanggngjawab dan membalas dendam, maka orang-orang Kuangchou melayangkan surat tantangan. Perjanjian yang disertakan cukup sederhana, jika para pendekar Kuangchou kalah, maka urusan selesai sampai di situ. Jika Kuangchou menang, maka semua pendekar tanah Jawa harus mencari dan menemukan pelakunya kemudian menyerahkan kepada pihak Kuangchou untuk diadili.
Selama gadis itu bercerita, Geni tak sesaat pun melepas pandangan dari kecantikan yang terpampang di depan matanya. Cara gadis itu bertutur melalui gerak mulutnya yang indah membuat Geni semakin terpesona. Sari selesai bertutur, ia menegur Geni.
"Hei, kenapa kamu memandangi aku terus-terusan?"
"Kamu cantik Sari, aku menyukaimu, aku, aku mencintaimu"
Sari terkejut. Tidak menduga kalimat itu keluar dari mulut Geni. Ia terpana memandang lelaki di hadapannya itu. Ia tidak bisa berkata-kata, mulurnya seakan terkunci. Ia diam saja, ketika tangan Geni yang kekar memeluknya.
"Sari, kenapa kau diam?" Geni memegang dagunya, menatap matanya. Sari memejam mata, malu.
Geni mengecup bibirnya. Gadis itu diam tak bereaksi, saat berikut Sari bernafsu. Ia memegang kepala dan menjambak rambut Geni. Mulutnya yang tadinya diam, berubah liar. Nafas kedua insan itu semakin panas. Keduanya bergumul bergulingan di lantai goa. Tangan Geni merambah ke seluruh tubuhnya. Sari terengah-engah, mendadak ia mendorong tubuh Geni, melepaskan diri dari pelukan.
Geni terengah-engah menahan birahi, bertanya, "Kenapa, kamu tidak suka ?"
Masih terengah-engah, Sari tertawa.
"Kamu bodoh, apakah barusan tadi itu tandanya aku tidak suka atau tandanya aku suka?"
Geni memeluk Sari, menciumnya lagi. Sari merapatkan tubuhnya, balas mencium dengan bernafsu. Sesaat kemudian ia melepaskan din.
"Ambara, jangan sekarang, lukaku masih sakit. Terutama luka di bagian dada. Lukanya belum kering." Ia tertawa sambil mendorong tubuh Geni. Lelaki ini memegang tangannya, sekali lagi ia menggumuli tubuh si gadis.
"Jangan sekarang," kata Sari. Ia berbisik di telinga Geni.
"Tunggu tiga malam lagi, saat itu lukaku pasti sudah kering, tidak perih lagi."
Melewati dua hari Geni berlatih silat di air terjun. Seperti biasa, ia tidak berlatih jurus Garudamurkha, ia memperlancar jurus Bang Bang Alam Alam dan Waringin Sungsang. Ia menyembunyikan asal-usulnya. Sementara Sari lebih sering menghabiskan waktu di dalam goa, berlatih tenaga dalam. Sesungguhnya tenaga dalamnya sudah pulih. Namun ia perlu waktu memikirkan hubungannya dengan lelaki bernama Ambara itu.
"Ini hubungan yang aneh dan unik. Baru satu hari berkenalan dia sudah menyatakan mencintaiku, apakah bukannya nafsu birahi, mungkin juga dia mengatur siasat dan tipuan. Dia hanya mengincar tubuhku, setelah menikmati tubuhku, dia akan pergi meninggalkan aku. Ia akan menertawakan aku. Tetapi mungkinkah dia selicik itu?"
Dua hari dilalui Geni dan Sari hanya dalam batas percakapan. Geni sudah tergila-gila akan pesona wajah dan tubuh Sari. Tiap saat memandang Sari, nafsu birahinya bergejolak. Tetapi hasratnya tak pernah terpenuhi. Beberapa kali keduanya berciuman, berpelukan dan bergumul Hanya sebatas itu. Pada akhirnya Sari mendorong dan menolak secara halus.
Malam ku, ketika Sari sudah lelap dalam tidur, ia terbangun. Ia merasa seseorang menciumi kakinya.
"Ambara, apa yang kau lakukan, mengapa menciumi kakiku?"
Geni tetap menciumi betis dan dengkul si gadis. Sari merasa geli tetapi tidak berniat menarik kakinya, tidak juga menertawakan karena khawatir lelaki itu tersinggung. Geni berkata lirih.
"Sari, aku mohon maaf. Aku sudah kasmaran, tidak ada obatnya kecuali mendapatkan kau sebagai isteriku."
Malam itu setelah selama tiga hari tinggal bersama Geni dalam goa, Sari telah memantapkan keputusannya.
"Malam ini saatnya aku berterus-terang, agar semuanya tidak menjadi kacau," katanya dalam hati Ia lalu mengumpulkan keberaniannya "Ambara, aku mengerti perasaanmu. Tetapi kita baru tiga hari berkenalan, aku belum mengenal kamu dan kamu juga belum mengenal aku secara keseluruhan. Aku pikir mungkin kamu hanya terpengaruh nafsu. Kita perlu waktu untuk lebih mengenal diri masing-masing."
