25 Tahun Kemudian
tanztj
September 11, 2019
INDEX WISANG GENI | |
Peristiwa Ganter --oo0oo-- Cinta Pertama |
Pendekar Tanpa Tanding
Karya : John Halmahera
--↨֍¦ ¦֍↨--
Tahun 1247 suatu malam di tengah bulan Margasirsa.
Duapuluh lima tahun kemudian setelah perang Ganter yang menelan banyak korban jiwa itu. Bulan purnama menerangi hutan di pinggir desa Mlarak. Tampak sebuah bangunan tua di antara pepohonan jati. Reruntuhan rumah tua itu hampir tidak beratap. Hanya satu sisi dinding yang terbuat dari batu hitam yang masih utuh. Dinding lainnya sudah tidak utuh. Daun pintu sudah tak ada, rusak dan lapuk termakan rayap.
Di ruangan dalam yang terbuka dan luas mirip bangsal beberapa orang sedang istirahat. Rumah tua itu sering dijadikan tempat menginap perantau yang kemalaman di jalan. Suasana sunyi dan sepi. Hanya terdengar suara jengkrik dan kodok sahut-sahutan. Gerimis membuat malam makin dingin.
Terdengar suara orang mendendangkan kidung. Suaranya sinis dan dingin. Suaranya tidak keras namun terdengar jelas oleh semua orang di rumah besar. Suara jengkrik dan kodok mendadak senyap ditelan suara yang membawa suasana magis.
Dari Gunung Lejar, Jurus Penakluk Raja. Ilmu dari segala ilmu, Melenggang ke Barat, Meluruk ke Timur, Merangsak ke Utara, Merantau ke Selatan, Tak ada lawan,
Tak ada tandingan, Ilmu dari segala ilmu Kidung itu seakan menyihir semua orang. Semua diam.
Saling pandang. Sebagian wajahnya pucat. Sebagian lainnya waspada. Kidung dinyanyikan dengan tenaga dalam tinggi, membuat jantung orang berdegup kencang. Suara itu juga menebar pengaruh magis.
Pelan-pelan gema suara menghilang. Suara jengkrik dan kodok mulai lagi bersahutan. Gerimis masih menyiram bumi. Seorang lelaki paruh baya bersandar di dinding tertawa dingin, menghentakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya gembul, kepala botak.
"Kidung hanya satu kali dinyanyikan, berarti ia akan membunuh satu orang di antara kita di ruangan ini, siapa? Aku pasti akan melawannya, aku akan adu jiwa dengannya, sudah lama aku mencarinya," kata si lelaki botak itu. Semua di ruangan saling pandang. Semuanya, sebelas orang, tujuh lelaki dan empat wanita.
Seorang anak muda berusia sekitar tigapuluhan sedang melahap nasi bungkus. Ia menunda makannya, memandang lelaki gembul botak itu dengan heran. Ia menoleh kepada kakek tua berusia enampuluhan yang duduk di sampingnya.
"Guru, mengapa harus ada yang mati terbunuh? Apa anehnya kidung tadi."
Sebelum kakek itu menjawab, lelaki botak mendahului dengan tertawa dingin.
"Anak muda, itu tadi namanya tembang Jurus Penakluk Raja tapi belakangan lebih dikenal orang dengan sebutan Kidung Maut. Dan si penyanyi adalah dedemit kejam yang doyan membunuh. Kalau kidung dinyanyikan satu kali, artinya ia akan mencabut nyawa satu orang sebelum fajar menyingsing. Kalau dua kali, ya artinya dua nyawa."
"Siapa si pembunuh itu ?"
"Siapa? Selama ini tak seorang pun pernah melihat tampangnya. Orang rimba persilatan menjulukinya si Kidung Maut. Ia muncul tiba-tiba dan dengan ilmunya yang tinggi mudah baginya untuk membunuh siapa saja. Ia muncul tiba- tba dan menghilang tiba-tiba persis siluman. Agaknya benarlah syair kidungnya, tak ada lawan, tak ada tandingan!"
"Apakah tuan pernah memergoki kejadian seperti malam ini?" Pemuda itu masih penasaran.
"Ini yang pertama kali. Waktu isteriku jadi korban kekejamannya, aku tak ada di situ. Istriku memang mati dibunuh dedemit itu. Dan Sesaat Manjangan Puguh tertegun. Kemudian ali mukanya berubah cerah, ia tertawa lepas.
"Kamu pasti Wisang Geni, wah kamu sudah dewasa, aku pangling, kalau bertemu di jalan aku pasti tak bisa mengenalmu Berdirilah dan kembali ke samping kakek gurumu, nanti kita ngobrol." Ia memberi hormat dengan dua tangannya kepada orangtua yang disebutnya kakek itu.
"Ki Padeksa, terimalah hormatku".....
Wisang Geni kembali ke tempat duduknya. Tetapi langkahnya terhenti karena pada saat bersamaan terdengar kembali kidung Jurus Penakluk Raja ditembangkan. Suara penyanyinya sama, tetap jernih dan bening. Dari suaranya sulit diduga, dia itu perempuan atau lelaki.
Dari Gunung Tejar, Jurus Penakluk Raja, Ilmu dari segala ilmu, Melenggang ke Barat, Meluruk ke Timur, Merangsak ke Utara, Merantau ke Selatan, Tak ada lawan, Tak ada tandingan, Ilmu dari segala ilmu
Semua orang di ruangan saling pandang. Tidak ada suara lain kecuali kumandang kidung itu. Suaranya mendengung dan bergema di segala penjuru Sesaat kemudian suara lenyap.