Lelaki itu tersentak.
"Apakah memang aku terpengaruh nafsu birahi seperti yang ia katakan?" Geni membantah pikirannya.
"Sari aku tidak terpengaruh nafsu, aku benar- benar mencintaimu, aku tidak main-main."
"Ambara, kamu tidak mengenal aku, kamu tidak tahu bahwa aku sebenarnya lebih tua usia dari kamu Aku juga bukan gadis perawan seperti bayanganmu, aku sudah tua."
Geni tertawa lirih, agak tersinggung.
"Tak mungkin. Usiaku tigapuluh lima tahun, kamu kutaksir sekitar duapuluh, bahkan mungkin delapanbelas atau sembilanbelas. Kau jangan mencari-cari alasan. Aku tahu kamu juga mencintaiku, aku melihat itu di matamu Kau tak bisa menipu dirimu sendiri."
"Kamu harus percaya! Apa yang kukatakan adalah sesungguhnya, usiaku empatpuluh dua tahun. Memang aku tampak muda, awet muda karena aku berlatih ilmu Karma Amamadang dari pendekar tua asal desa Panawijen. Aku juga sudah tidak perawan lagi, sudah dua lelaki yang pernah meniduriku."
Geni tertawa geli.
"Kenapa tertawa? Kamu menertawakan aku?" Sari cemberut.
"Tidak, aku tidak menertawakan kamu Aku geli mendengar alasan itu. Bagiku, semua itu tidak ada artinya. Aku tetap mencintaimu, apakah kamu berusia empatpuluh dua tahun, apakah kamu lebih tua dari aku, apakah kamu sudah tidak perawan lagi, apakah kamu sudah pernah bercinta dengan dua orang lelaki sebelumnya, semua itu aku tidak peduli. Aku mencintaimu karena keadaanmu sekarang ini dan tak ada hubungannya dengan masa lalumu"
"Kamu gila!"
"Ya memang aku gila, sudah kukatakan padamu, aku kasmaran dan mencintaimu, tak ada obatnya kecuali menjadikan kamu isteriku, aku bersungguh-sungguh."
Sari menatap lelaki itu dengan pandangan penuh arti cinta.
"Sini Ambara, kekasihku, peluk aku."
Geni mendekap tubuh molek itu, menciumi wajahnya.
"Kamu mau menjadi isteriku? Apakah kamu juga mencintaiku?"
Sari mengangguk, membalas ciuman dengan bernafsu. Namun saat Geni sudah tak mampu mengendalikan diri, seperti biasa Sari menolak tubuhnya.
Geni bertanya, "Kenapa?"
Sari mencium dada lelaki itu, merasakan keringat dan bau khas lelaki bernama Ambara.
"Aku pernah dikecewakan lelaki, mereka hanya menginginkan tubuhku, setelah puas mereka pergi dan tak pernah kembali. Ambara, kuharap kamu mengerti keadaanku, aku percaya kamu mencintaiku, aku pun mencintaimu, tetapi aku masih bingung apakah ini yang disebut cinta ataukah hanya nafsu birahi belaka."
Geni mengecup mulurnya.
"Aku akan sabar menunggu sampai kau siap menerimaku. Aku sangat mencintaimu Sari."
Sari memeluk lelaki itu "Aku juga mencintaimu Ambara, apakah sudah ada wanita lain dalam hidupmu ?"
"Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang membuat aku jatuh cinta dan kasmaran seperti kepadamu sekarang ini. Memang ada beberapa perempuan yang singgah dalam hidupku, tetapi mereka hanya melintas, tidak ada yang istimewa. Hanya kamu yang istimewa, Sari "
Setelah lima hari berdiam di goa, tenaga Sari sudah pulih seperti sediakala. Pagi itu, kedua insan yang sedang jatuh cinta itu sepakat bepergian bersama. Mereka menuju Selatan menyusur kali Bangu. Di jaman itu, sungai merupakan lalu lintas paling mudah dan murah bagi para pelancong dan pedagang. Di sekitar kak Porong dan kak Brantas, perairan sungai sangat aman. Orang hanya perlu menyewa perahu milik perguruan Brantas dan keamanan mereka pasti terjamin.
Sepasang kekasih itu menyewa perahu berukuran sedang yang cukup untuk tujuh delapan orang penumpang. Di bagian tengah ada gubuk beratap daun nyiur, tempat penumpang berlindung dari panas mentari. Tukang perahu seorang lelaki kurus berusia separuh baya dibantu seorang anak remaja.
"Kami hanya sampai di batas desa Gadang saja, anak muda," kata pemilik perahu ketika Geni minta diantar sampai daerah yang terdekat dengan desa Wajak.
"Kenapa Pak, kami akan membayar lebih," kata Sari.
Orangtua itu menggeleng.
"Itu daerah perbatasan kekuasaan perguruan Brantas. Di daerah itu jika seseorang mau naik perahu harus menyewa milik perguruan Brantas. Itu sebab kami hanya mengantar sampean sampai batas daerah itu saja."