Belum juga orang-orang itu hilang rasa tegangnya, kidung berkumandang lagi. Begitu seterusnya sampai empat kali beruntun. Semua orang tegang. Pendekar wanita separuh baya yang dikenal sebagai Nyi Pujawati bangkit. Ia tampak kesal.
"Rupanya satu saja tak cukup bagi si Kidung Maut, malam ini ia menginginkan lima nyawa. Benar-benar kurangajar, apa dia pikir kita semua ini batang pisang yang manda digorok begitu saja. Di ruangan ini juga hadir dua tokoh kelas atas, Ki Manjangan Puguh dan Ki Padeksa. Aku ingin tahu apa yang mau dilakukan si pembunuh itu."
Sambil berkata, Pujawati dengan geram menggerakkan tangannya. Sekejap saja sebilah pedang sudah dalam genggaman. Gerakannya sebat dan sulit diikuti pandangan mata orang biasa. Itu suatu bukti perguruan Goranggareng kesohor dengan ilmu pedangnya, bukan bualan semata. Manjangan Puguh memandang semua orang di ruangan.
"Kita tak punya waktu, setiap saat pembunuh itu bisa menyerbu Kupikir sebaiknya kita semua berkumpul di tengah ruangan dalam bentuk lingkaran, setiap orang menghadap keluar lingkaran. Dengan demikian serangan dari arah mana saja bisa kita ketahui. Cepat!"
Tak perlu diulang, semua orang bergerak mengikuti saran Manjangan Puguh. Sepasang suami isteri yang usianya sudah tua, beringsut keluar menuju pintu.
"Kami hanya dua orangtua pedagang kecil yang tak mengerti silat. Kami juga bukan dari dunia kependekaran. Pasti bukan kami yang dimaui penyanyi kidung itu. Kami mohon pamit, para pendekar."
Tertatih-tatih dua orangtua itu melangkah keluar reruntuhan rumah tua dan menghilang di kegelapan malam Semua pendekar memandang dengan mata mendelong tanpa bisa berbuat apa-apa. Wisang Geni tetap berdampingan dengan Padeksa.
"Kakek, keadaan tampaknya gawat Pembunuh misterius itu rupanya memiliki ilmu silat yang tinggi. Aku lihat guru Puguh dan kakek juga, tampak tegang."
Padeksa diam saja. Mulutnya komat-kamit. Rupanya ia bicara kepada muridnya menggunakan ilmu memendam suara lewat tenaga perut. Hebat! Orang lain tak mungkin bisa mendengar. Pertanda tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat tinggi "Geni, tenaga dalam orang itu cukup aneh dan sulit diukur tinggi rendahnya. Pasti dia pendekar kelas atas.
Kita harus hati-hati, kamu jangan sekali-sekali menjauh dari sisiku."
"Geni, aku sudah tua, sudah lebih dari separuh abad. Aku hidup dalam penyesalan sejak Bergawa mati Kalau saja dulu aku tak menuruti katahatiku, kalau saja dulu aku dan dimas Gajah Watu mau menetap bersama kakang Bergawa dan kakang Branjangan mungkin kita masih bisa bahu-membahu menyelamatkan Lemah Tulis, atau kalau pun harus mati, mati dalam tarung adalah pilihan paling mulia bagi pendekar.
"Tapi nasi sudah jadi bubur. Aku menyesal, merasa bersalah. Meski hatiku agak terhibur karena sempat menemui kakang Bergawa sebelum ajalnya. Ia mati meram karena aku berjanji akan melaksanakan tiga perintahnya. Jika aku mati malam ini, maka tiga tugas itu harus kamu laksanakan sebab itu perintah perguruan."
Cerita Padeksa terhenti. Saat itu terdengar jeritan dua orang saling susul. Suaranya mendirikan bulu roma. Saat berikut, dua sosok bayangan menyerbu masuk, mendatangkan angin kencang. Manjangan Puguh dan Pujawati bergerak sebat, hampir berbarengan "Kena kamu dedemit!" teriak Pujawati
Makian itu disusul teriak girang Pujawati karena pedangnya mengena sasaran tubuh manusia. Pukulan melingkar Manjangan Puguh yang berisi tenaga dalam dahsyat mengena telak dada lawan yang lain. Darah muncrat ke mana-mana.
Dua musuh itu sudah dipecundangi, begitu mudahnya. Semua mata melotot memandang dua sosok mayat yang tergeletak di ruangan. Ternyata mereka dua orangtua pedagang kecil tadi. Luka menganga di dada tepat bagian jantung. Darah membasahi seluruh tubuhnya. Mereka dibunuh dengan keji kemudian mayatnya dilempar ke dalam, itu yang membuat Pujawati dan Manjangan Puguh kecele.
"Bangsat kejam!" Dua murid Pujawati membuang muka, tak tahan melihat mayat mengerikan itu. Apalagi dua orangtua itu bukan dari kalangan pendekar. Mereka orang awamyang tak bisa silat. Pujawati menggamit dua muridnya, Rorokunda dan Rorowangi.
"Kalian jangan jauh-jauh dari gurumu"
Padeksa dan Wisang Geni tak begitu peduli. Sekilas melihat dua mayat, Padeksa menggamit Wisang Geni. Namun sebelum ia buka mulut, terdengar suara Manjangan Puguh.
"Ki Padeksa, Nyi Pujawati, coba perhatikan ini, senjata apa ini yang bisa membuat lubang di dada manusia, mungkin semacam bor." Dua pendekar itu mendekat dan memerhatikan mayat. Lukanya sama, tepat di bagian jantung. Tampak seperti senjata itu menembus dada, berputar dan melumat hancur tulang dan daging di seputar dada sebelah kiri.
"Mungkin benar, senjatanya semacam bor namun jelas sekali dikendalikan dengan tenaga dalam yang besar," tukas Padeksa.
"Setahuku, belum pernah ada pendekar di tanah Jawa yang menggunakan senjata aneh seperti ini," tambah Pujawati
Lelaki botak alias Si Tangan Besi menyela, "Menurut cerita orang, sepanjang beberapa bulan belakangan ini, si Kidung Maut selalu meninggalkan saksi hidup. Dan mereka yang ikut menyaksikan pembunuhan keji itu tak pernah menyebut adanya senjata, mereka mengatakan orang itu berkelebat macam siluman, geraknya sangat cepat dan ia selalu beraksi dengan tangan kosong. Mungkin saja, malam ini malam istimewa sehingga dia menggunakan senjata"
Saat itu semua orang lengah. Mereka terpencar dan tidak berada lagi di dalam lingkaran. Tiba-tiba saja terdengar suara mencicit yang bising. Manjangan Puguh berteriak.
"Kembali ke lingkaran semula!"
Terlambat!
Suara mencicit sudah memenuhi ruangan. Senjata itu hampir tak terlihat. Bor maut berbentuk kerucut sebesar ibu jari, dikendalikan dengan tali yang saking tipisnya hampir tidak terlihat. Semuanya ada empat bor maut. Senjata itu berputar bagai gasing dan menyambar ke sana kemari dengan kecepatan tinggi
Semua orang panik. Sibuk berkelit dari serangan senjata maut itu. Caci maki dan sumpah serapah keluar dari mulut para pendekar. Tidak lama. Tidak sampai sepeminuman teh, terdengar jerit dan lengking kesakitan. Saat berikutnya senjata itu menghilang. Datang secara mendadak, pergi pun sangat tiba-tiba. Suasana lengang. Kidung Maut tetap tak kelihatan batang hidungnya.
Dua mayat tergeletak di tanah. Darah segar masih mengucur dari lubang di dadanya. Warsakumara dan Tangan Besi! Dua pendekar yang saling bermusuhan, kini mati bersamaan tanpa pernah mengenal wajah pembunuhnya.
Semua saling pandang. Seperti tak pernah ada sesuatu yang terjadi karena berlangsung begitu cepat. Semua sependapat ilmu iblis itu teramat tinggi. Tanpa memperlihatkan diri ia sanggup mencabut nyawa dua pendekar di depan mata delapan pendekar lainnya.
Manjangan Puguh memandang Padeksa dan Pujawati.
Teror bor maut itu masih terbayang Suaranya seakan masih mencicit di telinga Pujawati membanting kaki, saking kesal.
"Gila, sungguh pembunuh licik dan keji" Tak bisa kuasai dirinya lagi, pendekar pedang Goranggareng itu berteriak, "Bangsat licik, keluar kau, hadapi aku."
Suara Pujawati bagai guntur di tengah malam sunyi Gema suara itu dipantulkan ke sana kemari. Suatu pameran tenaga dalam dari seorang pendekar kelas satu Suasana kembali sunyi
Seorang lelaki muda tampan dan tampaknya serombongan dengan Pujawati, berkata sambil memberi hormat kepada para pendekar.
"Sebaiknya kita jangan terpancing, serangan iblis itu akan datang lagi. Sudah empat nyawa melayang, masih ada satu lagi yang diincarnya sebelum fajar, salah satu di antara kita. Maka lebih baik kita siap-siap menghadapinya."
"Benar apa yang dikatakan Setawastra, sebaiknya kita semua siap dalam kelompok." Berkata demikian Pujawati menarik dua muridnya yang cantik, mendekat kepadanya.
Setawastra memegang lengan temannya.
"Kangmas Matangga, kita harus bahu-membahu untuk selamat." Lelaki bertubuh kekar itu manggut. Ia mencabut pedang dari balik punggung "Sebaiknyakita tetap berdampingan, dimas. Apa pun yang terjadi, jangan sampai kita terpisah."
Manjangan Puguh bergabung dengan Padeksa dan Wisang Geni. Delapan pendekar itu terbagi dua kelompok tetapi tak berjauhan satu sama lain. Semua bersiap. Menanti!
Sepi dan lengang. Tak ada suara apa pun kecuali suara kodok dan jengkrik. Saat demi saat berlalu. Fajar semakin dekat. Dari jauh terdengar suara kokok ayam. Belum ada tanda-tanda Kidung Maut akan menyerang. Tanpa terasa suasana ini mendebarkan semua orang. Mereka tetap siaga.
Mendadak terdengar suara gedubrakan.
"Bruuaaakkk!" Tembok rumah tiba-tiba runtuh dijebol orang. Dihantam dengan pengerahan tenaga dalam sangat tinggi Bunyikeras itu disusul bebatuan tembok yang beterbangan ke sana kemari dengan kecepatan tinggi dan serabutan. Debu beterbangan memenuhi ruangan. Sinar rembulan purnama dan penerangan obor tak mampu menembus kumpulan debu. Obor pun mati. Orang sulit melihat datangnya bebatuan yang begitu banyak jumlahnya. Hanya menggunakan ketajaman pendengaran membuat para pendekar pontang-panting mengelak terjangan batu. Salah hitung, kepala bisa pecah.