Perjalanan air ke desa Gadang biasanya tiga hari. Malam hari, istirahat. Memang berbahaya di malam gelap pekat mengarungi sungai yang penuh buaya pemakan manusia. Pemilik perahu berdua cucunya nginap di daratan di rumah kerabatnya. Wisang Geni berdua Sari tetap di perahu yang ditambat di tepi sungai.
Berada hanya dua-duaan dalam gubuk perahu yang sempit dibuai ayunan kendaraan air, mendatangkan perasaan yang sulit dilukiskan bagi pasangan kekasih itu. Mereka berpelukan. Ada rasa bahagia dan rasa enggan berpisah. Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Geni semakin terperosok ke jurang cinta, kasmaran.
Begitu juga Sari yang merasa tak mungkin bisa hidup tanpa Geni di sampingnya.
"Aku sudah mencintai Ambara, ia telah merebut seluruh hatiku, Ambara tidak cuma telah menyelamatkan aku dari aib besar, tetapi telah memberiku kehangatan cinta."
Banyak lelaki menyatakan cinta, tetapi ia tak pernah tei gila-gila seperti saat Geni berbisik di telinganya.
"Sari aku mencintaimu, aku sudah jatuh di bawah pesona kecantikanmu. Cintailah aku, jika tidak aku pasti mati memelas."
Waktu itu Sari membalas dengan bernafsu.
"Ambara, aku juga mencintaimu"
Dia mengenal beberapa lelaki tapi belum seorang pun membuatnya merasa enggan berpisah. Tetapi entah mengapa ia merasa enggan berpisah dengan Geni. Bukan cuma enggan berpisah. Lebih dari itu Geni telah mendatangkan perasaan yang membingungkan. Ia dibuatnya lupa alam sekeliling.
"Tidak salah orang bilang cinta itu nikmat. Aku tak perlu menyesal mencintai Ambara Aku tahu, ia tergila-gila dan sangat mencintaiku. Bisa kulihat dan kurasakan."
Bagi Geni, Sari ibarat rembulan di tengah gelapnya malam. Selama ini ia tak pernah dicintai dan mencintai perempuan. Ia pernah meniduri beberapa perempuan tetapi hanya sebatas kebutuhan jasmani. Inilah pertama kali ia kasmaran pada perempuan.
Cinta memang aneh. Cinta bisa datang dengan tiba-tiba. Pada saat lain, cinta bisa berubah menjadi kebencian, juga secara mendadak. Kalau cinta sudah datang, mekar dan tumbuh subur maka manusia sulit mengendalikannya dan sulit menghentikannya.
Segala sesuatu tak pernah tidak mengikuti hukum alam, selalu bila seseorang mengalami saat-saat paling getir dalam hidupnya, waktu berjalan serasa lama dan panjang.
Sebaliknya jika mengalami saat yang paling menggembirakan dan membahagiakan, rasanya waktu berjalan begitu cepat dan singkat. Bahagia, itulah yang dirasakan dua insan yang mabuk cinta, Sari dan Ambara. Hari itu, hari pertama dalam perjalanan. Sejak siang hari, dua insan itu sudah dirangsang nafsu birahi. Namun ada rasa malu terhadap pemilik perahu dan cucunya.
Tetapi malam harinya, ketika kakek dan cucunya itu nginap di desa, dua kekasih itu tak mampu lagi mengekang diri.
Keduanya berbaring berdempetan. Sari menatap Geni dengan sinar mata cinta dan nafsu. Nafasnya terasa panas. Ia mengelus dada Geni, pahanya melingkar di atas paha Geni.
"Ambara, aku sangat mencintaimu, berjanjilah kamu tidak mempermainkan aku, kamu tidak akan pergi meninggalkan aku."
Geni mengelus buah dadanya. Nafasnya memburu "Aku akan mati dan mayatku dimakan binatang, jika aku membohongimu, Sari aku sangat mencintaimu" Geni melucuti pakaian Sari, menciumi sekujur tubuhnya membuat gadis itu menggelinjang.
"Ambara, aku tidak perawan lagi. Sudah dua lelaki sebelumnya."
Geni memeluk erat, seakan hendak melumat dan menelan tubuh molek itu.
"Sudah kukatakan beberapa kali bahwa aku tak peduli soal itu, aku hanya butuh cintamu"
Sari berbisik dengan bernafsu, "Kau butuh cintaku dan tubuhku. Malam ini, kamu boleh mengambil semuanya, tetapi berjanjilah akan memberikan cintamu hanya untuk aku."
Tanpa terasa tiga hari perjalanan sungai. Setiap malam, pemilik perahu dan cucunya tidur di daratan. Setiap malam dua kekasih itu bercinta di atas perahu, memadu cinta dan merenangi nafsu birahi. Dari malam sampai pagi hari. Cinta dan nafsu sepertinya menyatu dalam nafas dua kekasih itu.

* * *



INDEX WISANG GENI
25 Tahun Kemudian --oo0oo-- Perpisahan
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.