"Bangsat pengecut, perlihatkan dirimu!'' teriak Pujawati marah. Matangga dengan suaranya yang keras kasar membentak.
"Ayo hadapi aku secara jantan, jangan main sembunyi!''
Dari balik debu yang masih memenuhi ruangan, sosok bayangan berkelebat. Gerakannya gesit, bahkan teramat gesit. Seakan berlomba adu cepat dengan batu-batuyang beterbangan. Tangannya mengibas menyemburkan tenaga dalam dahsyat ke Manjangan Puguh dan Padeksa. Dua pendekar kawakan ini terkejut. Tenaga lawan sungguh besar. Tak ayal lagi keduanya membalas dengan seluruh kekuatan tenaga dalam. Tak terhindar adanya benturan tenaga.
"Dukk ! Dessss!"
Padeksa terdorong surut satu langkah, Manjangan Puguh juga. Bayangan lawan bagai tak mendapat rintangan, tetap menyerbu Kini sasarannya Wisang Geni!
Wisang Geni sejak awal sudah siaga penuh. Ia merentang dua tangan dalam sikap Mangapeksa (Menanti) dari jurus andalan Lemah Tulis Garudamukha. Ini sikap pasrah dan menanti yang menyimpan banyak perubahan tak terduga.
Geni mengerahkan segenap tenaga dalamnya. Ia tahu situasi kritis mengancam hidupnya.
Padeksa dan Manjangan Puguh terkesiap. Kalau mereka saja terdesak mundur oleh tenaga dalam lawan, bagaimana lagi nasib Wisang Geni. Tanpa pikir lagi keduanya menerjang lawan sambil mengirim pukulan jarak jauh.
Saat itu Kidung Maut sudah sampai di depan Geni. Ia mengibas dengan tangan kiri, tangan kanan mencengkeram batuk kepala. Tenaga kibaran itu sangat besar membuat tubuh Geni serasa kaku. Saat berikutnya kepalanya terasa dingin. Geni tahu jiwanya berada di ujung tanduk, namun ia tidak gentar. Ia bergerak dengan dua jurus susulan Angluputana (Yang Akan Membebaskan) dan Sumpetutit (Jungkir dan Berputar). Saat itu Geni berpikir sederhana, jika ia harus terluka atau bahkan binasa, maka lawannya pun harus mengalami kerugian besar. Pukulan dan tendangannya mengarah pelipis dan selangkangan lawan. Pada saat itu dua pukulan Padeksa dan Manjangan Puguh ikut mengancam punggung Kidung Maut.
Terdengar suara lawan "iiihhh!" Kidung Maut terkejut, diam-diam ia memuji gerakan Geni. Jika ia meneruskan serangan, Geni pasti mati, namun ia pun akan terluka parah. Begitu juga pukulan dua pendekar kawakan yang mengarah punggungnya. Dia membatalkan serangan pada Geni, sambil merentangkan dua tangannya ia menerima pukulan Padeksa dan Manjangan Puguh.
"Deeeesss!" Punggungnya kena telak. Pakaian di bagian punggungnya pecah dan robek. Namun Kidung Maut itu tampak tidak terluka. Saat pukulannya mengena telak punggung lawan, Padeksa dan Manjangan Puguh merasa tenaganya amblas di ruang kosong. Memang terasa adanya benturan, namun tidak ada daya tolak dari punggung lawan sebagaimana mestinya.
Ternyata sebenarnya Kidung Maut meminjam tenaga lawan, pukulan itu tidak melukainya bahkan tubuhnya dengan kecepatan tinggi melayang ke arah Pujawati
Ketua Goranggareng ini menyambut dengan kibasan pedang Kembangtehn (Bunga Tiga Warna) satu jurus mematikan dari ilmu andalannya Kemayangan (Bahagia dan Beruntung). Berbarengan dengan itu Matangga dan Setawastra bersama-sama mengirim pukulan gabungan yhmjilakmi (Menghasilkan) salah satu jurus tangan kosong handal dari perguruan Mahameru Sergapan tiga pendekar ini sepertinya menebar hawa kematian. Kidung Maut tak punya peluang untuk lolos.
Kenyataan tidak demikian. Kidung Maut membuat gerakan putar, tubuhnya melintir dan meliuk ke samping, menghindari pedang Pujawati. Ternyata geraknya bukan hanya menghindar. Tetapi sekaligus menyedot dan menarik tubuh Pujawati sampai terhuyung ke depan Dua tanggannya kemudian membentur pukulan dua murid Mahameru "Duuukkk... dukkk!"
Malangga dan Setawastra terhuyung empat langkah ke belakang. Pujawati hilang keseimbangan dan tersuruk dua langkah ke depan.
Kidung Maut benar-benar pamer kepandaiannya. Meminjam tenaga lawan, ia melejit dan melenting ke atas melewati tiga lawannya. Kini dua gadis Goranggareng yang terancam! Pujawati yang terpisah agak jauh dan dalam keadaan limbung tak bisa berbuat apa-apa. Begitu juga dua murid Mahameru
Tidak demikian Wisang Geni yang cerdik. Ia bisa membaca jalan pikiran Kidung Maut. Saat Kidung Maut menempur Pujawati, saat itu juga Geni menerjang ke arah Rorowangi dan Rorokunda. Sehingga waktu dua gadis cantik itu diserang, Geni ikut membantu dengan jurus Sumpetutit (Jungkir dan Berputar).
Dua gadis cantik ini juga bukan orang lemah, dua kilatan pedang berkelebat mengibas udara
Terdengar suara menggumam dari balik topeng Kidung Maut, suara yang tidak jelas.
"Hmmmmm.'' Ia memainkan ilmu pinjam tenaga, menangkis pukulan Geni, ia melenting dan melesat meloloskan diri dari kibasan pedang dua gadis itu. Gerakan menangkis itu dilakukan sambil ia melayang pergi ke luar ruangan menghilang di kegelapan malam. Sepertinya ia lari karena gagal.
Mendadak terdengar suara mencicit saling susul. Dua bor menyerbu masuk. Semua terkejut. Geni sehabis bentrok tenaga dan surut empat langkah dengan dada sesak sempat melihat bor itu mengancam Rorowangi. Tanpa sadar Geni melesat ke arah gadis itu memotong jalan bor maut. Padeksa dan Manjangan Puguh ikut meluruk ke arah sama, begitu juga Pujawati Tiga pendekar kawakan ini bergerak pesat menolong Rorowangi. Tetapi Kidung Maut lebih cepat lagi. Saat itu juga terdengar suara mencicit lainnya, dua bor lain menyerang pesat.
Terdengar jeritan maut. Rorokunda yang sendirian dan tidak dilindungi menjadi korban. Dadanya bersimbah darah. Tewas mengerikan. Saat itu juga suasana sepi dan lengang. Fajar mulai menyingsing. Semua terpana. Pertarungan berlangsung singkat. Serba cepat dan telah menebar detik-detik kematian yang mengancam semua pendekar. Hanya nasib baik saja yang meloloskan mereka dari kematian. Rupanya sambil melayang pergi, menuju kegelapan malam, Kidung Maut menyerang dengan senjata bor mautnya. Tak seorang pun menyangka keadaan seperti itu.
Lawan juga berlaku licik, menyerang Rorowangi namun yang yang di incarnya adalah Rorokunda. Sehingga begitu semua perhatian dan pertolongan mengarah pada Rorowangi, saat itu juga ia menyerang Rorokunda. Lihai, sungguh lihai.
Lihai dan licik!
Rorowangi memeluk mayat adiknya, menjerit dengan tangis memilu.
"Adikku, kenapa kamu tinggalkan aku, maafkan mbakyu ini karena gagal melindungi adiknya."
Pujawati merunduk, selama ini belum pernah ia dipecundangi orang setelak itu. Muridnya mati di depan hidungnya tanpa ia sanggup menolong. Lawannya pun hilang begitu saja.
Malangga, Setawastra dan Wisang Geni merasakan jantungnya berdegup kencang. Benturan tenaga dengan Kidung Maut membuat tenaga dalam mereka jadi tidak karuan. Mereka duduk semedi mengatur kembali tenaga intinya. Padeksa dan Manjangan Puguh masih bingung dan takjub. Mereka heran, sebab jelas-jelas Kidung Maut kena pukulan telak di punggungnya, pukulan yang sanggup menghancurkan gajah sekali pun ternyata tidak mempan terhadap tubuh lawan. Mereka takjub akan ilmu pinjam tenagayang dimainkan Kidung Maut. Jelas, tenaga dalam dan ringan tubuh lawan sangat tinggi, ditambah lagi dengan jurus- jurus aneh, membuat orang bertopeng itu tampak sangat digdaya.
Drama berdarah itu selesai persis fajar menyingsing. Seperti kebiasaan yang diceritakan dari mulut ke mulut, Kidung Maut menepati janjinya. Lima kali kidung dinyanyikan, lima nyawa melayang
Hebatnya lagi, ia menyisakan saksi hidup agar dunia kependekaran mengetahui kehebatan Kidung Maut.
"Tak ada lawan. Tak ada tandingan. Ilmu dari segala Ilmu. "
* * *
Suasana pagi di sekitar bangunan tua itu sepi dan lengang.
Tak terdengar kicau burung. Seakan makhluk unggas itu ikut berdukacita. Seakan ikut sedih atas malapetaka yang ditabur Kidung Maut tadi malam.
Wisang Geni masih membayangkan Rorowangi yang cantik. Rorowangi yang menangisi kematian adiknya. Rorowangi yang memandangnya dengan penuh rasa terimakasih. Ia juga tak bisa melupakan pengalaman mengerikan itu. Selama ini ia telah melewati banyak pertarungan namun sepak terjang musuh seperti Kidung Maut tak akan pernah bisa ia lupakan. Telengas, keji dan sangat lihai.
Geni masih memandangi rombongan Pujawati, Rorowangi dan dua murid Mahameru yang menghilang di balik hutan.
Geni merasa ada sesuatu dari dirinya yang terbawa Rorowangi. Ia kesengsem akan kecantikan gadis itu. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang montok. Geni punya perasaan kuat si gadis punya perhatian padanya. Ia sering memergoki Rorowangi sedang memandangnya. Dan saat mata mereka bentrok, gadis itu melempar senyum dengan mata yang berkedip-kedip.
"Ia juga ada perhatian padaku, tetapi apakah ia sudah punya hubungan dengan Setawastra, murid Mahameru itu?" gumamnya dalam hati.
Dalam keadaan termenung, Geni dikejutkan panggilan Padeksa.
"Geni, tadi saat kau diserang, tiba-tiba dia membatalkan serangannya padamu, apa yang terjadi ?" Wisang Geni tak bisa menjawab. Ia sendiri tak mengerti mengapa Kidung Maut membatalkan serangannya. Kalau saja serangan itu dilanjutkan, ia tak yakin bisa menghindari maut.
"Waktu itu aku siap dengan kuda-kuda Mangapeksa (Menanti) dan siap menyerang dengan jurus Angluputana (Yang Akan Membebaskan) dan Sumpetutit (Jungkir dan Berputar), tetapi aku tak mengerti mengapa ia batal menyerang, ia mengeluarkan suara 'iiihhh' seperti orang terkejut. Aku tak tahu apa yang membuat ia terkejut."
Manjangan Puguh memotong penuturan Geni.
"Coba, nak, kamu ingat-ingat suara orang itu, suara lelaki atau perempuan?"
"Orang itu memakai topeng, wajahnya tak terlihat, potongan tubuh pun tersembunyi dalam jubah panjangnya. Waktu ia menyanyikan kidung agak sulit membedakan suaranya, tetapi tadi malam aku yakin mendengar suara kaget, suaranya mirip suara perempuan. Dia pasti seorang perempuan, guru."
Manjangan Puguh mengerutkan kening, tampak ia berpikir keras.
"Waktu benturan tenaga jarak jauh aku mencium bebauan yang biasa dipakai kaum wanita, wewangian bunga, apakah kau juga mencium bebauan serupa, Ki?"
Padeksa yang ditanya tertawa lirih.
"Aku tak pernah tahu bagaimana bebauan perempuan, tetapi memang aku sempat mencium wangi-wangian segar semacam bebauan bunga."
"Tak salah lagi, ia pasti perempuan!" teriak Manjangan Puguh.
"Benar guru, aku juga mencium wewangian itu. Tetapi apa bedanya perempuan atau lelaki, yang pasti ia seorang pembunuh keji yang berilmu tinggi."
"Ada bedanya bagiku, Geni. Itu bukti bahwa Kidung Maut bukan seseorang yang kukenal dan yang sangat kuhormati!"
"Siapa yang kau maksud, guru ?"
Manjangan Puguh memandang langit. Suaranya agak serak.
"Kejadiannya duapuluh lima tahun silam di tengah perang Ganter. Berdua kakang Gubar Baleman, aku bertarung lawan jago kepercayaan Ken Arok, pendekar Himalaya, Lahagawe dari India.
"Hebat ilmu pendekar itu, kami berdua terdesak hebat Nyawa kami sudah di ujung rambut. Mendadak datang pendekar penolong itu. Keduanya kemudian terlibat tarung, sungguh perkelahian pendekar kelas utama. Sebelum dan sesudahnya aku tak pernah melihat ada pertarungan tingkat tinggi seperti itu lagi. Tidak sampai limapuluh jurus penolong itu sudah menghajar pendekar Lahagawe muntah darah.
Pendekar penolong kemudian seperti terbang melayang pergi membawa serta Baginda Raja lolos dari kepungan lawan. Dia berlalu sambil mendendangkan kidung Jurus Penakluk Raja itu."
"Syairnya sama, guru ?"
"Syairnya sama persis. Hanya ada satu bait awal yang dinyanyikan pendekar penolong tetapi yang tidak ditembangkan si Kidung Maut tadi malam. Kidung itu sangat terkenal pada masa itu tetapi belakangan, setelah duapuluh lima tahun berlalu, orang mulai lupa. Lengkapnya begini,
Ilmu dari seberang, Tak boleh tepuk dada, Di Tanah Jawa ini, Dari Gunung Lejar, Jurus Penakluk Raja, Ilmu dari segala ilmu, Melenggang ke Barat, Meluruk ke Timur, Merangsak ke Utara, Merantau ke Selatan, Tak ada lawan,
Tak ada tandingan.
Ilmu dari segala ilmu
"Tadi malam Kidung Maut tidak menembangkan bait awal Ilmu dari seberang, tak boleh tepuk dada, di Tanah Jawa ini. Selain itu pembunuh tadi seorang perempuan, berarti ia bukan pendekar penolongku. Nah pertanyaannya sekarang, kalau ia bukan penolongku itu, lantas siapa dia ? Mengapa ia selalu menembang kidung Penakluk Raja setiap melakukan pembunuhan keji?"
Suasana lengang seketika, Padeksa kemudian angkat bicara.
"Sebenarnya kidung Penakluk Raja itu konon gubahan kakek Sepuh Suryajagad, tokoh sepuh dan legenda hidup perguruan kami. Dan hanya sedikit orang terutama di kalangan murid utama saja yang mengerti dan hafal kidung Penakluk Raja." Padeksa berhenti sejenak lalu melanjutkan.
"Ki Manjangan, penting sekali mengetahui pendekar penolong itu, kau satu-satunya saksi hidup yang pernah menyaksikan sepak terjangnya dalam perang Ganter, mungkin dari jurus ilmu silatnya bisa kita ketahui apakah dia Eyang Sepuh Suryajagad atau bukan, dan apa hubungannya dengan si pembunuh itu?"
"Sudah duapuluh lima tahun berlalu, setiap kupikirkan tetap tak ada jawaban. Aku Cuma merasa ilmu silat kakek penolong itu sangat tinggi dan sulit diukur. Terkadang aku merasa tak asing dengan gerak silatnya, tapi makin kupikir makin aku tak mengenalnya."
Kening Padeksa berkerut, tanda ia berpikir keras.
"Tampaknya ini rahasia besar yang menyangkut dunia kependekaran kita. Coba kau pusatkan pikiran dan mengingat kembali kejadian itu dan menceritakannya secara rinci.
Mungkin bisa terpecahkan."
Manjangan Puguh duduk bersila, dua tangannya sedekap dengan sepasang telunjuk menempel ujung hidungnya yang mancung. Ia memejamkan mata. Tidak mudah mengingat kejadian yang sudah duapuluh lima tahun berlalu. Kecuali jika kejadiannya memang sangat berkesan. Sebab jika kejadiannya sangat berkesan akan menempel ketat di alam bawah sadar. Untuk mengingatnya seseorang memerlukan konsentrasi penuh menggali ingatan atas kejadian itu. Kejadiannya memang sangat berkesan bagi Manjangan Puguh. Ada seorang wanita cantik terlibat di dalamnya, wanita yang sangat dicintainya, Sukesih. Wanita itu tewas bersama semua sahabat dan kenalan dekatnya, bahkan mereka yang sudah dianggap saudara
Pendekar jangkung ini kemudian menceritakan apa yang dilihatnya. Pertarungan itu sangat dahsyat. Kedua pendekar itu memeragakan ilmu silat yang sulit dicari tandingannya. Pendekar penolong berjubah putih dengan anggun mengalahkan pendekar Lahagawe yang beringas dan penuh amarah. Pertarungan itu seperti terpampang kembali di depan matanya. Dia menceritakan dengan rinci setiap gerak yang dimainkan pendekar jubah putih itu.
Padeksa mendengar dengan serius, keningnya berkerut. Orangtua ini tampak berfikir keras. Tiba-tiba dia bangkit dari duduk melangkah, tangan dan kakinya memainkan jurus.
"Gerak menepuk dua tangan lalu satu tangan mencengkeram ke depan itu pasti gerak awal jurus Sumujug Tundaghata (Menukik dan Menyerang Mematuk). Tangan kiri menggaruk belakang kepala dan tangan kanan ditekuk dan diputar mengarah bumi itu jurus Parasada Atishasha (Menara Menjulang). Pinggang digoyang, tangan kiri mendorong pukulan lawan, tangan kanan menyusup ke depan mengelus dada lawan, itu gerakan akhir dari Sumujug Tundaghata. Itu peragaan jurus biasa ilmu Garudamukha, tetapi karena digelar dengan tenaga dalam yang tinggi luar biasa, maka jurus menjadi sangat ampuh. Siapa lagi jikalau bukan Eyang Sepuh Suryajagad, satu-satunya orang yang bisa menggelar Garudamukha sehebat itu"
Wisang Geni tak bisa menyembunyikan keinginan tahunya.
"Siapa beliau, siapa Eyang Sepuh Suryajagad?"
Padeksa tak menjawab. Ia berdiri seperti patung, pandangan menerawang jauh. Manjangan Puguh menarik lengan muridnya.
"Geni, biarkan dia sendirian, ia sedang memikirkan jurus tadi."
Keduanya duduk. Geni menatap gurunya lekat-lekat Manjangan Puguh menghela napas.
"Geni, hidup memang banyak tantangan, apalagi hidup di dunia kependekaran yang serba keras dan kejam di mana hanya hukum rimba yang berlaku, siapa kuat dia jadi raja, siapa lemah dia jadi budak atau mati ditindas. Sering kita dilanda keresahan, bentrokan, marah, kecewa karena dua hal pokok.Tidak memperoleh apa yang kita inginkan. Atau memperoleh sesuatu yang tidak kita inginkan.
"Geni, aku dan ayahmu, beserta kangmas Gubar Baleman dan kangmas Mahisa Walungan sudah angkat saudara. Kami bertiga menjadi inti pasukan elit keraton yang dipimpin kangmas Mahisa Walunganyang tidak lain adalah adik Baginda Raja Kertajaya. Kami punya rencana besar yakni mencetak seorang pendekar yang sangat hebat dan menjadi nomor satu di dunia kependekaran. Kami sepakat memilih kamu Sejak bayi, tubuhmu dibentuk dengan memberimu bekal kekuatan, jamu unggul dari gurumu Waragang, jamu dan makanan khusus menjadi santapanmu sehari-hari, obat anti racun, dasar tenaga dalam, dasar ilmu ringan tubuh. Kamu dilatih khusus."
"Aku masih ingat, guru, waktu kau melatih aku berlari dan gelantungan di atas pohon. Ayah mengajari aku latihan tenaga dalam Paman Baleman melatih kuda-kuda. Aku ingat semuanya."
Manjangan Puguh melanjutkan, "tetapi perang Ganter telah mengubah semuanya, jalan hidupmu, jalan hidupku, semua berubah, tidak seperti yang kita rencanakan. Ayahmu dan pamanmu Gubar Baleman, juga ibumu dan saudara lainnya, semua tewas di Ganter."
Wajah Geni tampak keras, ia memandang tajam gurunya, "Guru, aku sudah tahu orangtuaku tewas di Ganter, tetapi siapa orang yang membunuh mereka?"
Manjangan Puguh memandang Geni. Dalam mata muridnya ia melihat pancaran bara api. Percikan marah dan dendam kesumat yang tak terukur besarnya. Manjangan Puguh menghela napas gundah.
"Sebelumnya tidak pernah terpikirkan bahwa kita akan kalah dalam perang. Sebelum menuju Ganter, kami mendengar berita Lemah Tulis dibumihanguskan pasukan musuh. Kamu tahu Geni, sebagian besar hulubalang keraton adalah murid Lemah Tulis, sehingga berita itu sangat memukul mental pasukan keraton. Dendam dan kekhawatiran berbaur dalam diri kami. Ternyata pasukan Arok sangat tangguh, banyak pendekar berilmu silat tinggi yang membelanya. Satu demi satu hulubalang Kediri mati Tetapi kami pantang menyerah. Meskipun terdesak, kami merasa tenang sebab Baginda Raja sudah lolos ditolong Eyang Sepuh Suryajagad. Kami akan tarung sampai tetes darah terakhir."
Kejadian itu berputar kembali di depan mata Manjangan Puguh. Ia melihat Sukesih, ibu Wisang Geni, bersama suaminya Gajah Kuning bertarung bahu membahu. Satu hal yang tidak akan pernah ia ceritakan kepada Geni bahkan kepada siapa pun, percintaannya dan perselingkuhannya dengan Sukesih. Ia mencintai wanita cantik itu saat masih gadis belia dan tak pernah luntur sampai ajal menjauhkan kekasihnya dari dekapannya.
Dia melihat panah nancap di pundak kekasihnya. Dia melihat tombak yang nancap di dada kekasihnya, dada yang sering dibelai dandikecupnya. Dia mendengar kembali seruan kekasihnya.
"Puguh pergi cepat selamatkan anakku. Cepat pergi, ingat janjimu." Kemudian seruan yang kedua, "Pergi Mas Puguh, pergilah, tak ada gunanya bertahan, kita sudah kalah."
Ketika dia melesat pergi dia masih menoleh ke belakang. Dia melihat Kalayawana menghantam kepala Gajah Kuning. Sekali lagi dia menoleh dan melihat tinju Kalayawana menghantam dada Sukesih. Dia berlari sambil menangis. Dia menangis sepanjang tahun, dia sedih lantaran tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menyaksikan perempuan yang dicintainya itu mati.
"Aku mencari-cari pembunuh ibumu itu. Tapi dia seperti hilang dari bumi. Semula dia berada di Tumapel, aku juga mencarinya di kuburan Gondomayu tetapi tak pernah bisa menemukannya."
"Guru, kamu menyebut kuburan Gondomayu, apakah dia si Penguasa Kegelapan dari Gondomayu yang bernama Kalayawana?"
"Benar, Kalayawana!"
"Baik, aku akan mencari balas, hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa."
"Geni kamu tak boleh membalas dendam sekarang, itu sama dengan mengantar nyawamu, ilmu silatnya sangat tinggi. Itu sebabnya kakek gurumu Padeksa tidak memberitahumu tentang Kalayawana."
Wisang Geni tertawa lirih.
"Tetapi kamu telah memberitahu, terimakasih guru!"
"Geni, aku tadi kelepasan bicara Sebenarnya belum saatnya kuberitahu. Kamu harus janji padaku, jangan balas dendam sebelum ilmu silatmu maju pesat. Berjanjilah!"
"Soal itu, aku tak bisa menjanjikan apa-apa, guru"
Wisang Geni melihat ada penyesalan di mata gurunya, dia bertanya lirih sambil memegang tangan gurunya.
"Guru, kamu mencintai ibuku dan ibu mencintaimu, benarkah?"
Puguh terkejut. Bagaikan disambar petir. Dia gagap menjawab, "Kamu tahu? Dari mana kamu tahu?"
Geni tersenyum, menjawab dengan senyum "Aku pernah melihat kalian berdua memasuki goa itu."
"Kamu membuntuti kami? Lalu kamu memberitahu ayahmu?"
Melihat Geni menggeleng kepala, Puguh bertanya lagi, "Mengapa tidak lapor pada ayahmu?"
Geni menggeleng sambil senyum menggoda.
"Itu biasa. Ayah dan ibu saling menyintai, jika tidak mana mungkin aku lahir. Ibu dan guru saling mencintai, jika tidak mana mungkin mau berduaan dan bercinta di goa itu. Drupadi mencintai lima Pandawa sedangkan ibu mencintai dua pendekar, jadi kupikir itu hal yang biasa. Lagipula aku menyayangi ayah, ibu dan juga kamu guru"
Manjangan Puguh memandang muridnya dengan kagum.
Dia melihat seorang muda yang jujur, cerdas dan berpikir jernih. Dia mengalihkan pembicaraan.
"Kamu ingat, selain Kalayawana, juga Tambapreto mengeroyok kangmas Gubar Baleman. Dua musuh lainnya Bango Samparan dan Sempani membunuh kangmas Mahisa Walungan dan Sepasang Iblis Sapikerep membunuh pamanmu Kebo Ijo."
Sepasang mata Wisang Geni memancarkan sinar penuh dendam. Tangannya terkepal, menahan amarah. Dia meyakinkan dirinya "Aku harus rajin berlatih, karena banyak hutang nyawa yang harus kutagih. Aku akan mencari kalian, Kalayawana, Tambapreto, Sempani, Bango Samparan, Iblis Sapikerep.
Hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa!"
* * *
INDEX WISANG GENI | |
Peristiwa Ganter --oo0oo-- Cinta Pertama |